Bagian 2
Sesudah melewati Ma-kee-po dan selagi mendekati penyeberangan Kie-hong, tiba-tiba di sebelah belakangnya terdengar tindakan kuda yang cepat luar biasa. Ouw Hui menengok dan melihat seekor kuda putih sedang mendatangi bagaikan angin. Ia menahan les dan minggirkan kudanya ke pinggir jalan. Dilain saat, berbareng dengan berkesiurnya angin, bagaikan melesatnya anak panah, kuda putih itu melewati ia dengan keempat kaki seolah-olah tidak menginjak tanah. Penunggang kuda itu adalah seorang wanita yang mengenakan baju warna ungu, tapi ia tidak dapat melihat terang mukanya, karena kuda itu lari terlalu cepat. Apa yang ia tahu, adalah bahwa wanita itu berbadan langsing.
Ouw Hui terkejut. "Kuda putih itu seperti juga tunggangan Tio Samko," katanya di dalam hati. "Kenapa muncul lagi di Tionggoan?" Sebenarnya ia niat memanggil dan mengejar, tapi untuk itu sudah tidak keburu lagi, karena kuda itu sudah kabur terlalu jauh. Si wanita menengok ke belakang sekali dan beberapa saat kemudian, ia dan tunggangannya sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Akan tetapi, meskipun mengetahui, bahwa ia tak akan dapat menyusul, Ouw Hui mengejar juga untuk menghilangkan rasa penasarannya.
Pada hari ketiga, tibalah ia di kota Hengyang, sebuah kota penting di Ouwlam selatan dekat gunung Hengsan, yang dikenal sebagai Lam-gak. Baru saja masuk di pintu kota sebelah selatan, tiba-tiba Ouw Hui melihat seekor kuda putih yang sangat gagah di depan sebuah rumah makan. Ia lantas saja mengenali, bahwa kuda itu adalah tunggangan si nona baju ungu. Dengan girang, ia lantas masuk ke rumah makan itu, tapi si nona tidak berada di situ.
Tadinya ia ingin menanya kepada pelayan, tapi lantas saja ia mengurungkan niatnya, karena kurang baik untuk menanyakan hal seorang wanita yang belum dikenalnya. Ia lalu mengambil tempat duduk di dekat pintu dan minta makanan. Di Ouwlam, orang makan dengan menggunakan sumpit yang sangat panjang dan mangkok yang sangat besar.
Setiap sayur pedas rasanya, sedang bumbunya pun menyolok sekali, sehingga sifat makanan Ouwlam adalah "gagah", cocok sekali dengan sifat Ouw Hui.
Ia bersantap sembari mengawasi kuda putih itu, sedang otaknya diasah untuk mencari kata-kata yang cocok, jika nanti ia bicara dengan si nona, mendadak, ia ingat satu hal.
"Dengan menunggang kuda itu, ia tentu mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan Tio Sam ko," pikirnya.
"Kenapa aku tak mau meletakkan saja bunga merah pemberian Samko di atas meja? Dengan melihat bunga tersebut, ia tentu akan mencari jalan untuk menegur aku."
Memikir begitu, ia meraba meja untuk mengambil bungkusannya dan... ia sangat terkejut ketika mendapat kenyataan, bahwa bungkusan itu sudah tak berada lagi di tempatnya. Terang-terang ia ingat, bahwa tadi ia meletakkan bungkusan itu di atas meja. Ke mana perginya? Ia menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam, tapi ia tak dapat melihat orang yang bisa dicurigai. "Jika manusia biasa yang mengambil bungkusanku, tak mungkin aku tidak mengetahui," katanya di dalam hati. "Dilihat gelagatnya, hari ini aku bertemu dengan orang yang mempunyai kepandaian luar biasa tingginya."
Mau tak mau, ia terpaksa menanya seorang pelayan: "Eh, ke mana perginya bungkusanku yang tadi kuletakkan di atas meja? Apakah kau melihat siapa yang mengambilnya?!"
Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata: "Barang tuan harus dijaga sendiri. Kecuali barang itu dititipkan kepada kami, kami tidak bertanggung jawab."
"Aku bukan menyuruh kau bertanggung jawab," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Aku hanya menanya, apakah kau melihat, siapa yang mengambilnya?"
"Tidak, tentu saja tidak," kata pula pelayan itu. "Mana bisa ada bangsat berkeliaran di sini? Tuan janganlah bicara sembarangan."
Ouw Hui mengetahui, bahwa ia tak perlu tarik urat dengan orang itu. Selagi ia memikirkan, bagaimana ia harus bertindak, pelayan itu berkata pula: "Makanan dan arak yang tuan makan semuanya berharga tiga chie lima hun. Aku minta tuan suka membayarnya sekarang."
Dalam bungkusannya, Ouw Hui menyimpan beberapa ratus tail perak yang ia menangkan di rumah judi Hong Jin Eng, tapi dalam sakunya sendiri tidak terdapat sepeser buta. Mendengar perkataan si pelayan, ia terkejut dan paras mukanya lantas saja berubah merah.
"Jika tuan tidak membawa uang, jangan mengatakan bungkusan hilang," kata pelayan itu sembari tertawa dingin.
Ouw Hui mendongkol mendengar ejekan itu, tapi ia sungkan bertengkar. Tanpa berkata suatu apa, ia keluar untuk mengambil kudanya. Tiba-tiba mendapat kenyataan, bahwa kuda putih itu sudah tidak berada lagi di tempat tambatannya. "Bungkusanku dan kuda itu tentu mempunyai sangkut paut yang sangat rapat," katanya di dalam hati.
Ia lalu menuntun kudanya dan sembari menyerahkan hewan itu kepada si pelayan, ia berkata: "Hewan ini sedikitnya berharga delapan ataau sembilan tail perak. Untuk sementara aku menitipkannya di sini. Sesudah memperoleh uang, aku akan datang menebusnya."
Paras muka pelayan itu lantas saja berubah manis. "Baiklah, baiklah," katanya sembari tertawa. Baru Ouw Hui berjalan beberapa tindak, tiba-tiba pelayan itu sudah memburu seraya berkata: "Tuan, jika kau tidak mempunyai uang, aku bisa memberi suatu petunjuk dan tanggung kau bisa makan kenyang."
Ouw Hui mendongkol. Ia sudah hendak membuka mulut untuk mendamprat, tapi ia mengurung-kan niatnya dan manggutkan kepalanya.
"Kejadian ini mungkin tidak terjadi sekali dalam seratus tahun," kata si pelayan sembari tertawa. "Sebenarnya, untuk tuan bagus. Beberapa hari berselang, Ban Loo-kun-su (guru silat she Ban) telah meninggal dunia dan hari ini adalah hari sembah-yang Tauwcit (sembahyang tujuh hari)."
"Ada sangkut paut apakah hal itu dengan aku?" tanya Ouw Hui.
"Ada, ada sangkut pautnya yang sangat rapat," kata si pelayan yang lalu mengambil sepasang lilin putih dan sebungkus hio dari atas meja. Sesudah menyerahkan kedua rupa barang itu kepada Ouw Hui, ia berkata pula: "Jika dari sini kau berjalan terus ke utara, belum cukup tiga lie, kau akan tiba di sebuah rumah besar yang dikelilingi beberapa ratus pohon hong. Rumah itu adalah Hong-yap-chung tempat tinggal Ban Loo-kun-su. Kau hanya perlu bersembahyang dan berlutut beberapa kali dan aku berani memastikan, bahwa kau akan bisa makan kenyang. Besok, di waktu mau berangkat, kau mengaku terus terang tidak punya ongkos dan aku merasa pasti, bahwa akan diberikan setail dua tail."
Mendengar kata-kata "Ban Loo-kun-su", Ouw Hui mengetahui, bahwa yang meninggal dunia tentulah juga seorang ternama dalam Rimba Persilatan. Ia jadi merasa ketarik dan menanya: "Kenapa Hong-yap-chung begitu manis budi terhadap tetamu?"
"Di Ouwlam selatan, siapakah yang tak mengenal Ban Loo-kun-su yang mempunyai pergaulan sangat luas?" jawabnya. Di waktu hidupnya, ia gemar bergaul dengan orang-orang gagah. Orang-orang seperti tuan yang tidak mengerti ilmu silat, bolehlah menarik sedikit keuntungan sesudah ia meninggal dunia."
Ouw Hui panas perutnya, tapi akhirnya ia jadi tertawa. "Terima kasih," katanya sembari menyoja. "Apakah orang-orang gagah dan sahabat-sahabat Ban Loo-kun-su akan datang berkunjung untuk menyatakan turut berduka cita?"
"Tentu saja," jawab si pelayan. "Dengan pergi ke situ, tuan akan memperoleh pengalaman berharga dan akan mengenal banyak orang gagah."
Perkataan itu sangat penting artinya bagi Ouw Hui. Maka itu, dengan gembira, ia lalu berangkat dengan membawa lilin dan hio.
Sesuai dengan petunjuk pelayan itu, belum cukup tiga lie, Ouw Hui tiba di depan sebuah rumah besar yang dikitari pohon-pohon hong. Di depan rumah itu digantungkan teng putih, sedang di pintu dipasangkan muilie (tirai) dari kain belacu. Begitu Ouw Hui melangkah masuk, tambur dan pat-im (musik Tionghoa) lantas dibunyikan. Ruangan sembahyang sangat besar dan di sekitarnya digantungkan banyak sekali lian dan tiok.
Ia memasang hio dan berlutut di depan meja sembahyang. "Tak perduli siapakah kau ini, kau adalah seorang Cianpwee dari Rimba Persilatan," katanya di dalam hati. "Aku merasa, bahwa kau cukup kuat untuk menerima hormatku ini."
Selagi ia berlutut, tiga hauwlam (putera dari orang yang meninggal) yang mengenakan pakaian kain belacu, juga turut berlutut untuk membalas hormatnya itu. Sesudah Ouw Hui berbangkit ketiga hauwlam itu lalu menyoja untuk menyatakan terima kasih mereka yang dibalas sebagaimana mestinya oleh Ouw Hui.
Dua di antara mereka berbadan kasar dan yang seorang lagi bertubuh kecil, sedang muka mereka berlainan satu dengan yang lain. "Tiga putera ini rasanya bukan dilahirkan oleh satu ibu," pikir Ouw Hui.
Dalam ruangan tengah terdapat banyak sekali tamu, sebagian penduduk di situ dan sebagian pula orang-orang gagah dari Rimba Persilatan, Ouw Hui menyapu dengan matanya dan dapat kenyataan, bahwa Hong Jin Eng dan si nona baju ungu tidak berada di situ.
Tidak lama kemudian, para tamu diundang untuk bersantap. Kira-kira tujuh puluh meja dipasang di ruangan tengah dan di ruangan timur dan barat. Ouw Hui mengambil tempat duduknya di suatu pojok dan sembari makan, ia memperhatikan gerak-gerik para tamu itu. Orang-orang yang berusia tua kelihatannya berduka, tapi para tamu yang berusia muda kebanyakan bereakap-cakap dengan gembira.
Di lain saat, ia melihat di meja utama ketiga hauwlam sedang melayani dua orang perwira dengan sikap menghormat. Ouw Hui agak terkejut karena kedua pembesar militer itu mengenakan seragam Gie-cian Sie-wie, tapi mereka bukan Ho Sie Ho atau kawannya. Selain mereka pada meja itu duduk juga tiga busu yang berusia lanjut.
Meskipun dari jarak jauh, dengan memusatkan perhatiannya, Ouw Hui dapat menangkap pembicaraan di meja itu. Sesudah semua tamu mengambil tempat duduk, salah seorang hauwlam lalu berdiri sambil mengangkat cawan untuk menghaturkan terima kasih, disusul oleh hauwlam ketiga. Ouw Hui merasa heran sekali.
"Satu saja sudah cukup," bisik seorang muda yang duduk bersama-sama dengan Ouw Hui.
"Jika Ban Loo-kun-su mempunyai sepuluh putera, bukankah mereka akan menghaturkan terima kasih sepuluh kali?"
"Jika Ban Hoo Seng mempunyai seorang putera saja, ia tentu sudah kegirangan setengah mati," kata seorang busu yang berusia kira-kira empat puluh tahun.
"Apa ketiga haulam itu bukan puteranya?" tanya si pemuda.
"Kalau begitu, saudara bukan sanak dan bukan kadang dari Ban Loo-kun-su," kata busu itu. "Sungguh jarang ada orang yang mau datang di rumah kematian tanpa mengenal orang yang meninggal dunia."
Pemuda itu merah mukanya, ia menunduk tanpa berkata suatu apa. Ouw Hui jadi geli. "Ah! Saudara ini seperti juga aku yang datang ke mari hanya untuk numpang makan," katanya di dalam hati.
"Aku merasa ada baiknya untuk memberi sedikit keterangan kepadamu, supaya jika ditanya orang, kau tidak jadi gelagapan," kata busu itu. "Ban Loo-kun-su adalah seorang yang ternama dan kaya raya. Hanya sayang, ia tidak mempunyai anak. Ia mempunyai tiga orang murid. Yang berbadan kecil bernama Sun Hok Houw, murid kepalanya. Yang mukanya putih dan badannya kekar adalah muridnya yang kedua, Oe-tie Lian namanya. Yang mukanya merah adalah Yo Peng, murid ketiga. Ketiga orang itu masing-masing telah mewarisi serupa kepandaian Ban Loo-kun-su dan mereka semua mempunyai ilmu silat yang lumayan. Hanya sayang, sebagai orang-orang kasar, mereka tak begitu mengenal adat istiadat. Sesudah si Toasuheng menghaturkan terima kasih, dua yang lain masih merasa perlu untuk menghaturkan terima kasih lagi."
Busu itu tidak mengetahui, bahwa penghaturan terima kasih mereka bertiga mempunyai latar belakang lain.
Beberapa saat kemudian, di meja tamu sudah timbul pertengkaran antara tiga saudara seperguruan itu. Asal mula percekcokan itu muncul dari perkataan salah seorang Gie-cian Sie-wie. Katanya, "Kami datang di sini atas perintah Hok Kongcu untuk mengundang Ban Loo-kun-su menghadiri perhimpunan para Ciangbunjin di kota raja, agar ilmu silat Siauw-lim Wie-to-bun jadi semakin terkenal. Hanya sayang Ban Loo-kun-su sudah keburu meninggal dunia."
Sesudah beberapa orang menghela napas, kawannya lalu menyambungi: "Meskipun Ban Loo-kun-su sudah meninggal dunia, tapi sebagai suatu partai besar, Wie-to-bun tentu akan segera mempunyai seorang Ciangbunjin baru. Siapakah yang akan mewarisi kedudukan itu?"
Ketiga saudara seperguruan itu saling mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Berselang beberapa saat, barulah Yo Peng, yang bermuka merah, berkata: "Suhu meninggal dunia karena masuk angin. Begitu kena, ia lantas pingsan dan tidak keburu meninggalkan pesan lagi."
"Beberapa paman guru bertempat tinggal di tempat jauh dan mereka belum diberi warta tentang meninggalnya Suhu," sambung Oe-tie Lian.
"Kalau begitu, soal mengangkat Ciangbun masih memerlukan tempo," kata Sie-wie itu. "Perhimpunan Ciangbunjin akan diadakan pada bulan Peh-gwee, Tiongchiu, dari sekarang masih ada dua bulan lagi. Kami mengharap, partai tuan akan dapat membereskan soal itu terlebih siang."
"Semenjak dulu, warisan orang tua diberikan kepada anak yang paling budiman atau anak yang paling tua," celetuk seorang busu tua. "Jika Ban Loo-kun-su tidak meningalkan pesan, kedudukan Ciangbunjin haruslah diserahlah kepada Sun Su-heng." Sun Hok Houw tertawa, paras mukanya kelihatan girang sekali.
"Menyerahkan warisan kepada yang paling tua memang benar sekali," kata seorang busu lain. "Akan tetapi, meskipun Sun Suheng berguru lebih dulu, tapi jika dihitung usia, Oe-tie Suheng lebih tua setahun daripada Sun Suheng. Oe-tie Suheng adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan sangat bijaksana. Jika kedudukan Ciangbunjin diserahkan kepadanya, ia tentu akan mengangkat naik nama Siauw-lim Wie-to-bun, sehingga di alam baka, arwah Ban Loo-kun-su akan merasa terhibur."
Mendengar itu, Oe-tie Lian menyusut kedua matanya dengan ujung baju, seperti juga merasa sedih karena mengingat sang guru.
Baru saja perkataan itu habis diucapkan, busu ketiga menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. "Tidak begitu," katanya. "Dalam keadaan biasa, aku sangat menyetujui pendapat itu. Tapi sekarang lain persoalannya. Dalam pertemuan di Pakkhia, berbagai Ciangbunjin tentu akan memperlihatkan kepandaiannya yang paling tinggi. Jika Ciangbunjin dari Wie-to-bun tak bisa bersaing dengan mereka, maka nama partai yang sudah gilang-gemilang selama beberapa ratus tahun, akan menjadi runtuh. Dari sebab itu, menurut pendapatku, kita haruslah mengangkat seorang Ciangbunjin yang mempunyai kepandaian paling tinggi dalam kalangan Wie-to-bun."
Beberapa orang lantas saja manggut-manggutkan kepalanya dan mengiakan pendapat busu tua itu. "Ketiga Suheng adalah murid-murid Ban Loo-kun-su yang disayang dan masing-masing mempunyai kepandaian yang tinggi," kata lagi busu itu. Akan tetapi, jika dibanding-banding dan ditimbang-timbang, adalah Siauwsutee Yo Peng yang berkepandaian paling tinggi."
Busu pertama lantas saja mengeluarkan suara di hidung. "Hm! Belum tentu begitu," katanya. "Menurut pelajaran ilmu silat, semakin lama seseorang berlatih, semakin tinggi kepandaiannya. Walaupun Yo Suheng adalah seorang yang berotak cerdas, akan tetapi dalam hal tenaga dalam ia masih kalah jauh dari Sun Suheng."
"Tapi aku berpendapat lain," kata busu kedua. "Dalam menghadapi lawan, yang paling penting adalah kecerdikan. Hal mengadu otak harus lebih diutamakan daripada mengadu tenaga. Aku adalah orang luar. Akan tetapi, jika aku harus bicara menurut perasaan hatiku, orang yang paling cerdik dan mempunyai paling banyak tipu daya adalah Oe-tie Suheng."
Demikianlah ketiga orang itu mulai berebut bicara. Bermula mereka masih sungkan-sungkan, tapi kemudian, sesudah ketiga-tiganya menjadi panas, suara mereka jadi semakin keras dan aseran. Para tamu lantas saja berhenti makan minum untuk mendengarkan pertengkaran itu.
Di antara tamu-tamu, kira-kira seratus orang adalah anggota-anggota partai Wie-to-bun. Mereka itu sebagian besar adalah cucu-cucu murid Ban Loo-kun-su, sehingga dapat dimengerti, jika masing-masing menyokong gurunya sendiri. Demikianlah, tarik urat itu yang dimulai dengan bisik-bisik lantas saja berubah menjadi percekcokan hebat.
Sejumlah orang berusaha untuk meredakan suasana, tapi mana mereka bisa berhasil? Beberapa orang yang berdarah panas lantas saja menepuk-nepuk meja dan mencaci maki. Suasana sangat tegang. Sedang jenazah Ban Loo-kun-su masih belum dingin, murid-murid dan cucu muridnya sudah siap untuk bertempur.
Kedua Sie-wie itu tidak mengeluarkan sepatah kata. Mereka mengawasi meja sembahyang sembari mesem. Tapi, setelah keributan memuncak, seorang antaranya mendadak berdiri. "Saudara-saudara!" katanya dengan suara nyaring. "Harap dengarkan dulu kata-kataku."
Karena mengindahkan kedudukannya sebagai pembesar negeri, semua orang lantas saja menghentikan percekcokan mereka.
Kata Sie-wie itu: "Apa yang dikatakan oleh Loo-su ini cocok sekali dengan pendapatku. Memang juga, seorang pemimpin Wie-to-bun harus mempunyai ilmu silat yang paling tinggi. Bukankah saudara-saudara juga menyetujui pendapat ini?"
Para hadirin lantas saja manggut-manggutkan kepala dan mengiyakan atas pendapat Sie-wie itu. "Dalam ilmu silat, siapa tinggi, siapa rendah tak dapat diputuskan dengan omongan belaka," katanya pula. "Hal itu hanya dapat dipastikan dengan jalan mengadu kepandaian. Baik juga, Samwie (ketiga tuan) adalah saudara seperguruan, sehingga menang kalah tak akan merusak keakuran. Selain itu, menang kalah juga tak akan menurunkan derajat Wie-to-bun. Sekarang ini, menurut pendapatku, jalan satu-satunya adalah Samwie coba pibu (adu silat) di hadapan lengwie (hiolow atau papan nama yang dipuja) Ban Loo-kun-su, agar dengan berkah roh beliau, soal Ciangbunjin bisa dapat dipastikan secara adil dan memuaskan semua pihak."
Usul itu diterima dengan sorak-sorai oleh para hadirin. Sejumlah orang berteriak-teriak untuk menyatakan persetujuannya.
Mendengar usulnya mendapat dukungan penuh, paras muka Sie-wie itu jadi berseri-seri.
"Piebu di antara saudara seperguruan adalah kejadian yang lumrah saja," katanya pula. "Tapi sebelum Samwie mulai, lebih dulu aku ingin mengajukan suatu permintaan."
Antara ketiga orang itu, adalah Oe-tie Lian yang paling cerdik. "Katakan saja, Tayjin," katanya. "Kami bertiga tentu akan meluluskannya."
"Sesudah mendapat persetujuan, sekarang kita menetapkan, bahwa siapa yang ilmu silatnya paling tinggi, akan menjadi Ciangbunjin," kata Sie-wie itu. "Sesudah ada keputusan, semua pihak harus menerima dengan rela hati dan tidak boleh bertengkar lagi."
"Tentu saja, tentu saja," jawab mereka hampir berbareng.
Dalam ilmu silat ketiga Suhengtee (saudara seperguruan) masing-masing mempunyai kepandaian istimewa. Maka itu, biarpun mereka tidak berani memastikan akan mendapat kemenangan, setiap pihak merasa ungkulan untuk merubuhkan lawannya.
"Kalau begitu, marilah kita menyediakan suatu tempat yang cukup lebar di sini," kata lagi Sie-wie itu.
Semua orang lantas saja repot menggeser meja kursi dan dalam sekejap, di depan meja sembahyang itu terbuka suatu kalangan luas yang sudah kosong. Sesaat itu, kecuali beberapa orang yang terus merabu makanan, hampir semua tetamu tak mempunyai kegembiraan lagi untuk makan minum.
"Siapa yang maju lebih dulu?" tanya Sie-wie itu. "Apa Sun Toako dan Oe-tie Toako?"
"Baiklah," sahut Sun Hok Houw yang lantas saja menyambuti sebatang golok yang diangsurkan oleh seorang muridnya. Sesudah berlutut di depan meja sembahyang, ia memutarkan badan seraya berkata: "Oe-tie Sutee, hayolah!"
Oe-tie Lian adalah seorang licik. Ia merasa, bahwa jika ia bertempur dalam babak pertama, sesudah menang, ia masih harus melayani Suteenya. Jalan yang paling baik adalah membiarkan Suheng dan Suteenya bertempur lebih dulu dan kemudian, barulah ia turun tangan.
Memikir begitu, lantas saja ia menyoja seraya berkata: "Ilmu silatku tak bisa merendengi Suheng dan juga tak dapat menandingi Sutee. Sebenarnya, tak berani aku mengikuti pertandingan perebutan Ciangbunjin ini. Akan tetapi, untuk memenuhi pengharapan para Loo-su, apa boleh buat aku akan melayani Suheng dan Sutee untuk beberapa jurus saja. Sekarang, baiklah Yo Sutee yang maju terlebih dulu."
Yo Peng adalah seorang yang tidak sabaran. Mendengar begitu, lantas saja ia berteriak: "Baiklah!" Sesudah mengambil golok dari tangan muridnya, dengan tindakan lebar ia masuk ke dalam gelanggang. Tanpa memberi hormat dulu di hadapan meja sembahyang, lantas saja ia memasang kuda-kudanya.
Goloknya yang dicekal dengan tangan kanan. dilintangkan di pundak kiri, tangan kirinya ditekuk seperti gaetan, kaki kanannya berdiri tegak, sedang kaki kirinya sedikit dikeluarkan. Itulah pasangan Hu-kian-to (Golok melindungi pundak) dari Liok-hap To-hoat (Liok berarti enam, Hap berarti akur atau bersatu, tapi Liok-hap atau Enam bersatu bisa berarti juga seluruh jagat atau dunia To-hoat berarti ilmu golok).
Dalam ilmu silat Siauw-lim Liok-hap mempunyai arti yang seperti berikut:
Semangat, hawa dan jiwa dinamakan Lwee-sam-hap (Tiga hap dalam). Tangan, mata dan badan dinamakan Gwa-sam-hap (Tiga hap luar). Dalam ilmu silat Liok-hap, mata harus bersatu dengan hati, hati bersatu dengan hawa, hawa bersatu dengan badan, badan bersatu dengan tangan, tangan bersatu dengan kaki dan kaki bersatu dengan selangkangan. Dengan demikian seluruh tubuh manusia, di dalam dan di luar, merupakan kesatuan yang bersatu padu (Liok-hap atau seluruh jagat).
Di antara para tetamu banyak terdapat ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi. Melihat pasangan Yo Peng yang teguh dan bersemangat, diam-diam mereka jadi memuji di dalam hati.
Di lain pihak, Sun Hok Houw pun sudah memasang kuda-kuda. Ia menyembunyikan goloknya di belakang lengan kanan, sedang tangan kirinya dilonjorkan ke depan. "Sutee, hayolah!" ia mengundang.
Busu setengah tua itu yang duduk semeja dengan Ouw Hui, agaknya ingin memperlihatkan pengetahuannya mengenai ilmu silat. Ia berpaling kepada si pemuda seraya berkata: "Kalau kita ingin menilai kepandaian orang, perhatikanlah tangannya jika orang itu bersenjatakan golok tunggal dan perhatikanlah kakinya, jika ia menggunakan sepasang golok. Seorang yang menggunakan golok tunggal, mencekal senjatanya dengan tangan kanan dan tangan kirinya kosong. Dengan memperhatikan gerakan dan pukulan tangan kirinya, dapatlah kita menilai ilmu goloknya. Coba lihat pasangan tangan kiri Sun Suheng. Sikapnya membela diri itu mengandung unsur-unsur persiapan serangan. Sungguh hebat tenaga dalamnya."
Mendengar keterangan itu, tanpa merasa Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya.
Selagi si busu berbicara, kedua Suhengtee itu sudah mulai bergebrak. Pukulan dibalas dengan serangan, golok beradu depan golok. Sesudah mengawasi beberapa saat, busu setengah tua itu berkata pula: "Hm! Mereka mempergunakan enam huruf dari teori ilmu golok, yaitu Tian, Mo, Kauw, Kan, Pek dan Tok. Gerakan mereka tepat sekali."
"Apakah artinya itu?" tanya si pemuda yang duduk di samping Ouw Hui.
"Mata golok menghadap ke luar dinamakan Tian," si busu menerangkan. "Menghadap ke dalam dinamakan Mo. Membengkokkan gerakan golok adalah Kauw, menyabet di sebelah atas adalah Kan, menebas ke bawah dengan menggunakan kedua tangan adalah Pek, sedang memapas ke bawah dinamakan Tok."
Pemuda itu yang tidak mengerti ilmu silat, hanya mengangguk dan terus menonton pertempuran yang sedang berlangsung itu.
Meskipun Ouw Hui mahir dalam ilmu golok, tapi dalam kitab warisan leluhurnya tidak dapat catatan tentang perbedaan-perbedaan teknis yang begitu kecil. Apa yang tertulis dalam kitab itu hanyalah pukulan-pukulan untuk membela diri dan merubuhkan musuh. Maka itu, keterangan busu tersebut sedikit banyak sudah menambah juga pengetahuannya.
Semakin lama kedua Suhengtee itu bertempur semakin seru. Sun Hok Houw menang setingkat dalam hal kegesitan, sedang Yo Peng lebih unggul dalam hal tenaga. Dengan adanya perimbangan tersebut, untuk sementara belum ada yang keteter.
Selagi semua orang memusatkan perhatiannya ke gelanggang pertandingan, dari luar mendadak masuk seorang yang lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Kenapa ilmu golok Wie-to-bun di-pertunjukkan secara begitu tolol? Hayo, berhenti! Bikin malu saja, kau!"
Sun Hok Houw dan Yo Peng terkejut, hampir berbareng mereka melompat mundur. Orang yang berkata begitu adalah seorang wanita muda yang mengenakan baju warna ungu dan bertubuh langsing kecil. Ouw Hui lantas saja mengenali, bahwa ia itu bukan lain daripada si nona yang menunggang kuda bulu putih. Dan apa yang mengagetkan Ouw Hui, bungkusan yang menggemblok di punggung wanita itu adalah bungkusannya sendiri yang hilang di rumah makan. Nona itu bermuka potongan kwaci, kedua alisnya panjang dan melengkung, kulitnya agak hitam, tapi halus dan bening dan dalam keseluruhannya, ia adalah seorang wanita yang cantik sekali.
Ouw Hui terperanjat. "Usia wanita itu kira-kira bersamaan dengan aku," katanya di dalam hatinya. "Apakah benar-benar ia mempunyai ilmu silat yang begitu tinggi, sehingga ia bisa memungut buntalanku, tanpa aku merasa?"
Mendengar kata-kata yang sombong itu, Sun Hok Houw dan Yo Peng lantas saja menjadi gusar. Tapi mereka tercengang ketika mengetahui, bahwa yang berkata begitu adalah seorang wanita muda. Mereka terpaku dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
"Dalam menggunakan Liok-hap To-hoat, orang harus memperhatikan empat huruf Hie-sit-kiauw-tah. (Memukul dengan kecerdikan)." kata pula si nona. "Tapi kamu menghantam kalang kabut seperti kerbau edan. Apakah itu ilmu silat Wie-to-bun? Apa itu Liok-hap To-hoat? Hm! Aku tak nyana, Ban Loo-kun-su yang namanya begitu cemerlang, mempunyai murid-murid begitu tolol seperti kamu." Jika yang mengucapkan kata-kata itu seorang lelaki, Sun Hok Houw dan Yo Peng tentu sudah turun tangan. Tapi mereka merasa sungkan untuk menyerang seorang wanita yang kelihatannya begitu lemah. Ada satu hal yang mereka tidak habis mengerti. Hie-sit-kiauw-tah memang benar adalah Kouwkoat (teori) dari Liok-hap To-hoat. Dari mana si nona mendapat empat huruf itu?
Sementara itu, Oe-tie Lian sudah maju menghampiri dan menanya sembari merangkap kedua tangannya "Bolehkah aku mendengar she dan nama nona yang mulia?"
Wanita itu mengeluarkan suara di hidung, ia tidak menjawab pertanyaan orang.
"Hari ini, di hadapan meja abu mendiang guru kami, partai kami ingin memilih seorang Cianbung-jin baru," kata pula Oe-tie Lian. "Jika nona senang, boleh nona turut menonton." Ia mengangsurkan tangannya sebagai undangan supaya wanita itu mengambil tempat duduk.
Kedua alis nona itu agak berdiri. "Siauw-lim Wie-to-bun adalah suatu partai kenamaan dalam Rimba Persilatan," katanya dengan suara nyaring. "Dengan memilih Ciangbun dari antara orang-orang semacam ini, bukankah hanya akan menjatuhkan nama besar Bu-siang Thaysu?"
Mendengar kata-kata itu, beberapa ahli silat dari tingkatan tua jadi terkejut. Bu-siang Thaysu adalah seorang paderi berilmu, seorang yang telah mempelajari Liok-hap Kun-hoat, Couwsu (kakek guru) yang telah mendirikan partai Wie-to-bun.
"Cianpwee manakah yang sudah menyuruh nona datang ke mari?" tanya pula Oe-tie Lian sembari merangkap kedua tangannya. "Ada petunjuk apakah yang nona hendak berikan kepada partai kami?" Sedang Oe-tie Lian masih dapat berbicara manis-manis, adalah Sun Hok Houw dan Yo Peng yang sudah merasa mendongkol sekali. Mereka belum berani memperlihatkan kegusarannya, karena kata-kata nona itu benar-benar sangat mengejutkan.
"Aku senang datang, aku datang," jawab nona itu dengan suara dingin. "Perlu apa mesti mendapat perintah orang? Aku dan Wie-to-bun masih ada sangkut pautnya dan karena melihat terjadinya kekacauan, terpaksa aku mesti datang untuk mengeluarkan sepatah dua patah."
Sampai di situ, Yo Peng tak dapat menahan sabar lagi. "Ada hubungan apa antara kau dan Wie-to-bun?" ia membentak. "Kami sedang mengurus urusan penting, harap kau suka minggir dan jangan menjadi rintangan." Ia berpaling kepada Sun Hok Houw dan melanjutkan perkataannya:
"Toasu-heng, marilah kita mulai lagi." Sembari berkata begitu, ia menggeser kaki kirinya ke depan, goloknya dilintangkan di pinggang dan segera bergerak untuk membuka serangan.
"Itulah pukulan Mo-sin-lan-yauw-cam (Meraba badan menebas pinggang)," kata si nona. "Tapi tindakanmu yang seharusnya enteng terlalu berat, sedang tindakan yang seharusnya berat, tak cukup teguh. Sorot kedua matamu tidak mengawasi lawan secara langsung, tapi melirik ke arahku. Salah! Semua salah!"
Tiga murid Ban Loo-kun-su itu tercengang bukan main. Perkataan si nona tiada bedanya dengan perkataan mendiang guru mereka jika sedang mengajar silat. Apakah benar-benar ia paham Liok-hap To-hoat?
Selagi nona itu bicara dengan Oe-tie Lian, Sie-wie yang duduk di meja utama, tidak mengeluarkan sepatah kata. Tapi sekarang ia membuka mulut.
"Untuk apa nona datang ke sini?" tanyanya.
"Siapakah gurumu?"
Sebaliknya dari menjawab pertanyaan itu, ia berbalik menanya: "Bukankah sekarang Siauw-lim Wie-to-bun sedang memilih Ciangbunjin?"
"Benar," jawab Sie-wie itu.
"Asal orang separtai, siapa juga boleh turut dalam perebutan ini, bukan?" tanya pula si nona.
"Tak salah," jawabnya.
"Aku datang untuk merebut kursi Ciangbunjin!"
Melihat paras nona itu yang sungguh-sungguh, semua orang jadi terkejut. Melihat kecantikannya itu, dalam hati Sie-wie itu lantas saja timbul rasa sayang dan oleh karena itu, ia segera berkata: "Jika nona mengerti ilmu silat, biarlah sebentar kau mempertunjukkan kepandaianmu supaya kita bisa menambah pengalaman. Tapi sekarang, biarkanlah mereka bertiga menguji kepandaian dulu. Apakah nona setuju?"
Si nona mengeluarkan suara di hidung dan berkata: "Mereka tak usah bertempur lagi. Satu persatu lawan aku."
Sehabis berkata begitu, ia berpaling kepada seorang murid Wie-to-bun dan berkata: "Coba kasih aku meminjam golokmu."
Si baju ungu berwajah cantik, bertubuh kecil dan lemah lembut gerak-geriknya, tapi suara dan sikapnya mempunyai semacam pengaruh yang sukar dilawan orang. Murid itu sangsi sejenak, tapi akhirnya ia mengangsurkan juga goloknya, hanya berbeda dari kebiasaan, ia tidak membalik senjata itu dan mengangsurkan ujungnya ke arah si nona. Si baju ungu segera mementang dua jerijinya yang kecil lancip dan menjepit belakang golok itu yang lalu diambilnya dengan suatu gerakan yang indah sekali.
"Apakah dua orang akan maju berbareng?" tanyanya dengan suara dingin.
Yo Peng adalah seorang kasar yang biasanya memandang rendah kepada kaum wanita. Ia menganggap lelaki tidak pantas bertempur dengan seorang perempuan. Lebih lagi, sesudah melihat lagak si baju ungu yang otak-otakan, ia merasa lebih baik jangan meladeni wanita itu. Demikianlah, sembari menenteng goloknya, ia mengundurkan diri dari gelanggang seraya berkata: "Toasuko, biar kau saja yang mengusir dia!"
Sun Hok Houw juga tengah bersangsi. "Tidak... tidak..." katanya. Belum habis ia mengucapkan perkataannya, si nona sudah membuka serangan seraya berseru: "Yan-cu-lik-sui (Walet mengebas air)!" Tangan kirinya yang ditekuk seperti gaetan melindungi pergelangan tangan kanannya, goloknya menyontek ke atas dari bawah, sedang tubuhnya agak mendoyong ke belakang. Itulah salah satu pukulan hebat dari Liok-hap To-hoat! Sun Hok Houw tidak menduga, bahwa nona itu bisa menyerang secara begitu cepat, tapi sebagai orang yang sudah berlatih dua puluh tahun lebih, dengan mudah ia dapat memunahkan serangan itu dan membalas dengan pukulan Kim-so-tui-tee (Kunci emas jatuh di tanah).
"Kwan-peng-hian-in (Kwan Peng mempersembahkan cap kebesaran)!" seru pula nona itu, sembari membalikkan golok yang lalu diacungkan ke atas. Menurut kebiasaan, Sesudah Yan-cu-liak-sui, yaitu pukulan dari bawah menyontek ke atas, orang tidak dapat menggunakan Kwan-peng-hian-in, serupa pukulan yang juga bergerak dari bawah ke atas. Di luar dugaan, dengan miringkan sedikit badannya, dapat juga ia menggunakan pukulan tersebut dan goloknya menyambar ke kepala lawan. Sun Hok Houw terkesiap, buru-buru ia menunduk untuk menolong kepalanya.
"Hong-hong-hian-o (Burung Hong pulang ke sarang)!" teriak pula si baju ungu, tangan kirinya menyambar dan menghantam pergelangan tangan orang, sedang goloknya menebas dari atas ke bawah.
Trang! golok Sun Hok Houw terlempar di atas lantai dan golok si nona menyambar ke lehernya yang sudah tidak terjaga lagi!
"Ah!" beberapa orang mengeluarkan teriakan tertahan. Mereka merasa bahwa kepala Sun Hok Houw akan segera jatuh menggelinding, karena golok itu tengah menyambar dengan kecepatan luar biasa. Tapi, pada detik yang terakhir, yaitu pada waktu mata golok tiba menempel di leher Sun Hok Houw, si nona menahan gerakan senjatanya!
Jantung Ouw Hui memukul keras. Ia mengetahui, bahwa merubuhkan Sun Hok Houw dalam tiga jurus, bukan satu pekerjaan sukar. Akan tetapi, menahan jalannya golok yang sedang menyambar bagaikan kilat dan apalagi menahan secara begitu tepat, adalah di luar kemampuannya sendiri.
Di lain pihak, Sun Hok Houw membungkuk sembari menunduk, sehingga hampir-hampir janggutnya menyentuh tanah. Tapi golok si nona mengikuti terus, sehingga biarpun ia mempunyai kepandaian yang tinggi, dengan mata golok ditandalkan di lehernya, ia tak bergerak lagi.
Si baju ungu kemudian menyapu seluruh ruangan dengan matanya dan menarik pulang senjatanya.
"Apakah kau pernah mempelajari Hong-hong-hian-o?" tanyanya.
"Sudah," jawab Sun Hok Houw dengan menunduk. Entah berapa ribu kali ia sudah berlatih dengan pukulan itu, tapi ia sama sekali tidak mendusin, bahwa Hong-hong-hian-o dapat digunakan secara demikian. Dengan perasaan sangsi, bingung dan malu, sambil menenteng golok, ia berjalan ke luar dari gelanggang.
Melihat kakak seperguruannya dirubuhkan dalam tiga jurus, Yo Peng jadi bercuriga. "Apakah ini bukan akal bulus Toasuheng?" tanyanya di dalam hatinya. "Apakah tak mungkin, untuk merebut Ciang-bun, ia sengaja bersekutu dengan perempuan itu?"
Memikir begitu, lantas saja ia menanya: "Toa-suko, aku heran sekali, kenapa dalam tiga jurus saja, kau sudah mengalah. Apakah artinya ini? Apakah kau sudah tidak memperdulikan lagi derajat Wie-to-bun?"
Sun Hok Houw yang belum pulang semangatnya dan malah ia sendiri tidak mengerti, kenapa sudah kena dijatuhkan dalam tiga jurus saja, menjadi lebih bingung ketika mendengar pertanyaan Suteenya.
"Aku... aku..." jawabnya, tergugu dan terputus-putus.
"Aku kenapa?" bentak Yo Peng dengan suara gusar. Sembari mencekal golok, ia loncat dan menuding, seraya berteriak: "Kau...."
Baru saja sepatah perkataan itu ke luar dari mulutnya, suatu sinar putih berkelebat dan golok si baju ungu sudah menyambar dari bawah ke atas. Gerakan itu luar biasa cepatnya dan dalam kagetnya, Yo Peng merasa, bahwa ia diserang dengan pukulan Yan-cu-liak-sui. Secara otomatis, ia menolong diri dengan Kim-so-tui-tee, suatu pukulan yang ia mahir sekali. Sebelum kedua golok itu kebentrok. golok si nona kembali berkelebat dan menyabet ke atas dengan gerakan Kwan-peng-hian-in. Yo Peng terkesiap dan tanpa merasa, ia berteriak: "Hong-hong-hian-o!" Hampir berbareng dengan teriakannya, tangannya sudah kesemutan, goloknya jatuh dan lehernya sudah ditandalkan golok!
Demikianlah, si baju ungu telah menggunakan tiga pukulan yang sama untuk merubuhkan Yo Peng. Perbedaannya adalah: Tempo yang digunakannya untuk menjatuhkan Yo Peng ada lebih pendek daripada waktu merubuhkan Sun Hok Houw.
"Kau menyerah?" tanya nona itu dengan suara dingin.
Darah Yo Peng mendidih. "Tidak!" ia berteriak sekuat suaranya.
Si baju ungu menekan sedikit senjatanya ke leher orang, tapi Yo Peng ternyata sangat berkepala batu. "Biar kepalaku ditebas tak akan aku menyerah," katanya. Sebaliknya dari menunduk, ia mengangkat kepalanya, sehingga nona itu yang memang tidak ingin mencelakakan dia, lantas saja mengangkat goloknya.
"Dengan cara apa baru kau mau menyerah?" tanyanya.
"Dalam ilmu golok, seperti juga dia mempunyai ilmu siluman," pikir Yo Peng. "Dalam ilmu silat yang sesungguhnya, belum tentu aku kalah." Memikir begitu, lantas saja ia menyahut: "Jika kau mempunyai nyali, mari kita bertempur dengan menggunakan tombak."
"Hong-hong-hlan-o!" berterlak Yo Peng dengan terkejut. belum habis teriakannya, pergelangan tangannya kesemutan dan goloknya jatuh di atas lantai. Dalam tiga Jurus, ia sudah dirubuhkan oleh si baju ungu.
"Baiklah," sahut nona itu sembari melemparkan goloknya kepada murid Wie-to-bun yang tadi meminjamkannya. "Aku justru ingin menyaksikan, sampai di mana kau sudah berlatih dengan Liok-hap Ciang-hoat (Ilmu tombak Liok-hap)."
Dalam gusarnya, muka Yo Peng yang memang berwarna merah, jadi berubah ungu.
"Ambil tombak, lekas!" ia berteriak.
Seorang muridnya segera pergi ke Lian-bu-teng (ruangan tempat berlatih ilmu silat) dan kembali lagi dengan membawa sebatang tombak. Yo Peng adalah seorang yang adatnya berapi. Tanpa berkata suatu apa, ia menggampar dan berteriak: "Perempuan itu mau bertempur dengan aku dengan menggunakan tombak. Kau dengar tidak? Kenapa hanya mengambil satu?"
Murid itu yang kepalanya pusing dan matanya berkunang-kunang, jadi gelagapan. Seorang murid lain yang khawatir sang guru akan memukul lagi, buru-buru menyelak seraya berkata: "Biarlah aku saja yang mengambilnya." Ia berlari-lari dan kembali dengan membawa sebatang tombak lain, yang lalu diserahkan kepada si nona.
Begitu menyambuti, ia menikam sembari berseru: "Jagalah!" Pukulan yang digunakannya adalah Su-ie-peng-hok (Empat suku bangsa menakluk), semacam pukulan yang paling lihay dalam Liok-hap Ciang-hoat dan dianggap sebagai pukulan utama dari Jie-cap-sie-sit (Dua puluh empat macam pukulan). Ilmu tombak itu juga dikenal sebagai Tiong-peng Ciang-hoat.
Walaupun Ouw Hui berkepandaian sangat tinggi, tapi apa yang ia pelajari hanyalah ilmu golok dan ilmu silat tangan kosong. Ilmu menggunakan senjata lain, tak begitu dikenalnya. Maka itu ia lantas saja melirik si busu setengah tua dengan sorot mata minta petunjuk.
Sebenarnya, busu itu hanya memiliki kepandaian yang tidak seberapa. Tapi, berkat pergaulannya yang lama dengan Ban Loo-kun-su, ia mengenal banyak sekali ilmu silat Liok-hap. maka itu, begitu melihat sorot matanya Ouw Hui, lantas saja ia berkata: "Tiong-peng-ciang adalah raja ilmu tombak. Tinggi, rendah, jauh, dekat, tak menjadi soal... perginya bagaikan anak panah... datangnya bagaikan benang...." Apa yang dikatakan olehnya adalah Ko-koat (teori ilmu silat yang disusun seperti sajak) dari ilmu tombak Tiong-peng-ciang. Belum habis ia menghafal Ko-koat itu, untuk menyambut serangan Yo Peng, nona itu menekan ke bawah dengan ujung tombaknya.
"Itulah pukulan Bie-jin-jin-ciam (Wanita cantik mengenali jarum)," kata busu itu. "Pukulan itu adalah pukulan biasa saja.
Mungkin sekali, ia tak akan dapat menandingi kepandaian Yo Suheng...."
Tiba-tiba, wanita itu berjongkok dan ujung tombaknya berhasil menindih senjata Yo Peng. Itulah pukulan Leng-niauw-po-cie (kucing sakti menerkam tikus) dari Ciang-hoat. Pukulan tersebut juga dikenal sebagai Bu-tiong-seng-yu-ciang, yang berarti, bahwa pukulan yang "kosong" dengan mendadak bisa berubah menjadi pukulan yang lihay.
Demikianlah, dalam tiga jurus saja, Yo Peng sudah kena ditindih. Dengan sekuat tenaganya, ia berontak dari tekanan lawan. Nona itu menyontek dengan senjatanya dan... "tak!" kepala tombak Yo Peng patah dan jatuh di atas lantai.
Bagaikan kilat, tombak itu berkelebat dan menuding kempungan Yo Peng. "Bagaimana?" tanya si nona dengan suara perlahan.
Muka Yo Peng yang tadi ungu, sekarang berubah menjadi pucat pias. "Sudahlah! Sudahlah!" ia berseru sembari melemparkan gagang tombaknya dan segera berjalan ke luar dengan tindakan lebar.
"Suhu! Suhu!" panggil salah seorang muridnya sembari mengejar. Begitu si murid datang dekat, ia berbalik dan menendang, sehingga murid itu rubuh terjungkal, dan kemudian, tanpa menengok lagi, ia berlari-lari ke luar pintu.
Para hadirin, tanpa terkecuali, merasa kaget dan kagum. Ilmu silat yang digunakan oleh wanita itu, adalah ilmu silat Wie-to-bun tulen. Sun Hok Houw dan Yo Peng adalah jago-jago partai tersebut, tapi mereka berdua, baik menggunakan golok maupun tombak, sudah dirubuhkan dalam hanya tiga jurus. Itulah suatu kejadian yang benar-benar tak dapat dimengerti, tapi benar juga sudah terjadi.
Sekarang adalah giliran Oe-tie Lian yang maju ke depan sambil merangkap kedua tangannya. "Ilmu silat nona memang luar biasa tingginya," katanya. "Aku mengetahui, bahwa diriku bukan tandinganmu, tapi...."
Alis nona itu mengkerut. "Kau terlalu rewel." katanya dengan suara tawar. "Aku tak sabar mendengarkan ucapan yang panjang lebar. Jika kau menyerah di mulut dan menyerah di hati, lekaslah menyatakan sokonganmu kepadaku untuk menjadi Ciangbun. Jika kau penasaran, hayolah kita bertempur."
Muka Oe-tie Lian jadi bersemu merah. "Perempuan ini hebat tangannya, hebat juga mulutnya," katanya di dalam hati. Tapi ia dapat menahan sabar dan lantas saja berkata: "Suheng dan Suteeku sudah rubuh dalam tanganmu. Maka itu, tak dapat tidak, aku harus juga mempersembahkan ketidakbecusanku...."
"Baiklah," si nona memotong perkataan orang. "Senjata apa yang kau ingin menggunakannya?"
Kata Oe-ti Lian: "Semenjak dulu, Wie-to-bun terkenal dalam ilmu silat tangan kosong, ilmu golok dan ilmu tombaknya...."
Baru saja ia berkata sampai di situ, si nona sudah melemparkan tombaknya. "Baik," katanya. "Kau tentu ingin bertempur dengan tangan kosong. Hayo!"
"Kita boleh tak usah mencoba lagi dalam Liok-hap-kun yang tulen," kata Oe-ti Lian. "Aku pasti tak bisa mengalahkan nona. Jika mungkin, aku ingin sekali memohon pengajaran dalam Cek-ko...."
Paras muka wanita itu lantas berubah tidak senang. "Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung. "Kalau begitu, kau mahir sekali dalam Cek-ko Lian-kun. Bolehlah!" Hampir berbareng dengan perkataannya, ia menebas tulang pundak Oe-ti Lian dengan tangan kanannya.
Cek-ko Lian-kun adalah salah satu ilmu silat Wie-to-bun. Ilmu itu, yang mengambil Liok-hap-kun sebagai pokoknya, agak mirip dengan Kauw-kun (Ilmu silat kera). Pukulan-pukulannya terdiri dari serentetan Siauw-kin-na-chiu-hoat, yaitu ilmu menangkap dan mencengkeram seperti jujitsu bangsa Jepang. Setiap gerak serangan, jika bukan menangkap, mencengkeram, menggaet atau mengunci, tentulah menotok jalan darah. Sesudah menyaksikan kelihayan nona itu dalam ilmu golok dan tombak, Oe-ti Lian merasa, bahwa kemungkinan satu-satunya untuk memperoleh kemenangan adalah bertempur dengan ilmu Cek-kok Lian-kun. Ia menganggap, bahwa meskipun lihay, sebagai seorang wanita, tenaga si nona tentu tidak seberapa. Di samping itu, dalam pertempuran dengan menggunakan Cek-ko Lian-kun yang mirip dengan orang bergulat, si nona tentu akan merasa kikuk dan kekikukan itu akan memungkinkan ia mendapat kemenangan.
Wanita itu agaknya sudah dapat membaca jalan pikiran Oe-ti Lian, maka begitu bergerak, ia menebas dengan telapakan tangannya. Oe-ti Lian menyampok dengan tangan kirinya, yang ingin diteruskannya untuk menotok jalan darah Kian-ceng-hiat, sesudah berhasil menangkis pukulan itu. Tapi, sebelum tangannya beradu dengan tangan lawan, si nona mendadak membalikkan telapak tangannya dan sebuah jerijinya sudah menyambar ke kiri, ke arah jalan darah Jin-tiong-hiat.
Oe-ti Lian girang melihat munculnya kesempatan baik ini. Sembari mencoba menangkap dengan tangan kanannya, tangan kirinya coba memeluk pinggang orang. Tapi, secara tidak diduga-duga, kaki kanan si nona mendadak menyepak dan hampir berbareng dengan itu, Oe-ti Lian terpental jauh, akan kemudian jatuh ngusruk di atas lantai cimehe, dengan janggut berlumuran darah. Serangan si nona, adalah salah satu tipu Cek-ko Lian-kun dan ia sudah berhasil merubuhkan lawannya, tanpa badannya sendiri kena ditowel. Demikianlah, antara tiga saudara seperguruan, Oe-ti Lian yang menderita paling hebat.
Melihat lihaynya nona itu, Sie-wie yang duduk di meja utama, menjadi girang bukan main. la menuang secawan arak dan dengan sikap menghormat, mengangsurkan cawan itu kepada si baju ungu. "Sungguh tinggi kepandaian nona," ia memuji. "Andaikata Ban Loo-kun-su hidup kembali, belum tentu ia dapat memperlihatkan ilmu yang sedemikian tingginya. Hari ini, nona mewarisi kedudukan Ciangbun dan kejadian ini benar-benar suatu kejadian yang menggirangkan untuk Wie-to-bun. Maka itu, dengan menggunakan kesempatan ini, aku ingin menghaturkan selamat."
Si nona menyambuti cawan arak itu, tapi baru saja ia mengangkatnya untuk dicegluk, di suatu pojok mendadak terdengar suara aneh. "Apa nona itu benar-benar anggota Wie-to-bun?" kata suara itu. "Aku rasa bukan."
Si baju ungu menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam, tapi ia tak bisa mengetahui, siapa yang sudah mengeluarkan kata-kata itu. "Siapa yang penasaran, boleh maju saja," katanya dengan suara dingin.
Sesaat itu, seluruh ruangan menjadi sunyi senyap.
"Sebagaimana sudah ditetapkan terlebih dulu, kedudukan Ciangbun akan diserahkan kepada orang yang berkepandaian paling tinggi," kata Sie-wie itu. "Semua orang sudah menyaksikan, bahwa ilmu silat yang diperlihatkan oleh nona itu, adalah ilmu silat Liok-hap-pay tulen. Baik dalam ilmu golok, ilmu tombak, maupun ilmu silat dengan tangan kosong, nona itu sudah menggunakan pukulan-pukulan dari Liok-hap-pay. Maka itu, menurut pendapatku, sekarang kita tidak bisa menyangsikannya pula. Andaikata di antara saudara-saudara anggota Wie-to-bun ada yang masih merasa penasaran, sekalian boleh turun ke dalam gelanggang untuk mencobanya. Atas perintah Hok Kong-cu aku mengunjungi berbagai tempat untuk mengundang jago-jago di seluruh
negeri, guna mengadakan pertemuan di kota raja. Semakin tinggi kepandaian orang yang diundang olehku, semakin terang mukaku. Dalam hal ini, sama sekali tidak ada soal memilih kasih." Sesudah berkata begitu, ia lantas tertawa terbahak-bahak.
Ia menunggu beberapa saat dan setelah tak ada yang menyahut, ia segera berkata pula: "Jika kalian tidak mempunyai pendapat lain, maka kedudukan Ciangbun dengan sewajarnya harus diserahkan kepada nona itu. Dalam Rimba Persilatan, aku sudah mengenal banyak juga orang gagah dan Ciang-bunjin. Tapi, sebegitu jauh, belum pernah aku bertemu dengan seorang Ciangbunjin yang begitu muda, yang begitu cantik... he-he... seperti si nona. Inilah yang dikatakan: Enghiong muncul dari kalangan orang muda, seorang pandai tak perlu berusia tua. Aha! Aku sudah bicara panjang lebar, tapi belum mengetahui she dan nama nona yang mulia."
Nona itu kelihatan sangsi sejenak. Selagi ia mau membuka mulut, Sie-wie itu sudah berkata pula: "Hari ini, di antara sepuluh, ada delapan atau sembilan murid Wie-to-bun yang hadir dalam ruangan ini. Sebentar lagi, mereka harus memberi hormat kepada Ciangbunjin yang baru dan oleh karenanya, mereka harus mengetahui nama nona."
Si baju ungu manggutkan kepalanya seraya berkata: "Benar. Aku she Wan... namaku Cie Ie."
Sie-wie itu adalah seorang yang berpengalaman. Melihat sikap nona tersebut yang agak sangsi, ia lantas saja menduga, bahwa "Cie Ie" bukan nama yang benar. "Cie Ie" berarti "Baju Ungu", yaitu baju yang sedang dipakainya. Tapi, sebagai seorang berpengalaman, ia pun tak mau usilan. "Nona Wan," katanya sembari tertawa. "Duduklah di sini. Meja utama ini haruslah diserahkan kepadamu."
Pangkat Sie-wie adalah pangkat militer yang tidak kecil di kota raja. Di samping itu, ia juga merupakan tamu terhormat dari Wie-to-bun. Karena begitu, menurut kepantasan, walaupun sebentar Wan Cie Ie sudah menerima kedudukan Ciangbun, ia harus duduk di kursi yang paling buntut untuk menemaninya. Tapi, beda dari kebiasaan, begitu Sie-wie tersebut bangun dari kursinya, tanpa sungkan-sungkan si nona lantas duduk di kursi utama itu. Sekonyong-konyong dalam ruangan itu terdengar suara tangisan! Sembari menangis, orang itu berkata: "Wie-to-bun pernah menjagoi di seluruh dunia. Kenapa sekarang begitu rendah dan dapat di hina seorang bocah perempuah yang masih berbau susu? Sungguh menyedihkan! Hu-hu-hu!" Didengar dari suaranya, tangisan itu adalah tangisan sungguh-sungguh dan sama sekali bukan ejekan.
"Hei!" teriak Wan Cie Ie. "Kau kata, aku masih berbau susu. Hayo ke luar! Mari kita lihat siapa yang berkepandaian lebih tinggi!" Sekarang ia sudah mengetahui, bahwa orang yang berkata begitu, adalah seorang tua yang berusia kira-kira enam puluh tahun, badannya kurus kering, kepalanya ditutup dengan topi kecil, thaucangnya kecil dan rambutnya sudah hampir putih semua, mendekam di atas meja dan menangis sedih sekali.
"Ah, Ban Ho Seng! Ban Ho Seng!" ia mengulun. "Orang kata, biar mati hidup kembali, tak dapat kau menandingi nona yang begitu muda. Benar-benar, enghiong ke luar dari kalangan orang muda. Ah, Ban Ho Seng!"
Tak usah diterangkan lagi, kata-katanya yang terakhir merupakan sindiran untuk Sie-wie itu dan beberapa orang lantas saja jadi tertawa.
Sementara itu, sembari menangis, si tua sudah berkata pula: "Dalam Rimba Persilatan, tak sedikit aku sudah menemui orang-orang gagah dari berbagai partai. Akan tetapi, belum pernah aku bertemu dengan seorang paduka pembesar negeri yang begitu tak mengenal malu!"
Kata-kata itu adalah tantangan terang-terangan. "Tua bangka!" teriak Sie-wie itu yang sudah tak dapat menahan sabar lagi. "Jika kau mempunyai nyali, ke luar! Jangan kau sembunyi saja seperti kura-kura!"
Orang tua itu tak meladeni, ia menangis terus. "Aku menerima perintah dari Giam-loo-ong untuk mengundang paduka-paduka pembesar negeri ke dunia baka, guna menghadiri pertemuan besar," katanya. "Semakin tinggi pangkat orang yang datang atas undanganku, semakin terang mukaku ini."
Mendadak Sie-wie itu meloncat bangun dan memburu ke pojok ruangan. Sesudah mengirimkan pukulan gertakan dengan tangan kirinya, ia mencengkeram leher orang tua itu dengan tangan kanannya. Orang tua itu terus menangis. Sekonyong-konyong dari pojok ruangan itu "terbang" sesosok bayangan hitam yang kemudian jatuh ambruk di tengah-tengah gelanggang. Orang itu bukan lain daripada Sie-wie yang barusan galak sekali. Semua hadirin terkesiap, mereka tak dapat melihat, dengan cara apa perwira itu dilontarkannya.
Melihat kawannya dipecundangi secara begitu mudah, Sie-wie yang lain lantas saja menghunus goloknya dan menerjang orang tua itu. Seluruh ruangan sembahyang itu lantas menjadi kalut. Tiba-tiba kembali terlihat melesatnya sesosok bayangan hitam dan di lain saat, Sie-wie yang bersenjata golok itu sudah rebah di atas lantai.
Ouw Hui yang terus memperhatikan gerak-gerik orang tua tersebut, mengetahui bahwa kedua Sie-wie itu telah dilemparkan dengan pukulan Cek-ko Lian-kun. Tak bisa salah lagi, orang tua itu adalah anggota partai Wie-to-bun dengan kepandaian yang berlipat-lipat kali lebih tinggi daripada Sun Hok Houw. Sebagai seorang yang selalu merasa sebal terhadap pembesar-pembesar Boan, Ouw Hui merasa senang sekali, melihat kedua Sie-wie itu dihajar rubuh.
Wan Cie Ie mengetahui, bahwa ia sedang menghadapi lawan berat. Ia segera bangun dan berkata dengan suara tenang: "Lekas katakan jika kau hendak memberi pengajaran kepadaku. Guna apa kau sembunyi-sembunyi?"
Perlahan-lahan orang tua itu maju menghampirinya. Tubuhnya kurus kering, kulit mukanya kisut dan kedua tulang pipinya menonjol ke atas, sehingga kelihatannya seperti seorang penderita penyakit paru-paru. Akan tetapi, di tubuh muka yang tak karuan macam itu, terdapat sepasang mata yang bersinar terang dan berpengaruh. Si nona tak berani memandang rendah, ia berwaspada sambil memusatkan seluruh perhatiannya ke arah lawan.
"Nona," kata orang tua itu. "Kau bukan orang she Wan dan juga bukan anggota partai kita. Dengan kau, Wie-to-bun tak mempunyai permusuhan apa pun juga. Tapi kenapa kau sudah berlaku begitu jahil dan menghina kami?"
"Apakah kau sendiri anggota Wie-to-bun?" tanya si nona.
"Bolehkah aku mendengar she dan namamu?"
"Aku she Lauw, namaku Ho Cin," jawabnya. "Apakah kau pernah mendengar nama Wie-to Song-ho (Sepasang ho dari partai Wie-to-bun)? Jika aku bukan orang Wie-to-bun, bagaimana aku bisa menjadi salah seorang dari Wie-to Song-ho?"
Orang-orang Rimba Persilatan dari tingkatan lebih tua, kebanyakan sudah pernah mendengar nama Wie-to Song-ho. Akan tetapi, sebagian besar hanya mengenal Ban Ho Seng, pemimpin Wie-to-bun dan seorang pendekar yang luas pergaulannya, sehingga mempunyai nama harum dalam kalangan Kang-ouw. "Ho" yang satunya lagi sedikit sekali dikenal orang.
Sekarang sesudah ia memperkenalkan did sebagai salah seorang dari "sepasang Ho" itu dan sesudah ia memperlihatkan kepandaiannya yang sangat tinggi, semua orang lantas saja memperhatikannya dan berbicara kasak-kusuk antara kawan sendiri.
"Perduli apa sepasang Ho (Ho berarti burung Ho) atau sepasang bebek," kata si nona sembari menggelengkan kepala. "Tidak, aku belum pernah mendengar nama itu. Apakah kau ingin menjadi Ciangbun?"
"Bukan, tidak sekali-kali," jawab Lauw Ho Cin. "Jangan sekali lagi kau mengeluarkan kata-kata begitu. Aku adalah Suheng (kakak seperguruan), Ban Ho Seng adalah Suteeku (adik seperguruan). Jika mau, sedari dulu aku sudah menjadi Ciang-bunjin. Perlu apa menunggu sampai sekarang?"
Wan Cie Ie monyongkan mulutnya dan berkata: "Jangan ngaco belo! Siapa percaya obrolanmu! Habis, perlu apa kau menyelak di sini!"
"Aku datang ke mari justru untuk urusan Ciang-bunjin," jawabnya. "Pertama, kedudukan Ciangbun-jin dari Wie-to-bun haruslah diduduki oleh murid partai kami yang tulen. Kedua, tak perduli siapa yang menjadi Ciangbunjin, dia tak boleh pergi ke kota raja untuk bergaul dengan orang-orang 'mahal'. Kita adalah orang-orang kasar yang hanya mengenal ilmu silat. Maka itu, mana bisa kita bergaul dan bersahabat dengan pembesar-pembesar negeri?" Sehabis berkata begitu, ia berhenti sejenak dan kedua matanya yang berbentuk segi tiga, menyapu ke seluruh ruangan. "Ketiga," ia menyambung perkataannya. "Memilih Ciangbun dengan hanya menilai ilmu silatnya, adalah cara memilih yang tak dapat disetujui olehku. Menurut pendapatku, dalam pemilihan demikian, kita harus mengutamakan sifat-sifat mulia dari orang yang hendak dipilih itu. Sekarang aku ingin menanya: Apakah kalian mau memilih orang yang berkepandaian sangat tinggi, tapi bersifat sangat rendah?"
Uraian tersebut disambut oleh sejumlah orang dengan mengangguk. Mereka merasa, bahwa meskipun orang tua itu menunjukkan sikap dan sifat yang agak aneh, tapi perkataannya tepat sekali.
Wan Cie Ie tertawa dingin. "Syaratmu yang pertama, yang kedua dan yang ketiga tak satupun yang dapat diterima olehku," katanya. "Sekarang mau apa kau?"
"Mau apa?!" kata Lauw Ho Cin. "Sudahlah! Biarlah sekarang aku mempersembahkan tulang-tulang tuaku kepada nona, untuk dihajar!"
Ouw Hui mendengarkan pembicaraan mereka dengan hati berdebar-debar. Semenjak kecil, ia sudah berkelana di kalangan Kang-ouw dan selama itu, sering sekali menyaksikan perbuatan sewenang-wenang dari pembesar-pembesar kerajaan Ceng terhadap rakyat dan orang-orang yang lemah. Ia jadi membenci segala apa yang berbau pembesar Boan. Maka ia merasa senang sekali melihat Lauw Ho Cin menghajar kedua Gie-cian Sie-wie itu dan secara otomatis ia bersimpati kepada orang tua tersebut. Diam-diam ia mengharapkan supaya orang tua itu menang dalam pertandingan melawan nona itu, tapi ia khawatir karena si baju ungu lihay sekali.
Wan Cie Ie bersikap sombong, seolah-olah tak memandang sebelah mata kepada Lauw Ho Cin. "Kau mau bertempur dengan tangan kosong atau dengan senjata?" tanyanya dengan suara dingin.
"Karena nona mengaku sebagai murid Siauw-lim Wie-to-bu, sekarang marilah kita sama-sama mencoba-coba ilmu mustika dari Wie-to-bun," jawab Lauw Ho Cin.
"Mustika apa?" tanya Wan Cie Ie. "Bicaralah terus terang. Aku paling benci kepada orang yang bicara berputar-putar."
Lauw Ho Cin mendongak dan tertawa berka-kakan. "Sedang mustika partai kita, kau masih belum tahu," katanya. "Bagaimana kau bisa menjadi Ciangbunjin dari Wie-to-bun?"
Untuk sejenak si nona kelihatan jengah, tapi di lain saat, ia sudah tenang kembali. "Ilmu silat dari partai kita, tak dapat dijajaki bagaimana dalamnya," katanya. "Sesudah orang mencapai puncaknya yang paling tinggi, dengan menggunakan pukulan yang paling rendah, kita bisa malang melintang di kolong langit. Maka itu, baik Liok-hap-to maupun Liok-hap-ciang atau yang Iain-lain, yang mana juga bisa dinamakan mustika dari partai kita."
Diam-diam Lauw Ho Cin merasa takluk kepada kecerdikan nona itu. Ia mengetahui, bahwa Wan Cie Ie tidak mengenal mustika dari partai Wie-to-bun, akan tetapi, dengan alasan-alasan yang tak dapat dibantah, ia sudah dapat menolong diri dari keadaan terjepit.
Lauw Ho Cin mesem dan sembari mengusap-usap jenggot dan kumisnya, ia berkata: "Baiklah, sekarang aku membuka rahasia. Mustika partai kita adalah Thian-kong Bwee-hoa-chung (Pelatok bunga Bwee). Apakah kau mengenal itu?"
"Hm!" sahut si nona sembari tertawa dingin. "Mustika apa itu? Sekarang aku mau membuka rahasia. Mengenai ilmu silat, yang paling berharga adalah ilmu silat yang sejati. Segala Bwee-hoa-chung, barisan ini atau barisan itu, hanya merupakan barang permainan untuk menipu anak kecil. Jika kau tidak percaya, mari kita mencoba-coba. Dimana Bwee-hoa-chungmu?"
Lauw Ho Cin tak menyahut. Ia mengambil sebuah mangkok arak, mencegluk isinya dan melemparkan mangkok kosong itu ke atas lantai. Semua orang kaget, mereka menduga, bahwa mangkok itu akan jatuh hancur. Tapi, di luar dugaan, tenaga yang digunakannya adalah sedemikian tepatnya, sehingga mangkok itu jatuh tengkurap di atas lantai dalam keadaan utuh. Sesudah itu, ia mengambil mangkok kedua, minum isinya dan melemparkannya juga ke lantai. Demikianlah, berturut-turut, ia mengulangi perbuatan itu. Satu demi satu, tak perduli yang berisi penuh atau yang berisi separuh, diminum kering isinya dan kemudian dilemparkannya di atas lantai. Dan sungguh menakjubkan, semua mangkok itu jatuh tengkurap dan sebuah pun tiada yang pecah.
Dalam sekejap, di atas lantai sudah menggeletak tiga puluh enam mangkok. Semua orang menjadi heran berbareng kagum, bukan saja karena kepandaiannya, tapi juga karena kuatnya meminum arak. Jika dihitung ia sudah menghabiskan tak kurang dari tujuh belas atau delapan belas mangkok arak yang berisi penuh.
Semakin banyak ia minum, mukanya yang berwarna kuning jadi semakin kuning. Tiba-tiba badannya bergerak dan kakinya sudah menginjak pantat sebuah mangkok. "Marilah! Aku minta pengajaranmu!" ia mengundang sembari menyoja.
Wan Cie Ie memang juga tidak mengenal Thiankong Bwee-hoa-chung. Tapi, mengandalkan ilmu mengentengkan badannya yang sangat tinggi, sedikit pun ia tak menjadi keder. Sekali menjejak dengan kaki kirinya, bagaikan seekor burung ia hinggap di atas pantat sebuah mangkok lain. Ia mengangkat kedua tangannya dan memasang kuda-kuda. Tak berani ia menyerang sembarangan, ia ingin menunggu serangan lawan.
Di lain saat, Lauw Ho Cin meloncat sembari menjotoskan tinju kanannya dengan pukulan Sam-hoan-to-goat (Tiga lingkaran membungkus rembulan). Berkat matanya yang sangat tajam, Wan Cie le segera dapat melihat, bahwa tinju itu bukan berbentuk biasa. Empat jerijinya yang ditekuk tidak rata merupakan buah lengkak segi tiga. Melihat begitu, si nona lantas saja mengetahui, bahwa lawannya adalah ahli menotok jalan darah. Memang juga benar begitu. Pukulan-pukulan yang dikirimkan dengan tinju seperti itu, termasuk dalam Sha-kak Kun-hoat (Ilmu silat Segi tiga), yang teristimewa digunakan untuk menyerang jalan darah musuh.
Buru-buru Wan Cie Ie meloncat mundur dan kemudian melayani lawannya dengan Sha-kak-kun juga.
Melihat gerakan badan, gerakan kaki dan gerakan tangan si nona yang semuanya tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan ilmu silat Wie-to-bun, Lauw Ho Cin menjadi heran bukan main. Demikianlah, dengan kedua kaki bergerak-gerak di atas tiga puluh enam mangkok itu, mereka saling serang menyerang dengan menggunakan Liok-hap Kun-hoat yang mempunyai dua puluh empat jalan.
Dalam pertempuran di atas Bwee-hoa-chung, tujuan masing-masing pihak adalah menduduki pelatok tengah-tengah untuk mendesak musuh ke pinggir dan supaya musuh jatuh ke bawah pelatok. (Bwee-hoa-chung biasa dibuat dari pelatok-pelatok kayu atau bambu. Tapi dalam pertempuran antara Lauw Ho Cin dan Wan Cie Ie ini, mangkok-mangkok arak telah digunakan sebagai pelatok).
Puluhan tahun lamanya Lauw Ho Cin telah berlatih di atas pelatok Bwee-hoa-chung, maka tidak mengherankan, jika sesuatu tindakannya adalah tepat dan tetap. Baru saja lewat beberapa jurus, ia sudah dapat menduduki pelatok tengah dan mulai mendesak si nona dengan tenaga yang lebih besar. Tapi ia tidak berani berlaku ceroboh, karena mengetahui, bahwa lawannya berkepandaian sangat tinggi.
Sebagaimana diketahui, mangkok adalah barang yang gampang pecah dan dalam pertempuran itu, siapa yang memecahkan sebuah saja, dia yang kalah. Maka itu, dalam melakukan serangan-serangan, Wan Cie Ie tidak berani menggunakan tenaga terlalu besar, karena khawatir akan memecahkan mangkok. Melihat lawannya berdiri tegak di tengah-tengah dengan garis pembelaan yang sangat teguh, si nona menjadi jengkel. Sembari mengempos semangatnya, ia mengeluarkan ilmu mengentengkan badan yang paling tinggi dan lari berputar-putar untuk mencari bagian lemah dari Lauw Ho Cin.
Tapi, Sesudah lewat tiga puluh jurus, orang tua itu tetap berdiri teguh dan pukulan-pukulannya semakin lama jadi semakin hebat.
Tiga puluh enam mangkok yang disebar oleh Lauw Ho Cin, sama sekali tidak berbentuk bunga Bwee, sebagai biasanya bentuk Bwee-hoa-chung. Penyebaran yang kalut itu, hanya dia yang paham. Dengan latihan puluhan tahun, sembari meram ia dapat melompat pergi datang di atas mangkok itu. Tapi tidaklah demikian dengan si nona. Setiap kali bertindak atau melompat, ia harus melihat lebih dulu kedudukan mangkok yang mau diinjaknya. Maka itu tidak heran, jika, sesudah bertempur agak lama, perlahan-lahan Wan Cie Ie jatuh di bawah angin.
Lauw Ho Cin menjadi girang sekali. Lantas saja ia mengirim serangan-serangan berantai dengan tenaga yang lebih besar. Dalam sekejap si nona sudah jadi keteter. Mendadak, dalam keadaan berbahaya, ia mengubah cara bersilatnya. Jika tadi ia memukul dengan telapak tangan, sekarang ia menyodok dengan jeriji tangan kiri. Serangannya itu adalah Su-ie-peng-hok dari ilmu tombak Liok-hap.
Lauw Ho Cin terkesiap, buru-buru ia melompat minggir. Tapi di luar dugaan, si nona sudah menyusulkan tebasan tangan kanannya. Itulah tebasan ilmu golok Lian-hoan-to (Ilmu golok berantai) dari Liok-hap To-hoat.
Lauw Ho Cin jadi gelagapan. Sedikit pun ia tidak menduga, bahwa dalam tempo sekejap, si nona sudah menyerang menurut ilmu tombak dan ilmu golok dengan kedua tangannya. Dalam kebingungannya, pundaknya kena tertebas, tapi masih untung, bahwa dengan sedikit mengkeretkan tubuh, ia dapat memunahkan tujuh bagian tenaga lawan. Di lain saat, Wan Cie Ie menyabet ke atas dengan tangan kirinya dalam gerakan Pek-wan-hian-tho (Kera putih mempersembahkan buah tho), yaitu suatu pukulan dari ilmu golok Liok-hap. Dalam sekejap itu serangannya sudah berubah lagi! Kedua tangan Wan Cie Ie kembali menyerang menurut ilmu golok.
Lauw Ho Cin tak keburu berkelit lagi, dadanya kena terpukul dan badannya bergoyang-goyang....
Selama pertempuran itu, Ouw Hui selalu memasang mata dengan penuh perhatian. Melihat orang tua itu terpukul, ia merasa sangat sayang jika ahli yang kenamaan itu mesti rubuh secara begitu mengecewakan. Maka itu pada saat yang bahaya, yaitu ketika kedua kaki Lauw Ho Cin hampir menginjak lantai, dengan cepat ia mengangkat dua buah mangkok yang lalu dilontarkannya dengan tenaga yang sudah diperhitungkan. Kedua mangkok itu menggelinding dan berhenti persis di bawah kaki Lauw Ho Cin! Demikianlah, di waktu orang tua itu hampir jatuh, kedua kakinya menginjak dua mangkok lain. Ia terkesiap dan segera mengetahui, bahwa seorang yang berilmu tinggi telah membantu kepadanya. Para hadirin yang sedang memusatkan perhatian mereka kepada pertempuran, tak mengetahui kejadian itu.
Sebagaimana diketahui, Wan Cie Ie telah menggunakan jerijinya sebagai tombak dan telapak tangannya seperti golok. Tapi, meskipun benar ia bersilat dengan ilmu Liok-hap-ciang dan Liok-hap-to, sedari dulu sampai sekarang, dalam kalangan Wie-to-bun, belum pernah ada orang yang bertempur secara begitu.
Bukan main sangsinya hati Lauw Ho Cin. Ia merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara manis: "Kepandaian nona yang begitu tinggi, dengan sesungguhnya aku belum pernah melihat. Bolehkah aku mengetahui, nona termasuk dalam partai mana dan siapa guru nona?"
"Hm!" sahut Wan Cie Ie. "Kau tentu masih belum percaya, bahwa aku benar-benar murid Wie-to-bun. Baiklah! tapi bagaimana jika aku bisa mengalahkan kau dengan ilmu silat Liok-hap-kun?"
Itulah justru apa yang diinginkan oleh Lauw Ho Cin. la membungkuk seraya berkata: "Jika nona dapat merubuhkan aku dengan Liok-hap-kun, kejadian itu sungguh-sungguh merupakan kejadian menggirangkan bagi Wie-to-bun. Andaikata aku harus mengiringi nona sambil memegang pecut, aku pun akan merasa rela." Sehabis berkata begitu, ia memutarkan badannya ke arah Ouw Hui dan berkata sembari menyoja: "Aku si tua minta permisi untuk mempersembahkan kebodohanku." Menyojanya itu adalah untuk menghaturkan terima kasih kepada orang yang sudah menolong dirinya. Meskipun ia tidak mengetahui, siapa yang telah membantunya, akan tetapi ia tahu, dari jurusan mana kedua mangkok itu dilemparkan.
Wan Cie Ie adalah seorang wanita yang cerdas luar biasa. Selagi Lauw Ho Cin menanyakan partai dan gurunya, ia sudah mendapat suatu siasat bagus untuk merubuhkan lawannya. Di lain saat, mereka sudah mulai bertempur lagi dengan menggunakan Liok-hap-kun.
Baru saja bergebrak beberapa jurus, Lauw Ho Cin sudah berada di atas angin lagi. Sesudah mendapat pengalaman getir tadi, sekali ini ia berlaku sangat hati-hati dan selalu berjaga-jaga, khawatir si nona mengeluarkan pula pukulan-pukulan yang aneh-aneh. Sesudah lewat lagi beberapa jurus dan ilmu silat Wan Cie Ie tetap tidak berubah, barulah hatinya menjadi lebih lega. Tiba-tiba Wan Cie Ie menyerang dengan pukulan Tah-houw-sit (Pukulan memukul harimau). Dengan cepat, sembari menotol mangkok dengan kaki kanannya, Lauw Ho Cin menyambut dengan pukulan Ouw-liong-tam-hay (Naga hitam selulup di laut).
Tiba-tiba ia terkesiap, karena merasakan kakinya menotol benda yang luar biasa. Ia melirik dan menjadi lebih kaget lagi!
Ternyata, mangkok arak yang barusan masih tengkurap sekarang sudah celentang. Masih untung baginya, bahwa barusan ia hanya menotol dengan kakinya. Jika ia menginjak, mangkok itu pasti menjadi pecah dan kakinya akan jatuh di lantai. Ketika ia melompat mundur, keringat dingin mengucur dari punggungnya.
Di lain saat, ia mengetahui bahwa terbaliknya mangkok itu adalah akibat perbuatan si nona. Ketika nona itu mengangkat kakinya, kaki itu sekalian mengangkat mangkok. Entah bagaimana, di waktu dilepaskan lagi ke atas lantai, mangkok itu sudah celentang. Selagi kaki kirinya menotol mangkok yang sudah celentang, kaki kanannya membalikkan mangkok yang berikutnya.
Lauw Ho Cin mengetahui, bahwa biar bagaimanapun juga, ia tak akan dapat menandingi ilmu mengentengkan badan si nona yang begitu tinggi. Kemungkinan satu-satunya untuk menang, adalah merubuhkan Wan Cie Ie selekas mungkin. Memikir begitu, lantas saja ia menyerang secara hebat.
Tapi si nona cukup cerdik. Sekarang ia menggunakan siasat gerilya dan lari berputar-putar. Dalam tempo yang tidak terlalu lama, ia sudah membalikkan tiga puluh empat mangkok itu. Hanya dua mangkok yang sedang diinjak Lauw Ho Cin, belum dapat dibalikkannya.
Sedang kedua kaki Wan Cie Ie menotol pergi datang mangkok yang celentang itu, adalah Lauw Ho Cin berdiri terpaku di atas kedua mangkok yang masih tengkurap itu. Tanpa memiliki ilmu mengentengkan badan yang setingkat dengan ilmu Wan Cie Ie, tak berani ia meloncat ke atas mangkok yang celentang itu.
Untuk beberapa saat, ia berdiri bagaikan patung. Akhir-akhirnya, ia berkata dengan suara duka: "Nona, kaulah yang menang." Sehabis berkata begitu, ia turun ke atas lantai. Mukanya yang kuning berubah pucat seperti kertas emas.
"Bukankah sekarang aku boleh menjadi Ciang-bunjin?" tanya Wan Cie Ie dengan suara girang.
"Aku si tua sudah takluk, tapi aku tak tahu bagaimana pendapat orang lain," kata Lauw Ho Cin.
Selagi Wan Cie Ie ingin menanya para hadirin, tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda yang kabur ke arah utara dengan kecepatan luar biasa.
Paras muka si nona lantas saja jadi berubah dan secepat kilat, ia melompat ke luar. Dari derap kaki itu, ia mengetahui, bahwa yang kabur bukan lain daripada kuda putihnya sendiri. Begitu tiba di luar, ia melihat kudanya sedang membelok di
hutan pohon hong dengan ditunggangi seorang lelaki yang mengenakan pakaian warna abu-abu. Segera juga ia mengenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Ouw Hui yang bungkusannya telah dicurinya.
"Pencuri kuda! Berhenti!" ia berteriak.
Ouw Hui menengok ke belakang. Ia tertawa dan membalas: "Pencuri buntalan! Hayo kita tukar!" Ia tertawa terbahak-bahak, kuda putih itu dikaburkan semakin keras.
Bukan main gusarnya Wan Cie Ie. Sembari mengempos semangatnya, ia mengejar. Biarpun mempunyai ilmu entengkan badan yang sangat tinggi, mana bisa ia menyusul kuda putih itu yang bisa lari seribu lie dalam sehari? Semakin lama, bayangan yang dikejar itu jadi semakin kecil dan akhirnya lenyap dari pemandangan.
Kejadian itu sudah menyapu bersih seantero kegembiraannya yang didapatnya sesudah merubuhkan empat jago Wie-to-bun. Ia menjadi uring-uringan, jengkel berbareng heran. "Kuda itu cerdik seperti juga manusia," katanya di dalam hati. "Bagaimana ia bisa membiarkan seorang bangsat kecil mencuri dirinya dan kemudian menurut perintah tanpa melawan sama sekali?"
Sesudah berlari-lari beberapa lie, tibalah Wan Cie Ie di sebuah kota kecil. Ia yakin, bahwa mengejar terus tak akan ada gunanya. Ia jalan perlahan-Iahan untuk mencari warung teh, di mana ia dapat menghilangkan dahaganya.
Sekonyong-konyong, ia mendengar suara berbengernya seekor kuda dan segera ia mengenali, bahwa kuda itu bukan lain daripada kudanya sendiri. Bagaikan terbang, ia memburu ke arah suara itu. Baru saja ia membelok di suatu tikungan, ia melihat Ouw Hui, yang menunggang si putih, menengok ke belakang dan menggapai sembari tertawa.
Wan Cie Ie naik darah. la memungut sebutir batu kecil yang lalu ditimpukkan ke arah pemuda itu. Ouw Hui membuka topinya, yang lalu digunakan untuk menanggapi batu itu.
"Kau mau bayar buntalanku atau tidak?" tanya Ouw Hui sembari tertawa. Si nona tak menjawab. mendadak ia melompat untuk coba merebut tunggangannya. Ouw Hui mengayun tangannya dan sebuah senjata rahasia menyambar. Ketika disambuti, senjata rahasia itu adalah batu kecil tadi. Selagi si nona menangkap batu itu, Ouw Hui sudah menjepit perut kuda yang lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Si nona jadi seperti orang kalap. Ia tak ingat kesalahannya sendiri, ia hanya ingat kesalahan orang lain. Tiba-tiba matanya melihat seekor kuda yang tertambat di luar sebuah rumah. Tanpa menghiraukan segala apa, ia menghampiri dan membuka tambatannya, lalu menyemplak hewan itu yang lantas dikaburkannya secepat mungkin. Di waktu pemiliknya mengetahui pencurian itu, ia sudah kabur jauh sekali.
Meskipun sudah mempunyai tunggangan, jangan harap ia bisa menyusul Ouw Hui. Ia sudah menyabet kalang kabutan dan kuda itu sudah kabur sekeras-kerasnya, tapi ia masih juga ketinggalan jauh. Sesudah mengejar beberapa lie, napas binatang itu sudah tersengal-sengal dan tak dapat lari terlebih jauh.
Ketika mendekati hutan, jauh-jauh ia melihat suatu benda putih dan setelah datang terlebih dekat, benda putih itu ternyata adalah kudanya sendiri.
Wan Cie Ie jadi kegirangan. Tapi karena khawatir akan akal bulus Ouw Hui, sebelum mendekati, lebih dulu ia meneliti keadaan di sekitar tunggangannya. Sesudah mendapat kenyataan, bahwa benar-benar Ouw Hui tidak berada di situ, barulah ia menghampiri pohon siong itu, di mana kuda putihnya tertambat. Tapi, ketika ia sudah berada dalam jarak hanya beberapa tombak dari si putih, sesosok tubuh manusia sekonyong-konyong melayang turun dari alas pohon dan hinggap tepat di atas punggung kuda putih itu. Itulah Ouw Hui!
"Nona Wan," katanya sembari tertawa berkakakkan. "Mari kita berlomba lagi!" Sekarang Wan Cie Ie sungkan memberi hati lagi kepadanya. Sekali menjejak sanggurdi, tubuhnya melesat ke atas dan bagaikan seekor elang, ia menubruk Ouw Hui.
Sedikit pun Ouw Hui tak menduga, bahwa Wan Cie Ie berani melakukan perbuatan berbahaya itu. Jika ia memapaki nona itu dengan suatu serangan, si nona pasti akan mendapat luka. Tapi bukan begitu maksud Ouw Hui. Maka, jalan satu-satunya adalah mengedut les untuk menyingkir. Tapi sekali ini, si putih melawan. Melihat Wan Cie Ie, bukan saja dia tak mau minggir, sebaliknya, ia bahkan berbenger dan maju dua tindak.
Selagi badannya masih berada di tengah udara, Wan Cie Ie menghantam kepala Ouw Hui dengan tangan kanannya dan mencengkeram pundak orang dengan tangan kirinya. Selama hidup, belum pernah Ouw Hui bertempur dengan soerang wanita muda. Kali ini, ia mencuri kuda itu berdasarkan dua alasan. Pertama, ia mengenali, bahwa kuda itu adalah tunggangan Tio Poan San. Ia ingin sekali mengetahui, kenapa si putih bisa ditunggangi nona itu. Kedua, ia sekedar hendak membalas perbuatan Wan Cie Ie yang sudah mencuri buntalannya. Tapi sekarang melihat si nona menyerang, paras mukanya lantas saja berubah merah. Cepat bagaikan kilat, ia juga menjejak sanggurdi dan badannya melesat melewati Wan Cie Ie, untuk kemudian hinggap di atas punggung kuda yang barusan ditunggangi nona itu.
Selagi berpapasan di tengah udara, Ouw Hui mengangsurkan tangannya dan memutuskan tali yang mengikat buntalannya pada punggung Wan Cie Ie. Di lain saat, Ouw Hui sudah mendapatkan kembali bungkusannya, sedang si baju ungu pun sudah duduk di atas punggung si putin.
Si nona yang masih belum hilang amarahnya, lebih-lebih setelah melihat buntalan itu sudah pulang ke tangan Ouw Hui lantas saja membentak: "Ouw Hui kecil! Bagaimana kau berani begitu berlaku kurang ajar!"
"Dari mana kau bisa mengetahui namaku?" tanya Ouw Hui dengan perasaan heran.
Wan Cie Ie monyongkan mulutnya sedikit dan menyahut dengan suara tawar: "Tio Samsiok (paman Tio ketiga) memuji kau sebagai enghiong jempolan. Tapi menurut penglihatanku kau adalah manusia pasaran."
Mendengar perkataan "Tio Samsiok", Ouw Hui jadi girang sekali. "Kau kenal Tio Poan San. Tio Samko?" tanyanya. "Di mana ia sekarang?"
Si nona jadi semakin gusar. "Bocah she Ouw!" ia membentak. "Jangan main gila kau!"
"Kenapa main gila?" tanya Ouw Hui, tercengang.
"Kenapa begitu aku mengatakan Tio Samsiok, kau lantas saja menggunakan kata-kata Tio Samko," sahutnya. "Apa kau ingin menjadi orang tingkatannya lebih daripada aku?"
Ouw Hui yang sifatnya suka sekali guyon-guyon, segera meleletkan lidahnya dan berkata sembari tertawa: "Tak berani! Mana aku berani? Apa benar kau memanggil ia Tio Samsiok?"
"Siapa mendustai kau?" kata si nona.
"Nah! Kalau begitu, benar-benar aku lebih tua setingkat daripadamu," kata Ouw Hui dengan suara keren. "Kau panggil saja Ouw Sioksiok. Eh, Cie Ie! Di mana adanya Tio Samko?"
Wan Cie Ie adalah seorang yang tak suka main-main. Sama sekali ia tidak mengetahui, bahwa memang benar Ouw Hui telah mengangkat saudara dengan Tio Poan San. Maka itu, mendengar perkataan Ouw Hui, darahnya lantas saja naik dan "srt!", ia mencabut sebatang Joan-pian (pecut) dari pinggangnya. "Bocah!" ia membentak. "Jangan nga-co! Biarlah aku beri pelajaran kepadamu."
Cambuk itu terbuat dari anyaman benang perak dan pada ujungnya terdapat sebuah bola emas kecil, yang berbentuk indah sekali. Ketika dikebaskan di tengah udara, bole emas dan cambuk perak itu yang disoroti sinar matahari, berkelebat-kelebat. Sebenarnya, Wan Cie Ie niat bertempur di atas bumi, akan tetapi, karena khawatir kudanya dirampas lagi oleh Ouw Hui yang banyak akalnya, ia mengurungkan niatnya itu dan segera majukan tunggangannya, sembari menyabet kepala si pemuda. Cambuk itu, yang panjangnya setombak dan satu kaki, menyambar ke belakang Ouw Hui, ujungnya membelok dan bola emas itu mengarah jalan darah Thay-tui-hiat, di bagian punggung.
Di lain pihak, begitu cambuk itu menyambar, Ouw Hui mendekam di punggung kuda dengan taksiran, bahwa senjata itu akan segera lewat di atas punggungnya. Mendadak kupingnya yang tajam luar biasa menangkap bunyi sesuatu yang aneh. "Celaka!" ia mengeluh sembari menghunus goloknya dan tanpa menengok, ia menyabet ke belakang.
"Tring!" golok itu membentur bola emas di ujung cambuk Wan Cie Ie sehingga terpental kembali.
Ternyata, selagi ujung cambuknya menyambar jalan darah Thay-tui-hiat dipunggung Ouw Hui, dengan mendadak Wan Cie Ie mengedut senjatanya dan bola emas itu lantas saja berubah haluan dan menyambar jalan darah Kie-kut-hiat, di pundak kanan si pemuda. Si nona menduga, bahwa sekali itu ia akan berhasil, karena Ouw Hui tengah mendekam di punggung kuda dan takan bisa berkelit lagi. Tapi di luar dugaan, pemuda itu masih dapat menolong diri, berkat kupingnya yang sangat tajam dan gerakannya yang cepat luar biasa. Begitu golok dan bola emas itu kebentrok, Wan Cie Ie merasakan lengannya agak kesemutan.
Ouw Hui mengawasi nona itu sembari tertawa ha-ha-hi-hi, tapi hatinya kagum akan kelihayan nona itu. Bahwa dengan Joan-pian yang lemas, ia bisa menotok jalan darah sudah merupakan suatu keanehan dalam gelanggang persilatan. Tapi, mengubah arah serangan senjata itu di tengah jalan adalah kejadian yang lebih luar biasa lagi.
Sebenarnya Ouw Hui hampir celaka karena salahnya sendiri. Sesudah menyaksikan, bagaimana Wan Cie Ie dengan mudah merubuhkan empat jago Wie-to-bun, ia mengakui, bahwa nona itu memang lihay sekali. Tapi, jika dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri, si nona masih kalah setingkat. Karena mempunyai anggapan itu, ia agak memandang rendah kepada si baju ungu. Di luar dugaan, dalam jurus pertama, Joan-pian itu sedang menyambar punggungnya bisa mendadak berubah haluan dan menyambar pundaknya. Ia menduga, bahwa cambuk itu akan menotok jalan darah Kie-kut-hiat dan ia berhasil dengan tangkisannya. Jika ilmu menotok si nona tidak begitu jitu dan pecut itu bukan menghantam Kie-kut-hiat, bukankah tangkisan Ouw Hui akan meleset? Sekali meleset, walaupun jalan darahnya tidak kena tertotok, tak urung ia akan mendapat luka.
Melihat ketenangan pemuda itu, Wan Cie Ie menjadi kaget berbareng kagum. "Terrr!" ia membunyikan pecutnya di tengah udara dan segera menghantam kepala Ouw Hui.
Mendadak, pemuda itu mendapat suatu ingatan. "Tujuanku yang terutama adalah mencari tahu hal Tio Samko," pikirnya. "Nona ini beradat sangat angkuh dan jika ia tidak diberi kemenangan, ia tentu sungkan memberitahukan hal Samko. Ah! Biarlah, dengan memandang muka Tio Samko, aku mengalah sedikit."
Berpikir begitu, ia miringkan kepalanya ke sebelah kiri untuk memapaki cambuk si nona. Dan sungguh tepat, pecut itu lantas saja menggulung topinya.
Dengan kedua lututnya Ouw Hui menjepit perut kudanya yang lantas saja melompat setombak lebih. Sembari masukkan goloknya ke dalam sarung, ia tertawa seraya berkata: "Ilmu Joan-pian nona sungguh lihay dan aku merasa takluk. Bagaimana keadaan Tio Samko? Di mana ia berada sekarang, apakah di Huikiang atau di Tionggoan?"
Jika Ouw Hui mengalah sungguh-sungguh dan si nona senang hatinya sebab menduga benar-benar memperoleh kemenangan, mungkin sekali ia akan menjadi jinak dan suka menceritakan hal Tio Poan San. Hanya sayang, Ouw Hui pun adalah seorang pemuda yang selalu ingin menang dan sungkan mengalah terhadap siapa pun juga. Maka itu, mengalah memang ia mengalah. Tapi cara mengalahnya terlalu menyolok. Ia baru berkelit ketika cambuk si nona sudah hampir membentur kepalanya dan sesudah topinya kena digulung, sebaliknya dari menunjukkan paras kemalu-maluan, ia malah bersenyum, seolah-olah seorang yang lebih tua tengah mempermainkan anak kecil.
Wan Cie Ie yang cerdas luar biasa, tentu saja dapat melihat itu semua. "Hm!" katanya dengan suara dingin. "Kau sengaja mengalah, apakah kau kira aku tak tahu? Nah! Aku pulangkan topimu!" Ia mengangkat pecutnya untuk mengembalikan pula topi itu di kepala Ouw Hui.
"Jika ia bisa meletakkan topiku di atas kepalaku dengan menggunakan Joan-pian, ilmunya sungguh-sungguh lihay," pikir Ouw Hui. "jika aku menyambuti dengan tangan, kegembiraannya akan menjadi hilang." Memikir begitu, ia tidak bergerak dan terus bersenyum simpul.
Dari setinggi dada, cambuk itu dengan topinya naik ke atas. Karena gerakan naik itu agak perlahan, di waktu topi itu tiba di batas tinggi muka, jiratan ujung cambuk itu menjadi kendor dan topi itu jatuh ke bawah. Buru-buru Ouw Hui mengangsurkan tangannya untuk menyambutinya....
Mendadak kelihatan suatu sinar putih berkelebat. "Celaka!" Ouw Hui mengeluh. Matanya agak silau terkena sinar itu dan pipinya sakit luar biasa. Ia tahu, bahwa sekali ini ia kena dibokong.
Dengan cepat ia melepaskan kedua kakinya dari sanggurdi dan menyembunyikan tubuhnya di bawah perut kuda. Di lain saat terdengar suara "plak!", disusulnya dengan muncratnya kepingan-kepingan kayu. Ternyata, pelana di mana ia barusan duduk, sudah dihajar hancur lebur. Kuda itu berjingkrak dan berbenger keras.
Sembari menghunus goloknya, Ouw Hui mengempos semangatnya dan loncat naik ke atas punggung kuda. Mendadak ia merasakan pipi kanannya sakit luar biasa dan ketika diusap, tangannya penuh darah.
Wan Cie Ie tertawa dingin seraya berkata: "Apakah sekarang kau berani main-main lagi dengan nama seorang tua? Masih untung nonamu berlaku murah. Jika aku sungguh-sungguh, belasan gigimu tentu sudah rontok."
Apa yang dikatakan si nona memang bukan kesombongan belaka. Kalau ia menghantam dengan segenap tenaganya, tulang rahang Ouw Hui tentu sudah menjadi hancur dan semua giginya di sebelah kanan tentu sudah rontok. Walaupun tidak sampai terjadi begitu, bagi Ouw Hui, itu merupakan kekalahan paling besar yang pernah dialaminya sehingga saat itu.
Darahnya lantas saja naik tinggi dan dengan mata melotot ia menerjang dengan senjatanya. Si nona menjadi jeri karena ia mengetahui, bahwa lawan itu bukannya lawan enteng. Lantas saja ia memutarkan cambuknya bagaikan titiran supaya lawannya tidak berani datang terlalu dekat.
Selagi bertempur, tiba-tiba terdengar suara kelenengan kuda dan di lain saat, tiga penunggang kuda kelihatan mendatangi dengan perlahan. Dua antaranya mengenakan seragam Gie-cian Sie-wie, sedang orang yang ketiga, yang bertubuh tinggi besar dan berusia kira-kira empat puluh tahun mengenakan pakaian biasa. Melihat orang bertempur, mereka lantas saja menahan les untuk menonton.
Dalam pertempuran itu, selain kalah senjata, tunggangan Ouw Hui pun kalah jauh dari tunggangan lawannya. Maka itu, sesudah lewat belasan jurus, belum bisa ia mendesak si nona. Dengan jengkel, ia mengubah cara bersilatnya, tapi sebelum ia membuka serangan hebat, mendadak terdengar suara salah seorang Sie-wie. "Nona itu cantik sekali dan kepandaiannya pun cukup tinggi," kata dia.
"Co Toako," kata kawannya. "Jika kau penuju, lebih baik turun tangan dulu. Jangan membiarkan dirimu didahului bocah itu." Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-bahak.
Ouw Hui mendongkol mendengar perkataan yang kurang ajar itu dan ia melirik dengan sorot mata gusar. Dengan menggunakan kesempatan itu, Wan Cie Ie menyabet dengan cambuknya, sedang Ouw Hui buru-buru berkelit sambil menunduk. Tiba-tiba, pinggang si baju ungu digoyang dan kudanya mendadak melompat ke sebelah kiri.
Berbareng dengan berkelebatnya suatu sinar putih, pundak Sie-wie Co itu sudah terkena sabetan cambuk. Senjata itu berputar sekali dan segera menyambar kepala Ouw Hui yang buru-buru menangkis dengan goloknya. Sesaat itu, si putih sudah melewati Sie-wie yang seorang lagi. Selagi kudanya melompat, si nona mengulurkan tangannya dan mencengkeram jalan darah Thian-cu-hiat, di leher Sie-wie itu. Dengan meminjam tenaga kudanya yang sedang melompat ke depan, Wan Cie Ie menggentak dan Sie-wie yang mulutnya usilan itu, lantas saja terjungkal di atas tanah. Hampir berbareng dengan itu, cambuk si nona sudah menyambar si orang laki yang tinggi besar.
Serangan-serangan itu dilakukannya dengan kecepatan luar biasa, sehingga Ouw Hui bersorak di dalam hatinya. Ia merasa kasihan kepada lelaki itu, yang tanpa berdosa, bakal merasakan cambukan Wan Cie Ie. Tapi, di luar dugaan, dengan tenang lelaki itu mengangkat tangannya untuk menangkap senjata si nona.
Begitu melihat lima jerijinya yang ditekuk seperti gaetan, Wan Cie Ie segera mengetahui, bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan berat. Buru-buru ia menarik pulang senjatanya. Ia tertawa dingin dan menanya: "Apakah tuan mau pergi ke kota raja untuk menghadiri pertemuan para Ciangbun-jin?"
Lelaki itu kaget. "Bagaimana nona tahu?" tanyanya.
"Dari gerak-gerikmu, aku menduga, bahwa aku adalah seorang Ciangbunjin," jawabnya. Siapa namamu? Dari partai mana kau?"
Orang itu hanya mengeluarkan suara di hidung, ia tak menjawab pertanyaan yang kurang ajar itu. Sementara itu, Sie-wie she Co tadi, sudah merangkak bangun dan berteriak: "Na Suhu! Hajar perempuan bau itu?"
Begitu si nona mengerahkan sedikit tenaga di lututnya, si putih lantas saja melompat dan menerjang Sie-wie she Co itu. Dia ketakutan setengah mati dan buru-buru loncat menyingkir. Wan Cie Ie yang sudah menjadi gusar, tak mau memberi hati kepadanya. Ia mengayun cambuknya yang segera menyambar ke punggung Sie-wie itu. Melihat keadaan itu yang sangat berbahaya, cepat bagaikan kilat, lelaki tinggi besar itu menghunus sebatang pedang pendek yang lalu digunakan untuk menyampok senjata si nona.
Wan Cie Ie menjejak sanggurdi dan kuda itu loncat ke belakang dengan gerakan yang sangat indah.
"Sungguh bagus kuda itu!" puji si tinggi besar. "Ah! Aku kira siapa," kata si nona. "Tak tahunya Na Cin, Ciangbunjin dari Pat-sian-kiam di Ouwciu, propinsi Kwisay."
Orang itu memang Na Cin adanya. Tadi, karena melihat usia si nona yang masih begitu muda, ia menaksir wanita itu tentulah juga kurang pengalaman, meskipun ia memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Akan tetapi, sesudah Wan Cie Ie bisa mengenalinya dengan hanya melihat sekali tangkisannya, ia menjadi heran bercampur girang. Ia girang, oleh karena meskipun bertempat tinggal di daerah Selatan yang jauh, seorang gadis remaja toh sudah mendengar juga namanya yang kesohor.
Maka itu, sembari bersenyum ia menanya: "Nona, bagaimana kau bisa mengetahui she dan namaku yang rendah?"
"Aku memang lagi mencari kau," jawab Wan Cie Ie.
"Sungguh kebetulan kita bisa bertemu di sini." Na Cin jadi tercengang. "Bolehkah aku mengetahui she dan nama nona yang mulia dan untuk apa kau mencari aku?" tanyanya.
"Aku mau memberitahukan, supaya kau tak usah pergi ke kota raja," jawabnya. "Biar aku saja yang mewakili kau."
Na Cin menjadi bingung, ia tak tahu apa maksud nona cantik itu. "Apa maksud nona?" tanyanya pula, sembari menggaruk-garuk kepala.
"Hm! Tolol kau!" bentak Wan Cie Ie. "Apakah kau belum mengerti? Serahkan kedudukan Ciangbunjin dari Pat-sian-kiam kepadaku."
Itulah jawaban yang sama sekali tak diduga-duganya. Dapat dimengerti, jika Na Cin menjadi gusar bukan main. Akan tetapi, sesudah melihat kepandaian orang, ia tak berani sembarangan mengumbar nafsunya. Maka itu, sembari merangkap ke-dua tangannya, ia berkata pula: "Beritahukanlah dulu she dan nama nona. Dan siapakah guru nona?"
"Untuk apa kau menanya namaku?" Wan Cie Ie balas menanya. "Nama guruku lebih-lebih tak bisa diberitahukan kepadamu. Dulu, guruku telah bertemu muka dengan kau. Jika sekarang ditimbulkan soal dulu, aku jadi merasa kurang enak untuk meminta kedudukan Ciangbunjin."
Sementara itu, kedua Sie-wie yang barusan di-hajar menjadi seperti orang kalap bahna gusarnya.
Sebagai orang-orang yang biasa berlaku sewenang-wenang dan suka menghina sesama manusia, mereka sekarang dihina orang. Mana mereka rela menerimanya dengan begitu saja. Demikianlah, sembari membentak keras, mereka menerjang, seorang dengan menunggang kuda, sedang yang lain berjalan kaki. Sembari menerjang, yang satu meraba pinggang untuk mencabut golok, sedang yang seorang lagi bergerak untuk menghunus pedangnya.
Tiba-tiba cambuk Wan Cie Ie berkelebat. "Terrrr!" pergelangan tangan kanan Sie-wie yang mau mencabut golok itu sudah kena dipecut, sakitnya meresap ke tulang-tulang dan ia tak bertenaga lagi untuk menghunus senjatanya.
Cambuk itu yang panjang dan halus, tak berhenti sampai di situ. Bagaikan kilat, ujungnya sudah melibat gagang pedang Co Sie-wie, sebelum tangan Sie-wie itu keburu meraba gagang pedangnya sen-diri! Dengan sekali menggentak, pedang itu loncat ke luar dari sarungnya!
Co Sie-wie kaget bukan main, secepat mungkin ia menarik pulang tangannya, tapi tak urung pedang itu menggores juga telapak tangannya yang lantas saja mengucurkan darah. Si nona mengebaskan pecutnya dan pedang itu terbang puluhan tombak tingginya.
Sesudah memperlihatkan kepandaian yang luar biasa itu, perlahan-lahan, dengan tenang Wan Cie Ie melibat cambuknya di pinggangnya yang langsing. Tanpa memperhatikan lagi pedang yang dilontarkannya, ia berpaling kepada Na Cin seraya menanya: "Bagaimana sekarang? Apakah kau rela menyerahkan kedudukan Ciangbunjinmu?"
Sesaat itu, Na Cin dan kedua Sie-wie tersebut sedang mendongak mengawasi pedang yang tengah melayang turun. Mendengar suara si nona, Na Cin berkata: "Apa?"
"Aku mau kau menyerahkan kedudukan Ciang-bunjin dari Pat-sian-kiam," jawabnya.
Ketika ia berkata begitu, pedang yang sedang melayang turun itu sudah hampir menimpa kepalanya. Tanpa menengok dan hanya dengan mengandalkan kupingnya, Wan Cie Ie mengangkat sebelah tangannya dan menangkap gagang pedang itu!
Itulah kepandaian sungguh-sungguh menakjub-kan! Harus diingat, bahwa senjata itu yang jatuh dari tempat yang tingginya puluhan tombak, mempunyai tenaga yang sangat besar. Di samping itu, kecuali gagangnya, bagian-bagian lain dari sebilah pedang adalah tajam. Bahwa tanpa melirik ia sudah dapat menangkap gagang senjata itu, adalah suatu kepandaian yang benar-benar luar biasa. Bukan saja Na Cin dan kedua Sie-wie itu jadi terperanjat, tapi Ouw Hui pun merasa sangat kagum.
Semakin banyak melihat sepak terjang nona itu, semakin besar keheranan Ouw Hui. Sebab apa ia begitu suka merebut kedudukan Ciangbunjin? Tadi, ia mau merebut jabatan Ciangbun dari Siauw-lim Wie-to-bu, sekarang dari Pat-sian-kiam. Di Hong-yap-chung, ia berlaku manis terhadap Sie-wie kerajaan Ceng, tapi kenapa sekarang ia berlaku begitu garang dan sekali bergerak sudah melukai orang? Ia juga merasa tidak mengerti, mengapa wanita yang berusia begitu muda, sudah bisa mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Kecuali Tio Poan San, belum pernah ia menemui orang lain yang ilmu silatnya lebih lihay daripada nona itu.
Na Cin adalah seorang yang sangat berhati-hati. Sesudah melihat kepandaian Wan Cie Ie, lebih-lebih ia tak berani berlaku ceroboh. Ia ingin sekali mengetahui, siapa sebenarnya wanita yang lihay itu. "Ilmu Teng-hong-pian-kee yang dimiliki nona, seperti juga ilmu dari keluarga Tong di Shoasay," katanya. (Teng-hong-pian-kee yang berarti Mendengar angin membedakan senjata adalah ilmu untuk mengetahui sesuatu bokongan. Dengan ilmu itu, yang hanya mengandalkan ketajaman kuping, seseorang bisa mengetahui setiap serangan tanpa melihatnya. Di waktu menyambuti pedang itu yang jatuh dari tengah udara, Wan Cie Ie telah menggunakan ilmu tersebut).
Si nona tertawa dan berkata: "Matamu lihay juga. Tapi bagaimana dengan ilmu ini?" Sembari berkata begitu, ia melontarkan pedang itu ke tengah udara. Kali ini, senjata itu melesat bukan dengan ujung meluncur ke atas, tapi jungkir balik tak henti-hentinya, sehingga memberi pemandangan yang sangat aneh. Na Cin mendongak, mengawasi. Mendadak, ia merasakan sambaran angin aneh dan ada apa-apa yang menyambar tubuhnya. Bagaikan kilat, ia menjejak kakinya dan badannya melesat ke belakang kurang lebih dua tombak. Sesaat itu, ia melihat berkelebatnya bola emas di ujung cambuk Wan Cie Ie di samping pinggangnya. Ternyata, selagi ia mendongak, si nona memecut dan jika bukannya keburu loncat, sudah pasti pedangnya akan kena dirampas.
Wan Cie Ie merasa sayang akan kegagalannya itu, sedang Na Cin mendongkol tercampur malu. Ia merasa malu, bahwa sebagai jago di daerah Tiongkok Tenggara, dengan mempunyai ribuan murid yang tersebar di empat propinsi (Kwitang, Kwisay, Hunlam dan Kwiciu) dan juga sebagai ahli silat yang belum pernah dijatuhkan orang selama kurang lebih dua puluh tahun, ia sekarang tidak dipandang sebelah mata oleh seorang wanita yang masih belum hilang bau pupuknya.
Sekarang, tak dapat ia menahan sabar lagi. "Srt!" ia menghunus pedangnya dan berseru: "Baiklah! Tak ada jalan lain daripada memohon pengajaran nona."
Ketika itu, pedang yang barusan dilemparkan, tengah melayang turun. Dengan gerakan yang sangat indah, si nona menggulung gagang pedang itu dengan ujung pecutnya dan tiba-tiba ujung pedang itu menyambar ke dada Na Cin. Sekali lagi Wan Cie Ie mengeluarkan kepandaiannya yang aneh-aneh. Na Cin terkejut, buru-buru ia mengangkat pedangnya untuk membela diri.
"Siang-cu-cui-siauw (Dewa Siang Cu meniup seruling)!" seru Wan Cie Ie.
Gerakan Na Cin yang barusan memang juga adalah gerakan Siang-cu-cui-siauw dari Pat-sian-kiam (Ilmu pedang delapan dewa) Pat-sian-kiam adalah ilmu pedang yang banyak dikenal di Tiongkok Tenggara, sehingga bukan suatu keheranan jika si nona juga mengenal ilmu tersebut.
"Benar, memang Siang-cu-cui-siauw, kenapa?" bentak Na Cin.
"Im-yang-po-san!" seru pula Wan Cie Ie sembari mengedut cambuknya dan ujung pedang itu menyambar ke dada kiri kanan Na Cin. Benar saja pukulan itu adalah Han-ciong-lee-im-yang-po-san dari Pat-sian-kiam. (Han-ciong-lee-im-yang-po-san berarti kipas mustika dari dewa Han Ciong Lee).
Na Cin kaget. Bahwa nona itu bisa bersilat dalam ilmu Pat-sian-kiam, tidak merupakan suatu keheranan. Apa yang luar biasa adalah cara menyerangnya. Dengan menggunakan ujung cambuk untuk "mencekal" gagang pedang, tenaga yang menggerakkan pedang itu adalah tenaga "kosong". Jika kebentrok dengan senjata lain, pedang itu pasti akan jatuh. Tapi di luar dugaan, baru saja Na Cin menggerakkan senjatanya untuk menyampok, Wan Cie le sudah berteriak pula: "Cay-ho-hian-hoa (Dewa Na Cay Ho mempersembahkan bunga)!" Sembari berteriak, ia menarik pulang cambuknya. Pedang itu jatuh dan segera ditangkapnya, kemudian sembari mencekal pedang serta cambuk ia mengawasi lawannya dengan bersenyum manis.
Sedari tadi, Na Cin sudah menimbang-nimbang, tindakan apa harus diambilnya untuk menghadapi si nona yang caranya aneh-aneh. Cambuk adalah senjata panjang, sedang pedang senjata pendek. Si nona menunggang kuda, sedang ia sendiri berjalan kaki. Karena dua hal itu, ia sudah berada dalam kedudukan yang lebih jelek. Salah sedikit saja, namanya yang sudah harum puluhan tahun, akan habis seperti disapu angin. Maka itu, sambil melintangkan pedangnya di depan dada, ia berkata dengan suara sungguh-sungguh: "Main-main secara begini, tak ada gunanya. Jika benar-benar nona ingin memberi pengajaran dalam ilmu Pat-sian-kiam, aku yang rendah bersedia untuk melayani sejurus dua jurus."
"Baiklah," jawab si nona. "Jika aku tidak menjatuhkan kau dengan ilmu pedang Pat-sian-kiam, kau agaknya tak rela menyerahkan kedudukan Ciangbun." Sembari berkata begitu, ia meloncat turun dari tunggangannya dan melibatkan Joan-piannya di pinggangnya.
Sambil mengebaskan pedangnya, Wan Cie Ie melirik Ouw Hui. "Tunggu dulu!" katanya. "Aku melayani kau main-main sedikit, sedikit pun tiada halangannya. Tapi, selagi kita main-main, mungkin sekali kudaku akan dibawa kabur oleh pencuri kuda."
"Tidak," kata Ouw Hui. "Aku berjanji, selama kau bertempur aku tak mengganggu kudamu."
"Hm!" si nona mengeluarkan suara di hidung. "Ouw Hui kecil banyak akalnya. Siapa percaya kepadanya, tentu kena diingusi." Sembari berkata begitu, tangan kirinya menjambret les kuda, sedang tangan kanannya menikam Na Cin dengan pukulan Thio-ko-lo-to-kie-louw (Thio Ko Lo menunggang keledai dengan jungkir balik).
Melihat lawannya menyerang dengan sebelah tangan menuntun kuda, diam-diam Na Cin menjadi girang. "Siapa suruh kau mencari mampus," pikirnya. Tanpa berkata suatu apa, lantas saja ia mengirimkan serangan-serangan hebat, seperti Po-in-kian-jit (Menyapu awan melihat matahari), Sian-jin-tit-louw (Dewa menunjuk jalan) dan lain-lain.
Diserang secara bertubi-tubi, Wan Cie Ie tak berani memandang enteng lagi lawannya, meskipun paras mukanya masih terus bersenyum. Sekarang ia mengakui kebenaran perkataan gurunya, bahwa ilmu pedang Pat-sian-kiam adalah ilmu yang tak boleh dibuat gegabah. Dengan sebelah tangan menuntun kuda, tak dapat ia memutarkan badan atau meloncat kian ke mari. Tapi, walaupun dalam kedudukan yang jelek itu, ia masih dapat mempertahankan diri secara sempurna dan sedikit pun Na Cin tak bisa menemukan hagian-bagian pembelaannya yang lemah. Sesudah menyerang beberapa lama dan sesudah mendapat kenyataan, bahwa si nona selalu melayaninya dengan ilmu Pat-sian-kiam, bukan main herannya Na Cin.
Ia tak habis mengerti. bagaimana dalam partai Pat-sian-kiam bisa keluar seorang jago muda seperti nona itu.
Tempat di mana mereka bertempur adalah jalan raya kota Heng-yang yang menuju ke selatan dan utara. Baru saja kedua orang itu bertanding beberapa belas jurus, dari sebelah utara datang sejumlah pedagang garam yang mendorong sebuah kereta, sedang dari sebelah selatan terlihat munculnya dua kereta keledai. Melihat ada orang bertempur, mereka berhenti di sebelah jauh untuk menonton. Sebelum berapa lama, jumlah orang sudah jadi lebih banyak. Mereka tidak meneruskan perjalanan mereka, periama, karena ketarik kepada perkelahian yang seru itu dan kedua, karena takut terhadap kedua Sie-wie yang menunggu di dekat situ.
Sekarang Na Cin mendapat kenyataan, bahwa meskipun nona itu sudah pernah mempelajari Pat-sian-kiam, akan tetapi ia masih belum dapat menyelami bagian-bagiannya yang tersulit. Tapi, karena ia paham macam-macam ilmu silat, maka setiap kali terdesak, ia selalu bisa meloloskan diri dengan menggunakan pukulan-pukulan aneh yang mirip dengan Pat-sian-kiam, tapi bukan Pat-sian-kiam. Itulah sebabnya, mengapa Na Cin tak gampang-gampang merubuhkan Wan Cie Ie.
Melihat bahwa semakin lama jumlah penonton jadi semakin besar, Na Cin menjadi bingung serta malu. Sebagai pemimpin suatu partai silat yang ternama, ia sekarang harus melayani seorang wanita muda yang sebelah tangannya menuntun kuda. Andaikata ia tak sampai kalah dan pertempuran itu berakhir seri, ia tentu tak mempunyai muka lagi untuk menghadiri pertemuan para Ciangbunjin di kota raja. Memikir begitu, lantas saja ia mengempos semangatnya dan menyerang bagaikan hujan dan angin dengan pukulan-pukulan simpanannya yang sudah dilatihnya selama puluhan tahun. Dalam sekejap seluruh badan Wan Cie Ie seolah-olah sudah dikurung sinar pedang musuh. Melihat begitu, ke-cuali kedua Sie-wie, semua penonton merasa khawatir akan keselamatan nona cantik itu.
Di lain pihak, sembari bertempur, si nona melirik Ouw Hui. Ia melihat paras muka pemuda itu seperti tertawa, tapi bukan tertawa, sikapnya seakan-akan mengandung ejekan. "Bocah!" katanya di dalam hati. "Kau mentertawai aku? Baik! Sekarang lihatlah lihaynya nonamu itu!"
Tapi, karena adanya perjanjian, bahwa dalam pertempuran itu kedua belah pihak harus menggunakan ilmu silat Pat-sian-kiam, maka Wan Cie Ie tidak bisa mengeluarkan ilmu lain. Jika ia melepaskan les kudanva dan memperoleh kemenangan dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan ia juga khawatir dipandang rendah oleh Ouw Hui. la jadi serba salah.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, tangan kirinya yang mencekal les, mendadak mengedut ke depan. Si putih adalah seekor kuda yang luar biasa cerdiknya. Begitu mendapat petunjuk, ia melompat dan berdiri atas dua kaki belakangnya, seperti juga mau menginjak kepala Na Cin.
Na Cin terkesiap, buru-buru ia miringkan badannya. Pada detik itu tiba-tiba pergelangan tangannya kesemutan dan... sebelum ia mengetahui apa yang terjadi, pedangnya sudah terbang ke tengah udara! Ia ternyata sudah kena dibokong ketika perhatiannya ditujukan kepada kuda putih itu. Dalam Rimba Persiiatan, kepandaian Na Cin belum terhitung kepandaian ahli silat kelas utama. Tapi berkat berhati-hatinya, maka selama puluhan tahun, ia bisa mempertahankan nama baiknya. Dan sama sekali ia tak menyangka, bahwa pada hari itu, karena kurang hati-hati, ia harus rubuh dalam tangan seorang wanita muda.
Sementara itu, Na Cin sudah meloncat ke samping tunggangannya dan mencabut sebatang pedang lain dari pelananya. Ternyata, sebagai orang yang selalu berhati-hati, untuk melakukan perjalanan ke kota raja, ia sudah membekal dua batang pedang.
Sebelum ia dapat berbuat suatu apa, mendadak suatu sinar putih sudah berkelebat. Ternyata, itulah pedang Wan Cie Ie yang dilontarkan ke atas. Di lain saat, kedua senjata itu kebentrok dan pedang Na Cin patah dua.
Na Cin terpaku, paras mukanya berubah pucat.
Begitu lekas ia sudah menyambuti pedangnya yang melayang turun dari udara, Wan Cie Ie segera menikam lawannya, sembari berseru: "Co Kok Kiu-pek-pan (Dewa Co Kok Kiu menepuk papan)!"
Na Cin menyambut dengan senjatanya. Trang! pedang kedua dari Ciangbunjin Pat-sian-kiam sudah patah juga!
Kenapa bisa begitu?
Dalam pukulan tadi, Wan Cie Ie kembali menggunakan tipu daya yang sangat licin. Di waktu menikam, memang juga ia menggunakan pukulan Co Kok Kiu-pek-pan. Akan tetapi, di saat kedua pedang itu hampir kebentrok, mendadak ia mengubah pukulannya. Dengan begitu, pedang Na Cin menyampok tempat kosong. Dan, pada detik pedang lawan tidak bertenaga, si nona menghantam! Na Cin mau mengerahkan tenaganya, tapi sudah tak keburu lagi, pedangnya sudah patah menjadi dua. Dengan perkataan lain: Pedang Na Cin seperti juga "memasang diri" untuk disabet putus.
Melihat, bagaimana seorang wanita muda dengan beruntun mematahkan dua pedang musuhnya, semua penonton lantas saja bersorak sorai.
Sampai di situ, Na Cin mengetahui, bahwa tak guna ia meneruskan pertempuran itu. Sesudah memungut pedang kutungnya, ia meloncat ke atas punggung kuda dan berkata sembari menyoja. "Sekarang juga aku akan kembali ke kampung sendiri dan seumur hidupku, tak nanti aku memegang pedang lagi. Akan tetapi. Jika ada orang menanyakan, siapa yang sudah menjatuhkan aku, bagaimana aku harus menjawabnya?"
"Aku she Wan bernama Cie Ie," jawab si nona yang lantas mengedut les kudanya dan mendekati Na Cin, untuk kemudian berbicara bisik-bisik di kuping orang itu.
Mendadak saja, paras muka Na Cin berubah lagi, dari gusar berubah menjadi ketakutan dan menghormat. "Jika siang-siang aku sudah tahu, aku tentu tak akan berani melawan nona," katanya. "Jika nona bertemu dengan gurumu, tolonglah menyampaikan hormat si orang she Na dari Ouwciu." Sehabis berkata begitu, ia menuntun kudanya dan mundur beberapa tindak, akan kemudian berdiri di pinggir jalan dengan sikap menghormat.
Wan Cie Ie menepuk kudanya seraya berkata sembari tertawa: "Maaflah!" Ia berpaling ke arah Ouw Hui sembari mesem dan mengedut les. Baru berjalan belasan tindak, kuda itu mendadak "terbang" ke tengah udara dan melompati belasan kereta garam itu dan kemudian kabur dengan kecepatan luar biasa.
Semua orang mengawasi dengan mulut ternganga dan di lain saat, Wan Cie Ie bersama si putih sudah tak kelihatan lagi bayang-bayangnya.
Sembari mengaburkan tunggangannya, hati si nona riang gembira karena mengingat, bahwa dalam sehari saja, ia sudah merubuhkan dua ahli silat kenamaan di daerah Selatan. Dalam girangnya, ia menyanyi-nyanyi.
Tapi, baru saja ia menyanyikan dua tiga baris sajak, mendadak ia merasakan panas-panas di punggungnya. Buru-buru ia meraba dan "Trarrr!" tangan dan punggungnya panas sakit bukan main, bajunya terbakar! Tentu saja ia kaget setengah mati. Tanpa menghiraukan apa pun juga, dengan gerakan Yan-cu-touw-lim (Anak walet masuk ke hutan) ia terjun ke sungai kecil yang kebetulan mengalir di pinggir jalan. Begitu terkena air, api itu lantas saja padam. Dengan cepat ia naik pula ke darat, sembari meraba-raba punggungnya. Ternyata bajunya berlubang dimakan api, tapi masih untung api itu belum membakar dagingnya.
Darah Wan Cie Ie seolah-olah mendidih. "Bangsat kecil Ouw Hui!" ia mencaci. "Tak salah lagi, kaulah yang main gila." Ia segera membuka buntalannya dan mengambil sepotong baju, tapi baru saja mau tukar pakaian, tiba-tiba ia melihat pundak kiri si putih bersemu hitam dan bengkak, sedang dua ekor sia-cu (semacam kutu berbisa yang hidup di dalam kayu) tengah merayap di punggung kuda itu. Wan Cie Ie terkejut, ia menyabet dengan cambuknya dan begitu lekas kedua kutu itu jatuh, ia menghancur leburkan kedua-duanya dengan sebuah batu besar. Racun sia-cu itu menjalar dengan cepat dan Sesudah mengeluarkan beberapa jeritan hebat, si putih menekuk kedua lutut depannya dan jatuh terguling di atas tanah.
Wan Cie Ie benar-benar bingung, ia tak tahu harus berbuat bagaimana dan hanya mulutnya yang mencaci tiada henti-hentinya: "Bangsat Ouw Hui! Binatang Ouw Hui...." Ia tak ingat lagi hal menukar pakaian dan dalam bingungnya, ia coba memencet bagian tubuh kudanya yang sudah menjadi hitam untuk mengeluarkan racunnya. Tapi si putih kesakitan dan berontak sekuat tenaganya.
Selagi ia tak berdaya, sekonyong-konyong di sebelah selatan terdengar bunyi tindakan kuda dan tidak beberapa lama kemudian, kelihatan tiga penunggang kuda mendatangi. Orang yang berada di depan bukan lain daripada Ouw Hui sendiri. Bagaikan seekor elang, badannya Wan Cle Ie meiesat ke tengah udara dan menubruk Ouw Hui.
Wan Cie Ie merasakan dadanya seperti mau meledak. Ia meloncat sembari mengayun cambuknya yang lalu disabetkan ke kepala Ouw Hui dengan seantero tenaganya. "Bangsat bau!" ia memaki. "Kepandaianmu adalah membokong orang! Apakah itu perbuatan seorang gagah?"
Ouw Hui menangkis dengan goloknya, sehingga cambuk si nona jadi terpental. "Kenapa kau mengatakan aku membokong orang?" tanyanya sembari tertawa.
Berbareng dengan terpentalnya cambuk itu, Wan Cie Ie merasakan lengannya kesemutan. Ia mengetahui, bahwa pemuda itu tak boleh dipandang enteng, tapi dalam kalapnya, ia mencaci lagi: "Bangsat! Kau menggunakan binatang beracun untuk mencelakakan tungganganku. Apakah itu bukan perbuatan bangsa buaya darat?"
"Aku tidak menyalahkan nona, jika nona menjadi kalap," kata Ouw Hui pula, sembari nyengir. "Tapi, bagaimana nona mengetahui, bahwa Ouw Huilah yang sudah menurunkan tangan jahat?"
Wan Cie Ie kaget. Sekarang ia mendapat kenyataan, bahwa dua penunggang kuda lain yang mengikuti di belakang Ouw Hui adalah kedua Sie-wie yang tadi mengawani Na Cin. Tangan mereka diikat erat-erat dengan tambang dan kedua ujung tambang itu dipegang Ouw Hui. Sekarang si nona mendusin, bahwa kedua Sie-wie itu sudah menjadi tawanan Ouw Hui dan oleh karena itu, ia sudah menebak latar belakangnya.
"Apakah buah pekerjaan kedua bangsat itu?" ia membentak.
Ouw Hui tertawa. "Cobalah nona tanya, nama dan gelaran mereka yang besar," katanya.
"Kalau kau sudah tahu, hayo beritahukan padaku, jangan rewel," kata Wan Cie Ie dengan aseran.
"Baiklah," kata Ouw Hui sembari nyengir. "Sekarang aku memperkenalkan kedua orang besar ini, kepada nona. Yang itu adalah Siauw-ciok-yong Tio Beng, sedang yang ini adalah Kim-sia-cu Cui Pek Seng."
Mendengar gelaran itu, si nona lantas saja mengetahui, bahwa Siauw-ciok-yong adalah orang yang melepaskan api kepadanya, sedang Kim-sia-cu adalah majikan dua ekor kutu berbisa itu. Ternyata, mereka sudah melakukan pekerjaan itu, ketika si nona sedang bertempur dengan Na Cin.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Wan Cie Ie mengayun cambuknya. "Terrrr... terrr..." enam kali cambuk kuda itu berbunyi beruntun, setiap orang dipersen tiga cambukan. Hampir berbareng, kepala dan muka kedua Sie-wie itu mengucurkan darah.
"Lekas keluarkan obat pemunah untuk kudaku!" bentak Wan Cie Ie dengan bengis. "Jika ayal-ayalan, akan aku persen lagi dengan tiga cambukan. Sekali ini dengan cambuk ini." la mengebaskan Joan-piannya di tengah udara dan kemudian menyabet jatuh sebatang cabang pohon liu. Kim-sia-cu yang sudah ketakutan setengah mati, mengangkat kedua tangannya yang terikat dan berkata dengan suara gemetar: "Bagaimana aku bisa...." Belum habis perkataannya, Ouw Hui sudah mengayun goloknya dan tali yang mengikat pergelangan tangan Kim-sia-cu, jatuh di atas tanah. Sabetan golok itu merupakan suatu pertunjukan untuk memperlihatkan kelihayannya sendiri. Tenaga yang digunakan adalah sedemikian tepatnya, sehingga meskipun tambang pengikat itu tertebas putus, kulit Kim-sia-cu sama sekali tidak terluka.
Wan Cie Ie mengerti maksud Ouw Hui. la hanya mengeluarkan suara di hidung sebagai ejekan.
Buru-buru Kim-sia-cu mengeluarkan sebungkus obat dari sakunya dan mengusapkan obat itu di luka si putih. "Sesudah memakai obatku, jiwa binatang ini tidak terancam lagi," katanya dengan suara perlahan. "Tapi, dalam tiga hari dia tidak boleh lari, supaya tulang dan otot-ototnya tidak mendapat luka."
"Buka ikatan Siauw-ciok-yong!" perintah si nona.
Kim-sia-cu menjadi girang sekali. "Biar dicambuk, masih untung kecuali Co-toako, tak ada orang lain yang turut menyaksikan," katanya di dalam hati. "Dia sendiri juga mendapat bagian, rasanya dia tak akan menguarkan kejadian ini di luaran." Harus diketahui, bahwa orang-orang sebangsa sie-wie itu, tidak merasa terlalu berkeberatan jika mereka dihajar orang. Yang paling mereka takuti adalah cerita-cerita di luaran yang bisa menurunkan keangkeran dan derajat mereka. Maka itu, buru-buru Kim-sia-cu menghampiri kawannya dan membukakan tali yang mengikatnya. Baru mereka mau mengangkat kaki, tiba-tiba si nona tertawa dingin. "Kamu mau berangkat?" tanyanya. "Hm! Kau kira dalam dunia ada urusan yang bisa berjalan begitu licin?" Jantung kedua sie-wie itu memukul keras, mereka saling mengawasi dengan sorot mata ketakutan. Mereka menahan les dan tidak berani berjalan terus.
"Siauw-ciok-yong, lekas keluarkan semua alat pembakarmu!" perintah si nona. "Kim-sia-cu, kau juga mengeluarkan semua kutu busukmu! Jika kau berani menyembunyikan, kuhajar lagi cecongormu!" Sembari berkata begitu, ia mengebaskan joan-piannya berulang-ulang, sehingga menerbitkan serentetan suara nyaring di tengah udara.
Diancam begitu, mereka tak bisa berkutik lagi. Dengan ogah-ogahan Siauw-ciok-yong mengeluarkan sebuah kotak besi, di mana ia menyimpan senjata rahasianya, sedang Kim-sia-cu juga merogoh sakunya dan mengeluarkan #sebuaht kimbung bambu yang berisi kutu-kutu beracun. Melihat bumbung yang mengilap itu karena sudah digunakan bertahun-tahun, Wan Cie-ie jadi ingat isinya, yaitu kutu-kutu berbulu yang sangat menakutkan dan beracun. Tanpa merasa, bulu romanya berdiri semua.
"Bangsat!" bentak si nona. "Kamu sudah berani membokong aku dengan senjata beracun benar-benar nyalimu besar. Sebenar-benarnya, hari ini kau mesti mampus. Tapi, untungmu masih bisa dikatakan bagus, karena nonamu mempunyai kebiasaan untuk hanya mengambil satu jiwa manusia dalam satu hari ...."
Co Beng dan Cui Pek-seng saling mengawasi, hati mereka menjadi lega sedikit.
Sesudah berhenti sejenak, Wan Cie-ie berkata pula, "Di antara kamu berdua, seorang mesti meninggalkan dunia ini. Siapa yang mesti mati dan siapa yang boleh hidup, sukar sekali aku memutuskannya. Begini saja, kamu saling menghantam dengan senjata rahasiamu. Siapa yang kena, dialah yang harus mati. Siapa yang bisa berkelit, nonamu mengampuni jiwanya. Peraturanku ini tak dapat diubah lagi. Tak guna kamu memohon-mohon. Satu, dua, tiga, hayo!"
Kedua sie-wie itu agak sangsi. Mereka tak dapat menebak, apakah nona itu bicara sesungguhnya atau hanya ingin menakut-nakuti mereka. Tapi, di lain detik, mereka sama-sama mempunyai pendapat begini, jika dia turun tangan lebih dulu, bukankah aku yang mampus? Dua-dua sie-wie itu orang-orang kejam dan begitu memikir demikian, mereka segera turun tangan. Hampir berbareng mereka mengeluarkan teriakan yang menyayatkan hati. Leher Siauw-ciok-yong sudah digigit sia-cu, sedang dada Kim-sia-cu sudah disambar bola api, kumis dan bajunya sudah terbakar.
Wan Cie-Ie tertawa terpingkal-pingkal. "Sudahlah!" katanya. "Hitung-hitung seri saja. Sekarang kamu boleh menggelinding pergi dari sini!"
Bukan main girangnya mereka. Tanpa menghiraukan sia-cu yang masih menggigit dan api yang masih berkobar-kobar, dengan serentak mereka mengeprak kuda yang lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Sesudah terpisah jauh dari kedua orang muda yang galak itu, barulah mereka saling menolong. Untuk beberapa saat, Wan Cie-ie masih saja tertawa geli. Mendadak ia merasakan punggungnya dingin sebab ditiup angin dan baru ia ingat, bahwa bajunya pecah. Ia melirik Ouw Hui dan mendapat kenyataan, bahwa pemuda itu tengah mengawasi dirinya sembari bersenyum. Ia jadi kemalu-maluan dan kedua pipinya lantas saja bersemu merah.
"Lihat apa kau?" ia membentak.
Ouw Hui melengos. "Tak lihat apa-apa," sahutnya.
"Minggir! Aku mau menukar baju," si nona memerintah.
"Di sini? Kau mau menukar baju di tengah jalan?" Ouw Hui menanya sembari tertawa.
Wan Cie-ie mendongkol tercampur geli. Karena jengah, ia jadi keterlepasan bicara. Sembari melirik Ouw Hui dengan sorot mata uring-uringan, ia pergi ke gerombolan pohon-pohon lalu mengenakan baju luar yang berwarna kuning. Pakaian dalamnya masih basah, tapi ia tidak menghiraukannya. Sesudah itu, ia menggulung baju ungu itu yang sudah terbakar dan melemparkannya ke tengah sungai.
Sambil mengawasi baju itu yang hanyut terbawa aliran air, Ouw Hui berkata, "Nona, apakah sekarang kau bernama Wan Hong-san (Si Baju Kuning)?"
Cie-ie tak menjawab ia hanya mengeluarkan suara di hidung, Ouw Hui ternyata sudah bisa menebak, bahwa "Wan Cie-ie" bukan namanya yang asli.
Mendadak si nona berteriak, "Celaka! Aku digigit sia-cu!" Ia mengulurkan tangannya dan mencakar-cakar punggungnya.
Ouw Hui terkesiap. "Apa benar?" tanyanya, sembari meloncat ke belakang si nona untuk memberikan bantuan.
Sekali ini, Ouw Hui yang pintar kena juga ditipu. Selagi ia loncat, yaitu sedang badannya berada di tengah udara, sekonyong-konyong Cie-ie mendorong dengan kedua tangannya. Itulah bokongan yang sungguh tidak diduga-duga. Seketika itu juga, Ouw Hui terjungkal dan jatuh ke dalam lumpur di tepi sungai, tubuhnya ambles sebatas dada!
Wan Cie-ie bertepuk tangan dan tertawa bergelak-gelak. "Ouw Hui kecil!" ia berteriak dari atas. "Kau terkenal licin seperti setan, tapi sekarang, kena juga kau diakali nonamu!"
Ouw Hui tak tahu, apa ia mesti menangis atau tertawa. Kebaikan hatinya merupakan ketololan besar. Karena empuknya lumpur, tak dapat ia mengerahkan tenaga untuk melompat ke luar, sehingga jalan satu-satunya adalah berkutat naik ke atas setindak demi setindak.
Begitu tiba di gili-gili, sambil mementang kedua tangannya yang berlepotan lumpur, Ouw Hui menubruk sembari berteriak, "Budak kecil ini mesti dihajar dengan kekerasan!"
Si nona terkejut, buru-buru ia meloncat dan melarikan diri. Tapi di luar dugaannya, ilmu mengentengkan badan Ouw Hui tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya. Ia lari berputar-putar, tapi selalu dicegat oleh pemuda itu yang mengancam akan memeluk dirinya sambil mementang kedua tangannya. Ia juga tidak berani menyerang, karena begitu beradu tangan, ia tentu akan kecipratan lumpur. Sesudah main petak beberapa lama, si nona menjadi uring-uringan dan segera menghentikan tindakannya. "Kau berani meraba aku?!" ia membentak sembari memberengut.
Ouw Hui yang memang hanya ingin menakut-nakuti, lantas saja turut menghentikan tindakannya. Sesaat itu, hidungnya mengendus wangi-wangian yang halus dan sedap, sehingga dengan terkejut ia meloncat mundur beberapa tindak.
"Nona," katanya. "Aku sudah begitu baik hati, tapi kenapa kau berlaku seperti seekor anjing yang menggigit Lu Tong-pin?"
Cie-ie tertawa dan menjawab secara menyimpang, "Eh, apakah kau mengetahui, bahwa dalam ilmu silat Pat-sian-kiam terdapat serupa pukulan yang dinamakan Lu-tong-pin-tui-kauw (Dewa Lu Tong-pin mendorong anjing). Jika kau tak percaya, tanyakan orang she Na itu."
"Ah, kau sungguh tak mempunyai liangsim (perasaan hati)," kata Ouw Hui. "Kau membalas kebaikan dengan kejahatan."
"Fui!" bentak si nona. "Kau berani menganggap dirimu terlalu mulia, sudah melepas budi besar kepadaku? Sekarang kutanya, Bagaimana kau bisa mengetahui, bahwa kedua sie-wie itu sudah membokong aku?"
Mendengar pertanyaan itu, Ouw Hui jadi gelagapan. Memang benar, ketika kedua sie-wie itu meletakkan bahan api di punggung Cie-ie dan melepaskan sia-cu di cambuknya, Ouw Hui sudah melihat dengan terang sekali. Tapi untuk mengganggu, ia sengaja menutup mulut. Sesudah si nona berlalu, barulah ia membekuk kedua orang itu dan menyusul.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Cie-ie. "Bukankah benar dalam hal ini sedikit pun aku tak menerima budimu?" Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan sapu tangan dan menutup hidungnya. "Bau benar kau!" katanya. "Lekas mandi! Sesudah badanmu dicuci bersih, aku akan menceritakan halnya Tio-sam ... si bocah Tio Poan-san."
Sebenarnya ia ingin mengatakan "Tio-samsiok", tapi karena Ouw Hui mengakui Poan-san sebagai kakaknya, sehingga dengan begitu, kedudukannya jadi lebih tinggi setingkat daripada ia, maka ia sudah menggunakan perkataan "si bocah Tio Poan-san".
Ouw Hui menjadi girang sekali. "Baik, baiklah," katanya dengan cepat. "Kau pergi jauh-jauh. Aku mandi cepat sekali."
"Cepat-cepat tak hilang baunya," kata si nona sembari nyengir.
Ouw Hui tertawa dan dengan gerakan It-ho-ciong-thian (Burung Ho Menembus Langit) yang sangat indah, ia loncat mencebur ke dalam sungai.
Selagi Ouw Hui mandi, Cie-ie memeriksa luka si putih. Obat Kim-sia-cu ternyata sangat mustajab, karena bengkaknya sudah reda dan kuda itu sudah tidak menjerit-jerit lagi. Dengan hati lega, ia memandang ke arah sungai. Ia melihat pakaian, sepatu dan kaus kaki Ouw Hui ditumpuk di pinggir sungai, sedang pemuda itu sendiri sedang berenang di suatu tempat yang jauhnya beberapa puluh tombak.
Mendadak, kenakalan si nona kumat kembali. Ia membuka buntelan Ouw Hui dan mengeluarkan sepotong baju tua. Sesudah itu, dengan berindap-indap ia menghampiri tumpukan pakaian di tepi sungai itu dan membungkus semuanya di dalam baju tua itu. Kemudian, ia menunggangi kuda Ouw Hui dan sembari menuntun si putih, ia menjalankan kuda itu ke arah utara.
"Hei! Kenapa begitu lama?" ia sengaja berteriak. "Aku mempunyai urusan penting, tak dapat menunggu kau lagi!" Sehabis berkata begitu, ia mengeprak tunggangannya yang lantas saja lari keras.
Lapat-lapat di sebelah jauh, ia dengar teriakan Ouw Hui, "Nona Wan! Nona Wan! Aku menyerah kalah! Tinggalkan pakaianku!" Semakin lama, suara itu jadi semakin jauh, agaknya Ouw Hui tak berani naik ke atas tanpa pakaian.
Di sepanjang jalan Wan Cie-ie tertawa terpingkal-pingkal, semakin ia ingat perbuatannya, semakin geli hatinya. Ia sudah menghitung, bahwa sebagai kuncu (kesatria), pemuda itu tentu tidak berani mengejar tanpa berpakaian.
Sesudah berjalan belasan lie, ia lalu berhenti dan mengaso di sebuah rumah penginapan kecil. "Aku mesti mengaso, sebab menurut kata Kim-sia-cu, si putih tak boleh lari untuk sementara waktu," katanya pada diri sendiri. Tapi, dalam hati kecilnya, ia mengharapkan agar #(dengan bermalam di rumah penginapan itu) Ouw Hui akan menyusul dan bercekcok lagi dengan ia.
Malam itu lewat tanpa Ouw Hui menampakkan mata hidungnya. Pagi-pagi sekali Wan Cie-ie sudah meninggalkan rumah penginapan itu dan meneruskan perjalanannya. Ia ingin sekali mengetahui, bagaimana pemuda itu mendapat pakaian guna menyusul ia. Mengingat begitu, lagi-lagi ia tertawa geli. Ia jalan perlahan-lahan, setiap hari hanya delapan puluh atau sembilan puluh lie, akan tetapi, orang yang diharap-harapkan belum juga muncul.
Satu hari, tibalah ia di Ya-kee-wan, sebelah utara Kota Siang-tam, tak jauh dari kota Tiang-see, ibu kota Provinsi Ouwlam. Selagi mencari-cari rumah makan untuk menangsel perut, mendadak ia mendengar suara ramai-ramai di pelabuhan. Ia mengawasi dan melihat sebuah perahu besar yang sedang berlabuh di tepi sungai, sedang di kepala perahu berdiri seorang tua yang lagi menyoja kepada orang-orang yang seperti sedang mengantarnya.
Dengan melirik, Wan Cie-ie sudah mengetahui, bahwa sebagian besar daripada pengantar itu adalah orang-orang Rimba Persilatan yang bertubuh kekar. Dan apa yang agak luar biasa adalah, di belakang orang tua itu berdiri dua sie-wie dari Kerajaan Ceng.
Jantung si nona memukul lebih keras. "Apakah lagi-lagi aku bertemu dengan seorang ciangbunjin yang mau berangkat ke kota raja untuk memenuhi undangan Hok-kongcu?" tanyanya pada diri sendiri. Memikir begitu, ia segera menahan kudanya dan mengawasi orang tua itu secara lebih saksama. Jenggot orang tua itu sudah putih, tapi mukanya bersinar merah dan pakaiannya indah sekali.
"Hiantee (adik) sekalian harap pulang saja," katanya sembari menyoja. Dilihat dari gerakan-gerakannya yang mantap, tak bisa salah lagi ia adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi.
Orang-orang yang berada di daratan bersorak-sorai dan berteriak, "Selamat jalan, Loosu! Kami mendoakan supaya-loosu mengangkat naik derajat Kiu-liong-pay (Partai Sembilan Naga) kita di kota raja."
Orang tua itu tertawa dan berkata, "Tak berani aku mengharapkan itu. Aku hanya mengharap, supaya nama Kiu-liong-pay tidak menjadi rusak dalam tanganku." Kata-kata itu yang diucapkannya nyaring sekali, kedengarannya seperti kata-kata merendahkan diri, tapi sebenarnya mengandung kesombongan.
Perkataan orang tua itu disambut dengan merotoknya petasan yang dipasang di perahu dan di gili-gili. Wan Cie-ie mengetahui, bahwa begitu lekas petasan itu terbakar habis, perahu itu akan segera meninggalkan pelabuhan. Ia meloncat turun dari tunggangannya dan mengambil dua butir batu. Sekali ia mengayun kedua tangannya dan dua batu itu menyambar rencengan petasan yang masing-masing kurang-lebih dua tombak panjangnya. Begitu terlanggar batu, rencengan petasan itu jatuh ke sungai dan terus padam.
Kejadian itu disambut dengan teriakan kaget oleh semua orang. Padamnya petasan dianggap sebagai alamat yang sangat buruk. Sejumlah orang telah melihat, bahwa petasan itu telah ditimpuk putus oleh seorang wanita yang mengenakan baju warna kuning. Enam-tujuh orang lantas saja menghampiri dan mengurung Wan Cie-ie.
"Siapa kau?!" bentak seorang.
"Siapa suruh kau mengacau di sini?" teriak seorang lain.
"Eh, kau memutuskan petasan. Apa maksudnya?!" tanya seorang lain.
"Benar-benar kau pernah gegares nyali macan tutul," kata orang yang satunya lagi. "Berani betul kau main gila terhadap Ya-loosu dari Kiu-liong-pay."
Jika Wan Cie-ie bukan seorang gadis dan juga gadis cantik, siang-siang mereka tentu sudah memukul.
Ketika berhadapan dengan jago-jago Wie-to-bun dan Pat-sian-kiam, sedikit pun si nona tidak merasa keder, karena ia sudah mengenal baik ilmu silat kedua partai itu. Tapi Kiu-liong-pay (Partai Sembilan Naga), ia belum pernah mendengarnya. Maka itu, sembari tertawa ia berkata, "Sebenarnya aku menimpuk burung di atas air, tapi tak nyana, sudah kesalahan tangan. Aku sungguh merasa sangat menyesal."
Orang-orang lantas saja memberi berbagai pendapatnya. Ada yang kata, mustahil si nona kesalahan tangan, sebab dua renceng petasan itu jatuh semuanya. Ada yang menanya nama si nona dan maksud kedatangannya di Ya-kee-wan dan ada pula yang mengumpat caci.
"Berapa sih harganya dua renceng petasan?" kata Wan Cie-ie sembari tertawa. "Pergi beli lagi!" Sembari berkata begitu, ia mengeluarkan sepotong emas yang beratnya kira-kira lima tahil. Harga emas itu adalah cukup untuk membeli seribu renceng petasan.
Melihat gerak-gerik nona itu yang sangat aneh, semua orang jadi merasa heran dan tak seorang pun yang berani menyambuti uang emas itu.
"Bukankah Tuan-tuan ini murid-murid Kiu-liong-pay?" tanya Wan Cie-ie sembari mesem. "Bukankah Ya-loosu yang menjadi ciangbunjin dari Kiu-liong-pay? Dan bukankah Ya-loosu ingin pergi ke Pakkhia untuk menghadiri pertemuan para ciangbunjin yang dihimpunkan oleh Hok-kongcu?"
Mendengar pertanyaan itu, semua orang lantas saja mengangguk.
Wan Cie-ie menggeleng-gelengkan kepala dan lalu berkata dengan suara menyesal, "Sayang sungguh sayang! Petasan yang sedang dibakar mendadak bungkam, adalah serupa alamat yang sangat jelek. Paling benar Ya-loosu mengurungkan niatnya."
"Kenapa?" tanya seorang.
Wan Cie-ie lantas saja menarik paras muka sungguh-sungguh. "Menurut penglihatanku, sinar muka Ya-loosu adalah sangat guram," katanya. "Di mukanya terdapat serupa uang hitam dan di kedua alisnya terlihat garis-garis pembunuhan. Aku berani mengatakan, bahwa jika Ya-loosu pergi juga ke kota raja, bukan saja nama Kiu-liong-pay akan berantakan tapi Ya-loosu sendiri bakal terancam jiwanya."
Paras muka semua orang lantas saja jadi berubah. Ada yang meludah, ada yang memaki, dan ada pula yang berunding dengan suara perlahan karena hatinya sudah diguncangkan oleh perkataan si nona.
Wan Cie-ie berdiri dalam jarak yang tidak jauh dari perahu besar itu dan setiap perkataannya sudah didengar oleh Ya-loosu. Orang tua itu mengawasi si nona yang lemah lembut dan berbadan langsing kecil, seolah-olah bukan orang yang mengenal ilmu silat. Akan tetapi, sesudah menyaksikan timpukannya yang luar biasa dan kuda putihnya yang sangat garang, Ya-loosu mengetahui, bahwa nona itu bukan sembarang orang.
Maka itu, ia segera menyoja seraya berkata, "Bolehkah aku mengetahui she Nona yang mulia? Sudikah Nona naik ke perahu ini untuk berbicara lebih lanjut?"
"Aku she Wan," jawabnya. "Lebih baik Ya-loosu saja yang turun ke darat."
Menurut kepercayaan di Provinsi Ouwlam pada zaman itu, seseorang yang ingin berlayar dan sudah naik di perahu, tak boleh turun ke darat lagi sebelum perahu itu berlayar. Jika kebiasaan itu dilanggar, orang itu akan mendapat akibat yang jelek, katanya. Dari sebab itu, mendengar perkataan si nona, kedua alis Ya-loosu lantas saja berkerut, seperti juga ia sedang berpikir keras.
Harus diketahui, bahwa walaupun memiliki ilmu silat yang tinggi, sehingga ia bisa menjadi ciangbunjin dari suatu partai silat, orang tua itu sangat percaya segala petang-petangan dan ketakhayulan. Tadi, jatuhnya petasan ke dalam air sudah membikin hatinya jadi sangat tidak enak. Kejadian itu disusul dengan perkataan si nona yang semakin lama jadi semakin tak enak kedengarannya.
Sesudah menimbang-nimbang beberapa saat, ia mengambil keputusan untuk tidak menghiraukan gadis jelita itu. Ia berpaling kepada juragan perahu dan berkata, "Hayolah berangkat!"
Anak buah perahu itu lantas saja mengangkat sauh dan beberapa antaranya segera mengangkat galah untuk menolak perahu.
"Perlahan!" seru Wan Cie-ie. "Jika kau tak dengar nasihatku, belum seratus lie, perahu itu pasti sudah tenggelam dan seantero isinya bakal binasa!"
Paras muka Ya-loosu lantas saja berubah menyeramkan. "Melihat usiamu yang masih begitu muda, aku sengaja sungkan meladeni," katanya dengan suara keras. "Jika kau terus ngaco belo, jangan menyesal, kalau aku tak berlaku sungkan-sungkan lagi."
Dengan sekali menggenjot badan, si nona sudah hinggap di atas perahu. "Ya-loosu, jangan kau marah," katanya sembari tertawa. "Aku bicara dengan maksud baik sekali. Bolehkah aku mengetahui nama Loosu yang besar, supaya aku bisa meramalkan untuk kebaikanmu sendiri?"
Orang tua itu mengeluarkan suara di hidung dan membentak, "Tak usah!"
"Baiklah," kata Wan Cie-ie. "Jika Loosu tak sudi memberitahukan namamu, biarlah aku meramalkan dengan memecah she Loosu saja. Loosu she Ya. Huruf `ya' terdiri dari dua huruf `jit' (hari) dan `put-jit' (tidak hari), mempunyai arti, bahwa usia Loosu sudah tidak panjang lagi. Dalam perjalanan ini Loosu menggunakan perahu atau dengan perkataan lain, menggunakan jalan air. Jika huruf `ya' ditambah dengan huruf `sui' (air) dan huruf `co' (rumput), maka dapatlah kita huruf `thong' (pengembara). Barangkali Loosu pun mengenal syair zaman dulu yang berarti seperti berikut, `Thong-cu-heng-put-kwi' (Si pengembara tak kembali lagi). Ini berarti, bahwa dalam perjalanan ini, Loosu tak akan bisa pulang ke kampung sendiri dan akan binasa di kampung orang."
Mendengar ramalan itu, bukan main gusarnya Ya-loosu. Tapi, karena perkataan si nona kedengarannya beralasan sekali, kegusaran itu jadi bercampur dengan kekhawatiran. "Dusta!" ia membentak untuk menghibur hatinya sendiri. "Namaku Kit dan `kit' berarti `selamat' atau `beruntung'. Apa lagi yang mau dikatakan olehmu?"
"Celaka!" berseru si nona. "Untuk orang lain, huruf `kit' memang baik sekali. Tapi bagi Loosu, huruf itu justru mengandung kecelakaan. Coba Loosu pikir, Loosu she Ya dan huruf `ya' berarti `hoan' (menukar). Apa artinya itu? Itu berarti bahwa keselamatan ditukar dengan kecelakaan!"
Ya Kit terkesiap dan tak mengeluarkan sepatah kata, sedang si nona nakal menyengir dengan perasaan puas. Sesaat kemudian, Wan Cie-ie berkata pula, "Jika huruf `kit' dipecah-pecah, maka dapatlah kita tiga huruf, yaitu `cap it kouw' (sebelas mulut). Ya-loosu, ini lebih celaka lagi! Manusia biasa hanya mempunyai satu mulut, tapi kau mempunyai sebelas mulut. Jadi, kau kelebihan sepuluh mulut. Mulut apa itu? Mulut luka, mulut luka akibat bacokan golok atau pedang! Ah, Ya-loosu! Dilihat gelagatnya, dalam perjalananmu sekali ini ke kota raja, memang sudah nasibmu untuk mendapat sepuluh bacokan dan seperti si pengembara dalam syair kuno itu, jangankan badan, tulang-tulangmu juga tak akan bisa pulang ke kampung kelahiranmu!"
Semakin besar ketakhayulan seseorang, semakin takut dia mendengar perkataan-perkataan yang kurang baik. Sesaat itu paras muka Ya Kit sudah berubah sangat menyeramkan dan sembari melirik si nona, ia berkata dengan suara dingin, "Baiklah Nona, banyak terima kasih untuk perkataan-perkataanmu yang sangat berharga. Tapi, bisakah aku mengetahui siapa adanya gurumu dan siapa ayahmu?"
"Apakah kau juga ingin meramalkan nasibku?" tanya si nona sembari tertawa. "Sebab apa kau ingin mengetahui asal usulku?"
Ya-loosu tertawa dingin dan berkata pula, "Melihat usiamu yang masih begitu muda dan juga karena mengingat, bahwa kita sama sekali belum saling mengenal, maka sudah boleh dipastikan, kedatanganmu di sini adalah atas suruhan orang lain untuk mengganggu aku. Aku si orang she Ya tidak biasa berkelahi melawan segala bocah cilik dan juga, sebagai lelaki aku tak sudi bertempur dengan perempuan. Suruhlah orang yang berada di belakangmu, datang kemari. Kita coba-coba melihat, siapa yang kena sepuluh bacokan dan siapa yang tak bisa pulang ke kampung sendiri." Sehabis berkata begitu, ia menuding Wan Cie-ie sembari berteriak, "Siapakah manusia di belakangmu itu?"
"Orang di belakangku?" si nona menegas sembari tertawa dan menengok ke belakang.
Begitu menengok, hatinya terkesiap. Ternyata, orang yang berdiri di daratan dan mengenakan pakaian petani, bukan lain daripada Ouw Hui! Tapi sungguh pandai si nona mempertahankan diri. Tanpa berubah parasnya, ia berkata sembari tertawa, "Orang yang di belakangku? Aku melihat dia seperti bocah pengangon kerbau."
"Jangan berlagak pilon!" teriak Ya Kit dengan kegusaran yang meluap-luap. "Yang kumaksudkan adalah manusia yang berdiri di belakangmu, yang menyuruh kau datang kemari. Jika laki-laki, jangan main sembunyi-sembunyi, suruh dia keluar! Keluar!" Menurut dugaan Ya Kit, tak bisa salah lagi, kedatangan Wan Cie-ie adalah atas perintah salah seorang musuhnya untuk mengacau keberangkatannya ke kota raja.
"Ya-loosu," kata pula Wan Cie-ie dengan paras sungguh-sungguh. "Orang kata, obat mustajab, pahit rasanya, nasihat jujur, tak enak didengarnya. Nasihatku itu keluar dari hati yang sejujurnya dan apakah kau sudi mendengar atau tidak, terserah kepadamu. Mengenai Kiu-liong-pay, jika kau tidak bisa pergi, aku bersedia untuk mewakilinya."
******
Hampir berbareng dengan meloncatnya Wan Cie-ie ke atas perahu, Ouw Hui sudah tiba di situ.
Hari itu, ketika pakaiannya dicuri si nona, sedang ia sendiri mandi di sungai, tentu saja ia tak bisa mendarat dengan begitu saja. Sesudah malam, baru ia berani naik ke daratan dan mencuri seperangkat pakaian dari rumah seorang petani. Apa yang paling dipikirnya adalah kitab ilmu silat dan ilmu golok yang selalu disimpan dalam saku baju dalamnya dan baju itu sudah dibawa lari oleh si nona. Ia menduga, bahwa Wan Cie-ie memang ingin memiliki kitabnya itu, karena mula-mula dia mencuri buntelan dan kemudian mencuri pakaiannya. Memikir begitu, dengan perasaan jengkel dan bingung, ia segera mengejar secepat mungkin. Tak berlama-lama, dari jauh ia sudah melihat si nona yang menjalankan kudanya perlahan-lahan. Sekarang ia menjadi sangsi. Menurut pantas, seorang pencuri tentu menyingkir selekas dan sejauh mungkin. Kenapa melarikan tunggangannya begitu perlahan-lahan? Benar-benar Ouw Hui tak mengerti.
Menurut pertimbangannya, jika menggunakan kekerasan, belum tentu ia bisa mengalahkan si nona. Maka itu, ia lalu menguntit secara diam-diam untuk menyelidiki gerak-geriknya dan melihat, apakah nona itu ada kawannya atau tidak. Tapi sesudah membuntuti dua hari, sama sekali Ouw Hui tidak dapat melihat gerak-gerik luar biasa dari nona itu.
Hari itu, ketika tiba di Ya-kee-wan, ia mendapat kenyataan, bahwa Wan Cie-ie lagi-lagi ingin merebut kedudukan ciangbunjin.
"Ah, nona itu tentu sakit gila," pikir Ouw Hui. "Dia tentu dihinggapi penyakit gila ciangbunjin, atau dia mempunyai maksud lain yang lebih dalam."
Melihat Ya Kit dan Wan Cie-ie sudah hampir bertempur, diam-diam Ouw Hui menjadi girang. Ia mengambil putusan menjalankan peranan si penangkap ikan yang mengantongi hasil permusuhan antara burung dan kerang. Dengan perkataan lain, ia ingin berusaha untuk mengambil pulang kitabnya, selagi kedua orang itu bertempur. Di saat itu, jika mau, dengan gampang ia bisa merebut kembali kuda si nona. Akan tetapi, seperti lagu yang merdu tak akan dinyanyikan untuk kedua kalinya, begitu juga tipu yang lihai tak akan diulangi lagi. Jika ia mengulangi siasat merebut kuda, ia khawatir ditertawakan si nona. Maka itu dengan perlahan ia mendekati perahu, siap sedia untuk merampas buntelan si nona yang diikatkan di punggungnya.
******
Sementara itu, mendengar perkataan Wan Cie-ie, paras muka Ya Kit jadi bersemu ungu, bahana gusarnya. "Kalau begitu," katanya dengan suara gemetar, "kalau begitu, apakah Nona mau mengatakan, bahwa aku, Ya Kit, tak mempunyai kemampuan dan tak berhak lagi menjadi ciangbunjin dari Kiu-liong-pay?"
"Bukan, bukan begitu." jawabnya sembari nyengir. "Perjalanan Loosu sekali ini adalah perjalanan yang penuh bahayanya. Urusan jiwa tak boleh dibuat main-main. Maka itu, lebih baik Loosu menyerahkan kedudukan ciangbunjin kepadaku. Nasihat ini keluar dari hati yang suci dan hanyalah untukmu ...."
Baru saja ia berkata begitu, dari dalam perahu mendadak keluar dua orang lelaki yang masing-masing mencekal kiu-ciat-pian (pian atau pecut yang mempunyai sembilan tekukan).
"Perempuan itu miring otaknya, tak usah Suhu meladeni ia," kata lelaki yang setengah tua. "Biar Teecu (murid) saja yang melemparkan dia ke daratan, supaya tak membikin kapiran saat yang baik untuk menjalankan perahu." Sembari berkata begitu, ia mengulurkan tangan kirinya untuk mendorong pundak Wan Cie-ie.
"Payah! Ilmumu payah!" kata si nona sambil menyentil lengan orang itu. Begitu tersentil, lengan orang itu kesemutan dan tangannya turun pula dengan perlahan.
"Toasuko, gunakan senjata!" teriak kawannya.
Berbareng dengan suara kerontrangan, dua kiu-ciat-pian yang terbuat dari baja menyambar si nona. Tapi karena memang bukan maksud mereka untuk mengambil jiwa orang, kedua senjata tidak menyambar ke bagian tubuh yang berbahaya.
Melihat senjata orang, Wan Cie-ie lantas saja menduga, bahwa nama Kiu-liong-pay sudah didapatkan karena orang-orang partai itu terutama mahir dalam menggunakan kiu-ciat-pian. Di saat itu, kedua pian tersebut sudah hampir mengenai tubuhnya. "Bagus!" katanya di dalam hati. "Sekarang kau bertemu dengan kakek moyangmu."
Cepat bagaikan kilat, kedua tangannya menyambar dan menangkap dua ujung pian itu yang lantas saja dicantelkan satu pada yang lain. Dalam melakukan gerakan tangannya itu tubuh si nona sama sekali tidak bergerak.
Kedua murid Ya Kit lantas membetot dengan berbareng dan betotan itu justru yang diinginkan oleh Wan Cie-ie, karena kedua kiu-ciat-pian itu lantas saja mencantel semakin keras. Mereka bengong bahana kaget, lalu membetot pula dan sebaliknya dari terlepas, cantelan itu jadi semakin keras pula.
"Goblok! Minggir!" bentak Ya Kit, sembari mencengkeram jubah panjangnya dan dengan sekali mengentak, tujuh kancingnya copot semua. Gerakan ini disusul dengan kibasan tangan kirinya dan jubah panjangnya sudah terlucut dari tubuhnya. Demikianlah, dengan pakaian ringkas, ia berdiri di depan si nona dengan penuh keangkeran. Semua muridnya yang berdiri di gili-gili lantas saja bersorak-sorai.
Wan Cie-ie menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, "Sebenarnya tak pantas kalian bersorak-sorai. Gerakan itu dinamakan Toh-pauw-siang-wie (Membuka Jubah Menyerahkan Kedudukan). Membuka jubah memang tak apa, tapi menyerahkan kedudukan adalah suatu alamat bahwa kedudukan ciangbunjin memang sudah ditakdirkan harus diserahkan kepadaku."
Ya Kit terkejut, ia lantas saja merasa, bahwa gerakannya tadi memang merupakan alamat yang kurang baik. Ia meraba pinggangnya dan di lain saat, tangannya sudah mencekal sebuah kiu-ciat-pian yang mengilap.
Cara Ya Kit mengeluarkan senjatanya merupakan suatu keheranan, yakni kiu-ciat-pian baja itu sama sekali tidak mengeluarkan suara. "Celaka!" si nona mengeluh. "Orang ini tak boleh dibuat gegabah. Aku sendiri tak mampu menggunakan ilmu itu."
Tongkrongan Ya Kit benar-benar menyeramkan. Dengan badannya yang tinggi besar ia mencekal kiu-ciat-piannya yang berukuran hebat, setiap tekukannya sebesar telur itik.
Waktu itu, karena sauh sudah diangkat, maka perahu jadi bergoyang-goyang tak hentinya. Ya Kit mengayun senjatanya dan menyabet sauh itu yang lantas saja terpental dan nyemplung ke dalam air, sehingga perahu itu menjadi tetap kembali. Itulah suatu pertunjukan kekuatan yang sangat hebat. Jika tangan Ya Kit tidak mempunyai tenaga tujuh atau delapan ratus kati, ia tentu tidak bisa berbuat begitu.
Wan Cie-ie terkesiap. "Tenaga orang itu sangat besar dan ilmunya tinggi," pikirnya. "Dia harus dijatuhkan dengan tipu, tak bisa dilawan dengan tenaga."
Melihat badan Ya Kit yang tinggi besar dan usianya yang agak lanjut, si nona berpendapat bahwa meskipun lweekangnya tinggi, gerak-gerik orang tua itu tentunya kurang gesit. Berpikir begitu, ia segera mendapat suatu akal yang baik.
"Ya-loosu," katanya. "Aku adalah seorang wanita dan jika kita bertempur di kepala perahu, tak peduli menang atau kalah, pertempuran ini pasti akan berakibat kurang baik bagi perjalananmu. Maka itu, aku ingin mengusulkan supaya kita bertanding di tempat lain."
Ya Kit menyetujui usul itu, tapi ia juga sungkan turun ke darat.
"Ya-loosu," kata pula si nona. "Sekarang kita berjanji dulu, Jika aku menang, bukankah kau akan menyerahkan kedudukan ciangbunjin dari Kiu-liong-pay kepadaku? Apakah jika sampai kejadian begitu, murid-muridmu akan rela menerimanya?"
Ya Kit merasakan dadanya sesak bahana gusarnya. "Tak rela, toh mesti rela juga!" bentak orang tua itu. "Tapi, kalau kau yang kalah?"
"Aku akan berlutut di hadapanmu dan memanggil kau ayah," jawab si nona sembari menyengir. "Hanya aku memohon kau suka menyayang si anak angkat." Sembari berkata begitu, ia meraba pinggangnya dan di lain saat, tangannya sudah mencekal pecut.
Sambil menggenjot badan, ia mengayun pecutnya yang lantas saja melibat tiang layar. Dengan menarik pecut itu, badannya membubung ke atas dan begitu lekas lengan kirinya memeluk tiang layar, pecutnya sudah diayun lagi dan kembali melibat bagian lebih atas dari tiang itu. Sekali lagi ia menarik pecutnya sembari mengempos semangat dan dengan gerakan It-ho-thiong-thian (Seekor Burung Ho Menembus Langit), badannya melesat ke atas dan ia hinggap persis di puncak tiang! Itulah suatu ilmu mengentengkan badan yang sudah mencapai puncak kesempurnaan! Tanpa merasa, semua penonton bersorak-sorai.
Ya Kit mengeluarkan suara di hidung dan melibatkan kiu-ciat-piannya di pinggangnya. Begitu tangan kirinya mencengkeram tiang layar, badannya naik kira-kira dua kaki. Sesudah tangan kiri itu, ia mengulurkan tangan kanannya yang kembali mencengkeram tiang dan tubuhnya naik lebih tinggi lagi. Harus diketahui, bahwa tiang itu sebesar mangkuk nasi dan tak akan dapat dicekal dengan sebelah tangan. Tapi, tenaga jeriji Ya Kit adalah sedemikian lihainya dan telapakan tangannya mengandung lweekang yang sangat dalam, sehingga, walaupun tiang tidak tereekal, bisa juga ia berbuat begitu. Dengan cepat, tubuhnya menaik ke atas dan bagi seorang ahli, perbuatan itu merupakan suatu pertunjukan ilmu yang sangat dahsyat.
Di lain saat, Ya Kit sudah berada dalam jarak kira-kira setombak dari si nona. Wan Cie-ie mengetahui, bahwa jika lawannya sudah naik ke atas, ia bisa jadi berabe. Maka itu, selagi ia masih bisa menarik keuntungan dari kedudukannya yang lebih tinggi, ia segera mendului. "Ya-loosu!" ia membentak. "Pecutku mempunyai delapan belas tekukan, sembilan tekuk lebih banyak daripada pecutmu." Berbareng dengan seruannya, ia mengayunkan senjatanya yang segera menyambar kepala Ya Kit.
Ya Kit yang kedua tangannya sedang mencengkeram tiang benar-benar berada dalam bahaya. Jika ia berkelit badannya akan merosot ke bawah dan itu akan berarti, bahwa ia sudah kalah.
"Tak punya malu!" teriak salah seorang muridnya di darat.
"Tak adil!" seru orang kedua. "Perempuan bangsat! Turun kau, jika berani!" orang ketiga mencaci.
Sesaat itu, Ya Kit sudah bergerak untuk membela diri. Dengan lengan kiri ia memeluk tiang dan kiu-ciat-pian di tangan kanannya sudah menyambar ke atas untuk memapaki pecut si nona.
Wan Cie-ie mengetahui, bahwa jika kedua senjata lemas itu sampai kebentrok dan terlibat satu dengan yang lain, ia akan kalah tenaga dalam betot membetot. Maka itu, pada detik terakhir, ia mengedut senjatanya untuk menghindari bentrokan. Baru saja ia mau memecut pula, Ya Kit sudah memutar senjatanya bagaikan titiran untuk melindungi kepalanya, kemudian, sambil membentak keras, badannya "terbang" ke atas dan ... ia sudah hinggap di palang tiang! Tepuk tangan dan sorak-sorai yang gemuruh menyambut gerakan yang luar biasa indahnya itu.
Dalam pada itu, sebaliknya dari khawatir, hati Wan Cie-ie jadi terlebih mantap. Dari gerakan kiu-ciat-pian Ya Kit, ia segera mengetahui, bahwa walaupun orang tua itu mempunyai tenaga yang sangat besar, ilmu silatnya tidak seberapa, sedikitnya masih belum dapat menandingi ilmu pecutnya. Maka itu, dengan perasaan tenang, sambil memiringkan badannya ke kiri, Wan Cie-ie segera menyabet ke kanan. Ya Kit yang sudah nangkring dengan selamat, juga lantas mengayun senjatanya sembari mesem.
Demikianlah, kedua lawan itu segera serang-menyerang di atas tiang yang tingginya tujuh atau delapan tombak. Pertempuran itu, di samping memberikan pemandangan yang mengerikan, juga indah luar biasa. Jumlah manusia yang berkumpul di tepi sungai semakin lama jadi semakin banyak, sedang di atas air, jumlah perahu juga jadi bertambah.
Ya Kit mengerti, bahwa dalam ilmu mengentengkan badan, kepandaiannya masih belum bisa menandingi lawannya. Tapi, untung sekali, ia sekarang sudah berada di tempat yang sentosa. Di lain pihak, Wan Cie-ie yang lincah bergerak-gerak dan mundur-maju tiada hentinya, sambil menghantam pulang-pergi dengan pecutnya. Dalam pertempuran itu, si nona mempunyai dua keuntungan, pertama, ia lebih gesit dan kedua, senjatanya banyak lebih panjang, kira-kira dua kali lebih panjang daripada kiu-ciat-pian lawannya. Maka itu, sedang Ya Kit hanya bisa membela diri. Wan Cie-ie menyerang kalang kabutan sesuka hatinya. Sesudah bertempur tiga puluh jurus lebih, sambil berseru keras dan nyaring, si nona mengubah cara bersilatnya. Dalam sekejap saja, pecutnya sudah berkelebat-kelebat bagaikan ular perak yang sedang menari-nari dan pukulan-pukulannya jadi lebih aneh lagi.
Diserang secara begitu, Ya Kit terpaksa memutarkan senjatanya secara lebih dahsyat untuk melindungi seluruh tubuhnya. Harapan Ya Kit satu-satunya adalah berusaha untuk melibat pecut si nona dan kemudian membetotnya untuk merobohkan lawannya ke bawah tiang. Di lain pihak, sesudah bertempur lama juga, Wan Cie-ie mengetahui, bahwa orang tua itu hanya memiliki tujuh-delapan macam pukulan yang diulangi lagi.
Dilihat sekelebatan, Wan Cie-ie memang berada di atas angin. Tapi, keadaan yang sebenarnya bukan begitu. Harus diketahui, bahwa cara si nona berkelahi meminta banyak tenaga dan kewaspadaan yang sepenuh-penuhnya. Begitu dia lelah, ilmu pecutnya akan segera menjadi kalut dan sekali lengah, ia bisa terpeleset dan jatuh ke bawah. Sebagai seorang tua yang berpengalaman, itulah yang ditunggu Ya Kit. Ia mempertahankan diri untuk menunggu saatnya yang baik.
Wan Cie-ie tentu saja mengerti maksud Ya Kit. Tapi karena garis pembelaan orang tua itu luar biasa rapatnya, ia tidak bisa berbuat banyak. Jika pertempuran itu dilakukan di atas tanah datar, ia bisa menggunakan macam-macam cara, misalnya menghantam sambil berlompat tinggi, menyabet sembari menggulingkan badan, dan sebagainya. Tapi, dengan berada di atas tiang, tentu saja ia tak bisa berbuat begitu.
Sesudah lewat lagi belasan jurus, napas si nona sudah mulai tersengal-sengal dan gerak-geriknya sudah tidak begitu gesit lagi. Berselang beberapa jurus lagi, selagi ujung pecut si nona menyambar mukanya dengan gerakan yang tak begitu dahsyat, mendadak Ya Kit mengulurkan tangan kirinya untuk mencengkeram bola emas di ujung pecut lawan itu. Dengan kaget, Wan Cie-ie mengedut senjatanya. Tapi tak dinyana, sembari membentak keras, Ya Kit sudah menyabet dengan kiu-ciat-piannya. Suatu bentrokan tak dapat dielakkan lagi dan di lain detik, kedua senjata lemas itu sudah saling melibat.
Dengan girang Ya Kit segera mengerahkan tenaga dalamnya dan membetot sekuat-kuatnya. Wan Cie-ie mencelos hatinya karena ia merasakan lengannya terbetot keras. Ia mengetahui, bahwa jika kekerasan dilawan dengan kekerasan, ia pasti kalah.
Dalam keadaan berbahaya itu, si nona yang galak tidak menjadi bingung. Bagaikan kilat, ia mengambil keputusan untuk terjun ke dalam bahaya. Ia mengempos semangatnya dan mengebaskan tangan kanannya yang mencekal pecut, sembari melepaskan senjata itu. Pecut itu melesat dan berputar-putar bagaikan titiran melibat tiang layar dan ... ternyata lutut Ya Kit serta lengan kanannya, juga sudah dilibat erat-erat ke tiang perahu dengan pecut Wan Cie-ie dan senjatanya sendiri!
Itulah benar-benar suatu kejadian yang tak diduga-duga! Dalam kagetnya, buru-buru ia mengulurkan tangan kirinya untuk membuka libatan itu. Tapi Wan Cie-ie sudah menubruk! Dua jeriji tangan kiri si nona lantas saja menyambar untuk mengorek biji mata lawannya.
Buru-buru Ya Kit melepaskan pecut musuh yang baru saja ditangkap dengan tangan kirinya dan menyampuk serangan si nona. Tapi, tak dinyana, serangan itu hanyalah gertakan belaka. Begitu Ya Kit menyampuk, Wan Cie-ie menahan gerakan tangan kirinya dan pada saat yang sama, tangan kanannya menutuk jalan darah yan-goat-hiat musuh, di bawah ketiak. Lengan kiri Ya Kit lantas saja menjadi kaku. Ia sekarang tidak berdaya lagi, karena kedua lutut dan lengan kanannya dililit cambuk lawan.
Melihat bagaimana si nona sudah bisa merebut kemenangan pada saat yang sangat berbahaya, tanpa merasa Ouw Hui bersorak. Tapi, sedang mulutnya masih belum tertutup, sekonyong-konyong sembilan buah kim-chie-piauw menyambar ke atas, ke arah pelbagai jalan darah si nona.
Bukan main kagetnya Wan Cie-ie. Ketika itu, ia sedang berdiri di palang tiang layar, ia tak dapat meloncat maju atau mundur, tak bisa berkelit ke kiri atau ke kanan. Pada saat terakhir, justru serangan itu sudah hampir mengenai tubuhnya, ia mendoyongkan badannya ke belakang dan sembilan piauw itu terbang lewat di atas tiang. Semua orang yang tadi menahan napas, dengan serentak bersorak-sorai sembari bertepuk tangan. Di atas tiang yang begitu tinggi, si nona memperlihatkan kepandaiannya selaku akrobat. Kedua kakinya dicantelkan pada palang pintu tiang, tubuhnya telentang membujur di tengah udara!
Tapi si pembokong sungkan menyerah mentah-mentah. Sekali lagi, ia melepaskan tiga buah kim-chie-piauw, sebuah menyambar ke badan si nona, yang dua melesat ke arah palang tiang layar.
Ouw Hui mengetahui, bahwa sekali ini, Wan Cie-ie tak akan dapat menolong diri lagi. Dengan perasaan mendongkol terhadap si pembokong yang kejam, buru-buru ia melepaskan tiga batang piauw. Berkat tenaga dalamnya yang sangat besar, meskipun Ouw Hui melepaskannya lebih belakang, tiga piauwnya bisa menyusul senjata penyerang gelap itu dan di lain saat, keenam piauw itu sudah kebentrok di tengah udara dan segera jatuh meluruk ke dalam air.
Wan Cie-ie mengerti, bahwa barusan jiwanya tergantung pada selembar rambut. Jantungnya memukul keras dan keringat dingin mengucur di dahinya. Baru saja ia ingin berbangkit, mendadak Ouw Hui berteriak sembari melompat ke atas perahu. Berbareng dengan terdengarnya bunyi "bletok, kraak", palang tiang layar yang dicantel kaki Wan Cie-ie, telah patah dan si nona bersama-sama dengan palang itu, melayang jatuh ke atas air. Dengan kepala di bawah kaki di atas, Wan Cie-ie mengetahui, siapa yang membokong dan siapa yang sudah menolong padanya. Tapi siapa yang sudah mematahkan tiang layar, ia tak dapat melihatnya. Tapi ia tidak jatuh sendiri saja. Tiang layar itu juga patah dan tubuh Ya Kit turut ambruk ke bawah.
Bagaimana bisa terjadi begitu? Ternyata, sesudah lengan kirinya ditutuk, Ya Kit masih dapat menggunakan tangan kanannya. Dengan sekali mengerahkan tenaga dalamnya, ia berhasil meloloskan tangan kanan itu, yang dililit cambuk lawannya. Dengan girang, ia mengempos semangatnya dan mengumpulkan seluruh tenaganya di telapak tangan kanan itu yang lalu digunakan untuk menghantam palang tiang layar itu. Palang itu menjadi patah dan si nona lantas saja jatuh ke bawah.
Pada saat itulah, sembari berteriak, Ouw Hui lompat ke atas perahu. Ia mengerahkan tenaga dalamnya dan membentur tiang layar dengan punggungnya. Tapi tiang yang besar itu hanya bergoyang-goyang beberapa kali. Ouw Hui bingung. Ia mengerahkan seluruh tenaganya dan membentur pula sekuat-kuatnya. Kali ini ia berhasil, tiang itu patah. Sembari menahan napas, semua orang mengawasi kedua lawan itu yang tengah melayang jatuh. Bahaya yang mengancam si nona belum habis sampai di situ. Ia jatuh lebih dulu, disusul oleh tiang layar. Jika tiang itu menimpa badannya, ia bisa binasa seketika. Buru-buru Ouw Hui mengambil tambang penarik perahu yang terletak di kepala perahu. "Sambut!" ia berteriak sembari melontarkan tambang itu kepada Wan Cie-ie.
Sedang badannya melayang di tengah udara, hati si nona bukan main bingungnya. Benar ia bisa berenang dan tak akan mati di air, tapi ia merasa malu sekali jika mesti kecebur dan menjadi basah kuyup. Demikianlah, ia segera menjambret tambang itu dengan girang. Ouw Hui mengentak dan di lain saat, Wan Cie-ie sudah hinggap di atas perahu!
Hampir berbareng dengan turunnya di atas geladak, terdengar bunyi "jubyar" dan air sungai muncrat ke empat penjuru. Itulah bunyi jatuhnya Ya Kit bersama-sama dengan tiang layar. Sembari berteriak keras, murid-murid Kiu-liong-pay terjun ke air untuk menolong guru mereka.
Di lain pihak, sembari tertawa manis Wan Cie-ie berkata, "Ouw-toako, terima kasih banyak untuk pertolonganmu!"
Ouw Hui juga tertawa. "Nona," katanya. "Aku she Ouw. Huruf `ouw' terdiri dari tiga huruf `goat, sip, dan kouw' (bulan, sepuluh, dan mulut). Bukankah itu berarti, bahwa setiap bulan aku bakal dibacok sepuluh kali?"
Si nona tertawa geli, ia sekarang mengetahui, bahwa pembicaraannya dengan Ya Kit sudah didengar pemuda itu. "Masih untung," katanya. "Dalam namamu terdapat huruf `hui' (tidak). Karena adanya huruf itu, segala bencana akan berubah menjadi keselamatan."
"Terima kasih, terima kasih banyak untuk kata-katamu yang berharga itu," kata Ouw Hui sembari tertawa geli.
Pertemuan itu benar-benar menggirangkan hati Wan Cie-ie, terlebih pula karena pemuda itu sudah menolong jiwanya. Maka itu, untuk memperbaiki perselisihan mereka, ia segera berkata pula, "Huruf `hui' dengan sendirinya berarti `bun-cay-hui-jian' (lemah lembut, indah sekali). Jika huruf `hui' (tidak) ditambah huruf `co' (rumput), kita memperoleh huruf `hui' (harum). Sebagaimana kau tahu, pada sebuah syair kuno yang mempunyai bagian sebagai berikut, `Hong-hui-hui-sie-boan-tong' (keharuman yang semerbak memenuhi seluruh ruangan). Jika huruf `hui' (merah). Kata orang, `Ie-hui-co-cie' (bajunya merah ungu, warna ini di zaman dulu hanya boleh dipakai pembesar negeri)."
"Aduh!" kata Ouw Hui sembari meleletkan lidah. "Kalau begitu, kau sekarang mengangkat aku menjadi seorang pembesar tinggi. Hebat!"
Demikianlah kedua orang muda itu bersenda gurau sembari tertawa-tawa, seolah-olah di situ tidak terdapat manusia lain.
Sementara itu, dengan suara ribut, Ya Kit sudah diangkat naik ke darat. Ia tak bisa berenang dan sudah minum banyak sekali air. Mungkin karena gusarnya, seketika itu ia pingsan dan mukanya pucat seperti kertas. "Ah! Jika dia mati, urusan ini bisa menjadi besar," pikir si nona, yang lantas saja berkata dengan suara perlahan, "Ouw-toako, mari kita berangkat.
Sudahlah, aku tak mau menjadi Ciangbunjin Kiu-liong-pay." Ia melompat ke darat dan mengambil pecutnya yang masih melibat tiang layar. Murid-murid Kiu-liong-pay rata-rata sudah naik darah. Begitu si nona mendarat, enam-tujuh orang lantas menyerangnya dengan cambuk masing-masing. Dengan sekali menyampuk, Wan Cie-ie sudah berhasil menangkis semua serangan itu. Sembari meloncat ke luar dari gelanggang, si nona melirik Ya Kit yang rebah tanpa berkutik, entah mati, entah hidup.
Sementara itu, Ouw Hui sudah melompat ke atas punggung kudanya dan dengan menuntun si putih, ia berseru, "Sudahlah! Ciangbunjin Kiu-liong-pay adalah kedudukan sial."
"Baiklah," kata Wan Cie-ie sembari meloncat ke punggung si putih.
Murid-murid Kiu-liong-pay berteriak-teriak dan coba merintangi keberangkatan mereka. Sesaat itu, dua orang yang bersenjata kiu-ciat-pian sudah menyabet kaki si putih. Wan Cie-ie memutarkan badan dan memapaki serangan itu dengan cambuknya. Begitu kebentrok, kedua pian itu sudah dilibat erat-erat oleh cambuk si nona, yang lantas saja mengedut les dan si putih sudah segera kabur. Sesaat itu juga, kedua orang itu jatuh terguling dan terseret-seret. Dalam kaget dan bingungnya, mereka tak ingat untuk melepaskan senjata mereka yang dililit pecut Wan Cie-ie.
Sesudah kudanya lari belasan tombak, dengan perasaan geli si nona menahan tunggangannya. Kedua orang itu lantas bangun dengan penuh luka dan pakaian robek. "Eh," kata si nona sembari tertawa. "Apakah pianmu senjata mestika? Kenapa kau tak mau melepaskannya?" Tanpa menunggu jawaban, ia menendang perut si putih yang lantas saja kabur seperti terbang. Kedua murid Kiu-liong-pay itu sadar dan buru-buru melepaskan senjata mereka. Sayup-sayup mereka mendengar suara tertawanya Wan Cie-ie yang lari berendeng dengan Ouw Hui.
Murid-murid Kiu-liong-pay hanya bisa mengawasi kaburnya kedua musuh itu tanpa bisa berbuat suatu apa. Mereka bisa mencaci sepuas hati, tetapi apa gunanya. Sementara itu, perlahan-lahan Ya Kit sadar dari pingsannya. Semua muridnya lantas mengerumuninya dan menanyakan keselamatannya.
Sesudah lari jauh, baru Wan Cie-ie melemparkan kedua kiu-ciat-pian itu yang terbawa pecutnya. Ia melirik Ouw Hui yang mengenakan pakaian petani, sehingga kelihatan tolol sekali. Hatinya merasa geli tercampur berterima kasih, karena tanpa pertolongan pemuda itu, mungkin sekali ia sudah harus membuang jiwa di #Ek-kee-wan.
Sesudah berjalan beberapa jauh, Ouw Hui mendadak menegur, "Nona, tahukah kau, berapa banyak jumlah cabang atau partai dalam Rimba Persilatan di kolong langit?"
"Tidak," jawabnya sembari mesem. "Dan kau? Apakah kau tahu?"
Ouw Hui menggelengkan kepalanya. "Jika aku tahu, tak perlu aku menanya kepadamu," sahutnya. "Sekarang kau sudah merebut kedudukan ciangbunjin dari Wie-to-bun, Pat-sian-kiam, dan Kiu-liong-pay. Sampai kapan kau baru puas?"
Si nona tertawa geli. "Biarpun aku sudah merobohkan Ya Kit, murid-muridnya masih belum takluk," katanya. "Maka itu, tak dapat dikatakan, bahwa aku sudah berhasil merebut kedudukan ciangbunjin dari Kiu-liong-pay. Mengenai partai-partai besar, seperti Thay-kek, Siauw-lim, Bu-tong, dan beberapa partai lain, aku tentu tak berani melanggarnya. Jika aku bisa merebut lagi ciangbun sepuluh partai kecil, rasanya cukuplah."
"Aduh!" kata Ouw Hui sembari tertawa. "Ciong-ciangbun (pemimpin besar) dari tiga belas partai! Hebat benar kedengarannya!"
"Ouw-toako," kata Wan Cie-ie. "Kau memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Kenapa kau tak mau coba merebut beberapa kedudukan ciangbun? Di sepanjang jalan, kita bergilir, kau merebut yang satu, aku merampas yang lain. Setibanya di Pakkhia, dengan keren kita sama-sama bisa menghadiri pertemuan yang diselenggarakan Hok-kongcu, aku sebagai ciong-ciangbun dari tiga belas partai dan kau pun sebagai ciong-ciangbun dari tiga belas partai lainnya. Bukankah bagus sekali?"
Ouw Hui menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. "Tidak," katanya. "Aku tak mempunyai nyali sebesar kau dan juga tidak mempunyai kepandaian setinggi kepandaianmu. Bisa-bisa, bukannya berhasil, sebaliknya aku didupak masuk ke dalam sungai dengan pukulan Lu-tong-pin-tui-kauw (Lu Tong-pin mendupak anjing)."
Si nona tertawa terpingkal-pingkal. "Ouw-toako," katanya sembari menyoja. "Siauwmoay (adik) meminta maaf."
"Ciong-ciangbun," kata Ouw Hui sembari membalas memberi hormat. "Aku yang rendah tak berani menerima kehormatan itu."
Melihat sikap dan tindak tanduk Ouw Hui yang simpatik, Wan Cie-ie jadi semakin senang. "Tak heran, bahwa si bocah Tio Poan-san memuji kau," katanya sembari mesem.
Ouw Hui yang memang sangat ingin tahu tentang kakaknya, lantas saja menanya, "Bagaimana dengan Tio-toako? Apa yang dikatakannya kepadamu?"
"Jika kau bisa mengejar aku, aku akan menceritakan," jawab Wan Cie-ie sembari menendang perut si putih.
Ouw Hui mengerti, bahwa sebegitu lekas si putih kabur, ia tak akan dapat menyusul lagi. Maka itu, baru saja si putih akan mementang kaki, ia sudah menggenjot badannya, yang lantas saja melesat dan hingga di punggung si putih, di belakang si nona. Di lain saat, si putih sudah kabur keras, diikuti kuda Ouw Hui dari belakang.
Sembari mengaburkan kudanya, Wan Cie-ie merasakan mukanya panas. Mulutnya sudah terbuka untuk bicara, tapi ia mengurungkan niatnya. Tiba-tiba terdengar menggelegarnya guntur dan di kejauhan, awan hitam menutupi sebagian langit. Si nona mengentak les untuk mempercepat lari kudanya.
Tak lama kemudian awan mendung sudah meluas dan hampir sampai di atas mereka. Di sepanjang jalan tidak terdapat rumah penduduk, tapi jauh-jauh di suatu lembah, mereka melihat tembok yang berwarna kuning. Wan Cie-ie mengaburkan tunggangannya secepat mungkin dan segera mendapat kenyataan, bahwa tembok itu adalah tembok kuil. Di depan kuil itu digantungkan papan dengan tulisan, Siang Hui Sin-sie (Kuil Siang Hui). Rumah berhala itu sudah banyak rusak, sudah ditelantarkan lama.
Ouw Hui melompat turun, ia membuka pintu kuil itu dan menuntun si putih masuk ke dalam. Di saat itu, kilat berkelebat, dibarengi dengan gemuruh guntur yang menggelegar. Meskipun berkepandaian tinggi, Wan Cie-ie terkesiap juga. Dari ruangan depan, Ouw Hui masuk ke ruangan belakang, tapi ia tak menemukan seorang manusia jua. Ia kembali ke ruangan depan seraya berkata, "Ruangan belakang lebih bersih." Sehabis berkata begitu, ia mengambil rumput kering yang terdapat di situ dan menyapu sebagian lantai di ruangan belakang itu.
Si nona tak mengeluarkan sepatah kata. Tadi, mereka bersenda gurau sembari tertawa-tawa, tapi sesudah berdua menunggang seekor kuda, Wan Cie-ie kelihatan agak kikuk dan kemalu-maluan.
Sesudah lantai itu bersih, mereka lalu duduk berendeng dengan mulut tertutup rapat-rapat.
Beberapa saat kemudian, secara kebetulan mereka sama-sama menengok, sehingga dua pasang mata mereka jadi kebentrok. Kedua-duanya melengos dengan perasaan jengah.
"Bagaimana dengan keadaan Tio-samko?" terdengar Ouw Hui memecahkan kesunyian.
"Baik!" jawabnya. "Dia belum pernah tak baik."
"Di mana ia sekarang?" tanya Ouw Hui pula. "Aku sungguh ingin menjumpainya."
"Pergi ke Huikiang," kata si nona. "Jika kau tak mati dan dia masih hidup, pasti bisa bertemu."
Ouw Hui tertawa. "Apakah kau datang dari Huikiang?" ia menanya lagi.
Wan Cie-ie menyengir. "Benar," sahutnya. "Apakah romanku menunjukkan tanda-tanda penduduk Huikiang?"
"Tak tahu," kata Ouw Hui. "Aku hanya mengetahui, bahwa Huikiang adalah suatu daerah gurun pasir. Tak dinyana, di tempat yang tandus itu bisa muncul seorang gadis yang begini cantik!"
"Fui!" bentak Wan Cie-ie dengan wajah kemerah-merahan. Baru saja perkataan itu keluar dari mulutnya, Ouw Hui sudah merasa menyesal. Ia merasa, bahwa di suatu tempat yang begitu sunyi, tidak pantas ia mengeluarkan kata-kata yang agak kurang ajar. Maka itu, ia segera beralih membicarakan soal lain. "Mengapa Hok-kongcu menghimpunkan para ciangbunjin?" tanyanya. "Bagaimana pendapatmu?"
Mendengar pertanyaan yang sungguh-sungguh itu tanpa mengandung nada bercanda, si nona melirik seraya menyahut. "Dia sebangsa manusia mahal yang pekerjaannya sehari-hari hanya makan tidur. Mungkin sekali ia mengumpulkan para ahli silat untuk menghibur hatinya yang pepet, seperti orang mengadu jago atau jangkrik. Hanya, sungguh sayang, bahwa banyak sekali ahli-ahli silat yang sudah kena dipermainkannya."
Ouw Hui menepuk lututnya sendiri keras-keras. "Benar perkataanmu!" ia berteriak. "Aku sungguh merasa takluk. Baru sekarang aku mengetahui, bahwa sepak terjangmu saban-saban merebut kedudukan ciangbunjin, adalah untuk mengacau maksud manusia mahal itu."
Wan Cie-ie tertawa dengan perasaan senang sekali. "Paling benar kita berdua bekerja sama untuk merebut sebanyak mungkin kedudukan ciangbunjin," katanya. "Dengan demikian, rencana Hok-kongcu akan menjadi kacau-balau dan gagal. Sesudah itu, kita pergi ke Pakkhia untuk mengacau sepuas hati kita, supaya manusia itu tak berani memandang rendah lagi ahli-ahli silat di kolong langit."
"Bagus!" seru Ouw Hui. "Nona, kau maju di depan dan Ouw Hui, si kecil, akan memberi segala bantuan yang dia bisa."
"Jangan begitu sungkan," kata si nona. "Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada aku."
Kedua orang muda itu terus bercakap-cakap dengan gembira. Hujan sudah turun, bahkan semakin lama jadi semakin besar. Di belakang kuil itu terdapat jurang yang bergemuruh karena turunnya air hujan. Rumah berhala itu yang sudah lama tak pernah dibetulkan, bocor di sana-sini, sehingga kedua orang muda itu terpaksa mepet di suatu pojok.
Dengan cepat, siang sudah berganti malam. Melihat, bahwa mereka tak mungkin meneruskan perjalanan, Ouw Hui segera pergi ke dapur dan mengambil kayu-kayu kering yang lalu dinyalakannya. "Hujan tak mau berhenti," katanya sembari tertawa. "Apa boleh buat, kita mesti menginap di sini."
Wajah Wan Cie-ie lantas saja berubah merah dan di bawah sinar perapian, ia kelihatan lebih cantik lagi. Dari Huikiang ia telah melalui perjalanan laksaan li dan tak jarang mesti tidur di alam terbuka.
Akan tetapi, bermalam di rumah berhala bersama seorang laki-laki, adalah suatu pengalaman yang belum pernah dialaminya.
Ouw Hui lalu mengambil jerami yang kebetulan terdapat di situ dan mengaturnya sebagian di atas meja sembahyang dan sebagian pula di lantai. "Lu Tong-pin (salah satu dari delapan dewa) tidur di atas, si anjing yang kecebur di air tidur di bawah," katanya sembari tertawa. Sembari berkata begitu, ia merebahkan diri di atas jerami di lantai itu, membalikkan badan menghadapi tembok dan segera meremkan kedua matanya.
Diam-diam Wan Cie-ie memuji pemuda itu yang ternyata adalah seorang kesatria tulen. "Anjing basah kuyup," katanya. "Sampai bertemu lagi besok pagi." Ia melompat ke atas meja dan merebahkan diri juga.
Ouw Hui tak bisa lantas pulas, kupingnya mendengarkan bunyi hujan di atas genting. Kira-kira tengah malam, selagi ia layap-layap, di kejauhan mendadak terdengar bunyi tindakan kuda. Wan Cie-ie lantas saja bangun berduduk dan Ouw Hui segera berkata dengan suara perlahan, "Lu Tong-pin. Ada orang!"
Tindakan kuda itu yang bercampur dengan bunyi roda-roda kereta, semakin lama jadi semakin dekat. "Dari lohor, hujan turun terus-menerus," pikir Ouw Hui. "Siapakah orangnya, yang begitu kesusu?"
Beberapa saat kemudian, kuda dan kereta itu berhenti di depan kuil. "Mereka akan masuk!" kata si nona sembari meloncat turun untuk kemudian duduk di samping Ouw Hui.
"Brak!" pintu terbuka. Kuda dan kereta itu agaknya dimasukkan ke ruangan depan dan di lain saat, dua tukang kereta masuk ke ruangan dalam. "Di sini ada orang, kita di luar saja," kata seorang antaranya setelah melihat Ouw Hui dan Cie-ie. Mereka lalu keluar lagi ke ruangan depan yang sekarang sudah menjadi ramai sekali. Dari suara percakapan orang-orang itu, dapat ditaksir, bahwa yang berada di ruangan depan itu tidak kurang dari dua puluh orang. Mereka membelah kayu, menyalakan api dan menanak nasi. Mereka berbicara dalam dialek Kwitang. Sesudah lewat berapa lama, suara mereka mulai menjadi reda.
"Tak usah menggelar tikar," demikian terdengar suara seseorang. "Sesudah makan, tak peduli hujan atau tidak, kita akan meneruskan perjalanan."
Mendengar suara itu, Ouw Hui terkejut, sedang wajah Wan Cie-ie, yang diterangi sinar perapian, juga agak berubah.
"Looyacu (bapak) terlalu berhati-hati," kata seorang lain.
"Hujan-hujan begini ...." perkataan selanjutnya tak dapat didengar pula, karena sang hujan tiba-tiba menjadi sangat besar serta deras.
"Keadaan begini justru cocok untuk meneruskan perjalanan," kata yang pertama. "Kita tak boleh mengorbankan jiwa seluruh keluarga kita, karena temaah mengaso untuk beberapa jam. Jalan ini terlalu dekat dengan jalan raya dan kita harus menjaga, supaya kita tidak berpapasan dengan bangsat kecil itu." Suara orang tersebut nyaring sekali, sehingga walaupun hujan turun seperti dituang-tuang, perkataannya bisa terdengar nyata.
Mendengar sampai di situ, Ouw Hui tak bersangsi-sangsi lagi. Ia girang dan berkata dalam hatinya, "Benar-benar dia seperti dituntun malaikat."
"Lu Tong-pin," ia berbisik. "Di luar terdapat seorang ciangbun. Biarlah, kali ini aku yang merebutnya."
Si nona tak menyahut, ia hanya menggerendeng. Melihat wajah Wan Cie-ie yang tidak gembira, Ouw Hui merasa agak heran, tapi ia pun tak berkata suatu apa.
Sesudah meringkaskan pakaian, ia menyelipkan golok di pinggangnya dan berjalan ke luar.
Di sebelah timur, tujuh-delapan orang sedang duduk di atas lantai dan seorang antaranya bertubuh tinggi besar. Dengan melihat bentuk tubuhnya saja, Ouw Hui sudah mengenali, bahwa ia itu adalah Lam-pa-thian Hong Jin-eng. Sembari menyandar di toya emasnya, jago Hud-san-tin itu mendongak mengawasi langit, mungkin ia sedang memikirkan nasibnya.
Di sebelah barat, beberapa orang lagi menanak nasi dengan sebuah kuali besar. Ouw Hui melompat dan dengan sekali menendang, kuali itu dibuatnya terpental jauh, nasinya tumpah #berarakan.
Semua orang terkejut, terutama Hong Jin-eng dan putranya yang lantas saja mengenali siapa yang datang itu.
Begitu melihat muka Hong Jin-eng yang putih montok, di depan mata Ouw Hui segera terbayang peristiwa mengenaskan di Pak-tee-bio itu. "Hong-looya," katanya dengan suara gemetar karena menahan nafsu. "Di sini adalah Siang Hui-bio. Sungguh kebetulan, lagi-lagi kita bertemu di rumah berhala."
Sebagaimana diketahui, Sesudah membinasakan Ciong A-sie serumah tangga, Hong Jin-eng segera memusnahkan harta bendanya dan terus kabur entah ke mana. Dengan mengambil jalan kecil, siang-malam dia kabur terus-menerus. Malam itu, jika tidak turun hujan besar, dia tentu tak akan bertemu Ouw Hui di rumah berhala tersebut.
Melihat Ouw Hui, jago Hud-san-tin itu lantas saja putus harapan, ia merasa jiwanya akan melayang di dalam Siang Hui-bio ini. Tapi sebagai jago tulen, ia tetap bersikap tenang. Perlahan-lahan ia berdiri, menggapai putranya dan berbicara bisik-bisik. Agaknya ia sedang meninggalkan pesan terakhirnya.
Ouw Hui berdiri di tengah pintu, sembari melintangkan goloknya. "Hong-looya, tak perlu kau memesan apa-apa juga," katanya sembari tertawa. "Kau sudah membasmi Ciong A-sie sekeluarga, aku pun akan membinasakan Hong-looya sekeluarga. Hong-looya sendiri akan mendapat giliran paling belakang, supaya tak usah memikirkan bagaimana akhirnya anakmu sendiri."
Perkataan itu adalah bagaikan air es yang disiramkan ke tulang punggung Hong Jin-eng. Sedikit pun ia tak menduga, bahwa Ouw Hui yang masih begitu muda, bisa mempunyai pikiran yang begitu kejam. Ia mengebaskan toyanya dan membentak, "Jangan rewel! Seorang laki-laki, berani berbuat, berani menanggung akibatnya. Jika kau menginginkan jiwaku, ambillah!" Ia meloncat dan menghantam kepala Ouw Hui, sedang tangan kirinya mengebas ke belakang, sebagai tanda supaya putranya lantas melarikan diri.
Tapi Hong It-hoa yang mengetahui, bahwa ayahnya bukan tandingan musuh, tak berkisar setindak pun juga. Sebaliknya dari kabur, ia meloncat maju dengan golok terhunus, sembari berteriak, "Hayo, kepung bangsat kecil ini!"
Semua pengikut itu adalah orang-orang kepercayaan Hong Jin-eng dan sebagian besar mengerti ilmu silat. Hampir berbareng dengan teriakan It-hoa, delapan-sembilan orang sudah maju mengurung Ouw Hui.
Hong Jin-eng mengerutkan alisnya dengan perasaan mendeluh karena putranya tak mau menurut perintahnya. Jika dengan tenaga orang banyak, ia ungkulan merobohkan Ouw Hui, ia tentu tak akan memusnahkan hartanya dan melarikan diri. Tapi, kenyataan itu sudah tak dapat diubahnya pula.
Baginya hanya ada satu jalan, yaitu bertempur mati-matian. Tujuan satu-satunya adalah binasa bersama-sama dengan musuhnya. Dengan adanya keputusan itu, hatinya berbalik mantap dan ia segera menyapu pinggang Ouw Hui dengan toyanya.
Di lain pihak, sebelum bergebrak, tiba-tiba Ouw Hui mendapat pikiran lain. "Kedosaan manusia ini terlalu besar," katanya di dalam hati. "Jika dengan sekali membacok aku mengambil jiwanya, hukumannya terlalu enteng." Memikir begitu, ia segera melemparkan goloknya ke atas dan dengan sikap memandang rendah, ia mengulurkan tangannya untuk menangkap toya musuh. Bukan main gusarnya Hong Jin-eng, akan tetapi, karena mengetahui, bahwa musuhnya benar-benar lihai, ia tidak berani berlaku ceroboh dan buru-buru menarik pulang senjatanya.
Sesaat itu, mendadak terdengar suara "tak!" di wuwungan. Ternyata, suara itu diterbitkan golok Ouw Hui, di saat menancapnya di balok wuwungan.
Pada detik itulah, sembari tertawa nyaring, Ouw Hui menyerbu sembari menggerakkan kedua tangannya bagaikan kilat. Dalam sekejap, delapan-sembilan kaki tangan Hong Jin-eng sudah ditutuk jalan darahnya dan tak dapat bergerak lagi. Dengan demikian, dalam gelanggang itu hanya ketinggalan tiga orang, yaitu Hong Jin-eng bersama putranya dan Ouw Hui sendiri.
Lam-pa-thian menggertak gigi, wajahnya pun pucat. "Hoa-jie!" ia membentak. "Kau masih belum mau melarikan diri ... Apakah benar-benar kau ingin memutuskan keturunan keluarga Hong?" It-hoa merasa sangsi bercampur bingung, tak dapat ia mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya. Selagi ia bersangsi, Ouw Hui sudah meloncat ke belakangnya. Hong Jin-eng terkesiap, sembari berteriak dan melompat, ia menghantam dengan toyanya. Pada detik terakhir, Ouw Hui menunduk dan menerobos di bawah ketiak It-hoa, sambil mendorong pundak pemuda itu. It-hoa menjadi limbung dan badannya terjengkang, memapaki toya ayahnya!
Sekali lagi semangat Hong Jin-eng terbang. Masih untung, berkat latihannya selama puluhan tahun, ia keburu juga menahan toyanya yang hampir-hampir saja memakan jiwa putranya sendiri.
Melihat muka Lam-pa-thian yang pucat pias akibat kekagetan tadi, Ouw Hui segera mengambil keputusan untuk mengganggu manusia kejam itu dengan siasat tersebut. Sebelum Hong It-hoa bisa berdiri tetap, ia menyambar lehernya dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya lalu diangkat untuk menepuk batok kepala pemuda itu. Sesudah menyaksikan, bagaimana Ouw Hui menghantam putus leher kura-kura batu di Pak-tee-bio, Hong Jin-eng mengetahui, bahwa sekali ditepuk, putranya tentu akan binasa. Dengan sekuat tenaganya, ia membabat pinggang Ouw Hui dengan toyanya untuk memaksa pemuda itu menangkis senjatanya dan urung mencabut jiwa putranya.
Tapi Ouw Hui yang memang belum mau membinasakan musuhnya, sengaja memperlambat gerakan tangan kirinya. Pada saat toya Hong Jin-eng hampir mengenai pinggangnya, secara luar biasa cepatnya, ia mengentak leher Hong It-hoa untuk memapaki toya emas itu! Untuk ketiga kalinya Hong Jin-eng mengeluarkan keringat dingin. Tapi kali itu pun, ia masih keburu mengubah gerakan toyanya yang lalu disabetkan ke kaki Ouw Hui. "Bagus!" seru Ouw Hui sambil mendorong pundak It-hoa untuk menangkis.
Demikianlah, tubuh Hong It-hoa dijadikan semacam tameng yang dibulang-balingkan kian-kemari untuk menangkis setiap serangan Hong Jin-eng. Jago Hud-san-tin itu merasakan dadanya seperti mau meledak, tapi ia tak berdaya. Akhir-akhirnya, ia jadi kewalahan. Tapi setiap kali ia memperlambat gerakannya untuk menghentikan pertempuran, Ouw Hui mengangkat tangan untuk menghantam bagian badan It-hoa yang berbahaya, sehingga mau tak mau, ia terpaksa menyerang lagi untuk menolongnya, dan begitu lekas ia menyerang, Ouw Hui mengangkat tubuh It-hoa untuk menangkis.
Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, tiba-tiba Hong Jin-eng meloncat mundur sambil melemparkan toyanya yang jatuh bergedubrakan di atas lantai dan menghancurkan beberapa ubin. Dengan wajah pucat seperti kertas, ia berdiri bagaikan patung tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Hong Jin-eng!" bentak Ouw Hui. "Kau sayang anak, ya? Tapi bagaimana dengan anak orang lain?"
Tapi Hong Jin-eng pun bukan bangsa cecurut. "Jangan rewel!" balasnya membentak. "Aku, si orang she Hong, pernah menjagoi di Lenglam dan telah mendirikan partai Ngo-houw-pay. Selama hidupku, memang aku sudah membunuh banyak sekali manusia. Anakku juga pernah mengambil jiwa tiga puluh atau empat puluh orang. Maka itu, jika hari ini kami ayah dan anak binasa dalam tanganmu, sedikit pun kami tidak merasa menyesal. Hayo! Lekas turun tangan! Mau tunggu sampai kapan lagi?"
"Kau saja bekerja sendiri!" bentak Ouw Hui. "Guna apa menyusahkan tuan kecilmu?" Hong Jin-eng tertawa terbahak-bahak. Ia menjumput toyanya yang lalu dikemplangkan ke kepalanya.
Tapi, sebelum toya itu menghancurkan batok kepalanya, sekonyong-konyong berkelebat sesosok sinar putih dan ujung sebuah cambuk sudah melibat serta menahan toya itu. Cambuk itu adalah cambuk Wan Cie-ie.
Si nona membetot, tapi ia tak dapat melepaskan toya itu yang dipegang keras-keras oleh Lam-pa-thian. Dengan meminjam tenaga betotan, di lain saat tubuh Wan Cie-ie sudah melesat ke tengah udara dan hingga di dalam gelanggang pertempuran. Begitu melihat si nona, Hong Jin-eng mengeluarkan seruan "ah!" dan paras mukanya berubah girang. Ouw Hui menengok dan karena tengokan itu, ia tak melihat perubahan paras Lam-pa-thian.
"Ouw-toako," kata si nona sembari tertawa. "Kita hanya merebut ciangbun, bukan merampas jiwa manusia."
"Nona, kau tak tahu, bahwa manusia ini besar sekali dosanya," kata Ouw Hui dengan geregetan. "Dia tak dapat dipersamakan dengan ciangbunjin lain!"
Wan Cie-ie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika Suhu mengetahui, bahwa aku merebut ciangbun, paling banyak ia tertawa," katanya. "Tapi jika aku membunuh orang, ia akan menjadi gusar sekali."
"Manusia ini akan dibunuh olehku," kata Ouw Hui. "Dengan Nona, hal ini tak ada sangkut pautnya."
"Salah!" bantah Wan Cie-ie. "Urusan merebut ciangbun, asal mulanya datang dari aku. Orang ini adalah ciangbunjin dari Ngo-houw-pay. Maka itu, tak dapat aku mengatakan, tak ada sangkut pautnya dengan diriku."
"Nona," kata Ouw Hui dengan suara jengkel. "Dari Kwitang aku mengejar ia sampai di Ouwlam. Yang dikejar olehku adalah manusia itu. Biar bagaimanapun juga, ciangbun atau bukan ciangbun, hari ini aku mesti mengambil jiwanya."
"Ouw-toako," kata Wan Cie-ie. "Sekarang aku mau bicara sungguh-sungguh dan kuharap kau suka mendengarnya." Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya dan si nona lalu berkata lagi, "Bukankah kau tak tahu, siapa guruku?"
"Aku tak tahu," jawabnya. "Dilihat dari kepandaian Nona, gurumu tentulah juga seorang tayhiap (pendekar) dalam dunia Kang-ouw. Bisakah aku mengetahui she dan nama gurumu yang mulia?"
"Di belakang hari, kau tentu akan mengetahui she dan namanya," kata pula Wan Cie-ie sembari tertawa. "Sekarang aku hanya ingin memberitahukan kau, bahwa pada waktu mau berangkat dari Huikiang, guruku telah berkata begini, `Segala sepak terjangmu di daerah Tionggoan aku tak akan memedulikannya. Tapi jika kau membunuh orang, membunuh seorang saja, dengan segera aku akan mengambil jiwamu.' Guruku adalah seorang yang bicara satu tentu satu, dua pasti dua, tak akan ia mengubah lagi perkataannya."
"Apakah manusia yang jahat kejam seperti ia juga tak boleh dibinasakan?" tanya Ouw Hui dengan suara penasaran.
"Benar!" jawab si nona. "Waktu itu, aku juga telah mengatakan begitu kepada guruku. Tapi ia berkata begini, `Manusia jahat memang pantas dibunuh. Akan tetapi, kau masih begitu muda, bagaimana kau bisa membedakan siapa jahat dan siapa baik? Dalam dunia ini, ada manusia yang tertawa haha-hihi, tapi hatinya kejam seperti harimau, ada juga orang yang kelihatannya kejam, tapi hatinya sangat mulia. Sekali binasa, seorang manusia tak akan bisa hidup lagi. Maka itu, sekali kesalahan tangan, penyesalan akan dirasakan terus-menerus seumur hidup.'"
"Perkataanmu memang tidak salah," kata Ouw Hui. "Tapi sebagaimana kau tahu, manusia itu sudah mengakui, bahwa dia telah membinasakan orang yang tak dapat dihitung berapa jumlahnya. Bahwa di Hud-san-tin dia telah membinasakan rakyat yang tak berdosa, telah disaksikan dengan kedua mataku sendiri. Maka itu, dalam hal binatang she Hong itu, tak bisa aku bertindak salah."
"Ya," kata Wan Cie-ie sambil menghela napas. "Aku tak bisa berbuat lain karena adanya perintah Suhu. Ouw-toako, biarlah, dengan memandang mukaku, kau sudi mengampuninya."
Mendengar permohonan yang sangat itu, hati Ouw Hui jadi tergerak juga. Akan tetapi, di lain saat, di depan matanya kembali terbayang pemandangan mengenaskan di saat kebinasaan keluarga Cong A-sie dan darahnya lantas saja mendidih. "Nona Wan!" ia berteriak. "Urusan di sini, anggaplah sebagai tak diketahui olehmu. Harap kau berjalan lebih dulu dan kita akan bertemu pula di Hengyang."
Wan Cie-ie memberengut dan parasnya lantas berubah gusar. "Ouw-toako," katanya dengan suara mendongkol. "Seumur hidup, belum pernah aku memohon-mohon seperti sekarang. Tapi kau tetap menolak. Dengan kau, orang ini tak mempunyai ganjalan pribadi. Kau hanyalah memegang peranan sebagai orang luar yang turun tangan karena melihat ketidakadilan. Tapi dia sendiri sudah memusnahkan harta bendanya dan siang-malam kabur seperti dikejar setan. Dia sudah ketakutan setengah mati. Ouw-toako! Dalam dunia ini, seseorang tidak boleh menggencet sesamanya secara keterlaluan. Dalam urusan apa pun juga, kita haruslah berlaku sedikit longgar."
"Nona Wan!" seru Ouw Hui dengan suara nyaring. "Apa pun yang bakal terjadi, aku mesti mampuskan manusia jahat ini. Aku akan meminta maaf kepadamu dan bersedia untuk menerima hukuman dari gurumu." Sehabis berkata begitu, ia merangkap kedua tangannya dan menyoja sampai mengenai lantai.
"Brt!" pecut menyambar dan melibat golok Ouw Hui yang menancap di wuwungan. Sehabis membetot, si nona melontarkan golok itu di arah Ouw Hui. "Ambillah," katanya. Dengan rasa kagum, Ouw Hui menyambuti senjatanya.
"Ouw-toako," kata Wan Cie-ie. "Jika kau masih ingin membunuh mereka, robohkanlah aku terlebih dulu. Sesudah aku roboh, guruku tak akan marah kepadaku."
"Kalau begitu, kau tentu mempunyai maksud tertentu," kata Ouw Hui dengan suara gusar. "Apakah benar-benar gurumu berpendirian begitu kukuh?"
Si nona menghela napas dan berkata dengan suara lemah lembut. "Ouw-toako, apakah benar-benar kau sungkan memberi muka kepadaku?"
Disinari cahaya perapian dan dengan kata-katanya yang halus merdu, Wan Cie-ie jadi kelihatan terlebih cantik lagi. Tanpa merasa, hati Ouw Hui menjadi lumer.
Tapi kelumeran itu hanya untuk sedetik. Ouw Hui adalah seorang yang sangat cerdas dan semakin keras permohonan si nona, semakin besar kecurigaannya. Ia hampir dapat memastikan, bahwa hal ini mesti terselip hal-hal lain. "Ouw Hui! Ouw Hui!" katanya di dalam hati. "Jika kau kena dibikin mabuk dengan paras cantik dan menyampingkan segala peribudi manusia yang luhur, percuma saja kau hidup di dalam dunia. Ayahmu Ouw It-to adalah seorang gagah dalam zamannya sendiri. Ouw Hui! Apa kau tak malu menjadi putra Liaotong-tayhiap Ouw It-to?"
Memikir begitu, paras muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. "Kalau begitu, maaflah," katanya sembari menyerang dengan pukulan Toa-sam-pek, goloknya menyabet kepala si nona, tangan kirinya menimpuk ulu hati Hong Jin-eng dengan sepotong perak.
Tadi, ketika Ouw Hui mengawasi padanya dengan sorot mata mencinta, Wan Cie-ie merasa girang. Tapi di luar dugaan, secara mendadak pemuda itu menyerang, bukan saja menyerang dirinya, tapi juga menimpuk Hong Jin-eng dengan senjata rahasia.
Ketika diserang, Wan Cie-ie berdiri sangat dekat dengan Ouw Hui, sehingga senjata cambuk yang lemas, sukar digunakan untuk menangkis sambaran golok. Hampir berbareng, si nona mendengar kesiuran senjata rahasia berat ke arah Hong Jin-eng. Pada detik yang sangat genting, satu ingatan berkelebat di otak si nona. "Tak mungkin dia tega mencelakakan aku," pikirnya. Memikir begitu, tanpa menghiraukan bacokan golok, ia menyabet senjata rahasia dengan pecutnya. "Tak!" uang perak Ouw Hui jatuh di atas lantai.
Serangan Ouw Hui barusan itu adalah serangan yang sudah diperhitungkan dulu. Ia mengetahui, bahwa ilmu silat Wan Cie-ie tidak berada di sebelah bawahnya. Sekali bertempur, belum tentu ia akan memperoleh kemenangan. Karena begitu, ia membuka serangan mendadak ke arah dua jurusan, yaitu goloknya menggertak Wan Cie-ie, sedang tangan kirinya menimpuk Hong Jin-eng dengan senjata rahasia. Waktu itu, dalam sakunya hanya terdapat piauw yang terbuat dari uang tembaga. Karena piauw itu tidak bisa membinasakan orang dengan sekali ditimpukkan, maka ia sudah menggunakan sepotong uang perak yang beratnya lima tahil untuk mengambil jiwa Lam-pa-thian.
Ia merasa, bahwa ia pasti akan berhasil, tapi di luar perhitungan, tanpa memedulikan keselamatannya sendiri, Wan Cie-ie sudah menolong manusia kejam itu.
Ouw Hui menahan goloknya ketika mata golok itu hanya tinggal terpisah beberapa dim dari kulit kepala Wan Cie-ie.
"Apakah kau edan?" ia membentak.
"Karena terpaksa!" sahutnya sembari menyabet dengan cambuknya. "Sambutlah," katanya pula.
Ouw Hui menangkis sembari melirik Hong Jin-eng yang akan dihajarnya begitu ada kesempatannya. Tapi, dengan cambuknya Wan Cie-ie tak memberi napas lagi kepada lawannya. Kedua orang muda itu adalah lawan setimpal. Dalam sekejap, mereka sudah bertarung hebat.
Lewat beberapa jurus, pecut si nona mendadak menyambar ke meja sembahyang dan menyabet jatuh sebatang lilin yang sedang menyala. "Hm! Kau ingin memadamkan penerangan, supaya manusia she Hong itu bisa melarikan diri," kata Ouw Hui di dalam hatinya. Akan tetapi, meskipun mengetahui maksud orang, ia tak dapat mencegahnya.
Dengan hati panas, ia segera menyerang dengan Ouw-kee-to-hoat, yaitu ilmu silat golok dari keluarga Ouw. "Bagus!" seru si nona sembari meloncat mundur sesudah menangkis serangan itu. Hampir berbareng dengan itu, pecutnya menggulung sebatang kayu bakar yang lalu dilemparkan ke arah Ouw Hui.
Sebagaimana diketahui, sebelum Ouw Hui keluar, rombongan Hong Jin-eng sedang memasak nasi di sebelah barat ruangan itu. Sesudah kuali nasi ditendang Ouw Hui, kayu bakarnya kira-kira dua puluh batang, masih terus berkobar-kobar. Dengan cepat, Wan Cie-ie mengulangi perbuatannya dan melontarkan potongan-potongan kayu bakar itu ke arah Ouw Hui, yang tidak berani menangkis dengan goloknya karena khawatir lelatu api muncrat ke muka dan pakaiannya. Jalan satu-satunya adalah melompat ke sana sini untuk menyingkir dari sambaran api. Di antara kegelapan, potongan-potongan kayu itu yang melayang dengan tetap menyala-nyala, memberikan pemandangan yang sangat indah.
Sementara itu, semua pengikut Hong Jin-eng, seperti murid-muridnya, tukang kereta, dan bujang-bujangnya, satu per satu sudah mengeloyor masuk ke ruangan belakang. Orang yang masih berada di dekat gelanggang pertempuran hanyalah Hong Jin-eng dan putranya. Selama bertempur, karena khawatir kedua manusia itu melarikan diri, Ouw Hui selalu berada di dekat pintu kuil.
Beberapa saat kemudian, semua potongan kayu itu sudah habis dilemparkan dan sebagian besar sudah padam di atas lantai, sehingga ruangan itu jadi semakin gelap.
"Ouw-toako," kata Wan Cie-ie sembari tertawa. "Hari ini, kebetulan kita sudah menjajal tenaga, marilah kita melihat siapa yang lebih unggul." Sembari berkata begitu, ia memecut pundak Ouw Hui dengan suatu pukulan aneh. Buru-buru pemuda itu menyampuk dengan senjatanya, tapi sabetan kedua, yang lebih aneh lagi, sudah menyusul. Ouw Hui terkesiap dan untuk menolong diri ia terpaksa bergulingan di atas lantai.
"Jangan bingung," kata si nona sembari nyengir. "Aku tak akan melukai kau."
Perkataan itu sudah menyinggung rasa harga diri Ouw Hui. "Apakah kau mengira, aku akan roboh dalam tanganmu?" katanya di dalam hati. Dengan lantas ia mengubah cara bersilatnya dan mengeluarkan pukulan-pukulan simpanannya yang sangat dahsyat.
Sesaat itu, dalam ruangan tersebut hanya ketinggalan sepotong kayu yang masih menyala-nyala.
"Ouw-toako," kata si nona. "Ilmu memainkan cambuk ini sangat luar biasa, kau harus berhati-hati." Sehabis berkata begitu, cambuknya menderu-deru dan benar saja, pukulan-pukulannya dahsyat luar biasa.
"Bagus!" seru Ouw Hui sambil menutup seluruh tubuhnya dengan sinar golok. Ia berniat mempelajari dulu ilmu pecut itu dan sesudah mengerti bagian-bagiannya yang terpenting, ia baru mau membalas menyerang.
Mendadak terdengar suara "tok!" lelatu api muncrat dan seantero ruangan lantas saja terbenam dalam gelap gulita.
Hujan turun semakin deras dan bunyinya yang merotok di atas genting bercampur dengan bunyi cambuk Wan Cie-ie. Ouw Hui adalah seorang yang bernyali besar. Tapi bertempur di dalam kegelapan dan dalam suasana yang begitu menyeramkan, jantungnya memukul keras.
Sekonyong-konyong, bagaikan arus listrik, suatu ingatan masuk ke dalam otaknya. "Aha! Tak bisa salah lagi, tentulah dia adanya," katanya di dalam hati. "Di Pak-tee-bio, ketika orang she Hong itu mau membunuh diri, seorang wanita sudah menolong dengan timpukan pantek konde. Gerak-gerik wanita itu mirip benar dengan gerak-gerik Nona Wan." Memikir begitu, kecurigaannya terhadap si nona jadi semakin besar. Karena sesaat perhatiannya terpecah, pecut Wan Cie-ie sekonyong-konyong berhasil menggulung goloknya, yang hampir-hampir saja terlepas dari genggamannya.
Buru-buru Ouw Hui mengerahkan tenaga dalamnya dan membetot keras-keras. Biar bagaimanapun juga, Wan Cie-ie adalah seorang wanita yang dalam mengadu tenaga, masih kalah setingkat dengan Ouw Hui. Begitu dibetot, ia merasakan lengannya kesemutan, sehingga dengan cepat ia mengedut cambuknya untuk membuka libatan pada golok Ouw Hui.
Dalam gelap gulita, mereka bertempur dengan hanya mengandalkan ketajaman kuping. Mereka berkelit, menangkis, dan menyerang dengan mendengarkan kesiuran-kesiuran angin dari senjata mereka. "Celaka! Wan Cie-ie seorang saja aku belum mampu merobohkan," pikirnya. "Apalagi jika Hong Jin-eng dan anaknya turut turun tangan." Pada saat itu, Ouw Hui menduga, bahwa Wan Cie-ie dan Hong Jin-eng sudah pasti berteman dan ia sekarang terjeblos ke dalam perangkap mereka.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan geregetan Ouw Hui mengirimkan suatu bacokan yang cepat luar biasa. Wan Cie-ie menolong diri dengan menjengkangkan tubuhnya, tapi meskipun terlolos dari bacokan, ia merasakan hawa dingin menyambar mukanya waktu golok itu lewat di ujung hidungnya! Si nona terkesiap, sekarang ia mengetahui, bahwa Ouw Hui tak berlaku sungkan-sungkan lagi. "Ouw-toako!" ia berseru sembari tertawa. "Apakah kau marah?"
Ouw Hui tak menyahut, ia tengah memusatkan perhatiannya dan memasang kuping, untuk menjaga kalau-kalau Hong Jin-eng mencoba kabur atau melepaskan senjata rahasia.
"Ouw-toako," kata pula si nona. "Kau tak meladeni? Aduh, sombongnya!" Berbareng dengan perkataannya, ia menyabet kaki Ouw Hui. Sabetan itu adalah sabetan luar biasa, tanpa suara, tanpa kesiuran angin, tahu-tahu sudah menyambar. Karena tak keburu lagi, Ouw Hui membungkuk dan menangkis dengan goloknya. Tapi di luar dugaan, dengan kedutan dan entakan aneh, tahu-tahu golok Ouw Hui sudah terlepas dari tangannya.
"Celaka!" Ouw Hui mengeluh. "Apakah aku mesti kehilangan jiwa di sini?" Dalam keadaan terdesak, ia merangsek dan coba mencengkeram leher Wan Cie-ie dengan pukulan Eng-jiauw-kauw-chiu (Cengkeraman Kuku Garuda). Pukulan itu sudah sering kali dilatihnya, tapi belum pernah digunakan dalam pertempuran. Di lain pihak, si nona terkesiap ketika merasakan kesiuran hawa panas menyambar tenggorokannya. Pada detik itu cambuknya baru saja menyabet dan tak mungkin ditarik pulang untuk menangkis cengkeraman Ouw Hui. Maka itu, untuk menyelamatkan diri, Wan Cie-ie segera menjengkangkan tubuhnya dan melepaskan cambuknya yang lantas saja jatuh di atas lantai.
Sesudah berhasil dengan pukulan pertama itu, Ouw Hui menyusulkan Cin-po-lian-hoan (Majukan Kaki Secara Berantai). Wan Cie-ie membalikkan tangannya dan menutuk jalan darah Ouw Hui, di pundak kanan. Karena gelap, jerijinya meleset dan menyasar ke otot yang keras. "Aduh!" ia berseru, jerijinya ketekuk. Ouw Hui terkejut. Ia mengetahui, bahwa jika tidak tertolong kegelapan, jalan darahnya tentu sudah kena ditutuk.
Sesudah mendapat pengalaman pahit, si nona segera mengubah cara bersilatnya. Ia tak berani bertempur merapat lagi dan lari berputar-putar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Dalam kegelapan, Ouw Hui pun tak mau terlalu mendesak dan hanya menyerang dan membela diri sekadarnya sambil memasang kuping untuk mengetahui tempat bersembunyinya Hong Jin-eng. Tapi, sesudah memasang kuping beberapa lama, ia masih tak dapat mendengar suara napas Hong Jin-eng, karena kesiuran-kesiuran angin pukulan-pukulan Wan Cie-ie.
Berselang beberapa saat, Ouw Hui mendapat suatu pikiran baru. Ia segera melompat-lompat dari timur ke barat, dari selatan ke utara, sesuai dengan kedudukan toa-su-siang-hong-wie (kedudukan empat penjuru), sembari mengirimkan pukulan-pukulan dahsyat. Jika kena, setiap pukulan itu dapat membinasakan atau sedikitnya melukai Hong Jin-eng. Andai kata Lam-pa-thian bisa berkelit, kelitan itu sudah cukup untuk membikin Ouw Hui mengetahui tempat bersembunyinya.
Tapi, sungguh mengherankan. Sesudah berputar-putar di seluruh ruangan, ia masih belum mendapatkan orang yang dicarinya. "Apakah dia sudah kabur?" ia menanya dirinya sendiri. "Celaka benar! Dia berkawan banyak, aku sendirian saja. Jika mereka datang menyerbu semua, bisa-bisa aku binasa di tempat ini. Seorang gagah harus bertindak dengan melihat keadaan. Biarlah hari ini aku menyingkir dulu untuk menunggu kesempatan yang lebih baik."
Memikir begitu, ia segera mendekati pintu. Mendadak berbareng dengan kesiuran angin dahsyat, dalam kegelapan lapat-lapat ia melihat sesosok bayangan tinggi besar menyambar ke arahnya. "Bagus!" teriak Ouw Hui dengan girang sembari memapaki dengan kedua tinjunya. Pukulan itu hebat luar biasa dan sekali kena, Hong Jin-eng pasti akan binasa.
"Duk!" tinju Ouw Hui menghantam benda keras-keras dingin yang lantas saja hancur berhamburan di atas lantai. Ternyata, yang barusan menyambar ke jurusannya, adalah patung malaikat yang dipuja dalam kuil itu.
"Sungguh hebat pukulan itu!" seru Wan Cie-ie sembari tertawa. Ouw Hui terkejut, suara si nona, yang bercampur dengan bergemerencingnya senjata, terdengar di luar pintu. Ia mengetahui, bahwa Wan Cie-ie akan segera lari dengan membawa juga goloknya.
Di lain saat terdengar derap kaki kuda, yang disusul dengan teriakan nona itu, "Hei, Lam-pa-thian! Kenapa kau kabur lebih dulu. Benar-benar kau tidak memandang kawan."
Di lain saat, di antara bunyi hujan, terdengar derap kaki kuda yang dikaburkan keras sekali.
"Sudahlah! Sudahlah!" keluh Ouw Hui di dalam hati. Ia sudah dikalahkan, dikalahkan secara menyedihkan sekali. Jika mau, ia masih bisa mengejar pengikut-pengikut Hong Jin-eng untuk melampiaskan marahnya. Tapi, tentu saja ia sungkan melakukan perbuatan itu yang terlalu kejam.
Dari sakunya, ia mengeluarkan bahan api dan menyalakan kayu bakar yang sudah padam. Sesudah mendapat penerangan, ia memandang seluruh ruangan itu. Ternyata, patung Siang Hui yang dihantamnya, telah menjadi hancur lebur dan beras putih serta kayu bakar juga berhamburan di lantai.
Sang hujan masih turun terus dengan derasnya. Dengan perasaan tak keruan, ia duduk di depan meja sembahyang sambil mengawasi perapian.
"Tak bisa salah lagi, Nona Wan dan Hong Jin-eng mempunyai hubungan rapat," pikirnya. "Dengan mempunyai sandaran yang begitu kuat dan kaki tangan yang begitu banyak, sebenarnya ia bisa melawan aku. Tapi kenapa ia memusnahkan harta bendanya dan melarikan diri? Barusan, jika mereka semua maju mengepung, aku tentu sudah celaka. Kenapa, sebaliknya dari berbuat begitu mereka kabur semuanya? Dilihat dari gerak-geriknya, percobaan Hong Jin-eng untuk membunuh diri bukan tipu belaka. Dengan demikian, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa bantuan Nona Wan diberikan tanpa diketahui lebih dulu oleh manusia itu."
Ia menghela napas berulang-ulang karena hatinya bimbang. Di lain saat, ia ingat, bahwa dalam pertempuran dalam gelap gulita tadi, ia telah mengirim pukulan-pukulan hebat, seolah-olah si nona adalah musuh besarnya. Mengingat begitu, pada bibirnya tersungging senyuman kecil.
"Tapi ... apakah benar-benar tadi aku sudah menurunkan pukulan-pukulan yang membinasakan?" ia menanya dirinya sendiri. Tadi, dalam sengitnya, seperti juga ia sudah menghantam tanpa sungkan-sungkan lagi. Tapi ... ia tak pernah menjatuhkan pukulan yang benar-benar membinasakan. "Di waktu dia menubruk dan memukul dengan tangannya, kenapa aku tak menghajarnya dengan pukulan Coan-sim-tui (Pukulan Menembus Hati)?" tanyanya kepada dirinya sendiri. "Sesudah aku membacok dengan pukulan Siang-ma-to (Bacokan di Atas Kuda) dan dia menunduk untuk berkelit, kenapa aku tidak menyusulkan pukulan Pa-ong-gie-ka (Couw Pa Ong Membuka Pakaian Perang)? Ah! Ouw Hui! Ouw Hui! Kau agaknya takut melukai ia!"
Jantungnya memukul keras dan kembali ia melamun. "Hm!" katanya di dalam hati. "Tadi di waktu cambuknya menghantam pundakku, secara mendadak ia menarik pulang senjatanya. Apakah ia sengaja berbuat begitu, atau, hanya karena kebetulan? Dan ... selain itu, waktu jerijinya menutuk ...."
Ia mengingat-ingat sesuatu pukulan si nona dan semakin diingat, hatinya jadi semakin berdebar. "Tak salah! Tak salah lagi!" pikirnya. "Dia memang sengaja sungkan mencelakakan aku. Apa ... apakah ...?" tak berani ia meneruskan pertanyaan itu.
Mendadak, ia merasa lapar. Ia menengok ke arah kuali yang telah ditendangnya tadi. Dalam kuali itu masih terdapat sedikit beras putih. Ia segera berbangkit dan mengumpulkan sebagian beras yang berhamburan itu, ia mencucinya dengan air hujan dan segera menanaknya.
Tak lama kemudian, hidungnya mencium bau sedap dari nasi yang baru matang.
Ia menghela napas. "Jika di saat ini, aku bisa bersantap bersama-sama dengan dia berendeng pundak ... ah!" ia melamun. Ouw Hui adalah seorang manusia yang sadar, tak gampang-gampang ia menjadi mabuk. Tapi paras Wan Cie-ie yang segar cantik, tertawanya yang menggiurkan, dan gerak-geriknya yang lincah tak dapat dihapus dari otaknya. Seperti kehilangan ingatan, ia bengong terlongong-longong, sehingga ia tak mendusin, bahwa nasinya sudah mulai hangus.
Pada waktu itu, di luar kuil sekonyong-konyong terdengar tindakan kaki yang disusul dengan terbukanya pintu.
"Apakah dia kembali lagi?" pikir Ouw Hui, sembari melompat bangun. Bukan! Yang datang bukan si nona.
Disoroti sinar perapian, ia melihat masuknya dua orang. Yang satu adalah seorang lelaki yang berusia kira-kira lima puluh tahun dan berbadan kurus kering. Ouw Hui segera mengenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Lauw Ho-cin yang pernah dijumpainya di Hong-yap-chung. Yang lain adalah seorang wanita muda yang berusia dua puluh tahun lebih. Sebelah tangan Lauw Ho-cin didukung dengan selembar kain hijau yang diikatkan pada lehernya, sedang wanita muda itu pun terpincang-pincang jalannya. Sudah terang, mereka berdua telah terluka dan pakaian mereka yang basah kuyup sudah menambah penderitaan mereka.
Selagi Ouw Hui mau membuka mulut untuk memanggilnya, Lauw Ho-cin sudah berbicara dengan wanita itu. "Coba periksa di belakang," katanya.
"Baik," jawab si wanita sembari mencabut golok dan berjalan ke ruangan belakang. Sesudah berbangkis beberapa kali, Lauw Ho-cin duduk di atas lantai dan dilihat dari sikapnya, ia sedang berwaspada dan memasang kuping. Ia melirik Ouw Hui beberapa kali, tapi ia tidak mengenalinya.
"Waktu itu aku berada di antara orang banyak dan berpakaian sebagai seorang dusun," kata Ouw Hui di dalam hatinya. "Tak heran, jika ia tidak mengenali aku." Ia segera menghampiri kuali dan membuka tutupnya. Ternyata, separuh nasi itu sudah menjadi hangus. Sembari bersenyum, ia mengambil nasi dengan tangannya dan segera makan seperti macan kelaparan. Melihat cara makannya, Lauw Ho-cin menarik napas lega.
Beberapa saat kemudian, si wanita muda keluar dari ruangan belakang dan mencekal sebatang kayu yang menyala-nyala. "Tak ada apa-apa," katanya.
Lauw Ho-cin membuang napas, ketegangan parasnya lantas saja mereda. Dengan menyandar di meja sembahyang, ia meremkan kedua matanya untuk mengaso. Air yang turun dari pakaiannya membasahi lantai dan air itu berwarna agak merah, seperti bercampur darah. Si wanita, yang kelihatannya lelah sekali, menyandar di tubuh Lauw Ho-cin tanpa bergerak. Dipandang dari cara-caranya, mereka berdua seperti suami istri, hanya usia mereka terpaut sangat jauh.
"Dalam Rimba Persilatan, ilmu silat Lauw Ho-cin sudah jarang tandingannya," pikir Ouw Hui. "Mengapa dia sudah kena dihajar sampai begitu rupa. Dari sini bisalah dilihat, bahwa di atas langit masih ada langit dan di atas manusia masih ada manusia. Tak dapat manusia berlaku sombong."
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap kaki kuda. Hampir berbareng dengan itu Lauw Ho-cin meloncat bangun dan mencabut senjata dari pinggangnya. Senjata itu adalah sebatang tombak pendek yang ada rantainya.
"Tiong-peng," katanya kepada wanita itu. "Lekas lari! Aku akan berdiam di sini untuk melawan kepadanya." Sehabis berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah bungkusan yang panjangnya kira-kira satu kaki dan memberikannya kepada wanita tersebut. "Kirimlah ini kepadanya," ia berbisik.
Wanita itu, seorang she Ong yang bernama Tiong-peng, memang benar istri Lauw Ho-cin, istri kedua sesudah yang pertama meninggal dunia. Mendengar perkataan sang suami, mata Tiong-peng menjadi merah. "Tidak," katanya sembari menggelengkan kepala. "Jika mesti mati, biarlah kita mati bersama-sama."
Paras muka Lauw Ho-cin lantas saja berubah gusar, "Laksaan li kita melawan gelombang dan berkutat terus meskipun sudah terluka," katanya. "Guna apa itu semua? Jika maksud kita tidak terwujud, aku mati dengan mata melek. Pergilah! Aku akan melawan dia di sini."
Si istri merasa berat untuk meninggalkannya. Ia menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara terputus-putus, "Looyacu, sesudah ... sesudah menjadi suami istri, aku tak dapat ... dapat merawat kau, sebagaimana mestinya. Dan ... dan kita harus ...."
Lauw Ho-cin membanting kaki. "Sudahlah!" ia membentak. "Jika kau bisa membereskan urusan besar ini, jasamu lebih besar daripada rawatan apa pun juga." Ia mengebas dengan tangan kirinya dan memerintah dengan suara bingung, "Pergi! Hayolah pergi!"
Melihat kecintaan kedua suami istri itu, hati Ouw Hui tak tega. "Lauw Ho-cin adalah seorang baik-baik," katanya di dalam hati. "Siapakah yang menyeterukannya? Sesudah bertemu denganku, tak bisa aku tidak mencampurinya."
Beberapa saat kemudian, di luar kuil terdengar berhentinya tiga ekor kuda, dan dua berhenti di depan pintu, sedang seekor antaranya memutar pergi ke belakang.
"Sudahlah!" kata Lauw Ho-cin dengan suara gusar. "Di depan dan di belakang sudah dicegat orang."
Dengan wajah bingung, Tiong-peng mengawasi ke seluruh ruangan. Sesudah itu, ia menuntun tangan suaminya dan naik ke atas tempat patung. Dengan sorot mata memohon, ia mengawasi Ouw Hui dan memberi isyarat dengan gerakan tangannya, supaya pemuda itu tidak membuka rahasia. Sesudah itu, bersama sang suami, ia masuk ke dalam tempat patung itu dan menurunkan tirai sutranya yang berwarna kuning.
Beberapa saat kemudian, dua orang masuk ke dalam. Dengan sikap acuh tak acuh, Ouw Hui terus makan nasinya. Ketika kedua orang itu mendekati perapian, ia melirik. Dalam usianya yang masih muda, Ouw Hui sudah pernah bertemu dengan banyak juga orang-orang Kang-ouw yang luar biasa, tapi, macam kedua orang itu, benar-benar mengejutkan. Dua-dua mengenakan baju hujan dari kain minyak, muka mereka jelek luar biasa. Alis turun, mata segitiga, sebelah besar dan sebelah kecil, hidung besar lebar dan mendongak ke atas menghiasi, atau lebih benar, memburukkan wajah mereka.
Mereka melirik Ouw Hui dan lantas masuk ke ruangan dalam. Beberapa saat kemudian, mereka keluar lagi. Sekonyong-konyong terdengar suatu suara aneh, disusul dengan melayang turunnya sesosok tubuh manusia dari atas genting. Ternyata, ketika dua kawannya menggeledah di dalam, orang yang menjaga di belakang sudah meloncat naik ke atas genting untuk mengamat-amati.
"Ilmu mengentengkan badan orang itu cukup tinggi," kata Ouw Hui di dalam hatinya. Di lain saat, dengan sekali berkelebat, orang itu sudah masuk ke dalam ruangan depan. Roman orang tersebut sangat mirip dengan dua yang lain, sehingga bisa diduga, bahwa mereka bersaudara.
Begitu mereka membuka baju hujan, sekali lagi Ouw Hui terkejut, karena mereka semua memakai pakaian berkabung dengan ikat kepala belacu putih. "Toako," kata yang baru masuk. "Mereka berdua mendapat luka dan juga tidak mempunyai tunggangan. Menurut pantas, mereka tak bisa lari jauh. Di sekitar sini tidak terdapat rumah lain. Benar-benar mengherankan. Di mana mereka bersembunyi?"
"Mungkin di gua atau di gerombolan rumput," jawab yang paling tua. "Sekarang kita jangan takut lelah, marilah kita mencari di tempat lain. Luka mereka tidak berat, kita harus berhati-hati."
Mendengar begitu, seorang antara mereka lantas saja bertindak ke arah pintu. Tapi mendadak ia berhenti dan menengok kepada Ouw Hui sembari berkata, "Eh, bocah! Apakah kau melihat seorang tua dan seorang wanita muda?"
Ouw Hui yang mulutnya penuh nasi, menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu, orang yang dipanggil "toako" (kakak paling tua) menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam. Melihat keadaan yang kacau-balau dan patung malaikat yang hancur berhamburan di lantai, ia jadi bercuriga dan segera menyelidiki lebih teliti. Segera juga ia melihat, bahwa di atas lantai terdapat tapak-tapak kaki yang masih basah.
Sekali melirik, Ouw Hui mengetahui, bahwa orang itu sedang bercuriga. "Tadi ada beberapa orang yang bertempur di sini," katanya dengan cepat. "Ada lelaki, ada perempuan, tua dan muda. Patung Siang Hui Nio-nio telah dilemparkan sampai hancur luluh. Sesudah itu, sebagian kabur, sebagian mengejar dan mereka semua menunggang kuda."
Dengan membawa beberapa potong kayu yang menyala, yang paling muda segera menyelidiki di pekarangan kuil. Benar saja di situ terdapat tapak-tapak kaki kuda, sehingga keterangan Ouw Hui tidak perlu disangsikan lagi. Ia kembali ke dalam dan menanya, "Ke mana mereka pergi?"
"Ke jurusan utara," jawab Ouw Hui. "Aku bersembunyi di kolong meja, tidak berani mengawasi lama-lama ...."
Orang itu mengangguk dan mengeluarkan sepotong perak yang lantas dilemparkan kepada Ouw Hui. "Ini untukmu," katanya.
"Terima kasih, terima kasih," kata Ouw Hui dengan wajah girang dan segera memungut potongan perak itu. "Tiga setan ini mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi," katanya di dalam hati. "Jika mereka sampai bertempur dengan rombongan Hong Jin-eng, puas juga hatiku."
"Loo-toa (kakak paling tua), Loo-sam (saudara yang ketiga), mari kita berangkat!" kata seorang antaranya. Mereka memakai lagi baju hujan mereka dan segera berjalan ke luar.
"Racun itu hebat luar biasa," kata seorang antaranya. "Biar bagaimanapun juga, kita tak bisa membiarkan ia mendahului kita ...."
"Jika kita tidak keburu mencegat, paling benar buru-buru memberi warta," kata yang lain.
"Hai!" kata pula yang pertama. "Mana dia mau percaya perkataan kita? Selain itu ...."
Perkataan selanjutnya sudah tak bisa ditangkap lagi oleh Ouw Hui karena tenggelam dalam bunyi hujan.
Heran sekali hati Ouw Hui. "Racun apa yang dimaksudkan?" ia menanya dirinya sendiri. "Warta apa? Dan kepada siapa warta itu hendak disampaikan?"
Mendadak terdengar suara berkerotakan di tempat patung dan di lain saat, Lauw Ho-cin sudah turun dengan dipapah oleh istrinya. Tempo Ouw Hui bertemu dengan orang itu di Hong-yap-chung, di waktu ia mengadu silat dengan Wan Cie-ie, gerak-geriknya gesit luar biasa. Tapi sekarang, ia tak mampu turun dari tempat patung itu tanpa dibantu istrinya.
Begitu turun, Lauw Ho-cin segera memberi hormat kepada Ouw Hui seraya berkata, "Terima kasih banyak untuk budi Siauwko (saudara kecil) yang sudah menolong jiwaku."
Buru-buru Ouw Hui membalas menghormat. "Sungguh galak tiga orang itu," katanya dengan sikap ketolol-tololan.
"Sekali membuka mulut, mereka memanggil aku `bocah'. Mana aku kesudian bicara terus terang?"
"Aku she Lauw," orang tua itu memperkenalkan diri. "Namaku Ho-cin. Inilah istriku. Bisakah aku mengetahui she dan nama Siauwko yang mulia?"
Ditanya begitu, Ouw Hui segera berkata dalam hatinya, "Kau telah memberitahukan nama yang sejati, aku juga tidak boleh berdusta. Tapi namaku tidak mirip dengan nama seorang dusun. Biarlah aku mengubahnya sedikit." Memikir begitu, lantas saja ia menjawab, "Aku she Ouw, namaku A-toa." Ia ingat, bahwa sebagai anak tunggal kedua orang tuanya, dengan menggunakan nama "A-toa" (putra yang sulung), ia tidak terlalu berdusta.
"Siauwko masih berusia muda," kata Lauw Ho-cin pula. "Di belakang hari, kau tentu bisa menjadi seorang hartawan ...." bicara sampai di situ, ia mengerutkan alisnya dan menggigit bibir, seperti sedang menahan sakit.
"Looyacu, kau kenapa?" tanya istrinya dengan suara bingung.
Sang suami tidak menyahut, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan duduk menyandar di meja sembahyang dengan napas tersengal-sengal. Si istri lalu turut duduk di atas lantai dan mengurut dada suaminya.
Melihat begitu, Ouw Hui merasa kurang enak untuk berdiam di situ lama-lama, maka, sesudah mengambil sepotong kayu yang menyala, ia lantas saja berkata, "Looyacu, aku mau tidur di ruangan belakang." Sehabis berkata begitu, ia lantas berlalu.
Dengan mata mendelong, ia mengawasi jerami di depan meja sembahyang. Ia ingat, bahwa tadi Wan Cie-ie masih berbaring di atas jerami itu. Tapi sekarang, si nona sudah pergi jauh dan apa yang ketinggalan, hanyalah kuil yang sunyi senyap dan Ouw Hui yang sebatang kara.
Lama ia berdiri bagaikan patung sambil memegang kayu bakar itu yang apinya jadi semakin kecil. Sekonyong-konyong ia ingat akan suatu urusan penting. "Celaka!" pikirnya. "Kitab silatku telah dibawa kabur olehnya! Sampai sekarang aku masih bisa melayani ia. Tapi sesudah ia menghafal isi kitabku dan dapat memahami semua kepandaianku, sekali bergebrak saja ia bisa mampuskan aku!" Dalam sekejap, lamunannya yang muluk sedap berubah menjadi perasaan takut. Dengan uring-uringan ia melemparkan potongan kayu itu dan membanting dirinya di atas jerami.
Secara kebetulan, badannya jatuh di atas pauw-hoknya (buntelan pakaian). Dalam gelap gulita, ia merasa buntelannya agak berubah, seperti juga lebih besar dari tadinya. Ia meraba-raba dan mendapat kenyataan, bahwa isi pauw-hok itu sudah bertambah semacam benda yang agak keras. Ia ingat, bahwa buntelan itu, tadi digunakannya sebagai bantal kepala. Ketika ia keluar untuk menghajar Hong Jin-eng, buntelan itu masih tetap berada di tempatnya. Tapi sekarang, pauw-hok tersebut ternyata sudah berpindah tempat.
Ouw Hui heran bukan main. "Istri Lauw Ho-cin dan tiga saudara itu pernah datang di sini," pikirnya. "Apakah mereka yang menggerayangi buntelanku?"
Dengan rasa penasaran ia segera menyalakan api dan membuka buntelannya. Dan begitu melihat, hampir-hampir ia tak percaya pada kedua matanya sendiri. Ternyata, isi buntelan itu bertambahkan seperangkat pakaian, sepasang sepatu, dan sepasang kaus kaki, yaitu miliknya sendiri yang telah dibawa lari oleh Wan Cie-ie. Hatinya berdebar setelah ia mendapat kenyataan, bahwa pakaian itu sudah dicuci bersih. Ia mengangkat pakaian itu untuk memeriksa terlebih jauh. Dan ... jantungnya memukul keras. Di bawah pakaian itu terdapat kitab silatnya, beberapa potong emas dan sebuah hong-hong (burung hong) terbuat dari giok putih dan panjangnya kira-kira tiga dim! Hong-hong itu indah luar biasa, terang sekali diukir oleh tangan yang pandai.
Lama sekali Ouw Hui bengong dengan mulut ternganga. Kemudian ia membungkus pula buntelannya dan menggenggam hong-hong itu di dalam tangannya. Ia berbaring di atas jerami itu dengan otak bekerja keras. "Jika mau dikatakan ia berlaku manis terhadapku, kenapa ia sudah melindungi Hong Jin-eng secara begitu mati-matian?" tanyanya kepada diri sendiri. "Jika dikatakan dia menyeterukan aku, kenapa dia memulangkan pakaianku yang sudah dicuci bersih, kitabku, dan juga menghadiahkan hong-hong yang begini indah kepadaku? Kenapa? Kenapa ...."
Ia gelisah dan tentu saja tak bisa tidur pulas. Tiba-tiba sinar berkelebat di pintu ruangan belakang. Ouw Hui melirik dan melihat, bahwa dengan dipapah oleh istrinya, Lauw Ho-cin sedang bertindak masuk dengan sebelah tangan mencekal sebatang kayu menyala. "Lebih baik kita tidur di sini," katanya sembari mendekati meja sembahyang, seperti juga ia ingin tidur di atas meja bekas tempat tidur Wan Cie-ie.
"Eh, Looyacu," kata Ouw Hui terburu-buru. "Kau sukar memanjat ke atas, lebih baik tidur di bawah, di sini. Ambil saja tempatku." Berbareng dengan perkataannya, ia memanjat ke atas meja dan segera berbaring di situ.
"Siauwko sungguh berhati mulia," puji Lauw Ho-cin.
Berselang beberapa lama, tiba-tiba Ouw Hui mendengar suara Lauw Ho-cin berbisik, "Tiong-peng, Siauwko ini sungguh baik hatinya. Kita harus bisa membalas budinya."
"Benar," sahut si istri. "Tanpa pertolongannya, kita tentu sudah menjadi mayat."
Lauw Ho-cin menghela napas panjang-panjang dan berkata pula, "Barusan, sungguh berbahaya. Jika tadi Ciong-sie Sam-heng-tee (tiga saudara she Ciong) mengganggu dia, biar mesti mati, aku tentu akan menolongnya."
"Tentu saja," kata si istri. "Ia melindungi kita secara kesatria, kita pun harus membalasnya secara kesatria pula. Walaupun tidak mengerti ilmu silat, peribudi Siauwko ini melebihi banyak orang gagah di dunia Kang-ouw."
"Sst! Perlahan sedikit. Khawatir dia bangun." kata sang suami. Sehabis berkata begitu, ia memanggil, "Siauwko! Siauwko!"
Ouw Hui tidak menyahut, ia pura-pura pulas.
"Ia pulas," bisik Tiong-peng.
"Hm!" kata Lauw Ho-cin. Beberapa saat kemudian ia berkata pula, "Tiong-peng, tadi di waktu aku memerintahkan kau kabur, kenapa kau membangkang?"
"Hai! Kau terluka berat, mana aku tega," jawabnya.
"Kau sendiri tahu, bahwa surat ini luar biasa pentingnya," kata sang suami. "Jika tidak diserahkan ke dalam tangan Kim-bian-hud Biauw-tayhiap, tak tahu berapa banyak orang gagah akan binasa ...."
Ouw Hui terkesiap mendengar kata-kata "Kim-bian-hud Biauw-tayhiap". Hampir-hampir ia mengeluarkan seruan "ah". Ia mengetahui, bahwa dengan mendiang ayahnya, Biauw Jin-hong mempunyai semacam sangkutan yang luar biasa. Menurut kata orang-orang Kang-ouw, ayahnya telah binasa dalam tangan Kim-bian-hud. Akan tetapi, setiap kali ia menanya Peng Sie-siok, yaitu orang yang sudah merawatnya sedari bayi, paman itu selalu mengatakan, bahwa yang didengarnya itu semua tidak benar dan jika nanti ia (Ouw Hui) sudah besar, ia akan menceritakan hal itu seterang-terangnya.
Di waktu masih kecil, Ouw Hui pernah bertemu muka dengan Biauw Jin-hong di Siang-kee-po. Apa yang diingatnya adalah seorang yang gagah budiman.
"Sst! Jangan keras-keras!" bisik Tiong-peng. "Ini adalah rahasia besar."
"Benar," kata suaminya. "Kita mengetahui, bahwa kita berkorban untuk kepentingan orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Tindakan kita adalah bebas dari maksud-maksud pribadi. Maka itu, Tuhan tentu akan memberkahi kita dan kita pasti akan berhasil."
Kata-kata itu diucapkan dengan suara yang angker dan sungguh-sungguh, sehingga Ouw Hui merasa terharu sekali. "Jika untuk kepentingan para orang gagah, aku pasti akan membantu Lauw Ho-cin supaya surat itu bisa sampai di tangan Biauw Jin-hong," kata Ouw Hui di dalam hatinya.
Sampai di situ, suami istri itu tidak bicara lagi. Berselang beberapa lama, dalam keadaan layap-layap, tiba-tiba Ouw Hui mendengar derap kaki kuda yang mendatangi dari sebelah utara.
Ia terkejut dan menduga, bahwa Ciong-sie Sam-heng-tee datang kembali. "Sekali ini Lauw Ho-cin tak akan bisa bersembunyi," pikirnya. "Paling benar aku mencegah mereka di tengah jalan. Andai kata aku tak bisa mengusir mereka, sedikit Lauw Ho-cin dan istrinya masih mempunyai kesempatan untuk melarikan diri."
Memikir begitu, perlahan-lahan ia meloncat turun dan begitu keluar dari pintu kuil, ia lari bagaikan terbang untuk memapaki Ciong-sie Sam-heng-tee.
Ketika itu, hujan sudah berhenti. Lari belum berapa lama, jauh-jauh Ouw Hui sudah melihat tiga penunggang kuda yang mendatangi dengan cepat sekali. Ia mengadang di tengah jalan dan begitu mereka tiba, ia membentak, "Gunung ini dibuka olehku dan pohon-pohon ditanam olehku. Siapa juga yang mau lewat, harus membayar uang jalan!"
Orang yang berjalan paling dulu, tertawa terbahak-bahak, "Aha! Dari mana bangsat kecil ini?" katanya sembari tertawa dan mengedut les, sehingga kudanya lantas saja menerjang Ouw Hui.
Cepat bagaikan kilat, sambil mengerahkan tenaga dalamnya, tangan kiri Ouw Hui menjambret les yang lalu dientaknya. Hebat benar entakan itu! Kuda itu terhuyung beberapa tindak dan roboh di tanah. Masih untung penunggangnya keburu meloncat turun dan tiba dengan selamat di atas tanah. Bukan main kagetnya ketiga saudara itu. Yang dua lantas saja turun dari masing-masing kudanya dan mereka bertiga segera berdiri berjajar dengan mencekal senjata aneh bentuknya. Fajar sudah menyingsing, tapi awan mendung masih menutupi seluruh langit sehingga keadaan masih agak gelap. Ouw Hui mengawasi, tapi ia masih tak tahu, senjata apa yang dicekal mereka.
"Ciong-sie Heng-tee dari Ouwpak Utara merasa bersalah karena di waktu lewat di sini, mereka belum mengunjungi Tuan," kata seorang antaranya. "Bisakah kami mengetahui she dan nama Tuan yang mulia?"
Ketika baru bertemu, mereka sebenarnya memandang sebelah mata kepada Ouw Hui yang masih begitu muda. Akan tetapi, dorongan tadi, yang hebat bukan main, dengan serentak sudah mengubah pandangan mereka. Maka itu, pembicara barusan, yakni Ciong Tiauw-eng, sudah mengeluarkan kata-kata yang sangat hormat.
Mendengar perkataan itu, Ouw Hui yang selamanya berhati-hati lantas saja menjawab, "Aku she Ouw. Bolehkah aku mendengar nama besar ketiga Tuan?"
Ciong Tiauw-eng bingung mendengar pertanyaan itu. "Nama Ciong-sie Sam-hiong (Tiga Jago she Ciong) terkenal di seluruh negara," katanya di dalam hati. "Kenapa dia mesti menanya lagi? Dilihat begini, pengalamannya masih cetek sekali." Memikir begitu, lantas saja ia berkata, "Aku bernama Tiauw-eng. Yang itu adalah kakakku Tiauw-bun, yang ini adikku Tiauw-leng. Karena mempunyai urusan penting, kami mengharap, agar Ouw-toako sudi membuka jalan. Nanti di waktu kembali, kami tentu akan mengaturkan terima kasih kepada Ouw-toako yang sudah membuka gunung ini." Sehabis berkata begitu, ia mengangkat kedua tangannya dan menyoja.
Harus diketahui, bahwa Ciong-sie Sam-heng-tee adalah orang-orang ternama dalam Rimba Persilatan. Bahwa mereka sudah berlaku begitu sungkan terhadap seorang houw-pwee (orang muda), adalah kejadian yang luar biasa. Perasaan segan sudah muncul karena mereka menyaksikan lihainya Ouw Hui di waktu ia mengentak kuda. Selain itu, terdapat kemungkinan besar, bahwa pemuda itu datang bukan seorang diri, mungkin gurunya atau kawannya yang lihai berada di dekat tempat itu.
Ouw Hui segera membalas penghormatan itu dan berkata, "Janganlah Loosu memakai begitu banyak peradatan. Apakah Samwie sedang mencari suami istri Lauw Ho-cin?"
Sesaat itu, cuaca sudah terang. Ketiga saudara lantas saja mengenali, bahwa pemuda yang mencegat mereka, adalah si orang dusun yang tadi sedang makan nasi di rumah berhala. Mereka mendongkol bukan main, sebab sudah kena dikelabui seorang bocah.
Di lain pihak, Ouw Hui pun sudah melihat nyata senjata-senjata ketiga saudara itu yang sangat aneh. Senjata Ciong Tiauw-bun adalah kok-song-pang (tang-thung, tongkat yang biasa dibawa oleh hauw-lam, anak lelaki yang orang tuanya meninggal dunia), senjata Tiauw-eng ialah thie-pay (papan nama di meja abu, terbuat dari besi) yang panjangnya kira-kira satu kaki dan yang di atasnya bertuliskan beberapa huruf, sedang yang paling aneh adalah senjata Tiauw-leng, yaitu ciauw-hun-hoan (bendera untuk memanggil roh yang biasa ditancap di meja sembahyang). Di samping senjata mereka yang aneh, pakaian mereka pun tidak kurang anehnya. Dengan mengenakan pakaian berkabung, ditambah pula dengan roman mereka yang jelek luar biasa, sebelum bertempur, musuh yang tanggung-tanggung tentu sudah ketakutan terlebih dulu.
Demikianlah, melihat senjata-senjata aneh itu, Ouw Hui berwaspada dengan memusatkan seluruh perhatiannya.
"Pernah apakah tuan dengan Lauw-loosu?" tanya Tiauw-eng.
"Dengan Lauw-loosu, aku tak mempunyai hubungan suatu apa," jawab Ouw Hui. "Dengan ia, hari ini aku baru bertemu untuk kedua kalinya. Hanya karena Samwie sudah mendesaknya secara keterlaluan, barulah aku memberanikan hati untuk memohonkan belas kasihan. Kata para pujangga, jika kita bisa memaafkan, maafkanlah, karena kita pun sering-sering perlu mendapat maaf. Lauw-loosu suami istri sudah mendapat luka, maka itu aku minta Samwie suka berlaku sedikit murah hati."
Ciong Tiauw-bun mendengarkan pembicaraan itu dengan tidak sabar. Ia khawatir, bahwa dengan menggunakan kesempatan tersebut, Lauw Ho-cin akan melarikan diri. Sembari melirik saudaranya, perlahan-lahan ia berkisar untuk menghantam Ouw Hui dari jurusan samping.
"Ganjalan apa yang terdapat antara Samwie dan Lauw-loosu, sama sekali aku tidak tahu," kata Ouw Hui pula. "Aku hanya mengetahui, bahwa sekarang ini Lauw-loosu mempunyai suatu tugas yang belum selesai. Apakah tak mungkin Samwie baru mencarinya, sesudah tugas itu selesai dikerjakannya?"
"Kami justru tak mau membiarkan ia menyelesaikan pekerjaan itu," kata Tiauw-bun dengan gusar. "Pendek saja, Kau mau minggir atau tidak?"
Mengingat pembicaraan antara Lauw Ho-cin dan istrinya, bahwa tugas itu adalah untuk kepentingan segenap orang gagah dalam Rimba Persilatan dan melihat roman Ciong-sie Sam-heng-tee yang begitu garang, lantas saja Ouw Hui mengambil keputusan untuk merintangi mereka dengan kekerasan. Ia tertawa bergelak-gelak dan berkata dengan suara nyaring, "Kau mau aku minggir? Boleh! Tapi serahkan dulu tiga ratus tahil perak!"
Bukan main gusarnya Tiauw-bun. Ia mengebaskan kok-song-pangnya dan bergerak untuk menerjang.
"Toako, tahan!" kata Tiauw-eng sembari merogoh sakunya dan mengeluarkan empat potong perak. "Empat potong perak ini lebih dari tiga ratus tahil," katanya. "Ambillah!"
"Jietee! Apa artinya ini?" teriak Tiauw-bun. Ciong-sie Sam-hiong (Tiga Jago she Ciong) adalah orang-orang ternama yang disegani dalam kalangan Kang-ouw. Ia sungguh penasaran melihat adiknya memperlihatkan kelemahan yang keterlaluan di hadapan seorang bocah. Tapi Tiauw-eng mempunyai alasan lain. Untuk mengejar Lauw Ho-cin, mereka harus bertindak secepat mungkin. Meskipun ia yakin, bahwa dengan tiga melawan satu, pihaknya akan bisa merobohkan pemuda itu, akan tetapi, sedikit kelambatan saja, urusan besar itu bisa menjadi gagal. Itulah sebabnya, mengapa, walaupun mendongkol bukan main, ia terpaksa mengalah.
Sikap Tiauw-eng benar-benar di luar dugaan Ouw Hui. Tapi lantas saja ia menggelengkan kepala. "Terima kasih, terima kasih!" katanya. "Menurut Ciong Loosu, berat empat potong itu melebihi tiga ratus tahil. Tapi permintaanku adalah seratus tahil dari seorang, jadi tiga ratus tahil dari tiga orang. Lebih aku tak mau, kurang pun aku tak menerima. Begini saja, Marilah kita bersama-sama pergi ke kota, ke toko perak, untuk menimbangnya!"
Sampai di situ, habislah kesabaran Tiauw-eng yang terkenal sabar. Ia masukkan pula perak itu ke dalam sakunya dan berkata, "Toako, Samtee, pergilah kalian jalan lebih dulu." Ia berpaling kepada Ouw Hui seraya membentak, "Hunuslah senjatamu!"
Ouw Hui mengetahui, bahwa ia sedang menghadapi lawan berat dan hatinya mendongkol karena goloknya telah direbut Wan Cie-ie. Saat itu, Tiauw-bun dan Tiauw-leng sudah bergerak untuk kabur lewat di kedua sampingnya. Tindakan apa harus diambilnya?
Mendadak ia maju dua tindak dan menghantam kepala kuda Tiauw-eng dengan tinjunya. Pukulan itu adalah pukulan terhebat dari Ouw-kee Kun-hoat. Begitu kena, hewan itu bergemetar tubuhnya dan roboh tanpa berkutik lagi.
Ciong-sie Sam-heng-tee jadi kesima bahana kagetnya. Dengan menggunakan kesempatan itu, Ouw Hui membetot tali sepasang sanggurdi kuda itu yang lantas saja menjadi putus.
"Maaf! Maaf!" katanya. "Karena tidak membawa senjata, terpaksa aku meminjam sanggurdi ini." Berbareng dengan perkataannya, sebuah sanggurdi menyambar muka Tiauw-bun, sedang yang satu lagi menghantam pundak Tiauw-leng. Dengan demikian, mereka terpaksa meloncat mundur dan gagal menerobos. Sebagaimana diketahui, dulu ketiga saudara itu bersenjata poan-koan-pit. Tapi, sedari delapan tahun berselang, yaitu semenjak dirobohkan Biauw Jin-hong, karena malu, mereka tidak menggunakan lagi poan-koan-pit dan lalu melatih diri dengan senjata-senjata baru yang aneh. Selama delapan tahun, mereka telah mendapat kemajuan pesat dan mereka ingin sekali menjajal pula kepandaian Kim-bian-hud. Tapi tak dinyana, sebelum bertemu dengan Biauw Jin-hong, di daerah pegunungan itu, mereka sudah dibikin malu oleh seorang bocah yang belum hilang bau popoknya.
Serentak mereka menerjang dengan masing-masing senjatanya yang mengeluarkan kesiuran angin menderu-deru. Ouw Hui pun segera memutar kedua sanggurdi itu, yang digunakannya sebagai liu-seng-tui (banderingan) untuk melayani ketiga lawannya.
Dengan cepat, mereka sudah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus. Begitu bergebrak, Ciong-sie Sam-hiong yang berpengalaman luas, coba menebak asal usul ilmu silat Ouw Hui. Melihat sambaran sanggurdi di tangan kanan Ouw Hui, mereka segera menduga, bahwa pukulan itu yang mirip dengan Pek-hong-koan-jit (Bianglala Putih Menembus Matahari), adalah pukulan dari Thio-kee Tui-hoat (ilmu banderingan dari keluarga Thio) di Ceng-ciu, Provinsi Shoatang. Menurut kebiasaan Thio-kee Tui-hoat, Sesudah Pek-hong-koan-jit, banderingan yang satunya lagi akan menyabet dari samping. Sesaat itu, Kok-song-pang Ciong Tiauw-bun tengah menyontek dari bawah ke atas dan di bagian kepala Tiauw-bun terdapat suatu lowongan. Dengan cepat Ouw Hui mengedut tali sanggurdi yang lalu menyambar kepala Tiauw-bun.
Ciong-sie Sam-hiong kaget berbareng heran.
"Silat apakah ini? Kenapa, sebaliknya dari menyabet dari samping, dia menghantam dari atas?" mereka menanya diri sendiri.
Melihat Tiauw-bun menangkis dengan toyanya, Ouw Hui segera menyapu Tiauw-leng dengan sanggurdi yang di tangan kanannya.
Ciong-sie Sam-heng-tee mengangguk-angguk. Tak bisa salah lagi, itulah pukulan Yang-bie-touw-kie (Menggerakkan Alis Memuntahkan Hawa) dari Tie Sip Tui di Yanciu, Provinsi Siam-say. Sesudah Yang-bie-touw-kie, kedua sanggurdi itu pasti akan menghantam dada. Memikir begitu, mereka bertiga lantas saja melintangkan senjata mereka di depan dada, untuk menyambut kekerasan dengan kekerasan.
Tapi, di luar semua perhitungan, sebaliknya dari menyerang dada, Ouw Hui menyapu kaki mereka dengan kedua senjatanya. Dengan kaget, Ciong-sie Sam-hiong melompat tinggi-tinggi. "Eh-eh!" seru seorang antaranya. "Kenapa Hoan-thian-hok-tee (Membalikkan Langit dan Bumi)?"
Sembari melompat, Ciong Tiauw-leng menanya, "Eh, masih pernah apakah kau dengan Liu-seng-kan-goat Tong-loosu dari Thaygoan-hu?"
Tong-loosu atau ahli silat she Tong dari Thaygoan-hu di Provinsi Shoasay adalah seorang ahli dalam menggunakan sepasang liu-seng-tui (liu-seng-tui berarti martil bintang sapu atau banderingan). Oleh karena itu, ia mendapat julukan Liu-seng-kan-goat (Bintang sapu mengejar bulan). Dengan Ciong-sie Sam-hiong, Tong-loosu mempunyai hubungan yang sangat rapat. Pukulan Hoan-thian-hok-tee adalah salah satu pukulan yang paling lihai dari ahli silat tersebut dan yang sukar ditiru oleh orang lain.
Mendengar pertanyaan itu, sembari tertawa Ouw Hui menjawab, "Tong-loosu adalah suteeku (adik seperguruan)."
"Fui! Jangan ngaco belo!" bentak Tiauw-leng dengan suara gusar.
Demikianlah, keheranan Ciong-sie Sam-heng-tee jadi semakin besar. Sesudah berkelana di seluruh negeri, mereka mengenal semua ilmu liu-seng-tui yang terdapat dalam Rimba Persilatan. Tapi cara Ouw Hui bersilat yang aneh, sudah membikin mereka bingung.
Dalam suatu pertempuran yang sungguh-sungguh, Ciong-sie Sam-hiong sebenarnya bisa merobohkan Ouw Hui tanpa menampak banyak kesukaran. Tapi, karena kebingungan mereka, ditambah dengan rasa jeri sebagai akibat dari pukulan terhadap tunggangan mereka, mereka jadi gentar dan kegentaran ini sudah digunakan sebaik-baiknya oleh Ouw Hui.
Sesudah lewat puluhan jurus, barulah ketiga saudara itu insaf, bahwa ilmu silat banderingan Ouw Hui tidak terlalu lihai. Hati mereka jadi lebih mantap dan mereka menyerang dengan ilmu mereka yang sudah dilatih selama delapan tahun itu. Thie-pay Ciong Tiauw-eng, yang terbuat dari besi, digunakan untuk menyerang dengan tenaga "keras". Sekarang Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa empat huruf yang tertulis di atas pay itu adalah "It-kian-seng-cay" (Begitu bertemu begitu makmur). Bendera ciauw-hun-hoan dari Ciong Tiauw-leng digunakan untuk melancarkan serangan tenaga "lembek". Ouw Hui tak tahu, dari bahan apa bendera itu dibuat, bukan kain dan juga bukan kulit. Setiap kali terpukul sanggurdi "kain" bendera itu dirasakan "lembek", tapi jika bendera itu lewat di dekat badannya, Ouw Hui merasakan kulitnya pedas sekali. Kok-song-pang Ciong Tiauw-bun menyerang dengan tenaga yang sedang-sedang yaitu di antara tenaga "keras" dan tenaga "lembek". Demikianlah ketiga senjata itu menyerang Ouw Hui dengan tiga macam tenaga yang bekerja sama.
Dalam sekejap, Ouw Hui sudah keteter. Sesudah lewat lagi beberapa jurus, tiba-tiba ia meloncat ke luar dari gelanggang seraya berseru, "Tahan! Sebenarnya dengan tulus hati aku ingin membujuk Samwie dan sama sekali tidak punya niat bermusuh. Tanpa senjata, aku tentu tak dapat melawan Samwie dan sekarang aku menyerah kalah saja." Sembari berkata begitu, ia meloncat minggir ke tepi jalan.
Ciong-sie Sam-hiong mengetahui, bahwa dengan kata-kata itu Ouw Hui bermaksud membikin panas hati mereka. Tapi karena adanya urusan penting dan mereka harus berangkat secepat mungkin, Ciong Tiauw-leng lantas saja berkata, "Baiklah. Lain kali, dengan senjata yang biasa kau gunakan, kau boleh mencoba-coba lagi." Berbareng dengan perkataannya, ia lantas menghampiri tunggangannya.
"Lain kali?" kata Ouw Hui sembari tertawa menyindir. "Bagus! Lain kali saja. Tak dinyana, Ciong-sie Sam-heng-tee adalah manusia-manusia yang begitu saja."
"Apa kau kata?" bentak Ciong Tiauw-bun. "Siapa menyuruh kau tidak membawa senjata?"
"Sebenarnya aku sudah mempunyai suatu cara yang adil," kata Ouw Hui dengan tenang. "Hanya, aku khawatir kalian tak berani."
Ciong-sie Sam-hiong tak dapat bersabar lagi. "Hayo katakan!" mereka berseru hampir berbareng.
Sebelum Ouw Hui keburu membuka mulut, Ciong Tiauw-eng sudah berkata pula, "Kedua saudaraku akan melayani kau di sini, sedang aku mau berangkat lebih dulu." Sehabis berkata begitu, ia menggenjot badannya terus melompat.
Hampir berbareng dengan itu, Ouw Hui yang terus berwaspada turut melompat ke atas sambil mementang kedua tangannya untuk menghalang-halangi musuh itu kabur. Tiauw-eng yang tidak menduga, bahwa pemuda itu bisa bergerak begitu cepat, lantas saja menghantam dengan thie-paynya. Tanpa berkelit, selagi badannya masih berada di tengah udara, tangan kanan Ouw Hui menyambar pergelangan tangan musuhnya, sehingga thie-pay itu hampir-hampir kena direbut.
Dengan terkejut, Tiauw-bun dan Tiauw-leng menubruk dari kiri-kanan, tapi pemuda itu sudah meloncat ke belakang sembari mengeluarkan tertawa nyaring dan kemudian memotes sebatang cabang pohon siong yang lurus. "Jika kalian mempunyai nyali," ia menantang, "mari menjajal-jajal ilmu golokku."
Meskipun senjatanya tidak sampai kena direbut, Tiauw-eng merasakan pergelangan tangannya sakit sekali, akibat cengkeraman Ouw Hui tadi. "Pemuda ini benar-benar bukan sembarangan orang," pikirnya. "Jika aku sendiri mengejar Lauw Ho-cin dan membiarkan kedua saudaraku berdiam di situ, aku benar-benar merasa khawatir. Biarlah lebih dulu kita bertiga merobohkan dia dan kemudian baru mengejar lagi orang she Lauw itu." Memikir begitu, lantas saja ia berkata, "Kami bersedia melayani ilmu golok Tuan, hanya menyesal kami tidak membawa golok."
"Antara kita sama kita tidak ada permusuhan atau ganjalan," kata Ouw Hui. "Bahkan kita belum pernah saling mengenal. Maka itu, tak perlu kita bertempur mati-matian. Begini saja, kita berjanji, siapa yang tersentuh, dia yang kalah. Apakah Samwie setuju?"
"Setuju kami setuju," sahut Tiauw-bun.
Ouw Hui lalu memetik daun-daun yang menempel pada cabang itu, sehingga yang ketinggalan hanyalah sebatang dahan yang lurus dan bersih. "Biarlah aku menggunakan cabang siong ini sebagai golok," katanya. "Samwie boleh menyerang dengan berbareng. Lebih dulu kita berjanji, bahwa setiap pukulan dari cabang ini harus dianggap sebagai bacokan golok.
"Apakah aku bisa endapat janji Ciong-sie Sam-heng-tee?"
Mendengar kata-kata itu, darah Ciong-sie Sam-hiong jadi semakin meluap. "Sebelum kau terlahir, nama Ciong-sie Sam-hiong yang selalu memegang janji, sudah dikenal di seluruh Kang-ouw," kata Tiauw-bun dengan suara keras.
"Kalau begitu, sambutlah!" kata Ouw Hui sembari menebas dengan senjatanya. Dalam sekejap, mereka sudah bertempur seru.
Ouw-kee To-hoat benar-benar lihai. Dalam tangan Ouw Hui, cabang pohon yang kecil lurus itu menyambar-nyambar bagaikan kilat cepatnya, disertai dengan kesiuran-kesiuran angin yang dahsyat. Dalam serangan-serangannya, senjata Ouw Hui tak pernah kebentrok dengan senjata musuh tapi setiap pukulannya ditujukan ke bagian badan musuh yang berbahaya. Memang benar, walaupun kena terpukul, pukulan itu tidak membahayakan jiwa. Akan tetapi, karena adanya perjanjian, Ciong-sie Sam-hiong harus menjaga supaya badan mereka tidak kena dicolek dengan cabang itu.
Tak lama kemudian, ketiga saudara itu sudah terdesak. Dalam gusarnya, begitu melihat kesempatan, Tiauw-bun menyabet betis Ouw Hui dengan toyanya. Dalam pertempuran Ciong-sie Sam-heng-tee selalu bekerja sama secara erat sekali. Begitu lekas Ouw Hui melompat untuk berkelit dari toya musuh, ciauw-hun-hoan, senjata Ciong Tiauw-leng, sudah menyambar kepalanya, dan hampir berbareng, thie-pay Tiauw-eng menghantam pinggang kanannya. Sekali ini, sebaliknya dari berkelit atau meloncat mundur, dengan berani Ouw Hui maju setindak dan secepat kilat ujung cabang siong itu menyambar pundak kiri Tiauw-bun.
Serangan itu bukan saja cepat, tapi juga hebat luar biasa. Jika senjata Ouw Hui itu sebilah golok tajam, lengan Tiauw-bun, sebatas pundak, tentu sudah terpisah dari tubuhnya.
Wajah Tiauw-bun lantas saja berubah pucat bagaikan kertas. "Sudahlah! Sudahlah!" ia berseru sambil melemparkan kok-song-pangnya dan meloncat ke luar dari gelanggang.
Tiauw-eng dan Tiauw-leng terkejut bukan main. Dengan serentak mereka lalu menyerang seperti harimau edan dengan pengharapan bisa merobohkan lawan, supaya pertandingan itu menjadi seri. Tapi, baru saja belasan jurus, sebaliknya dari berhasil, mereka sendiri yang kena dirobohkan musuh, Tiauw-eng kena disabet lehernya, Tiauw-leng dibabat lututnya.
Muka kedua saudara itu jadi berwarna ungu, bahana malu dan gusar. Dengan berbareng, mereka melemparkan senjata mereka. "Uah!" Tiauw-eng memuntahkan darah hidup dari mulutnya.
Melihat ketiga saudara itu memegang janji, Ouw Hui jadi menghargakan mereka. Ia merasa syukur, bahwa barusan ia tidak menurunkan tangan jahat dan ia yakin, bahwa Tiauw-eng memuntahkan darah, bukan disebabkan luka, tapi karena kejengkelan yang melampaui batas. Dengan perasaan menyesal, ia merangkap kedua tangannya untuk memberi hormat, tapi sebelum ia keburu membuka mulut, Tiauw-leng sudah mengeluarkan suara di hidung. "Hm!" katanya. "Tuan memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan aku merasa kagum. Hanya sayang, sungguh sayang, Tuan yang masih begitu muda, tidak mengambil jalan yang lurus!"
Ouw Hui terkesiap. "Kenapa aku tidak mengambil jalan yang lurus?" tanyanya dengan tercengang.
"Samtee!" kata Tiauw-bun dengan suara gusar. "Guna apa banyak-banyak bicara dengan dia?" Sehabis berkata begitu, ia segera membantu Tiauw-eng naik ke punggung kuda dan mereka lalu berangkat tanpa menengok pula dan tanpa memungut senjata mereka yang dilemparkan di atas tanah. Melihat cara-cara ketiga saudara itu, mau tak mau, Ouw Hui merasa kagum. Ia berdiri seperti patung sambil mengawasi tiga senjata itu dan bangkai kuda yang menggeletak di atas tanah. Berselang beberapa saat, baru ia kembali ke kuil itu dengan tindakan perlahan.
Setibanya di bio itu, ia mendapat kenyataan bahwa suami istri Lauw Ho-cin sudah berlalu. Mengingat, bahwa barusan ia telah melakukan pekerjaan mulia, hatinya merasa terhibur.
"Di mana adanya Biauw Jin-hong?" tanyanya di dalam hati. "Orang itu bergelar Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu. Berapa tinggikah ilmu silatnya?" Mengingat, bahwa Kim-bian-hud mempunyai sangkut paut yang sangat rapat dengan mendiang ayahnya, ia ingin sekali menemui orang gagah itu. Tapi di lain pihak, ia juga tak bisa melupakan Hong Jin-eng yang sudah bisa meloloskan diri dari cengkeramannya. Jika ia gagal dalam usahanya membalaskan sakit hati keluarga Ciong A-sie, ia bukan laki-laki. Pada saat itu, ia sangat ragu-ragu. Apakah ia harus pergi menemui Biauw Jin-hong atau mengejar Hong Jin-eng?
Sembari menimbang-nimbang, ia berjalan kembali ke tempat, di mana barusan ia bertempur dengan Ciong-sie Sam-hiong. Begitu tiba di situ, hatinya merasa heran oleh karena senjata ketiga saudara Ciong itu, yang tadi menggeletak di atas tanah, sekarang tak ketahuan ke mana perginya. Yang masih terdapat di tempat itu hanyalah bangkai kuda itu.
"Fajar baru saja menyingsing dan belum ada manusia lain yang lewat di sini," katanya di dalam hati. "Apakah Ciong-sie Sam-hiong kembali lagi untuk mengambil pulang senjata mereka?"
Ouw Hui tak gampang mau menerima dengan begitu saja, jika menghadapi suatu teka-teki. Semakin sulit, ia semakin penasaran. Demikianlah ia terus menyelidiki keadaan di sekitar situ. Berapa saat kemudian, matanya yang sangat tajam melihat sebuah tapak kaki berlumpur di cabang pohon besar yang terpisah kurang lebih tiga puluh tombak dari tempat pertempuran. Tapak itu terdapat di cabang yang tingginya kira-kira tiga tombak dari muka bumi dan pasti tak akan dapat dilihat mata orang biasa. Sesudah memeriksa secara lebih teliti, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa tapak itu berukuran kecil dan masih agak basah, sehingga ia segera menarik kesimpulan, bahwa yang barusan berdiri di situ adalah seorang wanita.
Jantung Ouw Hui memukul keras. "Apakah dia?" ia menanya dirinya sendiri dan ia segera melompat naik ke pohon itu. Benar saja, di cabang itu terdapat dua tapak sepatu wanita dan beberapa cabang kecil telah terinjak patah.
"Tak mungkin, tak mungkin Nona Wan," pikir Ouw Hui. "Orang yang mempunyai ilmu mengentengkan badan seperti ia, tak nanti menginjak cabang-cabang kecil itu sehingga patah. Tapi, siapa dia?" Dengan penasaran ia manjat lebih tinggi lagi dan di sebatang cabang yang besar, ia kembali mendapatkan sepasang tapak kaki, agaknya ditinggalkan seorang laki-laki.
Sekarang ia tak sangsi lagi. Kedua orang itu sudah pasti bukan lain daripada Lauw Ho-cin dan istrinya yang telah bersembunyi di pohon dan menonton ia bertempur. Tapi berbareng dengan kesimpulan itu, pertanyaan-pertanyaan lain segera muncul dalam otak Ouw Hui. Bagaimana, mereka, yang agaknya mendapat luka berat, bisa memanjat pohon yang tinggi itu? Dan kenapa, sesudah Ciong-sie Sam-hiong berlalu, mereka tidak memanggilnya? Di lain saat, ia mendapat suatu pikiran lain. "Ah! Sikap mereka tak salah," pikirnya. "Mereka tadinya tidak tahu, bahwa aku paham ilmu silat dan tentu saja mereka bercuriga, di waktu mendapat kenyataan, bahwa aku dapat merobohkan Ciong-sie Sam-hiong. Dalam dunia Kang-ouw memang banyak gelombang dan badai, setiap orang harus berlaku sangat hati-hati. Dalam bercuriga, mereka tentu saja tidak berani muncul. Di samping itu, mereka juga mempunyai suatu tugas yang harus diselesaikan secepat mungkin." Hati Ouw Hui menjadi lega dan ia segera meloncat turun. Ia mendapat kenyataan, bahwa tapak-tapak kaki itu menuju ke arah timur laut dan oleh karena ingin menyelidiki lebih lanjut, ia segera mengikutinya.
Sesudah hujan dan jalan jadi berlumpur, Ouw Hui tidak mengalami banyak kesukaran dalam usahanya mengikuti jejak dua orang itu. Sesudah mengejar kurang-lebih satu jam, tibalah ia di sebuah kota kecil. Sampai di situ, jejak suami istri Lauw Ho-cin sukar dikenali lagi, karena tersamar dengan tapak-tapak orang lain.
"Sesudah semalaman tak makan, mereka tentu lebih dulu menangsel perut," pikir Ouw Hui. "Tapi mungkin juga, mereka hanya membeli bakpauw dan lantas meneruskan perjalanan. Jika demikian, tak akan gampang menyusul mereka." Memikir begitu, ia lantas saja membeli sepotong baju hujan dan sebuah tudung lebar yang lalu dipakainya. Dengan penyamaran itu, ia lalu menyelidiki di rumah-rumah makan.
Sesudah memerhatikan beberapa rumah makan, orang-orang yang dicarinya belum juga kelihatan bayang-bayangnya. Kota itu adalah sebuah kota kecil dan tak lama kemudian, ia sudah tiba di ujung pasar. Selagi mau memutarkan badan untuk kembali guna menangsel perut, tiba-tiba kupingnya mendengar suara seorang wanita. "Toako, tolong pinjam jarum dan benang," kata wanita itu. Hati Ouw Hui berdebar. Suara itu adalah suara Ong Tiong-peng.
Dari bawah tudungnya yang lebar, Ouw Hui melirik dan mendapat kenyataan, bahwa suara itu keluar dari rumah seorang penduduk. Ia mengetahui, bahwa kedua suami istri itu tidak berani menginap di dalam hotel, khawatir diketemukan musuh-musuhnya. "Dilihat begini," pikir Ouw Hui, "selain Ciong-sie Sam-hiong, mereka masih mempunyai musuh-musuh lain. Biarlah, karena sudah telanjur, aku akan terus melindungi mereka sampai surat itu sudah diserahkan ke dalam tangan Biauw-tayhiap."
Memikir begitu, Ouw Hui segera mengambil kamar di sebuah hotel yang berdekatan, dari mana ia terus memerhatikan rumah yang ditumpangi suami istri Lauw Ho-cin.
Sampai magrib, Lauw Ho-cin dan istrinya belum juga muncul. "Orang tua itu benar hati-hati," pikir Ouw Hui. "Mereka tentu ingin berangkat di waktu malam." Benar saja, kira-kira tengah malam barulah kedua suami istri itu keluar dari rumah tersebut dan berlari-lari dengan kecepatan luar biasa, bukan seperti orang yang sedang terluka.
"Ah! Kalau begitu mereka berpura-pura," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Pandai sungguh mereka bersandiwara, sehingga bukan saja Ciong-sie Sam-hiong, tapi aku pun sudah kena dikelabui." Tanpa membuang tempo lagi, Ouw Hui segera menguntit. Dari kejauhan, ia melihat Lauw Ho-cin mengempit sebuah bungkusan yang berbentuk agak panjang, entah bungkusan apa.
Ilmu mengentengkan badan Ouw Hui memang jauh lebih tinggi daripada suami istri Lauw Ho-cin, sehingga dengan mudah ia dapat menguntit terus tanpa diketahui mereka. Sesudah berlari-lari kurang-lebih lima li, mereka berhenti di depan sebuah rumah kecil yang terpencil. Lauw Ho-cin segera memberi isyarat dan istrinya lalu menyembunyikan diri di antara alang-alang yang tinggi. Sesudah itu ia mendekati rumah tersebut dan berkata dengan suara nyaring, "Apakah Kim-bian-hud Biauw-tayhiap ada di rumah? Seorang kawan dari tempat jauh datang berkunjung."
"Sahabat dari mana?" terdengar pertanyaan dari dalam. "Maafkanlah aku Biauw Jin-hong tak dapat mengenalinya." Suara itu tak keras, tapi terdengar tegas sekali.
"Aku she Ciong," jawab Lauw Ho-cin. "Atas perintah Kui-kian-ciu Ciong-sie Heng-tee, aku datang mengantarkan surat untuk Biauw-tayhiap."
"Masuklah!" Biauw Jin-hong mengundang.
Dalam rumah itu lantas saja kelihatan terang, disusul dengan dibukanya pintu. Ouw Hui yang bersembunyi di atas sebuah pohon besar segera melihat, bahwa seorang yang berbadan jangkung kurus berdiri di tengah pintu, dengan tangan kanan mencekal ciak-tay (tancapan lilin yang biasanya dibuat dari kuningan).
Mendengar perkataan Lauw Ho-cin, Ouw Hui jadi bingung dan heran. "Kenapa dia mengatakan surat itu dari Ciong-sie Sam-hiong, sedang Ciong-sie Sam-hiong sendiri coba merintangi disampaikannya surat tersebut?" ia menanya dirinya sendiri.
Sementara itu, Lauw Ho-cin sudah merangkap kedua tangannya dan segera masuk ke dalam.
"Kenapa dua sahabat yang lain tidak turut masuk?" tanya Biauw Jin-hong.
Lauw Ho-cin tak mengerti maksud pertanyaan itu dan ia lantas saja memberi jawaban samar-samar.
Begitu lekas kedua orang itu masuk ke dalam, Ouw Hui segera meloncat turun dari atas pohon dan mengintip dari jendela. Ia terkesiap mendengar pertanyaan Kim-bian-hud tentang, "dua sahabat lain". "Ah! Biauw-tayhiap benar-benar lihai," katanya di dalam hati. "Tindakan kakiku begitu enteng, tapi ia masih mendengar juga, bahwa yang berkunjung berjumlah tiga orang."
"Delapan tahun berselang, Ciong-sie Heng-tee telah menerima pelajaran dari Biauw-tayhiap dan mereka semua merasa kagum atas kepandaian Tayhiap," demikian terdengar suara Lauw Ho-cin. "Sekarang mereka sudah berlatih dengan tiga macam senjata baru dan minta aku terlebih dulu datang ke sini untuk memperlihatkan ketiga benda itu kepada Biauw-tayhiap, supaya dalam pertempuran yang akan datang, Tayhiap tidak mendapat kesan, bahwa mereka hendak menarik keuntungan dari senjata mereka yang luar biasa." Sehabis berkata begitu, ia membuka bungkusan yang dikempitnya dan mengeluarkan tiga buah senjata Ciong-sie Sam-heng-tee.
Dapat dimengerti, jika Ouw Hui jadi semakin heran. Biauw Jin-hong hanya mengeluarkan suara di hidung dan melirik ketiga senjata itu yang diletakkan di atas meja.
Di lain saat, Lauw Ho-cin merogoh sakunya dan mengeluarkan sepucuk surat untuk diserahkan kepada Kim-bian-hud dengan kedua tangan. "Biarlah Biauw-tayhiap membaca surat ini," katanya. "Sekarang tugasku sudah selesai dan aku minta permisi berlalu." Ia menyoja dan lantas mengundurkan diri.
"Perlahan sedikit," kata Biauw Jin-hong. "Sesudah membaca surat ini, aku ingin memesan beberapa perkataan kepada Saudara untuk disampaikan kepada Ciong-sie Sam-heng-tee." Ia yakin, bahwa surat itu adalah surat tantangan dan ia segera merobek amplopnya.
Selagi Biauw Jin-hong membaca, Ouw Hui memerhatikan wajahnya yang sangat angker. Ia mendapat kenyataan, bahwa dibanding dengan delapan tahun berselang ketika mereka bertemu muka di Siang-kee-po, Kim-bian-hud kelihatan banyak lebih tua dan pada mukanya terdapat garis-garis yang mencerminkan penderitaan selama itu. Tapi, sekonyong-konyong, wajah yang berduka itu berubah menjadi merah padam, kedua alisnya berdiri dan dari kedua matanya keluar sinar berkilat-kilat. Itulah keangkeran Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu yang wajar. Ouw Hui menjadi keder dan ia mengangkat kaki untuk mengundurkan diri.
Mendadak, dengan kedua tangannya Biauw Jin-hong merobek surat itu. Dan berbareng dengan itu, asap yang berwarna kuning mengembus ke atas dari robekan itu!
"Aduh!" teriak Kim-bian-hud sembari menekap muka dengan kedua tangannya. Pada saat yang sama, Lauw Ho-cin meloncat mundur setombak lebih.
Semua kejadian itu sudah terjadi dalam sekejap mata. Dan dalam sekejap itu, Ouw Hui sudah mengerti duduknya persoalan. "Kalau begitu, si tua bangka sengaja membubuhkan racun pada surat itu untuk membutakan mata Biauw-tayhiap," pikirnya dengan gusar.
"Bangsat! Jangan lari kau!" bentak Ouw Hui sembari menubruk orang she Lauw itu. Dengan cepat Lauw Ho-cin menghunus goloknya dan segera membacok. Ouw Hui berkelit sambil mengangsurkan tangannya untuk merebut senjata musuh. Pada saat itu, suatu kesiuran angin yang sangat dahsyat menyambar punggungnya, sehingga mau tak mau, Ouw Hui terpaksa memutarkan badan untuk menyambut serangan tersebut dengan kedua tangannya.
Ia mengetahui, bahwa dalam gusarnya, serangan Biauw Jin-hong tentu hebat luar biasa. Oleh karena itu, lantas saja ia menggunakan ilmu Lian-hoan-koat dari Thay-kek-kun, yang didapatnya dari Tio Poan-san, untuk memunahkan tenaga pukulan Kim-bian-hud. Tapi, begitu lekas kedua tangannya kebentrok dengan tenaga pukulan Biauw Jin-hong, matanya berkunang-kunang dan dadanya sesak, sehingga ia terhuyung ke belakang beberapa tindak. Ternyata, ia hanya dapat memunahkan sebagian dari tenaga Kim-bian-hud yang luar biasa itu.
"Biauw-tayhiap!" berseru Ouw Hui. "Aku ingin membantu kau membekuk bangsat itu ...."
Sementara itu, Lauw Ho-cin sendiri sudah melarikan diri.
Kedua mata Biauw Jin-hong sakit bukan main, seperti juga ditusuk-tusuk ratusan jarum. Begitu lekas tangannya kebentrok dengan tangan Ouw Hui, ia mengetahui bahwa lawannya bukan orang sembarangan. Sesudah kedua matanya buta, ia merasa pasti hari itu jiwanya akan melayang. Dalam bingungnya dan gusarnya, ia tak dapat menangkap perkataan Ouw Hui.
Melihat suami istri Lauw Ho-cin kabur ke jurusan barat, Ouw Hui segera memutarkan badan untuk mengejar. Tapi baru saja ia melangkah, dari kejauhan tiba-tiba muncul tiga orang yang mengenakan pakaian berkabung dan mereka itu bukan Lain daripada Ciong-sie Sam-heng-tee.
Melihat penderitaan Kim-bian-hud, dalam hati Ouw Hui lantas saja timbul rasa kasihan. Ia ingin mendekati untuk coba menolong, tapi khawatir dihantam. "Biauw-tayhiap," katanya dengan suara nyaring. "Walaupun aku bukan sahabatmu, tapi aku tak akan mencelakakan kau. Apakah kau percaya?"
Suara itu yang bernada memohon dan keluar dari hati setulusnya, segera meredakan kekalapan Biauw-tayhiap. Meskipun kedua matanya tak dapat melihat wajah orang, hatinya yakin, bahwa pemuda yang mengeluarkan suara begitu, bukan seorang jahat. Kata orang, enghiong mengenal enghiong. Demikian juga, suara Ouw Hui itu adalah seolah-olah kesiuran angin sejuk pada darah Biauw Jin-hong yang sedang mendidih. "Baiklah," katanya. "Tolong cegat manusia-manusia jahat yang berada di luar pintu." Dengan kata-kata itu, Kim-bian-hud sudah menerima Ouw Hui sebagai sahabatnya. Di lain pihak, suara Biauw Jin-hong yang tulus jujur diterima Ouw Hui dengan rasa hangat.
Entah bagaimana, ia merasa, bahwa suara itu yang meresap dalam lubuk hatinya, adalah suara seorang kesatria besar, untuk siapa ia bersedia mengorbankan jiwanya jika perlu. Dengan kupingnya yang terlatih, ia mengetahui bahwa Ciong-sie Sam-hiong masih berada dalam jarak kurang-lebih dua puluh tombak dari rumah itu. Dengan cepat ia pergi ke dapur dan kembali lagi dengan membawa semangkuk air bersih. "Cucilah dulu mata Cianpwee dengan air ini," katanya sembari mengangsurkan mangkuk air itu.
Biarpun matanya sakit luar biasa, pikiran Kim-bian-hud tetap terang seperti biasa. Ia mengetahui, bahwa dari depan dari jalan raya, mendatangi tiga orang, sedang dari belakang, empat orang sudah melompat naik ke atas genting. Begitu menyambut mangkuk air itu, ia melompat ke dalam kamar dan keluar lagi dengan mendukung seorang nona cilik. Sesudah itu, baru ia mencuci kedua matanya. Tapi, racun itu ternyata luar biasa hebatnya, karena semakin dicuci, rasa sakit semakin menjadi-jadi.
Dalam keadaan setengah pulas dan setengah sadar, nona itu berkata, "Thia-thia, apakah kau mau mengajak #Lan main-main?"
"Hm! Lan-jie," katanya dengan suara halus. "Thia ingin mendukung kau, tidurlah dengan tenang."
"Apakah anjing hutan itu benar-benar tak makan si kambing putih?" tanya pula si nona.
"Tidak, tentu saja tidak," jawab sang ayah. "Pemburu keburu datang dan binatang itu lantas kabur."
Si nona menghela napas, ia bersenyum puas dan segera menyesapkan mukanya yang kecil di dada ayahnya yang lebar. Mendengar tanya jawab antara ayah dan anak itu, Ouw Hui merasa sangat terharu.
Sesaat itu, Ciong-sie Sam-heng-tee sudah berada dalam jarak sepuluh tombak dari depan pintu. Hampir berbareng dari atas genting, dua orang melompat turun di ruangan belakang. Dengan cepat Ouw Hui mengunci pintu depan dan mengganjalnya dengan sebuah meja besar, supaya Ciong-sie Sam-hiong tak bisa lantas masuk, agar mereka jangan sampai diserang dari depan dan dari belakang. Sesudah itu, dengan sekali mengebas, ia memadamkan api lilin.
Melihat padamnya penerangan, dua orang yang baru turun itu, tidak berani masuk ke dalam.
"Biarkan empat-empatnya masuk," berbisik Biauw Jin-hong.
"Baiklah," sahut Ouw Hui sembari menyalakan lagi lilin itu.
Sementara itu, di luar pintu sudah terdengar seruan Ciong Tiauw-bun, "Biauw-tayhiap! Tiauw-bun, Tiauw-eng, dan Tiauw-leng dari Ouwpak Utara ingin berjumpa dengan Biauw-tayhiap untuk memberitahukan suatu urusan penting!" Biauw Jin-hong tak menyahut, ia hanya menggerendeng.
Kedua musuh yang masuk dari ruangan belakang, merasa girang sekali di waktu melihat Kim-bian-hud tak bisa membuka matanya lagi. Tapi mereka itu, yang masing-masing mencekal golok dan sam-ciat-kun, tidak berani lantas masuk ke dalam. Orang yang memegang golok lantas menggapai ke atas dan berseru, "Matanya sudah buta!"
Dua kawannya tertawa girang dan lantas saja meloncat turun juga. Melihat gerakan mereka, Ouw Hui mengetahui, bahwa kepandaian mereka lebih tinggi dari kedua orang yang turun lebih dulu.
Dengan beberapa lompatan kilat, Ouw Hui sudah berada di belakang dua orang itu. "Masuk!" ia membentak sambil mendorong.
Mendengar kesiuran angin yang tajam, kedua orang itu tidak berani menyambut kekerasan dengan kekerasan. Mereka meloncat minggir dan masuk ke dalam kamar tetamu dengan melompat langkan. Ouw Hui menarik napas dan sekali meniup, api lilin yang berada dalam jarak beberapa tombak, lantas saja menjadi padam. Empat orang itu terkejut, tapi dengan serentak mereka lalu menyerang Kim-bian-hud dengan senjata masing-masing.
"Thia, suara apa itu?" tanya si nona cilik yang tadi mendusin karena riuhnya gemerencing senjata. "Apakah anjing hutan itu datang lagi?"
"Bukan, bukan anjing hutan," sahut sang ayah. "Hanya empat cecurut kecil."
Pada detik itu, sebatang sam-ciat-kun menyambar kepala Biauw Jin-hong. Dengan mendengarkan kesiuran angin, Kim-bian-hud menangkap senjata itu, yang lalu dibetotnya. Begitu dibetot, lengan orang itu kesemutan dan senjatanya terlepas. Tanpa sungkan-sungkan lagi, dengan tangannya Biauw Jin-hong menghantam pinggang orang itu, yang lantas saja roboh terguling dalam keadaan pingsan. Tiga kawannya, yang dua mencekal golok dan yang satu memegang thie-pian (pecut besi), lantas saja menyerang tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Thia," kata si nona cilik. "Apakah cecurut bisa menggigit?"
"Bangsa cecurut hanya berani menggigit orang di tempat gelap," jawab sang ayah. "Tapi begitu melihat kucing, dia lantas kabur."
"Thia, suara apa itu?" tanya pula si nona. "Apakah angin besar? Thia, apakah akan turun hujan?"
"Benar," sahut Biauw Jin-hong. "Sebentar bakal ada geluduk."
"Luikong Posat (Malaikat Geluduk) hanya menghantam orang jahat, bukan?" tanya lagi si gadis cilik.
"Tak salah," jawabnya. "Luikong Posat sangat mencintai anak yang baik."
Sembari bercakap-cakap dengan putrinya, dengan sebelah tangan Kim-bian-hud melayani ketiga musuhnya. Seperti seekor kucing mempermainkan cecurut, dengan tenang ia memunahkan setiap serangan dan sebegitu jauh, ia masih belum menurunkan tangan yang membinasakan.
Sesudah bertempur beberapa lama, seorang antaranya yang bersenjata golok, timbul rasa takutnya, ia segera berteriak, "Angin keras, hayo angkat kaki!" Sehabis berteriak begitu, ia melompat ke luar pintu.
Ouw Hui yang sedari tadi menunggu di luar, segera menyapu dengan kakinya dan orang itu lantas saja terjungkal di atas lantai, sedang goloknya terlempar.
"Lan-jie," kata Kim-bian-hud dengan suara halus.
"Dengarlah! Ini suara geluduk." Berbareng dengan perkataannya, ia menghantam dengan tinjunya yang tepat mengenai musuh yang bersenjata thie-pian. "Duk!" tubuh orang itu terbang melewati kepala Ouw Hui dan kemudian jatuh ngusruk di ruangan belakang.
Orang yang ketiga, yang menggunakan golok, ternyata berkepandaian lumayan. Dua kali beruntun ia bisa mengelit tinju Biauw Jin-hong. Sesudah mengirimkan dua pukulan itu, Biauw Jin-hong khawatir putrinya jadi ketakutan, Biauw Jin-hong tidak menyerang lagi dan segera duduk di atas kursi.
Sekarang orang itu mengetahui, bahwa meskipun sudah buta, Biauw Jin-hong masih tetap lihai dan ia tak akan dapat melawannya.
Ia juga tahu, bahwa orang yang menjaga di pintu juga lawan yang berat, sehingga ia seperti juga seekor kura-kura yang sudah masuk ke dalam kuali. Mendadak ia membacok sekuat tenaganya dan selagi Biauw Jin-hong berkelit, ia melompat masuk ke dalam kamar tidur dan menyalakan bahan api yang lantas dilemparkannya ke dalam pembaringan. Sesudah itu, ia meloncat ke luar dari jendela, naik ke atas genting.
Dalam sekejap api sudah berkobar-kobar dan asapnya menggolak naik ke atas.
Sementara itu, ketiga saudara Ciong yang berada di luar pintu, sudah mengetahui, bahwa di dalam rumah sedang berlangsung suatu pertempuran. Sesudah menunggu beberapa lama, Ciong Tiauw-eng berseru, "Biauw-tayhiap! Kami bertiga sebenarnya datang untuk meminta pengajaran lagi. Akan tetapi, kami tak nanti mengganggu di waktu kau sedang berada dalam bahaya. Biauw-tayhiap! Legakanlah hatimu."
Baru saja Tiauw-eng berkata begitu, asap yang mengebul sudah terlihat dari luar rumah.
"Kebakaran!" teriak Tiauw-bun.
"Bangsat itu sungguh jahat!" berseru Tiauw-leng. "Toako! Mari kita memadamkan api!"
Ketiga saudara itu segera loncat ke atas genting untuk mencari air.
Ouw Hui mengetahui, bahwa ilmu silat Ciong-sie Sam-hiong tak dapat dibandingkan dengan kepandaian empat orang yang datang duluan. Dengan kedua mata tak bisa melihat dan sebelah tangannya mendukung anak, Biauw Jin-hong pasti akan dapat dirobohkan. Maka itu, lantas saja ia membentak, "Manusia tak punya malu! Jangan masuk kau!"
Sementara itu, api berkobar-kobar semakin besar.
"Thia," kata si nona. "Panas betul!"
Dengan cepat Kim-bian-hud menggeser meja dan menendang pintu yang lantas saja jadi terpental. Ia menggapai ke atas genting seraya berkata, "#Martian! Di sini saja kita bertempur." Ia berkata begitu dengan suara perlahan karena khawatir mengagetkan putrinya.
Pada detik itu, tanpa merasa Biauw Jin-hong ingat kejadian itu, delapan tahun berselang. Seperti sekarang, dulu pun dengan badan terluka, ia harus melayani Ciong-sie Sam-hiong dalam rumah yang sedang terbakar. Perbedaannya adalah, pada waktu itu, yang menemani ia bukan seorang nona cilik, tapi seorang wanita cantik yang belakangan menjadi istrinya. Tidak! Dia tidak menemani terus, karena pada saat yang berbahaya, dia sudah kabur lebih dulu ....
Melihat api semakin menghebat dan menaksir, bahwa untuk akan dapat mempertahankan diri, Ouw Hui segera mengambil putusan untuk lebih dulu coba memadamkan api. Ia berlari-lari ke dapur dan dengan girang ia melihat, bahwa di pinggir dapur berdiri berjejer tiga jambangan batu besar yang semuanya terisi air. Ia memeluk sebuah antaranya dan dengan mengerahkan lweekangnya, dapat juga ia mengangkat jambangan itu yang beratnya lebih dari enam ratus kati. Biarpun memiliki tenaga yang sangat besar, tak urung tindakannya agak sempoyongan. Dengan mengeluarkan seantero tenaganya dan menahan napas, bisa juga ia berjalan sampai di dalam kamar tidur itu sambil memeluk jambangan yang lalu dilemparkannya ke tengah pembaringan.
Api itu lantas saja menjadi reda, tapi belum padam seluruhnya. Buru-buru Ouw Hui pergi lagi ke dapur dan mengangkat pula sebuah jambangan. Tapi baru saja ia melangkah pintu kamar, suatu kesiuran angin tajam menyambar punggungnya. Ternyata, orang yang tadi dijatuhkannya, telah memungut goloknya dan membokong ia dari belakang. Ketika itu, dengan kedua tangan memondong jambangan, Ouw Hui tak dapat berkelit atau menangkis lagi. Pada detik yang sangat berbahaya, cepat bagaikan kilat, kaki Ouw Hui menendang ke belakang sembari manggut ke depan. Itulah tendangan aneh yang pada berapa tahun berselang pernah digunakan oleh Giam Kie di Siang-kee-po, sehingga seorang ahli silat seperti Ma Heng-kong masih tak dapat memunahkannya. Tendangan tersebut mengenai kempungan orang itu yang badannya lantas saja terbang melewati kepala Ouw Hui dan jatuh tepat di dalam jambangan! Kejadian luar biasa itu telah terjadi oleh karena berbareng dengan tendangannya, Ouw Hui juga menggaet ke depan.
Begitu lekas tubuh orang itu tercebur, Ouw Hui mendorong dan melemparkan jambangan itu yang lantas saja terbelah dua dan airnya memadamkan sisa api yang masih ketinggalan. Orang itu turut jatuh mengusruk dengan luka-luka dan pakaian basah kuyup.
Sesudah berhasil memadamkan kebakaran, Ouw Hui segera memutarkan badan untuk membantu Biauw Jin-hong. Sekonyong-konyong ia mendengar suara bentakan-bentakan yang disusul dengan bunyi beradunya senjata. Didengar dari suaranya, orang yang membentak bukan lain daripada Lauw Ho-cin. "Bangsat!" ia berteriak. "Aku sudah kena ditipu olehmu!"
"Dengan siapa dia bertempur?" tanya Ouw Hui dalam hatinya. "Dia adalah orang yang berdosa paling besar dan paling baik aku lebih dulu membekuk dia." Memikir begitu, Ouw Hui segera berlari-lari ke pekarangan belakang, ke arah suara itu. Segera juga ia melihat, bahwa dengan tangan kosong, Lauw Ho-cin sedang bertempur dengan seorang lelaki yang bersenjata golok. Dari gerakan-gerakannya, Ouw Hui mengenalinya sebagai penjahat yang tadi melepaskan api di kamar tidur.
Ouw Hui jadi semakin heran. Terang-terang mereka berdua berkawan, tapi kenapa sekarang mereka berbalik bertempur hebat? Ouw Hui tak sempat memikir panjang-panjang dan sekali menggenjot badan, ia menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran. Cepat bagaikan kilat, dengan ilmu Toa-kin-na-chiu, kedua tangannya berhasil menutuk jalan darah di punggung kedua orang itu yang lantas saja tak dapat bergerak lagi. Bahwa dengan sekali bergebrak saja Ouw Hui sudah berhasil, adalah karena mereka berdua sedang memusatkan seantero perhatian mereka kepada pertempuran mereka yang sedang sengitnya.
Ouw Hui berdiam sejenak dan memasang kuping. Ia girang, karena di depan rumah belum terjadi pertempuran, tapi ia tetap khawatir, jika Biauw Jin-hong mendapat celaka dalam tangan Ciong-sie Sam-hiong. Maka itu, lantas saja ia menenteng tubuh Lauw Ho-cin dan orang itu, yang lalu dicemplungkan ke dalam sumur yang berada di dapur. Untuk menjaga supaya kedua tawanan itu tidak kabur, ia mengangkat jambangan ketiga itu, yang lalu digunakan menutup mulut sumur. Sesudah itu, dengan mengambil jalan memutar, ia berlari-lari ke pekarangan depan.
Sesaat itu, Ciong-sie Sam-hiong, yang masing-masing menggenggam sepasang poan-koan-pit, sudah berhadapan dengan Biauw Jin-hong, tapi mereka belum menyerang. Ouw Hui mendekati seraya berkata, "Biauw-tayhiap, serahkanlah putrimu kepadaku."
Walaupun sikapnya tenang, Kim-bian-hud sedang berduka. Ia yakin, bahwa dengan mata tidak dapat melihat, andai kata ia berhasil memukul mundur Ciong-sie Sam-hiong malam itu, akhirnya ia akan binasa juga dalam tangan musuh-musuhnya. Sebagai seorang kesatria, ia selalu memandang kematian sebagai soal yang remeh. Akan tetapi, pada waktu itu, masih ada apa-apa yang diberatinya, yang membikin ia sungkan mati begitu cepat. Yang dipikirkannya adalah Lan-jie, putrinya yang sebiji mata.
Barusan, dengan kupingnya yang sangat tajam, ia sudah mendengar segala sepak terjang Ouw Hui, yang sudah berhasil memadamkan kebakaran dan berhasil pula membekuk dua orang penjahat. Ia merasa kagum akan peribudi dan kecerdikan pemuda itu. Itulah sebabnya, mengapa begitu mendengar permintaan Ouw Hui, ia segera menanya, "Saudara kecil, apakah aku boleh mendengar she dan namamu yang mulia?"
Ouw Hui yang masih belum mengetahui, apakah benar ayahnya telah binasa dalam tangan Biauw Jin-hong, merasa sangsi untuk memberitahukan namanya secara terus terang. Maka itu, lantas saja ia menyahut. "Dalam perhubungan antara laki-laki dan laki-laki, yang penting adalah peribudi. Soal nama adalah soal kecil. Manakala Biauw-tayhiap memercayai aku, biarpun badanku hancur lebur, aku berjanji akan melindungi putrimu yang tercinta."
"Bagus!" kata Biauw Jin-hong. "Biauw Jin-hong adalah seorang sebatang kara. Selama hidupnya, ia hanya mempunyai dua sahabat, yang satu adalah Liaotong-tayhiap Ouw It-to, sedang yang lain adalah kau sendiri, seorang saudara kecil yang entah siapa namanya." Sembari berkata begitu ia menyerahkan putri tunggalnya kepada pemuda itu.
Bukan main girangnya Ouw Hui setelah mendengar perkataan Biauw Jin-hong yang mengatakan, bahwa ayahnya adalah sahabat kesatria itu. Ia menyambuti si nona cilik yang berusia kira-kira tujuh tahun dan yang sedang pulas nyenyak, dengan mulut menyunggingkan senyuman.
Melihat Ouw Hui dan mendengar pembicaraannya dengan Kim-bian-hud, Ciong-sie Sam-hiong jadi tercengang.
Di lain saat, Biauw Jin-hong sudah merobek tangan bajunya yang lalu digunakan untuk membebat kedua matanya. "Manusia tak mengenal malu!" ia membentak. "Hayolah! Majulah dengan berbareng! Anakku sedang pulas, kamu jangan bicara keras-keras."
Ciong Tiauw-bun maju setindak dan berkata dengan suara gusar, "Biauw-tayhiap! Dulu, muridku telah binasa dalam tanganmu dan kami bertiga telah datang untuk minta perhitungan. Belakangan kami mengetahui, bahwa murid itu adalah manusia jahat yang serakah, yang pantas sekali mendapat hukumannya. Dalam hal itu, kami sebenarnya harus mengaturkan banyak terima kasih kepadamu yang sudah membersihkan rumah tangga kami dari kutu busuk."
"Hm!" gerendeng Kim-bian-hud. "Perlahan sedikit. Kupingku tidak tuli."
Tiauw-bun jadi semakin gusar dan lalu berkata pula, "Waktu itu, meskipun kau terluka, kami ternyata masih bukan tandinganmu. Maka itu, sekarang kami datang berkunjung lagi untuk meminta pengajaran pula. Akan tetapi di tengah jalan kami mengetahui, bahwa sekomplotan manusia keji sedang memasang jaring untuk mencelakakan kau. Bahwa kami menyusul kemari untuk memberi tahu kau, supaya kau bisa berjaga-jaga. Sekarang, sedang kawanan manusia jahat itu sudah kabur semuanya, terserahlah kepada kau, apa kau sudi memberi pelajaran kepada kami? Apa perlunya kau menutup kedua matamu. Apakah kau menganggap kami bertiga begitu tak punya guna, sehingga bisa dirobohkan olehmu dengan mata tertutup?"
Biauw Jin-hong terkejut. Dari kata-kata itu ternyata Ciong-sie Sam-hiong tak mempunyai sangkut paut dengan komplotan penjahat yang sudah membutakan kedua matanya.
"Kedua mataku buta," katanya dengan suara menyeramkan.
"Astaga!" teriak mereka dengan serentak. "Kalau begitu, kami sudah keliru menafsirkan sikap Biauw-tayhiap," kata Ciong Tiauw-bun. "Delapan tahun lamanya, kami bertiga melatih diri, tapi ternyata kami tak mendapat kemajuan suatu apa, sehingga soal meminta pengajaran boleh tak usah disebut-sebut lagi. Apakah Biauw-tayhiap mengenal seorang dari partai Wie-to-bun yang bernama Lauw Ho-cin? Di antara orang-orang yang tadi diusir, tak terdapat orang she Lauw itu. Menurut pengetahuan kami, dalam satu-dua hari ini, orang itu pasti akan berkunjung dengan suatu maksud yang tidak baik. Maka itu, sedang kedua matamu tak begitu sehat, jika bertemu dengan orang itu, sebaiknya Tayhiap berlaku hati-hati."
"Ciong-toaya!" celetuk Ouw Hui. "Apakah benar-benar kau tidak mengetahui ketika tadi Lauw Ho-cin menyebar racun?"
"Ah! Kau juga berada di sini?" kata Tiauw-bun. "Aku ingin sekali mendapat kepastian, di pihak mana kau berdiri? Apakah kau kawan atau lawan? Jika kau seorang kawan, kenapa kau berbalik membantu Lauw Ho-cin, di waktu kami coba mencegatnya?"
"Dalam hal ini, aku sungguh merasa malu," Ouw Hui mengakui kekeliruannya. "Persoalan ini mempunyai latar belakang yang sungguh membingungkan. Baik juga, manusia itu Lauw Ho-cin, sudah kena dibekuk olehku dan sekarang kukurung di dalam sumur. Marilah kita memeriksa dia untuk menyelidiki persoalan ini." Sehabis berkata begitu, ia berpaling kepada Kim-bian-hud dan menanya, "Biauw-tayhiap, apakah Ciong-sie Sam-hiong orang baik atau orang jahat?"
Ciong Tiauw-bun tertawa dingin dan berkata, "Kami tak pernah melakukan pekerjaan kesatria dan juga belum pernah menolong sesama manusia. Mana bisa dihitung sebagai manusia baik?"
"Aku tahu, Ciong-sie Sam-hiong bukan sebangsa manusia rendah," kata Kim-bian-hud dengan suara tetap.
Mendengar pujian itu, ketiga saudara Ciong merasa senang sekali. Tanpa berkata suatu apa, Tiauw-bun dan Tiauw-leng lantas saja pergi ke belakang dan mengangkat jambangan besar yang menutupi mulut sumur.
"Naiklah!" mereka membentak.
Sebaliknya dari jawaban, mereka mendengar suara ribut-ribut di dalam sumur, seperti juga dua orang sedang berkelahi. Tiauw-bun segera menurunkan timba dan berseru, "Peganglah timba ini! Aku akan menarik kamu ke atas." Di lain saat, Tiauw-bun merasakan timba itu sudah dipegang orang dan dengan perlahan ia mengangkat dua orang yang basah kuyup.
Begitu kakinya hinggap di bumi, Lauw Ho-cin menghantam orang yang satu lagi itu dengan tinjunya. Orang itu sudah payah sekali agaknya, sudah kenyang minum air dan mendapat gebukan di dalam sumur. Melihat pukulan Lauw Ho-cin bisa mengambil jiwa orang itu, buru-buru Tiauw-bun menangkis. "Jangan bergerak!" bentak Tiauw-leng sembari menekan kedua-dua punggung Lauw Ho-cin dan orang itu dengan poan-koan-pit. "Sekali bergerak, jiwamu melayang!"
Demikian, masing-masing seorang kedua saudara Ciong itu menyeret dua tawanan itu masuk ke ruangan dalam. Ketika itu, Ouw Hui sudah mengembalikan si nona cilik kepada ayahnya dan sebatang lilin sudah dinyalakan. Oleh karena kamar putrinya sudah tak dapat digunakan lagi, Biauw Jin-hong segera mendukung si nona ke kamarnya sendiri. Ketika ia kembali ke ruangan depan, kedua saudara Ciong sudah masuk dengan menyeret dua tawanan tadi.
Biauw Jin-hong menghela napas seraya berkata, "Sedari dua puluh tahun berselang aku sudah mendengar nama Wie-to Song-ho. Dalam kalangan Kang-ouw, Ban-loosu dan Lauw-loosu mempunyai nama yang cukup harum."
"Biauw-tayhiap," kata Lauw Ho-cin. "Aku sudah ditipu oleh manusia jahat dan aku sungguh-sungguh merasa menyesal. Apakah kedua matamu mendapat luka berat?"
Mendengar pertanyaan itu, Ciong-sie Sam-hiong mengeluarkan seruan kaget. Sekarang baru mereka mengetahui, bahwa rusaknya kedua mata Biauw Jin-hong baru saja terjadi.
"Apakah kau murid Tian Kui-long?" tanya Kim-bian-hud kepada orang yang tadi bertempur dengan Lauw Ho-cin. "Ilmu silatmu cukup tinggi, sedikitnya kau sudah memahami tujuh bagian dari seluruh silat Thian-liong-bun."
Orang itu bergemetar sekujur badannya dan ia menekuk kedua lututnya sembari mengangguk-angguk. "Biauw-tayhiap," katanya dengan suara memohon dikasihani. "Aku yang rendah hanya menerima perintah orang. Aku mohon belas kasihan Loojinkee."
"Bangsat!" teriak Lauw Ho-cin sambil menuding wajahnya.
"Sungguh hebat kau menipu aku!" Sembari berkata begitu, ia meloncat dan mengayun tangannya. Tiauw-eng buru-buru mengadang di tengah-tengah dan berkata, "Sabar! Apa yang sekarang kita inginkan, adalah penjelasan tentang duduknya persoalan."
Lauw Ho-cin adalah seorang ternama dalam Rimba Persilatan. Bahwa ia sudah kena diperdayai orang secara mentah-mentah sehingga berakibat celakanya seorang kesatria, sudah membikin ia menyesal tiada habisnya dan bahwa sebagai seorang kenamaan, ia sudah dicemplungkan ke dalam sumur, adalah kejadian yang sungguh-sungguh memalukan. Maka itu, matanya berkunang-kunang dan ia jatuh terduduk di sebuah kursi. "Sudahlah! Sudahlah!" katanya dengan suara sedih. "Biauw-tayhiap! Aku tak tahu bagaimana aku harus menebus dosa."
"Selama hidupnya, manusia sukar terlolos dari tipu muslihat kawanan manusia keji," kata Kim-bian-hud dengan suara tenang. "Itulah kejadian yang lumrah dalam dunia ini. Loosu tentunya sudah ditipu olehnya, sehingga mau mengantarkan surat itu kepadaku."
Bukan main kagumnya Ouw Hui dan Ciong-sie Sam-hiong setelah mendengar perkataan Biauw-tayhiap yang bebas dari rasa dendam. Harus diingat, bahwa pada ketika itu, kedua mata Kim-bian-hud sudah buta sama sekali. Dalam keadaan yang sama, seorang kesatria tanggung-tanggung pasti tak akan bisa mengeluarkan perkataan begitu.
"Aku bermula mengenal manusia itu di Hong-yap-chung," kata Lauw Ho-cin. "Dia mengaku bernama Thio Hui-hiong dan menurut katanya, oleh karena pernah menanggung budi Ban-sutee, maka begitu mendengar berita tentang meninggalnya, buru-buru ia datang ke Hong-yap-chung untuk menyatakan turut berdukacita."
"Kalau begitu Ban Ho-seng Loosu sudah meninggal dunia?" tanya Kim-bian-hud.
"Benar," jawabnya. "Belakangan karena menganggap dia seorang baik, aku berjalan bersama-sama dengan dia ke daerah utara. Ketika berpapasan dengan Ciong-sie Sam-heng-tee di tengah jalan, dia kelihatan ketakutan. Malam itu, aku tidur sekamar dengan ia. Tengah malam, ia berlagak mengigau dan antara lain dia mengatakan, bahwa jika surat itu tidak dapat disampaikan kepada alamatnya, sejumlah besar orang-orang gagah yang budiman akan melayang jiwanya. Mendengar begitu, lantas saja aku mengambil keputusan untuk mencampuri urusan itu. Besok paginya, aku menanyakan tentang igaunya. `Lauw-loosu,' sahutnya.
`Sesudah menyaksikan sikapmu terhadap sie-wie Kerajaan Ceng itu, aku tahu, bahwa kau adalah seorang gagah tulen dan tak usah aku menyembunyikan rahasia ini.' Ia mengeluarkan sepucuk surat dan mengatakan, bahwa surat itu harus disampaikan kepada Biauw-tayhiap, supaya beliau bisa menolongnya. Jika tidak, banyak sekali orang gagah akan menjadi korban kaki tangan Kerajaan Ceng. Selanjutnya ia memberitahukan, bahwa Ciong-sie Sam-hiong, yang mempunyai ganjalan dengan Biauw-tayhiap, tentu akan coba merintangi disampaikannya surat itu. Dia mengaku tak sanggup melawan ketiga saudara Ciong dan meminta bantuanku. Mengingat maksudnya yang mulia, lantas saja aku menyanggupi. Di tengah jalan, aku telah bertempur dengan Ciong-sie Sam-hiong dan kena dikalahkan. Istriku membantu, tapi kami berdua masih tak bisa melawan ketiga saudara itu. Maka itu, dengan mendapat luka enteng, kami melarikan diri dengan membawa surat itu. Secara sangat kebetulan, di kuil Siang Hui, kami bertemu dengan saudara kecil itu. Dalam pertandingan di Hong-yap-chung, saudara kecil itu pernah menolong aku dan sesudah menyaksikan pertempuran di dalam kuil itu, aku tahu, bahwa ia mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Begitulah, kami segera berpura-pura terluka berat dan menjalankan siasat untuk memancing bantuannya. Benar-benar, ia kena ditipu. Aku menipu saudara kecil itu, tanpa mengetahui, bahwa aku sendiri pun sudah kena ditipu orang." Sehabis berkata begitu, jenggotnya bergerak-gerak, napasnya tersengal-sengal dan dengan mata mendelik ia mengawasi Thio Hui-hiong.
Ouw Hui mendengarkan cerita itu tanpa berkata suatu apa. "Dia tak berdusta," katanya di dalam hati. "Kalau begitu, pertempuran dengan Wan Cie-ie sudah dilihatnya." Mengingat Wan Cie-ie, hati Ouw Hui lantas saja berdebar. "Tapi, Lauw-loosu," katanya. "Perlu apa kau mengambil senjatanya Ciong-sie Sam-hiong?"
"Kedatangan Ciong-sie Sam-hiong untuk membalas dendam, belum tentu diketahui oleh Biauw-tayhiap," sahutnya. "Maka itu, aku merasa perlu untuk memberitahukan kepadanya, supaya ia bisa berjaga-jaga. Bahwa aku sudah mengambil tiga senjata itu dan memperlihatkannya kepada Biauw-tayhiap, adalah untuk mendapat kepercayaannya. Mungkin kau juga kepingin tahu, kenapa aku sudah mengatakan, bahwa surat itu adalah kiriman Ciong-sie Sam-hiong. Saudara kecil perkataanku itu sebenarnya ditujukan kepada kau. Aku tahu, bahwa kau menguntit di belakangku dan aku khawatir kau akan segera menyerang. Dengan berkata begitu, kau tentu akan menjadi bingung dan dalam bingungmu, kau tentu tak akan lantas turun tangan. Aku menganggap, bahwa yang kukatakan itu tidak penting. Yang penting, adalah isi surat itu. Aku mengira, bahwa begitu membaca, Biauw-tayhiap tentu akan mengerti maksud surat tersebut yang memohon bantuannya untuk menolong jiwa orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Tapi ... siapa ... nyana ... siapa ... nyana ...." Sampai di situ dadanya menyesak, tak dapat ia bicara lagi.
"Secara kebetulan kami bertiga sudah dapat mendengar akal busuk orang she Thio itu," kata Tiauw-bun. "Belakangan kami mengetahui, bahwa dia kasak-kusuk dengan Lauw-loosu, untuk mencelakakan Biauw-tayhiap. Maka itu, kami lalu berusaha untuk mencegatnya, tanpa mengetahui bahwa urusan ini mempunyai latar belakang yang berbelit-belit. Biauw-tayhiap, bagaimana dengan matamu?"
Biauw Jin-hong tak menyahut. Sesaat kemudian dengan perlahan ia menggoyangkan sebelah tangannya yang lebar dan besar. "Sudahlah," katanya. "Yang sudah tinggal sudah, tak guna dibicarakan lagi."
Dengan kedua matanya Ouw Hui menyapu seluruh ruangan itu untuk mencari surat yang beracun itu. Segera juga ia melihat, bahwa dua robekan kertas tadi, masih menggeletak di pojok ruangan. Ia tak berani datang terlalu dekat dan hanya memandangnya dari kejauhan. Pada dua potong kertas itu hanya terdapat tiga baris huruf, setiap hurufnya sebesar biji engtho. Sesudah memerhatikan beberapa saat, ia mendapat kenyataan, bahwa surat itu bertuliskan seperti berikut:
Saudara Jin-hong. Putrimu cantik dan lemah lembut. Tak cocok ia berada pada kau, manusia goblok yang hanya mengenal ilmu silat. Maka itu, aku mengirim orang untuk menyambutnya supaya nona itu bisa dipelihara sebagaimana mestinya olehku.
Hormatku, Tian Kui-long
Seperti diketahui, Kim-bian-hud mencintai putrinya lebih daripada jiwanya sendiri. Sesudah membawa kabur istrinya, sekarang orang she Tian itu maui juga putrinya yang sebiji mata. Mana mungkin, darahnya tak jadi meluap? Bisa diduga, bahwa sesudah melakukan perbuatan berdosa, manusia itu tak enak makan dan tak enak tidur karena khawatir pembalasan. Maka itu, ia sudah mengatur siasat itu, suatu siasat yang sangat busuk dan kejam.
Semakin lama, Lauw Ho-cin jadi semakin gusar dan menyesal. "Orang she Thio!" ia berteriak dengan kalap.
"Sesudah mendapat perintah gurumu untuk mencelakakan Biauw-tayhiap, kenapa kau tidak mengantarkan sendiri surat itu dan sudah menyeret tanganku?"
"Aku ... takut ..." jawabnya dengan suara terputus-putus.
"Aku ... takut ... Biauw-tayhiap dapat mengenali, bahwa aku ... adalah murid Thian-liong-bun ...."
"Kau takut tak keburu lari, jika akal busukmu ketahuan, bukan?!" bentak Lauw Ho-cin. "Binatang! Benar-benar binatang!" Ia berpaling kepada Biauw Jin-hong dan berkata dengan suara gemetar, "Biauw-tayhiap, bolehkah aku memohon kerelaanmu? Serahkanlah binatang itu kepadaku!"
"Lauw-loosu," kata Kim-bian-hud dengan suara tenang. "Guna apa kita meladeni kawanan manusia rendah. Thio Hui-hiong! Di dalam pekarangan dua kawanmu masih menggeletak dengan luka yang tidak enteng. Pergilah! Tolonglah mereka dan pergi dari sini! Kuharap kau suka memberitahukan suhu (guru) dan subomu ...." ia tak dapat meneruskan perkataannya dan berdiri bengong dengan mata mendelong. (Subo berarti istri guru, istri Tian Kui-long, yaitu Lam-lan, bekas istrinya sendiri yang dibawa kabur oleh Tian Kui-long). Beberapa saat kemudian, ia mengebaskan tangannya dan menambahkan, "Sudahlah! Tak ada apa-apa lagi. Pergilah!"
Itulah suatu kejadian yang sungguh-sungguh di luar dugaan Thio Hui-hiong. Sesudah membutakan kedua mata Kim-bian-hud, ia menganggap, bahwa jiwanya tak akan dapat ditolong lagi.
Tapi tak dinyana-nyana, Biauw Jin-hong sudah berlaku begitu murah hati dan tidak menghukumnya. Bukan main rasa terima kasihnya dan ia manggutkan kepalanya berulang-ulang. Dengan berempat, ia menyatroni rumah Biauw-tayhiap. Begitu lekas kedua mata Kim-bian-hud buta, mereka bermaksud membinasakan kesatria itu dan kemudian membawa kabur putrinya. Tapi, benar juga orang berujar, manusia berusaha, Allah berkuasa. Di luar semua perhitungan, muncullah Ouw Hui, sehingga tipu busuk itu hanya berhasil sebagian. Antara tiga kawannya, seorang, yaitu yang dilemparkan Ouw Hui dalam kamar tidur, lagi masih menggeletak dengan luka berat.
"Hm! Biauw Jin-hong berlagak murah hati dan pura-pura melepaskan tiga orang itu," kata Lauw Ho-cin di dalam hatinya. "Tak tahu, penganiayaan apa yang hendak dilakukannya terhadap diriku."
Harus diketahui, bahwa sebagai orang yang berpengalaman, ia sudah sering menyaksikan cara-cara orang Kang-ouw menghukum musuh-musuhnya itu disiksa pergi datang, sebelum dibinasakan.
Di lain saat, Thio Hui-hiong sudah membangunkan kedua suteenya dan segera berjalan ke luar dengan memapah mereka. Tak lama kemudian, mereka sudah menghilang di tempat gelap, tapi benar-benar mengherankan, Biauw Jin-hong tetap tidak bergerak.
"Biauw-tayhiap," kata Lauw Ho-cin yang sudah tak bisa bersabar lagi. "Sekarang kau sudah boleh membekuk mereka kembali. Mereka sangat licin, aku khawatir mereka benar-benar kabur."
"Untuk apa dibekuk lagi?" tanya Kim-bian-hud. "Bukankah aku sudah mengampuni mereka?" Ia berdiam sejenak.
"Mereka sama sekali tidak mengenal aku. Mereka hanya menjadi alat orang lain."
Rasa malu dan menyesal yang melampaui batas, mengaduk dalam dada Lauw Ho-cin. Mendadak ia meloncat bangun. "Biauw-tayhiap!" katanya dengan suara nyaring. "Selama hidup, belum pernah aku melakukan perbuatan yang berdosa. Hari ini, kedua mataku benar-benar tak berbiji, tak bisa mengenali seorang kesatria yang budiman dan penuh welas asih. Biauw-tayhiap! Karena gara-garaku, sungguh hebat penderitaanmu."
Berbareng dengan perkataannya, ia mementang dua jeriji tangan kirinya yang lalu disodokkan kedua matanya sendiri! Ouw Hui coba menolong, tapi ia terlambat. Ciong-sie Sam-hiong kesima dan kemudian meloncat bangun dengan serentak.
"Lauw-loosu," kata Biauw-tayhiap dengan suara terharu. "Kenapa kau berbuat begitu. Sedikit pun aku tidak menyalahkan kau."
Lauw Ho-cin tertawa terbahak-bahak dan berjalan ke luar dengan tindakan lebar. Setibanya di luar rumah, ia memotes sebatang cabang pohon yang lalu digunakan sebagai tongkat penunjuk jalan.
Untuk beberapa lama, kelima orang itu yang masih berada di dalam rumah Biauw Jin-hong, tak mengeluarkan sepatah kata. Mereka geregetan berbareng terharu. Geregetan mengingat akal busuk Tian Kui-long dan terharu karena peristiwa itu berakibat hebat, yaitu butanya dua orang kesatria yang jarang ada tandingannya.
"Saudara kecil," Kim-bian-hud memecahkan kesunyian. "Kau sudah berjanji untuk melindungi putriku. Kuharap kau jangan melupakan janjimu itu."
"Perkataan laki-laki tak akan ditarik kembali," sahut Ouw Hui dengan suara nyaring. "Hanya aku menyesal dengan cara Lauw-loosu. Dengan mempersakiti diri sendiri, liangsimnya memang terhibur. Tapi apa gunanya?"
"Benar," kata Tiauw-eng sambil menghela napas. "Tapi biar bagaimana juga, Lauw-loosu adalah seorang laki-laki sejati."
Lama juga mereka duduk diam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya Ouw Hui yang memecahkan kesunyian dengan berkata, "Biauw-tayhiap bagaimana dengan matamu? Coba cuci lagi dengan air."
"Tak usah," jawab Biauw Jin-hong. "Sakitnya luar biasa." Sehabis berkata begitu, ia berbangkit dan berpaling kepada Ciong-sie Sam-hiong. "Aku sungguh merasa malu, bahwa aku tak mempunyai apa-apa untuk menyambut Samwie yang dari tempat jauh sudah datang ke sini," katanya sembari membungkuk. "Aku ingin rebahan sebentar, harap Samwie sudi memaafkan."
"Silakan," kata Tiauw-bun. "Jangan Biauw-tayhiap berlaku sungkan." Ia lalu memberi tanda kepada dua saudaranya yang lantas saja berpencar dan menjaga di pintu depan dan di pintu belakang. Tiauw-bun sudah berbuat begitu karena khawatir kalau-kalau Tian Kui-long mengirim lagi kaki tangannya untuk menyerang. Ouw Hui sendiri lalu mengambil ciak-tay dan mengikuti Biauw Jin-hong sampai di kamarnya. Sesudah Kim-bian-hud merebahkan diri, Ouw Hui segera mengambil selimut dan menyelimuti tubuh orang gagah itu. Si nona cilik sendiri sedang pulas nyenyak, sama sekali ia tidak mengetahui, bahwa tadi, rumahnya dikacau orang dan kedua mata ayahnya sudah menjadi buta.
"Saudara kecil," kata Kim-bian-hud. "Di atas penglari terdapat sebuah kotak besi. Coba ambil!"
"Baiklah," kata Ouw Hui sembari menggenjot badannya yang lantas saja melesat ke atas. Dengan tangan kiri mencekal penglari, tangan kanannya meraba-raba. Benar saja, di atas balok, ia mendapatkan sebuah kotak besi yang lalu diambilnya.
Begitu turun, ia meletakkan kotak itu di atas kasur, di dekat tangan Biauw Jin-hong. Sebelum Kim-bian-hud bisa membuka mulut, sekonyong-konyong terdengar tindakan orang yang berlari-lari, disusul suara bentakan Ciong Tiauw-leng, "Binatang! Kau datang lagi?" Bentakan itu disusul pula bunyi beradunya senjata.
"Tahan!" demikian terdengar teriakan Thio Hui-hiong. "Aku tak mempunyai maksud jahat. Aku datang untuk berbicara sedikit dengan Biauw-tayhiap."
"Biauw-tayhiap sudah tidur," kata Tiauw-leng dengan perlahan. "Kalau mau bicara, besok saja kau datang lagi."
"Tak usah," kata Hui-hiong. "Sekarang saja aku memberitahukan kepadamu. "Aku sekarang mendapat kenyataan, bahwa Biauw-tayhiap adalah seorang kesatria budiman yang sangat mulia. Aku berdosa besar, tapi dengan sukarela beliau sudah mengampuni jiwaku dari kebinasaan. Maka itu, tak bisa tidak, aku mesti membuka rahasia ini. Racun yang digunakan untuk membutakan mata Biauw-tayhiap adalah rumput Toan-chung-co (rumput memutuskan usus), yang telah dicuri oleh guruku dari tempat Tok-chiu Yo-ong (Raja Obat Tangan Beracun). Di sepanjang jalan, Siauwjin (aku yang rendah) memikirkan kecelakaan yang menimpa Biauw-tayhiap. Mungkin sekali, jika ada orang yang pergi kepada Tok-chiu Yo-ong dan memohon pertolongannya, kedua mata Biauw-tayhiap masih bisa ditolong. Sebenarnya, Siauwjin sendiri yang harus berusaha untuk mendapatkan obat itu. Akan tetapi, Siauwjin adalah seorang yang tidak ternama, sehingga sukar sekali bisa melakukan tugas yang seberat itu."
"Oh, begitu?" kata Tiauw-leng. Di lain saat, Thio Hui-hiong sudah memutarkan badan dan berjalan pergi.
Mendengar itu, bukan main girangnya Ouw Hui. Ia berlari-lari ke luar sembari berteriak, "Di mana tempat tinggal Tok-chiu Yo-ong?"
"Ia hidup menyembunyikan diri di pinggir Telaga Tong-teng," Tiauw-eng menerangkan. "Tapi ... tapi ...."
"Tapi kenapa?" tanya Ouw Hui.
"Meminta pertolongan orang aneh itu, bukannya gampang," jawabnya dengan suara perlahan.
"Biar bagaimana juga, kita mesti mengundang dia datang ke sini," kata Ouw Hui dengan bernafsu. "Kita berikan apa saja yang dimintanya."
Tiauw-eng menggeleng-gelengkan kepala sembari menarik napas. "Yang paling sukar, orang itu sama sekali tidak memerlukan sesuatu apa," katanya.
"Jika tak bisa dengan jalan halus, kita boleh menggunakan jalan kasar," kata pula Ouw Hui.
Tiauw-eng berdiam sambil menunduk.
"Kita tidak boleh terlambat sedikit pun juga," Ouw Hui mendesak. "Sekarang juga Siauwtee akan berangkat. Untuk sementara waktu, aku mengharap, supaya Samwie berdiam di sini dulu, untuk menjaga kalau manusia keji itu mengirim pula kaki tangannya."
Ia berlari-lari ke kamar Biauw Jin-hong dan berkata, "Biauw-tayhiap! Aku mau pergi untuk mengundang tabib."
Kim-bian-hud menggelengkan kepala dan berkata dengan suara perlahan, "Kau mau mencari Tok-chiu Yo-ong? Ah! Kau hanya membuang-buang tenaga secara pereuma. Tak usah, kau tak usah pergi!"
"Tidak!" kata Ouw Hui dengan suara tetap. "Dalam dunia ini tak ada apa-apa yang tidak bisa dilakukan." Tanpa menunggu jawaban, ia memutarkan badan dan berjalan keluar dari kamar Kim-bian-hud.
"Ciong-toaya," ia berseru. "Siapa nama Yo-ong itu? Jalan apa yang harus diambil untuk pergi ke tempat tinggalnya?"
"Sudahlah!" kata Ciong Tiauw-bun. "Begini saja, aku mengawani kau untuk pergi bersama-sama! Tentang orang aneh itu, baik kita bicarakan perlahan-lahan di sepanjang jalan."
Demikianlah, tanpa berkata suatu apa lagi, kedua orang gagah itu lantas saja berlari-lari ke jurusan utara dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Di waktu pagi, mereka tiba di sebuah kota kecil dan segera membeli dua ekor kuda yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya. Sesudah berjalan beberapa belas li, mereka tiba di jalan yang bereagak tiga. Mereka agak bingung, tapi baik juga, di sebidang kebun sayur terdapat seorang petani tua yang sedang menggarap tanah. Mereka lalu menanyakan jalan ke Thogoan dan begitu mendapat petunjuk, kedua tunggangan itu lalu dibedal pula.
Demikianlah, untuk menolong seorang kesatria, terus-menerus Tiauw-bun dan Ouw Hui membedal kuda. Kecuali memberi rumput dan air kepada tunggangannya, mereka tak berani mengaso, bahkan tak berani masuk di rumah makan untuk menangsel perut. Jika merasa lapar, mereka berhenti turun dari pelana.
Tak lama kemudian, mereka sudah melalui enam puluh li lebih. Tiauw-bun dan Ouw Hui adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertubuh kuat. Jika perlu, mereka bisa berjalan dua hari dua malam terus-menerus. Tapi, sedang sang penunggang masih cukup kuat, adalah tunggangan mereka yang sudah kepayahan. Sesudah lari lagi beberapa jauh, kedua hewan itu tersengal-sengal dan tindakan mereka jadi semakin limbung.
"Saudara kecil," kata Tiauw-bun. "Kurasa, kedua hewan ini mesti diberi ketika untuk mengaso juga."
"Baiklah," kata Ouw Hui.
Mengingat kuda, tanpa merasa ia jadi ingat kepada Si Putih, tunggangan Wan Cie-ie. "Kalau aku menunggang kuda putih Nona Wan, sekarang mungkin aku sudah tiba di Telaga Tong-teng," katanya di dalam hati. Mengingat Wan Cie-ie, ia merogoh sakunya dan mengusap-usap giok-hong (burung hong dari giok), pemberian si nona. Ia merasakan betapa hangatnya batu giok itu dan kehangatan itu terus menembus sampai di hatinya.
Mereka lalu duduk mengaso di pinggir jalan, di bawah pohon liu yang besar. Tunggangan mereka makan rumput dan turut mengaso di tegalan. Ciong Tiauw-bun duduk termenung tanpa mengeluarkan sepatah kata. Kedua alisnya berkerut dan mukanya kelihatan masygul. Ouw Hui mengetahui, bahwa kejengkelan kawan itu, disebabkan oleh kekhawatiran, bahwa perjalanan mereka akan mengalami kegagalan.
"Ciong-toaya," ia menegur. "Orang apakah, sebenarnya Tok-chiu Yo-ong?"
Tiauw-bun tak menjawab, seolah-olah tak mendengar pertanyaan Ouw Hui. Lewat sejenak, ia kelihatan terkejut dan berbalik menanya, "Apa kau kata?"
Ouw Hui mengerti apa yang barusan dipikirkan Ciong Tiauw-bun. Ia tentu sedang memikirkan keadaan Biauw Jin-hong. Diam-diam Ouw Hui merasa kagum terhadap orang she Ciong itu, yang meskipun wajahnya menakutkan, mempunyai hati yang sangat mulia. Dengan Biauw Jin-hong, sebenarnya ia mempunyai ganjalan yang tidak kecil. Tapi sekarang, dengan melupakan segala sakit hatinya, tanpa mengenal lelah, ia rela melakukan suatu perjalanan yang mungkin penuh dengan bahaya. Memikir begitu, Ouw Hui segera berkata, "Ciong-toaya, setiap mengingat kesalahanku kemarin, aku jadi merasa sangat malu. Jika Boanpwee mengetahui, bahwa Samwie adalah kesatria-kesatria yang berbudi tinggi, biarpun mempunyai nyali yang bagaimana besar juga, Boanpwee tentu
tak akan berani melanggar Samwie."
Tiauw-bun tertawa terbahak-bahak. "Jangan rewel," katanya sembari mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata simpatik. "Biauw-tayhiap adalah seorang kesatria besar pada zaman ini. Jika melihat ia menghadapi bahaya, kami tak menolong, kami bertiga sungguh bukan manusia lagi. Saudara kecil! Kalau dibanding-banding, peribudimu masih lebih luhur daripada kami. Walaupun tak pernah mengikat tali persahabatan dengan Biauw-tayhiap, kami sudah pernah bertemu satu kali. Tapi kau sendiri? Di masa yang lalu, belum pernah kau bertemu dengan beliau."
Ciong Tiauw-bun tidak mengetahui, bahwa beberapa tahun berselang, Ouw Hui sudah pernah melihat wajah Kim-bian-hud di Siang-kee-po. Tapi dalam pertemuan itu, meskipun Ouw Hui tahu siapa sebenarnya Biauw Jin-hong, Biauw Jin-hong sendiri sama sekali tidak memerhatikannya, seorang bocah kurus kering.
Ciong Tiauw-bun lebih-lebih tidak mengetahui, bahwa delapan belas tahun berselang, ketika Ouw Hui baru saja berusia satu hari, Biauw Jin-hong pernah melihatnya di dalam sebuah rumah penginapan kecil di Kota Ciang-ciu, Provinsi Hopak. Pertemuan itu masih diingat oleh Kim-bian-hud, tapi tentu saja tidak diketahui oleh Ouw Hui sendiri. Dan Biauw Jin-hong sendiri tentu tidak pernah bermimpi, bahwa kesatria muda yang sedang berusaha untuk menolong dirinya, adalah bayi itu yang pernah dilihatnya delapan belas tahun berselang.
Ouw Hui menunduk, ia merasa agak jengah mendengar pujian kawannya itu. Beberapa saat kemudian, Ciong Tiauw-bun menanya pula, "Eh, kau tanya apa tadi?"
"Aku menanyakan hal Tok-chiu Yo-ong," jawab Ouw Hui.
"Dia itu, sebenarnya manusia bagaimana?"
"Secara terus terang, aku tak tahu," sahut Tiauw-bun.
"Tak tahu?" Ouw Hui menegas.
"Dalam kalangan Kang-ouw, aku mempunyai banyak sekali kawan," kata Tiauw-bun. "Tapi di antara mereka itu, tak satu pun mengetahui, orang apa sebenarnya Tok-chiu Yo-ong."
Ouw Hui jadi merasa masygul. Tadinya ia menduga, bahwa Ciong Tiauw-bun mengetahui asal usul Si Raja Racun. Jika bukan begitu, ia tentu sudah menanyakan terlebih jelas kepada Thio Hui-hiong.
Ciong Tiauw-bun seperti juga dapat membaca pikirannya, karena ia segera berkata, "Kurasa, Thio Hui-hiong pun tak tahu."
"Oh," kata Ouw Hui yang tak berkata suatu apa lagi.
"Orang hanya tahu, bahwa Tok-chiu Yo-ong bertempat tinggal di Pek-ma-sie (Kelenteng Kuda Putih), di pinggir Telaga Tong-teng," Tiauw-bun menerangkan.
"Pek-ma-sie?" Ouw Hui menegas. "Dia tinggal di kelenteng?"
"Bukan," jawabnya. "Pek-ma-sie adalah nama sebuah kota kecil."
"Mungkin sekali orang tidak mengenal ia, karena ia tak pernah keluar dari kelenteng itu," Ouw Hui menduga-duga.
Tiauw-bun menggelengkan kepala seraya berkata, "Salah! Banyak orang pernah bertemu dengan dia. Dan justru, karena itu tak ada yang mengetahui ia sebenarnya manusia bagaimana. Orang tak tahu, apakah ia gemuk atau kurus, cakap atau jelek, she Thio atau she Lie."
Ouw Hui jadi semakin tak mengerti.
"Ada yang mengatakan, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah seorang sastrawan yang berparas cakap sekali," kata pula Tiauw-bun. "Katanya, ia bertubuh jangkung dan gerak-geriknya seperti seorang siu-cay. Tapi ada juga yang bercerita, bahwa Tok-chiu Yo-ong berbadan katai gemuk, seperti tukang potong babi. Di lain pihak, sejumlah orang berani bersumpah, bahwa Si Raja Racun sebenarnya seorang hweeshio tua, tua sekali, dan usianya hampir seratus tahun."
Sesaat Tiauw-bun memandang Ouw Hui dan kemudian menyambung lagi perkataannya, "Tapi perbedaan keterangan belum habis sampai di situ. Beberapa orang malah menyatakan, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah seorang wanita, wanita bungkuk!"
Benar-benar Ouw Hui "ubanan". Ia kepingin tertawa, tapi tertawanya tak bisa keluar.
"Orang itu bergelar Yo-ong atau Raja Obat," kata pula Tiauw-bun. "Kenapa ia dikatakan seorang wanita? Tapi yang mengatakan begitu, adalah seorang ternama dalam Rimba Persilatan yang pasti tak berdusta. Orang-orang lain, yang mengatakan Si Raja Obat sebagai seorang sastrawan, sebagai tukang potong babi atau hweeshio, rata-rata adalah orang-orang gagah yang mulutnya boleh dipercaya. Pikirlah! Aneh, tidak?"
Di waktu berangkat dari rumah Biauw Jin-hong, Ouw Hui yakin seyakin-yakinnya, bahwa ia tak akan menghadapi banyak kesulitan. Asal bisa bertemu dengan Tok-chiu Yo-ong, biar bagaimana juga, ia akan berusaha supaya Si Raja Obat bisa datang ke rumah Biauw Jin-hong untuk mengobati kedua mata kesatria itu. Paling sialnya, ia akan membawa pulang obat pemunah racun.
Tapi sekarang, sesudah mendengar penuturan Tiauw-bun, sebagian besar pengharapannya lantas saja menjadi hilang. Kepada siapa ia harus mencari keterangan? Sesudah bengong beberapa saat, ia berkata, "Agaknya orang itu pandai menyamar. Ia selalu keluar dengan penyamaran yang berubah-ubah, sehingga orang tak bisa mengenal rupanya yang sejati."
"Kawan-kawan dalam kalangan Kang-ouw juga beranggapan begitu," kata Tiauw-bun. "Mungkin sekali, gara-gara racunnya yang tiada bandingannya dalam dunia, ia mempunyai banyak sekali musuh dan terpaksa menyamar berganti-ganti supaya orang tak dapat mencarinya. Hanya satu hal aku tidak mengerti, ia bertempat tinggal di Pek-ma-sie, satu tempat yang tidak terlalu sepi. Sebenarnya, tidak terlalu sukar untuk orang pergi menemuinya."
"Berapa banyak orang sudah binasa karena racunnya?" tanya Ouw Hui.
"Rasanya banyak sekali," sahut Tiauw-bun. "Hanya, menurut apa yang kudengar, orang-orang yang binasa dalam tangannya, semua memang pantas mendapat kebinasaan itu. Mereka semua terdiri atas penjahat-penjahat besar, jagoan-jagoan yang sewenang-wenang terhadap rakyat atau hartawan-hartawan kejam. Belum pernah aku mendengar ia membinasakan orang-orang gagah yang baik-baik. Tapi karena namanya terlalu besar, di mana saja ada orang yang binasa akibat racun hebat, dialah yang dituduh. Misalnya dua orang yang masing-masing tempat tinggalnya terpisah jauh, satu dengan yang lain, satu di Inlam, satu di Liaotong, mati berbareng akibat racun, maka orang di Hunlam lantas saja mengatakan Tok-chiu Yo-ong datang ke Hunlam, sedang orang di Liaotong pun menyatakan, bahwa Si Tangan Beracun sudah menyatroni daerah Liaotong. Maka itu, kau lihat, seseorang yang namanya sudah terlalu besar, harus menerima segala akibat nama besar itu. Segala perbuatan jahat atau perbuatan baik semuanya ditumpahkan di atas kepalanya. Sudah lama aku tak pernah mendengar nama Tok-chiu Yo-ong disebut-sebut orang. Tak dinyana, kecelakaan yang menimpa diri Biauw-tayhiap juga bersangkut paut dengan dia. Hai! Jika racun itu benar adalah racun Yo-ong, aku khawatir ... aku khawatir ...." ia tak dapat meneruskan perkataannya, ia hanya menggelengkan kepala.
Mendengar penuturan itu, Ouw Hui jadi sangat berduka. Ia berotak sangat cerdas, tapi sekali ini ia tak dapat memikirkan jalan yang sempurna. Beberapa saat kemudian, Tiauw-bun berbangkit seraya berkata, "Hayolah kita berangkat! Saudara kecil, sekarang aku ingin memesan suatu hal yang tak boleh diabaikan. Begitu tiba di daerah Pek-ma-sie, dalam jarak tiga puluh li dari tempat tinggal Yo-ong, kau tak boleh minum atau makan apa juga. Biar bagaimana haus, biar bagaimana lapar, seceguk air atau sebutir nasi tidak boleh masuk ke dalam mulutmu."
Melihat paras orang yang sungguh-sungguh, Ouw Hui lantas saja manggutkan kepalanya. Sesaat itu, ia ingat bahwa ketika mereka mau berangkat dari rumah Biauw Jin-hong, wajah Tiauw-eng dan Tiauw-leng bukan saja menunjuk rasa khawatir tapi juga rasa takut. Sekarang ia baru yakin, bahwa Tok-chiu Yo-ong benar-benar disegani orang dan perjalanan mereka adalah perjalanan yang penuh bahaya. Saat itu ia baru merasa, bahwa sebagai seorang yang kurang pengalaman, ia sudah terlalu memandang enteng segala urusan.
Segera ia bangkit juga dan sembari menuntun kuda, ia berkata, "Tujuan kita, hanya untuk mengundang ia mengobati Biauw-tayhiap atau meminta obatnya. Terhadap ia, sama sekali kita tak mempunyai maksud kurang baik. Paling banyak ia menolak dan kita pun tidak dapat memaksanya. Perlu apa ia mencelakakan jiwa kita?"
"Saudara kecil," kata Tiauw-bun. "Usiamu masih sangat muda dan kau belum mengerti cara-cara orang Kang-ouw. Kau kata, kau tidak mempunyai maksud jahat. Tapi, ia belum pernah mengenal kau. Bagaimana ia bisa percaya, bahwa kau tidak mengandung maksud kurang baik? Lihatlah contoh yang baru saja terjadi. Lauw Ho-cin sedikit pun tidak mempunyai maksud jahat terhadap Biauw-tayhiap. Tapi akhirnya, di luar keinginannya sendiri, ia sudah menjadi gara-gara."
Ouw Hui tak berkata suatu apa, ia merasa perkataan Tiauw-bun sangat beralasan. Sesudah berdiam sejenak, Tiauw-bun berkata pula, "Sebagaimana diketahui, Tok-chiu Yo-ong mempunyai banyak sekali musuh, antaranya terdapat orang-orang yang tiada sangkut pautnya dengan itu. Bagaimana ia bisa mengetahui, bahwa kau bukan murid atau sahabat dari musuhnya? Orang itu beradat aneh dan tangannya sangat beracun. Jika tak begitu, ia tentu tidak mendapat gelaran sebagai Tok-chiu Yo-ong."
"Benar," kata Ouw Hui. "Perkataan Ciong-toaya memang benar sekali."
"Saudara kecil," kata Tiauw-bun. "Kalau kau benar-benar menghargai aku dan tidak mencela kepandaianku yang sangat cetek, mulai dari sekarang, janganlah kau menggunakan istilah `toaya' (tuan besar). Aku akan merasa syukur jika kau sudi menganggap diriku sebagai saudaramu."
"Ah!" kata Ouw Hui dengan paras muka bersemu merah. "Kau adalah seorang gagah dari tingkatan lebih atas, sedang aku hanya seorang dari tingkatan bawah, cara ...."
"Fui! Saudara kecil!" Tiauw-bun memotong perkataan Ouw Hui dengan suara keras. "Untuk bicara sejujurnya, kami bertiga sangat mengagumi kau, sesudah kita bertempur. Tapi, sudahlah! Jika kau tidak menganggap aku sebagai sahabat, aku pun tak bisa berbuat suatu apa."
Ouw Hui adalah seorang yang beradat polos dan jujur. Melihat kesungguhan Tiauw-bun, lantas saja ia tertawa berkakakan dan berseru, "Ciong-toako! Jika kau tidak menganggap aku sebagai anak kurang ajar, biarlah aku menurut segala keinginanmu!"
Tiauw-bun menjadi girang sekali dan segera melompat naik ke atas punggung kuda. "Jika kedua binatang ini tidak ngadat di tengah jalan, di waktu magrib kita sudah akan tiba di daerah Pek-ma-sie," katanya. "Saudara kecil, jangan lupa pesanku. Jangankan dalam hal makan minum, sedang mengusap sumpit saja, kau harus berhati-hati. Saudara kecil, sungguh sayang jika kau, yang mempunyai kepandaian begitu tinggi, mesti binasa dengan badan berwarna hitam."
Ouw Hui insaf, bahwa dengan berkata begitu, Ciong Tiauw-bun bukan hendak menakut-nakuti ia. Ia yakin, bahwa sebagai seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan, Tiauw-bun tidak bernyali kecil. Bahwa ia sudah memesan secara begitu, adalah suatu bukti, bahwa Tok-chiu Yo-ong benar-benar tidak boleh dibuat gegabah.
Sesudah mengaso, tunggangan mereka menjadi segar lagi dan kembali bisa lari cukup keras. Benar saja, di waktu magrib, mereka sudah tiba di Kota Pek-ma-sie. Oleh karena sempitnya jalan dan khawatir menubruk orang yang berlalu lintas, mereka segera turun dan berjalan sambil menuntun kuda. Ciong Tiauw-bun berjalan dengan kepala tegak, tak berani ia menengok ke kiri-kanan. Tapi Ouw Hui bersikap tenang, ia mengawasi warung-warung dan toko-toko yang berjajar di kedua tepi jalan. Ketika tiba di suatu tikungan ia melihat sebuah toko obat yang memasang merek "Cee-sie-tong Loo-tiam". Sekonyong-konyong, ia menarik keluar golok bersama-sama sarungnya yang terselip di pinggangnya. "Ciong-toako," katanya. "Mana poan-koan-pitmu? Berikanlah kepadaku."
Tiauw-bun terkesiap. Apa Ouw Hui sudah gila? Kenapa dia mengeluarkan senjata? Tapi karena berada di daerah berbahaya, di mana tentu terdapat banyak sekali mata-mata Yo-ong, ia tak berani menanya dan segera mengeluarkan senjatanya yang lantas diserahkan kepada Ouw Hui. "Hati-hati!" ia berbisik. "Jangan membikin gara-gara."
Ouw Hui manggut dan lantas saja berjalan masuk ke dalam toko obat itu. Ia mendekati meja tinggi yang biasa digunakan untuk menimbang obat, dan berkata, "Tuan! Kami berdua ingin menemui chungcu (majikan) dari Yo-ong-chung. Karena merasa tak pantas membawa-bawa senjata pergi menjumpai beliau, kami mohon izin tuan untuk menitipkan senjata ini di sini. Sesudah menemui chungcu, kami akan mengambilnya kembali."
Muka si orang tua yang duduk di belakang meja, lantas saja menunjukkan perasaan heran. "Kalian mau pergi ke Yo-ong-chung?" ia menegas.
Tanpa memedulikan, ia meluluskan atau tidak, buru-buru Ouw Hui meletakkan senjata-senjata itu di atas meja, mengangkat kedua tangannya dan segera berjalan keluar.
Setiba di luar kota yang sepi, Tiauw-bun mengacungkan jempolnya dan berkata, "Saudara kecil! Siasatmu tadi sungguh luar biasa. Aku si orang she Ciong merasa kagum sekali."
"Ya," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Aku terpaksa berbuat begitu, karena tak ada jalan lain yang lebih baik." Harus diketahui, bahwa Ouw Hui telah menduga, bahwa toko obat di dalam kota itu tentu mempunyai hubungan rapat dengan Tok-chiu Yo-ong, Si Raja Obat Tangan Beracun. Tindakannya tadi, yang membuktikan, bahwa mereka tidak mengandung maksud kurang baik terhadap Yo-ong, tentu akan segera dilaporkan kepada orang aneh itu. Dengan melepaskan senjata, bahaya yang sudah besar, akan menjadi lebih besar lagi. Tapi, jika ditimbang-timbang dalam keseluruhannya, risiko itu ada harganya untuk diambil.
Dengan mengikuti jalan raya, mereka terus menuju ke utara. Selagi mencari-cari penduduk di situ untuk menanyakan jalanan ke Yo-ong-chung, tiba-tiba mereka melihat satu tebing di atas gunung sebelah barat dan di atas tebing itu terdapat seorang tua yang sedang menggali rumput obat dengan pacul. Setelah datang lebih dekat, mata Ouw Hui yang sangat tajam segera dapat melihat, bahwa penggali itu adalah seorang setengah tua yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan pakaian sastrawan.
Hati Ouw Hui berdebar. "Apakah dia Tok-chiu Yo-ong?" ia menanya dirinya sendiri. Buru-buru ia menghampiri dan sesudah memberi hormat, ia berkata dengan suara nyaring, "Aku mohon petunjuk Siangkong (tuan), jalan mana harus diambil untuk pergi ke Yo-ong-chung. Kami berdua ingin menemui chungcu untuk memohon pertolongan."
Orang itu tetap menunduk dan terus memacul. Berapa kali Ouw Hui menanya tanpa diladeni, agaknya orang itu tuli.
Selagi Ouw Hui mau menanya lagi, Tiauw-bun memberi tanda dengan lirikan mata, sehingga pemuda itu mengurungkan niatnya dan bersama Tiauw-bun, ia berjalan pergi. Sesudah berjalan kurang-lebih satu li, Ouw Hui berkata, "Ciong-toako, kurasa orang itu adalah Yo-ong. Bagaimana pendapatmu?"
"Aku pun menduga begitu," jawabnya. "Tapi kita tak boleh bicara sembarangan, kecuali, kalau dia mengaku sendiri. Dalam kalangan Kang-ouw, sembarang menerka nama seseorang, merupakan pelanggaran besar. Sekarang, tak ada jalan lain daripada pergi ke Yo-ong-chung."
Sesudah menikung beberapa kali, tiba-tiba mereka melihat sebidang taman bunga yang terpisah beberapa puluh tombak dari pinggir jalan. Di tengah-tengahnya terdapat seorang wanita dusun yang mengenakan pakaian hijau dan sedang merawat bunga sambil membungkuk. Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa di belakang taman itu berdiri tiga rumah atap dan di sekitar tempat itu, tidak terdapat lagi rumah lain.
Ia maju menghampiri dan berkata sembari menyoja, "Nona, tolong tanya, jalan mana yang harus diambil untuk pergi ke Yo-ong-chung?"
Nona itu mengangkat kepala dan memandang Ouw Hui dengan kedua matanya. Ouw Hui terkejut, karena kedua mata itu dengan biji mata yang hitam jengat, bersinar tajam luar biasa. "Ah!" kata Ouw Hui dalam hatinya. "Kenapa sinar matanya begitu luar biasa?" Ouw Hui mengawasi sejenak dan mendapat kenyataan bahwa nona itu bukan seorang wanita yang berparas cantik.
Kulitnya kering kuning dan mukanya agak pucat, seperti kekurangan makan. Rambutnya juga kekuning-kuningan dan tumbuhnya jarang, kedua pundaknya tinggi dan tubuhnya kurus, semua itu menunjukkan, bahwa nona itu adalah seorang gadis miskin dari daerah pedusunan. Dilihat dari mukanya, ia kira-kira berusia enam belas atau tujuh belas tahun, tapi karena tubuhnya kurus kecil, kelihatannya seperti kanak-kanak yang baru berusia tiga belas atau empat belas tahun.
"Nona," kata Ouw Hui pula. "Numpang tanya, ke mana jalannya kalau mau pergi ke Yo-ong-chung, ke timur laut atau ke barat laut?"
"Tak tahu," jawabnya dengan suara dingin dan ia segera menundukkan kepala.
Melihat sikap itu yang agak kasar, Tiauw-bun jadi mendongkol. Akan tetapi, mengingat, bahwa tempat itu sangat berdekatan dengan Yo-ong-chung, sebisa-bisanya, ia menahan jengkelnya. "Saudara kecil," katanya. "Hayolah kita berangkat! Yo-ong-chung adalah tempat terkenal di Pek-ma-sie. Biar bagaimanapun juga, kita pasti akan dapat mencarinya."
Tapi Ouw Hui tidak sependapat dengan kawannya. Melihat, bahwa hari sudah menjadi sore dan mereka mungkin menemui kejadian yang tidak enak jika sampai salah jalan di waktu malam, dengan sabar ia menanya pula, "Nona, apakah ayah dan ibumu di rumah? Mereka tentu mengetahui jalan yang menuju ke Yo-ong-chung." Gadis itu tetap tidak meladeni. Ia terus mencabut rumput sembari menunduk.
Hati Ciong Tiauw-bun jadi semakin panas. Dengan kedua lututnya, ia menjepit perut kuda yang lantas saja mulai bertindak ke depan. Oleh karena sempitnya jalanan, kedua kaki kanan kuda itu menginjak jalan, tapi kedua kakinya yang sebelah kiri telah menginjak tanaman bunga. Tiauw-bun tidak jahat, tapi ia beradat kasar. Ditambah dengan rasa mendongkolnya dan keinginan untuk berangkat selekas mungkin, ia sama sekali tidak menghiraukan, bahwa tunggangannya menginjak tanaman kembang si nona.
Melihat sebaris tanaman itu akan segera terinjak hancur, buru-buru Ouw Hui menjambret les yang lalu ditariknya. "Hati-hati!" katanya. Karena itu, tanaman bunga tersebut jadi terhindar dari kehancuran.
"Saudara kecil, hayolah!" kata Tiauw-bun. "Guna apa berdiam lama-lama di sini?" Sembari berkata begitu, ia mengeprak tunggangannya yang lantas saja lari dengan cepat.
Sebagai seorang yang semenjak kecil hidup dalam penderitaan, di dalam hati Ouw Hui terdapat rasa kasihan yang wajar terhadap orang-orang miskin. Maka sebaliknya dari gusar, ia merasa kasihan kepada nona itu. Ia merasa, bahwa tanaman bunga itu adalah mata pencarian keluarga si gadis. Dengan adanya perasaan itu, perlahan-lahan ia menuntun kudanya, supaya hewan itu tidak menginjak tanaman. Sesudah berada di luar kebun, baru ia melompat ke atas punggung kudanya.
Tiba-tiba gadis itu mengangkat kepala dan menanya, "Untuk apa kau pergi ke Yo-ong-chung?"
Ouw Hui menahan les dan menjawab, "Seorang sahabatku telah buta kedua matanya karena terkena racun. Kami sengaja datang kemari untuk memohon obat dari Yo-ong."
"Aku hanya pernah mendengar namanya, tapi belum pernah bertemu muka dengan orang tua itu," kata si nona.
"Apakah kau kenal kepadanya!"
"Tidak," jawab Ouw Hui sembari menggelengkan kepala.
Perlahan-lahan si nona melempangkan badannya dan memandang Ouw Hui dengan matanya yang bersinar sangat tajam.
"Bagaimana kau tahu, bahwa ia akan suka memberi obat kepadamu?" tanya si nona. Wajah Ouw Hui lantas saja menjadi guram.
"Ya, aku hanya menduga begitu," jawabnya sembari menghela napas. Di lain saat, ia mendapat suatu ingatan.
"Karena bertempat tinggal di sini, dia mungkin mengenal adat Yo-ong," pikirnya. Memikir begitu, Ouw Hui lantas saja turun dari tunggangannya dan berkata sembari menyoja, "Nona, itulah sebabnya, kenapa aku memohon petunjukmu." Kata "petunjuk" ia mengandung dua maksud, yaitu minta keterangan tentang jalan ke Yo-ong-chung dan minta petunjuk tentang cara-cara untuk memohon obat.
Gadis itu tak menyahut. Ia mengawasi Ouw Hui dari kepala sampai di kaki. Berselang beberapa lama, tiba-tiba ia menuding dua tahang air seraya berkata, "Pergi ke kolam air, isikan setengah tahang, bawa tahang itu ke selokan dan isi penuh dengan air. Sesudah itu, siramlah petakan ini!"
Ouw Hui terkesiap kata-kata itu sungguh di luar dugaannya, terlebih pula sebab perkataan si nona merupakan perintah seorang majikan terhadap kulinya. Biarpun melarat, sedari kecil Ouw Hui belum pernah mengerjakan pekerjaan itu.
Sesudah memberi perintah, gadis tersebut lalu membungkuk dan terus mencabuti rumput lagi.
Sesudah hilang kagetnya, dalam hati Ouw Hui lantas saja timbul rasa kasihan. "Dia begitu kurus kering, memang juga, mana kuat dia mengangkat tahang yang begitu besar," pikirnya. "Seorang laki-laki yang kuat memang harus menolong yang lemah. Biarlah, aku membantunya." Ia menambat kudanya pada pohon liu dan segera melakukan apa yang diperintahkan si nona.
Sementara itu, sesudah melarikan kudanya beberapa puluh tombak dan Ouw Hui belum juga muncul, Ciong Tiauw-bun segera menengok ke belakang. Ia heran melihat pemuda itu sedang menghampiri selokan sembari memikul sepasang tahang tahi. "Saudara kecil, kau sedang mengerjakan apa?" ia berseru.
"Membantu nona itu melakukan sedikit pekerjaan," sahut Ouw Hui dengan suara nyaring. "Ciong-toako! Jalan saja duluan, sebentar aku menyusul."
Tiauw-bun menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar pusing menghadapi seorang muda yang selagi menjalankan tugas begitu penting, masih sempat mencampuri urusan orang lain. Tanpa berkata suatu apa, ia segera melarikan kudanya perlahan-lahan.
Sesudah mengisi kedua tahang itu dengan air selokan, Ouw Hui segera kembali dan menyiram tanaman kembang yang ditunjuk, dengan menggunakan gayung kayu. Baru saja ia menyiram satu dua kali, si nona mendadak berkata, "Salah! Terlalu kental. Kembangnya bisa lantas layu."
Ouw Hui mengawasi si nona dengan bengong, ia tak tahu harus berbuat bagaimana.
"Sekarang kau pergi lagi ke kolam, tuang isinya dan tinggalkan saja separuh," perintah gadis itu. "Sesudah itu, kau tambahkan lagi air selokan sampai penuh. Dengan campuran begitu, barulah sedang encernya."
Ouw Hui jadi agak mendelu, tapi ia menahan sabar dengan mengingat, bahwa jika ingin menolong, harus menolong sampai di akhirnya. Maka itu, lantas saja ia melakukan perintah si nona.
"Awas!" kata si nona selagi ia menyiram. "Bunganya dan daunnya jangan sampai terkena air!"
"Baiklah," sahut Ouw Hui. Sembari menyiram pelan-pelan, ia memerhatikan bunga itu yang berwarna biru dan tua dan harum luar biasa, tapi ia tak tahu, bunga apakah itu. Tak lama kemudian, isi kedua tahang itu sudah habis digunakan.
"Bagus," kata si nona. "Coba tolong sepikul lagi."
Ouw Hui berbangkit dan berkata dengan suara halus, "Sahabatku sedang menunggu aku dan ia tentu merasa sangat tidak sabar. Begini saja, sepulangnya aku dari Yo-ong-chung, aku akan mampir lagi di sini untuk membantu kau."
"Lebih baik kau berdiam di sini untuk menyiram bunga," kata si nona. "Karena melihat, bahwa kau seorang baik, baru aku meminta kau menyiram pohon-pohon itu."
Mendengar kata-kata yang aneh itu, Ouw Hui jadi semakin heran. Sesudah telanjur terlambat, ia segera mengambil putusan untuk membantu terus. Demikianlah ia memikul lagi dua tahang air kotoran dan dengan sabar ia menyiram, sehingga semua tanaman di kebun itu sudah disiramnya.
Sementara itu, matahari sudah turun di balik gunung, tapi sinarnya yang berwarna kuning emas masih menyoroti bunga-bunga biru itu, sehingga memberikan pemandangan yang indah luar biasa. "Sungguh bagus bunga itu," puji Ouw Hui berulang-ulang.
Selagi si nona hendak bicara, mendadak kelihatan Ciong Tiauw-bun mendatangi dengan mengaburkan tunggangannya. "Saudara kecil!" ia berteriak sesudah datang cukup dekat. "Belum juga kau berangkat?"
"Ya," balas Ouw Hui berteriak. "Sekarang! Sekarang juga!" Sehabis berkata begitu, ia mengawasi gadis dusun itu dengan sorot mata memohon.
Wajah gadis itu lantas saja berubah keren. "Kau membantu aku dengan maksud meminta petunjuk, bukan?" tanyanya.
Ditanya begitu, Ouw Hui lantas saja berkata di dalam hatinya. "Memang, memang aku membutuhkan petunjukmu. Tapi bantuanku yang diberikan barusan, adalah karena merasa kasihan. Sudahlah! Jika aku memohon sekarang, seperti juga aku menagih budi." Memikir begitu, ia tertawa seraya berkata, "Ah! Indah benar bunga-bunga itu, bukan?" Ia lalu membuka tambatan kudanya dan meloncat ke punggungnya.
"Tahan!" kata si nona.
Ouw Hui menengok dengan rasa tak sabar. Gadis itu membungkuk dan memetik dua kuntum bunga. "Kau kata, bunga ini indah sekali," katanya sembari melemparkan kedua bunga itu. "Nih, kuberi dua tangkai."
"Terima kasih," kata Ouw Hui yang lalu menyambuti dan memasukkan kedua-duanya ke dalam sakunya.
"Dia she Ciong, kau she apa?" tanya gadis dusun itu.
"She Ouw," jawabnya.
Si nona mengangguk dan berkata, "Jika kalian mau ke Yo-ong-chung, lebih baik mengambil jalan ke timur laut."
Tadi, Ciong Tiauw-bun mengambil jalan ke barat laut. Sesudah menunggu lama dan Ouw Hui tak muncul-muncul, ia menjadi jengkel dan segera kembali. Tapi begitu mendengar perkataan si nona, kejengkelannya lantas saja menjadi hilang. "Saudara kecil," ia berbisik sembari tertawa. "Baik juga ada kau, sehingga aku tak usah menyasar terlalu jauh."
Tapi sebaliknya, Ouw Hui sendiri merasa curiga. "Jika rumah Yo-ong berada di sebelah timur laut, sebenarnya ia dapat menerangkannya secara tegas," katanya di dalam hati.
"Kenapa ia menggunakan `lebih baik mengambil jalan ke utara timur'?" Tapi, walaupun bercuriga, ia sungkan mendesak lebih jauh dan segera berangkat bersama Tiauw-bun dengan mengambil jalan yang ditunjuk si nona.
Baru saja berjalan enam-tujuh li, di hadapan mereka mengadang sebuah telaga yang sangat luas. Jalan satu-satunya yang terdapat di situ adalah sebuah jalan kecil yang menjurus ke sebelah barat.
"Kurang ajar perempuan itu!" Tiauw-bun memaki. "Kalau ia tak suka memberitahukan, kita juga tidak memaksa. Biarlah! Kalau lewat lagi di situ, kita hajar dia!"
Ouw Hui juga merasa heran. Setelah ia berbuat baik, kenapa wanita itu masih mempermainkannya? "Ciong-toako," katanya. "Kurasa wanita itu mempunyai hubungan dengan Yo-ong-chung."
"Apakah kau melihat tanda-tanda mencurigakan?" tanya Tiauw-bun.
"Kedua matanya bersemangat dan bersinar luar biasa," sahutnya. "Aku merasa, bahwa ia bukan seorang wanita dusun yang belum pernah melihat dunia."
"Benar," kata Tiauw-bun. "Lebih baik kau melemparkan dua tangkai kembang pemberiannya itu."
Ouw Hui merogoh sakunya dan mengeluarkan kedua bunga itu. Melihat warnanya yang sangat indah, tak tega ia membuangnya. "Kembang yang begini indah belum tentu bisa mencelakakan orang," pikirnya. Ia memasukkan lagi bunga-bunga itu ke dalam sakunya sambil melarikan tunggangannya ke jurusan barat.
"Hei! Hati-hati sedikit!" seru Tiauw-bun sembari menyusul dari belakang. Ouw Hui mengiakan sambil mencambuki kudanya yang lantas saja kabur seperti terbang.
Waktu itu sudah magrib. Sedari tiba di Pek-ma-sie, hati mereka selalu kebat-kebit. Di siang hari masih mending, tapi di waktu siang sudah berganti malam, hati mereka semakin kedat-kedut. Sesudah berjalan lagi beberapa lama, mereka mendapat kenyataan, bahwa semakin jauh, pohon-pohon dan rumput-rumput jadi semakin berkurang, sehingga akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang tanahnya gundul sama sekali. Jantung Ouw Hui memukul keras dan sembari menahan les, ia berkata, "Ciong-toako, coba lihat! Selembar rumput tak terdapat di tempat ini. Sungguh mengherankan!"
"Benar," sahut Tiauw-bun. "Andai kata semua tumbuh-tumbuhan di sini dibabat manusia, sedikitnya masih kelihatan bekas-bekasnya. Aku khawatir ...." ia tidak meneruskan perkataannya, kedua matanya mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata khawatir. Sesaat kemudian, ia berbisik, "Tempat tinggal Yo-ong tentu berada dekat dari sini. Mungkin sekali, ialah yang menyebar racun, sehingga tak selembar rumput tumbuh di sini."
Ouw Hui mengangguk, ia menjadi lebih takut. Tiba-tiba ia membuka buntelannya dan mengeluarkan beberapa helai kain yang lalu digunakan untuk membebat mulut kuda Tiauw-bun dan tunggangannya sendiri. Tiauw-bun mengawasi dengan rasa kagum terhadap pemuda itu yang ternyata sangat hati-hati. Ia mengerti, bahwa Ouw Hui berbuat begitu karena khawatir, jika kedua hewan itu akan makan rumput beracun.
Dengan waspada, mereka lalu meneruskan perjalanan. Tak lama kemudian, jauh-jauh mereka melihat sebuah bangunan atau sebuah rumah, yang bentuknya aneh sekali. Rumah itu seperti juga sebuah kuburan besar, tanpa pintu dan tanpa jendela, sedang warnanya hitam mulus, sehingga kelihatannya menyeramkan sekali. Dalam jarak beberapa tombak, itu dikitari pohon-pohon katai yang daunnya berwarna merah darah, seperti daun pohon hong di musim rontok.
Ciong Tiauw-bun adalah seorang jago yang sudah kenyang mengalami kejadian-kejadian menyeramkan di kalangan Kang-ouw. Pakaian dan senjata Ciong-sie Sam-hiong sendiri sudah cukup menakutkan. Akan tetapi, pada saat itu, Tiauw-bun yang bernyali besar tak urung mengeluarkan juga keringat dingin. "Bagaimana pikiranmu?" ia berbisik.
"Kita memohon secara sopan santun," jawab Ouw Hui, "Dan melihat perkembangan selanjutnya." Ia majukan kudanya sampai di dekat pohon-pohon merah itu. Kemudian ia melompat turun dan sembari mencekal les, ia berteriak, "Ciong Tiauw-bun dari Ouwpak Utara dan Ouw Hui, seorang yang tingkatannya rendah dari Liaotong ingin menyampaikan hormat kepada Yo-ong."
Ia mengeluarkan suara itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Suaranya tidak seberapa keras, tapi "tajam" sekali, sehingga pasti akan dapat didengar oleh siapa juga yang berada di dalam rumah itu.
Rumah itu tetap sunyi senyap, tak terdengar suara apa pun juga dari dalamnya. Ouw Hui berteriak lagi beberapa kali, tapi ia tetap tidak memperoleh jawaban. Pemuda itu jadi agak mendongkol dan ia segera berteriak sekuat suaranya. "Kim-bian-hud Biauw-tayhiap terkena racun hebat! Racun itu telah dicuri dari rumah Cianpwee oleh seorang jahat. Maka itu, kami memohon Cianpwee sudi memberikan obat." Tapi teriak itu pun berhasil nihil.
Cuaca jadi semakin gelap. "Ciong-toako, tindakan apa harus diambil?" bisik Ouw Hui.
"Apakah kita mesti pulang dengan tangan kosong dan membiarkan Biauw-tayhiap buta untuk selama-lamanya?" kata Tiauw-bun.
"Benar," kata Ouw Hui dengan bersemangat. "Biar mesti terjun ke dalam sarang naga atau ke gua harimau, kita harus berdaya upaya." Sesaat itu, dalam hati mereka lantas saja timbul keinginan untuk menggunakan kekerasan. Mereka menganggap, bahwa meskipun Yo-ong lihai dalam hal menggunakan racun, ilmu silatnya belum tentu terlalu tinggi. Memikir begitu, sesudah melepaskan tunggangan mereka, Tiauw-bun dan Ouw Hui lalu mendekati pohon-pohon merah itu. Ternyata, pohon-pohon tersebut sangat lebat cabang dan daunnya, sehingga tak dapat diterobos dengan begitu saja.
Tanpa berpikir panjang, Tiauw-bun segera bergerak untuk melompati pagar pohon itu. Selagi badannya masih berada di tengah udara, tiba-tiba ia mengendus bau wangi. Sesaat itu juga, kedua matanya gelap, kepalanya pusing dan ia roboh di antara pohon-pohon itu. Ouw Hui terkejut bukan main dan segera melompat menyusul. Seperti Tiauw-bun, ia juga mengendus bau wangi itu dan dadanya lantas saja dirasakan sesak. Begitu kedua kakinya hinggap di bumi, buru-buru ia membangunkan Tiauw-bun memeriksa keadaannya. Kedua mata Tiauw-bun tertutup rapat, tangan dan mukanya dingin, tapi ia masih bernapas.
Ouw Hui menjadi bingung tercampur duka. "Ah," ia mengeluh di dalam hati. "Sedang obat untuk Biauw-tayhiap belum didapat, Ciong-toako juga sudah terkena racun. Aku sendiri pun sudah mengisap hawa beracun dan tinggal tunggu tempo saja." Karena pikiran itu, ia menjadi nekat dan lalu mendekati rumah aneh itu.
"Yo-ong Cianpwee!" ia berteriak. "Dengan tangan kosong, Boanpwee datang ke sini untuk memohon pertolongan. Sama sekali Boanpwee tidak mengandung maksud yang kurang baik. Jika Cianpwee tetap tak sudi menemui Boanpwee, Boanpwee terpaksa bertindak secara kurang ajar."
Sambil berteriak, ia meneliti keadaan bangunan itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa dari atas sampai di bawah, rumah tersebut berwarna hitam seluruhnya. Seperti juga bukan terbuat dari bahan kayu. Di samping itu, ia pun mendapat kenyataan, bahwa bangunan itu bersih luar biasa, tanpa sepotong kayu atau sebutir batu. Untuk beberapa saat, ia berdiri bengong sembari mengasah otak. Tak berani ia menyentuh dinding rumah itu, karena khawatir akan racun. Sejenak kemudian, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong perak yang lalu digunakan untuk mengetuk dinding itu. Beberapa kali suara "tring" lantas terdengar dan sekarang ia mendapat kepastian, bahwa bangunan itu dibuat dari logam. Ia lalu memasukkan perak itu ke dalam sakunya lagi. Selagi berbuat begitu, ia menunduk dan seketika itu, serupa bau wangi yang sejuk menyambar kedua hidungnya. Dan ... hampir berbareng, dadanya lega dan otaknya menjadi lebih terang. Dengan terkejut, ia menunduk lagi dan sekali lagi, ia mengendus wangi-wangian yang menyegarkan itu.
Ternyata bau wangi itu keluar dari dua kuntum bunga biru pemberian si gadis dusun. "Ah!" kata Ouw Hui dalam hatinya.
"Kalau begitu, bunga ini mempunyai khasiat untuk menolak racun. Sekarang terbukti, bahwa gadis itu adalah seorang penolong."
Sembari berpikir begitu, Ouw Hui berlari-lari mengitari rumah aneh itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa jangankan pintu dan jendela, sedang lubang kecil saja tidak terdapat di seluruh bangunan itu. "Apakah benar-benar rumah ini tiada penghuninya?" tanyanya di dalam hati. "Tanpa hawa udara, manusia tentu tak bisa berdiam lama-lama di dalamnya." Oleh karena tidak bersenjata, tentu saja ia tidak berdaya terhadap bangunan yang terbuat dari logam itu. Sesudah berpikir sejenak, ia segera mengeluarkan kedua bunga biru itu yang lalu ditempelkan pada lubang hidung Tiauw-bun. Benar saja, berselang beberapa saat, Tiauw-bun berbangkis dan mendusin.
Ouw Hui menjadi girang sekali dan lantas saja mengambil putusan untuk kembali kepada gadis dusun itu untuk memohon petunjuk lebih jelas. Ia lalu menancapkan setangkai bunga biru di baju Tiauw-bun dan mencekal yang setangkai lagi, di dalam tangannya. Sesudah itu, sambil mendukung Tiauw-bun, ia segera melompati pohon-pohon merah yang sangat beracun itu.
Baru saja kedua kakinya hinggap di atas tanah, dari dalam rumah itu mendadak terdengar bentakan, "Hei!" Suara itu yang sangat menyeramkan mengandung nada kegusaran.
Ouw Hui memutarkan badan dan menghadapi rumah itu. "Yo-ong Cianpwee!" ia berseru. "Apakah Cianpwee sudi menerima kami?" Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban dan tetap tak mendapat jawaban, sesudah ia mengulangi seruannya beberapa kali.
Tiba-tiba kesunyian sang malam dipecahkan suatu bunyi, "bruk!", seolah-olah serupa benda berat jatuh di tanah. Ouw Hui menengok ke arah bunyi itu dan dengan hati mencelos, ia mendapat kenyataan bahwa kedua tunggangan mereka sudah roboh terguling. Dengan sekali menggenjot badan, ia sudah mendekati kedua hewan itu, yang sudah putus napasnya dengan mulut mengeluarkan liur warna hitam, tapi pada badannya tidak terdapat tanda-tanda luka.
Sampai di situ, habislah keberanian kedua orang gagah itu. Sesudah berdamai dengan suara perlahan, mereka mengambil putusan untuk kembali ke kebun si gadis dusun, untuk memohon pertolongan atau petunjuk-petunjuk.
Sesudah terkena racun, kedua kaki Tiauw-bun agak lemas, sehingga mereka berjalan sembari sebentar-sebentar mengaso. Kira-kira jam dua, lewat tengah malam, baru mereka tiba di depan gubuk si gadis dusun. Di antara kesunyian sang malam, bunga-bunga biru yang sedang mekar di tengah kebun, menyiarkan bau yang harum luar biasa. Mengendus itu, dada Tiauw-bun menjadi lega dan semangatnya dengan segera pulih kembali.
Sekonyong-konyong di jendela rumah gubuk itu muncul sinar penerangan. "Brak!" pintu terbuka dan si nona kelihatan muncul. "Jiewie, masuklah," ia mengundang. "Di kampung yang melarat, aku tak dapat menyuguhkan santapan yang pantas kepada tamu. Paling banyak, teh yang tawar dan nasi yang kasar."
Buru-buru Ouw Hui merangkap kedua tangannya dan berkata sembari membungkuk, "Kami sungguh merasa malu, bahwa di tengah malam buta, kami terpaksa mengganggu Nona."
Si nona mesem dan segera bertindak ke samping, supaya kedua tetamunya bisa masuk. Begitu masuk, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa gubuk itu diperaboti secara sangat sederhana sekali, tiada bedanya seperti rumah orang miskin. Tapi ada suatu hal yang aneh, yaitu, seluruh ruangan luar biasa bersihnya, seolah-olah tak ada sekelumit debunya.
Jantung Ouw Hui memukul semakin keras. Kebersihan gubuk ini mirip dengan kebersihan rumah aneh yang dikitari pohon beracun itu.
"Ciong-ya, Ouw-ya, duduklah," si nona mengundang sembari masuk. Beberapa saat kemudian, ia membawa keluar dua mangkuk kosong, dua pasang sumpit, tiga piring sayur, semangkuk kuah, dan dua mangkuk besar nasi putih yang masih mengepul. Tiga macam sayur itu adalah tahu-ca, rebung ca-taoge dan pehcay-ca, sedang semangkuk kuah adalah sayur asin dimasak kuah. Semua santapan adalah santapan orang ciacay, tapi baunya sangat sedap sehingga menimbulkan nafsu makan.
Sesudah melalui perjalanan jauh, tak usah dikatakan lagi, mereka berdua sudah merasa sangat lapar. "Terima kasih," kata Ouw Hui sembari tertawa dan lalu mengambil mangkuk dan sumpit. Di lain saat, ia sudah makan dengan bernafsu sekali. Tapi Tiauw-bun tak berani bergerak, karena hatinya sangat bercuriga. "Semua makanan itu tentunya sudah disiapkan olehnya terlebih dulu," katanya di dalam hati. "Dia tentu sudah memastikan, bahwa kita berdua akan kembali. Hati orang Kang-ouw sukar dijajaki. Aku harus berhati-hati, lebih baik lapar daripada mampus diracuni orang."
Karena curiganya, selagi si nona pergi ke dapur, ia melirik Ouw Hui dan berbisik, "Saudara kecil, bukankah aku sudah memesan, supaya dalam jarak tiga puluh li dari rumah Yo-ong, kau tak boleh makan apa pun juga. Apakah kau lupa?"
Tapi Ouw Hui berpendapat lain. Ia menganggap, bahwa jika si nona mengandung maksud kurang baik, dia tentu tidak akan menghadiahkan dua bunga itu. Di samping itu, jika makanan yang sudah disediakan tidak dimakan, si nona tentu akan merasa tersinggung. Selagi ia mau bicara, si gadis dusun sudah keburu keluar lagi dengan membawa sebuah penampan kayu di atas mana terdapat tahang kayu kecil yang penuh dengan nasi putih.
Ouw Hui bangkit seraya berkata, "Terima kasih banyak untuk budi Nona yang sangat besar. Bisakah kami memberi hormat kepada ayah dan ibu Nona?"
"Kedua orang tuaku sudah meninggal dunia," jawabnya. "Aku hidup sebatang kara."
"Ah!" Ouw Hui mengeluarkan seruan tertahan. Tapi tanpa berkata suatu apa, ia lantas duduk pula dan terus makan lagi. Semua makanan itu dibuat dari sayur-mayur segar dan rasanya memang lezat sekali. Tanpa sangsi-sangsi, Ouw Hui makan segala apa yang disuguhkan dan untuk menyenangkan hati si nona, sembari makan, tak hentinya ia memuji santapan itu. Dengan menghela napas perlahan, Tiauw-bun mengawasi Ouw Hui yang makan terus tanpa mengenal bahaya. "Jika kau sungkan mendengar nasihatku, aku juga tak dapat berbuat apa-apa," katanya di dalam hati. "Biar bagaimana juga sama mati dirobohkan orang." Untuk mencegah tersinggungnya perasaan si gadis dusun, ia berkata, "Nona, harap kau suka memaafkan aku. Karena tadi terkena racun, perutku rasanya tak enak sekali. Aku tak ingin makan apa-apa."
Si nona lalu menuang secangkir teh dan sambil mengangsurkan cangkir itu kepada Tiauw-bun, ia berkata, "Kalau begitu minum teh saja."
Tiauw-bun menyambut dan melirik air teh yang berwarna kehijau-hijauan. Ia sebenarnya haus sekali, tapi, sesudah dicekal beberapa saat, ia menaruh cangkir itu di atas meja tanpa diminum.
Si gadis dusun bersikap tenang-tenang saja, sama sekali ia tidak menunjukkan perasaan jengkel. Melihat Ouw Hui makan seperti macan kelaparan, si nona jadi merasa girang dan kegirangannya terlihat pada sorot matanya. Ouw Hui adalah seorang yang cerdas luar biasa dan sorot mata si gadis dusun tidak terluput dari pengawasannya. Ia makan sesudah memperhitungkan untung-ruginya. Sesudah mengambil putusan untuk makan, jika santapan itu mengandung racun, makan sedikit atau makan banyak, akibatnya adalah sama. Maka, ia lalu "membuka perut" sebesar-besarnya, menghabiskan empat mangkuk nasi dan menyikat semua santapan yang berada di atas meja. Sesudah ia selesai makan, si gadis dusun lalu bergerak untuk membenahkan piring mangkuk kosong itu, tapi Ouw Hui mendahuluinya. Ia menyusun semua perabot makan itu di atas penampan dan membawa semua itu ke dapur untuk kemudian dicucinya. Sesudah bersih, ia memasukkan semua piring mangkuk tersebut ke dalam lemari, sedang si nona sendiri lalu menyapu sisa makanan yang berantakan di atas lantai. Melihat, bahwa air dalam jambangan hanya tinggal sedikit, Ouw Hui lalu mengambil dua tahang dan pergi mengambil air di selokan kecil.
Sesudah mengisi air dalam jambangan itu, Ouw Hui kembali ke ruangan depan tadi. Ia mendapat kenyataan, bahwa Tiauw-bun sudah pulas nyenyak dengan mendekam di atas meja.
"Maaf, Ouw-ya," kata si nona. "Dalam rumahku ini tidak ada kamar tamu. Ouw-ya hanya bisa mengaso dengan merebahkan diri di atas bangku panjang."
"Nona, banyak terima kasih untuk segala budimu," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Jangan kau berlaku begitu sungkan."
Gadis dusun itu tidak berkata apa-apa lagi dan segera masuk ke ruangan dalam sesudah merapatkan pintu yang tidak dikuncinya. Diam-diam Ouw Hui mengagumi gadis itu yang walaupun hidup seorang diri di tempat yang begitu sepi, masih berani menerima dua orang laki-laki menumpang. Perlahan-lahan ia mendorong pundak Tiauw-bun dan berbisik, "Ciong-toako, pindahlah ke bangku panjang."
Di luar dugaan, begitu didorong, badan Tiauw-bun miring dan terguling di atas tanah. Dengan kaget, Ouw Hui buru-buru membangunkannya. Segera juga ia mendapat kenyataan, bahwa muka Tiauw-bun panas seperti api. "Ciong-toako, kau kenapa?" tanyanya dengan perasaan bingung.
Buru-buru ia mengambil pelita dan meneliti keadaan kawannya itu. Selebar muka Tiauw-bun berwarna merah, seperti mabuk arak, sedang mulutnya berbau arak. "Eh-eh!" kata Ouw Hui dalam hatinya. "Air teh saja ia tak berani minum. Kenapa bisa jadi mabuk arak?"
Sementara itu, dalam keadaan setengah sadar, Tiauw-bun mengoceh, "Tidak! Aku tidak mabuk. Mari, mari! Mari kita minum tiga mangkuk lagi!"
Ouw Hui menduga, bahwa semua itu tentu juga perbuatan si gadis dusun yang mungkin tersinggung karena Tiauw-bun menolak makanan dan minumannya. Ia khawatir tercampur heran dan ia tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Apakah ia harus membangunkan si nona untuk memohon pertolongan, ataukah membiarkan saja sampai Tiauw-bun sadar sendiri. Di lain saat, ia mendapat pikiran lain. "Ah!" pikirnya. "Ciong-toako bukan mabuk sewajarnya. Ia tentu terkena racun."
Selagi hatinya sangat bimbang, di kejauhan mendadak terdengar jeritan sekawanan binatang liar yang sangat menyeramkan. Dalam kesunyian sang malam, suara itu sudah membangunkan bulu romanya. Didengar dari bunyinya jeritan itu adalah jeritan kawanan serigala. Tapi, daerah di sekitar Telaga Tong-teng adalah tanah datar, sehingga meskipun ada juga seekor dua ekor serigala, rombongan yang besar jumlahnya tak mungkin terdapat di tanah datar itu. Dengan hati berdebar Ouw Hui memasang kuping. Semakin lama, pekikan-pekikan itu jadi semakin dekat, kadang-kadang tercampur dengan jeritan beberapa kambing hutan. Selagi ia mau menengok lagi keadaan Tiauw-bun, tiba-tiba pintu ruangan dalam terbuka dan si nona menampakkan diri dengan mencekal ciaktay (tempat menancapkan lilin) dan dengan paras yang agak ketakutan. "Itulah kawanan serigala," katanya.
Ouw Hui mengangguk. Ia mengawasi gadis itu dan sambil menunjuk Tiauw-bun, ia berkata, "Nona ...."
Di lain saat, jeritan-jeritan itu, sudah terdengar semakin dekat. Wajah Ouw Hui lantas saja berubah pucat. Tiauw-bun sedang berada dalam keadaan pingsan, sedang sikap nona itu masih diragukannya, belum terang, apakah dia lawan atau kawan. Apakah yang harus dilakukannya? Selagi ia berada dalam kebingungan, di antara jeritan itu terdengar juga bunyi tindakan kuda yang tengah mendatangi dengan kecepatan luar biasa.
Buru-buru Ouw Hui membungkuk dan sesudah mendukung Tiauw-bun, ia melompat ke dapur untuk mencari golok. Tapi karena gelap gulita, golok itu tak gampang dicarinya.
"Apakah kau dari keluarga Beng?" demikian terdengar bentakan si gadis dusun. "Perlu apa kau datang di tengah malam buta?"
Mendengar bentakan itu yang sangat angker, hati Ouw Hui menjadi lebih lega. Sedikitnya ia mengetahui, bahwa si penunggang kuda bukan kawan gadis dusun itu. Dengan cepat ia menerobos ke luar dan masuk di pekarangan belakang. Sesudah menjumput seraup batu-batu kecil, ia melompat ke atas sebuah pohon liu dan meletakkan tubuh Tiauw-bun di antara dua cabang besar.
Di bawah sinar bintang, ia melihat, bahwa seorang laki-laki yang mengenakan pakaian abu-abu sudah memajukan kudanya sampai di depan pintu. Di belakangnya, sambil mengeluarkan geraman dan jeritan menyeramkan, datang belasan serigala itu, meluruk bagaikan kelaparan. Dilihat sekelebatan seperti juga orang itu sedang dikejar binatang-binatang buas itu. Tapi di lain saat, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa orang itu menyeret seekor kambing putih yang terus menjerit-jerit di belakang kudanya.
Bukan main herannya Ouw Hui. Apakah dia seorang pemburu yang mau menangkap serigala dengan menggunakan tunggangannya ke dalam kebun bunga. Dengan dikejar oleh kawanan serigala itu, dari timur ia melarikan kudanya ke barat dan dari barat ke timur. Dalam sekejap, seluruh tanaman bunga itu sudah terinjak hancur. Orang itu sungguh pandai menunggang kuda, karena sesudah beberapa putaran, kawanan anjing itu masih belum bisa menerkam si kambing putih yang diseret di belakang kuda.
"Ah!" Ouw Hui mendusin. "Dilihat begini, orang itu agaknya memang sengaja mau merusak kebun bunga ini! Sekarang tak dapat aku berpeluk tangan." Dengan sekali menggenjot badan, kedua kakinya sudah hinggap di atas atap rumah.
Tapi, sebelum ia keburu berbuat apa-apa, mendadak terdengar suara teriakan, "aduh!", disusul dengan kaburnya si penunggang kuda ke arah utara. Kambing itu yang ketinggalan di tengah-tengah kebun, lantas saja diterkam, dirobek dan terus dimakan oleh kawanan serigala itu.
"Jahat benar orang itu," pikir Ouw Hui sembari menimpukkan dua butir batu. Dengan serentak, dua ekor anjing roboh terguling dengan kepala hancur. Sekali lagi, Ouw Hui menyambit dengan dua butir batu. Kali ini, batu yang digunakannya agak kecil, yang sebutir mengenai perut seekor serigala dan yang sebutir lagi menghajar pundak seekor serigala lain. Meskipun tak sampai mati, kedua binatang itu lantas saja menjerit-jerit kesakitan.
Kawanan binatang buas itu agaknya mengerti, bahwa musuh mereka berada di atas atap rumah. Mereka mendongak dan menggeram sambil mengawasi pemuda itu, dengan mata berapi. Melihat kegalakan kawanan binatang itu, Ouw Hui bergidik. Tanpa bersenjata ia merasa tak ungkulan melawan kawanan serigala itu.
Sekali lagi ia mengayun tangannya untuk menimpuk seekor serigala jantan yang paling besar. Bagaikan kilat batu menyambar tenggorokan binatang itu yang lantas sudah terguling-guling dan terkaing-kaing, akan kemudian kabur sekeras-kerasnya. Seekor serigala lain, yang perutnya sudah kenyang, lantas saja turut kabur, disusul oleh serigala ketiga, keempat, dan begitu seterusnya. Dalam sekejap mereka sudah kabur jauh meninggalkan kebun bunga yang sudah hancur. Ouw Hui segera melompat turun sembari berkata, "Sungguh sayang!"
Ia merasa sayang, bahwa capai lelahnya si nona menanam dan merawat tanaman-tanaman yang begitu indah, telah dimusnahkan dalam sekejapan mata. Ia menduga, bahwa si gadis dusun tentu bukan main gusarnya.
Tapi di luar dugaan, si nona sama sekali tidak menyebut-nyebut kerusakan kebunnya dan berkata sembari tertawa, "Ouw-toako, terima kasih banyak untuk bantuanmu."
"Aku sungguh merasa sangat malu," jawab Ouw Hui. "Aku sangat menyesal, bahwa aku tidak turun tangan terlebih siang. Jika tadi aku merobohkan si penunggang kuda sebelum dia masuk kebun, tanaman bunga itu tentu akan dapat diselamatkan."
Si nona bersenyum manis dan berkata dengan suara tenang, "Andai kata tidak dirusak anjing hutan, beberapa hari lagi bunga-bunga itu tentu akan layu sendiri."
Ouw Hui terkejut, karena ia merasa, bahwa gadis dusun itu sudah mengeluarkan kata-kata aneh, yang seolah-olah merupakan ramalan. "Sesudah menerima budi yang begitu besar, aku belum mengetahui she Nona yang mulia," kata Ouw Hui dengan sikap menghormat.
Wajah si nona lantas saja berubah angker. "Aku she Thia," jawabnya. "Di hadapan orang lain, harap kau jangan menyebut-nyebut sheku itu." Ia mengucapkan kata-kata itu dengan nada seolah-olah Ouw Hui adalah anggota keluarganya sendiri.
Ouw Hui menjadi sangat girang dan ia maju setindak lagi.
"Tapi, apakah aku boleh mengetahui nama Nona?" tanyanya lagi.
"Kau sangat baik," kata si nona. "Sudah telanjur biarlah aku sekalian memberitahukan namaku kepadamu. Aku bernama Leng-so. Leng dari leng-kie dan So dari so-bun."
Walaupun tidak mengetahui, bahwa leng-kie dan so-bun adalah nama dua kitab obat, Ouw Hui merasa nama itu enak sekali didengarnya dan ia semakin yakin, bahwa gadis dusun itu bukan sembarang orang.
"Kalau begitu," katanya sembari tertawa. "Biarlah aku panggil kau Leng-kouwnio (Nona Leng)."
Si nona tertawa manis dan berkata, "Kau sungguh ramah tamah." Jantung Ouw Hui mendadak berdebar keras. Gadis dusun itu bukan seorang gadis cantik. Akan tetapi, lagu bicaranya dan tertawanya yang manis mempunyai serupa daya penarik yang luar biasa.
Selagi ingin menanyakan keadaan Tiauw-bun, si nona sudah mendahului. "Keadaan Ciong-toakomu sama sekali tidak berbahaya. Besok pagi, ia akan sadar dari mabuk araknya. Sekarang aku ingin pergi menemui beberapa orang. Apakah kau mau turut?"
Sekali lagi Ouw Hui merasa heran. Siapa yang ingin dijumpainya di tengah malam buta? Ia tak berani menanyakannya. Satu hal ia memastikan, tindakan si gadis dusun tentu mempunyai arti yang sangat penting. "Aku ikut," jawabnya tanpa berpikir panjang-panjang lagi.
"Baik," kata si nona.
"Tapi sebelum kita berangkat, kau harus membuat dulu tiga perjanjian. Pertama, kau tak boleh bicara dengan orang lain ...."
"Akur," kata Ouw Hui. "Aku akan berlagak gagu."
"Tak usah," kata Leng-so sembari tertawa.
"Dengan aku, tentu saja kau boleh bicara. Kedua, kau tak boleh bertempur, tak boleh melepaskan senjata rahasia atau menutuk jalan darah orang. Semua tak boleh. Ketiga, kau tidak boleh terpisah lebih dari tiga tindak dari sampingku."
Dengan merasa sangat girang, Ouw Hui lantas saja mengiakan. Ia yakin, bahwa si nona akan membawa dia kepada Tok-chiu Yo-ong. "Apakah kita berangkat sekarang?" tanyanya.
"Kita harus membawa sedikit barang," jawabnya sembari masuk ke dalam kamarnya. Lewat kira-kira seminuman teh, ia keluar lagi dengan memikul dua keranjang bambu yang tertutup, sehingga tak dapat diketahui apa isinya.
"Biarlah aku yang memikulnya," kata Ouw Hui sembari mengambil pikulan itu yang segera dilintangkannya. Segera juga ia mendapat kenyataan, bahwa kedua keranjang itu tak mudah dipikulnya, karena yang sebelah sangat berat, kira-kira seratus tujuh puluh kati beratnya, sedang yang lain sangat enteng. Ia heran, tapi tak mengatakan suatu apa.
Sebelum berangkat, ia menengok ke arah Tiauw-bun yang sedang menggeros dengan mengeluarkan hawa arak dari mulut dan hidungnya.
Sesudah Leng-so mengunci pintu, mereka lalu berangkat dengan si nona berjalan di depan. "Leng-kouwnio," kata Ouw Hui. "Bolehkah aku menanyakan suatu hal?"
"Boleh saja jika aku dapat menjawabnya," sahut si nona.
"Jika kau tak bisa, dalam dunia ini tiada orang lain yang bisa menjawabnya," kata Ouw Hui. "Kau sendiri tahu, Ciong-toako tidak minum setetes air atau menelan sebutir nasi. Tapi, kenapa dia sampai jadi mabuk begitu rupa?"
Gadis dusun itu tertawa geli. "Dia mabuk justru karena tak minum dan tak makan," jawabnya.
"Ah! Inilah benar-benar suatu hal, yang aku tak mengerti," kata pula Ouw Hui. "Ciong-toako adalah seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kang-ouw. Kui-kian-ciu Ciong-sie Sam-hiong di Ouwpak Utara adalah orang-orang yang terhitung mempunyai ilmu silat tinggi dalam Rimba Persilatan. Di lain pihak, aku adalah seorang yang berkepandaian sangat cetek. Tapi siapa nyana, sedang ia begitu berhati-hati, ia justru ...." ia tak bicara terus dan berhenti sampai di situ.
"Bicara saja terus terang," kata si nona. "Kau tentu ingin mengatakan, bahwa ia begitu berhati-hati, tapi tak urung dapat kurobohkan. Bukankah begitu? Apakah kau mengira, bahwa orang yang berhati-hati selamanya akan selamat? Justru orang seperti kau, yang sukar mendapat bahaya."
"Kenapa begitu?" tanya Ouw Hui.
"Disuruh memikul tahi, kau pikul, disuruh makan, kau lantas makan," jawabnya sembari tertawa. "Terhadap bocah yang begitu menurut, mana orang tega menurunkan tangan jahat?"
"Oh, kalau begitu, menjadi manusia harus mendengar kata," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Tapi caramu mencelakakan orang benar-benar luar biasa. Sehingga sekarang, aku masih belum bisa menebak, bagaimana kau melakukannya."
"Baiklah, kepadamu, aku rela membuka rahasia," kata si nona. "Apakah kau melihat kembang putih kecil, yang berada di ruangan tengah?"
Karena bunga itu tidak mencolok mata dan agaknya hanya perhiasan belaka, Ouw Hui tidak memerhatikannya. Sekarang ia ingat bahwa di samping meja makan, terdapat sebuah meja kecil, di atas mana telah ditempatkan sebuah jambangan kembang, dengan sekuntum bunga putihnya.
"Bunga itu dinamakan Tek-ouw-hiang," si nona menerangkan. "Yang dapat memabukkan orang adalah baunya yang harum. Siapa juga yang mengendusnya, pasti akan roboh dengan tanda-tanda seperti orang mabuk arak. Dalam makanan dan air teh, aku sudah mencampurkan obat pemunahnya."
Mendengar keterangan itu, Ouw Hui menjadi kagum berbareng jeri. Menurut kebiasaan, cara meracuni orang adalah mencampurkannya ke dalam minuman atau makanan. Tapi cara si gadis dusun masih jauh lebih lihai sehingga seorang Kang-ouw kawakan seperti Ciong Tiauw-bun masih kena dirobohkan juga.
"Sebentar, begitu pulang, aku akan segera memberikan obat pemunahnya kepada kawanmu itu," kata Leng-so. "Tak usah kau khawatir."
Perkataan si nona sudah membikin Ouw Hui teringat suatu hal. "Nona ini pandai menggunakan racun dan pandai pula menyembuhkan penyakit akibat racun," pikirnya. "Mungkin sekali, ia juga dapat menyembuhkan kedua mata Biauw-tayhiap. Jika benar begitu, tak usah aku capai-capai pergi menemui Tok-chiu Yo-ong." Memikir begitu, lantas saja ia menanya, "Leng-kouwnio, bisakah kau mengobati penyakit akibat racun Toan-chung-co?"
"Sukar dikatakan," sahutnya.
Mendengar jawaban itu, Ouw Hui tak berani mendesak lagi. Sambil mengikuti di belakangnya, ia melihat bahwa tindakan si nona enteng luar biasa, tapi bukan karena menggunakan ilmu mengentengkan badan. Tak lama kemudian, mereka sudah melalui enam-tujuh li. Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa mereka sedang menuju ke arah timur dan bukan ke jurusan Yo-ong-chung. Mendadak, ia mengingat suatu hal dan lantas saja menanya, "Leng-kouwnio, aku ingin mengajukan pertanyaan lain. Tadi, sebelum aku dan Ciong-toako berangkat ke Yo-ong-chung, kau telah mengatakan, `lebih baik jalan ke timur laut.' Kau sudah menyesatkan kami, sehingga kami mesti berjalan memutar, yang lebih panjang kira-kira dua puluh li daripada semestinya. Kenapa kau sudah berbuat begitu? Sampai sekarang aku masih belum mengerti."
Si nona tertawa. "Sudahlah! Janganlah menanya berbelit-belit," katanya. "Kau tentu ingin menanya, rumah Yo-ong terletak di barat daya, kenapa kita sekarang menuju ke timur? Bukankah itu yang kau ingin menanyakan?"
Muka Ouw Hui jadi bersemu merah. "Benar, kau telah menebak tepat sekali," katanya dengan suara perlahan.
"Kita tidak berjalan menuju ke Yo-ong-chung, karena kita memang bukan mau pergi ke Yo-ong-chung," kata gadis dusun itu.
Ouw Hui terkejut, karena pernyataan itu adalah di luar dugaannya. "Ah!" ia mengeluarkan seruan tertahan.
"Apakah kau tahu, kenapa siang tadi aku meminta kau menyiram pohon-pohon bunga?" tanya Leng-so. "Pertama, untuk mencoba-coba hatimu dan kedua, untuk memperlambat perjalananmu. Sesudah itu, aku sengaja menunjukkan jalan memutar yang lebih panjang kira-kira dua puluh li daripada semestinya. Dengan berbuat begitu, aku juga bermaksud untuk memperlambat perjalananmu, supaya kau tiba di Yo-ong-chung di waktu malam. Kenapa aku berbuat begitu? Kau harus mengetahui, bahwa pohon-pohon merah yang mengitari Yo-ong-chung kurang beracunnya di waktu malam, sehingga bisa dilawan dengan bunga biru yang kuberikan kepadamu."
Mendengar penjelasan itu, bukan main kagumnya Ouw Hui. Ia sekarang merasa takluk dan berterima kasih kepada nona dusun itu yang ternyata sudah menolong ia dengan sesungguh hati. Maka itu, tanpa menanya suatu apa lagi, ia segera mengikuti Leng-so berjalan ke arah timur.
Sesudah berjalan lagi lima enam li, mereka masuk ke dalam hutan yang lebat. "Sudah tiba, tapi mereka belum datang," kata Leng-so. "Biarlah kita menunggu di sini. Tolong, letakkan keranjang ini di bawah pohon itu." Sembari berkata begitu, Leng-so menunjuk sebuah pohon besar. Ouw Hui lantas saja melakukan apa yang diminta.
Sesudah itu, si nona mendekati gerombolan rumput tinggi yang terpisah kira-kira sembilan tombak dari pohon besar tersebut.
"Tolong, bawalah kemari keranjang yang satunya lagi," kata Leng-so sembari masuk ke dalam gerombolan. Tanpa berkata suatu apa, Ouw Hui menenteng keranjang itu dan turut masuk ke dalam rumput-rumput tinggi tersebut. Ia mendongak, mengawasi langit dan memandang sang bulan yang sudah tenggelam di barat. Waktu sudah tengah malam, di dalam hutan yang sunyi hanya terdengar bunyi kutu-kutu kecil, diseling dengan suara burung-burung malam.
Beberapa saat kemudian, si nona memberikan sebutir pil kepada Ouw Hui sambil berbisik, "Isaplah ini dalam mulutmu, jangan ditelan." Tanpa ragu-ragu, Ouw Hui memasukkan pil itu yang rasanya sangat pahit, ke dalam mulutnya.
Dengan menahan napas, mereka menunggu. Antara mereka berdua, adalah Ouw Hui yang tak mengetahui, apa atau siapa yang sedang ditunggu. Ia mengingat, bahwa selama sehari dan semalam, pengalamannya sungguh luar biasa. Dan dalam lamunannya, tiba-tiba ia teringat Wan Cie-ie.
"Ah. Di mana ia sekarang?" ia menghela napas. "Jika sekarang yang berada di sampingku adalah dia, entah apa yang akan dikatakannya." Memikir begitu, tanpa merasa ia merogoh saku dan mengusap-usap burung hong dari giok, pemberian nona Wan.
Sesudah menunggu kurang-lebih setengah jam, tiba-tiba Leng-so menarik ujung bajunya dan menuding ke suatu jurusan. Ouw Hui memandang ke jurusan itu dan melihat sinar teng (lentera) di kejauhan. Umumnya, api teng bersinar merah, tapi api itu hijau sinarnya. Teng itu bergerak cepat luar biasa dan dalam sekejap, sudah berada dalam jarak belasan tombak. Dari sinar api, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa yang menenteng teng itu, adalah seorang wanita bungkuk dan jalannya terpincang-pincang diikuti seorang laki-laki di belakangnya. Jantung Ouw Hui memukul keras. Ia ingat keterangan Tiauw-bun, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah
seorang perempuan yang berbadan bungkuk.
Ia melirik Leng-so tapi dalam kegelapan malam, tak dapat ia melihat muka si nona. Apa yang dapat dilihatnya hanyalah sepasang matanya yang bersinar, sedang mengawasi kedua orang itu, dengan sifat tegang. Pada detik itu, timbullah rasa kesatria dalam lubuk hati Ouw Hui. "Jika Tok-chiu Yo-ong mengganggu Leng-kouwnio, walaupun mesti mati, aku tentu akan menolong," katanya di dalam hati.
Kedua orang itu berjalan semakin dekat. Ternyata, meskipun bercacat, wanita itu berparas cantik, tapi yang laki-laki beroman jelek dan sifatnya galak sekali. Usia mereka kira-kira sebaya, kurang-lebih empat puluh tahun. Dengan pengalaman dan kepandaiannya yang tinggi, tak pernah Ouw Hui merasa keder, menghadapi jagoan yang bagaimana besar juga namanya. Tapi, pada saat itu, dalam suasana menyeramkan, hatinya berdebar-debar. Ia merasa, bahwa terhadap orang-orang aneh itu, ia tak bisa mengandal kepada ilmu silatnya saja.
Ketika hanya tinggal terpisah tujuh-delapan tombak dari tempat persembunyian Ouw Hui dan Leng-so, kedua orang itu mendadak membelok ke kiri dan berjalan lagi, belasan tombak, akan kemudian menghentikan tindakannya. Yang laki-laki mendongak ke atas dan berseru dengan suara nyaring, "Bok-yong-suheng! Menurut perjanjian. Kami berdua suami-istri sudah tiba di sini. Hayolah keluar!" Teriakan itu tak mendapat jawaban.
"Bok-yong-suheng!" seru si wanita bungkuk dengan suara halus. "Jika kau sungkan menampakkan diri, kami terpaksa akan berlaku kurang ajar terhadapmu." Teriakan itu juga berhasil nihil.
Ouw Hui merasa geli dan berkata di dalam hatinya, "Inilah yang dinamakan balas-membalas. Tadi kau tak meladeni aku, sekarang kau yang tak digubris."
Sesaat kemudian, wanita itu merogoh sakunya dan mengeluarkan seikat rumput yang lalu dinyalakan di api teng. Dalam sekejap, di sekitar situ sudah penuh dengan asap putih yang berbau wangi.
Mendengar perkataan "terpaksa berlaku kurang ajar", Ouw Hui mengetahui, bahwa asap itu tentulah asap beracun. Ia juga mengerti, bahwa ia tidak mendapat gangguan karena khasiat pil pemberian si nona. Ia melirik Leng-so yang kebetulan sedang memandang ke arahnya, dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Besar sekali rasa terima kasih Ouw Hui. Ia tersenyum dan manggut beberapa kali. Semakin lama, asap itu jadi semakin tebal. Sekonyong-konyong, dari dalam keranjang yang berada di bawah pohon, terdengar suara orang berbangkis. Ouw Hui terkesiap, karena baru sekarang ia mengetahui, bahwa tadi ia telah memikul seorang manusia hidup. Bahwa ia tidak mengenal soal-soal racun, adalah hal yang bisa dimengerti.
Akan tetapi, dengan kepandaiannya yang cukup tinggi, sungguh ia tak mengerti, mengapa ia sudah memikul manusia hidup, tanpa mengetahuinya. Menurut pantas, manusia hidup harus bernapas dan pernapasan itu mesti didengarnya.
Sementara itu, orang yang berada di dalam keranjang, sudah berbangkis beberapa kali dan di lain saat tutup keranjang itu terbuka, disusul keluarnya seorang laki-laki sambil melompat. Orang itu, yang mengenakan jubah panjang dan memakai ikat kepala sebagai sastrawan, ternyata bukan lain daripada si orang tua yang pernah diketemui Tiauw-bun dan Ouw Hui di atas gunung. Begitu kedua kakinya menginjak bumi, ia mengawasi kedua suami istri itu dengan mata melotot dan membentak, "Bagus! Kiang-sutee, Sie-sumoay. Bertahun-tahun kita tak pernah bertemu dan kelihatannya, makin lama tanganmu jadi semakin kejam!"
Suami istri itu mengawasi si orang tua yang pakaiannya tak rapi dan ikat kepalanya miring ke samping. "Kau mengatakan kami kejam?" kata yang laki-laki dengan suara dingin. "Siapa yang tahu, kau bersembunyi di dalam keranjang? Bok-yong-suheng ...."
Baru saja ia berkata begitu, si orang tua mengendus-endus udara beberapa kali dengan wajah berubah dan buru-buru ia mengeluarkan sebutir pil yang lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.
Sementara itu, si wanita bungkuk sudah memadamkan rumput racunnya yang kemudian dimasukkan kembali ke dalam sakunya. "Bok-yong-suheng!" katanya. "Sudah tak keburu lagi! Sudah terlambat!"
Wajah orang tua itu menjadi pucat bagaikan mayat, ia duduk di tanah dan berselang beberapa saat, baru ia berkata, "Baiklah, aku kalah. Mulai dari sekarang, aku tak akan membuntuti kamu lagi."
Laki-laki yang beroman jelek itu, segera mengeluarkan sebuah botol kecil yang berwarna merah. Ia mengacungkan botol itu seraya berkata, "Inilah obat pemunah untuk Toan-chung-co. Sutitmu (anak dari saudara seperguruan) telah dicelakakan dengan racunmu. Maka itu, kau juga harus memberikan obat pemunahnya."
"Dusta!" bentak si orang tua. "Apakah kau maksudkan Siauw-tiat? Beberapa tahun aku tak pernah bertemu dengan ia. Jangan bicara sembarangan."
"Apakah kau menjanjikan kami datang ke sini hanya untuk mengatakan begitu?" tanya si wanita bungkuk dengan suara gusar. Ia berpaling kepada suaminya dan berkata pula, "Tiat-san, hayolah kita berangkat!" Ia memutarkan badan dan segera berjalan pergi.
Tiat-san tak bergerak, ia kelihatan sangat bersangsi. "Siauw-tiat ...." katanya.
Wanita bungkuk itu menghentikan tindakannya dan menengok, "Dia sangat membenci kita," katanya. "Dia agaknya lebih suka mati daripada mengampuni Siauw-tiat. Apakah kau masih belum bisa melihat kenyataan itu?"
Tiat-san masih juga belum mau berlalu. Ia mengawasi si orang tua dan berkata, "Bok-yong-suheng, sudah dua puluh tahun kita saling mendendam. Apakah sekarang belum tiba waktunya untuk menghilangkan semua ganjalan itu? Siauwtee ingin mengajukan suatu usul, yaitu kita sekarang saling menukar obat dan mengakhiri segala permusuhan." Ia mengucapkan perkataan itu dengan suara memohon, sehingga hati si orang tua terpengaruh juga.
"Sie-sumoay," katanya. "Siauw-tiat terkena racun apa?" Si wanita bungkuk tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin.
"Bok-yong-suheng," kata pula Tiat-san dengan suara mendongkol. "Sampai di sini, tak usah kita berpura-pura lagi. Siauwtee memberi selamat, bahwa kau sudah menanam Cit-sim Hay-tong (Bunga Hay-tong Tujuh Hati) ...."
"Siapa menanam Cit-sim Hay-tong?" teriak si orang tua.
"Apakah Siauw-tiat terkena racun Cit-sim Hay-tong? Bukan aku! Tentu saja bukan aku!" teriaknya penuh dengan suara ketakutan, sedang wajahnya menjadi pucat sekali.
"Sudahlah, Bok-yong-suheng," kata wanita itu.
"Tak usah kita membicarakan yang tak perlu. Aku hanya ingin menanya, untuk apa kau menjanjikan kami datang ke sini?"
"Tidak, sama sekali aku tak pernah minta kamu datang ke sini," jawabnya sembari menggelengkan kepala.
"Aku sungguh tak mengerti. Kamu, yang sudah membawa aku kemari, berbalik mengatakan akulah yang meminta kamu datang ke sini." Sesudah berkata begitu, dengan gusar ia menendang keranjang bambu itu yang lantas terpental beberapa tombak jauhnya.
"Apakah surat ini bukan ditulis olehmu?" tanya si wanita dengan suara mengejek.
"Bok-yong-suheng, mataku belum lamur. Aku cukup mengenal gaya tulisanmu." Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sehelai kertas yang lalu diangsurkannya kepada orang tua itu.
Selagi si orang tua mau menyambuti, tiba-tiba saja ia mendapat suatu ingatan dan lalu mengebas dengan telapakan tangannya, sehingga kertas itu terpental dan melayang-layang di tengah udara. Hampir berbareng dua jeriji tangan kirinya menyentil dan sebatang touw-kut-teng (paku penembus tulang) menyambar dan memaku kertas itu di batang pohon.
Hati Ouw Hui berdebar. "Sungguh berbahaya berurusan dengan orang-orang begini," pikirnya. "Setiap detik kita harus berhati-hati. Si tua agaknya tak berani memegang kertas itu yang dikhawatirkan ada racunnya."
Si wanita bungkuk mengangkat tinggi-tinggi teng yang dipegangnya. Di atas kertas itu terdapat dua baris huruf-huruf besar yang berarti seperti berikut: Kiang dan Sie, kedua saudara. Harap datang di Hek-houw-lim (Hutan Harimau Hitam) sesudah jam tiga. Ada urusan penting yang ingin didamaikan.
Huruf-huruf itu berbentuk tinggi kurus, mirip sekali dengan bentuk badan si orang tua. "Ah!" ia mengeluarkan teriakan heran.
"Bok-yong-suheng, kenapa?" tanya si laki-laki jelek.
"Itu bukan tulisanku," jawabnya. Kedua suami istri itu saling memandang dan pada bibir mereka tersungging senyum menyindir.
"Heran, sungguh heran!" kata si orang tua.
"Huruf-hurufnya memang mirip dengan tulisanku." Ia mengusap-usap jenggotnya dan mendadak berteriak dengan suara gusar,
"Binatang! Dengan maksud apa, kamu memasukkan aku ke dalam keranjang dan membawa aku kemari? Aku sudah bersumpah, bahwa selama hidupku, tak sudi aku melihat lagi cecongormu!"
"Sudahlah, jangan berpura-pura!" si wanita bungkuk balas membentak.
"Siauw-tiat terkena racun Cit-sim Hay-tong. Katakan saja, kau mau mengobati atau tidak?"
"Kau tahu pasti?" tanya si orang tua.
"Kau tahu pasti, Cit-sim ... Cit-sim Hay-tong?" ketika mengatakan "Cit-sim Hay-tong", suaranya bergemetar seperti ketakutan.
Perlahan-lahan Ouw Hui mengerti duduknya persoalan. Ia menduga, bahwa seorang yang berkepandaian sangat tinggi memainkan peran dalam peristiwa ini. Tapi siapakah orang itu? Tanpa merasa ia melirik Leng-so. Mungkinkah gadis kurus kering ini yang sudah mengerjakan semua itu? Selagi Ouw Hui sangsi, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan, "uuh!" yang menyeramkan dan aneh kedengarannya. Ia berpaling dan mendapat kenyataan, bahwa suara tersebut dikeluarkan si orang tua dan kedua suami istri
itu sembari mendorong kedua tangan mereka ke depan.
Dalam sekejap, kesunyian sang malam dipecahkan oleh suara, "uuh, uuh, uuh" yang tiada henti-hentinya.
Mendadak, suara-suara itu berhenti, disusul berkelebatnya suatu sinar dingin dan padamnya api teng. Ternyata, lilin teng itu telah dipadamkan dengan paku touw-kut-teng yang dilepaskan oleh si tua. Di lain saat terdengar teriakan "aduh" dari si laki-laki bermuka jelek yang rupa-rupanya sudah dilukai dengan senjata rahasia si orang tua.
Ketika itu, dalam kegelapan, keadaan sungguh menyeramkan, seolah-olah setiap jengkal tanah dalam hutan Hek-houw-lim diliputi bahaya besar. Tanpa merasa, darah kesatria Ouw Hui meluap-luap. Ia mencekal tangan Leng-so yang lalu ditariknya ke belakang, sedang ia sendiri maju ke depan, siap sedia untuk mengorbankan jiwanya guna gadis itu.
Sesudah teriakan lelaki itu, keadaan kembali sunyi senyap. Yang didengar Ouw Hui hanyalah bunyi kutu-kutu kecil dan suara "ku-ku" dari burung-burung malam. Tiba-tiba, sebuah tangan kecil halus mencekal tangannya yang besar kasar. Ia terkejut. Tangan itu seolah-olah tangan seorang anak kecil yang sedang meminta perlindungan. Barusan ia menduga, bahwa Leng-so memainkan peran dalam peristiwa ini. Tapi sekarang ia merasa, bahwa si nona sendiri berada dalam ketakutan.
Di antara kesunyian itu, sekonyong-konyong muncul dua gulung asap, segulung putih dan segulung berwarna abu-abu, yang seperti dua ekor ular, menyambar ke depan dari kiri dan kanan. Munculnya asap itu disusul dengan suara "fuh-fuh-fuh", seperti orang meniup api. Ouw Hui membuka kedua matanya lebar-lebar dan samar-samar, ia dapat melihat dua sinar api, di sebelah kiri dan kanan. Di belakang sinar api yang satu adalah si orang tua, sedang di belakang sinar yang lain adalah si wanita bungkuk. Mereka sedang membungkuk sembari meniup-niup titik api itu yang mengeluarkan asap. Sekarang Ouw Hui mengerti, bahwa mereka tengah menggunakan asap serupa rumput beracun untuk saling merobohkan.
Semakin lama, sekitar tempat itu diliputi asap yang semakin tebal. Ouw Hui mencekal erat-erat tangan Leng-so yang agak bergemetar. Mendadak, dari sebuah pohon terdengar suara aneh. Ouw Hui mendongak dan mengawasi. Ternyata pohon itu adalah pohon, di mana kertas tadi terpaku dengan touw-kut-teng. Ia terkesiap karena kertas itu mengeluarkan sinar terang dan dengan pertolongan sinar itu terlihatlah beberapa baris huruf.
Si orang tua dan si wanita juga sudah melihat perubahan aneh pada kertas itu. Mereka berhenti meniup api dan mengawasi. Dalam kegelapan, huruf-huruf itu kelihatan tegas sekali dan terbaca seperti berikut:
Surat ini adalah untuk ketiga muridku, Bok-yong Keng-gak, Kiang Tiat-san, dan Sie Kiauw.
Dengan melupakan kecintaan saudara seperguruan, kamu saling mencelakakan. Kejadian itu sangat mendukakan aku.
Maka itu, mulai dari sekarang, kamu harus segera memperbaiki segala kekeliruanmu dan menuntut penghidupan sesuai dengan keinginanku. Segala sesuatu mengenai berpulangnya aku ke alam baka, kamu bisa mengetahui dari muridku Leng-so.
Pesan terakhir dari aku, si padri Bu-tin.
Si orang tua dan si wanita mengeluarkan seruan kaget. "Apakah Suhu sudah wafat?" kata mereka serentak. "Thia-sumoay! Di mana kau?"
Dengan perlahan Leng-so meloloskan tangannya dari genggaman Ouw Hui dan mengeluarkan sebatang lilin yang lalu dinyalakannya dengan bahan api. Sesudah itu, baru ia berjalan keluar dengan tindakan tenang.
Paras muka si orang tua, yang bernama Bok-yong Keng-gak, dan si wanita bungkuk, yang bernama Sie Kiauw, lantas saja berubah. "Sumoay!" mereka membentak. "Mana Yo-pian (Kitab Malaikat Yo-ong)? Kaulah yang menyimpannya?"
"Bok-yong-suheng, Sie-suci," kata Leng-so sembari tertawa dingin. "Kamu sungguh tak mempunyai perasaan. Budi Suhu yang sudah mengajar dan memelihara kamu adalah sebesar gunung. Sebaliknya dari memerhatikan mati-hidup beliau, yang kamu ingat hanyalah peninggalan beliau. Kiang-suheng! Bagaimana pendapatmu?"
Mendengar pertanyaan Leng-so, Kiang Tiat-san yang rebah sedari tadi, mengangkat kepalanya dan berteriak dengan suara gusar, "Lekas keluarkan Yo-ong Sin-pian! Siauw-tiat tentu kau yang melukai! Tak bisa salah lagi, segala kejadian sepanjang malam ini adalah kerjaanmu sendiri!" Leng-so mengawasi saudara seperguruannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Suhu memilih kasih," kata Bok-yong Keng-gak. "Sudah pasti, ia menyerahkan kitab itu kepadamu!"
"Sumoay keluarkanlah kitab itu," bujuk Sie Kiauw. "Marilah kita beramai-ramai mempelajarinya."
Dengan kedua matanya yang sangat tajam, untuk beberapa lama Leng-so mengawasi ketiga orang itu. "Benar," akhirnya ia berkata. "Memang benar, Suhu telah menghadiahkan Yo-ong Sin-pian kepadaku." Ia merogoh sakunya dan berkata pula, "Inilah surat wasiat Suhu. Bacalah." Sembari berkata begitu, ia mengangsurkan selembar kertas kepada Sie Kiauw yang lalu bergerak untuk menyambutinya.
"Awas!" seru Kiang Tiat-san. Sie Kiauw sadar, ia melompat mundur sambil menuding satu pohon.
Leng-so menghela napas dan mencabut sebatang tusuk konde perak dari rambutnya. Ia menusuk kertas itu dan dengan sekali mengayun tangan, ia membuat pantek konde itu dengan kertasnya sudah terpaku di pohon yang ditunjuk Sie Kiauw.
Ouw Hui kagum melihat timpukan itu. "Sungguh tak dinyana, gadis dusun yang kurus kering ini mempunyai kepandaian yang begitu tinggi," katanya di dalam hati. Ia mengawasi kertas yang terpaku di pohon itu dan dengan bantuan sinar lilin Leng-so, dapatlah ia membaca tulisan itu yang berarti seperti berikut:
Surat wasiat ini diberikan kepada muridku Leng-so.
Sesudah aku meninggal dunia, kau boleh segera memberitahukan kejadian itu kepada suheng dan sucimu. Kau hanya boleh memperlihatkan Yo-ong Sin-pian kepada orang yang menunjukkan kecintaan seorang murid kepadaku, si padri tua. Murid yang sama sekali tidak menunjukkan rasa duka dan rasa cinta, tak kuaku sebagai murid lagi, perhubungan antara aku dan dia sudah menjadi putus karenanya. Inilah pesanku kepadamu.
Surat terakhir dari gurumu, si padri Bu-tin.
Sesudah membaca surat wasiat itu, Keng-gak, Tiat-san, dan Sie Kiauw saling mengawasi dengan mulut ternganga. Tak dapat mereka membantah, bahwa kelakuan mereka barusan bukanlah kelakuan yang pantas dari seorang murid terhadap gurunya. Sesudah mengetahui, bahwa sang guru meninggal dunia, sedikit pun mereka tak berduka dan sepatah pun mereka tak menanyakan hal meninggalnya guru itu. Yang mereka ingat, hanyalah peninggalan sang guru. Untuk beberapa saat, mereka seperti orang terkesima. Tiba-tiba, sambil berteriak, mereka menerjang dengan serentak.
"Leng-kouwnio, awas!" seru Ouw Hui sembari melompat dari tempat sembunyinya. Sesaat itu, kedua tangan Sie Kiauw sedang menyambar ke arah muka Leng-so. Cepat bagaikan kilat, Ouw Hui menangkis dengan sebelah tangannya dan berbareng dengan bunyi "plak!" tubuh Sie Kiauw terpental dua tombak jauhnya. Begitu berhasil, ia membalikkan tangannya dan menjambret pergelangan tangan Tiat-san, dan kemudian, dengan menggunakan Loan-hoan-koat dari Thay-kek-kun, ia mendorong dengan meminjam tenaga musuh. Tubuh Tiat-san yang tinggi besar lantas saja terpental beberapa tombak dan ambruk di atas tanah.
Sekarang ia mendapat kenyataan, bahwa kedua suami istri itu yang lihai dalam menggunakan racun, tidak seberapa tinggi ilmu silatnya. Buru-buru ia memutarkan badan untuk menghadapi Bok-yong Keng-gak. Tapi, sebelum ia keburu bergerak, mendadak badan orang tua itu bergoyang-goyang dan kemudian roboh sendiri terguling di atas tanah tanpa bergerak lagi.
"Sumoay," kata Sie Kiauw sembari meringis. "Benar lihai kawanmu. Siapa dia?"
"Aku she Ouw, bernama Hui," kata Ouw Hui dengan suara nyaring.
"Jika kamu suami istri merasa penasaran, carilah aku saja ...."
"Sudah! Jangan rewel!" bentak Leng-so sembari membanting kaki. Ouw Hui terkejut dan tidak berkata suatu apa lagi. Sementara itu, Kiang Tiat-san dan istrinya sudah berbangkit, dan setelah mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata membenci, mereka segera berjalan pergi dengan tindakan cepat.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Leng-so meniup lilinnya yang lalu dimasukkan ke dalam sakunya.
"Leng-kouwnio," kata Ouw Hui, "Kenapa Bok-yang Suhengmu roboh?"
Si nona hanya menggerendeng. "Huh!" Ouw Hui menanya lagi, tapi tetap tak mendapat jawaban. Berselang beberapa saat, ia berkata dengan suara perlahan, "Kenapa? Apakah kau merasa tak senang terhadapku?"
"Ah!" Leng-so menghela napas. "Semua pesanku, tak satu pun yang kau perhatikan."
Ouw Hui kaget. Ia baru ingat tiga janjinya kepada Leng-so dan yang semua sudah dilanggarnya. Ia berdiri terpaku dengan rasa jengah. "Harap kau sudi memaafkan," katanya dengan suara memohon. "Karena melihat serangan ketiga orang itu yang sangat hebat, aku khawatir kau terluka dan dalam bingung, aku sudah melupakan semua pesanmu."
"Fui!" bentak si nona sembari tertawa. "Kalau begitu, semua perbuatanmu itu adalah karena memikirkan aku. Pandai benar kau mencari-cari alasan! Kau sendiri yang bersalah, sekarang kau berbalik coba membebankan semua kesalahanmu di atas pundakku! Eh, Ouw-toako, kenapa kau memberitahukan namamu kepada mereka? Mereka pasti tak akan melupakan dendam ini dan tentu akan terus menyeterukan kau. Dalam pertarungan, mereka memang tak bisa menang. Tapi mereka akan berusaha untuk membokong kau dengan racun. Ouw-toako, mulai dari sekarang, kau harus berlaku sangat hati-hati." Leng-so berkata begitu dengan suara lemah lembut dan penuh kekhawatiran akan keselamatan pemuda itu.
Bulu roma Ouw Hui bangun semua. Tapi sebagai kesatria sejati, segera juga ia dapat menetapkan hatinya.
"Kenapa kau memberitahukan she dan namamu kepada mereka?" Leng-so mendesak.
Pertanyaan itu hanya dijawab dengan tertawa oleh Ouw Hui.
"Sesudah kau merobohkan mereka, kau khawatir, jika mereka akan menumpahkan kegusaran mereka kepadaku bukan?" tanya si nona. "Dan kau sengaja memikul semua itu di atas pundakmu sendiri. Ouw-toako, kenapa kau begitu baik terhadapku?" Kata-kata yang terakhir ini diucapkannya dengan suara terharu, sehingga Ouw Hui merasa sangat terpengaruh oleh kehalusan dan budi pekerti si nona. "Kau sendirilah yang terus memerhatikan keselamatanku," katanya dengan perasaan berterima kasih. "Berkat perlindunganmu, aku terlolos dari bahaya. Kita harus berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita. Maka itu, sudah semestinya jika aku memandang kau sebagai sahabatku."
Leng-so menjadi girang bukan main. "Benarkah, kau menganggap aku sebagai sahabatmu?" tanyanya sembari tertawa. "Kalau begitu, biarlah lebih dulu aku menolong selembar jiwamu."
"Apa?" Ouw Hui menegas.
"Nyalakan dulu penerangan," kata Leng-so. "Mana teng itu?" Ia membungkuk untuk mencari tengloleng yang dilemparkan Sie Kiauw, tetapi karena gelap, ia tak dapat menemukannya.
"Bukankah dalam sakumu masih ada sebatang lilin?" tanya Ouw Hui.
"Kau mau mati?" kata si nona sembari tertawa. "Lilin itu dibuat dari Cit-sim Hay-tong ... Ah! Inilah dia." Ternyata ia sudah berhasil mendapatkan teng itu yang lalu dinyalakannya.
Sesudah mendengar pembicaraan antara suami istri Kiang Tiat-san dan Bok-yong Keng-gak, Ouw Hui yakin, bahwa Cit-sim Hay-tong adalah semacam racun yang sangat hebat. Sesaat itu, dengan pertolongan sinar tengloleng, ia mendapat kenyataan, bahwa Bok-yong Keng-gak menggeletak di atas tanah seperti mayat. Mendadak seperti baru mendusin dari tidurnya, ia mengeluarkan seruan tertahan. "Aha!" katanya.
"Sekarang baru aku mengerti! Jika aku tidak berlaku sembrono dan menerjang keluar, Kiang Tiat-san dan istrinya tentu sudah dapat kau taklukkan."
Leng-so bersenyum seraya berkata, "Tapi tindakanmu itu telah didorong oleh maksud yang sangat baik. Ouw-toako, biar bagaimanapun juga, aku merasa berutang budi terhadapmu."
Ouw Hui mengawasi si nona yang bertubuh kurus kering itu dengan perasaan kagum dan malu. "Usianya masih lebih muda daripadaku, tapi otaknya penuh dengan tipu daya," katanya di dalam hati. "Aku yang biasa menganggap diri sendiri pintar, sungguh harus merasa malu."
Sekarang ia sudah mengerti latar belakang kejadian tadi. Lilin Leng-so sangat beracun dan sesudah dinyalakan, hawa racun yang dikeluarkan lilin itu tidak berbau dan tidak berasap. Maka itu, jangankan orang biasa, sedangkan Keng-gak dan suami istri Kiang Tiat-san, yaitu ahli-ahli dalam menggunakan racun, masih kena dikelabui. Jika ia tidak berlaku sembrono, dalam tempo cepat, kedua suami istri itu tentu juga sudah roboh seperti Bok-yong Keng-gak. Tapi, di lain saat, ia ingat, bahwa waktu itu Tiat-san dan istrinya sudah menyerang dengan pukulan-pukulan kilat yang sangat hebat. Dari sebab itu, terdapat kemungkinan besar, bahwa Leng-so sudah lebih dulu celaka, sebelum mereka berdua roboh.
Thia Leng-so rupa-rupanya dapat membaca pikiran Ouw Hui. "Ouw-toako," katanya. "Coba kau menutuk pundakku dengan jerijimu."
Ouw Hui tak mengerti maksud si nona, tapi ia segera menutuk pundak Leng-so perlahan dengan telunjuknya. Begitu menyentuh pundak si nona, telunjuk itu dirasakannya panas seperti terbakar, sehingga dengan terkejut, Ouw Hui melompat mundur beberapa tindak.
Leng-so tertawa cekikikan. "Lihatlah!" katanya. "Kedua suami istri itu akan merasakan kepahitan yang sama, jika mereka menyentuh pakaianku."
"Benar hebat," kata Ouw Hui sembari menggoyang-goyang telunjuknya yang pedas perih. "Racun apa yang kau gunakan?"
"Bukan barang luar biasa, hanya Cek-kiat-hun (Tepung Kalajengking Merah)," kata Leng-so.
Dengan pertolongan sinar api teng, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa jerijinya sudah melepuh. "Ah, baik juga tadi aku tidak menyentuh pakaiannya."
"Ouw-toako," kata si nona. "Aku bukan ingin menyakiti kau. Maksudku adalah supaya kau berhati-hati, jika di lain kali kau berpapasan dengan ketiga saudara seperguruanku. Dalam ilmu silat, kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada mereka. Tapi, lihatlah telapakan tanganmu."
Ouw Hui mengawasi telapak tangannya, tapi tak melihat suatu apa yang luar biasa.
"Coba lihat di dekat api teng," kata Leng-so.
Ouw Hui lantas saja jadi terkejut, karena mendapat kenyataan, bahwa pada telapakan tangannya terdapat sinar hitam. "Apa ... apa mereka mempunyai Tok-see-ciang (Tangan Pasir Beracun)?" tanyanya.
"Apakah kau kira muridnya Tok-chiu Yo-ong tidak mempelajari Tok-see-ciang?" kata si nona.
"Ah!" Ouw Hui mengeluarkan seruan tertahan. "Kalau begitu Bu-tin Thaysu adalah Tok-chiu Yo-ong yang tulen. Tapi kenapa kalian saudara-saudara seperguruan jadi saling cakar?"
Si nona tak menjawab pertanyaan itu, ia hanya menghela napas. Kemudian ia mencabut pantek kondenya dan paku touw-kut-teng yang menancap di pohon dan melipat dua lembar surat peninggalan gurunya yang lalu dimasukkan ke dalam sakunya. Ketika itu, huruf-huruf yang bersinar terang pada surat pertama, sudah menghilang.
"Apakah surat itu ditulis olehmu?" tanya Ouw Hui.
"Benar," sahut si nona. "Di tempat Suhu terdapat sebuah kitab obat yang ditulis oleh Toasuheng, sehingga aku paham dengan gaya tulisannya. Hanya tiruanku agak kurang sempurna, aku berhasil meniru bentuknya, tapi tak dapat menyelami jiwanya. Tulisan Toasuheng yang tulen masih lebih indah dari tiruanku."
Ouw Hui adalah seorang yang tak paham ilmu surat, maka keterangan si nona mengenai ilmu menulis, tak dikomentari olehnya.
Sesudah berdiam sejenak, Leng-so lalu berkata pula, "Surat wasiat Suhu ditulis dengan menggunakan larutan tanah, sehingga untuk membacanya, surat itu harus dipanggang di api. Belakangan, aku memoles huruf-huruf surat itu dengan sumsum harimau sehingga bersinar terang di tempat gelap. Kau lihatlah!" Sembari berkata begitu, ia memadamkan api lilin dan benar saja, pada kertas itu muncul sinar terang. Begitu lekas lilin itu dinyalakan pula, sinar terang itu segera menghilang dan yang kelihatan hanyalah huruf-huruf tulisan Leng-so sendiri, yang ditulis di antara huruf-huruf surat wasiat Bu-tin Thaysu. Dengan demikian, di atas selembar kertas itu terdapat dua rupa tulisan, dalam keadaan terang, terlihatlah tulisan Leng-so, sedang dalam kegelapan, yang terlihat adalah tulisan Bu-tin Thaysu.
Sesudah diterangkan, hal itu memang juga tidak mengherankan. Akan tetapi, waktu tadi Bok-yong Keng-gak, Tiat-san, dan Sie Kiauw sedang bertempur, mereka kaget bukan main, ketika dengan mendadak mereka melihat surat wasiat gurunya di atas pohon. Berbareng dengan itu, Sesudah menyalakan lilin beracun, Leng-so munculkan diri. Bok-yong Keng-gak bertiga yang tengah menumpahkan perhatian mereka kepada persoalan kitab Yo-ong Sin-pian, sedikit pun tak menduga, bahwa sang sumoay sedang melepaskan racun dengan lilinnya.
Sesudah mengetahui latar belakang peristiwa tadi, Ouw Hui jadi girang sekali dan paras mukanya berseri-seri.
"Kenapa begitu kegirangan, sedang kau kena Tok-see-ciang?" tanya Leng-so.
"Bukankah kau sudah berjanji akan menolong jiwaku," jawab Ouw Hui. "Dengan murid Yo-ong di sampingku, guna apa aku berkhawatir?"
Si nona tertawa dan mendadak ia meniup api lilin sehingga keadaan kembali berubah gelap gulita. Sesudah itu, ia menghampiri keranjang bambu, di mana segera terdengar suara keresekan. Ouw Hui tak tahu, ia sedang melakukan apa, tapi beberapa saat kemudian, ia kembali dan menyalakan lagi lilin teng.
Di bawah sinar lilin, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa Leng-so sudah bertukar pakaian. Sekarang ia mengenakan baju putih, celana biru.
"Di pakaianku ini tidak terdapat lagi tepung Cek-kiat-hun," katanya sembari tertawa. "Tak usah kau ketakutan lagi."
"Kau dapat memikirkan segala apa," kata Ouw Hui sembari menghela napas. "Usiaku lebih tua daripada kau, tapi aku tua, tua kejemur. Aku sudah bersyukur jika mempunyai sepersepuluh kecerdasanmu."
Leng-so mengawasi pemuda itu dan berkata dengan suara jengkel, "Sesudah belajar menggunakan racun, apa yang setiap hari dipikiri olehku adalah bagaimana harus menyebarkan racun tanpa diketahui orang dan bagaimana harus melindungi diri sendiri. Coba kau pikir, apa enaknya orang hidup begitu? Mana aku bisa menyayangi kau yang hidup bebas di alam yang bebas pula." Ia menghela napas panjang sebagai tanda dari kedukaan hatinya.
Sesaat kemudian, ia menarik tangan Ouw Hui dan menusuk setiap jeriji tangan itu dengan pantek konde peraknya. Kemudian ia mengurut telapakan tangan Ouw Hui dengan menggunakan dua jempol tangan. Di lain saat, dari lubang-lubang bekas tusukan pantek konde itu, keluar darah yang bersemu ungu.
Waktu jerijinya ditusuk, Ouw Hui sama sekali tidak merasa sakit dan beberapa saat kemudian, darah yang mengalir dari jarinya sudah tidak berwarna ungu lagi.
Sesaat itu, tubuh Bok-yong Keng-gak yang menggeletak di tanah tiba-tiba bergerak. "Dia mendusin!" kata Ouw Hui.
"Tak mungkin!" kata si nona. "Paling sedikit masih ada tiga jam lagi."
"Tadi, waktu aku memikulnya, sedikit pun dia tidak bergerak, sehingga aku tidak mengetahui, bahwa aku sedang memikul manusia hidup," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Benar-benar aku tolol."
Leng-so tersenyum simpul seraya berkata, "Hm! Orang yang mengatakan dirinya tolol, biasanya justru seorang yang pintar sekali."
Ouw Hui tak menjawab, ia hanya tertawa. Sesaat kemudian, barulah ia berkata pula, "Eh, tadi mereka telah menanyakan Yo-ong Sin-pian. Apakah Yo-ong Sin-pian kitab obat-obatan?"
"Benar," jawab Leng-so. "Kitab itu adalah hasil jerih payah guruku. Apakah kau ingin melihatnya?" Ia merogoh saku dan mengeluarkan satu barang kecil yang dibungkus kain. Dalam bungkusan kain itu terdapat bungkusan kertas minyak dan setelah kertas minyak itu dibuka, barulah terlihat sejilid kitab warna kuning yang panjangnya enam dim dan lebarnya empat dim. Dengan menggunakan pantek konde, si nona membuka lembaran-lembaran kitab yang tertulis penuh dengan huruf-huruf kecil. Tak usah dikatakan lagi, bahwa setiap lembaran kertas itu sangat beracun dan orang tentu akan celaka jika berani sembarang membukanya dengan jeriji tangan.
Melihat kepercayaan Leng-so yang begitu besar terhadap dirinya, Ouw Hui jadi merasa senang sekali. Sesudah membungkus rapi Yo-ong Sin-pian dan memasukkannya kembali ke dalam sakunya, si nona lalu mengeluarkan satu botol kecil dan menuang sedikit isinya, yaitu semacam bubuk warna ungu, yang lalu dipoleskan di jeriji-jeriji Ouw Hui yang tadi ditusuk dengan pantek konde. Ia mengurut tulang-tulang jeriji itu beberapa kali dan bubuk itu lantas saja tersedot masuk dari lubang-lubang tusukan.
"Benar-benar lihai kau!" memuji Ouw Hui. "Seumur hidupku, belum pernah aku menyaksikan tabib yang seperti kau."
"Kepandaianku sama sekali tak ada artinya," si nona merendahkan diri. "Jika kau menyaksikan kepandaian guruku, membelek dada dan perut serta menyambung tulang, barulah benar-benar kau akan merasa kagum."
"Benar," kata Ouw Hui. "Di samping mahir dalam menggunakan racun, gurumu tentu juga pandai mengobati penyakit. Jika tak begitu, ia tentu tak akan mendapat julukan Yo-ong (Raja Obat)."
"Jika Suhu masih hidup, ia tentu akan merasa girang mendengar perkataanmu itu," kata si nona. "Hanya sayang ... ia sekarang sudah tak ada lagi di dunia ini." Kata-katanya yang terakhir dikeluarkan dengan suara duka dan kedua matanya kelihatan mengembang air.
"Sucimu tadi mengatakan, bahwa gurumu memilih kasih dan hanya menyayang murid yang paling kecil," kata Ouw Hui.
"Aku rasa, perkataannya ada benarnya juga. Memang juga, hanya kau seorang yang sangat mencintai gurumu."
"Suhu mempunyai empat murid yang semuanya sudah diketemui olehmu pada malam ini," kata Leng-so. "Bok-yong Keng-gak adalah toasuheng, Kiang Tiat-san jiesuheng, sedang Sie Kiauw adalah samsuci. Sesudah mempunyai tiga murid, sebenarnya Suhu tak ingin menerima murid lagi. Akan tetapi, sesudah melihat, bahwa ketiga saudara seperguruanku itu bermusuhan keras dan karena khawatir, sesudah ia meninggal dunia, tak ada orang yang akan dapat menaklukkan mereka, maka dalam usianya yang sudah lanjut, ia mengambil aku sebagai muridnya yang keempat."
Sesudah berdiam sejenak, si nona berkata pula, "Mereka bertiga sebenarnya bukan orang jahat. Hanya karena Samsuci menikah dengan Jiesuheng, maka Toasuheng jadi merasa sakit hati dan mereka jadi bermusuh, sehingga akhirnya tak dapat dibaikkan lagi."
Ouw Hui manggutkan kepalanya. "Toasuhengmu juga mencintai samsucimu, bukan?" tanyanya.
"Urusan itu sudah terjadi lama sekali, sehingga aku pun tak tahu terang bagaimana sebenarnya," menerangkan si nona.
"Aku hanya mengetahui, bahwa dulu Toasuko mempunyai istri. Karena menyukai Toasuko, Samsuci telah meracuni Suko, sehingga menjadi matinya."
Ouw Hui mengeluarkan seruan tertahan, bulu romanya bangun semua. Ia merasa bahwa seorang yang pandai menggunakan racun, jadi kejam hatinya dan sedikit-sedikit lantas saja menggunakan racun.
"Dalam gusarnya, Toasuko juga lantas meracuni Samsuci, sehingga Suci bercacat, ia menjadi bungkuk berbareng pincang," kata Leng-so pula. "Di lain pihak, Jiesuko yang mencintai Samsuci, tak menjadi kurang cintanya, karena bercacatnya Suci. Dengan demikian, mereka lalu menikah. Entah bagaimana, sesudah pernikahan itu, Toasuko ingat lagi kebaikan-kebaikan Samsuci di waktu dulu dan ia lalu mengganggu Suci. Suhu jadi sangat jengkel dan beberapa kali ia telah menasihati mereka, tapi tak ada hasilnya, malah permusuhan mereka makin lama jadi makin hebat. Jiesuko adalah seorang baik dan kecintaan terhadap istrinya tetap tidak berubah. Belakangan, mereka membuat Yo-ong-chung, yang dibuat dari besi, di tepi Telaga Tong-teng, sedang di sekitar rumah itu, mereka menanam Hiat-ay-lie (nama pohon merah yang sangat beracun). Semula rumah itu dan Hiat-ay-lie adalah untuk menjaga-jaga kedatangan Toasuheng. Tapi belakangan, karena musuh mereka jadi semakin banyak, maka Yo-ong-chung jadi berubah tempat bersembunyi Jiesuko dan Samsuci."
"Oh, kiranya begitu?" kata Ouw Hui, sambil manggut-manggutkan kepalanya. "Tak heran jika dalam kalangan Kang-ouw terdapat banyak sekali cerita yang berbeda-beda mengenai Tok-chiu Yo-ong. Ada yang berkata, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah seorang sastrawan, ada yang mengatakan, bahwa ia seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar, ada pula yang mengatakan, bahwa ia adalah seorang wanita bungkuk dan sebagainya."
"Kami sendiri juga tidak tahu siapa sebenarnya yang berhak mendapat julukan itu," kata Leng-so. "Satu hal yang sudah pasti adalah guruku tidak menyukai gelaran itu. Katanya, 'Dipergunakannya racun olehku adalah untuk menolong orang. Tapi aku merasa malu dan tak dapat menerima gelaran Yo-ong (Raja Obat). Mengenai julukan Tok-chiu (Tangan Beracun), aku menolak sekeras-kerasnya. Apakah orang mengira, bahwa Bu-tin, si hweeshio tua, adalah manusia yang suka membunuh orang secara serampangan?' Akan tetapi, oleh karena racun kami memang benar sangat lihai dan juga sebab ketiga saudara seperguruanku sering sekali menggunakan itu secara sembarangan, sehingga beberapa orang baik tak luput menjadi korban, maka dalam kalangan Kang-ouw, julukan Tok-chiu Yo-ong jadi sangat kesohor. Di samping itu, guruku juga melarang ketiga saudara seperguruanku memperkenalkan diri dan nama mereka di dunia luar. Itulah sebabnya kenapa dalam setiap peristiwa yang mempunyai sangkut paut dengan racun, orang lantas saja menuding kepada Tok-chiu Yo-ong. Ouw-toako, cobalah kau pikir, penasaran atau tidak?"
"Tapi kenapa gurumu tak mau menampakkan diri untuk membersihkan nama?" tanya Ouw Hui.
"Aah, sukar, hal itu sukar dilakukan," kata si nona. "Orang akan semakin salah mengerti atau tak mau mengerti ..." berkata sampai di situ, pengobatan tangan Ouw Hui sudah selesai. Si nona bangkit seraya berkata, "Malam ini masih ada dua urusan yang harus dikerjakan. Pertama, kita harus mengambil obat untuk memunahkan racun Toan-chung-co dan kedua, mengobati Siauw-tiat, putra Jiesuko. Jika tidak ...." ia tersenyum dan tidak meneruskan perkataannya.
"Jika tidak dirintangi oleh kebandelanku, dua urusan itu akan jauh lebih gampang dibereskannya," menyambungi Ouw Hui. "Bukankah kau ingin mengatakan begitu?"
"Ya," kata si nona. "Baguslah jika kau tahu. Mari kita berangkat sekarang!"
"Apakah dia harus dimasukkan lagi ke dalam keranjang?" tanya Ouw Hui sembari menuding Bok-yong Keng-gak yang menggeletak di atas tanah.
"Benar, kau tolonglah," jawabnya.
Ouw Hui segera mengangkat tubuh Keng-gak dan memasukkannya ke dalam keranjang bambu yang lalu dipanggul di punggungnya.
Leng-so berjalan ke jurusan selatan daya dan sesudah melalui kira-kira tiga li, tibalah mereka di depan sebuah rumah kecil.
"Ong-toasiok (paman Ong), hayolah!" berteriak si nona. Pintu terbuka, dan dari dalam ke luar seorang lelaki yang kulitnya hitam dan memikul satu pikulan.
"Hm! Lagi-lagi satu manusia aneh!" kata Ouw Hui dalam hatinya, tapi ia tak berani menanyakan siapa adanya orang itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mengikuti si nona dalam jarak tiga tindak, sedang Leng-so sendiri sekali dua kali menengok ke belakang sembari tertawa, sebagai tanda, bahwa ia sekarang merasa puas karena Ouw Hui mendengar kata. Si lelaki yang kulitnya hitam juga mengikuti di belakang mereka tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Dari rumah Ong-toasiok, Leng-so membelok ke jurusan utara. Kira-kira jam empat pagi, mereka tiba di depan Yo-ong-chung.
Leng-so lalu mengeluarkan tiga ikat bunga biru dari dalam keranjang, seikat diberikan kepada Ouw Hui, seikat kepada si lelaki kulit hitam dan seikat lagi dipegangnya sendiri. Sesudah mereka melompati Hiat-ay-lie, ia berteriak, "Jiesuko! Samsuci! Apakah kamu mau membuka pintu atau tidak?" Tiga kali ia menanya, tapi tak mendapat jawaban. Sesudah menunggu beberapa saat lagi, Leng-so lalu manggutkan kepala kepada si lelaki kulit hitam. Orang itu segera meletakkan pikulannya di atas tanah dan mengeluarkan alat-alat tukang besi, seperti hongshio (alat penyemprot angin), dapur kecil, besi hancuran, dan
sebagainya. Ia menyalakan api dan mulai menarik hongshio untuk melumerkan besi hancuran itu. Sesudah besi itu menjadi lumer, ia lalu menyolder bagian-bagian yang renggang di atas rumah bundar itu. Ouw Hui lantas saja mengetahui, bahwa ia sedang menutup pintu dan jendela dari rumah besi tersebut. Rupanya, karena tak ungkulan melawan sumoay mereka yang sangat lihai, Kiang Tiat-san dan Sie Kiauw tak berani keluar untuk merintangi.
Setelah si tukang besi selesai dengan pekerjaannya, sehingga orang-orang yang berada di dalam rumah itu tak akan bisa keluar lagi, Leng-so menggapai Ouw Hui. Sesudah melompati Hiat-ay-lie, dengan diikuti Ouw Hui, Leng-so berjalan ke jurusan barat laut sambil menghitung setiap tindakannya. Sesudah berjalan puluhan tombak, ia membelok ke timur beberapa tindak pula.
"Di sinilah!" kata si nona sembari menyalakan lilin teng. Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa di antara dua batu besar terdapat satu lubang yang besarnya kira-kira sama dengan mangkuk nasi dan yang atasnya ditedengi dengan satu batu.
"Inilah lubang untuk mereka bernapas," berbisik Leng-so sambil mengeluarkan lilin racun yang lalu disulut dan ditaruh di mulut lubang. Dibantu dengan tiupan angin, perlahan-lahan asap lilin itu masuk ke dalam.
Melihat tindakan Leng-so yang dianggapnya sangat kejam, Ouw Hui jadi bergidik dan berbareng merasa kasihan pada orang-orang yang terkurung dalam rumah besi itu. Apakah ia harus mengawasi saja dengan berpeluk tangan?
Beberapa saat kemudian, si nona mengeluarkan satu kipas bundar yang berbentuk kecil dan lalu mulai mengipas lilin itu, sehingga semua asapnya masuk ke dalam lubang. Ouw Hui tak dapat bersabar lagi dan ia berdiri seraya berkata, "Leng-kouwnio, apakah dengan suheng dan sucimu, kau mempunyai dendam yang tak dapat didamaikan lagi?"
"Tidak," jawabnya dengan tawar.
"Apakah gurumu memberi perintah untuk kau membersihkan rumah tanggamu?" tanya pula Ouw Hui. (Membersihkan rumah tangga berarti menghukum murid atau anggota partai yang berdosa).
"Belum sampai begitu jauh," sahutnya.
"Tapi ... tapi ...." kata Ouw Hui dengan suara terputus-putus, karena ia tak tahu, bagaimana harus menerangkan isi hatinya.
Leng-so mendongak dan menanya dengan suara dingin, "Kenapa kau jadi begitu bingung?"
"Jika suko dan sucimu mempunyai kedosaan yang sangat besar, biarlah sekali ini kau memberikan kesempatan agar mereka bisa mengubah sifat mereka yang jelek dan menebus dosa," kata Ouw Hui sesudah menetapkan hatinya yang berguncang.
"Ya," kata si nona. "Guruku pun pernah mengatakan begitu." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula, "Sayang sekali sekarang guruku sudah berada di alam baka. Jika ia masih hidup, ia tentu akan merasa cocok dengan segala pendapatmu." Sedang mulutnya berkata begitu, tangannya terus mengipas api lilin itu.
Ouw Hui menggaruk-garuk kepala. Ia menunjuk lilin dan berkata, "Asap beracun itu ... asap beracun itu ... Bukankah asap itu membinasakan manusia?"
"Ah! Kalau begitu Ouw-toako yang berhati mulia sedang menduga-duga, bahwa aku mau mengambil jiwa manusia," kata si nona sembari tersenyum simpul. Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah merah, karena sekali lagi ia sudah menunjukkan kekonyolannya. Akan tetapi, walaupun masih berada dalam kegelapan, hatinya merasa lega sebab ia mengetahui, bahwa tindakan Leng-so itu bukan bertujuan untuk membinasakan orang.
Sementara itu, dengan kuku jerijinya, si nona menggores batang lilin. "Ouw-toako," katanya. "Coba tolong menggantikan aku, tapi jagalah jangan sampai lilin ini menjadi padam. Kau boleh memadamkan lilin itu, jika apinya sudah membakar sampai di goresan." Sesudah menyerahkan kipas itu kepada Ouw Hui, ia berdiri dan mengawasi keadaan di sekitarnya sembari memasang kuping. Tanpa berkata suatu apa, Ouw Hui lantas saja mengerjakan apa yang diperintah.
Sesudah mendengarkan beberapa lama dan mendapat kenyataan, bahwa tidak ada apa-apa yang luar biasa, Leng-so segera duduk di atas satu batu besar, di dekat Ouw Hui. "Orang yang telah menghancurkan kebunku, adalah Siauw-tiat, putra Jiesuko," menerangkan Leng-so.
"Ah!" Ouw Hui mengeluarkan seruan kaget. "Apakah dia juga berada dalam rumah itu?"
"Benar," jawabnya sembari tertawa. "Apa yang kita lakukan sekarang, adalah untuk menolong dia. Lebih dulu kita harus merobohkan Suko dan Suci, supaya mereka tidak merintangi pekerjaan kita."
Sekali lagi Ouw Hui mengeluarkan seruan "ah!". "Oh, begitu?" katanya di dalam hati.
"Jiesuko dan Samsuci mempunyai satu musuh, seorang she Beng," menerangkan si nona. "Musuh itu sudah berada di tempat ini kira-kira setengah tahun, tapi dia masih belum mampu menerjang Yo-ong-chung, karena belum bisa memunahkan racun Hiat-ay-lie. Bunga biru yang ditanam olehku, adalah pemunah racun itu. Jiesuko dan Samsuci tidak mengetahuinya, sampai aku memberikan bunga itu kepada kau dan Ciong-ya. Tak usah dikatakan lagi, bahwa mereka jadi sangat terkejut ketika mengetahui, bahwa dengan membawa bunga biru itu, kalian tidak takut lagi kepada racun Hiat-ay-lie ...."
"Benar," Ouw Hui memotong perkataan Leng-so. "Ketika aku dan Ciong-toako datang di sini, lapat-lapat aku mendengar suara teriakan kaget tercampur gusar dari dalam rumah itu."
Leng-so mengangguk lalu berkata pula, "Racun Hiat-ay-lie sebenarnya tak dapat dipunahkan dengan obat apa pun juga. Akan tetapi, orang bisa menjadi kebal terhadap racun itu, jika ia sering makan buah dari pohon tersebut. Untung juga, meskipun besar bahayanya, tanda-tanda Hiat-ay-lie gampang sekali dikenali orang. Jika satu pohon itu tumbuh di satu tempat, maka di sekitar tempat itu, dalam jarak lingkaran beberapa puluh tombak, tak akan terdapat seekor semut atau sebatang rumput."
"Benar," kata Ouw Hui. "Tadinya aku merasa heran sekali, kenapa di sekitar Yo-ong-chung tidak terdapat tumbuh-tumbuhan. Dua ekor kuda kami tidak terluput dari serangan racun. Jika kau tidak menghadiahkan bunga biru itu ...." berkata sampai di situ, ia bergidik karena mengingat pengalamannya pada malam itu bersama Ciong Tiauw-bun.
"Bunga itu adalah jenis baru yang baru saja berhasil ditanam," menerangkan Leng-so. "Aku merasa syukur kalian cukup menghargai dan tidak melemparkannya di tengah jalan."
"Bunga itu sangat indah," kata Ouw Hui.
"Karena indah, maka kau tidak membuangnya, bukan?" kata Leng-so.
Ouw Hui jadi tergugu, ia mendehem beberapa kali, tak tahu bagaimana harus menjawabnya. "Jika bunga itu tidak indah, apakah aku akan terus menyimpannya dalam sakuku?" ia tanya dirinya sendiri. "Apakah karena keindahannya, bunga itu sudah menolong jiwaku dan jiwa Ciong-toako?"
Selagi ia melamun, angin mendadak meniup keras dan memadamkan api lilin. "Aduh!" berseru Ouw Hui sembari mengeluarkan bahan api dari sakunya.
"Sudahlah!" mencegah Leng-so. "Kira-kira sudah cukup."
Mendengar suara si nona yang agak kurang senang, Ouw Hui jadi merasa jengah, karena segala apa yang diminta oleh Leng-so selalu berakhir dengan ketidakberesan, seolah-olah dia sengaja tak memerhatikannya. "Maaf," katanya. "Entah kenapa, malam ini pikiranku kusut sekali." Leng-so tidak menyahut.
"Tadi aku sedang berpikir dan tiba-tiba angin meniup," kata pula Ouw Hui. "Leng-kouwnio, apa yang dipikir olehku adalah begini, Waktu kau memberikan bunga biru itu, sedikit pun aku tak mengetahui, bahwa bunga itu adalah penolong jiwa. Akan tetapi, sebagai hadiah yang aku terima, aku berkewajiban menyimpannya baik-baik."
Perkataan Ouw Hui yang bernada memohon, hanya disambut dengan "hm!".
Dalam gelap gulita, mereka duduk berhadapan. Lewat beberapa saat, Ouw Hui berkata pula, "Semenjak kecil aku sudah tidak mempunyai ayah bunda. Jarang sekali orang memberikan apa-apa kepadaku."
"Ya," kata Leng-so. "Aku pun begitu. Tapi toh bisa menjadi besar." Sehabis berkata begitu, ia menyalakan lilin teng dan lalu mengambil satu batu yang digunakan untuk menutup mulut lubang. "Hayolah," katanya.
Ouw Hui lantas saja mengikuti, tanpa berani menanyakan apa pun juga. Ketika mereka tiba di depan Yo-ong-chung, si tukang besi sedang duduk di atas tanah, sambil merokok.
"Ong-toasiok, tolong buka itu," kata Leng-so sembari menunjuk bagian rumah yang tadi disolder. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia lalu mengambil martil dan pahat dan mengerjakan apa yang diperintah. Kira-kira sepenanakan nasi, semua solderan sudah selesai dipahat.
"Bukalah pintu!" perintah si nona.
Si tukang besi lalu mengetuk-ngetuk beberapa kali dan menyontek dengan martilnya. Dengan suara berkerontangan, sepotong papan besi menjeblak ke bawah dan terbukalah satu pintu yang tingginya enam kaki dan lebarnya tiga kaki. Si tukang besi ternyata paham benar akan alat-alat rumah tersebut. Ia menarik serupa alat dan dari dalam lantas saja muncul satu tangga kecil yang terus naik sampai di pintu.
"Taruh semua bunga biru di luar," kata Leng-so. Mereka segera melemparkan bunga-bunga itu di atas tanah. Selagi mau naik tangga, mendadak si nona mengendus-endus beberapa kali. "Ouw-toako," katanya. "Pada badanmu masih ada bunga. Jangan dibawa masuk."
"Oh!" kata Ouw Hui sembari merogoh sakunya dan mengeluarkan satu bungkusan kain yang lalu dibuka. "Hidungmu benar tajam," katanya. "Dalam bungkusan masih dapat diketahui olehmu."
Dalam bungkusan itu terdapat kitab ilmu silat dari keluarga Ouw dan beberapa rupa barang lain. Bunga biru itu yang sudah layu lalu ditaruh olehnya di pinggir pintu. Melihat caranya menyimpan bunga itu, Leng-so mengetahui, bahwa Ouw Hui benar-benar menghargai pemberiannya dan ia jadi merasa girang sekali. Ia menengok dan berkata sembari tertawa, "Kau tidak berdusta!"
Ouw Hui kaget. "Untuk apa aku berdusta?" katanya di dalam hati.
Sementara itu, sembari menuding ke dalam, si nona berkata pula, "Orang-orang yang berada di dalam, tak bisa mempertahankan diri terhadap bunga biru itu, karena mereka biasa makan buah Hiat-ay-lie." Sehabis berkata begitu, sambil menenteng tengloleng, ia lalu naik ke tangga, diikuti Ouw Hui dan si tukang besi.
Setibanya di kaki tangga, mereka berada di satu terowongan yang sangat sempit. Sesudah membelok dua kali, mereka masuk ke dalam satu ruangan kecil yang dindingnya penuh dengan lukisan dan lian serta diperaboti dengan kursi meja yang terbuat dari bambu. Ouw Hui terperanjat sebab sama sekali ia tidak menduga, bahwa Kiang Tiat-san yang macamnya begitu kasar mempunyai rumah yang diperaboti seperti rumah seorang sastrawan.
Leng-so terus berjalan ke belakang. Di lain saat, mereka sudah tiba di bagian dapur dan apa yang terlihat di situ sangat mengejutkan Ouw Hui.
Kiang Tiat-san dan istrinya sudah menggeletak di atas lantai, entah sudah mati atau masih hidup. Tapi kejadian itu tidak mengherankan, karena Ouw Hui sudah menduga, bahwa asap lilin Cit-sim Hay-tong bakal mengakibatkan begitu. Apa yang mengherankan adalah direbusnya seorang lelaki muda dalam satu kuali besar! Bagian atas badannya tidak memakai baju, sedang air yang memenuhi kuali tak hentinya mengebulkan uap. Meskipun belum bergolak, air itu sudah pasti panas sekali. Ouw Hui mempercepat tindakannya dan mengangkat kedua tangannya untuk mengeluarkan orang itu dari kuali.
"Jangan diganggu!" mencegah si nona. "Coba lihat ... apa ia memakai pakaian."
Ouw Hui melongok ke dalam kuali dan menjawab, "Dia memakai celana."
Muka Leng-so bersemu dadu dan sembari manggutkan kepala, ia menghampiri kuali itu. "Coba tambah kayu bakar!" ia memerintah.
Ouw Hui terkesiap. Ia mengawasi dan lantas saja mengenali, bahwa pemuda itu adalah orang yang sudah merusak kebun si nona. Kedua matanya tertutup rapat, mulutnya terbuka dadanya turun-naik dengan perlahan.
Meskipun belum mati, sedikitnya ia sudah pingsan. "Bukankah dia Siauw-tiat, putra mereka?" tanya Ouw Hui.
"Benar," jawabnya. "Suko dan Suci ingin mengeluarkan racun yang mengeram dalam badannya, dengan merebus dia. Tapi, tanpa bubuk bunga dari Cit-sim Hay-tong, dia tak akan menjadi sembuh."
Ouw Hui jadi lega dan tanpa ragu-ragu lagi, ia segera masukkan sepotong kayu bakar ke dalam dapur. Ia tak berani menambah terlalu banyak, karena khawatir Siauw-tiat tak bisa tahan.
"Tambah lagi beberapa potong, dia tak akan menjadi mati," kata Leng-so sembari tertawa.
Ouw Hui tak membantah dan lalu memasukkan pula dua potong kayu ke dalam dapur.
Sesudah mencelup tangannya ke dalam air untuk mengetahui berapa panasnya, si nona lalu mengeluarkan satu botol kecil dari dalam sakunya. Ia menuang sedikit bubuk berwarna kuning yang lalu dimasukkan ke dalam lubang hidung Kiang Tiat-san dan Sie Kiauw. Lewat beberapa saat, mereka berbangkis dan membuka mata. Sesaat itu, dengan menggunakan gayung, Leng-so menyendok air mendidih yang lalu dibuangnya dan kemudian menyendok air dingin yang lalu ditambahkan ke dalam kuali.
Melihat begitu, paras mukanya Kiang Tiat-san suami istri yang tadinya gusar lantas saja berubah girang. Mereka mengetahui, bahwa si nona sedang menolong Siauw-tiat. Mereka segera bangun dan berdiri mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan perasaan bimbang.
Terang-terang, putra mereka sudah kena racunnya Leng-so, tapi sekarang sang sumoay berbalik memberi pertolongan. Mereka yakin, bahwa guru mereka telah memilih kasih dan menurunkan lebih banyak pelajaran kepada si nona yang dalam semalaman saja, sudah merobohkan mereka beberapa kali.
Sementara itu, Leng-so terus bekerja. Setiap kali air sudah mendidih, ia menyendok dengan menggunakan gayung dan membuangnya, akan kemudian menambahkan lagi dengan segayung air dingin. Direbus cara begitu, racun yang mengeram dalam badan Siauw-tiat, terisap ke luar dengan perlahan. Selang beberapa saat, tiba-tiba Leng-so berpaling kepada si tukang besi dan berkata, "Ong-toasiok, hayolah turun tangan! Mau tunggu sampai kapan lagi?"
"Baiklah!" jawab si tukang besi sembari mengambil sepotong kayu bakar yang lalu dihantamkan ke kepala Kiang Tiat-san.
"Bikin apa kau?" membentak Tiat-san dengan gusar sekali, sembari mengambil sepotong kayu. Tapi, baru saja ia mau balas menyerang, istrinya sudah membentak, "Tiat-san! Hari ini kita sangat perlu pertolongan Sumoay. Beberapa pukulan itu tak menjadi soal."
Tiat-san tercengang dan mengawasi istrinya dengan mata melotot. "Baiklah!" kata ia akhirnya dengan suara gusar. Ia melemparkan kayu itu dan membiarkan dirinya dihajar oleh si tukang besi.
"Anjing!" caci si orang she Ong sembari menggebuk. "Kau sudah merampas sawahku dan memaksa aku membuat rumah besi ini. Belum puas dengan itu, kau malahan sudah menggebuk aku, sehingga tiga tulang igaku menjadi patah dan harus rebah di ranjang setengah tahun lamanya. Anjing! Tak dinyana, kita bakal berpapasan hari ini."
Sembari memaki, tangannya terus menghantam Tiat-san. Walaupun tak mengerti ilmu silat, pukulan si tukang besi hebat luar biasa, karena setiap hari ia berlatih dengan memukul besi. Menggebuk belum berapa lama, potongan kayu itu sudah menjadi patah.
Tiat-san tetap tak menangkis atau berkelit. Sambil mengertak gigi, ia menerima pukulan-pukulan itu. Mendengar cacian itu, Ouw Hui mengetahui, bahwa kedua suami istri itu pernah menyakiti si tukang besi yang hari ini bisa juga melampiaskan sakit hatinya dengan pertolongan Leng-so. Ia jadi girang dan mengawasi pertunjukan itu sambil bersenyum simpul.
Dalam tempo cepat, tiga potong kayu yang digunakan untuk menggebuk, sudah menjadi patah. Muka dan kepala Tiat-san sudah babak belur dan mengeluarkan darah. Biar bagaimanapun juga, si tukang besi adalah seorang baik. Melihat begitu, ia tak tega untuk memukul lagi dan lalu melemparkan potongan kayu yang sedang dicekal olehnya.
"Thia-kouwnio," katanya sembari menyoja. "Hari ini kau sudah membantu aku untuk membalas sakit hati. Budi yang sangat besar itu tak dapat aku membalasnya."
"Ong-toasiok," jawab si nona. "Tak usah kau berlaku begitu sungkan." Ia berpaling kepada Sie Kiauw dan berkata pula, "Samsuci, pulangkanlah sawahnya Ong-toasiok. Dengan memandang muka Siauwmoay, aku harap kalian jangan mempersakiti ia lagi. Maukah kalian berjanji begitu?"
"Selama hidup, kami tak akan menginjak lagi wilayah Ouwlam," jawab Sie Kiauw dengan suara mendongkol. "Tapi kau tak dapat memaksa supaya kami melupakan kejadian di hari ini."
"Baiklah," kata Leng-so. "Ong-toasiok, kau pulanglah lebih dulu. Urusan di sini tak ada sangkut pautnya lagi dengan kau."
Dengan paras muka berseri-seri, si tukang besi memungut sepotong kayu yang sudah patah sebagai akibat gebukan tadi. "Orang jahat itu telah menghajar aku hebat sekali," katanya.
"Aku ingin menyimpan potongan kayu ini yang berlepotan darah, sebagai peringatan." Sehabis berkata begitu, ia memberi hormat kepada Leng-so dan Ouw Hui dan lalu berjalan pergi.
Melihat paras mukanya si tukang besi yang kegirangan seperti anak kecil, jantung Ouw Hui memukul keras, karena ia ingat pengalamannya di Pak-tee-bio, di mana Ciong A-sie dan keluarganya telah dibinasakan secara mengenaskan sekali. Kekejaman suami istri Kiang Tiat-san mungkin tak kalah dengan kebuasan Hong Jin Eng. Mungkin sekali, begitu lekas Leng-so berlalu, mereka akan turunkan tangan jahat terhadap si tukang besi. Memikir begitu, lantas saja ia mengejar dan berteriak, "Ong-toasiok, tunggu dulu! Aku mau bicara."
Si tukang besi menghentikan tindakannya dan menengok ke belakang.
"Ong-toasiok," kata Ouw Hui.
"Menurut aku, suami istri she Kiang itu bukan manusia baik-baik. Aku menasihati supaya kau buru-buru menjual sawahmu dan segera menyingkirkan diri. Jangan lama-lama berdiam di tempat ini. Aku khawatir, tangan mereka sangat beracun."
Si orang she Ong kelihatan terkejut. Ia merasa berat untuk meninggalkan kampung kelahirannya yang ia cinta.
"Tapi mereka toh sudah berjanji akan tidak menginjak lagi wilayah Ouwlam," katanya.
"Omongan manusia semacam itu tak bisa dipercaya habis," kata Ouw Hui.
Si tukang besi kelihatan seperti orang baru mendusin dari tidurnya. "Benar, kau benar!" katanya. "Baiklah, aku akan menyingkir secepat mungkin!" Sehabis berkata begitu, ia lalu bertindak keluar, tapi baru saja tiba di ambang pintu, ia memutarkan badan dan menanya, "Kau she apa?"
"She Ouw," jawab Ouw Hui.
"Ouw-ya, terima kasih dan sampai bertemu pula," katanya dengan suara terharu.
"Selama hidupmu, perlakukanlah Thia-kouwnio baik-baik."
Sekarang giliran Ouw Hui yang merasa kaget. "Apa kau kata?" tanyanya.
Si orang she Ong tertawa berkakakan. "Ouw-ya," katanya. "Aku, si tukang besi, bukan manusia yang terlalu tolol. Apakah kau kira aku tak dapat melihat? Thia-kouwnio adalah seorang gadis cilik yang sangat pintar, hatinya mulia dan kepandaiannya tak usah dibicarakan lagi. Sikapnya terhadapmu adalah sikap yang setulus hati. Ouw-ya, kau harus dengar kata terhadapnya!" Sekali lagi ia tertawa berkakakan dan melangkah ke luar pintu.
Tentu saja Ouw Hui mengerti, apa artinya perkataan itu. Ia merasa sangat jengah dan hanya berkata, "Sampai ketemu lagi."
"Ouw-ya, sampai ketemu lagi," kata si tukang besi sembari membereskan perabotnya yang lalu dipikul dan tanpa menengok lagi, sembari menyanyi-nyanyi, ia berangkat pulang ke rumahnya.
Ouw Hui menghela napas dan dengan tindakan perlahan, ia balik ke dapur.
Ketika itu, Siauw-tiat sudah sadar dari pingsannya dan sudah berdiri di atas lantai dengan badan dikerebongi dengan satu jubah panjang.
Terhadap Leng-so, keluarga Kiang mengiri dan membenci, tapi terhadap kepandaian si nona dalam menggunakan obat dan racun, mau tak mau, mereka merasa sangat kagum. Mereka bertiga berdiri tegak dengan sikap dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata terima kasih.
Leng-so juga rupanya tidak memedulikan sikap yang dingin itu. Di lain saat, ia merogoh saku dan mengeluarkan tiga ikat rumput obat kering yang berwarna putih. Sambil meletakkan itu di atas meja, ia berkata, "Begitu kau orang berlalu dari rumah ini, orang-orang dari keluarga Beng tentu akan mengejar dan coba mencegat kau orang. Ini adalah Tek-ouw-hio yang dibuat dengan menggunakan Cit-sim Hay-tong dan aku rasa sudah cukup untuk mundurkan mereka. Tapi aku pesan, kau jangan mengambil jiwa manusia, supaya permusuhan tidak jadi semakin mendalam."
Paras muka Kiang Tiat-san lantas saja berubah berseri-seri. "Thia-sumoay," katanya. "Banyak terima kasih untuk segala perhatianmu."
"Hm! Dia menolong putramu, kau tidak mengaturkan terima kasih," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Sesudah ia membantu kau untuk mundurkan musuh, baru kau menyatakan terima kasih. Dari sini dapat dilihat, bahwa musuh itu adalah musuh yang sangat lihai. Siapakah orang she Beng itu?"
Sesudah suaminya mengaturkan terima kasih, dari sakunya Sie Kiauw mengeluarkan satu botol kecil yang lalu diserahkan kepada Leng-so. "Inilah obat pemunah racun Toan-chung-co," katanya. "Sumoay sendiri tentu dapat membuatnya, hanya meminta tempo dan mungkin tak keburu untuk menolong orang."
Mendengar perkataan "obat pemunah racun Toan-chung-co", Ouw Hui jadi girang sekali.
Leng-so lalu membuka tutup botol dan mengendusnya dari jarak yang agak jauh. "Terima kasih, Suci," katanya sembari menutup botol itu yang kemudian diserahkan kepada Ouw Hui.
"Siauw-tiat!" kata pula si nona dengan suara angker.
"Kenapa kau memberikan Toan-chung-co kepada orang luar?" Siauw-tiat terkesiap, karena ia tak mengerti, bagaimana Leng-so bisa mengetahui hal itu. "Aku ... aku ...." jawabnya dengan tergugu.
"Sumoay," kata Tiat-san. "Siauw-tiat memang sudah berbuat kesalahan besar dan aku sudah hajar dia." Sembari berkata begitu, ia menghampiri putranya dan membuka jubah panjangnya Siauw-tiat, yang badannya lalu diputar. Ternyata, punggung Siauw-tiat penuh dengan bekas sabetan cambuk yang mengembang darah. Tadi, Leng-so sendiri sebenarnya sudah melihat bekas cambuk itu, akan tetapi, karena perbuatan Siauw-tiat, yaitu memberikan racun kepada orang luar, merupakan satu kedosaan besar dalam kalangan Tok-chiu Yo-ong, maka ia merasa berkewajiban untuk menegurnya.
Timbulnya dugaan, bahwa Toan-chung-co diberikan oleh Siauw-tiat, adalah karena melihat bekas sabetan itu.
Sesaat itu Leng-so ingat pula pesanan mendiang gurunya. Kata guru itu, "Jika kau sendiri yang meracuni orang, andai kata kau kesalahan meracuni orang baik, kau bisa lantas memberi pertolongan. Akan tetapi, jika racun itu diberikan kepada orang luar yang lalu menggunakannya untuk mencelakakan orang baik-baik, maka orang baik-baik itu tak akan bisa ditolong lagi. Kedosaan ini adalah sepuluh kali lipat lebih besar daripada meracuni orang dengan tangan sendiri."
Leng-so merasa pasti, bahwa larangan itu sudah sering diberitahukan kepada Siauw-tiat oleh kedua orang tuanya. Kenapa dia masih melanggar juga? Sebenarnya si nona ingin menanyakan lebih terang, tapi ia merasa malu hati, karena anak itu sudah dihajar keras oleh suko dan sucinya. Maka itu, ia hanya berkata sembari membungkuk, "Suko, Suci maafkan yang hari ini Siauwmoay telah berbuat banyak kesalahan terhadap kalian. Sampai ketemu lagi."
Kiang Tiat-san membalas hormat, tapi Sie Kiauw tak memedulikan dan hanya menggerendeng, "Hm!" Leng-so memberi tanda dengan isyarat mata kepada Ouw Hui dan mereka berdua lantas bertindak keluar.
Baru saja mereka mau melangkah pintu, Kiang Tiat-san mengejar sembari berseru, "Siauw-sumoay!"
Leng-so menengok dan begitu melihat paras mukanya yang guram dan penuh kesangsian, ia sudah mengetahui, apa yang diinginkan oleh sang suko. "Jiesuko, ada apa?" ia tanya sembari tertawa.
"Tiga Tek-ouw-hio itu memerlukan tiga orang yang lweekangnya sepantaran untuk mundurkan musuh," jawab Tiat-san. "Iweekang Siauw-tiat masih terlalu cetek, maka aku ingin memohon ...." ia tak dapat meneruskan perkataannya, mungkin karena merasa malu hati.
Si nona mesem dan berkata sambil menuding keranjang bambu yang menggeletak di luar pintu, "Toasuko berada dalam keranjang itu. Bubuk bunga Cit-sim Hay-tong yang ditinggalkan oleh Siauwmoay sudah cukup untuk memunahkan racun yang mengeram dalam tubuh Toasuko. Jiesuko, kenapa kau tak mau menggunakan kesempatan ini untuk memperbaiki perhubungan dengan Toasuko? Dengan menolong ia, kau juga akan mendapat bantuannya yang diperlukan."
Mendengar itu, bukan main girangnya Tiat-san. Untuk banyak tahun, ia merasa jengkel sekali, sebab permusuhannya dengan Bok-yong Keng-gak semakin lama jadi semakin mendalam. Ia sama sekali tak menduga, bahwa sumoay kecil itu sudah mengatur suatu siasat yang mempunyai dua kebaikan, yaitu mengundurkan musuh dan memperbaiki perhubungan dengan kakak seperguruannya. Demikianlah, sesudah mengaturkan terima kasih berulang-ulang, ia segera mengambil keranjang bambu itu.
Sementara itu, Ouw Hui sudah memungut lagi bunga biru yang tadi ditaruh olehnya di pinggir pintu. Leng-so melirik padanya dan kemudian, sembari mengulapkan tangan ke arah Tiat-san, ia berkata, "Jiesuko, kepala dan mukamu mengeluarkan darah, tapi dengan begitu, hawa racun yang mengeram dalam badanmu juga turut keluar. Aku berharap, kau jangan menaruh dendam atas perbuatanku yang kurang ajar."
Lagi-lagi Tiat-san terkejut, seperti orang yang baru mendusin dari tidurnya. "Sekarang baru aku mengetahui, bahwa perintahnya supaya si tukang besi menggebuk aku, di samping hukuman untuk kedosaanku, juga mengandung maksud yang baik," pikirnya. "Racun dalam badan Kiauw-moay belum hilang dan aku harus mengeluarkan sedikit darahnya." Memikir begitu, ia merasa takluk terhadap kepintaran sang sumoay yang jauh lebih unggul daripada dirinya sendiri. Dengan begitu, hilanglah juga segala
keinginannya untuk merampas Yo-ong Sin-pian.
Waktu Leng-so dan Ouw Hui kembali di rumah gubuk, Ciong Tiauw-bun masih pulas nyenyak. Mereka sudah bekerja berat, tak tidur semalam suntuk dan ketika itu, fajar sudah menyingsing. Leng-so segera mengeluarkan obat untuk Tiauw-bun dan memberikannya kepada Ouw Hui.
Sesudah Tiauw-bun diberi obat, tanpa mengaso lagi, mereka lalu mengambil cangkul untuk menanam pula pohon-pohon bunga biru yang belum rusak. "Semula, waktu melihat kawanan anjing hutan itu, aku kira yang datang menyerang adalah orang-orang keluarga Beng," kata si nona. "Belakangan setelah melihat di leher orang itu tergantung seikat rumput obat, barulah aku mengetahui, bahwa dia itu adalah Siauw-tiat."
"Bagaimana ia bisa kena racun Cit-sim Hay-tong?" tanya Ouw Hui. "Dalam kegelapan aku tak bisa melihat tegas."
"Aku serang dia dengan paku touw-kut-teng," jawab Leng-so. "Selain itu, pada paku tersebut diikatkan surat Toasuko yang dipalsukan olehku. Touw-kut-teng adalah senjata rahasia Toasuko yang tentu saja dikenali oleh Jiesuko. Itulah sebabnya, kenapa Jiesuko tidak bersangsi lagi."
"Tapi dari mana kau mendapatkan senjata rahasia toasukomu?" tanya pula Ouw Hui.
"Coba kau tebak-tebak," kata si nona sembari tertawa.
Ouw Hui berdiam sejenak dan kemudian berkata dengan suara nyaring, "Ah! Sekarang aku tahu. Waktu itu, toasukomu sudah dibekuk dan dimasukkan ke dalam keranjang. Tentu saja, dengan mudah kau dapat mengambil senjata rahasianya."
"Benar," kata Leng-so. "Melihat bunga biru itu, Toasuko sudah bercuriga. Sesudah kau menanyakan jalanan, ia segera mengikuti dan akhirnya masuk ke dalam keranjang."
Selagi kedua orang muda itu bicara dengan gembira sembari tertawa-tawa, di belakang mereka mendadak terdengar suara orang menanya, "Apa sih yang begitu menggelikan hati?" Mereka menengok dan melihat Ciong Tiauw-bun sedang berdiri di depan gubuk dengan muka merah, seperti orang mabuk arak.
Melihat kawan itu, Ouw Hui terkejut karena ia lantas saja ingat akan tugasnya. "Leng-kouwnio," katanya. "Biauw-tayhiap mendapat luka berat dan kami harus segera berangkat. Bagaimana cara menggunakan obat pemunah itu?"
"Biauw-tayhiap mendapat luka di mata, yaitu di bagian yang paling halus dan paling lemah dari tubuh manusia," kata Leng-so. "Banyak-sedikitnya obat yang harus digunakan, mesti dipertimbangkan masak-masak. Apa kau tahu, berapa beratnya luka itu?"
Ouw Hui terperanjat, tak dapat ia menjawab pertanyaan itu. Ia sekarang mengetahui, bahwa jalan satu-satunya adalah memohon pertolongan Leng-so, agar nona itu sudi datang ke rumah Biauw Jin-hong untuk memberi pertolongan. Akan tetapi, karena baru saja mengenal gadis itu, ia merasa berat untuk membuka mulut.
Si nona dapat membaca apa yang dipikir Ouw Hui. Ia bersenyum seraya berkata, "Jika diminta, aku bersedia untuk pergi sama-sama kalian. Tapi lebih dulu, kau harus meluluskan satu permintaanku."
Ouw Hui kegirangan. "Pasti, pasti aku meluluskan." katanya terburu-buru. "Permintaan apa?"
Si nona tertawa geli. "Sekarang belum ada," katanya. "Tapi begitu ada, aku akan segera mengajukan kepadamu. Aku hanya khawatir kau akan mungkir janji."
"Jika mungkir, aku bukan manusia lagi," kata Ouw Hui.
"Baiklah," kata Leng-so. "Aku ingin membawa sedikit pakaian untuk tukaran dan kita boleh lantas berangkat."
Melihat tubuh Leng-so yang kurus, Ouw Hui jadi merasa kasihan. "Leng-kouwnio," katanya dengan suara perlahan.
"Semalam suntuk kau tak tidur. Apa tidak terlalu capai?"
Tapi Leng-so tak memberi jawaban dan dengan tindakan gesit, ia lalu masuk ke ruangan dalam.
Ciong Tiauw-bun yang tidur nyenyak seluruh malam, tak mengetahui, bahwa malam itu sudah terjadi banyak sekali kejadian aneh. Waktu itu, Ouw Hui tidak bisa menuturkan sejelas-jelasnya. Ia hanya memberitahukan, bahwa obat pemunah racun sudah didapat dan bahwa Thia Leng-so, satu ahli yang berkepandaian tinggi, sudah meluluskan untuk berkunjung ke rumah Biauw Jin-hong guna mengobati kedua mata kesatria itu.
Baru saja Tiauw-bun ingin menanya lebih terang, Leng-so sudah keluar dengan menggendong satu bungkusan kecil di punggungnya dan membawa satu pasu pohon bunga dengan kedua tangannya. Daun pohon itu tiada beda seperti daun pohon hay-tong yang biasa, tapi daun bunganya berwarna biru tua dan pada setiap daun bunga terdapat tujuh titik merah.
"Apa ini Cit-sim Hay-tong yang kesohor?" tanya Ouw Hui.
Leng-so mengangsurkan pasu itu kepadanya, sehingga Ouw Hui loncat mundur dengan terkesiap. Si nona tertawa bergelak-gelak dan berkata, "Batang, daun, dan bunga pohon ini memang sangat beracun. Tapi jika tidak diolah, itu semua tak bisa mencelakakan manusia. Kalau kau tak makan dia, dia juga tak bisa membinasakan kau."
Ouw Hui juga tertawa. "Apa kau anggap aku sebagai kerbau yang makan rumput?" katanya sembari menyambuti pasu bunga itu.
Sesudah Leng-so mengunci pintu, mereka bertiga lantas saja berangkat. Waktu tiba di Pek-ma-sie, lebih dulu Ouw Hui pergi ke toko obat untuk mengambil pulang senjata mereka yang dititipkan. Ciong Tiauw-bun sendiri segera pergi membeli tiga ekor kuda. Mereka tak berani berayal dan lalu meneruskan perjalanan secepat mungkin.
Pek-ma-sie adalah satu kota kecil dan untuk mencari tiga ekor kuda sebenarnya sudah tak gampang. Maka itu, kuda yang dibeli tentu saja bukan kuda jempolan. Berjalan sampai malam, mereka hanya melalui kira-kira dua ratus li. Apa mau, sedang seluruh jagat sudah menjadi gelap dan mereka sudah lelah bukan main, di sekitar itu tak terdapat rumah penduduk. Apa boleh buat, mereka segera turun dari tunggangan untuk melewati malam itu di tengah-tengah satu hutan kecil.
Leng-so rupanya sudah tak dapat menahan capainya lagi. Begitu turun dari kudanya, ia segera merebahkan diri dan beberapa saat kemudian, ia sudah menggeros. Tiauw-bun lantas saja minta supaya Ouw Hui mengaso dengan mengatakan, bahwa malam itu ia yang akan bertugas sebagai penjaga.
Kira-kira tengah malam, lapat-lapat terdengar suara mengaumnya harimau. Ouw Hui tersadar dari tidurnya, tapi suara harimau itu semakin lama jadi semakin jauh. Sesudah mendusin, ia sukar pulas lagi. "Ciong-toako," katanya. "Pergilah kau tidur. Aku sudah tak bisa pulas lagi. Biarlah aku yang menjaga."
Tak lama kemudian, ia mendengar suara menggerosnya Tiauw-bun dan Leng-so yang saling sahut. Sembari memeluk dengkul, ia duduk tepekur dan rupa-rupa ingatan masuk ke dalam otaknya. "Ah, kali ini sebab mencampuri urusan orang lain, aku jadi terlambat beberapa hari," katanya di dalam hati.
"Sekarang tak mungkin aku bisa menyusul lagi Hong Jin Eng. Apakah dia pergi ke Pakkhia untuk menghadiri pertemuan para ciangbunjin?"
Dengan hati pepet, ia memikir bolak-balik. Perlahan-lahan ia merogoh saku dan mengeluarkan satu bungkusan yang lalu dibuka dan kemudian membungkus lagi, sesudah memasukkan bunga biru ke dalamnya. Melihat bunga itu, ia lantas saja ingat perkataan si tukang besi.
Selagi melamun, mendadak ia dengar suara tertawanya Leng-so. "Eh, ada mestika apa dalam bungkusan itu?" tanya si nona. "Bolehkah aku lihat?"
Ouw Hui menengok dan ternyata, nona itu sudah duduk di atas rumput.
"Apa yang dianggap mestika olehku, sama sekali tidak berharga bagimu," kata Ouw Hui sembari membuka lagi bungkusannya yang lalu diangsurkan kepada Leng-so. "Inilah pisau bambu, pemberian Peng Sie-siok ketika aku masih kecil," ia menerangkan. "Inilah sepotong emas, hadiah Tio-samko, saudara angkatku. Aku sengaja menyimpan sepotong, sebagai peringatan. Dan ini adalah kitab ilmu silat dan ilmu golok, warisan leluhurku ..." Waktu menunjuk burung hong yang terbuat dari batu pualam, ia agak tergugu dan berkata, "Inilah barang permainan pemberian satu sahabat." Di bawah sinar rembulan, hong pemberian Wan Cie-ie itu mengeluarkan sinar terang yang indah sekali. Mendengar suara Ouw Hui yang agak luar biasa, Leng-so dongak seraya berkata, "Sahabat, satu nona, bukan?"
Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. "Benar!" jawabnya.
"Ah, inilah mestika yang tak ternilai harganya!" kata pula si nona dengan suara menggoda. Ia tertawa dan membungkus pula bungkusan itu yang lalu dipulangkan kepada Ouw Hui. Pemuda itu menyambuti dengan perasaan yang sukar dilukiskan, ia tak tahu, apa ia harus bergirang atau berduka.
Besok paginya, mereka meneruskan perjalanan dan kira-kira lohor, barulah tiba di depan rumah Biauw Jin-hong. Mereka kaget karena di depan rumah tertambat tujuh ekor kuda yang kelihatannya garang sekali.
"Kalian tunggu di sini," Tiauw-bun berbisik.
"Aku pergi dulu untuk menyelidiki!" Sehabis berkata begitu, ia pergi ke belakang rumah dengan mengambil jalan memutar. Dari situ, ia mendengar suara bicara yang keras dari beberapa orang. Perlahan-lahan ia menghampiri jendela dan mengintip ke dalam. Ternyata, dengan kedua mata diikat kain, Biauw Jin-hong sedang berdiri tegak di depannya, di mulut pintu ruangan tengah, berdiri beberapa orang lelaki yang romannya bengis dan masing-masing mencekal senjata.
Tiauw-bun kaget berbareng berkhawatir, karena Tiauw-eng dan Tiauw-leng yang bertugas melindungi Biauw Jin-hong, tak kelihatan mata hidungnya. Apa mereka telah ditawan musuh?
"Biauw Jin-hong!" membentak salah seorang yang rupanya menjadi kepala dari lima orang itu. "Kedua matamu sekarang sudah buta, hidup lebih lama dalam dunia hanya memperpanjang penderitaanmu. Dengarlah nasihatku! Lebih baik kau menggorok leher supaya tuan-tuan besarmu tak usah banyak berabe."
Biauw Jin-hong tak menjawab, ia hanya mengeluarkan suara "hm!" dari hidungnya.
"Biauw Jin-hong," kata seorang lain dengan suara mengejek. "Kau digelari sebagai Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, sebagai seorang yang tiada tandingannya di kolong langit. Puluhan tahun kau malang melintang dengan leluasa dalam kalangan Kang-ouw. Tapi hari ini kau bertemu dengan kami. Jika kau bisa melihat gelagat dan berlutut beberapa kali di hadapan tuan-tuan besarmu, mungkin sekali kami akan merasa kasihan dan membiarkan kau hidup lagi beberapa tahun."
"Mana Tian Kui-long?" membentak Biauw-tayhiap dengan suara angker. "Kenapa dia tidak berani menemui aku untuk bicara sendiri?"
Lelaki yang menjadi kepala rombongan tertawa terbahak-bahak. "Untuk membereskan satu manusia buta, apakah perlu Tian-toaya turun tangan sendiri?" tanya ia dengan suara temberang.
"Tian Kui-long tak berani datang?" tanya Biauw Jin-hong dengan suara tenang. "Apa dia tak mempunyai nyali untuk membunuh aku?"
Pada sesaat itu, Tiauw-bun mendadak merasakan pundaknya ditepuk orang. Dengan terkejut ia menengok dan mendapat kenyataan, bahwa di belakangnya berdiri Ouw Hui bersama Leng-so.
"Ciong Jieko dan Samko berada di sana, kena dirobohkan oleh kawanan bangsat," berbisik Ouw Hui sembari menuding ke arah barat. "Pergilah Toako menolong mereka, sedang aku sendiri akan melindungi Biauw-tayhiap."
Karena mengetahui Ouw Hui berkepandaian tinggi dan juga sebab memikiri keselamatan kedua saudaranya, tanpa membantah lagi, Tiauw-bun segera berlari-lari ke jurusan barat sembari mengeluarkan poan-koan-pit.
Gerakan Tiauw-bun lantas saja diketahui oleh orang-orang yang berada di dalam rumah. "Siapa di luar!" membentak seorang antaranya.
"Yang satu sinshe (tabib) yang satu lagi tukang potong!" sahut Ouw Hui sembari tertawa.
"Jangan main gila!" dia membentak dengan suara gusar.
"Apa itu sinshe dan tukang potong!?"
"Sinshe adalah untuk mengobati kedua mata Biauw-tayhiap sedang tukang potong adalah untuk menyembelih kawanan babi dan anjing!" jawab Ouw Hui.
Dengan kegusaran yang meluap-luap, orang itu segera bergerak untuk melompat keluar, tapi lantas dicegah oleh pemimpin rombongan yang berkata dengan suara perlahan, "Jangan kena ditipu dengan siasat Tiauw-houw-lie-san (memancing harimau keluar dari gunung). Tian-toaya hanya memerintah kita untuk membinasakan Biauw Jin-hong. Urusan lain tak usah kita campur-campur."
Orang itu menggerendeng, tapi tak berani membantah. Memang juga, tujuan Ouw Hui adalah untuk memancing mereka keluar supaya ia sendiri yang menghadapi lima orang itu. Walaupun mengetahui, bahwa Biauw Jin-hong mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, akan tetapi hatinya masih berkhawatir, karena kedua mata Biauw-tayhiap tak bisa melihat. Ia merasa menyesal karena lima orang itu tak kena dipancing.
"Saudara kecil, kau sudah pulang?" tanya Biauw-tayhiap.
"Benar, aku sudah berhasil mengundang Tok-chiu Yo-ong datang ke sini," jawabnya dengan suara nyaring, "Matamu pasti akan sembuh. Tak usah kau berkhawatir lagi."
Tak usah dikatakan lagi, kata-kata "Tok-chiu Yo-ong" adalah untuk menggertak musuh. Benar saja, kelima orang itu jadi terkejut dan menengok ke jurusan Ouw Hui. Tapi apa yang dilihat adalah seorang muda yang berbadan kasar dan satu nona yang badannya kurus kering. Hati mereka jadi lega, karena tak percaya nona itu adalah Tok-chiu Yo-ong yang kesohor namanya.
"Saudara kecil, aku masih sanggup menghadapi kawanan anjing ini," kata Kim-bian-hud dengan suara tenang. "Pergilah bantu Ciong-sie Sam-hiong. Jumlah musuh tak kecil, mereka ingin membasmi kita dengan mengandalkan jumlahnya yang besar."
Sebelum Ouw Hui sempat menjawab, di belakangnya mendadak terdengar suara tindakan banyak orang. "Dugaan Biauw-tayhiap tepat sekali," kata seorang dengan suara nyaring. "Memang juga kami ingin membasmi kau dengan mengandalkan jumlah orang yang banyak."
Begitu menengok, Ouw Hui terkesiap. Belasan lelaki bersenjata sedang menghampiri dengan tindakan perlahan dan di belakang mereka terdapat belasan orang lain yang mencekal obor. Apa yang paling mengejutkan adalah tertawannya Ciong-sie Sam-hiong yang sedang digusur dengan terikat kedua tangannya. Sesaat kemudian, seorang lelaki yang berusia pertengahan dan pada pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang, maju ke depan. Orang itu berparas cakap dan Ouw Hui lantas saja mengenali, bahwa dia itu bukan lain daripada Tian Kui-long yang ia pernah bertemu di Siang-kee-po pada beberapa tahun berselang. Waktu itu Ouw Hui masih merupakan satu bocah cilik yang kurus kering, sehingga Tian Kui-long tentu saja tidak kenali itu.
Kim-bian-hud dongak dan tertawa terbahak-bahak. "Tian Kui-long!" ia membentak. "Aku tahu, sebegitu lama kau belum mengambil jiwaku, sebegitu lama juga kau tak bisa enak tidur. Ha-ha-ha! Hari ini kau membawa banyak sekali orang!"
"Kami adalah rakyat baik-baik, mana berani kami mengambil jiwa manusia," kata Kui-long dengan suara tenang.
"Aku datang ke sini hanya untuk mengundang Biauw-tayhiap untuk beristirahat beberapa hari di rumahku. Siapa kata, kami mempunyai niatan yang kurang baik?"
Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan nada seperti seorang yang menang perang. Ia menganggap bahwa Biauw Jin-hong sudah masuk ke dalam jaring dan tak akan bisa meloloskan diri lagi. Ciong-sie Sam-hiong yang namanya kesohor sudah kena ditawan, sedang Ouw Hui dan Leng-so yang berdiri di pintu dipandang sebelah mata olehnya. Kegirangannya meluap-luap, ia merasa sudah memperoleh kemenangan total.
Sementara itu, Ouw Hui mengasah otak untuk mencari jalan keluar. Ia mengerti, bahwa pihaknya berada dalam keadaan terjepit. Jumlah musuh banyak lebih besar dan di antara mereka tentulah terdapat banyak jago-jago yang berkepandaian tinggi. Di pihaknya, Ciong-sie Sam-hiong yang boleh diandali, sudah kena ditawan musuh.
Dengan mata tajam, ia mengawasi barisan musuh. Di belakang Tian Kui-long berdiri dua wanita, seorang tua yang berbadan kurus kering dan seorang lelaki setengah tua yang mencekal sepasang tameng. Mata kedua orang itu bersinar terang dan sudah bisa diduga, bahwa mereka bukan lawan enteng. Di samping itu, terdapat pula tujuh-delapan orang lelaki yang mencekal dua rantai besi yang sangat panjang dan halus. Semula, Ouw Hui tak mengetahui kegunaan rantai itu, tapi sesudah memikir sejenak, ia mendusin. "Mereka tentu ingin melibat kaki Biauw-tayhiap," katanya di dalam hati.
"Mereka tentu menganggap, karena sudah buta, Biauw-tayhiap pasti akan roboh jika ditarik oleh tujuh-delapan orang." Sembari berpikir begitu, ia mengawasi Tian Kui-long dan begitu melihat mukanya manusia itu, darahnya lantas saja mendidih. "Bangsat!" ia mencaci dalam hatinya. "Sesudah merampas istri orang, kau rupanya belum puas kalau belum membinasakan juga suaminya."
Tapi keadaan yang sebenarnya adalah, Tian Kui-long yang sangat busuk tak terluput dari penderitaan batin yang sangat hebat. Semenjak membawa kabur Lam-lan, istri Biauw Jin-hong, tak pernah ia enak makan dan enak tidur, karena ia tak dapat melupakan bahwa wanita yang dibawa lari itu adalah istri seorang ahli silat yang tiada tandingannya di kolong langit. Setiap berkerisiknya rumput mengejutkan hatinya, sebab ia selalu berkata, bahwa suara itu adalah tanda, dari kedatangan Biauw Jin-hong.
Semula, Lam-lan memang tergila-gila dan menyerahkan seluruh kecintaannya terhadap Kui-long. Tapi belakangan, setelah melihat lelaki itu ketakutan siang-malam, harga Tian Kui-long lantas saja merosot di matanya Lam-lan. Dalam anggapan nyonya itu, yang selalu memandang rendah bekas suaminya, Biauw Jin-hong adalah seorang yang tak perlu ditakuti. Di samping itu, Lam-lan juga berpendapat, bahwa jika mereka berdua sungguh-sungguh saling mencintai, kebinasaan bersama-sama di ujung pedang Kim-bian-hud tak merupakan soal besar yang mesti ditakuti sampai begitu. Dengan demikian Lam-lan segera mendapat kenyataan,
bahwa Tian Kui-long lebih menghargai jiwanya sendiri daripada kecintaannya seorang wanita yang sudah meninggalkan suaminya, yang meninggalkan juga putrinya dan yang sudah rela dicaci orang untuk mengikuti dia.
Karena selalu diliputi ketakutan, Kui-long tak dapat melayani lagi perempuan itu seperti biasanya. Ia tak hanya mengungkuli Lam-lan dengan tetabuhan khim, dengan main tiokie atau menyusun syair. Mau tak mau, sebagian besar waktunya digunakan untuk main pedang atau berlatih Iweekang guna menjaga kedatangan Kim-bian-hud. Apa mau, wanita itu justru paling tak suka orang berlatih silat.
Tian Kui-long adalah seorang jahat yang berotak pintar. Ia mengetahui, bahwa sebegitu lama Biauw Jin-hong masih hidup, segala rencananya akan berakhir dengan kegagalan. Segala harta kekayaan yang diimpi-impikan olehnya akan hanya merupakan satu bayangan rembulan di muka air.
Sementara itu, Leng-so yang berdiri di samping Ouw Hui, terus mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Seperti Ouw Hui, ia pun sedang menimbang-nimbang bagaimana harus merobohkan musuh. Perlahan-lahan ia merogoh saku, mengeluarkan potongan lilin racunnya dan mengeluarkan juga bahan api. Begitu lekas lilin disulut, dalam tempo cepat, semua orang pasti akan roboh pingsan. Dengan mata tajam, ia mengawasi semua orang dan setelah melihat, bahwa mereka tidak memerhatikan, ia segera menyalakan bahan api dan menyulut lilin itu. Bahwa di malam yang gelap seseorang menyalakan lilin, adalah kejadian yang tidak luar biasa.
Tapi, sebelum lilin tersulut, mendadak terdengar menyambarnya senjata rahasia yang mengenai tepat pada lilin itu yang lantas saja jadi kutung dua dan jatuh di lantai.
Leng-so terkejut dan menengok ke jurusan menyambarnya senjata rahasia itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa orang yang melepaskan senjata rahasia adalah satu nona kecil yang baru berusia kira-kira lima belas tahun. "Jangan main gila kau!" membentak nona itu. Mata semua orang sekarang ditujukan kepada Leng-so yang sudah mengetahui, bahwa senjata rahasia yang digunakan oleh nona itu adalah sebatang tiat-tui (pusut besi). Ia merasa agak jengah dan berkata dengan suara tawar, "Main gila apa?" Ia merasa sangat tidak mengerti, bagaimana gadis cilik itu bisa mengetahui rahasianya, sehingga sekarang adalah sukar untuk ia turunkan tangan.
Tian Kui-long hanya melirik dan tidak menaruh perhatian terhadap kejadian itu. "Biauw Toako," katanya. "Hayolah ikut kami!"
Hampir berbareng, satu gundalnya Tian Kui-long mendorong pundak Ouw Hui sembari membentak, "Siapa kau? Minggir! Di sini bukan tontonan." Dia menganggap, bahwa Leng-so dan Ouw Hui adalah tetangga Biauw Jin-hong yang datang menengoki. Ouw Hui sengaja berlagak tolol, ia lantas minggir tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Saudara kecil," kata Kim-bian-hud. "Pergilah menyingkir! Jangan pedulikan aku lagi. Jika kau bisa menolong Ciong-sie Sam-hiong, aku Biauw Jin-hong sudah merasa berterima kasih tak habisnya."
Mendengar kata-kata itu, ketiga saudara Ciong dan Ouw Hui merasa terharu sekali. Mereka kagum akan kesatriaan Biauw-tayhiap yang dalam bahaya besar, masih ingat kepentingan orang lain, tanpa mengingat kepentingan sendiri.
Kui-long yang selalu berwaspada, lantas saja jadi terkejut. Ia melirik Ouw Hui dan berkata dalam hatinya, "Apakah bocah ini mempunyai kepandaian tinggi?" Ia mengambil putusan untuk tidak menyia-nyiakan tempo lagi dan lantas membentak, "Harap Biauw-tayhiap lantas berangkat!"
Berbareng dengan perkataan itu, lima gundalnya Tian Kui-long lantas menyerang Kim-bian-hud dengan senjatanya. Ruangan itu sangat sempit dan diserang secara begitu, Biauw Jin-hong kelihatannya tak akan bisa meloloskan diri lagi. Tapi di luar dugaan, dengan sekali mengebas dengan kedua tangannya, ia sudah berhasil meloloskan diri dari antara dua musuh dan semua senjata yang ditujukan kepadanya, jatuh di tempat kosong.
Di lain saat, Kim-bian-hud memutar badan dan dengan paras muka angker, ia berdiri di tengah-tengah pintu. Dengan tangan kosong dan kedua mata diikat, Kim-bian-hud mencegat jalan keluar lima musuhnya. Tadinya, Ouw Hui ingin lantas menerjang untuk membantu, akan tetapi, begitu melihat gerakan Biauw Jin-hong, ia segera mengetahui, bahwa meskipun belum tentu menang, Kim-bian-hud pasti tak akan bisa dirobohkan dengan mentah-mentah.
Di lain pihak, kelima musuhnya mendongkol bukan main. Jika mereka berlima masih belum bisa merobohkan satu Biauw Jin-hong yang sudah buta matanya, sungguh-sungguh mereka tak ada muka untuk berkelana lagi di dunia Kang-ouw.
"Saudara kecil," kata Kim-bian-hud. "Jika sekarang kau tak mau lari mau tunggu sampai kapan lagi?"
"Biauw-tayhiap, jangan kau khawatir," jawab Ouw Hui.
"Kalau baru kawanan anjing semacam itu, belum bisa mereka menghalang-halangi aku."
"Bagus!" kata Biauw Jin-hong.
"Saudara kecil, sungguh besar nyalimu." Hampir berbareng dengan perkataannya itu, ia menerjang lima musuhnya.
Lima lawan itu juga bukan sembarang orang. Melihat serangan Kim-bian-hud yang sangat dahsyat, mereka lantas loncat mundur dan main petak di sepanjang dinding, akan kemudian menyerang, jika ada kesempatan bagus. Dalam sekejap kursi meja sudah jadi rusak dan penerangan menjadi padam. Dua gundalnya Tian Kui-long lantas saja mendekati pintu dan mengangkat obor tinggi-tinggi. Bagi Biauw Jin-hong, ada penerangan atau tidak adalah sama saja. Tapi bagi lima orang itu, adanya penerangan merupakan satu keuntungan besar.
Sesudah bertempur beberapa saat, sembari membentak keras satu orang menikam kempungan Kim-bian-hud dengan tombaknya. Biauw Jin-hong mementang kaki kanannya dan coba merampas tombak yang sedang menyambar itu. Tapi tanpa diketahui olehnya, satu musuh yang berjongkok sedari tadi di sebelah tenggara, mendadak membabat dengan goloknya yang mengenai tepat pada dengkul Biauw Jin-hong. Si pembokong itu adalah manusia yang sangat licik. Ia mengetahui, bahwa Kim-bian-hud berkelahi dengan mengandalkan kupingnya. Sambil menahan napas, ia segera berjongkok di satu sudut untuk menunggu kesempatan baik. Waktu Biauw Jin-hong mementang kakinya di dekat dia, secara mendadak dia membacok, sehingga biarpun sangat lihai, Kim-bian-hud tak dapat mengelakkan lagi serangan itu.
Melihat Biauw-tayhiap terluka, semua kawannya Tian Kui-long lantas saja bersorak-sorak girang.
"Saudara kecil!" membentak Tiauw-eng. "Lekas menolong! Jika terlambat, mungkin tak keburu lagi!" Pada saat itu, pundak kiri Biauw Jin-hong kembali kena dibacok.
Sampai di situ, Kim-bian-hud jadi keder juga. "Tanpa bersenjata, aku sukar menoblos ke luar dari kepungan," pikirnya.
Ouw Hui yang bermata sangat tajam, juga mengetahui, bahwa apa yang diperlukan oleh Biauw Jin-hong adalah senjata. Jika ia memberikan goloknya kepada Biauw Jin-hong, ia sendiri bisa berbahaya, karena musuh yang berada di luar pintu berjumlah besar. Untuk sejenak, ia bingung dan bimbang. Tapi, sebab melihat keadaan mendesak, tanpa memikir panjang-panjang lagi, ia lantas saja berseru, "Biauw-tayhiap, sambutlah golok ini!" Berbareng dengan seruannya, ia melontarkan golok itu dengan menggunakan Iweekang. Ia sudah menghitung pasti, bahwa dengan menggunakan Iweekang yang dahsyat, hanya Biauw Jin-hong yang akan dapat menyambuti goloknya itu. Jika di antara lima orang itu ada yang mau mencoba, tangannya sendiri yang akan tertebas kutung.
Pada saat itu, Biauw Jin-hong sendiri sedang memancing musuh yang tadi membokongnya. Ia sengaja melonjorkan tangan kirinya ke jurusan tenggara. Melihat kesempatan, orang itu kembali membacok. Cepat bagaikan kilat, Kim-bian-hud membalik tangannya dan di lain saat, ia sudah merebut golok musuh. Pada detik itulah, ia mendengar sambaran goloknya Ouw Hui. Ia segera memapaki belakang golok Ouw Hui dengan belakang golok yang dicekal olehnya. Trang! Lelatu api berhamburan dan golok Ouw Hui terpental balik keluar pintu!
"Saudara kecil!" berseru Biauw Jin-hong. "Kau sendiri memerlukan senjata! Lihatlah! Lihat aku, si buta, membasmi kawanan bangsat ini!" Dengan mencekal senjata, Kim-bian-hud seakan-akan seekor harimau yang tumbuh sayap. Goloknya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, sehingga lima musuhnya terpaksa main petak lagi sambil mepet-mepet di dinding ruangan itu.
Kelima musuh itu mengetahui, bahwa Biauw-kee Kiam-hoat (ilmu pedang keluarga Biauw) lihai bukan main. Akan tetapi, seorang yang pandai menggunakan pedang, jarang sekali bisa menggunakan golok. Maka itu, mereka menduga, bahwa walaupun sudah bersenjata, Kim-bian-hud tak akan bisa berbuat banyak, karena senjata yang digunakan olehnya bukan senjata yang biasa digunakan. Maka itu, dengan hati lebih tabah, sembari membentak keras, mereka kembali mengurung terlebih rapat.
Mendadak, dari luar berkelebat satu sinar terang dan terbang masuk sebilah golok yang dilontarkan untuk orang yang tadi goloknya kena direbut oleh Biauw Jin-hong. Begitu memperoleh senjata, dengan geregetan dia menyerang Kim-bian-hud untuk menebus malu.
Sesaat itu, dengan kupingnya yang sangat tajam, Biauw Jin-hong mengetahui, bahwa dari depan menyambar golok dan dari samping kiri menyambar cambuk. Ia tetap berdiri tegak, tidak berkelit dan juga tidak coba menangkis. Pada waktu, kedua senjata itu hanya terpisah kira-kira setengah kaki dari badannya, bagaikan kecepatan arus listrik, Biauw-tayhiap memutar badan sembari membacok tangan musuh yang mencekal cambuk. Bacokan itu mengena jitu, sehingga tulang tangan musuh putus dan cambuknya terlempar jatuh di atas lantai. Orang yang bersenjata golok kaget bukan main dan buru-buru loncat mundur, akan kemudian menggulingkan diri di lantai untuk menyingkir sejauh mungkin.
Melihat pukulan Kim-bian-hud, Ouw Hui terperanjat. "Ah! Itulah pukulan Yo-cu-hoan-sin (Elang Memutar Badan)," katanya di dalam hati. "Terang-terang, pukulan itu adalah pukulan dari Ouw-kee To-hoat (ilmu golok keluarga Ouw). Bagaimana Biauw-tayhiap bisa menggunakannya secara begitu bagus?"
Pemuda itu tentu saja tidak mengetahui, bahwa waktu dulu mendiang ayahnya, Ouw It-to, pie-bu (bertanding) dengan Biauw Jin-hong, kedua kesatria itu saling menghargai dan lalu saling menurunkan ilmu silat masing-masing. Sebagai orang berkepandaian tinggi, setelah mendapat petunjuk langsung dari Ouw It-to, Biauw Jin-hong lantas saja dapat menyelami intisarinya Ouw-kee To-hoat, sehingga dapat dimengerti, jika pengetahuannya mengenai ilmu golok itu ada banyak lebih mendalam daripada pengetahuan Ouw Hui yang hanya menarik pelajaran dari kitab peninggalan mendiang ayahnya. Demikianlah, dengan sekali gebrak saja, ia sudah berhasil merobohkan satu musuh yang tangguh.
Empat musuh lainnya tentu saja kaget dan menjadi keder. "Awas!" berteriak satu antaranya. "Si buta pandai menggunakan golok!"
Mendengar itu, Tian Kui-long lantas saja ingat peristiwa di tempo dulu, kapan Ouw It-to dan Biauw Jin-hong saling menurunkan ilmu. "Dia menggunakan Ouw-kee To-hoat!" berteriak Kui-long. "Semua orang harus berhati-hati!"
"Benar," kata Kim-bian-hud. "Hari ini kawanan tikus boleh berkenalan dengan lihainya Ouw-kee To-hoat." Ia maju dua tindak dan memapas dengan goloknya dengan menggunakan pukulan Hway-tiong-po-goat (Memeluk Rembulan di Depan. Tapi pukulan itu hanyalah pukulan gertakan yang segera disusul dengan Geng-bun-po-bun-tiat-san (Bertindak Menghampiri Pintu dan Menutup Daun Pintu Besi), golok menyodok dan membabat dan kembali satu musuh roboh terguling, dengan pinggang tertebas golok.
"Benar, benar!" kata Ouw Hui dalam hatinya dengan kegirangan yang meluap-luap. "Biauw-tayhiap memang benar menggunakan Ouw-kee To-hoat. Sekarang baru aku mengetahui, bahwa dua pukulan itu, yang satu gertakan dan yang lain serangan sesungguhnya, dapat digunakan secara begitu."
Sesudah mendapat angin, Biauw Jin-hong tak kasih hati pada sisa musuhnya dan terus menyerang dengan ilmu golok keluarga Ouw. "See-ceng-pay-Hud (See Ceng Menyembah Sang Buddha)!" ia berteriak dan satu musuh terbacok pundaknya, sedang tombaknya terpapas kutung.
"Siang-po-cek-seng-to (Ilmu Golok Memetik Bintang)!" berteriak pula Biauw-tayhiap dan lagi-lagi goloknya berhasil mengutungkan kakinya satu musuh yang lantas saja roboh tak bisa bangun lagi.
Tian Kui-long bingung. "Cian-sutee!" ia berteriak. "Keluar, lekas keluar!"
Ketika itu dalam ruangan tersebut hanya ketinggalan satu musuh yang dipanggil "Cian-sutee" (adik seperguruan she Cian) oleh Tian Kui-long. Orang she Cian itu mengerti, bahwa meskipun ia mengirim bala bantuan ke ruangan tersebut, belum tentu Biauw Jin-hong bisa dirobohkan. Maka itu, ia segera mengambil putusan untuk memancing Kim-bian-hud keluar dari ruangan tersebut untuk dibekuk dengan menggunakan rantai besi. Tapi, dengan Biauw-tayhiap selalu mengadang di sekitar mulut pintu, orang she Cian itu tak gampang-gampang bisa meloloskan diri. Biauw Jin-hong mengetahui, bahwa orang she Cian itu adalah orang yang sudah membokong dan melukai dengkulnya, sehingga dengan geregetan ia terus mengirim serangan-serangan hebat. Dalam sekejap ia sudah mendesak musuhnya sampai di pojok ruangan, akan kemudian, dengan pukulan Coan-chiu-cong-to (Melonjorkan Tangan Menyembunyikan Golok), ia membacok. Trang! Golok musuh terbang ke tengah udara. Tapi orang she Cian itu, lantas saja menggulingkan diri di atas lantai untuk coba menoblos ke luar dari bawah meja. Tapi Biauw-tayhiap yang sudah mata merah, sungkan memberi kesempatan pada manusia licik itu. Ia menjemput satu kursi yang lantas ditimpukkan ke orang itu. Sesaat itu, ia justru sedang bergulingan keluar dari bawah meja. Prak! Kursi menyambar tepat pada dadanya. Timpukan Biauw-tayhiap yang disertai Iweekang, hebat bukan main. Kursi hancur, tulang dada orang she Cian itu patah dan ia menggeletak tanpa bergerak lagi. Begitulah, dengan seorang diri Biauw-tayhiap sudah merobohkan lima musuhnya yang sangat tangguh. Dalam pada itu, ia mengetahui, bahwa walau bagaimanapun, orang-orang itu hanya merupakan alat Tian Kui-long dan sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan dirinya sendiri. Maka itu, menurunkan tangan, ia tidak berlaku kejam. Ia membatasi diri, hanya melukai, tapi tidak mengambil jiwa musuh-musuhnya itu.
Sementara itu, tak usah dikatakan lagi, Tian Kui-long dan konco-konconya jadi kaget tak kepalang. Sekarang baru mereka mengakui, bahwa gelaran Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu sungguh-sungguh bukan gelaran kosong. Jika Biauw Jin-hong bisa melihat, siang-siang mereka tentu sudah terpukul mundur. Sesudah bisa menetapkan hatinya, Tian Kui-long yang busuk lantas saja tertawa dan berkata dengan suara nyaring, "Biauw Toako! Semakin lama, ilmu silatmu jadi semakin tinggi. Siauwtee sungguh merasa kagum. Mari, mari! Siauwtee ingin menggunakan Kiam-hoat Thian-liong-pay untuk belajar kenal dengan Ouw-kee To-hoat." Sembari berkata begitu, dengan lirikan mata, ia memberi isyarat kepada kaki tangannya yang mencekal rantai panjang. Mereka lantas maju ke depan dan yang lainnya lantas mundur ke belakang.
"Baiklah," jawab Biauw Jin-hong dengan pendek. Ia mengerti, bahwa tantangan Tian Kui-long mesti ada buntutnya yang berbahaya, meskipun begitu, sebagai seorang jago tulen, tak mau ia menolak tantangan itu.
Tapi, sebelum ia bergerak, Ouw Hui sudah mendahului. "Tahan!" katanya sembari mengadang di depan pintu. "Jika kau ingin belajar kenal dengan Ouw-kee To-hoat, tak perlu Biauw-tayhiap yang turun tangan sendiri. Aku sendiri sudah cukup untuk memberi satu-dua petunjuk kepadamu!"
Tadi, setelah melihat Ouw Hui melemparkan dan menyambuti golok, Kui-long sudah mengetahui, bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan. Akan tetapi, biar bagaimana juga, ia sama sekali tak memandang sebelah mata pun kepada Ouw Hui yang masih berusia begitu muda. Ia tertawa dingin dan menanya, "Siapa kau? Sungguh besar nyalimu, berani mementang bacot di hadapan Tian-toaya."
"Aku adalah sahabat Biauw-tayhiap," jawabnya. "Sesudah menyaksikan Ouw-kee To-hoat, aku telah menghafalkan satu-dua pukulan dan sekarang justru aku ingin mencoba-coba. Hayolah!"
Muka Tian Kui-long menjadi merah padam, bahana gusarnya. Tapi, sebelum ia bisa membuka mulut lagi, Ouw Hui sudah membentak. "Jagalah golokku!" Berbareng dengan bentakannya, ia menyerang dengan pukulan Coan-chiu-cong-to, yaitu pukulan yang tadi digunakan Biauw-tayhiap terhadap "Cian-sutee". Kui-long mengangkat pedangnya dan menangkis. Trang! Kedua senjata itu beradu keras. Badan Kui-long bergoyang-goyang, sedang Ouw Hui sendiri mundur setindak.
Tian Kui-long adalah ciangbunjin (pemimpin) dari partai Thian-liong-bun. Ilmu pedang Thian-liong Kiam-hoat sudah diyakinkannya kira-kira empat puluh tahun dan tenaga dalamnya jauh lebih kuat daripada Ouw Hui. Maka itu, dalam peraduan Iweekang, Ouw Hui kalah setingkat. Akan tetapi, bahwa pemuda itu hanya terhuyung setindak dan paras mukanya sama sekali tidak berubah, adalah di luar dugaan Kui-long. Melihat usia Ouw Hui yang masih begitu muda ia menduga, bahwa dalam bentrokan senjata tadi, golok Ouw Hui pasti akan terbang ke udara dan pemuda itu akan memuntahkan darah, atau sedikitnya, mendapat luka di dalam.
Dengan mengandalkan ketajaman kupingnya, Biauw Jin-hong yang berdiri di belakang pintu, sudah mengetahui bagaimana kesudahan gebrakan tadi. "Saudara kecil," katanya. "Kau sudah menggunakan Coan-chiu-cong-to dengan bagus sekali. Akan tetapi, kelihaian Ouw-kee To-hoat terletak pada pukulan-pukulannya yang sangat luar biasa dan bukan mengandalkan tenaga untuk melawan tenaga. Saudara kecil, kau minggirlah! Lihatlah, bagaimana aku si buta membereskan dia!"
Kata-kata Biauw-tayhiap itu bagaikan sinar terang yang tiba-tiba muncul di tempat gelap. Ouw Hui lantas saja mengerti, bahwa dengan caranya, tenaga melawan tenaga, ia sebagai juga menggunakan kelemahannya sendiri untuk menyerang bagian musuh yang kuat. Memikir begitu, lantas saja ia berseru, "Sabar! Ouw-kee To-hoat yang tadi diperlihatkan oleh Biauw-tayhiap, baru saja dijajal satu pukulannya olehku. Masih ada beberapa puluh pukulan lain yang belum kucoba." Ia memutarkan badan dan berkata kepada Tian Kui-long, "Bagaimana? Apakah kau sudah merasakan lihainya Coan-chiu-cong-to?"
"Anak kurang ajar!" bentak Kui-long. "Hayo minggir!"
"Jangan memandang rendah kepadaku," kata Ouw Hui.
"Jika aku tak bisa mengalahkan kau dengan Ouw-kee To-hoat, aku bersedia untuk berlutut di hadapanmu. Tapi bagaimana jika kau yang keok?"
Tian Kui-long merasakan dadanya seperti mau meledak. "Aku juga akan berlutut di hadapanmu!" ia berteriak.
"Tak usah," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Sudah cukup jika kau melepaskan Ciong-sie Sam-hiong. Ilmu silat ketiga saudara itu masih jauh lebih unggul daripada kau. Jika satu melawan satu, mana kau bisa menempil dibandingkan dengan mereka? Kemenanganmu selalu didapatkan dari pengeroyokan. Cis! Tak tahu malu!" Ouw Hui sengaja berkata begitu untuk memancing marah Tian Kui-long dan membantu melampiaskan kegusaran Ciong-sie Sam-hiong. Ketiga saudara itu yang terikat tangannya, merasa berterima kasih mendengar perkataan pemuda itu.
Sebenarnya Tian Kui-long adalah seorang yang dalam kelicikannya selalu berlaku hati-hati. Tapi ejekan Ouw Hui sudah membikin ia tak bisa mempertahankan lagi ketenangannya. "Hm! Jika kalah, kau ingin berlutut?" pikirnya, dengan hati panas. "Hari ini, kau tak akan bisa terlolos dari pedangku." Sebelum menyerang, ia maju tiga tindak sembari mengebaskan tangan kirinya dan mencekal pedangnya erat-erat dalam tangan kanan. Walaupun sedang gusar, ia tidak berlaku ceroboh dan begitu menyerang, ia segera mengeluarkan ilmu pedang Thian-liong-bun yang sangat lihai. Melihat pemimpinnya sudah mulai bergebrak, semua kaki tangannya segera mundur sembari mengangkat obor mereka tinggi-tinggi guna menerangi gelanggang pertempuran.
"Hway-tiong-po-goat! Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san!" seru Ouw Hui sembari membuka dua serangan, yang pertama adalah serangan gertakan, yang kedua baru serangan sungguh-sungguh. Sebagaimana diketahui, dua pukulan itu telah digunakan tadi oleh Biauw Jin-hong. Tian Kui-long berkelit dan balas menikam.
"Biauw-tayhiap!" seru Ouw Hui. "Bagaimana pukulan yang berikutnya? Aku sudah tak kuat menghadapi dia!"
Waktu Ouw Hui berseru "Hway-tiong-po-goat" dan "Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san", Kim-bian-hud sama sekali tak dapat mendengar apa juga yang luar biasa. Ouw Hui tak membuat kesalahan, gerakannya adalah sesuai dengan kemestiannya. Dilihat luarnya, Ouw-kee To-hoat hampir tiada bedanya dengan ilmu-ilmu golok lain. Keistimewaannya terletak pada perubahannya yang aneh dan tak dapat diduga terlebih dulu. Dalam Ouw-kee To-hoat, setiap serangan mengandung pembelaan diri dan dalam setiap gerakan membela diri tersembunyi serangan. Sesaat itu, mendengar pertanyaan Ouw Hui, alis Biauw-tayhiap berkerut. "See-ceng-pay-Hud!" ia menjawab.
Ouw Hui lantas saja menyerang dengan pukulan See-ceng-pay-Hud. Kui-long mengegos dan berbareng mengirim serangan balasan. Sebelum ujung pedang itu mendekati pergelangan tangan Ouw Hui, Biauw Jin-hong sudah berteriak, "Yo-cu-hoan-sin!"
Cepat bagaikan kilat, Ouw Hui membacok dengan gerakan Yo-cu-hoan-sin. Kui-long meloncat mundur dengan hati mencelos, tapi tak urung, ujung bajunya kena dirobek juga oleh golok Ouw Hui.
Muka orang she Tian itu lantas saja berubah merah, karena malu dan keder. Sembari mengempos semangatnya, ia segera mengirimkan tiga serangan berantai, yang cepat luar biasa. "Aku mau melihat, apakah Biauw Jin-hong masih keburu memberikan petunjuk," katanya di dalam hati.
"Celaka!" Kim-bian-hud mengeluarkan seruan tertahan, karena ia tahu, bahwa tiga serangan itu dahsyat luar biasa.
Tapi di lain detik, dengan hati lega, ia mendengar gelak tertawa Ouw Hui. "Biauw-tayhiap," kata pemuda itu. "Aku sudah terlolos dari serangannya. Sekarang bagaimana aku harus balas menyerang?"
"Kwan-peng-hian-in," jawab Kim-bian-hud.
"Baik!" kata Ouw Hui sembari menyerang dengan pukulan Kwan-peng-hian-in (Kwan Peng Mempersembahkan Cap Kebesaran).
Bacokan itu hebat sekali, tapi karena Biauw Jin-hong sudah memberitahukan lebih dulu, Tian Kui-long dapat menyingkir dengan mudah. Tapi Ouw Hui tak berhenti sampai di situ, Kwan-peng-hian-in disusul dengan pukulan Ya-ca-tam-hay (Setan Jahat Menyelam ke Laut). Selagi goloknya menyambar, Biauw Jin-hong pun berteriak, "Ya-ca-tam-hay!"
Baru bergerak belasan jurus, Tian Kui-long sudah jadi repot dan berada di bawah angin. Semua kawannya yang menyaksikan pertempuran itu menjadi khawatir. Dengan geregetan, Kui-long mengubah cara bersilatnya, pedangnya menyambar-nyambar membabat dan menikam bagaikan kilat. Ouw Hui lantas saja mengeluarkan seantero kepandaiannya untuk menghadapi kecepatan dengan kecepatan. Sementara itu, Biauw Jin-hong tiada hentinya memberi komando dan setiap pukulan yang disebutnya tidak berbeda dengan pukulan yang dilakukan Ouw Hui. Melihat begitu, mau tak mau para kaki tangan Tian Kui-long menjadi kagum tercampur heran.
Tapi sebenar-benarnya, kejadian itu tak begitu mengherankan seperti dianggap orang. Harus diketahui, bahwa pada akhir Kerajaan Beng dan permulaan Dinasti Ceng, ilmu silat dari keluarga Ouw, Biauw, Hoan, dan Tian menjagoi di seluruh Tiong-kok. Sebagai seorang pendekar besar pada zaman itu, Biauw Jin-hong mengenal berbagai macam ilmu pedang dan paham benar akan ilmu pedang Thian-liong-bun. Dalam pertempuran antara Tian Kui-long dan Ouw Hui, walaupun matanya tak bisa melihat, tapi dengan mendengar kesiuran anginnya saja, ia sudah mengetahui, apa yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Sesaat itu, Ouw Hui sedang
bertempur dengan menggunakan seluruh kepandaiannya dan dapat dibayangkan, bahwa gerakan-gerakannya cepat bagaikan kilat. Dalam gerakan-gerakan yang secepat itu, tak mungkin lagi baginya untuk menunggu komando Biauw Jin-hong.
Tapi kenapa komando Biauw Jin-hong selalu cocok dengan pukulan-pukulannya?
Sebagaimana diketahui, Ouw-kee To-hoat yang dipelajari Ouw Hui adalah sama dengan Ouw-kee To-hoat yang dipelajari Kim-bian-hud. Sebagai ahli-ahli silat kelas utama pada zaman itu, jalan pikiran dan pendapat kedua orang tersebut juga tak berbeda. Apa yang dipikirkan Ouw Hui, terpikir juga oleh Biauw Jin-hong. Itulah sebabnya, mengapa mereka bisa mencapai suatu persesuaian yang total dan di mata orang banyak, kejadian itu mengherankan tak habisnya.
Makin lama, Tian Kui-long jadi semakin bingung. "Apakah bocah ini murid Biauw Jin-hong?" ia menanya dirinya sendiri.
"Apakah Biauw Jin-hong hanya pura-pura buta dan bisa melihat dengan tegas lewat lapisan kain itu?"
Sedang hatinya semakin keder, serangan Ouw Hui jadi semakin cepat. Ketika itu, Biauw Jin-hong sendiri sudah tak dapat membedakan serangan-serangan mereka dan ia sudah menghentikan komandonya. Ia berdiam dan banyak pertanyaan muncul di dalam hatinya, "Siapakah pemuda itu? Bagaimana ia bisa begini mahir dalam Ouw-kee To-hoat? Siapa gurunya?"
Jika kedua matanya bisa melihat, ia tentu lantas saja menduga, bahwa pemuda itu adalah ahli waris tulen dari Liaotong-tayhiap Ouw It-to!
Sementara itu, gelanggang pertempuran, semakin lama sudah jadi semakin luas, karena semua orang mundur semakin jauh, khawatir kesambar senjata. Suatu ketika, selagi memutarkan badan, Ouw Hui melihat, bahwa Thia Leng-so sedang berdiri di dalam gelanggang dan mengawasi dirinya dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Entah bagaimana, pada detik itu, ia ingat perkataan si tukang besi dan tanpa merasa, ia menengok kepada si nona sembari bersenyum.
Mendadak, ia membentak sembari menyerang, "Hway-tiong-po-goat sebenarnya satu serangan gertakan!" Hampir berbareng, dengan satu suara trang! pedang Tian Kui-long terlempar jatuh di lantai, sedang lengannya menyemburkan darah. Ia terhuyung beberapa tindak dan mulutnya memuntahkan darah.
Kenapa bisa terjadi begitu?
Sebagaimana diketahui, Hway-tiong-po-goat memang juga adalah serangan gertakan yang selalu disusul dengan pukulan Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san, yaitu pukulan yang sesungguhnya. Kedua pukulan itu sudah digunakan satu kali oleh Biauw Jin-hong dan satu kali lagi oleh Ouw Hui sendiri, sehingga Tian Kui-long sudah mengenalnya.
Maka itu, begitu lekas ia mendengar bentakan "Hway-tiong-po-goat sebenarnya satu serangan gertakan", secara otomatis ia segera bersiap untuk menyambut Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san. Tapi ia tidak mengetahui bahwa kelihaian Ouw-kee To-hoat justru terletak pada perubahannya yang tak diduga-duga. Setiap pukulan gertakan bisa berubah menjadi pukulan sungguh-sungguh dan begitu juga sebaliknya. Demikianlah, Hway-tiong-po-goat berubah menjadi pukulan sungguh-sungguh dan golok Ouw Hui tepat mengenai pergelangan tangan Tian Kui-long. Hampir berbareng dengan terlukanya musuh, tangan kiri Ouw Hui menyambar dan mampir telak pada orang she Tian itu.
"Ah! Kenapa kau begitu terburu nafsu?" tanya Ouw Hui dengan suara mengejek. "Tadi aku belum selesai bicara. Sebetulnya aku ingin mengatakan begini, Hway-tiong-po-goat sebenarnya satu serangan gertakan, tapi bisa juga berubah menjadi serangan sungguhan. Rupanya kau merasa tak sabar untuk mendengar bagian terakhir dari omonganku itu!"
Tian Kui-long tak bisa meladeni lagi ejekan itu. Kepalanya pusing, dadanya sesak, seperti juga mau memuntahkan darah lagi. Ia mengetahui, bahwa sekali ini ia sudah menampak kegagalan dan mendapat malu besar. Di samping itu, ia pun menduga, bahwa Biauw Jin-hong hanya berlagak buta.
Maka itulah, sembari mengerahkan Iweekangnya untuk coba mempertahankan diri, ia menuding ke arah Ciong-sie Sam-hiong dan memberi isyarat dengan gerakan tangan, supaya ketiga saudara Ciong itu segera dilepaskan. Sesudah itu, sambil mengebaskan tangan, ia memutarkan badan untuk mengangkat kaki. Sesaat itu dadanya menyesak hebat dan "uwa!" ia memuntahkan darah lagi.
Nona cilik yang tadi melepaskan pusut kepada Leng-so, menubruk dan berkata dengan suara duka, "Ayah, marilah kita berangkat!" Ia itu adalah putri Tian Kui-long yang didapatnya dari istri pertama. Kui-long menghela napas dan memanggut-manggutkan kepalanya. Sesudah pemimpinnya dirobohkan, walaupun berjumlah banyak, kaki tangan orang she Tian itu jadi kuncup nyalinya.
Biauw Jin-hong sendiri lalu masuk ke ruangan tadi dan melemparkan ke luar lima musuhnya yang terluka, yang lalu disambut oleh kawan-kawan mereka.
Sebelum rombongan musuh itu mengangkat kaki, mendadak terdengar seruan Leng-so, "Nona kecil, ambil pulanglah tiat-tuimu!" ia mengayunkan tangannya dan pusut besi itu terbang ke arah putri Kui-long. Tanpa menengok, dengan gerakan yang indah dan lincah nona cilik itu menyambuti pusutnya. Tapi, baru tercekal, ia sudah melemparkan lagi pusut itu sembari melompat tinggi.
Ouw Hui tertawa bergelak-gelak. "Cek-kiat-hun!" katanya.
Leng-so menengok dan juga tertawa. Memang juga, sebagai pembalasan budi, ia telah memoles senjata rahasia itu dengan bubuk Cek-kiat-hun.
Dalam tempo sekejap, Tian Kui-long dan gundal-gundalnya sudah berlalu dari rumah Biauw Jin-hong dan keadaan kembali berubah sunyi.
"Biauw-tayhiap," kata Ciong Tiauw-eng dengan suara nyaring. "Kawanan penjahat sudah mabur dan mereka tentu tidak berani menyatroni lagi. Kami bertiga saudara merasa malu sekali, karena tak dapat melindungi kau. Kami hanya berharap supaya kedua matamu akan segera menjadi sembuh." Ia berpaling kepada Ouw Hui dan berkata pula, "Saudara kecil, kami merasa beruntung sekali, bahwa kita telah bisa mengikat tali persahabatan. Jika di lain kali, kau memerlukan tenaga kami, biarpun mesti mati, kami pasti akan membantu dengan sekuat tenaga." Sehabis Tiauw-eng berkata begitu, mereka bertiga lantas saja memberi hormat,
kemudian berlalu dengan tindakan cepat.
Ouw Hui mengetahui, bahwa sebab kena ditawan, mereka hilang muka dan merasa malu untuk berdiam lama-lama lagi. Maka itu, ia tidak mencegah dan hanya balas memberi hormat. Biauw Jin-hong yang tidak suka banyak bicara, juga hanya mengangkat kedua tangannya sebagai pernyataan terima kasih untuk budinya ketiga saudara itu. Ia mengetahui, bahwa rombongan Tian Kui-long pergi ke jurusan utara, sedang Ciong-sie Sam-hiong berjalan ke arah selatan.
Sesaat kemudian, Leng-so tertawa seraya berkata, "Kalian berdua memiliki ilmu silat yang luar biasa tinggi. Seumur hidup, belum pernah aku melihat kepandaian seperti itu. Biauw-tayhiap, marilah masuk. Aku ingin memeriksa kedua matamu."
Mereka lantas saja masuk ke dalam dan Ouw Hui lalu membereskan meja kursi yang kalang kabut serta menyalakan lampu. Leng-so sendiri lalu membuka ikatan mata Biauw Jin-hong dan mulai memeriksa mata itu dengan teliti.
Hati Ouw Hui berdebar-debar. Kedua matanya mengawasi muka si nona untuk mencari tahu, apa mata Biauw-tayhiap masih bisa ditolong. Tapi muka nona Thia hanya memperlihatkan paras sungguh-sungguh, sama sekali tidak menunjuk kejengkelan atau kegirangan, sehingga ia sukar meraba-raba.
Biauw Jin-hong adalah seorang yang bernyali besar. Tapi pada saat itu, tak urung jantungnya memukul lebih keras. Sesudah lewat beberapa lama, Leng-so masih terus memeriksa, tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Nona," kata Kim-bian-hud sembari tertawa. "Racun itu sudah lama sekali mengeram di mataku. Jika sukar ditolong, Nona boleh memberitahukan saja tanpa ragu-ragu."
"Tak sukar untuk menyembuhkan mata itu sehingga bersamaan mata orang biasa," sahut si nona. "Tapi Biauw-tayhiap bukan orang biasa."
"Kenapa begitu?" tanya Ouw Hui dengan perasaan heran.
"Biauw-tayhiap adalah seorang yang bergelar Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu," menerangkan si nona. "Ia mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi dan kedua matanya tentu saja berbeda dengan mata kebanyakan orang. Selain itu, seorang yang memiliki Iweekang tinggi, kedua matanya bersinar terang, bersemangat dan bersorot angker. Bukankah sayang sekali, jika aku tak dapat memulihkan sinar dan keangkeran mata itu?"
Biauw-tayhiap tertawa bergelak-gelak. "Perkataanmu sangat luar biasa dan kepandaianmu tentu juga luar biasa pula," katanya. "Apakah aku boleh mendapat tahu, pernah apakah kau dengan It-tin Thaysu?"
Si nona kelihatan agak terperanjat dan segera menjawab, "Kalau begitu, Biauw-tayhiap adalah sahabat dari mendiang guruku ...."
"Apakah It-tin Thaysu sudah berpulang ke alam baka?" tanya Kim-bian-hud dengan suara kaget.
"Benar," jawabnya sembari mengangguk.
Mendadak, Biauw Jin-hong berbangkit dan berkata, "Tunggu dulu. Aku ingin bicara dengan Nona."
Melihat sikap orang yang luar biasa, Ouw Hui menjadi heran. "Guru Thia Kouwnio bergelar Bu-tin," katanya di dalam hati. "Kenapa Biauw Tayhiap mengatakan It-tin?"
"Dulu antara gurumu dan aku telah terjadi satu sengketa kecil," kata Biauw Jin Hong. "Dalam hal itu, aku sudah berlaku kurang ajar dan melukai gurumu itu."
"Ah!" kata Leng So. "Tangan kiri mendiang guruku hilang dua jerijinya. Apa jeriji itu diputuskan oleh Biauw Tayhiap?"
"Tak salah," jawabnya. "Tapi gurumu segera membalas secara kontan, sehingga dapat dikatakan tak ada yang kalah, tak ada yang menang. Maka itulah, waktu saudara kecil itu ingin pergi pada gurumu untuk meminta obat, aku sudah mencegah karena merasa bahwa usaha itu akan mendapat kegagalan. Aku tadinya menduga, bahwa kedatangan nona di hari ini adalah atas perintah gurumu yang ingin membalas kejahatan dengan kebaikan. Tapi tak dinyana, gurumu sebenarnya sudah meninggal dunia dan nona tentu tidak mengetahui adanya peristiwa itu."
"Tidak, aku tidak mengetahui," kata Leng So.
Biauw Jin Hong segera masuk ke dalam dan ke luar lagi dengan membawa satu kotak besi kecil yang lalu diangsurkan kepada Leng So. "Inilah barang peninggalan mendiang gurumu. Bukalah! Nona akan segera mengenalnya!"
Kotak itu sudah karatan, sehingga bisa diduga, sudah disimpan lama sekali. Leng So membuka tutupannya dan ternyata, di dalamnya terdapat tulang seekor ular kecil dan satu peles dengan tulisan: Obat pemunah racun ular. Si nona mengenali, bahwa peles itu adalah milik gurunya, tapi ia tak dapat menebak, apa artinya tulang ular itu.
Biauw Jin Hong tertawa tawar seraya berkata: "Karena bercekcok, gurumu dan aku segera bertempur. Pada esok harinya, ia memerintahkan satu orang untuk menyerahkan kotak itu kepadaku, dengan pesan begini: 'Jika kau mempunyai nyali, bukalah kotak ini. Jika kau tak berani, lemparkanlah kotak ini ke dalam sungai.' Tentu saja aku segera membukanya. Begitu terbuka, dari dalam kotak ke luar seekor ular kecil yang lantas menggigit belakang tanganku. Racun ular itu hebat luar biasa. Dengan kontan, tanganku kesemutan. Masih untung, gurumu mengirimkan juga obatnya. Sesudah makan obat itu, jiwaku ketolongan, tapi masih harus menderita kesakitan yang sangat hebat." Sesudah memberi keterangan, Kim-bian-hud lantas saja tertawa terbahak-bahak.
Ouw Hui dan Leng So saling mengawasi sembari tertawa. Mereka merasa geli dengan gerak-gcriknya Tok-chiu Yo-ong yang luar biasa itu.
"Sekarang aku sudah menerangkan apa yang harus diterangkan," kata pula Biauw Jin Hong. "Aku adalah seorang yang tak suka menarik keuntungan secara diam-diam. Dengan hati yang sangat mulia, nona sudah bersedia untuk menolong aku. Akan tetapi, sekarang aku mengetahui, bahwa kedatangan nona bukan atas perintah mendiang gurumu. Bahwa nona sudah sudi memberi pertolongan, dengan jalan ini aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih." Sehabis berkata begitu, ia menyoja dan menghampiri pintu, seperti juga orang mengantarkan berangkatnya satu tetamu.
Bukan main kagumnya Ouw Hui. Sikap itu adalah sikap kesatria tulen. Sungguh tak malu, Biauw Jin Hong bergelar "Tayhiap" (pendekar be-sar).
Tapi Thia Leng So sama sekali tidak bergerak. "Biauw Tayhiap," katanya dengan suara terharu. "Guruku sudah tidak menggunakan lagi gelaran It-tin."
"Apa?" menegas Kim-bian-hud.
"Pada sebelum menjadi orang beribadat, guruku mempunyai adat yang sangat jelek," kata si nona. "Kejelekan itu sudah diketahui oleh Biauw Tayhiap. Sesudah memeluk agama, ia menggunakan nama Thaytin. Belakangan, setelah mendapat kemajuan dalam pelajaran kebatinan, ia merubah namanya menjadi It-tin. Jika pada waktu bertempur dengan Biauw Tayhiap, guruku masih menggunakan nama gelaran Tay-tin, di dalam kotak itu tentulah juga tidak terdapat peles obat."
Biauw Jin Hong mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Pada waktu menerima aku sebagai murid, Suhu menggunakan nama Wie-tin," kata pula Leng so. "Tiga tahun berselang, barulah ia merubah namanya menjadi Bu-tin. Biauw Tayhiap, dengan kata-katamu yang barusan, kau sungguh memandang guruku terlalu rendah."
Mendengar itu, Biauw Jin Hong mengeluarkan seruan "ah!"
Leng So mesem dan lalu meneruskan perkataannya: "Sebelum berpulang ke alam baka, guruku sudah memperoleh kesadaran. Ia sudah mencapai ketenangan yang wajar, bebas dari kegusaran (Bu-tin) dan bebas pula dari kegirangan (Bu-hie). Maka itu, sangat tak bisa jadi kalau Suhu masih menaruh dendam terhadap Biauw Tayhiap karena sengketa yang tak ada artinya itu."
Kim-bian-hud jadi girang bukan main. Ia menepuk dengkul sembari berseru: "Aduh! Benar-benar aku sudah memandang terlalu rendah kepada sahabatku itu! Sesudah berpisah belasan tahun, ia telah memperoleh kemajuan yang sangat jauh, tak seperti Biauw Jin Hong yang masih di situ juga. Nona, kau she apa?"
"Aku she Thia," jawabnya sembari mesem dan lalu mengeluarkan satu kotak kayu dari bungkusannya. Ia membuka kotak itu, mengambil satu pisau kecil dan sebatang jarum emas.
"Biauw Tayhiap," kata si nona. "Harap kau sudi mengendurkan semua otot-otot dan jalan darah."
"Baiklah," jawabnya.
Melihat Leng So menghampiri Kim-bian-hud dengan membawa pisau dan jarum, jantung Ouw Hui memukul keras.
"Biauw Tayhiap dan To-chiu Yo-ong mempunyai permusuhan," pikirnya. "Hati orang Kang-ouw sukar ditaksir. Jika ada orang yang mengatur siasat busuk dan meminjam tangan Thia Kouwnio untuk turun tangan jahat, bukankah untuk kedua kalinya aku Ouw Hui menjadi alat pembunuh orang? Dengan semua otot dan jalan darah diken-durkan, jika sekali totok saja, jiwa Biauw Tayhiap bisa melayang."
Selagi ia bimbang tiba-tiba Leng So menengok sambil mengangsurkan pisau kecil itu. "Tolong pegang," katanya.
Sesaat itu, ia melihat paras muka Ouw Hui yang luar biasa. Sebagai orang yang sangat cerdas, lantas saja ia dapat menebak apa yang dipikir oleh pemuda itu. "Biauw Tayhiap sama sekali tidak berkhawatir, kenapa kau masih bercuriga?" tanyanya sembari tertawa.
"Jika aku yang diobati olehmu, sedikit pun aku tidak merasa khawatir," jawab Ouw Hui berterus terang.
"Ouw Toako," kata si nona, "Katakanlah, apa aku manusia baik atau manusia jahat?"
Ditanya begitu, Ouw Hui tergugu. "Tentu saja kau seorang baik," jawabnya.
Leng So merasa senang dan ia tertawa girang. Dengan kulitnya yang berwarna kuning dan badannya yang kurus kering. Thia Leng So tak bisa dikatakan satu wanita cantik. Tapi tertawanya mempunyai daya penarik yang sangat luar biasa. Tertawa itu yang wajar, bersih dan bebas dari segala kekotoran dunia, seakan-akan angin musim semi yang sejuk di atas bumi yang panas ini. Begitu melihat tertawanya si nona, Ouw Hui merasakan dadanya lapang dan bebas dari setiap kekhawatiran.
"Apa benar-benar kau percaya padaku?" tanya si nona. Mendadak, paras mukanya bersemu dadu, ia melengos dan tak berani mengawasi lagi kedua mata Ouw Hui.
Ouw Hui jadi jengah sendiri. Ia mengangkat tangannya dan menggampar pipi sendiri. "Biarlah aku hajar bocah yang kurang ajar ini!" katanya. Tiba-tiba hatinya berdebar. 'Kenapa sesudah bicara, Leng So melengos dengan paras muka merah?' tanyanya dalam hati. Memikir begitu, ia jadi ingat perkataan si tukang besi.
Sementara itu, dengan menggunakan jarum emas, si nona sudah menusuk jalan darah Yang-pek-hiat di atas mata Biauw Jin Hong, jalan darah Gan-beng-hiat di pinggir mata dan Sin-kie-hiat di bawah mata. Sesudah itu, ia membuat satu operasi kecil di bawah jalan darah Sin-kie hiat dan kemudian menusuk lubang itu dengan jarum emas Begitu lekas si nona mengangkat jempolnya yang menutupi pantat jarum, darah hitam lantas saja mengalir ke luar. Ternyata, jarum itu berlubang di tengah-tengahnya. Perlahan-lahan darah hitam yang mengalir ke luar, berubah ungu dan dari ungu berubah menjadi merah. Sesudah selesai dengan mata yang satu, ia mengulangi pada mata yang lain. Ouw Hui mengetahui, bahwa keluarnya darah yang berwarna merah adalah tanda, bahwa racun yang mengeram sudah ke luar semua. "Bagus!" katanya dengan suara girang.
Leng So Kemudian memetik empat lembar daun Cit-sim Hay-tong yang lalu dihancurkan dan hancuran itu ditempelkan pada kedua mata Biauw Jin Hong. Begitu kena, otot-otot pada muka Kim-bian-hud bergerak dan kursi yang diduduki olehnya, berkisar sedikit. "Biauw Tayhiap," kata Leng So. "Menurut Ouw Toako, kau mempunyai satu Cian-kim (gadis) yang sangat cantik. Di mana ia berada sekarang?"
"Oleh karena di sini tak aman, aku menitipkan dia di rumah tetangga," jawabnya.
"Sekarang sudah selesai," kata si nona sembari mengikat kedua mata Biauw Jin Hong yang dibubuhkan hancuran daun obat dan dibalut dengan sobekan kain. "Lewat tiga hari, rasa sakit akan hilang dan begitu lekas Biauw Tayhiap merasakan kegatalan luar biasa, bukalah ikatan ini dan kedua matamu akan sudah sembuh seluruhnya. Sekarang, pergilah mengaso. Ouw Toako! Mari kita menanak nasi."
Biauw Jin Hong berbangkit seraya berkata: "Saudara kecil aku ingin mengajukan satu pertanyaan. Pernah apakah Liao-tong Tayhiap Ouw It To dengan kau? Peh-hu atau siok-hu? (Peh-hu berarti paman yang usianya lebih tua dari ayah, sedang Siok-hu berarti paman yang usianya lebih muda dari ayah)."
Harus diketahui, bahwa meskipun tak bisa meiihat, dengan menggunakan ketajaman kuping, Biauw Jin Hong mengetahui, bahwa kemahiran Ouw Hui dalam menggunakan Ouw-kee To-hoat, tak nanti dapat dilakukan oleh orang lain, kecuali ahli waris tulen dari keluarga Ouw. Ouw It To mempunyai satu putera, tapi sepanjang pengetahuannya, putera itu sudah mati tenggelam di dalam sungai. Maka itulah, ia menduga, bahwa Ouw Hui adalah keponakan dari Liao-tong Tayhiap.
Ouw Hui tertawa sedih. "Ouw It To bukan Peh-hu dan juga bukan Siok-huku," jawabnya.
Biauw Jin Hong merasa sangat heran, karena ia yakin, bahwa Ouw-kee To-hoat tak akan sembarangan diturunkan kepada orang luar. "Pernah apakah kau dengan Ouw It To, Ouw tayhiap?" ia tanya lagi.
Ouw Hui merasa duka, tapi karena ia masih belum dapat membuka tabir rahasia yang menyelubungi hubungan mendiang ayahnya dan Biauw Jin Hong, maka ia tak mau lantas bicara sebenarnya. "Ouw Tayhiap," ia menegas.
"Mereka sudah meninggal dunia lama sekali. Mana aku mempunyai rejeki begitu besar untuk mengenalnya?" Ouw Hui mengucapkan kata-kata itu dengan suara sedih. 'Jika aku bisa memanggil ayah dan ibu dan sekali saja mereka bisa menjawab panggilanku, aku sudah merasa sangat puas dan tidak menginginkan suatu apa lagi dalam dunia ini,' katanya di dalam hati.
Biauw Jin Hong berdiri bengong dan kemudian ia berjalan masuk ke dalam kamar dengan tindakan perlahan.
Melihat paras muka Ouw Hui yang guram, dalam hati Leng So segera timbul satu keinginan untuk menggembirakannya.
"Ouw Toako," katanya. "Kau sudah capai sekali. Duduklah!"
"Aku tak capai," jawabnya.
"Kau duduklah," mendesak si nona. "Aku mau bicara."
Ouw Hui tidak membantah lagi, tapi baru saja pantatnya menyentuh kursi, mendadak terdengar suara kedubrakan dan kursi itu berantakan jatuh di lantai menjadi beberapa potong.
Leng So menepuk-nepuk tangan dan berseru sembari tertawa: "Aduh! Kerbau yang beratnya lima ratus kati, tak seberat badanmu!"
Sebagai orang yang berkepandaian tinggi, kedua kaki Ouw Hui sangat teguh dan biarpun kursi itu berantakan secara mendadak, ia tak sampai turut jatuh terguling. Tapi ia sungguh merasa heran dan tak mengerti, bagaimana bisa terjadi begitu.
Leng So tertawa dan lalu memberi keterangan. "Daun Cit-sim Hay-tong yang ditempel di mata, mengakibatkan kesakitan yang sepuluh kali lebih hebat daripada luka biasa. Jika kau yang kena, mungkin kau akan berteriak setinggi langit."
Ouw Hui turut tertawa dan sekarang baru ia mengerti, bahwa untuk menahan sakit Biauw Jin Hong telah mengerahkan tenaga dalamnya yang mengakibatkan hancurnya kursi itu.
Sesudah itu, dengan gembira kedua orang muda tersebut menanak nasi dan memasak lima rupa sayur, kemudian mengundang Biauw Jin Hong untuk makan bersama-sama.
"Apa aku boleh minum arak?" tanya Kim Biau Hud sesudah menghadapi meja makan.
"Boleh," jawab Leng So.
"Sama sekali tak ada pantangan." Biauw Jin Hong lalu mengambil tiga botol arak yang kemudian ditaruh di depan setiap orang. "Tuanglah sendiri, jangan sungkan-sungkan," katanya sembari menuang satu botol ke dalam mangkok yang lalu diteguk kering isinya.
Ouw Hui yang doyan arak, juga lantas meminum setengah mangkok. Leng So sendiri tak minum arak, tapi ia menuang setengah botol ke dalam mangkok dan lalu menyiram Cit-sim Hay-tong dengan arak itu. "Inilah rahasianya," kata si nona.
"Jika kena air, pohon ini akan segera mati. Itulah sebabnya, sesudah berusaha belasan tahun, saudara-saudara seperguruanku masih belum bisa menanamnya." Sembari berkata begitu, ia menuang sisa arak yang setengah botol lagi ke mangkok Biauw Jin Hong dan Ouw Hui.
Sekali lagi Biauw Tayhiap mengangkat mangkok dan mencegluk isinya. Dikawani oleh dua jago muda yang sudah menolong dirinya, hatinya gembira bukan main. "Saudara Ouw," katanya. "Siapa yang ajarkan kau Ouw-kee To-hoat?"
"Tak ada yang ajar," jawabnya. "Aku mempelajari itu dari satu kitab ilmu silat."
"Hm," menggerendeng Biauw Tayhiap sembari mengangguk.
"Belakangan aku bertemu dengan Tio Sam tong-kee dari Ang-hoa-hwee," kata pula Ouw Hui "la telah menurunkan beberapa rahasia dari ilmu silat Thay-kek-kun kepadaku."
Biauw Jin Hong menepuk dengkul. "Apakah Cian-ciu Jie-lay (Buddha Seribu Tangan) Tio Poan San, Tio Sam-tong-kee?" tanyanya.
"Benar," sahutnya.
"Tak heran!" kata Kim-bian-hud. "Kalau begitu, tak heran."
"Kenapa?" tanya Ouw Hui.
"Selama hidup, aku selalu mengagumi kekesatriaannya Tan Cong-to-cu (pemimpin besar dari Ang-hoa-hwee, Tan Kee Lok)," jawabnya. "Aku juga mengagumi semua orang gagah dalam Ang-hoa-hwee. Hanya sayang, mereka sekarang sudah menyembunyikan diri di Hui-kiang, sehingga aku masih belum mendapat kesempatan untuk menemui mereka. Hal ini adalah kejadian yang selalu dibuat menyesal olehku."
Mendengar penghargaan terhadap Ang-hoa-hwee, Ouw Hui jadi girang sekali.
Sekonyong-konyong, sesudah mencegluk arak, Biauw Tayhiap berbangkit dan mengambil sebatang golok yang terletak di atas meja teh. "Saudara Ouw," katanya dengan suara terharu. "Dulu, aku pernah bertemu dengan seorang kesatria, she Ouw ber-nama It To. Ia telah menurunkan ilmu golok Ouw-kee To-hoat kepadaku. Hari ini, ilmu golok yang digunakan olehku untuk merubuhkan musuh dan ilmu golok yang digunakan olehmu untuk merubuhkan Tian Kui Long, adalah Ouw-kee To-hoat. Ha-ha! Sungguh indah, sungguh
indah Ouw-kee To-hoat!"
Tiba-tiba ia dongak dan mengeluarkan satu teriakan yang panjang dan nyaring. Di lain saat, bagaikan seekor burung, tubuhnya "terbang" ke luar pintu dan begitu kedua kakinya hinggap di atas bumi, ia segera bersilat dengan Ouw-kee To-hoat.
Ouw Hui mengawasi dengan menumpahkan seluruh perhatiannya. Ia mendapat kenyataan, bahwa setiap gerakan Kim-bian-hud adalah sesuai dengan apa yang tercatat dalam kitab ilmu silat yang berada dalam tangannya. Perbedaannya adalah, gerakan golok itu lebih ringkas dan lebih perlahan dari apa yang ia biasa lakukan. Ia menganggap, bahwa Biauw Jin Hong sengaja memperlambat gerakannya supaya dapat dilihat olehnya secara lebih tegas.
Sesudah selesai bersilat, Kim-bian-hud berdiri tegak dan berkata: "Saudara kecil, dengan kepandaianmu yang sekarang, secara mudah kau akan dapat menjatuhkan Tian Kui Long. Akan tetapi, kau masih belum bisa menandingi aku."
"Tentu saja," kata Ouw Hui. "Tentu saja boan-pwee bukan tandingan Biauw Tayhiap."
"Bukan, bukan begitu yang dimaksudkan aku," kata Biauw Jin Hong sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Dulu, dengan menggunakan ilmu golok itu, empat hari lamanya Ouw tayhiap telah bertempur dengan aku, tanpa ada yang kalah atau menang. Dalam pertempuran itu, gerakan goloknya jauh lebih lambat daripada kau."
"Begitu?" menegas Ouw Hui dengan perasaan heran.
"Benar," jawab Biauw Jin Hong. "Daripada jadi tuan rumah yang menghina tamu lebih baik jadi tamu yang merubuhkan tuan rumah. "'Leng' (Muda) lebih baik daripada 'Loo' (Tua). 'Tit' (Perlahan) menang dari 'Kie' (Cepat) Cam, Kut, Kiauw, Cah, Ciu dan Kiat ada lebih baik daripada Tian, Mo, Kauw, Kan, Pek dan Tok."
Apa yang dikatakan oleh Biauw Tayhiap, seperti "daripada jadi tuan rumah yang menghina tamu lebih baik jadi tamu yang merubuhkan tuan rumah", adalah istilah dari pukulan-pukulan ilmu golok. Dengan ujung golok menindih senjata musuh adalah 'Leng' (Muda). Dengan mata golok di dekat gagang menangkis senjata musuh dinamakan 'Loo' (tua). Menebas senjata musuh dengan gerakan perlahan adalah 'Tit' (Perlahan), sedang memapaki senjata musuh ialah 'Kie' (Cepat). Cam, Kut, Kiauw dan lain-lain adalah istilah dari macam-macam pukulan.
Sesudah itu, Biauw Jin Hong lalu duduk pula dan menyuap nasi dengan menggunakan sumpit. "Sesudah kau dapat menyelami rahasia yang barusan diberitahukan olehku, di kemudian hari kau pasti akan menjadi satu jago Rimba Persilatan," katanya.
Ouw Hui mengangguk sembari mengangkat sumpit untuk menyumpit sayur. Ketika, karena otak sedang diasah, sumpitnya berhenti di tengah udara. Leng So tertawa dan sembari menyentuh sumpit Ouw Hui dengan sumpitnya, ia berkata: "Hayo. jangan bengong!"
Karena seluruh perhatiannya sedang ditumpahkan ke arah To-koat (teori ilmu golok), tanpa merasa semua tenaga Ouw Hui berkumpul di lengan kanannya, dan begitu tersentuh sumpit si nona, secara otomatis sumpit Ouw Hui mengeluarkan tenaga menolak. Tek! kedua sumpit Leng So patah, jadi empat potong.
"Ah!" Leng So mengeluarkan seruan tertahan.
"Memperlihatkan kepandaian?" tanyanya sejenak kemudian sembari tertawa.
"Maaf," kata Ouw Hui sembari tertawa juga.
"Karena sedang memikirkan keterangan Biauw Tayhiap, aku jadi sedikit linglung." Ia mengangsurkan sumpitnya sendiri kepada si nona yang lalu menyambuti dan mulai bersantap.
Ouw Hui kembali bengong dan mulutnya berkata-kata dengan suara perlahan: "Leng menang dari Loo, Tit lebih baik daripada Kie, daripada jadi tuan rumah yang menghina tetamu...."
Tiba-tiba ia dongak dan mendapat kenyataan, bahwa Leng So sedang makan tanpa ragu-ragu dengan sumpit yang bekas digunakan olehnya. Muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. Sebenarnya, sebelum menyerahkan sumpit yang bekas digunakan olehnya, ia harus membersihkannya terlebih dulu. Tapi sekarang sudah terlambat. Ia ingin menghaturkan maaf, tapi mulutnya terkancing. Ia tak tahu, harus berbuat bagaimana. Akhirnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan perasaan jengah, ia pergi ke dapur dan mengambil sepasang sumpit baru.
Sesudah menyuap nasi, Ouw Hui mengangsurkan sumpit untuk menjepit peh-cay-ca. Sesaat itu, sumpit Biauw Jin Hong, yang juga ingin menyumpit makanan itu, menyentuh sumpit Ouw Hui yang lantas saja jadi terpental.
"Inilah Kiat," kata Kim-bian-hud.
"Benar," kata Ouw Hui sembari turunkan kedua sumpitnya untuk menjepit peh-cay-ca itu. Tapi Biauw Jin Hong terus menjaga dengan sumpitnya, sehingga, sesudah mencoba beberapa kali, sumpit Ouw Hui tak bisa turun ke bawah.
Bukan main herannya Ouw Hui. "Walaupun kedua matanya tak bisa melihat, dalam pertempuran dengan menggunakan golok, memang ia masih bisa menangkap gerakan-gerakan pukulan dengan mendengar kesiuran angin," katanya di dalam hati. "Tapi sekarang, aku hanya menggunakan sepasang sumpit yang begini kecil dan yang gerakannya sama sekali tidak menerbitkan kesiuran angin. Bagaimana ia masih bisa mengetahui setiap gerakanku?"
Ia berusaha pula beberapa kali, tapi tetap tidak berhasil, karena Biauw Jin Hong terus menjaga dengan rapatnya di atas piring peh-cay-ca, sambil menggoyang-goyang kedua sumpitnya. Ouw Hui mengasah otaknya. Mendadak ia mendusin. Ia sadar, bahwa ilmu yang digunakan oleh Biauw Jin Hong adalah apa yang dinamakan Houw-hoat-cu-jin (Melawan musuh dengan gerakan yang belakangan).
Dalam usaha tadi, dengan rupa-rupa cara, sum-pit Ouw Hui menyambar dari atas ke bawah dan dalam gerakan itu, sumpit tersebut selalu terbentur dengan sumpit Biauw Jin Hong yang terus bergoyang-goyang kian ke mari. Biauw Jin Hong sendiri mengambil sikap menunggu. Sesudah sumpitnya membentur sumpit Ouw Hui, barulah dengan mengimbangi gerakan (pukulan) pemuda itu, ia menghantam dengan sumpitnya. Itulah yang dinamakan 'tamu merubuhkan tuan rumah' atau 'dengan Tit (Perlahan) mengalahkan Kie (Cepat)'.
Ouw Hui adalah seorang yang sangat cerdas. Begitu lekas membuka tabir rahasia, ia segera menukar siasat. Jika tadi sumpitnya selalu menyambar dari atas ke bawah (ke piring peh-cay-ca), sekarang ia mengangkat sumpitnya dan menghentikan gerakannya di tengah udara. Kemudian, sambil mengawasi gerakan sumpit Biauw Jin Hong, ia turunkan sumpitnya sendiri sedikit demi sedikit, sampai sumpit itu berada di atas sumpit Biauw Jin Hong yang terus bergoyang-goyang. Mendadak, pada detik sumpit Biauw Jin Hong bergoyang ke tempat yang paling jauh, ia turunkan sumpitnya, menjepit sepotong peh-cay yang lalu dimasukkan ke dalam mulutnya. Gerakan itu dilakukan dengan kecepatan yang sungguh luar biasa, kecepatan yang tak kalah dengan arus listrik.
Kim-bian-hud lantas saja tertawa berkakakan dan melemparkan kedua sumpitnya di atas meja.
Pada saat itulah, puteranya Liao-tong Tayhiap Ouw It To masuk ke dalam kalangan ahli-ahli silat kelas utama! Mengingat bagaimana ia sudah menggunakan begitu banyak tempo dan tenaga yang tak perlu untuk merubuhkan Tian Kui Long, mau tak mau, Ouw Hui jadi merasa jengah sendiri. Di lain pihak, Leng So turut merasa girang melihat berhasilnya pemuda itu dalam merebut peh-cay-ca yang "dilindungi" Biauw Jin Hong.
"Hari ini Ouw-kee To-hoat sudah mempunyai ahli waris yang tulen," kata Kim-bian-hud. "Ah, Ouw Toako, Ouw Toako!" Kata-kata yang terakhir itu diucapkan olehnya dengan nada menyayatkan hati.
Leng So yang mengetahui, bahwa antara Biauw Jin Hong dan Ouw Hui terdapat satu persoalan yang tak mudah dibereskan, segera menyelak untuk menyimpangkan pokok pembicaraan. "Biauw Tayhiap," katanya. "Sengketa apakah yang terjadi antara kau dan mendiang guruku? Bolehkah kau menceritakannya kepada kita?"
Biauw Jin Hong menghela napas. "Sampai di ini hari, aku juga masih belum mengetahui terang," jawabnya. "Pada delapan belas tahun berselang, secara tak disengaja aku sudah melukai seorang sahabat baik. Karena pada senjata itu terdapat racun yang sangat lihay, maka jiwa sahabatku itu tak bisa ditolong lagi. Belakangan, aku menduga-duga, bahwa racun itu mempunyai sangkut paut dengan gurumu. Aku segera menanyakan gurumu yang dengan keras sudah menyangkal tuduhanku itu. Mungkin, karena tak bisa bicara dan juga sebab waktu itu hatiku sedang jengkel, aku sudah mengeluarkankan kata-kata keras, sehingga satu pertempuran tak dapat dielakkan lagi."
Ouw Hui tak mengeluarkan sepatah kata dan sesudah lewat beberapa saat, barulah ia menanya: "Kalau begitu, bukankah sahabatmu itu telah binasa dalam tanganmu sendiri?"
"Benar," jawab Kim-bian-hud.
"Bagaimana dengan isterinya sahabat itu?" tanya pula Ouw Hui.
"Bukankah kau juga membinasakan ia untuk membasmi sampai ke akar-akarnya?"
Dengan hati berdebar Leng So mengawasi Ouw Hui yang paras mukanya pucat dan tangannya mencekal gagang golok. Ia merasa, bahwa makan minum yang gembira itu akan segera berubah menjadi pertempuran. Ia tak tahu, siapa yang salah, siapa yang benar, tapi di dalam hati, ia sudah mengambil keputusan. "Jika mereka bertempur, aku akan membantu dia," pikirnya. Tak usah dikatakan lagi, "dia" itu berarti Ouw Hui.
"Isterinya telah membunuh diri untuk mengikut sang suami," kata Biauw Jin Hong dengan suara duka.
"Jadi... jiwa nyonya itu pun melayang karena gara-garamu, bukan?" tanya Ouw Hui.
"Benar!" jawabnya.
Ouw Hui berbangkit, ia tertawa terbahak-ba-hak, tertawa yang sangat menyeramkan. "She apa dan siapa nama sahabat itu?" tanyanya pula.
"Benar-benar kau ingin mengetahui?" menegas Kim-bian-hud.
"Aku ingin mengetahui," jawabnya.
"Baiklah," kata Biauw Jin Hong. "Ikutlah aku!" Dengan tindakan lebar, ia berjalan ke ruangan dalam, diikut oleh Ouw Hui. Buru-buru Leng So memondong paso Cit-sim Hay-tong dan mengikuti di belakang Ouw Hui.
Setibanya di depan satu kamar samping, Biauw Jin Hong mendorong pintu. Dalam kamar itu terdapat satu meja yang ditutup dengan taplak putih dan di atas meja berdiri dua Leng-pay (papan pemujaan). di atas Leng-pay yang satu terdapat tulisan seperti berikut: "Leng-wie (tempat pemujaan) dari saudara angkatku, Liao-tong Tayhiap Ouw-kong It To (Ouw-kong berarti paduka she Ouw)", sedang di Leng-pay yang satunya lagi terdapat tulisan: "Leng-wie dari Gie-so (isteri dari saudara angkat) Ouw Hujin (Nyonya Ouw)."
Ouw Hui mengawasi kedua Leng-pay itu dengan kaki tangan dingin bagaikan es dan badan gemetar. Sudah lama ia menduga, bahwa kebinasaan kedua orang tuanya mempunyai sangkut paut yang sangat rapat dengan Biauw Jin Hong. Akan tetapi, melihat kekesatriaan Kim-bian-hud, siang malam ia berdoa, supaya dugaannya itu tak benar adanya. Sekarang Biauw Jin Hong telah berterus terang dan dalam pengakuannya, ia telah memperlihatkan satu kedukaan yang tak ada batasnya. Ouw Hui berdiri terpaku, kepalanya pusing dan ia tak tahu, harus berbuat bagaimana.
Perlahan-lahan Biauw Tayhiap memutar badan "Jlka kau ingin membalaskan sakit hati Ouw Tayhla sekarang juga kau boleh turun tangan," kata Biauw Jin Hong. Ouw Hui mengangkat goloknya, tetapi golok Itu terhenti di tengah udara tak dapat ia menurunkan senjatanya itu dan sembari menggendong tangan, ia berkata: "Jika kau tak sudi memberitahukan hubunganmu dengan Ouw It Tayhiap, aku pun tak berani memaksa. Saudara kecil, kau sudah berjanji akan melihat-lihat anak perempuanku. Aku harap, janji itu tak dilupakan olehmu. Baiklah! Jika kau ingin membalaskan sakit hatinya Ouw Tayhiap, sekarang juga kau boleh turun tangan."
Ouw Hui mengangkat golok, tapi golok itu berhenti di tengah udara. "Jika aku turunkan golok ini dengan gerakan 'Tamu merubuhkan tuan rumah' seperti yang diajarkan olehmu, kau tentu tak akan bisa berkelit lagi,' katanya di dalam hati.
"Dengan demikian, aku bisa membalas sakit hatinya ayah dan ibu."
Akan tetapi, sebelum menurunkan golok, ia mengawasi paras Biauw Jin Hong. Paras kesatria. itu, dengan segala keangkerannya, adalah tenang dan damai, bebas dari rasa menyesal dan bebas pula dari rasa takut. Tangan Ouw Hui yang mencekal golok bergemetar. Bagaimana... bagaimana ia dapat menurunkan senjata itu di lehernya seorang kesatria seperti Kim-bian-hud?
Mendadak, mendadak saja, sembari memutar badan, Ouw Hui mengeluarkan teriakan keras dan terus kabur.... Leng So lalu mengejar dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Dalam sekejap, seperti orang kalap, Ouw Hui sudah melalui belasan li. Sekonyong-konyong ia bergulingan di atas tanah dan menangis sekeras-kerasnya. Leng So mengetahui, bahwa dalam keadaan begitu, tak guna ia coba menghibur. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia duduk di tanah dan membiarkan Ouw Hui melampiaskan perasaan sedihnya.
Bersambung ke bagian 3 ...