Jilid 15

Di depan pintu gerbang yang bercat hitam itu, suasana sunyi senyap, iblis itu langsung menolak pintu dan masuk begitu saja serupa pulang ke rumahnya sendiri. Perkampungan di tengah hutan itu ternyata sangat megah, dinding merah menjulang tinggi, wuwungan rumah berderet-deret diliputi bunga salju sehingga menambah keangkeran kompleks bangunan ini. Dalam keadaan putus asa, diam-diam Jit-jit juga terkesiap, pikirnya, "Jangan-jangan inilah sarang Koay-lok-ong yang sengaja didirikan di daerah Tionggoan sini?...." Tengah berpikir, terasa hawa hangat merangsang dan menyelimuti seluruh tubuhnya, kiranya mereka telah memasuki sebuah kamar indah, di pojok sana ada perapian penghangat dengan api yang berkobar, namun tiada tampak bayangan orang di dalam kamar. Orang itu menurunkan Jit-jit di atas sebuah dipan yang rendah dan lunak. Segera dirasakan oleh Jit-jit sorot mata orang yang jahat itu sedang mengamati tubuhnya yang meringkuk di atas

pembaringan. Jantung Jit-jit berdebar, ia pejamkan mata rapat-rapat dan tidak berani beradu pandang dengan mata orang. Di dalam rumah yang hangat dan tidak ada orang lain ini, sungguh ia tidak berani membayangkan apa yang bakal terjadi.

Sampai saat ini dia belum lagi dapat memastikan "iblis jahat" ini lelaki atau perempuan? Tapi dapat dirasakannya sorot mata iblis yang mengandung maksud jahat dan kotor. Lebih-lebih sekali ini, dirasakannya sinar matanya yang kotor dan jahat itu jauh lebih nyata daripada yang dulu. Meski jelas sepasang mata yang sama, namun tidak sedikit perbedaannya

antara mata yang dulu dengan mata yang sekarang. Entah apa sebabnya? Tentu di dalam hal ini ada sesuatu yang tidak beres. Namun sekarang Jit-jit tidak sempat memikirkannya. Dia tetap memejamkan mata dan mulut terkatup rapat untuk menantikan kejadian yang paling buruk baginya. Dalam keadaan menanti yang kejam ini, dia berharap raganya tidak lagi menjadi miliknya. Siapa tahu, selang sekian lamanya, si iblis tetap tidak melakukan sesuatu. Sedapatnya ia menahan perasaannya, bulu roma serasa berdiri semua, berada di dalam kamar yang indah dan hangat ini dirasakan lebih dingin daripada berada di gua es. Mendadak dirasakannya orang lagi membalik tubuh, melangkah keluar perlahan. Sungguh Jit-jit tidak percaya, ia

coba membuka mata. Benar juga, dilihatnya bayangan orang menghilang keluar pintu. Orang itu benar-benar pergi tanpa mengganggunya, hal ini membuat Jit-jit terkejut malah. Ia heran kenapa orang tidak mengganggunya sama sekali? Apakah karena ucapannya tadi berhasil menggertaknya? Tapi lantas dibantah sendiri oleh Jit-jit, mana bisa iblis jahat ini takut kepada gertakannya, meski sekarang dia pergi, bukan mustahil sebentar lagi akan melakukan sesuatu yang lebih keji kepadanya. Dalam sekejap ini perasaan Jit-jit berganti-ganti, sebentar khawatir, lain saat bergirang, tapi segera sedih lagi. Mendadak pikirannya tergerak, dirasakannya bayangan punggung orang tadi ada sesuatu yang tidak benar, seperti

berbeda dengan bayangan orang yang sudah pernah dilihatnya dahulu. Ia menjadi sangsi jangan-jangan orang ini bukan orang yang dulu itu? Ia coba memandang keadaan kamar ini, ternyata segala sesuatunya teratur dengan indah. Diam-diam ia heran

pula, tak terduga Koay-lok-ong sendiri belum muncul didaerah Tionggoan, lantas siapakah yang mengaturkan tempat ini?

Menurut perkiraan Jit-jit, iblis jahat itu tidak mungkin dapat mengatur tempat seindah ini, ia pikir jangan-jangan Kim Bu-bong yang mengaturnya, tapi bila betul, kenapa tidak pernah diceritakannya? Selain itu, Thian-hoat Taysu dan lain-lain menuju ke pegunungan ini, jejak mereka mendadak menghilang di depan gardu di pinggang gunung tadi, jelas karena dari gardu sana ada jalan rahasia yang menembus ke tempat ini. Mereka memasuki jalan rahasia, dengan sendirinya jejak mereka

menghilang secara mendadak, jadi mereka tidak terbang kelangit, tapi masuk ke bumi. Tapi pikiran ini lantas dibantahnya lagi, dari watak Kim Bu-bong yang sudah dikenalnya, meski tertawan dan dipaksa juga takkan dibawanya mereka ke sini, apalagi memberitahukan tempat rahasia ini. Jangan-jangan Kim Bu-bong sebenarnya tidak tertawan oleh mereka, tapi berbalik berhasil mengatasi dan menawan mereka, lalu Kim Bu-bong membawa mereka ke sini. Dan bila Kim Bu-bong berada di sini berarti aku pun akan tertolong. Tapi... tapi cara bagaimana Kim Bu-bong dapat mengatasi keempat orang itu? Hal ini pun jelas tidak mungkin terjadi. Begitulah Jit-jit terus berpikir, tambah dipikir tambah ruwet persoalannya sehingga akhirnya dia bingung sendiri. Sekonyong-konyong tertampak bayangan orang berkelebat diri luar. Meski cuma sekilas pandang saja, namun sudah merasakan bayangan orang sudah pernah dikenalnya. Ia heran siapakah orang ini, ia coba mengingat-ingat, di tengah kekusutan pikirannya tiba-tiba ia tahu siapa orang ini, jeritnya di dalam hati, "Ah, dia Li Tiang-ceng!" Sekilas tampak bayangan orang yang berperawakan jangkung dan berjenggot panjang itu, tampaknya memang mirip Li Tiang-ceng, tapi Put-pay-sin-kiam Li Tiang-ceng mengapa bisa berada di sini. Jika benar dia berbalik tertawan oleh Kim Bu-bong dan dibawa

ke sini, mana mungkin dia dapat bergerak secara bebas. Sebaliknya jika dia memaksa Kim Bu-bong membawanya ke sini, seharusnya sejak tadi dia melabrak si iblis jahat itu, mengapa sejak tadi tidak terdengar sesuatu suara apa pun?

Jangan-jangan dia juga berkomplot dengan iblis jahat ini? Tapi dengan nama dan kedudukannya, rasanya hal ini pun tidak mungkin terjadi, lantas mengapa tindak tanduknya perlu main sembunyi-sembunyi cara begini? Selagi Jit-jit merasa bingung, dua orang telah mendekatinya. Seorang di depan bertubuh kurus kecil, baju panjang menyentuh tanah, mukanya memakai kerudung kain hitam, kedua tangan terselubung di dalam lengan baju. Sukar bagi Jit-jit untuk melihat wajahnya, bahkan lelaki atau perempuan pun tidak dapat dibedakan. Orang di belakangnya berperawakan tinggi besar, alis tebal mata bulat, muka hitam kasar, sekali pandang saja dapat diketahui seorang lelaki dogol yang bertenaga kuat. Jit-jit tahu maksud kedatangan kedua orang ini pasti tidak baik, tapi kecuali terhadap si iblis jahat, hakikatnya dia tidak gentar kepada siapa pun, segera ia mendahului membentak, "Siapa kalian? Mau apa?"

"Jangan urus siapa diriku, kedatanganku cuma ingin tanya sesuatu padamu...." jawab si baju panjang dengan suara yang

melengking nyaring menusuk telinga, suaranya seperti sengaja dibuat-buat, tapi juga seperti memang begitu pembawaannya. "Jika tidak kau tanggalkan kerudungmu, jangan harap akan kau dapatkan jawabanku," seru Jit-jit, meski tubuhnya lumpuh, tapi suaranya cukup keras. "Benar begitu?" tanya si baju panjang. "Boleh kau coba," jawab Jit-jit tegas. Mendadak si baju panjang mendengus, "Hm, baik. Maju, Tay Hong!" Rupanya lelaki dogol tinggi besar itu bernama Tay Hong, si Kuning Gede. Sambil menyeringai sehingga kelihatan giginya yang serupa taring serigala, segera ia melompat ke depan Cu Jit-jit, sekali raih dada baju si nona dicengkeramnya terus diangkat seperti elang menyambar anak ayam. "Kau... kau mau apa?" teriak Jit-jit dengan suara parau, gentar juga dia. "Apa yang ditanyakannya harus kau jawab, tahu?" kata sigede dengan menyeringai. "Ti... tidak...." kata Jit-jit. "Tidak?" si gede menegas, ia menarik terlebih keras, dada baju Jit-jit lantas robek, bila menarik lagi, buah dada si nona pasti akan menongol. Sungguh gemas dan juga takut Jit-jit, dalam keadaan demikian ia mati kutu, terpaksa ia menahan air mata dan mengertak gigi, teriaknya dengan suara terputus-putus, "Ap...apa yang akan... akan kau tanyakan?"

"Hm, kan sudah kuperingatkan tadi, kenapa cari penyakit sendiri?" jengek si baju panjang. "Ingin kutanya padamu, apakah kau suka menjadi selir putra Ongya (pangeran) kami yang ke-27?"

"Kentut busuk!...." damprat Jit-jit dengan gusar. "Kurang ajar!" bentak si lelaki gede, "bret", dada baju Jit-jit

terobek sehingga dadanya yang putih mulus tertampak jelas. Dengan suara parau Jit-jit memaki, "Bangsat, anjing, kau...."

Segera lelaki kasar itu menarik baju bagian pundak Jit-jit, apa bila dirobeknya lagi, seketika Jit-jit bisa telanjang seluruhnya. "Ayo jawab, kau mau tidak!" tanya si baju panjang. Sedapatnya Jit-jit berusaha mengelak pandangan lelaki gede

itu terhadap dadanya yang mulus itu, tapi apa daya, dia tak bisa berkutik, ia berucap dengan menangis, "Tidak, mati pun

aku tidak mau. Boleh kalian menganiaya, menyiksa dan menghina diriku tetap aku tidak sudi, boleh kalian bunuh saja diriku dan jangan harap menyentuh tubuhku." Si baju panjang jadi melenggong juga melihat sikap bandel Cu Jit-jit, dia tidak memberi perintah, dengan sendirinya si lelaki gede tidak berani bertindak lebih lanjut. Selang sejenak barulah si baju panjang berkata, "Tay Hong, masukkan dia ke penjara, biarkan dia pikirkan dengan tenang, nanti kita tanyai dia lagi."

Penjara di mana pun sama saja, seram, lembap, dan gelap. Penjara di puncak gunung ini juga tidak terkecuali, bahkan

lembap dan seramnya terlebih hebat daripada penjara ditempat lain. Lelaki gede itu sama sekali tidak kenal kasihan, dari mulut gua Jit-jit dilemparkan begitu saja sehingga terbanting dengan berat di gua batu, keruan tulang Jit-jit serasa mau retak, belum lagi dia menjerit sudah lantas jatuh pingsan. Entah berapa lamanya, ketika lamat-lamat didengarnya suara

seorang yang sudah dikenalnya dengan baik sedang memanggil di tepi telinganya, "Jit-jit... bangun, Jit-jit...." Meski suara ini kedengaran serak dan berat karena cukup lama tersiksa, tapi bagi pendengaran Jit-jit suara orang tetap sedemikian mesranya. Tergetar hatinya, cepat ia membuka mata, segera terlihatlah seraut wajah yang cakap dengan hidung yang mancung, siapa lagi dia kalau bukan Sim Long? Sekuat tenaga Jit-jit angkat tangannya dan merangkul leher Sim Long, ucapnya dengan suara gemetar, "O, Sim Long, kiranya kau... apa betul kau?"

"Ya, betul aku, Jit-jit," kata Sim Long. Air mata Jit-jit bercucuran. Air mata kegirangan, katanya pula, "Jadi... jadi benar dan bukan... bukan mimpi?" Ia merangkul Sim Long dengan erat, seakan-akan khawatir mimpi indah ini bisa buyar mendadak. "Memang benar dan bukan mimpi," jawab Sim Long pula. "Memang sudah kuduga engkau pasti akan datang menolong

diriku, memang sudah kuduga sebelumnya.... Tidak nanti kau biarkan diriku dianiaya orang jahat, engkau pasti akan

menyelamatkan diriku," ucap Jit-jit setengah meratap. Sim Long termenung, katanya kemudian, "Tapi aku tidak menyelamatkan dirimu...."

"Apa katamu, engkau tidak menyelamatkan diriku?" Jit-jit terkejut. "Habis cara bagaimana kita bisa bertemu di sini? O,

jangan-jangan engkau juga... juga terkurung di penjara ini?" Pertanyaan ini tidak perlu dijawab Sim Long lagi, sebab

sekarang Jit-jit dapat melihat dinding batu yang mengelilingi mereka. Ternyata Sim Long memang juga dipenjarakan orang

di sini. Kenyataan ini serupa sebilah pisau yang menikam hulu hati Cu Jit-jit, terasa sakit, tapi tidak berdarah dan juga tidak mengucurkan air mata, sebab darah dan air mata pun serasa sudah membeku. Dia terkesima dan tidak dapat bicara lagi.

Senyuman khas Sim Long pun tidak kelihatan menghias ujung mulutnya lagi, dengan sedih ia berucap, "Sungguh aku tidak

becus.... Tentu engkau sangat kecewa atas diriku.... Ai, tahu begini, lebih baik kumati saja."

"Tidak, tidak, engkau tidak boleh mati," seru Jit-jit dengan banjir air mata, "asalkan dapat kulihat dirimu, puaslah hatiku, masa aku kecewa?"

"Tapi... tapi di sini...."

"Sudahlah, jangan kau bicara lagi, peluklah diriku lebih erat, asalkan kau peluk diriku erat-erat, aku... aku tidak peduli lagi urusan apa pun," pinta si nona. Memang baginya asalkan bisa berada di dalam pelukan Sim Long, maka segala apa pun tidak ada artinya lagi. Kelembutan Kim Bu-bong dan simpati Him Miau-ji padanya kini telah dilupakannya seluruhnya, bahkan dia lupa belum lama dia baru saja mau mati bersama Him Miau-ji. Jit-jit memang nona yang berdarah panas, simpatik, mudah menyukai seseorang, bila orang lain baik padanya, tanpa peduli apa pun dia akan balas kebaikan orang itu, biarpun hal itu dilakukannya hanya karena dorongan emosi yang timbul seketika itu. Tapi perasaannya terhadap Sim Long justru mirip beratus ribu utas rambut halus yang telah mengikatnya, merasuk tulang, menyusup ke lubuk hati sehingga sukar terlepas, dipotong juga takkan putus. Meski penjara itu seram dan gelap, namun berada di dalam pelukan Sim Long dirasakan oleh Cu Jit-jit seperti berada di surga. Dia ingin menceritakan pengalamannya, penderitaannya, rindunya... seakan-akan bila semua itu diceritakannya kepada Sim Long, maka segala apa yang dialaminya itu akan menjadi impas, terbayar lunas.

Sebaliknya Sim Long terus-menerus hanya menghela napas dan tidak bicara. Jit-jit memandangnya dalam keremangan penjara yang seram itu, beberapa kali bibirnya bergerak dan ingin bicara lagi, tapi urung. Akhirnya ia tidak tahan dan tercetus dari mulutnya, "Cara bagaimana engkau datang ke sini?" Dengan rawan Sim Long bertutur, "Terkena obat bius, aku pun tidak menyangka minuman yang kuminum di warung terpencil itu pun ditaruhi obat bius. Ai, sekali salah langkah, segalanya lantas runtuh. Waktu aku siuman, tahu-tahu sudah berada di sini."

"Engkau tentu banyak tersiksa, coba, sampai... sampai suaramu pun serak, entah betapa engkau telah disiksa oleh kawanan bangsat itu, sungguh ingin ku... ingin ku...."

"Ah, apa gunanya biarpun engkau penasaran di sini?" ujar Sim Long. "Oo, semua ini gara-gara diriku, engkau jadi ikut menderita begini...." air mata Jit-jit bercucuran pula. "Jangan menangis Jit-jit, sakit hati ini pasti akan kita balas,"

ucap Sim Long dengan lembut. Mendadak Jit-jit berhenti menangis dan menengadah, "Engkau mampu...."

"Jangan khawatir, asalkan ada kesempatan...." Belum lanjut ucapan Sim Long, mendadak ada cahaya terang menyorot dari atas. Cepat Sim Long mengangkat tubuh Jit-jit dan menyingkir kekaki dinding. Kepala si lelaki gede serupa herder itu menongol di lubang gua, letak lubang gua ini sedikitnya ada lima tombak tingginya, dipandang dari bawah wajah orang ini terlebih seram dan tidak mirip manusia. "Bangsat, enyah!" teriak Jit-jit dengan parau. Lelaki gede itu terkekeh-kekeh, "Hehe, apakah kalian tidak lapar?"

"Biarlah lebih baik mati lapar, lekas enyah!" teriak Jit-jit pula. Orang itu terkekeh-kekeh pula sambil memperlihatkan

sesuatu, katanya, "Inilah bakpao yang biasa kami berikan kepada anjing, mau tidak, terserah padamu."

"Kau sendiri anjing, bangsat...." damprat Jit-jit dengan gusar. Tapi mendadak mulutnya didekap Sim Long. Anak muda itu lantas mendongak ke atas dan berseru, "Silakan Toako melemparkan bakpao itu."

"Hehe, tidak makan tambah kelaparan, ternyata kau lebih cerdik daripada anak dara itu," ucap lelaki gede itu dengan tertawa latah. Habis berkata, benarlah segera dilemparkannya beberapa biji bakpao, terdengar suara "plok" beberapa kali, betapa kerasnya bakpao basi itu dapatlah dibayangkan. "Krek", lubang gua itu tertutup lagi, tangan Sim Long yang mendekap mulut Jit-jit juga lantas dilepaskan. Gemas dan cemas Jit-jit, ucapnya dengan gusar, "Masa... masa engkau benar mau makan bakpao busuk begini?"

"Umpama tidak dimakan juga ada gunanya," ujar Sim Long. "Apa gunanya?" tanya Jit-jit penasaran. "Bila datang kesempatan baik tentu ada gunanya," sahut Sim Long sambil memunguti beberapa biji bakpao kering itu dan dikumpulkan di dekatnya.

Jit-jit memandangnya dengan termangu, sejenak kemudian ia tanya pula, "Engkau belum kehilangan tenaga?"

"Mendingan tidak," sahut Sim Long. Tertampak rasa girang pada sinar mata Jit-jit, "Pantas kau bilang akan menuntut balas, asalkan engkau tidak kehilangan tenaga, biarpun engkau ditutup di neraka I8 lapis juga tetap dapat melarikan diri."

"Masa engkau begitu yakin akan kemampuanku?"

"Tentu saja, siapa lagi selain aku?" segera Jit-jit meronta bangun dan menjatuhkan diri pula ke dalam pangkuan Sim Long.

Selang sejenak, mendadak si nona bertanya lagi, "Ai, betapa linglung aku ini, saking gembiranya bertemu engkau di sini

sehingga melupakan urusan penting yang harus kuberi tahukan padamu."

"Urusan penting apa?" tanya Sim Long cepat. "Tentang rombongan Can Ing-siong yang diantar Kim Bu-bong ke Jin-gi-ceng itu, setiba di sana, segenap anggota rombongan itu lantas mati keracunan, Li Tiang-ceng dan kawan-kawannya menyangka engkau yang mengerjai mereka, maka engkau dicari oleh mereka."

"Masa terjadi begitu?" seru Sim Long kaget. "Hal ini kudengar dari penuturan mereka sendiri, kukira pasti betul," kata Jit-jit. "Apakah dapat kau terka mengapa bisa terjadi begitu?"

"Seketika aku pun tidak berani menarik kesimpulan...."

"Tapi dapat kupastikan perbuatan Ong Ling-hoa," kata Jit-jit pula. "Sungguh aku tidak mengerti, sudah jelas kau tahu dia

orang busuk, mengapa engkau bergaul dengan dia."

"Soalnya kekuatan kita dengan musuh berselisih terlalu jauh," tutur Sim Long dengan menyengir. "Padahal kita sedang

menghadapi musuh besar sebagai Koay-lok-ong itu, mana boleh kita mengikat permusuhan pula dengan Ong Ling-hoa, apa pun juga dia kan bukan orang sehaluan dengan Koay-lok-ong."

"Tapi menurut pandanganku, dia jauh lebih busuk daripada Koay-lok-ong," jengek Jit-jit. "Akan lebih baik untuk sementara

ini kesampingkan Koay-lok-ong dan jangan membiarkan mereka ibu dan anak berbuat sesukanya."

"Untuk menghadapi ibu dan anak itu kekuatan kita terasa sangat lemah," ujar Sim Long setelah termenung sejenak. "Mengapa kau puji kekuatan orang lain dan menurunkan derajat sendiri?" kata Jit-jit. "Dalam hal apa engkau lebih asor daripada Ong Ling-hoa? Dalam hal apa pula Ong Ling-hoa lebih unggul daripadamu?"

"Tidak perlu urusan lain, melulu soal harta benda saja jelas sangat jauh selisih diriku dibandingkan dia," jawab Sim Long

dengan menyesal. "Ai, baru sekarang kutahu, untuk bertempur kekuatan dana terkadang juga menjadi faktor penentu. Sayang, dahulu aku terlalu meremehkan benda-benda yang berbau bacin ini."

"Apa artinya harta benda, aku kan tidak kekurangan, kau mau berapa dapat kuberikan," ujar Jit-jit. "Masa boleh kuterima uangmu?" jawab Sim Long dengan tidak senang. "Memangnya kenapa, punyaku sama dengan punyamu, masa...."

"Sudahlah, jangan kau katakan lagi," potong Sim Long dengan aseran. Jit-jit termenung sejenak, ucapnya kemudian dengan hampa, "Seumpama engkau tak mau menerima uangku, tapi aku sendiri mengambil bagian dalam pertempuran ini. Seperti

semboyan umum yang sudah kita kenal, punya uang keluar uang, punya tenaga bantu tenaga, memangnya aku tidak boleh memberikan sedikit sumbangan bagi perjuangan ini?"

"Tapi... tapi aku...."

"Sudahlah, tidak perlu ini dan itu, yang jelas, meski ayahku rada pelit terhadap orang lain, tapi sangat terbuka tangannya terhadapku, sebab semua saudaraku sudah berdikari, semuanya sudah pandai mencari uang, sebaiknya aku cuma mahir membuang uang, seorang yang tidak pintar mencari uang dan juga tidak berguna.... Sebab itulah, harga kekayaan ayah yang seharusnya dibagi menjadi tujuh telah diwariskan seluruhnya kepadaku dan jumlahnya tidaklah sedikit."

"Pantas orang Kangouw sama bilang Cu-jit-siocia kita adalah miliarder wanita," ujar Sim Long. "Miliarder atau bukan, yang jelas hartaku memang tidak sedikit," kata Jit-jit. "Sejak berumur 12 aku sudah biasa menggunakan uang secara bebas. Tapi selama kekayaan itu dipegang ayah, tetap kurang leluasa bagiku. Sebab itulah aku lantas merecoki ayah agar memberi kuasa penuh padaku, sebagian besar harta warisan itu diserahkan padaku, lalu seluruhnya kutitipkan kepada samcihuku." Ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula dengan tertawa, "Samcihu (kakak ipar (suami kakak) ketiga) adalah orang Soasay, swipoanya bukan main lincahnya bilamana disuruh mengurus soal keuangan, tapi dia paling segan padaku. Maka sebelumnya sudah kuadakan perjanjian dengan dia bahwa simpananku itu tidak perlu diberi bunga, yang penting setiap saat bilamana aku memerlukan uang, bila kuminta pada siang hari, tidak boleh dia tunda sampai malam hari, jika kuperlu sepuluh laksa tahil, tidak boleh dia membayar kurang satu tahil pun. Pokoknya dia harus memberi servis yang paling cepat padaku."

"Apakah samcihumu itu terkenal sebagai Liok-siang-to-cu (Si Mahakaya-raya) Hoan Hun-yang itu?" tanya Sim Long. "Aneh... kau pun kenal namanya?" ujar Jit-jit. "Orang Kangouw yang terkenal tidak ada seorang pun yang tidak kukenal," ujar Sim Long dengan tertawa. "Apalagi Hoan Hun-yang ini terkenal pintar sekali bergaul, kipas bajanya juga tidak lemah."

"Baik, engkau memang hebat," kata Jit-jit. "Supaya kau tahu, kami sudah ada perjanjian, asalkan ada tanda pengenalku,

setiap saat dapat kuambil uang pada setiap cabang perusahaannya di berbagai provinsi."

"Kenapa dia begitu memercayai dirimu?" tanya Sim Long. "Soalnya, meski sangat banyak uangnya, tapi kekayaanku tidak lebih sedikit daripada miliknya, kenapa dia tidak percaya padaku?"

"Jika begitu, tanda pengenalmu itu harus kau simpan dengan baik."

"Bagaimana bentuk tanda pengenalnya, mimpi pun orang lain tak dapat menerkanya, sepanjang hari benda ini berada pada tubuhku dan tidak akan dicuri orang."

"Berada pada tubuhmu?" Sim Long menegas dengan heran. Ia tahu Cu Jit-jit pernah ditelanjangi orang, jika benar dia membawa sesuatu benda berharga, mustahil takkan diambil orang? Tapi Jit-jit menjawab dengan sungguh-sungguh, "Betul, kedua biji mutiara anting-antingku inilah benda tanda pengenalku. Kedua biji mutiara kecil ini tidak mencolok mata, tapi bila mutiara ditanggalkan, bagian anting-anting yang membingkai mutiara ini adalah stempel, kedua belah anting-anting sama pakai stempel huruf Cu, cuma yang satu huruf tebal dan yang lain huruf melekuk. Berdasarkan sepasang anting-anting ini setiap orang dapat mengambil 70 laksa tahil, bukan perak melainkan emas. Dengan harta sejumlah ini tentu dapatlah

digunakan sebagai dana pergerakanmu." Jumlah sebesar ini memang cukup mengejutkan orang, sampai Sim Long juga melenggong.

"Padaku terdapat benda bernilai sebesar ini, lucunya orang-orang yang pernah menawan diriku ternyata tidak ada yang

memerhatikannya," tutur Jit-jit pula dengan tertawa. Maklumlah pada zaman itu telinga anak perempuan rata-rata berlubang anting-anting, karena itulah hal ini tidak menarik perhatian dan tidak mengherankan. "Nah, sekarang terimalah anting-antingku ini, cuma kau perlu hati-hati, lelaki membawa anting-anting, tentu akan menarik perhatian orang," pesan Jit-jit dengan tertawa. Mestinya Sim Long ingin menolak, tapi didesak si nona dan akhirnya diterimanya juga, katanya, "Kau percaya penuh menyerahkan anting-anting ini kepadaku?"

"Tentu saja kupercaya," jawab Jit-jit lembut, "Jangankan cuma anting-anting ini, biarpun se... seluruh diriku kuserahkan

padamu juga tidak perlu khawatir." Ia menggelendot dalam pangkuan Sim Long dengan erat, sungguh ingin dirinya terlebur menjadi satu dengan tubuh anak muda itu. Dalam keadaan begini, dia berbalik berterima kasih kepada iblis jahat itu. Kalau bukan perbuatannya, saat ini mana bisa dia berada dalam pelukan Sim Long. Sampai sekian lama keduanya tenggelam dalam khusyuk-masyuk, mendadak Sim Long berteriak dengan suara terputus-putus, "Ai... air... air!" Jit-jit terkejut, tapi segera dia tahu anak muda itu pasti mempunyai maksud tujuan tertentu. Benar juga, sejenak kemudian lantas terlihat lubang gua atas terbuka, lelaki gede serupa anjing herder itu menongolkan kepalanya sambil membentak gusar, "Keparat, mau apa kau meraung-raung?" Orang berani memaki Sim Long, segera Jit-jit hendak mendampratnya, tapi mulutnya keburu didekap Sim Long, lalu anak muda itu berkata dengan suara yang dibikin lemah, "Aku... aku sangat haus, mohon... mohon diberi air."

Untuk sebentar suasana menjadi sunyi, tidak lama kemudian, dari atas terjulur sebatang galah bambu, pada ujungnya terikat sebuah kaleng, lelaki gede itu tertawa terkekeh-kekeh dan berucap, "Ini airnya. Jika mau minum, masukkan kepala ke dalam kaleng, cara beginilah tuanmu memberi minum kepada babi." Mendadak Sim Long berbangkit, tangan bergerak, sejalur angin keras lantas menyambar ke atas, "plak", kepala si lelaki gede yang menongol itu tepat tertimpuk. Lelaki itu meraung dan terjungkal ke bawah, senjata rahasia yang mengenai kepalanya juga jatuh di sebelahnya, kiranya cuma sebiji bakpao kering.

Jit-jit terkejut dan bergirang, dilihatnya Sim Long menutuk beberapa hiat-to orang itu, lalu galah bambu itu dijemputnya.

Pada saat itulah di atas terdengar seorang membentak, "Ada kejadian apa?" Tanpa bicara tangan Sim Long bergerak pula, kembali sebiji bakpao kering menyambar ke atas dan kembali seorang jatuh terjungkal lagi ke bawah dan dibikin tak berkutik oleh Sim Long. Cepat Sim Long mengempit Jit-jit dengan tangan kiri, galah bambu di tangan kanan terus menolak hingga tubuh mengapung ke atas. Jit-jit merasa angin mendesir, waktu ia membuka mata, tahu-tahu mereka sudah meloncat ke luar penjara. Di atas gua penjara, ini adalah sebuah rumah kecil, di atas meja masih ada santapan, orang yang sedang makan minum tadi kini sudah menggeletak di dalam penjara malah. "Engkau sungguh orang yang paling pintar, tidak percuma

kusuka padamu," seru Jit-jit dengan girang. "Ssst, jangan bersuara," desis Sim Long. Perlahan ia membuka pintu dan mengintip, suasana sepi, segera ia menyelinap ke luar. Di luar adalah sebuah serambi panjang dan juga tidak kelihatan bayangan seorang pun. "Untung orang di sini seperti sudah mampus semua," bisik Jit-jit. Sim Long tidak menanggapinya, cepat ia memutar ke kiri, baru saja dia melangkah, terdengarlah dari ujung serambi sana ada suara langkah orang menuju ke sini. Terdengar seorang berkata, "Mana boleh kau kurung dia bersama Sim Long di situ." Suara orang ini tidak enak didengar, jelas Kim Put-hoan yang "Kian-li-bang-gi" atau mendapat untung lantas lupa kepada kawan. Lalu seorang sedang menjawab, "Penjara di sini cuma ada satu tempat, kalau tidak dikurung bersama akan digusur kemana?" Segera Sim Long bermaksud mundur kembali ke dalam rumah, tapi lantas terdengar seorang lagi berkata, "Coba kita periksa penjara sana."

Dari suaranya yang kasar dapat dikenali orang ini ialah Lian Thian-hun. Apabila Sim Long mundur kembali ke tempat semula tentu akan kepergok mereka. Jadi maju dan mundur serbasusah, mau tak mau Sim Long rada bingung. "Takut apa, labrak saja mereka," desis Jit-jit, ia percaya penuh atas kemampuan pemuda pujaannya. Sim-Long menjadi nekat juga, ia rangkul erat tubuh Cu Jit-jit dan menerjang ke sana sekuatnya dan cepat luar biasa. Baru saja rombongan Lian Thian-hun muncul dari tikungan, sekonyong-konyong sesosok bayangan menyelinap lewat. Karena kaget, tanpa terasa mereka menyingkir ke samping.

Maka secepat terbang dapatlah Sim Long melayang lewat, tanpa berpaling lagi ia terus lari ke depan. Serentak terdengar suara bentakan di belakang. "Hah, itulah Sim Long," seru Kim Put-hoan. "Betul, lekas kejar!" teriak Lian Thian-hun gusar.

Menyusul lantas terdengar suara orang mengejar beramai-ramai. Dengan sendirinya Sim Long tidak hafal jalanan di tempat

orang, apalagi dalam keadaan dikejar, sukar baginya untuk membedakan arah dan memilih jalan. Baru beberapa tombak ia lari segera dihadapi jalan buntu. Untung pada ujung kiri jalan buntu terdapat sebuah pintu. Tanpa pikir Sim Long mendobrak pintu dan menerjang ke dalam. Tapi segera ia melenggong, sebab kamar ini pun tidak ada jalan tembus. Sekilas dilihatnya sebelah kanan ada sebuah jendela dan pada sisi lain ada lagi sebuah pintu kecil. Karena keadaan mendesak, timbul akal Sim Long, ia sambar sebuah kursi dan dilemparkan, kontan jendela itu ambrol, pada saat yang sama ia terus lari masuk ke pintu kecil itu. Hanya sekejap saja rombongan Kim Put-hoan sudah menyusul tiba, Sim Long bersembunyi di balik pintu kecil itu dengan menahan napas dan tidak berani bergerak. "Lari ke mana dia?" terdengar Lian Thian-hun meraung gusar di luar. "Jelas membobol jendela dan kabur ke luar," kata Kim Put-hoan. "Ayo lekas kejar!" seru Lian Thian-hun. Menyusul lantas terdengar suara orang melompat keluar jendela, lalu tidak terdengar sesuatu suara lagi. Baru sekarang Sim Long merasa lega, desisnya, "Mari kita mundur kembali ke tempat tadi untuk mencari jalan lolos lain!" "Sungguh akal menyesatkan musuh yang bagus," bisik Jit-jit. Dalam keadaan demikian dia tidak lupa memberi pujian kepada Sim Long. Tapi baru saja Sim Long membuka pintu, segera terlihat Kim Put-hoan bertiga berdiri di depan pintu dengan tertawa dingin. Keruan Sim Long melongo. "Hehe, kau kira kami dapat dikibuli seperti anak kecil?" jengek Kim Put-hoan. "Ayolah, mau lari ke mana lagi, lekas serahkan dirimu," bentak Lian Thian-hun. Sim Long mengertak gigi, ia tidak jadi menerjang ke luar, sebaliknya menyurut mundur, pintu terus ditutup kembali dan dipalang. Akan tetapi segera diketahuinya sekeliling ruangan ini rapat tanpa lubang tembus lain, sebuah jendela pun tidak ada, keadaan gelap gulita, kecuali perabotnya yang lebih baik, keadaannya tidak berbeda dengan penjara di bawah tanah itu. Terdengar Kim Put-hoan bertiga lagi bergelak tertawa di luar

dan tidak membobol pintu untuk mengejarnya. Malahan lantas terdengar suara "krek," pintu berbalik digembok dari luar.

"Ruangan ini sekelilingnya terbuat dari dinding baja, jauh lebih kuat daripada penjara batu itu, boleh kalian tidur saja di situ dan jangan lagi mencari jalan untuk kabur segala," terdengar si baju panjang berseru di luar. "Nanti kalau kalian sudah lemas kelaparan, barulah kami akan datang lagi, biasanya kami memang sabar menunggu," demikian Kim Put-hoan menyindir. Habis itu lantas tidak terdengar sesuatu lagi. Sim Long berlari ke kaki dinding dan memukulnya, terdengar

suara nyaring, tangan sendiri tergetar sakit, memang betul dinding sekeliling kamar ini terbuat dari baja seluruhnya.

Seketika Sim Long berdiri terkesima dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. "Mereka hanya bertiga, bilamana tadi kau labrak mereka, bisa jadi mereka dapat kau kalahkan, tapi sekarang...." Jit-jit menggerundel dengan menyesal. Sim Long menghela napas, "Bila kulabrak mereka, bagiku tidak menjadi soal, tapi bagaimana dengan dirimu?" Jit-jit terkesiap dan tidak bicara lagi. Sejenak kemudian mendadak ia menangis sedih. "Jangan menangis Jit-jit, memang akulah yang salah," ujar

Sim Long. "Tidak, engkau tidak salah...." seru Jit-jit dengan suara parau. "Dalam segala hal selalu kau pikirkan diriku, tapi aku berbalik menyalahkan engkau. Aku... aku memang pantas mampus!" Perlahan Sim Long membelai rambutnya yang halus, ucapnya, "Sudahlah, dalam keadaan demikian, kita senasib setanggungan. Betapa pun menyenangkan juga bila kita dapat mati bersama di tempat ini."

"Tidak, tidak, engkau tidak boleh mati, engkau harus berjuang terus...."

"Ai, dalam keadaan begini, apa yang dapat kulakukan?" ujar Sim Long dengan menyesal. Jit-jit masih mau bicara lagi, tapi urung, ia menangis perlahan, sebab ia pun menyadari keadaan cukup gawat. Tiba-tiba ia berkata lagi dengan bersemangat, "Memang betul juga ucapanmu, betapa bahagia bilamana kita mesti mati bersama di sini. Tapi... tapi kita masih muda, aku tidak mau mati, kita harus hidup bersama dan bahagia untuk berpuluh tahun lagi dan...." Sampai di sini mendadak ia tertegun, sebab tanpa disadari tenaga sendiri ternyata sudah pulih sebagian, tangannya dapat digunakan untuk memukul tempat tidur sehingga menerbitkan suara keras. "Ah, rupanya obat bius yang digunakan si iblis ini tidak sama dengan dulu, pengaruh obatnya kini mulai lenyap, sekarang aku sudah dapat berdiri...." ia termenung sejenak, lalu menyambung, "Tapi apa gunanya aku dapat berdiri, keadaan sudah terlambat, biarpun bisa berlari juga sukar kabur dari sini." Dengan pandangan yang sayu ia tatap wajah Sim Long, entah berapa lama, perlahan ia berkata pula, "Tapi tetap aku berterima kasih kepada Thian yang murah hati yang telah membuatku dapat bergerak sekarang. Biarpun kita tidak dapat lagi hidup bersanding, tapi sebelum ajal kita dapat berkumpul di sini untuk beberapa hari, betapa pun aku... aku merasa bahagia."

"Kau... kau...." Belum lanjut ucapan Sim Long, mendadak Jit-jit merangkulnya sehingga keduanya jatuh ke tempat tidur yang lunak itu. Jit-jit membenamkan kepalanya di dada Sim Long, bisiknya dengan suara setengah merintih, "O, masakah engkau belum lagi paham? Ai, orang... orang tolol, orang dungu... masa tidak kau ketahui, sebelum ajal, kurela menyerahkan segalanya kepadamu?"

"Kau... kau benar rela...." Jit-jit tidak bicara lagi, ia peluk anak muda itu terlebih erat, dada beradu dada, bibirnya yang hangat merayapi belakang telinga Sim Long. Bagai orang mengigau ia berkeluh perlahan, "O, waktu kita sudah tersisa tidak banyak lagi, kurela... apa pula yang kau khawatirkan... apa pula yang kau tunggu?...." Mendadak Sim Long membalik tubuh di atas, dipeluknya tubuh yang hangat dan mungil yang lagi menyongsongnya dengan rada gemetar itu.... Selagi memuncak api berkobar, selagi banjir hampir membobol tanggul, mendadak Jit-jit menggigit bibir Sim Long sekerasnya, berbareng terus didorongnya sehingga anak muda itu tertolak jatuh ke bawah tempat tidur. Lantaran tidak menyangka, keruan Sim Long kaget dan berseru, "Hei, apakah kau gila?" Jit-jit terus menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, teriaknya dengan histeris, "Kau bukan... bukan Sim Long... kau bukan Sim Long...."

"Kau gila, habis siapa jika aku bukan Sim Long?"

"Kau... kau bangsat, binatang, kau setan iblis, sekarang... sekarang kutahu siapa dirimu...."

"Memangnya siapa diriku?" tanya Sim Long. "Ong Ling-hoa!" teriak Jit-jit. "Kau bangsat jahanam, kau... kau bikin celaka diriku... untung kutahu... dan... dan masih sempat...."

"Hehe, kau bilang aku ini Ong Ling-hoa?"

"Memangnya siapa kalau bukan Ong Ling-hoa," jawab Jit-jit. "Betapa keji caramu mengatur akalmu yang busuk ini, bukan saja telah kau tipu uangku, kau pun ingin menipu tubuhku...."

"Oo, kau anggap kutipu dirimu?"

"Hm, biarpun kepandaianmu merias mukamu sedemikian hebatnya, tapi lantaran aku sudah terlalu mengenal Sim Long, kau khawatir akan kukenali kepalsuanmu, maka sengaja kau gunakan tipu licik dan bertemu denganku di tempat yang gelap."

Jit-jit mengertak gigi sehingga gemertuk, lalu menyambung, "Suara Sim Long tak dapat kau tirukan dengan persis, maka

sengaja berlagak tersiksa di penjara dengan suara parau agar aku tidak mencurigai dirimu."

"Lalu?" jengek Sim Long. "Sesudah wajahmu kau rias, tentu tidak dapat lagi tersenyum, maka sengaja kau bikin mukamu selalu murung. Padahal, ai, kenapa kulupa bahwa pada keadaan bagaimanapun senyuman khas Sim Long itu selalu menghiasi bibirnya, hampir setiap saat dan di mana pun selalu kulihat senyumannya yang khas itu."

"Apa betul begitu?"

"Selain itu, jika sudah ada akalmu untuk kabur dari penjara itu seharusnya dapat kau lari sebelumnya, kenapa mesti

menunggu setelah kudatang barulah kau bawaku kabur?.... Waktu orang itu memberi air padamu, mestinya dia dapat menggunakan cara lain, mengapa pakai galah bambu segala? Jelas semua ini memang sudah diatur sebelumnya agar galah itu dapat kau gunakan untuk meloncat ke luar."

"Ada lagi yang lain?" tanya Sim Long dengan tertawa. "Dasar bangsat, sudah kau tipu uangku, ingin kau tipu pula.... Ya, tentu karena tempat itu kurang baik, maka sengaja kau bawaku ke sini, kau...."

"Betul, penjara di bawah tanah itu lembap dan kotor, siapa pun tidak bergairah berbuat hal begituan di situ, sengaja

kubawamu ke sini justru supaya engkau sendiri akan menyodorkan makanan ke mulutku," kata anak muda itu dengan tertawa.

Baru sekarang ucapannya mengandung nada pengakuan bahwa dia memang bukan Sim Long melainkan Ong Ling-hoa adanya.

"Bangsat, hewan," dengan suara parau Jit-jit memaki pula. "Sungguh keji kau, tentu setelah kau tipu diriku, lalu sengaja

kau tinggalkan diriku agar kubenci Sim Long selama hidup, dengan begitu kau bikin susah kami berdua sekaligus."

"Betul, ini namanya sekali timpuk dua burung, tahu?" jawab Ong Ling-hoa dengan cengar-cengir. "Hm, kecuali bangsat keji semacam ini, siapa lagi yang dapat menggunakan akal busuk semacam ini. Mungkin tidak ada orang lebih kotor dan rendah daripadamu di seluruh dunia ini."

"Namun masih ada sesuatu yang tidak kupahami," kata Ong Ling-hoa dengan tertawa. Tanpa menunggu tanggapan Jit-jit segera ia menyambung, "Setelah sekian lama akalku dapat mengelabuimu, mengapa mendadak dapat kau ketahui?"

"Sebab... sebab aku...." mendadak Jit-jit berteriak. "Tidak perlu kau tahu cara bagaimana kuketahui tipu muslihatmu,

pokoknya memang dapat kuketahui." Hal ini selain membingungkan Ong Ling-hoa, sesungguhnya Jit-jit sendiri juga sukar menjelaskan, atau bisa jadi dia malu untuk menerangkan. Kiranya tadi waktu orang bermesraan dengan dia, tiba-tiba Jit-jit merasakan sesuatu tidak benar, yaitu "gaya" pihak lawan. Ia merasa "gaya kerja" orang sedemikian hafalnya, serupa benar dengan cara rendah Ong Ling-hoa memperlakukan dia waktu di ruang bawah tanah dahulu. Dan pada detik sebelum garis pertahanan terakhir dibobol itulah dapat diketahuinya tipu muslihat musuh. Maklumlah, setiap lelaki mempunyai gaya dan gerak irama tertentu pada saat dia merayu dan main cinta dengan seorang perempuan. Biarpun sasarannya berganti, cara kerjanya biasanya tidak berubah. Dan dalam hal ini biasanya di pihak perempuan juga sangat peka merasakan perbedaannya.

*****

Entah sejak kapan, lampu di dalam kamar sudah dinyalakan oleh Ong Ling-hoa. Dia berdiri di depan tempat tidur, raut wajahnya memang sangat mirip Sim Long, cuma matanya, sorot matanya memperlihatkan sifatnya yang kotor dan menjijikkan.

Jit-jit membungkus tubuhnya terlebih rapat, ia tidak berani memandang orang, dari rasa murka kini berubah menjadi rasa

takut. "Kau sangat pintar, sungguh jauh lebih pintar daripada dugaanku," kata Ong Ling-hoa kemudian dengan cengar-cengir, "Tapi apakah sekarang kau kira sudah lengkap mengetahui segalanya?"

"Memangnya apa yang tidak kuketahui? Aku...." mendadak Jit-jit teringat akan sesuatu, waktu ia berpaling, dilihatnya Ong

Ling-hoa sedang menatapnya dengan pandangan kotor dan jalang. Seketika hatinya bergetar, teriaknya, "Matamu... matamu inilah...."

"Mataku kenapa?" tanya Ong Ling-hoa dengan tersenyum. "Kau... ya, kaulah yang membikin celaka Miau-ji tadi.... Jadi iblis jahat itu pun samaranmu, betul tidak?"

"Haha, memang betul," Ong Ling-hoa terbahak. "Menurut pandanganmu, wajah iblis itu adalah samaran keluarga Suto, aku pun pernah melihatnya sekali, dan mengapa aku tidak dapat menyamar seperti dia? Betapa pun pandai ilmu rias keluarga Suto juga tidak banyak lebih mahir daripada diriku tuan muda keluarga Ong ini."

"Bangsat, kau... kau...."

"Ai, nonaku yang manis, biarpun kau pintar, sebenarnya apa pun tidak kau ketahui," sela Ong Ling-hoa dengan gelak tertawa. "Apakah kau mau bila kuceritakan urusan ini dari awal?"

"Kau... kau...." karena gemetar sehingga suara Jit-jit pun tidak jelas. "Kau tahu, di hutan sunyi sana sudah kulihat Kim Put-hoan, Li Tiang-ceng dan lain-lain, meski mereka tidak kenal diriku, tapi kukenal mereka, maka aku lantas mendekat dan pasang omong dengan mereka."

"Mereka mau bicara dengan binatang semacam dirimu ini?"

"Soalnya, hanya satu kalimat saja sudah dapat kupikat mereka."

"Yang... yang kau kemukakan tentu mengenai Sim Long."

"Betul, kembali dapat kau tebak dengan tepat. Aku berlagak memusuhi Sim Long, dengan sendirinya mereka ingin bersahabat denganku, maka lantas kuberi jalan kepada mereka agar menungguku di sini. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan kecil yang dirahasiakan, dengan sendirinya jejak mereka menghilang secara mendadak sehingga kau dan si kucing rakus itu kebingungan." Hal ini sebelumnya memang sudah diduga oleh Jit-jit, cuma ada sesuatu lain yang belum diketahuinya, maka ia lantas tanya, "Kenapa mereka mau percaya padamu dan datang ke sini lebih dulu?"

"Sebab mereka memerlukan tenagaku untuk membantu menghadapi Sim Long," tutur Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Mereka percaya aku adalah seorang kesatria dan gagah perkasa, sebaliknya Sim Long adalah seorang bangsat keparat."

"Sialan, sudah buta semua!" omel Jit-jit dengan gemas. "Dari mulut mereka dapat kuketahui kau pun berada di sekitar sini, maka aku lantas tinggal di sana, tidak lama kemudian benarlah kulihat kau dan si Kucing itu datang dengan riang gembira, wah, alangkah mesranya antara kalian berdua, padahal biasanya kau sok berlagak suci."

"Kentut!" damprat Jit-jit. "Hubungan kami cukup terbuka, hanya matamu yang kotor ini sehingga barang bersih juga kau

pandang sebagai kotor." Ong Ling-hoa tidak menghiraukannya, sambungnya lagi, "Kalian berjalan dengan tangan bergandeng tangan, aku lantas mengintil di belakang kalian dari jauh, waktu kalian mendaki gunung, segera timbul pikiranku untuk menyamar sebagai iblis itu, cepat kuputar jalan terdekat untuk mendahului di depan kalian. Lalu dengan sedikit akal, tanpa susah payah dapatlah kubikin si Kucing hancur lebur di dalam jurang. Haha, sudah sekian lama dia bermesraan denganmu, andaikan mati juga dia tidak perlu penasaran." Dari cerita Ong Ling-hoa ini baru diketahui mengapa orang

sedemikian hafal terhadap keadaan di sekitar sini, rupanya tempat ini memang kepunyaan keluarga Ong. "Setelah kubawa dirimu ke sini dalam keadaan tak sadar, segera kuganti rupa lagi menjadi Sim Long, kuatur pula tipu sekali timpuk dua burung ini dengan Kim Put-hoan dan...."

"Hm, bangsat she Kim itu memang jahat, tapi Li Tiang-ceng dan Leng Toa juga membantu tipu muslihatmu yang kotor ini,

sungguh tak kusangka," ucap Jit-jit dengan gemas. "Leng Toa dalam keadaan tidak sadar, Li Tiang-ceng juga terluka parah, kedua orang ini masih berbaring di sana tanpa bisa berbuat sesuatu. Sedangkan Lian Thian-hun, hehe, cuma seekor kerbau bodoh, setelah kubujuk Kim Put-hoan, dengan mudah dapat kubohongi kerbau bodoh itu untuk bekerja bagiku."

"Banyak berbuat kejahatan pada akhirnya pasti akan menerima ganjarannya," ujar Cu Jit-jit. "Biarpun sekarang aku tidak dapat berbuat apa-apa, jadi setan pun akan kucekik mati dirimu."

"Haha, kalau setan perempuan tetap kusambut dengan gembira, bila setan lelaki, huh, waktu hidup saja aku tidak takut padanya, sesudah jadi setan masakah malah takut?"

"Tunggu saja, pada suatu hari pasti...."

"Masa perlu kutunggu lagi, sekarang juga aku mau...."

"Kau mau apa?" seru Jit-jit khawatir. "Aku mau apa masakah kau tidak tahu?" Tentu saja Jit-jit tahu, melihat sorot mata orang saja ia lantas tahu. Ia sembunyi ke pojok tempat tidur dan berteriak dengan gemetar, "Kau... kau berani?"

"Kenapa aku tidak berani?" sahut Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Jika aku tidak berani, tentu takkan kuberi tahukan

rahasiaku kepadamu."

"Lekas kau bunuh diriku saja," jerit Jit-jit. "Ai, kau tahu namaku Ling-hoa, artinya sayang akan bunga (kiasan bagi perempuan), masakah aku tega membunuh anak perempuan molek seperti dirimu ini?" Sembari tersenyum ia terus mendekat.

"Enyah, pergi! Mati pun jangan kau harap akan menyentuh diriku!" Pada saat itulah sayup-sayup di luar ada suara orang

membentak dan saling labrak, tapi dalam keadaan panik Jit-jit tidak mendengarnya. Sedangkan Ong Ling-hoa hanya berkerut

kening saja, lalu mendekati Jit-jit lagi, "O, sayang, betapa mesranya kepadaku tadi, kenapa sekarang kau...."

"Kau bangsat, jahanam...." sampai parau suara Jit-jit, tapi apa daya, dia hanya dapat membungkus dirinya terlebih rapat

dengan selimut, akhirnya ia memohon, "O, hendaknya kau ampuni diriku.... Lebih baik kau bunuh diriku saja, perempuan

lain masih banyak. Ken... kenapa kau paksa diriku."

"Dan lelaki lain sedemikian banyak, kenapa cuma Sim Long saja yang kau pilih? Kenapa tidak kau anggap diriku sebagai

Sim Long saja?" Habis berkata Ong Ling-hoa terus menubruk ke atas tempat tidur. Jit-jit menjerit dan meronta serta menghindar, juga memohon, akan tetapi tenaganya belum pulih seluruhnya, dia mulai lemas lagi dan tak berdaya....

"Jangan meronta, jangan melawan," bujuk Ong Ling-hoa dengan napas terengah. "Tidak ada gunanya kau melawan, setelah kau jadi milikku baru kau tahu aku ini tidak seburuk sebagaimana kau sangka, bahkan bisa jadi engkau tak mau lagi berpisah denganku." Jit-jit merasakan sorot mata orang yang kotor dan jalang itu semakin mendekat, hawa napasnya yang berbau juga tambah dekat dan akhirnya bibir menempel bibir. Dia tak mampu meronta lagi, akhirnya dia tak sadarkan diri. Waktu Jit-jit jatuh pingsan mungkin lama dan mungkin juga singkat, tapi waktu yang singkat ini pun cukup untuk terjadi macam-macam hal. Namun yang terjadi selama ia pingsan sama sekali tidak diketahuinya. Sungguh ia lebih suka tidak siuman untuk selamanya, sebab dia tidak berani menghadapi kenyataan apa yang terjadi selama dia pingsan. Namun begitu, akhirnya dia tetap siuman.

Dan begitu dia membuka mata, segera dilihatnya raut wajah itu, raut wajah yang sama, raut wajah "Sim Long". Saat itu

sedang memandangnya dengan tersenyum. Sesungguhnya apa yang telah terjadi selama dia pingsan? Hancur luluh hati Jit-jit, hampir gila dia. Tanpa pikir akibatnya,sekuatnya dia melompat bangun, kontan ia menampar muka orang. Anehnya orang tidak mengelak, juga tidak menangkis. Bisa jadi karena dia sudah merasa puas, apa artinya ditampar dua kali oleh anak gadis yang habis dilalapnya? "Plak", menyusul Jit-jit terus menubruk maju menendang dan menjotos lagi seperti orang gila sambil berteriak, "Jahanam, kau hancurkan hidupku, biar ku...." Mendadak kedua tangannya dipegang orang. Ia meronta sekuatnya dan tidak terlepas, segera ia berpaling dan mendamprat pula, "Bangsat, kalian semua...." Tapi mendadak dilihatnya yang menangkap tangannya terdiri dari dua orang, yang memegang tangan kirinya ialah Him Miau-ji dan yang memegang tangan kanannya adalah Kim Bu-bong. Sungguh kaget Jit-jit tak terkatakan, dia seperti melihat setan. Seketika ia melenggong, terkilas macam-macam pikirannya, "Ai, kiranya mereka berdua belum mati? Ken... kenapa mereka tidak mati dan berada pula di sini?.... Ai, jangan-jangan mereka ini orang Ong Ling-hoa yang menyamar untuk menipu diriku?"

"Siapa kalian?" segera ia membentak. Him Miau-ji alias si Kucing terbelalak heran, jawabnya, "He, apakah engkau linglung, masa kami tidak kau kenal lagi?"

"Kalian palsu semua, kutahu... kutahu, jangan harap lagi akan menipu diriku," teriak Jit-jit dengan parau sambil meronta

sekuatnya, tapi tak terlepas. "Palsu? Coba lihat lagi lebih jelas, apakah kami tulen atau palsu?" ucap Kim Bu-bong.

"Mungkin dia memang linglung, kalau tidak masakah Sim-heng dipukulnya?" ujar si Kucing. Waktu Jit-jit memerhatikan mereka, di bawah cahaya terang terlihat sinar mata Kim Bu-bong yang buram, Him Miau-ji juga kelihatan dirangsang emosi, sorot mata dan sikap demikian mustahil dapat ditirukan orang lain. Apalagi dari suara mereka, jelas memang asli dan bukan

samaran. Tapi cara bagaimana pula mereka datang ke sini? Jit-jit pandang lagi mata orang yang mencorong dengan

senyumannya yang khas. Ciri ini terlebih tidak mungkin bisa ditiru. Inilah Sim Long asli. Sungguh sukar dimengerti, mengapa palsu bisa berubah menjadi asli? Sebenarnya apa yang telah terjadi? Jit-jit menjadi girang, kejut, dan juga heran, katanya kemudian, "Ap... apakah aku sedang mimpi?"

"Siapa bilang kau mimpi?" kata si Kucing. Dengan bingung Cu Jit-jit berdiri, lalu ia berlutut pula dan menangis, "O, jika aku bermimpi, lebih baik biarkanlah bermimpi selamanya.... Aku tidak tahan...." Perlahan Sim Long berbangkit, sorot matanya penuh rasa kasih sayang, meski mukanya bengep kena tamparan Jit-jit tadi, tapi tetap mengulum senyumannya yang khas itu, ucapnya dengan gegetun, "Anak baik, jangan menangis, saat ini engkau tidak bermimpi, tadi engkau memang bermimpi, mimpi yang buruk." Suaranya begitu lembut, begitu mesra, juga tidak dibuat-buat serak. Jit-jit tidak ragu Lagi, sambil menangis ia menubruk ke dalam pelukan Sim Long dan berseru, "Jadi... jadi engkaulah yang menyelamatkan diriku."

Perlahan Sim Long menjawab, "Sungguh aku menyesal datang terlambat sehingga engkau banyak tersiksa."

"Engkau telah menolong diriku, tapi berbalik kupukulmu.... Ai, aku memang pantas mampus?" ratap Jit-jit. "Ini pun tidak dapat menyalahkan dirimu," ujar Sim Long dengan suara lembut. "Kenapa engkau tidak menangkis dan mengelak."

"Sudah banyak kau tersiksa, apa alangannya kubiarkan dipukul dua kali olehmu sekadar melampiaskan rasa gemasmu?" ujar Sim Long dengan tersenyum. "O, mengapa engkau selalu begini baik padaku," seru Jit-jit merangkul anak muda itu. Dia melupakan segalanya, ia memeluknya erat-erat dan menciuminya, air matanya membasahi wajah Sim Long dan membuat arak muda itu rada

kikuk. Him Miau-ji dan Kim Bu-bong menyaksikan adegan itu dengan melenggong, entah bagaimana perasaan mereka. "Sudahlah, jangan menangis lagi, di samping masih ada Kim-heng dan Him-heng," ucap Sim Long dengan canggung. Baru sekarang Jit-jit ingat di situ masih ada orang lain, cepat ia berbangkit dengan kepala menunduk. Tiba-tiba sebuah tangan putih halus terjulur ke arahnya dengan secangkir teh, suara seorang yang halus berkata padanya, "Silakan minum, Siocia." Waktu Jit-jit menengadah, terlihatlah seraut wajah yang cantik molek memesona, serunya, "Hei, kau!"

"Ya, hamba," sahut si gadis, kiranya Pek Fifi adanya. "Kau pun datang ke sini? Ke mana pun Sim Long pergi selalu kau ikut?" tanya Jit-jit. Fifi menunduk dan tidak berani menjawab, mukanya yang putih bersemu merah sehingga kelihatan kasihan. "Ayolah bicara, kenapa diam saja," desak Jit-jit. "Nona, hamba...." Fifi tetap menunduk, meski sedapatnya

menahan air mata, tidak urung tersendat juga suaranya. "Fifi, boleh kau jaga di luar saja, bila mereka berani bergerak

hendaknya segera kau bersuara memanggil," kata Sim Long. Fifi mengiakan. Anak perempuan ini sungguh sejinak domba dan

menyenangkan serupa burung sriti, sampai sekarang ia pun tidak lupa memberi hormat kepada Jit-jit, lalu melangkah keluar dengan menunduk. Memandangi bayangannya yang ramping itu, Jit-jit menjengek, "Fifi... hm, alangkah mesranya panggilanmu."

"Ai, dia seorang anak perempuan yang patut dikasihani, kenapa kau bersikap ketus padanya? Dia sebatang kara, tidak punya sanak kadang, masa dapat kutinggalkan dia begitu saja?" kata Sim Long. "Dia patut dikasihani, memangnya aku tidak perlu dikasihani?" ujar Jit-jit. "Dia sebatang kara dan tidak punya sanak kadang, memangnya banyak sanak saudaraku di sini? Dan mengapa selalu kau tinggalkan diriku?"

"Betapa pun engkau lebih... lebih...."

"Lebih apa? Selalu kau bela dia, selalu kau pikirkan dia, dan ken... kenapa kau datang menolongku? Lebih baik aku tidak

berjumpa lagi denganmu selamanya."

"Baik, baik, anggap aku yang salah, aku...." Tapi mendadak Jit-jit menubruk lagi ke dalam rangkulannya dan meratap, "O, tidak, engkau tidak salah, akulah yang salah, aku... aku cemburu, namun apa... apa dayaku...." Si Kucing terkesima menyaksikan hal-hal demikian ini, ia bergumam, "Kau cemburu, apakah kau tahu orang lain juga bisa cemburu?"

"Apa katamu?" mendadak Jit-jit menoleh. "O, tidak, kubilang senantiasa Sim-heng terkenang padamu, kalau tidak masakah dia menempuh bahaya untuk menyelamatkan dirimu," sahut si Kucing dengan gelagapan. "Apa betul?" dari menangis Jit-jit berubah tertawa. "Tentu saja betul," kata si Kucing dengan menunduk. Jit-jit melompat ke depannya dan berseru, "Ai, engkau sangat

baik...." lalu ia berpaling ke arah Kim Bu-bong. "Dan kau... kalian berdua adalah orang yang paling baik padaku, jika

kalian tidak ada, entah betapa berduka hatiku. Ah, kulupa tanya cara bagaimana kalian terlepas dari bencana?" Air muka Kim Bu-bong tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, memang inilah kemahirannya, dia dapat menahan setiap perasaannya tanpa kelihatan. Perlahan ia menjawab, "Sesudah kau pergi, aku tidak mampu melawan mereka berempat, untung Sim-heng muncul dan

menyelamatkan diriku. Keempat orang itu tidak mampu mengejar kami, bahkan siapa penolongku saja tidak dilihat mereka."

"Lalu?" tanya Jit-jit. "Apa lagi?"

"Habis," jawab Kim Bu-bong. "Meski uraian Kim-heng sangat singkat, tapi juga sangat penting, hal-hal kecil yang tidak penting tak mungkin diceritakan oleh Kim-heng," tukas Sim Long dengan tertawa. "Tidak diceritakannya juga dapat kubayangkan keadaan waktu itu," ucap Jit-jit, lalu ia memejamkan mata dan berkata pula dengan perlahan, "Tatkala mana pertarungan kalian pasti sangat sengit, keparat Kim Put-hoan itu tentu mengejek terus-menerus dan Kim-toako keki setengah mati, selagi engkau mandi keringat dan tampaknya bisa kalah, mendadak Sim Long melayang tiba secepat terbang, sekali tarik Kim-toako dibawa lari di tengah bayangan orang banyak. Kim Put-hoan dan begundalnya tentu terkejut, tapi mana bisa mereka menyusul dirimu." Ia membuka mata, lalu menegas dengan tertawa, "Betul tidak dugaanku?"

"Ya, seperti menyaksikan sendiri saja," sahut Sim Long dengan tertawa. "Tapi kemudian bagaimana tidak dapat kubayangkan lagi," kata Jit-jit. "Semula aku pun tidak tahu seluk-beluk urusan ini, sebab itulah meski kuselamatkan Kim-heng, tapi tidak kuperlihatkan siapa diriku, juga tidak bentrok dengan mereka. Kemudian baru kuketahui kedatangan mereka adalah untuk mencari diriku, juga diketahui Can Ing-siong dan lain-lain sama mati keracunan, segera kami putar balik hendak mencari mereka, siapa tahu mereka sudah pergi, untung di atas salju terdapat jejak mereka, bersama Kim-heng segera kami melacaknya kesini."

"Apakah kau pun melihat jejakku bersama si Kucing?" tanya Jit-jit. "Sudah tentu kulihat, malahan kami heran dan menduga-duga akan dirimu sehingga kami bertambah cemas," jawab Sim Long. "Ketika sampai di pinggang gunung, kami kehilangan jejak mereka, hanya tersisa jejakmu dan Him-heng, tapi setiba di tepi jurang jejak Him-heng lantas menghilang juga, sedangkan bekas kakimu mengitar tidak jauh di situ dan lenyap pula, sebagai gantinya adalah bekas tapak kaki

seorang lain."

"Waktu itulah aku tertipu dan diculik oleh bangsat itu," tutur Jit-jit dengan cemas. "Aku pun dapat menduga keadaanmu agak gawat, tepi tidak habis mengerti mengapa jejak Him-heng bisa hilang secara mendadak," tutur Sim Long pula. "Setelah kutimbang, akhirnya kuputuskan untuk turun ke bawah untuk mencari tahu apa yang terjadi."

"Hah, kau turun ke bawah jurang, wah, kan sangat... sangat berbahaya," seru Jit-jit. "Bagaimana dapat kau temukan si

Kucing di bawah?"

"Waktu itu kudengar juga teriakanmu," tutur Him Miau-ji, "sungguh aku gelisah, tapi tak mampu berbuat apa-apa, ketika

batu besar digusur ke bawah oleh bangsat itu, untung teraling oleh batu karang yang mencuat di atas sehingga aku bebas

dari bencana. Sekuatnya kupegangi akar-akaran yang tumbuh di dinding tebing dan menunggu kematian di situ, sebab

keadaanku juga sudah lemas dan tidak sanggup mengerahkan tenaga lagi. Semula aku masih bertahan sekuatnya, sampai

akhirnya tanganku terasa sakit, sekujur badan linu pegal, pandanganku juga kabur, dalam keadaan setengah sadar hampir saja kulepas tangan dan membiarkan diriku jatuh kebawah, tapi aku tidak boleh mati, sebab... sebab aku...."

"Ai, semua itu gara-garaku," ucap Jit-jit dengan air mata berlinang. "Sungguh waktu itu aku pun ingin terjun ke bawah

dan mati bersamamu, akulah yang membikin susah padamu...." Mendadak Him Miau-ji melengos agar air mukanya tidak terlihat orang, tapi tubuhnya yang rada gemetar itu memperlihatkan guncangan perasaannya waktu itu. "Dengan bantuan Fifi kuikat pinggangku dengan tali dan melorot ke bawah, dapatlah kutemukan Him-heng di situ." demikian tutur Sim Long. "Ternyata Him-heng sudah dalam keadaan hampir tak sadar, cepat kuangkat dia ke atas. Kau tahu ucapannya yang pertama padaku adalah minta kuselamatkan dirimu." Lemas tubuh Jit-jit dan jatuh terduduk. "Segera kami bertiga memburu ke atas gunung, setiba di sini lantas memergoki Kim Put-hoan dan Lian Thian-hun di luar, dengan cepat dapat kami mengatasi mereka. Ai, untung Fifi ikut serta, dia yang menemukan pintu yang tergembok ini, setelah pintu kami dobrak baru menemukan dirimu."

"Dan bagaimana dengan iblis jahat Ong Ling-hoa itu?...."

"Masakah dia mampu kabur?" jengek Kim Bu-bong. "Haha, keparat ini juga cukup tahu diri," mendadak si Kucing ikut menimbrung dengan tertawa. "Begitu melihat Sim-heng dia lantas menyerah, dia bilang setelah Sim Long asli muncul, terpaksa Sim Long gadungan harus pasrah nasib. Nyata ia menyadari bukan tandingan Sim-heng dan manda diringkus." Dalam sekejap ini, pemuda yang simpati telah pulih kembali kepada sifatnya yang riang dan lincah, semua kejadian yang sudah lalu seakan-akan sudah terlupakan olehnya. Jit-jit merasa gembira dan juga terharu, dengan termangu ia memandangnya, entah bagaimana perasaannya. "Melihat sikap Ong Ling-hoa itu, aku menjadi tidak enak untuk memperlakukan dia dengan kasar," tutur Sim Long kemudian. "Kuminta dia duduk bersama Kim Put-hoan dan Lain-lain, setiap pertanyaanku juga pasti dijawabnya dengan jelas."

"Jadi... jadi semua pengalamanku sudah kau ketahui?" tanya Jit-jit. "Ya, tahu," kata Sim Long. "Oo, aku...." Jit-jit berseru kaget, seketika teringat keadaannya sebelum jatuh pingsan, ia coba memeriksa keadaan sendiri sekarang, ternyata tidak kurang sesuatu apapun, baju pun rapi. Dengan ragu ia memandang ketiga lelaki di depannya ini. "Semua ini juga berkat kecekatan bekerja Fifi," tutur Sim Long pula dengan tertawa. Tampaknya dia dapat meraba isi hati Cu Jit-jit.

Wajah Jit-jit menjadi merah, katanya dengan gemas, "Terkutuk bangsat itu, apakah... apakah kau ringkus atau tutuk dia?"

"Melihat sikapnya yang sopan santun, mana aku tega bertindak kasar padanya, apalagi terdapat pula kaum cianpwe sebagai Li Tiang-ceng, Thian-hoat Taysu dan lain-lain, aku cuma pinjam pakai sedikit obat bius khas buatan Kim-heng, kuberi mereka masing-masing setitik dan kuyakin mereka takkan mampu kabur." Obat bius "malaikat dewata mabuk sehari" yang disebut itu

pernah dirasakan sendiri oleh Cu Jit-jit, dengan sendirinya dia tahu betapa khasiat obat itu, maka dia tidak merasa khawatir lagi, gumamnya, "Wahai Ong Ling-hoa, tampaknya sudah waktunya kau terima ganjaranmu yang setimpal." Mendadak ia mendahului berlari ke sana. Terpaksa semua orang mengikutinya. Siapa tahu baru saja Cu Jit-jit sampai di ruangan sana, segera ia menjerit, ketika semua orang menyusul tiba, mereka pun tertegun. Tertampak Li Tiang-ceng, Thian-hoat Taysu, Kim Put-hoan dan Leng Toa masih duduk lemas di tempatnya, tapi Ong Ling-hoa sudah berbangkit dan hampir kabur ke luar, Pek Fifi tercengkeram olehnya dengan penuh rasa takut. "Hehe, rupanya kalian sudah selesai berbicara, bagus, bagus!" seru Ong Ling-hoa dengan tertawa terkekeh. "Keparat, kau...." bentak si Kucing. "Hehe, perkembangan urusan ini tentu di luar dugaan kalian bukan?" jengek Ong Ling-hoa. "Tapi apa pun juga hendaknya kalian jangan sembarang bertindak, kalau tidak, nona molek indah yang bakal celaka." Sim Long tampak tenang-tenang saja, ucapnya dengan tersenyum, "Lepaskan dia!"

"Lepaskan dia?" tergelak Ong Ling-hoa. "Haha, gampang saja Sim-heng berbicara. Betapa manjur nona molek ini menjadi jimat perlindunganku, mana boleh kulepaskan dia begitu saja?"

"Lepaskan dia, dan kau pun boleh pergi, takkan kami kejar dirimu," kata Sim Long. "Betul?" Ong Ling-hoa menegas. "Betul atau tidak, boleh kau putuskan sendiri."

"Haha, baik," seru Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Jika orang lain mungkin aku tidak percaya, sebab pembawaanku memang suka curiga, tapi ucapan Sim-heng tentu saja lain bobotnya." Dia pandang Pek Fifi lalu menyambung dan tertawa, "Bicara sejujurnya, sungguh terasa berat bagiku untuk membebaskan kau, tapi biarlah, toh cepat atau lambat kita akan bertemu

pula." Mendadak Fifi diciumnya sekali, lalu nona itu dilepaskan, ia lantas melangkah pergi dengan terbahak. Fifi jatuh ke tanah dan menangis. Semua orang sama mengertak gigi saking gemasnya melihat kepergian Ong Ling-hoa itu. "Kenapa kau bebaskan dia, kubenci...." seru Jit-jit sambil mengentak kaki. "Jangan khawatir, jika dapat kutawan dia satu kali, tentu juga dapat kutawan dia untuk kedua kalinya."

"Semoga begitu...." Mendadak Jit-jit menjerit, "Wah, celaka, apakah dia mengembalikan anting-antingku kepadamu?"

"Anting-anting apa?" tanya Sim Long. "Anting-anting mutiaraku itu adalah tanda pengenalku untuk mengambil harta bendaku, kini telah dibawanya lari, dengan anting-anting itu dapat dia menarik berpuluh ribu tahil emas, sekali ini kejahatannya pasti akan tambah hebat seperti harimau tumbuh sayap." Habis berkata segera ia hendak mengejar ke sana. Tapi Sim Long lantas mencegahnya. "Kenapa kau tahan diriku, masa benar kau bebaskan dia begitu saja?" teriak si nona. "Masa hendak kau suruh kami menjadi manusia yang tidak dapat dipercaya dan suka menjilat ludahnya sendiri?" kata Sim Long. Jit-jit melengak dan menghela napas, mendadak ia tuding Pek Fifi dan mengomel, "Kau, semuanya gara-garamu sehingga jahanam itu dibebaskan. Sim Long, sungguh aku tidak mengerti mengapa kau bebaskan penjahat yang tak terampunkan itu."

"Apakah kita dapat menyaksikan Fifi menjadi korban kejahatannya?" ujar Sim Long, untuk pertama kalinya senyumannya yang khas itu lenyap dari wajahnya. Terpaksa Jit-jit hanya menggigit bibir dengan menahan rasa dongkol, ia tidak berani bicara lagi. Kim Bu-bong berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, Sin-sian-it-jit-cui adalah obat bius yang sangat mujarab, entah kenapa keparat itu sanggup menawarkannya dan melarikan diri."

"Hal ini adalah salah... salahku," tutur Fifi dengan menangis. "Salahmu?" Kim Bu-bong menegas. "Tadi dia duduk tenang di tempatnya, mendadak ia merintih, seperti sangat tersiksa," tutur Fifi. "Aku tidak sampai hati, kutanya dia sebab apa, dia bilang... bilang...."

"Bilang apa?" tanya Kim Bu-bong. "Dia bilang sejak kecil mengidap penyakit aneh, bila kumat lantas kesakitan setengah mati," tutur Fifi dengan air mata berlinang. "Kutanya dia adakah obat yang dapat mengurangi rasa sakitnya, dia lantas minta kuambilkan obat yang tersimpan di dalam sebuah kotak kecil di laci meja...."

"Dan kau lakukan permintaannya?" seru Jit-jit khawatir. "Aku tidak tega melihat dia tersiksa rasa sakit, maka kulakukan apa yang dimintanya, siapa tahu... siapa tahu sejenak setelah dia minum obat, sekonyong-konyong ia melompat bangun."

"Memang seharusnya kupikirkan kemungkinan ini," kata Kim Bu-bong dengan menyesal. "Jika keparat itu mempunyai obat penawar bagi obat bius buatan keluarga Suto yang istimewa itu, tentu juga dia mampu menawarkan obat biusku."

"Tapi aku... aku tidak tahu, aku cuma kasihan padanya, maka...."

"Hm, baik benar hatimu," jengek Jit-jit. "Hal ini tak dapat menyalahkan dia," ujar Sim Long. "Wataknya memang lembut dan berhati welas asih, dia tidak tega melihat orang lain sengsara...."

"Tidak dapat menyalahkan dia, apakah mesti menyalahkan aku?" teriak Jit-jit penasaran. "Kau tahu betapa aku dibikin susah oleh Ong Ling-hoa.... Hm, apakah pernah kau pikirkan diriku...." Mendadak ia pun menjatuhkan diri ke tanah dan menangis.

Semua orang jadi serbasalah menyaksikan kedua anak perempuan yang menangis itu. Pada saat itulah sekonyong-konyong angin meniup kencang, mendadak gumpalan asap menerjang masuk terbawa angin, terbawa pula hawa panas menyengat badan. "Celaka, kebakaran!" seru si Kucing. "Cepat terjang keluar!" kata Sim Long. "Jangan kalian tinggalkan kami di sini!...." teriak Kim Put-hoan dengan khawatir. "Pengecut!" damprat Kim Bu-bong, "plak", ia gampar orang satu kali, tapi akhirnya diangkatnya juga tubuh orang, juga Lian Thian-hun dikempitnya. "Lepaskan, mati pun aku tidak sudi kau tolong," teriak Lian Thian-hun. "Justru akan kuselamatkan dirimu, kau bisa apa?" jengek Kim Bu-bong. Dengan sendirinya Lian Thian-hun tidak bisa apa-apa, terpaksa ia tutup mulut.

Jilid 16

Dalam pada itu Sim Long lantas mengangkat Leng Toa, Li Tiang-ceng dan Thian-hoat Taysu bertiga, serunya, "Him-heng, hendaknya kau ...."

"Kutahu!� jawab si Kucing dengan menyengir, terpaksa ia yang mengangkat Pek Fifi dan Cu Jit-jit. Tapi Jit-jit lantas meronta dan melepaskan diri, katanya, "Aku dapat berjalan sendiri, jangan khawatir, tidak nanti kumati terbakar." Api berkobar dengan sangat cepat, dalam sekejap saja sekeliling ruangan itu sudah terkurung oleh api. Semua orang sama sesak

napas karena asap tebal memenuhi ruangan itu. "Tahan, ikut padaku!" seru Sim Long. Cepat ia mendepak, daun jendela di pojok sana didobrak, segera ia mendahului menerobos ke luar. Meski api menjilat dengan cepat, namun Sim Long, Kim Bu-bong dan Him Miau-ji adalah jago kelas tinggi, dengan sendirinya kobaran api itu tidak dapat merintangi mereka. Cu Jit-jit ikut di belakang mereka dan tentu saja banyak hemat tenaga. Sesudah menerjang ke luar, mereka berada di halaman belakang

yang tidak terlalu luas, meski di situ juga ada api, tapi barang-barang yang mudah terbakar tidak banyak, api yang menjalar ke sini sangat kecil dan lambat. Sekaligus mereka berlari ke kaki pagar dinding sana, waktu mereka berhenti dan memandang ke belakang, api tampak berkobar terlebih hebat. "Sungguh Ong Ling-hoa yang keji," ucap si Kucing dengan gegetun. "Begitu cepat dan hebat berkobarnya api, entah dibakar dengan bahan apa," kata Sim Long. "Ai, kelicikan, kekejian, dan kecerdikan orang ini sungguh jarang ada tandingannya." Sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri di tengah lautan api, meski suara itu kedengaran sangat jauh dan lemah, tapi menggambarkan betapa cemas, putus asa dan ngerinya sehingga membuat orang yang mendengarnya merinding. "Siapakah kiranya yang terkurung di tengah lautan api?" kata si

Kucing. "Siapa lagi, tentu saja begundal keparat she Ong itu" ujar Jit-jit dengan gemas. Lalu secara ringkas ia ceritakan cara bagaimana Ong Ling-hoa menggunakan tipu muslihat licik mengurung lelaki gede serupa anjing herder itu di gua penjara, lalu dengan gegetun ia berkata pula, �Terhadap anteknya sendiri saja begitu keji caranya, sungguh dia bukan manusia.��

"Kalian tunggu sebentar, akan kuselamatkan dia" kata Sim Long mendadak. "Untuk apa kau tolong dia, bukankah dia juga ...." Belum lanjut ucapan Jit-jit segera Sim Long memotong, "Tak peduli siapa dia, yang jelas dia juga manusia, asalkan manusia, tidak boleh kita menyaksikan dia terbakar hidup-hidup." Dia bicara dengan tegas tanpa ragu. Dalam pada itu ia telah menanggalkan baju luarnya dan dibikin basah dengan air salju. Salju di sekitar lautan api sudah cair, maka dengan cepat dapat Sim Long membasahi bajunya itu, dengan baju basah yang setengah ia gunakan untuk membungkus kepalanya, separuh lagi dipuntir menjadi gada. Dan sebelum orang lain bersuara lagi dia lantas menerjang ke lautan api. "Sungguh gila orang ini," omel Jit-jit sambil mengentak kaki, air mata pun berlinang. "Tanpa menghiraukan keselamatan sendiri dia

berusaha menolong seorang antek Ong Ling-hoa yang kejam itu, sungguh dia ...."

"Sungguh dia lelaki sejati yang pernah kukenal selama hidup ini," tukas Kim Bu-bong. "Aku Kim Bu-bong dapat berkawan dengan kesatria seperti ini, biarpun mati pun tidak menyesal lagi."

"Aku si Kucing baru sekarang benar-benar takluk padanya lahir batin" seru Him Miau-ji. Mau tak mau Li Tiang-ceng dan lain-lain juga sama kagum. "Tak tersangka sedemikian luhur budi Sim Long, inilah perbuatan seorang pendekar sejati", ujar Li Tiang-ceng dengan gegetun. "Huh, apanya yang hebat?" jengek Kim-Put-hoan mendadak. "Bocah she Sim itu paling pintar berlagak, dia sengaja berbuat begitu supaya kalian ...."

"Kentut makmu busuk!" damprat Lian Thian-hun. "Dia bertindak tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, masakah cara begitu

dapat dilakukan dengan berpura-pura?"

"Hm, dia ...." Belum lanjut ucapan Kim Put-hoan, mendadak Jit-jit membentaknya, "Keparat, berani kau omong lagi satu kata segera kubinasakan kau!" Ancaman Jit-jit ternyata berhasil, seketika Kim Put-hoan tidak berani buka mulut lagi. Dengan menghela napas Li Tiang-ceng berucap, "Semoga Thian memberkahi Sim-heng agar tidak ...."

"Hanya kobaran api begini saja mana dapat membakar mati Sim Long," bentak si Kucing mendadak. Walaupun begitu ucapannya, namun dalam hati sebenarnya ia pun berkhawatir bagi Sim Long. Dalam pada itu api semakin dahsyat, dan sejauh itu belum lagi kelihatan Sim Long muncul kembali, sampai suaranya juga tidak terdengar lagi. "Wah, jangan-jangan dia ...." Jit-jit berkeluh. "Jangan khawatir, segera dia akan keluar," ucap si Kucing. Tapi sampai sekian lama Sim Long tetap belum kelihatan. Sedangkan api berkobar semakin hebat. "Kau kira dia ... apakah dia takkan ...." Jit-jit tambah kelabakan.

"Orang semacam dia masakah bisa mengalami sesuatu?" ujar si Kucing. "Ya, benar, pasti tidak ...." Jit-jit berusaha menghibur dirinya sendiri. Ketika angin meniup, hawa panas menyengat tubuh mereka dan membuat mereka terpaksa menyingkir terlebih jauh. "Hebat amat api ini, kita pun tidak ... tidak tahan, apakah dia ...."

"Meski kita tidak tahan, tapi dia harus dikecualikan, dengan kemampuannya, biarpun menerjang ke neraka juga sanggup keluar lagi. Hahaha, betapa pun aku tidak khawatir dan percaya penuh padanya." Di tengah suara gaduh api yang menyambar ke sana kemari itu si Kucing lantas bergelak tertawa malah. Namun suara tertawanya tiada sedikit pun bernada gembira, suaranya terlebih mirip orang meratap. "Betul, orang semacam dia, biarpun setan juga gentar padanya ...." Jit-jit juga tertawa sebisanya, namun tidak urung air mata pun bercucuran. Sejauh mata memandang hanya asap dan api belaka, apa pun tidak tertampak lagi .... Langit pun seakan-akan membara oleh kobaran api yang menjulang tinggi itu. "Dia ... dia ...." Jit-jit tidak sanggup bicara lagi, ia coba memandang si Kucing, anak muda itu kelihatan berwajah murung. Sedangkan Kim Bu-bong tampak menggereget dan mengepal tinjunya erat-erat, jelas lagi menahan perasaan sekuatnya. Jit-jit memandang sana dan melihat sini akhirnya ia tidak tahan dan menangis tergerung-gerung. Sejak tadi Pek Fifi pun sudah menangis. Api sebesar ini, siapa pun tidak percaya Sim Long sanggup keluar lagi dengan hidup, betapa pun dia bukan malaikat dewata. Tapi api yang dahsyat biasanya tidak tahan lama. Perkampungan ini berdiri di puncak yang terisolasi, berjarak cukup jauh dengan hutan sana, di belakangnya juga lereng tebing, sebab itulah api tidak menjalar. "Ah, api mulai mengecil," terdengar Li Tiang-ceng berkata mendadak. Waktu Jit-jit memandang ke sana, serentak ia berteriak parau, "Betul api mulai padam .... Dapatlah dia keluar!" Padahal orang terkurung sekian lama di tengah lautan api, jelas tidak ada harapan untuk hidup lagi, namun begitu dia tidak mau mengucapkan kata-kata putus asa. Api yang berkobar akhirnya padam juga. Semua orang terbelalak dan terdiam. Mana Sim Long? Ke mana dia? Tidak tampak bayangannya sama sekali. Semua orang sama putus harapan, tidak ada yang yakin Sim Long dapat muncul lagi dengan hidup, cuma tiada seorang pun berani mengatakannya.

Mendadak Kim Bu-bong berteriak, "Seorang lelaki sejati sesuatu yang tidak boleh diperbuatnya, biarpun mati juga takkan berbuat. Bagi sesuatu yang harus diperbuatnya, biarpun mati juga tidak gentar. Sim Long, engkau benar-benar seorang pendekar sejati, terimalah hormatku ini!" Wajahnya yang selalu dingin itu ternyata sudah dibasahi oleh air mata, dia benar-benar berlutut dan menyembah. Orang yang selalu kaku dan dingin ini ternyata juga bisa mengalirkan air mata dan mau

menyembah kepada orang lain, sungguh dia sendiri pun tidak percaya. "Untuk apa kau omong begini, kan belum tentu dia ....�" belum lanjut ucapannya si Kucing pun berlutut dengan air mata bercucuran. Anak muda yang pantang meneteskan air mata biarpun menghadapi ancaman maut sekarang menangis benar-benar, menangis dengan keras, betapa sedih tangisnya, betapa hormat dan cintanya kepada orang yang ditangisinya. "Wahai Sim Long, bahwa ada orang semacam ini mencucurkan air mata bagimu, biarpun mati pun engkau dapat berbangga, kematianmu pun cukup berharga," gumam Li Tiang-ceng. Dengan air mata berlinang Lian Thian-hun berteriak, "Wahai Sim Long, bila sebelumnya orang she Lian tahu engkau ini kesatria berbudi luhur semacam ini, biarpun kepalaku dipecahkan juga ingin berkawan denganmu, sungguh menyesal, sebelum ini orang she Lian

telah salah menilai dirimu." Hanya Leng Toa saja yang tetap bungkam tanpa bicara, namun dari ujung mulut tampak merembes air berdarah, jelas ia mengertak gigi dengan menahan perasaannya. "O, Sim ...." jerit Pek Fifi mendadak, "semuanya ini salahku, aku ... aku tidak mau hidup lagi!" Mendadak ia merangkak bangun terus berlari ke arah api yang belum padam sama sekali itu. Tapi baru saja dia berlari beberapa langkah, sempat Kim Bu-bong dan Him Miau-ji meraihnya sehingga tidak sanggup bergerak lagi. "Bagus, kau tidak mau hidup ... memangnya aku ingin hidup? ...." gumam Jit-jit, mendadak ia pun berlari secepatnya ke arah lautan api. Larinya jauh lebih cepat daripada Fifi, Kim Bu-bong dan si Kucing lagi menahan Fifi, dengan sendirinya tidak keburu mencegah Jit-jit. Baru saja mereka memburu maju, Jit-jit sudah terjun ke lautan api.

Walaupun api sudah mulai padam, tapi masih lebih daripada cukup untuk menghanguskan seorang nona semacam Cu Jit-jit.

"Kembali Jit-jit!" teriak Kim Bu-bong. Wajah si Kucing juga pucat, teriaknya, "Jit-jit, jangan, engkau tidak boleh mati!"

Namun betapa nyaring teriakan mereka tetap tak dapat mencegah orang yang sudah bertekad ingin mati. Sama sekali Cu Jit-jit tidak berpaling dan terjun ke lautan api. Tampaknya segera dia akan terbakar .... "Jit-jit ...." baru saja si Kucing berteriak lagi, sekonyong-konyong sesosok bayangan melayang keluar dari lautan api sana dan tepat mengadang di depan Cu Jit-jit sehingga nona itu menerjang ke pangkuannya. Siapa lagi orang ini kalau bukan Sim Long! Tertampak dia memanggul seorang lelaki besar yang basah kuyup, seperti baru saja dikeluarkan dari dalam air. Muka Sim Long sendiri

juga penuh butiran air. Lautan api yang berkobar dengan hebatnya tadi ternyata benar tidak dapat mematikan Sim Long. Sungguh tidak kepalang kejut dan girang semua orang. Serentak Sim Long menyeret mundur Cu Jit-jit dan semua orang pun

lantas memburu maju. Jit-jit menengadah, mengucek-ngucek matanya sampai beberapa kali, ia tidak percaya kepada penglihatan sendiri. Tapi akhirnya ia menubruk ke dalam pelukan Sim Long dan menangis tergerung. "Sim ... Sim-siangkong, engkau ...." Pek Fifi menyapa dengan menangis dan juga tertawa. Sim Long tersenyum, "Tentu kalian menyangka aku sudah terkubur di tengah lautan api."

"Aneh, sungguh suatu keajaiban," ucap si Kucing. Jit-jit memukuli dada Sim Long, dengan air mata masih meleleh ucapnya dengan tertawa, "Engkau tidak ... tidak mati .... Benar-benar tidak mati ...."

"Aku memang tidak mati terbakar, tapi bisa mati kau pukul," ujar Sim Long. "Masih kau bicara demikian, kau tahu betapa orang cemas jika kau mati, aku pun tidak ... tidak ...." air mata Jit-jit lantas bercucuran lagi. Mau tak mau Sim Long jadi terharu, "Ya, untung kumuncul tepat pada waktunya." Kim Put-hoan yang licik itu mendadak berseru, "Sim-siangkong,

hendaknya kau tahu orang yang mau mati bagimu tidak cuma Cu Jit-jit seorang saja, nona Pek itu juga telah ...." Sekilas lirik melihat sorot mata Kim Bu-bong yang dingin itu, ia tidak berani omong lagi lebih lanjut. "Api berkobar sedahsyat itu, entah cara bagaimana engkau menyelamatkan diri, sungguh sukar untuk dibayangkan," tanya Kim Bu-bong kemudian. Sim Long tertawa, tuturnya, "Dari gua penjara itu dapat kuselamatkan orang ini, sementara itu api telah berkobar dengan hebat dan sukar bagiku untuk menerobos keluar lagi. Tiba-tiba teringat olehku kamar penyelamat itu."

"Masa ada kamar penyelamat apa segala?" tanya Jit-jit dengan heran. "Yaitu kamar yang mengurung dirimu itu, sudah kulihat sekeliling kamar itu dibuat secara khusus dan tak tembus api, segera kubawa orang ini bersembunyi di sana. Walaupun begitu, panasnya juga minta ampun."

"Mendingan engkau tidak terpanggang hidup-hidup," ujar Jit-jit dengan tertawa. Dalam pada itu lelaki besar yang dipanggul keluar oleh Sim Long tadi sudah siuman dari pingsannya dan sedang memandang Sim Long dengan terkesima. "Bagaimana?" tanya Sim Long tersenyum. "Aku lagi menunggu," jawab lelaki itu. "Menunggu apa?" tanya Sim Long pula. "Menunggu apa yang akan kau lakukan atas diriku," kata orang itu dengan gusar. "Biarpun kau selamatkan jiwaku tapi aku tidak berterima kasih padamu. Jika ada yang kau harapkan dariku, tentu kau hanya mimpi belaka." Jit-jit menjadi gusar dan mendamprat. Tapi orang itu berkata pula, "Aku tidak peduli kalian akan marah atau membunuhku juga boleh, pokoknya aku tidak mengharapkan

sesuatu dari kalian."

"Boleh kau pergi saja," kata Sim Long tiba-tiba sambil memberi tanda. "Pergi?" orang itu melengak. "Kau lepaskanku pergi?"

"Betul," jawab Sim Long. Orang itu tampak ragu dan heran, "Buk ... bukankah hendak kau paksa sesuatu pengakuanku?"

"Untuk apa harus kupaksa dirimu?"

"Habis untuk apa engkau menolong diriku?"

"Tidak untuk apa-apa, hanya demi perikemanusiaan."

"Masa ... masa begitu sederhana?" orang itu tambah heran dan ragu, ia berbangkit dan melangkah dua-tiga tindak, benar juga tidak ada yang merintangi kepergiannya. Tapi dia lantas berhenti malah dan tidak bergerak lagi. "Mengapa tidak lekas pergi?" tanya Sim Long. "Menolong orang tidak mengharapkan balas budi, hal seperti ini memang sering kudengar, tapi tanpa sebab menolong orang dengan menyerempet bahaya, bahkan orang yang ditolongnya adalah musuh, sungguh hal ini belum pernah kudengar."

"Tapi sekarang justru dapat kau saksikan sendiri hal yang kau anggap aneh itu," sela Jit-jit dengan tertawa. "Ketahuilah, masih banyak tindak tanduk Sim-siangkong ini yang serba aneh."

"Ya, aku memang rada heran," kata lelaki itu. "Maka ... maka aku tidak jadi pergilah ...." Mendadak ia terus berlutut dan menyembah kepada Sim Long. "Lekas bangun!" seru Sim Long. "Air mengalir ke tempat yang rendah, manusia selalu menanjak ke

arah yang tinggi, burung bernaung di hutan gelap, manusia memilih junjungan yang terang, meski aku Nyo Tay-lik seorang kasar, tapi beberapa pepatah itu cukup kupahami." Ia menghela napas, lalu menyambung pula, "Aku Nyo Tay-lik hidup selama berpuluh tahun seperti orang buta, baru sekarang mataku melek setelah bertemu dengan Sim-siangkong. Selama ikut Ong Ling-hoa, bagiku di dunia ini hanya ada manusia makan manusia, tipu-menipu, baru sekarang kutahu di dunia ini masih ada kesatria berbudi luhur dan selalu bertindak sesuatu yang terpuji."

"Begini banyak engkau mengoceh, sebenarnya apa kehendakmu?" tanya Jit-jit dengan tertawa. "Aku cuma berharap Sim-siangkong suka menerima diriku, seterusnya aku adalah budak Sim-siangkong, tapi selanjutnya aku pun dapat menjadi manusia dengan membusungkan dada," ujar Nyo Tay-lik. "Wah ... ini ...." Sim Long melengak. "Apa pun ucapan Sim-kongcu, yang pasti aku tetap ikut engkau," kata Nyo Tay-lik tegas. "Kukira boleh kau terima kehendaknya," bujuk Jit-jit kepada Sim Long. "Kenapa jadi ... jadi begini ...." Sim Long merasa terharu. "Baiklah, silakan bangun saja!"

"Terima kasih, Kongcu," seru Nyo Tay-lik dengan girang. Perlahan ia berbangkit, lalu berucap pula dengan tertawa, "Kemarin hamba adalah budak Ong Ling-hoa dan kesetiaanku hanya kepadanya. Sekarang hamba sudah menjadi budak Sim-siangkong, apa yang engkau perintahkan atau tanyakan pasti akan kulaksanakan."

"Jika kutanya padamu, jadinya kan ...." Sim Long menjadi ragu. "Biarpun Siangkong tidak tanya juga akan hamba katakan," ujar Nyo Tay-lik. Setelah berpikir sejenak, lalu ia mulai menutur, "Ibu Ong Ling-hoa adalah adik mendiang Hun-bong-siancu, siapa ayahnya sebaliknya tidak ada yang tahu. Segenap kepandaian Ong Ling-hoa itu diperoleh dari ibunya, tapi dari mana ibunya belajar kungfu setinggi itu juga tidak ada yang tahu. Hamba cuma tahu, banyak kungfu sakti dunia persilatan yang sudah lama menghilang kini telah dikuasai oleh mereka ibu dan anak."

"Ah, betul juga," seru Jit-jit seperti menyadari sesuatu. "Jik-sat-jiu, beberapa orang yang terbunuh oleh Jik-sat-jiu di makam kuno itu pasti juga hasil kerja Ong Ling-hoa." Nyo Tay-lik tidak menghiraukan apa yang diucapkan si nona, ia

menyambung pula, "Tempat ini hanya merupakan salah satu sarang rahasia mereka ibu dan anak, setahuku, sedikitnya ada lima-enam puluh tempat rahasia seperti ini milik mereka yang tersebar di utara maupun selatan sungai besar."

"Sekian puluh jumlah tempat seperti ini? Wah, betapa besar ambisi orang ini," ujar si Kucing dengan melenggong.

"Sesungguhnya apa tujuan ambisi mereka ibu dan anak tidak kuketahui," tutur Nyo Tay-lik pula. "Yang jelas memang tidak sedikit jago-jago ternama yang telah mereka kumpulkan sebagai anak buah." Ia pandang Jit-jit sekejap, lalu menambahkan, "Tadi orang berkerudung kain yang bersamaku memeriksa nona itu juga seorang tokoh terkenal."

"Oo, siapa dia?" tanya Jit-jit. "Dia seperti berjuluk Kim-hi apa ...."

"Apakah Bu-lin-kim-hi (ikan emas tanpa sisik) Song Sam?" Jit-jit menegas. "Betul, itulah dia," seru Nyo Tay-lik. "Konon orang ini selalu bergaul dengan orang kaya agar mendapat pelayanan yang enak, hidupnya serupa ikan emas saja yang dipiara orang kaya. Adapun sebutan Bu-lin (tak bersisik) itu mungkin untuk menggambarkan betapa licinnya serupa ikan tanpa sisik, sukar dipegang dan sukar diraba. Umpama kejadian hari ini, bukankah dia dapat lolos dengan licin."

"Kurang ajar!" omel Jit-jit. "Pantas Ong Ling-hoa mengincar diriku, pantas juga dia tidak berani menghadapiku dengan wajah aslinya."

"Apakah kau kenal dia?" tanya si Kucing. "Dia juga salah seorang yang hidup nebeng di tempat ayahku sana, maka dia sangat hafal akan segala seluk-beluk keluargaku," tutur Jit-jit. "Padahal setiap keluarga hartawan di daerah Kanglam hampir

semua dikenalnya dengan baik. Sebabnya Ong Ling-hoa merangkul dia mungkin ingin memperalat dia untuk mengerjai kaum hartawan itu."

"Sungguh licin perencanaan orang ini," ujar si Kucing. Kim Bu-bong menatap Li Tiang-ceng dengan dingin, katanya tiba-tiba, "Nah, sudah kau dengar sendiri semua percakapannya, bukan?"

"Biarpun tidak kudengar penuturannya, setelah menyaksikan tindakan Sim-siangkong yang luhur budi tadi juga sudah cukup

membuatku kagum padanya, sebelum ini kami memang telah salah menilainya," jawab Li Tiang-ceng. "Yang sudah lalu janganlah diungkat pula, yang penting selanjutnya dapatlah kita saling mengerti dan bekerja sama dengan lebih erat," ujar Sim Long.

"Setelah Can Ing-siong dan lain-lain mati secara mendadak dan sukar dimengerti, kini Leng Sam menunggui mayat mereka di sana, entah Sim-heng sudi pergi ke sana untuk memeriksanya?" tanya Li Tiang-ceng. "Periksa apa lagi, jelas perbuatan Ong-Ling-hoa," seru Lian Thian-hun dengan gusar. "Meskipun begitu, masa ... di dunia ada racun sejahat itu, sungguh aku tidak percaya, kuyakin di dalam persoalan ini pasti ada sesuatu rahasia lain yang belum terungkap," kata Li Tiang-ceng pula. "Ucapan Cianpwe memang betul," ujar Sim Long, "aku pun yakin didalam persoalan ini masih ada rahasia lain, untuk membongkar rahasia ini masih harus dicari jalan yang jitu."

"Entah dengan cara bagaimana Sim-heng akan membongkarnya?" tanya Li Tiang-ceng. "Terus terang, saat ini aku pun tidak tahu apa yang harus kulakukan, terpaksa bertindak menurut perkembangan selanjutnya, sebab itulah perjalanan ke Jin-gi-ceng terpaksa tidak dapat kuikut," jawab Sim Long. "Kekacauan Kangouw jelas sudah hampir berjangkit, menurut

pandanganku, orang yang dapat memikul kewajiban untuk mengamankannya kecuali tokoh muda semacam Sim-heng rasanya tidak ada pilihan lain lagi. Semoga kepergian Sim-heng ini akan berhasil dengan baik, akan kutunggu kabar baikmu di Jin-gi-ceng." Ia pandang Kim Bu-bong sekejap, meski tidak bicara lagi, tapi maksudnya jelas minta supaya orang menawarkan obat bius yang masih memengaruhi tubuhnya itu. Tentu Kim Bu-bong juga tahu, tapi obat bius itu hanya dapat digunakannya dan tidak mampu ditawarkannya, sebab itulah terpaksa dia berlagak tidak tahu kehendak Li Tiang-ceng. Akhirnya Li Tiang-ceng berkata pula, "Baiklah, sekarang juga kami mohon diri ...."

"Maaf jika kami tidak dapat membantu, terpaksa Sin-sian-it-jit-cui itu harus dibiarkan punah sendiri setelah lewat satu hari," kata Sim Long dengan rikuh. Li Tiang-ceng melengak, katanya dengan ragu, "Wah, lantas ...." Tiba-tiba si Kucing berseru, "Karena tidak ada pekerjaan lagi, biarlah kuantar kedua Cianpwe pulang ke Jin-gi-ceng agar tidak tertunda lebih lama lagi."

"Bagus sekali jika begitu," seru Sim Long. "Tay-lik, boleh bantu membawa Thian-hoat Taysu dan Leng-heng turun gunung,

kemudian tunggu saja di tempat Thian-hoat Taysu, dengan begitu juga dapat sekadar minta petunjuk kepada Taysu." Meski dalam hati Nyo Tay-lik sangat ingin ikut Sim Long, tapi dimulut ia tidak berani membantah dan terpaksa mengiakan. Sejak tadi Thian-hoat hanya diam saja, sekarang ia pun bicara, "Sim Long, kuhormati jiwamu yang luhur dan kungfu yang hebat, biarlah persoalan kita yang sudah-sudah kuhapuskan sama sekali. Namun urusanku dengan Hoa Lui-sian hendaknya engkau jangan ikut campur." Sim Long memberi hormat dan mengiakan. "Tapi kau pun jangan khawatir, betapa pun tidak nanti kuserang orang yang tak bisa berkutik," kata Thian-hoat pula. "Sebelum tenaga Hoa Lui-sian pulih, tidak nanti kuganggu seujung jarinya."

"Terima kasih atas kebaikan Taysu," kata Sim Long. "Dan bagaimana dengan diriku? Siapa yang mengantarku?" tiba-tiba

Kim Put-hoan bersuara. "Aku," kata Kim Bu-bong dengan dingin. Tanpa terasa Kim Put-hoan bergidik, "Eng ... engkau .... Ah, Li-cianpwe, tidak boleh kau tinggalkan diriku, kalian ...." Mendadak terhenti ucapannya, sebab tangan Kim Bu-bong telah meraba dagunya. Li Tiang-ceng memandangnya sekejap, lalu menggeleng dan menghela napas tanpa bersuara. Segera Him Miau-ji memayang Li Tiang-ceng dan Lian Thian-hun, Nyo Tay-lik juga lantas mengangkat Thian-hoat dan Leng Toa. Mendadak Jit-jit memburu ke depan si Kucing dan bertanya, "Masa ... masa engkau akan pergi begitu saja?" Si Kucing melengos, ia tidak berani menatapnya, tapi di mulut menjawab dengan tertawa, "Ya, aku akan ... akan pergi."

"Kau ... kau ...." Jit-jit menunduk dan tidak meneruskan. "Hari ini berpisah, kelak bertemu pula," seru Him Miau-ji alias si Kucing dengan tergelak. "Budi pertolongan jiwaku tak perlu kuucapkan terima kasih kepada Sim-heng, kelak ...." Di tengah gelak tertawanya ia memayang Li Tiang-ceng berdua dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Memandangi bayangan punggung orang, diam-diam Jit-jit menghela napas. "Kucing ini ternyata seorang jantan juga," kata Kim Bu-bong. "Orang yang dapat kau puji pasti tidak perlu disangsikan lagi," ujar Sim Long. Mendadak Jit-jit mengentak kaki dan berseru, "Ayolah, kenapa kita tidak cepat pergi, apa pula yang perlu kita harapkan lagi di sini?" "Aku akan tinggal di sini," kata Sim Long. "Sebab hendak kucari lagi di tengah puing, mungkin akan kutemukan sesuatu. Selain ini Kim-heng juga dapat membereskan Kim Put-hoan di sini."

"Cara bagaimana membereskan dia?" tanya Jit-jit. "Bagaimana caranya terserah kepada Kim-heng," ujar Sim Long. Dengan gemas Kim Bu-bong berucap, "Sungguh ingin kucincang keparat ini." Habis berkata, segera ia cengkeram Kim Put-hoan terus dibawa lari ke belakang tebing sana. Awan putih mulai jarang-jarang, sang surya sudah menongol, namun angin masih mendesir dingin. Pek Fifi menggigil dingin dan memainkan ujung bajunya sambil melirik ke arah Sim Long yang sedang sibuk mencari di tengah puing. Cu Jit-jit menengadah, memandang langit dengan terkesima, setiap kali Fifi melirik Sim Long pasti menimbulkan rasa dongkolnya. Mendadak tertampak Kim Bu-bong muncul kembali dengan wajah kelam. "Hei, di mana Kim Put-hoan, kau apakan dia? Sudah kau bunuh dia?" tanya Jit-jit. Sejenak Kim Bu-bong terdiam, jawabnya kemudian, "Sudah

kubebaskan dia."

"Hah, kau bebaskan dia?" Jit-jit melengak. "Begitu keji dia terhadapmu dan kau lepaskan dia? Orang jahat begini dibiarkan

hidup di dunia ini, entah betapa banyak orang baik akan menjadi korbannya lagi ...." Tiba-tiba terdengar Sim Long menukas, "Memang sudah kuketahui Kim-heng pasti akan melepaskan dia." Entah sejak kapan Sim Long sudah melompat tiba, katanya pula dengan tertawa, "Betapa pun Kim Put-hoan tidak berbudi terhadap Kim-heng tidak nanti Kim-heng memperlakukan tidak setia kepadanya. Jika aku menjadi Kim-heng juga akan kubebaskan dia."

"Terima kasih ...." ucap Kim Bu-bong dengan pedih. Banyak kebaikan Sim Long kepadanya dan belum pernah dia mengucapkan terima kasih, baru sekarang perasaannya itu dicetuskannya, hal ini disebabkan dia merasa Sim Long telah benar-benar memahami pribadinya. Untuk memahami kepribadian seorang terkadang jauh lebih sulit daripada menyelamatkan jiwanya, seorang yang berwatak kaku dan menyendiri ternyata dapat dipahami oleh orang lain, betapa rasa terima kasihnya, sungguh sukar dilukiskan. Jit-jit memandang Kim Bu-bong, lalu memandang Sim Long pula, katanya kemudian, "Ai, persoalan kaum lelaki kalian terkadang membingungkan orang."

"Persoalan kaum lelaki akan lebih baik tidak dipahami orang perempuan," ujar Sim Long dengan tertawa. Selang sejenak, tiba-tiba Kim Bu-bong bertanya, "Adakah Sim-heng menemukan sesuatu petunjuk di tengah puing?"

"Memang ada dua macam benda kutemukan, apakah berguna belum lagi kuketahui," jawab Sim Long. Setelah merandek, lalu

sambungnya lagi, "Selanjutnya apa yang akan dikerjakan Kim-heng boleh terserah padamu."

"Apa yang harus kukerjakan?" Kim Bu-bong bergumam, mendadak ia berseru tegas, "Sim Long, jiwaku yang tersisa ini sudah menjadi milikmu, apa pula yang perlu kau tanyakan padaku?"

"Tapi ...." Sim Long melengak. "Hm, memangnya Kim Bu-bong lebih rendah daripada Nyo Tay-lik?"

"Ah, apabila bisa mendapat bantuan Kim-heng, urusan apa yang tidak dapat kucapai dengan baik?" seru Sim Long girang. "Kim-heng, aku berjanji pasti takkan mengecewakan keputusanmu yang tegas ini ...." Kedua orang lantas berjabatan tangan dengan erat, apa pun tidak perlu dibicarakan lagi. Jit-jit terharu, katanya kemudian, "Dan apa yang akan kau kerjakan

selanjutnya, Sim Long?"

"Cari Samcihumu lebih dulu," jawab Sim Long. "Betapa pun harta kekayaanmu yang besar itu tidak boleh terjatuh ke tangan Ong Ling-hoa."

"Aha, betul, kau ... kau ...." Jit-jit terkejut dan bergirang, mendadak ia rangkul Sim Long dan berseru pula, "Kiranya engkau belum lagi lupa pada urusanku itu." Suaranya bergema jauh di lembah pegunungan, awan sudah buyar, cuaca cerah. Namun angin badai berikutnya mungkin akan timbul pula. Pek Fifi masih menggigil di sebelah sana, bibirnya yang mungil

kelihatan pucat kedinginan. Namun dia kelihatan mengertak gigi dan bertahan tanpa mengeluh. Di dalam tubuhnya yang lemah itu ternyata ada sebuah hati yang keras sebagai baja. Kim Bu-bong memandangnya, lalu memandang pula Cu Jit-jit yang lagi berseru kegirangan itu. Sorot matanya yang dingin tanpa terasa timbul semacam perasaan kasih sayang. Rasa kasih sayang itu timbul karena Pek Fifi, atau bisa juga demi Cu Jit-jit. Mungkin cuma dia saja yang tahu, di balik watak yang keras,

suka menang dan manja itu, hati Cu Jit-jit sebenarnya sedemikian lunak dan lemah. Dua anak perempuan yang sama sekali berbeda watak, keduanya sama-sama ada segi baiknya yang khas dan menarik, nasib mereka kelak juga pasti akan berbeda sesuai dengan watak masing-masing. Sejauh itu Fifi hanya menunduk saja, entah karena tidak suka melihat sikap Cu Jit-jit yang berjingkrak kegirangan itu atau karena tak berani terlalu banyak memandang Sim Long. Ia cukup mengerti kedudukannya sendiri, ia tahu dirinya harus menuruti segala perintah orang dan tidak berhak minta diperhatikan orang. Meski dia kedinginan, lapar, lelah, dan menggigil, terpaksa ia menunduk dan bertahan sekuatnya, bahkan ia tak berani memperlihatkan penderitaannya itu kepada orang lain. "Marilah kita pergi," terdengar Kim Bu-bong mengajak. "Betul, ayolah berangkat," seru Jit-jit. Pada waktu bergirang, apa pun dia mau menuruti kehendak orang lain, segera ia hendak menarik Sim Long, tak tahunya anak muda itu lantas mendekati Fifi. Tangan dan kaki Pek Fifi hampir beku dan lagi bingung cara bagaimana akan meninggalkan pegunungan ini, tiba-tiba terlihat tangan Sim Long terjulur ke depannya. Ia terharu dan bergirang, sesungguhnya juga inilah yang dinanti-nantinya, ia melirik sekejap ke arah Jit-jit, ia tidak berani menerima uluran tangan itu, ia menunduk dan mencucurkan air mata, katanya, "Aku ... aku dapat berjalan sendiri."

"Apa betul dapat berjalan sendiri," ucap Sim Long dengan tersenyum. "Anak bodoh, jangan bandel, masa kau dapat bergerak?"

Segera ia meraih pinggang Fifi yang ramping, pinggang itu sedang gemetar. Air muka Jit-jit berubah pula, hatinya tertekan memandangi Sim Long merangkul pinggang Pek Fifi dan berjalan ke depan. "Ayolah, berangkat!" tiba-tiba Sim Long berpaling dan berseru padanya. "Aku ... aku tidak sanggup berjalan," sahut Jit-jit dengan mengertak gigi. "Ah, masa tidak sanggup berjalan, kau ...."

"Sudah jelas orang bilang dapat berjalan sendiri, engkau justru memapahnya, jelas kukatakan tidak sanggup berjalan, engkau berbalik tidak percaya, kau ... kau ...." Mendadak ia duduk terkulai dan menangis tersedu-sedan. Sim Long melenggong dan menggeleng kepala. Dengan suara gemetar Fifi berkata, "Boleh engkau mem ... memapah nona Cu saja, aku ... aku sanggup berjalan sendiri, benar!" Ia meronta sekuatnya melepaskan diri dari pegangan Sim Long dan terus melangkah ke depan. Sim Long menghela napas, katanya kepada Kim Bu-bong, "Kim-heng, harap engkau ...."

"Kutahu, akan kujaga dia," sahut Bu-bong. Perlahan Sim Long mendekati Jit-jit dan mengulurkan tangannya, "Baiklah, mari kita berangkat!" Tapi tangis Jit-jit bertambah sedih. "Segala permintaanmu telah kuturuti, apa pula yang kau tangisi?"

"Kutahu, sesungguhnya engkau tidak sudi memapahku, kau mau adalah karena ... karena terpaksa, betul tidak?" Sim Long berkerut kening dan tidak bicara lagi. "Kutahu semakin kurengek begini semakin kau jemu padaku," tangis Jit-jit tambah keras. "Tapi aku tidak berdaya, bila melihat engkau bermesraan dengan gadis lain, hatiku lantas hancur dan ... dan tidak

peduli segalanya lagi, aku tidak ... tidak sanggup mengekang perasaan sendiri." Melihat keterusterangan si nona, Sim Long jadi terharu dan kasihan, akhirnya ia berjongkok dan menarik bangun Jit-jit, ucapnya lembut, "Sudahlah, jangan mengesot di tanah, seperti anak kecil saja." Jit-jit terus merangkulnya, ratapnya, "O, Sim Long, kumohon dengan sangat janganlah engkau jemu padaku, jangan kau tinggalkan diriku .... Asalkan engkau baik padaku, biarpun ... biarpun mati bagimu pun aku rela."

*****

Habis makan, api tungku berkobar dengan keras. Meski sebuah losmen sederhana di sebuah perkampungan kecil, alat perabotnya juga sangat sederhana, tapi bagi Cu Jit-jit setelah mengalami berbagai bahaya tempat ini dirasakan seperti surga. Ia meringkuk di atas kursi di depan perapian, pandangannya tidak pernah meninggalkan wajah Sim Long, hatinya penuh rasa bahagia, persoalannya dengan Sim Long tadi kini sudah beres. Tadi waktu turun gunung Sim Long telah berkata kepadanya bahwa Fifi adalah anak perempuan sebatang kara yang harus dikasihani, kita harus bersikap lebih baik kepadanya.

Ucapan ini sama dengan pernyataan kepada Jit-jit bahwa perasaannya terhadap Pek Fifi tidak lain hanya karena merasa

kasihan saja dan bukan lantaran jatuh hati padanya. Sebab itulah hati Jit-jit lantas lapang, pikirannya terbuka lagi, ia pun berjanji selanjutnya akan bersikap lebih baik kepada Fifi. Sekarang Fifi duduk di pojok kejauhan sana, meski dia takut dingin, tapi tidak berani duduk terlalu dekat dengan perapian, sebab Sim Long berada di situ. Jit-jit teringat kepada pesan Sim Long, timbul juga rasa kasihannya kepada Fifi, selagi dia hendak menyuruh anak perempuan yang perlu

dikasihani itu berduduk lebih dekat dengan perapian, tiba-tiba terdengar Sim Long bersuara. "Fifi, jika kedinginan, duduklah lebih dekat sini."

"Kedinginan apa? Jika kedinginan kan lebih baik pergi tidur, dikolong selimut kan bisa lebih hangat," ucap Jit-jit tanpa pikir. Setelah bicara segera ia merasa menyesal. Sim Long memandangnya sekejap sambil menggeleng kepala. Fifi lantas berbangkit, katanya dengan menunduk, "Ya, memang harus kupergi tidur saja ...." segera ia masuk ke kamarnya. Jit-jit memandang Sim Long, lalu memandang Kim Bu-bong pula, mendadak ia pun berdiri dan berkata, "Kusuruh dia pergi tidur,

apakah ini pun salah?"

"Aku kan tidak bilang ...."

"Meski tidak kau katakan, tentu hatimu berpikir demikian," seru Jit-jit. "Apa yang kupikirkan masakah kau pun tahu?" kata Sim Long. "Tahu, pasti tahu, dalam hatimu tentu kau anggap aku ini perempuan jahat. Baik, aku memang jahat, biar ...."

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara pintu digedor. "Siapa?" tanya Sim Long. "Hamba, ada keperluan," jawab orang di luar. Dengan mendongkol Jit-jit membukakan pintu sambil mengomel. Waktu pintu dibuka, pelayan melangkah masuk dengan membawa poci air minum dan sepucuk surat. Ia menjadi tercengang melihat sikap Jit-jit yang garang itu. "Ada apa, surat?" tanya Sim Long. "Betul, ada surat, ada orang menyuruh hamba menyampaikan surat ini kepada Sim-siangkong," tutur si pelayan dengan gugup. "Bagaimana bentuk orang yang menyerahkan surat ini?" tanya Sim Long. "Hamba tidak tahu ...."

"Kau terima suratnya, masa tidak tahu bagaimana bentuk orang itu, apakah kau buta?" belum lanjut ucapan orang segera Jit-jit mendamprat. Si pelayan tampak takut-takut, tukasnya pula, "Surat ini dibawa oleh Lau Toa yang menjual bakmi di pengkolan jalan sana, katanya berasal dari seorang pembeli bakmi, hamba juga sudah tanya dia bagaimana bentuk pengirim surat itu. Lau Toa bilang tidak tahu. Dia memang seorang buta." Jit-jit jadi melengak, mendongkol dan juga geli. Si pelayan tidak berani bicara lagi, cepat ia mengeluyur pergi. Terdengar Sim Long lagi membaca surat itu, "Ada urusan penting, mohon tunggu sampai tengah malam nanti, jangan lupa."

"Urusan penting? Lalu apa lagi?" tanya Jit-jit. "Tidak ada lagi, hanya beberapa kata ini saja, tidak ada tanda tangan, gaya tulisannya juga tidak kukenal," jawab Sim Long. "Aneh juga ... siapakah dia?" gumam si nona. Dasar gadis polos, cepat marah, cepat juga lupa segalanya, segera ia menggelendot di bahu Sim Long untuk ikut membaca surat itu. Sampul dan kertas surat itu tampak sangat kasar, tulisannya juga seperti cakar ayam. Jit-jit lantas menggerutu, "Tulisan berengsek,

tentu penulisnya juga brengsek."

"Coba kau teliti lagi, adakah sesuatu yang aneh pada tulisan ini?" ujar Sim Long. "Apanya yang aneh?" gumam Jit-jit. "Tulisan seperti cakar ayam .... He, betul, tampaknya setiap goresan tulisan ini dimulai dari sebelah kanan, jadi berlawanan seperti orang biasa."

"Betul, ini menandakan surat ini ditulis dengan tangan kiri, makanya tulisannya kurang rajin." Jit-jit termenung sejenak, katanya kemudian, "Dia menulis dengan tangan kiri agar gaya tulisannya tidak dapat dikenali, dia menyuruh orang buta pula untuk menyampaikan surat ini agar kita tidak tahu siapa dia .... Kuyakin dia pasti orang yang sudah kita kenal dengan

baik."

"Ya, rasanya memang begitu," ucap Sim Long. "Anehnya kenapa dia minta bertemu dengan kita di tengah malam buta, permainan apa yang tersembunyi di balik maksudnya ini?"

"Sudah tentu ada sebabnya ... misalnya orang ini lagi menghindari penguntitan musuh, sebelum tengah malam buta dan sunyi tidak berani muncul ... atau mungkin juga tangan kanannya cedera, maka menulis dengan tangan kiri."

"Hah, engkau memang cerdas, hal-hal yang sukar dibayangkan justru dapat kau pikirkan."

"Tapi bisa jadi sebelum tengah malam ini dia hendak bertindak sesuatu, makanya sengaja menggunakan surat ini untuk menahan kita di sini .... Mengenai apa tujuannya sukarlah untuk diterka."

"Kita tunggu saja, tengah malam kan hampir tiba," ujar Jit-jit. Malam tambah larut, namun terasa sangat lambat datangnya tengah malam. Sejak tadi Kim Bu-bong hanya memandang ke arah jendela tanpa bergerak. Diam-diam Jit-jit kagum akan ketekunan orang, ia sendiri sudah tidak tahan berduduk sekian lama. Mendadak terdengar suara "pluk" sekali, menyusul jendela terus terbakar. Api lantas berkobar dengan hebatnya, di balik kegelapan di luar jendela sana seperti ada bayangan orang. Kedua tangan Sim Long bekerja sekaligus, daun jendela yang terbakar itu tergetar mencelat. Kim Bu-bong juga lantas meraih selimut dan menerobos keluar, segera api dapat dipadamkannya. Perubahan ini terjadi sangat mendadak, namun kedua orang ini tidak gelisah dan bingung, tanpa bersuara mereka sudah membereskan urusannya. "Jit-jit, kau jaga Fifi di sini, aku dan Kim-heng akan menyelidiki jejak musuh," seru Sim Long dengan suara tertahan, habis itu ia terus melayang pergi dan menghilang dalam kegelapan. "Kembali Fifi, segala apa tidak lupa pada Fifi," gerutu Jit-jit. "Dia sudah sebesar ini dan masih perlu dijaga. Memangnya siapa yang menjaga diriku?" Dalam pada itu terdengar suara kentungan di kejauhan, tepat

tengah malam. Ketika Kim Bu-bong dan Sim Long melompat keluar jendela, bayangan orang yang semula berada di balik api sana lantas menghilang dengan sekali berkelebat. "Cepat amat gerak tubuh orang ini," kata Sim Long. "Kejar!" seru Kim Bu-bong. Selain cepat gerak tubuh orang itu, agaknya sebelumnya juga sudah merencanakan jalan mundurnya, betapa pun Sim Long mengejar dengan cepat tetap tidak tampak lagi bayangannya. Mendadak Sim Long menarik Kim Bu-bong dan berseru, "Berhenti dulu. Awas tipu memancing harimau meninggalkan gunung." Gemerdep sinar mata Kim Bu-bong, "Betul, mari cepat kita putar balik!" Lalu dia menahan suaranya dan mendesis, "Aku kembali ke sana, kau kejar terus!" Sim Long mengangguk, cepat ia menyelinap ke belakang sebatang pohon. Sedang Kim Bu-bong terus memutar kembali ke arah semula dan sengaja bersuara menggerutu. Angin dingin menyayat, malam sunyi senyap. Dengan sabar Sim Long bersembunyi di balik pohon tanpa bergerak. Menurut perhitungannya gerak tubuh orang itu pasti tidak secepat itu, pasti bersembunyi di suatu tempat yang sudah disiapkan. Keadaan ini sama dengan musuh di tempat gelap dan awak sendiri di tempat yang terang, bukan mustahil setiap saat bisa disergap musuh. Jika sekarang Sim Long mendahului bersembunyi, kalau musuh tidak sabar menunggu lagi akhirnya pasti akan muncul. Siapa tahu, walaupun Sim Long cukup cerdik, orang itu ternyata juga tidak bodoh, ia tidak mau terperangkap Sim Long, ia tetap bersembunyi dan tidak muncul lagi. Sampai sekian lama Sim Long menunggu tetap tiada sesuatu gerak-gerik apa pun. Dalam pada itu Kim Bu-bong sudah sampai di rumah pondokan, suasana rumah penginapan itu gelap dan sunyi, hanya halaman depan remang-remang diterangi cahaya lampu yang menembus keluar dari jendela kamar. Cu Jit-jit tampak berada di halaman dan sedang membuat orang-orangan salju. Biasanya orang-orangan salju dibikin gendut, tapi orang-orangan salju buatan Cu Jit-jit ini ternyata tinggi dan kurus. Wajah si nona tampak kemerahan karena hawa dingin, namun tangannya sibuk memoles wajah orang salju dan menepuk pipinya sambil menggerutu. Meski Kim Bu-bong sudah berada di sampingnya belum lagi diketahuinya, dia masih terus menggerutu, memukul dan juga mencibir pada orang-orangan salju yang dibuatnya ini, rupanya orang salju itu dianggapnya sebagai Sim Long, maka sebentar ia mengomelnya dan lain saat mencibirnya. Semua ini mengungkapkan perasaannya kepada Sim Long, ya cinta, ya gemas. Mendadak Kim Bu-bong berdehem.

Jit-jit terkejut dan berpaling, "Hah, kau bikin kaget diriku. He, bilakah kau kembali? Mana dia?"

"Masih terus mencari ke sana," jawab Bu-bong. "Salah, sejak tadi dia sudah berada di sini," kata Jit-jit sambil menuding orang salju yang dibuatnya dengan tertawa, "Bukankah dia berdiri di sini dan telah kenyang kupukul tanpa melawan."

"Adakah terjadi sesuatu di sini?" tanya Kim Bu-bong. "Sudah sekian lama kumain di sini dan tidak melihat sesuatu apapun," jawab si nona. Sejenak Kim Bu-bong termenung, mendadak ia berseru, "Wah, celaka!" Segera ia berlari ke dalam rumah. Cepat Jit-jit mengintilnya dengan bingung, tanyanya, "Ada apa?" Bu-bong menerobos ke dalam kamar Pek Fifi, tertampak tempat

tidurnya morat-marit, namun Fifi sudah tidak kelihatan lagi. "He, ke mana dia?" seru Jit-jit kaget. "Seharusnya pertanyaan ini ditujukan kepadamu sendiri," kata Bu-bong dengan dingin. "Ke mana setan cilik itu mengeluyur? Kalau mau keluar seharusnya dia bilang padaku .... Hei, Fifi ... Pek Fifi ...." teriak Jit-jit. "Tidak perlu memanggilnya lagi, tidak ada gunanya," ujar Bu-bong. "Seharusnya kau tahu, keadaan kamarnya kacau begini, mungkinkah dia keluar sendiri?"

Jit-jit melengak, ia duduk di tepi tempat tidur dan bergumam, "Wah, tentu dia ... dia dibawa lari orang .... Siapakah yang menculik dia?" Tanpa terasa ia mencucurkan air mata dan berkata pula, "O, kasihan dia, siapakah yang sampai hati membikin susah anak perempuan yang lemah seperti dia ...."

"Jika kau tahu kasihan, kenapa sehari-hari tidak kau perlakukan dia dengan lebih lembut?" ujar Bu-bong. "Aku ... aku sendiri tidak tahu apa sebabnya, biasanya aku jadi keki bila melihat dia," kata Jit-jit. Pada saat itulah mendadak Kim Bu-bong memburu ke tempat tidur dan memungut sesuatu. "Apa itu?" tanya Jit-jit. Kim Bu-bong tidak menjawabnya,  diperiksanya barang itu dengan teliti, mendadak air mukanya berubah kelam, bentaknya dengan beringas, "Kurang ajar! Kiranya dia!"

"Dia? Dia siapa?" tanya Jit-jit. "Kim Put-hoan!" tercetus dari mulut Kim Bu-bong sekata demi sekata. "Hah, dia, apakah betul dia?" Jit-jit melonjak kaget. Bu-bong memperlihatkan barang yang dipegangnya itu, ternyata sepotong cabikan kain berwarna cokelat. "Ya, betul, kembali bangsat itu lagi, memang inilah warna bajunya, tentu terobek waktu Fifi melawannya," seru Jit-jit. Bu-bong memandang keluar jendela dengan melotot, giginya gemertuk saking gemasnya. Mestinya Jit-jit mau tanya lagi, tapi urung ketika melihat sikap Kim Bu-bong yang beringas itu. "Salahku, semua ini salahku, kalau jiwanya tidak kuampuni, tentu takkan terjadi begini," gumam Bu-bong dengan murka. "Jangan gelisah, tunggu setelah Sim Long datang baru kita rundingkan tindakan apa yang akan kita lakukan," kata Jit-jit. "Ini adalah tanggung jawabku, kenapa mesti menunggu Sim Long," kata Bu-bong bengis. "Hendaknya kau sampaikan padanya, dalam waktu tiga hari bila tidak kubekuk bangsat itu, aku bersumpah tidak menjadi manusia." Belum lenyap suaranya ia terus melayang keluar. Jit-jit menjadi bingung sendiri setelah Kim Bu-bong pergi, serunya, "He, tunggu sebentar ... kembali!" Ia memburu keluar, namun bayangan Kim Bu-bong sudah menghilang. Ia tertegun sejenak, akhirnya ia menyusul ke arah perginya Sim Long tadi sambil berteriak sepanjang jalan, "Sim Long ... Sim Long ...." Waktu itu Sim Long masih bersembunyi di balik pohon, namun sudah sekian lamanya tetap tidak kelihatan sesuatu gerak-gerik, dia tetap menunggu dengan sabar, ia yakin pada akhirnya yang tidak

tahan pastilah bukan dia. Tapi pada saat itulah didengarnya suara teriakan Jit-jit di kejauhan. Sim Long mengentak kaki dan berkata ke depan yang gelap sana, "Baik, sahabat, hari ini anggaplah engkau lebih mujur, sungguh kukagum akan kesabaranmu." Suara teriakan Jit-jit semakin mendekat. Segera Sim Long menyongsongnya. Tidak mudah Jit-jit mencari Sim Long, sebaliknya amat gampang bagi Sim Long untuk menemukan Jit-jit. Begitu bertemu segera si nona menubruk ke pelukan Sim Long dan berseru, "Oo, syukurlah engkau tidak mengalami apa-apa ...."

"Memangnya terjadi apa?" tanya Sim Long. "Kim ... Kim Put-hoan, dia ... dia menculik Fifi ...."

"Apa katamu? Fifi diculik Kim Put-hoan? Dan di mana Kim Bu-bong? Dia tidak berusaha membelanya?"

"Waktu itu dia belum pulang," tutur Jit-jit dengan tersendat. "Aku sendiri lagi bermain orang salju di luar ...." Sim Long mengentak kaki, tanpa bicara lagi ia berlari kembali ke rumah penginapan sana. Setiba di tempat, Sim Long memeriksa

seluruh kamar, lalu bertanya, "Apakah Kim Bu-bong mengejarnya?" Jit-jit membenarkan. "Adakah dia meninggalkan pesan?"

"Dia bilang dalam tiga hari pasti ... pasti akan membekuk kembali Kim Put-hoan, kalau ... kalau tidak ...."

"Tiga hari? Masakah dapat menunggu sampai tiga hari," seru Sim Long, meski cukup diketahuinya kepandaian Kim Bu-bong jauh di atas Kim Put-hoan, tapi kalau bicara tentang kelicikan jelas Bu-bong sukar menandinginya, sekarang dia mengejar sendirian, sungguh mengkhawatirkan. Selagi Jit-jit hendak bicara pula, mendadak Sim Long mendesis, "Ssst, ada orang datang!" Ia heran siapakah pendatang ini, selain Ginkangnya tergolong kelas tinggi, agaknya juga sudah mengetahui tempat tinggal Sim Long, maka dia langsung menuju ke tempat ini. Sesudah dekat baru terlihat orang ini adalah seorang pengemis. Kelihatan rambutnya semrawut, bajunya penuh tambalan, tangan memegang pentungan, punggung menyandang beberapa karung goni, cuma wajahnya tidak terlihat jelas. Semula Jit-jit menyangka Kim Put-hoan datang lagi, ternyata bukan, dari karung goninya sudah jelas orang ini anak murid Kay-pang asli. Sesudah berada di depan jendela, orang itu berhenti dan menyapa,

"Sim-heng dan nona Cu, baik-baik kalian!" Sim Long balas memberi salam, ia heran dari mana orang mengenalnya, padahal biasanya tidak ada sesuatu hubungan dengan orang Kay-pang. Melihat sikap ragu Sim Long, orang itu melangkah lebih dekat,

katanya pula dengan tersenyum, "Mungkin Sim-heng berdua pangling padaku, akhir-akhir ini aku memang sudah banyak berubah." Baru sekarang Sim Long dan Jit-jit dapat melihat jelas wajahnya yang agak kurus dan kotor itu, namun sinar matanya tetap mencorong terang seperti dahulu. "Ah, kiranya kau," seru Jit-jit bertanya. Sim Long juga menyapa, "Kiranya Ji-heng!"

"Betul, memang akulah Ji Yok-gi," sahut orang itu dengan tertawa. Sungguh tak tersangka bahwa pengemis ini adalah Ji Yok-gi yang berjuluk si Pedang Sakti Mahacakap, kini ternyata sudah menjadi anggota Kay-pang. Setelah disilakan masuk ke dalam rumah, di bawah cahaya lampu Ji Yok-gi kelihatan mengenaskan, tangan kiri memegang pentungan, tangan kanan terbalut dengan kain putih dan berlepotan darah, jelas terluka. "Apakah surat yang kami terima ini berasal darimu?" segera Jit-jit

bertanya. Ji Yok-gi membenarkan. Jit-jit memandang Sim Long dengan senyum memuji, ternyata apa yang terjadi ini cocok dengan dugaan anak muda itu. Sim Long berlagak tidak tahu, ia tanya pada Ji Yok-gi, "Berpisah belum lama, mengapa Ji-heng telah masuk menjadi anggota sindikat terbesar dunia Kangouw?" Khawatir menyinggung perasaan orang, maka Sim Long tidak

menyebut Kay-pang melainkan dengan sebutan lain. "Urusan ini agak panjang juga untuk diceritakan," sahut Ji Yok-gi dengan tersenyum. "Dan memang kedatanganku ini ingin merundingkan sesuatu persoalan penting dengan Sim-heng, hal inipun ada sangkut pautnya dengan Kay-pang."

"Silakan bicara," kata Sim Long. "Setelah berpisah dengan Sim-heng, terasa olehku tindak tandukku pada masa lampau sesungguhnya memalukan, hari depanku terasa remang-remang dan entah cara bagaimana supaya dapat mencuci dosaku," demikian tutur Ji Yok-gi dengan menyesal. "Tatkala mana sungguh hatiku bimbang dan putus asa, aku berkelana kian kemari tanpa arah tujuan dan tidak merawat diri, dalam waktu kurang dari sebulan keadaanku sudah kelihatan tak keruan tiada ubahnya seperti

kaum pengemis."

"Kenapa Ji-heng mesti menyiksa diri cara begitu?" ujar Sim Long. "Maklumlah, waktu itu aku sungguh tersiksa lahir batin, rasanya cuma dengan begitu saja baru dapat meringankan beban pikiranku." Dengan tertawa Sim Long berkata, "Kay-pang memang betul organisasi terbesar dunia persilatan, anak muridnya tersebar disegenap pelosok, pengaruhnya memang tak ada bandingannya. Tapi bila karena ingin menderita sehingga Ji-heng perlu masuk ke Kay-pang, kukira engkau telah salah tindak."

"Semula tiada maksudku hendak masuk ke Kay-pang," tutur Ji Yok-gi lebih lanjut. "Cuma lantaran patah semangat, maka segala apa pun tidak menarik bagiku. Sampai akhirnya karena melihat keadaanku yang kasihan, orang mau membantu dan tanpa malu aku pun menerimanya." Ia tersenyum getir, lalu menyambung, "Berita Kay-pang sungguh sangat cepat dan tajam, mereka dapat mengenali asal-usulku, maka, dikirimlah tiga orang sesepuhnya untuk berunding denganku."

"Memangnya berunding apa?" tanya Jit-jit heran. "Mereka anggap kelakuanku sudah menyerupai pengemis, maka harus menjadi anggota Kay-pang, kalau tidak berarti melanggar peraturan mereka dan setiap anak murid Kay-pang akan memandangku sebagai musuh."

"Masa ada peraturan begitu .... Dan engkau lantas terima kehendak mereka?" tanya Jit-jit. "Betul," jawab Ji Yok-gi. "Waktu itu aku sama sekali tidak memikirkan apa akibatnya, mungkin jika ada orang menyuruhku menjadi Hwesio juga akan kulakukan."

"Tujuan Kay-pang itu tidak lain hanya untuk menambah kekuatan saja," ujar Sim Long dengan tertawa. "Bilamana mereka tidak

bermaksud memperalat nama dan kepandaian Ji-heng, tentu karung yang disandang Ji-heng takkan sebanyak ini." Sekilas pandang saja Sim Long dapat melihat karung goni yang dipanggul Ji Yok-gi itu sedikitnya ada tujuh buah. Biasanya karung goni yang dibawa anggota Kay-pang melambangkan kedudukannya dalam Kay-pang, semakin banyak karung yang disandangnya semakin tinggi kedudukannya. Untuk menanjak dari murid berkarung satu hingga berkarung tujuh, ini memerlukan suatu proses perjuangan yang panjang. Sekarang Ji Yok-gi baru masuk Kay-pang dan lantas diangkat menjadi murid berkarung tujuh, hal ini benar-benar promosi luar biasa dalam sejarah Kay-pang. Tapi Ji Yok-gi lantas menghela napas, katanya pula, "Waktu itu jika aku tidak putus asa, mana bisa masuk Kay-pang? Dan bila sudah kuserahkan diriku ke dalam Kay-pang, mana kupikirkan soal berapa buah karung ini ...." Tiba-tiba ia menengadah dan tertawa, lalu menyambung, "Jika bukan karena ketujuh buah karung ini, betapa pun sukar bagiku untuk mendengar rahasia itu."

"Apakah kedatangan Ji-heng ini adalah karena rahasia yang kau maksudkan itu?" tanya Sim Long. "Betul," jawab Ji Yok-gi.

"Sesungguhnya rahasia apakah, lekas ceritakan!" seru Jit-jit. Asalkan si nona bicara, Ji Yok-gi lantas menunduk, tuturnya, "Sesudah kumasuk Kay-pang, tiada sesuatu tugas tertentu yang mereka serahkan padaku. Kedudukan Pangcu memang sudah lama lowong, maka semua urusan penting organisasi selalu dirunding dan diputuskan oleh ketiga Tianglo (tertua, sesepuh)." Jit-jit berkedip heran, "Kenapa mesti begitu? Jika satu antara mereka bertiga ditetapkan sebagai Pangcu, kan semua urusan menjadi lebih mudah untuk diselesaikan."

"Soalnya di antara ketiga Tianglo itu, baik kedudukan, kungfu, dan nama baik, semuanya seimbang, sebab itulah ketiganya saling mengalah dan tidak mau diangkat sebagai Pangcu," sela Sim Long dengan tertawa. "Masa mereka saling mengalah .... Sungguh aku tidak percaya didunia Kangouw ada orang baik hati begitu," ujar Jit-jit dengan tertawa. "Jika dikatakan di antara mereka saling ngotot dan tidak mau mengalah, tapi karena satu sama lain tidak lebih unggul sehingga ketiganya sama-sama tidak dapat menjabat Pangcu, alasan ini malahan dapat kupercaya."

"Heh, pintar juga kau," ujar Sim Long. Lalu dia berpaling kepada Ji Yok-gi dan bertanya, "Kemudian bagaimana?"

"Justru dalam keadaan tanpa tugas dan iseng itulah dapat kulihat sesuatu yang ganjil," tutur Yok-gi. "Sejak kumasuk menjadi anggota, ketiga Tianglo lantas selalu mengikuti jejakku. Semula aku heran dan juga curiga, tapi kemudian dapat kuketahui bahwa di antara mereka sama-sama tidak ingin aku berbicara sendirian dengan salah seorang di antara mereka."

"Sungguh aneh, engkau kan bukan orang perempuan, masakah mereka bisa cemburu?" ujar Jit-jit dengan geli. Mendadak ia

berkeplok dan berseru pula, "Aha, tahulah aku. Jelas di antara mereka diam-diam berebut kedudukan Pangcu, namun siapa pun

sukar mengungguli yang lain, maka mereka berusaha memikat dirimu untuk membantunya, dengan begitu dapatlah kedua orang

lain diatasi. Dalam keadaan berebut pengaruh begitu, dengan sendirinya mereka khawatir bila salah seorang berbicara sendirian denganmu akan merugikan kedua orang yang lain. Memang sudah kuduga apa pun dapat diperbuat orang-orang itu bilamana urusannya menyangkut kedudukan dan keuntungan."

"Sudah lama kudengar tentang ketiga sesepuh Kay-pang itu, kecuali watak Tan Kiong yang ekstrem, tindakannya terkadang suka menuruti kehendak sendiri. Sedangkan Auyang Lun hanya gemar makan minum, namun juga pendekar yang berjiwa besar. Lebih-lebih Co Kong-liong, dia terkenal berbudi luhur dan mahaadil, ketiganya sama-sama pendekar ternama, mana bisa mereka ...."

"Kenal orang dan tahu mukanya tapi tidak tahu hatinya," tukas Ji Yok-gi dengan gegetun, "apabila aku tidak bergaul rapat dengan mereka, sungguh mimpi pun tidak menyangka satu di antara mereka adalah setan iblis yang mahajahat. Apabila tidak secara kebetulan dapat kuketahui muslihat kejinya, sekian ribu anggota Kay-pang pasti akan menjadi korbannya."

"Masa bisa begitu? ...." terkejut juga Sim Long. "Kedatanganku ini adalah karena persoalan ini, sedikit banyak juga

bersangkutan dengan Sim-heng, selain itu ingin kumohon Sim-heng sukalah mengingat sesama orang Kangouw dan berdaya

menyelamatkan Kay-pang dari malapetaka perpecahan ini."

"Kan sudah kukatakan, Kay-pang adalah organisasi terbesar dunia Kangouw," ucap Sim Long dengan serius. "Jika benar Kay-pang dikuasai oleh kaum durjana, dunia Kangouw pasti juga akan kacau. Silakan Ji-heng bicara saja, bila mampu pasti akan kubantu sekuatnya."

"Urusan ini harus diceritakan sejak empat hari yang lalu," tutur Ji Yok-gi. "Waktu itu aku dan ketiga orang ini bermalam di suatu rumah berhala di tempat terpencil, mereka sudah mendengkur, sebaliknya aku bergulang-guling tak bisa pulas."

"Bisa jadi mereka cuma pura-pura tidur saja," sela Jit-jit. "Hari itu hujan salju, hawa dingin, di dalam rumah berhala

dinyalakan api unggun, kami tidur mengelilingi api unggun," tutur Yok-gi pula. "Di bawah kakiku adalah Auyang Lun, dia tidur dengan mengadu kepala dengan Co Kong-liong, sedangkan kaki Co Kong-liong beradu kaki dengan Tan Kiong dan dengan sendirinya kepala Tan Kiong berada di belakang kepalaku."

"Cara tidur kalian berempat masakah ada sangkut pautnya dengan rahasia yang akan kau ceritakan," tanya Jit-jit tidak sabar. "Tentu saja besar sangkut pautnya," ujar Yok-gi. "Tengah malam, api unggun sudah mulai guram, selagi aku bermaksud bangun untuk menambahi kayu, siapa tahu pada saat itulah mendadak kurasakan tangan Tan Kiong diulurkan ke arahku dan menggores beberapa huruf di atas keningku."

"Dia ternyata tidak tidur," kata Jit-jit. "Huruf apa yang ditulisnya?"

"Huruf yang ditulisnya berbunyi: "Kita bekerja sama menumpas Co." "Tan Kiong ternyata benar bukan manusia baik-baik. Di antara ketiga tokoh sesepuh Kay-pang, semua orang tahu Co Kong-liong adalah yang terbaik, jangan kau percaya kepada hasutan Tan Kiong."

"Waktu itu dapat kupahami tulisannya itu, tapi aku berlagak tidak tahu, maka Tan Kiong menulis pula dan mengatakan Co Kong-liong tidak dapat dipercaya lagi, maka malam ini juga harus bertindak, kalau tidak .... Sampai di sini goresan tangannya tambah berat, jelas hatinya tegang. Benarlah, mendadak Co Kong-liong ...." Bercerita sampai di sini, sekonyong-konyong di luar terdengar desir angin kain baju yang berkibar, jelas ada orang datang dengan sangat cepat, Ginkangnya sungguh sangat tinggi. Air muka Ji Yok-gi menjadi pucat, "Wah, celaka ...." Segera Sim Long memadamkan lampu dan bertanya, "Apakah kau tahu siapa yang datang ini?"

"Co Kong-liong ...." jawab Ji Yok-gi. Selagi Sim Long merasa heran, terdengarlah seorang bersuara diluar, "Inilah Kay-pang-sam-lo (tiga sesepuh Kay-pang, kedatangan kami adalah untuk mengadakan pembersihan perguruan sendiri dan

menangkap anggota khianat, diharap sahabat Kangouw jangan ikut campur." Suaranya lantang dan bertenaga, jelas Lwekang orang ini sangat tinggi. Dengan suara tertahan Sim Long bertanya, "Pembicara ini apakah Co Kong-liong adanya?"

"Betul dia," jawab Ji Yok-gi. Sim Long tidak bicara lagi, hanya dalam hati ia membatin, "Jika bicara soal ilmu silat, nama Kay-pang-sam-lo pasti tidak lebih menonjol daripada ketujuh tokoh besar dunia persilatan, mengapa tenaga dalam Co Kong-liong ini kedengarannya jauh lebih kuat daripada Thian-hoat Taysu, Kiau Ngo dan lain-lain, mungkinkah selama ini dia menyembunyikan kepandaiannya atau akhir-akhir ini dia mendapat penemuan mukjizat?" Terdengar orang di luar lagi berseru pula, "Ji Yok-gi, kenapa tidak lekas keluar? Sudah jelas kau sembunyi di sini, sekeliling tempat ini sudah terkepung, jangan kau harap akan dapat lari."

"Bukankah kau bilang mereka bermaksud merangkul dirimu, mengapa sekarang dia bilang hendak menangkapmu?" tanya Jit-jit.

Ji Yok-gi menghela napas, "Soalnya dia tahu rahasianya telah kuketahui, maka ingin membunuhku untuk menghilangkan saksi."

"Jangan khawatir, Sim Long berada di sini, siapa pun tak bisa membunuhmu," ujar si nona. "Mati-hidupku tidak menjadi soal, aku cuma menyesal belum sempat kuceritakan rahasia itu ...." Belum lanjut ucapannya, "serr", mendadak jalur api menyambar masuk menerobos jendela dan menancap di dinding. Kiranya sebatang panah berapi. Sekali pukul dari jauh Sim Long memadamkan api itu. Segera terdengar lagi suara orang di luar, "Ji Yok-gi, sudah selesai kubicara, tidak lekas kau keluar ...."

"Keluar juga boleh, kenapa takut?" bentak Jit-jit dan segera hendak mendahului menerjang keluar. Tapi mendadak ia ditarik orang dan jatuh di tempat tidur. Sedangkan Sim Long lantas melompat keluar. Di bawah pantulan cahaya salju dalam kekelaman malam tertampak di pelataran berdiri sekian banyak bayangan orang, sedikitnya ada beberapa puluh jumlahnya.

Sekilas pandang saja Sim Long menduga rahasia yang hendak dibongkar Ji Yok-gi pasti bukan urusan sepele, kalau tidak pihak Kay-pang takkan mengerahkan anak buah sebanyak ini. Baru saja Sim Long melompat keluar, segera di tengah gerombolan

orang itu menyala dua batang obor. Di bawah cahaya obor tertampak orang-orang ini memang berambut semrawut dan berbaju rombeng serta kaki telanjang, masing-masing juga menyandang karung goni, jelas kebanyakan adalah murid Kay-pang tingkat tinggi. Di depan berdiri seorang pengemis tua berwajah merah, rambut pada kedua pelipisnya sudah memutih, jenggotnya juga putih dan bergoyang tertiup angin.

Jilid 17

Dandanan pengemis tua ini tiada ubahnya seperti pengemis yang lain, perawakannya juga tidak lebih tinggi besar, namun berdiri ditengah kawanan pengemis dia kelihatan seperti bangau di tengah gerombolan ayam. Sekali pandang saja Sim Long lantas tahu siapa dia. Pengemis tua itu juga sedang menatap Sim Long dengan tajam. "Anda ini Co Kong-liong?� tanya Sim Long. "Betul, ada hubungan apa antara Ji Yok-gi denganmu?� tanya pengemis tua itu. "Cayhe Sim Long, sahabat Ji-heng,� jawab Sim Long. Alis Co Kong-liong terangkat, "Sim Long? Ehm, sudah kudengar akhir-akhir ini dunia Kangouw telah muncul seorang pendekar muda, dalam sebulan saja namanya sudah tersiar ke mana-mana, tak tersangka dapat bertemu di sini.�Cara bicara sesepuh Kay-pang ini tampak kereng dan lugas, sedikit pun tidak ada tanda-tanda sesat atau jahat. Sebaliknya tindak-tanduk Ji Yok-gi biasanya sering tercela, bila orang lain pasti akan menaruh curiga terhadap keterangan Ji Yok-gi tadi. Tapi setelah termenung sejenak, Sim Long lantas berkata, "Kay-pang-sam-lo biasanya selalu berada bersama, entah sekarang Tan-tianglo dan Auyang-tianglo berada di mana?�

"Mereka berada di mana sekarang, apa sangkut pautnya denganmu?� jawab Co Kong-liong. Sim Long tersenyum, "Cayhe cuma ingin bertanya kepada kedua beliau itu sesungguhnya kesalahan apa Ji Yok-gi sehingga harus dihukum menurut peraturan perguruan Kay-pang.�

"Cukup dengan keteranganku saja, untuk apa mesti tanya orang lain lagi?� jawab Co Kong-liong dengan bengis. "Jika begitu ingin kumohon petunjuk ....�

"Urusan intern Kay-pang orang luar tidak perlu ikut campur,� bentak Co Kong-liong. Mendadak Sim Long tertawa, "Jika begitu, tidak leluasa bagiku untuk ikut campur urusan ini.� Tiba-tiba ia berpaling dan berseru, "Marilah nona Cu, kita pergi saja.� Ucapan Sim Long ini membikin Ji Yok-gi di dalam rumah terkejut, Jit-jit juga melengak, cepat ia melompat keluar dan menegas, "Pergi? Masa ... masa akan kau tinggalkan Ji Yok-gi di sini?�

"Meski kita adalah sahabatnya, tapi dia telah melanggar peraturan perguruan, adalah pantas dia mendapat hukuman rumah tangga sendiri, ini adalah peraturan umum dunia persilatan, mana boleh kita ikut campur?� jawab Sim Long. Tanpa menunggu reaksi si nona, ia lantas memberi hormat kepada Co Kong-liong dan berkata, "Maaf, sekarang juga kumohon diri.�Siapa tahu mendadak Co Kong-liong lantas membentak, "Tidak, kau pun tidak boleh pergi.� Sim Long sengaja berlagak heran, "Anda minta jangan kuikut campur urusan Kay-pang, jika kupergi kan berarti mematuhi pesanmu. Entah mengapa Anda merintangi kepergianku?� Co Kong-liong tampak melenggong sejenak, lalu mendengus, "Apa yang akan kulakukan engkau tidak berhak tanya.�

"Tapi persoalan yang menyangkut kepentinganku masalah tidak boleh kutanya,� jawab Sim Long. "Baik akan kuberi tahukan padamu,� teriak Co Kong-liong dengan bengis. "Soalnya karena kau ini manusia licin, perbuatan tidak senonoh yang dilakukan Ji Yok-gi itu pasti ada sangkut pautnya denganmu.�

"Jika demikian, jadi Anda bermaksud memberi hukuman padaku bersama Ji Yok-gi?� tanya Sim Long. "Betul!� bentak Co Kong-liong. Mendadak Sim Long menengadah dan bergelak tertawa, sungguh gembira tertawanya. Sampai Cu Jit-jit dan Ji Yok-gi juga tercengang. "Apa yang kau tertawai?� teriak Co Kong-liong dengan gusar. "Kutertawai si rase itu akhirnya kelihatan juga ekornya,� kata Sim Long dengan tetap tertawa. "Sebenarnya siapa yang kau maksudkan?�

"Semula kukira engkau ini seorang jujur, mestinya tidak percaya dirimu ini sebenarnya manusia yang berhati binatang, kusangka ucapan Ji-heng yang tidak beres, maka sengaja kucoba dirimu,� Sim Long tertawa, lalu menyambung, "Ternyata sekali kucoba segera terlihat belangmu. Tapi cara bagaimana belangmu sampai kelihatan, mungkin kau sendiri belum lagi mengerti. Apakah kau mau kujelaskan?� Dengan gusar Co Kong-liong membentak, "Sebentar lagi kau pasti akan mampus, mau omong apa boleh lekas katakan saja.�

"Jelas kau datang sendirian, tapi sengaja kau kemukakan nama Sam-lo (ketiga orang tua), jelas hatimu rada jeri, jika engkau tidak berdosa, kenapa mesti takut?�

"Hm, apa lagi?� jengek Co Kong-liong. "Berulang-ulang kau minta aku jangan ikut campur urusan orang lain, pada waktu aku mau pergi sebaliknya kau rintangi, jelas karena kau khawatir Ji Yok-gi akan menceritakan padaku segala kemunafikanmu, makanya ingin kau bunuh diriku untuk menutup mulutku. Hah, jika perbuatanmu cukup gilang-gemilang, mengapa takut diketahui orang lain?� Mau tak mau berubah juga air muka Co Kong-liong, teriaknya, "Kau ....� Belum lanjut ucapannya Cu Jit-jit lantas berkeplok dan berseru, "Haha, Sim Long memang tidak malu sebagai Sim Long, dengan sedikit kelicikanmu ini hendak kau tipu Sim Long, huh, mimpi!� Baru sekarang Ji Yok-gi melompat keluar, serunya dengan kejut dan girang, "Sim-heng ternyata tahu akan jiwaku, sungguh mati pun aku tidak menyesal lagi!� Dengan tertawa Sim Long berkata, "Ucapan Ji-heng tadi memang tidak salah, tahu orangnya, tahu mukanya, tidak tahu hatinya. Memangnya siapa pula yang menduga bahwa Co Kong-liong yang termasyhur berbudi luhur ternyata adalah ....�

"Adalah malaikat maut bagimu!� tukas Co Kong-liong sambil membentak. Berbareng ia memberi tanda, serentak anak murid Kay-

pang yang berdiri di sampingnya sama berputar cepat seperti roda angin. Seketika cahaya senjata berkelebat, Ji Yok-gi, Cu Jit-jit dan Sim Long terkurung di tengah, dipandang dari gemerdep senjata itu kelihatan ada belasan orang pula yang berdiri di luar garis sana. Belasan orang ini sama membawa kantong senjata rahasia yang tergantung di pinggang, ada yang membawa busur dengan anak panah, jelas asalkan Sim Long dan lain-lain melompat ke atas, seketika hujan senjata rahasia akan terjadi. Jika di tanah datar, jangankan Sim Long, sekalipun Cu Jit-jit juga pandang sebelah mata akan serangan senjata rahasia lawan. Tapi dalam keadaan terapung keadaan akan menjadi lain. Dengan Ginkangnya, sebenarnya untuk lolos dari kepungan ini tidaklah sulit bagi Sim Long dan kawannya. Tapi dengan senjata rahasia yang disiapkan, Sim Long harus berpikir dua kali sebelum menggunakan Ginkang untuk kabur. Muka Cu Jit-jit rada pucat, meski banyak juga pengalaman

tempurnya, tapi cara keji musuh dan kepungan yang ketat begini jarang dihadapinya. Begitulah serangan musuh bertambah gencar, kepungan bertambah rapat dan makin menyempit, mau tak mau Jit-jit rada gelisah. Wajah Ji Yok-gi juga mulai berkeringat. Sekonyong-konyong tiga bilah golok musuh membacok tiba secepat kilat. Rasa tegang Jit-jit dan Ji Yok-gi jadi buyar oleh serangan ini, segera keduanya siap menangkis. Tapi sebelum mereka bergerak, mendadak Sim Long menubruk maju, sekaligus ia rampas golok salah seorang penyerang, berbareng sikutnya menyodok dan tepat lawan sebelah kiri disikut

hingga mencelat. Musuh sebelah kanan terkejut, baru saja hendak melompat mundur, golok rampasan Sim Long telah bekerja, punggung golok membalik membacok kuduk orang itu, kontan orang itu menjerit tertahan dan roboh terkapar, meski tidak binasa sudah cukup membuatnya sekarat. Hanya sekali turun tangan saja Sim Long lantas membereskan tiga orang, sampai Jit-jit belum sempat melihat jelas apa yang terjadi, keruan ia tercengang. Dengan golok rampasannya Sim Long serupa harimau tumbuh sayap, terdengar suara gemerencing beradunya senjata, cahaya golok di sekitar mereka dapat dihalau oleh Sim Long, sama sekali Jit-jit dan Ji Yok-gi tidak perlu turun tangan lagi. Ji Yok-gi terkesima, kejut dan kagum. Sebaliknya Jit-jit lantas tertawa, ucapnya dengan tertawa manis kepada Ji Yok-gi, "Coba kau lihat, kan sudah kukatakan tidak perlu takut, asalkan Sim Long hadir di sini, siapa pun tidak perlu ditakuti.� Ji Yok-gi menghela napas perlahan, "Ya, kungfu Sim-heng memang ....� Belum habis ucapannya mendadak terlihat kain baju dan rambut si nona beterbangan, ia sendiri pun merasakan angin tajam menyambar dekat di sekitarnya. Suara gemerencing pun terus berbunyi tiada hentinya. Bayangan Sim Long juga terus berputar kian kemari. Tapi cahaya senjata juga bertambah menyilaukan mata dan makin kuat, jelas lingkaran kepungan barisan golok musuh juga semakin sempit. Mau tak mau Jit-jit menjadi khawatir juga dan tidak dapat tertawa lagi, katanya, "Wah, apakah Sim Long dapat ....�

"Walaupun Sim-heng sangat perkasa, tapi dua tangan tetap sukar melawan empat kepalan,� kata Ji Yok-gi. "Apalagi pihak lawan tidak cuma berjumlah beberapa orang saja, barisan kepungan mereka pun sangat ketat, bisa jadi ....�

"Jika begitu, buat apa engkau mengoceh melulu?� omel Jit-jit sambil mengentak kaki. "Ayolah lekas bantu dia, tunggu apa lagi?!� Walaupun begitu bicaranya, namun dia tetap berdiri di tempatnya. Maklumlah, saat itu barisan kepungan musuh telah bergerak cepat, cahaya senjata kemilauan, Jit-jit sendiri tidak tahu harus menerjang dari mana. Dengan sendirinya Ji Yok-gi juga terkesima dan tidak dapat ikut turun tangan. "Sabar sebentar, Sim Long, segera akan kami bantu engkau!� teriak Jit-jit untuk memberi semangat kepada Sim Long. Tapi anak muda itu tidak menjawab, seperti tidak mendengarnya.

Sebaliknya terdengar Co Kong-liong lagi menjengek, "Saat ini Sim Long sudah berada dalam serbasusah, mana dia sempat bicara denganmu. Tapi kau pun tidak perlu gelisah, setelah Sim Long dibereskan, segera akan datang giliranmu.� Tidak kepalang gemas Jit-jit, kontan ia memaki, "Keparat, kere mampus! Kalau berani ayolah maju sendiri, omong melulu, terhitung orang gagah macam apa?�

"Yang hidup ialah orang gagah, yang mati bukan lagi orang gagah, kalian bertiga sekarang sudah tidak ada bedanya orang mati ....� demikian Co Kong-liong berolok-olok dengan tertawa. "Pengemis busuk, kau sendiri yang akan mampus!� damprat Jit-jit dengan gusar, ia pandang Ji Yok-gi sekejap, seketika berhenti ucapannya. Dilihatnya wajah Ji Yok-gi pucat lesi, kain pembalut pada tangan kanannya tampak kotor, darah segar masih terus merembes keluar. Jelas luka itu baru terjadi dan banyak keluar darah, melihat gelagatnya, andaikan dia ikut bertempur pasti juga takkan tahan lama. Dengan terharu si nona memanggilnya perlahan, "Ji-siangkong!� Ji Yok-gi jadi melenggong oleh panggilan si nona yang berbeda daripada biasanya ini, cepat ia menjawab, "Ada apa, nona?� Dengan menunduk Jit-jit berkata, "Sekarang kutahu engkau adalah seorang baik, bilamana sebelum ini sikapku kurang hormat padamu, hendaknya suka dimaafkan. Keadaan sekarang agak gawat, tampaknya bila Sim Long mau menerjang keluar sendirian tidaklah sulit, tapi ... tapi kalau ....� Belum habis ucapan Jit-jit, dapatlah Ji Yok-gi memahami maksudnya, bahwa mendadak nona bersikap ramah padanya, rupanya nona itu merasa dia pasti akan binasa di sini. Bicara terhadap seorang yang bakal mati dengan sendirinya akan jauh lebih halus daripada biasanya. "Orang macam apakah Sim Long, tentu juga sudah dikenal Ji-siangkong,� kata Jit-jit pula. "Apabila dia tidak mengetahui rahasiamu, tidak nanti dia mau menerjang pergi, engkau ....�

"Tidak perlu nona bicara lagi, sudah kuketahui maksud nona,� ujar Ji Yok-gi dengan tersenyum pedih. "Kematianku tidak ada artinya, namun rahasia itu memang harus kubeberkan kepadanya .... Dengarkan Sim-heng, pada malam itu, di rumah berhala ....� Belum lanjut ucapannya, mendadak Sim Long berteriak, "Wah, celaka!� Menyusul lantas terdengar Co Kong-liong bergelak tertawa dan membentak, "Haha, baru sekarang kau mau bicara, sudah terlambat ....� mendadak ia bersuit panjang melengking. Di tengah suara suitannya, barisan penyerang serentak berubah posisi, lingkaran cahaya senjata yang terbentuk tadi mendadak menyerbu ke tengah antara Sim Long dan Ji Yok-gi bagaikan air bah yang tak terbendung. Sim Long mengentak kaki, segera ia melompat ke atas, agaknya ingin bergabung dengan Ji Yok-gi, tapi baru saja ia bergerak, segera terdengar busur berbunyi, anak panah lantas berhamburan bagaikan hujan. Jit-jit menjerit khawatir. Dilihatnya Sim Long memutar goloknya secepat kitiran, hujan anak panah itu sama rontok, tapi tubuhnya juga terpaksa turun kembali ke bawah. Pada saat itulah barisan golok musuh telah terbagi menjadi dua, belasan orang kini mengepung Ji Yok-gi di tengah. "Wah, bagai ... bagaimana ....�Jit-jit menerjang ke dekat Sim Long. "Masih bicara lagi? Semua gara-garamu!� omel Sim Long. Jit-jit melengak, ucapnya dengan bingung, "Aku? ... memangnya aku berbuat salah apa lagi?� Sim Long tidak menghiraukannya, ia putar goloknya dan hendak menerjang musuh pula. Tapi meski barisan golok musuh kini sudah terbagi menjadi dua, sisanya yang mengepung Sim Long tidak menyerang lagi melainkan ganti siasat dengan bertahan melulu. Nyata sasaran serangan mereka sekarang telah beralih kepada Ji Yok-gi. Dengan sendirinya si pedang sakti yang sudah terluka dan tak bersenjata itu segera terancam maut di bawah kerubutan belasan golok musuh. Sim Long sangat gelisah, tapi apa daya, pertahanan barisan musuh sangat kuat, setiap kali dia hendak melompat ke atas segera disambut dengan hujan anak panah. Sekonyong-konyong terdengar Ji Yok-gi menjerit ngeri. "Ji-heng ....� seru Sim Long khawatir. "Sim-heng, aku tidak ....� belum lanjut Ji Yok-gi berkata, kembali ia menjerit, lalu tidak ada suara lagi. Menyusul lantas terdengar gelak tertawa Co Kong-liong, lalu dia berseru, "Bagaimana, sudah beres?�

"Beres, lima belas bacokan, tercincang menjadi perkedel!� teriak anak buahnya. "Baik, murid murtad sudah tertumpas, pergi!� bentak Co Kong-liong. Sinar golok berkelebat dan menyurut mundur, sebagai gantinya sebaris anak panah lantas dibidikkan. Waktu Sim Long memutar goloknya untuk menghalau hujan anak panah itu rombongan musuh sudah menghilang di kegelapan. Di atas tanah bersalju menggeletak Ji Yok-gi bermandikan darah. Cepat Sim Long dan Jit-jit mendekatinya, Sim Long angkat bahu Ji Yok-gi yang penuh berlumuran darah itu. Dirasakannya orang masih bernapas meski sangat lemah. Dengan girang Sim Long berseru, "Ji-heng, tahan, tahan sekuatnya!� Tubuh Ji Yok-gi berkejang, tiba-tiba matanya terbuka sedikit,

kelihatan sorot matanya yang buram, biji matanya berputar, seperti ingin mengenali siapa di depannya ini. "Aku, Ji-heng ... aku Sim Long!� Akhirnya timbul setitik sinar mata Ji Yok-gi, namun sinar ini tiada ubahnya seperti sumbu pelita yang kehabisan minyak, setiap saat bisa sirap. Bibir Ji Yok-gi bergerak-gerak, tercetus suara yang sangat lemah dan lirih seperti bunyi nyamuk, "Ak ... aku ... tidak ... tidak sanggup ....��

"Tahan, Ji-heng, engkau pasti sanggup,� seru Sim Long. Namun keadaan Ji Yok-gi memang sangat parah, ingin bicara pun tidak sanggup lagi. "Selain dirimu, siapa pula yang tahu rahasia yang kau maksudkan?� tanya Jit-jit. Sampai lama sekali baru terdengar suara Ji Yok-gi yang sangat lemah, "Ada sur ... surat untuk ... untuk Liu ....� Sampai di sini, berbunyilah kerongkongannya seperti tersumbat, lalu kepalanya terkulai dan tidak bergerak lagi, nyata ia telah

mengembuskan napasnya yang terakhir. Dengan pedih Sim Long menggeleng kepala, gumamnya, "Baiklah, Ji-heng, berangkatlah engkau, suratnya pasti akan kusampaikan kepada nona Liu Giok-ji, akan kuminta keterangan padanya, betapa pun akan kugagalkan intrik mereka.�

*****

Subuh sudah tiba, fajar telah menyingsing. Cahaya fajar yang remang menyinari muka Ji Yok-gi. Air mata Jit-jit berlinang memandang wajah yang sudah kaku ini. "Kasihan dia, seharusnya dia tidak perlu mati ....�

"Betul, seharusnya dia tidak perlu mati, tapi dia justru mati gara-garamu,� tegas Sim Long mendadak. "Aku?� Jit-jit menegas. "Betul, kau ....� Mata Jit-jit menjadi merah lagi, "Kembali kau, segala apa kau salahkan aku, memangnya apa kesalahanku? Jelas dia sendiri takut mati dan akhirnya terbunuh, kenapa aku yang disalahkan?�

"Tadi kalau tidak kau paksa dia bicara, tentu Co Kong-liong tak tahu bahwa dia belum membeberkan rahasianya, tentu juga mereka takkan menjadikan dia sebagai sasaran serangan dan dia juga takkan terbunuh. Tujuan Co Kong-liong semula adalah hendak membinasakan diriku lebih dulu.�

"Tapi ... tapi waktu itu engkau sendiri dikerubut hingga kalang kabut, jika ... jika engkau tidak tahan, kan dia juga tetap tidak dapat kabur?�

"Dari mana kau tahu aku dikerubut hingga kalang kabut?� tanya Sim Long mendongkol. "Justru sengaja kupancing barisan golok musuh agar terpusat di suatu sudut, dengan susah payah kucari titik lemah barisan mereka, tampaknya sudah hampir berhasil, siapa tahu kau ....� Mendadak Jit-jit berteriak parau, "Ya, aku salah ... aku salah .... Tapi apa yang kulakukan itu adalah demi dirimu, dari mana kutahu siasatmu akan menumpas musuh ....� Sambil bicara akhirnya ia menangis tergerung-gerung. Sejenak Sim Long memandangi nona yang lugas ini, ia menghela napas, lalu berkata, "Sudahlah, tidak perlu menangis lagi, hari sudah terang, Kim Bu-bong tidak ada kabarnya, apa pun juga kita harus menemukan dia lebih dulu.�

*****

Kim Bu-bong sedang berlarian di bawah deru angin yang dingin, rambutnya kusut bertebaran tertiup angin, di bawah hujan salju yang membeku, sekujur badannya justru membara oleh api kemarahan. Dia sebenarnya seorang tokoh misterius yang penuh teka-teki, asal usulnya sukar diterka. Ia tidak suka menceritakan kisah hidupnya masa lampau, bahkan ia sendiri tidak mau memikirkannya kembali. Ia cuma ingat sejak kecil hingga besar dirinya tidak pernah memerhatikan mati-hidup orang lain, juga tidak pernah meneteskan setitik air mata bagi orang lain. Selamanya tak pernah terpikir olehnya apa artinya kebajikan dan kejahatan, juga tidak pernah memikirkan siapa salah dan siapa benar. Apa yang dia suka, itulah yang dilakukannya. Asalkan dia tidak suka kepada seorang, segera orang itu dibunuhnya. Ia sendiri tidak tahu selama ini sudah berapa orang yang mati di bawah tangannya. Selama ini dia tidak kenal kasihan bagi korbannya, "yang lemah memang pantas mati�, baginya hukum rimba ini memang adil dan wajar. Akan tetapi sekarang ia telah berubah. Ia menjadi marah karena

kebusukan dan kejahatan Kim Put-hoan. Demi seorang anak perempuan lemah dia rela menempuh perjalanan di bawah hujan

salju dan deru angin yang dingin. Perubahan ini sama sekali tak terduga, mimpi pun tak tersangka olehnya. Salju meliputi bumi raya ini, suasana gelap. Ke mana larinya Kim Put-hoan? Cara bagaimana akan menemukannya? Semua ini tidak diketahui oleh Kim Bu-bong. Hanya berdasarkan semacam naluri asli makhluk hidup, semacam naluri binatang liar, juga naluri jago silat yang selama hidup bertualang seperti dirinya, ia terus mengejar dan mencari ke depan. Mungkin ada yang merasa aneh di antara jago Kangouw bisa mempunyai naluri serupa binatang liar. Tapi kalau dipikirkan dengan cermat, segera akan diketahui di antara keduanya memang banyak terdapat segi persamaannya. Mereka harus menghindari pengejaran orang lain, dalam buron itu mereka juga perlu memburu mangsanya untuk menyambung hidup mereka. Jadi mereka adalah pemburu, tapi setiap saat juga diburu. Jiwa mereka selalu berada di tepi garis antara mati dan hidup. Di tengah hujan salju yang bertaburan ini, untuk pertama kalinya Kim Bu-bong merasakan hidupnya serupa benar dengan hidup binatang liar. Tanpa terasa tersembul senyuman kecut pada ujung mulutnya. Namun kepekaan mencari yang timbul dari nalarnya itu ternyata tidak keliru. Di atas tanah salju di depan sana ada sesuatu benda yang kelihatan gemerlapan. Sorot mata Kim Bu-bong yang tajam

serupa mata binatang liar itu tentu saja tidak mengabaikannya. Itulah sebentuk tusuk kundai, jelas itulah tusuk kundai yang dipakai Pek Fifi. Betapa cerdiknya anak perempuan itu, meski berada di bawah ancaman maut dia tidak kehilangan daya pikir dan keberaniannya, diam-diam ia jatuhkan tusuk kundainya untuk menunjukkan ke arah mana larinya Kim Put-hoan.

Setelah menemukan tusuk kundai ini, yakinlah Kim Bu-bong bahwa arah yang dilacaknya ini tidak keliru. Segera ia percepat langkahnya, sorot matanya juga tambah jelalatan untuk mencari. Tidak jauh, kembali ditemukan anting-anting yang ditinggalkan Pek Fifi, beberapa puluh tombak lagi kembali ada sebelah anting-anting yang lain, kemudian sepotong saputangan lalu sepotong ikat pinggang. Sampai akhirnya sepatu Pek Fifi pun ditanggalkan dan dibuang ditengah jalan, sepatu yang kecil mungil bersulam bunga merah sehingga sangat mencolok di atas tanah bersalju. Berdasarkan barang-barang petunjuk itu, cara pencarian Kim Bu-bong menjadi terlebih mudah dan terarah. Waktu sepatu terakhir ditemukan, hidung Kim Bu-bong mencium bau harum yang sedap, bau sedap daging yang menusuk hidung. Siapakah yang sedang memanggang daging di tengah malam dingin dan sunyi begini? Tanpa pikir Kim Bu-bong terus melacak ke arah bau sedap daging panggang itu. Tidak jauh, dilihatnya bayangan rumah di depan sana. Samar-samar kelihatan pula kerlip cahaya api unggun. Itulah sebuah "Suteng�, rumah berhala keluarga. Rumah berhala keluarga demikian banyak didirikan pada zaman itu sebagai lambang kejayaan keluarga yang bersangkutan, tapi bilamana keluarga tersebut mengalami keruntuhan, maka rumah berhala demikian lantas telantar dan akhirnya menjadi bobrok, lalu jadilah tempat meneduh bagi kaum gelandangan atau kaum jembel.

Sekarang cahaya api itu kelihatan menyinari tanah salju di luar rumah berhala itu, di atas tanah bersalju terlihat ada sebaris bekas tapak kaki baru. Bekas tapak kaki lama jelas sudah terbenam oleh hujan salju tadi. Meski kungfu Kim Put-hoan tidak lemah, tapi dia menggandeng Pek Fifi, dengan sendirinya bekas kaki yang ditinggalkan cukup jelas. Setelah mengamati bekas kaki itu, yakinlah Kim Bu-bong akan sasarannya memang berada di sini. Segera ia melayang masuk ke rumah berhala itu. Di ruang dalam memang ada api unggun yang menyala dan ada orang memanggang anjing. Akan tetapi di manakah Kim Put-hoan? Ternyata tidak terlihat bayangannya? Rumah berhala ini kecil lagi jelek, tidak ada jendela, pintu adalah

satu-satunya jalan tembus, tapi tanah bersalju di luar pintu hanya terlihat ada bekas kaki yang masuk dan tidak ada bekas kaki yang keluar. Apalagi api unggun kelihatan masih menyala, ada dua potong kayu yang belum habis terbakar, jelas sejenak sebelum ini di rumah berhala ini masih ada orang. Cahaya api yang menyala menyinar wajah Kim Bu-bong yang kelam.

Air mukanya tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, ia berdiri menghadap api unggun di dekat pintu. Ia yakin Kim Put-hoan pasti masih berada di dalam rumah berhala ini dan pasti tak bisa kabur. "Ayo keluar saja, memangnya perlu kucari lagi?� jengek Kim Bu-bong sekata demi sekata. Di tengah malam sunyi, suaranya yang dingin seram menggema seluruh ruangan rumah berhala ini. Namun tidak terdapat suara jawaban, keadaan tetap sunyi senyap. Di pojok sana penuh debu dan sawang menghiasi altar patung pemujaan, tabir meja sembahyang sudah luntur warnanya, kebetulan angin meniup sehingga tabir meja tersingkap, tertampaklah sebelah kaki menongol di kolong meja. Secepat terbang Kim Bu-bong memburu ke sana, sekali depak meja sembahyang ditendang hingga terbalik. Di kolong meja memang betul menggeletak dua orang, tapi bukan Kim Put-hoan dan Pek Fifi melainkan dua orang pengemis tua dengan wajahnya yang kusut dan mata mendelik .... Dua wajah yang beringas menyeramkan sedang melotot kepada Kim Bu-bong. Terkejut juga Kim Bu-bong, tanpa terasa ia menyurut mundur dua langkah sambil membentak, "Siapa?!� Kedua wajah itu tidak bergerak, biji mata yang mendelik itu penuh rasa kaget, sedih dan benci, jelas wajah ini bukan wajah orang hidup. Segera Kim Bu-bong tahu sedang berhadapan dengan dua sosok mayat, sedikitnya sudah mati tiga hari, cuma di bawah suhu yang dingin mayat belum lagi membusuk. Diam-diam dia menghela napas lega, di bawah cahaya api unggun dilihatnya usia kedua pengemis ini sekitar setengah abad, di belakang pundak mayat yang telentang kelihatan ada setumpuk karung. Setelah menenangkan diri dan mengamati lagi wajah kedua pengemis ini, mendadak Kim Bu-bong berseru, "Hei, Tan Kiong dan Auyang Lun .... Kenapa kedua tokoh Kay-pang ini bisa mati di sini? Siapa yang membunuh mereka? .... Ke mana pula perginya Co Kong-liong?�

"Kay-pang-sam-lo�� atau tiga sesepuh persekutuan pengemis bukanlah tokoh kelas top dunia persilatan, tapi namanya dan luas pergaulannya pasti tidak di bawah jago silat golongan mana pun. Sebagai jago Kangouw kawakan dengan sendirinya Kim Bu-bong kenal kedua orang ini. Namun tidak tersangka olehnya bahwa Kay-pang-sam-lo yang termasyhur mengapa dua di antaranya bisa mati di sini secara mendadak? Angin mendesir menambah seramnya rumah berhala ini, perlahan Kim Bu-bong menyurut mundur, mengitari api unggun hingga diambang pintu, sekilas melirik, seketika aliran darah sekujur badan

serasa beku. Kiranya dalam sekejap itu anjing panggang di atas api unggun telah hilang begitu saja. Siapakah yang mengambilnya, siapakah yang mampu berbuat sesuatu di belakang Kim Bu-bong tanpa diketahuinya. Sungguh Ginkang yang hebat dan mengejutkan. Kecuali setan iblis, siapa yang memiliki Ginkang setinggi ini? Selagi Kim Bu-bong merasa ngeri, sekonyong-konyong di belakang ada orang mengekek tawa dan menegur, "Kim Bu-bong ....�

"Siapa?!� bentak Bu-bong sambil membalik tubuh. Terlihatlah dari luar melangkah tiba dengan perlahan seorang,  erawakannya yang kurus kering tampak bergoyang tertiup angin malam yang dingin. Setiap setindak orang itu lantas mengeluarkan suara tertawa seram, tapi mukanya sengaja dialingi kedua tangannya yang hitam kurus serupa tangan hantu. Di bawah gemerdep cahaya api unggun kelihatan bajunya yang rombeng dan rambutnya yang kusut, kiranya pendatang ini juga

seorang pengemis. Dilihat dari perawakan dan bentuknya jelas bukan Kim Put-hoan. Betapa pun Kim Bu-bong bukan anak kemarin, dalam keadaan demikian ia tetap bersabar dan tenang, dipandangnya orang itu dengan tajam. Akhirnya orang itu melangkah masuk dengan enteng, sapanya dengan tertawa, "Kim-heng, sekian tahun berpisah, tak tersangka kita dapat bertemu di alam baka.�

"Hm, orang she Kim masih hidup segar bugar di dunia, apakah gunanya kau gertak orang dengan berlagak sebagai setan? Memangnya kau kira Kim Bu-bong dapat ditakut-takuti?�

"Haha, kau bilang masih hidup di dunia? Huh, sungguh lucu, jelas-jelas tadi kau sudah mati, masakah kau sendiri tidak tahu?� kata orang itu. "Jika orang she Kim mati, tentu aku sendiri tahu dan tidak perlu dirisaukan olehmu. Tapi bila kau tetap main setan segala, bukan mustahil orang she Kim akan membuat kau jadi setan sungguhan.�

"Hahaha, setan sungguhan? Memangnya saat ini aku setan palsu?� Meski dia bergelak tertawa, namun tertawa seram dan menakutkan. "Sesungguhnya siapa kau?� bentak Kim Bu-bong. "Apakah kau ingin melihat wajahku?�

"Ya, lepaskan tanganmu!�

"Hehe, boleh juga kau lihat siapakah diriku,� orang itu terkekeh. "Jika kau belum mati, mana dapat kau bicara denganku? Orang hidup tidak nanti dapat bicara dengan orang mati tahu?� Sambil bicara perlahan ia menurunkan kedua tangannya sehingga kelihatan mukanya. Tertampak mukanya yang pucat kelabu dan biji matanya yang mendelik .... Hah, dia ternyata Tan Kiong adanya, salah seorang Kay-pang-sam-lo atau tiga sesepuh Kay-pang. Mayat di kolong meja, anjing panggang lenyap mendadak, semua ini sudah membikin hati Kim Bu-bong ngeri, sekarang terlihat pula mayat yang baru saja menggeletak di kolong meja itu ternyata berdiri di depannya, biarpun nyali Kim Bu-bong cukup besar tidak urung mukanya berubah pucat, ucapnya dengan suara gemetar, "Tan ... Tan Kiong, kau ... kau ....� Tan Kiong tertawa terkekeh. "Betul, aku inilah Tan Kiong, kutahu kau kenal diriku, tadi waktu masih hidup telah kau lihat diriku, tapi mungkin tak kau sangka sejenak sesudah mati akan kau lihat diriku lagi.� Kini betapa pun tenangnya Kim Bu-bong juga sangsi kepada apa yang dilihatnya. Tanpa terasa ia berpaling untuk memandang lagi kedua sosok mayat di kolong meja tadi. Tapi baru saja ia menoleh, cakar setan Tan Kiong lantas terjulur, secepat kilat menutuk Hiat-to kelumpuhannya, dalam kejut dan kagetnya, Kim Bu-bong tidak sempat mengelak. Kontan ia roboh. Namun pada saat roboh itulah, sekilas sempat dilihatnya kedua sosok mayat di kolong meja, termasuk mayat Tan Kiong itu, masih menggeletak kaku di sana. Kalau Tan Kiong mati menggeletak di sana, mengapa ada Tan Kiong hidup di sini? Sesungguhnya apa yang terjadi? Pikiran Kim Bu-bong berputar dengan cepat, mendadak ia membentak, "Keparat, kiranya kau, Ong Ling-hoa!� Meski sudah roboh, namun suaranya tetap garang. Terlihat Tan Kiong yang hidup itu menengadah dan bergelak tertawa, "Haha, Kim Bu-bong, memang hebat kau! Cuma, meski sekarang dapat kau terka siapa diriku terasa sudah agak terlambat juga.� Di tengah gelak tertawa ia terus berpaling ke sana. Waktu ia menoleh kembali menghadapi Kim Bu-bong, ternyata mukanya yang pucat kelabu, muka mayat dan mata yang mendelik itu telah berubah menjadi muka yang tampan, wajah putih bersih dengan bibir merah indah. Siapa lagi dia kalau bukan Ong Ling-hoa? "Hm, sejak mula memang sudah kuduga akan dirimu,� ucap Kim Bu-bong dengan gemas. "Ini pun tidak dapat menyalahkan dirimu,� ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa, "dalam keadaan seperti tadi, siapa pun akan ketakutan setengah mati dan mungkin bisa jatuh pingsan.� Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong berkumandang suara tertawa orang yang menusuk telinga dari atas rumah.

"Hehehe, sungguh lucu, sungguh menggelikan,� terdengar seorang berseru dengan terkekeh. "Kim Bu-bong yang biasanya suka

menakut-nakuti orang sekarang juga kena digertak orang dengan ketakutan setengah mati!� Di tengah suara tertawa itu, sesosok bayangan hitam perlahan gemelantung turun dari atas. Ternyata anjing panggang yang hilang tadi. Kiranya pada anjing panggang itu terikat seutas tali kecil, waktu Kim Bu-bong masuk ke rumah berhala ini, dia cuma memerhatikan siapa

yang berada di sini dan tidak memerhatikan pada anjing panggang itu masih terikat seutas tali. Meski ada cahaya api, tapi tidak terlalu terang, ketika Kim Bu-bong terkejut melihat kedua sosok mayat, orang yang bersembunyi di atas rumah lantas mengerek anjing panggang ke atas. Diam-diam Kim Bu-bong menyesali sendiri yang kurang cermat, segera ia menjengek, "Hm, jadi sudah kalian perhitungkan akan kedatanganku?�

"Betul, memang sudah kami perhitungkan kedatanganmu, kalau tidak untuk apa kami mengatur permainan ini di sini?� ujar Ong

Ling-hoa dengan tertawa. Orang yang berada di atas rumah juga tertawa dan berkata, "Haha, ini namanya ada jalan ke surga tak kau pergi, neraka tanpa pintu sengaja kau datangi ....� berbareng dengan ucapan itu, sesosok bayangan melompat turun, siapa lagi kalau bukan Kim Put-hoan. Dengan senang dia berkata pula, "Hehe, dunia berputar terus, Kim Bu-bong, tentunya tidak tersangka sekarang kau pun akan jatuh ditanganku.�

"Memangnya kenapa?� sahut Kim Bu-bong tak acuh. Kim Put-hoan menyangka dalam keadaan begini Kim Bu-bong pasti akan cemas, khawatir, dan menyesal, siapa tahu orang tetap bersikap kaku dan dingin, sedikitnya tidak resah. Hal ini membuat kecewa Kim Put-hoan malah, ia ingin menghina dan menyiksa lahir batin Kim Bu-bong, maka ia berkata pula dengan tertawa, �"Kau dapat menguntit sampai di sini, dalam hati tentu sangat senang dan mengira kepandaianmu melacak musuh sangat hebat, tapi apakah kau tahu berdasarkan apa dapat kau susul ke sini?�� Kim Bu-bong menggeleng. "Tentu saja engkau tidak tahu. Biarlah kukatakan padamu, tusuk kundai, anting-anting, ikat pinggang, sepatu dan sebagainya itu bukanlah ditinggalkan oleh Pek Fifi melainkan adalah perbuatanku sendiri.�

"Hm, bagus,� jengek Bu-bong. Biarpun tetap bersikap dingin, tidak urung hatinya tergetar juga. "Sebenarnya hal ini dapat kau pikirkan,� kata Kim Put-hoan pula. "Jika Pek Fifi sudah tertawan olehku, masakah diam-diam ia dapat membuang tusuk kundai dan menanggalkan sepatunya, memangnya aku orang mampus?�

"Saat ini seharusnya kau telah menjadi orang mampus,� jengek Bu-bong. "Betul engkau yang melepaskan diriku tempo hari, tapi sama sekali aku tidak menerima kebaikanmu bahwa kau lepaskan diriku, semua itu pun berkat kepandaianku sendiri.�

"Hm, bagus,� dengus Bu-bong. "Tempo hari kau lepaskan diriku, sekarang aku justru akan mencabut nyawamu. Apakah hatimu tidak sedih? Tidak menyesal? Meski wajahmu tetap dingin dan tenang, mungkin hatimu menyesal sekali?�

"Hm, bilakah aku pernah menyesal terhadap apa yang telah kulakukan?� sahut Bu-bong. "Biasanya engkau memang tidak pernah menyesal, tapi hari ini kau pasti menyesal, biasanya engkau tidak kenal menyerah, hari ini mau tak mau kau harus menyerah. Kau anggap tindak tandukmu lain daripada yang lain, tapi setiap gerak-gerikmu selalu berada dalam perhitungan kami.�

"Apa betul?�

"Kenapa tidak? Coba kau pikirkan, jika kami sengaja memancing kedatanganmu, tentu sudah kami ketahui engkau cuma sendirian dan tidak mungkin diikuti oleh Sim Long ....�

"Kalau Sim Long ikut kemari, mustahil muslihatmu bisa berhasil?� jengek Bu-bong. "Memang betul, justru kami yakin Sim Long tidak mungkin ikut kemari, makanya telah kami atur perangkap bagus di sini. Tapi cara bagaimana pula dapat kami ketahui keparat Sim Long itu tidak ikut datang bersamamu?� Hal ini memang merupakan tanda tanya bagi Kim Bu-bong dan

sangat ingin diketahuinya, tapi ia tetap berlagak tak acuh, katanya, Cara bagaimana kau dapat, peduli apa denganku?� Kim Put-hoan jadi melengak, "Masakah engkau tidak ingin tahu?� Bu-bong sengaja memejamkan mata dan tak menghiraukannya.

"Biarpun engkau tidak ingin tahu, aku justru mau memberitahukan padamu,� kata Put-hoan, ia sengaja hendak memancing kemarahan Kim Bu-bong. Semakin dingin, semakin tak acuh sikap Bu-bong itu, semakin membuatnya gemas, sampai akhirnya ia sendiri jadi terpancing marah lebih dulu oleh sikap Kim Bu-bong. Mendadak ia jambret leher baju Bu-bong dan berteriak, "Supaya kau tahu, sebab sebelumnya kami sudah tahu Sim Long terlibat dalam pertempuran dengan orang Kay-pang, andaikan tidak mati malam ini juga pasti sukar meloloskan diri, sebab organisasi kaum jembel terbesar di dunia Kangouw kini sudah kami ....� Sejak tadi Ong Ling-hoa hanya memandangi mereka berdua dengan tersenyum, sekarang mendadak ia berdehem dan berucap, "Sudah, cukup!� Seketika Kim Put-hoan berhenti bicara dan mengembus napas panjang. "Bukankah Kim-heng sudah bicara terlalu banyak?� ujar Ong Ling-hoa dengan tersenyum. Cepat Put-hoan menjawab dengan menyengir, "Ya, ya, sudah terlalu banyak kubicara.� Ia dorong Kim Bu-bong sehingga terbanting ke lantai, lalu katanya pula, "Tapi dia kan orang yang bakal mampus, apa yang didengarnya tentu takkan dikatakan lagi kepada siapa pun, biarpun dia tahu lebih banyak juga tidak menjadi alangan.�

"Tentu ada alangannya,� ujar Ong Ling-hoa. "Ya, ya, Siaute tidak bicara lagi,� jawab Put-hoan. Dari pembicaraan dan sikap kedua orang itu, tanpa pikir juga Kim Bu-bong tahu Kim Put-hoan telah dapat dibeli oleh Ong Ling-hoa dan kini telah mengekor dan menjadi anteknya. Kim Put-hoan memang manusia tamak, asalkan ada untung, apa pun dapat dilakukannya. Jadi hal ini tidak mengherankan Kim Bu-bong, yang diherankan dan membuatnya terkejut adalah Kay-pang ternyata juga sudah berada dalam genggaman Ong Ling-hoa. Memangnya Kay-pang juga telah dibeli olehnya? Apakah kematian Tan Kiong dan Auyang Lun juga disebabkan karena kedua sesepuh Kay-pang itu tidak mau tunduk kepada Ong Ling-hoa? Apa pula maksud tujuan pihak Kay-pang merecoki Sim Long? Meski wajah Kim Bu-bong tetap dingin dan kaku, hatinya berdebar-debar dan timbul macam-macam dugaan. Terlihat Ong Ling-hoa lagi bersandar di depan pintu, agaknya sedang menunggu sesuatu. Selang sejenak, terdengar derap kaki kuda yang berlari cepat dari kejauhan, sesudah berhenti di depan rumah, lalu suara seorang berkata di luar dengan suara tertahan, "Kongcu, hamba datang melaporkan hasil tugas.�

"Sudah kau laksanakan tugasmu dengan baik?� terdengar Ong Ling-hoa bertanya. "Hamba sudah mengatur tempat bagi nona Pek sesuai perintah Kongcu, saat ini nona Pek mungkin sudah tertidur,� tutur orang itu. "Bagus, beberapa hari ini tugasmu cukup berat, tentu kau pun lelah, boleh kau datang pada kasir dan minta 50 tahil perak, pergilah istirahat dan berlibur, setengah bulan lagi boleh datang untuk tugas yang lain.�

"Terima kasih, Kongcu," sahut orang itu dengan gembira. "Ingat, meski boleh kau gembira sesukamu di luar sana, tapi jangan sekali-kali berbuat onar, terutama jangan sampai seluk-belukmu sampai diketahui orang Kangouw.�

"Hamba tidak berani,� kata orang itu. "Asal tahu saja, biarpun perguruan kita selalu memperlakukan anak buah dengan baik, tapi bila terjadi pelanggaran tata tertib, maka hukumannya tentu sudah kau tahu sendiri.�

"Hamba tahu,� dengan hormat dan takut orang itu menjawab pula. "Baiklah, lekas pergi,� kata Ong Ling-hoa. Tapi sejenak kemudian mendadak dia berseru pula, "Kenapa tidak lekas kau pergi? Menunggu apa lagi?�

"Ham ... hamba ingin melapor lagi sesuatu ....�

"Apa?� bentak Ong Ling-hoa. "Tio Beng juga datang bersama hamba setelah menyelesaikan tugasnya ke Kunciu.�

"Jika sudah menunaikan tugasnya, kenapa dia tinggal di luar sana?�

"Tio Beng bilang tidak ... tidak berani menemui Kongcu.�

"Tidak berani menemuiku? Jangan-jangan dia berbuat sesuatu kesalahan?�

"Pekerjaan Tio Beng ke Kunciu berjalan dengan lancar, hasilnya sudah diangkut pulang. Cuma ada sesuatu urusan yang menyangkut pribadinya, dia mohon kumintakan ampun lebih dulu kepada Kongcu.�

"Urusan apa, lekas katakan,� bentak Ong Ling-hoa pula. "Tio Beng dan ... dan gadis gembala bawahan Thayhujin (nyonya

besar) yang bernama Peng-ji ada hubungan erat, keduanya sudah suka sama suka, maka ... maka ... sekarang Peng-ji telah

mengandung dan ....�

"Hm, tidak perlu bicara lagi, aku sudah tahu,� jengek Ong Ling-hoa. Sejenak kemudian ia menambahkan dengan tersenyum,

"Sebenarnya hal ini adalah urusan yang menyenangkan kenapa dia tidak berani menemuiku? Lekas panggil dia kemari.� Ucapan Ong Ling-hoa ini agaknya di luar dugaan orang itu, sesudah terdiam sejenak, lalu terdengar seorang muda bersuara di luar,

"Hamba Tio Beng menyampaikan sembah hormat kepada Kongcu.� Ong Ling-hoa tersenyum, katanya, "Sudah kuketahui urusanmu. Tak tersangka orang yang kelihatan lugas seperti dirimu juga romantis, orang muda sok iseng, adalah lumrah dan wajar.� Seketika Tio Beng tidak tahu arti ucapan sang majikan, terpaksa ia cuma mohon ampun berulang. Dengan tertawa Ong Ling-hoa berkata pula, "Sehari-hari Peng-ji itu kelihatan alim dan dingin, tak tersangka dapat jatuh hati padamu, tampaknya tidak kecil kepandaianmu dan harus kunilai dirimu secara lain.� Karena girangnya, Tio Beng menjawab, "Kata pepatah, di bawah

panglima tangguh tidak ada prajurit lemah. Hamba mempunyai majikan sebagai Kongcu, dengan sendirinya ....�

"Hah, bagus sekali pepatah yang kau kemukakan, kiranya perbuatanmu adalah meniruku ....� belum habis ucapannya

sekonyong-konyong Ong Ling-hoa melompat keluar dengan cepat, terdengar ucapannya yang terakhir berubah menjadi dingin dan

ketus, "Hm, berdasarkan apa kau berani meniruku ....� Sampai di sini lantas terdengar kumandang jeritan Tio Beng di luar,

lalu Ong Ling-hoa sudah kembali bersandar di samping pintu seperti tadi seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Suasana kembali sunyi senyap. Setelah menghela napas, lalu Ong Ling-hoa memberi perintah, "Bawa pergi mayat Tio Beng dan dikubur sebagaimana mestinya. Ambil juga 200 tahil perak pada kasir, kirimkan kepada Peng-ji, katakan Tio Beng gugur dalam tugasnya di Kunciu.� Dengan suara gemetar orang tadi mengiakan. Menyaksikan kejadian ini, mau tak mau pikiran Kim Bu-bong bergolak. Baru diketahuinya sekarang sindikat pimpinan Ong Ling-hoa itu sedemikian besarnya dan juga sedemikian rapinya, betapa keras disiplinnya sungguh mengejutkan orang. Namun anak muda sebagai Ong Ling-hoa ternyata juga dapat

bertindak tegas dan bijaksana, hukum dan pahala dapat dibedakan dengan jelas, sungguh perbawa seorang pemimpin yang besar. Baru sekarang Kim Bu-bong merasa selama ini telah menilai rendah pribadi Ong Ling-hoa, tak tersangka sedemikian besar ambisi anak muda itu. Tidak perlu diragukan lagi anak muda ini kelak akan merupakan bibit bencana dunia Kangouw, jika tidak ditumpas sekarang, selanjutnya pasti akan terjadi gelombang besar. Tiba-tiba angin meniup. Dengan tertawa Ong Ling-hoa berkata, "Bagus, kau pun sudah pulang!� Belum lenyap suaranya, bayangan orang berkelebat, tahu-tahu di ruang rumah berhala ini sudah bertambah dengan seorang lelaki kekar berbaju hitam. Diam-diam Kim Bu-bong terkejut pula, tak tersangka anak buah Ong Ling-hoa ada yang memiliki Ginkang setinggi ini, entah siapa pula orang ini? Perawakan orang ini kelihatan kurus kecil, tapi sekujur badan terbungkus rapat oleh baju hitam, sampai kepala juga memakai kerudung kain hitam, hanya kedua matanya kelihatan gemerdep. Dengan tajam orang itu memandang Kim Bu-bong sekejap, lalu berseru dengan tertawa, "Aha, bagus! Tak tersangka kau tiba lebih dulu daripadaku.�

"Kiranya kau pun kenal dia?� tanya Ong Ling-hoa. "Tadi kugunakan akal untuk meloloskan diri, keparat ini dan Sim Long juga bermaksud menipuku dengan akal bulusnya, untung aku tidak terjebak olehnya,� tutur si baju hitam dengan tertawa bangga. "Wah, jika kau tertipu, bisa repot,� ujar Ong Ling-hoa. Sekarang juga Kim Bu-bong baru tahu si baju hitam ini adalah orang yang hendak dikejar Sim Long tadi. "Dan mengapa baru sekarang kau pulang ke sini?� tanya Ong Ling-hoa.

"Keparat ini memang benar telah pergi, tapi bocah she Sim itu justru tetap berjaga di sana, dia sangat sabar, selama aku bersembunyi tanpa bergerak, dia juga tetap berdiam tanpa bergerak.�

"Betul, bocah she Sim itu memang sabar sekali,� ujar Ling-hoa dengan tertawa. Si baju hitam tersenyum, "Tapi nona Cu itu justru tidak tahan, sepanjang jalan ia berkaok-kaok memanggil orang she Sim, karena merasa tidak dapat bersembunyi lagi, terpaksa dia juga angkat kaki.�

"Jika demikian, harus kau terima kasih kepada nona Cu itu,� ucap Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Betul, kalau tidak ada dia, mungkin sampai saat ini aku belum dapat melepaskan diri dari sana,� ujar si baju hitam. Ong Ling-hoa memandang cuaca di luar, lalu berkata pula, "Menurut waktunya, saat ini orang Kay-pang pasti sudah saling gebrak dengan bocah she Sim. �

"Dan entah bagaimana hasilnya?� tukas Kim Put-hoan. "Kalau cuma kekuatan kawanan jembel itu saja mungkin sukar menghadapi Sim Long, aku memang tidak menaruh harapan muluk-muluk dalam hal ini, namun nasib Ji Yok-gi jelas sudah dapat dipastikan tamat.�

"Dan jika ... jika Sim Long tahu ....�

"Mau apa biarpun tahu?� ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Malahan dapat kuperalat dia untuk saling labrak dengan pihak Kay-pang, yang kepala pusing adalah orang Kay-pang, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kita.� Kim Put-hoan menghela napas, "Perhitungan Kongcu yang jitu sungguh sangat mengagumkan.� Begitulah mereka terus bicara sendiri seakan-akan tidak terdapat seorang Kim Bu-bong yang hadir di situ. Diam-diam Bu-bong menghela napas, ia tahu nasib dirinya pasti akan ditamatkan oleh mereka. Api unggun telah ditambahi kayu sehingga berkobar dengan keras. Dari luar justru ada cahaya terang yang menyorot ke dalam, nyata fajar sudah tiba. Ong Ling-hoa mondar-mandir di dekat pintu dan berulang bergumam, "Seharusnya sudah pulang ... seharusnya sudah pulang.� Selang tidak lama, di tengah tiupan angin dingin benar juga berkumandang suara langkah orang berlari. Serentak si baju hitam melompat bangun dan berseru, "Betul, sudah pulang dia!� Tidak lama kemudian suara langkah orang itu semakin dekat. Lalu masuklah tiga orang pengemis. Yang di depan berambut ubanan, mukanya merah bercahaya, pada punggungnya menyandang delapan atau sembilan buah karung goni. Segera Kim Bu-bong mengenali pengemis tua ini sebagai Co Kong-liong, salah seorang di antara Kay-pang-sam-lo, sungguh tak

terduga olehnya Co Kong-liong yang biasanya terkenal berbudi luhur dan suka membela kaum tertindas itu sekarang berkomplot dengan Ong Ling-hoa. Tampaknya Ong Ling-hoa cukup menghormati Co Kong-liong, dengan tersenyum ia memberi salam, "Pangcu tentu sudah lelah.� Co Kong-liong bergelak tertawa, "Ah, janganlah Kongcu menyebut demikian padaku, apakah aku dapat menjabat Pangcu atau tidak belum dapat dipastikan. Sebutan Kongcu ini terasa membikin kikuk padaku.�

"Meski saat ini Co-heng belum naik singgasana terhormat, namun kedua penyakit itu sudah tertumpas, apalagi diam-diam dibantu oleh Ong-kongcu, bukankah kedudukan Pangcu itu pasti sudah menjadi isi kantong Co-heng?� demikian Kim Put-hoan ikut menyanjung. "Ah, terima kasih,� kata Co Kong-liong dengan tertawa. "Kelak bila benar kujadi Kay-pang Pangcu, salah satu kursi sesepuhnya pasti akan kuberikan kepada Kim-heng.�

"Memangnya berapa besar gaji seorang sesepuh?� tanya Kim Put-hoan dengan tertawa. "Wah, jangan Kim-heng bergurau,� ujar Co Kong-liong. "Memangnya berapa yang Kim-heng minta takkan kupenuhi?�

"Hahaha, jika begitu terima kasihlah sebelumnya,� Kim Put-hoan terbahak-bahak. "Dan entah bagaimana hasil perjalanan Pangcu sekali ini?� tanya Ling-hoa. "Meski tidak sempurna, tapi juga cukup memuaskan,� sahut Co Kong-liong, lalu ia menuturkan apa yang terjadi. "Jika Ji Yok-gi sudah tercincang lima belas kali bacokan, biarpun malaikat dewata juga sukar menyelamatkan jiwanya,� ujar Ling-hoa. "Dan bagaimana dengan Sim Long?� cepat Put-hoan ikut bertanya. "Sim Long belum lagi mampus,� kata Co Kong-liong dengan menyesal. "Sungguh tak tersangka keparat ini bisa panjang umur,� seru Kim Put-hoan dengan gemas. Selama hidupnya orang yang paling ditakutinya ialah Sim Long, meski biasanya dia suka membikin orang pusing kepala tapi bila berhadapan dengan Sim Long, yang pasti kepala pusing ialah dia sendiri. Sebab itulah siang dan malam dia berharap Sim Long lekas mati, siapa tahu sebegitu jauh Sim Long justru tidak mati. Padahal yang mengharapkan kematian Sim Long juga tidak cuma dia seorang saja. Mendadak Ong Ling-hoa berkata dengan tertawa, "Kukira Kim-heng tidak perlu kecewa, hari ini tahun depan kukira adalah ulang tahun kematian Sim Long.�

"Betul?� Put-hoan menegas. "Bilakah aku pernah sembarangan omong?�

"Wah, entah akal bagus apalagi yang telah Kongcu atur?�

"Dalam waktu satu jam Sim Long pasti juga akan datang kemari.�

"Bagaimana Kongcu yakin pasti akan terjadi?� tanya Co Kong-liong. "Apa pun juga dia kan ingin mencari jejak Kim Bu-bong dan Pek Fifi, betul tidak?�

"Betul,� sahut Kim Put-hoan. "Tapi di manakah Kim Bu-bong dan Pek Fifi saat ini, sama sekali dia tidak mempunyai sesuatu petunjuk, untuk ini tentu dia akan berusaha dengan segala macam jalan. Coba, jika Kim-heng menjadi dia, jalan mana yang akan kau tempuh?�

"Ini ... ini ....� Kim Put-hoan tidak dapat menjawab. "Jika aku, tentu akan kuikuti jejak kawanan pengemis, umpama

tidak dapat menemukan Kim Bu-bong, sedikitnya akan kuketahui apa-apa yang dikerjakan kawanan pengemis itu.�

"Betul, dengan demikian akhirnya dia akan sampai di sini, lantas bagaimana?�

"Tinggi ilmu silat orang ini sungguh sukar dijajaki, sebab itulah kita harus menghadapi dia dengan akal dan tidak boleh melawan dia dengan tenaga, betapa pun harus kita bikin dia dapat datang dan tak bisa pergi,� tutur Ong Ling-hoa. "Namun keparat itu juga cukup cerdik,� ujar Kim Put-hoan dengan kening bekernyit. "Bagaimana dengan kecerdikan Kim Bu-bong? Bukankah saat ini dia juga meringkuk di bawah kakiku?� ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Kalau Kim Bu-bong dapat kita jebak, apakah Sim Long tidak dapat kita tipu?� Mendadak Kim Bu-bong mendengus, "Hm, betapa cerdik Sim Long sedikitnya ratusan kali di atasku, hanya sedikit permainan kalian ini ingin menipu dia? Huh, jangan mimpi!�

"Umpama akal ini gagal kan masih ada lagi akal kedua,� kata Ong Ling-hoa sambil menatap Kim Bu-bong, sorot matanya menampilkan sinar kebencian, sambungnya, "Bilamana akalku yang kedua kugunakan rasanya perlu juga kupinjam sesuatu barang dari tubuhmu.� Dengan murka Kim Bu-bong berteriak, "Setelah jatuh di tanganmu, orang she Kim sudah tidak pikirkan akan hidup lagi, tapi ... tapi jika kalian ingin menghina diriku, betapa pun aku ....�

"Ah, Kim-tayhiap mahacerdik dan merupakan orang berbakat yang sukar dicari, mana aku berani berlaku kurang hormat padamu,� ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Cuma, perlu juga diingat, kini Kim-tayhiap sudah jatuh di tanganku, bilamana ingin kuhina dirimu, memangnya apa yang dapat kau lakukan?�

"Haha, tepat sekali,� sela Kim Put-hoan dengan berkeplok. "Kim Bu-bong, tentu sekarang kau tahu telah ketemu batunya! Kau dapat menggertak diriku, memangnya dapat kau gertak Ong-kongcu kita. Meski Sim Long adalah sahabatmu, tapi dalam pandangan Ong-kongcu boleh dikatakan Sim Long tidak ada harganya, meski kau pun satu di antara keempat duta Koay-lok-ong, tapi Koay-lok-ong dalam pandangan Ong-kongcu juga ....�

"Sudah, cukup,� potong Ong Ling-hoa mendadak, ia tersenyum, lalu menyambung pula, "Bicara tentang Koay-lok-ong, aku jadi teringat ada sesuatu hal belum kuberi tahukan padamu. Yaitu tentang kawanmu Tau-hiang-sucia, meski dia juga pernah kutawan, tapi sudah kubebaskan dia lagi. Hal ini bukan karena mendadak timbul rasa kasihanku kepadanya, tapi karena ... karena apa, dapatkah Kim-tayhiap menerkanya?� Kim Bu-bong mengertak gigi, dan tidak bersuara. Ong Ling-hoa bergelak tertawa, "Hahaha, sebabnya kulepaskan dia kembali ke sana agar supaya dia dapat melapor kepada Koay-lok-ong bahwa engkau telah berkhianat padanya .... Cara bagaimana Koay-lok-ong memperlakukan anak buahnya yang berkhianat tentu kau sendiri jauh lebih jelas daripadaku.� Kim Put-hoan terkekeh, tukasnya, "Makanya sekarang kau jatuh di tangan Ong-kongcu boleh dikatakan mujur.� Angin mendesir, mendadak Ong Ling-hoa berpaling dan memandang ke luar, gumamnya, "Wahai Sim Long, mengapa engkau belum lagi datang? Sungguh aku jadi agak rindu padamu ....�

*****

Dalam pada itu Cu Jit-jit dan Sim Long sedang menghadapi kesulitan mencari jejak Kim Bu-bong. Sim Long sedang menatap ke kejauhan sana, sampai lama masih termangu. "Hei, bicaralah, bagaimana menurut pendapatmu?� seru Jit-jit. Perlahan Sim Long berkata, "Tampaknya kawanan pengemis itu juga kabur ke arah sana hal ini terbukti bekas tapak kaki yang masih baru

di atas salju.�

"He, aneh juga, bukankah kau bilang paling penting mencari Kim-toako, memangnya ada sangkut paut apa soal bekas tapak kaki kawanan pengemis itu dengan Kim-toako?� tanya si nona. "Kim Bu-bong menghilang tanpa ketahuan ke mana perginya, jelas arah yang ditempuh kawanan pengemis satu arah dengan dia,� tutur Sim Long. "Maka, jika kita mengejar ke sana menurut jejak kawanan pengemis itu, bisa jadi secara kebetulan akan dapat kita temukan Kim Bu-bong.�

"Aha, tepat, engkau memang pintar,� seru Jit-jit sambil berkeplok. "Jika kita mengejar ke sana mengikuti jejak ini, umpama tidak berhasil menemukan Kim-toako kan dapat menyusul kawanan pengemis itu untuk ditanyai rahasia itu.�

"Betul,� kata Sim Long. Walaupun demikian katanya, namun dia tetap tidak bergerak. Jit-jit menjadi gelisah, "Sudah bilang betul, mengapa kita tidak lekas berangkat saja?�

"Tapi berangkat begini saja juga kurang aman,� ujar Sim Long. "Apanya yang kurang aman?� tanya Jit-jit. "Pek Fifi diculik orang, bisa jadi ada sangkut pautnya dengan kedatangan kawanan pengemis tadi, pemberontakan di dalam Kay-pang serta rahasia yang dimaksudkan Ji Yok-gi, mungkin juga menyangkut diri Kim Put-hoan .... Berbagai hal ini tampaknya tiada

sangkut paut satu sama lain, padahal sangat mungkin dikemudikan oleh satu orang yang sama, dan orang ini bisa jadi ialah ....�

"Bisa jadi siapa? Koay-lok-ong ... atau Ong Ling-hoa?� tanya Jit-jit. "Betul, pasti Ong Ling-hoa adanya.�

"Umpama betul Ong Ling-hoa, lantas bagaimana?�

"Jika betul semua ini dikemudikan oleh Ong Ling-hoa, pengejaran kita ke sana menurut jejak kawanan pengemis ini pasti akan berakibat jatuh ke dalam perangkapnya. Bocah she Ong ini sangat licik dan licin, pintar dan cerdik, apabila gerak-gerik kita sampai terduga olehnya, sepanjang jalan kita pasti pusing kepala menghadapi berbagai perangkap berbahaya, sebab itulah setiap langkah kita harus dilakukan dengan prihatin dan hati-hati.� Habis berkata, segera ia melangkah ke depan diikuti si nona. Walaupun jalan tertimbun salju hingga sebatas betis, angin meniup dingin, tapi perjalanan ini tidak dirasakan sulit bagi Sim Long dan Jit-jit. Sampai akhirnya di tengah desir angin dingin itu tercium bau sedap daging. Terbeliak mata si nona, ucapnya tertawa, "Aha, di sini ada juga seekor kucing rakus, hari belum terang sudah masak daging.�

"Di tempat terpencil begini dan di bawah hujan salju dan dingin ternyata ada bau sedap daging rebus, apakah hal ini tidak kau rasakan aneh?� ujar Sim Long. "Apanya yang aneh? Orang yang rakus setiap saat ingin makan dan di mana pun terdapat orang rakus begini,� kata Jit-jit. Sim Long memandangnya sekejap sambil tersenyum dan menggeleng tanpa bicara lagi. Pada saat itulah sebuah Suteng atau rumah berhala bobrok sudah tertampak di kejauhan. Jejak kawanan pengemis itu pun lenyap di

depan Suteng. Memangnya mereka sama masuk ke rumah berhala ini? Jit-jit tidak bisa tertawa lagi, ucapnya dengan kening bekernyit, "Aneh, memang aneh!�

"O, kau pun bisa merasa heran?� ujar Sim Long. "Bau sedap daging tersiar dari rumah berhala ini, siapa yang masak daging ini? Mungkinkah anak murid Kay-pang? Jika benar, mengapa mereka bisa hidup senang dan adem ayem begini tanpa menghiraukan gejolak perkumpulan mereka?�

"Sesuatu yang berbahaya, dipandang dari luar biasanya kelihatan adem ayem, apa yang kau lihat sebagai ketenangan ini bukan mustahil adalah perangkap maut yang sedang menunggu mangsanya.�

"Tapi cuma daging rebus saja masakah terhitung perangkap? Jangan-jangan ada racun di dalam daging, umpama beracun, asalkan kita tidak makan, dia bisa apa?�

"Hah, terkadang kau pun sangat pintar ....�

"Dan sering juga sangat bodoh, begitu bukan maksudmu?� omel Jit-jit. "Tepat juga terkaanmu sekali ini,� Sim Long tertawa.

"Di dunia ini cuma ada seorang pintar, yaitu dirimu, tentu saja orang lain sama bodoh.� gerundel Jit-jit dengan mendongkol. Meski mengomel di mulut, tapi di dalam hati dia tidak marah. Selama sehari ini terus-menerus Sim Long mengomeli dia, untuk pertama kali ini dilihatnya Sim Long tertawa. Asalkan anak muda itu tidak marah lagi padanya, biarpun dia dimaki sebagai gadis goblok juga dia rela. Biarpun dalam hati merasa senang, di luar dia tetap berlagak marah, maklumlah hati anak perempuan. Ketika ia melirik lagi anak muda itu, dilihatnya Sim Long sedang memandang rumah berhala itu dengan termangu dan tanpa bergerak. "He, ada apa?� tanya Jit-jit. "Masakah kita harus berdiri melulu disini, umpama di dalam ada perangkap juga harus kita periksa, kenapa takut?� Sim Long memandang si nona, lalu memandang pula rumah berhala itu, katanya kemudian dengan perlahan, "Aku akan coba masuk kesana, kau tunggu saja di sini.� Jit-jit melotot, mestinya dia tidak mau, tapi demi melihat kesungguhan Sim Long, ia menghela napas, seperti penasaran ia berkata, "Baiklah, terserah padamu.� Sim Long tersenyum, "Inilah baru anak perempuan penurut .... Kalau terjadi sesuatu di dalam nanti akan segera kuberi tahukan padamu .....� Ia tidak melakukan gerak cepat, tapi melangkah ke sana dengan perlahan.

Baru saja anak muda itu melangkah beberapa tindak, mendadak Jit-jit memanggilnya, "Hei, tunggu!� Sim Long menoleh dengan kening bekernyit. "Jangan ... jangan terlalu lama harus kutunggu di sini,� kata Jit-jit. Sim Long menggeleng-geleng kepala. Akhirnya dia masuk juga kerumah berhala itu. Meski dia tidak tahu di rumah berhala inilah Kim Bu-bong terjebak

dan tertawan dan meski tidak diketahuinya bahwa Ong Ling-hoa masih hendak menjebaknya seperti apa yang terjadi atas diri Kim Bu-bong, tapi agaknya Sim Long sudah mempunyai firasat tidak enak, ia tahu Suteng atau rumah berhala ini adalah tempat tidak baik, maka ia melangkah dengan sangat perlahan. Tapi apa pun juga akhirnya ia masuk ke situ. Jit-jit menyaksikan Sim Long masuk ke rumah berhala itu, semula ia penasaran karena ditinggalkan, tapi begitu bayangan Sim Long

menghilang di balik pintu, seketika jantungnya berdebar. Semakin dipikir semakin dirasakan di dalam rumah berhala itu pasti ada perangkap, perangkap maut. Kalau tidak, fajar baru menyingsing, mengapa sudah ada orang merebus daging di sini,

cuma perangkap apa, sukar diterkanya. Ia pikir jangan-jangan ada orang bersembunyi di dalam dan hendak membius Sim Long, dengan daging rebus ini sebagai umpan agar tidak dirasakan oleh anak muda itu. Ya, pasti demikian, harus cepat kucegah dia, kalau tidak, bukan mustahil segera dia akan terjebak. Berpikir demikian segera ia hendak berlari ke dalam rumah berhala itu, tapi baru sebelah kaki bergerak, segera ia berhenti lagi. Dirasakan jalan pikirannya itu pun tidak betul. Dengan hidung Sim Long yang tajam mustahil tidak dapat membedakan bau obat bius segala, mana bisa Ong Ling-hoa menggunakan cara sederhana begini untuk menjebak Sim Long? Ong Ling-hoa cukup kenal kemampuan Sim Long, muslihat yang

akan digunakannya untuk menjebak Sim Long pasti akal yang mahalicin, akal jahat yang tak terbayangkan oleh siapa pun.

Lantas akal jahat apakah? Mungkinkah begitu Sim Long masuk kesitu lantas dihujani anak panah sehingga anak muda itu kelabakan dan tidak mampu mengelak? Ah, tidak, hal ini juga terlalu naif, mustahil bisa menjebak Sim Long. Begitulah macam-macam kekhawatiran berkecamuk dalam benaknya, makin dipikir makin kusut. Ia pandang rumah berhala itu dengan gelisah dan menantikan entah apa yang akan terjadi. Tapi sudah sekian lamanya Sim Long masuk ke situ dan ternyata tidak terdengar sesuatu suara apa pun. Jangankan suara teriakan dan bentakan, sampai suara orang berdehem juga tidak terdengar,

sama sekali tidak ada sesuatu suara. Kesunyian demikian terlebih menyeramkan dan menakutkan orang. Angin lagi meniup, hawa dingin. Cu Jit-jit menggigit bibir dan menggosok-gosok tangan, hampir gila saking gelisahnya. Selang sekian lama pula, tetap tidak ada sesuatu suara, suara kentut pun tidak terdengar. Tambah cemas Jit-jit, betapa kejinya Ong Ling-hoa sudah diketahuinya, kalau Sim Long terjebak, seharusnya dia bersuara seperti janjinya tadi. Namun suasana tetap sunyi, sungguh Jit-jit tidak tahan lagi, ia menjadi nekat, secepat terbang ia menerjang ke dalam rumah berhala itu. Remang fajar sudah berubah menjadi terang benderang, keadaan dalam rumah berhala ini kelihatan misterius, seram dan beralamat tidak enak. Api unggun belum lagi padam, cuma apinya sudah sangat kecil. Diatas api masih ada daging, lantaran api sudah kecil sehingga daging panggang tidak menjadi hangus. Tabir meja sembahyang yang sudah luntur itu telah terobek, entah ditarik siapa, lagi bergerak tertiup angin di lantai. Meja sembahyang sudah roboh terdepak dan juga entah didepak siapa, antara api unggun dan meja terguling itu ada genangan air hitam. Hah, bukan air, tapi darah, darah segar. Rumah berhala yang memang bobrok kelihatan tambah seram. Sim Long yang tadi jelas-jelas masuk ke situ tidak kelihatan lagi bayangannya. Tidak ada seorang pun, bayangan setan juga tidak ada. Lantas ke mana Sim Long? Apakah sudah masuk perangkap musuh dan terbunuh?

Jilid 18

Saking cemasnya Jit-jit lantas berteriak, "Sim Long ....� Jeritan melengking tajam ini memecah kesunyian angkasa, tapi

hanya sekejap saja lantas berhenti sebab kerongkongan Jit-jit serasa seperti tercekik. Soalnya mendadak dari kolong meja sembahyang yang terguling itu menongol keluar sebuah kepala. Kepala Sim Long. Begitu kepala Sim Long menongol keluar, seketika mengkeret lagi. Secepat terbang Jit-jit memburu maju, dirangkulnya leher Sim Long, di samping terkejut tentu saja ia pun kegirangan, dengan napas terengah ia menggerundel, �O, engkau berada di sini, syukurlah tidak terjadi apa-apa. Kenapa engkau tidak bersuara, sungguh aku khawatir setengah mati.�� Tubuh Sim Long tidak bergerak, dengan dingin ia membentak, "Menyingkir!� Jit-jit melengak dan melepaskan rangkulannya. Betapa pun Sim Long marah padanya tidak pernah anak muda itu menghardiknya seperti sekarang ini. Setelah melepaskan tangannya, matanya menjadi merah pula, sedemikian dia berkhawatir bagi Sim Long, tapi apa yang diperolehnya adalah hardikan. Remuk redam hatinya, ia menyurut mundur dengan menggigit bibir, air mata pun bercucuran. Sebaliknya Sim Long sama sekali tidak memandangnya melainkan menatap ke depan sana. Apa yang dipandang Sim Long, Jit-jit sendiri tidak tahu. Yang terlihat oleh si nona sekarang hanya Sim Long melulu, sambil mengusap air mata ia membatin, "Baiklah, Sim Long, begini keras engkau terhadapku, biarlah ... biarlah seterusnya aku takkan menemuimu lagi.� Walaupun begitu pandangannya tetap tidak pernah berpisah dengan anak muda itu. Jika mau dikatakan Sim Long pemuda yang baik, di mana kebaikannya juga tak dapat dijelaskan olehnya. Bicara tentang keterusterangan dia tidak melebihi Him Miau-ji, bicara tentang pendiam, dia juga tak dapat menandingi Kim Bu-bong, soal

ketampanan dan pengertiannya terhadap anak perempuan, jelas dia juga kalah daripada Ong Ling-hoa. Tapi entah mengapa, dalam pandangan Jit-jit cuma ada Sim Long seorang, melihat dia, hatinya lantas senang, kalau tidak melihatnya, sepanjang hari dia akan murung. Sungguh ia tidak berani membayangkan bilamana selanjutnya tidak bertemu dengan Sim Long akan bagaimana jadinya dia? Seketika bergolaklah pertentangan batinnya, saking kesalnya ia menangis dan berteriak, "Sim Long kubenci padamu, kubenci ....� Namun Sim Long tidak mau memandangnya, tetap menatap kedepan sana. Hancur hati Jit-jit, dengan suara serak ia berteriak, "Kau orang mampus, ayolah bicara, kau ... kau ....� Didorong emosi, tanpa pikir tangannya melayang, "plak�, muka Sim Long digamparnya sekali. Tapi anak muda itu seperti tidak merasakan apa pun, tetap tidak bergerak, wajah yang menyenangkan dan juga dibencinya itu telah bertambah sebuah cap tangan yang merah. Pedih hati Jit-jit, cemas dan juga menyesal, kembali ia menangis dengan sedih. Namun Sim Long tetap tidak menghiraukannya. Entah menangis berapa lama lagi, lambat laun suara tangis Jit-jit menjadi lirih. Tiba-tiba terdengar Sim Long berucap dengan suara halus, "Sudah ... sudah baikkah engkau?� Jit-jit menjadi girang, ia pikir betapa pun Sim Long tetap memerhatikan diriku. Tapi lantas terdengar anak muda itu menyambung lagi, "Kim-heng, hendaknya kau tahan sekuatnya.� Nyata sasaran bicara Sim Long bukan dirinya. Kembali Jit-jit kecewa dan juga heran, waktu ia angkat kepala, barulah diketahuinya di

sebelah Sim Long masih berbaring satu orang. Jelas Kim Bu-bong adanya. Kim Bu-bong berbaring telentang di tengah genangan darah, kedua matanya terpejam rapat, mukanya pucat seperti kertas, napasnya sangat lemah, nyata dia dalam keadaan sekarat. Mengapa keadaan rumah berhala ini bisa berubah menjadi begini? Apa yang terjadi atas diri Kim Bu-bong? Ke mana perginya Ong Ling-hoa dan Kim Put-hoan? Bahkan ada yang lebih mengejutkan Jit-jit ketika dilihatnya lengan kanan Kim Bu-bong telah buntung. Sekujur badannya berlumuran darah. Tak tahan lagi Jit-jit menjerit kaget. Pantas Sim Long tidak menghiraukan dia, kiranya saat ini Sim Long sedang berusaha menyelamatkan Kim Bu-bong dengan menyalurkan hawa murninya.

Sekujur badan Jit-jit menjadi gemetar, serunya, "Oo, Kim-toako, meng ... mengapa engkau jadi begini? Siapa ... siapa yang

mencelakaimu?� Ia meratap, tapi rasanya sudah lelah, terpaksa ia cuma menggigit bibir, air mata lantas bercucuran lagi.

Sekali ini dia mencucurkan air mata bagi Kim Bu-bong. Diam-diam ia berdoa di dalam hati semoga jiwanya selamat. Sampai sekian lamanya, akhirnya terdengar suara rintihan Kim Bu-bong yang sangat lemah. Baru sekarang Sim Long merasa lega,

mukanya penuh keringat, tersembul senyuman pada ujung mulutnya, ia menghela napas, nyata besar harapan Kim Bu-bong dapat ditolongnya. Tanpa terasa fajar sudah menyingsing. Lambat laun napas Kim Bu-bong juga mulai lancar. Jit-jit menggenggam kedua tangannya dengan erat, dia seakan-akan ikut berjuang bersama Kim Bu-bong melepaskan diri dari maut. Akhirnya Kim Bu-bong membuka matanya. Namun sorot matanya kelihatan buram, ia memandang hampa sekitarnya, kemudian hinggap pada wajah Sim Long, sekuatnya ia bersuara, "Sim ... Sim-heng ....�

"Jangan bicara, Kim-heng,� ujar Sim Long. �Istirahat dulu, bereslah segala urusan, tidak berbahaya lagi.�� Kim Bu-bong tidak bersuara lagi. Namun pandangannya cukup menampilkan rasa pedih, duka, penasaran dan juga terima kasih dan

gembiranya. Dia telah diseret kembali dari renggutan elmaut, sahabat karibnya menunggu di sampingnya. Pertarungan sengit tadi sungguh rasanya seperti habis mimpi buruk saja. Tapi juga dirasakan pertarungan sengit tadi dan darah yang

dicucurkannya cukup berharga. Kalau tidak ada pertempuran sengit tadi, mungkin sekali saat ini Sim Long sudah terjebak oleh tipu muslihat Ong Ling-hoa. Perlahan Jit-jit mendekatkan kepalanya ke telinga Kim Bu-bong dan memanggil, "Kim-toako .....�

"Menyingkir dulu, jangan mengganggunya,� kata Sim Long. Jit-jit mendongkol, katanya, "Aku tidak mengganggunya, aku ingin

memberi obat padanya.� Segera ia meraba bajunya dan mengeluarkan sebungkus obat bubuk. � Obat apa itu?� tanya Sim Long.

"Obat luka,� tutur Jit-jit. "Konon obat ini cuma ada di istana raja, obat simpanan ayahku, waktu kuberangkat telah kucuri satu bungkus ....�

"Bawa sini,� kata Sim Long. Jit-jit menyerahkan obatnya dan berkata, "Separuh diminum, separuh lagi dibubuhkan pada lukanya.� Obat itu memang mujarab, hanya sebentar setelah minum obat, air muka Kim Bu-bong lantas berubah agak merah. Jit-jit sibuk menambahkan kayu sehingga api unggun berkobar lagi. Kim Bu-bong tampak membentangkan matanya lagi dan

memandang Sim Long dengan rasa terima kasih yang tak terhingga, namun di mulut tidak berucap terima kasih melainkan cuma bilang, "Bagus, akhirnya engkau datang.� Sim Long juga tertawa, "Ya, aku sudah datang .... Hendaknya engkau jangan bicara, istirahat dan kumpulkan tenaga dulu.�

"Jangan khawatir, aku takkan mati.� ujar Bu-bong. Waktu melihat Jit-jit, ia tertawa, habis itu sorot matanya menjadi beringas lagi dan berseru dengan parau, "Ong Ling-hoa, di mana bangsat itu?�

"Tidak kulihat dia,� kata Sim Long. "Bangsat itu ....� ucap Bu-bong dengan gemas. "Biarpun dia melukaiku, tapi dia sendiri juga merasakan kelihaianku.�

"Jangan banyak bicara dulu, Kim-heng,� kata Sim Long pula. Tapi Bu-bong menggeleng perlahan, "Tidak, bila tidak kuceritakan kejadian ini, hatiku akan terasa tidak enak. Setelah kukejar sampai di sini, kucium bau sedap daging panggang, segera kumasuk ke rumah berhala ini, siapa tahu mereka telah memasang perangkap di sini, begitu masuk kemari segera aku terjebak.�

"Segala apa tidak dapat mengelabui Sim Long, begitu mencium bau daging segera itu tahu ....�

"Jangan menimbrung,� potong Sim Long sebelum lanjut ucapan Jit-jit. Mestinya si nona ingin memuji Sim Long, hasilnya malah diomeli, keruan ia mendongkol, dengan mulut yang menjengkit ia melengos. Didengarkan Kim Bu-bong lagi bercerita, "Waktu itu Hiat-toku tertutuk dan tak bisa berkutik, kawanan bangsat itu memandang diriku sebagai ikan di dalam jaring dan pasti akan menjadi mangsa mereka, sebab itulah mereka bicara segala apa pun di hadapanku tanpa khawatir akibatnya. Ketika itulah dapat kuketahui betapa licin bangsat she Ong itu dan betapa luas pengaruhnya yang sama sekali di luar dugaan.�

"Orang ini memang sangat cerdas dan pintar, cuma sayang justru tersesat oleh kepintarannya sendiri,� ujar Sim Long dengan

menyesal. "Kemudian datanglah Co Kong-liong, salah seorang sesepuh Kay-pang,� sambung Bu-bong. "Sehari-hari keparat ini berlagak berbudi luhur, siapa tahu dia juga telah dibeli oleh Ong Ling-hoa, tujuannya tiada lain hanya karena kemaruk pada kedudukan Pangcu saja.�

"Aha, rahasia Ji Yok-gi ternyata ada sangkut pautnya dengan Ong Ling-hoa,� kata Sim Long. "Ji Yok-gi?� Bu-bong menegas. "Dia mempunyai rahasia apa?�

"Rahasia yang dimaksudkannya agaknya mengenai pengkhianatan sesepuh Kay-pang itu ....� lalu Sim Long menceritakan apa yang terjadi atas diri Ji Yok-gi. Bu-bong termenung sejenak, katanya kemudian, "Tempo hari dia dan Kay-pang-sam-lo tentu setiap malam berkumpul di Suteng ini, pada tengah malam baru Ong Ling-hoa datang kemari.�

"Dengan sendirinya Ji Yok-gi tidak tahu aku sudah kenal Ong Ling-hoa,� kata Sim Long dengan tertawa, "maka ketika diketahuinya intrik Ong Ling-hoa, buru-buru dia ingin memberitahukannya kepadaku.�

"Tapi dari mana dia tahu engkau berada di mana?� tanya Bu-bong. "Semula tentu Co Kong-liong memandangnya sebagai orang

kepercayaannya, dengan sendirinya Ong Ling-hoa yang bicara tentang jejakku dan dapat didengar olehnya.� "Betapa tajam pandangan Ong Ling-hoa, jika Ji Yok-gi akan bertindak sesuatu pasti akan diketahuinya,� ujar Bu-bong. "Memang betul, sebab itulah gerak-geriknya pasti sudah diawasi oleh Ong Ling-hoa, maka sebelum menemukan diriku dia sudah terluka lebih dulu, cuma tidak diketahui cara bagaimana dia lolos dari penguntitan musuh .... Cuma sayang, dengan mati-matian ia

berusaha memberitahukan padaku tentang rahasia Ong Ling-hoa, tak diketahuinya rahasia Ong Ling-hoa sudah kuketahui lebih dulu. Jadi dia boleh dikatakan mati sia-sia.�

"Orang hidup, ada sementara urusan biarpun mati juga harus dikerjakannya,� ujar Bu-bong dengan tegas. "Soal apakah urusan

yang dikerjakannya ini berguna atau tidak adalah soal lain. Meski Ji Yok-gi melakukan pekerjaan sia-sia ini dengan mempertaruhkan nyawanya, tapi dia mati demi kepentingan orang banyak, demi kesejahteraan umum, hidupnya boleh dikatakan cukup berharga, kematiannya tidak boleh dianggap penasaran. Padahal, pandangan terhadap mati dan hidup seseorang masih harus kubelajar kepada Sim-heng.�

"Seorang yang tidak takut mati semakin takkan mati ....�

"Haha, inilah kata-kata emas, kata-kata yang tepat dan harus didengarkan oleh orang sejagat,� seru Bu-bong dengan tertawa. "Coba tadi, kalau aku takut mati, mungkin takkan hidup sampai saat ini.� Wajah Kim Bu-bong tampak bersemangat, segera ia meneruskan ceritanya, "Waktu itu kawanan bangsat itu memandang diriku pasti akan mampus, aku dihina habis-habisan, bahkan di depanku mereka merencanakan muslihat keji cara bagaimana akan membikin celaka padamu. Pada lahirnya aku berlagak tidak dapat berbuat apa-apa, namun sebenarnya dengan menahan gusar diam-diam sudah ada perhitunganku sendiri.�

"Betapa kejam dan tajam mata Ong Ling-hoa tentu juga tidak dapat menyelami perasaanmu,� ujar Sim Long dengan tertawa.

"Betapa pun dia dapat menyelami perasaanku tentu juga tidak tahu apa yang kuperlihatkan waktu itu cuma pura-pura saja, bahkan tentang tubuhku yang tidak dapat bergerak juga ada setengahnya pura-pura belaka.�

"Katamu engkau tertutuk olehnya?� timbrung Jit-jit. "Dia menyerang di luar tahuku, aku tidak sempat mengelak, tapi

diam-diam aku menghimpun tenaga dalam untuk menahan tutukannya sehingga Hiat-to yang tertutuk tidak tembus seluruhnya,� tutur Bu-bong. "Selama ini, kalau bicara tentang kekuatan Khikang, memang diakui Ca Giok-koan adalah ahli yang paling menonjol, sesudah pertemuan Wi-san dahulu tentu kemajuannya tambah memuncak, cuma tak kusangka Kim-heng juga telah memperoleh ajarannya sedemikian hebat.� Bicara tentang gurunya itu, wajah Kim Bu-bong menampilkan rasa pedih, ucapnya, "Soal baik atau jahat pribadi Ca Giok-koan tidak perlu dibicarakan, namun kebijaksanaannya terhadap anak muridnya harus dipuji, selamanya dia perlakukan mereka secara adil tanpa menyembunyikan sesuatu.�

"Meski aku pun benci terhadap tindak tanduknya, tapi terhadap kecerdasan dan kebijaksanaannya yang kau sebut tadi harus

kukagumi,� ujar Sim Long. Bu-bong diam saja, jelas dia tidak ingin membicarakan lagi gembong iblis yang membuat orang benci dan juga mengagumkan itu. Kemudian ia menyambung lagi ceritanya, "Waktu itu meski kutahan dengan tenaga dalam, tapi tenaga jari Ong Ling-hoa juga tidak boleh diremehkan, kurasakan setengah badanku kaku kesemutan, bilamana kuturun tangan waktu itu rasanya juga sukar menahan tutukannya itu.�

"Hm, Ong Ling-hoa kan juga gembong iblis zaman ini?� ujar Sim Long dengan gegetun. "Terpaksa aku berlagak tak bisa berkutik agar diam-diam dapat kupulihkan tenagaku dan sekalian mendengarkan rahasia mereka, ketika mereka yakin engkau pasti akan menyusul tiba, tentu saja aku pun senang dan akan turun tangan bilamana engkau sudah datang.�

"Masa Ong Ling-hoa dapat memperhitungkan kedatangan Sim Long?� tanya Jit-jit dengan terbelalak. "Kecerdasan Ong Ling-hoa memang luar biasa, dia memperhitungkan kalian pasti akan datang mengikuti jejak yang ditinggalkan kawanan pengemis itu, maka dia lantas mengatur tipu keji untuk menantikan kalian, untuk ini, sebelum kalian tiba mereka hendak menggusur diriku ke tempat lain, dalam keadaan kepepet, biarpun tahu sendirian tidak dapat melawan orang banyak, terpaksa aku turun tangan juga."�

"Wah, pertarungan itu pasti sangat sengit,� ujar Sim Long sambil memandang keadaan ruang Suteng yang morat-marit itu.

Bu-bong tersenyum getir dan juga merasa bangga, tuturnya, "Dengan sendirinya aku bukan tandingan Ong Ling-hoa, Kim Put-

hoan dan Co Kong-liong, tapi dasar pengecut, melihat aku dapat bergerak, lebih dulu Kim Put-hoan sudah jeri. Co Kong-liong juga gentar menghadapi perlawananku yang nekat, hanya Ong Ling-hoa saja, ai, dia benar-benar serigalanya manusia.�

"Apakah kungfunya juga sama kejinya dengan tipu akalnya?� tanya Sim Long. "Betapa luas kungfu yang dikuasainya dan betapa keji jurus serangannya, sungguh sukar diceritakan,� tutur Bu-bong. "Yang paling hebat adalah kecerdasannya dalam hal menerka jurus serangan lawan sebelum dilontarkan, sedetik sebelum serangan tiba, lebih dulu dia sudah mengatur pertahanan untuk mengatasi seranganmu.�

"Bagaimana kungfunya jika dibandingkan Thian-hoat Taysu?� tanya Sim Long. "Thian-hoat pasti tidak mampu menahan 20 jurus serangannya,� tutur Bu-bong. "Masa begitu lihai?� seru Sim Long. "Tentunya Sim-heng sangsi, jika dia begitu lihai, mengapa dapat kulukai dia,� kata Bu-bong. �Memang, bicara kungfu sejati tidak nanti dapat kulukai dia, tapi ketahuilah, pada waktu bertempur, kungfu yang paling lihai adalah nekat.�

"Seorang yang nekat sukar dilawan oleh seribu orang�, pemeo ini cukup diketahui Sim Long. Dengan tersenyum pedih Bu-bong bercerita pula, "Dengan mengorbankan lengan kanan ini barulah dapat kupukul dia satu kali. Cuma sayang, waktu itu juga aku lantas jatuh pingsan, bagaimana lukanya aku sendiri tidak tahu.�

"Pukulanmu mana dapat ditahan oleh tubuh manusia,� ujar Sim Long. "Kalau dia tidak terluka parah, masa engkau dapat bicara denganku seperti sekarang.�

"Ya, mungkin lukanya juga parah sehingga tidak sempat membunuhku lagi,� kata Bu-bong dengan tersenyum pedih. Sim Long menatapnya sekian lama, akhirnya menghela napas dan berkata, "Sebenarnya ... sebenarnya Kim-heng juga tidak perlu

bertindak demikian.�

"Bertindak apa? Memangnya aku salah berbuat?�

"Sungguh hatiku tidak tenteram oleh tindakan Kim-heng kepadaku ini.�

"Aku bertindak apa padamu?�

"Waktu itu mestinya engkau tidak perlu bergebrak dengan mereka, cukup kau angkat kaki saja, masa mereka mampu merintangimu? Walaupun tahu bukan tandingan mereka, tapi engkau tetap melabrak mereka, hanya karena engkau ingin membela diriku saja.�

"Omong kosong!� jengek Bu-bong. "Selama hidupku hanya tahu membela kepentingan sendiri, untuk apa kupikirkan kepentingan

orang lain. Bilakah pernah kubela dirimu, apakah engkau lagi mimpi?�

"Meski lahirnya engkau kelihatan dingin, tapi sebenarnya hatimu panas membara, tindakanmu itu sungguh membuat hatiku tidak enak ....�

"Kenapa hatimu tidak enak?� teriak Bu-bong. "Apakah karena kasihan melihat aku cacat? .... Hm, meski Kim Bu-bong kini cuma bertangan satu juga jauh lebih kuat daripada mereka yang punya dua tangan, kau percaya tidak?�

"Aku ... aku ....� Sim Long tergegap. "Ai, kenapa kau jadi serupa anak kecil? Beberapa kali kau selamatkan jiwaku dan tidak pernah kuucapkan banyak terima kasih, masakah sekarang kau ....�

"Betul!� mendadak Sim Long berseru dan tertawa. "Bagi seorang lelaki sejati, apa artinya buntung sebelah tangan? Kim Bu-bong yang bertangan satu pasti jauh lebih kuat daripada Ong Ling-hoa yang bertangan dua.� Kedua orang muda ini, yang satu masih berbaring di tengah genangan darah, terluka parah dan sukar berbangkit, yang lain masih harus menghadapi masa depan yang penuh rintangan dan ujian, namun sekarang mereka sama bergelak tertawa. Meski Jit-jit berdiri di samping, namun semua ucapan mereka dapat didengarnya dengan jelas dan terukir dalam benaknya, seketika ia pun mencucurkan air mata terharu. Begitulah kedua orang sama tertawa, Kim Bu-bong merasa tenaga sendiri semakin kuat, secara ajaib lukanya bisa sembuh dengan cepat, tentu saja ia gembira. Tapi sebaliknya dirasakan suara tertawa Sim Long makin lama makin lemah.

Malahan segera dirasakan lagi tangan Sim Long yang tak pernah berpisah dengan tubuhnya itu masih terus menyalurkan hawa murni kepadanya, pantas lukanya yang parah bisa cepat sembuh dan sanggup bicara terus-menerus. Bagi orang yang berlatih kungfu, tenaga murni sama dengan jiwanya, namun sekarang tenaga murni Sim Long telah disalurkan kepada Kim Bu-bong tanpa pikirkan akibatnya, dengan sendirinya tenaga Kim Bu-bong pulih dengan cepat, sebaiknya Sim Long sendiri menjadi lemah.

Seketika Kim Bu-bong berhenti tertawa dan berteriak, "Singkirkan tanganmu!� Sim Long tertawa, sungguh ia tidak tahan lagi, tanpa terasa ia bersandar di kaki meja. Semua ini tentu saja dapat dilihat Cu Jit-jit, betapa pun ia terharu dan berkata kepada dirinya sendiri, "Lelaki sejati ini tidak boleh kulepaskan, jika kutinggalkan dia, selamanya takkan kudapatkan kesatria sejati seperti dia, betapa pun dia memperlakukan diriku dengan kasar tetap aku harus mengalah, apa alangannya mengalah sedikit?� Segera ia mengambilkan daging panggang dan mendekati Sim Long. Daging panggang itu sudah agak hangus bagian kulitnya, namun baunya bertambah sedap. Dengan suara lembut Jit-jit berkata, "Engkau sudah lelah, makanlah sedikit!� Tak terduga Sim Long tidak menghiraukannya, sebaliknya malah mendengus, "Singkirkan!� Tapi Jit-jit berkata pula, "Sudah kucoba dengan tusuk kundai perak, daging ini dapat dimakan.�

"Menyingkir!� bentak Sim Long malah. Sedapatnya Jit-jit bersabar, ucapnya, "Jika engkau tidak suka daging panggang ini, di sekitar sini tentu ada kampung yang menjual makanan, maukah kubelikan .... Tentu Kim-toako juga ingin makan.�

"Tidak perlu,� seru Sim Long. "Aku ... aku cuma ingin bekerja sesuatu bagimu, urusan apa pun akan kulakukan,� kata Jit-jit. "Baik, menyingkirlah sejauhnya, makin jauh makin baik, untuk itu aku akan berterima kasih malah,� kata Sim Long dengan ketus. Jit-jit jadi melengak, kembali air matanya bercucuran. Dipandangnya Kim Bu-bong, meski ada orang lain di sini, tapi dia tidak peduli lagi, ia sudah bertekad akan berkorban asalkan demi Sim Long, dengan menggereget ia bertanya, "Se ... sesungguhnya aku berbuat salah apa sehingga membuatmu marah? Katakan saja, bila betul aku salah, selanjutnya pasti akan kuperbaiki, pasti!� Biasanya tidak nanti dia berucap begini, tapi sekarang telah dikatakannya. Habis bicara ia lantas menangis tersedu-sedan, tapi cepat ditahannya pula. Tangisan tanpa suara, kepedihan dengan bersenyum, sungguh

mengandung berbagai macam perasaan yang sukar diuraikan. Akhirnya Sim Long berpaling dan memandang wajah si nona. Wajah

yang mirip apel kehujanan itu. Namun sorot matanya tetap dingin, jengeknya, "Hm setelah berbuat salah, kau sendiri tidak mengetahuinya? Kalau bukan gara-garamu, mana Pek Fifi bisa diculik orang, kalau bukan gara-garamu, mana Kim-toako bisa berubah menjadi begini?�

"Sem ... semua ini salahku? ....�

"Bukan salahmu, habis salah siapa?� bentak Sim Long. "Jika kau mau sedikit berpikir bagi orang lain, jika ada sedikit rasa simpatimu terhadap orang lain, semua ini pasti takkan terjadi.�  Air mata Jit-jit bercucuran bagaikan hujan, ucapnya dengan gemetar, "Tapi aku ... aku ....�

"Kau tidak lain cuma seorang perempuan jahat yang egois, congkak, suka menang dan juga iri, asalkan kau sendiri senang, urusan orang lain tidak kau pikirkan lagi. Asalkan kau sendiri gembira, biarpun hati orang lain hancur luluh juga tidak kau peduli.� Setiap kata Sim Long itu seolah-olah cemeti yang menyabat tubuh Cu Jit-jit, membuat telinganya serasa mendengung dan akhirnya jatuh terkulai. Sejak kecil sampai sebesar ini belum pernah dia dimaki orang secara begini, sekarang Sim Long telah mencaci maki dia habis-habisan dan membuatnya tercengang, diam-diam ia bertanya kepada diri sendiri, "Apakah betul aku sebusuk itu? Apa betul aku sejahat itu? ....� Seketika itu seakan-akan terbayang wajah Him Miau-ji, Pek Fifi, Pui Jian-li, Can Ing-siong dan lain-lain .... Orang-orang itu sama pernah dibikin susah olehnya, ada yang dibikin malu olehnya, ada yang dikecewakan dan ada juga yang dibuat berduka olehnya. "Tapi semua itu kulakukan tanpa sengaja, sama sekali tidak ada niatku untuk membikin susah siapa pun,� serunya kemudian dengan penasaran. "Betul, tidak ada niatmu membikin susah orang lain, tapi orang yang menderita oleh karena ketidaksengajaanmu itu justru lebih susah

daripada perbuatanmu yang sengaja. Engkau menganggap dirimu paling terhormat, paling agung, orang lain harus menurut, harus tunduk kepada kehendakmu, orang lain harus kau injak-injak di bawah kakimu, seakan-akan semua perbuatanmu itu adalah selayaknya begitu.�

"Ti ... tidak, sama sekali aku tidak ... tidak berpikir begitu,� ratap Jit-jit. "Aku tidak berpengalaman, aku tidak tahu apa-apa, masa ...masa engkau tidak dapat memaafkan diriku?�

"Tidak,� jengek Sim Long ketus. Sambil memukuli tanah Jit-jit meratap pula, "Banyak orang yang berbuat salah lebih besar daripadaku dan mereka dapat ... dapat kau maafkan, sebaliknya engkau tidak ... tidak dapat memaafkan kesalahanku?�

"Maafku kepadamu sudah terlalu banyak,� ujar Sim Long. Jit-jit mengertak gigi dan merangkak bangun untuk berdiri di depan

Sim Long, teriaknya, "Baik, engkau tidak dapat memaafkanku, akupun tidak perlu minta diampuni olehmu, lebih baik kau bunuh saja diriku.�

"Membunuhmu? Tidak perlu,� jengek Sim Long. "Oo ... betapa kejam hatimu,� ratap Jit-jit. "Aku tidak minta apa-apa, masa engkau tidak sudi membunuhku?� Sim Long diam saja tanpa menghiraukannya. Kembali Jit-jit jatuh terkulai, ratapnya, "O, Tuhan, mengapa engkau perlakukan diriku secara tidak adil. Orang yang paling jahat sekalipun boleh mati di tangan Sim Long, sebaliknya aku ... aku tidak ingin hidup lagi dan kesempatan untuk mati di tangannya saja ditolak.� Sim Long memejamkan mata tanpa menghiraukan si nona. Sejak tadi Kim Bu-bong juga telah memejamkan mata. Sukar untuk melukiskan perasaan Jit-jit sekarang. Ia benci, benci kepada diri sendiri, juga benci kepada Sim Long. Tapi biarpun benci, tetap tidak dapat berbuat sesuatu apa. Mendadak ia melompat bangun, serupa orang gila ia jemput benda apa pun yang dapat diraihnya terus dilemparkan ke arah Sim Long sambil berteriak histeris, "Kubenci ... kubenci padamu ... kubenci padamu selamanya ....� Lalu dia berlari pergi seperti kesetanan. Perlahan Sim Long membuka matanya, tapi tetap tidak bergerak,

serupa seorang padri yang sedang bersemadi. Kim Bu-bong juga membuka matanya dan memandang Sim Long dengan heran. Sampai sekian lamanya, akhirnya Sim Long tertawa. "Apakah hatimu terbuat dari baja?� tanya Bu-bong kemudian. Tertawa Sim Long rada mengandung rasa pedih juga, gumamnya, "Hatiku ... siapa yang tahu akan hatiku? ....�

"Mengapa kau tega perlakukan dia cara begini?� tanya Bu-bong pula. "Seharusnya kuperlakukan dia bagaimana?� Bu-bong terdiam, sejenak kemudian baru berkata pula, "Apakah betul dia tidak dapat dimaafkan?�

"Masakah dia dapat dimaafkan?�

"Seumpama tidak dapat dimaafkan, engkau harus memaafkan dia.�

"Sebab apa?� tanya Sim Long. Bu-bong menatap langit-langit rumah yang guram, katanya perlahan, "Nanti bila usiamu meningkat seperti diriku sekarang tentu akan kau ketahui. Biarpun banyak perempuan cantik di dunia ini, tapi untuk mencari seorang yang benar-benar mencintaimu sedalam ini kukira tidak ... tidak mudah.� Mendadak ia berpaling dan menatap Sim Long lekat-lekat, "Tentunya kau akui bahwa dia memang cinta padamu. Betapa pun harus kau akui, apa yang dilakukannya tidak berniat jahat. Terhadap orang lain engkau sangat bijaksana, terhadapnya mengapa engkau seketus itu?� Sim Long termenung sejenak, sahutnya kemudian, "Aku dapat mengampuni orang lain, tapi tidak dapat mengampuni dia ....� Sampai sekian lama Kim Bu-bong melenggong, akhirnya ia mengangguk perlahan dan berucap, "Ya betul, engkau dapat mengampuni orang lain, tapi tidak kepadanya.� Keduanya tidak bicara lagi, semuanya terhanyut dalam lamunan masing-masing. Apa yang mereka pikirkan, apakah memikirkan betapa rumitnya hubungan antara manusia dan manusia? Kemudian Sim Long berkata, "Orang lain tentu juga dapat mengampuni dia, tapi aku tidak.� Sekali ini tanpa pikir Bu-bong lantas mengangguk setuju, "Betul, orang lain dapat memaafkan dia, tapi engkau tidak .... Tanggung jawab orang lain hanya terhadap dirinya sendiri, asalkan memenuhi kewajiban terhadap diri sendiri dan selesailah, tapi tugas ... tugas yang kau pikul teramat berat.�

"Ternyata cuma Kim-heng saja yang tahu akan pribadiku, apa pula yang perlu kusesalkan lagi hidupku ini?� Api unggun berkobar dengan keras, ruang Suteng terasa hangat, entah hangat karena api unggun atau hangat karena persahabatan. Selang agak lama tiba-tiba Sim Long berkata, "Apa pun juga semoga dia ....� Pada saat yang sama Kim Bu-bong juga berucap, "Apa pun juga semoga dia ....� Kedua orang bicara bersama dan tutup mulut serentak pula, sebab mereka sama tahu apa yang hendak diucapkan ternyata sama. "Apa pun juga semoga dia hidup selamat dan bahagia!� Namun doa yang tulus ikhlas itu sudah tidak didengar lagi oleh Cu Jit-jit. Saat itu entah sudah berapa jauhnya dia berlari. Mukanya mulai perih karena tersayat tiupan angin, kemudian terasa kaku, lalu terasa sakit seperti digigit semut. Air matanya sudah kering, kakinya terasa berat. Untunglah di depan kelihatan ada bangunan rumah. Ia percepat langkahnya dan berlari ke sana. Kini dia sudah melupakan rasa duka, yang terpikir hanya semangkuk kuah hangat dan sebuah dipan. Tapi di depan tidak ada rumah, juga tidak ada kuah panas maupun dipan. Bayangan bangunan rumah itu sesungguhnya cuma tempat pemakaman. Nyata kuburan ini milik keluarga hartawan sehingga dibangun dengan sangat megah. Dengan lemas Jit-jit duduk meringkuk di balik batu nisan, hanya tempat ini dapat digunakan untuk mengalingi tiupan angin. Ia menanggalkan sepatu dan memijat kaki sendiri yang pegal. "Mengapa dia sangat baik terhadap orang lain, terhadapku justru tidak kenal kasihan?� demikian ia teringat lagi kepada Sim Long, timbul rasa bencinya. "Mengapa orang lain sangat baik padaku justru kubalas dengan dingin, sebaliknya Sim Long memperlakukan diriku dengan kasar justru tidak dapat kulupakan?� Pikir punya pikir ia menjadi benci pula kepada dirinya sendiri. Selagi kusut pikirannya, sekonyong-konyong terdengar sesuatu suara yang berjangkit dari tempat yang sangat dekat. Itulah suara manusia suara orang lagi bicara. Waktu ia dengarkan lebih cermat, ternyata suara itu timbul dari dalam kuburan. Ya, tidak salah lagi, jelas timbul dari dalam kuburan. Masa kuburan dapat bersuara? Mungkinkah orang mati bisa bicara? Walaupun kaget, namun sebagai gadis yang sudah sekian lama berkelana di dunia Kangouw, segera terpikir olehnya, "Ah, jangan-jangan kuburan ini juga sebuah tempat rahasia yang dijadikan sarang sesuatu sindikat gelap?� Segera ia memandang sekelilingnya, terdengar suara orang melangkah di bawah batu nisan. Agaknya ada orang hendak keluar dari dalam kuburan. Tidak jauh di sebelah sana ada patung Totekong atau Toapekong, patung malaikat penjaga tanah yang biasanya pasti disertakan pada setiap makam. Patung itu sebesar manusia. Jit-jit berpindah dan sembunyi di belakang patung, lalu mengintip. Tertampaklah batu nisan tadi mulai bergerak dan muncul sebuah lubang, kemudian dari dalam lubang menongol sebuah kepala ... dan sebuah lagi, dua orang menyusup keluar dari bawah tanah. Kedua lelaki kekar ini sama memakai jaket kulit, meski hawa dingin, namun mereka tetap membusungkan dada dengan lagak kereng. Orang yang keluar lebih dulu memandang sekeliling makam. Dengan sendirinya tak terpikir olehnya di sini ada orang asing. Orang yang keluar belakangan sama sekali tidak memandang keadaan di luar, segera ia mendorong batu nisan itu. "Krek�, batu nisan itu merapat kembali seperti semula. Kedua orang lantas melangkah ke bawah undak-undakan makam besar itu sambil menggerundel. Seorang di antaranya berkata, "Hm, barang macam apakah si cacat itu, tampaknya bukan sembarangan orang. Cuaca begini kita disuruh

membeli obat baginya ke tempat yang berpuluh li jauhnya, bukankah sengaja hendak menyiksa orang?� Kawannya menanggapi, "Sudahlah, Ong-lotoa, tidak perlu mengomel, peduli siapa dia pendek kata dia adalah kawan bos kita. Kalau tidak, untuk apa bos membawanya ke sini.�

"Hm, kalau tidak mengingat hal ini, memangnya aku mau bekerja baginya?� jengek orang pertama yang dipanggil sebagai Ong-lotoa itu. "Tapi juga lumayan, sepanjang hari kita selalu bersembunyi didalam, meski tersedia arak dan perempuan, rasanya juga sudah bosan, mumpung ada kesempatan keluar, biarlah kita pelesir sepuasnya,� ujar orang kedua tadi. "Betul,� seru Ong-lotoa dengan tertawa. "Kesempatan kita gunakan untuk pelesir setengah hari, toh si cacat itu tampaknya takkan

mampus meski tidak segera minum obat.� Begitulah kedua orang itu terus bicara sambil tertawa dan semakin jauh. Sesudah bayangan kedua orang itu menghilang di kejauhan barulah Jit-jit keluar dari tempat sembunyinya. Ia coba mendekati batu nisan dan menariknya. Mendingan kalau dia tidak menarik batu nisan itu, sekali menarik, nasib kehidupannya juga berubah lagi. Begitu batu nisan bergerak, seketika hatinya juga tergerak, pikirnya, "Sesungguhnya sarang rahasia apakah ini? Siapa pula si cacat yang dimaksudkan kedua orang tadi? Siapa pula bos mereka? Yang pasti, membuat sarang rahasia di dalam kuburan, besar kemungkinan bukan manusia baik-baik, perlu kuperiksa apa yang terdapat di dalam kuburan ini.� Dasar watak Jit-jit memang usilan, usil mulut, usil perbuatan. Tidak ada urusan saja ingin cari pekerjaan, apalagi sekarang terlihat

sesuatu yang sangat aneh dan misterius. Kata pepatah: "Dunia ini mudah berganti penguasa, watak asli sukar berubah�, menghadapi kejadian menarik ini, jelas wataknya yang usilan jadi kumat. Maka begitu lubang gua di balik batu nisan terbuka, segera ia hendak menyusup ke dalam. Tapi segera terpikir olehnya, "Ah, nanti dulu. Sarang rahasia siapakah ini? Orang baik atau orang jahat? Ada sangkut paut apakah denganku? Kenapa aku mencari urusan? Pantas Sim Long bilang aku

....� Mestinya dia akan mengurungkan niatnya masuk ke situ, tapi demi teringat kepada Sim Long, segera pikirannya berubah. "Sim Long, lagi-lagi Sim Long! Mengapa harus kuturut perkataannya, toh aku tak ingin hidup lagi, biarpun menemui bahaya di dalam sana juga tidak menjadi soal.� Sambil mengentak kaki, dengan nekat akhirnya dia masuk ke situ.

*****

Pada umumnya segala macam sarang rahasia atau lorong di bawah tanah, kebanyakan mempunyai ciri yang sama, yaitu seram, gelap dan berbau apak yang memusingkan kepala orang. Lorong di bawah tanah ini ternyata ada keistimewaan, yaitu tidak

ada penjaga juga tidak ada pesawat jebakan, bisa jadi lantaran tempat ini terlalu rahasia sehingga pada hakikatnya tidak mungkin ditemukan orang, sebab itulah tak diperlukan penjaga. Atau mungkin juga majikan makam ini sangat tinggi hati, pada hakikatnya dia memandang sebelah mata terhadap orang lain. Jit-jit juga tidak peduli sebab apa tidak ada penjaga, setelah merapatkan kembali batu nisan, segera ia melangkah maju. Ada belasan undak-undakan batu yang dilaluinya menuju ke bawah. Kemudian ia sampai di sebuah ruangan kecil, sebuah ruang tamu yang terpajang indah serupa rumah keluarga hartawan umumnya. Ia coba melongok ke dalam, tiada seorang pun di situ. Segera ia masuk begitu saja. Sama sekali ia tidak khawatir dipergoki orang, kini ada semacam pikiran menyiksa diri padanya, kalau kepergok orang, dianggapnya lebih baik malah. Di sebelah sana ada sebuah pintu, langsung Jit-jit menuju ke sana. Pada saat itulah di dalam sana berkumandang suara orang tertawa dan berkata, "Sungguh cara berpikir Kongcu sangat lengkap, khawatir anak buahmu hidup kesepian di sini, maka sengaja kau cari dua nona untuk menemani mereka di sini. Haha, sungguh sangat menarik.� Tubuh Jit-jit tergetar, serentak ia berhenti di tempat, sebab dikenalnya suara orang itu sebagai suara Kim Put-hoan. Ia heran mengapa bangsat itu bisa berada di sini. Terdengar lagi seorang lain berucap, "Masa Kim-heng lupa, justru Kongcu selalu berpikir panjang sehingga usahanya tambah maju. Jika di sini tidak ada kenikmatan, siapa yang mau ngendon kesepian di sini?� Suara ini juga sangat hafal bagi Jit-jit, setelah berpikir segera teringat olehnya, "Ah, Co Kong-liong.� Didengarnya Kim Put-hoan lagi berkata dengan tertawa, "Betul, bilamana tidak kerasan, diam-diam orang yang bertugas di sini pasti akan bolos keluar. Tapi kalau segalanya sudah tersedia lengkap, biarpun diusir juga mereka tak mau pergi.�

"Dan sekarang jadinya engkau yang senang, haha,� tukas seorang lagi dengan tertawa. "Ayo, tuangkan arak, Siau Ling.�

Ternyata suara orang ketiga ini ialah Ong Ling-hoa. Anehnya suara Ong Ling-hoa sekarang kedengaran sangat lemah, habis bicara lantas terengah dan terbatuk lagi. Jantung Jit-jit hampir saja melompat ke luar dari rongga dadanya. Dia berdiri mematung di situ, mundur salah, maju pun keliru. Pintu itu tertutup, tapi di bawah ada celah-celah dan cahaya lampu

menembus keluar dari situ. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia nekat, ia mendekati pintu, ia berjongkok dan coba mengintip ke dalam melalui celah-celah pintu. Tertampak sebuah perapian terletak di tengah ruangan, di samping perapian ada sebuah meja penuh hidangan, di samping meja Kim Put-hoan dan Co Kong-liong berduduk. Seorang perempuan berbaju merah dan rambut agak kusut, berdandan berlebihan serupa ronggeng asyik menambahi kayu perapian. Ada lagi seorang perempuan lain berbaju biru berduduk di dalam pangkuan Kim Put-hoan, mukanya merah dan tersenyum, namun sinar matanya memancarkan rasa jemu dan muak. Setelah memandang lagi ke sebelah lain baru terlihat Ong Ling-hoa berbaring di atas dipan berlapiskan kulit harimau, wajahnya yang tampan itu sekarang pucat pasi seperti mayat. Keterangan Kim Bu-bong memang tidak salah, nyata gembong iblis ini memang terluka parah. Bahkan Kim Put-hoan dan Co Kong-liong tampaknya juga terluka. Lengan kanan Co Kong-liong tampak terbalut dan tergantung dengan kain pada lehernya, jelas lukanya juga tidak ringan. Yang tidak berat lukanya jelas cuma Kim Put-hoan, dia lagi makan minum, terkadang tidak lupa mencolek pipi anak perempuan yang berduduk di pangkuannya. Aneh juga, mengapa dia sengaja menyuruh kedua orang tadi membelikan obat baginya, agaknya makian �si cacat� yang dilontarkan kedua lelaki berjaket kulit tadi ditujukan kepadanya. Sungguh tak terpikir oleh Cu Jit-jit bahwa secara tidak sengaja kembali dia kesasar lagi ke sarang rahasia Ong Ling-hoa. Entah mengapa pertemuan manusia di dunia ini sering terjadi secara kebetulan dan aneh begini? Di antara orang-orang yang berada di situ yang paling lesu ialah Ong

Ling-hoa, yang paling gembira jelas ialah Kim Put-hoan. Terus-menerus Kim Put-hoan berkaok-kaok senang, sebaliknya tenaga

untuk bicara saja tidak dipunyai Ong Ling-hoa, tampaknya dia sangat letih, ingin tidur, tapi Kim Put-hoan justru tidak memberi kesempatan tidur baginya. Malahan Kim Put-hoan terus menarik si nona baju merah, jadinya sekarang dia rangkul kanan dan peluk kiri, kedua anak perempuan itu tertawa cekakak dan cekikik meski di dalam hati tiada habis-habisnya menggerutu. Tentu saja Jit-jit agak gemas melihat tingkah laku manusia bejat itu, sampai-sampai Co Kong-liong juga merasa mendongkol, ucapnya setengah menyindir, "Wah, senang amat Kim-heng.�

"Tentu saja senang,� sahut Kim Put-hoan dengan tertawa. "Didampingi dua nona secantik ini, kenapa tidak senang? Eh, sini,

Siau Ling, cium satu kali.�

"Setelah mengalami pertarungan tadi, sekarang Kim-heng masih bisa gembira seperti ini, sungguh luar biasa,� jengek Co Kong-liong pula. "Kejadian tadi ... hehe, kan sudah beres? Keparat Kim Bu-bong itu jelas akan mampus, kenapa kita tidak boleh gembira?�

"Waktu itu kalau Kim-heng tambahi lagi sekali tusuk, dia pasti sudah mampus. Cuma sayang ... ketika itu Kim-heng terburu-buru angkat kaki.�

"Aku terburu-buru angkat kaki, apakah Co-heng sendiri tidak tergesa-gesa lari? Karena waktu itu Ong-kongcu terluka parah

sehingga aku tidak berani lagi tinggal di sana, memangnya Co-heng sendiri bukan begitu?� Muka Co-Kong-liong sebentar merah sebentar pucat dan tidak sanggup bicara lagi. Sebaliknya Kim Put-hoan lantas bergelak tertawa, katanya pula,

"Urusan sudah lalu, sepantasnya sekarang Co-heng ikut bergembira .... Eh, Siau Hong, lekas menyanyi untuk menghibur Co-toaya.� Si nona baju hijau menunduk dan menjawab, "Aku tidak dapat menyanyi.�

"Sialan, orang bekerja seperti ini tidak bisa menyanyi?� omel Kim Put-hoan. "Sudahlah, Kongcu harus istirahat, kukira Kim-heng perlu mengaso,� ujar Co Kong-liong. "Hehehe, kau bilang Ong-kongcu harus istirahat?� kata Kim Put-hoan sambil menyeringai. "Ya, dia memang perlu istirahat panjang, mumpung masih bernapas, apa jeleknya senang-senang dulu menyaksikan tari dan nyanyi?� Ucapan Kim Put-hoan ini membikin enam orang yang berada di luar dan dalam ruangan sama terkejut. Dengan air muka berubah Co Kong-liong menegas, "Ah, jangan ... jangan Kim-heng bergurau.�

"Selamanya aku tidak suka bergurau,� sahut Put-hoan. Tiba-tiba Ong Ling-hoa bertanya dengan tertawa, "Dari mana Kim-heng mendapat tahu jika harus istirahat panjang alias mati?� Walaupun dia berlagak tidak terjadi sesuatu, sebenarnya airmukanya juga rada berubah. "Tentu saja kutahu.� jawab Put-hoan. "Meski Kongcu terkena sekali pukulan Kim Bu-bong, tapi tenaga pukulan keparat itu mana mampu membunuh Kongcu, dalam beberapa hari kesehatan Kongcu pasti akan pulih kembali,� ujar Co Kong-liong. "Tapi kubilang dia takkan hidup melewati hari ini,� tukas Put-hoan. "Apa ... apa katamu? Apakah kau gila?� teriak Co Kong-liong. "Kubilang dia takkan hidup melampaui hari ini, apakah kau berani bertaruh denganku?� tantang Put-hoan. Tiba-tiba Ong Ling-hoa tertawa terkekeh-kekeh, "Tak tersangka waktu kematianku ternyata diketahui Kim-heng sejelas ini, cuma sayang, di tempat ini tersedia segala apa pun, hanya peti mati saja yang tidak tersedia.�

"Tidak menjadi soal,� kata Put-hoan. "Setelah kau mati, mayatmu diantar ke Jin-gi-ceng, orang-orang di sana pasti akan menyediakan peti mati bagimu.� Dia bicara dengan adem ayem seakan-akan apa yang diucapkan itu adalah kejadian yang lumrah. Tapi bagi pendengaran Co Kong-liong cukup membuatnya pucat, dengan tergegap ia bertanya, "Kim-heng,

sesungguhnya apa maksudmu?�

"Apa maksudku masakah belum kau ketahui?� Di bawah cahaya lampu, wajah Kim Put-hoan yang menyeringai itu tampak seram.

Dengan bergidik Co Kong-liong menjawab, "Aku ... aku tidak tahu.� Sebenarnya bukan Co Kong-liong jeri terhadap kungfu Kim Put-hoan yang diketahuinya tidak lebih tinggi daripada dirinya itu, dia cuma ngeri terhadap kekejian orang saja. Dilihatnya Kim Put-hoan telah berbangkit dan mendekati Ong Ling-hoa dengan perlahan sambil memegang secawan arak. Muka Ong Ling-hoa bertambah pucat, sedapatnya ia tenangkan diri dan bertanya, "Kau mau apa?�

"Co Kong-liong tidak tahu aku mau apa, masakah engkau juga tidak tahu?� jengek Put-hoan. "Meski tahu, tapi ada sedikit lagi yang tidak kumengerti,� kata Ling-hoa. "Apa yang kau tidak mengerti?�

"Hendak kau bunuh diriku bukan?�

"Hehe, memang anak pintar.�

"Tapi kita kan bersekutu, mengapa hendak kau bunuh diriku?� mendadak Kim Put-hoan meludah, jawabnya sambil menyeringai,

"Sekutu? Huh, berapa harganya sekutu, satu kati berapa duit? Yang memberi susu dialah ibu. Selama hidup orang she Kim tidak pernah bersahabat, apalagi bersekutu dengan siapa pun. Barang siapa menganggap orang she Kim sebagai sekutu, dia yang buta matanya.�

"Tapi tempo hari ....�

"Tempo hari lantaran kulihat masih dapat kuraih keuntungan darimu, makanya kusepakat bersahabatan denganmu, tapi sekarang engkau sudah mirip bangkai anjing, siapa pula yang mau bersekutu denganmu?�

"Meski saat ini aku terluka parah, tapi luka ini pasti akan sembuh dalam waktu singkat. Kekuatanku tersebar luas di 13 provinsi, anak buah kami sedikitnya beberapa ribu orang. Asalkan kau mau bersahabat denganku, setelah kusembuh nanti tentu akan banyak memberi keuntungan padamu. Kau orang pintar, masakah hal ini tidak kau pikirkan?� Melihat Ong Ling-hoa masih sanggup bicara dengan tenang pada detik menghadapi elmaut itu, mau tak mau Cu Jit-jit yang sembunyi di luar pintu itu merasa kagum juga. Terdengar Kim Put-hoan lagi berkata, "Betul, setelah kau sembuh memang dapat kudapatkan keuntungan, tapi aku tidak sabar menunggu lagi, apalagi bila kubunuhmu sekarang akan jauh lebih menguntungkan bagiku.�

Dia tertawa terkekeh, lalu menyambung, "Setiap pekerjaanku yang utama adalah keuntungan, asalkan besar keuntungannya, biarpun aku disuruh mencuci pantat orang juga tidak menjadi soal.�

"Memangnya apa keuntunganmu bila kau bunuhku sekarang?�

"Tentu saja banyak keuntungannya, apakah kau mau tahu?�

"Coba ceritakan,� pinta Ong Ling-hoa. "Pertama, bila kubunuhmu sekarang, tentu dapat kusita barang yang kau tipu dari Cu Jit-jit itu. Tidak lama lagi tumpukan emas yang menyilaukan mata itu akan menjadi milikku.�

"Wah, kiranya kau pun tahu hal ini,� ucap Ong Ling-hoa dengan gegetun. "Kedua, saat ini engkau sudah ada harga tertentu, setelah kubunuhmu, selain dapat kuterima hadiah dari Jin-gi-ceng, juga pasti akan kudapatkan pujian mereka sebagai seorang pahlawan. Nah, pekerjaan yang bakal mendatangkan keuntungan nama dan harta ini kenapa tidak kulakukan? .... Haha, umpama Sim Long, yang paling dibencinya ialah dirimu dan bukan diriku, bila kubunuhmu tentu dia juga akan tepuk-tepuk bahuku dan memujiku sebagai sahabat sejati .... Jangan lupa, Kim Bu-bong juga terbunuh olehmu.�

"Bagus ... bagus!� ucap Ong Ling-hoa dengan tertawa getir. "Tentu saja bagus, sekarang kau pun kagum padaku, bukan?�

"Tapi kau pun jangan lupa, anak buahku tersebar di mana-mana, ibuku bahkan tokoh nomor satu di dunia persilatan ini, jika kau bunuh diriku, masakah mereka akan mengampunimu?�

"Bila kubunuhmu sekarang, memangnya siapa lagi yang tahu?�

"Tapi kan akan kau pergi ke Jin-gi-ceng dan ....�

"Untuk ini tidak perlu kau ikut khawatir,� ujar Put-hoan. "Setiap orang yang terima hadiah Jin-gi-ceng selamanya dijamin rahasia pribadinya, kalau tidak, siapa yang mau mencari penyakit hanya untuk menerima sedikit hadiah itu?�

"Tapi kan masih ada lagi Co-pangcu ....� Ong Ling-hoa sengaja melirik ke arah Co Kong-liong. Sebutan "Pangcu� sengaja diucapkan dengan tarikan suara yang panjang dan lantang, Co Kong-liong yang lagi bersandar di kursi tanpa bergerak itu seketika tergetar. Ia pikir kalau Ong Ling-hoa mati, siapa pula yang akan mendukungnya naik ke singgasana Pangcu?

Sebutan "Pangcu� serupa percikan api yang segera membakar lagi hatinya yang angkara murka dan membuatnya nekat. Mendadak ia melompat bangun sambil membentak, "Betul, barang siapa ingin mengganggu Ong-kongcu, tidak nanti kutinggal diam.� Meski keras suaranya, namun Kim Put-hoan tidak menghiraukannya, sebaliknya ia mendengus, "Hm, jika Co Kong-liong ingin hidup lebih lama, sebaiknya dia tetap duduk di tempatnya, kalau ingin cepat mampus, boleh dia uji diriku dengan tangannya yang masih tersisa itu.� Muka Co Kong-liong menjadi pucat, ia pandang tangannya sendiri yang cedera, "bluk"�, ia duduk kembali di kursinya. Kim Put-hoan terbahak-bahak, isi cawan ditenggaknya hingga habis, "prak�, cawan kemala itu dibantingnya hingga hancur. Siau Ling dan Siau Hong semula meringkuk ketakutan di pojok sana, kini mendadak Siau Ling berbangkit sambil menarik Siau Hong, omelnya dengan tertawa genit, "Semuanya gara-garamu sehingga Kim-toako marah, ayolah lekas minta maaf kepada Kim-toaya.� Siau Ling adalah perempuan penghibur yang berpengalaman, ia tahu kalau Ong Ling-hoa mati, jelas mereka pun tak bisa hidup. Kedua perempuan itu lantas mendekati Kim Put-hoan, Siau Ling mendorong Siau Hong ke pangkuan Kim Put-hoan, ia sendiri juga lantas merangkul dan berkata padanya dengan manja, "Sudahlah, jangan Kim-toaya marah-marah pula, biarlah kami meladeni Kim-toaya, tanggung ....� lalu ia membisikkan sesuatu ke telinga Kim Put-hoan.

Kim Put-hoan menjadi sibuk, tangan yang satu meraba dada Siau Ling, tangan yang lain meremas pantat Siau Hong, omelnya dengan tertawa, "Wah, padat juga, rasanya tuanmu ingin caplok kalian sekaligus.� Kerlingan Siau Ling bisa bikin orang semaput, ucapnya manja, "Kalau mau caplok bolehlah sekarang juga, rasanya aku pun tidak tahan lagi. Di belakang sana masih ada kamar dan ....�

"Baik ....� ucap Kim Put-hoan sambil menyeringai, mendadak kedua tangannya menampar, "plak-plok�, kedua perempuan itu terpental jatuh ke sana. "Sundal,� maki Kim Put-hoan, "memangnya kau kira tuanmu ini orang macam apa dan dapat kau tipu? Hm, perempuan jalang macam kalian ini sedikitnya ribuan sudah pernah kulihat ....� Mendadak Siau Ling balas memaki, "Kau manusia bejat, matamu buta, masih berlagak, memangnya kau kira nyonya besar penujuimu, biarpun kau jadi kacung pencuci ....� Begitulah, dalam keadaan nekat, segala kata kotor dilontarkan seluruhnya. Siapa tahu Kim Put-hoan berbalik tertawa malah, "Haha, bagus, makian bagus! Makin kotor makianmu, makin senang aku, pada waktu bekerja memang kusuka dimaki orang.� Sungguh Jit-jit merasa muak oleh kata-kata kotor mereka itu. Tapi Ong Ling-hoa lantas berkata, "Orang semacam dirimu jarang terlihat juga di dunia ini, bahwa orang she Ong hari ini bisa terjungkal di tanganmu rasanya juga tidak terlalu penasaran.�

"Hm, kiranya kau pun bisa membedakan kualitas orang,� kata Kim Put-hoan. "Tapi kukira saat ini kau pasti juga merasa menyesal mengapa tadi tidak membawa anak buah Kay-pang ke sini, juga menyesal mengapa menyuruh kedua anak buahmu pergi membeli obat bagiku.� Ong Ling-hoa menghela napas, katanya, "Ya, selain menyesal, aku pun merasa sayang.�

"Merasa sayang apa?� tanya Put-hoan. "Sayang orang berbakat seperti dirimu ini juga takkan hidup lama lagi.� Kim Put-hoan jadi melengak, tapi lantas tertawa, "Haha, apakah engkau sudah linglung? Yang akan mampus bukanlah diriku melainkan kau!�

Ong Ling-hoa tersenyum, "Betul, aku akan mati, dan kau pun tidak banyak berbeda.�

"Kentut!� damprat Put-hoan. Dengan suara lembut Ong Ling-hoa berkata, "Kim-heng, engkau memang manusia yang paling rendah, kotor, keji, licik, dan tidak tahu malu. Tapi bilamana dibandingkanmu, rasanya aku pun tidak lebih baik daripadamu.�

"Tapi engkau toh terjebak juga olehku,� ujar Put-hoan dengan menyeringai, namun tidak urung matanya yang tinggal satu itu

berkedip-kedip menampilkan rasa sangsi dan takut. "Meski aku terjebak olehmu, tapi Kim-heng juga tertipu olehku. Arak

yang kau minum barusan lebih dulu sudah kucampur dengan racun perantas usus.� Seketika tubuh Kim Put-hoan tergetar, rasanya seperti disambar geledek, ia melenggong dengan mandi keringat. "Kau ... kau dusta .... Haha, omong kosong!� katanya dengan gemetar. "Jika benar di dalam arak ada racun, ken ... kenapa sampai saat ini tidak kurasakan sesuatu?�

Lalu dia tertawa, namun tertawa yang menyerupai orang menangis. "Racun itu baru akan bekerja tujuh hari kemudian,� tutur Ong Ling-hoa. "Di dunia ini hanya aku seorang saja yang dapat menolongmu, bila sekarang kau bunuh diriku, tujuh hari kemudian mungkin ....� Kim Put-hoan melonjak murka dan meraung, "Kau dusta ... jangan kau kira aku dapat ditipu. Saat ini juga akan kubinasakan kau.�

"Baik, jika Kim-heng tidak percaya, silakan turun tangan,� tentang Ong Ling-hoa malah. Kim Put-hoan memburu maju sambil mengangkat sebelah tangannya. Tapi tangan yang siap menghantam itu tidak lagi diteruskan. "Kenapa Kim-heng tidak turun tangan?� tanya Ling-hoa dengan tertawa. Mendadak Kim Put-hoan menampar mukanya sendiri beberapa kali sambil memaki, "Semua gara-gara mulut ini, kenapa rakus makan dan minum, mampus kau, mampus!�

"Eh, jangan terlalu keras, kenapa Kim-heng menyakiti dirinya sendiri?� ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Bluk,� mendadak Kim Put-hoan berlutut di lantai dan memohon dengan suara gemetar, "O, Ong-kongcu, orang besar takkan menyesali perbuatan orang kecil, hendaknya kau ampuni diriku, tadi aku cuma ... cuma main-main saja. Harap Ong-kongcu menawarkan racunku dan takkan habis terima kasihku selama hidup.�

"Baik, jika kau minta kutolong dirimu, boleh tunggu lagi tujuh hari,� kata Ling-hoa dengan tertawa.

"Tapi ... tapi tujuh hari kemudian lukamu akan sembuh,� seru Put-hoan dengan parau. "Memang betul,� Ling-hoa tersenyum senang. "Dan ... dan bila kau sembuh, mana ... mana dapat kau ampuniku?� saking cemasnya Kim Put-hoan mengusap keringat yang memenuhi dahinya. "Akan kuampunimu, tapi mau percaya atau tidak terserah padamu.�

"Tujuh hari lagi, rasanya aku tidak sabar menunggu lagi, mohon Ong-kongcu sekarang juga ....�

"Jika kutolong dirimu sekarang, aku sendiri yang tidak bisa hidup lagi,� kata Ling-hoa dengan tertawa. Mendadak Kim Put-hoan berubah beringas dan membentak pula, "Keparat, kumohon dengan baik-baik, kenapa kau tolak. Padahal saat ini engkau tergenggam di tanganku, hendaknya kau turut perintahku untuk menawarkan racunku, kalau tidak ....�

"Kalau tidak bagaimana?� sahut Ling-hoa dengan tersenyum. "Jika kutolong dirimu sekarang aku pasti akan mati, kalau tidak

kutolongmu masih ada harapan untuk hidup. Coba jawab, jika kau jadi diriku, apa pilihanmu?� Seketika Kim Put-hoan melenggong dan serbasalah, untuk membunuh Ong Ling-hoa sekarang juga dia tidak berani, diharuskan menunggu tujuh hari rasanya juga enggan. Dengan berbagai jalan, ya membujuk, ya mengancam, namun apa daya, Ong Ling-hoa tetap tahan harga. Kalau tadi lagak Kim Put-hoan serupa harimau yang hendak mencaplok mangsanya, sekarang dia mirip tikus berhadapan dengan kucing. Semua itu dapat disaksikan Cu Jit-jit dengan jelas, sungguh membuatnya heran, kejut, geli dan juga muak. Ia pikir betapa keji hati keparat Kim Put-hoan dan betapa tebal kulit mukanya, sungguh tidak ada bandingannya di dunia. Tiba-tiba terpikir lagi olehnya, "Saat ini Ong Ling-hoa berbaring tidak bisa berkutik, Kim Put-hoan dan Co Kong-liong juga terluka, jika kesempatan ini tidak kugunakan untuk membekuknya kan terlalu tolol aku ini?� Berpikir demikian, tanpa ragu lagi segera ia mendobrak pintu, "blang�, langsung ia menerjang ke dalam. Keruan semua orang terperanjat, cepat Kim Put-hoan membalik tubuh dan berteriak, "Hei kau Cu Jit-jit!�

"Huh, masakah kau dapat kabur sekali ini. Sim Long ... cepat kemari, mereka berada di sini!� sembari berseru Jit-jit terus menyerang beberapa kali. Melihat munculnya Jit-jit, meski terkejut, segera Kim Put-hoan menjadi girang, ia merasa kebetulan domba disodorkan ke mulut harimau, segera ia bermaksud menangkap si nona. Tapi begitu mendengar Jit-jit berteriak memanggil Sim Long, seketika kaki dan tangannya menjadi lemas. "Betul, kalau Cu Jit-jit muncul, tentu juga Sim Long segera menyusul tiba,� demikian pikir Put-hoan. Maka sambil menghindarkan serangan Jit-jit, segera ia menerobos ke arah pintu bagian belakang, ia yakin di situ pasti juga ada jalan tembus keluar. Segera Jit-jit berteriak, "Jangan ikut lari!� Diam-diam Co Kong-liong membatin, "Hanya orang tolol yang tidak ikut lari.� Berpikir demikian, seketika ia pun angkat langkah seribu, bahkan lebih cepat larinya daripada Kim Put-hoan. "Jangan lari!� teriak Jit-jit pula. "Itu dia, Sim Long, lekas kejar, mereka lari ke sana!� Semula Ong Ling-hoa pucat melihat kemunculan Cu Jit-jit serta seruannya memanggil Sim Long. Tapi setelah melihat lagak si nona, mendadak tersembul senyuman geli pada ujung mulutnya. Tiba-tiba ia pun berseru, "Tapi Ong Ling-hoa tidak sempat lari, tidak perlu juga kejar mereka!� Jit-jit melengak, tapi lantas diketahuinya ucapan Ong Ling-hoa itu menirukan suara Sim Long, agaknya supaya Kim Put-hoan dan Co Kong-liong yang lari belum jauh itu dapat mendengarnya dan tidak berani kembali lagi. Habis itu barulah Ong Ling-hoa berkata pula, "Terima kasih atas pertolongan nona.�

"Tutup mulutmu!� bentak Jit-jit sambil membalik tubuh. "Kenapa Sim-siangkong belum lagi datang?� tanya Ling-hoa. "Dari mana kau tahu dia belum datang, dia berada di luar,� kata Jit-jit. "Jika berada di luar, tentunya nona takkan sengaja menggertak lari mereka dan aku pun tidak perlu membantumu menakut-nakuti mereka.�

"Hm, tampaknya kau serbatahu,� jengek Jit-jit. "Biarpun Sim Long tidak ikut datang, melulu aku juga sanggup menghadapimu.�

"Saat ini aku sama sekali tidak bertenaga, dengan sendirinya nona ....�

"Jika tahu begitu, apa yang membuatmu gembira? Kau kira kudatang untuk menolongmu? Hm, aku cuma tidak suka kau jatuh

dalam cengkeraman orang lain.�

"Ya, ya, kutahu,� kata Ling-hoa dengan tertawa. "Hm, tadi Kim Put-hoan dapat kau gertak sehingga tidak berani turun tangan padamu, tapi sekarang kau jatuh dalam cengkeramanku celakalah nasibmu.�

"Umpama sekarang juga nona membunuhku, tetap aku bergembira. Bisa mati di tangan nona secantik bidadari seperti dirimu kan jauh lebih menyenangkan daripada mati di tangan si buta itu ....�

"Huh, salah besar jika kau sangka jatuh dalam cengkeramanku akan lebih enak. Bagi Kim Put-hoan paling-paling cuma membunuhmu saja, tapi aku ... justru akan kusiksa dulu dirimu.� Teringat kepada macam-macam perbuatan Ong Ling-hoa yang

menggemaskan, sungguh Jit-jit tidak tahan, segera ia melompat maju dan sekaligus memberi beberapa kali tamparan.

"Dapat dipukul oleh tangan halus seperti tangan nona ini boleh dikatakan mujur juga,� kata Ong Ling-hoa sambil cengar-cengir. "Jika tangan nona tidak kesakitan, silakan pukul lagi beberapa kali.�

"Baik!� teriak Jit-jit dan kembali ia menggampar lima-enam kali. "Bagus, pukulan bagus!�

"Kalau bagus biar kutambah lagi!� Dan begitulah, belasan kali tamparan Jit-jit membikin muka Ong Ling-hoa yang putih itu berubah menjadi merah bengap dan bertambah gemuk. Siau Ling dan Siau Hong sama melongo, mereka tidak menyangka nona cantik manis begitu tega turun tangan sekeji itu. "Hm, coba omong lagi, segera kupukul lebih banyak,� jengek Jit-jit.

"Jangan kau kira aku ini Cu Jit-jit yang dulu, supaya kau tahu, aku sudah berubah sekarang. Jika berani lagi sembarangan mengoceh, bisa kupotong sebelah kupingmu, kau percaya tidak? Cu Jit-jit sekarang bukan lagi Cu Jit-jit yang boleh sembarangan dihina.�

"Ya, ya,� terpaksa Ong Ling-hoa melihat gelagat. "Apakah masih ingat tempo hari aku telah kau tipu dengan tersiksa?� tanya Jit-jit. "Ingat ... tidak ingat,� jawab Ling-hoa dengan gelagapan. "Ai, kejadian sudah lalu, untuk apa nona mengungkatnya?�

"Tidak mengungkatnya? Hm, selama hidup takkan kulupakan kejadian itu,� jengek Jit-jit. "Thian Maha adil, sekarang kau pun

jatuh dalam cengkeramanku. Nah, apa ... apa yang dapat kau katakan lagi?�

"Aku tidak dapat berkata apa-apa,� sahut Ling-hoa. "Apa kehendak nona, tentu akan kuturuti.�

"Baik, kembalikan dulu!� kata Jit-jit sambil menyodorkan sebelah tangan. "Kem... kembalikan apa?�

"Masa berlagak pilon pula? Barangku yang kau tipu itu lekas kembalikan padaku,� bentak Jit-jit dengan gusar. "O, ya, ya, menurut,� sahut Ling-hoa dengan tersenyum getir. Lukanya memang tidak ringan, dengan susah payah akhirnya baru sepasang anting-anting dapat dikeluarkannya. Jit-jit terus menyambarnya dan menjengek, "Oi, Ong Ling-hoa, tak tersangka akan terjadi juga seperti sekarang ini.�

"Nona mau apa lagi?� tanya Ling-hoa. Jit-jit tidak menjawab, sambil membetulkan rambutnya ia mondar-mandir di dalam kamar. Pandangan Ong Ling-hoa juga mengikuti si nona yang kian kemari itu seperti ingin mengetahui apa yang dipikirnya.

Tiba-tiba Siau Ling mengambilkan kursi dan berkata kepada Jit-jit, "Silakan nona duduk dulu dan jangan marah, umpama Ong-kongcu tidak setia padamu kan dapat ....�

"Kentut, dia tidak setia apa?� bentak Jit-jit dengan gusar. "Jangan kau ikut urusan dan takkan kubikin susah padamu, kalau usil mulut, hmk!�

"Ya, ya, hamba tidak berani,� cepat Siau Ling menjawab dengan takut. Ia sendiri orang perempuan, ia tahu bilamana hati perempuan sudah kejam, biasanya akan jauh lebih kejam daripada lelaki. Mendadak Ong Ling-hoa berkata, "Lelaki yang tidak setia memang menggemaskan. Jika nona ingin mencari pembantu untuk menghadapi lelaki yang tidak setia padamu, aku inilah pilihan yang paling tepat.�

"Tutup mulutmu!� bentak Jit-jit. Meski dia berlagak garang, tidak urung matanya menjadi merah dan basah. Nyata ucapan Ong Ling-hoa itu telah menyentuh perasaannya. Diam-diam Ling-hoa bergirang, ia tahu sementara ini Cu Jit-jit pasti takkan membikin celaka padanya. Asalkan tidak turun tangan keji padanya sekarang, selanjutnya dia pasti punya akal untuk

meloloskan diri. Cu Jit-jit mondar-mandir lagi beberapa kali, mendadak ia menutuk dua tempat Hiat-to kelumpuhan Ong Ling-hoa, lalu dibungkusnya dengan selimut, dipanggulnya dan dibawa pergi. "Ke ... ke mana nona akan membawa Ong-kongcu?� tanya Siau Ling dengan takut. "Sebentar bila ada orang datang dan tanya padamu, katakan Ong Ling-hoa telah digondol pergi nona Cu Jit-jit, jika ada orang bermaksud menolong dia, lebih dulu akan kucabut nyawanya.� Siau Ling mengangguk. Sesudah Jit-jit pergi, dengan tertawa ia bergumam, "Kalau ada orang datang, jelas kami pun sudah angkat kaki. Untung uang mereka masih tertinggal di sini ....�

Jilid 19

Salju kembali turun lagi. Meski tidak rendah Ginkang Cu Jit-jit, tapi dia memanggul seorang lelaki, betapa pun gerak-geriknya tidak leluasa. Dengan sendirinya Ong Ling-hoa yang dibungkus dengan selimut dan dipanggul itu juga

tidak enak rasanya. "Nona hendak membawaku ke mana?� tanya Ong Ling-hoa akhirnya. "Orang yang berhak bicara dan memberi perintah di sini ialah diriku, tahu?� jawab Jit-jit. "Maka ke mana pun akan kubawa dirimu bagimu lebih baik tutup mulut saja.�

"Menurut,� sahut Ling-hoa sambil menyengir. Jit-jit memandang sekitarnya, suasana sunyi tiada tertampak apa pun. Diam-diam ia rada gelisah, berkeliaran kian kemari dengan memanggul seorang lelaki betapa pun bukan pekerjaan yang enak.

Akhirnya sampailah di suatu tempat, dilihatnya bekas roda kereta bersimpang-siur, agaknya dia sudah sampai di jalan raya. Hendaklah maklum, jalan raya sudah tertutup oleh salju sehingga sukar untuk mengenali jalan bila tidak ada bekas roda kereta. Jit-jit mendapatkan sepotong batu di bawah pohon yang sudah layu, di situ ia duduk mengaso, Ong Ling-hoa dilemparkan di tepi jalan. Ong Ling-hoa memang tahan uji, dia diam saja diperlakukan bagaimanapun oleh Cu Jit-jit, sebaliknya ia tetap tersenyum simpul biarpun mukanya serasa beku kedinginan, dengan sendirinya senyumnya lebih tepat dikatakan menyengir. Selang tidak lama, tertampak sebuah kereta besar datang dari kejauhan. Mendadak Jit-jit membentak sehingga perlahan kereta yang sudah mendekat itu dihentikan. Belum lagi kusirnya bicara, sebuah kepala menongol keluar dari kabin kereta dan menegur, �He, ada apa berhenti? Lekas jalan, kereta ini sudah kuborong, tidak terima penumpang lagi.�� Tapi Jit-jit tidak banyak cincong lagi, ia terus membuka pintu kereta seperti keretanya sendiri. Tertampaklah tiga orang lelaki berdandan kaum pedagang duduk di dalam, seorang di antaranya terasa sudah kenal, tapi Jit-jit tidak memerhatikannya, ia membentak, "Turun semuanya, lekas!� Salah seorang lelaki yang bermuka bundar bertanya dengan terkejut, "Turun? Ada apa turun?�

"Kalian bertemu dengan bandit, tahu?� bentak Jit-jit pula. "Ban ... bandit? Di mana?� orang itu bertanya pula dengan khawatir. "Aku inilah banditnya?� kata Jit-jit sambil menuding hidungnya sendiri. Melihat pada pinggang orang tergantung sebilah golok, "cring�, segera Jit-jit menariknya, golok itu ditekuk ke atas dengkul dan "krek"� kontan golok itu patah menjadi dua. Muka ketiga lelaki itu menjadi pucat, mereka tidak berani bicara lagi, buru-buru mereka memberosot keluar kereta. Segera Jit-jit meraih Ong Ling-hoa dan dilemparkan ke dalam kereta, lalu berseru, "Lekas larikan keretamu, kusir!� Agaknya si kusir menjadi bingung juga karena ketakutan, "Ya ... ya, nona ... tidak, Tay-ong (raja, sebutan kepada kaum bandit), ke ... kemana?�

"Langsung saja ke depan, bila perlu akan kuberi tahukan nanti,� bentak Jit-jit. Segera kereta itu dilarikan dengan cepat, ketiga lelaki tadiditinggalkan begitu saja di bawah hujan salju. "Hehe, Tay-ong ....� gumam Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Tak tersangka nona manis telah berubah menjadi Tay-ong.� Jit-jit menarik muka dan tidak menggubrisnya. Padahal ia pun merasa geli sendiri bila teringat kepada apa yang diperbuatnya tadi, sebelum ini mimpi pun tak terpikir olehnya akan

terjadi begini. Setengah hari sebelum ini Sim Long masih berada di sisinya. Teringat kepada Sim Long, bila anak muda itu tahu apa yang dilakukannya ini entah bagaimana perasaannya, mungkin juga dia akan tertawa geli. Tapi di manakah Sim Long saat ini? Mana dia dapat melihat apa yang dilakukannya? Begitulah perasaan Cu Jit-jit kembali bergolak, sebentar sedih, lain saat gembira. "Apa pun juga saat ini Ong Ling-hoa telah jatuh dalam tanganku, dia pasti akan tunduk kepadaku bila tidak ingin kusiksa, dia orang pintar, tentu dapat kulakukan macam-macam urusan yang mengejutkan Sim Long, kelak dia pasti akan tahu juga kelihaianku,� demikian Jit-jit berpikir. Sampai di sini, ia jadi bersemangat, segera ia berteriak pula, "Hai, kusir, percepat lari kudamu supaya lekas sampai di kota, sebentar boleh cari hotel terbesar untuk mengaso, banyak bekerja sedikit bicara, tentu akan kuberi persen lebih banyak.� Akhirnya kereta benar berhenti di depan sebuah hotel besar. Dari saku Ong Ling-hoa dapatlah Jit-jit melolos keluar segebung uang kertas, nilai nominal yang paling kecil adalah lima ratus tahil perak. Begitu saja dia beri selembar kepada kusir. Tentu saja hal ini membuat si kusir melongo kaget dan kegirangan. "Tutup mulut yang rapat, tahu? Kalau tidak, jiwamu bisa melayang!� kata Jit-jit dengan suara tertahan. Si kusir merasa seperti baru bermimpi, mimpi pertama terasa buruk, tapi kemudian jadi mimpi mujur. Dengan begini, sampai tua dia tidak perlu menjadi kusir lagi. Sesudah masuk hotel, Jit-jit berikan sehelai cek yang bernominal

seribu tahil perak sebagai deposito di tempat kasir, pesannya, "Taruh dulu di sini, pakai berapa nanti, sisanya baru kembali, potong dulu 20 tahil sebagai tip untuk semua pegawai di sini, berikan dua kamar kelas satu, usung orang sakit di dalam kereta ke dalam kamar.� Seribu tahil perak itu serupa sebuah cambuk, seluruh pekerja hotel itu, dari kasir sampai pelayan, semuanya telah dibuat tunduk habis-habisan. Dalam sekejap saja segala apa yang diperlukan telah siap seluruhnya.

Lalu Jit-jit memberi perintah pula kepada pelayan agar membelikan beberapa pasang baju lelaki dan perempuan, lalu menyewakan sebuah kereta agar setiap saat menunggu untuk dipakai. Uang memang serbaguna, dalam waktu singkat saja pesannya sudah dipenuhi. "Wah, nona sungguh royal sekali,� ucap Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Kan uangmu, tentunya hatimu sakit, bukan?� jawab Jit-jit. "Tidak, tidak sakit, aku sendiri tidak mampu berkutik, kenapa merasa sakit? Jangankan nona cuma memakai uangku, dagingku kau potong juga boleh.�

"Hm, cukup tahu diri juga,� jengek Jit-jit. "Sekarang hendak kutanya padamu, jika kusuruh kau kerjakan sesuatu, kau tunduk atau tidak? Asalkan kau mau menurut, jiwamu ada harapan akan kuampuni.� "Perintah apa pun dari nona pasti akan kukerjakan,� jawab Ong Ling-hoa. "Baik, pertama kali, lekas kau ganti rupamu sendiri,� kata Jit-jit. Jangan bekernyit kening, kutahu kotak rias selalu kau bawa, hal ini tentu dapat kau kerjakan.�

"Memangnya nona menghendaki kuganti rupa bagaimana?� tanya Ling-hoa. Biji mata Jit-jit berputar, katanya kemudian, "Ganti rupa sebagai perempuan.� Ong Ling-hoa melengak, "Perem ... perempuan?�

"Ya. Memangnya kenapa, engkau tidak mau?�

"Aku ... aku khawatir tidak bisa mirip,� sahut Ong Ling-hoa dengan muka bersungut. "Pasti mirip,� ujar Jit-jit. "Memangnya engkau rada mirip anak perempuan. Nah, lekas keluarkan kotak rias, akan kubuka Hiat-to kelumpuhanmu supaya dapat bergerak setengah badan, hendaknya lekas kau bekerja.�

"Nona minta kuganti rupa anak perempuan yang bagaimana?�

"Umpamanya bermuka ... bermuka putih beralis lentik, tapi dalam keadaan lesu seperti ... seperti sakit tebese, dan ... dan tentu saja rambutnya harus kusut.� Muka Ong Ling-hoa memang rada mirip anak perempuan dan agak kepucat-pucatan sehingga serupa orang yang berpenyakitan setelah berias. Jit-jit memandangnya dengan tersenyum, sebaliknya Ong Ling-hoa jadi menyengir. Jit-jit lantas memilih seperangkat baju, katanya dengan tertawa, "Baju ini disangka pelayan akan kupakai, tak tahunya engkau yang memakainya.�

"Lantas apa pula perintah nona?� tanya Ling-hoa dengan menahan rasa dongkol. "Kau pun harus merias diriku.�

"Nona ingin ganti rupa apa?�

"Berubah menjadi lelaki.� Ong Ling-hoa melengak, "Le ... lelaki bagaimana?�

"Lelaki muda yang cakap, supaya tergila-gila tiap gadis yang melihatku. Tapi tidak berbau perempuan agar tidak diketahui orang. Kan cara bicara dan gerak-gerikku juga rada mirip anak lelaki?�

"Wah, alangkah baiknya jika aku tidak paham ilmu rias,� ujar Ong Ling-hoa dengan menyesal. "Hm, jika engkau tidak paham rias, sudah lama kubinasakan kau,� jengek Jit-jit.

*****

Setelah menyamar, Jit-jit memang mirip anak muda yang tampan. Ia geli sendiri ketika bercermin, gumamnya, "Wahai Sim Long, bila sekarang kita berebut seorang gadis, tentu engkau tak bisa mengalahkan diriku ....� Teringat kepada Sim Long, dari geli ia jadi menyesal lagi. Hari sudah gelap. Tapi suasana masih ramai, suara roda kereta dan ringkik kuda masih terus berkumandang dari luar. Mendadak Jit-jit membuka pintu dan memanggil pelayan. Dengan hormat pelayan mendekati si nona. Waktu diketahui yang berhadapan dengan dia adalah seorang Kongcu, ia jadi melengak, katanya dengan menyengir, "O, ki ... kiranya Kongcu sudah sembuh. He, nona itu berbalik jatuh sakit?� Jit-jit tahu orang menyangka dirinya adalah Ong Ling-hoa yang terbungkus selimut tadi, ia merasa kebetulan, dengan tertawa ia menjawab, "Ya, dia sakit. Eh, ingin kutanya padamu, mengapa hotelmu seramai ini?�

"Hotel kami biasanya memang cukup ramai, tapi juga jarang seramai sekarang ini, entah mengapa selama dua hari ini tamu yang datang jauh lebih banyak daripada biasanya. Kedua kamar untuk Kongcu ini pun khusus dikosongkan untukmu,� demikian tutur si pelayan. "Rombongan tamu macam apakah?� tanya Jit-jit pula. "Tampaknya kebanyakan adalah pengawal barang,� tutur pelayan. "Ai, mereka bukan orang berkedudukan seperti Kongcu sehingga kurang tertib, untuk ini diharap Kongcu suka memakluminya.�

"Baiklah, sudah jelas, pergilah,� kata si nona. Pelayan lantas mengundurkan diri, diam-diam ia heran mengapa yang lelaki sembuh secepat itu dan yang perempuan mendadak jatuh sakit, caranya membuang uang seperti khawatir uang tidak laku lagi, sebaliknya baju saja tidak bawa sendiri dan harus membeli. Tapi, peduli amat, yang penting persennya gede, biar aku berlagak bisu dan buta saja. Sesudah tutup pintu kembali, Jit-jit lantas tanya Ong Ling-hoa, "Hai, di kota ini mendadak berkumpul orang Kangouw sebanyak ini, tentu akan terjadi apa-apa lagi. Sesungguhnya ada peristiwa apa, coba ceritakan.�

"Dari mana kutahu,� jawab Ong Ling-hoa. "Masa engkau tidak tahu?�

"Dunia seluas ini dan setiap hari bisa terjadi apa pun, masa semuanya dapat kuketahui?� Jit-jit mendengus. Tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, tanyanya pula, "Coba jelaskan, sebab apa rombongan Can Ing-siong begitu tiba diJin-gi-ceng lantas mati semua?�

"Oo, ini ... ini pun aku tidak tahu,� sahut Ong Ling-hoa. "Bukan permainanmu?� bentak Jit-jit. "Ai, saat ini aku berada dalam cengkeramanmu, mati-hidupku bergantung di tangan nona, apa yang nona minta kukerjakan masakah berani kutolak, apa yang nona tanya tentu juga kujawab. Tapi bila yang kau tanya memang tidak kuketahui, lalu apa yang harus kukatakan, biar mati pun tidak dapat kujelaskan.�

"Hm, pada suatu hari pasti dapat kubikin kau bicara segalanya, sekarang belum tiba saatnya,� jengek Jit-jit. Setelah berpikir sejenak, mendadak ia membuka pintu pula dan memanggil pelayan. Kedatangan pelayan sekali ini terlebih cepat dan bertanya, "Kongcu ada perintah apa?�

"Coba carikan sebuah joli dan dua orang bibi pengusung joli, aku mau membawa keponakan perempuanku berkeliling kota, supaya dia mendapat hawa segar dan melihat pemandangan. Nah, lekas!� Cepat pelayan mengiakan dan berlari pergi. Sesudah pelayan pergi, Ong Ling-hoa berseloroh, "Keponakan perempuan? Ai, apakah keponakan serupa diriku tidak terlalu besar bagimu? Kenapa tidak kau katakan Tacimu atau adikmu? Apalagi kalau kau bilang istrimu, tentu orang akan lebih percaya.�

"Apakah mukamu sudah gatal dan minta digampar lagi?� ancam Jit-jit. "Aku ... aku hanya khawatir orang lain tidak percaya ....�

"Jika tidak kukatakan engkau ini cucu perempuanku kan sudah baik bagimu?� jengek Jit-jit. "Nah, sebentar akan kubawa pesiar dirimu, akan kututuk Hiat-to kelumpuhan dan bisumu agar engkau tidak banyak bertingkah.�

"Silakan berbuat saja sesukamu, masakah perlu kau katakan padaku?� ujar Ling-hoa sambil menyengir.

*****

Joli yang disewa terbuat dengan kecil mungil dan cukup empuk, tanpa susah payah dua orang bibi kekar itu dapat mengusungnya. Ong Ling-hoa ditutup dengan selimut, hanya kepala saja yang menongol di luar, duduk di dalam joli tanpa bisa berkutik. Jit-jit memandangnya dua-tiga kejap, diam-diam ia merasa geli juga, pikirnya, "Oi, Ong Ling-hoa, biasanya kau suka siksa orang, sekarang kau pun rasakan bagaimana enaknya tersiksa.� Ong Ling-hoa memang tersiksa, tapi bagaimana perasaannya tidak ada yang tahu. Joli berjalan di depan, Jit-jit ikut di belakang, mereka terus putar kayun menyusuri jalan raya dengan perlahan. Kota ini memang cukup ramai, pasar malam baru mulai, yang berlalu-lalang di jalan raya memang tidak sedikit jago dunia persilatan, tapi tiada seorang pun dikenal Cu Jit-jit. Dilihatnya wajah para jago persilatan itu sama berseri-seri, hal ini menandakan umpama terjadi sesuatu di kota ini tentu juga bukan peristiwa buruk. Sekonyong-konyong dari jalan simpang sana muncul dua orang. Seorang lelaki bermuka merah ungu, hidung besar serupa hidung

singa, alis tebal dan mata besar, perawakan kekar dan berjubah sutra ungu, kelihatan gagah perkasa. Seorang lagi perempuan. Bentuk perempuan ini sungguh tidak serasi berdampingan dengan si lelaki. Dia jauh lebih pendek, perawakannya boleh dikatakan seperti segumpal daging, malahan pada pipinya memang tumbuh segumpal daging kecil atau sejenis uci-uci.

Kedua orang yang tidak serasi ini berjalan bersama, tentu saja sangat mencolok dan membuat orang heran dan geli. Tapi setiap orang persilatan yang melihat kedua orang ini sama sekali tidak berani memperlihatkan rasa geli mereka, malahan bila bertemu lantas memberi hormat. Kedua orang ini juga dikenal oleh Cu Jit-jit, ia heran, "Mengapa siSinga jantan Kiau Ngo dan si Khong Bing betina Hoa Si-koh juga berada di sini?� Dilihatnya Kiau Ngo dan Hoa Si-koh tidak menghiraukan orang-orang yang sama menyapa dan memberi hormat kepada mereka. Terlebih Hoa Si-koh, perhatiannya hanya tercurah kepada Kiau Ngo seorang saja. Meski bentuk perempuan ini sangat jelek tapi dandanannya tampak lebih bersih dan rajin daripada dahulu, mukanya juga kelihatan cemerlang. Hanya memandang sekejap saja Cu Jit-jit lantas tahu itulah kecemerlangan cinta, sebab ia sendiri pun pernah mengalami rasa bahagia demikian, walaupun sekarang hal itu dirasakan hambar, bahkan pahit.

Meski heran, diam-diam Jit-jit juga bergirang bagi mereka. Biarpun Hoa Si-koh bukan wanita cantik, tapi dia terkenal sebagai perempuan cendekia, dan hanya perempuan cendekia saja yang pantas berjodohkan pahlawan. Mereka bersimpang jalan dengan Cu Jit-jit, sesudah berhadapan, mereka hanya memandang sekejap saja kepada Jit-jit dan tidak lebih. Nyata ilmu rias Ong Ling-hoa memang sangat hebat dan dapat mengelabui siapa pun. Sesudah lewat, masih juga Jit-jit menoleh, dilihatnya Kiau Ngo berdua telah masuk ke sebuah restoran, namanya Wat-pin-lau. Dalam pada itu didengarnya orang berlalu banyak yang kasak-kusuk membicarakan Kiau Ngo berdua, ada yang memberitahukan kepada kawan yang tidak tahu bahwa Kiau Ngo dan Hoa Si-koh adalah dua di antara ketujuh tokoh terkemuka dunia persilatan saat ini. Diam-diam Jit-jit membatin, "Nama ketujuh tokoh besar dunia persilatan memang cukup gemilang, cuma sayang di antaranya terdapat juga manusia kotor serupa Kim Put-hoan.� Tiba-tiba timbul pikiran Jit-jit, katanya kepada kedua bibi pengusung joli, "Kita juga masuk ke restoran itu, bawalah nona ke atas.� Dalam pada itu sorot mata Ong Ling-hoa juga berubah seperti melihat seseorang tokoh yang aneh. Cuma dia tertutuk Hiat-tobisunya sehingga tidak mampu bersuara. Restoran Wat-pin-lau memang sangat luas, ratusan tamu ternyata belum lagi memenuhi ruangannya. Kiau Ngo dan Hoa Si-koh berduduk di meja dekat jendela, inilah tempat pilihan, jelas ada orang sengaja mengalah kepada mereka. Waktu Jit-jit naik ke atas loteng restoran, terasa pandangan kedua orang yang tajam itu meliriknya sekejap, habis itu keduanya lantas berbisik entah apa yang dibicarakan. Jit-jit anggap tidak tahu, ia memilih sebuah meja di kejauhan sana, kedua bibi pengusung mengangkat Ong Ling-hoa dan didudukkan di samping si nona. Dandanan mereka tidak mirip orang Kangouw sehingga tidak menarik perhatian orang lain. Tiba-tiba terdengar orang di meja samping mereka sedang bicara, "Tak tersangka urusan ini telah banyak mengejutkan orang, sampai kedua tokoh itu pun muncul disini.� Yang bicara ini dirasakan Jit-jit seperti sudah pernah dilihatnya, cuma lupa entah di mana. Orang ini bermuka putih, bibir merah dan gigi rajin, bajunya juga bersih, boleh dikatakan cukup tampan. Lalu seorang lagi menanggapi, "Urusan ini memang tidak boleh diremehkan, menurut pendapatku, kecuali mereka berdua tentu akan datang lagi tokoh-tokoh lain, boleh kau lihat saja nanti.� Jit-jit lagi memilih santapan, diam-diam ia heran urusan apakah yang dimaksudkan mereka dan mengapa sampai mengagetkan para tokoh Kangouw? "Ya, setiap orang Bu-lim yang berkunjung ke kota ini tentu akan masuk ke Wat-pin-lau ini, biarpun hidangan di sini mahal dan tidak enak juga bukan soal, betapa pun harus menghormati pemiliknya,� ujar pemuda pertama tadi. Kembali Jit-jit merasa heran, siapakah pemilik restoran ini, apakah juga kesatria yang ternama? Ia coba menyapu pandang para tamu, dilihatnya sebagian besar tamunya memang terdiri dari orang Kangouw. Dari pakaian mereka tidak sulit untuk mengetahui siapa mereka. Di antara berbagai bentuk tetamu itu, Jit-jit merasa tidak ada seorang pun yang menonjol. Tapi mendadak dilihatnya satu orang, seketika ia tertarik. Bentuk orang ini juga tidak luar biasa, bahkan di antara para tamu bentuknya boleh dikatakan sangat umum. Tapi entah mengapa, ditengah kewajaran orang ini seakan-akan ada sesuatu yang luar biasa dan tidak umum. Dalam hal apa dirasakan luar biasa, Jit-jit sendiri tidak dapat menjelaskan. Usia orang ini kira-kira setengah abad, mukanya kuning, alisnya halus dan matanya kecil, berjenggot jarang-jarang seperti bandot atau kambing tua, memakai baju kulit yang sudah agak lusuh. Tampaknya orang ini cuma seorang pedagang biasa, atau mungkin seorang pensiunan pegawai negeri, karena hawa dingin, maka minum arak sekadar menghangatkan badan. Takaran minum arak orang ini sungguh hebat. Jika dibilang ada sesuatu yang luar biasa dan aneh pada orang ini, maka di sinilah letak keanehan itu. Di depan mejanya tertaruh dua macam hidangan, tapi poci arak yang tersedia adalah tujuh atau delapan buah, cawan arak juga sama banyaknya. Caranya minum arak sungguh asyik dan lain daripada yang lain, dengan sebelah tangan membelai jenggotnya, tangan yang lain memegang cawan arak, mata setengah terpicing seperti lagi menikmati betapa rasanya arak ini, lalu tersenyum dan manggut-manggut, terkadang juga berkerut kening dan menggeleng kepala. Nyata isi beberapa poci arak itu berbeda-beda, jadi dia sedang

menikmati rasa arak yang berlainan itu. Dia khawatir rasa arak terbaur, maka menggunakan beberapa cawan untuk mengisi setiap jenis arak yang diminumnya. Tampaknya dia cuma seorang kakek yang gemar minum arak tapi juga ahli minum, orang lain takkan berbuat jahat padanya, dia juga tidak memperlakukan jahat kepada orang lain. Tapi entah mengapa, setelah memandangnya beberapa kejap, mendadak timbul semacam rasa muak, jemu dan juga jeri dalam hati Jit-jit, dia sendiri tidak tahu mengapa bisa timbul perasaan demikian. Ia merasa tidak ingin memandangnya lagi, rasanya kalau memandangnya lagi mungkin akan mendatangkan sesuatu malapetaka baginya. Perasaan aneh Cu Jit-jit ini entah juga dirasakan orang lain atau

tidak, yang jelas si kakek seperti sudah tenggelam dalam isi cawannya, sama sekali ia tidak peduli bagaimana perasaan orang lain terhadapnya. Ternyata Ong Ling-hoa pun sedang menatap orang tua itu dengan sorot mata yang aneh juga. Dengan suara tertahan Jit-jit bertanya, "Apakah kau kenal orang itu?� Ling-hoa menggeleng. Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar serentetan gelak tertawa di bawah loteng. Seorang lagi berkata, "Mengapa sekian lama Toako tidak kelihatan,

sungguh kami sangat merindukan Toako. Bilamana Toako telah hidup bahagia, seharusnya berita ini disampaikan kepada kami.�

"Bahagia kentut,� demikian seorang lagi menanggapi dengan tertawa. "Selama dua hari ini aku berlari kian kemari, kalau tidak bertemu dengan Nio Ji mungkin takkan tahu kalian berada di sini.� Belum lagi Jit-jit melihat orang yang bicara itu, cukup dari suara tertawanya yang riang itu sudah diketahuinya siapa dia. Seketika hatinya terasa hangat, serupa habis minum sepoci arak. Ong Ling-hoa juga tahu siapa orang itu, diam-diam ia berkerut kening. Kiranya orang ini ialah Him Miau-ji alias si Kucing. Di tengah gelak tertawa, beberapa lelaki berkopiah miring dan berjaket yang sengaja diterbalikkan muncul ke atas loteng mengiringi Him Miau-ji yang berwajah cerah. Pelayan restoran juga berkerut kening. Wat-pin-lau ini bukan sembarangan restoran, meski mereka tidak menolak kunjungan kaum kesatria Kangouw, tapi kawanan bajul begini mengapa sekarang juga berani masuk ke restoran ini? Beberapa pelayan saling memberi isyarat, dua orang lantas memapak kedatangan mereka, seorang lagi berlari ke dalam untuk melapor. Segera hati Cu Jit-jit bergembira. Ia tahu bakal melihat tontonan menarik lagi. Dada baju Him Miau-ji tampak setengah terbuka, sebuah buli-buli arak tergantung di pinggangnya, matanya yang besar dan terang itu sedang memandang kian kemari. Sesudah berhadapan, dengan senyum yang dibuat-buat si pelayan berkata, "Maaf, sudah penuh semua tempat duduk, silakan berkunjung ke tempat lain saja.� Alis si Kucing yang tebal itu menegak, katanya, "Bukankah di sana masih ada tempat kosong?�

"Tempat itu sudah dipesan orang,� sahut pelayan dengan dingin. Seorang lelaki tegap di samping si Kucing menjadi marah, teriaknya, "Siapa yang pesan? Dasar mata anjing suka menilai rendah orang kecil, tuan besar juga punya uang perak, kenapa kau tolak kami?�

"Jika punya uang boleh silakan digunakan di tempat lain saja, seumpama masih ada tempat kosong juga takkan kuberikan

padamu, memangnya kau mau apa?� Lelaki itu meraung murka dan menubruk maju terus menjotos. Ternyata si pelayan juga bisa dua-tiga jurus, dengan gesit ia sempat mengelak. Serentak pelayan yang lain membanjir tiba, kawanan lelaki kekar itu

pun menyingsing baju dan mendelik, sambil mencaci maki kedua pihak lantas saling labrak. Tapi baru saja saling genjot beberapa kali, beberapa pelayan mendadak mencelat satu per satu, semuanya terlempar ke luar loteng. Diam-diam Jit-jit berkeplok gembira, "Aha, si Kucing telah turun tangan!� Semula para tamu tidak memerhatikan perkelahian itu, tapi sekarang mereka sama melengak, perhatian mereka lantas terpusat ke arah si Kucing. Si Kucing masih tertawa haha-hihi seperti tidak terjadi sesuatu, katanya, "Haha, mari kita mencari tempat duduk sendiri, kalau tidak ada pelayan, biarlah kita makan minum melayani diri sendiri, yang pasti hari ini kita akan makan di restoran Wat-pin-lau ini.�

"Betul, mari kita makan minum melayani diri sendiri,� seru orang banyak. Tiba-tiba pemuda tampan di meja sebelah Jit-jit berkata dengan tertawa, "Sungguh lelaki yang gagah dengan kungfu yang hebat.� Tapi kawannya lantas menanggapi, "Meski gagah dan hebat, bisa jadi sebentar lagi dia akan menghadapi kesulitan.� Dalam pada itu semua orang sudah melihat dari belakang telah muncul beberapa orang. Him Miau-ji juga melihatnya, seketika ia berhenti di tempat. Suasana gaduh di atas restoran segera berubah sunyi. Mestinya Jit-jit ingin bertaruh dengan orang di meja sebelah bawah Him Miau-ji pasti takkan menghadapi sesuatu kesulitan. Tapi demi melihat kemunculan beberapa orang dari ruang dalam itu, seketika bergetar juga hatinya, mestinya dia mau bicara, tapi urung. Didengarnya pemuda cakap di meja sebelah lagi mendesis, "Aneh, mengapa dia juga berada di sini.�

"Ya, memang rada aneh,� sahut temannya. "Meski dia pemilik restoran ini, tapi sepanjang tahun hampir tidak pernah berkunjung kemari. Sungguh tak terduga hari ini dia juga datang kemari.�

"Jika dia di sini, pemuda sembrono itu mungkin benar akan menghadapi kesulitan,� ujar pemuda tampan itu. "Dia� yang dimaksudkan mereka jelas adalah seorang yang muncul paling depan dari ruangan dalam restoran. Pengikut yang lain ada

enam atau tujuh orang. Perawakan orang yang dimaksud ini tidak terlalu kekar, namun perbawanya sungguh luar biasa. Dia memakai baju panjang biru, meski tidak mewah, namun potongannya sangat pas dengan tubuhnya sehingga sangat enak dipandang. Usianya jelas tidak muda lagi, tapi juga belum terlalu tua, mukanya tidak terlalu putih dan juga tidak hitam. Matanya tidak tergolong besar, namun sinar matanya membuat orang sungkan memandangnya. Di atas bibirnya ada kumis tipis dan terawat rajin, karena kumis inilah membuat wajahnya yang kereng itu kelihatan agak menarik. Pada tubuhnya tidak terdapat sesuatu benda yang berharga, tapi setiap orang asalkan memandangnya sekejap pasti dapat melihat dia berasal dari keluarga kaya raya. Dalam keadaan dan di tempat begini mendadak muncul seorang tokoh seperti ini, tentu saja sangat menarik perhatian orang. Baik kenal maupun tidak, semuanya sama memperkirakan si pemuda sembrono alias si Kucing pasti akan rasakan akibatnya. Tapi Him Miau-ji tetap berseri, matanya yang besar tetap menatap orang tanpa berkedip, betapa tajam pandangan orang juga tidak membuatnya gentar. Tapi pandangan si baju biru tidak cuma menatap Him Miau-ji saja, ia

menyapu pandang seluruh ruangan restoran dan menegur sapa kepada setiap orang yang dikenalnya, katanya dengan tertawa, "Ai, para sahabat sudi berkunjung, sepantasnya kusambut sejak tadi, cuma ....�

"Haha, kau khawatir sahabatmu minta dijamu olehmu, dengan sendirinya kau main sembunyi dan pura-pura tidak tahu,� mendadak si Kucing menyela dengan tertawa. Si baju biru berlagak tidak mendengarnya, sambungnya, "Jika ada pelayanan yang kurang lengkap, mohon sudi dimaafkan ....�

"Pelayanan di sini memang tidak lengkap, juga tidak dapat dimaafkan,� tukas si Kucing lagi. "Silakan saudara makan minum dengan tenang ....� Belum lanjut ucapan si baju biru, segera si Kucing memotong lagi, "Jika di sini ada orang berkelahi, cara bagaimana bisa makan minum dengan tenang?� Meski setiap kali bicara selalu dipotong oleh si Kucing, namun si baju

biru sama sekali tidak memperlihatkan rasa gusar, hanya sorot matanya mulai beralih ke arah Him Miau-ji. "Lihat apa? Apa tidak kenal?� tanya si Kucing. "Ya, memang terasa asing,� kata si baju biru. "Haha, tidak kenal lebih baik, kalau kenal tentu tidak jadi berkelahi,� seru si Kucing dengan tertawa. "Jika Anda ingin berbuat lain mungkin ada kesukaran, kalau mau berkelahi, hal ini sangat gampang. Cuma di sini penuh tetamu, marilah kita turun ....�

"Apa artinya berkelahi tanpa penonton?� Air muka si baju biru rada berubah, "O, jadi kedatanganmu ini memang sengaja mencari perkara padaku.�

"Kau ganggu pihakku, dengan sendirinya kucari perkara padamu.�

"Hahaha, bagus! Aku ....�

"Tak perlu kau sebut namamu yang besar,� sela si Kucing. "Jika sengaja hendak kucari perkara padamu, peduli siapa kau toh pasti akan kulabrak juga. Apa gunanya kau sebutkan namamu segala?�

"Hm, alangkah pongahnya anak muda ini!� teriak si baju biru dengan gusar. "Orang tidak mengganggu diriku, aku pun takkan merecoki orang, jika orang berbuat salah padaku, maka kutanggung takkan pernah ada kompromi.� Dua lelaki kekar yang berdiri di samping si baju biru tidak tahan lagi, sambil meraung mereka menubruk maju, empat kepalan besar terus memburu ke atas kepala si Kucing sambil membentak, "Turun!� Baru lenyap suaranya, benar juga segera ada orang turun. Tapi bukan Him Miau-ji melainkan kedua lelaki itu yang terguling ke bawah loteng. Rupanya waktu pukulan kedua orang itu menyambar tiba, sekali tangan si Kucing menangkis, seketika tangan kedua orang itu serasa membentur tiang besi, sekujur badan lantas kaku, kesempatan itu digunakan oleh si Kucing untuk mencengkeram pergelangan tangan mereka, sekali tarik terus didorong lagi, kontan tubuh kedua orang yang besar itu mencelat dan terguling ke bawah. Tentu saja kejadian ini sangat menggemparkan para penonton, sampai Kiau Ngo dan Hoa Si-koh juga berdiri, ingin melihat lebih jelas bagaimana bentuk anak muda yang perkasa ini. Serentak anak buah Him Miau-ji bersorak gembira. Hanya si kakek yang di depannya tertaruh beberapa poci arak itu masih tetap adem ayem dan asyik menikmati araknya sendiri. "Bagaimana, apakah giliranmu sekarang?� tanya si Kucing terhadap si baju biru. Tanpa bicara, perlahan si baju biru menanggalkan bajunya, dilipatnya dengan hati-hati, lalu diserahkan kepada seorang pengikutnya, habis itu baru berkata, "Silakan!� Menghadapi pertarungan maut, si baju biru masih tetap tenang saja, seperti yakin dirinya pasti akan menang. Kalau tidak masakah dia dapat bertindak sesabar ini? si Kucing tertawa, "Haha, mau berkelahi boleh turun tangan saja, pakai silakan apa segala? Dalam hatimu tentu ingin sekali jotos membikin hidungku peyot, tapi di mulut kau bicara seramah ini, kita kan tidak ingin berbesanan?�

"Apakah sudah pasti engkau tak mau turun tangan lebih dulu?� tanya si baju biru. "Setiap kali berkelahi, aku memang tidak pernah menyerang lebih dulu,� sahut si Kucing dengan tertawa. "Apa betul?� si baju biru menegas. "Kalau kukatakan begitu, tentu saja betul,� kata si Kucing. "Nah, aku berdiri di sini, sekujur badanku terbuka, silakan kau pilih, mana suka

bagian yang hendak kau pukul.� Si baju biru tidak memukul seperti apa yang diminta si Kucing, sebaliknya ia mengawasinya dari kepala sampai ke kaki, lalu dari kaki ke kepala, kemudian ia membalik tubuh, diambilnya kembali bajunya dari pengiringnya tadi, baju dikebut, perlahan lantas dipakai kembali. Keruan si Kucing berbalik heran, "Hei, apa-apaan kau ini?� Dengan kalem si baju biru menjawab, "Jika berkelahi, selamanya aku pun tidak pernah menyerang lebih dulu. Jika engkau juga tidak mau menyerang dulu dan aku pun sama lalu cara bagaimana perkelahian ini dapat berlangsung?� Dia lantas mengangkat kedua tangan ke atas dan memberi hormat kepada para tamu, serunya dengan tertawa, "Silakan hadirin duduk

kembali dan makan minum sepuasnya, semua rekening biar dihitung atas bebanku.� Habis berkata ia lantas masuk kembali ke ruangan dalam. Tindakan ini sungguh sangat di luar dugaan siapa pun, bukan saja Him Miau-ji berdiri melongo, semua orang juga melenggong bingung. Semula semua orang berharap akan menyaksikan pertandingan yang menarik, siapa tahu urusan berakhir cara demikian, hanya suara guntur saja berbunyi, tapi hujan tidak pernah turun. Di antara orang-orang itu hanya Cu Jit-jit saja yang sejak mula tidak menghendaki kedua orang itu jadi berkelahi, sebab dia akan serbasusah siapa pun yang akan keluar sebagai pemenang di antara kedua orang itu. Kini urusan telah selesai begitu saja, keruan girangnya tidak terkatakan, diam-diam ia juga merasa geli, "Perangainya ternyata tidak berubah, pertarungan yang tidak yakin akan menang tidak mau dilakukannya.� Sebelum ini keadaan sunyi senyap, tapi sekarang telah berubah ramai lagi. Semua orang sama membicarakan kejadian tadi, ada yang menggerutu, ada yang kecewa, dan ada juga yang bersyukur. Tapi apa pun juga, kalau dapat makan minum dengan gratis tentu juga menyenangkan. Maka Him Miau-ji dan rombongannya lantas mencari meja kosong dan berduduk, tanpa diminta segera santapan dan arak diantarkan tanpa putus. Biji mata Cu Jit-jit berputar, mendadak ia berdiri dan menyapa pemuda cakap di meja sebelah, "Maaf!� Pemuda itu tercengang, terpaksa ia pun berbangkit dan menjawab, "O, ada apa?� Melihat orang merasa bingung, Jit-jit merasa geli, cepat ia bicara lagi, "Bila tidak keberatan, bagaimana kalau saudara makan bersama satu meja dengan kami?�

"O, ini ... ini agak repot, kan saudara membawa anggota keluarga, mana berani kuganggu,� ujar pemuda itu. "Ah, tidak menjadi soal,� kata Jit-jit. "Dia bukan anak gadis atau bakal menantu segala, pada hakikatnya dia bukan perempuan ....�

Pemuda tampan itu melenggong lagi, jelas dandanan Ong Ling-hoa adalah perempuan, mengapa dikatakan bukan orang perempuan?

Memangnya orang gila? Diam-diam Jit-jit tertawa geli, sedapatnya ia menahan perasaannya dan berkata, "Kumaksudkan keponakan perempuanku yang kurang enak badan ini sifatnya sehari-hari tiada ubahnya seperti anak laki-laki, maka Anda tidak perlu pantang, silakan pindah ke sini saja.�

"O, kiranya begitu,� pemuda itu merasa lega. "Jika ... jika begitu biarlah kuganggu sebentar.� Setelah dia pindah ke meja Cu Jit-jit dan minum arak secawan. Jit-jit terus-menerus memandangi pemuda ini, keruan orang menjadi kikuk, katanya dengan menunduk, "Sesungguhnya ada ... ada petunjuk apa yang hendak Anda bicarakan?�

"Soalnya kurasakan wajahmu seperti sudah pernah kulihat, tapi tidak ingat di mana kita pernah berjumpa,� ujar Jit-jit dengan tertawa. Pemuda itu termenung sejenak, tanyanya kemudian, "Apakah boleh kutanya nama Anda yang terhormat?�

"Aku Sim Long,� jawab Jit-jit. "Hah, jadi Anda ini Sim Long?� seru pemuda itu kaget. Karena suara orang cukup keras, Jit-jit jadi kaget juga dan khawatir didengar oleh Kiau Ngo. Untung suasana di atas loteng sangat ramai sehingga tidak ada orang lain yang memerhatikan mereka. Legalah hati Jit-jit, katanya kemudian, "Masa ... masa kau kenal aku?�

"Meski Sim-heng tidak kukenal, namun nama kebesaranmu sudah lama kudengar.�

"Oo, masa ... masakah namaku begitu terkenal?� tanya Jit-jit. Dengan sungguh-sungguh si pemuda menjawab, "Mungkin Sim-heng sendiri sungkan menyiarkan nama kebesaran sendiri, tapi ada beberapa kawanku semuanya sama memuji Sim-heng adalah tokoh nomor satu dunia Kangouw zaman ini, tak tersangka hari ini dapat kujumpai di sini.� Aneh juga, meski sekarang Jit-jit sangat benci kepada Sim Long, tapi demi mendengar orang memujinya, hatinya ikut gembira juga, dengan tertawa ia menjawab, "Ah, mana .... Anda terlampau memuji. Numpang tanya siapakah nama Anda yang mulia?�

"Cayhe Sing Hian,� jawab pemuda itu. "Sing Hian? Jangan-jangan Sing-kongcu dari Sing-keh-po (benteng keluarga Sing)?�

"Terima kasih, memang betul.�

"Aha, pantas aku merasa sudah pernah kenal dirimu, kiranya engkau ini adik Sing Ing. Wajahmu memang rada mirip dengan kakakmu.�

"O, kiranya Sim-siangkong kenal kakak?�

"Ya, kenal ....�

"Kedatanganku ini justru ingin mencari kakak,� tutur Sing Hian dengan girang. "Sim-siangkong telah menjelajahi seluruh wilayah Kanglam, tentu engkau mengetahui di mana beradanya kakak.� Hati Jit-jit tergetar, tiba-tiba terpikir olehnya bisa jadi Sing Ing juga mengalami nasib nahas serupa Can Ing-siong dan lain-lain yang ikut pergi ke Jin-gi-ceng dan terbunuh di sana. Untung Jit-jit dalam keadaan menyamar sehingga perubahan air mukanya tidak terlihat, cepat ia berkata pula, "Bulan yang lalu memang pernah kulihat kakakmu satu kali, tapi ke mana perginya lagi tidak diketahui.� Sing Hian menghela napas, "Sudah lebih setengah tahun kakak meninggalkan rumah dan tidak ada kabar beritanya lagi, kedua orang tua di rumah sama mengkhawatirkan dia, sebab itulah Siaute disuruh keluar mencarinya.� Cepat Jit-jit membelokkan pokok persoalan, "Tampaknya banyak kaum orang gagah berkumpul di sini, kuyakin pasti ada peristiwa besar, dan entah ... entah ada urusan apa, mungkin Sing-heng tahu?�

"Peristiwa ini memang benar urusan penting,� tutur Sing Hian. "Soalnya kedudukan ketua Kay-pang sudah lama lowong, sebab

itulah para anak murid Kay-pang mengundang kehadiran para kesatria ke sini untuk menyaksikan pemilihan Pangcu mereka.�

"O, kiranya urusan ini,� ucap Jit-jit. Dengan sendirinya urusan ini ada sangkut pautnya dengan Ong Ling-hoa, tanpa terasa ia melirik Ong Ling-hoa sekejap, dilihatnya sinar mata Sing Hian juga lagi melirik anak muda itu. Sudah cukup banyak Sing Hian bicara, setiap kali dia omong sesuatu, selalu ia melirik ke arah Ong Ling-hoa. Maklumlah, Ong Ling-hoa memang seorang pemuda tampan, kini dirias menjadi wanita, di bawah cahaya lampu dengan sendirinya kelihatan cantik dan memesona. Lebih-lebih kedua matanya yang jalang itu, sungguh menggetar sukma. Apalagi dalam keadaan tak bisa berkutik sekarang, sorot matanya yang sayu menampilkan rasa menyesal, susah dan cemas, sungguh membuat orang merasa kasihan padanya.

Seketika Sing Hian sampai terkesima. Sebaliknya hampir mulas perut Jit-jit saking gelinya, biji matanya berputar, tiba-tiba ia berkata pula, "Eh, Sing-heng, bagaimana menurut pendapatmu atas diri keponakan perempuanku ini?� Muka Sing Hian menjadi merah, sahutnya dengan menunduk rikuh, "O, ini ....� Ia tidak dapat menjawab, terpaksa cuma berdehem saja.

Dengan menahan rasa geli Jit-jit berkata pula, "Ai, usia keponakanku ini pun tidak kecil lagi, cuma penilaiannya terlalu tinggi, siapa pun tidak terpandang olehnya, maka sampai saat ini belum lagi mendapat jodoh. Apabila ada pemuda yang setimpal, harap Sing-heng suka memperkenalkannya.� Dengan muka merah akhirnya Sing Hian memberanikan diri untuk bertanya, "Entah ... entah orang macam apa yang memenuhi syarat?�

"Pertama, harus muda dan tampan. Kedua, harus keturunan keluarga terhormat. Ketiga, harus ... ah, pendek kata, asalkan orang semacam Sing-heng sudah pasti memenuhi syarat.� Sing Hian terkesiap dan bergirang, juga malu, tanpa terasa ia melirik Ong Ling-hoa lagi sekejap, lalu cepat menunduk. Sebaliknya tidak kepalang gemas Ong Ling-hoa dan serba runyam,

sungguh lidah Cu Jit-jit ingin dipotongnya, biji mata Sing Hian juga ingin dicungkilnya. Cu Jit-jit merasa geli, ia terpingkal-pingkal hingga air mata pun hampir tercucur, tapi juga tidak berani mengeluarkan suara tertawa sehingga terpaksa ditahan sekuatnya. Pada saat itulah mendadak seorang berteriak, "Hei, Sim ... Sim Long, Sim-kongcu!� Jit-jit terkejut, cepat ia memandang ke sana. Dilihatnya Kiau Ngo telah membuka jendela dan berseru ke luar, "Sim Long ....�

Segera Him Miau-ji juga melompat ke luar secepat anak panah. Sing Hian juga heran, gumamnya, "Sim-siangkong berada di sini, mengapa mereka berseru ke luar?� Jit-jit tertegun, sahutnya dengan gelagapan, "Mana ... mana kutahu.�

"Ah, barangkali ada orang yang bernama sama,� ujar Sing Hian. "Ya, benar, memang banyak sekali di dunia ini orang yang bernama sama,� cepat Jit-jit menukas. Ia tahu sekali Him Miau-ji melompat turun, segera Sim Long akan diseretnya ke atas loteng. Maka tanpa berkedip ia memandang ke arah ujung tangga dengan hati berdebar. Entah girang, kejut, gemas atau benci. Dan akhirnya benarlah Him Miau-ji telah menyeret Sim Long ke atas, belum lagi mereka muncul, suara tertawa mereka sudah bergema. "Haha, mata kucing sungguh tajam luar biasa,� demikian terdengar Sim Long berseloroh. "Tapi bukan aku yang memergokimu,� ujar si Kucing. Dengan menggereget Jit-jit memandang ujung tangga. Akhirnya tertampak kepala anak muda yang dicintai dan juga dibenci ini, lalu terlihat alisnya yang kereng dan matanya yang bersinar dan kemudian wajahnya yang selalu menampilkan semacam senyuman aneh itu. Meski tangan Jit-jit terkepal, tidak urung rada gemetar juga, sungguh ia ingin tonjok mulut Sim Long supaya dia tidak dapat tersenyum lagi. Hanya terlihat Sim Long dan Him Miau-ji saja, Kim Bu-bong tidak ikut serta, hal ini juga tidak diperhatikan Jit-jit, asalkan melihat Sim Long, urusan lain tidak terpikir lagi olehnya. Kini pandangan semua orang juga sama tertuju ke arah Sim Long, sampai si kakek peminum juga berubah aneh mendadak. Dengan langkah lebar Kiau Ngo lantas menyongsongnya sambil menyapa, "Aha, apakah Sim-kongcu masih ingat kepada orang she Kiau?� Segera Sim Long berseru, "Ah, kiranya Kiau-tayhiap, selamat bertemu.�

"Nah, yang melihatmu ialah dia,� ujar Him Miau-ji dengan tertawa. "Sebab itulah Sim-kongcu harus berduduk di mejaku sana,� kata Kiau Ngo. "Wah, caramu menarik tamu ternyata boleh juga,� kata si Kucing. "Selain dia kutarik, juga kutarik dirimu,� ujar Kiau Ngo dengan tertawa. "Bahwa engkau adalah sahabat Sim-kongcu juga, sungguh sangat beruntung bagiku.�

Dengan tertawa lepas si Kucing berkata, "Haha, bagus sekali, biarlah kita duduk bersama satu meja, toh sama-sama tidak bayar, ke sana atau ke sini juga sama saja. Cuma sudah sekian lama Sim-heng menghilang, ingin kuhormati dulu satu cawan.�

"Hah, cuma satu cawan, arak tanpa bayar, masa begitu pelit kau?� seru Kiau Ngo dengan tergelak. "Hah, betul, sedikitnya harus sepuluh cawan,� sahut si Kucing dengan tertawa. Dan begitulah Sim Long lantas disongsong ke meja sana. Dengan demikian suasana restoran bertambah ramai, beberapa orang berebut menuangkan arak bagi Sim Long, suara tertawa dan

teriakan hiruk-pikuk memekak telinga. Mendadak Jit-jit menggebrak meja dan berteriak, "Ayo, angkat nona dan pergi!�

"Eh, kenapa saudara tergesa-gesa?� tanya Sing Hian bingung. "Aku tidak biasa melihat orang macam begitu,� jengek Jit-jit. Bilang tidak biasa melihatnya, tidak urung ia melirik lagi ke sana, lalu dengan menggereget ia berbangkit dan mendesak kedua bibi lekas mengusung pergi Ong Ling-hoa. Sing Hian tertegun sejenak, mendadak ia memburu maju dan bertanya, "Eh, di manakah Sim-heng bermalam?� Jit-jit tidak sabar lagi bicara dengan dia, dengan tak acuh ia menjawab, "Di hotel yang paling besar sana.� Segera ia turun ke bawah dengan langkah yang dientak-entakkan. Sing Hian memandangi kepergiannya dengan termenung, gumamnya, "Mengapa sifat Sim-siangkong ini sedemikian aneh? ....� Tiba-tiba teringat olehnya meski Sim-siangkong yang ini sudah pergi, kan masih ada Sim-siangkong yang lain di sana, tanpa terasa ia berpaling ....Ternyata Sim-siangkong yang sana sudah menghabiskan belasan cawan arak. Biarpun paling sedikit sudah 17 cawan arak diminumnya, namun air muka Sim Long tidak berubah sama sekali, tidak ada tanda-tanda pengaruh alkohol, sinar matanya masih tajam, masih jernih. Banyak orang memandangnya dengan heran kagum dan memuji, tapi juga ada yang merasa iri dan benci. Namun Sim Long tidak menghiraukan pandangan orang lain dan bagaimana perasaan mereka terhadapnya, yang penting baginya dia tetap mempertahankan kesadarannya, dalam pandangan orang lain hal ini mungkin mengagumkan, tapi bagi Sim Long sendiri hal ini

adalah suatu penderitaan. Orang yang selalu sadar, penderitaan yang dirasakan tentu akan jauh lebih banyak daripada orang lain. Manusia, terkadang akan lebih enak dalam keadaan tidak sadar. Memandangi Him Miau-ji yang lagi bergelak tertawa itu, Sim Long justru kagum kepadanya. Si Kucing lebih suka melepaskan segalanya dan juga melupakan segalanya. Pada waktu bergembira, si Kucing benar-benar gembira. Sebaliknya meski saat ini Sim Long juga gembira, tapi tetap tidak dapat melupakan segala macam penderitaan. Yang terlihat olehnya sekarang adalah orang-orang yang gembira, tapi dalam hati

senantiasa terbayang orang yang lagi menderita. Mereka, Cu Jit-jit, Pek Fifi, Kim Bu-bong .... Jit-jit sudah pergi, tidak diketahuinya nona itu berada di mana? Meski dia yang mengusir kepergian nona itu, tapi mau tak mau dia berkhawatir juga baginya. Kekerasannya terhadap Cu Jit-jit juga kebesaran cintanya kepadanya. Cinta yang sudah tebal akan berubah menjadi tipis. Tapi semua ini mana dapat dimengerti oleh Cu Jit-jit. Dan di manakah Pek Fifi? Anak perempuan yang sebatang kara ini sekarang berada dalam cengkeraman kaum iblis. Meski tidak ada sesuatu hubungan antara si nona dan dirinya, tapi

selalu dirasakannya wajib mengatur seperlunya bagi nasib anak perempuan itu, bagi masa depannya. Tapi sekarang, jika terjadi sesuatu atas nona itu, sungguh dia merasa berdosa. Ia ingin menolongnya, tapi ke mana dapat ditemukannya? Lalu mengenai Kim Bu-bong, dia juga sudah pergi. Kim Bu-bong sendiri yang berkeras mau pergi. Lelaki seperti Kim Bu-bong, bilamana dia bertekad ingin pergi, siapa pula yang mampu mencegahnya? Sim Long dapat mengerti tekad Kim Bu-bong itu, dengan sendirinya ia tidak dapat memaksanya, ia cuma bertanya ke mana dia akan pergi dan bagaimana rencananya di kemudian hari? Namun Kim Bu-bong tidak menjawab. Padahal dia memang tidak perlu menjawab, betapa isi hatinya cukup diketahui Sim Long. Dia tidak mau menjadi beban Sim Long karena tubuhnya telah invalid. Sim Long bukan orang biasa, urusan yang harus dikerjakannya sangat banyak, tugasnya masih sangat berat. Sebaliknya sakit hati dirinya harus dibalas, harus dibalasnya sendiri. Meski dia sudah cacat, tapi tidak patah semangat, yang cacat hanya lahiriahnya dengan tidak rohaniahnya. Ia masih mau berjuang, berbuat sesuatu yang mengguncangkan dunia. Sim Long tidak dapat merintangi tekad Kim Bu-bong itu, juga tidak dapat menahannya, terpaksa ia menyaksikan kepergiannya .... Begitulah derita batin yang ditanggung Sim Long sekarang dan di luar tahu orang lain. Dengan tertawa Him Miau-ji berkata, "Bagus, Sim Long, arak sudah minum cukup, sekarang ingin kutanya padamu, di mana nona Cu dan Kim-heng sekarang?� Sim Long termenung sejenak, mendadak ia menenggak lagi secawan arak, lalu berkata, "Hal ini kelak akan kau ketahui sendiri.� Si Kucing tidak tanya lagi, sebab dapat dilihatnya dalam urusan ini pasti ada sesuatu yang sukar dijelaskan oleh Sim Long. Ia suka kepada Sim Long, maka dia tidak mau menyakiti hatinya. Si Singa Jantan Kiau Ngo lantas bertanya, "Kedatangan Sim-Siangkong ini apakah juga lantaran menerima undangan Kay-pang?� Sim Long tersenyum, "Ah, tidak, kedatanganku ini hanya secara kebetulan saja, baru semalam kutahu urusan Kay-pang, maka kugunakan kesempatan ini dengan baik. Sebab itulah tanpa kartu undangan juga akan kujadi tamu yang tidak diundang.�

"Tamu tidak diundang apa,� ujar Kiau Ngo dengan tertawa. "Kunjungan tokoh seperti Sim-siangkong adalah suatu kehormatan

besar bagi Kay-pang. Betul tidak, Si-moay?� Hoa Si-koh tertawa, "Ya, kedatangan Sim-siangkong ini kukira paling

menggembirakan Kiau-goko. Sejak berpisah di Jin-gi-ceng tempo hari, selalu Goko terkenang kepadamu.� Sim Long memandang Kiau Ngo, lalu memandang Hoa Si-koh pula, dapat dilihatnya betapa erat dan mesranya antara kedua orang itu, segera ia angkat cawan arak dan berkata dengan tertawa, "Terimalah selamatku, mari minum secawan!� Muka Hoa Si-koh menjadi merah.

Sebaliknya Kiau Ngo tertawa, "Baik, marilah kita minum secawan!� Habis minum, Sim Long berkata pula, "Haha, sekarang baru

kuketahui Kiau-goko adalah lelaki paling beruntung di dunia ini, lelaki yang paling pintar.�

"Aku pintar dalam hal apa?� tanya Kiau Ngo. "Dia bilang kau pintar lantaran engkau tidak mencari anak perempuan cantik lain, tapi malah mencari diriku,� ujar Hoa Si-koh dengan tertawa. "Padahal kau dapatkan perempuan muka jelek seperti diriku ini justru perbuatan yang paling bodoh.� Kiau Ngo memandangnya dengan lembut, ucapnya, "Jika perbuatanku yang paling pintar selama hidup ini adalah berkenalan denganmu. Hanya orang pintar saja yang dapat melihat kecantikanmu dan mengetahui engkau berpuluh kali lebih cantik daripada anak perempuan mana pun. Sim-siangkong juga orang pintar, maka kuyakin ucapannya adalah pujian setulus hati padamu.� Hoa Si-koh tersenyum kikuk, "Terima kasih atas kepintaran kalian

berdua.� Semula Him Miau-ji merasa heran Kiau Ngo yang gagah perkasa itu mengapa menyukai anak perempuan bermuka buruk seperti Hoa Si-koh ini, baru sekarang ia tahu sebab musababnya. Nyata Hoa Si-koh ini cuma lahirnya saja kurang cantik, tapi setiap gerak-geriknya, tutur katanya, senyum tawanya, semuanya lembut dan lugas, tidak ada sesuatu yang sengaja dibuat-buat, polos, apa adanya. Sebaliknya umpama Cu Jit-jit, dia serupa ombak samudra, ombak samudra yang selalu bergolak. Tatkala engkau mabuk dibuai ombak, mendadak ombak itu mendampar dan membuat badanmu hancur lebur. Dengan lembut Hoa Si-koh memandang Sim Long, katanya kemudian dengan tersenyum, "Mendadak Sim-siangkong bicara hal-hal ini, apakah disebabkan nonamu yang cantik itu telah banyak menimbulkan pikiranmu?�

"Ah, mana ada pikiran apa segala?� sahut Sim Long dengan tertawa. "Kutahu lelaki semacam dirimu ini, biarpun menanggung sesuatu pikiran juga takkan kau katakan,� ujar Hoa Si-koh dengan tersenyum. "Tapi di depan kawan sendiri, ada urusan apa

seharusnya kau katakan terus terang.� Inilah orang pertama yang dapat melihat isi hati Sim Long, meski tidak mengaku, diam-diam Sim Long merasa kagum atas ketajaman perasaan Hoa Si-koh, sungguh perempuan luar biasa. Segera ia angkat cawan dan berseru, "Marilah kita minum lagi tiga cawan!� Mendadak di kejauhan sana seorang menyela, "Wah, Kongcu yang disana sungguh kuat takaran minumnya, bila tidak menolak, bolehkah orang tua mengiringi Kongcu minum beberapa cawan?� Suaranya tidak keras, tidak lantang, tapi bagi pendengaran setiap orang kata-kata orang seperti disiarkan ke tepi telinga dan terdengar dengan jelas di tengah gelak tertawa orang banyak. Ternyata yang bicara itu adalah si kakek kecil aneh yang asyik minum arak tadi. Ketika naik ke atas loteng tadi Sim Long lantas melihat kakek yang lagi minum arak sendiri itu, waktu itu diam-diam ia sudah heran terhadap kakek yang kelihatan biasa, tapi rasanya membawa semacam gaya yang misterius.

Dengan sendirinya ia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkenalan dengan tokoh misterius demikian, cepat ia  berbangkit dan memberi hormat dari jauh, serunya, "Bilamana Lotiang sudi, mana Wanpwe berani menolak?� Namun si kakek tetap duduk saja di tempatnya, katanya dengan tersenyum, "Jika begitu, silakan pindah saja ke sini.�

"Menurut,� kata Sim Long. Dengan mendongkol si Kucing menggerutu, "Kurang ajar! Besar amat lagaknya! .... Sim-heng, biar kuikut ke sana.� Begitulah mereka lantas mendekati meja si kakek. Tapi pandangan sikakek hanya tertuju kepada Sim Long saja seorang, katanya, "Maafkan jika orang tua tidak dapat berdiri untuk menyambut ....� mendadak air mukanya berubah aneh, sambungnya pula, "Ya, sebab orang tua memang mempunyai alasan agar Kongcu dapat memaafkan hal ini.�

"Apa alasanmu?� tanya si Kucing dengan mendongkol. Si kakek tidak menjawab, ia cuma sedikit menyingkap baju bagian bawah.

Kiranya si kakek tidak punya kaki. Kaki celananya ternyata kosong melompong tanpa isi. Dengan sorot mata tajam si kakek lantas menatap si Kucing, "Apa alasanku tentu tidak perlu lagi kujelaskan, bukan?� Si Kucing jadi menyesal, katanya dengan gelagapan, "O, ini ... ini ....�

"Nah, engkau puas sekarang?� jengek si kakek. "Maka hendaknya engkau menyingkir saja agak jauh, aku tidak mengundang dirimu, jika engkau ikut duduk di sini tentu juga merasa tidak enak.� Tentu saja si Kucing melenggong. Tapi ia lantas tertawa, "Haha, sungguh tak tersangka aku bisa diusir orang, bahkan tidak dapat berbuat apa-apa, sungguh baru pertama kali ini kualami kejadian demikian selama hidup. Tapi jika aku tidak ikut duduk melainkan cuma berdiri saja di samping, kan boleh?�

"Bila Anda tidak tahu diri, ya terserah,� ucap si kakek. Lalu ia tidak menggubrisnya lagi, kembali ia tersenyum terhadap Sim Long dan berkata, "Silakan duduk.�

"Terima kasih,� kata Sim Long. Si Kucing menjadi kikuk dan serbasalah, tapi dia benar-benar berdiri di samping situ dan tidak pergi. Si kakek lantas memanggil pelayan membawakan lagi tujuh buah cawan arak dan ditaruh di depan Sim Long, dengan tertawa gembira ia berkata, "Sebagai seorang ahli minum, tentu Kongcu juga kenal setiap jenis arak.�

"Sulit mencari sahabat di dunia ini, apa salahnya mencarinya didalam cawan,� ujar Sim Long dengan tertawa. "Ah, bagus, bagus sekali,� seru si kakek sambil berkeplok. Lalu ia angkat poci arak pertama dan menuangkan pada cawan didepan Sim Long, hanya setengah cawan saja arak yang dituangnya, arak berwarna hijau muda rada pucat, serupa air muka si kakek.

"Sebagai seorang ahli, silakan Anda cicipi arak ini,� kata si kakek. Tanpa ragu Sim Long angkat cawan itu dan ditenggaknya hingga habis, serunya dengan tertawa, "Ehm, arak bagus.�

"Arak apakah ini, dapatkah Anda membedakannya?� tanya si kakek. Dengan tersenyum Sim Long menjawab, "Rasa arak ini ada halusnya dan ada kerasnya, rasanya seperti campuran Tay-mi-ciu dan Tik-yap-jing.�

"Haha, sungguh hebat, Kongcu ternyata benar seorang ahli,� seru sikakek. "Tik-yap-jing dan Tay-mi-ciu mempunyai rasa yang berbeda sama sekali, tapi kalau dicampur, rasanya menjadi lain daripada yang lain.�

"Ya, kalau tidak dicampur oleh tangan ajaib Lotiang, mana bisa sebagus ini rasa arak campuran ini?� ujar Sim Long. Si kakek menghela napas gegetun, "Terus terang, selama hidupku ini memang banyak membuang waktu dalam hal campur-mencampur arak. Baru sekarang dapatlah bertemu dengan seorang ahli yang sepaham seperti Kongcu ini."� Dengan mendongkol tiba-tiba si Kucing berteriak, "Huh, hanya mencampur dua macam arak saja, anak kecil umur tiga juga bisa, kenapa mesti dibuat membual segala?� Si kakek tetap tenang saja, bahkan tidak menggubrisnya, ia cuma berkata dengan perlahan, "Ada sementara bocah ingusan yang mengira sangat gampang mencampur arak, tak diketahuinya bahwa betapa banyak jenis arak di dunia ini serupa bintang di langit yang sukar dihitung. Dengan cara bagaimana untuk mencampur arak dan mencampurnya dengan jenis arak apa agar dapat menghasilkan arak campuran yang mempunyai cita rasa yang paling enak, kepandaian demikian masakah dapat dipahami begitu saja oleh anak ingusan yang tidak tahu apa-apa itu?� Tentu saja si Kucing tambah mendongkol, tapi dia memang bukan ahli minum, terpaksa tidak bisa bicara lagi. Dengan tersenyum Sim Long meliriknya sekejap, lalu berkata, "Kata pepatah: Mengarang adalah bakat pembawaan, keahlian hanya timbul secara kebetulan. Kukira kepandaian Lotiang mencampur arak juga bakat pembawaan ditambah dengan keringanan tanganmu yang hebat.�

"Tepat, perumpamaanmu memang tepat,� seru si kakek. "Tulisan harus dirangkai oleh tangan penulis yang ahli supaya dapat

terbentuk sebuah karangan yang baik. Arak juga memerlukan tangan kaum ahli untuk mencampurnya baru dapat menghasilkan

arak paling enak.�

"Jika begitu, biarlah kucicipi lagi arak yang lain,� pinta Sim Long dengan tertawa. Segera si kakek mengangkat poci kedua dan menuangkan pula setengah cawan pada cawan kedua di depan Sim Long, warna arak ini kemerah-merahan, tapi bersemu semacam warna hijau yang aneh. Warna ini serupa juga dengan sorot mata si kakek. Tanpa sungkan Sim Long angkat cawan dan menghabiskan lagi isinya, lalu berkata pula dengan gegetun, "Ehmm, sungguh arak bagus? Bukankah arak ini terdiri dari Li-ji-hong (arak merah putri) dan ditambah arak Mau-tay dan Tik-yap-jing, lalu diberi lagi beberapa tetes arak Ho-yok-ciu?�

"Haha, memang betul,� sahut si kakek dengan tertawa. "Untuk mencampur arak ini, banyak juga memeras pikiranku ....�

Begitulah tambah lama kedua orang merasa semakin cocok satu sama lain. Waktu si kakek menuangkan lagi arak ketiga, Him Miau-ji tidak tahan lagi berdiri di situ, terpaksa ia mencari kesempatan untuk mengeluyur kembali ke tempatnya semula.

"Saudara jadi kembali juga,� kata Kiau Ngo dengan tertawa. Si kucing mengangkat pundak, sahutnya dengan tertawa, "Minum

arak adalah untuk mencari kesenangan, masa perlu repot campur mencampur begitu, bagiku lebih baik tidak minum daripada

mencampur arak dengan susah payah.�

"Betul, kau lebih enak minum seadanya saja semangkuk demi semangkuk,� ujar Kiau Ngo dengan tertawa. "Tampaknya Kiau-heng adalah teman sepahamku�� kata si Kucing. "Mari kita minum!� Kedua orang lantas menghabiskan tiga cawan sambil selalu melirik ke arah sana. "Kukira kalian tentu juga ingin minum arak campuran kakek itu,� tiba-tiba Hoa Si-koh menggoda dengan tertawa. "Siapa bilang aku ingin minum,� Kiau Ngo mendelik. Dengan tertawa Him Miau-ji menanggapi, "Rezeki Sim Long selalu jauh lebih besar daripada orang lain. Selain rezeki terhadap anak perempuan, juga rezeki makan jauh lebih besar daripada orang lain.�

"Tapi jangan kau kira beberapa cawan arak itu dapat diminumnya dengan mudah?� ujar Hoa Si-koh. Si Kucing berkedip-kedip, "Apa arti ucapanmu ini? Orang menuangkan arak baginya, sekali tenggak isi cawan pun habis, kenapa diminumnya dengan tidak mudah katamu?�

"Justru lantaran orang menuangkan arak, makanya tidak mudah baginya meminum arak itu,� Si-koh. "Wah, makin omong aku jadi makin bingung,� kata si Kucing sambil menyengir. "Bukan cuma kau saja yang bingung, aku pun tidak mengerti,� tukas

Kiau Ngo. "Coba kalian lihat ke sana dengan lebih cermat,� kata Si-koh. Waktu Him Miau-ji dan Kiau Ngo memandang ke sana, terlihat Sim Long sudah habis minum cawan kelima dan sedang angkat cawan keenam. "Nah, lihat yang betul, sekarang Sim-siangkong lagi angkat cawan araknya, bukan?� tanya Si-koh. "Betul,� kata si Kucing. "Dan si kakek lagi memegang poci dan ... dan menuang, bukan?�

"Ya, mulut poci sudah menyentuh cawan Sim Long.�

"Betul, dan dia sudah mulai menuang araknya,� sambung Kiau Ngo. "Masa belum kau lihat sesuatu yang aneh?� kata Si-koh.

"Apa ... apanya yang aneh? ....� Kiau Ngo merasa bingung. "Aha, betul,� seru si Kucing dengan suara tertahan. "Gerakan kakek itu sangat lambat, caranya menuang arak juga perlahan, kita telah bicara sekian lama, tapi secawan arak saja belum penuh dituangnya.�

"Ya, dan sekarang tentu dapat kau lihat apa sebabnya kelambanan gerak-geriknya, bukan?�

"Sungguh tidak nyata kakek ini mempunyai tenaga dalam sehebat ini sehingga dapat menandingi Sim Long dengan sama kuatnya,

sungguh luar biasa,� kata si Kucing. Kiranya dilihatnya cara menuang arak si kakek yang lambat itu, lengan bajunya juga bergetar seolah-olah tangannya lagi gemetar. Sebaliknya Sim Long kelihatan tetap tersenyum, cuma senyumnya juga rada kaku, bahkan lengan bajunya juga rada bergetar. Yang hebat adalah cawan arak yang dipegangnya mendadak kelihatan gumpil sedikit, tertindih oleh mulut poci arak si kakek dan mulut poci terbuat dari timbel itu pun mulai melengkung. Nyata kedua orang telah mulai mengadu tenaga dalam secara diam-diam. "Menurut pandanganku, Sim-kongcu tetap lebih unggul,� gumam Kiau Ngo. "Dengan sendirinya Sim Long lebih unggul, tapi di dunia Kangouw zaman ini ada berapa orang yang dapat memaksa Sim Long mengeluarkan tenaga sebesar ini?� kata si Kucing. "Betul juga,� ujar Kiau Ngo. "Sebab itulah semakin kurasakan keanehan kakek ini, begini tinggi kungfunya, mengapa kedua kakinya buntung? Tingkah lakunya juga seaneh ini? Entah bagaimana asal usulnya?�

"Tampaknya dia dan Sim-siangkong pasti ada sesuatu persoalan, kalau tidak masakah begitu berkenalan lantas mengadu tenaga

dalam dengan mati-matian?� ujar Kiau Ngo. Selagi mereka sama merasa bingung, tiba-tiba terlihat cawan arak dan poci arak sudah terpisah, rupanya arak sudah cukup tertuang. Sim Long lantas menenggak habis lagi isi cawannya dan tetap berseru dengan tertawa, "Ehm, arak sedap!�

"Bruk�, si kakek menaruh poci di atas meja tapi mulut poci lantas putus sebatas leher dan jatuh, namun si kakek anggap tidak terjadi sesuatu, ucapnya dengan tertawa, "Arak ini tentu saja sedap, arak yang kucampur, makin banyak kau minum, selalu muncul lagi yang lebih enak.�

"Jika demikian, cawan ketujuh ini pasti terlebih sedap,� kata Sim Long dengan tertawa. "Sedap atau tidak, setelah dicoba tentu akan tahu,� ujar si kakek. Perlahan ia angkat poci ketujuh dan disodorkan ke depan. Dengan mengulum senyum Sim Long juga pegang cawan ketujuh untuk menyambut poci orang. "Kakek ini sungguh bandel,� kata si Kucing dengan kening bekernyit.

"Sudah jelas tahu tenaga dalamnya tidak lebih unggul, mengapa masih juga ....�

Jilid 20

Belum habis ucapannya mendadak terlihat tangan Sim Long membalikkan guci cawan arak pada telapak tangannya dengan jari

kelingking, lalu dengan jari telunjuk, jari tengah, dan ibu jari ia pencet mulut poci si kakek serta dirampasnya dengan enteng. Si kakek tetap tenang saja, katanya dengan tertawa, "Apakah Kongcu ingin menuang sendiri?� Sim Long hanya tertawa saja tanpa menjawab, sebaliknya ia mendorong daun jendela dan melongok ke luar, lalu poci arak dijulurkan, seluruh isi poci dituangnya ke luar jendela. Akhirnya berubah juga air muka si kakek, "Mengapa Kongcu berbuat demikian?�

"Betapa pun arak cawan ketujuh suguhan Lotiang ini tidak berani kuterima,� sahut Sim Long. "Bila enam cawan sudah kau minum, sepantasnya kau minum juga cawan ketujuh, jika sekarang engkau bersikap kurang sopan padaku, seharusnya keenam cawan arak tadi tidak kau minum,� damprat si kakek. "Soalnya keenam cawan arak yang lebih dulu memang boleh diminum dan cawan ketujuh ini tidak boleh kuminum,� ujar Sim Long dengan tersenyum. "Kau ....� Belum lanjut ucapan si kakek, mendadak Sim Long turun tangan secepat kilat, sekali tangannya meraih saku baju si kakek, belum lagi orang sempat berbuat sesuatu, cepat Sim Long menarik kembali tangannya, dan pada tangannya sudah bertambah sebuah kotak kecil mungil buatan kemala hijau berukir. Di atas loteng restoran sekarang selain Hoa Si-koh, Kiau Ngo dan Him Miau-ji bertiga, masih banyak juga berpasang mata yang menyaksikan tontonan menarik ini. Mereka sama terkejut melihat Sim Long mendadak bertindak demikian.

Si kakek juga kaget, tapi sedapatnya ia berlagak tenang dan membentak, "Dengan maksud baik kuajak minum arak padamu,

mengapa engkau bertindak kasar begini? .... Kembalikan!�

"Tentu saja akan kukembalikan, cuma ....� dengan tertawa Sim Long membuka kotak kemala itu, dengan kuku jari kelingking ia mencukit setitik bubuk merah dan disentilkan ke dalam cawan arak, dipandangnya dengan cermat, lalu berucap dengan menyesal, "Ternyata benar racun yang tidak ada bandingannya.�

"Apa katamu?� teriak si kakek bengis. "Jika Lotiang tidak menjentikkan racun ini ke dalam arak secara diam-diam, tentu sejak tadi arak cawan ketujuh sudah kuminum,� kata Sim Long. "Kentut!� damprat si kakek dengan gusar. "Kau ....� Dengan tertawa Sim Long memotong, "Tadi Lotiang telah beradu tenaga dalam denganku, tujuanmu hanya ingin memencarkan

perhatianku saja. Jika aku anak kemarin, tanpa curiga tentu akan kuminum arak cawan ketujuh dan ....� ia menengadah dan tergelak, lalu menyambung, "Haha, mungkin saat ini aku tidak dapat minum arak lagi!� Wajah si kakek tampak pucat, namun dia masih juga menjengek, "Hm, antara kita tidak ada permusuhan, bahkan belum pernah kenal, untuk apa kubikin celaka padamu?� Sim Long tersenyum, "Kukira Lotiang sudah kenal diriku, mengenai dirimu ... sekarang dapat juga kukenal Lotiang.�

"Kau kenal padaku?� tanya si kakek dengan melengak. "Duta Arak, datang dari Kwan-gwa ....� Belum lanjut ucapan Sim Long, serentak si kakek meraung murka, rambut dan jenggotnya seakan-akan menegak .... Percakapan di sebelah sini dapat diikuti Him Miau-ji dan lain-lain dengan jelas. Rada berubah juga air muka Kiau Ngo, katanya, "Tak tersangka kakek ini adalah satu di antara keempat duta andalan Koay-lok-ong.�

"Ya, tindak tanduknya serapi ini akhirnya juga terbongkar oleh Sim-siangkong,� tukas Hoa Si-koh. Saat itu sinar mata si Duta Arak telah berubah serupa pisau yang tajam sedang menatap Sim Long, sungguh anak muda itu ingin diganyangnya mentah-mentah. Tapi setelah dia pandang Sim Long sekian lama, akhirnya sinar matanya berubah menjadi halus, rambut dan jenggotnya yang seolah-olah menegak itu sama lurus kembali, api kemarahannya telah padam. "Tidak salah bukan terkaanku?� kata Sim Long dengan tersenyum. Tiba-tiba tersembul juga senyuman si kakek, "Ya, sungguh lihai ... memang betul ....�

"Jika begitu, dapatkah kutahu nama Lotiang yang terhormat?�

"Aku Han Ling,� sahut si kakek. "Bagus,� seru Sim Long. "Dahulu ada seorang tokoh Lau Ling terkenal sebagai dewa arak, sekarang ada Han Ling yang Duta Arak, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat berjumpa dengan Ciu-say (Duta Arak).�

Han Ling juga berkeplok tertawa dan berkata, "Cuma sayang, semangatku minum arak sambil bekerja tak dapat menandingi Lau

Ling.� Begitulah kedua orang lantas bergelak tertawa bersama, tampaknya sangat gembira. Semua orang saling pandang dengan bingung. "Sim-siangkong sungguh berjiwa besar, si kakek bermaksud membikin celaka padanya, sama sekali dia tidak menyinggung soal ini, sebaliknya masih bicara dan tertawa bersama dia,� ucap Kiau Ngo dengan gegetun. "Di balik tertawanya sinar mata si kakek tampak gemerdep, entah rencana keji apa pula yang diaturnya, kukira Sim-siangkong harus berhati-hati.�

"Jangan khawatir, tidak nanti Sim Long terperangkap,� ujar si Kucing. "Wah, celaka ....� tiba-tiba Hoa Si-koh berseru tertahan. "Ada apa?� tanya Kiau Ngo. "Lihatlah kedua kaki orang tua itu!� "Mana dia punya kaki?� ujar si Kucing dengan heran. Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar Sim Long tertawa panjang, meja di depannya lantas mencelat, segera cahaya kebiruan berkelebat di kolong meja. Si Kucing dapat melihat cahaya itu terpancar dari kaki celana sikakek yang bernama Han Ling itu. Ternyata di dalam kaki celana kedua kaki yang buntung itu tersembunyi dua bilah pedang. Dua bilah pedang beracun. Rupanya sambil bicara dan tertawa, mendadak kedua kaki pedang dikolong meja terus menendang, asalkan Sim Long tersentuh saja, seketika bisa binasa keracunan. Siapa tahu Sim Long seperti dapat melihat di kolong meja, begitu

kaki Han Ling bergerak, seketika dia lantas menggeser mundur. Sekali serang tidak kena sasarannya, menyusul meja lantas

didomplangkan oleh Han Ling, meja menabrak ke arah Sim Long, sedangkan Han Ling sendiri lantas melompat maju, kedua kaki

pedang menendang susul-menyusul. Agaknya sehari-hari dia berjalan dengan pedang sebagai kaki, latihan selama 20 tahun ini membikin kedua bilah pedang yang direndam dengan racun telah tumbuh serupa kaki asli. Tendangan kaki pedangnya sungguh lihai sekali, gesit dan tajam. Semua orang sama menjerit kaget. Bahkan Him Miau-ji dan Kiau Ngo terus memburu maju sambil membentak. Pada saat itulah mendadak tertampak Sim Long berputar kian kemari di tengah sinar pedang, beruntun Han Ling menendang tujuh kali dan semuanya mengenai tempat kosong. Habis ini mendadak ia menghantam jendela hingga hancur lalu secepat terbang ia menerobos keluar. Waktu Si Kucing dan Kiau Ngo memburu ke depan jendela, tahu-tahu si kakek yang keji itu sudah lenyap. Suasana di dalam restoran itu menjadi gempar. Si Kucing mengentak kaki dan mengomel, "Sim-heng, mengapa

engkau tidak balas menyerang dan juga tidak mengejarnya?� Sim Long termenung sejenak, katanya kemudian, "Mengingat Kim

Bu-bong, biarlah kuampuni dia sekali ini.� Him Miau-ji juga termenung sejenak, katanya kemudian, "Ya, memang pantas lepaskan dia.�

"Tapi melepaskan harimau lebih mudah daripada menawannya,� ujar Kiau Ngo. "Ada Singa Jantan di sini, kenapa takut kepada harimau?� Sim Long berseloroh. "Haha, jika Cayhe benar Singa, maka Anda adalah Naga Sakti,� seru Kiau Ngo dengan bergelak. "Bagus, kalian yang satu singa dan yang lain naga, tapi ada lagi seekor kucing di sini,� tukas Miau-ji. Di tengah gelak tertawa, ketiga kesatria gagah ini seolah-olah sudah melupakan pertarungan maut yang hampir membikin jiwa melayang tadi. Pada saat itulah mendadak seorang pemuda tampan mendekati Sim Long, lalu mengamat-amatinya dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. "Saudara ini ....� Sim Long merasa heran. "O, Cayhe Sing Hian,� kata pemuda tampan itu.

"Mukanya kan tidak berbunga, apa yang kau pandang?� tanya Miau-ji. Sing Hian tidak menghiraukannya, dipandangnya lagi beberapa kejap lalu mengangguk dan berucap, "Betul, engkaulah Sim Long yang sebenarnya.�

"Sim Long yang sebenarnya? .... Memangnya ada Sim Long palsu?� ujar Sim Long dengan tertawa. "Ada satu,� kata Sing Hian dengan menyesal. "Sim Long palsu?� teriak Miau-ji. "Di mana? Pernah kau lihat?�

"Tentu saja telah kulihat, baru saja berada di sini,� tutur Sing Hian. "Sekarang di mana?� desak si Kucing. "Sekarang dia ....� mendadak terbayang wajah yang menggiurkan itu, seketika Sing Hian berhenti bicara. "Ayolah katakan, kenapa diam?� desak si Kucing. Sing Hian tersenyum, "Bisa jadi orang itu cuma sama nama dengan Sim-siangkong.�

"Coba jelaskan, biar kita tanyai dia,� ujar Miau-ji. "Wah, ini ....� Mendadak si Kucing memegang pundaknya dan membentak, "Mau bicara atau tidak.�

"Hm, mestinya ingin kukatakan, sekarang aku jadi tidak mau,� jawab Sing Hian ketus. Miau-ji mendelik, tapi mendadak ia bergelak tertawa, "Aha, bagus, tak tersangka engkau juga seorang jantan, selama hidup si Kucing paling suka kepada lelaki keras kepala seperti dirimu ini. Mari, urusan lain kita tunda dulu, biarlah kita minum dulu tiga cawan.� Habis bicara benar-benar Sing Hian lantas diseretnya ke sana untuk minum arak. Kiau Ngo menggeleng kepala, "Kucing ini sungguh lucu.�

"Ya, bila tidak kenal si Kucing, sungguh akan menyesal,� tukas Sim Long dengan tertawa. Terlihat Sing Hian telah kembali setelah dicekoki tiga cawan arak, dia memang sudah minum cukup banyak, ditambah lagi tiga cawan ini, langkahnya mulai sempoyongan. Sim Long memayangnya dan berkata, "Lain kali jangan adu minum cepat dengan si Kucing, minumlah secara lambat, dia pasti takkan melebihi dirimu.�

"Sing-heng bukan anak perempuan, mana dia mau minum seceguk demi seceguk,� ujar si Kucing dengan tertawa. "Seorang lelaki, kalau mabuk biarlah mabuk, kalau tidak tahan ya menggeletak, cara beginilah baru tingkah seorang lelaki sejati.�

"Betul, betul, kalau mabuk biar mabuk, kalau tidak tahan biar menggeletak, apa salahnya? .... Tapi aku belum lagi mabuk. Betul tidak, Sim-heng, aku kan belum mabuk?� seru Sing Hian dengan muka merah. "Ya, tidak mabuk,� jawab Sim Long. "Bagus, Sim-heng memang adil.� kata Sing Hian pula. "Eh, Sim-heng, jangan khawatir, bilamana kau ingin menemui Sim Long yang satu lagi, tunggulah sampai besok.�

"Besok?� Sim Long menegas. "Ya, besok ... besok adalah pertemuan kaum jembel, dia pasti akan ikut hadir!� Sim Long melengak, katanya kemudian, "Baiklah, dalam sidang kaum jembel besok kukira macam-macam orang dapat kulihat, tentu juga dapat kutemui berbagai orang yang ingin kujumpai.� Pada saat itulah tiba-tiba datang seorang pelayan, dia tidak berani

lagi memandang Him Miau-ji, agaknya sudah kapok, ia berhenti dikejauhan dan bicara dengan kepala menunduk, "Adakah Sim-

siangkong di sini?�

"Ya, aku inilah,� sahut Sim Long. "Juragan kami telah menyiapkan sekadar perjamuan di belakang, mohon Sim-siangkong sudi berkunjung ke dalam,� kata si pelayan sambil memberi hormat. Selagi Sim Long merasa ragu, dengan tertawa si Kucing menyela, "Hah, kembali ada orang hendak menjamu dirimu, ramai juga bisnismu.�

"Ya, kenapa tidak ada orang mengundang makan padaku?� tukas Sing Hian. Sim Long lantas menjawab, "Sampaikan saja kepada juraganmu, katakan Sim Long sudah kenyang dan mabuk, tidak berani mengganggunya lagi.� Cepat si pelayan bicara pula, "Tapi juragan memberi pesan dengan sangat Sim-siangkong harus diminta sudi berkunjung, sebab ... sebab juragan ingin berunding mengenai ... mengenai seorang nona Cu.�

"O, jika ... jika begitu, baiklah,� sahut Sim Long cepat. Begitulah si pelayan lantas membawa Sim Long ke dalam. "Nona Cu yang dimaksudkan itu apakah putri keluarga Cu yang kaya raya itu?� tanya Kiau Ngo setelah Sim Long pergi. "Ya, jangan-jangan dia juga datang atau ... atau mungkin dia membikin onar lagi .... Tapi ada hubungan apa pula antara dia

dengan juragan restoran ini?� gumam si Kucing.

*****

Sementara itu Cu Jit-jit sudah tiba kembali di hotelnya, begitu dia suruh kedua bibi pengusung ke luar, segera ia gabrukkan pintu kamar dengan keras. Ong Ling-hoa berduduk tak bisa berkutik menyaksikan si nona yang uring-uringan sendiri itu. Dilihatnya Jit-jit mondar-mandir di dalam kamar, lalu minum teh seceguk, habis itu mendadak cangkir teh dibantingnya hingga hancur. Ong Ling-hoa tetap memandangnya dengan geli. Mendadak Jit-jit mendekati Ling-hoa dan membuka Hiat-to bisunya, lalu membalik ke sana, tiba-tiba dia kesandung bangku yang mengadang di depan, dengan gemas ia tendang bangku itu hingga mencelat. Tapi tendangannya itu membuat sakit tulang kakinya, tanpa terasa ia berjongkok untuk menggosok-gosok bagian yang sakit itu. Keruan Ong Ling-hoa tertawa geli. Seketika Jit-jit mendelik, "Kau tertawa apa?�

"Aku ... haha .... O, tidak ....�

"Ayo tertawa, berani tertawa lagi bisa kukawinkan dirimu dengan bocah she Sing itu,� omel Jit-jit. Baru habis berkata demikian, ia sendiri jadi tertawa geli. Namun tertawa ini sangat singkat, sebab dengan segera dia teringat kepada Sim Long sehingga tidak mampu tertawa lagi. "Ai, kenapa ... kenapa menendang bangku hingga kaki sendiri kesakitan, apalagi ... apalagi sengaja mencari satu orang untuk ...untuk ... untuk menyakiti hatinya sendiri, kan cari penyakit sendiri?�

"Apa kau bilang?� bentak Jit-jit. "Aku lagi tanya pada diriku sendiri, apa lelaki di dunia ini sudah mati seluruhnya dan cuma bersisa seorang Sim Long saja, padahal setahuku kebanyakan orang jauh lebih baik daripada orang she Sim itu.�

Jit-jit memburu ke depannya dengan tangan terangkat. Tapi dia tidak jadi menggamparnya. Diam-diam ia pun bertanya kepada diri sendiri, "Ya, apakah lelaki didunia ini sudah mati semua? Ken ... kenapa aku tetap terkenang kepada Sim Long seorang dan tidak dapat melupakannya?� Mendadak ia mengentak kaki dan berteriak, "Aku harus membalas ...harus menuntut balas.�

Perlahan Ong Ling-hoa berkata, "Melulu tenagamu sendiri, mungkin tidak gampang jika ingin balas dendam kepada Sim Long ....�

"Memangnya kenapa, aku tidak mampu katamu?� bentak Jit-jit dengan mendongkol. "Dengan sendirinya mampu, cuma ... cuma perlu mengikutsertakan diriku. Aku yang akan mencarikan akal bagimu. Dengan bantuanku, mustahil Sim Long takkan bertekuk lutut di depanmu.� Jit-jit memandangnya lekat-lekat sampai lama, mendadak ia membalik ke sana dengan badan agak gemetar, nyata sedang terjadi pertentangan batinnya dengan hebat. Dengan tersenyum Ong Ling-hoa berkata, "Padahal, menurut

pendapatku, hanya sedikit tersinggung saja mestinya tidak perlu dipersoalkan lagi. Orang she Sim itu memang sukar dihadapi, buat apa ....�

"Siapa bilang sukar menghadapi dia, aku justru akan menghadapi dia,� teriak Jit-jit dengan gusar sambil berpaling pula.

"Jika begitu, apakah engkau sudah ada rencana?� tanya Ling-hoa. "Aku ... aku ....�� mendadak timbul suatu pikiran Jit-jit, teriaknya, "akan kubikin setiap orang sama benci padanya dan memusuhi dia.�  

"Ya, ini memang gagasan bagus,� ujar Ling-hoa sambil manggut-manggut. "Tapi cara bagaimana akan kau bikin semua orang

memusuhi dia? .... Tentunya kau saksikan sendiri tadi, sekarang dia

adalah tokoh kesayangan orang banyak.�

"Hm, tentu ada rencanaku,� ujar si nona. Kembali ia mondar-mandir lagi di dalam kamar, kemudian ia berhenti di depan Ong Ling-hoa dan berkata,�"Sesungguhnya bagaimana dengan rapat besar orang Kay-pang itu, tentunya kau tahu urusan ini?�

"Memang tidak ada orang lain yang lebih tahu daripadaku mengenai urusan ini,� ujar Ling-hoa dengan tertawa. "Coba ceritakan,� pinta Jit-jit. "Soalnya Co Kong-liong ingin menjadi Pangcu, telah kusanggupi akan membantu dia, sebab itulah dia mengumpulkan segenap anak murid Kay-pang ke sini.�

"Tapi sekarang Co Kong-liong telah kabur hingga tak tahu di mana jejaknya, engkau juga ... hehe, juga tidak tahu bagaimana nasibnya sendiri selanjutnya.�

"Perubahan semua ini kan tidak diketahui oleh orang Kay-pang, yang jelas setelah mereka menerima panggilan ketiga sesepuh mereka, dengan sendirinya mereka lantas berkumpul dari berbagai penjuru.�

"Dan para kesatria yang datang sebagai peninjau itu diundang oleh siapa?�

"Dengan sendirinya juga Co Kong-liong,� tutur Ling-hoa. "Kalau dapat naik singgasana sebagai Kay-pang Pangcu, hal ini adalah peristiwa menggembirakan baginya, tentu saja dia ingin para kesatria sejagat sama berkumpul untuk menyaksikan dia naik takhta.�

"Itu dia,� mendadak Jit-jit bertepuk tangan. "Wah, tampaknya engkau ada akal bagus?� Sorot mata Jit-jit penuh rasa senang dan bangga, katanya dengan tertawa, "Ong Ling-hoa, supaya kau tahu, aku ini juga bukan orang baik hati. Mendingan kalau tidak ada maksudku hendak membikin susah orang lain, bilamana ingin kubikin celaka orang kukira tindakanku pasti tidak kalah kejamnya daripadamu.�

"Sesungguhnya ada akal bagus apa, coba ceritakan?� tanya Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Begini,� gemerdep sinar mata Jit-jit, "setelah anak murid Kay-pang menerima panggilan Co Kong-liong, segera mereka berkumpul kesini. Hal ini menunjukkan Co Kong-liong dalam pandangan anak murid Kay-pang masih dianggap sebagai pucuk pimpinan.�

"Memang,� kata Ling-hoa. "Dan bila para kesatria Bu-lim, termasuk ketujuh tokoh top saat ini juga ikut hadir dari jauh, ini pun menandakan nama Co Kong-liong didunia persilatan cukup dihormati.�

"Di dunia Kangouw memang Co Kong-liong terkenal sebagai orang baik hati,� ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Kalau bicara tentang nama baik, mendiang Pangcu yang dulu juga tidak lebih unggul daripada dia.�

"Dari sini terlihat bahwa sampai sekarang orang Kangouw umumnya belum lagi kenal wajah asli Co Kong-liong, semuanya masih sayang dan mendukung dia.�

"Ya, asalkan aku dan engkau tidak bicara pasti orang lain tidak tahu.� Mendadak Jit-jit menarik muka, katanya pula, "Maka, bila sekarang ada berita yang menyatakan Co Kong-liong telah dibunuh oleh Sim Long, tentu tidak sedikit orang yang akan menuntut balas bagi Co Kong-liong.� Meski sedapatnya ia berlagak memperlihatkan wajahnya yang beringas dan kejam, tapi lagaknya justru tidak mirip. Diam-diam Ong Ling-hoa merasa geli, tapi di mulut dia terus memuji kebagusan akal

si nona. "Tidak cuma kita siarkan Sim Long membunuh Co Kong-liong, kita juga bilang Tan Kiong dan Auyang Lun terbunuh semua oleh Sim Long, dengan demikian orang yang akan mencari perkara kepadanya pasti akan tambah banyak.�

"Bagus, bagus sekali ....� seru Ling-hoa dengan tertawa. Tapi mendadak ia berkerut kening, "Ah, cuma ada sedikit yang kurang bagus.�

"Apa yang tidak bagus?� tanya Jit-jit. "Kan Co Kong-liong belum mati, jika dia muncul ....�

"Katanya engkau ini orang pintar, nyatanya begini goblok,� omel Jit-jit dengan tertawa. "Munculnya Co Kong-liong kan lebih baik, bukankah dia juga benci sekali terhadap Sim Long, bila dia muncul, tentu kita dapat menyuruh dia mengaku memang habis lolos dari cengkeraman Sim Long, hanya Tan Kiong dan Auyang Lun yang benar-benar telah mati terbunuh.�

Ia berhenti sejenak, lalu menyambung sambil berkeplok, "Jika Co Kong-liong sendiri yang memberi keterangan demikian, siapa pula yang tidak percaya?�

"Aha, betul, sungguh sangat bagus!� seru Ling-hoa. Mendadak ia berkerut kening dan menyambung, "Tapi ... tapi apa yang kita katakan ini apakah dapat di ... dipercaya orang lain?�

"Makanya kita juga perlu lagi seorang peran pembantu, berita ini tidak perlu kita siarkan sendiri, tapi melalui mulut pembantu inilah berita ini disebarkan.�

"Wah, bagus, akal bagus!�

"Supaya orang lain percaya kepada berita yang disiarkan pembantu ini, maka pembantu yang kita pilih juga harus seorang tokoh yang berwibawa, apa yang diucapkannya harus berbobot.�

"Orang semacam ini mungkin ... mungkin sukar dicari,� ujar Ling-hoa. "Kenapa kau lupa, bukankah sekarang juga ada satu orang berada disini.�

"Siapa?� tanya Ling-hoa dengan heran. "Oo ... apakah kau maksudkan bocah itu?�

"Ya, bocah she Sing itu.�

"Tapi dia ... dia ....� Ling-hoa tampak ragu. "Meski dia cuma seorang pemuda ingusan, belum menonjol di dunia persilatan, tapi keluarganya, Sing-keh-po, kan keluarga yang terkenal di dunia Kangouw. Masakah putra keluarga ternama itu tak

dipercaya orang?�

"Betul, soalnya terletak pada ... apakah dia mau?�

"Untuk ini tentu saja masih perlu pakai akal,� ujar Jit-jit. "Akal apa yang akan kita gunakan terhadapnya?�

"Akal Hoan-kan-keh (akal memecah belah, mengadu domba),� Jit-jit mengerling Ong Ling-hoa sekejap, lalu menambahkan dengan

tertawa, "Dengan sendirinya juga Bi-jin-keh (akal memperalat perempuan cantik).� Ong Ling-hoa melengak, "Bi-jin-keh? .... Wah, masakah hendak ... hendak kau gunakan diriku ....�

"Betul, hendak kuperalat nona cantik dirimu ini,� kata Jit-jit sambil mengikik tawa. "Bahwa ada orang terpikat kepadamu, kan seharusnya kau senang, kenapa malah sedih?� Habis berkata, ia tertawa terpingkal-pingkal hingga menungging. Keruan Ling-hoa mendongkol dan gelisah, serunya, "Tapi ... tapi ini....�

"Tidak perlu ini-itu,� ujar Jit-jit dengan memegang perut yang mulas. "Ini kan beruntung bagimu, telah kucarikan jodoh bagus bagimu, mestinya engkau berterima kasih kepadaku.� Dengan bersungut Ong Ling-hoa berkata, "Tapi ... tapi kalau dia

benar hendak ... hendak anu ....� Kembali Jit-jit terpingkal-pingkal hingga hampir tidak dapat bernapas, ucapnya kemudian, "Itu kan urusanmu, aku ... aku tidak tahu ....� Mendadak ia membuka pintu dan memanggil pelayan. Panggilan tuan muda yang padat sakunya tentu saja ditaati sipelayan secepat terbang. "Ada sesuatu urusan kuminta kau kerjakan, entah dapat tidak?� kata Jit-jit. "Silakan Kongcu bicara,� jawab si pelayan dengan munduk-munduk. "Ada seorang kawanku, she Sing, namanya Hian, dia juga berada dikota ini, cuma tidak diketahui tinggal di hotel mana, dapatkah kau carikan bagiku?�

"Ah, pekerjaan gampang, segera hamba carikan,� sahut si pelayan. "Baik, lekas kerjakan, bila berhasil kuberi persen.�

Tidak kepalang girang si pelayan, sambil mengiakan segera ia berlari pergi. "Setan pun doyan duit, apalagi seorang pelayan,� gumam Jit-jit kemudian. "Eh, Ong Ling-hoa, kau ....� Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong terdengar seorang berteriak di luar, "Hai, pelayan, adakah seorang Kongcu muda bersama seorang nona jelita tinggal di sini?� Suara orang ini lantang serupa bunyi genta terdengar jelas berkumandang dari jauh. Air muka Jit-jit berubah seketika, "Wah, celaka, itu dia si Kucing. Kenapa dia juga datang kemari?� Lalu terdengar suara seorang berkata pula, "Tuan muda itu she Sim ....�

"Ah, itu dia Sing Hian,� desis Jit-jit. "Kenapa dia bisa berada bersama si Kucing? Untuk apa pula datang mencariku? Wah, jangan-jangan ....� Segera terdengar pelayan lagi menjawab, "Maaf, Kongcu she apa?� Jelas suara pelayan tadi, rupanya baru saja dia sampai di pintu lantas tercegat oleh kedatangan Miau-ji dan Sing Hian. "Aku she Sing ....�

"Aha, kiranya Sing-kongcu, sungguh kebetulan,� demikian seru sipelayan. "Memangnya Sim-kongcu menyuruh hamba mencari Sing-kongcu ....� Di tengah gelak tertawa terdengarlah suara langkah orang ramai menuju ke sini. Tentu saja Jit-jit kelabakan, "Wah, celaka, datang semua, lantas bagaimana baiknya ....� Dengan tertawa Ong Ling-hoa berkata, "Jangan khawatir, dari suaranya agaknya kedua bocah itu dalam keadaan mabuk, pasti tak dapat mengenali dirimu. Apalagi dengan kepandaian riasku, biarpun kucing itu tidak mabuk juga tidak dapat membedakan dirimu.�

"Tapi ... lekas kau tidur di atas ranjang,� seru Jit-jit, segera ia memburu maju dan mengangkat Ong Ling-hoa, "blang�, anak muda itu dilemparkan ke tempat tidur, selimut lantas ditarik untuk menutupi tubuhnya. Pada saat itulah Sing Hian telah berseru di luar, "Sim-heng, Sim-kongcu, Siaute Sing Hian, sengaja berkunjung kemari!� Him Miau-ji alias si Kucing dan Sing Hian memang benar dalam keadaan mabuk. Sesudah Sim Long diundang pergi, kembali si Kucing menarik Sing Hian untuk minum beberapa cawan arak lagi, Kiau Ngo bilang siKucing terlalu, segera ditantangnya minum sembilan cawan pula.

Setelah minum sembilan cawan, Miau-ji sendiri pun mulai sinting, seorang kalau sudah setengah mabuk, biasanya akan minum terlebih banyak pula. Maka dia angkat poci dan menantang minum setiap orang. Akhirnya dia mabuk benar-benar. Maka begitu Jit-jit membuka pintu, seketika tercium bau arak yang menusuk hidung. Belum lagi ia bersuara, Him Miau-ji lantas menarik

Sing Hian dan melangkah masuk dengan sempoyongan. Melihat orang benar-benar mabuk, diam-diam Jit-jit bergirang, segera ia menegur, "Eh, siapakah nama saudara yang mulia? Ada keperluan apa?� Karena mabuk, lidah Sing Hian menjadi agak kaku, ucapnya dengan rada tergegap, "O, dia ... dia adalah Him Miau-ji yang termasyhur.�

"Betul, aku inilah Him Miau-ji, si Kucing ... meong-meong, seekor kucing besar, hahahaha!� seru Miau-ji dengan tertawa.

"Ai, kiranya Miau-heng, kagum, kagum,� ucap Jit-jit dengan menahan rasa geli. "Kedatanganku si kucing ini adalah untuk ... untuk melamar bagi Sing-heng,� seru Miau-ji pula, "plok�, ia tepuk pundak Sing Hian, lalu menyambung, "Ayolah, bicara, sudah berada di sini, malu apa lagi?� Sing Hian menunduk malu, ucapnya dengan gelagapan, �Aku ... aku ingin ... hehe ....�

"Dia tidak dapat bicara, biar kubicara baginya,� seru Miau-ji dengan tertawa, "Soalnya, sejak dia melihat keponakan perempuanmu, dia lantas mabuk kepayang, tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, maka dia minta kudatang kemari untuk melamar baginya .... Haha, aku inilah comblangnya, comblang istimewa!�

"Tidak, bukan ... bukan aku, tapi dia ... dia bertepuk dada akan menjadi comblang bagiku, maka aku diseretnya kemari,� cepat Sing Hian membela diri. Miau-ji berlagak marah, "Baik, baik, kiranya aku yang menyeretmu ke sini dan bukan kehendakmu, jika begitu, buat apa aku ikut campur ....� habis bicara ia lantas membalik tubuh dan seperti mau melangkah pergi. Tapi baru saja kakinya bergerak, mendadak Sing Hian menariknya. "Eh, aneh? Kenapa kau tarik diriku?� tanya Miau-ji. "Him-heng, hehe, jang ... jangan ....� Sing Hian tertawa kikuk. "Sesungguhnya Sing-heng yang menyeret aku atau aku yang menyeretmu?�

"Ya, ya, aku ... aku ....� sahut Sing Hian dengan peringas-peringis. "Hahaha, akhirnya kau bicara terus terang juga,� seru si Kucing dengan terbahak. "Jika demikian, bolehlah kumaafkan sekali ini. Oya, bagaimana dengan comblang seperti diriku ini?� Sambil meraba dagu Jit-jit pura-pura ragu, sahutnya, "Wah, ini ....� Sing Hian menjadi gelisah tampaknya, cepat ia berseru, "Jelek-jelek aku ini berasal keluarga ternama, aku tidak pintar, namun juga tidak bodoh, cukup tampan, bahkan alim, tidak pernah berbuat hal-hal yang kurang sopan ....�

"Hai, kata demikian mestinya comblang yang bicara bagimu, mengapa kau jadi menyanjung dirinya sendiri?� seru si Kucing

dengan tertawa. "Tapi ... tapi semua ini memang benar,� ujar Sing Hian dengan kikuk. "Ai, kan kuminta bantuanmu, mengapa kau jegal diriku malah? ....�Sampai sakit perut Jit-jit saking gelinya. Pikirnya, "Comblang semacam ini sungguh jarang ada. Calon menantu dengan cara melamarnya ini juga tidak pernah terlihat. Andaikan benar aku mempunyai keponakan perempuan juga pasti takkan kuberikan kepada pelamar demikian.� Dalam pada itu Him Miau-ji telah berteriak, "Baik, baik, tidak perlu ribut lagi, dengarkan ucapanku ....� lalu ia menepuk dada dan menyambung, "Aku she Him, bernama Miau-ji, alias si Kucing, kalau berkelahi tidak pernah kalah, bila minum arak tidak pernah menggeletak. Tidak pernah berbuat jelek, cukup terpelajar. Lelaki semacam diriku ini ke mana lagi akan kau cari?�

"Hei, se ... sesungguhnya engkau lagi melamar bagiku atau bagimu sendiri?� cepat Sing Hian menegur. "Tentu saja bagimu.� jawab si Kucing. "Jika bagiku, kenapa engkau membual bagimu sendiri? .... Ai, sungguh sial mendapat comblang semacam dirimu.� Dengan sungguh-sungguh Miau-ji menjawab, "Tampaknya engkau tidak mengerti. Bahwa aku menjadi comblang, kan perlu

kuperkenalkan dulu siapa diriku, jika seorang comblang berasal dari kaum rendahan, apakah engkau yang melamar ini akan dihargai?�

"Oo ... ya, benar juga,� kata Sing Hian dengan tergegap. "Jika benar, maka dengarkan saja dan jangan ribut ....� Mendadak Jit-jit berucap, "Baiklah ....�

"Jadi Anda menerima lamaranku?� seru Miau-ji dengan tertawa. "Ya, kuterima, keponakan perempuanku kuberikan padamu,� kata

Jit-jit. Miau-ji jadi melenggong, "Be ... berikan padaku?� Sing Hian juga terkejut, cepat ia menegas, "Berikan padanya? Lantas ... lantas bagaimana dengan diriku?� Jit-jit sengaja menarik muka, katanya, "Jika dia ini lelaki yang sukar dicari, akan kujodohkan kepada siapa keponakanku itu kalau bukan kepadanya?�

"Tapi ini ... ini ....� Miau-ji garuk-garuk kepala sendiri dengan menyengir. Sing Hian lantas mengentak kaki ucapnya dengan menyesal, "Wah, lantas ... lantas bagaimana? Him Miau-ji, kau ....� Jit-jit tidak tahan lagi akan rasa gelinya, ia tertawa terpingkal-pingkal. "Baik, aku memang membual, betapa pun baiknya si Kucing tetap sukar menandingi jejaka keluarga Sing,� seru Miau-ji. �"Maka lebih baik keponakan perempuanmu kau jodohkan saja kepadanya.�� Jit-jit sengaja berlagak sangsi sejenak, katanya kemudian, "Baiklah, kuterima lamarannya.� Baru habis ucapannya, seketika Him Miau-ji berjingkrak kegirangan. Sebaliknya Sing Hian berdiri mematung, saking senangnya dia jadi linglung. "Plak�, si Kucing menepuk pundaknya dengan keras sambil berseru, �"Hei, masa engkau tidak gembira?��

"Gembira ... gembira ....� teriak Sing Hian, mendadak ia melonjak dan berjumpalitan satu kali terus menerjang ke luar, hanya sebentar saja dia sudah berlari kembali dengan gelak tertawa, pada tangannya sudah bertambah sebotol arak. "Aha, bagus, rupanya arak untuk menyuguh kepada comblang yang berjasa,� seru si Kucing dengan senang. "Betul, harus menyuguh arak kepada comblang,� seru Jit-jit sambil mengambilkan dua mangkuk, katanya pula, "Mari, biar kusuguh comblang dulu.�

"Aku dulu,� kata Sing Hian. Seketika Jit-jit mendelik, "Hm, apakah kau lupa siapa diriku?�

"Engkau ... engkau ....� Sing Hian jadi melengak. Si Kucing lantas berkeplok tertawa, "Aha, betul, masa kau lupa dia

adalah bakal pamanmu, mana boleh kau rebut dulu dengan dia?� Kontan Sing Hian menggampar muka sendiri dan berkata, "Betul, aku salah, silakan paman menyuguhnya dulu.�

"Begini baru pantas,� ujar Jit-jit. Segera ia menuangkan semangkuk penuh bagi Him Miau-ji, ia sendiri cuma menuang setengah mangkuk saja, katanya pula, "Silakan� Pandangan Him Miau-ji sudah kabur, arak yang dituangkan itu banyak atau sedikit tak terlihat lagi olehnya, begitu pegang mangkuk, seketika seluruh isinya ditenggaknya hingga habis. Dalam keadaan demikian, biarpun isi mangkuk itu adalah air kencing juga akan diminumnya. Dan begitulah seterusnya Jit-jit menuangkan pula semangkuk demi semangkuk, setiap mangkuk diminumnya hingga habis. Lima-enam mangkuk arak telah dihabiskan si Kucing, mendadak ia berteriak, "Ha, siapa kalian? .... Di mana Sim Long? .... Siapa ...siapa bilang Sim Long lebih unggul daripadaku? .... Him Miau-ji tetap nomor satu di dunia, minum arak nomor satu ... berkelahi juga nomor satu ....�

Sampai di sini, "bluk�, mendadak ia terguling ke lantai dan tidak bergerak lagi. Jit-jit coba memanggilnya, "Miau-heng .... Miau-ji ....� Tapi Si Kucing tidak bergerak sama sekali. Jit-jit coba mendorongnya, lalu menggoyang-goyangkan tangan di depan matanya, namun mata si kucing tetap tidak terpentang."Hihi, kucing ini mabuk benar-benar,� kata Jit-jit dengan tertawa. Waktu ia berpaling, dilihatnya Sing Hian juga sudah mendekap diatas meja dan tertidur. Mendadak Jit-jit angkat satu poci teh terus dituang ke leher Sing Hian. Semula Sing Hian meraba-raba leher, lalu mengangkat kepala dan hidungnya berkerut-kerut, akhirnya ia melonjak bangun sambil berteriak. Mestinya dia mau marah, tapi ketika diketahuinya yang menuangi air adalah "bakal paman mertua,� seketika ia melongo dan tidak jadi memukul orang, sebaliknya lantas memberi hormat dan minta maaf, "O, sungguh kurang sopan, tanpa terasa Siaute (adik) tertidur ....�

"Siaute?� seketika Jit-jit menarik muka. "O, bukan Siaute, tapi Siautit (keponakan),� cepat Sing Hian mengoreksi dengan menyengir. "Ini baru betul,� ucap Jit-jit dengan tertawa. "Tampaknya Hiantit sekarang sudah mendusin."

"Siautit sebenarnya tidak mabuk ....�

"Andaikan mabuk, sepoci teh segar itu pun dapat membuat sadar padamu.� Sing Hian menjadi kikuk, ia meraba lagi leher sendiri, mabuknya sekarang memang benar telah hilang, ia menunduk dan berkata, "Ah, rasanya Siautit tidak ... tidak boleh mengganggu lebih lama lagi ....�

"Kau mau pergi?� tanya Jit-jit. "Ya, Siautit mohon diri dulu, besok ... besok kami akan berkunjung lagi kemari,� Sing Hian ragu sejenak, akhirnya ia berkata pula, "Mengenai cara bagaimana mengatur emas kawin dan upacara tukar cincin, Siautit menurut saja atas kehendak paman.� Mendadak Jit-jit mendengus, "Hm, tukar cincin, masakah begitu gampang?� Keruan Sing Hian melengak, "Bu ... bukankah lamaran Siautit sudah diterima?�

"Terima memang sudah diterima, cuma setiap calon menantu keluarga kami harus kerja bakti dulu bagi keluarga kami,� ujar Jit-jit. "Kecuali itu juga harus berbuat amal dulu kepada sesama orang Kangouw, bilamana kulihat caramu bekerja memang lumayan barulah dapat kuserahkan keponakan perempuanku kepadamu.�

"Jika ... jika begitu, mohon diberi petunjuk apa yang harus Siautit lakukan?� tanya Sing Hian. "Bilakah mulai rapat besar orang Kay-pang, tentu kau tahu?� tanya Jit-jit. "Pada waktu magrib, sebelum makan malam besok,� jawab Sing Hian. "Ehm, apabila sebelum tengah hari besok dapat kau siarkan sesuatu berita mahapenting sehingga diketahui oleh segenap peserta rapat ini, maka caramu bekerja akan terhitung lumayan.�

"Ini kan pekerjaan mudah,� ujar Sing Hian. "Dan entah ... entah berita apa yang harus kusiarkan?�

"Tadi mendadak kutinggalkan restoran, apakah kau tahu apa sebabnya?�

"O, mungkin ... mungkin disebabkan ada Sim ....�

"Betul, sebab Sim Long yang satu itu adalah seorang mahajahat,� tukas Jit-jit. "Kay-pang-sam-lo terbunuh seluruhnya olehnya, perbuatan jahat begini kan harus kita beri tahukan kepada orang banyak.� Sing Hian kaget, "Ap ... apa betul?�

"Masa tidak kau percayai keteranganku?� Jit-jit berlagak marah. "Bukan ... bukan maksudku tidak percaya, soalnya ... soalnya urusan ini terlalu besar dan mengejutkan, sebelum ... sebelum jelas bukti dan saksinya tak berani sembarangan kusiarkan.�

"Ha, tak tersangka engkau malah bicara baginya,� jengek Jit-jit. "Apakah kau tahu cara bagaimana Sing Ing, kakakmu itu

menghilang? Apakah kau tahu siapa yang membikin celaka dia?�

"Kakak telah ... telah dicelakai siapa? Apakah juga ... juga perbuatan Sim ....�

"Ya, memang dia,� sela Jit-jit. Sing Hian jatuh terduduk lemas di kursi, "Ahh, urusan ... urusan ini pun tidak boleh dipercaya begitu saja.�

"Baik, karena kau sangsi, biar kuceritakan padamu mulai awal,� kata Jit-jit. "Kakakmu dan Sun To sampai di Tiongciu, kemudian mereka....� Begitulah ia lantas bercerita cara bagaimana Sing Ing masuk kemakam kuno yang misterius itu dan terjebak, lalu ditolong orang dan kemudian sampai di Lokyang, di sana Sim Long berhasil membebaskan mereka dari cengkeraman Ong-hujin dan menyuruh mereka pergi ke Jin-gi-ceng, tapi begitu sampai di Jin-gi-ceng semuanya lantas mati keracunan. Dasar Jit-jit memang pintar bercerita, apa yang terjadi itu memang juga sungguh, tentu saja caranya menutur jadi sangat menarik. Sing Hian tampak gemetar, mabuknya benar-benar hilang sama sekali. "Nah, engkau bukan orang bodoh, tentu dapat kau bedakan apa yang kuceritakan ini sungguh terjadi atau cuma karangan belaka.�

"Ya, aku ... sungguh aku sangat benci ....� seru Sing Hian dengan gemetar. "Dan sekarang masih kau bicara bagi Sim Long?� tanya Jit-jit. Mendadak Sing Hian melompat bangun seperti orang gila terus hendak menerjang keluar. Cepat Jit-jit menarik bajunya dan berseru, �Hei, kau mau apa?�

"Menuntut balas, membalas dendam!� seru Sing Hian. �Akan kucari Sim Long untuk ....�

"Untuk mengantar kematianmu?� tukas Jit-jit dengan dingin. Dengan suara parau Sing Hian berteriak, "Sakit hati ayah dan kakak sedalam lautan, betapa pun aku harus ... harus mencari dia untuk mengadu jiwa.�

"Tolol,� omel Jit-jit sambil menggeleng. "Cuma sedikit kepandaianmu ini, tidak lebih tiga jurus saja jiwamu bisa melayang di tangan Sim Long, kepergianmu ini bukankah cuma mengantar kematian saja secara penasaran?�

"Tapi ... apa pun juga harus kucari dia,� teriak Sing Hian kalap. Jit-jit berkedip-kedip, "Seluruhnya engkau bersaudara berapa orang?�

"Cuma kami berdua saja, sebab itulah aku harus ....�

"Hm, kakakmu sudah mati di tangannya, sekarang kau mau antar kematian lagi, selanjutnya keluarga Sing akan putus keturunan, lalu siapa lagi yang akan menuntut balas bagimu?� Sing Hian jadi melengak, kembali ia duduk lemas. "Banyak cara untuk menuntut balas, hanya orang yang paling bodoh yang mau mengadu jiwa secara ngawur,� ujar Jit-jit. "Asalkan kau

mau turut kepada gagasanku, kutanggung engkau akan dapat membalas dendam dengan baik.� Sing Hian menunduk dan termenung sekian lama, gumamnya kemudian, "Aku ... aku merasa bingung, kuturut saja saranmu ....�

"Baik, jika begitu, harus segera kau beri tahukan kepada anak murid Kay-pang tentang segala kejahatan yang telah dilakukan Sim Long itu, juga setiap kesatria dunia persilatan perlu mengetahui urusan ini, bilamana orang tahu kemalanganmu, dengan sendirinya banyak orang yang akan membantumu.�

"Baiklah, segera kukerjakan ....� tanpa pikir Sing Hian terus berlari pergi. Sekali ini Jit-jit tidak menariknya lagi melainkan memandangi kepergian orang dengan tersenyum puas. Kemudian ia menyingkap selimut dan terlihatlah Ong Ling-hoa masih meringkuk di situ tanpa bisa berkutik, cuma sorot matanya juga menampilkan senyuman puas serupa Cu Jit-jit, bahkan dia terlebih senang daripada si nona. "Nah, sudah kau dengar, bagaimana?� tanya Jit-jit. "Ya, bagus, sungguh bagus sekali!� jawab Ong Ling-hoa. "Tentunya sekarang kau tahu aku bukan orang yang mudah direcoki?�

"Ya, aku pun tahu sedikit urusan lain.�

"Kau tahu urusan lain apa?� tanya Jit-jit. "Baru sekarang kutahu anak muda keluarga ternama kebanyakan adalah orang bodoh, untuk menipu mereka sungguh jauh lebih gampang daripada menipu anak kecil,� Ong Ling-hoa menghela napas, lalu menyambung, "Sebelum ini kuanggap dirimu masih sangat hijau dan mudah tertipu, siapa tahu masih ada orang lain yang juga dapat kau tipu.�

"Hm, memangnya siapa yang bisa menipuku?� jengek Jit-jit dengan pongahnya. "Dan apa lagi yang kau ketahui?�

"Aku pun tahu, seorang anak perempuan yang senantiasa menyaru sebagai lelaki, betapa pun dia berlagak tetap membawa sedikit gerak-gerik orang perempuan.�

"Masa gerak-gerikku juga kelihatan?� Jit-jit mendelik. "Terkadang memang kelihatan, umpama kau suka meraba rambut sendiri, itu khas gerakan orang perempuan, juga tadi, waktu kau tarik anak she Sing itu, bukan kau tarik lengannya, tapi menarik bajunya.�

"Hm, dasar mata setan, apa pun dapat kau lihat,� omel Jit-jit. "Coba, apa lagi yang kau ketahui?�

"Sekarang aku juga tahu, bilamana dicintai seorang anak perempuan, wah, sungguh sangat menakutkan,� ucap Ling-hoa.

"Dicintai orang adalah kejadian baik, apa yang menakutkan?�

"Seorang lelaki disukai oleh seorang perempuan, sudah tentu hal yang menyenangkan dan membanggakan, tapi bila cinta perempuan itu berubah menjadi dendam, itu berarti maut baginya.� Jit-jit seperti mau bicara, tapi urung. Ong Ling-hoa lantas menyambung pula, "Kata peribahasa, cinta yang mendalam juga dapat menimbulkan benci yang luar biasa. Cinta yang dalam, sungguh kalau bisa keduanya ingin terlebur menjadi satu. Pada waktu benci juga ingin menghancurkannya dan

membakarnya menjadi abu!� Akhirnya Jit-jit menghela napas, "Memang, seorang perempuan kalau sudah benci kepada seorang, hal itu memang sangat menakutkan. Tapi ... jika kau minta cuma dicintai tanpa dibenci, apanya yang menakutkan?�

"Betul juga ucapanmu, namun jarak antara cinta dan benci seorang perempuan biasanya hampir tidak kelihatan, apalagi ... bilamana seorang dibenci perempuan, sungguh dia ingin mencincang tubuhmu dan makan dagingmu. Pada saat dia cinta padamu, dia juga geregetan dan ingin menggiling dirimu, mengurung dirimu dan makan dagingmu. Keduanya sama-sama tidak enak. Bila dapat membikin orang perempuan tidak benci padamu dan juga tidak cinta padamu, itu barulah orang lelaki yang pintar.�

Habis berkata, Ong Ling-hoa bergelak tertawa hingga terbatuk-batuk. "Huh, tidak perlu kau senang,� jengek Jit-jit. "Meski Sim Long tidak baik, engkau juga tidak lebih baik, betapa pun selamanya tidak mungkin kusuka padamu, yang jelas benciku padamu juga kelewat takaran dan ingin kucincang tubuhmu.� Sembari mencaci maki ia terus berbangkit, mendadak ia kesandung

sesuatu, waktu ia melihat ke bawah, kiranya Him Miau-ji yang masih menggeletak di situ seperti orang mampus. "Hendak kau apakan kucing ini?� tanya Ling-hoa tiba-tiba. "Bilamana dia sadar besok, tentu akan teringat olehnya kedatangannya

bersama Sing Hian, bukan mustahil Sing Hian sudah memberitahukan tentang namamu juga Sim Long, tentu dia dapat menerka engkaulah orang yang hendak membikin celaka Sim Long yang asli dan ....�

"Dan apa?� Jit-jit mendelik pula. "Demi keselamatanmu di kemudian hari, seharusnya kau bikin dia takkan sadar untuk selamanya,� ucap Ling-hoa perlahan. "Kentut busuk!� bentak Jit-jit. "Dasar bangsat, hendak kau gunakan tanganku untuk membunuh setiap orang yang memusuhimu. Huh, jangan ... jangan kau mimpi.�

"Tidak kau bunuh dia, kelak engkau sendiri akan menyesal,� ujar Ling-hoa.

"Waktu datang tadi dia sudah mabuk, jika sekarang kubawa dia pergi dan ditaruh di setiap tempat, besok kalau dia mendusin pasti juga tidak ingat lagi apa yang terjadi tadi.�

"Jika hendak kau lakukan cara begini, apa mau kukatakan lagi?� ujar Ong Ling-hoa dengan tersenyum getir. "Tentu saja tak dapat kau bilang apa-apa,� jengek Jit-jit, segera ia mengangkat tubuh Him Miau-ji, tapi segera si Kucing memberosot lagi ke lantai. "Kucing mampus, kucing sialan!� omel Jit-jit dengan mendongkol. Sembari mengomel ia mengeluarkan juga saputangan untuk mengusap air liur yang mengalir dari ujung mulut Him Miau-ji, habis itu sekuatnya ia mengangkat si Kucing dan dibawa keluar. Tapi baru dua-tiga langkah, mendadak ia putar balik, Ong Ling-hoa ditutuknya lagi supaya tidak dapat berkutik. Orang yang berlalu-lalang di jalan raya sudah jarang-jarang, cahaya lampu juga guram, namun di sana-sini masih ada gerombolan pemabuk yang berjalan sempoyongan sambil mengoceh tak keruan, ada juga yang menyanyi asal nyanyi.

Melihat kawanan pemabuk di sana-sini dan memandang pula pemabuk yang dipondongnya, diam-diam Jit-jit merasa gegetun,

"Orang lelaki sungguh aneh, mengapa suka mencekoki dirinya sendiri sehingga mabuk seperti babi mampus, kan mencari penyakit sendiri?� Jit-jit sengaja berjalan di bawah emper rumah yang agak gelap agar tidak mencolok mata orang lain, meski dia ingin membuang si Kucing di sembarang tempat, tapi khawatir juga anak muda itu akan mengalami sesuatu.

Sekonyong-konyong dari ujung jalan sana muncul tiga penunggang kuda. Semula Jit-jit tidak menaruh perhatian, tapi di malam sunyi kuda dilarikan secepat ini, apa pun juga agak luar biasa, mau tak mau ia berpaling memandangnya. Mendingan tidak dipandangnya, sekali pandang ia jadi melengak. Kiranya penunggang kuda pertama tampak gagah dengan potongan baju yang sangat pas dengan tubuhnya, bibirnya berkumis pendek, jelas dia inilah pemilik restoran Wat-pin-lau itu. Dan penunggang kuda yang kedua ternyata Sim Long adanya. Jit-jit melenggong sampai sekian lama, meski ketiga penunggang kuda sudah lalu dan menghilang dalam kegelapan sana, dia masih tetap tidak bergerak. Tampaknya ketiga penunggang kuda itu ada urusan penting, semuanya kelihatan prihatin dan menempuh perjalanan dengan terburu-buru sehingga tiada seorang pun memerhatikan Jit-jit. Setelah termangu pula sejenak, Jit-jit bergumam, "Aneh, mengapa dia juga kenal Sim Long dan berkumpul bersama dia.� Lantas terpikir pula olehnya, "Ah, tentu dia mendengar orang bilang di restorannya datang seorang Sim Long, sedangkan pergaulanku dengan Sim Long juga sudah banyak diketahui orang, maka dia sengaja mencari Sim Long untuk menanyai kabar mengenai diriku.� Apa yang dipikirnya itu memang betul. "Tapi sesungguhnya apa yang dibicarakannya dengan Sim Long? Mengapa kedua orang menempuh perjalanan dengan tergesa? Hendak ke manakah mereka?� Hal-hal inilah yang tidak diketahui oleh Jit-jit. Diam-diam ia mengomel, "Setan ini mengapa mengajak pergi Sim Long? Bila dalam rapat besar Kay-pang besok Sim Long tidak sempat hadir, bukankah segala jerih payahku akan tersia-sia belaka?� Berpikir sampai di sini, tak dihiraukan lagi apa yang akan dialami Him Miau-ji, si Kucing ditaruhkan di bawah emper rumah, katanya, "Maaf, salahmu sendiri, suka ikut campur tetek bengek dan juga suka mabuk-mabukan.� Lalu dia tinggal pergi. Tapi baru dua langkah, segera ia putar balik, ia membuka baju luar sendiri dan ditutupkan pada tubuh si Kucing. Habis itu cepat ia pulang ke hotelnya. Hanya sebentar saja seperginya Cu Jit-jit, mendadak muncul empat lelaki kekar berbaju hitam dari balik kegelapan sana, dua orang ikut ke arah hotel si nona, dua orang lagi menuju ke tempat Him Miau-ji. Kedua orang ini kelihatan gagah, kekar, langkahnya gesit dan cekatan. Setiba di depan Miau-ji dan memandangnya dua kejap, seorang di

antaranya mendepak sekali, Him Miau-ji bersuara mengeluh dan membalik tubuh, lalu tidak bergerak lagi. "Hm, menghadapi kucing mabuk ini kan tidak perlu banyak mengeluarkan tenaga,� jengek seorang. "Menurut pesan bos,� demikian seorang lagi berkata. "Setiap orang yang berada bersama domba itu harus kita awasi secara khusus. Apa yang dipesan bos kita tentu ada alasannya.�

"Biarlah kita lemparkan dia ke sungai saja untuk umpan ikan,� kata orang pertama. "Tidak boleh, kan menurut pesan bos, semuanya harus tetap hidup.�

"Baiklah, mari kita gotong dia pulang.� Begitulah kedua lelaki itu lantas mengangkat Him Miau-ji dan dilarikan ke ujung jalan sana. Pada saat itulah kebetulan ada beberapa pemabuk muncul dari situ, ada yang lagi menyanyi, "Siapakah pendekar Kangouw nomor satu zaman ini .... Ialah Toako kita Him Miau-ji ....� Ketika kedua pihak berpapasan, mendadak orang itu berhenti bernyanyi dan berseru dengan tertawa, "Lihatlah, di situ ada yang mabuknya lebih hebat daripada kita, sampai perlu digotong segala.�

"Haha, sebentar juga engkau akan sama seperti itu,� ujar kawannya. Agaknya kedua lelaki yang menggotong Him Miau-ji itu tidak suka menimbulkan perkara, mereka sengaja menghindar ke tepi jalan dan kedua pihak dengan cepat bersimpang jalan.

Mendadak salah seorang pemabuk itu berseru, "Hai, tidak betul ... tidak betul ....�

"Tidak betul apa?� tanya seorang lagi. "Tampaknya orang ... orang yang digotong itu rada mirip Toako kita?!�

"Ah, tentu matamu sudah kabur!�

"Ehm, rasanya pandanganku memang rada kabur.�

"Tapi apa pun juga harus kita memeriksanya dengan jelas,� tiba-tiba seorang mengusul. Dalam keadaan mabuk, bilamana seorang mengusulkan sesuatu, biasanya yang lain lantas mendukungnya, maka serentak mereka berteriak, "Betul, harus kita periksa dia.� Maka rombongan pemabuk ini lantas berputar balik ke sana. Melihat kawanan pemabuk itu mengejarnya, meski tidak diketahui mau apa, tidak urung kedua lelaki tadi rada gugup, cepat mereka berlari dengan lebih kencang. Karena mereka lari, kawanan pemabuk itu lantas mengejar, seorang malah berteriak, "Berhenti ... jangan lari!� Makin dibentak, makin cepat lari kedua orang itu. Tapi mereka menggotong Him Miau-ji, dengan sendirinya kecepatannya terbatas. Belum sampai ujung jalan mereka sudah tersusul dan terkepung ditengah. "Ada apa, sahabat?� kedua orang itu berlagak tabah dan menegur. Dalam pada itu kawanan pemabuk itu sudah mengenali Him Miau-ji, beramai mereka berseru, �Aha, ternyata benar Toako adanya.�

"Hai, hendak kau bawa Toako kami ke mana?�

"Lekas lepaskan Toako kami!� Di tengah teriakan orang banyak, beramai-ramai kawanan pemabuk itu lantas mengerubuti kedua lelaki itu. Karena menggotong orang, dengan sendirinya kedua lelaki itu tidak mampu menangkis dan balas menyerang, ketika mereka lepaskan Him Miau-ji, tubuh mereka sudah kena belasan kali genjotan. Biarpun kawanan pemabuk itu tidak menguasai kungfu yang tinggi, tapi jotosan mereka tidak ringan, asal kena juga cukup membuatnya meringis kesakitan. Kedua lelaki itu juga tidak tinggi ilmu silatnya, setelah digenjot belasan kali, ruas tulang mereka hampir retak, mana mereka mampu

membalas, maka cepat mereka melarikan diri. Sambil membentak-bentak kawanan pemabuk itu bermaksud mengejar. Tak terduga Him Miau-ji lantas melompat bangun. Keruan kawanan pemabuk itu terkejut dan bergirang, beramai mereka mengerumuninya sambil menyapa, "Aha, kiranya Toako tidak mabuk.� Tanpa bicara, "plak-plok�, kontan Miau-ji menggampar kawanan pemabuk itu, setiap orang beberapa kali. Tentu saja kawanan pemabuk itu melongo, sambil memegang muka masing-masing mereka berseru, "O, ampun, Toako .... Mengapa Toako menghajar kami malah?�

"Hm, rasanya harus kutambahi lagi beberapa gamparan kepada kalian!� damprat si Kucing. "Kami berbuat salah apa, Toako?!� salah seorang pemabuk itu coba tanya. "Apakah kalian tahu sebab apa aku berlagak mabuk?� kata siKucing. "Tidak tahu.� sahut para pemabuk itu dengan menggeleng. "Aku pura-pura mabuk sebab aku justru ingin tahu kedua keparat itu orang macam apa, di mana sarang mereka? Siapa tahu usahaku ini telah digagalkan oleh kalian.� Seketika kawanan pemabuk menunduk dan tidak berani bicara lagi. "Nah, apakah hajaranku kepada kalian membuat penasaran?� tanya si Kucing. "O, tidak, tidak, hajaran Toako memang pantas!� sahut mereka. "Bagus,� ucap si Kucing, lalu tangannya bergerak lagi, tapi bukan menghajar mereka lagi melainkan setiap orang diberikan sepotong uang perak. "He, untuk ... untuk apakah ini?� tanya para pemabuk.

"Meski kalian pantas dihajar, tapi ketika kalian melihat aku ada kesulitan, kalian segera menolong tanpa menghiraukan bahaya sendiri, kalian tetap saudaraku yang baik, maka harus kutraktir kalian minum arak.�

"Aha, Toako tetap Toako, tetap sebaik ini, jangankan cuma digampar dua-tiga kali, dibacok dan tubuh dilubangi juga kami rela,� seru kawanan pemabuk itu. Mendadak si Kucing terkulai ke tanah dengan lemas. Keruan kawanan pemabuk itu terkejut, "Hei, apakah Toako terluka?�

"Omong kosong, siapa yang mampu melukaiku?� sahut si Kucing. �Aku cuma ... ai, tubuhku rasanya mabuk benar, kaki dan tangan terasa lemas.� Kembali kawanan pemabuk itu bersorak gembira dan bernyanyi, �Aha, tampaknya biarpun Toako kita sangat tangkas, tapi araknya justru lebih ....�

"Sudahlah, jangan kalian ngacau lagi,� sela si Kucing. "Ingin kutanya kepada kalian, apakah kalian melihat Sim-siangkong, Sim Long,� seru si Kucing. "Oo, baru saja Sim-siangkong lagi mencari Toako,� sahut seorang. "Dan sekarang?�

"Sekarang telah diajak pergi oleh juragan restoran besar itu dengan menumpang kuda.�

"Hah, pergi dengan naik kuda?� seru si Kucing khawatir. "Wah, celaka, bisa celaka! Apakah kalian tahu untuk apa mereka

pergi dan ke mana?� Kawanan pemabuk itu saling pandang dengan bingung. Akhirnya seorang bicara, "Seperti pergi mencari orang.�

"Mencari siapa?� desak si Kucing.

"Wah, mencari siapa, mana hamba tahu?� sahut orang itu. "Cuma jelas kulihat mereka menuju ke sana, keluar kota.�

"Buset, jadi suara kuda lari tadi pastilah mereka ....� gumam siKucing. Maklumlah, meski waktu itu dia mendengar derapan kaki kuda lari, tapi Jit-jit juga sedang bergumam. Dengan sendirinya waktu itu dia memang setengah mabuk, hanya mabuknya tidak separah dugaan Cu Jit-jit. "Betul, belum lama mereka melarikan kuda ke sana,� kata orang tadi. "Jika kususul sekarang mungkin masih keburu,� kata si Kucing. "Baiklah, saudara, lekas mencarikan seekor kuda bagiku. Lekas, boleh kalian merampas atau mencuri, aku tidak peduli!�

*****

Sementara itu Jit-jit sudah masuk ke hotelnya. Selama beberapa hari ini pintu hotel itu selalu terbuka siang dan malam. Pelayan menyapa kedatangannya, namun Jit-jit tidak menghiraukannya, langsung ia masuk ke dalam dengan hati bimbang. Pada saat itulah mendadak seorang berseru di belakang, "Tunggu dulu, Siangkong di depan itu!� Waktu Jit-jit berpaling dengan terkejut, terlihatlah dua lelaki kekar berbaju hitam berlari masuk, wajah keduanya mengulum senyum, tampaknya tidak bermaksud jahat. Tapi Jit-jit lantas melotot dan menegur, "Aku tidak kenal kalian, untuk apa kalian memanggil diriku?�

Salah seorang berbaju hitam itu menjawab dengan tertawa, "Meski hamba tidak kenal, tapi majikan kami kenal Kongcu. Ada ... ada sesuatu urusan beliau ingin menemuimu.�

"Oo, ada urusan apa?� tanya Jit-jit. "Ti ... tidak ada apa-apa, beliau cuma mengundang Kongcu ke sana untuk ... untuk minum barang dua-tiga cawan,� tutur lelaki itu dengan agak gelagapan. Jit-jit berkerut kening, "Minum arak? Tengah malam buta begini mengundangku minum arak? Hm, kukira majikan kalian pasti ....� Mendadak teringat dirinya dalam keadaan menyamar, siapa pun tidak dapat mengenalnya lagi, segera ia berganti suara dan membentak, "Siapa majikan kalian?�

"Majikan kami ialah Auyang ....�

"Aku tidak kenal orang she Auyang,� bentak Jit-jit. "Tapi ... tapi majikan bilang kenal Li-kongcu, maka hamba disuruh

....�

"Kalian sudah buta barangkali?� damprat Jit-jit. "Memangnya siapa she Li?� Orang itu mengamat-amati si nona beberapa kejap, lalu saling pandang dengan kawannya, kemudian berucap dengan ragu, "Jangan-jangan kita salah lihat?�

"Keparat .... " Jit-jit mendamprat pula. "Selanjutnya hendaknya lihat lebih jelas bila mencari orang, tahu?� Kedua orang itu mengiakan dengan takut-takut. Meski mendongkol, Jit-jit hanya mendengus saja dan tinggal masuk lagi ke dalam sambil menggerutu. Setiba di serambi samping, terlihat beberapa orang perempuan yang rambut kusut menggotong sebuah amben sambil menangis, amben itu tertutup sehelai kain putih, agaknya orang mati. Beberapa perempuan itu menangis dengan sangat sedih.

"Sungguh sial, ketemu orang mati lagi,� gerutu Jit-jit di dalam hati. Terpaksa ia menepi memberi jalan kepada mereka.

Sambil menangis, kawanan perempuan itu juga membuang ingus, ketika lalu di samping Jit-jit, seorang perempuan tua membuang ingusnya dan tepat hinggap di tubuh Jit-jit. Keruan si nona keki setengah mati, tapi orang lain lagi berduka,

terpaksa ia menahan rasa marahnya, ia percepat langkahnya dan menerjang ke dalam kamar sendiri. Untung keadaan kamar tidak terjadi sesuatu, Ong Ling-hoa masih berbaring di tempatnya. Karena tertutuk Hiat-to tidurnya, saat itu Ong Ling-hoa masih tidur dengan nyenyak. Segera Jit-jit menepuk Hiat-to untuk menyadarkan Ong Ling-hoa, karena hatinya lagi keki, tepukannya menjadi agak keras. Kontan Ong Ling-hoa menjerit dan terjaga bangun. "Hm, enak saja kau tidur, aku justru mengalami berbagai kesialan di luar,� omel Jit-jit. "Eh, apakah kau tahu baru saja Sim Long telah pergi.�

"Dari ... dari mana kutahu?� jawab Ling-hoa. "Kukhawatir bila besok dia tidak pulang, kan usahaku akan sia-sia belaka?�

"Kukira tidak menjadi soal, mana dia mau mengabaikan pertemuan besar besok yang jarang terjadi itu?� Setelah berpikir, Jit-jit berkata, "Benar juga .... Selama hidup ini, hanya ucapanmu ini yang paling mencocoki seleraku. Baiklah, tampaknya matamu masih sepat, akan kubiarkan kau tidur lagi.�

"Terima kasih,� kata Ling-hoa, lalu ia menghela napas, "Ai, sampai tidur juga perlu memohon berkah orang lain, sungguh kasihan ....� Jit-jit jadi tertawa geli juga dan tidak menyiksanya lagi. Ia lantas berbaring di dipan pojok sana, tanpa terasa dia terpulas. Nona itu memang sudah lelah, sungguh lelap sekali tidurnya. Waktu dia mendusin, Ong Ling-hoa ternyata masih tidur. Ia berkerut kening, lalu tertawa juga. Dengan kemalasan dia berbangkit dan mengulet, lalu membuka pintu. Sekonyong-konyong seorang menerjang masuk. Keruan Jit-jit terkejut. Waktu diawasi, kiranya orang ini ialah Sing Hian yang dicemoohkan Ong Ling-hoa itu. Cepat Sing Hian berdiri tegak, matanya tampak merah wajah pucat lesu, jelas kurang tidur. Jit-jit tahu semalam pasti cukup membuat anak muda itu kapiran. Maklum, putra keluarga ternama bilakah pernah menderita seperti ini? "Apakah kau tidur di luar pintu?� tanya Jit-jit. Dengan muka merah Sing Hian menjawab, "Pagi-pagi aku sudah datang, kudengar suara orang mendengkur di dalam, kuyakin kalian masih tidur dan tidak berani kuganggu ....� Ia melirik sekejap Ong Ling-hoa di sebelah sana, lalu menyambung dengan tergegap, "Sebab itulah aku lantas ... lantas menunggu diluar pintu. Siapa ... siapa tahu aku jadi tertidur juga bersandar pintu ....� Sampai di sini ia pandang Ong Ling-hoa beberapa kejap, lalu memandang Jit-jit pula dengan sorot mata menunjukkan rasa keheranan. Dengan tertawa cepat Jit-jit menjelaskan, "Keponakan perempuanku ini lagi sakit, tengah malam perlu dijaga. Orang dalam perjalanan juga tidak membawa pelayan, terpaksa kutidur di sini untuk menjaga dia.� Rupanya isi hati Sing Hian terungkap oleh ucapan Jit-jit ini, mukanya menjadi merah, cepat ia mengiakan. "Eh, apa yang kusuruh kau kerjakan apakah sudah dilaksanakan?� tanya Jit-jit. "Sudah,� jawab Sing Hian. "Hanya dalam semalam saja sudah kuberi tahukan perbuatan jahat Sim Long itu kepada 57 orang dan ... Sim Long sendiri pasti tidak tahu.�

"Baik, lantas bagaimana reaksi orang-orang itu setelah mendengar kabar darimu?�

"Anak murid Kay-pang tentu saja murka, ada di antaranya menangis sedih, ada yang hendak mencari Sim Long itu untuk menuntut balas, terpaksa kubujuk mereka agar bersabar sampai besok.�

"Lantas bagaimana lagi yang lain?�

Jilid 21

"Yang lain juga gusar,� tutur Sing Hian. "Pendek kata, bilamana Sim Long hadir dalam rapat Kay-pang petang nanti, dia pasti takkan pergi lagi dengan selamat.�

"Hm, bagus, bagus sekali,� ucap Jit-jit dengan gemas. "Justru akan kulihat bagaimana bentuknya waktu itu. Sungguh aku tidak sabar menunggu lagi. Sekarang sudah waktu apa?�

"O, masih sangat pagi ....� Belum lanjut jawaban Sing Hian, mendadak seorang pelayan melongok ke dalam dan bertanya, "Apakah Tuan tamu ingin makan?�

"Makan pagi atau makan siang?� tanya Jit-jit. "Makan siang sudah hampir lewat, sudah beberapa kali hamba datang kemari, namun tidak berani membikin kaget,� tutur sipelayan. "Ai, kiranya sudah hampir lewat tengah hari, hampir, sudah hampir

waktunya!� seru Jit-jit. Teringat kepada bencana yang hampir menimpa Sim Long, hampir saja si nona tertawa. Tapi entah mengapa, sukar untuk tertawa. Akhirnya dia berseru, "Baiklah, lekas atur makan siang!� Sesudah pelayan pergi, kembali ia bergumam, "Sesudah makan siang, kita harus keluar, Sing Hian, kau perlu makan agak banyak, bila kenyang baru bertenaga, baru dapat membunuh orang.�

"Cuma sayang, mungkin sebelum kuturun tangan, bisa jadi Sim Long sudah dicincang orang,� ujar Sing Hian dengan menyesal.

Hidangan telah disiapkan, kedua bibi juga ikut datang, tujuannya untuk meladeni Ong Ling-hoa. Sambil makan Ong Ling-hoa terus berkeluh-kesah, hampir sukar menelan nasi. Dengan susah payah akhirnya selesai juga makan siang ini. Sing Hian menghela napas dan mengusap keringat. Jit-jit mulai lagi mondar-mandir di dalam rumah, kelihatan sangat gelisah. Tentu saja Sing Hian tidak berani mengganggunya, dia duduk diam saja di kejauhan. Ong Ling-hoa lantas tidur malah, tidur dengan menutupi kepalanya, nyata dia tidak ingin dipandang oleh Sing Hian, betapa pun merasa rikuh seorang lelaki dipandang semesra itu oleh lelaki lain. Sang waktu terasa lalu dengan sangat lambat, jangankan Jit-jit, Sing Hian juga merasa gelisah. Entah sudah berapa kali Jit-jit membuka jendela dan menutupnya lagi. Ketika untuk ke-13 kalinya dia membuka jendela, akhirnya dia tidak tahan dan bertanya, �"Sudah tiba waktunya?��

"Hampir,� jawab Sing Hian. "Di mana tempatnya, apakah kau tahu?�

"Semalam sudah pernah kudatang ke sana.�

"Baik, suruh bibi itu ke sini dan kita lantas berangkat,� kata si nona. Sing Hian tercengang, dipandangnya Ong Ling-hoa yang meringkuk di tempat tidur, katanya, "Dia ... dia boleh pergi?�

"Mengapa tidak?� ujar Jit-jit. "Di sana terlalu banyak orang, juga terlalu ramai, bila dia tercedera ....�

"Hm, dia belum lagi menjadi istrimu, dia masih anggota keluargaku, aku sendiri tidak khawatir, mengapa kau khawatir malah? .... Ada aku, siapa yang mampu mencederai dia?� Muka Sing Hian menjadi merah, dengan tersipu-sipu dia lari keluar

untuk memanggil kedua bibi itu. Jalan raya terlebih ramai daripada semalam. Hampir setiap belasan langkah pasti terdapat seorang lelaki berdandan serupa pengemis berdiri di emper rumah, kebanyakan menyandang tiga empat buah kantong, jelas mereka ini anak murid Kay-pang. Mereka ada yang bersandar di samping pintu rumah orang, ada juga yang berjongkok di ujung jalan, orang lain tidak mengajak bicara mereka, mereka juga tidak bicara dengan orang lain. Inilah peraturan Kay-pang. Meski mereka datang ke sini untuk menerima tamu, yaitu para kawan Bu-lim, tapi di tengah jalan raya, kecuali minta-minta sebagai tugas rutin, biasanya mereka dilarang bicara dengan orang lain. Dengan sendirinya ada juga orang Bu-lim yang mencari keterangan kepada mereka atau tanya arah jalan, maka mereka lantas menuding ke timur. Nyata pertemuan besar Kay-pang itu diadakan diluar kota timur. Jit-jit minta Sing Hian sebagai penunjuk jalan, maka Sing Hian berjalan didepan, di tengahnya kedua bibi menggotong tandu yang ditumpangi Ong Ling-hoa dan Cu Jit-jit sendiri mengintil di belakang tandu.

Orang yang berlalu-lalang kebanyakan memandang lebih banyak beberapa kejap kepada mereka. Tapi ketika melihat mata Jit-jit yang melotot, kelihatan garang, semua orang cepat menoleh dan tidak berani memandang lagi. Setelah meninggalkan pusat kota, anak murid Kay-pang tampak bertambah banyak. Pada waktu itu anak murid Kay-pang juga telah melihat Sing Hian,

banyak di antaranya menegur sapa padanya dengan tersenyum. Namun senyum anak murid Kay-pang itu kelihatan kaku, sorot mata mereka pun menampilkan rasa duka, senyuman yang memperlihatkan tidak dapat menutupi perasaan mereka yang berat. Dari perasaan anak murid Kay-pang, Jit-jit menarik kesimpulan Co Kong-liong pasti belum muncul. Tiba-tiba ia memburu ke depan dan membisiki Sing Hian, "Sebentar bila tiba di sana, sebaiknya jangan kau duduk bersama kami.�

"Seb ... sebab apa?� tanya Sing Hian. "Sebab aku menghendaki demikian,� jawab Jit-jit dengan mendelik. Terpaksa Sing Hian mengiakan dan tidak berani tanya lagi. "Tapi tempat dudukmu juga jangan terlalu jauh ....� sampai di sini, mendadak Jit-jit berseru, "Hei, Him Miau-ji berada di sana!� Sing Hian juga sempat melihat bayangan orang berkelebat dikejauhan sana, cepat ia berkata, �"Baik, akan kupanggil dia.��

"Untuk apa panggil setan arak itu?� bentak Jit-jit. Terpaksa Sing Hian mengiakan lagi dengan menunduk. Tertampak dua anggota Kay-pang datang dari kejauhan, yang sebelah kanan bermuka jelek, penuh burik, tapi punggungnya menyandang enam  buah karung. Pengemis sebelah kiri berusia belum tua, berperawakan gemuk pendek, mukanya bulat dan selalu tertawa, kelihatan rada ketolol-tololan, tapi karung yang disandangnya juga ada enam buah. Anak murid Kay-pang yang berkarung enam jumlahnya tidak banyak. Jit-jit mendesis, "Apakah kau kenal kedua orang ini?�

"Kenal,� jawab Sing Hian. "Kedua orang ini adalah anak buah langsung Him-pangcu almarhum, konon nama mereka cukup menonjol di dalam Kay-pang, kedudukan mereka cuma berada dibawah Kay-pang-sam-lo.�

"Siapa nama mereka?� tanya Jit-jit. "Yang sebelah kiri bernama Ci Kong-tay berjuluk Pian-te-say-kim-ci (menyebar mata uang di mana-mana) dan yang sebelah kanan bernama Ko Siau-diong berjuluk Siau-bian-siau-hok-sin (si malaikat rezeki selalu tertawa).�

"Siau-diong (ulat kecil)? Sungguh aneh namanya,� ujar Jit-jit dengan tertawa. Dalam pada itu kedua orang itu sudah mendekat. Segera Ci Kong-tay memberi hormat, "Banyak terima kasih atas berita yang disampaikan Sing-kongcu semalam ....� ketika melihat Cu Jit-jit, cepat ia ganti ucapannya, "Oh, ini ....�

"Aku, pamannya,� cepat Jit-jit mendahului sebelum Sing Hian menjawab. "Oo,� Ci Kong-tay bersuara heran sambil mengamat-amati Cu Jit-jit. "Kau kira usiaku terlalu muda dan tidak mirip menjadi pamannya?� tanya si nona. "Ah, mana,� cepat Ci Kong-tay menjawab dengan menyengir. "Apakah kalian datang untuk menjadi petunjuk jalan bagi kami?� tanya Jit-jit. "O ... ya,� jawab Ci Kong-tay. "Baiklah jika begitu, mari berangkat,� kata Jit-jit. Terpaksa Ci Kong-tay berdua menurut. Padahal kedatangan mereka adalah untuk mencari Sing Hian, namun Sing Hian sama sekali tidak bicara melainkan cuma tersenyum getir saja. Tempat rapat kawanan jembel itu tampaknya serupa bekas sawah, kini musim dingin, panen sudah lama lalu, di tengah sawah hanya tersisa merang kering dan timbunan salju saja. Di pedusunan daerah utara banyak tumbuh pohon bambu, maka anak murid Kay-pang telah membangun barak yang panjang di sekeliling sawah ini. Agaknya tergesa-gesa sehingga barak yang dibangun sangat sederhana dan kurang rajin, yang tersedia di dalam barak juga cuma bangku dan meja kasar. Namun yang berduduk di dalam barak sekarang kebanyakan adalah orang yang berbaju perlente dan bersikap gagah sehingga keadaannya tidak serasi. Di luar barak adalah anak murid Kay-pang, ada yang mondar-mandir tanpa tujuan, ada yang berduduk dengan mata terpejam dan sedang berjemur, ada yang lagi mencari kutu. Meski orang-orang Kay-pang ini kelihatan iseng dan tenang, namun air muka setiap orang sama prihatin, dua ratusan orang berjubel di situ dan sedikit sekali yang bicara. Mestinya Ci Kong-tay tidak bermaksud menjadi petunjuk jalan, karena beberapa patah kata Cu Jit-jit tadi terpaksa menjadi petunjuk jalan. Sedangkan pengemis yang bernama Ko Siau-diong itu tidak bicara apa-apa melainkan cuma tertawa ketololan saja. Ci Kong-tay membawa rombongan Jit-jit ke barak sebelah utara dan berduduk di situ, barat utara adalah tempat terhormat, yang hadir disitu belum terlalu banyak. Jit-jit tidak menghiraukan orang lain, dengan lagak tuan besar ia duduk saja di situ. Cepat Ci Kong-tay memberi hormat dan berucap, "Silakan kalian duduk dan minum di sini, Cayhe masih perlu meladeni tetamu lain.� Rupanya ia pun merasakan sang "paman� ini kurang simpatik, maka ingin lekas-lekas melepaskan diri. "Eh, nanti dulu,� mendadak Jit-jit berkata. "Anda ada keperluan apa lagi?� tanya Kong-tay. "Jika kalian mengundang tamu pada saat makan, kenapa kalian cuma menyuguh tamu minum teh saja?� kata si nona. Ci Kong-tay menyengir, ucapnya, "Ah, ada juga, cuma makanan kasar dan arak hambar, untuk ini mohon dimaafkan.�

"Baiklah, asal ada saja,� ujar Jit-jit. "Jika Ci-heng ada urusan, silakan pergi saja,� cepat Sing Hian menambahkan. Ko Siau-diong yang sejak tadi cuma tertawa itu mendadak berkata, "Aku tidak ada pekerjaan, biar kutemani kalian di sini.� Ci Kong-tay memandangnya sekejap dengan tersenyum getir, lalu tinggal pergi dengan tergesa-gesa. "Baik, jika engkau yang akan mengiringi harap ambilkan teh dulu,� kata Jit-jit. Dengan tertawa Ko Siau-diong benar-benar menuangkan tiga mangkuk teh dan menyilakan tetamunya minum. Di barak sebelah utara ini sudah berduduk likuran orang, pandangan semua orang sejak tadi sudah beralih kepada rombongan Cu Jit-jit ini, ada yang sedang kasak-kusuk, jelas diam-diam sedang menduga dan menerka sesungguhnya siapakah orang-orang ini. Mata Jit-jit juga tidak sungkan-sungkan, ia pandang orang-orang itu satu per satu, dilihatnya kebanyakan sudah berusia setengah baya, berpakaian mentereng, tampaknya orang mampu semua dan jelas

tokoh berkedudukan penting di dunia Kangouw. Akan tetapi tiada seorang pun dikenalnya. Him Miau-ji telah berputar beberapa kali mengelilingi barak, ketika melihat rombongan Cu Jit-jit, pandangannya terbeliak, tapi diam-diam ia menyingkir dan membatin, "Bagus, bocah ini telah datang ...dan di manakah Sim Long sekarang? ....� Rupanya semalam dia mencari Sim Long dan tidak diketemukan. Dalam pada itu tamu yang datang semakin banyak. Setelah mengeliling sekali lagi barak itu, tiba-tiba si Kucing merasa dirinya terlalu bodoh, apa gunanya menunggu di sini, kan lebih baik cegat dia saja di jalan raya sana? Berpikir demikian, serentak ia balik ke sana, sepanjang jalan memandang ke sini dan melihat ke sana, namun bayangan Sim Long tetap tidak kelihatan. Waktu dia putar balik ke jalan kota, orang berlalu-lalang sudah sedikit, kebanyakan sudah pergi ke tempat rapat, hanya tersisa anak murid Kay-pang saja yang berada di bawah emper sana-sini. Si Kucing berhenti di pengkolan jalan, ia pikir kalau Sim Long pulang pasti akan lalu di sini. Maka ia pun bersedekap dan bersandar di samping pintu rumah orang. Setelah menunggu sekian lamanya, tiba-tiba seorang memberinya sepuluh mata uang tanpa diminta. Tentu saja Miau-ji heran, katanya, "Ini ... ini ....�

"Harap Toako berdiri saja di tempat lain supaya tidak mengganggu tamu toko kami,� kata orang itu dengan tertawa. Semula Miau-ji melenggong, tapi merasa geli, pikirnya, "Ah, kiranya dia menyangka diriku sebagai pengemis.� Ia pandang dandanan sendiri yang memang tidak banyak berbeda dengan anggota Kay-pang, tanpa terasa ia tertawa geli, ia terima uang pemberian orang dan mengucapkan terima kasih. Lalu ia menuju ke sebuah warung arak di seberang dan berkata kepada penjual, "Berikan arak sepuluh duit!� Orang yang memberi sedekah tadi menggeleng kepala dan menggerutu, "Ai, dasar pengemis, punya duit sedikit lantas minum arak.� Biarpun sudah di seberang jalan, dengan ketajaman telinga Him Miau-ji dapat didengarnya gerutu orang itu, diam-diam ia merasa geli. Begitu arak yang diminta disodorkan, sekali tenggak ia minum habis, mendadak ia keluarkan sepotong uang perak dan dilemparkan kepada penjual arak, katanya, "Berikan lagi tiga mangkuk besar!� Pemberi sedekah itu melongo, sampai sekian lama tercengang, lalu menggeleng dan masuk ke tokonya dengan menggerundel, "Zaman ini orang aneh dan kejadian aneh memang semakin banyak.� Setelah Him Miau-ji habis minum empat mangkuk arak, jalan raya tambah sepi. Tiba-tiba dilihatnya seorang murid Kay-pang datang dari depan sana, ia tepuk tangan beberapa kali, para anggota Kay-pang yang berdiri di ujung jalan dan di bawah emper itu lantas ikut dia menuju ke luar kota. Namun Sim Long masih tetap tidak kelihatan. Keruan si Kucing menjadi gelisah, gumamnya, "Masakah dia tidak kembali ke sini? .... Ah, tidak mungkin, rapat besar Kay-pang ini mana boleh diabaikannya? Tapi mengapa dia pergi malah? Memangnya ada urusan lain yang lebih penting?� Sekarang suasana tambah sepi, kembali Miau-ji minum lagi semangkuk, dada bajunya tersingkap, gumamnya, "Wah, lantas bagaimana jika dia tidak kembali ke sini?�

*****

Karena tidak kenal orang lain, maka pandangan Cu Jit-jit hanya menatap ke arah Ko Siau-diong melulu. Jika orang lain tentu akan merasa risi oleh pandangan Cu Jit-jit itu, tapi Ko Siau-diong ini tetap tertawa ketololan seperti tidak

merasakan apa pun. "Sepanjang hari engkau tertawa terus-menerus, apakah hatimu selalu gembira?� tanya Jit-jit tak tahan.

"Ya,� jawab Ko Siau-diong. "Urusan apa yang membuatmu gembira?�

"Banyak,� jawab Ko Siau-diong. "Coba lihat, sinar sang surya sedemikian hangat, tanah bersalju seindah ini, tamu pun datang sekian banyak .... Bukankah semua ini sangat menggembirakan?�

"Pernah juga engkau tidak gembira?�

"Tidak, di mana-mana aku selalu gembira.�

"Engkau sungguh manusia aneh,� ucap Jit-jit kemudian. Ia pikir orang aneh yang dilihatnya selama ini sungguh tidak sedikit. Sim Long, Him Miau-ji, Kim Bu-bong, bahkan Sing Hian, semua ini orang aneh. Untung juga, setiap orang aneh itu terasa sangat menyenangkan. Pada saat itulah mendadak ada orang berdiri dan berseru, "Itu dia Kiau-tayhiap datang!� Waktu Jit-jit berpaling, benarlah dilihatnya Kiau Ngo dan Hoa Si-koh telah muncul. Kiau Ngo memberi salam kepada para hadirin, tamu yang datang lebih dulu juga balas menyapa padanya. Diam-diam Jit-jit merasa heran, ucapnya, "Aneh, orang yang

angkuh begini juga banyak kenalannya.�

"Asalkan tidak berbuat jahat, asalkan baik hati nuraninya, setiap tindak tanduknya selalu di pihak yang benar, biarpun agak angkuh tetap disukai orang,� kata Ko Siau-diong dengan tertawa. "Wah, banyak juga pengetahuanmu,� kata Jit-jit. "Ah, lumayan,� ujar Ko Siau-diong. Mendadak terdengar suara "tok-tok-tok� tiga kali, suara ketukan kentungan. "Suheng memerintahkan berkumpul, terpaksa kumohon diri,� kata Ko Siau-diong dengan tertawa. Waktu Jit-jit memandang ke sana, benarlah para anggota Kay-pang yang tadinya tersebar itu kini telah berkumpul dan berbaris dengan rajin. Yang menjadi komandan barisan ternyata Ci Kong-tay dan Ko Siau-diong, barisan masuk ke pelataran kosong di tengah barak, serentak lebih dua ratus anggota Kay-pang memberi hormat kepada hadirin dan mengucapkan terima kasih. Lalu mereka berduduk diatas jerami kering bertimbun salju itu. Jit-jit menjadi gelisah, gumamnya, "Rapat segera akan dimulai, mengapa Sim Long belum lagi muncul?� Him Miau-ji telah minum sebelas mangkuk arak, kalau tidak terdengar derapan kaki kuda mungkin dia akan minum lagi sepuluh mangkuk. Demi mendengar suara kaki kuda, segera ia taruh mangkuk arak dan berlari ke sana. Tiga ekor kuda muncul, benarlah Sim Long dan si pemilik restoran serta seorang lelaki kekar yang pernah digenjot sekali oleh Him

Miau-ji itu. Di belakang ketiga ekor kuda ikut sebuah kereta besar. Miau-ji pentang tangan dan menyongsong ke sana sambil berteriak, "O, Sim-heng, jika engkau tidak lagi datang, sungguh aku bisa gila.� Sim Long menahan kudanya dan bertanya kepada kedua kawannya, "Apakah kalian kenal dia?� Lelaki kekar itu bersungut dan diam saja. Sedangkan si pemilik restoran lantas tertawa dan berkata, "Kalau aku tidak dapat melihat gelagat, tentu semalam juga sudah merasakan bogem mentah saudara ini.� Si Kucing tertawa, "Untuk itu kuminta maaf. Sekarang ingin kupinjam sebentar Sim-heng untuk bicara.� Segera ia menarik Sim Long ke samping sana. "Ada urusan rahasia apa?� tanya Sim Long dengan tertawa. "Setelah kau minum arak, siapa yang mampu menemukan dirimu si Kucing ini?� Tapi dengan serius Miau-ji lantas berkata, "Namun semalam telah kudengar sesuatu yang mengejutkan.� Belum pernah Sim Long melihat si Kucing bicara sungguh-sungguh begini, cepat ia tanya, "Urusan apa?�

"Bocah she Sing itu mabuk dan menarikku untuk menjadi comblang baginya, terpaksa kuikut pergi ke Peng-an-khek-tiam sana ....� begitulah Miau-ji lantas bercerita apa yang dilihat dan didengarnya semalam. "Apa betul pembicaraan mereka itu?� Sim Long terperanjat juga. "Mereka menyangka aku mabuk, maka cara bicara mereka sama sekali tidak khawatir didengar olehku,� tutur Miau-ji. "Mereka tidak tahu biarpun mabuk orangnya, otakku selalu jernih. Justru setelah mendengar percakapan mereka aku lantas sengaja berlagak mabuk.�

"Jadi orang itulah Sim Long palsu seperti apa yang diceritakan Sing Hian itu,� gumam Sim Long. "Betul,� kata Miau-ji.

"Menurut pendapatmu, siapakah orang ini?� tanya Sim Long. "Dari suara orang ini, kukira ... ai ....� Miau-ji menghela napas dan tidak melanjutkan. Kedua orang lantas saling pandang sekejap dan sama menghela napas, keduanya sama-sama tahu siapa yang dipikirkan masing-masing. "Ai, mengapa dia berbuat demikian?� berulang-ulang Sim Long menggerutu. "Apakah kau pikir dia benar-benar Cu Jit-jit?� tanya si Kucing. "Besar kemungkinan dia, orang lain takkan bicara demikian.�

"Tapi ... tapi meski suaranya sama, wujudnya sama sekali tidak sama.�

"Waktu itu kau pun mabuk, mana dapat melihatnya dengan jelas.� Miau-ji menggeleng, Tidak, waktu kumasuk ke sana belum terlalu terlambat, orang itu memang tidak mirip Cu Jit-jit .... Anehnya, kedengarannya dia justru nona Cu, ai, sungguh runyam.�

"Dia pasti sudah mengalami penyamaran,� ujar Sim Long setelah berpikir. "Tapi dia tidak paham ilmu merias, kecuali ....�

"Kecuali Ong Ling-hoa, begitu bukan maksudmu?�

"Kau pikir Ong Ling-hoa akan ... akan merias muka nona Cu?� tanya Miau-ji dengan khawatir. "Kukira yang perempuan itu ialah Ong Ling-hoa,� ucap Sim Long sekata demi sekata. Miau-ji melonjak kaget, "Ah, mana bisa ... tidak mungkin ....� tapi cepat ia menyambung pula, "Sungguh setan alas, memang betul dia .... Jadi dia merias nona Cu menjadi lelaki, ia sendiri berbalik menyamar sebagai perempuan. Tapi ... apa maksudnya berbuat demikian?�

"Tentu karena dipaksa oleh Jit-jit,� ujar Sim Long. "Masakah nona Cu mampu memaksa dia?� melengak juga si Kucing.

"Mungkin Jit-jit mendapatkan suatu kesempatan yang luar biasa dan berhasil membekuk Ong Ling-hoa. Karena dia sudah kenyang dikerjai bocah she Ong itu, maka sekarang ia pun balas mengerjai orang dengan cara yang sama.�

"Ya, betul, memang betul,� seru si Kucing. "Setelah nona Cu membekuk Ong Ling-hoa, lalu memaksa dia merias mukanya.

Karena dia merasa ... merasa gemas padamu, maka ingin membalas.�

"Ya, memang begitulah, biasanya Jit-jit memang suka menuruti wataknya, bila di dunia ini ada orang yang berani berbuat apa pun maka orang ini ialah Cu Jit-jit.�

"Wah, lantas ... lantas bagaimana?� si Kucing merasa tidak sabar. "Kukira lebih baik cari dulu Co Kong-liong, lalu memaksa dia membereskan segala seluk-beluk urusan ini. Hm, ada caraku dapat membuat dia bicara sejujurnya.� Sim Long tidak menanggapi, setelah termenung sejenak, katanya kemudian, "Kau tahu semalam kupergi ke mana?�

"Thian yang tahu,� jawab si Kucing dengan tertawa. "Kupergi menemui Co Kong-liong,� ucap Sim Long sekata demi sekata.

"Hah, apa betul?� si Kucing melonjak kaget. Sim Long melirik sekejap ke arah si pemilik restoran, lalu berkata pula, "Dia yang membawaku ke sana.�

"Dan sudah bertemu?� tanya Miau-ji dengan kejut dan girang. "Sudah,� jawab Sim Long. "Aha, di mana dia sekarang,� Miau-ji berjingkrak gembira. Sim Long termenung lagi sejenak lalu berkata, "Mari ikut padaku.� Segera ia menuju ke arah kereta yang masih berhenti di sana itu. "Ah, urusan ini menjadi lebih sederhana, kiranya dia di dalam kereta,� gumam si Kucing.

Perlahan Sim Long telah membuka pintu kereta. Benar juga terlihat Co Kong-liong berada di dalam. Sang surya sudah hampir terbenam, hari sudah mulai remang-remang. Namun jelas kelihatan wajah Co Kong-liong yang pucat dan kisut, dadanya tertancap sebilah belati. Tergetar tubuh si Kucing, ia menyurut mundur dan berkata, "Hah, sudah mati, dia ... dia sudah mati!�

"Betul, perjalananku semalam hanya menemukan mayatnya,� tutur Sim Long dengan menyesal. "Dia ... dia dibunuh siapa?�

"Baik sekali bilamana kutahu.�

"Apakah tiada sesuatu tanda pengenal pada belati itu?�

"Belati ini milik Co Kong-liong sendiri ....� tutur Sim Long. "Orang yang membunuhnya mampu mencabut belatinya dan menubles kedalam dadanya tanpa ada perlawanan dari Co Kong-liong sendiri, semua ini menandakan dia ....�

"Dia pasti kenalan baik Co Kong-liong,� tukas si Kucing. "Bahkan turun tangan pada saat tidak terduga-duga oleh Co Kong-liong .... Tapi siapakah dia?� Sim Long diam saja tanpa menjawab. "Setelah Co Kong-liong mati, urusan menjadi lebih ruwet,� ujar Miau-ji dengan mengentak kaki. "Anak murid Kay-pang sudah menaruh prasangka bila melihat dirimu, bisa jadi mereka akan melabrakmu mati-matian, maka kukira lebih baik sementara ini jangan kau pergi ke sana, nanti ....�

"Jika sekarang aku tidak ke sana, nanti tambah sukar menjelaskan duduknya perkara,� ujar Sim Long dengan tertawa. Miau-ji menggeleng kepala, "Sungguh aneh, engkau masih dapat tertawa ....�

*****

Musim dingin dan salju menimbuni jerami, orang biasa mana tahan berduduk di atas jerami bersalju itu. Tapi anak murid Kay-pang terasa enak saja berduduk di situ. Sudah dekat magrib, hari belum gelap, tapi belasan anggota Kay-pang berkarung satu telah membawakan obor dan diikat di sekeliling tiang barak. Jit-jit berkerut kening dan menggerundel, "Mengapa mereka cuma duduk tepekur tanpa bicara ....� Belum selesai ucapannya, sekonyong-konyong Ci Kong-tay telah berbangkit. Mukanya yang burik tampak prihatin, di bawah cahaya obor lekuk-lekuk kecil pada mukanya itu memang serupa mata uang sesuai julukannya, namun justru menambah keangkerannya. Dia menjura sekeliling kepada hadirin, lalu berseru dengan suara

lantang, "Lebih dulu atas nama segenap anggota Pang kami mengucapkan banyak terima kasih atas kehadiran saudara-saudara,

oleh karena para sesepuh Pang kami sama tidak di tempat, terpaksa Tecu mewakili Pang kami menyampaikan sepatah kata.� Sampai di sini, kembali ia memberi hormat lagi. Serentak terdengar suara hadirin yang ramai, ada yang bertanya sebab apa Kay-pang-sam-lo tidak hadir? Maka dengan sedih Ci Kong-tay menyambung lagi sambutannya, "Adapun undangan Pang kami kepada hadirin sekalian, kecuali untuk menyaksikan pemilihan Pangcu, mestinya sekaligus dapat sekadar bergembira ria bersama hadirin, namun sekarang ... sekarang ....� ia menengadah dan menghela napas panjang, lalu menyambung, "Sekarang terpaksa harus kupermaklumkan sesuatu berita duka.�

"Hah, berita duka apa?� seru hadirin dengan gempar. "Bahwa ketiga Tianglo kami telah mengalami musibah seluruhnya,�

sambung Ci Kong-tay dengan suara tersendat. Keterangan ini benar-benar sangat mengejutkan semua orang, serentak geger di seluruh barak, sebagian besar hadirin sama berteriak, "Apa betul berita ini?� Dengan sedih Ci Kong-tay menjawab, "Tecu pun berharap berita ini tidak betul, tapi setahuku, hal ini memang benar terjadi.� Seketika suasana diliputi dukacita yang tak terhingga. "Karena ketiga sesepuh kami sudah meninggal, sementara ini Pang kami menjadi krisis pimpinan,� sambung Ci Kong-tay dengan sedih. "Namun begitu, biar bagaimanapun kami harap hadirin suka tinggal sementara di sini, kalian harus menyaksikan juga segenap anggota Pang kami menuntut balas terhadap musuh yang membunuh ketiga sesepuh kami itu.�

"Hah, siapa dia?� beberapa orang lantas berteriak. Dengan suara bengis Ci Kong-tay berkata, "Setahuku, orang ini juga

akan hadir ke sini, dia ....� Mendadak seorang menukas dengan mendengus dari luar barak sana, "Hm, orang itu bukan orang tolol, masakah dia mau mengantarkan kematian ke sini?�

"Siapa?!� bentak Ci Kong-tay. Tertampaklah seorang muncul dari luar barak sebelah timur sana. Di bawah cahaya obor kelihatan orang ini bertubuh bungkuk, berbaju rombeng, mukanya jelek, jalannya tertatih-tatih. Cepat Jit-jit mendekap mulut sendiri, sebab hampir saja dia menjerit, "Hah, Kim Put-hoan ....� Langsung Kim Put-hoan mendekati Ci Kong-tay, dengan cengar-cengir katanya, "Kian-gi-yong-wi Kim Put-hoan ialah diriku, kukira hadirin tentu sudah pernah mendengar.�

Sebagian hadirin memang kenal dia, ada juga yang tidak kenal. Ketika mendengar orang cacat ini adalah satu di antara ketujuh tokoh terkemuka dunia persilatan zaman ini yang tidak kenal menjadi gempar seketika.Di sebelah sana Kiau Ngo lagi berkerut kening, "Hm, untuk apa sampah ini datang ke sini?�

"Kita lihat saja nanti,� ujar Hoa Si-koh dengan tersenyum. Dalam pada itu diam-diam di luar barak sana juga sudah merunduk datang tiga sosok bayangan orang. Ci Kong-tay sendiri kenal Kim Put-hoan, diam-diam keningnya bekernyit, namun ia coba menegur, "Kim-tayhiap ....�

"Kim-tayhiap apa,� semprot Kim Put-hoan. "Orang lain menyebut Kim-tayhiap padaku, mengapa kau pun menyebut demikian padaku? Tampaknya angkatan muda Kay-pang makin lama makin tidak tahu urusan.� Terpaksa Ci Kong-tay ganti sebutan dengan menahan rasa dongkol, "O, ada keperluan apakah Cianpwe datang kemari?�

"Kubilang kau ini tidak paham urusan, tampaknya memang betul ....� jengek Kim Put-hoan. "Telah timbul peristiwa besar di dalam Kay-pang, masakah aku orang tua tidak ikut hadir? Pertanyaanmu ini bukankah berlebihan?�

"Tapi ... tapi Cianpwe bukan ....�

"Apa katamu? Maksudmu aku orang tua bukan anggota Kay-pang, begitu?� potong Kim Put-hoan dengan gusar. "Hehe, kau tahu,

mungkin kau sendiri belum lagi lahir ketika aku masuk menjadi anggota Kay-pang.� Di barak utara sana diam-diam Hoa Si-koh tanya kepada Kiau Ngo, "Apakah benar dia anggota Kay-pang?�

"Ada benarnya juga,� jawab Kiau Ngo. "Dahulu dia memang pernah masuk Kay-pang, tapi setelah dia terkenal, dia sungkan menyebut lagi dirinya orang Kay-pang. Kecuali bajunya yang tetap rombeng seperti kaum pengemis, sesungguhnya dia sudah meninggalkan Kay-pang.�

"Tapi sekarang dia muncul lagi selaku orang Kay-pang, entah permainan apa yang akan dibawakannya?� ujar Hoa Si-koh dengan

gegetun. "Hm, kita pun hadir di sini, jangan harap permainannya yang busuk dapat terlaksana,� jengek Kiau Ngo. Dilihatnya Ci Kong-tay tidak berani membantah lagi, dengan hormat ia mengiakan. Rupanya ada orang yang memberi kesaksian atas

identitas Kim Put-hoan. "Eh, lantas untuk apakah kedatangan engkau orang tua sekarang?� dengan cengar-cengir tiba-tiba Ko Siau-diong yang ketolol-tololan itu bertanya. "Aku orang tua ingin memberitahukan kepada kalian bahwa ular tanpa kepala tak bisa jalan,� sahut Kim Put-hoan. "Pang kita yang beranggotakan beribu orang mana boleh selalu tanpa pimpinan. Sebabnya kekuatan Pang kita kian menurun akhir-akhir ini justru lantaran krisis pimpinan. Apalagi suatu organisasi besar seperti Pang kita ini, kalau tanpa pimpinan, tentu anggotanya akan menjadi kurang disiplin.�

"Oo, jangan-jangan engkau orang tua bermaksud menjadi Pangcu?� kata Siau-diong mendadak. "Tutup mulut, binatang!� damprat Kim Put-hoan, "memangnya kau kira kedudukan Pangcu boleh sembarangan diduduki begitu oleh setiap orang. Bahwa sekarang ketiga sesepuh sudah meninggal, adalah pantas kalau lowongan Pangcu harus kita isi, untuk ini marilah kita memilih ....�

"Cara bagaimana memilihnya?� potong Ko Siau-diong dengan tertawanya yang khas. "Sudah tentu ada syaratnya,� ucap Kim Put-hoan. "Perguruan atau aliran mana pun, kalau memilih ketua, tentu harus menimbangnya dari nama tingkat asal usul dan tinggi rendahnya kungfu yang dikuasainya. Masakah hal-hal begini tidak kau pahami?�

"Jika begitu, kukira tak perlu memilih lagi,� ujar Ko Siau-diong dengan tertawa. "Apa katamu?� bentak Kim Put-hoan.

"Sebab kalau bicara tentang syaratnya jelas engkau orang tua paling terhormat, apalagi bicara tentang kungfu, siapa pula kaum muda kami dapat menandingi engkau orang tua? ....� Diam-diam Cu Jit-jit merasa geli. "Ko Siau-diong ini tampaknya

ketololan, yang benar dia sama sekali tidak tolol. Betapa pun tebal kulit muka Kim Put-hoan, mustahil mukanya takkan merah setelah mendengar ucapan ini.� Siapa tahu bukan saja muka Kim Put-hoan tidak merah, sebaliknya ia malah tertawa dan berkata, "Aha, anak baik, bicaramu memang beralasan. Apabila orang lain tidak mempunyai pendapat yang berbeda, rasanya tidak enak jika kutolak saranmu ini.� Segera matanya yang cuma satu itu mendelik dan menatap para hadirin sambil berteriak, "Nah, siapa yang sekiranya tidak setuju?� Para anak murid Kay-pang sama memandang Ci Kong-tay dengan bingung, Ci Kong-tay sendiri tampak berdiri melenggong, sedangkan Ko Siau-diong tetap tertawa. Maka segenap hadirin menjadi gempar

pula. Kim Put-hoan bergelak tertawa, "Hahahaha! Jika demikian aku jadi ....� Mendadak seorang membentak, "Siapa pun boleh menjabat Pangcu kaum jembel, hanya kau Kim Put-hoan yang tidak boleh.�

"Siapa yang bicara ini?� teriak Kim Put-hoan dengan gusar. "Aku, Kiau Ngo!� Baru terdengar suaranya, serentak tubuh Kiau Ngo yang tinggi besar itu sudah melayang keluar dari barak dan hinggap di tengah pelataran, di depan Kim Put-hoan. Air muka Kim Put-hoan berubah seketika, "Kiranya kau pun hadir?�

"Hm, anggap sial bagimu, kembali kepergok olehku,� jengek Kiau Ngo. "Memangnya ada ... ada persoalan apa antara kita sehingga selalu ... selalu kau memusuhi diriku?� tanya Kim Put-hoan. "Setiap orang jahat di dunia ini seluruhnya adalah lawan orang she Kiau,� teriak Kiau Ngo dengan bengis. "Bilamana manusia rendah dan kotor semacam dirimu menjadi ketua Kay-pang, mustahil dunia persilatan bisa aman.�

"Urusan Kay-pang kami sendiri peduli apa denganmu?� jawab Kim Put-hoan. "Aku justru ingin ikut campur, kau mau apa?� bentak Kiau Ngo. Gemertuk Kim Put-hoan mengertak gigi, tapi juga tidak dapat bicara lagi. Waktu itu Ci Kong-tay telah menarik Ko Siau-diong ke pinggir dan mengomelnya, "Ai, kenapa tadi kau bicara begitu?�

"Memang sudah kuduga orang lain pasti takkan membiarkan dia naik ke singgasana Pangcu, jika kita tidak dapat merobohkan dia, biarkan saja orang luar yang tampil untuk menghadapi dia,� ujar Ko Siau-diong dengan tertawa. "Ehm, benar juga,� ujar Ci Kong-tay. Sementara itu terdengar Kiau Ngo lagi berteriak pula, "Kim Put-hoan, orang she Kiau juga takkan bertindak semena-mena, pokoknya asalkan anak murid Kay-pang sama tunduk dan menerima dirimu, aku pun pasti tidak ikut campur. Tapi bila hendak kau gunakan kekerasan untuk menindas yang lebih lemah, main gertak dan ancam, betapa pun orang she Kiau takkan tinggal diam.� Cepat Kim Put-hoan berkata, "Dengan sendirinya anak murid Pang kami sama setuju ....�

Mendadak Ko Siau-diong memotong pula dengan tertawa, "Kalau bicara kungfumu lebih tinggi dan nama pun lebih terkenal, memang kami tidak dapat menyangkal .... Tapi bila kau bilang kami sama setuju mengangkat engkau sebagai Pangcu, hehe, jelas itu salah besar.�

"Memangnya kau berani ... berani membangkang?� damprat Kim Put-hoan dengan gusar. "Kim Put-hoan,� bentak Kiau Ngo, "tidak perlu banyak bicara, hanya ada dua pilihan bagimu, lekas menyingsingkan lengan baju dan bertempur denganku atau lekas angkat kaki dari sini.� Kim Put-hoan benar-benar menggulung lengan baju dan berteriak, "Orang she Kiau, memangnya kau kira aku takut padamu?� Pada saat itulah mendadak dari barak sebelah timur berkumandang suara tertawa dingin seorang, "Hm, memangnya kau takut apa Kim Put-hoan, urusan intern Kay-pang orang luar memang tidak perlu ikut campur.� Suara orang ini sangat lambat, rasanya seperti orang yang kempas-kempis, orang yang sudah hampir putus nyawa. Namun suara ini

berkumandang dari barak sana dan dapat didengar oleh setiap orang dengan jelas. Malahan suara tertawa dinginnya terasa seram dan membuat orang mengirik. Tanpa terasa semua orang sama berpaling ke sana. Tertampaklah di atap barak yang remang sana entah sejak kapan sudah duduk bersila seorang, yang bermata tajam segera dapat melihatnya orang ini seorang kakek.

"Hah, kiranya dia ....� ucap Jit-jit dengan terperanjat. "Dia inilah si kakek kecil yang minum arak sendirian di restoran besar tempo hari.� Sing Hian juga mendesis, "Ya, orang ini she Han bernama Ling, kabarnya ....� Dalam pada itu terdengar Kiau Ngo lagi membentak, "Hm, kiranya kau, untuk apa kau ikut campur?�

"Dan kau sendiri buat apa kau ikut campur?� jawab si kakek kecil dengan ketus. "Haha, betul, tepat!� seru Kim Put-hoan dengan girang. "Hm, rupanya kau dan Kim Put-hoan ....�

"Orang tua tidak kenal dia,� jengek si kakek alias Han Ling. "Aku cuma ingin menegakkan keadilan saja.�

"Betul, beliau orang tua memang tidak kenal padaku, dia cuma penasaran melihat perbuatanmu yang sok ikut campur urusan orang lain, maka ingin membela keadilan,� seru Put-hoan dengan tertawa. Watak Kiau Ngo sangat keras, bila gusar, segala urusan tak dipikir panjang lagi, sambil meraung segera ia melompat ke atas barak. "Bagus, ternyata ada orang mau mengantarkan kematian,� seru Han Ling dengan tertawa. "Awas Goko, pedang pada kakinya berbisa keji, hati-hati!� seru Si-

koh. Kim Put-hoan berkeplok gembira. Hadirin juga gempar. Di tengah suara ramai Kiau Ngo sudah melayang ke atas dan

menubruk ke arah Han Ling. Cocok dengan julukannya sebagai Singa Jantan, gaya tubruknya itu memang sangat hebat serupa

singa menerkam mangsanya. Namun Han Ling tetap duduk bersila di tempatnya. Kepalan baja Kiau Ngo segera menghantam bagai gugur gunung dahsyatnya. Pada saat itulah terdengar Han Ling tertawa mengekek, mendadak tubuhnya melejit ke atas, di mana kain bajunya berkibar, tahu-tahu sinar hijau berkelebat menyambar tenggorokan Kiau Ngo. Padahal saat itu Kiau Ngo lagi terapung di udara, jelas sukar baginya untuk mengelak. Keruan Hoa Si-koh menjerit khawatir. Namun Kiau Ngo yang kelihatan kasar itu tidak berarti tidak punya taktik, pada detik berbahaya itu mendadak ia anjlok ke bawah, barak bambu seketika berlubang, tubuh Kiau Ngo kejeblos ke bawah dan serangan kaki berpedang Han Ling lantas mengenai tempat kosong. Meski cara menghindar Kiau Ngo ini di luar teori silat mana pun, namun merupakan gerakan penyelamat yang jitu. Dari jerit khawatir segera Hoa Si-koh berteriak gembira pula. Han Ling sendiri juga tidak menyangka serangan maut sendiri bisa

mengenai tempat kosong, sedikit tercengang, tanpa tertahan tubuhnya juga anjlok ke bawah menerobos lubang yang dibobol Kiau Ngo itu. Hadirin yang duduk di dalam barak sama lari menghindar. Begitu hinggap di tanah, Kiau Ngo terus berjumpalitan ke samping. Sedangkan Han Ling hinggap di atas sebuah meja dengan posisi tetap duduk bersila. Kedua orang saling tatap. Han Ling menyeringai dan berkata, "Hm, tak terduga barak yang dibangun orang Kay-pang ini telah menyelamatkan jiwamu.�

"Ya, bila bertanding secara resmi, memang orang she Kiau harus mengaku kalah, tapi sekarang ....� mendadak tangan Kiau Ngo terangkat, kedua tangannya sudah memegang semacam senjata kemilauan sepanjang tangan manusia. Senjata aneh itu serupa garpu tanpa tangkai serupa pula cakar. Inilah Jing-say-jiau atau cakar singa hijau, senjata andalan si Singa Jantan.

Bahwa Kiau Ngo sampai mengeluarkan senjata, seketika menimbulkan hasrat para hadirin untuk menonton pertarungan yang

pasti akan berlangsung sengit. Dalam pada itu Kiau Ngo lantas menubruk maju sambil meraung, berbareng sinar hijau juga menyambar. Terdengar suara dering nyaring berulang-ulang, kedua orang sudah saling gebrak empat-lima jurus. Tapi tidak ada yang tahu cara bagaimana beberapa jurus serangan itu berlangsung. Tubuh Han Ling selalu melejit dan menyerang dengan kaki berpedang. Sampai empat-lima jurus tubuhnya masih belum anjlok ke bawah, malahan jurus serangan selanjutnya terus dilancarkan lagi. Karena pedang pada kakinya saling bentur dengan cakar singa Kiau Ngo, daya bentur itu membuat tubuhnya melenting lagi ke atas sehingga dia dapat bertahan lama mengapung di udara. "Hm, cuma begini saja,� jengek Han Ling, ketika pedang kaki beradu lagi dengan cakar singa lawan, mendadak tubuhnya mengapung keatas dan menerobos keluar lubang atap yang jebol tadi. Pandangan Kiau Ngo terasa kabur dan tahu-tahu Han Ling sudah hilang. Terdengar suara Han Ling mengejek di atas barak, "Kalau berani ayolah naik ke sini!�

"Jangan naik,� cepat Hoa Si-koh berseru kepada Kiau Ngo. "Dia pasti mengintai di samping lubang ....� Belum habis ucapannya Kiau Ngo sudah meloncat ke atas. Cuma dia tidak menerobos keluar melalui lubang tadi melainkan dengan cakar

singa ia bobol lubang baru, dengan daya raih cakarnya itu ia lantas melayang ke atas. Beramai-ramai hadirin berlari ke pelataran lagi dan menengadah untuk menonton pertempuran di atas barak. Cahaya hijau di atas barak tampak menyambar kian kemari di sekeliling Kiau Ngo. Namun Kiau Ngo juga tidak kurang tangkasnya, cakar singa juga berputar dengan macam-macam gaya serangan, ya mencakar, merobek, memuntir dan juga menangkis, semuanya gerak serangan yang jarang terlihat. Namun kaki berpedang Han Ling memang luar biasa, merupakan kungfu yang khas, setiap serangannya ganas tanpa kenal ampun. Yang lihai adalah serangan yang susul-menyusul dan betapa cepat gerak perubahannya, sungguh sukar dibayangkan dan hampir tidak

memberi kesempatan bernapas kepada lawan. Setelah belasan jurus berlangsung, keadaan Kiau Ngo mulai payah. Pada waktu itu di kejauhan sana ada tiga sosok bayangan orang mendekam di tempat gelap. "Sungguh ilmu pedang yang aneh,� demikian ucap orang pertama. "Ya, meski sudah kuperas otak tetap tidak tahu cara bagaimana mematahkan kaki berpedang itu,� ujar orang kedua. Orang ketiga tersenyum, "Di dunia ini mana ada ilmu silat yang tak dapat dipatahkan.�

"Tapi, coba, cara bagaimana akan kau patahkan ilmu pedangnya yang istimewa itu?� ujar orang pertama. "Berlagak mundur untuk menyerang, pura-pura menyerang, tapi mendadak menyerang sungguhan,� kata orang ketiga. Orang pertama termenung sejenak, katanya kemudian, "Ah, betul, dengan siasat ini, setiap serangan Han Ling pasti akan mengenai tempat kosong sehingga sukar mendapatkan tempat berpijak dan dia terpaksa akan anjlok ke bawah.�

"Dan begitu anjlok ke bawah, biarpun dapat meloncat lagi ke atas, tentu juga akan terlambat selangkah, sebab daya serangnya mengutamakan kecepatan sehingga lawan tidak diberi kesempatan bernapas, tapi bila dia sendiri terlambat satu langkah, daya serangnya akan teralang juga,� demikian ucap orang kedua. "Ya, cuma sayang Kiau Ngo tidak dapat memikirkan jalan mematahkan ilmu pedang musuh ini ....� ujar orang pertama dengan gegetun. "Tapi itu pun bukan satu-satunya jalan untuk mematahkan ilmu pedang musuh,� kata orang ketiga dengan tertawa. "Oo, masih ada cara apa lagi?� tanya orang kedua.

"Dia masih mempunyai lawan mematikan terbesar,� kata orang ketiga. "Siapa lawannya yang mematikan dia? Jangan-jangan Sim-heng sendiri?� tanya orang kedua. "Bukan aku, tapi engkau,� sahut orang ketiga dengan tertawa. Orang kedua terdiam sejenak, mendadak ia pun tertawa dan berkata, "Ya, betul, senjataku memang merupakan maut baginya.�

"Sebab itulah sebentar lagi engkau harus ....� lalu orang ketiga berbisik-bisik. "Baik, kutahu,� jawab orang kedua. Orang pertama berkeplok tertawa dan berseru, "Haha, akal bagus ... tapi cara bagaimana pula Sim-heng dapat memastikan Co Kong-liong terbunuh oleh Kim Put-hoan?�

"Jika bukan dia yang membunuh Co Kong-liong, mengapa dia berani memastikan Co Kong-liong sudah mati? Bila dia tidak dapat

memastikan Co Kong-liong sudah mati, mengapa dia berani ikut berebut kedudukan Pangcu?� kata orang ketiga.

*****

Dalam pada itu Kiau Ngo sudah mandi keringat, namun dasar wataknya keras, biarpun sudah kepayahan dia tetap pantang

memperlihatkan kelemahan, dia masih terus menyerang mati-matian dengan cakar singanya. Sedangkan Han Ling terus main mundur hingga barak selatan. Hoa Si-koh sendiri tidak melihat ada tanda Kiau Ngo akan kalah, tentu saja orang lain juga tidak sehingga mereka masih bersorak memberi semangat kepadanya, malahan ada yang menyenggak, "Lelaki hebat, singa jantan sejati, coba lihat, dari awal hingga sekarang dia terus mendesak maju ....� Tak diketahuinya bahwa serangan yang mendesak ini justru merupakan kesalahan fatal Kiau Ngo sendiri. Mendadak terdengar Han Ling tertawa mengekek, ejeknya, "Dalam

tiga jurus lagi harus serahkan nyawamu!� Di tengah tertawanya kedua kaki berpedang terus menendang secara berantai. Dengan sendirinya Kiau Ngo sambut serangan itu dengan cakar singanya. Terdengar suara gemerencing, pedang dan cakar baja

saling beradu dan memercikkan lelatu api. Pada saat itulah tiba-tiba tangan kanan Han Ling meraba pinggang, sekali terangkat, tahu-tahu tangannya sudah bertambah sebatang pedang lemas, kontan ia menusuk. Sungguh mimpi pun Kiau Ngo tidak menduga pada pinggang lawan terbelit sebatang pedang lemas. Tusukan pedang ketiga ini sungguh serangan maut. Kedua cakar singa Kiau Ngo sedang digunakan memapak kedua pedang kaki Han Ling, maka sukar baginya untuk mengelak atau menangkis tusukan pedang ketiga ini. Penonton sama menjerit kaget .... Syukurlah pada detik terakhir itu mendadak dari kejauhan seorang membentak, "Serang!� Terdengar suara mendenging memecah udara, langsung menyambar ke punggung Han Ling. Jarang orang mendengar denging tajam dan secepat ini, sungguh tak tersangka di dunia ada senjata rahasia selihai dan sekuat ini.

Tentu saja Han Ling juga terkejut, mana dia sempat melukai lawan lagi, dari suara mendenging tajam itu dirasakan senjata rahasia orang sudah dekat punggungnya, terpaksa sekuatnya ia putar pedang ke belakang .... "Tring�, kembali lelatu tepercik. Tangan Han Ling sampai kesemutan tergetar oleh senjata rahasia lawan yang kecil itu. Dalam kejut dan gusarnya Han Ling membentak, "Keluar sini pengecut yang suka main menyergap!� Di tengah kegelapan sana seorang tertawa keras, serunya, "Ini dia datang!� Baru lenyap suaranya, tahu-tahu seorang sudah melayang ke atas barak, betapa cepat gerak tubuhnya sungguh sangat mengejutkan. Han Ling sudah duduk bersila lagi, dipandang dalam kegelapan sukar melihat jelas wajah pendatang ini, tapi dapat dilihatnya dada bajunya yang terbuka dan rambutnya yang kusut, matanya yang besar dan mencorong terang seperti kerlip bintang di langit. "Itu dia si Kucing,� seru Jit-jit tanpa terasa. Sing Hian juga bergumam, "Tak tersangka dia memiliki Ginkang setinggi ini.� Terdengar Him Miau-ji lagi berkata dengan tertawa, "Silakan Kiau-goya mengaso dulu, biarkan aku si setan arak cilik melayani setan arak tua ini.� Kiau Ngo termangu sejenak akhirnya ia mengentak kaki dan berkata, "Baiklah.� Dia terus melompat turun ke pelataran, di mana Hoa Si-koh sedang menunggunya.

Dalam kegelapan mata Han Ling seakan-akan memercikkan lelatu. Dengan tertawa si Kucing lantas menegur, "Kembali datang seorang yang suka ikut campur tetek bengek, kenapa kau duduk melulu, ayolah berkelahi!� Han Ling hanya melotot saja tanpa bicara, juga tidak bergerak. "Jika sengaja kau tunggu kuturun tangan lebih dulu, kukira engkau bisa konyol,� ujar si Kucing dengan tertawa. "Ketika di restoran itu tempo hari kan sudah kau ketahui selamanya aku tidak turun tangan lebih dulu.� Api yang seakan-akan menyala pada mata Han Ling sudah padam dan mendadak berubah dingin. Tiba-tiba Ko Siau-diong di bawah berkata dengan tertawa, "Orang ini pasti menang.� Yang dimaksudkan adalah si Kucing. "Cara bagaimana dapat kau pastikan?� tanya Ci Kong-tay. "Dari caranya yang sabar dan tidak mau turun tangan lebih dulu segera kutahu dia pasti akan menang.�

"Ah, masa ....� belum lanjut ucapan Ci Kong-tay mendadak secepat kilat Han Ling melayang maju, cahaya hijau berkelebat, kembali kakinya yang berpedang menusuk tenggorokan Him Miau-ji. Si Kucing bergelak tertawa dan menyurut mundur. Sekali berputar di udara, kembali pedang kaki lain Han Ling menyerang lagi. Dan si Kucing tetap menyurut mundur, sebelah

tangan lantas meraih buli-buli arak yang tergantung di pinggang. Dua kali menendang tidak kena sasaran, Han Ling hinggap kebelakang, tapi begitu ujung pedang menutul atap barak, serentak tubuhnya melejit lagi ke atas dan sinar hijau menyambar pula. Sekali ini dia menyerang dengan tendangan berantai, kedua kaki berpedang menyambar susul-menyusul. "Bagus!� teriak si Kucing. Sekali ini dia tidak mundur lagi melainkan memapak maju malah dengan buli-buli arak terpegang di tangan,

kontan ia sambut ujung pedang lawan dengan buli-buli. "Tring-tring�, kedua pedang sama mengenai buli-buli. Selagi Han

Ling hendak ganti gerakan, siapa tahu kedua kaki pedang telah melengket pada lawan. Hal ini serupa kedua kakinya terpegang oleh orang. Bila orang lain, kalau senjata tercengkeram lawan tentu dapat lepas tangan dan habis perkara, tapi senjata Han Ling ini lain daripada yang lain, kedua pedangnya sama dengan kedua kakinya dan tidak mungkin dilepaskan.

Keruan kejut Han Ling tak terkatakan, saking kagetnya, pedang yang dipegang tangan kanan terus menebas, tak terduga kembali terdengar "tring�, begitu pedang mengenai buli-buli, lagi-lagi pedang melengket dan sukar terlepas lagi. "Haha, turunlah!� seru si Kucing dengan tertawa. Ketika si Kucing menarik buli-bulinya, jelas sekujur badan Han Ling akan ikut terseret ke bawah. Dalam keadaan terapung terang dia tidak mampu melawan. Serentak terdengar sorak gembira anggota Kay-pang. Siapa tahu pada saat itulah tangan kiri Han Ling mendadak bertambah lagi dengan sebatang pedang pandak. Sinar tajam berkelebat, belati itu terus menikam, bukan Him Miau-ji yang diserang melainkan menebas kedua kaki sendiri, kedua pedang hijau berkilau itu. Terdengarlah suara "tring-tring� dua kali, tahu-tahu kedua pedang yang digunakan sebagai kaki itu tertebas patah. Nyata belatinya adalah senjata mestika yang dapat memotong besi serupa merajang sayur. Begitu pedang kaki patah, seketika Han Ling terbebas dari lengketan buli-buli, cepat ia berjumpalitan dan melompat sejauh beberapa

meter ke sana, sekali berkelebat bayangannya segera lenyap dalam kegelapan. Para penonton sama melenggong, Miau-ji juga terkesima. Sampai sekian lama barulah si Kucing menggeleng kepala dan berkata, "Ai, tak tersangka keparat ini masih memegang pedang keempat.� Nyata pedang keempat itu adalah pedang penyelamat jiwa. Kim Put-hoan merasa sudah kehilangan segalanya, segera ia bermaksud mengeluyur pergi. Tapi baru saja dia bergerak, tahu-tahu Miau-ji sudah mengadang didepannya dengan tertawa. "Hehe, hebat benar kungfu Him-heng,� ucap Kim Put-hoan dengan menyengir. "Ah, mana,� sahut si Kucing dengan tertawa. "Antara diriku dengan Him-heng rasanya tidak terjadi sengketa apa pun,� ucap Kim Put-hoan pula.

"Hahahaha!� mendadak si Kucing menengadah. "Wahai Kim Put-hoan, apa gunanya engkau mengoceh dan menjilat diriku? Jika

kulepaskan dirimu hari ini, tentu Sim Long yang akan menanggung dosa bagimu.� Mendadak ia berhenti tertawa dan membentak, "Dengarkan kawan-kawan Kay-pang, kematian Co Kong-liong, Co-tianglo adalah karena dibunuh oleh orang she Kim ini.� Tentu saja terjadi heboh di antara anggota Kay-pang itu, juga para tamu sama gempar. Dengan air muka berubah Kim Put-hoan berseru, "Selama ini tidak ada ... tidak ada permusuhan apa pun antara kita, mengapa ...mengapa engkau memfitnah diriku?�

"Apa yang kukatakan sudah barang tentu ada bukti dan saksi,� kata si Kucing. Mendadak sikap Kim Put-hoan berubah tenang lagi, jengeknya, "Bukti dan saksi? .... Hm, coba buktikan!�

"Huh, mungkin kau kira perbuatanmu itu pasti tidak diketahui oleh siapa pun, apalagi bukti segala. Wahai Kim Put-hoan, apakah kau tahu bahwa jaring yang dipasang Thian cukup ketat, setiap kejahatan tidak nanti lolos dari pengawasan Thian yang mahaadil. Kau kira perbuatanmu cukup rahasia, siapa tahu justru ada orang ....�

"Hm, jika cuma perlu seorang saksi saja apa sukarnya?� jengek Kim Put-hoan. "Saksi juga harus dapat memberi bukti, orang yang kuajukan justru dapat memberi kesaksian sekaligus juga memberi bukti.�

"Memangnya siapa dia? Aku jadi ingin tahu,� ujar Kim Put-hoan. "Orang itu tak-lain-tak-bukan ialah Co Kong-liong sendiri,� jawab Miau-ji. "Hahh, apa katamu?� Kim Put-hoan menegas dengan bingung. Dengan suara bengis si Kucing menjawab, "Ketahuilah, bacokanmu itu ternyata tidak menewaskan dia.� Sampai di sini mendadak ia menuding ke atas dan berteriak, "Coba kau lihat, siapa dia?!� Tanpa terasa semua orang sama memandang ke arah yang ditunjuk, begitu pula Kim Put-hoan.

Tertampaklah di atas barak selatan sana perlahan muncul sesosok bayangan orang, meski dalam kegelapan tidak terlihat jelas wajahnya, tapi samar-samar dapat dikenali ialah Co Kong-liong. Keruan hadirin sama gempar, terutama anak murid Kay-pang, serentak mereka berteriak, "Co-tianglo ....� Kepala Kim Put-hoan terasa seperti disambar geledek, sampai sekian

lama ia tercengang, lalu berteriak dengan suara parau, "Tidak, bukan, palsu, dia palsu, jelas-jelas golokku telah menghabisi dia ....� Mendadak disadarinya telah telanjur omong, segera dia bermaksud lari seperti orang gila. Tapi keadaan sekarang tidak mengizinkan dia kabur lagi. Serentak anak murid Kay-pang menerjangnya dengan kalap. Sambil membentak Kim Put-hoan meloncat ke atas barak, di situ Co Kong-liong berdiri. Tak terduga mendadak Co Kong-liong terus ambruk ke belakang, sebagai gantinya lantas melayang keluar seorang dan mengadang di depan Kim Put-hoan. Orang ini bukan lain daripada Sim Long adanya. Belum lagi Sim Long turun tangan tubuh Kim Put-hoan sendiri sudah lemas, sukma seolah-olah terbang meninggalkan raganya. Ketika tangan Sim Long bergerak perlahan, kontan Kim Put-hoan terjungkal ke bawah barak.

Melihat munculnya Sim Long tubuh Cu Jit-jit juga lemas, gumamnya, "Wah, habis ... tamat! ....� Segala daya upayanya, setiap tipu akalnya bila kebentur Sim Long menjadi sama sekali tidak ada artinya. Sing Hian juga melenggong di tempatnya sambil bergumam, "O, Sim Long ... lihai amat ....�

"Dia ... dia memang bukan manusia, tapi setan!� kata Jit-jit dengan mendongkol. "Mengapa di dunia ini tidak ada seorang pun yang mampu merobohkan dia. Cara bagaimanapun orang hendak membikin celaka dia, rasanya selalu diketahui olehnya sebelum terjadi.� Di luar sana terjadi kekacauan, Kim Put-hoan sudah kena diringkus oleh anak murid Kay-pang. Semua orang asyik membicarakan kejadian ini, tapi setiap percakapan selalu membawa nama seorang, dengan sendirinya ialah nama Sim Long. Sungguh saking dongkolnya Cu Jit-jit ingin mendekap di atas meja dan menangis. Air matanya berlinang-linang, ia menunduk dan diam-diam mengusapnya. Waktu ia menengadah, pandangan pertama yang terlihat ialah Sim Long. Anak muda yang gagah santai dengan senyumnya yang khas itu. Him Miau-ji juga sudah berada di depannya dan juga lagi tersenyum padanya.

Cu Jit-jit merasa jantungnya mau melompat keluar dari rongga dadanya, sedapatnya ia menenangkan diri dan berlagak tidak

mengenal mereka. Tapi Sim Long lantas menegurnya dengan tersenyum, "Baik-baikkah engkau?�

"Sia ... siapa kau? Aku tidak kenal dirimu,� jawab Jit-jit. "Apa benar engkau tidak kenal kami?� si Kucing ikut bertanya

dengan tertawa. "Aneh, mengapa ... mengapa aku harus kenal kalian?� jawab Jit-jit ketus. Betapa pun ia berlagak, tidak urung suaranya rada gemetar. "Sudahlah, untuk apa lagi berpura-pura,� ujar si Kucing dengan tertawa. "Umpama orang lain dapat kau kelabui, tidak mungkin aku dan Sim Long dapat kau tipu. Bilakah pernah kau lihat ada sesuatu urusan dapat mengelabui Sim Long?�

"Apa ... apa yang kau bicarakan, sungguh aku tidak paham?� kata Jit-jit. "Apa benar kau minta kubongkar urusan ini?� tanya Miau-ji dengan tertawa. Mendadak Jit-jit melengos dan berucap, "Orang semacam ini sungguh membingungkan, Sing Hian ....� Akhirnya Sing Hian mendekat dan mengadang di depan Miau-ji, katanya, "Him-heng, sudahlah jika dia tidak mau kenal ....�

"Haha, rupanya hendak kau bantu bicara bagi bakal paman mertuamu?� Miau-ji berolok-olok dengan tergelak. Muka Sing Hian menjadi merah, "Ah, aku ... aku ....�

"Haha, bilamana kau jadi menikahi keponakan perempuannya, itulah baru lelucon besar,� seru Miau-ji. Mending jika dia bicara urusan lain, demi menyinggung "si dia�, Sing Hian menjadi marah, segera ia menjengek, "Hm, lelucon apa? Maksudmu aku tidak setimpal mendapatkan dia?�

"Kau memang tidak setimpal,� kata Miau-ji. "Mungkin engkau yang setimpal?� jengek Sing Hian pula dengan gusar.

"Aku lebih-lebih tidak setimpal,� Miau-ji terbahak. "Mana si Kucing macam diriku punya rezeki sebesar itu untuk mendapatkan si cantik ....�

"Di depan nona caramu bicara hendaknya tahu aturan sedikit!� bentak Sing Hian mendadak. "E-eh, apakah kau ingin berkelahi membela dia?� tanya Miau-ji. "Berkelahi juga berani,� sahut Sing Hian. "O, kasihan, ditipu orang belum juga sadar,� ujar si Kucing dengan gegetun. Sampai pucat muka Sing Hian karena gusarnya, "Kau sendiri yang perlu dikasihani, kaulah yang tertipu.�

"Tapi sedikitnya aku tidak sampai mengambil seorang lelaki sebagai bini,� kata Miau-ji. Sing Hian jadi melengak, mendadak ia tertawa keras, "Hahaahh! Orang ini sudah gila barangkali, masakah nona ini dibilang lelaki.� Melihat bentuk samaran Ong Ling-hoa yang cantik molek itu, semua orang juga merasa ucapan Him Miau-ji agak janggal, mungkin kurang waras, malahan lantas ada yang menertawainya. Namun tertawa Him Miau-ji sendiri lebih lantang daripada orang lain, serunya, "Haha, kau bilang aku gila, memangnya kau minta kuberi bukti padamu?�

"Jika dapat kau buktikan, akan kuberi kepalaku,� kata Sing Hian. "Aku tidak mau kepalamu, cukup bayar beberapa botol arak saja ....� sembari bicara, mendadak Miau-ji melompat ke sana, mendekati "Ong Ling-hoa yang cantik�� itu, ditariknya dada baju si dia sambil berteriak, �"Nah, boleh kau lihat dia lelaki atau perempuan?!�

"Brett��, seketika dada baju �"Ong Ling-hoa� terobek sehingga dada terbuka. Mendadak senyum khas Sim Long lenyap dari wajahnya. Him Miau-ji juga melongo. Ternyata dada yang terpampang di depan mata itu adalah dada orang perempuan, hal ini terbukti jelas dua "onde-onde,� yang menghiasi dadanya yang cukup merangsang itu. Dalam sekejap itu tidak cuma Sim Long dan Him Miau-ji saja yang kaget dan bingung, bahkan Cu Jit-jit jauh lebih terperanjat daripada mereka. Jelas-jelas orang itu adalah samaran Ong Ling-hoa, mengapa bisa malah menjadi seorang perempuan. Dengan mata kepala sendiri langsung ia menyaksikan Ong Ling-hoa merias sendiri menjadi perempuan, hal ini tidak mungkin salah dan keliru, mengapa sekarang bisa terjadi kekeliruan begini? Apakah mungkin Ong Ling-hoa sendiri aslinya memang seorang perempuan? Ah, tidak bisa, tidak mungkin. Senyumnya dan pandangannya yang jalang, jelas bukan perempuan. Apalagi secara langsung Cu Jit-jit pernah mengalami dipeluk dan diraba oleh Ong Ling-hoa, semua itu takkan dilupakannya selama hidup dan tidak mungkin salah, sebab perbuatan begitu tak mungkin dapat dilakukan oleh seorang anak perempuan. Tapi sekarang Ong Ling-hoa justru malah menjadi perempuan. Keruan keadaan menjadi heboh, Jit-jit berseru kaget, Sim Long dan Miau-ji melongo, Sing Hian menjadi gusar karena merasa dikibuli. Di antara orang banyak ada yang heran dan geli, ada yang gusar, ada yang tidak berani memandang dada yang telanjang itu, tapi lebih banyak yang melotot, malahan ada yang mendesak maju agar dapat melihat lebih jelas.

Suasana menjadi kacau, sebaliknya si "Ong Ling-hoa�, perempuan itu lantas menangis dan berteriak, "O, kalian lelaki sebanyak ini sengaja menganiaya seorang perempuan lemah, menganiaya perempuan sakit seperti diriku ini ....� Sing Hian terus menubruk maju dan mencengkeram leher baju Him Miau-ji sambil berteriak dengan suara parau, "Katakan ....�

"Aku ... aku ....� si Kucing juga gelagapan. Yang seorang marah, yang lain gugup, keduanya sama-sama tidak sanggup bicara. Sukar bicara, tangan Sing Hian tidak tinggal diam. Sekaligus ia genjot tubuh si Kucing beberapa kali. Terpaksa Miau-ji manda dipukuli. Biarpun Sing Hian tidak mengeluarkan tenaga dan tubuh Miau-ji juga cukup kekar, tapi beberapa kali genjotan itu pun cukup membuatnya meringis. "Pukulan bagus, hajaran baik!� banyak penonton ikut berkeplok. Dengan sendirinya Miau-ji tidak dapat membalas, terpaksa ia minta tolong, "Sim Long ken ... kenapa kau tinggal diam saja?�

Mendadak Sim Long melompat ke depan Jit-jit dan berkata, "Masa kau biarkan si Kucing dipukuli begitu saja? Jangan lupa, dia pernah menyelamatkan jiwamu dan ....� Terpaksa Jit-jit berteriak, "Lepaskan dia, Sing Hian ....�

Jilid 22

Dalam keadaan begini, satu-satunya orang yang dapat memerintahkan Sing Hian melepaskan si Kucing memang cuma Cu Jit-jit saja. Sing Hian lantas lepas tangan, meski sudah memukul sekian kali, rasa gusarnya belum lagi reda, dengan suara bengis ia berkata, "Kucing busuk, jangan kau harap akan kusudahi urusan ini ....� lalu ia berpaling kepada Cu Jit-jit dari bertanya, "Cara bagaimana akan menyelesaikan keparat ini?�

"Lepaskan dia saja,� ujar Cu Jit-jit dengan menghela napas. Sing Hian jadi melengak, "Ap ... apa? Lepaskan dia?� Semua orang juga merasa agak di luar dugaan, segera ada orang membentak, "Tidak, tidak boleh bebaskan dia!� "Sekali kubilang lepaskan dia, maka harus lepaskan dia,� kata Jit-jit. "Sebab apa?� tanya Sing Hian. "Sebab ... sebab ....� Jit-jit berpaling, terlihat sorot mata Sim Long yang tajam dan wajah Him Miau-ji yang murung serta sikap gusar orang banyak ingin bertindak terhadap si Kucing. Mendadak ia mengentak kaki dan berteriak, "Ini, boleh kalian lihat ini!� Lalu ia menanggalkan topi, membuka ikat rambut, mencopot baju luar, semua itu dibuang ke lantai. Di tengah rasa tercengang orang

banyak, tertampaklah rambut Jit-jit yang panjang terurai dengan pakaiannya yang singsat sehingga terlihat garis tubuhnya yang bernas. Meski mukanya belum lagi berubah, tapi sekarang kecuali orang buta, siapa pun pasti dapat melihat dia adalah seorang perempuan. Kembali terjadi kegemparan, ada orang berteriak, "Hah, perempuan! Kiranya lelaki ini juga samaran seorang perempuan!� Lebih-lebih Sing Hian, ia jadi melongo dan terbelalak, ucapnya dengan gelagapan, "He, ken ... kenapa engkau seorang perempuan?�

"Mengapa aku bukan perempuan?� jawab Jit-jit. Sing Hian memandang "Ong Ling-hoa betina�� itu, �"Habis dia ....�

"Aku perempuan, dengan sendirinya dia lelaki,� tukas Jit-jit. Semua orang tertawa, ada yang berteriak, "Haha, engkau

perempuan kan tidak lantas membuktikan dia harus lelaki?�

"Aku justru bilang dia lelaki,� teriak Jit-jit. "Jelas-jelas dia perempuan, apa gunanya biarpun seratus kali kau bilang dia lelaki?� kata orang banyak. Jit-jit menggigit bibir, cemas dan gugup. "Jelas dia ... dia ....�

"Jika dia jelas ialah Ong Ling-hoa, mengapa bisa berubah menjadi perempuan?� mendadak Sim Long ikut bicara dengan menyesal. "Bila dia telah ditukar orang, kan seharusnya diketahui olehmu. Masakah engkau sama sekali tidak tahu?�

"Aku ... aku justru tidak tahu ....� Jit-jit mengentak kaki pula. Mendadak ia cengkeram perempuan "Ong Ling-hoa� itu dan

membentak, "Katakan, mengapa kau bisa berubah menjadi perempuan?�

"Aku memang orang perempuan,� jawab perempuan itu. "Apakah ada orang menukar dia dengan dirimu?� tanya Jit-jit pula.

"Engkau selalu mendampingi diriku, mana bisa aku ditukar orang?�

"Masih belum mau mengaku terus terang?� bentak Jit-jit sambil memuntir tangan perempuan itu. Ayo mengaku, cara bagaimana

Ong Ling-hoa ditukar dengan dirimu? Tidak lekas mengaku segera kupatahkan tanganmu.� Perempuan itu menjerit kesakitan seperti babi hendak disembelih. Sembilan di antara sepuluh orang perempuan pasti takut sakit. Saking tak tahan, akhirnya perempuan itu berkata dengan menangis, "Baik ... baik, akan kukatakan .... Semalam ....� Belum lanjut ucapannya, terdengar suara desing angin dari kerumunan orang banyak, tahu-tahu lima buah jarum berbisa bersarang di pinggang perempuan itu. Dia cuma sempat menjerit, lalu mata mendelik dan binasa. Sungguh keji sekali senjata rahasia ini. Kejut dan gusar Jit-jit, bentaknya, "Siapa itu? Siapa yang turun tangan sekeji ini?� Him Miau-ji juga sudah bergerak, segera ia menerjang ke sana. Tapi untuk mencari si pembunuh yang tidak kelihatan di tengah orang banyak tentu saja sangat sulit, pada hakikatnya tidak ada yang tahu dari arah mana jarum itu dihamburkan. Seketika suasana menjadi kacau. Jit-jit berjingkrak gusar, hanya Ko Siau-diong saja yang tetap tertawa, sedikit pun tidak menghiraukan apa yang terjadi, sebaliknya ia malah berucap dengan tertawa, "Nona juga tidak perlu cemas, toh akhirnya urusan ini pasti akan menjadi terang, umpama sekarang nona mati kelabakan juga tidak ada gunanya.�

"Ucapan saudara ini memang betul ....� Belum lanjut perkataan Sim Long, Jit-jit lantas berteriak, "Kentut busuk, biarpun aku mati kelabakan juga tidak ada sangkut pautnya dengan kalian.�

"Tapi ada sangkut pautnya denganku,� tiba-tiba seorang menukas dengan tertawa. Waktu Jit-jit menoleh ke sana, dilihatnya yang bicara itu ialah sipemilik restoran. Semula ia melengak, tapi segera menubruk ke dalam pelukan orang sambil berteriak dan menangis, "O, Cihu (kakak ipar, suami kakak), mereka sama menghina diriku ....� Kiranya pemilik restoran ini ialah Samcihu (kakak ipar ketiga) Cu Jit-jit, tokoh dunia persilatan daerah Tionggoan yang kaya raya dan terkenal sebagai Liok-sian-to-cu (si Mahahartawan di Daratan) Hoan Hun-yang. Perusahaannya tersebar di segenap pelosok daerah utara dan selatan sungai besar, kepada Hoan Hun-yang, Cu Jit-jit telah menitipkan harta warisan ayahnya dan dapat diambil depositonya itu dengan tanda pengenal anting-anting yang telah diceritakan di depan itu. Begitulah Jit-jit menangis manja di dalam rangkulan sang Cihu, inilah sanak keluarga terdekat yang pernah dijumpainya selama sekian bulan ini, sungguh dia ingin menumpahkan segenap unek-uneknya kepada kakak iparnya itu. "Ya, ya, kutahu, mereka menghinamu, akan kubela dirimu,� kata Hoan Hun-yang suara lembut. "Sim Long, dia ... dia ....� Jit-jit tidak sanggup melanjutkan. "Ya, Sim Long adalah telur mahabusuk, jangan kita hiraukan dia,� tukas Hoan Hun-yang sembari diam-diam mengedipi Sim Long, lalu menuding Jit-jit dan menuding diri sendiri pula, maksudnya hendak menyatakan agar nona ini boleh diserahkan saja padaku. Dengan tersenyum Sim Long mengangguk, ucapnya, "Urusan di sini akan kuselesaikan.� Hoan Hun-yang lantas merangkul pundak Jit-jit dan diajak pergi, katanya, "Orang-orang ini memang suka menghina orang, buat apa kita tinggal lagi di sini, ayolah kita pergi saja.� Begitulah seperti membujuk anak kecil, dapatlah Hoan Hun-yang membawa pergi Cu Jit-jit. Di tengah kekacauan orang lain tidak ada yang memerhatikan mereka. Tapi ada seorang anggota Kay-pang lantas menyusulnya dan bertanya, "Pang kami menyediakan kereta di sini, apakah Hoan-tayhiap perlu pakai?�

"Ah, kau kenal padaku .... Baiklah, terpaksa bikin repot padamu,� jawab Hoan Hun-yang dengan tertawa. Anggota Kay-pang itu lantas bersuit, hanya sebentar saja dua anggota Kay-pang yang lain telah datang dengan membawa sebuah kereta dan seekor kuda. Dengan tertawa Hoan Hun-yang lantas berkata, "Jit-jit, boleh kau naik kereta, aku sendiri menunggang kuda saja agar sepanjang jalan dapat menjaga dirimu dengan lebih jelas.� Padahal maksudnya cuma untuk menghindari menumpang bersama dalam satu kereta saja. Maklumlah, antara suami kakak dan ipar perempuan cantik memang perlu menghindari prasangka.

*****

Dengan sendirinya si Kucing tidak dapat menemukan si pembunuh tadi. Dengan lesu dia kembali ke barak bambu sambil mencaci maki, "Keparat, pengecut yang cuma berani berbuat dengan main sembunyi, bila kepergok olehku baru ... hmk ....�

"Jangan khawatir, pada suatu hari pasti akan kepergok olehmu,� kata Sim Long dengan tertawa. "Tapi sama sekali aku tidak tahu siapa dia?� ujar si Kucing. "Masa tidak tahu?�

"Eh, jangan-jangan engkau sudah tahu?�

"Kecuali antek Ong Ling-hoa yang sengaja membunuh orang untuk menutup mulutnya, siapa lagi?�

"Hah, masakah di tengah orang banyak ini juga terdapat antek Ong Ling-hoa?�

"Kan sudah kukatakan jangan meremehkan Ong Ling-hoa, bukan mustahil di mana-mana sekarang sudah diselusupi oleh begundalnya,� ujar Sim Long dengan gegetun. Si Kucing bicara dengan geregetan, "Pada suatu hari pasti akan kubekuk kawanan tikus itu satu per satu, dan orang pertama yang akan kusikat sekarang ialah Kim Put-hoan.� Segera ia seret Kim Put-hoan ke depan, katanya dengan kagum, "Dalam sekejap tadi ternyata Sim-heng telah menutuk lima tempat Hiat-tonya.�

"Keparat ini sangat licik dan licin, bukan mustahil dia akan kabur lagi bila kita tidak bertindak lebih hati-hati,� ujar Sim Long. "Entah cara bagaimana kalian akan membereskan keparat ini?� mendadak Ci Kong-tay ikut bicara. "Jahanam ini sungguh mahabusuk,� kata Miau-ji, "bukan cuma kami saja yang benci padanya, juga tokoh seperti Kiau-tayhiap .... He, ke

mana perginya Kiau Ngo dan Hoa Si-koh?�

"Karena gegabah sehingga mengalami kekalahan, dengan perangainya yang keras itu tentu saja dia malu untuk tinggal di sini, maka pada waktu kacau tadi diam-diam ia sudah pergi,� tutur Sim Long. Tiba-tiba Ci Kong-tay berkata pula, "Sim-tayhiap, Co-tianglo kami menjadi korban kejahatan orang she Kim ini, segenap anggota Kay-pang kami sama berharap akan menuntut balas, apakah sekiranya Sim-tayhiap tidak keberatan menyerahkan keparat ini kepada kami untuk diadili menurut peraturan Pang kami?�

"Ya, seharusnya demikian, cuma ....�

"Apakah ada keberatan Sim-tayhiap?�

"Keberatan sih tidak ada, aku cuma ingin tanya dia dulu beberapa hal.�

"Jika begitu, supaya Sim-tayhiap dapat bertindak leluasa, biarkan kami menyingkir lebih dulu,� ujar Ci Kong-tay. "Tidak perlu ....� kata Sim Long, mendadak ia menepuk Hiat-to Kim Put-hoan dan segera bertanya, "Telah kau bawa ke mana nona she

Pek itu?� Dengan suara keras Kim Put-hoan menjawab, "Sim Long, ketahuilah, meski Kim Put-hoan ini bukan manusia baik-baik, tapi juga bukan lelaki mata keranjang sehingga mengincar seorang anak dara ....�

"Jika begitu, kenapa kau ....�

"Yang minta menculik nona Pek ialah Ong Ling-hoa, ke mana Ong Ling-hoa membawa nona itu aku pun tidak tahu. Yang jelas keparat Ong Ling-hoa itu pasti tidak bermaksud baik terhadapnya.�

"Hm, jika Ong Ling-hoa berada di sini, berani engkau memaki dia?� jengek si Kucing. "Kenapa aku tidak berani, aku justru ingin menyembelih dia, cuma sayang dia keburu ditolong oleh Cu Jit-jit.�

"Apa katamu? Jit-jit menolong dia?� si Kucing menegas. "Wahai Sim Long, kalau dibicarakan seharusnya engkau berterima

kasih padaku,� lalu Kim Put-hoan bercerita cara bagaimana Ong Ling-hoa terluka dan dia bermaksud membunuhnya, tapi kebetulan Cu Jit-jit muncul. Dengan sendirinya sama sekali dia tidak menceritakan keserakahannya, tapi melukiskan dirinya sendiri sebagai orang yang berbudi dan tentu juga Cu Jit-jit dicaci makinya habis-habisan. Sim Long termenung sejenak, katanya kemudian, "Jika demikian, jadi benar Ong Ling-hoa telah jatuh dalam cengkeraman Cu Jit-jit .... Tapi mengapa mendadak dia berubah lagi menjadi seorang perempuan, sungguh aku tidak mengerti.�

"Ya, Cu Jit-jit selalu menjaganya tanpa meninggalkan dia barang sejengkal pun, sampai tidur pun mereka berdiam di dalam satu kamar,� tutur si Kucing. Tapi mendadak ia berteriak, "Ah, betul!�

"Ada apa?� tanya Sim Long. "Semalam Cu Jit-jit mengantarku ke jalan raya, hanya Ong Ling-hoa saja yang ditinggalkan di sini,� tutur Miau-ji. "Tapi waktu itu juga kulihat sendiri Jit-jit menutuk beberapa tempat Hiat-to kelumpuhannya, kecuali ada orang lain yang menolong dia ....�

"Padahal tidak ada orang lain yang tahu Ong Ling-hoa berada dalam cengkeraman Jit-jit,� ujar Sim Long. "Kecuali Kim Put-hoan,� kata Miau-ji. Cepat Kim Put-hoan menyanggah, "Kalau bisa saat ini juga ingin kubeset kulit keparat she Ong itu, mana bisa kubantu dia.�

"Siapa yang mau percaya kepada ocehanmu, harus kutanya Cu Jit-jit .... Ah, kiranya nona Cu juga sudah pergi. Eh, Sim Long, mengapa kau biarkan dia pergi?�

"Telah kuserahkan kepada Cihunya,� sahut Sim Long. "Jika terjadi apa-apa lagi, lantas bagaimana?� ujar Miau-ji. "Pribadi Hoan Hun-yang masakah kau ragukan?� kata Sim Long dengan tersenyum. "Tindak tanduk orang ini paling cermat dan hati-hati, boleh dikatakan setitik air saja takkan bocor.�

"Haha, betul,� seru Miau-ji dengan tertawa. "Hari itu meski aku sangat mendongkol padanya, tapi sebelum meraba jelas mengenai diriku, dia tidak mau bergebrak denganku. Orang macam begini pantas bisa kaya raya dan menjadi pengusaha besar.�

"Dan bila Cu Jit-jit kuserahkan padanya dengan sendirinya tidak perlu khawatir lagi,� kata Sim Long. "Orang semacam dia cara berjalannya pasti juga tidak cepat, jika kita susul dia mungkin masih keburu,� kata Miau-ji. Belum lagi Sim Long menanggapi, mendadak di tengah orang banyak ada seorang memberi tahu, "Mereka sudah berangkat dengan menumpang kereta, sukar disusul lagi.� Miau-ji tertawa, "Hoan Hun-yang itu memang selalu menjaga gengsi sebagai orang kaya, biarpun datang bersama kita, kereta selalu tersedia menunggunya.� Sim Long menggeleng, "Tidak, bukan keretanya, dia bersamaku langsung menuju ke sini .... Mungkin pihak Kay-pang yang menyiapkan kereta baginya.� Mendadak Ci Kong-tay menyela, "Menurut peraturan Pang kami turun-temurun, selamanya kami tidak menyediakan kereta atau kuda bagi siapa pun.� Sim Long termenung sejenak, mendadak serunya, "Wah, celaka!� Jarang Miau-ji melihat perubahan sikap Sim Long seperti ini, ia pun terkejut dan cepat bertanya, "Ada apa?�

"Di balik kejadian ini tentu ada sesuatu yang tidak beres,� kata Sim Long. "Bisa jadi Ong Ling-hoa lagi ....�

"Kembali Ong Ling-hoa?� Miau-ji mengentak kaki. "Apa pun juga harus lekas kita susul mereka,� seru Sim Long. Segera Miau-ji mendorong Kim Put-hoan ke depan Ci Kong-tay katanya, "Kuserahkan keparat ini kepadamu, harus kau jaga dengan

hati-hati agar jangan sampai kabur ....� Belum habis ucapannya segera ia berlari pergi bersama Sim Long.

*****

Saat itu Cu Jit-jit duduk di dalam kereta dengan pikiran kusut, ia tidak habis mengerti mengapa Ong Ling-hoa bisa berubah menjadi seorang perempuan, diam-diam ia pun gemas kepada Sim Long .... Dengan menunggang kuda Hoan Hun-yang mengiring di samping kereta, tubuhnya yang tegak dan gayanya yang menarik menambah kegagahannya. "Samci sungguh besar rezekinya,� demikian Jit-jit membatin, "sebaliknya aku ini memang gadis yang bernasib buruk, juga nona yang linglung. Jelas Ong Ling-hoa sudah kubekuk, akhirnya dia kabur lagi.� Didengarnya Hoan Hun-yang lagi berkata dengan tertawa, "Sekali ini

harus kau jenguk Samcimu. Waktu dia dengar kau tinggalkan rumah, sedikitnya tiga hari dia tidak makan memikirkan dirimu.�

"Dia kan sudah tambah gemuk, kalau cuma puasa tiga hari saja kan tidak menjadi soal, sebaliknya bisa bikin badannya agak langsing,� ucap Jit-jit dengan tertawa. "Betul juga, tapi jangan sampai ucapanmu ini didengar olehnya,� kata Hoan Hun-yang dengan tertawa. "Saat ini dia paling pantang mendengar kata si gemuk�, bila ada orang bilang dia gemuk, mungkin orang itu bisa dilabraknya.� Tiba-tiba ia menghela napas dan berkata pula, "Ai, sayang Pat-te (adik kedelapan)...�

"Kau pun tahu Pat-te?� tanya Jit-jit. "Sim Long yang memberitahukan padaku,� tutur Hoan Hun-yang. "Ai, anak sepintar itu justru .... Ai, semoga dia tidak mengalami nasib buruk dan masih hidup sehat walafiat.� Menyinggung adiknya si anak merah, seketika Jit-jit merasa sedih, air mata lantas bercucuran .... Anak yang menyenangkan itu sesungguhnya berada di mana? "Apakah ayah sudah mengetahui urusan ini??�� tanyanya dengan sedih. "Masakah ada yang mau memberitahukan kepada beliau dan membuatnya berduka?� ujar Hoan Hun-yang. "Ya, betul, memang jangan sampai beliau mengetahuinya,� kata Jit-jit dengan menunduk. "Pada suatu hari, aku bersumpah pada suatu hari tentu akan kutemukan Lopat (si kedelapan) kembali.�

Hoan Hun-yang termenung sejenak, mendadak ia tertawa, "Aha, ingin kuberi tahukan kabar baik padamu, akhir-akhir ini nama Goko (kakak kelima) jadi semakin menanjak, belum lama berselang ia berjudi dengan orang di Tay-tong-hu, sekali menang berjumlah 50 laksa tahil perak, semua orang di Tay-tong-hu menjadi geger, katanya kekayaan Tay-tong-hu telah digondol seluruhnya oleh Cu-gokongcu. Lucunya Li-lotoa yang konyol dari Thay-hing-san itu justru berani mengincar Goko di tengah jalan, tapi hasilnya dia berbalik dihajar habis-habisan, bahkan kedua daun telinganya dipotong oleh Goko, malahan dua ribu tahil emas simpanan Li-lotoa di Thay-hing-san ikut dirampas oleh Goko. Dan beberapa hari yang lalu ketika Samcimu berulang tahun, dia telah memberi kado sepasang patung Kim-siu-sing (patung orang tua tanda panjang umur), tentu saja Samci kegirangan. Waktu kedua patung emas itu ditimbang, ternyata persis dua ribu tahil.�

"Ah, aku sendiri sampai melupakan hari ulang tahun Samci,� kata Jit-jit dengan menyesal. Dengan bersemangat Hoan Hun-yang bercerita pula, "Lalu Toakomu ....� Mendadak Jit-jit mendekap kuping dan berseru, "Sudahlah, jangan kau bicara tentang dia lagi, dia selalu mujur, kalian semua bernasib baik, hanya aku ... hanya aku saja yang selalu sial.�

"Kau salah,� kata Hoan Hun-yang dengan tertawa, "nama Cu-jitsiocia kita akhir-akhir ini cukup terkenal di dunia Kangouw.

Sebelum kulihat dirimu sudah banyak kudengar mengenai dirimu.�

"Makanya lantas kau cari Sim Long untuk minta keterangan, begitu?�

"Aku cuma ....�

"Hm, urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan dia, selanjutnya jangan kau tanya dia mengenai diriku. Dia ... dia ... pada hakikatnya aku tidak kenal dia.� Hoan Hun-yang mengangkat pundak, "Baik, jika begitu ....� Belum lanjut perkataannya, sekonyong-konyong kuda tunggangannya berjingkrak seperti kesetanan. Keruan Hoan Hun-yang kaget, cepat ia pererat impitan kedua kakinya. Tapi kuda itu lantas membedal seperti kesurupan setan sambil berjingkrak dan meringkik, biarpun kepandaian menunggang kuda Hoan Hun-yang sangat tinggi juga sukar mengatasinya. Jit-jit juga terkejut, serunya, "He, Cihu ... Cihu ....� Siapa tahu, baru saja dia berteriak, mendadak kereta ini juga dilarikan secepat terbang ke depan. Kejut dan gusar Jit-jit, bentaknya, "Hei, kusir ... kau ....� Kusir yang berdandan pengemis itu melongok dari lubang jendela kecil di depan, tanyanya dengan tertawa, "Ada apa, nona?�

"Apakah kau buta? Tunggu dulu, Cihuku ....� Mendadak kusir itu berkata, "Cihumu salah makan obat, kuda ini pun sama, orang gila dan kuda gila berada bersama, untuk apa menunggu dia?� Keruan Jit-jit terkejut, "Apa katamu?� Si kusir tertawa, "Haha, masa tidak kau kenal diriku lagi?�

"Sia ... siapa kau?� tanya Jit-jit. "Silakan kau lihat sendiri siapa aku,� seru si kusir dengan tertawa. Begitu dia mengusap wajahnya, sehelai kedok tipis tertanggal, siapa lagi dia kalau bukan Ong Ling-hoa. Kembali Ong Ling-hoa. Jit-jit kaget dan takut, teriaknya, "Hah, setan alas, kembali kau setan iblis ini!�

"Apakah kau kaget, nona Cu?� tanya Ong Ling-hoa dengan cengar-cengir. Waktu Jit-jit melongok ke luar, bayangan Hoan Hun-yang dan kudanya sudah tak tertampak lagi. Ia ingin membuka pintu kereta, tapi meski ditarik-tarik tetap tak mau terbuka. Ong Ling-hoa terbahak-bahak, "Haha, nona Cu, hendaknya tenang sedikit, kereta ini dibuat secara khusus, tidak nanti dapat kau lari.�

"Setan jahat, biar kuadu jiwa denganmu!� teriak Jit-jit nekat, segera ia menghantam jendela kecil itu. Tapi Ong Ling-hoa lantas menarik kepalanya sehingga pukulan Jit-jit mengenai tempat kosong. Dan karena tangannya terjulur keluar jendela, segera Ong Ling-hoa mencengkeram pergelangan tangannya. Segera kedua kaki Jit-jit mendepak, namun kereta ini memang

buatan khusus, dinding kereta berlapis baja sehingga kaki Jit-jit kesakitan sendiri. Di luar Ong Ling-hoa lantas cengar-cengir dan berkata, "Nona manis, jangan bergerak, lukaku belum lagi sembuh, jangan menarik terlalu keras.�

"Kenapa kau tidak mati saja, paling baik kalau mati!� teriak Jit-jit. "Eh, masakah tidak kau dengar pemeo yang mengatakan orang baik panjang umur, manusia jahat hidup seribu tahun. Orang busuk seperti diriku mana bisa mati begitu saja?� Sekuatnya Jit-jit meronta, namun urat nadi pergelangan tangan terpencet, lambat laun tubuh menjadi lemas. Dirasakan Ong Ling-hoa terus menciumi tangannya malah sembari berkata dengan tertawa, "Ehmm, alangkah putih tanganmu sungguh halus dan harum ....� Tidak kepalang gusar Jit-jit, "Bangsat ... kau ....� mendadak kepalanya ditumbukkan ke dinding kereta, seketika ia jatuh pingsan .... Sementara itu Sim Long dan Him Miau-ji sedang mengejar secepat terbang. Mendadak mereka mendengar suara ringkik kuda yang seram didalam hutan gelap sana. Kedua orang saling pandang sekejap, serentak mereka membelok kesana. Sesudah dekat, tertampak Hoan Hun-yang berdiri di sana dengan napas terengah, di sampingnya rebah seekor kuda mati. "Apakah yang terjadi, Hoan-heng?� tanya Sim Long cepat. "Wah, celaka!� sahut Hun-yang. "Celaka bagaimana, lekas ceritakan,� seru Miau-ji tak sabar. "Apakah kalian melihat Jit-jit?� tanya Hoan Hun-yang malah. "Aneh, bukankah dia bersamamu?� seru Miau-ji khawatir. Hoan Hun-yang tidak bicara lagi, segera ia berlari ke arah tadi. Miau-ji saling pandang sekejap dengan Sim Long, mereka tahu telah terjadi sesuatu yang tidak enak lagi. Cepat mereka menyusul kesana, Miau-ji terus bertanya, "Sesungguhnya apa yang terjadi, dimana nona Jit-jit?� Hun-yang tetap tidak bicara melainkan berlari terlebih cepat. Terpaksa Sim Long berdua mengintil dengan sama cepatnya. Ketiga orang sama berwajah kelam, lari mereka sama cepatnya, namun di tengah malam dengan cahaya remang bintang di langit, sepanjang jalan tidak ditemukan sesosok bayangan pun. Tiba di suatu tempat, sekonyong-konyong terlihat sebuah kereta terbalik di tepi jalan tanpa kuda penarik kereta. Cepat Hun-yang memburu ke sana dan membuka pintu kereta. Dengan sendirinya tiada sesuatu yang ditemukannya. "Apakah kereta ini yang ditumpangi nona Cu?� tanya Miau-ji. Hun-yang hanya mengentak kaki dan menghela napas, "Ai, aku berdosa kepada ayahnya dan kepada Samcinya, juga ... juga bersalah kepada kalian.�

"Kiranya benar terjadi sesuatu?� Miau-ji menjadi kelabakan. "He, lihat apa ini?� seru Sim Long mendadak. Ternyata di jok belakang kereta secarik kertas ditindih dengan batu. Si Kucing menjemput kertas itu dan dibaca bersama, itulah tulisan

Ong Ling-hoa yang mengolok-olok Sim Long dan menyatakan sinona cantik telah digondol olehnya. "Kurang ajar! Kembali Ong Ling-hoa!� teriak Miau-ji dengan gemas. Hoan Hun-yang juga geregetan, ucapnya, "Bangsat, sungguh hebat, sampai aku pun tertipu.�

"Ayo kita kejar!� ajak Miau-ji. Tapi Sim Long lantas berkata, "Dia membuang kereta dan pergi dengan naik kuda, tujuannya supaya jejaknya sukar ditemukan. Padahal orang ini banyak tipu akalnya, sarangnya terdapat di mana-mana, ke mana kita dapat menemukan dia?�

"Jika begitu, apakah kita harus tinggal diam saja?� kata Miau-ji dengan mendongkol. "Coba tunggu sebentar, biar kupikirkan, mungkin ada jalan yang baik,� kata Sim Long, dirabanya dinding kereta itu, sampai lama belum lagi bicara ....

*****

Waktu Jit-jit siuman kembali, dirasakan kepala kedinginan. Ia coba merabanya, kiranya kepalanya dikompres dengan sekantong air dingin. Cepat ia lemparkan kantong itu dan melompat bangun. Tapi baru saja setengah badan terangkat, terpaksa ia harus rebah kembali. Kiranya dirasakan dirinya tidur di dalam selimut dengan telanjang bulat, sekujur badan tiada sehelai benang pun. Sebaliknya tertampak Ong Ling-hoa berdiri di samping sana dan sedang memandangnya dengan kedua matanya yang jalang itu. Terpaksa Jit-jit menyusup lagi ke dalam selimut dan mencaci maki, "Setan alas, anjing buduk .... Mana bajuku?� Ong Ling-hoa terbahak-bahak, "Hahahaha! Ada orang bilang padaku, cara terbaik menghadapi perempuan adalah melepaskan bajunya hingga telanjang bulat. Hahaha, ternyata cara ini memang sangat bagus.� Dengan muka merah Jit-jit memaki, "Bangsat, pada suatu hari pasti akan ....�

"Pasti akan kau beset kulitku begitu bukan?� tukas Ling-hoa dengan tertawa. "Haha, ucapan begini sudah terlalu banyak kudengar darimu. Sungguh aku pun ingin merasakan bagaimana rasanya kulit dibeset olehmu, cuma sayang hari yang kau janjikan itu tidak pernah kunjung tiba.�

"Kau ... kau ....� saking gemas Jit-jit terus menangis tergerung-gerung sambil membalik tubuh dan mendekap di atas bantal terus memukuli dipan. Apa daya, kecuali menangis apa yang dapat diperbuatnya lagi? Dengan cengar-cengir Ong Ling-hoa malah berseloroh, "Eh, jangan terlalu tinggi mengangkat tanganmu, itu dia kelihatan!� Jit-jit benar-benar tidak berani lagi mengangkat tangannya, khawatir dadanya terbuka, cepat ia tarik selimut terlebih rapat. "Ai, anak kasihan, untuk apa berbuat begitu?� ujar Ling-hoa. "Jika kau kasihan padaku hendaknya lekas kau bunuh diriku,� teriak Jit-jit parau. "Mana aku tega membunuhmu,� kata Ling-hoa, "sedemikian baik kuperlakukan dirimu ....�

"O, Tuhan, kau baik padaku?� jerit Jit-jit. "Masa kurang baik?� ujar Ling-hoa dengan tertawa. "Coba kau ingat kembali, sejak kukenal dirimu sampai sekarang, dalam hal apa aku kurang baik padamu? Engkau selalu ingin memukul, bahkan membunuhku, sebaliknya aku cuma ingin merabamu dengan perlahan ....� Sembari bicara ia terus mendekat ke sana. Serentak Jit-jit bangun dan membungkus tubuhnya erat-erat dengan selimut serta meringkuk ke pojok tempat tidur, dilihatnya sorot mata Ong Ling-hoa yang jalang itu, ia menjadi ketakutan sehingga lupa menangis lagi. "Apa ... apa yang kau hendaki?� serunya parau. "Apa yang kuhendaki? Haha, sudah tahu pura-pura tanya,� sahut Ling-hoa dengan cengar-cengir. "Berhenti!� teriak Jit-jit. "Satu-satunya jalan bagimu untuk membuatku berhenti hanya jika kau bangun dan merangkul diriku, kecuali jalan ini mungkin tidak ada cara lain yang dapat membuatku berhenti,� kata Ling-hoa dengan tertawa.

*****

Dalam pada itu Sim Long sedang menyelidiki keadaan kereta yang terbalik itu, setelah meraba-raba dinding kereta, mendadak ia berseru, "Aha, ada jalannya.�

"Apa akalmu?� tanya Miau-ji cepat. "Jika ingin kita temukan jejak Ong Ling-hoa kukira cuma ada satu cara,� kata Sim Long.

"Cara bagaimana?� tanya Miau-ji. "Yakni tunggu di sini,� jawab Sim Long. Miau-ji jadi melengak, "Tunggu di sini? Masakah dia akan jatuh dari langit. Memangnya Ong Ling-hoa begitu goblok dan mau antarkan diri sendiri kepada kita?� Sim Long tersenyum, "Coba kau raba kereta ini.� Tanpa terasa Miau-ji dan Hun-yang terus meraba-raba dinding kereta. "Adakah sesuatu keanehan yang dapat kau raba?� tanya Sim Long. Hun-yang termenung sejenak, katanya kemudian, "Dinding kereta ini

terasa sedemikian keras dan berat, agaknya berlapis baja.�

"Betul, kereta ini memang buatan khusus,� kata Sim Long. "Kalau buatan khusus lantas bagaimana?� tanya Miau-ji. "Untuk membuat sebuah kereta khusus begini tentu bukan pekerjaan gampang, tidak nanti Ong Ling-hoa membuangnya begini saja.�

"O, maksudmu dia pasti akan balik lagi ke sini untuk membawa pulang kereta ini?� tanya Miau-ji. "Ya, begitulah,� kata Sim Long. Miau-ji menggeleng. "Sekalipun kereta ini dibuat dengan emas juga belum pasti Ong Ling-hoa mau menyerempet bahaya demi sebuah kereta saja. Sekali ini kukira dugaanmu bisa meleset.�

"Justru dia tidak merasa balik ke sini akan menyerempet bahaya maka dia pasti akan balik ke sini ....�

"Betul,� seru Hun-yang tiba-tiba, "menurut perhitungannya, tentu dia mengira kita terus pergi mencarinya ke tempat lain setelah membaca tulisan yang ditinggalkannya ini, dia pasti tidak menyangka kita akan menunggunya di sini.�  Miau-ji lantas berkeplok juga, "Aha, memang betul! Cuma kukira dia takkan datang lagi sendiri.�

"Tidak perlu dia sendiri, asalkan ada suruhannya yang datang untuk membawa pulang keretanya ini, tentu kita dapat menemukan jejaknya. Cara ini kan jauh lebih baik daripada kita mencarinya secara ngawur?� ujar Sim Long.

*****

Dalam pada itu Ong Ling-hoa sudah berada di depan tempat tidur. "Keparat, jika ... jika kau berani naik ke sini, segera kubunuh diri dengan menggigit lidah sendiri,� ancam Jit-jit dengan gemetar. "Engkau lebih suka mati daripada ....�

"Ya, aku lebih suka mati daripada terjamah oleh jarimu.�

"Masa begitu kau benci padaku?�

"Aku benci padamu, muak padamu.�

"Jika benar kau benci padaku, untuk itu harus kau jadi istriku.�

"Kentut busuk, masakah benci padamu justru harus menjadi istrimu, omong kosong!�

"Hahahaha!� Ling-hoa tertawa. "Rupanya kau belum paham. Bagimu, satu-satunya jalan untuk mengatasi diriku tiada lain hanya menjadi istriku. Setelah kau jadi istriku, selama hidup dapat kau siksa diriku, dapat kau minta kuberi uang sebanyak-banyaknya supaya dapat kau gunakan sesukamu, dapat kau perbudak diriku, salah sedikit saja dapat kau marah padaku, macam-macam jalan untuk melampiaskan bencimu padaku. Coba, betul tidak, kecuali menjadi istriku, memangnya ada cara lain supaya dapat kau siksa diriku?� Sungguh logika ajaib, sampai Cu Jit-jit juga melenggong, gemas dan dongkol serta serbasalah pula. "Nah, tampaknya kau setuju bukan? Mari ....� segera sebelah kaki Ong Ling-hoa melangkah ke atas dipan. "Turun!� bentak Jit-jit. "Jangan kau paksa diriku untuk mengadu jiwa denganmu, jangan lupa, lukamu sendiri belum sembuh ....�

"Bisa mati di bawah bunga peoni, menjadi setan juga puas ....� kata Ling-hoa dengan tertawa. Jit-jit menyurut lagi ke belakang. Meski diketahuinya luka Ong Ling-hoa belum sembuh, tapi entah mengapa, ia menjadi takut bila melihat anak muda itu dan tidak berani main kekerasan padanya. Pandangan Ong Ling-hoa yang jalang itu seperti memancarkan semacam daya pikat yang membuat hati setiap anak perempuan merasa takut dan menyerah. Tangan Ong Ling-hoa sudah mulai meraih selimut.

Pada saat inilah mendadak Cu Jit-jit bergelak tertawa malah. Dalam keadaan demikian dia bisa tertawa, hal ini membuat Ong

Ling-hoa jadi terkejut, tanpa terasa ia berhenti menarik selimut. Tertawa Cu Jit-jit sangat manis, juga agak misterius.

Tanpa terasa Ong Ling-hoa bertanya, "Apa yang kau tertawakan?�

"Kutertawai dirimu ini sungguh seorang tolol,� kata Jit-jit. "Aku ini orang tolol?� Ong Ling-hoa menegas. "Haha, selama

hidupku entah berapa banyak dimaki orang, segala kata kotor dan keji pernah orang memaki padaku, tapi belum pernah ada orang memaki diriku sebagai orang tolol.�

"Tapi engkau memang benar seorang tolol,� kata Jit-jit pula. "Di mana ketololanku? Coba jelaskan.�

"Hihi, percuma engkau mengaku sebagai pemuda romantis, nyatanya sama sekali tidak dapat memahami perasaan anak perempuan.�

"Oo?!� Ong Ling-hoa jadi melengak. "Masa tidak kau ketahui yang paling dibenci anak perempuan adalah diperlakukan kasar oleh orang lelaki. Yang tidak disukainya adalah lelaki yang tidak tahu kehendak anak perempuan. Jika engkau bukan orang tolol, mengapa engkau sengaja bertindak hal-hal yang dibenci oleh anak perempuan seperti ini?�

"Oo ... ai ....� Ong Ling-hoa merasa serbabingung. "Jika kau perlakukan diriku dengan halus dan lembut, bukan mustahil sudah ... sudah lama aku ....� Jit-jit tersenyum dan menunduk malu-malu. Suaranya lembut, senyumnya manis dengan malu-malu membawa semacam daya pikat yang sukar dilawan. Nyata, dalam keadaan kepepet dapat juga Jit-jit mengeluarkan

senjata orang perempuan yang paling lihai, yaitu merayu. Ong Ling-hoa termenung sejenak, mendadak ia menampar muka

sendiri satu kali sambil berseru, "Ya, betul dan salah!�

"Betul dan salah apa?� tanya Jit-jit dengan tertawa. "Memang betul perkataanmu, akulah yang salah,� ujar Ling-hoa dengan menyesal. "Jika begitu hendaknya kau duduk baik-baik di situ dan menemani aku mengobrol,� kata Jit-jit dengan tersenyum manis. "Baik, mengobrol apa?� tanya Ling-hoa. Jit-jit mengerling genit, "Begini, cara bagaimana dapat kau lolos dari

cengkeramanku, coba ceritakan, sampai saat ini aku tidak habis mengerti hal ini.�

"Jika tidak kuceritakan, selamanya jangan harap kau mengerti,� ujar Ling-hoa dengan tertawa. "Makanya kutanya. Eh, apakah anak buahmu yang membantu membebaskan dirimu?�

"Aku kan tertutuk sehingga tak bisa berkutik, juga dalam keadaan terluka, jika tidak dibantu orang cara bagaimana dapat kukabur?�

"Tapi wajahmu sudah terias, aku pun tersamar, cara bagaimana mereka mengenali dirimu. Kan tidak ada seorang pun yang tahu

bahwa engkau tertangkap olehku?� Ong Ling-hoa tertawa, "Kau tahu, meski wajahku tersamar, tapi selalu kuberi setitik tanda khusus pada wajahku. Dengan sendirinya hal ini sudah kuberi tahukan kepada anak buahku, kalau tidak, dari mana mereka dapat mengenali aku inilah bos mereka dalam keadaan menyamar?� Diam-diam Jit-jit geregetan, tapi di mulut ia berucap dengan tertawa, "Ah, engkau sungguh pintar dan cerdik, sama sekali tidak kupikirkan hal itu.�

"Mungkin waktu itu kau kira orang lain tidak dapat mengenali diriku, padahal begitu kita berada di jalan raya, segera anak buahku tahu siapa diriku. Di jalan raya itu sedikitnya ada belasan anak buahku.� Tambah gemas Jit-jit, tapi tertawanya justru tambah genit, "Jika mereka sudah mengenalimu, mengapa mereka tidak langsung turun tangan menolongmu?�

"Waktu itu keselamatanku masih berada dalam cengkeramanmu, dengan sendirinya mereka tidak berani sembarangan bertindak. Tapi sejak itu diam-diam lantas ada orang mengawasi gerak-gerikmu dan menunggu kesempatan untuk berusaha membebaskan diriku.�

"Tak tersangka anak buahmu juga cukup lihai.�

"Di bawah panglima yang kuat dengan sendirinya tidak ada prajurit yang lemah.�

"Kesabaran mereka sungguh hebat sehingga sanggup menunggu begitu lama.�

"Mereka hanya menunggu ketika kau antar si Kucing keluar segera mereka masuk ke sana. Agar tidak menarik perhatian dan demi lancarnya pekerjaan, yang datang menolong diriku itu terdiri dari orang perempuan seluruhnya, maka aku lantas memilih satu di antaranya untuk menjadi tumbalku, setelah dapat bergerak, segera kudandani dia sehingga serupa diriku.�

"Untuk itu kan diperlukan waktu yang cukup?�

"Ya, mereka juga khawatir kepergok olehmu, maka sebelumnya sudah mengadakan persiapan di luar, mereka sengaja merintangimu, sengaja mengulur waktu ....�

"Aah, ingat aku. Kedua lelaki yang berlagak salah mengenal diriku pasti anak buahmu, mereka pura-pura salah mengenali orang karena ingin mengulur waktu agar aku tidak cepat masuk ke kamar. Kemudian di serambi aku pun bertemu dengan beberapa orang perempuan yang mengangkut orang mati, tentu mereka itulah yang masuk ke kamar untuk menolongmu. Sungguh kurang ajar, seorang di antaranya malahan membuang ingusnya di bajuku.�

"Dan mayat di bawah kain putih itu ialah diriku,� sambung Ling-hoa dengan tertawa. Jit-jit menghela napas, "Ai, cara kerja kalian sungguh sangat rapi.�

"Terima kasih,� sahut Ling-hoa. "Tapi aku tetap tidak mengerti, setelah kau bebas, mengapa kalian tidak turun tangan kepadaku? Mengapa sengaja meninggalkan seorang tumbal di sana, tidakkah hal ini terlalu berlebihan?�

"Waktu itu untuk apa kuturun tangan padamu? Kan tidak mendatangkan manfaat bagiku?�

"Tapi perbuatan kalian sekarang ini ada manfaat apa?�

"Jika kami mengganggu dirimu waktu itu, tentu berarti menghentikan rencanamu mengerjai Sim Long, hal ini boleh dikatakan ada rugi dan tiada untungnya bagiku. Sebab itulah cara yang paling baik adalah mengelabui dirimu.�

"Sungguh lihai kau,� kata Jit-jit. "Dan anak perempuan yang beruntung ialah menjadi istri seorang lelaki lihai, dengan demikian selama hidupnya dia pasti takkan dihina dan dianiaya orang,� ucap Ling-hoa dengan tertawa. Jit-jit berkedip-kedip, "Ehm, betul juga ucapanmu. Cuma ... cuma masih ada sesuatu aku merasa tidak paham.�

"Sesuatu apa? Coba katakan.�

"Setelah menyamar, tanda apa yang kau tinggalkan pada wajahmu.� Ong Ling-hoa berpikir sejenak, lalu berkata dengan tertawa, "Coba kau lihat apakah ada sesuatu ciri khas pada wajahku?�

"Tampaknya ti ... tidak ada,� kata Jit-jit. "Coba periksa lebih teliti,� Ling-hoa mendekatkan mukanya. "Hidungmu mancung, matamu besar ... mulutmu .... Ah, betul, dapat kulihat di sini. Apakah maksudmu tahi lalat di ujung mulutmu ini?�

"Betul, betapa aku merias mukaku pasti terdapat tahi lalat ini,� kata Ling-hoa. "Tapi banyak orang di dunia ini mempunyai tahi lalat semacam ini, cara bagaimana anak buahmu akan mengenali dirimu?�

"Dengan sendirinya karena mereka sudah lama terlatih, mereka ingat jelas letak dan besar tahi lalat ini, jika kutambahi lagi dengan isyarat mata, kan terlalu goblok bilamana tetap tidak mengenali diriku.� Jit-jit menatap tajam tahi lalat orang, katanya kemudian, "Sungguh tak tersangka engkau mau memberitahukan rahasia ini kepadaku.�

"Memangnya kau gembira? Kukira jangan keburu gembira dulu, seharusnya engkau merasa susah.�

"Merasa susah? Sebab apa?� Jit-jit terbelalak. "Bilamana ada kesempatan kabur bagimu, apakah mungkin kuberi tahukan rahasia ini kepadamu?�

"Jika engkau sedemikian lembut padaku, sekalipun kau suruh kupergi juga aku tidak mau, apa lagi kabur?� Sedapatnya Jit-jit tertawa manis, namun toh tetap kelihatan tertawa yang dibuat-buat. "Apakah benar ucapanmu?� dengan tertawa Ling-hoa menegas. "Tentu saja benar. Aku ... aku sudah kecewa terhadap Sim Long, hatiku sudah luka, padahal di dunia ini selain Sim Long saja, lelaki mana lagi yang dapat membandingi dirimu.�

"Jika demikian, mari, biar kucium dulu,� sembari tertawa Ong Ling-hoa lantas menubruk ke atas. Seketika air muka Jit-jit berubah lagi, tapi sedapatnya ia berlagak tenang dan berseru, "Eh, coba, kenapa engkau jadi terburu-buru begini, kan asyik lagi mengobrol ....� Ong Ling-hoa menengadah dan tergelak, "Haha, nona manis, jangan main sandiwara lagi, kan tolol bilamana tidak dapat kuraba isi hatimu ....�

"Aku ... aku sungguh ....�

"Jika kau sungguh hati, saat ini juga ingin kubuktikan,� sambil bicara ia terus menubruk maju dan merangkul Cu Jit-jit dengan terkekeh-kekeh. "Sudah kupahami sekarang, terhadap anak perempuan seperti dirimu hanya cara inilah yang paling tepat ....�

*****

Dalam pada itu Sim Long, Him Miau-ji dan Hoan Hun-yang bertiga sedang bersembunyi di tempat gelap di sekitar kereta yang terbalik itu. Malam sudah larut, meski hujan sudah berhenti, hawa terasa semakin dingin. Berulang Miau-ji mengangkat buli-buli dan menenggak araknya, Hoan Hun-yang juga merasa tidak sabar lagi sambil memandangi cuaca malam yang kelam. Hanya Sim Long saja yang tetap tenang. Akhirnya Miau-ji tidak tahan dan berkata, "Menurut dugaanku, mereka belum tentu datang kemari.�

"Datang, pasti datang,� kata Sim Long. "Sungguh aku sangat kagum kepada pendirianmu yang teguh, bilamana engkau sudah memastikan sesuatu, rasanya tidak ada urusan lain yang dapat menggoyahkan keyakinanmu .... Tapi bilamana aku menjadi Ong Ling-hoa, tentu aku takkan kembali ke sini untuk mengambil kereta ini ....� Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara orang berkumandang dari jauh. "Aha, itu dia datang,� seru Miau-ji. Waktu Sim Long dan Hoan Hun-yang pasang kuping, diketahuilah pendatang pasti tidak cuma dua-tiga orang saja, malahan terselip juga derap kaki kuda. Di tengah malam sunyi suara mereka kedengaran cukup menusuk telinga. Miau-ji mulai menggosok kepalan dengan penuh semangat, ucapnya dengan tertawa, "Sim Long memang tidak malu sebagai Sim Long, setiap perhitungannya tidak pernah meleset.� Namun wajah Sim Long kelihatan prihatin, gumamnya, "Cepat amat kedatangan mereka, sungguh tidak nyana ....�

"Jelas sebelumnya telah kau perhitungkan kedatangan mereka, mengapa kau bilang tidak nyana?�

"Aku cuma heran mereka datang secepat ini,� kata Sim Long. "Memangnya kenapa?� tanya Miau-ji. "Rapat besar Kay-pang belum bubar, di sini adalah jalan yang harus dilalui oleh para pengikut rapat itu, jika mereka harus datang ke sini tentu dilakukan setelah rapat bubar .... Umpama datang lebih dini juga tidak perlu ribut begitu seperti tidak takut diketahui orang.� Miau-ji melenggong, tapi segera berkata dengan tertawa, "Ah, tentu kawanan anjing itu merasa mempunyai majikan yang kuat, dengan sendirinya mereka tidak takut terhadap orang lain. Betul tidak, Hoan-heng?�

"Kukira ....� Belum sempat Hoan Hun-yang menanggapi, rombongan orang itu sudah mendekat, mereka terdiri dari dua orang dan dua ekor kuda. Beramai-ramai lantas menegakkan kereta yang roboh itu, kuda dipasang pada sabuk penarik, lalu memeriksa keadaan kereta. Seorang di antaranya berkata dengan tertawa, "Bos memang tidak malu sebagai bos, beliau benar-benar sangat hebat. Setiap perhitungan beliau selalu terbukti seperti dilihatnya sendiri saja.�

"Memang, setiap perhitungan bos kita melebihi siasat perang panglima mana pun, selalu tepat dan jitu,� sahut kawannya.

"Malahan beliau tidak perlu pusing dan banyak bekerja, cukup tinggal di rumah dan bermain dengan anak dara itu dan segala

sesuatu telah berlangsung dengan beres tanpa meleset sedikit pun.� Begitulah kelima orang itu bekerja dengan riang gembira, lalu kereta itu dihalau pergi, sama sekali tidak memerhatikan keadaan di sekitar situ. "Lekas kita kejar mereka,� segera Miau-ji hendak bergerak. Tapi Sim Long lantas menariknya dan mendesis, "Tidak, kita tidak mengejar mereka.� Miau-ji menjadi heran, "Kita menunggu dengan susah payah, memangnya untuk apa? Setelah mereka muncul, kenapa kita tidak jadi menguntitnya? Se ... sebenarnya apa kehendakmu?�

"Urusan menguntit dan menyelidiki musuh boleh serahkan saja kepada Hoan-heng,� kata Sim Long. "Dan engkau dan aku?� tanya Miau-ji dengan terbelalak. "Kita harus mendatangi tempat rapat Kay-pang lebih dulu, bilamana tidak salah dugaanku, di sana mungkin telah terjadi sesuatu yang mengejutkan,� tutur Sim Long. "Masa ... masa betul begitu? ....�

"Hendaknya Hoan-heng menguntit kereta tadi, setiba di tempat janganlah sembarang bertindak, sebaiknya putar balik ke sini, nanti kita berkumpul lagi untuk berunding lebih lanjut,� kata Sim Long dengan suara tertahan. "Kutahu, Sim-heng tidak perlu khawatir,� jawab Hun-yang.

*****

Di tengah malam musim dingin, bau harum arak tersiar terlebih jauh daripada bau harum apa pun. Sebelum tiba di tempat rapat Kay-pang, hidung Sim Long dan Miau-ji sudah mengendus bau arak yang menusuk hidung. Tanpa terasa Miau-ji meraba buli-buli araknya, ucapnya, "Kawanan jembel ini biasanya kelihatan hidup miskin dan serbahemat, tapi pada waktu menjamu tamu ternyata cukup royal.�

"Mencium bau arak, kau jadi mengiler bukan?� kata Sim Long dengan tertawa. "Tapi menurut pendapatku, arak dalam pesta sana sebaiknya kita jangan ikut minum.�

"Tidak ikut minum, memangnya kenapa?� tanya si Kucing. Sim Long menghela napas dan tidak bicara lagi tapi dia berlari

terlebih cepat. Hanya sebentar saja tertampaklah barak bambu yang sederhana itu dengan cahaya obor yang terang, bayangan orang tampak berjubel di dalam barak, agaknya sama berduduk dengan tenang. "Lihat itu, mana ada sesuatu, bukankah semuanya asyik duduk minum arak?� ujar Miau-ji dengan tertawa. "Apa betul?� kata Sim Long. "Jika terjadi apa-apa kan seharusnya mereka ....� belum lanjut ucapan si Kucing, ia jadi melenggong sendiri, sebab dari jauh kini dilihatnya keadaan agak tidak beres. Meski orang-orang itu tampak duduk tenang di dalam barak, tapi suasana terlalu sunyi dan menimbulkan rasa seram. Beratus orang duduk di situ tanpa mengeluarkan suara, orang yang tidak minum arak saja tidak mungkin berdiam begitu, apalagi orang yang telah menenggak arak. Kesunyian yang aneh ini telah memberi alamat yang tidak enak. Miau-ji tidak tahan, dengan cepat ia melompat ke sana dan menerjang ke dalam barak, apa yang terlihat membuatnya

terkesima. Ribuan orang yang berada di barak yang mengelilingi tanah lapang di tengah ini tampaknya benar telah berubah menjadi orang mati. Ada yang menggeletak dengan mulut berbuih, ada yang mendekap di meja dan tidak sadar, hidangan di atas meja belum banyak yang termakan, tapi cawan dan botol arak tampak berserakan. Orang-orang ini apakah mabuk seluruhnya? Setelah tercengang sejenak, Miau-ji lantas mengangkat tubuh seorang dan memeriksa napasnya, air muka si Kucing berubah, serunya, "Hah, keracunan!�

"Ternyata cocok dengan dugaanku, ada racun dalam arak,� kata Sim Long. "Setiap orang yang hadir di sini adalah kawakan Kangouw, mereka juga terperangkap?� ujar Miau-ji dengan gegetun. "Dalam keadaan gembira ria tadi, siapa yang tidak ingin minum dua-tiga cawan untuk menambah semarak pesta ini, siapa lagi yang curiga dan perlu memeriksa arak di dalam botol?� ujar Sim Long. Di bawah cahaya obor yang bergoyang tertiup angin itu terlihat wajah orang-orang yang sudah tak bernyawa ini sama pucat pasi dengan kulit muka berkerut, keadaannya sangat menyedihkan dan juga mengerikan. "He, lihat, baju orang-orang ini sama terbuka,� mendadak Miau-ji berteriak. Tanpa bicara Sim Long mendekati beberapa orang itu dan meraba

badan mereka, saku mereka ternyata sudah kosong tanpa isi serupa habis dirampok orang habis-habisan. "Sudah membunuh orang, merampas juga harta bendanya, keji amat!� gerutu Miau-ji dengan gemas. "Makan orang tanpa menumpahkan tulangnya, inilah kebiasaan perbuatan Ong Ling-hoa,� kata Sim Long. "Kau kira orang-orang ini dapat ... dapat diselamatkan tidak?� tanya si Kucing. "Jika ada obat penawar yang jitu, dengan sendirinya mereka dapat tertolong, tapi apa mau dikatakan lagi, kita sama sekali tidak tahu racun apa yang diminum mereka.� Kedua orang menjadi serbasusah berdiri di tengah ribuan orang

yang keracunan dengan wajah yang mengerikan ini. Sekonyong-konyong mereka merasakan di tengah orang-orang yang mendelik menanti ajal ini masih ada sepasang mata yang terpentang lebar seperti lagi menatap mereka. Serentak kedua orang sama memburu ke sana. Itulah mata yang melotot penuh rasa dendam, biji matanya seperti mau melompat keluar dari kelopak matanya. "He, Ci Kong-tay!� seru Miau-ji. Ternyata Ci Kong-tay tidak keracunan melainkan Hiat-to tertutuk sehingga tubuh tidak bisa berkutik, mukanya yang burik tampak berkilau. Mulutnya tidak berbau arak, jelas setetes arak pun tidak

diminumnya. Jika demikian apa yang terjadi di sini pasti telah disaksikan seluruhnya. "Rupanya tidak minum arak juga ada faedahnya,� ucap Miau-ji dengan gegetun. "Sesungguhnya apa yang terjadi di sini, tanya dia tentu segalanya akan menjadi jelas.� Dalam pada itu Sim Long telah membuka Hiat-to Ci Kong-tay yang tertutuk. Cepat Ci Kong-tay merangkak bangun dan melemaskan otot tulang tangan dan kakinya. "Bagaimana ....�

"Cayhe baik-baik saja, terima kasih atas perhatian kalian ....� begitulah Ci Kong-tay telah menyambut ucapan Sim Long, berbareng itu mendadak berpuluh bintik tajam menyambar dari tangannya kearah Sim Long, menyusul ia pun menubruk maju seperti orang kalap. Ci Kong-tay berjuluk "mata uang berhamburan memenuhi bumi�, selain menggambarkan mukanya yang burikan juga melukiskan kemahirannya menghamburkan senjata rahasia serupa hujan memenuhi bumi. Sekarang berpuluh biji mata uang dihamburkan dengan cepat dan jitu serta di luar dugaan pula, bila orang lain mustahil mampu menghindar. Namun Sim Long tetap Sim Long. Di tengah jerit kaget Miau-ji, serentak Sim Long meloncat ke atas, betapa cepat sambaran senjata rahasia musuh tetap tidak secepat gerak tubuhnya. Hujan Kim-ci-piau (senjata rahasia mata uang) itu tiada satu pun menyentuh tubuhnya. Secepat kilat Him Miau-ji juga menyelinap ke belakang Ci Kong-tay, sekaligus ia pegang kedua tangan tokoh Kay-pang itu dan ditelikung ke belakang. Seketika Ci Kong-tay tak bisa berkutik lagi, tapi ia lantas mencaci

maki, "Keparat she Sim, kuanggap dirimu ini seorang kesatria sejati, siapa tahu sebenarnya engkau ini manusia berhati binatang ....�

"Kau sendiri binatang,� bentak Miau-ji dengan gusar. "Sim Long telah menolong jiwamu, sebaliknya kau balas air susu dengan tuba dan bermaksud menyergapnya secara keji, apakah perbuatanmu ini tidak lebih rendah daripada binatang?�

Ci Kong-tay meraung, "Sim Long bintang kau pun binatang! Boleh kalian bunuh saja diriku, aku memang tidak ingin hidup lagi, masa aku takut kalian membunuhku untuk membungkam mulut saksi hidup.�

"Orang ini sudah gila barangkali, sembarang mengaco-belo,� teriak Miau-ji dengan gusar. Dengan tenang Sim Long bertanya, "Ci Kong-tay, coba katakan kenapa engkau menuduh kami hendak membunuhmu untuk membungkam mulut saksi hidup?�

"Kay-pang kami memandang dirimu sebagai kawan, siapa tahu kau taruh racun di dalam arak sehingga beribu kawan yang hadir di sini kau celakai, malahan secara keji kalian merampok harta benda mereka,� teriak Ci Kong-tay dengan suara parau.

Muka Miau-ji merah padam saking gusarnya, "Kentut busuk! Siapa bilang kami menaruh racun, siapa bilang kami merampok? ....�

"Kau dan Sim Long yang turun tangan secara terang-terangan, memangnya hendak kau kelabui mataku?� bentak Ci Kong-tay.

Saking gemas sebelah tangan Miau-ji lantas menggampar. Tapi Sim Long keburu mencegahnya. Dengan tetap sabar Sim Long berkata pula, "Kenapa tidak kau pikirkan, jika benar kami yang turun tangan keji, untuk apa kami kembali lagi ke sini?�

"Hm, kutahu kalian kembali ke sini hanya ingin tahu apakah orang-orang ini sudah mati seluruhnya atau belum,� jengek Ci Kong-tay. "Kalau tidak, bila perbuatanmu yang rendah ini sampai tersiar, apakah selanjutnya kalian dapat tancap kaki lagi di dunia Kangouw?� Sim Long saling pandang sekejap dengan Him Miau-ji, keduanya sama-sama merasa ngeri akan kekejian tipu muslihat Ong Ling-hoa. Jelas ia sendiri yang berbuat jahat, tapi sengaja menyuruh orang menyamar sebagai Sim Long dan Him Miau-ji agar orang salah sangka terhadap Sim Long berdua. Dalam keadaan demikian, biarpun Sim Long dan si Kucing punya

seratus buah mulut juga sukar membela diri, apalagi kini ada saksi hidup yang melihat perbuatan mereka itu. Untuk menghilangkan salah sangka itu jalan paling baik bagi Sim Long adalah membunuh Ci Kong-tay. Tapi bila Ci Kong-tay dibunuh, rasanya tiada untung dan malah ada ruginya. Apalagi mereka juga tidak mungkin bertindak sekeji ini. Begitulah kedua, orang saling pandang dengan bingung. Dengan suara serak Ci Kong-tay lantas berteriak pula, "Nah, apa yang kalian tunggu lagi, lekas bunuhlah diriku.�

"Kau maha dungu, aku memang ingin membinasakanmu dan habis perkara,� ucap Miau-ji dengan gemas. "Jika begitu, mengapa tidak lekas turun tangan,� tantang Ci Kong-tay sambil menyeringai. "Aku ... aku ....� Miau-ji menjadi gelagapan saking dongkolnya, mendadak ia mengentak kaki dan memaki, "Dasar bangsat Ong Ling-hoa itu.� Sim Long juga cuma menggeleng kepala saja dan tidak tahu apa yang mesti diperbuatnya. Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar derap kaki kuda yang ramai, tiga penunggang kuda datang dengan cepat, hanya sekejap saja sudah sampai di depan barak, serentak melompat turun tiga

lelaki berbaju hitam, semuanya membawa poci tembaga ukuran besar. "Siapa itu?� bentak Miau-ji. Ketiga lelaki itu memandang Sim Long sekejap, lalu memandang Miau-ji pula, tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan mereka berkata, "Kongcu kami mengetahui di sini ada orang keracunan, kami disuruh datang memberi pertolongan.�

"Kongcu kalian? Apakah Ong Ling-hoa?� seru Miau-ji. "Betul,� jawab salah seorang dengan tak acuh. "Bangsat, masih juga berani datang kemari!� teriak Miau-ji dan segera hendak melabrak ketiga orang itu. Tapi lagi-lagi Sim Long menahannya dan berkata, "Nanti dulu!� Melihat orang yang menggeletak keracunan sedemikian banyaknya, bila dia main kekerasan, lalu siapa yang akan menolong mereka? Terpaksa Miau-ji mengertak gigi dan menahan diri. Dengan sorot mata tajam Sim Long lantas tanya ketiga orang itu, "Dari mana Kongcu kalian mengetahui di sini ada orang keracunan?�

"Kongcu kami memang sudah mengkhawatirkan ada manusia berhati binatang diam-diam main gila dan turun tangan keji di sini, maka sebelumnya kami sudah disuruh mengawasi keadaan tempat ini,� jawab salah seorang itu. "Kentut busuk! Kau ... kau ....� Miau-ji meraung murka. "Menolong orang harus cepat, kalian sengaja merintangi dan mengulur waktu, jangan-jangan kalian ingin menyaksikan kematian kesatria sebanyak ini?� kata orang pertama tadi. Ci Kong-tay juga lantas berteriak, "O, Sim Long dan Him Miau-ji, kumohon sukalah kalian mengampuni orang-orang ini. Mereka sama berkeluarga dan punya anak istri, apakah kalian tidak kasihan ....� Miau-ji sangat gelisah, ia tahu bilamana orang-orang ini ditolong dan siuman, tentu mereka akan membenci Sim Long dan dirinya, urusan tentu juga sukar dijelaskan lagi. Ia tahu Ong Ling-hoa sengaja

hendak menista mereka dengan memperalat mulut orang-orang ini untuk menyebarkan nama busuk mereka. Sebaliknya ia juga tidak dapat merintangi ketiga orang ini menolong ribuan orang yang keracunan ini. Sungguh tindakan Ong Ling-hoa ini jauh lebih lihai daripada membunuh semua orang ini. Didengarnya Sim Long lagi berkata, "Baiklah, boleh lekas kalian menolong mereka.�

"Dan kita? ....� teriak Miau-ji dengan parau. "Kita terpaksa harus angkat kaki,� ucap Sim Long. "Angkat kaki?� Miau-ji menegas. Sim Long tersenyum pedih, katanya, "Jika saat ini kita tidak angkat kaki, sebentar bila orang banyak siuman, tentu akan timbul kesulitan. Tatkala mana mungkin sukar lagi bagi kita untuk angkat kaki.� Ketiga lelaki kekar itu tampak senang, segera mereka mencekoki air di dalam poci kepada orang-orang yang keracunan itu satu per satu. Pada saat itu juga diam-diam Sim Long dan Miau-ji lantas mengeluyur pergi. Terdengar suara caci maki Ci Kong-tay masih bergema di belakang mereka. Dengan sedih Miau-ji berkata, "Kita pergi begini saja, bukankah seterusnya kita harus menanggung tuduhan jahat ini dan sukar dicuci bersih lagi. Aku ... aku lebih suka mati daripada ....�

"Mati tidak menjadi soal bagi kita, tapi dapatkah kau biarkan orang-orang itu pun mati tanpa tertolong?� ujar Sim Long.

Gemertuk gigi Miau-ji saking gemasnya. "Bangsat Ong Ling-hoa, dia tahu Kay-pang tidak dapat lagi diperalat olehnya, maka

digunakannya lagi akal keji ini. Dia telah merampas segala milik mereka, tapi sengaja menyelamatkan jiwa mereka, tujuannya supaya mereka menuntut balas pada kita berdua. Nyata siapa saja dan setiap kesempatan yang dapat diperalat olehnya selalu tak disia-siakannya.�

"Kalau bicara tentang kekejaman, orang ini sungguh diakui tidak ada bandingannya di dunia,� ujar Sim Long dengan tertawa.

"Tampaknya biarpun Koay-lok-ong juga belum pasti dapat melebihi dia.� Miau-ji kurang senang. "Ai, keadaan sudah runyam begini, ternyata engkau masih bisa tertawa.�

"Jangan khawatir, biarpun kita sudah kalah selangkah, tapi ada juga urusan lain dia kalah selangkah daripada kita. Dan langkah ini justru langkah kematiannya.�

"Langkah apa?� tanya Miau-ji bingung. "Apa pun juga seharusnya dia tidak boleh memperlihatkan ekornya.�

"Ekor apa?�

"Kereta itu adalah ekornya. Dengan memegangi ekornya tentu dapat kita temukan dia, bila kita dapat menemukan dia, tentu dapat kita merenggut nyawanya. Biarpun dia menang seribu kali daripada kita juga sukar menambal kekalahannya yang satu kali ini.�

"Wah, jika begitu ayolah lekas kita menyusul Hoan Hun-yang untuk memegang ekornya itu,� seru Miau-ji. "Ekor itu tidak perlu lagi kita pegang,� ujar Sim Long dengan tersenyum. "Kenapa?� Miau-ji merasa bingung lagi. "Sebab Ong Ling-hoa masih mempunyai ekor lain di sini.�

"Di sini? Di mana?� tanya Miau-ji. "Mari ikut padaku.� Segera Sim Long mendahului mengitar ke belakang barak, mendekati tempat tambatan kuda. "Apakah maksudmu hendak menunggu kembalinya ketiga orang itu dan diam-diam kita mengintilnya?� tanya Miau-ji dengan suara tertahan. "Ketiga orang itu pasti akan tinggal lama di sini, jika kita menunggu mereka kan lebih cepat bila kita mencari Hoan Hun-yang saja. Apalagi ketiga orang ini tentu juga curiga kemungkinan akan penguntitan kita.�

"Jika begitu, lantas ... lantas di mana ekor yang kau maksudkan?�

"Di sini, lihat saja,� ucap Sim Long sambil mengayun sebelah tangannya. Terdengar suara mendesing, dua biji batu kecil telah disambitkan. Batu pertama tepat mengenai tali kendali salah seekor kuda, batu kedua mengenai pantat kuda dengan jitu. Kuda itu kaget dan meringkik kesakitan, lalu membedal ke sana. Ketiga lelaki di dalam barak mencaci maki, disangkanya kudanya yang nakal. Mereka tidak menduga kuda itu telah dikerjai Sim Long, maka cuma mencaci maki dan sibuk menolong orang, tiada seorang pun yang mengejar kuda. "Kuda inilah ekor Ong Ling-hoa, ayo kita kejar?� desis Sim Long.

Miau-ji masih juga heran, sedangkan Sim Long lantas melayang kearah kuda secepat terbang. Terpaksa Miau-ji ikut lari ke sana. Sesudah berada di belakang kuda lepas tadi barulah ia menyadari duduknya perkara, "Ah, betul, sifat kuda hafal jalan. Kuda lepas ini pasti akan lari pulang ke kandangnya, asalkan kita mengikuti kuda ini, akhirnya akan sampai juga di sarang Ong Ling-hoa.� Sim Long tersenyum, "Menguntit kuda kan lebih mudah daripada menguntit manusia.�

"Sim Long, engkau sungguh hebat!� kembali Miau-ji berseru memuji. Meski lari kuda itu cukup cepat, namun gerak tubuh Sim Long berdua tidak kalah cepatnya. Dada baju Him Miau-ji masih juga terbuka menyongsong angin dingin yang menyayat, tapi dadanya serupa gemblengan baja tanpa merasakan sesuatu. Dia justru bersemangat mengingat sebentar lagi si bangsat Ong Ling-hoa akan dibekuknya. Tidak lama kemudian, terlihat sebidang hutan di depan sana. Di samping hutan ada beberapa rumah gubuk dan setitik cahaya api. Itulah rumah petani penunggu hutan lai itu. Tapi kuda ini ternyata langsung menuju ke hutan sana. "Masakah di sini tempatnya?� Miau-ji berkerut kening. "Pasti tidak keliru,� kata Sim Long. Setiba di depan rumah gubuk, benar juga kuda itu lantas berhenti sambil meringkik perlahan. Segera dari dalam gubuk menyelinap keluar dua sosok bayangan orang, gerak-geriknya cukup gesit, jelas bukan kaum petani biasa. Agaknya kedua orang itu merasa heran melihat kuda kembali sendirian tanpa penunggangnya. Kedua orang kasak-kusuk berunding sebentar, seorang lantas masuk lagi ke dalam gubuk, yang lain menuntun kuda ke belakang rumah. "Ya, memang betul di sini tempatnya,� ucap Miau-ji. "Tunggu setelah orang yang menuntun kuda itu muncul kembali, segera kita menerjang ke dalam,� kata Sim Long. "Menerjang ke dalam? Tidak perlu kita selidiki dulu?�

Bersambung ... ke Bab 23 ...