Bagian 3

Lama sekali pemuda itu menangis, ia baru berhenti sesudah air matanya kering. Sesudah berhenti menangis, ia duduk bengong sekian lama dan sesudah kenyang bengong-bengong, barulah ia berkata: "Leng Kouwnio, yang membinasakan ayah dan ibuku adalah dia. Sakit hati ini amatlah sangat besar, aku dan dia tak bisa berdiri bersama-sama di kolong langit."

"Kalau begitu, kita sudah bertindak salah," kata Leng So.

"Sebenarnya tak seharusnya kita mengobati matanya."

"Tidak, kita tak salah dalam mengobati dia," kata Ouw Hui.

"Sesudah kedua matanya sembuh, aku akan balik lagi untuk membalas sakit hati." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Hanya ilmu silatnya terlalu tinggi. Untuk memperoleh kemenangan, aku harus berlatih terus."

"Sesudah ia menggunakan senjata beracun untuk membinasakan ayahmu, apa halangannya jika kita pun membalas dengan senjata beracun pula!" kata Leng So.

Mendengar perkataan itu, bukan main rasa terima kasihnya Ouw Hui. Akan tetapi, sungguh heran, begitu mendengar si nona ingin mengambil jiwa Biauw Jin Hong dengan menggunakan racun, hatinya jadi kurang enak. 'Otak Leng Kouwnio sepuluh kali lebih cerdas daripada aku dan ilmu silatnya pun dapat dikatakan lumayan,' katanya di dalam hati.

'Tapi hari ketemu hari, ia terus berkawan dengan macam-macam racun. Biar bagaimanapun juga....' Ia tak dapat meneruskan jalan pikirannya. Ia hanya merasa, bahwa main-main dengan racun terus-menerus adalah tidak benar.

Sesudah kenyang menangis, sebagian besar kejengkelannya sudah dapat dilampiaskan. Sesaat itu, fajar sudah menyingsing. Tapi, baru saja ia berbangkit untuk meneruskan perjalanan, mendadak ia berseru: "Celaka!"

Ternyata, waktu kabur dan rumah Biauw Jin Hong, ia sudah lupa untuk membawa bungkusan-nya. Tentu saja ia bisa balik pula untuk mengambilnya, tapi ia sangat sungkan bertemu muka lagi dengan Kim-bian-hud.

"Lain barang masih tak apa, tapi Giok-hong-hong (burung-burungan Hong yang terbuat dari batu pualam, pemberian Wan Cie Ie) tidak boleh hilang," kata Leng So sembari mesem.

Muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. Sesudah berpikir sejenak, ia berkata: "Kau tunggu di sini sebentar, aku pergi untuk mengambil bungkusan itu. Jika tak diambil, kita tak mempunyai uang untuk makan nginap."

"Aku mempunyai perak dan malahan mempunyai juga emas," kata si nona sembari mengeluarkan dua potong emas dari sakunya.

"Barang yang paling penting dalam bungkusan itu adalah kitab ilmu silat warisan leluhurku," kata Ouw Hui. "Biar bagaimana juga, kitab itu tak boleh hilang."

Leng So merogoh saku dan mengeluarkan sejilid kitab. "Apa ini?" tanyanya.

Ouw Hui kaget bercampur girang, karena kitab itu memang benar adalah kitab yang dimaksudkan olehnya. "Kau sungguh hati-hati dan ingat segala apa," ia memuji.

"Hanya sayang Giok-hong-hong itu jatuh di tengah jalan," kata Leng So. "Hatiku sungguh merasa tak enak."

Melihat parasnya si nona yang sungguh-sungguh Ouw Hui jadi bingung. "Aku akan coba mencarinya," katanya.

"Barangkali saja masih bisa didapatkan." Ia memutar badan dan lantas berjalan pergi.

"Ih! Apa itu yang berkeredepan?" Tiba-tiba Leng So berseru. Ia membungkuk dan memungut serupa benda dari rumput-rumput. Ternyata, benda itu bukan lain daripada Giok-hong-hong.

"Kau sungguh satu Cukat perempuan atau Thio Liang kecil," ia memuji. "Aku menyerah kalah." (Cukat dimaksudkan Cukat Liang, seorang perdana menteri dari kerajaan Han, di jaman Samkok, sedang Thio Liang adalah salah satu menteri utama dari kaisar Lauw Pang, pendiri dari kerajaan Han. Baik Cukat Liang, maupun Thio Liang, dikenal sebagai orang-orang pandai pada jaman itu).

"Aduh! Girangnya!" mengejek Leng So. "Nih. aku pulangkan!" Sembari berkata begitu, ia menyerahkan kitab dan Giok-hong-hong kepada Ouw Hui.

Si nona berdiam sejenak dan tiba-tiba ia berkata: "Ouw Toako, sampai ketemu lagi!"

Ouw Hui terkejut. "Kau marah!" tanyanya.

"Kenapa mesti marah?" Leng So balas menanya. Mendadak kedua matanya merah dan ia melengos ke lain jurusan.

"Ke mana... ke mana kau mau pergi?" tanya Ouw Hui dengan suara tak lampias.

"Tak tahu," jawabnya.

"Kenapa tak tahu?" Ouw Hui mendesak.

"Aku sudah tak mempunyai ayah dan bunda," jawabnya.

"Guruku juga sudah meninggal dunia. Tak ada orang yang memberikan Giok-hong-hong atau Giok-kie-lin kepadaku.... Bagaimana... bagaimana aku tahu, kemana aku mesti pergi?" Berkata sampai disitu, Leng So tak dapat mempertahankan dirinya lagi dan air mata meleleh turun di kedua pipinya yang kurus.

Semenjak bertemu, Ouw Hui mengagumi Thia Leng So yang pintar luar biasa dan selalu dapat memecahkan setiap persoalan yang sulit-sulit. Akan tetapi pada detik itu melihat badannya yang kurus bergemetar di antara tiupan sang angin pagi, tanpa merasa dalam hatinya timbul rasa kasihan. "Leng Kouwnio," katanya dengan suara halus. "Ijinkanlah aku mengantarkan kau."

Dengan menggunakan ujung baju, Leng So menepis air matanya. "Ke mana kau mau mengantarkannya?" katanya.

"Aku sendiri tak tahu, mau pergi ke mana. Terhadap kau, tugasku sudah selesai. Kau ingin aku mengobati mata Biauw Jin Hong dan aku sudah memenuhi keinginan itu."

Tiba-tiba Ouw Hui ingat suatu hal yang kiranya dapat menimbulkan kegembiraan si nona. "Leng Kouwnio," katanya, "Tapi masih ada satu hal yang dilupakan olehmu."

"Apa?" tanya Leng so.

"Waktu aku memohon supaya kau mengobati mata Biauw Jin Hong, kau pernah mengatakan, bahwa kau sendiri ingin mengajukan serupa permintaan kepadaku," kata Ouw Hui.

"Permintaan apakah itu? sampai sekarang kau belum mengajukannya."

Biar bagaimana juga orang muda tetap orang muda, yang gampang jengkel dan gampang pula gembira. Mendengar perkataan Ouw Hui, Thia Leng So yang barusan masih bersedih hati, lantas saja tertawa geli. "Benar, jika tidak diingatkan kau, aku sendiri sudah lupa," katanya. "Baiklah. Bukankah kau sudah berjanji akan meluluskan segala permintaanku?"

"Dalam batas-batas kemampuanku, aku akan melakukan apa pun juga yang diperintah olehmu," jawab Ouw Hui.

Leng So mengangsurkan tangannya seraya berkata: "Bagus! Sekarang serahkanlah Giok-hong-hong itu kepadaku."

Ouw Hui terkejut, tapi karena ia adalah seorang yang selalu memegang janji, maka walaupun dengan perasaan berat, ia segera mengangsurkan Giok-hong-hong itu kepada si nona.

Leng So tidak menyambuti. Ia menatap wajah Ouw Hui seraya berkata: "Guna apa barang begitu? Aku ingin kau menghancurkan Giok-hong-hong itu!"

Itulah satu keinginan yang benar-benar tak dapat diturut oleh Ouw Hui. Ia mengawasi Leng So dan kemudian mengawasi Giok-hong-hong, tanpa mengetahui harus berbuat bagaimana. Pada saat itu, wajah dan gerak-geriknya Wan Cie Ie terbayang pula di depan matanya.

Perlahan-lahan Leng So menghampiri dan mengambil Giok-hong-hong itu, yang kemudian lalu dimasukkan ke dalam saku Ouw Hui. "Mulai dari sekarang," katanya dengan suara halus. "Janganlah sembarangan berjanji lagi. Kau harus mengetahui bahwa dalam dunia ini terdapat banyak sekali pekerjaan yang tidak dapat dilakukan. Sudahlah! Mari kita berangkat."

Perasaan Ouw Hui pada waktu itu, sukar dilukiskan. Dengan terharu, ia segera memondong paso Cit-sim Hay-tong dan berjalan mengikuti di belakang si nona.

Kira-kira tengah hari, mereka tiba di satu kota. "Mari kita cari rumah makan untuk menangsal perut dan kemudian coba membeli dua tunggangan," kata Ouw Hui.

Baru saja ia mengucapkan perkataan itu, seorang lelaki setengah tua yang mengenakan thung-sha (jubah panjang) dan baju sutera dan gerak-geriknya seperti satu saudagar, menghampiri dan memberi hormat. "Apakah aku sedang berhadapan dengan Ouw-ya?" tanyanya.

Ouw Hui tak kenal orang itu, tapi lantas saja ia membalas hormat seraya berkata: "Aku yang rendah memang benar she Ouw. Bagaimana tuan bisa mengetahui?"

Orang itu tertawa dan lalu menjawab dengan sikap hormat. "Atas titahnya majikanku, sudah lama aku menunggu di sini. Marilah kita makan dulu seadanya." Sehabis berkata begitu ia segera berjalan menuju ke satu restoran, diikuti oleh Ouw Hui dan Leng So.

Tanpa diperintah, beberapa pelayan segera mengeluarkan makanan dan arak. Apa yang dikatakan "Seada-adanya", adalah makanan pilihan dari kelas satu.

Ouw Hui dan Leng So tentu saja merasa sangat heran, tapi karena orang itu tidak menyebut-nyebut lagi siapa majikannya, mereka pun merasa tak enak untuk segera menanyakan lagi.

Sehabis bersantap, orang itu berkata: "Sekarang marilah Jie-wie mengaso di gedung yang sudah disediakan."

Di luar restoran sudah menunggu tiga ekor kuda, yang lalu ditunggang oleh mereka. Sesudah melalui kurang lebih lima li, tibalah mereka di depan satu gedung besar yang sangat indah.

Di depan gedung itu sudah menunggu enam tujuh bujang yang menyambut mereka dengan sikap hormat sekali. Si saudagar lantas saja mengundang kedua tamunya masuk ke ruangan tengah, di mana sudah disediakan satu meja teh penuh buah-buah dan kue-kue yang lezat rasanya.

Ouw Hui jadi semakin heran. "Jika aku menanyakan sebab-sebab perlakuan yang begini luar biasa dia tentu tak akan bicara terus-terang," katanya di dalam hati. "Biarlah aku menunggu bagaimana akhirnya permainan ini dan bertindak dengan mengimbangi keadaan."

Sehabis minum teh, si saudagar lantas saja berkata: "Ouw-ya dan nona tentu tentu merasa capai. Mandilah tukarlah pakaian dulu."

"Didengar dari bicaranya, dia ternyata tidak mengenal Leng Kouwnio," pikir Ouw Hui. "Hm!" Jika dia berani main gila di hadapan murid Tok-chiu Yo-ong, dia pasti akan mendapat hajaran keras."

Seorang pelayan segera mengantarkan Ouw Hui masuk ke ruangan dalam, sedang seorang pelayan lain mengantarkan Leng So.

Sesudah mandi, menukar pakaian dan mengaso sebentar, mereka berdua lalu kembali ke ruangan tengah. Mereka saling mengawasi dengan perasaan geli, karena masing-masing sudah mengenakan pakaian baru.

"Ouw Toako," kata Leng So sembari tertawa. "Apakah hari ini hari perayaan Tahun Baru? Dandananmu ganteng benar."

Ouw Hui juga turut tertawa, karena mendapat kenyataan, bahwa si nona bukan saja memakai pakaian baru, tapi juga memakai bedak dan yancie (rouge). "Aduh!" katanya. "Kau kelihatannya seperti pengantin saja!"

Muka Leng so lantas saja berwarna dadu dan ia melengos tanpa meladeni ejekan orang.

Ouw Hui terkejut, sebab ia merasa sudah berbicara salah. Ia melirik ke arah Leng So dan hatinya agak lega, karena paras si nona tidak menunjukkan kegusarannya.

Sementara itu, dalam ruangan tersebut sudah diatur meja perjamuan dengan makanan dan arak kelas satu. Sesudah mengundang Ouw Hui dan Leng So minum tiga cawan si saudagar segera masuk ke dalam dan ke luar lagi dengan kedua tangan menyanggah satu penampan. Di atas penampan itu terdapat sebuah bungkusan sutera merah yang ketika dibuka, ternyata berisikan sejilid buku yang disulam indah sekali dengan benang emas. Di atas kulit buku itu dituliskan perkataan seperti berikut: "Dipersembahkan dengan segala kehormatan kepada Ouw Toaya, Ouw Hui".

Dengan kedua tangannya, dengan sikap meng-hormat luar biasa, saudagar itu mengangsurkan buku tersebut kepada Ouw Hui. "Atas perintah majikanku, siauwjin (aku yang rendah) mempersembahkan segala apa yang tercatat dalam buku ini, kepada Ouw Toaya," katanya.

Ouw Hui tak lantas menyambuti buku itu. "Siapa majikan tuan?" tanyanya. "Kenapa ia memberi hadiah yang begitu besar kepadaku?"

"Siauwjin telah dilarang memberitahukan nama beliau," jawabnya. "Dikemudian hati, Toaya sendiri tentu akan mengetahuinya."

Didorong keheranannya, Ouw Hui menyambuti buku itu dan segera membuka halaman itu terdapat tulisan seperti berikut: "Sawah kelas satu, empat ratus lima belas bouw". Di bawah tulisan itu terdapat penjelasan tentang kedudukan sawah itu, nama-nama penggarapnya, hasil setiap tahunnya dan sebagainya.

Bukan main herannya Ouw Hui. Ia membuka halaman kedua yang bertuliskan seperti berikut: "Sebuah gedung dari lima bagian dengan dua belas kamar loteng dan tujuh puluh tiga kamar bawah". Di bawah itu, dengan huruf-huruf kecil, juga terdapat penjelasan mengenai kedudukan gedung itu, letak taman bunganya, ruangan-ruangannya, kamar-kamarnya, dapurnya dan Iain-lain.

Pada halaman-halaman yang lain terdapat daftar nama bujang-bujang, biaya sehari-hari, makanan yang diperlukan, kuda-kuda, kereta, perabot rumah tangga, pakaian dan sebagainya.

Ouw Hui yang berotak cerdas sekarang benar-benar merasa bingung di dalam hatinya. "Coba kau lihat," katanya sembari menyerahkan buku itu kepada Leng So.

Sesudah membaca isinya, si nona pun tak dapat menembus tabir rahasia yang meliputi keanehan itu.

"Selamat, selamat!" katanya sembari tertawa. "Kau sekarang sudah menjadi hartawan besar."

"Sekarang siauwjin ingin mengantar-antarkan Ouw Toaya untuk memeriksa keadaan gedung ini," kata si saudagar.

"Kau she apa?" tanya Ouw Hui. "Siauwjin she Thio," jawabnya. "Untuk sementara waktu, siauwjin mewakili Ouw Toaya untuk mengurus sawah-sawah dan gedung ini. Jika ada apa-apa yang kurang mencocoki keinginan Ouw Toaya, siauwjin harap Ouw Toaya suka lantas memberitahukannya. Surat-surat sawah dan rumah berada di sini. Harap Ouw Toaya sudi menerimanya." Sembari berkata begitu, ia mengangsurkan seikat surat-surat.

"Kau simpan saja dulu," kata Ouw Hui. "Kata orang: 'Tanpa berjasa, tidak menerima hadiah.' Hadiah yang begini besar belum tentu aku dapat menerimanya."

"Ah! Ouw Toaya terlalu sungkan," kata si saudagar.

"Majikanku pernah mengatakan, bahwa ia merasa malu, karena hadiah ini terlalu kecil."

Sedari kecil, Ouw Hui berkelana di kalangan Kang-ouw dan ia sudah kenyang menemui atau mendengar kejadian-kejadian aneh. Akan tetapi, apa yang dialaminya sekarang adalah kejadian yang belum pernah dimimpikannya.

Dilihat gerak-geriknya, orang she Thio itu bukan seorang yang mengerti ilmu silat dan bicaranya pun bukan cara seorang Rimba Persilatan berbicara. Ouw Hui merasa, bahwa sebagai seorang yang diperintah, belum tentu ia mengetahui latar belakang kejadian ini.

Sehabis bersantap, Ouw Hui dan Leng So segera ke kamar buku untuk mengaso. Kamar itu, yang diperlengkapi dengan perabotan yang berharga mahal, penuh dengan lukisan-lukisan, buku-buku dan alat-alat musik. Tak lama kemudian seorang kacung datang mengantarkan teh dan sesudah meletakkan tehkoan dan cangkir di atas meja, ia segera mengundurkan diri.

Leng So tertawa geli seraya berkata: "Ouw Wan-gwee (hartawan), tak dinyana di tempat ini kau menjadi seorang Loo-ya (panggilan untuk seorang berpangkat atau hartawan)."

Ouw Hui pun turut tertawa, tapi sesaat kemudian, ia mengerutkan alisnya. "Leng Kouwnio," katanya. "Aku merasa pasti, bahwa orang yang memberikan hadiah ini mempunyai maksud kurang baik. Akan tetapi, aku tak dapat menebak siapa adanya orang itu. Siasat apa yang sedang diaturnya?"

"Apakah tak mungkin kerjaan Biauw Jin Hong?" tanya si nona.

Ouw Hui menggelengkan kepalanya dan berkata: "Apa mungkin aku dan dia mempunyai permusuhan besar, tapi menurut pendapatku, ia adalah laki-laki tulen yang tak akan main bergelap-gelapan."

"Tapi kemungkinannya tetap masih ada," kata Leng So.

"Apakah tak bisa jadi, hadiah ini diberikan olehnya karena kau sudah membantu dia dalam menghadapi bahaya-bahaya. Mungkin sekali ia hanya bermaksud untuk menghaturkan terima kasih dan menghilangkan permusuhan."

"Mana bisa aku melupakan sakit hati orang tuaku karena silau melihat harta?" kata Ouw Hui.

"Tidak, tidak?" Biauw Jin Hong tak akan memandang aku begitu rendah."

Leng So meleletkan lidah. "Kalau begitu, akulah yang sudah menaksir kau terlalu rendah."

Lama juga mereka berunding, tapi hasilnya nihil. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk menginap semalam, guna menyelidiki hal itu lebih lanjut.

Malam itu, Ouw Hui tidur dalam kamar besarnya terletak di ruangan belakang, sedang Leng So mengambil kamar di atas loteng, di pinggir taman bunga. Selama hidupnya, belum pernah Ouw Hui tidur dalam kamar yang begitu mewah, tapi sekarang, bukan saja kamar itu, tapi seluruh gedung itu juga sudah menjadi miliknya sendiri.

Kira-kira jam dua malam, sesudah berdandan rapi dan membekal golok, Ouw Hui ke luar lewat jendela dan melompat naik ke atas genteng. la mendapat kenyataan, bahwa di bagian belakang gedung itu masih terdapat penerangan lilin. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, ia berlari-lari ke arah sinar api itu. Sambil mencantelkan kedua kakinya di payon rumah, sehingga badannya menggelantung ke bawah, ia mengintip dari jendela. Di dalam kamar itu terdapat si orang she Thio yang sedang menghadapi suiphoa (alat hitung Tionghoa) dan buku-buku, dengan dikawani oleh seorang tua. Ternyata, apa yang sedang dikerjakannya adalah pembukuan mengenai sawah dan gedung itu dan apa yang dibicarakan dengan si orang tua adalah soal-soal yang bersangkut paut dengan tugasnya. Sesudah mendengarkan beberapa lama, Ouw Hui belum juga mendapatkan yang tengah dicarinya itu.

Baru saja ia ingin berlalu, ketika mendadak terdengar suara luar biasa, sehingga dengan cepat ia bersiap-siap sembari mencekal gagang goloknya. Tapi yang datang hanyalah Leng So yang segera memberi isyarat dengan gerakan tangannya. Ouw Hui menghampiri.

"Aku sudah menyelidiki seluruh gedung ini dari depan sampai di belakang, tapi belum juga bisa mendapat apa-apa yang mencurigakan," kata si nona. "Bagaimana dengan kau?"

Ouw Hui menggelengkan kepalanya dan mereka segera kembali ke masing-masing kamarnya. Sampai pagi mereka terus berjaga-jaga, tapi semalam itu tak terjadi suatu apa yang luar biasa.

Pagi-pagi sekaii, seorang kacung sudah mengantarkan somthung (kuwah yo-som) dan yan-o-pauw, kue-kue dan arak merah yang tua sekaii.

"Dengan mempunyai Leng Kouwnio sebagai kawan, enak juga hidup di sini," kata Ouw Hui di dalam hatinya. Tapi di lain saat, ia mendapat pikiran lain. "Orang she Hong itu yang sudah membinasakan seluruh keluarga Ciong A-sie, sampai sekarang masih hidup dengan selamat," pikirnya. "Jika aku tak bisa membalaskan sakit hati keluarga Ciong, mana aku punya muka untuk hidup terus dalam dunia ini?" Mengingat begitu, darah kesatrianya lantas saja mendidih.

"Apakah kita lantas berangkat sekarang?" tanyanya kepada Leng So.

"Baiklah," jawab si nona tanpa menegaskan mau pergi ke mana.

Mereka segera kembali ke masing-masing kamarnya dan mengenakan lagi pakaian yang lama.

Sesudah rapih berdandan, Ouw Hui segera menemui si orang she Thio dan berkata: "Aku mempunyai urusan penting dan harus berangkat sekarang juga." Sehabis berkata begitu, ia segera berjalan pergi, diikuti Leng So.

Orang she Thio itu terperanjat dan berkata dengan suara terputus-putus: "Kenapa... kenapa... begitu cepat? Ouw....Toaya.... Tunggu.... Siauwjin ambil sedikit ongkos." Ia masuk dengan berlari-lari dan ke luar lagi dengan membawa penampan, tapi Ouw Hui maupun Leng So sudah tak kelihatan bayangannya lagi.

Dengan cepat Ouw Hui dan Leng So meneruskan perjalanan mereka ke arah utara. Kira-kira tengah hari mereka tiba di sebuah kota dan sesudah mencari keterangan, barulah mereka mengetahui, bahwa semalam mereka menginap di kota Gie-tong-tin. Ouw Hui segera membeli dua ekor kuda dan mereka meneruskan perjalanan itu dengan menunggang kuda, sambil membicarakan kejadian kemarinnya yang luar biasa itu.

"Kita makan minum dan menginap dengan cuma-cuma dan sama sekali tidak terjadi apa-apa yang merugikan," kata Leng So. "Mungkin sekali, majikan rumah itu tak mengandung niatan jelek."

"Tapi aku justru mengharapkan datangnya bahaya itu," kata si nona sembari tertawa.

"Eh, Ouw Toaya! Sebenarnya, kemana kita akan pergi?"

"Aku ingin pergi ke Pakkhia," jawabnya. "Apakah tak baik jika kau mengikuti?"

"Baik sih baik," kata Leng So sembari mesem. "Hanya aku khawatir, jika kau akan menjadi tidak leluasa."

"Kenapa!" Ouw Hui menegas.

"Ouw Toako," kata Leng So. "Bukankah kau ingin mencari nona yang menghadiahkan Giok-hong-hong itu kepadamu!"

"Bukan," jawab Ouw Hui dengan paras sungguh-sungguh.

"Aku ingin mengejar seorang musuh. Ilmu silat orang itu tidak seberapa tinggi, tapi ia tnempunyai banyak kaki tangan dan banyak akal busuknya. Leng Kouwnio, dalam hal ini aku sangat mengharapkan bantuanmu."

Ouw Hui lantas saja menuturkan segala kejahatan Hong Jin Eng, bagaimana manusia itu sudah membasmi keluarga Ciong A-sie dan bagaimana dia sudah terlolos dari kejarannya. Ketika menceritakan pengalamannya pada malam itu di bio rusak. suara Ouw Hui agak tak lampis.

"Bukankah nona pemberi Giok-hong-hong itu juga berada di bio tersebut!" tanya Leng So secara mendadak. Ouw Hui terkejut. Si nona ternyata cerdas luar biasa dan tak dapat dikelabui. Oleh karena yakin, bahwa segala sepak terjangnya adalah putih bersih, Ouw Hui segera bercerita tanpa tedeng aling-aling lagi. Ia menceritakan segala apa, antaranya bantuan Wan Cie Ie kepada Hong Jin Eng.

"Wan Kouwnio adalah wanita yang sangat cantik, bukan?" tanya Leng So.

Muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. "Lumayan," jawabnya.

"Bukankah ia jauh lebih cantik, jika dibandingkan dengan aku, si wanita jelek?" tanya Leng So pula.

Mendengar pertanyaan yang tak diduga-duga itu, Ouw Hui jadi termangu-mangu. Sesudah bengong sejenak, barulah ia berkata: "Siapa mengatakan, bahwa kau wanita jelek? Dia berusia beberapa tahun lebih tua daripada kau. Tentu saja, tubuhnya lebih tinggi dan besar."

Leng So tertawa. "Ketika berusia empat tahun, aku pernah bercermin dengan menggunakan kaca ibu," katanya.

"Ketika itu, Ciciku berkata: 'Muka jelek, tak perlu kau mengaca. Mengaca atau tidak, jelek tetap jelek.' Hm! Aku tak memperdulikan kata-katanya. Apakah bisa menebak kejadian selanjutnya?"

"Asal kau jangan meracuni kakakmu," kata Ouw Hui di dalam hatinya. Ia mengawasi si nona dan berkata: "Mana aku tahu?"

Leng So, yang rupa-rupanya dapat menebak jalan pikiran Ouw Hui, segera berkata sembari bersenyum: "Kau takut aku meracuni Cici? Waktu itu aku baru berusia empat tahun. Hm! Besoknya, semua cermin di rumahku hilang."

"Heran benar," kata Ouw Hui.

"Tak heran," kata si nona sembari tertawa. "Aku membuang semua cermin itu ke dalam sumur." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Tapi, sesudah itu, aku. mengerti, bahwa aku beroman jelek. Walaupun tak ada kaca, jelek tetap jelek. Permukaan air sumur masih merupakan sebuah kaca besar yang setiap waktu bisa mencerminkan rupaku yang jelek. Waktu itu, benar-benar aku ingin membuang diri ke dalam sumur!" Sehabis berkata begitu, mendadak ia mencambuk tunggangannya yang lantas saja lari seperti terbang.

Ouw Hui menyusul dan sesudah melalui belasan li, barulah Leng So menahan larat kudanya. Melihat kedua mata si nona yang bersemu merah, Ouw Hui mengetahui, bahwa Leng So sedang berduka dan ia tak berani mengawasi terlalu lama.

"Leng Kouwnio, tidak secantik Wan Kouwnio, tapi juga tak bisa dikatakan jelek," katanya di dalam hati. "Bagi manusia, yang terutama adalah watak dan kedua barulah kecerdasan otak, sedang bagus atau jeleknya muka adalah pengasih Tuhan yang tak dapat diubah-ubah. Leng Kouwnio adalah seorang pintar, kenapa ia tak dapat melihat kenyataan ini?"

Melihat badan si nona yang kurus kering, ia jadi merasa sangat kasihan. "Leng Kouwnio," katanya dengan mendadak.

"Aku ingin mengajukan suatu permintaan, tapi aku tak tahu, apakah kau sudi meluluskannya atau tidak. Aku tak tahu, apakah aku mempunyai kehormatan yang begitu besar." Leng So terkejut.

"Apa...?" tanyanya. Dari belakang, Ouw Hui dapat melihat, bahwa kedua daun kuping dan pinggir pipi si nona berwarna merah. "Kau dan aku sama-sama sudah tak mempunyai ayah bunda," katanya. "Aku ingin mengangkat saudara dengan kau. Apakah kau setuju?" Dalam sekejap paras si nona yang tadi berwarna merah berubah menjadi pucat. Ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Bagus! Kenapa tak setuju? Aku sungguh merasa sangat beruntung mempunyai kakak seperti kau."

Ouw Hui merasa jengah karena ia merasa, bahwa suara si nona mengandung nada mengejek. "Aku mengajukan usul itu dengan setulus hatiku," katanya dengan suara perlahan.

"Siapa kata kau main-main?" kata Leng So sembari meloncat turun dari tunggangannya. la segera mengambil beberapa ranting pohon yang kecil untuk digunakan sebagai hio dan lantas saja berlutut di pinggir jalan. Melihat begitu, Ouw Hui pun segera turut berlutut. Sesudah bersembahyang kepada Tuhan, mereka saling memberi hormat dengan berlutut. "Menurut kata orang mengangkat saudara adalah Pat-pay-cie-kauw (perhubungan dari delapan kali berlutut), maka itu kita harus berlutut delapan kali," kata Leng So.

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan.... Hm! Aku yang menjadi adik, harus berlutut dua kali lebih banyak." Benar saja, ia segera menambahkan dua kali berlutut.

Sesudah menjalankan upacara mengangkat saudara, mereka sama-sama berbangkit. Melihat perkataan dan gerak-gerik Leng So yang agak luar biasa, diam-diam Ouw Hui merasa kikuk. "Mulai dari sekarang, aku memanggil kau Jie-moay (adik perempuan yang kedua)," katanya.

"Hm! Kau jadi Toako," kata si nona. "Tapi kenapa kita tidak mengucapkan sumpah, seperti senang susah bersama-sama?"

"Dalam mengangkat saudara, yang penting adalah kecintaan di dalam hati," jawab Ouw Hui. "Bersumpah atau tidak adalah sama saja."

"Oh begitu!" kata si nona sembari menyemplak tunggangannya yang lalu dilarikan dengan keras. Sampai magrib mereka melangsungkan perjalanan itu tanpa mengucapkan suatu apa.

Malam itu, selagi mereka mencari rumah penginapan di suatu kota, mendadak muncul seorang pelayan hotel yang menghadang di depan kuda mereka. "Apakah tuan OuwToaya?" tanyanya. "Marilah menginap di rumah penginapan kami."

"Bagaimana kau tahu?" tanya Ouw Hui dengan perasaan heran.

"Siauwjin sudah menunggu di sini lama sekali," jawabnya sembari tertawa. Sehabis berkata begitu, ia segera mengantarkan Ouw Hui dan Leng So ke sebuah hotel yang besar dan mewah. Dua kamar yang paling bagus, makanan dan minuman yang paling baik sudah disediakan untuk mereka, sedang semua pelayan melayani dua tamu itu dengan penuh perhatian.

Dengan perasaan heran, Ouw Hui menanya seorang pelayan, siapa yang sudah mengatur itu semua. "Siapakah yang tak mengenal Ouw Toaya dari Gie-tong-tin!" kata pelayan itu sembari tertawa.

Keesokan paginya, pengurus hotel itu menolak pembayaran mereka sembari membongkok-bongkok. Ia memberitahukan, bahwa sudah ada lain orang yang membayarnya dan ia tak berani menerima uang Ouw Hui. Dengan begitu, Ouw Hui hanya bisa memberi persen kepada beberapa pelayan.

Beruntun beberapa hari, mereka mendapat pengalaman yang sama. Pada hari keempatnya, sesudah berangkat dari sebuah rumah penginapan, Leng So berkata: "Toako, sesudah memperhatikan beberapa hari, aku mendapat kenyataan, bahwa sama sekali kita tidak dikuntit orang. Kemungkinan satu-satu-nya ialah kita didahului seseorang yang mengatur segala apa dan melukiskan romanmu. Sekarang, menurut pendapatku, paling baik kita menyamar dan memperhatikan segala apa dari pinggir. Barangkali saja dengan berbuat begitu, kita bisa mengorek rahasia ini."

"Bagus!" kata Ouw Hui dengan girang. "Siasatmu sungguh bagus."

Setiba mereka di sebuah pasar, mereka lalu membeli beberapa stel pakaian, sepatu dan topi dan kemudian berganti pakaian di luar kota yang sepi. Dengan menggunakan rambutnya, Leng So membuat sebuah kumis palsu sehingga, sesudah memakai kumis, Ouw Hui kelihatan seperti seorang yang berusia kira-kira empat puluh tahun, sedang si nona sendiri, yang mengenakan jubah panjang dan topi, seperti juga seorang pemuda kurus. Penyamaran itu bagus sekali dan mereka saling memandang sembari tertawa besar.

Selanjutnya di pasar, mereka menukarkan kuda mereka dengan keledai, sedang Ouw Hui sendiri membeli sebatang huncwee (pipa panjang).

Di waktu magrib, mereka tiba di kota Kong-sui. Begitu masuk ke dalam kota, di tepi jalan sudah menunggu dua orang pelayan hotel yang matanya memperhatikan setiap orang yang berlalu lintas. Ouw Hui merasa geli, karena mengetahui bahwa mereka sedang menunggunya.

Bersama Leng So, ia segera pergi ke sebuah rumah penginapan dan meminta kamar. Melihat dandanan mereka yang sederhana, pengurus hotel tidak memandang sebelah mata dan memberikan kepada mereka dua kamar samping yang sempit.

Sesudah siang berganti malam, dua pelayan yang menunggu di pinggir jalan itu, pulang dengan uring-uringan dan memberi laporan kepada pengurus rumah penginapan, bahwa orang yang ditunggu tak kelihatan muncul.

Ouw Hui yang ingin mengorek keterangan, segera memanggil seorang antaranya untuk diajak bicara. Baru saja ia coba memancing-mancing, ketika di luar mendadak terdengar tindakan kuda, disusul masuknya beberapa orang.

"Aha!" kata pelayan itu dengan girang. "Ouw Toaya sudah datang!" Ia segera tinggalkan Ouw Hui dan berlari-lari ke luar untuk menyambut "Ouw Toaya".

Karena kepingin tahu, Ouw Hui juga segera ke luar dari kamarnya dan pergi ke ruangan tengah.

Sementara itu, di antara suara ramai terdengar teriakan seorang pelayan: "Bukan Ouw Toaya! Orang-orang dari piauwkiok!"

Hampir berbareng dengan itu, dari luar masuklah seorang pegawai piauwkiok yang membawa sebuah bendera piauwkiok.

Ouw Hui terkejut melihat bendera itu yang berlatar kuning dengan sulaman kuda terbang dari benang hitam. Ia ingat, bahwa bendera itu adalah lambang Hui-ma Piauw-kiok, perusahaan Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong yang telah menemui ajalnya di Siang-kee-po. Siapakah yang sekarang mengepalai piauwkiok itu? Bendera itu sudah kumal dan pegawai yang mencekalnya juga seorang tua yang berbadan lemah, sehingga dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa selama beberapa tahun Hui-ma Piauwkiok tidak mendapat kemajuan apa-apa.

Sesaat kemudian, dari luar berjalan masuk lagi seorang lelaki yang bertubuh kekar dan berparas keren, sedang mukanya penuh jerawat. Ouw Hui segera mengenali, bahwa ia itu adalah Cie Ceng, murid Ma Heng Kong. Di belakang Cie Ceng berjalanlah seorang wanita muda yang menuntun dua anak laki-laki. Wanita tersebut bukan lain daripada Ma It Hong, yang masih tetap cantik, hanya mukanya kelihatan lesu dan mencerminkan penderitaan. Kedua anak itu, yang baru berusia kira-kira empat tahun, tampak mungil sekali dan roman mereka sangat mirip satu dengan yang lain, sehingga mungkin sekali mereka adalah saudara kembar.

"Ibu, aku lapar," kata yang satu.

"Sebentar," kata sang ibu dengan suara perlahan.

"Sesudah ayah mencuci muka, kita makan beramai-ramai."

"Kalau begitu mereka sudah menikah dan sudah mempunyai anak," kata Ouw Hui di dalam hatinya.

Sebagaimana diketahui, di waktu Ouw Hui ditangkap oleh Siang Lootay dan kemudian dihajar oleh Siang Po Cin. Ma It Hong pernah berusaha untuk menolong dirinya. Kejadian itu sering diingat oleh Ouw Hui dengan rasa terima kasih. Jika bukan berada dalam penyamaran, ia tentu sudah menghampiri dan menegur kenalan lama itu.

Pada jaman itu, rumah-rumah penginapan biasanya tak berani berlaku sembarangan terhadap orang-orang piauwkiok.

Maka itu, walaupun kereta piauwyang dilindungi Hui-ma Piauw-kiok tak lebih dari sebuah dan pakaian para pegawainya pun butut sekali, pengurus hotel tetap melayani mereka dengan sikap hormat.

Begitu mendengar, bahwa kamar-kamar kelas satu sudah terisi semua, Cie Ceng mengerutkan kedua alisnya. Baru saja ia mau membuka mulut, satu pegawai piauwkiok muncul dari ruangan belakang sembari berkata: "Dua kamar besar yang menghadap ke selatan masih kosong. Kenapa kau kata sudah tak ada kamar kosong lagi?"

"Harap tuan sudi memaafkan," kata si pengurus hotel sembari tertawa. "Dua kamar itu sudah di-pesan orang, mungkin sekali akan digunakan malam ini."

Sebagai orang yang hidupnya tak begitu beruntung, Cie Ceng gampang sekali naik darah. Mendengar keterangan si pengurus hotel, ia segera mengangkat tangan dan paras mukanya berubah gusar. Tapi, sebelum ia mengumbar nafsu, Ma It Hong sudah menarik ujung bajunya seraya berkata: "Sudahlah! Kita hanya menginap semalam. Guna apa cerewet-cerewet?"

Cie Ceng yang selalu mengindahkan isterinya, tak berani bergerak lebih jauh. Sesudah mengawasi pengurus hotel itu dengan mata melotot, ia segera mengikut isterinya ke sebuah kamar yang letaknya di sebelah barat.

"Pembayaran mengantar piauw ini ada sangat kecil dan supaya tidak menjadi rugi, kita harus berlaku hemat," kata Ma It Hong sembari menarik tangan kedua puteranya. "Dengan mengambil kamar ini kita bisa menghemat sedikit."

"Perkataanmu memang benar," kata Cie Ceng. "Aku hanya merasa mendongkol melihat lagak anjing-anjing itu yang sama sekali tidak memandang orang."

Harus diketahui, bahwa sesudah Ma Heng Kong binasa di Siang-kee-po, Cie Ceng dan Ma It Hong segera menikah dan mereka berdua mewarisi Hui-ma Piauw-kiok. Akan tetapi, baik dalam hal kepandaian maupun mengenai nama, Cie Ceng masih kalah jauh dari gurunya. Di samping itu, ia berwatak terus terang dan beradat berangasan, sehingga dalam tiga empat tahun, beberapa kali ia "membentur tembok". Hanya berkat usaha isterinya, baru bahaya-bahaya itu dapat diatasi. Dengan begitu, usaha Hui-ma Piauw-kiok lantas saja jadi merosot dan mereka tak mendapat kepercayaan lagi untuk mengantar piauw yang besar. Kali ini, seorang saudagar ingin mengirimkan sejumlah perak ke kota Po-teng, di propinsi Titlee. Karena jumlah uang itu hanya sembilan ribu tahil dan jika diserahkan kepada piauwkiok besar, ongkosnya terlalu mahal, maka tugas itu lalu diserahkan kepada Hui-ma Piauw-kiok.

Sedari bermula, kedua suami isteri itu selalu mengantar piauw bersama-sama. Kali ini, karena tidak mempunyai orang yang dapat dipercaya, maka It Hong mengambil keputusan untuk membawa juga dua puteranya. Ia menganggap, bahwa jumlah uang yang begitu kecil tak akan menarik perhatian dan perjalanan itu bisa dilalui tanpa bahaya.

Sesudah mengawasi kereta piauw itu, Ouw Hui pergi ke kamar Leng So. "Jie-moay," katanya. "Kedua suami isteri itu adalah kenalan lama." Sehabis berkata begitu, dengan ringkas ia menuturkan pengalamannya di Siang-kee-po.

"Biarlah besok saja kita menegur mereka di jalan yang sepi," kata si nona.

Ouw Hui tak menjawab, ia seperti sedang memikirkan apa-apa.

"Jika kita menegur di jalan yang sepi, apakah kau khawatir mereka akan menerka kita perampok?" tanya Leng So sembari tertawa.

Ouw Hui juga turut tertawa. "Hm!" katanya. "Piauw yang begitu kecil tak berharga untuk Ouw Toa-cee-cu (Cee-cu berarti kepala rampok) turun tangan sendiri. Bagaimana pendapat Thia Jie-cee-cu?"

Mendengar kakaknya berkelakar, Leng So tertawa geli. Sesaat kemudian, paras mukanya berubah sungguh-sungguh.

"Jika tak salah, mereka berdua kosong kantongnya," katanya. "Apakah tak baik kita memberikan mereka sedikit uang?"

Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. Ia memang mempunyai niatan begitu. Apa yang tengah di-pikirannya, adalah cara bagaimana hadiah itu harus diberikan, supaya tak sampai menyinggung perasaan suami isteri Cie Ceng.

Malam itu, sesudah bersantap, Ouw Hui segera beristirahat di kamarnya sendiri. Kira-kira tengah malam, di atas genteng mendadak terdengar suara luar biasa. Sebagai orang yang berkepandaian tinggi, Ouw Hui mempunyai panca indera yang lebih tajam dari manusia biasa. Meskipun sedang pulas, suara itu sudah cukup untuk menyadarkannya. Dengan cepat ia bangun dan turun dari pembaringan. Ia mengetahui, bahwa di atas genteng itu terdapat dua orang, yang sesudah bertepuk tangan dengan perlahan, segera melompat turun ke bawah.

"Siapakah manusia yang bernyali begitu besar, seolah-olah di tempat ini tiada manusianya?" tanyanya kepada dirinya sendiri. Dengan sebuah jarinya ia segera melubangkan kertas jendela dan mengintip ke luar. Ia melihat, bahwa dua orang yang mengenakan jubah panjang tanpa bersenjata, sedang menuju ke pintu sebuah kamar yang menghadap ke selatan. Begitu masuk, mereka segera menyalakan lampu.

"Ah, kalau begitu mereka bukan orang jahat," kata Ouw Hui di dalam hatinya.

Tapi baru saja ia mau merebahkan diri di pembaringan, mendadak terdengar bunyi diseretnya kasut. Ternyata, yang menyeret kasut adalah pelayan hotel yang menghampiri pintu kamar dan berteriak: "Siapa? Kenapa tengah malam buta tak masuk dari pintu luar dan turun seperti bangsat?" Ia mendorong pintu itu dan kakinya melangkah ke dalam.

Tiba-tiba terdengar teriakan, "Aduh!" disusul terpentalnya tubuh pelayan itu yang jatuh ngusruk di luar kamar.

Dengan serentak semua tamu mendusin dari tidurnya. Salah seorang dari dua tamu yang mengenakan jubah panjang itu, berdiri di tengah pintu. "Atas perintah Kee Kong Ong Toa-ce-cu, malam ini kami datang ke sini untuk merampas piauw," ia berteriak. "Yang kami cari adalah Cie Piauwtauw dari Hui-ma Piauw-kiok. Orang lain yang tak ada sangkut pautnya lebih baik masuk ke kamar masing-masing dan tidur saja dengan tenang."

Mendengar perkataan itu, Cie Ceng dan Ma It Hong menjadi gusar berbareng khawatir. Mereka merasa heran, bagaimana kedua penjahat itu bisa mempunyai nyali begitu besar untuk menghina orang di kota Kong-sui yang tidak kecil. Kesombongan si penjahat adalah kejadian yang belum pernah dialami oleh mereka.

"Aku, si orang she Cie, berada di sini," kata Cie Ceng dengan suara nyaring. "Siapakah sebenarnya Jie-wie?"

Orang itu tertawa bergelak-gelak. "Serahkan sembilan ribu tahil perak itu dan benderamu kepada tuan besarmu," katanya.

"Guna apa kau menanya-nanya namaku? Biarlah kita bertemu pula di sebelah depan." Sehabis mengancam ia bertepuk tangan dua kali dan kemudian, bersama kawannya, ia melompat ke atas genteng.

Cie Ceng mengayun tangannya dan dua piauw bajanya menyambar ke atas. Orang yang melompat belakangan menyambut piauw itu dengan tangannya dan kemudian balas menimpuk. Berbareng dengan muncratnya lelatu api, kedua piauw itu menancap di batu hijau yang terletak kira-kira satu kaki dari tempat berdirinya Cie Ceng. Timpukan itu yang tepat dan bertenaga besar berada di atas kepandaian Cie Ceng.

Kedua penjahat itu lalu tertawa terbahak-bahak, menyusul mana terdengar derap kaki kuda yang dilarikan ke jurusan utara.

Sesudah mereka pergi jauh, barulah semua orang berani keluar lagi dari kamar mereka dan berunding berkelompok-kelompok. Ada yang mengusulkan supaya pengurus hotel segera melaporkan kejadian ini kepada pembesar negeri, ada yang membujuk supaya Cie Ceng mengambil jalan lain dan sebagainya.

Cie Ceng sendiri tidak mengeluarkan sepatah kata. Sesudah mencabut senjata rahasianya yang menancap di batu, ia segera kembali ke kamarnya. Dengan suara perlahan ia segera berunding dengan isterinya. Mereka yakin, bahwa kedua orang itu bukan penjahat sembarangan. Tapi, jika benar mereka adalah orang-orang Kang-ouw yang kenamaan, kenapa mereka mau merampas piauw yang berjumlah begitu kecil? Biarpun mengetahui, bahwa jalan di depan penuh bahaya, menurut kebiasaan, piauw yang sudah ke luar tak boleh berbalik pulang. Jika mereka berbuat begitu, sama saja mereka gulung tikar.

"Sahabat-sahabat di Hekto (jalanan hitam, yaitu perampok) makin lama semakin tidak memandang orang," kata Cie Ceng dengan suara mendongkol. "Apakah kita tak boleh mencari sesuap nasi dengan melakukan pekerjaan begini? Sudahlah! Biar aku mengadu jiwa dengan mereka? Kedua anak kita...."

"Dengan kawanan Hekto, kita sama sekali tidak mempunyai permusuhan," kata sang isteri dengan suara menghibur.

"Urusan ini hanyalah urusan uang. Aku merasa, mereka bukan maui jiwa kita. Tak apa jika kita membawa terus kedua anak ini." Mulutnya berkata begitu, tapi hatinya sudah merasa sangat menyesal. Memang tak pantas ia membawa-bawa dua anak itu berkelana dalam dunia Kang-ouw yang penuh bahaya.

Dengan mengintip di jendela, Ouw Hui dan Leng So sudah melihat dan mendengar segala apa. Diam-diam mereka merasa heran, karena di sepanjang jalan, mereka telah menemui kejadian-kejadian luar biasa. Sesudah menyamar, mereka sendiri berhasil meloloskan diri dari perhatian orang, tapi tak dinyana, mereka segera berpapasan dengan peristiwa aneh lain yang mengenai Hui-ma Piauw-kiok.

Besok paginya, orang-orang Hui-ma Piauw-kiok segera berangkat, dengan diikuti oleh Ouw Hui dan Leng So dari sebelah belakang.

Melihat gerak-gerik kedua orang itu yang terus menguntit di belakang, semakin lama Cie Ceng jadi semakin bereuriga. Ia menduga, bahwa mereka itu adalah kawanan penjahat. Beberapa kali, ia menengok ke belakang dan mengawasi gerak-gerik mereka dengan sorot mata gusar, tapi Ouw Hui dan Leng So pura-pura tak melihatnya. Di waktu rombongan piauw-hang mengaso sebentar untuk makan tengah hari, Ouw Hui dan Leng So pun segera turun dari tunggangannya untuk makan ransum kering, sembari beristirahat juga.

Di waktu magrib, mereka sudah tak jauh lagi dari Bu-seng-kwan. Tiba-tiba, berbareng dengan terdengarnya tindakan kuda, dari jauh muncul dua penunggang kuda yang mendatangi dengan kecepatan luar biasa. Dalam sekejap saja mereka sudah melewati kereta piauw-hang dan setelah lewat di samping Ouw Hui dan Leng So, mereka mengeluarkan tertawa nyaring yang panjang. Dilihat romannya dan didengar suaranya, mereka adalah kedua orang yang semalam mengacau di rumah penginapan.

"Sebentar, setelah mereka berbalik dan mengejar dari belakang, mereka tentu akan segera turun tangan," pikir Ouw Hui. Baru saja ia berpikir begitu, dari depan sekonyong-konyong mendatangi pula dua penunggang kuda, yang gerak-geriknya gesit sekali.

"Heran, sungguh heran!" kata Ouw Hui dalam hatinya. Berjalan belum cukup satu li, untuk ketiga kalinya, dua penunggang kuda mendatangi pula dari sebelah depan, disusul lagi oleh dua penunggang kuda lain.

Melihat kejadian itu, Cie Ceng yang sudah nekat, berbalik tertawa. "Sumoay," katanya. "Sepanjang keterangan Suhu, jika penjahat kelas satu ingin merampas piauw kelas satu, barulah ia mengirim enam orang. Hari ini, kawanan perampok bukan mengirim enam, tapi delapan orang, seolah-olah yang mau dirampok bukan sembilan ribu tahil pe-rak, tapi sembilan ratus laksa atau sembilan ribu laksa tahil!"

Ma It Hong juga merasa heran dan semakin besar pula keheranannya, semakin besar pula kekhawatirannya. "Sebentar jika keadaan sudah memaksa, paling penting kita harus kabur dengan membawa dua anak ini," katanya kepada sang suami. "Sembilan ribu tahil tidak seberapa besar. Kita masih dapat menggantinya."

"Apakah nama baik Suhu boleh dirusak dengan begitu saja oleh kita yang tak punya guna?" tanya Cie Ceng dengan suara keras.

"Kau harus memikirkan keselamatan kedua anak ini," kata It Hong dengan suara duka. "Mulai dari sekarang, biarlah kita hidup melarat sebagai petani. Jangan kita meneruskan pekerjaan yang berbahaya ini."

Baru saja ia berkata begitu, tiba-tiba dari sebelah belakang terdengar gemuruh tindakan kuda. It Hong menengok ke belakang dan melihat, bahwa di antara debu yang mengepul itu, delapan penunggang kuda sedang mendatangi dengan kecepatan kilat. Sesaat kemudian, sebatang anak panah yang mengeluarkan bunyi nyaring lewat di atas kepalanya. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, adalah bahwa dari sebelah depan kembali mendatangi delapan penunggang kuda lain.

"Dilihat gelagatnya, mungkin sekali mereka sebenarnya ingin mencari kita," kata Ouw Hui.

"Tian Kui Long?" Leng So menegas.

"Mungkin," jawabnya. "Bisa jadi penyamaran kita kurang sempurna dan sudah dikenali mereka."

Disaat itu, delapan orang yang berada di belakang dan delapan orang lagi yang berada di depan sudah menahan kuda mereka, sehingga rombongan Cie Ceng, Ouw Hui dan Leng So tergencet di tengah-tengah. Cie Ceng meloncat turun dari tunggangannya sembari menghunus golok. Ia menyoja seraya berkata: "Aku adalah Cie...." Baru saja ia mengucapkan tiga perkataan itu, seorang tua dari barisan depan mendadak mengeprak kudanya yang lantas saja menerjang ke arah Cie Ceng. Begitu berhadapan, tanpa mengeluarkan sepatah kata, si tua mengangkat senjatanya yang berbentuk aneh dan menghantam muka Cie Ceng.

Ouw Hui dan Leng So mengawasi dari pinggir dengan siap sedia. Senjata orang tua itu berbentuk seperti cangkul, batangnya bengkok-bengkok bagaikan ular. Ouw Hui belum pernah melihat senjata begitu, ia berpaling kepada Leng So dan menanya: "Senjata apakah itu?"

Sebelum si nona menjawab, seorang perampok yang berdiri di belakang sudah mendahului dengan suara mengejek. "Bocah tua! Biarlah aku yang memberitahukannya. Senjata itu diberi nama Lui-cin-tong (Pacul geledek)."

"Kepandaian si tua tidak seberapa," kata Leng So dengan suara tawar. "Lui-cin-tong tidak digunakan bersama-sama dengan San-tian-tui (Pusut kilat)."

Perampok yang tadi mengejek terkesiap dan tak berani membuka suara lagi. la melirik kepada Leng So dengan perasaan heran karena "bocah" kurus itu ternyata mengenal juga San-tian-tui.

Harus diketahui, bahwa orang tua itu adalah Suheng (kakak seperguruan yang lebih tua) perampok tersebut dan ia sendiri menggunakan senjata san-tian-tui. Sesuai seperti yang dikatakan Leng So, guru mereka menggunakan San-tian-tui dan Lui-cin-tong dengan berbareng. Kedua senjata itu, yang satu untuk menyerang, sedang yang lain untuk membela diri, lihay bukan main dan mempunyai banyak sekali perubahan yang tidak bisa diduga-duga. akan tetapi, karena yang satu pendek dan yang lain panjang, sukar sekali orang bisa menggunakan kedua senjata itu dengan berbareng. Sesudah belajar sekian banyak tahun, mereka berdua pun hanya bisa menggunakan salah satu antaranya saja. Ketika itu, perampok tersebut masih menyembunyikan senjatanya di dalam tangan baju dan ia jadi terkejut bukan main ketika mendengar perkataan Leng So.

Tentu saja ia tidak mengetahui, bahwa guru "bocah" itu adalah tok-chiu Yo-ong yang berpengetahuan sangat luas. Jika sedang bercakap-cakap dengan muridnya yang disayang, Bu-tin Thaysu sering menceritakan hal ikhwal berbagai cabang persilatan di berbagai daerah. Itulah sebabnya, mengapa sekali melihat, Leng So sudah mengetahui, bahwa senjata aneh itu adalah Lui-cin-tong yang harus digunakan bersama-sama San-tian-tui.

Sementara itu, si kakek sudah menyerang dengan senjatanya yang menderu-deru, seolah-olah bunyi guntur. Ilmu golok Cie Ceng juga tak lemah, tapi diserang secara begitu, dengan cepat ia jatuh di bawah angin.

Melihat begitu, kawanan perampok itu lantas mulai mengeluarkan kala-kata mengejek.

"Daripada Hui-ma Piauw-kiok lebih baik menggunakan nama Hui-kauw (Anjing terbang) Piauw-kiok," kata seorang.

"Eh, anak tolol!" kata yang lain. "Melindungi sembilan ribu tahil perak saja kau tak mampu. Lebih baik kau bunuh diri saja

dengan menggebuk kepala dogolmu dengan sepotong tahu."

"Sin-kun Bu-tek (si Tinju malaikat yang tak ada tandingannya) Ma Loopiauwtauw mempunyai nama yang sangat besar," kata perampok yang ketiga. "Sungguh sayang nama guru-gurumu telah dirusak oleh kau, si bocah goblok!"

"Menurut penglihatanku, kepandaian isterinya lebih tinggi sepuluh kali daripada dia," ejek penjahat ke empat.

Mendengar cacian-cacian itu, Ouw Hui merasa heran, karena kawanan penjahat itu, ternyata tahu hal ikhwal Cie Ceng seterang-terangnya. Mereka bukan saja tahu nama dan gelar gurunya, tapi juga tahu berapa jumlah uang piauw dengan tepat. Selain itu, sedang Cie Ceng disikat habis-habisan, mereka sedikit pun tidak menyinggung nama baik Ma Heng Kong atau Ma It Hong. Malahan, kata-kata mereka masih mengandung penghormatan terhadap Ma Loopiauwtauw dan puterinya.

Walaupun tak mengenal ilmu silat Lui-cin-tong, tapi dengan sekali melihat saja, Ouw Hui sudah mengetahui, bahwa orang tua itu mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. "Heran, sungguh heran," pikirnya. "Meskipun belum boleh dihitung sebagai ahli silat kelas satu, kakek itu sudah pasti bukan orang sembarangan. Dilihat dari gerak-gerik kawanan penjahat itu, tak bisa jadi mereka sengaja datang untuk merampas sembilan ribu tahil perak. Tapi, jika mau dikatakan, bahwa mereka adalah kaki tangan Tian Kui Long yang dikirim untuk mencegat aku, kenapa mereka merasa perlu untuk mengganggu Cie Ceng?"

Sementara itu, Ma It Hong memperhatikan jalan pertempuran itu dengan hati berdebar-debar. Begitu bergebrak, ia mengetahui, bahwa suaminya bukan tandingan si tua. Ia ingin memberi bantuan, tapi tiada gunanya, karena kawan si kakek tentu akan segera turun tangan dan kedua puteranya bisa diculik oleh kawanan penjahat itu. Maka itulah, ia hanya bisa mengawasi dengan rasa khawatir bercampur takut.

Sesudah lewat beberapa jurus lagi, tiba-tiba senjata Lui-cin-tong itu menyambar Cie Ceng dengan kecepatan luar biasa. Trang! dan golok Cie Ceng terbang ke tengah udara.

"Celaka!" Ma It Hong berseru.

Melihat serangannya berhasil, orang tua itu membarengi dengan suatu tendangan ke lutut Cie Ceng, yang dengan cepat segera loncat menyingkir. Sesaat itu, golok Cie Ceng tengah melayang turun. Salah seorang perampok mengangkat pedangnya dan memapaki golok itu. Sekali lagi terdengar suara trang! dan golok Cie Ceng menjadi dua potong! Belum puas dengan pertunjukan itu, si perampok menyabet lagi dua kali dengan pedangnya dan dua potongan golok itu yang belum turun ke muka bumi, berubah jadi empat potong! Penjahat itu ternyata bukan saja memiliki pedang mustika, tapi gerakan-nya pun cepat luar biasa. Dengan serentak, kawan-kawannya bersorak-sorai.

Ouw Hui terkesiap. Ia yakin, bahwa kawanan penjahat itu bukan semata-mata bertujuan merampas piauw, tapi ingin mempermainkan Cie Ceng. Ia mengetahui, bahwa penjahat yang bersenjatakan pedang saja sudah lebih dari cukup untuk merubuhkan Cie Ceng dan Ma It Hong. Kenapa mereka harus datang dengan enam belas orang? Setiap orang itu, yang kelihatannya berkepandaian tinggi, seolah-olah kucing yang sedang mempermainkan tikus.

Cie Ceng yang sudah nekat segera menyerang mati-matian, tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri. Tapi si tua yang berkepandaian lebih tinggi dan memiliki senjata yang lebih panjang, dengan midah dapat memunahkan serangan-serangan itu.

Sesudah bertempur lagi beberapa jurus, lutut Cie Ceng kena terpapas Lui-cin-tong musuhnya dan lantas saja mengucurkan darah. Sesaat kemudian, pundak kirinya terpacul dan selagi ia terhuyung, si tua menendang, sehingga tak ampun lagi ia terguling di atas tanah.

Dengan sebelah kaki menginjak tubuh lawannya yang sudah terlentang, si tua berkata sembari tertawa tawar: "Aku tak menginginkan jiwamu. Cukup jika aku mengambil kedua biji matamu!"

Cie Ceng takut tercampur gusar, tapi ia sudah tak berdaya. Dadanya dirasanya sesak dan ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.

"Sahabat!" Ma It Hong berteriak. "Jika kalian mau merampas piauw, ambillah! Dengan kalian, kami sama sekali tidak mempunyai permusuhan. Kenapa kalian berlaku begitu kejam?"

"Ma Kouwnio," kata penjahat yang bersenjata pedang. "Kau tak usah mencampuri urusan orang lain."

"Apa?" Ma It Hong menegas. "Urusan orang lain? Dia suamiku!"

"Kami justru berpendapat, bahwa dia tak pantas mempersakiti Ma Kouwnio yang cantik dan pintar," kata si kakek. "Penasaran itu tak bisa tidak dibereskan."

Ouw Hui dan Leng So terpeianjat. Semakin lama kejadian itu semakin sukar dimengerti. Teranglah sudah, bahwa kawanan perampok itu mau mencampuri urusan rumah tangga orang. Soal penasaran apakah yang perlu dibereskan oleh mereka? Benar-benar gila!

Sementara itu, si tua sudah mengangkat senjatanya dan menghantam mata kanan Cie Ceng. Ma It Hong berteriak sembari melompat untuk coba menolong suaminya, tapi ia segera dicegat oleh seorang penjahat yang bersenjata tombak.

"Ayah!" teriak dua anak itu yang lantas memburu ke arah ayah mereka.

Pada detik yang bagi Cie Ceng sangat berbahaya itu, mendadak terlihat berkelebatnya sebuah bayangan. Si tua terkesiap, pergelangan tangannya kesemutan dan... tahu-tahu, Lui-cin-tongnya sudah tak berada lagi dalam tangannya! Dengan hati mencelos ia mengangkat kepalanya dan mendapat kenyataan, bahwa bayangan tadi, - yang bukan lain daripada Ouw Hui - sudah duduk pula di punggung keledainya, dan tangannya memegang Lui-cin-tong, senjata orang tua itu!

Itulah kejadian yang benar-benar di luar dugaan, sehingga semua perampok itu jadi kesima. Mereka bengong tanpa mengeluarkan sepatah kata. Sesaat kemudian, sesudah dapat menetapkan hati, baru mereka berteriak-teriak sambil mendekati Ouw Hui dengan sikap mengancam.

"Sahabat!" bentak si tua yang senjatanya dirampas. "Siapa kau? Perlu apa kau mengganggu kami?"

"Aku hanya seorang yang biasa melakukan pekerjaan tanpa modal," jawabnya. "Aku sudah penuju kepada sembilan ribu tahil perak, kawalan Hui-ma Piauw-kiok ini. Tapi tak dinyana, di tengah jalan muncul enam belas Thia Kauw Kim yang ingin minta bagian. Coba kau pikir. Apakah hal itu tak membikin aku jadi mendongkol?"

"Hm!" gerendeng si tua. "Sahabat, janganlah berpura-pura. Beritahukanlah namamu dan maksudmu yang sebenarnya."

Sesudah terlolos dari lobang jarum, Cie Ceng memeluk kedua puteranya, sedang isterinya berdiri di sampingnya sembari mengawasi Ouw Hui tanpa berkejap. Bukan main herannya Ma It Hong, karena semula ia menduga, bahwa Ouw Hui dan Leng So adalah konco-konco kawanan perampok itu.

Sementara itu, sesudah mengusap-usap kumisnya dan menghisap huncweenya, Ouw Hui berkata dengan suara tenang: "Baiklah, jika kau ingin aku bicara secara terus terang. Sin-kun Butek Ma Heng Kong adalah suteeku (adik seperguruan). Maka itu, sebagai paman, tak dapat tidak aku harus mencampuri urusan Sutitku."

Perkataan itu sangat mengejutkan hati Ma It Hong. "Dari mana datangnya Supeh ini?" tanyanya di dalam hati. "Selama hidupnya ayah belum pernah memberitahukan hal ini kepadaku. Di samping itu, orang ini masih jauh lebih muda daripada ayah. Mana bisa ia menjadi Supeh?"

Sementara itu, sebisa-bisanya, Leng So menahan rasa geli di dalam hatinya. Melihat lagak kakaknya, hampir-hampir ia tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi di samping itu, ia juga merasa kagum, karena dalam menghadapi musuh-musuh tangguh, Ouw Hui masih bisa bersikap begitu tenang malah masih bisa membanyol.

Si tua mengeluarkan suara di hidung dan berkata: "Benarkah tuan menjadi Suheng Ma Heng Kong? Tidak, tak mungkin! Usia tuan masih begitu muda. Kami pun belum pernah mendengar, bahwa Ma Loopiauwtauw mempunyai kakak seperguruan."

"Dalam rumah tangga perguruanku, tingkatan tua atau muda dihitung dari mulainya masuk berguru dan bukan dari perbedaan usia," Ouw Hui menerangkan. "Ma Heng Kong bukan seorang yang terlalu besar, sehingga sama sekali tak perlu aku meminjam atau menyalahgunakan namanya."

Harus diketahui, bahwa kebiasaan yang disebutkan Ouw Hui itu, adalah kebiasaan yang sering terjadi dalam suatu rumah perguruan atau cabang persilatan. Maka itu, si tua lantas saja melirik Ma It Hong untuk menyelidiki sikap nyonya itu dan kemudian kembali menengok kepada Ouw Hui seraya berkata: "Bolehkah aku mengetahui she dan nama tuan yang mulia!"

"Suteeku bernama Ma Heng Kong dan bergelar Sin-kun Butek (si Tinju malaikat yang tak ada tandingannya)," jawabnya dengan tenang. "Aku bernama Gu Keng Tian (Kerbau Meluku Sawah) dan bergelar Sin-kun Yoe-tek (si Tinju malaikat yang ada tandingannya)."

Siapa pun mengetahui, bahwa jawaban itu adalah ejekan belaka. Jika bukan sudah merasakan kelihayan pemuda itu dan senjatanya sudah dirampas secara begitu luar biasa, siang-siang si tua sudah turun tangan. Dengan adatnya yang berangasan, begitu mendengar ejekan Ouw Hui, ia tak dapat bersabar lagi dan sembari membentak keras, ia segera menerjang.

Ouw Hui menggentak les keledainya untuk menyingkir dari serangan itu dan mengebaskan cangkul rampasannya. Hampir berbareng dengan itu, si tua merasakan suatu benda diletakkan di dalam tangannya dan... Iho! Benda itu, ternyata bukan lain daripada senjatanya sendiri. Bahwa ia sudah bisa mendapatkan kembali Lui-cin-tongnya adalah kejadian yang seharusnya menggirangkan. Akan tetapi, bagi si tua, kejadian itu benar-benar sangat memalukan, dan ia kelihatan seperti kesima.

Sementara itu, kawan-kawannya yang menganggap bahwa ia sudah merampas kembali senjatanya dari tangan Ouw Hui, bersorak-sorai dengan serentak. "Tie Toako! Kau benar-benar lihay sekali!" mereka memuji.

Muka si tua menjadi hijau kekuning-kuningan, karena malu dan mendongkol, tapi ia tak berani mengumbar nafsunya, sebab mengetahui, bahwa lawannya berkepandaian terlalu tinggi. "Tuan," katanya sembari menahan amarahnya.

"Katakanlah! apakah sebenarnya maksud kedatanganmu ini?"

"Bukan aku, tapi pihakmu yang harus memberi penjelasan lebih dulu," kata Ouw Hui. "Kedua Su-titku ini telah hidup rukun sebagai suami isteri. Mereka sama sekali tak punya sangkut paut dengan kamu semua. Tapi kenapa kamu justru ramai-ramai mencegat mereka di sini dan mengatakan, bahwa kamu ingin membereskan suatu ketidakadilan?"

"Tak berguna tuan mencampuri urusan orang lain," kata si orang she Tie. "Dengan tulus hati aku menasehatkan, supaya tuan menyingkir dari sini. Sebaiknya, kita masing-masing mengambil jalan sendiri."

Mendengar perkataan itu, belasan penjahat lain menjadi tercengang. Mereka merasa heran, mengapa si tua - yang biasanya berangasan - bisa berlaku begitu sabar.

Ouw Hui lantas saja tertawa besar. "Bagus!" ia berseru. "Pendapatmu cocok sekali dengan pendirianku"

Si tua mundur tiga tindak untuk kemudian membentak: "Sahabat! Jika kau tak mau mendengar nasehat baik, terpaksa aku harus meminta pengajaranmu." Sehabis berkata begitu, ia mengangkat Lui-cin-tongnya dan memasang kuda-kuda.

"Tidak," kata Ouw Hui. "Berkelahi satu lawan satu kurang menarik, berkelahi dengan terlalu banyak orang juga kurang sedap, karena kalang kabut. Begini saja: Aku, Gu Keng Tian, akan melawan tiga orang dari pihakmu." Sehabis berkata begitu, dengan huncweenya ia menuding seorang penjahat yang bersenjata pedang dan Sutee si orang she Tie.

Yang bersenjata pedang itu, berparas cakap dan sombong sekali kelihatannya, ia lantas saja tertawa terbahak-bahak. "Benar-benar kau temberang!" katanya.

Si tua sendiri sudah merasa, bahwa dengan bertempur satu lawan satu, mungkin sekali ia akan dirubuhkan. Maka itu, mendengar tantangan Ouw Hui, ia menjadi girang sekali. "Liap Hiantee, Siang-koan Sutee, dia sendiri yang mencari mampus dan ia tak boleh menyalahkan orang lain," katanya. "Marilah! Kita bertiga melayani dia main-main sedikit!"

Orang she Liap itu yang merasa sungkan untuk bertiga mengerubuti seorang, lantas saja berkata: "Tie Toako, kau sendiri sudah lebih dari cukup untuk merobohkan bocah sombong itu. Begini saja: Biarlah kalian Suhengtee (kakak beradik seperguruan, yaitu si orang she Tie dengan adik seperguruannya) yang turun tangan, agar kita bisa menyaksikan lihaynya Lui-tan-kauw-co (Lui-cin-tong dan san-tian-tui)." Kawan-kawannya lantas saja bertepuk tangan untuk menyatakan setuju.

Tapi Ouw Hui menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tak menyangka, bahwa orang muda bernyali begitu kecil," katanya dengan nada mengejek.

"Tak berani maju dalam pertempuran besar. Sayang! Sungguh sayang!"

Alis si orang she Liap berkerut dan parasnya berubah gusar. la melompat turun dari tunggangan-nya dan berkata dengan suara perlahan: "Tie Toako, harap kau suka mundur. Biarlah siauwtee yang menghajar manusia sombong itu."

"Boleh," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Sedikit pun aku tak merasa keberatan, jika kau bisa menghajar Sin-kun Yoe-tek Gu Keng Tian. Akan tetapi, sebelum bertempur, kita harus membuat perjanjian. Jika aku, Gu Keng Tian kalah, aku tak akan rewel-rewel lagi. Kau mau membunuh diriku, boleh lantas membunuh. Tapi bagaimana jika kau, saudara kecil, yang kalah?"

"Jangan rewel!" orang she Liap itu membentak "Jika aku kalah, kau boleh berbuat sesukamu."

"Tak berani aku berlaku begitu," kata Ouw Hui sambil menyengir. "Aku hanya ingin memohon belas kasihanmu, agar kamu selanjutnya tidak mengganggu lagi kedua Sutitku yang sudah hidup beruntung sebagai suami isteri. Tak usah kamu memperdulikan, apakah ada perkara penasaran atau tidak."

Orang she Liap itu menjadi gemas sekali, dan ia tak dapat bersabar lagi. Sambil mengebaskan pedangnya, ia membentak: "Ya, sudah! Aku setuju!"

Ouw Hui menyapu semua perampok dengan sepasang matanya yang tajam. "Tahan!" katanya. "Tunggu dulu, aku masih mau bicara sedikit. Sahabat-sahabat! Apakah perkataan saudara kecil she Liap ini juga disetujui oleh kamu semua beramai-ramai? Jika dia kalah, apakah kamu setuju untuk tidak membereskan perkara penasaran yang tadi disebut-sebut pihakmu?"

Sampai di sini, Leng So tak bisa menekan lagi rasa gelinya. Ia tertawa terpingkal-pingkal sembari menekap mulutnya sendiri dengan kedua-dua tangannya. Bagaimana ia tak jadi tertawa? Ouw Hui yang pantas dipanggil "saudara kecil" sekarang memainkan peranan sebagai seorang tua dengan kumisnya yang keren dan menggunakan istilah "saudara kecil" terhadap orang lain. Cara-cara kawanan perampok itu juga tak kurang lucunya. Mereka mengatakan, bahwa pernikahan antara Ma It Hong dan Cie Ceng adalah seperti "bunga indah yang ditancapkan di tahi kerbau" dan oleh karenanya, mereka mengangkat senjata untuk membereskan

kejadian penasaran itu, seolah-olah Ma It Hong sudah dipaksa untuk menikah dengan Suhengnya. Sekarang Ouw Hui menyelak. Mereka melarang Ouw Hui mencampuri urusan orang lain, urusan "membereskan perkara penasaran ini", dan dengan lagaknya yang lucu, Ouw Hui mengembalikan kata-kata mereka sendiri.

Kawanan perampok itu tahu, bahwa si orang she Liap bukan saja berkepandaian tinggi, tapi senjatanya pun sebatang pedang mustika yang bisa memutuskan segala jenis logam. Maka itu, mereka sudah memastikan, bahwa dalam beberapa jurus saja, si kumis pendek akan dapat dirobohkannya.

"Hei, Kumis!" bentak seorang antaranya. "Jika kau bisa mendapat kemenangan, tanpa mengusap pantat lagi kami akan segera berlalu dari tempat ini. Kami berjanji untuk mengurungkan niat kami, hendak membereskan urusan penasaran itu."

"Bagus!" teriak Ouw Hui. "Aku percaya, bahwa mulutmu adalah mulut manusia, bukannya mulut pantat! Bersiaplah!"

Ia mengebaskan huncweenya dan melompat turun dari keledainya.

Melihat ia mengebaskan hucwee itu, semua penjahat menduga, bahwa Ouw Hui akan menggunakannya sebagai senjata. Tapi di luar dugaan, sesudah meloncat turun dari tunggangannya, ia memasukkan pipa itu ke dalam tangan bajunya. Melihat begitu, belasan perampok itu lantas saja bersenyum mengejek.

"Keluarkan senjatamu!" si orang she Liap membentak.

"Kerbau yang meluku sawah, harus menggunakan luku," kata Ouw Hui sembari menyengir. "Tie Toa-cee-cu! Senjatamu agak mirip dengan luku. Bolehkah aku meminjamnya sebentar?" Sembari berkata begitu, ia mengangsurkan tangannya ke arah si tua.

Orang she Tie itu - yang sudah merasa jeri - buru-buru mundur dua tindak. "Tidak!" ia membentak. "Tak nanti kau bisa menggunakan senjataku ini!"

Ouw Hui terus mengangsurkan tangannya dan berkata pula: "Hayolah! Kau rugi apa, jika aku meminjamnya sebentar saja?"

Mendadak, mendadak saja ia melompat dan... cangkul senjata orang tua itu sudah pindah ke dalam tangannya!

Kekagetan si tua tak terkira, bagaikan ia melihat dirinya disambar halilintar. Ia meloncat setombak lebih, mukanya pucat pias lagi menyeramkan, seperti muka setan.

Harus diketahui, bahwa ilmu merampas senjata dengan tangan kosong adalah ilmu luar biasa yang telah diciptakan dan disempurnakan leluhur Ouw Hui, yaitu Hui-thian Ho-lie (si Rase yang terbang di langit). Dimasanya, selama ia mengabdi kepada Cwan-ong Lie Cu Seng, dengan mengandalkan ilmu itu, entah berapa banyak senjata musuh telah dapat dirampasnya. Bahwa leluhur Ouw Hui itu mendapat gelar "Hui-thian Ho-lie", sebagian besar juga berkat ilmu yang istimewa itu.

Sedang Ouw Hui tengah merebut Lui-cin-tong itu, orang she Liap itu menikam dari belakang. Dengan gesit Ouw Hui mengegos sembari membalas menyerang dengan senjatanya yang baru saja dirampasnya.

Si orang she Tie mengawasi dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, karena ilmu silat yang digunakan Ouw Hui sedikit pun tidak berbeda dengan ilmu Lui-cin-tong-hoatnya. Si orang she Siang-koan yaitu Sutee si tua, lebih besar lagi keheranannya. Dengan kupingnya sendiri, ia mendengar pertanyaan Ouw Hui yang tidak mengetahui nama senjata Suhengnya. Bagaimana ia sekarang bisa bersilat dengan Lui-cin-tong-hoat?

Mereka berdua tentu saja tidak mengetahui latar belakangnya. Pertama Ouw Hui adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan sudah dapat menyelami intisari ilmu silat. Walaupun banyak pecahannya; pada hakekatnya, dasar berbagai ca-bang persilatan tidak berbeda banyak. Kedua, Ouw Hui adalah seorang yang cerdas luar biasa. Tadi, ia sudah menyaksikan pertempuran antara si orang she Tie dan Cie Ceng. Sekali melihat saja, ia sudah bisa mencatat berbagai pukulan yang digunakan oleh si tua itu di dalam otaknya. Meskipun gerakan-gerakannya mirip dengan pukulan-pukulan si orang she Tie, akan tetapi tenaga dan perubahan-perubahan yang terdapat dalam pukulan Ouw Hui berbeda sangat jauh dari pelbagai gerakan si orang tua.

Si orang tua she Liap tidak berani memandang enteng lagi dan kemudian menyerang dengan Tat-mo Kiam-hoat yang tulen. Dalam pertempuran itu, Ouw Hui berada di pihak yang rugi, karena ia menggunakan senjata yang tak biasa digunakan olehnya dan ia bertempur dengan meniru ilmu silat si orang she Tie. Maka itu, melihat serangan-serangan yang sangat lihay itu, ia menjadi agak gentar dan karenanya ia segera mengasah otak untuk mencari jalan ke luar.

"Aku percaya, bahwa enam belas orang ini adalah lawan berat semua," pikirnya. "Jika mereka beramai-ramai meluruk, biarpun aku dan Jie-moay bisa meloloskan diri, tapi Cie Ceng sekeluarga tentu akan mengalami celaka. Jalan satu-satunya adalah berdaya supaya mereka tak bisa turun tangan."

Selagi ia berpikir, pedang musuh mendadak menyambar ke arahnya secepat kilat. Trang! sebagian Lui-cin-tongnya sudah terpapas putus!

Tadi, melihat kepandaian Ouw Hui dalam merampas Lui-cin-tong si orang she Tie, hati kawanan perampok itu sudah kebat-kebit. Tapi sekarang, mereka bersorak-sorai dan si orang she Liap jadi semakin bersemangat, sehingga serangannya semakin bertubi-tubi.

Ouw Hui menjadi bingung juga. Pukulan-pukulan yang "dicangkoknya" dari si tua sudah hampir habis digunakan dan jika pertempuran itu berlangsung terus secara begitu kedoknya akan segera terlucut.

Mendadak, otaknya yang cerdik mendapat suatu pikiran baik. Ia mengangkat Lui-cin-tongnya dan sengaja memapaki pedang musuh. Trang! sebagian senjata itu terpapas pula.

"Bagus!" kata Ouw Hui. "Benar-benar kau tak memberi muka kepada Tie Toaya. Dengan memutuskan senjata sahabat yang kesohor, kau sungguh tak memandang orang!"

Si orang she Liap terkejut, karena ia merasa bahwa perkataan Ouw Hui ada benarnya juga. Tapi, di lain saat, pedangnya kembali mengutungkan sebagian cangkul itu, sehingga yang masih dipegang Ouw Hui hanyalah sepotong besi pendek. "Yang hanya bisa menggunakan Lui-cin-tong dan tak mampu menggunakan San-tian-tui, adalah tolol," kata Ouw Hui dengan suara nyaring, sembari menikam dengan potongan besi itu yang digunakan sebagai pusut.

Mendengar Ouw Hui mengaku bisa menggunakan San-tian-tui, si orang she Siang-koan menjadi kaget. Akan tetapi, setelah melihat, bahwa serangan-serangannya bukan berdasarkan Tui-hoat (ilmu silat pusut), lantas saja ia tertawa besar.

"Eh, ilmu San-tian-tui apakah itu yang kau gunakan?" ia berteriak.

"Ilmumu salah, ilmuku yang benar," kata Ouw Hui sembari menikam berulang-ulang. Sebenar-benarnya, dalam ilmu silat dengan senjata, ia hanya mahir menggunakan golok. Serangan-serangannya dengan potongan besi itu hanyalah sandiwara belaka, sedang yang benar-benar lihay adalah tangan kirinya. Sembari mengempos semangatnya, ia mendesak musuhnya dengan menggunakan ilmu silat tangan kosong dari keluarga Ouw, sehingga dalam sekejap, orang she Liap itu sudah terdesak dan terpaksa berkelahi sembari mundur. Lewat beberapa jurus lagi, sekonyong-konyong mereka mengeluarkan teriakan "ah!" dan meloncat mundur dengan berbareng. Semua perampok terperanjat, karena pedang si orang she Liap sudah pindah ke tangan Ouw Hui!

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ouw Hui memungut sebuah batu besar dengan tangan kirinya dan mencekal pedang itu dengan tangan kanannya. Sembari menandalkan ujung pedang di tanah ia mengangkat batu itu tinggi-tinggi. "Pedang ini tajam luar biasa," katanya sembari mesem.

"Sekarang aku mau mencobanya dengan batu ini. Coba lihat, patah atau tidak?"

Pedang yang mana juga dalam dunia ini, tak bisa tak patah jika dihantam dengan batu sebesar itu. Si orang she Liap, yang sayang kepada senjatanya seperti menyayangi jiwanya sendiri, lantas saja pucat mukanya. "Tahan!" ia berseru.

"Sudahlah! Aku mengaku kalah!"

"Pedang ini bagus sekali," kata Ouw Hui. "Sekali dihantam belum tentu patah."

"Jika tuan ingin, ambillah," kata orang she Liap itu sembari meringis. "Tapi janganlah dirusak. Pedangku itu adalah pedang mustika."

Sampai disitu Ouw Hui sudah merasa cukup. Di luar dugaan semua orang, ia mengangkat senjata itu dengan kedua tangannya dan mengangsurkannya kepada si orang she Liap. "Siauwtee telah berlaku kurang ajar sekali, harap kau suka memaafkan," katanya.

Orang she Liap itu hampir-hampir tak percaya kepada mata dan kupingnya sendiri. Ia yakin, bahwa jika Ouw Hui membatalkan niatnya untuk merusakkan pedang itu, ia tentu akan mengambilnya untuk dirinya sendiri. Orang Rimba Persilatan manakah yang tak kepingin memiliki senjata mustika itu? Ia berdiam sejenak, kelihatannya ia masih sangsi dan sesaat kemudian baru ia menerimanya dengan kedua tangan. "Terima kasih! Terima kasih!" katanya dengan suara gemetar.

Ouw Hui tahu, bahwa ia sekarang tak boleh menyia-nyiakan waktu. Ia meloncat ke punggung keledainya dan menyoja kepada kawanan perampok itu. "Atas belas kasihan saudara-saudara, dengan jalan ini siauwtee menghaturkan terima kasih," katanya sembari berpaling kepada Cie Ceng dan Ma It Hong seraya berseru: "Hayo berangkat!"

Kedua suami isteri itu yang belum memperoleh kembali seantero semangat mereka, buru-buru mengeprak kuda masing-masing mengiringi kereta piauw, diikuti oleh Ouw Hui dan Leng So dari belakang. Kawanan perampok itu kedengaran berunding dengan suara perlahan, tapi mereka tidak mengejar.

Dengan cepat mereka sudah melalui belasan li dan hati mereka pun mulai menjadi lega. Tiba-tiba Cie Ceng menahan kudanya dan berkata: "Aku benar-benar sangat berterima kasih untuk pertolongan tuan. Akan tetapi kenapa tuan mengaku sebagai Supehku?"

Mendengar pertanyaan yang bernada menegur itu, Ouw Hui tersenyum dan menjawab: "Aku hanya iseng-iseng mengatakan begitu. Harap saudara tak berkecil hati."

"Tuan memakai kumis palsu dan setiap orang dipanggil saudara kecil," kata Cie Ceng.

"Menurut pendapatku, dengan begitu, tuan terlalu memandang rendah kepada semua manusia di kolong langit." Ouw Hui kaget. Bagaimana orang kasar itu bisa mengetahui rahasianya?

"Mungkin isterinya yang telah dapat menemukan kelemahan penyamaranmu," bisik Leng So.

Ouw Hui mengangguk sembari melirik Ma It Hong. Apakah nyonya itu juga tahu, siapa ia sebenarnya?

Melihat sikap Ouw Hui, Cie Ceng jadi semakin mendongkol. Sebagai orang yang mempunyai isteri cantik, ia selalu merasa cemburu. Semenjak Ouw Hui menguntit dari belakang, ia sudah menganggap, bahwa pemuda itu mengandung niat kurang baik. Sesudah tadi dipermainkan oleh kawanan perampok, ia menjadi nekat dan was-was, sehingga jalan pikirannya berbeda dengan orang sehat. Baginya, kecuali keluarganya sendiri, semua manusia pada saat itu adalah musuh. Maka itu, lantas saja ia membentak dengan suara keras: "Tuan mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Jika kau ingin mengambil jiwa Cie Ceng, hayolah!" Sehabis berkata begitu, ia membungkuk dan mencabut golok salah seorang pegawainya. Sesudah itu, sembari melintangkan senjatanya, ia memandang Ouw Hui dengan mata berapi.

Ouw Hui yang tak dapat menebak jalan pikiran Cie Ceng, menjadi gugup. Baru saja ia ingin memberikan penjelasan, tiba-tiba di sebelah belakang terdengar bunyi kaki seekor kuda, yang larinya cepat seperti terbang. Dalam sekejap, kuda itu dan penunggangnya sudah lewat di pinggir kereta piauw. Ouw Hui melirik dan ia lantas saja mengenali, bahwa dia itu adalah salah seorang dari enam belas perampok tadi.

"Hayo kita menyingkir," Leng So berbisik. "Tak perlu kita mencampuri urusan orang lain dan coba-coba membereskan segala urusan penasaran."

Di luar dugaan, kata-kata "mencampuri urusan penasaran" sangat menusuk hati Cie Ceng. Dengan mata merah, ia mengeprak kudanya dan mengangkat senjatanya.

"Suko!" teriak sang isteri. "Lagi-lagi kau memperlihatkan kesembronoanmu!"

Cie Ceng terkejut dan menahan kudanya. Melihat lagak orang kasar itu, Leng So mendongkol bukan main. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mengedut les keledainya dan menyabet keledai Ouw Hui dengan cambuknya, sehingga pada saat itu juga, kedua binatang itu kabur sekeras-kerasnya.

"Ma Kouwnio!" teriak Ouw Hui sembari menengok ke belakang. "Apakah kau masih ingat Siang-kee-po?"

Ma It Hong terperanjat dan paras mukanya lantas saja berubah merah. "Siang-kee-po.... Siang-kee-po..." katanya dengan suara perlahan. "Tentu saja aku ingat Siang-kee-po."

Di depan matanya lantas saja terbayang kejadian itu, belasan tahun yang lampau. tapi yang terbayang di depan matanya bukanlah bayangan Ouw Hui, hanya seorang lain yaitu si kongcu "mahal" yang cakap dan lemah lembut sifatnya.

Sesudah melalui satu li lebih, Leng So menghentikan keledainya. "Toako," katanya. "Kawanan perampok itu mengejar lagi."

Ouw Hui pun mengetahui hal ini. Ia sudah mendengar berderapnya kaki belasan ekor kuda. "Jika sampai bertempur, kita yang berjumlah sedikit tentu tak dapat mengalahkan mereka," kata Ouw Hui. "Siapa sebenarnya mereka itu?"

"Menurut pendapatku, mereka bukan perampok biasa," kata si nona.

"Dalam peristiwa ini tersembunyi banyak hal aneh," kata Ouw Hui. "Aku masih tak bisa menembus tabir rahasia yang menyelubunginya."

Di saat itu, angin meniup dari arah barat dan sayup-sayup mereka mendengar bunyi senjata beradu.

"Sudah tersusul!" kata Ouw Hui.

"Kurasa Ma Kouwnio tak akan diganggu," kata Leng So.

"Orang she Cie itu pun agaknya tak akan dibinasakan. Tapi dia pasti akan merasakan siksaan."

Alis Ouw Hui berkerut. "Aku sungguh tak mengerti," katanya.

Pada saat itu, lapat-lapat terdengar derap kaki kuda yang menuju ke arah barat laut. Dengan kupingnya yang sangat tajam? Ouw Hui mengetahui, bahwa orang-orang itu tidak mengambil jalan besar. Di antara derap kaki kuda, ia juga mendengar jeritan seorang wanita.

Ouw Hui melarikan tunggangannya ke atas sebuah bukit kecil dan memandang ke arah itu. Segera juga ia melihat, bahwa dua penjahat yang masing-masing mendukung seorang anak kecil, sedang mengaburkan tunggangan mereka, dikejar It Hong yang menjerit-jerit. Karena jaraknya terlalu jauh, Ouw Hui tak bisa menangkap apa yang diteriakan nyonya itu.

Sekonyong-konyong kedua penjahat itu mengangkat senjata mereka dan membelokkan tunggangan mereka ke kiri dan ke kanan untuk kemudian kabur terus secara berpencar. It Hong ter-tegun. Kedua anak itu sama dicintainya dan sekarang ia tak tahu, ke mana ia harus mengejar.

Darah Ouw Hui lantas saja mendidih. "Jahat betul kawanan bangsat itu!" ia menggerendeng. Ia berpaling ke arah Leng So dan berteriak: "Jie-moay, mari!" Ia mengetahui, bahwa karena jumlah musuh jauh lebih besar, tindakannya itu penuh dengan bahaya. Akan tetapi, sebagai seorang ksatria tulen, mana bisa ia melihat kejadian itu dengan berpeluk tangan? Tanpa berpikir panjang-panjang lagi, ia segera mengaburkan tunggangannya, diikuti oleh Leng So dari belakang.

Akan tetapi, karena jaraknya terlalu jauh dan keledainya pun kalah cepat dari tunggangan si penjahat, maka ia hanya dapat menemukan Ma It Hong yang sedang berdiri laksana patung. Begitu besar kedukaan si nyonya, sehingga ia tak bisa mengeluarkan air mata dan hanya mengawasi ke arah depan dengan mata membelalak.

"Ma Kouwnio, jangan jengkel," kata Ouw Hui dengan suara kasihan. "Aku pasti akan membantu kau merampas kembali kedua anak itu."

Mendengar suara Ouw Hui, It Hong agaknya terkejut dan buru-buru ia menekuk sebelah lututnya untuk berlutut.

"Jangan begitu!" Ouw Hui mencegah. "Mana Cie-heng?"

"Selagi aku sendiri mengejar anakku, ia telah ditawan musuh," jawabnya.

Di saat itu, Leng So sudah tiba di situ. Ia mendekati Ouw Hui seraya berkata: "Di sebelah utara ada musuh."

"Musuh?" Ouw Hui menegas sambil menengok ke jurusan utara. Benar saja, jauh-jauh sudah kelihatan debu mengepul dan dari bunyi kaki kuda yang dapat didengar, agaknya mereka berjumlah kira-kira delapan atau sembilan orang.

"Tunggangan musuh-musuh itu adalah kuda-kuda yang sangat bagus," kata Ouw Hui. "Jika kita melarikan diri, kita pasti akan tersusul. Jalan satu-satunya adalah mencari tempat bersembunyi."

Tapi di sekitar tempat itu sama sekali tak terdapat kemungkinan untuk menyembunyikan diri. Daerah itu adalah tanah datar yang tandus. Hanya di sebelah barat laut terdapat sebuah hutan kecil.

"Kita pergi ke situ saja," kata Leng So sembari menuding dengan cambuknya. Ia berpaling kepada Ma It Hong dan berkata pula: "Tungganglah kuda!"

"Terima kasih, nona," kata It Hong sambil melompat ke atas punggung kuda.

"Kedua matamu benar tajam," memuji si nona. "Dalam bahaya, kau masih bisa mengenali, bahwa aku adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria." Demikianlah dengan menggunakan dua ekor kuda, mereka bertiga lantas saja menuju ke hutan itu.

Baru saja melalui kurang lebih satu li, mereka telah dilihat oleh kawanan perampok. Sembari berteriak-teriak, belasan penjahat yang berada di sebelah utara, lantas saja mengejar mereka. Ouw Hui kaburkan tunggangannya dan masuk lebih dulu ke dalam hutan. Ia mendapat kenyataan, bahwa di bagian belakang hutan itu terdapat enam tujuh rumah kecil. Ia yakin, bahwa jika lari terus mereka tentu akan kecandak, sehingga jalan satu-satunya adalah coba menyembunyikan diri di salah satu rumah itu.

Dengan cepat Ouw Hui larikan kudanya ke arah kelompok rumah-rumah itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa di antara gubuk-gubuk itu terdapat satu rumah batu yang agak besar. Ia menghampiri rumah batu itu dan mendorong pintunya yang lantas saja terbuka. Dalam rumah itu terdapat satu nenek yang sedang rebah di pembaringan dalam keadaan sakit. Melihat masuknya Ouw Hui, si nenek terkejut bukan main dan mengeluarkan teriakan lemah.

Sementara itu, Leng So mendapat kenyataan, bahwa gubuk-gubuk tersebut tidak berjendela, sehingga bukan tempat tinggalnya manusia. Ia membuka pintunya salah satu gubuk yang ternyata terisi rumput. Dalam gubuk yang satunya lagi, ia mendapatkan tumpukan batu-batu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Leng So merogoh saku dan mengambil bahan api yang lalu dinyalakan dan kemudian digunakan untuk menyulut gubuk-gubuk yang berada di situ. Sesudah itu, ia menarik tangan Ma It Hong dan lalu masuk ke rumah batu.

Gubuk-gubuk tersebut terpisah tiga empat tombak dari rumah batu. Tak usah dikatakan lagi, dengan terjadinya kebakaran, mereka yang berada dalam rumah batu akan merasakan hawa panas. Akan tetapi, dengan demikian musuh jadi dapat ditahan untuk sementar waktu dan di samping itu, dengan musnahnya semua gubuk, kawanan perampok itu tak mempunyai tempat lagi untuk menyembunyikan diri dan akan lebih banyak menghadapi kesukaran dalam penyerangannya.

Melihat kepintarannya Leng So, tanpa merasa Ma It Hong memuji: "Nona, kau sungguh pintar."

Hampir berbareng dengan terbakarnya gubuk-gubuk tersebut, kawanan perampok sudah masuk ke dalam hutan. Melihat api yang berkobar-kobar, kuda-kuda mereka tak berani menerjang masuk dan mereka terpaksa mengurung kelompok rumah-rumah itu dari tempat yang agak jauh.

Sesudah berada dalam rumah batu dan semangatnya terkumpul kembali, Ma It Hong lantas saja ingat kedua puteranya yang diculik oleh kawanan penjahat. Ia adalah puteranya seorang Rimba Persilatan kenamaan dan semenjak kecil telah mengikuti mendiang ayahnya berkelana di dunia Kang-ouw yang penuh marabahaya, sehingga hatinya ada banyak lebih kuat dari manusia biasa. Akan tetapi, oleh karena adanya ikatan kecintaan antara ibu dan anak, pada ketika itu, tanpa merasa, ia mengucurkan air mata. Sambil menyusut air mata yang meleleh di kedua pipinya, ia berkata kepada Leng So dengan suara terharu: "Adik, kau dan aku belum pernah mengenal satu sama lain. Tapi kenapa, dengan menempuh bahaya besar, kau sudah turun tangan untuk menolong diriku?"

Pertanyaan itu memang pantas diajukan. Harus diketahui, bahwa semua penjahat terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi dan jumlahnya pun besar sekali. Andaikata ayahnya, Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong, yang menghadapi kejadian itu, biar bagaimana gagah pun, sang ayah pasti tak akan dapat melawan musuh. Tapi kedua orang itu, yang bukan sanak dan bukan kadang, dengan suka rela sudah menyerbu lautan api untuk menolong keluarganya. Bukankah dengan berbuat begitu, mereka akan mengantarkan jiwa dengan cuma-cuma? Ia mengetahui, bahwa nama "Sin-kun Yoe-tek Gu Keng Tian" hanyalah nama samaran untuk mengejek kawanan perampok. Ia juga mengetahui bahwa ayahnya telah mendapat pelajaran silat dari kakeknya dan ayah itu sama sekali tak mempunyai saudara seperguruan.

Leng So mesem dan sambil menunjuk punggung Ouw Hui, ia menanya: "Apa kau tak kenal dia? Dia sendiri mengenal kau."

Ketika itu, Ouw Hui sedang mengintip ke luar dari lubang jendela. Mendengar perkataan Leng So, ia menengok dan tertawa. Di lain saat, ia memutar badan sambil mengangkat tangannya dan menyambuti sebatang piauw serta satu Chiu-cian (panah tangan) yang menyambar masuk dari lubang itu. Ia melemparkan kedua senjata rahasia itu di atas lantai dan berkata: "Sungguh sayang kita tidak membawa senjata rahasia. Tapi sekarang kita bisa meminjam senjata musuh untuk menghantam mereka. Satu, dua, tiga, empat, lima... di sebelah situ, sebelah selatan, sama sekali terdapat sembilan orang." Ia pergi ke lain jendela dan mengintip pula. "Satu, dua, tiga... di sebelah utara ada tujuh orang," katanya. 'Hanya sayang, musuh yang di sebelah timur dan barat tak dapat dilihat olehku."

Sehabis berkata begitu, ia memutar badan dan mengawasi ruangan itu. Mendadak, ia melihat satu dapur batu di satu sudut dan otaknya yang cerdas lantas saja mendapat satu ingatan baik. Ia menghampiri dapur itu dan mengangkat satu kuali besi yang terletak di atasnya. Dengan tangan kanan mencekal kuping kuali dan tangan kiri memegang tutupan kuali, ia mengeluarkan badan di jendela, lalu menengok ke jurusan timur dan kemudian ke jurusan barat.

Dengan berbuat begitu, separuh badannya yang dicenderungkan ke luar, terbuka untuk serangan senjata rahasia, yang lantas saja menyambar-nyambar bagaikan hujan gerimis. Tapi semua senjata rahasia tak mencapai maksudnya, karena adanya kuali dan tutupannya yang digunakan sebagai tameng oleh Ouw Hui. Serentetan suara nyaring terdengar waktu senjata-senjata rahasia itu menancap di kedua tameng tersebut. Sesaat kemudian, sembari tertawa terbahak-bahak, ia menarik pula badannya dari jendela itu.

Setelah diperiksa, ditutupan kuali menancap empat lima senjata rahasia, sedang di kuali itu sendiri terapat lima enam buah, yang terdiri dari Thie-lian-cie, panah tangan, pusut, paku dan sebagainya. Sebagian kuali itu ternyata somplak karena terpukul batu Hui-hong-sek.

"Di depan, di belakang, di kiri dan kanan semuanya ada dua puluh satu orang," kata Ouw Hui.

"Dua bocah itu dan Cie-heng tidak terdapat di antara mereka. Jika dihitung-hitung, dengan dua orang yang melayani Cie-heng dan dua orang pula yang menculik kedua anak itu, sama sekali kita sedang menghadap dua puluh lima musuh."

"Jika mereka itu hanya manusia-manusia yang berkepandaian biasa, kita boleh tak usah takut," kata Leng So.

"Tapi...."

"Jie-moay," kata Ouw Hui. "Apakah kau tahu asal usulnya orang yang bersenjata Lui-cin-tong?"

"Menurut Suhu, yang menggunakan Lui-cin-tong kebanyakan adalah orang-orang Pek-kee-po di Saypak," Leng So menerangkan.

"Tapi coba, Toako, lihatlah yang menggunakan pedang. Ilmu pedangnya terang-terang Kie-kee-kiam-hoat (ilmu pedang keluarga Kie) dari Ciat-kang timur. Hm! Yang satu dari Saypak, yang lain dari Ciat-kang timur. Toako, apakah kau memperhatikan lagu bicaranya?"

"Benar," celetuk Ma It Hong. "Ada yang bicara dengan lidah Kwitang. Ada yang dari Ouw Pak, dari Ouw-lam, malah ada juga yang berbicara dengan lagu Shoa-tang dan Shoa-say."

"Tak mungkin ada kawanan perampok yang beranggotakan jago-jago dari begitu banyak tempat, mau turun tangan untuk merampas sembilan ribu tahil perak saja," kata Leng So.

Mendengar kata "hanya sembilan ribu tahil perak", muka Ma It Hong lantas menjadi merah. Semenjak mula-mula dibentuk, memang belum pernah Hui-ma Piauw-kiok mengantar piauw yang begitu kecil.

"Sekarang paling baik kita menyelidiki dulu tujuan musuh," kata Ouw Hui. "Kita harus tahu, apakah mereka mengincar aku dan adikku, atau Ma Kouwnio dan keluarganya." Ketika baru bertemu, melihat jumlah musuh yang besar, ia menduga, bahwa mereka itu adalah orang-orang Tian Kui Long, tapi sesudah menyaksikan sepak terjang mereka yang hanya memusuhi keluarga Cie Ceng, ia menarik kesimpulan bahwa kawanan perampok itu tidak mempunyai sangkut paut dengan permusuhan antara Biauw Jin Hong dan Tian Kui Long.

"Sudan terang tujuan mereka adalah untuk memusuhi Hui-ma Piauw-kiok," kata It Hong. "Toako, apakah aku boleh mengetahui shemu yang mulia? Maafkan aku, karena benar-benar aku tak dapat mengenali kau."

Ouw Hui tertawa dan menanggalkan kumis palsunya. "Ma Kouwnio, apakah kau masih belum ingat?" tanyanya sembari tersenyum.

Ma It Hong mengawasi muka itu yang masih memperlihatkan sifat kekanak-kanakan. Lama juga ia memandangnya. Samar-samar ia merasa seperti pernah melihat muka itu, tapi entah di mana.

Ouw Hui tertawa dan berkata: "Siang Siauwya, aku mohon kau melepaskan A-hui. Jangan menganiaya lagi."

It Hong terkesiap. Kedua matanya dibelalakkan, mulutnya terbuka, tapi ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.

Ouw Hui berkata lagi: "A-hui sudah digantung terlalu lama, sesungguhnya aku tak tega. Pergilah kau, melepaskan ia dulu.

Sesudah itu, boleh kau datang lagi ke sini."

Itulah permohonan Ma It Hong kepada Siang Po Cin! Sebagaimana diketahui, bertahun-tahun sebelumnya, diwaktu Ouw Hui masih kecil, ia pernah digantung dan dihajar di Siang-kee-po. Oleh karena merasa kasihan, It Hong telah mengajukan permohonan itu kepada Siang Po Cin, yang sudah tergila-gila kepadanya. Meskipun ia tak memerlukan pertolongan itu, dan sudah dapat melepaskan diri, tapi budi dan kata-kata si nona masih diingat terus oleh Ouw Hui sehingga hari itu. Besar sekali rasa terima kasihnya dan - walaupun sudah berselang sekian tahun - rasa terima kasih itu sedikit pun tak berkurang.

Untuk dua baris perkataan itu, sekarang Ouw Hui rela mempertaruhkan jiwanya guna membalas budi. Dalam keadaan berbahaya, sebaliknya daripada gentar, ia bahkan merasa girang karena pada kesempatan ini, ia bisa berbuat apa-apa untuk seorang wanita yang telah mengasihinya ketika ia sedang menderita hebat.

Mendengar perkataan Ouw Hui, Ma It Hong menjadi sadar.

"A-hui!" ia berteriak, "Aduh! A-hui!" Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula dengan suara lebih tenang: "Ouw Hui, Ouw Toako, putera Tay-hiap Ouw It To!"

Ouw Hui tersenyum dan mengangguk-angguk. Mendengar nama ayahnya, ia kembali teringat akan kejadian-kejadian yang lampau dan hatinya menjadi sangat sedih. "Ouw Toako," kata pula Ma It Hong dengan terharu. "Kau... kau... harus menolong kedua puteraku."

"Biar apa pun yang akan terjadi, siauwtee akan berusaha sekuat tenaga," jawabnya dengan tegas. Ia berpaling seraya berkata: "Inilah adik angkatku, Thia Leng So, Thia Kouwnio."

It Hong membungkuk dan sembari mengawasi gadis itu dengan rasa terima kasih, ia berkata: "Thia Kouwnio..."

"Drr!" pintu terpukul dengan serupa barang berat, sehingga seluruh ruangan itu jadi tergetar. Untung juga, pintu itu cukup tebal lagi teguh sehingga tidak sampai bobol.

Dengan mengintip dari lubang jendela, Ouw Hui mendapat kenyataan bahwa penggedoran itu telah dilakukan oleh empat penjahat. Mereka sedang mengayun sebuah batu besar, yang diikatkan pada ujung tambang selaku menggunakan bandringan.

"Jika pintu ini terpukul pecah dan mereka sudah menerobos masuk, pihakku pasti akan diringkus," katanya di dalam hati.

Diam-diam ia menyiapkan sebatang bun-teng dan panah tangan dalam kedua tangannya.

Sesaat kemudian, empat penjahat itu kembali mengeprak kuda mereka dan menerjang sambil mengayunkan bandringan batu tersebut. Ketika mereka sudah berada dalam jarak lima enam tombak, Ouw Hui mengayunkan kedua tangannya.

Tanpa bersuara, robohlah dua ekor kuda yang terdepan dengan serentak dan dua penunggangnya turut terguling. Karena kecelakaan itu, dua kuda yang berada di belakang jadi tersangkut tali bandringan itu dan jatuh terjerunuk. Masih untung, bahwa dua penunggang itu berkepandaian cukup tinggi, sehingga mereka keburu melompat dan tiba di atas tanah dengan selamat.

Sembari mengeluarkan teriakan kaget, dua orang itu segera memburu untuk memberi pertolongan kepada kawan mereka. Mereka mendapat kenyataan, bahwa dua buah senjata rahasia menancap dalam-dalam sampai di otak kedua binatang itu. Semua perampok kaget bukan main dan mengawasi sembari mengulur lidah. Senjata rahasia itu dilepaskan dengan Iweekang yang tak dapat diukur bagaimana kuatnya! Mereka juga mengerti, bahwa yang melepaskan senjata itu, sudah berlaku sangat murah hati. Jika paku dan panah tangan itu ditujukan ke dada dua kawan mereka, kedua-duanya tentu sudah tewas. Dengan sikap ketakutan, mereka buru-buru mundur puluhan tombak, sampai di luar jarak timpukan senjata rahasia. Kasak-kusuk, dengan suara tertahan merundingkan tindakan selanjutnya.

Dengan timpukannya itu, selain sungkan membinasakan orang, Ouw Hui juga mempunyai perhitungan lain. Memang benar, dengan mudah ia bisa mengambil jiwa tiga di antaranya atau keempat-empatnya semua. Tapi dengan berbuat begitu, ia akan menanam benih permusuhan besar yang tak mungkin dibereskan lagi dengan jalan damai, sedang berapa besar kekuatan musuh, belum diketahui dengan jelas. Di samping itu, ia juga ingat, bahwa kedua putera It Hong berada dalam tangan musuh, sedang nasib Cie Ceng pun belum terang. Maka, menurut pendapatnya, jalan yang paling baik adalah membereskan persoalan ini secara damai.

Sesudah kawanan itu mundur, Ouw Hui segera memeriksa pintu tadi. Ia mendapat kenyataan bahwa pintu itu sudah rengat dan pasti akan terbelah, jika terpukul dua tiga kali lagi.

"Ouw Toako, Thia Moay-moay, bagaimana sekarang?" tanya It Hong dengan khawatir.

Alis Ouw Hui berkerut, "Apakah di antara mereka, tak seorang juga kau kenal?" tanya Ouw Hui.

"Tidak," jawabnya, sembari menggelengkan kepala.

"Jika mereka musuh mendiang ayahmu, mengapa mereka agaknya menghormati ayahmu," kata Ouw Hui.

"Jika benar, bahwa mereka hanya ingin menyusahkan dirimu dengan merampas kedua anakmu, apakah gunanya, sedang kau sama sekali tidak mengenal mereka. Lagi pula, selama ini mereka belum pernah mengeluarkan perkataan kurang ajar terhadapmu. Terhadap Cie Toako, memang mereka sangat tak mengenal aturan. Tapi, jika berkawan mereka hanya hendak menyeterukan Cie Toako, perlu apa mereka datang dengan berkawan begitu banyak?"

"Benar," kata It Hong. "Di antara mereka, yang mana pun bisa merobohkan Suko."

Ouw Hui mengangguk seraya berkata: "Urusan ini memang sangat mengherankan. Tapi jangan khawatir. Menurut pendapatku, mereka sama sekali tak ingin mencelakakan orang. Juga terhadap Cie Toako, sikap mereka seperti hanya ingin berkelakar."

Pada saat itu, Ma It Hong teringat kepada perkataan salah seorang penjahat tadi. "Sekuntum bunga indah ditancap di tahi kerbau." Mukanya lantas saja menjadi merah.

Sementara itu, Leng So sudah berkenalan dengan wanita penghuni rumah itu dan ia sudah menanak nasi. Sehabis makan, mereka mengintip dari lubang jendela. Agaknya kawanan penjahat itu sedang sibuk sekali, mereka mundar-mandir ke sana sini, tapi karena teraling pohon-pohon, tak ketahuanlah apa yang sedang dibuat mereka.

Leng So dan Ouw Hui, kedua-duanya berotak cerdas, tapi sekali ini ketajaman otak mereka tak dapat menembuskan tabir rahasia itu.

"Apakah kejadian ini ada sangkut pautnya dengan hadiah yang diberikan kepada Toako?" tanya Leng So.

"Entahlah," jawab Ouw Hui. Sesaat kemudian ia berkata pula: "Daripada tetap berada dalam kabut ini, lebih baik kita keluar terang-terangan. Jika kedua peristiwa ini benar-benar mempunyai hubungan, kita bisa bertindak dengan mengimbangi keadaan."

"Baiklah," kata si nona sembari mengangguk. Mereka menghampiri pintu yang lalu dibukanya.

Begitu melihat pintu terbuka, kawanan penjahat itu segera maju mendekati dengan berpencar.

"Saudara-saudara!" teriak Ouw Hui dengan suara nyaring.

"Jika kalian datang untuk mencari Ouw Hui, Ouw Hui dan adiknya, Thia Leng So, berada di sini. Jangan kalian menyeret-nyeret orang yang tidak berdosa." Hampir berbareng dengan perkataannya, ia mematahkan huncweenya dan melocoti semua alat penyamarannya, sedang Leng So pun segera melontarkan topinya, sehingga rambutnya yang hitam segera terurai di pundaknya.

Semua penjahat terkesiap. Sedikit pun mereka tidak menduga, bahwa orang yang berkepandaian begitu tinggi hanyalah seorang pemuda yang baru berusia kira-kira dua puluh tahun. Mereka saling memandang dan untuk beberapa saat, mereka tak dapat mengucapkan sepatah kata. Tiba-tiba salah seorang memajukan kudanya. Orang itu, yang mukanya putih dan tubuhnya tinggi, bukan lain dari pada si orang she Liap yang bersenjatakan pedang.

Ia mengangkat kedua tangannya untuk memberi hormat dan berkata: "Budi tuan yang sudah memulangkan pedangku, tak bisa kulupakan," katanya. "Urusan hari ini sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan tuan berdua. Kalian boleh segera berangkat dan dengan jalan ini, aku memberi selamat jalan."

Sembari berkata begitu, ia meloncat turun dari tunggangannya dan menepuk pundak binatang itu, yang lantas lari dan berhenti di depan Ouw Hui. Dengan demikian, penjahat itu bukan saja tidak merintangi keberangkatannya, tapi malahan menghadiahkan juga seekor kuda yang sangat bagus.

Ouw Hui membalas hormatnya. "Bagaimana dengan Ma Kouwnio?" tanyanya.

"Kedatangan kami ini adalah untuk mengundang Ma Kouwnio pergi ke Utara," jawab orang she Liap itu. "Kami bersumpah, untuk tidak mengganggu selembar saja rambut nyonya itu."

"Jika benar kalian bermaksud baik, kenapa mesti mengerahkan barisan yang begini kuat dan menakut-nakuti orang?" tanya Ouw Hui, bagaikan menegur. Ia memutarkan badannya dan berteriak: "Ma Kouwnio! Kedatangan mereka adalah untuk mengundang kau. Apakah kau suka mengikut mereka?"

Ma It Hong segera menghampiri. "Aku sama sekali tidak mengenal tuan-tuan," katanya. "Untuk apa kalian mengundang aku?"

"Tentu saja kami tak mengenal kau," kata salah seorang penjahat sembari tertawa. "Tapi ada yang mengenal kau."

"Mana anakku?" teriak It Hong. "Kembalikanlah anakku!"

"Ma Kouwnio tak usah khawatir," kata si orang she Liap.

"Kedua puteramu tak kurang suatu apa. Dengan seantero tenaga kami, kami akan melindungi mereka. Mana berani kami mengganggu kedua kongcu (panggilan untuk putera orang berpangkat atau hartawan) yang tubuhnya berharga berlaksa tail emas?"

Leng So dan Ouw Hui jadi semakin heran. Semakin lama kawanan penjahat itu menggunakan kata-kata yang semakin menghormat. Cie Ceng hanyalah seorang piauwtauw miskin, sehingga tak pantas puteranya dipanggil "kongcu yang tubuhnya berharga berlaksa tahil emas."

Tapi muka Ma It Hong sekonyong-konyong menjadi merah. "Tidak, aku tak mau pergi," katanya. "Lekas pulangkan kedua anakku!" Sehabis berkata begitu, tanpa menunggu jawaban, ia memutarkan badannya dan bertindak kembali ke rumah batu itu.

Melihat gerak-gerik nyonya itu yang luar biasa, Ouw Hui menjadi semakin curiga. "Ma Kouwnio," katanya dengan suara nyaring. "Tak perduli apa yang akan terjadi, aku tak nanti akan berpeluk tangan saja."

"Walaupun berkepandaian tinggi, seorang diri tuan tak akan dapat melawan musuh yang berjumlah besar," kata orang she Liap itu. "Jumlah kami tak kurang dari dua puluh lima orang. Sebentar malam akan datang lagi bala bantuan."

Ouw Hui percaya, bahwa jumlah yang disebutkan orang itu, bukan gertakan belaka. Tapi sebagai ksatria yang tidak pernah bekerja kepalang tanggung, di dalam hatinya, sedikit pun tak terdapat niat untuk meninggalkan Ma It Hong.

"Tapi Jie-moay tak perlu berkorban jiwa secara cuma-cuma di tempat ini," katanya di dalam hati. Dengan berpikir begitu, ia

berbisik: "Jie-moay, naiklah ke atas kuda ini dan segeralah menerjang ke luar. Biarlah aku sendiri yang menolong Ma Kouwnio. Dengan begitu, aku bisa bergerak lebih leluasa."

Leng So mengerti maksud kakaknya, lantas saja ia berkata tegas-tegas: "Dengan maksud apa orang mengangkat saudara? Apakah bahaya harus dihadapi bersama-sama, atau masing-masing harus berlomba kabur?"

"Kau sama sekali belum pernah mengenal Ma Kouwnio," kata Ouw Hui untuk membujuk. "Perlu apa kau menghadapi bahaya untuknya? Bagiku memang lain."

Leng So menunduk dan berkata dengan perlahan: "Perlu apa aku menghadapi bahaya untuknya? Tapi, apakah kau dan aku juga belum pernah saling mengenal?"

Mendengar kata-kata itu, bukan main terharunya Ouw Hui. Selama hidupnya, belum pernah ada manusia yang berlaku begitu baik terhadapnya, yang rela binasa bersama. Tentu saja, Peng Sie-siok adalah seorang yang bisa berbuat begitu. Tio Poan San juga bisa berkorban untuk kepentingannya. (Sungguh mengherankan, pada saat itu, dalam otaknya berkelebat satu ingatan, bahwa Biauw Jin Hong pun dapat berbuat begitu). Akan tetapi, dengan beberapa ksatria itu, ia belum pernah berada dalam kedudukan yang memerlukan pengorbanan orang lain. Hari ini, di sampingnya terdapat seorang wanita muda, yang, tanpa bersangsi sedikit juga, rela mengorbankan jiwanya bersama-sama dengan dirinya.

Sesudah menunggu beberapa lama tanpa ada tanda-tanda pihak Ouw Hui akan menurut, orang she Liap itu berkata pula: "Kami beramai tak akan berani mengganggu Ma Kouwnio dan terhadap Jie-wie, kami pun tidak mempunyai maksud kurang baik. Kenapa kalian memaksa hendak menempatkan diri di tempat berbahaya? Sepak terjang tuan yang sangat mulia, kami sangat hargai. Di hari kemudian, kita tentu mempunyai lain kesempatan untuk bertemu pula. Sekarang ini, paling baik kita berpisahan secara sahabat."

"Apakah kalian bersedia untuk melepaskan Ma Kouwnio?" tanya Ouw Hui.

Orang she Liap itu menggelengkan kepala. Sebenarnya ia masih ingin membujuk, tapi kawan-kawannya sudah naik darah. "Bocah ini benar-benar tak kenal mampus!" berteriak seorang. "Liap Toa-ko! Tak perlu banyak bicara lagi dengan bocah itu!"

"Inilah yang dinamakan, ada sorga sungkan ke sorga, berbalik mengambil jalanan ke neraka," mengejek yang lain.

"Bocah!" membentak penjahat yang ketiga. "Berapa tinggi sih kepandaianmu?"

Tiba-tiba satu sinar putih menyambar ke arah Ouw Hui. Orang she Liap itu melompat tinggi dan menangkap senjata rahasia itu yang ternyata adalah sebatang pisau terbang.

"Atas kebaikan tuan, aku menghaturkan banyak terima kasih," kata Ouw Hui. "Mulai dari sekarang, kita sama-sama sudah tidak berhutang budi lagi." Sehabis berkata begitu, sembari menarik tangan Leng So, ia masuk ke dalam rumah batu itu dengan tindakan cepat.

Mendadak, kupingnya yang sangat tajam menangkap suara menyambarnya sejumlah senjata rahasia. Cepat bagaikan kilat, ia menutup pintu dan hampir berbareng, terdengar suara merotoknya senjata rahasia yang menancap di pintu itu. Sembari bersorak sorai, kawanan penjahat lantas saja mendekati pintu. Ouw Hui mengambil sejumlah senjata rahasia dari atas meja dan kemudian, dari lubang jendela ia menimpuk penjahat yang paling dekat dengan sebatang piauw. Dia berteriak "aduh!" dan piauw itu menancap tepat pada pundaknya. Tapi ternyata penjahat itu berbadan kedot dan bernyali besar. "Saudara-saudara!" ia berteriak. "Apakah kita masih ada muka untuk pulang kembali, jika hari ini kita tak dapat membereskan satu bocah cilik?" Kawan-kawannya mengiyakan dan dengan serentak, mereka mulai merangsek dari empat penjuru.

Sesaat kemudian, tembok di sebelah timur dan barat tergedor hebat. Ternyata, karena di kedua bagian rumah itu tidak terdapat jendela, kawanan perampok tak khawatir lagi senjata rahasia dan mereka lalu menggunakan balok untuk coba merubuhkannya.

Ouw Hui yang menjaga di jendela berulang-ulang melepaskan senjata rahasia, sehingga kawanan penjahat yang mengepung di sebelah selatan dan utara pada mengundurkan diri, tapi penggedoran di tembok timur dan barat terus dilangsungkan dengan hebatnya.

Sementara itu, Leng So sudah mengeluarkan lilin Cit-sim Hay-tong dan membagi obat pemunah kepada Ouw Hui, Ma It Hong dan wanita penghuni rumah itu, dengan pesanan supaya, begitu lekas lilin dinyalakan, obat itu dimasukkan ke dalam hidung. Ia bersiap untuk menyulut lilin, begitu musuh menerobos masuk. Akan tetapi, ia pun mengetahui, bahwa lilin racun itu tak akan dapat merubuhkan semua musuh yang berjumlah besar. Ia hanya melakukan apa yang masih dapat dilakukan untuk menjatuhkan musuh sebanyak mungkin. Apakah dengan bantuan lilin itu mereka akan bisa menerjang keluar, adalah hal yang ia sendiri tak dapat meramalkan.

Beberapa saat kemudian, dengan satu suara "brak!", tembok di sebelah barat telah berlubang! Tapi tak seorang pun berani merangsak masuk lebih dulu, sebab mereka semua takuti kelihayan Ouw Hui. Tembok digedor terus, semakin lama lubangnya jadi semakin besar dan pada akhirnya, lubang itu tentu akan cukup besar untuk mereka menerobos masuk beramai-ramai.

Ouw Hui jadi bingung. Otaknya diasah keras dan kedua matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan untuk mencari-cari alat yang bisa digunakan untuk menahan musuh.

"Ouw Toako!" mendadak terdengar teriakan Leng So.

"Barang ini dapat menolong kita!" Ia berlutut dan kedua tangannya dimasukkan ke bawah pembaringan si nenek yang sedang sakit. Waktu ditarik pulang, kedua tangannya berlepotan kapur.

"Bagus!" berteriak Ouw Hui kegirangan. la merobek jubah panjangnya dan sobekan kain itu lalu digunakan untuk membungkus kapur. Cepat bagaikan kilat, ia melompat ke luar dari lubang tembok, meramkan kedua matanya dan lalu menimpuk musuh dengan bungkusan kapur itu! Di lain detik, ia sudah loncat balik ke dalam rumah.

Diserang cara begitu, kawanan perampok yang sedang merundingkan siasat untuk menerjang masuk, jadi gelagapan. Bagaikan halimun kapur putih itu beterbangan di tengah udara dan menyambar masuk ke dalam mata kawanan penjahat itu yang lantas saja menjerit-jerit kesakitan.

Leng So bekerja sebat sekali, ia menyerahkan dua bungkusan kapur kepadanya. "Bagus!" katanya sembari mengambil satu batu besar dari bawah dapur. Dengan tangan kirinya, ia mengangkat tinggi batu itu, lalu mengerahkan tenaga dan melompat ke atas. "Brak!" atap rumah berlubang besar. Di lain detik, ia sudah meloncat ke luar dari lubang itu dan menghantam kawanan penjahat dengan dua bungkusan kapur. Hampir berbareng, di luar terdengar jeritan yang ramai.

Leng So bekerja sebat sekali. Sejumlah bungkusan kapur sudah sedia dan Ouw Hui mengulangi serangannya terhadap musuh yang berada di sebelah selatan dan utara. Sembari berteriak-teriak dan mencaci maki, kawanan penjahat itu mundur ke dalam hutan. Enam tujuh orang rusak matanya dan untuk sementara, mereka tak berani mendekati lagi rumah batu itu.

Dengan demikian, kedua belah pihak bertahan di masing-masing tempatnya. Kawanan penjahat tak berani mendekati rumah itu, sedang Ouw Hui bertiga pun tak ungkulan bisa meloloskan diri dari kepungan musuh yang berjumlah banyak lebih besar. Sesudah mengalami bahaya bersama-sama, Ouw Hui dan Leng So jadi semakin rapat. Mereka melewati tempo sembari beromong-omong dan tertawa-tawa. Di lain pihak, Ma It Hong kelihatannya sangat berduka dan bingung. Ia duduk terpekur dan tidak memperdulikan dua kawannya yang sedang omong-omong dengan gembira.

"Biarlah kita menunggu sampai malam, kalau-kalau dalam gelap gulita kita bisa meloloskan diri," kata Ouw Hui. "Jika malam ini kita tak bisa menerjang keluar, hm... mungkin sekali kau harus menyerahkan jiwa kecilmu. Mengenai jiwa Sin-kun Yu-tek Gu Keng Tian.... huh-huh!" Ia meraba bawah hidung dan berkata pula sembari tertawa: "Jika aku tahu urusan ini tak ada sangkut-pautnya dengan orang she Ouw, aku tentu tak membuang kumisku yang begitu keren."

Leng So mesem. "Toako," katanya dengan suara perlahan. "Jika sebentar kita gagal dalam usaha menerobos ke luar, siapakah yang akan ditolong olehmu, aku atau Ma Kouwnio?"

"Dua-duanya," jawab Ouw Hui.

"Andaikata, kau hanya dapat menolong satu orang, sedang yang satunya lagi harus menerima kebinasaan, siapakah yang akan ditolong olehmu?" mendesak si nona.

Sesudah memikir beberapa lama, Ouw Hui menjawab: "Aku menolong Ma Kouwnio dan kita mati bersama-sama."

Sekonyong-konyong si nona mengeluarkan seruan tertahan: "Toako...!" Ia mencekal tangan Ouw Hui erat-erat.

Hati Ouw Hui berdebar-debar. "Celaka!" katanya dengan suara di tenggorokan.

Mereka kaget karena kawanan penjahat berramai-ramai ke luar dari dalam hutan dengan tangan membawa kayu-kayu dan rumput kering yang kemudian dilemparkan ke seputar rumah itu. Dilihat gelagatnya, mereka ingin menyerang dengan menggunakan api. Sambil saling mencekal tangan, Ouw Hui dan Leng So saling mengawasi. Dari sorot mata mereka, mereka tak mempunyai banyak harapan.

Sekonyong-konyong Ma It Hong menghampiri jendela. "Hei!" ia berteriak. "Siapa pemimpinmu? Aku mau bicara dengan dia."

Dari antara rombongan penjahat itu berjalan keluar seorang tua yang bertubuh kecil. "Ma Kouw-nio," katanya dengan sikap hormat. "Jika kau mau bicara, bicaralah pada siauwjin (aku yang rendah)."

"Aku akan datang ke tempat kau, tapi kau tak boleh merintangi aku," kata pula Ma It Hong.

"Siapa berani merintangi Ma Kouwnio?" kata si tua.

"Ouw Toako, Thia Moay-moay," kata It Hong dengan suara perlahan. "Aku mau bicara sedikit dengan dia dan akan segera balik kembali."

"Tak boleh!" kata Ouw Hui. "Aku tak percaya omongan segala kawanan perampok. Ma Kouwnio, kau tak boleh pergi! Kau akan seperti juga mengantarkan diri ke mulut harimau!"

"Aku mengambil keputusan ini karena melihat bahaya yang sangat besar," kata Ma It Hong. "Budi kalian berdua, sampai mati siauw-moay tak akan melupakannya."

Sebagai ksatria sejati, mana Ouw Hui mau mengerti? Melihat nyonya itu berkeras kepala dan tangannya sudah memegang palangan pintu, lantas saja ia berkata: "Kalau begitu, biarlah aku pergi bersama-sama kau."

Muka It Hong bersemu dadu. "Tak usah," katanya.

Leng So yang sangat cerdik dan matanya memperlihatkan segala apa, jadi semakin bercuriga. Kenapa muka Ma It Hong berulang kali berubah merah? Apakah antara mereka berdua terselip soal cinta? Memikir sampai di situ, paras mukanya sendiri berubah merah.

"Baiklah," kata Ouw Hui. "Kau boleh pergi sendiri, tapi lebih dulu biarlah aku menangkap satu musuh sebagai tanggungan."

"Ouw toako," kata It Hong tergugu. "Tak usah...."

Belum habis ia bicara, dengan tangan kanan mencekal golok, Ouw Hui sudah membuka pintu dan melompat ke luar. Kawanan penjahat lantas saja berteriak-teriak.

Bagaikan kilat Ouw Hui sudah menerjang rombongan penjahat itu. Dua perampok memapaki ia dengan sabetan golok. Ouw Hui menundukkan kepala dan melompat sembari coba menyengkeram pergelangan tangan satu musuh dengan tangan kirinya. Tapi orang itu juga gesit luar biasa. Ia membalik tangan dan membabat pula dengan goloknya, sehingga Ouw Hui terpaksa menangkis dengan senjatanya. Karena kelambatan itu, tiga musuh lainnya sudah keburu menyerang, dua pian baja dan sebatang tombak menghantam dengan berbareng.

Sembari mengerahkan tenaga dalam dan membentak keras, Ouw Hui menangkis dengan goloknya. Berbareng dengan suara trang-trang-trang!", dua pian terpental ke udara dan tombak itu kutung dua, tapi, sebab menggunakan tenaga terlalu besar, mata goloknya sendiri melengkung dan tak dapat digunakan lagi. Melihat tenaga yang begitu hebat, kawanan penjahat jadi keder dan pada lompat menyingkir.

"Mari main-main dengan aku!" membentak si tua yang berbadan kecil sembari meloncat maju dengan tangan kosong.

Ouw Hui kaget. "Gerakan orang ini mantap, dia bukan lawan enteng," pikirnya. "Awas piauw!" ia berteriak sembari mengayun tangan kirinya.

Si tua berhenti menyerang, ia mengawasi dengan mata tajam, siap sedia untuk menyambut senjata rahasia Ouw Hui. Di luar dugaan, Ouw Hui hanya menggertak. Dengan sekali menjejak kaki kirinya, tubuhnya melesat ke atas dan melompati kepalanya dua penjahat. Selagi badannya terbang di udara, tangannya menyengkeram nadi salah satu penjahat yang lantas diangkat dari tunggangannya dan hampir berbareng, ia sendiri sudah menyemplak punggung kuda itu. Pada detik itu juga, Ouw Hui menendang perut kuda, yang dengan kesakitan lantas saja kabur sekeras-kerasnya.

Kawanan perampok lantas saja berteriak-teriak dan lalu mengejar, ada yang menunggang kuda, ada juga yang jalan kaki. Baru kabur beberapa tombak, Ouw Hui merasakan sambaran angin tajam di belakangnya. Buru-buru ia menunduk dan dua Tiat-tui (pusut besi) lewat di atas kepalanya. Dari sambaran angin yang dahsyat, ia mengetahui, bahwa orang yang menimpuk mempunyai kepandaian tinggi. Buru-buru ia memutar badan dan duduk di pelana dengan menghadapi pengejar-pengejarnya sembari memeluk tawanannya. "Hayo! Lepaskan senjata rahasia! Makin banyak, makin baik!" ia berteriak. Penjahat itu yang dicengkeram nadinya, tidak berdaya lagi. Ouw Hui tertawa terbahak-bahak dan menendang pula perut kuda yang lantas kabur terlebih cepat. Mendadak, baru saja lari belasan tombak, kuda itu rubuh terguling, karena pada waktu Ouw Hui memutar badan, sebatang pusut telah masuk ke dalam perutnya.

Dengan gerakan yang sangat indah, Ouw Hui melompat dan hinggap di atas tanah sembari terus memeluk tawanannya, dan kemudian, setindak demi setindak, ia masuk ke dalam rumah batu itu. Karena takut mencelakakan kawan sendiri, gerombolan penjahat itu tak berani menerjang terus.

Demikianlah , dari bawah hidung dua puluh lebih jago-jago yang lihay, pemuda itu sudah berhasil membekuk satu penjahat dan kembali dengan tak kurang suatu apa. Bukan main gusarnya kawanan perampok itu, tapi berbareng, mereka juga harus mengakui kelihayan Ouw Hui.

"Ouw Toako, bagus! Sungguh bagus!" memuji Ma It Hong, sembari bertindak ke luar dari rumah itu. Melihat munculnya si nyonya cantik tanpa bersenjata, semua penjahat lantas saja turun dari tunggangannya dan membuka satu jalanan untuk nyonya tersebut.

It Hong berjalan terus dan baru menghentikan tindakannya ketika ia tiba di pinggir hutan yang terpisah kurang-lebih lima puluh tombak dan rumah batu itu.

Dengan hati berdebar-debar, Ouw Hui dan Leng So mengawasi dari jendela. It Hong berdiri dengan membelakangi mereka dan bicara dengan si tua yang berbadan kecil.

"Toako," kata Leng So. "Kenapa dia pergi begitu jauh. Jika terjadi kejadian luar biasa, kita tak akan keburu untuk menolongnya."

"Hm!" menggerendeng Ouw Hui. Ia mengetahui, bahwa jawaban untuk pertanyaan itu sudah dipunyai oleh adiknya.

Benar saja, sesaat kemudian si nona berkata pula: "Karena ia tak mau kita ikut mendengarkan pembicaraan mereka!"

"Hm!" Ouw Hui menggerendeng lagi. Ia yakin, bahwa dugaan adiknya adalah tepat. Tapi, lantaran apa Ma It Hong bersikap begitu?

Pembicaraan antara Ma It Hong dan perampok itu tak dapat didengar, akan tetapi, gerak-gerik mereka dapat dilihat dari jendela. "Toako," kata Leng So. "Kepala perampok itu bersikap sangat hormat terhadap Ma Kouwnio."

"Benar," kata Ouw Hui. "Dia berjiwa besar dan kelihatannya berkepandaian tinggi."

"Bukan berjiwa besar," kata si nona sambil tertawa.

"Menurut penglihatanku, sikapnya seperti juga bujang terhadap majikan."

Ouw Hui pun sudah melihat kenyataan yang luar biasa itu, tapi ia sungkan mengatakannya terlebih dulu.

Sesudah mengawasi beberapa saat lagi, si nona berkata pula: "Ma Kouwnio menggeleng-gelengkan kepala. Ia tentu sedang menolak permintaan kepala perampok itu. Tapi kenapa..." ia tak meneruskan perkataannya, ia berpaling ke arah Ouw Hui dan kemudian, seperti orang jengah, ia melengos dan memandang pula ke luar jendela.

"Apa yang mau dikatakan olehmu?" tanya Ouw Hui. "Kau kata: 'Tapi kenapa....' Kenapa kau tak bicara terus?"

"Aku tak tahu, apa boleh berterus terang atau tidak," kata Leng So. "Aku khawatir kau jadi gusar."

"Jie-moay," kata Ouw Hui. "Kau telah mengikuti aku sampai di sini dan kita berdua akan hidup atau mati bersama-sama. Ada soal apakah yang tidak boleh dibicarakan di antara kita berdua? Jie-moay, aku sendiri tak pernah memikir untuk menyembunyikan apa-apa di hadapanmu."

"Baiklah," kata Leng So sambil tertawa. "Aku merasa heran, kenapa, sebaliknya dari bergusar, muka Ma Kouwnio berubah merah, seperti orang kemalu-maluan? Ini belum seberapa. Yang lebih mengherankan lagi, kenapa mukamu sendiri berubah merah?"

Ouw Hui tak lantas menjawab. Selang beberapa saat, barulah ia berkata: "Hatiku bercuriga karena mengingat suatu kejadian. Tapi sebelum mendapat bukti, tak dapat aku mengatakannya. Jie-moay, saudaramu adalah laki-laki sejati. Mengenai diriku sendiri, tiada soal yang tak dapat dibicarakannya. Apa kau percaya perkataanku ini?"

Melihat sikap dan paras Ouw Hui yang sungguh-sungguh, hati si nona jadi girang sekali. Ia tersenyum seraya berkata: "Kalau begitu, mukamu berubah merah karena urusan Ma Kouwnio. Toako, urusan orang lain tiada sangkut pautnya denganku. Asal kau putih-bersih, bagiku sudah lebih dari cukup."

"Waktu pertama kali bertemu Ma Kouwnio, aku baru berusia tiga belas atau empat belas tahun, masih bocah cilik," kata Ouw Hui. "Karena merasa kasihan, ia telah memintakan ampun untukku...." la berhenti bicara dan mengawasi tepi langit sebelah barat, di mana sang matahari tengah menyelam. Sesaat kemudian, ia berkata pula dengan suara perlahan: "Aku tak tahu, aku tak tahu apa tindakanku benar atau salah.... Tapi aku yakin, ia adalah seorang baik. Hatinya cukup mulia."

Tiba-tiba perampok yang menggeletak di belakang mereka mengeluarkan suara merintih. Ouw Hui memutar badan dan lalu menghampirinya. Ia menepuk jalanan darah Ciang-bun-hiat dan mengurut beberapa kali jalanan darah Thian-tie-hiat guna membuka jalanan darah perampok itu yang tadi ditotok. "Karena terpaksa, aku sudah berbuat kedosaan terhadap tuan," katanya. "Aku mengharap tuan tidak menjadi gusar. Bisakah aku mendapat tahu, she dan nama tuan yang mulia?"

Perampok itu yang alisnya tebal dan matanya besar mengawasi Ouw Hui sambil melotot. "Jangan rewel!" bentaknya.

"Karena kepandaian kurang, aku sudah dibekuk olehmu. Mau bunuh boleh lantas bunuh. Guna apa kau banyak bacot?"

Mendengar cacian, Ouw Hui berbalik mengindahkannya. Sambil tertawa ia berkata: "Dengan tuan aku belum pernah bertemu dan antara kita sama sekali tak ada permusuhan. Mana bisa aku mempunyai niatan kurang baik terhadapmu? Hari ini banyak terjadi kejadian luar biasa, yang sungguh-sungguh tak dapat dimengerti olehku. Apakah Loo-heng (kakak) bisa memberi keterangan?"

"Apa kau kira aku, Ong Tiat Gok, manusia iendah?" bentaknya pula. "Sudahlah! Lebih baik kau jangan banyak bicara lagi. Jangan harap kau bisa mengorek sepatah perkataan dari mulutku."

Thia Leng So meleletkan lidah. Ia tertawa seraya berkata: "Aha! Kalau begitu aku sedang berhadapan dengan Ong Tiat Gok, Ong-ya. Maaf, maaf!"

"Fui!" Tiat Gok meludah. "Bocah cilik! Kau tahu apa?"

Leng So tak meladeni, tapi ia menoleh ke arah Ouw Hui dan berkata: "Toako, orang ini adalah manusia tolol. Dia adalah dari partai Eng-jiauw Gan-heng-bun. Orang-orang yang lebih tua dari partainya, masih mempunyai hubungan rapat dengan siauw-moay. Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo selalu berlaku hormat terhadapku. Maka itu, siauw-moay mengharap Toako jangan menyusahkan dia." Sambil berkata begitu, ia mengedipkan mata.

"Kau kenal Toasuheng dan Jiesuhengku?" tanya Ong Tiat Gok dengan suara heran dan dengan nada terlebih lunak.

"Kenapa tak kenal?" kata si nona. "Eng-jiauw-kang (ilmu Kuku garuda) dan Gan-heng-to (ilmu silat golok Belibis terbang) kau belum mahir betul."

"Benar," katanya sambil menunduk dengan sikap kemalu-maluan.

Eng-jiauw Gan-heng-bun adalah suatu partai besar di wilayah utara. Ciu Tiat Ciauw, murid pertama dari partai itu, dan Can Tiat Yo, murid kedua, sudah lama mendapat nama besar dalam kalangan Kang-ouw. Semasa masih hidup, guru Leng So senang sekali menceriterakan seluk beluk partai tersebut. Maka itu, ia mengetahui, bahwa murid-murid partai itu banyak menggunakan "burung" sebagai namanya. (Gok, Ciauw dan Yo adalah nama-nama burung). Begitu mendengar nama Ong Tiat Gok dan melihat golok Gan-heng-to yang digunakannya, ia segera menebak dan tebakannya ternyata jitu sekali.

"Kenapa kedua Suhengmu tidak turut serta?" tanya pula Leng So. "Apa kau tak bertemu dengannya?"

Sebenarnya si nona belum pernah mengenal Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo. Menurut pikirannya, jika mereka berada dalam rombongan perampok, mereka tentu menjadi pemimpin karena memiliki ilmu silat yang tinggi. Tapi si orang tua kurus dan beberapa pemimpin lainnya tiada satu yang menggunakan golok, sehingga bisa diduga, bahwa Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo tidak berada dalam kawanan ku. Dan sekali lagi, dugaannya jitu.

"Ciu Suheng dan Can Suheng berada di Pak-khia," jawabnya. "Untuk urusan yang begini kecil tak perlu kami mengganggu mereka." Dalam memberi jawaban itu, suaranya bernada bangga.

"Eh eh! Di Pakkhia?" kata Leng So dalam hatinya. "Apa kawanan perampok itu datang dari Pakkhia? Hm! Coba aku memancing lagi." Memikir begitu, dengan sikap acuh tak acuh, ia berkata pula: "Pertemuan para Ciangbunjin akan segera dibuka. Dalam pertemuan itu, Eng-jiauw Gan-heng-bun tentu akan tampil kemuka dan akan memperlihatkan keunggulannya kepada orang-orang gagah di kolong langit. Kau perlu lekas-lekas balik ke Pak-khia untuk menyaksikan keramaian yang luar biasa itu."

"Tentu," jawabnya. Sesudah tugas ini selesai. kami semua akan segera pulang."

Ouw Hui dan Leng So terkejut. Kenapa tugas?

"Para Ceecu (kepala perampok atau berandal) yang sudah menerima panggilan negara dan bekerja untuk Hongsiang (kaisar), dengan sesungguhnya telah melakukan suatu pekerjaan yang mengharumkan nama leluhur," kata Leng So.

Kali ini tebakan si nona meleset. Mata Ong Tiat Gok mendelik dan ia membentak: "Apa? Panggilan negara? Apa kau kira kami semua kawanan bangsat?"

"Celaka!" Leng So mengeluh dalam hatinya, tapi dengan cepat ia mesem seraya berkata: "Bahwa kalian menyamar sebagai orang-orang dari jalanan hitam (perampok) kita semua sudah tahu sama tahu. Perlu apa kau bicara terang-terangan?"

Biarpun si nona sudah berusaha untuk menutupi kesalahannya, akan tetapi si orang she Ong masih tetap bercuriga dan meskipun dipancing lagi berulang-ulang, ia sungkan bicara lagi.

"Jie-moay," kata Ouw Hui mendadakan. "Karena kau sahabat Ong-heng, aku merasa tak perlu menahannya terlebih lama. Ong-heng, sekarang kau boleh berlalu!"

Ong Tiat Gok bangun berdiri dan Ouw Hui segera membuka pintu sambil berkata: "Sampai bertemu kembali." Tapi karena menduga Ouw Hui menggenggam maksud kurang baik, ia tak berani bergerak.

Ouw Hui tertawa seraya berkata: "Siauwtee Ouw Hui dan saudara angkatku Thia Leng So mengirim hormat untuk Ciu dan Can Jie-wie Busu." Sambil berkata begitu, ia mendorong badan Tiat Gok dan lalu menutup pintu. Sekarang barulah Tiat Gok percaya, bahwa pemuda itu melepaskan dirinya dengan setulus hati dan ia lantas saja lari ke arah hutan bagaikan terbang.

"Toako," kata Leng So. "Apa kau mengira aku benar-benar mengenal Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo? Kenapa kau melepaskan dia?"

"Aku sekarang mendapat kepastian, bahwa mereka tak akan berani mengganggu Ma Kouwnio," jawabnya. "

Di samping itu, Ong Tiat Gok adalah seorang tolol yang tentu tak mempunyai kedudukan tinggi dalam kalangan perampok.

Andaikata mereka ingin menangkap Ma Kouwnio, mereka pasti tak akan membatalkan keinginan itu karena kita menahan si tolol."

"Toako benar." kata si nona sambil mengangguk. Beberapa saat kemudian, dari lubang jendela benar saja mereka melihat kembalinya Ma It Hong yang diantar oleh kawanan perampok sampai di pinggir hutan.

Waktu It Hong masuk ke dalam rumah itu, Ouw Hui dan Leng So saling mengawasi, tapi tidak menanyakan suatu apa.

"Mereka semua memuji Ouw-heng sebagai seorang pemuda gagah yang berkepandaian tinggi dan berpribudi luhur," kata It Hong. Ouw Hui segera mengucapkan beberapa patah untuk merendahkan diri. Beberapa saat kemudian, barulah nyonya itu berkata pula: "Saudara Ouw dan adik Thia, kalian boleh berangkat saja. Untuk urusanku... kalian sudah mengeluarkan banyak sekali tenaga."

"Sebelum kau terlepas dari bahaya, bagaimana kami dapat meninggalkannya?" kata Ouw Hui.

"Tidak," membantah It Hong. "Sama sekali aku tidak berada dalam bahaya. Mereka tak akan berani mengganggu aku."

Ouw Hui jadi serba salah. Ia percaya, bahwa Ma It Hong bicara sebenarnya, akan tetapi hatinya tetap merasa tak enak untuk meninggalkan nyonya itu seorang diri di antara kawanan serigala. Ia melirik It Hong yang parasnya sebentar merah dan sebentar pucat. Keadaan sunyi senyap, baik di dalam maupun di luar rumah. Dalam keadaan bimbang, Ouw Hui segera menarik ujung baju Leng So dan mereka berdua lantas berjalan ke jendela.

"Jie-moay, bagaimana sekarang?" berbisik Ouw Hui.

"Terserah pada kau," jawabnya.

"Aku merasa curiga mengenai satu urusan, akan tetapi tak dapat ditanyakan kepada Ma Kouwnio," berbisik Ouw Hui.

"Sebaliknya, jika tidak berterus terang, soal ini tidak ada keberesannya."

"Coba aku menebak," kata Leng So. "Kau mengatakan, bahwa dulu ada seorang she Siang yang jatuh cinta kepadanya. Bukankah begitu?"

"Benar, kau sungguh pintar," jawabnya. "Aku memang menduga begitu. Aku menduga, bahwa kawanan perampok itu adalah suruhannya Siang Po Cin, sehingga mereka bersikap sangat hormat terhadap Ma Kouwnio, tapi bengis terhadap Cie Ceng."

"Dilihat gerak geriknya, Ma Kouwnio juga mencintai orang she Siang itu," kata Leng So.

Ouw Hui mengangguk. "Itulah sebabnya, kenapa aku merasa bimbang," katanya.

Pembicaraan antara kedua orang muda itu dilakukan hanya dengan menggerakkan bibir, sehingga meskipun Ma It Hong berada tak jauh, ia tak dapat mendengarnya. Ketika itu, matahari sudah menyelam ke barat dan siang sudah berganti dengan malam.

Sekonyong-konyong di sebelah barat terdengar suara ribut-ribut dan beberapa penunggang kuda kembali mendatangi dengan cepat sekali. "Musuh kembali mendapat bala bantuan," kata Leng So.

Ouw Hui memasang kuping. "Eh eh! Kenapa ada seorang yang berjalan kaki?" tanyanya. Benar saja, beberapa saat kemudian terlihat seorang yang mendatangi sambil berlari-lari, dikejar oleh empat penunggang kuda. Orang itu kelihatannya sengaja dipermainkan oleh para pengejarnya yang membentak-bentak tak hentinya, tapi menahan-nahan larinya kuda, sehingga jarak antara yang dikejar dan yang mengejar tetap kurang lebih dua tiga tombak. Orang itu sudah lelah sekali, rambutnya awut-awutan, sedang tindakannya limbung.

Setelah ia datang terlebih dekat, Ouw Hui segera mengenali. "Cie Toako!" teriaknya. "Kemari!" Ia membuka pintu, tapi empat pengejar itu sudah mendahului dan mencegat jalan Cie Ceng. Hampir berbareng, kawanan perampok yang berada di hutan meluruk ke luar. Melihat begitu, Ouw Hui mengurungkan niatnya untuk membantu Cie Ceng, karena, jika ia menerjang ke luar, kawanan kecu bisa menerobos masuk ke dalam rumah. Dengan perasaan menyesal, ia menyaksikan dikurungnya Cie Ceng oleh kawanan penjahat itu.

"Hei! Tak tahu malu kau!" berteriak Ouw Hui. "Mengerubuti orang bukan perbuatan seorang gagah."

"Benar!" teriak salah seorang dari empat pengejar itu. "Aku memang ingin bertempur satu lawan satu untuk menjajal kepandaian murid Sin-kun Bu-tek dan mencoba-coba Toapiauwtauw dari Hui-ma Piauwkiok."

Ouw Hui kaget, suara itu dikenal baik olehnya. Ia mengawasi dan mengeluarkan seruan tertahan: "Siang Po Cin!"

"Aha! Benar-benar orang she Siang itu!" kata Leng So. Ia mendapat kenyataan, bahwa Siang Po Cin adalah seorang pria yang sepuluh kali lebih cakap dari pada Cie Ceng. Waktu melompat turun dari kuda, gerakannya pun gesit sekali. "Nah, orang itu barulah pantas menjadi suami Ma Kouwnio," katanya di dalam hati. "Tak heran kawanan bangsat itu menyebut-nyebut soal membela keadilan dan soal bunga yang ditancap di tahi kerbau." Sebagai orang muda yang tak panjang pikiran, ia tak tahan untuk tidak berkata: "Ma Kouwnio! Orang she Siang itu sudah datang!"

Tapi Ma It Hong hanya mengeluarkan suara "hm", seolah-olah tak mengerti apa yang dikatakan Leng So.

Waktu itu, karena kawanan penjahat membuat sebuah lingkaran di sekitar Cie Ceng, Ouw Hui dan Leng So tak dapat melihat apa yang terjadi.

"Toako, mari kita ke atas genteng," kata Leng So.

"Baiklah," jawabnya dan mereka lalu melompat ke atas, dari mana mereka bisa menyaksikan apa yang terjadi dalam lingkaran itu.

Ternyata, Cie Ceng dan Siang Po Cin sudah berhadapan dengan mata beringas. Siang Po Cin bersenjata golok yang belakangnya tebal, sedang Cie Ceng bertangan kosong. "Tak adil," berbisik Leng So.

Sebelum Ouw Hui menjawab, sudah terdengar bentakan Siang Po Cin: "Cie Ceng! Aku akan bertempur dengan kau, satu lawan satu, lain orang tak usah membantu. Aku juga tak mau kau bertangan kosong. Kau boleh menggunakan golok dan biarlah aku melayaninya dengan tangan kosong." Sambil berkata begitu, ia melontarkan golok yang dicekalnya ke arah Cie Ceng.

Cie Ceng menyambuti seraya membentak: "Orang she Siang! Dulu, di Siang-kee-po, kau telah berlaku kurang ajar terhadap Sumoayku. Apa kau kira mataku buta? Dan sekarang, dengan maksud apa kau mengejar-ngejar dengan membawa kawanan bangsat. Sudahlah! Tak perlu aku banyak bicara lagi. Siang Po Cin! Ambillah senjatamu!"

"Aku akan melawan kau dengan tangan kosong!" teriak Siang Po Cin. "Toako sekalian! Walaupun aku terluka, kalian tidak boleh membantu."

Leng So berpaling kepada Ouw Hui dan berkata: "Kenapa dia berteriak begitu keras? Rupanya dia ingin didengar oleh Ma Kouwnio."

Ouw Hui hanya menghela napas.

"Toako," kata pula Leng So. "Coba kau tebak: Pihak mana yang Ma Kouwnio ingin memperoleh kemenangan?"

"Tak tahu," jawabnya, menggelengkan kepala.

"Yang satu suami sendiri, yang lain orang luar," kata pula si nona. "Mereka berdua akan segera berkelahi mati-hidup untuknya, tapi ia sendiri tidak memperdulikan dan bersembunyi di dalam rumah. Ouw Toako, menurut pendapatku, dalam hati kecilnya, Ma Kouwnio mengharap supaya orang she Siang itu yang mendapat kemenangan."

Di dalam hati, Ouw Hui membenarkan perkataan adiknya, tapi ia kembali menggelengkan kepala seraya berkata: "Aku tak tahu."

Melihat lawannya tetap sungkan mengambil senjata, sambil mengebas golok, Cie Ceng berkata: "Aku sudah berada dalam kepungan dan hari ini aku sudah tak memikir untuk hidup lagi." Ia membacok dan mereka lantas saja mulai bertempur.

Dalam ilmu silat, semenjak dulu Siang Po Cin memang terlebih unggul dari pada Cie Ceng. Sesudah terjadi peristiwa di Siang-kee-po, sesudah ibunya meninggal dunia, pemuda she Siang itu lalu belajar ilmu di bawah pimpinan kedua saudara Ong. Berkat kerajinannya, ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam Pat-kwa-to dan Pat-kwa-ciang. Dilain pihak, Cie Ceng yang berkepandaian lebih rendah, juga lelah sekali karena dikejar-kejar. Maka itu, belum bertempur lama, ia sudah jatuh di bawah angin.

Alis Ouw Hui berkerut. "Orang she Siang itu licik sekali..." katanya dengan suara perlahan.

"Kau mau membantu?" tanya adiknya.

"Aku datang kemari untuk menolong Ma Kouwnio," jawabnya. "Tapi... tapi... aku belum dapat menebak bagaimana pikirannya."

Leng So yang sekarang merasa sangat tak puas terhadap It Hong, lantas saja berkata: "Ma Kouwnio tidak berada dalam bahaya. Belum tentu ia berterima kasih untuk bantuanmu. Lebih baik kita berangkat saja."

Sementara itu, keadaan Cie Ceng sudah berbahaya sekali, ilmu goloknya sudah kacau, ia hampir tak dapat bergerak lagi di bawah pengaruh Pat-kwa ciang.

"Jie-moay," kata Ouw Hui mendadakan. "Kau benar. Kita jangan mencampuri lagi urusan ini."

Ouw Hui segera melompat turun dan masuk ke dalam rumah. "Ma Kouwnio," katanya. "Cie Toako sudah tak dapat mempertahankan diri lagi, orang she Siang itu mungkin akan turunkan tangan jahat."

Ma It Hong bengong, ia hanya menggerendeng "hra".

Ouw Hui gusar bukan main. Ia berpaling kepada Leng So seraya berkata: "Jie-moay, mari kita berangkat!"

Ma It Hong kelihatan kaget, seperti orang baru tersadar dari tidurnya. "Ha?" katanya. "Kalian mau pergi? Pergi ke mana?"

"Ma Kouwnio," kata Ouw Hui dengan suara kaku. "Dulu kau telah berusaha untuk menolong diriku dan aku merasa sangat berterima kasih. Akan tetapi, sikapmu terhadap Cie Toako...." Belum habis perkataannya, di luar terdengar teriakan menyayatkan hati, yaitu teriakan Cie Ceng, disusul dengan suara tertawanya Siang Po Cin. "Bagus! Sungguh bagus ilmu Pat-kwa-ciang!" berteriak para perampok.

Ma It Hong terkesiap. "Suko!" teriaknya sambil berlari-lari ke luar.

"Hra! Kecintaan membunuh suami! Sungguh cocok dengan keinginanmu!" kata Ouw Hui dengan suara mendongkol.

Melihat kakaknya bergusar, Leng So coba membujuk dengan berkata: "Urusan begini memang tak dapat dicampuri oleh orang luar. Toako tak perlu marah."

"Jika dia tidak mencintai Sukonya, perlu apa dia menikah dengannya?" kata Ouw Hui.

"Mungkin dipaksa ayahnya," kata si nona.

Ouw Hui menggelengkan kepala. "Tidak, bukan begitu," katanya. "Ayahnya telah meninggal dunia di Siang-kee-po, sehingga, andaikata mereka sudah ditunangkan, dia masih dapat memutuskan pertunangan itu. Lebih baik tak kawin dari pada terjadi kejadian yang menyedihkan ini."

Tiba-tiba di luar terdengar suara rintihan Cie Ceng.

"Cie Toako belum mati," kata Ouw Hui dengan girang.

"Mari kita tengok padanya!" Sambil berkata begitu, ia melompat ke luar dan menerobos pagar manusia. Agak mengherankan, bahwa kawanan penjahat yang tadi masih bertempur dengan pemuda itu, sekarang hanya memperhatikan Ma It Hong, Siang Po Cin dan Cie Ceng, dan sama sekali tidak menghiraukan kedatangannya.

Dengan rasa kasihan, Ouw Hui mengawasi Cie Ceng yang dadanya penuh darah dan napasnya lemah sekali. Ma It Hong berdiri di samping suaminya, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ouw Hui berlutut dan sambil menempelkan mulutnya di kuping Cie Ceng, ia berkata: "Cie Toako, apakah kau mempunyai pesanan apa-apa? Aku berjanji akan mengerjakannya."

Cie Ceng mengawasi isterinya dan kemudian mengawasi pemuda itu. la mesem getir dan menjawab: "Tidak".

"Biarlah aku pergi mencari kedua puteramu dan akan memeliharanya sampai menjadi orang," kata pula Ouw Hui.

Dengan Cie Ceng, Ouw Hui tak mempunyai hubungan apa pun. Akan tetapi melihat keadaan yang sangat menyedihkan, jiwa ksatrianya terbangun dan rela memikul tanggungan berat.

Cie Ceng kembali mesem getir. Ia menghela napas: "Hai...." Ia berdiam untuk mengumpulkan tenaga dan kemudian berkata pula dengan suara sangat lemah: "Anak... anak.... Sebelum menikah sudah ada... bukan anakku...." Sehabis berkata begitu, kedua matanya meram dan rohnya pulang ke alam baka.

Sekarang Ouw Hui mendusin. Segala apa sudah jadi terang baginya. Kedua anak itu adalah anak Siang Po Cin, sehingga tidaklah heran jika mereka berparas cakap dan berlainan dengan Cie Ceng yang bermuka jelek, demikian pikirnya.

Dengan rasa terharu ia bangun berdiri. Mendadak di sebelah kejauhan kembali terdengar suara kaki kuda dan tak lama kemudian mendatangi dua penunggang kuda yang masing-masing mendukung seorang bocah, yaitu puteranya Ma It Hong.

Ma It Hong memandang jenazah suaminya dan kemudian mengawasi Siang Po Cin. "Siang Siauw-ya," katanya.

"Bukankah suamiku dibinasakan olehmu dengan tangan kosong?"

"Kau lihat saja sendiri," sahut Siang Po Cin. "Golok itu masih tercekal dalam tangannya. Sedikit pun aku tidak berlaku curang."

It Hong mengangguk dan seraya mengambil golok itu dari tangan Cie Ceng, ia berkata pula: "Inilah Pat-kwa-to, golok turunan. Aku pernah melihatnya di Siang-kee-po."

Siang Po Cin tersenyum. "Ingatanmu kuat sekali," ia memuji.

Mata It Hong mengawasi ke tempat jauh. "Bagaimana aku bisa melupakan kejadian itu?" katanya dengan suara perlahan.

"Seperti juga baru terjadi kemarin."

Leng So yang berdiri di samping Ouw Hui, mengawasi nyonya itu dengan sorot mata gusar, tapi sebisa-bisa ia menahan nafsu amarahnya.

Sambil membolang-balingkan golok itu, It Hong memuji: "Sungguh bagus golok ini!" Perlahan-lahan ia mendekati Siang Po Cin yang tersenyum dan mengawasinya dengan sorot mata mencinta. Ia mengangkat kedua tangannya untuk menyambuti golok itu yang tengah diangsurkan.

Mendadak, mendadak saja, sinar putih berkelebat dan... bagaikan kilat, Pat-kwa-to menikam ping-gang Siang Po Cin! Sambil berteriak kesakitan, ia menghantam dengan tangannya, sehingga It Hong mundur terhuyung beberapa tindak. "Kau... kau..." katanya terputus-putus seraya menuding nyonya itu, tapi ia tak keburu bicara terus, karena di lain saat, ia sudah terjengkang dan rubuh di muka bumi.

Itulah kejadian yang sungguh-sungguh di luar dugaan! Bahwa It Hong membalas sakit hati suaminya adalah kejadian yang sangat dapat dimengerti. Yang mengherankan adalah perubahannya yang sedemikian mendadak. Semula, sedikit pun nyonya itu tidak memperlihatkan kedukaan dan ia bicara secara tenang dengan Siang Po Cin. Waktu semua orang mengutuknya sebagai perempuan kejam, mendadak ia melakukan suatu tindakan yang memulihkan penghargaan terhadapnya.

Selagi kawanan perampok tertegun karena kagetnya, cepat-cepat Ouw Hui menarik tangan It Hong dan bersama Leng So, ia mundur masuk ke dalam rumah batu itu.

"Aku ingin menghaturkan maaf kepadamu, karena tadi aku sudah salah menduga," kata Ouw Hui kepada It Hong. "Kau ternyata adalah seorang isteri yang mulia." Nyonya itu tak menjawab, ia duduk terpekur di pojokan rumah dengan mata mendelong. Leng So yang sekarang sudah berubah pandangannya, coba memberi hiburan, tapi It Hong tetap tidak meladeni.

Ouw Hui memberi isyarat dengan kedipan mata dan bersama Leng So, ia segera pergi ke jendela. "Sesudah Ma Kouwnio membinasakan musuh suaminya, soal ini jadi semakin sulit dan semakin sukar dimengerti," kata Ouw Hui.

Si nona mengangguk. Ia juga merasa, bahwa persoalan jadi lebih berbelit. Mungkin sekali, sesudah melihat jenazah suaminya, rasa kasihan Ma It Hong mendadak terbangun dan ia sudah membinasakan Siang Po Cin. Tapi, jika benar kawanan perampok itu adalah orang-orangnya Siang Po Cin, kenapa mereka tidak lantas menyerang sesudah sang majikan dibinasakan? Alis Ouw Hui berkerut dan otaknya bekerja keras. "Jie-moay," kata dia akhirnya. "Aku merasa bingung sekali. Bukan tak bisa jadi, jika kita mencampuri terus urusan ini, sebaliknya dari kebaikan, kita mengundang bahaya untuk Ma Kouwnio. Jika kita menanyakan Ma Kouwnio, dia tentu tak akan mau membuka mulut. Sekarang begini saja: Aku akan coba menanya kepala perampok itu."

"Apa dia mau bicara?" tanya Leng So.

"Coba-coba," jawabnya sambil membuka pintu dan lalu berjalan ke luar dengan tindakan perlahan Melihat Ouw Hui muncul seorang diri tanpa membekal senjata, kawanan perampok pun tidak bergerak. Dari jarak enam tujuh tombak, ia berkata dengan suara nyaring: "Saudara-saudara! Aku mempunyai suatu rahasia yang ingin dirundingkan dengan kalian. Dapatkah aku bicara dengan saudara pemimpin?" Sehabis berkata begitu, ia menepuk nepuk pakaiannya, sebagai tanda bahwa ia tidak membawa senjata.

"Kami semua adalah saudara-saudara, jika kau mau bicara, boleh bicara sekarang," kata salah seorang yang bertubuh tinggi besar.

"Benar, saudara-saudara semua adalah orang-orang gagah yang kenamaan dan pemimpin saudara tentulah juga seorang yang berkepandaian sangat tinggi," kata Ouw Hui. "Akan tetapi, apakah beliau tak sudi mendengar sepatah dua patah dari aku yang rendah?"

Hampir berbareng, si orang tua yang berbadan kurus melompat ke luar dari rombongan perampok dan sambil mengebas tangan kanannya, ia berkata: "Berkepandaian tinggi sih tidak. Aku merasa girang bisa bertemu dengan saudara, seorang gagah di kalangan orang-orang muda."

Ouw Hui segera memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya. "Loo-ya-cu (panggilan pada orang yang berusia tua)," katanya. "Marilah kita pergi ke sana untuk bicara sedikit." Tanpa menunggu jawaban, ia segera berjalan menuju ke lapangan terbuka.

Sesudah menyaksikan perbuatan Ma It Hong terhadap Siang Po Cin, hati si tua jadi kebat-kebit karena khawatir pemuda itu mengandung maksud kurang baik. Tapi jika tidak mengikut, ia merasa malu. Maka itu, dengan hati-hati sekali, ia segera membuntuti Ouw Hui dari belakang.

"Boanpwee she Ouw bernama Hui," ia memperkenalkan diri. "Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama Loo-ya-cu yang mulia?"

Sebaliknya dari menjawab, si tua balas menanya: "Omongan apakah ingin disampaikan oleh tuan?"

"Tak apa-apa," kata Ouw Hui sambil tertawa. "Aku ingin meminta pelajaran beberapa jurus dari Loo-ya-cu"

Paras muka orang tua itu lantas saja berubah. "Bocah!" bentaknya dengan suara gusar. "Sungguh berani kau menipu aku! Apakah hanya omongan yang yang ingin disampaikan kepadaku, olehmu?"

"Loo-ya-cu jangan marah," kata Ouw Hui sambil tertawa.

"Aku hanya ingin bertaruh dengan main-main sedikit." Sambil mengeluarkan suara di hidung, si tua memutar badan dan lalu berjalan pergi.

"Aku memang sudah duga, kau tak akan berani menyambutnya," mengejek Ouw Hui. "Aku tahu, meskipun aku berdiri dengan tak bergerak, kau tak akan dapat mengalahkan aku."

"Apa kau kata?" membentak orang tua itu.

Ouw Hui tersenyum seraya berkata dengan suara tenang: "Aku berdiri tegak di sini dan kedua kakiku tidak bergerak. Kau sendiri boleh menggunakan kaki dan tangan sesukamu. Coba Loo-ya-cu menebak: Siapa yang akan menang?"

Sesudah menyaksikan kepandaian Ouw Hui, jika harus bertempur seperti biasa satu melawan satu, si tua memang merasa agak keder. Akan tetapi, sesudah mendengar tantangan pemuda itu yang secara temberang berjanji tak akan menggerakkan kedua kakinya, ia merasa pasti tidak akan mendapat kekalahan. Harus diketahui, bahwa ia adalah Ciang-bunjin dari Pat-kek-kun di Kay-hong-hu propinsi Holam. Ia bukan saja berkepandaian tinggi, tapi juga terkenal sebagai seorang yang berhati-hati, sehingga ia sudah menjadi pemimpin rombongan. "Baiklah, Saudara kecil," katanya sambil tertawa. "Jika kau ingin menjajal aku si tua, mau tak mau terpaksa aku mesti melayani juga. Tapi kita harus berjanji untuk tidak menggunakan senjata rahasia."

Ouw Hui tertawa. "Kita menjajal ilmu untuk mengikat tali persahabatan," katanya. "Perlu apa menggunakan senjata-rahasia?"

Si tua girang. Menurut perhitungannya, andai-kata tak dapat melawan pemuda itu, paling banyak ia hanya harus mundur beberapa tindak. Ia tentu tak akan sampai dirubuhkan, karena Ouw Hui sudah berjanji tak akan menggerakkan kedua kakinya.

"Baiklah," katanya.

"Boanpwee dan Loo-ya-cu belum pernah mengenal satu sama lain," kata pula Ouw Hui. "Hari ini kita berselisih, karena urusan orang lain. Sebentar, jika boanpwee kalah, bersama adik angkatku, boanpwee akan segera berlalu dari tempat ini."

Si tua jadi semakin girang. Jika Ouw Hui tetap melindungi Ma It Hong, urusan tak gampang beres. Memang benar pihaknya dapat menggunakan kekerasan untuk merebut nyonya itu, akan tetapi, dalam pertempuran, orang-orang di pihaknya tentu bakal ada yang binasa dan besar kemungkinannya, Ma It Hong pun akan turut mendapat luka. Maka itu, perkataan Ouw Hui justru cocok dengan pengharapannya. "Benar," jawabnya. "Urusan ini memang juga tak dapat dicampuri oleh orang luar. Ma Kouwnio bernasib bagus, ia tengah menghadapi suatu kemuliaan dan kemewahan. Jika kau mencintai padanya, kau haruslah turut merasa girang."

Ouw Hui menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. "Inilah yang tidak dimengerti olehku," katanya. "Andaikata, dalam pertaruhan ini Loo-ya-cu kalah, boanpwee ingin memohon supaya Loo-ya-cu sudi menjelaskan seluk beluk urusan ini."

Si tua agak terkejut, tapi ia segera menyahut: "Baiklah. Aku menyetujui syaratmu itu."

Ouw Hui segera "menancap" kedua kakinya di atas bumi dan memasang kuda-kuda. Si tua mengawasi kuda-kuda itu yang teguh bagaikan gunung Thaysan sehingga tanpa merasa hatinya jadi keder. "Belum tentu aku bisa menang," pikirnya. Ia tidak lantas menyerang. "Saudara kecil," katanya. "Jika aku kalah, aku tentu akan mencpati janji dan akan menceriierakan seluk beluk urusan ini. Tapi, kau pun harus berjanji, tak akan memberitahukannya kepada orang lain."

"Kecuali satu, yaitu adik angkatku," kata Ouw Hui.

"Tidak, kau tak boleh memberitahukan siapapun juga," menolak si tua.

"Baiklah," kata Ouw Hui. "Belum tentu boan-pwee bisa menang."

"Sambutlah!" kata orang tua itu sambil menggerakkan kedua tangannya, telapakan tangan kiri memukul, tinju kanan dibengkokkan bagaikan gaetan. Ouw Hui segera menyambut serangan itu, dan ternyata, si tua memiliki Iweekang yang sangat tinggi. "Loo-ya-cu, pukulanmu berat sekali," katanya.

Begitu pertempuran dimulai, kawanan perampok segera meluruk, tapi karena melihat kedua orang itu bertempur dengan bibir tersungging senyuman, mereka tidak turun membantu dan hanya menonton di luar gelanggang.

Begitu bergebrak, si tua segera menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari Pat-kek-kun yang sudah mendapat nama besar semenjak tiga puluh tahun berselang. Pukulan-pukulannya susul menyusul bagaikan hujan dan angin, sehingga kawan-kawannya merasa kagum sekali. Di lain pihak, dalam babak pertama, Ouw Hui hanya membela diri. Sambil mengempos semangat, dengan kedua kaki "berakar" di tanah, ia mempunahkan setiap pukulan lawan. Sesudah bertempur beberapa lama, tiba-tiba terjadi suatu perubahan yang hanya dapat dirasakan oleh orang tua itu sendiri. Ia merasa, bahwa kedua tangannya seolah-olah "ditempel" atau "disedot" semacam tenaga yang tidak kelihatan. Semakin Ouw Hui mengempos semangat, semakin hebat "sedotan" itu.

"Celaka!" ia mengeluh dan segera bergerak untuk melompat ke belakang supaya pertempuran itu berakhir seri. Tapi, baru menarik tangan kanan Ouw Hui sudah menangkap tangan kanannya dan hampir berbareng, tangan kiri pemuda itu menepuk sikut kanannya. Si tua mencelos hatinya dan memberontak, tapi tidak berhasil. Keringat dingin mengucur dari dahinya, ia merasa pasti lengan kanannya akan terpukul patah. Di luar dugaan, sekonyong-konyong Ouw Hui meloncat ke pinggir dengan badan terhuyung. "Loo-ya-cu," katanya. "Tenagamu benar hebat, aku takluk."

Bukan main rasa berterima kasihnya si tua. Bahwa Ouw Hui tidak menghantam lengannya, sudah merupakan suatu budi. Tapi, budi yang lebih besar adalah, ia sudah berlagak terhuyung, sehingga seolah-olah pertempuran itu berakhir seri dan sudah menolong mukanya di hadapan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan demikian, nama besarnya yang sudah dijaga seumur hidup, jadi tertolong. Itulah suatu budi yang benar-benar sukar dibalas. Buru-buru ia mencekal tangan Ouw Hui seraya berkata sambil tertawa: "Saudara kecil, kau sungguh-sungguh seorang gagah yang mulia. Marilah kita omong-omong di situ, supaya tidak terganggu."

Dengan bergandengan tangan, mereka masuk ke dalam hutan. Tiba-tiba si tua melompat naik ke satu pohon besar dan menggapai. Ouw Hui turut melompat dan mereka lalu duduk di batang pohon. "Di tempat ini kita bisa bicara dengan leluasa," kata orang tua itu. Ouw Hui menggangguk dan hatinya merasa sangat girang.

"Dari Ong Tiat Gok, aku mendapat tahu, bahwa tuan adalah seorang she Ouw bernama Hui," kata si tua. "Aku sendiri she Cin, bernama Nay Cie. Selama berkelana di kalangan Kangouw, aku sudah pernah menemui banyak juga orang-orang gagah. Akan tetapi, orang yang seperti tuan, yang berusia begitu muda dan berkepandaian begitu tinggi, baru sekarang aku pernah bertemu." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi: "Tuan adalah seorang yang berhati mulia dan berpemandangan jauh, sehingga aku berani mengatakan, bahwa dalam Rimba Persilatan jarang terdapat orang gagah seperti tuan. Tanpa malu-malu, aku, si tua, mengaku kalah terhadapmu."

Sesudah mengucapkan kata-kata merendahkan diri, Ouw Hui berkata: "Cin-ya (Ya adalah panggilan untuk orang berpangkat atau orang yang berkedudukan tinggi), boanpwee ingin memohon sedikit petunjuk."

"Saudara kecil, janganlah kau menggunakan panggilan itu," kata Cin Nay Cie dengan paras sungguh-sungguh. "Begini saja: Karena aku berusia lebih tua dari padamu, biarlah aku memanggil saudara kepadamu, sedang kau memanggil Cin Toako. Dengan menaruh belas kasihan, kau sudah menolong muka si tua bangka. Ajukanlah segala pertanyaan dan aku akan menjawab sebisa-bisaku."

"Ah! Jangan Toako mengatakan begitu," kata Ouw Hui dengan sikap jengah. "Apa yang ingin ditanyakan olehku, adalah satu pukulan luar biasa yang tadi digunakan oleh Cin Toako. Barusan, sambil melenggakkan badan ke belakang, Toako telah mengirim satu pukulan luar biasa, yaitu lengan kiri disilangkan di atas lengan kanan. Pukulan itu yang mempunyai banyak perubahan aneh sudah membingungkan aku dan oleh karenanya, aku merasa sangat kagum dan kepingin tahu."

Perkataan Ouw Hui menyenangkan sangat hati Cin Nay Cie. Sesudah dikalahkan, ia harus menepati janji dan memberitahukan hal ihwal mengenai "perampokan" itu. Tapi di luar dugaan, sebaliknya dari menagih janji, pemuda itu sudah menanyakan suatu pukulan yang sangat dibanggakan olehnya dan yang merupakan salah satu pukulan rahasia dari Pat-kek-kun.

Ia tersenyum seraya berkata: "Itulah suatu pukulan dari partai kami yang memang agak berguna dan dinamakan Song-tah-kie-bun (Dengan dua tinju memukul pintu)." Secara terus terang ia segera menjelaskan lihaynya pukulan itu dan perubahan-perubahannya yang luar biasa. Ouw Hui mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengajukan satu dua pertanyaan untuk mendapat keterangan lebih jelas.

Dalam Rimba Persilatan, setiap cabang yang sudah menjadi partai dan mempunyai banyak murid, sedikit banyak adalah cabang persilatan yang disegani orang. Pat-kek-kun juga pernah mengalami jaman makmurnya dan di suatu masa, nama besarnya tidak kalah dari partai-partai kenamaan lainnya, seperti Thay-kek, Pat-kwa dan sebagainya.

Pada waktu bertempur melawan Cin Nay Cie, Ouw Hui telah memperhatikan setiap pukulannya, sehingga ia bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan tepat. Semula, Cin Nay Cie masih sungkan membuka rahasia terlalu banyak, tapi karena setiap pertanyaan Ouw Hui mengenakan jitu intisari Pat-kek-kun, maka pada akhirnya, ia tidak dapat menahan lagi hatinya dan lalu memberi keterangan sejelas-jelasnya. Di samping itu, Ouw Hui juga menambah dengan pendapatnya sendiri dan komentarnya itu telah membuktikan bahwa ia sudah menyelami dasarnya ilmu silat Pat-kek-kun.

Satu jam sudah lewat, tapi mereka belum juga turun dari pohon. Kawan-kawan Cin Nay Cie yang mengawasi dari sebelah kejauhan, tak tahu apa yang dibicarakan. Mereka hanya melihat kedua orang itu bicara sambil tertawa-tawa dan menggerak-gerakkan kaki-tangan, seperti orang sedang bersilat. Sesudah lewat beberapa lama, mereka tidak memperhatikannya lagi.

Semakin beromong-omong, penghargaan Cin Nay Cie terhadap Ouw Hui jadi semakin tinggi. "Saudara Ouw," katanya. "Pat-kek-kun adalah cabang persilatan yang sangat lihay. Hanya sayang, aku belum mencapai puncaknya, sehingga kena dirubuhkan olehmu."

"Cin Toako, jangan kau bicara begitu," kata Ouw Hui.

"Dengan setulus hati, aku mengagumi ilmu silat Pat-kek-kun. Sekarang sudah sore dan tak pantas aku meminta pelajaran lebih banyak lagi. Di hari kemudian, jika datang di Pakkhia, aku tentu akan mengunjungi Toako untuk memohon lagi petunjuk-petunjuk yang lebih jelas. Untuk sementara, kita berpisahan saja." Sehabis berkata begitu, ia menyoja dan bergerak untuk melompat turun.

Orang tua itu kaget dan berkata dalam hatinya: "Sebelum bertempur, kita sudah berjanji, bahwa jika aku kalah, aku harus memberitahukan kepadanya hal ihwal perampokan ini. Tapi ia hanya menanyakan soal-soal ilmu silat dan tidak menagih janjiku itu. Ah! Aku mengerti. Pemuda ini ingin memberi muka kepadaku. Tapi mana bisa aku melanggar janji?" Memikir begitu, lantas saja ia berkata: "Tungggu dulu! Saudara Ouw, jika tidak berkelahi, kita tidak bersahabat. Sesuai dengan janjiku, biarlah sekarang aku memberitahukan seluk beluk peristiwa ini."

"Baiklah," kata Ouw Hui. "Sebenarnya, aku pun mengenal Siang Po Cin. Aku sungguh tidak mengerti, mengapa Ma Kouwnio mendadak membinasakannya." Sehabis berkata begitu lantas saja ia menuturkan apa yang dulu dialaminya di Siang-kee-po.

Kejujuran Ouw Hui yang telah bicara berterus terang, lagi-lagi mengagumkan Cin Nay Cie. "Saudara Ouw," katanya.

"Penuturanmu telah mengingatkan aku apa yang sering dikatakan orang, bahwa budi semangkok nasi, harus dibayar dengan seribu uang emas. Bahwa kau tidak melupakan budi Ma Kouwnio adalah suatu bukti, bahwa kau laki-laki sejati. Tadi kau mengatakan, bahwa kau tak mengerti, mengapa Ma Kouwnio begitu tega membinasakan Siang Po Cin, kecintaannya. Apa kau menduga, dua putera Ma It Hong itu adalah anaknya Siang Po Cin?"

Ouw Hui mengagaruk-garuk kepalanya. "Sebelum menutup mata, Cie Ceng telah mengatakan, bahwa dua anak itu bukan puteranya," katanya. Ia adalah seorang pintar, tapi sekarang ia benar-benar bingung.

"Saudara kecil," kata Cin Nay Cie. "Waktu kau berada di Siang-kee-po, apakah kau pernah bertemu dengan seorang kongcu agung?"

Ouw Hui terkesiap, seolah-olah orang baru tersadar dari pulasnya. Waktu berada di Siang-kee-po, ia hanya memperhatikan Siang Po Cin yang duduk berduaan bersama Ma It Hong dan beromong-omong di bawah pohon. Sebagai bocah yang baru berusia belasan tahun, ia sama sekali tidak memperhatikan lirikan-lirikan antara Ma It Hong dan si kongcu "mahal". Sambil mengawaskan Cin Nay Cie, ia menanya: "Apa Toako maksudkan si kongcu yang diiringi oleh Ong-sie Hengtee dari Pat-kwa-bun?"

"Benar," si tua mengangguk. "Waktu itu Hok Kongcu dilindungi oleh Ong-sie Hengtee."

Ouw Hui bengong dan alisnya berkerut. Ia coba mengingat-ingat kejadian yang dulu itu sambil berkata dengan suara perlahan: "Hok Kongcu.... Hok Kongcu.... Hm! Orangnya cakap.... Ya! Memang mirip-mirip dengan kedua bocah itu...."

Cin Nay Cie menghela napas panjang seraya berkata: "Di ini waktu Hok Kongcu adalah seorang pembesar tinggi yang diuruk dengan kemuliaan, kekuasaan dan kekayaan. Mengenai kekuasaan, beliau hanya kalah setingkat dari Hongsiang (kaisar). Mengenai kekayaan, apa pun juga yang diinginkan olehnya, tentu diberikan oleh Hongsiang. Tapi, sesudah berusia setengah tua, masih terdapat suatu ganjalan yang tidak memuaskan hatinya. Ganjalan itu adalah: Beliau tidak mempunyai putera atau puteri."

"Apakah Hong Kongcu yang sekarang dikenal sebagai Hok Kong An?" tanya Ouw Hui.

"Benar," jawabnya. "Beliau adalah Hok Thay-swee yang pernah menjadi Touw-tong (panglima besar) dari bala tentara Boanciu, pernah menjadi Congtok propinsi Hunlam dan Kwiciu, Congtok propinci Sucoan dan sekarang menjabat pangkat Thaycu Thaypo (pembesar agung yang menilik putera mahkota) merangkap Pengpo Siangsie (Menteri peperangan)."

"Hm! Sekarang aku mengerti," kata Ouw Hui. "Dua anak itu adalah puteranya Hok Thayswee dan ia telah memerintahkan kalian untuk menyambutnya."

"Bukan begitu," membantah Cin Nay Cie. "Hok Thayswee masih belum mengetahui, bahwa ia mempunyai dua putera dan kami pun barusan saja mengetahuinya, sesudah diberitahukan oleh Ma Kouwnio."

Ouw Hui manggutkan kepala dan berkata dalam hatinya: "Tak heran barusan Ma Kouwnio merah mukanya. Guna kepentingan anaknya, dengan menahan malu, ia sudah membuka rahasia itu kepada orang luar."

"Hok Thayswee hanya memerintahkan kami untuk menilik keadaan Ma Kouwnio," kata pula orang tua itu. "Tapi dengan meraba-raba maksud beliau, kami mengambil putusan, paling benar mengajak Ma Kouwnio pulang ke Pakkhia. Sekarang, suaminya meninggal dunia dan ia tak mempunyai senderan lagi. Di kota raja, Ma Kouwnio bisa berkumpul dengan Hok Thaysweee dan kedua puteranya. Aku merasa, penghidupan itu adalah sepuluh kali lipat lebih baik daripada melakukan pekerjaan piauw-kiok. Saudara Ouw, aku memohon supaya kau sudi membantu kami dengan membujuk Ma Kouwnio."

Pikiran Ouw Hui kusut sekali. Mendengar perkataan Cin Nay Cie, ia mengakui, bahwa itu adalah paling baik untuk Ma It Hong dan dua puteranya. Tapi dalam hatinya ia merasa ada apa-apa yang kurang tepat, hanya ia belum bisa mengatakan, apa itu yang kurang tepat. Sesudah memikir beberapa saat, ia menanya pula: "Bagaimana dengan Siang Po Cin? Bagaimana ia bisa berada dalam rombongan kalian?"

"Siang Po Cin bekerja pada Hok Thayswee atas pujian Ongsie Hengtee," menerangkan Cin Nay Cie. "Karena ia mengenal Ma Kouwnio, maka ia turut datang ke mari."

Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah. "Kalau begitu, apakah ia membunuh Cie Toako atas perintah Hok Thayswee?" tanyanya.

Si tua menggeleng-gelengkan kepala. "Bukan, bukan begitu," ia membantah. "Hok Thayswee yang selalu teruruk dengan pekerjaan, mana tahu Ma Kouwnio sudah menikah dengan si orang she Cie? Beliau memerintahkan kami datang ke sini untuk rnenyelidiki, karena didorong dengan peringatan, dengan rasa cinta, yang dulu. Sekarang aku sudah menyuruh dua saudara untuk pergi ke kota raja guna melaporkan kejadian girang ini kepada Hok Thayswee yang sudah pasti akan merasa girang sekali."

Bagi Ouw Hui, segala apa sudah menjadi terang. Pada hakekatnya, ia merasa, bahwa dalam urusan ini, ia tak dapat menyalahkan Hok Kong An atau Ma It Hong. Tentu saja Siang Po Cin tidak pantas menurunkan tangan jahat terhadap Cie Ceng, tapi karena ia sudah membayar hutang dengan jiwanya sendiri, maka soal itu boleh tak usah dibicarakan lagi. Ia hanya merasa sedih dan penasaran, karena mengingat nasib Cie Ceng yang sangat buruk. Sebagai seorang jujur dan kasar, semenjak dulu ia sudah mengetahui, bahwa dua anak itu bukan anaknya. Tapi ia sudah menutup mulut dan baru membuka rahasia pada waktu hampir menarik napas yang penghabisan. Makin dipikir Ouw Hui jadi makin kasihan, sehingga suaranya bergemetar ketika ia berkata: "Cin Toako, urusan ini sudah terang semua. Aku memohon maaf, bahwa aku terlalu banyak mencampuri urusan orang lain." Ia memberi hormat dan melompat turun ke bawah.

Cara melompat pemuda itu sudah mengejutkan sangat hati Cin Nay Cie. Batang dan daun pohon sedikit pun tidak bergoyang dan kenyataan ini membuktikan, bahwa waktu melompat, Ouw Hui sama sekali tidak meminjam tenaga dari pohon itu. Kepandaian itu adalah kepandaian yang tak bisa diukur bagaimana tingginya. Cin Nay Cie mengakui, bahwa andaikata ia berlatih terus dalam sepuluh tahun, belum tentu ia bisa memiliki ilmu entengkan badan yang begitu tinggi. Ia merasa heran, sungguh heran. Bagaimana seorang yang begitu muda sudah mempunyai kepandaian yang sedemikian lihay. Dengan rasa masgul, ia meloncat ke bawah dan ia melihat Ouw Hui sudah masuk ke rumah batu, Leng So yang sudah merasa bingung, girang sekali melihat kembalinya Ouw Hui. Melihat paras kakaknya yang guram, si nona tak berani menanya apa-apa. Tak lama kemudian, Ong Tiat Gok datang dengan membawa sebakul nasi, daging masak angsio dan tiga botol arak. Ouw Hui lantas saja menuang arak itu, tapi sebelum ia meminumnya, Leng So sudah mengeluarkan sebatang jarum perak dan mencelupnya di dalam arak untuk menyelidiki, apa arak itu mengandung racun atau tidak. "Sebegitu lama Ma Kouwnio masih berada di sini, mereka tak akan berani menaruh racun," kata Ouw Hui. Muka Ma It Hong lantas saja berubah merah.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ouw Hui terus minum air kata-kata itu sehingga tiga botol arak kosong semuanya. Dalam keadaan mabuk, ia menengkurap di atas meja dan lalu tidur menggeros.

Waktu tersadar pada esokan paginya, punggungnya ditutup dengan jubah panjang. Ia yakin, bahwa hal itu tentu dilakukan oleh adiknya.

Dengan penuh rasa berterima kasih dan kasihan, ia mengawasi si nona yang sedang berdiri di depan jendela dengan beberapa lembar rambutnya berkibar-kibar ditiup angin pagi. "Jie-moay!" ia memanggil.

"Hm," sahutnya sambil memutar badan dan lalu menghampiri.

"Kau tak tidur?" tanya Ouw Hui seraya memandang muka adiknya yang lesu. "Semalam aku lupa memberitahukan, bahwa dengan adanya Ma Kouwnio, kita tak usah khawatir gangguan mereka."

"Tengah malam tadi Ma Kouwnio telah ke luar dan sampai sekarang ia belum kembali," kata si nona. "Ia berjalan keluar dengan indap-indap, seperti khawatir kau tersadar, maka aku pun lantas pura-pura pulas."

Ouw Hui terkejut dan lalu membuka pintu. Bersama Leng So ia segera pergi ke hutan, ke tempat berkumpulnya kawanan Cin Nay Cie. Benar saja di situ sudah tidak terdapat seorang manusia.

Tertambat di satu pohon, mereka menemukan dua ekor kuda yang rupanya sengaja ditinggalkan untuk mereka berdua.

Tak jauh dari dua kuda itu, terdapat dua kuburan baru, tanpa pertandaan apa-apa, sehingga mereka tak bisa menebak, mana kuburan Cie Ceng, mana kuburan Siang Po Cin. Dengan hati duka, Ouw Hui memandang dua gundukan tanah itu. "Yang satu suami, yang lain musuh besar, pembunuh suami," katanya di dalam hati. "Akan tetapi, di mata Ma Kouwnio, mereka berdua mungkin tak banyak bedanya. Mereka hanya merupakan dua manusia yang mencintai Ma Kouwnio, tapi tidak dicintai, dan mereka hanyalah orang-orang yang bernasib buruk, yang sudah mengorbankan jiwa untuk Ma Kouwnio." Mengingat begitu, ia menghela napas berulang-ulang.

Sesudah itu, ia lalu menceritakan kepada Leng So segala pengalaman dan pembicaraan dengan Cin Nay Cie kemarin.

"Oh begitu?" kata Leng So. "Cin Nay Cie dikenal oleh mendiang guruku dan ia mempunyai gelaran mentereng, yaitu Pat-pi Lo-cia (Lo Ciayang bertangan delapan). Aku tak nyana, dia sekarang sudah menjadi anjingnya bangsa Boan. Ouw Toako, kita boleh tak usah mengenal dia lagi."

"Benar," sahut sang kakak.

"Hm!" menggerendeng Leng So. "Dengan isteri mencintai satu Thay-cu Thay-po Peng-po Siang-sie, memang lebih baik Cie Ceng mati siang-siang."

"Tak salah, lebih cepat mampus, memang lebih baik," sahut Ouw Hui.

Dengan berendeng, mereka lalu berlutut beberapa kali di hadapan dua kuburan itu. "Cie Toako, Siang Kongcu," kata Ouw Hui dengan suara parau. Tak perduli apa semasa hidup, kalian telah membuang budi atau mendendam sakit hati terhadapku, sesudah kalian berpulang ke alam baka, budi dan sakit hati itu sudah lunas semuanya. Mengenai Ma Kouwnio, ia sekarang sudah berenang dalam kemewahan dan kekayaan. Aku hanya memberitahukan kalian, supaya kalian jangan ingat-ingat padanya."

Sehabis bersembahyang, sambil menuntun dua ekor kuda itu, Ouw Hui dan Leng So lalu meninggalkan hutan. "Toako, ke mana kita sekarang pergi?" tanya si nona.

"Paling dulu cari rumah penginapan," jawabnya. "Kau harus tidur sampai puas. Aku tak mau adikku sakit." Mendengar kata-kata "adikku", bukan main senangnya Leng So. Ia mengawasi sang kakak dan tertawa manis.

Thia Leng So pulas nyenyak sekali, sampai lohor baru ia tersadar. Sesudah mencuci muka, seorang diri ia ke luar dari rumah penginapan dengan mengatakan mau ke pasar untuk membeli barang.

Waktu kembali ia membawa dua bungkusan besar. "Toako," katanya sambil tertawa, "Coba tebak, barang apa yang dibeli olehku?"

Melihat pada bungkusan itu terdapat cap "Toko Pakaian Loo Kiu Hok", Ouw Hui menyahut: "Apa kita menyamar lagi?"

Leng So lalu membuka dua bungkusan itu yang masing-masing berisi sestel pakaian, pakaian lelaki yang berwarna hijau muda dan pakaian perempuan, berwarna kuning muda. Sesudah makan malam, si nona minta kakaknya mencoba pakaian baru itu yang ternyata agak terlalu panjang dan terlalu besar, sehingga ia lantas mengeluarkan gunting, benang dan jarum dan mulai mengecilkannya di bawah sinar lilin.

"Jie-moay," kata Ouw Hui. "Menurut pikiranku, paling baik kita sekarang pergi ke Pakkhia untuk melihat-lihat keramaian."

Leng So tertawa seraya berkata: "Benar tidak dugaanku? Itulah sebabnya, aku sudah membeli dua stel pakaian baru, supaya orang jangan mentertawai pakaian gadis dusun yang jalan-jalan di kota raja."

"Jie-moay, kau benar pintar!" memuji sang kakak.

"Memang, kita, orang dusun, sekarang ingin menemui pentolan-pentolan di bawah kakinya Anak Allah (kaisar) dan menonton itu pertemuan para Ciangbunjin dari Hok Kongcu." Kata-kata itu yang dikeluarkan dengan sikap acuh tak acuh, bernada angker sekali.

"Apa maksud Hok Kongcu dengan mengadakan pertemuan Ciangbunjin itu?" tanya si nona sambil terus menjahit. "Bagaimana pendapatmu?"

"Terang bagaikan siang," jawabnya. "Dia tentu ingin menjaring orang-orang gagah di seluruh negeri untuk dijadikan kaki tangannya."

Leng So mesem, di dalam hati ia yakin, bahwa orang gagah yang tulen belum tentu sudi menghadiri pertemuan itu. "Tapi kenapa orang gagah yang seperti kau tak mau menghadiri pertemuan itu?" tanyanya sambil tertawa.

"Aku belum termasuk orang gagah," kata Ouw Hui. Ia berdiam sejenak dan berkata pula sambil menghela napas.

"Hm! Jika ayahku masih hidup, jika ia menyatroni dan mengacau pertemuan itu, hasilnya tentu menggembirakan sekali."

"Aku rasa, kepandaianmu sendiri sudah cukup tinggi untuk mengganggu Hok Kongcu," kata si nona.

"Bukankah baik jika kau mengacau sedikit rencananya? Menurut taksiranku ada seorang sahabat yang pasti akan pergi ke situ."

"Siapa?" tanya Ouw Hui.

"Kau jangan berlagak pilon!" kata sang adik.

Ouw Hui memang sudah menebak siapa yang dimaksudkan Leng So, sehingga ia lantas saja berkata: "Belum tentu dia datang." Ia berdiam sejenak, seperti orang berpikir, dan berkata pula: "Mengenai Wan Kouwnio, aku masih merasa sangsi, apa dia kawan atau lawan."

Leng so tertawa. "Jika aku mempunyai lawan yang menghadiahkan Giok-hong-hong, aku rela bermusuhan dengan semua manusia di dunia ini," katanya sambil tertawa.

Baru saja Leng So mengucapkan perkataan itu, di luar jendela mendadak terdengar suara seorang wanita: "Baiklah! Aku pun menghadiahkan kau seekor Hong-hong!"

"Srt!" serupa benda menyambar masuk dari kertas jendela. Dengan cepat Ouw Hui menyambar garisan kayu dan menghantam benda itu yang lantas saja jatuh di meja, dan dengan berbareng, tangan kirinya mengebas api lilin yang segera padam dan ruangan itu jadi gelap gulita.

"Omong-omong dengan memadamkan lilin, sungguh bagus!" kata pula suara wanita itu.

Mendengar suara itu yang menyerupai suara Wan Cie Ie, jantung Ouw Hui memukul keras. "Wan Kouwnio!" ia memanggil. Hampir berbareng, ia mendengar tindakan kaki yang sangat enteng yang menyingkir dari bawah jendela.

Ouw Hui menyulut lilin dan dari sinar penerangan, ia melihat muka Leng So yang berubah pucat.

"Mari kita menyelidiki," ia mengajak.

"Kau saja sendiri," jawab si nona.

"Hm!" menggerendeng Ouw Hui, kakinya tidak bergerak. Ia mengambil benda yang barusan ditimpuk dari luar dan ternyata benda itu adalah satu batu kecil. "Orang itu sangat luar biasa," katanya di dalam hati. "Bagaimana ia bisa mendengari di bawah jendela, tanpa diketahui olehku?"

Walaupun mengetahui, bahwa Leng So merasa sangat kurang senang, ia membuka jendela dan melongok keluar. Di luar gelap gulita, sunyi senyap, tanpa seorang manusia. Dengan hati masgul, ia menutup jendela dan mendekati adiknya.

"Sudah malam, baik Toako pergi tidur," kata Leng So.

"Aku belum ngantuk," jawabnya.

"Tapi aku merasa capai," kata si nona. "Besok pagi-pagi kita sudah mesti berangkat."

"Baiklah," kata Ouw Hui yang lalu bertindak ke luar dan kembali di kamarnya.

Malam itu, ia tak bisa pulas. Sambil gulak-gulik di atas bantal, rupa-rupa pikiran masuk ke dalam otaknya. Ia ingat Wan Cie Ie, ia ingat Thia Leng So, ia ingat peristiwa Ma It Hong dan Cie Ceng. Sampai jam empat pagi, barulah ia bisa pulas.

Besok paginya, dengan membawa pakaian Ouw Hui, Leng So mengetuk pintu kamar pemuda itu. "Ouw Toako, lekas bangun!" ia memanggil. "Ada barang baik untukmu."

Begitu pintu terbuka, si nona bertindak masuk, menaruh pakaian itu di atas meja dan lalu keluar lagi. Ouw Hui segera menukar pakaian dan ternyata, bahwa pakaian baru itu, yang semula terlalu panjang dan longgar, sekarang pas persis di badannya. Semalam, waktu kembali ke kamarnya, Leng So baru saja mulai menjahit, sehingga dapatlah ditaksir, bahwa semalaman suntuk si nona mengerjakan pakaiannya. Dengan rasa berterima kasih, ia segera pergi ke kamar adiknya dan berkata sambil menyoja: "Jie-moay, terima kasih banyak untuk kebaikanmu."

"Terima kasih apa?" kata sang adik sambil tertawa.

"Lain orang menghadiahkan kau seekor kuda yang sangat bagus." Ouw Hui terkejut. "Kuda apa?" tanyanya.

Mereka lantas pergi ke pekarangan belakang dan benar saja, seekor kuda bulu putih tertambat di tambatan kuda. Ouw Hui kaget bukan main, karena kuda itu adalah kuda yang dulu ditunggang Tio Poan San dan belakangan digunakan oleh Wan Cie Ie.

"Tadi pagi, baru saja aku bangun, pelayan hotel ribut-ribut dan mengatakan, bahwa pintu depan dibuka pencuri," menerangkan Leng So. "Sesudah diselidiki, tak ada kehilangan apa pun juga, tapi di pekarangan belakang tertambat kuda itu, yang tak diketahui kapan datangnya." Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan satu bungkusan sutera kepada Ouw Hui dan di atas bungkusan itu tertulis: "Dipersembahkan kepada Ouw Siangkong dan Thia Kouwnio".

Ouw Hui membukanya dan... matanya membelalak. Ia terperanjat, karena isinya adalah seekor Giok-hong (burung hong yang terbuat dari batu giok), yang tiada bedanya dengan Giok-hong yang pernah dihadiahkan kepadanya oleh Wan Cie Ie.

"Apa Giok-hongku jatuh? Apa dicuri olehnya?" Ouw Hui menanya diri sendiri, sambil merogoh saku. Tapi Giok-hong itu masih tetap berada dalam sakunya dan ketika dikeluarkan, ternyata kedua Giok-hong tiada bedanya, hanya yang satu menghadap ke kiri, yang lain menghadap ke kanan.

Dalam bungkusan itu terdapat sehelai kertas dengan tulisan: "Kuda kembali pada majikannya, Hong dihadiahkan kepada pendekar wanita." Lagi-lagi Ouw Hui terkejut. "Kuda itu bukan milikku," pikirnya. "Kenapa dikatakan, kuda kembali pada majikannya? Apa dia ingin aku mengembalikannya kepada Tio Samko?" Ia mengangsurkan kertas itu dan Giok-hong kepada Leng So seraya berkata: "Wan Kouwnio juga menghadiahkan seekor Giok-hong kepadamu."

"Aku bukan pendekar wanita," kata si nona sesudah membaca tulisan itu. "Giok-hong itu bukan untukku."

"Bukankah di atas bungkusan terang-terangan ditulis Thia Kouwnio'?" kata Ouw Hui. "Dan semalam, ia pun telah berjanji untuk menghadiahkan Giok-hong kepadamu."

Leng So mengangguk seraya berkata: "Jika kau mengatakan begitu, biarlah aku menerimanya. Wan Kouwnio begitu baik hati, tapi aku tak mempunyai apa-apa untuk membalasnya."

Sesudah itu, mereka meneruskan perjalanan ke arah utara. Di sepanjang jalan tak ada kejadian penting dan Wan Cie Ie pun tak pernah muncul lagi. Mereka berjalan tanpa menyebut-nyebut lagi halnya nona itu, tapi di dalam hati, mereka selalu mengingatnya. Setiap kali mereka bicara di dalam kamar, Wan Cie Ie seolah-olah berada di luar jendela. Setiap kali mereka berpapasan dengan penunggang kuda, hati mereka terkesiap, seperti juga penunggang kuda itu adalah Wan Cie Ie.

Perjalanan ke Pakkhia bukannya dekat. Perjalanan itu harus ditempuh dengan melawan salju, hujan dan angin. Semakin lama, Leng So kelihatan jadi semakin kurus, mungkin karena terlalu capai.

Akhir-akhirnya, sesudah menderita banyak kesengsaraan, mereka tiba juga di Pakkhia dan pada suatu hari, sambil merendengkan kuda, mereka masuk ke kota raja.

Selagi masuk di pintu kota, Ouw Hui melirik adiknya dan lapat-lapat, ia seperti melihat jatuhnya sebutir air mata Leng So di atas tanah. Ia tidak melihat tegas, karena pada saat itu, si nona melengoskan mukanya.

Tiba-tiba saja Ouw Hui merasa sangat menyesal dan ia mengeluh dalam hatinya: "Ah! Guna apa aku datang ke Pakkhia. Guna apa?"

Waktu itu adalah jaman Kaisar Kian-liong, kapan seluruh Tiongkok aman dan makmur dan kota Pakkhia menjadi pusat segala kemewahan dan keindahan. Ouw Hui dan Thia Leng So masuk dari pintu Ceng-yang-bun. Terlebih dulu mereka mencari rumah penginapandan minta dua buah kamar. Sesudah makan tengah hari, mereka keluar jalan-jalan di jalanan raya yang ramai dan diapit dengan gedung-gedung besar dan indah.

Sesudah mondar-mandir tanpa tujuan lebih dari satu jam, Ouw Hui membeli kembang gula dan bebuahan dan memakannya bersama Leng So sembari berjalan. Tiba-tiba mereka mendengar suara gembreng dan melihat berkerumunnya sejumlah orang di sebidang tanah lapang. Setelah didekati, orang-orang itu ternyata sedang menonton pertunjukan seorang penjual silat. Ouw Hui jadi tertarik. "Jie-moay, mari kita lihat," katanya.

Mereka lalu mendesak maju dan melihat seorang lelaki yang bertubuh tinggi-besar berdiri di tengah gelanggang dengan tangan mencekal golok. "Tuan-tuan, sekarang aku hendak bersilat dengan ilmu golok Su-bun To-hoat," katanya sambil menyoja. "Aku memohon tuan-tuan suka memberi pengajaran jika terdapat bagian-bagian yang kurang benar."

Sesudah memasang kuda-kuda, ia mulai bersilat dan memperlihatkan macam-macam pukulan, seperti Tay-peng-tian-cie (Garuda membuka sayap), Kim-kee-tok-lip (Ayam emas berdiri dengan satu kaki), Hway-tiong-po-goat (Mendukung bu-lan) See-Ceng-pay-Hud (See Ceng memberi hormat kepada Sang Budha) dan lain-lain. Pukulan-pukulan itu dapat dikatakan dijalankan menurut peraturan, hanya gerakan kakinya "kosong" (tidak mantap) dan sabetan-sabetan goloknya agak "melayang" (tidak bertenaga), sehingga pertunjukan itu tiada harganya untuk ditonton. Ouw Hui merasa geli dan berkata dalam hatinya: "Aku memang sudah lama mendengar, bahwa orang di kota raja kebanyakan hanya bisa omong besar, tapi tidak berisi."

Baru saja ia menarik tangan Leng So untuk meninggalkan tempat itu, dari antara orang banyak tiba-tiba terdengar suara tertawa dan cacian. "Hei! ilmu golok apa yang dipertunjukkan olehmu? Ilmu golok kentut anjing?"

Si penjual silat tentu saja jadi gusar sekali. Dengan mata mendelik, ia membentak: "Kurang ajar kau! Ilmu golokku adalah Su-bun To-hoat yang tulen. Apa ada bagian yang salah? Jika benar, aku ingin minta pengajaranmu."

Hampir berbareng, seorang pria yang bertubuh kekar dan mengenakan seragam bu-khoa (pembesar militer) melompat masuk. "Baiklah," katanya. "Aku bersedia untuk memberi pelajaran." Sehabis berkata begitu, ia menghampiri si penjual silat dan mengambil goloknya. Mendadak secara tak disengaja, ia melihat Ouw Hui. Untuk sejenak, ia tertegun dan kemudian berteriak dengan suara girang: "Ouw Toako! Kau datang di Pakkhia? Ha-ha-ha! Kau adalah ahli silat golok pada jaman ini. Cobalah jalankan sejurus dua jurus, supaya bocah ini bisa membuka matanya."

Begitu lekas orang itu masuk ke gelanggang, Ouw Hui dan Leng So sebenarnya sudah mengenali, bahwa ia adalah Ong Tiat Gok, seorang tokoh dari Eng-jiauw-gan-heng-bun. Waktu mengejar Ma It Hong, ia nyamar sebagai perampok dan sekarang ia ternyata seorang bu-khoa. Ouw Hui tahu, bahwa dia adalah seorang polos, bukan manusia licik. Ia tersenyum seraya berkata: "Kepandaianku tak ada artinya. Ong Toako, kau sajalah yang memperlihatkan kemahiranmu."

Ong Tiat Gok jadi malu hati. Ia tahu, bahwa kepandaian Ouw Hui banyak lebih tinggi dari padanya dan di hadapan pemuda itu, mana ia berani memperlihatkan kepandaiannya? Maka itu, ia lantas saja melemparkan golok yang dicekalnya.

"Mari!" katanya sambil tertawa. "Ouw Toako, nona ini she... she Thia. Ya. Thia Kouwnio, mari kita minum beberapa cawan.

Dengan kalian datang sebagai tamu, aku mesti mengambil peranan tuan rumah." Ia menarik tangan Ouw Hui dan lalu berjalan pergi. Si penjual silat tentu saja tak berani cari urusan dengan seorang pembesar dan tanpa mengatakan suatu apa, ia lantas saja menjemput goloknya.

Sambil berjalan, Ong Tiat Gok berkata dengan suara gembira: "Ouw Toako, orang kata tidak berkelahi, tidak jadi sahabat. Aku benar-benar kagum melihat ilmu silatmu. Biarlah besok aku memberi laporan kepada Hok Thay-swee. Ia tentu akan memberi jabatan penting kepadamu. Aha! Kalau sudah kejadian begitu, aku sendiri akan dipayungi olehmu...." Tiba-tiba suaranya berubah perlahan. "Ouw Toako," katanya separuh berbisik. "Kau tahu bagaimana keadaan Ma Kouwnio sekarang? Bersama kedua puteranya, ia sekarang berdiam dalam gedung Thayswee. Hidup beruntung dan mewah.

Hok Thayswee tidak kekurangan apa pun jua. Ia hanya kekurangan anak. Mungkin sekali di satu hari Ma Kouwnio akan diangkat menjadi Thayswee Hu-jin. Ha-ha-ha! Jika Toako tahu, hari itu sudah pasti Toako tak akan bertempur dengan rombongan kami. Bukankah begitu?" Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-bahak.

Ouw Hui hanya mengangguk, ia tak mengeluarkan sepatah kata. Ia menganggap, bahwa sesudah suaminya meninggal dunia, Ma It Hong memang merdeka untuk menikah lagi. Akan tetapi, mengingat nasib Cie Ceng, hatinya jadi duka sekali.

Tak lama kemudian, mereka tiba di depan sebuah restoran besar, yang di depannya digantung merek "Kie Eng Lauw" (Loteng atau restoran termpat berkumpulnya orang-orang gagah). Begitu melihat Ong Tiat Gok, pelayan buru-buru menghampiri seraya berkata: "Ong Tayjin, siang-siang kau sudah datang. Mau makan apa? Apa mau minum arak dulu?"

"Baiklah," jawabnya. "Hari ini aku mengundang dua orang sahabat yang berkedudukan tinggi. Kau harus membuat sayur-sayur yang paling lezat."

"Tak usah Tayjin memesan," kata si pelayan sambil mengantar tetamunya ke sebuah meja dengan kursi yang indah.

Sambil minum arak, Ouw Hui menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa sebagian besar tamu berpakaian seragam militer atau orang-orang dari Rimba Persilatan. Restoran itu ternyata adalah langganan orang-orang dunia persilatan.

Makanan di kota raja tentu saja berbeda dengan makanan di kota-kota lain. Lebih-lebih karena Ong Tiat Gok ingin mempertahankan "muka", maka sayur-sayur yang dipesannya semua sayur kelas satu. Sambil makan, Ouw Hui tak hentinya memuji lezatnya makanan itu.

Sesudah mencegluk belasan cawan arak, tiba-tiba terdengar masuknya sejumlah orang di kamar sebelah dan tak lama kemudian, mereka mulai berjudi.

"Thian-ong-kiu, makan semuanya!" demikian terdengar teriakan seseorang. Ouw Hui terkejut karena suara itu kedengarannya tak asing lagi.

"Kawan lama!" kata Tiat Gok sambil tertawa. "Cin Toako!" ia berteriak. "Coba tebak, siapa yang lagi bersantap denganku?"

Ouw Hui lantas saja ingat, bahwa yang dipanggil "Cin Toako" mestinya Cin Nay Cie, Ciangbunjin dari Pat-kek-kun.

"Tak perduli!" teriak seorang di kamar sebelah. "Tak perduli kau punya tamu babi atau tamu anjing. Keluarlah, mari ikut jajal-jajal peruntungan."

"Tak apa kau mencaci aku, tapi jangan kau mencaci seorang sahabat baik," kata Tiat Gok seraya tertawa. Ia bangun berdiri dan berkata pula sambil menarik tangan Ouw Hui: "Ouw Toako, mari kita lihat."

Begitu mereka menyingkap tirai dan bertindak masuk ke kamar sebelah, Cin Nay Cie menengok dan ia kaget tak kepalang. "Aduh! Kau!" teriaknya dengan girang. "Sungguh tak dinyana!" Sambil mendorong kartu (Kartu Paykiu terbuat dari tulang) ia bangun berdiri dan lalu memukul kepalanya beberapa kali. "Maaf! Maaf! Benar-benar aku kurang ajar," katanya seraya tertawa.

"Siapa nyana yang datang adalah Ouw Toako. Mari, mari! Kau jadi 'cong' (bandar)."

Ouw Hui mengawasi dan ternyata, di seputar meja paykiu berkumpul belasan orang dengan Cin Nay Cie sebagai "cong". Antara mereka, kira-kira separuh terdiri dari orang-orang yang pernah menyerang rombongan Hui-ma Piauw-kiok dengan menyamar sebagai perampok. Ia mengenali si orang she Tie yang bersenjata Lui-cin-tong, si orang she Siangkoan yang menggunakan San-tian-tui dan si orang she Liap yang bersenjata pedang. Melihat kedatangannya, ruangan yang tadi ribut dengan mendadak berubah sunyi senyap.

Sambil menyoja keempat penjuru, Ouw Hui berkata: "Terima kasih atas kebaikan tuan-tuan yang sudah sudi mengajak aku turut berjudi."

Sesudah saling mengucapkan kata-kata merendah, orang she Liap itu berkata: "Ouw Toako, ayolah, kau jadi 'cong'. Apa kau bawa uang? Aku sedang mujur. Gunakanlah dulu uangku." Sambil berkata begitu, ia mendorong tiga bungkusan uang ke arah Ouw Hui.

Ouw Hui adalah seorang yang pandai bergaul. Biarpun ia tak punya rasa simpati terhadap orang-orang itu yang menjadi kaki tangan bangsa Boan, tapi karena melihat sikap mereka yang manis dan juga karena ia sendiri memang gemar berjudi, maka ia lantas saja berkata: "Biar Cin Toako saja yang menjadi 'cong'. Siauwtee hanya mau coba-coba sedikit. Liap Toako, simpan dulu uangmu. Kalau uangku sudah habis, baru aku pinjam." Ia menengok dan berkata pula: "Jie-moay, apa kau mau turut?"

Si nona tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Tidak, biar aku bantu kau mengangkut peraknya saja," katanya.

Cin Nay Cie tidak berlaku sungkan lagi dan lalu mencuci kartu serta melempar biji-biji dadu. Ouw Hui dan Ong Tiat Gok lantas saja turun ke gelanggang. Semula, karena datangnya seorang luar, beberapa bu-khoa agak kikuk, tapi sesudah beberapa lama, suasana jadi gembira kembali dan semua orang bisa berjudi dengan memusatkan seantero perhatiannya.

Ouw Hui main kecil, ada kalah, ada memang. la berjudi tanpa perhatian, karena pikirannya sedang bekerja di jurusan lain. "Hari ini adalah Pee-gwee Ceekauw (Bulan Delapan tanggal sembilan)," pikirnya. "Lagi lima hari perayaan Tiong-chiu. Pesta besar untuk menyambut pertemuan para Ciang-bunjin yang dihimpunkan oleh Hok Kongcu, kebanyakan akan diadakan pada harian Tiong-chiu. Mungkin sekali bangsat Hong Jin Eng, sebagai Ciangbunjin dan Ngo-houw-bun, akan datang ke sini. Tapi andaikata ia tak datang, aku masih bisa mencari tahu halnya dalam pertemuan itu. Orang-orang ini adalah pembantu-pembantu yang dipercaya oleh Hok Kongcu. Banyak sekali untungnya jika aku bergaul dengan mereka." Sesudah mengambil keputusan itu, ia mulai main dengan gembira. Selang beberapa lama, kartunya mulai dapat angin dan dalam sekejap, ia sudah menang kurang-lebih lima ratus tahil perak.

Selang satu jam lebih, siang mulai terganti dengan malam dan semakin lama orang main semakin besar. Tiba-tiba di luar terdengar suara tindakan sepatu, tirai tersingkap dan tiga orang kelihatan berjalan masuk. Melihat mereka, Ong Tiat Gok lantas saja bangun berdiri dan berkata dengan sikap menghormat: "Aha! Toasuko, Jiesuko, kalian juga datang." Semua orang yang berjudi turut menyambut dengan macam-macam panggilan, ada yang memanggil "Ciu Toaya" dan "Can Jieya", ada pula yang menggunakan istilah "Ciu Tayjin" dan "Can Tayjin". Ouw Hui dan Leng So lantas saja bisa menebak siapa mereka itu. "Mereka tentunya Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo dari Eng-jiauw-gan-heng-bun," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Mereka memang mempunyai nama yang tidak kecil."

Ia mengawasi dan mendapat kenyataan, bahwa Ciu Tiat Ciauw bertubuh kurus-kecil, tingginya tidak lebih dari lima kaki, usianya baru kira-kira lima puluh tahun, tapi rambutnya sudah berwarna putih, sedang Can Tiat Yo, yang berusia sedikit lebih muda dari kakak seperguruannya, berbadan jangkung-kurus, tangannya mencekal pipa Pit-yan-hu, pada makwanya tergantung rantai emas dan gerak-geriknya seperti seorang bangsawan. Melihat orang yang ketiga, Ouw Hui agak terkejut, karena ia mengenali, bahwa orang itu bukan lain dari pada In Tiong Shiang yang dulu pernah bertemu dengannya di Siang-kee-po. Rambutnya orang itu

sudah berwarna dauk dan ia kelihatannya banyak lebih tua. Begitu masuk, mata In Tiong Shiang menyapu muka Ouw Hui, tapi ia tidak memperdulikan, karena menganggap pemuda itu sebagai seorang pemuda desa biasa. Sebagaimana diketahui, dalam pertemuan di Siang-kee-po, Ouw Hui baru berusia dua belas atau tiga belas tahun.

Cin Nay Ciauw buru-buru bangun berdiri seraya berkata: "Ciu Toako, Can Jieko, aku mohon memperkenalkan kalian dengan seorang sahabat. Inilah Ouw Toako yang mempunyai kepandaian tinggi. Ia baru saja datang di kota ini."

Ciu Tiat Ciauw dan adik seperguruannya hanya mengangguk sedikit. Sebagai orang-orang ternama di kota raja, mereka tentu saja tidak memandang sebelah mata kepada Ouw Hui yang dianggapnya sebagai pemuda desa.

Sementara itu, Tiat Gok mengawasi Leng So dengan rasa heran, karena si nona sama sekali tidak menegur kedua saudara seperguruannya, sedang ia pernah mengaku mengenal mereka. Ia tentu saja tak tahu, bahwa pada ketika itu, si nona bicara sembarangan saja untuk memancing dirinya. Leng So sendiri hanya tersenyum sambil manggut-manggutkan kepalanya dan Tiat Gok tak berani menanya apa-apa.

Sesudah menjadi "cong" dua kali lagi, Cin Na Cie menyerahkan kepada Ciu Tiat Ciauw. Dengan kedatangan tiga "musuh" baru, pertaruhan lantas saja berubah besar. Ouw Hui semakin mujur. Belum setengah jam ia sudah menang seribu tahil lebih Yang paling apes adalah Ciu Tiat Ciauw. Baru jadi bandar, sebagian besar uangnya sudah amblas. Sesudah menjadi "cong" sekali lagi dengan kekalahan yang lebih hebat, ia mendorong kartu seraya berkata: "Aku lagi sial. Jietee, biarlah kau yang jadi bandar."

Kartu Can Tiat Yo sedang-sedang saja, tak mujur dan juga tak sial. Ouw Hui terus dapat angin, dengan beruntun ia mengeduk kira-kira sembilan Ratus tahil lagi, sehingga di depannya penuh dengan Tumpukan perak.

"Anak desa lagi disayang oleh Malaikat uang." kata Tiat Yo sambil tertawa. "Mari. Kau saja yang jadi bandar."

"Baiklah," kata Ouw Hui yang lalu mencuci kartu. Dadu dibuang dan kartu-kartu dibagi. Ouw hui membuka kartunya yang ternyata dua kartu pertama delapan mata, sedang dua kartu yang kedua sepasang "Panteng" (nama kartu) dan ia "makan" dua orang.

Biarpun kalah, Ciu Tiat Ciauw tidak jadi mendongkol dan Can Tiat Yo pun menerima kekalahan dengan sikap tenang sambil tertawa-tawa dan guyon-guyon. Orang yang uring-uringan adalah In Tiong Shiang dan semakin ia marah-marah semakin besar kekalahannya. Akhirnya, dengan mata melotot ia mendorong semua sisa uangnya yang berjumlah kira-kira dua ratus tahil. Setelah kartu dibuka, ia keok lagi, tiga mata dimakan tiga mata, sembilan mata dimakan sembilan mata. Muka In Tiong Shiang lantas saja berubah pucat. Ia mengangkat tangan dan menggebrak meja, sehingga kartu, biji dadu dan uang pada meloncat ke atas. 'Kartu si anak desa ada setannya!" teriaknya, "Mana bisa begitu gila? Tiga mata makan tiga, sembilan makan sembilan. Biarpun mujur, tak mungkin mujur sampai begitu!"

"In Toako," kata Cin Nay Cie. "Jangan kau bicara sembarangan. Ouw Toako adalah seorang sahabat baik."

Semua orang mengawasi In Tiong Shiang dan kemudian memandang Ouw Hui. Orang-orang yang pernah menyaksikan kelihayannya pemuda itu, semua menduga, bahwa ia tak akan tinggal diam tuduhan main curang yang bersembunyi dalam kata-kata In Tiong Shiang. Mereka yakin, jika sampai bergebrak, si orang she In akan mendapat malu besar.

Tapi di luar dugaan, Ouw Hui tak jadi gusar. "Menang-kalah adalah kejadian lumrah dalam peperangan," katanya sambil tersenyum. "Perlu apa In toako jadi panas perut?"

Tiba-tiba In Tiong Shiang bangun berdiri dan membuka tali ikatan pedangnya yang tergantung di pinggang. Semua orang menduga ia mau turun tangan, tapi mereka tidak mencegah. Harus diketahui, bahwa terjadinya perkelahian karena gara-gara judi adalah kejadian biasa di kota raja. Tapi In Tiong Shiang bukan mau bertempur. Sambil meletakkan pedangnya di atas meja, ia berkata: "Pedangku ini paling sedikit

berharga lima ratus tahil perak. Mari kita bertaruh lima ratus tahil sekali pukul!" Pedang itu indah sekali dengan sarungnya

yang tertahta emas dan batu-batu permata dan dapat ditaksir, bahwa harganya memang tak kecil.

"Baiklah," kata Ouw Hui sambil tersenyum.

Sambil mengambil kartu dan biji dadu, In Tiong Shiang berkata: "Kali ini satu lawan satu, aku dan si anak desa. Lain orang tak boleh turut."

Ouw Hui segera mengambil lima ratus tahil dan mendorongnya ke depan. "Lemparlah dadu," katanya dengan suara tenang.

In Tiong Shiang memegang dua biji dadu dalam tangannya dan menggoyang-goyang beberapa kali. Sesudah meniup keras, ia melontarkannya. Sebuah dadu lima mata, yang sebuah lagi empat mata, jadi semuanya sembilan mata, yang mana berarti, bahwa ia berhak menarik empat kartu terlebih dulu. Begitu melihat kartunya, paras mukanya lantas saja berseri-seri. "Anak desa, kali ini kau tak bisa main gila lagi!" katanya seraya membuka tangan kirinya di mana terdapat dua kartu dengan sembilan mata dan setelah ia membuka telapakan tangan kanannya, terlihatlah sepasang Thian-pay.

Ouw Hui sendiri tidak membuka kartunya. Dengan jari ia meraba-raba muka kartu dan kemudian, ia menaruh keempat kartu itu, dengan ditengkurepkan, di atas meja, dua di depan dan dua di belakang.

"Anak desa!" bentak In Tiong Shiang. "Balik kartumu!" Karena merasa pasti menang, ia segera menyapu lima ratus tahil uang Ouw Hui ke hadapannya.

"Jangan terburu nafsu, lihat dulu kartu Ouw Toako," kata Tiat Gok.

Ouw Hui tak mengeluarkan sepatah kata. Ia melonjorkan tiga jarinya dan perlahan-lahan menepuk belakang keempat kartunya. Sesudah itu, ia mendorong empat kartu itu yang lantas saja bercampuran dengan kartu-kartu lain yang sudah dibuang. "Kau menanglah!" katanya sambil tersenyum.

Bukan main girangnya In Tiong Shiang. Tapi... baru saja ia niat mengejek si anak desa, secara kebetulan matanya melihat meja dan semangatnya terbang! Mukanya pucat dan ia mengawasi meja dengan mata membelalak. Mengapa?

Di muka meja yang dicat merah terdapat peta dari empat kartu itu. Dua kartu yang di depan adalah sepasang "Tiang-sam", sedang dua kartu di belakang, yang satu tiga mata, yang lain enam mata, sehingga jika dipersatukan terdapatlah kartu "Cie-cun-po".

Apa yang mengagumkan adalah peta kartu itu yang sangat nyata dan setiap matanya seolah-olah menonjol ke atas. Bahwa dengan sekali menepuk Ouw Hui sudah dapat melakukan itu, merupakan bukti, bahwa ia memiliki Iweekang dan ilmu yang sukar ditaksir tingginya. Para penjudi adalah ahli-ahli silat dan melihat kejadian itu, tanpa merasa mereka bersorak sorai.

Muka In Tiong Shiang jadi merah padam. Dengan kasar, ia mendorong pedang dan perak ke depan Ouw Hui. Cepat-cepat ia bangun dan lalu berjalan ke luar.

Sambil mencekal pedang, Ouw Hui memburu seraya berteriak: "In Toako, aku tak bisa menggunakan pedang. Guna apa pedang ini?" Seraya berkata begitu, ia mengangsurkan pedang tersebut kepada In Tiong Shiang.

In Tiong Shiang tidak menyambuti. Ia mengawasi dan berkata: "Apakah aku boleh tahu nama tuan yang terhormat?"

Sebelum Ouw Hui sempat menjawab, Ong Tiat Gok sudah mendului: "Sahabat ini she Ouw bernama Hui."

"Ouw Hui?.... Ouw Hui...." In Tiong Shiang berkata seorang diri. Tiba-tiba ia seperti baru mendusin dari tidurnya.

"Ah!" ia mengeluarkan seruan tertahan. "Kita pernah bertemu di Shoatang, di Siang-kee-poo...."

"Benar," kata Ouw Hui. "Aku pernah bertemu muka dengan In-ya, hanya sayang barusan In-ya tidak mengenali."

Muka In Tiong Shiang jadi semakin pias. Ia menyambuti pedang itu yang kemudian lalu dilemparkan ke atas meja.

"Tak heran! Tak heran!" katanya sambil menyingkap tirai dan lalu berjalan pergi dengan tindakan lebar.

Semua orang lantas saja ramai bicara, dan ada yang memuji kepandaian Ouw Hui, ada yang mencela In Tiong Shiang yang dikatakan berjiwa kecil dan marah-marah karena kalah berjudi.

Perlahan-lahan Ciu Tiat Ciauw bangun berdiri dan sambil menunjuk tumpukan perak di depan Ouw Hui, ia menanya: "Saudara Ouw, berapa jumlah uangmu?"

"Empat-lima ribu tahil," jawabnya.

Sambil mengocok-ngocok dadu dalam tangan kirinya, tangan kanan Ciu Tiat Ciauw merogoh saku dan mengeluarkan sebuah amplop yang lalu diletakkan di atas meja. "Baiklah," katanya. "Kita berjudi satu kali lagi."

Di atas amplop itu tidak tertulis apa pun juga. sehingga tak diketahui apa di dalamnya. Semua orang menganggap, Ouw Hui akan menolak tantangan yang luar biasa itu. Bagaimana jika di dalamnya hanya terisi selembar kertas putih? Tapi di luar dugaan, tanpa memikir dan tanpa menanya, ia mendorong semua perak seraya berkata: "Baiklah!"

Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo saling mengawasi dengan perasaan kagum. Di dalam hati, mereka memuji pemuda itu yang luar biasa dan tidak memandang harta dunia.

Ciu Tiat Ciauw segera menjemput dadu yang lalu dilemparkannya dan hasilnya tujuh mata, sehingga Ouw Hui paling dulu menarik kartu, sedang ia sendiri mendapat giliran yang ketiga. Sesudah melirik kartunya dengan sikap acuh tak acuh, ia membaliknya dan menepuknya dua kali di atas meja. Semua orang mengawasi dengan mata membelalak dan kemudian bersorak sorai.

Mengapa mereka bersorak?

Ternyata, empat kartu itu, dua di depan dan dua di belakang, telah melesak masuk di meja dan muka kartu rata dengan permukaan meja. Andai-kata seorang tukang kayu memahat meja itu dan memasukkan kartu-kartu tersebut ke dalam lubang yang dipahatnya, dia pasti tak akan bisa melakukan secara begitu sempurna seperti yang dilakukan oleh Ciu Tiat Ciauw. Nilai kartu itu tidak tinggi, yang di depan lima mata dan yang di belakang enam mata.

Ouw Hui lantas saja bangun berdiri. "Ciu Toaya," katanya seraya tertawa. "Maaf, kali ini aku kembali menang!" Berbareng dengan perkataannya, ia melemparkan kartu-kartunya ke atas. Di lain saat, empat kartu itu melayang turun ke atas meja dan jatuh dengan mengeluarkan suara "plak-plak" dan... lho! Empat kartu itu pun melesak masuk di meja, muka kartu rata dengan permukaan meja, dua di depan dan dua di belakang!

Dengan menggunakan Eng-jiauw-lat (Tenaga kuku garuda) yang sudah dilatih puluhan tahun, Ciu Tiat Ciauw telah memperlihatkan kepandaiannya dengan menepuk kartu-kartu. Kepandaian itu memang sudah hebat bukan main. Tapi di luar dugaan, apa yang diperlihatkan Ouw Hui berlipat ganda lebih hebat. Dengan melontarkannya ke atas, ia dapat melakukan apa yang dilakukan Ciu Tiat Ciauw dengan menepuk. Itulah kepandaian yang sungguh belum pernah dimimpikan oleh setiap orang dan kekagetan mereka adalah sedemikian besar, sehingga mereka tak dapat bersorak lagi.

Dengan paras muka tenang Ciu Tiat Ciauw mendorong amplop itu kepada Ouw Hui seraya berkata: "Hari ini kau benar-benar mujur." Ternyata empat kartu pemuda itu bernilai "Pat-pat-koan" yang di depan delapan mata dan yang di belakang pun delapan mata.

Ouw Hui tertawa dan mendorong balik amplop itu. "Ciu Toaya," katanya. "Barusan kita hanya guyon-guyon dan tak boleh dianggap sebagai sungguhan."

Alis Ciu Tiat Ciauw berkerut dan berkata dengan sikap keren: "Saudara Ouw, jika kau menolak, kau seperti juga menghina aku, si orang she Ciu. Jika aku yang menang, aku pun tak akan sungkan-sungkan lagi. Apa yang dipertaruhkan olehku adalah sebuah rumah yang baru dibeli olehku di Soan-bu-bun. Rumah itu tidak besar dan juga tidak kecil, tanahnya hanya seluas empat bauw." Sambil berkata begitu, ia mencabut sehelai surat rumah dari dalam amplop itu. Semua orang terkejut. Mereka tak nyana, pertaruhan itu ada sedemikian besar. Mereka tahu, bahwa sebuah gedung di daerah Soan-bu-bun paling sedikitnya berharga selaksa tahil perak.

Seraya mengangsurkan surat rumah itu kepada Ouw Hui, Ciu Tiat Ciauw berkata: "Hari ini kau diikuti Malaikat harta. Sekarang kita berhenti saja. Kalau kau menolak rumah ini, artinya kau memandang rendah kepadaku."

Ouw Hui tertawa seraya berkata: "Kalau begitu, baiklah aku menerima saja. Nanti, sesudah mengambil alih, aku akan mengundang saudara-saudara sekalian untuk berjudi lagi."

Semua orang lantas saja mengiyakan dengan hati gembira. Ciu Tiat Ciauw segera menyoja dan bersama Can Tiat Yo, lalu meninggalkan rumah makan itu. Tak lama kemudian, Ouw Hui dan Leng So pun meminta diri dan kembali ke rumah penginapan.

"Memang sudah nasibmu harus menjadi seorang kaya raya," kata Leng So seraya tertawa geli. "Biarpun ingin menolak, kau tak bisa menolaknya. Di Gie-tong-tin, kau telah meninggalkan rumah dan tanah. Siapa duga, baru saja datang di Pakkhia, kau kembali mendapat sebuah gedung."

"Orang she Ciu itu dapat dikatakan seorang gagah," kata Ouw Hui. "Kepandaian yang dipertunjukkannya bukan kepandaian yang bisa dimiliki oleh sembarang orang. Aku tak nyana dalam kalangan pembesar negeri terdapat orang begitu."

"Bagaimana dengan gedung itu?" tanya Leng So. "Mau ditinggali atau mau dijual?"

Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. "Mungkin sekali besok aku akan kalah habis-habisan," katanya.

"Apa kau kira Malaikat harta bisa terus menerus mengikuti aku?"

Pada keesokan paginya, baru saja mereka sarapan, pelayan hotel sudah datang bersama seorang setengah tua.

"Ouw Toaya, tuan ini ingin menemui kau," katanya.

Ouw Hui tak kenal orang itu yang memakai kaca mata hitam, mengenakan thungsha dan makwa baru dan berkuku panjang. Ia memberi hormat dengan menekuk lutut kanannya. "Ouw Toaya," katanya. "Ciu Tayjin menyuruh aku datang ke mari untuk menemui dan menanya Toaya, kapan Toaya mempunyai waktu untuk memeriksa gedung di Soan-bu-bun. Jika ada sesuatu yang kurang cocok, Toaya boleh memberitahukanku, supaya aku bisa panggil tukang untuk mengubahnya. Aku she Ong, pengurus gedung itu."

Karena memang ingin lihat macamnya gedung itu, ia segera berpaling kepada Leng So dan berkata: "Jie-moay, mari kita tengok."

Begitu tiba, Ouw Hui dan Leng So mengawasi dengan mulut ternganga. Gedung itu ternyata sebuah gedung besar dan mewah, pintunya dicat merah, temboknya tinggi dan undakan tangga dibuat dari batu marmer hijau. Mereka masuk di pintu tengah, ke ruangan depan, ruangan belakang, ruangan samping, terus sampai ke kamar-kamar samping yang terletak di kiri kanan. Gedung itu bukan saja besar dan mewah, tapi semua perabotannya pun indah dan lengkap.

"Ouw Toaya, jika kau sudah setuju, pindahlah sekarang," kata si orang she Ong. "Can Toaya sudah memesan meja perjamuan untuk menjamu Toaya, malam ini. Ciu Toaya, Ong Tayjin dan yang lain-lain pun akan datang ke sini untuk memberi selamat."

Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. "Aha! Mereka sudah mengatur sempurna sekali," katanya. "Kalau begitu, baiklah."

Si pengurus rumah segera membungkuk dan berlalu untuk mengurus segala keperluan.

"Toako," kata Leng So. "Menurut pendapatku, gedung ini berharga lebih dari dua laksa tahil perak. Aku merasa, bahwa dalam peristiwa ini bersembunyi apa-apa yang luar biasa."

"Benar," kata sang kakak. "Bagaimana pendapatmu?"

"Aku menduga ada seseorang yang diam-diam menyukai kau," jawabnya sambil tersenyum. "Maka itu, berulang-ulang ia memaksakan hadiah besar kepadamu."

Paras muka Ouw Hui berubah merah, karena ia merasa, bahwa "seseorang" itu dimaksudkan Wan Cie Ie. Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Leng So tertawa geli. "Toako, aku hanya guyon-guyon," katanya. "Aku tahu, kakakku adalah seorang jantan yang tidak memandang sebelah mata segala kekayaan dunia. Orang yang memberi hadiah sudah pasti bukan sahabatmu. Jika benar ia, bukankah lebih baik ia memberi sebuah Giok-hong-hong? Orang yang bersembunyi di belakang layar tentunya bukan manusia biasa."

"Hok Thayswee?" tanya Ouw Hui. "Mungkin sekali," jawabnya. "Hok Thayswee berkedudukan tinggi, beruang dan banyak kaki tangannya. Siapa yang bisa menandinginya? Di samping itu, kau tak boleh melupakan Ma Kouwnio. Sesudah ia mendapat kedudukan tinggi dan hidup mewah, sepantasnya saja jika ia ingin memberi apa-apa kepadamu. Mereka tahu, kau adalah manusia jujur dan keras kepala yang pasti tak mau menerima harta terkejut. Maka itu, mereka mengatur siasat dan memerintahkan orang-orangnya menyerahkan hadiah itu di atas meja judi."

Ouw Hui mengangguk. "Aku rasa tebakanmu tidak meleset," katanya. "Semalam jika benar Ciu Tiat Ciauw sengaja ingin menyerahkan gedung ini kepadaku, biarpun ia menang pada babak itu, ia tentu akan mengajak berjudi terus dan pada akhirnya ia pasti bisa mendapat jalan untuk mencapai maksudnya."

"Bagaimana pikiranmu sekarang?" tanya si adik.

"Malam ini aku akan mengajak mereka berjudi lagi dan akan sengaja membuat diriku kalah untuk mengembalikan gedung ini," jawabnya.

"Bagus!" kata si nona sambil tertawa geli. "Kedua belah pihak bukan berebut menang, tapi berebut kalah. Sungguh menarik!"

Malam itu, Can Tiat Yo telah mengirim satu meja perjamuan yang terdiri dari sayur-sayur pilihan dan si pengurus she Ong lalu mengaturnya di ruangan tengah dan menyalakan lilin-lilin besar, sehingga ruangan itu terang benderang bagaikan siang.

Tamu pertama adalah Ong Tiat Gok. Ia melihat-lihat seluruh gedung itu, dari depan sampai di belakang, dan mulutnya tak hentinya memuji Ouw Hui yang dikatakan sangat mujur dan berjiwa besar. "Ong Tiat Gok adalah seorang jujur, polos dan sangat mungkin ia tak tahu rahasia yang bersembunyi di balik peristiwa ini," kata Ouw Hui dalam natinya. "Biarlah sebentar di atas meja judi aku menyerahkan gedung ini kepadanya. Aku mau lihat bagaimana lagak kedua Suhengnya."

Tak lama kemudian, tibalah Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo, disusul oleh si orang she Tie, si orang she Siangkoan dan si orang she Liap. Selagi mereka beromong-omong, masuklah Cin Nay Cie sambil tertawa terbahak-bahak. "Saudara Ouw, aku membawa dua orang sahabat," katanya. "Coba lihat, apa kau kenal atau tidak?"

Ouw Hui mengawasi dan ternyata di belakang Cin Nay Cie mengikuti tiga orang, yang berjalan paling belakang adalah In Tiong Shiang. Bahwa si orang she In yang kemarin berlalu dengan penuh kegusaran, datang berkunjung adalah kejadian diluar dugaan. Dua orang lainnya adalah kakek-kakek yang tindakannya gagah dan bersemangat. Ouw Hui terkejut karena ia merasa sudah pernah bertemu dengan mereka dan mengenali, bahwa tindakan itu adalah tindakan-tindakan ahli Pat-kwa-bun. Di lain saat, ia mendusin dan buru-buru ia menghampiri sambil memberi hormat. "Aha! Aku tak nyana, bahwa yang datang adalah Jie-wie Cianpwee," katanya.

"Semenjak berpisahan di Siang-kee-poo, Jie-wie kelihatannya semakin gagah." Mereka itu memang bukan lain dari pada dua saudara Ong, Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat, dari Pat-kwa-bun.

Ouw Hui lantas saja mengundang para tamunya mulai bersantap dan mereka makan-minum dengan gembira sekali. Sebagai jago-jago dalam Rimba Persilatan apa yang diomongkan mereka adalah soal-soal Kang-ouw orang-orang gagah. Antara lain, In Tiong Shiang menuturkan pengalamannya di Siang-kee-po, cara bagaimana, waktu ia dan sejumlah orang lain dikurung api di dalam gedung keluarga Siang, Ouw Huilah yang sudah menolong mereka dengan kecerdikan dan kegagahan. Mendengar cerita yang menarik itu, semua orang memuji Ouw Hui tak habisnya.

Sesudah selesai bersantap, rembulan sudah naik tinggi dan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Hari itu ialah Peegwee Ceecap (tanggal sepuluh Bulan Delapan) dan hawa udara masih agak hangat. Si pengurus rumah tangga lantas saja menyediakan satu meja buah-buahan di pendopo dalam taman bunga dan kemudian mengundang semua orang duduk beromong-omong di situ sambil memandang sang Dewi Malam.

"Sekarang kita minum teh dan sebentar boleh berjudi lagi," kata Ouw Hui. "Bagaimana pendapat saudara-saudara sekalian?" Para tamu lantas saja mengiyakan dengan gembira.

Tapi baru saja mereka berduduk di pendopo itu, tiba-tiba terdengar suara percekcokan antara pengurus rumah tangga dan seseorang. Di lain saat si orang she Ong berteriak kesakitan, disusul dengan suara robohnya tubuh manusia.

Hampir berbareng, mendadak muncul seorang lelaki yang mukanya hitam dan tubuhnya tinggi besar dan menghampiri pendopo dengan tindakan lobar. Begitu berhadapan, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menepuk meja, sehingga cangkir-cangkir teh dan piring-piring pada melompat dan jatuh hancur di lantai. Sesudah itu, sambil menuding Ciu Tiat Ciauw, ia berteriak: "Ciu Toako, ini salahmu! Aku menjual gedung ini kepadamu dengan harga dua laksa tahil. Harga itu harga separuh hadiah, karena aku memandang mukamu. Apa kau kira aku tak kenal uang? Sungguh tak dinyana, kau sudah menyerahkannya dengan begitu saja kepada orang lain. Benar-benar gila! Cobalah saudara-saudara pikir, apa ini bukan keterlaluan? Aku sungguh merasa penasaran."

"Jika kau merasa tak cukup, kau boleh bicara baik-baik," kata Ciu Tiat Ciauw dengan suara tawar. "Rumah ini adalah milik sahabatku. Perlu apa kau datang mengacau?"

Orang itu jadi semakin gusar dan lalu mengangkat tangannya untuk menepuk meja lagi.

Dengan cepat Ciu Tiat Ciauw menangkap dan menyengkeram kedua pergelangan tangan orang kasar itu. Ia bertubuh kurus kecil dan tingginya hanya sebatas pundak orang itu, tapi begitu ia menyengkeram, si tinggi besar tak bisa berkutik lagi. Ia lalu menyeretnya ke luar pendopo dan bicara bisik-bisik. Tapi orang itu kelihatannya tetap tak mau mengerti, sehingga ia jadi gusar dan mendorongnya dengan keras. Begitu didorong, orang itu terhuyung beberapa tindak dan menubruk satu pohon, sehingga patah beberapa cabangnya.

"Manusia semberono!" bentak Ciu Tiat Ciauw. "Tunggu di luar! Kalau kau sudah bosan hidup, hayolah mengacau terus!" Sambil mengusut-usut pundaknya yang sakit, si kasar lalu berjalan ke luar tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi.

Can Tiat Yo tertawa terbahak-bahak. "Manusia semberono itu benar-benar sudah menyapu kegembiraan kita," katanya.

"Toasuko, sebenarnya kau harus menghajar dia."

"Aku hanya mengingat, bahwa biarpun dia kasar, hatinya cukup baik," kata sang kakak. "Maka itu, aku sungkan meladeninya. Ouw Toako, kejadian ini sangat memalukan."

"Jika rumah ini dibeli terlalu murah, biarlah aku memberi sedikit tambahan kepadanya," kata Ouw Hui.

"Ouw Toako, jangan kau berkata begitu," kata Ciu Tiat Ciauw dengan terburu-buru. "Urusan ini akan dibereskan olehku sendiri dan Toako tak usah buat pikiran. Manusia kasar itu memang sangat kurang ajar. Ia tak tahu, bahwa Toako adalah seorang jantan tulen. Aku yakin, ia sekarang sudah merasa sangat menyesal dan kuingin memanggilnya ke mari supaya ia bisa menghaturkan maaf. Dengan memandang mukaku dan lain-lain saudara yang berada di sini, aku mengharap Toako bisa melupakan kejadian yang tak enak ini. Bagaimana? Apa Toako bisa menyetujui usulku ini?"

Ouw Hui tertawa seraya berkata: "Ciu Toako, soal meminta maaf jangan disebut-sebut lagi. Jika ia sahabatmu, undanglah ke mari supaya kita bisa minum bersama-sama."

Ciu Tiat Ciauw lantas saja bangun berdiri. "Ouw Toako adalah seorang enghiong dan kami semua merasa beruntung bisa mengikat tali persahabatan denganmu," katanya pula. "Untuk kekeliruannya manusia semberono itu, kami beramai ingin menghaturkan maaf. Kami tahu, bahwa Ouw Toako adalah seorang yang berjiwa besar dan tentu tak akan menaruh dendam lagi."

Cin Nay Cie dan Can Tiat Yo pun segera bangun berdiri dan berkata seraya menyoja: "Ouw Toako, kami juga ingin menghaturkan terima kasih kepadamu." Ouw Hui buru-buru bangun dan membalas hormatnya kedua orang itu.

"Nah, biarlah sekarang aku memanggil orang kasar itu supaya dia bisa menghaturkan maaf," kata Ciu Tiat Ciauw sambil berjalan pergi.

Ouw Hui dan Leng So saling mengawasi dengan perasaan bimbang. Walaupun perbuatan orang itu melanggar kesopanan, tapi cara-cara dan perkataan Ciu Tiat Ciauw yang begitu manis dan bertele-tele sangat mencurigakan. Ada apa yang bersembunyi di belakang kata-kata yang manis itu?

Selang beberapa saat dari luar terdengar suara tindakan dua orang dan Ciu Tiat Ciauw segera muncul sambil menuntun tangannya seorang. "Manusia semberono!" teriaknya sambil tertawa terbahak-bahak. "Lekas kau mengangkat tiga cawan arak untuk Ouw Toako! Inilah yang dinamakan, tidak berkelahi tidak jadi sahabat. Ouw Toako Sudan meluluskan untuk memaafkan kau. Perkataan seorang laki-laki tak dapat dikejar oleh kuda yang paling cepat larinya. Hari ini kau mendapat pengampunan."

Tiba-tiba, seperti dipagut ular Ouw Hui bangun dan melompat ke luar pendopo, akan kemudian, dengan sekali menjejak kaki, ia sudah berada di belakang orang yang dituntun Ciu Tiat Ciauw dan mencegat jalanan mundurnya.

"Orang she Ciu!" bentaknya dengan paras muka merah padam. "Permainan gila apakah yang sedang dijalankan olehmu? Jika aku tidak membunuh manusia keji itu, percuma saja Ouw Hui hidup di kolong langit!"

Siapakah orang yang dibawa Ciu Tiat Ciauw?

Dia bukan lain dari pada Hong Jin Eng, jagoan Hud-san-tin yang telah membinasakan keluarga Ciong A-sie! Sesaat itu Ouw Hui mengerti. Ia mengerti, bahwa Ciu Tiat Ciauw telah menyuruh seorang kaki tangannya yang dinamakan sebagai "si-semberono", untuk mengacau dan kemudian menjalankan siasat, sehingga ia berjanji untuk memaafkan orang yang bersalah kepadanya. Sesaat itu juga, di depan matanya terbayang kebinasaan yang mengenaskan dari keluarga Ciong dan mengingat itu, kedua matanya seolah mengeluarkan api.

"Ouw Toako, sekarang baiklah aku berterus terang saja," kata Ciu Tiat Ciauw. "Rumah dan tanah di Gie-tong-tin adalah hadiah dari si semberono ini. Rumah ini dan segala perabotannya juga diberikan olehnya. Maka itu dapat dilihat, bahwa ia sungguh-sungguh ingin menghaturkan maaf kepadamu. Seorang laki-laki harus bisa mengambil dan juga bisa memberi. Perlu apa kita terus menaruh dendam karena pertikaian kecil pada masa yang lampau? Hong Lootoa, lekas memberi hormat kepada Ouw Toako!"

Melihat Hong Jin Eng mengangkat kedua tangannya, Ouw Hui segera membentak: "Tahan!" Ia berpaling kepada Thia Leng So seraya memanggil: "Jie-moay, ke mari!" Si nona buru-buru menghampiri dan mereka lalu berdiri dengan berendeng pundak. Sesudah itu, barulah ia berkata dengan suara nyaring: "Saudara-saudara, dengarlah sedikit perkataanku! Aku hanya bersahabat dengan orang-orang yang bersatu pikiran, dengan orang-orang yang dapat membedakan benar dan salah. Makan-minum dan berjudi bersama-sama tak menjadi ukuran. Bukankah manusia-manusia rendah pun bisa makan-minum dan berjudi bersama-sama? Seorang laki-laki sejati mengutamakan ksatriaan. Jika ada orang ingin membeli aku, si orang she Ouw, dengan kekayaan dunia, orang itu sungguh memandang diriku sebagai manusia tidak berharga sepeser buta."

"Ouw Toako, kau salah mengerti," kata Can Tiat Yo sambil tersenyum. "Hong Lootoa memberi hadiah yang tak berharga hanya untuk mengunjuk rasa hormatnya. Pemberian hadiah itu sama sekali tidak berarti ia memandang rendah kepadamu."

Ouw Hui menggoyangkan tangannya dan berkata pula: "Manusia she Hong ini adalah jagoan yang sangat sewenang-wenang di propinsi Kwitang. Hanya karena ingin merampas sebidang tanah yang sangat kecil, dia telah membunuh seluruh keluarga Ciong, besar dan kecil semuanya tak mendapat ampun. Dengan keluarga Ciong, Ouw Hui tak punya sangkutan famili atau persahabatan. Tapi sesudah aku mengambil keputusan untuk mencampuri urusan ini, aku bersumpah untuk tidak hidup bersama-sama dengan buaya itu di kolong langit. Kalau sikapku ini menyinggung saudara-saudara, yah, apa boleh buat. Aku hanya mengharap kalian sudi memaafkan, Ciu Toako, terimalah surat rumah ini." Ia merogoh saku dan lalu melontarkan amplop yang berisi surat rumah kepada Ciu Tiat Ciauw. Amplop tersebut melayang perlahan-lahan ke depan Tiat Ciauw yang terpaksa menyambutinya. Semula ia ingin melempar balik, tapi ia mengurungkan niatannya karena merasa Iweekangnya tidak cukup tinggi untuk menyontoh perbuatan Ouw Hui.

"Tempat ini adalah kota raja, yaitu tempat kediaman kaisar," kata pula Ouw Hui. "Aku tak tahu, manusia she Hong ini mempunyai berapa banyak kaki tangan dan sahabat. Tapi aku sudah mengambil ke putusan untuk mempertaruhkan jiwaku. Saudara-saudara! Mereka yang menganggap dirinya sebagai sahabat Ouw Hui, janganlah campur-campur urusan ini. Mereka yang menjadi sahabat manusia she Hong itu, hayolah maju beramai-ramai!" Sehabis berkata begitu, ia mamasang kuda-kuda, siap sedia untuk menyambar setiap serangan. Ia insyaf, bahwa di kota raja terdapat banyak sekali ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi. Bahwa Hong Jin Eng sudah berani muncul, tentulah juga dia sudah mempunyai senderan kuat. Jangankan kaki tangan yang lain, sedangkan kedua saudara Ong, Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo saja sudah merupakan lawan yang sangat berat. Tapi, sebagaimana telah dikatakan Ouw Hui, pada waktu itu ia sudah tidak memikir hidup.

Ciu Tiat Ciauw tertawa terbahak-bahak. "Ouw Toako," katanya. "Jika kau tak sudi memberi muka, urusan ini tentu tak akan dapat didamaikan. Sudahlah! Hong Lootoa, kau boleh pulang. Kami ingin berdiam terus di sini untuk minum arak dan berjudi."

Tapi Ouw Hui mana mau mengerti? Sesudah mencari di mana-mana, baru sekarang ia bertemu dengan manusia kejam itu. Mana bisa ia melepaskannya dengan begitu saja? Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia lalu mengangkat kedua tangannya dan menerjang manusia she Hong itu.

Alis Ciu Tiat Ciauw berkerut. "Inilah keterlaluan," katanya seraya melompat dan membalik tangan kanannya untuk menyengkeram pergelangan tangan Ouw Hui. Sebelum menyerang, Ouw Hui sudah memperhatikan gerak-gerik setiap orang. Melihat gerakan Ciu Tiat Ciauw, ia berkata dalam hatinya: "Kamu berlagak manis-manis terhadapku, maka biarlah dalam gebrakan ini, aku tak turun tangan." Memikir begitu, ia membiarkan pergelangan tangannya dicekal si orang she Ciu.

Di lain pihak, Ciu Tiat Ciauw jadi girang bukan main. "Aku tak mengerti bagaimana Cin Nay Cie, Hong Lootoa dan yang lain-lain memuji bocah ini setinggi langit," pikirnya. "Kalau aku tahu kepandaiannya hanya sebegini, aku tentu tak sudi berlaku begitu sungkan terhadapnya." Ia segera mengempos semangat dan coba menyeret Ouw Hui seraya berkata: "Sudahlah! Jangan berkelahi."

Tapi si orang she Ciu lantas saja kaget tak kepalang. Ia merasa pergelangan tangan pemuda itu keras bagaikan besi, sedang badannya seperti juga sebuah gunung yang melekat di tanah. Mukanya lantas saja berubah pucat karena malu. Tiba-tiba saja, ia merasa semacam tenaga yang sangat dahsyat menerobos ke luar dari pergelangan tangan pemuda itu dan mendorongnya ke belakang. Tanpa berdaya, ia melepaskan cekalan dan tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa tindak.

Harus diketahui, bahwa barusan Ciu Tiat Ciauw menyengkeram dengan menggunakan ilmu paling tinggi dari Eng-jiauw-gan-heng-bun. Dengan begitu, dalam gebrakan tersebut, Ouw Hui sudah menjatuhkan seorang tokoh penting dari partai tersebut.

Dengan menggunakan kesempatan itu, cepat-cepat Hong Jin Eng memutar badan dan terus kabur. Sambil membentak keras, Ouw Hui melompat dan mengirim satu pukulan yang ditangkis oleh musuhnya.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar teriakan Can Tiat Yo: "Ouw Toako! Kita lagi enak-enak minum. Perlu apa kau merusak keakuran?" Sambil berteriak begitu, ia juga turut melompat dan lima jarinya yang ditekuk bagaikan cakar garuda menyambar punggung Ouw Hui. Di luar, ia kelihatannya hanya ingin menarik baju pemuda itu untuk mencegah pertempuran, tapi sebenarnya, dengan cengkeraman itu, ia turunkan tangan jahat. Ouw Hui yang sedang menerjang musuhnya, seolah-olah tak tahu bakal dibokong, sehingga tanpa merasa, si orang she Liap berteriak: "Ouw Toako, awas!"

Hampir berbareng dengan peringatan itu, lima jari Can Tiat Yo sudah mampir di punggung Ouw Hui! Tapi, seperti juga kakaknya, si orang she Can kaget bukan main, karena lima jarinya seperti juga menyengkeram besi.

Melihat dua kawannya tak bisa merintangi pemuda itu, In Tiong Shiang lantas saja meloncat dan, tanpa pura-pura, ia lalu menghantam muka Ouw Hui. Bagaikan kilat, Ouw Hui menunduk dan mengegos ke samping, sedang tangan kirinya menyambar punggung musuh. Sambil membentak, ia mengangkat dan melontarkan tubuh In Tiong Shiang yang lantas saja terbang ke arah Hong Jin Eng.

Dengan berbuat begitu, tujuan Ouw Hui adalah untuk mencegah maburnya manusia she Hong itu. Jika Hong Jin Eng berkelit, kepala In Tiong Shiang pasti akan membentur sebuah gunung-gunungan. Maka itu, menurut kepantasan, ia harus menyambuti tubuh kawannya yang sedang melayang ke arahnya. Dan jika ia menyambuti, Ouw Hui akan bisa menyandaknya.

Tapi sebagaimana diketahui, Hong Jin Eng adalah manusia kejam. In Tiong Shiang turun tangan untuk menolong jiwanya, tapi dia hanya ingat kepentingan sendiri. Sebaliknya dari menyambuti tubuh si kawan, dengan cepat ia menendangnya untuk meminjam tenaga dan badannya lantas saja melesat ke atas tembok taman. "Buk!" tubuh si orang she In membentur gunung-gunungan batu dan ia pingsan seketika itu juga.

Orang-orang yang berada di situ rata-rata mempunyai kepandaian tinggi. Melihat perbuatan Hong Jin Eng, bukan main rasa kecewa mereka. Kedua saudara Ong sebenarnya sudah ingin membantu, tapi mereka lantas saja merasa muak dan mengurungkan niatan mereka.

Melihat musuhnya melompat ke atas tembok, Ouw Hui jadi agak bingung. Ia merasa, bahwa jika Hong Jin Eng bisa mabur keluar, ia bakal menghadapi pekerjaan lebih berat, sebab di luar gedung itu tentulah juga sudah berkumpul kaki tangannya manusia she Hong itu. Memikir begitu, sambil mengempos semangat, ia menjejak kedua kakinya. Dilain pihak, begitu kedua kakinya hinggap di atas tembok, Hong jin Eng merasa adanya seorang lain di sampingnya. Begitu menengok, kagetnya bagaikan disambar petir, sebab orang itu bukan lain dari pada Ouw Hui. Dengan cepat ia menyambut sebilah pisau belati dan lalu menikam pemuda itu.

Ouw Hui menendang pergelangan tangan musuh dan pisau itu terbang ke atas akan kemudian jatuh di luar tembok. Tapi Hong Jin Eng pun bukan seorang lemah. Begitu lekas pisaunya terpukul jatuh, ia segera menghantam dengan tinju kiri. Sebaliknya dari berkelit atau menangkis, sambil mengempos semangat Ouw Hui memapaki tinju musuh dengan dadanya. "Buk!" Badan Hong Jin Eng bergoyang-goyang dan terpelanting ke bawah. Ternyata, tinju yang menghantam dada telah didorong dengan serupa tenaga yang tidak kelihatan. Begitu musuhnya roboh, Ouw Hui turut melompat ke bawah dan menjejak kepala si orang she Hong dengan kakinya. Pada detik terakhir, dengan menggulingkan badan, ia masih dapat menyelamatkan dirinya dan kemudian, melompat pula ke atas tembok. Kali ini, Ouw Hui yang sudah mata merah, sungkan memberi kesempatan lagi kepada musuhnya. Ia mengempos semangat dan menjejak kedua kakinya, sehingga tubuhnya ngapung ke atas beberapa kaki lebih tinggi dari pada Hong Jin Eng. Mereka melayang turun dengan berbareng. Kedua kaki Hong Jin Eng hinggap di atas tembok, tapi Ouw Hui sendiri menyemplak  pundak musuhnya, seperti orang menunggang kuda. Begitu ia menjepit dengan kedua lututnya, Hong Jin Eng merasa dadanya sesak.

Sekarang manusia kejam itu putus harapan. Ia meramkan kedua matanya dan menunggu kebinasaan.

"Bangsat!" bentak Ouw Hui. "Hari ini kedosaanmu sudah meluber." Ia mengangkat tangan untuk menepuk batok kepala Hong Jin Eng.

Tapi... sebelum tangannya turun, tiba-tiba saja ia merasakan kesiuran angin yang sangat tajam di punggungnya. "Tahan!" bentak seorang dengan suara merdu.

Ouw Hui terkejut, tanpa menengok satu tangannya mengebas ke belakang untuk menangkis serangan itu. Gerakan orang itu ternyata gesit luar biasa. Begitu tikamannya yang pertama tertangkis, dengan beruntun ia mengirim dua tikaman pula ke pundak Ouw Hui. Karena sedang menunggang pundak musuh, Ouw Hui tak bisa memutar badan dan dengan terpaksa ia lalu melompat turun dari atas tembok. Bagaikan bayangan orang itu menyusul dan terus mengirim serangan-serangan berantai.

"Wan Kouwnio!" bentak Ouw Hui. "Mengapa kau selalu merintangi aku?" Ternyata, orang yang mengenakan baju biru dan kepalanya dibungkus dengan kain hijau, bukan lain dari pada Wan Cie Ie. Di bawah sinar rembulan, paras si nona kelihatan separuh gusar dan separuh geli dan ia membentak dengan suara merdu: "Hari ini aku justru ingin meminta pengajaran Ouw Tayhiap mengenai ilmu Kong-chiu Jip-pek-to (Dengan tangan kosong masuk di rimba golok)."

Tunggu sampai di lain hari," kata Ouw Hui sambil melompat untuk mengubar Hong Jin Eng. Tapi bagaikan kera, si nona turut meloncat dan di lain saat, pisau belati sudah menyambar tenggorokan, sehingga, mau tak mau, Ouw Hui mesti berkelit. Wan Cie Ie sungkan memberi kesempatan lagi dan terus mencecar dengan serangan-serangan hebat dan mereka lantas saja bertempur mati-matian. Itulah satu pertempuran yang menarik luar biasa. Cepat, gesit lawan gesit, apa yang dilihatnya hanya bayangan badan, tangan dan pisau yang berkelebat-kelebat bagaikan kilat. Ciu Tiat Ciauw, Can Tiat Yo, kedua saudara Ong dan yang lain-lain adalah ahli-ahli silat yang kenamaan. Tapi biarpun begitu, mata mereka berkunang-kunang dan mereka menonton pertempuran itu dengan rasa kagum bukan main.

Mendadak, berbareng dengan bentakan Ouw Hui, tubuh mereka melayang kembali ke atas tembok, akan kemudian bersama-sama melompat turun ke luar tembok. Pertempuran lantas saja dilangsungkan dengan tidak kurang hebatnya.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa Hong Jin Eng yang panjang, nyaring dan menyeramkan. "Saudara Ouw!" teriaknya.

"Aku tak bisa menemani kau lagi. Lain hari kita bertemu kembali." Suara tertawa itu semakin lama jadi semakin jauh kedengarannya.

Ouw Hui jadi gusar bukan main. Ia ingin mengubar, tapi Wan Cie Ie terus mencecarnya dengan pukulan-pukulan yang membinasakan. "Wan Kouwnio!" bentaknya. "Aku dan kau sama sekali tidak punya permusuhan...." Belum habis perkataannya, pisau si nona sudah menyambar pundak kirinya.

Harus diketahui, bahwa dalam pertempuran mati-matian antara jago dan jago, siapa pun tak dapat memecah pemusatan perhatiannya. Ilmu silat Ouw Hui hanya lebih unggul setengah tingkat dari pada si nona, tapi dengan bertangan kosong dan lawannya bersenjata pisau, keunggulan itu hilang dan kekuatan mereka jadi berimbang. Maka itulah, dalam jengkelnya selagi ia berteriak dengan penuh kedongkolan, pisau Wan Cie Ie sudah mampir di pundak kirinya.

"Brt!" baju Ouw Hui robek tergores pisau. Sebenarnya jika sedikit saja si nona menekan ke bawah, pundak itu tentu sudah berlubang. Tapi di luar dugaan, pada detik terakhir, ia mengangkat sedikit tangannya, sehingga pisau yang menyambar bagaikan kilat itu, hanya menggores baju. "Ah! Mengapa ia tidak menikam?" tanya Ouw Hui dalam hatinya.

Si nona tertawa terpingkal-pingkal. Ia melontarkan pisaunya ke arah Ouw Hui dan berbareng membuka Joan-pian (pecut) yang terlibat di pinggangnya. "Ouw Toako, mari kita menjajal-jajal kepandaian dengan menggunakan senjata," katanya.

Baru saja Ouw Hui mau menyambuti pisau itu, mendadak terdengar teriakan Leng So: "Ouw Toako, gunakanlah golok ini!" Hampir berbareng si nona yang berdiri di atas tembok, melemparkan sebatang golok. Ternyata, nona Thia yang khawatirkan keselamatan Ouw Hui buru-buru mengambil senjatanya dan melompat ke atas tembok.

"Aduh! Manis benar adiknya!" kata Wan Cie Ie dengan suara mengejek. Mendadak ia menyabetkan pecutnya ke tembok dan Leng So buru-buru melompat turun kembali ke dalam taman. Begitu pecutnya tersangkut di atas tembok, dengan sekali meminjam tenaga, bagaikan seekor elang, tubuh Wan Cie Ie terbang melewati tembok itu. Dan sebelum kakinya hinggap di tanah, ia sudah menyabet dengan pecutnya seraya berteriak: "Moay-moay, sambutlah seranganku!" Leng So berkelit, tapi Wan Cie Ie tidak berhenti sampai di situ dan dalam sekejap nona Thia sudah dikurung dengan bayangan pecut yang berkelebat-kelebat seperti kilat.

Ouw Hui mengetahui, bahwa Leng So bukan tandingan Cie Ie. Sebenarnya, dengan menggunakan kesempatan itu, ia ingin sekali mengubar Hong Jin Eng. Tapi, karena memikir keselamatan nona Thia, ia segera mengurungkan niatannya itu dan lalu melompat masuk pula ke dalam taman. "Wan Kouwnio!" bentaknya seraya mengangkat golok. "Jika kau ingin menjajal ilmu, marilah!"

"Aduh! Manisnya sang kakak!" seru nona Wan dengan suara mengejek dan terus menyapu Ouw Hui dengan pecutnya.

Dengan masing-masing menggunakan senjata yang biasa digunakannya, apa yang terlihat dalam gelanggang pertempuran berbeda dari pada tadi. Kalau tadi mereka hanya mengutamakan kelincahan, tenaga Iweekang dan tipu-tipu rahasia yang luar biasa. Ouw Hui sendiri segera menyerang dengan menggunakan Ouw-kee To-hoat. Ilmu golok yang lihay itu mengandung kekerasan dalam kelembekan dan mengandung kelembekan dalam kekerasannya, bacokan-bacokannya dahsyat dan cepat, bagaikan geledek dan angin, sedang keteguhannya seolah-olah sebuah gunung. Di lain pihak, ilmu Joan-pian dari si nona pun tak kurang hebatnya. Pecut itu terputar-putar dan menyambar-nyambar, seakan-akan seekor naga yang sedang bermain-main di tengah lautan besar. Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur puluhan jurus, dengan ditonton oleh para ahli silat sambil menahan napas.

Akan tetapi, walaupun di luarnya Wan Cie Ie seperti juga sedang bertempur mati-matian, Ouw Hui mengetahui, bahwa si nona tidak bertempur untuk mengadu jiwa. Pada detik-detik yang berbahaya, si nona selalu menarik pulang pecutnya pada saat terakhir atau sengaja tidak meneruskan serangannya yang membinasakan. Melihat begitu, ia jadi semakin heran dan mendongkol.

Sementara itu, melihat Ouw Hui sudah "diikat" oleh Wan Cie Ie, Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo yang tadi telah dirobohkan oleh pemuda itu, lantas saja timbul niatan curangnya. Sesudah saling memberi isyarat dengan kedipan mata, mereka segera berdiri berpencaran untuk menunggu kesempatan guna membokong Ouw Hui dengan berbareng.

Sebagaimana diketahui, biarpun seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi selalu berwaspada, mata dan kupingnya tajam luar biasa dan memperhatikan segala apa yang terjadi di seputarnya. Maka itu, gerak-gerik Ciu Tiat Ciauw dan adiknya tidak terlolos dari mata Ouw Hui dan Cie Ie.

"Celaka!" mengeluh Ouw Hui. "Kalau mereka menyerang, meskipun aku masih dapat menyelamatkan diri, Thia Moay-moay bisa celaka." la melirik adiknya yang tetap berdiri dengan paras muka tenang.

Dalam bingungnya, ia mengempos semangat dan lalu mengirim tiga bacokan beruntun dengan menggunakan pukulan yang terlihay dari Ouw-kee To-hoat.

Dengan gesit, Wan Cie Ie mengegos satu bacokan dan menangkis bacokan yang kedua. Sesudah itu, tanpa menghiraukan bacokan ketiga yang menyambar pinggangnya, ia membentak keras sambil menyabet dengan pukulan Hong-hong-sam-tiam-tauw (Burung Hong tiga kali manggut) ke arah Ciu Tiat Ciauw, Can Tiat Yo dan Cin Nay Cie, yang jadi kaget bukan main sebab pukulan itu menyambar secara tidak diduga-duga. Dengan serentak mereka melompat mundur, tapi Can Tiat Yo yang gerakannya agak terlambat sudah tergores ujung pecut, sehingga mukanya mengeluarkan darah.

Pada detik itu bacokan Ouw Hui yang ketiga menyambar terus dan ujung golok hanya terpisah setengah kaki dari pinggang si nona. Melihat keanehan Wan Cie Ie yang mendadak mengambil pihaknya dan menghantam musuh dengan menggunakan seantero kepandaiannya Ouw Hui menahan gerakan goloknya yang mendadak berhenti di tengah jalan. Harus diketahui, bahwa kepandaian itu adalah sepuluh kali lebih sukar dari pada mengirim bacokan yang hebat.

Sambil melirik dengan sepasang matanya yang sangat bagus, si nona berkata: "Mengapa kau tidak menikam terus?"

Tiba-tiba Can Tiat Yo berteriak: "Aduh! Manisnya kakak dan adik!"

Paras muka Wan Cie Ie sekonyong-konyong berubah dan ia lalu melibat Joan-pian di pinggangnya. Ia menengok ke arah Ouw Hui seraya berkata: "Ouw Toako, bolehkah kau memperkenalkan enghiong-enghiong itu kepadaku?"

Untuk sejenak Ouw Hui mengawasi si nona karena merasa heran melihat caranya. "Baiklah," katanya. "Yang ini adalah Ciangbunjin dari Pat-kek-kun Cin Nay Cie Toaya, yang itu Ciangbunjin Eng-jiauw-gan-heng-bun Ciu Tiat Ciauw Toaya...." Ia terus memperkenalkan Ong Kiam Eng, Ong Kiam Kiat, Can Tiat Yo dan yang Iain-lain.

Ketika itu Ong Kiam Kiat sudah berhasil menyadarkan In Tiong Shiang yang lalu mencaci maki Hong Jin Eng sebagai manusia yang tak mengenal pribudi.

Paling belakang, Ouw Hui berkata: "Nona ini adalah Wan Kouwnio." Ia berdiam sejenak dan, seperti orang yang ingat apa-apa, ia menyambung perkataannya: "Wan Kouwnio adalah Cong-ciang-bun (pemimpin umum) dari tiga partai, yaitu Siauw-lim Wie-to-bun, Pat-sian-kiam dari Kwisay, Kiu-liong-pay dari Ek-kee-wan di propinsi Ouwlam."

Mendengar itu, semua orang berubah parasnya. Mereka tahu, bahwa Ouw Hui tak akan berdusta, tapi di dalam hati, mereka merasa sangsi.

Wan Cie Ie tersenyum seraya berkata: "Kau belum memberi keterangan selengkapnya. Aku juga telah menjadi Ciangbunjin dari partai Kun-lun-to dari Han-tan-koan, di propinsi Hopak, partai Thian-kong-kiam dari Ciang-kek-hu dan dari partai Lo-cia-kun di Po-teng-hu."

"Ah! Selamat, selamat!" kata Ouw Hui sambil tertawa terbahak-bahak. "Aku tak tahu, di sepanjang jalan, nona juga sudah merebut kedudukan Ciangbunjin dari tiga partai."

"Terima kasih," kata Wan Cie Ie. "Dalam perjalanan ke Pakkhia, aku sebenarnya berangan-angan untuk menjadi Congciangbun dari sepuluh partai. Hanya sayang, aku tak berhasil mengalahkan Ceng-hie Toojin dari Bu-tong-san di Ouwpak dan aku pun tak berani mengganggu Bu Sit Hweeshio dari Siauw-lim-sie di Holam. Maka itu, sungguh kebetulan di tempat ini berkumpul tiga orang Ciangbunjin. Eh, Tie Toaya, apakah Ciangbunjin Lui-tian-bun dari Saypak, Ma Loo-hu-cu sudah tiba di Pakkhia?"

Mendengar Wan Cie Ie menanyakan gurunya, si orang she Tie yang bernama Hong, segera menjawab: "Guruku belum pernah datang di wilayah Tionggoan. Segala urusan diserahkan saja kepada muridnya."

"Bagus!" kata si nona sambil tersenyum. "Oleh karena kau adalah murid pertama, maka kedudukanmu adalah separuh Ciangbunjin. Nah! Malam ini aku ingin merebut kedudukan tiga setengah Ciangbunjin!"

Semua orang mendongkol bukan main. Seraya merangkap kedua tangannya, Cin Nay Cie tertawa terbahak-bahak. "Ciangbunjin dari Siauwlim Wie-to-bun Ban Ho Seng Toako telah bersahabat denganku puluhan tahun lamanya. Bagaimana ia telah menyerahkan kedudukan Ciangbunjin kepada nona?"

"Ban Toaya sudah meninggal dunia," jawabnya. "Suteenya, yaitu Ban Ho Cin, tak bisa menangkan aku, sedang tiga muridnya lebih tolol lagi. Kita sudah mengadu kepandaian dengan menggunakan senjata, sehingga biarpun mereka tak sudi, mereka harus menyerahkan juga kedudukan Ciangbunjin kepadaku. Cin Loosu, lebih dulu aku ingin belajar kenal dengan ilmu pukulan Pat-kek-kun. Sesudah itu, barulah aku meminta pengajaran dari Ciu Loosu, Ong Loosu dan Tie Loosu. Aku sudah mengambil putusan untuk lebih dulu merebut kedudukan Ciangbunjin dari sepuluh partai dan kemudian, barulah aku menghadiri pertemuan antara para Ciangbunjin yang bakal diadakan."

Dengan berkata begitu, terang-terang si nona tidak memandang sebelah mata kepada Ciu Tiat Ciauw dan yang lain-lain. Mereka itu adalah orang-orang gagah yang namanya besar dalam Rimba Persilatan, sehingga biarpun mesti mati, mereka tentu tak akan mundur.

Sambil tersenyum Ciu Tiat Ciauw lantas saja berkata: "Semenjak guru kami meninggal dunia, di antara murid-muridnya tak satu pun yang boleh dilihat orang. Dari sepuluh bagian kepandaian Sian-su (mendiang guru), tak satu bagian yang berhasil dipelajari kami. Bahwa Kouwnio sudi memberi pelajaran, adalah sangat menggirangkan. Tapi oleh karena kami semua adalah orang-orang tolol, kami hanya mengerti ilmu partai sendiri dan tak pernah belajar ilmu dari cabang lain."

"Tentu saja," kata si nona. "Jika aku tak mahir dalam ilmu Eng-jiauw-gan-heng-bun, cara bagaimana aku berani menjadi Ciangbunjin dari partai tersebut. Untuk hal ini, Ciu Loosu boleh legakan hati."

Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo jadi semakin gusar, sehingga paras mereka sebentar pucat dan sebentar merah. Sedari ke luar dari rumah perguruan, belum pernah ada orang berani memandang enteng mereka.

Sementara itu, Cin Nay Cie yang pintar sudah menghitung-hitung segala kemungkinan. Sesudah menyaksikan pertempuran antara Ouw Hui dan Cie Ie. ia yakin, bahwa ilmu silat si nona kira-kira berimbang dengan pemuda itu. Ia sendiri pernah dijatuhkan Ouw Hui, sehingga ia juga tentu tak bisa menangkan Cie Ie. Dari sebab begitu, jalan yang paling baik ialah membiarkan nona Wan bertempur iebih dulu dengan Ciu Tiat Ciauw, Ong Kiam Eng dan yang lain-lain dan kemudian, sesudah si nona lelah, barulah ia yang turun tangan. Mengingat begitu, lantas saja ia berkata: "Kepandaian Ciu Loosu dan Ong Loosu banyak lebih tinggi daripadaku. Maka itu, biarlah aku yang maju paling belakang."

Wan Cie Ie tertawa geli. "Biarpun tidak diakui olehmu, aku sudah tahu," katanya. "Sekarang paling dulu aku mau bertempur dengan yang paling lemah. Diluar tanahnya licin, mari kita main-main di dalam pendopo. Mari!" Sambil menantang ia melompat masuk ke dalam pendopo dan memasang kuda-kuda dengan merapatkan kedua kakinya, sedang sepuluh jarinya yang dirapatkan dengan telapakan tangan menghadap ke atas, digunakan untuk melindungi kempungan. Inilah kuda-kuda pukulan Hway-tiong-po-gwat (Mendukung rembulan di dada) dari partai Pat-kek-kun.

Cin Nay Cie terkesiap. Sudah ditantang, ia tak bisa mundur. "Ilmu silat dari partaiku tidak banyak tersiar dalam Rimba Persilatan," pikirnya. "Dari mana ia belajar?" Tapi walaupun hatinya heran, paras mukanya tidak berubah. "Baiklah," katanya. "Biarlah aku menyingkirkandulu kursi-meja, supaya tidak merintangi gerakan kita."

"Cin Loosu salah," kata si nona. "Ilmu silat dari partai kita yang terdiri dari empat puluh sembilan jalan mengutamakan kegesitan dan kelincahan, sehingga bisa bertempur di tempat-tempat yang paling sulit. Jika Loosu menghiraukan kursi-meja, apakah Loosu bisa menyuruh musuh menyingkirkan kursi-meja, jika sedang berhadapan dengan musuh tulen?" Mendengar kata-kata itu yang diucapkan dengan nada seorang guru terhadap muridnya, paras muka Cin Nay Cie lantas saja berubah merah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia segera meloncat dan menghantam dengan pukulan Tui-san-sit (Men-dorong gunung).

Si nona menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak berkelit, hanya maju setindak ke sebelah kiri dan karena dirintangi meja, Cin Nay Cie tak dapat memukul lagi. Sesudah pukulan yang pertama meleset, dengan geregetan ia lalu mengirim tiga pukulan berantai dengan beruntun-runtun. Gesit luar biasa, si nona mengegos tiga pukulan itu dan kemudian, pada akhir pukulan ketiga, ia lalu balas menyerang dengan tinju kanan dan tinju kiri dengan pukulan "keras" dan pukulan "lembek". Itulah Song-tah-ke-bun (Dua tinju memukul pintu rahasia), pukulan keempat puluh empat dari Pat-kek-kun.

Cin Nay Cie tidak keburu menangkis lagi pukulan itu yang menyambar bagaikan kilat, sehingga ia terpaksa melompat ke belakang. "Brak!" ia membentur meja dan tiga cangkir teh jatuh hancur.

"Hati-hati!" kata Wan Cie Ie sambil tersenyum dan lalu mencecar lawannya dengan pukulan-pukulan Pat-kek-kun. Dalam sekejap si tua sudah keteter, ia hanya mampu membela diri tanpa bisa balas menyerang. "Eh, mengapa kau hanya menangkis dan tidak menyerang?" mengejek si nona.

"Perempuan hina!" teriak Cin Nay Cie dengan mata merah. Dalam gusarnya, dengan nekat ia menyerang dengan pukulan Ceng-liong-cut-sui (naga hijau keluar dari air), tangan kirinya ditekuk bagaikan gaetan, sedang tinju kirinya digunakan untuk memukul. Si nona berkelit dan membarengi dengan pukulan Sio-chiu-can-kun (Mengunci tangan menangkap tinju), lebih

dulu ia menyikut dengan sikut kanan dan lalu menangkap pergelangan tangan kanan Cin Nay Cie dengan tangan kanannya sambil menggeser tubuhnya ke belakang si tua, akan kemudian menyengkeram jalan darah Kian-tin-hiat di pundak orang. Dengan sekali menekan ke bawah dengan tangan kirinya, kepala Cin Nay Cie menunduk dan mulutnya menyentuh cangkir teh. "Minumlah!" bentak si nona.

Ilmu yang digunakan oleh si nona, yaitu Hun-kin-co-kun-chiu (Ilmu memecah urat mencopot tulang), adalah ilmu yang biasa saja dan dapat dipelajari oleh siapa pun juga. Akan tetapi, kelihayannya terletak pada kecepatannya yang luar biasa dan hebatnya Iweekang yang menyertainya. Begitu pergelangan tangannya tercekal, Cin Nay Cie bergerak lagi.

"Perempuan hina!" ia mencaci bagaikan kalap.

Mendengar cacian itu, Wan Cie Ie tersenyum tawar sambil membetot. "Tuk!" lengan kanan si tua copot dari tempat sambungan di pundak! Sesudah menghajar adat, Wan Cie Ie melepaskan korbannya dan lalu duduk di kursi bundar. "Bagaimana?" tanyanya seraya tersenyum. "Apa kau rela menyerahkan kedudukan Ciangbunjin kepadaku?"

Sambil menggigit gigi, Cin Nay Cie menahan sakit, sehingga keringat membasahi selebar mukanya yang pucat pias. Ia memutar badan dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, segera meninggalkan pendopo dengan tindakan lebar.

Melihat penderitaan kawannya, buru-buru Ong Kiam Eng memberi pertolongan. Dengan satu tangan ia mencekal lengan Cin Nay Cie dan tangannya yang lain memegang leher orang. Dengan sekali membetot dan mendorong, ia sudah memulihkan sambungan lengan itu ke tempatnya yang sediakala. "Nona!" bentaknya. "Pat-kek-kunmu memang lihay sekali. Sekarang aku ingin menjajal dengan ilmu Pat-kwa-ciang." Sehabis berkata begitu, ia meloncat masuk ke pendopo.

Melihat tindakan orang yang mantap, Wan Cie Ie tahu, bahwa ia sedang menghadapi lawan berat. Bahwa setiap orang yang mempelajari Yu-sin Pat-kwa-ciang, tindakannya sangat enteng, seolah-olah tidak menyentuh tanah. Akan tetapi, tindakan Ong Kiam Eng justru mantap dan berat luar biasa. Itulah suatu tanda, bahwa ia sudah mencapai tingkatan "dari berat sehingga enteng dan dari enteng sehingga berat" dan tingkatan itu hanya bisa dicapai dengan latihan puluhan tahun.

Sebelum mereka berhadapan, tiba-tiba Ouw Hui mendului masuk ke pondopo dan mengambil secangkir teh yang lalu diminumnya. "Orang itu lihay, hati-hati," bisiknya.

Wan Cie Ie menunduk. "Beberapa kali aku telah merusak pekerjaanmu. Apa kau tidak gusar?" tanyanya dengan suara perlahan.

Ouw Hui tidak menjawab. Jika ia mengatakan tidak gusar, memang juga si nona beberapa kali sudah menolong Hong Jin Eng dari tangannya. Ia mau mengatakan gusar, tapi di dalam hati ia merasa tak tega.

Di lain pihak, peringatan Ouw Hui telah menggirangkan sangat hati si nona. Sebenarnya ia pun merasa ragu-ragu dalam menghadapi jago Pat-kwa-bun itu. Tapi begitu mendengar perkataan Ouw Hui, semangatnya lantas saja terbangun dan ia berkata dengan suara perlahan: "Kau tak usah khawatir." Dengan sekali menjejak kaki, ia sudah melompat ke atas kursi bundar dan berkata: "Ong Loosu, ilmu silat Pat-kwa-bun mengutamakan kedudukan Pat-kwa. Marilah kita main-main di atas kursi ini."

"Baiklah!" kata Ong Kiam Eng sambil melompat ke atas kursi dan memasang kuda-kuda, satu tangan dilonjorkan ke depan dan satu tangan ditarik ke belakang.

"Ong Loosu," kata pula si nona. "Aku mendengar, Ongsie Hengtee (kakak beradik she Ong) dari Pat-kwa-bun mempunyai nama yang sama besarnya. Sebentar, sesudah Ong Loosu roboh apakah adikmu akan turun tangan?"

Ong Kiam Eng adalah seorang yang tenang sifatnya. Akan tetapi, mendengar pertanyaan Wan Cie Ie, darahnya lantas saja meluap, karena dengan kata-kata itu, si nona sudah memastikan lebih dulu, bahwa ia bakal memperoleh kemenangan. Tapi, sebelum ia sempat menjawab, Ong Kiam Kiat sudah mendului membentak: "Perempuan sombong, jangan ngaco belo kau! Jika kau bisa melayani kakakku dalam seratus jurus, kami berdua tak akan menggunakan lagi Pat-kwa-ciang." Harus diketahui, bahwa dalam Rimba Persilatan, kedua saudara Ong itu mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Ahli-ahli yang biasa tak akan bisa melayani mereka

lebih dari sepuluh jurus. Maka itu, dengan menyebut seratus jurus, Ong Kiam Kiat sama sekali tidak memandang rendah si nona.

Mendengar jawaban Kiam Kiat, Wan Cie Ie melirik dengan sorot mata memandang rendah. "Sesudah aku menjatuhkan kakakmu, apakah kedudukan Ciangbunjin berarti sudah direbut olehku?" tanyanya pula tanpa menghiraukan jawaban orang. "Dan juga, sesudah kakakmu roboh, apa kau akan turun tangan atau tidak?"

"Sombong sungguh kau!" bentak Kiam Kiat dengan mendongkol. "Sesudah menang, barulah kau boleh bicara."

"Tidak, sebelum bertempur aku mau tanya dulu seterang-terangnya," kata si nona.

Kiam Eng yang sedari tadi belum membuka mulut, lantas saja menyelak. "Siapa gurumu?" tanyanya.

"Perlu apa kau tanya guruku?" Wan Cie Ie balas menanya. Tiba-tiba biji matanya memain dan sambil tersenyum ia berkata puia: "Ah, aku tahu! Ong Loosu rupanya sudah jadi gusar dan ia ingin turunkan pukulan yang membinasakan. Maka itu, ia merasa perlu untuk tanya nama guruku. Ong Loosu, nama Suhu terlalu besar dan jika kuberitahukan, kau bisa mati lantaran kaget. Jangan takut. Keluarkanlah seantero kepandaianmu. Aku berjanji tak akan membawa-bawa guru. Orang kata, tak tahu, tak berdosa. Andaikata kau membinasakan aku, guruku tentu tak akan gusari kau." Jawaban itu mengena jitu apa yang dipikir Ong Kiam Eng.

Memang juga, sesudah menyaksikan kepandaian Wan Cie Ie yang sangat luar biasa, ia menarik kesimpulan, bahwa guru si nona adalah seorang yang namanya sangat besar dalam Rimba Persilatan. Ia sangat khawatir urusan berbuntut panjang, jika ia sampai melukai lawan yang muda belia itu.

"Saudara-saudara, kalian sudah mendengar jawaban Wan Kouwnio dan aku harap kalian suka menjadi saksi," katanya seraya mengirim pukulan ke muka si nona. Wan Cie Ie lantas saja melayani dengan menggunakan juga Pat-kwa-ciang dan serangan-serangan Kiam Eng yang pertama dengan mudah telah dipunahkannya. Mereka bertempur di atas dua belas kursi batu bundar yang ditaruh di seputar sebuah meja bundar pula. Semakin lama pertempuran jadi semakin cepat dan mereka melompat berputar-putar seperti main petak. Sesudah bertempur beberapa lama, Ong Kiam Eng jadi mendongkol sekali. "Perempuan ini sungguh licik dan sudah berhasil memancing aku untuk bertempur di atas kursi," pikirnya.

"Tenaga pukulannya masih kalah jauh dari tenagaku, tapi dengan adanya rintangan meja, ia masih bisa bertahan." Sesudah lewat lagi beberapa jurus, ia berkata pula dalam hati: "Bocah ini memiliki macam-macam ilmu silat, sehingga aku tentu tak akan bisa merobohkannya dengan menggunakan lain ilmu silat." Di lain saat, sambil membentak keras, ia mengubah cara bersilatnya, tindakannya seolah-olah kacau dan ia mengirim pukulan-pukulan dari samping.

Ternyata, dalam kedongkolannya, ia mulai menyerang dengan ilmu Pat-tin Pat-kwa-ciang, yaitu ilmu simpanan dari mendiang ayahnya, Wie-tin Ho-sok Ong Wie Yang. Harus diketahui, bahwa ilmu yang sangat lihay itu hanya diturunkan kepada ke-dua puteranya oleh Ong Wie Yang. Murid-murid lainnya, seperti Siang Kiam Beng, belum pernah diajar ilmu tersebut. Pat-tin Pat-kwa-ciang adalah Pat-kwa-ciang yang dirangkap dengan ilmu Pat-tin-touw, ialah barisan luar biasa gubahan Cukat Bu-houw di jaman Samkok. Dengan dimasukkannya sendi-sendi Pat-tin-touw ke dalam ilmu silat, maka ilmu silat tersebut mengandung macam-macam perubahan yang aneh-aneh dan tidak dapat diduga oleh orang-orang yang belum pernah mempelajarinya.

Jangankan mempelajari, sedangkan mendengar, Wan Cie Ie belum pernah mendengar nama Pat-tin Pat-kwa-ciang. Maka itu tidaklah heran, jika baru saja beberapa gebrakan, ia sudah terdesak. Ouw Hui yang terus memperhatikan jalan pertempuran di luar pendopo, jadi kaget bukan main. Tapi ia tidak bisa membantu, sebab tadi si nona sudah membuka suara besar. Ong Kiam Eng jadi girang dan terus mencecar lawannya dengan pukulan-pukulan hebat. Tiba-tiba, pada saat yang sangat berbahaya, nona Wan melompat ke atas meja seraya berkata: "Berkelahi di atas kursi, kita tak bisa menggunakan seantero kepandaian. Mari kita main-main di atas meja. Ong Loosu, marilah, tapi awas, kau tak boleh menginjak hancur cangkir-cangktr dan piring buah. Siapa

memecahkan cangkir, dia yang kalah."

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ong Kiam Eng turut meloncat ke atas meja. Sekarang mereka bertempur dalam jarak dekat dan mau tak mau, si nona harus melawan kekerasan dengan kekerasan. Tapi, jika dalam pukulan tangan, ia menderita kerugian, dalam gerakan kaki, ia memperoleh keuntungan. Mengapa? Karena di atas meja terdapat dua belas cangkir teh dan empat piring buah, yang tak boleh pecah. Memang, jika bertempur di atas tanah datar, Pat-tin Pat-kwa-ciang dahsyat bukan main. Tapi, dengan adanya pembatasan itu, Ong Kiam Eng tak bisa mengeluarkan ilmunya sesuka hati. Ia hampir tak berani bertindak, sebab khawatir memecahkan cangkir-cangkir itu. Oleh karena itu, ia terpaksa berdiri tegak dan melayani si nona dengan pukulan-pukulan tangan saja.

Di lain pihak, Wan Cie Ie yang gesit yang memiliki ilmu mengentengkan badan sangat tinggi, dapat bergerak dengan leluasa. Bagaikan seekor kera, tubuhnya melesat ke sana-ke sini untuk mengegos pukulan-pukulan lawan atau mengirim serangan-serangan.

Sesudah lewat beberapa jurus lagi, sambil mengempos semangat dengan geregetan Kiam Eng memukul dengan telapakan tangan kanannya. Tiba-tiba, Wan Cie Ie menyontek sebuah cangkir dengan ujung kaki kirinya dan cangkir itu lantas saja menyambar ke muka lawan. Dengan kaget Kiam Eng buru-buru menarik pulang tangannya dan berkelit. Tapi, baru saja cangkir pertama lewat, tiga cangkir lainnya menyambar dengan saling susul. la berhasil mengegos tiga cangkir itu, tapi yang keempat dan kelima mengenai tepat di kedua pundaknya. Cangkir ketujuh dan kedelapan dipukul jatuh dengan tangannya, tapi tak urung mukanya basah sebab kecipratan air teh. la gusar dan bingung, sehingga cangkir kesembilan dan kesepuluh mampir di dadanya.

Semua orang kaget, terutama Ong Kiam Kiat yang tanpa merasa mengeluarkan seruan tertahan. Sementara itu, cangkir kesebelas dan kedua belas sudah menyambar ke arah mata. Bagaikan kalap, Kiam Eng segera menghantam kedua cangkir itu dengan tangannya. Inilah saat yang ditunggu si nona. Bagaikan kilat, badannya berkelebat dan tangan kanannya menangkap pergelangan tangan kanan lawan, sedang tangan kirinya menyengkeram jalanan darah Kie-tie-hiat di lengan orang. Dengan sekali mendorong dan membetot, berbareng dengan terdengarnya teriakan kesakitan, sambungan lengan Kiam Eng copot dari tempat sambungannya.

Apa yang digunakan Wan Cie Ie adalah Hun-kin-co-kut-chiu yang biasa saja. la sudah berhasil sebab gerakannya yang luar biasa cepat, sehingga seorang ahli seperti Ong Kiam Eng masih tak dapat menyelamatkan diri.

Melihat kakaknya dikalahkan, sambil membentak keras, Kiam Kiat melompat dan mengirim pukulan hebat dengan kedua tangannya. Ouw Hui yang terus berwaspada segera turut meloncat dan mendorong, sehingga Kiam Kiat terhuyung ke belakang beberapa tindak. "Ong-heng, jangan mengerubuti!" bentaknya. "Menurut janji, pertandingan ini satu lawan satu."

Dengan paras muka pucat bagaikan kertas, Kiam Eng duduk di atas meja. "Jika aku melepaskan dia sekarang, dengan saudaranya dia bisa menyerang lagi dan bisa-bisa aku dirobohkan," kata Wan Cie Ie dalam hatinya. Memikir begitu, tanpa sungkan-sungkan lagi tangannya kembali bekerja dan sambungan lengan kiri Ong Kiam Eng kembali copot dari lempatnya. "Bagaimana? Apa kamu rela menyerahkan Ciangbunjin Pat-kwa-bun kepadaku?" tanyanya.

Kiam Eng tak menyahut. la meramkan kedua matanya untuk menunggu kebinasaan. "Lepas kakakku!" bentak Kiam Kiat.

"Jika kau mau, ambillah kedudukan Ciangbunjin."

Si nona tersenyum dan lalu melompat turun dari atas meja, sedang Kiam Kiat sendiri lalu menggendong kakaknya dan meninggalkan gedung itu tanpa menengok lagi.

Sekarang tiba giliran Ciu Tiat Ciauw. Sambil mengawasi Wan Cie Ie, ia berkata: "Nona, kau benar-benar pintar. Siasat apa yang kau hendak gunakan untuk menghadapi aku, si orang she Ciu?" Dengan berkata begitu, si tua seperti juga ingin mengatakan, bahwa kemenangan Wan Cie Ie telah didapat karena siasat dan bukan lantaran kepandaian tinggi. Si nona lantas saja naik darahnya. Ia mengeluarkan suara di hidung dan menjawab: "Masakah aku perlu menggunakan siasat untuk menghadapi ilmu silat tiada artinya dari Eng-jiauw-gan-heng-bun? Ciu Loosu, apa kau bertiga maju berbareng atau satu lawan satu?"

"Wan Kouwnio, dengan berkata begitu kau memandang enteng semua ahli silat di kota Pak-khia," kata Tiat Ciauw dengan suara tawar. "Semenjak berusia tiga belas tahun, aku Ciu Tiat Ciauw selalu berkelahi seorang diri."

"Oh begitu?" mengejek si nona. "Dengan lain perkataan, sebelum berusia tiga belas tahun, kau bukan seorang gagah dan biasa main keroyok."

"Aku baru belajar silat pada usia tiga belas tahun," menerangkan si tua.

Wan Cie Ie tertawa. "Seorang gagah tulen Sudah jadi seorang gagah sedari masih bayi," kata pula Wan Cie Ie.

"Dalam dunia terdapat manusia-manusia, yang walaupun tinggi ilrnu silatnya, tetap rendah jiwanya. Ciu Loosu, harap kau jangan marah. Aku bukan maksudkan kau."

Terhadap Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat, Wan Cie Ie masih mempunyai rasa menghormat. Entah mengapa, ia sebal sungguh melihat muka Ciu Tiat Ciauw yang parasnya agung-agungan dan oleh karenanya, ia terus mengejek tanpa sungkan-sungkan lagi.

Si tua yang belum pernah dihina begitu rupa, tentu saja gusar bukan main, tapi, sebagai seorang yang tenang sifatnya, ia hanya mengeluarkan suara di hidung dan tak mau balas mencaci. Mendadak terdengar teriakan Ong Tiat Gok: "Budak cilik! Berlakulah sedikit sopan kalau bicara dengan Toa-sukoku."

Si nona tidak meladeni karena tahu dia seorang polos. Ia berpaling kepada Tiat Ciauw seraya berkata: "Keluarkanlah!"

"Keluarkan apa?" menegas si tua.

"Tong-eng Tiat-gan-pay," jawabnya.

Mendengar kata-kata "Tong-eng Tiat-gan-pay" (Pay Elang tembaga Burung gan besi), walaupun tenang, Ciu Tiat Ciauw tak bisa mempertahankan ketenangannya lagi. "Ah!" teriaknya dengan kaget. "Bagaimana kau tahu urusan dalam partaiku?"

Ia mencopot sebuah kantong sulam yang digantung di pinggangnya dan lalu menaruhnya di atas meja. "Tong-eng Tiat-gan-pay berada di sini," katanya dengan suara menyeramkan. "Ambil dulu jiwaku, baru kau boleh merampas pay itu."

"Coba keluarkan, aku mau lihat apa tulen atau palsu," kata pula si nona.

Dengan tangan bergemetaran Tiat Ciauw membuka kantong itu dan mengeluarkan sebuah Kim-pay (papan yang terbuat dari pada emas) yang panjangnya empat cun dan lebarnya dua cun. Di atas pay itu terukir seekor elang tembaga yang sedang membuka cakar dan seekor burung gan (semacam belibis) yang terbang miring. Pay tersebut bukan lain dari pada semacam cap kekuasaan Ciang-bunjin dari partai Eng-jiauw-gan-heng-bun. Semua murid partai memandang pay itu seperti juga Ciang-bunjin sendiri. Harus diketahui, bahwa Eng-jiauw-gan-heng-bun adalah sebuah partai besar dan dalam beberapa turunan mempunyai Ciangbunjin yang berkepandaian sangat tinggi. Tapi begitu sampai di jaman Ciu Tiat Ciauw, murid-murid Eng-jiauw-gan-heng-bun yang terutama pada menekuk lutut kepada pemerintahan Boan dan menjadi kaki-tangan Kaisar Ceng. Mereka hidup mewah dan ketularan cara-cara kota Pakkhia yang hanya memburu kesenangan, sehingga tidaklah heran, jika ilmu silat mereka berbeda jauh dengan para tetuanya di jaman yang lampau. Belakangan, pada jaman Kaisar Kee-keng, barulah dalam partai itu muncul beberapa orang benar-benar tinggi ilmunya dan sudah berhasil mengangkat naik nama harumnya Eng-jiauw-gan-heng-bun. Tapi hal itu tiada sangkut pautnya dengan cerita ini.

Sesudah mengawasi pay itu beberapa lama, barulah Wan Cie Ie berkata: "Dilihat luarnya, memang pay tulen. Tapi aku belum bisa memastikan."

Cara-cara si nona dalam mengejek dan mengganggu Ciu Tiat Ciauw mempunyai sebab tertentu.

Dalam melawan Ong Kiam Eng, biarpun pada akhirnya ia memperoleh kemenangan, ia merasa sangat lelah dan Iweekangnya pun berkurang banyak. Maka itu, ia sengaja mengeluarkan ejekan-ejekan, pertama untuk membangkitkan kegusaran si tua dan kedua untuk mengaso.

Ciu Tiat Ciauw adalah seorang yang berpengalaman luas dan ia lantas saja bisa menebak maksud Wan Cie Ie. Maka itu, seraya mengebas tangannya ia membentak: "Wan Kouwnio, sudahlah! Jika kau benar-benar berani memberi pelajaran padaku, marilah kita main-main di atas pendopo ini." Hampir berbareng, ia mengenjot tubuh dan badannya lantas saja melesat ke atas.

Harus diketahui, bahwa partai Eng-jiauw-gan-heng-bun mengutamakan dua rupa kepandaian, yaitu Eng-jiauw Kin-na (Menangkan dan menyengkeram dengan menggunakan tangan yang menyerupai cakar garuda) dan Gan-heng Gin-kang (Ilmu mengentengkan badan seperti seekor burung belibis yang sedang terbang). Waktu melompat ke atas genteng, Ciu Tiat Ciauw telah mengambil keputusan untuk membinasakan si nona dengan menggunakan kedua ilmu itu. Menurut perhitungannya, dengan bertempur di atas atap yang tinggi, bukan saja Wan Cie Ie tak akan dapat menggunakan akal bulus. tapi Ouw Hui pun tak akan bisa membantunya. Orang yang sebenarnya disegani si tua, bukan Wan Cie Ie, tapi Ouw Hui yang selalu siap sedia untuk memberi bantuannya.

Tapi apa lacur, perhitungan Ciu Tiat Ciauw meleset jauh. Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa Kin-na dan Gin-kang justru merupakan ilmu terlihay dari nona Wan. Jika ia pernah menyaksikan pertempuran di puncak tiang layar perahu antara si nona dan Ya Kit, ia tentu tak akan mengajukan tantangan itu.

Melihat loncatan Ciu Tiat Ciauw, yang biarpun lincah dan gesit tapi masih kalah jauh dari pada Wan Cie Ie, Ouw Hui merasa lega. Mereka saling melirik dan tersenyum. Untuk membesarkan hati lawan, si nona sengaja tak mau memperlihatkan kepandaiannya yang istimewa. Dengan lompatan biasa, ia hinggap di atas genteng. "Sambutlah!" bentaknya seraya menyerang dengan sepuluh jarinya yang menyerupai cakar garuda.

Dalam Rimba Persilatan terdapat tiga rupa Jiauw-hoat (ilmu yang menyerupai cakar atau kuku binatang), yaitu Liong-jiauw (Kuku naga), Houw-jiauw (Kuku harimau) dan Eng-jiauw (Cakar garuda). Dengan Liong-jiauw, empat jari dirapatkan dan ditekuk ke dalam, sedang jempol dipentang dan juga ditekuk ke dalam. Dengan Houw-jiauw, lima jari dipentang dan agak ditekuk ke dalam. Dengan Eng-jiauw, empat jari dirapatkan, jempol dipentang, jari kedua dan ketiga agak ditekuk ke dalam. Dalam tiga rupa Jiauw-hoat itu, Liong-jiauwlah yang paling sukar dipelajari.

Melihat lawannya menyerang dengan ilmu silat Eng-jiauw-gan-heng-bun, Ciu Tiat Ciauw jadi girang. "Jika kau menggunakan ilmu yang aneh-aneh, mungkin aku agak jeri, tapi kalau kau menggunakan ilmu Eng-jiauw-gan-heng-bun, seperti juga kau cari mampus sendiri," katanya di dalam hati. Memikir begitu, dengan hati girang ia segera menerjang Wan Cie Ie dengan pukulan-pukulan Eng-jiauw-gan-heng-bun yang paling hebat.

Semua orang mendongak dan menonton pertandingan itu dengan hati berdebar-debar. Antara pertandingan-pertandingan yang sudah dilakukan pada malam itu, pertandingan inilah yang paling menarik hati. Bagaikan dua ekor burung raksasa, tubuh mereka berkelebat-kelebat di atas genteng.

Sesudah bertempur beberapa lama, hampir berbareng dengan bentakan Wan Cie Ie, sambil berteriak keras Ciu Tiat Ciauw melayang jatuh ke bawah.

Karena gerakan mereka cepat luar biasa, di antara penonton hanya Ouw Hui dan Can Tiat Yo yang dapat melihat sebab-sebab dari jatuhnya Tiat Ciauw. Ternyata, Wan Cie Ie kembali menggunakan Hun-kin co-kut-chiu dan mencopotkan tulang kedua betis lawannya dari sambungan di lutut. Maka itu, kecuali Ouw Hui dan Can Tiat Yo, yang lainnya merasa heran sebab begitu jatuh, Ciu Tiat Ciauw tak bisa bangun lagi. Mereka heran karena atap pendopo tidak seberapa tinggi dan si tua pun memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat lihay, sehingga biarpun kalah, tak bisa jadi dia roboh untuk tak bangun lagi.

Ong Tiat Gok yang sangat mencintai Toasu-hengnya jadi kaget bukan main. "Suko!" teriaknya sambil memburu dan membangunkannya. Tapi tentu saja sang kakak tak bisa berdiri tegak, begitu dibangunkan, begitu dia roboh kembali.

"Tolol!" Can Tiat Yo mencaci Suteenya seraya lari menghampiri. Ia adalah seorang tokoh terkemuka dalam Eng-jiauw-gan-heng-bun, tapi ia tak mengerti ilmu Ciap-kut (Menyambung tulang). Maka itu, buru-buru ia mendukung kakak seperguruannya dan lalu memutar badan untuk meninggalkan taman itu.

"Ambil dulu Eng-gan-pay!" bentak Tiat Ciauw. Can Tiat Yo tersadar, buru-buru ia kembali ke pendopo dan mengangsurkan tangannya untuk mengambil Kim-pay yang terletak di atas meja. Tapi, pada sebelum menyentuh papan emas itu, mendadak ia merasakan kesiuran angin dan berbareng dengan berkelebatnya bayangan manusia, seorang lain sudah mendului menjemput Kim-pay itu. "Tak tahu malu!" bentak orang itu yang bukan lain dari pada Wan Cie Ie. "Sesudah kalah, apa kau mau melanggar janji?"

Can Tiat Yo kaget bercampur gusar. Ia tak tahu tindakan apa yang harus diambilnya. Apa ia harus segera bertempur dengan Wan Cie Ie? Apa ia harus lebih dulu mencari orang untuk memulihkan tulang suhengnya yang telah copot? Selagi ia kebingungan, Ouw Hui menghampiri seraya berkata dengan suara ramah tamah: "Tulang kedua betis Ciu-heng telah copot dan jika tidak segera dipulihkan, aku khawatir urat-uratnya akan menjadi rusak." Sehabis berkata begitu, tanpa menunggu jawaban, ia segera mencekal betis kiri Ciu Tiat Ciauw dengan kedua tangannya dan dengan sekali membetot dan mendorong, tulang itu pulih ke tempatnya. Di lain saat, ia pun sudah memulihkan tulang betis kanan. Sesudah itu, ia mengurut-urut jalanan darah di pinggang Ciu Tiat Ciauw, sehingga rasa sakitnya lantas saja berkurang banyak.

Sesudah menolong si tua, sambil tertawa Ouw Hui mengangsurkan tangannya ke arah Wan Cie Ie. "Wan Kouwnio," katanya. "Tong-eng Tiat-gan-pay bukan barang mainan yang menarik hati. Menurut pendapatku, lebih baik kau membayarnya kepada Ciu Toako."

Mendengar kata-kata "bukan barang mainan yang menarik hati", si nona tertawa dan lalu menaruh Kim-pay itu di telapakan tangan Ouw Hui.

Dengan kedua tangan dan dengan sikap meng-hormat, Ouw Hui mengangsurkan Tong-eng Tiat-gan-pay kepada Ciu Tiat Ciauw yang lalu menjemputnya seraya berkata: "Sebegitu lama aku si orang she Ciu masih mempunyai napas, satu hari aku tentu akan membalas kebaikan Jie-wie." Sesudah melirik Wan Cie Ie dan Ouw Hui, dengan dipayang oleh Can Tiat Yo, ia segera meninggalkan gedung itu. Waktu melirik si nona, sorot matanya penuh dengan rasa sakit hati, tapi selagi melirik Ouw Hui, sorot mata itu mengunjuk rasa terima kasih.

Wan Cie Ie tidak menghiraukannya dan sesudah menjebik, ia lalu berkata kepada Tie Hong: "Tie Toaya, kau mempunyai kedudukan sebagai separuh Ciangbunjin. Bagaimana? Apa kau mau menjajal kepandaianku?"

Sesudah menyaksikan kelihayan si nona, Tie Hong ternyata cukup tahu diri. Sambil merangkap kedua tangannya, ia menjawab: "Partaiku Lui-tian-bun berada di bawah pimpinan suhu. Seorang yang berkepandaian seperti aku, mana berani menganggap diri sebagai Ciangbunjin. Jika Kouwnio ingin memberi pelajaran, paling baik Kouwnio datang berkunjung ke Say-pak dan guruku pasti akan menerimanya dengan girang hati."

Wan Cie Ie tertawa dan tidak mendesak terlebih jauh. Di lain saat ia mengebas tangan kirinya seraya menanya: "Siapa lagi yang ingin memberi pelajaran kepadaku?"

Tantangan itu tidak mendapat sambutan. Dengan rasa mendongkol, malu dan heran, karena tak tahu dari mana datangnya si nona galak, In Tiong Shiang dan yang Iain-lain lalu memberi hormat kepada Ouw Hui dan meminta diri. Dengan manis budi pemuda itu lalu mengantarkan semua tamunya sampai di pintu depan.

Ketika ia kembali di taman bunga, sekonyong-konyong terdengar menggelegarnya geledek. Ia mendongak dan melihat awan hitam yang berterbangan dan menutupi bulan.

"Jie-moay," katanya seraya berpaling kepada Thia Leng So.

"Mari kita berangkat sekarang."

"Ke mana kalian mau pergi di tengah malam buta ini?" tanya Cie Ie.

"Sebentar lagi pasti akan turun hujan." Baru saja ia berkata begitu, butiran-butiran hujan sudah mulai turun.

"Ditimpa hujan banyak lebih baik dari pada meneduh di bawah rumahnya satu penjahat besar," kata Ouw Hui dengan suara gusar. Sehabis berkata begitu, tanpa memperdulikan Wan Cie Ie, ia lalu berjalan ke luar dengan diikuti oleh Leng So.

Wan Cie Ie mengejar. "Bangsat Hong Jin Eng memang lebih dari pantas dibunuh mati," katanya. "Aku menyesal belum bisa membacoknya beberapa kali dengan tanganku sendiri."

Ouw Hui menghentikan tindakannya dan sambil menengok, ia membentak: "Huh! Tak malukah kau mengeluarkan perkataan itu?"

"Sakit hatiku terhadap Hong Jin Eng lebih hebat seratus kali dari pada kau!" kata si nona. Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula seraya mengertak gigi: "Kau membenci dia baru beberapa bulan saja. Tapi aku! Aku sakit hati seumur hidup!" Kata-kata yang belakangan itu diucapkannya dengan suara parau.

Ouw Hui jadi heran tak kepalang. "Kalau begitu, mengapa kau berulang kali sudah menolong jiwanya?" tanyanya.

"Sudah tiga kali," kata si nona. "Tak akan ke-empat kali."

"Benar, sudah tiga kali," kata Ouw Hui. "Tapi, aku sungguh tak mengerti."

Selagi mereka bicara, hujan sudah turun seperti dituang-tuang sehingga pakaian mereka basah semua. "Apakah kau ingin mendengar ceritaku yang panjang-lebar di bawah hujan?" tanya Cie Ie. "Kau sendiri memang tak takut hujan, tapi apa kau kira badan wanita yang lemah juga seperti badanmu?"

"Baiklah," kata Ouw Hui. "Mari kita balik."

Mereka lalu masuk ke kamar buku dan kacung yang bertugas segera menyalakan lilin dan membawa teh. Kamar itu yang terawat baik, dengan perabotannya yang mahal dan pajangannya yang indah, menimbulkan suasana yang sangat menyenangkan. Di tembok sebelah timur terdapat sebuah rak buku dengan buku-bukunya yang berharga mahal, sedang dari tirai jendela di sebelah barat, terlihat bayangan pohon bambu, dari mana berkesiur masuk wanginya bunga Kuihoa. Di tembok sebelah selatan tergantung sebuah lukisan dan sepasang tulisan dengan huruf-hurufnya yang sangat indah.

Tapi Ouw Hui yang sedang memikirkan kata-kata Wan Cie Ie yang aneh, tidak memperdulikan keindahan itu. Untuk sementara, mereka duduk termenung-menung sambil mendengarkan jatuhnya hujan di daun bambu dan di atas genteng. Semenjak kecil Ouw Hui berkelana di dunia Kang-ouw dan inilah untuk pertama kali ia duduk dalam sebuah kamar yang sangat indah, dengan dikawani oleh dua gadis cantik jelita.

Sesudah lewat beberapa lama, sambil mengawasi tetesan hujan di luar jendela, Wan Cie Ie berkata dengan suara perlahan: "Pada sembilan belas tahun berselang, pada malam itu, di propinsi Kwitang, kota Hud-san-tin, juga turun hujan. Seorang wanita muda, yang mendukung bayi perempuan, berlari-lari di tengah jalan tanpa memperdulikan hujan besar. Ia tak tahu harus menuju ke mana, ia telah didesak orang sampai di jalanan buntu. Orang-orang yang dicintainya telah dibunuh. Ia sendiri telah mendapat hinaan yang hebat, sehingga jika tak ingat bayi yang sedang didukungnya, ia tentu sudah membunuh diri dengan melompat ke dalam sungai."

"Wanita muda itu seorang she Wan, namanya Gin Hoa. Nama itu adalah nama seorang desa, karena ia memang seorang perempuan desa. Walau-pun mukanya agak kehitam-hitaman, ia cantik sekali, sehingga pemuda-pemuda Hud-san-tin menjulukinya sebagai 'Hek-bo-tan' (bunga Bo-tan hitam). Keluarganya adalah keluarga nelayan. Setiap pagi, dari desa ia memikul ikan ke pasar ikan di Hud-san-tin."

"Pada suatu hari, seorang hartawan di Hud-san-tin, Hong Jin Eng namanya, mengadakan pesta. Ia membawa sepikul ikan ke gedung keluarga Hong untuk dijualnya. Orang kata, angin dan awan bisa muncul mendadak di langit, keberuntungan atau kecelakaan bisa datang tiba-tiba kepada manusia. Demikianlah, karena gara-gara mencari sesuap nasi, nona itu secara kebetulan telah dilihat Hong Jin Eng."

"Manusia she Hong sudah banyak istri dan selirnya. Tapi dia tak pernah merasa cukup. Tanpa ampun lagi, ia melanggar kehormatan si nona penjual ikan. Gin Hoa ketakutan setengah mati dan tanpa mengambil uang penjualan ikan, ia lari pulang."

"Di luar dugaan, karena perbuatan manusia kejam itu, Gin Hoa jadi hamil. Ayahnya tentu saja marah besar dan sesudah tahu duduknya persoalan, ia segera pergi ke gedung keluarga Hong untuk berurusan. Tapi dalam menghadapi seorang yang tidak berdaya, Hong Looya kembali memperlihatkan kekejamannya. Ia perintah kaki tangannya menghajar orang tua itu dengan mengatakan, bahwa si nelayan telah menuduh secara membabi buta. Dapatlah dibayangkan bagaimana besar kedukaan dan penasarannya orang tua itu. Ia sakit mereras dan beberapa bulan berselang, ia meninggal dunia dengan penuh penderitaan."

"Paman-paman Gin Hoa lalu menumplek segala kesalahan di atas kepala wanita yang malang itu. Ia dikatakan menjadi gara-gara dari kebinasaan ayahnya. Ia dilarang berkabung dan dilarang bersembahyang di depan peti mati ayahnya. Paman-paman itu malahan mengancam akan memasukkannya ke dalam selongsong babi dan melemparkannya ke dalam sungai."

"Malam-malam Gin Hoa lari ke Hud-san-tin dan sesudah hidup menderita beberapa bulan, ia melahirkan satu bayi perempuan. Karena tiada lain jalan, ia terpaksa mengemis untuk melewati hari. Orang-orang yang tahu riwayat ibu dan anak itu, merasa kasihan dan banyak juga yang memberi uang, beras atau makanan. Mereka kasak-kusuk membicarakan kekejaman si orang she Hong, tapi sebab tidak bertenaga, tak satu pun yang berani tampil ke muka untuk menuntut keadilan."

"Pada waktu itu, di pasar ikan terdapat seorang pegawai yang mengenal Gin Hoa dan yang diam-diam semenjak lama sudah mencintainya. la lalu minta seorang sahabat untuk bicara dengan Gin Hoa. Jika nyonya itu setuju, ia ingin mengambilnya sebagai istri dan bersedia untuk mengakui anak itu sebagai anaknya sendiri. Gin Hoa jadi girang dan tak lama kemudian, mereka merayakan pernikahan mereka."

"Tapi lain bencana kembali datang. Kaki tangan si orang she Hong yang tahu hal itu, segera melaporkan kepada majikan mereka. Hong Looya jadi gusar karena menganggap si pegawai pasar ikan kurang ajar sekali, sudah berani mengambil wanita bekas korbannya sebagai istri. Ia segera memerintahkan belasan muridnya mengacau di pesta pernikahan. Tetamu yang sedang minum arak digebuk dan diusir, semua perabotan pengantin dihancurkan, sedang pengantin lelaki diusir ke luar dan tidak diperbolehkan masuk lagi ke wilayah Hud-san-tin...."

"Brak!" Ouw Hui menepuk meja sehingga api lilin bergoyang-goyang. "Binatang! Sungguh jahat manusia she Hong itu!" teriaknya bagaikan kalap.

Wan Cie Ie menunduk dan kemudian memandang ke luar jendela, mengawasi sang hujan yang masih terus turun dengan derasnya. Sesudah termenung-menung beberapa saat, ia menghela napas dan berkata pula: "Sesudah meloloskan pakaian pengantin, sambil mendukung anaknya, Gin Hoa lalu melarikan diri dari Hud-san-tin. Malam itu turun hujan besar seperti malam ini. Ia jatuh bangun di jalanan yang licin, tapi dengan kuatkan hati, ia lari terus... lari terus.... Tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh yang menggeletak di pinggir jalan. Ia menduga, bahwa orang itu adalah seorang pemabukan dan buru-buru ia menghampiri untuk membangunkannya. Tapi begitu ia membungkuk, kagetnya seperti disambar halilintar. Orang itu yang berlumuran darah dan sudah mati, adalah suaminya sendiri, si pegawai pasar ikan. Ia sudah dicegat dan dibinasakan oleh kaki tangan Hong Looya yang menunggu di luar Hud-san-tin."

"Kedukaan Gin Hoa pada waktu itu tak dapat dilukiskan dengan kata-kata lagi. Dengan menggunakan sisa tenaganya, ia menggali tanah dengan tangannya dan lalu mengubur sang suami yang bernasib malang itu. Ketika itu ia sudah nekat, hampir-hampir ia membuang diri ke dalam sungai. Hanyalah si bayi yang menangis karena kedinginan, yang sudah mengurungkan niatan nekatnya itu. Sesudah memikir bolak-balik, sambil menggigit bibir, ia berjalan lagi dengan memeluk erat-erat bayinya itu."

Mendengar sampai di situ, air mata Leng So mengalir turun di kedua pipinya. "Wan Ciecie." katanya dengan suara terharu.

"Habis bagaimana?"

Wan Cie Ie menyusut air matanya dengan sapu tangan dan kemudian berkata sambil tersenyum: "Kau memanggil aku Ciecie? Kalau begitu, sebagai adik, kau harus memberi obat pemunah!"

Muka Leng So yang tadinya pucat lantas saja berubah merah. "Kau sudah tahu?" katanya dengan suara perlahan. Ia mengambil secangkir teh dan kemudian dari kukunya ia mementil sedikit bubuk warna kuning ke dalam air teh.

"Thia Moay-moay, hatimu cukup baik," kata Cie Ie. "Kau sudah menyediakan obat pemunah di kukumu dan ingin memberikannya tanpa diketahui aku." Ia mengangkat cangkir itu dan lalu meminumnya.

"Racun yang digunakan bukan racun yang membinasakan," menerangkan Leng So. "Tanpa obat pemunah, Ciecie hanya akan mendapat sakit untuk beberapa bulan. Dengan memberi racun itu, aku hanya ingin mencegah pertolonganmu terhadap Hong Jin Eng."

Wan Cie Ie tertawa tawar. "Siang-siang aku sudah tahu, bahwa aku kena racun," katanya. "Aku hanya tak tahu bagaimana kau melepaskannya. Sedang masuk ke sini, belum pernah kuminum atau makan apa pun juga."

"Selagi kau dan Ouw Toako bertempur di luar tembok, bukankah aku telah melemparkan sebatang golok kepada Ouw Toako?" tanya Leng So. "Di golok itu terdapat sedikit bubuk racun, sehingga pecut dan tanganmu juga terkena racun. Golok dan Joan-pian itu harus dicuci sampai bersih."

Mendengar keterangan itu, Cie Ie dan Ouw Hui saling mengawasi dengan perasaan kagum. Racun yang dilepaskan cara begitu, pasti tak akan dielakkan oleh siapa pun juga.

"Kalau begitu," kata Ouw Hui. "Hong Jin Eng adalah... adalah..."

"Benar," jawabnya. "Gin Hoa adalah ibuku, Hong Jin Eng ayahku. Biarpun dia kejam luar biasa dan telah mencelakakan kami, ibu dan anak, guruku pernah mengatakan, bahwa 'tanpa ayah dan ibu, seorang manusia tentu tak akan jadi manusia.' Waktu aku berpamitan dengan Suhu untuk menjelajah ke wilayah Tionggoan, beliau memesan begini: 'Ayahmu telah melakukan banyak sekali kejahatan dan dia pasti akan mendapat nasib yang hebat. Kau boleh menolong jiwanya tiga kali untuk menunaikan tugas sebagai anak. Sesudah itu, kau boleh mengambil jalananmu dan dia mengambil jalanannya sendiri. Mulai waktu itu, kau dan dia sudah tiada sangkut pautnya lagi.' Ouw Toako, di Hud-san-tin, di kuil Pak-tee-bio, aku menolong dia untuk pertama kali. Malam itu, di dalam bio rusak, aku kembali menolong jiwanya. Dan malam ini, aku menolongnya untuk ketiga kali. Di lain kali, jika aku bertemu dengannya, akulah yang akan turun tangan untuk membalas sakit hati ibu." Sesudah berkata begitu, ia mengawasi ke luar jendela dengan paras muka pucat dan mata berkilat-kilat.

"Apakah ibumu masih hidup?" tanya Leng So.

"Dari Hud-san-tin ibu menuju ke utara sambil mengemis di sepanjang jalan," kata Cie Ie. "Tujuannya adalah menyingkirkan diri dari kota itu sejauh mungkin dan jangan bertemu muka lagi dengan Hong looya. Beberapa bulan ia berkeliaran di sepanjang jalan sampai akhirnya ia tiba di kota Lam-ciang, propinsi Kangsay. Di kota itu ia menjadi bujang di rumah seorang she Tong...."

"Ah!" Ouw Hui memutus perkataannya. "Keluarga Tong di kota Lameiang? Apa keluarga itu masih terkena famili dengan Kam-lim-hui-cit-seng (Hujan besar memberkahi tujuh propinsi) Tong Tayhiap?"

Mendengar pertanyaan Ouw Hui, bibir si nona kelihatan bergemetar. "Ibuku telah meninggal dunia di gedung... Tong Tayhiap," jawabnya. "Tiga hari sesudah ibu meninggal dunia, Suhu membawaku ke Huikiang dan delapan belas tahun kemudian, barulah aku memasuki lagi wilayah Tionggoan."

"Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama yang mulia dari gurumu?" tanya Ouw Hui. "Kau mahir segala rupa ilmu dan gurumu pastilah seorang luar biasa pada jaman ini. Walaupun Biauw Tayhiap yang bergelar Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, belum tentu mempunyai kepandaian yang begitu tinggi."

"Aku harap Toako sudi memaafkan," jawab si nona. "Aku tak berani memberitahukan she dan nama Suhu karena beliau belum mengijinkannya. Nama 'Cie Ie' juga bukan namaku yang asli. Di kemudian hari, Ouw Toako dan Thia Moay-moay tentu akan tahu namaku yang sebenarnya. Nama Biauw Tayhiap yang cemerlang juga telah didengar kami di Huikiang. Bu-tim Tootiang dari Ang-hoa-hwee pernah ingin datang ke Tiong-goan untuk menjajal kepandaian Biauw Tayhiap. Tapi Tio Poan San Samsiok...." Berkata sampai di situ, ia berhenti sejenak dan melirik Ouw Hui sambil tersenyum. karena dalam hal ini, Ouw Hui kembali berada di pihak menang. (Sebagaimana diketahui, Ouw Hui mengangkat saudara dengan Tio Poan San, sedang Wan Cie Ie memanggil "paman" pada pendekar itu, sehingga kedudukan Ouw Hui lebih tinggi setingkat dari pada si nona). Sehabis tersenyum, ia lalu

melanjutkan penuturannya: "Tio Poan San (ia tidak menggunakan istilah "Samsiok" lagi) mengatakan, bahwa dalam hal ini tentu mesti ada latar belakangnya. Sepanjang keterangan, Biauw Tayhiap menggunakan gelaran itu bukan karena ingin mengagulkan diri, tapi sebab ingin membalas sakit hati ayahnya. Dengan gelaran itu, ia ingin memancing seorang ahli silat yang menyembunyikan diri di Liaotong. Belakangan dalam kalangan Kang-ouw tersiar warta, bahwa Biauw Tayhiap sudah berhasil membalas sakit hati ayahnya dan bahwa di hadapan umum beberapa kali ia pernah mengumumkan, bahwa ia tak berani menggunakan gelaran itu lagi. Gelaran Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu sungguh memalukan', demikian ia katanya pernah mengatakan 'Ilmu silat Tayhiap Ouw It To banyak lebih tinggi dari padaku'."

Mendengar disebutkannya nama "Ouw It To", jantung Ouw Hui lantas saja memukul keras. "Apa benar Biauw Tayhiap pernah mengucapkan kata-kata itu?" menegasnya.

"Tentu saja aku tidak mendengar dengan kuping sendiri," jawabnya. "Ceritera itu dituturkan oleh Tio... Tio Poan San. Bu-tim Tootiang yang darahnya panas, lantas saja ingin mencari Ouw Tayhiap untuk menjajal kepandaian. Tapi belakangan, karena tak tahu di mana tempatnya, ia terpaksa mengurungkan niatannya, ia telah bertemu denganmu. Sekembalinya di Huikiang, ia memuji kau setinggi langit. Waktu itu aku masih kecil dan tidak mengerti apa yang dibicarakan mereka. Kali ini, waktu siauwmoay mau berangkat ke timur, Bun Sie-ie (Bibi Bun) telah memerintahkan aku menunggang kuda putihnya. Ia memesan, bahwa jika aku bertemu dengan pemuda gagah she Ouw itu, biarlah aku menyerahkan kuda putih itu sebagai hadiah."

"Siapa itu Bun Sie-ie?" tanya Ouw Hui dengan heran. "Ia belum pernah mengenalkan. Mengapa ia memberi hadiah yang begitu besar harganya?"

"Bun Sie-ie adalah seorang yang mempunyai nama besar dalam Rimba Persilatan," jawabnya. "Ia adalah isteri Pun-lui-chiu (si Tangan geledek) Bun Tay Lay Siesiok. Ia she Lok bernama Peng dan bergelar Wan-yo-to. Mendengar penuturan Tio Poan San tentang sepak terjangmu di Siang-kee-po dan tentang rasa kagummu terhadap kuda putih itu, ia lantas saja berkata: 'Samsiok, mengapa kau tidak menghadiahkan kuda itu kepadanya. Apa kau rasa Tio Samsiok bisa bersahabat dengan pemuda itu, aku tak bisa?'"

Sekarang Ouw Hui baru mengerti, mengapa pada hari itu, di rumah penginapan, Wan Cie le telah meninggalkan si putih dengan tulisan "kuda kembali kepada majikannya". Ia merasa berterima kasih dan kagum bukan main terhadap nyonya gagah itu, yang tanpa mengenal dirinya dan hanya berdasarkan cerita orang, sudah menghadiahkan seekor kuda mustika yang tak dapat dibeli dengan laksaan tahil emas.

"Sesudah urusan di sini beres, aku ingin sekali pergi ke Huikiang untuk menemui Tio Samko dan lain-lain Cianpwee," katanya.

"Tak usah, mereka sendiri mau datang ke mari," kata si nona.

Ouw Hui girang tak kepalang, ia bangun berdiri sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Leng So yang mengenal adat kakaknya, lantas saja berkata: "Tunggu, aku ambil arak." Ia keluar dan memerintahkan si kacung mengambil tujuh-delapan gendul arak.

Tanpa sungkan-sungkan lagi Ouw Hui lalu menenggak habis dua gendul arak. "Kapan Tio Samko dan yang lain-lain datang kemari?" tanyanya.

Paras muka Wan Cie Ie lantas saja berubah sungguh-sungguh. "Ouw Toako," katanya. "Empat hari lagi hari raya Tiongchiu dan hari pembukaan perhimpunan para Ciangbunjin. Perhimpunan itu dipanggil oleh Hok Thayswee. Ia adalah seorang yang berkedudukan sangat tinggi, seorang Thay-cu Thay-po merangkap Peng-po Siang-sie yang memegang kekuasaan atas bala tentara. Tapi mengapa ia rela bergaul dengan orang-orang dari Kang-ouw?"

"Aku pun sudah memikir persoalan itu," kata Ouw Hui. "Menurut pendapatku, tujuannya yang terutama adalah mengumpulkan orang-orang gagah di seluruh negara supaya bisa dijadikan kaki tangan bangsa Boan. Tindakannya itu tidak berbeda dengan ujian untuk para sasterawan."

"Benar," kata si nona. "Dulu pada jaman kerajaan Tong, waktu kaisar Tong-thay-cong mengadakan ujian ilmu surat, bagaikan kawanan ikan para sasterawan berduyun-duyun datang di kota raja. Menurut sejarah, kaisar itu pernah mengatakan: 'Aha! Orang-orang pandai di seluruh negara sekarang sudah masuk ke dalam tanganku'. Dihimpunkannya pertemuan para Ciangbunjin memang bertujuan untuk mengumpulkan orang-orang gagah di seluruh Tiongkok. Akan tetapi, dalam pada itu bersembunyi juga lain latar belakang, yang diketahui oleh orang luar. Dulu, Hok Thayswee pernah dibekuk oleh Tio Poan San, Bun Siesiok, Bu-tim Tootiang dan yang lain-lain, sehingga sakit hatinya masih didendam sampai sekarang. Apa kau pernah mendengar peristiwa itu?"

Ouw Hui jadi terlebih girang lagi dan dengan beruntun ia menghirup dua cawan arak.

"Bagus! Bagus!" teriaknya. "Belum, aku belum pernah mendengar cerita itu. Bu-tim Tootiang, Bun Sie-ya dan yang lain-lain sungguh luar biasa. Benar-benar mengagumkan!"

Wan Cie Ie tersenyum seraya berkata: "Orang dulu minum arak sambil membaca kitab, tapi kau minum sambil membicarakan orang-orang gagah. Jika mendengar cerita sepak terjang Bun Sie-ya dan kawan-kawannya, biarpun kau bisa minum seribu cawan, pada akhirnya kau akan mabuk tiga hari dan tiga malam."

"Hayolah!" kata Ouw Hui seraya menghirup secawan arak. "Hayolah ceritakan."

"Cerita itu sangat panjang, tak mungkin selesai dalam tempo pendek," kata si nona. "Ringkasnya adalah begini: Bun Siesiok dan para Cianpwee mengetahui, bahwa Hok Thayswee sangat disayang oleh Kaisar Kian-liong. Maka mereka sudah membekuk Hok Kong An dan berhasil mendesak kaisar untuk mendirikan lagi kuil Siauw-lim-sie yang dibakar dan berjanji akan tidak mencelakakan orang-orang gagah kawan-kawan Sie-ya yang tersebar di berbagai tempat. Sesudah kaisar memberi janji, barulah mereka melepaskan Hok Thayswee." (Menurut ceritera, Hok Kong An adalah puteranya Kaisar Kian-liong).

Ouw Hui menepuk kedua lututnya. "Kalau begitu, Hok Kong An mengumpulkan orang-orang gagah untuk menyeterukan Bun Sie-ya dan kawan-kawannya," katanya.

"Benar, kau sudah menebak jitu sebagian besar dari persoalan ini," kata Wan Cie le. "Hok Kong An sudah menduga, bahwa Bun Siesiok dan lain-lain Cian-pwee akan datang berkunjung ke Pakkhia. Sesudah mendapat pelajaran getir pada sepuluh tahun berselang, ia insyaf, bahwa tentaranya yang berjumlah laksaan jiwa, sedikit pun tak berguna dalam menghadapi orang-orang gagah Rimba Persilatan."

Ouw Hui tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk tangan. "Sekarang baru terang bagiku," katanya. "Kau merebut kedudukan Ciangbunjin untuk mematahkan semangat musuh."

"Guruku dan Bun Siesiok mempunyai perhubungan yang sangat erat," menerangkan si nona. Tapi kunjunganku ke Tionggoan adalah untuk urusan pribadi. Lebih dulu aku datang di Hud-san-tin untuk melihat cecongor Hong Jin Eng. Secara kebetulan, di kota itu aku sudah mendapat kesempatan untuk menolong jiwanya dan mendengar juga berita tentang perhimpunan para Ciangbunjin. Oleh karena urusanku masih belum selesai, tak dapat aku kembali ke Hui-kiang untuk menyampaikan warta. Maka itu, tanpa perduli akan ditertawai Ouw Toako, dari selatan aku terus menguntit sampai di utara dan di sepanjang jalan, aku menggunakan setiap kesempatan untuk mengacau rencana Hok Kong An, supaya pembesar itu insyaf, bahwa cita-citanya tak gampang-gampang bisa terwujud."

Mendengar penuturan itu, dalam otak Ouw Hui berkelebat satu pendapat. Mungkin sekali, sebab Tio Poan San memujinya terlalu tinggi, Wan Cie le jadi penasaran dan telah menjajal-jajal kepandaiannya. Mengingat begitu, sambil tersenyum ia berkata: "Di samping itu, supaya Tio Poan San dan yang lain-lain tahu, bahwa pemuda she Ouw itu belum tentu mempunyai kepandaian berarti."

Mendengar sindiran halus, Wan Cie Ie tertawa terpingkal-pingkal. "Dari Kwitang kita telah mengadu ilmu sampai di Pakkhia dan belum pernah aku berada di atas angin," katanya. "Ouw Toako, apa kau tahu apa yang akan kukatakan jika aku bertemu lagi dengan Tio Poan San?"

Ouw Hui menggelengkan kepala. "Tak tahu," jawabnya.

Si nona tersenyum. "Aku akan bilang begini: 'Tio Samsiok, adik angkatmu benar-benar enghiong tulen!"'

Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. Ia tak menduga, bahwa si jelita yang saban-saban menyukarkannya, tiba-tiba memuji dirinya. Dalam perjalanan ribuan li, dari Kwitang sampai di Pakkhia, paras si nona selalu terbayang-bayang di depan matanya. Tapi karena si nona telah menggagalkan usahanya untuk membinasakan Hong Jin Eng, maka dalam hatinya terdapat juga rasa mendongkol. Tapi malam ini, sesudah tahu latar belakang dari sepak terjangnya Wan Cie Ie, semua ganjelan lantas saja hilang seperti tertiup angin. Demikianlah, dalam keadaan setengah mabuk karena pengaruh arak, ia juga setengah mabuk karena pengaruh kecantikan. Ketika itu, hujan sudah berhenti dan lilin pun sudah hampir terbakar habis. Sesudah menghirup lagi semangkok arak, Ouw Hui berkata: "Wan Kouwnio, tadi kau mengatakan, bahwa kau masih mempunyai sedikit urusan pribadi yang belum dibereskan. Apakah aku bisa memberi bantuan?"

"Terima kasih," jawabnya. "Dalam hal itu, aku merasa tak perlu merepotkan kau." Melihat paras Ouw Hui yang mengunjuk rasa kecewa, buru-buru ia menambahkan: "Jika aku tak dapat menyelesaikan sendiri, aku pasti akan meminta pertolonganmu dan Thia Moay-moay. Ouw Toako, empat hari lagi bakal dibuka pertemuan para Ciangbunjin. Bukankah menggembirakan sekali, jika kita bertiga mengacau balau pertemuan itu? Sam-eng Lo-Pakkhia. (Tiga jago mengacau Pakkhia). Sungguh bagus!"

Semangat Ouw Hui lantas saja terbangun. "Bagus! Bagus!" teriaknya. "Jika kita tak mampu mengacau pertemuan itu, guna apa Tio Samko, Bun Sie-ya dan Bun Sie-nay-nay bersahabat denganku, si bocah cilik?"

Sampai di situ, Leng So yang sedari tadi tak pernah membuka suara, lantas saja menyeletuk: "Kurasa Song-eng Lo-Pakkhia (Dua jago mengacau Pakkhia) sudah lebih dari pada cukup. Perlu apa menyeret-nyeretku, seorang yang tak punya guna?" Wan Cie Ie merangkul pundak Leng So dan berkata seraya tertawa: "Thia Moay-moay, jangan kau berkata begitu. Kepandaianmu adalah sepuluh kali lipat lebih tinggi dari pada aku."

Leng So tidak menjawab, tapi lalu merogoh saku dan mengeluarkan Giok-Hiong. "Wan Ciecie," katanya. "Salah mengerti antara kau dan Toakoku sudah menjadi beres, sehingga Giok-hong ini lebih baik dipegang olehmu. Jika tak begitu, mungkin sekali dua ekor Hong-hong semuanya diberikan kepada Toakoku."

Wan Cie Ie terkejut. "Jika tak begitu, mungkin sekali dua ekor Hong-hong semuanya diberikan kepada Toakoku," ia mengulangi dengan suara perlahan.

Dalam mengatakan kata-katanya yang paling belakang, Leng So sebenarnya tak menggenggam maksud tertentu. Secara jujur ia mengakui, bahwa baik dalam kecantikan maupun kepandaian, Wan Cie Ie termasuk golongan kelas satu. Di sepanjang jalan, dari Ouw Hui ia telah mendengar banyak cerita mengenai nona itu dan sebelum bertemu muka, ia sudah merasa kagum. Hanyalah karena sepak terjangnya Wan Cie Ie yang beberapa kali merintangi usaha Ouw Hui, maka dalam kekaguman itu, ia juga merasa sedikit mendongkol. Tapi sekarang, sesudah segala apa menjadi terang, ada apa lagi yang dapat menghalangi perhubungan mereka? Tapi begitu mendengar Wan Cie Ie mengulangi perkataannya, ia lantas saja mendusin, bahwa kata-katanya yang barusan pada hakekatnya menggenggam dua artian. Kata-kata "dua ekor Hong-hong diberikan kepada Toakoku," seolah-olah berarti "dua orang wanita menikah dengan satu suami".

Kedua pipi Leng So lantas saja bersemu dadu. "Tidak... tidak... aku bukan maksudkan begitu," katanya dengan gugup.

"Bukan dimaksudkan begitu?" menegas Cie Ie.

Leng So tak dapat memberi penjelasan, ia jadi semakin kemalu-maluan, sehingga air matanya hampir-hampir mengalir ke luar.

"Thia Moay-moay," kata nona Wan. "Mengapa tadi kau tidak menaruh racun yang membinasakan di golokmu?"

Dengan air mata berlinang-linang, Leng So menjawab: "Biarpun aku murid Tok-chiu Yo-ong, selama hidupku belum pernah aku mengambil jiwa manusia. Apakah aku boleh sembarangan mengambil jiwamu? Apa pula kau adalah kecintaan Toako. Setiap hari, kecuali pada waktu makan dan tidur, ia tak pernah melupakan kau. Bagaimana kubisa mencelakakan kau?" Sehabis berkata begitu, air matanya mengalir turun di kedua pipinya.

Wan Cie Ie kaget. Ia berdiri sambil melirik Ouw Hui yang kelihatan jengah sekali. Perkataan Leng So telah membuka rahasia hatinya dan ia tak menduga, bahwa sang adik akan mengatakan begitu. Tapi biarpun hatinya jengah, sorot matanya memperlihatkan rasa cinta yang sangat besar.

Nona Wan menggigit bibir dan berkata dengan suara lemah lembut: "Thia Moay-moay, legakanlah hatimu. Dua Hong-hong tak mungkin diberikan kepadanya!" Mendadak ia mengebas dengan tangannya, sehingga api lilin lantas saja padam. Hampir berbareng ia melompat ke luar jendela dan menghilang di antara kegelapan.

Ouw Hui dan Leng So kaget bukan main. Mereka melompat ke jendela, tapi yang terlihat hanyalah sinar rembulan laksana perak, sedang Wan Cie Ie sendiri sudah tak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Mereka menjadi bingung, masing-masing coba menaksirkan maksud perkataan Wan Cie Ie yang mengatakan: "Legakanlah hatimu. Dua Hong-hong tak mungkin diberikan kepadanya!"

Untuk sekian lama, dengan berendeng pundak mereka berdiri di depan jendela. Sekonyong-konyong di atas genteng terdengar bunyi tindakan manusia. Ouw Hui menjadi girang, ia menduga, bahwa Wan Cie Ie sudah kembali lagi. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, di atas genteng terdengar suara seorang lelaki: "OuwToaya, harap kau suka keluar untuk bicara sedikit denganku." Ouw Hui lantas saja mengenali, bahwa suara itu adalah suara si orang she Liap yang menyayang pedangnya seperti juga menyayang jiwa sendiri.

"Liap-heng, turunlah," kata Ouw Hui. "Selain adikku di sini tidak terdapat orang lain."

Sedari pedangnya tidak dirusak Ouw Hui, si orang she Liap, seorang perwira dan bernama Wat, selalu merasa berterima kasih terhadap pemuda itu. Karena melihat Ouw Hui berpihak kepada Wan Cie Ie, maka pada waktu si nona bertempur dengan Cin Nay Cie, Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw ia tidak mau mencampuri. Kenyataan ini merupakan bukti, bahwa Liap Wat adalah seorang yang mempunyai pribudi.

Mendengar perkataan Ouw Hui, ia segera melompat turun seraya berkata: "Ouw Toako, seorang sahabat lama telah memerintahkan Siauwtee datang ke mari untuk mengundang kau."

"Sahabat lama? Siapa?" tanyanya.

"Siauwtee telah mendapat pesanan untuk tidak membocorkan rahasia, harap Toako sudi memaafkan," jawabnya. "Begitu bertemu, Toako akan segera mendapat tahu."

Ouw Hui menengok kepada Leng So dan berkata: "Jie-moay, kau tunggulah sebentaran di sini.

Sebelum terang tanah, aku tentu sudah kembali."

Si nona mengambil goloknya. "Apa Toako mau membekal senjata?" tanyanya.

Melihat Liap Wat tidak membawa pedang, Ouw Hui segera menyahut: "Tak usah. Untuk menemui sahabat lama, kurasa tak perlu membawa senjata."

Di depan pintu sudah menunggu sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Dengan dicat emas dan dengan tirai-tirai sutera, kereta itu sangat indah kelihatannya. "Apa Hong Jin Eng yang coba-coba main gila lagi?" tanya Ouw Hui dalam hatinya. "Jika bertemu, kedua tanganku sudah cukup untuk membinasakan dia."

Begitu lekas mereka duduk dalam kereta, si kusir lantas saja mencambuk kuda dan di tengah malam yang sunyi, suara kaki kuda kedengaran keras sekali di jalan raya Pakkhia yang ditutup dengan batu-batu hijau. Menurut peraturan, di waktu malam orang tidak boleh mengendarai kereta di dalam kota itu. Akan tetapi, begitu melihat dua tengloleng merah, tanpa surat, yang tergantung di depan kereta, serdadu-serdadu yang meronda lantas saja minggir dan membiarkannya.

Selang kira-kira setengah jam, kereta itu berhenti di depan tembok yang putih. Liap Wat melompat turun dan lalu mengajak tamunya masuk di sebuah pintu yang kecil. Dengan melalui jalanan kecil yang ditutup dengan batu-batu sebesar telur itik, mereka menuju ke satu taman bunga. Taman itu besar sekali dengan pohon-pohon bunga yang beraneka warna, pendopo-pendopo, gunung-gunungan dan empang-empang yang semuanya sangat indah dan terawat baik. "Hong Jin Eng benar lihay," kata Ouw Hui dalam hatinya.

"Taman ini belum tentu bisa dibeli dengan seratus atau dua ratus laksa tahil perak." Tapi di lain saat, ia mendapat lain pikiran: "Rasanya tak mungkin si orang she Hong. Biarpun jagoan, dia hanya menjagoi di Kwitang. Mana bisa dia memerintah seorang perwira seperti Liap Wat?"

Selagi memikir begitu, Liap Wat sudah mengajak ia membelok di satu gunung-gunungan dan sesudah melalui sebuah jembatan kayu, tibalah mereka di sebuah rangon di atas air. Dalam rangon itu dipasang dua batang lilin, sedang di atas meja diatur sebuah poci teh, cangkir-cangkir dan beberapa macam kue-kue. "Sahabat Toako akan segera datang dan aku akan menunggu di luar kamar," kata Liap Wat. Sehabis berkata begitu, ia segera berjalan keluar.

Dengan rasa kagum Ouw Hui mengawasi perabotan dan perhiasan dalam rangon itu. Gedung di luar pintu Soan-bu-bun sudah boleh dikatakan indah dan mewah, tapi dibandingkan dengan rangon ini, gedung itu masih kalah jauh. Di samping kursi meja dan lain-lain perabotan yang berharga mahal, di empat penjuru tembok digantung lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan dari para pelukis dan penulis yang kenamaan, di antaranya terdapat tulisan "Swee-kiam" (Membicarakan hal pedang) gubahan Cong-cu, ditulis oleh Seng-cin-ong, putera Kaisar Kian-liong sendiri.

Selagi menikmati lukisan dan tulisan itu, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki dan hidungnya mengandung bebauan yang sangat harum. Ia memutar badan dan ia berhadapan dengan seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian warna hijau muda dan yang berdiri sambil tersenyum. Wanita itu adalah Ma It Hong.

Sekarang ia sadar, bahwa ia berada dalam gedung Hok Kong An. Ma It Hong memberi hormat dan berkata sambil tertawa: "Saudara Ouw, tak dinyana kita bertemu lagi di kota raja. Duduk, duduklah." Ia menuang teh dan dari sebuah rantang mengeluarkan beberapa macam kue, yang lalu ditaruh di depan Ouw Hui dengan sikap hormat. "Mendengar Saudara tiba di Pakkhia, hatiku seperti dibetot-betot dan ingin sekali berjumpa secepat mungkin, untuk menghaturkan terima kasih atas budimu," katanya.

Ouw Hui melirik dan melihat sekuntum bunga putih yang terselip di konde nyonya itu, sebagai semacam tanda berkabung untuk mendiang suaminya (Cie Ceng). Tapi dari pakaiannya yang mewah dan parasnya yang berseri-seri, ia rupanya sudah tak ingat lagi suaminya yang binasa secara begitu menyedihkan.

"Pada waktu itu, Siauwteelah yang terlalu mau mencampuri urusan orang," kata Ouw Hui dengan suara tawar. "Jika aku tahu, bahwa Hok Thayswee yang sudah mengirim orang untuk menyambut Cie Toaso, aku pasti tak akan menimbulkan banyak keributan."

Mendengar pemuda itu masih tetap menggunakan istilah "Cie Toaso", muka si nyonya lantas saja berubah merah. "Biar bagaimanapun juga, budi saudara Ouw adalah sangat besar dan aku tetap merasa sangat berhutang budi," katanya pula.

"Nai-ma (pengasuh), coba bawa Kong-cu-ya (panggilan yang digunakan untuk puteranya seorang pembesar tinggi) ke mari."

Di pintu sebelah timur lantas saja terdengar suara mengiakan, disusul dengan masuknya dua orang wanita yang menuntun dua bocah cilik. Begitu masuk, kedua anak itu segera mendekati Ma It Hong dan lalu menggelendot di pangkuan ibunya. Kedua anak itu yang romannya bersamaan satu sama lain, mempunyai paras yang sangat menarik dan gerak-geriknya mungil.

"Apa kau tak kenali Ouw Siok-siok?" tanya sang ibu sambil tertawa. "Ouw Siok-siok pernah memberi banyak bantuan kepada kita. Lekas berlutut!"

Kedua bocah itu lantas saja menekuk kedua lututnya seraya berkata: "Ouw Siok-siok!"

Ouw Hui buru-buru membangunkan mereka. "Hm! Hari ini kau memanggil Siok-siok (paman), tapi tak lama lagi, sesudah tahu kedudukanmu sebagai anggota keluarga kaisar, mana kau kenal seorang gelandangan seperti aku ini?" katanya di dalam hati.

"Saudara Ouw," kata pula Ma It Hong. "Aku ingin mengajukan suatu permintaan kepadamu. Apa kau sudi meluluskan?"

"Toaso," kata Ouw Hui. "Dulu, waktu Siauwtee dihajar oleh Siang Po Cin di Siang-kee-po, Toaso telah coba menolong dan budi itu aku tak dapat melupakan. Maka itulah, pada waktu kita berada di rumah batu, dengan mati-matian Siauwtee berusaha untuk memukul mundur penyerang-penyerang yang diduga perampok. Biarpun kejadian itu sangat menggelikan, tapi dalam hatiku, perbuatanku itu adalah usaha untuk membalas budi di tempo hari.

Tadi, jika kutahu, bahwa orang yang memanggil adalah Toaso, aku tentu tak akan datang ke mari. Mulai dari sekarang, di antara kita terdapat perbedaan antara mulia dan hina, sehingga oleh karenanya, kita sudah tak punya sangkut paut lagi."

Dengan berkata begitu, Ouw Hui menyatakan rasa tidak puasnya terhadap nyonya muda itu.

Ma It Hong menghela napas dan berkata dengan suara perlahan: "Saudara Ouw, walaupun Ma It Hong bukan orang baik, tapi aku sedikitnya bukan manusia yang kemaruk akan kekayaan dan kekuasaan. Kau tentu mengerti apa artinya 'jatuh cinta pada pertemuan pertama'. Rupanya aku dan dia sudah mempunyai ikatan semenjak penitisan yang dulu...." Semakin lama perkataannya jadi semakin perlahan, sehingga hampir tak dapat ditangkap lagi.

Mendengar kata-kata 'jatuh cinta pada pertemuan pertama', jantung Ouw Hui memukul keras, karena kata-kata itu mengena tepat pada hatinya. Sesaat itu juga, rasa mendongkolnya lantas berkurang banyak.

"Baiklah," katanya. "Bantuan apa yang Toaso ingin minta? Sebenarnya permintaan Toaso sangat mengherankan. Soal apa yang masih tak dapat diurus oleh seorang seperti Hok Thayswee?"

"Aku ingin meminta pertolonganmu untuk kedua anak ini," jawabnya. "Aku harap kau suka menerima mereka sebagai muridmu dan ajarkan mereka sedikit ilmu silat."

Ouw Hui tertawa berkakakan. "Kedua Kongcu adalah orang yang sangat mulia, perlu apa mereka belajar silat?" katanya.

"Tapi aku rasa, belajar silat banyak baiknya untuk menguatkan dan menyehatkan badan," kata It Hong.

Sesaat itu, di luar rangon tiba-tiba terdengar seruan seorang lelaki: "Hong-moay! Kau masih belum tidur?"

Paras muka si nyonya agak berubah dan sambil menengok kepada Ouw Hui, ia menunjuk sebuah sekosol di dekat pintu. Ouw Hui lantas saja melompat dan menyembunyikan diri di belakang sekosol itu.

Beberapa saat kemudian terdengar suara tindakan sepatu dan seorang lelaki masuk ke dalam.

"Mengapa kau sendiri belum tidur?" tanya It Hong. "Perlu apa kau datang ke mari?"

Orang itu mencekal tangan It Hong dan berkata seraya tersenyum: "Hongsiang (kaisar) telah memanggil aku untuk merundingkan soal ketentaraan. Pembicaraan itu baru saja selesai. Apa kau jengkel karena aku datang terlalu malam?"

Ouw Hui segera mengetahui, bahwa orang itu bukan lain daripada Hok Kong An. Hatinya lantas saja berdebar-debar, karena dengan berdiam di situ, ia tak bisa tak mendengar omongan percintaan dari kedua orang itu. Di samping itu, jika ketahuan, namanya pasti akan menjadi rusak. Memikir begitu, ia segera mengasah otak untuk coba meloloskan diri.

Ia kaget bukan main karena mendadak Ma It Hong berkata: "Kong-ko, aku ingin mempertemukan kau dengan satu orang. Sebenarnya kau sudah pernah bertemu dengan orang itu, hanya mungkin sekali kau sudah lupa." Sehabis berkata begitu, ia berseru: "Saudara Ouw! Mari menemui Hok Thay-swee."

Ouw Hui segera menghampiri dan memberi hormat. Hok Kong An kaget bukan main. la sama sekali tak pernah mimpi, bahwa di belakang sekosol bersembunyi seorang lelaki. "Ini... ini..." katanya dengan suara terputus-putus.

"Saudara ini she Ouw bernama Hui," kata It Hong sambil tertawa. "Biarpun usianya muda, kepandaiannya sangat tinggi dan di antara busu-busu-mu, tak seorang pun yang dapat menandinginya. Pada waktu kau mengirim orang untuk menyambut aku, Saudara Ouw telah memberi banyak sekali pertolongan. Maka itu, aku telah mengundangnya untuk menghaturkan terima kasih dan kau harus memberi hadiah kepadanya."

Paras muka Hok Kong An pucat pias. Sesudah gundiknya memberi keterangan, barulah hatinya agak lega. "Hm! Memang, memang harus menghaturkan terima kasih," katanya. la mengebas tangan kirinya ke arah Ouw Hui dan berkata pula: "Kau pergi saja dulu. Beberapa hari lagi aku akan memanggil kau." Suaranya sangat mendongkol dan jika tidak memandang muka Ma It Hong, ia tentu sudah mencaci sebab Ouw Hui dianggap sangat kurang ajar, pertama berani masuk ke gedungnya dan bersembunyi di belakang sekosol dan kedua, tidak memberi hormat dengan menekuk lutut.

Dengan menahan amarah, Ouw Hui berjalan ke luar. "Benar sial, tengah malam buta dihina orang." katanya di dalam hati.

Begitu bertemu dengan pemuda itu, Liap Wat yang menunggu di luar segera menanya dengan suara gemetar: "Barusan Hok Thayswee masuk, apa ia bertemu dengan kau?"

"Ma Kouwnio telah memperkenalkannya kepadaku dan minta supaya Hok Thayswee memberi hadiah kepadaku," jawabnya.

"Bagus!" kata Liap Wat dengan suara girang, "Sepatah kata saja dari Ma Kouwnio sudah cukup untuk mengangkat Toako. Di hari kemudian aku sendiri akan mengikut di belakang Toako dan kita bisa bergaul terlebih rapat. Aku sungguh-sungguh merasa girang." Liap Wat menghargai Ouw Hui bukan saja karena ilmu silatnya yang sangat tinggi, tapi juga sebab wataknya yang mulia dan semua perkataannya itu diucapkan dengan setulus hati.

Mereka segera balik dengan menggunakan jalanan yang tadi. Waktu tiba di satu empang teratai, sekonyong-konyong terdengar suara tindakan kaki yang ramai dan beberapa orang mengejar mereka. "Ouw Toaya! berhenti dulu!" teriak satu antaranya.

Ouw Hui dan Liap Wat segera menghentikan tindakan dan memutar badan. Yang menyusul ialah empat orang perwira dan orang yang berjalan paling dulu mencekal sebuah kotak sulam dalam tangannya. "Ma Kouwnio mengirim sedikit hadiah untuk Ouw Toaya," katanya. "Harap Toaya suka menerimanya."

"Aku tak punya pahala apa pun juga," kata Ouw Hui dengan suara mendongkol. "Tak berani aku menerima hadiah itu."

"Inilah sekedar tanda mata dari Ma Kouwnio, harap Toaya jangan begitu sungkan," kata pula perwira itu.

Tapi Ouw Hui tetap menolak. "Tolong beritahukan Ma Kouwnio, bahwa di dalam hati aku sudah menerima hadiahnya yang berharga itu," katanya sambil memutar badan dan lalu berjalan pergi.

Dengan paras muka bingung, si perwira lantas saja menyusul. "Ouw Toaya," katanya dengan suara gemetar. "Jika kau tetap menolak, Ma Kouwnio tentu akan gusari aku. Liap Toako, kau... cobalah kau membujuk Ouw Toaya...."

Ouw Hui mengawasi orang itu dengan sorot mata memandang rendah. "Dilihat dari gerakan-gerakannya, ia boleh dikatakan seorang ahli yang lumayan dalam Rimba Persilatan," katanya di dalam hati. "Hanya sayang, untuk nama dan pangkat, ia rela menjadi budaknya orang."

Sebab merasa tak tega melihat kawannya yang meringis-ringis, Liap Wat menyambuti kotak itu yang diangsurkan kepadanya. Ia merasa kotak itu sangat berat dan menduga, bahwa di dalamnya berisi barang yang sangat berharga. "Ouw Toako," katanya sambil tertawa. "Perkataan Saudara ini memang sebenar-benarnya. Jika sampai dimarahi Ma Kouwnio, hari depannya akan menjadi rusak. Kau terimalah saja, supaya ia bisa memberi laporan yang memuaskan."

Karena malu hati terhadap Liap Wat dan juga sebab mengingat, bahwa dengan barang berharga itu, ia bisa menolong orang-orang miskin, Ouw Hui segera menyambuti dan lalu membuka tutupnya. Ternyata dalam kotak itu berisi semacam benda yang berbentuk persegi dan yang dibungkus dengan sutera merah, sedang keempat ujung sutera itu diikat menjadi dua ikatan. "Barang apa ini?" tanyanya sambil mengerutkan alis.

"Aku tak tahu," jawab si perwira.

Dengan hati heran, Ouw Hui lalu membuka ikatan sutera itu. Baru saja ia membuka satu ikatan, mendadak - sangat mendadak - berbareng dengan suara menjepret, tutup kotak menutup sendirinya dan menggencet erat-erat kedua pergelangan tangan Ouw Hui!

Hampir berbareng, ia merasakan kesakitan yang hebat luar biasa, kesakitan yang meresap ke tulang-tulang. Ia merasa pergelangan tangannya dikacip dengan kacip logam yang bertenaga sangat besar. Ternyata, di dalam kotak itu, yang terbuat dari baja murni, terisi alat-alat rahasia, yang jika tersentuh, bisa menutup sendiri tutupan kotak.

Semakin lama, tutupan kotak menggencet semakin hebat dan buru-buru Ouw Hui mengerahkan Iweekang untuk melawan. Sungguh untung, ia memiliki tenaga dalam yang boleh dikatakan sudah mencapai puncaknya kesempurnaan. Kurang sedikit saja, tulang-tulang kedua pergelangan tangannya tentu sudah tergencet patah. Untuk menjaga patahnya tulang, ia harus terus menerus memusatkan tenaga dalamnya di pergelangan tangan.

Sementara itu, begitu lekas Ouw Hui terjebak, keempat perwira itu, dua di depan dan dua di belakang, segera menghunus pisau dan menempelkan ujung senjata-senjata mereka ke dada dan punggung Ouw Hui.

Kagetnya Liap Wat bagaikan disambar hali-lintar. Ia mengawasi dengan mata membelalak. Sejenak kemudian, barulah ia bisa berkata dengan .suara putus-putus. "E... eh! Mengapa... mengapa begitu?"

"Hok Thayswee telah memerintahkan kami untuk membekuk penjahat Ouw Hui!" kata perwira yang menjadi pemimpin dengan suara nyaring.

"Tapi... tapi Ouw Toaya adalah tamu diundang Ma Kouwnio," kata Liap Wat. "Mengapa jadi begini?" Perwira itu tertawa dingin.

"Liap Toako," katanya. "Kau tanyakan saja Hok Thayswee. Kami hanya menerima perintah."

"Ouw Toako, kau jangan takut," kata Liap Wat dengan suara keras. "Dalam hal ini pasti terselip salah mengerti. Aku akan segera menemui Ma Kouwnio dan ia pasti akan melepaskan kau."

"Jangan bergerak!" bentak perwira itu. "Hok Thayswee telah mengeluarkan perintah rahasia, bahwa hal ini tak boleh dibocorkan kepada Ma Kouwnio. Kau punya berapa biji kepala?"

Liap Wat jadi bingung bukan main, dari kepala dan mukanya ke luar keringat dingin. "Celaka! Kotak itu telah diserahkan olehku kepada Ouw Toako," ia mengeluh. "Seolah-olah, akulah yang mencelakakan padanya. Tapi... tapi... bagaimana aku dapat melawan perintah Hok Thayswee?"

Perwira yang berdiri di belakang Ouw Hui menyodok dengan pisaunya, sehingga kulit punggung pemuda itu tergores dan mengeluarkan darah. "Jalan!" bentaknya dengan angker.

Kotak itu adalah senjata rahasia Hok Kong An yang dibuat oleh seorang ahli mesin Barat. Di dalam bungkusan sutera merah terdapat alat rahasia dan di kedua pinggir mulut kotak, yang juga dilapisi sutera, disembunyikan dua batang pisau. Begitu lekas kotak itu tertutup, pisaunya lantas bekerja.

Dengan mulut ternganga dan mata membelalak, Liap Wat melihat darah yang mulai mengalir keluar dari pergelangan tangan Ouw Hui dan mata pisau semakin lama menggigit semakin dalam. "Biarpun Ouw Toako mempunyai kedosaan sebesar langit, tak boleh ia dicelakakan dengan tipu yang sangat busuk ini," pikirnya. Semenjak bertemu, ia selalu mengagumi Ouw Hui dan sekarang, mengingat bahwa kecelakaan pemuda itu adalah lantaran gara-garanya, ia jadi nekat. Sekonyong-konyong, bagaikan kilat tangan kirinya menyambar dan mencekal kotak itu, sedang dua jari tangan kanannya dimasukkan ke dalam lubang kotak. Sambil mengerahkan Iweekang, ia mengorek alat rahasia dalam kotak itu. Secara kebetulan, jari-jarinya mengorek yang tepat dan mendadak, tutup kotak menjeblak dan terbuka lebar, sehingga kedua pergelangan tangan Ouw Hui lantas saja bebas.

Pada detik itulah, perwira yang menjadi pemimpin menikam Liap Wat dengan pisaunya. Ilmu silat Liap Wat sebenarnya lebih tinggi daripada pembesar militer itu, tapi dalam tekadnya untuk menolong Ouw Hui, ia sudah tidak memperhatikan keselamatan diri sendiri, sehingga pisau itu amblas di dadanya dan sambil mengeluarkan teriakan "aduh!" ia roboh tanpa bernyawa lagi.

Di saat yang sependek itu, Ouw Hui menarik napas dan dada serta punggungnya mengkeret beberapa dim. Hampir berbareng, dengan sekali menjejak kaki, badannya melesat ke atas. Tiga batang pisau menikam dengan berbareng. Dua pisau meleset, tapi pisau yang ketiga membuat goresan panjang di lutut kanannya.

Selagi tubuhnya masih berada di tengah udara, Ouw Hui sudah menendang dengan kedua kakinya. Sesaat itu adalah saat mati hidup dan ia tak sungkan-sungkan lagi. Dua tendangannya itu dengan jitu mengenakan sasarannya dan dua perwira roboh tanpa berkutik lagi. Sebelum kedua kakinya hinggap di tanah, perwira yang barusan membinasakan Liap Wat sudah mengirim tikaman ke kempungan Ouw Hui dengan pukulan Keng-ko-hian-touw (Keng Ko mempersembahkan gambar). Ouw Hui yang sudah mata gelap, melompat sambil berteriak keras dan mengirim tendangan geledek ke dada orang. "Duk!" badan perwira itu melayang dan jatuh di empang teratai. Belasan tulang dadanya patah serentak dan menurut perhitungan, ia tak bisa hidup lagi.

Perwira yang keempat jadi ketakutan setengah mati. Seraya berteriak, ia memutar badan dan terus kabur sekeras-kerasnya. Dengan beberapa lompatan saja, Ouw Hui sudah menyusul. Dengan tangan kiri mencengkeram pakaian orang, ia mengangkat tangan kanannya untuk menghantam kepala perwira itu. Tapi sebelum tangannya turun, di bawah sinar rembulan, ia melihat paras muka orang itu yang ketakutan dan mohon diampuni. Hatinya lantas saja lemas. "Dia dan aku tak punya permusuhan dan dia hanya diperintah oleh Hok Kong An," katanya di dalam hati. "Perlu apa aku mengambil jiwanya?"

Ia segera menenteng tawanannya ke belakang gunung-gunungan dan membentak dengan suara perlahan: "Mengapa Hok Kong An mau menangkap aku?"

"Aku... aku... tak tahu," jawabnya.

"Di mana dia sekarang? tanyanya pula.

"Hok Thayswee... Hok Thayswee keluar dari... dari tempat Ma Kouwnio, memerintahkan kami... dan kemudian masuk lagi..." jawabnya.

Ouw Hui segera menotok jalan darah gagunya seraya mengancam: "Kau berdiam di sini untuk sementara waktu, besok pagi kau tentu akan dimerdekakan. Kalau orang tanya, kau harus mengatakan, bahwa Liap Wat telah dibunuh olehku. Jika rahasia ini bocor dan keluarga Liap sampai jadi celaka, kau kabur ke mana pun juga, aku akan ambil kepalamu!" Perwira itu yang tidak bisa bicara lagi itu, buru-buru manggutkan kepalanya.

Dengan sikap menghormat Ouw Hui lari mendukung mayat Liap Wat yang lalu ditaruhnya dalam sebuah gua di gunung-gunungan batu dan kemudian, ia berlutut empat kali sebagai penghormatan terakhir. Sesudah menendang mayat kedua perwira ke dalam gerombolan rumput tinggi, ia lalu merobek ujung baju dan membalut luka di kedua pergelangan tangannya. Luka di lutut hanya luka di kulit, tapi goresannya panjang sekali. Sesudah itu, dengan darah bergolak, ia mengambil sebilah pisau dan lalu menuju ke rangon Ma It Hong dengan tindakan lebar.

Karena tahu, bahwa gedung Hok Kong An dijaga oleh banyak Sie-wie (pengawal), sedikit pun ia tak berani berlaku ceroboh. Sebelum maju, ia selalu mengintip lebih dulu dari belakang pohon atau gunung-gunungan. Baru saja tiba di dekat jembatan, di sebelah depan sekonyong-konyong muncul dua sinar tengloleng dan beberapa saat kemudian ia melihat bahwa orang yang mendatangi adalah Hok Kong An sendiri, yang diikuti oleh delapan Wie-su. Untung juga, dalam taman itu terdapat banyak sekali perhiasan taman yang dapat digunakan sebagai tempat menyembunyikan diri. Dengan cepat ia melompat ke belakang sebuah batu yang berbentuk seperti rebung.

"Kau pergi periksa penjahat she Ouw itu," kata Hok Kong An kepada salah seorang pengawalnya. "Tanyakan seterang-terangnya, bagaimana ia bisa mengenal Ma Kouwnio dan ada hubungan apa antara mereka berdua. Tanyakan juga, perlu apa dia datang ke gedungku di tengah malam buta. Rahasia ini tidak boleh dibocorkan kepada Ma Kouwnio. Sesudah kau memeriksa lekas-lekas lapor kepadaku. Mengenai penjahat itu... hm... kau harus ambil jiwanya malam ini juga."

Seorang Wie-su lantas saja mengiyakan. "Jika Ma Kouwnio tanya, katakan saja, aku sudah menghadiahkan tiga ribu tahil perak kepadanya dan memerintahkan supaya dia pulang ke kampungnya sendiri," kata pula Hok Kong An. "Baik, baik," jawab Wie-su itu. Bukan main gusarnya Ouw Hui. Sekarang baru ia tahu, bahwa sebab menduga gundiknya mempunyai hubungan rahasia dengan dirinya, tanpa menyelidiki lebih dulu, Hok Kong An sudah turunkan tangan jahat. Ia marah bercampur duka, sebab mengingat Liap Wat yang sudah mesti mengorbankan jiwa dengan cuma-cuma.

Jika mau, waktu itu juga ia bisa mengambil jiwa Hok Kong An. Tapi, karena baru datang di kota raja dan belum tahu seluk beluknya hal dan juga karena mengingat, bahwa pembesar itu memegang kekuasaan sangat penting atas ketentaraan, maka ia tidak berani bertindak secara sembrono.

Ia bersembunyi terus di belakang batu itu dan sesudah Hok Kong An dan pengiringnya lewat, barulah ia menyusul Wie-su yang diperintah untuk memeriksa dirinya. Wie-su itu yang berjalan sambil bersiul-siul, sedikit pun tidak merasa, bahwa dirinya sedang dikejar orang. Tahu-tahu jalan darahnya sudah tertotok dan ia roboh tanpa berteriak.

Sesudah merobohkan pengawal itu, Ouw Hui lalu menguntit rombongan Hok Kong An dari sebelah kejauhan. "Ada urusan apa Loo-tay-tay memanggil aku di tengah malam buta?" demikian terdengar suara Hok Kong An. "Siapakah yang berada sama-sama Loo-tay-tay?" (Loo-tay-tay berarti nyonya besar).

"Hari ini Kongcu (Puteri) masuk ke keraton dan sekembalinya dari keraton, ia terus menemani Loo-tay-tay," jawab seorang.

Hok Kong An mengeluarkan suara "hm" dan tidak menanya lagi.

Sesudah melewati lorong-lorong yang indah buatannya, tibalah mereka di depan sebuah gedung yang dikurung dengan pohon-pohon bambu. Hok Kong An lalu masuk ke gedung itu dan para pengawalnya menjaga di luar.

Dengan memutari pohon-pohon bambu, Ouw Hui pergi ke belakang gedung, dari mana ia melihat sinar api di jendela sebelah utara. Indap-indap ia mendekati jendela itu dan lalu mengintip. Dalam sebuah ruangan kelihatan duduk dua orang wanita yang beroman agung dan yang berusia kira-kira tiga puluh tahun. Di dekat mereka terdapat seorang wanita tua yang berusia lima puluh tahun lebih dan di samping kiri wanita tua itu, berduduk dua wanita lain. Kelima wanita tersebut semuanya mengenakan pakaian yang sangat indah dan perhiasan dengan batu-batu permata yang berharga mahal.

Begitu masuk, Hok Kong An lebih dulu memberi hormat kepada dua wanita yang berusia tiga puluhan dan kemudian barulah ia memberi hormat kepada si wanita tua dengan memanggil "ibu". Dua wanita yang lain sudah bangun berdiri berbareng dengan masuknya ke dalam ruangan itu. Siapa sebenarnya Hok Kong An? Ayah pangeran itu, Po Heng namanya, adalah adik lelaki dan permaisuri Kian-liong. Isteri Po Heng terkenal sebagai wanita Boan yang tercantik. Waktu nyonya Po Heng masuk ke keraton, Kian-liong merasa tertarik. Mereka mengadakan perhubungan rahasia dan mendapat seorang putera, yaitu Hok Kong An. Dengan mendapat pengaruh dari kakak perempuannya, isterinya dan puteranya, Po Heng sangat disayang oleh Kian-liong yang belakangan mengangkatnya sebagai perdana menteri. Dua puluh tiga tahun lamanya ia menjabat pangkat yang tinggi itu dan waktu cerita ini terjadi, ia sudah meninggal dunia.

Ia mempunyai empat orang putera. Putera sulung, Hok Leng An, menikah dengan seorang puteri Kian-liong dan diangkat sebagai To-lo Hu-ma. Belakangan, karena membuat pahala dalam peperangan di Huikiang, ia dianugerahi pangkat Hui-touw-tong (wakil pemimpin) dari Pasukan Bendera Putih.

Putera kedua, Hok Liong An, menikah dengan Puteri dan diangkat sebagai Ho-sek Hu-ma. Berkat kepandaiannya, ia akhirnya diangkat menjadi Kong-po Siang-sie (menteri urusan pekerjaan umum).

Hok Kong An sendiri adalah putera ketiga. Banyak orang merasa heran, mengapa sedang kedua kakaknya menikah dengan puteri kaisar, ia sendiri yang paling dicintai oleh Kian-liong, tidak diambil sebagai menantu? Tentu saja orang-orang itu tak tahu, bahwa Hok Kong An sebenarnya adalah putera kaisar itu sendiri. Di ini waktu, ia menjabat pangkat Peng-po Siang-sie (menteri pertahanan), merangkap Thaycu Thaypo (pelindung putera mahkota).

Putera keempat menjabat pangkat Houw-po Siang-sie dan belakangan diangkat sebagai raja muda. Dengan demikian, pada jaman itu, seluruh keluarga Hok Kong An menduduki tempat yang sangat tinggi dan memegang peranan penting dalam pemerintahan (Houw-po Siang-sie = Menteri Keuangan).

Kedua wanita yang beroman agung, duduk di tengah-tengah, adalah puteri-puteri kaisar yang menjadi 'nso (isteri kakak lelaki) Hok Kong An. Ho-kee Kongcu adalah seorang wanita yang cerdas, pandai dan bisa mengambil hati, sehingga sangat dicintai Kian-liong, yang sering sekali memanggilnya ke istana untuk diajak beromong-omong. Walaupun kedua puteri itu sanak yang sangat dekat, akan tetapi secara resmi hubungan antara mereka dan Hok Kong An adalah hubungan antara raja dan menteri, maka menurut adat istiadat, pembesar itu harus memberi hormat terlebih dulu. Dua wanita lainnya, yang satu Hailan-sie, isteri Hok Kong An sendiri, sedang yang lain isteri Hok Tiang An.

Sesudah duduk di kursi sebelah timur, Hok Kong An bertanya: "Mengapa Jie-wie Kongcu dan ibu belum tidur?"

"Mendengar kau sudah punya anak, Jie-wie Kongcu merasa sangat girang dan ingin bertemu dengan mereka," jawab sang ibu.

Hok Kong An tersenyum sambil melirik isterinya. "Wanita itu orang Han," ia menerangkan. "Dia belum paham akan adat istiadat, maka aku belum berani mengajaknya menemui Kongcu dan ibu."

"Wanita yang dipenuju Kong-loo-sam sudah pasti bukan wanita sembarangan," kata Ho-kee Kongcu sembari tertawa. "Kami bukan ingin menemui perempuan itu. Maksud kami ialah ingin melihat kedua puteramu. Pergilah panggil. Hu-hong pun ingin sekali melihat mereka." (Hu-hong = ayahanda Kaisar).

Hok Kong An jadi girang sekali. Ia merasa pasti, bahwa Kian-liong akan senang melihat kedua puteranya yang cakap dan mungil. Ia segera menyuruh seorang budak untuk menyampaikan perintahnya kepada pengawal supaya kedua puteranya dibawa ke situ.

Ho-kee Kongcu tertawa pula. "Hari ini, waktu berada di keraton, Bu-houw mengatakan, bahwa Kong-loo-sam pandai sungguh menutup rahasia," katanya. "Selama beberapa tahun, kami semua kena dikelabui. Mengapa kau tidak lekas-lekas mengambil mereka? Awas! Hu-hong akan keset kulitmu."

"Soal kedua anak itu baru diketahui olehku pada bulan yang lalu," menerangkan Hok Kong An.

Berkata sampai di situ, dua babu susu sudah datang membawa kedua puteranya. Hok Kong An lantas saja memerintahkan mereka memberi hormat kepada kelima wanita itu. Mereka ternyata sangat dengar kata dan meskipun matanya mengantuk, mereka lantas saja memberi hormat dengan berlutut di hadapan lima nyonya besar itu.

Melihat kedua bocah yang sangat cakap itu, mereka jadi girang sekali. "Kong-loo-sam," kata pula Ho-kee Kongcu.

"Muka mereka sangat mirip denganmu. Andaikata kau mau menyangkal, kau tak akan dapat menyangkal."

Sebenarnya Hai-lan-sie merasa agak mendongkol, tapi sesudah melihat mungilnya kedua bocah itu, ia turut bergirang dan lalu memeluknya erat-erat. Mereka semua sudah menyediakan hadiah yang lantas saja diberikan kepada kedua anak itu.

"Hm! Sedari kecil sudah pandai menjilat-jilat," kata Ouw Hui di dalam hati. "Kalau besar, mereka tak bisa jadi manusia baik."

Loo hu-jin menggapai seorang budak perempuan yang berdiri di belakang. "Kau pergi kepada Ma Kouwnio dan beritahukan, bahwa malam ini mereka tidur di tempatku dan Ma Kouwnio tak usah tunggui mereka," katanya. Budak itu lantas saja mengiakan dan berjalan ke luar untuk menjalankan perintah itu. Sesudah itu, Loo-hu-jin berpaling kepada seorang budak lain dan berkata pula: "Kau bawa semangkok somthung (godokan yo-som) kepada Ma Kouwnio. Beritahukanlah, bahwa aku akan menjaga kedua anak itu baik-baik dan dia tak usah memikirkannya." (Loo-hu-jin = Nyonya tua, ibu Hok Kong An).

Mendengar perkataan itu, tangan Hok Kong An yang sedang mencekal cangkir teh, jadi bergemetaran, sehingga air teh tumpah ke pakaiannya. Paras mukanya berubah pucat dan mulutnya ternganga. Budak itu segera menaruh mangkok som-thung ke dalam sebuah rantang yang dicat air emas dan lalu berjalan ke luar dari ruangan itu.

Kedua Kongcu, Hai-lan-sie dan isteri Hok Tiang An saling melirik dan kemudian meninggalkan ruangan itu. Kedua bocah itu menangis keras dan memanggil-manggil ibunya.

"Anak baik, jangan menangis," kata Loo-hu-jin. "Ikutlah Nai-nai (babu susu). Mereka akan memberikan kembang gula kepadamu." Ia mengebas tangannya supaya kedua babu susu itu membawa mereka keluar ruangan itu, ia memberi lsyarat kepada semua budak yang lantas saja mengundurkan diri, sehingga yang berada dalam ruangan itu hanyalah si nenek dan Hok Kong An sendiri. Untuk beberapa lama ruangan itu sunyi senyap. Loo-hu-jin mengawasi puteranya, tapi Hok Kong An melengos.

Sesudah selang beberapa lama, Hok Kong An menghela napas panjang. "Ibu, mengapa kau tidak bisa berlaku sedikit murah hati terhadapnya?" tanyanya.

"Apa perlu kau menanyakan itu?" sang ibu balas tanya.

"Dia seorang Han, hatinya sukar ditebak. Apalagi dia berasal dari kalangan piauw-hang. Dia pandai bersilat dan biasa menggunakan senjata. Dalam gedung ini terdapat dua Kongcu dan mereka tentu saja tidak bisa tinggal bersama-sama dengan perempuan semacam itu. Pada sepuluh tahun berselang, Hong-siang pernah berada dalam bahaya besar karena gara-gara seorang wanita asing. Apa kau lupa? Manakala perempuan yang seperti ular berbisa itu berdiam terus bersama-sama kami, kami semua tidak akan enak makan dan enak tidur lagi."

"Apa yang dikatakan ibu memang tak salah," kata Hok Kong An. "Anak pun sebenar-benarnya bukan sengaja menyambut dia datang ke mari. Anak hanya menyuruh orang menengoknya dan memberikan sedikit uang kepadanya. Di luar dugaan, dia telah melahirkan dua putera yang menjadi darah dagingku."

Sang ibu mengangguk seraya berkata: "Usiamu sudah mendekati empat puluh tahun dan kau belum punya anak. Dilahirkannya anak itu tentu saja merupakan kejadian yang sangat menggirangkan. Kami akan memeliharanya dan mendidiknya baik-baik, supaya di hari kemudian mereka bisa mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, hati ibunya pun bisa terhibur."

Hok Kong An menunduk dan untuk beberapa saat, ia tidak mengeluarkan sepatah kata. "Tadinya anak ingin mengirim perempuan itu ke tempat yang jauh supaya dia tidak bisa bertemu muka lagi denganku dan dengan kedua anaknya," katanya dengan suara perlahan. "Tak dinyana ibu...."

Paras muka nyonya tua itu lantas saja berubah gusar. "Sungguh percuma kau memegang pangkat tinggi, kalau soal ini saja masih belum dimengerti olehmu!" bentaknya dengan suara keras. "Apa kau kira, sedang kedua puteranya berada di sini, dia rela menerima nasib dengan begitu saja? Ingatlah! Dia perempuan Kang-ouw yang bisa melakukan perbuatan apa pun jua!"

Mendengar perkataan ibunya, Hok Kong An hanya manggut-manggutkan kepalanya.

Sesudah berdiam sejenak, nyonya tua itu berkata pula: "Kau perintah orang menguburkannya dengan upacara besar itu sudah cukup untuk menyatakan kecintaanmu...."

Si anak kembali manggutkan kepala. Bukan main kagetnya Ouw Hui yang mendengarkan di luar jendela. Semula ia tidak begitu mengerti pembicaraan antara ibu-anak itu dan sesudah mendengar kata-kata "menguburkannya dengan upacara besar", barulah ia terkesiap. Sekarang ia tahu, bahwa nyonya tua yang kejam itu ingin merampas anaknya dengan membunuh ibunya. Ia yakin, bahwa untuk menolong jiwa Ma It Hong, ia tidak boleh berayal lagi. la segera meninggalkan gedung itu dan dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, ia berlari-lari ke rangon di atas air. Untung juga waktu itu sudah jauh malam dan di dalam taman tidak terdapat satu manusia pun, sedang pembunuhan yang terjadi tadi juga belum diketahui orang. Sembari lari, Ouw Hui bimbang. "Ma Kouwnio sangat mencintai Hok Kong An," pikirnya. "Apa dia percaya keteranganku? Apa dia suka mengikut aku untuk melarikanm diri? Hai! Bagaimana baiknya?"

Begitu tiba, ia lihat empat orang pengawal di luar rangon. "Hm! Mereka sudah menyediakan orang untuk menjaga kaburnya Ma Kouwnio," katanya di dalam hati. Karena tak mau mengagetkan orang-orang itu, ia lalu pergi ke belakang rangon dengan mengambil jalan memutar. Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah melompati empang dan kemudian, dengan indap-indap ia menghampiri jendela. Mendadak, hatinya mencelos dan mengawasi ke dalam dari celah-celah jendela dengan mata membelalak. Apa yang dilihatnya? Ma It Hong rebah di atas lantai sambil memegang perut dan merintih, sedang paras mukanya pucat pasi! Dalam ruangan itu tidak terdapat lain manusia.

"Celaka! Aku terlambat," ia mengeluh sambil mendorong jendela dan melompat masuk. Napas nyonya itu tersengal-sengal, mukanya bersorot hijau dan kedua matanya merah, seperti mau mengeluarkan darah.

Melihat Ouw Hui, ia berkata dengan suara terputus-putus: "Perut... perutku sakit.... Saudara Ouw... kau...." Suaranya semakin lemah dan sesudah mengatakan, "kau", ia tak dapat bicara lagi.

"Kau makan apa tadi?" tanya Ouw Hui.

It Hong tidak menjawab, hanya matanya mengawasi sebuah mangkok dengan lukisan bunga emas yang terletak di atas meja. Ouw Hui kenali, bahwa mangkok itu adalah mangkok somthung. "Nenek itu sungguh jahat," pikirnya.

"Sebelum mengirim somthung, lebih dulu ia memanggil kedua bocah itu. Rupanya ia khawatir Ma Kouwnio akan membagi makanan mahal itu kepada puteranya.... Ya, sekarang aku ingat. Waktu ibunya menyuruh budak membawa somthung itu, paras muka Hok Kong An berubah dan tangannya bergemetar, sehingga air teh tumpah di pakaiannya. Ia tentu sudah tahu, bahwa dalam somthung itu ditaruh racun. Tapi dia tidak coba mencegah atau menolong. Biarpun bukan dia yang meracuni, tapi dia turut berdosa. Hm! Sungguh kejam!"

Sesudah mengumpulkan tenaga, Ma It Hong berkata pula dengan suara lemah. "Kau... beritahukan Hok Kongcu...minta... panggil tabib...."

Ouw Hui tidak menjawab, tapi mendengar perkataan si nyonya, ia segera ingat, bahwa orang satu-satunya yang dapat menolong adalah adik angkatnya, Leng So.

Memikir begitu, ia segera mengambil kain alas kursi dan membungkus mangkok somthung itu yang lalu dimasukkan ke dalam sakunya. Ia mendengarkan sejenak dan sesudah melihat di luar rangon tidak terdengar sesuatu yang luar biasa, ia lalu memanggul tubuh It Hong dan melompat ke luar dari jendela.

Nyonya itu kaget dan berteriak dengan suara perlahan: "Ouw...."

Ouw Hui menekap mulut It Hong dengan tangannya. "Jangan ribut, aku mau bawa kau kepada tabib," bisiknya.

"Anakku..." kata pula nyonya itu.

Ouw Hui tidak meladeni. Dengan tergesa-gesa ia menggenjot tubuh dan melompati empang yang memisahkan rangon itu dari taman bunga. Tapi baru saja ia mau kabur, sudah terdengar suara tindakan dua orang yang mengejar dari belakang. "Siapa?" bentak salah seorang itu. Ouw Hui tidak menjawab dan terus lari dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sesudah kabur puluhan tombak, tiba-tiba ia menghentikan tindakan dan begitu lekas kedua pengejarnya datang dekat, ia melompat tinggi sambil menendang dengan kedua kakinya yang tepat di jalan darah Sinlong-hiat, di punggung kedua orang itu. Tanpa bersuara mereka terguling. Dilihat dari pakaiannya, mereka adalah Wie-su yang menjaga di luar rangon.

Sesudah merubuhkan kedua pengawal itu, dengan cepat Ouw Hui mencari jalan ke luar. Sekonyong-konyong dari beberapa sudut gedung, terdengar suara teriakan dan bentakan: "Tangkap! Tangkap pembunuh!"

Untung juga, waktu baru datang, ia memperhatikan jalanan, sehingga sekarang tanpa ragu-ragu, ia segera mengambil jalan semula yang menerus ke sebuah pintu kecil. Setibanya di depan pintu, ia segera melompati tembok dan dengan girang ia mendapat kenyataan, bahwa kereta yang ditumpanginya tadi, masih menunggu di situ. Buru-buru ia memasukkan Ma It Hong ke dalam kereta seraya berkata: "Pulang!"

Mendengar suara ribut-ribut di dalam gedung dan melihat paras muka Ouw Hui yang luar biasa, si kusir membuka mulut menanyakan keterangan. Tapi sebelum ia sempat bicara, tangan pemuda itu sudah melayang dan ia rubuh di tanah. Sesaat itu, dari dalam gedung sudah muncul empat-lima Wie-su yang mengejar sambil berteriak-teriak. Ouw Hui segera mencekal les dan mengaburkan kudanya sekeras-kerasnya. Sesudah mengejar belasan tombak, pengejar-pengejar itu kembali ke gedung sembari berteriak-teriak: "Kuda! Lekas siapkan kuda!"

Dengan hati berdebar-debar Ouw Hui terus membedal kuda. Sesudah lari kira-kira satu lie, mendadak terdengar teriakan-teriakan dan dua puluh lebih Wie-su yang menunggang kuda mengejar dari belakang. Kuda-kuda itu adalah binatang pilihan, sehingga semakin lama mereka datang semakin dekat.

Ouw Hui jadi bingung. "Aku berada di kota raja yang tidak boleh dipersamakan dengan kota-kota lain," pikirnya. "Dengan adanya suara ribut-ribut, tentara peronda kota bisa segera turut turun tangan dan aku sukar meloloskan diri lagi."

Ia menengok ke belakang dan lihat semua pengejar itu membawa obor. Ia melirik kepada Ma It Hong dan hatinya jadi semakin berkhawatir. Tadi nyonya itu masih merintih, tapi sekarang suara rintihannya sudah tidak terdengar lagi. "Ma Kouw-nio," ia memanggil. "Perutmu sakit?" Ia memanggil beberapa kali, tapi It Hong tetap tidak menjawab.

Ia menengok lagi dan melihat pengejar-pengejar sudah datang terlebih dekat. Tiba-tiba sebulir batu Hui-hong-sek menyambar punggungnya. Dengan cepat ia menangkapnya dan balas menimpuk. Sambil mengeluarkan teriakan keras, orang itu jatuh terguling.

Hasil itu menyadarkan Ouw Hui. Jalan paling baik untuk mengundurkan musuh adalah menggunakan senjata rahasia, hanya sayang ia tidak membekalnya. Sesudah mendapat pelajaran pahit, para Wie-su tidak berani menyerang lagi dengan senjata rahasia.

Ouw Hui jadi semakin bingung. Perjalanan ke Soan-bu-bun masih jauh, sedang teriakan-teriakan orang-orang itu sudah pasti akan menarik perhatian serdadu peronda. Dalam bingungnya ia ingat mangkok yang berada dalam sakunya. Ia segera meremas mangkok itu - hanya pantat mangkok yang tidak dihancurkan - dan mencekal kepingan-kepingan persolen dalam tangannya. Dengan sekali mengayun tangan kiri, lima Wie-su rubuh disambar kepingan mangkok pada jalan darahnya, sedang tiga Wie-su lainnya yang berkepandaian lebih tinggi, dapat menyampok "senjata rahasia" itu dengan golok mereka. Beberapa orang lantas saja melompat turun dari tunggangannya untuk menolong kawan-kawannya yang rubuh, sedang yang lainnya tidak berani datang terlalu dekat lagi.

Ouw Hui bernapas lebih lega. Ia girang ketika mendapat kenyataan, bahwa Ma It Hong masih bernapas dan kadang-kadang mengeluarkan rintihan perlahan. Sementara itu, ia sudah hampir tiba di gedungnya. Waktu tiba di jalan bercabang, ia membelokkan kereta ke jurusan barat, sedang gedungnya berada di sebelah timur. Sesudah membelok lagi di sebuah tikungan, sambil mendukung It Hong, ia mencambuk kuda beberapa kali, sedang ia sendiri melompat ke atas sebuah rumah. Kereta itu kabur terus ke arah barat dengan dikejar oleh para Wie-su.

Sesudah para pengejar pergi jauh, barulah Ouw Hui kembali ke gedungnya dengan mengambil jalan dari atas atap rumah-rumah penduduk. Baru ia melompati tembok gedungnya, sudah terdengar suara Leng So: "Toako, kau kembali! Kau dikejar orang?"

"Ma Kouwnio kena racun hebat, coba periksa," kata sang kakak. Sambil mendukung It Hong, Ouw Hui masuk ke ruangan tengah dan Leng so menyulut lilin. Sambil menggelengkan kepala, si nona mengawasi muka nyonya itu yang bersorot abu-abu. Ia memijit jari-jari tangan It Hong, ternyata dagingnya tetap melesak, tidak membal ke atas lagi.

"Kena racun apa?" tanyanya.

Dari dalam sakunya Ouw Hui mengeluarkan pantat mangkok, "Kena racun yang ditaruh di dalam somthung," jawabnya. "Inilah pantat mangkok som-thung itu.

Leng So mencium pantat mangkok itu. Sebagai ahli urusan racun, ia lantas saja berkata dengan suara kaget: "Hebat! Inilah racun Ho-teng-hong."

"Masih bisa ditolong?" tanya Ouw Hui.

Sebelum menyahut, Leng so memegang dada It Hong. "Kalau bukan orang kaya raya, tak nanti mempunyai racun yang mahal itu," katanya.

"Benar," kata Ouw Hui dengan suara gusar, "Yang menaruh racun adalah nyonya Siang-kok (perdana menteri), ibunya Peng-po Siang-sie."

Leng So mengangguk, kedua matanya mengawasi It Hong dengan penuh perhatian. Melihat paras muka adiknya yang tidak memperlihatkan sinar putus harapan, hati Ouw Hui agak lega.

Sesudah mengawasi beberapa saat, Leng So membuka kelopak mata It Hong. Mendadak ia mengeluarkan seruan tertahan: "Aha!"

Ouw Hui terkesiap. "Mengapa?" tanyanya.

"Di samping Ho-teng-hong, terdapat juga Hoan-bok-pie," jawabnya.

Ouw Hui tidak berani menanya, "Bisa ditolong atau tidak?" Sambil mengawasi adiknya, ia bertanya: "Bagaimana menolongnya?"

Alis si nona berkerut: "Dengan adanya dua macam racun itu, kita jadi lebih berabe," jawabnya. Ia masuk ke kamar dan mengambil dua butir yo-wan putih. Sambil memasukkan obat itu ke dalam mulut It Hong, ia berkata: "Kita harus menaruhnya di dalam sebuah kamar yang sunyi, menusuk tiga belas jalanan darahnya dengan jarum emas dan kemudian memasukkan obat ke dalam tubuhnya dari jalan darah. Sebenarnya, dengan menggunakan jarum, kita dapat menolongnya dengan segera, akan tetapi, selama dua belas jam ia tidak boleh bergerak sedikit pun jua."

"Kita tidak dapat menggunakan jarum di sini, karena Wie-su Hok Kong An akan segera datang," kata Ouw Hui. "Kita harus cari sebuah rumah di kampung yang sepi."

"Kalau begitu kita harus berangkat sekarang juga," kata Leng So. "Dua butir yo-wan itu dapat mempertahankan jiwanya selama satu jam." la menghela napas dan berkata pula: "Walaupun kejam, pengetahuan tentang racun dari nyonya Siang-kok itu masih sangat rendah. Dengan mencampur dua macam racun dan menaruhnya di dalam somthung, tenaga racun itu menjadi lemah. Kalau bukan begitu, jiwa Ma Kouwnio tentu sudah melayang."

Cepat-cepat Ouw Hui berkemas. "Pada jaman ini, siapakah yang dapat menandingi ilmunya Tok-chiu Yo-ong?" katanya.

Leng So tersenyum. Selagi ia mau menjawab, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda yang menda-tangi dari sebelah kejauhan. Ouw Hui menghunus golok dan berkata: "Kita terpaksa mesti bertempur." Ia bingungdan berkata pula: "Semakin lama jumlah musuh tentu semakin banyak. Kalau bahaya terlalu besar, paling banyak aku bisa menolong Jie-moay. Bagaimana kita dapat menolong Ma Kouwnio?"

"Dalam kota raja, tak dapat kita menggunakan kekerasan," kata si adik. "Toako, coba kau menyusun kursi meja sampai merupakan sebuah rangon tinggi."

Ouw Hui tak mengerti maksudnya, tapi karena tahu kepintarannya si adik, tanpa menanya lagi, ia lalu menyusun semua meja dan kursi yang berada dalam ruangan itu. Sambil menuding satu pohon besar yang tumbuh di luar jendela, Leng so berkata: "Bersama Ma Kouwnio, kau bersembunyi dalam pohon itu."

Ouw Hui segera memasukkan goloknya ke dalam sarung dan buru-buru mendukung Ma It Hong. Dengan sekali mengenjot badan, ia hinggap di atas satu dahan dan lalu menyembunyikan nyonya itu di antara daun-daun yang rindang.

Sementara itu, dengan melompati tembok, beberapa Wie-su sudah masuk ke dalam pekarangan gedung dan dengan membentak-bentak, ia menanyakan keterangan dari pengurus rumah.

Leng So meniup lilin dan dari sakunya ia mengeluarkan sebatang lilin lain yang lalu disulutnya dan ditancapkan di sebuah ciak-tay. Sesudah menutup jendela dan pintu, barulah ia melompat naik ke pohon itu dan berdiri di samping kakaknya.

"Semuanya ada tujuh orang," bisik Ouw Hui.

"Tenaga obat lebih dari cukup!" jawab si adik.

Sekarang Ouw Hui mengetahui, bahwa lilin yang dipasang oleh adiknya adalah lilin racun.

Para Wie-su itu sudah mulai menggeledah. Di antara suara mereka, Ouw Hui kenali, bahwa salah seorang adalah In Tiong Shiang.

Karena jeri terhadap Ouw Hui dan juga sebab Wan Cie Ie masih berada dalam gedung itu, mereka tidak berani berlaku sembrono dan tidak berani menggeledah dengan berpencaran.

Sambil menyerahkan sebutir batu ke dalam tangan Ouw Hui, Leng So berbisik: "Toako, rubuhkan sebuah kursi dengan batu ini!"

"Bagus!" kata sang kakak sambil tertawa dan lalu menimpuk. Batu itu mengena tepat pada kursi yang di tengah-tengah dan dengan satu suara gedebrukan, beberapa kursi meja yang berada di atasnya terguling di lantai.

"Di sini! Di sini!" teriak para Wie-su. Beramai-ramai mereka meluruk ke ruangan itu. Tapi, kecuali kursi meja yang jatuh berhamburan, dalam ruangan itu tak terdapat bayangan manusia. Mendadak mereka merasa puyeng dan tak ampun lagi ambruk di lantai.

Dengan cepat Leng So melompat masuk lagi ke dalam ruangan itu, meniup lilin yang lalu dimasukkan ke dalam sakunya. "Ayo berangkat!" katanya seraya menggapai Ouw Hui.

Ouw Hui lantas saja mendukung Ma It Hong dan bersama adiknya, ia melompati tembok. Belum jalan beberapa jauh, ia mengeluh, karena di sebelah depan terlihat barisan tentara yang sedang melangkah melakukan penggeledahan dengan membawa obor dan tengloleng.

Buru-buru mereka membelok ke selatan, tapi belum setengah li, mereka sudah bertemu pula dengan sepasukan tentara yang meronda.

"Pembunuhan dalam gedung Hok Thayswee rupanya sudah diketahui," kata Ouw Hui di dalam hati. "Bagaimana baiknya? Tak mudah untuk meloloskan diri ke luar kota." Sekonyong-konyong ia dengar suara ribut-ribut di belakangnya dan sepasukan tentara kelihatan mendatangi dari sebelah belakang. Ouw Hui bingung, musuh mendatangi dari depan dan dari belakang. Sambil memberi isyarat kepada Leng so, ia melompati tembok pekarangan sebuah gedung, diturut oleh adiknya.

Mereka hinggap di atas rumput yang empuk dari sebuah taman.

Tiba-tiba mereka terkesiap, karena taman itu terang-benderang dan tak jauh dari tempat mereka berdiri, kelihatan berkumpul banyak orang. Hampir berbareng, di luar tembok terdengar suara ramai, sebagai tanda, bahwa kedua pasukan tadi yang datang dari depan dan dari belakang, sudah bertemu satu sama lain, sehingga mereka tak akan dapat melarikan diri lagi dari jalanan itu. Untung juga, Ouw Hui lihat sebuah gunung-gunungan yang teraling dengan pohon-pohon bunga. Dengan cepat ia melompat ke belakang gunung-gunungan itu untuk menyembunyikan diri.

Mendadak, sehelai sinar putih berkelebat dan sebatang golok menyambar dada. Ouw Hui kaget bukan main, sedikit pun ia tidak menduga, bahwa di belakang gunung-gunungan itu bersembunyi musuh. Mau tidak mau, ia melepaskan Ma It Hong yang menengkurap di punggungnya, tangan kirinya menyanggah sikut orang itu, tangan kanannya balas menyerang. Orang itu pun tak kurang lihaynya. Ia mengegos dan goloknya kembali menyambar, sedang tangan kirinya coba menangkap pergelangan tangan Ouw Hui dengan ilmu Kin-na Chiu-hoat. Apa yang luar biasa, dia memakai topeng kain kuning dan menyerang tanpa bersuara. "Bagus juga dia menutup mulut, pikir Ouw Hui. "Sekali dia berteriak, tentara yang berada di luar tembok pasti akan segera meluruk."

Mereka lantas saja bertempur dengan hebatnya. Kepandaian orang itu tidak berada di sebelah bawah Cin Nay Cie dan dengan bersenjata, ia menarik banyak keuntungan atas Ouw Hui yang berkelahi dengan tangan kosong. Pada jurus ke sembilan, barulah Ouw Hui berhasil menotok jalan darah Kiu-bwee-hiat, di dada orang itu. Tapi dia ternyata gagah sekali.

Biarpun sudah kena ditotok, ia masih dapat menendang. Sesudah Ouw Hui menotok jalan darah Tiong-touw-hiat, di tumit kakinya, barulah ia rubuh.

Sesudah musuh rubuh, Leng So menyentuh pundak kakaknya dan sambil menuding ke tempat yang banyak lampunya, ia berbisik: "Toako, kelihatannya bakal ada pertunjukan wayang."

Ouw Hui mendongak dan melihat sebuah panggung wayang yang berdiri di dalam pekarangan yang luas, sedang di depan panggung berderet-deret kursi yang sudah penuh dengan penonton, tapi pertunjukan belum dimulai. Jaman itu adalah jaman Kaisar Kian-liong yang sangat makmur dan di kota raja, setiap kali pembesar negeri atau hartawan mengadakan pesta, mereka tentu memanggil wayang yang main sampai beberapa hari, siang malam tiada putusnya.

Sambil mengangguk, Ouw Hui membungkuk dan mencopotkan kain kuning yang menutupi muka lawan yang sudah rubuh itu.

Remang-renang, ia lihat muka yang kasar dari seorang berusia kira-kira empat puluh tahun. "Mungkin dia pencuri," katanya dengan suara perlahan.

"Kurasa bukan buaya kecil," kata Leng So.

Ouw Hui tertawa. "Siapa tahu? Dalam kota raja, penjahat kecil pun bisa memiliki kepandaian tinggi," katanya. Tapi di dalam hati, ia mengakui, bahwa dilihat dari kepandaiannya tak mungkin orang itu penjahat biasa.

"Apa tidak baik kita cari sebuah kamar yang terpencil dan sepi dalam gedung yang besar ini, untuk bersembunyi dua belas jam lamanya?" bisik si nona.

"Ya, itu memang jalan satu-satunya," jawab sang kakak.

"Dengan berkumpulnya begitu banyak orang, kita pasti tak bisa keluar tanpa diketahui orang." Baru saja ia berkata begitu, tirai di atas panggung mendadak terbuka dan muncul seseorang yang mengenakan ma-kwa linen. Ia memberi hormat dan segera berkata dengan suara nyaring: "Para Supeh, Susiok dan saudara-saudara seperguruan!"

Mendengar kata-kata pembukaan itu, Ouw Hui mengerti, bahwa panggung tersebut bukan panggung wayang. Orang itu melanjutkan pembicaraannya: "Sekarang fajar sudah menyingsing dan tiga hari lagi, kita akan menghadapi pertemuan besar antara para Ciangbunjin. Tapi sampai pada detik ini, See-gak Hoa-kun-bun belum mempunyai Ciangbunjin. Urusan ini tidak dapat ditunda-tunda lagi dan bagaimana harus diselesaikannya, aku menyerahkan kepada para Cianpwee dari berbagai pay." (pay = partai) Seorang tua yang mengenakan ma-kwa hitam, yang duduk di bawah panggung, lantas saja bangun berdiri. Ia batuk-batuk beberapa kali, dan lalu berkata: "Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thian-hee. Sedari tiga abad yang lalu, See-gak Hoa-kun-bun terpecah menjadi lima partai, yaitu Partai Gee, Seng, Heng, Thian dan Hee. Semenjak tiga abad, memang kita tidak pernah mempunyai Cong ciang-bun (pemimpin besar). Kelima partai itu telah maju dengan makmurnya. Akan tetapi, semua saudara-saudara hanya memperhatikan partai masing-masing. Setiap orang mengatakan: "Aku dari Gee-cie-pay (partai huruf Gee), aku dari Seng-cie-pay (partai huruf Seng) dan sebagainya. Mereka tidak ingat, bahwa di mata orang luar mereka semua dianggap sebagai anggota See-gak Hoa-kun-bun.

Anggota partai kita sangat besar jumlahnya dan ilmu yang diturunkan oleh Loo-couw (kakek guru) juga bukan ilmu sembarangan, akan tetapi, kita tak bisa menandingi Siauw-lim, Bu-tong, Thay-kek, Pat-kwa dan lain-lain partai. Mengapa? Karena kita terpecah-pecah dan karena perpecahan itu, kita jadi lemah. Ya! Apa mau dikata? Ia batuk-batuk beberapa kali, menghela napas dan kemudian berkata pula: "Kalau bukan Hok Thayswee mengadakan pertemuan para Ciangbunjin, entah sampai kapan See-gak Hoa-kun-bun baru punya Ciangbunjin. Untung juga terjadi kejadian begini, sehingga mau tak mau, kita mesti juga mengangkat seorang Ciong-ciang-bun. Hari ini, aku si tua, ingin mengutarakan pendapatku: Ciangbunjin yang akan dipilih oleh kita sekarang, bukan saja harus membikin terang muka See-gak Hoa-kun-bun dalam pertemuan itu, tapi juga harus membereskan urusan di dalam partai, supaya kelima cabang itu, kembali kepada asalnya yang semula, agar kita beramai-ramai, dengan bersatu padu, dapat menonjolkan nama See Gak-kun-bun dalam Rimba Persilatan."

Pembicaraan orang tua itu disambut dengan sorak-sorai dan tepuk tangan oleh para hadirin.

Sekarang Ouw Hui baru mengerti maksud berkumpulnya orang-orang itu. la memandang ke empat penjuru dengan niatan mencari tempat yang agak sepi untuk menyingkirkan diri. Tapi semua jalanan berada di bawah sinar lampu dan dalam taman itu berkumpul kira-kira dua ratus orang, sehingga begitu keluar dari tempat bersembunyi, mereka pasti dilihat orang, Ouw Hui jadi bingung. Ia hanya berdoa, supaya pemilihan Ciangbunjin itu bisa selesai secepat mungkin.

"Perkataan Coa Supeh merupakan nasehat yang sangat berharga," kata orang yang berdiri di atas panggung. "Sebagai pemimpin Gee-cie-pay, dengan memberanikan hati boanpwee mewakili para saudara separtai, memilih Ciangbunjin, maka kami semua dengan satu hati, akan menutut segala perintah Ciangbunjin tersebut. Apa yang dikatakan oleh pemimpin kita itu, tak akan dibantah oleh orang-orang Gee-cie-pay."

"Bagus!" teriak seorang dengan suara nyaring.

Pemimpin Gee-cie-pay itu tersenyum dan berkata: "Bagaimana pendapat lain-lain pay?"

Salah seorang yang berada di bawah panggung bangun berdiri dan menjawab dengan suara nyaring: "Kami dari Seng-cie-pay juga tak akan menentang segala perintahnya Ciangbunjin baru." Dengan beruntun-runtun, beberapa orang bangun berdiri.

"Perintah dari Ciangbunjin kita akan diturut seanteronya oleh Heng-cie-pay."

"Hee-cie-pay adalah partai yang paling bungsu, kalau kakak jalan, adik tak bisa tidak menurut."

"Bagus!" kata orang yang berdiri di atas panggung.

"Semua golongan bersatu padu dan kita tidak bisa mengharapkan yang lebih baik daripada ini. Sekarang para tetua dari berbagai partai, para Supeh dan Susiok sudah berada di sini dan yang masih belum tiba hanyalah Kie Supeh dari Thian-cie-pay.

Orang tua itu telah mengirim sepucuk surat yang memberitahukan, bahwa ia telah mengirimkan puteranya, yaitu Kie Suheng, untuk mewakilinya dalam pertemuan kita ini. Tapi ditunggu sampai sekarang, Kie Suheng belum juga muncul. Kudengar Suheng ini agak luar biasa dan di antara kita, siapa pun juga belum pernah bertemu dengannya. Mungkin sekali ia sudah berada di sini dan menyembunyikan diri, entah di mana...." Berkata sampai di situ, ia disambut dengan gelak tertawa.

"Apakah kau she Kie?" Ouw Hui tanya pecundangnya.

Orang itu mengangguk, ia kelihatan bingung karena tak tahu siapa adanya Ouw Hui dan Leng So.

"Sesudah menunggu hampir semalam suntuk dan Kie Suheng belum juga datang, kita sekarang tidak dapat menunggu lebih lama lagi," kata pula orang yang berdiri di atas panggung. Di belakang hari, Kie Supeh tentu tak bisa marahi kita. Kini aku memohon petunjuk para Cianpwee, Supeh, Susiok, cara bagaimana kita harus memilih Ciangbunjin."

Mendengar perkataan itu, semua orang yang sudah menunggu lama dengan tidak sabar, lantas saja jadi bersemangat dan mereka berlomba-lomba mengajukan usul.

"Adu ilmu silat!"

"Memang! Kalau bukan adu silat, mau adu apa?"

"Kita harus gunakan senjata tulen!"

Di antara teriakan-teriakan itu, si orang she Coa kembali bangun berdiri dan batuk-batuk beberapa kali. "Sebenarnya, dalam memilih Ciangbunjin, kita harus lebih mengutamakan pribudi daripada kepandaian silat," katanya. "Anak-anak muda sekarang, betapapun tinggi ilmu silatnya, tak akan dapat menandingi para Cianpwee yang pribudinya luhur dan dihormati orang." Ia berdiam sejenak dan kedua matanya yang tajam menyapu para hadirin. "Tapi kita sekarang tengah menghadapi keadaan luar biasa," katanya pula. "Pertemuan para Ciangbunjin yang bakal diadakan merupakan pertemuan para orang gagah dan secara wajar, mereka masing-masing akan mengeluarkan kepandaian. Andaikata See-gak Hoa-kun-bun memilih seorang tua bangka yang luhur pribudinya, dalam pertemuan tersebut, belum tentu orang dapat menghargai pribudi tua bangka itu...."

Para hadirin tertawa berkakakan, sedang Leng so cekikikan sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan.

Sesudah gelak tertawa mereda, si tua berkata pula: "Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thian-hee. Hanya sayang, selama beberapa ratus tahun, tak pernah ada seorang pun dapat memahami seluruh ilmu silat Hoa-kun-bun yang mempunyai empat puluh delapan jalan. Di hari ini, siapa yang memiliki kepandaian paling tinggi, dialah yang akan menjadi Ciangbunjin kita."

Pembicaraan si tua disambut dengan sorak sorai. Tiba-tiba pintu depan digedor keras. Semua orang terkejut.

"Apa Kie Suheng?" tanya seorang. Beberapa orang lantas membuka pintu dan begitu pintu terbuka, segera menerobos masuk sejumlah serdadu yang membawa obor dan tengloleng.

Dengan tangan kanan mencekal golok, tangan kiri Ouw Hui memegang tangan Leng So dan mereka saling mengawasi sambil tersenyum. Dalam menghadapi bahaya, hati kedua orang muda itu lebih bersatu padu. Tapi di lain saat, si nona menunduk dan paras mukanya berubah duka.

Perwira yang memimpin rombongan serdadu itu, segera menanyakan keterangan dari beberapa orang. Begitu mengetahui, bahwa orang-orang itu berkumpul untuk memilih Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun, sikapnya lantas saja berubah hormat, tapi dengan menggunakan obor dan tengloleng, ia dan tentaranya lantas saja menyuluhi muka setiap orang dan menyelidiki di seputar taman itu.

Ouw Hui dan Leng So siap sedia. Jika tentara itu menyatroni sampai di belakang gunung-gunungan, tiada lain jalan daripada menyerang.

Tiba-tiba, selagi sinar obor mendekati gunung-gunungan, orang yang berdiri di atas panggung sudah berkata pula: "Siapa yang ilmu silatnya paling tinggi, dialah yang menjadi Ciangbunjin. Hal ini sudah didengar dan disetujui oleh kita semua. Maka itu, para Supeh, Susiok, Suheng-tee dan Suci-moay boleh segera naik ke sini untuk memperlihatkan kepandaian yang paling istimewa."

Undangan itu disusul dengan melompat naik seorang wanita muda yang mengenakan baju warna dadu. "Ko In, murid Heng-cie-pay, meminta pelajaran dari para Supeh, Susiok dan saudara-saudara," katanya dengan suara merdu.

Melihat ilmu mengentengkan badan nona itu yang sangat bagus, ditambah dengan pakaiannya yang indah dan parasnya yang cantik, para hadirin menyambutnya dengan tepuk tangan dan sorakan. Serdadu-serdadu yang tengah menghampiri, gunung-gunungan itu jadi kagum bukan main dan habislah kegembiraan mereka untuk melanjutkan penggeledahan.

Baru habis si nona memperkenalkan diri, seorang pemuda sudah melompat ke atas. "Thio Hok Liong, murid Gee-cie-pay, ingin meminta pelajaran dari Ko Suci," katanya seraya memberi hormat. "Thio Suheng tak usah berlaku sungkan," kata nona Ko. Ia menekuk sedikit betis kanan, melonjorkan betis kiri, melintangkan telapak tangan kanan dan membengkokkan tangan kiri. Itulah pukulan pertama dari Hoa-kun, Cut-sit Kwa-houw See-gak-toan (pukulan menunggang harimau). Thio Hok Liong mengangkat lututnya

dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya dalam gerakan San-yang Teng-kie Kak-tok-hian (Kambing hinggap di dahan pohon, kakinya menggelantung). Mereka lantas saja bertempur dengan hebatnya, dengan masing-masing menggunakan ilmu silat Hoa-kun-bun. Sesudah lewat kira-kira dua puluh jurus, bagaikan kilat, nona Ko menyerang dengan pukulan Hui-tauw Bong-goat Hong-tian-cie (Memutar kepala melihat rembulan, burung Hong membuka sayap), kakinya melompat, tangannya menyambar, sehingga tak ampun lagi, Thio Hok Liong rubuh ke bawah panggung.

"Bagus!" teriak si perwira, "Sungguh lihay nona itu."

Di lain saat, seorang lelaki yang bertubuh kasar sudah melompat ke atas panggung dan sehabis mengucapkan kata-kata merendahkan diri, mereka lantas saja bertempur. Kali ini, Ko In-lah yang rubuh ke bawah, karena kakinya terpeleset.

"Sayang! Sayang sungguh!" seru si perwira. Sesudah nona itu rubuh, ia tidak mempunyai kegembiraan untuk menonton terus dan sambil mengajak anak buahnya, ia segera meninggalkan gedung itu, untuk menjalankan tugas di tempat lain.

Melihat rombongan serdadu sudah berlalu, hati Leng So jadi agak lega. Tapi sesudah beberapa lama, hatinya jadi jengkel dan tidak sabar, karena pertempuran berlangsung terus tak henti-hentinya, yang satu turun, yang lain naik dan begitu seterusnya. Sampai kapan baru mereka berhasil memilih Ciang-bunjin? Ia melirik Ouw Hui yang ternyata sedang memperhatikan jalan pertandingan dengan sepenuh perhatian. Si nona heran dan berkata dalam hatinya: "Biarpun kepandaian mereka tidak dapat dikatakan rendah, tapi mereka bukan ahli silat kelas satu. Mengapa Toako memperhatikan sampai terlongong-longong?" Ia menyentuh tangan kakaknya dan berbisik: "Toako, sekarang sudah lewat lebih dari setengah jam. Kita harus berdaya untuk menolong Ma Kouwnio secepat mungkin. Kalau terlambat, mungkin jiwanya melayang." Ouw Hui hanya menyahut dengan suara "hm",

tapi matanya tetap mengawasi panggung.

Beberapa saat kemudian, salah seorang jatuh, disusul dengan naiknya seorang lain yang lantas saja mulai bertanding dengan orang yang menang. Dalam pertandingan itu, meskipun mereka orang sekaum, akan tetapi yang bertempur adalah murid-murid dari partai yang berlainan. Kalah menang mereka mengenakan langsung kepada nama partai masing-masing, sehingga dengan demikian, mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh. Dilihat dari jalan pertandingan, pentolan-pentolan kelima partai Hoa-kun-bun belum ada yang muncul dan hal itu lebih-lebih menjengkelkan Leng So, karena tak dapat diramalkan lagi, sampai kapan pertandingan bisa selesai.

Melihat kakaknya memperhatikan pertempuran itu seperti orang kehilangan semangat, si nona berkata dalam hatinya: "Hm! Toako adalah seorang yang tergila-gila dengan ilmu silat. Begitu lihat orang pie-bu, ia melupakan segala apa." Sambil menepuk pundak Ouw Hui, ia berkata dengan suara perlahan: "Kita sudah tak mempunyai banyak tempo lagi. Paling benar kita coba keluar dari sini. Menurut pendapatku, sebagai orang-orang gagah dari Rimba Persilatan, belum tentu mereka mencelakakan kita dengan melaporkan kepada pembesar negeri."

Ouw Hui menggelengkan kepala. "Urusan lain masih tidak apa, tapi dalam urusan yang mengenakan Hok Thayswee, mana bisa mereka tinggal diam saja?" katanya. "Dengan mencelakakan kita, mereka mendapat kesempatan untuk memperoleh pahala.

"Kalau begitu, untung-untungan di sini saja kita mengobati Ma Kouwnio," kata pula Leng So. "Tapi celakanya, di siang hari, bersembunyinya kita di tempat ini pasti diketahui orang." Waktu mengucapkan kata-kata itu, nadanya bingung sekali.

Dalam keadaan terdesak, nona Thia yang cerdas dan tenang jadi putus asa.

Tapi Ouw Hui hanya menyahut dengan "hm", sedang kedua matanya tetap mengawasi kedua anggota Hoa-kun-bun yang sedang bertanding di atas panggung. Leng So menghela napas. "Jika sebentar Ma Kouwnio tidak dapat ditolong lagi, jangan kau salahkan aku," bisiknya.

Mendadak Ouw Hui berkata: "Baiklah! Walaupun aku belum bisa menangkap seluruhnya, biarlah kita menempuh bahaya dan mencoba-coba."

"Apa?" tanya si adik yang tidak mengerti maksud kakaknya.

"Aku ingin merebut kursi Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun," jawabnya. "Jika, dengan berkah Tuhan, aku berhasil, mereka akan dengar semua perintahku."

Si nona jadi girang bukan main. Sambil menepuk-nepuk pundak kakaknya beberapa kali, ia berkata: "Kau pasti berhasil! Pasti berhasil! Orang-orang itu bukan tandinganmu."

"Jie-moay, kau tak tahu kesukarannya," kata Ouw Hui sambil tersenyum. "Yang paling sukar adalah aku mesti berkelahi dengan menggunakan ilmu silat Hoa-kun-bun. Dalam tempo yang begitu pendek, mana aku bisa ingat semua pukulan-pukulan? Menghadapi orang-orang yang berkepandaian rendah masih tak apa. Tapi kalau berhadapan dengan pentolan-pentolannya, topengku pasti akan terlucut karena aku belum biasa menggunakan ilmu silat itu.

Celakanya, jika aku tidak diakui sebagai murid Hoa-kun-bun, biarpun menang, mereka tentu tak sudi mengangkat aku sebagai Ciangbunjin." Berkata sampai di situ, mau tak mau ia ingat Wan Cie Ie, yang paham dengan ilmu silat dari berbagai cabang dan partai persilatan. Jika nona Wan yang maju, kemungkinan berhasil banyak lebih besar.

Mendadak terdengar teriakan "Aduh!" dan seorang terpelanting ke bawah panggung.

"Kurang ajar! Mengapa memukul begitu hebat?" teriak seorang.

"Sesudah bertempur, mana ada berat enteng?" bentak seorang lain.

"Jika kau mempunyai kepandaian, naiklah!" Beberapa orang di bawah panggung lantas saja bertengkar dengan sengit.

"Jie-moay," bisik Ouw Hui. "Kalau temponya tiba dan aku belum dapat merebut Ciangbunjin, kau boleh segera mengobati Ma Kouwnio di sini."

"Baiklah," kata si adik sambil tersenyum. "Orang lain sudah berhasil menjadi Ciong-ciang-bun dari tiga belas partai. Masakah satu saja kau tak mampu merebutnya?" Dengan "orang lain" si nona maksudkan Wan Cie Ie. Melihat kakaknya maju ke depan panggung dengan tindakan lebar, hati Leng So girang, kagum, bercampur duka. Sebelum Ouw Hui keburu melompat ke atas panggung, seorang lain yang barusan bercekcok sudah mendahului.

"Kalau tunggu sampai salah satu ada yang kalah, aku kembali menyia-nyiakan tempo yang berharga dan keadaan Ma Kouwnio jadi semakin berbahaya," pikirnya. Memikir begitu, lantas saja ia mengenjot badan dan selagi tubuhnya masih berada di tengah udara, tangannya sudah menyambar punggung orang itu seraya berkata: "Suheng tahan dulu. Biar aku yang mencoba lebih dulu." Dalam cengkeramannya itu, Ouw Hui menggunakan ilmu Toakin-na Chiu-hoat dari keluarga Ouw. Jempolnya menekan jalan darah Siok-ciat-hiat, sedang kelingkingnya menotok jalanan darah Sin-to-hiat, sehingga orang itu tak bisa bergerak lagi.

Berbareng dengan hinggapnya di atas panggung, tangannya mengebas dan tubuh orang itu melayang ke bawah dan jatuh duduk, tepat persis di sebuah kursi yang kosong.

Kepandaian yang luar biasa itu sudah mengejutkan semua orang, sehingga beberapa antaranya dengan serentak bangun berdiri untuk bisa melihatnya secara lebih tegas. Tapi Ouw Hui mengenakan topeng kain kuning, sehingga para hadirin merasa kecewa. Hanya dengan melihat taocangnya yang besar dan hitam jengat, mereka dapat menebak-nebak, bahwa jago yang lihay itu bukan seorang tua. Pentolan-pentolan Hoa-kun-bun yang banyak pengalaman jadi semakin heran, karena hampir tak dapat dipercaya, bahwa seorang yang berusia muda bisa memiliki Iweekang yang begitu tinggi.

Sambil merangkap kedua tangannya, Ouw Hui berkata kepada orang yang berdiri di hadapannya. "Murid Thian-cie-pay, Thia Leng Ouw, ingin meminta pengajaran dari Suheng," katanya.

Mendengar perkataan "Thia Leng Ouw," Leng So tersenyum, tapi di lain saat, parasnya berubah duka. "Kalau benar-benar aku mempunyai kakak kandung seperti dia, aku boleh tak usah merasakan banyak kedukaan seperti sekarang," katanya di dalam hati.

Sebelum bergebrak, lawan Ouw Hui sudah merasa keder. Ia membalas hormat seraya berkata: "Kepandaian siauwtee masih sangat cetek, maka siauwtee mohon Suheng menaruh belas kasihan."

"Bagus! Bagus!" kata Ouw Hui yang tanpa sungkan-sungkan lagi karena ia perlu memburu tempo, lantas saja menyerang dengan pukulan Cut-sit Kwa-houw See-gak-toan. Orang itu buru-buru mengangkat lututnya dan menangkis dengan kedua telapak tangan dalam gerakan Pek-wan Tao-tho Pay-thian-teng (Kera putih mencuri buah tho, menyembah Langit), yaitu semacam pukulan yang lebih mengutamakan pembelaan diri daripada penyerangan. Ouw Hui melompat dan menyerang pula dengan pukulan Gouw-ong Sit-kiam Pek-giok-coan (Gouw Ong mencoba pedang menebas giok). Orang itu tetap tidak berani menyambut kekerasan dengan kekerasan.

Buru-buru ia melompat ke belakang untuk menyingkir dari serangan itu. Ouw Hui sungkan memberi kesempatan lagi kepadanya. Sambil melompat ia meninju dengan pukulan Sia-sin Lan-bun Ca-tiat-soan (Miringkan badan berdiri di pintu memasang tapal). Orang itu coba menangkis, tapi dengan sekali mengerahkan Iweekang, Ouw Hui melontarkannya ke bawah panggung.

Hampir berbareng, di bawah panggung terdengar bentakan keras dan orang yang pertama dilemparkan Ouw Hui, coba melompat naik. "Bangsat! Jangan kurang ajar kau!" cacinya. Ouw Hui meloncat ke pinggir panggung dan menghantam dengan pukulan Kim-peog Tian Cie Teng-tiong-can (Garuda emas membuka sayap berdiri di tengah ruangan), sehingga orang itu lantas saja jatuh lagi ke bawah. Karena mendongkol atas caciannya, Ouw Hui memukul dengan menggunakan tiga bagian tenaga dan orang itu ambruk di atas dua kursi yang jadi hancur berkeping-keping.

Sesudah rubuhnya dua orang itu, para hadirin lantas saja bicara bisik-bisik satu sama lain dan banyak sekali yang menanyakan murid-murid Thian-cie-pay tentang asal usulnya jago bertopeng itu yang mengaku sebagai murid partai tersebut. Tapi tak seorang pun yang dapat memberi keterangan. "Menurut penglihatanku, dia tidak begitu paham dengan ilmu silat partai kita," kata seorang Cianpwee dari Gee-cie-pay. "Kalau tidak salah, dia baru berguru pada tetua Thian-cie-pay sesudah memiliki ilmu silat dari partai lain. Sepuluh sembilan dia adalah murid baru dari Kie Loosam."

"Kalau benar begitu, itulah salahnya Kie Loosam sendiri," menyambung seorang tua dari Seng-cie-pay. "Bahwa seorang murid coba merebut kedudukan Ciangbunjin dengan menggunakan ilmu silat lain partai, sebenarnya sangat menurunkan derajat ilmu silat partai kita."

Orang yang dipanggil "Kie Loosam" adalah tetua dari Thian-cie-pay.

Dalam kalangan See-gak Hoa-kun, dapat dikatakan ialah yang memiliki kepandaian paling tinggi, hanya sayang, semenjak puluhan tahun berselang kedua kakinya lumpuh. Sekarang, walaupun ia sendiri tidak menghadiri pertemuan, tapi karena namanya sangat besar, orang-orang sekaum masih tetap mengindahkannya. Melihat kelihayan Ouw Hui, sedang putera Kie Loosam belum juga datang, maka banyak orang menduga, bahwa orang yang bertopeng itu adalah murid Kie Loosam. Mereka tentu saja tak pernah mimpi, bahwa Kie Siau Hong putera Kie Loo-sam sedang rebah di belakang gunung-gunungan akibat totokan Ouw Hui.

Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Kie Loosam mempunyai satu cacad, yaitu adatnya yang agak sombong dan ia tidak memandang sebelah mata kepada saudara-saudara separtainya yang agak sombong dan ia menutup pintu dan sungkan menemui siapa pun jua, sedang seantero kepandaiannya ia turunkan kepada puteranya. Untuk menghadiri pertemuan memilih Ciangbunjin, See-gak Hoa-kun-bun, ia mengirim puteranya itu, yang merasa pasti, bahwa kursi Ciangbunjin akan dapat direbutnya.

Meskipun ilmu silatnya sudah hampir menandingi ayahnya, sifat Kie Siauw Hong tidak sejujur orang tua itu. Diam-diam ia bersembunyi di belakang gunung-gunungan dengan niat mempelajari dulu kepandaian orang lain dan kemudian barulah turun tangan. Tidak dinyana, seperti diantar malaikat, Ouw Hui dan Leng So yang membawa Ma It Hong datang ke situ dan akhirnya ia rebah tanpa bisa berkutik lagi.

Tapi, walaupun tubuhnya tidak berdaya, kupingnya dapat mendengar setiap perkataan dari pembicaraan antara Ouw Hui dan Leng So. Hatinya panas karena ia menduga, bahwa Ouw Hui adalah seorang pentolan dari lain partai yang sengaja datang untuk merubuhkannya guna merebut kedudukan Ciangbunjin. Waktu ditotok, ia sama sekali belum mendapat kesempatan untuk mengeluarkan kepandaiannya. Maka itu, ia jadi semakin gusar. Sesudah mendengar rubuhnya beberapa orang, ia menganggap bahwa dalam See-gak Hoa-kun-bun, hanyalah ia seorang yang dapat menandingi Ouw Hui. Memikir begitu, ia segera mengempos semangat untuk coba menjalankan aliran darah yang sena ditotok.

Akan tetapi, ilmu menotok Ouw Hui didapat dari leluhurnya dan sangat berbeda dengan ilmu yang dimiliki Siauw Hong. Andaikata Siauw Hong mengerahkan Iweekang dengan pikiran tenang, belum tentu ia bisa membuka jalan darahnya. Dengan kegusaran meluap-luap, ia mengempos semangat dengan menggunakan seantero tenaganya dan baru selang beberapa saat, hatinya mencelos karena napasnya tiba-tiba menyesak dan tak ampun lagi ia pingsan.

Kejadian yang serupa itu sudah lebih dulu dialami ayahnya. Dalam usahanya untuk mendapat kemajuan secepat mungkin, pada suatu hari, ketika sedang melatih Iweekang, Kie Loosam telah membuat kesalahan, sehingga "api" dalam tubuhnya telah "membakar" dirinya sendiri dan kakinya menjadi lumpuh. Keadaan Siauw Hong pada saat itu adalah lebih berbahaya daripada apa yang telah dialami oleh ayahnya.

Sementara itu, dengan penuh perhatian, Leng So mengawasi jalan pertempuran di atas panggung. Ia mendapat kenyataan, bahwa setiap pukulan yang dikeluarkan Ouw Hui adalah pukulan Hoa-kun-bun yang baru saja dipelajarinya. "Toako sungguh berbakat," ia memuji di dalam hati. "Hoa-kun-bun adalah ilmu silat yang sulit, tapi dengan melihat sekelebatan saja, ia sudah dapat memahaminya."

Pada saat itulah, kupingnya tiba-tiba menangkap suara "huh" dari orang yang sedang rebah di tanah. Mendengar nada luar biasa, ia melirik dan lantas saja ia terkejut, karena mata orang itu tertutup, lidahnya melelet keluar, sedang bibirya mengeluarkan darah dan badannya bergemetaran seperti orang demam.

Sebagai seorang yang mahir dalam ilmu pengobatan, si nona segera mengerti sebab musababnya. Jika tidak lekas ditolong, Siauw Hong bisa jadi gila, atau paling sedikitnya, ilmu silatnya akan musnah sama sekali. "Aku dan dia sama sekali tidak ada bermusuhan," pikirnya. "Adalah tidak benar, jika dalam usaha menolong satu manusia, lain manusia jadi celaka." Buru-buru ia mengeluarkan jarum emas dan menusuk jalan darah Liam-coan, Thian-tou. Kie-bun dan Thay-hun. Selang beberapa saat, Siauw Hoong tersadar. Melihat dirinya ditolong oleh si nona, ia berkata dengan suara perlahan: "Banyak terima kasih untuk pertolongan nona." Leng So buru-buru menaruh jari tangannya di bibir untuk melarang ia bicara.

Mendadak terdengar suara Ouw Hui: "Peraturan merebut kedudukan Ciangbunjin sudah ditetapkan, tapi kalau bertanding secara begini, sampai kapan baru bisa selesai? Jika para Supeh, Susiok dan saudara-saudara masih ingin memberi pelajaran kepadaku, naiklah beramai-ramai, tiga empat orang juga boleh. Jika kalah, sedikit pun siauwtee tidak merasa menyesal."

Mendengar perkataan itu yang kedengarannya sombong sekali, orang-orang dari keempat partai jadi gusar bukan main. Memang juga jika satu lawan satu, tiada seorang pun yang berani naik lagi. Sesudah mendapat tantangan begitu, tanpa sungkan-sungkan lagi beberapa orang lantas melompat ke atas dan mengerubuti Ouw Hui.

Tapi sebenarnya Ouw Hui bukan sombong atau memandang rendah ilmu silat Hoa-kun-bun. Ia menantang begitu karena terpaksa. Sebagaimana diketahui, ia belum mahir dalam ilmu silat itu dan ia mengerti, bahwa jika bertanding satu lawan satu, lama-lama rahasianya akan terbuka. Dalam pertempuran beramai-ramai, ia dapat menggunakan tipu dan orang sukar melihat gerakan-gerakannya. Disamping itu, dengan melayani orang-orang itu terus-menerus, biarpun memiliki Iweekang yang sangat tinggi, lambat laun ia akan menjadi lelah. Tapi apa yang paling penting ialah dilangsungkannya pertempuran dalam tempo lama akan mengakibatkan celakanya Ma It Hong.

Dengan mengamuk seperti harimau edan, dalam sekejap ia sudah merubuhkan sejumlah orang. Dalam pertempuran itu, murid-murid Thian-cie-pay tidak turut serta, karena mereka menganggap, bahwa Ouw Hui adalah murid Kie Loosam. Dalam keempat partai lainnya, orang-orang muda semua sudah dirubuhkan, sedang pentolan-pentolan yang sudah berusia lanjut tidak berani sembarangan maju, sebab jika dijatuhkan, habislah nama besar mereka yang sudah dipertahankan selama banyak tahun.

Sekonyong-konyong si orang tua she Coa bangun berdiri. "Thia Suheng," katanya, "Ilmu silatmu memang sangat tinggi dan aku merasa sangat kagum. Akan tetapi menurut penglihatan mataku yang tua, pukulan-pukulanmu itu agak berbeda dan ilmu silat dari partai kami...."

Ouw Hui terkejut, sebab memang benar, meskipun ia menggunakan pukulan-pukulan See-gak Hoa-kun-bun, tapi setiap kali merubuhkan lawan, Iweekang yang digunakan adalah Iweekang keluarga Ouw.

See-gak Hoan-kun-bun adalah semacam ilmu silat Gwa-kee yang terkenal di seluruh Tiongkok. Dalam tempo yang begitu pendek, bagaimana ia dapat memahami sampai di dasar-dasarnya? Mendengar perkataan si tua, ia terpaksa mengambil sikap kepala batu. "Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thia-hee," katanya dengan suara nyaring. "Kata-kata itu membuktikan, bahwa dalam mempelajari ilmu silat kita, sesudah berhasil, kepandaian setiap orang agak berbeda-beda. Kalau bukan begitu, cara bagaimana kaum kita bisa terbagi dari lima buah partai? Dalam ilmu silat, memang tidak ada peraturan yang pasti. Kepandaian Thian-cie-pay mung-kin sedikit berbeda dari yang lain." Dengan berkata begitu, ia bermaksud menarik orang-orang Thian-cie-pay untuk menyokongnya. Benar saja, sesudah mendengar alasan Ouw Hui yang merupakan pujian untuk partai mereka, murid-murid Thian-cie-pay merasa senang sekali.

Si orang she Coa menggeleng-gelengkan kepala. "Thia Suheng, apakah kau murid Kie Loo-sam?" tanyanya. "Kedua mataku belum lamur. Melihat gerakan-gerakanmu, sepuluh sembilan kau bukan orang dari kaum kami."

"Coa Supeh, kau salah," jawab Ouw Hui. "Kalau kaum kita ingin turut merebut kedudukan tinggi dalam pertemuan para Ciangbunjin dan bertanding dengan partai-partai besar lainnya, seperti Siauw-lim, Bu-tong, Thay-kek, Pat-kwa dan sebagainya, maka kita harus mengeluarkan kepandaian yang istimewa, yang lain dari yang lain. Coa Supeh, jika kau menganggap kepandaian teecu masih rendah, kau merdeka untuk naik ke sini guna memberi petunjuk."

Orang tua itu kelihatan bersangsi, "Bahwa kaum kita mempunyai seorang yang berkepandaian begitu tinggi seperti Thia Suheng, adalah kejadian yang sangat menggirangkan," katanya. "Terang-terang aku mengakui, bahwa kepandaianku masih tidak dapat menandingi kau. Tapi aku tetap bersangsi. Begini saja: Aku minta kau menjalankan pokok-pokok dari ilmu silat Hoa-kun-bun.

Beberapa belas saudara kita yang lebih tua akan menjadi juru pemutus. Jika Lauwtee benar orang dari kaum kita, akulah yang akan paling dulu memilih kau sebagai Ciangbunjin."

Ouw Hui terkesiap. Dalam pertempuran, dengan pukulan-pukulan yang cepat, ia masih bisa mengelabui mata orang. Tapi jika ia mesti menjalankan ilmu silat pokok dari Hoa-kun-bun, topengnya pasti akan terlucut. Ia berotak cerdas, tapi mendengar tuntutan si orang she Coa, ia bergetar.

Selagi ia mengasah otak untuk coba menolaknya, tiba-tiba terdengar teriakan di belakang gunung-gunungan: "Coa Supeh! Mengapa kau selalu menyukarkan Thian-cie-pay? Thia Suheng adalah murid ayahku yang paling utama dan ia sudah belajar enam belas tahun lamanya. Apa Coa Supeh anggap ia masih belum mampu menjalankan ilmu silat kaum kita?"

Semua orang menengok dan ternyata, bahwa orang yang berkata begitu dan yang sedang menghampiri panggung bukan lain daripada Kie Siauw Hong, seorang yang sering mewakili ayahnya dalam berbagai urusan dan pada umumnya sudah dianggap sebagai tetua Thian-cie-pay.

Begitu tiba di depan panggung, Siauw Hong mengenjot badan dan hinggap di atas papan dengan gerakan yang indah. Sambil merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Ayahku menutup pintu dan mengasingkan diri dan telah menurunkan semua kepandaiannya kepada Thia Suko. Enam belas tahun lamanya Thia Suko melatih diri dan kepandaiannnya sepuluh kali lebih tinggi dari pada aku. Kalian sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan aku boleh tak usah bicara panjang-panjang."

Mendengar keterangan itu, kesangsian semua orang lantas saja lenyap. Mereka tahu, bahwa Kie Loosam mempunyai adat aneh dan memang sangat mungkin, diam-diam ia mengajar seorang murid berbakat untuk dimajukan secara tidak diduga juga. Mereka mengenal Kie Siauw Hong sebagai seorang yang tidak mau kalah terhadap siapa pun jua dan bahwa sekarang pemuda itu mengaku kalah lebih-lebih menghilangkan kesangsian orang.

Baru saja si orang she Coa mau membuka mulut, Kie Siauw Hong sudah mendahului dengan suara nyaring: "Jika Coa Supeh ingin lihat ilmu silat Thian-cie-pay, biarlah aku yang mewakili Thia Su-heng." Sebelum si tua keburu menjawab, ia sudah mulai bersilat. Cut-sit Kwa-houw See-gak-toan, Kim-peng Tian-cie Teng-tiong-can... sejurus demi sejurus... kedua tangannya memperlihatkan dua belas macam Chiu-hoat (pukulan tangan), setiap gerakannya teguh mantap bagaikan gunung dan lincah gesit seperti sambaran elang atau larinya kelinci. Para hadirin adalah anggota-anggota See-gak Hoa-kun-bun yang mengerti ilmu silat itu, akan tetapi, mereka semua mengawasi silat Kie Siauw Hong dengan rasa kagum. Bahkan pentolan-pentolan yang sudah berusia lanjut manggut-manggutkan kepalanya dan memberi pujian tinggi.

Begitu lekas Siauw Hong berhenti bersilat, tampik sorak gemuruh terdengar di seluruh lapangan.

Munculnya Siauw Hong sangat mengherankan hati Ouw Hui karena ia tak tahu dengan jalan apa Leng So sudah menaklukkan tokoh Thian-cie-pay itu, yang sudah menolong dirinya dari keadaan terjepit.

Sehabis Siauw Hong jalankan ilmu silatnya, ia juga memuji di dalam hati: "See-gak Hoa-kun-bun benar hebat. Jika ia memperkuat ilmunya dengan tenaga Iweekang, ia bisa menjadi seorang ahli silat yang sungguh-sungguh lihay."

Tapi begitu selesai bersilat, napas Siauw Hong tersengal-sengal dan badannya agak bergemetaran, seperti orang yang belum sembuh dari sakitnya atau baru saja mendapat luka berat dan keringat membasahi bajunya. Itu semua bukan menunjukkan tanda-tanda dari seorang yang berkepandaian tinggi. Untung juga, kecuali Ouw Hui yang berdiri dekat. para hadirin yang duduk di bawah panggung tidak lihat gejala itu.

Sesudah menentramkan semangatnya, Siauw Hong berkata pula: "Jika di antara Supeh, Susiok dan saudara-saudara ada yang masih ingin menjajal kepandaian Suko, naiklah." Sesudah mengulangi pertanyaan itu tiga kali, tiada seorang pun yang melompat ke atas.

Murid-murid Thian-cie-pay lantas saja bersorak-sorai dan berteriak-teriak: "Kionghi (selamat) Thia Suko menjadi Ciangbunjin See-gak Hoa-kun-bun!" Orang-orang dari empat partai lainnya lalu turut bersorak dan memberi selamat, sehingga dengan demikian, Ouw Hui terpilih sebagai pemimpin besar dari See-gak Hoa-kun-bun.

Kie Siauw Hong merangkap kedua tangannya dan berkata: "Kionghi! Kionghi!" Waktu membalas hormat, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa pemuda itu mengawasinya dengan sorot mata bergusar. Tapi karena sedang memikirkan keselamatan Ma It Hong, tanpa menggubris itu semua, ia lantas saja berkata: "Kie Sutee, coba kau minta disediakan sebuah kamar supaya kedua Sumoay bisa mengaso." Siauw Hong mengangguk dan lalu melompat turun ke bawah. Heran sungguh, waktu hinggap di tanah, ia terhuyung, sehingga hampir-hampir jatuh terguling.

Ouw Hui segera maju sampai ke pinggir panggung dan seraya menyoja, ia berkata: "Para Supeh, Susiok dan saudara-saudara tentu sudah sangat letih dan sekarang kita bubar saja untuk mengaso. Sebentar malam kita berunding supaya nama See-gak Hoa-kun-bun bisa diangkat naik dalam pertemuan para Ciangbunjin." Apa yang dikatakannya keluar dari hati yang jujur. Ia merasa sangat berterima kasih kepada partai itu, karena tanpa adanya pemilihan Ciangbunjin Hoa-kun-bun, bukan saja jiwa Ma It Hong sukar dapat ditolong, tapi jiwanya sendiri bersama Leng So pun bisa melayang.

Begitu mendengar perkataan Ouw Hui, semua orang lantas saja bangun berdiri dan bubar sambil beromong-omong dengan kawan-kawan sendiri tentang kelihayan Ouw Hui, keanehan Kie Loosam, kepandaian Kie Siauw Hong dan sebagainya. Mereka semua merasa puas dan bergirang. Beberapa Cianpwee menghampiri Ouw Hui untuk diajak omong-omong, tapi pemuda itu buru-buru mengangkat kedua tangannya dan lalu mengikuti Kie Siauw Hong masuk ke dalam gedung.

Gedung itu adalah miliknya seorang Boan yang menjadi anggota Hoa-kun-bun. Tak usah dikatakan lagi, tuan rumah berlaku sangat hormat kepada Ciangbunjin baru itu. Ouw Hui tetap mengenakan topengnya dan sesudah berada dalam sebuah kamar bersama Siauw Hong, Leng So dan It Hong, barulah ia mencopotkan kain kuning itu. "Kie Toako, banyak terima kasih atas bantuanmu," katanya seraya menyoja.

"Sesudah urusan beres, aku akan segera menyerahkan kedudukan Ciangbunjin ini kepadamu."

Siauw Hong tidak menjawab, ia hanya mengeluarkan suara di hidung.

Dengan penuh kekhawatiran, Ouw Hui segera menengok Ma It Hong. Paras muka nyonya itu yang sudah pingsan, berbaring hitam dan napasnya lemah sekali. Buru-buru Leng So merebahkannya di atas pembaringan dan lalu mengeluarkan sejumlah jarum emas dan tanpa membuka pakaian It Hong. lalu menancapkannya di tiga belas jalanan darah.

Setiap buntut jarum dibungkus dengan kapas dan si nona melakukan tugasnya dengan paras tenang, sehingga Ouw Hui bernapas lebih lega. Selang kira-kira seminuman teh, darah hitam mulai mengalir keluar dari buntut jarum dan meresap di kapas itu.

Ternyata, jarum-jarum itu berlubang di tengah-tengahnya dan darah mengandung racun keluar dari lubang itu.

Paras muka Leng So kelihatan girang dan sambil tersenyum ia mengeluarkan beberapa butir yo-wan biru dari peles obat. Sambil menyerahkan pel itu kepada Siauw Hong, ia berkata: "Kie Toako, pergilah kau mengaso dalam kamarmu. Sesudah menelan sepuluh butir yo-san, semua racun yang mengeram dalam tubuhmu akan hilang." Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Siauw Hong menyambuti pel itu dan lalu berjalan keluar.

Sekarang baru Ouw Hui mengerti, bahwa si adik telah menggunakan racun untuk memaksa pemuda itu. Ia tertawa dan berkata: "Dengan menggunakan racun, kau sudah berbuat kebaikan untuk sesama manusia. Dalam hal ini, mungkin sekali kau malah lebih menang dari pada gurumu."

Leng So hanya tersenyum. Sebagaimana diketahui, ia sebenarnya bukan semata-mata menggunakan racun, tapi sudah menaklukkannya dengan membuang budi kepada pemuda itu waktu dia sedang menghadapi bahaya. Sesudah itu, barulah ia menggunakan sedikit obat yang menimbulkan rasa gatal, tapi tidak berbahaya. Yowan yang barusan diberikannya kepada Siauw Hong juga bukan obat pemunah racun, tapi hanya pel untuk menyegarkan badan. Tapi Siauw Hong sendiri menduga, bahwa rasa gatal itu adalah akibat racun yang sangat hebat dan oleh karenanya, ia tidak berani membantah segala perintah si nona.

Sambil tersenyum, Leng So berkata dalam hati-nya: "Aku sudah bersumpah kepada Suhu, bahwa selama hidup, aku tak akan menggunakan racun untuk mencelakakan manusia, supaya orang tahu, bahwa biarpun Tok-chiu Yo-ong lihay luar biasa, ia belum pernah melakukan perbuatan berdosa."

Dengan menggunakan jepitan, Leng So lalu menukar kapas yang sudah berwarna hitam. "Toa-koko," bisiknya. "Kau sudah letih sekali, mengasolah. Biar aku saja yang mengobati Ma Kouwnio. Legakanlah hatimu."

Ouw Hui memang sudah cape sekali dan tanpa sungkan-sungkan, ia segera merebahkan diri di atas dipan. "Ciang-bun Loo-suhu, aku harap kau suka memperhatikan sedikit pesananku," kata Leng So. "Selama dua belas jam, Ma Kouwnio tidak boleh diganggu dan ia pun tidak boleh bicara. Jika hawa di dalam tubuhnya buyar, maka racun tidak akan bisa keluar seanteronya. Kalau sedikit saja ketinggalan dalam badannya, semua ilmu silat yang dimilikinya akan musnah seluruhnya."

"Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun yang bernama Thia Leng Ouw menerima baik perintah Thay-siang Ciangbunjin Thia Leng So," kata sang kakak sembari tertawa. "Semua perintah akan diperhatikan betul dan tidak akan dilanggar." (Thay-siang berarti maha).

Si nona tertawa geli. "Apa benar aku menjadi Thay-siang Ciangbunjin?" tanyanya. "Bagaimana dengan nona.... Ia tidak meneruskan perkataannya dan segera membungkuk untuk melihat keadaan Ma It Hong.

Selang beberapa saat, Leng So menengok. Ouw Hui belum pulas, ia mengawasi jendela dengan mata mendelong.

"Toakoko, kau lagi pikir apa?" tanyanya.

"Aku sedang memikirkan pertemuan besok dengan orang-orang Hoa-kun-bun," jawabnya.

"Begitu melihat wajahku, mereka tentu akan curiga. Usiaku yang masih terlalu muda tidak cocok untuk menjadi suheng Kie Siauw Hong. Alasan apa yang harus diberikan olehku?  Untung juga, Ma Kouwnio hanya memerlukan tempo dua belas jam. Hatiku merasa sangat tidak enak, tapi karena terpaksa, paling baik... paling baik...."

"Paling baik kabur dengan melompat tembok," kata Leng So sambil tertawa.

"Benar!" kata sang kakak seraya tersenyum. "Kita masuk dengan melompati tembok dan keluar pun dengan melompati tembok."

Si nona mengawasi muka Ouw Hui dan seperti orang yang sudah mengambil serupa keputusan, ia berkata: "Begitu sajalah."

"Apa?" menegas Ouw Hui.

"Kita pernah menyamar dan sekarang biar kita menyamar lagi," jawabnya. "Aku akan memasang jenggot (janggut) pada dagumu dan memberi sedikit warna pada jenggot itu. Aku tanggung usiamu akan kelihatan lebih tua dua puluh tahun. Dengan memegang peranan sebagai kakak seperguruan Kie Siauw Hong, kau harus berusia kira-kira empat puluh tahun."

Ouw Hui jadi girang bukan main. "Bagus!" katanya. "Yang dibuat jengkel olehku adalah soal ini. Sesudah bermusuhan dengan Hok Kong An, sukar sekali aku dapat menghadiri pertemuan para Ciang-bunjin. Jie-moay, jika kau dapat mengubah paras mukaku sampai begitu rupa, sehingga orang tak akan dapat mengenalinya lagi wajahku yang asli, maka sebagai Ciangbunjin See-gak Hoa-kun-bun, dapatlah aku turut serta dalam pertemuan yang ramai itu."

"Perlu apa Toako menghadiri pertemuan itu?" tanya si adik.

"Asal kita bisa mempertahankan diri di tempat ini sampai besok, sampai Ma Kouwnio terlolos dari bahaya, kita sudah harus merasa puas. Perlu apa Toako menempuh bahaya?"

Tapi Ouw Hui yang semangatnya sedang meluap-luap lantas saja bertanya: "Jie-moay, jawab pertanyaanku: Apakah sesudah mengenakan alat penyamaran, orang masih bisa kenali aku atau tidak?"

"Apa sukarnya menyamar sebagai seorang yang lebih tua?" si adik balas tanya. "Yang sulit adalah gerak-gerik dan cara bicara. Cara-caranya orang tua berbeda dengan orang muda. Dalam hal ini, Toako harus dapat menyesuaikan diri."

"Kakakmu akan berusaha sedapat mungkin," kata Ouw Hui.

"Kita hanya perlu mengabui mereka untuk sementara waktu."

"Baiklah, mari kita coba-coba," kata Leng So.

"Toako, jika kau ingin juga menyaksikan pertemuan para Ciangbunjin, bolehlah dan aku akan mengikut dengan menyamar sebagai

seorang nenek." Ouw Hui menepuk-nepuk tangan.

"Bagus! Bagus, Jie-moay, aku senang mendengar perkataanmu," katanya.

"Memang juga kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang begitu baik."

"Sst! Perlahan sedikit," kata si adik sambil menaruh jari tangan di mulutnya.

Ma It Hong kelihatan bergerak sedikit, untung juga ia tidak tersadar.

"Aku benar gila," kata Ouw Hui dengan suara menyesal.

Leng So lantas saja mengeluarkan bungkusan alat-alat menjahit dan mengambil gunting yang lalu digunakan untuk menggunting secekal rambutnya. Sesudah itu ia mengeluarkan semacam obat bubuk, menaruhnya ke dalam semangkok air teh dan lalu merendam rambutnya di dalam air itu. "Kau mengasolah sebentar," katanya. "Sesudah rambutku berubah kaku seperti jenggot, aku akan panggil kau"

Ouw Hui segera meramkan kedua matanya. Mengingat kepintaran matanya. Mengingat kepintaran adik angkatnya, hatinya girang bercampur syukur. Karena terlalu capai, tak lama kemudian ia pulas, tapi sesudah mengalami banyak ketegangan di siang hari, dalam pulasnya ia mendapat rupa-rupa impian. Ia mimpi Ma It Hong mati dalam keadaan mengenaskan, ia mimpi menyatroni Iagi gedung Hok Kong An untuk membalas sakit hati, mimpi ditangkap oleh para Wie-su....

Tiba-tiba ia dengar suara orang memanggil di kupingnya: "Toako, kau mimpi apa?" Ia melompat bangun dan Leng So berdiri di depannya sambil tersenyum. "Jie-moay, pergi mengaso, biar aku yang mengawasi Ma Kouwnio," katanya dengan suara kasihan.

"Sebelum memasang alat penyamaran di mukamu, hatiku belum enak," kata si adik yang lalu mengambil rambutnya dari dalam mangkok, selembar demi selembar, dan memasangnya di bawah dagu Ouw Hui dengan menggunakan semacam lem. Pekerjaan itu meminta tempo dan kesabaran. Berselang kira-kira satu jam, sesudah sinar matahari masuk dari jendela, barulah ia selesai. Ouw Hui segera menghampiri kaca dan begitu lihat mukanya, ia tertawa. Bahkan ia sendiri masih tak bisa mengenali lagi wajahnya yang berjenggot dan paras mukanya yang kelihatan terlebih angker. "Jie-moay, aku senang sekali melihat mukaku ini," katanya.

"Di kemudian hari aku tentu akan memelihara jenggot."

Sesudah tak tidur semalam suntuk, Leng So tak tahan Iagi. Ia menungkurup di meja dan lantas saja pulas.

Dengan rasa terharu, Ouw Hui mengambil selimut dan menyelimuti tubuh adiknya yang kemudian dipondong dan direbahkan di atas dipan. Kemudian, sesudah memakai lagi topeng kain kuning, ia pergi ke kamar Kie Siauw Hong.

"Kie-heng, kau sudah bangun?" ia memanggil.

"Siapa? Ada urusan apa?" tanya Siauw Hong. Ouw Hui mendorong pintu dan bertindak masuk. Siauw Hong kaget dan buru-buru bangun berdiri. Kie-heng, kedatanganku ini adalah untuk menghaturkan maaf," kata Ouw Hui. Siauw Hong tidak menjawab, tapi pada kedua matanya terlihat sorot penasaran dan kegusaran.

Sambil mengawasi pemuda itu, Ouw Hui ber-kata pula: "Ada suatu hal yang ingin kuterangkan kepadamu. Siauwtee sebenarnya tidak berniat untuk merebut Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun. Hanyalah karena terjadinya suatu kejadian luar biasa dan sebab tak ada lain jalan Iagi, maka mau tak mau, siauwtee sudah terpaksa merusak urusan Kie-heng."

Sesudah berkata begitu, terang-terangan ia menceriterakan halnya Ma It Hong dan segala pengalamannya, dari kepala sampai di buntut. Hanya suatu hal yang disembunyikannya, yaitu nama Hok Kong An. Ia tidak memberitahukan, siapa yang meracuni Ma It Hong dan siapa yang mau menangkap mereka.

Mendengar penuturan Ouw Hui, perlahan-lahan paras muka Siauw Hong berubah sabar. Beberapa kali ia mengeluarkan suara "hm", tapi tidak mengatakan suatu apa.

Sehabis menutur, dengan suara sungguh-sungguh Ouw Hui berkata: "Kie-heng, perkataan seorang laki-laki berat bagaikan gunung. Jika dalam tempo sepuluh hari, aku belum menyerahkan kedudukan Ciangbunjin kepadamu, biarlah aku binasa di bawah senjata tajam dan sesudah binasa, biarlah aku dicaci oleh orang-orang gagah dalam kalangan Kang-ouw."

Dalam Rimba Persilatan, soal mati dianggap sebagai soal remah. Akan tetapi, dicaci oleh orang-orang gagah adalah kejadian yang dipandang paling memalukan. Mendengar sumpah Ouw Hui yang sangat berat itu, Siauw Hong lantas saja berkata: "Kedudukan Ciangbunjin itu tak usah kau yang menyerahkannya. Aku tahu, kepandaianmu sepuluh kali lipat lebih tinggi dari pada aku. Tapi kau bukan orang partai kami dan kau tak dapat menjadi Ciangbunjin."

"Benar," kata Ouw Hui. "Sesudah pertemuan para Ciangbunjin berakhir, aku akan mengakui segala apa dan akan meminta maaf di hadapan para tetua dari partaimu. Kemudian kalian dapat memilih pula seorang Ciangbunjin dengan jalan pie-bu (adu silat). Apa kau setuju dengan rencanaku itu?"

Mendengar itu, Siauw Hong senang. Ia menganggap, bahwa dalam Hoa-kun-bun, tiada seorang-pun yang dapat menandingi kepandaiannya. Merebut Ciangbunjin dalam sebuah pertandingan terbuka, banyak lebih terhormat dari pada menerimanya sebagai hadiah. Ia segera mengangguk dan berkata: "Aku setuju. Tapi Thia Toako...."

Ouw Hui tertawa dan memutuskan perkataan orang: "Aku she Ouw. Orang yang she Thia adalah adik angkatku." Seraya berkata begitu, ia membuka topengnya.

Melihat jenggot yang hitam-kasar dan paras muka yang angker, Siauw Hong merasa kagum. "Ouw Toako, beberapa Cianpwee dari kaum kami sangat sukar diajak bicara," katanya. "Kalau nanti kau mengakui kesalahanmu, aku khawatir bakal timbul gelombang hebat. Walaupun benar kau memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi, tenaga satu orang sukar bisa melawan tenaga banyak orang. Dalam urusan besar, orang-orang See-gak Hoa-kun-bun selamanya bersatu padu."

Ouw Hui tertawa. "Hal itu sudah dipikir olehku," katanya. "Dalam pertemuan para Ciangbunjin, aku akan berusaha sedapat mungkin untuk merebut kedudukan tertinggi, supaya dengan pahala aku dapat menebus dosa."

Siauw Hong manggut-manggutkan kepalanya dan kemudian menghela napas. "Sungguh sayang, karena mengeramnya racun hebat dalam tubuhku, aku tak berani menggunakan terlalu banyak tenaga," katanya dengan suara menyesal. "Kalau tidak begitu, aku dapat menjalankan ilmu silat Hoa-kun-bun untuk diperlihatkan kepada Ouw Toako, supaya dalam pertempuran nanti, rahasia Toako tak sampai terbuka."

Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. Ia bangun berdiri dan menyoja sambil membungkuk. "Kie-heng, aku mewakili Gie-moay untuk menghaturkan maaf kepadamu," katanya. Siauw Hong membalas hormat dengan perasaan mendongkol.

"Kurang ajar! Aku kena racun, bukan lelucon," katanya di dalam hati. Dalam kemendongkolannya, parasnya lantas saja berubah.

"Kie-heng, boleh aku lihat lukamu?" tanya Ouw Hui.

Pemuda itu segera menggulung tangan bajunya dan pada lengannya terdapat bengkak sebesar telur itik yang berwarna hitam, sedang di bagian yang terluka mengembang darah hitam.

"Dalam menggunakan obat, Jie-moay sungguh-sungguh jarang tandingan," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Jika aku mendapat luka begitu, aku pun tak akan enak makan dan enak tidur." la tersenyum dan bertanya pula: "Bagaimana dirasakan olehmu?"

"Baal, bebas dari rasa sakit," jawabnya. Sekarang Ouw Hui baru tahu, bahwa adiknya telah menggunakan obat yang menimbulkan rasa baal. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mencekal lengan Siauw Hong dan mengisap luka itu.

Siauw Hong kaget tak kepalang. "Hei! Apa kau mau mati?" teriaknya. Ia coba memberontak, tapi cekalan Ouw Hui keras bagaikan jepitan besi.

Sesudah mengisap beberapa kali dan membuang ludah, Ouw Hui tertawa bekakakan: "Kie-heng jangan takut, racun itu racun palsu," katanya.

"Apa?" menegas Siauw Hong.

"Dengan Kie-heng, adikku sama sekali tidak mempunyai ganjelan," jawabnya. "Tak nanti ia mencelakakan manusia dengan sembarangan. Ia hanya menggunakan obat baal. Lihatlah, aku mengisap tanpa takut-takut. Legakanlah hatimu."

Pemuda itu kaget bercampur girang. Tapi dalam kegirangan itu masih terdapat kesangsian. Sambil mengawasi Ouw Hui, ia berkata: "Ouw-heng... kau... kau bicara begitu... apakah kau khawatir aku tidak akan menurut perintahmu?"

"Di dalam pergaulan, seorang lelaki berpegang kepada kepercayaan," jawabnya dengan suara sungguh-sungguh.

"Sesudah mendapat kenyataan, bahwa Kie-heng adalah seorang yang mempunyai pribudi luhur, aku merasa tak pantas jika membiarkan kau khawatir lebih lama lagi."

Bukan main girangnya Siauw Hong. Sambil menepuk meja, ia berkata: "Ouw-heng, mulai detik ini, kau adalah sahabatku. Andaikata kau berdosa terhadap kaisar, sedikit pun aku tak akan ragu-ragu untuk memberi bantuan."

"Terima kasih," kata Ouw Hui. "Orang yang dilanggar olehku, biarpun bukan kaisar, mempunyai kekuasan yang tidak banyak bedanya dari pada kaisar sendiri. Kie-heng, dalam silatmu semalam terdapat satu pukulan yang tidak begitu dimengerti olehku. Kau memutar tubuh, mengangkat lutut, memukul dengan telapak tangan dan kemudian melompat maju. Waktu melompat, sedang badanmu berada di tengah udara, mengapa arah gerakanmu berubah sedikit?"

Pukulan yang dimaksudkan Ouw Hui adalah Ya-ma Hui-siang Coan-tek-heng (Kuda liar pulang ke kampung halaman), serupa pukulan yang sangat sulit.

Mendengar pertanyaan Ouw Hui, Siauw Hong terkesiap. Ia tak nyana, sahabat baru itu mempunyai mata yang begitu tajam. Memang juga, waktu melompat, tiba-tiba ia ingat racun yang mengeram dalam tubuhnya dan dalam jengkelnya, perhatiannya terpecah dan gerakannya agak berubah.

"Ouw-heng, aku merasa takluk akan ketajaman matamu," katanya dengan suara kagum.

"Memang benar pukulan itu tidak begitu tepat dijalankannya." Sehabis berkata begitu, ia lantas saja mengulangi Ya-ma Hui-siang Coan-tek-heng. Ouw Hui manggut-manggutkan kepala.

"Begitu baru benar," katanya.

"Kalau semalam Kie-heng berhadapan dengan musuh, kesalahanmu itu dapat berakibat jelek."

Sesudah tahu, bahwa dirinya tidak kena racun, semangat Kie Siauw Hong terbangun dan ia segera jalankan, dari bermula sampai di akhirnya, dua belas rupa pukulan See-gak Hoa-kun-bun. Ouw Hui memperhatihan dengan seksama dan biarpun dalam tempo cepat ia tak dapat ingat semua pukulan-pukulan itu, tapi sebagai seorang ahli, ia segera dapat menangkap intisari dari ilmu silat itu.

"Ilmu silat partaimu sangat dalam dan jika dipelajari serta diselidiki lebih lanjut, kemungkinan-kemungkinannya tak ada batasnya," katanya.

"Menurut pendapatku, jika seseorang bisa menyelami sampai ke dasar-dasarnya satu saja dari dua belas rupa ilmu pukulan itu, ia sudah bisa menjagoi dalam Rimba Persilatan." Mendengar pujian itu, senang sekali hati Kie Siauw Hong.

"Benar," katanya.

"Dalam kaum kami terdapat kata-kata yang berbunyi begini: 'Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thian-hee.' Empat puluh delapan pukulan itu terbagi seperti berikut: Delapan belas pukulan bagian pertama, dua belas pukulan bagian atas dan delapan belas pukulan bagian menggunakan senjata. Dalam See-gak Hoa-kun-bun, hanya beberapa orang saja yang paham akan empat puluh delapan rupa pukulan itu."

Semakin berunding tentang ilmu silat, dengan disertai latihan, mereka merasa semakin cocok dan tanpa merasa, mereka sudah beromong-omong sampai tengah hari. Beberapa kali tuan rumah memerintahkan pelayan pergi mengundang Ouw Hui untuk bersantap, akan tetapi, karena melihat kedua tetamu itu sedang beromong-omong sambil berlatih silat, pelayan tersebut tidak berani membuka mulut. Selagi Kie Siauw Hong menyapu dengan kakinya sambil melompat tinggi, tiba-tiba terdengar seruan: "Sungguh indah Hong-coan Pek-lek Siang-Kie-thian (Angin memutar, geledek menyambar naik sampai di sembilan lapisan langit) itu!" Ouw

Hui menengok dan melihat, bahwa orang yang memuji adalah si kakek she Coa. Buru-buru ia merangkap kedua tangannya dan lalu menggapai sambil tertawa.

Orang tua she Coa itu, yang bernama Wie, mempunyai kedudukan tinggi dalam See-gak Hoa-kun-bun. Melihat Ouw Hui sudah melepaskan topengnya, dengan sorot mata tajam ia mengawasi muka pemuda itu yang penuh jenggot kasar dan kelihatannya angker sekali. "Aku ingin melaporkan kepada Ciangbun, bahwa Hok Thayswee telah mengirim surat," katanya.

Ouw Hui terkejut, tapi dengan paras tidak berubah, ia menanya: "Surat apa?"

"Surat itu dialamatkan kepadaku dan menanyakan soal pemilihan Ciangbunjin kita," menerangkan Coa Wie.

"Di dalam surat dilampirkan empat lembar undangan dengan permintaan, supaya pada harian Tiong-chiu, Ciangbunjin kita menghadiri Thian-hee Ciangbunjin Tayhwee dengan mengajak tiga orang murid."

Ouw Hui lega hatinya. Semula ia menduga rahasianya bocor dan Hok Kong An menulis surat untuk membekuk dirinya. Ia adalah seorang yang hati-hati dan lalu mengambil surat itu dari tangan Coa Wie dan membacanya beberapa kali.

"Kalau begitu, biarlah Coa Supeh dan Kie Sutee yang mengikuti aku," katanya. "Bersama Sumoayku, kita berempat menghadiri pertemuan para Ciangbunjin itu." Coa Wie dan Kie Siauw Hong girang sekali. Mereka menghaturkan terima kasih berulang-ulang untuk kehormatan yang diberikannya.

Sesudah mereka selesai bicara, seorang pelayan yang menunggu di pinggiran, segera mendekati dan berkata: "Thia-ya, Coa-ya dan Kie-ya diundang untuk bersantap."

Ouw Hui manggutkan kepalanya, tapi baru saja ia hendak memanggil Leng So, tiba-tiba terdengar suara si adik: "Toako, coba kemari!"

"Jie-wie pergi duluan, aku akan menyusul," kata Ouw Hui yang buru-buru pergi ke kamar Leng So, karena mendengar nada suara kebingungan dari adiknya. Begitu menyingkap tirai, ia dengar suara Ma It Hong: "Mana anakku? Mana.... Aku ingin bertemu dengan mereka...."

Alis Leng So berkerut: "Sedari tadi ia menyebut-nyebut kedua puteranya," bisiknya. "Ia bisa celaka."

"Kedua anak itu berada dalam tangan perempuan kejam," kata Ouw Hui.

"Untuk merebutnya, kita tidak boleh bertindak secara ceroboh."

"Ma Kouwnio tidak sabaran," kata pula Leng So.

"Jika ia berteriak-teriak, racun yang masih mengeram dalam tubuhnya dapat mengambil jiwanya...."

Ouw Hui berpikir sejenak dan kemudian berkata: "Coba aku membujuk dia."

"Menurut penglihatan, Ma Kouwnio was-was dan ia sukar dapat disadarkan dengan bujukan," kata si adik.

"Jika ia bersedih, racun tidak bisa keluar seanteronya dari badannya dan obatku tak akan bisa masuk ke semua bagian tubuhnya."

Ouw Hui bingung bukan main, ia tak dapat lihat jalan yang baik. Selang beberapa saat, ia berkata: "Jalan satu-satunya  adalah menyatroni lagi gedung Hok Kong An dan coba merebut kedua anak itu dengan kekerasan. Tapi paling cepat kita harus menunggu sampai malam ini."

Leng So terkesiap. "Menyatroni lagi gedung Hok Kong An?" ia menegaskan. "Apa kau mau cari mati?"

Sang kakak tertawa getir. Ia bukan tidak tahu, bahwa sesudah terjadi peristiwa semalam, gedung itu pasti dijaga luar biasa keras. Menerjang masuk ke gedung itu dapat dikatakan suatu kemustahilan Kalau ia mempunyai sejumlah kawan yang berkepandaian tinggi, mungkin juga masih bisa berhasil. Tapi sekarang, ia hanya seorang diri dan ditambah dengan adiknya serta Kie Siauw Hong, paling banyak hanya tiga orang, yang sudah pasti tidak akan bisa berhasil.

Untuk beberapa lama, ia menundukkan kepala dan mengasah otak. Sementara itu, Ma It Hong terus menerus memanggil-manggil puteranya. Ia mengerutkan alis dan berkata dengan suara kha-watir: "Jie-moay, bagaimana baiknya?"

"Jika ia terus berada dalam keadaan begini, tiga hari lagi racun yang masih mengeram dalam tubuhnya akan mengamuk," jawabnya. "Seorang manusia hanya bisa berusaha sedapat mungkin. Manakala kita gagal menolong jiwanya... ya! apa mau dikata? Itulah sudah nasib, kita harus menunduk terhadap takdir."

"Mari kita bersantap dulu, sebentar baru kita berdamai lagi," kata Ouw Hui.

Sesudah makan, Leng So memberikan obat pula kepada It Hong. Sekarang nyonya itu memanggil-manggil Hok Kong An: "Kong-ko.... Kong-ko... mengapa kau tidak meladeni aku? Kamu membawa anakku... di mana adanya mereka? Ayo...bawa ke mari...."

Ouw Hui gusar bercampur duka, sehingga paras mukanya merah padam. Leng So menarik tangan kakaknya dan mengajaknya ke sebuah kamar yang kecil. "Toako," katanya dengan paras muka sungguh-sungguh. "Apakah aku pernah bicara main-main denganmu?"

Ouw Hui heran dan sambil mengawasi adiknya, ia menggelengkan kepala. "Tidak, belum pernah," jawabnya.

"Baiklah," kata si adik. "Sekarang aku ingin memberitahukan suatu hal kepadamu. Dengarlah! Jika kau pergi ke gedung Hok Kong An untuk merebut kedua anaknya Ma Kouwnio, maka kau harus mengundang lain tabib dan aku sendiri akan segera berangkat pulang ke Selatan."

Ouw Hui terkejut, tapi belum sempat ia bicara, adiknya sudah meninggalkan kamar itu. Ia mengerti, bahwa si nona mengeluarkan ancaman karena khawatir ia menyatroni gedung Hok Kong An dan mengantarkan jiwa. Akan tetapi, apa yang sudah terjadi menyentuh jiwa ksatrianya. Di depan matanya kembali terbayang kejadian pada dahulu hari, di Siang-kee-po, pada waktu Ma It Hong berusaha untuk menolong dirinya yang sedang digantung dan dipukuli. Ada budi tidak dibalas, bukan perbuatan laki-laki sejati. Ia sebenarnya sudah mengambil keputusan untuk menempuh bahaya, akan tetapi, tiba-tiba Leng So mengeluarkan ancaman itu. Jika ia menyatroni gedung Hok Kong An dan si adik benar-benar meninggalkannya, jiwa Ma It Hong tetap sukar ditolong.

Dengan pikiran kusut dan hati bersangsi, ia berjalan keluar sambil menundukkan kepala. Ia berjalan terus tanpa juntrungan. Tanpa merasa, kedua kakinya membawanya ke dekat gedung Hok Kong An. Ia mendapat kenyataan, bahwa setiap lima sampai sepuluh tindak, dijaga oleh dua orang, Wie-su yang bersenjata lengkap. Penjagaan adalah sedemikian keras, sehingga, jangankan masuk, sedangkan mendekati saja gedung itu orang bisa ditangkap.

Ouw Hui tidak berani berdiam lama-lama di situ. Dengan pikiran bingung, ia berjalan terus dan sesudah membelok di dua tikungan, ia bertemu dengan sebuah ciu-lauw (restoran berloteng). Ia masuk dan minta makanan kecil serta arak untuk menghibur hatinya yang berduka. Baru saja menceguk beberapa gelas, tiba-tiba ia dengar suara orang bicara di ruangan sebelah. "Ong Toako, cukuplah, kita tidak boleh minum terlalu banyak," kata seorang. "Sebentar kita harus bertugas dan jika muka merah lantaran arak, kita bisa mendapat celaan."

Seorang lain tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Baiklah. Kita minum lagi tiga cawan dan sesudah itu, kita boleh lantas makan nasi." Ouw Hui segera mengenali, bahwa orang itu adalah Ong Tiat Gok.

"Hm... dalam dunia ini memang sering terjadi kejadian kebetulan," katanya di dalam hati.

"Tak dinyana, aku bisa bertemu dengannya di tempat ini."

"Ong Toako," kata pula orang yang pertama.

"Kau mengatakan, bahwa kau kenal Ouw Hui. Manusia bagaimana sih dia?"

Mendengar orang menyebut namanya, Ouw Hui terkejut dan lalu memasang kuping terlebih terang. Tiat Gok menghela napas panjang dan berkata dengan suara perlahan: "Ouw Hui benar-benar seorang luar biasa. Dalam usia yang masih begitu muda, dia bukan saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tapi juga sangat pandai bergaul, sehingga tidaklah salah jika dikatakan, bahwa ia adalah seorang gagah. Tapi mengapa dia bermusuhan dengan Hok Thayswee dan semalam dia masuk ke gedung Thayswee untuk melakukan pembunuhan?" Kawannya tertawa.

"Ong Toako, andaikata sesudah makan kita bertemu dengan Ouw Hui dan berhasil membekuknya, kita pasti mendapat hadiah yang berharga," katanya. Ong Tiat Gok tertawa bekakakan.

"Ha-ha-ha! Enak sungguh kau menggoyang lidah!?" katanya dengan suara menjengeki.

"Orang yang berkepandaian seperti Thio Hek, dua puluh Thio Hek masih belum tentu dapat menangkapnya." Thio Hek mendongkol. "Dan kau?" tanyanya.

"Berapa banyak Ong Tiat Gok baru bisa membekuknya?"

"Aku lebih-lebih lagi, empat puluh Ong Tiat Gok tak usah harap bisa menyentuh tubuhnya." jawabnya.

"Apa dia memiliki tiga kepala enam tangan, sehingga kau jadi begitu jeri?" tanya Thio Hek sambil tertawa dingin.

Mendengar pembicaraan itu, tiba-tiba saja Ouw Hui mendapat serupa ingatan dan tanpa memikir panjang-panjang lagi, ia segera pergi ke ruangan sebelah.

"Ong Toako!" serunya.

"Sungguh kebetulan, kau pun berada di sini, bersama-sama Thio Toako. Siauw Jie? Siauw Jie! Bawa makanan dan arakku ke mari."

Melihat masuknya Ouw Hui, Tiat Giok dan Thio Hek terkesiap. Mereka tak kenal orang yang berjenggot itu, tapi samar-samar Tiat Gok merasa, bahwa suara si jenggot tidak asing lagi bagi kupingnya.

"Di Kie Eng Lauw aku pernah bertemu dengan Ciu Tiat Ciauw Toako dan Can Tiat Yo Jieko, sedang kita berdua pernah makan-minum bersama-sama," kata Ouw Hui.

Ong Tiat Gok mengangguk dan terus mengasah otak, tapi tak dapat ia menebak siapa adanya orang itu. Didengar dari perkataannya, orang itu mengenal baik kedua kakak seperguruannya dan ia sendiri. Tapi mengapa ia tak ingat siapa orang itu?

Sementara itu, pelayan rumah makan sudah memindahkan makanan dan arak Ouw Hui ke ruangan itu.

"Sudah lama aku tidak makan-minum dengan Ong Toako dan Thio Toako, biarlah hari ini aku yang menjadi tuan rumah," kata Ouw Hui seraya melemparkan sepotong perak yang beratnya sepuluh tahil ke atas meja dan berkata pula seraya menengok kepada pelayan restoran: "Kau pegang uang itu. Bawa kemari sayur-sayur yang paling lezat dan arak yang paling baik."

Melihat keroyalan tamu itu, si pelayan jadi girang dan sambil manggut-manggut berulang-ulang, ia berjalan ke luar untuk memenuhi pesanan itu. Tak lama kemudian, di atas meja sudah diatur makanan dan arak yang sedap-wangi.

Ouw Hui beromong-omong sambil tertawa-tawa. Ia menyebut-nyebut Cin Nay Cie, In Tiong Shiang, Ong Kiam Eng, Ong Kiam Kiat dan sebagainya, seperti juga ia bersahabat baik dengan orang-orang itu, sebentar ia bicara tentang ilmu silat, sebentar tentang judi. Ong Tiat Gok jengkel dan bingung. Si jenggot bicara seperti seorang sahabat lama dan jika ia menanyakan namanya, ia melanggar adat istiadat. Tapi jika tidak menanya, sungguh-sungguh ia tak ingat siapa adanya orang itu. Di lain pihak, Thio Hek menganggap, bahwa Ouw Hui adalah sahabat Tiat Gok dan melihat keroyalan serta cara-cara yang terbuka dari sahabat baru itu, ia jadi gembira dan turut bicara secara bebas.

Sesudah makan-minum beberapa lama, Ong Tiat Gok tak dapat menahan sabar lagi. Dengan suara terputus-putus, ia segera berkata: "Toako... harap... harap kau suka maafkan aku... aku benar-benar seorang... edan...!" Ia menabok mukanya yang bersemu merah dan berkata pula: "Aku tak ingat she dan nama Toako... aku minta dimaafkan... aku benar-benar gila...!"

Ouw Hui tertawa. "Orang yang mempunyai banyak pekerjaan, memang sangat pelupaan," katanya. "Bukankah semalam Toako turut bersantap dalam rumahku? Hanya sayang, Pay-kiu tidak diteruskan."

Bukan main kagetnya Tiat Gok. "Kau...! kau...!" serunya dengan suara tertawan.

"Siauwtee memang Ouw Hui!" jawabnya seraya tersenyum.

Tiat Gok dan Thio Hek serentak melompat bangun, mereka mengawasi dengan mata membelalak, tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata. Kejadian semalam sudah menggemparkan seluruh kota raja dan malam-malam telah diadakan razia besar-besaran. Hampir setiap penduduk -- apa pula Wie-su -- sudah tahu, bahwa dengan seorang diri Ouw Hui telah menyatroni gedung Hok Kong An untuk coba membunuh pembesar itu.

"Mengapa kalian begitu kaget?" kata Ouw Hui sambil tersenyum. "Siauwtee hanya memakai jenggot."

"Sst! Perlahan!" bisik Tiat Gok. "Ouw Toako, semua orang sedang coba cari kau. Kau sungguh bernyali besar. Bagaimana kau masih berani datang ke sini untuk makan-minum?"

"Takut apa?" Ouw Hui balas menanya. "Ong Toako saja masih tidak dapat mengenali aku. Apa lagi orang lain?"

"Di kota Pakkhia kau tidak boleh menaruh kaki lagi," kata Tiat Gok dengan suara khawatir. "Lekaslah berlalu."

"Terima kasih atas perhatian Ong Toako terhadap keselamatanku," kata Ouw Hui yang diam-diam memuji kebaikan hatinya orang she Ong itu. Tapi paras muka Thio Hek lantas saja berubah. la menundukkan kepala dan tidak turut bicara.

"Hari ini di pintu-pintu kota diadakan pemeriksaan yang sangat keras," kata Tiat Gok.

"Kalau mau keluar kota, kau harus sangat berhati-hati. Paling baik biarlah aku dan Thio Toako yang mengantarkan kau. Mana Thia Kouwnio?" Ouw Hui menggelcngkan kepalanya.

"Untuk sementara aku tidak akan keluar dari kota ini karena masih ada perhitungan yang belum dibereskan dengan Hok Thayswee," katanya dengan tenang. Paras muka Thio Hek semakin berubah.

"Ouw Toako," kata Tiat Gok. "Kepandaianku kalah jauh dengan kepandaianmu, tapi sekarang aku ingin mengutarakan isi hatiku. Hok Thayswee mempunyai kekuasaan besar dan kau pasti tak akan dapat melawannya. Aku makan nasinya dan menurut pantas, tak dapat aku mengambil pihakmu. Hari ini, dengan menempuh bahaya, aku bersedia untuk mengantarkan kau keluar kota. Dengarlah nasihatku dan lekaslah singkirkan diri."

"Tak bisa, Ong Toako, tak bisa aku berlalu sekarang," kata Ouw Hui.

"Apakah kau tahu, sebab apa aku jadi bermusuhan dengan Hok Thayswee?"

"Tak tahu, aku justru ingin menanyakan," jawabnya.

Ouw Hui lantas saja menuturkan dari kepala sampai di buntut - cara bagaimana pada belasan tahun yang lalu, Hok Kong An telah bertemu dengan Ma It Hong di Siang-kee-po, cara bagaimana mereka mendapat dua orang putera dan cara bagaimana Ma It Hong telah diracuni oleh ibu Hok Kong An, sedang kedua puteranya dirampas oleh nyonya itu. Akhirnya, ia memberitahukan, bahwa ia telah mengambil putusan pasti untuk merampas pulang kedua anak itu untuk dikembalikan kepada Ma It Hong.

Semakin mendengar cerita itu, semakin panas hati Ong Tiat Gok. Sehabis Ouw Hui menutur ia menumbuk meja seraya berkata: "Aku tak nyana, manusia bisa berlaku begitu kejam, Ouw Toako, kau benar-benar seorang gagah yang harus dikagumi orang. Tapi gedung Hok Thayswee dijaga sangat keras oleh banyak sekali orang pandai, sehingga kau tak usah harap bisa berhasil. Jalan satu-satunya adalah menunggu sampai keadaan mereda dan sesudah penjagaan kendor, barulah kau boleh coba-coba menyatroni lagi gedung itu."

"Tapi aku mempunyai serupa rencana," kata Ouw Hui. "Aku ingin meminjam seragam Thio Toako dan masuk ke gedung itu dengan menyamar sebagai Wie-su. Untuk bisa masuk, aku ingin memohon pertolongan Ong Toako."

Paras muka Thio Hek lantas saja berubah gusar, sedang tangannya meraba gagang golok. Tapi Ouw Hui tetap bersikap tenang. Dengan tangan kiri ia mengangkat cawan arak dan menceguk separuh isinya, sedang tangan kanannya mengangkat sumpit untuk menyumpit sayur. Mendadak, mendadak saja, tangan kirinya diayunkan dan arak menyambar muka Thio Hek, yang, sambil mengeluarkan seruah tertahan, segera mengusap muka. Hampir berbareng, sumpit Ouw Hui menyambar dadanya dan menotok jalanan darah Sin-cong dan Tiong-teng-hiat. Sesaat itu juga, Thio Hek tidak berdaya dan badannya rubuh di kursi. Mendengar seruan Thio Hek, pelayan restoran masuk ke kamar makan.

"Tuan ini mabuk, aku harus cari rumah penginapan supaya ia dapat mengaso," kata Ouw Hui.

"Lima rumah dari sini terdapat rumah penginapan An Wan," kata si pelayan.

"Biar aku yang menggendong." Ouw Hui jadi girang dan memberi sepotong perak kepadanya. Si pelayan segera menggendong Thio

Hek ke rumah penginapan itu, dengan diikuti Ouw Hui dan Ong Tiat Gok. Ouw Hui minta sebuah kamar yang paling baik dan sesudah mengunci pintu, ia kembali menotok tiga jalanan darah Thio Hek, sehingga dalam tempo dua belas jam, ia tak akan bisa berkutik. Ong Tiat Gok bingung bukan main, ia merasa seolah-olah disiram dengan setahang air dingin. Sepak terjang dan keberanian Ouw Hui dalam menolong sesama manusia, mengagumkan sangat hatinya. Tapi, mengingat bahayanya pekerjaan itu, bulu romanya berdiri semua. Dengan tenang Ouw Hui membuka pakaian luarnya dan seragam Thio Hek, akan kemudian, sesudah memakaikan pakaiannya di tubuhnya Wie-su itu, ia berdiri mengenakan seragam tersebut. Untung juga besar badannya tidak berbeda dengan besar badan Thio Hek.

"Aku bertugas pada Sin-sie (antara jam tiga dan lima sore)," menerangkan Tiat Gok. "Temponya sudah hampir sampai."

"Ong Toako, aku minta kau melaporkan, bahwa Thio Toako sakit dan tidak dapat bertugas," kata Ouw Hui. "Aku menunggu di sini dan sebentar kira-kira tengah malam, aku minta kau datang untuk mengajak aku masuk ke gedung Hok Thayswee." Tiat Gok mengawasi pemuda itu dengan mata mendelong. Ia tak dapat segera mengambil keputusan. Ia mengerti, bahwa sepatah kata yang diucapkannya dapat mengubah seluruh penghidupannya, bahkan bersangkut paut dengan soal mati-hidupnya. Jika ia mau jadi seorang gagah, seorang ksatria sejati, maka ia harus mencoret setiap impian untuk memperoleh pangkat dan harta. Jika ia ingin tetap menjadi pengikut Hok Thayswee yang setia, ia harus melaporkan kejadian itu.

Ouw Hui mengerti apa yang dipikir Tiat Gok. "Ong Toako," katanya. "Urusan ini memang sangat sulit dan kau tak usah mengambil keputusan sekarang juga."

Ong Tiat Gok manggut-manggutkan kepalanya dan lalu meninggalkan rumah penginapan itu. Ouw Hui segera merebahkan dirinya di atas pembaringan untuk mengaso. Ia tahu, bahwa ia sekarang sedang berjudi dan taruhannya adalah jiwanya sendiri.

Dengan penuh kesangsian, ia merenungkan kemungkinan-kemungkinan. Mungkin sekali sebentar tengah malam, Ong Tiat Gok akan datang seorang diri dan mengajaknya masuk ke dalam gedung Hok Kong An. Akan tetapi, jika begitu, ia menempatkan dirinya dalam kedudukan yang sangat berbahaya. Dengan dia dan Ma It Hong, Tiat Gok tidak mempunyai hubungan rapat. Apakah ia sudi mempertaruhkan jiwanya untuk kepentingan dua orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya sendiri? Kemungkinan itu kecil, apa pula jika diingat, bahwa ia sudah bekerja lama di bawah Hok Kong An dan pada umumnya, manusia sangat kemaruk akan

pangkat dan harta.

Jika Tiat Gok ingin mendapat pahala, maka sebentar malam, hotel itu tentu akan dikurung dan ia bakal membuang jiwa. Ouw Hui mengerti, bahwa bagi Ong Tiat Gok tidak ada jalan sama tengah. Jika ia tidak melaporkan, Thio Hek tentu bakal melaporkan soal itu. Bagi Tiat Gok hanya terbuka dua jalan: Membantu Ouw Hui demi keadilan atau bersetia kepada Hok Kong An.

Ya! Ia memang sedang memegang beberapa lembar kartu Pay-kiu. Kalau kalah ia harus membayar dengan jiwanya. Menang kalahnya tergantung atas keputusan Ong Tiat Gok. Ia yakin, Tiat Gok bukan seorang jahat, tapi bahaya benar-benar terlalu besar, sedang dari dirinya, Tiat Gok sedikit pun tidak dapat mengharap balasan apa-apa.

Tapi sebagai orang yang bernyali luar biasa besar, Ouw Hui segera juga dapat menenteramkan hatinya dan tak lama kemudian, ia pulas. Sesudah pulas beberapa lama, dalam keadaan setengah sadar, ia dengar suara ribut-ribut. Dengan cepat ia melompat bangun. "Benar, aku ingin cari seorang perwira yang memakai tanda Hian," demikian terdengar suara seseorang. "Kalau tidak salah, ia di sini. Sekarang ada perintah penting untuknya. Coba kau tengok."

Mendengar suara itu bukan suara Ong Tiat Gok, Ouw Hui terkesiap, "Huh-huh! Sekali ini aku kalah," katanya di dalam hati dan sambil mencekal golok, ia melongok ke luar jendela. Di luar gelap gulita dan sunyi senyap. Dengan cepat ia melompat ke atas genteng dan memasang kuping.

Karena Tiat Gok tidak datang sendiri, ia lantas saja menduga, bahwa orang she Tiat itu sudah mengkhianati dirinya. Tapi ia merasa heran, mengapa rumah penginapan itu tidak dikurung musuh. Biar bagaimanapun jua, hatinya merasa agak lega.

Sementara itu, ia lihat seorang pelayan sudah menghampiri kamarnya dengan tangan mencekal ciak-tay. "Kun-ya (tuan perwira), ada orang cari kau," katanya sambil mengetuk pintu.

Buru-buru Ouw Hui melompat masuk lagi ke kamarnya dengan ambil jalan dari jendela. "Siapa? Masuklah," katanya.

Si pelayan lantas saja membuka pintu, bertindak masuk dan menaruh ciak-tay di atas meja. "Apa Kun-ya itu belum tersadar?" tanyanya. "Kalau belum sadar, apa perlu kubuat semangkok obat untuk menyadarkannya?"

"Tak usah!" kata Ouw Hui, matanya melirik si perwira yang berdiri di belakang pelayan itu. Perwira itu berusia kira-kira empat puluh tahun dan paras mukanya tenang luar biasa. "Lihay sungguh orang ini!" kata Ouw Hui di dalam hati. "Ia berani masuk ke dalam kamarku seorang diri dan parasnya sedikit pun tidak berubah. Apa dia mempunyai kepandaian luar biasa dan tidak memandang aku sebelah mata?"

"Apa Toako Thio Toako?" tanya Wie-su itu. "Kita belum pernah bertemu. Aku she Jim, namaku Thong Bu dari Pasukan Keempat."

"Oh, Jim Toako, aku merasa beruntung hari ini bisa berkenalan dengan Toako," kata Ouw Hui. "Memang karena dalam pasukan terdapat banyak sekali orang, kita belum mendapat kesempatan untuk berkenalan."

"Benar," kata Thong Bu. "Atasanku telah memerintahkan aku membawa sepucuk surat perintah untuk Thio Toako." Sambil berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah amplop.

Ouw Hui menyambuti amplop itu yang dicap dengan empat huruf merah "Peng-po Ceng-tong" (Departemen Peperangan) di sudut kiri atas. Di tengah-tengah amplop itu terdapat tulisan yang berbunyi: "Untuk Thio Hek, Pasukan Ketiga, di rumah penginapan An Wan." Sesudah mendapat pengalaman getir di gedung Hok Kong An, di mana kedua tangannya dijepit dengan perkakas rahasia, kali ini Ouw Hui berlaku lebih hati-hati. Lebih dulu ia memijit amplop itu dan sesudah mendapat kenyataan, bahwa di dalamnya tidak disembunyikan alat rahasia, ia segera merobeknya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya. Dengan pertolongan sinar lilin, ia segera membaca tulisan di kertas itu. Tiba-tiba jantungnya memukul lebih keras dan hatinya penuh kesangsian.

Mengapa? Karena di atas kertas itu tidak ada tulisannya dan hanya terdapat sebuah lukisan tiauw-sie-kwie (setan dari orang yang mati di gantung) yang sedang menggapai-gapai seorang manusia, supaya dia turut naik ke tiang penggantungan. Menurut ketahayulan pada jaman itu jika seseorang mati digantung maka rohnya akan menjadi setan yang akan menggunakan segala daya upaya untuk membujuk seorang manusia lain menggantung diri guna menggantikannya sebagai setan. Sesudah mempunyai pengganti, barulah setan yang pertama bisa dilahirkan lagi ke dalam dunia sebagai manusia.

Sesudah berpikir sejenak, Ouw Hui bertanya: "Jim Toako apa malam ini kau yang bertugas dalam gedung Hok Thayswee?"

"Benar," jawabnya. "Siauwtee sekarang mau pergi ke situ." Ia memutar badan dan segera bertindak ke luar.

"Tunggu dulu. Aku minta tanya, siapa yang menyuruh Toako menyampaikan surat perintah ini kepadaku?" tanya Ouw Hui.

"Lim Twie-thio," jawabnya. (Twie-thio = Kepala Pasukan).

Sekarang Ouw Hui dapat menebak latar belakang lukisan itu. Rupanya, karena tidak dapat mengambil keputusan sendiri Ong Tiat Gok telah berdamai dengan Toasukonya, yaitu Ciu Tiat Ciauw. Mungkin sekali, karena mengingat budi Ouw Hui yang sudah memulihkan tulangnya yang copot dan memulangkan Tong-eng Tiat-gan-pay, maka Ciu Tiat Ciauw sudah mengatur serupa akal yang sangat sagus. Dengan akal itu, Ong Tiat Gok boleh tak usah menempuh bahaya dan tugas mengajak Ouw Hui masuk ke dalam gedung Hok Kong An digantikan oleh satu setan pengganti. Dengan demikian tak perduli Ouw Hui berhasil atau gagal. Suteenya tak akan

kerembet-rembet. Di atas kertas itu, ia tidak menulis huruf apa pun jua, sehingga andaikata rahasia bocor, ia tak akan terseret. Ia memasukkan amplop tersebut ke dalam segabung surat lainnya yang harus diserahkan kepada pemimpin Pasukan Keempat dan sebelum sampai di tangan Lim Twie-thio, surat-surat itu lebih dulu diantar ke satu dan lain tangan, sehingga sukar sekali orang dapat mengusut, dari mana datangnya surat perintah itu. Di lain pihak, begitu melihat cap "Peng-po Ceng-tong", Lim Twie-thio tidak berani berlaku ayal dan segera memerintahkan sebawahannya untuk menyampaikannya kepada alamatnya. Tiat Ciauw tahu bahwa yang menjaga gedung Hok Thayswee pada malam itu adalah Wie-su Pasukan Keempat, sehingga siapa pun juga yang diperintah Lim Twie-thio, Ouw Hui pasti akan dapat mengikutinya.

Itulah tebakan Ouw Hui yang cukup jitu, meskipun tidak tepat seluruhnya. Diam-diam ia tertawa dalam hatinya dan menganggap Ciu Tiat Ciauw sebagai manusia yang amat licin. Sebagai seorang yang sudah berdiam di kota raja selama puluhan tahun, orang tua itu mempunyai pengalaman luas dan cara bekerjanya lain daripada yang lain, Ouw Hui yakin, bahwa Tiat Ciauw berusaha untuk membantunya dengan setulus hati dan untuk itu semua, ia merasa sangat berterima kasih.

Demikianlah, melihat Jim Thong Bu memutar badan, buru-buru ia berkata: "Atas perintah atasan, malam ini aku harus bantu menjaga gedung Hok Thayswee." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula dengan suara mendongkol. "Gila sungguh! Malam ini sebenarnya giliran aku mengaso. Mengapa malam-malam aku dipanggil juga?"

Jim Thong Bu tertawa. "Gedung Hok Thayswee disatroni pembunuh, sehingga sudah sejamaknya kalau kita bekerja lebih keras," katanya. "Untuk pekerjaan itu kita pasti akan mendapat hadiah yang setimpal."

Ouw Hui turut tertawa. "Jim Toako, aku baru saja dapat uang," katanya. "Mari kita makan minum sekadarnya. Aku jadi tuan rumah. Jim Toako, apa kesukaanmu yang terutama? Suka judi? Arak?"

Perwira itu tertawa berkakakkan. "Semua suka, semua aku suka," jawabnya sambil menyeringai.

Sambil menepuk pundak Jim Thong Bu secara hangat, Ouw Hui berkata; "Jim-heng kita berdua sangat cocok. Sayang baru sekarang kita bertemu muka. Siauw Jie! Ambil arak?"

Perwira itu kelihatan sangsi. "Malam ini aku bertugas," katanya. "Jika Twie-thio tahu aku minum arak, mungkin ia akan menegur."

"Kita hanya minum tiga cawan, mana dia tahu?" bisik Ouw Hui.

Di lain saat, pelayan sudah datang dengan membawa arak dan sepiring daging sapi asin. Sesudah minum tiga cawan, Ouw Hui melemparkan sepotong perak ke atas meja seraya berkata: "Ambil lebihnya!"

Melihat persenan yang besar itu, si pelayan girang bukan main, tapi sebelum ia keburu menghaturkan terima kasih, Jim Thong Bu sudah mendului mengambil perak itu. "Thio Toako, tanganmu terlalu terbuka," katanya. "Apa kita yang bekerja pada Hok Thayswee, mesti merogoh saku untuk beberapa cawan arak saja? Hayo berangkat!" Dengan tangan kirinya ia menarik Ouw Hui, sedang tangan kanannya memasukkan potongan perak itu ke dalam sakunya sendiri! Si pelayan mengawasi dengan mata mendelik, tapi tak berani mengeluarkan sepatah kata.

Ouw Hui tertawa. Melihat kerakusan orang itu, ia merasa girang karena terhadap orang semacam itu, ia dapat menjalankan peranan terlebih mudah. Dengan bergandengan tangan mereka berjalan keluar dari rumah penginapan. Baru belasan tombak, kuping Ouw Hui yang sangat tajam mendadak mendengar suara kresekan di atas genteng. Ia tahu suara itu suara kaki manusia. "Jim Toako, tunggu dulu di sini," katanya. "Aku kelupaan membawa serupa barang. Tunggulah sebentar. Ia memutar badan dan kembali ke kamarnya. Dalam kegelapan, samar-samar ia lihat berkelebatnya badan manusia yang kurus kecil keluar jendela. Dengan gerakan yang gesit luar biasa. Dilihat dari potongan badan dan gerakannya orang itu seperti juga Ciu Tiat Ciauw.

"Perlu apa dia menyatroni kamarku?" tanya Ouw Hui di dalam hati. Ia menyingkap kelambu dan meraba hidung Thio Hek. Benar saja Thio Hek sudah tidak bernyawa lagi! Ia binasa karena to-tokan, Ouw Hui bergidik dan berkata dalam batinnya: "Orang itu licin, pintar dan kejam. Memang, jika Thio Hek tidak disingkirkan rahasia pasti akan bocor. Hanya aku tidak menduga, baru aku melangkah pintu, dia sudah berani turun tangan." Biar bagaimanapun juga, sekarang hatinya jadi lebih lega, karena ia yakin bahwa dengan setulus hati Ciu Tiat Ciauw ingin membantu sahabatnya. Ia segera membalikkan tubuh Thio Hek supaya menghadap ke dalam dan sesudah menyelimutinya, ia keluar lagi dari kamarnya dan menghampiri Jim Thong Bu. "Jim Toako, maaf kau mesti menunggu lama," katanya. "Hayolah."

"Thio Toako, dengan kawan sendiri jangan kau berlaku begitu sungkan." kata Thong Bu. Dengan berendeng pundak, mereka segera menuju ke gedung Hok Kong An.

Depan gedung dijaga belasan Wie-su yang bersenjata lengkap. Begitu mereka mendekati pintu, pemimpin pasukan membentak: "Wie-tin...!"

".... Su-hay!" menyambungi, Thong Bu. Pemimpin itu mengangguk. "Malam ini kita harus menjaga hati-hati sekali," katanya.

"Tentu," kata Thong Bu.

"Twie-thio," kata Ouw Hui.

"Apa malam ini penjahat bakal menyatroni lagi?" Pemimpin itu tertawa.

"Mungkin kalau dia sudah makan nyali harimau," jawabnya.

Ouw Hui tertawa terbahak-bahak dan lalu masuk ke dalam. Setibanya di pintu tengah, wakil pemimpin pasukan yang menjaga di situ membentak dengan suara perlahan. "Wie-tin...."

".... Coat-shia!" menyambungi Jim Thong Bu.

"Jim Thong Bu, siapa orang itu?" tanya Wie-su itu. "Aku tidak kenal."

"Thio Toako, dari Pasukan Ketiga," jawabnya.

"Hm... jenggotnya sangat keren," kata si wakil pemimpin.

Sambil tersenyum mereka berjalan terus membelok ke kiri dan sesudah melewati dua pintu samping, mereka tiba di taman bunga.

Pintu taman dijaga oleh seorang wakil pemimpin yang menegur dengan kata-kata "Wie-tin" juga. ".... Cian-chiu," jawab Thong Bu. Diam-diam Ouw Hui merasa syukur, bahwa ia datang bersama-sama Jim Thong Bu, sebab kalau bukan begitu, ia pasti tak akan bisa masuk ke gedung yang dijaga sedemikian keras dengan menggunakan kata-kata rahasia yang berbeda-beda.

Begitu masuk di dalam taman Ouw Hui segera mengenali jalan-jalan yang pernah dilaluinya. Untuk menenteramkan hati It Hong dan Leng So, ia segera mengambil keputusan untuk bekerja selekas mungkin, dan dengan tindakan cepat, ia menuju ke gedung ibu Hok Kong An.

"Thio Toako, mau ke mana kau?" tanya Thong Bu dengan perasaan heran.

"Aku mendapat perintah untuk melindungi Tayhujin," jawabnya.

"Oh begitu?" kata Thong Bu. Sesaat itu dua Wie-su menghampiri. "Siapa kau?" tanya salah seorang.

"Jim Thong Bu dari Pasukan Keempat."

"Thio Hek dari Pasukan Ketiga." Ouw Hui memperkenalkan diri.

Wie-su itu mengeluarkan seruan tertahan dan meraba gagang golok. "Apa? Siapa namamu!" bentaknya.

Ouw Hui terkejut. Ia mengerti, bahwa pengawal itu mengenal Thio Hek dan rahasianya sudah terbuka. Ia maju setindak dan berbisik. "Namaku Ouw Hui." Wie-su itu kaget tak kepalang, ia mengawasi dengan mata membelalak. Sebelum ia sempat bergerak, jalan darahnya sudah ditotok Ouw Hui yang dengan sekali menggerakkan sikutnya, sudah merubuhkan pula Wie-su yang satunya lagi. Jim Thong Bu menggigil bahna kaget dan takut. "Kau... kau..." katanya dengan suara terputus-putus.

"Laki-laki tidak menukar she atau mengubah nama," kata Ouw Hui dengan suara dingin. "Aku adalah Ouw Hui." Sambil berkata begitu, ia menyeret tubuh kedua Wie-su itu ke dalam gerombolan pohon-pohon bunga.

Sementara itu, sesudah dapat menenteramkan hatinya, Thong Bu menghunus golok.

"Semua orang sudah lihat, bahwa kaulah yang mengajak aku ke sini," kata Ouw Hui.

"Perlu apa kau ribut-ribut? Paling selamat kau menutup mulut." Thong Bu menggigil, rasa kaget dan takutnya semakin menjadi-jadi.

"Kalau kau masih kepingin hidup ikutlah aku!" bisik Ouw Hui. Dalam kebingungan yang sangat hebat, Jim Thong Bu tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Melihat lihaynya Ouw Hui, ia mengerti, bahwa jika melawan, jiwa bisa melayang.

Kedatangan Ouw Hui pasti mengandung maksud kurang baik, sehingga ia yang sudah mengajak pemuda itu masuk ke gedung Hok Kong An, pasti kerembet. Dalam ketakutannya itu, bagaikan seorang linglung, ia segera mengikuti Ouw Hui.

Dengan cepat Ouw Hui menghampiri pintu depan gedung Nyonya Siangkok yang ternyata dijaga oleh tujuh-delapan Wie-su. Ia bersangsi, karena jika ia menggunakan kekerasan, belum tentu ia dapat merubuhkan mereka dalam tempo lekas. Mendadak ia mendapat serupa ingatan dan sambil mengajak Jim Thong Bu, ia segera pergi ke samping gedung. Tiba-tiba ia berteriak. "Jim Thong Bu! Perlu apa kau datang ke sini? Mau memberontak?" Thong Bu terkesiap. "Aku... aku..." katanya terputus-putus.

"Tahan! Hei! Jangan bergerak kau!" teriak pula Ouw Hui. Mendengar teriakan itu, karuan saja tujuh-delapan pengawal yang menjaga di pintu dengan lantas meiuruk ke belakang. Ouw Hui mengangkat tubuh Jim Thong Bu dan melemparkannya ke jendela dan lantas saja menjadi hancur.

"Tangkap! Lekas tangkap!" teriaknya. Bagaikan kawanan harimau, para Wie-su menubruk dan membekuk si orang she Jim.

"Jangan mengagetkan Tayhujin," kata Ouw Hui seraya melompat ke dalam kamar dari jendela yang berlubang.

"Ada apa?" tanya ibu Hok Kong An sambil memeluk kedua puteranya Ma It Hong yang sudah menangis keras dan sudah memanggil-manggil ibunya.

"Ada pembunuh!" jawab Ouw Hui.

"Siauwjin sengaja datang untuk melindungi Tayhujin dan kedua Kongcu. Di sini penuh bahaya kalau perlu segera menyingkir ke tempat yang lebih selamat." Nyonya itu kaget bukan main, tapi sebagai seorang yang berpengalaman, dia lantas saja bercuriga.

"Siapa kau? Di mana adanya pembunuh itu?" tanyanya. Ouw Hui mengerti, bahwa dia tak dapat menghilangkan tempo. Mengingat kekejaman nyonya tua itu, darahnya agak meluap dan sambil melompat, ia mengayun telapak tangannya.

Nyonya besar itu adalah isteri seorang perdana menteri dan kecintaan kaisar, sedang ketiga puteranya semua berpangkat tinggi dan dua orang menantunya adalah puteri kaisar. Selama hidupnya, ia selalu diliputi kekuasaan dan kemewahan dan belum pernah ia menerima hinaan yang begitu besar. Di lain pihak, karena hatinya mendongkol, waktu menggaplok Ouw Hui sudah menggunakan sebagian tenaganya, sehingga begitu kena, pipi nyonya itu lantas saja bengkak dan dua giginya rontok. Dalam kegusaran yang melampaui batas, hampir-hampir si nyonya pingsan.

"Mari ikut aku untuk menemui ibumu," kata Ouw Hui sambil membungkuk dan memeluk kedua bocah itu dengan lengan kirinya.

Pada saat itu, dua orang Wie-su sudah masuk ke dalam kamar. Ouw Hui mengerti bahwa tanpa menggunakan siasat, tak gampang-gampang ia dapat ke luar dari gedung itu. Sambil mencengkeram baju Tayhujin, ia membentak: "Tayhujin berada dalam tanganku. Majulah! Mari kita mampus bersama-sama." Seraya berkata begitu, ia melompat keluar dengan menenteng nyonya tua itu.

Dengan mata membelalak, para Wie-su mengawasi Ouw Hui menerjang keluar sambil mendukung kedua puteranya Ma It Hong dan menyeret tangan Tayhujin. Pengawal-pengawal dari lain-lain bagian gedung mulai memburu ke situ. Mereka mengurung dari sebelah kejauhan dan meskipun kedua tangan Ouw Hui tidak dapat memberi perlawanan karena yang satu mendukung dua bocah itu dan yang lain mencekal Tayhujin mereka masih belum berani turun tangan. Ouw Hui bingung bukan main. la mengerti, bahwa semakin lama jumlah Wie-su yang mengepung akan jadi semakin besar dan keadaannya semakin berbahaya. Setindak demi setindak ia maju terus sambil mengasah otak. la tahu bahwa sekali ini ia harus mempertaruhkan jiwanya.

Mendadak, baru saja ia mengambil putusan nekat menerjang mati-matian, di sebelah kiri terlihat mengepulnya asap dan berkobarnya api sedang di antara suara ribut terdengar teriakan: "Awas! Penjahat coba membunuh Kongcu! Penjahat membakar gedung Kongcu!"

Ouw Hui kaget. Ia kenali bahwa suara itu suara Ciu Tiat Ciauw. Kongcu adalah puteri kandung kaisar Kian-liong dan jika sang puteri binasa dalam tangan penjahat, seantero Wie-su dalam gedung Hok Kong An akan mendapat hukuman mati. Maka itu, teriakan Ciu Tiat Ciauw sudah mengejutkan sangat hatinya semua orang.

"Kalian semua pergi padamkan api dan lindungi Kongcu biar aku sendiri yang menolong Tayhujin," demikian terdengar pula teriakan Ciu Tiat Ciauw. Dalam kalangan pengawal Hok Kong An, Ciu Tiat Ciauw mempunyai kedudukan tinggi dan disayang oleh menteri itu, sehingga ia sangat disegani oleh kawan-kawannya. Maka itu, begitu mendengar perintahnya, para Wie-su lantas saja meninggalkan Ouw Hui dan memburu ke tempat kebakaran.

Ouw Hui mengerti, bahwa Ciu Tiat Ciauw telah menggunakan tipu "memancing harimau keluar gunung" untuk menolong dirinya dan ia merasa sangat berterima kasih. Di lain saat, Tiaut Ciauw sudah membacok sambil berteriak keras. Ouw Hui berkelit seraya mendorong Tay Hujin yang jatuh tengkurep di tanah. Tiat Ciauw buru-buru membangunkan dan menggendong nyonya tua itu yang lalu dibawa pulang ke gedungnya. Ouw Hui sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik dan segera kabur dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.

"Jumlah penjahat tidak sedikit!" demikian terdengar pula teriakan Tiat Ciauw. "Semua orang tetap pada tempat penjagaannya. Lindungi Hok Thayswee dan Jie-wie Kuncu! Jangan kena diakali dengan tipu memancing harimau keluar dari gunung," mendengar teriakan itu, semua wie-su tidak berani sembarangan mengejar.

Sambil mendukung kedua bocah, Ouw Hui lari ke belakang taman. Dengan cepat ia sudah tiba di tembok pekarangan dan dengan sekali mengenjot tubuh, kedua kakinya hinggap di atas tembok. Tiba-tiba ia mengeluh sebab di sebelah timur dan barat dijaga oleh sejumlah besar Wie-su! Buru-buru ia melompat turun dan melewati sebidang tanah lapang secepat-cepatnya, akan kemudian masuk ke sebuah lorong.

Pada saat itulah terdengar teriakan orang: "Tangkap! Tangkap pembunuh!" Diiring dengan teriakan-teriakan, sejumlah Wie-su mengejar dari belakang. Setibanya di ujung lorong, Ouw Hui membelok ke sebuah jalan raya dan mendadak hatinya girang karena di pinggir jalan kelihatan berhenti sebuah kereta keledai. Cepat-cepat ia melompat naik ke dalam kereta sambil berkata pada si kusir: "Lekas! Hayo lekas! Aku akan memberi hadiah besar." Di tempat duduk kusir duduk dua orang dan begitu mendengar perkataan Ouw Hui, orang yang duduk di sebelah kanan, yang tubuhnya kurus, lantas saja mengedut les dan keledai lantas saja lari.

Begitu duduk di dalam kereta, Ouw Hui mengendus bebauan yang tak enak. Setelah memperhatikan ia mendapat kenyataan bahwa bebauan itu keluar dari beberapa tahang kotoran manusia. Ia kini mengerti bahwa kereta itu adalah kereta yang biasa mengumpulkan kotoran manusia dari rumah-rumah penduduk untuk dijadikan pupuk. Sementara itu suara teriakan semakin hebat kedengarannya. Ia menengok dan melihat pengejar-pengejarnya sudah datang sangat dekat.

Tiba-tiba ia mendapat pikiran baik. Ia mengangkat sebuah tahang dan sambil mengerahkan Iweekang, melemparkannya ke belakang. Dua Wie-su yang paling depan rubuh terjengkang dengan tubuh penuh kotoran, sedang kawan-kawannya lantas saja berhenti mengejarnya. Mereka itu adalah orang-orang pilihan yang bernyali besar, tapi menghadapi kotoran manusia, mereka jadi keder juga.

Kereta terus dilarikan secepatnya tapi tak lama kemudian di sebelah belakang kembali terdengar teriakan dan sejumlah Wie-su sudah mengejar pula. Hok Kong An adalah seorang Peng-po Siang-sie (menteri pertahanan) yang berkuasa angkatan perang seluruh kerajaan Ceng. Dapat dimengerti, bahwa pengawal-pengawal pribadinya bukan sembarang orang dan dipilih dari orang-orang ternama dalam Rimba Persilatan, sehingga pengacauan Ouw Hui selama dua malam berturut-turut dianggap mereka sebagai suatu hinaan besar yang sangat memalukan. Maka itu, seusainya menolong kedua kawan yang rubuh, mereka segera mengejar pula dengan kegusaran meluap-luap.

Ouw Hui mulai bingung lagi. "Jika mereka masih mengejar, aku tentu tidak boleh pulang," katanya di dalam hati. "Ma Kouwnio masih belum sembuh dan setan-setan itu tak boleh tahu tempat bersembunyinya. Tapi kalau tidak pulang, ke mana aku harus pergi?" Sementara itu, para Wie-su sudah hampir dekat dan hanya karena takut dihantam dengan tahang kotoran, mereka belum berani terlalu mendesak. Mereka rupanya tahu, bahwa dengan membuntuti dari kejauhan, Ouw Hui pasti tidak akan bisa keluar dari kota Pakkhia.

Beberapa saat kemudian, kereta itu tiba di sebuah jalan yang bercagak tiga dan di tengah-tengah jalan itu berhenti sebuah kereta keledai lain. Begitu lekas kereta yang diduduki Ouw Hui berdempetan dengan kereta itu, si kusir menggapai seraya berkata: "Pindah!" Ia melompat ke kereta itu, diturut oleh Ouw Hui yang mendukung puteranya Ma It Hong.

Sebagaimana diketahui, di kereta pertama terdapat dua orang kusir. Begitu lekas kusir pertama dan Ouw Hui berpindah ke kereta lain, kusir kedua segera mengedut les dan mengaburkan kereta itu ke jurusan barat, sedang kereta yang ditumpangi Ouw Hui dilarikan ke arah timur.

Dilain pihak, setibanya di jalan bercagak, para Wie-su jadi bingung sebab dua kereta yang bentuk dan warnanya bersamaan lari ke dua jurusan. Mereka tak tahu kereta yang mana memuat orang yang sedang dikejar. Sesudah berdamai sebentar, rombongan dipecah dua yang masing-masing mengejar ke barat dan ke timur.

Mendengar suara dan pula cara melompatnya si kusir kurus, bukan main girangnya Ouw Hui, sebab ia segera mengenali, bahwa kusir itu bukan lain daripada adiknya sendiri. "Aduh Jie-moay! Sungguh aku tak duga!" katanya dengan suara kagum.

Leng So hanya mengeluarkan suara di hidung.

"Bagaimana keadaan Ma Kouwnio?"

"Tak tahu!" jawab si adik. Ouw Hui tahu si adik sedang mendongkol.

"Jie-moay, aku mengaku salah dan kuharap kau sudi memaafkan," katanya dengan suara yang halus.

"Aku tak akan menarik pulang perkataanku," kata si nona.

"Aku tetap tak akan mengobati padanya. Apa kau kira omonganku bukan perkataan manusia?" Selagi Leng So berkata begitu kembali kereta tiba di jalan bercagak dan di tengah jalan terdapat sebuah kereta yang lain. Kali ini si nona tidak menukar kereta. Dengan sekali berseru dan mengulapkan tangan, kedua kereta itu berpencaran dengan berbareng, yang satu ke selatan yang lain ke utara.

Waktu menyusul sampai di jalan bercagak itu, para Wie-su itu jadi lebih kaget dan gusar. Mereka tak dapat berbuat lain daripada memecah lagi rombongan untuk mengejar kedua kereta itu.

Semenjak Pakkhia menjadi ibukota negara pada jaman Kerajaan Goan, jalan-jalan dalam kota itu dibuat dalam bentuk garis-garis papan catur, yaitu membujur dari selatan sampai ke utara dan melintang dari timur ke barat. Dari sebab itulah, kereta yang ditumpangi Ouw Hui dan Leng So lagi-lagi bertemu dengan jalan bercagak dan di tengah-tengah jalan terdapat pula kereta lain yang bentuknya sama. Kejadian itu berulangkali. Kalau para pengejar sudah datang dekat sebab khawatir dikenali, Leng So tidak menukar kereta hanya memerintahkan supaya kedua kereta itu berpencaran dengan berbareng dan lari ke dua jurusan. Tapi kalau pengejar-pengejar masih agak jauh mereka pindah kereta supaya dapat lari terlebih cepat dengan keledai yang masih segar. Demikianlah setiap kali bertemu dengan jalan bercabang, jumlah pengejar berkurang separuh sehingga pada akhirnya, mereka hanya dikejar oleh lima enam Wie-su yang sudah cape lelah dan napasnya tersengal-sengal.

"Jie-moay, sungguh lihay tipumu ini," memuji Ouw Hui.

"Jika kau tidak menggunakan kereta pengumpul kotoran, kereta itu bisa dicurigai oleh tentara peronda."

"Biar dicurigai," kata si adik dengan suara dingin.

"Kau tidak menyayang jiwa dan memang pantas kalau kau mati dalam tangan tentara negeri."

"Aku memang pantas mati," kata Ouw Hui sambil tersenyum.

"Hanya jika aku mati, bakal ada seorang nona yang bersedih hati."

"Hmmm," Leng So mengeluarkan suara di hidung.

"Kau tak dengar omonganku dan kalau kau sampai mengantarkan jiwa, siapa pun boleh tak usah bersedih... kecuali nona Wan yang cantik manis. Tapi mengapa ia sekarang tidak menolong kau?"

"la tidak tahu, bahwa aku sudah begitu tolol untuk menyatroni gedung Hok Thayswee," kata sang kakak.

"Dikolong langit hanya ada seorang gadis yang tahu ketololanku dan hanya ia yang dapat menolong jiwaku pada saat yang berbahaya." Mendengar pujian itu, Leng So merasa sangat senang, tapi paras mukanya masih tetap dingin dan ia hanya mengeluarkan suara di hidung.

"Karena dulu Ma Kouwnio pernah menolong kau, maka kau tidak dapat melupakan budinya dan bertekad untuk membalas budi itu, bukankah begitu?" tanya si nona.

"Mengenai budi, mana Ma Kouwnio dapat direndengkan dengan adikku?" kata Ouw Hui. Di tengah gelap Leng So tersenyum, tetapi suaranya masih tetap kaku. "Huh! Karena masih memerlukan bantuanku untuk mengobati Ma Kouwnio, kau sudah mengeluarkan perkataan manis-manis," katanya.

"Sesudah kau tidak perlu lagi dengan tenagaku, segala omonganku pasti lebih-lebih tidak digubris lagi olehmu."

"Jika aku bicara tidak setulus hati, biarlah aku mati dengan jalan yang tidak baik." Ouw Hui bersumpah.

"Kalau benar ya sudah, perlu apa kau bersumpah," kata si nona dengan suara terlebih lunak.

Sesudah melewati sebuah jalan bercagak lagi, Wie-su yang mengejar hanya ketinggalan dua orang. "Jie-moay," kata Ouw Hui sambil tertawa. "Coba kau tahan larinya keledai sebentar, aku ingin memperlihatkan sebuah pertunjukan." Leng So menarik les dan keledai itu lantas saja menghentikan tindakannya. Di lain saat, kedua pengejar sudah hampir menyusul dan waktu mereka hanya terpisah beberapa tombak dari kereta, mendadak Ouw Hui mengangkat sebuah tahang kosong yang lalu dilontarkan dan masuk tepat di kepala salah seorang Wie-su. Kawannya mengeluarkan teriakan kaget dan memutar badan, akan kemudian lari lintang pukang. Melihat pertunjukan yang lucu itu, Leng So tertawa geli dan sisa kedongkolannya lantas saja hilang seperti disapu angin. Tak lama kemudian kereta sudah tiba di depan gedung di mana mereka menginap. Leng So segera menyerahkan les kepada si kusir dan menghadiahkan beberapa tahil perak. Sesudah itu, dengan masing-masing mendukung seorang bocah, mereka masuk dengan melompati tembok. Siapa pun tak pernah mimpi, bahwa dua orang itu baru saja mengacau di rumah menteri pertahanan.

Melihat kedua puteranya, bukan main girangnya Ma It Hong memeluk kedua bocah itu erat-erat dan air matanya mengucur deras. Kedua bocah itu pun balas memeluk ibu mereka dengan penuh kecintaan.

Leng So terharu dan berbisik: "Toako sekarang aku tidak menyalahkan kau lagi. Memang kita harus merampas pulang kedua bocah itu, supaya ibu dan anak dapat berkumpul kembali."

"Tapi hatiku tetap merasa kurang enak, sebab aku sudah tidak dengar perkataanmu," kata sang kakak.

Leng So menjebik dan berkata sambil tertawa: "Huh! Toako memang pandai bicara. Waktu kita pertama bertemu, kau sudah tak dengar omonganku. Aku minta kau jangan berpisah dari sampingku dan jangan turun tangan tapi semua permintaanku tidak digubris olehmu."

Sesudah bertemu dengan kedua puteranya, Ma It Hong sembuh dengan cepat sekali. Setelah Leng So "menciam" (menusuk dengan jarum emas) lagi beberapa kali dan memberi beberapa macam obat, racun yang mengeram dalam tubuhnya telah dapat dikeluarkan seanteronya. Sesudah ingatannya kembali, ia menanyakan sebab musabab mengapa mereka berada dalam gedung itu dan mengapa Hok Kong An tak pernah datang menyambanginya, tapi baik Ouw Hui maupun Leng So sungkan memberi keterangan.

Sedang beberapa hari tibalah harian Tiong-chiu. Pada hari itu dengan mengajak Leng So, Coa-wie dan Kie Siauw Hong, Ouw Hui pergi ke gedung Hok Kong An guna menghadiri pertemuan para Ciangbunjin.

Penyamaran Ouw Hui pada hari itu agak berlainan dari biasanya. Ia mencukur sebagian jenggotnya dan mengenakan pakaian sulam yang sangat indah sedang tangan kirinya mencekal pipa pit-yan-hu dan tangan kanannya memegang kipas berwarna emas, sehingga orang yang tak tahu pasti akan menduga, bahwa ia adalah seorang hartawan besar. Leng So sendiri menyamar sebagai seorang wanita setengah tua dengan badan agak bongkok dan muka kisut-kisut.

Setibanya di depan gedung Siang-kok-hu, mereka mendapat kenyataan, bahwa semua Sie-wie sudah ditarik mundur dan di depan pintu berdiri delapan orang yang bertugas sebagai penyambut tetamu.

Ouw Hui segera menyerahkan surat undangan. Melihat pakaiannya yang mewah dan mengetahui, bahwa tamu itu adalah Ciangbunjin dari Hoa-kun-bun, dengan sikap hormat lantas saja mengantarkan mereka ke sebuah meja di sebelah timur, di mana sudah duduk empat tetamu lain. Mereka segera berkenalan dan tetamu yang datang lebih dulu itu adalah orang-orang Kauw-kun Tay-seng-bun (partai ilmu silat kera). Pemimpin partai itu seorang tua yang kepalanya lancip, mulutnya monyong dagunya merah dan lengannya sangat panjang sehingga menyerupai seekor kera. Melihat begitu, Leng So merasa geli di dalam hatinya.

Dalam ruangan yang luas itu, sudah berkumpul banyak orang dan tamu-tamu yang baru datang masuk dengan berturut-turut. Mereka dilayani oleh perwira-perwira di bawah perintah Hok Kong An.

Dengan matanya yang sangat tajam Ouw Hui menyapu seluruh ruangan. Tiba-tiba ia lihat masuknya Ciu Tiat Ciauw dan Ong Tiat Gok yang mengenakan pakaian perwira dan dilihat dari topinya mereka baru mendapat kenaikan pangkat. Waktu lewat di samping meja Ouw Hui, mereka tidak mengenali pemuda itu.

Dua orang perwira menyambut mereka dan berkata sambil tertawa: "Selamat Ciu Toako, selamat Ong Toako! Semalam kalian telah membuat jasa yang sangat besar."

Ong Tiat Gok tertawa lebar. "Jasa apa? Hanya kebetulan saja," katanya dengan merendahkan diri.

Seorang perwira lain menghampiri seraya berkata: "Yang satu menjadi Thong-peng yang lain menjadi Hu-ciang. Sungguh hebat! Di antara pahlawan-pahlawan Hok Thayswee, kalianlah yang naik pangkat paling cepat."

"Peng Toako, jangan kau guyon-guyon," kata Ciu Tiat Ciauw dengan suara tawar. "Kami berdua mendapat hadiah tanpa berjasa. Mana bisa kami dibandingkan dengan Peng Toako yang sudah membuat pahala besar di medan perang?"

Perwira itu merasa agak jengah dan ia segera berkata pula dengan paras sungguh-sungguh: "Ciu Toako telah menolong Siang-kok Hujin sedang Ong Toako melindungi Kongcu. Bansweeya sendiri yang sudah memberi pangkat kepada kalian. Mana dapat siauwtee berendeng dengan Jie-wie Toako?"

Dengan beruntun-runtun kedua saudara itu mendapat pemberian selamat dari para perwira. Dapat dimengerti jika tamu-tamu jadi merasa heran dan mereka lalu mencari keterangan dari beberapa orang yang lantas saja menceritakan peristiwa yang terjadi semalam di gedung Hok Thayswee, ditambah dengan bumbu yang sedap. Cerita itu juga didengar Ouw Hui dan kawan-kawannya.

Ternyata, dengan perhitungan lihay dan tindakan tepat, bukan saja Ciu Tiat Ciauw sudah dapat mengelakkan mara bahaya, tapi juga sudah menarik keuntungan besar untuk dia dan saudara angkatnya. Dengan dia sendiri "menolong" Siangkok Hujin dan Ong Tiat Gok "melindungi" Kongcu, di mata Kaisar Kian-liong, mereka berdua telah berjasa sangat besar, lebih besar dari pada pahala orang yang menang perang. Mereka bukan saja telah mendapat kenaikan pangkat tiga tingkat, tapi juga sudah memperoleh hadiah emas-perak-mutiara dari Siangkok Hujin, Kongcu dan Hok Kong An sendiri.

Untuk kepentingan sendiri, para Wie-su meniup-niup kejadian semalam dengan mengatakan, bahwa penjahat yang menyatroni berjumlah ratusan orang dan bahwa, hanya sesudah bertempur mati-matian, barulah mereka berhasil memukul mundur kawanan pengacau itu. Meskipun merasa mendongkol karena hilangnya kedua putera itu, tapi mengingat pengalamannya waktu ditawan oleh orang-orang Ang-hoa-hwee pada sepuluh tahun berselang, Hok Kong An diam-diam bersyukur, bahwa kali ini kawanan penyerang dapat dimundurkan dan ia terlepas dari bahaya. Maka itulah, ia sudah berlaku royal dan memberi persenan besar kepada para pengawalnya.

Melihat cara-cara orang-orang itu, Ouw Hui dan Leng So merasa geli dan saling melirik sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, puluhan meja perjamuan sudah penuh dengan tetamu. Diam-diam Ouw Hui menghitung. Semua ada enam puluh dua meja, setiap meja delapan orang, jumlah tetamu empat ratus sembilan puluh enam dan jika setiap partai mengirim empat orang wakil, maka jumlah Ciang-bunjin yang hadir dalam ruangan itu ada seratus dua puluh empat. Sekarang baru ia tahu, bahwa di seluruh Tiongkok terdapat begitu banyak partai alau cabang persilatan. Di samping meja-meja yang sudah penuh, juga terdapat meja-meja yang hanya diduduki oleh empat orang dan yang masih kosong. Tanpa merasa, ia ingat Wan Cie Ie.

"Dia sudah merebut dua belas kedudukan Ciangbun dan meja-meja yang kosong rupanya disediakan untuk orang-orang dari partai-partai yang sudah digebah kabur olehnya," katanya di dalam hati.

"Tapi di mana adanya dia sekarang?" Melihat kakaknya termenung dengan sorot mata penuh rasa cinta, Leng So yang sangat cerdas segera dapat menebak, bahwa Ouw Hui sedang memikirkan Wan Cie Ie. Ia menghela napas dan hatinya sedih. Tiba-tiba otot-otot pipi Ouw Hui bergerak, paras mukanya berubah dan sinar matanya seolah-olah mengeluarkan api. Si nona segera memandang ke jurusan yang sedang diawasi kakaknya dan ia lantas saja mengetahui sebab musabab perubahan itu. Di sebelah barat, pada meja keempat, duduk seorang lelaki yang badannya tinggi besar dan tangannya mencekal dua Tiat-tan dan orang itu bukan lain dari pada Hong Jin Eng, Ciangbunjin Ngo-houw-bun.

Buru-buru Leng So menarik tangan baju kakaknya yang lantas saja tersadar dan cepat-cepat melengos ke lain jurusan.

Sementara itu, tamu-tamu yang berniat datang rupanya sudah tiba semua, karena dari luar sudah tidak muncul tamu-tamu baru. Ouw Hui memperhatikan ruangan yang luas itu. Di tengah-tengah tergantung sehelai kain sulam dengan tulisan: "Dengan ilmu silat mengikat persahabatan, orang-orang gagah menjadi tuan rumah." Di bawah kain sulam itu berjejer empat buah kursi indah dengan alas kulit harimau, tapi semua kursi masih kosong dan rupanya disediakan untuk orang-orang yang berpangkat tinggi.

"Mengapa ia belum juga datang?" bisik Leng So. Ouw Hui mengerti, bahwa "ia" dimaksudkan Wan Cie Ie, tapi ia berlagak pilon. "Siapa?" tanyanya. Si adik tidak menjawab langsung, tapi berkata pada dirinya sendiri: "Sebagai Cong-ciang-bun dua belas partai, dia tak bisa tak datang."

Beberapa saat kemudian, seorang perwira tingkatan kedua bangun berdiri dan berseru dengan suara nyaring: "Harap keempat Tay-ciangbunjin (Ciangbunjin besar) masuk ke dalam ruangan pertemuan!" Seruan itu disambut oleh lain-lain Wie-su: "Harap keempat Tay-ciangbunjin masuk ke dalam ruangan pertemuan!"

Semua jago kaget bercampur heran. Semua orang yang berkumpul di situ, di samping murid-murid berbagai partai dan para petugas pihak tuan rumah, adalah Ciangbunjin, atau pemimpin, partai-partai persilatan. Mengapa orang sudah menggunakan istilah "besar"? Apa ada Ciangbunjin "besar" dan Ciangbunjin "kecil"?

Seluruh ruangan jadi sunyi senyap dan mata semua orang mengawasi pintu samping di sebelah timur, dari mana muncul dua orang perwira tingkatan ketiga yang mendahului masuknya empat orang ke dalam ruangan itu. Setibanya di bawah kain sulaman itu, dengan sikap sangat hormat, mereka mempersilakan keempat orang tersebut duduk di kursi yang dialas dengan kulit harimau.

Antara keempat tetamu itu, yang berjalan paling dulu adalah seorang pendeta tua yang alisnya putih dan tangannya mencekal sebatang Sian-thung dari kayu Yang-bok yang berwarna kuning. Dilihat dari paras mukanya yang welas asih, pendeta tua itu paling sedikitnya sudah berusia sembilan puluh tahun. Yang kedua adalah seorang Toojin yang kira-kira berusia tujuh puluh tahun, dengan muka muram berwarna hitam dan mata separuh tertutup separuh terbuka. Kedua orang itu -- yang satu Hweeshio dan yang lain Toojin -- sangat berbeda satu sama lain. Si hweeshio tua bertubuh tinggi besar dan berparas angker, sehingga sekelebatan saja, orang segera tahu, bahwa ia seorang beribadat yang berilmu tinggi. Tapi si Toojin tiada bedanya seperti imam biasa yang sering memperdayai orang dengan menjual surat jimat atau obrolan lain. Tapi mengapa dia termasuk salah seorang dari empat Ciangbunjin "besar"? Yang ketiga adalah seorang tua berusia enam puluh tahun lebih yang kelihatannya bersemangat sekali, dengan sepasang matanya yang berkilat-kilat dan kedua Tay-yang-hiat yang menonjol ke atas, suatu tanda, bahwa ia memiliki Iweekang yang sangat tinggi. Begitu masuk, sambil tersenyum-senyum, ia manggut-manggut dan di antara seratus lebih Ciangbunjin itu, tak kurang dari sembilan puluh yang mengenalnya. Mereka menggunakan panggilan "Tong Toako" atau "Tong Tayhiap" dan hanya beberapa pentolan yang sudah berusia lanjut menggunakan istilah "Kam Lim-heng".

Ouw Hui agak terkejut. "Ah! Orang itu tentu bukan lain dari pada Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay Tong Tayhiap!" katanya di dalam hati. "Ibu Wan Kouwnio telah ditolong olehnya dan ia dikenal sebagai seorang pendekar yang berpribudi tinggi. Sungguh tak dinyana hari ini ia kena ditarik oleh Hok Kong An.

"Tong Pay tidak lantas duduk, tapi menghampiri dan memberi salam kepada sejumlah Ciangbunjin yang dikenalnya. Sikapnya yang ramah tamah menimbulkan rasa hormat dalam hati setiap orang. Waktu tiba di meja Ouw Hui, sambil menarik tangan Ciangbunjin dari Tay-seng Kauw-kun-bun, ia berkata: "Kera tua! Kau juga datang? Mengapa tuan rumah tidak menyuguhkan sepiring buah tho kepadamu?" Orang itu membungkuk secara hormat sekali dan berkata seraya tertawa: "Tong Tayhiap, sudah tujuh tahun aku tidak pernah mengunjungi kau untuk menanya keselamatanmu. Semakin lama kulihat Tayhiap semakin gagah." Tong Pay tertawa. "Bagaimana dengan anak cucu kera dalam guha Sui-liam-tong gunung Hoa-ko-san?" tanyanya sambil menepuk pundak orang.

"Dengan bersandar kepada Tong Tayhiap, mereka semua baik-baik saja." jawabnya.Tong Pay tertawa terbahak-bahak.

Ia berpaling kepada Kie Siauw Hong dan bertanya: "Apa Kie Loosam tidak datang?" Pemuda itu buru-buru memberi hormat seraya menjawab: "Ayah tidak datang. Siang-malam ayah selalu ingat Tong Tayhiap dan sering mengatakan, bahwa sesudah menelan Jin-som Yang-eng-wan pemberian Tayhiap, kesehatannya mendapat banyak kemajuan."

"Apa kau menginap di gedung In Pweecu?" tanya pula Tong Pay.

"Baiklah, besok aku akan memberi beberapa pel lagi untuk ayahmu." Kie Siauw Hong membungkuk lagi dan menghaturkan terima kasih berulang-ulang. Sesudah manggut-manggutkan kepalanya kepada Ouw Hui. Leng So dan Coa Wie, Tong Pay segera pergi ke lain meja.

"Tong Tayhiap bergelar Kam-lim-hui-cit-seng, tapi sebenar-benarnya, pengaruhnya melampaui tujuh propinsi," kata Ciangbunjin Kauw-kun-bun dengan suara kagum. "Tahun itu, piauw seharga delapan belas laksa tahil perak yang dilindungi olehku telah hilang di jalan Kamliang. Karena gusar dan jengkel, hampir-hampir aku mencemplungkan diri ke dalam sumur. Kalau bukan Tong Tayhiap yang turun tangan dengan menggunakan jalan lembek dan keras, sehingga ia sampai mengangkat senjata, mana mau Ciu-coan Sam-houw memulangkan piauw tersebut?" (Tiga harimau dari Ciu-coan) Secara bernafsu dan dengan rasa berterima kasih yang sangat besar, ia segera menuturkan segala kejadiannya. Sebagai seorang yang menanggung budi besar, setiap ada kesempatan, ia selalu menceritakan pertolongan Tong Pay kepadanya.

Orang yang keempat mengenakan seragam perwira dengan topi tingkat keempat. Ia masuk dengan tindakan mantap dan sikap angker, sehingga sekelebatan saja, orang akan lantas bisa lihat, bahwa ia adalah pentolan dalam Rimba Persilatan. Ia berusia kurang lebih lima puluh tahun, mukanya persegi, kupingnya lebar, kedua matanya bersinar tajam dan dengan sikap luar biasa tenang, ia duduk di kursi keempat.

"Ah! Dia juga seorang yang sangat lihay," kata Ouw Hui dalam hatinya. Waktu baru tiba di gedung itu, pemuda itu tidak memandang sebelah mata kepada Ciangbun Tayhwee yang dihimpunkan oleh Hok Kong An. Tapi begitu melihat keempat Ciang-bunjin itu, hatinya lantas saja keder.

"Tong Tayhiap dan perwira itu saja belum tentu dapat dijatuhkan olehku," pikirnya.

"Si hweeshio dan Toojin yang duduk di kursi yang lebih tinggi, sudah tentu memiliki kepandaian yang lebih lihay. Hari ini aku harus berhati-hati dan rahasiaku tidak boleh bocor." Memikir begitu, ia tidak berani menengok ke sana-sini lagi, karena khawatir dikenali oleh kaki tangan Hok Kong An dan lalu meraup kwacie yang lalu dimakannya perlahan-lahan.

Sesudah bersalaman dengan orang-orang yang dikenalnya, Tong Pay Tayhiap barulah duduk di kursinya. Begitu ia duduk, orang-orang yang tingkatannya lebih muda dengan beruntun-runtun menghampiri dan memberi hormat dengan berlutut. Tong Pay adalah seorang hartawan yang tangannya sangat terbuka. Dalam kunjungannya ke pertemuan itu, murid-muridnya membawa banyak angpauw (bungkusan merah berisi uang). Kepada setiap orang muda yang baru memberi hormat kepadanya dengan berlutut, ia menghadiahkan lima tahil perak sebagai tanda mata untuk perkenalan itu. Selang beberapa lama barulah pemberian-pemberian hormat kepada Tong Tayhiap selesai.

Sesaat kemudian, seorang perwira tingkat kedua berteriak: "Tuang arak!" Semua pelayan yang bertugas di berbagai meja lantas saja menuang arak. Sambil mengangkat cawan tinggi-tinggi, perwira itu berkata dengan suara nyaring: "Para Ciangbun dan Busu dari berbagai partai! Hok Thayswee menyambut dengan gembira kedatangan kalian di ibu kota. Sekarang terlebih dulu siauwtee menghaturkan selamat datang kepada kalian dengan secawan arak ini. Sebentar, Hok Thayswee sendiri akan mengangkat cawan dengan kalian." Sehabis berkata begitu, ia menceguk cawannya, diikuti oleh para hadirin.

Sehabis minum, perwira itu berkata pula: "Hari ini, yang hadir dalam ruangan ini adalah orang-orang gagah dari Rimba Persilatan -- suatu kejadian yang langka dalam sejarah persilatan. Apa yang paling menggirangkan Hok Thayswee ialah beliau berhasil mengundang juga empat Ciangbunjin besar. Dengan menggunakan kesempatan ini, siauw-tee ingin memperkenalkan keempat Ciangbunjin besar itu kepada kalian." la menunjuk Hweeshio yang alisnya putih dan melanjutkan perkataannya: "Yang itu adalah Taytie Siansu, Hong-thio kelenteng Siauw-lim-sie di gunung Siongsan, propinsi Holam. Selama lebih dari seribu tahun, Siauw-lim-sie selalu dianggap sebagai sumber dari ilmu silat. Hari ini, dalam pertemuan para Ciangbunjin di kolong langit, sudah sepantasnya saja jika Tay-tie Siansu menduduki kursi pertama."

Para hadirin lantas saja bersorak-sorai sambil menepuk-nepuk tangan. Siauw-lim-sie mempunyai sangat banyak cabang, sehingga dapat dikatakan, bahwa ilmu silat dari sedikitnya sepertiga orang-orang yang hadir di situ masih bersangkut paut dengan kelenteng itu. Maka itu, dapat dimengerti jika pertemuan dengan pemimpin Siauw-lim-sie sudah menggirangkan sangat banyak orang-orang gagah itu. Sambil menunjuk Toojin yang duduk di kursi kedua, perwira itu berkata pula: "Di samping Siauw-lim-pay adalah Bu-tong-pay yang namanya sangat cemerlang. Yang itu adalah Bu-ceng-cu Tootiang. ketua kuil Giok-hie-kiong di gunung Bu-tong-san."

Bu-tong-pay adalah leluhur dari ilmu silat Lweekang (ilmu silat "dalam") yang terkenal di seluruh Tiongkok. Akan tetapi, mendengar, bahwa Toojin yang mukanya mesum itu adalah Ciangbunjin Bu-tong-pay, semua orang merasa heran. Apa yang mereka tahu, ialah semenjak sepuluh tahun berselang, sedari Ciangbunjin Ma Giok meninggal dunia dan Thio Ciauw Tong, seorang pen-tolan Bu-tong, binasa di Huikiang, Bu-tong-pay belum mempunyai Ciangbunjin lagi. Nama Bu-ceng-cu yang barusan diperkenalkan, belum dikenal dalam kalangan Rimba Persilatan.

Sementara itu, perwira tersebut sudah menunjuk Tong Pay dan melanjutkan perkataannya: "Yang itu adalah Kam-lim-hui-cit-seng Tong Tayhiap, Ciangbunjin dari partai Sam-cay-kiam. Nama Tong Tayhiap yang menggetarkan seluruh Rimba Persilatan, kurang boleh tak usah diperkenalkan lagi." Kata-kata itu disambut dengan sorak-sorai gegap gempita, yang berbeda jauh dengan sambutan yang diberikan kepada Bu-ceng-cu atau bahkan kepada Tay-tie Siansu sendiri.

Sesudah tampik sorak mereda, perwira itu lalu berkata lagi sambil menunjuk orang yang keempat: "Yang itu adalah orang gagah dari Boan-ciu, Hay Lan Pit Tayjin, Sam-leng atau pemimpin tangsi Yauw-kie-eng dari pasukan Bendera Kuning dan Ciangbunjin dari partai Hek-liong-bun di propinsi Liaotong."

Waktu diperkenalkan, karena pangkatnya lebih rendah dari pada perwira yang memperkenalkannya, maka Hay Lan Pit bangun dari tempat duduknya dan berdiri tegak.

"Hek-liong-bun? Partai apa itu?" bisik seorang tua yang duduk di dekat meja Ouw Hui. "Nama itu tidak dikenal dalam Rimba Persilatan. Hrn! Dia diangkat menjadi Ciangbunjin besar, sebab dia seorang Boan-ciu. Memang, kalau semua Ciangbunjin terdiri dari bangsa Han, muka Hok Thayswee tidak begitu terang. Menurut penglihatanku, Hay Tayjin itu paling banyak mempunyai tenaga besar. Mana dia dapat berendeng dengan jago-jago bangsa Han?"

"Pendapat Susiok tepat sekali," kata seorang pemuda. Mendengar itu, Ouw Hui tertawa dalam hatinya. Sesudah melihat sikap dan gerak-gerik orang Boan itu, ia mengerti, bahwa pemimpin Hek-liong-bun tersebut bukan sembarang orang.

Sesudah diperkenalkan, keempat Ciangbunjin besar itu segera bangun berdiri untuk memberi hormat kepada para hadirin dengan secawan arak dan kemudian masing-masing mengucapkan kata-kata merendahkan diri. Tay-tie Siansu bicara dengan sikap agung, sesuai dengan kedudukannya yang sangat tinggi. Tong Pay yang pandai berpidato, telah mengucapkan kata-kata yang membangkitkan gelak tertawa. Bu-ceng-cu dan Hay Lan Pit yang tidak biasa bicara dihadapan orang banyak, hanya mengucapkan sepatah dua patah dengan suara terputus-putus. Bu-ceng-cu bicara dalam dialek Ouw-pak yang tidak dimengerti oleh banyak orang.

"Mengapa suara imam itu tidak cukup bertenaga?" tanya Ouw Hui di dalam hati dengan perasaan heran. "Bagaimana dia bisa menjadi Ciang-bunjin dari Bu-tong-pay? Mungkin sekali ia dicintai oleh para anggota partai, sehingga walaupun ilmu silatnya tidak tinggi, ia diangkat menjadi Ciang-bunjin."

Sesudah beres perkenalan, perjamuan segera dimulai. Perjamuan seorang menteri besar seperti Hok Thayswee tentu saja berlainan dengan perjamuan biasa. Jangankan santapannya, sedangkan araknya saja, yaitu arak Cong-boan Ang-tin-siauw, sudah merupakan minuman yang langka. Ouw Hui tidak berlaku sungkan-sungkan dan dengan beruntun ia sudah minum kurang lebih dua puluh cawan. Leng So mengawasi kakaknya sambil tersenyum-senyum dan kadang-kadang melirik Hong Jin Eng, untuk melihat apa manusia busuk itu masih berada di tempatnya.

Bersambung ke bagian 4 ...