KEBIJAKAN DAN PELAYANAN KESEHATAN
Hasil penelitian kebijakan akan sangat bermanfaat apabila dapat digunakan dalam kebijakan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari karena hasil penelitian didasarkan pada konsep yang tervalidasi, dilaksanakan secara tepat sehingga mampu mengemukakan masalah kebijakan dan pelayanan kesehatan yang ada. Pada kenyataannya banyak hasil penelitian yang kurang dimanfaatkan karena kurang intensifnya diseminasi hasil penelitian, bentuk laporan yang kurang dapat dicerna oleh praktisi maupun pembuat kebijakan dan kurang relevannya topik penelitian dengan prioritas pembangunan kesehatan.
Berdasarkan WHO dan Kementrian Negara Riset dan Teknologi, ada dua bentuk penelitian yang dilakukan yaitu Penelitian Dasar yang lebih bersifat inovatif,
teoritis dan eksperimental dan Penelitian Terapan yang melakukan kegiatan investigative untuk memperoleh pengetahuan baru yang diarahkan untuk tujuan praktis tertentu serta bertujuan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan prioritas, merancang dan mengevaluasi program serta kebijakan yang ada guna memaksimalkan manfaat bagi kesehatan masyarakat dari sumberdaya yang tersedia (focused on solving spesific problems relating to health care system and delivery)
Kebijakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak, dan menurut Longman Dictionary. “Policy is Plan or Course of action indirecting affairs; a Written Statement of the details of an agreement…”
Menurut pendapat ahli ada beberapa kategori kebijakan yang dapat diberikan masukan hasil penelitian sebagai berikut :
Kategori Lomas Hanney, S.R Black
Berdasarkan informasi tersebut stakeholder kebijakan yang dapat diberi masukan hasil penelitian, berada pada tingkat:
Di Amerika Serikat, petugas pemerintahan di tingkat pusat dan daerah yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian kebijakan disebut Legislatif analyst/Program Analyst/Management analyst dan sekurangnya menguasai teknik pengumpulan dan analisis data (data sets) serta mampu menggunakan berbagai metode seperti eksperimen, survei dan analisis ekonomi.
Pada tahun 2000 WHO membentuk “Alliance for Health Policy and System research” yang bertujuan untuk mempromosikan pengembangan kapasitas dan diseminasi hasil penelitian untuk dan dari kebijakan. Aliansi ini dengan 300 institusi yang terlibat berperan penting dalam mengakomodasi kegiatan penelitian kebijakan serta diseminasinya.
Di jajaran Depkes, kegiatan terkait dengan analisis kebijakan kesehatan dilakukan oleh Puskabangkes, sedangkan penelitian kebijakan dilakukan oleh Badan Litbangkes sesuai dengan Permenkes No. 1575 tahun 2005. Tulisan ini membahas pengertian penelitian kebijakan dan analisis kebijakan serta cara menerjemahkan hasil penelitian kedalam kebijakan dan pelayanan kesehatan mengunakan pendekatan yang direkomendasikan oleh Hanney dkk, termasuk persyaratan evidens yang diperlukan untuk opsi rekomendasi Kebijakan.
Pengertian Penelitian Kebijakan dan Analisis Kebijakan
Penelitian Kebijakan (Policy Research) menurut Putt dan Springer (dalam Hass dan Springer)”is a catch-all term embracing the many informationgarthering and processing activities that public agencies engage in to facilitate decision making” yang dibagi 2 jenis oleh Carley (dalam Hass dan Springer) yaitu Analysis for policy dan Applied policy research atau action research. Analysis for policy sebagai applied policy research dilakukan oleh pembuat kebijakan untuk memperbaiki atau mengintensifkan suatu kebijakan program sedangkan Applied policy research dilakukan untuk hal yang berhubungan dengan faktor-faktor kebijakan yang dapat dimanipulasi (policy manipulable factors). Penelitian kebijakan tidak ditujukan untuk memecahkan permasalahan namun untuk menyampaikan informasi dan analisis dari beberapa sudut pandang kebijakan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk bertindak bagi pembuat keputusan.
Penelitian Kebijakan Kesehatan (Health Policy Research) menurut WHO (dalam Siswanto) ”is a research which uses an appropriate Analytical Tool (Health Economics, Burden of Disease, Costing analysis) for the purpose of setting Policy Options in order to enable a choice among confliction options”.
Analisis Kebijakan (Policy Analysis/ Analysis of Policy) menurut Carl V. Patton adalah “the process through which we identify and evaluate alternative policies or programs that are intended to lessen or resolve social, economic or physical problems” yang lebih memperhatikan sebab dan akibat dari kebijakan maupun program dan tidak secara langsung mempengaruhi keputusan kebijakan. Pengertian ini senada dengan apa yang dikatakan Simatupang sebagai suatu proses atau kegiatan mensintesis informasi termasuk hasil-hasil penelitian untuk menghasilkan rekomendasi opsi disain Kebijakan Publik. Analisis Kebijakan kesehatan (Health Policy Analysis) menurut WHO (dalam Siswanto)“is the application of scientific methods in the formulation of policy options and descriptions of consequences or implications of each options”.
Proses penerjemahkan hasil penelitian kedalam Kebijakan
Ada 3 proses penerjemahan hasil penelitian untuk kebijakan yaitu: 1) mengidentifikasi kebutuhan klien termasuk informasi tentang kapasitas pemanfaatan hasil riset untuk kebijakan, 2) merancang dan melaksanakan strategi penelitian yang tepat dan sesuai kebutuhan, 3) melakukan diseminasi informasi yang bermanfaat bagi klien /pengambil keputusan.
Hanney et.al membuat model untuk menilai bagaimana proses penelitian dilaksanakan sampai menjadi suatu kebijakan (Gambar 1). Model ini menggunakan 6 stadium dan 2 interfaces (A dan B). Sebelum interface A perlu dilakukan stadium 0 yaitu identifikasi kebutuhan klien atau keperluan pengembangan pengetahuan itu sendiri.
Kebutuhan informasi oleh unit utama Policy Forum
Kebutuhan klien pada tahun 2008 sebagai contoh diarahkan untuk mengurangi kesenjangan status kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan antar tingkat sosial, ekonomi, kawasan, perkotaan, perdesaan yang masih cukup tinggi. Berdasarkan hal tersebut mulai Menerjemahkan Hasil Penelitian diidentifikasi permasalahan kunci dan strategi apa yang perlu diteliti untuk mengurangi kesenjangan status kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan tersebut. Identifikasi dapat dilakukan melalui pendekatan Knowledge driven Model atau pendekatan Problem Solving Model .
Kegiatan Interface A
Merupakan fase untuk spesifikasi dan seleksi proposal/protokol dan oleh karena itu sangat penting untuk duduk bersama dengan stakeholder terkait. Kegiatan ini terdiri dari 3 stadium yang dilakukan sebagai berikut:
Stadium 1: masukan penelitian seperti pembentukan tim peneliti, pengadaan dana, sarana dan prasarana termasuk kajian pustaka;
Stadium 2: pelaksanaan penelitian. Pada stadium ini perlu ditetapkan peran langsung dari klien dan dinilai seberapa besar metode yang digunakan menghasilkan luaran yang bermakna bagi praktisi dan pembuat kebijakan.
Stadium 3: dikeluarkannya primary output hasil penelitian berupa pengetahuan dan manfaat riset yang tertuang dalam suatu publikasi dan hasil ini juga merupakan masukan untuk stok ilmu pengetahuan dan informasi.
Kegiatan Interface B
Kegiatan diseminasi hasil penelitian adalah kunci keberhasilan pemanfaatan hasil penelitian yang bersifat lebih proaktif dibanding publikasi Kegiatan ini dilakukan dalam Interface B melalui Kajian Sistematis 3 tahap yaitu di stadium 4,5 dan 6.
Stadium 4: semua evidens yang ada mulai dianalisis dan dinilai berdasar besarnya efek terhadap opsi/rekomendasi yang diberikan. Tidak semua evidens setara kualitasnya, untuk itu perlu dievaluasi berdasarkan kualitas (level of evidence), azas manfaat dan keseimbangan antara untungrugi dari evidens tersebut (balance ofbenefits and downsides ; harms-burdens, cost). Sintesis evidens diharapkan dapatmengungkapkan bagaimana evidens tersebut diperoleh, seberapa besar relevansinya dan seberapa kuat asosiasinya dengan opsi rekomendasi yang diajukan. Evidens yang kuat-berkualitas baik namun tidak seimbang dapat dikatakan lemah sehingga kurang baik untuk digunakan dalam opsi rekomendasi. Hasil akhir stadium 4 berupa masukan dan informasi (secondary output) hasil penelitian yang disampaikan pada praktisi dan pembuat kebijakan untuk diaplikasikan (research-informed policies)
Dengan diperolehnya hasil tersebut perlu dicerna kembali seberapa besar hasil penelitian tersebut mampu mempengaruhi Kebijakan yang ada. Fakta menunjukkan bahwa tidak semua hasil penelitian dapat dijadikan opsi kebijakan dan tidak semua hasil penelitian mendapat tanggapan ataupun digunakan oleh pembuat kebijakan maupun praktisi kesehatan. Masukan untuk Kebijakan sangat dipengaruhi oleh besar dan sahihnya fakta/evidens yang dihasilkan oleh suatu penelitian. Bentuk evidens yang dikeluarkan oleh suatu penelitian dapat berupa: Data dan Temuan; Ide dan Kritik, Brief dan argumen untuk tindakan.
Data dan Temuan
Pada proses pengusulan opsi kebijakan, peneliti menyampaikan data/statistic dan hasil survei ke pembuat kebijakan akan tetapi keberhasilan diperhatikannya usulan tersebut tampaknya sangat rendah. Angka yang menunjukkan perbedaan yang konsisten dalam kematian dan kesakitan menurut strata sosial mungkin tidak akan diperhatikan ataupun diambil tindakan dalam waktu dekat kecuali misalnya pada kasus akut dan menyebabkan kematian yang tinggi seperti Flu Burung, DBD mungkin akan segera ditindak lanjuti. Evidens untuk opsi kebijakan seyogyanya diambil dari beberapa studi yang tentunya relevan dengan rekomendasi opsi yang diusulkan.
Menurut The Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) ada beberapa tahap analisis yang perlu dilakukan sebelum merekomendasikan suatu evidens yaitu: 1) merancang kerangka konsep analisis evidens dan menetapkan pertanyaan-pertanyaan kunci sebagai panduan dalam kajian sistematis, 2) kajian pustaka dan hasil-hasil penelitian untuk menjawab pertanyaan kunci, 3) menetapkan ranking sumber data yang digunakan, 4) estimasi untung-rugi dari evidens yang ada, 5) menetapkan keseimbangan antara keuntungan dan kerugian pemanfaatan evidens dalam pelayanan. AHRQ merekomendasikan 4 jenjang evidens yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menilai kualitas pelayanan klinik:
Di Indonesia, standar pelayanan kesehatan/SOP belum semuanya dikategorikan menurut gradasi/tingkat evidens seperti diatas. Untuk upaya kesehatan masyarakat, khususnya upaya promotif dan preventif, belum banyak yang ditetapkan menurut jenjang manfaat ataupun menurut keseimbangan untung-rugi (cost benefit analysis) penerapan upaya tersebut.
Menurut World Bank (dalam Atmawikarta) pada tahun 1998 untuk setiap investasi 1 USD program Fortifikasi tepung dengan zat besi memberikan manfaat sebesar 84.1 USD, sedangkan programpemberian makanan tambahan bagi balita hanya memberi manfaat sebesar 1.4 USD. Evidens upaya kesehatan masyarakat ini dikategorikan mempunyai kualitas yang baik karena dikeluarkan oleh instansi yang credible. Berdasarkan evidens tersebut mungkin dapat direkomendasikan agar program pemberian makanan tambahan bagi balita dikaji ulang karena tidak memberikan investasi yang baik dan program fortifikasi tepung dengan zat besi mungkin dapat dilakukan dalam skala nasional. Tentu saja sebelum rekomendasi kebijakan tersebut disampaikan ada baiknya diperhitungkan balance of benefits and downsides serta harms-burdens cost dari opsi kebijakan yang akan diambil.
Ide dan Kritik. Evidens dalam bentuk ide dan kritik lebih mudah diterima oleh pembuat kebijakan namun mereka umumnya hanya akan mengingat ide yang menurut mereka penting.
Brief dan argumen untuk tindakan
Usulan kebijakan dalam bentuk Brief ataupun argumen yang ditulis dalam memorandum lebih bersifat menjual opsi-opsi kebijakan. Dengan adanya Policy Brief atau Policy Memorandum, pembuat kebijakan akan diberikan informasi yang spesifik dan jelas dan juga waktu yang digunakan untuk membaca informasi tidak banyak. Namun cara ini mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan konflik karena ada yang akan diuntungkan dan dirugikan bila opsinya tidak diterima.
Menurut American Democracy Institutes tidak ada formula spesifik yang digunakan dalam penulisan Policy Memorandum, namun siapa target audiens dari Memo tersebut harus sudah ditetapkan terlebih dahulu. Memo ditulis dengan spasi tunggal dan dipisahkan dengan spasi ganda untuk tiap paragraf dengan jumlah halaman 3 sampai 5 halaman tergantung banyaknya evidens yang dikemukan.
Penyajian gambar dalam memo akan lebih efektif . Policy memoranda berisi latar belakang yang mengulas tentang situasi dan permasalahan yang menyebabkan perlunya dilakukan penelitian dan dilanjutkan dengan hasil analisis yang telah dilakukan. Isu berisi opsi kebijakan dapat disampaikan dalam bentuk pertanyaan/permasalahan yang perlu dicarikan opsi pemecahannya. Isu sebaiknya diberikan paling sedikit dua agar dapat dapat dibandingkan alternatif-alternatif seperti yang diuraikan dalam pilihan Isu. Terakhir policy memoranda berisi rekomendasi tentang Isu yang dipilih dan diusulkan untuk menjadi masukan kebijakan.
Pada tahap ini diseminasi sebaiknya dilakukan melalui actionable message seperti policy forum, seminar, round table discussion, presentasi ke stakeholder dan lokakarya. Dalam forum-forum tersebut peneliti dapat terlibat aktif dalam perumusan
masalah kebijakan dan member masukan untuk agenda kebijakan; selain itu peneliti dapat pula terlibat dalam peramalan formulasi kebijakan dan memantau serta evaluasi implementasi kebijakan tersebut.
Stadium 5. Adopsi hasil penelitian oleh praktisi dan masyarakat berupa antara lain. dikeluarkannya petunjuk teknis, SOP, dan pedoman lokal. Pada stadium ini peneliti memperoleh lesson-learned melalui identifikasi perubahan perilaku yang terjadi di tingkat pelaksana program maupun di masyarakat yang disebabkan oleh rekomendasi hasil penelitian atau oleh faktor lain.
Stadium 6. Final outcome. Tercapainya health benefit (ekuiti, efisiensi, kualitas, penerimaan/kepuasan dan kesinambungan pelayanan kesehatan) dan broader economic benefit.
5