Bagian 1 ..
Kuil tua itu berdiri ditepi Sungai Fen-ho, dilembah antara Pegunungan Tai-hang-san dan Lu-liang-san, disebelah selatan kota Taigoan. Sunyi sekali keadaan disekitar tempat itu, sunyi dan kuno sehingga kuil yang amat kuno dan sudah bobrok itu cocok sekali dengan keadaan alam yang sunyi dan liar disekelilingnya. Biasanya, kuil ini kosong dan bagi yang percaya, tempat seperti itu paling cocok menjadi tempat tinggal setan iblis dan siluman.
Akan tetapi, pada sore hari itu, keadaan disekeliling kuil tampak amat menyeramkan karena ada bayangan-bayangan yang berkelebatan, begitu cepat gerakan bayangan-bayangan itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang sedang sibuk mengadakan persiapan sesuatu. Akan tetapi kalau diperhatikan, bayangan-bayangan itu sama sekali bukanlah setan melainkan manusia-manusia, sungguhpun manusia-manusia yang menyeramkan karena mereka yang berjumlah lima orang itu bertubuh tinggi besar, bersikap kasar dan berwajah liar. Gerakan mereka tidak seperti orang biasa, karena selain cepat juga membayangkan kekuatan yang jauh lebih daripada manusia-manusia biasa. Golok besar yang terselip dipunggung dan golok lima orang tinggi besar itu menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan mengandalkan ilmu silat dan senjata mereka.
Memang sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah lima orang bajak laut yang sudah terkenal bertahun-tahun lamanya menjadi setan sungai Fen-ho. Kepandaian mereka amat tinggi karena mereka ini yang berjuluk Fen-ho Ngo-kwi (Lima Iblis Sungai Fen-ho) adalah anak buah yang sudah menerima gemblengan dari mendiang Kang-thouw-kwi Gak Liat, datuk iblis yang terkenal dengan nama poyokan Setan Botak itu! Sejak tadi lima orang ini berkelebatan disekitar kuil tua, seperti hendak menyelidiki keadaan kuil yang sunyi dan kelihatan kosong itu.
"Twako, tidak kelirukah kita? Apakah benar kuil ini yang dimaksudkan dalam pesan Gak-locianpwe?" Tiba-tiba seorang diantara mereka, yang mempunyai tahi lalat besar didagunya, bertanya kepada orang tertua diantara mereka yang matanya besar sebelah.
"Tidak salah lagi," jawab orang tertua Fen-ho Ngo-kwi yang usianya kurang lebih lima puluh tahun itu sambil memandang kearah kuil tua. "Satu-satunya kuil tua ditepi Sungai Fen-ho didaerah ini hanya satu inilah. Akan tetapi sungguh heran, mengapa kelihatan sunyi dan kosong?"
"Lebih baik kita serbu saja kedalam!" kata Si Tahi Lalat sambil mencabut goloknya.
Twakonya mengangguk dan mereka semua sudah mencabut golok, siap untuk menyerbu. Pimpinan rombongan itu menggerakkan tangan kepada adik-adiknya dan berkata, "Kau masuk dari pintu belakang, dan kau dari jendela kiri, kau dari jendela kanan, seorang menjaga diluar dan aku yang akan menerjang dari pintu depan!" Mereka berpencar, gerakan mereka gesit dan ringan sekali. Kuil itu telah dikurung. Pemimpin itu memberi isarat dengan tangan dan mereka menyerbu memasuki kuil dari empat jurusan.
Tiba-tiba tampak sinar-sinar hitam menyambar dari depan dan belakang kuil. Sinar-sinar hitam ini adalah senjata-senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari baja. Lima orang tinggi besar kaget sekali, cepat menggerakkan golok mereka menangkis.
"Cring-cring-tranggg....!" Terdengar suara nyaring dan golok mereka itu patah semua, disusul suara jerit lima orang itu yang tak dapat lagi menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata rahasia bintang yang luar biasa kuatnya itu. Mereka roboh dengan dahi pecah karena masing-masing terkena senjata rahasia yang menancap diantara alis mereka. Tubuh mereka berkelojotan, mulut mereka mengeluarkan suara mengorok dan akhirnya tubuh mereka berhenti bergerak, tak bernyawa lagi. Hanya darah mereka yang bergerak mengucur keluar dari dahi!
Dari belakang dan depan kuil berlompatan keluarlah dua orang kakek sambil tertawa-tawa. Dilihat keadaan mereka yang bertubuh kurus seperti kurang makan, pantasnya mereka adalah orang-orang yang lemah. Namun, dengan senjata rahasia sekali lepas dapat merobohkan dan menewaskan lima orang bajak Fen-ho Ngo-kwi, menjadi bukti bahwa dua orang ini tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Begitu mudahnya mereka membunuh anak buah dan juga murid-murid mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi, benar-benar sukar dipercaya!
"Heh-heh, Sute, orang-orang kasar macam ini berani bersaing dengan kita! Sungguh menjemukan!" kata kakek yang mukanya begitu kurus sehingga seperti tengkorak dibungkus kulit tipis saja. Ia bertolak pinggang memandang mayat-mayat para bajak setelah melompat dengan gerakan seperti terbang cepatnya.
Kakek kedua yang tadi bersembunyi dibelakang kuil, juga melompat cepat dan ia membelalakkan kedua matanya yang begitu sipit sehingga ia kelihatan selalu tidur memejamkan mata. "Tentu masih ada lagi saingan lain, Suheng. Bukankah Pangcu berpesan agar kita hati-hati? Pesanan itu menandakan bahwa disini tentu terdapat banyak lawan pandai." katanya, juga bertolak pinggang. Tampak pada lengan kanan kedua orang kakek ini lukisan kecil berbentuk naga yang agaknya dicacah pada kulit lengan mereka.
"Heh-heh, Sute! Siapa sih orangnya yang berani menentang Thian-liong-pang? Selama negeri dalam perang, kita tidak bergerak akan tetapi memupuk kekuatan sehingga kalau partai-partai lain hancur dan rusak oleh perang, partai kita malah makin kuat. Sekarang tibalah saatnya Thian-liong-pang memperlihatkan taringnya! Pangcu menginginkan bocah itu, siapa yang akan berani menentang?"
Si Mata Sipit mengangguk-angguk. "Engkau benar, Suheng. Keinginan Pangcu kita merupakan keputusan yang tak boleh ditentang siapapun juga. Yang menentangnya berarti mati, seperti lima orang kasar ini. Thian-liong-pang adalah partai terbesar dan terkuat didunia untuk masa kini."
"Awas, Sute....!" Tiba-tiba Si Muka Tengkorak berseru dan keduanya cepat mengelak, dengan jalan melempar tubuh kebelakang dan bergulingan karena secara tiba-tiba sekali ada enam buah hui-to (golok terbang) yang kecil akan tetapi yang menyambar amat cepat dan kuatnya, masing-masing tiga batang menyambar kearah leher, ulu hati, dan pusar mereka! Jalan satu-satunya hanya mengelak seperti yang mereka lakukan tadi karena untuk menyambut hui-to-hui-to yang meluncur secepat itu, sungguh amat berbahaya sekali. Dua orang anggauta Thian-liong-pang itu amat lihai, sambil bergulingan mereka menggerakkan tangan dan meluncurlah sinar-sinar hitam dari senjata rahasia bintang mereka kearah datangnya hui-to tadi. Senjata rahasia mereka itu tadi sudah terbukti keampuhannya ketika merobohkan lima orang Fen-ho Ngo-kwi. Akan tetapi betapa terkejut hati mereka ketika melihat betapa enam buah hui-to yang luput menyerang mereka tadi kini terbang kembali amat cepatnya dan dari samping enam golok kecil itu menyambari bintang-bintang mereka. Terdengar suara keras disusul bunga api berhamburan dan enam batang golok kecil bersama bintang-bintang baja itu runtuh semua keatas tanah. Biarpun dua orang anggauta Thian-liong-pang yang terkejut menyaksikan ini, namun hati mereka lega bahwa bintang-bintang baja mereka ternyata tidak kalah kuat sehingga hui-to-hui-to itu pun runtuh, tanda bahwa tenaga mereka tidak kalah oleh tenaga lawan yang belum tampak. Mereka segera meloncat bangun dan Si Mata Sipit memaki, "Keparat curang, siapa engkau?"
Dari balik rumpun muncullah seorang laki-laki dan seorang wanita sambil tersenyum mengejek. Laki-laki itu usianya ada empat puluh tahun, berjenggot dan kumisnya kecil panjang, bajunya berlengan lebar. Yang wanita juga berusia empat puluh tahun lebih, rambutnya diikat dengan saputangan sutera putih, juga lengan bajunya lebar. Yang amat mengerikan pada dua orang ini adalah warna kulit mereka. Yang wanita kulitnya, dari mukanya sampai kulit lengannya, berwarna jambon kemerahan, sedangkan yang laki-laki kulitnya berwarna ungu kebiruan! Sungguh sukar mencari orang berkulit dengan warna seperti itu, seolah-olah kulit tubuh mereka itu dicat! Yang luar biasa sekali, bukan hanya kulit, bahkan mata mereka pun berwarna seperti kulit mereka!
"Ha-ha-ha, tidak salah, tidak salah! Kabarnya orang-orang Thian-liong-pang amat sombong, dan ternyata ucapan mereka besar-besar. Ha-ha-ha!" Laki-laki berkulit.
"Gentong kosong berbunyi nyaring, orang bodoh bermulut besar. Apa anehnya?" Wanita berkulit jambon itu menyambung, bersungut-sungut dan memandang kepada dua orang murid Thian-liong-pang dengan pandang mata merendahkan.
Dua orang murid Thian-liong-pang itu memandang kepada mereka dengan mata terbuka lebar. Yang menarik perhatian mereka adalah warna-warna kulit laki-laki dan wanita itu, kemudian Si Muka Tengkorak berkata, suaranya masih membayangkan rasa kaget dan heran.
"Ji-wi.... Ji-wi.... dari Pulau Neraka....?"
Kini kedua orang laki perempuan itu yang terbelalak dan heran, lalu mereka saling pandang. Kemudian laki-laki bermuka ungu itu menghadapi kedua orang Thian-liong-pang dan menjura, "Ahh, kiranya Thian-liong-pang memiliki mata yang tajam sekali. Pantas terkenal sebagai partai besar! Kami tidak pernah turun kedunia ramai, kini sekali muncul Ji-wi telah dapat mengenal kami. Sungguh mengagumkan sekali!" Dia lalu mengeluarkan suara yang aneh, nyaring sekali dan terdengar seperti suara burung. Dari dalam hutan dibelakangnya terdengar suara siulan yang sama dan tak lama kemudian tampaklah belasan orang berlarian datang ketempat itu seperti terbang cepatnya. Setelah dekat, dua orang Thian-liong-pang memandang dengan mata terbelalak karena kulit belasan orang ini pun aneh sekali, delapan orang berkulit hitam dan delapan orang pula berkulit merah tua! Si Muka Tengkorak lalu bersuit nyaring dan dari sebelah belakangnya muncul pula serombongan anak buah Thian-liong-pang yang berjumlah dua puluh orang! Kedua rombongan kini berhadapan dengan sikap siap siaga menanti perintah bertanding. Akan tetapi, kakek muka ungu itu tertawa dan berkata lagi, "Ha-ha-ha, kiranya Thian-liong-pang juga sudah siap! Tidak usah khawatir, kami mendapat perintah agar tidak memancing pertempuran dengan fihak lain, apalagi dengan fihak Thian-liong-pang. Kami datang hanya untuk menjemput anak yang berada didalam kuil."
"Nanti dulu, sobat!" Si Muka Tengkorak berkata. "Kami pun menerima tugas dari Pangcu (Ketua) kami untuk mengambil anak yang berada didalam kuil. Dan Thian-liong-pang tidak ingin bermusuhan, apalagi dengan fihak Ji-wi, karena sudah menjadi cita-cita Thian-liong-pang untuk bersahabat dan menyatukan semua partai persilatan."
"Hemmm, bagus sekali omongan itu, akan tetapi apakah cocok dengan buktinya? Kami melihat sendiri keganasan Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti) membunuh lima orang ini," Si Muka Ungu mencela.
Murid Thian-liong-pang mengangkat pundak dan mengerling kearah mayat lima orang Fen-ho Ngo-kwi dengan sikap tak acuh. "Mereka hanyalah bajak-bajak sungai yang hina, tidak masuk hitungan. Apalagi mereka itu merupakan golongan yang patut dibasmi. Harap Ji-wi dapat mengerti dan membedakan."
"Sudahlah!" Si Wanita bermuka jambon mencela. "Kami tidak peduli akan semua urusan kalian. Kami datang hendak mengambil anak itu. Marilah Suheng, kita lekas melaksanakan tugas!" Ia sudah bergerak maju hendak memasuki kuil.
"Eh, eh, nanti dulu, Toanio!" Kini Si Mata Sipit maju menghalang. "Terang bahwa Thian-liong-pang tidak ingin bermusuh, akan tetapi agaknya dalam urusan ini diantara kita ada pertentangan. Kami pun bertugas untuk mengambil bocah itu."
"Bagus! Kalau begitu, kiranya hanya kekerasan yang akan dapat membereskan pertentangan ini!" Wanita bermuka jambon itu membentak. Suhengnya juga memandang marah dan enam belas orang anak buah mereka semua sudah mencabut pedang.
"Srat-srat-sratttt!"
"Sing-sing-sing!" Dua puluh orang anak buah Thian-liong-pang juga sudah mencabut pedang dan golok. Dua orang murid Thian-liong-pang itu kelihatan bingung, lalu mengangkat tangan memberi isarat kepada pasukan mereka untuk mundur, kemudian Si Muka Tengkorak menjura dan berkata kepada dua orang aneh yang mereka anggap tokoh-tokoh dari Pulau Neraka itu.
"Harap Ji-wi menghindarkan pertempuran yang tidak perlu. Memang kita semua sebagai utusan-utusan harus melaksanakan tugas kita, dan kita masing-masing dua orang merupakan penanggung jawab yang tidak perlu menarik anak buah dalam pertempuran."
"Hemm, maksudmu bagaimana?" tanya wanita bermuka jambon menantang.
"Kita mewakili partai-partai besar dan sekarang perselisihan ini dapat dibereskan secara orang-orang gagah."
"Maksudmu sebagai orang-orang gagah mengadu ilmu?" tantang Si Wanita.
"Begitulah. Kita dua lawan dua, siapa kalah harus mengalah dan memberikan anak dalam kuil kepada yang menang. Setuju?"
"Akur! Majulah!" Si Wanita menantang.
Dua orang Thian-liong-pang itu saling pandang, kemudian mengangguk. Si Muka Tengkorak memandang kesekeliling. Kedua pasukan sudah mundur jauh dan setengah bersembunyi didalam cuaca yang sudah mulai gelap. "Tempat ini kurang lega untuk bertanding, biar kusingkirkan pohon-pohon ini!" katanya dan ia menghampiri sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang. Dengan gerakan seenaknya ia mendorong dan pohon itu tumbang, mengeluarkan suara hiruk-pikuk.
"Benar, harus disingkirkan pohon-pohon ini!" kata Si Mata Sipit dan dia pun menghampiri sebatang pohon, melakukan dorongan seperti suhengnya. Sebentar saja enam batang pohon sudah mereka tumbangkan!
Para anggauta Thian-liong-pang barsorak memberi semangat sedangkan para anak buah yang mukanya berwarna hitam dan merah itu memandang tarbelalak, kagum akan kekuatan hebat dua orang Thian-liong-pang itu. Akan tetapi, laki-laki bermuka ungu dan wanita bermuka jambon itu tertawa mengejek.
"Batu-batu ini pun menghalang gerakan pertandingan!" kata Si Wanita muka jambon dan kakinya perlahan menendang, akan tetapi batu yang sebesar anak kerbau itu terbang seperti sepotong batu kerikil dilempar saja. Suhengnya juga melakukan ini dan sebentar saja ada delapan buah batu beterbangan! Anak buah mereka kini bersorak-sorak dan giliran anak buah Thian-liong-pang yang bengong dan ngeri hatinya. Betapa kuat kedua orang aneh itu!
"Bagus! Tempat telah menjadi luas, sebelum cuaca gelap mari kita mulai!" kata Si Mata Sipit dan seperti dikomando saja, empat orang itu telah saling serang dengan hebat. Keempat orang ini tidak memegang senjata dan hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya daripada sambaran pedang atau golok, dan angin menderu ketika mereka saling pukul sehingga rumput dan daun pohon bergoyang seperti diamuk badai!
Wanita muka jambon bertanding melawan Si Muka Sipit. Ternyata tenaga Si Mata Sipit lebih besar sehingga wanita itu tidak berani langsung menangkis atau mengadu lengan, akan tetapi wanita itu memiliki gerakan ilmu silat yang aneh, juga gerakannya jauh lebih cepat sehingga pertandingan itu amat seru. Dilain fihak, pertandingan antara Si Muka Tengkorak dan Si Muka Ungu lebih hebat lagi karena tenaga mereka seimbang. Berkali-kali mereka keduanya terdorong mundur, akan tetapi secepat kilat sudah maju lagi dan melanjutkan pertandingan mereka.
Pada waktu itu, memang Thian-liong-pang merupakan sebuah partai yang baru muncul sejak bangsa Mancu menyerang keselatan. Selama perang berlangsung, Thian-liong-pang tidak mau melibatkan diri, bahkan diam-diam memupuk tenaga mereka dan memperdalam ilmu silat. Puluhan tahun yang lalu, Thian-liong-pang yang berpusat di Yen-an, dikaki Lu-liang-san sebelah barat, Thian-liong-pang menjadi sebuah partai golongan hitam, diselewengkan oleh ketuanya diwaktu itu yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti) dengan murid-muridnya yang jahat sebanyak dua belas orang berjuluk Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga). Akan tetapi, semenjak Thian-liong-pang dikuasai oleh cucu kakek itu sendiri, seorang laki-laki gagah perkasa bernama Siangkoan Li, maka Cap-ji-liong kembali ke jalan lurus. Tentang Siangkoan Li ini dapat dibaca dalam cerita "Mutiara Hitam". Kemudian bertahun-tahun Thian-liong-pang diketuai oleh orang-orang yang gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya. Ilmu silat mereka itu adalah ilmu keturunan dari dua orang kakek sakti yang setengah gila, yaitu Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Makin lama ketua-ketua mereka yang merupakan murid-murid Siangkoan Li, memperdalam ilmu kesaktian dari kedua orang kakek sakti itu sehingga kini para pimpinan Thian-liong-pang merupakan orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Dua orang ini saja hanya merupakan tokoh tingkat lima, namun ilmu kepandaian mereka sudah hebat sekali.
Adapun dua orang tokoh Pulau Neraka itu lebih hebat lagi. Tingkat mereka masih amat rendah di kalangan penghuni Pulau Neraka yang merupakan keluarga besar orang-orang aneh. Warna-warna pada muka mereka menandakan bahwa tingkat mereka masih rendah, namun toh mereka sudah dapat mengimbangi ilmu dari kedua orang tokoh Thian-liong-pang tingkat lima! Anak buah Pulau Neraka semua kulitnya berwarna hitam atau merah. Warna hitam merupakan tingkat paling rendah, lalu disusul merah sebagai tingkat lebih tinggi, kemudian biru, ungu, hijau dan jambon. Makin terang warna itu, makin tinggilah tingkat kepandaiannya! Namun pada masa itu, Pulau Neraka merupakan kabar angin atau setengah dongeng saja karena sudah ratusan tahun tidak pernah muncul. Nama Pulau Neraka disejajarkan dalam rahasia dan keanehannya dengan Pulau Es, bahkan lebih tua lagi! Dua orang tokoh Thian-liong-pang itupun hanya mendengar "dongeng" dari ketua mereka, tentang warna-warna aneh kulit para penghuni Pulau Neraka maka tadi mereka dapat menduga tepat!
Pertandingan masih berlangsung dengan hebatnya, dan tak seorang pun diantara mereka pada saat-saat yang amat berbahaya bagi nyawa mereka itu ingat akan anak yang mereka jadikan rebutan dan yang menjadi bahan pertandingan-pertandingan itu, bahkan yang menyebabkan kematian lima orang Fen-ho Ngo-kwi! Siapakah anak itu?
Bocah itu adalah seorang anak laki-laki yang berwajah tampan, bermuka bulat dengan kulit putih bersih, sepasang matanya lebar bening penuh keberanian, berusia kurang lebih lima tahun! Sudah lebih dari tiga bulan anak itu hidup seorang diri didalam kuil tua! Benar amat mentakjubkan keberanian anak ini. Tadinya dia tinggal bersama ibunya di kuil ini, akan tetapi semenjak ibunya pergi meninggalkannya beberapa bulan yang lalu, dia hidup seorang diri ditempat sunyi ini. Namun dia tidak pernah menangis, tidak pernah mengeluh, mencari makan seadanya, bahkan kadang-kadang kalau dia tidak bisa mendapatkan buah-buahan atau tidak dapat menangkap binatang, ia hanya makan daun-daun muda ditambah air gunung! Akan tetapi kalau ada binatang kelinci lewat, tentu binatang itu dapat ia bunuh dengan sambitan batu karena anak ini pandai menyambit, dan tenaganya mengagumkan. Tidaklah aneh kalau diketahui bahwa semenjak kecil ia digembleng oleh ibunya yang sakti. Ibunya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai yang berhasil mencuri ilmu-ilmu aneh dari Siauw-lim-pai, mempelajari ilmu-ilmu aneh ini secara mengawur sehingga mempengaruhi jiwanya, membuatnya setengah gila. Kegilaannya ini bukan semata karena dia keliru mempelajari ilmu-ilmu rahasia dari Siauw-lim-pai, melainkan terutama sekali karena tekanan jiwanya ketika dia dahulu dicemarkan oleh mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak (baca ceritaPendekar Super Sakti). Nama wanita ini adalah Bhok Khim, dahulu merupakan seorang diantara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan dia berjuluk Bi-kiam (Pedang Cantik)!
Didalam ceritaPendekar Super Sakti telah dituturkan bahwa Bhok Khim yang meninggalkan puteranya di kuil tua itu pergi mancari Gak Liat dan berhasil membalas dendam dengan membunuh Setan Botak, akan tetapi dia sendiri pun tewas oleh musuh besar yang memperkosanya itu (bacaPendekar Super Sakti).
Demikianlah, anak kecil berusia lima tahun itu kini berada di dalam kuil, dan semenjak tadi dia mengintai dari dalam kuil menyaksikan semua peristiwa yang terjadi diluar kuil. Dia melihat kematian Fen-ho Ngo-kwi yang mengerikan, kemudian menyaksikan pertandingen antara dua orang tokoh Thian-liong-pang melawan dua orang tokoh Pulau Neraka. Anak ini amat cerdik, dari percakapan itu tahulah dia bahwa semua orang diluar itu memperebutkan dia! Akan tetapi dia tidak tahu mengapa dan juga didalam hatinya dia tidak berpihak kepada siapa-siapa, hanya ingin melihat siapa diantara mereka yang paling lihai. Ibunya juga seorang berilmu tinggi, maka karena sejak kecil dikenalkan dengan ilmu silat, kini sepasang matanya yang bening dan tajam itu menonton pertandingan dengan hati amat tertarik.
Cuaca menjadi semakin gelap dengan datangnya malam akan tetapi pertandingan antara dua orang jagoan itu masih berlangsung seru. Masing-masing telah terkena pukulan dua tiga kali dari lawan akan tetapi mereka belum ada yang roboh dan masih terus bertanding terus, biarpun napas mereka mulai terengah dan uap putih mengepul dari kepala mereka.
"Omitohud....! Mengapa kalian bertanding mati-matian disini? Apa yang telah terjadi?" Tiba-tiba terdengar teguran dibarengi munculnya seorang hwesio yang tinggi kurus. Hwesio ini kurus sekali dan wajahnya selalu muram tampaknya, namun suaranya penuh wibawa. Akan tetapi empat orang yang tengah bertanding, tidak mempedulikannya dan hwesio ini menarik napas panjang.
"Aaahhh, jalan damai banyak sekali, mengapa menempuh jalan kekerasan yang hanya akan membahayakan keselamatan? Kepandaian Cu-wi yang tinggi ini pasti dipelajari susah payah sampai puluhan tahun, apakah hanya akan digunakan untuk mengadu nyawa?" Setelah berkata demikian, hwesio ini melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan kekanan kiri dan.... empat orang yang sedang bertanding itu tiba-tiba terhuyung mundur oleh dorongan tenaga dahsyat, namun sukar ditahan! Otomatis pertandingan terhenti dan empat orang itu dengan napas sengal-sengal memandang kepada hwesio yang amat tua dan kurus itu.
"Maaf, maaf, pinceng terpaksa menghentikan pertandingan. Ada urusan dapat didamaikan. Mengapa kalian begini mati-matian hendak saling bunuh?"
"Losuhu siapakah?" Si Muka Tengkorak bertanya, sikapnya menghormat karena dia maklum bahwa hwesio itu adalah seorang berilmu yang amat lihai. "Pinceng adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai. Mengapa Sicu berdua bertanding dengan mereka?" Diam-diam Siauw Lam Hwesio terkejut menyaksikan warna kulit dua orang tokoh Pulau Neraka yang biarpun cuaca mulai gelap masih tampak warna mereka yang menyolok mengingatkan dia akan "dongeng" tentang penghuni Pulau Neraka!
Si Muka Tengkorak menjura penuh hormat lalu berkata, "Kiranya Losuhu adalah seorang tokoh sakti dari Siauw-lim-pai. Kami berdua adalah utusan-utusan Thian-liong-pang dan kedua orang sahabat ini pun utusan-utusan dari Pulau Neraka." Mendengar ini, hwesio tua itu tercengang dan ia kembali memandang kedua orang itu dengan penuh perhatian. Hatinya bertanya-tanya. Kalau begitu, benarkah dongeng yang didengarnya tentang Pulau Neraka? Kalau mereka itu sudah turun ke dunia ramai, bersama dengan turunnya tokoh-tokoh Thian-liongpang yang kabarnya tidak lagi mau beruruaan dengan dunia ramai, tentu dunia ini akan menjadi benar-benar ramai!
"Mengapa Cu-wi bertempur?"
"Kami sama-sama memenuhi tugas untuk menjemput anak laki-laki yang berada di dalam kuil. Karena bertentangan oleh tugas yang sama, terpaksa kami hendak menentukan dalam pibu (adu kepandaian) yang adil."
"Omitohud! Betapa anehnya dunia ini....!" Hwesio tua itu berkata. Dia adalah Siauw Lam Hwesio. Seorang hwesio tua yang kedudukannya tidak penting di Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia adalah seorang yang sakti, karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan Kian Ti Hosiang, supek dari Ketua Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu seperti dewa! "Lama sekali pinceng mengikuti jejak murid perempuan Siauw-lim-pai dan akhirnya ditempat ini untuk mengambil puteranya yang ditinggalkan! Anak itu adalah putera dari Bhok Khim, seorang murid Siauw-lim-pai. Tentu saja hanya Siauw-lim-pai yang berhak untuk mendidiknya. Harap Cu-wi menghentikan pertempuran dan membiarkan pinceng sebagai hwesio Siauw-lim-si untuk membawanya pulang ke Siauw-lim-si." Setelah berkata demikian, hwesio itu dengan tenang melangkah menuju ke kuil.
"Tahan....!" Teriakan ini keluar dari empat buah mulut tokoh-tokoh yang tadi saling serang dan berbareng mereka memberi tanda dengan tangan kepada anak buah mereka. Dari tempat persembunyian mereka, enam belas orang anak buah Pulau Neraka dan dua puluh orang rombongan Thian-liong-pang itu bergerak cepat sekali mendekati kuil. Hwesio tua itu memandang penuh perhatian, agaknya siap untuk menolong anak di dalam kuil kalau orang-orang itu menggunakan kekerasan. Akan tetapi, rombongan Thian-liong-pang itu sibuk melemparlemparkan benda hitam diseputar kuil. sedangkan anak buah Pulau Neraka melempar-lemparkan cairan merah diseputar kuil. Begitu benda cair yang mereka siramkan itu mengenai tanah, mengepullah asap
kemerahan yang berbau harum bercampur amis!
Sementara itu, anak laki-laki yang sejak tadi memandang dari dalam kuil, ketika menyaksikan betapa hwesio tua dapat menghentikan pertandingan dengan mudah, mengerti bahwa hwesio kurus kering itu sakti sekali, maka hatinya condong untuk ikut dengan hwesio itu yang dianggapnya paling lihai diantara orang-orang aneh yang berada diluar kuil. Lebih-lebih lagi ketika ia mendengar keterangan hwesio itu bahwa ibunya adalah anak murid Siauw-lim-pai, hal ini tak pernah diceritakan ibunya, dan bahwa hwesio itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu saja ia memilih hwesio itu. Ketika melihat bahwa banyak orang melempar-lemparkan benda hitam dan cairan merah yang kini mengepulkan asap dan tanah yang tersiram benda cairan itu mengeluarkan suara mendesis-desis seperti mendidih, ia cepat keluar dari dalam kuil dan muncul didepan.
"Berhenti....!" Hwesio tua itu cepat menggerakkan tangan kirinya, mendorong kedepan, kearah anak yang muncul itu. Jarak antara dia dan anak itu masih jauh, akan tetapi angin dorongan tangannya membuat anak itu terjengkang dan jatuh terlentang kembali kedalam kuil. "Anak, jangan keluar, berbahaya sekali! Asap itu beracun!" teriak Siauw Lam Hwesio dan bocah yang ternyata cerdik ini segera mengerti dan kembali ia bersembunyi didalam kuil sambil mengintai dari tempatnya yang tadi.
Siauw Lam Hwesio mengeluh, "Omitohud, alangkah kejinya!" Ia kini dapat melihat jelas bahwa benda-benda hitam itu adalah senjata-senjata rahasia berbentuk bintang yang berduri runcing sekali dan kini benda-benda itu bertebaran disekeliling kuil, menghalang jalan masuk dalam jarak lebar. Mengertilah ia bahwa benda-benda itu tentulah mengandung racun pula dan amat runcing sehingga akan menembus sepatu. Sedikit saja kulit terluka oleh benda-benda ini, tentu akan menimbulkan bahaya kematian! Adapun benda cair yang dapat "membakar" tanah dan mengeluarkan asap kemerahan berbau harum amis itu pun merupakan racun yang berbahaya. Jalan menuju kekuil itu terhalang oleh racun-racun yang lihai!
"Omitohud....! Kalian ternyata mengandung niat buruk dan berkeras hendak menghalangi pinceng mengambil putera keturunan murid Siauw-lim-pai itu. Hemm...., baiklah, kita sama melihat saja siapa yang akan dapat mengambil anak itu sekarang!" Setelah berkata demikian hwesio kurus ini duduk bersila menghadap kuil, jelas bahwa biarpun sikapnya tenang namun ia sudah mengambil keputusan untuk merintangi siapa saja memasuki kuil!
Sementara itu, malam telah tiba dan rombongan Thian-liong-pang memisahkan diri, berada disebelah kiri, sedangkan rombongan Pulau Neraka berada disebelah kanan. Agaknya mereka itu tidak ada yang berani turun tangan lebih dulu karena sama-sama maklum bahwa pihak lain tentu akan merintangi mereka mengambil anak yang berada didalam kuil! Kalau saja tidak muncul hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu, tentu terjadi pertempuran diantara mereka, memperebutkan anak tadi! Akan tetapi kini mereka tahu bahwa siapa pun yang turun tangan lebih dulu, tidak hanya akan menghadapi rombongan lawan, melainkan juga menghadapi hwesio yang mereka tahu tak boleh dipandang ringan. Maka mereka diam saja mengatur siasat sambil membuat api unggun dan berbisik-bisik mengatur dan mencari siasat! Api unggun mereka bergerak-gerak seperti tertiup angin, padahal tidak ada angin bertiup sedikit juga. Selagi kedua rombongan itu terbelalak kaget, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang keadaannya amat menyeramkan hati mereka. Laki-laki itu masih muda, berwajah tampan akan tetapi sebelah kakinya, yang kiri buntung! Laki-laki itu tahu-tahu telah berdiri disitu, bersandar pada tongkat bututnya dan yang amat mengherankan adalah rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, akan tetapi rambut yang tebal panjang itu berwarna putih semua!
Orang-orang kedua rombongan ini adalah orang-orang yang selama bertahun-tahun tidak pernah terjun kedunia ramai, maka mereka tadi tidak mengenal Siauw Lam Hwesio dan tidak mengenal pula siapa gerangan pemuda berkaki buntung itu. Padahal pemuda ini jauh lebih terkenal daripada hwesio Siauw-lim-pai itu, karena dia ini bukan lain adalah Suma Han atau Pendekar Super Sakti, atau juga terkenal dengan sebutan Pendekar Siluman oleh mereka yang pernah menjadi korban kesaktian dan ilmu sihirnya yang mengerikan!
Para pembaca cerita "Pendekar Super Sakti" tentu telah tahu betapa didalam hidupnya yang kurang lebih dua puluh lima tahun itu, pendekar ini mengalami banyak sekali tekanan batin dan yang terakhir sekali batinnya amat tertekan dan kesengsaraan serta kekecewaannya dalam hidup membuat rambutnya semua menjadi putih! Kini datang untuk memenuhi permintaan mendiang Bhok Khim pada saat wanita itu akan melepaskan napas terakhir. Bhok Kim telah meminta kepadanya agar Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini suka merawat dan mendidik puteranya yang ditinggalkan di kuil tua ini!
Di dalam bagian terakhir cerita "Pendekar Super Sakti" telah diceritakan betapa Suma Han ini setelah melaksanakan pernikahan adik angkatnya, Lulu yang menikah dengan Hoa-san Gi Hiap Wan Si Kiat, lalu pergi meninggalkan dunia ramai untuk merantau dan berusaha melupakan segala pengalaman hidupnya yang penuh derita batin. Akan tetapi ia tidak melupakan pesan Bhok Kim, maka ia lalu menuju ketempat yang dikatakan oleh Bhok Kim dalam pesan terakhirnya. Akan tetapi betapa heran hatinya ketika ia melihat dua rombongan orang berada ditempat itu dan lebih-lebih lagi herannya ketika ia mengenal hwesio tua kurus kering yang duduk bersila didepan kuil. Ia mengenal hwesio ini ketika dahulu bersama adik angkatnya ia mengunjungi kuil Siauw-lim-si, bertemu dengan hwesio sakti Kian Ti Hosiang dan pelayannya, yaitu Siauw Lam Hwesio yang kini duduk bersila ditempat itu! Sejenak pendekar berkaki buntung ini menyapukan pandang matanya kearah kuil dan keningnya berkerut ketika ia melihat senjata-senjata rahasia dan kepulan-kepulan asap kemerahan yang dapat ia lihat dibawah sinar api unggun kedua rombongan. Akan tetapi ia lalu menghampiri Siauw Lam Hwesio, menjura dan berkata.
"Maaf, kalau saya tidak salah mengenal, bukankah Locianpwe ini Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-si?"
Hwesio tua itu bersila sambil samadhi memejamkan kedua matanya, namun seluruh panca inderanya ia tujukan untuk menjaga kuil sehingga setiap gerakan kearah kuil pasti akan diketahui olehnya. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu ada suara orang menegur didepannya, padahal dia sama sekali tidak mendengar gerakan orang datang, apalagi sampai mendekatinya! Hal ini saja dapat dibayangkan betapa hebat kemajuan yang didapat pendekar ini semenjak dia mengunjungi Siauw-lim-si beberapa tahun yang lalu. Dan memang tidak mengherankan apabila gerakannya begitu halus dan ringan karena Pendekar Super Sakti tni bergerak dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun!
Mula-mula Siauw Lam Hwesio tidak mengenal Suma Han. Dahulu, ketika pendekar itu mengunjungi Siauw-lim-si, pemuda itu belum buntung kaki kirinya. Akan tetapi, karena kunjungan pemuda itu amat mengesankan dan karena wajah dan rambut panjang itu hanya berubah warnanya, Siauw Lam Hwesio segera merangkap kedua tangan didepan dada dan berkata penuh takjub.
"Omitohud....! Terpujilah nama Buddha yang Maha Pengasih! Kiranya Sicu berada disini pula? Dan kaki kiri Sicu....? Ah, syukurlah.... sungguh pinceng ikut merasa bahagia melihat kaki kiri Sicu sudah buntung!"
Ucapan hwesio itu cukup lantang dan karena keadaan disitu amat sunyi, maka semua orang kedua rombongan mendengar ucapan itu. Mereka saling pandang dan merasa heran, diam-diam mereka menganggap betapa ucapan hwesio tua itu kurang ajar dan tidak patut. Memang, bagi yang tidak mengerti, tentu saja amat tidak pantas mendengar orang merasa bahagia melihat orang terbuntung kakinya! Suma Han, pendekar itu pun merasa heran, akan tetapi sama sekali tidak tersinggung, hanya merasa heran mengapa hwesio tua ini mengerti bahwa buntungnya kaki kirinya merupakan hal yang amat menguntungkan baginya! Maka ia pun segera menekuk lutut kaki tunggalnya dan duduk bersila didepan hwesio itu sambil bertanya,
"Locianpwe! Bagaimana Locianpwe tahu akan keadaan kaki saya?" Hwesio itu tersenyum dan memandang pendekar sakti itu.
"Lupakah Sicu akan pesan mendiang Kian Ti Hosiang?"
"Aahhhhh....! Locianpwe yang sakti itu telah meninggal dunia? Sungguh saya merasa menyesal sekali....!"
"Omitohud....! Mengapa, Sicu? Beliau telah bebas daripada kesengsaraan, mengapa disesalkan? Tentu Sicu masih ingat betapa dahulu Beliau memberi nasihat kepada Sicu agar membuntungi kaki kiri Sicu, bukan? Nah, setelah Sicu pergi, pinceng tidak dapat menahan keheranan hati dan mengajukan pertanyaan yang hanya dapat dijawab singkat oleh Kian Ti Hosiang bahwa kalau kaki kiri Sicu tidak dibuntungi, Sicu takkan dapat berusia panjang....! Maka, pinceng sekarang ikut merasa bahagia melihat betapa Sicu telah diselamatkan daripada ancaman bahaya maut."
Suma Han mengangguk-angguk dan memuji. "Betapa sakti mendiang Kian Ti Hosiang! Betapa tajam penglihatannya, sungguh saya merasa kagum sekali. Sekarang, bolehkah saya bertanya mengapa Locianpwe berada disini? Dan Siapa pula kedua rombongan itu? Dan keadaan disekeliling kuil itu? Apa yang telah terjadi, Locianpwe?"Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Ruwet sekali, Sicu....! Putera seorang murid Siauw-lim-pai berada didalam kuil dan sudah menjadi tugas pinceng untuk merawat dan mendidiknya. Akan tetapi ternyata rombongan-rombongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka datang pula dengan niat yang sama, yaitu mengambil anak itu sesuai dengan perintah Ketua-ketua mereka. Entah mengapa mereka hendak mengambil anak itu. Mereka lalu mengurung kuil dengan racun dan kami semua mengambil keputusan untuk mencegah masing-masing mengambil anak itu. Susahnya, pinceng tidak mau menggunakan kekerasan karena pinceng tidak ingin menarik Siauw-lim-pai bermusuhan dengan Thian-liong-pang maupun Pulau Neraka." Dengan singkat Siauw Lam Hwesio menuturkan peristiwa yang terjadi.
Suma Han mendengarkan penuh keheranan. Kemudian ia berkata lirih agar tidak terdengar oleh orang-orang dikedua rombongan, "Locianpwe, terus terang saja, kedatangan saya ini pun dengan maksud untuk mengambil anak itu, putera mendiang Bhok-toanio."
Hwesio itu terkejut, memandang tajam akan tetapi jantungnya berdebar aneh ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata pendekar itu. Ia bergidik. Pandang mata pendekar ini benar-benar hebat, bukan seperti mata manusia! "Mengapa, Sicu?" tanyanya lirih.
"Saya datang atas permintaan Bhok-toanio sendiri dalam pesannya terakhir." Suma Han lalu menceritakan pesanan Bhok Khim kepadanya setelah wanita itu tidak berhasil meninggalkan pesan kepada kedua orang suhengnya yaitu Khu Cen Thiam dan Liem Sian.
Siauw Lam Hwesio mengangguk-angguk dan mencela murid-murid Siauw-lim-pai itu. "Mereka terlalu dipengaruhi perasaan, tidak ingat lagi akan perikemanusiaan. Betapa bodohnya dan pinceng memuji kemuliaan hati Sicu. Kalau begitu, baiklah, biar anak itu ikut bersama Sicu."
"Tidak, Locianpwe. Setelah Locianpwe berada disini, sudah sepatutnya kalau putera Bhok-toanio itu ikut bersama Locianpwe. Saya sendiri hidup sebatangkara, miskin papa tidak mempunyai rumah. Saya khawatir kalau-kalau anak itu hanya akan menderita dan terlantar bersama saya. Sebaiknya dia ikut dengan Locianpwe agar mendapat didikan yang baik dan kelak bisa menjadi seorang manusia yang berguna. Pula, Bhok-toanio menyerahkan anak itu kepada saya hanya karena terpaksa dan disana tidak ada orang lain lagi. Locianpwe atau lebih tepat Siauw-lim-pai lebih berhak atas diri anak itu."
Hwesio tua itu mengangguk-angguk. "Sicu benar. Anak keturunan orang itu perlu sekali mendapat didikan yang benar agar tidak menjadi seorang sesat seperti.... darah keturunannya. Akan tetapi, bagaimana pinceng dapat mengambil anak itu tanpa menanam permusuhan dengan mereka?" Hwesio itu memandang kearah dua rombongan.
Ucapan terakhir hwesio itu tentang darah keturunan sesat, menikam ulu hati Suma Han. Akan tetapi hanya sebentar karena perasaan tertusuk ini segera tenggelam dan lenyap dalam kekosongan hatinya. Dia pun seorang yang mempunyai darah keturunan sesat, bahkan nenek moyangnya, bangsawan yang ber-she Suma, terkenal sebagai orang-orang jahat! Dia kini menoleh kearah dua rombongan, melihat betapa pemimpin kedua rombongan itu, yang terdiri dari dua orang duduk bercakap-cakap didekat api unggun masing-masing sedangkan anak buah mereka membuat api unggun sendiri dalam jarak yang agak jauh, siap menanti perintah mereka.
"Harap Locianpwe jangan khawatir. Saya mempunyai akal untuk mengundurkan mereka."
"Sicu, ingat. Pinceng tidak menghendaki kekerasan, apalagi penumpahan darah. Kehidupan putera Bhok Khim tidak boleh dimulai dengan penumpahan darah dan pembunuhan!"
Suma Han tersenyum, mengangguk. "Saya mengerti, Locianpwe. Harap Locianpwe menyerahkan hal ini kepada saya." Ia lalu bangkit berdiri dan berjalan terpincang-pincang meninggalkan hwesio itu yang memandang bengong melihat pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam.
Dua orang Thian-liong-pang duduk didepan api unggun, membicarakan pemuda berkaki tunggal yang pergi terpincang-pincang dan lenyap dalam gelap. Si Muka Tengkorak berkata lirih. "Sebaiknya dia pergi. Aku sudah khawatir kalau-kalau dia membantu Si Hwesio."
"Hemm, bocah berkaki buntung seperti itu bisa apakah? Andaikata membantu Si Hwesio Siauw-lim-pai, seorang diantara anak buah kita tentu dapat membinasakannya!" kata Si Mata Sipit.
"Ahh, Sute. Jangan memandang rendah dia. Tidakkah kau melihat sinar matanya tadi? Hihhh, seperti mata setan! Dan rambutnya yang putih semua itu! Dia seperti siluman saja. Ngeri aku melihatnya!"
"Ah, Suheng! Andaikata dia siluman sekalipun, aku tidak takut kepadanya! Kalau dia berani muncul, kutabas batang lehernya dengan pedang ini!" Si Mata Sipit mengeluarkan sebatang pedang yang tadi tidak dipergunakannya ketika menghadapi dua orang Pulau Neraka. "Dia tentu bukan orang Siauw-lim-pai dan menurut pesan Pangcu, hanya orang-orang partai besar saja yang harus kita indahkan dan jaga jangan sampai kita bentrok dengan mereka. Atau kubuntungi lagi kaki tunggalnya, hendak kulihat dia bisa berbuat apa?"
Tiba-tiba terdengar suara lirih didepan mereka, "Ha-ha-ha, aku memang siluman. Pendekar Siluman! Kalian mau bisa berbuat apa terhadap seorang siluman? Bocah itu putera murid Siauw-lim-pai, harus ikut dengan hwesio Siauw-lim-si. Kalau kalian masih banyak ribut, kutelan kalian hidup-hidup!"
Dua orang itu terbelalak kaget. Suara itu datang dari dalam api unggun! Mereka menatap api unggun dan tampak oleh mereka betapa asap api unggun menebal, bergulung keatas dan.... asap tebal itu membentuk tubuh seorang raksasa! Makin lama makin jelaslah bentuk itu dan muncullah seorang raksasa yang besarnya tiga empat kali ukuran manusia biasa, raksasa yang wajahnya presis pemuda berkaki buntung tadi, kakinya buntung, tongkat butut ditangannya, rambutnya riap-riapan putih dan kini "raksasa" itu mengulur tangan kanan hendak menangkap mereka!
"Huuuuhhh....! Sii.... siluman....!" Si Mata Sipit terloncat kaget, lupa akan ancamannya, bahkan pedangnya terlepas dari tangan yang menggigil.
"Siluman.... siluman raksasa....!" Si Muka Tengkorak juga melompat bangun.
Mukanya sendiri seperti tengkorak, seperti siluman yang tentu akan menimbulkan rasa ngeri dihati orang yang melihatnya, akan tetapi kini dia berdiri terbelalak, kedua kakinya menggigil. Kemudian kedua orang jagoan ini lari terbirit-birit diturut oleh anak buahnya yang juga melihat "siluman raksasa" itu!
Keributan ini terdengar oleh rombongan Pulau Neraka. Mereka menjadi terheran-heran melihat rombongan lawan itu lari pontang-panting sambil berteriak-teriak ada siluman! Karena mereka tidak melihat sesuatu, mereka diam-diam mentertawakan rombongan Thian-liong pang yang mereka anggap pengecut dan penakut, seperti sekumpulan anak-anak kecil yang ketakutan dan melihat yang bukan-bukan didalam tempat sunyi itu.
"Hi-hik, sungguh lucu! Mereka itu mengaku sebagai orang-orang Thian-liong-pang dan kabarnya Thian-liong-pang mempunyai banyak orang pandai. Sekarang, ditempat sunyi ini mereka ketakutan dan lari karena melihat siluman?" Wanita bermuka jambon tertawa.
"Huh! Siluman? Kita dari Pulau Neraka sudah lama dianggap manusia-manusia siluman maka tentu saja kita tidak takut siluman. Lebih baik lagi kalau mereka melarikan diri sehingga pekerjaan kita menjadi ringan. Besok pagi kita harus dapat membawa lari anak itu dari sini!" kata laki-laki muka ungu sambil menaruh lagi ranting kayu kering untuk membesarkan api unggun.
"Tapi.... bagaimana dengan hwesio tua itu? Dia tentu akan merintangi kita dan tentu kita akan mendapat teguran kalau kita terpaksa harus membunuhnya. Kalau tidak dibunuh, bagaimana kita bisa mengambil bocah itu?" Sumoinya membantah.
"Apa sukarnya? Kita boleh menggunakan akal. Dia hanya seorang diri, dan kita berjumlah banyak. Kita atur begini...." Dia kini bicara bisik-bisik. "Biarlah besok kutantang dia. Dia toh tidak akan dapat memasuki kuil. Kutantang dia bertanding, dan selagi aku melawan dia, engkau bersama anak buah kita menyerbu kekuil, membawa lari bocah itu!"
"Akan tetapi dia lihai sekali, Suheng. Bagaimana kalau Suheng kalah?"
"Kalau dia terlalu lihai, engkau membantuku dan biar anak buah kita yang menyerbu kedalam kuil. Kita keroyok dia dan setelah bocah itu dapat dirampas, kita tinggalkan dia. Apa sukarnya?"
"Akan tetapi.... senjata-senjata rahasia kaum Thian-liong-pang itu. Berbahaya sekali."
"Hemm, mereka telah lari cerai-berai. Kita berjumlah banyak. Suruh anak buah kita membersihkan senjata-senjata rahasia yang tersebar didepan kuil. Besok setelah matahari terbit, kita bergerak serentak dan pasti berhasil."
"Aihh, Suheng lupa akan bocah buntung tadi. Bagaimana kalau dia muncul?"
"Biarkan dia muncul! Kita takut apa? Sikapnya saja menyeramkan, akan tetapi bocah itu bukan setan, hanya manusia biasa, manusia yang cacad pula. Dengan kakinya yang hanya sebuah, dia bisa apa? Apakah engkau takut, Sumoi?"
"Aku? Takut? Hi-hi-hik! Lucu sekali, Suheng. Sejak kapan aku takut kepada bocah buntung seperti dia itu?" Wanita muka jambon itu bangkit berdiri, mendekati api unggun dan membesarkan api unggun sambil berkata lagi, "untuk membuktikan bahwa aku tidak takut, kalau benar dia berani muncul, akan kupenggal lehernya dan kubawa pulang kepalanya untuk hiasan dinding dikamarku...."
Tiba-tiba ia berhenti bicara, matanya terbelalak, tangannya masih memegeng ranting membesarkan api, mulutnya terbuka lebar. Juga suhengnya sudah meloncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. Ternyata diatas api unggun telah berdiri pemuda buntung yang mereka bicarakan tadi, akan tetapi pemuda buntung itu tubuhnya tinggi besar seperti raksasa. Selagi kedua orang Pulau Neraka ini tertegun, terdengar "raksasa" itu berkata, suaranya besar parau. "Engkau akan menabas kepalaku dan hendak membawa kepalaku sebagai oleh-olah? Untuk hiasan dinding kamar? Nah, ini kuberikan kepalaku kepadamu!" Raksasa itu menjambak rambutnya sendiri, membetot dan.... kepala raksasa itu copot dan kini tergantung ditangan kanannya yang diulur untuk menyerahkan kepala itu kepada wanita bermuka jambon!
"Cel.... celaka.... ib.... iblisssss....!" Wanita itu melompat kebelakang, menahan air kencingnya yang hampir keluar saking
takutnya. Suhengnya sudah mendahuluinya lari terbirit-birit. Keduanya kini lari pontang-panting dan anak buah mereka juga lari sambil berteriak-teriak karena mereka dikejar seorang raksasa yang memegangi kepalanya yang copot!
Siauw Lam Hwesio hanya melihat betapa kedua rombongan itu secara aneh melarikan diri, padahal dia hanya melihat Suma Han menghampiri mereka dan bicara lirih, Hwesio tua ini sudah memiliki banyak pengalaman, dan juga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Akan tetapi apa yang disaksikannya itu benar-benar membuat ia tidak mengerti, kagum dan menarik napas panjang lalu berbisik,
"Omitohud....! Dia itu.... manusia ataukah siluman....?" Akan tetapi diam-diam ia merasa bersyukur bahwa kedua rombongan itu telah pergi sehingga besok akan memudahkan baginya membawa pergi putera Bhok Khim. Dia tidak berani memasuki kuil malam itu karena masih ada bahaya racun mengancam. Besok setelah matahari bersinar, baru ia akan mencari akal untuk memasuki kuil dan menghindarkan diri daripada bahaya racun yang mengancam. Dia tidak melihat Suma Han muncul lagi, maka diam-diam ia bersyukur dan berterima kasih lalu melanjutkan samadhinya sambil memasang perhatian kalau-kalau ada musuh yang berniat buruk memasuki kuil malam itu.
Akan tetapi malam itu tidak ada terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, ketika embun pagi telah mulai terusir pergi oleh sinar matahari yang kemerahan dan cuaca sudah mulai terang, Siauw Lam Hwesio membuka matanya dan bangkit berdiri. Akan tetapi, suara disebelah belakang membuat ia menengok dan alangkah kecewa dan cemas hati hwesio ini ketika melihat bahwa kedua rombongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka itu ternyata masih berada disitu, biarpun kini dalam jarak yang agak jauh dan ternyata kedua rombongan itu kini menjadi satu! Agaknya, keduanya telah bicara tentang siluman dan bersepakat untuk menghadapi rintangan menakutkan itu bersama! Kini, setelah malam terganti pagi dan melihat hwesio tua telah bangkit berdiri, merekapun berindap-indap mulai mendekati kuil!
Melihat ini, Siauw Lam Hwesio berkata, "Apakah kalian masih belum mau pergi dan membiarkan pinceng mengambil putera murid Siauw-lim-pai?"
Si Muka Tengkorak, tokoh Thian-liong-pang itu berseru, "Tidak bisa! Kami tidak boleh membiarkan engkau mengambil anak itu!"
Laki-laki bermuka ungu juga berkata, "Losuhu, biarpun engkau dibantu siluman, kami tidak takut! Kami bersama akan menghadapi siluman itu, baru kemudian kita bicara tentang anak yang kita perebutkan!"
"Hemm, pinceng sebetulnya tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi hendaknya kalian ingat bahwa sekali ini, Siauw-lim-pai bertindak untuk urusannya sendiri karena anak itu adalah anak dari murid Siauw-lim-pai, berarti masih keluarga Siauw-lim-pai. Maka apabila pinceng mengambil anak itu dan Cu-wi menghalangi, berarti bahwa Cu-wi yang mencari permusuhan dengan Siauw-lim-pai, bukan pinceng yang sengaja menimbulkan pertentangan!"
"Ha-ha-ha, Siauw Lam Hwesio. Setelah matahari bersinar dan tidak ada Pendekar Siluman yang main sulap lagi, kini bicaramu lunak sekali. Siapa bicara tentang permusuhan antara partai? Sekarang adalah urusan pribadi diantara kita! Siauw Lam Hwesio, aku menantangmu bertanding, apakah engkau berani?"
"Omitohud! Selamanya pinceng tidak pernah minta bantuan orang lain. Kalau semalam kalian lari pontang-panting karena Suma-sicu, hal itu adalah kehendak pendekar itu sendiri. Dan selamanya pinceng tidak pernah mengadakan pibu dengan siapa juga. Sekarang pinceng tidak ingin berurusan dengan kalian, baik atas nama partai maupun perorangan. Pinceng hendak mengambil anak itu!"
"Eh, hwesio penakut! Aku menantangmu, apakah kau tidak berani? Apakah keberanianmu hanya mengandalkan Pendekar Siluman? Dimana dia sekarang? Seekor siluman akan lari kalau melihat sinar matahari, apakah semalam itu bukan siluman ciptaan ilmu hitammu sendiri!" Wanita muka jambon mengejek.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam kuil. "Siapa mencari Pendekar Siluman? Aku berada disini!" Tiba-tiba pintu kuil terbuka dan muncullah Suma Han, terpincang-pincang sambil memondong seorang anak laki-laki yang memandang kepadanya dengan wajah berseri. Suma Han terpincang-pincang sampai depan kuil, ditonton oleh semua orang yang memandang terbelalak karena senjata-senjata rahasia itu masih bertebaran disitu dan asap kemerahan masih mengepul tipis!
Tiba-tiba Suma Han menggerakkan kaki tunggalnya dan bagi para anak buah kedua rombongan, tubuh pendekar kaki buntung itu lenyap. Akan tetapi, dua orang tokoh Pulau Neraka dan dua orang tokoh Thian-liong-pang, juga Siauw Lam Hwesio, melihat betapa pemuda buntung itu mencelat keatas tinggi sekali, berjungkir balik lima kali diudara melewati asap kemerahan dan meluncur turun didekat mereka tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
"Hebat....! Menyenangkan sekali....!" Anak laki-laki dalam pondongan Suma Han yang diajak mencelat tinggi lalu berjungkir balik lima kali itu tidak menjadi cemas, bahkan bertepuk-tepuk tangan dan bersorak kegirangan! Ia masih bersorak ketika Suma Han menurunkannya keatas tanah.
"Siapa mencari aku? Aku Pendekar Siluman berada disini! Dengarkanlah wahai kalian orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka! Aku sama sekali bukan pembantu Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai! Aku bertindak atas kehendakku sendiri dan semua yang kulakukan adalah menjadi tanggung jawabku sendiri! Aku mengambil anak ini dan kuserahkan kepada Siauw-lim-pai karena aku menganggap anak ini sudah seharusnya ikut dengan Siauw-lim-pai. Kalau ada diantara kalian yang tidak menerima, jangan menyalahkan Siauw Lam Hwasio, akan tetapi akulah yang bertanggun jawab!" Suma Han lalu mandorong tubuh anak itu yang mencelat kearah Siauw Lam Hwesio! Hwesio tua itu menerimanya dan memondongnya.
"Tidak! Aku lebih suka ikut denganmu, Paman Buntung!" Bocah itu berkata.
"Hemm, dengarlah, anak baik! Ibumu adalah murid Siauw-lim-pai, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk belajar di Siauw-lim-pai, agar kelak menjadi seorang manusia yang berguna. Jangan membantah lagi!" Didalam suara Suma Han terkandung wibawa yang membuat anak itu tidak berani lagi membantahnya. "Locianpwe, harap membawa pergi anak itu dan Lociapwe sudah tidak ada urusan lagi dengan mereka ini. Sayalah yang bertanggung jawab dalam urusan ini!"
"Omitohud....! Semoga Sang Buddha memberi bimbingan kepadamu, Suma-sicu," Siauw Lam Hwesio lalu pergi dari situ sambil memondong anak itu, diikuti pandang mata semua orang, namun tidak ada yang berani bergerak menghalanginya pergi.
Tiba-tiba dua orang Thian-liong-pang membentak marah dan kedua tangan mereka bergerak. Melihat ini, dua orang Pulau Neraka juga menggerakkan tangan dan berhamburan senjata-senjata rahasia berupa peluru-peluru bintang dan golok-golok terbang. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Suma Han lenyap dari depan mata mereka. Ketika senjata-senjata itu sudah lewat dan golok-golok terbang sudah kembali ketangan pemiliknya, kiranya tubuh pendekar butung itu tadi mencelat keudara dan kini sudah kembali ditempatnya, berdiri tersenyum pahit sambil bersandar pada tongkat bututnya!
"Serbu....!" bentak dua orang pimpinan rombongan Pulau Neraka.
"Tangkap!" pimpinan Thian-liong-pang juga memberi aba-aba kepada anak buahnya.
Kini puluhan macam senjata bagaikan hujan menyerbu tubuh Suma Han. Pendekar ini menggerakkan kakinya, tubuhnya mencelat kesana sini, tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah bunyi nyaring berkali-kali susul-menyusul dan tampak senjata-senjata itu beterbangan dalam keadaan patah-patah.
Empat orang pimpinan kedua rombongan itu marah sekali, mereka maju serentak mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga sin-kang mereka. Kini Suma Han mendorongkan kedua tangan kedepan, mengempit tongkatnya dan empat orang itu terdorong mundur, terhuyung-huyung akhirnya terbanting keras. Mereka merayap bangun dan wajah mereka berubah, gentar dan heran.
"Siapakah engkau, hai pemuda yang luar biasa?" Si Muka Tengkorak dari Thian-lion-pang bertanya. "Namaku Suma Han!" jawab Pendekar Sakti itu sambil tersenyum duka, sama sekali tidak merasa bangga akan namanya.
"Engkau datang dari partai manakah dan siapa julukanmu? Kami perlu tahu untuk kami laporkan kepada Ketua kami!" tanya tokoh Pulau Neraka yang bermuka ungu. Suma Han memandang orang ini, kemudian memandang orang-orang dari Pulau Neraka yang mukanya berwarna-warni itu. Dia tersenyum. Orang-orang ini adalah orang-orang aneh sekali, tentu mempunyai ketua yang luar biasa pula. Tidak baik menanam bibit permusuhan dengan mereka, maka ia sengaja berkelakar, "Kalian sudah tahu bahwa julukanku adalah Pendekar Siluman! Adapun partaiku? Tidak ada partai, tempatku adalah Pulau Es!"
Di luar sangkaan Suma Han, mendengar ini, rombongan muka berwarna itu mengeluarkan seruan kaget sekali dan serentak dua orang pimpinan itu menjatuhkan diri berlutut didepan Suma Han, diturut oleh semua anak buahnya. "Mohon diampunkan kelancangan hamba sekalian yang tidak mengenal sehingga telah berani bersikap kurang ajar terhadap To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau Es!"
Tentu saja Suma Han terkejut sekali, akan tetapi hatinya girang karena hal itu berarti bahwa sikap bermusuh mereka telah habis. "Sudahlah, harap kalian jangan bersikap sungkan. Diantara kita tidak ada permusuhan apa-apa, dan kuharap saja dimasa depan kita tidak akan saling bentrok. Harap sampaikan salamku kepada Ketua Thian-liong-pang dan juga Ketua Pulau Neraka. Selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, Suma Han sengaja mengerahkan kepandaiannya sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya berkelebat dan lenyap dari depan mereka semua. Para anak buah dua rombongan itu bengong terheran-heran dan penuh
kekaguman, apalagi kalau mereka teringat akan peristiwa malam tadi dan nama besar Pendekar Siluman mulai saat itu makin terkenal, bahkan semenjak hari itu, Suma Han lebih dikenal sebagai Pendekar Siluman daripada Pendekar Super Sakti!
******
"Adikmu yang seperti setan itu hanya mendatangkan malapetaka saja! Sungguh celaka! Kalau tahu begini, sampai mati pun tidak sudi aku mengambil engkau menjadi isteriku! Adikmu itu telah berani melarikan Puteri Nirahai dari istana! Celaka, sekarang kita tentu akan tertimpa bencana karena engkau adalah cicinya!" Giam Cu, panglima tinggi besar brawok itu menggebrak meja dan melotot kepada isterinya yang memandangnya dengan mata terbelalak dan air mata bercucuran. Isterinya yang muda dan cantik itu adalah Sie Leng, atau lebih tepat Suma Leng, kakak perempuan dan satu-satunya saudara kandung dari Suma Han. Dalam cerita "Pedekar Super Sakti" telah diceritakan bahwa Suma Leng ini, ketika masih dara remaja, telah diperkosa dan diculik oleh panglima Mancu dan kemudian diambil menjadi isterinya karena panglima itu ternyata jatuh cinta kepada korbannya ini.
"Kalau dia melarikan Puteri Nirahai, tentu ada sebab-sebabnya sendiri, sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan kita. Mengapa engkau ribut-ribut?" Suma Leng membantah, akan tetapi ia menjadi cemas menyaksikan sikap suaminya kepadanya yang amat berubah ini. Baru sekarang suaminya yang biasanya memperlihatkan sikap kasih sayang, kelihatan marah-marah dan sinar kebencian terpancar dari matanya.
"Tiada sangkut pautnya katamu?" Panglima Giam Cu bangkit berdiri dan tinjunya menghantam permukaan meja. "Brakkk!" Meja itu pecah-pecah menjadi beberapa potong! "Semua orang tahu bahwa engkau adalah kakak siluman buntung itu! Maka tentu kita sekeluarga akan dicap sebagai keluarga pemberontak jahat! Gara-gara engkau mempunyai adik siluman, aku pun akan turut celaka pula." Wajah panglima itu menjadi pucat teringat akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri. "Kecuali kalau...."
Suma Leng mendapat firasat buruk, jantungnya berdebar ketika mendengar kalimat terakhir yang tidak lengkap itu keluar perlahan-lahan dari mulut suaminya, dengan nada yang rendah dan lirih. "....kecuali kalau apa....?" tanyanya. Akan tetapi pertanyaannya ini disusul jerit mengerikan karena tiba-tiba berkelebat sinar menyilaukan dan tahu-tahu ujung pedang ditangan Giam Cu telah menembus dada isterinya yang biasanya amat dicintanya itu!
Suma Leng terbelalak memandang suaminya, tangannya mendekap dada yang tertusuk pedang. "Kau.... kau...." ia terengah-engah, terhuyung kebelakang.
Sedetik Panglima Giam Cu merasa menyesal, akan tetapi segera ditekannya dengan keyakinan bahwa jalan ini terbaik baginya untuk menyelamatkan diri. "Terpaksa, demi keselamatanku, demi Hong-ji (Anak Hong)...."
"Ibu....! Ibuuuuu....!" Seorang anak perempuan berusia tiga tahun lebih berlari-lari dari dalam. Seorang kanak-kanak memiliki perasaan yang amat tajam dan halus sekali apalagi dengan ibunya, dia memiliki pertalian jiwa raga yang dekat sehingga anak perempuan yang biasanya diasuh oleh para pelayan, kini seperti digerakkan sesuatu yang mujijat, meronta dan berlari mencari ibunya!
"Kwi Hong....!" Suma Leng roboh sambil menyebut nama puterinya.
"Ibuuuu....!" Kwi Hong, bocah berusia tiga tahun lebih itu, memasuki kamar dan berlari menghampiri ibunya. Akan tetapi tiba-tiba tangan Panglima Giam menyambar tengkuknya dan bocah itu meronta dan menangis dalam pondongan ayahnya.
"Aku mau Ibu....! Lepaskan, akan turut Ibu....!"
"Husshh! Ibumu jahat dan nakal, engkau turut Ayah saja!" Panglima Giam Cu membentak dalam usahanya menghibur anaknya secara kaku dan kasar.
"Tida kkkk....! Aku mau Ibu...., mau Ibu....!" Anak itu meronta-ronta.
"Kwi Hong.... Kwi Hong.... engkau.... hati-hatilah anakku.... ohhhh!" Suma Leng menghembuskan napas terakhir dan bagaikan digerakkan sesuatu, anak itu menjerit dan menangis sekerasnya.
"Diam! Kutampar engkau kalau tidak mau diam!" Giam Cu membentak akan tetapi anak itu tetap menangis sehingga panglima yang kasar ini menjadi marah dan benar-benar menampar pipi Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih itu.
Para pelayan datang dan mereka terkejut menyaksikan nyonya majikan mereka menggeletak dilantai dengan dada tertembus pedang dan tidak bernyawa lagi. Giam Cu menerangkan. "Dia membunuh diri karena malu mengingat adiknya Suma Han yang menjadi siluman kaki buntung dan menimbulkan keributan di istana."
Para pelayan mengundurkan diri sambil memondong Kwi Hong dan ramailah berita tentang kematian isteri panglima ini yang me mbunuh diri. Berita ini tentu saja terdengar oleh Kaisar dan tepat seperti yang diperhitungkan Giam Cu, dia tidak diganggu oleh Istana berhubung dengan perbuatan Suma Han yang melarikan Puteri Nirahai karena orang yang menjadi kakak pemuda buntung itu telah membunuh diri!
Akan tetapi, tentu saja penghuni gedung panglima ini dapat menduga bahwa nyonya majikan mereka sama sekali tidak membunuh diri, melainkan dibunuh oleh Giam-ciangkun. Namun mereka tidak berani bicara tentang itu. Pula, andaikata Kaisar mendengar bahwa kematian kakak perempuan Suma Han itu disebabkan oleh pembunuhan Giam Cu, hal ini bahkan akan memperbesar kepercayaan pihak istana terhadap kesetiaan Giam Cu!
Kurang lebih empat bulan kemudian, pada suatu malam yang sunyi, menjelang tengah malam, Panglima Giam Cu terbangun dari tidurnya. Ia terkejut sekali melihat bayangan orang dalam kamarnya. Cepat ia mendorong tubuh wanita muda yang montok dan hangat itu, yang menjadi kekasihnya semenjak isterinva tewas, dan dengan hanya berpakaian dalam ia meloncat turun dari pembaringan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal orang yang berdiri didalam kamarnya itu, seorang lakilaki muda berkaki tunggal, bertongkat, rambutnya riap-riapan berwarna putih semua. Suma Han! Memang benarlah. Suma Han atau Si
Pendekar Siluman yang berada didalam kamar itu. Setelah berhasil menyelamatkan putera Bhok Khim dikelenteng tua itu dan menyerahkan anak itu kepada Siauw Lam Hwesio, pendekar ini diam-diam pergi ke kota raja untuk mengunjungi encinya dan minta diri karena ia mengambil keputusan untuk pergi mencari Pulau Es dan menghabiskan sisa hidupnya ditempat itu. Ia ingin bertemu dengan encinya untuk terakhir kalinya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya mendengar bahwa encinya itu telah mati membunuh diri beberapa bulan yang lalu, yaitu beberapa hari setelah ia melarikan Puteri Nirahai dari penjara!
Karena merasa penasaran dan ingin menyelidiki, maka pada tengah malam itu Suma Han mempergunakan kepandaiannya memasuki kamar cihunya (kakak iparnya). Sebelum Giam Cu hilang kagetnya, Suma Han telah menggerakkan tongkat dan sekali totokan membuat tubuh Giam Cu tak dapat digerakkan lagi. Wanita muda yang telanjang bulat itu terbangun dan hendak menjerit, namun kembali Suma Han menotok sehingga wanita itu roboh lemas kembali keatas kasur.
Suma Han menatap wajah cihunya, kemudian terdengar suaranya lirih penuh wibawa yang aneh, "Ceritakan sebab kematian Enci Leng!"
Seperti dalam mimpi, yang membuat ia ketakutan setengah mati, panglima itu mendengar suaranya sendiri, suara yang agaknya tak dapat ia kendalikan dan kuasai lagi, yang bicara tanpa dapat dicegahnya, "Dia mati kubunuh, kutusuk pedang dari dada tembus kepunggungnya."
Suma Han memejamkan mata sejenak untuk "menelan" kemarahan yang menyesak dada, kemudian membuka lagi matanya dan bertanya, "Mengapa engkau membunuhnya? Bukankah engkau amat sayang sekali kepada Enci Leng?"
Seperti sebuah arca yang mendadak bisa bicara, terdengar panglima itu menjawab, "Aku masih sayang kepadanya.... tapi.... aku harus membunuhnya. Itulah jalan satu-satunya bagiku untuk menyelamatkan diri dari kemarahan Kaisar karena perbuatan adiknya. Aku menyesal.... akan tetapi terpaksa....!"
Suma Han menarik napas panjang, kemudian berkelebat keluar dari kamar itu. Tak lama kemudian, tampaklah tubuhnya mencelat-celat diatas wuwungan rumah-rumah kota raja meloncati tembok kota keluar dari kota raja. Akan tetapi sekarang lengan kanannya memondong seorang anak kecil yang terbungkus selimut merah tebal. Seorang bocah yang masih tidur, yakni Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih, tidur nyenyak tidak tahu bahwa dia telah dibawa pergi pamannya meninggalkan gedung ayahnya, meninggalkan kota raja, bahkan meninggalkan dunia ramai!
Memang, semenjak perbuatan terakhir yang kembali menggemparkan kota raja karena semua orang menemukan Giam-ciangkun dalam keadaan berubah ingatan dan puteri panglima itu lenyap sehingga orang-orang mulai menduga bahwa ini tentu perbuatan Pendekar Siluman, diperkuat oleh kesaksian selir panglima itu yang melihat laki-laki buntung dalam kamar, semenjak itulah Suma Han lenyap dari dunia ramai. Akhirnya Kaisar menghentikan usahanya untuk mencari pendekar ini, juga sudah putus harapan untuk dapat menemukan kembali Puteri Nirahai yang hilang. Banyak sekali urusan yang lebih penting daripada hilangnya puteri dari selir ini. Terutama sekali urusan penumpasan para pemberontak di Se-cuan. Setelah berhasil mengadakan persekutuan dengan Pangeran Kiu yang bersaing dengan Raja Muda Bu Sam Kwi, dan bersekutu pula dengan Tibet, pasukan-pasukan Mancu kembali melakukan penyerbuan dan tekanan-tekanan di Se-cuan terus-menerus dilakukan. Pihak pejuang yang melawan kekuasaan pemerintah Mancu melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi, berkat siasat yang dilakukan Puteri Nirahai dahulu, yaitu mendekati dan menjanjikan perdamaian dengan para tokoh kang-ouw, kini perlawanan Bu Sam Kwi kehilangan bantuan orang-orang pandai dari dunia kang-ouw sehingga makin lama pertahanannya menjadi makin lemah.
Memang patut dikagumi keuletan pertahanan pihak Se-cuan yang pantang mundur. Bahkan matinya Raja Muda Bu Sam Kwi masih belum meruntuhkan semangat perlawanan pasukan Se-cuan. Mereka terus mengadakan perlawanan gigih dan barulah setelah melakukan perang lagi selama empat tahun lebih, pada tabun 1681 semua pertahanan dapat dihancurkan dan Se-cuan dapat direbut oleh tentara Mancu. Dengan jatuhnya Se-cuan, berhenti pula perang dan mulai saat itulah pemerintah Mancu dapat menguasai seluruh Tiong-goan.
Ternyata pemerintah Mancu dibawah pimpinan Kaisar Kang Hsi cukup bijaksana dan ternyata pula bahwa orang-orang Mancu tidak hanya pandai perang, melainkan pandai pula mengatur pemerintahan. Untuk menundukkan semangat perlawanan bangsa pribumi, pemerintah mengadakan peraturan yang keras. Model pakaian diganti dan rakyat dianjurkan bahkan kadang-kadang dengan kekerasan, untuk merobah model pakaian Mancu. Rambut harus dibiarkan panjang dan dikuncir. Selain ini, diadakan pula larangan membawa senjata tajam. Namun disamping kekerasan ini, pemerintah pun menjalankan siasat lunak yang menyenangkan hati rakyat. Korupsi dan penyuapan diberantas, kejahatan dihukum keras. Pribumi yang memiliki kepandaian mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Kebudayaan ditingkatkan dan dipelihara. Rakyat mulai merasa lega karena biarpun negara dijajah bangsa asing, namun penghidupan mereka kini lebih tenteram dan keselamatan mereka terjamin. Terutama sekali karena bangsa Mancu tidak menganggap mereka sebagai pendatang atau orang asing, tidak mengangkut kekayaan dibumi yang dijajah itu keMancu, melainkan melebur diri menjadi rakyat dari negara itu. Para pembesar dan bangsawan mempelajari kebudayaan Tiongkok bahkan keluarga mereka mulai berbicara dalam bahasa bangsa jajahannya ini. Keadaan yang mulai tenteram inilah maka timbul kembali partai-partai persilatan yang tadinya tenggelam dan menyembunyikan diri. Karena sekarang tidak ada lagi "musuh rakyat" yang harus mereka lawan dengan ilmu kepandaian mereka, mulailah lagi timbul penyakit lama kaum kang-ouw ini, yaitu berlumba untuk menjagoi didunia persilatan! Mulai kambuh kembali penyakit ingin mencari dan menguasai semua pusaka-pusaka peninggalan tokoh-tokoh persilatan yang sakti, memperebutkan pusaka-pusaka untuk memperkuat kedudukan masing-masing agar dapat menjadi jagoan nomor satu didunia kang-ouw. Dalam pandangan kaum kang-ouw ini, pemerintah yang baru mendatangkan kesan baik, maka sebagian ada yang menghambakan diri kepada pemerintah untuk memperkokoh kedudukan dan kemuliaan. Namun, kaum persilatan yang memang berwatak aneh itu merupakan petualang-petualang yang haus akan ketegangan-ketegangan, maka lebih banyak lagi yang tidak mengikatkan diri dengan pemerintah dan hidup bebas seperti yang ditempuh nenek moyang mereka didunia kang-ouw.
Lima tahun telah lewat dengan aman dan tenteram. Tidak terjadi ketegangan didunia kang-ouw selama lima tahun itu. Namun ada terdengar berita bahwa terjadi perubahan-perubahan yang amat hebat didalam partai-partai besar. Agaknya partai-partai besar itu selama lima tahun ini sibuk dengan urusan dalam partai sendiri, tentang penggantian ketua, dewan pimpinan dan lain-lain, juga memperkuat kedudukan untuk menghadapi "sesuatu" yang dibisik-bisikkan sebagai hal amat gawat! Karena itu, didalam ketenangan itu bersembunyi sesuatu yang sewaktu-waktu akan meledak didunia kang-ouw! Api dalam sekam yang setiap saat dapat berkobar! Bisul yang makin lama makin membesar, siap untuk pecah! Ada terdengar berita bahwa kini para tokoh-tokoh besar didunia kang-ouw mulai mengincar kedudukan dan tingkat didunia persilatan. Hal ini tidak mengherankan karena bukankah tokoh-tokoh lama sudah lenyap dan banyak yang mengundurkan diri tanpa pamit? Akan tetapi, semua orang kang-ouw tahu bahwa perebutan tingkat didunia kang-ouw tidak kalah ramainya dengan perebutan saingan sebuah kerajaan!
Selama lima tahun itu, Siauw-lim-pai juga mengalami kejadian-kejadian penting. Pertama adalah meninggalnya Kian Ti Hosiang tokoh tertua dari Siauw-lim-pai, disusul setahun kemudian dengan meninggalnya Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai. Setelah dua orang tokoh ini meninggal dunia, tidak ada lagi yang menjadi pimpinan yang ditakuti, maka terjadilah guncangan-guncangan akibat perebutan kekuasaan dan anak muridnya terpecah karena mempertahankan pilihan calon ketua masing-masing. Dan didalam keributan dan guncangan itu, Siauw Lam Hwesio turun tangan. Hwesio tua ini sebetulnya hanyalah seorang hwesio yang kedudukannya rendah, dan tidak pernah mencampuri urusan partai. Akan tetapi oleh kerena dia bekas pelayan Kian Ti Hosiang dan semua hwesio tahu bahwa Siauw Lam Hwesio mewarisi ilmu kepandaian Kian Ti Hosiang sehingga jarang ada murid Siauw-lim-pai lain yang mampu mengimbangi tingkatnya, maka ketika Siauw Lam Hwe sio turun tangan melerai, nasihatnya ditaati. Apalagi karena Siauw Lam Hwesio yang biasanya pendiam dan sabar itu agaknya menjadi marah sekali menyaksikan perebutan kekuasaan antara saudara seperguruan, sehingga terlontarlah kata-kata dan keputusannya.
"Tidak mau insaf jugakah kalian betapa nama kita sebagai pendeta-pendeta menjadi bahan ejekan dan kecaman dunia? Betapa banyak orang-orang yang berpakaian seperti pendeta namun kelakuannya amat jahat. Mereka itu sebetulnya hanyalah penjahat-penjahat yang menyembunyikan diri dalam pakaian pendeta, akan tetapi perbuatan mereka itu telah mencemarkan nama kita. Sekarang, kalian sebagai pendeta-pendeta aseli, sebagai hwesio-hwesio murid Siauw-lim-si yang semenjak kecil digembleng dengan ilmu dan kebatinan, ternyata masih tidak mampu menguasai nafsu akan kemuliaan dan kedudukan sehingga kedudukan ketua saja diperebutkan! Kalau begitu, apa artinya kalian menggunduli rambut kepala? Apa artinya kepala gundul akan tetapi hatinya berbulu? Sungguh mencemarkan dan memalukan perbuatan kalian ini sehingga pinceng sendiri merasa malu untuk berpakaian pendeta dan menggunduli kepala. Nah, mulai sekarang biarlah aku tidak menjadi pendeta lagi, kepalaku tidak gundul lagi agar jangan dikira aku pun seorang busuk menyamar sebagai pendeta hwesio!" Setelah berkata demikian, Siauw Lam Hwesio mengeluarkan ilmunya yang mujijat. Seluruh tubuhnya menggigil dan kulit tubuhnya mengeluarkan keringat dan.... dipermukaan kepalanya yang gundul licin itu tiba-tiba tumbuh rambut yang panjangnya ada dua senti! Juga ketika ia menggerakkan tubuh, pakaian pendeta yang menempel ditubuhnya hancur berantakan!
Melihat kesaktian yang hebat ini, para murid Siauw-lim-pai tunduk dan dapatlah kini dipilih seorang ketua baru tanpa adanya pertentangan. Anak laki-laki putera Bhok Kim yang dibawa kekuil Siauw-lim-si oleh kakek itu, kini telah menjadi muridnya dan tinggal pula di Siauw-lim-si membantu pekerjaan gurunya sebagai pelayan. Semua hwesio dikuil itu sayang kepada Bun Beng, demikian nama anak itu, karena bocah itu amat rajin dan penurut, pula memiliki kecerdikan yang luar biasa dengan wajahnya yang tampan dan sepasang matanya yang bening tajam.
Semenjak peristiwa hebat dimana Siauw Lam Hwesio menumbuhkan rambutnya itu, dia bersama Bun Beng masih tinggal didalam kuil, dibagian belakang dan mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, membersihkan kuil, mengisi air, menyapu dan lain-lain, dibantu muridnya.
Pada malam itu, setelah makan malam dan mengaso, Bun Beng melihat wajah gurunya muram. Gurunya memang tidak pernah berseri mukanya, akan tetapi biasanya wajah gurunya itu hanya dingin saja, tidak seperti malam ini je las membayangkan kemuraman. Kakek itu kini rambutnya telah panjang sampai lewat pundak, jenggot dan kumisnya juga panjang. Rambut dan jenggot itu telah putih semua, seperti benang-benang perak, dan pakaiannya sederhana sekali.
"Suhu, apakah yang mengganggu pikiran Suhu?" Bun Beng bertanya ketika guru dan murid ini duduk diatas pembaringan dalam kamar mereka.
Kakek yang kini tidak menggunakan sebutan hwesio lagi melainkan hanya Kakek Siauw Lam saja, memandang muridnya sambil menyembunyikan kekaguman hatinya dari sinar matanya. Benar seorang bocah yang luar biasa, pikirnya. Selama lima tahun ini, dalam pelajaran sastera semua kitab kuno yang berada diperpustakaan kuil habis "dilahapnya", sedangkan dalam pelajaran ilmu silat, bocah ini memiliki bakat yang mentakjubkan. Sekali diajar terus dapat mengerti dan menguasai! Hal ini masih belum mengagumkan hati kakek Siauw Lam, yang mengagumkan hatinya benar-benar adalah pandangan yang amat luas dari bocah ini. Usia Bun Beng baru sepuluh tahun lebih, akan tetapi bocah ini sudah dapat mengerti bahwa saat itu dia sedang menderita gangguan pikiran! Bukan main!
Kakek itu menarik napas panjang, lalu menjawab, "Betapa pikiran takkan terganggu kalau menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan, muridku? Semenjak dunia berkembang, manusia selalu menjadi hamba dari nafsu mereka sendiri sehingga timbullah hal-hal yang saling merugikan diantara manusia. Kita yang mempelajari ilmu silat, sedikit banyak mempunyai pertalian dengan dunia persilatan. Karena itu, mendengar akan keruhnya dunia kang-ouw pada saat ini, mau tidak mau hatiku menjadi pilu dan penuh kekhawatiran akan terjadi bentrokan-bentrokan hebat diantara para pendekar sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang gagah secara sia-sia belaka."
"Apakah yang terjadi didunia kang-ouw, Suhu?"
Tampaknya memang aneh mendengar seorang kakek tua membicarakan urusan dunia kang-ouw dengan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun lebih. Akan tetapi karena Kakek Siauw Lam maklum bahwa Bun Beng bukanlah bocah biasa, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bercerita, "Dunia kang-ouw yang selama ini tampak tenteram dan penuh damai, kini mulai geger dengan adanya berita yang
amat mengejutkan. Pertama, lenyapnya pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas yang amat dipuja oleh kaum kang-ouw, baik dari golongan hitam maupun putih. Kedua, lenyapnya sepasang pusaka yang menggiriskan, yaitu Sepasang Pedang Iblis! Hanya diketahui bahwa kuburan kedua orang Siang-mo-kiam tahu-tahu dibongkar orang dan diduga bahwa Sepasang Pedang Iblis yang tentu berada dengan sisa jenazah kedua orang pemiliknya itu telah diambil pembongkar kuburan. Kalau pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas amat dipuja dunia kang-ouw sebagai pusaka-pusaka keramat yang patut dihormat, adalah Sepasang Pedang Iblis merupakan pusaka yang mengerikan dan menakutkan karena munculnya Sepasang Pedang Iblis itu berarti munculnya pula geger dan keributan didunia kang-ouw. Hal ketiga adalah berita tentang ditemukannya kitab-kitab warisan keluarga Bu Kek Siansu dan kabar yang menghebohkan adalah bahwa kini pemerintah telah menguasai peta penyimpanan pusaka-pusaka itu. Karena pendengaran orang kang-ouw amat tajam, kini sudah diketahui pula bahwa tempat itu adalah sebuah diantara pulau-pulau karang kecil ditengah-tengah Sungai Huang-ho yang sudah dekat dengan muaranya diTeluk Po-hai. Nah, dengan adanya berita ini, aku menduga bahwa tentu tokoh-tokoh kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi sedang berlumba untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu, tentu ramailah Sungai Huang-ho didaerah itu."
"Daerah mana, Suhu?"
"Kabarnya sesudah melewati Terusan Besar, bahkan sesudah lewat kota Cin-an, disebelah timurnya, hanya beberapa puluh li saja dari pantai laut."
"Siapa sajakah yang akan muncul, Suhu? Apakah.... Pendekar Siluman juga akan hadir?" Selama lima tahun ini, tak pernah Bun Beng dapat melupakan Pendekar Siluman berkaki buntung yang pernah menolongnya. Sudah sering kali ia bertanya kepada suhunya tentang diri Suma Han, akan tetapi gurunya agaknya enggan bicara tentang Pendekar Siluman itu.
"Entahlah, mana aku tahu siapa yang akan muncul? Hanya kabarnya sekarang ini didunia kang-ouw telah muncul banyak sekali orang yang memiliki kesaktian luar biasa."
"Seperti Pendekar Siluman?"
Kakek itu memandang muridnya, sinar matanya tersenyum. "Mungkin lebih! Biarpun aku hanya mendengar beritanya saja, namun kabarnya kini Thian-liong-pang mempunyai seorang ketua yang kepandaiannya seperti dewa! Dan juga bermunculan tokoh-tokoh dari Pulau Neraka yang kabarnya mempunyai kepandaian seperti iblis-iblis neraka sendiri. Tentang ketuanya, belum pernah ada orang melihatnya, penuh rahasia seperti ketua baru Thian-liong-pang! Ketua dua partai ini hanya kabarnya saja yang sudah keluar kedunia kang-ouw, namun mungkin jarang ada yang pernah melihat mereka. Disamping Thian-liong-pang dan pulau Neraka, kini bahkan muncul kabar tentang partai baru, yaitu penghuni-penghuni Pulau Es!"
"Pendekar Siluman....?" Bun Beng makin tertarik. "Entahlah. Tentang pulau Es ini lebih mengherankan lagi dan penuh rahasia. Tidak ada yang tahu pula siapa ketuanya, namun kabarnya, anak buahnya pun sudah memiliki kesaktian luar biasa. Apalagi ketuanya!"
Mendengar penuturan tentang dunia kang-ouw dengan banyak keanehannya itu, hati Bun Beng tertarik bukan main. Kalau gurunya bicara, pandang matanya seolah-olah melekat dan tergantung pada bibir gurunya untuk mengikuti gerak-gerik agar jangan ada sepatah pun kata yang terlewat oleh penangkapannya. Kalau gurunya berhenti, ia pun termenung dan pikirannya melayang-layang jauh sekali. Biarpun Kakek Siauw Lam hanya mendengarkan penuturan anak murid Siauw-lim-pai yang juga mendengarnya sebagai
kabar angin saja, namun sesungguhnya kabar itu banyak yang benar. Memang telah terjadi hal-hal luar biasa di dunia kang-ouw selama beberapa tahun ini.
Pertama adalah tentang lenyapnya pusaka-pusaka keluarga Suling Emas. Pusaka-pusaka ini, termasuk senjata keramat Pendekar Sakti Suling Emas yang berbentuk sebatang suling emas yang indah, tadinya tersimpan ditanah kuburan keluarga Suling Emas yang terletak didaerah Khitan. Tanah kuburan ini terjaga keras oleh seorang tokoh sakti yang disegani karena selain dia bekas pelayan keturunan terakhir keluarga pendekar itu, juga berkali-kali merobohkan orang-orang yang berusaha merampas pusaka-pusaka itu. Didalam cerita "Pendekar Super Sakti" telah diceritakan ketika Puteri Nirahai mengunjungi kuburan itu untuk meminjam suling emas guna mempengaruhi kaum kang-ouw, puteri ini pun kewalahan menghadapi penjaga yang sakti itu. Penjaga itu adalah kakek bongkok Gu Toan yang setia, yang menjaga kuburan keluarga Suling Emas, membela seluruh pusaka, lebih-lebih daripada membela nyawanya sendiri! Akan tetapi geger pertama mengguncang dunia kang-ouw ketika pada suatu hari, kakek bongkok Gu Toan itu terdapat sudah tak bernyawa lagi tanpa terluka didepan pintu pagar kuburan, dan semua pusaka telah lenyap tanpa bekas! Dunia kang-ouw geger, para tokoh saling mencurigai, saling menyelidik namun pusaka-pusaka itu tak pernah dapat ditemukan jejaknya! Keguncangan ini belum juga reda, dunia kang-ouw sudah digegerkan oleh guncangan kedua, yaitu ketika tokoh-tokoh tua menemukan kuburan Siang-mo-kiam telah dibongkar orang dan Sepasang Pedang Iblis yang diduga berada didalam kuburan itu telah lenyap. Atau lebih tepat lagi tidak ada yang tahu sebelumnya bahwa Siang-mo-kiam telah tewas, menduga bahwa setelah dua orang iblis jantan betina itu tewas namun Sepasang Pedang Iblis tak dapat ditemukan pada sisa mayat mereka, tentulah Sepasang Pedang Iblis itu telah terjatuh ketangan orang lain. Dan hal ini berarti BAHAYA!
Telah diceritakan dalam cerita "Pendekar Super Sakti" bahwa yang mengubur jenazah Siang-mo-kiam itu adalah Suma Han dan adik angkatnya, Lulu gadis Mancu. Siang-mo-kiam merupakan sepasang kakek dan nenek yang aneh sekali, dan keanehan itu agaknya terpengaruh oleh Sepasang Pedang Iblis yang mempunyai riwayat menyeramkan aneh. Dahulu, puluhan tahun, bahkan ratusan tahun yang lalu, dijamannya Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam puteri Pendekar Suling Emas sepasang pedang itu dibuat oleh sepasang kakek nenek berbangsa India yang amat sakti, aneh dan ganas sekali. Karena mereka berdua kalah dalam pertandingan melawan Pendekar Wanita Mutiara Hitam, maka keduanya lalu membayar taruhan mereka, yaitu membuatkan sepasang pedang, masing-masing membuat sebatang untuk Mutiara Hitam (Ceritanya yang jelas dapat dibaca dalam cerita Istana Pulau Es).
Cara pembuatan pedang itu luar biasa sekali. Bahannya dari dua bongkah logam aneh milik Mutiara Hitam dan kedua orang kakek nenek India itu yang selalu berlumba tidak mau saling mengalah, kini berlumba dalam membuat pedang. Bentuk pedang serupa karena memang contohnya diberikan oleh Mutiara Hitam, maka keduanya lalu bersaing untuk membuat pedang yang lebih ampuh! Untuk ini, mereka tidak segan-segan untuk mengorbankan anak-anak kecil yang diambil darahnya untuk dijadikan "bumbu" dalam "memasak" pedang! Bahkan akhirnya, persaingan itu memuncak sedemikian rupa sehingga kakek dan nenek itu saling bunuh dengan pedang mereka pada saat Mutiara Hitam datang hendak mengambilnya!
Kemudian, Sepasang Pedang Iblis itu terjatuh ketangan dua orang murid Mutiara Hitam laki-laki dan perempuan. Sejarah berulang. Mereka ini yang sebetulnya saling mencinta, saling bersaing tidak mau kalah sehingga berubah menjadi ganas sekali dan akhirnya, sebagai kakek dan nenek, mereka pun tewas oleh pedang masing-masing! Jenazah kedua kakek dan nenek murid Mutiara Hitam ini dikubur oleh Suma Han dan Lulu, dan kedua orang yang pada waktu itu masih amat muda itu mengubur pula Sepasang Pedang Iblis bersama dua jenazah itu.
Demikian riwayat singkat Sepasang Pedang Iblis yang dituturkan jelas dalam cerita Istana Pulau Es , dan kini sepasang pedang itu lenyap pula. Bagaimana dunia kang-ouw tidak akan menjadi geger karenanya?
Bukan hanya lenyapnya pusaka Keluarga Suling Emas dan Sepasang Pedang Iblis saja yang menggegerkan dunia kang-ouw dan kaum persilatan, akan tetapi berita tentang ditemukannya kitab-kitab pusaka warisan keluarga Bu Kek Siansu tidak kalah hangatnya. Nama Bu Kek Siansu, orang kang-ouw manakah yang tidak mengenalnya? Pendekar Sakti Suling Emas banyak menerima ilmu dari kakek sakti yang dianggap manusia dewa itu! Bahkan banyak tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam juga memperoleh ilmu dari Bu Kek Siansu karena dahulu kabarnya setiap tahun Bu Kek Siansu "turun" kedunia untuk membagi-bagikan ilmu kepada mereka yang berjodoh dengannya! Ilmu-ilmu mujijat yang dimiliki kaum sesat, seperti Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) dan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) kabarnya juga berasal dari ilmu yang diberikan oleh Bu Kek Siansu! Maka kalau sekarang tersiar berita bahwa kitab-kitab pusaka peninggalan keluarga Bu Kek Siansu ditemukan, tentu saja dunia kang-ouw menjadi geger! Dengan kabar terakhir tentang ditemukannya peta yang menunjukkan tempat penyimpanan pusaka-pusaka dan kitab-kitab oleh pemerintah, menjadi puncak ketegangan dan kehebohan sehingga memancing keluar orang-orang sakti yang selama ini lebih suka menyembunyikan diri didalam gua-gua rahasia, didalam pulau-pulau terasing, atau dipuncak-puncak gunung yang tak pernah dikunjungi manusia.
"Suhu, teecu mohon perkenan Suhu untuk pergi melihat keramaian dan bertemu dengan tokoh-tokoh sakti!" Tiba-tiba Bun Beng berkata setelah termenung sejenak. Kakek Siauw Lam terkejut, memandang muridnya dengan alis berkerut, "Ah, apakah kaukira hal itu merupakan main-main? Kalau para tokoh itu sudah bertemu dan saling memperebutkan pusaka, keadaan amatlah berbahaya! Dan pula, tempat itu amat jauh dari sini, melalui perjalanan yang amat lama dan penuh dengan ancaman bahaya maut!"
"Suhu, tanpa menghadapi kesukaran dan menempuh bahaya, bagaimana teecu akan bisa memperoleh kemajuan? Pengalaman itu tentu amat berguna bagi teecu, selain menambah pengetahuan, juga memberi kesempatan kepada teecu untuk bertemu dengan orang-orang sakti! Suhu, harap Suhu sudi meluluskan permintaan teecu ini."
Kakek itu sudah cukup mengenal watak muridnya yang dididiknya selama lima tahun itu. Muridnya ini, disamping bakat-bakat dan watak-watak lainnya, juga memiliki keberanian yang tidak lumrah dimiliki anak kecil, disamping kekerasan hati yang pantang mundur kalau sudah mempunyai niat. Maka, melarang akan percuma saja, bahkan memberi kesempatan kepada muridnya untuk melanggar larangannya. Dia mengerti bahwa kalau dilarang, murid yang keras hati ini akan menjadi penasaran dan ada kemungkinan akan minggat! Maka ia lalu menarik napas panjang sambil berkata, "Hemmmm.... terserah kepadamu. Aku hanya ingin melihat apakah engkau benar-benar berani menempuh segala bahaya itu."
"Suhu, terima kasih! Besok pagi-pagi teecu akan berangkat, mohon doa restu dari Suhu!" Bun Beng menjadi gembira sekali dan cepat membuat persiapan untuk melakukan perjalanan jauh yang selamanya belum pernah ia tempuh itu. Gurunya diam-diam merasa kagum sekali dan tersenyum didalam hati. Waktu lima tahun memang merupakan waktu yang cukup lama dalam kehidupan manusia, dan waktu ini cukup untuk mengubah keadaan manusia dengan terjadinya hal-hal yang menimpa dirinya. Bukan hanya Siauw-lim-pai yang mengalami perubahan hebat sehingga perubahan besar menimpa diri Siauw Lam Hwe sio yang kini telah meninggalkan kependetaannya dan menjadi orang biasa karena kekecewaannya menyaksikan keributan yang terjadi diantara murid-murid Siauw-lim-pai sendiri.
Perubahan besar telah pula menimpa diri Suma Han selama waktu itu. Kekuasaan alam telah mempermainkan penghidupannya, dan agaknya memang semenjak kecil Suma Han ditakdirkan untuk mengalami banyak hal-hal pahit yang membuat dia dalam usia semuda itu sudah putih semua rambutnya dan yang membuat dia bosan akan keramaian dunia sehingga dia ingin mengasingkan diri dari pergaulan manusia. Untuk dapat mengikuti pengalaman-pengalamannya, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya yang penuh pengalaman dahsyat.
Setelah berhasil merampas keponakannya, Giam Kwi Hong yang berusia hampir empat tahun, puteri dari mendiang encinya Suma Leng dan Panglima Giam Cu, Suma Han lalu melarikan diri ketimur. Kwi Hong masih tidur nyenyak dalam pondongannya dan baru pada keesokan harinya anak itu terbangun. Melihat dirinya dalam pondongan seorang laki-laki yang tak dikenalinya, anak itu menangis dan Suma Han mulai bingung. Susah payah dia berusaha mendiamkan anak itu, namun sia-sia karena anak itu menjerit-jerit mencari ibunya!
"Diamlah, Nak. Diamlah, Kwi Hong anak baik." Berulang kali ia menghibur dengan suara halus dan penuh rasa kasihan teringat akan encinya yang telah meninggal dunia. "Lihat, kucarikan buah-buah, kembang....!" Sibuklah dia meloncat dan berlari kesana-sini, memetik buah-buah dan kembang, ditumpuknya didepan anak yang ia dudukkan diatas rumput itu. Akan tetapi anak itu terus menangis.
"Ibuuu....! Aku mau turut Ibu.... hi-hi-hikk....!" Kwi Hong menangis terus tanpa mempedulikan tumpukan kembang dan buah-buahan itu, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan.
Suma Han yang tentu saja kurang pengalaman mengasuh anak kecil menjadi makin bingung. Tak pernah disangkanya bahwa tangis seorang anak kecil bisa membikin dia begitu bingung dan kehabisan akal! Sampai hampir satu jam lamanya ia membujuk-bujuk tanpa hasil.
"Aduh, Kwi Hong.... anak baik, dengarlah. Aku adalah Pamanmu sendiri, Kwi Hong. Aku adalah adik Ibumu, aku Paman Han....!"
Tangan yang menggosok-gosok mata itu berhenti dan kini mata yang bening lebar itu memandangnya, tangisnya terhenti sebentar. Betapa indah mata itu, Suma Han memandang kagum, seolah-olah air mata itu mencuci sepasang mata menjadi makin bening dan bersih!
"Paman Han Han....?"
Suma Han tersenyum lebar, "Benar! Benar! Tentu Ibumu pernah menceritakan kepadamu. Aku Paman Han Han....!" Ia tertawa lega, akan tetapi kembali ia tertegun bingung melihat Kwi Hong lagi-lagi menangis sedih. "Ibuku....! Mana Ibuku....! Kalau Paman baik, antarkan aku kepada Ibu!"
Celaka! Bagaimana dia bisa mengantarkan anak ini kepada ibunya yang sudah mati? Dan tidak mungkin pula menerangkan kepada bocah sekecil ini bahwa ibunya telah mati. Melihat anak itu menangis terus, Suma Han makin bingung. Tiba-tiba ia melihat seekor kelinci bergerak diantara rumpun dan timbullah akalnya. Cepat ia meloncat dan sekali sambar ia sudah berhasil menangkap kelinci putih itu.
"Kwi Hong, diamlah. Lihat, Paman menangkap kelinci cantik untukmu!" Suma Han memberikan binatang itu keatas pangkuan Kwi Hong. Anak itu memandang, tangisnya terhenti, matanya berseri dan dia sudah lupa akan ibunya, memondong kelinci sambil tersenyum dan berkata. "Kelinci cantik....!"
Baru sekarang Suma Han merasa betapa hatinya lega dan girang bukan main sehingga mau rasanya ia menari-nari dan menyanyi-nyanyi! Ia mencium pipi anak itu dan berkata, "Kwi Hong, kalau engkau tidak menangis lagi, Pamanmu akan
mencarikan binatang-binatang cantik untukmu. Sekarang makanlah buah ini. Nih, Paman kupaskan kulitnya, manis sekali, makanlah!"
Kwi Hong suka makan buah itu, apalagi setelah Suma Han mengajarnya memberi sedikit kepada kelinci yang dipondongnya. Demikianlah, dengan akal sedapatnya bisa juga dia mengasuh Kwi Hong sambil melanjutkan perjalanannya. Ia hendak mencari jalan menuju kepantai laut dimana dahulu ia mendarat bersama Lulu ketika mereka berdua meninggalkan Pulau Es. Dia hendak kembali ke Pulau Es itu bersama Kwi Hong. Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya dan seringkali dia terpaksa menggunakan kekuatan mujijatnya untuk menidurkan Kwi Hong kalau anak itu terlalu rewel, akal yang jarang sekali ia pergunakan kalau amat tidak terpaksa, pada suatu senja tibalah Suma Han dan keponakannya ditepi pantai yang terjal sekali. Air laut kebiruan tampak dari atas seperti permadani biru terbentang luas, sedikit pun tidak tampak bergoyang atau berombak saking tingginya tempat itu. Dari tempat yang tinggi ini, Suma Han memandang kekanan kiri dan mulailah ia mengenal daerah ini. Jauh dibawah sana, disebelah kiri, disanalah dia bersama Lulu, tiba-tiba tubuh Suma Han menjadi lemas dan hatinya makin kosong. Semenjak ia berpisah dengan Nirahai kemudian merayakan pernikahan Lulu, tahulah dia bahwa semenjak dahulu, dia hanya mencinta Lulu seorang. Sampai kini pun hanyalah Lulu yang ia cinta, sepenuh jiwa raganya dan ia rela menderita asal adiknya itu hidup bahagia.
"Lulu, semoga engkau selalu hidup bahagia!" Ia berbisik lirih seperti orang berdoa.
"Paman Han Han, kau bilang apa?"
Kwi Hong dalam pondongannya bertanya sambil memandang wajah Suma Han. Dalam kenangan yang mengharukan tadi, Suma Han sampai lupa kepada anak yang dipondongnya. Kwi Hong pandai bicara dan karena suaranya masih tidak jelas dan sepotong-sepotong, terdengar lucu sekali.
"Ah, tidak, Paman tidak bilang apa-apa." kata Suma Han sambil mengambung pipi keponakannya itu, pipi yang halus montok kemerahan sehat.
"Paman tangkapkan binatang lagi! Kelinci lagi.... kelinciku lari!"
"Disini mana ada kelinci?"
"Uh-hu-huk, minta kelinci....!" Kwi Hong yang selalu dituruti permintaannya oleh Suma Han, dalam waktu sebulan lebih saja kini sudah pandai manja. Anak ini mengerti agaknya bahwa kalau dia menangis, apa pun permintaannya akan dipenuhi maka sekarang pun ia mempergunakan "senjatanya" yang lihai ini!
"Disini tidak ada kelinci. Ikan, ya? Ikan laut? Atau udang? Kepiting.... eh kepiting baik sekali, lucu sekali! Kutangkapkan
kepiting, ya?"
"Tidak, tidak mau.... hi-hi-hik, mau kelinci!" Kwi Hong menendang-nendangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala sambil mewek.
Suma Han menarik napas panjang. "Baiklah, baiklah.... eh, rewel benar anak ini." Ia menurunkan Kwi Hong yang seketika sudah berhenti menangis ketika mendengar pamannya menyanggupi. Dia sudah terlalu biasa bahwa sekali pamannya sanggup pasti akan dipenuhinya.
"Lihat baik-baik, nih, aku menjadi kelinci!" Suma Han menggunakan ilmunya yang mujijat, mempengaruhi keponakannya sendiri seketika Kwi Hong tertawa-tawa gembira melihat seekor kelinci putih besar didepannya. Ia lupa sama sekali kepada pamannya yang sudah lenyap. Sambil tertawa-tawa ia lalu mengelus-elus kepala kelinci itu dan menarik-narik telinganya yang besar dengan penuh kasih sayang. Suma Han menahan kegelian hatinya ketika kepalanya dielus-elus dan kedua telinganya dijewer-jewer tangan kecil itu!
"Paman....! Paman Han Han....!" Tiba-tiba Kwi Hong memandang keatas dan telunjuknya menuding-nuding keatas. "Tangkapkan burung itu! Lekas, Paman, tangkapkan burung....!" Anak itu kini sudah lupa akan kelincinya dan bangkit berdiri, memandang keatas dan menuding-nuding sambil berteriak-teriak.
Suma Han menarik napas panjang dan menjadi tertarik, ikut pula memandang keatas. Terkejut dan heranlah dia ketika melihat dua ekor burung yang besar-besar sekali sedang bertanding diangkasa dengan serunya!
"Heran sekali!" Serunya. "Burung garuda dan rajawali....!"
"Tangkapkan burung, Paman. Lekas, tangkapkan burung itu....!" Kwi Hong bersorak. Akan tetapi sekali ini Suma Han tidak memperhatikan permintaan keponakannya karena ia tertarik sekali. Selama hidupnya dia baru mendengar ceritanya saja tentang burung-burung garuda dan rajawali yang demikian besarnya. Apalagi sekarang dua ekor burung itu sedang berkelahi dengan gerakan dahsyat sekali sambil mengeluarkan suara melengking yang amat nyaring. Pertandingan yang hebat dan dahsyat diangkasa!
Akan tetapi, serangan dahsyat dari burung garuda membuat bulu dada rajawali itu bodol dan Si Rajawali terbang menjauh sambil memekik nyaring. Garuda itu pun mengeluarkan lengking nyaring dan terbang berputaran, kemudian meluncur turun dan hinggap diatas sebatang pohon besar tak jauh dari situ.
"Paman, tangkapkan burung.... hi-hi-hik....!" Kwi Hong menangis ketika melihat dua ekor burung itu lenyap. "Baiklah, jangan menangis. Kau duduk saja disini, ya? Paman hendak mencoba untuk menangkap burung itu." Suma Han sekali ini bukan ingin menangkap burung semata-mata memenuhi permintaan keponakannya, melainkan karena dia sendiri pun amat tertarik oleh burung garuda perkasa itu. Akan dicobanya untuk menangkap burung raksasa itu! Cepat tubuhnya mencelat mendekati pohon dan dengan kepandaiannya yang hebat, pendekar ini meloncat naik keatas pohon.
Burung garuda itu besar sekali! Tingginya tidak kalah oleh tingginya manusia, kakinya besar kuat dan paruhnya menyeramkan! Burung itu sedang membereskan bulunya yang agak kusut karena pertandingan tadi, maka dia tidak tahu bahwa ada seorang manusia mendekatinya.
Dengan sebuah gerakan kilat, Suma Han meloncat keatas punggung garuda, menggunakan lengannya merangkul leher sambil berseru, "Sin-eng (Garuda Sakti), kita bersahabat!"
Tentu saja burung itu kaget sekali dan tidak mengerti ucapan Suma Han. Dia berusaha memutar leher untuk menyerang, akan tetapi lengan yang memeluknya demikian kuat sehingga dia tidak mampu menggerakkan lehernya. Burung itu menjerit aneh dan tiba-tiba meloncat keatas lalu terbang membawa Suma Han yang masih duduk diatas punggungnya! Melihat ini, Kwi Hong bersorak, bangkit berdiri dan melambai-lambaikan kedua tangannya.
"Bagus....! Bagus sekali....! Paman, aku ikut....! Aku ikut terbang naik burung....!"
Suma Han yang selamanya baru sekali ini mengalami naik burung raksasa, tidak merasa takut hanya khawatir kalau-kalau burung itu membawanya terbang jauh meninggalkan Kwi Hong. "Sin-eng, turunlah, kita jemput anak itu....!" Akan tetapi burung garuda itu dalam ketakutannya terbang meluncur terus membubung tinggi keangkasa, seakan-akan hendak membawa terbang Suma Han kebulan yang pada senja hari itu sudah mulai tampak!
Suma Han mulai cemas dan memandang kebawah. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ia melihat sesosok bayangan hitam meluncur turun dan menyambar kearah Kwi Hong yang masih berteriak-teriak dan melambai-lambaikan kedua tangannya. Bayangan itu bukan lain adalah burung rajawali yang tadi bertanding dan dikalahkan oleh garuda putih yang ditungganginya.
"Celaka....!" Suma Han berteriak melihat keponakannya dicengkeram oleh kaki rajawali dan mendengar bocah itu berteriak-teriak menangis ketakutan. "Sin-eng, demi Tuhan, tolonglah Kwi Hong!" Suma Han mencengkeram leher garuda dan memaksa kepala garuda itu kebawah. Sang garuda kesakitan dan bingung, akan tetapi karena kepalanya dipaksa menunduk, maka ia pun mulai meluncur turun. Suma Han menekan-nekan leher garuda kearah rajawali dan berkata, "Sin-eng, kejar rajawali itu.
Cepat....!"
Agaknya burung garuda itu biarpun tidak dapat mengerti ucapan Suma Han, dapat mengenal mahluk yang jauh lebih kuat darinya, maka kini ia selalu terbang menurut kemana kepalanya dipaksa berpaling. Akhirnya ia dapat melihat musuh besarnya, Si Burung Rajawali yang terbang cepat kearah lautan! Tanpa dikomando lagi, burung garuda itu terbang mengejar dengan kecepatan luar biasa dan tak lama kemudian, tersusullah burung rajawali yang mencengkeram Kwi Hong. Anak itu masih menjerit-jerit dan bukan main cemas rasa hati Suma Han melihat bahwa yang dicengkeram rajawali itu adalah punggung baju Kwi Hong. Kalau baju itu robek, atau kalau rajawali itu melepaskan cengkeramannya! Ia memandang kebawah dan bergidik. Dibawah hanya tampak air melulu, air kebiruan dari laut yang amat luas, mengerikan dengan ombak besar membuih!
"Sin-eng, terbang kebawahnya, serang dia dari bawah, selamatkan anak itu!" Suma Han mendorong kepala garuda. Garuda itu menyerbu kedepan, menukik kebawah tubuh rajawali. Dengan gerakan tangkas sekali Suma Han mengulur tangan kanannya dan tongkatnya memukul kaki yang mencengkeram. Rajawali memekik kesakitan, kaki yang mencengkeram kena dipukul, cengkeramannya terlepas dan nyaris tubuh Kwi Hong terlepas dari sambaran tangan Suma Han. Baiknya garuda itu dengan gerakan tiba-tiba dan amat tangkasnya, mengulur kaki dan berhasil mencengkeram tubuh Kwi Hong!
"Sin-eng yang baik, terima kasih!" Suma Han bersorak ketika ia mengambil keponakannya dari cengkeraman garuda dan melihat bahwa tubuh keponakannya sama sekali tidak luka, tanda bahwa garuda itu berniat baik dan mencengkeram untuk menolong!
Kwi Hong masih menangis ketika dipangku Suma Han diatas punggung garuda. "Paman, burung itu nakal....!"
Suma Han menghela napas lega. Bocah ini benar amat mengagumkan. Biarpun mengalami hal yang begitu menakutkan, tidak pingsan dan tidak ketakutan. Ia memandang rajawali yang kini melarikan diri terbang jauh, sedangkan ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, tidak tampak lagi daratan. Dimana-mana air melulu dan cuaca mulai gelap, malam mulai tiba!
"Sin-eng yang baik, bawalah kami kembali kedaratan!" Berkali-kali Suma Han membujuk, kini tidak lagi ia berani "mengemudi" leher burung itu karena dia sendiri tidak tahu mana arah daratan. Burung itu terbang terus, cepat sekali dan terpaksa Suma Han menyerahkan nasibnya pada burung itu, yakin bahwa betapapun juga, pasti burung itu akan mendarat. Anehnya, Kwi Hong tidak menangis lagi, bahkan tertawa-tawa dan menuding kearah bulan sepotong yang kelihatan indah sekali sambil berkata, "Bagus....! Bulan bagus....!" Suma Han menjadi lega hatinya dan melepas jubah luarnya untuk diselimutkan tubuh keponakannya karena terbang diatas punggung garuda itu mereka bertumbuk dengan angin yang amat besar dan dingin. Namun, dapat dibayangkan betapa cemas hatinya karena burung itu terbang terus seolah-olah tidak akan berhenti lagi! Ia khawatir kalau-kalau burung itu kehabisan tenaga dan jatuh kebawah. Kini keadaan makin gelap. Sinar bulan sepotong tidak mampu menembus halimun yang terbentang dibawah kaki mereka. Dia tidak tahu lagi apakah dibawah mereka itu masih lautan atau daratan!
Semalam suntuk burung raksasa itu terbang dan bagi Suma Han, semalam itu seperti setahun lamanya! Kwi Hong tertidur pulas diatas pangkuannya, untung baginya karena kalau dalam keadaan seperti itu anak itu rewel menangis, dia benar-benar akan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa! Ketika matahari pagi mulai mengusir kegelapan, Suma Han mendapat kenyataan bahwa mereka terbang diatas sekumpulan pulau-pulau dilautan luas! Jantungnya berdebar tegang. Pulau-pulau ini! Bukankah kepulauan yang dekat dengan Pulau Es? Dan burung itu masih terus terbang kearah utara. Hal ini dapat ia ketahui dengan melihat munculnya matahari disebelah kanannya.
Setelah beberapa lamanya melewati sekumpulan pulau-pulau sehingga kepulauan itu lenyap jauh dibelakang, burung itu menukik turun menuju kesebuah pulau yang tampak keputihan. Hampir Suma Han bersorak. Itulah Pulau Es! Tak salah lagi. Kini mulai tampaklah bentuk bangunan ditengah pulau. Istana Pulau Es! Dan benar saja burung itu melayang turun menuju kepulau. Tiba-tiba burung garuda mengeluarkan pekik dahsyat, melengking panjang dan dari pulau itu terdengar pula lengking yang sama, akan tetapi lebih tinggi nadanya dan tampaklah seekor burung garuda lain, terbang keatas menyambut kedatangan mereka! Burung garuda yang terbang menyambut ini kelihatan bingung dan kaget ketika melihat betapa dipunggung temannya duduk dua orang manusia, dia mengeluarkan bunyi nyaring berkali-kali dan dijawab oleh garuda yang diduduki Suma Han dengan pekik-pekik pendek seperti orang bertanya dan menjawab. Suma Han menjadi geli hatinya dan sedetik ia dapat menduga bahwa burung garuda yang menyambut itu tentulah garuda betina sedangkan yang dia tunggangi tentu yang jantan. Baik manusia maupun binatang sama saja, yang betina lebih "cerewet"!
Dua ekor burung itu melayang turun keatas pulau, tepat didepan Istana Pulau Es. Suma Han meloncat turun sambil memondong Kwi Hong yang sudah terbangun. Begitu menginjak tanah yang dingin sekali, Kwi Hong menggigil kedinginan. Akan tetapi Suma Han begitu turun diatas pulau, tak dapat menahan lagi keharuannya dan pendekar yang sudah kosong hatinya itu kini menangis tersedu-sedu! Usianya belum ada tiga puluh tahun, baru dua puluh delapan atau dua puluh sembilan, namun kini ia sudah kembali ke Pulau Es untuk selamanya, mungkin! Bukan hal ini yang menyebabkan runtuhnya air matanya, melainkan keharuan melihat tempat dimana ia hidup berdua dengan Lulu sampai bertahun-tahun, penuh kebahagiaan. Kini Lulu telah tiada disampingnya lagi!
"Paman Han Han, kenapa menangis? Siapa yang nakal kepadamu?" Tiba-tiba Kwi Hong menghampiri dan memeluk leher Suma Han yang duduk diatas tanah. Mendengar ini, Suma Han merangkul Kwi Hong, berusaha menghentikan tangisnya yang ia tahu amat perlu karena kalau ditahan-tahan dapat menyebabkan luka didalam tubuhnya dan menimbulkan penyakit.
Terdengar suara lirih dan ketika Suma Han mengangkat muka, dia melihat betapa dua ekor burung garuda itu memandang kepadanya seperti orang turut berduka cita! Melihat ini, timbul semangat Suma Han dan dia memondong tubuh Kwi Hong sambil melompat bangun dan tersenyum!
"Kwi Hong, keponakanku, anakku, muridku! Kita sekarang tinggal disini, di Pulau Es. Lihat, itulah Istana Pulau Es dimana dahulu aku tinggal. Istana kita! Kita hidup disini bersama dua ekor burung yang sakti ini, sepasang Sin-eng yang setia!"
"Tapi Ibu....?"
"Kelak kau akan tahu tentang Ibumu. Mari kita carikan ikan untuk hadiah Sin-eng yang telah mengantar kita kesini!" Suma Han berloncatan kepantai pulau sambil menggendong Kwi Hong. Dengan kepandaiannya, mudah saja Suma Han membunuh banyak ikan besar dengan tongkatnya dan dia melontarkan ikan-ikan itu kepada burung garuda yang mengikuti mereka kepantai. Dua ekor burung itu girang sekali dan melahap ikan-ikan itu sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Bagi mereka, amatlah sukar mencari ikan-ikan didalam air dan mereka harus mencari makanan dipulau-pulau lain, mengintai dan menyergap binatang dengan susah payah. Kini ada orang yang memberi makan demikian banyaknya, tentu saja mereka girang sekali.
Demikianlah, untuk kedua kalinya, Suma Han hidup didalam Istana Pulau Es, kini bersama Kwi Hong yang digembleng sehingga akhirnya, bocah itu dapat bertahan melawan hawa dingin di Pulau Es yang bagi orang biasa akan amat menyiksa, bahkan dapat membunuhnya. Sepasang burung garuda menjadi jinak dan ternyata mereka ini adalah sepasang burung yang amat cerdik dan mereka merupakan binatang tunggangan yang amat berguna bagi Suma Han. Untuk mencari bahan makanan, Suma Han sering menunggang garuda jantan yang mengantarnya terbang ke pulau-pulau lain dimana tumbuh buah-buah dan bahan-bahan makanan, juga binatang-binatang hutan. Hanya beberapa bulan sekali saja Suma Han pergi mencari bahan makanan, sekali cari cukup untuk dua tiga bulan. Bahan-bahan makanan itu tidak akan mudah membusuk kalau ditaruh di Pulau Es yang dingin.
Kwi Hong ternyata juga merupakan seorang anak yang cerdik dan berbakat baik. Keberaniannya luar biasa sehingga dalam usianya lima tahun saja dia sudah berani menunggang garuda betina yang menjadi teman baiknya, diterbangkan tinggi diangkasa, diantara awan-awan putih!
Hanya satu hal yang menjadi ganjalan dihati Suma Han. Bagi dia sendiri, dia sudah puas hidup dipulau itu, dan dia tidak akan menyesal hidup menyendiri disitu sampai mati sekalipun. Akan tetapi Kwi Hong! Anak itu membutuhkan pergaulan dengan manusia lain! Kalau tidak, apa akan jadinya dengan Kwi Hong? Bagaimana dengan perkembangan jiwanya dan pembentukan wataknya? Dia bukan seorang ahli didik dan ditempat seperti itu, mana mungkin ada manusia lain yang dapat dijadikan teman pergaulan Kwi Hong?
Kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Han tinggal di Pulau Es, pada suatu hari seperti biasa dalam dua tiga bulan sekali, ia menunggang Garuda Putih jantan untuk pergi mencari bahan makanan. Sekali ini, karena hendak melihat-lihat keadaan, dia mengajak garuda itu terbang kearah utara, kemudian berkeliling ketimur, tidak seperti biasanya menuju kesekelompok pulau yang subur diselatan.
Tiba-tiba pandang matanya melihat sebuah perahu layar besar yang berwarna hitam, hitam seluruhnya sampai layarnya pun semua berwarna hitam. Hatinya tertarik dan ia menyuruh garuda putih melayang turun mendekati perahu layar. Dari jauh diatas ia sudah melihat pemandangan yang me manaskan hatinya. Diatas perahu itu terdapat empat puluh orang laki-laki dan perempuan yang terbelenggu dan diikat pada tiang-tiang besi yang sengaja didirikan diperahu, dan mereka ini sedang disiksa, dicambuki, oleh lima orang laki-laki dan seorang wanita yang mukanya berwarna jambon sedangkan laki-laki itu semua mukanya berwarna ungu! Di atas dek tampak beberapa orang pula bekerja, agaknya anak buah perahu, dan muka mereka ini berwarna hitam dan merah. Orang-orang Pulau Neraka! Suma Han tertarik sekali dan menyuruh garudanya makin mendekat. Semua orang yang berada diperahu kini dapat melihat garuda itu dan ributlah mereka melihat seorang manusia menunggang seekor burung garuda.
Akan tetapi Suma Han sudah melihat cukup jelas, sampai dia dapat mengenal bahwa diantara empat puluh orang laki-laki dan wanita yang ditawan itu sebagian besar adalah bekas saudara-saudara seperguruannya, yaitu anak murid In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san! Bahkan diantara enam belas orang wanita tawanan itu terdapat bekas sucinya, yaitu Phoa Ciok Lin yang kini telah menjadi seorang wanita cantik dan gagah berusia dua puluh tujuh tahun! Adapun para tawanan yang lain tentu bukan orang-orang sembarangan pula, dapat dilihat dari sikap mereka yang gagah dan sama sekali tidak kelihatan takut biarpun dirantai dan dicambuki! Diam-diam Suma Han menjadi terkejut dan heran sekali. Dia tahu bahwa anak murid In-kok-san, bekas murid-murid mendiang Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang terkenal sekali sebagai datuk golongan hitam, memiliki kepandaian tinggi dan mereka adalah pejuang-pejuang yang kemudian membalik dan memusuhi guru mereka sendiri setelah mereka tahu bahwa pembunuh orang-orang tua mereka sebenarnya adalah guru mereka sendiri (baca cerita Pendekar Super Sakti). Bagaimana mereka yang begini banyak jumlahnya dapat tertawan oleh orang-orang Pulau Neraka itu? Biarpun ia tahu bahwa laki-laki bermuka ungu dan perempuan bermuka jambon itu lihai sekali, namun kiranya tidak akan mudah menawan sekian banyaknya orang-orang yang berilmu tinggi! Betapapun juga, dia harus menolong mereka!
Garuda putih menukik turun kearah permukaan perahu dan kini mereka yang berada dibawah dapat melihat jelas laki-laki berambut riap-riapan putih dan berkaki buntung yang menunggang garuda itu.
"Dia.... Pendekar Siluman....!" Seruan ini keluar dari mulut laki-laki muka ungu dan wanita muka jambon yang pernah bertemu dengan Suma Han ketika mereka memperebutkan putera Bhok Khim didalam kuil tua.
Juga para murid In-kok-san kini mengenal Suma Han, namun mereka itu hanya memandang dengan heran dan jantung berdebar. Benar bahwa Suma Han pernah menjadi murid In-kok-san, bahkan pernah diambil murid Toat-beng Ciu-sian-li bersama tiga orang murid In-kok-san lain termasuk Phoa Ciok Lin, akan tetapi telah terjadi bentrok antara Suma Han dengan Ma-bin Lo-mo dan dengan Toat-beng Ciu-sian-li. Bahkan kedua orang datuk In-kok-san itu tewas ditangan bekas murid ini, sedangkan kaki kiri Suma Han juga buntung oleh Toat-beng Ciu-sian-li (baca ceritaPendekar Super Sakti )! Biarpun bekas saudara seperguruan, namun sekarang tidak mungkin menganggapnya saudara seperguruan lagi tidak ada hubungannya sama sekali dan mereka pun sudah mendengar bahwa laki-laki muda yang buntung ini memiliki ilmu kepandaian seperti setan!
Kini burung garuda sudah melayang turun diatas dek perahu dan semua orang makin kagum mendapat kenyataan bahwa burung itu benar-benar amat besar, setinggi manusia.
"Wah, dia tidak kalah besar dengan Tiauw-ong (Rajawali)!" Terdengar seorang diantara anak buah perahu itu berseru dan diam-diam Suma Han menduga bahwa tentulah burung rajawali yang dahulu pernah dikalahkan garudanya itu adalah binatang peliharaan Pulau Neraka!
"Pendekar Siluman, mau apa engkau datang kesini? Bukankah kau dahulu bilang bahwa engkau tidak mencari permusuhan? Harap jangan mencampuri urusan kami!" Laki-laki muka ungu sudah maju dan menegurnya.
Suma Han yang sudah meloncat turun dari punggung garuda dan berdiri tenang mengerling kearah para tawanan, kemudian ia bertanya kepada laki-laki muka ungu itu. "Aku melihat dari angkasa hal yang tidak wajar ini. Mengapa mereka ini ditawan?"
"Ini adalah urusan kami sendiri, orang lain tidak berhak mencampuri. Ataukah ada hubungan antara To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es dengan seorang diantara tawanan ini? Kalau benar demikian, kami bersedia membebaskannya."
Diam-diam Suma Han merasa geli didalam hatinya. Dahulu, secara tidak sengaja ia mengaku tinggal di Pulau Es kepada dua orang utusan Pulau Neraka dan siapa sangka, sekarang hal itu benar-benar telah terbukti dan dia menjadi penghuni atau majikan dari Pulau Es!
Mendengar pertanyaan Si Muka Ungu yang setengah menghormat dan takut setengah penasaran menentangnya itu, Suma Han kembali mengerling kearah para tawanan. Timbul sebuah pikiran yang membuat jantungnya berdebar. Bukankah dia sedang bingung memikirkan masa depan Kwi Hong yang tidak mempunyai teman? Para tawanan ini rata-rata adalah seorang gagah, bahkan wanita-wanitanya, terutama sekah Phoa Ciok Lin, adalah wanita-wanita yang memiliki wajah cantik dan pandang mata gagah pula. Melihat bahwa mereka yang bukan murid In-kok-san tertawan bersama murid-murid In-kok-san yang kesemuanya pejuang-pejuang gagah perkasa, tentulah orang-orang ini pun bukan penjahat-penjahat dan tergolong pejuang yang gagah pula.
"Kalian mau tahu apa hubunganku dengan mereka ini? Mereka ini adalah anak buahku, anak buah Pulau Es! Kalian berani menawan mereka?"
Mendengar ini, wajah semua orang yang berada diatas perahu itu berubah, bukan hanya wajah para anak buah Pulau Neraka, juga para tawanan memandang dengan bingung. Melihat ini, Suma Han sudah mengajukan pertanyaan kepada para tawanan, suaranya mengandung penuh wibawa, namun dingin seolah-olah menanyakan hal yang amat kecil artinya. "Katakanlah, kalian lebih senang menjadi anak buah Pulau Es dibawah pimpinanku ataukah ingin ikut dengan rombongan Pulau Neraka?"
Tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk, berjenggot panjang, rambutnya dikuncir, menjawab, "Kami jauh lebih senang menjadi anak buah Pulau Es, siapa sudi menjadi budak paksaan Pulau Neraka?" Empat puluh orang itu serentak menjawab dan menyatakan keinginan hati mereka untuk menjadi anak buah Pulau Es. Hanya Phoa Ciok Lin dan beberapa orang anak murid In-kok-san yang membungkam agaknya masih segan untuk menyatakan menjadi anak buah laki-laki buntung itu.
Pada saat itu, laki-laki muka ungu yang tadi lari memasuki bilik perahu, kini sudah keluar lagi bersama seorang kakek tinggi kurus yang bermuka hijau! Akan tetapi memang demikianlah kenyataannya dan kini Suma Han mengerti mengapa empat puluh orang gagah itu tertawan. Tentu Si Muka Hijau ini yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi daripada mereka semua. Dan hal itu terbukti pula dari sikap jerih dan pandang mata penuh kekhawatiran dari para tawanan ketika Si Muka Hijau ini keluar.
Suma Han dengan sikap tenang memandang. Warna hijau itu bukanlah kulitnya, melainkan seperti cahaya yang keluar dari dalam. Kini karena dalam keadaan tegang menghadapi pertentangan, para anak buah perahu juga sudah bersiap dan mereka mengatur barisan yang aneh karena warna-warna muka mereka. Ada kelompok muka hitam, muka merah, muka ungu, dan muka jambon. Akan tetapi yang bermuka hijau hanya ada seorang saja, kakek tinggi kurus itulah. Setelah berdiri saling pandang beberapa lamanya, agaknya kakek muka hijau itu dapat mengenal sinar mata yang aneh dan penuh kekuatan mujijat dari Suma Han. Dia segera membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan dan berkata penuh hormat,
"Tidak kelirukah pelaporan anak buah kami bahwa Paduka adalah To-cu dari Pulau Es?"
"Benar." jawab Suma Han. "Akulah penghuni Pulau Es. Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?"
"Aaaahh, hamba hanyalah murid tingkat rendahan saja. Hamba bertugas mengumpulkan tenaga-tenaga untuk dikerjakan di pulau kami dan telah berhasil mengumpulkan empat puluh orang ini. Kami menangkapnya didaratan sana dan mereka adalah kaum pejuang yang menentang pemerintah Ceng. Akan tetapi tadi anak buah kami melapor bahwa To-cu mengakui mereka ini sebagai anak buah Pulau Es. Bagaimana ini?"
Suma Han merasa malu kalau harus membohong, maka ia berkata, "Tadinya mereka bukan apa-apa, akan tetapi mulai saat ini menjadi anak buah Pulau Es. Karena itu, aku menuntut agar mereka dibebaskan!"
Sepasang alis kakek tinggi kurus itu bergerak-gerak dan warna hijau dimukanya makin keruh. "Hamba sebagai murid tingkat rendah dari Pulau Neraka tentu saja tidak berani lancang menentang kehendak To-cu dari Pulau Es. Akan tetapi kalau hamba menurut begitu saja atas perintah To-cu, berarti hamba melalaikan tugas yang dibebankan kepada hamba. Karena itu, terpaksa hamba mematuhi peraturan dari Ketua kami, yaitu dengan kepandaian hamba mendapatkan empat puluh orang ini, dan hanya dengan kepandaian pula pihak lain dapat merampasnya!"
Diam-diam Suma Han merasa heran. Sepak terjang orang-orang Pulau Neraka itu kadang-kadang keji dan liar, akan tetapi sikap mereka ternyata sopan dan seperti orang terpelajar, bahkan tahu aturan. Seperti apakah ketua mereka? Orang bermuka hijau yang sudah dapat mengalahkan empat puluh orang pejuang, bahkan termasuk Phoa Ciok Lin murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dia mengaku hanya seorang murid tingkat rendah dari Pulau Neraka. Bukan main!
"Hemm, kiranya dengan ucapan halus engkau bermaksud menantangku?" Suma Han bertanya, sikapnya dingin. "Mana berani hamba menantang? Akan tetapi, kalau hamba pulang kehilangan para tawanan tanpa melawan, hamba akan dihukum mati sebagai orang hina. Sebaliknya, kalau hamba mempertahankan terhadap Paduka, hamba akan mati juga sebagai seorang petugas yang baik."
"Ah, kiranya ketua kalian memiliki orang-orang pandai yang amat setia. Bagus! Memang tidak semestinya aku mengambil tawananmu begitu saja. Nah, aku telah siap, mari kita menentukan tingkat kepandaian!" Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi sikap Suma Han sama sekali bukan sikap seorang yang hendak bertanding karena dia masih berdiri seenaknya diatas kaki kanannya, ditopang tongkatnya yang dipegang ditangan kiri. Hanya sepasang matanya yang tanpa diketahui siapapun juga, sejak tadi telah melancarkan serangan hebat! Suma Han mengerti bahwa kalau semua anak buah Pulau Neraka maju menggunakan kekerasan dan dia menyambut dengan ilmu silat pula, tentu dia akan terpaksa merobohkan mereka kalau tidak terluka berat, mungkin ada yang tewas. Dia tidak menghendaki terjadinya hal ini, maka dia mengambil keputusan untuk melawan dengan ilmunya
yang aneh, mengandalkan kekuatan mujijat yang tersembunyi didalam kemauannya dan dipancarkan melalui pandang mata-nya.
"Singgg....!" Sebatang pedang telah berada ditangan Si Muka Hijau. Cara mencabut pedang sampai mengeluarkan suara berdesing nyaring dan ujung pedang menggetar-getar itu saja sudah membuktikan bahwa Si Muka Hijau ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Maaf, To-cu. Harap suka mengeluarkan senjata dan maafkan hamba yang kurang ajar." Biarpun kakek itu bersikap menghormat, akan tetapi dilubuk hatinya dia tidak memandang terlalu tinggi Majikan Pulau Es ini, melihat bahwa lawannya ini ternyata hanya seorang muda yang patut menjadi cucunya, berkaki buntung sebelah dan tidak memegang senjata.
"Orang tua, apakah artinya senjata tajam dan runcing seperti pedangmu itu? Hanya dapat menggigitmu sendiri. Kauseranglah, aku telah siap!" kata Suma Han sambil mengerahkan kekuatan mujijatnya melalui mata.
Para tawanan yang menyaksikan ini, terutama sekali Phoa Ciok Lin, merasa tegang dan khawatir. Mereka semua telah merasai kelihaian Si Muka Hijau dan mereka semua tidak ada yang dapat menandingi Si Muka Hijau. Sekarang Suma Han menghadapinya secara itu, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, sama sekali tidak menggunakan senjata, bahkan tongkat bututnya hanya dipegang dengan tangan kiri untuk membantu kakinya yang hanya sebuah!
Adapun Si Muka Hijau itu diam-diam menjadi penasaran dan marah sekali. Biarpun bocah buntung ini datang secara aneh, menunggang garuda, dan mengaku sebagai Majikan Pulau Es, dan dikabarkan memiliki kepandaian seperti setan sehingga berjuluk Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, namun tidak patut menghadapinya dengan sikap merendahkan seperti itu.
"To-cu sambut pedang hamba!" Tiba-tiba tampak sinar putih berkelebat cepat sekali ketika pedang itu meluncur kearah leher Suma Han. Memang hebat sekali gerakan Si Muka Hijau ini, pedang meluncur dengan suara berdesing dan dari jauh sudah menyambar hawa dingin kearah leher Suma Han. Pendekar Siluman ini hanya berdiri tegak, sedikit pun tidak bergerak atau mengelak, bahkan tidak menangkis hanya memandang dengan mata seperti mengeluarkan kilat. "Hayaaaa....!" Tiba-tiba Si Muka Hijau memekik dan matanya terbelalak penuh kengerian karena ia melihat betapa pedang ditangannya itu tiba-tiba berubah menjadi seekor ular! Dia memegang ular itu dan kini ular itu membalik, membuka moncongnya yang merah menggigit kearah lehernya sendiri! Tentu saja ia kaget setengah mati, memekik dan miringkan kepala berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan kulit lehernya sebelah kanan telah tergigit! Ia terpekik lagi kesakitan, melepaskan ekor "ular" dan terhuyung-huyung kebelakang memegangi lehernya dan matanya memandang "ular" yang jatuh keatas lantai perahu. Bagi orang lain yang menonton, peristiwa itu lebih mengherankan lagi. Mereka tadi melihat betapa pedang itu sudah digerakkan oleh Si Muka Hijau, menusuk leher Suma Han. Mengapa sebelum ujung pedang mengenai leher orang yang sama sekali tidak mengelak itu, tiba-tiba Si Muka Hijau membalikkan pedang dan menusuk lehernya sendiri sampai terluka? Kini mereka melihat Si Muka Hijau terhuyung, melepaskan pedangnya yang terjatuh kelantai perahu, meraba leher yang mengucurkan darah!
"Ilmu siluman....!" Si Muka Hijau berteriak ketika kini matanya melihat bahwa "ular" tadi telah berubah menjadi pedangnya sendiri!
Mendengar ini, semua anak buah Pulau Neraka serentak maju, siap mengeroyok Suma Han. Pendekar buntung ini meloncat kedepan, menyapu mereka dengan sinar matanya lalu berkata, "Siapa lagi berani melawan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?"
Semua anak buah Pulau Neraka menjadi ngeri ketika melihat Suma Han kini berubah menjadi raksasa, tiga kali ukuran tubuh manusia, kepalanya menjadi tiga buah dan lengannya menjadi enam buah biarpun kakinya masih tetap satu! Melihat ini, mereka menggigil dan tak seorang pun diantara mereka berani berkutik, bahkan segera menjatuhkan diri berlutut ketika Si Muka Hijau mendahului mereka berlutut. "Mohon To-cu sudi mengampunkan hamba semua dan biarlah kami melaporkan kepada To-cu kami bahwa para tawanan terpaksa kami serahkan To-cu Pulau Es karena kami tak sanggup melawannya." kata Si Muka Hijau.
"Hemm, kalau begitu, mengapa kalian tidak lekas pergi? Ataukah menunggu aku turun tangan melempar-lemparkan kalian kelaut?"
Si Muka Hijau melompat bangun, memberi isyarat dengan tangan. Sebuah perahu kecil diturunkan dan Si Muka Hijau bersama lima orang laki-laki muka ungu dan seorang wanita muka jambon melompat kedalam perahu. Si Muka Hijau memegang sebatang tali yang ujungnya terpecah menjadi banyak dan kini dipegang oleh para anak buah perahu. Lima orang muka ungu dan seorang wanita muka jambon memegang dayung. Perahu kecil itu didayung cepat sekali, Si Muka Hijau berdiri diujung belakang memegang tambang dan.... belasan orang anak buahnya meloncat keair dan dapat berdiri lalu ditarik oleh perahu itu. Kiranya Si Muka Hijau itu
demikian kuatnya, memegang tambang yang menarik enam belas orang dan ternyata para anak buah Pulau Neraka itu menggunakan kayu diikat dengan kaki mereka sehingga mereka dapat terapung (semacam ski air)! Memang hebat mereka itu. Hebat pula cara enam orang itu mendayung perahu karena sebentar saja, rombongan itu sudah jauh sekali menuju ketimur dan lenyap dihalangi ombak-ombak dibelakang mereka!
Suma Han kagum sekali, maklum bahwa dia telah menanam bibit permusuhan dengan golongan yang amat kuat, yaitu Pulau Neraka. Akan tetapi dia tidak peduli, lalu menggunakan tongkatnya mematahkan semua belenggu para tawanan. Di antara mereka itu, termasuk kakek gendut, segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Suma Han. Akan tetapi, anak murid In-kok-san tidak berlutut. Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara dingin. "Siapa yang suka menjadi anak buahku dan mengakui aku sebagai Majikan, harap berlutut. Yang tidak mau, takkan dipaksa!"
Sedetik pandang matanya bertemu dengan pandang mata Phoa Ciok Lin bekas sucinya. Namun wanita muda ini segera menekuk kedua lututnya dan berturut-turut para murid In-kok-san berlutut pula. Hanya dua orang murid In-kok-san dan seorang laki-laki bermuka pucat tetap berdiri tidak mau berlutut. Suma Han memandang mereka dan Si Muka Pucat berkata,
"Aku mengenal siapa engkau! Engkau dahulu adalah seorang pejuang, akan tetapi engkau telah berkhianat. Sebagai seorang pejuang, seorang patriot sejati, aku tidak sudi menjadi bujang seorang pengkhianat. Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mati?"
Suma Han memandang Si Muka Pucat dan segera mengenalnya. Dia itu adalah seorang diantara pejuang-pejuang yang pernah bertemu dengannya di Se-cuan, kalau dia tidak salah ingat, bernama Lo Hoat dan murid dari Tok-gan Siu-cai Gu Cai Ek Si Ahli Totok Dengan Sepasang Sumpit! Pernah dia merobohkan Lo Hoat ini ketika dia memasuki gedung para pejuang dan disangka menantang pibu (baca ceritaPendekar Super Sakti ). Hemm, orang ini pendendam sekali, amat tidak baik dijadikan teman.
"Aku tidak mau membunuh orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau menjadi anak buahku, aku pun tidak memaksa. Nah, pergilah sekarang juga!"
"Pergi kemana? Tidak ada lagi perahu yang dapat kupakai." Suma Han memandang tajam dengan alis berkerut. "Lo Hoat, aku tidak ada waktu untuk berdebat. Pilih satu diantara dua. Tinggal diperahu dan menjadi anak buah Pulau Es, atau sekarang juga keluar dari perahu ini!"
"Engkau.... iblis siluman.... keji!" Lo Hoat memaki. "Pergilah atau harus kulempar keluar?"
"Manusia rendah, coba kaulempar kalau...." Belum habis ucapan Lo Hoat ini, tangan kanan Suma Han bergerak sedikit dan.... tubuh itu terlempar keluar dari perahu dan jatuh tercebur keair!
"Apakah kalian berdua juga tidak sudi menjadi anak buah Pulau Es?" tanya Suma Han kepada dua orang murid In-kok-san.
"Engkau adalah bekas sute kami, bagaimana kami dapat mengangkatmu menjadi majikan dan berlutut di depanmu?" seorang diantara mereka membantah. "Kami adalah orang-orang yang memiliki kegagahan, bukan berjiwa rendah!"
"Orang yang tak dapat melihat kenyataan adalah orang-orang bodoh, bukan gagah! Aku bukan sute kalian, aku adalah Majikan Pulau Es dan kalian hanya mempunyai dua pilihan. Tunduk kepadaku atau.... keluar dari perahu ini!"
"Lebih baik mati!" Dua orang itu meloncat keluar dari perahu dan kembali air laut muncrat ketika tubuh mereka menimpa air. Mereka yang berlutut memandang kearah air dengan muka pucat, menyaksikan tiga orang itu berjuang dan bersitegang melawan air yang berombak dan yang hendak menggulung dan membunuh mereka.
"Pasangkan layar, kita berangkat!" kata Suma Han tanpa mempedulikan tiga orang itu. "Aku menjadi penunjuk jalan dengan garudaku diatas perahu, ikuti kemana garuda terbang!"
Mereka yang berlutut itu sudah tunduk dan kagum kepada Suma Han. Mereka telah diselamatkan dari nasib yang amat buruk. Baru menjadi tawanan saja mereka sudah disiksa, kalau sampai di Pulau Neraka, tentulah penghidupan mereka akan benar-benar seperti dineraka!
Tentu saja jauh lebih baik menjadi anak buah pendekar berkaki buntung ini biarpun pendekar ini dijuluki Pendekar Siluman! Apalagi, nama Pulau Es merupakan daya tarik besar sekali. Pulau Es adalah sebuah tempat yang selalu diidamkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, yang dianggap sebagai tempat keramat dimana terdapat pusaka dan ilmu-ilmu yang tinggi. Kini mereka dijadikan anak buah Pulau Es, tentu saja mereka menerimanya dengan hati girang.
Perahu hitam itu bergerak, layar-layarnya terkembang ditiup angin dan dengan wajah gembira penuh harapan mereka mengemudikan perahu mengikuti garuda yang terbang perlahan diatas mereka. Phoa Ciok Lin dan para saudara seperguruan masih termangu-mangu, teringat akan nasib dua orang saudara seperguruan yang ditinggalkan dan bergulat dengan maut antara ombak laut itu. Mereka ini tidak dapat menyalahkan Suma Han, dan tidak dapat menganggap Majikan Pulau Es itu kejam. Tidak, orang muda buntung yang kini menjadi majikan mereka, menjadi ketua mereka itu, telah memberi kesempatan kepada tiga orang tadi. Tidak membunuh mereka sebaliknya mereka itulah yang seperti membunuh diri sedangkan jalan hidup terbuka lebar. Demikianlah tiga puluh orang gagah kini menjadi anak buah Pulau Es. Setelah berbulan-bulan tinggal disitu, mereka semua makin tunduk, makin hormat dan bahkan mulai menerima Suma Han sebagai majikan dan juga guru mereka!
Suma Han mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan kepandaian dasar dan bakat mereka masing-masing sehingga kepandaian mereka meningkat secara hebat. Tentu saja yang merasa paling girang adalah Kwi Hong. Phoa Ciok Lin segera mengambil alih pekerjaan Suma Han mendidik Kwi Hong. Sungguh berbeda caranya mendidik, tidak dimanjakan seperti dahulu. Diajar membaca menulis dan kepandaian lain. Hanya dalam hal ilmu silat, Suma Han turun tangan sendiri mengajar keponakannya.
Kini Pulau Es menjadi ramai, merupakan sebuah pulau yang berpenduduk. Bukan sembarang penduduk, melainkan orang-orang yang berilmu tinggi! Diantara mereka itu ada yang saling mencinta lalu menikah dengan upacara sederhana namun gembira. Dan mulailah semua orang, tidak ada kecualinya, juga Phoa Ciok Lin, memandang Suma Han bukan hanya sebagai penolong dan sebagai ketua, majikan, dan guru, akan tetapi juga sebagai seorang manusia mulia seperti dewa yang mereka hormati, taati dan juga cintai! Namun, Suma Han tetap menyembunyikan diri, lebih sering dia bersamadhi didalam ruangan Istana Pulau Es dimana terdapat tiga buah patung guru-gurunya, yaitu patung Koai-lojin Kam Han Ki, Nenek Maya, dan Nenek Khu Siauw Bwee.
Pekerjaan mencari bahan makanan tentu saja kini dilakukan oleh anak buahnya dan untuk mengatur semua urusan, ia mengangkat Phoa Ciok Lin sebagai kepala urusan dalam pulau, sedangkan Yap Sun, kakek yang gemuk, diangkat menjadi kepala urusan luar. Pengangkatan ini bukan hanya dinilai dari tingkat kepandaian, melainkan juga dari watak dan pribadi mereka. Tentu saja demi kewibawaan, Suma Han menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepada dua orang wakilnya ini.
Demikianlah selama lima tahun telah terjadi perubahan hebat di Pulau Es yang sekarang dapat dianggap sebagai sebuah partai besar sehingga mulai terdengar namanya didunia kang-ouw.
******
"Suhu....! Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul? Apakah Suhu hendak mengajak pulang ke Siauw-lim-si?" Bun Beng terkejut dan khawatir ketika senja hari itu dia beristirahat dalam hutan, ia melihat gurunya muncul didepannya. Sudah tiga hari tiga malam dia mengadakan perjalanan naik turun gunung dan masuk keluar hutan. Kakek Siauw Lam tersenyum dan ikut duduk didepan api unggun yang dibuat Bun Beng. Selama ini diam-diam ia mengikuti perjalanan muridnya dan menjadi kagum menyaksikan muridnya itu benar-benar melanjutkan perjalanan seorang diri tanpa mengenal takut.
"Muridku, apa kaukira aku tega membiarkan engkau menempuh perjalanan penuh bahaya ini? Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai dimana kebulatan tekadmu. Ternyata engkau benar-benar ingin sekali pergi menyaksikan keramaian antara tokoh-tokoh kang-ouw, biarlah kubawa engkau kesana."
Wajah Bun Beng yang tadinya membayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berseri gembira dan ia menjatuhkan diri berlutut didepan kakek itu, "Terima kasih, Suhu. Terima kasih!"
Kakek Siauw Lam tertawa dan membuka bungkusan kain kuning yang dibawanya. "Sudahlah. Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan."
Guru dan murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan Bun Beng dari sumber air dihutan itu, kemudian ia rebah mengaso didekat api unggun, "Bun Beng, semula aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat yang akan dijadikan pertemuan orang-orang sakti itu. Amat berbahaya, muridku. Bahkan berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang selain me miliki ilmu kesaktian yang hebat juga merupakan orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak seperti manusia biasa, bahkan ada yang mendekati kegilaan. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, memang amat penting bagimu, terutama demi kemajuanmu. Engkau berbakat baik dan engkau sejak dahulu mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa
dengan kepandaianmu yang kaupelajari dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya denganmu. Akan tetapi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti itu, hemmm.... mungkin kepandaian yang kumiliki sekalipun sama sekali tidak ada artinya."Bun Beng terbelalak, tidak percaya. Suhunya adalah orang yang terpandai di Siauw-lim-pai, memiliki ilmu seperti dewa. Bagaimana mungkin ada tokoh kang-ouw yang lebih pandai dari gurunya ini? Namun, selamanya gurunya tidak pernah bicara bohong, maka apa yang diterangkan ini tentu ada benarnya pula. Hal ini membuat Bun Beng tertarik dan makin besar dorongan keinginan hatinya untuk bertemu dengan tokoh-tokoh sakti yang aneh itu. Sejenak mereka tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan ibunya. Ibunya juga seorang murid Siauw-lim-pai, dan amatlihai. Ia teringat akan keadaan dirinya lima tahun yang lalu, ditinggalkan dalam kuil tua oleh ibunya. Teringat ia akan pesan ibunya ketika hendak pergi.
"Bun Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita. Mungkin aku tidak akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali, tentu ada orang lain datang menjemputmu dan engkau harus turut dengan dia, anakku."
Ternyata kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang saling memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan pertanyaan pada gurunya tentang ibunya yang tidak kembali ke kuil, gurunya tidak mau menerangkan hanya berkata, "Belajarlah yang rajin, dan kelak engkau akan tahu sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu."
Sekarang timbul lagi keinginan tahunya. Dia telah besar, telah sepuluh tahun lebih usianya. Gurunya telah membolehkan untuk pergi merantau biarpun kini suhunya itu menemaninya.
"Suhu, harap Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup? Ataukah sudah mati? Harap Suhu jangan khawatir. Teecu kira tentu Ibu sudah tidak ada, karena kalau masih hidup, tentu Suhu tidak menyembunyikannya dari pengetahuan teecu. Maka, teecu harap sudilah Suhu berterus terang. Kalau masih hidup, dimanakah Ibu? Kalau sudah mati, mengapa? Siapa membunuhnya dan dimana kuburannya?"
Melihat suhunya ragu-ragu untuk menjawab, anak itu melanjutkan, "Suhu, harap Suhu jangan khawatir mengatakan andaikata Ibuku telah mati. Telah terlalu lama teecu menganggap Ibu telah tidak ada, dan keraguan ini lebih menyiksa daripada mendengar kenyataannya."
Bukan main anak ini, pikir kakek itu. Sekecil ini memiliki wawasan sedalam itu, maka ia pun lalu menjawab, "Ibumu Bhok Khim murid Siauw-lim-pai itu memang telah tewas, Bun Beng."
Bun Beng menunduk sejenak dan dia tidak menangis! Hanya suaranya menjadi agak gemetar ketika ia bertanya, "Apakah Ibu gagal membalas dendam dan tewas di tangan musuh besarnya?"
"Tidak muridku. Ibumu tidak gagal, bahkan berhasil membunuh musuhnya, akan tetapi musuhnya itu pun dapat membunuhnya. Dalam pertandingan itu, mereka keduanya tewas. Nah, sekarang engkau telah mengerti dan sebaiknya kalau engkau tidak lagi memikirkan Ibumu?"
"Baik, Suhu. Akan tetapi Ayahku? Di manakah Ayah teecu? Ibuku tidak pernah mau menjawab kalau teecu menanyakan Ayah."
Berat rasa hati Kakek Siauw Lam. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak mau membohong, akan tetapi juga tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa ayah anak ini adalah musuh besar ibunya itu! Maka setelah berpikir sejenak, ia menjawab tenang, "Ayahmu juga telah meninggal dunia Bun Beng."
"Oohhh....!" Anak itu kecewa sekali, akan tetapi tidak menangis, tidak berduka karena memang selamanya belum pernah ia melihat ayahnya. "Tahukah Suhu, siapa nama Ayah teecu?"
"Namanya.... Gak Liat."
Bun Beng mengangguk dan menggigit bibirnya. Nama itu terukir di lubuk hatinya dengan dua huruf besar-besar. "Jadi teecu she Gak? Pantas dulu Ibu mengatakan bahwa teecu boleh memakai she Bhok atau She Gak...."
"Dan engkau akan memakai she yang mana Bun Beng?"
Kakek itu memandang tajam wajah muridnya yang disinari api unggun.
"Tentu saja she Gak. Gak Bun Beng, seorang anak yatim piatu...." Suara ini agak tersendat oleh keharuan.
Kakek itu memegang pundak Bun Beng. "Kematian orang bukanlah hal yang patut disusahkan, muridku. Kita semua manusia yang dilahirkan, suatu saat pasti akan mati, dan mati berarti terbebas daripada duka nestapa dan derita perasaan di waktu hidup. Jangan mengira engkau setelah ditinggal ayah-bundamu lalu menjadi seorang manusia yatim piatu yang tidak mempunyai apa-apa. Tengok di kanan kirimu, semua yang tampak, tetumbuhan dan binatang, adalah teman-teman hidup senasib. Dan semua manusia di dunia ini adalah saudara-saudara sendiri. Langit adalah Ayahmu yang sejati, sedangkan Bumi, adalah Ibumu yang sejati. Takut apa?"
nak itu memandang wajah gurunya. Hatinya besar sekali dan ia tersenyum!
"Terima kasih, Suhu. Apalagi kalau teecu dapat bertemu dan berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti di dunia ini, tentu teecu takkan merasa kesepian. Di dunia ini banyak manusia-manusia yang mulia hatinya, seperti Suhu. Dan sakti, seperti.... Pendekar Siluman! Eh, Suhu juga sakti sekali, tidak tahu siapa lebih sakti antara Suhu dan Pendekar Siluman yang berkaki buntung itu?"
Gurunya tertawa. "Tidak salah kata-katamu. Dunia ini penuh orang sakti. Dan Pendekar Super Sakti itu adalah seorang di antara mereka, dibandingkan dengan dia, ahhh.... Suhumu ini bukan apa-apa."
"Suhu terlalu merendahkan diri. Tee cu tidak percaya!"
"Memang, sebaiknya engkau pun selama hidupmu bersikaplah seperti aku, Bun Beng. Rendah hati bukan rendah diri! Orang yang rendah hati akan berhasil memperoleh kemajuan pesat, sebaliknya orang yang tinggi hati akan tergelincir oleh kesombongannya sendiri. Namun, bicara tentang Pendekar Super Sakti yang kini kabarnya menjadi majikan Pulau Es, dia memang merupakan seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa sekali, bukan hanya ilmu silat tinggi-tinggi sebagai murid yang mewarisi
ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki ilmu sihir yang luar biasa sekali. Sungguh sukar membayangkan mencari orang yang dapat menandinginya dalam ilmu kesaktian. Sudahlah, kita mengaso, besok kita melanjutkan perjalanan. Kelak engkau tentu akan dapat bertemu dengan mereka dan membuktikan sendiri bagaimana lihai mereka itu."
Membayangkan para pendekar ini, Bun Beng melupakan kedukaannya tentang ayah bundanya dan malam itu ia tertidur di dekat api unggun, bermimpi tentang pendekar-pendekar sakti yang menunggang naga dan pandai menangkap geledek!
Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan bersama gurunya amatlah menggembirakan hati Bun Beng karena gurunya itu tahu akan segala hal, bahkan tahu akan nama setiap gunung yang mereka lalui, atau nama setiap kota, dusun, bahkan sungai!
Ketika mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di sebelah barat kota Cin-an, Bun Beng mendapat kenyataan pertama bahwa gurunya memang bukan orang sembarangan. Ketika suhunya mengajaknya berjalan-jalan di tepi sungai yang ramai penuh dengan nelayan dan perahu-perahu layarnya, tiba-tiba muncul tiga orang berpakaian pengemis yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya!
"Eh, eh, harap kalian bangun kembali. Agaknya Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah salah mengenal orang!" Kakek Siauw Lam menggerakkan tongkat bututnya minta mereka bangkit.
Akan tetapi tiga orang kakek jembel itu tidak mau bangkit, bahkan seorang di antara mereka yang bertubuh bongkok segera berkata, "Kami dari Pek-lian-kai-pang selamanya tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Siauw-lim-pai, apalagi terhadap Locianpwe Siauw Lam Losuhu. Mohon tanya, ada keperluan apakah Locian pwe datang ke tempat ini? Barangkali saja kami dapat membantu."
Mendengar bahwa mereka adalah anak buah Pek-lian-kai-pang, atau lebih tepat hanya sisa-sisa dari anak buah Perkumpulan Pengemis Teratai Putih yang terkenal itu, setelah Pek-lian-kai-pang terbasmi oleh Pemerintah Mancu (baca Pendekar Super Sakti), kakek Siauw Lam tidak membantah lagi dan berkata, "Kami berdua ingin menonton keramaian di muara Sungai Huang-ho, dan sedang mencari perahu untuk disewa." Wajah tiga orang pengemis itu berubah, kaget dan pucat. "Ke.... ke sana....! Aih, Locianpwe, di antara kami dan para nelayan, siapakah yang berani pergi ke sana dalam waktu ini? Mencari mati saja! Akan tetapi tentu saja Locianpwe lain lagi, dan kalau saja kami berkepandaian tinggi seperti Locianpwe, agaknya takkan dapat menahan keinginan hati menonton keramaian itu. Locianpwe membutuhkan perahu? Kami mempunyai sebuah, boleh Locianpwe pakai. Kalau mencari sewa, kami kira tidak ada nelayan yang mau menyewakan perahunya pergi ke muara. Marilah, Locianpwe." Ketiga orang jembel tua itu bangkit berdiri dan melangkah pergi, sikapnya seperti tidak acuh lagi padahal tadi begitu menghormat.
Memang, aneh-anehlah sikap orang kang-ouw dan hal ini mulai dimengerti oleh Bun Beng. Gurunya mengikuti tiga orang kakek jembel itu dan Bun Beng juga cepat mengikuti gurunya. Di pantai sungai agak menyendiri dan jauh tempat ramai tiga orang kakek jembe l itu berhenti dan menunjuk ke sebuah perahu kecil yang berlabuh di pinggir sungai.
"Itulah perahu kami, sekarang kami serahkan kepada Locianpwe, menjadi perahu Locianpwe. Silakan dan maaf kami mempunyai urusan lain, Locianpwe." Tiga orang kakek itu lalu pergi begitu saja, tidak menanti terima kasih! Dan anehnya gurunya juga tidak menyatakan terima kasih sehingga diam-diam Bun Beng menjadi tidak puas atas sikap gurunya yang dianggapnya kurang terima! Agaknya Kakek Siauw Lam dapat melihat isi hati muridnya maka ia berkata. "Di dalam dunia kang-ouw terdapat paham bahwa di antara golongan sendiri, sebuah benda adalah milik bersama, terutama kalau dipergunakan untuk kebutuhan mendesak. Dan, pemberian benda yang sudah merupakan kewajaran, tidak perlu dibalas dengan terima kasih, hal itu hanya akan menimbulkan ketidakpuasan si pemberi yang menganggap orang itu bersikap sungkan seperti orang asing bukan segolongan! Kalau tadi aku mengucapkan terima kasih, tentu mereka akan menganggap bahwa aku sombong dan tidak mau menganggap mereka sebagai segolongan!"
Bun Beng melongo dan mengangguk-angguk. Betapa anehnya orang-orang kang-ouw itu, pikirnya. Akan tetapi ia mulai memperhatikan perahu itu. Sebuah perahu yang buruk akan tetapi kokoh kuat, dengan tihang layar dari bambu dan layar-layarnya banyak yang sudah ditambali, seperti pakaian tiga orang kakek jembel tadi. Bukan seperti perahu yang baik, akan tetapi lumayan dan cukup kuat!
Kakek Siauw Lam mengajak Bun Beng naik ke perahu, melepas ikatan dan menggunakan dayung menggerakkan perahu ke tengah sungai yang amat lebar itu. Makin lama makin ke tengah dan Bun Beng belajar caranya mendayung. Mula-mula memang sukar sekali, apalagi kalau harus menerjang arus air, akan tetapi lama-lama ia menjadi biasa dan dapat menguasai cara mendayung. Perahu meluncur mengikuti arus air ke timur dan Kakek Siauw Lam mengembangkan sebuah layar kecil untuk membantu lajunya perahu.
Bun Beng benar-benar mereka gembira. Selamanya belum pernah ia berlayar dan sekali berlayar dia belajar mendayung dan mengemudikan perahu! Ternyata jauh lebih enak melakukan perjalanan dengan perahu, tidak melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki. Juga pemandangan alamnya tidak kalah menariknya karena di kanan kiri sungai itu tampak lembah yang subur dan diseling pegunungan dan hutan-hutan liar menghijau.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di sebuah tikungan yang menurun. Arus airnya kuat dan berobah ganas, berombak dan mengandung banyak putaran air sehingga Kakek Siauw Lam turun tangan sendiri memegang kemudi dengan dayung. Setelah menikung dan air tidak begitu ganas lagi, tiba-tiba Bun Beng meloncat berdiri dan menuding ke depan sambil berkata.
"Suhu, lihat! Banyak perahu di depan, dan banyak orang di sana. Ada benderanya segala, siapakah mereka itu?"
"Kau tenanglah Bun Beng dan jangan mengeluarkan ucapan. Lihat saja dan jangan mencampuri kalau terjadi sesuatu. Mereka adalah rombongan partai-partai persilatan dan agaknya keramaian belum dimulai, semua orang masih bersikap menunggu-nunggu." Kakek itu bangkit dan berkata lirih, hatinya tegang karena dia dapat merasakan betapa suasana amat panas dan sewaktu-waktu dapat meledak perpecahan di antara orang-orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.
Setelah perahu mereka mendekat, kakek itu menyuruh Bun Beng untuk duduk diam saja, mengemudikan perahu dan menyuruh muridnya mengambil jalan tengah. Banyak perahu malang-melintang, agaknya memang sengaja mereka yang berada di perahu itu memancing-mancing keributan. Sekali saja ada perahu bertumbukan, tentu akan terjadi keributan itu.
Ketika kakek Siauw Lam dapat membaca tulisan pada bendera, terkejutlah dia karena ternyata bahwa yang berkumpul di situ dan seolah-olah menghadang itu adalah rombongan bajak sungai Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam) yang terkenal pada masa itu dan yang tidak saja menjadi bajak di muara Sungai Huang-ho, bahkan kadang-kadang turun ke laut dan mengganggu kapal-kapal di laut Po-hai! Akan tetapi kakek ini bersikap tenang saja, membisikkan kepada muridnya agar memperlambat lajunya perahu mereka.
Tiba-tiba tampak seorang di antara para bajak itu berdiri di kepala perahu yang menghadang di depan, kemudian terdengar suaranya lantang seperti berbunyi: "Dari delapan penjuru muncul harimau dan naga datang ke muara memperebutkan mustika yang merasa dirinya bukan harimau atau naga pergilah jangan mencari jalan ke neraka!"
Kakek Siauw Lam masih tetap tenang, bahkan kini ia menggunakan tongkatnya dipukul-pukulkan dan digoyang-goyangkan ke dalam air seperti bermain-main. Tongkatnya menerbitkan suara berirama lalu terdengarlah kakek ini bernyanyi: "Harimau dan naga memperebutkan mustika biarlah! Sang Kucing tidak menghendaki apa-apa hanya menonton menggunakan mata sendiri siapa yang ambil peduli?"
Bun Beng yang mengemudikan perahu tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan dengan nyanyian-nyanyian itu, akan tetapi ia terbelalak kaget melihat betapa tongkat suhunya yang dipermainkan di air itu selain menerbitkan suara berirama, juga menimbulkan gelombang yang membuat perahu-perahu penghalang itu terombang-ambing, bahkan terdorong minggir!
Juga para pimpinan bajak mengerti bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian dahsyat, maka perahu-perahu mereka minggir memberi jalan dan mereka semua berdiri di kanan kiri sambil memberi hormat mengangkat kedua tangan ke depan dada ketika perahu kecil itu lewat. Bajak yang tadi bernyanyi, kini bernyanyi pula, suaranya lantang: "Burung terbang dapat dipanah ikan berenang dapat dijala binatang lari dapat dijebak! Kami yang bodoh tidak dapat mengenal naga sakti yang menunggang angin dan mega. Maaf, maaf, maaf!"
Akan tetapi kakek Siauw Lam tidak menjawab, hanya dengan tenang membantu muridnya mengemudikan perahu yang kini meluncur lewat rombongan bajak yang menghadang itu. Setelah beberapa kali melewati tikungan dan tidak tampak lagi bajak, Bun Beng tak dapat menahan keinginan hatinya yang sejak tadi berdebar tegang.
"Eh, Suhu! Apakah artinya semua nyanyian tadi? Sikap mereka begitu menakutkan akan tetapi Suhu hanya bernyanyi untuk mengalahkan mereka! Apa artinya?"
Kakek itu menghela napas panjang lalu menggeleng kepala. "Gerombolan bajak dapat mempergunakan kata-kata indah, bahkan dapat menggunakan ujar-ujar, hal ini saja menunjukkan bahwa golongan bajak pun telah amat maju. Tentu Ketua Hek-liong-pang yang sekarang ini bukan orang sembarangan!"
"Bajak? Apakah mereka itu bajak, Suhu?"
Gurunya mengangguk. "Mereka adalah anak buah bajak sungai Hek-liong-pang yang mengganas di muara Sungai Huang-ho. Nyanyian mereka tadi menyindirkan bahwa di muara sungai kini sedang didatangi tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang diumpamakan naga dan harimau memperebutkan mustika yang agaknya dimaksudkan pusaka-pusaka itu. Dan mereka itu menjaga agar tokoh yang tidak berkepandaian tinggi, tidak perlu mendekat karena hanya akan merupakan gangguan saja. Ketua merekapun merupakan seorang di
antara mereka yang dianggap naga harimau!"
Bun Beng mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu, Suhu tadi menyindirkan bahwa sebagai kucing Suhu hanya ingin menonton. Akan tetapi biarpun kucing, bukan sembarang kucing! Tongkat Suhu menimbulkan gelombang membuat mereka sadar bahwa Suhu bukan sembarang kucing melainkan seekor naga yang menunggang angin dan mega! Bukankah begitu, Suhu?"
Gurunya mengangguk. "Nyanyian mereka terakhir tadi dipergunakan untuk memuji dan minta maaf. Padahal kata-kata itu berasal dari kata-kata pujian Nabi Khong Hu Cu yang ditujukan kepada Nabi Lo Cu setelah kedua nabi itu saling berjumpa dan bercengkerama."
Perahu meluncur terus dan menjelang senja perahu mereka melalui sungai yang menyempit, diapit dinding batu karang menggunung. Kembali Bun Beng yang tadinya melewatkan waktu dengan berla tih pedang yang dibawanya, pedang biasa yang selalu ia pergunakan untuk berlatih ilmu silat pedang, menghentikan latihannya dan berseru, "Suhu....! Di atas tebing itu.... banyak tentara! Dan bendera itu ada huruf besarnya berbunyi Kok Su (Guru Negara)! Wah, banyak sekali tentaranya, agaknya berjaga-jaga di daerah ini!"
"Ssst, kita sudah hampir sampai. Simpan pedang itu. Selewatnya dua tebing itu kita tiba di muara dan di pulau-pulau tengah sungai. Di tempat itulah keramaian terjadi karena dikabarkan bahwa tempat rahasia penyimpanan pusaka berada di situ. Agaknya tentara negeri menjaga dan melarang orang mendekatinya dari darat. Cepat, kita minggirkan perahu, berlindung di bawah tebing, di bawah batu karang yang menonjol itu!" Kakek Siauw Lam membantu muridnya mendayung perahu sehingga perahu mereka meluncur cepat ke bawah batu karang. Kakek itu melontarkan tali dan dikaitkan pada batu karang sehingga perahu mereka menempel batu karang dan tidak hanyut.
Malam tiba dan mereka makan roti kering sambil minum arak merah yang dibawa kakek itu sebagai bekal. Angkasa penuh bintang berkelap-kelip dan sambil menanti lewatnya malam, Kakek Siauw Lam bercakap-cakap dengan muridnya.
"Suhu, kenapa kita tidak melanjutkan perahu sampai ke pulau-pulau itu?"
"Berbahaya! Hari sudah malam dan gelap, lebih baik kita menanti di sini dan besok pagi baru kita berangkat ke sana. Dalam keadaan gelap, sungguh tidak baik kalau kita melibatkan diri dengan urusan mereka. Kalau hari terang, tentu aku dapat melihat keadaan dan menyesuaikan diri."
"Suhu, selain Pendekar Siluman yang menjadi Majikan Pulau Es, siapa lagi mereka yang dahulu memperebutkan diri teecu? Sampai sekarang Suhu belum menceritakan keadaan mereka kepada teecu."
"Yang mukanya berwarna merah adalah anak buah dari Pulau Neraka."
"Pulau Neraka? Sungguh menyeramkan namanya. Dimana itu, Suhu?"
"Sampai sekarang belum ada tokoh kang-ouw yang mengetahuinya, bahkan mendengarnya pun baru akhir-akhir ini. Pulau Neraka sama aneh dan penuh rahasia seperti Pulau Es. Akan tetapi Pulau Es ini sudah puluhan tahun dikenal namanya, sungguhpun tidak pernah ada pula yang pernah melihatnya, kecuali Pendekar Siluman dan anak buahnya, tentu saja. Datuk-datuk golongan hitam dan putih dahulu memperebutkan dan mencari, karena kabarnya pusaka peninggalan Bu Kek Siansu berada di sana. Namun tidak pernah ada yang berhasil. Adapun Pulau Neraka ini sebenarnya hanya dikenal sebagai dongeng yang turun-temurun di antara tokoh kang-ouw lama. Kabarnya sebuah pulau yang amat berbahaya, tidak dapat didatangi manusia, penuh dengan racun. Tidak hanya binatang-binatang beracun, bahkan buah-buahan, tetumbuhan dan batu-batuan di sana beracun semua! Maka, amatlah mengagetkan ketika muncul tokoh-tokohnya dari sana yang kesemuanya berwarna-warni kulit tubuhnya! Mengerikan!"
"Wah, hebat! Apakah muka mereka itu diberi warna untuk membedakan tingkat mereka?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Ketika aku bertemu dengan mereka lima tahun yang lalu di kuil tua, aku terkejut dan memperhatikan. Warna-warna pada muka mereka bukan warna buatan, melainkan warna dari dalam kulit! Agaknya, melihat keadaan mereka dahulu itu, makin terang dan muda warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Dan kabarnya Pulau Neraka itu dipimpin oleh seorang yang memiliki kepandaian seperti iblis! Akan tetapi entahlah tak pernah ada orang yang bertemu dengannya. Bahkan anak buah mereka pun baru sekali itu kulihat. Aku pun masih heran memikirkan bagaimana mereka itu tahu tentang dirimu dan hendak merampasmu, sungguh merupakan hal yang membingungkan dan sukar dimengerti!"
Bun Beng makin tertarik dan makin terheran-heran. "Kalau tokoh-tokoh yang lain itu siapakah, Suhu?"
"Mereka juga bukan orang-orang sembarangan. Ternyata mereka yang hanya merupakan anak buah tingkat rendah saja sudah mampu menandingi dua orang tokoh Pulau Neraka. Mereka itu adalah anak buah dari perkumpulan Thian-liong-pang yang baru sekarang muncul akan tetapi begitu muncul menggegerkan dunia kang-ouw karena tokoh-tokohnya berilmu tinggi. Kabarnya ketua mereka yang baru juga seorang aneh sekali yang ilmu kepandaiannya tidak lumrah manusia!"
"Kalau begitu, jika nanti tokoh-tokoh Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang muncul, tentu mereka yang akan menjagoi dan mampu memperebutkan pusaka-pusaka itu! Siapa yang akan mampu menandingi mereka?"
Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Aaahh, kau tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi, Bun Beng! Ilmu kepandaian tidak ada batasnya dan tidak mungkin dapat diukur sampai di mana puncaknya. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai. Yang tidak pernah memperlihatkan diri malah memiliki kepandaian menggila! Kini, setelah ada umpan berupa berita pusaka-pusaka itu, hem, aku hendak melihat apakah orang-orang sakti itu tidak tertarik! Kalau mereka muncul, tentu akan ramai sekali. Dan jangan kira pihak lain tidak mempunyai jago-jagonya. Pemerintah mempunyai banyak orang-orang pandai,
dan kalau sekarang koksu kerajaan muncul, tentu kepandaiannya hebat. Apalagi ada kudengar bahwa koksu mempunyai dua orang pembantu yang ilmu kepandaiannya sukar dikatakan sampai di mana tingginya. Mereka itu jarang dikenal orang kepandaiannya, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah dua orang pendeta Lama dari Tibet, aku dapat menduga bahwa tentu ilmu kepandaiannya luar biasa sekali."
Dengan hati penuh keheranan dan kekaguman, Bun Beng mendengarkan penuturan suhunya dan akhirnya ia dapat pulas juga di atas perahu setelah menanti dengan hati tidak sabar agar malam lekas terganti pagi. Kakek itu memandang wajah muridnya di bawah bintang-bintang yang suram, menarik napas panjang dan berbisik seorang diri.
"Bocah ini bukan anak sembarangan. Entah nasib apa yang menantinya? Agaknya dia ditakdirkan akan terlibat dalam keributan tokoh-tokoh sakti yang muncul di tempat ini. Hemm.... semoga dia kelak akan dapat berdiri di atas kebenaran, keadilan dan menjadi hamba kebajikan, mencuci noda ayah bundanya." Kakek ini pun lalu duduk bersila, bersamadhi untuk memberi istirahat kepada tubuhnya yang tua.
******
Sementara itu, di dalam tenda besar yang didirikan di atas tebing sungai, seorang kakek berkepala botak memimpin perundingan, menghadapi meja yang dikelilingi oleh tiga orang panglima dan dua orang pendeta gundul. Kakek botak ini bukan orang sembarangan karena dialah Koksu Kerajaan Ceng yang belum ada setahun diangkat oleh Kaisar sebagai pengganti Puteri Nirahai yang lenyap. Kakek botak ini tadinya adalah seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, seorang keturunan India akan tetapi memakai nama Tiong-hoa. Namanya Bhong Ji Kun dan julukannya Im-kan Seng-jin (Nabi Akhirat)! Ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali dan setelah mendemonstrasikan ilmu-ilmunya dan mengalahkan semua jago kerajaan, dia diangkat menjadi koksu dan mengepalai semua jagoan kerajaan. Im-kan Seng-jin ini pulalah yang berhasil menemukan peta rahasia yang menunjukkan tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang diperebutkan itu dan kini Kaisar mengutus dia sendiri memimpin pasukan pengawal, membawa pembantu-pembantunya untuk menuju ke pulau di muara Sungai Huang-ho karena kaum kang-ouw yang bertelinga tajam itu rupanya telah dapat mendengar akan hal ini sehingga pihak kerajaan merasa khawatir kalau-kalau mereka didahului oleh kaum kang-ouw.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun memblokir kedua tebing di kanan kiri muara darimana mereka dapat menjaga dan memandang ke arah pulau-pulau itu, dan malam itu Im-kan Seng-jin mengadakan perundingan dengan lima orang pembantunya. Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang kini diperbantukan oleh Kaisar di istananya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti , dua orang pendeta Lama ini sudah muncul sebagai orang-orang yang sakti dan sukar dicari tandingannya. Adapun tiga orang panglima yang berpakaian perang dan kelihatan gagah perkasa itu pun bukan sembarangan orang, melainkan jagoan-jagoan tingkat tinggi yang mengepalai pasukan pengawal istana!
"Maaf Koksu. Sungguh saya tidak mengerti mengapa Koksu begitu sabar dan mendiamkan saja berkumpulnya orang-orang kang-ouw itu? Mengapa memberi kesempatan kepada mereka sehingga membahayakan pasukan yang akan kita ambil? Bukankah lebih baik kita turun tangan mengusir mereka, kalau mereka membangkang, apa sukarnya menangkap dan membasmi mereka sebagai pemberontak?" Tanya Bhe Ti Kong, panglima yang tampan, tinggi besar dan gagah perkasa, bermuka merah dan bermata lebar, pantas menjadi seorang panglima besar atau jenderal yang kosen. Dua orang panglima lainnya mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan pertanyaan ini karena mereka pun merasa penasaran. Hanya kedua orang pendeta Lama itu yang duduk dengan tenang, tidak bicara apa-apa hanya menanti apa yang akan menjadi jawaban Im-kan Seng-jin.
Kakek botak yang tubuhnya tinggi kurus itu tersenyum memandang si penanya, kemudian mempermainkan jari-jari tangannya, ditekuk-tekuk sehingga mengeluarkan bunyi krak-krok-krok! "Tahukah kalian apa yang menyebabkan bunyi ini jika buku-buku jari ditekuk? Yang mendatangkan bunyi adalah pecahnya gelembung-gelembung yang terhimpit! Heh-heh-heh, Bhe-goanswe (Jenderal Bhe), sebagai seorang panglima perang tentu engkau sudah tahu akan siasat-siasat perang, bukan? Ada saatnya menyerang, ada pula saatnya mundur dan ada saatnya bersabar menanti kesempatan baik. Menghadapi partai-partai orang kang-ouw sekarang ini, aku mengambil siasat menanti dan melihat (wait and see)! Mengertikah kalian semua mengapa kita harus menanti dan melihat apa yang akan mereka kerjakan?"
Kelima orang pe mbantunya itu tidak ada yang mengerti, dan Bhe Ti Kong berkata lagi, "Sungguh saya bingung. Mengapa Koksu mengambil siasat ini? Mereka adalah orang-orang kang-ouw dan di antara mereka banyak terdapat tokoh-tokoh sakti, akan tetapi selama ini mereka tidak mengambil sikap bermusuh terhadap pemerintah. Kalau sekarang kita mempergunakan kekuasaan minta mereka mundur, tentu mereka tidak membantah. Menurut para penyelidik, mereka itu bukan hanya tertarik untuk mendapatkan pusaka-pusaka, melainkan juga menggunakan kesempatan ini untuk berpibu, mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang pantas disebut jago nomor satu atau datuk paling tinggi! Segala perkara kosong itu perlu apa dibiarkan mengacau usaha kita mencari pusaka?"
Jenderal Bhe Ti Kong ini semenjak kecil adalah orang peperangan, maka sikapnya jujur dan keras, siasatnya pun keras dan tidak mempunyai sifat plintat-plintut menggunakan akal bulus.
Im-kan Seng-jin tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Sekali ini engkau salah, Bhe-goanswe. Bukan hanya kesalahan satu macam, melainkan semua pendapatmu itu keliru dan meleset!"
Melihat sinar mata penuh tantangan dari atasannya itu, Bhe Ti Kong menunduk, dan suaranya perlahan ketika ia berkata, "Tentu Koksu yang benar, saya mohon penjelasan agar dapat melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan siasat Koksu!"
"Pertama, perlu kalian berlima tahu bahwa peta yang ada pada kita hanyalah menunjukkan kepulauan ini sebagai penunjuk pertama! Hal ini menurut perkiraanku, jelas menandakan bahwa tempat pusaka itu bukan di sini, melainkan harus dicari mulai dari tempat ini, yaitu pulau-pulau yang berada di tengah muara. Karena belum diketahui jelas di mana tempatnya, sedangkan kita sendiri masih meraba-raba dan mencari-cari, perlu apa kita mendahului mereka mencari dan membiarkan mereka diam-diam mengawasi kita dan akan turun tangan apabila pusaka sudah kita dapatkan! Daripada diawasi, lebih mudah mengawasi. Orang-orang kang-ouw itu hidungnya tajam, biarlah mereka yang mencarikan untuk kita. Kalau secara kebetulan sekali di antara mereka ada yang berhasil, kita sergap! Kalau tidak demikian, bayangkan saja betapa besar bahayanya kalau kita mencari-cari dan ratusan orang kang-ouw itu mengintai seperti sekawanan burung rajawali mengintai mangsanya! Bagaimana pendapat kalian?" Lima orang pembantu itu mengangguk-angguk tanda setuju.
"Kalau mereka tidak berhasil mencari dan pergi, sudahlah. Mereka tidak memusuhi pemerintah, maka apa untungnya kalau kita menggunakan kekerasan mengusir mereka sehingga menimbulkan dendam dan permusuhan karena benci kepada pemerintah? Bukankah rugi sekali kalau kita mengusir mereka? Pertama, mereka akan membenci dan memusuhi pemerintah. Kedua, mereka tentu penasaran dan akan mengintai gerak-gerik kita dalam mencari pusaka."
Kembali lima orang pembantunya mengangguk membenarkan dan diam-diam kagum akan pandangan yang luas dan perhitungan masak ini.
"Tentang mereka berpibu mengadu kepandaian di pulau itu? Ha-ha-ha-ha! Biarlah! Makin berkurang kaum kang-ouw yang saling berbunuhan, makin kurang bahayanya bagi pemerintah! Selain itu hemmm.... aku pun ingin sekali menonton pibu. Ha-ha, tak dapat disangkal pula bahwa tangan kita yang mempelajari banyak ilmu ini menjadi gatal-gatal kalau mendengar orang sakti mengadu pibu. Apa salahnya kalau kita pun meramaikan pibu mereka itu? Kita berlima.... heh-heh, berenam dengan aku maksudku, agaknya bukan merupakan tanding yang lemah. Akan menggembirakan sekali, ha-ha!"
Kini dua orang pendeta Lama itu yang mengangguk-angguk karena mereka berdua pun ingin sekali menyaksikan, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian kaum kang-ouw yang terkenal dan terutama sekali dia yang nanti terpilih menjadi datuk nomor satu!
Ketika perundingan di dalam kemah itu berlangsung, Kakek Siauw Lam sedang bersamadhi dengan tenangnya, sedangkan Bun Beng sudah pulas. Menjelang pagi, karena Kakek Siauw Lam sadar dari samadhinya karena ia mendengar suara perlahan di permukaan air, suara sebuah perahu meluncur datang mendekati perahunya! Namun kakek itu pura-pura tidak tahu dan duduk bersila dengan tenangnya, hanya diam-diam ia bersiap-siap menjaga diri dan muridnya kalau-kalau ada bahaya mengancam. Dari gerakan perahu ketika ia menghitung gerakan, ia tahu bahwa ada enam orang meloncat ke atas perahunya, dan orang-orang ini biarpun memiliki
gin-kang yang tinggi, bagi dia bukan merupakan lawan yang perlu dikhawatirkan. Maka dia tetap pura-pura tidak tahu.
"Kita sergap dan ikat," bisik seorang di antara mereka. Legalah hati kakek Siauw Lam karena bisikan itu mempunyai arti bahwa dia dan muridnya hanya akan ditangkap, tidak dibunuh, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak melakukan perlawanan.
"Heiii! Apa ini? Lepaskan....!" Bun Beng meronta-ronta dengan kaget ketika ia terbangun dan melihat ada seorang laki-laki mengikat kedua tangannya, "Suhu....!"
"Diamlah, Bun Beng. Mereka tidak berniat jahat." kata Kakek Siauw Lam dengan sabar.
"Tidak berniat jahat mengapa membelenggu kita?" Bun Beng membantah, terheran-heran.
Kini guru dan murid itu telah dibelenggu kedua tangan mereka ke belakang dan mereka melihat enam orang laki-laki bersenjata golok besar berdiri di atas perahu.
"Engkau benar, orang tua. Kami tidak berniat jahat. Bukankah kalian hendak menonton keramaian? Nah, Pangcu kami tidak ingin melihat penonton membikin ribut, akan tetapi juga tidak mau merampas hak seorang penonton. Mari, kalian akan mendapat tempat yang amat baik sehingga akan dapat menonton dengan enak, ha-ha!" Tubuh guru dan murid itu lalu diangkat, dipindahkan ke dalam perahu mereka yang mereka dayung cepat-cepat menuju ke sebuah pulau terbesar yang berada di tengah muara. Tanpa banyak cakap mereka meminggirkan perahu, disambut oleh seorang laki-laki berkumis pendek dan membawa sebatang pedang di punggungnya. Sikapnya berwibawa, matanya tajam dan biarpun usianya paling banyak empat puluh lima tahun, namun mudah diduga bahwa dia tentulah pemimpin dari orang-orang ini.
"Lemparkan mereka di pantai, kemudian cepat sembunyikan perahu dan kembali bersembunyi di tempat semula," kata orang berpedang itu setelah melempar pandang kepada Kakek Siauw Lam.
"Baik, Pangcu," jawab anak buahnya akan tetapi orang berpedang itu sudah berkelebat cepat sekali, lenyap dari situ. Kakek Siauw Lam dan Bun Beng lalu digotong keluar dan ditinggalkan di pantai pulau itu, kemudian enam orang bersama perahunya pergi. Semua ini dilakukan menjelang pagi ketika cuaca masih gelap. Keadaan sunyi sekali setelah orang-orang yang menangkap
mereka itu pergi. Bun Beng memandang ke sekelilingnya. Pulau itu cukup besar, merupakan pulau berbentuk anak bukit yang tinggi juga. Hanya pantai dimana mereka ditinggalkan itu yang datar akan tetapi dari tempat itu dapat diduga bahwa pantai lain, di sekeliling pulau itu tentu merupakan tebing-tebing yang tinggi. Juga ia mendapat kenyataan bahwa pulau itu berada di muara paling ujung, dan sudah berbatasan dengan laut sehingga kadang-kadang tampak ombak laut naik dan membentur tebing karang pulau itu di sebelah luar. Ketika berusaha memandang ke seberang, yaitu di kanan kiri sungai yang telah menjadi luas sekali itu, dia hanya melihat beberapa sinar api berkelap-ke lip. Keadaan sunyi sekali seolah tempat itu tidak ada manusianya, pada hal dia dapat menduga bahwa di sekitar tempat itu, mungkin di atas pulau dan sudah terang sekali di seberang, di tebing-tebing tinggi, penuh dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti, penuh pula dengan pasukan pengawal. Hatinya berdebar tegang ketika ia teringat akan keadaan dirinya dan suhunya.
"Suhu, teecu masih tidak mengerti mengapa Suhu tidak melawan? Kita ini dibelenggu dan dilepaskan di sini, apa sih kehendak mereka? Apakah benar-benar kita disuruh menonton akan tetapi tidak boleh bergerak maka dibelenggu seperti ini?"
"Sabar dan tenanglah, Bun Beng. Engkau pergi hendak mencari pengalaman, ingat? Nah, justru pengalaman-pengalaman yang tidak enaklah yang merupakan pengalaman tak terlupakan dan mengandung banyak pelajaran. Mereka itu tidak berniat jahat, karena kalau demikian, tentu tadi mereka akan membunuh kita dan tentu saja aku tidak akan membiarkan mereka berbuat begitu. Mereka hanya menangkap kita dan buktinya kita ditinggalkan di sini."
"Akan tetapi.... mengapa, Suhu? Apa maksudnya semua?"
"Aku sendiri tidak tahu dengan pasti, hanya dapat menduga-duga saja. Kalau dugaanku tidak meleset terlalu jauh, kita sekarang bukan menjadi penonton lagi, Bun Beng, melainkan ikut pula main dalam keramaian ini, bahkan menjadi pemegang peran babak pertama dalam adegan pembukaan!"
Bun, Beng membelalakkan matanya. "Apa maksud Suhu?"
"Agaknya para partai dan tokoh kang-ouw yang sudah berkumpul dengan sembunyi-sembunyi di sekitar tempat ini, merasa ragu-ragu untuk memulai keramaian ini, melihat adanya pasukan-pasukan pemerintah yang sudah memblokir tempat ini. Mereka mengambil sikap menunggu dan melihat, tidak ada yang berani memulai karena resiko dan bahayanya amat besar. Selain adanya saingan yang berat dan banyak jumlahnya, di sini terdapat pula pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh koksu. Hal ini tentu saja bukan merupakan hal sepele yang boleh dibuat main-main. Oleh karena itu, dengan adanya kita sebagai orang luar atau katakan penonton, maka mereka mendapat kesempatan baik untuk menarik kita dan kita dijadikan semacam umpan, atau lebih tepat merupakan sumbu untuk meledakkan keramaian! Mereka semua bersembunyi, dan kita mereka taruh di sini yang dapat dilihat dari semua penjuru kalau matahari sudah muncul nanti. Kehadiran kita ini pasti menarik semua orang dan tentu akan ada yang mulai muncul sehingga pesta dapat dimulai!"
"Hemm, kurang ajar sekali mereka!" Bun Beng mengomel.
"Kalau aku mereka jadikan umpan, masih tidak mengapa. Akan tetapi mereka berani menangkap dan membelenggu Suhu! Siapakah mereka yang menangkap kita tadi, Suhu?"
"Melihat sikap mereka dalam menggunakan perahu, kiranya tidak salah kalau aku menduga bahwa mereka adalah pimpinan Hek-liong-pang yang membantu ketua mereka dalam usaha perebutan ini. Si Kumis yang berpedang tadi lihai dan cepat sekali gerakannya dan disebut Pangcu (Ketua), agaknya dialah Ketua Hek-liong-pang. Hek-liong-pang merupakan kekuasaan tidak resmi di muara ini, dan dalam istilah dunia kang-ouw, sekali ini keramaian mengambil tempat di wilayah atau daerah kekuasaan Hek-liong-pang. Tegasnya, sekarang ini dapat dianggap bahwa Hek-liong-pang menjadi tuan rumah! Tuan rumah yang bukan hanya ingin menjadi penonton saja, bahkan ingin sekali memegang peran utama dan mendapatkan pusaka yang diperkirakan terdapat di dalam daerah operasi mereka! Maka melihat betapa keramaian dapat membeku gagal dengan munculnya begitu banyak pasukan pemerintah, Hek-liong-pang kini mengambil prakarsa untuk menyalakan sumbu yang akan meledakkan keramaian, yaitu kita inilah."
"Sekarang, apa yang akan Suhu lakukan? Apakah kita akan mandah begini saja?"
Kakek itu tersenyum lebar. Semenjak Siauw Lam Hwesio menjadi Kakek Siauw Lam dan memelihara rambut, wajahnya yang dahulu selalu dingin membeku itu kini mulai tampak sinarnya dan terutama sekali kalau bicara dengan muridnya, ia mulai banyak tersenyum. Memang muridnya tidak seperti bocah biasa. Anak ini jalan pikirannya seperti orang tua, tidak kekanak-kanakan lagi, dan kecerewetannya menanyakan segala macam hal menandakan bahwa anak ini mempunyai hasrat besar untuk maju.
Bhe Ti Kong menahan tangannya dan melontarkan bocah itu ke arah koksu, dan melayanglah tubuh Bun Beng. Im-kan Seng-jin menyambut tubuhnya dengan mudah dan kakek botak tinggi kurus ini meraba-raba dan mengukur-ukur kepala Bun Beng dengan jari-jari tangannya, dikilani dengan ibu jari dan telunjuk, diukur dari depan ke belakang, dari kanan ke kiri dan dari bawah ke atas, kemudian dipijit-pijit bagian-bagian kepala Bun Beng.
Wajahnya menjadi girang sekali dan setelah selesai mengukur-ukur kepala anak itu, Im-kan Seng-jin lalu memeriksa mata Bun Beng dengan membuka kelopak matanya, kemudian menjepit rahang Bun Beng sehingga anak itu terpaksa membuka mulutnya, memeriksa dalam mulut, kemudian menaruh tangan kanan di dada dan jari-jari tangan kirinya memegang nadi tangan Bun Beng. Ia mengangguk-angguk dan tersenyum lebar, wajahnya berseri. "Aaaahhhh, Ji-wi Lama, lihat, apa yang kutemukan ini! Tulangnya bersih darahnya murni, dan kepalanya....! Hebat....! Rongga otaknya luas, daya tangkapnya kuat, semangatnya besar jalan darahnya lancar, isi dadanya sempurna semua! Benar-benar seorang sin-tong (anak ajaib) yang sukar ditemukan keduanya! Wah, kalau dia sudah kuberi makan obat kuat secukupnya, dia akan dapat memenuhi syarat aku melaksanakan ilmu peninggalan guruku, I-jwe-hoan-hiat (Ganti Sumsum Tukar Darah)!"
Tiga orang panglima itu tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat, akan tetapi Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi pucat wajahnya. Thai Li Lama memandang Bun Beng dengan sinar mata kasihan lalu menundukkan muka, sedangkan Thian Tok Lama lalu berkata perlahan. "Omitohud...., semoga Sang Buddha menunjukkan jalan terang bagi Koksu!"
"Heh-heh-heh! Ji-wi Lama, kalian orang-orang beragama hanya memikirkan tentang dosa saja! Bagi orang-orang seperti kami, dosa adalah soal ke dua, yang terpenting adalah memanfaatkan segala macam demi kepentingan dan kemajuan kita. Ha-ha-ha! Eh, Sin-tong, siapa namamu?"
"Aku bukan sin-tong, aku bernama Gak Bun Beng. Lepaskan, aku mau pergi!" Bun Beng meronta dari pegangan kakek itu. Anak ini pun tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat. Kalau dia mengerti tentu akan merasa ngeri, betapa tabah pun hatinya, karena ilmu itu adalah ilmu hitam yang amat keji, yaitu Si Kakek ini hendak menyedot darah dan sumsum Bun Beng dalam keadaan hidup-hidup untuk menggantikan sumsum dan darahnya sendiri yang sudah lemah dan kotor!
"Engkau mau pergi? Nah, pergilah kalau dapat!" Koksu itu melepaskan pegangannya. Bun Beng menggerakkan kaki hendak berlari pergi akan tetapi.... tubuhnya tak dapat bergerak maju, kedua kakinya tak dapat digerakkan seolah-olah tertahan oleh sesuatu yang tidak nampak!
"Ha-ha-ha! Engkau tidak bisa pergi, Bun Beng, karena semenjak saat ini engkau harus selalu ikut bersamaku, tidak boleh berpisah sedikitpun. Tidur pun harus di sampingku. Hayo, ikut dengan kami menonton pibu, heh-heh-heh!"
Tubuh Bun Beng didorong dan.... kedua kakinya dapat dipakai berjalan mengikuti rombongan itu. Akan tetapi setiap kali dia hendak melarikan diri, mendadak kedua kakinya tidak dapat digerakkan! Dia mulai merasa ngeri. Tentu kakek aneh ini menggunakan ilmu iblis, pikirnya.
"Bun Beng....!"
"Suhu....!" Bun Beng berteriak girang sekali ketika ia melihat munculnya Kakek Siauw Lam di depan. Rombongan koksu itu pun berhenti ketika mendengar Bun Beng menyebut kakek itu sebagai gurunya.
"Bun Beng, ke sinilah engkau!" Kakek Siauw Lam berkata kepada muridnya, hatinya gelisah melihat muridnya itu bersama rombongan koksu.
"Teecu.... teecu tidak bisa, Suhu....!" kata Bun Beng sambil berusaha menggerakkan kedua kakinya.
"Siapa bilang tidak bisa? Majulah engkau ke sini!" Kakek Siauw Lam yang sudah melihat bahwa Bun Beng sebenarnya tertahan oleh hawa sin-kang yang keluar dari tangan koksu itu, menggerakkan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan sin-kangnya. Terdengar suara bercuitan dan.... tiba-tiba tubuh Bun Beng terdorong ke depan, ke arah gurunya.
"Heh-heh, boleh juga tua bangka ini." Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa untuk menyembunyikan kagetnya, kemudian ia pun menggerakkan kedua tangan ke depan. Terjadilah tarik-menarik oleh dua kekuatan yang tidak tampak, dan Bun Beng merasa betapa tubuhnya ditarik ke depan dan ke belakang. Akan tetapi akhirnya.... ia tertarik ke belakang dan tangan koksu itu sudah menangkap pundaknya sambil tertawa-tawa.
Bukan main kagetnya hati Kakek Siauw Lam. Tak disangkanya bahwa koksu itu ternyata memiliki kekuatan sin-kang yang luar biasa sekali! Maka ia cepat menjura dan berkata, "Mohon Paduka suka melepaskan murid hamba yang tidak berdosa, dan maafkan hamba yang tidak tahu diri berani berlaku lancang."
"Heh-heh, engkau guru bocah ini?"
"Benar, Taijin."
"Siapa namamu?"
"Nama hamba Siauw Lam, seorang anggauta Siauw-lim-pai." Kakek itu sengaja menggunakan nama Siauw-lim-pai untuk mencari pengaruh, karena pada waktu itu, pemerintah tidak mau bermusuhan dengan partai-partai persilatan besar, terutama Siauw-lim-pai yang kuat.
Tiba-tiba Thian Tok Lama mengerutkan alis dan berkata, "Seingat pinceng, yang bernama Siauw Lam adalah seorang hwesio terkenal di Siauw-lim-pai!"
Kakek Siauw Lam memandang kepada hwesio Lama itu dan memberi hormat sambil berkata, "Saya yang berdosa dahulu adalah Siauw Lam Hwesio, akan tetapi sudah bertahun-tahun ini saya mengundurkan diri dan menjadi orang biasa, Kakek Siauw Lam pelayan Kuil Siauw-lim-pai."
Mendengar ini, pandang mata kedua orang Lama itu memandang rendah dan alis mereka berkerut. Tak senang hati mereka mendengar betapa seorang hwesio telah mengundurkan diri dari kependetaannya, hal ini mendatangkan kesan di hati mereka bahwa kakek itu adalah seorang durhaka dan berkhianat terhadap agama!
"Kakek Siauw Lam, kalau engkau guru dari Bun Beng ini, kebetulan sekali. Aku akan mengambil muridmu ini, aku sayang kepadanya!"
"Tidak, Suhu, dia tidak sayang kepada teecu! Dia hendak menggunakan teecu sebagai syarat ilmunya I-jwe-hoan-hiat!"
Im-kan Seng-jin hendak mencegah Bun Beng bicara, namun terlambat dan seketika wajah Kakek Siauw Lam menjadi pucat, matanya menyinarkan api kemarahan.
"Taijin, harap jangan menghina murid Siauw-lim-pai. Kembalikan muridku!" Bentaknya.
Im-kan Seng-jin pun berganti sikap, memandang marah. "Apa? Engkau pelayan kuil berani menentang aku? Berani melawan koksu kerajaan?"
"Saya tidak melawan siapa-siapa, akan tetapi Bun Beng adalah muridku dan biar dewa sekalipun hanya bisa merampasnya melalui mayatku!" Kakek itu sudah marah sekali karena ia tahu apa artinya nasib muridnya kalau hendak dijadikan syarat orang melaksanakan ilmu iblis itu.
"Ha-ha-ha, Ji-wi Lama, lenyapkan hwesio yang durhaka ini!" Im-kan Seng-jin berkata.
Kedua orang Lama itu memang sudah membenci Kakek Siauw Lam, maka kini keduanya lalu menerjang maju dari kanan kiri, mengirim pukulan-pukulan dahsyat sekali. Dari kiri Thian Tok Lama memukul dengan Ilmu Hek-in-hui-hong-ciang sehingga angin keras menyambar disertai uap hitam, adapun dari kanan Thai Li Lama juga memukul dengan pukulan sakti Sin-kun-hoat-lek!
Melihat datangnya pukulan yang mengandung hawa sakti amat dahsyatnya itu Kakek Siauw Lam terkejut dan maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat kuat dan harus dilawan mati-matian, terutama untuk menolong muridnya. Maka ia pun mengerahkan sin-kangnya, mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri dengan jari tangan terbuka dan menerima pukulan kedua lawan itu dengan telapak tangannya. "Plak! Plak!" Telapak tangan mereka bertemu dan melekat. Tiga orang itu berdiri tak bergerak, saling beradu telapak tangan yang mengeluarkan hawa sakti dan terjadilah adu tenaga sakti yang amat dahsyat! Beberapa menit lamanya ketiga orang kakek ini berdiri tegak tak bergerak akan tetapi lambat-laun tubuh kedua orang Lama itu bergoyang-goyang, sedangkan tubuh Kakek Siauw Lam masih tegak, sama sekali tidak terguncang, hanya dari rambut kepalanya mengepul uap putih dan mukanya pucat.
"Orang Siauw-lim-pai memang hebat....!" Terdengar Im-kan Seng-jin berkata perlahan. Sebetulnya, dia tidak berniat memusuhi Siauw-lim-pai akan tetapi karena dia tidak mau kehilangan Bun Beng, dia mengambil keputusan pendek. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kirinya, didorongkan ke arah dada Kakek Siauw Lam. Angin yang keras dan panas menyambar ke depan, tenaga yang tidak nampak menghantam dada Kakek Siauw Lam yang tentu saja tidak dapat mengelak atau menangkis karena dia sedang terhimpit oleh tenaga kedua orang Lama yang sudah hampir ia kalahkan itu.
"Uahhh....!" Kakek Siauw Lam tergetar tubuhnya dan dari mulutnya tersembur darah segar, akan tetapi matanya mendelik memandang Im-kan Seng-jin dan dia masih tetap mempertahankan himpitan kedua orang Lama, sedikit pun tidak berkurang tenaga sin-kangnya biarpun sudah menderita luka parah!
Tiba-tiba Bhe Ti Kong mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya meloncat maju, tampak sinar berkilat ketika ia menggerakkan senjatanya yang istimewa yaitu sebuah tombak gagang pendek.
"Cappp!" Tombak itu menusuk lambung Kakek Siauw Lam sampai tembus!
"Suhuuu....!" Bun Beng menjerit, akan tetapi kedua kakinya tetap saja tak dapat digerakkan. Dengan mata terbelalak dan muka pucat ia melihat betapa suhunya roboh, mengerang perlahan lalu terdiam, tak bergerak lagi.
Sejenak enam orang itu termangu-mangu, agaknya merasa tidak enak dengan adanya kejadian itu. Betapapun juga, yang mereka bunuh adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai!
"Ambil racun penghancur, lenyapkan mayatnya!" Im-kan Seng-jin berkata dan dua orang panglima cepat membuka bungkusan koksu itu, mengeluarkan sebuah guci, membuka tutupnya dan menuangkan benda cair berwarna putih perak ke atas tubuh Kakek Siauw Lam yang menjadi mayat.
"Suhuuuu....!" Bun Beng masih terbelalak sambil menjerit memanggil nama suhunya sampai jari tangan Im-kan Seng-jin menyentuh lehernya dan membuat ia tak mampu menjerit lagi. Dia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak betapa mayat suhunya itu cepat sekali mencair, "dimakan" benda cair putih itu dan terciumlah bau yang asam dan tajam menusuk hidung. Sepasang mata anak itu tak pernah berkedip melihat betapa mayat suhunya itu habis dan mencair sampai ke tulang-tulangnya, tidak ada bekasnya sedikitpun juga karena cairannya diserap oleh tanah, dan yang tinggal hanyalah tanah basah yang berbau racun itu. Dua titik air mata tanpa dirasakannya jatuh ke atas pipinya, akan tetapi Bun Beng tidak menangis. Tidak, sedikit pun dia tidak terisak, biarpun kedukaan menyesak di dada, karena kedukaannya dikalahkan rasa kebenciannya terhadap empat orang itu.
Berganti-ganti sinar matanya seperti dua titik api hendak membakar tubuh Im-kan Seng-jin, Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong. Terutama sekali Bhong Ji Kun dan lebih-lebih lagi Bhe Ti Kong. Karena ia dapat menduga bahwa kedua orang itulah yang membunuh suhunya! Akan tetapi, enam orang itu tidak mempedulikannya.
Setelah mayat Kakek Siauw Lam lenyap, bergegas mereka mengajak Bun Beng menuju ke arah lapangan yang dijadikan medan pertandingan. Kedua orang kakek utusan Pulau Es ternyata amat lihai. Berkali-kali maju orang-orang sakti yang memasuki medan
laga untuk berpibu, namun kesemuanya dikalahkan oleh Kakek Yap Sun dan Kakek Thung Sik Lun! Semua orang menjadi gentar dan kini pihak Thian-liong-pang dan rombongan Pulau Neraka sudah mulai berbisik-bisik, agaknya mereka ini yang tadi nampak tenang-tenang saja sudah mulai memperbincangkan siapa yang akan mereka ajukan untuk menandingi dua orang kakek Pulau Es yang sakti itu. Agaknya pihak Thian-liong-pang yang merasa penasaran dan dua orang kakek dari pihak ini sudah melompat maju.
"Mundur!" Suara ini melengking nyaring dan tiba-tiba tampak sinar yang sebetulnya adalah bayangan putih seorang manusia yang melayang turun dari atas tebing dan hinggap di depan kedua orang kakek Pulau Es tanpa mengeluarkan suara, seperti seekor burung saja. Semua orang memandang dan terbelalak melihat seorang wanita berpakaian sutera putih dengan sabuk sutera biru, bentuk tubuh yang ramping padat dan menggairahkan. Akan tetapi kepala wanita ini tertutup oleh kedok sutera putih seluruhnya, merupakan sebuah kantung yang ditutupkan di kepala sampai ke bawah leher, hanya mempunyai dua buah lubang dari mana berpancar sinar mata yang indah, bening, namun mengandung hawa dingin dan tajam seperti ujung pedang pusaka! Kulit kedua tangan yang tersembul keluar dari lengan baju, amat putih dan tangan itu sendiri kecil halus seperti tangan seorang puteri yang kerjanya setiap hari hanya merenda dan berhias! Akan tetapi, semua orang berhenti menduga-duga dan mengerti bahwa wanita berkedok itu tentulah ketua yang penuh rahasia dari Thian-liong-pang! Hal ini terbukti dari sikap para rombongan Thian-liong-pang yang serta merta menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah wanita berkerudung itu.
Tanpa diketahui oleh para tokoh kang-ouw kini rombongan koksu telah menonton di situ, bahkan dari belakang mereka menyusul pasukan pengawal yang segera membentuk barisan yang siap menanti komando. Akan tetapi wanita berkerudung itu tidak mempedulikan semua ini. Dari balik kerudung keluar suara yang merdu dan halus, akan tetapi nyaring dan begitu dingin membuat semua orang menggigil.
"Apakah kalian berdua ini utusan Pulau Es?"
Yap Sun sudah mendengar akan Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa, akan tetapi seorang seperti dia pun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa ketua yang disohorkan memiliki ilmu kepandaian seperti iblis itu ternyata hanyalah seorang wanita, bahkan melihat bentuk tubuh dan mendengar suaranya, dia hampir berani memastikan bahwa wanita ini tentu masih muda! Akan tetapi, teringat akan majikannya sendiri yang juga hanya pemuda malah buntung kakinya, ia menyingkirkan keheranannya, kemudian menjura dan menjawab.
"Tidak keliru dugaan Pangcu yang terhormat. Saya Yap Sun dan Sute Thung Sik Lun ini adalah utusan dari Pulau Es."
"Bagus! Sudah cukup Pulau Es memperlihatkan kegarangannya. Sekarang robohlah!" Ucapan ini disusul dengan serangan kilat yang luar biasa cepatnya. Tahu-tahu tubuh wanita ini telah menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang membawa angin halus. Dua orang kakek itu kaget. Makin halus angin pukulan, makin hebatlah karena itu menunjukkan kekuatan sin-kang yang sudah tinggi. Akan tetapi dia dan sutenya merasa penasaran. Sebagai tokoh-tokoh Pulau Es yang tadi telah membuktikan kelihaian mereka, tentu saja mereka merasa tersinggung sekali ketika Ketua Thian-liong-pang ini menyuruh mereka roboh begitu saja!
Maka cepat mereka mengelak dan karena maklum menghadapi pukulan kilat secepat itu mengelak saja masih kurang cukup, maka sambil mengelak mereka menangkis dari samping.
"Dukk! Dukk!"
Sukar sekali dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya karena begitu lengan kedua orang kakek sakti itu bertemu dengan kedua tangan wanita berkerudung itu, tubuh mereka terlempar roboh bergulingan kemudian barulah mereka dapat meloncat bangun dengan muka berubah. Akan tetapi Kakek Yap Sun dan sutenya bukan orang-orang sembarangan. Mereka tidak terluka, hanya kaget saja dan kini keduanya sudah menerjang maju lagi dengan dahsyat.
"Bagus! Kalian boleh juga!" Kata wanita berkerudung itu dan terjadilah pertandingan yang amat hebat. Kedua orang kakek itu mengeroyok dari jarak dekat, pukulan-pukulan mereka ampuh bukan main, namun semua pukulan mereka dapat dielakkan oleh Si Wanita berkerudung. Berkali-kali kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan terheran-heran karena melihat betapa wanita itu mengelak dan menangkis dengan jurus-jurus yang sama dengan serangan-serangan mereka!
Karena penasaran, Yap Sun lalu berseru keras dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya, juga sutenya mengimbangi serangan suhengnya itu, dari pihak yang berlawanan mengirim pukulan dengan telapak tangannya. "Aiiihhhh!" Dan tubuhnya mencelat ke atas sehingga himpitan dua tenaga sin-kang itu luput. Ia melayang ke depan dan turun sambil mencabut sebatang pedang pendek dan kecil, semacam pisau belati. Sambil bertolak pinggang ia bertanya. "Bukankah itu tadi pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dahulu milik Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, dan satu lagi Swat-im Sin-ciang, milik Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Muka Kuda? Kiranya Ketua kalian mengajarkannya kepada kalian?"
Yap Sun merasa mendapat hati dan mengira bahwa wanita itu jerih terhadap pukulan tenaga inti api dan pukulan sutenya dengan tenaga inti es, maka ia berkata. "Apakah Pangcu yang terhormat jerih menghadapinya?"
"Aihhh, sombong! Siapa takut? Majulah!"
Kedua orang tokoh Pulau Es itu menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mereka yang amat berbahaya, akan tetapi wanita itu selalu dapat mengelak dengan cepat. Adapun Bun Beng ketika mendengar nama Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, menjadi terkejut sekali.
"Gak Liat adalah Ayahku....!" Teriaknya perlahan dan karena Im-kan Seng-jin amat tertarik menyaksikan pertandingan itu, dia lupa menjaga sehingga tiba-tiba Bun Beng dapat melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya dicengkeram tangan yang kuat sekali dan ketika ia menengok, kiranya tangan Panglima Bhe Ti Kong yang memegang.
"Pegang dia, jangan sampai dia lari!" kata Im-kan Seng-jin tidak mau terganggu karena dia sedang menonton dengan hati amat tertarik.
Memang hebat pertandingan itu, terutama sekali hebat bagi orang-orang sakti berilmu tinggi seperti Im-kan Seng-jin, kedua Lama dan para tokoh partai persilatan besar. Biarpun kedua orang tokoh Pulau Es itu hebat sekali, namun dalam waktu tiga puluh jurus saja, Kakek Yap Sun sudah roboh tertendang punggungnya, dan Kakek Thung Sik Lun dapat ditotok lumpuh dan kini dijiwir telinganya oleh wanita berkerudung yang menodongkan pisau belatinya sambil berkata.
"Sesungguhnya aku segan untuk keluar berurusan dengan orang-orang kosong yang mengaku jagoan-jagoan kang-ouw. Akan tetapi karena golongan Pulau Es datang, aku tidak suka menyerahkan tugas kepada wakil-wakilku dan terpaksa keluar sendiri. Hayo katakan, di mana majikanmu Pendekar Siluman Si Kaki Buntung itu? Kalau dia tidak keluar, kuambil daun telinga mu!"
Tiba-tiba terdengar suara melengking tajam dari angkasa, disusul melayangnya seekor burung garuda yang hinggap di atas batu karang tak jauh dari arena pertandingan, diikuti suara yang bergema, "Siapakah mencari aku?"
Semua orang terbelalak memandang ketika seorang pria muda berambut panjang berwarna putih, pakaiannya sederhana, kaki kirinya buntung dan tangan kiri memegang tongkat butut, meloncat turun dari punggung garuda raksasa yang berdiri gagah itu. Pria muda ini bukan lain adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman. Majikan Pulau Es! Semua mata, termasuk mata Ketua Thian-liong-pang, memandang kepada pendekar berkaki tunggal ini, bahkan Yap Sun cepat menyeret kakinya yang pincang karena tendangan tadi, berlutut di depan Suma Han sa mbil berkata dengan nada melaporkan penuh penyesalan,
"Maaf, To-cu, kami berdua telah dikalahkan oleh Pangcu dari Thian-liong-pang. Mohon keputusan To-cu."
Akan tetapi Suma Han agaknya tidak mendengar laporan ini, atau tidak mempedulikan, juga tidak mempedulikan orang-orang lain yang hadir. Matanya mencari-cari, dan mulutnya berkata penuh sesal.
"Aku mencari dia.... ah, di manakah kalau tidak di sini?" Kemudian dia berteriak, suaranya nyaring melebihi lengking garuda tadi. "Hong-ji (Anak Hong)! Di mana engkau? Hayo cepat ke sini....!"
Suaranya bergema di seluruh permukaan pulau, akan tetapi tidak ada yang menjawab. Semua orang memandang terbelalak dengan hati tegang. Mereka yang pernah bertemu dengan Suma Han (baca ceritaPendekar Super Sakti), memandang kagum karena mereka sudah mengenal kesaktian pria muda buntung ini. Adapun mereka yang sudah lama mendengar nama Pendekar Siluman akan tetapi baru sekarang bertemu, memandang takjub dan terheran-heran. Kelihatannya hanya seorang pria muda sederhana dan biasa saja, bagaimana bisa menjadi Majikan Pulau Es yang begitu terkenal dan dijuluki Pendekar Siluman? Wajahnya sama sekali tidak seperti siluman, biarpun rambutnya putih dan panjang, malah membuat wajahnya tampak gagah dan tampan penuh wibawa. Tentu kepandaiannya yang seperti siluman dan diam-diam mereka ini bergidik ngeri.
"Kemanakah perginya Siocia, To-cu?" Kakek Yap Sun bertanya dengan suara penuh kekhawatiran.
"Dia pergi dari Pulau Es, membawa garuda betina. Kukira hendak menonton keramaian di sini anak nakal itu. Kiranya tidak ada di sini. Habis kemana dia?"
"Pendekar Siluman! Pendekar Super Sakti! Pendekar Buntung! Hayo majulah melawan aku Ketua Thian-liong-pang agar mata dunia terbuka siapa di antara kita yang patut menjadi pemimpin dunia persilatan!" Tiba-tiba wanita yang berkerudung yang masih menodong leher Kakek Thung Sik Lun itu berseru merdu dan nyaring.
Mendengar suara ini, Suma Han seperti tersentak kaget, seolah-olah baru sekarang dia mendengar suara itu dan melihat wanita berkerudung yang mengaku Ketua Thian-liong-pang itu. Juga baru teringat ia akan pelaporan pembantunya bahwa dua orang utusannya yang disuruh meninjau keadaan di pulau itu telah dikalahkan oleh Ketua Thian-liong-pang. Seperti tidak disengaja, tangan kanan Pendekar Siluman ini menggenggam ujung segumpal rambutnya, kemudian tanpa menggerakkan kaki, tubuhnya berputar menghadapi wanita itu. Ia melihat betapa Yap Sun masih belum dapat berdiri, masih berlutut dan melihat Thung Sik Lun berlutut pula, ditodong belati oleh wanita berkerudung.
Seperti orang tak acuh, Pendekar Siluman memandang wanita itu dan bertanya, suaranya perlahan namun jelas terdengar satu-satu oleh semua orang yang hadir dan semua orang menggigil karena suara ini terdengar datar dan dingin.
"Engkau siapa....?" Pertanyaan yang datar dan dingin ini seolah-olah hendak membuka kerudung dan menjenguk wajah si wanita. Tanpa disadarinya, wanita itu menundukkan muka sejenak, kemudian mengangkatnya kembali dan sinar mata dari balik lubang itu seperti memancarkan api.
"Akulah Pangcu dari Thian-liong-pang! Dan aku menantang Majikan Pulau Es untuk mengadu ilmu di sini!"
Akan tetapi Suma Han tidak mengacuhkan tantangan ini, bahkan tongkatnya bergerak dan tampak ujung tongkat itu menyentuh kedua pundak Kakek Yap Sun dengan perlahan. "Paman Yap di sini tidak ada apa-apa, yang diperebutkan hanya bungkusan kosong. Kau ajaklah Paman Thung kembali dan bantu aku mencari kemana perginya bocah berandalan itu!"
Wajah Yap Sun kelihatan girang sekali karena tiba-tiba saja, dua kali totokan pada pundaknya itu menyembuhkannya dan ia dapat bangkit berdiri dengan gerakan ringan. Melihat ini wanita berkerudung itu menggerakkan sedikit pundaknya, tanda bahwa ia terkejut.
"Pendekar Siluman! Kalau engkau tidak mau melayani tantanganku, orangmu ini akan mati!" Ia menggerakkan pisau belatinya.
"Paman Thung, tidak lekas pergi menunggu apa lagi?" Suma Han berseru dan tangan kanannya bergerak. Terdengar bunyi bercuitan dan sinar putih yang amat halus menyambar ke arah kedua lengan dan seluruh jalan darah bagian depan tubuh wanita berkerudung. Wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan tidak mengelak, melainkan memutar pisaunya di depan tubuh sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka menyambar ke depan. Akan tetapi wanita itu tampak tercengang dan marah ketika melihat bahwa yang ditangkisnya itu hanyalah segumpal rambut yang membuyar dan ketika ia menoleh ke arah Kakek Thung Sik Lun, ternyata kakek itu telah lenyap! Kiranya Suma Han tadi menggunakan segenggam rambutnya yang ia putus dengan tangan dipakai
menyerang Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi hanya serangan pancingan saja karena begitu wanita itu bergerak menangkis, ia mendorongkan tangan kanannya ke arah tubuh pembantunya, yang terlempar dan bergulingan, terus meloncat ke dekat ketuanya sambil berlutut! Kini semua orang yang menyaksikan terbelalak dan kagum bukan main. Segumpal rambut dapat dipergunakan seperti jarum-jarum rahasia, dan dorongan tangan dalam jarak begitu jauh sudah berhasil membebaskan kakek kurus dari penodongan Ketua Thian-liong-pang.
"Pulanglah kalian dan cari Si Bengal!" Kata Pendekar Siluman kepada dua pembantunya. Yap Sun dan Thung Sik Lun mengangguk dan keduanya meloncat lalu lari pergi dari tempat itu, sedangkan Suma Han dengan sikap acuh tak acuh meloncat naik ke punggung garuda putih!
"Haiii! Pendekar Siluman! Sudah lama aku mendengar nama besarmu, mengapa tidak minum arak dulu denganku untuk belajar kenal?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru. "Kalau begitu, terimalah suguhan arak dari koksu kerajaan!" Tangan kanan koksu ini yang sudah mengeluarkan guci arak, menggoyang tangan dan arak merah muncrat dari dalam guci, cepat sekali sehingga membentuk sinar merah yang melebar seperti payung menyiram ke arah Suma Han dan garudanya. Jarak antara koksu itu dengan Pendekar Siluman cukup jauh, maka perbuatan ini cukup membuktikan betapa saktinya koksu itu dan betapa kuatnya tenaga sin-kang yang ia pergunakan!
Suma Han hanya menoleh, tanpa mengubah duduknya di punggung garuda, akan tetapi tangan kanannya dengan jari terbuka membuat gerakan dorongan memutar ke depan. Hawa dingin menyambar dari tangan itu, terasa oleh mereka yang berdiri tidak begitu jauh dan.... terdengar suara berkelotokan ketika butir-butir arak itu runtuh semua ke bawah dan telah membeku! Itulah pukulan dengan tenaga inti Swat-im Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga pukulan ini dapat membuat benda cair membeku menjadi butiran-butiran es!
"Pendekar Siluman, mau lari kemana engkau?" Pangcu dari Thian-liong-pang, wanita berkerudung itu, berseru marah dan kedua tangannya sudah bergerak cepat. "Cet-cet-cet-cet....!" Tiga belas batang pisau belati yang entah dikeluarkan sejak kapan dan dari mana, tahu-tahu beterbangan seperti kilat-kilat menyambar ke arah Suma Han. Semua menuju ke tubuh Pendekar Siluman dan tidak sebatang pun yang mengancam tubuh garuda! Hal ini membuktikan betapa wanita itu merupakan seorang ahli melempar senjata rahasia. Suma Han menggerakkan tongkatnya dengan sembarangan dan.... ketiga belas batang pisau itu seolah-olah tertarik oleh besi magnit dan kesemuanya melayang menuju ke tongkat di tangan Suma Han dan menancap semua ditongkat itu, berjajar-jajar rapi.
"Aku tidak sempat main-main dengan kalian!" Terdengar Suma Han berkata, tongkatnya digerakkan dan tiga belas batang pisau itu melayang ke arah pemiliknya secara berbareng dan menjadi satu seolah-olah terikat sehingga merupakan senjata berat yang besar, akan tetapi dengan pukulan sin-kang, Ketua Thian-liong-pang itu membuat sekumpulan pisaunya menancap di atas tanah depan kakinya, seolah-olah berlutut memberi hormat kepadanya! Sepasang mata bening di balik lubang kerudung itu berapi-api ketika wanita itu melihat garuda putih sudah mulai terbang, kelepak sayapnya terdengar keras dan angin pukulan sayap membuat
debu beterbangan!
Tiba-tiba terdengar pekik keras dari rombongan Pulau Neraka dan tampak seorang laki-laki tinggi besar yang matanya berwarna hijau pupus seperti tubuhnya, rambutnya kotor riap-riapan mukanya bengis, meloncat ke depan dan tangannya melontarkan sebuah benda panjang berwarna hitam ke atas, ke arah burung garuda yang belum terbang tinggi. Benda panjang itu menyambar cepat dan tahu-tahu telah membelit kedua kaki burung garuda tadi. Betapa kaget hati semua orang ketika melihat benda itu adalah seekor ular yang pajang, berwarna hitam dan berbisa, yaitu semacam ular sendok (khobra) yang mendesis-desis dan siap menggigit tubuh garuda! Melihat Pendekar Siluman tetap diam saja seperti tidak tahu, semua orang berkhawatir. Akan tetapi garuda itu mengeluarkan suara melengking tinggi, kepalanya bergerak cepat dan tahu-tahu leher ular itu telah dipatuknya! Garuda itu tidak terus terbang ke atas, bahkan dengan kecepatan luar biasa menukik ke bawah, ke arah laki-laki muka hijau pupus tadi, kedua kakinya yang berbentuk cakar berkuku tajam dan runcing melengkung itu bergerak menyerang! Laki-laki itu tidak takut, sudah mencabut sebatang pedang hitam dan membabat ke arah kedua kaki garuda. Garuda itu ternyata hebat sekali, dia memapaki
pedang dengan cakar kiri dan mencengkeram pedang itu.
"Krekkk!" Pedang itu patah-patah menjadi tiga potong dan dilempar ke bawah. Sebelum laki-laki anggauta Pulau Neraka itu sempat mengelak tahu-tahu sehelai benda hitam telah melibat lehernya dan ketika garuda itu terbang ke atas, tubuh laki-laki itu tergantung dan ternyata lehernya telah dibelit tubuh ularnya sendiri yang masih hidup dan yang lehernya dijepit paruh garuda yang amat kuat. Semua orang menjadi ngeri dan mengikuti sampai ke atas tebing. Mereka melihat garuda itu melepas ular dan laki-laki tadi sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, jatuh ke dalam air muara dimana air sungai bertemu dengan air laut.
"Celaka....! Air pusaran maut!" Terdengar suara dari gerombolan anak buah Pulau Neraka. Semua orang memandang dan terbelalak melihat betapa laki-laki bermuka hijau pupus itu meronta-ronta dan berusaha berenang mengatasi pusaran air. Namun tenaga pusaran air yang disebut pusaran maut dan yang amat dikenal para nelayan karena merupakan tempat yang tidak mungkin dapat dilalui dan yang mendatangkan maut mengerikan, amatlah kuatnya sehingga usaha manusia ini sama sekali tidak ada artinya.
Tubuhnya dibawa berputar, makin lama makin cepat dan akhirnya tubuh itu hancur lebur dihempaskan pada batu-batu di bawah tebing, karena pusarannya makin lama makin melebar!
Semua orang menghela napas penuh kengerian dan burung garuda itu kini sudah terbang jauh, hanya tampak sebagai sebuah titik putih yang makin menghilang. Wanita berkerudung mengeluarkan dengusan pendek, lalu bertepuk tangan. Dari atas tebing, melayang seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, masih cantik jelita dan gerakannya tangkas.
"Tidak ada gunanya lagi aku di sini, kau wakili aku hadapi tikus-tikus ini." Katanya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah
melayang naik ke tebing dari mana dia tadi melayang turun, kelihatannya marah dan penasaran sekali.
"Haiiii! Pangcu dari Thian-liong-pang! Mari kita main-main sebentar!" Koksu berseru, suaranya mengguntur seolah-olah menyusul tubuh yang melayang naik itu. Tubuh itu kini sudah lenyap di tebing tinggi, akan tetapi dari tempat tinggi itu terdengar suara merdu.
"Seperti juga Pendekar Siluman saya tidak ada waktu untuk main-main dengan Koksu!" Kemudian sunyi senyap, hanya tinggal mereka yang berada di situ menahan napas, kemudian menarik napas panjang penuh kekaguman. Majikan Pulau Es dan Ketua Thian-liong-pang sungguh merupakan manusia luar biasa, seperti iblis! Mereka merasa menyesal mengapa tidak mendapat kesempatan menyaksikan dua orang itu bertanding silat! Kalau keduanya saling mengadu kepandaian, atau menghadapi koksu yang sakti itu, tentulah mereka akan menyaksikan pertandingan-pertandingan yang amat luar biasa!
Ketika melihat semua orang termangu-mangu, tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Cu-wi sekalian adalah orang-orang gagah dari segala penjuru dunia! Setelah kini berkumpul di sini bukankah bermaksud untuk mengadu kepandaian menentukan siapa yang akan menjagoi? Nah, lanjutkanlah. Pemerintah tidak akan menghalangi, bahkan akan ikut meramaikan. Kami sendiri tidak akan maju karena lawan-lawan yang seimbang telah pergi, akan tetapi pembantu-pembantu kami cukup kuat untuk ikut meramaikan pibu ini! Aku mengajukan pembantuku Bhe Ti Kong. Hayo, siapa di antara Cu-wi yang berani menghadapinya boleh maju, jangan khawatir, pertandingan melawan panglima kerajaan sekali ini tidak akan dianggap sebagai pemberontakan. Sekarang bukan jaman perang, dan ini adalah urusan pribadi di antara orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Bhe-goanswe, majulah!" Dengan wajah berseri gembira Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berkata kepada pembantunya. Bhe Ti Kong adalah seorang jendral perang. Biarpun ia memiliki ilmu silat yang tinggi, namun sesungguhnya dia bukan berjiwa kang-ouw. Akan tetapi, sebagai seorang tentara, tentu saja dia selalu akan mentaati perintah atasan, maka setelah menyerahkan Bun Beng kepada seorang temannya, yaitu seorang di antara tiga panglima pengawal itu, ia lalu meloncat ke tengah lapangan dan mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu tombak gagang pendek yang bercabang, tajam dan runcing sekali.
Bun Beng yang tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar Siluman, hatinya berdebar tegang. Betapa ia mengenal pendekar itu! Tiada bedanya dengan lima tahun yang lalu ketika pendekar itu menolong keluar kuil tua! Hatinya gembira sekali dan ingin tadi ia berteriak memanggil. Akan tetapi, Panglima Bhe Ti Kong yang menyebalkan dan amat dibencinya itu tadi selain mencengkeram pundaknya, juga membungkam mulutnya sehingga ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengeluarkan suara pula. Betapa bencinya! Kini Pendekar Siluman itu telah pergi jauh, bahkan wanita berkerudung yang juga amat mengagumkan hatinya itu telah pergi pula! Dan baru sekarang dia dilepaskan oleh Panglima Bhe yang hendak berlagak dalam pertandingan! Hem, ia mencela dan diam-diam memaki. Baru sekarang berlagak! Coba tadi melawan Pendekar Siluman! Atau Si Wanita berkerudung, kalau
memang gagah! Akan tetapi, hatinya lega juga setelah kini ia dioperkan kepada panglima lain yang berperut gendut itu.
Biarpun panglima ini masih memegangi lengannya, namun tidak dicengkeram seperti Panglima Bhe tadi. Agaknya panglima yang gendut ini memandang rendah kepada Bun Beng maka pegangannya tidaklah erat benar karena dianggapnya bocah sekecil itu bisa apakah? Pula, ia amat tertarik untuk menyaksikan rekannya memasuki pibu, hal yang belum pernah terjadi di antara para panglima pengawal!
Tiba-tiba dari rombongan Pulau Neraka meloncat keluar seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka biru muda! Melihat warna mukanya yang agak terang menandakan bahwa seperti juga orang yang mukanya berwarna hijau pupus tadi, yang ini tentu tingkatnya juga sudah cukup tinggi. Dan agaknya kini para tokoh Pulau Neraka yang semenjak tadi belum maju, menjadi penasaran. Apalagi melihat seorang anggauta mereka tewas dalam keadaan begitu mengerikan. Mereka marah sekali, akan tetapi yang membunuh teman mereka adalah burung garuda putih tunggangan Pendekar Siluman yang sekarang sudah terbang pergi sehingga mereka tidak dapat menumpahkan kemarahan hati mereka. Agaknya kemarahan itu akan dilampiaskan dalam pibu ini. Apalagi koksu tadi sudah mengatakan bahwa pibu ini merupakan pertandingan perorangan, andaikata tidak demikian pun, mana orang-orang Pulau Neraka akan menjadi takut. Pulau Neraka tidak pernah takut terhadap pemerintah atau siapapun juga!
Laki-laki tinggi besar bermuka biru muda itu telah mencabut pedang dengan tangan kiri, mukanya yang buruk dengan kumis pendek tanpa jenggot kelihatan muram dan kejam. Rambutnya yang riap-riapan itu diikat dengan sehelai tali putih. Kulitnya, dari muka sampai ke tangannya, bahkan matanya berwarna biru muda, amat menyeramkan.
"Aku Pok Sit dari Pulau Neraka akan melawanmu, Ciangkun!" Katanya dan tanpa menanti jawaban orang Pulau Neraka ini sudah menerjang dengan pedangnya yang amat panjang. Gerakannya kuat dan cepat, juga aneh sekali berbeda dengan ilmu pedang biasa. Panglima Bhe Ti Kong cepat menangkis dengan senjata tombak pendeknya.
"Cringggg....!" Bunga api berhamburan ketika dua senjata itu bertemu dan keduanya merasa telapak tangan mereka panas. Tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang, maka ini keduanya serang-menyerang dengan hebatnya. Bun Beng menonton, akan tetapi pikirannya melayang-layang teringat kepada Pendekar Siluman dan wanita berkerudung yang mengaku sebagai Ketua Thian-liong-pang. Kemudian ia teringat betapa ketua aneh itu tadi menyebut nama ayahnya berjuluk Kang-thouw-kwi Si Setan Botak. Botak seperti Koksu. Dan pukulan hebat dari Pulau Es tadi dikatakan oleh wanita berkerudung sebagai ilmu ayahnya, diajarkan oleh Pendekar Siluman kepada utusannya. Kalau begitu ada hubungan antara ayahnya dan Pendekar Siluman. Dan setidaknya, tentu ayahnya bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti pula. Itulah agaknya mengapa dulu ia dijadikan rebutan! Agaknya ayahnya itu dikenal dan dihormati orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka yang hendak memeliharanya!
Ketika ia melihat ke arah pertandingan, ternyata bahwa orang yang dibencinya, Panglima Bhe Ti Kong, terdesak oleh ilmu pedang yang amat aneh dari lawannya. Akan tetapi tiba-tiba koksu mengeluarkan ucapan-ucapan dan sungguh mengherankan, gerakan panglima itu berubah dan kini keadaannya berbalik. Si Muka Biru Muda itu yang terdesak oleh senjata tombak pendek! Mengertilah Bun Beng yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi bahwa koksu itu bermain curang, memberi nasihat kepada pembantunya dalam bahasa yang tidak dimengerti orang lain. Perasaan marah membuat Bun Beng mencari akal untuk melepaskan diri. Ia teringat akan ilmunya Sia-kun-hoat, maka ia segera menggerakkan ilmu ini secara diam-diam, kemudian menggunakan
kesempatan selagi perwira gendut yang memegangnya bergembira dan tertarik menyaksikan rekannya mendesak lawan, ia cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pegangan panglima gendut.
"Heiii....! Pergi kemana....?" Panglima gendut terkejut, akan tetapi Bun Beng sudah meloncat pergi dengan lincahnya. Rasa bencinya yang mendalam terhadap Panglima Bhe Ti Kong yang telah ikut membunuh suhunya, membuat Bun Beng pada saat itu tidak memikirkan hal lain kecuali membantu lawan si panglima yang makin mendesak hebat dengan tombak pendeknya. Para pembunuh suhunya adalah empat orang yang lihai bukan main. Apalagi koksu dan dua orang pendeta Lama itu, mereka adalah tiga orang sakti. Mana mungkin ia dapat membalaskan kematian Suhunya? Akan tetapi, Bhe Ti Kong merupakan orang ke empat yang tidak sesakti tiga kakek itu, apalagi sekarang menghadapi lawan tangguh. Kalau tidak sekarang dia turun tangan membalas kematian suhunya, menunggu sampai kapan? Hanya inilah yang memenuhi pikiran Bun Beng, maka begitu ia berhasil membebaskan diri dari pegangan Si Panglima gendut dengan ilmu melepaskan dan melemaskan tulang dan otot, ia segera meloncat dan menyerang dari atas ke arah kepala Bhe Ti Kong yang sedang mendesak Si Muka Biru Muda dari Pulau Neraka!
"Manusia curang! Rasakan pembalasanku!" Bun Beng membentak sambil meloncat dan menubruk seperti seekor anak harimau yang tidak mengenal takut. Memang hatinya marah sekali, bukan hanya karena kematian suhunya yang dikeroyok secara curang, juga menyaksikan betapa Panglima Bhe Ti Kong ini sekarang dapat mendesak lawan karena dibantu oleh koksu. Dan memang sebenarnyalah dugaan Bun Beng ini. Ketika tadi melihat anak buahnya itu terdesak, oleh tokoh Pulau Neraka yang bermuka biru muda, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi jengkel dan juga khawatir sekali. Kekalahan panglima kerajaan berarti sebuah pukulan bagi kedudukannya dan akan membikin dia malu. Dia tidak menyalahkan Bhe Ti Kong yang terdesak lawan karena memang
orang Pulau Neraka itu memiliki ilmu pedang yang aneh sekali gerakannya. Maka koksu yang sakti ini cepat memperhatikan gerakan orang itu, mempelajari dasar dan intinya, kemudian ia memberi nasihat kepada Bhe Ti Kong dengan bahasa daerah Mancu dan begitu Bhe Ti Kong mentaati nasihat ini, benar saja, ia dapat mendesak lawan dengan tombaknya. Serangan seorang bocah berusia sepuluh tahun tentu saja tidak akan ada artinya bagi seorang lihai macam Bhe Ti Kong. Akan tetapi karena Bun Beng melakukan penyerangan selagi dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh, hal itu amat berbahaya. Apalagi karena bocah itu pun bukan sembarangan bocah, melainkan seorang anak yang telah bertahun digembleng oleh seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai! Sedikit saja dia mengalihkan perhatian kepada Bun Beng, tentu dia terancam maut di ujung pedang Si Muka Biru Muda. Akan tetapi Bhe Ti Kong adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran dahsyat, maka dia tidak menjadi gugup. Dengan gerakan cepat ia menyerang lawan dari bawah sambil merendahkan tubuh dan mengelak dari sambaran tangan-tangan kecil dari atas yang memukul ke arah kepalanya. Serangan Bun Beng mengenai tempat kosong dan tubuh anak itu terpaksa melayang turun di belakang Bhe Ti Kong. Panglima ini berhasil mendesak lawan dengan serangannya tadi, kini cepat memutar kaki menendang ke belakang. Namun Bun Beng sudah siap menghadapi tendangan ini maka cepat anak itu dapat menghindarkan diri dengan lompatan ke kanan. Biarpun hanya membagi perhatian sedikit saja, hal itu sudah merugikan Bhe Ti Kong karena tiba-tiba sinar terang menyambar bergulung-gulung dan pedang lawan sudah membuat dia kini terdesak hebat. Bhe Ti Kong hanya dapat memutar tombak di depan dadanya untuk melindungi tubuh dan terpaksa ia membiarkan tubuh bagian belakangnya kosong tidak terjaga. Bun Beng menggunakan kesempatan itu, cepat ia menubruk dari belakang dan mengerahkan seluruh tenaganya menghantam lambung Bhe Ti Kong.
"Bocah setan! Jangan mencampuri pertandinganku!" Tiba-tiba orang Pulau Neraka bermuka biru muda itu membentak, pedangnya berkelebat dan tahu-tahu Bun Beng merasa tubuhnya terangkat ke atas! Kiranya punggung bajunya telah di tusuk pedang Si Muka Biru dan kini ia diangkat ke atas. "Lepaskan, aku tidak mencampuri, aku hanya ingin membalas kematian Suhu!" Ia meronta-ronta dan pada saat itu, Bhe Ti Kong yang melihat kesempatan baik sekali telah mengirim tendangan ke arah perut Si Muka Biru. Orang Pulau Neraka itu ternyata lihai sekali. Biarpun pedangnya kini tak dapat ia pergunakan, ia masih sempat melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan tubuh sehingga tendangan Bhe Ti Kong luput. Dengan marah Bhe Ti Kong yang sudah siap dengan tombak pendeknya itu menyusul serangannya dengan tusukan bertubi-tubi.
Si Muka Biru terkejut dan mundur-mundur, kemudian sekali ia menggerakan pedang, tubuh Bun Beng terlempar jauh, melayang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun, gerakannya ini membuat ia kurang cepat mengelak dan sebuah tusukan tombak di tangan Bhe Ti Kong sempat menyerempet lambung kirinya.
"Crottt....!"
Tangan Bhe Ti Kong yang sudah biasa menggunakan tombak menusuki perut lawan dalam perang sehingga entah berapa ratus perut yang sudah menjadi korban tombak, kini secara otomatis mencokelkan tombaknya sehingga perut yang hanya diserempet itu robek kulit nya dan tampaklah usus panjang keputih-putihan mencuat keluar! Si Muka Biru mengeluarkan gerengan keras, tangan kanannya cepat menyambar ususnya dan mengalungkan usus yang panjang itu kelehernya, kemudian ia melanjutkan pertempuran melawan Bhe Ti Kong seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya!
Semua orang yang menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, terbelalak ngeri dan juga kagum, kecuali para anggauta Pulau Neraka sendiri tentunya. Mereka ini sejak tadi diam tak bergerak menonton pertandingan, wajah yang beraneka warna itu tidak menunjukkan sesuatu, dingin-dingin saja. Memang aneh sekali orang-orang Pulau Neraka ini. Keadaan mereka merupakan rahasia, bahkan orang-orang kang-ouw yang terkenal dan banyak pengalaman sekali pun jarang ada yang tahu siapa gerangan orang-orang yang kulitnya berwarna aneh itu.
Thian Tok Lama dan Thai Li Lama adalah dua orang sakti yang amat terkenal, akan tetapi mereka berasal dari Tibet maka tentu saja tidak mengenal orang-orang Pulau Neraka. Menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, tak tertahan lagi mereka bertanya kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang orang-orang Pulau Neraka. Koksu Kerajaan Mancu itu mengelus jenggotnya, menarik napas panjang lalu menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari pertandingan yang masih berlangsung hebat. "Keadaan mereka penuh rahasia, aku sendiri pun hanya mendengar-dengar saja dari kabar angin. Kabarnya, di jaman dahulu, entah berapa ratus tahun yang lalu, terdapat kerajaan-kerajaan kecil di atas pulau-pulau yang banyak tersebar di lautan timur. Di antara raja-raja kecil itu terdapat keluarga raja yang amat sakti, kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa-dewa, bahkan mereka menamakan dirinya keluarga dewa!"
"Aihhh, apa hubungannya dengan Bu Kek Siansu yang dikabarkan seperti manusia dewa dan katanya datang dari Pulau Es?" Thai Li Lama bertanya, masih serem mengenangkan munculnya Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang aneh tadi.
"Entahlah, aku tidak pernah mendengar tentang dia. Menurut kabar, kerajaan dewa itu memegang peraturan yang amat keras sehingga apabila ada rakyat yang melakukan pelanggaran, mereka ini dihukum buang ke atas sebuah pulau yang dinamakan Pulau Neraka."
"Mengapa namanya begitu serem?" Thian Tok Lama bertanya.
"Entahlah, hanya kabarnya yang membocor ke dunia kang-ouw karena ada pelarian gila dari Pulau Neraka mengoceh, pulau itu lebih mengerikan dari neraka yang sering disebut dalam kitab-kitab. Pendeknya, tidak ada manusia yang dapat hidup di sana."
"Hemm, aneh. Kalau tidak ada manusia dapat hidup di sana, mengapa sekarang muncul banyak tokoh-tokoh Pulau Neraka?" Thian Tok Lama mencela.
"Tidak ada seorang setan pun tahu apa yang terjadi," kata koksu yang kini kembali mengalihkan perhatiannya ke arah pertandingan yang makin menghebat. Si Muka Biru itu biarpun ususnya sudah keluar dan dikalungkan ke leher ternyata makin hebat saja gerakannya, seperti orang nekat sehingga kembali Bhe Ti Kong terdesak!
Pengetahuan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang Pulau Neraka seperti yang diceritakannya kepada dua orang Lama itu hanya tentang kulitnya saja. Satu-satunya yang tepat dalam keterangannya adalah bahwa memang tidak ada seorang pun yang tahu akan Pulau Neraka yang hanya dikenal orang dalam dongeng, dan yang setelah ratusan tahun tiada buktinya, baru kini muncul tokoh-tokohnya yang memiliki kepandaian luar biasa dan keadaan yang amat aneh. Memang benarlah bahwa Pulau Neraka itu dahulu
merupakan sebuah pulau tempat pembuangan orang-orang jahat, dan yang membuang penjahat-penjahat ke tempat itu adalah keluarga raja muda yang berkuasa di Pulau Es, yaitu kerajaan yang menjadi nenek moyang Bu Kek Siansu! Pulau itu amat mengerikan keadaannya, tiada ubahnya seperti neraka. Air yang terdapat di pulau itu selain kotor juga mengandung racun begitu keluar dari sumbernya. Dan banyak di situ tumbuh pohon-pohon yang aneh dan beracun, pohon-pohon yang ranting-rantingnya dapat membelit, menangkap dan menghisap darah hewan atau manusia, pohon-pohon yang mempunyai daun-daun beracun sehingga begitu daunnya menguning dan rontok, menyiarkan bau yang dapat membuat manusia mati seketika. Kadang-kadang timbul kabut dingin yang mematikan, dan pada bergantian musim, keluar uap-uap beracun dari dalam tanah, merupakan gas beracun yang amat jahat, apalagi sampai terhisap, baru mengenai kulit saja membuat kulit membusuk. Semua ini masih ditambah lagi dengan adanya binatang-binatang berbisa, ular-ular cobra dan ular belang, ular hijau, kalajengking, kelabang dan semua binatang merayap yang berbisa di samping binatang-binatang liar yang buas. Betapapun tingginya kepandaian seorang hukuman yang dibuang dari Pulau Es, dia takkan dapat bertahan lama di tempat itu sehingga pulau itu dalam waktu puluhan tahun penuh dengan rangka-rangka manusia berserakan di mana-mana. Akan tetapi pada jamannya raja muda yang menjadi Kakek Bu Kek Siansu, yaitu yang bergelar Raja Han Gi Ong, terjadi perubahan. Raja Han Gi Ong ini masih memiliki sifat keras dan berdisiplin seperti nenek moyangnya, akan tetapi dia lebih lunak dan memiliki perasaan kasihan. Dia maklum bahwa semua orang hukuman dari Pulau Es yang dibuang ke Pulau Neraka memiliki kepandaian tinggi namun tak dapat menahan kesengsaraan Pulau Neraka dan paling lama dapat hidup setahun. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari seorang pangeran melakukan dosa besar dan dibuang ke Pulau Neraka, Raja Han Gi Ong membekalinya kitab-kitab pusaka yang berisi pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi. Demikianlah, dengan bekal itu, Sang Pangeran akhirnya dapat bertahan karena telah me mpelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Bahkan dia dapat pula menyelamatkan para orang buangan yang lain, laki-laki dan wanita, sehingga setelah berlangsung puluhan tahun, di Pulau Neraka terdapat sekelompok keluarga yang hebat! Ratusan tahun kemudian, sekeluarga besar menghuni pulau ini dan menjadi orang-orang pandai yang amat aneh akan tetapi tidak pernah turun ke dunia ramai. Kepandaian mereka turun-temurun ke anak cucu mereka dan semua kesukaran di pulau itu dapat mereka atasi, bahkan hal-hal mengerikan yang tadinya merupakan ancaman bagi kehidupan, kini dapat mereka kuasai dan pergunakan demi keuntungan mereka! Racun-racun dapat menjadi obat dan menjadi senjata, dan keadaan yang penuh tantangan itu membuat mereka makin ulet dan kuat. Namun, perasaan kasihan yang timbul di hati Raja Han Gi Ong, yang terjadi ratusan tahun yang lalu, di jaman Kerajaan Tang menguasai Tiongkok (618-905) ternyata mendatangkan bencana karena setelah keluarga Pulau Neraka menjadi kuat, mulailah mereka merongrong kewibawaan kerajaan kecil Pulau Es! Sering kali terjadi perang di antara mereka. Demikianlah sekelumit riwayat Pulau Neraka yang penghuninya adalah orang-orang buangan dari Pulau Es yang ketika itu masih merupakan sebuah kerajaan kecil. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun maka yang ia ceritakan kepada kedua orang Lama Tibet hanyalah kulitnya saja. Kini perhatian mereka kembali teralih kepada jalannya pertandingan antara Bhe Ti Kong melawan seorang anak buah Pulau Neraka yang bermuka biru muda yang amat hebat kepandaiannya itu.
Sementara itu, Bun Beng yang tadi dilontarkan oleh pedang Si Muka Biru, terlempar dan terbanting jatuh ke atas tanah, namun karena tubuhnya terlatih, ia cepat menggelinding dan meloncat bangun. Tiba-tiba pundaknya dicengkeram orang dan ketika ia mengangkat muka, kiranya panglima gemuk tadi telah menangkapnya kembali.
"Hemm, bocah kurang ajar, sekarang kau takkan kulepaskan lagi!" Cengkeraman pada pundak Bun Beng kuat sekali membuat anak itu menyeringai kesakitan.
"Lepaskan aku!" Bun Beng meronta, akan tetapi kini kedua lengannya malah dipegang oleh tangan kuat panglima gendut itu. Dia mencoba untuk menendang dan menggigit, akan tetapi sia-sia, panglima itu terlampau kuat baginya.
"Kalau engkau tidak mau diam, kutampar kepalamu!" Panglima itu menghardik. "Lihat ada pertandingan begitu menarik, kenapa kau ribut saja?"
Bun Beng seorang anak yang berani, akan tetapi juga cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menggunakan kekerasan memberontak, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri. Maka ia berhenti meronta dan matanya menyapu ke depan. Semua orang memperhatikan jalannya pertandingan, hanya ada seorang wanita yang memandang ke arahnya. Ia mengenal wanita itu sebagai wanita cantik yang tadi dipanggil Ketua Thian-liong-pang, seorang wanita cantik jelita yang bersikap gagah namun berwajah dingin seolah-olah pertandingan antara Panglima Mancu dan tokoh Pulau Neraka itu merupakan hal yang menjemukan. Ah, wanita itu betapapun juga tentu mempunyai perasaan yang lebih halus daripada orang-orang lain yang aneh ini, pikir Bun Beng. Agaknya dia mau menolongku dari ancaman maut di tangan koksu. Akan tetapi dia harus dapat membebaskan diri lebih dulu. Berteriak-teriak minta tolong kepada wanita itu merupakan hal yang amat memalukan, juga mana mungkin wanita yang tak dikenalnya itu mau menolongnya? Dan selain wanita Thian-liong-pang itu, siapa lagi mau menolongnya? Mengharapkan pertolongan dari orang-orang Pulau Neraka sama dengan mengharapkan pertolongan sekumpulan setan. Tadinya ketika ia menyerang Panglima Bhe, yang sedikit banyak membantu orang Pulau Neraka muka biru, Si Muka Biru itu malah melemparkannya.
Pandang mata Bun Beng mencari-cari dan diam-diam dia mengeluh karena pulau kecil itu kini tidak seramai tadi. Orang yang dicari-carinya tidak ada. Dia mencari lima orang tokoh Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng-suhengnya, yaitu Siauw-lim Ngo-kiam yang tadi dikalahkan oleh Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu kalau saja tidak dibantu oleh gurunya yang kini telah tewas. Tadi dia masih melihat lima orang Siauw-lim-pai itu, akan tetapi kini mereka telah pergi, seperti yang lain-lain karena banyak tokoh kang-ouw menjadi segan untuk berdiam lebih lama di situ setelah Koksu Negara bersama rombongannya mendarat di pulau. Dan memang, lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu telah pergi sehingga mereka tidak tahu bahwa supek mereka, Siauw Lam Hwesio, telah tewas di tangan koksu dan kawan-kawannya secara mengerikan sehingga jenazahnya pun lenyap tak meninggalkan bekas! Biarpun mereka tadi belum kalah, akan tetapi sebagai orang-orang gagah, Siauw-lim Ngo-kiam sudah mengakui keunggulan Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu, maka begitu mereka ditegur supek mereka yang menyelamatkan mereka, mereka diam-diam lalu pergi dari tempat itu. Juga banyak tokoh-tokoh yang mewakili partai-partai besar meninggalkan tempat itu, selain segan berurusan dengan orang-orang aneh berkepandaian seperti orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Thian-liong-pang, juga terutama sekali mereka enggan untuk bentrok dengan orang-orang pemerintah.
Ketika Bun Beng mencari-cari dengan pandang matanya, dia hanya melihat rombongan Thian-liong-pang yang hanya terdiri lima orang dipimpin oleh wanita tadi, sepuluh orang anggauta Pulau Neraka, serta rombongan Koksu yang diikuti pasukan pengawal. Adapun beberapa orang tokoh yang mewakili partai-partai persilatan, hanya masih ada beberapa orang yang belum pergi, namun mereka itu bersikap hati-hati dan hanya ingin menonton dari tempat agak jauh, agaknya jerih dan sungkan terlibat. Dengan demikian, kini yang masih kelihatan bersikap tidak mau kalah hanya tinggal tiga rombongan, yaitu rombongan Thian-liong-pang yang belum turun tangan, rombongan Pulau Neraka yang seorang di antara tokohnya masih bertanding mati-matian dengan seorang panglima dari rombongan orang pemerintah.
Tidak ada harapan, pikir Bun Beng. Kecuali wanita Thian-liong-pang itu. Kalau saja ia dapat membebaskan diri. Ia mengangkat muka memandang. Panglima gendut itu menonton pertandingan dengan sinar mata amat tertarik, akan tetapi tangan kanan yang mencengkeram kedua pergelangan tangan Bun Beng dan tangan kiri yang mencengkeram pundak amat kuatnya, sedetik pun tidak pernah mengendur. Agaknya pertandingan antara kawannya melawan orang Pulau Neraka yang sudah keluar ususnya itu amat menegangkan hati panglima gendut ini sehingga Bun Beng melihat betapa perutnya yang gendut, bergerak-gerak seirama dengan dengusan napasnya.
Tiba-tiba Bun Beng menggerakkan kakinya menggajul tulang kering panglima itu.
"Tukkk!"
Biarpun yang menendang hanya seorang bocah, akan tetapi karena tendangan itu keras sekali dan tepat mengenai tulang kering kaki, sedangkan panglima itu sedang tertarik oleh pertandingan yang menegangkan, maka ia berteriak kesakitan dan menjadi kaget sekali. Akan tetapi ia hanya mengaduh-aduh mengangkat kakinya tanpa melepaskan cengkeramannya, bahkan lucunya, matanya masih tidak rela melepaskan pemandangan di depannya, yaitu pertandingan yang makin menegangkan. Pada saat itu memang pertandingan antara Bhe Ti Kong dan Si Muka Biru dari Pulau Neraka amat menegangkan hati dan mengerikan. Baju Si Muka Biru sudah basah oleh darah, mukanya makin pucat, akan tetapi gerakannya makin hebat. Ketika tombak Bhe Ti Kong menyambar, ia menangkis dengan pedangnya, disusul hantaman tangan kiri amat kerasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan Bhe Ti Kong yang memegang tombak. Bhe Ti Kong berteriak kaget, tombaknya terlepas dan saat itu, pedang Si Muka Biru menyambar lehernya! Bhe Ti Kong berseru keras, membuang tubuhnya ke belakang, akan tetapi tetap saja ujung pedang menyerempet pundaknya sehingga
baju dipundaknya berikut kulit dan daging terobek. Panglima ini terus menggelundung, namun pedang itu sudah berkelebat lagi, karena Si Muka Biru sudah meloncat dan mengejar lalu menerjang tubuh lawan yang masih bergulingan. "Aihhhh....!" Si Muka Biru tiba-tiba menjerit dan robohlah dia dengan pedang masih di tangan, matanya mendelik dan ia melepaskan napas terakhir dalam keadaan tubuh menegang kaku dan mata melotot. Kiranya ususnya telah putus oleh berkelebatnya pedangnya sendiri! Ketika tadi ia mengejar, ia begitu bernapsu untuk membunuh lawan sehingga ketika memutar pedang, ia lupa akan usus yang ia kalungkan dilehernya. Pedangnya menyerempet ususnya sendiri sehingga ia tewas dan Bhe Ti Kong tertolong nyawanya.
Si Panglima Gendut sedemikian girang dan tegangnya sehingga biarpun rasa tulang keringnya masih amat nyeri, ia lupa dan bersorak girang.
"Addd.... duhhhh....!" Kini ia menjerit karena perutnya terasa perih. Kiranya Bun Beng menjadi gemas dan marah, karena tidak dapat memukul, telah menggunakan giginya untuk menggigit kulit perut yang gendut itu sekuat tenaga. Si Panglima Gendut kaget sekali, lupa sesaat melepaskan cengkeramannya, menggunakan tangan kiri menekan perut dan tangan kanan menampar Bun Beng.
"Plakkk....!" Tamparan yang keras membuat tubuh Bun Beng terpelanting namun biar kepalanya terasa pening dan nyeri, Bun Beng yang merasa bahwa dia bebas, cepat meloncat dan lari sekuatnya dengan loncatan-loncatan jauh kearah wanita Thian-liong-pang.
"Heee! Lari ke mana kau, bocah setan?" Panglima gendut mengejar dengan langkah panjang.
Dengan pandang mata masih berkunang Bun Beng menjatuhkan diri berlutut di depan wanita Thian-liong-pang sambil berkata, "Enci yang baik, Enci yang cantik jelita dan gagah perkasa, mohon lindungi aku dari Si Gendut jahat!"
Wanita itu memandang Bun Beng dengan sinar mata dingin akan tetapi bibirnya tersenyum sedikit. Agaknya, betapapun aneh watak seseorang, dia tidak akan terhindar dari sifat dan watak aselinya. Wanita ini pun, biar sudah menjadi tokoh Thian-liong-pang yang luar biasa, tetap saja seorang wanita yang paling senang mendengar pujian. Biarpun yang menyebutnya sebagai enci yang cantik jelita, enci yang baik dan yang gagah perkasa hanya seorang bocah, namun bocah itu adalah seorang laki-laki dan di situ terdapat banyak orang yang mendengar pujian itu. Hati siapa takkan merasa senang? Wanita ini merupakan seorang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang biarpun kedudukannya hanya sebagai kepala pelayan wanita. Dia memang cantik jelita, dengan mata yang bening dan tajam sinarnya, hidung mancung dan mulut kecil mungil dengan bibir yang manis. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas, sisanya masih panjang dibiarkan berjuntai ke bawah. Pakaiannya dari sutera halus berwarna merah muda dengan baju luar biru, bentuknya ringkas dan ketat membayangkan tonjolan-tonjolan tubuh yang padat menggairahkan, tubuh seorang wanita yang sudah masak. Sepatunya dari kulit dan ujungnya dihias dengan logam putih. Namun wanita itu pun agaknya tidak mau bermusuhan dengan seorang panglima kerajaan hanya karena seorang anak laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali, maka ia menggerakkan alisnya, gerakan yang dimaksudkan untuk menambah kemanisan wajahnya dan memang maksudini berhasil, sambil berkata dingin.
"Bocah, mengapa aku harus mencampuri urusanmu? Pergilah!" Sambil berkata demikian, wanita itu menggerakkan tangan kirinya mengusir. Pada saat itu, panglima gendut datang menubruk dan agaknya Bun Beng tentu akan tertangkap kembali. Akan tetapi, gerakan tangan wanita itu mendatangkan angin dahsyat yang membuat tubuh Bun Beng terlempar seperti daun kering tertiup angin sehingga tubrukan panglima gendut itu luput dan ia menubruk tanah.
Karena dia tadi sudah memastikan bahwa anak itu pasti dapat ditangkapnya, maka ketika tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap, ia terbanting ke atas tanah dengan perut gendutnya lebih dulu.
"Ngekk!" Panglima itu meringis dan napasnya menjadi sesak, akan tetapi kemarahannya meluap. Dia tidak tahu bahwa wanita Thian-liong-pang itu yang menolong Bun Beng, mengira bahwa bocah itu telah mengelak maka ia meloncat bangun sambil memaki.
"Anak Setan! Kuberi tamparan sampai telingamu berdarah kalau sampai tertangkap nanti!"
Ia mengejar lagi dan kini Bun Beng sudah lari ke arah rombongan orang-orang Pulau Neraka untuk minta bantuan.
"Mohon bantuan para Taihiap dari Pulau Neraka agar aku tidak diganggu Si Gendut itu!"
Akan tetapi rombongan Pulau Neraka yang hanya tinggal sembilan orang dan yang merasa marah sekali karena kehilangan dua orang kawan, tidak mempedulikan Bun Beng sehingga bocah ini terpaksa lari lagi dikejar-kejar Si Panglima Gendut. Panglima ini bukan orang sembarangan, memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena perutnya terlalu besar dan ia jarang latihan berlari, kini mengejar-ngejar seorang anak yang lincah seperti Bun Beng, besar-benar membuat kewalahan. Mulailah ia melakukan serangan pukulan jarak jauh yang membuat Bun Beng beberapa kali roboh terguling, akan tetapi masih sempat mengelak dan meloncat terus lari lagi setiap kali ditubruk. Kini Bun Beng yang menjadi sibuk sekali dan hampir ia tertangkap kalau saja anak ini tidak mempunyai kenekatan luar biasa sehingga biarpun kulit tubuhnya sudah babak belur, tetap saja ia dapat menghindarkan diri dari tangkapan panglima gendut. Tiba-tiba sebuah akal menyelinap di otaknya. Sebetulnya dia tidak ingin mempergunakan akal ini, tidak ingin memperkenalkan diri. Akan tetapi baginya, lebih baik terjatuh ke tangan Thian-liong-pang atau Pulau Neraka daripada menjadi korban kekejian koksu yang dibencinya itu. Meloncatlah Bun Beng ke dekat wanita Thian-liong-pang, menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu sambil berseru. "Harap bantu aku! Aku adalah anak yang dahulu kalian perebutkan di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho lima tahun yang lalu!"
Mendengar ini, semua anggauta Thian-liong-pang dan anak buah Pulau Neraka memandang penuh perhatian, bahkan wanita itu melangkah maju sambil mengeluarkan suara terheran.
"Kau.... kau she apa?"
"Aku she Gak, aku Gak Bun Beng, Ayahku Gak Liat dan ibuku Bhok Kim...."
Pada saat itu, panglima gendut meloncat datang dan menubruk, akan tetapi wanita itu mengibaskan tangannya membentak, "Pergilah!"
Tubuh panglima gendut yang masih melayang datang ketika menubruk itu tiba-tiba tertahan dan terbanting kebawah. Brukkk! Ia terengah-engah dan setengah kelengar (pingsan) karena napasnya sesak. Sambil mengeluh ia merangkak bangun, membusungkan dada dan membentak, "Nyonya.... eh, Nona....." Ia tergagap, tidak tahan menentang pandang mata yang tajam dan sikap yang dingin
itu, bingung tidak tahu apakah wanita cantik ini sudah bersuami ataukah masih gadis. "Kau tidak boleh membelanya, dia adalah tawanan Koksu!"
"Tidak peduli! Engkau tidak boleh menyentuhnya!" Wanita itu berkata, suaranya dingin menantang.
"Apa? Kau berani menentang Koksu?" Panglima gendut yang merasa malu karena terbanting tadi membentak, mengandalkan nama koksu.
"Aku tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi seorang yang telah berlindung kepada Thian-liong-pang, tidak boleh diganggu siapapun juga." Wanita itu berkata dan jelas bahwa dia masih merasa segan untuk bermusuh dengan koksu maka mempergunakan alasan yang sudah menjadi peraturan Thian-liong-pang, atau secara halus ia berlindung di balik nama perkumpulannya.
Pada saat itu terdengar pekik mengerikan sehingga semua orang menoleh dan sempat melihat dua orang pengawal roboh terguling dengan tubuh hangus begitu tangan mereka menyentuh mayat tokoh Pulau Neraka bermuka biru. Pengawal lain melompat dekat dan terdengar bentakan koksu, "Jangan sentuh!"
Kiranya dua orang pengawal tadi hendak menyingkirkan mayat itu atas perintah komandannya karena adanya mayat di tengah-tengah itu selain memberi pemandangan yang tidak sedap juga akan menghalangi gerakan mereka kalau tiba saatnya turun tangan. Akan tetapi begitu kedua orang pengawal itu menyentuh tubuh mayat Si Muka Biru dari Pulau Neraka, seketika mereka roboh dan tewas dan tubuh mereka mereka menjadi hangus! Bukan main tokoh Pulau Neraka ini, sudah menjadi mayat masih mampu membunuh dua orang lawan! Hal ini adalah karena racun yang terkandung ditubuhnya dan membuktikan betapa hebat kepandaian orang-orang Pulau Neraka.
Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi merah karena marah. Dia melangkah lebar, menuangkan benda cair berwarna putih perak dari guci ke atas tiga buah mayat itu. "Jangan ganggu jenazah Suheng kami!" Teriak dua orang bermuka biru tua dari rombongan Pulau Neraka sambil bergerak maju, akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan bajunya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membuat dua orang Pulau Neraka itu jatuh terlentang seperti disambar petir dan pemimpin mereka yang bermuka hijau pupus membentak mereka mundur. Sambil menyeringai dan mengatur napas kedua orang itu mundur. Sementara itu, tiga buah mayat kini
telah mulai mencair dimakan benda cair yang luar biasa itu, yaitu racun penghancur mayat.
"Taijin, bocah itu dilindungi oleh orang-orang Thian-liong-pang!" Panglima gendut memberi hormat kepada koksu sambil sambil menuding ke arah wanita yang tadi menghalangi dia menangkap Bun Beng.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun mengerutkan alisnya dan perlahan memutar tubuh, dari kerongkongannya terdengar dengus marah, "Huhhh....?"
Semua anak buah pasukan koksu kini ikut memandang ke arah rombongan Thian-liong-pang dan mereka semua melihat sebuah pemandangan yang aneh. Kiranya kini sembilan orang anak buah Pulau Neraka juga sudah mengurung lima orang Thian-liong-pang itu dengan sikap mengancam. Akan tetapi, wanita cantik yang memimpin empat orang temannya, sama sekali tidak peduli dan mereka berlima sedang mengurung Bun Beng sambil membujuk dan mendesak anak itu.
"Gak Bun Beng, engkau telah menjadi calon anggauta termuda Thian-liong-pang. Memang Pangcu (Ketua) menghendaki demikian, maka sekarang bersumpahlah engkau menurut peraturan Thian-liong-pang agar engkau syah menjadi anggauta kami! Engkau berikan lengan kananmu untuk kucacah dengan lukisan naga Thian-liong dan engkau harus mengucapkan sumpah mengikuti aku!" Wanita cantik itu sudah mengeluarkan sebatang jarum sambil memegang lengan kanan Bun Beng. Seorang anggauta lain menyingsingkan lengan baju Bun Beng. "Tidak....! Aku tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang!" Bun Beng berteriak dan meronta, hendak menarik kembali lengannya, akan tetapi mana ia mampu bergerak dari pegangan wanita sakti itu? Teriakannya mengejutkan lima
orang Thian-liong-pang dan wanita itu menghardik. "Kalau begitu mengapa engkau minta perlindungan kami?"
"Aku.... aku hanya minta bantuan agar tidak diganggu panglima gendut, sama sekali tidak ingin menjadi anggauta...."
"Engkau harus menjadi anggauta kami, mau atau tidak!" Wanita itu me mbentak.
"Tida k.... tidak.... mana ada aturan memaksa seperti ini? Aku tidak mau!"
"Ha-ha-ha-ha. Thian-liong-pang kiranya hanyalah perkumpulan tukang menakuti anak kecil." Tiba-tiba pemimpin rombongan Pulau Neraka yang hijau pupus warna kulitnya tertawa mengejek. Dia seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, menjadi pemimpin rombongannya dan melihat warna kulitnya yang paling muda di antara kawan-kawannya, dapat diduga bahwa dia mempunyai kepandaian yang paling lihai. Sikapnya halus, suaranya halus dan pakaiannya seperti sasterawan!
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menggetarkan semua orang. Yang tertawa adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, koksu dari Kerajaan Mancu yang sudah menghampiri tempat itu. Diam-diam rombongan Pulau Neraka dan Thian-liong-pang terkejut karena mereka maklum bahwa kakek itu benar-benar memiliki tenaga sakti yang hebat sekali sehingga untuk melindungi jantung mereka tarpaksa harus mengerahkan tenaga sakti melawan pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh suara ketawa itu.
"Ha-ha-ha-ha! Sungguh kebetulan sekali! Anak ini sudah menjadi tawananku sejak tadi, akan tetapi agaknya kini kalian dan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka hendak memperebutkannya pula. Baiklah bukankah kita berkumpul sebagai orang-orang gagah? Kalau mengadu ilmu tanpa taruhan, sungguh kurang seru dan tidak menarik. Biarlah bocah ini dijadikan taruhan di antara kita tiga rombongan! Setiap rombongan mengajukan dua orang jago dan siapa di antara kita yang jago-jagonya keluar sebagai pemenang berhak memiliki bocah ini. Siapa yang tidak setuju?" Ucapan kalimat terakhir ini mengandung ancaman dan seluruh urat syaraf di tubuh koksu ini sudah menegang karena sebuah kata-kata manentang saja sudah cukup baginya untuk turun tangan membunuh orangnya!
Dalam keadaan seperti itu, rombongan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka maklum bahwa menentang tidak menguntungkan pihaknya. Mereka sedang berebut dan munghadapi pihak lawan ini saja sudah berat, apalagi kalau sampai rombongan karajaan itu membantu lawan! Daripada menderita kekalahan yang sudah pasti, lebih baik menerima usul itu karena mereka percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut koksu kerajaan ini, yang didengar banyak telinga, tentu dapat diperaaya sepenuhnya.
"Baik, kami setuju!" Wanita cantik Thian-liong-pang berkata.
"Kami setuju!" Kata pula Si Muka Hijau dari Pulau Neraka.
"Kami mengajukan dua orang jago, aku sendiri dan Suteku ini!" Saorang tinggi besar seperti raksasa yang mukanya juga hijau, akan tetapi sedikit lebih tua warnanya daripada pemimpin rombongan, meloncat keluar.
Wanita cantik Thian-liong-pang tersenyum dan ia melangkah ke depan. "Aku adalah pemimpin rombongan Thian-liong-pang dan oleh Pangcu sendiri aku diberi kuasa untuk mewakili beliau. Karena itu, aku seoranglah yang bertanggungjawab dan biarlah kami dari pihak Thian-liong-pang hanya mengajukan seorang jago saja, yaitu aku sendiri."
"Ahh, mana bisa begitu? Kalau hanya seorang jago, dia harus berani menghadapi dua orang lawan sekaligus!" Si Muka Hijau mencela.
Wanita itu tersenyum mengejek. "Melihat warna kulit kalian, tentu kalian sudah memiliki kedudukan di Pulau Neraka dan dihitung dari tingkatan, kiranya aku masih tinggi beberapa tingkat dari kalian, maka tentu saja aku tidak keberatan untuk melawan kalian berdua sekaligus!"
Dua orang Pulau Neraka itu menjadi marah dan memandang dengan mata melotot karena ucapan wanita Thian-liong-pang itu sungguh merendahkan sekali, akan tetapi sebagai orang-orang berkepandaian mereka pun menduga bahwa wanita itu tentu amat lihai, kalau tidak demikian, tentu tidak akan berani bersikap sesombong itu.
"Ha-ha-ha-ha, benar-benar Cu-wi para wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang amat gagah dan mengagumkan. Biarlah aku mengajukan dua orang jago kami, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dengan demikian, dua orang jagoku sekaligus dapat menghadapi dan melayani wakil-wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Thian Tok Lama melayani dua orang gagah dari Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama berpibu melawan wanita gagah dari Thian-liong-pang. Tentu ramai sekali. Siapa yang nanti keluar sebagai pemenang, boleh membawa pergi dan memiliki bocah itu."
Ucapan ini merupakan perintah bagi kedua orang pendeta Lama dari Tibet, maka mereka sudah melangkah maju dan siap menghadapi lawan. Thian Tok Lama yang gendut sudah menghampiri dua orang jago Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama yang bertubuh kurus dan bermata tajam menghampiri wanita Thian-liong-pang. Sementara itu Bun Beng yang dibiarkan bebas melangkah mundur-mundur tanpa ada yang mempedulikan karena semua orang tahu bahwa anak itu tidak akan dapat pergi dari pulau itu.
Bun Beng mendekati tebing dan memandang ke bawah. Ia bergidik. Sekeliling pulau kecil itu telah dikurung oleh perahu-perahu sehingga kemanapun ia pergi, ia akan berhadapan dengan anak buah mereka. Satu-satunya bagian yang tidak terjaga perahu hanyalah bagian di mana air sungai bertemu dengan air laut dan membentuk pusaran air yang amat mengerikan, yang tadi telah menghancurkan tubuh seorang anggauta Pulau Neraka dan disebut air pusaran maut. Bun Beng berdiri dengan muka pucat dan membalikkan tubuh menonton pertempuran yang telah dimulai.
Pertempuran yang amat dahsyat. Semua orang yang berada di pulau berdiri tegak dan menonton dengan hati tegang jarang berkedip agar tidak kehilangan sebagian kecil pun dari pertandingan yang menegangkan itu. Yang bertanding adalah tokoh-tokoh sakti yang memiliki kepandaian aneh dan tinggi sekali.
Dua orang tokoh Pulau Neraka bermuka hijau itu telah bertanding melawan Thian Tok Lama, menghadapi pendeta gundul itu dari kanan kiri. Gerakan mereka aneh sekali dan kedua orang itu agaknya bersilat dengan membentuk tin (barisan) karena gerakan mereka teratur dan saling membantu dengan tepat sekali. Kalau pimpinan rombongan Pulau Neraka menyerang dari atas, sutenya yang tinggi besar itu menerjang dari bawah dan kalau Thian Tok Lama menyerang yang satu, yang lain tentu cepat membantu kawan. Biarpun maklum bahwa pendeta Tibet itu sakti sekali, ternyata dua orang tokoh Pulau Neraka ini memiliki keangkuhan sebagai jago-jago kelas tinggi. Buktinya, ketika melihat bahwa Thian Tok Lama maju tanpa senjata, mereka berdua pun tidak menggunakan senjata, hanya menyerang dengan tangan kosong. Namun, bukan tangan sembarangan, karena kini tangan mereka telah berubah menjadi senjata yang amat ampuh, mengandung hawa beracun dan mengeluarkan uap kehijauan! Dengan dua pasang tangan beracun yang aneh itu, dua orang Pulau Neraka melancarkan serangan-serangan dahsyat dari kanan kiri secara bertubi-tubi dan bergantian. Thian Tok Lama bukanlah seorang tokoh biasa. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang tokoh besar dari Tibet yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Bersama Thai Li Lama yang menjadi sutenya, dia telah menjagoi selama puluhan tahun di dunia barat dan telah mempelajari bermacam-macam ilmu yang aneh-aneh. Maka begitu melihat gerakan kedua orang lawannya, tahulah ia bahwa tangan mereka itu mengandung racun yang amat aneh, amat berbahaya dan yang ia duga hanya terdapat di Pulau Neraka, maka tidak boleh dipandang ringan karena kalau tidak mempunyai obat penawarnya, sekali terluka oleh tangan itu dapat
mendatangkan maut. Maka hwe sio Tibet ini pun berlaku hati-hati, tidak mau mengadu tangan dengan kedua orang lawannya dan menghadapi penyerangan mereka dengan elakan-elakan atau dengan kibasan kedua lengan bajunya yang mengeluarkan angin kuat sekali menolak setiap serangan lawan. Betapapun juga, karena terlalu hati-hati, tentu saja Thian Tok Lama menjadi terdesak, lebih banyak bertahan daripada menyerang. Setelah bertanding lebih dari tiga puluh jurus, Thian Tok Lama maklum bahwa dalam ilmu silat maupun tenaga sin-kang, dia tidak perlu khawatir karena tingkatnya masih lebih tinggi, akan tetapi karena dia jerih terhadap racun di tangan kedua lawannya, maka kelebihannya tertutup dan dia terdesak. Tiba-tiba pendeta Lama yang gendut ini mengeluarkan suara gerengan yang keluar dari dalam perutnya, kemudian ia mengibaskan kedua lengan bajunya dengan keras sekali sambil memutar tubuhnya. Dengan demikian, kedua lengan bajunya menyambar seperti kitiran, memaksa kedua lawannya untuk melangkah mundur karena biarpun hanya kain, diputar dengan tenaga sakti yang dimiliki Thian Tok Lama, mengenai batu karang pun dapat hancur!
Begitu kedua lawannya mundur, Thian Tok Lama lalu merendahkan tubuhnya, menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah, perutnya mengeluarkan bunyi seperti kokok ayam bertelur. "Kok-kok-kok-kok!" Dan tangan kanannya kini berubah menjadi biru! Ketika ia mendorongkan tangan kanannya itu ke depan, angin dahsyat menyambar disertai hawa panas dan uap hitam menerjang kedua orang lawannya.
"Aihhh!" Dua orang tokoh Pulau Neraka terkejut sekali dan cepat meloncat tinggi ke atas untuk menghindarkan pukulan dahsyat itu sambil balas memukul. Kini Thian Tok Lama dapat membalas sehingga mereka saling serang makin hebat dan kesudahannya ternyata mambuat keadaan menjadi terbalik karena kini kedua orang Pulau Neraka itulah yang terdesak hebat dan sibuk menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan dahsyat Thian Tok Lama. Pendeta Lama yang gendut ini telah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat ampuh, yaitu Hek-in-hui-hong-ciang, yaitu pukulan yang didasari tenaga sakti dan ilmu hitam sehingga pukulan itu mengeluarkan uap hitam dan angin berpusing mengandung getaran-getaran dahsyat yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
Adapun pertandingan antara Thai Li Lama melawan wanita Thian-liong-pang merupakan pertandingan yang lebih seru dan menarik. Wanita cantik itu bukan seorang sembarangan dalam Thian-liong-pang. Memang benar bahwa dia kini menjadi kepala pelayan pribadi Pangcu yang mukanya berkerudung. Akan tetapi dahulunya dia adalah seorang tokoh yang penting dari Thian-liong-pang. Wanita ini masih merupakan keturunan pendiri Thian-liong-pang, biarpun hanya merupakan cucu buyut luar. Dia bernama Tang Wi Siang dan semenjak usia dua puluh lima telah menjadi janda karena suaminya tewas dalam pertempuran melawan musuh-musuh Thian-liong-pang. Sebagai bekas isteri dari seorang di antara pimpinan Thian-liong-pang, apalagi dia sendiri pun keturunan nenek moyang Thian-liong-pang, tentu saja Tang Wi Siang mendapat kedudukan penting di dalam perkumpulan itu dan juga dia mewarisi ilmu silat yang dimiliki turun-temurun oleh Thian-liong-pang. Ketika pada suatu hari muncul Si Wanita berkerudung, wanita berkedok yang tak dikenal oleh siapapun juga muncul di perkumpulan itu, merobohkan pemimpinnya dengan mudah, kemudian mengangkat diri sendiri menjadi pangcu, Wi Siang terpilih menjadi kepala pelayan pribadi dan oleh pangcu baru yang mempunyai kesaktian seperti iblis itu Wi Siang digembleng ilmu silat baru yang hebat-hebat sehingga kepandaiannya meningkat tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Thian-liong-pang yang dulu menjadi pimpinan! Akan tetapi, sekarang keadaannya menjadi lain dan tentu saja bukan hanya Wi Siang yang menerima ilmu dari ketua baru ini, masih banyak tokoh lain yang menerima ilmu sehingga kini para pengurus Thian-liong-pang bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, melainkan orang-orang sakti yang luar biasa.
Pangcu baru yang tetap merupakan manusia rahasia itu menurunkan ilmu-ilmunya disesuaikan dengan bakat masing-masing. Tang Wi Siang mempunyai bakat yang baik sekali dalam ilmu meringankan tubuh, maka oleh ketua baru yang aneh itu dia diberi ilmu silat yang mengandalkan gerakan cepat. Ketua baru itu memang mengenal segala macam ilmu silat sehingga kadang-kadang membingungkan dan mengherankan hati para pembantunya. Bahkan ilmu silat keturunan Thian-liong-pang pun dikenalnya baik!
Kini, menghadapi Thai Li Lama, Tang Wi Siang mendapatkan lawan yang amat tangguh. Thai Li Lama di samping suhengnya juga merupakan tokoh besar di Tibet. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, hanya kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Thian Tok Lama. Di samping ilmu yang aneh-aneh, Thai Li Lama ini adalah seorang ahli ilmu hitam yang kuat sekali. Dia memiliki ilmu hitam I-hun-to-hoat, yaitu ilmu merampas semangat orang atau menundukkan kemauan orang dengan kekuatan gaib. Tentu saja amat jarang ia mempergunakan ilmu hitamnya ini karena dengan ilmu silatnya saja, jarang ada lawan mampu menandinginya. Tadinya Thai Li Lama memandang rendah lawannya. Biarpun mengaku sebagai tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi wanita itu masih amat muda, paling banyak tiga puluh tahun lebih! Dan pula seorang wanita, sampai dimana kehebatannya? Karena memandang rendah dalam gebrakan-gebrakan pertama, Thai Li Lama hanya menggunakan kedua ujung jubahnya yang panjang untuk menyerang dan
menangkis. Akan tetapi, betapa kaget hati pendeta Tibet ini ketika tiba-tiba saja bayangan wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu telah memukul dari atas belakang mengarah pundak dan ubun-ubun kepalanya yang gundul.
"Omitohud....!" Ia berseru dan cepat ia memutar kedua tangan melindungi kepala dan pundak. Namun wanita itu sudah melejit pergi membatalkan serangan, tahu-tahu sudah mengirim pukulan ke punggung disusul tendangan ke belakang lututnya. Sambil meloncat jauh ke depan dan memutar tubuh, sepasang mata Thai Li Lama mulai bersinar aneh. Mengertilah kini bahwa lawannya bukanlah sembarang orang yang dapat dipandang rendah. Kiranya wanita itu memiliki gin-kang yang amat mengagumkan dan yang dapat mendatangkan bahaya baginya karena ia dapat menduga bahwa dalam hal meringankan tubuh, dia masih kalah jauh! Maka dia lalu mendengus pendek dan mulailah ia memasang kuda-kuda, dan mengerahkan sin-kang sehingga setiap kali kedua tangannya menyambar, angin dahsyat bertiup mendahului tangannya menyambar ke arah lawan. Kakek ini yang maklum akan kelihaian lawan, tidak segan-segan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-kun-hoat-lek, ilmu pukulan sakti yang selain mengandung sinkang kuat sekali, juga mengandung hawa ilmu hitam yang mengakibatkan gelombang getaran aneh mempengaruhi lawan.
"Tas!" Pukulan Thai Li Lama yang amat kuat dan aneh itu dapat dihindarkan oleh Wi Siang yang melesat cepat dan pukulan itu mengeluarkan suara seperti ujung pecut dipukulkan. "Tass! Tass!" Dua kali pukulan kedua tangan Thai Li Lama berbunyi mengenai tempat kosong karena tubuh Wi Siang sudah melesat ke kanan kiri dan tiba-tiba wanita itu sudah membalas dengan terjangan hebat, jari tangan kiri menusuk ke arah mata lawan sedangkan jari tangan kanan mencengkeram kelambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan cepat sekali datangnye sehingga Thai Li Lama terkejut bukan main. Untuk menghadapi serangan maut yang amat cepat ini, menangkis sudah tidak keburu lagi, maka hwesio ini terpaksa melempar tubuh ke belakang dan terus
bergulingan! Bagaikan seekor burung walet cepatnya, wanita itu mengejar dan menyambar-nyambarkan serangan dari atas ke arah tubuh yang bergulingan. Memang kini Wi Siang mainkan ilmu silat, yang khusus diturunkan ketuanya kepadanya, yaitu ilmu silat Yan-cu-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet), ilmu yang seluruhnya digerakkan dengan gin-kang yang amat cepat sehingga membingungkan lawan. Repot sekali keadaan Thai Li Lama yang sudah bergulingan. Karena dia terus diserang dengan gencar tanpa dapat membalas dan tubuhnya sedang bergulingan, maka dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk meloncat bangun dan terpaksa harus terus bergulingan sambil melindungi tubuh dengan gerakan kedua lengannya. Keadaan sungguh berbahaya dan biarpun tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari pada lawan, namun karena posisinya sudah rusak seperti itu, dengan bergulingan terus mana mungkin kakek ini mampu melindungi tubuhnya terus-menerus? Gerakan Wi Siang amat cepatnya, kemana pun ia menggulingkan diri pergi, tubuh wanita itu seperti seekor burung telah menyambarnya dan mengirim serangan maut. Tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara melengking tinggi dari dalam perutnya disusul bentakan keras. "Mundurrrr....!"
Hebat bukan main pengaruh lengking dan bentakan itu, sampai terasa oleh semua orang yang menonton, bahkan banyak di antara penonton yang otomatis menggerakkan kaki melangkah mundur, seolah-olah perintah itu ditunjuk kepadanya dan ada tenaga rahasia yang mendorong mereka mundur. Apalagi pengaruh terhadap Tang Wi Siang yang langsung menghadapi serangan ilmu hitam itu. Wanita ini memekik aneh dan tubuhnya mencelat mundur seolah-olah ia kaget menghadapi semburan seekor ular berbisa. Saat itu dipergunakan oleh Thai Li Lama untuk meloncat bangun dan setelah meloncat bangun, baru Wi Siang sadar bahwa dia kena diakali dengan pengaruh ilmu hitam. Marahlah wanita itu dan ia menerjang maju lagi sambil membentak.
"Pendeta siluman!"
Akan tetapi Thai Li Lama juga marah sekali, marah yang timbul karena malu. Tadi ia harus bergulingan sampai lama dan pakaiannya kotor semua, maka kini menghadapi terjangan lawan ia mendorongkan kedua tangannya bergantian dengan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek sehingga timbul angin besar menyambar ke arah Wi Siang. Wanita ini mengenal bahaya maka ia lalu melesat ke kiri, menghindarkan diri dan siap mengirim serangan susulan. Akan tetapi tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara aneh dan amat berpengaruh sambil menudingkan telunjuknya ke arah lawan.
"Engkau sudah lelah sekali....! Kedua kakimu sukar digerakkan....!"
Aneh! Tiba-tiba Wi Siang berdiri terbelalak, tak mampu menggerakkan kedua kakinya dan tangannya memegang dahi seperti serasa pusing, tubuhnya lemas saking lelahnya.
"Pendeta curang.... kau menggunakan ilmu siluman....!" Yang berteriak ini adalah Bun Beng. Anak ini sejak tadi menonton pertandingan dengan hati tertarik dan ia amat kagum menyaksikan sepak terjang wanita Thian-liong-pang. Ketika tadi Thai Li Lama membentak "mundur" dia sendiri sampai melangkah mundur. Anak yang cerdik ini maklum bahwa pendeta Tibet itu menggunakan ilmu siluman yang aneh, maka ia menjadi penasaran dan mendekati pertempuran. Kini, melihat betapa wanita yang dikaguminya itu terpengaruh oleh suara Thai Li Lama, ia memaki dan meloncat maju, menerjang ke depan Thai Li Lama! Gerakannya ini membuat Tang Wi Siang sadar, sebaliknya Thai Li Lama menjadi marah. Pendeta ini menggerakkan tangan kanan memukul ke arah Wi Siang yang cepat meloncat tinggi ke atas, akan tetapi Bun Beng yang sudah meloncat maju itu secara langsung disambar angin pukulan dahsyat sehingga tubuhnya terlempar seperti peluru dan.... melayang melalui tebing menuju ke air pusaran maut!
Semua orang tertegun, bahkan yang sedang bertanding berhenti dan memandang ke arah tubuh Bun Beng yang melayang ke bawah. Dalam keadaan seperti itu, biar orang sepandai koksu sendiri tidak mungkin akan dapat menolong Bun Beng. Semua mata terbelalak ngeri ketika melihat betapa tubuh anak itu terjun ke bawah dan terlempar tepat ke arah tengah-tengah air pusaran maut yang mengerikan itu dengan kepala lebih dulu! Mereka menahan napas dan koksu membanting-banting kaki saking kecewa dan menyesal melihat anak yang amat ia butuhkan itu menuju ke jurang maut yang tak mungkin dapat dielakkan lagi.
Bun Beng menghadapi maut dengan mata terbuka lebar. Ia maklum bahwa tubuhnya akan diterima oleh pusaran air yang merupakan moncong maut terbuka lebar dan ia tahu bahwa ia akan mati. Akan tetapi apa bedanya? Dia diperebutkan oleh tiga kekuasaan yang mengerikan. Memang lebih baik kalau ia menyerahkan diri kepada kekuasaan yang paling besar, yaitu kekuasaan alam yang akan merenggut nyawanya. Maka tanpa menjerit sedikit pun ia membiarkan tubuhnya terbanting di tengah-tengah pusaran air.
"Byurrr!"
Sebelum tubuhnya menyentuh air, Bun Beng yang cerdik masih ingat untuk menarik napas sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya. Begitu tubuhnya menyentuh air, terus saja tubuhnya ditarik ke bawah oleh pusat air yang berpusing itu. Bun Beng, berbeda dengan orang Pulau Neraka tadi, tidak melakukan perlawanan, bahkan menyerahkan dirinya ditarik dengan kekuatan maha dahsyat ke dalam air, menahan napasnya. Semua orang yang memandang ke arah air menjadi pucat melihat betapa anak yang terjatuh tepat di tengah-tengah pusaran air itu langsung dihisap dan ditarik ke dalam, lenyap seketika! Mereka masih memandang tanpa berkedip, menanti dengan dugaan bahwa tubuh anak itu tentu akan timbul kembali dalam keadaan tak bernyawa dan rusak-rusak. Akan tetapi, ditunggu sampai lama, tubuh Bun Beng tak pernah timbul kembali, seolah-olah lenyap dan habis ditelan bulat-bulat oleh pusaran air itu.
"Celaka.... celaka....!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membanting-banting kakinya dengan muka merah saking marahnya, kemudian menyapu mereka yang masih berada di pulau dengan pandang matanya. "Kalian semua orang-orang sial yang hanya mendatangkan kerugian bagi kerajaan! Kalian seperti anak-anak kecil nakal yang mengganggu aku! Kalian ini orang-orang kang-ouw suka mencari ribut yang membuat pekerjaanku menjadi tertunda-tunda dan terhalang!"
Semua orang menjadi terkejut dan heran memandang ke arah koksu yang marah-marah itu. Alangkah bedanya sikap kakek botak itu dengan tadi sebelum Bun Beng terlempar ke dalam pusaran air. Tadi sikap koksu itu ramah dan gembira, akan tetapi sekarang, mendadak saja marah-marah. "Teruskan pibu! Aku masih belum kalah!" Tang Wi Siang, tokoh Thian-liong-pang berkata dengan suara dingin. "Kami pun belum kalah! Yang menang berhak tinggal di pulau ini, yang kalah harus pergi!" Pimpinan rombongan Pulau Neraka juga berkata, sedikit pun tidak mempedulikan kemarahan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah siap lagi menandingi lawan mereka, akan tetapi koksu menggoyangkan tangan dengan sikap tidak sabar sambil berkata. "Sudah, sudah! Tidak ada pibu-pibuan! Apa yang diperebutkan? Anak itu telah mampus ditelan pusaran air, dan pulau ini.... dibutuhkan kerajaan. Harap semua pergi dari sini sekarang juga kalau tidak ingin dianggap pemberontak dan kubasmi semua!"
Semua orang memandang tajam, ada yang terheran-heran, ada pula yang memandang marah. Kini baru tampaklah oleh mereka siapa sebenarnya koksu ini, dan orang macam apa!
Keadaan menjadi sunyi dan tiba-tiba terdengar suara tertawa memecahkan kesunyian, disusul suara nyanyian orang yang tertawa itu:
"Aku....! Aku....! Aku....! Pujaanku! Milikku! Ha kku! Keluargaku, sahabatku, hartaku, namaku! Kurangkul dia yang menguntungkan aku .. Kupukul dia yang merugikan aku .. Yang terpenting di dunia dan akhirat adalah .. Aku....! Aku....! Aku....!"
Semua orang terkejut dan menengok, memandang ke arah orang yang menyanyikan kata-kata aneh itu. Yang bernyanyi ini agaknya belum lama datang, dan tak seorang pun melihat kedatangannya, karena tadi mereka semua sedang tertarik menonton pertandingan yang seru disusul kejadian mengerikan yang menimpa diri Bun Beng. Orang itu adalah seorang kakek tua yang pakaiannya bersih sederhana namun kedua kakinya telanjang tak bersepatu. Wajahnya berseri pandang matanya tajam penuh kejujuran dan tangannya
memegang sebatang tongkat berkepala naga. "Im-yang Seng-cu....!" Beberapa orang tokoh kang-ouw yang masih berada di situ berbisik ketika mengenal kakek itu. Memang kakek itu adalah Im-yang Seng-cu, seorang tokoh aneh yang tadinya merupakan tokoh dari Hoa-san-pai, akan tetapi karena sikap dan wataknya yang aneh-aneh, dia malah dibenci oleh pimpinan Hoa-san-pai sendiri sehingga Im-yang Seng-cu ini tidak pernah berada di Hoa-san-pai, melainkan merantau mengelilingi dunia sehingga ilmu kepandaiannya makin meningkat hebat. Karena kesukaannya mempelajari ilmu-ilmu silat dari lain aliran itulah yang membuat ia dianggap sebagai murid Hoa-san-pai yang murtad, sungguhpun para pimpinan Hoa-san-pai harus mengakui bahwa Im-yang Seng-cu selalu memiliki sepak terjang seorang tokoh kang-ouw yang aneh dan budiman, tidak mencemarkan nama Hoa-san-pai, dan bahwa kesukaannya akan mempelajari ilmu-ilmu silat itu membuat ia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada Ketua Hoa-san-pai sendiri!
"Ha-ha-ha-ha! Dunia ini menjadi ramai, manusia saling makan melebihi binatang paling buas, semua diciptakan oleh AKU ini! Timbul dari AKU! Ha-ha-ha, bukankah begitu, Koksu yang mulia?"
Karena sikapnya tetap menghormat bahkan ia menjura dengan hormat kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun biarpun kata-katanya amat lucu dan aneh, koksu tidak menjadi marah. Apalagi koksu pernah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu, maka ia lalu miringkan kepala melirik dan bertanya.
"Apakah orang gagah yang datang ini yang berjuluk Im-yang Seng-cu?"
"Tidak salah, Koksu. Orang-orang menyebutku Im-yang Seng-cu. Sungguhpun sebenarnya aku pun hanyalah AKU, seperti setiap orang di antara kalian semua, dan kita memiliki penyakit yang sama, penyakit AKU!"
Karena ucapan itu dianggap berbelit-belit, koksu bertanya, suaranya mulai tidak senang, "Im-yang Seng-cu, apa maksud semua kata-katamu itu? Apa pula maksud kedatanganmu?"
Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya dan tersenyum lebar. "Sudah begitu jelas masih belum mengerti dan perlu kuterangkan lagi? Segala peristiwa yang terjadi dalam penghidupan semua manusia merupakan perputaran yang berporos pada ke AKU-an itulah. Apa yang menyebabkan kita pada saat ini berkumpul di sini? Memilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)? Menggelikan! Tentu sebelum terjadi pemilihan sudah kautangkap dan dianggap pemberontak! Tidak, mereka itu semua malu-malu untuk mengakui bahwa sasaran utama bukanlah perebutan bengcu, melainkan untuk memperebutkan pusaka-pusaka keramat yang kabarnya lenyap dan berada di pulau ini! Benar tidak? Dan semua datang memperebutkan karena terdorong oleh ke-AKU-annya itulah! Siapa yang dapat membantah?"
"Hemm, Im-yang Seng-cu, omonganmu terlalu besar dan main sikat sama rata saja. Engkau mengenal aku dan tahu bahwa aku adalah seorang petugas negara. Jelas bahwa kedatanganku ini bukan karena aku pribadi, melainkan sebagai utusan!" Koksu itu membantah.
"Kami pun datang sebagai utusan!" Teriak seorang tosu dari Kun-lun-pai.
Ramailah semua orang membantah ucapan Im-yang Seng-cu. Kakek bertelanjang kaki ini tertawa bergelak, "Melihat kesalahan orang lain mudah, melihat kesalahan sendiri bukan main sukarnya! Mengakui kelemahan dan kebodohan sendiri merupakan kekuatan yang jarang dimiliki manusia! Koksu yang baik, dan Cu-wi sekalian. Cu-wi semua mengaku sebagai utusan dan bukan karena diri pribadi datang ke sini. Akan tetapi utusan siapakah? Koksu, yang mengutusmu tentulah Kaisarmu, kerajaan dan negaramu, bukan?"
"Tentu saja!"
"Nah, apa bedanya itu? Manusia selalu me mentingkan ke-AKU-annya. Diriku, negaraku, rajaku, dan lain sebagainya, yang berporos kepada AKU. Kini terjadi perebutan tidak mau saling mengalah, tak lain tak bukan karena masing-masing membela ke-AKU-annya itulah! Ha-ha-ha-ha! Hapuslah kata-kata AKU dan dunia akan aman, manusia akan hidup penuh damai, tidak akan terjadi perebutan karena lenyap pula istilah milikku, hakku dan aku-aku lain lagi."
"Wah-wah, Im-yang Seng-cu bicara seolah-olah dia sendirilah satu-satunya manusia yang suci di dunia ini!" Seorang kakek Kong-thong-pai menyindir.
"Ha-ha-ha-ha! Sudah kukatakan tadi bahwa penyakitku juga sama dengan penyakit kalian, yaitu penyakit AKU. Penyakit yang sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh manusia yang sakit, mempengaruhi setiap gerak-gerik dan sepak terjang dalam hidupnya. Ini pula yang menimbulkan watak manusia yang amat licik dan rendah. Kalau senang, ingin senang sendiri. Kalau susah, ingin mencari kawan, bahkan kesusahan menjadi ringan seolah-olah terhibur oleh kesusahan lain orang. Betapa rendahnya!"
"Hemmm, apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?" Karena kakek aneh ini tidak menyerang seseorang, maka kemarahan koksu agak mereda, bahkan ia mulai tertarik. Tidak mengadu ilmu silat, mengadu filsafat juga boleh karena dia pun bukan seorang yang buta tentang filsafat.
"Maksudku sudah menjadi watak manusia pada umumnya jika ia berada dalam keadaan menderita, maka penderitaannya terasa ringan terhibur kalau dia melihat penderitaan orang lain! Hiburan yang paling manjur bagi seorang yang sengsara adalah melihat bahwa di sampingnya banyak terdapat orang-orang yang lebih sengsara dari padanya. Mengapa begini? Inilah jahatnya sifat AKU yang menimbulkan rasa sayang diri, rasa iba diri, perasaan-perasaan yang selalu berputar pada poros ke-AKU-annya. Contohnya yang lebih jelas, orang yang mempunyai keluarga tercinta sakit parah akan menderita kesengsaran batin yang hebat. Akan tetapi bagaimana kalau melihat ribuan orang lain sakit? Tentu tidak ada penderitaan batin seperti yang dirasakannya kalau keluarga-Nya yang sakit. Timbul pertentangan-pertentangan dalam hidup antar manusia karena saling membela AKU-nya. Timbul perang di antara negara karena saling membela AKU-nya pula. Manusia menjadi tidak aman dan tidak tenteram hidupnya karena dikuasai oleh AKU-nya inilah, tidak sadar bahwa yang menguasainya itu bukanlah AKU SEJATI, melainkan aku darah daging yang bergelimang nafsu-nafsu badani. Dengarlah betapa AKU SEJATI mengeluh dalam tangisnya!" Im-yang Seng-cu lalu berdongak dan bernyanyi.
"Aku sudah bosan! Aku sudah muak! Terbelenggu dalam sangkar darah daging! Setiap saat aku dipaksa menyaksikan tingkah nafsu angkara mempermainkan sangkar sampai gila .. Tawa-tangis, suka-duka, marah-sesal, suka-duka.... bebaskan aku dari semua ini....!"
"Omitohud! Ucapanmu benar-benar merupakan dosa besar, Im-yang Seng-cu. Bagi seorang beragama yang selalu berusaha untuk hidup bersih dan suci, ucapanmu itu merupakan penghinaan. Ucapan kotor yang menjijikkan!" Seorang hwesio berkata dengan alis berkerut. Dia adalah seorang hwesio yang berada dalam rombongan Bu-tong-pai dan yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Agaknya ucapan Im-yang Seng-cu itu membuat hwesio ini tidak sabar lagi untuk berdiam diri. "Engkau tidak boleh menyamaratakan semua manusia, Im-yang Sengcu. Manusia ada yang bodoh, ada yang pintar, ada yang kotor batinnya, ada yang bersih dan untuk mencapai kepintaran dan kebersihan batinnya. Jalan satu-satunya hanyalah mempelajari agama dan mematuhi hukum-hukum agamanya."
Im-yang Seng-cu tertawa dan memberi hormat kepada hwesio gendut itu. "Maaf, tentu yang kaumaksudkan itu adalah agama-Mu, bukan?"
"Tentu saja Agama Buddha, karena pinceng beragama Buddha," Jawab hwesio itu.
"Hemm, pertanyaan itu pun terdorong oleh sifat ke-AKU-an pula! Orang selalu merasa baik sendiri, bersih sendiri dan benar sendiri. Karena ini maka para pemeluk agama menjadi saling mencurigai, saling memburukkan dan persatuan antar manusia makin parah. Semua agama adalah baik karena mengajarkan kebaikan, namun sayang sekali, orang-orangnya yang menyalahgunakan sehingga pelajaran kebaikan seringkali dipergunakan untuk saling menghina dan saling menyalahkan.
Maaf, Lo-suhu, aku tidak akan menyinggung pelajaran agama karena aku yakin bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan, tidak ada kecualinya! Akan tetapi, orang yang merasa dirinya paling bersih adalah orang yang kotor karena perasaan diri paling bersih ini sudah merupakan kekotoran! Ada gambaran yang paling tepat untuk itu. Seseorang yang melihat tahi akan menutup hidungnya, merasa jijik dan muak, sama sekali dia lupa bahwa di dalam perutnya sendiri mengandung penuh tahi! Orang yang merasa dirinya paling pintar sesungguhnya adalah sebodoh-bodohnya orang, karena perasaan diri pintar ini sudah merupakan kebodohan! Orang yang merasa dirinya paling kuat sesungguhnya adalah orang yang lemah, karena kesombongannya akan membuatnya
lengah. Karena sifat mementingkan AKU-nya, maka manusia berlumba mengejar kemenangan dalam apapun juga, saling serang saling bunuh. Dalam perkelahian, yang mati dianggap kalah, yang hidup dianggap menang. Yang hidup ini agaknya lupa bahwa dia pun kelak akan mati apabila sudah tiba saatnya! Dan siapa dapat memastikan bahwa yang menang akan lebih bahagia daripada yang kalah dan mati? Ha-ha-ha, kalau manusia ingat akan semua ini, aku tanggung manusia akan berpikir dulu sebelum memperebutkan kemenangan!"
Filsafat yang diucapkan oleh Im-yang Seng-cu ini membuat penasaran hati mereka yang mendengarkan. "Im-yang Seng-cu, ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau seorang yang sombong sekali!" Bentak Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. "Kabarnya engkau adalah seorang tokoh Hoa-san-pai. Beginikah pelajaran To-kouw yang dianut oleh para tosu Hoa-san-pai?" Sambil berkata demikian, koksu ini melirik ke arah rombongan orang Hoa-san-pai. Tentu saja koksu ini sudah mendengar bahwa Im-yang Seng-cu adalah orang yang dianggap murtad oleh Hoa-san-pai, dan Koksu yang cerdik ini sengaja menimbulkan perpecahan atau memanaskan keadaan!
"Dia bukan orang Hoa-san-pai!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan dari rombongan Hoa-san-pai melangkah maju seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh pendek dan jenggotnya yang sudah putih itu pun dipotong pendek. Tosu ini memandang tajam ke arah Im-yang Seng-cu dan sikapnya penuh wibawa.
Im-yang Seng-cu menghadapi tosu itu dan memberi hormat. "Aihh, kiranya Suheng Lok Seng Cu hadir pula di sini. Terimalah hormat dari Sute...."
"Pinto mewakili Suhu dan memimpin rombongan Hoa-san-pai, sama sekali tidak ada hubungan lagi denganmu, Im-yang Seng-cu. Engkau tidak lagi diakui sebagai seorang murid Hoa-san-pai!"
Semua orang memandang dengan hati tegang, dan koksu memandang dengan mata bersinar. Tahu rasa engkau sekarang, orang sombong, pikirnya. Akan tetapi Im-yang Seng-cu tetap berseri wajahnya dan tenang sikapnya ketika menjawab, "Lok Seng Cu, aku pun tidak pernah menonjolkan diri sebagai seorang tokoh Hoa-san-pai. Aku berusaha untuk menjadi manusia bebas, akan tetapi .... hemm.... betapa sukarnya dan betapa tidak mungkinnya usaha itu. Hidup sendiri sudah tidak bebas. Kita terbelenggu oleh kebudayaan, oleh agama, oleh hukum-hukum yang diciptakan manusia hanya untuk menyerimpung kaki manusia sendiri. Dimana kebebasan? Aihhhh, aku pun rindu kebebasan, seperti Aku sejati....!"
Jawaban itu membuat Lok Seng Cu membungkam, karena memang orang yang dianggap murtad ini tidak pernah menyeret-nyeret nama Hoa-san-pai dalam setiap sepak terjangnya, dan kalau tadi dianggap tokoh Hoa-san-pai, adalah koksu yang mengatakan, bukan pengakuan Im-yang Seng-cu sendiri.
Karena pembakarannya tidak berhasil, koksu menjadi penasaran dan ingin ia "menangkap" Im-yang Seng-cu untuk memancing-mancing kalau-kalau kakek aneh ini akan mengeluarkan ucapan yang menyinggung, sehingga dapat dijadikan alasan untuk menyerangnya. "Im-yang Sengcu, apa pula artinya perkataanmu bahwa manusia kehilangan kebebasan karena terbelenggu oleh hukum-hukum yang diadakan manusia sendiri?"
Im-yang Seng-cu menghela napas panjang. "Inilah yang membuat hatiku selalu menjadi gelisah menyaksikan betapa makin lama manusia makin menjerat leher sendiri, membelenggu tangan kaki sendiri dengan hukum-hukum dan aturan-aturan sehingga beberapa ribu tahun lagi manusia tak dapat bergerak tanpa melanggar hukum! Betapa bayi takkan menangis begitu terlahir, menghadapi semua belenggu ini? Begitu terlahir, tubuhnya sudah dibelenggu kain-kain penutup tubuh, menyusul peraturan dan hukum-hukum yang tiada putusnya. Ada hukum ada pelanggaran, diperkenalkan yang buruk, mengerti tentang kesucian berarti mengerti tentang
kedosaan. Aihhh, betapa repot hidup ini!"
"Seorang manusia yang tidak mentaati peraturan berarti melanggar kesusilaan, melanggar kesopanan dan hanya seorang Siauw-jin (orang rendah) yang akan berbuat seperti itu!" Yang berkata demikian adalah Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang kosen dan jujur itu. Sebagian besar para pembesar dan panglima Kerajaan Ceng (Kerajaan Mancu) mempelajari Agama Khong Hu Cu dan karena orang-orang bicara tentang filsafat, Bhe Ti Kong tertarik lalu mengajukan bantahan atas pendirian Im-yang Seng-cu tadi.
Im-yang Seng-cu tersenyum dan mengangguk-angguk, "Bagus sekali, Ciangkun. Memang tepatlah kalau orang mempelajari kebudayaan setempat! Sekali lagi aku katakan bahwa aku hanya menyesalkan keadaan hidup manusia, bukan sekali-sekali menganjurkan agar semua orang melanggar hukum dan peraturan-peraturan yang sudah ada. Aku sendiri sampai sekarang masih memakai pakaian dan peraturan-peraturan masih tetap kupegang karena seperti juga semua manusia, aku pun dihinggapi penyakit ke-AKU-an sehingga rela melakukan hidup dalam kepalsuan-kepalsuan dan tidak wajar. Seperti semua agama, telah kukatakan tadi, Agama Khong Hu Cu juga mengajarkan segala kebaikan, merupakan pelajaran-pelajaran yang benar-benar tepat. Akan tetapi sayang, betapa sedikit manusia yang mematuhinya secara lahir batin, menyesuaikan pelajaran-pelajaran itu dalam sepak terjang hidupnya sehari-hari! Bukankah Nabi Khong Hu Cu bersabda bahwa seorang Kuncu hanya mengejar kebenaran sedangkan seorang Siauw-jin hanya mengejar keuntungan! Nah, Nabi Khongcu sendiri telah maklum akan penyakit ke-AKU-an manusia sehingga perlu memperingatkan manusia yang selalu ingat akan keuntungan diri pribadi, keuntungan lahiriah! Kukatakan tadi bahwa begitu terlahir, bayi telah dibelenggu kain-kain penutup tubuh. Kalau pakaian dimaksudkan untuk melindungi tubuh, hal yang hanya timbul karena kebiasaan, karena sesungguhnya kalau tidak dibiasakan pun tidak apa-apa, maka apa hubungannya dengan kesusilaan dan kesopanan?"
"Wah, orang yang tidak mau berpakaian dan bertelanjang bulat adalah orang yang tak tahu malu dan tidak sopan!" Seorang membantah dan karena semua orang berpendapat demikian, tidak ada yang peduli siapa yang mengeluarkan bantahan itu tadi.
Im-yang Seng-cu tertawa, "Benarkah begitu? Kalau pun benar, maka anggapan itu muncul setelah orang menciptakan peraturan dan hukum dengan itu! Tidak wajar dan palsu seperti yang lain-lain! Apakah seorang bayi yang baru terlahir dan sama sekali tidak berpakaian itu dianggap tak tahu malu dan tidak sopan? Ha-ha-ha, kulihat Cu-wi kini mulai dapat mengerti apa yang kumaksudkan. Bayi, manusia cilik itu tadinya wajar dan tidak mengenal hukum kesusilaan, maka tidak bisa dianggap rendah atau tak tahu malu. Siapa tidak mengenal hukumnya, dapatkah dianggap melanggar? Setelah tahu akan hukumnya lalu melanggar, barulah dimaki-maki. Dengan demikian, bukankah hukum-hukum diadakan untuk membelenggu kaki tangan manusia sendiri, membatasi
kebebasan dan kewajaran hidup? Timbulnya segala kesalahan adalah karena melanggar hukum, dan timbulnya segala pelanggaran hukum adalah karena mengenal hukum yang diciptakan. Berarti, tanpa hukum takkan ada pelanggaran! Pengertian akan baik dan buruk itulah yang membuat manusia terpecah dua, ada yang baik dan ada yang jahat. Pengertian akan kesucian dan kedosaan, hukum-hukum yang diadakan untuk mengerti kedua hal itulah yang menimbulkan kedosaan."
Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Im-yang Seng-cu, engkau benar-benar hebat, membuat kami semua bengong mendengarkan kata-katamu. Apakah engkau datang untuk berkhotbah? Ataukah hendak menyebarkan agama baru?"
"Tidak, Koksu. Aku hanya mencoba untuk membentangkan keadaan sebenarnya, mengajak semua orang berlaku wajar dan tidak berpura-pura, menyesuaikan diri dengan keadaan bukan semata-mata demi keuntungan diri pribadi. Seperti engkau sendiri, Koksu. Kehadiranmu dengan banyak pasukan pemerintah di tempat ini mengapa pakai berpura-pura? Kalau memang pemerintah melarang semua orang gagah mencari pusaka-pusaka yang dikabarkan berada di pulau ini, lebih baik terang-terangan saja. Akan tetapi hendaknya diingat bahwa mencari pusaka-pusaka lama dan memperebutkannya adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan pemerintah sehingga amatlah menggelikan kalau pemerintah akan menggunakan dalih memberontak!"
Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berubah merah. "Memang sesungguhnyalah! Kami telah menguasai pulau ini dan tak seorang pun boleh mencoba untuk mencari benda apa saja yang berada di pulau ini. Kalau ada yang tidak setuju, boleh menentangku!" Sambil berkata demikian, kakek botak itu melangkah maju dengan sikap menantang.
Im-yang Seng-cu tertawa lagi dengan sikap tenang. "Im-kan Seng-jin, siapa yang dapat melawanmu? Aku sendiri sudah tua, bukan kanak-kanak yang suka mengadu kepalan memperebutkan permainan." Dia lalu menghadapi semua orang yang masih berada di situ sambil berkata nyaring, "Harap Cu-wi sekalian pulang ke tempat masing-masing. Biar-pun belum mencari dan menyelidiki sendiri, namun aku yakin bahwa pusaka-pusaka yang lenyap itu tidak mungkin berada di pulau ini. Kakek bongkok Gu Toan penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang amat lihai itu mati terbunuh dan pusaka-pusaka Suling Emas lenyap, hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Setelah berhasil merampas pusaka masa orang sakti itu lalu meninggalkannya begitu saja di tempat ini? Mustahil! Marilah kita pergi dan biarlah Koksu yang mempunyai banyak pasukan ini kalau perlu membongkar pulau dan meratakan dengan laut untuk mencari pusaka-pusaka itu. Ha-ha-ha!"
Im-yang Seng-cu melangkah pergi dari situ dan semua orang lalu pergi tanpa pamit, dipandang oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan alis berkerut karena merasa disindir, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Koksu ini mengerti benar akan politik yang dijalankan Pemerintah Ceng, yaitu ingin membaiki para tokoh-tokoh kang-ouw dan sedapat mungkin mempergunakan kepandaian mereka, bukannya memusuhi mereka sehingga memancing pemberontakan-pemberontakan karena Kerajaan Mancu mengerti benar bahwa rakyat masih belum mau tunduk kepada pemerintah penjajah dan di dalam hati amat membenci pemerintah Ceng. Maka, untuk menghilangkan rasa penasaran karena tadi ia merasa "ditelanjangi" oleh Im-yang Seng-cu, juga karena alasan yang dikatakan oleh bekas tokoh Hoa-san-pai tentang pusaka-pusaka itu tepat, maka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun lalu mengerahkan pasukannya untuk sekali lagi melakukan pencarian di pulau itu, bukan mencari pusaka yang ia tahu memang tidak berada di pulau itu, melainkan mencari petunjuk-petunjuk selanjutnya karena jejak yang didapatkannya hanya sampai di pulau itu. Akan tetapi, sampai beberapa hari mereka bekerja, hasilnya sia-sia sehingga akhirnya koksu terpaksa kembali ke kota raja dengan hati mengkal dan memerintahkan kepada dua orang pembantunya yang paling boleh diandalkan, yaitu Thian Tok
Lama dan Tha i Li Lama, untuk merantau di dunia kang-ouw, memasang mata dan telinga, mencari kabar dan cepat-cepat memberi laporan kepadanya kalau ada berita bahwa ada tokoh kang-ouw yang mendapatkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali Pusaka Sepasang Pedang Iblis. Mengapakah koksu ini ingin benar mendapatkan Sepasang Pedang Iblis? Sebenarnya, sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi sekali, dia tidak hanya menginginkan sepasang pedang itu, juga ingin memiliki pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas yang amat keramat dan ampuh. Akan tetapi, lebih dari segala pusaka di dunia ini, ia ingin sekali mendapatkan Sepasang Pedang Iblis, hal ini bukan hanya karena dia mendengar akan keampuhan sepasang pedang yang pernah menggegerkan dunia pada puluhan tahun yang lalu, juga karena masih ada hubungan antara Bhong Ji Kun ini dengan Si Pembuat Pedang itu! Sepasang Pedang Iblis adalah sepasang pedang milik Pendekar Wanitar Sakti Mutiara Hitam yang kemudian terjatuh ke tangan sepasang pendekar murid Mutiara Hitam. Kedua pedang yang ampuh itu dibuat oleh dua orang ahli pedang dari India, laki-laki dan wanita yang sakti dan yang hanya setelah dikalahkan oleh Mutiara Hitam baru mau membuatkan sepasang pedang yang dikehendaki Mutiara Hitam, dibuat dari dua bongkah logam yang jatuh dari langit! Kedua orang India ini bernama Mahendra dan Nila Dewi (baca cerita Istana Pulau Es). Adapun koksu Kerajaan Mancu yang lihai ini pun adalah seorang peranakan India dan antara dia dengan kedua orang ahli pedang India itu masih ada hubungan keluarga! Biarpun Mahendra dan Nila Dewi yang dianggap suami isteri itu hanya merupakan kakek dan nenek luar yang sudah jauh, akan tetapi sedikit banyak ada hubungan darah sehingga kini Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi penasaran kalau tidak dapat merampas Sepasang Pedang Iblis buatan kakek dan neneknya. Demikianlah, kini dengan mati-matian Bhong Ji Kun berusaha mendapatkan Sepasang Pedang Iblis dan untuk menyelidiki gerak-gerik orang-orang kang-ouw yang dianggapnya menjadi sebab kehilangan pusaka-pusaka itu, koksu memberi tugas kepada Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Tibet yang memiliki kepandaian tinggi itu, tingkat kepandaian yang hanya sedikit di bawah tingkat Si Koksu sendiri.
******
Sesosok bayangan putih menyambar turun dari angkasa dan bunyi kelepak sayap terdengar disusul bergeraknya daun-daun pohon ketika pohon itu tertiup angin yang keluar dari gerakan sayap dan burung garuda putih yang besar itu hinggap di atas tanah. Laki-laki berkaki buntung sebelah itu meloncat turun dan terdengar keluhannya lirih ditujukan kepada si Burung Garuda.
"Pek-eng (Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh.... kenapa selama hidupku aku harus menderita kehilangan selalu....?"
Burung itu menggerak-gerakkan lehernya dan paruhnya yang kuat mengelus-elus kepala Suma Han yang berambut putih, seolah-olah burung itu hendak menghiburnya. Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Han. Majikan Pulau Es yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman. Usia pendekar sakti ini belum ada tiga puluh tahun, akan tetapi biarpun wajahnya masih tampan dan segar, rambutnya yang putih dan pandang matanya yang sayu membuat pendekar ini memiliki wibawa seperti seorang kakek-kakek tua renta!
"Pek-eng...." katanya lirih bisik-bisik sambil mengelus leher burung itu, "siapa yang mempunyai, dia yang akan kehilangan.."
"Nguk-nguk...." Garuda itu mengeluarkan suara lirih, seolah-olah ikut berduka.
"Engkau pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang kini pergi bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan karena aku banyak mempunyai orang-orang yang kucinta....! Ahhh, betapa bahagianya orang yang tidak mempunyai apa-apa karena dia tidak akan menderita kehilangan apa-apa! Siapa bilang yang punya lebih senang daripada yang tidak punya? Ah, dia tidak tahu! Mempunyai berarti menjaga karena selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang yang tidak mempunyai apa-apa saja yang dapat enak tidur, tidak khawatir kehilangan apa-apa!"
Suma Han me njatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tidur pulas! Memang To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es ini disamping kesaktiannya yang luar biasa, mempunyai kebiasaan aneh, yaitu dalam urusan makan dan tidur ia berbeda dengan manusia-manusia biasa. Kadang-kadang sampai belasan malam dia tidak tidur sekejap mata pun, selama belasan hari tidak makan sesuap pun, akan tetapi dia dapat tidur sampai berhari-hari dan sekali makan menghabiskan beberapa kati gandum!
Garuda putih yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas, lalu terbang ke atas pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga. Burung ini sudah melakukan penerbangan amat jauh dan lama sehingga tubuhnya terasa lelah. Dua mahluk yang sama-sama lelah itu kini mengaso dan keadaan di dalam hutan itu sunyi, yang terdengar hanya bersilirnya angin mempermainkan ujung-ujung daun pohon.
Dalam keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali. Biasanya di waktu ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung kemuraman yang mendalam, apalagi karena sinar matanya yang tajam dan dingin serta aneh itu selalu tampak sayu, membuat wajahnya seperti matahari tertutup awan hitam. Kini setelah ia tidur pulas, lenyaplah garis-garis dan bayangan gelap, membuat wajahnya kelihatan tenang tenteram dan mulutnya tersenyum penuh pengertian bahwa segala yang telah, sedang dan akan terjadi adalah hal-hal yang sudah wajar dan semestinya, hal-hal yang tidak perlu mendatangkan suka maupun duka! Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak membayangkan penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan tidak dirangsang nafsu perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati, segala persoalan lenyap dari dalam hati dan pikiran.
"Suma Han, bangunlah!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun mengandung getaran kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata. Dengan malas ia bangkit dan memandang orang yang membangunkannya. Kiranya di depannya telah berdiri seorang kakek yang dikenalnya baik karena kakek yang memegang tongkat berujung kepala naga itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu!
Namun ia bersikap tak acuh dan garis-garis bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya. Ia hanya sekilas memandang wajah kakek itu, kemudian menunduk, seolah-olah enggan untuk berurusan dan memang sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han merasa malas untuk berurusan dengan siapapun juga. Betapapun, mengingat bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im-yang Seng-cu adalah guru dari orang-orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia berkata sambil tetap menundukkan muka.
"Locianpwe Im-yang Seng-cu, apakah yang Locianpwe kehendaki maka perlu membangunkan saya yang sedang mengaso?"
"Apa yang kukehendaki? Ha-ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun aku sehingga tanpa kusengaja dapat bertemu denganmu di sini, Suma Han. Aku hendak membunuhmu!"
Suma Han sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, bahkan seperti tidak peduli. Dia hanya mengangkat muka dan memandang sejenak, membuat Im-yang Seng-cu terpaksa mengejapkan mata karena merasa seolah-olah ada sinar yang menusuk-nusuk keluar dari sepasang mata Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu. Akan tetapi sepasang mata itu menunduk kembali dan dada Suma Han mengembung besar ketika ia menarik napas panjang.
"Ada akibat tentu bersebab. Datang-datang Locianpwe hendak membunuh saya, pasti ada sebabnya. Kiranya tidak keterlaluan kalau saya yang hendak Locianpwe bunuh ini lebih dulu mendengar apa yang menyebabkan Locianpwe hendak membunuh saya." Suaranya tetap tenang. Im-yang Seng-cu juga menghela napas panjang. Sebenarnya, tidak ada seujung rambut pun rasa senang di
hatinya untuk menghadapi Pendekar Super Sakti dengan ancaman untuk membunuhnya! Baik karena pengetahuannya bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pendekar muda ini maupun karena memang dia selalu merasa suka dan kagum kepada Suma Han.
"Tentu ada sebabnya! Dahulu engkau yang menjadi sebab kematian seorang muridku yang tersayang, yaitu Soan Li. Hal itu masih dapat kulupakan sungguhpun ada orang yang takkan dapat melupakannya, yaitu Tan-siucai...."
Suma Han memejamkan matanya dan bibirnya mengeluarkan keluhan disusul ucapannya yang menggetar, "Mohon Locianpwe jangan menyebut-nyebut namanya lagi...." Di depan kedua matanya yang terpejam itu, pendekar muda yang berkaki buntung ini membayangkan semua peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Hoa-san Kiam-li (Pendekar Pedang Wanita dari Hoa-san) Lu Soan Li adalah murid ke dua Im-yang Seng-cu, seorang dara jelita yang lihai sekali dan berjiwa patriot, seorang gadis manis yang jatuh cinta kepadanya, bahkan kemudian telah mengorbankan nyawanya untuk dia! Lalu Soan Li tewas di dalam pelukannya dan menghembuskan napas terakhir setelah mengaku cinta kepadanya. Dara perkasa itu tewas dalam usaha untuk menyelamatkannya.
"Suma Han, urusan Soan Li memang sudah kulupakan. Akan tetapi sekarang engkau kembali telah menghancurkan kebahagiaan hidup dua orang yang paling kusayang di dunia ini, kusayang seperti anak-anakku sendiri. Engkaulah yang menjadi sebab kehancuran hidup mereka, karena itu tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuhmu atau mati di tanganmu!"
Suma Han merasa seolah-olah jantungnya ditembusi anak panah beracun, akan tetapi sikapnya tenang dan ia hanya memandang penuh pertanyaan sambil berkata, "Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan Lulu dan Sin Kiat?"
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es ini merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan adik angkatnya, yaitu seorang gadis Mancu yang amat dicintanya, bahkan merupakan satu-satunya orang yang paling dicintanya di dunia ini. Telah lima tahun ia meninggalkan adiknya itu ketika adiknya menikah dengan Wan Sin Kiat yang berjuluk Hoa-san Gi-Hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san) yaitu murid pertama Im-yang Seng-cu! Siapa lagi yang merupakan dua orang yang dicinta kakek ini kalau bukan muridnya itu? Adapun tentang pertanyaan Im-yang Seng-cu tentang dendam yang dikandung di hati orang yang benama Tan-siucai (Pelajar Tan), dia tidak peduli. Dia tahu bahwa Tan-siucai adalah tunangan mendiang Lu Soan Li dan karena dia tidak merasa berdosa terhadap kematian Soan Li yang mengorbankan diri untuk menyelamatkannya, maka dia pun tidak peduli apakah ada orang yang mendendam kepadanya atau tidak. Akan tetapi kalau adiknya, Lulu yang dicintainya itu tertimpa malapetaka....!
"Locianpwe, saya minta Locianpwe menceritakan kepada saya apa yang telah terjadi dengan Lulu!" Kembali Suma Han berkata, sungguhpun sikap dan suaranya tenang, namun jelas ia mendesak dan pandang matanya penuh tuntutan.
"Kau mau tahu? Baiklah, sebaiknya engkau dengar sejelasnya agar kalau nanti kau tewas di tanganku tidak menjadi setan penasaran dan kalau sebaliknya aku yang mati di tanganmu agar lengkap noda darah di tanganmu!" Kakek itu lalu menghampiri pohon yang menonjol. Melihat sikap kakek itu, Suma Han juga duduk di depannya, siap mendengarkan penuturan kakek itu.
Im-yang Seng-cu lalu mulai dengan penuturannya tentang keadaan Lulu dan Sin Kiat. Lima tahun lebih yang lalu, dengan disaksikan oleh Im-yang Seng-cu sebagai wali pengantin pria, yaitu muridnya Wan Sin Kiat, dilangsungkanlah pernikahan Wan Sin Kiat dengan Lulu yang dihadiri oleh Suma Han sebagai kakak angkat dan walinya (baca cerita Pendekar Super Sakti). Setelah menyaksikan pernikahan adiknya, Suma Han lalu pergi dan semenjak itu tidak pernah kembali atau bertemu dengan Lulu lagi. Akan tetapi, semenjak ditinggal pergi kakak angkatnya, Lulu selalu kelihatan berduka. Memang pada bulan-bulan pertama dia agak terhibur oleh limpahan kasih sayang Wan Sin Kiat, suaminya. Akan tetapi, bulan-bulan berikutnya hiburan suaminya tidak dapat menyembuhkan kedukaan hatinya, seolah-olah semua kegembiraan hidupnya terbawa pergi oleh bayangan Suma Han, kakaknya. Lebih-lebih setelah Lulu melahirkan seorang anak laki-laki, hubungan suami isteri ini kelihatan makin merenggang.
Im-yang Seng-cu yang seringkali mengunjungi muridnya, dapat melihat kerenggangan ini, akan tetapi tentu saja dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara suami isteri itu. Kurang lebih setahun kemudian setelah Lulu melahirkan anak, pada suatu hari Im-yang Seng-cu didatangi muridnya, dan betapa kaget hatinya melihat Wan Sin Kiat menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Hal ini benar-benar mengejutkan hati kakek itu yang mengenal betul kegagahan muridnya.
"Sin Kiat, hentikan tangismu! Air mata seorang gagah jauh lebih berharga daripada darahnya, jangan dibuang-buang!" Bentak kakek itu yang tidak tahan melihat muridnya yang gagah perkasa itu menangis tersedu-sedu. Wan Sin Kiat menyusut air matanya dan menekan kedukaan hatinya. "Ceritakan apa yang telah terjadi. Seorang jantan harus berani menerima segala peristiwa yang menimpanya, baik maupun buruk, secara gagah pula!"
"Maaf, Suhu. Teecu sanggup menghadapi derita apapun juga, akan tetapi ini.... ah, Suhu. Isteri teecu, Lulu, telah pergi meninggalkan teecu!"
"Apa....?" Im-yang Seng-cu terkejut juga mendengar ini.
"Dan puteramu?"
"Dibawanya pergi."
"Kenapa tidak kaukejar dia? Mengapa datang ke sini dan tidak segera mengejar dan membujuknya pulang?" Im-yang Seng-cu menegur muridnya karena mengira bahwa tentu terjadi percekcokan antara suami isteri itu, hal yang amat lumrah.
Akan tetapi Sin Kiat menggeleng kepala dengan penuh duka. "Percuma, Suhu. Hatinya keras sekali dan kepergiannya merupakan hal yang sudah ditahan-tahannya selama dua tahun, semenjak teecu menikah dengannya."
"Aihh, bagaimana pula ini? Bukankah kalian menikah atas dasar saling mencinta?"
"Teecu memang mencintanya dengan jiwa raga teecu bahkan sampai saat ini pun teecu tak pernah berkurang rasa cinta teecu terhadap Lulu. Akan tetapi.... dia.... ah, kasihan Lulu.... dia menderita karena cinta kasihnya bukan kepada teecu, melainkan kepada Han Han...."
"Suma Han? Dia kakaknya!"
"Itulah soalnya, Suhu. Sesungguhnya, Lulu amat mencinta kakak angkatnya, dan baru setelah melangsungkan pernikahan dan ditinggal pergi Han Han, dia sadar dan menyesal, Lulu sudah berusaha untuk melupakan kakak angkatnya, berusaha untuk membalas cinta kasih teecu, aduh kasihan dia.... semua gagal, cintanya terhadap kakak angkatnya makin mendalam dan membuatnya makin menderita...."
"Dan semua itu dia ceritakan kepadamu?" Im-yang Seng-cu bertanya dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar penuturan yang dianggapnya aneh tak masuk akal itu.
"Tidak pernah, sampai ketika ia pergi, Suhu. Dia meninggalkan surat, mengakui segala isi hatinya dan minta teecu agar mengampunkan dia, melupakan dia, akan tetapi dengan pesan agar teecu tidak mencarinya karena sampai mati pun dia tidak akan mau kembali kepada teecu."
"Mau kemana dia?"
"Dia tidak menyatakan dalam surat, akan tetapi teecu rasa dia mau pergi mencari Han Han."
"Si Pemuda Keparat Suma Han!" Im-yang Seng-cu mengetukkan tongkatnya di lantai.
"Jangan, Suhu. Han Han tidak bersalah dalam hal ini.... juga Lulu tidak bersalah. Sejak dahulu teecu sudah menduga bahwa cinta kasih di antara kakak beradik angkat itu melebihi cinta kasih kakak adik biasa. Hanya karena sudah tergila-gila kepada Lulu teecu tidak berpikir panjang lagi...."
"Tidak bersalah, katamu? Kalau memang mereka saling mencinta, kenapa dia membiarkan adiknya menikah denganmu? Akan kucari mereka, kalau sampai mereka berdua itu kudapatkan menjadi suami isteri, hemmm.... hanya mereka atau aku yang boleh hidup lebih lama di dunia ini!"
"Suhu!" Wan Sin Kiat membujuk suhunya, akan tetapi Im-yang Seng-cu berkeras karena merasa betapa peristiwa itu merupakan penghinaan dan penghancuran kehidupan muridnya yang dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Dapat dibayangkan betapa hancur hati guru ini ketika beberapa bulan kemudian ia mendengar bahwa Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat, murid yang patah hati itu, gugur di dalam perang membela Raja Muda Bu Sam Kwi di Se-cuan, ketika bala tentara Mancu menyerbu Se-cuan dan dalam perang ini pulalah Bu Sam Kwi meninggal dunia. Menurut berita yang didengar oleh Im-yang Sengcu, muridnya itu berperang seperti orang gila tidak mengenal mundur lagi sehingga diam-diam ia mengerti bahwa muridnya sengaja menyerahkan nyawa, mencari mati dalam perang. Hatinya seperti ditusuk pedang dan biarpun dia merasa bangga bahwa di dalam kedukaannya muridnya itu memilih mati sebagai seorang patriot sejati, namun dia berduka sekali karena kematian muridnya adalah kematian akibat putusnya cinta kasih!
Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, Suma Han memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya tidak berubah, akan tetapi pandang matanya makin sayu seperti orang mengantuk.
Im-yang Seng-cu bangkit berdiri. "Nah, sekarang bersiaplah engkau untuk menebus dosamu. Kedua orang muridku mati karena engkau. Hidupku yang tidak berapa lama lagi ini akan tersiksa oleh dendam dan penasaran, maka aku harus membunuhmu atau engkau menghentikan siksa batinku dengan membunuhku!"
Akan tetapi Suma Han tetap bengong, sama sekali tidak memandang kepada Im-yang Seng-cu, melainkan memandang kosong ke depan dan mulutnya berkata lirih, "Hemm.... kalau begitu.... dia agaknya...." Ucapan ini diulang beberapa kali. Pada saat itu, muncullah dua orang pendeta Lama yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, diikuti oleh Bhe Ti Kong panglima tinggi besar. Begitu muncul, terdengar suara Thian Tok Lama, "Suma-taihiap, pinceng bertiga datang menyampaikan permintaan koksu supaya Taihiap suka menyerahkan Sepasang Pedang Iblis kepada pinceng."
Akan tetapi Pendekar Super Sakti masih termenung seperti tadi, sama sekali tidak mempedulikan munculnya tiga orang ini, bahkan seolah-olah tidak mendengar kata-kata Thian Tok Lama. Ia tetap berdiri termenung memandang jauh dan terdengar suaranya lirih berulang-ulang. "Aihhh.... tentu dia....!"
Thian Lok Lama mengerutkan alisnya melihat sikap Suma Han yang dianggapnya memandang rendah kepadanya. Dahulu, pendeta Lama ini pernah beberapa kali bentrok dengan Suma Han dan maklum akan kepandaian pendekar muda berkaki buntung ini, akan tetapi karena kini ia mengandalkan pengaruh koksu dia tidak menjadi takut. Terdengar pendeta Tibet itu berkata lagi, suaranya lantang menggema di seluruh hutan. "Suma-taihiap! Koksu menghormati Taihiap sebagai To-cu terkenal dari Pulau Es, maka mengajukan permintaan secara baik dan hormat. Harap saja Taihiap suka menghargai penghormatan Koksu!"
Suma Han tetap tidak menjawab dan termenung. Terdengarlah suara ketawa Im-yang Seng-cu, "Ha-ha-ha! Penghormatan yang menyembunyikan paksaan adalah penghormatan palsu. Menuduh orang menyimpan pusaka tanpa bukti lebih mendekati fitnah!"
Thian Tok Lama menoleh ke arah Im-yang Seng-cu dengan sikap marah, akan tetapi pendeta Tibet yang cerdik ini tidak mau melayani karena dia tahu bahwa menghadapi Suma Han saja sudah merupakan lawan berat, apalagi kalau dibantu kakek aneh yang dia tahu bukan orang sembarangan pula itu. Maka dia berkata lagi, tetap ditujukan kepada Suma Han. "Koksu berpendapat bahwa karena Taihiap-lah orangnya yang dahulu menguburkan jenazah Siang-mo Kiam-eng (Sepasang Pendekar Pedang Iblis) bersama sepasang pedang itu, maka kini tetap Taihiap pula yang membongkar kuburan dan mengambil sepasang pedang itu. Hendaknya diketahui bahwa yang berhak atas Sepasang Pedang Iblis adalah Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, karena pembuat pedang itu adalah nenek moyangnya dari India. Maka pinceng percaya akan kebijaksanaan Suma-taihiap untuk mengembalikan pedang-pedang itu kepada yang berhak."
Akan tetapi Suma Han mengangguk-angguk dan bicara seorang diri. "Benar, tak salah lagi, tentu dia...."
"Orang ini terlalu sombong!" Tiba-tiba Bhe Ti Kong membentak dan meloncat maju. "Berani engkau menghina utusan Koksu negara, orang muda buntung yang sombong?"
Setelah membentak demikian, Bhe-ciangkun sudah menerjang maju, mencengkeram ke arah pundak Suma Han dengan maksud menangkapnya dan memaksanya tunduk.
"Plakk! Auggghhh....!" Tubuh tinggi besar Bhe-ciangkun terlempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah. Ia meloncat bangun dengan muka pucat dan tangan kirinya memijit-mijit tangan kanan yang tadi ia pakai mencengkeram pundak Suma Han. Pendekar Super Sakti itu masih berdiri tak bergerak, termenung seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Ketika Bhe Ti Kong mencengkeram tadi, Pendekar Siluman itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi begitu tangan panglima kerajaan mencengkeram pundak, Bhe-ciangkun merasa tangannya seperti ia masukkan ke dalam tungku perapian yang luar biasa panasnya dan ada daya tolak yang amat kuat sehingga ia terjengkang dan terpelanting.
Melihat kawannya roboh, Thian Lok Lama dan Thai Li Lama terkejut dan marah, mengira bahwa pendekar berkaki buntung itu sengaja menyerang Bhe Ti Kong, maka dengan gerakan otomatis keduanya lalu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh. Angin yang dahsyat menyambar dari tangan mereka, menyerang Suma Han yang masih berdiri termenung, seolah-olah tidak tahu bahwa dia sedang diserang dengan pukulan maut jarak jauh yang amat kuat. Baju di tubuh Suma Han berkibar terlanda angin pukulan itu akan tetapi, tenaga pukulan dengan sin-kang itu seperti "menembus" tubuh Suma Han lewat begitu saja dan "kraaakkk!" Sebatang pohon yang berada di belakang Suma Han tumbang dilanda angin pukulan itu, akan tetapi tubuh Pendekar Siluman itu sendiri sedikit pun tidak bergoyang! Hal ini membuat Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terheran-heran dan penasaran. Kalau lawan itu menggunakan tenaga sin-kang melawan serangan mereka, bahkan andaikata mengalahkan sin-kang mereka sendiri, hal itu tidaklah mengherankan. Akan tetapi Pendekar Siluman Majikan Pulau Es itu sama sekali tidak melawan dan angin pukulan mereka hanya lewat saja seolah-olah tubuh itu terbuat daripada uap hampa! Rasa penasaran membuat keduanya menerjang maju den menggunakan dorongan telapak tangan mereka menghantam dada Suma Han dari kanan kiri!
"Buk! Bukk!" Dua buah pukulan itu mengenai dada Suma Han, akan tetapi akibatnya kedua orang pendeta Lama itu terjengkang dan terbanting seperti halnya Bhe Ti Kong tadi!
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya utusan-utusan koksu kerajaan adalah pelawak-pelawak yang pandai membadut, pandai menari jungkir balik!" Im-yang Seng-cu bersorak dan bertepuk tangan seperti orang kagum dan gembira menyaksikan aksi para pelawak di panggung.
Dua orang pendeta Lama itu meloncat bangun dan memandang Im-yang Seng-cu dengan mata mendelik. Keduanya tadi roboh karena biarpun Suma Han kelihatannya diam tidak bergerak, namun dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata, dua buah jari tangan kanan kiri pemuda berkaki buntung itu telah menyambut pukulan telapak tangan kedua lawan dengan totokan sehingga begitu telapak tangan berhasil memukul dada, tenaganya sudah buyar sehingga merekalah yang "terpukul" oleh hawa sin-kang yang melindungi tubuh Suma Han. Tentu saja keduanya terkejut setengah mati. Mereka sudah mengenal Suma Han, sudah tahu akan kelihaian Pendekar Super Sakti itu. Akan tetapi, yang mereka hadapi sekarang ini adalah pemuda buntung yang kepandaiannya beberapa kali lipat daripada dahulu, lima tahun yang lalu. Hal ini mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan rasa jerih. Kemudian mereka menimpakan kemarahan, yang timbul karena malu kepada Im-yang Seng-cu yang mengejek mereka.
"Im-yang Seng-cu, engkau sungguh seorang yang tak tahu diri! Di muara Huang-ho Koksu telah mengampuni nyawamu, sekarang engkau berani menghina kami. Coba kau terima pukulan pinceng!" Thian Tok Lama menerjang Im-yang Seng-cu yang cepat meloncat ke samping karena datangnya serangan itu amat hebat. Pukulan yang dilancarkan Thian Tok Lama adalah pukulan He-in hui-hong-ciang, ketika memukul tubuhnya agak merendah, perutnya yang gendut makin menggembung dan dari dalam perutnya terdengar suara seperti seekor ayam biang bertelur, berkokokan dan tangan kanannya berubah biru. Pukulannya bukan hanya mendatangkan angin dahsyat, akan tetapi juga membawa uap hitam!
Melihat betapa serangan Thian Tok Lama dapat dielakkan oleh Im-yang Seng-cu, Thai Li Lama yang juga marah sekali terhadap kakek bertelanjang kaki itu sudah menyambut dari kiri dengan pukulan Sin-kun-hoat-lek yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya dibanding dengan Hek-in-hui-hong-ciang.
"Ayaaa....!" Biarpun diancam bahaya maut, Im-yang Seng-cu masih dapat mengejek sambil melompat tinggi ke atas kemudian ia berjungkir balik. "Kedua pelawak ini selain lucu juga gagah sekali!" Tentu saja Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi makin marah. Api kemarahan di dalam hati mereka seperti dikipas, makin berkobar dan dengan nafsu mereka kembali menyerang. Im-yang Seng-cu tentu saja repot bukan main. Ia memutar tongkatnya melindungi tubuh. Melawan seorang di antara kedua orang Lama ini saja tidak akan menang apalagi dikeroyok dua. "Plak.... krekkkk!" Ujung tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah dan ia terhuyung ke belakang. Thai Li Lama mengejarnya dengan pukulan maut.
Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat, meluncur turun dari atas dan Thai Li Lama yang sedang menyerang Im-yang Seng-cu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar dari atas ke arah kepalanya. Cepat ia mengelak dan mengibaskan tangan.
"Bresss!" Dua helai bulu burung garuda putih membodol ketika cengkeraman burung itu dapat ditangkis Thai Li Lama. Pendeta Tibet ini menjadi marah dan terjadilah pertandingan hebat antara burung garuda dengan pendeta ini, sedangkan Thian Tok Lama kembali sudah menerjang dan mendesak Im-yang Seng-cu dengan Pukulan Hek-in-hui-hong-ciang yang merupakan cengkeraman maut.
Im-yang Seng-cu adalah seorang bekas tokoh Hoa-san-pai yang sudah mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya. Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat kakek itu lihai sekali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah telah melampaui tingkat Ketua Hoa-san-pai sendiri! Akan tetapi sekali ini menghadapi Thian Tok Lama, dia benar-benar bertemu tanding yang amat kuat. Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet yang memiliki kepandaian tinggi ditambah tenaga mujijat dari ilmu hoat-sut (sihir) yang banyak dipelajari oleh tokoh-tokoh Tibet. Biarpun hoat-sut yang dikuasai Thian Tok Lama tidaklah sekuat ilmu Hoat-sut Thai Li Lama, namun ilmu ini memperkuat sin-kangnya dan menambah kewibawaannya menghadapi lawan. Dalam hal tenaga sin-kang, Im-yang Seng-cu kalah setingkat oleh lawannya. Memang tubuh gendut Thian Tok Lama mengurangi kegesitannya dan Im-yang Seng-cu lebih
gesit dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng-cu bertemu dengan lawan yang menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali tidak dikenalnya! Setelah saling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya Im-yang Seng-cu terdesak dan hanya mundur sambil mempertahankan diri saja, tidak mampu balas menyerang. Hanya ada sebuah keuntungan yang membuat dia tidak dapat cepat dirobohkan, yaitu bahwa dia bersikap tenang dan gembira, selalu mengejek, berbeda dengan sikap Thian Tok Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran. Seperti juga Im-yang Seng-cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama mau tidak mau harus mengakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li Lama tidak akan mampu menyerang burung itu kalau Si Garuda terbang tinggi, akan tetapi biarpun kelihatannya Si Burung yang selalu meluncur turun dan menyerang kepala Thai Li Lama, selalu burung itu yang terpental oleh tangkisan dan pukulan Thai Li Lama! Banyak sudah bulu putih burung itu
bodol dan kini serangannya makin mengendur, bahkan mulailah garuda putih itu mencampuri pekik kemarahannya dengan bunyi tanda gentar.
Sementara itu, Suma Han masih berdiri bersandar tongkatnya. Sinar matanya memandang kosong dan bibirnya bergerak-gerak, "Tentu dia.... wahai.... Lulu.... untuk apakah engkau mengambil pusaka -pusaka itu....? Lulu.... satu-satunya sinar bahagia yang menembus semua awan hitam di hatiku hanya melihat engkau hidup bahagia di samping suami dan anakmu.... akan tetapi.... engkau menghancurkan kebabagiaanmu sendiri.... sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku. Mengapa....? Mengapa....?" Biarpun wajah yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan apa-apa, namun bulu matanya basah dan jari-jari tangan yang memegang kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti diremas-remas, perasaan hatinya menangis dan mengeluh. Bhe Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sendiri ketika menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super sakti itu. Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya yang bertanding melawan Im-yang Seng-cu dan burung garuda putih. Biarpun kedua orang temannya selalu mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si Kaki Buntung itu maju, tentu kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah. Dia adalah seorang panglima, sudah biasa mengatur siasat-siasat perang, siasat untuk mencari kemenangan dalam pertempuran. Melihat keadaan pihaknya ini, tentu saja Bhe Ti Kong tidak menghendaki pihaknya kalah dan terancam bahaya ikutnya Pendekar Siluman itu dalam pertempuran. Melihat Suma Han termenung seperti orang mimpi, ia menghampiri perlahan-lahan dan mencabut senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang tombak gagang pendek yang bercabang tiga, runcing dan kuat. Bhe Ti Kong bukanlah seorang yang berwatak curang atau pengecut, dan apa yang hendak dilakukan ini semata-mata dianggap sebagai siasat untuk kemenangan pihaknya. Biasanya dalam pertempuran perang, tidak ada istilah curang atau pengecut, yang ada hanyalah mengadu siasat demi mencapai kemenangan. Sekarang pun, ketika ia berindap-indap menghampiri Suma Han dari belakang dengan senjata di tangan, satu-satunya yang memenuhi hatinya hanyalah ingin melihat pihaknya menang.
Setelah tiba di bela kang Suma Han, Bhe Ti Kong mengangkat senjatanya dan menyerang. Panglima tinggi besar ini memiliki tenaga yang amat kuat, senjatanya juga berat dan kuat sekali, maka serangan yang dilakukannya itu menusukkan tombak runcing ke punggung Suma Han, merupakan serangan maut yang mengerikan dan agaknya tidak mungkin dapat dihindarkan lagi!
"Wirrrr....!" Senjata tombak cabang tiga yang runcing itu meluncur ke arah punggung Suma Han. Akan tetapi, pada waktu itu, ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es ini, sudah "mendarah daging" sehingga boleh dibilang setiap bagian kulit tubuhnya memiliki kepekaan yang tidak lumrah. Perasaan di bawah sadarnya seolah-olah telah bangkit bekerja setiap detik sehingga jangankan baru sedang melamun, bahkan biarpun dia sedang tidur nyenyak sekalipun, perasaan ini bekerja melindungi seluruh tubuhnya dari bahaya yang mengancam dari luar. Pada saat itu, pikirannya sedang melayang-layang, seluruh panca inderanya sedang ikut melayang-layang pula bersama pikirannya sehingga dia seperti tidak tahu sama sekali akan segala yang terjadi di sekelilingnya, tidak tahu betapa garuda tunggangannya dan Im-yang Seng-cu didesak hebat oleh Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Akan tetapi, ketika ada senjata menyambar punggung mengancam keselamatannya, perasaan di bawah sadar itu mengguncang kesadarannya dengan kecepatan melebihi cahaya!
"Suuuuutttt!" Bhe Ti Kong berseru kaget dan bulu tengkuknya berdiri karena tiba-tiba orang yang diserangnya itu lenyap. Ketika ia menoleh, yang tampak olehnya hanyalah bayangan berkelebat cepat menyambar ke arah Thian Tok Lama yang mendesak Im-yang Seng-cu, kemudian bayangan itu mencelat ke arah Thai Li Lama yang bertanding dan tahu-- tahu tubuh kedua orang pendeta Lama itu terhuyung-huyung ke belakang dan mereka berdiri dengan wajah pucat memandang Suma Han yang sudah berdiri bersandar tongkat dan memandang mereka berdua dengan sinar mata tajam berpengaruh. Keduanya telah kena didorong oleh hawa yang dinginnya sampai menusuk tulang dan biarpun kedua orang pendeta ini sudah mengerahkan sin-kang, tetap saja mereka itu menggigil dan wajah mereka yang pucat menjadi agak biru, gigi mereka saling beradu mengeluarkan bunyi! Setelah mengerahkan sin-kang beberapa lamanya, barulah mereka itu dapat mengusir rasa dingin dan tahulah mereka bahwa kalau Si Pendekar Super Sakti menghendaki, serangan tadi tentu akan membuat nyawa mereka melayang!
"Katakan kepada koksu kerajaan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bahwa To-cu Pulau Es tidak tahu-menahu tentang Sepasang Pedang Iblis! Nah, pergilah dan jangan mengganggu orang-orang yang tidak bersalah!"
Thian Tok Lama menghela napas panjang. Pemuda buntung itu hebat luar biasa dan ucapan seorang yang sakti seperti itu tentu saja tidak membohong. Ia menjura dan berkata, "Baiklah dan harap To-cu sudi memaafkan kelancangan kami," Ia memberi isyarat kepada Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong, kemudian mereka bertiga meninggalkan tempat itu. Keadaan menjadi sunyi. Garuda putih kini hinggap di atas cabang pohon, menyisiri bulu-bulunya dengan paruh sambil kadang-kadang memandang ke arah majikannya. Im-yang Seng-cu yang masih mengatur pernapasannya yang agak terengah karena tadi ia terlampau banyak mempergunakan tenaga untuk melindungi dirinya dari desakan hebat Thian Tok Lama, kini melangkah maju mendekati Suma Han memandang penuh perhatian ke arah wajah yang sudah menunduk kembali itu lalu berkata. "Suma Han, mari kita lanjutkan urusan di antara kita. Sudah kuceritakan semua tentang sebabnya mengapa hari ini aku harus membunuhmu atau terbunuh olehmu. Karena engkau, kedua orang muridku tewas dan orang-orang yang kucinta di dunia ini habis. Jangan berkepalang tanggung, hayo kau tewaskan aku pula atau engkaulah yang akan mati di tanganku!"
Tanpa mengangkat mukanya yang tunduk, Suma Han membuka pelupuk matanya yang menunduk. Sinar matanya bagaikan kilat menyambar wajah kakek itu, membuat hati Im-yang Seng-cu tergetar. Diam-diam kakek ini kagum bukan main. Manusia berkaki satu yang berdiri di depannya adalah seorang manusia yang amat luar biasa!
"Benarkah Locianpwe begitu bodoh ataukah hanya pura-pura bodoh? Ada kemenangan dalam diri manusia yang melebihi segala makhluk, yaitu perbuatan dengan pamrih demi kebahagiaan orang lain. Bahkan rela berkoban demi kebahagiaan orang lain. Sudah tentu saja akibatnya bermacam-macam sesuai dengan kehendak Tuhan, namun menilai perbuatan bukanlah dilihat akibatnya, melainkan ditinjau pamrihnya."
Im-yang Seng-cu tersenyum dan menyembunyikan kegembiraannya di balik kata-kata mengejek. "Suma Han, semua perbuatan memang berakibat dan hanya seorang gagah sajalah yang berani mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya! Kepandaianmu amat tinggi dan aku sudah kehilangan tongkatku, namun jangan mengira bahwa aku akan gentar melawanmu. Jangan bersembunyi dibalik kata-kata yang muluk-muluk. Mari kita selesaikan!"
Suma Han menghela napas panjang. "Kalau sekeras itu kehendak Locianpwe, demi penyesalan hatiku telah mengakibatkan kesengsaraan orang-orang yang kucinta, silakan Locianpwe!"
"Bagus! Nah, sambutlah ini!" Dengan wajah yang tiba-tiba berubah girang bukan main, Im-yang Seng-cu meloncat maju, tangan kanannya dengan pengerahan sin-kang sekuatnya menghantam dada Suma Han.
"Dessss!" Tubuh Suma Han terlempar sampai lima meter, tongkat yang dipegangnya terlepas dan ia roboh terguling, mulutnya muntahkan darah segar.
Seketika wajah Im-yang Seng-cu menjadi pucat sekali. Kegirangan lenyap dari wajahnya dan ia meloncat mendekati. "Celaka! Keparat engkau, Suma Han! Engkau telah menipuku....! Ahhhh.... engkau akan membuat aku mati menjadi setan penasaran.... selamanya aku.... belum pernah memukul orang yang tidak melawan. Kenapa engkau tidak melawan? Celaka.... aiiiihhh.... celaka....!"
Tiba-tiba terdengar pekik keras dan bayangan putih menyambar dari atas. Garuda putih telah menyambar dan cakarnya mencengkeram pundak Im-yang Seng-cu, tubuh kakek itu dibawa ke atas lalu dibanting lagi ke bawah.
"Brukkk!" Im-yang Seng-cu tertawa, pundaknya luka berdarah. "Bagus....! Bagus sekali, garuda sakti! Hayo lekas serang lagi. Hayo bunuh aku.... ha-ha-ha! Majikanmu yang gila tidak mau membunuhku, mati di tanganmu cukup terhormat. Marilah!" Ia menantang-nantang sambil tertawa dan bangkit berdiri terhuyung-huyung.
Garuda putih menyambar lagi ke bawah dengan penuh kemarahan. "Pek-eng, berhenti!" Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya mengandung getaran dahsyat dan burung itu tidak jadi menyerang Im-yang Seng-cu, melainkan hinggap di atas tanah dekat Suma Han dan mendekam, mengeluarkan suara mencicit sedih dan takut.
Im-yang Seng-cu membanting-banting kakinya ke atas tanah. "Suma Han, engkau benar-benar kejam! Engkau berkali-kali mengecewakan hatiku! Engkau menerima pukulanku tanpa melawan, membuat aku menjadi seorang manusia yang rendah dan hina! Dan sekarang engkau melarang burungmu menyerangku. He, Pendekar Super Sakti! Apakah setelah engkau berjuluk Pendekar Siluman hatimu pun menjadi kejam seperti hati siluman? Apakah engkau akan puas menyaksikan aku hidup merana menanti datangnya maut
menjemput nyawaku yang sudah tidak betah tinggal di tubuh sialan ini?"
"Locianpwe," Suma Han berkata lirih sambil mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan baju. "Locianpwe datang dengan niat membunuhku. Pukulanmu tadi cukup keras akan tetapi belum cukup untuk melukai aku, apalagi membunuh. Kalau masih belum puas, mari, pukul lagi, Locianpwe."
"Engkau tidak melawan?"
Suma Han menggeleng kepala. "Bagaimana harus melawan? Locianpwe hendak membunuhku karena kesalahanku terhadap Lulu dan Sin Kiat, dan biarpun tidak kusengaja, memang aku telah bersalah terhadap mereka. Kalau Locianpwe mau membunuhku, lakukanlah!"
Im-yang Seng-cu membanting-banting kakinya lagi. "Kau.... kau....!" Dan kakek ini mengusap-usap kedua matanya karena kedua mata itu menitikkan air mata!
"Locianpwe, ketika garuda menyerangmu, Locianpwe tidak melawan pula, menyambut maut dengan tertawa-tawa. Locianpwe rela mati karena merasa bersalah memukul orang yang tidak melawan. Locianpwe rela mati demi membalas kesengsaraan orang-orang yang Locianpwe cinta. Kalau semulia itu hatimu, apakah aku yang muda tidak boleh menirunya?"
"Kau.... kau siluman!"
"Locianpwe, aku mengerti bahwa sesungguhnya Locianpwe tidak ingin membunuhku, melainkan mengharapkan kematian di tanganku. Tak mungkin aku melakukan hal itu, Locianpwe. Sekarang, hanya ada dua pilihan bagi Locianpwe. Membunuhku tanpa kulawan, atau kita sudahi saja urusan ini, biarlah kita berdua melanjutkan hidup dengan kesengsaraan batin menjadi derita. Bukankah hidup ini menderita? Bukankah penderitaan batin merupakan pengalaman hidup yang paling berharga? Bagaimana, Locianpwe? Kalau belum puas memukulku, silakan ulangi kembali!"
Suma Han terpincang-pincang maju mendekati sambil memasang dadanya, Im-yang Seng-cu mundur-mundur seperti ngeri didekati sesuatu yang akan dapat membuat ia menyesal selamanya. "Tidak.... tidak.... jangan dekati aku....!"
Kemudian ia menutup mukanya dengan kedua tangan. "Kalau begitu, selamat tinggal, Locianpwe. Locianpwe agaknya lebih suka menghukum batinku, karena sesungguhnya kalau Locianpwe membunuhku, berarti membebaskan aku daripada penyesalan dan kesengsaraan batin. Selamat tinggal!" Suma Han mengambil tongkatnya, meloncat ke atas punggung garuda dan terdengarlah kelepak sayap dibarengi angin bertitip dan Majikan Pulau Es itu sudah membubung tinggi dibawa terbang garuda putih.
Im-yang Seng-cu menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat, alianya berkerut dan sampai lama ia memutar pikirannya. Tiba-tiba ia tertawa, "Ha-ha-ha! Untuk ke sekian kalinya aku kalah! Ahhh, bagaimana bocah setan itu tahu bahwa aku akan merasa girang mati di tangannya? Aihh, celaka memang nasibku. Keinginan terakhir mati di tangan Pendekar Super Sakti gagal, bahkan aku yang hampir saja membunuhnya sehingga penderitaanku akan bertambah makin berat. Buka main....! Dia itu.... seorang manusia yang luar biasa.... Ahh, kalau saja Tuhan dapat mengabulkan setiap permintaan manusia, biarlah sekali ini si manusia Im-yang
Seng-cu mohon agar Tuhan sudi mengobati penderitaan batin Suma Han dan melimpahkan kebahagiaan kepadanya. Dia manusia sejati, manusia berbudi luhur.... pendekar di antara segala pendekar....!"
"Ha-ha-ha! Kalau dia pendekar di antara segala pendekar, engkau adalah pengecut di antara segala pengecut hina, Im-yang Seng-cu!"
Im-yang Seng-cu terkejut, menoleh dan memandang terbelalak kepada seorang laki-laki muda yang berdiri di depannya. Laki-laki ini usianya masih muda, belum lebih tiga puluh tahun, wajahnya tampan dan gerak-geriknya halus, pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang terpelajar, pakaian pelajar yang bersih dan rapi. Akan tetapi yang mengejutkan hati Im-yang Seng-cu adalah sepasang mata di wajah tampan itu. Mata itu mempunyai sinar yang mengerikan, seperti mata orang gila, namun juga mempunyai wibawa yang tajam berpengaruh dan aneh. Bukan mata manusia, seperti itulah patutnya mata setan! Biarpun pakaiannya seperti seorang pelajar, namun di punggung orang muda itu tampak gagang sebatang pedang, gagang pedang hitam dengan ronce benang hitam pula. Biarpun hati Im-yang Seng-cu terkejut dan heran, namun dia marah mendengar orang yang tak dikenalnya ini memakinya sebagai pengecut di antara segala pengecut hina. Bagi seorang kang-ouw, seorang yang menjunjung kegagahan, makian pengecut merupakan makian yang paling rendah menghina.
"Orang muda, kulihat pakaianmu sebagai seorang terpelajar, patutnya engkau tahu akan tata susila dan sopan santun. Kulihat pedangmu di punggung, patutnya engkau tahu akan sikap kegagahan di dunia kang-ouw. Akan tetapi engkau datang-datang memaki orang tua, patutnya engkau seorang biadab yang sombong. Siapakah engkau?"
Pemuda itu tersenyum lebar. Senyum yang manis dan membuat wajahnya makin tampan, akan tetapi seperti yang tersembunyi di balik keindahan matanya, juga di balik senyumnya ini bersembunyi sifat aneh yang mendirikan bulu roma, sifat kejam dan penuh kebencian terhadap sekelilingnya!
"Im-yang Seng-cu, belasan tahun yang lalu seringkali engkau memondong dan menimangku, bahkan yang terakhir engkau mengajarkan Ilmu Pukulan Hoa-san Kun-hoat kepadaku sebagai pembayaran taruhan karena engkau kalah bermain catur melawan Ayahku."
Terbelalak kedua mata Im-yang Seng-cu dan ia memandang penuh perhatian, kemudian berseru. "Siancai....! Kiranya engkau Tan-siucai (Sastrawan Tan) dari Nan-king....!"
Pemuda tampan itu mengangguk-angguk dan senyumnya makin kejam, "Betul, aku adalah Tan Ki atau Tan-siucai dari Nan-king."
"Tapi.... tapi.... ah, bagaimana Ayahmu?"
"Ayah telah meninggal dunia."
"Ahhh! Sahabatku yang baik, kiranya engkau lebih bahagia daripada aku, betapa rinduku bermain catur sampai lima hari lima malam melawanmu....!"
"Tak usah khawatir, Im-yang Seng-cu, sebentar lagi pun engkau akan menyusul Ayah akan tetapi tempatmu di neraka, tidak di sorga seperti Ayah!"
Keharuan Im-yang Seng-cu mendengar akan kematian sahabatnya, dan kegirangannya bertemu dengan pemuda itu, lenyap berganti penasaran dan keheranan melihat sikap Tan-siucai.
"Apakah maksudmu dengan ucapan dan sikapmu ini? Engkau dahulu menganggap aku sebagai paman dan bersikap hormat. Sekarang engkau bersikap kurang ajar, bahkan berani memaki-maki aku. Apa artinya ini?"
"Artinya, orang tua pengecut! Aku datang untuk membunuhmu!"
Im-yang Seng-cu memandang terbelalak, kemudian tertawa bergelak, merasa betapa lucunya peristiwa ini. Baru saja dia menemui Suma Han dengan niat untuk membunuhnya dan kini pemuda yang dianggap keponakannya sendiri, yang dijodohkan dengan muridnya, mendiang Lu Soan Li, kini datang-datang berniat membunuhnya!
"Tertawalah selagi engkau masih dapat tertawa, Im-yang Seng-cu," Tan-siucai mengejek.
"Orang muda, aku tidak takut mati. Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau tiba-tiba bersikap seperti ini?"
"Dengarlah agar engkau tidak mati penasaran. Engkau seorang pengecut besar karena engkau tidak dapat membunuh Pendekar Siluman. Akulah yang kelak akan membunuhnya sayang aku datang terlambat, kalau tidak tentu dia sudah kubunuh sekarang. Engkau telah menyia-nyiakan kewajibanmu menjaga tunanganku, membiarkan tunanganku melakukan penyelewengan dari ikatan jodoh denganku. Membiarkan tunanganku yang tercinta itu mengorbankan diri untuk pemuda lain, membiarkannya mencinta pemuda lain.
Kemudian, setelah bertemu dengan Pendekar Siluman, engkau tidak berhasil membunuhnya. Engkau pengecut besar dan harus mampus!"
Im-yang Seng-cu menjadi marah sekali. "Kau sudah gila! Betapa manusia dapat menjaga perasaan hati manusia lain? Kalau muridku, Soan Li yang malang, mencinta Suma Han, itu adalah haknya. Dan sekarang aku tahu bahwa memang seribu kali lebih baik mencinta Suma Han daripada mencinta seorang gila macam engkau. Aku sudah mendengar bahwa kau mendendam atas kematian Soan Li, dan sudah kuperingatkan Suma Han tentang ini. Akan tetapi kalau alasanmu seperti itu, engkau gila dan bagaimana kau akan dapat membunuh aku? Ha-ha-ha, betapa tolol dan sombongnya engkau Tan Ki!"
"Engkau tadi hendak menyerahkan nyawa di tangan burung garuda bahkan engkau sengaja ingin mati di tangan Suma Han. Apakah engkau tidak ingin mati di tanganku?"
"Ha-ha-ha! Gila! Gila engkau! Tentu saja aku tidak sudi mati di tanganmu!" Kakek itu tertawa-tawa, lupa betapa anehnya sikap ini. Tadi ia ingin mati, sekarang ada orang akan membunuhnya, dia marah-marah!
"Mau atau tidak, tetap saja engkau akan mati di tanganku, Im-yang Seng-cu!" Sambil berkata demikian, Tan-siucai sudah menerjang maju dengan tangan kirinya. Tangan ini menampar, kelihatan perlahan saja, akan tetapi angin pukulan tamparan itu membuat Im-yang Seng-cu terkejut dan cepat mengelak. Dia terheran bukan main karena tamparan itu adalah tamparan yang mengandung tenaga dalam amat kuat!
Akan tetapi Tan-siucai tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berheran karena kini sudah mendesak lagi dengen dua pukulan beruntun, tangan kiri mencengkeram ubun-ubun disusul tangan kanan yang menyodok ke ulu hati. Serangan yang dahsyat, serangan maut yang berbau ilmu silat tinggi dan lihai sekali.
"Aihhh!" Im-yang Seng-cu meloncat ke belakang, timbul rasa penasaran karena dia tidak mengenal jurus yang dilakukan bekas pelajar yang dahulu lemah itu. Maka ia pun balas menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat yang dapat dielakkan secara mudah oleh Tan-siucai. Pertandingan seru terjadi dan biarpun agaknya Tan-siucai telah digembleng orang sakti dengan ilmu silat aneh dan telah memiliki tenaga sin-kang yang kuat, namun menghadapi seorang kakek seperti Im-yang Seng-cu, pemuda itu kewalahan juga.
"Ha-ha-ha, bagaimana engkau akan dapat membunuhku, pemuda gila?" Im-yang Seng-cu mengejek. Biarpun diam-diam ia terkejut dan terheran-heran karena mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini benar-benar tinggi dan aneh, namun dia merasa yakin bahwa untuk dapat membunuhnya, tidaklah begitu mudah.
"Begini, Im-yang Seng-cu!" Tan-siucai menjawab dan tiba-tiba tangan kirinya dibuka dan didorongkan ke arah muka kakek itu sambil mulutnya membentak, "Diam!"
Hebat bukan main bentakan dan gerakan tangan itu karena secara aneh sekali, tiba-tiba Im-yang Seng-cu tak dapat menggerakkan kaki tangannya seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu. Dan pada saat itu, tangan kanan Tan-siucai telah bergerak ke belakang, tampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitam di tangannya telah meluncur dan ambles ke dalam perut Im-yang Seng-cu, tepat di bawah ulu hati. Ketika pemuda itu mencabut pedangnya, darah menyembur keluar dari perut dan karena ketika mencabut pedangnya digerakkan ke bawah, perut itu robek dan isi perutnya keluar.
Barulah Im-yang Seng-cu dapat bergerak, kedua tangannya otomatis bergerak ke depan, yang kiri mendekap luka, yang kanan memukul ke depan. Angin pukulan kuat membuat pemuda itu terhuyung ke belakang. Baju depannya merah terkena percikan darah yang menyembur dari perut kakek itu. Im-yang Seng-cu terhuyung-huyung, matanya terbelalak, mulutnya berkata, "Celaka.... ingin mati di tangan pendekar.... kini mampus di tangan setan.... benar-benar tubuh sial....!" Ia berusaha menubruk maju dengan loncatan cepat ke arah Tan-shicai, untuk memberi serangan terakhir. Akan tetapi Tan-siucai mengelak dan tubuh kakek itu terjerembab ke atas tanah tanpa nyawa lagi.
"Heh-heh-heh!" Dari balik sebatang pohon muncul dengan cara seperti setan seorang yang berkulit hitam. Orang ini bertubuh tinggi sekali, tinggi dan kurus. Kulitnya hitam mengkilap, kedua kakinya telanjang. Usianya sukar ditaksir, akan tetapi tentu tidak kurang dari enam puluh tahun. Dahinya lebar, hidungnya panjang melengkung, sepasang matanya lebar dan bersinar-sinar aneh, mulutnya hampir tak tampak tertutup jenggot dan kumis yang putih. Kedua telinganya memakai anting-anting perak berbentuk cincin. Rambutnya yang sudah lebih banyak putihnya itu tertutup sorban berwarna kuning. Tubuhnya hanya dibalut kain kuning pula yang menutup tubuh seperti cawat dan setengah dada. "Cukup baik gerak tangan kirimu dan bentakanmu cukup berhasil. Sayang gerakan pedangmu tidak tepat. Lihat, pakaianmu terkena darah. Sungguh memalukan aku yang menjadi gurumu, heh-heh!" Kata orang itu yang dapat diduga tentu datang dari barat karena bentuk muka, warna kulit, dan gaya bicaranya.
"Mohon petunjuk Guru," kata Tan-siucai, alisnya berkerut tanda tidak senang hati dicela gurunya. "Membunuh lawan terkena percikan darahnya, amatlah tidak baik dan engkau tadi membuka kesempatan lawan untuk menyerang sehingga kau terhuyung. Untung kepandaian orang ini tidak amat hebat. Kalau lebih hebat, apakah kau tidak akan celaka karena pukulan terakhir orang yang sudah menghadapi maut? Serahkan pedangmu, dan lihat baik-baik!"
Tan-siucai menyerahkan pedangnya. Pedang hitam itu oleh kakek ini lalu diselipkan di bawah kain yang membelit pundaknya. Kemudian ia menghampiri mayat Im-yang Seng-cu, dipandangnya sejenak kemudian tiba-tiba tangan kirinya dengan telapak menghadap ke arah mayat digerakkan, mulutnya mengeluarkan pekik aneh dan.... mayet itu tiba-tiba berdiri di depannya. Darah masih mengucur dari perut mayat Im-yang Seng-cu yang terbuka dan ususnya terurai keluar.
"Diam....!" Kakek itu membentak seperti yang dilakukan oleh muridnya tadi, tampak sinar hitam berkelebat menjadi gulungan sinar yang mengitari tubuh mayat itu. Kakek itu sudah meloncat ke belakang mayat dan.... tubuh Im-yang Seng-cu yang sudah tak bernyawa lagi itu kini roboh menjadi enam potong! Ke dua lengan dan kedua kakinya terpisah, dan lehernya juga telah terbabat putus!
"Nah, dengan begini, engkau tidak memberi kesempatan lawan untuk mengirim serangan. Mula-mula kedua lengan lalu kaki dan leher yang harus kaubabat putus, bukan menusuk perut seperti tadi. Dan jangan lupa untuk bergerak meloncat ke belakang, berlawanan dengan menyemburnya darah dari tubuhnya! Ah, sampai lupa. Hayo cepat, kita tampung racun kuning!"
Mendengar ini, Tan-siucai lalu menggunakan kakinya, mengungkit bagian-bagian tubuh mayat itu sehingga terlempar ke atas cabang pohon, ditumpuk di situ. Kemudian kakek berkulit hitam itu menuangkan cairan obat dari sebuah botol ke atas tumpukan potongan tubuh mayat yang segera mencair. Mula-mula seperti terbakar mendidih, kemudian dari tumpukan daging dan tulang itu menetes-netes cairan kuning yang segera ditampung oleh Tan-siucai kedalam sebuah botol melengkung berwarna merah. Hebat sekali obat itu. Dalam waktu bebeberapa menit saja semua daging, tulang dan pakaian bekas tubuh Im-yang Seng-cu mencair dan hanya menjadi seperempat botol cairan kuning yang kental! Setelah tubuh itu habis sama sekali dan menutup botol dengan sumbat dan menyimpannya, guru dan murid yang aneh itu pergi dari situ. Tan-siucai atau Tan Ki ini adalah bekas tunangan Hoa-san Kiam-li (Pendekar Pedang Wanita dari Hoa-san) Lu Soan Li murid Im-yang Seng-cu. Dia tinggal di Nan-king. Setelah dia
mendengar akan kematian tunangannya yang dicinta dan dibanggakan, pemuda yang sudah tidak berayah ibu ini lalu pergi merantau. Dendam dan sakit hati membuat dia seperti gila dan akhirnya secara kebetulan dia berjumpa dengan kakek dari Nepal yang bernama Maharya itu yang kemudian mengambilnya sebagai murid. Kakek Maharya, seorang sakti dari Nepal, tidak hanya tertarik kepada Tan-siucai karena melihat bakat pada diri pemuda itu, juga tertarik mendengar kisah pemuda itu yang menaruh dendam kepada Pendekar Siluman. Di samping ini, sebagai seorang asing yang baru datang ke Tiong-goan, dia membutuhkan seorang pembantu dan pengajar bahasa. Sebagai seorang sastrawan, tentu saja pemuda itu merupakan seorang guru bahasa yang baik. Demikianlah selama bertahun-tahun Tan Ki atau Tan-siucai merantau bersama gurunya, menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang aneh, juga menerima pelajaran ilmu sihir yang merupakan keistimewaan gurunya. Tujuan mereka hanya dua. Pertama memenuhi kebutuhan Maharya, yaitu mencari Sepasang Pedang Iblis, dan kedua memenuhi kebutuhan Ten-siucai, mencari Im-yang Seng-cu dan Pendekar Siluman untuk membalas dendam kematian tunangannya! Secara tak tersangka-sangka mereka tiba di hutan itu dan hampir saja sekaligus Tan-siucai dapat bertemu dengan dua orang yang dimusuhinya, akan tetapi dia terlambat karena Pendekar Siluman telah meninggalkan tempat itu. Betapapun juga, dia berhasil membunuh seorang musuhnya, yaitu Im-yang Seng-cu yang dahulunya adalah sahabat ayahnya, bahkan orang yang telah mengikatkan jodoh antara dia dan Lu Soan Li. Akan tetapi, karena jalan pikirannya yang telah gila, Im-yang Seng-cu dianggap biang keladi kematian tunangannya sehingga berhasil dia bunuh secara mengerikan.
******
Siapa yang mengatakan bahwa keselamatan diri seseorang, mati hidupnya tergantung sepenuhnya kepada dirinya sendiri, menandakan bahwa dia belum sadar akan kekuasaan tertinggi yang tak dapat ditambah maupun dikurangi, kekuasaan tertinggi yang menggerakkan matahari, bulan dan bintang-bintang sampai debu-debu terkecil dalam cahaya matahari, kekuasaan yang menumbuhkan pohon-pohon raksasa sampai setiap jenggot di dagu pada kekuasaan tertinggi yang menguasai atas mati dan hidup. Kalau yang Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, kekuasaan apa pun di dunia tidak akan dapat menawar-nawar. Sebaliknya kalau dikehendaki-Nya seseorang hidup, tidak ada pula kekuasaan di dunia yang akan dapat menghentikan hidup orang itu. Hal-hal yang kelihatan tidak mungkin bagi akal manusia, sama sekali bukan merupakan hal tidak mungkin bagi kekuasaan itu.
Kekuasaan tertinggi dan ajaib ini memperlihatkan kekuasaannya pula ketika Bun Beng terlempar ke dalam pusaran air. Sebelum dia, tokoh Pulau Neraka yang ahli dalam air dan bertenaga besar juga terjatuh ke dalam pusaran air itu. Dengan segala kemahiran dan kekuatannya, anggauta Pulau Neraka itu berusaha melawan pusaran air yang menghayutkan dan menyeretnya ke dalam pusaran yang amat kuat, namun usahanya menyelamatkan diri itu sia-sia belaka dan tubuhnya hancur dihempaskan pada batu-batu karang. Akan tetapi sebaliknya dengan Bun Beng. Ketika anak ini jatuh ke tengah pusaran air dan merasa ada kekuatan dahsyat dari pusaran itu menyedot tubuhnya ke bawah, sedikit pun dia tidak melawan akan tetapi bahkan inilah yang membuat dia selamat!
Air pusing yang mempunyai daya sedot amat dahsyat itu seketika "menelan" tubuh Bun Beng, disedot ke bawah lalu dihanyutkan dengan kecepatan yang luar biasa di bawah permukaan air. Biarpun Bun Beng yang cerdik sebelum terbanting ke air telah menyedot napas sebanyaknya, namun tak lama kemudian ia pingsan selagi tubuhnya masih dihanyutkan dengan cepat sekali melalui terowongan di dalam gunung batu karang.
Ketika anak itu siuman kembali, ia telah menggeletak diantara batu-batu besar yang halus permukaannya, sebagian tubuhnya yang bawah terbenam air di antara batu dan untung bahwa dia terhempas ke tempat itu dengan muka di atas air. Ia membuka mata, tubuhnya terasa nyeri semua dan dinginnya luar biasa sehingga ia menggigil. Sudah matikah aku, pikirnya ngeri. Ia bangkit duduk, memandang kesekeliling. Tidak, dia belum mati dan berada di lambung sebuah gunung yang tertutup kabut tebal. Dia duduk dan memandang terheran-heran. Bagaimana ia dapat sampai di lambung gunung?
Kekuasaan alam memang penuh mujijat. Kiranya ada terowongan yang menghubungkan tempat itu dengan pusaran air dimana ia terjatuh, sebuah terowongan di dalam tubuh gunung. Pusaran air itu tercipta oleh permainan angin yang memasuki terowongan, menimbulkan daya berpusing yang amat kuat sehingga menyedot air dan menciptakan air berpusing yang amat menakutkan.
"Nguk-nguk-nguk! Huk! Huk! Hukkk!"
Bun Beng terkejut dan menoleh ke kanan kiri. Di tempat seperti ini, bagaimana bisa terdengar suara anjing? Biasanya anjing hanya berkeliaran di tempat datar, bukan di pegunungan di batu-batu karang seperti ini, dekat air sungai. Akan tetapi hatinya juga girang karena biasanya anjing-anjing itu dipelihara orang yang dapat ia mintai tolong.
"Huk-huk-huk! Ggrrrrr.... nguk-nguk!"
Bun Beng menoleh ke kanan dan seketika ia terloncat bangun. Dari atas batu besar turun beberapa ekor binatang aneh yang kepalanya seperti kera! Kiranya yang menyalak-nyalak dan menggereng-gereng itu adalah binatang yang aneh ini, setengah kera setengah anjing (kera baboon). Ketika melihat binatang aneh itu merayap turun dengan gerak-gerik seperti manusia, moncong anjing mereka mengeluarkan suara anjing dan kera campur aduk, melihat pinggul mereka berlenggang-lenggok, pinggul yang tidak
berekor akan tetapi ada dagingnya menonjol merah, mau tidak mau Bun Beng tertawa geli. Lucu memang tampaknya binatang-binatang itu.
Akan tetapi kegelian hatinya segera berubah menjadi kemarahan ketika binatang-binatang itu mengelilinginya kemudian meraba-raba dan merenggutkan pakaiannya yang basah sambil mengeluarkan bunyi ngak-ngik-nguk tidak karuan. Bun Beng melepaskan tangan seekor kera yang menjambak-jambak rambutnya. Kera itu mengeluarkan teriakan marah dan Bun Beng dikeroyok! Lengan-lengan yang panjang berbulu lebat itu mengeroyoknya, merenggut pakaian dan menjambak rambut. Bun Beng jatuh terduduk, seekor kera hendak menggigitnya dari depan. Ia mengayun tangan menampar.
"Plakk! Nguuuuk-nguk!" Kera itu terpelanting dan memekik marah sekali, sedangkan kera-kera lain sudah menubruk Bun Beng dari belakang. Terdengar bunyi kain robek dan setelah meronta-ronta dan membagi-bagi pukulan ke kanan kiri, akhirnya Bun Beng berdiri dalam keadaan telanjang bulat! Pakaiannya robek-robek tidak karuan diperebutkan oleh sekumpulan kera itu. Marahlah Bun Beng dan ia lalu mengamuk, kaki tangannya bergerak dan beberapa eker kera terpelanting terkena tendangan dan pukulannya. Akan tetapi tubuh binatang-binatang ini kuat sekali dan mereka kini kini juga marah, meloncat bangun dan mengeroyok Bun Beng. Tiba-tiba terdengar pekik dahsyat dan kera-kera baboon itu seketika menghentikan pengeroyokan dan mundur. Bun Beng
menengok dan seekor kera yang lebih besar daripada sekumpulan kera yang mengeroyok dan menelanjanginya. Kera itu dengan kedua lengan panjangnya, melangkah maju menghampirinya, moncongnya mengeluarkan suara menggereng den mendesis, matanya yang kecil memandangnya penuh amarah. Gerak-geriknya seperti orang menantang. Kera-kera lain melonjak-lonjak den bertepuk tangan, seperti sekumpulan anak-anak yang menjagoi kera besar ini. Tahulah Bun Beng bahwa dia ditantang oleh kera besar, maka dia pun lalu memasang kuda-kuda dan membentak.
"Kera anjing keparat! Majulah! Siapa takut padamu?"
Kera besar itu agaknya juga tahu bahwa Bun Beng marah kepadanya, karena ia segera meringis dan mengeluarkan bunyi marah. "Ngukk....! Kerr....!"
"Monyet buruk! Majulah! Siapa takut padamu?" Bun Beng menantang dan dia telah melompat ke kiri, mencari tempat yang lebih rata karena dia maklum bahwa binatang kera amat lincah dan kalau harus bertanding di tempat berbatu sambil berloncatan, mana dia mampu menang? Kera itu menggereng lagi dan meloncat, sekaligus ia menyerang Bun Beng dengan ganas, menubruk sambil mencengkeram dan moncongnya dibuka lebar siap menggigit. Bun Beng sudah bersiap, cepat ia mengelak dengan meloncat ke kanan, sambil tidak lupa mengayun kaki kirinya menendang ke arah perut kera. "Bukkk!" Tendangan Bun Beng adalah tendangan seorang
anak laki-laki yang sejak kecil terlatih, maka tidak dapat disebut lemah, namun ketika kakinya mengenai perut binatang itu, kakinya yang menendang terpental seperti menendang bola karet!
"Monyet lutung! Kau kuat sekali!" Ia berseru marah dan kera itu seolah-olah tertawa, terkekeh sedangkan kera-kera lain tetap bertepuk tangan dan berjingkrak tidak teratur.
Kera besar itu kembali sudah menubruk, bahkan kedua lengannya yang panjang tidak hanya membuat gerakan mencengkeram ngawur seperti lajimnya dilakukan oleh binatang kera yang tidak tahu akan seni bersilat, melainkan kedua tangan berjari panjang penuh bulu itu melakukan pukulan dengan telapak tangan terbuka.
"Wuuut! Wuuuutt!" Kedua tangan itu menyambar berturut-turut dan hanya dengan kegesitannya mengelak saja Bun Beng dapat menghindarkan diri dari tamparan yang amat kuat itu. Dia mulai marah dan agaknya Bun Beng tidak akan patut mengaku sebagai murid mendiang Siauw Lam Hwesio kalau dia harus mengakui keunggulan seekor binatang kera. Akan percuma sajalah gemblengan yang dilakukan Kakek Siauw-lim-pai itu kepadanya beberapa tahun. Di samping latihan ilmu silat dan menghimpun tenaga serta rahasia penggunaan tenaga, juga Bun Beng menerima petunjuk-petunjuk yang mempertajam otaknya sehingga dalam menghadapi bahaya dan lawan tangguh dia dapat mempergunakan siasat. Dia mengerti bahwa dalam hal tenaga kasar dia tidak akan dapat mengimbangi kera yang lebih kuat daripada seorang manusia dewasa itu. Juga dari pengalamannya ketika menendang perut tadi dia maklum bahwa kera itu memiliki kulit yang tebal dan kuat serta otot-otot yang membuat tubuhnya kebal. Dia tidak boleh sembarangan menyerang melainkan harus menggunakan siasat mencari bagian yang lemah. Namun, kini dia terdesak terus. Kera besar itu agaknya merasa penasaran. Dia dapat mengalahkan seekor harimau dengan mudah, masa kini tidak mampu merobohkan seorang manusia kecil yang lemah ini dalam waktu singkat? Akan percuma saja dia menjadi kera bangkotan, jagoan yang paling
kuat dan paling ditakuti di antara rombongan kera baboon di situ! Maka sambil mendengus-dengus marah dia memperhebat serangannya, setiap kali tubrukannya luput disambung dengan terkaman lain yang cepat dan kuat, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membalas. Tak dapat dibantah bahwa memang Bun Beng terlatih ilmu silat namun dia sama sekali belum memiliki pengalaman bertempur tanpa aturan dan secara nekat itu. Dia terdesak hebat dan hanya mampu mengelak kesana-sini, menangkis sedapatnya dan sudah dua kali ia terkena tamparan yang membuat pipinya merah membengkak dan matanya berkunang kepalanya pening! Melihat ini kera-kera yang lain mengeluarkan suara seperti sekumpulan bocah bersorak-sorak, dan kera jagoan itu menjadi makin buas. "Blekkkk!" Sebuah tamparan dengan lengan kanan berbulu yang amat keras dapat ditangkis oleh Bun Beng, akan tetapi karena dia kalah tenaga, tamparan itu masih menembus tangkisannya dan mengenai pundak kirinya. Bun Beng mengaduh, tulang pundaknya seperti remuk rasanya, kiut-miut nyeri bukan main dan dia roboh terjengkang tanpa dapat
ditahan pula. "Gerrrr....!" Kera besar menggereng dan menubruk tubuh lawan yang sudah telentang tidak berdaya itu. Dalam keadaan penuh bahaya ini, keadaan Bun Beng sebagai manusia membuktikan keunggulannya. Dia memiliki akal dan dalam detik-detik berbahaya itu ia menggunakan akalnya. Ketika melihat kera besar menubruk, dia menggulingkan tubuhnya sampai tiga kali dan tidak lupa tangannya mencengkeram tanah dan berhasil menggenggam tanah. Pada saat kera menubruk lagi, tangannya bergerak dan tanah yang digenggamnya itu meluncur, menyambut muka si Kera yang tentu saja tidak memiliki akal untuk menduga serangan ini. Matanya tetap melotot penuh geram kemenangan sehingga kedua matanya merupakan sasaran tepat, kemasukan butiran-butiran pasir tanah.
"Auurrghh....!" Kera itu memekik-mekik dan menggunakan kedua tangan menggosok matanya. Tentu saja karena cara menggosoknya kaku, pasir tanah itu makin dalam masuk kemata dan makin nyeri rasanya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bun Beng. Dia sudah meloncat bangun dan menghujankan pukulan tendangan ke tubuh si Kera. Namun dia tidak memukul sembarangan, melainkan memilih tempat yang lemah, memukul ke arah hidung, mata, dan telinga sedangkan tendangannya mengarah sambungan lutut dan pusar. Tentu saja kera besar yang masih setengah mati menggosoki matanya, menjadi sasaran serangan dan tubuhnya terguling-guling. Ia mengeluarkan suara seperti menangis dan akhirnya ia berlutut di atas tanah, menutupi kepalanya dengan kedua matanya bercucuran air mata!
Dari gerak-gerik ini Bun Beng dapat menduga bahwa lawannya sudah menyerah kalah, maka ia memandang dengan muka berseri, berdiri tegak dan bertolak pinggang, merasa gagah menjadi jagoan sampai dia lupa bahwa tubuhnya sama sekali tidak tertutup pakaian, telanjang bulat karena semua pakaiannya sudah habis terkoyak tangan-tangan jahil rombongan kera tadi!
Kera-kera yang tadinya menonton pertandingan, kini berlarian datang dan Bun Beng sudah siap untuk "mengamuk" kalau dia dikeroyok. Akan tetapi, kera-kera itu kini tidak menyerangnya, hanya memegang-megang lengannya, kakinya, rambutnya dan bahkan ada yang mencium-ciumnya dari kaki sampai kepala tanpa melewatkan sedikitpun bagian tubuhnya sehingga dia merasa girang akan tetapi geli dan jijik!
Agaknya air mata yang banyak keluar dari sepasang mata kera besar telah mencuci bersih mata itu, kini kera besar dapat membuka matanya yang berubah merah dan dia pun merangkul dan menciumi Bun Beng! Mengertilah anak ini bahwa semenjak saat ia berhasil "mengalahkan" jagoan kera baboon, dia telah diaku sebagai "seekor" di antara mereka! Dia telah diterima menjadi anggauta kera baboon. Semenjak saat itu, mulailah penghidupan baru yang sama sekali asing bagi Bun Beng! Dia hidup di antara sekumpulan kera baboon, bertelanjang, bulat, mencari makan, bermain-main dan berayun-ayun di dahan-dahan pohon dan di batu-batu gunung persis seekor kera. Hanya bedanya, dan kadang-kadang timbul penyesalan di hatinya akan perbedaan ini bahwa dia tidak berbulu seperti "kawan-kawannya" sehingga sering kali dia menderita kedinginan. Namun, lambat laun ia dapat membiasakan diri dan tubuhnya menjadi kebal akan hawa dingin. Sebagai seorang mahluk yang berakal, dalam mencari makanan dan lain-lain tentu saja dia paling menang, sehingga tidak lama kemudian dia dicontoh oleh kera kera itu dan seolah-olah menjadi pemimpin mereka. Apalagi semenjak dia mengalahkan jagoan kera, dia dianggap paling kuat dan teman-temannya tidak ada yang berani mencoba-coba dengan dia! Selama beberapa bulan hidup di antara sekumpulan kera, Bun Beng mendapatkan sebuah kenyataan yang amat berkesan di hatinya. Semenjak dia dijadikan rebutan para tokoh kang-ouw sehingga terdapat pertentangan dan terjadi pembunuhan, kemudian disusul pengalaman-pengalaman dimana dia menyaksikan permusuhan antar manusia yang mengakibatkan pembunuhan-pembunuhan mengerikan, ia mendapat kenyataan betapa manusia merupakan sekumpulan makhluk yang amat kejam dan sama sekali tidak mempuyai rasa setia kawan terhadap sesama manusia.
Kini, hidup di antara sekumpulan kera yang dianggap sebagai binatang bodoh dan tidak berakal, dia menemukan perbedaan yang amat menyolok. Sekumpulan kera ini hidup amat rukun dan penuh setia kawan. Memang benar bahwa di antara mereka kadang-kadang terjadi perkelahian, namun perkelahian ini hanya terbatas dalam mengadu kekuatan sampai seekor di antara mereka mengaku kalah. Yang menang tidak akan menindas, yang kalah tidak akan menaruh dendam dan tidak ada rasa mengganjal di antara mereka!
Akan tetapi seekor saja terganggu, sekelompok akan maju bertanding dan membela! Seekor saja celaka, yang lain akan turun tangan tanpa pamrih. Tidak ada di antara mereka yang memonopoli sesuatu. Buah-buah yang bergantungan, air yang mengalir, tidak ada yang menuntut sebagai hak pribadinya. Memang, mereka ini tidak pandai berbasa-basi, tidak pandai bermanis muka, tidak pandai bersopan-santun dan tidak pandai melakukan segala kepalsuan-kepalsuan lain yang sudah menjadi "pakaian" manusia. Betapa liar mereka itu, betapa bebas dan bahagia karena mereka tidak mengejar kesenangan, tidak mengejar kebahagiaan seperti manusia sehingga kesenangan dan kebahagiaan dengan sendirinya datang kepada mereka! Mereka tidak mengenal kecewa karena tidak mengharap, tidak bertemu duka, karena tidak mencari suka. Betapa wajar dan betapa dekat dengan alam, betapa dekat dengan kekuasaan alam!
Di samping menemukan hal-hal yang mendatangkan kesan di hatinya yang timbul dari pengetahuannya ketika dahulu membaca kitab-kitab filsafat, juga Bun Beng menemukan dan mempelajari kepandaian-kepandaian aneh yang mereka miliki sebagai anugerah langsung dari alam tanpa mereka pelajari, yaitu kecekatan, ketrampilan yang belum tentu dapat dimiliki manusia yang sengaja mempelajarinya bertahun-tahun! Dengan menyatukan diri di tengah-tengah mereka, dalam beberapa bulan saja Bun Beng dapat berloncatan di atas karang di tebing-tebing yang curam, memanjat pohon-pohon besar dan loncat berayun dari dahan ke dahan. Juga ia dapat mengenal pengetahuan anugerah alam tentang daun-daun dan akar-akar obat yang dipergunakan kera-kera itu untuk
mengobati luka-luka, keracunan dan lain-lain.
Selama enam bulan Bun Beng hidup di tengah-tengah kera itu, mengalami hal-hal yang amat luar biasa. Setelah setengah tahun hidup bertelanjang bulat seperti itu, dia menjadi terbiasa dan kadang-kadang kalau ia teringat akan peradaban manusia, ia menjadi geli sendiri. Betapa dia akan dianggap kurang susila, kurang ajar, tidak tahu malu dan sebagainya oleh manusia-manusia beradab! Dari manakah timbulnya rasa malu kalau telanjang dan terlihat orang lain? Mengapa pula harus malu? Perasaan malu ini adalah buatan manusia sendiri! Buktinya, tidak ada seorang pun anak-anak yang merasa malu dilihat bertelanjang. Setelah kepada anak itu ditanamkan pengertian bahwa bertelanjang dilihat orang adalah memalukan, barulah timbul perasaan malu ini! Andaikata tidak ada penanaman pengertian ini, kiranya tidak akan timbul pula perasaan malu.
Musim dingin tiba, akan tetapi Bun Beng yang bertelanjang bulat itu tidak menderita kedinginan. Kulit tubuhnya sudah terlatih sedikit demi sedikit sehingga kebal. Akan tetapi, perasaan dan kesadarannya sebagai manusia tidak pernah hilang dan hanya karena terpaksa tidak ada pakaian saja maka dia bertelanjang bulat di antara sekumpulan kera baboon. Ketika pada suatu hari dia bersama sekawanan kera itu menyerang dan membunuh beberapa ekor harimau, Bun Beng menguliti harimau yang dibunuhnya dan kulit harimau itu ia pakai untuk menutupi tubuhnya bagian bawah. Bukan terdorong oleh rasa malu atau penahan dingin, melainkan dengan penutup bawah itu dia terhindar dari gangguan semut dan nyamuk yang tidak dapat mengganggu kera-kera itu karena kulit mereka tertutup bulu. Dan setelah ia memakai cawat kulit harimau, kawanan kera itu kelihatan lebih segan dan takut kepadanya! Kulit-kulit harimau yang lain ia simpan untuk cadangan cawat atau persediaan kalau sewaktu-waktu ia memerlukannya.
Pada suatu hari, para kera itu mengeluarkan bunyi cecowetan seperti biasa kalau mengajak pergi ke suatu tempat. Sudah banyak macam suara kera itu yang merupakan isyarat-isyarat dan dapat dimengerti oleh Bun Beng, maka sekali ini, menyaksikan sikap mereka seolah-olah mereka hendak melakukan sesuatu yang besar dan aneh, Bun Beng segera mengikuti mereka. Kera-kera itu memasuki guha di antara batu karang dan memasuki terowongan di dalam gunung yang cukup lebar. Mula-mula terowongan itu gelap, akan tetapi makin jauh makin terang dan anehnya, mulailah Bun Beng merasa betapa ada hawa panas keluar dari dalam.
Hatinya mulai tegang dan ia mengikuti terus. Tak lama kemudian mereka tiba di ujung terowongan yang merupakan ruangan yang luas di dalam gunung. Sinar matahari masuk melalui celah-celah batu gunung yang merupakan dinding tinggi se kali. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sumber air panas! Air keluar dari sumber di dalam gunung ini, mengucur keluar dari celah-celah dua batu besar, mengeluarkan uap saking panasnya. Akan tetapi, Bun Beng tidak memperhatikan itu semua karena ia terbelalak memandang ke sebelah kanan, tak jauh dari sumber air panas itu dan merasa seolah-olah ia sedang dalam mimpi. Apakah yang ia lihat?
Pemandangan yang amat luar biasa! Di situ, menempel pada dinding batu, terdapat sebuah kursi batu yang jelas bukan buatan alam, melainkan berbekas tangan manusia. Kursi itu besar sekali, terbuat daripada batu persegi yang ditumpuk-tumpuk, dan di atas kursi itu duduk seekor kera tua besar sekali yang memakai pakaian. Kalau melihat pemandangan ini di kota, tentu Bun Beng akan tertawa geli dan menganggap kera itu sebagai peliharaan pemain komidi binatang. Seekor kera tua duduk di kursi memakai jubah yang sepatutnya dipakai seorang pendeta, jubah berwarna kuning yang sudah koyak-koyak, terutama di ujung kedua lengannya. Dan kera tua berbaju itu memandangnya dengan muka berseri, tanda senang hati, sikap yang sudah dikenal Bun Beng. Kera tua itu agaknya senang melihatnya, dan moncongnya yang lebar itu berkemak-kemik, telunjuknya menuding-nuding!
Kawanan kera melewati kursi itu sambil membungkuk-bungkuk, mata melirik-lirik penuh sikap takut terhadap kera tua yang berpakaian. Akan tetapi mereka tidak mempedulikan "kakek" kera itu dan sambil cecowetan riuh rendah dan penuh kegembiraan mereka masuk ke dalam air panas yang mengalir seperti sebatang sungai kecil. Bun Beng masih tertarik dan terpesona oleh karena kera tua yang aneh itu, akan tetapi ketika berapa ekor kera mulai menarik-nariknya diajak mandi, timbul pula kegembiraannya. Cepat ditanggalkannya cawat kulit harimau dan ia pun masuk ke dalam anak sungai yang airnya panas. Betapa nikmatnya mandi dan merendam tubuh di air yang panas itu! Merupakan penawar yang nyaman setelah diserang musim dingin di luar. Dan air panas itu benar-benar mendatangkan rasa nyaman sekali ditubuhnya, seolah-olah mengandung sesuatu yang memiliki daya mujijat menguatkan tubuh. Mengertilah ia kini bahwa sumber air panas itu merupakan semacam "air obat" yang dimanfaatkan
oleh kera-kera itu agaknya setahun sekali, yaitu di waktu musim dingin tiba. Yang amat mengherankan hatinya dan tidak dimengerti adalah munculnya kera tua berpakaian pendeta itu!
Setelah puas mandi air panas, Bun Beng mengenakan cawat kulit harimaunya lagi dan mulailah ia mendekati kera tua untuk menyelidiki keadaannya yang aneh. Ketika ia mendapat kenyataan bahwa kera itu ternyata sudah amat tua dan lumpuh, ia merasa kasihan dan terharu. Wajah kera itu begitu penuh pengertian dan sekiranya kera tua itu dapat bicara, tentu dia akan dapat mendengar dongeng yang menarik dari mulut kera itu. Dan kembali ia menyaksikan kesetiakawanan yang hebat. Agaknya kera tua itu menjadi semacam "juru kunci" atau penunggu sumber air panas dan selamanya tinggal di situ. Adapun untuk keperluan setiap
harinya, dia tidak perlu bingung karena kera-kera baboon setiap beberapa hari sekali ternyata mengirim buah-buah dan makanan untuk si Tua ini.
Melihat betapa kera tua itu pandai berpakaian dan sikapnya jauh lebih "jinak" dibandingkan dengan kera-kera lain, Bun Beng percaya bahwa tentu kera tua ini tidak asing dengan manusia. Maka dia menjadi lebih berani dan ketika ia melihat sebuah ruangan dari batu karang di belakang kursi besar itu, tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki ruangan itu. Hal pertama yang menarik hatinya ukir-ukiran huruf dinding batu. Goresannya dalam dan biarpun sudah banyak lumutnya, masih mudah dibaca karena ukiran itu selain dalam juga besar.
"Di musim dingin, perut gunung mengeluarkan air panas di musim panas, perut gunung mengeluarkan air dingin, dingin menciptakan panas, panas menimbulkan dingin, keajaiban apa lagi yang dikehendaki manusia untuk membuktikan kekuasaan alam?"
Bun Beng belum dapat menangkap keindahan kata-kata itu namun ia dapat mengagumi coretan yang indah dan kuat. Tidak salah lagi, tentu di sini pernah tinggal seorang pertapa yang pandai dan mungkin sekali kera tua itu adalah binatang peliharaannya! Ia memeriksa lagi dan di dalam sebuah peti batu ia menemukan beberapa stel pakaian kasar. Di atas meja batu tampak sepasang pedang dan sebuah kitab yang tua sekali. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Teringat ia akan pertentangan di muara Sungai Huang-ho. Bukankah di antara pusaka yang dicari dan diperebutkan itu disebut-sebut pula "Sepasang Pedang Iblis"? Dan kitab itu, mungkin sebuah di antara kitab-kitab pusaka yang dicari oleh tokoh-tokoh kang-ouw? Ia mendekati meja dan memandang penuh perhatian dengan hati tegang. Ia merasa seperti ada yang memandangnya dan ketika ia menengok, benar saja kera tua itu sedang menoleh dan memandangnya penuh perhatian, sungguhpun pada wajah yang tua itu tidak tampak kemarahan. Maka ia makin berani dan tak dapat menahan keinginan tahunya. Dirabanya gagang kedua pedang yang bersarung indah itu, kemudian diangkatnya perlahan-lahan pedang yang lebih panjang, lalu mencabut gagang pedang dari sarungnya. Baru tercabut sebagian saja, ia sudah cepat-cepat memasukkannya kembali dengan kaget karena pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang membuat bulu tengkuknya meremang. Dengan hati-hati ia meletakkan pedang itu kembali, lalu mencoba untuk melihat pedang kedua yang lebih pendek. Kembali ia terkejut karena pedang ini pun mengeluarkan sinar kilat yang menyilaukan mata. "Aihhhh....!" Ia menahan napas memandang dua batang pedang yang berada di atas meja, hatinya ngeri dan kagum. Tidak salah lagi, pedang itu tentulah pedang pusaka yang amat ampuh! Inikah yang disebut Sepasang Pedang Iblis? Ahh, kelihatannya indah sekali, sama sekali tidak pantas disebut pedang iblis karena yang memakai nama "Iblis" tentulah buruk menakutkan! Kini ia memperhatikan kitab tua itu, mengambilnya dan membuka sampulnya. Sam-po-cin-keng, demikianlah huruf-huruf indah yang tertulis di halaman pertama. Ia membuka-buka lembarannya dan ternyata itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu silat yang amat luar biasa, semua ada tiga macam. Anak ini tidak tahu bahwa di tangannya itu adalah sebuah kitab rahasia yang amat hebat.
Tiga ilmu silat pusaka yang tergabung dalam kitab itu bukanlah pelajaran ilmu silat biasa karena Sam-po-cin-keng adalah tiga macam ilmu dahsyat yang di jaman dahulu dicipta oleh ketua dan pendiri Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Tangan Delapan)! Ilmu ini kemudian menurun kepada puterinya yang bernama Liu Lu Sian berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Cantik Beracun) yang bukan lain adalah ibu kandung pendekar sakti Suling Emas!
Ketika kawanan kera meninggalkan tempat sumber air panas itu, Bun Beng ikut pula keluar, akan tetapi tidak lupa ia membawa sepasang pedang, kitab dan satu stel pakaian! Ketika ia lewat di depan kursi besar, ia menjura ke arah kera tua sambil berkata, "Kakek kera, terima kasih atas pemberian benda-benda pusaka ini."
Kera itu menyeringai dan mengangguk! Agaknya kera ini seperti mendapat firasat bahwa memang bocah itu berjodoh dengan benda-benda itu, ataukah memang dia telah menerima pesan dari orang yang meninggalkan benda-benda itu agar kalau ada orang datang dan mengambil benda-benda itu berarti telah berjodoh! Tidak ada yang tahu karena kera itu hanya pandai meniru berpakaian, tidak pandai bicara!
Bun Beng mulai tekun membaca kitab kuno dan mempelajari isinya. Namun amat sukar baginya untuk mengerti isinya karena memang ilmu silat yang diajarkan di dalam kitab itu adalah ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dan tak mungkin dapat dimengerti begitu saja oleh Bun Beng yang masih belum ada pengalaman. Namun, karena pada dasarnya dia memang rajin dan berhati keras, biarpun tidak mengerti, dia tetap membaca bahkan menghafalkan huruf-huruf yang tertulis dalam kitab itu sampai hafal di luar kepala! Memang demikianlah cara orang jaman dahulu mempelajari kitab. Anak-anak semenjak mengenal huruf diharuskan membaca kitab-kitab pelajaran Nabi Khong-hu-cu yang amat sukar dimengerti anak kecil. Namun, anak-anak itu dengan rajin menghafal sehingga ada yang sampai hafal di luar kepala akan semua ujar-ujar dalam kitab suci tanpa mengerti makna yang sesungguhnya! Hal ini sama sekali bukan tidak ada faedahnya, karena di samping memperkaya perbendaharaan kata-kata dan huruf-huruf yang banyak jumlahnya, juga hafalan ayat-ayat itu kalau si anak sudah dewasa, perlahan-lahan akan dapat dimengertinya dan yang terpenting diujudkan dalam praktek hidupnya.
Dua bulan kemudian, ketika Bun Beng sedang menyambung-nyambung kulit harimau dan ujungnya ia ikat dengan tali pohon yang kuat, ia mendengar kawanan kera berteriak-teriak di tepi tebing yang curam. Dia tidak tertarik dan melanjutkan pekerjaannya. Bun Beng kini sudah memakai pakaian, yaitu pakaian yang dibawanya dari ruangan dekat sumber air panas. Dia sedang mencoba untuk membuat sayap tiruan. Sudah lama ia bercita-cita menuruni tebing yang amat curam itu, akan tetapi jangankan dia, bahkan kawanan kera itu saja tidak ada yang berani menuruni tebing yang demikian terjalnya. Jalan satu-satunya hanyalah "terbang" turun dan timbullah akalnya ketika ia menyaksikan burung-burung dengan enaknya naik turun melayang-layang di dekat tebing yang curam. Kalau saja dia dapat terbang melayang seperti burung-burung itu! Keinginan inilah yang membuatnya pada saat itu bekerja keras. Dia sudah mencoba dengan memegangi keempat ujung kulit harimau meloncat dari atas pohon dan kulit harimau yang terbuka itu menahan peluncuran tubuhnya sehingga ia dapat hinggap di atas tanah dengan lunak! Kini ia hendak membuat "sayap" yang besar dengan menyambung-nyambung kulit harimau dan mengikat keempat ujungnya dengan tali yang kuat. Dengan "sayap" ini dia hendak memerikaa keadaan di bawah tebing karena sering ia melihat bayangan-bayangan bergerak di bawah jauh sekali, seperti bayangan manusia! Juga beberapa kali dia melihat burung besar sekali terbang ke bawah tebing itu. Mungkin sekali dia akan dapat kembali ke dunia ramai kalau bisa menuruni tebing itu. Adapun tebing-tebing yang lain semua buntu, merupakan jurang-jurang yang tiada habisnya. Setelah sayap tiruan itu jadi dan mendengar kawanan kera itu makin ribut, ia tertarik juga den cepat ia menghampiri. Kera-kera itu melihat ke bawah sambil menunjuk-nunjuk. Bun Beng juga memandang dan tampak olehnya jauh di bawah sana, banyak bayangan-bayangan atau titik-titik yang bergerak-gerak. Terjadi perang di bawah sana! Dia tidak dapat memandang tegas dan ia menduga-duga apakah mata kawanan kera itu dapat memandang lebih jelas?
Inilah saat untuk "terbang melayang" turun, pikirnya. Bergegas ia lalu mengambil kitab kuno yang ia masukkan di balik bajunya, menyimpan pula sepasang pedang di balik baju di punggung, kemudian ia mengikatkan tali tiga ujung ke pinggang dan memegangi tali ke empat dengan tangan kiri. Melihat Bun Beng mendekati tepi tebing membawa "sayap" aneh itu, kera-kera menjadi bingung. Mereka itu lalu memekik-mekik ketika Bun Beng tiba-tiba meloncat dari pinggir tebing yang amat curamnya. Ada yang menutupi muka, ada yang menjerit-jerit akan tetapi ada pula yang menari-nari! Bun Beng yang sudah nekat itu merasa betapa tubuhnya meluncur ke bawah lalu tertahan, pinggangnya sakit karena tali-tali yang mengikat pinggang menegang, akan tetapi dia girang sekali karena mendapat kenyataan betapa "sayap" di atasnya mengembang!
"Selamat tinggal, kawan-kawanku yang baik!" Ia melambai ke atas dan melihat betapa kera-kera baboon itu makin lama makin kecil sedangkan tubuhnya terus meluncur perlahan ke bawah. Tiba-tiba "sayapnya" terguncang oleh angin. Celaka, pikirnya. Mudah-mudahan tidak ada angin kencang yang akan menghancurkan "sayapnya" dan menghempaskan ke batu karang yang menjadi dinding tebing curam itu. Untung baginya, angin tidak kencang dan tak lama kemudian ia sudah dapat melihat orang-orang yang berada di bawah. Dan dugaannya ketika berada di atas tebing tadi ternyata tidak meleset. Dia melihat orang-orang sedang bertempur di bawah itu. Dari atas ia melihat belasan orang laki-laki yang tampan dan gagah, semua berpedang sedang sibuk menahan amukan tiga orang yang rambutnya riap-riapan dan bersenjata kebutan. Ilmu silat tiga orang ini hebat bukan main sehingga biarpun orang-orang gagah berpedang itu lebih besar jumlahnya, namun mereka terdesak hebat, bahkan banyak yang sudah terluka. Namun, dengan semangat gagah mereka itu terus mempertahankan diri. Seorang di antara belasan orang gagah itu yang bertubuh tinggi, dan yang tampaknya paling lihai memutar pedang menahan amukan seorang di antara tiga lawan bersenjata kebutan yang lihai itu. Kebutan di tangan Si Brewok yang rambutnya panjang itu kecil saja, namun kakek yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini menggerakkan kebutan secara istimewa sehingga senjata kecil ini berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung yang mengancam tubuh orang gagah itu dari delapan penjuru!
Tiba-tiba orang tinggi itu berseru kaget ketika pedangnya kena digulung kebutan dan terampas. Pedang terlepas dari tangannya dan agaknya dia tidak dapat menghindarkan diri lagi dari cengkeraman maut melalui kebutan. Pada saat itu, dia melihat tubuh Bun Beng yang melayang-layang turun, maka terdengarlah seruannya dengan wajah girang.
"Thai-song.... tolonglah kami....!"
Seruan ini disusul oleh pekik-pekik kegirangan dari orang-orang gagah yang sedang terdesak dan Bun Beng mendengar teriakan-teriakan mereka.
"Cee-thian Thai-seng datang menolong kita....!"
"Dewa kita Kauw Cee Thian datang!"
"Benar! Dia tentu penjelmaan Sun Go Kong....!"
Bun Beng terbelalak keheranan. Benarkah mereka itu menganggap dia Kauw Cee Thian atau Sun Go Kong, juga disebut Cee-thian Thai-seng tokoh dongeng raja kera yang maha sakti dalam dongeng See-yu-ki? Hampir ia tertawa bergelak, akan tetapi melihat wajah mereka yang berseri penuh harapan dan melihat mereka dalam keadaan terancam itu tidak mungkin main-main, timbul kenakalannya. Bun Beng yang mengerti bahwa tentu dia disangka seorang "manusia bersayap" lalu mengeluarkan pekik melengking yang agaknya terdengar amat nyaring oleh orang-orang di bawah itu. Tiga orang berambut panjang yang riap-riapan itu memandang dan wajah mereka berubah pucat.
"Ihhh....! Siluman di siang hari....!" Mereka berseru kemudian mereka berkelebat pergi melarikan diri terbirit-birit karena ngeri dan takut melihat siluman terbang itu!
Setelah melihat tiga orang itu melarikan diri, baru sekarang Bun Beng melihat dengan hati penuh kengerian betapa tubuhnya meluncur turun dan tanah di bawah seolah-olah mulut raksasa besar yang akan mencaploknya. Saking ngerinya, dia meneruskan jeritannya melengking, akan tetapi sekali ini bukan jerit pura-pura untuk menakuti orang, melainkan jerit sungguh-sungguh. Untung ia masih ingat untuk mengembangkan tangannya yang memegang tali sehingga "sayap" itu terbuka lebih lebar, menampung hawa menahan peluncuran tubuhnya. Biarpun demikian, masih saja dia terbanting dan tentu dia akan terluka kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya sampai terguling-guling dan baru dapat meloncat berdiri dengan kepala pening dan mata berkunang. Akan tetapi, ia tertegun menyaksikan belasan orang gagah itu telah menjatuhkan diri berlutut menghadap kepadanya, tidak berani mengangkat muka memandang!
Bun Beng me ngerutkan alisnya. Gilakah orang-orang ini? Ataukah dia yang sudah gila?
"Hamba sekalian menghaturkan banyak terima kasih, bukan saja karena pertolongan Thai-seng, terutama sekali karena Paduka sudah sudi memperlihatkan diri kepada hamba sekalian."
Hampir saja Bun Beng tertawa kalau tidak melihat sikap mereka yang penuh kesungguhan. Ia sukar untuk mempercayai apa yang dilihatnya dan didengarnya. Mereka berjumlah sembilan belas orang, tua muda, laki-laki semua dan rata-rata bersikap gagah. Mengapa orang-orang gagah ini bersikap begini aneh dan menganggap dia sebagai penjelmaan Sun Go Kong Si Raja Kera dalam dongeng See-yu?
"Cuwi sekalian telah salah sangka. Aku sungguh mati bukan; Sun Go Kong, melainkan seorang anak biasa she Gak bernama Bun Beng. Harap Cu-wi suka berdiri dan jangan berlutut membuat aku merasa canggung dan malu saja."
Orang bertubuh tinggi yang bicara tadi, yang ternyata adalah pemimpin rombongan orang itu, mengangkat muka, demikian pula kawan-kawannya, memandang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh keraguan dan agaknya tidak percaya akan kata-kata Bun Beng sehingga mereka masih tetap berlutut.
Bun Beng menunduk dan memandang tubuhnya sendiri, lalu tertawa. Memang pakaiannya amat aneh, dari kain kuning yang tidak berlengan berkaki, hanya membungkus dari leher ke paha, apalagi dia bersayap! Sambil tertawa ia menanggalkan sayap tiruan itu dan berkata, "Lihatlah baik-baik, Cu-wi. Aku adalah seorang anak biasa yang meloncat dari atas sana menggunakan sayap tiruan dari kulit harimau. Aku bernama Gak Bun Beng dan siapakah Cu-wi? Berdirilah agar kita dapat bicara dengan enak." Kini sembilan belas orang itu bangkit berdiri dan memandang Bun Beng dengan penuh keheranan, kekaguman dan tidak percaya.
Bagaimana mungkin mereka dapat percaya bahwa anak itu adalah seorang anak biasa saja padahal mereka tadi menyaksikan sendiri betapa anak itu muncul seperti seorang dewa dan telah berhasil membuat tiga orang lawan mereka lari tunggang langgang tanpa melakukan gerakan apa-apa? Akan tetapi setelah mereka memandang penuh perhatian, mereka mau juga percaya akan keterangan Bun Beng dan mereka kini memandang kagum sekali. Biarpun, bukan Sun Go Kong, anak ini adalah seorang anak luar biasa dan telah "menyelamatkan" nyawa mereka yang tadi terancam maut. Orang tinggi besar itu menjura dan berkata, "Harap Siauw-enghiong (Pendekar Cllik) suka memaafkan kami yang salah menduga. Betapapun juga karena engkau datang dari atas sana, kami yakin bahwa engkau tentu bukanlah seorang anak sembarangan, apalagi engkau telah menyelamatkan kami sembilan belas orang saudara. Terimalah rasa syukur dan terima kasih kami Gak-enghiong, dan mudah-mudahan kami akan berkesempatan membalasnya."
Bun Beng menjadi malu melihat sikap orang-orang itu yang amat sopan dan sungkan. Ia balas menjura dan berkata, "Harap Cu-wi jangan bersikap sungkan. Aku sama sekali tidak merasa telah menolong kalian. Menghadapi tiga orang liar yang lihai itu, aku seorang bocah bisa berbuat apakah? Hanya kebetulan saja kehadiranku mengejutkan dan menakutkan mereka. Siapakah mereka itu dan mengapa menyerang Cu-wi? Siapa pula Cu-wi yang tinggal di tempat sunyi ini?"
"Panjang ceritanya, Gak-inkong (Tuan Penolong Gak). Karena engkau adalah seorang penolong, bagimu tidak ada yang dirahasiakan lagi. Akan tetapi marilah kita bersama kami ke tempat tinggal kami agar kita dapat bicara dengan leluasa."
Bun Beng lalu mengikuti mereka menuju ke tempat tinggal mereka yang ternyata terdiri dari guha-guha besar yang banyak terdapat di kaki gunung itu. Guha-guha itu mereka jadikan tempat tinggal, juga sekaligas merupakan tempat perlindungan yang kuat karena jalan masuk gua itu tertutup oleh pintu besi yang kokoh kuat.
Bun Beng mendapat penghormatan yang sungguh-sungguh dari sembilan belas orang itu agaknya menganggap hutang budi sebagai hal yang amat penting. Anak ini sampai merasa canggung dan tidak enak hati, akan tetapi dia terpaksa menerima keramahan mereka, menerima dan memakai pakaian yang mereka beri kemudian bersama mereka makan minum sambil mendengarkan penuturan Si Jangkung yang bernama Ciu Toan dan menjadi pemimpin mereka itu. Ciu Toan yang menganggap Bun Beng sebagai tuan penolong dan penyelamat nyawa mereka, menceritakan semua keadaan mereka, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati tertarik akan tetapi juga terheran-heran karena di dalam penuturan Ciu Toan banyak terdapat hal yang aneh-aneh.
Sembilan belas orang gagah itu, bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan orang-orang yang pernah menggemparkan dalam perang terakhir melawan pemerintah Ceng yang dikuasai oleh bangsa Mancu. Nama mereka amat terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gigih dan gagah perkasa, dan pada waktu itu, mereka masih bergabung dalam sebuah pasukan kecil yang terkenal dengan nama Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang. Mereka dahulu berjumlah tiga puluh orang yang di antaranya adalah saudara-saudara kandung, saudara-saudara misan yang semua mengangkat saudara dan bersumpah untuk bersama-sama sekuat tenaga menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika pertahanan terakhir terhadap bala tentara Mancu di Se-cuan hancur dan daerah ini jatuh pula ke tangan Pemerintah Ceng, pasukan kecil yang terkenal gagah perkasa ini pun mengalami kehancuran. Dari jumlah tiga puluh orang hanya tinggal sembilan belas orang saja. Karena tak dapat bertahan lagi menghadapi bala tentara Mancu yang amat besar dan kuat, mereka terpaksa melarikan diri. Sepak terjang mereka selama perlawanan menghadapi bala tentara Ceng sedemikian hebat dan terkenalnya sehingga setelah daerah itu ditundukkan, Pemerintah Ceng lalu mencari sisa-sisa Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang ini. Tentu saja untuk menangkap dan menghukum mereka yang telah mendatangkan kerugian banyak terhadap pasukan-pasukan Mancu. Sembilan belas orang ini menjadi orang-orang buruan yang terpaksa menyembunyikan diri. Karena pengejaran dan pencaharian dilakukan oleh orang-orang pandai yang diutus oleh Kerajaan Mancu, maka sembilan belas orang yang dipimpin Ciu Toan itu akhirnya bersembunyi di kaki gunung itu dan sudah hampir dua tahun mereka tinggal di tempat itu.
"Cu-wi adalah orang-orang gagah perkasa, mengapa tadi bersikap begitu aneh dan menganggap aku sebagai Sun Go Kong?" Tanya Bun Beng yang merasa kagum sekali terhadap orang-orang itu yang biarpun kalah perang tetap tidak mau tunduk kepada pemerintah penjajah.
Ciu Toan menjadi merah mukanya, akan tetapi ia menjawab juga, "Kami.... kami menjadi pemuja-pemuja Dewa Sun Go Kong setelah berada di sini, dan.... tadinya kami mengira bahwa kembali beliaulah yang telah menyelamatkan kami seperti yang terjadi dua tahun yang lalu."
Bun Beng membelalakkan matanya. "Apa? Benarkah Cu-wi pernah diselamatkan oleh.... oleh.... Raja Kera Sun Go Kong?"
Dengan alis berkerut dan wajah sungguh-sungguh Ciu Toan berkata, "Memang sukar dipercaya bagi yang tidak mengalaminya sendiri. Dewa Sun Go Kong dianggap sebagai tokoh dongeng, akan tetapi kami percaya bahwa beliau memang ada dan di puncak tebing penuh rahasia itulah tempat pertapaannya. Kami sudah mengalaminya sendiri," Kemudian Ciu Toan menceritakan pengalaman mereka dua tahun yang lalu, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati tertarik sekali.
Ketika sembilan belas orang buruan itu baru beberapa hari tinggal di situ dan sedang sibuk membuat tempat tinggal di guha-guha, pada suatu pagi mereka diserbu dan dikepung oleh segerombolan perampok yang memang sebelum mereka datang menguasai daerah kaki pegunungan itu. Jumlah para perampok ada lima puluh orang lebih dan terjadilah pertempuran hebat yang mengancam keselamatan sembilan belas orang ini. Mereka melakukan perlawanan gigih, karena keahlian mereka adalah berperang, sedangkan dalam pertandingan perorangan ilmu kepandaian mereka tidak terlalu luar biasa, maka mereka terdesak hebat oleh para perampok yang bertekad membunuh semua orang yang mereka anggap hendak merebut wilayah kekuasaan para perampok itu. Dalam keadaan terdesak dan banyak di antara mereka telah terluka, tiba-tiba dari atas tebing menyambar batu-batu kecil yang merobohkan para perampok itu. Anehnya, batu-batu kecil ini tidak mengenai para bekas pejuang, dan yang mengenai tubuh para perampok tidak sampai membunuh mereka, hanya tepat mengenai jalan darah yang membuat para perampok terguling dan lumpuh untuk sementara. Para perampok menjadi panik karena mereka diserang secara aneh oleh lawan yang tidak dapat mereka lihat. Apalagi kalau mereka ingat bahwa dari tempat setinggi itu sampai penyerangnya tidak tampak, orang dapat merobohkan mereka yang sedang bergerak dan bertempur dengan kerikil-kerikil kecil yang mengenai jalan darah, dapat dibayangkan betapa saktinya si penyambit batu-batu kecil! Karena jerih, para perampok melarikan diri dan semenjak itu tidak berani lagi datang mengganggu para bekas pejuang.
Ciu Toan dan teman-temannya mengobati luka yang mereka derita dan mereka pun merasa heran sekali. Mereka mencoba untuk mendaki tebing karena merasa yakin bahwa di puncak tebing tentu tinggal seorang sakti yang telah menolong mereka. Akan tetapi terpaksa mereka mengurungkan niat ini karena tebing itu tidak mungkin didaki, terlalu terjal, tinggi dan licin sekali. Mereka hanya berhasil mendaki sampai seperempat saja dan terpaksa menghentikan usaha mereka. Akan tetapi, selagi mereka beristirahat dengan peluh bercucuran, mereka melihat bayangan seperti bayangan manusia berloncatan mendaki tebing itu dengan kecepatan luar biasa sekali.
"In-kong (Tuan Penolong).... harap sudi menemui kami....!" Mereka berteriak-teriak, namun bayangan itu sebentar saja lenyap di puncak tebing. Kemudian terdengar suara dari atas, lirih saja namun amat jelas terdengar oleh mereka.
"Turunlah kalian, tidak boleh naik ke sini!" Karena memang mereka merasa tidak mungkin dapat mendaki tebing tanpa dilarang sekalipun akan turun juga. Akan tetapi mereka makin penasaran karena terheran-heran menyaksikan bayangan tadi. Seorang manusia, betapa pun pandainya, mana mungkin mendaki tebing seperti itu secara cepat seperti terbang saja? Dan suara dari atas itu, seolah-olah orangnya berbisik di dekat telinga mereka. Bukan manusia! Dewa agaknya, dewa penjaga gunung yang telah menolong mereka. Dan selagi mereka menduga-duga sambil bersiap-siap untuk menuruni lereng tebing yang sukar dan berbahaya itu, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru kaget sambil menuding ke puncak tebing. Mereka semua memandang dan melihat seekor kera besar memakai pakaian pendeta duduk di pinggir puncak tebing, di atas batu dan kera itu menggerak-gerakkan kedua tangan seolah-olah menyuruh mereka cepat turun!
Ciu Toan dan saudara-saudaranya menjatuhkan diri berlutut karena mereka tidak meragukan lagi bahwa kera besar itulah yang menolongnya. Dan siapa lagi kalau bukan Sun Go Kong yang memiliki kesaktian sehebat itu? Di dunia ini mana ada kera yang berpakaian pendeta yang sakti luar biasa dan yang dapat mengeluarkan kata-kata seperti manusia? Kecuali Sun Go Kong!
Demikianlah, sejak saat itu, mereka memuja Sun Go Kong yang bertapa di puncak tebing tinggi itu. Kepercayaan mereka makin menebal ketika tiga kali berturut-turut kawanan perampok lain dan sekali pasukan pemerintah menyerbu, mereka semua itu lari ketakutan karena mereka roboh sebelum sempat menyerang, roboh oleh batu-batu kecil dan bahkan pasukan Pemerintah Mancu roboh oleh suara melengking yang melumpuhkan mereka! Kemudian, dari atas puncak tebing melayang sebuah benda yang ternyata adalah kitab-kitab kecil berisi Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat (Ilmu Silat Kera Sakti) dan yang kini telah mereka pelajari dan menjadi
andalan mereka untuk menjaga diri!
"Demikianlah Gak-inkong, maka ketika engkau melayang turun secara aneh itu kami tidak ragu-ragu lagi bahwa engkau tentu penjelmaan Dewa Sun Go Kong yang kembali menolong kami. Sungguhpun kini ternyata bahwa engkau bukan dewa itu, namun kami tetap percaya bahwa Sun Go Kong berada di puncak tebing itu." Ciu Toan mengakhiri ceritanya yang amat luar biasa itu.
"Bolehkah aku melihat kitab kecil itu?" Bun Beng bertanya. "Tentu saja." jawab Ciu Toan yang lalu mengambil kitab itu. Bun Beng hanya melihat tulisan pada halaman pertama yang berbunyi "Sin-kauw-kun-hoat" dan kini dia merasa yakin bahwa tulisan itu sama dengan penulis kitab "Sam-po-cin-keng" yang dimilikinya. Dia sekarang mengerti bahwa yang menolong para bekas pejuang ini adalah manusia sakti yang tinggal di sumber air panas, dan agaknya yang tampak oleh mereka adalah kera tua yang berpakaian pendeta dan yang sekarang, entah mengapa mungkin karena tuanya, telah lumpuh! Akan tetapi, melihat kesungguhan mereka memuja Sun Go Kong, dia tidak mau membuka rahasia itu dan diam saja.
"Dan tiga orang berambut riap-riapan yang menyerang kalian itu siapakah?"
"Ka mi sendiri juga heran mengapa orang-orang itu dapat mencari kami," jawab Ciu Toan. "Mereka adalah tiga orang dari Thian-liong-pang yang amat terkenal memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi."
"Thian-liong-pang?" Bun Beng terkejut dan teringat akan pengalamannya di muara Huang-ho. Dia pun tahu betapa hebat orang-orang Thian-liong-pang. "Mengapa mereka datang menyerbu? Apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-pang?" Ciu Toan menggeleng kepala. "Kami hanya memusuhi kaum penjajah. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami suka dipaksa mengabdi perkumpulan apa pun juga. Mereka datang seperti biasa mereka lakukan di dunia kang-ouw, yaitu hendak menarik secara paksa agar kami suka masuk menjadi anggauta Thian-liong-pang."
"Aneh sekali!" Bun Beng berkata. "Memang Thian-liong-pang kini terkenal sebagai perkumpulan yang kuat, memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi dan mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka memaksa orang-orang kang-ouw menjadi anggauta mereka, bahkan kadang-kadang menculik ketua-ketua perkumpulan lain yang dijadikan tamu secara terpaksa!"
"Sungguh luar biasa!" Kembali Bun Beng berkata, teringat akan wanita cantik tokoh Thian-liong-pang yang dijumpainya di muara Huang-ho itu.
"Betapapun aneh dan luar biasa, namun engkau lebih aneh lagi, Gak-inhong. Seorang anak kecil bersikap seperti engkau, muncul secara luar biasa dari puncak tebing! Engkau.... engkau tentu.... ada hubungannya dengan Dewa Sun Go Kong, bukan?"
Bun Beng merasa serba salah. Kalau dia berterus terang bahwa di atas sana tidak ada dewa tidak ada iblis yang ada hanyalah kera-kera tak berekor, kera baboon biasa saja, hanya ada seekor kera yang biasa memakai pakaian, tentu cerita ini akan merupakan cemohan bagi kepercayaan mereka. Untuk membohong, dia pun tidak biasa karena orang-orang ini demikian jujur dan gagah, bagaimana ia mampu membohong terhadap mereka dan mengatakan dia benar-benar bertemu dengan tokoh khayal Sun Go Kong? Berterus terang tidak tega, membohong pun tidak mau, habis bagaimana? "Cu-wi-enghiong dan Cu-wi sekalian. Aku Gak Bun Beng adalah seorang anak yatim piatu yang merantau tanpa tujuan dan secara kebetulan saja berada di puncak tebing. Karena aku tersesat jalan tidak tahu bagaimana harus turun, akhirnya aku mendapatkan akal, meniru burung membuat sayap tiruan dan dengan nekat melayang ke bawah sini."
Orang-orang itu memandangnya tak percaya. "Akan tetapi engkau membuat sayap tiruan dari kulit harimau!"
Bun Beng tersenyum dan menjawab, "Aku mempunyai sedikit kepandaian untuk merobohkan dan membunuh beberapa ekor harimau."
"Hebat...., hebat....! Inkong tentu murid seorang sakti!" Mereka memandang kagum.
"Memang guruku sakti sayang beliau telah meninggal dunia." Bun Beng menarik napas panjang, hatinya memang berduka kalau mengingat akan gurunya, juga merasa sakit hati atas kematian suhunya yang amat mengerikan.
"Bolehkah kami mengetahui siapa Suhu Inkong yang mulia?"
"Mendiang Guruku adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai."
"Ajhhh....! Kiranya Inkong murid kakek yang sakti itu?" Orang-orang itu menjadi makin kagum dan gembira sekali dan sikap mereka terhadap Bun Beng makin menghormat. "Kami mempersilakan Inkong tinggal di sini bersama kami. Dengan adanya Inkong di sini kami merasa senang dan aman. Kami dua puluh lima orang....." Tiba-tiba Ciu Toan berhenti bicara dan mukanya berubah.
"Dua puluh lima orang?" Bun Beng mencela. "Kulihat hanya ada sembilan belas orang. Mana yang enam orang lagi?"
Ciu Toan kelihatan bingung dan jelas bahwa dia telah terlanjur bicara tanpa disengaja. "Kami.... kami tadinya.... bersisa dua puluh lima orang, akan tetapi sayang.... enam orang telah meninggal dunia di sini...." Ia pun terdiam dan wajah mereka semua kelihatan muram. Biarpun masih kecil Bun Beng dapat menduga bahwa pasti ada rahasia di balik kematian enam orang saudara mereka itu yang agaknya tidak akan mereka ceritakan kepada orang lain. Maka dia pun tidak mau mendesak lebih lanjut.
Bun Beng yang tidak tahu harus pergi kemana, menerima penawaran mereka dan dia tinggal bersama mereka. Lebih senang tinggal dengan orang-orang ini daripada tinggal di atas dan menjadi "seekor" di antara sekumpulan kera itu, pikirnya. Dia mendapatkan sebuah kamar di guha dan di situ dia menyimpan sepasang pedang dan kitabnya. Setiap hari dia membantu mereka mengerjakan sawah atau berburu binatang di sekitar hutan di kaki gunung.
Akan tetapi beberaPa hari kemudian, sembilan belas orang itu berpamit kepada Bun Beng untuk mencari "akar obat-obatan". Ketika Bun Beng menyatakan hendak membantu, mereka menolak. "Ini adalah tugas pekerjaan kami yang amat penting dan tidak boleh kami minta bantuan siapapun juga." kata Ciu Toan.
"Mengapa tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan? Dan akar obat-obatan apakah yang kalian cari?" Mereka saling pandang dan kembali Bun Beng terheran melihat wajah mereka muram dan seperti orang ketakutan. "Maaf, Gak-inkong. Kami tidak dapat bercerita tentang ini. Harap suka menunggu di sini, kami hanya akan pergi selama tiga hari."
Tanpa memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membantah lagi, pergilah kesembilan belas orang itu, membawa sepuluh buah keranjang kosong. Dia terheran dan merasa penasaran sekali, akan tetapi dengan sabar ia menanti. Setelah pada hari ke tiga dia tidak melihat mereka kembali, Bun Beng kehabisan kesabarannya dan dia pun meninggalkan tempat itu, pergi menyusul ke arah hutan dimana dia melihat mereka pergi tiga hari yang lalu. Hari masih pagi ketika Bun Beng berangkat dan tiba-tiba ia melihat seekor burung yang besar sekali beterbangan di atas hutan di depan. Ia terbelalak memandang dan tadinya ia mengira bahwa yang terbang itu tentulah burung garuda tunggangan Pendekar Siluman. Jantungnya berdebar tegang, juga girang karena berjumpa dengan Pendekar Siluman merupakan idam-idaman hatinya. Ia kagum dan tertarik sekali kepada pendekar kaki buntung itu. Jantungnya makin berdebar keras ketika ia melihat burung besar itu menukik turun dan benar saja, di atas punggung burung besar duduk seorang manusia! Karena jaraknya jauh, dia tidak dapat mengenal orang yang menunggang burung itu, akan tetapi siapa lagi di dunia ini yang memiliki binatang tunggangan seekor burung besar kecuali Pendekar Siluman?
Saking girangnya, lupalah Bun Beng akan niat hatinya semula menyusul sembilan belas orang bekas pejuang dan kini ia berlari-larian menuju ke arah hutan dimana burung itu beterbangan di atasnya, hutan yang agak gundul karena di situ banyak terdapat batu gunung yang tinggi-tinggi. Akan tetapi, setelah memasuki hutan dan tiba di dekat dinding gunung batu ia terkejut dan merasa heran sekali. Kiranya sembilan belas orang itu berada di situ, kesemuanya berlutut dan di depan mereka berjajar sepuluh buah keranjang yang kini sudah terisi akar-akar dan daun-daunan. Apa yang mereka lakukan itu? Ciu Toan berlutut di deretan paling depan dengan wajah ketakutan. Ketika ia mendengar bunyi kelepak sayap burung, ia memandang ke atas dan melihat burung besar itu terbang rendah di atas pohon-pohon dan batu-batu. Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung itu bukanlah garuda putih tunggangan Pendekar Siluman, bahkan tampak pula olehnya bahwa yang duduk di atas punggung burung besar itu adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berwajah tampan dan angkuh. Burung itu terbang rendah di atas sepuluh buah keraNjang seolah-olah memberi kesempatan kepada penunggangnya untuk menjenguk ke bawah karena ia terbang miring, kemudian membubung lagi sambil menyambar dua buah keranjang dengan ke dua cakarnya, lalu terbang menghilang. Namun sembilan belas orang itu masih tetap berlutut dan Bun Beng masih bersembunyi memandang dengan jantung berdebar tegang. Rahasia apa pula ini?
Tak lama kemudian, kembali bocah yang menunggang burung rajawali besar itu datang di atas punggung burungnya, diikuti oleh tiga ekor burung rajawali besar lain. Empat ekor burung itu menukik turun dan menyambar keranjang-keranjang terisi akar dan daun-daunan, akan tetapi kini hanya tujuh buah keranjang yang diterbangkan sedangkan sebuah keranjang lagi yang isinya hanya sedikit, hampir kosong, tidak diangkat pergi.
"Kenapa hanya sembilan keranjang yang sebuah kosong?" Tiba-tiba terdengar bentakan dari atas, suara yang angkuh dan galak dari anak laki-laki yang duduk di atas punggung rajawali.
Sembilan belas orang itu menjadi pucat mukanya dan jelas tampak tubuh mereka gemetar. "Maaf.... kami.... telah berusaha tiga hari tanpa henti mengumpulkan, akan tetapi karena setiap tiga bulan diambil terus, hasilnya makin kurang dan hanya mendapatkan sembilan keranjang...."
"Bohong! Malas!" Anak di atas burung itu membentak, suaranya nyaring galak sehingga Bun Beng yang mendengarnya menjadi gemas dan marah. "Kalian berani menentang dan membantah perintah kami? Tidak cukup murahkah nyawa kalian semua ditebus dengan akar-akar dan daun-daun obat tiga bulan sekali? Siapa yang bertanggung jawab akan kekurangan ini?"
Sembilan belas orang itu berlutut dengan tubuh gemetar dan mereka itu tak dapat menjawab hanya menggumamkan kata-kata mohon maaf.
"Diam semua!" Anak itu membentak dan mereka semua terdiam. "Siapa yang bertanggung jawab? Ataukah semua bertanggung jawab dan siap menerima hukuman dari kami?"
Tiba-tiba Ciu Toan meloncat berdiri dan dengan sikap yang gagah ia menengadah memandang anak laki-laki di punggung burung rajawali sambil berkata nyaring, "Aku, Ciu Toan, yang bertanggung jawab atas kekurangan ini, saudara-saudaraku tidak ada yang bersalah, akulah yang siap menerima hukuman!"
Anak itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Nah, kalau begitu, menunggu apalagi? Apakah harus kami yang turun tangan menyuruh burung rajawali merobek-robek perutmu?"
"Tidak! Aku Ciu Toan bukan orang yang takut mati. Demi keselamatan saudara-saudaraku, biarlah saat ini aku menerima hukuman!" Tiba-tiba Ciu Toan mencabut pedangnya dan langsung menggorok leher sendiri!
"Ciu-twako....!" Bun Beng meloncat maju dan lari menghampiri dengan niat mencegah, sedangkan para bekas pejuang hanya berlutut sambil menangis. Namun terlambat. Tubuh Ciu Toan terhuyung dan roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika!
"Keparat! Setan....!" Bun Beng mengepal tinju dan memandang ke atas, akan tetapi bocah di atas punggung rajawali itu tertawa, burungnya terbang tinggi dan dari jauh masih terdengar gema suara ketawanya. Barulah orang-orang itu bergerak, menubruk dan menangisi jenazah Ciu Toan. "Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Mengapa tidak bangkit melawan bocah setan yang menunggang burung itu? Mengapa membiarkan Ciu-twako membunuh diri? Apa artinya ini semua?" Bun Beng membanting-banting kakinya dengan marah.
"Sssttt.... In-kong, harap jangan bicara di sini. Marilah kita pulang membawa jenazah Ciu-twako dan nanti kami akan ceritakan semua." jawab seorang di antara mereka dengan sikap takut-takut. Biarpun Bun Beng marah dan hampir tak dapat menahan kesabarannya, namun terpaksa dia menurut karena mereka itu tidak ada yang mau menjawab pertanyaannya. Jenazah Ciu Toan diangkut dan setelah dikebumikan dengan upacara sekedarnya, Bun Beng mendengar penuturan delapan belas orang itu.
"Agaknya Dewa Sun Go Kong hanya menolong kami dari ancaman lain, akan tetapi tekanan dari Majikan Pulau Neraka ini membuat kami tidak berdaya dan tidak ada yang mampu menolong....." kata mereka sambil menarik napas dengan muka berduka sekali.
"Pulau Neraka? Bocah itu dari Pulau Neraka?" Orang tertua dari para pejuang itu mengangguk. "Sudah amat lama terjadinya. Ketika kami mencari daun-daun obat di hutan, kami bertemu dengan seorang anggauta Pulau Neraka yang membutuhkan akar jin-som dan daun pencuci darah yang banyak terdapat di hutan itu. Kami dan dia berebutan dan bertanding. Karena dia hanya seorang dan kami keroyok, pada waktu itu jumlah kami masih dua puluh lima orang, dia terluka dan melarikan diri. Akan tetapi, beberapa hari kemudian datang seorang tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, kami dikalahkan dan dipaksa menukar nyawa dengan penyerahan sepuluh keranjang akar dan daun obat setiap tiga bulan. Burung-burung rajawali itu yang datang mengambil dan sudah dua kali ini yang mewakili Pulau Neraka adalah anak laki-laki itu. Amat sukar mengumpulkan akar dan daun obat sekian banyaknya. Tiga orang saudara kami tewas tergigit ular beracun di waktu mencari obat siang malam, dan yang dua orang terpaksa membunuh diri seperti yang dilakukan Ciu-twako karena penyetoran obat kurang. Sekarang Ciu-twako yang mengorbankan diri."
Bun Beng mengepal tinjunya, penasaran sekali. "Mengapa kalian tidak melawan?"
Orang itu menggeleng kepala. "Melawan tiada gunanya. Kepandaian mereka hebat bukan main. Melawan satu orang yang bermuka kuning itu saja kami tidak berdaya sama sekali. Pula, kami sudah berjanji ketika kami dikalahkan. Ciu-twako membunuh diri untuk menolong saudara-saudaranya. Siapa pun di antara kita yang menjadi pemimpin, tentu akan berbuat seperti dia. Kami tidak berdaya....."
Bun Beng mengge leng-geleng kepala nya. "Sungguh menjemukan kalau begitu, kenapa Cu-wi tidak pergi saja meninggalkan tempat ini?"
"Pergi kemana? Kami adalah orang-orang buruan. Di tempat ramai sudah siap orang-orang pemerintah penjajah untuk menangkap kami," jawab orang itu penuh duka.
Bun Beng bangkit berdiri dan memandang orang-orang itu dengan hati penasaran. Dia masih kecil, akan tetapi dia sudah tahu apa artinya kegagahan, maka melihat sikap orang-orang yang dianggapnya gagah perkasa ini, hilang kesabarannya. "Cu-wi sekalian tadinya kuanggaap sebagai orang-orang yang gagah perkasa dan patut dikagumi, akan tetapi sekarang mengapa begini..... pengecut? Seorang gagah lebih mengutamakan kehormatan daripada nyawa! Lebih baik melawan penindas sampai mati daripada membiarkan diri dihina dan ditindas seperti yang dilakukan orang-orang Pulau Neraka kepada Cu-wi! Bukankah orang dahulu mengatakan bahwa lebih baik mati sebagai seekor harimau daripada hidup sebagai seekor babi?"
Delapan belas orang itu memandang kepada Bun Beng dengan wajah muram, pemimpin baru mereka, yang tertua, berkata. "Kami telah menyerahkan jiwa raga untuk negara dan bangsa, kami akan melawan sampai mati terhadap penjajah. Kami tahu kapan dan terhadap siapa dapat melawan. Menghadapi Pulau Neraka, kami tidak berdaya, melawan berarti mati semua. Kalau kami menakluk, berarti hanya beberapa orang terancam bahaya mati, masih ada sisanya untuk menanti kesempatan melakukan perlawanan terhadap penjajah Mancu. Kami tidak akan menyia-nyiakan nyawa kami hanya untuk urusan pribadi."
Jawaban ini membuat Bun Beng tertegun keheranan dan ia tidak mengerti apakah orang-orang ini tergolong orang gagah ataukah orang bodoh. Kalau pengecut terang bukan karena mereka itu takut melawan bukan karena takut mati, melainkan takut kalau mereka mati dengan sia-sia, bukan mati menghadapi penjajah yang agaknya sudah menjadi cita-cita hidup mereka. Maka dia tidak membantah lagi dan diam-diam ia mengatur persiapan untuk menghadapi bocah penunggang rajawali dari Pulau Neraka yang dibencinya itu.
Diam-diam Bun Beng menyembunyikan sepasang pedangnya ke dalam sebuah guha kecil yang tidak dipakai, menutup guha dengan batu dan menanam rumput alang-alang di depannya. Kitab Sam-po-cin-keng yang sudah ia hafal di luar kepala isinya itu dibakarnya. Semua ini ia lakukan tanpa sepengetahuan delapan belas orang itu yang kini sibuk mengumpulkan lagi sepuluh keranjang akar dan daun obat yang sebelum waktu penyetoran tiba agar tidak jatuh korban lagi di antara mereka. Tiga bulan kemudian ketika sepuluh buah keranjang itu disiapkan di tempat biasa dan delapan belas orang itu berlutut menanti datangnya burung-burung rajawali yang hendak mengambil keranjang-keranjang itu, Bun Beng telah berada di dalam sebuah di antara keranjang obat yang tertutup. Diam-diam dia telah memasuki keranjang yang telah ia keluarkan isinya dan hal ini dapat ia lakukan karena ia memaksa mereka untuk diperbolehkan membantu mereka ketika ia menyusul mereka ke hutan.
Bun Beng memiliki jiwa petualang yang besar, yang tumbuh dengan cepat semenjak dia diajak oleh mendiang Siauw Lam Hwesio ke muara Sungai Huang-ho dan mengalami hal-hal yang aneh dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang luar biasa. Dia telah melihat tokoh-tokoh Pulau Neraka, bahkan dia tahu bahwa ketika kecil, orang-orang Pulau Neraka ikut pula memperebutkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa di antara ayahnya yang disebut Kang-thouw-kwi Gak Liat, dengan pimpinan Pulau Neraka tentu ada hubungannya, karena ibunya seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu tidak mempunyai hubungan dengan Pulau Neraka. Kini, mendengar bahwa bocah yang angkuh dengan burung-burung rajawali besar itu datang dari Pulau Neraka timbul niat di hatinya untuk ikut ke Pulau Neraka, dimana dia akan menegur cara mereka mengumpulkan obat-obatan dengan memeras dan menekan bekas-bekas patriot atau pejuang itu! Tentu saja Bun Beng tahu bahwa perbuatannya amat berbahaya bagi keselamatannya, namun dia sama sekali tidak merasa takut. Kalau bocah sombong dan angkuh itu berani menunggang di punggung rajawali, mengapa dia tidak berani diterbangkan dengan bersembunyi di dalam keranjang akar obat?
Ketika menanti di dalam keranjang jantung Bun Beng berdebar keras, khawatir kalau-kalau ada di antara delapan belas orang itu yang mencarinya dan ada yang memeriksa keranjang. Akan tetapi hatinya lega melihat dari celah-celah keranjang bahwa ke delapan belas orang itu berlutut dengan menundukkan kepala, sama sekali tidak memperhatikan sepuluh buah keranjang yang kini terisi penuh semua.
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan nyaring yang tersusul suara kelepak sayap di atas pohon-pohon. Burung-burung itu telah terbang datang! Bun Beng cepat merendahkan tubuhnya dan menutupi kepalanya dengan daun-daun obat, jantungnya berdebar tegang. Burung rajawali yang ditunggangi anak laki-laki itu seperti biasa terbang rendah di atas keranjang-keranjang itu dan anak laki-laki itu memeriksa isi keranjang dari tutup yang berlubang-lubang. Kemudian kelepak sayap terdengar makin keras, burung rajawali mulai menyambar dan membawa terbang keranjang-keranjang itu! Keranjang dimana Bun Beng bersembunyi mendapat giliran terakhir. Hatinya lega bercampur tegang ketika ia merasa tubuhnya terangkat dan terayun-ayun, merasa betapa tubuhnya membubung tinggi!
Agak pening juga rasa kepala Bun Beng dan perutnya terasa mual hendak muntah, akan tetapi kalau teringat kepada anak yang menunggang rajawali terbang, ia menguatkan hatinya dan menggigit bibir. Entah berapa lama dia diterbangkan dan kini dia tidak merasa pening atau mual lagi, agaknya dia sudah mulai biasa! Kalau dahulu ia "terbang" sendiri di atas tebing, tidaklah begini mengerikan karena dia dapat melihat sekelilingnya, tidak seperti sekarang mendekam di dalam keranjang.
Tiba-tiba ia mendengar suara keras sekali dan baru ia tahu bahwa rajawali yang menggondol keranjang itulah yang mengeluarkan suara keras. Dia mendengar pula pekik rajawali-rajawali lain dan lapat-lapat mendengar suara dua orang saling memaki! Bun Beng terheran-heran. Bagaimana mungkin di angkasa ada dua orang bercekcok? Saking herannya, ia membuka tutup keranjang dan betapa kagetnya ketika menyaksikan pemandangan yang amat hebat. Di angkasa itu, anak laki-laki yang angkuh dari Pulau Neraka
sedang bertanding melawan seorang anak perempuan sebaya yang menunggang seekor burung garuda putih yang besar. Mereka berdua sama-sama memegang pedang dan bertanding mati-matian sambil saling memaki! Juga burung garuda itu membantu penunggang masing-masing, saling bertempur mempergunakan cakar dan paruh!
Tiba-tiba Bun Beng teringat! Burung garuda putih itu! Serupa benar dengan burung tunggangan Pendekar Siluman! Ahhh! Bukankah dahulu Pendekar Siluman mencari muridnya? Murid perempuan? Agaknya perempuan inilah murid Pendekar Siluman! Perasaan kagum dan sukanya terhadap Pendekar Siluman otomatis tertumpah kepada murid perempuan pendekar itu, apalagi lawan anak perempuan itu adalah anak laki-laki yang angkuh dan yang dibencinya. Dia sampai lupa menutupkan kembali tutup keranjang, lupa bahwa keranjang yang didudukinya itu dicengkeram oleh kaki rajawali yang besar dan kuat, dan dia asyik menonton pertandingan sambil
mendengarkan percekcokan mulut. Agaknya kedua anak itu sama-sama galak dan pandai memaki!
"Iblis cilik! Rajawalimu akan mampus oleh garudaku seperti juga engkau akan mampus di tanganku!" Bentak anak perempuan itu.
"Ha-ha-ha, kau perempuan kuntilanak! Hanya galak dan main gertak saja. Pedangku akan membuat kau terguling, dan tubuhmu akan hancur gepeng terbanting ke bawah!" Anak laki-laki itu balas memaki.
"Mampuslah!" Anak perempuan itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, tangan kiri mencengkeram bulu leher garudanya, pedangnya menusuk dengan dahsyat. Karena tubuhnya condong ke depan, maka serangannya itu amat hebat, mengarah tenggorokan lawan.
"Tranggg!" Anak laki-laki itu menangkis, akan tetapi pedang di tangan anak perempuan itu secara aneh dan cepat sekali menyeleweng dari atas membesut melalui pedang lawan dan langsung menikam dada!
"Celaka....!" Anak laki-laki itu berteriak, lalu menggerakkan tubuhnya meloncat ke kanan. Dalam kegugupannya menghadapi serangan maut itu, dia lupa bahwa dia duduk di atas punggung rajawalinya yang sedang terbang, maka ketika ia meloncat ke kanan, otomatis tubuhnya melayang jatuh dari punggung rajawali!
Betapapun bencinya terhadap anak laki-laki yang angkuh itu, hati Bun Beng merasa ngeri juga menyaksikan tubuh anak itu terguling jatuh dari atas punggung rajawali, padahal tanah di bawah sedemikian jauhnya sampai hampir tidak tampak teraling awan! Akan tetapi, anak laki-laki itu ternyata hebat, tenang dan cekatan. Juga rajawali tunggangannya sudah terlatih. Cepat ia menggerakkan tangan dan berhasil memegang kaki rajawali dengan tangan kirinya. Melihat ini, anak perempuan itu marah dan kembali mendoyongkan tubuh ke depan untuk menusukkan pedangnya. Sambil bergantungan kepada kaki rajawalinya, anak laki-laki itu menangkis.
"Cringgg!" Sepasang pedang bertemu dengan kerasnya sehingga bunga api berpijar. Melihat kemenangan majikannya, garuda putih itu kelihatan bersemangat. Paruhnya menghunjam ke arah kepala rajawali. Rajawali cepat mengelak, akan tetapi paruh garuda itu masih mengenai pinggir sayapnya sehingga banyak bulu burung rajawali membodol dan berhamburan melayang. Rajawali memekik dan terbang menjauh, dikejar oleh burung garuda. Agaknya melihat kawannya bertempur, rajawali yang mencengkeram keranjang Bun Beng hendak membantu. Ketika garuda putih itu kembali menerjang rajawali yang kini sudah diduduki lagi punggungnya oleh anak laki-laki yang kelihatan marah sekali, rajawali yang membawa Bun Beng menerkam dari belakang, menggunakan kaki kiri dan paruhnya karena kaki kanannya mencengkeram keranjang terisi Bun Beng. Garuda putih tak sempat menghadapi lawan dari belakang ini karena pada saat itu dia harus menghadapi serangan balasan lawannya yang marah. Melihat ini, anak perempuan itu memutar pedangnya menusuk ke arah rajawali ke dua. Burung rajawali ini menggerakkan paruhnya menangkis.
"Trangg....! Aihhhh.... pedangku!" Anak perempuan itu berteriak marah dan kaget karena pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan melayang turun lenyap ditelan awan. Kini burung garuda itu memekik-mekik siap menghadapi penggeroyokan dua ekor burung rajawali. Setiap ada lawan mendekati, kedua kakinya menerjang secepat kilat dan tentu berhasil merontokkan beberapa helai bulu lawan. Menyaksikan kegarangan garuda ini, kedua ekor burung rajawali hanya terbang mengelilingi dan mengancam. Kini anak laki-laki itu tertawa-tawa mengejek kepada anak perempuan yang sudah tak bersenjata lagi.
"Ha-ha-ha-ha, kuntilanak kecil! Engkau telah terkurung sekarang. Mana kegaranganmu tadi? Hayo bersumbarlah sekarang, ha-ha-ha! Engkau tahu rasa sekarang. Apa kaukira semua orang takut kepada penghuni Pulau Es? Ha, ha, mukamu sudah pucat! Betapapun juga, wajahmu manis sekali. Kalau kau menyerah dan ikut bersamaku ke tempatku, aku akan menjamin bahwa engkau akan diampuni, akan tetapi untuk itu aku minta upah dan balas jasa. Tidak sukar, asal engkau kelak suka berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali di depan kakiku, menyebut aku Koko yang baik kemudian membiarkan aku mencium kedua pipimu, engkau bahkan akan kujadikan sahabatku dan....."
"Tutup mulutmu yang busuk! Berani engkau memandang rendah Pulau Es? Biar aku mati, Suhu tentu akan mencarimu dan merobek mulutmu serta membunuhi semua nenek moyangmu, kalau engkau begitu pengecut untuk menyebutkan nama dan tempatmu?"
Gadis cilik itu terpaksa harus miringkan tubuh dan mencengkeram bulu leher burungnya ketika burungnya terserang dari atas bawah dan menukik miring untuk menghindarkan diri dan balas menyerang. Sebuah tusukan dari anak laki-laki itu berhasil dia tangkis dengan tendangan mengarah pergelangan tangan, namun anak laki-laki itu sudah cepat menarik kembali tangannya sambil menyeringai.
"Ha-ha-ha! Kematian sudah di depan mata, engkau masih menyombongkan Pulau Es! Dan engkau menyombongkan Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tentu dia Gurumu, bukan? Ha-ha-ha, tunggu saja. Kelak pimpinan kami akan membasmi seluruh penghuni Pulau Es, termasuk Pendekar Siluman."
"Keparat sombong! Aku tahu sekarang! Engkau tentu seorang di antara anggauta Thian-liong-pang yang sombong! "
"Heh-heh-heh, boleh kauterka, bocah manis! Engkau tidak akan tahu!"
"Dia dari Pulau Neraka!" Tiba-tiba Bun Beng tak dapat menahan kemarahannya lagi sehingga ia l�pa diri dan berteriak.
"Hahh....?" Kini anak laki-iaki itu memandang dan baru tahu bahwa keranjang terakhir itu bukan berisi akar dan daun obat,
melainkan terisi seorang anak laki-laki! "Kau.... siapa....?"
Sementara itu anak perempuan itu tersenyum mengejek, "Aha, kiranya engkau keturunan orang-orang buangan itu? Pantas seperti iblis!"
Bun Beng yang kini tidak meragukan lagi bahwa gadis cilik itu tentulah murid Pendekar Siluman yang dikaguminya, ketika melihat betapa pengeroyokan dua ekor rajawali membahayakan garuda dan gadis cilik itu, segera menggerakkan tangan menghantam ke arah perut rajawali yang membawa keranjangnya.
"Bukkk! " Pukulan Bun Beng di luar tahunya kini berbeda dengan pukulannya sebelum ia mempelajari Sam po-cin-keng. Tenaga sin-kangnya bertambah kuat sekali berkat bertelanjang selama setengah tahun dan mempelajari ilmu silat yang mujijat. Begitu terkena hantaman ini, rajawali memekik dan otomatis cengkeramannya pada keranjang itu terlepas dan tubuh Bun Beng ikut meluncur ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia sukar bernapas! Akan tetapi rajawali itu sendiri yang sudah terluka dan terkejut oleh pukulan Bun Beng, segera kabur terbang secepatnya. Ditinggalkan kawannya, burung rajawali pertama menjadi jerih, juga anak laki-laki itu agaknya menjadi jerih setelah rahasianya terbuka, maka ia menyuruh burungnya terbang pergi meninggalkan garuda dan anak perempuan yang menungganginya. Anak perempuan itu terbelalak penuh kengerian dan berusaha mengikuti keranjang terisi anak laki-laki yang jatuh dengan pandangan matanya. Akan tetapi jatuhnya keranjang itu terlampau cepat dan sudah lenyap ditelan awan, maka ia menggerakkan pundaknya dan menyuruh garudanya terbang pergi juga dengan cepat sekali.
"Bibi Pek-eng (Garuda Putih), bawa aku pulang ke Pulau Es. Sudah terlalu lama kita pergi, aku khawatir Suhu akan marah sekali kepadaku! " Bisik anak perempuan itu kepada garudanya. Anak itu, tepat seperti dugaan Bun Beng, adalah Giam Kwi Hong, keponakan dan juga murid dari Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es. Anak ini telah dibawa olah Suma Han ke Pulau Es di mana dia digembleng oleh pendekar sakti itu sebagai muridnya. Karena dia amat disayang oleh gurunya yang juga menjadi pamannya, dan karena semua penghuni Pulau Es juga sayang dan takut kepadanya, maka Kwi Hong memiliki watak yang agak manja sehingga dia berani meninggalkan Pulau Es di luar tahu gurunya. Hal ini adalah karena dia selalu dilarang untuk meninggalkan pulau dan memang anak yang ditekan dan dilarang, biasanya setelah agak besar akan berontak karena larangan itu justru menimbulkan daya tarik dan gairah untuk mengetahui bagaimana macamnya dunia di luar Pulau Es! Kwi Hong menunggang garuda betina putih meninggalkan pulau untuk "melihat-lihat". Garuda itu terbang menuju ke timur laut, akan tetapi karena dia merasa lelah setelah bertempur, tanpa diperintah setelah terbang setengah hari lamanya, dia menukik turun dan hinggap di atas gunung karang dekat laut untuk beristirahat. Burung ini biarpun terlatih dan kuat sekali, namun dia tetap seekor binatang yang bergerak menurutkan kebutuhan tubuhnya. Dia lelah dan harus beristirahat sebelum melanjutkan penerbangan ke Pulau Es yang jauh. Karena lelah kedua-duanya, baik garuda itu maupun Kwi Hong tidak tahu bahwa dari depan tampak dua titik hitam yang terbang cepat sekali. Ketika Kwi Hong melompat turun dari punggung garudanya, dua titik hitam itu telah berada di atas dan ternyata itu adalah dua ekor burung rajawali, ditunggnagi oleh anak laki-laki bekas lawannya tadi sedangkan yang seekor lagi ditunggangi oleh seorang wanita yang cantik sekali. Dua ekor rajawali itu meluncur turun dan tak lama kemudian hinggap tak jauh dari situ.
Melihat bekas lawannya, garuda putih memekik dan menerjang maju, akan tetapi wanita itu menggerakkan tangan dan tampak berkelebat bayangan hitam kecil panjang yang menyambut tubuh garuda. Di lain saat, garuda itu telah terbelenggu kedua kaki dan paruhnya sehingga tidak mampu bergerak, hanya kedua sayapnya saja bergerak-gerak dan tubuhnya meronta-ronta.
"Diam engkau!" Wanita cantik itu tiba-tiba mencelat ke dekat garuda, sekali tangannya menotok burung itu rebah miring tak mampu menggerakkan kedua sayapnya lagi. "Setan! Kau apakan burungku....?" Kwi Hong marah sekali dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal. "Inikah anak perempuan itu?" Wanita cantik itu bertanya kepada anak laki-laki yang cepat mengangguk.
"Dialah kuntilanak kecil itu. Biar aku membunuhnya!" Berkata demikian, anak laki-laki itu sudah menerjang maju dengan pedangnya, menusuk dada Kwi Hong yang cepat mengelak dan mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh anak laki-laki itu.
"Engkau setan iblis cilik kurang ajar! Kau kira aku takut padamu? Biar kaubawa semua penghuni Pulau Neraka ke sini, aku tidak takut!" Kwi Hong balas memaki dan kini biarpun bertangan kosong, dia menerjang maju dengan ganas dan dahsyat. Setelah turun dari punggung burung, barulah ia tahu bahwa anak laki-laki itu lebih muda darinya, maka keberaniannya makin membesar. Masa dia takut terhadap anak kecil?
Ilmu silat Kwi Hong saat itu sudah mencapai tingkat hebat juga berkat gemblengan paman atau gurunya. Selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga dia memiliki sin-kang yang jauh lebih kuat daripada lawannya, di samping gerakan gin-kangnya yang membuat tubuhnya ringan dan gesit bukan main. Biarpun lawannya memegang pedang, namun setelah bertanding tiga puluh jurus yang ditonton wanita cantik penuh perhatian, kini dia mulai mendesak terus sedangkan anak laki-laki itu sibuk memutar-mutar pedangnya menjaga diri dari serangan yang datang bertubi-tubi dari segala pihak itu.
"Mundur kau!" Tiba-tiba wanita cantik itu mendorongkan tangannya dan tubuh Kwi Hong terpental ke belakang. Dia marah sekali.
"Engkau siluman!" Dan ia maju lagi, akan tetapi tubuhnya tidak dapat maju, seolah-olah ada dinding tak tampak yang menghadang di depannya. Ia mencoba melompat mundur, juga tidak berhasil. Tubuhnya telah dikurung hawa yang amat kuat yang tidak memungkinkan dia lari kemanapun juga!
"Bocah liar, apakah engkau murid Suma Han, Pendekar Siluman itu?" Wanita itu bertanya, suaranya dingin sekali. Kwi Hong mengangkat muka memandang. Dia maklum bahwa wanita itu memiliki kesaktian hebat, akan tetapi sebagai murid Pendekar Super Sakti, dia tidak takut dan memandang wanita itu penuh perhatian. Wanita itu belum tua, belum ada tiga puluh tahun, memiliki kecantikan luar biasa sekali, dengan sepasang matanya yang lebar, bening dan bersinar tajam akan tetapi juga mengerikan. Tubuhnya ramping dan padat, ditutup pakaian yang serba hitam sehingga wajahnya yang sudah putih menjadi makin jelas warna putihnya. Diam-diam Kwi Hong bergidik. Warna putih wajah wanita itu tidak wajar! Bukan putih susu, bukan pula putih karena pucat, melainkan putih sama sekali, seperti putihnya kapur!
"Benar, aku adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es. Sebaiknya engkau yang memiliki ilmu siluman jangan mengganggu aku kalau sudah mengenal betapa lihainya Guruku agar kelak tidak menyesal."
"Heh-heh, kuntianak cilik! Engkau masih berani menggertak Ibuku?" Anak laki-laki itu mengejek.
"Keng In! Diam engkau!" Wanita itu membentak dan Kwi Hong memandang heran.
"Ah, jadi bocah nakal ini anakmu? Kalau begitu apakah engkau ini Majikan Pulau Neraka?"
Wanita cantik bermuka putih itu mengangguk. "Tidak salah, akulah Majikan Pulau Neraka dan engkau harus ikut bersamaku ke Pulau Neraka"
"Aku tidak sudi!" Kwi Hong melotot dengan berani. Wanita itu tersenyum dan makin heranlah Kwi Hong. Kalau wanita itu diam, wajahnya yang putih tampak dingin menakutkan, akan tetapi kalau tersenyum bukan hanya mulutnya yang tersenyum, melainkan juga matanya, hidungnya dan seluruh wajahnya. Cantik dan manis bukan main!
"Mau tidak mau harus ikut."
"Ahh, tidak malukah engkau sebagai Majikan Pulau Neraka hanya pandai memaksa seorang anak kecil? Kalau engkau memang sakti seperti dikabarkan orang, coba kaulawan Guruku, tentu dalam sepuluh jurus engkau mati! "
"Anak, engkau menarik! Engkau penuh keberanian. Hemm, agaknya Suma Han masih belum dapat mengatasi kegalakan anak perempuan, hanya pandai melatih silat tidak pandai mengekang keliaranmu. Siapa namamu?"
"Aku Giam Kwi Hong!"
Wanita itu mengerutkan kening. "Engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Gurumu?"
Kwi Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng dan berkata bangga. "Benar! Nah, engkau tidak boleh main-main dengan aku, karena Pamanku tentu akan marah kepadamu."
Kembali wanita itu tersenyum. "Memang aku ingin membuat dia marah, aku ingin dia mencoba-coba merampasmu dari tanganku, ingin Pendekar Siluman berani datang ke Pulau Neraka dan menghadapi kami. Hayo!"
Kwi Hong hendak meronta dan menolak, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan disambut lengan wanita itu dan tahu-tahu ia telah dibawa mendekati garuda putihnya. Sekali wanita itu menggerakkan tangan, tali hitam dari sutera yang mengikat kaki dan paruh burung itu terlepas dan totokannya pun bebas pula.
"Pulanglah engkau lapor majikanmu!" Wanita itu menepuk punggung garuda putih yang agaknya maklum akan kelihaian wanita itu karena dia memekik kesakitan lalu terbang ke arah timur. Wanita itu lalu meloncat ke punggung rajawali bersama Kwi Hong yang dikempitnya, lalu burung itu terbang cepat ke atas, disusul oleh anak laki-laki bernama Keng In yang juga sudah meloncat ke punggung rajawalinya. Dari atas punggung rajawali itu, Kwi Hong melihat betapa mereka menuju ke sebuah pulau di tengah laut. Pulau itu dari atas kelihatan hitam sekali, menjadi lawan Pulau Es yang kelihatan putih dari atas. Di sekelilingnya terdapat pulau-pulau mati yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya. Setelah burung itu berada di atas pulau hitam, tampak olehnya bahwa tumbuh-tumbuhan di situ berwarna hijau gelap mendekati biru sehingga dari atas tampak hitam, apalagi karena di atas pulau itu terdapat awan hitam yang seolah-olah selalu menyelimuti pulau. Kedua burung rajawali itu meluncur turun dan setelah tidak begitu tinggi tampak oleh Kwi Hong betapa pulau itu dikelilingi tepi laut yang merupakan tebing-tebing batu karang, sedangkan secara aneh sekali ombak besar menghantam tepi pantai dengan dahsyat dari segala penjuru. Dia bergidik. Pulau yang buruk dan menyeramkan. Bagaimana mungkin ada perahu dapat mendarat di pulau ini kalau ombaknya demikian besar? Tentu perahu itu akan dihempaskan ke batu karang dan hancur lebur!
Kini tampak rumah-rumah di pulau itu. Gentengnya terbuat dari kayu yang hitam pula, atau dicat hitam? Dan begitu burung itu menukik turun dan hinggap di pekarangan sebuah rumah besar seperti istana, tampak banyak orang berlarian datang menyambut.
Tiba-tiba Kwi Hong tertawa saking geli hatinya. Dia melihat wajah anak yang bernama Keng In itu biasa saja seperti orang lain, hanya ibunya yang mengaku Majikan Pulau Neraka itu wajahnya berwarna putih seperti kapur, seperti dicat putih. Kini, orang-orang yang lari berdatangan itu memiliki wajah yang beraneka warna. Ada yang mukanya berwarna hitam seperti arang, ada yang biru, ada yang merah, ungu, hijau, kuning. Akan tetapi terbanyak adalah warna-warna yang gelap, sedangkan muka yang berwarna terang, terutama yang kuning, tidak banyak. Tidak ada seorang pun yang berwarna putih mukanya seperti wanita ibu Keng In itu.
"Hi-hi-hik! Alangkah lucunya. Mengapa kalian penghuni-penghuni Pulau Neraka mencat muka kalian? Apakah hari ini akan diadakan pesta dan panggung sandiwara dan kalian semua ikut bermain?"
Semua orang yang datang menyambut To-cu mereka itu melotot mendengar ucapan ini. Seorang wanita cantik, yang mukanya berwarna merah muda sehingga warna ini amat menguntungkan karena menambah kecantikannya, bertanya. "Twanio, siapakah bocah kurang ajar ini?"
Dari pandang mata semua orang, jelas bahwa pertanyaan yang diajukan kepada ketua ini mewakili suara hati semua orang.
"Dia? Dia ini adalah murid dan juga keponakan dari Pendekar Siluman...."
Mendengar wanita itu menyebut julukan gurunya yang amat tidak disukanya, Kwi Hong memotong cepat, "Beliau adalah Pendekar Super Sakti tanpa tading, To-cu dari Pulau Es yang terkenal di seluruh pelosok dunia!"
Akan tetapi ucapannya itu seolah-olah tidak terdengar oleh mereka karena mendengar disebutnya nama Pendekar Siluman itu saja para penghuni Pulau Neraka sudah menjadi amat terkejut dan saling pandang. Dari sinar mata mereka jelas tampak betapa mereka itu terkejut dan jerih. Melihat ini, Kwi Hong melanjutkan kata-katanya.
"Awas kalian kalau mengganggu aku! Guruku akan datang dan membasmi Pulau Neraka ini beserta seluruh penghuninya!"
Akan tetapi Ketua Pulau Neraka itu dengan tenang berkata, "Kwi Hong, engkau anak kecil tahu apa? Tidak perlu membuka mulut besar karena aku sengaja membawamu ke sini agar Gurumu datang. Hendak kulihat apakah dia akan mampu merampasmu kembali. Dan engkau bebas di sini, mau ke mana pun boleh."
Kwi Hong cepat memutar tubuhnya menghadapi wanita muka putih itu. "Aku boleh pergi?"
Wanita itu tersenyum. "Silakan!"
"Terima kasih!" Kwi Hong lalu meloncat dan lari pergi meninggalkan pekarangan rumah itu.
"Biarkan dia pergi kemana dia suka, akan tetapi awasi baik-baik agar dia tidak sampai celaka. Persiapkan anak panah dan semua senjata rahasia. Begitu ada burung garuda muncul di atas pulau, sambut dengan anak panah dan senjata-senjata rahasia, terutama anak panah berapi. Kalau Pendekar Siluman mampu menerobos masuk ke Pulau Neraka, aku sendiri yang akan menandinginya!"
Para penghuni pulau itu bubar dan sibuk melaksanakan perintah Ketua mereka. Mereka kelihatan panik karena nama besar Pendekar Super Sakti sudah lama mereka dengar dan mereka rata-rata merasa jerih terhadap pendekar itu. Yang kelihatan tenang hanyalah Si Ketua dan beberapa orang yang tingkatnya sudah tinggi, yaitu mereka yang mukanya berwarna kuning, hijau pupus atau merah muda. Penjagaan ketat dilakukan siang malam, dan persiapan menyambut lawan istimewa itu dilakukan dengan rapi.
Dengan hati girang Kwi Hong berlari ke luar dari kelompok bangunan itu, memasuki sebuah hutan. Tidak disangkanya bahwa Ketua Pulau Neraka itu demikian baik hati sehingga dia diperbolehkan pergi begitu saja! Tiba-tiba ia berhenti berlari dan memandang terbelalak ke depan karena di depannya menghadang barisan ular yang berwarna merah dan hitam, bukan main banyaknya! Ada ribuan ekor dan mereka mengeluarkan suara mendesis-desis dan tampak uap hitam keluar dari moncong mereka! Kwi Hong menggigil dan cepat membelok ke kanan, akan tetapi dimana pun penuh ular, demikian pula di kiri. Terpaksa ia memutar tubuhnya dan lari ke lain jurusan. Melihat sebuah hutan lain yang berdekatan, dia masuk dan hatinya lega karena tidak melihat ular seekor pun. Akan tetapi,hutan ini amat gelap dan tidak ada lorong bekas kaki manusia, maka ia masuk secara ngawur saja. Tiba-tiba terdengar suara mengaung yang makin lama makin keras. Suara itu seolah-olah datang dari segenap penjuru, membuat telinganya serasa akan pecah dan kepalanya pening. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba ia melihat ribuan ekor lebah berwarna hitam beterbangan mengejarnya! Celaka, pikirnya. Lebah tidak seperti ular yang dapat ditinggal lari begitu saja. Tentu akan mengejarnya dengan kecepatan terbang dan kalau dia dikeroyok, celaka! Ia membalikkan tubuhnya dan lari hendak keluar dari hutan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia tidak tahu lagi mana jalan keluar. Lama ia berlari cepat dengan ribuan lebah terbang mengejarnya, dan dia masih belum keluar dari hutan, bahkan mungkin tersesat makin dalam!
Ketika lebah-lebah itu sudah dekat sekali, ia mencium bau amis dan wangi. Makin takutlah dia karena maklum bahwa lebah-lebah itu adalah binatang berbisa, jangankan dikeroyok begitu banyak. Disengat oleh seekor pun bisa berbahaya. Saking bingung dan gugupnya, ia tersandung dan jatuh menelungkup. Lebah-lebah sudah mengiang di atas kepalanya sehingga dengan hati ngeri Kwi Hong menggunakan kedua tangan menutupi kepalanya. Kedua matanya dipejamkan dan hatinya mengeluh, "Mati aku sekarang!"
Akan tetapi, tiba-tiba suara itu menghilang berbareng dengan timbulnya suara melengking tinggi seperti suara suling. Ia membuka mata dan bangkit duduk. Ribuan ekor lebah berbisa itu benar-benar telah pergi dan tampak olehnya sesosok bayangan seorang laki-laki tua bermuka hijau pupus berkelebat pergi ke arah kiri. Dia mengerti bahwa tentu orang itu mengusir lebah dengan tiupan suling, maka ia pun mengikuti bayangan orang Pulau Neraka yang menolongnya itu. Benar dugaannya, orang itu memegang suling dan agaknya sengaja menanti dia karena beberapa kali berhenti agar Kwi Hong tidak sampai tertinggal. Kiranya jalan keluar dari hutan itu tidaklah semudah ketika masuk. Laki-laki tua itu membelok ke kiri, ke kanan, sampai berulang kali, ada kalanya seperti memutar dan bahkan mengambil arah yang bertentangan dengan arah tadi. Kwi Hong mengikuti terus dan betapa girang serta heran hatinya ketika dalam waktu sebentar saja dia sudah keluar dari hutan!
Akan tetapi kakek muka hijau itu pun sudah lenyap. Kwi Hong dapat mengerti bahwa tentu kakek itu diperintah oleh ketuanya untuk menolong dia, maka kembali ia merasa berterima kasih dan tidak mengerti mengapa Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu mula-mula menculiknya kemudian kini membolehkan dia pergi malah menyuruh orang menolongnya dari bahaya maut. Dia berjalan terus, mengambil jurusan yang berlawanan dengan hutan-hutan yang dimasukinya tadi. Ia melihat daerah yang berbatu dan ke sanalah ia menuju. Biarpun batu-batu itu kelihatan hitam menyeramkan, namun dia tidak takut. Dia harus keluar dan pergi dari pulau ini.
Kakinya mulai terasa lelah, namun Kwi Hong tidak mau berhenti dan mendaki pegunungan kecil dari batu-batu karang hitam itu. Ketika ia tiba di bagian yang paling tinggi, tampaklah air laut membentang luas jauh di depan bawah. Dari tempat itu kelihatan air laut tenang dan hanya di pantai tampak membuas putih. Hatinya menjadi girang, akan tetapi begitu ia mulai menuruni batu-batu itu, tiba-tiba ia tersentak kaget mendengar suara menggereng yang menggetarkan batu karang yang diinjaknya. Ketika ia memandang ke bawah, ia terpekik dan mukanya menjadi pucat. Di depannya, di antara batu-batu karang itu, terdapat binatang-biatang yang bentuknya seperti cecak, akan tetapi besar sekali, panjangnya dari dua meter sampai tiga meter. Ada ratusan ekor banyaknya, baris memenuhi jalan di depannya, dengan mulut terbuka, lidahnya keluar masuk dan tampak gigi yang runcing mengerikan.
"Ohhhh....!" Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan lari pergi dengan maksud mengambil jalan lain yang tidak melalui tempat berbahaya itu. Dilihatnya daerah yang penuh dengan tanaman menjalar dan kelihatannya bersih, tidak terdapat binatang-banatang buas.
Ke sinilah ia berlari. Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit karena ketika kakinya menyentuh tanaman menjalar itu, tiba-tiba kedua kakinya terlibat dan tanaman itu seperti hidup! Ujung ranting-ranting tanaman yang lemas dan panjang itu seperti tangan-tangan setan menyergapnya dan melibat seluruh tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa, seolah-olah memiliki daya menempel dan menyedot.
Kwi Hong meronta-ronta, menggunakan kekuatan kaki tangannya untuk melepaskan diri, namun sia-sia karena lilitan "tangan-tangan" tanaman itu makin erat saja. Dan dilihatnya tanaman yang tumbuh di sekitarnya sudah bergerak-gerak seolah-olah tanaman-tanaman itu hidup dan kini berusaha untuk melepaskan diri dari tanah dan mengeroyoknya!
"Iiiihhh....!" Ia menjerit ketika sehelai di antara "tangan-tangan" itu merayap dan akan melilit lehernya.
Pada saat itu tampak berkelebat sinar hitam, terdengar suara keras dan tanaman yang melilitnya itu jebol dari tanah berikut akar-akarnya. Begitu jebol, tanaman itu seolah-olah kehilangan tenaganya dan dengan mudah Kwi Hong melepaskan diri lalu meloncat menjauhi tanaman-tanaman berbahaya itu. Dia merasa betapa kulit bagian tubuh yang terlilit tadi terasa gatal-gatal panas, tanda bahwa tanaman itu pun mengandung racun jahat!
Dia tidak peduli lagi ketika melihat sesosok bayangan berkelebat pergi, hanya dapat menduga bahwa tentu bayangan itu yang tadi menolongnya. Dia lari cepat, ingin menjauhi tempat berbahaya itu secepat mungkin. Kini hanya tinggal satu jurusan lagi yang dapat ia ambil. Kembali ke belakang berarti kembali ke perkampungan penghuni. Ke kiri berarti memasuki hutan-hutan yang penuh binatang-binatang berbisa, di antaranya ular-ular dan lebah yang telah dijumpainya. Entah binatang-binatang berbisa mengerikan apa lagi yang berada di situ, dia tidak mampu membayangkan. Kalau ke kanan berarti dia harus melalui tanaman-tanaman hidup itu atau binatang-binatang cecak raksasa! Kini dia berlari ke depan, satu-satunya daerah yang belum dilaluinya. Tampak dari atas daerah ini seperti daerah aman karena tidak tampak tanaman, tidak ada binatang hidup, melainkan pasir bersih yang terus membentang sampai ke laut. Itulah agaknya jalan ke luar!
Betapa girang hatinya ketika ia sudah menuruni pegunungan dan tiba di daerah pasir itu. Bersih tidak ada bahaya. Biarpun dia sudah lelah sekali dan napasnya masih terengah karena merasa ngeri oleh pengalamannya tadi, namun dalam girangnya Kwi Hong tidak merasakan kelelahannya dan ia berlari terus, hendak mencapai tepi laut secepatnya. Pasir yang terbentang luas dan selalu tertimpa sinar matahari itu terasa hangat dan lunak.
"Aihhhh....!" Tiba-tiba Kwi Hong menjerit karena kakinya amblas ke dalam pasir sampai selutut tingginya. Cepat ia berusaha menarik kaki kirinya yang terjeblos ini ke atas, akan tetapi begitu ia mempergunakan tenaga pada kaki kanan untuk menekan pasir dan menarik kaki kirinya, kini kaki kanannya juga ambles ke bawah, malah melewati lututnya! Ia terkejut sekali, mengerahkan tenaga untuk keluar. Akan tetapi, makin banyak ia mengeluarkan tenaga, makin dalam kedua kakinya amblas ke dalam pasir sehingga setelah tubuhnya masuk ke pasir sampai pinggang, Kwi Hong diam tak berani bergerak lagi dan hanya memandang ke sekeliling dengan mata terbelalak seperti kelinci masuk perangkap! Keadaan sekelilingnya sunyi, yang ada hanya pasir dan
terdengar lapat-lapat mendeburnya ombak di pantai depan. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras. Ia memutar tubuh atas dan terbelalak memandang dengan hati penuh kengerian. Seekor binatang seperti anjing hutan datang berlari, matanya merah, moncongnya menggereng-gereng dan binatang itu lari ke arah dia terbenam di pasir! Tak dapat diragukan lagi niat yang terbayang di mata binatang itu, tentu akan menerkamnya! Binatang itu meloncat, Kwi Hong menjerit dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa kaki binatang itu amblas pula ke dalam pasir, hanya dalam jarak dua meter di sebelah kirinya! Kini binatang itu melolong-lolong, meronta-ronta namun tubuhnya makin amblas ke bawah. Makin dalam sehingga yang tampak hanya lehernya saja. Binatang itu memandang kepadanya dengan marah dan gerengannya makin hebat. Seolah-olah terasa oleh Kwi Hong hawa panas yang menyembur dari mulut yang terbuka lebar itu. Kwi Hong hampir pingsan, matanya tak pernah berkedip memandang binatang itu yang ternyata adalah seekor anjing srigala yang berbulu hitam. Tubuh binatang itu makin amblas, lolongannya makin dahsyat dan akhirnya gerengannya berhenti karena kepalanya mulai terbenam, mulutnya kemasukan pasir, hidungnya, matanya dan akhirnya yang tampak hanya ujung kedua telinganya yang masih bergerak-gerak dalam sekarat. Akhirnya kedua ujung telinganya itu pun lenyap. Binatang itu telah ditelan pasir, tanpa meninggalkan bekas!
"Tolong....!" Kwi Hong menjerit dengan hati penuh kengerian ketika ia merasa betapa tubuhnya makin amblas, agaknya kakinya disedot dan ditarik sesuatu. Berdiri bulu kuduknya karena timbul dugaannya bahwa srigala itu telah menjadi setan dan kini setan penasaran itu menarik kedua kakinya ke bawah! Dia tidak tahu bahwa tempat itu memang amat berbahaya daripada daerah lain di pulau itu. Ancaman bahaya lain tampak di depan mata, sedikitnya orang dapat menjaga diri. Akan tetapi bahaya pasir ini tidak tampak, kelihatan tenang dan aman, akan tetapi, sekali orang terperosok ke dalamnya, pasir di bawah yang bergerak itu akan menyedot tubuh sampai terbenam di dalamnya dan tentu saja akan mati!
Karena panik dan tubuhnya menegang, Kwi Hong terhisap makin dalam, kini dia terbenam sampa i ke dada! Tiba-tiba terdengar suara "wirrrr!" Dan sinar hitam menyambar, tahu-tahu dada dan kedua lengannya telah terbelit sehelai tali sutera hitam dan tubuhnya ditarik keluar dari pasir! Dia menengok dan melihat wanita cantik bermuka putih. Majikan Pulau Neraka, telah berdiri kurang lebih sepuluh meter di sebelah kanannya dan menggunakan tali sutera hitam untuk membetotnya. Sebentar saja tubuhnya sudah tertarik keluar dan diseret sampai ke depan kaki wanita itu yang melepaskan libatan tali suteranya.
"Ohhhh.... ahhhh...." Kwi Hong merangkak bangun sambil terengah-engah, kemudian ia berdiri di depan wanita itu yang menggulung talinya dan melibatkan di pinggangnya yang ramping sambil memandang kepadanya.
"Aku mengerti sekarang....." Kwi Hong berkata marah.
"Kiranya engkau tidak sebaik yang kuduga! Engkau sengaja membebaskan aku karena yakin bahwa aku tidak akan dapat pergi dari pulau setan ini! Engkau sengaja mempermainkan aku!"
"Sudah puaskah engkau sekarang? Jangankan engkau, biar Gurumu sekalipun belum tentu dapat memasuki dan keluar dari pulau ini. Aku membebaskan engkau karena tahu bahwa lari dari sini tidak mungkin. Masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lebih hebat daripada yang kau lihat tadi. Ada rawa-rawa yang mengeluarkan uap beracun, binatang-binatang sebesar harimau sampai sekecil semut yang gigitannya mengandung bisa maut, tanah-tanah yang dapat merekah dan mengubur manusia hidup-hidup. Ini adalah Pulau Neraka, tahu? Kau kutahan di sini untuk melihat apakah Gurumu akan mampu merampasmu kembali."
Kwi Hong bergidik, kemudian berkurang kemarahannya terhadap wanita itu. Dalam dunia kang-ouw, tidaklah aneh kalau seorang tokoh menggunakan siasat memancing datangnya lawan dengan penculikan seperti yang dilakukan atas dirinya. Betapapun juga, ia harus mengaku bahwa dia tidak menerima perlakuan yang tidak baik. "Sungguh mengherankan. Kalau Pulau Neraka ini begini berbahaya, melebihi gambaran neraka sendiri, mengapa kalian suka menjadi penghuni di sini?" Tanyanya sambil memandang wajah jelita yang berwarna putih itu, diam-diam menduga-duga apakah warna pada muka mereka itu disebabkan oleh keadaan pulau yang amat mengerikan ini. "Engkau takkan mengerti. Marilah kita pulang. Engkau tentu lelah dan amat lapar bukan?"
Kwi Hong mengerutkan keningnya. "Lelah dan lapar tidak penting. Yang penting, kapan engkau hendak membebaskan aku dari pulau jahanam ini?"
"Engkau anak baik, berani dan patut menjadi murid Pendekar Siluman...."
"Pendekar Super Sakti!" Kwi Hong memotong. Wanita aneh itu tersenyum. "Baiklah Pendekar Super Sakti. Kapan engkau bebas, tergantung dari Gurumu. Kalau dia tidak berhasil merampasmu kembali, aku akan senang sekali kalau engkau menjadi muridku, menjadi teman puteraku."
"Aku tidak sudi! Terutama sekali tidak sudi menjadi teman anakmu yang kurang ajar itu!"
Sejenak wanita itu mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi tidak lama ia dapat menguasai kemarahannya dan berkata. "Dia nakal dan manja, akan tetapi tidak kurang ajar. Marilah!"
Kwi Hong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil membikin marah wanita aneh ini dan tanpa menjawab ia lalu mengikuti wanita itu pergi dari situ. Sungguh amat mengherankan. Wanita itu mengambil jalan membelak-belok tidak karuan, akan tetapi sebentar saja mereka sudah tiba di depan gedung besar seperti istana yang temboknya bercat hitam itu! Anak laki-laki bernama Keng In itu datang berlari-lari menyambut mereka dan begitu melihat Kwi Hong, ia tertawa dan mengejek.
"Aha, engkau datang lagi? Tadinya kusangka engkau akan dapat keluar dari pulau ini!"
"Keng In, mulai sekarang engkau tidak boleh bersikap kurang ajar dan mengganggu Kwi Hong. Dia tawanan kita, akan tetapi juga tamu terhormat. Kau ajak dia bermain-main dengan baik, akan tetapi tidak boleh kau ganggu. Kalau sampai engkau mengganggunya dan dia menghajarmu, aku tidak akan membelamu!" Wanita itu berkata dan Keng In membelalakkan mata memandang ibunya seperti orang kaget dan heran karena selamanya ibunya tidak pernah menegurnya dengan kata-kata keras, kemudian wajahnya menjadi muram
dan kecewa, mulutnya merengut, akan tetapi dia mengangguk dan bibirnya menjawab lirih, "Baik, Ibu."
Di dalam hatinya, diam-diam Kwi Hong merasa puas. Rasakan kau sekarang, pikirnya! Akan tetapi karena dia merasa tidak enak hati terhadap wanita itu, dia diam saja dan tidak membantah ketika diajak makan. Melihat keadaan di pulau yang menyeramkan itu, Kwi Hong tadinya tidak mengharapkan makanan yang baik. Akan tetapi betapa heran dia dan juga girang hatinya ketika menghadapi meja, dia melihat hidangan yang serba lezat dan mahal! Baru masakan ikan udang dan kepiting serta penghuni laut lainnya saja sudah ada belasan macam, belum daging binatang darat dan sayur mayur yang serba lengkap. Benar-benar seperti
hidangan dalam istana raja! Karena perutnya lapar, dan wataknya bebas tidak malu-malu, Kwi Hong tanpa sungkan makan hidangan yang disukainya, diam-diam memuji karena selain serba lengkap, juga masakannya amat enak, tidak kalah oleh masakan di Pulau Es!
Sudah satu minggu Kwi Hong tinggal di Pulau Neraka. Dia mendapat perlakuan yang baik, mendapat kamar di sebelah kiri, kamar ketuanya sendiri dengan pintu tembusan. Keng In tinggal di kamar sebelah kanan. Agaknya Ketua Pulau Neraka itu hendak mengawasi sendiri kepada Kwi Hong, siap untuk mempertahankan apabila Suma Han datang! Namun Kwi Hong mendapat kebebasan penuh, hanya kemana dia pergi, perlu ada yang diam-diam mengawasinya, terutama tokoh-tokoh muka kuning yang kedudukannya sudah tinggi.
Mentaati perintah ibunya, kini Keng In tidak lagi suka mengganggunya, bahkan setelah kenal, anak laki-laki ini merupakan teman yang cukup menyenangkan. Otaknya cerdas sekali dan Kwi Hong mendapat banyak keterangan mengenai pulau mengerikan itu dari Keng In. Di pulau itu terdapat sekawanan burung rajawali yang dijinakkan, jumlahnya ada sembilan ekor. Burung-burung itu dilatih sedemikian rupa sehingga hanya mentaati perintah wanita majikan pulau, puteranya, dan empat orang tokoh muka kuning saja. Terhadap perintah lain orang, burung-burung ini tidak peduli, apalagi terhadap perintah Kwi Hong yang mereka anggap sebagai musuh! Maka lenyaplah harapan Kwi Hong untuk dapat melarikan dari dengan bantuan seekor di antara burung-burung itu. Demikian terlatih burung-burung itu sehingga mereka tidak mau menerima makanan yang diberikan Kwi Hong. Pulau itu berpenghuni kurang lebih lima puluh orang. Selain Keng In, ada pula belasan orang anak-anak laki perempuan, akan tetapi karena mereka itu adalah anak-anak dari para anak buah pulau, tentu saja mereka takut mendekati Keng In yang di situ seolah-olah menjadi semacam "pangeran". Betapapun juga, ada beberapa orang di antara mereka yang menjadi teman Keng In dan kini sudah berkenalan pula dengan Kwi Hong.
"Semua orang di sini mengecat mukanya, mengapa engkau dan anak-anak itu tidak?" Pada suatu hari Kwi Hong bertanya kepada Keng In.
"Mengecat muka? Ah, betapa bodoh anggapan itu. Warna-warna pada muka penghuni Pulau Neraka menjadi tanda akan kedudukan mereka, karena warna itu timbul setelah sin-kang mereka meningkat tinggi. Makin terang warnanya, makin tinggi ilmu kepandaian dan kedudukan mereka."
"Ahh, kalau begitu, Ibumu yang mempunyai warna putih merupakan orang yang paling pandai?"
"Tentu saja! Tidak ada yang dapat menandingi Ibu. Kemudian menyusul para tokoh bermuka kuning dan merah muda, hijau pupus dan selanjutnya, makin gelap warna mukanya, makin rendah kedudukannya. Yang tinggal di pulau ini adalah anggauta yang sudah memiliki kepandaian, sudah melatih ilmu sin-kang yang khas sehingga ada warna timbul di mukanya. Masih ada puluhan anggauta paling rendah yang belum berhasil memiliki sin-kang sehingga mukanya berwarna, dan mereka itu belum boleh tinggal di pulau, melainkan di sekitar Pulau Neraka, yaitu di pulau-pulau kecil dan sewaktu-waktu kalau tenaga mereka dibutuhkan, baru mereka
dipanggil. Yang berhasil, mula-mula mukanya hitam, lalu merah dan selanjutnya, jangan kau memandang rendah. Warna-warna itu menandakan bahwa kami telah memiliki sin-kang khas Pulau Neraka yang amat lihai!"
"He mmm..... dan engkau sendiri mengapa belum memiliki warna pada mukamu?"
Keng In mengerutkan alisnya. "Sebelum berusia lima belas tahun, anak-anak tidak boleh mempelajari sin-kang itu, bisa membahayakan nyawanya. Sin-kang itu dilatih dengan minum racun-racun dahsyat setiap hari! Tentu saja anak-anak dari mereka yang sudah berwarna mukanya boleh tinggal di sini."
Kwi Hong teringat akan segala macam binatang dan tetumbuhan beracun di pulau ini dan dia bergidik. Ia maklum bahwa memang penghuni Pulau Neraka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mendengar cara berlatih sin-kang sambil minum racun itu, dia dapat membayangkan betapa hebat ilmu mereka. Akan tetapi dia masih merasa yakin bahwa gurunya akan mampu menandingi mereka semua, bahkan Si Wanita Muka Putih ibu Keng In.
"Kenapa begitu jahat, memaksa orang-orang di gunung mengumpulkan obat-obat setiap bulan?"
"Eh, kau tahu juga?"
"Tentu saja, kalau tidak masa aku menyerangmu. Aku telah menyelidiki secara diam-diam di punggung garudaku dan menyaksikan kesibukan mereka, melihat pula betapa di antara mereka ada yang membunuh diri karena tidak dapat mengumpulkan akar dan daun obat secukupnya. Mengapa kau begitu jahat?"
"Itu adalah perintah Ibuku. Mereka itu terlalu sombong, tidak mau mengalah bahkan melukai anggauta kami yang mencari obat. Kami amat membutuhkan akar-akar dan daun-daun obat itu. Engkau melihat sendiri keadaan di pulau ini. Banyak racun yang berbahaya mengancam kami, bahkan hawa yang kami hisap setiap saat telah keracunan. Tanpa obat-obat yang tepat untuk memusnahkan racun, bagaimana kami bisa hidup?"
Kwi Hong mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan tidak bisa menyalahkan mereka. Gadis cilik yang hidup di Pulau Es ini pun mengerti akan kebenaran yang dipergunakan sebagai hak yang lebih kuat untuk hidup kalau perlu dengan menekan atau membunuh yang lemah. Hukum rimba berlaku di tempat-tempat yang berbahaya di mana mahluk harus menjaga diri sendiri dari bahaya-bahaya yang mengancam dan dimana satu-satunya yang dibutuhkan hanya kekuatan dan kemenangan! Keadaan seperti itu memaksa manusia mengandalkan kekuatan untuk hidup dan hal ini menjadi kebiasaan membentuk watak orang-orang kang-ouw yang tidak suka akan segala macam aturan!
******
Bersambung ke bagian 2...