Published using Google Docs
Puteri Harum dan Kaisar - Su Kiam in Siu Lok Jilid 1-10.txt
Updated automatically every 5 minutes

Jilid 1

DENGAN menunggang kuda, tampak seorang tua tengah mendatangi sambil "bernyanyi-nyanyi kecil". Dia berusia lebih kurang enam puluh tahun. Rambutnya dan jenggotnya masih kuat dan gagah kelihatannya. Diatas pelana kuda, dia tampak makin keren.

Cuaca sudah hampir gelap. Pada jalan diluar perbatasan yang di laluinya itu, selalu iring-iringan kereta dan pengiring-pengiringnya, hanya rombongan burung gagak yang terbang kesarangnya. Orang-orang berjalan lainnya sudah tak tampak lagi.

Setelah sesaat mengawasi alam sekelilingnya, orang tua itu terus memecut kudanya untuk mengejar iring-iringan kereta disebelah depan, siapa gerang dia itu ?

Untuk mengetahui sedikit riwayatnya, baiklah kita mundur dulu untuk menengok kisah dibawah ini.

Pada musim rontok tahun ke-28 dari kerajaan Ceng (Kian Liong) karena berjasa mengamankan daerah itu (Inkiang) maka pemerintah Ceng. Adapun ciangkun-li khik siu, telah dinaikkan pangkat dan dipindahkan ke Ciatkang. Begitu menerima firman, khik siu segera berangkat lebih dulu dengan barisan pengawalnya ke Ciatkang belakangan barulah keluarganya menyusul.

Di dalam ilmu perang Li Khik-siu sangatlah mahir. Maka tak heran kalau makin lama kedudukannya menanjak, ibarat musim penghidupan khik siu adalah sedang berada dalam musim semi yang gilang gemilang. Tapi manusia tak luput dari kedudukan, orang dalam kedudukan seperti dia pun masih ada juga hal yang disusahkan, yakni tak dapat keturunan laki-laki. Dia hanya diberkahi seorang puteri yang kini berusia sembilan belas tahun. Untuk memperingati tempat kelahirannya, maka puterinya itu dinamakan Li Wan Ci, ketika anak itu lahir, Khik siu masih menjabat sebagai Hu-Ciangkun di Siangse.

Walaupun begitu, Khik siu sangat sayang putrinya seperti mustika, meskipun ayahnya seorang peperangan, tetapi putrinya adalah seorang gadis yang cantik jelita. Makin remaja, Li-siocia bertambah nyata keelokannya. Siocia itu wajahnya serupa sang ibu, sedang wataknya turun dari ayahnya.

Jika ayahnya sedang berlatih memanah atau menunggang kuda, pasti Wan Ci selalu ikut. Melihat putrinya gemar ilmu perang, khik-siu mengajarinya beberapa macam ilmu golok dan tombak. Disamping itu, dia minta pada perwira-perwira sebawahannya yang pandai untuk memberi pelajaran pada Wan Ci. Sudah tentu perwira-perwira itu bersungguh-sungguh hati memberikan kepandaiannya pada putri dari atasannya itu.

Dalam usia tiga belas atau empat belas tahun, kepandaian Wan Ci sudah boleh juga, sepuluh atau dua puluh orang biasa, tak mudah dapat mendesak dia. Malah dalam waktu latihan, tak jarang Wan Ci telah dapat menyampok jatuh senjata dari orang-orang bawahan ayahnya. Dalam keadaan begitu dengan tertawa Khik siu mendamprat orangnya itu yang dikatakan tak punya guna.

Disamping itu diam-diam dia gembira dalam hati melihat kemajuan putrinya itu. Hanya saja kegirangan itu lekas juga diganti dengan elahan nafas, dia merasa getun, bahwa anak yang pandai dalam bun dan bu itu sayang lah bukan seorang pria.

Ketika menanjak pada usia empat belas, mendadak sentak Wan Ci, tak mau datang ke tempat latihan lagi. Sangka khik siu putrinya yang gundah menginjak dewasa itu mungkin sungkan untuk gelang-gulung dengan lain kaum. Dalam hal itu, diapun tak dapat menjalahkan putrinya.

Tetapi hal yang sebenarnya bukanlah demikian, ternyata Wan Ci dengan diam-diam telah belajar silat yang lebih tinggi. Hingga dalam lima belas tahun lamanya, ia telah menjadi seorang ahli iwekang yang lihay, sungguh bukan lain ialah Liok Hwi Cing, penunggang kuda yang telah dituturkan diatas itu tadi.

Liok Hwi Cing adalah cianpwe angkatan tua yang termasuk dalam golongan atas dari cabang Bu tong Pay. Mengapa dia bisa menjadi suhu dari Li Wan Ci itu adalah karena suatu sebab yang terjadi secara kebetulan saja.

Pada musim panas Kian Liong tahun delapan belas genaplah Wan Ci berusia empat belas tahun. Ketika ayah nya menjabat dinas di Shangse dia telah mengundang seorang guru sekolah untuk memberi pelajaran surat pada putrinya, Liok Hwi Cing, demikian nama guru itu, adalah seorang terpelajar yang luas pengetahuannaaya. Dia tinggal di tempat kediaman Li Khik siu, Wan Ci sangat hormat pada gurunya, dan hubungan antara guru dan murid sangat akrabnya.

Pada suatu hari, hawa terasa panas sekali, sehabis tidur siang. Wan Ci pergi ke kamar gurunya untuk belajar. Ketika dia melalui gang, ternyata keadan di sekeliling situ masih tampak sunyi. Waktu sudah menunjukkan jam tiga lohor seharusnya pelajaran sudah dimulai.

Wan Ci tak mau sembarangan, ia terus masuk kedalam kamarnya sang guru, ia menduga karena panasnya hawa, mungkin gurunya itu keenakan tidur.

Menghampiri jendela, tetapi begitu ia mengintip kedalam, bukan main terkejutnya ia itu.

Ternyata gurunya tidak tidur, tetapi sedang duduk bersila diatas kursi. Tangannya diayunkan pelan-pelan keatas, dan terdengarlah semacam bunyi tepukan lemah, seperti suatu benda yang terbentur pada tembok.

Wan Ci mengikutkan pandangannya kearah bunyi itu. Ketika diawasi dengan seksama, ternyata pada tembok dihadapan Liok losunya itu terdapat puluhan ekor lalat yang tampak menempel tersusun rapi sekali.

Wan Ci merasa heran mengapa lalat itu menempel tak bergerak pada tembok. Apalagi berjajar dengan rapinya. Teringat ia, bahwa jajaran barisan lalat itu seperti susunan barisan yang dilihatnya jika ayahnya sedang melatih orang-orangnya di lapangan.

Kembali ia memandang tajam-tajam dan barulah diketahui bahwa pada badan setiap lalat ternyata menancap sebatang jarum emas yang halus seperti rambut. Jarum itu sedemikian lembutnya hingga hampir tak terlihat oleh Wan Ci dari tempat yang agak jauh itu. Hanya karena dari sebelah jendela lainnya, sinar matahari menyorot masuk, maka tampak sinar mengilau dari jarum yang terbuat daripada emas itu. Sementara itu masih ada beberapa ekor lalat yang beterbangan dalam kamar. Tapi setiap kali tangan Liok-losu berayun terdengarlah suara "plok dan kembali pula seekor lalat terpaku pada tembok.

Sifat kanak-kanak Wan Ci segera timbul. Ia sangat tertarik dengan permainan itu, serentak melangkah ke pintu, ia terus menerobos kedalam sambil berteriak.

"Liok-losu, ajarilah aku permainan itu !"

Ditempat kediaman Lie khik siu, dalam beberapa tahun ini Liok Hwi Ching telah berhasil menyembunyikan diri, karena gangguan lalat, ketika itu dia gunakan Hoe yong ciam diam untuk membasminya. Tapi tak dikira kalu perbuatannya itu telah kena diintip oleh ineecu-nya murid perempuan. Dan ketahuanlah rahasianya.

"Ho, kalau sudah bangun. Hari ini mari kuceritakan tentang riwayat dari Sing-ling koen!" demikian Hwi Cing berseru dengan angker. Nyata dia akan berdaya untuk menutupi rahasianya.

"Liok-losu, kau ajarilah dulu permainan tadi baru nanti mulai pelajaran."

"permainan apa?" tanya Hwi Cing berlagak pilon.

"Memukul lalat!"

Dengan berkata begitu, ia sudah mengambil kursi, terus loncat keatas untuk memeriksa dengan tegas lalat yang menempel ditempel ditembok itu. Jarum itu satu demi satu dicabutnya terus digosok bersih dengan kertas untuk diberikan kembali pada gurunya seolah-olah ia akan memaksa sang guru untuk mengajarinya seketika itu juga.

Wan Ci tergolong anak remaja, anak-anak tidak, dewasapun bukan, ia seorang gadis cantik yang lincah dan cerdas. Ayah bunda serta orang-orangnya. Ia berkeras minta diajari permainan itu, belum mau sudah kalau gurunya belum meluluskan.

Liok Hwi-ehiong seorang pandai yang matang dalam pengalaman. Lima puluh tahun lamanya dia mengarungi samudera hidup yang penuh dengan gelombang percobaan, kini berhadapan dengan gadis muridnya, yang lincah dan cerdas itu, dia kewalahan. Hati menolak, tapi mulut berat untuk mengatakan.

"Baiklah, besok pagi-pagi, kau datang kemari, nanti kuajari, siang ini kau tak usah belajar, pergilah bermain-main. tapi ingat, sekali-kali jangan kau ujarkan tentang permainanku tadi. Kalau sampai bocor, aku tak mengajarnya!"

Akhirnya Hwi Ching berkata dengan suara tak lempias.

Karena girang, dengan tak mengucap apa-apa Wan Ci berlari keluar.

Liok Hwi Cing adalah seorang Tayhiap dari cabang Bu Tong Pay semasa mudanya ia berkelana di wilayah Kanglam menjalankan perbuatan mulia namanya sangat berkumandang dikalangan sungai telaga (jangouw), dulunya dia adalah orang penting dari Cu Long Pang.

Cu long-pang adalah sebuah persekutuan rahasia yang menentang kerajaan Ceng, dalam pertengahan tahun Yong Ceng, pengaruhnya sangat meluas, karena baginda Yong Ceng melakukan tindakan tangan besi, maka pada permulaan pemerintahan baginda Kian Liong, keadan Cu Liong-pang morat-marit tak karuan. Orang-orang penting banyak dibinasakan, atau yang sempat lolos terus menyembunyikan diri sedari waktu itu hancurlah inti kekuatan dari Cu liong-pang itu.

Liok Hwi Ching lolos ketapal batas sebelah barat, ketika itu istana telah mengirimkan pahlawan-pahlawannya untuk menangkapnya. Tapi berkat kecermatan dan kepandaian silat yang tinggi, maka ia berhasil dapat meloloskan diri. Namun Pemerintah Ceng tak pernah berhenti dari usahanya untuk menangkapnya.

"Tempat persembunyian yang paling aman, pertama jalan lingkungan istana, kedua berada di kota besar dan ketiga mengumpat di hutan". Dia mengambil jalan yang pertama dan dengan berkedok sebagai guru sekolah, dia umpatkan diri dikediaman Li Khik-su seorang panglima.

Kawanan kuku garuda (kaki tangan) pemerintah sengaja memusatkan penguberannya kekalangan lioklim (persilatan), gereja-gereja, piauw-hang (kantor piaowkok) atau tempat-tempat perguruan silat. Mana mereka dapat mengira, bahwa seorang guru sekolah ditempat perajurit tinggi, adalah seorang buronan penting yang kepandaiannya tinggi.

Liok Hwi Ching mempunyai tiga orang saudara sepeguruan. Tea Suheng bernama Ma Cin, Hwi Ching jatuh nomor dua sutenya ialah Thio Ciauw ong Ma Cia adalah seumpama mega mengambang atau burung Ho hutan, dia senang berkelana, maka walaupun dia itu adalah Ciang bu-jin ahli waris dari Bu tong Pay, tapi dia seolah-olah tak mau mengurus soal-soal dalam kaumnya.

Sebaiknya, Thio Ciauw Cong adalah seorang pemuda yang bersemangat, dan gagah berani, karena itulah suhunya sangat menyayanginya. Hampir seluruh kepandaian dan rahasia ilmu silat cabang Bu Tong Pay telah diturunkan padanya.

Liok Hwi Ching yang maju dalam ilmu silat maupun ilmu surat. Dengan kecerdasan otaknya berpuluh-puluh tahun dia pendam dirinya untuk meyakinkan sungguh-sungguh. Jerih payahnya itu ternyata tak sia-sia. Dia merupakan seorang ahli iwekang yang jarang ada tandingannya. Dengan ilmu silatnya "bu kok hian kun" senjata rahasia jarum hu yong cim dan ilmu pedang cwan bun-kiam, namanya telah menggetarkan kalangan sungai telaga.

Diantara ketiga saudara seperguruan itu. Mo Cin lan yang paling kurang sendiri kepandaiannya. Thio Ciauw Cong kemaruk dengan pangkat. Dia bekerja pada pemerintah Cheng. Berkat kepandaiannya yang tinggi, dia telah peroleh tanda jasa.

Liok Hwi Ching adalah seorang pecinta negeri. Biar bagaimana dia tidak mau berhamba pada pemerintah Ceng. Dan karena berlainan pendirian itulah maka dia telah bentrok dengan sutenya dan sedari saat itu putuslah tali persaudaraan mereka.

Kembali menceritakan Li Wan Ci, ia betul-betul mentaati pesan suhunya untuk tidak sebarkan soal permainan yang akan diajarkan padanya itu keesokan harinya pagi-pagi ia sudah berada dimuka pintu kamar suhunya, tapi begitu masuk suhunya ternyata tidak ada, yang kelihatan hanya secarik kertas yang diletakkan diatas meja.

Buru-buru Wan Ci memungut dan membacanya.

"Wan Ci muridku, kau gemar ilmu pedang disamping ilmu surat, mendengar suara khim kau dapat menyelami setiap getaran talinya, sungguh aku beruntung mendapatkan murid secerdas kau itu, hanya sayang kepandaianku terbatas, maka jodoh kitapun habis sampai disini saja, mudah-mudahan dibelakang hari kita bisa berjumpa lagi, aku percaya masa depanmu pasti gilang-gemilang, sekian dariku Liok Koo"

Liok Koo adalah nama samaran dari Hwi Ching, Wan Ci masih memegang surat itu, ia tak dapat berkata suatu apapun. Ketika tiba-tiba daun pintu terdorong lebar-lebar dan masuklah seorang dengan langkah sempoyongan. Betapa kaget Wan Ci ketika didapati bahwa orang itu tak lain adalah gurunya yang disangka telah mengucapkan selamat berpisah itu, wajah Hwi Ching pucat lesi seperti tak berdarah separoh tubuhnya penuh berlepotan tanda darah, dengan paksakan diri dan pada lain saat ia segera buang dirinya keatas kursi itu.

"Liok losu" seru Wan Ci dengan kaget.

Hwi Ching tampaknya berusaha untuk menguasai diri, katanya : "Tutup pintu, jangan bersuara!"

Hanya itu saja yang dia ucapkan dan selanjutnya ia membisu lagi.

Wan-ci adalah seorang gadis keturunan panglima perang, ketabahannya telah banyak diuji dalam permainan pedang dan tombak, betapapun terkejutnya, ia tetap dapat melakukan perintah gurunya untuk menutup pintu.

Hwi Ching tampak menghela napas panjang lalu berkata lagi: "Wan Ci kita telah menjadi murid dan guru selama tiga tahun, selama itu kita

telah mendapat kecocokan. Kukira jodoh kita akan putus sampai disini saja tak tahunya aku telah terbentur karang, soal ini menyangkut jiwaku, dapat kah kau berjanji untuk tidak mengatakan pada orang lain?"

Dalam berkata-kata itu tampak mata Hwi Ching bersinar-sinar menatap wajah muridnya.

"losu, aku patuh sahut Wan Ci"

"katakan pada ayahmu aku sakit perlu beristirahat setengah bulan."

Wan Ci mengiakan, maka sang suhu lalu melanjutkan kata-katanya lagi. "Bilang juga pada ayahmu bahwa tak usah diundangkan sin she aku sendiri bisa mengobati."

Sampai disitu kembali Hwi Ching berhenti lagi, setelah berselang beberapa saat tiba-tiba dia berseru:

"sekarang tinggalkan aku sendiri."

Setelah Wan Ci keluar, Hwi Ching cepat-cepat mengambil obat luka terus dibeberkan kepundak kirinya, lalu dibalut dengan kain. Tapi ternyata dia terluka dalamnya, begitu pandangan matanya dirasakan gelap, mulutnya segera muntahkan darah segar.

Sebagai seorang yang berpengalaman, dia ketahui kecerdasan sang murid itu suatu tempo akan dapat menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan. Karena itu dia telah peringatkan pada muridnya supaya dapat berhati-hati dalam setiap langkahnya.

Hwi Ching tak punya barang apa-apa. Kecuali beberapa potong pakaian dan sebatang pek liong kiam. Kesemuanya itu dengan mudah dapat dia rngkas dalam sebuah pauhok. Nanti tengah malam dia akan berangkat.

Selagi dia nantikan sang waktu dengan bersemadhi tiba-tiba tanda waktu pukul dua kali, itulah waktu yang dianggapnya tepat, maka dia nyalakan pelita untuk berkemas-kemas, tapi sekonyong-konyong diluar jendela terdengar ada suara daun rontok dan menyusul dengan itu, terdengar suara tertawa yang aneh.

Cepat dia tiup padam pelita itu, terus meloloskan Pek-liong kiam dari pinggangnya.

Disaat Itu terdengarlah suara orang berseru keras-keras dari luar jendela.

"Liok Loo haoji orang tua, makin tua makin tak genah. Kau kira dapat menghabiskan sisa hidupmu dengan menyaru guru sekolah disini? Anak manis, hayo kau ikut kita ke kotaraja untuk pangku jabatan yang mulia!"

Hwi Ching seorang jago kenamaan yang banyak pengalaman. Dia tahu bahwa orang itu bukan lawan yang empuk, dan bahwasanya jumlah mereka tentu banyak pula. Kalu dia gegabah menerobos keluar, tentu celaka. Diam-diam dia gunakan bik-houw kang, ilmu cecak merayap di tembok untuk menuju wuwungan. Dia sawut palang jendela terus ditariknya putus. Membarengi jatuhnya genteng-genteng kebawah dia lantas loncat keatas wuwungan.

Tiba-tiba pada sat itu terdengar sebatang anak panh yang disabitkan dengan tangan berkesiuran menyambar, disusul dengan keras.

"Bagus, jangan lari!"

Hwi Ching buang tubuhnya kesamping, seraya dengan pelan-pelan ia menegur, "Sahabat mari ikut aku!"

Dia menggunakan ilmu berjalan cepat lari kearah pinggir kota. Benar juga tiga sosok bayangan telah mengikutinya.

Kira-kira berlarian tujuh li jauhnya tiba-tiba seseorang pengejarnya berseru.

"He, orang tua she Liok, kau kan seorang kangouw kenamaan mengapa berlaku begitu pengecut. Jangan mimpi dapat melarikan diri kau.

Liok Hwi Ching tak mau menyahut, dia mempunyai rencana sendiri, mengingat keadaan waktu waktu itu adalah soal mati hidup, sengaja dia pancing musuh-musuhnya kesebuah bukit karang yang terletak ditepi kota yang sepi.

Ternyata perhitungan Hwi Ching itu tepat musuh terdiri dari tiga orang. Hwi Ching sengaja akan bawa mereka ketempat yang sepi. Kedua kalinya ia akan jajal ilmu menentengi tubuh mereka dan ketika kalinya, dia akan mengetahui jumlah musuh-musuhnya untuk menjaga kemungkinan dibokong.

Ketika akan mulai menanjak keatas Hwi Ching tetap kencangkan langkah. Dan sampai distu dapatlah dia mengetahui sampai dimana kepandaian musuh-musuhnya itu, ternyata mereka ada yang dapat tetap berlari cepat, ada yang terbelakang.

Ketika melihat Hwi Ching merendek dan berputar dari ketiganyapun tak berani mendatangi dekat-dekat. Mereka segera mengatur siasat diri dalam kedudukan segitiga, yang seorang berada dimuka dan kedua kawannya mengikuti dari belakang.

Dibawah sinar rembulan, Hwi Ching dapat melihat jelas musuh-musuhnya, yang berada dimuka sendiri adalah seorang tua yang pendek dan kurus. Dia memegang sepasang badi-badi yang ekor burung seriti yang panjangnya kurang dari satu jengkal.

Dibelakangnya adalah seorang yang tinggi dan kawannya lagi seorang yang gemuk pada saat itu berkatalah si kurus tadi: "Liok Loenghiong, sudah lama kita bertemu adakah kau masih ingat kepada

pecundangmu Ciao Bun Ki dulu itu ?"

Hwi Ching terkesiap. Dia tak habis mengerti mengapa orang she Ciao itu mencari dia pada waktu begini.

Ciao Bun Ki adalah pemimpin nomor tiga dari kwantong Liok Mo, enam iblis dari wilayah Kwanteng, sepuluh tahun yang lalu bertengkar mulut, dia pernah bertempur dengan Liok Hwi Ching masih kenal kasihan dengan tak mau membunuhnya dan hanya memukulnya saja, dia tak menyangka kalau orang she Ciao akan menuntut balas padanya.

Sebenarnya Ciao bun ki sedang diutus oleh Ceng untuk menjalankan suatu tugas ke Thian san. Dengan tak disengaja dia dapat mendengar bahwa Liok Hw Cing musuhnya itu bersembunyi ditempat kediaman keluarga Li Khik siu-ciangkun.

Dengan membawa dua jago kosen dari kantor congtok Shan see dan kamsiok, tanpa memberitahukan pembesar setempat, malam itu ia datangi tempat Hwa Ching bersembunyi.

Dalam beberapa tahun itu, Bun ki telah berusaha keras untuk meyakinkan ilmu pukulan "Pi peh Chiu" ia dipecundangi dalam pertempuran tangan kosong dan kinipun ia akan mencuci hinaan itu dengan tangan kosong pula.

Maka berkatalah Hwi Ching dengan merangkap kedua tangan selaku menghormat.

"Kiranya Ciao Bun Ki sampai sepuluh tahun tak jumpa, hampir aku tak dapat mengenalinya. Kedua saudara ini siapa ? Dan nasehat apa yang Ciao-samko hendak berikan padaku?"

"Hmmm" bun Ki perdengarkan suara hidung dan sambil menunjuk seorang gemuk ia berkata: itulah saudara angkatku Lo sin, yang orang beri julukan yaitu sebagai Thiat Pi Lo Han orang gagah tangan besi.

Dan menunjuk pada orang yang tinggi, dia berkata: "dan ini adalah Giok poan-koan Ha jin-liong. Hayo kalian mau lebih dekat kesini!"

Lo sin dan Ho jin liong menghampiri seraya merangkapkan kedua tangan, katanya "maaf, Liok-cianpwe."

"Sungguh tak mengira kalau ditempat yang begini sepi telah menerima kedatangan kalian bertiga, entah pengejaran apa yang samwie hendak berikan kepadaku?"

"Liok-loenghiong" sahut Bun Ki dengan tawar, "lima belas tahun yang lalu aku telah menerima pelajaran darimu, karena memang kepandaianku masih cetek, barangkali karena aku orang yang berkepala keras, maka dalam beberapa tahun ini aku telah belajar lagi beberapa jurus ilmu silat, "kucing kaki tiga. Untuk itu aku akan minta petunjuk darimu termasuk bantuan pribadi. Kedua kalinya, berkat namamu yang tersohor itu pemerintah telah mengundang kau untuk sesuatu jabatan penting. Untuk inilah kita bertiga, sengaja datang buat menyampaikan sekalian untuk memberi selamat padamu, dan ini termasuk urusan negara."

Sampai pada saat itu mengertilah Hwi Ching kedudukan yang ia hadapi. Kalau hal itu terjadi pada beberapa puluh tahun yang lalu mungkin ia takkan tahan lagi. Tapi keberangasannya itu telah terbawa pergi dengan bertambahnya sang waktu. Dengan tenang ia kembali merangkapkan kedua tangannya dan berkata: "Ciao samya, kau dan aku adalah orang-orang tua yang sudah berumur lima atau enam puluh tahun kesalahanku tempo dulu itu dengan setulus hati bersama ini kuhaturkan maaf!"

Demi ucapannya itu Hwi Ching membungkukan badan dihadapan orang she Ciao itu. Tiba-tiba si tinggi, Ho Jin long perdengarkan suara hidung lalu memaki dengan kasarnya: "Cis, tak tau malu!"

Mata Hwi Ching cepat mengalihkan kearah orang she Ho itu, dipandangnya tajam-tajam.

"Aku Liok Hwi Ching, sedikitpun tak ada nama dikalangan kangouw, selama itu belum pernah kuterima hinaan dari siapapun juga, katanya, dan kembali menghadap kearah Ciao Bun Ki dia lanjutkan kata-katanya. "Ciao samya, tadi kau sebutkan kunjunganmu ini untuk urusan pribadi dan negara. Apa yang terjadi dulu, Cuma menuruti nafsu darah muda saja. Untuk untuk perbuatanku itu, telah kuhaturkan maaf padamu. Mengenai urusan negara, aku Liok HwiChing bukanlah tergolong orang yang berkulit tebal mau menjadi kaki tangan pemerintah Boan. Kalau kau berkenan mau sekerat tulang tua ini menjadi hamba mereka, hmm.... Silakan mengambilnya.

Ucapan itu membuat ketiga orang itu menengak.

"kalian boleh serentak maju bertiga, atau satu-satu, lanjut Hwi Ching dengan angker. Kemudian dia melirik pada si tinggi dan berkata pula. "Kulihat lebih baik Ho Ya in yang maju lebih dulu."

"Kau terlalu banyak mulut." Demikian tiba-tiba si gemuk Lo Sin berseru, terus lompat menonjok muka Hwi Ching. Hwi Ching tampaknya tenang-tenang saja, tetap tak bergerak. Ketika kepalan seorang hampir mengenai mukanya sebat luar biasa, tangan kanannya menghantam lawannya.

Lo sin terkejut sekali atas gerakan orang yang demikian sebatnya itu. Buru-buru dia mundur tiga tindak. Hi Ching tak mau mengejar, setelah menangkap semangat, Lo sin gunakan Ngo beng kun untuk kembali menyerang.

Pada saat itu, Cio Bun Ai dan Ho-jin liong sudah menyingkir kepinggir. Mereka telah mempunyai rencana Ciao Bun ki telah bertekad untuk membalas sakit hati. Beberapa tahun dia rela belajar mati-matian dalam ilmu Thiat pi peh tangan besi. Dia pernah dirubuhkan Hwi Ching dengan Bukek hian kong-kun. Biar bagaimana, sakit hati itu tak pernah dilupakan.

Dia suruh Lo sin Ho Jin liong tempur Hwi Ching lebih dulu, agar tenaganya berkurang. Sedang dalam pikiran Ho Jin Liong terbentang jasa besar yang akan diberikannya oleh cangtok, apabila dia berhasil menangkap buronan yang penting itu.

Hwi Ching dan Lo sin telah bertempur dengan seru. Ngo heng kun berdasarkan jurus-jurus menyerang. Serangan pertama dilancarkan, disusul dengan kedua.

Begitu seterusnya serangan susul-menyusul tak putus-putusnya. Ngo heng kun merupakan ilmu silat gwakang yang paling lihay!

Dengan ilmu itulah Liok-sin berdaya merangsek lawannya.

Permainan ilmu silat Hwi Ching tenang dan cepat. Dalam sekejap saja, keduanya telah bertempur puluhan jurus, tiba-tiba Hwi Ching menghilang. Buru-buru dia berputar kebelakang, karena ternyata Hwi Ching sudah berada disitu, dalam kegugupannya dia akan sambut lengan Hwi Ching.

Lo sin sangat andalkan tenaganya yang besar, dia tak kuatir bersampokkan dengan lawan. Namun hanya dengan sekali berkibas tangan lagi ........ , sedang lengan bahu Hwi Ching pun tidak dapat disentuhnya.

Lo sin makin bingung. Dia robah permainannya dengan ilmu silat "Lin na chiu". Dengan sepasang tangan dia menyerang. Tapi Hwi Ching tetap tak berganti permainan dan tetap pula dia melesat kesana-kemari.

Beberapa jurus kemudian Lo-sin menganggap mendapat kesempatan. Dia kirim pukulan tangan untuk itu dia pastikan Hwi Ching akan mengegos kekiri, maka dia susulkan tangan kiri lawan. Dia untuk kegirangannya pundak lawan telah kena tercengkeram. Tapi kesudahannya ternyata lain seperti yang diharapkannya. Kalau dia tadi luput mencengraman, itu malah baik. Tapi setelah dia mencengram kena tubuhnya yang gemuk itu lantas seperti "dum" begitulah kedatangan suara, ketika tubuhnya jatuh ditanah tiga tombak jauhnya.

Seketika itu matanya berkunang-kunang terus duduk numprah ditanah, seperti tak bertulang ia terlongong-longong terpesona. Hanya mulut saja yang masih bisa memaki, "setan alas kurang ajar, kau gunakan ilmu iblis apa ....?"

Ternyata tadi Hwi Ching menggunakan ilmu iwekang yang disebut "cap-i sip pat-tiap" sentuh pakaian delapan belas kali rubuh. Begitu musuh menjamah pakaiannya maka akan terlemparlah dia, sebenarnya ilmu itu hanya berdasarkan pinjam kekuatan lawan saja.

Meski Hwi Ching belum dapat menyakinkan ilmu itu dengan sempurna sehingga begitu orang menyentuh pakaiannya begitu dia akan rubuh, namun karena Lo-sin telah gunakan kekuatan besar untuk mencengkeram, maka dengan mudah Hwi Ching dapat terjungkal dengan telak.

Melihat Lo sin numprah ketanah segera Bun Ki kerutkan alis serunya perlahan- lahan: "Lo hiante bangunlah lekas-lekas!"

sebaiknya Ho Jin hong tanpa berkata apa-apa terus maju menyerang Hwi Ching dengan gerakan "Song liong-jiang cu" sepasang naga berebut mustika.

Kembali Hwi Ching perlihatkan kegesitan dengan menghilang dari pandangan musuh. Dan berbarengan itu, Ho-jin liong rasakan pundaknya ditepuk dari belakang dan satu suara berkata, "kau belajar sepuluh tahun lagi."

Dengan cepat Jin liong berputar kebelakang tapi ternyata Hwi Ching tak tertampak disitu. Ketika Jin Liong akan berbalik badan lagi, tahu-tahu kedua pipinya telah ditampar dari belakang dan satu suara kembali berkata: "nih rasakan ......bocah kurang ajar, sekali ini kuajar adat."

Sebenarnya Ho jin liong lebih diatas dari Lo sin. Tetapi karena dia tadi telah berlaku kurang ajar, Hwi Ching tak mau kasih hati. Dia sengaja gunakan permainan istimewa untuk mempermainkan Jin liong.

Melihat Jin liong babak belur mukanya dan disana-sini terlihat benjot, Ciao Bun Ki melesat maju, belum orangnya datang, angin pukulannya sudah tiba. Liok Hwi Ching mengetahui sekarang dia berhadapan dengan orang ketiga dari Kwan-tung liok mo, yang kepandaiannya jauh beberapa tingkat dari kawan-kawannya tadi.

Dia tak berani berlaku ayal lagi, lalu keluarkan ilmu silat dari cabangnya yakni Bu tek hiat-kong kun, untuk melayani dengan hati-hati.

Ho jin liong mau membantu Bun Ki tapi karena mereka bertarung dengan rapatnya terpaksa dia tak mendapat kesempatan untuk menceburkan diri kedalam pertarungan itu.

Ciao Bun Ki keluarkan ilmu andalannya "Thiat pi peh chiu" pukulan tangan besi...... dan hebatnya pukulan ini, asal tersentuh maka cacatlah si korban.

"Thiat pi-peh chiu" dari Ciao Bun Ki adalah warisan dari keluarga Ban di Lok yang, kini dengan jurusnya yang disebut "Chiu hoen ngo hian" tangan memetik senar kelima dia menyerang Hwi Ching.

Gerak serangan nampaknya lemah gemulai tak bertenaga, tapi kelemahan, tapi dibalik kelemahan itu terkandung tenaga yang luar biasa kerasnya. Dan begitu dekat ke badan musuh jari-jarinya itu berubah seperti besi kerasnya. Memang "Thiat pi peh chiu" ini adalah gabungan antara "thiat-sat-ciung" pukulan pasir besi dengan "eng jiao kong" cengkeraman kuku garuda.

"Bagus....!" seru Hwi Ching sambil gunakan houw jong-po, gerakan harimau melangkah untuk mengegos kesamping sambil majukan langkah kesisi lwan. Disitu segera dia pakai tangan kanannya untuk memukul lengan.

Bun ki buru-buru miringkan tubuh sambil pentang tangannya, itulah gerakan "pi peh ci bun" pi poh (nari) menutup muka. Tangan kiri melindungi badan tangan kanan dijulurkan, memakai kedua jari untuk menotok.

Hwi Ching menurunkan tubuhnya kebawah dalam pada itu dia gunakan pukulan Iwekang, in ciang untuk mebalas.

Hwi Ching akan menempuh jalan kebajikan. Dia tak tega untuk menghapuskan jerih payah Bun ki puluhan tahun ini dalam mempelajari ilmunya. Karenanya dia hanya gunakan separoh tenaga untuk memukul. Maksudnya supaya orang she Ciao itu dapat insyaf, dan sampai disitu akan mundur sendiri. Tapi justru maksud baik itu, telah berbalik mencelakakan Hwi Ching sendiri.

Karena tak gunakan sepenuh tenaga, gerakan Hwi Ching menjadi lambat, Ciao Bun ki mengerti bahwa lawan telah berlaku murah hati, kesempatan ini takkan dilewatkan begitu saja. Ketika tangan Hwi Ching masih belum ditarik untuk melindungi bagian dada yang terbuka. Tiba-tiba dengan gerakkan "liucwan-hee-san" air sumber mengalir kebawah gunung, kelima jari Bun Ki telah menyodok kebawah pulung hati Hwi Ching dengan sekuat-kuatnya.

Dalam Keadaan tak yang terduga sama sekali, Hwi Ching tak keburu menghindar. Dia telah terkena tangan jahat dari thiat pi peh yang ganas. Namun dia adalah jago besar dari bu tong pay. Walaupun menderita kerugian, tak menjadi gugup. Cepat dia tarik kedua tangannya untuk menangkis serangan berikutnya dari Bun Ki.

Setelah itu dia mundur tiga langkah. Dengan tak mengucapkan apa-apa, dia empos semangatnya. Dia tak berani marah, karena tahu bahwa dia luka dalam parah. Kalau dia terlalu turutkan nafsu tentu binasa!

Mendapat hati, Bun Ki tak mau menyudahi sebelum musuhnya dapat mengaso untuk memulihkan tenaga, dia terjun lagi dengan "botol perak pecah" dan "kudabesi kabur" serangan berantai dari jurus-jurus thiat pi-peh chiu yang lihay.

Dalam keadaan memaksa, apa boleh buat lagi. Dengan bersuit keras, Hwi Ching mencabut pek lieng kiam. Bun Ki cepat-cepat loncat kesamping dan berseru: "Pundak rata, majulah ....! si tua akan mengadu jiwa!"

"Pundak rata" adalah sebutan yang berarti "kawan" tak perlu diulang lagi Ho Jin liong dengan sepasang go kao kiam, maju menyerang tenggorokan Hwi Ching.

Go-kao kiam, walaupun disebut pedang, tapi bentuknya adalah sepasang gaetan. Hanya pada ujung gaetan itu didampingi sebatang pedang. Maka dapat digunakan dalam permainan kao dan kiam.

Melihat orang menggunakan sepasang gaetan, tahulah Hwi Cing bahwa kepandaian lawannya itu tentu tidak lemah, segera diapun gunakan "heng hwa jun-houw" dan "sam boan-gwat" dua jurus serangan dari ilmu pedang jwan-hun-kiam.

Pada saat itu, dengan melolos chit ciat konpian, pian baja dari tujuh ros-rosan. Lo sin turut menyerang. Ternyata dia sungguh-sungguh bertenaga kuat. Hwi Ching tak berani berbenturan senjata menagkis, dia hanya menghindar sembari mencari lubang untuk memapas jari seorang she Lo itu.

"Ah, yah!..." Lo sin perdengarkan seruan kaget, terus loncat menghindar.

Dulu semasa belajar bugee pada keluarga Han di Lok-Yang, ilmu senjata thiat pi-peh tersebut telah dipelajarinya dengan sempurna, pi-peh adalah semacam alat tetabuhan seperti harpa kedua sisinya tajam. Di waktu melakukan penyerangan, bisa dipergunakan sebagai kampak. Untuk bertahan diri dapat sebagai perisai. Badan pi peh itu berlubang, disitu terdapat dua belas biji pi peh ting paku yang

ujungnya tajam sekali.

Setelah mendapat pelajaran thiat pi peh dari keluarga Han, Ciao Bun Ki mendapat beberapa kesukaran. Pi peh itu sebenarnya adalah tetabuhan yang biasanya dipetik oleh wanita? Di kalangan kangouw, banyak mendapat cemoohan orang karena senjatanya itu, dia mencari akal untuk mengganti pi peh itu. Dengan sebuah thiat-pay. Bentuknya meski berlainan dengan pi-peh, tapi cara memainkannya tak ubah bedanya dengan pi-peh.

Merasa belakang kepalanya ada sambaran angin, Hwi Ching melejit kesamping. Dan secepatnya dia kirim bacokan. Ketika Bun Ki menggalangkan thiat-paynya untuk menangkis, pek liong kiam melorot turun terus menyerang lagi.

Setiap ilmu silat tangan kosong maupun dengan senjata apa saja apabila akan menyusuli serangan yang kedua, tentu lebih dulu menarik serangan yang pertama. Tidak demikian dengan ilmu Hwi Ching, disitulah letaknya kelebihan ilmu pedang Jwan hoen pian dari Hwi Ching. Bagaimanapun musuh akan menangkisnya serangan kedua tetap akan menyusul tanpa mesti menarik lebih dulu. Dalam tiga kali susul menyusul itu, dilancarkan, musuh pasti terkurung dalam sinar pedang yang berkelebat.

Pada saat itu, jangankan dapat membalas, sedang untuk menangkis saja tentu kewalahan.

Melihat Bun Ki kerepotan, Jin liong dan lo sin segera maju menyerang dari belakang secara berbarengan. Senjata sebatang pay dan sepasang siangkao maju bersamaan untuk mengurung Hwi Ching.

Setelah sekian lama, dada Hwi Ching terasa muali sakit, insyaf lah ia, bahwa luka dalamnya mulai menyerang. Walaupun jwan bun kiamnya sangat lihay, tetapi dikeroyok oleh tiga orang dia agak repot, juga.

"Tak nyana kalau Liok Hwi Ching hari ini akan binasa ditangan kawanan tikus, pikirnya membatin.

Kalau mengingat bagaimana kebaikannya, telah dibalas dengan kebusukan itu, marahlah dia. Dengan mengumpulkan seluruh semangat dia membuka jalan darah untuk lolos. Kelak apabila lukanya sudah sembuh akan dicarinya Kwantung Liok mu untuk menuntut balas.

Habis mengambil keputusan dia tak mau bertempur mati-matian, hanya tenangkan semangatnya. Ketenangan inilah yang menjadi pokok dari ilmu silat Iwekang. Juga sinar pek-liong kiam mengurung dirinya rapat-rapat, sehingga musuh tak berani mendekati.

"Ciao samya, kita kepung dia terus, biarkan dia mati kelelahan!" seru Lo sin.

"Benar, sebentar lagi Lo hiatee boleh kutungi kepalanya untuk dipersembahkan pada contok sahut yang diajak bicara.

Pedangnya sih bagus amat, Ciao samnya berikan saja padaku, seru Ho jin liong.

Mereka bertiga saling "mengipasi hati" Hwi Ching, seakan-akan menganggapnya sebagai seorang mati yang diperebutkan warisannya. Memang mereka sengaja berkata-kata dengan keras agar Hwi Ching panas hatinya.

Hwi Ching mengirim dua kali serangan kearah Lo sin. Seketika lo sin mundur, terbukalah sebuah lubang. Dan kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh Hwi Ching dengan gerakan "hujan dicurahkan dari langit dan melesat keluar kalangan.

"Celaka, si tua akan lari" seru Lo sin dengan kaget.

Hwi Ching terus keluar "pat poh kam sian" ilmu lari cepat sembari berlompatan, meluncur ke bawah gunung. "Pat poh-kam sian" telah diyakinkannya selama berpuluh-puluh tahun, maka begitu sang kijang lepas dari jerat, jangan harap ketiga orang itu dapat memburunya.

Sebat sekali Ciao bun Ki menekan alat diatas thiat-paynya, dan seketika itu, tiga batang pi poh ting meluncur kearah Hwi Ching. Tapi dengan cekat Hwi Ching putar pek-liong kiamnya untuk menyampok kedua batang pi peh-ting yang menjurus kemukanya, menyusul dia enjot sepasang kakinya loncat keatas, kembali sebatang pi peh ting mengarah kakinya dapat dihindari.

Sebagai seorang kangouw kawakan, Hwi Ching cukup mengetahui bagaimana lihaynya paku pi peh ting itu, paku itu ujungnya menurun kebelakang, begitu menyusup kedaging sukar untuk dicabut. Kalau memaksa akan dicabut tentu dagingnyapun ikut terbetot keluar. Karena itu pi peh ting tak boleh ditangkap dengan tangan berbahaya sekali, senjata rahasia macam begini hanya dipakai oleh kaum persilatan dari golongan hitam saja.

Setelah berhasil mengelit pi peh ting, Hwi Ching berniat hendak meneruskan larinya. Tapi sekonyong-konyong dia tergelincir terus sempoyongan, mulutnya terasa hendak muntah, dadanya sakit sekali. Dan berbarengan itu, dia rasakan matanya berkunang-kunang.

Melihat orang yang jalannya tak teratur, tahulah Ciao Bun Ki bahwa luka dalam Hwi Ching mulai menyerang. Diam-diam dia menjadi girang, terus mengeroyoknya lagi. Demikianlah mereka berempat segera bertempur lagi.

Terasa bagi Hwi Ching bahwa gerakkan tangan kanannya itu tentu disusul dengan rasa sakit dada kirinya. Untuk itu, buru-buru dia pindahkan pedangnya ke tangan kiri.

Justru inilah yang membingungkan lawan, permainan pedang dengan tangan kiri dari Hwi Ching adalah jurus-jurus kebalikan dari permainan tangan kanan. Karena bingung sat itu Bun Ki mundur beberapa tindak.

Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Hwi Ching, siap lalu dengan gerak "pek-hong koan jit" bianglala menaungi matahari, dia serang Ho jin liong.

Nampak serangan yang berbahaya itu Jin-liong menghindar kekanan. Inilah satu kesalahan besar bagi orang yang tak mengerti permainan pedang tangan kiri. Begitu dia loncat kekanan, pek liongkiam sudah membabatnya, beruntung pada saat berbahaya itu, Jin liong tak kehilangan akal, cepat dia buang diri ketanah, terus bergulung menyingkir.

Baru saja Hwi Ching akan memburu, dari arah belakang terus ada angin menyambar, kon pian Lo-sin sudah bergerak "Thay san jik ting" telah melayang datang.

Hwi Ching dengan tenang, begitu pian hampir tiba dibadanya segera ia bergerak, sebat luar biasa tangannya diulur untuk menotok jalan darah "hiat boen hiat" seraya tubuh lawannya terasa lemas tak bertenaga, tangannya tak kuasa lagi mencekal kon piannya lebih kencang pian menyerusuk kesamping menghantam batu terus membal balik.

Justru pada saat itu, tiga batang paku "pi peh ting" dari Bun ki menyambar dari arah belakang, jarak dengan punggung Hwi Ching sudah demikian dekatnya, bagaimanapun ia akan berkelit kekanan atau kekiri, sudah tak keburu, sebat luar biasa, ia sembat tubuh Lo sin yang numprah ditanah, terus diputarnya sebagai perisai (tameng) "Cieet ......" tanpa ampun lagi tiga batang anak panah pi-peh ting, dua menusuk dada dan satunya menyusup perut, tanpa berkutik putuslah nyawa Lo-sin.

Melihat senjatanya berbalik mencelakan kawan sendiri, meluaplah kemarahan Bun Ki, lalu ia memutar thiat pay dan menyerang Hwi Ching dengan beringas.

Pada sat itu, Ho jin liong sudah bangkit tapi Hwi Ching tak mau memberi kesempatan padanya. Dia serang lagi dengan pek hong kiamnya, hingga buru-buru Jin liong mundur setindak.

Dan pada detik itu, thiat pay Bun ki sudah melayang datang. Kalau memutar tubuh untuk menangkis thiat-pay, tentu Ho Jin liong dapat kelonggaran bergerak menyerang. Walaupun musuh telah berkurang satu, tapi belum berarti ancamannya itu sudah terhindar. Karenanya pada lain saat ujung thiat-pay telah menowel pundak Hwi Ching dengan meninggalkan lubang luka yang besar.

Tapi selagi Bun ki kegirangan dengan hasil thiat paynya, dan pek liong kiam telah melayang-layang diudara, langsung menyambar Jin liong.

Dalam kagetnya, Jin liong sepat angkat go-kao kiamnya. Memang benar, dengan berbuat begitu dia dapat menangkis pek liong kiam, tetapi Hwi Ching telah melemparkan sedemikian hebatnya, dan tak dapat dicegah lagi pek liong kiam meluncur dengan pesatnya, bersarung kedalam dada terus keluar dari punggung dan matilah Jin liong, seolah-olah terpantek pada tanah.

Demikianlah kalau Liok Hwi Ching, jago tua dari Bu Tong Pay sedang mengumbar nafsu.

Dan secepatnya dia balik memutar diri, Bun ki belum sempat menarik thiat paynya seketika itu juga orang she Ciao merasakan mukanya kesakitan hebat, sontak matanyapun menjadi gelap.

Ternyata ketika Hwi Ching berbalik, dia telah sambitkan lima batang jarum emas hu yong ciam ke muka Bun Ki. Pada jarak yang begitu dekat dan dengan kecepatan luar biasa, jarum yang sehalus itu tak mungkin dapat dihindari, seketika itu juga sepasang mata Bun Ki telah menjadi buta.

Sudah terlanjur dirasuki kebencian membarengi, selagi Bun Ki mendekap mukanya dengan tangan Hwi ching menghampiri. Sekali kepalannya menghantam sepenuh tenaga, tak ampun lagi terpelantinglah tubuh Bun Ki beberapa tindak terus roboh tak beryawa lagi.

Demikianlah Hwi Cing telah tumplek seluruh kepandaiannya. menotok, menyambit pedang dan jarum emasnya hu yang ciam. Dalam sekejap waktu saja, dia sikat ketiga lawannya.

Tapi ketika itu, dia sudah tidak kuat lagi, hampir dia kehabisan tenaga, karena lelah akibat luka dalamnya yang makin menghebat sakitnya.

Angin diatas tegalan gunung itu kini semakin menusuk tulang. Rembulan perlahan-lahan bersinar remang-remang dilangit disana hanya tampak tiga mayat menggeletak.

Yang bergelimpangan diantara batu-batu yang berserak-serakan, suara burung hantu menambah keseraman suasana malam itu, sekalipun Hwi Ching jago kosen, tak urung dia ngeri juga.

Cepat dia sobek bajunya untuk membalut luka dipundaknya. Dengan berdiri tegak, ia empos semangatnya. Dia selalu berhati-hati dan cermat dicabutnya jarum-jarum bu yoang ciam pada muka Bun Ki, lalu disimpannya baik-baik, setelah itu dia lempar ketiga mayat itu kedalam jurang.

Saat itu Hwi Ching telah kehabisan tenaga, apalagi badannya belumuran darah. Jika pergi ketempat penginapan tentu menimbulkan kecurigaan orang. Diputuskan kembali lagi ke gedung Ci Khik-siu, untuk tukar pakaian dan membersihkan noda-noda darah, setelah itu ia akan berangkat lagi. Tak disangkanya sepagi itu, Wan Ci sudah berada di kamar Hwi Ching. Apa boleh buat, ia pesan buat sang murid untuk jangan menceritakan apa-apa pada orang lain. Begitu Wan ci sudah berlalu dari kamarnya. Hwi Ching segera merebahkan dirinya keatas ranjang. Dadanya makin menghebat sakitnya dan sesaat itu juga dia pingsan tak ingat orang.

Entah sudah beberapa lama, ketika dia akan membuka mata, serasa badannya seperti didorong orang.

"Losu, .... losu ......"

Demikian terdengar suara didekat telinganya, ternyata yang berdiri dimuka ranjang, adalah Wan Ci, wajahnya sangat cemas. Disamping masih ada seorang, yang ternyata adalah seorang sin she. Setelah dirawat dua bulan dan berkat pokok latihan Iwekang yang sempurna,

serta atas desakan Wan Ci pada ayahnya untuk mengundang sinshe pandai, luka dalam dari Hwi Ching jadi sembuh kembali.

Selama dua bulan itu, boleh dikata sehari penuh Wan Ci berada di kamar gurunya untuk merawat, orang-orang memuji Wab Ci sebagai siocia yang berbakti pada orang tua dan gurunya. Tapi sebenarnya Wan Ci memang mengandung maksud lain.

Sedari ia mencuri lihat permainan jarum hu cong ciam dan keesokan harinya menyaksikan pemandangan yang aneh itu, tahulah Wan Ci bahwa gurunya itu tentu bukan guru sekolah sewajarnya. Karena itu dia rawat sang guru dengan luar biasa capeknya.

Setelah Hwi Ching sembuh, Wan Ci tak mau menyinggung soal permintaannya mengenai ilmu Hu yong ciam, malah ia hanya bertanya.

"Liok losu, kapan kita mulai pelajaran lagi? .... apakah losu masih mencerita sejarah pula.

"Besok pagilah" jawab Hwi Ching setelah termenung sejenak.

Keesokan harinya, Hwi Ching suruh pelayan membelikan suatu barang, setelah benda itu dibuka.... ini jarum hu yong siam, katanya pada sang murid.

"Wan Ci, kau betul pandai. Aku ini orang apa, walaupun samar-samar kau sudah mengetahui, tapi belum semuanya. Kali ini kumendapat halangan. Kau telah begitu sabar merawat tentu akupun merasa juga, semula aku akan tinggalkan tempat ini, sekarang aku berubah pikiran, ilmu permainanku hu yong ciam itu sekarang akan kuajarkan padamu."

Seperti dapat lotere, kegirangan Wan ci tak terhingga. Cepat ia menjongkok ketanah kemudian memberi hormat samapai tiga kali. Hwi Ching hanya nampak tersenyum. Tiba-tiba dia berkata keren sekali: "Kutahu kau ini tajam perasannya. Beruntunglah kau dapat kesempatan untuk mempelajari ilmu dari kaumku ini. Dalam beberapa tahun hatiku pun maju mundur saja. Bakat yang kau miliki itu sebenarnya jarang sekali ada, kau telah mengangkatku guru. Apakah kau sanggup mentati peraturan-peraturan kaumku, apakah kau sanggup melakukannya...?"

"Aku tentu tak berni melanggar titah, suhu" sahut Wan Ci.

"Kalau kelak kau pergunakan kepandaian itu ditempat yang salah tentu akan kuambil jiwamu!"

Kata-kata yang terakhir itu diucapkan Hwi Ching dengan nada yang angker, hingga Wan Ci bergidik, tak berani berkata sepatah katapun juga.

Begitulah, sejak saat itu Hwi Ching lalu menurunkan ilmu Bu Tong Pay pada Wan Ci, banyak pelajaran yang diterima Wab Ci. Bagaimana cara memusatkan tenaga dan pikiran, pokok dasar yang penting dalam latihan, tiga puluh dua jurus ilmu silat Tong Kun, melatih tenaga, pukulan dan akhirnya silat Bu tek hian kong kun yang lihay itu. Setelah kesemuanya sempurna, lalu diberi latihan cara memusatkan pandangan mata, pendengaran telinga, dan cara melepas berbagai senjata rahasia, seperti peluru dan panah tangan dan sebagainya.

Dua tahun kemudian, berkat ketekunan dan kecerdasan Wan Ci, iapun mendapat kemajuan yang sangat pesat sekali. Diam-diam Hwi Ching merasa girang mendapat murid yang sedemikian cerdasnya, selang dua tahun pula, dia turunkan ilmu pedang jwan bun kiam dan senjata rahasia jarum huyong ciam.

Pada akhir tahun kelima, Wan Ci telah dapat mempelajari kesemuanya itu. Yang kurang padanya, terletak pada kelincahan dan kuranganya pengalaman bertanding. Ternyata iapun pegang teguh janjinya. Selama itu ia tidak pernah memberitahukan kepada orang lain. Setiap hari pada waktu-waktu tertentu ia pergi ketaman untuk berlatih. Oleh karena kegemaran belajar silat itu sudah diketahui orang banyak, maka tak ada orang yang memperdulikannya.

Selama lima tahun itu, bintang Khik-liu tetap cemerlang. Ia terus dinaikan pangkatnya menjadi ciangkun jenderal. Sebagaimana telah diutara diatas, karena jasa dalam mengamankan daerah Hi Sinkiang dia dipindah ke Ciatkang untuk memangku jabatan yang lebih tinggi, begitulah dia berangkat dulu, baru kemudian keluarganya menyusul.

Wan ci dilahirkan dan dibesarkan di perbatasan barat. Kini ia harus ikut sang ayah pindah ke Kanglam yang indah pemandangannya, ia merasa girang sekali dan mohon suhunya supaya suka ikut serta.

Hwi Ching sudah lama tinggalkan daerah pedalaman Tionggoan, dan memang dia ada keinginan untuk menengok kesana. Dia terima baik ajakan muridnya itu. Begitulah dengan rombongan yang terdiri dari sepuluh buah lebih kereta. Hwi Ching ikut boyong ke Kanglam dengan keluarga LI. Li Thay-thay ibunya Wan Ci, duduk dalam sebuah tandu?

Wan Ci yang selama menempuh perjalanan jauh itu terus duduk dalam tandu, lama-lama merasa jemu dan kesal hatinya. Tapi sebagai seorang puteri seorang panglima, tentulah tak pantas kalau menunggang kuda sendiri, mondar mandir kian kemari.

Ia terus berhenti, dan memakai pakaian sebagai seorang pria. Sia-sia ibunya melarang karena wataknya memang keras, apa yang dimaukan tak dapat dicegah. Berdandan sebagai pria, ternyata ia sangat cakap tampaknya. Lie than thay hanya dapat menghela nafas dan terpaksa menurutkan kemauan putrinya.

Li Khik siu telah mengirim kira-kira dua puluh orang pengawal pribadinya, untuk mengawal keluarganya itu. Pemimpin pengawal itu bernama Can Tho Lam, kira-kira berusia empat puluh tahun, memelihara jengot pendek. Tubuhnya tegap dan sikapnya gagah sekali, senjatanya adalah sebatang tombak hok hap jiang. Pangkatnya itu diperoleh berkat kegagahannya. Dia orangnya jujur dan cakap bekerja, menjadi orang kepercayaan dari Li Khik siu.

Sampai pada jalanan dipegunungan, hari hampir gelap. Menurut keterangan kusir, sepuluh li lagi ada sebuah kota yaitu Song Tat Loh, sebuah kota diluar perbatasan. Disitulah rombongan keluarga Li akan bermalam.

Tiba-tiba dari depan, Hwi Ching mendengar bunyi derap kuda, disusul dengan debu yang mengepul. Dua ekor kuda putih lari menghampiri kearah itu, malah sesaat itu mereka mencongklang dengan pesatnya. Kedua penunggangnya telah lewat disisi rombongan keluarga Li, terus membalap hilang.

Diatas kudanya, Hwi Ching sama-sama melihat keadan kedua orang itu, yang seorang berperawakan tinggi, sedang kawannya seorang kate pendek. Orang tinggi itu alisnya panjang, hidungnya mancung. Wajahnya putih bersih. Sedang yang pendek nampaknya bergegas-gegas sekali, mereka menunggang kuda dengan gagah.

Hwi Ching keprak kudanya untuk menghampiri Wan Ci, katanya dengan berbisik-bisik.

"Wan Ci, kau melihat orang itu.

"Bagaimana, apakah mereka itu orang-oarang Hoklim shu..?"

Dengan ucapan itu Wan Ci maksudkan bahwa itu tentu bangsa begal, dan ia ingin benar menjajal ilmu yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun ini.

"Itu sih pasti, cuma kalu dilihat kepandaiannya, mereka itu bukan orang-orang Hoklim yang tak berarti," sebut Hwi Ching.

"Masa, mereka punya kepandaian yang berarti?" menegasi Wan Ci.

"Dilihat dari caranya naik kuda, mereka bukan orang sembarangan, " jawab suhunya.

Ketika rombongannya hampir tiba di Song Tat Poh, tiba-tiba terdengar pula kuda menderap dan ternyata ada lagi dua penunggang kuda lain yang menghampiri disisi kereta, terus kabur dengan pesatnya.

"Eh, aneh juga" seru Hwi Ching seorang diri.

Ketika itu hari sudah gelap, jalanpun sudah sepi. Disebelah muka tampak terlihat Song Tat Poh. Dalam keadaan begitu, aneh benar kalau masih ada orang yang keluar dari kota Song tat Poh tersebut kecuali tidak ada urusan yang penting yang begitu serius.

Tak berselang berapa lama rerotan rombongan sudah memasuki kota, Cam Tho Lun si Pemimpin Pengawal, segera mencari rumah penginapan yang besar, ternyata rumah penginapan bernama "Hotel An Thong."

Beberapa pelayan menyambut dengan sibuk sekali. Melihat rombongan tamunya utu, keluarga pembesar negeri, mereka berebutan mengunjuk perlakukan yang luar biasa hormatnya.

Hwi Ching mengambil sebuah kamar sendiri, sedang Wan Ci tidur sekamar dengan Li Thay-thay. Sehabis makan, Hwi Ching lalu mengasoh. Tiba-tiba diantara kesunyian malam itu, terdengarlah gonggongan kawanan anjing. Dan sesaat kemudian samar-samar dia mendengar bunyi, derap kaki kuda. Diam-diam ia berpikir.

"Dalam waktu begini larut malam, mengapa ada orang naik kuda dengan sibuknya. Sebenarnya ada urusan penting apakah mereka itu?"

Saat itu, teringatlah ia akan keempat orang menunggang kuda yang dijumpainya sore tadi. Kelakuan mereka benar-benar aneh. Memikir sampai disitu, derap kuda itu makin dekat kedengarannya dan malah nyata berhenti dimuka pintu hotel itu dan sesaat kemudian pintu terdengar diketok.

"Tuan tentu lelah, mari silakan masuk. Arak dan makanan sudah tersedia semua!" demikian kedengaran pelayan berkata setelah membukakan pintu, "Hayo lekas beri makan kudaku ini, habis makan kita masih akan melanjutkan perjalanan lagi." Seru seorang dengan kasar.

Dengan ketakutan si pelayan menyahut berulang-ulang. Segera terdengar derap tindakan kaki masuk kedalam rumah. Nyata mereka itu terdiri dari dua orang.

Diam-diam Hwi Ching dapat menaksir bahwa ditinjau dari caranya menaik kuda, orang-orang itu tentu berkepandaian tinggi. Dia yang selama beberapa tahun tinggal diluar perbatasan, diam-diam merasa heran juga dengan adanya perubahan-perubahan dalam daerah Tionggoan.

Secara sembunyi, dia keluar dari kamarnya, melalui ruangan Sam Hap Wan, ia berputar kearah belakang gedung penginapan tersebut. Benar juga, disitu ia dengar si orang kasar yang berbicara tadi itu, berkata. "Thio samko, kau katakan Siao Tocu itu masih muda belia, masa dia dapat mengatasi lain-lain saudara.

Pada saat itu, Hwi Ching telah menyusup kebawah jendela, sebetulnya ia tak suka mencuri dengar urusan pribadi orang lain. Hanya karena ia curiga atas sikap orang yang aneh itulah ia terpaksa lakukan hal yang tak disukainya itu. Tak ada jeleknya kalau ia berlaku hati-hati.

"Kalau terpaksa, tentu dapat mengatasi? Habis kalu memang begitu, pesan lotenkeh mau tak mau siao tosu harus menjalani. Kita harus melindunginya, demikian terdengar seorang mengutarakan pendapatnya.

Suara orang itu sangat lantang, kata-katanya mantap. Tahulah Hwi Ching, bahwa orang tersebut mahir Iwekang, mengetahui kedua orang yang berada dalam kamar itu bukan orang sembaranagan, Hwi Ching tak berani membuat lubang pada kertas jendela, cukup mendengar dari luar saja!

Kata si kasar pula! Udah barang tentu, samko. Cuma saja kali ini apakah Siao tocu turun dari gunung?

"kali ini kiongcu pertama dan kedua masing-masing dan Gwan-sam long sama keluar menyambut tentu Siao tocu terpaksa mesti keluar, kata yang seorang.

Mendengar suara tersebut, hati Hwi Ching bergetar. Rasanya suara itu sangat dikenalinya, merenung sejenak, segera ia teringat tentu orang itu Lo Pan San seorang sahabat karibnya dalam perserikatan Cu-liong Pang dulu.

Orang tersebut lebih muda sepuluh tahun darinya, dia toa tecu murid kepala ahli waris dari golongan Tay kek bun. Pernah semasa masih sama di Cu Liong pang dia berlatih dengan orang she Tio itu. Dan keduanya saling mengagumi kepandaian masing-masing.

Kalau sampai sekarang sudah saling berpisah belasan tahun, tentunya orang itu sudah hampir lima puluh tahun umurnya, sesudah Cu Liong pang bubar, entah orang she Tio itu berada dimana. Tak dinyana kalau hari ini dia dapat menjumpai diluar perbatasan.

Bertemu dengan sahabat karib, Hwi Ching girang tak terkira, tapi pada sat itu dia hendak menegurnya, tiba-tiba lampu dalam kamar itu dipadamkan. Dan menyusul, sebatang panah kecil Siu Ci melesat keluar dari dalam kamar.

Siu Ci terang tak ditujukan pada Hwi Ching dan pada saat itu, tampak sesosok bayangan berkelebat. Dengan mengulur tangan orang itu, telah menyanggapi dengan jitu sekali.

Tampak orang tersebut mengulur tubuhnya seraya hendak berteriak, tapi Hwi Ching telah mendahului bergeser menghampiri, katanya dengan berbisik-bisik.

"Jangan berisik, ayo ikut aku!"

Ternyata orang itu Wan Ci, Li Wan Ci liteecunya sendiri. Keadaan dalam kamar sunyi-sunyi saja. Tak ada orang yang mengejarnya. Cepat Hwi Ching menarik tangan muridnya untuk menyelinap pergi terus menuju ke kamarnya sang murid.

Ternyata liteecunya mengenakan pakaian untuk berjalan malam dan menyaru sebagai seorang pria.

Melihat itu Hwi Ching agak mendongkol disamping geli juga dengan suara keren, "Wan Ci, kau tahu orang apakah dalam kamar itu. Kau kira akan gegabah untuk tempur mereka kah ... ?"

Pertanyaan suhunya itu, membuat Wan Ci termunung tak dapat menjawab apa-apa. Masa mereka berani melepas Siu Ci padaku" akhirnya Wan Ci dapat menyahut setelah termenung beberapa saat.

Memang begitulah perangai seorangnya, taunya hanya kesalahan orang lain, sedangkan kesalahannya mencuri dengar pembicaraan orang lain itu tak disinggung-singgung. Padahal kesalahannya sendiri merupakan pantangan besar di kalangan persilatan.

"kedua orang itu kalu bukan dari golongan holim, tentulah orang-orang perserikatan salah seorang dari mereka aku mengenalnya. Kepandaiannya tak dibawahku. Mereka tentu punya urusan penting, maka begitu bergegas memburu perjalanan siang malam. Siu ciam itu tak sungguh-sungguh akan mencelakan kau. Hanya untuk memperingati supaya kau jangan usil dengar urusan orang lain, hayo .... kau lekas tidurlah.

Pada sat Hwi Ching berkata itu terdengar suara pintu terbuka, menyusul dengan berderapnya kaki kuda, kedua orang aneh itupun sudah kabur jauh. Karena Wan Ci telah berlaku sembrono, maka Hwi Ching segera batalkan niatnya menemui sahabat lamanya itu agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.

Keesokan harinya, kembali rombongan keluarga Li meneruskan perjalanannya. Berselang sejam kemudian, mereka sudah meninggalkan kota Song Tat Poh itu.

"Losu, didepan kembali ada orang mendatangi, "Tiba-tiba Wan Ci berseru.

Tepat pada saat itu, dua penunggang kuda bulu merah tampak mendatangi dengan pesatnya. Karena kejadian semalam Wan Ci dan suhunya bersikap hati-hati.

Kedua ekor kuda itu ternyata bersamaan satu sama lain. Dan yang mengherankan kedua penunggangnyapun juga serupa benar. Mereka sama-sama berusia empat puluh tahun, perawakannya tinggi. Kurus, mukanya kuning, matanya menjolek kedalam! Nyata bahwa keduanya itu adalah sepasang saudara kembar.

Jilid 2

KETIKA lewat disisi rerotan kereta kedua orang itu melirik kearah Wan Ci, sebaliknya si nona pun malah berbalik mengawasi dengan mata melotot. Ia menghentikannya kudanya, dan bersikap seolah-olah seperti siap untuk berkelahi.

Tapi kedua orang tersebut tidak memperdulikannya, begitu cambuknya dikeprakkan, kudanya terus kabur kearah barat.

Huh, darimana munculnya sepasang setan kuning itu berseru Wan Ci, sebaliknya tampak terkejut, lalu mengawasi kebokong dari kedua penunggang kuda tersebut. Nyata benar mereka itu tampaknya seperti dua batang bambu yang menancap diatas kuda.

"Ayo kiranya mereka," tiba-tiba Hwi Ching berseru ketika ia teringat akan sesuatu.

"Liok losu, kau kenal mereka," cepat-cepat Wan Ci bertanya.

"Mereka tentulah secihwan song hiap, yang orang kongouw sebut Hek bu siang dan Pek bu-siang, setan gantung hitam dan putih.

"Ha, orangnya aneh gelarnyapun aneh, mengapa tak digelari saja sebagai Bu siang Kun" seru Wan Ci dengan mengolok.

"Anak perempuan tak boleh bicara sembarangan. Walaupun wujudnya aneh tapi kepandaiannya tak boleh dibuat main-main, kata Hwi Ching. Aku belum pernah bertemu muka dengan mereka. Tapi kabarnya mereka adalah sepasang saudara kembar. Mereka tidak pernah berpisah satu sama lainnya. Malah untuk memelihara kerukunannya, keduanya tak mau kawin, mereka berkelana untuk melakukan kebaikan. Orang yang taroh perindahan memberi gelaran Seechwan siang hiap, sedang yang memberi poyokan menyebutkan Hek bu

siang dan Pek bu-siang.

"Kata orang keduanya itu mirip satu sama lain. Namun ada cirinya, yakni yang tua itu tumbuh andeng-andeng diekor matanya. Karenanya ia digelari orang sebagai Hek bu-siang, sedang adiknya tak punya andeng-andeng dan dinamakan Pek bu-siang. Nama mereka sebenarnya adalah siang ho co dan mereka adalah murid-murid dari Hwi lu tojin dari golongan Heng seng pay.

Setelah Hwi Lo tojin meninggal, mungkin di kangouw tak ada orang yang menandingi mereka dalam ilmu Hek sat ciang. Pukulan pasir hitam. Keduanya adalah begal-begal dari seechwan yang sangat terkenal mengambil harta si kaya untuk diberikan pada si miskin. Hanya tangan mereka kelewat kejam sekali, karena mendapat julukan yang tak sedap didengar itu.

"Untuk apakah mereka menuju keperbatasan sini?" tanya Wan Ci.

"Akupun tak mengerti. Memang selamanya mereka tak pernah berkunjung keperbatasan", demikian Hwi Ching menerangkan.

"Sepasang Bu-siang itu apabila beranai mengganggu aku, biarkan mereka rasakan pek-liong kiam kepunyaan suhu itu, kata Wan Ci.

Tadi kedua orang melirik pada Wan Ci, untuk itu ia merasa dongkol, coba tak dicegah suhunya, tentu sudah dimakinya orang itu.

"Kedua saudara itu jika berkelahi selalu bersama, baik hanya melawan seorang musuh atau sepuluh orang. Kata Hwi Ching!. Mungkin tulang tua dari suhumu ini, tak dapat melawan mereka.

Selagi Hwi Ching mengucap begitu, dari arah depan kembali terdengar kaki kuda. Kembali ada lagi dua orang penunggang kuda mendatangi, malah kali ini juga kukway lagi. Yang satu adalah seorang tojin dan kawannya adalah seorang bongkok, tojin itu memanggul sebatang tiang kiam pedang panjang, wajahnya putih pucat seperti orang yang habis sakit, lengan bajunya sebelah kirinya diselipkan kedalam pinggang.

Sedangkan bongkok berpakaian mentereng sekali. Melihat romannya begitu jelek, namun masih berlagak seperti kongcu-koncuan, Wan Ci tak dapat menahan ketawanya, katanya: "Suhu, lihat si bongkok tua itu"

Untuk mencegah muridnya, Hwi Ching terlambat. Begitu dengar orang mengejeknya, si bongkok segera melototkan matanya. Begitu mengeprak kuda, ia lalu ulurkan tangan untuk menyambar si nona centil itu.

Rupanya sitojin sudah menduga, kalau kawann itu akan marah dan turun tangan, maka cepat sekali ia hadangkan cambuk untuk menahan sang kawan, serunya: "Ciong sutee, jangan membikin onar."

Kesemuanya itu berlaku dalam sekejap mata saja. Pada lain saat, kuda si tojin dan si bongkok sudah menconglang jauh. Ketika Wan Ci menoleh kebelakang untuk melihatnya, ternyata si bongkok sudah berusaha untuk lepaskan tangannya, dari hadangan si tojin. Dan dengan gerak "To.cai-kim ciong" dia buang diri berjumpalitan kebelakang, terus loncat ke tanah. Hanya tiga kali loncatan, tahu-tahu dia sudah dibelakang Wan Ci.

Wan Ci sudah siap-siap dengan pedangnya untuk memapaki tangan musuh. Tapi ternyata si bongkok itu berlaku aneh. Dan tak langsung menyerang, hanya mengulurkan tangan kirinya untuk menjambret bulu ekor kudanya Wan Ci.

Kuda yang tengah lari dengan kerasnya itu, tiba-tiba seperti terpaku tak bisa bergerak lagi. Kuda tersebut mengangkat kakinya keatas, untuk berusaha berusaha menyeret si pengganggu.

Namun ternyata si bongkok itu memilki tenaga sakti. Dia tetap tak bergeming, malah, berbarenga tangan kanannya menebas, ekor kuda dan terpapas kutung seperti di potong pisau. Dan barulah pada saat itu, kuda Wan Ci dapat berlari kemuka lagi.

Kaget si nona tak terkira. Hampir saja ia dilempar jatuh oleh kudanya sendiri. Ketika ia hendak mengirim tebasan pedang kebelakang ternyata jaraknya sudah jauh dengan si bongkok.

"Dilain saat, secepat kilat si bongkok lari mengejar kuda tunggangannya yang masih tetap lari sendirian itu, sekali enjot ia sudah berada diatas pelana kudanya, terus lenyap tak berbekas lagi.

Dipermainkan begitu, Wan Ci panas sekali hatinya, saking gusarnya ia sampai menangis sembari mewek-mewek seperti anak kecil ia menyerukan sang suhu.

Semua kejadian itu, terjadi didepan mata Hwi Ching, sebagai seorang kagouw ulung, ia cukup dapat menimbang. Kesalahan ada dipihak muridnya sendiri, dan untuk itu sebenarnya ia akan memberi teguran pedas. Tapi ketika melihat sang murid mengucurkan air mata, ia dapat berlaku sabar, dan tidak jadi menyemprotnya.

Pada saat itu sekonyong-konyong, dari arah depan terdengar seorang berteriak.

"Aku, Bu Wi Yang, Aku, Bu Wi Yang.

Mendengar suara itu, Wan Ci Heran, lalu bertanya.

"Suhu, apa artinya itu?

"Itulah pengawal kantor Piauw-kok yang sedang menjalankan tugasnya, setiap piauw-kok tentu mempunyai pekerjaan yang tugasnya untuk meneriakan pemimpin Piauw-koknya. Agar dengan demikian sahabat-sahabat dari persilatan segera mengenalnya, dan tidak mengganggu.

Pekerjaan Piauw-kok untuk mengantar barang, dua apertiaga bagian mengandalkan hubungan baik dengan kalangan hoklim. Dan selebihnya baru mengandalkan pada kepandaian si piausu. Makin luas pergaulan sipiauwthao makin terjaminlah keselamatan barang-barang bawaannya. Karena kebanyakan, memandang muka sipiauwsu, kaum hoklim tentu segan mengganggu.

Andai kata kau yang menjadi piauwnya tentu banyak orang yang akan mengganggu, dan walaupun kau punya kepandaian sepuluh kali lipat dari sekarang karena sikapmu tadi dan jangan harap kau akan selamat mengantar barang, jelas Hwi Ching.

Demikianlah panjang lebar Hwi Ching memberikan nasehat dan keterangan pada liteecunya, sekalian secara halus ia menjewernya. Wan ci mengerti akan kata-kata suhunya itu, dan pikirnya tak mau kalah.

"Siapa sih yang sudi menjadi pauwsu dalam hati, namun tak berani mengutarakan untuk membantah suhunya. Malah ia unjuk ketawa seraya berkata: "Suhu, maafkan aku yang salah, Piauw-kok manakah yang diteriakkan oleh orang itu ...?"

"Itu, Tin Wan Pauw kok dari Pekkhia, di daerah utara dia yang terbesar, cabang-cabangnya berada di kota Hong Thian, Kee Lam, Khayhong dan Thay Gwan. Pemimpin piauwtao Ong Wi yang dari Wi Tin Ho, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun. Tin Wan piau-kok sudah berdiri selama empat puluh tahun, tapi dia masih belum mau pensiun menikmati hari tuannya!"

"Suhu kau kenal dengan cong piauw thoanya, iya ?" tanya Wan Ci.

"Aku pernah bertemu dia. Dengan sebatang golok Pat Kwa too dan ilmu pukulan Pat Kwa-ciang, ketika itu ia menjagoi dikalangan persilatan."

"Kalau begitu harap nanti suhu suka perkenalkan aku dengannya, agar aku dapat berkenalan dengan loo enghiong itu!" seru Wan Ci dengan bersemangat.

"Mana ia mau keluar mengantar. Tolol betul kau ini!"

Merasa dirinya selalu dipersalahkan oleh sang suhu. Wan Ci agak mendongkol, ia mengakui bahwa sangat asing dengan keadaan di kangouw, justeru itulah dia kepingin mengetahuinya.

"Aku tak mengerti, seharusnya dikasih tahu kenapa masti disemprot?"

Begitulah ia mengerutu didalam hati, cepat ia keprak kudanya, memburu kearah kereta yang ditumpangi ibunya, disitu ia akan menghibur kemendongkolannya, ia menjadi kaget tak terkira, sewaktu-waktu mengetahui separoh bulu ekor kudanya sudah kutung, sekala menebas dapat mematahkan sebatang tombak tak mengherankan, tapi mengapa bulu ekor kuda yang sedemikian lemasnya itu, dapat dikibas kutung dengan tangan kosong.

Sebenarnya akan ditanyakannya hal ini pada suhunya, namun ia masih mendongkol, maka segera ia keprak lagi kudanya menghampiri pemimpin pengawal Can Tho Lam, katanya: "Can Samciang, ekor kudaku entah bagaimana tadi, kutung separoh, sungguh tak sedap dilihat mata."

Tho Lam mengerti maksud si nona.

"Entah bagaimana, kudaku ini sangat binal sekali, aku tak dapat mengatasinya, siocia punya kepandaian naik kuda yang bagus sekali, bantulah aku untuk menjinakkan, sukakah socia?" demikian tanyanya pura-pura.

"Dikuatirkan aku pun akan gagal," kata Wan Ci merendah.

Begitulah keduanya segera saling tukar tunggangan. Ternyata kuda Thio Lam itu demi mendengar perintah, sedikitpun tak berani membantah tidak seperti yang dikatakan Thio Lam tadi.

"Siocia kau sungguh hebat, sedang kuda itu pun menurut padamu." Kata Thio Lam memuji.

Orang piauw kok yang berteriak-teriak itu makin dekat dan tak lama kemudian ternyata terlihat sebuat rerotan yang terdiri dari lebih dari dua puluh buah. Kuatir kalau ada kenalannya, buru-buru Hwi Ching bersembunyi kebelakang rombongan, ia pakai topi rumput yang lebar untuk menutupi separoh mukanya, dan diam-diam ia pasang mata pada rombongan piaukok itu.

Ketika saling bersimpangan, ternyata dalam rombongan piuwkok itu tak kurang dari tujuh atau delapan orang piuwsu. Kata salah seorang diantaranya: "Kalau menurut omongan Han Toako, Ciao Bun Ki samko sudah ada beritanya."

Terkejut sekali Hwi Ching dan cepat-cepat ia pandang lagi piawsu itu dengan tajam, muka orang itu brewok, kulitnya kehitaman, dibelakang pinggannya mengendong sebuah pauwhok merah, serta sepasang senjata yang aneh bentuknya, yaitu disebut Ngo beng Lun semacam roda.

"Apakah mereka itu bukan Kwantong Liok Mo" pikir Hwi Ching

Kwantong Liok Mo atau enam iblis dari Timur tembok besar, yang disebut itu, selain Ciao Bun Ki, dia memang belum pernah berjumpa. Kabarnya yang kelima iblis itu tinggi kepandaiannya, yang kelima yakni bernama Giam See Cui dan yang keenam Giam See Ciang, keduanya bersenjatakan roda Ngo heng lun. Mereka adalah dari golongan Siao Lim pay.

Terasalah pada Hwi Ching, bahwa kali ini dia bakal bersamplokan dengan murid-murid siao lim pay yang lihay. Diam-diam dia gelisah. Kalau saja mereka mengetahui tentang kematian Ciao Bun Ki, tentu sangat berbahaya untuk dirinya. Apalagi kini dia sedang mengantar rombongan keluarga Li dan terutama adalah Wan Ci muridnya yang berwatak keras dan suka membikin keonaran itu. Tentu sukar untuk mengelakan pertempuran dengan kawanan iblis kwantong itu.

Kalau dilihat glagatnya, mereka untuk menangkap dirinya. Diantara rombongan piawsu itu ada Tio Pan-san salah seorang sahabat lamanya. Tentu orang itu takkan tega mencelakan dirinya. Bertujuan apa mereka menuju ke barat, Hwi Ching tak mengerti.

Kalau Hwi Ching sedang memutar otak untuk mencari tahu, sementara Wan Ci ketika itu, sudah bertukar kuda dengan Thio Lam telah merasa geli melihat kuda yang kini dinaiki oleh orang she Can itu, yang separoh ekornya hilang. Ia hentikan kudanya untuk menunggu sang suhu lalu katanya dengan tertawa: "Suhu mengapa dimuka sudah tak ada orang yang mendatangi lagi. Dari kemarin sampai hari ini, sudah ada lima pasang orang berilmu menuju ke Barat. Aku masih ingin melihat beberapa lagi.

Ucapan itu seperti menyadarkan Hwi Ching dari lamunan.

"Ah, aku sungguh tolol" seru Hwi Ching sembari menpuk pahanya. "Mengapa aku sampai lupa, beribu li menyambut sang kepala naga itu!"

"Apa yang dimaksud dengan beribu li menyambut kepala naga" itu, suhu? Tanya si murid.. ... "Itu, suatu upacara besar-besaran di kalangan kangouw atau dalam suatu perkumpulan. Biasanya terjadi atas diri enam orang pemimpin teratas, satu demi satu mereka keluar untuk menyambut sang pemimpin dalam upacara yang besar dan lengkap. Malah terdiri dari dua belas, sepasang demi sepasang mereka menyambutnya. Tadi sudah keluar lima pasang, nanti tentu masih ada lagi sepasang.

"Mereka itu tergolong dalam perkumpulan apa, suhu....?"

"Entahlah, akupun belum mengetahuinya, " sahut Hwi Ching. "Tapi seechwan song hiap dan bongkok itu orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka anggota perkumpulan itu. Pengaruhnya tentu besar jangan kau coba menggila dengan mereka, mengerti?"

Mulut mengiyakan, tapi hati Wan Ci tak tunduk. Ia perhatikan betul-betul pasangan yang akan datang nanti. Lewat tengah hari ternyata masih belum tampak orang yang diharapkan itu, Hwi Ching diam-diam merasa aneh juga, karena hal itu sungguh diluar kebiasaan yang pernah diketahui.

Tapi dia tak usah menunggu terlalu lama, segera terdengar juga suara kaki kuda mendatangi. Anehnya mereka itu tidak datang dari arah belakang. Menyusul bunyi kelenengan keledai, debu tampak mengepul keatas dan rombongan besar dari kaum musafir atau pedagang-pedagang di daerah gurun pasir tampak menghampiri.

Setelah dekat, tampak berpuluh-puluh ekor keledai dan kira-kira tiga puluh ekor kuda dari suku bangsa Wi. Rata-rata mereka berhidung tinggi dan matanya cekung kedalam, mukanya brewokan dan kepalanya dibungkus dengan kain putih.

Pedagang-pedagang Wi datang dari daerah Hwee, dimana penduduknya sebagian besar orang-orang muslim. Mereka pergi ke daerah Tianggoan untuk berdagang. Hal ini adalah kejadian yang biasa karenanya tak menarik perhatian Hwi Ching.

Tapi pada saat itu, tiba-tiba dari rombongan tersebut namapak seorang gadis yang berpakaian kuning, menunggang kuda putih. Gadis itu cantik sekali berseri-seri memikat mata.

Ia memakai topi tinggi, diatasnya tersampir sebuah bulu burung. Menambah keanggunan semakin tampak.

Kalau Hwi Ching hanya sepintas saja memandang gadis WI yang cantik itu, Wanci mengawasi dengan teliti penuh pesona. Ia yang dilahirkan di daerah perbatasan itu, belum pernah melihat wanita ayu, apalagi secantik gadis itu.

Usia gadis itu sebaya dengan Wan Ci, kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun. Dibalik pinggangnya terselip badi-badi, sedangkan rambutnya dikuncir dibiarkan menjulur keatas bahunya. Warna pakaian kuning telur tepinya disulam dengan benang emas. Diatas pelana seekor kudaputih, ia mirip dengan lukisan yang indah.

Seorang wanita cantik, tentu menggundang perhatian pria. Tapi dalam pandangan sesama kaum wanita, hanya menimbulkan kekaguman yang tak terhingga. Ketika gadis Wi itu lewat disisinya, Wan Ci segera menguntit dengan mata tak terkesiap.

Si gadis Wi melihat dirinya dikuntit dan diawasi oleh seorang pemuda Han. Wan Ci waktu itu menyamar sebagai laki-laki, sontak mukanya menjadi merah, tiba-tiba berseru, "Ayah."

Seorang Wi yang bertubuh tinggi dan berewokan, cepat keprak kudanya untuk menghampiri. Begitu dekat ia lalu tepuk pundak Wan Ci, katanya.

"Eh, sobat kecil, mau kemana..sih?"

Wan Ci perdengarkan suara, huh. Ia masih belum sadar kalau dirinya waktu itu berdandan seperti seorang pemuda. Dalam keadaan begitu, sudah tentu tak pantas kalau seorang gadis diawasi sedemikian itu.

Si gadis mengira Wan Ci adalah seorang pemuda yan tak tahu adat, segera ia pakai cambuk untuk mengaet bulu suri kuda Wan Ci, begitu ia tarik sekeras-kerasnya, seketika kuda itu kesakitan dan berjingkarak-jingkrak hingga Wan Ci hampir jatuh.

Menyusul cambuk ditangan si gadis berkelebat diudara, jebolan bulu suri itu berhamburan kemana-mana. Wan Ci panas hatinya, cepat ia ambil sebatang Piauw, lalu ditimpukan ke punggung si gadis. Namun ia tak sungguh-sungguh hendak melukai si gadis, maka berbareng dengan piauw itu melayang, cepat-cepat ia berseru : "He, nona kecil, awas ada piaw!"

Tubuh si gadis kelihatan dimiringkan kekiri, maka lewatlah piauw itu disisi tubuhnya, begitu piauw terpisah satu tombak dimukanya, cambuk si gadis Wi itu kembali disabetkan, dengan secara mengagumkan ujung cambuk itu melilit piauw dan terus ditarik kembali untuk disambut dengan tangan, segera ia pun menjadi gusar, bentaknya: "He, bocah kurang ajar terimalah piauwmu kembali."

Angin menderu, dan piauw itu lurus menyambar kearah dada Wan Ci. Wan Ci juga tak mau memperlihatkan kelemahan dengan tangan kosong, ia tangkap piauw itu. Kalau rombongan orang Wi bersorak begitu melihat si gadis menangkap piauw dengan cambuknya, sebaliknya wajah si ayah berubah cemas. Dia membisiki beberapa patah kata pada gadisnya, dan gadisnya pun mengangguk mengiyakan beberapa kali.

Dengan demikian, ia tidak memperdulikan Wan Ci Lagi, terus melarikan kudanya kemuka, diikuti oleh rombongan keledai berpuluh-puluh itu. Tak beberapa lama, mereka dapat mendahului rerotan kereta yang membawa keluarga Li Thay-thay itu.

"Sekarang belumkah kau merasa bahwa diluar langit, diatas orang masih ada orang lagi. Gadis tadi umurnya sama denganmu, bukankah kepandaiannya tadi harus kau akui?" demikian Hwi Ching mencemoohkan muridnya.

"Anak Wi itu, siang dan malam berada diatas pelana kuda, sudah barang tentu permainan cambuk sangat bagus, tapi belum tentu kalau ia sungguh-sungguh mempunyai kepandaian bantah Wan Ci.

"Masa tidak?" sahut Hwi Ching dengan mengoda.

Menjelang sore, tibalah mereka dikota Poh Liong Kit. Disitu hanya ada sebuah penginap besar, yaitu penginapan "Tong Lat" dimuka pintunya tergantung sebuah papan yang bertuliskan "Lin Wan Piauw kok" nyata bahwa rombongan piawsu itu tadi, menginap di penginapan itu.

Diinapi oleh dua rombongan besar pelayan-pelayannya nampak sibuk sekali, sehabis cuci muka Hwi Ching kelihatan membawa sebuah tempat teh masuk kedalam ruangan. Disitu dilihatnya ada dua buah meja yang sedang dikepung beberapa orang yang tengah makan dan minum, mereka adalah kawanan piuwsu tadi. Malah pauwsu yang mengendong pauw hok merah itu tadi juga nampak duduk disitu.

Hwi Ching berlagak melihat keatas, maka kedengaran salah seorang piawsu itu tertawa dan berkata: "Giam ngo-ya, kalau kau dapat membawa kitab itu dengan selamat sampai ke kota raja, maka Yaum Ciangkun akan memberikan hadiah beberapa ratus tail kepadamu? Waktu itu harap jangan lupa undang kami buat daharan yang besar!"

Mendengar itu diam-diam Hwi Ching berpikir dalam hatinya.

"Betul dia adalah orang kelima dari Kwan Tong Liok Mo si Giam sengui.

"Hadiah besar hah, siapapun tak berani memastikannya, demikian sahut she Giam itu.

Ucapan itu tiba-tiba diputus oleh sebuah suara aneh dari sesorang : "Ya, yang dikuatirkan adalah hadiah itu akan tenggelam pada si penerima terus."

Hwi Ching melirik pada orang itu. Orang itu mukanya menakutkan, badannya kurus kering, dia juga seorang piauwsu rupanya.

"Hem," jengek she Gui dengan kurang senang.

"Tong Sii Ho, lidahmu itu betul-betul beracun," kata piauwsu yang pertama-tama bicara tadi.

"Ya, deh, jika tak mau dikatakan tenggelam, nah, biarlah aku bilang ganjalan itu nanti akan berwujud si cantik manis yang sedia dipanggil" sahut Tong Siu Ho yang ternyata bermoral rendah.

Mendengar kata-kata orang makin tak sopan Giam Se tak tahan lagi, kontan ia memaki, "Ibumu saja yang kupanggil nanti"

"Baik, dan nanti nanti kau, aku sebut ayah angkat, kata Tong Siu Ho yang bermuka tebal sambil cengar-cengir.

Hwi Ching menjadi sebal mendengar kata-kata orang yang kotor-kotor itu. Pikirnya lantas hendak menyingkir, tapi tiba-tiba didengarnya Tong Siu Ho buka suara lagi. "Giaw Ngo-ya tuan kelima kalau bergurau biarlah kita bergurau, tapi bila sungguh-sungguh tentu juga sungguh-sungguh. Nah, paling penting jagalah baik-baik pauw hok di punggungmu itu saja, jangan terus kau ributi ganjaran, yang belum kau terima itu kali ini Tin Wanpiau kiok kita benar-benar sedang diuji!"

Mendengar orang menjadikan "Pauwhok" atau buntalan sebagai barang cerita, waktu Hwi Ching menengas nyata pauhok yang dimaksudkan tergemblok di punggung Giam Se-gui terbungkus kain kuning dan tak seberapa besarnya maka dapat ditaksir barang didalamnya tentu kecil-kecil saja.

Sementara itu didengarnya Giam se-Gui itu telah menjawab. "Tong siaocu, kau jangan ngelantur terus. Kali ini hasil yang diperoleh Giam

yaymu yang telah mendapatkan kitab itu, bukankah cukup membikin mereka setengah mati. Aku Giam se-gui, betul-betul memakai modal kepandaian buat mendapatkannya. Tak seperti sebangsa cecurut yang menggamblok orang selain hanya dapat gegares makanan biasanya cuma berlagak saja!"

"Ya, ya, Kwantong Liok Mo, sih memang terkenal hebat, hanya sayang sedikit sam mo iblis telah dikerjai orang, dengan tanpa diketahui siapakah adanya musuh itu, kata Tong siu-ho pula.

Seketika Giam See-gui menggebrak meja.

"Siapa bilang aku tak tahu! Itu tentu perbuatan orang Hong Hwa Bwee!" teriaknya sengit.

Kembali Hwi Ching merasa heran. Yang membunuh Ciao Bun Ki salah seorang Kwantong Liok Mo, adalah dia. Mengapa mereka timpakan kesalahan pada kaum Hong Hwa Bwee. Apakah perkumpulan Hong Hwa Bwee � bunga merah itu?

Ketika itu Hwi Ching berjalan sampai keruang dalam. Dia pura-pura mengagumi bunga-bunga yang tumbuh tak seberapa jauh jaraknya dengan kawanan piauwsu itu.

Tong sin tak mau kalah mengadu lidah katanya lagi: "Sayang aku tak bertulang keras bisaku hanya gegares makanan, kalu aku seorang pemberani tentu siang-siang sudah aku bikin perhitungan dengan orang"

Dibikin panas begitu, tubuh Giam see-gui gemetar, hingga tak dapat mengucap sepatah perkataan apapun.

Melihat itu buru-buru salah seorang piauwsu menyelutuk. "Cong-tho cu atau ketua umum, Hong Hwa Bwee, Hong Hwa Bwee, si Le Ban

Teng bulan yang lalu sudah meninggal dunia di Bu-Sik. Setiap orang Hong Hwa Bwee itu, suatu hal yang tak ada buktinya. Coba siapa yang pernah melihat dengan mata kepala sendiri? Kau cari balas pada orang, tapi orang itu tak merasa melakukan apa daya kita?"

Dengan sahautan begitu, Tong sin-ho kemekmek, buru-buru ia menerangkan lagi.

"Hong Hwa Bwee sih kita tak berani main gila. Tapi untuk orang-orang Bwee masa kita jerih. Kita sudah dapat merampas kitab yang bagi mereka dianggap melebihi jiwanya itu. Kalau kelak Jauw ciangkun minta tebusan uang atau ternak berapa saja, mereka tentu meluluskan. Giam ngo ya, percaya Jauw ciangkun tentu akan menghadiahi kau seorang gadis Bwee, yang cantik bukan main.

Baru saja orang she Tong yang pandai bicara itu hendak menghabisi ucpannya, sepulung tanah malah melayang tepat masuk kedalam mulutnya, belum sempat ia berteriak kesakitan, dua orang piawsu sudah melesat memburu keluar.

Diam se-gui pun bangkit, seraya meloloskan senjatanya mengikuti keluar. Tapi ternyata mereka hanya hendak menjaga bungkusan pauwhok yang dibungkus dengan kain merah itu saja. Mereka tak mau mengejar kuatir terkena tipu musuh yang disebut, memancing harimau keluar gunung.

"Bajingan!" Bangsat. Demikian Tong Sin ho memuntahkan pulungan tanah tadi dari mulutnya, seraya tak putus-putusnya memaki-maki.

"Selama ini kukira bangsa anjing saja yang makan kotoran, tapi hari ini betul-betul aku tambah pengalaman bahwa orangpun ternyata makan tanah! Seru Giam See Gui mengejek.

Pada saat itu, kedua piauwsu yang mengejar tadi yakni Tee Ing Hing yang bersenjatakan Hwan pian dan Ci Ceng Lun yang memegang golok, tampak masuk kedalam katanya: "Bangsat itu lolos entah kemana larinya!"

Semuanya telah dilihat dengan mata kepala Hwi Ching. Bagaimana Teng Siu Ho yang bermulut tipis itu, kini seperti monyet kena terasi. Untuk itu hampir-hampir Hwi Ching tak kuat menahan gelinya. Tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan berkelebat diatas ujung tembok. Ia pura-pura tak melihatnya, dan berlagak orang yang sedang mencari angin diserambi luar.

Ketika itu hari sudah gelap, Hwi Ching sembunyi di pojok tembok sebelah barat dari ruang tamu. Pada saat itu, tampak sebuah bayangan loncat turun dari pojok rumah. Begitu enteng gerakannya, dan begitu menginjak tanah, terus melesat kesebelah timur.

Tadi ketika Tong siu ho rasakan "daharan"istimewa, Hwi Ching sudah menduga bahwa sipelemparnya itu tentu sangat lihay. Kuat dugaannya bahwa bayangan itulah orangnya. Untuk mencari tahu, Hwi Ching segera menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menguntitnya.

Dia masih memegang porot tempat teh. Berpuluh-puluh tahun dia yakinkan ilmu meringankan tubuhnya sehingga tak tampak gerakannya berjalan. Maka orang yang diikutinyapun sampai tak merasa. Dalam sekejap saja, keduanya sudah berlari sampai lima atau enam li. Bayangan itu tubuhnya ramping dan gerakannya gemulai, mirip dengan seorang wanita. Tapi ilmu meringankan tubuhnya tinggi juga.

Melewati sebuah tikungan gunung sampai pada sebuah hutan dan bayangan itu menyusup kedalam. Hwi Ching memburunya terus.

Di hutan itu ternyata penuh dengan daun-daun layu yang sudah rontok ditanah, maka begitu kaki menginjak, tentu timbulkan suara berkeresekan.

Takut kalau bayangan itu sampai mengetahui, Hwi Ching kendorkan langkahnya. Tapi pada lain saat, dia telah kehilangan arah bayangan itu. Ada sebuah larangan untuk kaum kangouw bahwa "bertemu dengan hutan tak boleh memasuki" dan karena hutan itu sangat lebatnya mudah sekali dibokong musuh.

Hwi Ching sangsi pikirnya akan mundur saja. Tapi justeru ketika itu, rembulan muncul dari balik awan, menerangi seluruh hutan itu. Tampak olehnya sesosok bayangan kuning, sudah melintasi keluar dari hutan sebelah sana.

Dengan tak berayal lagi, Hwi Ching terus mengikuti. Dia bersembunyi dibelakang sebuah pohon besar. Diseberang sana ternyata adalah sebuah lapangan rumput yang luas. Disitu terdapat delapan atau sembilan buah tenda. Dia merasa aneh dan coba untuk maju mengintip.

Tadi sekonyong-konyong tampak dua orang penjaga menghampiri kejurusannya. Cepat-cepat ia menghindar. Dengan gerakan, yan-sam co cun, burung seriti tiga kali menyelundup keair ia loncat bersembunyi dibelakang seekor keledai yang berada diluar tenda. Untunglah penjaga itu tak melihatnya.

Dengan ilmu yang tinggi dan nyali besar, ia menyelonong kebelakang kemah terbesar yang berada di tengah-tengah. Disitu ia mendekam. Kedengaran didalam kemah tersebut ada orang tengah bercakap-cakap dengan asyik sekali menggunakan bahasa Wi, yang diucapkan dengan cepat sekali. Walaupun Hwi Ching bertahun-tahun tinggal diperbatasan tapi ia tak mengerti bahasa itu.

Pelahan-lahan ia singkap kain tenda dibawah kakinya, lalu mengintip kedalam, tampak didalamnya dipasangi dua buah pelita yang ditaruh ditengahnya. Orang-orang yang tengah bercakap-cakap didalam itu, ternyata adalah pedagang-pedagang bangsa Wi yang ditemuinya siang tadi.

Yang tengah bicara ketika itu ternyata adalah si nona baju kuning yang bukan lain adalah bayangan yang diburunya tadi. Setelah merendek sebentar, nona itu tampak mengeluarkan sebilah badi-badi dari pinggangnya.

Nona itu pakai badi-badinya untuk menusuk jari telunjuknya. Maka bertetes-teteslah darah kelihatan bercucuran. Perbuatan itu dituruti oleh kawanan orang Wi yang mengores jarinya dengan goloknya masing-masing.

Orang yang dipanggil ayah oleh si nona itu, segera mengangkat cawan araknya, serta dengan suara lantang dia mengucapkan beberapa patah perkataan. Apa yang Hwi Ching dengar hanya dapat menangkap perkataan "Qur'an" dan kampung halamannya."

Juga nona baju kuning ikut angkat bicara suaranya nyaring dan terang, untuk itu Hwi Ching bisa juga sedikit-sedikit menangkapnya.

"Jika tak dapat merampas balik Kitab Suci "Qur'an" aku bersumpah biar matipun aku tak mau balik ke kampung halaman."

Sumpah itu diikuti oleh orang-orang Wi dibawah sinar pelita. Hwi Ching menyaksikan bagaimana kesungguhan wajah mereka itu sehabis mengucapkan sumpahnya mereka sama mengangkat cawan dan mngeringkannya, mereka lalu berbisik-bisik seolah-olah sedang berunding masalah yang penting.

Sampai disitulah Hwi Ching tak dapat mendengar dengan jelas. Mungkin mereka merunding daya apa untuk dapat merebut kembali kitab suci "Qur'an" itu.

Dugaan Hwi Ching ini ternyata tidak salah. Rombongan orang-orang Wi itu ternyata kaum musafir dari daerah utara gunung Thian san. Kali ini mereka datang dengan jumlah besar-besar kira-kira ada dua ratus ribu orang. Mereka terdiri dari kira-kira dua puluh orang Wi, orang tinggi yang dipanggil ayah oleh si gadis itu. Dia berkepandaian tinggi, adil dan bijaksana. Ditaati dan dijunjung oleh bangsanya.

Nona baju kuning itu, adalah puterinya namanya Hwee Cing Tong. Ia adalah murid kesayangan dari Kwan Bing Bwee, isteri dari Thian san Ki Hiap Tan Ceng Tik. Karenanya ia telah dapat mewarisi ilmu silat yang sejati dari cabang Thian San Pay.

Thian san Ki Hiap Tan Ceng Tik dan isterinya Kwan Bing Bwee, adalah jago-jago Thian san pay sukar dicari tandingannya, suami isteri itu digelari seperti Thian san siang eng, sepasang garuda dari Thian san.

Kedua suami isteri itu aneh sekali. Mereka sudah berusia enam puluh tahun lebih, tapi bila berjumpa, tentu bercidera, sebaliknya kalau saling berpisah, mereka saling merindukan.

Seringkali Hwee Ceng Tong datang sama tengah, tapi ternyata selalu tak digubris. Ia suka dengan pakaian kuning. Kopiahnya selalu ditancapi bulu burung cuhung, karenanya ia mendapat julukan bagus, Cu oh W sam, atau si Bulu hijau berbaju kuning.

Orang-orang Wi itu hidup berkelana, tak punya tempat tinggal tetap. Ketika kekuasaan Pemerintah Ceng meluas sampai kedaerah Wi, mereka dibebani dengan pajak yang memberatkan. Bermula Bok tok loh masih mudah dan membayarnya. Tapi ternyata pembesar-pembesar negeri itu telah menyalah-gunakan kekuasaannya untuk mengeduk keuntungan, hingga bangsa Wi itu, betul-betul menjadi payah.

Bok Toh Lon bermupakat dengan bangsanya, merasa mereka betul-betul akan rudin. Beberapa kali mereka mengirim utusan kepembesar di Le-li guna minta keringanan yang didapat malah pemerintah Ceng menaruh kecurigaan keras.

Jenderal besar Yauw Hwi Ceng mengetahui adanya kitab Quran, yang menjadi pusaka suku bangsa Wi yang beragama islam itu. Menggunakan kesempatan ketika Bok Tok lun sedang bepergian, beberapa pengawal kelas satu telah dikirim untuk merampas kitab suci itu. Dengan kitab itu ditangan pemerintah Ceng tak dikuatirkan akan terjadinya pemberontakan dari suku itu.

Piauwhok yang dibungkus kain merah dibelakang punggung Giam se-gui itu terisi kitab suci tersebut. Rapat besar ditengah gurun yang diadakan Bok toh lun telah ambil keputusan bahwa mereka telah bertekad bulat, untuk merampas kembali kitab pusaka itu.

Mengetahui bahwa gerak-gerik orang Wi itu tak ada sangkaut pautnya dengan dirinya, Hwi Ching segera akan berlalu. Tiba-tiba dilihatnya orang-orang Wi itu bersama-sama melakukan sembayang (sholat). Buru-buru dia bangkit, gerakkannya ini tak luput dari pengawasan mata Hwee Ceng tong yang tajam dan tampak berbisik diteklingga ayahnya: "Ayah, diluar ada orang mengintai"

Omongannya itu diikuti dengan loncatan keluar tenda. Nampak ada sesosok bayangan lari keluar hutan, ia segera ayun tangannya untuk melepas sebuah thi lian cu senjata rahasia berbentuk seperti biji teratai.

Mendengar sambaran angin dari arah belakang, Hwi Ching mengegos tubuhnya kesamping sambil mencekal theekoan, ia ulur ibu jari dan telunjuk untuk buka tutupnya, sesaat kemudian Thi-lian cu itu meluncur masuk kedalam tekoan, tempat the.

Dengan tak menoleh sedikitpun, Hwi Ching percepat larinya untuk kembali ke kamarnya, sampai disana semua orang sudah tidur semua.

"Losianseng sampai begini lama, kemana saja tadi, tanya seorang pelayan. Hwi Ching hanya menjawab sembarangan saja. Di kamar ia periksa Thi Lian-cu itu, yang terbuat dari baja murni, diatasnya terdapat ukiran bulu burung, piauw itu dimasukkan dalam sakunya.

Keesokan harinya, rombongan piauwsu itu berangkat lebih dulu, si petugas yang berteriak Aku Bu Wi yang, disepanjang jalan, kembali berteriak lagi, dimukanya ada bendera Pat-kwa can Tin-wan paiaw-kok!

Barang-barang yang diantar oleh kantor Piauw hang tersebut ternyata tak seberapa banyak, yang penting piawsu itu dapat melindungi Thiam See Gui.

Terang bahwa barang merah itulah satu-satunya barang berharga yang harus di jaga.

Selang setengah jam kemudian, rombongan Can som ciang yang mengawasi Li thay-thay pun berangkat. Tengah hari tibalah mereka di Oei yan-cu. Dari situ harus melalui jalan diatas gunung yang menanjak dan berkelok-kelok. Mereka rencanakan sore harinya sudah dapat melintasi jalan itu mencari penginapan di desa Sam to-ko yang terletak di kaki gunung sebelah sana.

Jalanan gunung itu sangat sukar dan berbahaya. Wan Ci dan Cian som ciang berada dibelakang Li Thay-thay. Mereka kuatir kalau keledai yang menarik kereta nyonya pembesar itu akan terpeleset masuk ke jurang yang dalam.

Beberapa saat kemudian, mereka sampai di mulut lembah Oh Kiem. Disitu kelihatan rombongan Piauwsu Tin Wan Piuw-kok melepaskan lelah. Juga Cam som ciang perintahkan rombongannya untuk beristirahat.

Kedua samping dari selat Oh Kiem adalah gunung-gunung yang tinggi. Jalanan disitu sangat menanjak sekali. Jadi orang harus berhenti diatas bukit. Hwi ching berada disebelah belakang sendiri. Dia selalu membelakangi supaya jangan dilihat oleh kawanan piauwsu itu.

Setelah memasuki mulut lembah tampaklah barisan rombongan piuwhang dan rombongan keluarga Li itu seperti seekor ular panjang, melingkar-lingkar keatas. Orang dan binatang-binatang sama menahan napas untuk mengerahkan tenaganya.

Segera mata Hwi Ching yang jeli dapat melihat sebuah bayangan berkelebat diatas puncak gunung seperti lakunya seorang mata-mata yang tengah mengintip. Dan tepat pada saat itu terdengar bunyi kelenengan keledai, serombongan orang Wi dengan menunggang kuda, tampak berjalan turun dari arah depan dengan laju.

Orang-orang piuwhang berteriak-teriak, supaya mereka orang Wi mempertahankan kudanya.

"Hai, sobat, mau cari mati, ya ?" seru Tong siu-ho.

Sekejap saja orang-orang Wi itu sudah berada didepan, tiba-tiba beberapa dari mereka kedengaran seperti menyanyi dengan keras sekali suaranya jauh berkumandang dilembah, dari kedua samping puncank gunung, kelihatan ada orang yang mendadak berdiri, maka nyanyian itupun berhenti.

Belum habis orang-orang piuwhang itu terkejut, tiba-tiba dari rombongan orang-orang wi itu terdengar suitan, dan dua penunggang kuda segera kaburkan binatangnya kearah Giam See Gui. Terang mereka hendak menyerang pada Giam See-gui dan menyusul empat penunggang keledai dari Wi tampak mengepung Giam See-Gui dari empat jurusan.

Melihat gelagat kurang baik, Kwantong hok-mo hendak meloloskan senjatanya, tapi sekonyong-konyong keempat orang Wi itu mengayunkan senjatanya untuk menyerang Giam See-gui, senjata mereka ialah gembolan besar yang tak kurang dari empat ratus kati beratnya. Nyata bahwa keempat orang Wi sangatlah kuat.

Betapun lihaynya kepandaian Giam see-gui, namun penyerang itu dilakukan dengan cara mendadak, empat buah gembolan menghantam dari empat jurusan, andaikata ia keburu menangkis yang dimuka, yang dibelakang dan kanan kirinya sukar dihindari, maka seketika itu juga hancurlah kepala Giam see-gui.

Dari dalam rombongan orang Wi, melesatlah seorang nona berbaju kuning, sebat luar biasa ia loncat turun dari kudanya terus menyawut puhok dipunggung Giam see gui, tapi ketika ia gunakan pedang untuk memotong tali pauhok itu, sebuah sambaran angin menyerangnya.

Nona itu ternyata Hwee ceng tong, tak mau berpaling untuk menangkis, dengan hanya melejit kesamping ia terus bekerja memotong tali, tapi penyerang itu sangat sebat juga, belum sempat ceng liong mengulurkan tangan untuk menyambar piuwhok, kembali pedang berkelebat menghantam pinggangnya.

Ceng tong tidak berdaya berkelit, terpaksa ia putar pedangnya untuk menangkis segera letikan api muncrat dari dua bilah pedang yang berhantaman itu. Diam-diam gadis Wi itu mengakui lihaynya lawan. Dan dia makin berhati-hati.

Kembali ia ulur tangan kirinya untuk betot pauwhok yng masih dipunggung Giam see-gui yang sudah jadi mayat itu, tapi lagi-lagi pedang panjang musuh menusuk lengannya cepat sekali. Ceng tong menarik tangan kirinya untuk digerakkan menurut jurus serangan dan pedang ditangan kanan menyusul sodokan.

Ketika ia mendongakkan kepala untuk mengawasi penyerang yang telah tiga kali merintangi itu, ternyata orang itu bukan lain dari anak muda cakap yang berlaku kurang adat kepadanya itu dulu. Marahlah ia, lalu mengirimkan serangan yang bertubi-tubi.

Si penyerang bukan lain ialah Li Wan-ci yang menyamar sebagai lelaki. Melihat rombongan pedagang Wi menyerang rombongan Pauhang ia sebenarnya akan tinggal diam dan saling berkelahi. Tapi tiba-tiba dilihatnya seorang gadis berpakaian kuning, loncat ketengah untuk merampas pauhok Giam See-Gui.

Dia itu yang kemaren menjebol bulu suri kudanya, dan ia pulalah yang dipuji setinggi langit oleh suhunya. Darah remajanya, tak kenal kalah. Wan-ci sungguh penasaran sekali. Ia tak ambil pusing siapa yang benar dan siapa yang salah diantara rombongan yang sedang bertempur itu. Pokoknya ia maukan si gadis Wie itu. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan tubuh ia hampiri si gadis itu untuk diajak berkelahi.

Tiga serangan berantai dari Ceng tong telah dapat dipunahkan oleh Wan Ci. Melihat itu, Ceng Tong heran juga kaum Wie itu mengetahui juga bahwa pauwsu-pauwsu itu lihay-lihay semua. Dengan kekerasan, mungkin gagallah rencana untuk merampas kitab suci itu. Dipilihnya mulut selat Oh Kim yang sangat berbahaya itu, untuk mengadakan sergapan yang tak terduga begitu berhasil, mereka segera akan kembali ke daerahnya.

Tak dinyana, rencana yang sudah kelihatan berhasil itu dikacau oleh Wan ci. Nampak permainan Wan ci itu lihay. Ceng tong segera ambil keputusan cepat. Ia tak boleh hanyut terlalu dalam pertempuran itu, sekonyong-konyong ia merubah permainan pedangnya. Ia keluarkan ilmu simpanan Pedang Thian san Pay yang disebut Sam hu kiam. Dengan itu ia desak wan-ci hingga beberapa kaki harus mundur.

Ilmu pedang "Sam hu-kiam" adalah ilmu dari kaum Thian san-pay juga boleh dikata tak pernah diturunkan. Dinamakan "Sam hu" tiga bagian ialah gerakan serangan hanya digunakan sepertiga bagian dari sasarannya, setiap kali musuh akan menangkis gerakan pedang tersebut sudah berganti setiap jurus terdiri dari tiga serangan, ruwet dan sukar untuk ditangkis.

Ilmu pedang itu hanya terdiri dari jurus-jurus dan serangan saja.

Ketika lawan gunakan serangan, yaitu jurus salju sungai hendak meleleh, Wan-ci hendak congkelkan ujung pedangnya keatas, pikirannya hendak gunakan "It tiok-liang" sebatang hio untuk menangkis.

Tapi ternyata serangan musuh hanya sepertiga bagian, belum lagi pedang itu sampai kesasarannya Ceng tong sudah merubah gerakannya dengan Cian-li-liok-sat, pasir mengalir beribu li pedang yang mulanya lurus menyerang kini berubah dilintangkan untuk memapas.

Wan-ci gugup buru-buru jungkirkan pedangnya untuk melindungi diri. Tapi kembali ia dibingungkan oleh gerakan serangan pedang lawan. Belum lagi papasannya sampai kembali gadis Wi itu merubah gerakannya dalam "Angin menggulung rumput." Dari atas pedangnya diturunkan untuk menebas paha Wan-Ci.

Wan-ci kaget, terus mundur selangkah. Tapi pada saat itu dengan gerakan "Angkat obor menyundul langit" ceng tong mengibaskan pedangnya keatas maju menyerang pundak kiri sang lawan.

Ketika Wan-ci bergerak menangkis, lagi-lagi lawan merubah gerakkannya dengan jurus "Swat tiong ki-lian" bunga teratai ditengah-tengah salju, demikian hebat dan luar biasa setiap gerak serangan dari "Sam hu kiam" hingga musuh bingung dibuatnya.

Walaupun kedua nona itu sudah bertempur beberapa jurus, namun senjatanya tak pernah beradu, sepintas mereka memainkan pedang seperti anak-anak sedang bermain. Ceng Tong menyabet dengan cepat tetapi setiap sabetannya itu tak pernah diteruskan sampai kena, namun Wan-ci sangat sibuk dibuatnya. Ia terus-menerus mundur sulit baginya untuk menghadapi. Kalau ia tak menangkis kuatir lawan betul meneruskan serangannya, tapi begitu ia menangkis, lawan batal menyerang dan ganti jurus. Ternyata ia kalah jauh dalam kesebatan

dengan lawan.

Wan ci terkejut dan bingung sebenarnya ilmu pedangnya "Jwan-hun kiam" cukup sempurna asal saja ia melawannya dengan hati yang mantap, dan tak akan kalah semudah itu. Tapi karena ia baru saja mempelajarinya, jadi ia belum pengalaman dalam pertempuran tadi.

Melihat gerakan musuh tiga kali lebih sebat dari dirinya, ia goyah hatinya. Karena tak mungkin melawan, ia lantas loncat mundur dan Ceng tong sendiripun tak mau mengejar. Cepat-cepat ia membalikan badan, ternyata dihadapannya ada seorang yang bertubuh kecil kurus.

Orang itu berdiri disamping mayat Giam see-gui sambil mengenggam pauwhok merah berisi kitab suci itu. Tanpa tanya ini itu, Ceng tong mengirimkan serangan pedangnya.

"Aya, Tong-toaya hendak pulang."

Demikian orang itu berteriak. Dialah si mulut tipis Long siu Ho, ia tak mau melayani dan terus loncat. Namun, ceng tong terus mengejar dan kembali pedangnya diayunkan. Tapi sebilah Ngo-heng lun menyambut pedang Ceng Tong itu dan terus didorongnya, itulah Giam see ciang.

Kiranya Bok Toh Lun mengatur siasatnya dengan cerdik. Dibelakang dan muka ia gunakan onta-onta untuk memisahkan orang-orang Piuwhang, agar mereka tak dapat berandeng berkelahi.

Pemimpin Wi itu sendiri naik kuda dengan memutar golok panjang, ia serang Tee Ing Bing dan Chi Ceng Lun, dua orang piuwsu. Menghadapi dua orang lawan, ia perhebat rengsekannya.

Tapi pada saat itu, Giam See ciang mulai mengamuk, keenam Kwantong Liok-mo itu rata-rata berkepandaian tinggi. Melihat kakaknya dibinasakan orang Wi, ia murka sekali. Dia meluncur dari kudanya, loncat melewati onta. Ia sabetkan Ngo heng lunnya kepada seorang Wi yang memegang gembolan. Begitu gencar hantamannya itu, sehingga seketika itu orang Wi terjungkal dari ontanya.

Seorang wi lain maju menghadang. Menunggu gembolannya melayang datang, Giam see ciang miringkan tubuhnya. Ngo heng lun dipindahkan ketangan kiri, ia ulurkan tangan kanannya untuk menyawut membokong siorang Wi, terus dibetotnya kebawah.

Gembolan itu beratnya hampir seratus kati dan orang Wi itu tenaganya kuat sekali, justeru selagi orang Wi itu mengerahkan seluruh kekuatannya. Giam see-ciang, meminjam kekuatan lawan, terus dibantingnya ke tanah. Gembolan itu tepat jatuh kedada tuannya, dan diiringi jeritan yang keras, terus muntah darah binasa lah saat itu juga.

Dengan menggunakan kecerdikannya Tong-siu-ho memanfaatkan kekacauan itu, dia melihat suatu kesempatan yang baik. Dengan sebat dia loncat kearah mayat Giam see-gui untuk ambil Pauwhok yang berharga itu. Ketika Hwee Ceng Tong, memburu Tong siu-ho dengan cepat Giam see ciang menghadangnya.

Di tengah perlawannya dengan Giam see ciang, Ceng Tong selalu waspada kalau-kalau pemuda tampan itu akan datang lagi. Tiba-tiba dari arah celah gunung terdengar bunyi seruling yang keras sekali itu pertanda untuk mundur dari pihak Wi.

Pada suatu kesempatan, Ceng Tong nampak ia melirik kepada Tong siu-ho yang melarikan diri dengan cepatnya kearah puncak gunung, dengan mengeluarkan ilmu pedang "Sam-hu-kiam, ia mendesak Giam see ciang sampai mundur dua tindak, segera nona itu loncat dan terus mengejar Tong siu Ho keatas puncak gunung.

Sementara itu suara seruling terus bergema dengan kerasnya. Dan tiba-tiba terdengar ayahnya, Bok Toh Lun, berseru keras: "Ceng Tong lekas kemabali !"

Ceng tong berpaling mendengar seruan ayahnya, lantas ia hentikan lagnkahnya, terus terus memerintah kawannya untuk menggotong kawan-kawannya yang telah binasa untuk dinaikan keatas kuda. Sekali lagi bunyi seruling terdengar keras, tiba-tiba rombongan orang wi itu menerobos turun.

Namun dibawah sana berpuluh serdadu Ceng sudah siap menghadang ditengah jalan, dan Tho-lam sam ciang larikan kudanya kemuka, dengan lintangkan tombaknya ia membentak. "Berandal yang bernyali tikus mau bikin huru-hara, ya ?"

Sebagai sahutan, si nona baju kuning menimpukkan dua biji thi-lian-cu untuk mengarah kedua belah tangan penghadangnya itu.

Begitu terdengar suara berdering tombak can tho-lam cu lepas jatuh.

Bok Toh Lun membuka jalan dengan pedangnya yang panjang. Orang-orangnya pun maju menyerang tentara Ceng tersebut. Gelombang serangan orang-orang Wi itu ternyata dapat mematahkan perintangnya. Tentara Ceng terpaksa menyingkir untuk memberi jalan.

Giam see ciang dan Tee ing bing memburu lagi, terus berhantam dengan si nona baju kuning. Pada saat itu sekonyong-konyong dari rombongan orang Wi menerobos keluar seorang penunggang kuda, sambil berseru "I-moay, kau mundur dulu!"

Pemuda itu adalah kakak dari Ceng Tong, bernama Hwee A lo. Dengan tombak, dia hadang kedua piauwsu yang akan menyerang adiknya itu. Dengan begitu dapatlah Ceng Tong loncat keatas seekor kuda.

Kedua kakak beradik itu sembari bertempur sambil mundur, tiba-tiba dari dua puncak gunung kedengaran seruling berbunyi lagi. Hwee A In dan adiknya putar kudanya kebelakang terus lari Giam see ciang masih terus mengejar.

Karena gemes Ceng Tong sambitkan dua biji Thi-lian-cu kemuka pengejarnya itu, giam see ciangpun memutar ngo heng-lunnya untuk menangkis.

Berbarengan saat itu, dari atas puncak gunung bergelindingan batu-batu kebawah beberapa diantaranya tepat mengenai rombongan tentara Ceng, hingga ada beberapa yang mengeluarkan darah. Dalam kekacauan itu rombongan pedagang Wi berhasil meloloskan diri.

Begitu mereka sudah jauh, Giam see ciang segera mendekap mayat kakaknya itu, ia menangis tersedu-sedu, setelah dibujuk oleh Chi ceng lun dan Tee Ing bing, barulah ia mau berhenti.

Orang-orang piauwhang lalu menaruh mayat-mayat kawannya ke dalam kereta, kalau kawan ada yang bersedih kehilangan saudara, adalah Tong siu ho yang nampak unjuk muka berseri-seri kegirangan.

"Kalau bukan Tong-toaya yang cekatan, dia matipun akan penasaran," demikian ia membual.

Ketika kedua rombongan tengah bertempur dengan seru tadi Hwi Ching hanya mengawasi saja dipinggir. Ketika Wan Ci didesak mundur oleh nona bangsa Wi tadi, dan karena turut campurnya anak itu sehingga kitab Qur'an gagal dirampas orang-orang Wi, Hwi-Ching jadi uring-uringan.

Setelah keadaan disitu mulai sepi, dan tak ada seorangpun menghaturkan ucapan terima kasih kepada wan Ci merasa kurang senang, sedang sewaktu Tong siushu nampak dandanan Can Tho Lam seperti seorang bu-koan atau menghampiri untuk memperkenalkan diri. Sedikitpun dia tak ambil perhatian pada Wan-ci. Sudah barang tentu Wan-ci makin mendelu. Ditambah lagi suhunya memberi tegoran pedas.

"Orang-orang Piauwhang itu banyak dari golongan jahat, yang tergolong baik-baik mengapa kau usil membantu mereka!"

Benar-benar Hwi Ching murka, Wanci yang didamprat tak berani angkat kepalanya.

Ketika sampai di puncak, di waktu magrib nanti tentu sudah sampai di Sam To kao, sebuah kota yang sedang-sedang saja besarnya kata kusir.

"Hotel terbesar di Sam To kao ialah hotel An Tong."

Setelah masuk kota, baik rombongan piauwhang maupun rombongan Li Thay-thay, sama-sama menuju hotel tersebut. Tapi begitu sampai dimuka pintu seorang pelayanpun tak ada yang menyambut.

"Apakah semua pelayan-pelayan disini semuanya mampus ?" demikian Tong siu-ho dari rombongan Piauwhang berteriak dengan marah-marah.

Mendengar itu Wan-Ci kerutkan jidatnya, karena selama ini, belum pernah melihat orang yang sedemikian kasarnya.

Rupanya rombongan yang sudah letih dalam perjalanan itu tak sabar lagi. Mereka terus mau memasukinya, tapi tiba-tiba pada saat itu dari arah dalam terdengar suara beradu.

Wan ci adalah yang paling usil dan selalu ingin mengetahui sesuatu lebih dulu, ia terus menerobos masuk. Tapi ternyata ruangan hotel itu tak kelihatan manusia.

Baru setelah masuk keruang dalam, dilihatnya wanita muda dengan rambut terurai tengah bertempur dengan empat lelaki. Dengan gelisah wanita itu memainkan golok panjang ditangan kiri dan golok pendek ditangan kanan. Nampaknya ia berkelahi dengan mati-matian.

Jelas bagi Wan ci, bahwa keempat orang lelaki itu berusaha keras memasuki sebuah kamar disitu, sedang wanita itu coba menghalangi dengan nekad. Keempat orang lelaki itu tinggi kepandaiannya, satunya memainkan tongkat, seorang lagi menyoren pedang sedang yang lainnya menggunakan kui thao-to.

Waktu itu Hwi Ching pun sudah menyusul masuk keruangan itu. Pada saat itu, orang yang bersenjatakan sepasang tongkat itu tampak mengangkat senjatanya untuk dihajarkan di kepala si wanita.

Wanita muda tersebut tak mau menyambutinya dan hanya menghindar kekiri, justeru saat itu Jwan pian musuh mengarah pinggangnya, dengan sebat luar biasa wanita itu memapak dengan golok ditangan kirinya kearah jwan pian, sehingga seketika itu juga pian lalu menggulung ke bawah.

Buru-buru wanita itu menarik goloknya. Tapi justru dengan demikian sangat berbahaya, kui thao-to dari salah seorang lawan menebas dan disusul pedang musuh lainnya mengarah kepunggung si wanita.

Wanita itu cepat-cepat menangkis serangan pedang tersebut. Tapi karena menghadapi dua macam serangan, posisinya sangat berbahaya. Benar pedang dapat di tangkis tapi kui thao-to sudah keburu datang. Sukarlah kiranya menghadapi kui thao-to yang menyambar sebelah pundaknya.

Pundak wanita termakan golok kui thao-to, namun ia tetap pantang mundur. Ketika lengannya bergerak-gerak memainkan senjata, darah dilukanya bercucuran membasahi lantai.

"Tangkap hidup-hidup! Jangan sampai ia berlaku nekad, teriak orang yang bersenjatakan jwan-pian sambil terus mempergencar serangannya.

Melihat keadaan yang pincang itu, Hwi Ching marah, timbulah hati keutamaannya.Tanpa mengingat tugas berat yang sedang dijalankannya ia akan turun tangan.

Kini orang yang memegang sepasang tongkat itu, tampak menyabetkan tongkatnya dan dalam gugupnya wanita itu menangkis dengan golok pendek. Dan ketika pedang lawan datang, ia pakai golok yang satunya untuk menangkis K menahan. Tapi ternyata si penyerang yang memakai pedang itu sangat lihay. Apalagi karena pundaknya sudah terluka berkuranglah tenaga si wanita itu. Begitu pedang dan golok yang saling bentur, tangan si wanita tergetar hebat dan golok panjangnya jatuh. Musuh tak mau sia-siakan. Ketika terbuka, maka

pedang terus disarangkan dengan hebat.

Si wanita cepat-cepat berkelit kekanan. Tusukan pedang dapat dihindari, tapi musuh yang bersenjatakan kui�thao�to tadi segera melesat maju untuk menerobos masuk kedalam kamar itu. Melihat keadaan yang begitu berbahaya, si wanita menjadi nekad. Dengan tak memperdulikan senjata-senjata yang menyerangnya dari empat jurusan, ia merogoh dadanya dan dengan sebat menawurkan dua batang hui-too kearah punggung seorang musuh yang tengah menerobos masuk ke kamarnya utu. Orang tersebut mengira bahwa wanita itu

tentu masih sibuk menghadapi ketika lawannya, mana ia terus maju dengan mantap.

Begitu terasa sambaran angin dibelakangnya, ia coba berkelit, tapi sudah terlambat. Sebatang hui-too masih dapat dia hindari dengan kepalan.. tapi hui-too yang lain tepat menyusup ke punggungnya. Masih untung kekuatan wanita itu banyak berkurang karena luka dipundaknya, tak urung orang itu menjerit hebat, terus melangkah mundur.

Pada saat itu kembali wanita gagah mendapat hantaman tongkat dipahanya, sehingga dia terhuyung-huyung, namun ia tetap nekad untuk menghadang di depan pintu kamarnya.

"Wan-ci, kau lekas bantu dia, kalau kalah aku bantu !" Hwi Ching perintahkan muridnya

Tak usah diulang lagi, wan-ci loncat dengan pedangnya.

"Empat orang laki-laki mengerubuti seorang wanita, sungguh memalukan!" demikian teriaknya segera.

Melihat ada orang datang menyelak, dan berbareng pada saat itu diruangan tampak banyak orang-orang piuwhang dan tentara negeri, keempat orang itu buyar semangatnya, begitu terdengar suitan berbunyi, mereka berempat segera loncat kabur.

Wajah wanita muda itu pucat lesu, dengan menyandar pada pintu ia menggasoh napas. "Wan-ci menghampiri lalu bertanya. "Ada apakah?"

"Mengapa mereka menghina Nyonya?"

Tapi belum sempat wanita itu menjawab, Gan Tho Lam telah menghampiri Wan-ci sambil berseru: "Thay-thay menyuruh siocia datang kesana," lalu dengan setengah berbisik pemimpin barisan pengawal itu berkata pula. Mendengar siocia kesana.

Nampak Can Tho lam mengenakan pakaian opsir tinggi, wajah wanita itu bertambah pucat, tanpa perdulikan pertanyaan Wan-ci terus masuk kedalam. Terbentur dengan tembok, tampak wan-ci kurang puas, ia berpaling pada Can tho lam dan katanya: "baik, aku akan segera datang."

"Tapi ia menghampiri suhunya lebih dulu, ia lalu bertanya?"

"Mengapa mereka bertempur dengan sengit, suhu?"

"Biasanya ada dendam, pembalasan sakit hati, karena urusan belum putus, kiranya keempat orang itu tentu akan datang lagi sahut sang guru.

Wan-ci hendak menegasi tetapi tiba-tiba terdengar seseorang datang dengan memaki-maki kasar.

"Keparat, kau kata tak ada kamar. Apa takut aku tak bayar, ya?!"

Kalau menilik suara ialah Tong siu-ho. Lantas terdengar pula seorang pelayan berkata. "Long at koanya harap jangan marah dulu, kita mana berani menghina koanya, tapi memang sungguh-sungguh ruangan atas beberapa kamarnya, sudah ada orang lain.

"Siapa yang berada dikamar atas coba kulihat seru orang itu dengan ketus. Dan sembari berkata dia terus melangkah keruangan dalam. Justru pada saat itu si wanita muncul lagi dari kamarnya dan sedang berkata pada seorang pelayan lain: "Toako, tolong, bawakan air panas kemari."

Begitu nampak orangnya, semangat Tong-siu ho seperti terbelot, walaupun wajah sinyonya muda itu pucat namun tak mengurangkan kecantikannya, tong siu-ho terpesona. Hanya matanya saja yang kedap-kedip.

Si wanita cantik berbicara dalam dialeg utara dengan tekukan orang selatan.

"Selama Ceng toaya lewat di daerah ini berulang-ulang, belum pernah aku menginap di hotel kelas dua. Kalau ruangan atas sudah penuh, biarlah kupakai ruangan ini saja!"

Sambil berkata itu Tong siu-ho menghampiri kearah kamar si wanita. Dan selagi ia menutup pintu Siu-ho menerobos masuk.

Jilid 3

"A D U H !" Si wanita menjerit kesakitan ia coba menghadang, tapi luka dipahanya itu memaksa ia untuk duduk kembali dengan rasa sakit yang hebat. Memang hantaman tongkat tadi menyebabkan ia terluka berat.

Ketika Siu-Ho masuk, didapatinya laki-laki berbaring diatas pembaringan. Karena kamar itu tak ada penerangannya, wajah orang itu tak tampak jelas. Hanya kepalanya saja yang tampak dibalut kain putih, begitu pula tangan kanannya dibalut dan diikat pada leher, sedang sebelah kakinyapun dibalut juga. Jadi boleh dibilang orang seperti mayat yang dibungkus kain putih, begitu melihat ada orang masuk dia segera menegur dengan suara lemah.

"Siapa?"

"Aku orang She Tong-piauwsu dari Tin-wan Piauwkok. Karena kamar semua sudah penuh kumohon kau perbolehkan aku tidur disini, wanita itu siapa, isteri atau kenalanmu saja ?"

"Kau pergi saja, kata orang itu dengan nada hambar. To siu ho mengerti bahwa orang tersebut terluka berat, sedang satunya tadi hanya seorang wanita. Dia tak mau sia-siakan kesempatan itu, lalu cengar-cengir berkata:  "Jangan gitu dong, biar kita tidur bertiga. Jangan kuatir, tak nanti menyaplok lukamu!"

Karena murkanya itu sampai gemetar badannya.

"Toako, jangan umbar nafsu, kita tak boleh cari musuh baru lagi, seru si wanita dengan lemah kemudian katanya pada Tong siu-ho harap kau lekas keluar!"

"Apa keluar?" menemani kau kan lebih enak bukan?" sahut siu-ho dengan lagak tengik.

"kau kemarilah," tiba-tiba laki-laki itu berseru .

"Bagaimna, kau lihat aku ini cakap tidak?" kata siu-ho sambil melangkah maju.

"Kurang jelas, mau lebih dekat lagi!" kata lelaki itu.

Dengan tertawa siu-ho maju beberapa tindak lagi, katanya: "lihat yang terang dong, inilah yang dikatakan si bagus memboyong si cantik."

Belum selesai ucapannya, tiba-tiba laki-laki itu bangun dari pembaringan dan sebat luar biasa tangan kirinya dijulurkan menotok jalan darah, Khi ia hiat dengan mengunakan sisa kekuatannya dalam Iwekang dia hantam pundak si ceriwis itu.

Seperti mega tertiup angin, tubuh siu-ho melayang dan terlempar keluar mengerusuk jatuh dilantai halaman. Dia menjerit-jerit, tapi tak dapat berkutik, karena ditotok Tiam tadi, tak dapat berkutik, karena ditotok tadi, sun loo-sam dan petugas yang berteriak-teriak di sepanjang jalan buru-buru menghampiri untuk mengangkatnya.

"Tong Toaya, jangan mengganggu mereka."

Rupanya mereka adalah orang Hong Hwa-Hwee kata Kun Lo sam bisik.

"A.....a ..... kakiku tak bisa bergerak Hong Hwa Wee bagaimana kau tahu?" seru Tong siu-ho dengan mengucurkan keringat dingin.

Kata pemilik hotel, "Ini, tadi empat orang dari kantor Pembesar sini akan menangkap mereka, tapi dapat dipukul mundur, Loo sam memberi keterangan.

Ketika mendengar ribut-ribut itu orang-orang piauwhang semua melihat keluar.

"Ada apa sih!" seru Giam See ciang menghampiri.

"Giam liokko, aku ditikam oleh orang Hong Hwa Bwee, kau tolonglah teriak Siu-ho sambil meringis sakit."

"Giam See- ciang kerutkan jidatnya. Dia tarik tangan siu-ho terus panggulnya, "Lo-tong masuk kemari!"

See ciang akan menjaga nama Tin-wan piauwkok maka ia tak mau orang ketawa ada piauwsu Tin wan piuwkok dihajar orang sampai tak bisa bangun, tapi dia terkejut juga ketika didalam kamar ia lepaskan Siu-ho turun ternyata masih saja ia numprah ditanah.

"Tubuh ku lemas tak bertenaga sun loo sam kurang ajar, kau tak mau gendong aku? teriak siu-ho pula.

Baru kini Giam see ciang tahu bahwa kawannya itu terkena totokan orang, lalu ditanyainya.

"Kau berkelahi dengan siapa tadi?"

Dengan mata melotot dan muka kecut, Siu-ho tunjuk kearah kamar wanita tadi, katanya

"Dengan seorang telur busuk disitu!" kawanan Hong Hwa Hwee, belum sempat orang mengurus perbuatanmu membunuh Cio Bun Ki samya kini kau coba main gila dengan Tong Toayamu ini.

Demikian sengaja siu-ho ungkit kematian Cio-bun ki samya dari Kwantong Liok-mo di depan Giam see Ciang agar panas hatinya.

"Tong-toaya, jangan memaki-maki saja. Jangan cari perkara dengan orang Hwa-Hwee sekali kita kesalahan pada mereka sukar kiranya tugas kita sebagai piuwsu akan dapat aman.

Semula Giam see ciang termakan akan bualan Siau-ho tadi, ia bermaksud akan menjajal orang tersebut. Tapi ketika teringat bahwa musuh pandai menotok, apalagi kini ia seorang diri dan telah ditinggal mati oleh kakaknya Giam See Gui, maka ia tarik mundur niatnya itu.

Ketika itu tampak Chi Ceng lun piauwsu mendatangi, segera dia bertanya pada Sun Loo sam si tukang teriak di jalan itu. "Apa kau tak salah lihat pada orang Hong Hwa Hwee?"

Sun Loo Sam mendekati Chi piauwsu, lalu bisiknya: "Setelah keempat pahlawan kantor pembesar berlalu, maka kasir hotel ini menerangkan bahwa sepasang suami isteri itu adalah pesakitan penting. Untuk mereka berdualah, kerajaan sengaja mengutus beberapa jagoannya menangkapnya kemari. Kasir itu telah dipesan bila sewaktu-waktu kedua orang itu hendak berlalu, supaya lekas-lekas melaporkan kepada pembesar setempat, semuanya itu, telah kudengar tadi."

Chi Ceng lun berusia lima puluh tahun lebih. Lama dia terjunkan diri dikalangan piuwhang. Meskipun bugeenya tak terlalu tinggi, tapi dia luas sekali pengalamannya, segera ia memberi isyarat mata pada Giam See Ciang, lalu bersama-sama mengangkat Tong Siu Ho.

"Golongan apa sih," tanya She Giam.

"Orang Hong Hwa Hwee, baik mengalah. Nanti setelah menolong Tong Siu-ho, kita rundingkan lagi." Balas Chi piauwsu kemudian tanyanya pada sun Loo sam.

"Adakah kau saksikan pertempuran tadi?"

"Wah, hebat sekali, seorang wanita muda memegang dua batang pedang, sebatang panjang ditangan kiri dan sebatang yang pendek di tangan kanan. Keempat orang laki-laki itu tak dapat mengalahkannya. Sebenarnya mereka berempat menang angin cuma mereka sengaja memperpanjang pertempuran untuk melelahkan si wanita," tutur Loo sam.

"Itulah murid dari keluarga Lou, yang digelari Sin To Lou Keh. Ia pandai melepas huito bukan?"

"Ya, ya, benar, tangannya sakti sekali," kata Loo sam.

"Ah, kiranya Sutangkeh ketua keempat berada disini kata Chi piauwsu pada Giam See ciang. Habis itu mereka tak bicara apa-apa lagi. Bertiga mereka menggotong Tong siu-ho masuk kedalam kamar.

Kali ini Hwi Ching menyaksikan semua kejadian. Ketika ketiga piauwsu itu berunding, dia tak dapat mendengar jelas. Tapi dua patah kata dari Chi piauwsu itu dapat didengarnya betul.

Pada saat itu Wan Ci muncul disitu lalu mendekati suhunya seraya katanya: "Suhu, kapan kau ajarkan ilmu tiam hiat padaku? coba itupun unjukkan kepandaian begitu"

Hwi Ching tak menggubris, dia hanya berkata seorang diri: "Tentunya anak keturunan dari Sin to lou keh si Golok sakti keluarga Lou. Ah aku tahu tak boleh tinggal diam.

"Siapa Sin To Lou Kee itu? tanya Wan-ci.

"Sin To Lou Goan Thong adalah sahabat karibku, kabarnya ia sudah meninggal. Wanita yang bertempur itu tadi gunakan jurus-jurus ilmu golok dari Lou Goan hong kalau bukan puterinya tentulah muridnya."

Dalam pada itu, Ci Ceng Lun dan Tee Ing-Bing berdua piauwsu dengan menggotong Tong Siu-ho tampak menuju kekamar si wanita tadi. Diluar kamar, Sun Loo sam lebih dulu batuk-batuk lalu berseru keras-keras.

"Chi Tee dan Tong bertiga piuwsu dari Tin wan-piauwkok mohon berkunjung pada Su-tong kee dari Hong Hwa Hwee.

Begitu gerendel pintu terbuka, si wanita muda berdiri diambang pintu ia mengawasi keempat tetamunya itu, sun loo-sam buru-buru memberikan tiga buah kartu nama, namun si wanita tersebut tak mau menerimanya, malah terus membalikkan diri masuk kedalam. Rupanya ia berunding dengan suaminya, tak lama kemudian nampak keluar lagi seraya menyilahkan tetamunya masuk.

Selama di dalam, wanita itu tetap berdiri disamping sang suami. Walaupun keempat tetamunya itu mengerahkan jubah panjang dan tak membekal senjata apa-apa, tapi tuan rumah tetap curiga.

"Saudara kami ini, tadi telah kesalahan pada tuan untuk itu datang menghaturkan maaf, demikian Thi Ceng Lun membuka pembicaraan seraya menjura diikuti pula oleh Tee Ing Bing dan Sun-lo sam.

Namun si lelaki itu tetap berbaring ditempatnya, maka berbisiklah wanita itu padanya.

"Koko, orang-orang Tin-wan piuwkok haturkan maaf padamu. Laki-laki itu tak menyahut apa-apa.

"Bun Tia-hay-hay, meskipun aku belum pernah bertemu padamu, tapi sudah lama dengar su tang-kah dan namamu yang kesohor. Pemimpin piuwkok kita Win Tin-ho ni ong hui Thing dan ayahmu si to-lou looya, mempunyai hubungan baik, saudara kita yang satu ini memang sembrono sekali ..........

"Ssssst, dia terluka dan baru teridur. Nanti jika sudah bangun akan kusampaikan maksud kunjungan kalian padanya. Harap kau orang jangan anggap kita tak tahu adat, tapi karena ia terluka hebat, sudah hampir dua hari ia tak bisa tidur, sahut si wanita memutuskan omongan orang. Dan wajahnya mengunjuk seperti orang berduka.

Chi ceng lun dapat menerima alasan itu, karena memang dilihatnya seluruh tubuh orang itu dibalut kain, kemudian katanya: "Bun su tang-keh lukanya bagaimana?" aku ada membawa obat kiem sana yok untuk segala macam luka, demikian Chi cengn berkata untuk mengambil hati orang.

Si wanita rupanya mengerti maksud orang, lalu berkata, "terima kasih, kita sudah punya obat. Tuan yang terkena tiam ini, tak terluka

berat. Kalau nanti suamiku sudah bangun, akan kusuruh pelayan memanggil tuan."

Mendengar orang suka menolong, keempat tamu itu lalu undurkan diri.

"Eh, nanti dulu. Mengapa tuan-tuan tahu nama kami, tiba-tiba wanita itu bertanya.

"Sepasang Wan-yang-to dan golong terbangmu huito orang kangaouw manakah yang tak mengetahuinya? dan lagi, kalau bukan Bun Su-tong kee, siapa lagi yang mempunyai kepandaian Tiam-hiat itu. Serta pula kalian berdua berkumpul menjadi satu, maka tentulah Pan-lui Chiu Bun Lay dan Wan yang to laou Ping adanya, " sahut Ceng Lun.

Wanita muda tersebut tersenyum simpul. Ia puas mendengar orang junjung dirinya dan suaminya.

Melihat mereka keluar kembali Wan-ci kambuh penyakitnya untuk belajar ilmu Tiam hiat ia mendongkol karena sampai sebegitu jauh suhunya masih belum mengajarnya ilmu tersebut, ia masuk kedalam kamar untuk mencari akal bagaimana caranya agar sang suhu mau menurunkan pelajaran itu.

Habis dahar pagi ia temani ibunya berbincang-bincang sebentar, ibunya memperingatinya agar jangan nanti dijalanan membuat keonaran lagi, dan melarang menyamar sebagai laki-laki lagi, tapi Wan-ci hanya ganda tertawa saja.

"Ma bukanlah kau sering menggerutu tak punya anak lelaki? kalau kini aku menjelma menjadi seorang laki-laki mengapa kau tak bergirang?"

Ibunya kalah separuh, lalu masuk kekamar dan tidur. Ketika wan ci juga akan masuk tidur, tiba-tiba didengarnya di halaman sana seperti ada orang mengetuk jendela dengan perlahan-lahan dan menyusul terdengar seorang sedang bisik-bisik.

"Bocah, keluarlah aku ada yang akan diomongkan denganmu." Cepat-cepat Wan-ci menyambar pedang, terus loncat kehalaman, dimana sebuah bayangan orang, kedengaran berseru pula.

"Anak setan, kalau kau ada nyali, mari ikut aku."

Wan-ci adalah ibarat anak kambing yang tak takut harimau tanpa curiga apa-apa, dia loncat keluar tembok buat mengikutinya.

Baru saja kakinya menginjak tanah, sebuah pedang berkelabat menghantamnya. Cepat wan-ci hadangkan pedangnya untuk menangkis dan cepat menanyai: "Siapa kau ?"

"Aku adalah Cui-ih Wi sam Hwee Ceng Tong Eh, sahabat kita orang sebagai air sungai tak mengganggu air sumur. Mengapa kau ganggu kami hingga urusan kami yang besar itu terlantar?"

Kini baru Wan-ci tahu dengan jelas bahwa bayangan yang melintangkan pedang ke tanah itu adalah si nona baju Kuning yang pernah bertempur dia waktu tempo dulu.

Ia tak dapat menjawab teguran si nona itu. Memang ia tak punya alasan, mengapa harus mengacau urusan itu. Namun ia malu untuk mengaku salah, maka dicarinya alasan katanya: "Urusan dunia adalah urusan manusia semua, memang siaomaymu itu paling suka

campur urusan orang lain kau tak terima? Baiklah aku akan mohon pelajaran pedangmu lagi.

Ucapan itu dibarengi dengan serangan pedang kearah si nona. Dengan murka si nona segera angkat pedangnya untuk menangkis.

Wan-ci sebenarnya tahu bahwa ilmu pedangnya tak nempel dengan sang lawan, tapi ia sudah punya rencana, sembari berkelahi ia terus mundur, sambil melihat letak tempat yang akan dilaluinya. Ia terus mundur, hingga sampai kekamar suhunya. Dan pada saat itu berteriaklah ia dengan kuat-kuat.

"Suhu, suhu aku akan dibunuh orang."

"Hem, kedengaran si nona mencemoohkannya."

"Manusia tak punya guna, mana aku sudi mengotori tanganku untuk membunuh manusia macam kau itu. Aku hanya hendak memberi pelajaran padamu, agar selanjutnya kau jangan usilan dengan urusan orang lain!"

Habis mengucap itu, Ceng Tong segera balikkan diri terus berlalu.

Tetapi wan-ci tak mau melepaskan, ia segera loncat menikam punggung lawannya. Maka Ceng tongpun lantas putar tubuh dan pedangnya untuk bersilat lagi dengan sam hun kiamnya karuan wan-ci kerepotan.

Tiba-tiba ia mendengar tindakan kaki mendatangi dari arah belakang. Ia pastikan bahwa itu tentu suhunya. Liok Hwi Ching, maka membarengi saat Ceng Tong menikamkan pedangnya kearah dadanya. Wan-ci dengan sebat loncat bersembunyi dibelakang suhunya. Melihat adanya bahaya mengancam apa boleh buat Hwi Ching angkat pedangnya buat menangkis.

Ilmu pedang Ceng Tong sangat cepatnya. Tanpa berkata apa-apa, ia kirim sepuluh jurus serangan bertubi-tubi. Selama itu ia heran bahwa sekalipun permainan jago tua itu tak berbeda dengan anak muda atau Wan-ci tadi, namun ia tak dapat berbuat apa-apa. Ia bergerak makin seru lawan makin perlahan. Dan setelah beberapa jurus lagi. Kini ia berbalik dari menerjang menjadi diserang.

Ketika itu wan-ci berada disamping. Dengan seksama ia awasi jalannya pertempuran antara suhunya dan nona Baju Kuning itu. Dengan begitu tercapailah maksudnya mencuri lagi beberapa kepandaian dari suhunya, apabila suhu itu betul-betul masih menyimpan beberapa macam ilmu. Tapi ia menjadi kecele "Jwan hun kiam sut" yang dimainkan oleh sang suhunya itu dapat bergerak dengan mantap dan mahir sekali. Betul-betul dia dapat menguasai permainannya dengan sempurna sekali.

Pokok tujuan dari "sam-hun-kiam" yakni untuk menghantam kelambatan musuh dengan kecepatan, agar musuh menjadi kalang kabut. Namun Hwi Ching tak mau mengekor gerakan musuh hingga setelah berselang beberapa jurus lagi kedudukan mereka menjadi terbalik.

Sampai disini insyaflah Ceng Tong bahwa kini ia menghadapi seorang angakatan tua yang kenamaan, ia harus dapat bertindak sebat. Dengan asap digurun pasir dan meliwis jodoh dipadang pasir ia merangsek hebat untuk menangkis, sebat luar biasa Ceng Tong memutar diri untuk lari.

Namun Jwan hu-kiam sut dari Hwi Ching bagaikan hujan yang tak kenal putus, sekali terlibat, jangan harap dapat terlepas. Apa boleh buat Ceng Tong terpaksa melayani dengan mendelu hati.

Melihat kesempatan bagus itu. Wan ci lalu masukkan pedangnya dan dengan ilmu silat tangan kosong Bu-kekihian-kang-kun, ia terjunkan diri dalam kalangan, sudah barang tentu Ceng Tong makin ripuh dibuatnya.

Wan ci memang nakal, ia tak sungguh-sungguh mengarah serangannya dibagian yang berbahaya dari lawannya, caranya berkelahi pun hanya seperti orang bercanda. Dengan tangan kosong, ia jotos kesana, menepuk kesini. Ia memang hanya mau membalas hinaan ketika bulu suri kudanya dijebol tempo hari itu.

Menurut kaum muslim, pergaulan antara laki-laki dan perempuan sangat dibatasi. Wanita yang keluar rumah tentunya harus menggunakan kerudung untuk menutupi mukanya. Namun bagaimanapun karena menjalankan tugas penting terpaksa aturan itu dikesampingkan oleh Ceng Tong. Ceng tong adalah seorang gadis yang memegang teguh kesucian, ia gusar sekali melihat kelakuan

yang tak senonoh dari wan-ci yang dikiranya seorang pemuda itu.

Karena marahnya kemudian ia lengah. Dan hampir ujung pedang Hwi Ching menyambar kemukanya. Dengan tersipu-sipu nona itu tundukkan kepalanya seraya menangkiskan pedang. Tapi tiba-tiba dari arah belakang, wan-ci berseru keras-keras, lihat pukulan!"

Dengan gerak "Ayam liar menotol beras" Wan-ci menghantam pundak kiri si nona. Dan ketika lawannya berusaha untuk menggunakan tipu "Kim Na-hwat" untuk menyambut tangan Wan-ci dari belakang ini dengan sabetnya meneruskan jotosannya kearah dadanya, kalau saja pukulan itu mengenai sasarannya, orangnya pasti akan terluka berat.

Walaupun Ceng Tong terkejut, namun ia sudah tak berdaya untuk menarik kedua tangannya yang dipakai untuk menangkis serangan Hwi Ching dan serangan Wan-ci. Namun Ceng Tong tak menjadi gugup dan segera tarik tubuhnya kebelakang, walaupun tak dapat lolos sama sekali dari musuh, tapi sedikitnya dapat mengurangi tenaga hantamannya.

Tapi ternyata wan-ci tak sungguh-sungguh memakai tenaga, begitu tangannya tiba kedada ia terus menjamahnya keras-keras bagian badan tersebut, habis itu dengan tertawa terbahak-bahak ia baru menarik kembali tangannya.

Itulah hinaan besar bagi seorang wanita, apa lagi seorang gadis suci seperti Ceng Tong, seumur hidup belum pernah ia alami peristiwa yang sangat memalukan itu, dengan meluap-luap ia tikam Wan-ci dan ketika anak jahil itu berkelit, ia barengi lagi membacok.

Betul-betul Ceng-tong umbar kemarahannya ia tak pedulikan sama sekali akan seranga Hwi Ching, seluruh perhatiannya dicurahkan untuk merangsek Wan ci saja.

Untung Hwi Ching mempunyai pikiran lain, ia mengetahui permainan pedang Ceng-tong tempo hari itu sangat bagus, dia hendak mencobanya saja, ia tak ada niat sama sekali untuk melukai si nona. Melihat orang tak pedulikan serangannya, iapun tak mau merangsek lagi serta terus menarik balik serangannya.

Serangan Ceng Tong yang gencar itu sampai tak memberi kesempatan bagi wan Ci untuk menarik pedangnya, ia terus-menerus mundur, tapi pada saat itu ia masih sempat menggoda.

"Aku telah merabanya, kau mau bunuhpun tak bergunalah!"

Ceng Tong keluarkan ilmu simpanannya yang disebut Onta sakti berkaki ajaib begitu ujung pedang hampir mengenai, secepatnya diganti dengan ilmu pedang istimewa dari Hian san pay, yakni "hay-si sim lou," Selekas itu juga hanya sinar pedang yang tampak bergulung-gulung sehingga mata wan-ci menjadi berkunang-kunang.

Nampak muridnya menghadapi bahaya, Hwi Ching tak berayal lagi terus maju menyambut serangan itu, baru saja wan-ci dapat mengasoh sebentar, ia sudah mulai tertawa dan menggoda lagi.

"Ah, sudahlah jangan marah-marah, kau kawin sama aku, bereslah!"

Sampai disitu tak kuatlah Ceng Tong menahan amarahnya saking gemasnya tak dapat melabrak wan-ci dia menjadi kalap. Ketika Hwi Ching menusuk, ia tak mau menangkis tapi bahkan ajukan badan untuk menubruknya.

Kaget Hwi Ching, buat nampak si nona hendak bunuh diri. Cepat-cepat dia tarik balik pedangnya dan mendorong pundak Ceng Tong hingga sampai sempoyongan lima tindak kebelakang, dia loncat memburu seraya berkata: "Nona jangan kesal hati."

Karena bingung dan mendongkol Ceng Tong sampai mencucurkan air mata. Dengan tak berkata apa-apa ia terus berlalu.

"Nona jangan buru-buru pergi. Aku ada sedikit omongan seru Hwi Ching seraya memburu pada nona itu?" Perintah Hwi Ching sambil berpaling kearah wan-ci.

Dengan cekikikan, Wan-ci menghampiri tapi ketika dekat, Ceng Tong tiba-tiba mengirimkan tinjunya.

"Aduh, tak kena Wan-ci berkelit dengan tertawa, sembari begitu ia tarik kopiahnya dan menjulurlah rambutnya yang bagus.

"Lihatlah aku ini seorang pria atau wanita?"

Hampir saja Ceng Tong mati terkejut ketika menyaksikan keadaan si pemuda yang sangat ia benci itu. Ia tak tahu, mengungkapkan perasaannya apa ia girang atau kah harus marah lagi. Yang nyata ia tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi.

"Inilah Liteecuku murid perempuan ia memang anak nakal sampai aku sendiripun kewalahan mengurusnya. Urusan tadi sebenarnya akupun tak mengetahuinya, harap kau jangan salah sangka." Demikian Hwi Ching memperkenalkannya.

Sembari berkata Itu, Hwi Ching hendak menjura, tapi cepat-cepat Ceng Tong mengoskan muka tak mau menerimanya. Ia tetap tak mau mengucapkan apa-apa, nyata kemarahannya masih belum padam sama sekali.

"Thian San Siang Eng masih apamu?" tanya Hwi Ching tanpa pedulikan sikap orang kepadanya.

Ceng Tong kerutkan jidatnya, tapi tetap membandel tak mau bicara.

"Dengan Thian San Siang Eng ........, Tut ciu tan Ceng Tik dan Swat hu Kwan Bing Bwee aku mempunyai hubungan yang rapat. Kata orang bukan tergolong orang luar." Meneruskan Hwi Ching.

"Twat Tiau adalah suhuku. Akan kulaporkan pada suhu dan sukong, bahwa kau seorang cianpwe menghina orang muda. Bukan saja menyuruh murid untuk mengganggu aku bahkan kau sendiri turun tangan." Kata Ceng Tong mengambek.

Sembari mengucapkan begitu, Ceng Tong mengawasi tajam-tajam pada Hwi Ching dan wan-ci, lalu berjalan pergi. Tapi baru saja ia berjalan beberapa tindak, didengarnya Hwi Ching berseru lantang, "Eh, kau melapor suhumu, tapi akan kau katakan bagaimana nanti? siapakah orangnya yang menghina kau itu?"

Ceng tong seperti diguyur air. Memang ia tak tahu she dan nama orang yang menghina itu. Ia terpaksa hentikan langkahnya, lalu bertanya: "Nah, kalau begitu kau ini siapa?"

Hwi Ching mengurut jenggotnya, setelah itu dia tertawa dan bertanya. "Kamu berdua seperti anak-anak saja, sudahlah, ini muridku, Li Wan Ci dan aku adalah Bian Li ciam Liok ....."

Mendadak Hwi Ching memutuskan omongannya sendiri, ia teringat bahwa selama ini ia menyembunyikan diri dengan cermatnya, sehingga Wan Ci sendiri belum mengetahui she dan namanya yang sebenarnya, tapi segera sambungnya: "Ah, kau bilang saja Cian Li Ciam dari Bu tong pay menghaturkan selamat pada suhumu, yang telah beruntung mendapatkan murid yang baik sekali."

"Ah, seorang murid yang baik? Aku telah dipermainkan orang secara begini, bukankah berarti menghilangkan suhu dan sukongku itu, sahut Ceng Tong dengan gemas dan putus asa.

"Nona, jangan kau anggap karena telah terkalahkan dalam tanganku tadi lalu merasa malu. Orang yang dapat melayani aku sampai berpuluh-puluh jurus seperti kau tadi, jarang sekali ada, sekalipun dikalangan kangouw, selama itu aku tahu bahwa Thian San Siang Eng tak mau menerima murid. Tapi permainanmu yang kusaksikan tadi itu, betul-betul warisan atau ajaran dari Siang Eng. Dan hal itu telah kubuktikan ketika kita bertempur tadi, bagaimana dengan sukongmu, apakah dia masih sering minum cuka dari suhumu?"

Habis mengucap itu Hwi Ching tertawa tergelak-gelak.

Karena sampaipun urusan pribadi dari suhu dan sukongnya diketahuinya, insyaflah Ceng Tong bahwa kini ia berhadapan dengan seorang cianpwe angkatan tua. Namun ia masih tak mau tunduk katanya: "kalau betul kau adalah sahabat suhuku mengapa suruh muridmu mengganggu aku. Karena dialah hingga kitab suci itu terlepas lagi. Ku tak percaya kau seorang yang baik."

Terus ia langkahkan kakinya lagi, nyata ia tak mau kalah adu lidah. Dengan cerdiknya ia desak Hwi Ching.

"Adu pedang kalah, bukanlah hal yang memalukan. Tapi kitab suci sampai tak dapat merampasnya kembali, barulah yang dikatakan sebagai hinaan, kalah menang apalah faedahnya untuk seseorang, itulah yang harus kita tempur mati-matian demikian kata Hwi Ching tiba-tiba.

Ceng Tong seperti orang yang disadarkan dari kehilapan. Dengan serta merta ia menuju kehadapan Hwi Ching untuk memberi hormat, katanya: "Siuwtet seorang bodoh, mohon locianpwe suka memberi petunjuk, sebagai jalan untuk merampas kembali kitab suci itu dari genggaman anjing-anjing itu. Untuk budi locianpwe itu, pasti seluruh bangsaku akan berterima kasih tak terhingga."

Ceng Tong terus jatuhkan diri untuk memberi penghormatan, tapi buru-buru dicegah oleh Hwi Ching.

"Karena perbuatanku yang ugal-ugalan itulah sampai membikin kapiran urusanmu. Cici kau jangan kuatir, kubantu padamu untuk mendapatkan kitab suci itu kembali. Mari kita pergi sekarang juga" Wan-ci mendesak.

Hwi Ching menyetujui ajakan muridnya itu, untuk itu terlebih dahulu kita selidiki keberadaannya. Begitulah diputuskan, Hwi Ching berada diluar sementara Ceng Tong dengan wan Ci masuk kedalam hotel. Tadi wan Ci tampak Tong siu Ho masih menggendong bungkusan merah itu dibelakangnya. Dia ajak Ceng tong menuju kamar si orang seh Tong itu. Pintu kamar itu menyala, maka kedua nona itu lalu lebih dulu sembunyi diri disudut tembok untuk mendengarkan pembicaraan orang dalam kamar itu.

Terdengar jelas bagaimana Tang Siu-ho mengoceh tak karuan dan sesaat kemudian menjadi diam kembali.

"Tio thay jin, "kau sungguh hebat sebentar saja kau telah sembuhkan Tong He-see kita ini, tiba-tiba kedengaran seorang piauwsu berkata. "Sekalipun mati, tak akan aku mau diobati oleh orang Hong Hwa hwee itu," kedengaran Tong siu-ho membual.

"Kalau jauh-jauh hari tahu Tio thay-jin kita datang kemari, tak nanti kita sampai merendahkan diri meminta pada dia, hmmm, sungguh sial," seru Chi piauwsu.

Saat itu terdengar suara gagah dari seorang lantas katanya: "Coba tunjukkan aku sepasang suami isteri itu. Besok pagi kalau Loo Go sudah datang, kita akan turun tangan, orang-orang itu memang sebangsa kantong nasi saja, masa empat orang mengerubuti seorang perempuan saja tak mampu mengalahkan."

Saat itu wan ci tak sabar lagi. Ia mencari lobang pada kertas jendela untuk mengintip kedalam. Ternyata di kamar itu terdapat enam orang. Seorang yang berusia empat puluh tahun lebih, nampaknya sangat keren dan gagah sekali. Mungkin dialah yang dipanggil Tio tayjin itu. Sepasang biji matanya bersinar tajam. Nyata orang itu sangat lihay sekali iwekangnya. Diam-diam Wan-ci heran mengapa orang pemerintahan, terdapat begituan.

"Loo Tong serahkan pauwhok itu padaku, kawanan orang islam itu tentu tak mau berhenti, mungkin di jalan nanti kita mendapat rintangan." Kata Giam See Ciang.

Dengan sikap ayal-ayalan Siu-ho melepas pauwhoknya, nyata sekali ia segan untuk meyerahkannya.

"Ayo, kau tak perlu kuatir, aku takkan merebut pahalamu, yang penting biarlah kitab itu dapat tiba di kota raja dengan selamat dan nanti kita enak semua." Kata See ciang pula.

Mendengar itu Wan ci kaget, sekali piauwhok itu berada ditangan she Giam itu, sukarlah untuk merebutnya karena ia itu ilmunya lihay sekali, cepat ia mengasah otak mencari akal ia berbisik beberapa patah kata di dekat telinga Ceng Tong. Ia sendiri lalu melepas kopiahnya, rambutnya diuraikan kemuka, lalu memakai sapu tangan untuk menutupi separuh mukanya, setelah itu ia menjemput dua lembar genteng terus ditimpukkan kearah jendela.

Genteng itu menyambar padamkan pelita di dalam kamar, dan secepat itu tampak lima sosok tubuh loncat keluar, malah salah seorang yang berada dimuka sendiri kedengaran berseru. "Siapa yang bernyali besar itu?"

Ceng Tong mengerti maksud kawannya, dengan bersuit keras, ia loncat melewati tembok. Mengira itulah sang pengacau, piauwsu-piauwsu itu segera mengejarnya. Setelah piauwsu itu menghilang, Wan ci menerobos masuk kedalam kamar.

Hampir setengah harian Siu-ho menderita ditotok, dan kini baru saja ia sembuh, sudah tentu badannya lemas. Dengan berlalunya kawan-kawannya tadi, tahu-tahu ada seorang sangat aneh rambutnya terurai kemuka, setan bukan orang bukan. Malah makhluk itu berjingkrak-jingkrak dengan mulut berkecat-kecat tak karuan artinya.

Saking takut dan kagetnya, Siu-ho lemah lunglai tulang sendinya. Cepat sekali makhluk itu menyawut pauwhok siu-ho, lalu dengan masih bersuit cuwat-cuwit dia berobot keluar.

Sekarang kita tengok kawanan pauwsu yang tengah mengejar bayangan hitam tadi, di saat lain tiba-tiba Tio tayjin hentikan larinya dan berkata:  "Celaka kita telah terjebak, memancing harimau keluar sarang. Ayo, lekas kembali!"

Kawan-kawannya pun seperti tersadar. Ketika memburu kedalam kamar, didapatnya Siu-ho dalam keadaan yang lucu. Dia jungkir balik dari atas pembaringan, terlongong-longong seperti patung. Baru setelah dipaksa kawan-kawannya ia dapat menceritakan tentang makhluk seperti setan yang mengambil pauwhoknya tadi.

"Ngaco, berpuluh-puluh tahun kuberkelana di kangouw, belum pernah kujumpai seorang setan, bentak Thio taijin dengan gemasnya.

Wan-ci ketika itu sudah lompat tembok, ia bersuit pelan-pelan dan dari tempat kegelapan muncul dua sosok bayangan yang datang menyambutnya. Mereka adalah Hwi Ching dan Ceng Tong.

"Pauwhok telah kurampas kembali, harap jangan disalahkan lagi ......."

Tapi belum habis Wan-ci menyatakan kegirangannya itu, tiba-tiba Hwi-Ching berseru.

"Awas dibelakangmu!"

Baru wan-ci hendak kebelakang pundaknya telah ditepuk orang, cepat ia pakai tangan kirinya untuk menangkap penyerangnya, tapi ia kalah sebat dari orang itu yang lenih dulu telah menarik tangannya. Wan ci terkejut hatinya. Insyaflah ia betapa lihay musuhnya itu sehingga tak merasa dirinya dihunus dari belakang.

Buru-buru ia berbalik diri. Tampak olehnya seorang setengah tua yang tinggi perawakannya tengah berdiri dihadapannya begitu dekat orang itu berdiri dibelakangnya, karena terkejutnya Wanci sampai mundur dua tindak dan berbarengan itu ia lemparkan pauwhok kepada Ceng Tong sambil berseru "Terimalah barangmu, Cici!"

Habis itu ia menatap kepada si orang tadi siap untuk menghadangnya. Tetapi tak disangka, kalau gerakan musuh itu sedemikian sebatnya, pauwhok melayang dia membarengi mengenjot kakinya untuk menyawut. Melihat itu wan-ci menjadi terkejut dan gusar, seketika itu diserangnya orang itu, sedang dilain pihak, Ceng Tong segera menyerangnya dari belakang.

Dengan tangan kiri menggengggam pauwhok orang itu keluarkan ilmu silat "Koo Soe-ping" sebuah ilmu silat cabang Voe Tong pay yang digerakan dengan tenaga yang berisi, sekejap saja Wan ci dan Ceng Tong kena di desak mundur sampai beberapa tindak.

Wan ci segera mengetahui bahwa musuhnya itu adalah orang yang mengobati Tong Siu-ho, yakni yang disebut Tio Tai-jin, Ko su-pang. Adalah ilmu silat pertama yang dipelajari oleh wan Ci selama ia berguru pada Hwi Ching, selama itu ia tak menyangka, bahwa ilmu silat itu telah begitu mahir dan berbahaya sekali ketika dijalankan oleh orang she Tio tersebut. Menghadapinya, sampai-sampai Wan Ci harus mengerahkan kepandaiannya. Pada suatu kesempatan ia berpaling kearah suhunya, tapi ternyata suhunya itu entah kemana perginya.

Juga Tio tayjin merasa terkejut tampaknya jurus-jurus permainan Wan ci adalah serupa dengannya. Dia nantikan sampai wan Ci memainkan jurus, To Ki-liong ia tak mau berkelit. Begitu miringkan tubuh, ia juga gunakan gerak To ki-liong untuk menyambutnya.

Sama jurusnya, tapi lain sekali kekuatan penggeraknya, kesemutan, sakitnya bukan kepalang. Kakinya sempoyongan untuk mencegah jatuh terpaksa Wan Ci loncat kesamping.

Nampak kawannya menghadapi bahaya, Ceng Tong cepat loncat menghampiri seraya mengulurkan tangan untuk menahan tubuh sang kawan yang hampir saja rubuh itu, sembari berbuat begitu, tangan kanannya mengacungkan pedang kearah musuh. Maksudnya untuk menjaga jika musuh maju menyerang.

"He, bocah katakan .... suhumu orang she Ma atau she Liok!" seru orang itu dengan lantang.

"Biarlah kutipu ia, pikir wan Ci. Maka sahutnya "Suhuku orang she Ma, bagaimana kau bisa mengetahuinya?"

"Bagus betul perbuatanmu itu, berjumpa dengan susiok tak mau menjalankan peradatan."

"Mendengar bahwa orang itu ternyata adalah paman guru Wan Ci, maka hilanglah harapan Ceng Tong untuk dapat merampas kembali kitab suci itu. Sekali kakinya mengenjot, ia loncat setombak jauhnya, terus berlari.

Wan ci terkejut bukan main, terus buru-buru mengejar. Tapi baru ia mengejar beberapa puluh tindak, dilihatnya langit mendung sekali. Kilat pun berkelebat diudara. Ia ngeri sekali, dan tak berani mengejar terus. Tapi ketika kembali ketempatnya tadi, dilihatnya orang she itu sudah tak berada disitu lagi. Iapun cepat-cepat loncat tembok terus masuk, dan baru saja ia melangkah kedalam kamarnya, hujan turun dengan lebatnya.

Hujan ternyata sampai pagi. Nampak hujan masih turun lebat. Wan ci menuju ke kamar Li Thay-thay dan mengatakan bahwa rombongan mereka terpaksa tak dapat berangkat.

Habis makan pagi, wan Ci menghampiri kamar suhunya dan menuturkan tentang kejadian semalam. Mendengar penuturan muridnya, tampak Hwi Ching mengerut dan dahinya seperti berpikir dalam-dalam.

"Kau tak bilang kau muridku, itulah baik-baik." Katanya kemudian.

Melihat wajah gurunya berubah serius wan Ci tak berani menanyakan lebih jauh.

Orang yang disebut Thio �taijin itu, memang sutenya Hwi Ching yang bernama Thio Ciauw Tiong. Orang kangouw menyebutnya "Lebih baik ditusuk tombak tiga kali, asal jangan berjumpa dengan she Thio."

Loo Ong, dimaksudkan "Wi-tin-ho-ni" Ong Hwi Yang Poan-koan Thio Ciauw Tiong. Kedua orang itu yang seorang menjadi piauwsu dan yang satunya menjadi pembesar negeri adalah orang-orang yang memusuhi orang-orang gagah di kalangan Bu-lim. Mereka sangat sombong, karena andalkan kepandaian yang tinggi.

Hwi Ching mempunyai tiga orang saudara seperguruan, suhunya kelewat sayang pada murid yang bungsu, sehingga Ciauw Tiong ilmunya lebih lihay dari suheng-suhengnya.

Sejak Hwi Ching putus persaudaraan dengn sutenya itu, baru kali ini dia berjumpa. Ketika sutenya bertempur dengan Wan Ci dan Ceng Tong, dia menyingkir ketempat gelap. Dia tak menduga kalau dalam sepuluh tahun ilmu silat Ciauw tiong maju begitu pesat. Diam-diam dia mengakui bukan tandingan sutee itu. Dengan adanya orang selihay itu dalam barisan kuku garuda Pemerintahan Ceng, maka bertambah tangguh keadaan mereka.

Sepanjang pendengaran Wan Ci maka diketahuilah bahwa Ciauw Tiong datang kesitu untuk menangkap pesakitan penting dari Pong Hwa Hwee. Bagaimana nanti mereka dapat lolos dari tangan manusia kejam itu?

Hawa udara pada permulaan musim Chiu rontok sangatlah panasnya. Dan rupanya hujan terus-menerus tak henti-hentinya sifat kanak-kanak masih belum terlepas dari Wan Ci. Untuk mengeram diri dalam kamar saja sungguh menjemukan. Maka pergilah ia menengok kamar orang Hong Hwa Hwee. Keadaan disitu ternyata sepi-sepi saja, karena Tin Wan Piauwkok juga belum juga berangkat. Beberapa orang piawsu tengah duduk bercakap-cakap di ruangan tengah. Hanya orang she Thio yang katanya adalah susioknya itu tak nampak.

Tiba-tiba dari luar, terdengar derap kuda mendatangi.

Kuda itu ternyata berhenti dimuka pintu hotel, dan seorang yang dandanannya seperti anak sekolahan, bertindak kedalam. Oleh jongos ia disuruh masuk kedalam.

Perawakan anak sekolahan itu tinggi kurus sepasang matanya bening sekali dinaungi oleh alis yang bagus. Di daerah luar perbatasan jarang terdapat seorang pemuda tampan seperti dia itu. Melamun sampai disitu, merahlah selebar muka Wan Ci, maka buru-buru ia melengoskan kepala.

Dengan tenang dan nikmat pemuda itu duduk menghadapi arak. Ketika itu kembali dari arah luar terdengar derap kuda mendatangi lagi. Melongok dari jendela Wan Ci mengenali keempat orang yang datang itu.

Mereka adalah pengeroyok Hou ping, si wanita gagah pada beberapa hari yang lalu itu lekas Wan ci masuk memberi tahukan suhunya, lalu mereka bersama-sama melihat dari jendela untuk melihat perubahan apa yang akan terjadi.

Dari keempat orang tersebut, yang bersenjatakan pookiam rupanya pemimpinnya, ia panggil pelayan dan menanyakan dengan berbisik, setelah itu lalu meminta arak.

"Bangsat, Hong Hwe itu belum pergi, kita makan dulu nanti baru bekerja!" kata orang yang membawa pookiam itu.

Rupanya kata-kata itu terdengar oleh si pemuda itu, wajahnya kelihatan berubah ia melirik pada keempat orang itu tajam-tajam.

"Harus kita bantu wanita itu tidak guru?" tanya Wan ci tiba-tiba.

"Kau jangan sembarangan bergerak, tunggu perintahku dulu," jawab Hwi Ching sembari memandang si anak sekolahan itu. Pada saat itu, pemuda tadi telah menghabiskan daharannya lalu memindahkan bangkunya keserambi, kemudian mengeluarkan sebatang seruling, terus ditiupnya nyaring-nyaring.

Wan ci kenal seruling itu memainkan lagu "Thian cing-soa" atau sunyi senyap dipadang pasir.

Meniup seruling Wan ci menganggap biasa saja tapi yang membuatnya heran, seruling itu bercahaya keemasan, seperti terbuat daripada emas. Perjalanan di daerah utara sangatlah tak aman, sebatang seruling mas cukup akan menarik perhatian penjahat. Wan ci mengambil keputusan, akan memperingatkannya nanti.

Juga keempat orang itu, merasa heran atas kelakuan si pemuda sekolahan itu. Habis makan tiba-tiba si pembawa pookiam yang ternyata bertubuh kate itu loncat keatas meja lalu berteriak keras-keras.

"Kami adalah hamba negeri yang diutus oleh pemerintah agung untuk menangkap pesakitan penting dari Hong Hwa Hwee, saudara-saudara sekalian harap menyingkir dulu.

Habis berpidato orang tersebut loncat turun lagi, terus akan menuju ke kamar Lou Ping untuk kesitu, terus akan menuju melalui jalan dimana si pemuda sekolahan itu sedang duduk menyuling, dengan acuh tak acuh enak-enakan meniup serulingnya terus.

"He sahabat, jangan menghalangi jalanan" kata si pendek itu, rupanya ia agak sungkan terhadap seorang sekolahan, kalau saja orang biasa tentu sudah dilemparkannya.

Tampak pemuda itu tenang menurunkan serulingnya dan berkata: "Tuan-tuan mengatakan akan menangkap pesakitan penting, sebenarnya apakah kesalahan mereka itu? Kukira lebih baik dilepaskan saja, dari pada nanti tuan banyak repot."

"Hayo enyahlah, jangan kau campuri urusan orang!" bentak si pendek dengan marahnya sembari maju selangkah.

Pemuda itu masih tenang-tenang saja, malah dengan ramahnya ia mengajak mereka minum bersama-sama , katanya: "harap tuan-tuan jangan buru-buru, aku sebagai tuan rumah, mengundang tuan-tuan minum bersama buat mengikat tali persahabatan, tentunya tuan

tak akan menampik, bukan?"

Orang itu tidak dapat bersabar lagi, dengan mnjulurkan tangan ia dorong pemuda itu sambil membentak: "Bangsat, sungguh menjemukkan!"

Ketika tangan hampir mengenai, tahu-tahu pemuda itu menggeliat tubuh dan berteriak-teriak: "Aduh, jangan turun tangan keras-keras, " seperti orang sempoyongan kena pukulan, dia gentayangan ngerusuk kemuka dengan serulingnya. Tiba-tiba serulingnya ditusukan kedada kiri si pendek seketika itu juga si pendek jatuh numprah ke tanah.

"Astaga jangan, jangan lakukan penghormatan begitu, aku tak berani menerimanya!" teriak pemuda sekolah itu dengan lalu mencegah.

Bagi mata seorang ahli, tentu segera mengerti bahwa pemuda itu telah gunakan ilmu menotok untuk mempermainkan orang itu, kalau tadinya Wan ci menaruh kekuatiran, kini berbalik girang bukan main melihat permainan sianak muda itu.

"Susiok, jangan-jangan dia si kepala Hong Hwa Hwee!" bisik yang memegang Jwan-pian, seorang dari empat lelaki tadi, pada kawannya.

Mendengar itu, kedua lawannya itu terkejut sekali, terus mundur beberapa langkah. Pada saat itu, si kepala hamba yang kena tertotok tadi, tak dapat berkutik lagi oleh kawannya yang memegang jwan-pian ia terus tarik kesamping.

"Adakah Tuan ini orang she Tan? Siautocu dari Hong Hwa Hwee itu?" tanya seorang tua yang dipanggil susiok tadi.

"Sungguh telinga kalian itu tajam sekali hingga dapat mengetahui bahwa siautocu Hong Hwa Hwee itu orang she Tan. Memang mata itu ada kalanya lebih tajam dari pisau. Tapi kali ini betul-betul kuberada, aku inilah orang She Le bernama Hi Tong. Le artinya, aku, Hi ialah ikan didalam empang, sedang huruf Tong, berarti, sama. Aku yang rendah ini hanya salah seorang yang tak berarti dari Hong Hwa Hwee. Kursiku hanya keempat belas dari urutan kedudukannya. Pemuda itu dengan tertawa menerangkan dirinya, setelah itu ia angkat keatas

serulingnya dan berkata pula. "Adakah kalian tak mengenal diriku ini?"

"Oh, kau adalah Sim Liok siu thay, bukan?" kata si hamba serdadu.

"Jangan keliwat menjunjung tinggi diriku itu, kepandaianku masih belum berarti apa-apa, jangan kalian salah menganggap aku sebagai siautocu dari Hong Hwa Hwee, salah-salah diriku bisa celaka nanti. Saudara bukankah Kepala Opas Pak Khia Go Kok Tong atau Go jiya yang sangat kesohor itu?"

"Benarlah, karena ternyata orang Hong Hwa Hwee, hayo tempurlah aku!" sahut orang tua tadi.

Seruan Go Kok Tong itu dibarengi dengan melayangnya pedang. Nyata betul bahwa orang she Ho itu bukan kosong namanya. Gerakannya, mengandung tenaga dalam yang hebat sekali.

Go Kok Tong adalah kepala polisi dari Pak Khia. Telah banyak perkara pembunuhan gelap yang dapat dibikin terang, sehingga tidak sedikit penjahat besar yang telah binasa dalam tangannya, karena kuatir pembalasan dari mereka yang telah hutang jiwa itu. Beberapa tahun yang lalu dia sudah undurkan diri.

Tapi ketika sutitnya yang bernama Pang Hi, bersama beberapa siuwi atau pahlawan keraton, mendapat firman untuk menangkap pesakitan penting dari Hong Hwa Hwee, dia tak dapat menolak permintaan supaya membantunya.

Orang yang bersenjatakan Jwan-pian itulah si Pang Hwi. Orang yang memegang golok kui-tao-to bernama Ciang Thian siu sedang yang membawa tongkat ialah Han Joeu Lim. Mereka adalah pentolan-pentolan polisi dari Tan Ciu.

Sebenarnya antara polisi Pa khia lam Ciu terdapat suatu persaingan halus, masing-masing berebut pahala. Tapi ternyata hasilnya Ciang Thian siu diam-diam Pang Hwi yang baik itu merasa girang karena saingannya roboh tapi dia kuatir juga akan dihajar musuhnya itu.

Pada saat itu, dengan sebatang suling mas, Le Hi Tong melayani Go Kok Tong, Pang Hwi dan Ciang Thiau-siu. Ada kalanya suling itu digunakan sebagai pian, tapi dilain saat digunakan untuk menotok jalan darah. Malah dilain saat mirip dengan permainan pedang. Ketika pentolan hamba negeri itu, tak dapat berbuat banyak. Malah mereka kelihatan repot sekali menjaga diri.

Baik Hwi Ching maupun Wan-ci, nampaknya girang dengan jalannya pertempuran itu, kata si nona. "Dia gunakan ilmu pedang Jwan hun-kiam."

Hwi Ching anggukkan kepalanya dan berpikir Jwan-hun kiam adalah ilmu tunggal dari cabang Boe tong pay. Pasti dia murid dari Toa Suheng Ma Cin.

Memang dugaan Hwi Ching itu tidak salah. Le Hi Tong adalah murid kesayangan dari Ma Cin. Dia anak dari seorang ternama, karena terkena fitnahan orang dan meninggal di penjara.

Dengan bertekad bulat Hi Tong berguru pada Ma Cin setelah selesai dalam pelajaran ilmu silat dia pulang ke kampungnya dan membunuh tuan tanah yang jahat itu. Dan sejak itu dia berkelana di kangouw sampai akhirnya dia masuk dalam gerakan Hong Hwa Hwee.

Dia otaknya memang cerdas apa saja dapat dipelajarinya dengan cepat. Karena kecerdasannya itu, di Hong Hwa Hwee diserahi tugas penghubung dan pemberi warta. Kali ini sebenarnya dia sedang menjalankan perintah Siau-tocu ketua muda, untuk suatu urusan di Lok-yang. Sama sekali dia tak mengetahui bahwa Pan Lui ciu Bun Thay-thay dan Wan yang to Tao Ping telah kepergok musuh dan terluka beristirahat di hotel tersebut. Karena kata-kata keras yang diucapkan Go Kok Tong akan menangkap orang Hong Hwa Hwee, itulah yang mendesak ia untuk turun tangan melindungi kawannya. Ketika mendengar tiupan seruling tadi, tahulah Lao ping bahwa Kim Tiok siucay seruling emas, telah datang.

Le Hi Tong memberi perlawanan seru pada ketiga pengeroyok itu. Orang-orang Piauwkok pun sama keluar melihat ramai-ramai itu.

"Kalau aku suruh dua orang saja yang melayani sedang yang seorang bisa gunakan senjata rahasia Tong Siu Ho," si mulut usil itu berkata. Dia lihat pang Hwi mengendong busur maka secara tak langsung ia mengingatkannya karena ia masih dendam dengan orang Hong Hwa Hwee.

Pang Hwi seperti tersadar, loncat keluar kalangan dia enjot kakinya keatas meja sekali menjambret busur melayanglah beberapa biji pelor kearah Le Hi Tong.

Dengan Lincahnya Le Hi Tong berkelit, namun kedudukannya berbahaya karena dia masih menangkis serangan musuh, pedang dari Go Kok Tong dan Golok Ciang Tian siu berbarengan menyambar. Ketika Hi Tong berusaha menangkisnya agaknya terlambat sedikit. Ujung pedang Go Kok Tong menowel krowak jubahnya. Agak kesima Hi Tong dan kelalaian sesat itu saja harus dibayar dengan benjol kening tersambar sebuah pelor.

Kesakitan itu telah mengendorkan gerakannya, justeru sebaliknya kedua lawannya itu makin memperhebat serangannya. Kini Hi Tong hanya kuasa membela diri, tak dapat membalas menyerang. Namun Ia tak sampai gugup, ilmu silatnya cukup lihay, sembari tangan kanan memegang seruling, dua jari tangan kirinya dipakai untuk menotok jalan darah dibawah tetek Go kok tong.

Terkejut juga Go Kok Tong melihat kepandaian yang mengagumkan dari sianak muda itu. Tapi secepat itu pula Hi Tong mengganti totokan menjadi pukulan terus diayunkan kemuka Ciang Thian siu. Malah golok dipakai untuk menangkis pukulan dari Hi Tong, seketika itu juga Hi Tong berlaku lambat untuk menarik tangannya.

Melihat kesempatan yang bagus, dari menangkis Thian siu teruskan goloknya untuk menyerang, tetapi ia baru sadar ternyata musuh hanya melakukan pancingan sehingga ia terlambat, secepat kilat si anak muda itu mengayunkan sulingnya kemuka, maka terjungkallah Thian siu ke tanah.

Sebelum Hi tong menyusul kemplangannya, lantas tercegah oleh datangnya Pedang Co kok tong dan pelor Pang Hwi yang datang menyambar. Pertempuran terus berlangsung dengan serunya, ketika itu Thian Siu sudah bagkit kembali.

Selagi Hi Tong mencurahkan perhatian menangkis pedang dan menghindari pelor, ia tumplek seluruh kekuatannya dalam gerakan Tok hiat san, golok dihantamkan ke batok kepala orang, serangan itu hebat sekali, sukar bagi Hi Tong untuk menghindarinya.

Tapi sekonyong-konyong tangan Thian siu terasa sakit sekali. Berbarengan dengan terdengarnya suara mendering, goloknya terpental jatuh ke tanah. Selagi ia masih bengong karena terkejutnya. Tahu-tahu sebatang hui to telah bersarang di dadanya. Tanpa berkaok-kaok lagi, ia roboh binasa seketika.

Ketika berpaling kebelakang, tampak olehnya, Wan yang to Lau ping sudah berdiri disitu dengan menggenggam sebatang Huito. Kini tumbuhlah semangatnya. Kalau ada Lou Ping tentunya sang suami pun berada disekitar situ. Dengan Pat-lui chiu Bun thay-thay disampingnya, mudahlah untuk membereskan kawanan kuku garuda ini. Demikian anggapan Kim Liok siucay Le Hi Tong, sama sekali ia tak mengira kalau Bun Thay-thay dalam keadaan luka berat, tak dapat bergerak apa-apa.

"Su-so, kau bereskan dulu orang yang melepaskan pelor itu seru Hi-Tong.

Ucapan itu dituruti oleh Lau Ping dengan kirimkan sebatang Huito. Dengan tergesa-gesa Pang Hwi pakai busurnya untuk menangkis.

"Trang !"

"Busur patah menjadi dua, tapi Huito itu tetap masih ada kekuatannya menyambar lengan Pang Hwi, serasa terbang semangatnya dan berseru keras-keras. Susiok, berhenti, angin keras!"

Itulah sandi pertanda untuk mundur karena setelah itu Pang Hwi berbalik bahkan terus lari Go Kok Tong merangsek hebat dan ketika Hi Tong terpaksa mundur, dia sambar han Jun Lim yang terkapar ditanah, sambil memanggulnya terus dibawa pergi.

Le Hi tong tak mau mengejar, hanya kembali menempelkan sulingnya kemulut lagi untuk ditiupnya. Dalam pandangan wan Ci, siaucay itu aneh sekali. Tapi bukan demikian sebenarnya. Kali ini Hi Tong tak meniup sulingnya dengan cara dialangkan, tapi pegangnya secara diluruskan kebawah.

Begitu mulut meniup, maka dari lobang suling itu melesatlah sebatang anak panah kecil lurus menyambar musuh yang tengah lari tunggang langgang itu. Pang Hwi berkelit dengan tundukkan kepalanya kebawah, tapi tidak demikian dengan Han Jun Lim, pantatnya telah tertancap anak panah itu menjeritlah dia dengan kesakitan hebat.

Sehabis itu Hi Tong menanyakan pada Lou Ping dimana suaminya sekarang. "Mari ikut aku, jawab lou Ping. Dengan gunakan palang pintu sebagai tongkat untuk menahan pahanya yang terluka itu, Lou ping membawa Hi Tong ke kamarnya.

Sedang di lain pihak, ketika Go Kok Tong berlari-lari sembari memanggul han Joen Lim yang terluka itu sampai diluar pintu hotel, tiba-tiba dia bertabrakan dengan seseorang. Berpuluh-puluh tahun Co Kok Tong meyakinkan ilmunya, kekuatan kakinya teguh bagaikan besi. Tapi bukan main terkejutnya ketika saling berbenturan dengan orang itu, dia sampai terdorong mundur beberapa tindak.

Untuk menyelamatkan diri supaya tidak terjatuh terpaksa ia lemparkan kawan yang dipanggulnya itu.

Celaka bagi Han Joen Lim, karena sudah terluka oleh huito ditambah lagi anak panah yang menancap dipantatnya kini tubuhnya dilemparkan ketanah, karuan panah itu amblas masuk dalam daging hingga ia menjerit-jerit kesakitan.

Ketika Kok-Tong mengawasi, ternyata orang itu adalah kepala Gi Lim-kun Thio Ciauw Cong. Dari marah, kini ia berbalik menjadi girang bukan main.

"Astaga, Thio tay-jin. Rombongan kita tak berguna, " segera ia menyapa.

Adat Ciauw cong sangat tinggi. Dia tak mau menyahut dengan kata-kata, hanya perdengarkan suara hmmm saja, sekali tangan kirinya kirinya ia sanggapi Han Joen Lim, tangan kanannya segera memijat perutnya, lalu menepuk pahanya.

Heran juga, seketika itu Joen Lim rasakan kakinya leluasa bergerak lagi.

"Apakah buronan itu sudah lari?" Ciauw Cong bertanya

"Belum, masih disana," sebut Kok Tong.

"Hm, sungguh besar nyalinya. Membunuh hamba negeri masih begitu berani tinggal di hotel, jengek Ciauw Cong.

Sambil berkata itu, Ciauw Cong berjalan menuju ke ruangan dalam. Dihampirinya Ciang Thian Siu yang sudah tak bernyawa itu. Huito yang menancap didadanya dicabut dan dimasukkan kedalam kantongnya.

"Thio-tayjin tiamcu tinggal di kamar itu." Demikian Pang Hwi memberi keterangan, sambil menenteng jwan piannya ia berlaku sebagai penunjuk jalan.

Ketika rombongan Ciauw cong sudah bersiap akan memasuki kamar Bun Thay-thay, sekonyong-konyong dari sebelah kamar lain loncat keluar seorang pemuda dengan memegang sebuah pauwhok merah, Pauwhok dia lambaikan pada Ciauw Cong, sambil berseru.

"He, sudah kurampas lagi!"

Tanpa melihat sikap orang, pemuda itu terus berjalan keluar, sesaat itu terkejut juga hati Ciauw cong. Dia anggap rombongan piawsu itu hanya seperti kantong nasi saja. Pauwhok yang berisi Al-Qur'an itu dapat dia rampas dan diserahkan kepada mereka, tapi ternyata mereka tak mampu menjaganya. Karena waktu sedang menghadapi urusan penting, dia tak mau kejar si pemuda, terus akan melanjutkan serbuannya tadi.

"Entah pelajaran kucing berkaki tiga darimana yang telah tak malu menyebut diri sebagai susiok itu." Cis, tak tahu malu tiba-tiba terdengar seseorang berseru keras-keras. Ternyata itulah si pemuda. Kiranya ia berhenti disebelah sana, dan menghina Ciauw Cong.

Nama Ciauw Cong mengetarkan dunia kangaouw. Baik golongan putih maupun golongan hitam, sangat menyegani, selama itu belum pernah ia dihinakan orang.

Seketika itu juga, meluaplah darah Ciauw Cong, sekali loncat dia terjang si pemuda itu. Yang ternyata adalah wan Ci, maksud Ciauw cong akan dibekuknya anak itu, untuk diberi hajaran lalu akan diserahkannya pada Tao suhengnya, Ma Cin. Dia menduga anak itu tentu murid Tao-suhengnya.

Bagai diuber setan, larilah Wan-ci sekeras-kerasnya.

"Bocah edan kau mau lari kemana," seru Ciauw Cong sembari mengejar. Tapi si anak muda itu telah melenyapkan diri, entah kemana. ketika Ciauw Cong berniat hendak menyelesaikan urusannya tadi, dengan mengeluarkan kata-kata ejekan yang memerahkan kuping.

Apa boleh buat, dia mengejar lagi. Dengan demikian semacam permainan kejar-kejaran. Kalau dia berhenti juga, dengan tak lupa mengeluarkan kata-kata yang mengejek.

"Akan kubekuk dulu si bangsat itu, baru nanti kukejar urusan itu." demikian Ciauw Cong berpikir, dan dia segera gunakan ilmunya berlari cepat untuk mengejarnya.

Karena bernafsu betul-betul, maka jarak antara dia dengan wan-ci semakin dekat. Sampai disini wan Ci jadi semakin bingung. Ia lari, lari terus kelereng gunung. Tapi sekali Ciauw Cong enjot kakinya keras-keras dia sudah berada dibelakang wan ci. Punggungnya segera ia jambret.

Saking kagetnya, Wan Ci berontak sekuat-kuatnya. Dan karena itulah, maka telah kerowak sebagaian sebagian, tergenggam dalam tangan Ciauw Cong.

Cepat-cepat Wan ci mengambil keputusan. Dilemparkannya pauwhok itu kedalam saluran air dibawah gunung, sambil berseru: "Pergilah ambil sendiri."

Yakin bahwa pauwhok itu berisi kitab Al-Qur'an, Ciauw Cong sangat kuatair kalau sampai jatuh keair tentu rusak. Tanpa pikir panjang lagi, dia loncat turun dari lamping gunung, untuk mengambilnya. Melihat itu Wan Ci tertawa tergelak-gelak terus kembali pulang.

Ternyata pauwhok itu sudah basah sebagian, maka tersipu-sipulah Ciauw Cong membukanya untuk melihat kitab kena air tersebut. Alangkah terkejutnya ia ketika dilihat isinya, ternyata bukan Al-Qur'an isinya melainkan dua buah buku hotel, yaitu daftar nama-nama tamu dan catatan kas, seketika itu juga ia memaki-maki.

Saking marahnya, rambut Ciauw Cong seperti berdiri. Kebesaran namanya berpuluh-puluh tahun itu, ditumpas dengan olok-olok si anak muda sehari itu saja. Dengan gemas dilemparkannya lagi Pauwhok itu kedalam salauran air. Karena kalau sampai ketahuan orang, tentu hilanglah, mukanya. Dengan menahan kemarahan, ia bergegas kembali, setiba di hotel dilihatnya Pauwhok berisi Qur'an itu masih menggemblok dibelakang punggung Giam See Ciang. Betapa malunya, untung hanya dia sendiri tidak ada orang lain yang mengetahuinya.

"Adakah pauwhok mu itu pernah diganggu orang?" tanyanya untuk mencari kebenarannya.

i

"Tidak ada," jawab See ciang. Walaupun demikian, see ciang mengundang Ciauw Cong kekamar untuk bersama-sama memeriksanya. Karena ia menduga, kalau sampai Tayjin tersebut sampai menanyakan, tentulah ada sebabnya. Tapi ternyata kitab itu masih terdapat didalam pauwhok tak kurang suatu pun.

Ciauw Cong memanggil pelayan untuk ditanya keterangan tentang orang-orang Hong Hwa Hwee seperti sudah tak kelihatan disitu juga tak ada pertempuran apa-apa lagi.

"Percuma kerajaan memelihara orang-orang itu. Baru kutinggal sebentar saja, orang-orang itu sudah dapat meloloskan diri, seru Ciauw Cong dengan murkanya. "Giam laote" mari ikut aku dan saksikan aku sendiri yang akan menangkap pesakitan itu.

Ciauw Cong segera menuju ke kamar yang ditempati Bun Thay-thay, sedang Giam See Ciang menjadi serba sulit. Karena terus terang saja dia jerih terhadap anggota Hong Hwa Hwee yang pengaruhnya besar itu. Tapi diapun tak berani menolak ajakan Thio tayjin yang lihay dan berpengaruh itu.

"Penjahat Hong Hwa Hwee, hayo serahkan diri, tiba-tiba Ciauw Cong berseru dimuka pintu kamr prang tangkapan itu.

Sampai beberapa saat lamanya tak ada jawaban apa-apa.

"Bangsat pengecut betul kau!" Ciauw Cong mengulangi seruannya sambil ia memaki-maki. Dia ayunkan kakinya, dan terbukalah pintu itu lebar-lebar. Kiranya pintu memang tidak dipalang dari dalam. Didalamnya tak kelihatan seorangpun juga.

"Ha, buronan sudah kabur!" seru Ciauw Cong dengan kaget. Langsung dia menerobos masuk masuk tapi kamar itu kosong melompong. Hanya diatas pembaringan tampak segunduk selimut yang menyerupai orang besarnya.

Jilid 4

DENGAN ujung pedang, dia singkap selimut itu. Dan untuk mengejarnya, disitu dua orang sudah menggeletak saling berhadapan.

Dengan ujung pedang ia towel orang tersebut, tetapi mereka tak bergerak. Ketika diawasi dengan seksama, ternyata kedua orang itu tak bernyawa lagi dengan muka pucat pasi dan sepasang biji matanya yang melotot. Kiranya kedua orang itu, adalah Han Joen Lim dan pak Hwi anggota opas dari pak Khia.

Nyata mereka telah lama menjadi mayat, karena baunya menusuk hidung Ciauw Cong, tubuh mereka tak terdapat tanda-tanda luka ataupun bekas darah. Baru setelah diperiksa dengan teliti dapat diketahui bahwa batok kepala telah hancur.

Tahulah Ciauw Cong bahwa mereka dibinasakan oleh pukulan Iwekang dari seorang ahli yang berkepandaian tinggi. Diam-diam dia kagum pada Pan Lui Chiu Bun Thay-Thay yang diduga adalah pembunuhnya itu. Walaupun orang she Bun itu terluka berat namun dia masih dapat menggerakkan tenga pukulan yang sedemikian dasyatnya itu "Pan Lui Chiu" si tangan gledek itu betul-betul tak bernama kosong.

Tapi dimanakah Go Cok Tong? Dan juga suami Bun Thay thay itu. Ciauw Cong panggil jongos untuk ditanyai tapi mereka tak dapat memberi keterangan apa-apa.

Yang nyata Ciauw Cong salah duga kali ini. Karena yang membinasakan Joen Lim dan Pang Hwi bukanlah Bun Thay thay.

Pada waktu Le Hi Tong dalam keadaan terjepit sukar baginya menghindari bahaya, Liok Hwi Ching diam-diam telah melepaskan huyong tiam yang tepat mengenai tangan Ciang Thian siu hingga goloknya sampai terpental jatuh. Dan disitulah Lou ping menyusuli dengan huitonya untuk menamatkan riwayat orang she Chiang itu.

Juga ketika Go Kok Tong memanggul Han Joen Lim lari tadi Hwi Ching yang dulunya mengira itu sang sutit Hi Tong bakal terlepas dari ancaman ternyata dibikin kaget dengan munculnya Ciauw Cong.

"Suhu yang merampas pauwhok malam itu adalah dia apakah suhu mengenalnya?" tanya Wan Ci.

Hwi Ching hanya mengeluarkan suara "hmm" saja karena dia sedang memikirkan suatu daya lalu katanya pada sang murid.

"Kau lekas-lekas pancing dia supaya meninggalkan tempat ini sejauh mungkin. Kalau-kau kembali lagi aku tak berada disini, besok pagi kau teruskan saja perjalananmu nanti kususul.

Wan ci hendak bertanya lagi, tapi buru-buru Hwi Ching mencegahnya dan serta merta disuruhnya cepat pergi. Wan ci yang lincah dan cerdas itu segera mendapat akal bagaimana menjalankan perintah suhunya itu. Ia ambil sehelai kain merah, dan dengan tak setahu pegawai hotel segera ia ambil dua buah buku. Dengan itulah ia berhasil mengelabui Ciauw Cong.

Hwi Ching cukup yakin dan percaya akan kecerdasan muridnya itu. Dia tahu juga bahwa meskipun suteenya mempunyai ilmu yang lihay, tetapi dalam kecerdasan masih kalah dengan litecunya itu. Dia yakin tentu sang murid tidak sampai mengalami bahaya apa-apa. Disamping itu, diapun tahu bahwa Ciauw Cong tak bakal mencelakai Wan ci, mengingat bahwa Li Khik Siu adalah seorang pembesar

tinggi. Dan yang paling menentramkan hati, ialah tabiat Ciauw Cong apabila mengetahui bahwa musuhnya adalah seorang wanita, tentunya ia akan berlalu tanpa mengganggu.

Ternyata perhitungan Hwi Ching itu sedikitpun tak melesat. Pada waktu itu Ciauw Cong tetap tak mau gunakan senjata rahasia, karena dia masih menyangka Wan Ci adalah murid dari toasuhengnya Ma Cin. Bagaimnapun dia tetap tak berlaku kejam.

Sewaktu Ciauw Cong keluar untuk memburu Wan Ci, Hwi Ching segera menghampiri kamar Bun thay-thay dan mengetok pintunya. Dari dalam kamar terdengar suara orang menanyakan.

"Siapa?"

"Aku seorang sahabat dari Lo Gwan Tong Lou Ngoya akan menyampaikan sebuah kabar penting jawab Hwi Ching."

Untuk beberapa saat, tak ada jawaban apa-apa dari dalam juga pintunya tidak kelihatan dibuka. Rupannya mereka tengah berunding. Selagi begitu, Go Kok Tong dengan ketiga kawannya kelihatan menghampiri. Rupanya mereka menyelidiki letak kamar dari Bun Thay-thay.

Heran mereka itu dibuatnya ketika menampak ada seorang berdiri dimuka pintu kamar Bun Thay thay. Justeru pada saat itu pintu tampak dibuka dan muncullah Le Hi Tong diambang pintu, katanya "Locianpwe ini siapa?"

"Aku ini sosiokmu Bian Li Ciam Liok Hwi Ching."

Agak bersangsi Hi Tong ketika itu. Memang dia tahu bahwa dirinya mempunyai seorang susiok tapi selama itu belum pernah ia mengenalnya.

Jangan bersuara, aku akan bikin kau percaya ayo lekas sembunyi sana, seru Hwi Ching berbisik ketika nampak orang masih sangsi kepadanya.

Mendengar itu, kecurigaan Hi Tong makin bertambah, dia tetap menghadang diambang pintu. Nampak sikap bandel itu, Hwi Ching ulurkan tangan kirinya untuk menepuk pundak Hi Tong, buru-buru mengegos kesamping menjulur kearah lambung orang. Dengan gerak "Lan Ca-ih" pelan-pelan didorongnya tubuh Hi Tong.

"Lan ca-ih" sebenarnya jurus pertama dari ilmu silat Bu Tong pay, sama sekali Hi Tong tak mengira, bahwa jurus itu ditangan Hwi Ching merupakan gerakan yang luar biasa kuatnya, hingga dia sampai terdorong beberapa tindak. Dalam kekagetannya, berserulah Hi Tong dalam hatinya. "Betul, betul inilah susiokku."

Justru ketika itu Lou Ping dengan sepasang goloknya siap untuk menerjang, buru-buru Hi Tong membuat gerakan tangan sambil mencegah. "Susiok, tahan!"

Pada saat itu, Hwi Ching melambai-lambaikan tangannya kepada kedua orang itu, maksudnya menyuruh mereka menyingkir. Habis itu, dia sendiri terus keluar untuk menyambut Go Kok Tong dan kawan-kawannya.

"Hai, orang dalam kamar ini sudah melarikan diri hayo kau periksa kemari!"

Tanpa curiga apa-apa, Go Kok Tong menerobos masuk diikuti oleh Han Joen Lim dan Pang Hwi, sampai disitu, barulah Hwi Ching turut masuk. Palang pintu dipasang. Pada waktu itu, ketika melihat disudut kamar tampak Le Hi Tong dan kawan-kawannya, terkejutlah Kok Tong bertiga. Dia serukan kedua kawannya untuk mundur segera.

Han Joen Lim dan pang Hwi menurut, tapi baru mereka berputar diri, tiba-tiba kedua belah tinju Hwi Ching menyambutnya. Dan seketika itu remuklah batok kepala keduanya.

Otak Kok Tong cepat bekerja, dalam keadaan terkurung itu lekas ia mengambil keputusan. Sambil melindungi batok kepalanya dengan kedua tangan, dia mengenjotkan diri loncat ke arah jendela yang terbuka. Dan untuk itu, hampir saja ia berhasil.

Tapi celakanya, ketika hampir lolos Bun Thay-thay yang dilewati diatas kepalanya cepat bangun dan mengirimkan pukulannya yang terkenal itu. Tepat mengenai pundak lawan. Tenaga pukulan Pan lui chiu itu luar biasa dasyatnya. Seketika itu juga, pundak kanan Kok Tong telah putus.

Namun menahan kesakitan hebat Kok Tong tetap berlaku nekad untuk loncat keluar jendela itu. Menyusul itu, huito Lou Ping menyambar dari belakang. Syukur Kok Tong sudah lebih dahulu menjaganya. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia enjotkan lagi kesamping. Walaupun tak sampai ia binasa, tak urung jua pundak kirinya terpapas juga.

Dengan mengerek gigi menahan kesakitan hebat Kok Tong terus lari terbirit-birit. Sampai disini, lenyaplah kecurigaan Lou ping dan Hi Tong serta merta mereka berlutut dihadapan Hwi Ching. Sedang Bun Thay-thay yang masih rebah dipembaringan, buru-buru berkata:

"Locianpwe, maafkanlah aku tak dapat turun untuk menjalankan peradatan."

"Ah, tak perlu banyak peradatan. Apa hubunganmu dengan To Gwan Thong lau ngoya?" tanya Hwi Ching sembari memandang kearah Lou Ping.

"Mendiang ayahku, locianpwe, " sahut Lou Ping.

"Gwan Thong laote adalah sahabat karibku, tak nyana kalau dia sudah mendahuluiku," kata Hwi Ching dengan suara rawan.

Mendengar itu, berlinanglah air mata Lou Ping. Iapun terkenang akan ayahnya yang tercinta itu.

"Kau adalah murid dari Ma-suheng bukan? bagaimna dengan suhumu itu? Tanya Hwi Ching pada Hi Tong.

"Atas berkah susiok dia tak kurang suatu apa pun, memang suhu pernah mengatakan tentang diri susiok yang katanya sudah saling berpisah berpuluh-puluh tahun lamanya. Dia selalu terkenang dan mencari tahu kediaman susiok."

"Suhumu adalah seorang yang setia, akupun sangat terkenang. Tahukah kau bahwa susiokmu yang satunya lagi kini mencari kau juga?"

"Thio Ciauw Cong susiok?" tanya Hi Tong dengan membelalakan mata.

Hwi Ching menganggukan kepalanya. Bun tahay lay ketika mendengar nama thio Ciauw Cong, terguncanglah hatinya dan tak sengaja meluncurkan kata-kata, "Ah, ......", melihat itu buru-buru Lou ping memapaknya untuk membelai-belainya.

"Kalau aku mempunyai seorang isteri sepertinya sekalipun sakit berat tak menjadi soal, diam-diam Hi Tong melamun sendiri ketika melihat kelakuan Lou Ping yang nampak sangat terbuka terhadap suaminya itu. Dia terus melamun yang bukan-bukan, ketika itu Hwi Ching tiba-tiba membuyarkan lamunannya dan berkata: "Suteku itu memang berwatak rakus dan rendah. Dia merupakan titik hitam

dalam cabang kita, hanya saja ilmu silatnya terlampau lihay. Apalagi dia jauh datang dari Pekhia menuju kedaerah perbatasan ini tentunya mempunyai tulang punggung penjagaan yang sangat kuat sekali. Kini lebih baik menyingkir dari dia saja. Besok kita ajak lagi beberapa kawan untuk mencarinya. Lohu sendiri juga tak dapat mencuci noda dari kalangan ku biarlah kerangka tulang-tulang tua ini dihancurkan saja."

Paras Hwi Ching terlihat sungguh-sungguh dan sikap khasatria.

"Kita semua hanya menurut apa yang Liok lopeh rasa baik." Kata Lou ping seraya memandang Bun thay tay, yang mengangguk setuju pula.

Hwi Ching angsurkan sepucuk surat pada Lau Ping. Diatas sampulnya tertulis kata-kata: "dihaturkan yang terhormat Thiat tan Cang ciu Ciu liong Ing lo enghiong."

Membaca itu giranglah hi Lou ping, terus menanyakan hubungan Hwi Ching dengan orang she Ciu tersebut. Belum sempat Hwi Ching menjawab, berserulah Bun Thay lay: "Ciu long tiong yang manakah itu?"

"Ciu Tiong Ing," sahut isterinya.

"Adakah dia tinggal di daerah ini?" tanya Thay lay pula.

"Lohu dengan Ciau Lo-enghiong belum pernah berjumpa, namun kita sama-sama mengenal nama masing-masing. Dia adalah seorang gagah yang benar-benar bersifat jantan dan tinggi budi pekertinya, dia tinggal didesa Thay tan Ching dua puluh lie dari sini. Maksudku agar Bun Thay lay sementara ini beristirahat dulu kesitu, sembari kita suruh menyampaikan berita pada kawan-kawan laute untuk

selekasnya datang menjemput laote," kata Hwi Ching.

"Entah bagaiamna pendapat Bun laote," menegasi Hwi Ching ketika tampak muka orang menunjukkan kesangsian.

"Jalan yaang locianpwe tunjukkan itu, memang paling baik. Hanya saja diri siautit ini seumpama orang yang mendukung lautan darah. Kalau Kian Liong Lojin belum menyaksikan kematian Siautit, rasanya dia takkan makan tidur dengan enak. Ciu Lo enghiong telah lama kita kenal namanya. Dia adalah pemimpin dari kalangan loklim daerah barat utara. Kejujurannya tak dapat disangsikan lagi. Maka meskipun dengan kaum kita, dia belum mengenalnya, tapi tentu akan menerima siautit dengan tangan terbuka. Hanya saja, coba locianpwe pikir, bukankah dengan begitu dia akan tersangkut-sangkut. Dia yang sudah aman dan tentram bertempat tinggal di daerah sini, bukankah artinya kita akan mencelakakannya, jika sampai berurusan dengan pembesar negeri?"

"Harap Bun laote jangan berpikiran begitu." Sahut Hwi Ching.

"Kita kaum persilatan hanya menjunjung "CI" kebajikan. Untuk kepentingan sahabat, rela pula kita korbankan jiwa, apalagi hanya harta benda. Kalau saja Lo-To enghiong kelak mengetahui kita mendapat kesukaran disini dan tidak pergi kepadanya, bukankah sebaliknya dia akan marah karena merasa dipandang rendah?"

"Selembar jiwa siutit ini memang sudah kusediakan, biarlah kawanan kuku garuda itu mengambilnya," masih Bun Thay lay coba membantah. Locianpwe mungkin tak mengetahui "Dosa" yang ditumpahkan pada siutit itu keliwat besar sekali. Makin orang itu sahabat karib kita, makin kita tak mau merembet-rembetkan."

"Baiklah, kini kusebutkan seorang tentunya kau mengenalnya" kata Hwi Ching pula "Thay Kok lay yang bernama Thio poa san itu pernah apa dengan mute?"

"Itulah sam-tong ke ketua ketiga dari perkumpulan kita!: seru Thay Lay.

"Bagus. Memang apa yang dikerjakan oleh orang-orang Hong Hwa Hwee, tidak kuketahui. Tapi nyata saja, Thio Poa san hiante kawanan sehidup semati. Ketika zaman perjuangan antara hidup dan mati dari Cu Liong Pang, kita berjuang bahu membahu melebihi saudara sekandung. Kalau dia adalah salah seorang dari Hong Hwa Hwee, pastilah tujuan perkumpulan itu mulia adanya, kau paling banyak hanya membunuh bangsa pembesar saja. Ah, bukankah hari ini aku telah membunuh dua orang pembesar juga!"

Habis berkata itu Hwi Ching menyepakkan kakinya ke mayat Pang Hwi.

"Kalau diomongkan, urusan siutit ini panjang sekali, kelak kalau siutit masih diberkahi bisa berjumpa dengan Locianpwe lagi, pasti akan siutit ceritakan. Kali ini Kian Liong loji telah mengirim delapan orang siwi kelas satu untuk menangkap kami suami isteri. Di Ciucwan kami bertempur, dan siutit telah terluka parah. Beruntung sutitmu, keponakan perempuan dapat membinasaka dua orang musuh dengan huitonya, hingga kami dapat lolos kemari. Tapi tak kusangka Pemimpin Ci-lim kun pengawal istana, Thio Ciauw Cong juga datang

kesini. Sekalipun siutit binasa, Kian Liang masih takkan puas, selama masih belum mencapai maksudnya."

Dari ucapan itu Hwi Ching dapat menduga bahwa thay lay ini tentulah orang yang mengetahui sekitar rahasia Kaisar Cang Tiauw itu. Karena kalau tidak begitu, masakan Kian Liong begitu bernafsu sekali untuk menangkapnya.

Kagum juga hati Hwi Ching atas sikap jantan dari orang she Bun itu, yang sekalipun dalam kesukaran besar, masih tak mau membuat orang lain terlibat. Diam-diam Hwi Ching akan gunakan siasat gertak, untuk memaksanya agar mau menyingkir ke Thiat tan Chung, katanya: "Bun laote kau tak mau menyeret orang lain itu bagus. Begitulah sifat seorang satria, hanya saja aku merasa sayang.

"Apa yang locianpwe sayangkan itu?" Buru-buru Bun Thay-tay bertanya.

"Kau tak mau menyingkir, apakah kau kira kita bertiga tega untuk tinggalkan kau? Bahkan aku hendak memuji mereka serta memperkecil kekuatan kita, tapi yang nyata, dengan ikut sertanya suteku itu, pasti bukan lawannya isterimu. Dan hengtemu meskipun aku seorang tua yang bodoh, namun tak mau korban kan jiwaku, kalau kita bertiga jatuh siapakah yang membawamu lari? Bagi seorang tua yang sudah hidup senam puluh tahun seperti aku ini, mati tak perlu disayangkan. Tapi bagaimna dengan Lou ping, sutitku yang menjadi istrimu itu?

Hanya karena menurut sikapmu untuk menunjukkkan kejantananmu itu, haruskan turut binasa sampai disini saja.

Keringat dingin membasahi kepala Bun Thay Lay mendengar kata-kata jago tua itu, kata-kata itu menusuk kehati, tapi memang benar tak dapat dibantahkan.

Melihat keadaan suaminya buru-buru Lou ping mengeluarkan sapu tangan untuk mempesut keningnya, sembari memegang sebelah tangan suaminya yang terluka itu.

Sejak berumur lima belas tahun Bun Thay lay sudah mulai berkelana dikalangan kangouw, sungai telaga. Selama itu entah sudah berapa banyak pembesar bangpak dan orang jahat yang dibasminya. Tapi kini tangan ampuh itu serasa lemah lunglai, sewaktu berada dalam genggaman tangan isterinya yang halus itu, seketika berkatalah ia dengan patuhnya. "Nasihat locianpwe itu memanng benar, tadi siautit khilaf, selanjutnya terserah saja bagaimna locianpwe akan mengaturnya.

Hwi ching mengunjukkan surat yang akan diserahkan pada Ciu Cong Ing nanti. Disitu hanya dinyatakan ada beberapa sahabat dari Hong Hwa Hwee yang akan minta berteduh dengan tak menyebut nama Bun thay-lay dan kawan-kawannya.

Menyambuti surat itu, Bun Thay lay lalu menghela napas, lalu berkata: "Dengan kedatangan kita ke Thiat tan chung ini, berarti Hon Hwa Hwee tambah seorang injin penolong lagi.

Kiranya ada sesuatu anggar-anggar dalam Honh Hwa Hwee yang menyatakan bahwa, budi tentu dibalas, sakit hati tentu dihimpas. Barang siapa yang melepas budi pada Hong Hwa Hwee biar bagaimana juga tentu akan dibalas sampai akhir. Tapi celakalah bagi mereka yang memusuhinya. Besar atau kecil, setiap dendam tentu akan diperhitungkan.

Karena itulah, orang-orang Tin Wan piauwkok menjadi tergetar hatinya, sewaktu mengetahui dengan siapa mereka berhadapan.

Atas pertanyaan Hwi Ching siapa yang disuruh memberi warta pada Hong Hwa Hwee pusat, menjawablah Hi Tong. "Dari tiga tempat dalam setiap tiga daerah kita mempunyai dua belas orang Ceng dan Hohiangcu ketua dan wakil ketua selagi Bun Sutongkeh dan Lou cap it tongkeh yang berada disini. Semua hiangcu sudah berkumpul di Anse. Mereka akan menganjurkan Sao-tocu untuk segera mengambil alih tampuk pimpinan. Dengan alasan masih muda kurang pengalaman, siautocu tentu akan menolak dan meminta agar Hi tong ke Bu Tim totianglah yang memegang pimpinan. Bu tim totiang juga dengan tegas menolaknya, sehingga mereka kini masih berdebat disana. Tinggal menunggu kedatangan Bun Sutongkeh dan Lou cap it tongkeh, pemilihan ketua umum itu akan segera dilangsungkan. Tak dinyana, kalau kedua tongke ini terlibat kesulitan disini. Jadi sebenarnya para hiangcu itu tengah mengharap kedatangan kedua Tongkeh ini.

Hi tong berhenti sejenak dan berpaling pada Bun thay lay, sambil berkata: "Sebenarnya aku diutus oleh Saotocu ke Lok yang untuk menjelaskan kesalahpahaman ini kepada ahli waris keluarganya Ban. Tapi berhubung tak ada orang lain, biarlah aku saja yang pergi ke Anse untuk menyampaikan warta. Bagaimana pendapat Suko?"

Dalam Hong Hwa Hwee kedudukannya jauh lebih rendah dari Bun Thay lay, setiap persoalan dia harus tunduk kepada yang lebih tingkatannya.

Tapi sewaktu Bun Thay lay belum sempat membuka mulut, Hwi Ching telah mendahului berkata: "Menurut pendapatku, kamu bertiga sebaliknya lekas-lekas berangkat ke Thiat Tan Chung, setelah itu, Le Hiantit cepat menuju Lok-Yang. Urusan memberi kabar ke Anse serahkan saja padaku. Kini waktu sangat singkat dan mendesak, harap kalian segera berangkat sekarang!"

Bun thay-lay menurut saja. Dari dalam sakunya, dia mengeluarkan setangkai bungai sulaman warna merah Honghwa terus diserahkan pada Hwi Ching, katanya: "Locianpwe, setiba di Anse kau pakailah bunga ini, tentu bakal ada orang yang akan mengantarkan locianpwe nanti."

Lou ping lalu membantu suaminya bangun sementaraa Hi Tong meletakkan kedua mayat itu ditempat tidur kemudian ditutupi dengan selimut, sedang Hwi Ching segera bertindak keluar terus melarikan kudanya menuju ke barat. Karena tak keburu mencegah, pelayan hanya mengawasi dengan melongo saja.

Dengan Hi Tong sebagai pembuka jalan Lou Ping menyambar sebatang Palang pintu yang digenggamnya disebelah tangan, sedang sebelah tangannya yang lain memegang suaminya keluar dari kamar. Hi Tong lemparkan uang perak lima tail kearah meja pengurus hotel, lalu berseru: "Inilah uang kamar dan makan kami. Dan dalam kamar ada benda yang sangat berharga sekali. Awas kalau kalian sampai berani mengambilnya."

Si pengurus hotel tersipu mengiayakan sedang pelayan mempersiapkan kuda, tangannya sampai gemetaran.

Tak berapa lama setelah tiga orang Hong Hwa Hwee itu berlalu, muncullah Wan Ci sehabis menipu Ciauw Cong dengan buntalan palsu tadi.

Baru saja ia melangkah masuk pintu hotel, dilihatnya seorang penunggang kuda keluar dari hotel itu, orang itu tentulah piawsu dari Tin Wan Piauw kok Tong Siu Ho, Wan Ci terus saja bertukar pakaian, lalu mengawani Li Thay-thay.

Sementara itu Le Hi Tong bertiga dengan kencangnya melarikan kudanya menuju ke Thiat Tan Chung. Ketika bertanya pada seseorang penduduk, barulah diketahui bahwa tempat tujuan itu sudah tak berapa jauh lagi. Diam-diam Lou Ping terhibur hatinya, sekali meneduh ke Thiat Tan Chung jiwa suaminya pasti tertolong.

Thiat tan Ciu-Tiong Ing namanya harum di dunia persilatan. Di daerah barat utara, baik golongan hitam maupun golongan putih, sama turuti perindahan, sedikitnya orang akan sungkan menggeledah rumahnya, apalagi kalau bala bantuan Hong Hwa Hwee sudah datang, sekalipun kawanan kuku garuda berjumlah besar, pasti dapat dilayani.

Selagi Lou Ping bergembira dengan renungannya dari arah muka tampak tiga penunggang kuda mendatangi. Yang dua ternyata muda-muda, tapi seorang sudah berjenggot putih, wajahnya kemerah-merahan dan membawa sepasang Toa thiat tan semacam gempolan.

Di persimpangan, orang tua gagah itu melepaskan pendangannya kearah Bun Thay lay dengan rupa heran. Tapi karena kuda itu berlari cepat, maka sebentar saja mereka sudah terpisah jauh satu dengan lain.

"Suku-susa, orang itu tadi mungkin Thiat tan ciu tiong-ing! Tiba-tiba Hi Tong berseru.

"Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" tanya Lou Ping "Bukankah dia membawa senjata sepasang Thiat-tan tadi?"

"Sepertinya memang dia orangnya, Bun Thay lay menyelak. Tapi kita belum pernah berjumpa dan dia agaknya terburu-buru mungkin ada urusan penting. Menghadang dan menanyakan nama orang ditengah jalan, kurang pantas. Kita terus saja pergi ke Thiat tan chung dulu!"

Sekejap saja sampailah mereka ke Thiat Tan chung. Ternyata desa itu sekelilingnya dilingkari sebuah sungai kecil yang pada kedua tepinya ditumbuhi pohon itu. Diluar desa terdapat sebuah benteng disitu terpampang sebuah jembatan gantung. Kesemuanya menambah keangkeran desa tersebut.

Cong teng cepat menyambut mereka dan mempersilakan masuk ke dalam, sesaat kemudian keluar seorang muda yang kalu ditilik sikapnya seperti pengurus rumah tangga itu. Dia memperkenalkan dirinya sebagai she Song nama San Beng.

Sewaktu diketahui bahwa ketiga tetamunya itu adalah orang-orang penting dari Hong Hwa Hwee San Beng agak terperanjat. Katanya:

"Kudengar perkumpulan Jiwi itu berkedudukan di Cang-lam dan jarang sekali bergerak ke daerah ini. Entah samwi ada keperluan apa hendak menemui lochungcu, sayang lochungcu kita sedang pergi.

Sengaja pengurus rumah itu berlaku demikian tawar karena dia menyaksikan kedatangan ketiga tetamunya itu, karena setahunya majikannya tak ada hubungan dengan perserikatan Hong Hwa Hwee.

Mendengar orang yang dicari tak dirumah sedang sikap yang menyambut ia itu tak begitu mengasih Bun thay lay tak mau mengunjukkan surat dari Hwi Ching. Dan sedianya dia akan berlalu dari situ, katanya: "Karena Ciu Loenghiong tak dirumah, kitapun akan kembali saja sebenarnya kita pun tak ada urusan penting dan hanya sekedar akan mengunjungi Ciu loenghiong yang namanya sudah lama kami dengar itu."

Melihat orang itu sudah bangkit dari kursinya buru-buru San Beng mencegahnya. "Harap tuan jangan tergesa-gesa dulu, tunggu setelah hidangan sekedarnya."

Segera San Beng memerintahkan seorang congceng untuk menyiapkan daharan. "Mohon dengan sangat samwi suka beristirahat sebentar lagi karena kalau samwi diketahui loenghiong tentu aku dimarahi tak mau menjamu yang terhormat," demikian kata San Beng ketika dilihatnya Bun Thay-lay menolak dan sudah akan berlalu.

Berbarenan pada saat itu, keluarlah conceng dengan membawa senampan "daharan" terdiri dari dua buah kantong masing-masing terisi tiga puluh tail perak.

"Bun-nya harap kau tak menampik barang yang tak berharga ini. Dari tempat yang begitu jauh samwi berkunjung kemari," sungguh menyesal kami tak dapat memberi pelayanan yang memuaskan, maka haraplah suka terima ini sekedar ongkos perjalanan nanti, " demikian kata San Beng.

Mendengar itu, hampir meledaklah dada Bun Thay-lay karena gusarnya. Dia merasa terhina karena dikira akan minta bantuan ongkos, selama dia merantau di kangouw orang selalu minta bantuan kepadanya dan tak pernah dia minta pertolongan orang.

Melihat wajah suaminya berubah, buru-buru Lou Ping menjawil tangan suaminya, memberi tanda agar jangan umbar kemarahan. Bun Thay-lay dapat menguasai perasaannya, ia mengambil potongan perak itu dan berkata: "Kita datang kemari bukan hendak minta bantuan ongkos, ong-pengyu terlalu memandang rendah orang."

Buru-buru san Beng mengucap kata-kata merendah. Tapi dalam hatinya dia tersenyum, melihat ucapan sang tamu yang minta bantuan, tapi ternyata mengambil kantong uang. Dia tahu juga akan kebesaran nama dari Hong Hwa Hwe maka kali ini uang pemberiannya itu, luar biasa besarnya.

"Terima kasih, kita minta diri," Kata Bun Thay-lay seraya menaroh kembali kantong uang kedalam nampan.

Bukan main terkejutnya san Beng ketika melihat bagaimana uang perak itu telah berubah menjadi semacam kue perak, insyaflah ia kan kehilafannya melihat orang, jika saja sampai mencari urusan. Cepat ia panggil seorang congteng dan disuruhnya lapor pada Toa naynay nyonya besar didalam sedang ia sendiri terus mengantar sang tamu keluar dengan tak putus-putusnya menghaturkan maaf.

Setelah ketiganya naik lagi keatas kudanya, Lou Ping mengeluarkan eceran emas kira-kira sepuluh tail ternyata untuk diberikan pada ketiga congteng yang telah mempersiapkan kudanya itu.

"Bikin repot saja. Inilah sekedar untuk samwi minum arak! Demikian kata Lou ping dengan sewajarnya.

Sepuluh tail eceran jauh lebih besar jumlahnya dari pemberian San Beng tadi. Congteng itu kesima, sekalipun seumur hidupnya ia menghemat belanjanya, tak nanti dapat berjumlah sekian banyak. Emas ditangannya, masih saja ia tak percaya pada dirinya. Sehingga iapun lupa ucapkan terima kasih kepada yang memberi, sedang Lou ping hanya tertawa saja, terus menaiki kudanya.

Tak lama Lou Ping lahir, ibunya kemudian meninggal. Ayahnya Sin To, si golok sakti, Lou Gwan Thong adalah seorang begal tunggal, seorang diri, ia menyatroni pembesar-pembesar rakus.

Pernah pada suatu malam, dia gedor rumah pembesar Ceng hingga namanya menggetarkan seluruh sungai telaga.

Setiap akan bekerja, lebih dahulu dia selidiki keadan pembesar itu kejahatannya dan kerakusannya, sekali turun tangan, hasilnya tentu memuaskan. Terhadap putrinya yang tunggal itu, dia sangat sayang seperti mustika, sebenarnya dia berwatak kasar tapi karena kecintaannya sedimikian besar, terpaksa Lou Gwan Thong, yang seperti air saja. Mudah membuang mudah mencari. Karena itulah

maka Lou Ping terdidik dengan kebiasan gampang mengeluarkan uang untuk disedekahkan. Dalam kebebasan memakai uang, mungkin putra-putri bangsawan tak akan dapat menyamai dengan putri dari Raja begal itu.

Ciri khas Lou Ping, ialah sejak kecil ia suka tertawa, apabila sedikit saja mendengar hal-hal yang lucu ia akan tertawa terus hingga setengah harian. Justeru sifat-sifat itulah yang menyenangkan hati setiap orang. Sekalipun sudah menikah dengan Bun Thay lay tetap saja tak berubah. Bun thay lay lebih tua sepuluh tahun dari isterinya. Adatnya kaku dan keras, selain pemimpin kaum Hong Hwa Hwe Le Ban Thing, isterinyalah orang kedua yang dia mau dengar kata-katanya.

Maka seperti ditampar mukanya, merah padamlah wajah San Beng melihat cara tamu perempuannya itu memberikan hadiah. Ketika Bun Thay lay bertiga akan melarikan kudanya, tiba-tiba terdengarlah bunyi lonceng bertalu-talu. Menyusul dengan itu, datanglah seorang penunggang kuda dengan bergegas-gegas. Begitu loncat turun orang itu memberi hormat pada Bun Thay lay katanya: "Ternyata samwi benar-benar datang ke Thiat tan chung, mari silakan masuk kedalam."

"Tadi kami sudah banyak merepotkan, lain hari saja kami berkunjung lagi." Jawab Bun thay lay karena heran atas sikap orang itu.

"Tadi sewaktu bertemu dijalan, Locungchu mengatakan samwi pasti akan berkunjung ke Thiat Tan chung, malah saat itu juga sebenarnya lochungcu sudah akan kembali pulang. Tapi karena ia sedang mempunyai urusan yang sangat penting, maka disuruhnya siaute pulang dulu untuk menyambut samwi. Lochungcu paling suka bergaul dengan para sahabat, dia cukup mengetahui, bahwa samwi adalah enghiong-enghiong yang terhormat. Dia pesan, biar bagaimna juga malam nanti tentu akan pulang dan memintanya agar samwi suka beristirahat dulu disini. Juga Lochungcu menyampaikan maafnya, karena terpaksa tak dapat menyambutnya sendiri, demikian kata orang itu dengan ramahnya.

Nampak bahwa orang itu, betul-betul salah seorang dari ketiga penunggang kuda yang dijumpai tadi, apalagi ucapannya sangat sungguh-sungguh, redalah kemarahan Bun Thay-lay.

Orang itu bernama Beng Kian Hiong, teucu murid pertama dari Thiat tan Cu Tiong ing. Dengan laku hormat sekali, ia segera memimpin ketiga tamunya masuk. Sedang San Beng hanya mengawasi saja dengan perasaan tak enak.

Ketika sudah berduaan dan menghidangkan teh. Seorang congteng berbisik kedekat telinga Kian Hiong, lalu bangkit dan berkata: "Sunio isteri suhu mengundang Li henghiong ini untuk beristirahat keruangan dalam."

Dengan diantar oleh cengteng, Lou Ping masuk kedalam disambut oleh seorang bujang perempuan.

"Astaga, ada tetamu kita tak menyambutnya" tiba-tiba seru dari arah muka.

Menyusul kemudian keluar seorang wanita kira-kira berumur empat puluh tahun, lantas kemudian membimbing tangan Lao Ping, sambil berkata dengan ramahnya. "Tadi orangku mengatakan ada tetamu dari Hong Hwa Hwe berkunjung kemari dan hanya sebentar saja lalu pergi, sungguh aku menyesal, syukur kalian datang kembali. Hayo, tinggallah disini Habis itu ia berpaling pada pelayannya dan berkata pula, Nyonya ini sungguh cantik sekali bukan? Sampai siocianya kita semuanya ini ia tak bisa menempil dengan dia.

Diam-diam Lou Ping berpikir bahwa nyonya itu sungguh ceriwis, tapi sangat ramah, maka iapun menjawabnya: "Toanay-nay ini, bagaimana kuharus menjemputnya, saomay sendiri orang she Lou, kemudian menjadi anggota keluarga she Bun."

Atas pertanyaan itu menyahuti seoraang dayang. Inilah nyonya majikan kami.

Kiranya wanita itu adalah isteri kedua dari Chiu Tiong Ing. Isteri Ciu Tiong Ing yang pertama telah meninggal dan tinggalkan dua orang putera. Tapi putera-puteranya karena ada perselisihan dalam kalangan kangouw, mereka juga telah meninggal. Isteri yang sekarang ini memberikan Liong Ing seorang puteri. Ciu Ki namanya, kini sudah berusia delapan belas tahun. Ciu Ki ini mewarisi adat ayahnya, suka membikin onar diluaran. Urusan penting yang membuat Tiong Ing begitu terburu-buru juga karena soal puterinya itu yang telah melukai orang. Maka Tiong Ing perlu untuk meminta maaf.

Nay-nay itu karena hanya mempunyai seorang puteri, tampaknya masih berduka. Mungkin Ciu Tiong yang sudah lanjut usianya itu, takkan mempunyai keturunan putra lelaki lagi tapi dugaan itu meleset. Dalam usia lima puluh empat tahun ternyata Tiong Ing masih diberkahi seorang putera. Dapat dibayangkan bagaimna girangnya hati sepasang suami isteri yang sudah mendekati tua itu.

Begitulah setelah semuanya duduk, nyonya rumah lantas suruh Pelayan pergi memanggil sang putra. Tak selang beberapa lama, keluar lah seorang anak lelaki yang berwajah bersih dengan sepasang mata yang bundar bening, sedang gerakkannya lincah sekali.

Lou Ping percaya bahwa anak itu tentunya sudah mendapat didikan silat selama beberapa tahun. Begitu menampak Lou Ping anak itu segera memberi hormat.

"Tahun ini aku berumur sepuluh tahun dan namaku Ciu Ing Kiat," sahut anak itu atas pertanyaan Lou Ping.

Lou ping meloloskan sebuah mainan mutiara dari gelangnya diberikan pada Ing Kiat, katanya: "Menyesal aku tak membawa barang apa-apa, mainan mutiara ini kau pakailah diatas kopiahmu.

Melihat Mutiara itu sangat besar, tentu berharga mahal sekali maka buru-buru Teonaynay suruh puteranya menghaturkan terima kasih. Justeru pada saat itu tiba-tiba seorang dayang bergegas-gegas masuk sambil berseru: "Bun Naynay, Bun-ya tak sadarkan diri harap kau lekas menengoknya!"

Toanynay buru-buru perintahkan orangnya untuk memanggil sinshe sedangkan Lou Ping terus mengikuti dayang itu keluar.

Kiranya luka yang diderita Bun Thay-lay itu sangat berat. Tadi karena gusar dia gunakan tenaganya untuk memijat gepeng uang perak. Kala itu dia tidak merasa apa-apa tapi kini rasa sakit mulai menyerang dengan hebat dan pingsanlah dia.

Namun wajah suaminya pucat tak berdarah menjeritlah Lou Ping. Kira-kira setengah jam lagi, barulah Bun Thay-lay dapat membuka matanya.

Beng Kian Hiong cepat memerintah Congteng naik kuda untuk memanggil sinse, setelah itu agar memberikan kabar pada Locongchu, bahwa tetamunya itu sudah berada di rumah. Sembari memberikan pesanan itu, Kian Hiong mengikuti sampai dimuka pintu gerbang desa. Baru setelah Congteng itu lenyap dengan kudanya, dia merasa lega hatinya. Tapi ketika dia hendak masuk ke rumah lagi, tiba-tiba dilihatnya dibalik pohon, nampak ada sebuah bayangan berkelebat. Mungkin orang itu mengira bahwa penghuni rumah telah mengetahui tempat persembunyiannya itu.

Kian Hiong berlaku tenang saja, terus berjalan masuk. Tetapi secepatnya dia menuju kebelakang rumah, lalu buru-buru lari keatas paseban untuk melihat pemandangan. Dari situ dia mengawasi kearah pohon itu tadi. Tampaklah saat itu orang yang berada dibalik pohon itu, kelihatan berendap-endap bertindak keluar. Ternyata orang itu mondar-mandir diluar halaman pedesaan itu. Orang itu memiliki badan sangat kurus. Melihat sikapnya yang takut diketahui orang, nyatalah bukan orang baik-baik.

Buru-buru Kian Hiong turun dari paseban itu, lalu mendapatkan Cu Ing Kiat. Kelihatan ia membisiki beberapa patah kata pada anak itu. Ia pun berualng-ulang mengucapkan, bagus ...... bagus...... bagus sambil mengikuti dibelakang Kian Hiong.

Ketika Kian Hiong dan Ing Kiat berada diluar desa, berkatalah Jian Liong dengan tertawa. Baiklah, saudara cilik, aku takut padamu, jangan kejar lagi.

Sambil berkata begitu Kian Hiong terus lari dan diburu Ing Kiat dengan teriakan yang keras. "Ha, kau lari kemana? Mau nakal urik Ya! Hati-hati kutampar kepalamu nanti? "Kata Ing Kiat.

Kian hiong mengeluarkan gerak-gerak untuk menggoda, sementara Ing Kiat terus mengejarnya, tingkah mereka seperti anak-anak sedang main petak umpat.

Kian Hiong lari menuju ketempat persembunyian orang itu, hampir saja ia jingkrak karena terkejut. Orang itu pura-pura kesasar jalan dan lekas-lekas tampakkan diri sambil bertanya: "He, sahabat, dimana jalan ke Sam To Kao ya?"

Kian Hiong tak ambil perduli terus menerjang orang itu hingga sampai terhuyung-huyung tiga empat tindak. Karuan saja orang itu gusar dan membentak: "He, dimana matamu?"

Kiranya orang itu bukan lain ialah piauwsu dari Tin Wan Piauwkok. Tong siu Ho. Rupanya ia masih terkenang akan suara tertawa Lou Ping yang merdu itu. Sekalipun pernah mendapat pelajaran dari Bun Thay-lay bertiga keluar dari hotel, dia segera menguntitnya dengan diam-diam dari kejauhan. Iapun melihat, bagaimana Bun masuk ke Thiat tan chung, sebentar sudah keluar dan lalu masuk lagi terus tak kembali keluar lagi.

Dia mengambil keputusan untuk menyelidikinya, baru nanti pulang melaporkan. Dia tak mau lagi sebagai orang yang tahu makan tak tahu kerja, selagi dia tengah melakukan pengintipan itu, tiba-tiba dipergoki dan diseruduk oleh Kian Hiong. Serudukan itu sebenarnya tidak berarti apa-apa baginya tapi dia orangnya licik. Dia tahu bahwa orang akan menjajaki dirinya, karena itu dia pura-pura berlaku seperti orang tak mengenal ilmu silat. Begitu sempoyongan kebelakang dia terus jatuhkan diri berusaha bangun dengan susah payah kelihatannya.

Buru-buru Kian Hiong haturkan maaf dan katanya. "Aku dengan saudara kecil ini sedang bergurau main-main, dan tak sengaja telah

menyeruduk jatuh tuan, tidak sampai sakit bukan?"

"Tanganku yang sebelah ini sakit sekali, aduh? Siu Ho mainkan Holanya"

Melihat itu buru-buru Kian Hiong tarik lengan Siu-ho diajak masuk untuk diberi obat. Dengan tetap berpura-pura untuk kesakitan, siu bo masuk kedalam desa itu.

Kian Hiong bawa siu-bo kesebuah ruangan di sebelah timur. Habis itu lantas ia tanya orang-orang.

"Tuan akan pergi ke sam to-kauw, mangapa melalui sini?"

"Benar, memang aku hendak mengatakan tentang itu. Tadi seorang pengembala kambing menunjukkan aku jalan kesini nanti tentu kuhajar bangsat itu, sahut Siu ho.

"Hola, sudahlah. Harap singkapkan bajumu biar kuperiksa apa kau luka tidak!" ujar Kiang-Hiong

Sampai disini, siu ho menjadi kerupukan. dia tahu dengan alasan memeriksa luka, orang akan menggeledah badannya. Apa boleh buat ia kasihkan dirinya, syukur sebuah badi-badi yang diselipkan didalam kaus kakinya, tak sampai ketahuan.

Begitulah setelah diperiksa ternyata tak ada apa apa, maka siu-ho dilepaskannya pulang selagi berada dalam desa itu. Tong siu ho pasang mata untuk mencari jejak Lou-ping, tapi ternyata tak dapat di ketahuinya!

Sahabat, kau tahu disini tempat apa? Tiba-tiba Kian-hiong bertanya karena curiga atas sikap orang yang jelalatan itu.

"Kalau ini Tang hui bio nama kelenteng mengapa tak ada posatnya?" sahut siu ho berlagak pilon.

Setelah mengantar sampai ke jembatan gantung berserulah Kian Hong kemudian, "sahabat kalau ada waktu datanglah kembali!"

Ketika itu kuatkah Siu Ho menahan perasaannya kembali mulutnya yang kotor itu membual pula, katanya sungguh sial, seorang keponakanku yang baru saja belajar jadi tabib, sedikit-sedikit sudah suka buka baju dan periksa orang.

Mendengar ocehan yang tak karuan artinya itu, Kian Hiong melengak. Dia merasa bahwa orang itu dengan tak langsung memaki dirinya dengan tertawa-tawa dia gaplok pundak orang terus masuk kembali. Digaplok begitu, tulang Siu Ho rasanya seperti lepas. Tak putus-putusnya dia memaki panjang pendek, terus menyeplak kudanya pulang kehotel.

Di hotel kelihatan Thio Ciauw Cong, Go Kok Tong dan beberapa piauwsu sedang asik berunding, disamping itu masih ada tujuh atau delapan orang yang Siu Ho belum kenal. Rupanya mereka tengah menduga-duga kemana larinya Bun thay lay cs dan siapa orang tua yang membunuh Hao lun Lim dan Pang Hwi itu.

Dengan bangga Siu ho ceritakan hasil penyelidikannya tadi, suduh tentu bagian dimana ia dipale oleh Kian Hiong itu, dilewatkan. Mendengar itu Ciouw Cong girang sekali.

"Lekas kita kesana, Tong-toate harap kau tunjukkan jalan."

Biasanya Ciauw Bong hanya memanggil lotong, Tong tua, tapi kini, karena gembira, ia menyebut, laote. Dengan bangga Siu-Ho meluluskannya.

Tangan Kok tong yang patah itu. sudah di sambung oleh sinshe. Dia segera kenalkan Siu-ho pada kawan-kawan baru itu. Mendengar nama-nama mereka bercekatlah siu ho dalam hatinya. Kiranya mareka adalah jaga jago tersohor dari kalangan peisilatan.

Orang yang memakai jubah kuning itu, ialah si bin si wi Swi Tay lim, sedangkan lain-lainnya ialah Cong houw tauw dari The Lin onghu Pan Ging Lan cong-Teng dari kota raja seng-bing. Ahli waris dari Gan keh pang di Holam. Gan Pek Kian dan beberapa kepala polisi yang kenamaan dari Thiancin dan Paoting.

Untuk menangkap Bun Thay Lay, para ahli Silat kenamaan bangsa boan maupun Han dan daerah utara sama berkumpul didesa sekecil seperti Sam tao hauw itu.

Dengan bersiap-siap rombongan jago-jago kuku garuda itu menuju ke Thiat tan-cung.

Kini kita ganti menengok keadaan Liok Hwi-ching. Dengan menempuh hujan salju, besar, dia larikan kudanya kearah barat. Melalui puncak gunung tersebut dia dapatkan bekas-bekas darah dan pertempuran orang-orang Wi dengan orang-orang dari piauwkok kemarin itu, sudah hilang disapu hujan.

Dalam sekejap saja dia sudah menempuh empat atau lima puluh li dan sampailah kesebuah pasar kecil. Karena kudanya kelihatan sudah kelihatan lelah maka dengan pelan pelan masuklah dia kesitu. Sebenarnya hari belum terlalu gelap, dapatlah ia meneruskan perjalanan lagi, tapi ternyata kudanya mengeluarkan busa dan mulutnya, napasnya kemas-kemis, tiba-tiba diujung dua ekor kuda tengah melongok kesana-kesini seperti tengah menanti seseorang. Melihat kedua ekor kuda itu badannya tinggi dan besar besar, bulunya mengkilap, timbulah rasa kepingin dalam hati Hwi Ching. Segera ia menghampiri orang itu, adakah kuda itu dijualnya. Orang Wi tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya. Dari kantong kejunya Hwi-ching merogoh keluar uang kira-kira empat puluh tail. Namun orang Wi itu tetap menggeleng-gelengkan, kepalanya, Hwi Ching penasaran, ditumplaknya seluruh isi kantongnya yang ternyata berisi enam atau tujuh keping perak terus diangsurkan semua pada orang itu.

Kini malah orang itu membuat gerakan tangan menyuruh Hwi Ching pergi. Maksudnya kuda itu tak dijual. Dengan putus asa Hwi ching kembali masukkan peraknya itu dalam kantongnya. Tiba-tiba orang Wi itu dapat melihat diantara perak-perak itu sebuah thi lian ci. piaiw biji teratai, segera tangan diulurkan untuk menjemputnya, dan bulu-bulu thi ban ci itu diawasinya tajam-tajam

Thi lian ci itu adalah milik Hwe Ceng tong yang dipakainya untuk menimpuk Hwi ching dan dapat ditangguhnya dengan teh konya. Dengan gerakan orang Wi itu bertanya dari mana Hwi Ching memperoleh piauw tersebut. Dengan gerakan tangan pula, Hwi ching menyatakan ia mendapatnya dari sahabatnya seorang nona bangsa Wi yang kepalanya tertancap bulu burung dan memegang sebatang

pokiam.

Orang Wi tersebut mengangguk-anggukan kepalanya, lalu menyerahkan, thi ban ci pada Hwi Ching lagi, habis itu dia tuntun seekor kuda, terus diberikan pada Hwi-ching, sudah tentu Hwi ching girang sekali, lalu merogoh uang peraknya lagi. Tapi orang itu tetap Goyang-goyang tangannya dan hanya menuntun kuda Hwi-ching semula terus dituntunnya pergi.

"Sungguh nona itu mempunyai pengaruh besar sekali dikalangan suku Wi. Sampaikan sebuah thi lian cinya saja sudah dianggap sebagai tanda perintah demikian pikir Hwi Ching. Memangnya orang tadi adalah seorang warta dari suku Wi yang dikepalai oleh ayah Ceng tong dalam gerakkannya untuk merebut kembali kitab Al-Our'an, pada setiap pos mereka menyiapkan orang yang membawa kuda, untuk alat-alat pemberian warta. Dia mengira karena membawa thi lian ci dari Ceng Tong, tentulah Hwi ching itu salah seorang pembantu mereka. Oleh karena itulah tanpa sangsi-sangsi lagi kudanya diberikan.

Dengan kuda baru itu Hwi Ching meneruskan perjalanannya lagi, sampai kekota disebelah depannya dia bertemu lagi dengan seorang Wi yang membawa kuda. Ketika kembali dia unjukan thi lian ci, dapatlah dia berganti kuda baru, apalagi pada setiap kaki belakang kuda selalu terdapat cap tanda, maka pergantian kuda itu barjalan dengan mudahnya.

Selama di atas pelana kuda itu, Hwi Ching hanya makan ransum kering dan tidak tidur. Dalam sehari semalam, ia dapat menempuh jarak enam ratus li lebih. Maka pada hari kedua sore tibalah ia di Anse, pusat pertemuan anggauta-anggauta Hong-hwa-hwee. Begitu memasuki kota, ia pasang bunga merah sulaman dari Lou Ping di lubang bajunya.

Bagaimanapun tinggi bugee Hwi Ching, namun ia habis melakukan perjalanan nonstop dari jarak sedemikian jauhnya itu, tak urung dia merasa lelah juga, baru saja dia berjalan beberapa tindak, segera ada dua orang bercelana pendek mengundangnya makan ke ciulauw.

Dalam ciulauw, rumah minum, yang seorang lalu temani Hwi Ching minum arak, sedang yang lainnya dengan laku hormat sekali meminta diri. Orang yang menemani minum itu juga berlaku sangat menghormat. Dia tak berani banyak bertanya, dan hanya pesan sayuran untuk kawan arak.

Ketika habis menenggak tiga cawan arak, tiba-tiba dari luar masuk seorang yang terus memberi hormat pada Hwi Ching siapa buru-buru berbangkit untuk membalasnya.

Orang itu mengenakan jubah kain hijau, kira-kira berumur tiga puluh tahun, sepasang matanya mengeluarkan sorot berapi-api, sikapnya berkewibawaan. Mengetahui siapa adanya, Hwi Ching berkatalah orang itu, "Oh, kiranya Liok-locianpwe dari Bu-tong-pay, sering kudengar Tio Pan San samko sebut-sebut nama locianpwe, kini sungguh beruntung dapat berjumpa."

"Siapakah nama laoko yang mulia?" tanya Hwi Ching.

"Aku yang rendah ialah Wi Jun Hwa," sahut orang itu.

Dalam pada itu, orang yang menemani Hwi Ching minum tadi segera minta diri juga.

"Siautocu dan para hengte kami, semua sama berkumpul di sini. Kalau diketahui locianpwe datang, pasti siang-siang mereka akan menyambutnya. Entah apakah locianpwe sudi meringankan kaki untuk menemui mereka," kata Jun Hwa.

"Bagus, memang kedatanganku ini perlu menyampaikan suatu hal yang penting pada saudara-saudara sekalian," sahut Hwi Ching.

Begitulah, Jun Hwa segera bawa Hwi Ching keluar ciulauw. Anehnya pemilik ciulauw itu tak minta bayaran padanya. Dengan menunggang kuda mereka menuju keluar kota.

"Bunga merah yang locianpwe punya itu adalah milik Bun-suko, bunga itu mempunyai empat buah sumbar," kata Wi Jun Hwa di tengah jalan.

Ketika Hwi Ching periksa bunga merah yang dipakainya, memang perkataan Jun Hwa itu benar.

Tak berapa lama, tibalah mereka di sebuah biara. Yang menyolok pemandangan, di muka dan di belakang biara itu tumbuh pohon-pohon tua yang menjulang ke langit, sehingga menambah keangkeran tempat itu. Di muka biara tergantung sebuah papan yang tertulis empat buah huruf "Giok-hi-to-wan". Di muka itu tampak ada dua orang tojin menjaganya. Begitu melihat Wi Jun Hwa, mereka bersikap menghormat sekali.

Oleh Jun Hwa, Hwi Ching dipersilahkan masuk dan satu imam kecil segera membawa teh. Ketika Jun Hwa membisiki telinganya, imam itu kelihatan mengangguk-angguk kepalanya lalu masuk ke dalam, sesaat Hwi Ching mengangkat cawan akan diminum, tiba-tiba dari ruangan dalam terdengar seseorang berseru, "Liok-toako, betul kau membuat hati rindu."

Belum kumandang ucapan itu hilang, orangnya sudah muncul. Dia bukan lain ialah kawan seperjuangannya dulu Tio Pan San, sobat lawas saling bertemu, sukar dilukiskan bagaimana kegirangannya.

"Beberapa tahun ini toako bersembunyi dimana, bagaimana bisa datang kemari?" demikian pertanyaan susul-menyusul keluar dari mulut Pan San.

"Tio-hiante, baik kita bicarakan dulu urusan penting yang menjadi tugasku ini," tiba-tiba Hwi Ching berkata dengan bersungguh-sungguh, kalian punya Bun-su-tangkeh ini berada dalam kesulitan besar."

Habis ini lantas Hwi Ching ceritakan apa yang sudah terjadi. Dalam pada itu tiba-tiba diluar terdengar suara seseorang yang sedang berteriak, "Suko, kakak keempat dalam bahaya, hayo lekas kita menolongnya, biar aku yang berangkat dulu!"

"Yang an kau begini gegabah, tunggu putusan siautocu dulu," cegah Wi Jun Hwa.

Tapi orang itu tetap ngotot. Begitu Pan San menarik tangan, Hwi Ching melihat, ternyata orang yang membuat ribut-ribut itu adalah seorang bongkok, seketika itu teringatlah Hwi Ching pada si Bongkok yang memapas ekor kuda Wan Ci dulu itu.

Sementara itu Jun Hwa telah mendorong si Bongkok ke hadapan Hwi Ching dan berkata, "Hayo lekas kau temui Liok-locianpwe!"

Menghampiri ke muka Hwi Ching, si Bongkok mengawasinya dengan tak mengucap apa-apa. Mengira kalau orang masih ingat akan hinaan Wan Ci tempo hari, Hwi Ching akan memintakan maaf. Tapi tiba-tiba si Bongkok membuka mulut, "Kau tempuh jarak enam ratus li dalam sehari hanya karena akan menyampaikan berita dari Bun-suko, sungguh aku oang she Ciang merasa berterima kasih sebesar-besarnya!"

Berbareng dengan ucapannya, si Bongkok segera jatuhkan diri ke tanah dengan berkui sampai empat kali. Karena tak keburu mencegahnya, Hwi Ching juga berlutut untuk membalas hormat.

Secepat-cepat habis memberi hormat, si Bongkok lalu bangkit, katanya, "Tio-samko, Wi-kiauko, aku akan pergi dulu!"

Tio Pan San coba akan mencegahnya, tapi si Bongkok terus menerobos keluar dan sudah berada di pintu bundar yang berada di halaman. Tapi mendadak tangannya dipegang orang.

"Kau akan kemana?" demikian tegur orang itu.

"Menengok suko dan suso, hayo kau ikut aku," sahut si Bongkok.

Anehnya orang itu betul-betul mengikutinya. Kiranya si Bongkok adalah orang she Ciang nama Cin. Wataknya berterus terang, sejak lahir dia bercacad namun memiliki tenaga luar biasa. Dia seorang murid Siau-lim-pay yang jempolan. Karena cacadnya itu dia paling benci orang memperolokkan bongkoknya. Tapi kalau berbicara dengan orang, selalu ia menyebut dirinya "Ciang-thocu" atau Ciang si bongkok. Namun sekali-kali jangan orang mengatakan "bongkok" dan memperolok-olokkannya, karena dia tentu akan keluar tanduknya betul-betul nanti. Lebih-lebih kalau orang itu bisa bugee, tentu diajaknya pibu (bertanding silat).

Di kalangan Hong-hwa-Hwee hanya pada Lou Ping yang dia mau dengar katanya. Karena lain-lain orang selalu menertawakan, adalah Lou Ping yang paling mengerti hatinya, paling mengasihani cacadnya itu. Begitu rupa Lou Ping merawati si Bongkok, sehingga seperti saudaranya sendiri.

Maka begitu mendengar Bun Thay Lay suami-isteri mendapat kecelakaan, meluaplah amarah Ciang bongkok, terus akan pergi menengoki saja. Ciang bongkok dalam Hong-hwa-hwee, jatuh pada urutan no. 10. Yang memegang tadi, yaitu Ci Thian Hong, orang nomor tujuh dalam Hong-hwa-hwe. Meskipun dia orangnya pendek kecil, tapi banyak akal. Dialah kunsu, juru pemikir, dari Hong-hwa-hwee. Di samping itu, lihay juga bugeenya, lwekang maupun gwakang serta segala ilmu senjata. Kalangan kangouw memberi dia sebuah julukan sebagai "Bu-cu-kat" atau si Khong Beng dari Hong-hwa-hwee.

Baru setelah Tio Pan San menutur, tahulah Hwi Ching siapa kedua orang itu. Pada saat itu pun para Tangkeh, pemimpin daerah, sama berturut-turut keluar. Mereka adalah para orang-orang gagah yang sudah ternama. Semuanya banyak yang sudah dilihat Hwi Ching di tengah perjalanan itu. Kepada mereka, Tio Pan San tuturkan perihal Bun Thay Lay.

Ji-tangkeh, pemimpin kedua, yang hanya berlengan satu, yaitu Bu Tin tojin berkata, "Mari kita temui siautocu!"

Segera mereka menuju ke halaman belakang, masuk ke sebuah rumah besar. Tembok di ruangan itu terukir sebuah papan tioki, catur yang besar. Pada jarak dua tombak ada dua orang sedang duduk di atas dipan, tengah minum teh sambil berkelakar. Kiranya mereka tengah main tioki ke arah tembok papan catur yang seperti terpaku itu, biji-biji tioki itu melekat di situ.

Selama ini, belum pernah Hwi Ching melihat orang main tioki dengan cara begitu. Pada saat itu, biji-biji tioki hitam dan putih tengah berpusat pada sebuah lingkaran. Rupanya pada jurus-jurus yang menentukan, dimana putih dalam kedudukan menyerang.

Yang mainkan biji hitam adalah seorang kongcu (pemuda) muda yang mengenakan jubah putih. Wajahnya berseri terang, mengunjukkan masih berdarah bangsawan, sedang yang main biji putih, adalah seorang tua yang dandanannya sebagai seorang desa.

Melihat kedua orang tersebut sedang asyik main tioki, orang-orang Hong-hwa-hwee itu tak berani mengganggunya. Sekali lihat, tahulah Hwi Ching bahwa kepandaian tioki dari kongcu itu di atas si orang tua. Tapi entah karena apa koncu itu main mengalah saja. Tiap kali si orang tua melontarkan biji tiokinya, biji-biji itu menancap dalam-dalam ke papan tembok. Diam-diam Hwi Ching terkejut dalam hati, pikirnya, "Orang itu entah enghiong ternama siapa, kecepatannya melempar senjata rahasia belum pernah kulihat ada yang melebihi."

Berselang beberapa waktu lagi, kini jelaslah Hwi Ching. Ternyata kongcu itu tak terlalu perhatikan posisi ratunya, tetapi diam-diam dia perhatikan cara melempar biji tioki dari si orang tua itu. Pada saat itu kedudukan putih payah sekali, sekali hitam jalan, habislah putih. Dan ini pun diketahui oleh kongcu tersebut. Tapi ternyata lemparan itu tak tepat, biji tiokinya agak miring tak dapat menancap dengan betul.

"Ha, kau mengaku kalah sajalah!" si orang tua tertawa terkekeh-kekeh sembari meletakkan biji tioki terus berbangkit. Nyata ia takut kalah.

Kongcu itu juga tidak mau berbantahan, dengan tersenyum ia berkata, "Besok kalau ada kesempatan, aku main lagi dengan suhu."

Melihat rombongan orang-orang itu, si orang tua tersebut tak mau menegur atau memberi hormat, hanya dengan langkah lebar terus melangkah keluar pintu.

Setelah itu berkatalah Tio Pan San pada si kongcu, "Siautocu, ketua muda, inilah orang yang pernah kukatakan itu, Liok Hwi Ching toako," habis ini katanya pula pada Hwi Ching, "Liok-toako, inilah siautocu kita, mari sama-sama berkenalan saja."

"Siaucit she Tan, nama Keh Lok, harap lopeh suka kasih pengunjukan," pemuda itu berkata dengan merendah.

Tersipu-sipu Hwi Ching membalas juga dengan kata-kata merendah. Diam-diam ia perhatikan siautocu itu jauh berbeda sikapnya dengan rombongan anak-anak buahnya yang kasar-kasar itu.

Tio Pan San lalu tuturkan keadaan Bun Thay Lay dan minta pendapat dari siautocu tersebut. Tapi siautocu hanya berpaling pada Bu Tim tojin dan berkata, "Harap totiang suka memberi keputusan."

Tiba-tiba dari sebelah belakang Bu Tim, ada seorang gagah yang berseru dengan kerasnya, "Bun-suko mendapat kesukaran, seorang luar, telah begitu memerlukan memberi warta dari tempat yang begitu jauh. Tapi sebaliknya kita sendiri masih tolak-menolak mengenai siapa yang harus menjadi ketua. Apakah sesudah Bun-suko terlanjur hilang jiwanya, kau orang baru tak main tolak-tolakan lagi? Pesan

mendiang lotangkeh, siapa yang berani membantahnya? Siautocu, kalau kau tak mengindahkan pesan gihu, ayah angkatmu, nyata kau tak berbakti pada beliau. Juga sekiranya kau memandang rendah pada kita orang, para hengte sekalian dan tak mau menjadi tocu, biarlah Hong-hwa-hwee yang beranggautakan tujuh puluh ribu orang ini dibubarkan saja."

Ternyata orang yang bersuara keras ini, bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, dia adalah orang yang menduduki kursi ke delapan dari pimpinan Hong-hwa-hwee, yakni Nyo Seng Hiap.

Mendengar itu, sekalian orang pun turut meminta pada si kongcu.

"Kita adalah seumpama ular yang tak punya kepala. Kalau siautocu tetap menolak lagi, kita semua tentu menyesal. Dalam soal Bun-suko, kita menurut perintah siautocu."

"Dalam tujuh puluh ribu anggauta Hong-hwa-hwee ini, siapa yang tak mau dengar kata siautocu, biar dia rasakan kelihayan pedangku," seru Bu Tim dengan lantangnya.

Mendengar desakan dari orang banyak, Tan Keh Lok tak enak hati, sepasang alisnya terangkat, seperti tengah memikir sesuatu. Melihat itu, Siang Hek Ci adalah seorang dari Siang-hiap berkata dengan suara berpengaruh pada adiknya,

"Hengte, betul-betul siautocu tak menghargai kita. Mari kita berdua tolong dulu Bun-suko kemari, baru nanti kita pulang ke Sechwan."

"Koko benar, aku setuju," balas sang adik Siang Pek Ci.

Sampai di sini terdesaklah Keh Lok. Kalau ia tetap berkeras menolak, pasti akan mengecewakan orang banyak. Apa boleh buat, katanya.

"Bukan aku keras kepala, tapi mengingat umurku begitu muda, kurang pengalaman, kurang pengetahuan, tentu tak pantas memegang jabatan penting itu. Tapi karena kalian semua menghendaki demikian, apalagi almarhum gihuku pun telah meninggalkan pesan, apa boleh buat terserah kehendak saudara sekalian."

Seketika itu orang Hong-hwa-hwee gempar karena girangnya, bahwa siautocu telah menerima angkatan itu.

"Upacara pengangkatan, biar nanti kita langsungkan di paseban Cong-hiang-tong di Thayouw. Sekarang harap congtocu bersembahyang dulu pada couwsu, untuk menerima lenghoa, lencana jabatan," kata Bu Tim.

Hwi Ching cukup tahu bahwa sesuatu pelantikan tentu mempunyai upacara istimewa. Sebagai orang luar dia tak enak berada di situ. Habis memberi selamat pada Keh Lok, dia undurkan diri. Oleh Tio Pan San dia dibawa ke kamarnya sendiri, supaya beristirahat dulu.

Jilid 5

KETIKA bangun dari tidurnya, ternyata hari sudah malam. Berkata Pan San. "Tadi congtocu bersama sekalian saudaraa sudah berangkat ke Thio-ke-poh. Karena toako masih tidur, aku disuruh mengawani, besok pagi kita berangkat menyusul."

Hampir lebih sepuluh tahun saling berpisah, malam itu keduanya bicara dengan uplek sekali menuturkan riwajatnya masing-masing selama itu. Berbicara tentang HONG HWA HWE bertanyalah Hwi Ching: "Kau orang punya congtocu itu masih begitu muda usianya, tak ubah dengan seorang kongcu, bagaimana semua sama tunduk?"

"Urusan itu agak panjang untuk diceritakan. Toako, kau mengaso lagi dulu, besok dalam perjalanan akan kuceritakan," sahut Pan Sin.

Sekarang mari kita tengok keadaan rombongan Thio Ciauw Cong yang dibawa ke Thiat-san-chung oleh Tong Siu Ho, itu piauwsu dari Tin Wan piauwkok. Tiba dimuka chung (desa) itu. Ciauw Cong perintah seorang congteng melapor pada chungcu supaya keluar menyambut utusan pemerintah. Congteng itu tak berani berayal, terus bertindak masuk. Tapi dicegah oleh Ciauw Cong. Rupanya dia insyaf betapa kedudukan tuan rumah itu sebagai pemimpin kaum persilatan daerah barat utara. Karenanya dia tak mau gegabah, katanya pada congteng. "Sahabat, tahan dulu. Bilanglah pada chungcu bahwa kita datang dari kotaraja, perlu bertemu dengan chungcu (kepala perkampungan) sendiri!"

Mengucap begitu, Ciauw Cong mengerlingkan matanya pada Go Kok Tong, siapa cukup mengerti maksudnya. Dengan membawa membawa beberapa orang polisi dia menuju ke belakang desa itu untuk menjaga apabila Bun Thay Lay sampai lolos.

Mendengar laporan congteng, Kian Hiong segera mengetahui bahwa rombongan kuku garuda itu tentu hendak mengusut tempat persembunyian Bun Thay Lay. Segera dia suruh Song San Beng, sipengurus rumah, untuk menemui dulu, sedang dia sendiri lalu Buru-buru mendapatkan Bun Thay Lay.

"Bun-ya, diluar ada kuku garuda dari golongan liok-san-mui. Apa boleh buat, kuminta samwi lekas-lekas bersembunyi saja," demikian tuturnya.

Dia lalu memapak Bun Thay Lay menuju ke sebuah thia (paviljon) yang berada di kebun belakang. Berdua dengan Ie Hi Tong, Kian Hong menggeser sebuah meja batu yang berada di situ. Segera di bawah situ tampak sebuah papan besi yang diikat dengan rantai. Ketika rantai ditarik, papan besi itu terangkat dan ternyata disitu tampak sebuah gowa dibawah tanah.

Melihat itu Bun Thay Lay marah dan serunya: "Aku Bun Thay -Lay-bukan orang yang takut mati dan temaha hidup. Bersembunyi didalam gowa ini, sekalipun dapat menyelamatkan diri, tapi tentu tak luput akan ditertawakan orang nanti."

"Mengapa Bun-ya berkata begitu. Taytianghu bisa keras bisa lembek, menurut gelagat. Bun-ya menderita luka parah dan sementara bersembunyi, siapa yang akan menertawakannya?" ujar Kian Hiong.

"Terima kasih, Beng-heng. Harap saja kau bukakan pintu belakang. Biar kita berlalu dari sini, agar tak merembet-rembet Beng-heng sekalian orang dalam rumah ini," Bun Thay Lay tetap berkeras.

Pada saat itu, diluar pintu belakang terdengar tereakan orang minta dibukai pintu. Berbareng itu dari depan, ter dengar suara berisik dari rombongan orang yang menghampiri. Ketika mereka akan menobros masuk, San Beng coba akan menghalangi, tapi sia-sia saja. Karena mengindahkan nama dari Ciu Tiong Ing, Ciauw Cong hanya memakai alasan akan melihat-melihat kedalam chung yang dikatakan sangat indah pemandangannya itu.

"Kita hanya ingin menyaksikan sendiri betapa keindahan chung ini yang kesohor bagusnya itu. Harap saudara Song suka mengantar kita,'' kata Ciauw Cong.

Mengetahui bahwa Thiat-tan-chung sudah terkepung rapat, naiklah darah Bun Thay Lay, katanya pada isteri dan saudaranya itu.

"Mari kita bahu membahu menerobos keluar!" Lou Ping nyatakan siap, ia terus memegang lengan tangan suaminya yang terluka itu. Ketika itu dengan memegang golok dalam tangan kiri, Bun Thay Lay siap akan menerjang keluar. Tapi mendadak dia rasakan tubuh isterinya gemetar. Dan ketika dipandangnya, ternyata sepasang matanya pun berlinang-linang air mata, wajahnya berduka sekali tampaknya. Seketika itu luluhlah hati Bun Thay Lay, dan dengan serentak dia berkata: "Baiklah, kita bersembunyi saja."

Kian Hiong girang mendengar keputusan yang tiba-tiba itu. Begitu ketiga tamunya itu masuk kedalam gowa, cepat-cepat -cepat-cepat dia tutup papan besi itu dan dengan dua congteng digesernya pula meja batu itu keatas. Ciu Ing Kiat, putera Ciu Tiong Ing yang masih kecil itu, juga turut membantunya.

Setelah tak ada tandas yang mencurigakan, Kian Hiong perintahkan congteng membuka pintu belakang. Tapi ternyata Go Kok Tong tak mau masuk dan hanya menunggu diluar pintu itu saja. Pada saat itu, rombongan Ciauw Cong pun sudah masuk kesitu.

Melihat Tong Siu Ho juga berada dalam rombongan itu, berkatalah Kian Hiong dengan menyindir: "Oh, kiranya seorang koan-loya (pembesar negeri), tadi aku sudah berlaku kurang adat."

"Aku hanyalah seorang piauwtauw dari Tin Wan piauw kok, loheng jangan salah kira," sahut Siu Ho. Setelah itu dia berpaling pada Ciauw Cong dan berkata:  "Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat mereka masuk kesini. Thio taijin, harap perintahkan menggeledah."

"Kita adalah penduduk baik-baik, Ciu lochungcu adalah seorang tuan tanah yang menuntut penghidupan halal, mana berani menyembunyikan bangsa berandal.

Tong-ya ini sengaja mempitenah saja," San Bing Buru-buru memberikan bantahan tegas.

Dia tahu bahwa Bun Thay Lay bersembunyi ditempat yang aman, maka sengaja dia keluarkan kata-kata yang menantang itu. Juga bertanyalah Kian Hiong dengan berlagak pilon: "Hong Hwa Hwe adalah sebuah perkumpulan di Kang Lam, mengapa mereka berada diperbatasan sebelah barat utara ini? Piauwtauw ini berkata dengan seenaknya sendiri saja, masa taijin sekalian mau mempercayainya?"

Thio Ciauw Cong adalah seorang kangouw kawakan. Dia tahu bahwa Bun Thay Lay tentu sembunyi di Thiat-tan-chung. Kalau menggeledah berhasil, masih mendingan, tapi kalau sampai tak dapat menemukannya, apakah Ciu Tiong Ing akan mau sudah? Jago she Ciu itu luas pengaruhnya dikalangan rimba persilatan, dengan demikian, bukankah akan dapat melakukan pembalasan? Memikir sampai disitu, Ciauw Cong menjadi ragu-ragu.

Sebaliknya Siu Ho berpikir, kalau kali ini gagal, tentu dia akan diejek dan dikata-katai oleh kawan-kawannya. Tiba-tiba dia teringat akan Ciu Ing Kiat. Seorang anak kecil tentu tak dapat berbohong. Cepat-cepat dia tarik lengan Ing Kiat. Tapi anak itu, karena mengerti bahwa Siu Ho itu bukan orang baik-baik, dengan getas segera menarik tangannya.

"Kau tarik aku mau apa?" bentak bocah itu.

'Adik cilik, kau bilanglah, dimanakah adanya ketiga tetamu itu, aku nanti beri ini untuk beli permen," kata Siu Ho sambil merogoh keluar beberapa biji uang perak.

Ing Kiat jebikan bibir, memperlihatkan muka mengejek, katanya. "Kau anggap aku ini siapa? Ayahku adalah Thiat-tan Ciu Tiong Ing! Aku tak sudi terima uangmu yang berbau itu!" Karena malu, Siu Ho menjadi gusar, lalu berteriak: "Ayo kita geledah saja rumah ini, dan ringkus sekalian bocah ini!"

"Kau berani dengan ayahku, Thiat-tan Ciu Tiong Ing?" kata Ing Kiat tak gentar.

Pada saat itu berobahlah air muka Thio Ciauw Cong. Dia duga anak itu pasti mengetahui tempat persembunyian Bun Thay Lay. Dia pikir, hanya dari mulut anak itulah akan bisa didapat keterangan. Tapi meskipun kecil, anak itu sangat berani. Tak jerih digertak, tak mempan dibujuk. Tapi akan coba dibujuknya juga.

"Ketiga tamu itu, bukankah sahabat ayahmu?" Ciauw Cong mulai pasang perangkap.

Tapi Ing Kiat tak kena diakali, sahutnya: "Aku tak tahu apa-apa."

"Kalau sampai kita dapat menemukan ketiga orang itu, tidak saja ayahmu, juga kau sendiri dan mamahmu semua akan dihukum mati!"

"Ha!" seru Ing Kiat dengan kerutkan alisnya. "Ayahku adalah Thiat-tan Ciu Tiong Ing, masa dia jerih padamu?"

Ciauw Cong tobat betul-betul. Dia lalu merogoh sakunya, pikirnya akan mengambil uang mas untuk diberikan pada anak itu. Tapi tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah benda bundar. Dengan girang, cepat-cepat benda itu dikeluarkannya. Ternyata benda itu ialah sebuah cian-li-king (teropong).

Ketika Ciauw Cong meninggalkan kotaraja untuk menangkap Bun Thay Lay, Hok Gong An, pemimpin Gi-lim-kun (pengawal istana) menghadap padanya, untuk menyampaikan perintah istimewa dari kaisar, bahwa bagaimana juga pesakitan itu harus dapat ditangkap dan dibawa kekota raja. Untuk itu kaisar istimewa menghadiahkan sebuah teropong padanya.

Saat itu Ciauw Cong memasang teropong dimatanya, untuk melihat sekeliling tempat itu, habis itu dia berkata pada Ing Kiat: "Kau pasanglah benda kemukamu, dan cobalah lihat ke jurusan sana."

Kuatir orang akan menipunya, Ing Kiat cepat-cepat tarik tangannya. Tapi Ciauw Cong kembali melihatnya sendiri, seraja tak putus-putusnya memuji: "Wah, alangkah indahnya, sungguh bagus sekali!"

Biar bagaimana Ing Kiat tetap seorang anak kecil. Hati nya melonjak-lonjak ingin melihatnya juga. Maka begitu Ciauw Cong mengangsurkan teropong itu untuk kedua kalinya, cepat-cepat Ing Kiat menyambutnya. Begitu dipasang dimatanya, dia berjingkrak-jingkrak kaget. Gunung jauh disebelah muka itu seperti pindah dihadapannya. Pohon-pohon jelas tampaknya.

"Kau naik dimeja situ untuk melihat sana," kata Ciauw Cong dengan ramahnya.

Ing Kiat loncat keatas meja batu, untuk melihat dengan teropong. Orang yang sedang berjalan dijalanan, tampaknya jelas berada dihadapannya. Sampaipun mulut dan mata mereka kelihatan jelas juga. Ketika teropong itu diambilnya, orang berjalan itu tampaknya kecil dan samar-samar. Bolak-balik dia awasi benda ajaib itu sampai sekian lama. Habis itu dengan merasa sayang, dia kembalikan lagi pada Ciauw Cong.

"Kau inginkan ini?" tanya Ciauw Cong ketika menyambutinya.

Sambil berpaling kesamping memandangi Kian Hiong dan San Beng, anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ciauw Cong seketika juga mengetahui bahwa pernyataan itu berlawanan dengan hatinya, karena takut pada kedua orang itu. Maka cepat-cepat ditariknya Ing Kiat kesamping, lalu tanyanya: "Asal kau kasih tahu ketiga orang itu bersembunyi dimana, benda itu akan menjadi kepunyaanmu!"

"Aku tak tahu," sahut Ing Kiat dengan berbisik.

"Kaubilanglah, aku tak nanti katakan pada lain orang. Ayahmu pun tentu takkan mengetahuinya," kata Ciauw Cong dengan berbisik juga.

Hati Ing Kiat nampak guncang tapi dia tetap gelengkan kepalanya.

"Siaosute, masuklah kedalam, jangan main-main ditaman ini," tiba-tiba kedengaran Kian Hiong berseru keras.

"Baiklah," sahut Ing Kiat, lalu katanya pula pada Ciauw Cong, "Beng suko panggil aku."

Namun Ciauw Cong masih pegangi tangan Ing Kiat, dan teropong itu disodorkan dihadapannya. Ing Kiat nampak girang sekali dan segera bisiknya lagi: "Kalau aku sampai memberitahu, nanti ayah tentu membunuh aku."

"Kau tak usah menyahut, kalau kuajukan pertanyaan, cukup kau memberi isjarat dengan manggut atau gelengkan kepala saja", Ciauw Cong makin mendesak. Dan habis berkata itu, dia serahkan teropong pada Ing Kiat.

Mulanya anak itu agak sangsi sesaat, tapi akhirnya diterimanya benda itu.

"Apakah mereka bersembunyi dikamar mamahmu?" Ciauw Cong terus tak mau buang tempo dan mulai ajukan pertanyaan. Ing Kiat gelengkan kepalanya.

"Apakah mereka digudang padi?" Kembali anak itu geleng-gelengkan kepala.

"Dikebun sini?"

Kini tampak Ing Kiat manggut2kan kepala dengan pelan-pelan .

Karena nampak Ciauw Cong menyeret sutenya kesebelah samping dan terus tak putus-putusnya menanyai, Kian Hiong kuatir jangan2 anak itu kelepasan omong, karena itu dia menghampirinya.

Melihat bahwa dalam taman itu yang ada hanya gunung-gunungan palsu, empang dan sebuah rumah kecil, Ciauw Cong segera mendesaknya: "Dibagian mana mereka bersembunyi?"

Ing Kiat tak menjawab, hanya ekor matanya saja terus melirik kearah rumah gardu disebelah itu.

"Di gardu itu?" tanya Ciauw Cong.

Ing Kiat anggukkan kepalanya.

Nampak itu, Ciauw Cong tak mau bertanya lagi, terus menghampiri gardu itu. Setelah diperiksanya, ternyata gardu itu hanya dikelilingi oleh langkan (pagar jeruji) bercat merah. Mustahil orang bersembunyi disitu. Loncat keatas langkan, Ciauw Cong memandang kepuncak gardu, tapi disitu tak ada apa-apanya. Karenanya, dia terpaksa loncat turun lagi dan untuk sesaat itu dia kelihatan berpikir. Tiba-tiba: tergerak pikirannya, segera dengan tersenyum dia berkata pada Kian Hiong: "Beng-ya, aku yang rendah ini meski berkepandaian rendah, tapi aku memiliki sedikit tenaga, harap Beng-ya suka member! petunyuk!"

Mengira karena tak dapat mencari orang lalu marah dan mengajak berkelahi, walaupun fihak musuh jumlahnya banyak, Kian Hiong tak perlihatkan kelemahan, katanya: "Sungguh aku tak berani menerima kehormatan itu. Silakan loya memberi pengajaran tentang apa saja, tangan kosong maupun bersenjata."

Mendadak Ciauw Cong tertawa keras, kemudian katanya: "Kita orang adalah sahabat baik. Dengan senjata maupun tangan kosong, bukanlah akan merusak perhubungan. Biar kita pakai cara begini: lebih dulu aku yang mengangkat meja batu itu, baru nanti Bun-ya juga mencobanya. Kalau aku sampai tak dapat mengangkatnya, harap Bun-ya tidak buat tertawaan."

Kian Hiong terkejut bukan kepalang. Tapi dia tak berdaya untuk mencegahnya. Bahkan dari rombongan tetamu itu sendiri, yaitu Swi Tay Lim, Seng Hing dan lain-lain. Sama merasa heran mengapa Thio taijin itu akan mengadu kekuatan dengan anak muda itu.

Malah pada saat itu, Ciauw Cong sudah menyingkap lengan bajunya terus memegang meja batu yang berkaki bundar itu. Dengan kerahkan tenaganya, sekali angkat, maka meja yang seberat 400 kati itu segera beralih keatas sebelah tangan dari pembesar kuku garuda itu.

"Thio taijin sungguh mempunyai kekuatan yang luar biasa!" demikian pujian berkumandang diantara rombongan kuku garuda.

Belum lagi sorak pujian itu lenyap kumandangnya, mereka segera bertereak kaget. Meja batu terangkat, maka dibawahnya itu kelihatan sebuah papan besi.

Dalam pada itu Bun Thay Lay bertiga yang berada dalam lobang dibawah tanah itu. Bermula didengarnya suara berisik dari sejumlah orang yang mondar mandir diatasnya. Apa yang diucapkan oleh orang itu tak dapat didengar jelas olehnya.

Justeru dia gelisah, tiba2 terdengar sebuah benda jatuh yang mengeluarkan suara hebat, dan menyusul dengan itu, sinar terang masuk kedalam gowa tersebut. Nyata papan besi penutup lobang guwa itu telah diangkat orang.

Diantara hiruk pikuk suara orang yang menyatakan kekagetannya itu, terdengar seorang telah membentak dengan suara berat: "Sahabat baik, keluarlah!"

Ternyata Ciauw Cong tak berani gegabah masuk kedalam lobang. Karena menaati titah kaisarnya untuk menangkap hidup orang buronan itu, sudah barang tentu tak boleh gunakan senjata rahasia. Dia hanya menjaga dimulut gowa, sembari siapkan senjatanya dan berseru memerintahkau keluar. Saat itu berkatalah Bun Thay Lay pada isterinya: "Kita telah dijual oleh orang Thiat-tan-Chung. Maukah kau luluskan permintaanku?"

"Koko, kau katakanlah," sahut Lou Ping cemas.

"Nanti apa saja yang kuminta, kau lakukanlah," kata Thay Lay.

Dengan berlinang-linang air mata, Lou Ping memanggut.

"Aku, Pan-lui-chiu Bun Thay Lay berada disini, kau orang ributi apa?" bentak Thay Lay segera.

Mendengar suara gagah dari orang tangkapannya, itu, kawanan kuku garuda terdiam sejenak.

"Pahaku terluka, Ayo kau beri tali supaja kau dapat tarik aku keluar!" seru Bun Thay Lay pada orang-orang diatas.

Ciauw Cong akan perintahkan Kian Hiong mengambil tambang, tapi ternyata anak muda itu sudah tak tampak disitu. Maka Buru-buru dia suruh cengteng yang mengambilkannya.

Oleh Seng Hing sebelah ujung tambang itu dilontarkan kedalam guwa, untuk menarik Bun Thay Lay. Tapi begitu Bun Thay Lay kakinya menginjak tanah diluar guwa, dia segera sentak tambang itu sekeras-kerasnya, hingga terlepas dari tangan Seng Hing. Menyusul dengan bentakan menggeledek, tambang itu dikibaskan kedepan.

Aneh, tambang yang lemas itu, seketika berobah kaku, menjulur kemuka. Itulah gerak "lepas membalik jubah," salah suatu gerakan yang lihay dari ilmu jwan pian. Orangnya berputar kekanan, tapi tambang dari arah kiri menyapu kekanan. Menderu-deru angin samberannya, hebatnya bukan main.

Pian atau jwan-pian, adalah senyata yang paling sukar dijakinkan. Untuk belajar ilmu golok hanya diperlukan waktu setahun, tapi untuk ilmu pian orang harus belajar sampai enam tahun. Tapi ditangan Pan-lui-chiu Bun Thay Lay, tambang itu seakan-akan merupakan pian yang berbahaja, melayang kearah orang banyak.

Karena tak menduga sama sekali kawanan kuku garuda itu tak keburu menangkis, dan hanya Buru-buru merundukkan kepalanya untuk mengelit samberan tambang itu.

Si cumi-cumi Tong Siu Ho adalah orang yang pernah merasakan tangan Bun Thay Lay. Dia sudah kapok betul-betul. Maka begitu melihat Bun Thay Lay terangkat naik keatas, dia tersipu-sipu menyelinap kebelakang rombongannya, agar jangan terlihat oleh si Tangan Geledek itu. Pikirnya dia tentu akan aman. Tapi ternyata justeru sebaliknya. Makin berada di belakang, makin celaka. Kawan-kawannya yang berada dimuka begitu melihat tambang menyambar, terus menundukkan kepala untuk menghindari. Sebaliknya, bagi orang she Tong

itu, tahu-tahu tambang sudah berada dimukanya. Untuk menyingkir terang sudah tak keburu, maka karena gugupnya, dia Buru-buru membalikkan badan untuk lari. Namun sudah terlambat. Tambang itu tepat menghantam punggungnya, dan seketika itu juga robohlah dia.

Jago bayang kari Swi Tay Lim dan ketua cabang Can-khe-kun yaitu Gan Pek Kian, yang satu memegang golok dan yang lain menggenggam sepasang gelangan besi, maju menyerbu Bun Thay Lay.

Nampak suasana sudah genting, Ie Hi Tong segera seru kan Lou Ping untuk loncat keatas. Bagaikan seekor meliwis, dia apungkan badannya keatas titian, terus menyerang pada congpeng Seng Hing. Yang belakangan ini gunakan permainan tongkat dari Siao Lim Pai. Tapi berhadapan dengan kim-tiok (seruling mas) yang lebih pendek, tongkat congpeng itu tak berdaya.

Lou Ping setindak demi setindak, naik titian yang menuju keatas tanah. Tetapi mulut gowa terjaga oleh seorang yang bertubuh tinggi besar, Lou Ping segera lepaskan sebuah huito. Orang itu tampak diam saja. Baru ketika huito hampir tiba dimukanya, dia ulurkan tiga jari tangannya untuk menyumpit tangkai huito. Tepat sekali sumpitannya itu, karena ujung huito hanya terpisah beberapa dim saja dimuka hidungnya.

Menampak bagaimana orang menyambuti huitonya, Lou Ping terkesiap. Dengan memutar sepasang goloknya ia menerobos keluar untuk menghampiri suaminya. Tapi siorang tadi, begitu nampak pelepas huito itu ternyata ada seorang wanita yang cantik, dia terus maju menghadangnya. Orang itu bukan lain ialah jago Bu Tong Pai yang kosen jakni, Thio Ciauw Cong.

Ciauw Cong beradat tinggi. Dia tak mau gunakan pedang untuk berkelahi dengan seorang wanita. Ia hanya pakai huito Lou Ping tadi untuk menyerangnya tiga kali berturut-turut.

Benar permainan kaki Lou Ping tidak begitu lincah, tetapi permainan sepasang goloknya adalah warisan dari keluarganya yang telah dijakinkan dengan sempurna. Dalam jurus kelima, pundak Ciauw Cong kelihatan dijulurkan kemuka untuk menyerang lengan lawannya. Dari situ terus disapukan kekiri untuk menahan sepasang golok Lou Ping, lalu dengan sekuat-kuat didorongnya.

"Dalam kedudukan tubuhnya miring", apalagi didorong oleh kekuatan yang maha dasyat dari Ciauw Cong, seketika itu terlemparlah Lou Ping, jatuh kembali kedalam gowa.

Dilain fihak, menghadapi kedua lawan yang tangguh itu, luka Bun Thay Lay kambuh lagi. Rasa sakit menyerang dengan hebat, sehingga semangatnya serasa terbang. Bagai banteng ketaton ia menyerang kesana-sini dengan kalapnya.

Sedang Hi Tong dengan permainannya kim-tiok, segera berada diatas angin. Melihat jurus-jurus permainan kim-tiok itu mengandung ilmu pedang jwan-hun-kiam, dan jurus-jurus tutukannya mirip dengan kaumnya, Ciauw Cong merasa heran. Ketika akan ditanyainya, tiba-tiba dengan gerak "pek-hun-jong-kauw" Hi Tong desak mundur Seng Hing terus loncat ke-dalam gowa.

Kiranya waktu bertempur dengan Seng Hing tadi, Hi Tong tujukan perhatiannya pada Lou Ping. Dia kaget ketika nampak Lou Ping jatuh kembali kegowa, sehingga dia Buru-buru loncat menolongnya. Tapi ternyata Lou Ping sudah tegak berdiri tak kurang suatu apa.

"Bagaimana, apa terluka?" tanya Hi Tong kuatir.

"Tidak apa-apa, kau lekas keluar lagi membantu suko," sahut Lou Ping.

"Mari kupimpin kau keatas," kata Hi Tong.

Pada saat itu Seng Hing sudah menjaga di mulut gowa. Dengan membolang-balingkan tongkat, dia cegah mereka supaya tak bisa keluar. Melihat isterinya tak bisa keluar, sedang tenaganya rasanya sudah tak tahan lagi, Bun Thay Lay buang dirinya kebelakang Seng Hing dan secepat-cepat kilat ia ulurkan jarinya menotok pinggang siwi (pahlawan, istana) tersebut. Begitu tubuh Seng Hing lemas ngusruk, Bun Thay Lay barengi menubruk dan mendekap tubuh itu sambil berseru: "Ayo turunlah!"

Dua-duanya, Bun Thay Lay dan Seng Hing sama-sama jatuh kedalam gowa. Seng Hing ternyata tertutuk jalan darahnya "kian-ceng-hiat," sehingga numprah seluruh kekuatannya. Kini dia terlempar kedalam gowa, apalagi ditindihi Bun Thay Lay, sudah tentu keduanya tak dapat bangun.

Buru-buru Lou Ping mengangkat suaminya bangun. Wayah Bun Thay Lay pucat seperti tak berdarah, keringat membasahi seluruh kepalanya. Tapi begitu nampak wajah isterinya, Bun Thay Lay paksakan untuk bersenyum. Namun berbareng dengan suara batuknya, segumpal darah segar muntah dari mulutnya, tepat menyembur kujup dada baju Lou Ping. Hi Tong mengerti maksud Bun Thay Lay, maka dia berkaok keras-keras kesebelah atas: "Kasih kita jalan keatas!"

Ciauw Cong melihat ilmu silat Hi Tong terang adalah dari kaumnya, sedang dengan mata kepala sendiri dia saksikan bagaimana dengan menderita luka berat, Bun Thay Lay masih dapat melajani dua lawan yang tangguh, diam-diam timbul rasa sayangnya.

Sehingga setelah mendorong jatuh Lou Ping, dia tak mau turun tangan lagi. Tapi rasa sayangnya itu dibuyarkan dengan rasa kaget yang besar, ketika melihat Seng Hing turut terjerumus kedalam gowa. Ketika dia akan terjun kebawah, tiba-tiba terdengar seruan Hi Tong tadi. Apa boleh buat, dia perintahkan orang-orangnya berhenti, untuk memberi jalan pada orang-orang tangkapannya.

Pertama-tama yang keluar dari gowa, ialah Seng Hing itu pahlawan istana yang istimewa dikirim untuk menangkap Bun Thay lay. Ujung leher bajunya dicengkeram oleh Lou Pin, dengan sebelah tangannya memegang sebatang golok yang ditujukan pada punggung. Baru kemudian Hi Tong yang memayang Bun Thay Lay.

"Siapa berani bergerak, dia akan menjadi majat!" seru Lou Ping sembari mendorong Seng Hing keluar.

Diantara pagar senjata yang lebat, keempat orang itu berjalan kearah pintu belakang. Melihat ada tiga ekor kuda tertambat pada puhun liu disebelah sana, giranglah hati Lou Ping. Diam-diam ia berSyukur pada langit dan bumi. Memang tiga ekor kuda itu adalah kepunyaan Go Kok Tong tadi.

Melihat buronan penting akan dapat meloloskan diri Ciauw Cong segera ambil putusan. Kematian Seng Hing tak menjadi soal baginya, yang terutama Bun Thay Lay harus dapat ditangkap dan dibawa ke Pakkhia. Tentu dia mendapat pahala besar.

Diam-diam dia pungut tambang yang dilemparkan ketanah oleh Bun Thay Lay tadi.

Dengan gunakan iwekang, dilontarkannya gulungan tambang itu kemuka, dan tepat menjirat badan Bun Thay Lay. Sekali sentak, tertariklah Bun Thay Lay terlepas dari tangan Hi Tong.

Mendengar suaminya menggeram, Lou Ping sampai lupa untuk menghabiskan jiwa Seng Hing. Cepat-cepat dia balik untuk menolong Bun Thay Lay. Tapi betisnya tadi mendapat luka yang tak enteng. Baru berjalan dua tindak, robohlah dia.

"Lekas lari, lekas lari!" Bun Thay Lay menereaki isterinya.

"Koko, aku akan mati disampingmu saja!" sahut Lou Ping.

Mendengar isterinya membandel, marahlah Bun Thay Lay.

"Bukankah tadi kau sudah berjanyi akan menurut perintahku?"

Belum sempat dia mengakhiri kata-katanya, Swi Tay Lim dan orang-orangnya sudah maju meringkusnya. Hi Tong cepat-cepat loncat memburu, dia pondong Lou Ping terus menerobos keluar pintu. Seorang hamba negeri yang coba menghadangnya, telah ditendang roboh oleh Ie Hi Tong.

Nampak suaminya tertangkap, luluhlah semangat Lou Ping, matanya berkunang-kunang dan seketika tak bisa menguasai diri. Hi Tong cepat-cepat mengangkatnya dibawa lari ke arah puhun Liu. Syukur Lou Ping sudah tersedar, maka begitu dinaikkan keatas pelana seekor kuda. Hi Tong menyuruhnya lepaskan huito.

Gan Pek Kian dan dua orang kepala polisi juga sudah memburu sampai keluar pintu taman, justeru pada saat Lou Ping melepas tiga batang huito. Sekali terdengar jeritan seram, seorang kepala polisi tadi terjungkal roboh. Untuk sejenak, Gan Pek Kian kesima.

Menggunakan kesempatan ini, Hi Tong dengan sebatnya melolos lis kuda yang diikatkan pada puhun. Setelah dia sendiri sudah naik, lalu ketiga ekor kuda itu dilarikan keluar. Lebih dulu yang seekor dia taruh dimuka pintu taman, dengan kepalanya dihadapkan kearah taman. Sekali dia pukul bebokong kuda itu dengan kim-tioknya, kuda itu membinal lari masuk kedalam lagi. Maka ketika Pek Kian hendak mengejar, dia harus terpaksa menyingkir dulu dari terjangan kuda itu.

Pada lain saat dia sudah dapat memburu keluar, Hi Tong dan Lou Ping sudah lari jauh-jauh.

Setelah kira-kira enam tujuh li dan dibelakang tak ada yang mengejarnya, barulah Hi Tong dan Lou Ping mengendorkan lari kudanya. Kira-kira tiga empat li lagi, tiba-tiba tampak tiga empat penunggang kuda mendatangi dari arah muka. Yang dimuka sendiri adalah seorang tua berjenggot putih, yang bukan lain adalah Thiat-tang Ciu Tiong Ing sendiri. Begitu nampak Hi Tong berdua, Tiong Ing segera berseru: "Liatwi hohan, harap berhenti dulu, aku sudah mengundang seorang sinshe."

Sebagai jawaban, Lou Ping menyabitkan sebatang huito. Sudah barang tentu tak terkira kaget Tiong Ing. Karena tak menyangka, dia sudah tak keburu menangkisnya. Syukur dia masih dapat menengkurupkan badannya keatas pelana, hingga huito itu hanya lewat diatas punggungnya saja.

An Kian Kong, murid kedua Tiong Ing yang berada dibelakang, Buru-buru angkat goloknya untuk menangkis. "Trang", huito itu melayang kesamping, tepat menancap kesebuah puhun liu.

Baru saja Tiong Ing akan bertanya, tiba-tiba ia telah didahului Lou Ping lagi dengan dampratannya: "Kau ini memang penjahat tua yang berhati serigala! Kau telah membikin celaka suamiku, sekarang aku hendak mengadu jiwa denganmu".

Dengan memaki dan menangis, Lou Ping ajukan kudanya untuk menyerang. Selagi Tiong Ing terlongong-longong tak habis mengerti, adalah muridnya An Kian Kong yang menjadi marah lalu putar goloknya untuk menyambut. Tapi buru dipegang lengannya oleh sang suhu, yang melarangnya tak boleh gegabah dulu.

Juga dipihak sana, Hi Tong mencegah perbuatan Lou Ping itu, katanya: "Yang perlu ialah mencari jalan untuk menolong suko. Baru setelah itu kita bakar Thiat-tan-chung nanti".

Rupanya Lou Ping kena diomongi, dan memutar balik kudanya. Sebelum pergi, ia sengaja meludah keras-keras, untuk unjuk kemarahannya.

Selama mengangkat nama dikalangan Sungai Telaga, Tiong Ing selalu mengutamakan budi dan kebajikan. Dia selalu mengalah dan suka bergaul. Maka orang-orang dari golongan hek-to dan pek-to memuji semua pada Tiong Ing. Kini mimpipun tidak, kalau dia sampai dimaki habis-habisan dan di sabit hoeito oleh seorang wanita. Tapi dia dapat berpikir panjang, tentu ada sebab-sebabnya wanita itu sampai berbuat begitu.

Dari congteng yang memanggil sinshe kekota tadi, dia mendapat keterangan bahwa toa-naynay dan Kian Hiong menyambut tetamunya itu dengan baik-baik . Karena tak mendapat jawaban yang memuaskan, Tiong Ing terus keprak kudanya menuju ke Thiat-tan-chung.

Begitu tiba dirumah, seorang conteng cepat-cepat memberi hormat dan menyambut. Nampak sikap dari orang-orang dirumah beda dari biasanya, Tiong Ing segera menduga, tentu dirumah ada terjadi hal2 yang luar biasa.

"Lekas panggll Kian Hiong kemari," perintah. Tiong Ing pada seorang cengteng."

"Beng-ya sedang melindungi toa-naynay dan siaoya (tuan muda) yang bersembunyi disebuah gunung dibelakang," jawab cengteng itu.

Mendengar itu, keheranan Tiong Ing makin merangsang syukur ada beberapa cengteng yang menuturkan tentang tertangkapnya Bun Thay Lay. Mendengar itu terkejutlah Tiong Ing, tanyanya: "Siapa yang telah membocorkan tempat persembunyian itu pada orang-orang negeri?"

Centeng-centeng itu terdiam sejenak, tak ada yang berani menyahut, meluaplah kemarahan Tiong Ing, cambuk diangkat dihajarkan kemuka mereka. Melihat suhunya sedang marah-marah An Kian Kongpun tak berani mencegah. Setelah beberapa cambukan, Tiong Ing lalu jatuhkan diri dikursi. Kedua gembolan thiat-tan, sampai berkerontangan, sedang centeng-centeng itu diam membisu saja.

"Kau orang berada disini perlu apa? Lekas panggil Kian Hiong!" teriak Tiong Ing gusar.

Berbareng ucapan itu, Kian Hiong tampak sudah muncul disitu, dan memberi hormat pada suhunya.

"Siapa yang membocorkan rahasia itu, bilanglah."

Demikian pertanyaan yang pertama-tama diajukan Tiong Ing dengan penuh kegusaran hingga tak dapat melampiaskan kata-katanya. Menampak itu, Kian Hiong tak berani mengaku terus terang. Setelah berpikir sebentar, berkatalah dia:

"Kawanan kuku garuda itu sendiri yang mengetahuinya."

"Ngaco! Gowa ditanah itu sangat terahasia sekali tempatnya, bagaimana mereka dapat mengetahuinya?"

Kian Hiong tak dapat menyawab. Adalah pada saat itu, mendengar suaminya marah-marah, Ciu-naynay dengan memimpin puteranya datang akan menasehatnya. Ketika Tiong Ing melihat puteranya membawa sebuah teropong, timbullah kecurigaannya, terus dipanggilnya anak itu. Dengan takut-takut Ing Kiat menghampiri ayahnya.

"Barang itu kau dapat dari mana?" Ing Kiat tak berani menyahut.

"Ayo, lekas bilang!" seru Tiong Ing seraja mengangkat cambuknya.

Saking takutnya, Ing Kiat mau menangis tapi tak berani. Dia hanya memandang sang ibu, siapa segera maju menghampiri sambil berkata:

"Harap loyacu jangan marah-marah dulu. Puterimu yang membikin mendongkol hatimu, mengapa kau hardik anak kecil yang tidak bersalah apa-apa ini?"

Tiong Ing tak ambil mumet kata-kata isterinya itu, dia cambukkan pecutnya itu keatas, dan berseru keras-keras: "Kalau kau tak menyahut, tentu kubunuh kau, anak durhaka!"

"Loyacu, kau makin lama makin tak keruan omonganmu. Dia kan anak kandungmu sendiri, mengapa kau maki-maki anak durhaka?" Ciu naynay mulai sengit.

Kian Hiong dan semua orang sama geli mendengarnya, tetapi mereka tak berani tertawa. Tiong Ing mendorong isterinya, disuruh menyingkir, lalu mengulangi pertanyaannya lagi kepada Ing Kiat. "Anak, kau bilanglah. Kalau kau ambil kepunyaan orang, kembalikanlah, besok kubelikan sendiri," demikian Ciu nay-nay turut menanyainya.

"Bukan aku mencuri milik orang," sahut Ing Kiat.

"Jadi diberi orang, ah itu lebih2 tak mengapa. Ayo kau bilang pada ayahmu, siapa yang memberinya?" kata sang ibu.

"Rombongan koanyin (pembesar negeri) tadi yang memberi," sahut Ing Kiat dengan suara pelan.

Tiong Ing tahu bahwa teropong adalah benda berharga buatan luar negeri. Kawanan pembesar negeri datang kerumah penduduk, kalau tak merampas binatang ternak atau lain-lain barang, sudah mendingan. Kalau sampai mereka menghadiahkan benda yang berharga itu, tentu ada maksudnya. Ditilik dari sikap sekalian cengteng dan Kian Hiong tadi, tahulah Tiong Ing sekarang, siapa yang membocorkan rahasia gowa persembunyian dibawah tanah itu. Seketika kepalanya seperti digujur air dingin, sehingga bulu romanya berdiri. Lalu katanya

dengan suara tak lampias: "Mari kau berikan itu padaku."

Setelah teropong itu disambutinya, dengan tanpa melihat lagi, Tiong Ing lemparkan teropong itu sekuat-kuat pada tembok, sehingga seketika itu juga, teropong hancur berkeping-keping.

"Mari ikut aku," katanya sembari menyeret tangan anaknya, terus dibawa ketempat ruangan peranti belajar silat.

Ciu naynay mengikuti dari belakang. Diam-diam ia heran, mengapa kali ini suaminya marah-marah sedemikian besarnya. Setelah terdiam sejurus, bertanyalah Tiong Ing: "Tetamu kita yang bersembunyi didalam lubang dibawah tanah, bukankah kau yang memberitahukannya?"

Dihadapan ayahnya, selamanya Ing Kiat tak berani ber bohong. Saat itu diapun menganggukkan kepalanya. Mendengar itu, Tiong Ing berpaling kearah isterinya sambil berkata: "Kau sulut lilin dimeja tempat arwah leluhur kita dan meja couwsu kita."

Dengan tak mengerti maksudnya, Ciu naynay mengerjakan perintah suaminya. Ciu Tiong Ing adalah murid Siao Lim Pai, couwsu yang dipujanya ialah Tat Mo couwsu. Didepan meja couwsu, Tiong Ing menyulut hio dan bersembahyang. Juga puteranya disuruhnya bersembahyang. Dibawah sinar lilin, tampaklah olehnya akan wajah sang putera yang berseri-seri bagaikan rembulan itu, cakap dan menimbulkan rasa kasih. Diam-diam hatinya terasa seperti diiris-iris sembilu.

"Apakah kau masih berhutang uang pada orang, atau meminjam barang orang yang belum kau kembalikan?" tanyanya pada sang putera.

"Tidak."

"Adakah kau membuat sesuatu janji pada orang?"

"Aku telah menjanjikan pada adik kecil dari keluarga Beng, untuk memberi telur burung. Tadi dibelakang gunung kutelah mendapatkan beberapa biji, masih belum kuberikan padanya."

Sembari berkata itu, Ing Kiat merogoh keluar sebuah bungkusan diberikan pada ayahnya. Oleh Tiong Ing barang itu diletakkan diatas meja.

"Nanti biarlah aku sendiri yang menyerahkannya, harap kau jangan kuatir."

Kata-kata Tiong Ing pada, saat itu, sangat lemah lembut. Malah dielus-elusnya kepala puteranya itu dengan penuh kasih sayang, katanya:

"Kau Pai (memberi hormat dengan angkat kedua tangan) pada ibumu, untuk menghaturkan terima kasih bahwa ia telah mengandungmu selama sepuluh bulan dan merawatmu sampai sepuluh tahun."

Ing Kiat mengerjakan apa yang diperintah ayahnya. Kini Ciu naynay baru insjaf apa yang akan diperbuat oleh suaminya itu. Seketika ia menangis menggerung-gerung. Puteranya segera didekap, biar bagaimana takkan dilepaskannya.

Tiong Ing senderkan diri dikursi. Nampak isterinya memeluk sang putera dengan menangis tersedu-sedu itu, hatinya seperti dibetot. Setelah beberapa waktu, Tiong Ing segera bangkit menghampiri. Melihat itu Ciu naynay makin memeluk kencang-kencang, serunya: "Kau bunuhlah kita, ibu dan anak berdua saja. Tanpa dia, akupun tak mau hidup lagi."

Setelah meremkan mata sejenak, berkatalah Tiong Ing dengan suara sember: "Kau lepaskanlah dia."

Tapi Ciu naynay halangkan badannya kedepan pula.

"Masih sedemikian kecilnya dia sudah temaha keuntungan, lupakan kebajikan. Apakah besok tidak bakal menjadi orang yang melanggar pantangan Tuhan? Anak yang semacam itu, makin berkurang makin baik bagi kita," kata Tiong Ing dengan keren.

Sembari. mengucap begitu, dia tarik Ing Kiat, lalu diangkatnya naik. Ciu naynay bergulung-gulung terus berkui didepan suaminya, dan meratap: "Loyacu, kau ampuni dialah. Biarlah dia pergi dari Thiat-tan-chung sini, untuk selama-lamanya."

Tanpa menyahut apa-apa, Tiong Ing diam-diam kerahkan semangatnya, lalu menamparkan tangannya kearah jalan darah "thian-ling-kay" pada batok kepala puteranya. Berbareng dengan suara "plak," kedua biji mata anak itu melotot keluar, dan putuslah jiwanya seketika itu.

Melihat putera kandung yang dikasihinya telah meninggal, Ciu naynay bagaikan seekor macan betina yang kehilangan anak, terus menyerang suaminya. Tiong Ing mundur selangkah. Ciu naynay lari ketempat rak senjata, menyembat sebatang golok, lalu dihajarkan kekepala suaminya.

Saat itu hati Tiong Ing penuh dengan rasa sesal dan duka. Dia tak mau berkelit atau menyingkir. Dengan meramkan mata, berserulah ia: "Ya, biarlah. Kita semua mati, ada lebih baik."

Melihat kelakuan suaminya itu, tangan Ciu naynay berbalik lemas. Golok dilempar, terus lari keluar sambil dekap mukanya.

Sekarang kita tengok keadaan Lou Ping dan Ie Hi Tong yang telah meninggalkan Thiat-tan-chung itu. Karena kuatir kesampokan dengan kuku garuda, mereka ambil jalan di jalan kecil yang sepi. Kira-kira berjalan sampai sepuluh li, haripun sudah gelap.

Daerah didekat perbatasan situ, memang sunyi senyap. Jangankan rumah penginapan, sedangkan rumah petanipun tak nampak barang sebuah. Syukur keduanya adalah orang-orang kangouw, yang sudah biasa dengan keadaan begitu. Tidak ada rumah, sebuah batu karang yang besarpun, boleh untuk tempat istirahat. Disekitar tempat itu, tumbuh beberapa gundukan rumput. Hi Tong lepaskan kudanya untuk makan rumput, lalu memakai golok Lou Ping untuk memotong beberapa genggam rumput, yang ditumpuknya selaku kasur diatas tanah. Katanya: "Kini tempat tidur sudah ada, sayang masih kurang ransumnya, dan tiada air pula. Maka untuk malam ini terpaksa kita harus tidur dengan perut kosong".

Pikiran dan hati Lou Ping selalu pada suaminya. Sekalipun dihidangkan daharan yang lezat-lezat, juga tak dapat ditelannya. Ia terus menerus menetas air mata. Sedapat mungkin Hi Tong menghiburnya dengan mengatakan, bahwa Liok susioknya tentu sudah sampai ke Ansee, dan bahwasanya bala bantuan Hong Hwa Hwee akan segera tiba untuk merampas kembali Bun Thay Lay.

Lama kelamaan terhibur jugalah hati Lou Ping dan tertidurlah ia. Malam itu ia bermimpi berjumpa dengan suaminya, yang segera memeluk dan menciumnya dengan kasih mesra. Dengan penuh kegirangan, Lou Ping biarkan suaminya memelukinya dan tanyanya: "Betapa kuselalu pikirkan dirimu, koko. Bagaimana dengan lukamu?"

Bun Thay Lay makin memeluknya kencang-kencang dan menciumnya dengan bernapsu. Selagi semangat Lou Ping melayang2, tiba-tiba ia terkejut dan bangun. Dibawah sinar kelap kelip dari bintang-bintang, yang memeluk badannya ternyata bukan suaminya tetapi Ie Hi Tong.

Bukan main kagetnya Lou Ping, ia meronta sekuatnya, namun Hi Tong tetap memeluknya kencang-kencang dan katanya: "Oh, betapa aku telah merindukan dikau!"

Karena malu dan gusar, Lou Ping segera menamparnya. Seketika itu Hi Tong termangu-mangu. Kembali Lou Ping menjotos dadanya, serta berontak melepaskan diri dari pelukannya. Dengan gerak "lan-lu-bak-kun" keledai malas menggelundungkan diri, ia bergelundungan kesamping terus akan melolos sepasang goloknya dari pinggang. Tapi ternyata golok itu telah diambil Hi Tong dan diletakkan disamping.

Kembali ia kaget, dan terus merogoh kantong huitonya, yang untungnya masih ada dua batang. Dengan menggenggam ujung huito, ia berseru dengan kerennya: "Apakah maksudmu sebenarnya?"

"Suso, kau dengarlah perkataanku," sahut Hi Tong.

"Siapa yang kau sebut suso itu? Pantangan dalam Hong Hwa Hwe itu bagaimana, coba kau bilang!" bentak Lou Ping.

Hi Tong tundukkan kepala, tak berani menyahut. Lou Ping walaupun biasanya selalu tertawa riang, namun dia selalu pegang aturan dengan keras. Mana ia mau sudah diperlakukan begitu macam, maka dengan suara bengis ia mendesak pula: "Locu dari Hong Hwa Hwe orang she apa?"

"Hong Hwa Hwe locu sebenarnya orang she Cu," sahut Hi Tong.

"Apakah yang dijunjung oleh para saudara-saudara?" tanya pula Lou Ping.

"Pertama, menjunjung azas Tho Wan Kiat Gi (sumpah persaudaraan ditaman) dari Lauw Pi, Kwan Kong dan Thio Hwi. Kedua, memuja pada Ngo-kong-say-siang Ciong-ji-long (sumpah setia kawan). Ketiga, menghormat pada sepuluhdelapan orang gagah dari Liang-san," sahut Hi Tong.

Kiranya tanya jawab tersebut adalah merupakan anggar2 yang penting dari Hong Hwa Hwe. Setiap ada anggauta baru masuk, mengadakan pengangkatan sumpah atau menyatuhkan hukuman partai, maka datanglah orang pimpinan atas untuk melakukan tanya jawab secara serius. Orahg-orang sebawahan yang tersangkut, harus menyawabnya.

Dalam HONG HWA HWE Lou Ping menempati kedudukan yang lebih atas dari Hi Tong. Ia bertanya, sekalipun bagaimana rasa hati Hi Tong, tapi dia tak boleh tidak harus memberi jawaban. Kembali Lou Ping bertanya: "Apakah keempat macam golongan orang yang akan di basmi oleh HONG HWA HWE?"

"Kesatu: kawanan budak pemerintah Boanciu. Kedua: pembesar rakus pemeras rakjat. Ketiga: segala okpa dan wangwe penindas. Keempat: Orang yang temaha kekajaan dan melupakan kebajikan."

Lou Ping kerutkan jidatnya sejenak, lalu serunya kembali: "Apakah larangan (pantangan) besar dari HONG HWA HWE?"

"Siapa yang menakluk pada Cengtiau, siapa yang menghina pada pimpinan atas, siapa yang menghianati kawan, siapa yang kemaruk harta gemar paras cantik akan menerima hukuman mati."

"Kalau kau insjaf, lekas-lekas jalankan "sam-to-liok-tong," akan kuantarkan kau kepada saothocu. Kalau tidak insjaf, kau melarikan diri saja, agar jangan sampai tertangkap oleh Cap-ji-long Kwi Kian Chiu," kata Lou Ping kembali.

Menurut peraturan HONG HWA HWE, barang siapa yang berbuat kesalahan besar, dan telah menginsjafinya, dimuka sidang dewan pimpinan boleh menjalankan hukuman: tusuk paha tiga kali. Tusukan itu harus menembus kedaging. Inilah yang dinamakan sam-to-liok-tong, tiga golok enam lubang. Habis itu harus menghaturkan maaf pada tho-cu daerah dan hiang-cu yang menjalankan hukuman itu. Apabila dosanya memang besar sekali, pun sukar untuk mendapat keampunan.

Kwi Kian Chiu sebenarnya orang she Ciok nama Siang Ing. Dalam HONG HWA HWE dia menduduki tempat ke duabelas. Tugasnya khusus untuk memimpin sidang pemeriksaan hukuman. Hatinya dingin tak kenal kasihan, tangannya kejam. Seorang yang berdosa, takkan lolos dari tangannya, sekalipun dia hendak lari keujung langit. Karenanya berpuluh ribu anggauta HONG HWA HWE (Hong Hwa Hwe) bila mendengar nama Kwi Kian Chiu atau setanpun takut melihatnya, tentu merasa seram.

Boleh dikata anggauta HONG HWA HWE semua adalah orang-orang gagah dari kalangan Sungai Telaga. Kalau mereka tidak mengadakan aturan-aturan partai yang keras, tentu tak dapat menguasai sekean banyak anggautanya.

Tatkala itu berkatalah Hi Tong dengan serta merta : "Kau bunuh sajalah aku! Aku akan puas mati ditanganmu."

Mendengar itu, makin meluaplah kemarahan Lou Ping. Ia anggap Hi Tong tetap ngelantur.

"Kau tak mengetahui bagaimana dalam lima enam tahun ini, aku selalu menderita karena kau. Pada waktu aku mengangkat sumpah dipeseban Cong-hiang-tong, begitu pertama kali kumelihat kau, hatiku sudah bukan menjadi milikku lagi," kata Hi Tong, lebih jauh.

"Itu waktu masa kau tak tahu bahwa aku sudah menjadi kepunyaan Bun suko?" tanya Lou Ping.

"Memang benar. Namun aku tak dapat menguasai diriku lagi. Karena itulah maka aku selalu jauhkan diri. Ada apa saja, tentu aku minta cong-tho-cu untuk menyuruh aku saja yang mengerjakan. Lain-lain saudara anggap betul aku menjual jiwa untuk perkumpulan, karenanya aku mendapat banyak penghargaan. Tapi hal yang sebenarnya, aku hanya berusaha menjauhkan diri darimu. Namun dimana saja kuberada, pikiranku selalu ada padamu."

Habis berkata itu, Hi Tong menyingkap lengan bajunya yang kiri, sembari maju selangkah, dia berkata pula: "Aku benci diriku, mengutuknya pula mengapa hatiku seperti binatang. Pada saat aku marah itu, segera kupaksa badi untuk menusuk lenganku ini. Kau lihatlah."

Diantara sinar remang-remang dari bintang-bintang, tampak lengan Hi Tong itu penuh dengan bekas luka tusukan. Demi menampak itu, lemaslah hati Lou Ping.

Melihat bagaimana bibir Lou Ping bergerak-gerak, seperti sukar untuk mengucap, tahulah Hi Tong bahwa wanita pujaannya itu tergerak hatinya. Dia ulurkan tangan untuk menarik tangan Lou Ping, tapi yang tersebut belakangan ini cepat-cepat mundur selangkah, dan tundukkan kepala tak berkata apa-apa.

"Seringkali aku sesalkan Tuhan, mengapa tak mempertemukan kita pada sebelum kau menikah. Dan mengapa kini menitahkan aku bertemu padamu? Baik usia dan rupa, kita berdua sembabat sekali. Kiranya jauh lebih baik kau ikut aku daripada Bun suko," Hi Tong meraju.

Sebenarnya Lou Ping mengasihani penderitaan anak muda itu, tapi waktu dengar nama suaminya dibawa-bawa, marahlah ia.

"Bun suko? Dalam hal apa kau nempil dengan Bun suko? Dia adalah seorang hohan yang berambekan tinggi, tidak seperti kau begini "

Lou Ping tak mau lanjutkan kata-kata untuk memaki orang. Dengan perdengarkan suara jemu, dengan berpincangan ia menghampiri kudanya, terus naik keatasnya. Hi Tong Buru-buru menghampiri untuk bantu menaikkannya, tapi dibentak Lou Ping yang menyuruhnya menyingkir.

"Suso, kau hendak kemana ?" tanya Hi Tong hampa.

"Tak perlu kau tahu. Suko sudah tertangkap, akupun tak mau hidup lagi kembalikan golokku itu," kata Lou Ping.

Dengan tundukkan kepala, Hi Tong serahkan golok wan yang-to pada Lou Ping.

Melihat sikap Hi Tong yang seperti orang hilang pikiran itu, timbullah rasa kasihan Lou Ping, lalu katanya: "Asal selanjutnya kau bekerja sungguh-sungguh untuk perkumpulan, soal tadi takkan kuceritakan pada siapapun juga. Akupun akan berusaha sekuat-kuat untuk bantu mencarikan seorang nona yang cantik dan kosen untukmu!"

Habis mengucap, dengan perdengarkan ketawanya, Lou Ping terus keprak kudanya. Memang sifat suka ketawa dari Lou Ping sukar dirobah, dan inilah yang membikin celaka Hi Tong. Dia kira, dengan ketawa itu Lou Ping masih memberi kemungkinan harapan. Lama dia awasi bayangan orang yang dipujanya dengan tegak berdiri. Pikirannya melayang-layang jauh tak keruan.

Setelah berjalan sementara jauhnya, bimbanglah hati Lou Ping. Menuju kebarat untuk menggabungkan diri dengan bala bantuan HONG HWA HWE, atau ketimur untuk menolong suaminya. Dalam keadaan menderita luka, terang ia tak kan dapat menolong suaminya. Tapi kalau ia menuju kebarat, sedang suaminya dibawa makin lama makin jauh kearah timur, hatinya tak tega. Dalam kebimbangannya itu, ia melarikan kudanya tanpa tujuan tertentu. Kira-kira berjalan dapat delapan li jauhnya, karena percaya Hi Tong bakal tak sampai dapat mengganggu, ia lalu cari tempat meneduh dan tidur disitu.

Sejak kecil mengikut ayahnya Lou Gwan Thong, dan setelah menikah turut suaminya Bun Thay Lay, keduanya jago, yang bugenya menggetarkan orang, dan begitu sayang padanya. Karena itu selama di Rimba Persilatan, Lou Ping hanya selalu mengalami pertempuran dan menang, tak pernah ia menderita kekalahan. Kali ini betul-betul ia mengalami kegoncangan hati yang hebat. Suami tertangkap, ia sendiri terluka, tambahan pula dipermainkan Ie Hi Tong. Memikir sampai disitu, ia menangis tersedu-sedu. Sampai sekean lama, barulah ia tertidur. Malam itu badannya panas, dan tak putusnya mengigau minta minum.

Keesokan harinya, penyakitnya tambah berat. Ia paksakan diri untuk bangun, tapi rasanya kepala seperti mau pecah, maka terpaksa berbaring lagi. Sampai matahari selam, ia merasa haus dan lapar, namun ia tak kuasa untuk naik keatas kudanya.

Kalau mesti mati disini masih tak mengapa, tapi sungguh kecewa sekali, aku tak dapat berjumpa dengan Bun toako lagi. Demikian ratapnya.

Tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang dan terus jatuh pingsan. Entah sudah berselang berapa lama, ketika tersedar didengarnya orang berkata : "Ah, sudah mendusinlah sekarang!"

Seorang gadis yang matanya lebar, kehitam-hitaman kulitnya, alisnya tebal dan kira-kira berusia delapan tahun nampak girang ketika tahu Lou Ping sudah bangun. Ia suruh seorang bujangnya untuk memberikan bubur pada Lou Ping, siapa pun terus memakannya. Setelah semangatnya sudah banyak segaran, Lou Ping haturkan terima kasih serta menanyakan nama penolongnya.

"Aku she Ciu, kau mengasohlah lagi, nanti kita omong-omong pula," sahut gadis itu sambil meninggalkan ruangan itu.

Ketika Lou Ping bangun lagi ternyata hari sudah malam. Tiba-tiba didengarnya ada seorang wanita berkata: "Mereka sangat tak pandang mata pada kita, begitu berani menggeledah Thiat-tan chung, biarlah aku yang memberi hajaran dulu".

Mendengar itu, terkejutlah Lou Ping. Masa ia berada di Thiat-tan-chung lagi? Saat itu masuklah dua orang, yang ternyata adalah gadis itu dan seorang bujang. Ketika gadis itu menyingkap kelambu, Lou Ping pura-pura meremkan mata. Gadis itu segera menuju ketembok untuk mengambil golok. Lou Ping kaget, tapi segera ia girang setelah mengetahui wan-yang-tonya terletak diatas meja dekat pembaringannya situ. Kalau gadis itu berani menyerang, ia akan dului dengan sebuah tabasan, dan terus akan merat pergi.

"Siocia kau tak boleh menerjang bahaya lagi, loyacu (majikan tua) kini lagi bersusah hati, jangan kau membuat ia marah", tiba-tiba bujang itu berkata.

Kini tahulah Lou Ping, bahwa siocia itu adalah puterinya. Ciu Tiong Ing. Memang benar dialah puteri Tiong Ing yang bernama Ciu Ki. Tabiatnya seperti sang ayah, gemar belajar bugee, dan suka memberantas hal2 yang tidak adil. Kalangan bulim (persilatan) daerah barat utara memberinya gelaran sebagai "Kiu Li Kui." Li Kui adalah salah seorang pahlawan Liangsan yang berangasan adatnya. Hari itu setelah memukul roboh seseorang, ia tak berani pulang. Baru besoknya setelah kemarahan ayahnya sudah reda, pulanglah ia. Ditengah jalan dilihatnya Lou Ping terlantar ditanah, maka terus dibawanya pulang.

Mendengar kata-kata bujangnya itu, Ciu Ki merandek sebentar, tapi ia tak ambil perduli, terus lari keluar, diikuti oleh sang bujang. Lou Ping karena merasa semangatnya sudah pulih kembali, terus bergegas-gegas turun dari pembaringan dan mengenakan pakaian. Lebih dulu ia "gasak" sebiji bahpao yang berada diatas meja, dan dua biji lagi ia masukkan kedalam kantong, lalu menyelinap keluar.

Mengetahui tempat itu berbahaja, Lou Ping mengambil

Thiat-tan-chung sudah akan menghadapi kemusnahan, mengapa masih mau berlagak," kata Siu Ho dengan tertawa dingin.

Memang sedari Bun Thay Lay tertangkap, hati Beng Kian Hiong selalu kuatirkan Thiat-tan-chung akan terembet. Kini mendengar ucapan Siu Ho itu, dia Buru-buru memberitahukan pada Tiong Ing. Dengan menenteng senjata thiat-tan, keluarlah Tiong Ing dengan gusarnya.

"Siapa yang bilang Thiat-tan-chung akan musnah, lohu akan minta pengajaran padanya," teriak jago tua itu, segera sesudah berhadapan dengan tamunya.

Ban Khing Lan Buru-buru mengeluarkan sehelai surat lalu diletakkan diatas meja, lalu katanya: "Ciu lounghiong, silahkan baca."

Sembari berkata itu, orang She Ban tersebut masih menekan ujung surat itu, seakan-akan dia kuatir Tiong- Ing akan merampasnya. Begitu melihatnya, ternyata Tiong Ing mengetahui bahwa surat itu adalah surat Liok Hwi Ching kepadanya yang meminta pertolongan supaja sukte memberi perlindungan pada Bun Thay Lay bertiga. Surat itu didapatinya dari dalam baju Bun Thay Lay, sewaktu dia digeledah.

Swi Tay Lim sebagai orang kangouw kawakan, segera tahu siapa Liok Hwi Ching itu. Dialah juga seorang pesakitan negara yang penting. Kini ternyata mempunyai hubungan dengan orang-orang Thiat-tan-chung. Kaki tangan penjajah itu, orang-orang yang termaha uang dan banyak akal, mereka tak mau laporkan pada fihak atasan, tapi akan mendatangi Ciu Tiong Ing untuk memerasnya. Dan uang itu akan dibaginya rata. Mereka yakin tentu Tiong Ing mudah dikeruk uangnya.

Oleh karena Seng Hing, Swi Thay Lim dan lain-lain adalah orang-orang yang ada nama pada pemerintah, maka mereka segan untuk menonjolkan diri. Dan untuk keperluan itu, disuruhnya Ban Khing Lan dan Tong Siu Ho berdua yang mengerjakan.

Melihat surat itu, agak terkesiap juga Tiong Ing, tanyanya: "Bagaimana maksud kalian?"

"Kita sangat hargakan akan nama Cioe loenghiong yang harum itu. Apabila surat ini sampai jatuh ketangan fihak atasan, tentunya loenghiong akan maklum sendiri akibatnya. Kawan-kawan kita berpendapat, akan mengikat tali persahabatan dengan loenghiong. Pertama akan membakar surat ini, ke dua takkan melaporkan pada fihak atasan bahwa loenghiong ternyata bantu melindungi Bun Thay Lay", Ban Khing Lan mulai mainkan lidahnya.

"Sungguh aku merasa berterima kasih pada saudara-saudara sekalian," Buru-buru Tiong Ing berkata.

Setelah omong-omong beberapa hal lagi, maka dengan secara tak langsung berkatalah Ban Khing Lan: "Hanya kali ini kita keluar, telah menggunakan banyak sekali ongkos-ongkos perjalanan sehingga kita tertindih dengan hutang. Kita harap dengan memandang pada sesama golongan persilatan, loenghiong suka memberi sedikit bantuan. Untuk itu sungguh kita bersyukur sekali."

"Hm," jengek Tiong Ing sembari menangkat alisnya demi mengetahui apa maksud orang.

"ltu tak berjumlah banyak, hanya enam atau tujuh laksa tail perak. Di tempat ini Ciu loenghiong mempunyai sawah dan tanah yang luas sekali. Jumlah yang sedemikian kecil itu, dirasa tentu tak menjadi soal," demikian Ban Khing Lan menambahi pula.

Mengetahui dirinya akan dipelecet, marahlah Tiong Ing seketika, serunya: "Jangan lagi memang aku tak punya uang begitu banyak, sekalipun punya juga akan kuperuntukkan mengikat tali persahabatan dengan orang-gagah yang mempunyai ambek perwira."

Dengan kata-katanya itu, bukan saja menolak, tapi pun berarti mendamprat orang. Tong Siu Ho hanya tertawa dan katanya: "Memang kita ini golongan siaojin (kaum rendah) yang tak punya guna. Untuk membangun sebuah daerah semacam Thiat-tan-chung, terang kita tak mampu. Namun kalau disuruh membumi hanguskan"

Belum habis kata-kata itu diucapkan, seseorang menerobos masuk dan membentak nyaring: "Ayolah, nonamu justru ingin melihat cara bagaimana kau hendak menghancurkan Thiat-tan-chung ini."

Orang ini ternyata adalah Kiao Li-Kui Ciu Ki adanya.. Tiong Ing mengedipkan mata, terus menuju keluar ruangan diikuti oleh puterinya. Dia membisiki beberapa patah kata didekat telinga Ciu Ki: "Kau bisiki Kian Hiong dan Kian Kong, kedua kuku garuda ini jangan sampai bisa keluar dari Thiat-tan-chung."

"Bagus, makin mendengarkan pembicaraan mereka, makin menarik," Ciu Ki tampak gembira karena bakal bisa melabrak orang.

Setelah Tiong Ing kembali kedalam, berkatalah Ban Khing Lan: "Karena Ciu loenghiong tak menyukai kedatangan kita, maka kitapun akan

berlalu."

Habis berkata begitu, dia segera robek surat Liok Hwi Ching tadi. Ciu Tiong Ing tertegun dibuatnya, karena tak mengira orang she Ban itu akan berbuat begitu. Malah orang tersebut berkata dengan tenang: "Ini sebenarnya hanya turunannya saja. Biar kurobek saja, agar jangan dilihat orang. Aselinya berada ditangan Thio taijin."

Jilid 6

DENGAN ucapan itu dia mau artikan "Bukti kedosaanmu sudah ditangan kita, sekalipun kau bunuh kita berdua, juga sia-sia saja."

Justeru dalam saat yang tegang itu, dari luar pintu Lou Ping menyerang dengan huito kearah Siu Ho. Sekalipun Tiong Ing amat benci Siu Ho, tapi dia tak mau orang itu sampai binasa dirumahnya. Tanpa mengetahui dulu siapa penyerangnya, Tiong Ing perlu menolong jiwa orang itu. Hampir bersamaan waktunya, thiat-tan ditimpukkannya, tepat mengenai tangkainya. Meskipun huito itu agak membeluk jalannya, tapi ujungnya tetap menyasar kebahu kiri Siu Ho.

Sebaliknya, karena nampak orang melindungi musuhnya, memakilah Lou Ping dengan lantangnya: "Bagus kau, bangsat tua yang sudah menganiaya suamiku. Mari kau bunuhlah aku sekali!"

Dengan berpincangan, Lou Ping menerobos masuk terus menyerang Tiong Ing dengan sepasang wan-yang-tonya. Karena tak memegang senjata, Tiong Ing sembat sebuah kursi untuk menangkisnya, katanya: "Sabarlah, kita bicara dengan pelan-pelan dulu!"

Lou Ping sudah bertekad untuk mengadu jiwa. Dengan tak hiraukan omongan orang, ia segera menyerang gencar dengan ilmu golok warisan ayahnya. Sepasang goloknya merangsang dalam jurus-jurus serangan hebat. Tiong Ing insyap bahwa orang-orang HONG HWA HWE menuduh dia menjual Bun Thay Lay. Untuk itu dia berusaha akan menyelaskan, karenanya dia tak mau balas menyerang dan hanya main mundur saja.

Lou Ping makin gencar memainkan sepasang goloknya, dan pada saat itu Tiong Ing sudah terdesak sampai keujung tembok. Selagi dia dalam keadaan yang beru saja itu, tiba-tiba Lou Ping merasa ada sambaran angin memukul dari arah belakang. Cepat-cepat ia bungkukkan tubuh seraya sabetkan sebelah goloknya kebelakang kepala.

Menyusul dengan itu, kembali ada angin menyambar, maka Buru-buru Lou Ping gerak kan goloknya yang panyang untuk membabat kaki orang. Begitu orang itu loncat mundur, Lou Ping terus berputar badan. Ternyata penyerangnya itu ialah puterinya Ciu Tiong Ing.

"Kau seorang perempuan yang tak tahu membalas kebaikan. Dengan baik-baik kutolong kau, tetapi berbalik kau akan membunuh ayahku!" demikian damperat Ciu Ki pada Lou Ping.

"Kau orang Thiat-tan-Chung hanya berkedok kebaikan palsu. Suamiku telah kau aniaya. Kau minggirlah, aku takkan mengganggumu!" kata Lou Ping, siapa lalu berpaling kearah Tiong Ing dan terus menyerangnya lagi.

Tiong Ing angkat kursi untuk menangkis, maka Buru-buru Lou Ping menarik pulang senjatanya. Menyusul dengan itu ia menyerang lagi tiga jurus serangan berantai. Tiong Ing berkelit kian kemari dan berulang2 berseru supaya Lou Ping berhenti menyerang. Ciu Ki menjadi gusar terus maju menghadang Lou Ping. Dan kini keduanya saling bertempur dengan seru!.

Dalam hal pengalaman, Lou Ping lebih atas dari Ciu Ki. Tapi karena ia terluka tambahan pula pikirannya kusut, maka setelah bertempur sampai tujuh atau delapan jurus. Lou Ping mulai keteter.

"Berhenti!" seru Tiong Ing tiba-tiba."

Tetapi. kedua orang yang tengah bertempur itu tak menghiraukan seruan itu, sementara itu Ban Khing Lan Buru-buru menolong Cabutkan huito yang menancap dibahu Siu Ho dan dibalutnya. Keduanya juga menyaksikan pertempuran antara kedua jago betina itu.

Karena puterinya tak dengar kata, marahlah Tiong Ing. Diangkatnya kursi terus akan dihantamkan ketengah untuk memisah, tetapi tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan menyusul sebuah bayangan bundar menerobos masuk. Dengan bersenjatakan sepasang kampak, seorang kate tahu-tahu terus menghantam Ciu Ki dengan sehebat-hebatnya.

Ciu Ki loncat menghindar, lalu dengan gerakan "sin-liong-to-ka" naga sakti mengibas sisik, ia balas menabas pundak orang. Namun orang itu tinggal diam saja. Dia hanya pakai tangkai kampak untuk menangkis. "Trang." Benturan itu menggetarkan tangan Ciu Ki, malah begitu keras sampai kesemutan rasanya dan goloknya terlepas.

Dengan sebat, Ciu Ki loncat mundur dua tindak. Dibawah sinar lilin yang menerangi ruangan tersebut, dilihatnya sang lawan itu adalah seorang bongkok yang aneh sekali potongan tubuhnya. Si Bongkok tak mau mengejarnya, hanya memandang kearah Lou Ping. Demi melihat kesayangannya, hati Lou Ping bukan buatan girangnya, serunya: "Sip-ko!"

"Su-ko dimana?" balas menanya si Bongkok.

Lou Ping menunjuk pada Tong Siu Ho bertiga, lalu berseru : "Dia dianiaya oleh orang-orang ini. Sip-ko (kakak kesepuluh), kau balaskanlah sakit hatinya!"

Mendengar itu, dengan tanpa tanya apa-apa, si Bongkok Ciang Cin terus menyerang

Tiong Ing, siapa karena tak membekal senjata apa-apa, terus loncat keatas meja dan berseru: "Berhenti dulu!"

Tapi Ciang Cin menyusuli lagi membabat kaki Tiong Ing. Apa boleh buat, Tiong Ing terpaksa loncat kebawah lagi. Karena si Bongkok menghantam dengan sekuat-kuatnya, maka kampaknya itu menancap beberapa dim kedalam meja, dan untuk sesaat sukar untuk ditariknya.

Adalah pada saat itu, Kian Hiong dan Kian Kong yang mendapat laporan, segera bergegas datang. Kian Kong lalu mengangsurkan senjatanya kim-pui toa-to pada sang suhu. Juga nona Ciu Ki yang beradat berangasan, nampak Lou Ping dan si Bongkok begitu kurang ajar, segera berseru: "Beng toako, An samko, jangan kasih lepas kawanan berandal yang mengacau Thiat-tan-Chung ini."

Bertiga mereka segera menyerang pada Ciang Cin. Si Bongkok tidak gentar, tiba-tiba iapun berteriak: "Ayo, Chit-ko, lekas kau keluar menemui suko. Kalau masih ayal-ayalan, akan kudamprat leluhurmu!"

Kiranya bersama Bu-Cu-kat Ji Thian Hong, Ciang Cin terus menempuh perjalanan siang malam untuk lekas-lekas menuju ke Thiat-tan-Chung. Ketika sampai di Thiat-tan-Chung, hari sudah malam. Thian Hong sebenarnya akan menyerahkan karcis nama untuk minta bertemu dengan Ciu Tiong Ing. Tetapi si Bongkok tanpa bilang apa-apa, terus menerobos masuk saja. Apa boleh buat, Thian Hong

terpaksa mengikutinya. Dan ketika dia baru sampai, tahu-tahu si Bongkok sudah bertempur dengan Ciu Ki, Kian Hiong dan Kian Kong. Maka ketika si Bongkok menereakinya, dia Buru-buru menghampiri kesamping Lou Ping.

Saat itu Lou Ping dengan napas tersengal-sengal memutar sepasang goloknya terus akan menyerang Tiong Ing. Begitu melihat Thian Hong, ia menjadi girang sekali.

Dengan adanya kursi itu disitu, tentu bereslah urusannya. Menuding pada Tong Siu Ho dan Ban Khing Lan, segera ia berseru: "Merekalah yang mencelakakan suko"

Biasanya Thian Hong selalu bersikap hati-hati. Tapi kali ini karena mendengar sukonya dianiaya orang, tanpa berpikir panjang lagi dia terus menyerang Siu Ho dengan senjatanya.

Bagi Siu Ho dan Ban Khing Lan sebenarnya sangat girang melihat orang HONG HWA HWE bertempur dengan orang Thiat-tan-Chung. Mereka memperhitungkan orang HONG HWA HWE yang hanya tiga orang itu, tentu akan kalah. Dan pada saatnya mereka baru akan turun tangan untuk membekuknya, untuk mencari pahala.

Malah Siu Ho tetap merindukan Lou Ping, dan selama itu dia awasi dengan mata tak terkesiap. Maka dia begitu gelagapan, ketika Thian Hong loncat membacok. Syukur dia masih bisa berlaku sebat untuk menangkis dengan goloknya.

Perawakan Thian Hong yang pendek kecil itu, sembabat sekali dengan Siu Ho. Tapi dalam buge, Thian Hong lebih unggul. Beberapa kali Siu Ho terpaksa mundur saja. Malah dilain saat, tangan kiri Thian Hong yang pegang tongkat besi dikibaskan keluar, menyusul tangan kanan yang memegang golok ditikamkan ke lawan. Siu Ho Buru-buru berkelit ke kiri. Tapi dia hanya memperhatikan serangan disebelah atas dan lupa menjaga serangan musuh yang menikam dari bawah. Maka sekali pahanya termakan golok, piauwsu itu segera berguling-

guling ketanah.

Ketika Thian Hong akan menyusulkan tongkatnya, tiba-tiba terasa ada angin menyambar punggungnya. Karena tak ke buru memutar diri, dia terus injak dada Siu Ho untuk loncat kemuka. Dan secepat-cepat kilat dia memutar badan, untuk menangkis senjata Ban Khing Lan yang hendak membokong tadi.

Dengan sepasang senjata ping-thi-tiam-kong-jwan (semaCam golok runCing) dikotaraja pernah Khing Lan jatuhkan sepuluh orang lebih jago-jago silat yang ternama. Dengan keangkeran itulah dia baru dapat menyabat Cong-kauw-sip dari The-ong-hu (istana pangeran The). Senjata itu dia jakinkan selama dua tahun. The jin-ong karena akan mengangkat dia ke kedudukan yang lebih tinggi, lalu titahkan dia mengawani Ciauw Cong, agar bisa mendirikan pahala.

Dengan Thian Hong, dia menemui perlawanan yang seru. Meski sudah puluhan jurus, belum ada yang menang dan kalah. Khing Lan makin bernapsu. Kalau sampai tak dapat mengalahkan si kate itu, dia pasti akan ditertawakan oleh Siu Ho. Maka segera dengan gerak "khong jiok gay ping"; burung gereja pentang sajap, dia tikam Thian Hong dengan bernapsu sekali.

Thian Hong menghadangkan tongkatnya besi, sedang golok dia tabaskan kemuka lawan. Dengan thi-jwan ditangan kanan, Khing Lan menangkis, diteruskan memapas kepala. Kalau Thian Hong tak keburu menarik kepalanya kebelakang, pasti akan tepapas, karena ujung thi-jwan itu hanya terpisah satu dim dengan kepalanya. Diam-diam Thian Hong mengakui akan kelihaian sang musuh. Kini dia berganti caranya bertempur. Karena tubuhnya pendek, maka dia tujukan serangannya kekaki lawan. Golok dan tongkat dirangkapkan kebawah untuk memotong kedua paha orang.

Khing Lan menegakkan sepasang thi-jwannya untuk melindungi sang kaki. Tetapi tak disangkanya, serangan Thian Hong itu hanya kosong belaka. Betul golok masih diteruskan menabas, tetapi tongkat Cepat-cepat berganti arah, lurus menotok muka lawan. Betul? Khing Lan tak berdaya lagi untuk menangkis, maka terpaksa dia gunakan gerak "thiat pian kiao" jembatan gantung, untuk buang dirinya

kebelakang.

Benar dia dapat lolos dari bahaya, tapi keringat dingin membasahi sekujur badannya. Dan bertempur lagi dalam beberapa jurus, dia merasa kewalahan.

Dilain partai, Ciang Cin berkelahi seperti seekor kerbau mengamuk.

"Kian Kong, Cepat-cepat kau tutup pintu desa, katakan pada penjaga jangan ada musuh yang bisa masuk," seru Kian Hiong.

Namun sepasang kampak Ciang Cin makin gencar, hingga untuk beberapa saat itu Kian Kong tak dapat lepas keluar gelanggang, Melihat itu berserulah Ciu Ki: "An-jiko, lekas kau pergi, biar sibongkok ini aku yang melayani!"

Dikatakan "bongkok," hinaan yang paling dikutuknya seumur hidup itu, meluaplah dada Ciang Cin. Dia menggerung dan mengerang. Ciu Ki dan Kian Hiong perhebat serangannya, maka dapatlah Kian Kong loncat keluar.

"Semua harap berhenti dulu, dengarlah penyelasan lohu ini," tiba- Tiong Ing berseru.

Kiang Hiong dan Ciu Ki menaati, terus mundur beberapa tindak. Begitupun Thian Hong juga mundur, dan serunya: "Ciang sipte, berhentilah. Dengarkan penjelasannya."

Tetapi si Bongkok tak ambil perduli, terus menyerang saja. Ketika Thian Hong akan maju mencegahnya, tiba-tiba Ban Khing Lan menghantam punggungnya dengan thi-jwan. Karena tak menyangka. Thian Hong tak keburu menjaganya. Cepat-cepat dia tarik badannya, tetapi bahunya terhantam, hingga sampai dia terhuyung-huyung. Serunya dengan penuh kemarahan: "Bagus, kamu orang-orang Thiat-tan-Chung memang banyak-banyak tipu muslihat.

Dia salah sangka, mengira Ban Khing Lan itu orang Thiat-tan-Chung. Biasanya dia itu tenang orangnya. Tapi dibokong begitu, dia marah betul-betul. Bahunya yang sebelah kiri karena terluka, dia tak dapat mainkan tongkatnya besi lagi. Dengan hanya memakai sebatang golok di tangan kanan, dia serang Ban Khing Lan. Walaupun lengkapnya harus memakai tongkat, namun dia tetap gunakan ilmu golok "ngo-houw-toan-bun-to." Tetapi gerakannya kurang lincah, karena luka dibahunya itu sangat mengganggu sekali.

Disebelah sana Ciang Cin masih mengamuk, adalah Siu Ho yang enak2 berdiri agak jauh. Dengan mulut berkemak-kemik tak lampias, dia tuding2 kearah Lou Ping. Karena huitonya hanya tinggal sebatang, Lou Ping tak mau sembarangan melepas. Dia Cuma mengangkat goloknya untuk mengejar Siu Ho, siapa berlari-lari memutari meja seperti lakunya anak main godak.

"Kau jangan keliwat galak, suamimukan sudah meninggal, lebih baik kau menikah dengan Tong-toaya ini saja," serunya sembari berlarian.

Hati Lou Ping memang sudah gelap, mendengar kata-kata Siu Ho itu, ia kira suaminya betul-betul sudah meninggal. Seketika itu pandangannya terasa gelap, kepalanya berat terus roboh tak ingat orang. Melihat itu, tersipu-sipu. Siu Ho lari menolongnya. Tapi kini Ciu Tiong Ing sudah tak kuasa menahan kemarahannya lagi. Dengan kim-pui toa-to, dia juga berlari memburu kearah Lou Ping. Maksudnya akan menghajar Siu Ho yang kurang ajar itu.

Tetapi kalau memang sudah seperti digaris, maka kesalahan faham itu makin menjadi-jadi. Justeru pada saat itu, meneroboslah seseorang kedalam ruangan itu dengan berseru keras-keras. "Kau berani melukai suso-ku mari kita mengadu jiwa." Dengan sepasang siang-kao (gaetan) orang itu menyerang Tiong Ing dari dua jurusan, kearah tenggorokan dan ke bawah perut. Nampak wajah gagah, perwira dari orang itu, dan gerakannya begitu lincah sekali, Tiong Ing merasa segan. Dia hanya menangkis pelan-pelan sambil mundur setindak katanya: "Saudara ini siapa, harap suka beritahukan nama dulu!"

Orang itu tak mau menyawab dan hanya membongkokkan badan untuk memeriksa Lou Ping yang wajahnya pucat seperti kertas itu. Ketika dirasakan hidung Lou Ping masih mengeluarkan napas. Cepat-cepat didorongnya keatas kursi, sedang wan-yang-to diletakkan disisinya.

Melihat orang-orang yang bertempur itu makin seru dengan tak menghiraukan permintaannya, Tiong Ing marah. Tapi pada saat itu, dari luar terdengar seseorang bertereak keras sekali. Menyusul itu terdengar gemerencingnya suara senjata ber adu. Tak lama kemudian, muncullah An Kian Kong dengan menderita kekalahan, dikejar oleh seseorang.

Segera Tiong Ing mengetahui bahwa orang itu bertubuh gemuk dan tinggi. Tangannya memegang sebatang pian yang beratnya tak kurang dari tiga puluh kati.

Kian Kong ternyata tak berani saling berhantam senjata dengan orang itu.

"Pat-te, kiu-te. Kalau hari ini kita tak basmi orang-orang Thiat-tan-Chung, sungguh tak legah sekali," Thian Hong berseru kepada sigemuk itu.

Orang itu bernama Thiat-tha Nyo Seng Hian, orang nomor delapan dalam HONG HWA HWE, dedang yang sikapnya gagah tadi ialah Kim-paoCu Wi Jun Hwa, menempati kedudukan nomor sembilan. Menghadapi setiap pertempuran, terutama dengan tentara negeri, Jun Hwalah yang selalu paling berani sendiri seolah2 akan menantang maut. Tapi anehnya, selama itu belum pernah dia mendapat luka berat, hingga Kawan-kawannya menjuluki dia "Kim-pa-Cu" atau macan tutul bernyawa sembilan.

Kedua orang itu, adalah bantuan HONG HWA HWE dari gelombang kedua. Sampai di Thiat-tan-Chung, sudah hampir tengah malam. Mereka segera nampak, pintu Thiat-tan-Chun terang benderang dengan kawanan Cengteng yang membawa obor dan senjata, seakan-akan menghadapi musuh besar.

Segera Jun Hwa maju berseru: "Orang she Nyo dan she Wi dari HONG HWA HWE akan mohon menghadap pada Ciu loenghiong, harap saudaraa suku tolong melaporkannya."

Mendengar bala bantuan HONG HWA HWE datang, sedang didalam pertempuran sedang berlangsung dengan hebatnya, An Kian Kong tak mau kasih mereka masuk, perintahnya malah kepada para Cengteng: "Lepas panah!"

Kira-kira duapuluhan Centeng segera pentang busur dan seketika itu segunduk panah muntah keluar. Dengan gusar, Jun Hwa dan Seng Hiap putar senjatanya untuk menangkis. Malah Jun Hwa angot penyakitnya, terus menyerbu kearah hujan panah itu.

Melihat Caranya dia terjang bahaya, Centeng-centeng itu ketakutan sendiri. Yang tak keburu menyingkir, kena keterjang.

Juga Nyo Seng Hiap ikut menerjang, tapi dihadang Kian Kong dengan goloknya. Seng Hiap bertubuh tinggi besar, bertenaga kuat sekali. Gerakan piannya, terbitkan deru angin yang keras. Kian Kong tak berani menangkis dan hanya loncat menghindar. Setelah ada kesempatan, baru dia kirim bacokan.

Sekalipun Seng Hiap berbadan gemuk, tapi gerakannya tetap gesit. Dengan gerak "membabat ribuan serdadu" dia menyabet sekuat-kuatnya. "Trang," demikian golok dan pian saling beradu dan Kian Kong segera rasakan tangannya kesemutan sakit sekali. Goloknya terpental keatas.

Seng Hiap memang tak berniat mengambil jiwanya, maka setelah lawan lari, tak dikejarnya dan hanya loncat dari tembok desa terus masuk kedalam Thiat-tan-Chung. Karena tak kenal jalanan, sedang hari amat gelap, telah menyempatkan Kian Kong mengambil goloknya lalu menghadangnya lagi. Kini pemuda itu berkelahi dengan hati-hati, namun dalam beberapa gebrak saja, lagi-lagi gigir goloknya telah kena disabet pian Seng Hiap, sampai bengkok.

Begitu sembari memberi perlawanan, Kian Kong terus mundur sampai keruangan tengah. Ketika Seng Hiap mengirim sabetan kearah muka, Kian Kong tarik kepalanya kebelakang, lalu mengangkat sebuah meja untuk ditangkiskan. Sebelah ujung meja segera terpapas kutung, berkeping-keping bertebaran. Melihat itu Ciu Tiong Ing leletkan lidahnya dan diam-diam memuji akan kelihaian jagos HONG HWA HWE. Dan pada saat itu Kian Kong sudah mandi keringat, beberapa jurus lagi tentu berbahaja jiwanya. Maka bertereaklah Tiong Ing sekuat2nya: "Para enghiong dari HONG HWA HWE, dengarlah lohu akan bicara."

Jun Hwa dan Seng Hiap segera berhenti, malah Jun Hwa memperingatkan Thian Hong yang waktu itu tengah bertempur dengan Ban Khing Lan, supaya berhenti juga. Tapi Thian Hong malah bertereak keras-keras: "Awas, jangan kena ditipu!"

Belum ucapan itu selesai, Ban Khing Lan benar menyerang lagi. Kuku garuda kuatir kalau nanti fihak Thiat-tan-Chung bergabung dengan orang HONG HWA HWE. Karena itu, dia tak mau kasih kesempatan untuk mereka berbicara. Namun Jun Hwa ternyata sudah berjaga2. Tak mau dia mundur menghindar, sebaliknya malah menyambutnya dengan serangan juga. Melihat itu Khing Lan kaget. Nyata musuh tak hiraukan jiwa. Dan Buru-buru dia tarik kembali piannya.

Saat itu setelah menolong Lou Ping hingga tersadar lagi, memakilah Thian Hong dengan gusarnya: "Kalangan kangouw sama memuji kau sebagai orang yang sangat berbudi tinggi, tak tahunya kalau seorang licik yang sombong. Kau atur tipu daya yang rendah, adakah itu perbuatan seorang enghiong?!"

Tahu juga Tiong Ing bahwa mereka salah paham, namun dia marah juga dimaki begitu, teriaknya tak tahan: "Kau orang-orang HONG HWA HWE, terlalu menghina orang!"

Dia singkap jubahnya dan menyerukan sang murid supaya mundur.

"Kian Kong mundurlah, biar aku siorang tua meminta pengajaran dari para orang gagah yang ternama itu," demikian teriaknya.

Setelah Kian Kong mundur, Tiong Ing maju dengan memegang golok, katanya : "Saudara yang ini siapa?"

Nampak yang tampil kemuka seorang tua berjanggut putih, Seng Hiap Buru-buru rangkapkan kedua tangan memberi hormat sambil berkata: "Aku yang rendah ini ialah Thiat-tha Nyo Seng Hiap,"

"Pat-ko, tak usah kau terlalu merendah, situa inilah yang menipu suko," demikian sekonyong-konyong Lou Ping berseru.

Mendengar keterangan itu, kagetlah Seng Hiap dan Jun Hwa berdua. Malah setelah dapat mendesak Ban Khing Lan mundur, Jun Hwa berputar badan terus menyerang Tiong Ing. Sepasang gaetan bagaikan angin menyerang perut orang.

Dengan kerahkan lwekang, Tiong Ing tancapkan goloknya kebawah untuk menangkis, maka memballah gaetan Wi Jun Hwa. Bahwa buge lawan memang tangguh sudah diketahui oleh Jun Hwa. Tidak mundur, tapi dia malah menyerbu.

Sedang Ciang Cin yang dikeroyok Kian Hiong dan Ciu Ki, masih bertarung dengan gigihnya. Dengan napas terengah, Kian Kong akan membantunya. Jadi kini si Bongkok dikerubuti tiga. Sementara itu, Seng Hiap mendapat lawan Ban Khing Lan. Dalam partai sana, ternyata beberapa kali Tiong Ing memberi kelonggaran, tapi rupanya Jun Hwa tak mengetahui dan tetap tak mau mundur. Golok Tiong Ing

dibolang-balingkan dengan sebatnya, maka terpentallah gaetan Jun Hwa yang sebelah kiri.

Melihat bagaimana hebat permainan golok jago Thiat-tan-Chung itu, tahulah Thian Hong bahwa dia harus lekas-lekas bantu Jun Hwa. Namun sekalipun Tiong Ing orangnya tua, tapi dia tetap tak kalah menghadapi dua jago HONG HWA HWE itu. Malah kini golok diputarnya sedemikian santernya, hingga badannya seperti ditutup dengan gulungan sinar putih, makin lama, makin gagah orang tua itu. Menampak fihaknya masih belum menang, berserulah Thian Hong keras-keras: "Ngo-ko, liok-ko, bagus kau orang pun sudah datang, lekas lepas api. Bakar saja Thiat-tan-Chung ini, urusan belakang!"

Ini sebetulnya adalah siasat dari sikancil Thian Hong, untuk memecah pikiran lawan. Sebenarnya ngo-ko dan liok-ko dari HONG HWA HWE jakni Siang He Ci dan Siang Pek Ci belum datang kesitu. Kedua saudara ini masih menjalankan perintah Cong-tho-Cu ke Thio-ke-po untuk mengawasi gerak-gerik kawanan kuku garuda dikota raja.

Tipu seruan itu ternyata berhasil. Orang Thiat-tan-Chung sama terkejut. Malah karena berayal, Tiong Ing hampir termakan gaetan Wi Jun Hwa. Setelah semangatnya kembali, Tiong Ing lancarkan serangan golok "sam-nyo-gay-thay" tiga ekor kambing menerjang gunung. Serangan berantai dari tiga jurus itu, dapat memaksa Thian Hong dan Jun Hwa mundur beberapa langkah. Menggunakan kesempatan itu, Tiong Ing enyot tubuhnya keambang ruangan, maksudnya akan cegat musuh yang hendak melepas api.

Namun bagaikan bayangan, Jun Hwa tetap membayanginya. Orangnya belum sampai, gaetannya sudah tiba, menusuk Tiong Ing. Tiong Ing memutar toa-tonya. Begitu sepasang gaetan lawan membal, dia teruskan membacok. Malah bukan begitu saja. Kaki kanan jago tua ini disapukan berbareng tangan kirinya menjotos. Wi Jun Hwa Buru-buru loncat ke samping. Tapi tangan kiri Tiong Ing dijulurkan menjadi kuku alap2, untuk dipukulkan kebahu lawan. Gerakan ini dinamai "sam-hap," salah sebuah jurus istimewa dari pukulan "ji long tam san"

atau Ji-long menyelidiki gunung, salah satu tipu dari Siao Dim Pai.

Tadi Jun Hwa hanya pusatkan perhatian pada ilmu golok lawan, dan lengahlah dia bahwa musuh sekonyong-konyong menyusuli pukulan tangan kosong. Menghadapi serangan golok, kaki dan pukulan tangan, benar2 Jun Hwa keripuhan. Yang dua masih dapat dia hindari, tapi yang ketiga dia kewalahan. Seketika dirasakan sebelah bahunya itu seperti tertimpa martil. Itu saja Tiong Ing masih berlaku murah, hanya menggunakan seperempat tenaganya, kalau tidak, tentu si Kim-pa-Cu itu terluka berat. Namun sekalipun demikian, tak urung Jun Hwa sempojongan beberapa tindak.

Kiranya orang she Wi ini betul-betul bandel. Belum sang kaki berdiri jejak, sudah dienyotkan lagi kemuka, berbareng dalam gerak "burung hong memutari sarang" sepasang gaetannya merangsang tubuh Tiong Ing. Nampak serangan itu, marahlah Tiong Ing, serunya: "Engko kecil, padamu aku tak punya hutang dendam seperti membunuh ayah atau merebut isteri, mengapa kau begini bernapsu? Aku sudah berlaku murah, kau seharusnya mengerti!"

"Kau telah membunuh soeko sekalipun aku tak dapat menang, tapi kau tahu tidak, aku ini ialah Kiu-beng Kim-pa-Cu (si macan tutul yang punya sembilan nyawa)?" demikian Jun Hwa menyahut berbareng menyerang.

Melihat orang tak tahu diri, Tiong Ing mendongkol hatinya. Tapi kalau lihat kegagahan orang, dia merasa sayang juga, katanya pula: "Selama lohu hidup hampir enam puluh tahun ini, belum pernah melihat setan yang tak sayang jiwanya semacam kau ini!"

"Makanya hari ini kau disuruh melihatnya!" jawab Jun Hwa.

Berbareng gaetan menusuk, golok Thian Hong pun menabas. Mendadak Tiong Ing apungkan diri keatas, toatonya dibarengkan membabat senjata lawan. Mata golok, memapas kedalam, sikutnya berbareng menyodok, tepat mengenai tulang rusuk lawan. Inilah jurus ilmu silat Siao Lim Pai yang disebut "Lui-he-Ciu." Kalau dengan sepenuh tenaga, patahlah tulang rusuk orang.

Sekalipun begitu, Jun Hwa keluarkan keluhan sakit, terus jongkok kebawah.

"Kiu-te, kau mundurlah" seru Thian Hong.

Jun Hwa paksakan berbangkit lagi, dengan mendeliki Tiong Ing, dia angkat sepasang gaetan untuk menyerang lagi.

"Kau ini betul tak patut dikasihani!" bentak Tiong Ing.

"Lekas lepaskan api, Cap-ji-long, kau jaga pintu belakang, jangan kasih orang lolos!" tereak Thian Hong dengan keras.

Demi tereakan itu, guncanglah pikiran Ciu Ki, dia tak mau melayani si Bongkok lagi dan pikirnya akan membunuh biangkeladi dari kerusuhan ini. Dengan segera dia menyerang Lou Ping.

Sejak mendengar suaminya binasa teraniaya, dengan sadar tak sadar Lou Ping duduk dikursi. Bagaimana hiruk pikuk orang-orang bertempur didalam ruangan besar, baginya hanya seperti melihat bayangan2 berkelebat kian kemari. Pikirannya kosong sama sekali, tak tahu apa yang sedang berlangsung disekitarnya situ.

Dan ketika golok Ciu Ki melayang tiba, Lou Ping hanya memandangnya dengan tersenyum simpul saja. Wajahnya seperti orang menangis urung. Melihat wajah yang demikian sayunya, batallah Ciu Ki menyerang. Ia ambil sepasang golok wan-yang to, lalu diangsurkan kepada Lou Ping dan katanya: "Ayo kita bertempur!" Dengan acuh tak acuh, Lou Ping menyambuti senjatanya.

Dan Ciu Ki coba2 membacoknya pelan-pelan , untuk mengetahui apakah nyonya itu menangkis apa tidak. Kembali Lou Ping tertawa, dengan sembarangan saja ia gunakan golok pendek ditangan kanannya untuk menangkis, sedang goloknya panjang dibuat balas menusuk. Melihat itu Ciu Ki mengelah napas legah, serunya: "Nah, begitu, Ayo kau berdirilah!"

Lou Ping menurut, tetapi luka dipahanya itu memaksa dia harus duduk lagi. Demikian maka yang satu duduk dan pikirannya kosong, sedang yang satunya berdiri dan bernapsu sikapnya, segera adu senjata. Baru beberapa jurus, berteriaklah Ciu Ki tak sabar : "Ayo, yang keras! Siapa yang akan bermain-main denganmu?"

Dia jengkel melihat sikap orang yang acuh tak acuh itu. Dengan orang begitu, ia tak sudi bertempur. Dan pada saat itulah dia dengar tereakan Thian Hong untuk melepas api, maka nona itu segera tinggalkan Lou Ping terus lari keluar.

Baru saja melangkah keambang pintu, diluar sudah ada orang yang membentaknya: "Hem, mau lolos ya?"

Dengan kaget, Ciu Ki loncat balik kebelakang. Diantara sinar lilin, ternyata ada dua orang tengah menghadang dimulut pintu. Orang yang membentak itu, mukanya putih seperti salju, sinar sepasang matanya seram seperti iblis. Ciu Ki hendak mengawasi orang yang satunya, tapi ia merasa aneh, sinar mata iblis itu, seakan-akan mempunyai pengaruh besar sekali, hingga ia tak berani mengalihkan pandangannya. Tanpa terasa, ia memaki: "Huh, setan gentayangan!"

Tak terduga orang itu menjawab dengan dingin : "Benar, aku inilah Kui Kian Chiu!"

Selama ini Ciu Ki tak takut pada siapapun, tetapi mendengar suara orang yang begitu dingin menyeramkan, betul-betul ia sampai bergidik, tapi ia coba tabahkan diri dan mem bentak: "Apa kau kira aku takut padamu?"

Ucapan itu untuk menutupi kejerihannya. Dan berbareng mulut mengucap, tangan mengajunkan golok kearah kepala orang. Dengan sikap yang dingin, orang itu menangkis dengan goloknya. Sepasang matanya tetap menatap sinona dengan tajamnya. Ternyata gerakan orang yang lemah, adalah gerakan seorang ahli lwekang. Diam-diam Ciu Ki bercekat hatinya. Ia paksakan lagi, untuk menabas.

Orang itu benarlah algojo HONG HWA HWE yang bernama Kui-kian-Chiu Cap-ji-long Ciok Siang Ing. Dia sebenarnya murid Cabang Pat Kwa Bun. Setelah masuk HONG HWA HWE, sering ia minta pelajaran silat pada sam-tang-keh Tio Pan San. Pan San ajarkan ilmu golok Thay Kek padanya. Namanya saja persaudaraan angkat, tapi sebenarnya mereka berdua itu adalah guru dan murid.

Dengan ketenangan dan kelemahan gerak Thay Kek, segera Kui-kian-Chiu dapat menguasai permainan lawan. Sedang dilain partai, Kian Hiong dan Kian Kong rasanya tak ungkulan lagi melawan si Bongkok Ciang Cin. Juga permainan sepasang ping-thi-tian-kong-jwan dari Ban Khing Lan telah dipatahkan oleh pian Seng Hiap. Orang she Ban ini tak berani bertempur lagi, dan hanya ber-putar2 disekeliling meja sembari memper-olok2 lawan yang berbadan gemuk, tak bisa mengejarnya. Sedang si Tong Siu Ho entah lari kemana, Pihak Thian-tan-

Chung hanya Tiong Ing-lah yang berada diatas angin menghadapi Thian Hong dan Jun Hwa. Pikir Tiong Ing, setelah dapat menundukkan kedua lawannya itu, dia baru akan jelaskan duduknya perkara.

Demikianlah golok dimainkannya makin gencar, hingga kedua anak muda itu terpaksa mesti main mundur-mundur saja. Selagi begitu, tiba-tiba tampak seorang melesat maju, dengan sekali teriak: "Mari aku saja yang temani kau main-main!"

Tahu-tahu senjatanya sebatang gajuh besi terus menghantam. Senjatanya sebilah kajuh besi, tapi gerakannya "Lou Ti Sim mengamuk dengan tongkatnya".

Jadi thiat-Ciang dipakai seperti tongkat. Dalam tipu "Chin Ong pian Ciok" Chin Ong menghajar batu, thiat-Ciang itu dari belakang punggungnya sendiri terus menghantam pundak lawan, hebatnya bukan buatan.

Melihat tenaga orang sangat besar, Tiong Ing mengegos kekiri, dari situ dia balas membacok. Orang itu Buru-buru memegang thiat-Ciang dengan kedua tangan untuk dipalangkan dan terus disapukan. Itulah jurus "kim Coa kiam gwat" ular mas memotong rembulan, Cepat-cepat dan keras sekali.

Ciu Tiong Ing adalah murid Siao Lim Pai. Dia kenal serangan lawan itu, ia miringkan tubuh untuk berkelit, dan nampak alisnya dikerutkan, seperti orang yang tengah memikir sesuatu. Sambil bertempur, dia terus mundur-mundur, tapi sikap kakinya tak berobah. Pada saat itu tampak Ban Khing Lan lari menghampiri, tiba-tiba secepat-cepat kilat, Tiong Ing membalik tangan, membacok kepala Khing Lan.

Kiranya tahulah Tiong Ing, bahwa salah faham orang-orang HONG HWA HWE tidak bisa diterangkan karena selalu digagalkan Ban Khing Lan. Terhadap kedua kuku garuda jg akan memeras uangnya itu, Tiong Ing memang marah betul. Tapi kalau mesti bertentangan dengan orang-orang pemerintah, itulah berbahaya. Berpuluh tahun dia hidup dengan tenang dan bahagia, sekali bentrok tentu hancur berantakan. Tiong Ing seorang tuan tanah yang kaya. Dua puluh tahun dia berusaha keras dan berhasil mengumpulkan harta. Sawah dan ladangnya

sangat banyak sekali. Sudah tentu, sedapat mungkin dia tak mau berbuat kesalahan pada Ban Khing Lan.

Disamping itu, untuk HONG HWA HWE dia telah bunuh anaknya sendiri, tetapi ternyata mereka tak kenal adat, sekurang-kurangnya menghormatinya sebagai orang yang lebih tua. Kalau dia mau, dengan segera dapat dia pecundangi mereka, baru nanti memberi penjelasan. Tapi ternyata orang-orang HONG HWA HWE makin lama makin banyak-banyak, dan pertempuran makin berkobar hebat. Kalau diteruskan, tentu akan ada korban yang jatuh. Dan salah faham itu tentu berobah menjadi permusuhan benar2- Kini jago tua itu berkeputusan, untuk membasmi biangkeladinya yaitu Ban Khing Lan, baru nanti semuanya beres.

Disabet golok besar dari Ciu Tiong Ing, terbanglah semangat Ban Khing Lan. Cepat-cepat dia mundur selangkah, tapi dalam pada itu Seng Hiap sudah memburu dari belakang. Orang she Ban itu, Cepat-cepat enjot tubuhnya keatas meja, lalu berseru keras-keras: "Bun Thay Lay sudah kita tangkap, tentu pemerintah sedikitnya akan memberi hadiah selaksa tail perak, kau akan bunuh aku untuk mengkangkangi sendiri hadiah itu?"

Ban Khing Lan memang licin. Dia cukup faham akan maksud Ciu Tiong Ing. Karena itu, dia tetap akan adu orang-orang Thiat tan-thjung dengan orang-orang HONG HWA HWE dan dilepaskannya lidah beracun itu.

Tadi sewaktu Tiong Ing membacok Khing Lan, orang-orang tertegun sejenak dan berhenti berkelahi. Tapi ketika mendengar kata-kata Ban Khing Lan, dalam suasana yang penuh dengan hawa pembunuhan itu, mereka tak dapat berpikir dengan dingin. Dengan mengerang, si Bongkok Ciang Cin mengampak Tiong Ing lagi.

Sesak napasnya Tiong Ing rasanya, karena murka. Namun dia tak berdaya untuk menjelaskan, dan terpaksa mengangkat golok untuk menangkisnya. Adalah Thian Hong yang masih-bisa berpikir jernih. Dia tahu bagaimana dalam pertempuran tadi Tiong Ing selalu berlaku murah, dia duga tentu ada sebab-sebabnya, maka Cepat-cepat ia berseru:

"Kiu-te jangan bertindak sembarangan!"

Namun napsu membunuh sudah menguasai diri si Bongkok, hingga tak didengarnya seruan itu.

Orang yang menggunakan thiat-Ciang (kajuh besi) adalah Thong-tauw-ngo-hi Ciang Su Kin. Dengan thiat-Ciangnya itu dia sabet pinggang Tiong Ing, siapa buru-buru miringkan tubuh untuk berkelit. Tapi pada saat itu, dari arah belakang Seng Hiap melepaskan kong-pian untuk memukul pundaknya.

Merasa ada samberan angin dari belakang, Tiong Ing putar goloknya untuk menangkis, dan begitu berbenturan, lengan keduanya sama-sama terasa kesemutan. Nyo Seng Hiap, Ciang Cin dan Ciang Su Kin adalah HONG HWA HWE punya "tiga samson" tenaganya luar biasa kuatnya.

Waktu Tiong Ing berbenturan senjata lagi dengan Ciang Cin, untuk kedua kalinya, tangannya merasa kesemutan. Dan pada saat itu, thiat Ciang Ciang Su Kin pun menghantam golok Tiong Ing, tak ampun lagi golok jago Thiat-tan-Chung terpental dari tangannya, melesat keatas menancap pada tiang penglari dan terkatung2 disitu.

Kian Hiong/Kian Kong berdua sangat terkejut ketika nampak senjata suhunya terlepas. Serentak mereka akan membantunya, tapi cepat-cepat dihadang oleh Wi Jun Hwa dengan sepasang gaetannya.

Jago Siao Lim Pai itu tak gugup sekalipun goloknya sudah terlepas. Sebat luar biasa dia melesat kearah Seng Hiap. Dengan gerak "kiong-Cian-jong-kun" busur terbentur kepalan, tangan kiri menyawut tangkai pian, sedang tangan kanan membarengi dengan sebuah jotosan kedada Seng Hiap.

Sudah tentu Seng Hiap gelagapan atas kesebatan jago tua itu. Dalam gugupnya dia gunakan ilmu "tangan kosong merebut senjata," untuk merebut kembali kong-piannya. Dengan kedua tangan dia kerahkan tenaganya untuk membetot, dan akan berhasil. Tapi dadanya tak keburu dijaga, dan "bluk" pukulan Tiong Ing menimpahnya.

Kiranya Seng Hiap sangat andalkan akan ilmu thiat-poh-san (weduk) yang telah diyakinkan dengan sempurna. Sekalipun tidak mempan dengan tombak atau golok, apalagi kalau senjata biasa, kebanyakan tentu takkan mempan. Gelarannya "thiat-tha" itu berarti dia seumpama menara besi kokohnya.

Tenaga pukulan Tiong Ing adalah laksana palu yang dapat meremukkan kepala kerbau. Dia kaget bukan terkira, sewaktu melihat Seng Hiap tak kurang suatu apa. Walaupun sebenarnya, sakitnya terasa disumsum dan jantung. Dia buru sedot ambekannya, untuk menahan sakit. Berbareng itu dia membetot kongpian yang masih dipegang Tiong Ing dengan sekuat tenaganya. Sedang Tiong Ing pun tak kurang eratnya menarik. Hingga sesaat itu, terjadilah tarik me narik.

Selagi begitu, Ciang Cin dan Ciang Su Kin berbareng ajunkan senjatanya kepada Tiong Ing. Dalam saat2 yang berbahaja itu, Tiong Ing segera lepaskan pegangannya, serta dengan sebat tangannya kanan mengangkat meja terus dilemparkan kearah Ciang Cin dan Su Kin. Dan menyusul dengan itu, Kian Hiong loncat kepinggir untuk lepaskan beberapa pelor, maksudnya untuk menahan kedua lawan yang mengancam suhunya itu.

Begitu dilemparkan, lilin diatasnya segera padam. Seketika itu timbullah suatu pikiran pada Kian Hiong. Berturut-turut dia lepaskan pelor untuk membunuh mati semua penerangan lilin diruangan itu, hingga keadaan disitu menjadi gelap gulita.

Semua orang yang bertempur menjadi gelagapan, lalu sama-sama mundur kebelakang. Seluruh pertempuran berhenti semua.

Sampaipun untuk bernapas, mereka sama tak berani, takut ketahuan musuh. Selagi dalam kesunyian suasana yang tegang itu, tiba-tiba dari luar ruangan terdengar Iangkah kaki orang mendatangi, dan ketika pintu terbuka, masuklah seorang yang membawa obor. Dandanan orang itu seperti anak sekolahan, sebelah tangannya yang satu memegang sebatang suling. Begitu masuk dia terus berdiri tegak disamping dan mengangkat obornya tinggi dua. Diantara sinar obor, masuklah tiga orang pula. Seorang tojin, menggemblok pookiam,

lengan bajunya yang sebelah kiri diselipkan pada pinggangnya. Ternyata dia hanya berlengan satu. Yang seorang lagi mengenakan jubah tipis, wajahnya berseri-seri seperti batu giok, dandanan dan sikapnya seperti kongcu. Dibelakangnya mengikut seorang bocah dari belasan tahun umurnya.

Keempat orang itu yaitu Kim-tiok siuCay Ie Hi Tong, Cwi-hun toh-beng-kiam Bu Tim tojin dan Cong-thocu (ketua umum) yang baru dari HONG HWA HWE ialah Tan Keh Lok. Bocah itu adalah pelajannya. Saat itu Thian Hong berbisik kepada Wi Jun Hwa: "Awas, jagalah jangan sampai orang-orang Thiat-tan-Chung bisa ada yang lolos."

Keduanya melingkar kebelakang Tiong Ing dan orang-orang Thiat-tan-Chung. Kian Kong tahu maksud musuhnya itu, dengan gusar dia maju selangkah, untuk menegurnya tapi Buru-buru dicegah suhunya dengan berbisik: "Jangan bersuara, lihat apa mereka kata."

Saat itu tampak Ie Hi Tong membawa dua lembar karcis, maju kehadapan ketua Thiat-tan-Chung, setelah memberi hormat lalu berseru:

"Cong-thocu HONG HWA HWE Tan Keh Lok dan ji-tangkeh Bu Tim tojin akan mohon bertemu dengan Ciu loenghiong dari Thiat-tan-Chung".

Kian Hiong maju menyambutinya untuk diserahkan pada suhunya. Melihat surat itu ditulis dengan kata-kata merendah a.l. Tan Keh Lok dan Bu Tim membahasakan diri sebagai orang tingkatan bawah, Tiong Ing Buru-buru rangkap kedua tangan memberi hormat seraya berkata: "Kunjungan tamu2 yang terhormat kedesa ini, menyesal jau 2 tak dapat kusambut. Mari silahkan duduk."

Tiong Ing perintah orang-orangnya supaya mengatur lagi meja kursi dalam ruangan itu yang sama sungsal sumbal tak keruan. Demikianlah setelah sudah rapih dan lilin-lilin pun dinyalakan kedua fihak segera ambil tempat duduk masing-masing. Pada rentetan fihak tamu tampak duduk menurut urut2an kedudukannya: Tan Keh Lok, Bu Tim, Ji Thian Hong, Nyo Seng Hiap, Wi Jun Hwa, Ciang Cin, Lou Ping, Ciok Siang Ing', Ciang Su Kin, Ie Hi Tong. Dan Sim Hi, itu pelayan Tan Keh Lok, berdiri dibelakang tuannya.

Pada saat itu Hi Tong mengerlingkan matanya kearah Lou Ping, siapa nampak kepucat2an wajahnya. Dia menduga-duga adakah kejadian malam itu, sudah diketahui oleh Ciok Siang Ing. Dia lihat roman algojo ini begitu keren sekali.

Kiranya setelah Lou Ping berlalu, Hi Tong seperti orang yang kehilangan semangat dan cemas. Hampir dua hari dia ubek-ubekan disitu untuk mencari Lou Ping. Kalau sampai bertemu musuh, tentu berbahayalah Lou Ping, karena pahanya masih luka. Maksudnya dia akan memberi perlindungan secara bersembunyi. Namun sia-sialah dia mencarinya itu, karena Lou Ping waktu itu sudah berada di Thiat-tan-Chung.

Pada malam ketiga, bukan Lou Ping yang dijumpainya melainkan Cong-thocu Tan Keh Lok dan ji-tangkeh Bu Tim tojin. Segera kedua pemimpin HONG HWA HWE menjadi sangat gusar, ketika diberitahukan bahwa Bun Thay Lay telah "dijual" oleh orang-orang Thiat-tan-Chung. Berkata sang Cong-thocu; "Sekalian heng-te kita sudah menuju Thiat-tan-Chung, siapa tahu mereka bakal tertipu oleh Ciu Tiong Ing. Sebaliknya kita pergi kesana dulu, baru nanti kita tolong Bun suko."

Bu Tim setuju. Mereka tiba di Thiat-tan-Chung justeru diruangan itu sedang dilakukan pertempuran sengit dan tepat Kian Hiong lepaskan pelor membunuh2i lilin. Maka Hi Tong segera nyalakan obor.

Begitulah difihak tuan rumah, duduklah Ciu Tiong Ing, Beng Kian Hiong, An Kian Kong dan Ciu Ki. Melihat gelagatnya kedua fihak akan mendapat penyelesaian, diam2 Ban Khing Lan menyelinap kepintu. Tapi ketika dia akan nyelonong keluar, Thian Hong loncat kemulut pintu menghadangnya, katanya: "Jangan pergi dulu, kita bicara secara terang."

Melihat fihak lawan berjumlah besar, dia tak berani menentang dan terpaksa balik kembali. Setelah kedua fihak sama memperkenalkan nama, tahulah tuan rumah bahwa tetamunya itu adalah orang-orang kenamaan dalam kalangan liok-lim. Tapi diam-diam jago tua itu merasa heran nampak Cong-thocu mereka yang masih begitu muda, dan yang lebih mirip dengan seorang kongcu dari pada seorang pemimpin besar yang anggotanya semua jago-jago kangouw yang gagah. Orang-orang HONG HWA HWE tampak menghormat sekali pada Cong-thocu muda itu, hingga diam-diam Tiong Ing menjadi tak habis mengerti.

Sebaliknya nampak orang senantiasa mengawasi saja, dikiranya akan menaksir kepandaiannya, maka marahlah Cong-tho-Cu itu, katanya dengan dingin: "Karena bertempur dengan kuku garuda dan mendapat luka-luka berat, su-tang-keh Pan Lui Chiu Bun Thay Lay terpaksa datang meneduh kemari. Demi persahabatan kaum bu-lim, Ciu locianpwe telah begitu baik untuk memberi pertolongan, maka dari HONG HWA HWE disini aku haturkan terima kasih."

Sembari berkata begitu, dia berbangkit untuk menjura. Ciu Tiong Ing tersipu-sipu membalas hormat, dan diam-diam dia kagum atas ketajaman ucapan anak muda itu, yang nyata-nyata menjewernya secara halus. Dilain fihak Bu Tim dan Hi Tong pun sangat kagum dan diam-diam merasa girang bahwa kini HONG HWA HWE betul-betul mempunyai seorang pemimpin yang berkewibawaan dan luas

pandangannya.

Tidak demikian dengan si Bongkok Ciang Cin yang tak mengetahui arti sebenarnya dari ucapan sang thocu, maka berserulah dia keras-keras: "Cong-thocu, situa itulah yang mencelakai Bun suko!"

Wi Jun Hwa yang duduk disisihnya buru-buru menarik bajunya dan melarangnya jangan mengacau pembicaraan. Tan Keh Lok seperti tak mendengarnya, dan dengan sopan santun berkata lagi: "Bahwa pada tengah malam buta saudara-saudara kita telah mengunjungi tempat locianpwe, adalah memang tak pantas, harap locianpwe suka maafkan. Itulah disebabkan karena kita mendapat kabar Bun suko mendapat kesukaran dan buru-buru akan menyemputnya. Dan entah bagaimana keadaan penyakit Bun suko itu, mungkin locianpwe sudah panggilkan sinshe, mohon locianpwe suka bawa kita orang kepadanya."

Habis mengucap begitu, pemimpin muda itu berbangkit, dan seluruh rombongan HONG HWA HWE pun ikut berbangkit. Seketika itu Ciu Tiong Ing kemekmek, tak dapat memberi penyahutan. Disaat itulah Lou Ping berseru dengan nyaring: "Suko telah dibinasakan mereka, Cong-thocu, kita minta orang tua itu mengganti jiwanya."

Ciang Cin, Nyo Seng Hiap, Wi Jun Hwa dan lain-lainnya serentak menggerung, dengan melolos senjata masing-masing, mereka menghampiri kemulta. Dengan tabah Beng Kian Hiong pun berdiri lalu berkata: "Bun-ya datang kemari, memang ada soalnya"

"Nah, kalau begitu harap Beng-ya antarkan kita kepadanya." Thian Hong memutus omongan orang.

"Ketika Bun-ya, Bun naynay dan Ie-ya ini datang kemari, lo-ChungCu kita sedang tak berada dirumah. Akulah yang menyuruh orang mengundang sinshe ke Thioke-poh, hal ini Bun naynay dan Ie-ya tentu mengetahuinya. Kemudian datanglah petugas-petugas pemerintah. Kami merasa malu tak dapat melindungi sehingga Bun-ya sampai tertangkap. Tan tangkeh, kalau menganggap kita kurang sempurna memberi penyambutan, memang kita akui. Kalau mau bunuh, bunuhlah. Aku orang she Beng jika sampai jerih, bukan seorang hohan. Tetapi kalau sekalian tangkeh menuduh loChungCu kami menjual sahabat, itulah kurang pantas!"

Lou Ping- serentak maju kemuka, seraja menuding ia memaki: "Orang she Beng, kau masih tak malu menyebut hohan. Coba jawablah, kau

suruh kita sembunyi dalam gowa yang demikian rapatnya, kalau sebelumnya tidak ada perjanjian, masa mereka bisa mengetahui persembunyian kita?"

Disemprot begitu, Kian Hiong tak dapat menyawab. Peristiwa Ciu Ing Kiat kena dipikat untuk menjual rahasia, orang-orang Thiat-tan-Chung merasa malu semua. Biar bagaimana takkan diCeritakan pada orang luar. Maka berkatalah Bu Tim pada Ciu Tiong-Ing: "Waktu peristiwa itu terjadi mungkin benar2 Ciu lochungcu tak berada dirumah. Tetapi kata orang "naga harus punya kepala, orang punya pemimpin."

Soal kejadian di Thiat-tan-Chung kita hanya dapat meminta pertanggungan jawab loChungCu saja, maka sukalah memberi jawaban."

Tiba-tiba Ban Khing Lan yang bersembunyi dipinggir berseru dengan lantang: "Anaknyalah yang membuka rahasia itu, mengapa dia tak mau serahkan anaknya itu pada kau orang?"

"Ciu locianpwe, benarkah itu?" tanya Tan Keh Lok sambil melangkah setindak lagi.

Ciu Tiong Ing orangnya jujur, sekali-kali tak mau omong dusta. Dia anggukkan kepalanya. Sesaat itu terdengarlah suara berisik dari orang-orang HONG HWA HWE, dan mereka makin merapat, sambil menantikan tindakan sang! thocu lebih lanjut.

Tan Keh Lok palingkan pandangannya kearah Ban Khing Lan, tanyanya dengan keren: "Siapakah dia, belum sempat menanyakan gelaran saudara?"

"Dia adalah salah seorang kawanan kuku garuda yang telah menangkap Bun suko!" menyelutuk Lou Ping.

Tanpa mengucap apa-apa, dengan tenang ketua HONG HWA HWE itu maju kemuka Ban Khing Lan dan tiba-tiba dia ulurkan tangan merampas kong-jwan orang she Ban itu, terus dilemparnya.

Dan tak kurang sebatnya, tahu-tahu kedua tangan anggauta kuku garuda itu telah ditelikung kebelakang punggungnya, kemudian cukup dipegangi dengan tangannya kiri saja.

"Aduh, aduh!" Khing Lan mengerung kesakitan, tapi dia tak berdaya untuk berontak lagi.

Gerakan Tan Keh Lok itu luar biasa sebatnya, sehingga orang-orang tak dapat mengetahui gerakan apakah yang digunakan tadi. Ban Khing Lan bukan sembarang jago, bugenya lihai sekali. Hal ini disaksikan oleh orang-orang HONG HWA HWE sendiri. Tapi kini ditelikung oleh pemimpin muda itu, dia tak dapat berkutik sama sekali. Hal itu bukan saja menajubkan orang-orang Thiat-tan-Chung, sekalipun orang-orang HONG HWA HWE sendiri sama kemekmek dan terkejut. Karena selama ini hanya di ketahui bahwa Cong-thocunya itu adalah

ahliwaris satu2nya dari Thian Ti koayhiap, tapi bugenya sebegitu jauh, belum pernah mereka lihat dengan mata kepala sendiri.

"Dimana kau bawa Bun suya?" bentak Tan Keh Lok.

Ban Khing Lan membisu, malah mengunjukkan sikap yang sombong, Tan Keh Lok totokkan jarinya kearah orang, seraya bentaknya:

"Kau bilang tidak?"

Ban Khing Lan mengeluh kesakitan, dan menyerit: "Kau hendak menyiksa orang cara begini, bukanlah laku seorang hohan kalau mau bunuh, bunuhlah"

Ucapan itu terhenti dengan berketesnya butir-butir keringat dari atas kepalanya, ketika Tan Keh Lok kembali menotok jalan darah "jwan-ma-hiat." Kali ini Ban Khing Lan betul-betul tak dapat bertahan lagi, lalu bisiknya dengan lemah: "Aku bilang ......... aku bilang."

Waktu Tan kembali menotok "khi-ie-hiat"-nya, meluncur kan beberapa patah kata dari mulut Khing Lan : "Kalau ingin menolong dia, harus pergi ke Pakkhia."

"Dia belum binasa," seru Lou Ping dengan menahan napas.

"Sudah tentu belum, dia kan pesakitan penting, siapa yang berani membunuhnya!" sahut siorang she Ban.

"Omonganmu ini boleh dipercaya?" kembali Lou Ping menegasi.

"Masa aku berani mendustaimu."

Karena dihadapi oleh rasa girang yang meluap-luap, Lou Ping roboh tak ingat diri. Hi Tong segera ulurkan tangan hendak membangunkannya, tapi secepat itu pula dia tarik kembali sang tangan. Adalah si Bongkok yang Buru-buru memapahnya seraya berseru:

"Suso, kau kenapa?"

Disamping itu dia melirik kearah Hi Tong, karena merasa heran atas kelakuannya barusan. Berbareng pada saat itu Tan Keh Lok perintahkan pada pelayannya untuk mengikat Ban Khing Lan.

"Saudara-saudara sekalian, yang terpenting kita tolong Bun suko dulu. Perhitungan disini besok kita bereskan lagi."

Semua orang-orang HONG HWA HWE nyatakan setuju. Pada waktu itu Lou Ping yang sudah tersadar dan duduk dikursi, sampai kucurkan air mata karena girangnya. Tan Keh Lok lalu tinggalkan tempat itu. Ciang Cin tetap memapah Lou Ping yang masih pincang itu. Ketika berada diluar, Cong-tho-Cu itu mengangkat tangan lagi dan berkata pada tuan rumah: "Maaf, banyak-banyak membikin repot. Budi tentu terbalas dan takkan kami lupakan. Kelak kita berjumpa lagi."

"Hem," demikian Tiong Ing perdengarkan suara hidung. Dia tahu sehabis menolong Bun Thay Lay, orang-orang HONG HWA HWE itu pasti akan datang membikin perhitungan lagi.

"Kalau kau orang tetap buta dengan kenyataan, akupun tak jerih," demikian pikirnya.

"Habis menolong Bun suko, akulah Ciang bongkok, yang pertama-tama akan minta pengajaran dari enghiong hohan Thiat-tan-Chung ini," seru Ciang Cin.

"Dengan kawanan anjing atau beruang saja masih kalah tingkatannya, macam apa disebut enghiong!" seru Seng Hiap.

Mendengar itu marahlah Ciu Ki, puteri Tiong Ing, serunya : "Kau maki siapa?"

"Kumaki orang tua yang tak punya perikemanusiaan dan yang tak becus urus rumah tangganya," balas Seng Hiap tak kurang sengitnya.

Kiranya meskipun si "menara besi" ini mempunyai ilmu thiat-pohsan, namun jotosan Tiong Ing yang kena dadanya tadi, sakitnya bukan kepalang. Tambahan lagi Bun Thay Lay ternyata "dijual" oleh putera musuhnya itu makin meluaplah kebenciannya dan mendamprat sekena-kenanya.

Ciu Ki yang beradat berangasan itu segera melangkah maju dan balas mendampratnya: "Telur busuk macam kau, berani menista ayahku!"

"Hah! Budak perempuan ini!" bentak Seng Hiap seraja berlalu, karena dia paling benci bertengkar dengan orang perempuan.

Karuan Ciu Ki makin berkobar amarahnya, masa ia disamakan seperti budak hina. Memburu maju, berserulah ia : "Kau mau apa?!"

"Panggil kakakmu, katakan aku Thiat-tah Nyo Seng Hiap mau bertemu!"

"Ha, kakakku?" balas Ciu Ki dengan heran.

"Ada soal jual sahabat, akan ada juga soal minta bertemu sahabat. Kokomu kan sudah menyual Bun suko, habis dia bersembunyi dimana?" Wi Jun Hwa ikut mengomong.

Ciu Ki tetap tak mengerti maksud orang, karena ia tak merasa punya koko. Sebaliknya Kian Hiong segera mengetahui bahwa karena mendengar kata beracun dari Ban Khing Lan, oranga HONG HWA HWE itu telah salah faham. Karena keadaan sudah memaksa, maka Kian Hiong bertekad akan mewakili suhunya, dan berserulah dia keras-keras: "Liatwi kalau masih ada perkataan apa-apa, silahkan nyatakan sekarang, agar besok tak usah merepotkan liatwi untuk berkunjung kemari lagi!"

"Kita akan minta berjumpa dengan koko dari nona ini," Ciang Cin ikut bicara.

"Kau, si bongkok ini, sudah edan barangkali. Mana aku punya koko?" Ciu Ki mendamprat dengan sengit.

Dikatakan "bongkok" begitu, Ciang Cin menggerung, terus ulurkan sepasang tangan cakar garuda untuk meraum muka sinona. Ciu Ki cepat-cepat menabas dengan goloknya dan pecahlah pertempuran. Ciang Cin dengan ilmu silat tangan kosong "lin-na-kang" melayani Ciu Ki yang memainkan golok.

Juga Wi Jun Hwa kibaskan siang-kaonya, sambil berseru: "Beng-ya, mari kita main-main sebentar!"

"Silahkan Wi-ya mulai lebih dulu!" sahut Kian Hiong.

Menyusul dengan itu, disana Ciang Su Kin pun mulai bertempur dengan Kian Kong.

"Kalau kawanan penjual teman ini tetap merintangi, kita bakar saja rumahnya ini!" tereak Seng Hiap.

Pertempuran makin seru, disana sini terdengar gemeren Cingnya senjata beradu. Melihat itu tak kuasalah Ciu Tiong Ing menahan hatinya katanya pada pemimpin HONG HWA HWE:  "Bagus, HONG HWA HWE hanya pandai gunakan lidah melukai hati orang dan mengandalkan jumlah besar untuk menindas."

Seketika itu bersuitlah Tan Keh Lok keras-keras seraya menepuk tangan dua kali. Tiba-tiba pertempuran berhenti, dan orang HONG HWA HWE mundur berdiri dibelakang pemimpinnya. Berkatalah Tan Keh Lok: "Ciu loenghiong memaki kita andalkan jumlah banyak-banyak untuk mencari kemenangan. Aku yang rendah ini seorang diri akan mohon pengajaran loenghiong!"

"Itulah bagus," sahut Tiong Ing. "Tadi kita sangat mengagumi gerakan Tan tangkeh, dan mengakui bahwa sifat eng-hiong itu sudah kentara sedari masih berusia muda. Lohu ingin sekali menerima pelajaran. Entah tangkeh mau bermain-main dengan senjata atau tangan kosong saja?"

"Golok kan sudah menancap di penglari, bagaimana mau bertanding dengan senjata," Ciok Siang Ing berkata dengan tajam. Dan memang ucapan itu telah memerahkan telinga Tiong Ing.

Semua kepala sama mendongak keatas penglari, memang benar disitu tertancap sebatang kim-pwe toa-to. Tiba-tiba ada sebuah bayangan mengapung keatas.

Dengan sebelah tangan memegang tiang bandar, sebelah tangan satunya mencabut golok itu. Dan enteng laksana kapas, bayangan itu melayang turun lagi, terus menghampiri dihadapan Tiong Ing dan menekuk separoh lututnya seraya mengangsur senjata itu keatas kepalanya, katanya: "Ciu lo-thay-ya, inilah golokmu."

Melihat bayangan itu ternyata Sim Hi, pelajan Tan Keh Lok, orang-orang sama terkesiap. Tidak dikira kalau bocah yang masih begitu hijau, ilmunya mengentengi tubuh sudah sedemikian lihainya.

Diunjuki permainan begitu, Tiong Ing makin merah wajahnya. Dia hanya perdengarkan suara "hm," tanpa menghiraukan Sim Hi, dia berkata pula pada ketua HONG HWA HWE: "Tan tangkeh silahkan memakai senjata, lohu akan melayani dengan tangan kosong saja."

Waktu itu Kian Hiong Cepat-cepat menyambuti golok yang diangsurkan oleh Sim Hi, lalu membisiki suhunya: "Suhu tak boleh menuruti kemarahan, pakailah senjata untuk tempur dia."

Kiranya Kian Hiong kuatir betul-betul suhunya akan melayani senjata musuh dengan tangan kosong, itu tentu berarti rugikan namanya. Pada saat itu Sim Hi, sudah mengambil keluar senjata, terus diangsurkan pada majikannya.

"Cong-thocu, dia mau adu tangan kosong, baik thocu juga pakai tangan kosong untuk mengalahkannya," bisik Thian Hong.

Ternyata dia ini beranggapan lain. Bahwa tanda-tanda mengunjukkan kalau Ciu Tiong Ing itu lebih bersikap bersahabat daripada bermusuhan terhadap HONG HWA HWE Sekali gunakan senjata, tentu bakal ada yang mati atau terluka. Rasanya dengan tangan kosong lebih sesuai.

Kedua kalinya, dia pernah rasakan kelihaian permainan golok Tiong Ing, yang meskipun dikerojok bersama Wi Jun Hwa, tetap tak terkalahkan. Apalagi dia tak ketahui bagaimanakah ilmu senjata dari Cong-thocunya. Tadi yang disaksikannya ialah gerakan tangan Tan Keh Lok sewaktu menelikung Ban Khing Lan, memang lihai dan sebat sekali. Jadi terang, kalau ilmu silat tangan kosong dari pemimpinnya itu sangat lihai. Dengan berkelahi tangan kosong, dia bermaksud agar Cong-thocu bisa merebut kemenangan.

Tan Keh Lok menyetujui anyuran Thian Hong, dan katanya pada tuan rumah sembari tak ketinggalan merangkap kedua tangannya: "Aku yang rendah akan mohon beberapa jurus gerakan tangan kosong dari Ciu lo-eng-hiong. Harap lo-enghiong berlaku murah."

"Ah, Tan tangkeh terlalu merendah", sahut Tiong Ing.

Ciu Ki tampil kemuka untuk bantu meloloskan jubah ayahnya, sambil membisikinya: "Bocah itu mahir tiam-hiat, harap ayah berlaku hati-hati."

Nona ini kelihatan marong wajahnya. Sebenarnya ia diliputi kemarahan hebat, hanya musuh berjumlah banyak-banyak, dan rata-rata mereka bugenya lihai-lihai, ia pun menginsyafi gentingnya suasana saat itu.

"Kalau sampai terjadi apa-apa atas diriku, pergilah kau pada Kho sioksiok-mu di Lan Ciu. Dikemudian hari jangan sekali2 kau terbitkan onar lagi." Tiong Ing memberi pesanan pada puterinya dengan suara bisik-bisik.

Dengan hati berat, Ciu Ki angguk-anggukkan kepalanya. Kala itu Song San Beng sudah perintahkan kawanan Congteng untuk menyingkirkan meja dan kursi-kursi di ruangan itu, sehingga kini merupakan sebuah ruangan kosong yang luas. Pada empat penjuru, dipasanglah lilin-lilin besar yang menyinari ruangan itu dengan terang sekali. Ciu Tiong Ing tampak tampil ditengah-tengah, merangkap kedua tangannya, dia berkata: "Harap silahkan memulai."

Dengan tiada menukar jubahnya yang panjang, Tan Keh Lok dengan tenang menghampiri ditengah-tengah. Sembari memegang kipas yang terus dikipas-kipaskannya, katanya dengan lantang: "Aku yang rendah ini kalau sampai kalah, tentu akan mengundang semua Cianpwe dari kalangan persilatan daerah barat utara sini untuk menyaksikan penghaturan maaf kita kepada loenghiong. Dan selanjutnya anggota-anggota HONG HWA HWE tak kan menginyak didaerah Kamsiok sini."

"Ucapan Tan tangkeh ini terlalu berat," jawab Tiong Ing.

Tan Keh Lok mengangkat alisnya, lalu bertanya: "Tetapi sebaliknya kalau lo-Cianpwe yang "salah tangan," lalu bagaimana?"

Jago Thiat-tan-Chung itu dangakkan kepalanya seraya tertawa. Dengan menguruti jenggotnya dia menyahut: "Seluruh penghuni Thiat-tan-Chung, tua muda, bersedia serahkan jiwa pada Hong Hwa Hwe!"

"HONG HWA HWE meskipun hanya sebuah perkumpulan kecil yang tak berarti, tapi dapat juga membedakan budi dengan kejahatan. Bagaimana kita disuruh membunuh orang-orang yang tak ikut berdosa? Kalau aku beruntung dalam pertandingan ini, kita akan berlaku kurang ajar untuk minta agar locianpwe suka serahkan putera locianpwe yang membocor kan tempat persembunyian Bun suko itu. Kalau kelak Bun suko dapat kita tolong dengan selamat, aku menjamin tak kan mengganggu seujung rambutnya dan akan mengantarkan kembali kesini. Tetapi kalau sampai Bun suko kena apa-apa maaf, kita terpaksa suruh dia mengganti jiwa," demikian kata Keh Lok.

Mendengar disebut-sebutnya sang putera, teringatlah Tiong Ing akan kecintaan ayah dan anak, dan tak terasa matanya mengembeng air mata. Tapi pada lain saat sambil mengulap mukanya, dia berkata: "Sudah jangan banyak-banyak berkata, silahkan mulai!"

Tan Keh Lok selipkan kipasnya kedalam dada, berdiri tegak dia rangkap kedua tangan dan berkata: "Silahkan!"

Semua mata mengawasi pemimpin muda itu dengan tak terkesiap. Diam-diam mereka kagum atas sikapnya yang agung perbawa itu. Ciu Tiong Ing menaati peraturan Siao Lim Pai, tangan kiri dibuka, tangan kanan mengepal. Dia tahu sebagai angkatan muda, ketua HONG HWA HWE itu pasti tak mau menyerang dulu. Maka diapun tak mau tunggu lama-lama lagi, terus menyerang muka sitetamu dengan gerak "Co Cwan hoa Chiu." Pukulan itu luar biasa kerasnya, kepalan belum tiba anginnya sudah menampar muka.

Tan Keh Lok bergerak dengan "han kee poh," tangan kanan menyampok pukulan Tiong Ing, berbareng tangan kirinya menyikut lambung orang. Pukulan ini adalah ilmu silat Siao Lim yang disebut "tan hong tiao yang" burung hong menghadap matahari.

Gerakan itu membuat kesima semua orang. Mereka sama tak mengira kalau pemimpinnya itupun dapat gunakan ilmu silat Siao Lim Pai untuk layani ilmu silat dari Cabang Siao Lim yang diyakinkannya berpuluh tahun itu. Sampaipun Ciu Tiong Ing sendiri merasa heran.

Jilid 7

DEMIKIAN jurus demi jurus. Tan Keh Lot berkelahi dengan ilmu silat Siao Lim Pai yang dimainkannya dengan mahir sekali. Sehingga walaupun namanya bertempur, tapi nyatanya mereka itu seperti orang berlatih karena gerakan masing-masing sama sumbernya.

Lebih sepuluh jurus telah berlangsung, tapi masih belum ada yang terdesak. Ciu Tiong Ing adalah seorang jago Siao Lim Pai yang telah mencapai puncaknya kesempurnaan. Gerak kaki dan tangannya, senantiasa mengeluarkan deru samberan angin. Kelebihan ilmu silat Siao Lim Pai, adalah dalam hal kesebatan. Demikianlah Tiong Ing makin lama makin gesit.

Pada saat itu dia bersilat dengan gerakan "jong-siao lim" yang terdiri dari tiga tujuh jurus. Baru sampai separoh, Tan Keh Lok segera terdesak. Selagi begitu Tiong Ing berseru keras sembari memutar tubuhnya kekiri, dari situ dengan gerak secepat-cepat bintang jatuh, dia rangsang lawannya. Tan Keh Lok buru-mundur selangkah, namun biar bagaimana, orang-orang Hong Hwa Hwe sama mengeluarkan jeritan tertahan, karena hampir saja pemimpin muda itu tak dapat loloskati diri.

Kini Tan Keh Lok tidak lagi gunakan Siao Lim Kun, tapi berganti dengan "ngo-heng-lian-hoan-kun" juga salah suatu ilmu silat yang lihai dari Siao Lim Pai. Dalam salah satu jurusnya yang dinamakan "oh-liang-jay-kwa" naga hitam menyambar semangka, dia hajar dada orang.

"Bagus!" seru Ciu Tiong Ing sembari masih tetap gunakan jurus ilmu silat Siao Lim Kun untuk memusnahkan serangan.

Setelah lewat beberapa jurus, mendadak Tan Keh Lok ganti menyerang dengan "pat-kwan-yu-sim-Ciang," menyerang sana-sini sambil ber-putardua. Karena jubahnya bergerombongan, maka diantara sinar lilin, tampaknya seperti sepuluh buah bayangan yang mengitari lawan.

Ciu Tiong Ing Cukup berpengalaman, dengan tenang dia sambut setiap serangan, hingga lawan tak dapat berbuat banyak-banyak. Ketika Ciu Tiong Ing kirim sebuah serangan lagi, Tan Keh Lok gunakan lweekang untuk pegang tangan orang. Gerakan itu adalah dari ilmu silat Thay Kek Kun yang disebut "ji hong si pit".

Tan Keh Lok bergerak dalam gerakan Thay Kek Kun, dengan ketenangan melayani kekerasan, dengan kelemahan menundukkan kekuatan. Dia halau setiap serangan, dia enyahkan setiap tipu gerakan. Pada waktu itulah mata semua orang baru sama terbuka dengan penuh kekaguman. Sejak dulu ilmu silat Thay Kek Pai mempunyai sifata keistimewaan sendiri, dan sedikit saja yang dapat memiliki sempurna. Sekalipun muda usia ketua HONG HWA HWE itu, tetapi ternyata dia mempunyai ilmu gwakang dan lwekang yang sempurna. Suatu hal yang jarang terdapat dikalangan kangouw.

Thiat-tan Ciu Tiong Ing, jago Siao Lim yang kawakan itu, terpaksa harus melayani dengan hati-hati. Memang nampaknya gerakan kedua lawan itu lambat, tapi dimata ahli silat, pertempuran itu lebih dahsyat dari semula.  Sampai pada jurus kedua, keduanya masih belum mengunjukkan mana yang lemah.

Tiba-tiba Tan Keh Lok berganti Caranya berkelahi. Kini dia gunakan ilmu silat Tiang Kun dari kaum Bu Tong Pai, sebentar pula dengan ilmu silat "toa-lin-na-hwat" yang terdiri dari tiga enam jurus, lalu dengan "hun-Ciat-Cho-kut-Chiu" dan lain saat lagi dengan ilmu silat Gak-ke san-Chiu.

Baik kawan maupun lawan sama terpesona, tak habis-habisnya mengagumi. Bahwasanya pemimpin muda dari HONG HWA HWE itu kaya dengan pelbagai ragam ilmu silat, yang kesemuanya sukar dan jarang dapat diyakinkan. Dan mereka sama menantikan dengan perhatian, ilmu silat apa lagi yang akan dikeluarkannya.

Ciu Tiong Ing tetap bertekun menggunakam ilmu silat Siao Lim Kun, dan nampaknya dia tak sampai keteter. Berpuluh tahun berkelana dikalangan Sungai Telaga, jenis ragam ilmu silat daricCabang apa saja telah diketahui dan dijumpainya. Sekalipun ahli yang mahir dengan berbagai ilmu silat seperti Tan Ken Lok tersebut belum pernah di lihatnya, tapi dengan mengandal pada Siao Lim Kun, dia dapat melayaninya dengan tak sampai kewalahan.

Suatu saat, jago Siao Lim Pai itu tiba-tiba melangkah setindak, sebat luar biasa, dia kirim pukulan kiri kekaki lawan. Dan selagi anak muda itu akan menarik tubuh, tahu-tahu lawan telah gunakan gerakan "li-hi-bak-thing" ikan lehi menggoyang angsa.

"Rett" tahu-tahu jubah Tan Keh Lok pada bagian dada telah rowak seperti terbeset.

"Maaf!" seru Ciu Tiong Ing.

Muka Tan Keh, Lok merah padam. Cepat-cepat kedua jarinya akan menotok jalan darah "jwan-ma-hiat" dari lawan, namun lawan telah bersiap, maka keduanya terlibat lagi dalam pertempuran yang gigih.

Kembali pada saat itu orang-orang sama ke-heran2an lagi. Karena mereka tak tahu ilmu silat apa yang digunakan oleh ketua muda itu, ilmu "Toa-kim-na-Chiu" dicampur dengan tiamhiat (totokan). Tangan kiri bergerak dalam "Cat-kun," tapi tangan kanannya bergerak dalam "Bian-Ciang" pukulan kapas. Gerak serangannya seperti "pat-kwa-Ciang," tapi gerak penyagaannya seperti Thay Kek Kun. Gerak ragamnya, seperti tak keruan, kacau balau, sehingga mata orang yang mengikutinya sama berkunang-kunang.

Kiranya ilmu silat itu adalah Ciptaan dari Thian Ti koay-hiap, Wan Su Siao, yang disebut "peh-hoa-jo-kun" ilmu silat ratusan bunga. Thian Ti Koayhiap sejak muda gemar belajar buge. Dia merantau jauh sekali untuk mengunjungi dan berguru pada guru2 yang ternama, sehingga mahirlah dia akan peibagai cabang ilmu silat. Setelah itu dia menetap didaerah Sinkiang, untuk menyembunyikan diri.

Disitulah dia mulai meyakinkan ilmunya, mengambil kelebihan dari sesuatu cabang ilmu silat, menyangkok sana-sini dan akhirnya terciptalah "peh-hoa-jo-kun"-nya itu. Ilmu silat ini bukan saja sukar diduga" tapi juga mempunyai keistimewaan sendiri, yaitu yang terletak pada gerakan "jo" salah. Benar jurus gerakannya hampir serupa dengan apa yang terdapat dalam cabang ilmu silat yang terdapat di kalangan kangouw, tetapi sebenarnya tidak sama. Bermula lawan tentu mengira bahwa serangannya itu adalah tipuan, tetapi dia nanti akan menjadi kaget setelah menangkis dan dapatkan bahwa serangan itu bukan seperti yang diduganya.

Untuk meyakinkan ilmu silat luar biasa ini, orang harus mahir dalam ilmu gwakang dan lwekang, kim-na-kang, tiamhiat dan ilmu mengentengi tubuh. Sejak Thian Ti koay-hiap ciptakan ilmu tersebut, dia sendiri belum pernah menggunakannya. Dan murid tunggal satu2nya, ialah Tan Ken Lok ini.

Begitu Tan Keh Lok keluarkan "peh-hoa-jo-kun"-nya, orang2 sama menyaksikan perobahan pada jalannya pertempuran itu. Dengan sepasang tangannya, Ciu Tiong Ing berusaha untuk menangkis dan melindungi mukanya. Dan sembari begitu, dia terus mundur-mundur saja. Dia bingung untuk menduga gerak serangan anak muda itu. Bukan saja gerakannya aneh, pun pukulannya, totokan jarinya, mengandung jurus2 dari ilmu golok dan pedang. Betul-betul dia gelagapan.

Ketika melihat ayahnya terdesak kalah, Ciu Ki sibuk sekali, lalu berseru keras: "Ilmu silat apa yang kau keluarkan itu? Sungguh gila! Katanya adu silat, mengapa kau gunakan pukulan yang tak keruan macamnya itu?"

Baru saja dia berseru begitu, dari luar ruangan masuk lah dua orang sambil bertereak: "Tahan!"

Ternyata mereka, bukan lain adalah Liok Hwi Ching dan Tio Pan. San. Tapi justeru orang Hong Hwa Hwe akan membuka mulut kepada kedua orang ini, tiba-tiba terdengarlah dari arah luar seorang berseru dengan keras sekali: "Api.. ada api! Lekas padamkan kebakaran!" Dan berbareng dengan tereakan itu, api sudah menyilat masuk ke ruangan itu. Ketika itu Tiong Ing sedang dirangsek oleh Tan Keh Lok, begitu mendengar tereakan rumah dan seluruh isinya dimakan api, dia terkesiap juga dan untuk sesaat pikirannya buyar memikirkan hal itu. Cukup sesaat saja, sekonyong-konyong paha kirinya terasa kesemutan, dan dia merasa kakinya lemas.

Ternyata "hu hi hiat" atau jalan darah dipahanya, telah kena tertotok orang. Ciu Tiong Ing, jago tua yang telah berpuluh tahun malang melintang dikalangan Sungai Telaga dengan belum pernah dijatuhkan orang itu, kini sempojongan akan roboh kebelakang.

"Ayah!" demikian dengan cepat-cepat Ciu Ki memburu untuk memapahnya, sembari melintangkan goloknya untuk melindungi sang ayah, bilamana musuh akan menyerangnya lagi.

Tapi sebaliknya Tan Keh Lok tak mau memburu, dia hanya mundur selangkah, seraja berkata: "Bagaimana kata Ciu loenghiong sekarang?"

"Baik, aku mengaku kalah. Anakku kuserahkan, mari ikut aku", balas Tiong Ing dengan murkanya.

Dengan dipapah oleh puterinya, Tiong Ing menuju keluar ruangan. Tan Keh Lok, Liok Hwi Ching dan sekalian orange HONG HWA HWE sama mengikuti Tiong Ing. Melintasi dua buah ruangan, tampaklah api makin besar. Dalam malam yang gelap gulita, api itu menyulang keudara, merah marong diantara kabut asap yang bergumpal2 memenuhi angkasa itu. Beng Kian Hiong, An Kian Kong dan Song San Beng siang2 sudah mengepalai kawanan Congteng untuk memadamkan api.

"Saudara-saudara, kita bantu memadamkan api dulu!" kedengaran Ji Thian Hong mengajak Kawan-kawannya.

"Hem, kau yang suruh orang melepas api, sekarang pura-pura mau menjadi orang baik-baik, ya?" Ciu Ki mendamprat.

Tadi iapun mendengar, Thian Honglah biang keladi yang memerintahkan membakar, mengingat itu, dengan tanpa hiraukan musuh berjumlah besar ia angkat goloknya untuk menyerang orang itu. Thian Hong buru2 menyingkir. Ciu Ki makin kalap, dan terus akan mengubernya. Tapi telah dihadang Tio Pan San yang memberi nasehat untuk berlaku tenang dulu. Sekalipun Ciu Ki berjingkrak2 meronta-ronta, tapi dengan hanya menyempitkan tangan pada gigir golok, Pan San telah membuatnya tak berdaya.

Tiong Ing tak hiraukan hal itu dan terus melangkah ke belakang. Orang-orang HONG HWA HWE menjadi terkesiap, ketika mengetahui bahwa ruang itu adalah tempat lingtong (ruangan jenazah). Dua batang lilin putih, menyinarkan cahajanya yang pudar, hingga keadaan ruangan itu sangat menyeramkan sekali. Begitu Tiong Ing menyingkap kain selubung putih, maka tampaklah sebuah peti mati yang hitam warnanya. Tutup peti itu ternyata masih belum dipaku. Kiranya setelah puteranya meninggal, karena Ciu Ki masih belum pulang, maka Tiong Ing belum mau menutup peti itu dulu, agar nanti. Ciu Ki dapat kesempatan untuk melihat adiknya untuk yang penghabisan kali.

"Bahwa anakku telah membocorkan tempat persembunyian Bun-nya, itu memang benar. Dan kini kau orang akan membawa anak itu, baiklah, mari ambillah dia!" demikian kata Tiong Ing dengan suara tak lancar.

Nyata jago tua Itu masih terkenang akan putera yang dikasihinya itu. Menampak seorang jenazah anak kecil terhampar didalam peti mati, orang-orang HONG HWA HWE itu tak habis herannya. Maka berserulah Ciu Ki: "Adikku adalah seorang anak yang baru berusia sepuluh tahun. Dia sebetulnya belum mengerti apa2 dan telah menunjukkan tempat persembunyian orang she Bun itu. Ketika ayah pulang, dia begitu murka dan sampai tegah untuk membunuh dengan tangannya sendiri. Karena inilah maka sampai ibuku marah dan meninggalkan rumah. Bukankah ini menggirangkan hati kalian? Kalau masih belum puas, Ayo orang HONG HWA HWE, bunuhlah kita, ayah dan anak berdua, Ayo!"

Seketika itu orang HONG HWA HWE sangat menyesal sekali, atas perbuatan mereka terhadap orang tua Ciu Tiong Ing yang ternyata seorang perwira yang menjunjung tinggi rasa keadilan dan peri kebajikan itu. Rasa sesal, terharu dan menghormat itu, memenuhi dada setiap orang HONG HWA HWE, sehingga ruangan itu seketika menjadi sunyi senyap.

Si Bongkok Ciang Ciu adalah orang pertama yang mengunjukkan ketulusan hatinya. Melangkah kemuka, dia segera menjura dihadapan Ciu Tiong Ing, seraja berkata: "L.oya, tadi telah bersalah besar terhadapmu, aku Ciang Bongkok, dengan ini meminta maaf sebesar2nya.

Habis berbuat begitu, kembali dia menghadap kearah nona Ciu Ki untuk menjura dan berkata pula: "Nona, maafkanlah aku. Seterusnya panggillah aku "bongkok" sekehendak hatimu, tak sekali-kali aku berani marah." Mendengar itu, Ciu Kie tertawa urung.

Pada saat itu ber-turut2 Tan Keh Lok, orang yang pernah memaki orang tua itu yakni Lou Ping, Nyo Seng Hiap, Chi Thian Hong dan lain-lain orang HONG HWA HWE, sama datang menjura untuk menghaturkan maaf pada Tiong Ing. Jago tua ya ng keras hati ini tersipu-sipu membalasnya.

Berkata pemimpin HONG HWA HWE: "Kebajikkan yang Ciu loenghiong tumpahkan pada HONG HWA HWE, akan kita ukir sampai mati. Saudara-saudara sekalian, kita perlu lekas padamkan api, Ayo lekas bertindak!"

Mereka serentak menyingsingkan lengan baju. Tapi ternyata api berkobar dengan hebatnya, sehingga langit seperti dibakar warnanya. Genteng2 berguguran ketanah, belandar dan penglari roboh disana sini, gegap gempita dihimpit dengan tereakan kawanan Conteng yang riuh itu.

Propinsi Anse, terkenal daerah "sarang" angin. Setahun penuh, tak ada seharipun yang tak berangin. Angin bukan sembarang angin, tapi angin besar yang kuat sekali. Dikipasi oleh sang angin, tambahan lagi air sangat sukarnya, maka api itu rasanya susah untuk dipadamkan. Thiat-tan-Chung yang megah luas itu, sebentar lagi akan menjadi tumpukan puing rata dengan tanah.

Adalah dalam keadaan begitu, Ciu Tiong Ing tetap memegang peti mati puteranya, sikapnya seperti orang yang tak sadar. Api sudah  menjilat masuk kedalam ruangan, sedang Wi Jun Hwa, Ciok Siang Ing, Cio Su Kin dan lain-lain-nya sama berusaha untuk memadamkannya.

Nampak ayahnya seperti orang yang kehilangan semangat itu, berserulah Ciu Ki: "Ayah, Ayo kita keluar dari sini!"

Ciu Tiong Ing tak mengacuhkan, dia hanya memandang dengan tak terkesiap pada peti mati puteranya. Tahulah kini orang itu, bahwa ayah yang sengsara itu tak tega untuk lepaskan peti mati jenazah puteranya itu dimakan api. Tiba-tiba Ciang Bongkok membungkukkan badannya dan berseru pada Seng Hiap: "Pat-ko, kau letakkan peti keatas punggungku sini!"

Seng Hiap menurut, begitu peti diangkat terus ditumpangkan keatas punggung si Bongkok siapa terus mendukungnya keluar. Dengan dipapah puterinya, Tiong Ing berjalan keluar diikuti oleh rombongan HONG HWA HWE. Mereka beristirahat disebuah lapangan diluar Chung. Tak berselang berapa lama, terdengarlah suara gemuruh keras dari tiang penglari wuwungan rumah yang jatuh ketanah. Karena tak berdaya untuk memadamkan api, sekalian orang sama berkerumun disebelah Tiong Ing.

"Astaga! kuku garuda itu masih didalam sana!" tiba-tiba Sim Hi bertereak dengan kaget. Dan dia terus loncat akan menolongnya, tapi dicegah oleh orang banyak.

"Orang yang banyak dosanya itu, biarkan saja terbakar hangus disitu," seru Ciok Siang Ing.

"Sayang , orang piauwkok itu diberi kemurahan," tiba-tiba Lou Ping bertereak.

"Siapa dianya?" tanya Tan Keh Lok.

Lou Ping Ceritakan halnya Tong Siu Ho, si Cumi-cumi itu. Juga Kian Hiong menuturkan tentang kedatangan orang itu untuk menyelidiki Thiat-tan-Chung.

"Benar, tentu dialah yang melepas api!" kata Thian Hong.

Semua orang pun menduga, tentu perbuatan orang she Tong itu. Pada suatu kesempatan Thian Hong mengerlingkan matanya kearah Ciu Ki, siapa juga justeru melirik Thian Hong. Maka bertemulah sinar dari ke-empat mata! buru-buru keduanya membuang muka karena jengah.

"Kita harus tangkap orang itu," Tan Keh Lok nyatakan pikiran, lalu memerintah: "Chi jit-ko, Nyo patko, Wi kiuko, Ciang sipko, kau orang berempat lekas pecahkan diri menuju keempat jurusan. Dapat menawan atau tidak, dalam satu jam harap sudah kembali lagi kemari!"

Keempat orang itu bergegas-gegas menjalankan perintah. Sedang disebelah sini, tampak Liok Hwi Ching pasang omong dengan Ciu Tiong Ing. Mereka sama mengagumi satu sama lain. Pada saat itu kembali Tan Keh Lok menghaturkan maaf pada Ciu Tiong Ing seraja berkata:

"Karena HONG HWA HWE maka loenghiong sampai mengalami keadaan begini. Budi loenghiong akan kami balas sekuat usaha kami. Tentu kita Cari Ciu lothaythay supaya dapat kembali pada loenghiong. Thiat-tan-Chung sudah menjadi abu, H.H H. yang akan membangunnya. Kerugian dari sekalian saudara Cengteng, HONG HWA HWE yang mengganti. Harap semuanya jangan kuatir."

Nampak Thiat-tan-Chung menjadi abu, Tiong Ing mengelah napas. Berpuluh2 tahun membangun, habis dalam semalam. Tetapi mendengar ucapan pemimpin HONG HWA HWE itu, Buru-buru dia menyahut. "Jangan Tan tangkeh mengucap begitu. Harta benda adalah barang titipan. Kalau kau tetap beranggapan begitu, sama saja artinya dengan menghina aku, tidak mau menganggap aku sebagai sahabat," demikian katanya.

Ciu Tiong Ing paling gemar bergaul. Dia saksikan bagaimana tadi orang-orang HONG HWA HWE mati2an berusaha menolong api, dan bagaimana sikap mereka yang begitu mengindahkan padanya, diam-diam hatinya terhibur.

Sekalipun Thiat-tan-Chung musnah, tapi dia dapatkan pengganti yang berharga: tali persahabatan dengan begitu banyak-banyak orang gagah.

Setelah diadakan pemeriksaan, selain hanya kira-kira sepuluhan orang yang luka terbakar, yang mati atau luka berat saja tidak ada. Ketika kemudian Song San Beng sampaikan kata-kata pemimpin HONG HWA HWE itu pada sekalian cengteng, mereka menjadi terhibur juga.

Selagi orang masih sibuk, datanglah Wi Jun Hwa dan Ciang Bongkok melapor pada Tan Keh Lok bahwa Tong Siu Ho tak dapat diketemukan sekalipun sudah dicari sampai enam atau tujuh li jauhnya, tidak berapa lama, Thian Hong dan Seng Hiap pun muncul, dengan tangan kosong juga.

"Tidak apa, diakan orangnya Tin Wan piauwkok, biarkan dulu besok kita urusi lagi," habis berkata begitu Tan Keh Lok berpaling kearah Tiong Ing, katanya: "Ciu locianpwe, untuk sementara ini sekalian Cengteng itu akan disuruh kemana?'''

"Soal ini, besok pagi sesudah keadaan tenang, kita pikirkan lagi," kata siorang tua.

"Siaotit ada usul, harap LoCianpwe suka pertimbangkan," tiba-tiba Thian Hong menyelak.

"Jit-ko kita ini terkenal sebagai Bu Cu Kat, dia banyak-banyak sekali akalnya," kata" Tan Keh Lok setengah bersendagurau.

Melirik pada Thian Hong, nona Ciu Ki perdengarkan suara hidung, lalu berkata pada Kian Hiong: "Beng toako dengarlah, ada orang yang melebihi hebatnya dari Cu Kat Liang, banyak akal, pun bisa buge!"

Kian Hiong hanya tersenyum, maka berkatalah Tiong Ing: "Ji-ya, Coba kau bilanglah."

"Kukira setelah orang she Tong itu melarikan diri dan orang she Ban itu tak kelihatan kembali, kawanan kuku garuda itu pasti akan melapor pada pembesar negeri. Menurut pendapatku, lebih baik orang-orang Thiat-tan-Chung ini menuju ke barat saja, untuk menantikan suasana kalau sudah agak reda. Kalau kita ketimur menuju kota Ti Kim Wi, rasanya kurang leluasa."

Tiong Ing setuju, katanya: "Benar, lotit memang tak keCewa sebagai Bu Cu Kat. Besok kita berangkat ke Anse. Disana aku punya sahabat yang rasanya takkan keberatan menerima kita untuk beberapa hari saja."

Mendengar ayahnya malah memuji Thian Hong, Ciu Ki mendelu hatinya.

Walaupun sekarang sudah nyata bahwa Thian Hong bukan yang membakar Thiat-tan-Chung, tapi entah bagaimana, ia benci pada orang itu. Makin melihat, makin muak rasanya.

Setelah mengumpulkan semua cengteng dan keluarganya yang berjumlah enam2 orang itu, maka Tan Keh Lok menyerahkan sepucuk surat pada Song San Beng seraya berkata: "Kali ini saudara-saudara menderita kerugian besar, untuk itu aku merasa menyesal sekali. Untuk menetap di Anse, tentunya saudara-saudara semua memerlukan ongkos, maka dengan ini sukalah kiranya menerima sedikit

pemberian yang tak berarti ini."

Begitu melihat surat itu, terkejutlah Song San Beng, sehingga untuk sesaat dia tak dapat berkata apa-apa. Kian Hiong mendekatinya, dan tampak olehnya pada surat itu terdapat tulisan yang berbunyi. "Dengan surat ini harap diberikan sepuluh ribu tail perak". Dibawah tulisan itu, terdapat tanda tangan yang bagus, entah apa bunyinya.

"Tan tangkeh, kebaikanmu itu kita terima dengan senang hati, tapi uang yang begini banyak-banyak, menyesal kami tak dapat menerimanya," kata Kian Hiong.

"Setiba di Anse harap Song-ya pergi kekuil Giok Hi To Kwan untuk mengambil uang tersebut. Untuk keluarga Beng-ya dan An-ya masing- harap diserahkan seribu tail. Song-ya sendiri harap mengambil 500 tail. Sedang untuk enam2 saudara itu, masing-masing supaya diberi seratus tail. Selebihnya silahkan pakai untuk ongkos jalan," menerangkan Tan Keh Lok.

Bermula Beng Kian Hiong mau menolak, tapi telah didesak oleh anak muda pemimpin itu. Kian Hiong memandang kearah suhunya, akan minta pertimbangan. Sifat Ciu Tiong Ing adalah tangan terbuka. Dia paling benci orang yang main sungkan2an, maka katanya: "Karena itu sudah menjadi kehendak Tan tangkeh, kau terima saja dan lekas haturkan terima kasih."

Apa boleh buat mereka cepat-cepat haturkan terima kasih. Adanya Tan Keh Lok tak menghaturkan apa-apa pada Ciu Tiong Ing dan puterinya, karena sangat menghargainya. Untuk itu legahlah hati jago tua itu.

"Tan tangkeh, betul-betul kau menghargai mukanya seorang tua ini," kata Tiong Ing seraya menepuk bahu ketua HONG HWA HWE itu.

Tiong Ing titahkan San Beng segera ajak rombongannya berangkat ke Anse untuk meneduh ketempat kediaman Go tay koan-jin dulu. Kelak setelah urusannya selesai, mereka akan dipanggil lagi.

"Ayah, jadi kita tak ikut pergi ke Anse?" tanya sang puteri.

"Mana bisa, Bun suya tertangkap ditempat kita, bukankah kita ikut bertanggung jawab untuk monolongnya?" Mendengar maksud ayahnya akan ikut membebaskan Bun Thay Lay, giranglah hati Ciu Ki, Kian Hiong dan Kian Kong.

"Maksud mulia dari Ciu locianpwe, sangat kita junjung dengan rasa terima kasih yang se-besar2nya," demikian Tan Keh Lok Buru-buru menanggapi. "Tapi menolong Bun suko itu adalah soal pembunuhan dan perlawanan pada kekuasaan pemerintahan. Liatwi sekalian adalah rakyat baik-baik yang hidup dengan tentram, jauh berbeda dengan orang-orang peran tauan kangouw seperti kita orang ini. Bukankah hal itu sangat tak leluasanya?" Kita hanya akan mohon petunjuk dan rencana dari Ciu lo Cianpwe saja. Tentang membasmi kawanan kuku garuda, menolong Bun suko, biarlah kita sendiri saja yang mengerjakannya."

Thiat-tan Ciu Tiong Ing mengelus mengurut jenggotnya, lalu katanya. "Tan tangkeh, kau tak perlu kuatir akan merembet2 kita orang. Kalau kau menolak kehendakku yang akan menolong seorang sahabat itu, artinya kau menganggap sepi padaku!"

"Ciu loenghiong adalah seorang lelaki yang mulia ambekannya. Semua orang kangouw sama mengetahui dan menghormatinya," Liok Hwi Ching ikut menimbrung." Andai kata dia bukan seorang begitu, aku yang belum mengenalnya tentu tak berani gegabah menyuruh Bun su-ya meneduh ke tempat kediaman beiiau!"

Tan Keh Lok termenung sejenak, lalu katanya: "Begitu tinggi keluhuran budi Ciu loenghiong, kita seluruh anggauta HONG HWA HWE takkan lupa sampai mati."

Malah Lou Ping seketika itu maju menghampiri dan berlutut dihadapan Ciu Tiong Ing, katanya dengan serta merta: "Loya rela membantu, aku atas nama keluarga Bun dengan ini haturkan beribu terima kasih."

"Bun naynay, kau legahkan hatimu. Kalau tak dapat menolong Bun suya aku bersumpah tak mau jadi orang lagi," kata Tiong Ing seraya

tersipu-sipu mengangkat nyonya muda itu bangun. Habis itu dia minta pada Tan Keh Lok supaya lekas mengeluarkan perintah untuk berangkat.

Dengan ucapan merendah, Tan Keh Lok minta lagi agar Tiong Ing dan Hwi Ching, dua jago tua itu, memberi petunyuk, sudah barang tentu Hwi Ching menolak dan minta agar ketua itu sendiri yang mengeluarkan perintah sendiri dengan segera.

"Kalau begitu baiklah", demikian akhirnya Tan-Keh Lok berkata. "Saudara-saudara sekalian, lebih dulu kita bersembahyang pada Hong Hwa loCu kita!" seru Tan Keh Lok pada orang-orangnya.

Dia suruh ambilkan sebuah pakaian baru, untuk ganti pakaiannya yang telah robek didada itu, setelah itu dia pimpin saudara-saudaranya untuk bersujud menghadap kearah selatan. Mereka memberi hormat (Paikui). sampai tiga kali.

Selesai itu, baru pemimpin muda itu memberikan perintahnya. Api yang membakar Thiat-tan-Chung sudah padam, hanya sana sini terdengar suara kretekan tangkai2 potongan kaju yang masih dimakan lelatu. Dengan hidmat, sekalian orang-orang HONG HWA HWE itu mendengari perintah ketuanya: Pertama: Sebagai pelopor dimuka, ialah Kim-tiok siuCay, Ie Hi Tong dan SeChwan Siang hiap Siang He Ci dan Siang, Pek Ci sebagai penghubung untuk memberi warta tentang keadaan Bun Thay Lay.

Rombongan kedua terdiri dari: Cian-pek 'Ji-lay Tib Pan San sebagai pemimpin dengan anggautanya: Sipemberani Ciang Cin, Kui-kiam-Chiu Ciok Siang Ing.

Rombongan ketiga, pemimpinnya: Cui-hun-to-bing-kiam Bu Tim tojin dengan anggauta: Thiat-ta Nyo Seng Hiap, Thong thao-ngo-hie Ciang Su Kin.

Rombongan keempat dipimpin sendiri oleh Tan Keh Lok dengan anggauta: Kiu-beng kim-pao-Cu Wi Jun Hwa, clan sikaCung Sim Hi.

Rombongan kelima dipimpin: Bian-li-Ciam Liok Hwie Ching dengan anggauta: Sin-tan-Cu Beng Kian Hiong, Tok-ka-houw An Kian Kong.

Rombongan keenam dipimpin: Thiat-tan Ciu Tiong Ing, dengan anggauta: Kio Li-kui Ciu Ki, Bu-Cu-kat Chi Thian Hong dan Wan-yang-to Lou Ping.

"Ie su-sip-te, harap segera berangkat. Saudara lain-lainnya supaya mengasoh lebih dulu. Besok kita berangkat ke Thio-ke-poh, lalu berpencaran kita memasuki Kao-ko-kwan untuk mengadakan rapat lagi," demikian Keh Lok akhirnya.

Dan setelah memberi hormat kepada sekalian saudara, berangkatlah Ie Hi Tong dengan rombongannya. Baru saja kudanya berjalan beberapa langkah, dia berpaling kearah Lou Ping, siapa kelihatan menundukkan kepalanya. Rupanya nyonya muda itu sedang terbenam dalam renungan lain, sedikitpun tak mengacuhkan akan keberangkatan Hi Tong itu. Anak muda itu mengelah napas panjang , terus mengeprak kudanya berlari dengan kencang.

Masing-masing orang lalu mencari tempat, untuk mengasoh.

"Chi jit-ko, kita telah membuat Ciu loenghiong menjadi berantakan rumah tangganya. Kepergian kita untuk menolong suko kali ini, harap kau taroh perhatian, agar supaya pembesar2 negeri jangan sampai mengetahui tentang ikutnya loenghiong itu dalam rombongan kita ini. Selain itu, suso telah terluka, untuk kepentingan suko, ia tentu akan bertempur mati2an nanti. Inipun harap kau berdaya untuk mencegahnya. Sebaiknya rombongan jit-ko ini jangan berjalan dengan Cepat-cepat, kalau bisa supaya jangan sampai ikut bertempur,"

kata pula Keh Lok.

Chi Thian Hong menyatakan akan memperhatikan nasehat ketuanya itu.

Baru saja mereka tidur dua jam, hari sudah terang tanah. Cian-pik ji-lay Tio Pan San segera pimpin rombongannya berangkat.

"Sip-ko, jangan kau terbitkan onar dijalan, jangan banyak-banyak minum arak," Lou Ping memesan Ciang Bongkok.

"Suso, harap jangan kuatir. Sebelum suko tertolong, aku tak mau menenggak setetes arakpun juga," sahut si Bongkok.

Si Bongkok Ciang Cin itu kiranya seorang setan arak. Begitu masuk, dia sering gegeran dengan orang. Tetapi bila perlu, diapun dapat mencegah minum. Inilah kelebihan dia.

Beberapa waktu kemudian, rombongan2 dari Bu Tim tojin, Tan Keh Lok dan Liok Hwi Ching ber-turut2 berangkat. Yang terakhir, barulah rombongan Ciu Tiong Ing. Setiba di Thio-ke-po, penduduk disitu sudah mendengar berita kebakaran di Thiat-tan-Chung, dan berduyun2lah mereka datang menghibur Ciu Tiong Ing. Sampai ditempat ini Ciu Tiong Ing berpisahan dengan Song San Beng yang disuruhnya memimpin rombongan Cengteng pergi ke Anse. Sedang jago tua itu terus melanjutkan perjalanannya ke timur.

Disepanjang jalan, Ciu Ki tetap ribut bertentangan dengan Thian Hong saja.

Dimata gadis berangasan itu, segala gerak-gerik Thian Hong itu serba salah.

Sekalipun ayahnya ber-ulang2 mendampratnya, Lou Ping juga ber-kali2 menasehatnya, malah Thian Hong sendiripun suka mengalah, namun anak itu tetap memusuhinya saja. Lama-lama Thian Hong jengkel juga, pikirnya: "Hanya karena memandang muka ayahmu, maka aku mau mengalah, masa aku sungguh-sungguh jerih padamu? Di kalangan kangouw, enghiong mana yang tak mengindahkan aku, Bu Cu Kat ini? Dasar sial, kini aku mesti menelan rongrongan seorang budak semacam dia!"

Sengaja dia memperlambat kudanya, hingga berada di belakang mereka. Rupanya dia mendongkol, dan tak mau bicara. Kalau menginap dirumah penginapan, sehabis makan dia terus masuk tidur. Tak mau dia pasang omong dengan mereka. Begitulah pada hari yang ketiga, rombongan Ciu Tiong Ing ini sudah melalui kota Ka-ko-kwan. Nampak puterinya tak mau mendengar kata itu, beberapa kali Tiong Ing telah memberi dampratan. Betul saat itu dihadapan sang ayah, Ciu Ki berjanji menurut, tapi begitu kelihatan Thian Hong, kumatlah penyakitnya untuk mengajaknya bersetori pula. Diam-diam Tiong Ing terkenang akan isterinya. Apabila ia itu disini, pasti akan dapat mengajar adat pada puterinya yang bengal itu. Tetapi kini dimanakah sang isteri itu, diapun tak mengetahuinya.

Memikir sampai disini, jago tua itu berduka hatinya. Tambahan pula tampak bagaimana Thian Hong berada di sebelah belakang dengan sikap yang mengunjuk kejengkelan itu, dia makin tak enak hatinya.

Malam itu sampailah mereka di SouwCiu, lalu mencari rumah penginapan yang terletak didekat pintu kota sebelah timur. Thian Hong kelihatan pergi dan tak lama lagi dia kembali, lalu berkata kepada Ciu Tiong Ing dan Lou Ping: "Ie sipsu-ko belum dapat mencium jejak Bun suko, juga belum berjumpa dengan Sejwan Sianghiap."

"Bagaimana kau bisa tahu? Jangan ngelantur, ja!" Ciu Ki tahu-tahu sudah memutus keterangan orang.

Thian Hong tak mau menyawab, hanya melirik dengan ekor matanya kearah gadis yang dibencinya.

"Daerah sini terkenal dengan araknya yang kesohor. Ayo, jit-ya pergi dengan aku ke warung arak Heng Hwa Lauw diseberang jalan sana untuk minum," kata Tiong Ing.

"Baiklah, locianpwe," sahut Thian Hong.

"Ayah, aku ikut!" seru Ciu Ki tak mau ketinggalan.

Thian Hong ketawa.

"Apa macam, ketawa! Masa aku tak boleh ikut?" Ciu Ki melototkan matanya.

Thian Hong melengoskan kepalanya, seperti tak dengar apa-apa: "Ki moaymoy, kita sama- pergi dah! Siapa yang tak membolehkan orang

perempuan minum arak di Ciulauw?" kata Lou Ping dengan tertawa.

Ciu Tiong Ing ternyata seorang ayah yang berpandangan bebas, dia tak melarang puterinya. Begitulah keempat orang itu terus menuju ke Heng Hwa Lauw dan memesan beberapa hidangan dan arak. Air sumber di Souw-Ciu dengan apa arak2 itu dimasaknya, ternyata sangat jernih sekali. Karena itu, untuk daerah barat utara, arak SouwCiu kesohor lezatnya. Begitu menCiCipi, mereka segera mengakui akan kehebatanya arak disitu. Pelayan kembali menghidangkan nampan bakpia keluaran SouwCiu yang kenamaan itu. Pia itu empuknya seperti kapas, putih meletak menggiurkan selera. Selama makan pia itu, tak putus-putusnya mulut Ciu Ki me-muji2 kelezatannya. Karena diwarung situ banyak orang, mereka tak mau menyinggung urusari Bun Thay Lay.

Hanya pemandangan alam "sepanyang tempat yang telah dlaluinya itulah yang dijadikan bahan omong-omong mereka. Tiba-tiba Ciu Tiong Ing berkata pada Thian Hong: "Pemimpin HONG HWA HWE Tan tangkeh itu masih begitu muda usianya, mirip dengan seorang kongcu, tetapi dia paham dengan "ilmu silat berbagai Cabang, sungguh jarang terdapat. Ketika bertanding dengan aku tempo hari itu, pada saat2 terakhir dia gunakan ilmu silat yang luar biasa aneh nya, entah apa itu namanya. Adalah Chi-ya mengetahuinya?"

Sebenarnya Ciu Ki pun sudah lama menyimpan pertanyaan itu, maka dia menaroh perhatian besar untuk jawabannya.

"Sebenarnya akupun baru pertama kali itu berjumpa dengan Tan tangkeh Kecil, mendiang le lotangkeh telah meng antarkannya ke gunung Thian San untuk belajar silat pada Thian Ti koayhiap disana. Ilmu silat itu, kurasa adalah ciptaan dari koayhiap sendiri," menerangkan Thian Hong.

"Hong Hwa Hwe yang pamornya begitu kesohor didaerah Kang-lam, pemimpinnya seorang kongcu, bermula aku tak percaya. Tapi belakangan setelah mengenalnya baik dalam percakapan maupun pertempuran, barulah kuketahui bahwa selain bugenya tinggi, juga pengetahuannya luas sekali. Seorang pemimpin yang tepat dan cakap. Memang orang tak boleh diukur dari usianya."

Mendengar jago tua itu tak habis-habisnya memuji ketuanya, Thian Hong dan Lou Ping merasa girang. Begitulah mereka saling omong dan minum arak dengan gembira sekali. Hanya Lou Ping begitu terkenang akan nasib suaminya yang belum ada ketentuannya itu, nampaknya selalu berduka saja.

"Dalam beberapa tahun ini, banyak sekali jago-jago baru yang muncul dikalangan persilatan. Dengan begitu akan tetaplah bersemarak keharuman Sungai Telaga, patah tumbuh hilang berganti. Hilang yang tua2, yang muda2 tetap tampil mengganti. Misalnya seperti kau sendiri, laote, yang paham bun dan bu itu, memang jarang terdapat di kangouw. Maka harap kau jangan sia-siakan bakatmu itu, untuk melakukan suatu pekerjaan besar", kata Tiong Ing lebih jauh.

Thian Hong tersipu-sipu meng-iakan dan haturkan terima kasih. Sebenarnya jawaban "ja" dari Thian Hong diperuntukkan anjuran Tiong Ing supaya "melakukan pekerjaan besar" itu. Tak tahunya, Ciu Ki telah menduga salah.

Dengan perdengarkan suara ejekan dari hidung menggerutu lah si-Centil itu: "Huh, dipuji orang, masa ya, ya saja!"

Setelah meminum secawan lagi, kembali Tiong Ing berkata: "Konon kudengar mendiang Ie lotangkeh itu adalah seorang ahli Siao Lim Pai

yang jempolan, dengan begitu sama dengan kaumku. Sebenarnya telah lama aku berhasrat mengunjungi untuk berkenalan. Namun karena dia tinggal di Kanglam dan aku berada didaerah barat utara, maka belumlah dapat kulaksanakan. Dan harapanku itu kini tak mungkin terpenuhkan lagi, setelah beliau meninggal itu. Beberapa kali kuberusaha untuk menyelidiki sumber kaum lotangkeh itu, tapi selalu gagal saja."

"Semasa hidupnya almarhum Ie lotangkeh tak pernah menyebut asal kaumnya, baru setelah beliau akan menutup mata, menerangkan bahwa dulu dia belajar buge digereja Siao Lim Si di Hokkian," jawab Thian Hong.

"Akupun seorang murid Siao Lim Si juga," kata Tiong Ing seraja mengangkat cawannya. Dia kerutkan jidatnya sejenak, lalu bertanya lagi:

"Almarhum itu punya ciri2 apa pada mukanya?"

"Sampai pada usia enam puluh tahun, almarhum masih kelihatan gagah. Hanya pada ujung keningnya sebelah kanan terdapat sebuah bekas luka besar, hingga alisnya sebelah kanan tidak ada lagi."

Mendengar penuturan Thian Hong itu, sekonyong-konyong cawan arak Ciu Tiong Ing terlepas jatuh kelantai, dan jago tua itu kelihatan mengucurkan air mata. Katanya dengan suara sember: "Oh, suheng, suheng. Memang sudah kuduga tentu kau, tetapi rupanya kau menyia2kan jerih payahku."

Melihat perobahan dan sikap Tiong Ing yang luar biasa itu, Thian Hong sangat terkejut.

"Laote, Bun naynay, apakah kau orang tahu bahwa Ie lotangkeh-mu itu bukan orang she Ie?" tanya Tiong Ing kemudian.

"Ya, dia orang she Sim," sahut Thian Hong. Kembali Tiong Ing keluarkan seruan tertahan, katanya: "Benar, dia memang she Sim. Namanya sebenarnya ialah Sim Ju Ko, dia adalah suhengku. Hubungan kita, suheng dan sute berdua, sangat mesra sekali. Apalagi dikemudian hari karena melanggar peraturan, dia telah diusir oleh suhu. Sejak itu aku tak mendengar lagi tentang beritanya. Keseluruh polosok Sungai Telaga kumencarinya, tapi tetap tak ada orang yang mengetahuinya. Kukira karena putus asa, dia tentu menyembunyikan diri. Tak tahunya kalau dia sudah merobah she dan namanya dan telah mendirikan suatu gerakan yang begitu mulia tujuannya itu. Dulu pernah kudengar bahwa ketua dari HONG HWA HWE itu orang dari golongan Siao Lim Pai, untuk membuktikan prasangkaku, maka kutulis sepucuk surat padanya. Tapi dengan kata yang sungkan, dia telah membalas suratku itu dengan sikap seperti memperlakukan seorang yang baru dikenalnya. Karena kukenal sifat suhengku yang jujur dan sayang padaku itu, segera kupercaya bahwa dengan jawaban itu, teranglah bahwa ketua HONG HWA HWE itu bukan suheng. Dan karenanya, tak kuselidiki lebih jauh. Oh, suheng, mengapa kau perlakukan sutemu ini begitu dingin?"

Sampai disitu kembali nampak Tiong Ing berduka, lalu katanya pula: "Kalau siang2 kuketahui dia, tentu biar bagaimana kuperlukan berkunjung ke Kanglam. Kini orangnya sudah mengasoh kealam baka, dan harapanku untuk menjumpainya takkan terlaksana se-lama-lamanya."

"Ie lotangkeh berbuat begitu, tentu ada sebabnya. Dia paling gemar bergaul, kalau sampai dia tak mau kenal lo Cianpwe, tentulah bukan sewajarnya," kata Thian Hong.

"Huh, orang HONG HWA HWE itu, paling suka memandang sebelah mata pada orang, jangan kata dalam hatinya. CiCi Ping, aku tak mengatakan kau lho," tiba-tiba Ciu Ki menyelak.

Thian Hong tak menghiraukannya.

"Sewaktu meninggal, dia berpesan apa?" tanya Tiong Ing.

"Disini banyak orang, dan penurunan itu panjang sekali. Baik malam nanti kita lanjutkan perjalanan, dan memilih suatu tempat sepi yang cocok untuk kita pasang omong lagi. Aku sendiripun mempunyai beberapa soal, karena Ciu locianpwe adalah sute dari Ie lotangkeh tentunya mengetahui juga riwajat semasa mudanya. Aku akan mohon beberapa pengunjukan dari locianpwe," kata Thian Hong.

Ciu Tiong Ing setuju, lalu menyuruh pelayan membikin perhitungan. "Harap tunggu sebentar, aku akan turun kebawah dulu," kata Thian Hong.

"Laote, akulah yang menjadi tuan rumah, tak usah kau yang bajar," sela Tiong Ing.

"Baik," jawab Thian Hong terus turun kebawah loteng.

"Hem, sikunyuk jual lagak!" Ciu Ki tak kuat untuk tak memberi komentar.

"Anak perempuan tak boleh sembarangan bicara!" damprat ayahnya.

"Ki moaymoay," kata Lou Ping. "Jit-ko kita itu orang yang paling banyak-banyak akal, kau cari urusan dengan dia, hati-hatilah tentu dia akan membalas kau."

"Seorang laki2 yang lebih kate dari aku, masa mesti dibuat jerih!" sahut sigadis.

Ciu Tiong Ing akan mendampratnya lagi, tapi segera tak jadi sebab dengan suara tindakan kaki. Itulah Thian Hong yang segera mengajak mereka berangkat lagi. Begitu setelah mengambil barang bekalannya, ke-empat orang itu meneruskan perjalanannya lagi. Untung pintu kota masih belum keburu ditutup. Sekejap saja mereka berempat telah melalui tiga puluh lie, dan Ciu Tiong Ing lalu ajak rombongannya untuk mengasoh dibawah gerombolan puhun yang tumbuh ditepi jalan. Kala itu, keadaan disitu sunyi senyap. Tapi ketika Thian Hong akan membuka mulut, tiba-tiba jauh dari arah sebelah sana, terdengar suara seperti bunyi telapak kuda. Cepat-cepat dia tempelkan kupingnya ketanah, lalu katanya: "Ada tiga ekor kuda lari menghampiri kemari."

Atas isyarat Tiong Ing, mereka segera membawa kudanya bersembunyi dibalik batu besar. Tidak berselang berapa lama, betul juga ada tiga ekor penunggang kuda lalu disitu untuk menuju kearah timur. Diantara sinar rembulan, tampak ke tiga penunggang kuda itu memakai ikat kepala putih dan jubah berkembang, dandanannya menyerupai orang Wi. Pada kuda masing-masing terselip golok.

Setelah mereka lenyap dari pemandangan, barulah Tiong Ing mengajak duduk ditempatnya tadi. Bahwa selama mereka meninggalkan Thiat-tan-Chung boleh dikata siang malam terus berjalan, hingga tak ada waktu untuk ber-cakap2. Maka kesempatan ini digunakan oleh Tiong Ing untuk menanyakan pada Lou Ping mengapa Bun Thay Lay sampai bisa ditangkap oleh pemerintah Ceng Tiauw. Segera Lou

Ping memberi keterangan sbb.: "Perkumpulan kita HONG HWA HWE merupakan duri dimata pemerintah Ceng, itulah sudah terang. Tetapi anehnya, kali ini mereka telah mengirimkan banyak-banyak sekali jagoanya yang berkepandaian tinggi untuk menangkap sampai dapat pada Bun suko. Dan hal itu merupakan lain perkara lagi. Kira-kira pada pertengahan bulan lalu, Ie lotangkeh buru2 datang ke Pak khia dengan mengajak kita berdua suami isteri. Sampai di kota raja tersebut, diam-diam lotangkeh suruh kita untuk menyelundup keistana untuk menemui kaisar Kian Liong. Sudah barang tentu kita terkejut dan menanyakan keperluannya. Namun lotangkeh tak mau menerangkannya. Lalu suko menjelaskan, bahwa hongte itu sangat galak sekali, sebaiknya undang juga Bu Tim totiang, Tio samko, SeChwan Siang-hiap dan lain-lain datang ke Pakkhia untuk ber-sama-sama memasuki istana. Pula mengundang Chit-ko (Thian Hong) supaya merencanakan penyerbuan itu."

Mendengar itu, Ciu Ki melirik pada Thian Hong dan berkata dalam hati: "Huh, masa orang begitu banyaknya, sama membutuhkan kepandaian sikate ini?"

"Pendapat suya itu memang tak salah," demikian Tiong Ing berkata.

"Ya, tapi Ie lotangkeh menerangkan bahwa urusan menemui Kian Liong kali ini sangat penting sekali artinya. Kalau terlalu banyak-banyak yang masuk istana, salah2 menerbitkan salah faham hebat. Suko tak berani membantahnya lagi. Begitulah malam itu kita berdua memasuki istana. Suko yang terus menyelinap kedalam dan aku yang menjaga diluar. Saat itu kita sangat gelisah sekali. Kira-kira dua jam kemudian suko muncul kembali, dan kami terus pulang dengan selamat. Keesokan harinya kami tinggalkan Pakkhia menuju ke Kang lam.

Ditengah jalan, diam2 kutanyakan suko tentang pertermuannya dengan baginda Kian Liong. Menurut suko, dia telah berhasil menghadap baginda, tetapi karena soal itu adalah soal yang maha penting yaitu gerakan untuk merobohkan pemerintah Boan Ceng, maka dia tak mau menerangkan lebih jauh padaku. Hal itu bukan karena ia tak mempercayai diriku, tapi ia kuatir nanti malah membahayakan diriku saja, maka akupun tak mau mendesaknya."

"Tanggung jawab suheng memang besar sekali," seru Tiong Ing.

"Setiba di Kanglam, kita lalu berpisahan. Kami kembali ke Thayouw, dan lotangkeh pergi ke HangCiu," kembali Lou Ping melanjutkan keterangannya.

"Sampai berpuluh tahun, dia tak dapat melupakan kenangannya," seru Tiong Ing mengelah napas.

"Kenangan apa sih?" timbrung Ciu Ki.

"Mana kau tahu?" sahut sang ayah.

"Justeru karena itulah aku bertanya," si Centil menanggapi.

Tiong Ing tak hiraukan. Melihat itu Thian Hong meringis ewah, keruan saja Ciu Ki mendongkol ke-malu2an.

Sejak dia kembali dari HangCiu, sikapnya berobah sekali. Kelihatannya dia berobah lebih tua sepuluh tahun. Sepanjang hari dia tak mau bicara. Dan lewat beberapa hari kemudian lalu jatuh sakit. Kata suko. karena orang yang dicintai lotangkeh meninggal dunia, maka dia sangat berduka sekali .............."

Mengucap sampai disini, Lou Ping dan Thian Hong sama mengucurkan air mata, juga Ciu Tiong Ing tampak berlinang2. Mengulap air matanya, Lou Ping berkata: "Sebelum menutup mata, lotangkeh telah panggil hiangCu dari Iwe-sam-tong dan gway-sam-tong, dan meninggalkan pesanan supaya Siaothocu (Tan Keh Lok) yang harus menggantikan kedudukannya. Ditandaskannya, bahwa disitulah letak bangunnya kembali kerajaan Han."

"Siauthocu membahasakan apa dengan kau orang punya lotangkeh itu?" tanya Ciu Tiong Ing.

"Dia adalah anak angkat lotangkeh. Siaothocu adalah putera dari Tan Siang Kok di Hayling. Dalam usia 15 tahun, saothocu telah lulus dalam ujian kiatgoan. Tak lama kemudian, lotiangke membawanya keluar dan mengirimkannya ke Hwe Poh untuk belajar buge pada Thian Ti koayhiap. Urusan ini, boleh dikata semua orang kangouw sama mengetahuinya. Tentang bagaimana seorang kongcu dari gedung Caysiang bisa mempunyai ayah angkat seorang bulim, kita sendiri tak mengetahuinya."

"Mungkin Bun suya mengetahuinya," kata Tiong Ing. "Rupanya diapun tak tahu," sahut Lou Ping. "Ketika akan menutup mata nampak lotangkeh mempunyai suatu rahasia besar dan minta bertemu dengan siaothocu. Tapi karena perjalanan begitu jauh, maka telah tak keburu lagi. Dalam pesanannya lotangkeh minta supaya ketua dan waktu ketua dari keenam tong (daerah) supaya menjemput saothocu untuk merundingkan gerakan besar. Disamping itu, lotang-keh diam-diam bisiki suko supaya lekas-lekas menemui saothocu sendiri

untuk menyampaikan pesan rahasianya. Tapi apa lacur, ditengah perjalanan suko mesti menghadapi bencana begini "Sampai disini, suara Lou Ping menjadi sember, tapi ia paksakan berkata lagi: "Kalau sampai suko kena apa-apa pesan lotangkeh tentu takkan ada lain orang

yang meneruskannya."

"CiCi Ping, kau jangan bersedih. Kita tentu dapat menyelamatkan suya," seru Ciu Ki menghiburnya.

Lou Ping Buru-buru tarik tangan Ciu Ki, dan paksakan bersenyum dengan sayu.

"Bagaimana Bun suya bisa terluka?" tanya Tiong Ing pula.

"Kita orang ber-ganti2 secara bergelombang menuju ke perbatasan sebelah barat utara untuk menyambut saothocu. Kita berdua suami isteri, jatuh pada gelombang yang paling akhir. Setiba di SouwCiu, sekonyong-konyong ada delapan orang pahlawan kelas satu (si wi) yang mencari kita dirumah penginapan. Mereka mengatakan membawa titah dari baginda agar kita lekas menghadap ke Pakkhia.

Suko menyawab, bahwa nanti setelah menyambut saothocu, baru nanti akan pergi kekota raja. Dengan kata-kata halus, kedelapan siwi itu menasehati agar suko lebih mengutamakan firman keisar daripada urusan partai. Namun suko tetap membantahnya. Demikianlah karena sama-sama kerasnya, pertempuran tak dapat dihindari lagi.

Kedelapan siwi itu adalah pahlawand2 pilihan dari istana. Dengan tertentu, kita makin terdesak. Suko umbar kemarahannya. Dengan bernapsu dia telah dapat merobohkan dua orang siwi. Malah saking gemasnya dia pukul binasa yang tiga orang. Sedang yang dua lainnya telah kena hui to-ku. Karena melihat gelagat tak baik, salah seorang dari mereka segera kaburkan diri. Sekalipun kita berhasil dapat menghalau mereka, tapi suko juga mendapat beberapa luka yang berbahaya. Karena selama pertempuran itu, dia selalu berada dimukaku, sehingga dengan begitu, sedikitpun aku tak sampai terluka."

Ciu Ki terlongong-longong mendengari bagaimana Lou Ping menuturkan dengan gaja penuh bersemangat tentang kegagahan suaminya melawan kedelapan siwi itu. Setelah berhenti sejenak, Lou Ping meneruskan penuturannya lagi: "Karena tak dapat tinggal lama2 di SouwCiu, kita terus menuju ke Ka Ko Kwan. Sebenarnya sampai di Thio-ke-po saja suko sudah tak kuat meneruskan perjalanan lagi, dan terpaksa menginap dihotel untuk merawat luka-nya. Apa yang kita harapkan ialah solekasnya saothocu dan rombongan saudara2 kita

sudah dapat kembali dan melalui tempat situ. Tapi diluar dugaan, kawanan kuku garuda dari Pakkhia dan LanCiu terus mengejar kami. Dan bagaimana kelanjutannya, kukira kau orang sudah dapat mengetahui sendiri."

"Kian Liong loji mengapa begitu takut dan benci suko. Kalau begitu keselamatan suko untuk sementara tentu terjamin, kuku garuda itu takkan berani mengganggu seorang tawanan yang begitu penting sebagai dia," kata Thian Hong.

"Pikiranmu itu benar, laote," sahut Tiong Ing.

"Mengapa daripada lekas2 pergi ke Thio-ke-po untuk menumpas kawanan kuku garuda dan menolong Bun-ya kau orang malah menuju ke Thiat-tan-Chung untuk mengumbar tangan jahat" tiba2 Ciu Ki menyelak.

Ciu Ki masih ingat peristiwa pambakaran rumahnya, karena gara2 HONG HWA HWE itu. Dalam kesempatan itu, dia semprot Thian Hong, orang yang dulu menyuruh lepaskan api itu.

"Budak perempuan, jangan omong sembarangan!" bentak ayahnya.

Thian Hong tetap tulikan telinga dan lanjutkan penuturannya: "Karena saothocu main sungkan tak mau terima keangkatannya sebagai

Congthocu, maka mereka sampai terlambat beberapa hari belum ada keputusannya. Dan lagi kita tak menyangka kalau orang berani menepuk lalat dimulut sepasang suami isteri harimau seperti suko dan suso yang lihai bugenya itu."

"Kau digelari orang sebagai Bu Cu-kat, mengapa tak becus menduganya?" kembali Ciu Ki menyentil.

Karena sungkan dengan sang ayah, Thian Hong tak dapat melampiaskan kemendongkolannya kepada gadis yang genit itu. Paling2 dia bungkem dengan unjuk muka kecut.

"Kalau jit-ya ini sudah bisa menduganya, kita kan tak bisa berkenalan dengan saudara-saudara dari HONG HWA HWE. Terutama dengan seorang bun-bu-Coan-Cay (pandai ilmu surat dan buge) sebagai Tan tangkeh itu," Buru-buru Tiong Ing menutupi kesungkanan Thian Hong. Berpaling kearah Lou Ping dia bertanya pula: "Siapakah pasangan Tan tangkeh itu? Puteri atau sioCia keluarga bangsawan atau lihiap dari kalangan persilatan?"

"Tan tangkeh belum punya pilihan!" sahut Lou Ping. Ciu Tiong Ing termenung sesaat.

"Ciu locianpwe, kapankah kita minum arak kebahagiaan dari adik Ki?" tanya Lou Ping dengan tertawa.

Tertawalah Tiong Ing mendengar itu, katanya: "Budak itu tolol dan lancang, siapa yang sudi? Kalau dia mendapat pasangan orang tua saja sudah untunglah!"

Maka tertawalah Lou Ping.

"Tunggu saja setelah nanti urusan menolong suko selesai, tentu akan kuajak suko untuk mencarikan pasangan buat adik Ki. Tanggung kau orang tua tentu puas."

"Kalau kau orang terus omongi diriku, aku akan berjalan dulu sendiri," ancam Ciu Ki.

Semua yang mendengarnya sama tersenyum. Malah karena tak tertahan, Thian Hong tertawa gelak2. Sudah barang tentu Ciu Ki menjadi marah.

"Kau tertawai siapa?" bentaknya.

"ku tertawa pakai mulutku sendiri, ada sangkutan apa denganmu?" balas Thian Hong.

Ciu Ki orangnya paling suka berterus terang, dia tak bisa simpan ganjelan dalam hatinya, lalu sahutnya pula: "Hm, apa aku tak mengerti ketawamu itu? Kau orang bermaksud jodohkan aku pada Tan Ken Lok. Dia kan kongcu seorang sinsiang, tidak setimpal dapat aku?

Kou orang-orang HONG HWA HWE begitu me-nyanjung2 dia seperti anak mas, aku tak ambil pusing. Ketika bertempur dengan ayah, dia pura-pura sungkan, tapi sebenarnya dia jahat sekali. Biar aku tak kawin seumur hidup, daripada dapat suami orang yang banyak tipu muslihatnya itu!"

Tiong Ing marah disamping merasa geli juga. Dia Coba mencegah, tapi puterinya tak mau hiraukan, dan berhamburanlah kata-kata itu dari mulutnya.

"Sudahlah, sudah. Kelak suami adik Ki tentu seorang ho han yang jujur dan pandai bicara, bagaimana, puaskah kau locianpwe," tanya Lou Ping menggoda Tiong Ing.

"Budak tolol, apa tak malu diketawai Chit-ya? Ha, sudahlah mari kita tidur, besok kita berangkat pagi2," kata Tiong Ing.

Demikianlah mereka berempat segera mengambil selimut dan tidur dibawah puhun besar situ.

"Ayah, apa kau membekal makanan? Aku lapar sekali," tiba2 Ciu Ki berbisik.

"Tidak bawa. Kau lekas tidurlah, besok kita berangkat pagian dan singgah di Song-king," jawab Tiong Ing.

Tak berapa lama, menggeroslah sudah orang tua itu dengan nyenyaknya.

Sebaliknya, karena lapar Ciu Ki masih bergulak-gulik tak dapat tidur. Menoleh pada Lou Ping, pun orang itu sudah pulas. Tiba-tiba dilihatnya Thian Hong bangun, dan diam-diam kelihatan menghampiri ketempat kudanya. Heran Ciu Ki dibuatnya, dan diam-diam dia mengawasi perbuatan si kate itu. Karena gelap, tak dapat dilihatnya dengan jelas apa yang dikerjakan Bu Cu-kat, hanya samar2 seperti dia itu mengambil pauwhok dari atas kudanya. Dan ketika duduk kembali, dia pakai selimut untuk menutupi badan, dengan sedapnya dia

berkemak-kemik mengunyah sesuatu. Melihat itu, dengan gemas Ciu Ki balikkan tubuh menghadap kearah lain. Tak sudi ia melihatnya. Tapi Thian Hong betul-betul menjengkelkan. Tidak saja dia sengaja mengunyah dengan makin kerasnya, tapi juga tak putus-putusnya sang mulut ber-kecap2 memuji kelezatan makanannya itu.

Karena tak tertahan lagi, Ciu Ki coba2 mencuri lihat makanan apa yang dikunyah sikate itu. Kalau ia tidak berbuat begitu itu sih malah baik. Tapi begitu dia coba2 mengintainya, maka tak tertahan lagilah air liurnya mengalir. Rasa laparnya makin menagih dengan hebatnya.

Kiranya tangan sikate itu tengah memegang sebuah benda putih2 dan disampingnya masih ada setumpuk lagi. Tak salah lagi, itulah bakpia dari SouwCiu yang luar biasa lezatnya. Kiranya sewaktu Thian Hong pamitan turun dari loteng Heng Hoa Lauw kemaren itu perlunya akan beli pia itu.

Karena biasanya selalu mengajak setori saja, maka sekalipun sangat kepingin, tapi Ciu Ki tak berani memintanya. Paling banyak ia hanya mengharap2 supaya Thian Hong itu lekas tidur, baru nanti pianya dapat digasak. Syukur kalau ia sendiri bisa lekasdua tidur. Tapi kejadiannya malah sebaliknya. Tiba-tiba hidungnya tersampok dengan bau arak yang luar biasa harumnya, dan menyusul terdengar berkerucukan arak turun ditenggorokan Thian Hong, disela dengan elahan napas kepuasan.

Serasa tak tertahan lagi, maka berserulah Ciu Ki dengan uring2an: "Setan apa malam2 buta menenggak arak itu? Ayo jangan mabuk2an disini!"

"Boleh, boleh" sahut Thian Hong sambil meletakkan guci araknya, terus menggelundung tidur.

Tapi Bu Cu-kiat itu memang tukang mengili hati orang. Sengaja guci itu tak disumpalnya dan ditarohkan disisih kepalanya. Sudah tentu baunya terbawa angin ke-mana2. Sewaktu diwarung arak Hong Hoa Lauw kemaren, tahulah dia bahwa Ciu Ki seorang nona yang doyan minum, maka sengaja dia mempermainkannya begitu.

Ciu Ki ketika itu betul-betul mati kutunya, matanya merem melek tak bisa tidur. Untuk mendamprat, tak ada alasannya. Tapi kalau disuruh diam saja, betul-betul tak kuat hatinya. Kembali ia balikkan muka kesebelah sana, mata dan hidungnya ditekap dengan selimut. Tapi dia tak dapat lama-lama berbuat begitu, karena lekas juga ia merasa engap. Maka kembali ia berbalik lagi. Tiba-tiba diantara sinar rembulan dilihatnya sepasang gembolan yang terletak disebelah ayahnya, berkeredepan mengeluarkan Cahaja.

Secepat-cepat kilat timbullah suatu pikiran dalam hati sinona. Cepat-cepat ia ulurkan tangan menjemput sebuah gembolan, terus ditimpukkan kearah guci arak Thian Hong. "Prukk... guci pecah berantakan dan arak menyiram basah selimut Thian Hong. Namun Thian Hong rupanya sudah tidur pulas, dan tak menghiraukannya.

Karena melihat ayahnya masih menggeros dan Lou Ping pun tak ada suaranya, maka Ciu Ki lalu merangkak untuk mengambil kembali gembolan tadi. Tapi begitu tangannya diulur, tiba-tiba Thian Hong membalikkan badannya, sehingga gembolan itu tertindih dibawahnya, dan berbareng itu dia menggeros keras-keras.

Bukan main terkejutnya Ciu Ki. Cepat-cepat ia tarik tangannya. Bagaimana bebasnya ia bergaul, namun ia tetap seorang sioCia yang tak dapat melepaskan rasa malunya. Untuk merogoh gembolan yang tertindih badan Thian Hong itu, rasanya masih belum sampai hatinya. Namun kalau tak diambil, tentu sikate akan bawa gembolan itu untuk diadukan pada sang ayah, dari siapa tentu ia akan didamprat. Apa boleh buat dia lebih suka dimaki sang ayah daripada mesti menyentuh badan orang yang dibencinya itu, maka ia terus balik tidur

ketempatnya lagi. Tapi pada saat itu, tiba-tiba didengarnya Lou Ping tertawa.

Seketika itu merah padamlah wajah Ciu Ki, sehingga tengkuknya dirasakan panas. Karena ia rasa Lou Ping tentu mengetahui perbuatannya menghampiri tempat Thian Hong tadi. Karena bingung memikirkan, semalam itu hampir ia tak dapat pulas tidurnya.

Keesokan harinya, pagi2 sekali sebenarnya Ciu Ki sudah bangun, tapi dia diam saja membungkus diri dalam selimut. Begitu terang tanah, Ciu Tiong Ing dan Lou Ping bangun, dan sebentar pula Thian Hong. Tapi tiba-tiba pemuda itu ber-teriak: "Ai, ai, benda keras apa yang tertindih dibawahku ini?"

Mendengar itu, Buru-buru Ciu Ki sesapkan kepalanya kedalam selimut lagi. "Ah, Ciu loya, gembolanmu menggelinding kemari! Wah, Celaka! guci arakku tersampok pecah! Benarlah, tentu sikunyuk kecil diatas gunung karena membau arak lalu turun kemari. Dan sewaktu melihat gembolan loya, lalu dibuat main-main. Karena kurang hati-hati, sampai menjatuhi guci arak. Kunyuk itu betul-betul kurang ajar!" kembali Thian Hong menggerutu setengah memaki.

"Hahaha, laote memang suka melucu. Mana di tempat ini ada monyet," kata Tiong Ing dengan ketawa.

"Kalau bukan kera, tentulah perbuatan bidadari dari kahiyangan," Lou Ping menimbrung.

Keduanya sama-sama tertawa. Mendengar mereka tak singgung2 peristiwa semalam, legahlah hati Ciu Ki, namun ia benci pada Thian Hong yang mengatakan ia seekor kunyuk. Ditengah jalan Thian Hong membagikan pianya pada kawan2nya, tapi Ciu Ki menolak. Setiba dikota Song King, mereka singgah kesebuah rumah makan untuk tangsel perut.

Sekeluarnya dari kota tersebut, Thian Hong dan Lou Ping tiba-tiba menghampiri kaki tembok dari sebuah rumah. Ketika Ciu Ki ikut2an mengawasinya, ternyata disitu terdapat coretan huruf2 dan gambar orang-orangan, persis tulisan kanak2. Selagi Ciu Ki ke-heran2an, berkatalah Lou Ping: "SeChwan Sianghiap telah dapat menemukan jejak suko. Ini dia tinggalan tulisannya!"

"Bagaimana kau tahu, apa sih artinya Corat-Coret itu?" tanya Ciu Ki.

"Inilah tanda rahasia dari HONG HWA HWE untuk sesuatu pemberitaan, dan itulah tulisan SeChwan Sianghiap," kata Lou Ping seraya pakai kakinya untuk menghapus tulisan itu.

Demikianlah dengan semangat ber-nyala2, keempat orang itu segera meneruskan perjalanannya lagi. Terutama Lou Ping bercahaja wajahnya. Setelah menempuh kira-kira 50 li mereka berhenti untuk mengasohkan kuda, lalu kembali meneruskan lagi. Keesokan harinya dimana jembatan Chit-to-kauw, kembali mereka dapatkan pertandaan dari Ie Hi Tong yang mengatakan sudah dapat menggabung lagi dengan SeChwan Sianghiap. Setelah dirawat beberapa hari, luka Lou Ping sudah boleh dikata sembuh. Sekalipun masih belum seperti biasa jalan nya, tapi sudah tak memerlukan tongkat lagi. Memikir tak lama lagi akan sudah berjumpa dengan suaminya, rasanya Lou Ping sudah mau meloncat hatinya. Ia larikan kuda untuk mencongklang kemuka lebih dulu.

Jilid 8

MENJELANG petang, mereka sudah sampai ke Liu-Cwan-Cu. Lou Ping maunya akan terus, tapi Thian Hong yang ingat akan pesan sang ketua, buru-buru mencegahnya dengan alasan kudanya akan menjadi kepayahan nanti. Lou Ping menuruti, dan malam itu mereka menginap disebuah hotel. Semalam itu, Lou Ping bergulak-gulik tak bisa tidur, sedang hujan rintik2 membasahi bumi.

Terkenang ia akan peristiwa malam ketiga dari perkawinannya dengan Bun Thay Lay, dia dititahkan Ie lotangkeh pergi kekota Kahin untuk menolong seorang janda yang hendak dicemarkan oleh seorang tuan tanah. Setelah berhasil, pada tengah malam itu mereka meneduh diatas paseban Jan Oe Lauw di telaga Lam-ouw, minum arak sambil menikmati turunnya sang hujan. Pada saat itu, sembari memimpin tangan isterinya yang baru dikawin itu, Bun Thay Lay menyanyi dengan gembira. Saat2 itulah yang memenuhi lubuk kenangan sinyonya muda itu. Tiba2 tergerak pikiran Lou Ping. "Karena sungkan menemani keluarga Ciu anak dan ayah berdua, maka Chit-ko tak mau cepat-cepat meneruskan perjalanan. Kalau begitu, mengapa aku tak mau berangkat dulu sendiri?" demikian ia membatin.

Keinginan itu menguasai hatinya, terus serentak ia bangun mengemasi senjata dan bekalnya, lalu menuliskan tanda-tanda tulisan diatas meja untuk Thian Hong, menerangkan mengapa ia berangkat lebih dulu, sekalian supaya dimintakan maaf pada Ciu Tiong Ing dan puterinya. Karena kuatir membangunkan mereka, Lou Ping mengambil jalan loncat dari jendela, terus melepaskan kudanya, mengenakan baju hujan dan melarikannya dengan pesatnya.

Menjelang fajar, sampailah ia ke Tin-bin dan mengasoh sebentar. Kudanya betul-betul kelihatan lelah sekali, apa boleh buat ia menunggu sampai setengah jam. Setelah kira-kira berlari tiga empat puluh li lagi, tiba-tiba kudanya mendeklok ketanah. Dengan was2 Lou Ping Buru-buru menarik kendalinya, syukur kudanya itu tak jatuh, namun sekalipun begitu, tahulah ia bahwa kudanya itu sudah tak dapat disuruh berlari lagi, atau tentu akan mati kelelahan. Apa boleh buat, terpaksa Lou Ping menjalankan binatang itu dengan pelahan2 sekali.

Belum berapa jauh berjalan, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kuda yang menghampiri dengan pesatnya. Dan pada lain saat seekor kuda putih mencongklang disisinya, pesat memberosot kemuka. Karena larinya secepat angin, Lou Ping sampai tak dapat mengawasi dengan jelas, orang macam bagaimanakah sipenunggang itu. Belum habis Lou Ping ter-heran2, kuda putih itu sudah lenyap dari pemandangan.

Karena kudanya sudah kuat lagi, maka kembali dilarikannya. Tiba disebuah dusun, dilihatnya pada muka sebuah rumah tertambat seekor kuda yang bulunya putih meletak seperti salju. Ditiup angin silir2 suri kuda itu membelai, betul ia seekor kuda yang luar biasa bagus dan garangnya. Se-konyonga kuda itu bebenger keras sekali, hingga kudanya Lou Ping sampai berjingkrak mundur. Tak salah lagi, itulah kuda yang lari pesat melaluinya tadi. Disebelahnya tampak seorang lelaki tengah menyikat bulunya.

"Kalau kudapat naiki kuda luar biasa itu, tentu akan dapat kususul suko dengan segera. Kuda sebagus itu, tentu pemiliknya tak mau menjualnya. Sebaiknya kucemplak saja, tanpa bilang2. Namun orang yang memiliki seekor kuda seperti itu, tentu mempunyai kepandaian buge yang tinggi."

Demikian Lou Ping me-nimbang2 dalam hatinya. Karena sejak kecil ia ikut ayahnya -- Lou Gwan Thong si Golok Sakti -- berkelana dikalangan Sungai Telaga, maka segala cara2 untuk melakukan perampasan, ia sampai faham.

Begitu mengambil keputusan, segera ia mengambil sumbu dari dalam tasnya, lalu disulutnya dengan batu api yang dititiknya dengan besi. Habis itu ia keprak sang kuda memburu kearah kuda putih yang di-incarnya itu. Begitu hampir dekat, dia sabitkan sebatang hui-to, golok terbang kearah tiang kayu dimana tali les kuda putih itu ditambatkan. Berbareng dengan putusnya tali les itu, kuda Lou Pingpun sudah berada disamping sikuda putih.

Sebat luar biasa, wanita puteri begal tunggal Lou Gwan Thong yang termashur itu, sumpalkan sumbu ketelinga kudanya sendiri, begitu menyabet dengan tali les, dia barengi gunakan gerakan "Cian-liong-seng-thian" naga mencelat keatas udara, ia buang tubuhnya keatas pelana sikuda putih. Karena terkejut, kuda putih itu membinal dan bebenger keras sekali. Sekali kaki menjejak, bagaikan anak panah terlepas dari busur, mencongklanglah kuda luar biasa itu dengan pesatnya.

Cara puteri Lou Gwan Thong mencuri kuda itu, luar biasa sebatnya dan gapahnya. Sehingga karena kesima, si pemilik itu hanya terlongong-longong mengawasi saja. Baru setelah tersedar apa yang telah terjadi, dia sibuk tak keruan dan buru-buru mengejarnya. Tapi sungguh sial. Kuda Lou Ping yang ditinggalkan itu tadi, karena telinganya terbakar dengan api sumbu2, segera ber-jingkrak2 tak keruan, menyepak kesana, menggigit kemari. Sehingga untuk beberapa saat tertahanlah sipemilik kuda putih itu, tak dapat mengejarnya.

Tapi orang itupun lihai juga, sekali enyot dia apungkan tubuhnya melompati kuda binal itu, terus lari mengejar lagi. Melihat dirinya dikejar, Lou Ping yang sudah lari jauh itu segera tahan kudanya, dirogohnya sebuah uang mas, begitu dilemparkan kearah sipengejar, ia bertereak dengan keras sekali: "Kita tukar tambah binatang tunggangan. Kudamu lebih bagus, uang mas ini selaku tambahanku!"

Orang itu menjerit dan memaki dengan kalap, terus mengejar sekuat-kuatnya. Lou Ping tertawa geli. Begitu ke dua kakinya menjepit keras-keras, kuda putih itu melesat lagi seperti anak panah. Dan sekali melesat, sudah berpuluh tombak jauhnya. Yang dirasakan Lou Ping, hanyalah angin yang men-deru-deru disamping telinganya, puhun2 sebaris demi sebaris lalu disisihnya, dusun dan perkampungan silih ber ganti dijelajahinya. Sekalipun sudah lari beberapa jam, sedikitpun kuda itu tak kelihatan lelah, dan tetap seperti terbang larinya.

Ketika tiba disebuah kota, berhentilah Lou Ping pada sebuah rumah makan.

Setelah ditanyakan, barulah diketahuinya bahwa kota itu disebut Sat King, kira-kira sepuluh lie jaraknya terpisah dari dusun dimana ia berhasil mencuri kuda itu.

Lou Ping sayang sekali dengan kuda sakti itu. Diberinya sendiri kuda itu makan rumput, sembari mem-belai2 bulu surinya. Tiba-tiba disisih pelana situ tampak sebuah kantong kain. Tadi karena ter-Buru-buru , ia tak dapat mengetahuinya.

Ketika diambil, kantong itu ternyata amat berat isinya. Dan setelah dibuka, ternyata berisi sebuah senjata pie-peh besi. Diam-diam Lou Ping terkejut.

"Kiranya kuda itu milik keluarga Han dari kota Lokyang yang bergelar Thiat-pie-peh-Chiu itu. Mungkin akan ada buntutnya dibelakang hari."

Begitu berkata Lou Ping pada dirinya sendiri. Selain senjata tersebut, terdapat juga dua tiga puluh tail perak dan sepucuk surat. Sampul surat itu dituliskan beberapa huruf dan berbunyi: "Harap diterima sendiri oleh Han Bun Tiong toaya. -- Dari orang she Ong."

Karena ternyata sampul itu sudah terobek, maka tak kepalang tanggung, Lou Ping lalu mengambil keluar surat didalamnya. Pertama kali melihat nama sipengirim ternyata adalah "Hwi Yang," agak terkesiaplah Lou Ping. Tapi di lain saat, ia merasa girang, karena tahulah ia sekarang bahwa keluarga pemilik kuda putih itu ternyata punya hubungan dengan Ong Hwi Yang, itu pemilik dari Tin Wan piauwkok, piauwkok yang justeru akan dicarinya itu. Diam-diam ia menyesal, mengapa mesti memberi pengganti sebiji uang mas pada orang yang

menjadi kawan musuhnya itu.

Surat itu berbunyi, minta supaya Han Bun Tiong lekas pulang karena persaudaraan orang she Giam minta bertemu. Agar supaya lekas Bun Tiong dapat tiba kekota raja, maka dia (Ong Hwi Yang) istimewa mengantar seekor kuda sakti. Selain untuk tugas melindungi angkutan barang2 berharga, juga ada urusan dagang yang penting sekali, agar Bun Tiong sendiri yang mengantarnya ke Kanglam. Tentang benar tidaknya Ciao Bun Ki dibinasakan orang-orang Hong Hwa Hwe, baik dipertangguhkan untuk diselidiki lagi lain waktu."

Demikian maksud surat itu, maka berpikirlah Lou Ping: "Ciao Bun Ki adalah murid dari keluarga Han si Thiat pi-peh dari Lok-yang. Dikalangan kangouw keras tersiar omongan, bahwa dia terbunuh oleh kaum kita. Tapi hal itu tak benar adanya. Dan untuk menghilangkan salah faham, CongthorigCu telah mengutus sip-su-te (I Hi Tong) pergi pada keluarga Han di Lokyang untuk menjelaskannya. Barang penting apakah yang dikawal Tiri Wan piauwkok ke Kanglam itu? Baiklah" setelah nanti suko bebas akan ku ajaknya untuk membuat

perhitungan pada orang-orang piauwkok tersebut yang telah bantu menangkap suko."

Girang dengan apa yang diketahuinya waktu itu, Lou Ping bisa makan lebih banyak. Ketika melanjutkan perjalanannya lagi, ternyata hujan masih belum reda. Rupanya kuda itu mengerti apa yang dibisikkan oleh Lou Ping tadi.

Karena kini dia makin cepat-cepat larinya serta tak sebinal tadi. Dalam sekejap saja entah sudah berapa banyaknya penunggang kuda lain dan kereta2 yang telah dilampauinya. Sehingga Lou Ping sendiri berbalik merasa kuatir, salah2 bisa kesasar jalan nanti.

Ketika akan ditahannya sang kuda agar agak pelahan sedikit, sekonyong-konyong ada seseorang loncat ketengah jalan untuk menghadang, sembari mengangkat tangannya keatas kepala. Karena kaget, kuda itu sampai berjingkrak mundur. Belum keburu Lou Ping akan menegurnya, orang itu menghampiri seraja memberi hormat, katanya : "Bun su-naynay, Siaoya berada disini!"

Kiranya penghadang itu ialah Sim Hi, kaCungnya Tan Keh Lok. Dengan girang sekali, Lou Ping Buru-buru loncat dari atas kudanya. Dan cepat-cepat sekali anak itu menyanggapi les kuda putih tersebut, terus dituntunnya seraja memuji: "Dimana Bun su-naynay dapat beli kuda yang begini bagus? Tadi masih jauh kulihat kau mendatangi, tapi sekejap saja sudah sampai disini dan hampir saja ku tak dapat menghadangmu."

Lou Ping hanya tersenyum saja, sebaliknya menjawab pertanyaan orang, ia malah berbalik bertanya: "Apa sudah ada berita tentang Bun suya?"

"Siang ngoya dan Siang liokya menerangkan sudah melihat Bun suya. Mereka sama berada didalam," kata Sim Hi seraja membawa Lou Ping kesebuah kuil rusak yang berada ditepi jalan situ.

Lou Ping tak sabaran lagi. Ia serahkan kudanya pada Sim Hi, dan terus berlari masuk. Tampak diruangan dalam sudah berkumpul Tan Keh Lok, Bu Tim, Thio Pan San, kedua saudara Siang dan beberapa saudara lagi. Waktu melihat Lou Ping, mereka sama berbangkit. Menghadap pada sang ketua, Lou Ping menerangkan bahwa karena tak dapat menahan hatinya maka ia berangkat lebih dulu. Untuk itu, ia minta maaf.

"Karena keliwat memikiri suko, tindakan suso itu dapat dimengerti. Sekalipun begitu, suso tetap bersalah tak menurut perintah pimpinan. Untuk itu, biarlah setelah nanti selesai menolong suko, kita putuskan hukumannya. Ciok sipji-ko, harap kau Catat dulu," kata Keh Lok.

Lou Ping berkata dalam hatinya, asal suko dapat tertolong, hukuman apa saja yang akan di terimanya, ia rela. Lalu tanyanya pada kedua saudara Siang: "Ngoko dan liokko, adakah kau melihat suko? Bagaimana dia?"

"Kemaren di Song King kita berdua telah berhasil mengejar rombongan kuku garuda yang membawa suko. Karena jumlah mereka banyak-banyak, kita kuatir keprak rumput membikin kaget ular, jadi tak turun tangan dulu. Malamnya dari jendela kami dapat melihat suko tidur dengan enaknya. Dia tak melihat kita. Karena penjagaan sangat kerasnya, maka terpaksa kita tak berani berbuat apa-apa," menerangkan Siang He Ci.

"Kawanan kuku garuda itu bersatu dengan piauwsu dari Tin Wan piauwkok. Turut penglihatanku, yang bugenya tinggi tidak kurang dari sepuluh orang," Siang Pek Ci menambahkan keterangan saudaranya.

Setelah kedua saudara Siang atau SeCwan Sianghiap itu habis berkata, tiba-tiba masuklah Ie Hi Tong kedalam ruangan itu, siapa begitu nampak. Lou Ping segera menegor dengan kaget.

"Rombongan orang Wi itu telah berkemah ditepi sungai sebelah depan sana. Para penjaganya bersenjata lengkap. Sebaiknya nanti malam saja kita lakukan pengintipan lagi," kata Tan Keh Lok.

Sekonyong-konyong diluar terdengar gemuruh derap kuda berlari dan berbenger. Ternyata ada sebuah rombongan penunggang kuda lewat disitu. Tak lama kemudian masuklah Sim Hi memberi lapor: "Barusan saja lewat iringan kereta besar dibawah pimpinan seorang perwira beserta dua puluhan perajurit."

Habis melapor, kembali, kacung itu keluar kelenteng untuk pasang mata pula.

"Dari sini ketimur sedikit sekali penduduknya, tepat sekali untuk pekerjaan kita," demikian Keh Lok berunding dengan para kawan. "Cuma pasukan tentara ini dan rombongan orang Uigor itu entah orang-orang macam apa, diwaktu kita turun tangan menolong Suko, boleh jadi mereka akan ikut Campur tangan, inilah perlu kita ber-jaga2 sebelumnya."

Semua orang menyatakan benar atas pendapat pemimpin muda itu. Kata Bu Tim Tojin: "Liok Hwi Ching, Liok-locianpwe selalu bilang adik-gurunya Thio Ciau Cong betapa hebat, betapa lihai, dikalangan kongouw kita juga sudah lama mendengar nama besarnya 'Hwe-jiu-boan-koan,' sekali ini yang menawan Bun-sute juga dia yang memimpin, kesempatan ini bagus sekali, biarlah aku Bu Tim Tojin coba2 menempurnya."

"Ya, Totiang punya tujuhdua jurus Tui-hun-toat-beng-kiam tiada bandingannya dijagat, hari ini jangan sekali2 lepaskan biangkeladinya si Thio Ciau Cong ini," kata Keh Lok.

"Meski Liok Hwi Ching, Liok-toako sudah putuskan hubungan dengan adik-gurunya itu," demikian Tio Pan San ikut bicara, "tapi ia orang paling setia dan berbudi, baiknya ia masih belum tiba disini, kalau tidak, dihadapannya terang2an kita membunuh Sutenya (adik-seperguruannya), rasanya agak kurang leluasa juga."

"Kalau begitu, tidakkah lebih baik lekas-lekas kita berangkat, kira-kira besok pagi kita sudah dapat mencapai Suko," sela Siang He Ci.

"Baiklah," sahut Keh Lok. "Nah, Goko dan Lakko (kaka kelima dan keenam), silahkan kau menjelaskan bagaimana macamnya kawanan cakar-alap2 (maksudnya kaki tangan pemerintah) dan rombongan Piauthau2 itu, agar besok bila kita turun tangan sudah ada rencana yang baik."

Memangnya kedua saudara Siang itu sudah menguntit kawanan pembesar negeri dan orang-orang Piauhang itu, seluk-beluknya sudah cukup terang diselidikinya, maka mereka pun menuturkan dengan jelas, bahkan ditambahkannya: "Kalau malam Suko tidur bersama serumah dengan kawanan cakar-alap2 itu dan siang harinya duduk didalam kereta besar, kaki dan tangannya diborgol.

Kain tirai keretanya ditutup rapat2 hingga orang luar pasti tak tahu didalam kereta itu berduduk tawanan penting. Diwaktu kereta berjalan selalu ada dua cakar-alap2 yang mengawal dikanan-kiri dengan menunggang kuda, penjagaan keras sekali."

"Dan macam apakah Thio Ciau Cong itu ?" tanya Bu Tim.

"Ia berusia sepuluh-an, perawakannya tegap dan berjenggot pendek," kata Siang Pek Ci.

"Tapi, Totiang," sela Siang He Ci tiba-tiba , "harus kita janji dulu, kami bersaudara bila kepergok dengan 'kura2' (istilah olok2 orang SuCwan, karena kedua saudara Siang adalah orang daerah itu) itu lantas melabraknya dahulu, jangan kau nanti omeli kami berebutan dengan kau."

"Haha, rupanya sudah lama tak ketemukan tanding, tangan sudah gatel barangkali?" sahut Bu Tim tertawa. "Dan kau Samte (adik ketiga), Thay-kek-jiu kepandaian-mu sibudha bertangan seribu ini apakah tidak ingin cari 'pasaran' juga?"

"Ah, biar si Thio Ciau Cong ini aku serahkan pada kalian saja, tak mau aku merebutnya," sahut Tio Pan San.

Begitulah jago-jago Hong Hwa Hwe itu berunding dengan gosok2 tangan dan mengepal penuh semangat, setelah mereka isi perut sekedarnya dengan rangsum kering yang ada, segera pula mereka minta Tan Keh Lok memberi perintah.

Memangnya Keh Lok sudah siapkan rencananya, maka berkatalah ia: "Rombongan orang Uigor itu belum pasti ada hubungannya dengan rombongan hamba negeri itu," maka kita mendahului mereka saja, asal Suko sudah berhasil kita tolong, kitapun tak perlu urus mereka. Maka Ie-Capsite, kaupun tak perlu menyelidiki lagi, kau dan Cio-Capsahko besok melulu bertugas mencegat perwira itu bersama dua puluh-an perajuritnya itu, asal mereka dirintangi tak dapat mengganggu kita sudah Cukup, jangan banyak-banyak menewaskan jiwa

orang."

Perintah pertama ini segera diterima baik oleh Cio Su Kin dan Ie Hi Tong. Lalu Keh Lok melanjutkan: "Dan kau, We-kiuko dan Ciok-Capjiko, kalian berdua segera berangkat mendahului kawanan cakar-alap2 itu, besok pagi2 menjaga dimulut selat bukit sana, biar siapapun yang datang dari arah timur atau barat, semuanya harus ditahan. Yang paling penting ialah jangan sampai kawanan cakar-alap2 itu lolos lewat selat, bukit itu."

Perintah inipun diterima dengan baik oleh We Jun Hwa dan Ciok Siang Ing, segera mereka keluar dan cemplak kuda terus berangkat menunaikan tugasnya. "Bu Tim Totiang, Siang-goko dan liokko, kalian bertiga kusus melayani hamba2 negeri," kata pula Keh Lok. Dan Tio-samko dan Nyo-patko kalian berdua melayani orang-orang Piauhang. Suso dan Sim Hi mengarah kereta yang ditumpangi Suko, aku sendiri berada ditengah melihat gelagat, dimana kurang lancar, segera aku membantu kesana."

Pembagian tugas itu telah diterima baik oleh semua orang. Tak terduga mendadak terdengar Ciang Cin ber-kaok2.

"Hai, hai, Congthocu, lalu apa yang kulakukan? Kau telah lupakan diriku!" demikian teriaknya.

"Tidak lupa, tapi justru ada tugas penting perlu minta Sipko yang melakukan, cuma entah Sipko sanggup memikul resiko tidak?" sahut Keh Lok tersenyum.

"Asal kau perintah saja, masakan aku Ciang Bongkok orang takut mati?" teriak Ciang Cin bersemangat.

"Mana bisa aku bilang kau takut," sahut Keh Lok, "hanya aku kuatir kau mabuk arak dan umbar napsumu hingga bikin runyam pekerjaan kita."

"Katakan, lekas katakan, setetes arak saja bila aku meneguknya, biar selanjutnya para saudara memandang hina padaku," teriak Ciang Cin lagi tak sabar.

"Itulah bagus," kata Keh Lok. "Sekarang ada tiga tugas yang perlu Sipko memikulnya seorang diri. Pertama, kau tinggal menjaga disini, kalau ada hamba negeri atau pasukan tentara yang menuju ketimur, semuanya harus kau tahan, kedua, nanti kalau Liok (Hwi Ching) dan Ciu (Tiong Ing) kedua Cianpwe tiba, hendaklah lekas kau minta mereka menyusul membantu menempur musuh, ketiga, begitu kita sudah dapat menolong Suko, kau dan Suso yang akan mengawalnya kedaerah Hwe ketempat guruku Thian-ti-koay-hiap untuk merawat

lukanya, selama masih didaerah Kamsiok kita melindunginya sepenuh tenaga, tapi bila sudah lewat Sing-sing-kiap (nama sebuah selat bukit yang berbahaja), kita beramai lantas putar kembali kemarkas besar didaerah Kanglam, dan kewajiban selanjutnya adalah kau yang harus memikul seluruhnya."

Begitulah setiap Keh Lok mengucapkan sepatahkata, segera Ciang Cin mengia sekali penuh girang, terus menerus ia menyatakan baik tugas2 itu.

Setelah selesai membagi tugas, segera semua orang keluar kelenteng dan cemlak keatas kuda sambil memberi tanda perpisahan dengan Ciang Cin.

Ketika semua orang melihat kuda putih Lou Ping yang bagus itu, kesemuanya tiada henti-nya memuji. Karena itu diam-diam Lou Ping berpikir : "Seharusnya kuda ini mesti dihadiahkan pada Congthocu, tapi engkoku itu (maksudnya suaminya, Bun Thay Lay) sudah terlalu banyak-banyak menderita, nanti kalau dia sudah dapat tertolong, kuda ini akan kuberikan padanya saja, biar dia menjadi girang."

Dalam pada itu Keh Lok telah tanya Ie Hi Tong : "Di-manakah orang-orang Uigor itu berkemah? Marilah kita memutar pergi melihatnya."

Segera Hi Tong menunjukkan jalan menuju ketepi sungai, tapi setiba disana, yang tertampak hanya tanah lapang yang sunyi senyap, mana lagi ada perkemahan dan bayangan orang? Yang ada tinggal kotoran2 kuda dan onta yang memenuhi tanah saja.

Hi Tong turun dari kuda dan memeriksa kering dan basahnya kotoran2 binatang itu, lalu katanya: "Mereka berangkat kira-kira sejam yang lalu."

Semua orang menjadi heran dan merasa tindak-tanduk orang-orang Uigor itu rada aneh dan penuh rahasia, susah diraba untuk apakah tujuan mereka. "Marilah kita berangkat!" ajak Keh Lok kemudian.

Maka cepat-cepat sekali mereka keprak kuda, ditengah malam buta yang sunyi, hanya terdengar suara derapan kuda yang ber-detakan.

Karena kuda putih Lou Ping terlalu cepat larinya, maka setiap kali ia harus menunggu kawannya agar tidak ketinggalan jauh. Ketika fajar sudah menyingsing, sampailah mereka ditepi sebuah sungai kecil.

"Para saudara, biarlah binatang2 tunggangan kita minum air dulu untuk memulihkan tenaga, lewat sejam lagi kukira sudah dapat mencapai kereta tawanan Suko," demikian kata Keh Lok.

Mendengar selekasnya akan bisa bertemu dengan suami nya, seketika darah ditubuh Lou Ping seakan-akan mengalir terlebih santer, jantung memukul keras, wajah bersemu merah.

Waktu Hi Tong melirik orang dan nampak parasnya yang cemas2 cantik itu, sungguh susah dilukiskan perasaan apa yang dirasakannya saat itu, maka perlahan2 ia mendekati Lou Ping dan memanggilnya lirih: "Suso!"

"Ehm?" sahut Lou Ping.

"Sekalipun jiwaku harus melayang, pasti aku akan membebaskan Suko kepadamu," kata Hi Tong parau.

Lou Ping tersenyum, lalu dengan menghela napas pelahan ia berkata: "Ya beginilah baru benar2 saudaraku yang baik!"

Seketika pilu rasa hati Hi Tong hingga hampir2 saja meneteskan air mata, lekas-lekas ia melengos kearah lain.

"Suso," kata Keh Lok tiba-tiba, "pinjamkanlah kudamu itu kepada Sim Hi, biar dia menyusul kedepan dahulu untuk menyelidiki jejak cakar-alap2 dan kemudian balik memberi kabar pada kita."

Mendengar dapat menunggang kuda putih milik Lou Ping itu, alangkah girangnya Sim Hi, segera ia mendekati. Lou Ping dan menanya: "Ya, Bun-naynay (nyonya Bun), bolehkah kau?"

"Kayak anak kecil, kenapa tidak boleh?" sahut Lou Ping tertawa.

Mendengar itu, tanpa bertanya lagi segera Sim Hi cemplak kuda putih itu terus berlari pergi secepat terbang.

Setelah menunggu kuda mereka cukup meminum air, kemudian merekapun melanjutkan perjalanan dengan cepat-cepat. Tak lama, cuaca sudah terang benderang, dari jauh kelihatan Sim Hi telah kembali dengan kuda putihnya.

"Lekas, kawanan cakar-alap2 itu tak jauh didepan, marilah lekas mengejarnya!" demikian kacung itu berteriak2 dari jauh.

Mendengar laporan itu, sungguh girang sekali semua orang, mereka keprak kuda mengudak lagi sepenuh tenaga.

Ketika Sim Hi menukar kembali kuda putih itu kepada Lou Ping, nyonya jelita ini tanya padanya: "Apakah kau telah melihat kereta yang ditumpangi Suya (tuan keempat)?"

"Ya, ya, sudah melihatnya," sahut Sim Hi sambil mengangguk-angguk. "Ketika aku ingin melihatnya lebih jelas dan coba mendekati kereta besar itu, tapi orang-orang Piauhang yang mengawal disamping kereta itu dengan bengis lantas angkat golok mengancam sambil mencaci maki padaku."

"Biarlah, sebentar pasti mereka akan me-nyembah2 dan menyebut kau tuan muda dan nenek-moyang kecil padamu," ujar Lou Ping tertawa.

Lalu secepat kilat merekapun menguber terlebih cepat lagi.

Setelah mengejar 5-enam li pula, lapat2 kelihatan didepan ada sepasukan orang yang makin lama makin dekat, dan akhirnya tertampak jelas adalah seregu tentara yang mengawal sebuah kafilah.

"Mengejar lagi enam-tujuh li lantas kawanan cakar-alap2 dan orang-orang Piauhang itu," demikian kata Sim Hi pada majikannya, Tan Keh Lok.

Ketika semua orang keprak kuda melampaui kafilah itu, begitu Keh Lok memberi tanda, segera Cio Su Kin dan Ie Hi Tong berdua memutar kuda mereka terus menghadang ditengah jalan, sedang yang lain-lain meneruskan pengejaran mereka kedepan dengan cepat.

Setelah pasukan tentara itu sudah dekat, diatas kudanya Hi Tong lantas memberi hormat, katanya dengan sopan-santun sebagai seorang SiuCay: "Kalian tentunya sudah Capek lelah, pemandangan disini indah permai, marilah kita duduk2 dulu sambil meng-obrol2 saja?"

Tapi seorang perajurit tentara Cing yang paling depan lantas membentaknya: "Lekas minggir, kau tahu tidak ini adalah keluarga Li-Ciangkun?"

"O, kiranya keluarga pembesar? Kalau begitu lebih2 harus mengaso dulu," sahut Hi Tong. "Didepan sana ada dua setan gantung hitam-putih, jangan2 nanti malah bikin kaget para nona dan nyonya."

"Ngaco-belo," damperat seorang perajurit lain sambil ajun pecutnya terus menyabet. "Kau SiuCay berbau kecut ini jangan main gila disini!"

Namun dengan ketawa2 Hi Tong berkelit, lalu katanya pula: "Ah, jangan pukul dulu. Kata pribahasa: Seorang jantan pakai mulut tidak pakai tangan. Tapi kau telah gunakan pecut kuda semaunya, inilah bukan perbuatan seorang jantan!"

Sementara itu perwira yang memimpin kafilah itu ketika melihat didepan ada orang menghadang, cepat-cepat sekali telah keprak kuda maju membentak.

Tapi dengan tertawa Hi Tong memberi hormat lagi, lalu tanyanya: "Siapakah nama paduka tuan yang mulia, dimanakah kediamannya?"

Nampak keadaan Ie Hi Tong dan Cio Su Kin agak mencurigakan,maka perwira itu menjadi ragu2 dan tidak lantas menyawab.

Dalam pada itu Hi Tong telah keluarkan seruling emasnya, katanya pula: "Aku yang rendah sedikit mempelajari seni suara, tapi seringkali  gegetun belum ketemukan kawan yang paham kepandaianku, kini melihat paduka tuan lain dari yang lain, maukah silahkan turun kuda dulu buat mendengarkan satu lagu sulingku untuk pelipur lara dalam perjalanan?"

Kiranya perwira itu adalah Can Tho Lam yang mengawal keluarga Li Khik Siu kedaerah Kanglam itu, ketika dilihatnya seruling emas orang, sungguh terkejutnya tidak kepalang. Meski ia tidak menyaksikan sendiri waktu Hi Tong bertempur melawan petugas-petugas negeri di Tio-keh-po tempo hari, tapi kemudian iapun mendengar cerita dari perajuritnya serta pelayan hotel hingga mengetahui "bandit" yang melawan dan bahkan membunuh petugas negeri itu adalah seorang muda ganteng dan membawa seruling emas. Kini kepergok di tengah jalan, entah apa maksud tujuannya, tapi bila melihat lawan hanya berdua orang saja, dalam hati dengan sendirinya tak begitu gentar.

Karena itu, segera Can Tho Lam membentak: "Kita air sungai tak mengairi sumur (maksudnya tiada permusuhan dan sangkutpaut), baiknya ambillah jalan sendiri2 dan lekaslah minggir saja!"

"Nanti dulu," jawab Hi Tong. "Aku ada sepuluh lagu merdu yang sudah lama tak ditiup, hari ini bisa bertemu orang agung, tanpa merasa menjadi getol, maka terpaksa biar aku pertunjukkan sebisanya. Untuk memberi jalan tidaklah susah, asal sepuluh laguku sudah selesai ditiup, dengan sendirinya aku menghantar selamat jalan paduka tuan."

Habis berkata, tanpa menunggu jawaban orang, segera Hi Tong angkat serulingnya kebibir terus ditiupnya keras-keras.

Can Tho Lam mengarti urusan hari ini tak mungkin diselesaikan begitu saja, maka iapun tak sabar, begitu tombak nya diangkat, dengan gerakan "oh-liong-jut-tong"" atau naga hitam keluar dari liang, mendadak ia menusuk keulu hati Hi Tong.

Ternyata serangan itu sama sekali tak diperduli oleh SiuCay berseruling emas itu, ia masih terus meniup sulingnya seenaknya saja, ia menunggu setelah ujung tombak itu sudah mendekat baru mendadak tangan kirinya menyamber gagang tombak musuh, menyusul seruling emas ditangan kanan menghantam sekeras-kerasnya ketengah gagang tombak hingga seketika senjata itu patah menjadi dua,

Terkejut sekali Can Tho Lam, cepat-cepat ia tarik kudanya mundur beberapa langkah, lalu dari seorang perajuritnya disambernya sebilah golok untuk kemudian merangsang maju lagi.

Tapi setelah tujuh-delapan jurus, kembali Hi Tong dapatkan kesempatan menutuk dilengan kanannya hingga lagi-lagi senjata Can Tho Lam terlepas dari tangan.

"Nah, sepuluh laguku hari ini sudah pasti kau mendengarnya," demikian kata Hi Tong sambil tertawa. Lalu seruling diangkatnya dan ditiupnya lagi.

Gugup dan gusar Can Tho Lam dua kali kecundang, ia masih takmau terima, tiba-tiba ia memberi tanda sambil berteriak: "Maju semua, tangkap dulu keparat ini!"

Mendengar perintah atasannya itu, mau-tak-mau para perajurit itu menyerbu maju.

Namun Cio Su Kin sudah siap, sekali ia lompat turun dari kudanya dan menghadang kedepan, ketika gajuh besinya diayun, dengan gerak tipu "boat-Chau-sun-Coa" atau menyingkap rumput mencari ular, penggayuhnya menyabet pelahan kaki seorang perajurit paling depan, tanpa ampun lagi perajurit itu menyerit dan jatuh terjengkang diatas sayap penggayuh Cio Su Kin itu. Apabila lain saat Su Kin mendadak ayun senjatanya keatas keras-keras, bagai layang-layang yang putus benangnya perajurit itu tahu-tahu terbang keangkasa, saking

takutnya hingga perajurit itu ber-teriak2 minta tolong dan kemudian jatuh kedalam rombongan kawan-kawannya.

Waktu Cio Su Kin memburu maju pula, idem dito seperti tadi, seperti sekop saja serdadu2 Cing itu satu persatu kena disekop keudara oleh penggayuh besinya. Karuan saja serdadu2 yang berada dibagian belakang sama ketakutan, sekali menjerit, seketika mereka putar tubuh terus angkat langkah seribu alias lari ter-birit2. Meski Can Tho Lam coba mencegah kekacauan itu dengan ayun pecut kudanya menyabet serabutan, namun suasana sudah tak bisa dikuasai lagi.

Sedang Cio Su Kin merasa kesenangan akan permainan "sekop" itu, tiba-tiba tirai pintu kereta besar didepannya tersingkap, menyusul sesosok awan merah tahu-tahu menubruk datang, berbareng sebilah pedang mengkilap telah menusuk kedadanya.

Namun Su Kin sempat gunakan gerakan "to-poat-sui-yang" atau membubut pohon yang roboh, ujung gagang penggayuhnya mendadak dibalik untuk memukul batang pedang orang. Tapi lawannya ternyata juga tidak lemah, belum sampai kebentur, orang itu sudah merubah serangan dan ganti menusuk kaki Su Kin.

Ketika sedikit Su Kin geser kaki dan gayuhnya terus menyerampang dari samping, karena tahu tenaga Su Kin terlalu besar, orang itu tak berani menangkisnya, hanya melompat pergi beberapa tindak. Waktu Su Kin menegasi, ternyata orang itu adalah seorang gadis berbaju merah. Dasar Su Kin bertabiat tidak suka banyak-banyak bicara, maka tanpa bersuara kembali ia putar gajuhnya menempur sigadis pula. Tapi setelah saling gebrak beberapa jurus lagi dan melihat ilmu pedang orang sangat bagus, diam-diam Su Kin merasa heran.

Kalau Su Km heran, maka Hi Tong yang menyaksikan di samping juga terkesima.

Tatkala itu ia sudah lupa meniup serulingnya lagi melainkan memperhatikan terus ilmu pedang sigadis itu, ternyata gadis itu mainkan pedangnya sedemikian rupa hingga sinar putih gulung-gemulung sambung menyambung tak pernah putus, segera juga Hi Tong dapat mengenalinya ilmu pedang sigadis ternyata adalah "Ju-hun-kiam-hoat" dari perguruan sendiri.

Melihat pertarungan itu masih terus berlangsung dengan serunya, ilmu pedang sigadis sangat bagus, sebaliknya tenaga Cio Su Kin besar, hingga seketika susah dibedakan mana bakal unggul atau asor. Maka mendadak Hi Tong melompat maju, ketika seruling emasnya ia tangkiskan ke-tengah2 kedua senjata yang sedang bertanding itu, berbareng iapun berseru: "Berhenti!"

Gadis itu dan Cio Su Kin sama-sama mundur selangkah, dalam pada itu setelah menukar lagi senjata tombaknya, Can Tho Lam telah keprak kuda maju lagi hendak membantu sigadis, sedang perajurit2 Cing itu sama berteriak2 dikejauhan memberi semangat pada pemimpinnya. Namun tiba-tiba gadis itu memberi tanda agar Can Tho Lam mundur saja.

"Numpang tanya siapakah nama nona yang mulia? Dan siapakah gurumu?" demikian Hi Tong lantas menanya.

Gadis itu tertawa. "Kau tanya, tapi aku justru takmau bilang," sahutnya kemudian. "Sebaliknya aku tahu kau adalah Kim-tiok-siuCay le Hi Tong, Hi artinya ikan, ikannya dari ikan menggeragap ikan diair keruh, dan Tong artinya sama, samanya dari sama-sama sebagai jantan. Kau menduduki kursi ke-14 dalam Hong Hwa Hwe, betul tidak?"

Terkejut sekali Hi Tong dan Su Kin demi mendengar kata-kata orang yang lucu2 benar itu hingga seketika mereka saling pandang tak bisa buka suara.

Lebih2 Hi Tong tertegun oleh karena kata-kata sigadis tadi ternyata menirukan caranya memperkenalkan diri tempo menempur musuh dihotel itu.

Dilain pihak Can Tho Lam juga tidak habis mengerti ketika menyaksikan gadis itu tiba-tiba berbicara dengan kawanan "bandit" itu dengan senyum-simpul tanpa takut.

Begitulah sedang tiga laki2 dengan heran memandangi seorang gadis yang bermuka berseri-seri, dan seketika bingung entah apa yang harus dibicarakan, tiba-tiba terdengarlah suara derapan kuda yang riuh ramai, perajurit2 Cing itu tertampak sama minggir memberi jalan, lalu enam penunggang kuda telah menyusul datang dari arah belakang dengan cepat-cepat. Orang yang berada paling depan itu berwajah kurus, rambut penuh beruban, nyata ialah tokoh terkemuka Bu-tong-Pai, Liok Hwi Ching adanya.

Tanpa berjanji Hi Tong dan sigadis tadi ber-sama-sama telah memapak maju, yang satu terdengar memanggil Hwi Ching dengan 'Susiok' (paman guru), sebaliknya yang lain memanggil 'Suhu' (guru), lalu sama-sama melompat turun dari kuda untuk memberi hormat.

"Wan Ci, kenapa kau berada bersama Ie-suheng dan Cio-toako disini?" tanya Hwi Ching kemudian.

Nyata gadis tadi bukan lain adalah Li Wan Ci, itu murid perempuan Hwi Ching yang nakal dan jail.

"Habis, Ie-suheng memaksa orang harus mendengar tiupan serulingnya, aku tak suka mendengarnya, lalu ia merintangi tak boleh lewat," demikian sahut sigadis.

"Sekarang, Suhu, kau saja yang menimbang siapa yang salah dalam hal ini."

Tentang Liok Hwi Ching menghajar petugas negeri di hotel tempo hari, Can Tho Lam sudah mengetahuinya juga, kini melihat orang mendadak muncul berombongan, hati perwira itu menjadi kebat-kebit tak tenteram.

Kelima orang yang ikut dibelakang Hwi Ching itu ialah Ciu Tiong Ing, Ciu Ki, Ji Thian Hong, Beng Kian Hiong dan An Kian Kong.

Hari itu ketika diam-diam Lou Ping tinggal pergi tengah malam, besok paginya ketika Ciu Ki sudah bangun, gadis ini menjadi kurang senang. "Hm, kalian orang-orang Hong Hwa Hwe suka pandang rendah orang lain, kenapa kau tidak ikut pergi bersama kau punya Suso (kaka ipar perempuan keempat) saja ?" demikian gadis itu mengomel.

Karena itu Thian Hong memberi penjelasan sebisanya dan meminta maaf kepada ayah dan gadis she Ciu itu.

"Ya, cinta suami-isteri mereka yang masih muda, sudah tentu ingin sekali bisa lekas-lekas bersua kembali, kalau ia berangkat lebih dulu, itupun sudah jamak saja," ujar Tiong Ing. Habis ini ia berpaling pada gadisnya dan mencelahnya: "Dan kau perlu apa harus muring2?"

"Seorang diri Suso telah berangkat, ia sudah saling kenal dengan kawanan cakar-alap2, jangan2 akan terjadi lagi sesuatu," kata Thian Hong.

"Ya, tidak salah, maka paling baik kalau kita menyusulnya lekas," sahut Tiong Ing. "Tan-tangkeh suruh aku memimpin regu ini, apabila terjadi apa-apa atas dirinya (maksudnya Lou Ping), sungguh mukaku ini nanti entah harus ditaruh di mana?"

Maka mereka bertiga segera larikan kuda secepat terbang, sore hari itu juga mereka sudah bisa menyusul Liok Hwi Ching. Karena kuatir atas diri Lou Ping, maka berenam mereka menempuh perjalanan secepat-cepat mungkin tanpa banyak-banyak buang tempo ditengah jalan, sebab itu tak lama rombongan Tan Keh Lok berlalu, segera juga mereka sudah bertemu dengan Ciang Cin yang bertugas menjaga ditempatnya itu, dan ketika mendengar bahwa Bun Thay Lay berada tidak jauh didepan, secepat angin segera merekapun menguber terus.

Begitulah, ketika Hi Tong mendengar Wan Ci mengadu biru malah pada Liok Hwi Ching, mau-tak-mau wajahnya menjadi panas rasanya, pikirnya: "Aku merintangi orang mendengar serulingku, itu memang benar, tapi bilakah pernah aku memaksa kau sinona besar ini?"

Dilain pihak ketika Ciu Ki mendengar pengaduan Wan Ci tadi, dengan sengit ia melotot pula kearah Ji Thian Hong, dalam hati iapun berkata : "Hm, memangnya ada berapa orang baik-baik didalam Hong Hwa Hwe kalian?"

Kemudian Hwi Ching telah berkata pada Wan Ci: "Urusan didepan nanti sangat berbahaya, baiknya kalian tinggal sementara disini jangan sampai mengagetkan Thay-thay (nyonya besar). Bila urusanku sudah selesai, dengan sendirinya aku akan datang mencari kau."

Mendengar didepan nanti bakal ada ramai2, tapi sang suhu tak perkenankan dia ikut pergi, maka mulut Wan Ci yang mungil menyengkit, tanpa menyawab.

Namun Hwi Ching pun tak menghiraukannya, ia ajak semua orang mengudak pula terlebih cepat.

Kembali mengenai Keh Lok tadi, ia memimpin rombongannya mengejar terus kedepan, setelah 4 - 5 li lagi, lapat2 kelihatan iring2an orang didepan terbaris menjadi satu garis lurus sedang menjelajahi gurun Gobi yang luas.

Segera dengan pedang terhunus Bu Tim Tojin mendahului menguber kedepan sambil berteriak: "Ayo, kejar cepat-cepat!"

Setelah lebih satu li lagi, bangun tubuh orang-orang didepan makin lama makin nyata, tiba-tiba Lou Ping keprak kuda terus menyerobot maju, hanya sekejap saja musuh disusulnya. Dengan golok kembar ditangan, ia bermaksud melampaui musuh dulu untuk kemudian baru putar balik mencegat.

Tak terduga mendadak didepan sana riuh ramai orang ber-teriak2, beberapa puluh ekor onta dan kuda telah menerjang datang dari arah timur kebarat. Karena tak menduga-duga, lekas-lekas Lou Ping tahan kudanya dengan maksud melihat kawan atau lawan kafilah yang menerjang datang ini. Sementara itu iring2an petugas negeri itupun sudah berhenti dan ada orang sedang mem-bentak2 menegur. Tapi barisan penerjang itu makin dekat makin cepat, senjata gemilapan ditangan penunggang2 kuda itu segera menyerbu kedalam pasukan tentara itu hingga terjadilah pertempuran gaduh. Lou Ping menjadi heran sekali, ia tidak mengerti dari mana datangnya bala bantuan itu.

Sementara itu Tan Keh Lok dan lain-lain sudah menyusul datang juga, be-ramai2 mereka maju lebih dekat untuk menyaksikan pertempuran sengit itu.

Sekonyong-konyong dari depan sana seorang penunggang kuda mendatangi dengan Cepat-cepat , setelah melingkari medan pertempuran kedua pihak itu, orang itu terus menuju kearah jago-jago Hong Hwa Hwe ini. Setelah dekat, akhirnya semua orang dapat mengenalinya bukan lain ialah Kiu-beng-kim-pa-Cu, We Jun Hwa, simacan tutul bernyawa sembilan itu. Setelah sampai dihadapan Keh Lok, segera Jun Hwa berseru : "Congthocu, bersama Cap-ji-long aku menjaga dimulut selat bukit sana, tapi telah diterjang orang-orang Uigor ini, kami berdua tak mampu menahannya, terpaksa aku memburu datang memberi lapor, siapa tahu mereka malah sudah saling gebrak dengan kawanan cakar-alap2 itu, inilah sungguh aneh sekali!"

"Bu Tim Totiang, Tio-samko dan Siang-si Siang-hiap (kedua pendekar she Siang)," demikian Keh Lok segera mengatur siasat, "kalian berempat lekas menyerbu kesana merampas dahulu kereta tawanan Bun-suko itu, yang lain-lain jangan turun tangan dulu, biar kita lihat gelagat saja."

Sekali mengia, Bu Tim Tojin berempat terus keprak kuda menyerbu kedepan. "Kawan dari golongan mana?" bentak dua opas ketika melihat datangnya empat orang itu.

Namun Tio Pan San menjawabnya segera dengan dua buah pisau secepat kilat, yang satu menembusi tenggorokan dan yang lain menancap diperut, kedua opas itu seketika kena dibereskan.

Tio Pan San berjuluk "Jian-pi-ji-lay" atau sibudha bertangan seribu, sebab biasanya mukanya berseri-seri selalu, wajahnya welas-asih dan hatinya lemah, sebaliknya tubuh-nya penuh membawa senjata-senjata rasia seperti piau, anak panah, batu sambitan dan peluru besi dan macam2 lagi, cepat-cepat dan jitu sambitannya hingga orang susah mengarti cara bagaimana sepasang tangannya itu sekaligus bisa menggunakan senjata-senjata rasia yang begitu banyak.

Setelah empat orang itu menerjang sampai mendekati kereta besar, dari depan tiba-tiba seorang Uigor yang pakai ubel2 dikepala telah menusuk dengan tombaknya. Namun sedikit mengegos, Bu Tim tidak balas menyerang, melainkan terus menerjang lebih dekat kereta besar sasaran mereka. Ketika seorang Plauwsu angkat goloknya membacok, sekali Bu Tim menangkis, secepat kilat pedangnya terus memotong kebawah hingga empat jari Piauwsu itu tertabas putus, saking sakitnya hingga Piauwsu itu terjungkir jatuh dari kudanya.

Pada saat itu juga Bu Tim mendengar samberan angin dari belakang, ia tahu ada musuh membokong, tanpa berpaling lagi ia ayun pedangnya dari bawah keatas, tahu-tahu pedangnya melalui bawah bahu musuh terus menerabas keluar dari pundak kanan, nyata opas yang membokong itu telah terpapas sebelah lengannya mulai dari bahu sampai dipundak, bahkan sebagian kepalanya pun terkupas, hingga darah muncrat bagai air leding.

Cara Bu Tim menghajar musuh itu disaksikan dengan jelas oleh kedua saudara Siang dan Tio Pan San dari belakang, mereka sama memuji atas ketangkasan imam berlengan satu yang lihai itu.

Begitu juga, ketika orang-orang Piauhang melihat ilmu pedang Bu Tim mengejutkan, belum sampai bergebrak dua kawan dipihaknya sudah melayang jiwanya, keruan nyali mereka pecah hingga be-ramai2 ber-teriak2: "Angin kencang, lari!"

Tiba-tiba seorang Piauwsu yang bertubuh kurus kecil telah membilukkan kereta besar, sekali pecutnya bekerja, kereta keledai telah dilarikan cepat-cepat. Tatkala itu kedua pendekar Siang dengan senjata cakar-terbang mereka sudah saling gebrak melawan tujuh-delapan orng Uigor yang maju merintanginya. Sedang Tio Pan San ketika kereta besar dibilukkan hendak lari, segera bersama Bu Tim Tojin mereka mengudak. Setelah rada dekat, Pan San mengeluarkan sebutir batu "Hui-hong-Ciok," batu belalang terbang, cepat sekali ia sambitkan kebelakang kepala Piauwsu itu hingga tepat mengenai sasaran dan darah bercipratan, saking sakitnya orang itu ber-kaok2,

tapi banyak juga akal licik Piauwsu itu, tiba-tiba ia keluarkan sebilah badi2 terus ditancapkan sekuat-kuatnya kepantat keledai, karena kesakitan, karuan binatang itu berlari kesetanan. Pan San menjadi gusar, ia pecut kudanya lebih kencang, mendadak ia enjot tubuh terus menubruk kebebokong kuda tunggang Piauwsu itu, dan baru saja duduk diatas kuda, berbareng tangan kanannya sudah pegang pergelangan tangan Piauwsu itu terus diangkat keatas, la ayun2 dulu tubuh orang diudara, lalu dilemparkan sekuatnya ke arah kereta keledai yang masih berlari cepat didepan itu.

Dengan tepat Piauwsu itu jatuh diatas kepala keledai penarik kereta itu, begitu jatuh, secara mati2an ia merangkul kencang dua kepala binatang itu. Karena kaget, pula matanya tertutup oleh rangkulan si Piauwsu, keledai itu berjingkrak2 dan me-ronta2 terus membalik arah malah.

Dengan cepat Bu Tim dan Pan San segerapun sudah datang hingga keledai itu dapat diberhentikan. Waktu Pan San ulur tangannya menarik punggung Piauwsu itu, dengan keras ia banting orang ketepi jalan.

"Sam-te gunakan orang sebagai senjata, sungguh hebat caramu ini!" demikian Bu Tim memuji.

Waktu Tio Pan San menarik tirai kereta dan melongak kedalam, namun keadaan dalam kereta ternyata gelap gelita tak terang, hanya lapat2 seperti ada seorang yang merebah didalam dengan tubuh berselimut.

"Su-te (adik keempat), benar kau bukan? Kami telah datang menolong kau!" segera Pan San berseru.

Tapi orang itu hanya bersuara lemah sekali, habis itu tak kedengaran apa-apa lagi.

"Kau hantar kembali Su-te dulu, biar aku yang mencari Thio Ciau Cong untuk bikin perhitungan," kata Bu Tim. Habis ini ia keprak kuda menerjang lagi kemedan pertempuran.

Mula2 orang-orang Piauhang melarikan diri kearah timur, tapi ketika melihat Bu Tim menerjang datang lagi, dengan ber-teriak2 mereka putar haluan kabur kebarat.

Thio Ciau Cong, wahai Thio Ciau Cong! Dimanakah kau keparat ini, kenapa tidak lekas unjuk diri!" segera Bu Tim ber-teriak2 menantang.

Tapi meski diulangi lagi, masih belum ada juga orang menyahut. Maka kembali ia menerjang kearah gerombolan musuh.

Melihat Bu Tim mengudak datang lagi, para Piauwsu dan hamba2 negeri menjadi ketakutan tidak kepalang hingga semangat seakan-akan terbang ke-awang2, mereka ber-teriak2 terus lari sipat-kuping tunggang-langgang.

Dilain pihak para jago menjadi girang ketika melihat Tio Pan San membawa kembali kereta besar yang mereka arah itu, be-ramai2 mereka memapaknya.

Dengan tak sabar Lou Ping telah mendahului kehadapan kereta itu, ia melompat turun dari kudanya terus menyingkap tirai kereta.

"Toako!" serunya dengan suara ter-putus-putus.

Tapi ternyata tiada sahutan orang didalam kereta. Kaget luar biasa Lou Ping, tanpa pikir lagi ia menerobos kedalam kereta terus menarik selimut yang menutupi sesosok tubuh orang itu.

Sementara itu para jago Hong Hwa Hwe yang lainpun sudah datang, mereka sama melompat turun dari kuda terus merubung maju hendak melihat keadaan Bun Thay Lay yang mereka rindukan itu.

Disebelah sana kedua pendekar Siang melihat kereta tawanan sudah dapat mereka rampas, tentu saja mereka tak sabar lagi menempur terus orang-orang Uigor yang tak jelas asal-usulnya itu, sekali kedua saudara Siang itu bersuit, cakar-terbang mereka diayun memaksa orang-orang Ui itu mundur, lalu mereka putar kuda terus kabur pergi.

Orang-orang Uigor itu rupanya melulu bertugas merintangi orang yang bermaksud mendekati saja, maka ketika melihat kedua saudara Siang itu undurkan diri, sama sekali mereka tidak mengejar, melainkan terus ikut menerjang ketengah medan pertempuran yang masih berlangsung dengan serunya itu.

Tatkala itu Bu Tim Tojin masih menerjang kesana kemari, seorang kusir kereta yang lambat larikan diri kembali telah kena dibacoknya hingga terguling. Bu Tim tak berniat membunuhnya, maka ia tarik tali kendali kuda melompati tubuh orang terus ber-teriak2 menantang pula: "Ayo, Hwe-jiu-boan-koan, dimana kau, pengecut, kenapa tidak lekas keluar!"

Hwe-Chiu poan-koan adalah gelaran Thio Ciauw Cong. Tapi yang muncul bukan dia, melainkan seorang Wi yang tinggi besar, bermuka brewok. "Imam liar darimanakah berani mengaduk disini!" demikian segera orang itu membentak.

Tanpa menyawab, pedang Bu Tim berkelebat menyabet nya. Untung orang Wi itu sebat menangkis. Tapi sebelum dia keburu menarik kembali goloknya, Bu Tim susuli sabetan kearah kanan dan kiri, cepatnya bukan terkira. Karena tak sempat menangkis, orang Wi itu jepitkan kaki keperut kuda, sudah itu tubuhnya ia buang kebawah untuk menyusup kebawah perut kuda. Dengan cara berjumpalitan melalui perut tunggangannya itu, barulah dia berhasil lolos dari tabasan Bu Tim. Namun tak urung dia kucurkan keringat dingin, dan dengan andalkan kepandaiannya berkuda, orang Wi itu larikan kudanya dengan dia sendiri masih menggelantung dibawah perut si kuda.

"Kau dapat menghindari tiga tabasanku, betul-betul seorang hohan. Akupun tak mau mengambil jiwamu lagi", kata Bu Tim dengan tertawa. Dan dia kembali menyerbu kearah rombongan lain.

Ketika SeChwan Sianghiap tadi mengantar kereta menuju kesebelah barat, mereka nampak dari arah muka ada kira-kira delapan penunggang kuda menghampiri. Itulah rombongan Ciu Tiong Ing dan Liok Hwi Ching. Tapi belum lagi mereka mendekati kereta besar, Lou Ping telah menyeret keluar orang yang berselimut dalam kereta itu tadi, terus dilemparkan kebawah, lalu terdengar nyonya itu membentak: "Pan-lui-Chui Bun toaya dimana?"

Dan belum habis kata-kata diuCapkan, nyonya itu sudah ber cucuran air mata. Ketika orang Hong Hwa Hwe sama memeriksanya, ternyata orang itu adalah seorang lagi-lagi setengah tua yang mukanya kurus. Tangannya kanan dibalut dan digantung pada lehernya.

Lou Ping segera mengenalnya sebagai kepala polisi Pak khia yang terkenal yaitu Go Kok Tong, itu orang yang telah ditabas putus sebelah lengannya oleh Bun Thay Lay sewaktu pertempuran di Thio-ke-poh dulu itu.

Lou Ping segera mendupaknya, maksudnya akan menanyakan keterangan, namun karena terlalu menahan perasaan gusar dan cemas, ia sampai tak dapat mengucap apa-apa. Sebaliknya begitu menusukkan gaetannya pada paha Go Kok Tong, Wi Jun Hwa segera membentak dengan bengis nya: "Dimana Bun-ya? Kalau kau membisu, akan kutabas kakimu ini!"

"Thio Ciauw Cong, sibangsat itu, sudah membawanya jauh sekali," jawab kepala polisi itu dengan gemasnya. "Ia suruh aku tinggal dalam kereta ini, kukira kalau dia bermaksud baik suruh aku beristirahat dulu. Tidak tahu nya manusia licik itu menggunakan tipu 'kim-sian-toat-kak' (tonggeret bertukar kulit). Aku dijadikan korban untuk dia yang akan menerima pahala dikotaraja. Bangsat, Coba lihat saja, dia bisa selamat atau tidak nanti!"

Demikian kepala polisi itu menyumpahi dan memaki kalang kabut.

Pada saat itu, rombongandua Hong Hwa Hwe sudah tiba semua, maka berserulah Tan Keh Lok: "Tangkap semua kuku garuda dan orang-orang piauwkok, jangan ada satu yang bisa lolos. Mari kita kacip mereka dari dua jurusan."

Begitulah Tan Keh Lok dengan Thio Pan San, Siang-si Song-hiap, Nyo Seng Hiap, Wi Jun Hwa, Cio Su Kin dan Sim Hi, menerjang dari jurusan selatan. Sedang Ciu Tiong Ing bersama Liok Hwi Ching, Ji Thian Hong, Lou Ping, Ie Hi Tong, Ciu Ki, Beng Kian Hiong dan An Kian Kong, menyerbu dari jurusan utara. Bagaikan jepitan besi, rombongan Hong Hwa Hwe itu segera mengepung kawanan kuku garuda, piauwsu dan orang-orang Wi.

Selagi orang-orang Wi itu tengah bertempur seru dengan orang-orang piauwkok, tiba-tiba Thio Pan San beberapa kali mengibas kibaskan kedua tangannya. Seketika itu dua orang kaki tangan pemerintah terjungkal dari kudanya. Kini tahulah orang-orang Wi itu, siapa lawan siapa kawan. Mereka sama bertereak2 kegirangan. Malah orang Wi brewok yang pernah tempui Bu Tim itu tadi, majukan kudanya untuk mendekati rombongan Hong Hwa Hwe, lalu serunya: "Entah rombongan enghiong mana yang datang membantu ini. Disini Cayhe (aku

yang rendah) menghaturkan maaf dan terima kasih."

Habis mengucap, dia angkat tinggi goloknya selaku memberi hormat. Tan Keh Lok Buru-buru merangkap tangan untuk balas menghormat, katanya: "Saudara-saudara, mari kita ber-sama-sama menggempur musuh!" Kini dengan turunnya komando sang pemimpin, majulah orang-orang Hong Hwa Hwe dengan serentak. Karena beberapa kawan yang diandali sudah banyak-banyak yang

binasa, maka dengan serta merta orang-orang negeri dan piauwsudua itu sama menjura minta diampuni jiwanya sambil tiada hentinya memanggil: "Yaya, CouwCong" atau kakek moyang .

Demikian riuh rendah mereka meratap membahasakan dengan pelbagai sebutan yang menjunjung sekali.

"Bun naynay," tiba-tiba Sim Hi berseru girang kepada Lou Ping, "mereka benar2 telah memanggil kakek moyang padaku seperti katamu tadi."

Saat itu hati Lou Ping risah tak keruan, kata-kata si-kacung itu sedikitpun tak didengarnya.

Di-tengah-tengah suasana yang kacau itu, sekonyong-konyong Bu Tim lari keluar dari gundukan orang-orang, terus bertereak keras-keras: "Hai, mari kau orang datang kemari. Lihat betapa bagus permainan pedang anak perempuan itu!"

Semua anggauta Hong Hwa Hwe telah sama mengetahui bahwa ilmu pedang toh-beng-kiam-hoat imam itu jarang ada lawannya. Orang-orang dikalangan rimba persilatan yang dapat menangkis tiga sabetan pedangnya itu, jarang sekali. Kini dia sendiri sampai keluarkan pujian ilmu pedang orang lain, dan terutama adalah seorang gadis.

Mereka kaget dan dengan penuh keheranan sama datang untuk melihatnya. Orang Wi brewok itu mengucap beberapa patah perkataan Wi, maka rombongan orang-orang Wi itu sama menyingkir ketepi, hingga bersama orang-orang Hong Hwa Hwe kini merupakan sebuah lingkaran. "Cong-thocu, Thio Ciauw Cong tak berada disini. Orang yang memainkan roda ngo-heng-lun itu boleh juga tampaknya," kata Bu Tim pada Tan Keh Lok.

Ketua Hong Hwa Hwe itu juga datang melihat. Cerita disitu ada seorang nona berbaju kuning tengah bertempur seru dengan seorang laki2 kate.

"Nona itu bernama Hwe Ceng Tong, murid dari Thian-san Siang Eng," demikian Hwi Ching mendekati Tan Keh Lok seraja memberi keterangan. "Dan si kate yang memegang ngo-heng-lun itu adalah Giam Se Ciang, salah seorang dari Kwantong Liok Mo."

Tergerak hati Tan Keh Lok mendengarnya. Thian-san Siang Eng, sepasang burung elang dari Thiansan, adalah sepasang suami isteri Tut-Ciu Tan Ceng Tik dan Swat-tiau Kwan Bing Bwe. Mereka adalah angkatan tua dari kalangan persilatan didaerah Hwi. Dengan gurunya, Thian Ti koay-hiap mereka tak berhubungan, sekalipun tidak bermusuhan tapi kedua fihak sedapat mungkin tak mau berjumpa.

Tan Keh Lok dengar bahwa Thian San Pai punya ilmu pedang sam-hunkiam sangat istimewa sekali. Maka kali ini dia perhatikan sekali permainan nona itu. Memang ternyata gerak serangan sinona itu luar biasa serunya, sehingga orang she Giam itu harus melayani mati2an. Sedang dalam pada itu orang-orang Wi bersorak sorai untuk membantu semangat sinona. Malah ada beberapa orang yang nampak maju menghampiri dan siap akan turut bertempur.

"Tahan, aku hendak bicara!" tiba-tiba orang she Giam itu bertereak seraja mundur selangkah.

Rombongan orang Wi makin rapat menghampiri. Dengan menghunus senjata, mereka siap akan menyerbu. Cepat sekali Giam Se Ciang pindahkan sepasang senjatanya ketangan kiri, dan tangannya kanan sebat sekali menarik sebuah buntalan dari belakang punggungnya. Dengan mengangkat tinggi-tinggi senjatanya dia bertereak: "Kalau kaurang memaksa andalkan jumlah besar untuk menindas aku, bungkusan ini akan kurusakkan!"

Mendengar itu terkejutlah orang-orang Wi itu. Serentak mereka mundur beberapa tindak. Rupanya insaf bahwa dirinya susah lolos dalam kepungan orang-orang Wi dan Hong Hwa Hwe yang sedemikian kuatnya, maka Se Ciang hendak cari akalan. Maka katanya lagi: "Kauorang berjumlah besar, tentu mudahlah untuk membunuh aku. Tetapi aku, orang she Giam, pun berhati baja. Jangan harap kauorang bisa mencapai maksudmu. Kecuali kalau mau bertanding satu lawan satu, kalau aku sampai kalah, baru dengan suka rela kuserahkan pauwhok ini. Kalau tidak dengan cara begitu, aku siap untuk hancur binasa ber-sama-sama dengan bungkusan ini. Nah, kauorang boleh pikir2 lagi."

Kiao Li-kui Ciu Ki adalah orang pertama yang merasa panas telinganya, tanpa tunggu lagi, ia loncat kedalam kalangan seraya berseru: "Baiklah, aku yang menantang dulu!"

Habis itu dengan putar goloknya, nona berangasan itu akan maju menyerang, tapi ayahnya buru-buru menariknya kembali dan katanya: "Disini berkumpul banyak Cianpwedua yang gagah perkasa, mengapa kau mau perlihatkan ketololanmu?"

Sementara itu sinona baju kuning melambaikan tangannya kepada Ciu Ki dan serunya: "Biar aku dulu yang melayani, kalau gagal, barulah CiCi bantu".

"Jangan kuatir. Kulihat kau ini orang yang baik, tentu aku suka membantumu", jawab Ciu Ki dengan gagahnya.

"Hm, budak tolol. Ia bugenya lebih tinggi dari kau, apa-apaan kau mau bantu dia", ayahnya menegur dengan bisik-bisik.

"Apa dia tak mau kubantu?" bantah sinona yang bandel itu.

"Pauwhok yang berada ditangan piauwsu she Giam itu berisi kitab suci dari orang-orang Wi, maka nona itu tentu akan merebutnya dengan tangannya sendiri", menerangkan Liok Hwi Ching.

Baru setelah mendengar itu, Ciu Ki mengerti dan mau diam.

"Siapa yang hendak maju dulu. Nah sudah dirunding belum", kata Giam Se Ciang dengan congkak.

"Biarlah aku lagi yang melayanimu!" seru Hwe Ceng Tong.

"Kalau kau kalah apa perjanjiannya"!

"Kalah menang, kau harus tinggalkan kitab itu disini. Kalau menang, kau boleh pergi. Tetapi kalau kalah, nah tinggallah saja disini dengan kitab itu!" jawab sigadis.

Dengan ucapan itu, Ceng Tong terus mulai menyerang. Giam Se Ciang mengeluarkan ilmu permainan roda yang disebut ngo-heng pat-kwa, terdiri dari enam empat jurus. Kembali orang disuguhkan pertandingan senjata yang seru dan menarik.

Tan Keh Lok melambaikan tangan memanggil Hi Tong datang, katanya: "Sipsu-te, kau lekas-lekas berangkat untuk memburu jejak suko. Kita nanti menyusul."

Hi Tong buru-buru keluar dari situ untuk naik kudanya. Tapi ketika berpaling dia menampak Lou Ping tengah tundukkan kepala seperti orang ngelamun. Sedianya Hi Tong akan menghampirinya untuk menghibur, tapi pada lain saat, dia keprak kudanya terus kabur.

Sementara itu dalam pertandingan seru itu betul-betul permainan sam-hun-kiam nona Ceng Tong itu luar biasa sebat-nya. Belum ujung pedang menusuk datang, sudah ditarik dan diganti serangan lagi. Demikian terjadi pada tiap2 gerak serangannya. Beberapa kali Giam Se Ciang berusaha untuk menyampok pedang sinona, tapi selalu tak berhasil.

Bu Tim, Liok Hwi Ching, Tio Pan San adalah ahli2 pedang yang kenamaan. Kini mereka mengawasi seraja tak putus-putusnya memberi komentar.

Jilid 9

"SERANGAN kearah pundak lawan tadi, cepatnya sudah Cukup, hanya kurang tepat," kata Bu Tim.

"Tentunya dia tak dapat menyamai kesempurnaan permainanmu. Tapi waktu kau masih berumur seperti dia, apa juga sudah seperti dia lihainya?" tanya Tio Pan San dengan tertawa.

"Nona itu betul-betul mempunyai gaya penarik, sehingga menawan symphati orang-orang," Bu Tim juga ketawa.

Memang kata-kata tojih itu tepat. Karena Tan Keh Lok sendiri, setelah menyaksikan permainan orang, segera tertarik dan mengaguminya. Tampak olehnya, meskipun nona itu dahinya bertetesan keringat, namun semangatnya masih tetap gagah, gerak kaki dan tangannya masih tetap teratur seperti biasa.

Tiba-tiba Ceng Tong merobah permainannya. Kini ia menyerang dengan gerak "hay-si-Cin-lou" yaitu salah satu ilmu pedang Thian San Pai yang lihai sekali.

Gerak serangannya, sukar diduga. Hingga kembali orang-orang sama kagum dibuatnya. Selagi mereka terbenam dalam keasyikannya, tiba-tiba pedang sinona berkelebat laksana kilat cepatnya menikam pundak lawan. Karena terkejut dengan tikaman yang tepat mengenai pundaknya itu, Giam Se Ciang menjerit keras seraya loncat mumbul, dan mencelat beberapa tindak kebelakang. Serunya: "Aku mengaku kalah, kitab ini kukembalikan padamu!"

Terus dia ambil pauwhok yang terbungkus kain merah itu. Dengan kegirangan luar biasa, Ceng Tong tampil kemuka untuk menerima kitab Alqur'an yang dipandang sebagai kitab suci suku bangsanya itu dari tangan orang.

Siapa duga mendadak Se Ciang menarik muka terus membentak: "Nih, ambil!"

-- Berbareng itu tangannya yang lain tahu-tahu mengayun, tiga buah senjata rasia "hui-Cui" atau bor terbang secepat kilat menyamber kedada Ceng Tong--.

Menghadapi kejadian yang sama sekali tak ter-sangka2 itu, untuk hindarkan diri rasanya terlalu susah, baiknya Ceng Tong masih sanggup mendoyongkan tubuhnya kebelakang dengan gaya "thi-pan-ki" atau jembatan papan besi, tubuhnya seakan-akan melengkung terbalik kebelakang, dengan demikian ketiga bor itu menyamber lewat semua diatas mukanya.

Namun Giam Se Ciang tidak berhenti begitu saja, baru tiga buah bor pertama dihamburkan, menyusul tiga buah bor yang lain sudah ditimpukkan lagi.

Tatkala itu Ceng Tong sedang berdoyong kebelakang, tampaknya pasti akan tertimpa bahaya, menyaksikan itu, para orang Uigor sangat kuatir dan gusar pula atas kekejian musuh, maka be-ramai2 mereka telah menyerbu maju.

Dalam pada itu pula Ceng Tong telah menegak kembali, tiba-tiba didengarnya suara "Creng-Creng-Creng" tiga kali, ketiga buah bor tadi sudah jatuh ketanah seperti kena dihantam senjata rasia apa-apa dan jatuhnya tepat ditepi kaki Ceng Tong, gadis ini berkeringat dingin bila tahu bahaya apa yang tadi mengancam dirinya. Cepat-cepat sekali ia hunus pedangnya, sementara itu Giam Se Ciang sudah merangsang maju bagai kerbau gila dan senjata rodanya terus menghantam.

Karena tak sempat ganti gerakan lagi, terpaksa Ceng Tong angkat pedang menangkis, maka saling beradulah kedua senjata itu, sebuah roda tajam menindih kuat2 dari atas dan pedang menyanggah keras-keras dari bawah hingga seketika keadaan menjadi saling tahan.

Lama-lama tenaga Se Ciang yang lebih besar, akhirnya rodanya "Ngo-heng-lun" sudah menindih turun mendekati kepala sigadis.

Nampak berbahaya, selagi para ksatria hendak maju menolong, sekonyong-konyong tangan kiri Ceng Tong mencabut keluar sebilah pedang pendek yang bersinar menyilaukan dari pinggangnya, secepat kilat pula ia tubleskan senjata itu keperut Giam Se Ciang.

Tanpa ampun lagi Se Ciang menjerit keras, kontan pula orangnya roboh kebelakang.

Melihat kecekatan sigadis, kembali semua orang berbareng bersorak memuji. Dilain saat, Ceng Tong Cepat-cepat melolos pauhok merah yang menggamblok dibelakang punggung Giam Se Ciang. Dalam pada itu, sibrewok pun juga mendatangi, seraja katanya: "Bagus, nak!"

Ceng Tong segera angsurkan pauwhok kepadanya, dengan menyungging senyuman yang manis, ia berseru dengan serta merta: "Ayah!"

Memang sibrewok itu adalah ayah Hwe Ceng Tong, jakni Bok To Lun. Dengan khidmat, dia angsurkan kedua tangan untuk menyambutinya. Sementara itu, Ceng Tong mencabut lagi badi2 yang nancap di tubuh Giam Se Ciang. Dalam pada itu satu anak lelaki kira-kira berumur 15 tahun loncat turun dari kuda terus lari ketengah lapangan. Dia Cepat-cepat memungut tiga buah benda berwarna

putih yang bundar bentuknya, terus diserahkan pada seorang muda, siapa lalu memasukkan kedalam kantongnya.

"Kiranya yang melepas senjata rahasia untuk memunahkan huiCui dari orang she Giam tadi, dialah orangnya!" pikir Ceng Tong.

Tersurung oleh suatu perasaan yang aneh, ia melirik ke-arah penolongnya. Tampak olehnya, bagaimana wajah orang itu berseri2 bagaikan batu giok.

Sepasang matanya ber-sinar2 bagaikan bulan purnama. Mengenakan pakaian yang longgar dan tangannya menenteng sebatang kipas. Begitu Cakap dan agung nampaknya.

Kebetulan anak muda itupun mengawasi kearahnya, maka terbentrok sinar mata keduanya.. Sianak muda nampak bersenyum padanya dan dengan ke-merah2an Ceng Tong tundukkan kepalanya, terus lari mengikut ayahnya.

Kepada sang ayah ia membisiki beberapa patah perkataaan, dan ayahnya itu nampak menganggukkan kepalanya.

Bok To Lun maju menghampiri kuda pemuda tersebut, lalu menjura dihadapannya. Pemuda itu buru-buru loncat turun dari tunggangannya, terus tersipu-sipu membalas hormat.

"Atas budi kongcu yang telah menyelamatkan jiwa anakku, aku haturkan beribu terima kasih. Mohon tanya, siapakah nama kongcu yang mulia?" Tanya Bok To Lun.

"Aku yang rendah ini orang she Tan nama Keh Lok. Salah seorang saudara kita telah ditangkap oleh kawanan kuku garuda dan orang-orang piauwsu itu, maka kita beramai datang menolongnya. Tetapi sayangnya, kita masih belum berhasil. Kitab pusaka dari rakyat tuan kini telah dapat terampas kembali. Untuk itu aku turut bergirang dan haturkan selamat."

Pemuda itu memang bukan lain adalah ketua dari Hong Hwa Hwe Bok To Lun panggil putera puterinya datang dan disuruhkannya menghaturkan terima kasih pada sang penolong. Begitu dekat, agak heran Tan Keh Lok memikirkannya.

Kalau sang kakak, Hwe A In bertelinga lebar, muka penuh brewok, adalah adiknya, Hwe Ceng Tong, begitu manis sikapnya. Wajahnya laksana bunga yang sedang mekar di musim semi, cantik berseri-seri bagaikan embun pagi. Kalau tadi dari jarak agak jauh, Tan Keh Lok mengagumi permainannya pedang, kini setelah saling berdekatan semangat anak muda itu seperti dibetot melihat kecantikan yang wajar dari nona itu. Sehingga untuk sesaat itu, dia kesima terlongong-longong.

"Jika tadi bukan siangkong (tuan) yang menolong, tentu jiwaku sudah lenyap. Budi siangkong itu, akan terukir dalam hatiku se-lama-lamanya," demikian sigadis.

"Ah" Tan Keh Lok seperti orang yang dibangunkan dari tidurnya. "Telah lama kudengar 'sam-hun-kiam' dari Cabang Thian San Pai sangat sempurnanya. Tadi setelah kusaksikan sendiri betapa ilmu itu nona mainkan, betul-betul hebat tak tertara. Tadi Cayhe telah kelepasan tangan jail, untuk itu sudah merasa bersyukur kalau nona tak marah, mengapa malah nona berlaku sungkan menghaturkan terima kasih?"

Ciu Ki, si nona berangasan itu, merasa sebal mendengar kedua orang muda itu begitu saling bersungkan.

"Ilmu pedangmu memang lebih hebat dari aku, tapi ada satu hal yang akan kuajarkan padamu," Ciu Ki memotong pembicaraan orang.

"Harap CiCi memberi petunjuk," sahut Ceng Tong.

"Yang bertempur dengan kau tadi orangnya licin. Kau terlalu percaya padanya hingga hampir terpedaya. Memang kebanyakan orang lelaki itu banyak akal muslihatnya, lain kali haruslah kau ber-hati-hati terhadap mereka," demikian kata Ciu Ki.

"CiCi benar. Kalau bukan Tan kongcu yang menolong, tentu jiwaku sudah melayang ," ujarCeng Tong.

"Apa sih Tan kongcu itu? Oh, kau maksudkan dia. Dia adalah Congthocu Hong Hwa Hwe"

"O, Ya, Tan .... Tan toako, tadi senjata apa yang kau gunakan untuk memukul huiCui orang itu. Mana kasih lihat padaku," tanya Ciu Ki kepada Tan Keh Lok.

"Ini sebenarnya hanya biji2 Catur," kata Keh Lok seraja mengeluarkan dua biji catur dari kantongnya. "Timpukanku jelek sekali, harap nona Ciu jangan menertawakannya."

"Siapa yang menertawai kau? Permainanmu bagus sekali. Selama dalam perjalanan, ayah tak sudah2nya memuji padamu. Kiranya ada beberapa bagian ucapannya itu benar," sahut Ciu Ki.

Ketika mendengar anak muda itu adalah Cong-thocu dari sebuah perkumpulan, heranlah Ceng Tong. Ia kelihatan ber-bisik-bisik pada ayahnya, siapa beberapa kali meng-ia-kannya.

Pada waktu orang-orang Hong Hwa Hwe sudah membereskan hamba2 negeri dan orang-orang piauwkiok. Yang menyerah dikumpulkan, yang mati dikuburkan dan yang luka-luka diberinya obat, antara nya piauwsu yang dipapas kutung sebelah tangannya oleh Bu Tim, yakni Chi Ceng Lun. Lain piauwsu yang dibinasakan dengan panah tangan oleh Thio Pan San, jakni Te Ing Bing. Dan yang dilempar oleh Pan San yakni Tong Siu Ho entah kemana lenyapnya.

Kali ini Tin Wan piawkok menderita kerugian kehilangan dua orang piauwsu yang binasa dan dua yang luka-luka. Pembesar2 polisi dari Pakkhia dan Thian-Cin ada tujuh atau delapan yang meninggal dan terluka.

Saat itu Bok To Lun menghampiri Tan Keh Lok seraja berkata: "Berkat bantuan Congwi eng hiong sekalian, tugas berat kita telah selesai.

Menurut keterangan kongcu, masih ada seorang eng hiong yang belum tertolong. Aku bermaksud suruh putera dan puteriku serta beberapa orangku untuk membantu kongcu. Terserah apa saja yang kongcu akan suruh mereka kerjakan. Hanya saja kepandaian mereka itu masih rendah, entah kongcu suka meluluskan tidak?"

"Sungguh kita merasa berterima kasih sekali," seru Tan Keh Lok dengan gembira. Lalu dia perkenalkan mereka pada sekalian saudara-saudaranya.

"Ilmu pedang totiang hebat bukan buatan. Seumur hidup belum pernah kuberjumpah dengan keduanya. Masih untung, tadi totiang berlaku murah, kalau tidak ha, " kata Bok To Lun pada Bu Tim.

"Sungguh tadi aku berlaku kurang ajar, harap dimaafkan," sahut Bu Tim meminta maaf.

Orang Wi paling mengindahkan sama orang-orang gagah. Sewaktu mengetahui bagaimana kelihaian Bu Tim, Tio Pan San, Tan Keh Lok, SeChwan Siang Hiap dan lain-lainnya, mereka sama kagum dan berebutan memberi hormat pada orang-orang gagah itu.

Sedang mereka berbicara, tiba-tiba dari arah barat terdengar suara derapan kuda yang riuh, ketika semua orang menoleh, maka tertampaklah seorang sedang mendatangi dengan cepat, sesudah dekat, cepat sekali orang itu melompat turun dari kuda dan ternyata adalah satu pemuda rupawan.

"Suhu!" tiba-tiba pemuda itu menyapa Liok Hwi Ching. Nyata ia adalah Li Wan Ci yang kini telah menyamar sebagai lelaki pula.

Wan Ci memandang sekitarnya, Ie Hi Tong tak dilihatnya, tapi Hwe Ceng Tong dapat dilihatnya, maka cepat-cepat ia berlari mendekati gadis itu sambil memegang kencang tangan orang dengan mesra. "Kemana kau telah pergi malam itu? Sungguh bikin aku menjadi kuatir! Kitab suci itu sudah dapat direbut kembali belum?" demikian serentetan pertanyaan Wan Ci.

"Baru saja dapat direbut kembali, lihatlah itu!" sahut" Ceng Tong gembira sambil menunjuk kepada buntalan merah diatas punggung sang kakak.

Melihat itu, Wan Ci merenung sejenak, tiba-tiba katanya: "Kau telah membuka dan memeriksanya belum? Apakah kitab itu benar2

berada didalamnya?"

"Kami ingin berdoa dulu kepada Allah untuk berterima kasih kepada kebesaranNya, habis itu baru membuka kitab suci itu," sahut Ceng Tong.

"Tapi, menurut aku, paling baik membuka dan memeriksanya dulu," ujar Wan Ci.

Mendengar kata-kata sigadis ini, Bok Tok Lun menjadi ragu2, lekas-lekas ia buka buntalan merah itu dan memeriksanya, tapi ia menjadi melongo, karena isinya hanya setumpukan kertas rosokan saja dan sekali2 bukan kitab suci Alkur'an yang mereka agungkan itu.

Melihat itu, para orang Uigor itu menjadi gusar hingga mengumpat habis-habisan kelicikan musuh.

Begitu pula Hwe A In segera tarik seorang kusir Piau-hang yang masih meringkuk diatas tanah, lebih dulu ia persen orang sekali tempilingan, habis itu baru ia membentak: "Kemana kitab itu telah dilarikan?' Bilang, lekas bilang!"

Karuan kusir itu kesakitan sambil memegang mukanya hingga seketika susah menyawab.

"Katakan, lekas," Bok Tok Lun ikut membentak sambil angkat goloknya. "Tak mengaku terus terang, biar aku penggal dulu kepalamu!"

"Am...... ampun, bu...... bukan aku, tapi perbuatan ka...... kawanan piauthau itu, aku sen........ sendiri tidak tahu soalnya," demikian kusir itu menyawab dengan ketakutan sambil menunyuk kearah Chi Cing Lun yang masih menggeletak itu.

Segera juga Ho A In menyeret bangun Chi Cing Lun dan membentak gusar: "Kawan, katakan saja, kau ingin hidup atau mati?"

Namun Chi Cing Lun ternyata cukup bandel, bukannya menyawab, tapi ia malah pejamkan mata tak menggubris. Tentu saja Ho A In menjadi murka, ia angkat bogemnya dan segera hendak gebuk orang pula. Baiknya Ceng Tong telah menarik baju sang kakak pelahan, hingga kepalan A In yang sudah diangkat itu pelahan2 diturunkan kembali.

Ternyata meski tabiat Ho A In ini kasar dan berangasan, tapi terhadap dua adik perempuannya ia paling menghormat dan mencintai. Adik perempuan yang besar jalah Ceng Tong, sedang adik perempuan kedua bernama Kasri yang berparas Cantik molek tiada taranya, digurun pasir orang menyebutnya "Hiang Hiang Kongcu" atau si Puteri Harum. Ia tak bisa silat, maka urusan perebutan kitab suci ini ia tidak ikut datang.

Begitulah, maka Ceng Tong lalu tanya Wan Ci: "Dari mana kau bisa mengetahui isi buntalan itu bukan kitab suci?"

"Aku pernah mengapusi mereka, maka aku pikir tentunya merekapun bisa meniru," sahut Wan Ci dengan tertawa.

Kemudian Bok Tok Lun membentak Ci Cing Lun pula agar mengaku, namun tetap Cing Lun bilang kitab suci itu sudah digondol pergi oleh salah seorang Piausu yang lain.

Bok Tok Lun masih sangsi atas pengakuan orang, segera ia perintahkan bawahannya menggeledahi semua kereta dan muatannya, namun sedikitpun tak tertampak bayangan kitab yang dicari itu, ia kualir kitab suci telah dirusak musuh, maka keningnya terkerut rapat, suatu tanda sangat masgul.

Disebelah sana Li Wan Ci lagi menanyai keadaan sang Suhu semenyak berpisah.

Kata Hwi Ching: "Urusan itu kelak akan kuceritakan, kini lekasan kau kembali saja, nanti ibumu akan berkuatir lagi atas dirimu, dan tentang kejadian disini sekali2 jangan kau ceritakan pada orang lain."

"Sudah tentu aku takkan ceritakan, Suhu, apa kau kira aku masih anak kecil yang tak mengarti apa-apa?" demikian sahut sigadis secara aleman. "Dan siapakah orang-orang ini, Suhu, kenapa tak kau perkenalkan padaku?"

"Aku kira tak usah saja, lekasan kau kembali saja," kata Hwi Ching setelah berpikir. Nyata ia pikir Wan Ci adalah puteri seorang panglima dan tentunya tidak cocok tindak tanduknya dengan para pahlawan2 terpendam ini, maka tak perlu mereka berkenalan.

Sebaliknya Wan Ci ternyata lantas ngambek, mulutnya yang mungil menyengkit, lalu katanya pula dengan aleman: Suhu tak sukai murid sendiri dan terima lebih suka pada seorang Sutit yang disebut Kim-tiok-siuCay segala. Baiklah, Suhu, sekarang aku pergilah!" -- Habis

berkata, ia menjura sekali, lalu cemplak kudanya untuk pergi, ketika kudanya melalui samping Hwe Ceng Tong, tiba-tiba Wan Ci membungkuk merangkul dipundak Ceng Tong dan dengan bisik-bisik omong beberapa patah-kata padanya. Karena itu terlihat Ceng Tong tertawa ngikik sekali, lalu Wan Ci memecut kudanya terus kabur kebarat.

Kesemua itu telah disaksikan sendiri oleh Tan Keh Lok, ketika dilihatnya pemuda rupawan itu berhubungan begitu rapat dengan Ceng Tong, entah mengapa, dalam hatinya timbul semacam perasaan yang susah dilukiskan, karena itu ia hanya terkesima saja.

"Congthocu," tiba-tiba Thian Hong mendekatinya, "bukankah kita harus merundingkan cara bagaimana harus menolong Suko?"

Karena teguran itu, barulah Keh Lok terkejut, lekas-lekas ia tenangkan diri dan menyahut: "Ya, ya, benar. Sim Hi, lekasan kau gunakan kuda putihnya Bun-sunaynay pergi mengundang kembali Ciang-sipya."

Perintah itu diterima Sim Hi yang terus berangkat pergi.

Lalu Keh Lok membagi tugas pula: "We-kiuko, kau pergi kemulut selat bukit itu untuk bergabung dengan Cap-ji-long, coba selidiki pula sekitar sana dan laporkanlah kesini malam nanti."

Segera We Jun Hwa pun berangkat menunaikan tugas.

"Dan malam ini biarlah kita bermalam terbuka saja disini buat menunggu berita yang mereka bawa kembali, besok pagi2 kita meneruskan pengejaran lagi," kata Keh Lok akhirnya kepada semua orang.

Karena sehari penuh mereka bikin perjalanan, ditambah pertempuran hampir setengah hari, mereka menjadi sangat lelah dan lapar. Disebelah sana segera Bok Tok Lun memerintahkan beberapa orang Uigor memindahkan beberapa tenda dan dipasang ditepi jalan, dari tenda itu dibagi beberapa buah untuk perkemahan jago-jago Hong Hwa Hwe itu, kemudian mereka menghantarkan lagi daging2 sampi dan kambing yang sudah mereka masak.

Sehabis dahar, Tan Keh Lok menghadapkan Go Kok Tong pula untuk ditanyai. Tapi masih tiada habis-habisnya Go Kok Tong mencaci maki Thio Ciau Cong, ia bilang kereta itu selamanya dipakai Bun Thay Lay, belakangan mungkin Thio Ciau Cong mengetahui jejak musuh yang selalu menguntit dan bermaksud merampas kereta itu, maka disuruhnya menggantikan duduk didalam kereta sebagai jebakan. Lebih dari itu ia tak tahu.

Waktu Keh Lok mendatangkan Ci Cing Lun dan didesaknya pula agar mengaku, tapi masih tetap tanpa hasil sedikit pun.

Setelah tawanan2 itu digusur pergi lagi ketempat tahanan, kemudian Thian Hong, itu Khong Beng dari Hong Hwa Hwe, lantas berunding pada Keh Lok.

"Congthocu," katanya, "manusia she Ci itu bersinar mata mencurigakan, sikapnya pun kelihatan liCik, aku kira biar malam nanti kita men-coba2 padanya."

"Baik!" sahut Keh Lok, akur.

Habis itu dengan suara pelahan merekapun berunding rencana yang harus dijalankan.

Sampai hari sudah gelap, ternyata We Jun Hwa dan Ciok Siang Ing berdua tiada satupun yang kembali melapor, karuan semua orang menjadi kuatir.

"Besar kemungkinan mereka telah mendapatkan jejak-nya Suko, maka telah menguntit terus, ini malah suatu tanda baik," demikian pendapat si Khong Beng. Karena itu, para jago-jago itu sama mengangguk membenarkan. Setelah mengobrol tak lama lagi, kemudian merekapun tidur diatas tanah dalam perkemahan itu. Orang-orang dari Tin Wan Piaukiok dan hamba2 negeri yang tertawan itu telah diikat semua tangan-kaki mereka dan ditidurkan diluar kemah, setengah malam pertama dijaga Cio Su Kin, dan setengah malam kedua Thian

Hong yang dinas menjaga.

Setelah sang dewi malam sudah menggeser sampai di-tengah-tengah cakrawala, telah tiba waktunya Thian Hong yang berjaga, maka Khong Beng dari Hong Hwa Hwe ini telah keluar menggantikan Su Kin, ia sendiri setelah mengontrol sekeliling perkemahan mereka, lalu ia berduduk ditempatnya sambil membelebat tubuhnya dengan sehelai selimut.

Kebetulan sekali Ci Cing Lun merebah disamping Thian Hong, tadi ketika Thian Hong hendak berduduk, entah sengaja entah tidak, pahanya telah kena diinjak dan karena sakit, Cing Lun jadi tersadar. Selagi Cing Lun layap2 hendak terpulas pula, tiba-tiba didengarnya Thian Hong sudah mulai menggeros, tampaknya sudah tertidur nyenyak. Ia menjadi girang, ia coba geraki kedua tangannya, ternyata tali pengikatnya tidak begitu kencang, maka setelah dipentang dan meronta beberapa kali, akhirnya kedua tangannya sudah terlepas.

Dengan hati-hati ia berdiam sejenak, bahkan bernapas pun sementara ditahan, ketika suara gerosan Thing Hong ternyata makin keras, tidurnya bertambah nyenyak, pe-lahan2 Cing Lun membuka lagi tali pengikat kakinya, setelah darah anggota2 badannya itu sudah berjalan lancar, pelahan2 dan hati-hati sekali ia berdiri, lalu selangkah demi selangkah ia berjalan pergi secara ber-indap2.

Sampai dibelakang kemah, Cing Lun melepaskan tambatan seekor kuda, lalu dengan ber-jinjit2 ia jalan kejalan besar, ia pasang kuping, namun keadaan sekeling sunyi senyap, diam-diam ia bergirang, sebab kaburnya ini tiada orang yang mengetahui, dengan pelahan ia tuntun kudanya mendekati kereta besar yang pernah ditumpangi Go Kok Tong itu. Keadaan kereta itu sudah jungkir balik ditanah, keledai penariknya sudah dilepas orang.

Pada saat itu juga, dari salah satu kemah tiba-tiba melesat keluar suatu bayangan orang dan dengan diam-diam menguntit, ia bukan lain adalah si Li Kui wanita, Ciu Ki adanya.

Ciu Ki tidur sekemah bersama Ceng Tong dan Lou Ping, kedua orang yang belakangan ini karena masing-masing punya pikiran, maka gulang-guling masih tak bisa pulas. Ciu Ki yang tertidur lebih dulu telah mimpi seakan-akan dirinya terjeblos masuk suatu lobang jebakan dan dengan susah payah ada orang menariknya keatas, waktu ia tegasi, ternyata penolong itu adalah Ji Thian Hong, ia menjadi marah terus ribut mulut padanya, tapi karena ribut2 itu iapun tersadar dari impiannya.

Dan begitu ia mendusin, segera didengarnya diluar kemah ada suara berjalannya orang dan kuda, waktu ia mengintip, dilihatnya Ci Cing Lun yang lagi hendak kabur. Lekasan saja ia samber goloknya terus mengejar keluar kemah.

Setelah beberapa langkah ia mengudak dan pikirnya hendak berteriak, sekonyong-konyong dari belakang seseorang telah menubruk datang terus menekap kencang dua mulutnya yang sudah mulai terpentang itu.

Terkejut sekali Ciu Ki, kontan juga ia baliki goloknya terus membabat kebelakang, tapi orang itu sangat cepat, tahu-tahu pergelangan

tangannya sudah terpegang hingga senjatanya dapat ditahan kembali.

"Jangan bersuara, nona Ciu, aku adanya!" demikian seru orang itu dengan suara tertahan.

Mendengar itu adalah suaranya Thian Hong, goloknya tak jadi dipakai, tapi kepalan kiri sigadis masih dipukulkan juga hingga dengan tepat sekali mengenai dada kanan Thian Hong.

Karena pukulan itu, setengahnya memang sangat sakit, tapi setengahnya pura-pura juga, terus Thian Hong jatuhkan diri kebelakang. Karuan Ciu Ki berbalik kaget, lekas-lekas ia berjongkok dan menanya dengan suara pelahan : "He, gimana keadaanmu? Habis, siapa suruh kau tekap mulutku? Ada orang hendak kabur apa kau tak melihatnya?"

"Ja, ja, jangan bersuara, kita ikuti dia," sahut Thian Hong lirih.

Segera mereka merangkak2 dan pelahan2 menggeser maju. Sementara itu terlihat Ci Cing Lun lagi membongkar bantal dudukan kereta besar itu hingga terdengar suara gemelutak dua kali seperti suara papan yang dijugil, lalu dari bawah papan dikeluarkannya sebuah kotak kaju terus dimasukkan kedalam bajunya.

Tapi selagi Cing Lun hendak cemplak keatas kudanya, cepat sekali Thian Hong telah mendorong Ciu Ki sambil berteriak: "Lekas cegat dia!"

Gadis itupun sebat luar biasa, sekali enjot tubuh, segera orangnya melesat kedepan.

Mendengar suara orang, Cing Lun menjadi kaget, baru saja sebelah kakinya menginjak pelana kuda dan tubuhnya belum sempat cemplak keatas, sebelah kakinya yang lain ia gunakan lebih dulu untuk mendepak bebokong kuda-nya, karena kesakitan, binatang itu meringkik sekali terus membudal beberapa tombak kedepan.

Tentu saja Ciu Ki tak mau lepaskan, ia mengudak secepat angin, tatkala itu Cing Lun sudah baliki tubuhnya keatas punggung kudanya, melihat sigadis mengejar, tiba-tiba ia ayun tangannya sambil membentak: "Awas, piau!"

Karena itu Ciu Ki rada terganggu larinya karena harus ber-jaga2 bila senjata rasia musuh menyamber datang tak terduga bentakan Ci Cing Lun itu hanya gertak sambel saja, hakibatnya semua senjatanya pada waktu tertawan sudah dilucuti semua. Dan sebab Ciu Ki tertegun sejenak, maka Cing Lun telah larikan kudanya lebih jauh lagi. Karuan Ciu Ki menjadi gugup karena terang tak mampu memburu lagi dan

musuh segera akan lolos. Begitu pula saking senang rupanya, Ci Cing Lun telah ketawa ter-bahak2. Siapa duga, belum lenyap suara tertawanya, tahu-tahu Ci Cing Lun terjungkir jatuh dari kudanya.

Terkejut tercampur girang Ciu Ki melihat kejadian itu, cepat-cepat ia memburu maju terus menginjakkan sebelah kakinya digigir Ci Cing Lun, dengan ujung goloknya ia tatapi punggungnya.

Sementara itu Thian Hong pun sudah menyusul tiba. "Coba kau periksalah apa isinya kotak didalam bajunya itu," demikian katanya pada sigadis.

Segera Ciu Ki merogoh keluar kotak kaju itu dari baju orang, waktu ia buka, ternyata isinya penuh bertumpuk ber-lapis2 kulit domba seperti dijilid menjadi suatu kitab, ia balikdua halaman kulit domba itu dibawah sinar bulan yang cukup terang, ternyata tulisan didalamnya sangat aneh, sehurufpun tak dikenalnya.

"Lagi-lagi tulisan aneh2 dari Hong Hwa Hwe kalian, aku tak mengarti, nih, lihat sendiri," demikian kata Ciu Ki kemudian sembari melemparkan kitab itu ke-arah Thian Hong.

Waktu Thian Hong menyanggapi dan sesudah diperiksa, segera ia berkata dengan girang: "Wah, nona Ciu, sekali ini jasamu sungguh tidak kecil, kitab ini besar mungkin adalah Alqur'an milik orang-orang Uigor itu, lekas kita pergi mencari Congthocu."

Tapi baru mereka membalik tubuh, tahu-tahu Tan Keh Lok sudah kelihatan mendatangi.

"He, Tan-toako, kenapa kaupun sudah datang?" tegur sigadis heran. "Lihatlah kau, lekas, kitab apakah ini?"

Segera juga Thian Hong angsurkan kotak kayu, setelah Keh Lok memeriksanya, katanya kemudian: "Ini sembilan bagian adalah kitab Alqur'an itu. Beruntung kau berhasil mencegat larinya musuh, sungguh kami berpuluh orang laki2 tak bisa menempili kau sedikitpun."

Mendengar Thian Hong dan ketua Hong Hwa Hwe itu sama-sama memuji, besarlah hati Ciu Ki. Ingin ia menjawab dengan kata-kata merendah, tapi tak tahu bagaimana mesti mengucapkannya. Tak berselang berapa lama, bertanyalah ia pada Thian Hong: "Sakit tidak tadi itu?" -- Ia maksudkan pukulannya tadi.

"Nona benar2 kuat!" sahut Thian Hong dengan tertawa.

"Salahmu sendiri," kata Ciu Ki. Habis itu dia angkat kakinya dan suruh Ceng Lun bangun, tapi piauwsu ini ternyata tak berani berkutik. Karena mendongkol, Ciu Ki mendupaknya lagi, namun dia tetap tak mau bergerak.

Dengan tersenyum Tan Keh Lok membungkuk dan pijit2 paha orang seraya memerintahkannya bangun. Baru setelah itu sipiauwsu tersebut bisa merangkak berdiri. Kini baru mengertilah Ciu Ki, lalu dipungutnya sebuah biji Catur dan dengan merengut diserahkan pada Tan Keh Lok.

"Ini biji Caturmu. Memang siapa yang tak tahu kelihaianmu menimpuk jalan darah dengan biji Catur. Hem, mentang2 bisa mengelabui orang saja. Memang orang-orang Hong Hwa Hwe itu bukan orang baik-baik ," demikian ia mengomel.

Buru-buru Tan Keh Lok menjelaskan bahwa yang berjasa tetap sinona yang telah dapat merintangi sipiauwsu.

"Kalau dia tak gugup karena kau kejar, tentu dia bisa menghindari timpukanku," ujar ketua Hong Hwa Hwe itu.

Dasar aleman, Ciu Ki puas hatinya. Dalam pada itu ia minta Thian Hong peristiwa pemukulannya tadi jangan diberitahukan pada ayahnya.

"Apa halangannya kalau dikasih tahu?" kata sipemuda.

"Awas, kalau berani begitu, selamanya aku tak bicara lagi padamu!" ancam sigadis.

Thian Hong hanya meringis. Begitulah Ceng Lun segera digusur untuk diserahkan pada Bok To Lun. Kepala orang Wi ini menjadi sangat kegirangan, karena kitab suci mereka telah dapat diketemukan kembali. Seluruh orang-orang Wi itu sama berlutut untuk menghaturkan terima kasih pada Tan Keh Lok.

"Yang berjasa mendapatkan kembali kitab itu, adalah nona Ciu Ki. Kita tak berani terima penghargaan yang begitu besar dari lotiang. Karenanya harap loenghiong suka ajak kembali putera dan puterimu, maaf, kami tak berani menerima pernyataan bantuan loenghiong itu."

Ucapan ini telah membikin kaget Bok To Lun dan kedua anaknya. Karena maksudnya yang baik mengapa telah diterima salah oleh ketua Hong Hwa Hwe itu. Berulang2 Bok To Lun mendesaknya, tetapi Tan Keh Lok tetap menolaknya. Melihat itu Ceng Tong memberi isyarat pada ayahnya, tak usah mendesaknya lagi karena orang itu tetap tak mau.

Ketika kembali kedalam rombongannya, Thian Hong memberitahukan pada Ciu Tiong Ing, bahwa kali ini Ciu Ki sangat berjasa dapat merampas kembali kitab Qur'an. Tiong Ing girang hatinya dan memandang pada puterinya dengan penuh kebanggaan. Tetapi tiba-tiba Thian Hong menjerit kesakitan.

"Ada apa laote?" tanya Tiong Ing.

"Anu, tadi aku telah dipukul orang," sahut sipemuda.

"Siapa yang memukul dan bagaimana, apa terluka?" tanya Tiong Ing pula kuatir.

"Tidak luka, tapi cukup sakit juga. Siapa lagi kalau bukan perbuatan telur busuk itu. Dia memang kejam sekali tangannya," sahut Thian Hong lagi.

Tiong Ing dan lain-lain kawannya mengira bahwa si "telur busuk" itu, tentu Ceng Lun. Maka Seng Hiap segera menghampiri terus mencekek leher baju sipiauwsu, bentaknya: "Jadi kau masih berani memukul orang?"

"Au...... Oh, bukan akulah!" teriak piauwsu itu.

Buru-buru Thian Hong mencegahnya: "Pat-te, sudahlah, orang yang berbuat tentunya merasa sendiri."

Dengan gemas, Ciu Ki melirik pada Thian Hong, katanya dalam hati: "Hm, sikate kembali ber-belit2 untuk memaki aku."

Begitulah keesokan hari, rombongan orang Wi telah minta diri pada orang-orang Hong Hwa Hwe untuk pulang ketempatnya. Perpisahan itu dirasakan berat oleh kedua fihak. Malah dengan memimpin tangan Ceng Tong, Ciu Ki menghampiri Tan Keh Lok seraja berkata: "Nona itu orangnya Cantik dan bugenya lihai. Ia mau membantu, mengapa kau tampik?"

Tan Keh Lok tak dapat menjawab apa-apa.

"Tan kongcu tak mau kita orang sampai dapat bahaya. Dia memang bermaksud baik. Apalagi kita memang sudah rindu dengan ibu dan adik dirumah dan ingin selekasnya pulang. CiCi Ciu, sampai berjumpa lagi!" kata Ceng Tong sembari melambaikan tangan dan terus pergi.

"Tuh, karena kau menampik, maka ia sampai mengucurkan air mata. Kau memang suka pandang sebelah mata pada lain orang. Kau bikin sakit hatinya." kata Ciu Ki.

Tan Keh Lok terlongong-longong tak dapat menyahut. Hanya matanya tetap tak terkesiap memandang bayangan sinona gagah itu.

Setelah agak jauh, tiba-tiba Ceng Tong memutar kudanya kembali. Dan ketika nampak Tan Keh Lok masih terlongong-longong mengawasinya, sembari menggigit bibir Ceng Tong melambaikan tangannya.

Melihat itu, seperti terbanglah semangat Tan Keh Lok. Tanpa disadarinya, dia maju menghampiri. Ceng Tongpun Buru-buru loncat turun dari kudanya. Dan untuk sesaat itu mereka saling berhadapan muka dengan pandangan yang berarti. Kedua-duanya tak dapat mengucap apa-apa.

"Kongcu telah menolong jiwaku, pun kitab suci itu adalah kongcu yang bantu mendapatkannya kembali. Maka sekalipun bagaimana kongcu memperlakukan diriku, aku tetap tak sakit hati," kata Ceng Tong akhirnya. Sembari berkata begitu ia loloskan sebatang pedang pendek dari pinggangnya dan katanya lagi: "Pedang ini adalah pemberian suhuku. Menurut kata beliau, dalam pedang ini tersimpan sebuah rahasia yang besar. Beratus tahun pedang ini pindah dari satu kelain tangan, tetapi tak ada orang yang dapat memecahkan rahasia itu. Kita berpisah, entah kapan bertemu lagi. Pedang ini kuharap kongcu suka menerimanya. Kongcu adalah seorang budiman, mungkin dapat memecahkan rahasia itu."

"Pedang ini adalah sebuah pusaka, sebenarnya aku tak berani menerimanya. Namun untuk menghormat kehendak nona, terpaksalah kuterima dengan rendah hati," kata Tan Keh Lok.

Nampak Tan Keh Lok berkata dengan suara sember dan wajah yang sayu, setelah merenung sejenak, berkatalah Ceng Tong pula: "Aku tahu mengapa kau tak ijinkan aku ikut bantu menolong Bun suya. Bukanlah karena kemaren kau melihat aku bercakap2 dengan seorang pemuda begitu asyiknya, maka kini kau meremehkan diriku begitu rupa? Anak muda itu adalah murid dari Liok Hwi Ching locianpwe, kau tanya saja pada Liok locianpwe siapa dan bagaimana anak muda itu orangnya. Sampai disitu coba kau renungkan apakah aku ini betul-betul seorang gadis yang tak tahu harga diri!"

Habis berkata begitu, Ceng Tong keprak kudanya untuk menyusul rombongannya. Baru setelah bayangan sinona lenyap kedalam rombongan orang-orang Wi, tersedarlah Tan Keh Lok dari kesimanya. Diapun buru-buru berlalu, maksudnya akan menanyakan keterangan sinona itu pada Liok Hwi Ching. Tapi pada saat itu, tiba-tiba dilihatnya ada, seorang penunggang kuda mendatangi.

"Siaoya, Ciang-sipya sudah datang. Dia membawa seorang tawanan!" demikian teriak orang itu yang ternyata Sim Hi adanya.

"Menawan siapa?" tanya Tan Keh Lok.

"Sesampai dikuil itu, kulihat Ciang-sipya sedang cecok ramai dengan seorang.

Begitu melihat aku berkuda putih, orang itu katakan akulah sipencuri kudanya dan terus membacok. Kami berdua lalu mengeroyoknya. Orang itu sebenarnya lihai sekali, tapi aku menggunakan sedikit tipu dan akhirnya kami dapat merobohkannya."

"Tipu apa yang kau lakukan?" tanya Keh Lok.

"Aku tawur matanya dengan pasir, hingga sipya mudah membekuknya!" sahut Sim Hi.

Tan Keh Lok menanyakan nama orang tangkapan itu, tapi Ciang Bongkok keburu sudah datang sembari menurunkan seseorang dari kudanya. Kaki dan tangannya diikat dengan tambang. Kiranya orang itu ialah Han Bun Tiong, orang yang kudanya dicuri oleh Lou Ping tempo hari itu.

Tan Keh Lok buru-buru perintahkan Sim Hi lepaskan ikatannya, dan meminta maaf kepada orang she Han itu, kemudian dipersilahkan untuk mengasoh kedalam tendanya. Belum berapa lama duduk disitu, tampaklah Lou Ping masuk.

Dan sekonyong-konyong berbangkit orang she Han itu, terus memaki kalang kabut: "Kaulah perempuan bangsat yang curi kudaku, terang bahwa kau orang disini ini memang komplotan jahat!"

"Kau Han Bun Tiong toaya bukan? Nah, kita saling tukar kuda dan aku menambahi uang, jadi berarti kau sudah untung, mengapa marah-marah lagi?" enak saja Lou Ping menyahutnya.

Atas pertanyaan Tan Keh Lok, Lou Ping lalu Ceritakan tentang halnya tukar menukar kuda putih itu dulu. Sekalian orang-orang sama geli mendengarnya. Maka berkatalah Keh Lok kemudian: "Sudahlah, harap suso kembalikan kuda itu pada Han-ya, dan Han-ya tak perlu mengembalikan uang itu. Bagaimana luka dipaha Han-ya? Ayo, Sim Hi, lekas kau ambilkan obat untuk Han-ya itu!"

Bun Tiong berkurang amarahnya dan akan menyatakan terima kasihnya, tapi tiba-tiba Lou Ping menyelak: "Congthocu, aku tak setuju! Dia itu siapa kau tahu? Dia adalah orang dari Tin Wan piauwkiok!"

"Masa Ya ?" tanya Tan Keh Lok dengan terkejut.

Lou Ping segera serahkan surat Ong Hwi Yang, pemilik Tin Wan Piauwkiok, kepada sang Congthocu. Sebaliknya dari yang diharap, Tan Keh Lok hanya cukup sekali membuka, lalu melihatnya lagi dan diserahkan pada Bun Tiong, kita tak ada sangkut pautnya dengan Hong Hwa Hwe"

Mendengar itu, melengaklah sekalian orang. Dengan berbangkit dan tegak berdiri, Liok Hwi Ching menuturkan apa yang telah terjadi ketika itu. Sebagai reaksi, berisiklah suasana dalam tenda, itu dengan kutuk makian dari orang-orang Hong Hwa Hwe kepada alamat Ciao Bun Ki. Hanya Han Bun Tiong yang sebentar2 berobah wajahnya, serta tak dapat mengucap apa-apa.

Sementara itu Liok Hwi Ching melanjutkan lagi: "Dan kalau Han-ya berkeras akan membalas sakit hati suhengmu, sekarangpun aku bersedia untuk menemani. Sekali lagi kutandaskan, bahwa soal ini tidak ada sangkutan apa-apa dengan Hong Hwa Hwe jika orang-orang Hong Hwa Hwe nanti sampai ada yang membantu, itu berarti menghina padaku."

Habis berkata begitu, Hwi Ching berpaling kearah Lou Ping, untuk minta senjata Han Bun Tiong. Begitu thiat-pi-peh Bun Tiong diterima oleh jago tua itu, maka ber-katalah dia: "Ketika Han Ngo Nio menciptakan ilmu Thiat-pi-peh, namanya sangat semerbak dikalangan Persilatan. Dia dianggap sebagai seorang pendekar wanita. Tetapi kini, haa"

Sembari mengelah napas, Hwi Ching kerahkan lwekang kearah tangannya. Sekali badan pi-peh itu dipijitnya, seketika itu juga berobah menjadi sebuah papan besi yang gepeng.

"Kita kaum persilatan, kalau tak mengabdi kepada tanah air atau sekurang-kurangnyanya melakukan perbuatan yang mulia, bukankah sia-sia saja segala ilmu kepandaiannya itu?" kata Hwi Ching pula ber-api2. "Kalau kesemuanya tak dapat dilakukan, nah lebih baik sembunyikan diri menjadi rakjat yang baik. Hm, aku paling benci pada kawanan kuku garuda, kaki tangan piauwkiok yang mengantar barang-barang haram pada pembesar2 rakus. Bila orang yang bermodal ilmu silat terima menjadi budak dari kawanan pembesar yang

menindas rakyat, kalau ketemu aku, hem, sekalipun aku, Liok Hwi Ching, usiaku sudah mendekati lubang kubur, tapi aku akan gunakan hari2 sisa hidupku itu, untuk membasmi mereka!"

Hwi Ching tampaknya sangat angker sekali. Darah mudanya kembali mengalir memenuhi semangatnya. Dan dalam dia ber-kata-kata itu, tangannya tetap "mengerjai" thiat-pi-peh itu. Maka begitu ucapannya habis, thiat-pi-peh itu sudah menjadi semacam thiat-hoan, gelangan besi.

Ucapan jago tua itu, telah merasuk kedalam sanubari Bun Tiong. Selama ini, belum pernah dia bertemu dengan lawan yang dapat menandingi bugenya. Tapi sekali ini saja, dia telah mendapat hajaran ber-turut2. Dari Lou Ping Ciang Bongkok, Sim Hi dan kini dengan mata kepala sendiri dia saksikan bagaimana Hwi Ching telah memijit-mijit gepeng senjatanya yang sangat diandalkan itu, seperti orang yang memencet tanah liat (lempung) saja. Sampai saat itu, barulah dia betul-betul merasa tunduk dan jerih. Sebaliknya Ciang Su Kin, terkilik hatinya. Dia sambuti thiat-hoan itu, lalu di pijit2 dan ditariknya hingga menjadi sebatang tongkat. Sebelah ujungnya disodorkan kehadapan Seng Hiap.

"Eh, kau mau adu kekuatan dengan aku?" tanya Seng Hiap.

Begitu Su Kin mengangguk, Seng Hiap terus pegang tongkat itu dan mulailah keduanya saling tarik2an. Ternyata keduanya sama unggulnya, dan yang nyata, tongkat itu makin lama makin panjang . Orang-orang yang menyaksikan sama kagum.

"Ah, sudahlah. Koko berdua sama kuatnya. Mari berikan pi-peh itu padaku!" kata Tan Keh Lok, melerai kedua orang tersebut.

Ciu Ki dan Lou Ki merasa geli dan tertawa, ketika ketua itu masih menyebut tongkat itu, dengan "pi-peh."

"Totiang, Ciu locianpwe, Siang ngo-ko, kauorang bertiga harap berada disebelah sini," kata Tan Keh Lok setelah menerima tongkat. "Dan kau Tio samko, Siang liok-ko bersama aku disisih sana. Mari kita orang ber-main-main."

Ciu Tiong Ing dengan tertawa menurut. Jadi kedua ujung tongkat itu kini dipegangi masing-masing oleh tiga-orang.

"Mereka berdua telah menarik besi sampai panjang, kini kita bikin pendek lagi seperti semula," kata Keh Lok pula.

"Nah, satu, dua, tiga!"

Begitu mendorong, maka besi itu menjadi pendek lagi. Orang-orang yang melihatnya ramai ber-sorak2.

"Sudahlah, cukup. Inilah yang dikatakan diatas langit masih ada langit. Aku, Han Bun Tiong, kalau hari ini masih hidup besok aku akan pulang kekandang- untuk bertani saja," demikian Han Bun Tiong sambil menghela napas. Setelah diperintahkan sang ketua, berhentilah kelima orang itu yang sedang "dolanan" itu. "Kita telah merusak senjata sdr. Han, harap sdr. maaf kan," kata Tan Keh Lok.

Karena sedang mengucurkan keringat, Bun Tiong tak dapat menyahut apa-apa maka berkatalah ketua Hong Hwa Hwe itu pula: "Aku yang rendah ini akan omong beberapa patah padamu entah sdr. suka mendengarkan entah tidak?"

Setelah Bun Tiong mengiakan, berkatalah pula Tan Keh Lok: "Sedari dulu, orang yang penasaran itu mudah diberi mengerti, tapi sukar diajak damai. Suheng Han-ya itu memang cari kematiannya sendiri. Jadi Liok Cianpwe itu tak bersalah. Dengan memandang mukaku harap Han-ya tak mengganjel pada Liok locianpwe dan selanjutnya menjadi sahabat saja."

"Jadi jiwa suhengku itu dikorbankan begitu saja?" seru Bun Tiong dengan geramnya.

"Sebenarnya tugas Ciao sam-yaitu adalah untuk mencari aku. Maka aku akan menulis surat mengabari saudaraku dirumah. Harap Han-ya katakan saja bahwa Ciao samya telah berhasil menemui aku. Tetapi sepulangnya, ditengah jalan Ciao samya telah dibunuh orang. Dari agar samya tetap terima hadiah yang sudah dijanjikan itu."

Bun Tiong berdiam diri, agaknya tak puas dia. "Namun Han-ya berkeras untuk menuntut balas, baiklah aku yang akan mengawani Han-ya

bermain beberapa jurus ilmu thiat pi-peh," kata Keh Lok. Dan sekali tangannya di ayun, tahu-tahu 'pi-peh' yang dipegangnya tadi masuk menancap kedalam tanah.

"Orang she Han itu insaf kalau dia sekali2 takkan lolos dari orang-orang Hong Hwa Hwe yang rata-rata bugenya tinggi-tinggi itu. Maka katanya: "Kalau begitu, silahkan kongcu mengatakannya."

"Nah, beginilah baru bisa disebut ksatria sejati," ujar Keh Lok. Lalu ia suruh Sim Hi mengambilkan alat2 tulis dan sekejap saja sepucuk surat telah diselesaikannya terus diserahkan pada Han Bun Tiong.

"Sebenarnya Ong-Congpiauthay suruh aku membantunya menghantar suatu barang kawalannya ke Pakkhia, dari Pak khia kemudian akan mengawal pula barang2 mestika berharga hadiah kerajaan kekediaman kongcu di Kanglam," demikian kata Bun Tiong. "Tapi hari ini setelah saksikan kepandaian sakti kalian, ha, sedikit kepandaianku ini benar2 main kayu dirumah tukang mebel. Untuk mana, harta mestika yang akan dihantar kekediaman kongcu itu, siapa lagi yang berani mengincarnya sekejap? Maka sekarang juga biarlah aku mohon

diri."

Mendengar ini Keh Lok menjadi ketarik. "O, apakah Han-ya sedianya akan mengawal barang kerumahku?" tanya-nya segera.

"Menurut keterangan Piauwkiok yang disampaikan padaku," demikian Bun Tiong menutur, ",katanya Hongsiang telah hadiahi banyak-banyak sekali benda2 mestika kerumah kongcu dan piauwkiok kami yang disuruh mengawalnya kekanglam. Tapi hari ini aku terjungkal disini, mana aku ada muka lagi mencari sesuap nasi dikalangan bu-lim, biarlah sesudah keluarga Ciao-suheng sudah kubereskan, segera aku pulang kekampung untuk bertani dan tak berkecimpung didunia kangouw lagi."

"Han-ya suka dengar nasehat dari Liok locianpwe itulah baik sekali. Ayo, Siem Hi, kau undang keluar beberapa kawan itu untuk bertemu dengan Han-ya," kata Keh Lok.

Segera Sim Hi membawa masuk Ci Ceng Lun dan beberapa orang dari Tin Wan piauwkiok yang mereka tawan itu. Dan begitu berhadapan dengan Bun Tiong, mereka sama pandang memandang.

"Dengan memandang muka Han-ya, harap Han-ya sekalian ajak mereka pergi. Cuma saja, apabila kelak mereka masih melakukan hal2 yang tidak baik, harap Han-ya maafkan kalau kami tak berlaku sungkan lagi," kata Keh Lok akhirnya.

Bun Tiong hanya dapat menghaturkan terima kasih saja, tanpa berkata lain-lainnya. Tan Keh Lok minta mereka tinggal lagi sehari disitu, sedang dia segera ajak rombongannya berangkat.

Di tengah perjalanan, Hwi Ching pikir mungkin sekali orang-orang piauwkiok itu akan mengadakan pembalasan terhadap rombongannya muridnya, Li Wan Ci.

Untuk menjaga kemungkinan itu, ia katakan pada Keh Lok bahwa ia akan berjalan dibelakang saja.

Demikianlah Hwi Ching segera putar kudanya untuk kembali kearah barat. Sedang Tan Keh Lok rupanya tak sempat menanyakan tentang diri dari murid Hwi Ching, seperti yang dikatakan oleh Ceng Tong itu, maka ia sangat masgul.

Kembali bercerita tentang Ie Hi Tong. Pemuda ini diperintahkan menyelidiki jejak rombongannya Bun Thay Lay, sepanjang jalan ia menyelidiki secara diam-diam, tapi sedikit pun tak diperoleh tanda-tanda, sampai akhirnya, tibalah ia dikota KengCiu yang terhitung suatu kota besar yang ramai subur dipropinsi Kamsiok. Setelah mendapatkan hotel, Hi Tong melancong kebagian kota lain dan masuk

kesuatu kedai arak untuk minum sendirian, saking sepinya, ia menjadi sesalkan naslbnya sendiri, teringat olehnya suara dan wajah Lou Ping yang menggiurkan, pikirannya menjadi bergolak. Perasaan rindunya ini sudahlah terang tiada harapan dan sekali2 tidak patut memikirkannya lagi, namun aneh, entah mengapa selalu tak bisa dilupakannya.

Ketika dilihatnya didinding rumah minum itu penuh corat-coret orang-orang yang pernah berkunjung kesini, tiba-tiba kesukaannya bersjair pun timbul, ia suruh pelayan menyediakan alat2 tulis, ia menuliskan sebuah sajak diatas dinding itu sebagai pelepas masgulnya.

Setelah beberapa cawan arak mengalir pula kedalam perutnya, rasa keselnya menjadi ber-tambah2, ber-ulang2 iapun bersanjak lagi selaku seorang SiuCay, dan sesudah puas, selagi ia hendak membayar buat pergi, tiba-tiba didengarnya suara tangga loteng berdetak dan dua orang telah naik keatas.

Mata Hi Tong cukup tajam, sekilas saja dapat dikenali orang yang berada didepan itu seperti pernah dilihatnya entah dimana, maka lekas-lekas ia melengos kejurusan lain, baru saja berpaling, segera juga teringat olehnya bahwa orang itu adalah petugas negeri yang pernah saling gebrak di Thiat-tan-Chung tempo hari. Beruntung orang itu lagi asyik mengobrol dengan kawannya hingga Hi Tong tak

dilihatnya.

Sesudah berada diatas loteng, kedua orang itu memandang sekeliling ruangan dulu, lalu memilih suatu tempat yang berdekatan dengan jendela, dan tepat berdampingan dengan mejanya Hi Tong.

SiuCay berseruling emas itu cukup cerdik, ia mendekap diatas meja pura-pura mabuk, waktu pelayan menegurnya iapun pura-pura tak sadar dan tak menyawabnya.

Kedua orang itu mula2 pasang omong sedikit hal2 yang tak penting, kemudian seorang telah berkata: "Swi-toako, kali ini kalian berhasil menawan buronan penting, sungguh jasa kalian tidak kecil, entah nanti hadiah apa yang Hong-siang (baginda) akan berikan padamu."

"Ah, hadiah apa saja aku tak pikir lagi, yang kuharap asal tawanan itu bisa dihantar sampai HangCiu dengan selamat," demikian orang she Swi itu menjawab. "Pikir saja, kami berdelapan jago pengawal tinggalkan kotaraja, tapi kini hanya ketinggalan aku seorang diri yang kembali, pertarungan disana tempo hari, sungguh, bukan aku sengaja membesarkan orang dan menurunkan pamor sendiri, tapi kalau aku ingat apa yang terjadi itu benar2 masih ngeri dan mengkirik!"

"Tapi sekarang kalian berada bersama Thio-taijin, tentu takkan terjadi apa-apa lagi," ujar orang yang duluan.

"Ya, benar juga, tapi karena itu pula, jasa ini telah jatuh ditangan orang-orang Gi-lim-kun (pasukan kotaraja), dan kita jago-jago pengawal yang telah kehilangan muka," demikian sahut orang she Swi. "Eh, Lau Cu, tawanan ini kenapa tak digiring ke Pakkhia, tapi digusur ke HangCiu untuk apakah?"

"Hal ini kebetulan aku tahu," sahut orang she Cu itu bisik-bisik. "EnCi-ku ada didalam istananya menteri Lauw, hal ini kau sudah tahu bukan? Dari kabar yang dia kirim padaku, katanya Hongsiang segera, akan berangkat ke Kanglam (daerah selatan). Kini tawanan itu dikirim ke HangCu, mungkin Hongsiang sendirilah yang akan memeriksanya nanti."

"O, jika begitu, kalian berenam ter-gesa2 datang dari ibukota, apakah perlunya untuk menyampaikan titah?" tanya orang she Swi itu sambil meneguk araknya.

"Ya, dan sekalian membantu kalian," sahut siorang she Cu. "Pengaruh Hong Hwa Hwe didaerah Kanglam terlalu besar, tak boleh tidak kita harus berlaku waspada."

Mendengar sampai disini, diam-diam Hi Tong bersyukur. Sungguh kalau bukan kebetulan dapat didengarnya, maka bila Bun-suko oleh mereka diam-diam digiring kedaerah Kanglam, bukankah para kawan akan kecele karena semuanya menuju ke Pakkhia, dan hal itu bukankah menjadi runyam malah. Dalam pada itu didengarnya jago pengawal she Cu tadi telah berkata pula: "Swi-toako, sebenarnya dosa apakah buronan itu hingga Hongsiang sendiri yang akan memeriksanya?"

"Itu. akupun tidak tahu," sahut siorang she Swi. "Tapi menurut perintah atasan, bila sampai tak berhasil menawannya, sekembali kami kekotaraja pasti akan dihukum pecat, bahkan buah kepala dapat dipertahankan tidak masih susah diduga. Ha, apa kau kira mencari sesuap nasi sebagai Si-wi (jago pengawal keraton) itu mudah diperoleh?"

"Tapi yang sudah terang Swi-toako telah berdirikan pahala, biarlah aku memberi selamat tiga cawan arak dahulu," ujar siorang she Cu dengan tertawa.

Habis itu kedua orang itu saling suguh-menyuguh dengan riangnya. Obrol punya obrol, sampai akhirnya cerita mereka pun beralih mengenai soal perempuan, katanya wanita utara lebih cantik dan yang lain bilang gadis diselatan lebih manis.

Sesudah kenyang dan setengah mabuk, kemudian orang she Swi itu menyelesaikan rekening untuk pergi, sebelum melangkah pergi, ketika melihat Ie Hi Tong mendekap diatas meja, maka dengan tertawa ia telah meng-olok2: "Ha, orang sekolahan apa gunanya, baru tiga cawan masuk perut sudah sekarat seperti babi mampus!"

Hi Tong tak menggubris, ia tetap pura-pura mabuk, ia tunggu sesudah orang pergi, lekas-lekas iapun letakkan sepotong uang perak diatas meja terus ikut turun dari loteng kedai arak itu, dari jauh ia kintil kedua orang tadi, ia lihat mereka terus masuk kekeresidenan KengCiu, untuk selanjutnya tak kelihatan keluar lagi.

Hi Tong menduga tentu mereka berdiam digedung pembesar itu, ia kembali kekamar hotelnya, ia mengaso untuk kumpulkan tenaga. Setelah tengah malam, ia tukar pakaian peranti jalan malam, seruling emasnya pun tak ketinggalan, lalu diam-diam ia melintasi jendela terus menuju kerumah pembesar itu.

Sesudah sampai dibelakang keresidenan, ia melompati pagar tembok, sekitarnya gelap gelita, hanya dari jendela diruangan sebelah timur tertampak ada cahaja pelita. Dengan ber-jinjit2 ia mendekatinya, waktu ia mendengarkan, ternyata ada suara orang berbicara didalam. Pelahan2 ia basahi kertas yang menutupi jendela (karena hawa dingin, dimusim dingin di Tiongkok umumnya menempelkan kertas sebangsa kertas layangan diruji jendela untuk menolak hawa dingin -- Gan KL.) hingga berwujut suatu lobang kecil.

Apabila ia Coba mengintip, maka ia menjadi terkejut. Ternyata didalam ruangan itu penuh berduduk orang-orang, Thio Ciau Cong duduk di-tengah-tengah dan dikedua sisinya adalah kawanan Si-wi dan opas2 setempat, satu orang yang berdiri dengan mungkur lagi mendamperat habis-habisan, menilik suara nya, terang ialah Bun Thay Lay.

Hi Tong cukup kenal bahaya karena yang berada didalam itu adalah tokoh2 Kangouw semua, maka tak berani ia mengintip lebih lama, ia mendekam kebawah untuk mendengarkan dengan cermat. Ia dengar Bun Thay Lay sedang mendamperat: "Hm, kalian sebangsa budak2  yang terima menjadi anjing alap2 bangsa asing ini, meski Bun-toaya hari ini jatuh ditanganmu, namun pasti ada orang yang bakal balaskan sakit hatiku, kelak biarlah dilihat manusia-manusia berhati binatang seperti kalian ini bagaimana akhirnya!"

Kemudian terdengar seorang buka suara dengan berat dan dingin, katanya: "Bagus caci makimu! Kau adalah Pan-lui-Chiu (tangan geledek), telapak tanganku sudah tentu tak selihai kau, tapi hari ini biar kau mengicipi juga rasanya tanganku!"

Mendengar lagu perkataan orang, diam-diam Hi Tong berkuatir, pikirnya: "Suko mungkin akan dihina orang. Ia adalah orang yang paling dihormat dan dicintai Suso, mana boleh ia dihinakan segala manusia rendah?"

Karena itu, lekas-lekas ia mengintip lagi melalui lobang tadi, ia lihat seorang laki2 yang bertubuh kurus jangkung dan mengenakan baju hijau panjang telah angkat telapak tangannya dan mendekati Bun Thay Lay.

Kedua tangan Thay Lay diringkus, dengan sendirinya tak bisa berkutik, saking murkanya hanya giginya yang keretak-keretuk tergigit.

Dan selagi orang itu angkat tangannya hendak dihantamkan, tanpa ayal lagi Hi Tong masukkan seruling emasnya kelobang tadi terus ditiup, segera sebuah anak panah secepat terbang menyamber kedepan dan dengan tepat menancap dimata kiri orang itu.

Kiranya orang itu bukan lain ialah Ciangbunyin (ketua) dari Gian-keh-khn di SinCiu, Gian Pek Kian adanya.

Karena lobang mata kirinya terkena panah, saking sakitnya hingga Gian Pek Kian berguling-guling dilantai. Sementara itu seluruh ruangan menjadi kacau, kembali sebuah panah Hi Tong menancap pula dipipi kanan seorang Si-wi, menyusul mana kaki Hi Tong melayang, pintu ruangan itu didepaknya terpentang dan orangnya terus menyerbu kedalam.

"Kawanan cakar-alap2 jangan mentang2, nih, datanglah jago Hong Hwa Hwe buat menolong kawan!" demikian Hi Tong membarengi membentak dan kontan serulingnya sudah tutuk roboh seorang opas yang berdiri disamping Bun Thay Lay. Secepat kilat pula SiuCay berseruling emas itu lorot belatinya yang terselit dipinggangnya, ia tabas putus semua tali pengikat saudara angkat itu.

Dalam keadaan kacau balau itu, Thio Ciau Cong sudah banyak berpengalaman, ia tidak menjadi gugup, iapun tak urus Bun Thay Lay dan Ie Hi Tong, tapi dengan pedang terhunus ia berdiri diambang pintu ruangan itu untuk menahan larinya tawanan sekalian menahan musuh dari luar bila ada.

Jilid 10

DALAM pada itu karena sudah terlepas tali pengikatnya, semangat Bun Thay Lay menjadi terbangkit, saat itu seorang jago pengawal keraton lagi menubruk kearahnya, sedikit Thay Lay mengegos, berbareng tangan kirinya membalik menggablok keiga kanan orang, maka terdengarlah suara "kraak," dua tulang iga orang itu telah patah dihantam.

Melihat betapa lihainya Bun Thay Lay, para jago-jago pengawal yang lain menjadi jeri tak berani maju.

"Suko, lekas kita terjang keluar!" seru Hi Tong.

"Apakah para saudara sudah datang semua?" tanya Thay Lay.

"Belum, hanya Siaote seorang diri," sahut Hi Tong.

Thay Lay tak berkata lagi, ia hanya mengangguk. Luka dilengan kanan dari pahanya ternyata masih parah dan gerak-geriknya belum leluasa, terpaksa dengan bersandaran Hi Tong mereka berjalan menuju kepintu ruangan itu. Ketika 4-5 jago pengawal Coba merangsak maju, namun kesemuanya dapat ditahan oleh seruling emas Hi Tong. Setelah dekat pintu keluar, namun Ciau Cong sudah memapak maju. "Tinggal saja disini!" bentaknya segera sambil pedangnya terus menusuk keperutnya Bun Thay Lay.

Karena gerak-geriknya masih kaku, Thay Lay tak sempat menghindari, terpaksa iapun membarengi menyerang, dengan kedua jari tangan kiri, secepat kilat ia tutuk kedua mata musuh dengan tipu "ji-liong-jio-Cu" atau dua naga berebut mestika.

Karena itu, terpaksa Ciau Cong menarik kembali senjatanya untuk menangkis, dan mau-tak-mau iapun memuji, "Bagus!"

Begitulah, kedua orang itu sama cepat dan sama tangkasnya hingga sekejap saja mereka sudah saling gebrak tujuh-delapan jurus. Tapi Bun Thay Lay hanya menggunakan sebelah tangan saja, yakni tangan kiri, gerak-gerik kakinya pun tak bebas, dengan sendirinya akhirnya ia menjadi payah, maka setelah beberapa jurus lagi, ia telah kena digeblak sekali pundaknya oleh Thio Ciau Cong hingga tak bisa berdiri tegak lagi, ia jatuh terduduk.

Dilain pihak, sambil menempur musuh Hi Tong sembari memikir juga, "Hidupku seterusnya hanya akan menderita saja, hari ini biar aku, korbankan jiwaku untuk menolong keluar Suko, dengan meminjam tangan cakar-alap2 ini untuk menghabiskan sisa hidupku, dengan begitu agar Suso tahu bahwa aku Ie Hi Tong bukanlah manusia yang tak berbudi. Kalau aku korbankan jiwa untuk kebahagiaannya, rasanya matipun tidak cuma2!"

Nyata karena cinta sepihak, daripada terus menderita batin, dalam keadaan begini Hi Tong menjadi nekad.

Maka setelah ambil keputusan itu, saat itu dilihatnya Bun Thay Lay jatuh terpukul oleh Ciau Cong, tanpa pikir lagi Hi Tong baliki serulingnya terus menghantam, serangan ini membikin Ciau Cong mau-tak-mau harus menangkisnya.

Dengan begitu keadaan Bun Thay Lay jadi sedikit longgar Hingga ia sempat meronta bangun lagi, mendadak ia baliki tubuh terus menggertak, karena suara geledek itu, para jago pengawal dan opas2 itu menjadi tertegun hingga tanpa merasa mundur beberapa tindak.

"Suko, lekas kau lari!" teriak Hi Tong sambil seruling emasnya berputar kencang, sama sekali ia tak menangkis atau menghiraukan serangan lawan, tapi selalu ia mengincar dan menyerang tempat2 berbahaya musuh.

Karena kenekadan pemuda ini, seketika Thio Ciau Cong menjadi kewalahan malah hingga terpaksa ia terdesak mundur beberapa tindak.

Melihat ada lowongan, cepat sekali Bun Thay Lay menyelinap keluar ruangan itu meninggalkan para Si-wi yang ber-teriak2 terperanjat karena tawanan penting berhasil lari.

Sementara itu Hi Tong yang bertahan mati2an diambang pintu, pada tubuhnya ber-ulang2 sudah terkena dua tusukan Ciau Cong, tapi pemuda itu masih tetap tak hiraukan diri sendiri, melainkan masih melontarkan tipu2 serangan yang mematikan.

"He, apa kau sudah bosen hidup? Siapa yang mengajarkan pertempuran cara begini? bentak Ciau Cong tak sabar.

"Hm, memang aku tak ingin hidup lagi, paling baik kalau kau bisa membunuh aku!" sahut Hi Tong tertawa pedih.

Dan setelah beberapa jurus pula, kembali lengan kanan Hi Tong terluka, namun ia gantikan tangan kiri yang memainkan seruling dan sejengkalpun masih tak mau mundur.

Tatkala itu para Si-wi ber-ramai2 sudah merubung maju juga, tiba-tiba Hi Tong menubruk pada seorang yang berada paling depan, ketika jago pengawal itu memapak dengan sekali bacokan, ternyata Hi Tong sama sekali tak menghiraukan, sebaliknya serulingnya ditutukan keras-keras kedada orang itu, tanpa ampun lagi jago pengawal itu roboh terguling, tapi berbareng itu pundak kiri Hi Tong juga kena dibacok.

Bagai banteng ketaton dan seluruh tubuh berlepotan darah, Hi Tong terus ayun serulingnya melabrak musuh dengan sengit, dibawah sinar pedang dan bayangan golok yang samber-menyamber, kembali terdengar lagi suara seperti periuk pecah, ternyata batok kepala seorang jago pengawal lain telah remuk dihantam serulingnya.

Tapi makin lama lingkaran kepungan para Si-wi itu makin Ciut, dibawah hujan senjata yang gaduh itu, lagi-lagi paha Hi Tong telah kena dihantam toja musuh, karena ini, tak sanggup lagi ia bertahan, ia terguling. Namun begitu, ia tak menjadi gentar, tiba-tiba seruling emasnya dibuangnya sambil tertawa panjang, lalu ia pejamkan mata untuk menantikan ajalnya. Tapi karena berhentinya ini, seketika pula orangnya lantas jatuh pingsan.

Pada saat itulah, mendadak diluar pintu ruangan itu terdengar bentakan orang yang keras: "Tahan!"

Waktu semua orang menoleh, ternyata orang itu adalah Bun Thay Lay yang lagi berjalan masuk kembali pelahan2, sikapnya gagah berwibawa, sinar matanya tajam, tapi tiada seorang lain yang dipandangnya sekejap, melainkan terus mendekati Ie Hi Tong yang menggeletak dilantai dengan berlumuran darah itu.

Apabila diperiksanya luka Hi Tong yang parah, tak tahan lagi jago Hong Hwa Hwe yang perkasa itu mencucurkan air mata terharu. Ia Coba memeriksa pernapasan Hi Tong yang ternyata masih baik-baik, barulah ia rada lega, ia ulur tangan kirinya untuk membangunkan Hi Tong, tiba-tiba ia berpaling terus membentak pula: "Lekas ambilkan obat luka untuknya?"

Dibawah pengaruh Bun Thay Lay yang berwibawa, betul juga ada orang yang telah pergi mengambilkan obat luka.

Dengan mata kepada sendiri Thay Lay saksikan mereka membalut luka Hi Tong serta digotong masuk ruangan dalam, kemudian barulah ia mungkur sambil ulurkan kedua tangannya dan berkata: "Nah, sekarang kalian ikatlah!"

Para Si-wi itu masih ragu2, tapi sesudah diberi tanda oleh Thio Ciau Cong, kemudian seorang diantaranya mendekati Bun Thay Lay.

"Takut apa? Kalau aku maukan jiwamu, sejak tadi2 sudah beres, masa perlu aku harus membohongi dulu? seru Bun Thay Lay melihat sikap orang yang sangsi itu.

Baru setelah melihat tangan Bun Thay Lay betul-betul tak mau bergerak, siwi tersebut terus memborgolnya dan membawanya kedalam kamar tutupan lagi. Malam itu Ciauw Cong keluarkan perintah, bahwa kejadian tadi tidak boleh diuwarkan ke-mana2. Siapa yang melanggar, akan dihukum berat.

Esok harinya, Ciauw Cong sendiri pergi melihat Ie Hi Tong, ia lihat pemuda itu masih tidur dengan nyenyaknya, sesudah menanya kacung yang melayani, barulah diketahui obat dari sinshe telah diseduh dan diminumkan Hi Tong.

Sore harinya Hi Tong tampak agar segar, Ciauw Cong lantas tanya padanya: "Gurumu she Liok atau she Ma?"

"Guruku yang berbudi itu ialah 'Cian-li-tok-hing-kiap' she Ma dan bernama Cin," sahut Hi Tong.

"Betullah kalau begitu, aku adalah susiokmu Thio Ciauw Cong," kata Ciauw Cong.

Hi Tong sedikit mengangguk tanda mengarti. "Apakah kau anggota Hong Hwa Hwe?" tanya Ciauw Cong pula.

Kembali Hi Tong angguk-angguk.

"Ai, seorang baik-baik begini, kenapa bisa tersesat begitu jauh," ujar Ciauw Cong sambil menghela napas. "Pernah apakah Bun Thay Lay dengan kau? Kenapa kau ingin menolongnya tanpa pikirkan jiwanya?"

Hi Tong pejamkan mata tak menyawab. Lewat sejenak, barulah ia berkata: "Dan akhirnya ia dapat kutolong juga, kini matipun aku rela."

"Hm," jengek Ciauw Cong mendadak, "dibawah tanganku kau pikir bisa menolong orang sesukamu?"

Terkejut Hi Tong oleh jawaban itu. "Jadi ia tidak berhasil larikan diri?" ia menegas.

"Ia bisa larikan diri? Ha, jangan kau mimpi!" sahut Ciauw Cong. Lalu ia berusaha menanya terus, tapi Hi Tong telah pejamkan matanya lagi tak menggubrisnya pula, bahkan tidak antara lama pemuda itu terdengar mendengkur.

Ciauw Cong tersenyum kewalahan. "Sungguh satu pemuda yang keras kepala," katanya. Lalu iapun pergi."

Setiba dikamar sebelah, Ciauw Cong ajak Swi Tay Lim, Gian Pek Kian, Seng Hing dan beberapa siwi dari Pakkhia a.l. Cu Co Im, sama-sama berunding. Setelah memberi perintah seperlunya, masing-masing disuruh mengasoh.

Sehabis makan malam, kembali mereka pura-pura memeriksa Bun Thay Lay, yang dibawanya kesuatu ruangan. Ruangan itu diterangi dengan lilin-lilin yang besar dan terang cahayanya. Kemaren malam, sebenarnya Ciauw Cong akan melakukan peperiksaan sungguh-sungguh pada Bun Thay Lay, tapi telah di-aduk2 oleh Hi Tong.

Malam ini, dia akan melakukan peperiksaan pura-pura, dan sebelum itu, dia telah siapkan bayhok (barisan pendam) lengkap dengan anak panahnya. Begitu orang-orang Hong Hwa Hwe datang menolong, mereka tentu disambut dengan hangat.

Tapi semalam2an itu, tak ada suatu bayanganpun yang kelihatan datang.

Pada hari kedua pagi2 sekali, seorang serdadu melaporkan bahwa Hoangho (Sungai Kuning) telah banjir. Air meluap sampai tinggi. Ciauw Cong segera titahkan anak buahnya supaya lekas berangkat. Bun Thay Lay dan Hi Tong dimasukkan kedalam dua buah kereta besar.

Tapi baru saja rombongan akan berangkat, datanglah Go Kok Tong, Ci Ceng Lun, Han Bun Tiong dan rombongannya. Atas pertanyaan Ciauw Cong, Go Kok Tong dengan geramnya menuturkan apa yang telah dialami dari orang-orang Hong Hwa Hwe.

"Giam liokya bugenya lihai, bagaimana bisa terbinasa dalam tangan seorang gadis. Sungguh mengherankan," kata Ciauw Cong.

Mendapat laporan dari Go Kok Tong bahwa buge dari setiap orang Hong Hwa Hwe itu lihai-lihai, tambahkan pula mendapat bantuan dari rombongan orang Wi, maka ber-pikir2lah Ciauw Cong. Akhirnya dia minta bantuan pada Congpeng (pembesar militer) dari KengCiu sebanyak-banyak 400 orang tentara pilihan guna memperkuat pengawalan orang tangkapan yang penting itu. Congpeng buru-buru siapkan jumlah tersebut. Dia perintahkan hu-Ciang Co Ling dan somCiang Peng Bong Sian untuk memimpin barisan pilihan itu.

Sampai dikota Song-keng, mereka mengasoh. Keesokan harinya setelah meninggalkan kota sekira dua atau tiga puluh li, mereka melihat ada dua orang lelaki yang buka baju sedang duduk mengasoh dibawah pohon. Didekat mereka tertambat pada dahan puhun, ada dua ekor kuda yang bagus. Dua orang serdadu Ceng rupanya menjadi ketarik, maka mereka lantas cari2 perkara dan menghampiri seraya membentak: "He, kuda2 ini asal curian dari mana?"

"Kami adalah rakyat yang taat pada undang2, mana kami mau mencuri," jawab salah seorang dari mereka yang bermuka tampan seraya tertawa.

"Kita sangat cape, pinjamilah kudamu itu," kata salah seorang tentara Ceng tersebut.

"Tentu takkan membikin celaka kudamu, jangan kuatir," temannya menambahi.

"Baik, kalau Cong-ya suka menunggangnya, tentu saja boleh," sahut orang tadi.

Lalu mereka melepaskan tambatan kuda dan berkata pula: "Cong-ya, hati-hatilah, jangan sampai dilempar jatuh!"

"Masa naik kuda saja bisa jatuh, jangan bicara sembarangan," kata serdadu yang satunya.

Dengan langkah lebar kedua serdadu itu menghampiri untuk pegang tali les. Tapi sekonyong2 pantat salah seorang serdadu itu ditendang orang, sedang muka kawannya pun ditampar orang. Dan pada lain saat kedua serdadu itu dilontarkan kejalanan. Maka gaduhlah kalangan tentara Ceng itu.

Kedua orang aneh itu mencemplak kudanya terus menghampiri kearah kereta besar. Malah salah seorang diantaranya yang bermuka codet pakai sebelah tangan untuk menyingkap tenda kereta, terus dipotongnya dengan goloknya sambil berseru: "Apakah Suko ada didalam?"

"Ah, Cap-ji-long !" demikian sahutan dari dalam kereta "Suko, kami pergi dulu, kau jangan kuatir, kawan-kawan kita sudah sampai

disini," demikian seru orang itu pula.

Suara sahutan dari dalam kereta itu sudah diputus dengan suara beradunya senjata diluar kereta. Orang yang barusan berkata itu diserang oleh dua musuh yaitu Seng Hing dan Co Leng dan pasukan Ceng pun menyerbu datang. Tapi setelah dapat menangkis mundur, kedua orang itu terus keprak kudanya melarikan diri.

Malam itu rombongan Ciauw Cong bermalam di Kengsui. Keesokan harinya, pagi2 sekali tiba-tiba terjadi kegaduhan dalam rombongan tentara itu. Pemimpinnya, Co Ling dan Peng Bong Sian buru-buru keluar memeriksa. Dan betapakah terkejutnya demi melihat ada sepuluhan lebih serdadu yang berlumuran darah menjadi mayat ditempat tidurnya. Entah siapa yang membunuhnya.

Begitulah dengan berlaku hati-hati sekali, mereka meneruskan lagi perjalanannya dan malamnya bermalam di HengCiok, sebuah kota besar. Tiga buah hotel disewanya, masih belum cukup dan meminjam lagi beberapa rumah penduduk. Tengah malam tiba-tiba timbul kebakaran. Ciauw Cong perintahkan semua si-wi supaya tetap menjaga kedua orang tawanannya, jangan sampai tertipu musuh. Api itu makin besar dan tiba-tiba datanglah Co Leng melapor. "Ada kawanan perampok, anak buah kita sudah bertempur dengan mereka!"

Tapi dengan tenang Ciauw Cong minta supaya ia (Co Ling) saja yang keluar memimpin perlawanan, karena semua si-wi tetap menjaga orang tawanan.

Hanya disuruhnya Swi Tay Lim dan Cu Co Im berdua supaya menjaga diatas rumah itu. Setelah berselang beberapa lama, hiruk pikuk itu, menjadi sirap lagi.

Co Ling melapor bahwa kawanan rampok itu memakai tutup muka. Mereka tidak merampas uang, tapi hanya mau membunuh anak buah saja, dan memang kesudahannya ada enam atau tujuh puluh serdadu luka-luka dan meninggal.

Dengan adanya gangguan itu, Ciauw Cong tunda keberangkatannya sampai besok. Dalam perjalanan pada besok paginya, pemandangan alam sepanjang yang dilaluinya, sangat indah. Ternyata jalanan itu berada di-tengah-tengah dua buah bukit dan jalanan dimuka me-lingkar2 seperti ular yang panjang.

Tiba-tiba dari atas bukit disebelah muka, kelihatan ada seorang penunggang kuda membalap turun dan ketika hampir dekat dia bertereak2.

"He dengarlah! Jangan lanjutkan perjalananmu, disini ada siluman jahat. Ayo, balik saja, biar selamat!"

Orang itu berpakaian baju kain kasar, pinggangnya dilihat dengan tali rumput, mukanya kuning, alisnya berdiri. Sungguh wajah yang menyeramkan pandangan mata. Sehabis bertereak begitu, dia turun bukit, terus menyelinap disisi rombongan tentara negeri.

Ketika orang itu sudah pergi, tiba-tiba dibarisan belakang, ada seorang serdadu Ceng yang menyerit dengan keras, roboh ditanah terus mati. Rombongan pasukan itu, terkejut dan sama mengerumuninya, tapi ternyata sikorban tersebut tak mendapat luka suatu apa. Karuan saja, mereka ketakutan setengah mati.

Setelah berjalan kembali, lagi-lagi sipenunggang kuda tadi muncul, dan bertereak pula dengan keras: "He, dengarkan kawan-kawan, kau orang bakal berhadapan dengan siluman jahat, mengapa tak mau kembali saja? Percayalah nyawamu semua pasti diCabut."

Seruan ini betul-betul membawa pengaruh. Terutama bagi serdadu2 yang sama terkejut, mengapa orang itu kembali muncul dari arah muka, sedang tadi sudah pergi kebelakang. Bukit disitu, tak ada lain jalanannya, tambahan pula mengapa begitu cepat dia sudah berada disebelah muka lagi. Ketika orang itu turun bukit lagi, serdadu2 sama menyingkir jauh-jauh. Tidak demikian dengan Cu Co Im, sang pemimpin. Begitu orang itu berada dekat, dia segera hadangkan goloknya untuk mencegat: "Sahabat, berhentilah!"

Orang itu seperti tak menghiraukan. Dengan enak saja dia ayunkan tangannya kanan untuk menggaplok pundak Co Im. Cepat-cepat Co Im tangkiskan goloknya, tapi seperti terbentur dengan benda keras, goloknya itu terpental jatuh. Dan orang itu seperti tak terjadi apa-apa, terus larikan kudanya. Ketika orang itu sudah melalui rombongan tentara negeri, maka kembali ada seorang serdadu yang menjerit hebat dan roboh binasa.

Sekarang betul-betul keadaan rombongan serdadu itu menjadi panik. Ciauw Cong perintah sekalian si-wi untuk menjaga kereta tawanan, dan dia sendiri lalu pergi memeriksanya.

"Thio taijin, orang itu manusia atau setan?" tanya Co Im sembari me-mijat2 luka dipundaknya.

Melihat wajah Co Im menjadi pucat, Ciauw Cong lantas menyuruhnya buka baju, ternyata pada pundaknya terdapat luka sebesar telur itik. Ciauw Cong kerutkan jidatnya, diambilnya sebungkus obat lalu disuruhnya minum. Dia perintah seorang serdadu untuk memeriksa tubuh kawannya yang binasa itu, betul juga pada badannya terdapat luka sebesar telur itik. Nyatalah itu bekas sidik dari kelima jari.

Ciauw Cong suruh mengubur mayat2 sikorban itu, tetapi tak seorangpun yang berani. Apa boleh buat dia perintahkan semua pasukan untuk bantu ramai2 menguburnya.

"Thio taijin, manusia itu betul-betul mengherankan. Dia menuju kemuka, tapi begitu cepat dia sudah berada dibelakang lagi" sampai2 Swi Tay Lim utarakan kekuatirannya.

Ciauw Cong juga tak bisa menjawab apa-apa. Setelah berpikir sejenak, barulah dia dapat berkata: "Sdr. Cu, kedua orang serdadu itu terang terbinasa oleh pukulan 'hek-soa-Ciang' (pukulan pasir hitam). Orang-orang kan-gouw yang ahli dalam ilmu pukulan itu, sedikit sekali jumlahnya, masa aku tak kenal?"

"Berbicara tentang 'hek-soa-Ciang' kiranya hanyalah Hui Lo tojin yang paling menjagoi. Tapi dia kini sudah menutup mata. Apakah tadi itu roh tojin tersebut?" tanya Swi Tay Lim.

"Ah, betullah!" seru Ciauw Cong dengan tepuk2 paha-nya. "Dialah murid Hui Lo tojin itu. Orang biasa gelarkan mereka Hek Bu Siang dan Pek Bu Siang. Jadi kedua saudara kembar itulah yang menyaru sebagai setan pengganggu."

Semua si-wi yang mendengar disebutnya kedua persaudaraan tersebut, atau yang kita kenal sebagai SeeChwan Sianghiap, menjadi keder hatinya. Tapi untuk jangan mengunjukkan kelemahan, mereka pura-pura berlaku tenang.

Ketika malam itu mereka bermalam di Hek-siong-poh, Co Ling titahkan supaya diadakan penjagaan ronda yang kuat. Tapi keesokan harinya, para peronda itu, tidak kelihatan muncul. Ketika disuruh periksa, ternyata peronda2 itu sudah sama menggeletak tak bernyawa lagi. Pada setiap tubuh si korban, ditempeli selembar uang kertas sembayangan.

Kini pecahlah semangat pasukan negeri itu. Malah ada sepuluh orang lebih serdadu yang diam-diam melarikan diri.

Hari itu rombongan Ciauw Cong sampai kepuncak Oh-kiaonia. Inilah puncak bukit yang kesohor paling berbahaya didaerah Kam Keng. Waktu itu justeru bulan sembilan, maka udarapun mulai turun salju. Ketika melintasi bukit tersebut, terpaksa serdadu2 itu harus berjalan dengan saling tarik tangan, karena kuatir tergelincir jatuh kedalam jurang yang sangat curam.

Justeru selagi orang tengah memusatkan perhatiannya untuk berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba dari arah muka terdengar suara cuwat-cuwit, dan dilain saat lalu berobah menjadi suitan yang nyaring dan panjang, berkumandang jauh di-lembah dan bikin bulu roma orang berdiri. Mendengar itu sekalian serdadu sama merandek.

"Ayo, kemarilah kalau mau bertemu dengan malaekat elmaut. Kalau mau hidup kembalilah!" demikian ber-ulang2 terdengar suara teriakan orang.

Peng Bong Sian segera pimpin beberapa orang, untuk maju menerjang dengan berjalan kaki. Baru saja membiluk disebuah tikungan, sebuah anak panah telah menancap didada seorang serdadu, siapa segera menjerit dan terjungkal kedalam jurang. Peng Bong Sian gemas, untuk membikin besar hati anak buahnya, dia maju kedepan. Tapi bukan dia, hanya tiga orang anak buahnya yang kembali "termakan" oleh anak panah.

Ketika pasukan itu merandek, muncullah satu orang dari lamping bukit, dengan suaranya yang menyeramkan orang itu berteriak: "Yang maju akan bertemu dengan elmaut, yang mundur akan selamat!"

Tidak tunggu lagi, berlarilah sekalian serdadu itu berebut duluan. Peng Bong Sian murka, terus menyabet roboh seorang anak buahnya sendiri. Dengan begitu, suasana dapat diatasi lagi. Tapi yang sudah ketelanjur melarikan diri, kira-kira enam tujuh puluh orang itu, sudah tak nampak bayangannya lagi.

"Kau orang jagalah kereta tawanan itu, biar kutemui kedua persaudaraan Siang itu," kata Ciauw Cong pada Swi Tay Lim.

"Apakah disitu Siang-si Sianghiap? Disini aku Thio Ciaw Cong memberi hormat," kata Ciauw Cong setelah maju kemuka.

"Wah, hari ini rupanya Siang-kui (setan kembar) akan bertemu dengan Poan-koan (gelaran Ciauw Cong)!" sahut orang itu dengan tertawa dingin.

Dan dengan ucapan itu, tangan kanan orang telah menyambar. Karena keadaan tempat itu sempit sekali, tak ada jalan untuk Ciauw Cong berkelit. Terpaksa dia kerahkan lwekang untuk menyambut dengan tangan kiri. Dan berbareng itu, tangannya kanan menjulur kemuka untuk menampar.

Orang itupun tak tinggal diam, tangannya kiri diulurkan untuk menangkis. Jadi kini dua pasang tangan saling berbentur. Tapi Ciauw Cong dapat berlaku sebat. Dia robah gerakannya dengan cepat untuk menyapu paha kiri lawannya. Karena tak keburu menghindar, orang itu berlaku nekad. Dia rangkapkan kedua tangannya untuk ditotokkan kedua belah jalan darah "thay-yang-hiat." Dengan miringkan tubuh Ciauw Cong maju dua tindak. Dan orang itupun juga miringkan tubuhnya maju menyerang. Demikian keduanya saling menerjang. Malah

saking dahsyatnya, begitu kepelan berbentur, keduanya sama terpental beberapa kaki kebelakang. Hanya kini kedudukannya berobah. Ciauw Cong beralih kesebelah timur, sedang orang itu berada disebelah barat.

Selagi begitu, tiba-tiba Peng Bong Sian pentang busurnya ke-arah orang itu. Tapi dia ternyata lihai sekali. Tangan kirinya menangkis serangan Ciauw Cong, tangannya kanan menjumput ujung panah gelap itu. Dan menggunakan kesempatan kosong itu dia cepat berpaling kebelakang untuk menimpuk kembali panah itu. Peng Bong Sian dapat menghindari dengan tundukkan kepalanya, tapi seorang serdadu dibelakangnya telah menjerit roboh.

"Siang-si Siang-hiap, betul-betul tak bernama kosong," memuji Ciauw Cong.

Belum lama ucapan itu dikeluarkan, Ciauw Cong rasakan ada angin menyambar dari arah belakang. Dan ketika dikelit, ternyata muncul pula seorang kurus berparas kuning, yang mirip dengan orang satunya tadi. Serangannya pun tak kalah serunya. Kini Ciauw Cong dikeroyok dua, dari muka dan belakang.

Ngeri orang melihat ketiga orang itu bertempur. Karena pada jalanan yang sesempit itu, sekali salah gerakannya, pasti akan terpelanting jatuh kedalam jurang yang sangat tebing itu. Sekalipun Seng Hing dan Co Im membawa dua ratusan serdadu, tapi mereka tak dapat memberi bantuan apa-apa pada Ciauw Cong. Paling banyak serdadu2 itu hanya dikerahkan untuk ber-sorak2 membantu keangkeran.

Setelah berpuluh jurus liwat, sekonyong-konyong salah seorang lawan miringkan bahunya untuk bentur Ciauw Cong, siapa cepat2 mundur selangkah.

Melihat itu orang yang satunya cepat-cepat menghantamnya. Dan berbareng itu, yang lainnya pun mengirim tendangan. Jadi yang satu mendorong yang lain menendang, maka Ciauw Cong terancam terpental kedalam jurang.

Untuk menghindari tendangan, Ciauw Cong mundur selangkah, dengan begitu kakinya yang sebelah sudah tak menginjak batu karang lagi dan tergantung diatas jurang. Sekalian serdadu sudah sama menjerit ketakutan.

Dalam pada itu, lawan yang seorang tadi, pukulannya sudah menyamber datang.

Bagi Ciauw Cong kini tak ada jalan lolos lagi. Dalam keadaan terdesak, sering orang timbul dayanya. Demikian pula Ciauw Cong. Dengan gunakan "kin-na-hoat," ilmu menangkap senjata musuh dengan tangan kosong, dia cepat-cepat menyawut pergelangan tangan musuhnya, terus diangkatnya.

Orang itu berusaha untuk pegang pergelangan tangan Ciauw Cong, tapi karena tubuhnya mengapung diudara, maka kekuatannya berkurang, dan dapatlah dia dilemparkan oleh Ciauw Cong kedalam jurang. Melihat itu, gemuruhlah sorak sorai sekalian serdadu.

Orang itu, yang ternyata adalah Siang He Ci, tidak menjadi gugup. Ditengah udara dia tendangkan kakinya keatas untuk berjumpalitan. Dan dalam pada itu, dia segera keluarkan alatnya "hui-cao" dikibaskan keatas. Hui-Cao, atau cakar terbang, adalah semacam cengkeram panjang bertali dan gunanya untuk mengait.

Begitu saudaranya mengeluarkan hui-cao, Siang Pek Ci-pun segera mengeluarkan juga, lalu dibandringkan kebawah. Dan begitu kedua hui-cao berkaitan, maka dengan cepat Siang Pek Ci menariknya keatas. Dengan demikian tak sampailah Siang He Ci jatuh kedalam jurang yang curam itu.

"Hwe-jiu-poan-koan memang benar2 lihai, sungguh aku merasa kagumi!" kata Siang Pek Ci seraya merangkap kedua tangannya. memberi hormat. Dan tanpa menunggu penyahutan orang, dia segera mengajak kandanya untuk berlalu.

Semua serdadu sama berisik membicarakan pertempuran yang seru itu. Ada yang memuji kelihaian Ciauw Cong, ada yang menyayangkan mengapa tak lemparkan saja orang sho Siang itu kejurang.

"Buge Thio taijin sungguh hebat sekali," seru Swi Tay Lim seraya menghampiri.

"Apakah taijin tak terluka?"

Ciauw Cong tak menyahut dan coba mengatur napasnya dulu. Dan baru berselang beberapa saat, dia berkata: "Tidak apa-apa."

Tapi ketika memeriksa pergelangan tangannya dia menjadi terkejut. Disitu terdapat bekas cap lima jari yang ke-merah2an seperti terbakar kelihatannya.

Begitulah setelah melalui pegunungan Oh-kiao-nia, mereka akan masuk wilayah Bun-lan. Kuatir dengan rintangan2 musuh, Ciauw Cong tak mau ambil jalan besar, tapi berputar melalui jalan kecil. Sebenarnya Co Ling sudah mempunyai rencana bagaimana untuk menghadapi kawanan pengganggunya, tapi karena Ciauw Cong sudah memutuskan rencana begitu, apa boleh buat dia menurut saja.

Ketika mendekati tepi sungai Hong-ho, dari jauh sudah terdengar suara ombak yang gemuruh, setelah agak lama pula, barulah tiba sampai di Angsia, suatu tempat penyeberangan. Tatkala itu hari sudah petang, hari sudah remang-remang, hanya air sungai yang mengalir santar ketimur itu bergemuruh men-dampar2 tepi, air sungai yang butek itu bagai air mendidih yang bergulung-gemulung.

"Malam ini juga kita harus menyeberang, melihat keadaan sungai yang berbahaya, sedikit tertahan mungkin bisa runyam," demikian kata Thio Ciau Cong pada pengiringnya.

Lalu ia perintahkan perajuritnya pergi mencari kapal tambangan, tapi sudah dicari setengah harian tiada suatu pun yang didapatkan, sementara itu hari sudah gelap.

Selagi Ciau Cong merasa gopoh, tiba-tiba dari hulu sungai sana bagai panah cepatnya sedang meluncur datang dua perahu. Tentu saja Ciau Cong-menjadi girang, segera perajuritnya ber-teriak2 dan kedua perahu itupun pelahan2 mentepi.

"Hai, tukang perahu, lekas kau menyeberangkan kami, nanti dihadiahi banyak-banyak," segera Peng Bong Sian berteriak dulu.

Maka terlihatlah dari bagian belakang salah satu perahu itu berdiri seorang laki2 kekar sambil memberi tanda dengan tangannya.

"Eh, apa kau bisu?" tanya Peng Bong Sian mendongkol.

"Tiunama, mau naik, lekas naik, tak mau naik bilang tak naik, peduli apa kau banyak-banyak bicara," demikian terdengar orang itu menyahut.

Ternyata orang itu telah memaki dengan "Tiunama" dan kata-kata Kongfu lain yang susah dimengarti, agaknya tukang perahu itu adalah orang Kongfu.

Karena itu, Bong Sian tak mengurusnya lagi, ia minta Ciau Cong dan para Si-wi mengiringi dua kereta besar itu naik keatas kapal dulu.

Tapi ketika Ciau Cong mengamat-amati situkang perahu itu, ia lihat kepala orang gundul botak tiada seberapa rambutnya, urat daging lengannya kencang kuat dengan spir-nya yang menonyol, suatu tanda tenaganya pasti besar luar biasa, malahan penggayuh yang dipegangnya itu tertampak hitam antap seperti bukan terbuat dari kaju. Seketika pikirannya tergerak, ia sendiri tak bisa berenang, hal

ini ia harus hati-hati jangan sampai terpedaya.

Sebab itu, maka katanya kemudian pada Bong Sian: "Peng-taijin, silahkan kau saja naik dulu dengan dua puluh perajuritmu."

Bong Sian mengia, terus naik keatas perahu yang sudah menunggu. Begitu pula perahu yang lain juga ditumpangi beberapa puluh perajurit, tukang perahu sebelah sana menutupi separoh wajahnya dengan sebuah Caping, maka tak jelas air mukanya.

Ketika kedua perahu itu sudah bergerak, saking santarnya air sungai, perahu2 itu didayung dulu kehulu sungai, setelah belasan tombak baru kemudian ganti haluan ketengah sungai.

Ternyata kedua tukang perahu itu sangat mahir, dengan selamat beberapa puluh perajurit itu sudah mereka seberangkan dan kembali datang buat menyeberangkan yang lain.

Sekali ini adalah gilirannya Cho Ling yang pimpin perajuritnya naik keatas perahu. Tapi baru saja perahu2 itu berpisah dari gili2, tiba-tiba dari belakang sana terdengar suara suitan panjang, lalu sahut-menyahut disana sini.

Lekas-lekas Thio Ciau Cong memerintahkan perajuritnya tersebar dan mengitari kereta besar di-tengah-tengah, busur panah mereka siapkan untuk menjaga segala kemungkinan.

Tatkala itu bulan baru mulai menongol, maka terlihatlah dari arah timur, barat dan utara muncul belasan penunggang kuda secara terpencar.

"Ada apa? segera Ciau Cong keprak kudanya memapak sambil membentak. Pendatang2 itu lantas berjajar lurus dan pelahan2 mendekat, seorang diantaranya lalu tampil kemuka, pada tangannya tidak terdapat senjata, hanya sebuah kipas lempit putih kelihatan dikibasnya pelahan2. "Apakah yang berhadapan inilah Hwe-Chiu-poan-koan Thio Ciau Cong?" tanyanya segera.

"Ya, betul Cayhe (aku yang rendah) adanya," sahut Ciau Cong. "Dan tuan siapa?"

"Haha, Suko kami berkat penghantaran kalian sampai di sini, kini tak berani bikin sibuk lebih lama lagi, maka sengaja datang buat menyambutnya," demikian kata orang itu tanpa menyawab.

"O, kalian adalah orang Hong Hwa Hwe?" tanya Ciau Cong pula.

"Dikalangan kangouw orang bilang ilmu silat Hwe-Chiu-poan-koan tiada taranya, siapa tahu pandai juga menduga sesuatu seperti dewa," sahut orang itu tertawa.

"Ya, memang kami orang Hong Hwa Hwe!"

Habis berkata, tiba-tiba orang itu bersuit panjang dengan keras sekali, karena tak menduga-duga hingga Ciau Cong pun dibikin kaget. Dan karena suitan itu, segera terdengar tukang2 perahu tadipun membalasnya dengan sekali suitan.

Cho Ling yang berduduk didalam perahu itu, ketika melihat ditepi sana kedatangan musuh, memangnya hatinya lagi kebat-kebit tak tenteram, tiba-tiba didengarnya pula situkang perahu bersuit panjang, karuan wajahnya semakin pucat bagai mayat.

Mendadak tukang perahu itu palangkan penggayuhnya hingga lajunya perahu tertahan, lalu katanya dalam bahasa Kongfu: "Nah, saudara-saudara yang baik, aku kira paling selamat lekasan masuk air saja."

Sudah tentu Cho Ling tak paham akan bahasa Kwitang orang, hanya matanya terpentang lebar2 sambil ter-nganga.

Sementara itu didengarnya pula suara nyanyian nyaring merdu dari situkang perahu yang sana, begini lagunya: Sejak kecil Thayouw tempat beta dibesarkan, bunuh orang berapa banyak selamamja tak sungkan. Golok membacok pembesar korup pasti terbasmi, perahu terguling perajurit Cing masuk sungai!

Mendengar nyanyian itu, karuan hati Cho Ling semakin ketakutan. Apabila kemudian suara nyanyian itu berhenti, segera terdengar situkang perahu itu berseru: "Capsahte, Ayolah turun tangan!"

Lalu situkang perahu yang ditumpanginya ini memberi sahutan sekali dalam basa Kongfu.

Meski dalam ketakutan, namun Cho Ling masih coba angkat tombaknya terus menyerang situkang perahu lebih dulu. Namun cepat sekali tukang perahu itu sudah melompat kedalam sungai, begitu pula tukang perahu sebelah sanapun melompat kedalam air, hingga karena kehilangan sipengemudi, kedua perahu itu terus ber-putar2 ditengah sungai. Karuan Cho Ling dan perajurit2 Cing itu ber-teriak2 ketakutan.

Disebelah sana hamba2 negeri yang berada didaratan itu ada yang lagi ber-jaga2 atas serbuan musuh, ada pula yang tak tahan menyaksikan suara teriakan didalam perahu yang ter-dampar ditengah sungai yang keras arusnya itu, kedua perahu itu kelihatan bergoncang beberapa kali lagi, lalu mendadak terbalik, dalam keadaan panik dengan suara jeritan penumpang2nya itu, tiada ampun lagi pembesar dan perajurit2 itu sudah tercemplung semua dan terhanyut arus sungai.

Sebaliknya kedua tukang perahu tadi ternyata sangat mahir berenang, tiada seberapa lama mereka sudah berada ditepi sungai lagi. Tapi karena santarnya arus air, ketika mendarat kedua tukang perahu itu sudah berada dijarak ratusan tombak dibawah hulu sungai sana, segera perajurit2 Cing didaratan itu menghamburkan panah, tapi karena jaraknya sudah jauh, pula dimalam gelap gelita, sasaran tak terang, tentu saja tiada yang kena. Namun aneh juga, kedua tukang perahu itu bukannya larikan diri, tapi malah memapak menuju kepasukan tentara Cing itu.

Dalam pada itu diam-diam Thio Cian Cong lagi bersyukur, tadi kalau bukan dirinya berlaku waspada, pasti sekarang sudah menjadi setan didalam sungai.

Lekas-lekas ia tenangkan diri, lalu dengan suara keras ia membentak orang tadi: "Ha, kalian sepanjang jalan terus membunuh perajurit2 dan pembesar negeri, dosamu itu sekali2 tak bisa diampuni, kini kedatanganmu malah kebetulan. Nah, katakan dulu, siapakah kau dalam Hong Hwa Hwe?"

"Tak perlu kau tanya padaku," sahut orang itu tertawa, "bila kau kenal senjataku, dengan sendirinya kau tahu siapa aku." -- Habis berkata, enteng sekali ia telah melompat turun dari kudanya, lalu serunya: "Sim Hi, mana, ambilkan kesini!"

Segera Sim Hi membuka buntalannya dan menyodorkan dua macam senjata ketangan ketua umum Hong Hwa Hwe, yaitu Tan Keh Lok.

Thio Ciau Cong segerapun melompat turun dari kudanya sambil lolos pedangnya, ia mendekati orang beberapa tindak dan selagi ingin menegasi wajah lawan itu, tiba-tiba dari belakangnya menyerobot maju satu orang.

"Thio-taijin, biar aku saja yang membereskan dia," demikian kata orang itu.

Ternyata orang itu adalah jago pengawal Cu Co Im. Kebetulan, pikir Ciau Cong, biar orang dipakai percobaan dulu baru kemudian ia maju sendiri. Maka ia lantas mundur lagi sambil berkata: "Baiklah, cuma harus ber-hati-hati."

Segera pula Cu Co Im itu maju lebih dekat terus membentak: "Hai, kawanan berandal, besar amat nyalimu berani merampas tawanan kerajaan, terimalah golokku ini!" -- Berbareng itu goloknya lantas membacok keatas kepala Keh Lok.

Dengan sendirinya Keh Lok angkat senjata ditangan kirinya untuk menangkas.

Dibawah sinar bulan, Cu Co Im dapat melihat bentuk senjata yang dipakai lawannya sangat aneh, jakni sebuah tameng, tapi diatas tameng itu tumbuh sembilan buah paku berkait tajam, asal goloknya kebentur tameng itu, pasti akan terkait tak terlepas. Karena itu, ia menjadi kaget, lekas-lekas ia tarik kembali goloknya.

Namun tameng yang digunakan Tan Keh Lok itu dapat digunakan untuk menangkis serta untuk menyerang, ketika orang tarik kembali senjatanya, sekalian ia membarengi menekan kebawah.

Cepat-cepat Cu Co Im ayun goloknya kesamping buat memotong bahu kiri lawan.

Namun Keh Lok telah baliki tamengnya lagi buat mengkait terus menyojoh kedepan. Karena itu terpaksa Cu Co Im mundur dua tindak.

Tak terduga, mendadak tangan kanan Keh Lok mengayun, tahu-tahu lima utas tali telah menyamber kedepan, disetiap ujung tali itu terikat sebuah bola baja yang khusus digunakan peranti menutuk tiga enam jalan darah utama ditubuh orang.

Terkejut luar biasa Cu Co Im melihat senjata hebat itu, ia kenal bahaya apa yang mengancam, lekasan saja ia meloncat pergi, siapa duga ujung tali orang seperti bermata saja, tahu-tahu punggungnya terasa pegal, jalan darah "Ci-tong-hiat" dipunggungnya ternyata sudah kena tertutuk, diam-diam Cu Im mengeluh, namun sudah terlambat, kedua kakinya sudah tergubet oleh tali orang.

Apabila Keh Lok menarik talinya terus diangkat dan dilepaskan pula, maka tak ampun lagi tubuh Cu Co Im seperti didorong saja terus membentur kesebuah batu Cadas dan tampaknya segera bakal kepala pecah dan otak berantakan.

Melihat gerakan musuh diwaktu melompat turun dari kuda tadi, Thio Ciau Cong sudah tahu sebelumnya bahwa Cu Co Im jauh bukan tandingan lawannya, ia saksikan pertarungan yang hanya makan waktu dua-tiga jurus itu lantas Co Im terlempar akan membentur batu, maka tanpa pikir lagi ia melesat maju terus menghadang didepan batu cadas itu, sekali ia ulur tangan, cepat-cepat kuncir Cu Co Im kena ditariknya terus diangkat, lalu ia tepuk "tan-tian-hiat" dadanya buat melepaskan tutukan musuh tadi.

"Saudara Cu, baiknya kau mengaso saja dulu," demikian kata Ciau Cong kemudian.

Namun saking ketakutan dan sudah pecah nyalinya, maka Cu Co Im hanya tercengang tak sanggup menjawab.

Sementara itu sambil menghunus pedang pusakanya 'ih pek-kiam' lantas Thio Ciau Cong melompat kehadapan Tan Keh Lok. "Usiamu semuda ini, tapi sudah memiliki kepandaian bagus. Hai, anak muda, siapakah gurumu?" segera ia menegur.

"Huh, mentang2 lebih tua, tanya orang semaunya!" tiba-tiba Sim Hi menyela sebelum Keh Lok menyawab. "Dan kau sendiri, siapa gurumu?"

Tentu saja Ciau Cong menjadi gusar. "Anak binal kurang ajar, berani kau ngaco-belo," damperatnya kontan.

"Ah, tentunya kau marah karena kau tak kenal senjata KonCu kami bukan?" ejek Sim Hi tiba-tiba . "Baiklah, asal kau menjura tiga kali padaku, segera juga aku beritahukan padamu."

Namun Ciau Cong tak menggubrisnya lagi, sekali pedangnya bergerak, cepat sekali ia menusuk kebahu kanan Tan Keh Lok.

Tetapi tali ditangan kanan Keh Lok tiba-tiba diayun keatas terus melilit dibatang pedang musuh, berbareng tameng ditangan kiri didorong kedepan buat menghantam muka Thio Ciau Cong.

Dan begitulah segera Ciau Cong keluarkan "Ju-hun-kiam-hoat" yang hebat dari perguruannya untuk menempur senjata-senjata aneh Tan Keh Lok dengan sengit.

Sementara itu kedua tukang perahu tadi sudah berlari sampai didepan perajurit2 Cing, segera hamba2 negeri itupun menghamburkan anak panah lagi, namun dapat disampok jatuh oleh kedua orang itu. Kiranya mereka bukan lain ialah 'Tang-thau-gok-hi' Cio Su Kin, sibuaya berkepala tembaga, dan dibelakangnya itu yang telah mencopot caping serta mantelnya hingga kelihatan pakaian renangnya yang hitam mulus, kedua tangannya menghunus sepasang golok, nyata ialah 'Wan-yang-to' Lou Ping, sigolok kembar.

Tatkala itu Cio Su Kin telah putar penggayuh besinya menyerbu kedalam pasukan musuh, dua perajurit paling depan telah kena dikeperuk olehnya hingga batok kepalanya pecah berantakan, karuan yang lain-lain sama ketakutan hingga lari menyingkir.

Dengan Cepat-cepat pula Lou Ping mengikut dibelakang kawannya terus menerjang sampai disamping kereta besar.

Seng Hing yang berjaga tidak jauh disitu, dengan senjata tojanya "Ce-bi-kun" segera menghadang maju dan menempur Cio Su Kin. Sebaliknya Lou Ping telah berlari kesebuah kereta besar itu terus menarik tirai penutupnya sambil berteriak menanya: "Toako, apakah kau berada didalam?"

Tak terduga yang berada didalam kereta itu adalah Ie Hi Tong yang luka parah itu, ketika dalam keadaan sadar-tak-sadar pemuda itu mendengar suaranya Lou Ping, ia menyangka dirinya sedang berada dalam mimpi, tapi mengira pula dirinya sudah mati dan berjumpa dengan Lou Ping diakherat, maka dengan girang ia menyawab: "Ah, kau pun sudah datang?"

Sebaliknya dalam keadaan buru-buru Lou Ping mendengar bukan suara sang suami, meski suara orang itu cukup dikenalnya, namun tak sempat dipikir pula, cepat-cepat ia berlari mendekati kereta yang kedua.

Dan selagi ia hendak menyingkap tirai kereta buat melihatnya, sekonyong-konyong sebuah senjata "Ku-gi-to," sejenis golok yang bergigi seperti gergaji, telah membabatnya. Namun Lou Ping sempat menangkis dengan golok kanan, berbareng golok ditangan kiri kontan balas menyerang dua kali susul-menyusul kepundak kanan dan paha kiri musuh.

To-hoat atau ilmu golok Lou Ping ini menurut cerita diturunkan dari Han Se Tiong, itu panglima terkenal dijamannya Gak Hui diahala Song, diwaktu Han Se Tiong menggempur tentara Kim, ia gunakan senjata golok panjang ditangan kanan yang bernama "Toa-Che" atau sihijau tua, dan golok pendek ditangan kiri yang bernama "Sio-Che" atau sihijau muda, dengan sepasang golok itu entah berapa, banyak tentara Kim yang tewas ditangannya.

Dan Lou Ping ternyata kidal, yakni tangan kiri lebih bebas dari tangan kanan, maka ayahnya Sin-to, sigolok sakti, Lou Goan-thong telah nyangkok ilmu golok itu dan diajarkan pada puterinya yang tunggal ini, maka golok ditangan kanan Lou Ping hanya memainkan jurus-jurus ilmu golok yang biasa saja, tapi golok pendek ditangan kiri dapat berubah tiada habis-habisnya hingga merupakan suatu keahlian tersendiri didunia persilatan.

Dalam pada itu dibawah sinar bulan bila Lou Ping mengenali musuhnya itu adalah satu diantara delapan jago pengawal yang pernah mengembut dan menangkap suaminya di LanCiu tempo hari, tak tertahan lagi ia menjadi murka hingga serangannya bertambah gencar.

Kiranya penyerang dengan "Ku-gi-to" itu ialah Swi Tay Lim, ia sudah kenal betapa lihainya 'hui-to' atau pisau terbang sinyonya jelita ini, maka ia putar senjatanya sedemikian cepatnya agar Lou Ping tak sempat melepaskan senjata rasianya itu.

Tak lama pula, ada dua jago pengawal lain telah memburu datang membantu, begitu pula pasukan tentara itupun lantas merubung maju hingga Cio Su Kin dan Lou Ping terkepung rapat.

Sekonyong2 terdengar suitan, dan dari arah timur serta utara menyerbulah sekawanan penunggang kuda kearah itu. Yang dimuka sendiri adalah Wi Jun Hwa, lalu dibelakangnya Ciang Bongkok, Nyo Seng Hiap dan Ciu Ki. Dibawah hujan panah dari tentara Ceng, Jun Hwa tampak memutar sepasang siangkao (gaetan) untuk melindungi kawan-kawannya. Tapi sebatang anak panah telah menyusup tepat dileher kudanya hingga seketika binatang itu binal dan menendang seorang serdadu. Dengan sebat, Jun Hwa loncat turun terus

menerjang.

"Aduh, aduh" demikian suara jeritan ber-ulang2.

Dua orang serdadu menjerit dan roboh. Habis itu, Jun Hwa langsung menyerang Swi Taij Lim, siapa terpaksa tarik serangannya pada Lou Ping dan terus menangkis lawannya yang baru itu. Dalam pada itu si Bongkok, Seng Hiap dan Ciu Ki telah amuk habis-habisan rombongan tentara itu hingga lari pontang panting.

Pertempuran dalam gegap gempita itu, tiba-tiba tampak sebuah tongkat 'Ce-bi-kun' melayang ke udara. Itulah senjata nya Seng Hing, salah seorang si-wi yang ditugaskan membantu Ciauw Cong. Karena ingin menyudahi pertempurannya dengan si-wi tersebut, Cio Su Kin telah menangkis sekuat-kuatnya, dan kesudahannya senjata pahlawan istana itu terlempar keudara, sedang orangnya pun terus angkat langkah panjang!

Si-wi yang menjadi lawan Lou Ping pun telah mendapat dua luka, darah membasahi seluruh tubuhnya, namun dia tetap berkelahi. Tiba2 dia rasakan ada angin menyambar dari belakang. Ketika dia berputar kebelakang, tahu-tahu sebatang kong-pian sudah mengancam mukanya. Buru-buru dia menangkis dengan goloknya, tapi gempuran kong-pian begitu dahsyatnya hingga goloknya terlempar lepas dari tangannya. Dengan sebat, dia lemparkan tubuh untuk bergelundungan ditanah, tapi tak urung punggungnya kena didupak kaki lawannya.

Begitu bebas, Lou Ping kembali menyerbu kearah kereta yang nomor dua, terus disingkap tendanya dan melongok kedalam.

"Siapa?" tanya suara dari dalam kereta itu.

Sungguh suara itu terasa begitu merdu merasuk kedalam kalbu Lou Ping.

Dengan serta merta ia loncat masuk dan mendekap orang didalam itu yang memang nyata adalah Bun Thay Lay. Nyonya muda yang gagah itu, menangis tersedu-sedu karena girang dan terharu. Bun Thay Lay pun terharu kegirangan, hanya karena tangan dan kakinya diborgol dia tak dapat berbuat apa-apa.

Di-tengah-tengah pertempuran berdarah itu, sepasang suami isteri itu tak menghiraukan apa-apa kecuali hanya menumpahkan perasaan masing-masing.

"Suko, kita antar kau pulang!" tiba-tiba berbareng dengan goncangnya kereta, Ciang Bongkok melompat kedalam dan terus duduk ditempat kusir. Dan kereta segera akan dilarikan kejurusan utara.

Beberapa si-wi dengan nekad coba akan menyerbunya, tapi dihadang oleh Seng Hiap, Jun Hwa, Su Kin dan, Ciu Ki berempat. Apa boleh buat, kawanan si-wi itu mundur, lalu perintahkan barisan serdadu untuk melepas panah. Karena malam gelap, sebatang anak panah berhasil menancap dipundak Seng Hiap yang segera menyerit kesakitan.

"Pat-ko, kau bagaimana?" tanya Jun Hwa.

Dengan digigit pakai gigi, panah itu telah dicabutnya sendiri. Lalu Su Kin menggerung keras-keras: "Akan kubasmi kawanan budak itu!"

Tanpa hiraukan lukanya, dia terjang kawanan serdadu itu. Jun Hwa pun ikut2an mengamuk, hingga dalam beberapa saat ada tujuh delapan serdadu yang roboh. Lain-lainnya terus melarikan diri, dikejar oleh kedua orang Hong Hwa Hwe tersebut. Sedang dari arah sana, Beng Kian Hiong dan An Kian Kong sudah siap menyambutnya. Sekali lepas pelurunya, Kian Hiong telah berhasil merobohkan beberapa orang, ada yang matanya luka, hidungnya bengkok dan lain-lain. Keadaan makin gaduh tak karuan.

Su Kin dan Ciu Ki melindungi kereta, sedang Ciang Bongkok menghentikan kereta itu pada sebuah tanyakan untuk melihat pertempuran antara ketuanya dengan pemimpin kawanan kuku garuda.

"Bagaimana pertempuran itu?" tanya Thay Lay.

"Congthocu sedang tempur Ciauw Cong," sahut Lou Ping.

"Apa, Congthocu?" menegasi suaminya.

"Kau tak tahu, bahwa siaothocu sekarang sudah menjadi Congthocu kita," sahut sang isteri.

"Bagus kalau begitu. Manusia Thio Ciauw Cong itu sangat lihai, jangan sampai Congthocu kena apa-apa dengan dia," kata pula Thay Lay dengan kuatir.

Lou Ping melongok keluar dari tenda untuk melihat jalannya pertempuran.

"Apa thocu sanggup melayaninya?" kembali Bun Thay Lay utarakan kekuatirannya.

"Senjata dari Cong-thocu lihai sekali. Tangan kiri memegang tun-Pai (perisai atau tameng), dan yang kanan lima utas tali yang berujung bola baja. Coba dengarlah bagaimana bola itu menderu-deru suara samberannya."

"Apa, ujungnya diikat dengan bola baja? Jadi dia bisa pakai tali untuk menotok jalan darah?" menegasi Bun Thay Lay.

"Ha, Ciauw Cong kini dikepung oleh kelima tali Congthocu!" seru Lou Ping.

'Apakah tenaga thocu Cukup kuat?" tanya suaminya. "Rupanya samberan talinya sudah mulai pelahan."

Lou Ping tak menyahut, tiba-tiba ia berjingkrak dan berseru keras: "Bagus, pedang Ciauw Cong terkait oleh tun-Pai, bagus, bagus, sabetan tali kali ini tentu berhasil. Aya, Celaka!"

"Bagaimana?" sela Thay Lay.

"Pedang orang itu ternyata sebuah pokiam. Dua buah gaetan dari tun-Pai itu telah terpapas kutung. Ah, celaka talipun tersabet kutung bagus, hai, serangan itu luput. Celaka, gaetan kembali putus, kini Cong-thocu pakai tangan kosong untuk melayaninya, wah, manusia itu kejam sekali. Bagus, kini Bu Tim totiang maju. Cong-thocu mundur."

Mendengar itu legahlah hati Bun Thay Lay. Dia tahu bahwa tojin itu ilmu pedangnya lihai sekali. Selama mendengari keterangan jalannya pertempuran itu tadi, Bun Thay Lay sampai mengeluarkan keringat dingin karena menguatirkan keselamatan pemimpinnya.

Pada lain saat terdengarlah suara tereakan yang mengagetkan dari orang banyak, maka bertanyalah Bun Thay Lay pada isterinya.

"Totiang mengeluarkan ilmu permainannya Tui-hun to-beng-kiam, santernya bukan main, Ciauw Cong selalu main mundur-mundur saja," kata Lou Ping.

"Coba lihatlah, apakah kakinya itu masih menginjak pada langkah pat-kwa?"

"Ah, dia melangkah ke kian-wi, kini ke kian-kiong lalu menginyak Cin-wi, benarlah, bagaimana kau bisa mengetahuinya?" tanya Lou Ping dengan heran.

"Manusia itu bugenya tangguh sekali, kuyakin dia tentu bukan mundur sewajarnya. Dalam salah satu jurus ilmu pedang kaum Bu Tong Pai ada yang di gunakan untuk melelahkan tenaga musuh dengan main mundur-mundur setelah itu baru balas menyerang. Sekarang dia tentu akan menginjak kelangkah pat-kwa, sayang, sayang!"

"Sayang apa?" tanya sang isteri.

"Sayang aku tak dapat menyaksikan. Orang yang bisa menjalankan ilmu pedang itu, tentu sempurna sekali kepandaiannya. Ilmu itu baru dikeluarkan bila betul-betul bertanding dengan musuh yang tangguh. Pertempuran seperti itu, jarang sekali kita bisa menyaksikannya."

"Totiang kini gunakan ilmu tendangan lian-hoan-bi-jong-thui yang lihai tak tertara, koko!" tiba-tiba Lou Ping berseru.

"Ya, karena dia kekurangan sebelah tangan, maka dia yakinkan kakinya dengan sempurna untuk menutup kekurangan itu. Kuingat, ketika bertempur dengan kaum Ceng Ki Pang, diapun gunakan ilmu tendangan itu untuk mengalahkannya," kata Bun Thay Lay.

Kiranya semasa mudanya Bu Tim Tojin telah penuh berkecimpung dalam pertempuran. Banyaklah sudah dia melakukan gerakan besar. Bugenya lihai, ambeknya tinggi. Kawanan pembesar betul-betul tobat terhadapnya. Tetapi ketika pada suatu hari dia berjumpa dengan seorang gadis dari keluarga seorang pembesar, entah apa sebabnya, dia telah jatuh hati. Gadis itu sebenarnya tak mau membalas cintanya, tapi karena mendapat anjuran ayahnya, ia pura-pura mau menerima kunjungan Bu Tim pada suatu malam.

"Kau sebenarnya tak sungguh-sungguh menyintai aku," demikian gadis itu mainkan aksinya.

DiCengkeram oleh asmara yang ber-kobar2, Bu Tim bersumpah kerak-keruk.

Gadis itu tetap tertawa: 'Kaum lelaki itu, memang mudah saja mengucapkan sumpah. Kalau kau betul-betul cinta padaku, kau kutungilah sebelah tanganmu."

Tanpa berpikir panyang, pemuda yang dimabuk asmara itu, segera mencabut pedang dan menabas kutung lengan kirinya. Berbareng pada saat itu, keluarlah barisan bayhok kawanan polisi, untuk merejengnya. Karena sakitnya, Boe Tim pingsan tak sadarkan diri, dan dengan mudah dapatlah dia ditawan. Boe Tim di jatuhi hukuman panggal kepala.

Ketika saudara seperguruannya mengetahui, mereka bersarekat dengan orang-orang gagah untuk merampok penjara dan menolongnya. Juga sigadis sekeluarga ditawan untuk menunggu putusan Bu Tim. Orang menduga Bu Tim tentu akan bunuh mati mereka atau tetap akan memperisterikan gadis tersebut.

Tapi ternyata tidak demikian. Melihat wajah gadis yang dicintainya itu, hati Boe Tim luluh. Disuruhnya melepaskan gadis dan keluarganya semua, dan dia dengan diam-diam pergi dari kota kediamannya itu, ia mengasingkan diri dan tirakat menjadi imam.

Sekalipun sudah menyucikan diri, namun adatnya masih belum berobah. Karena itu dia diminta menjadi pembantu dari Ie Ban Thing yang waktu itu mulai mendirikan Hong Hwa Hwe.

Pada suatu ketika Hong Hwa Hwe telah bentrok dengan Ceng Ki Pang. Dan kedua fihak sama-sama setuju mencari penyelesaian dengan adu silat. Kaum Ceng Ki Pang mengejek Bu Tim hanya bertangan satu. Karena marahnya, Bu Tim sumbar minta dikerojok. Dan benar, malah dengan mengikat tangannya yang tinggal satu itu dengan tali dia gunakan ilmu tendangan 'lian-hoan-bi-jong-tui' yang lihai itu untuk merobohkan beberapa jago fihak musuhnya. Melihat itu fihak Ceng Ki Pang merasa kagum dan menyatakan menggabung dalam Hong Hwa Hwe Thiat-tha Nyoo Seng Hiap sebenarnya dulu adalah orang Ceng Ki Pang. Di Hong Hwa Hwe kini dia menduduki kursi no. delapan.

Baiklah hal itu kita tinggalkan dulu dan menenengok keadaan Lou Ping yang menjadi juru bicara untuk suaminya mengenai jalannya pertempuran itu.

Katanya: "Tindakan kaki Ciauw Cong kini agak kalut melayani tendangan totiang. Sekarang dia sudah menginjak jalan pat-kwa".

"Bagus, dia belum pernah bertemu dengan tandingannya. Kali ini tentu Ciauw Cong mengetahui sampai dimana kelihaian orang-orang Hong Hwa Hwe kita." kata Thay Lay.

Tapi pujian itu telah dijawab dengan tefeakan: "Celaka" dari Lou Ping, sudah tentu Bun Thay Lay kaget dan buru-buru menanyakannya.

"Totiang telah sibuk berkelit kesana sini, orang itu entah sedang melepas senjata rahasia apa, rupanya sangat kecil sekali!" sahut sang isteri.

Bun Thay Lay pusatkan perhatiannya untuk mendengarkah dan ternyata suara yang bersiutan itu lemah sekali kedengarannya.

"Ah, itulah jarum hu-yong-Ciam dari Bu Tong Pai yang paling lihai!" tiba-tiba serunya.

Dalam pada itu, karena berhenti ditanyakan, maka kereta itu mundur beberapa tombak kebelakang. Kemudian lagi-lagi Lou Ping berkata:

"Totiang telah memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya. Jarum2 itu satupun tak ada yang mengenai. Kini keduanya bertempur lagi, dan kembali totiang menang angin. Tapi Ciauw Cong sangat kuat dalam pemaelaan."

Bun Thay Lay segera minta isterinya membuka tali ikatan kaki dan tangannya.

Karena itu barulah Lou Ping ingat, lekas-lekas ia melakukan apa yang diminta.

Tiba-tiba diluar terdengar suara gemerencang yang keras sekali, maka buru-buru Lou Ping melongok keluar.

"Wah, Celaka, pedang totiang telah dipatahkan. Orang she Thio itu betul-betul lihai. Eh, koko, aku telah memperoleh seekor kuda bagus untukmu," dalam suasana yang mendesak itu tiba-tiba ia teringat akan kuda putihnya.

"Ah, salah, mengapa harus ter-buru-buru. Coba kau lihat lagi totiang", kata Bun Thay Lay dengan tersenyum.

"Kali ini totiang berhasil menendang paha lawan, dan orang itu mundur beberapa tindak dan kini Tio samko yang melayani".

"Totiang sekalipun sudah menjadi orang beribadat, tapi adatnya masih suka umbar kemarahan dengan memaki-maki. Kau tuntun aku keluar, kuduga Tio samko tentu akan adu senjata rahasia dengan Ciauw Cong".

Lou Ping sedianya akan menuntunnya tapi ternyata luka dipaha dan lengan suaminya itu begitu hebat, hingga dia sampai menjerit ketika akan berbangkit. Lou Ping minta suaminya supaya mengasoh didalam kereta itu saja, biar ia yang menyampaikan tentang jalannya pertempuran itu.

Bun Thay Lay pernah mejakinkan "am ki thing hong sut", mendengarkan samberan angin dari senjata rahasia. Maka begitu ada semacam bunyi menderu lantas dia mengatakan bahwa itulah "siu-Cian" (panah kecil) dan lain saat ia berseru : "Ah, itulah hui-hong-Ciok (batu belalang terbang)."

"Bukan, tadi dia menyambuti semua senjata rahasia yang dilepaskan oleh Tio samko, dan kini dia mengembalikannya. Ah, samko betul-betul mempunyai seribu tangan, bagaimana dalam sekejap saja dia bisa sambitkan sekean banyak senjata rahasia. Ha, betul-betul seperti hujan, kasihan, lebih baik orang she Thio lari sembunyi saja," demikian Lou Ping.

Selama memberi komentar itu, Bun Thay Lay menampak bagaimana ayu dan menarik wajah isterinya itu, dan tanpa terasa hatinya bergoncang keras.

Sampai2 dia terluncur untuk memanggilnya. Dengan bersenyum manis, Lou Ping berpaling kearah suaminya.

Sedang pada saat itu, Tio Pan San telah mengeluarkan senjata simpanannya, yakni yang satu disebut "hui-liong-pik" dan yang lain "hui-yan-gin." Dia arah lawannya dengan mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Tio Pan San adalah orang UnCiu dari wilayah Ciatkang. Semasa kecilnya dia pernah ikut ayahnya untuk berdagang ke Lam Yang, Didaerah Lam Yang itu dia merasa ketarik dengan semacam senjata karet dari penduduk peribumi yang kalau dilemparkan bisa kembali sendiri. Pan San adalah murid dari Thay Kek Bun, keistimewaannya terletak dalam soal senjata rahasia.

Kesan dari senjata penduduk Lam Yang itu, telah mendorongnya untuk menciptakan semacam senjata yang disebutnya "hui-liong-pik" atau naga melilit.

Dan "hui-yan-gin" atau burung walet perak itu, adalah juga dari hasil peyakinannya yang mendalam.