Bab 27. Pukulan Berbisa Ciok Boh-thian Mulai Mengganas 

Tentu saja Boh-thian tambah kaget dan bingung. Congthocu she Liong itu semula mengira kelakuan Thio Sam dan Li Si itu hanya pura-pura dan main sandiwara saja, tapi kemudian demi tampak muka Thio Sam merah membara, napasnya terengah-engah, sebaliknya kedua mata Li Si kelihatan mendelik, mukanya gelap menghitam, itulah tanda-tanda terkena racun yang mahajahat. Keruan ia menjadi girang, tapi ia masih tidak berani ambil tindakan sesuatu, ia pura-pura berkata, "He, kenapakah? Apa barangkali arak kami ini tidak cukup baik? Dan tuan ini mau minum tidak?" Sambil berkata ia hendak menuangkan arak untuk Li Si. Dalam pada itu tubuh Li Si sudah meringkuk seperti cacing di bawah meja, tubuhnya tampak berkejang. Sungguh kaget Ciok Boh-thian tak terkatakan, cepat ia memayang bangun Li Si dan berkata, "Jiko, apakah... apakah badanmu sakit?" Nyata Boh-thian tidak tahu bahwa tadi lantaran berlomba minum arak yang mengandung racun jahat dengan dia, maka sedikitnya Thio Sam dan Li Si masing-masing juga telah ikut minum tujuh atau delapan ceguk. Menurut ukuran kekuatan Thio Sam dan Li Si itu, bila berturut-turut mereka minum dua-tiga ceguk dan segera mengerahkan tenaga dalam untuk melawan bekerjanya racun, maka hal ini masih tidak menjadi halangan bagi mereka. Namun tadi mereka telah minum melampaui takaran, waktu itu mereka masih bertahan sekuatnya dan diam-diam merasa senang karena Ciok Boh-thian telah kena dikelabui, di samping itu juga merasa syukur karena lwekang mereka tampaknya telah banyak tambah maju, buktinya setelah minum arak berbisa sebanyak itu toh tidak merasakan perut sakit dan usus terpuntir-puntir. Di luar perhitungan mereka bahwa tatkala itu mereka telah minum obat pemunah, obat pemunah itu gunanya melambatkan bekerjanya racun arak itu, dengan demikian tenaga dalam mereka yang kuat itu lambat laun akan dapat membaur dan memunahkan arak obat yang sudah masuk di dalam perut, dengan demikian tenaga dalam mereka akan bertambah lebih kuat. Jadi obat pemunah itu sebenarnya hanya mempunyai khasiat melambatkan bekerjanya racun dan tiada khasiat memunahkan racun. Tapi sesudah kedua orang melakukan perjalanan cepat, di luar dugaan pada saat yang genting racun jahat di dalam arak itu mendadak telah bekerja di dalam perut. Keruan seketika perut Thio Sam dan Li Si kesakitan seperti disayat-sayat, sekujur badan mereka kaku kejang. Mereka insaf keadaan sangat berbahaya, maka cepat mereka mengerahkan tenaga murni di dalam pusarnya untuk bertahan, sedapat mungkin sisa arak berbisa di dalam perut itu dibungkus dan membiarkannya cerna sedikit demi sedikit. Kalau tidak, bila racun jahat itu bekerja secara mendadak, tentu jantung mereka akan putus dan bisa mati seketika. Diam-diam mereka mengeluh, sungguh sial bahwa racun itu justru bekerja pada saat mereka berada di sarang musuh, andaikan bekerjanya racun di dalam perut itu sementara dapat dilambatkan, tapi rasanya juga susah terhindar dari kekejaman orang-orang Tiat-cha-hwe itu. Di pihak lain, ketika mendadak melihat Thio Sam dan Li Si tiba-tiba memberosot ke lantai dengan badan kejang, keringat berbutir-butir memenuhi jidat mereka, tampaknya sangat menderita, maka Liong-congthocu dan Oh-toako dari Tiat-cha-hwe serta anak buah mereka menjadi terheran-heran dan curiga pula. Walaupun menghadapi kesempatan yang bagus itu untuk bertindak, namun terpengaruh oleh wibawa Thio Sam dan Li Si yang memang sangat mereka takuti, maka sementara itu mereka masih tidak berani bertindak apa-apa. Dalam pada itu yang paling gelisah adalah Ciok Boh-thian, ia coba tanya pula, "Toako, Jiko, apakah kalian mabuk atau mendadak kalian sakit usus buntu?" Namun Thio Sam dan Li Si tidak memberi jawaban, dengan setengah berduduk setengah telentang cepat mereka mengerahkan lwekang untuk melawan bekerjanya racun di dalam perut. Selang tidak lama, mulailah dari ubun-ubun kepala kedua orang mengeluarkan uap putih yang hampir tidak kelihatan. Liong-congthocu itu cukup berpengalaman, demi melihat keadaan itu, segera ia mengisiki bawahannya she Oh tadi,"Oh-hiante, kedua orang ini terang dalam keadaan payah, kalau bukan cau-hwe-jip-mo (kelumpuhan karena sesatnya ilmu yang dilatih) tentu adalah sakit keras mereka mendadak kumat. Mereka sedang mengerahkan lwekang untuk bertahan, kesempatan ini janganlah kita sia-siakan, hayolah beramai-ramai maju bersama!" Orang she Oh itu menjadi girang. Tapi ia tidak berani mendekat, hanya sebatang tombak lantas ditimpukkannya kearah Thio Sam. Sudah tentu Thio Sam tidak sanggup menangkis, terpaksa ia berusaha menghindar dengan sedikit memiringkan tubuhnya, namun tidak urung tombak itu telah menancap di atas bahunya sehingga darah bercucuran. Kaget Ciok Boh-thian tak terhingga, cepat ia berseru, "He, kau kenapa kau berani melukai toakoku?" Sudah tentu orang-orang Tiat-cha-hwe tiada satu pun yang takut padanya, pertama karena dia masih sangat muda, kedua Boh-thian kelihatan bingung dan gugup, gerak-geriknya tampaknya lucu. Apalagi Thio Sam yang biasanya sangat

ditakuti mereka itu sekarang dengan sangat mudah telah dilukai, keruan mereka tambah berani dan bersemangat. Maka tanpa menjawab lagi segera Ciok Boh-thian dipersen dengan timpukan tiga batang tombak sekaligus oleh orang-orang Tiat-cha-hwe. Dengan gugup Boh-thian sempat menggunakan lengan kiri untuk menyengkelit sehingga dua batang tombak kena ditangkis mencelat, berbareng tangan kanan digunakan untuk menangkap tombak ketiga, menyusul tubuhnya menggeser, cepat ia menjaga di depan tubuh Thio Sam dan Li Si yang tak berkutik itu. Dalam keadaan panik, tiba-tiba lima batang tombak baja telah

menyambar pula. Cepat Boh-thian putar tombak rampasannya itu, satu per satu tombak-tombak musuh itu kena dipukul mencelat kembali sehingga dua anggota Tiat-cha-hwe berbalik jatuh menjadi korban, yang seorang kepalanya pecah dan yang lain perutnya tertembus. Liong-congthocu itu cukup cerdik, ia melihat tempat yang agak sempit itu sukar menggunakan senjata, kalau pertarungan demikian diteruskan tentu akan lebih banyak melukai kawannya sendiri. Maka cepat ia berseru, "Semua orang berhenti dahulu, biarkan aku sendiri yang membereskan anak jadah ini!" Serentak anak buahnya lantas menyingkir. Ketika Liong-congthocu itu membungkuk tubuh, kedua tangannya meraba ke kain pembebat kakinya, ketika menegak kembali, tahu-tahu kedua tangannya masing-masing sudah memegang sebilah belati yang mengilap. "Hayo mundur, saksikanlah congthocu kita membereskan anak jadah itu!" teriak anggota-anggota Tiat-cha-hwe sambil menyingkir dan berdiri memepet dinding pendopo. Mendadak Liong-congthocu itu melompat maju secepat kilat, tahu-tahu ia sudah berada di samping Ciok Boh-thian, kedua belatinya lantas menyambar dari atas dan bawah, masing-masing mengincar muka dan pinggang pemuda itu. Sama sekali Ciok Boh-thian tidak menduga datangnya serangan lawan ternyata begini cepat, keruan ia menjadi kelabakan, sambil berseru kaget lekas-lekas ia melangkah ke samping, namun tidak urung pinggang dan lengannya juga sudah terkena belati musuh. "Trang", berbareng tombak rampasannya itu pun jatuh ke lantai. Melihat kepandaian Ciok Boh-thian ternyata tidak tinggi, diam-diam Liong-congthocu itu merasa lega dan mendapat hati. Sambil membentak-bentak kembali ia menubruk maju pula sebagai harimau menerkam mangsanya. Karena sudah kepepet, dalam keadaan gugup Ciok Boh-thian harus melawan sebisanya, tanpa pikir tangan kirinya lantas menolak ke depan, ternyata yang digunakannya ini adalah salah satu jurus yang telah diciptakannya sewaktu berada di Ci-yan-to tempo hari. Di luar dugaan, tolakan tangannya itu telah menimbulkan serangkum angin yang mahakuat dan menyambar ke arah lawan. Seketika Liong-congthocu itu merasa napasnya menjadi sesak dan cepat-cepat ia melompat pergi. Untunglah Ciok Boh-thian belum matang betul atas jurus-jurus serangan ciptaannya sendiri itu sehingga tidak terpikir olehnya untuk melakukan serangan susulan lagi. Diam-diam Liong-congthocu terkejut, pikirnya, "Kiranya ilmu silat bocah ini sesungguhnya tidak lemah. Daripada banyak terjadi hal-hal yang tak terduga, apalagi kalau kedua orang itu sembuh kembali, tentu aku bisa celaka. Paling perlu bocah ini harus dimampuskan lebih dulu." Maka cepat kedua belatinya berputar naik-turun dan kembali ia menubruk maju ke arah Ciok Boh-thian. Luka di lengan Boh-thian yang terkena belati tadi sangat ringan, tapi pinggang yang tertusuk itu terasa sangat sakit. Karena sekali balas serang Liong-congthocu itu kena dipaksa mundur, diam-diam Boh-thian berpikir, "Eh, rupanya jurus serangan yang kuciptakan dengan secara ngawur itu boleh juga digunakan." Ketika dilihatnya Liong-congthocu menerjang maju pula dengan bengis, cepat Boh-thian lantas mengegos ke samping, berbareng tangannya membalik dan menghantam ke punggung lawan. Sebagai pemimpin besar Tiat-cha-hwe, sudah tentu ilmu silat Liong-congthocu itu bukanlah kaum keroco yang rendah. Ketika didengarnya setiap pukulan Ciok Boh-thian itu selalu membawa sambaran angin yang keras, tenaga dalamnya ternyata sangat lihai, diam-diam ia menjadi jeri. Sekarang ia tidak berani ayal dan memandang ringan lagi kepada Ciok Boh-thian, segera ia mengeluarkan segenap kepandaian yang diandalkannya, ia mulai menyerang ke tempat yang mematikan di tubuh pemuda itu dengan jurus-jurus serangan yang paling ganas. Semula Ciok Boh-thian agak repot juga melayani serangan musuh yang menggencar itu, tapi lama-lama ia pun dapat mengikutinya sehingga pertarungan kedua orang makin lama makin sengit. Bermula juga anggota-anggota Tiat-cha-hwe masih bersorak-sorak memberi bantuan semangat kepada congthocu mereka, tapi sampai akhirnya mereka menjadi melongo dan ikut berdebar-debar menyaksikan pertempuran seru itu dan lupa bersorak lagi. Dalam pada itu Thio Sam dan Li Si masih tetap menggeletak tak berkutik, sambil mengerahkan tenaga dalam untuk melawan meluasnya racun di dalam perut mereka pun mengikuti pertarungan sengit antara Ciok Boh-thian melawan Liong-congthocu. Mereka sadar bahwa mati atau hidup mereka hanya tergantung kepada hasil pertempuran itu. Berulang-ulang mereka melihat banyak kesempatan bagus bagi Ciok Boh-thian untuk mengalahkan lawannya, tapi kesempatan-kesempatan itu telah disia-siakan semua oleh pemuda itu. Sungguh mereka merasa sayang sekali dan gelisah pula, bahkan mereka pun tidak berani terlalu memencarkan perhatian sehingga mengganggu tenaga dalam sendiri yang sedang dikerahkan untuk melawan racun itu. Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama pula, mendadak Ciok Boh-thian melancarkan sebuah pukulan. Baru saja Liong-congthocu itu hendak menangkis, tiba-tiba ia mencium dari angin pukulan lawan itu terbawa semacam bau harum yang memabukkan, seketika kepalanya menjadi pusing, orangnya lantas roboh dan tak sadarkan diri lagi. Tapi air mukanya memperlihatkan tersenyum-senyum yang aneh. Ciok Boh-thian berbalik terperanjat atas kejadian itu, cepat ia melompat mundur dan berseru, "He, kenapa? Apa kau terpeleset jatuh? Boleh lekas bangun!" Dari samping orang yang dipanggil sebagai Oh-toako itu telah

berlari mendekati sang congthocu, tertampak muka pemimpin mereka itu berwarna matang biru, itulah pertanda kena racun yang mahajahat. Waktu diperiksa pula napasnya, ternyata orangnya sudah mati. Saking kaget dan gusarnya Oh-toako itu lantas berteriak dengan suara parau, "An... anak jadah, kau... kau berani main licik dengan memakai racun, biarlah kita meng... mengadu jiwa saja dengan dia.... Hayolah kawan-kawan, maju semua untuk menuntut balas, Cong... Congthocu telah dibinasakan oleh anak bangsat ini!" Orang-orang Tiat-cha-hwe serentak berteriak-teriak, mereka angkat tombak terus menyerang serabutan ke arah Ciok Boh-thian. Dengan mati-matian Ciok Boh-thian tetap mengadang di depan Thio Sam dan Li Si dan tidak berani menyingkir pergi, ia khawatir kalau sedikit lena tentu kedua saudara angkat akan dibunuh oleh tombak-tombak baja yang tak terhitung banyaknya itu. Ketika sudah berbahaya, segera Boh-thian merebut sebatang tombak musuh, sekuatnya ia patahkan tombak itu sehingga menjadi pendek, lalu dia mainkan Kim-oh-to-hoat dengan kencang untuk menangkis dan menghalau serangan musuh. Karena tenaga dalamnya memang sangat kuat dan tersalur ke batang tombaknya yang pendek itu, maka susahlah bagi musuh yang ingin menahannya, dalam sekejap saja belasan senjata lawan sudah tersampuk jatuh atau terpental. Ada seorang anggota Tiat-cha-hwe yang berdiri paling depan, ketika tombaknya terbentur dan mencelat, segera ia menubruk maju, kedua tangannya terus mencakar ke muka Ciok Boh-thian. Melihat lawan itu menerjang dengan kalap, cepat tangan kirinya menyapu ke depan, maka terdengarlah suara "prak" yang keras, dengan tepat kesepuluh jari musuh kena ditampar sehingga sembilan di antara sepuluh jari itu patah semua, menyusul orang itu lantas terkulai ke lantai dan tak berkutik lagi. Dalam pertarungan sengit itu, dengan sendirinya tiada orang sempat memerhatikan mati atau hidupnya anggota Tiat-cha-hwe itu. Segera ada tujuh atau delapan kawannya menerjang maju lagi, ada yang bertombak dan ada yang bertangan kosong, dengan nekat mereka mengerubut Ciok Boh-thian. Boh-thian sendiri tidak berani mundur barang selangkah pun, ia khawatir akan memberi lowongan kepada musuh sehingga kedua kakak-angkatnya mendapat cedera. Maka bila dilihatnya ada musuh mendesak maju, kontan tangannya lantas menampar atau menabok. Dan setiap kali ia menyerang, aneh juga, entah sebab apa pihak lawan pasti roboh terjungkal, saktinya tidak alang kepalang. Begitulah, maka berturut-turut enam atau tujuh orang telah dirobohkan oleh Ciok Boh-thian. Tentu saja pihak lawan menjadi geger, banyak di antaranya berteriak-teriak, "Awas, pukulan anak keparat ini berbisa dan sangat lihai, kawan-kawan harus hati-hati!" Lalu ada orang berseru pula, "Ya, Ong-samko dan Sun-loliok juga telah binasa dipukul anak bangsat itu, hati-hatilah ka... kawan...." belum selesai ucapan orang ini, "bluk", tahu-tahu ia sendiri pun roboh terkapar, tombaknya yang antap tepat memukul mukanya sendiri. Rupanya orang ini belum lagi terkena pukulan berbisa dari Ciok Boh-thian, tapi dia toh mati juga keracunan. Di ruangan pendopo itu masih banyak anggota-anggota Tiat-cha-hwe yang belum sempat ikut bertempur, mereka menjadi saling pandang dengan penuh ketakutan, tanpa merasa mereka mundur ke belakang selangkah demi selangkah. Menyusul

terdengarlah suara gedubrakan dan gemerencing yang nyaring ramai, ternyata anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu satu per satu telah roboh terjungkal dengan sendirinya, ada yang sempat memutar tubuh dan hendak melarikan diri, tapi belum seberapa langkah, tidak urung juga roboh terkapar dengan tombak mereka. Hanya dalam sekejap saja ratusan laki-laki tegap yang berada di ruangan pendopo itu sudah bergelimpangan memenuhi pendopo, tinggal empat orang saja yang berkepandaian paling tinggi, sedapat mungkin mereka menutupi mulut dan hidung sendiri, lalu mencari jalan buat berlari keluar. Namun mereka hanya mampu mencapai pintu ruang pendopo saja, lalu keempat orang itu jatuh terjungkal semua dan binasa. Menyaksikan keadaan demikian, bukannya Boh-thian bergirang atas kemenangannya, sebaliknya ia menjadi ternganga takut.

Jauh lebih takut daripada waktu dia kesasar ke atas kapal yang penuh mayat di Ci-yan-to tempo hari. Maklum, waktu di atas kapal itu, yang dilihatnya adalah mayat anggota-anggota Hui-hi-pang yang sudah mati lebih dulu, tapi sekarang anggota-anggota Tiat-cha-hwe ini satu per satu menggeletak mati di depan matanya secara aneh, entah kena sihir atau disambar iblis nyawa mereka itu. Tiba-tiba Boh-thian teringat kepada seruan orang-orang Tiat-cha-hwe tadi yang mengatakan pukulannya yang berbisa itu terlalu lihai, ia menjadi bingung sebab selamanya dirinya toh tidak pernah berlatih ilmu pukulan yang berbisa apa segala. Ketika tanpa sengaja ia coba mengamat-amati telapak tangannya sendiri, tiba-tiba terlihat di tengah-tengah telapak tangan itu terdapat toh merah sebesar gobang, di pinggir toh merah itu banyak terdapat garis-garis biru yang aneh. Dengan terheran-heran Boh-thian mengamat-amati sampai sekian lamanya, akhirnya ia merasa jijik sendiri, kedua tangan sendiri seakan-akan telah berubah sebagai benda-benda yang memuakkan, hidungnya mengendus pula bau yang aneh, seperti bau wangi dan seperti bau busuk yang susah dilukiskan. Boh-thian tidak ingin melihat tangannya sendiri lagi, ia coba berpaling memandang Thio Sam dan Li Si, keadaan kedua orang itu tampaknya baik-baik saja, ubun-ubun kepala mereka makin banyak mengepulkan uap putih, di bahu Thio Sam masih tetap menancap tombak yang ditimpukkan orang Tiat-cha-hwe tadi. Boh-thian pikir tombak yang menancap di bahu sang toako itu harus dicabut keluar lebih dahulu. Maka ia lantas mendekati Thio Sam, ia pegang gagang tombak dan perlahan-lahan dicabut ke luar. Darah segar lantas memuncrat keluar dari bahu Thio Sam. Cepat Boh-thian menahan luka itu dan menyobek ujung bajunya dan digunakan membalut luka sang toako. Terdengar Thio Sam telah menarik napas panjang, lalu dengan suara lemah ia berkata, "Deng...  dengarkanlah dan... dan kerjakanlah... menurut... petunjukku...." Kiranya keadaan Thio Sam dan Li Si sama payahnya terkena racun araknya sendiri, tapi sesudah pundak Thio Sam mengeluarkan darah, hal ini malah membikin bekerjanya racun

dihambat untuk sementara. Ia insaf kesempatan yang cuma sedetik itu adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri, maka dengan sepenuh tenaga ia coba bicara kepada Ciok Boh-thian. "Ya, baiklah, pasti akan kukerjakan menurut petunjuk Toako," demikian Boh-thian menjawab. "Gun... gunakanlah... tangan kirimu un... untuk menahan leng-tay-hiat di.... di punggungku...." kata Thio Sam dengan terputus-putus dan sekata demi sekata, dan sesudah bernapas, lalu ia menyambung pula. Begitulah, sesudah banyak membuang tenaga dan dengan susah payah akhirnya barulah Thio Sam selesai memberi

petunjuk kepada Ciok Boh-thian, caranya mengerahkan lwekang untuk membantu mendesak keluar kadar racun yang mengeram di dalam tubuhnya. Ketika habis bicara, saking letihnya jidatnya sampai penuh butiran keringat yang besar-besar, wajahnya juga merah membara dan napas terengah-engah. Boh-thian tidak berani ayal lagi, segera ia kerjakan menurut petunjuk sang toako. Ia membuka baju Thio Sam dan menggunakan tangan kiri untuk menahan di leng-tay-hiat di bagian punggung, sedangkan tangan kanan menahan di tan-tiong-hiat, tenaga dalam dikerahkan masuk melalui tangan kiri untuk mendesak kadar racun, sebaliknya tangan kanan mengerahkan tenaga untuk mengisap keluar. Benar juga, tidak antara lama terasalah ada suatu arus hawa yang hangat dan halus telah menyusup masuk melalui tangan kanannya. Yang terpikir oleh Ciok Boh-thian hanya menolong jiwa Thio Sam saja, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa lantaran kerjanya itu kembali badannya sendiri telah kemasukan kadar racun yang tidak sedikit, yaitu racun yang asalnya mengeram di tubuh Thio Sam. Selagi Boh-thian asyik melakukan tugasnya itu, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang banyak. Dari luar telah berlari masuk belasan orang yang semuanya bersenjata tombak. Terang mereka adalah anggota Tiat-cha-hwe pula. Begitu mereka memasuki ruangan dengan sendirinya mereka lantas kaget melihat pemimpin dan kawan-kawan mereka sudah menggeletak tak bernyawa memenuhi pendopo itu. Kiranya orang-orang Tiat-cha-hwe ini bertugas menjaga di luar, karena sudah sekian lamanya tiada terdengar sesuatu suara atau perintah dari sang congthocu, maka sebagian di antara mereka lantas masuk ke situ untuk melihat apa yang sudah terjadi.

Sudah tentu mereka tidak menduga bahwa kawan-kawan mereka sudah mati semua, saking kagetnya mereka melihat pula Ciok Boh-thian, Thio Sam dan Li Si masih duduk di atas lantai situ dan terang juga terluka parah, maka sambil berteriak-teriak anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu serentak menyerbu maju sambil mengacungkan tombak mereka. Mestinya Ciok Boh-thian hendak berbangkit untuk menghalau musuh. Tak tersangka belasan orang Tiat-cha-hwe itu baru menerjang maju kira-kira beberapa meter jauhnya, mendadak tubuh orang-orang itu lantas sempoyongan seperti orang mabuk, menyusul satu per satu lantas roboh terkulai, seperti nasib kawan-kawan mereka yang lain, belasan orang itu pun mati tanpa bersuara. Boh-thian sendiri tidak alang kepalang kagetnya, jantungnya sampai berdebar-debar, ia berteriak dengan gemetar, "Toako... Toako, apakah... apakah di ruangan ini ada setan? Le... lekas kita pergi saja dari sini!" Namun Thio Sam menjawabnya dengan menggeleng. Saat itu sebagian racun di tubuhnya sudah terdesak keluar, sakit perutnya sudah tidak sehebat tadi, maka dapatlah ia bicara dengan lebih lancar, "Boleh kau menggunakan cara barusan ini un... untuk menolong Jiko pula." Boh-thian mengiakan. Segera menurutkan cara ajaran Thio Sam tadi untuk mengisap racun Li Si. Sekarang yang terasa masuk di telapak tangannya adalah hawa halus yang dingin segar. Kira-kira sepertanak nasi kemudian, kadar racun di dalam tubuh Li Si sudah banyak berkurang, maka bergilir Thio Sam yang ditolong. Begitulah secara bergilir, berulang-ulang Boh-thian telah mengisap tiga kali pada tiap-tiap orang itu. Walaupun sisa racun belum lenyap seluruhnya, tapi sekarang sudah tidak berhalangan lagi bagi Thio Sam dan Li Si. Melihat mayat yang bergelimpangan di sekitar mereka, teringat kepada keadaan bahaya tadi, mau tak mau Thio Sam dan Li Si merinding sendiri dan bersyukur pula atas pertolongan Ciok Boh-thian. Melihat air muka Ciok Boh-thian walaupun merasa takut-takut, tapi gerak-geriknya sangat tangkas, sedikit pun tiada tanda-tanda keracunan, maka diam-diam Thio Sam dan Li Si tidak habis mengerti, mereka merasa bocah ini mungkin memiliki kekebalan pembawaan atau mungkin pernah makan obat mukjizat apa-apa sehingga tidak mempan keracunan. Hendaklah maklum bahwa arak berbisa dari kedua houlo itu sebagian besar telah diminum Ciok Boh-thian, yang diminum Thio Sam dan Li Si hanya sebagian kecil saja, tapi sekarang boleh dikata hampir seluruhnya kadar racun dari arak kedua houlo itu masuk di dalam tubuh Ciok Boh-thian. Sebabnya orang-orang Tiat-cha-hwe itu seketika binasa bila kesampuk oleh angin pukulannya terang adalah karena tersebarnya racun mahajahat melalui telapak tangannya. Bahkan akhirnya seluruh ruang pendopo itu pun penuh dengan hawa berbisa sehingga orang yang masuk ke situ akan mati seketika. "Baiklah, Jite dan Samte, marilah kita pergi dari sini," akhirnya Thio Sam berkata dan segera mendahului berjalan keluar dengan diikuti oleh Li Si dan Boh-thian. Sesudah keluar dari lorong di bawah tanah, tertampaklah di atas berdiri beberapa puluh orang yang berkerumun di sekitar lubang masuk itu, semuanya bersenjata tombak dan sedang mengintai-intai. Waktu melihat Thio Sam bertiga muncul, serentak mereka

merubung maju. Seorang di antaranya lantas menegur, "Congthocu di mana? Mengapa belum lagi keluar?" "Congthocu kalian berada di dalam," sahut Thio Sam dengan tertawa. "Jika kau ingin bertemu bolehlah masuk saja."

"Mengapa kalian keluar lebih dulu?" seorang yang berada di barisan depan ikut tanya. "Hal ini aku sendiri pun tidak mengerti, maka lebih baik kalian boleh masuk ke dalam dan tanya saja kepada Congthocu," sahut Thio Sam dengan tertawa. Berbareng kedua tangannya lantas menjulur ke depan, kontan dua orang kena dicengkeramnya terus dilemparkan ke dalam lorong di bawah tanah. Perawakan kedua orang itu sangat kekar, ilmu silat mereka pun tampaknya tidak lemah, siapa duga hanya sekali dicengkeram saja mereka lantas tak bisa berkutik, mirip bangkai saja mereka telah terlempar ke dalam lorong.

Keruan kawan-kawannya menjerit kaget, berbareng mereka angkat tombak terus menyerang. Sama sekali Thio Sam tidak

menghindar atau berkelit, sebaliknya ia mendesak maju dan kedua tangannya menyambar ke depan, kontan dua orang kena dicengkeram lagi terus dilemparkan pula ke belakang. Ternyata serangan Thio Sam itu teramat jitu, di mana tangannya sampai tentu sasarannya kena dicengkeramnya. Walaupun orang-orang Tiat-cha-hwe itu juga menyerang, tapi tombak mereka selalu menusuk tempat kosong atau cepat-cepat ditarik kembali karena khawatir mengenai kawannya sendiri, maklum, mereka berkerumun di tempat yang sempit. Ciok Boh-thian hanya menonton saja di samping, dilihatnya Thio Sam seenaknya saja mencengkeram dan melemparkan musuh sehingga mirip elang menyambar anak ayam, tak peduli cara bagaimana musuh berusaha melawannya atau ingin lari, tapi selalu sukar meloloskan diri dari cengkeraman dan lemparannya itu. Makin melihat Boh-thian makin ternganga heran, sungguh-sungguh tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini ternyata ada kepandaian setinggi ini. Kalau dibandingkan sang toako angkat ini, maka jago-jago yang pernah dikenalnya seperti Pek-suhu, Ciok-cengcu, Ting Put-sam dan Ting Put-si, Su-popo, dan lain-lain, apalagi si Ting-ting Tong-tong segala, boleh dikata tiada artinya lagi. Di sebelah lain Li Si ternyata tidak perlu maju membantu, ia hanya berpangku tangan mengikuti kejadian itu. Sesudah belasan orang dicengkeram dan dilemparkan ke dalam lorong oleh Thio Sam, segera Thio Sam memutar ke belakang untuk mengincar orang-orang yang berdiri paling jauh sehingga lambat laun orang-orang Tiat-cha-hwe itu didesak mendekati lubang lorong. Sisa orang-orang Tiat-cha-hwe itu kini tinggal 30-an saja. Mereka menjadi ketakutan demi melihat ilmu silat Thio Sam yang luar biasa itu, segera ada orang mendahului berteriak, "Lari!" Cepat orang itu melarikan diri ke dalam lorong di bawah tanah. Tanpa pikir kawan-kawannya lantas ikut masuk juga. "He, jangan masuk ke sama, di dalam sana sangat berbahaya!" seru Boh-thian. Tapi siapa yang mau percaya dan menurut padanya? Bahkan orang-orang itu berebut mendahului menyelamatkan diri ke dalam lorong yang sudah penuh hawa berbisa itu. Dan sudah tentu, tiada lama berselang orang-orang itu pun berturut-turut binasa semua. Sungguh Boh-thian tidak habis mengerti, ia merasa bingung sebab apakah anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu bisa mendadak mati satu per satu dan mengapa sang toako dan jiko itu juga mendadak sakit perut dan keracunan? Pula untuk apa sang toako sengaja menggiring orang-orang itu masuk ke lorong di bawah tanah? Begitulah ia menjadi ragu-ragu dan entah cara bagaimana harus ditanyakan kepada kakak-kakak angkat itu. Sejenak kemudian, ia coba minta keterangan kepada Thio Sam, "Toako...." Tapi mendadak Thio Sam memotong, "He, siapakah yang datang itu?" Ketika Boh-thian berpaling, ia tidak melihat bayangan seorang pun, segera ia tanya, "Siapakah yang datang? Di mana orangnya?" Namun tak terdengar Thio Sam menyahut. Waktu Boh-thian berpaling kembali, ia menjadi terkejut. Ternyata Thio Sam dan Li Si sudah menghilang. "Toako! Jiko! Ke manakah kalian?" seru Boh-thian. Berulang-ulang ia berteriak, namun tiada jawaban apa-apa. Kampung nelayan itu banyak terdapat rumah-rumah gubuk, berturut-turut ia memeriksa beberapa rumah gubuk itu, tapi semuanya kosong melompong tiada bayangan seorang pun. Tatkala itu sang surya baru saja muncul di ufuk timur, seluruh kampung nelayan itu terang benderang, tapi keadaan sunyi senyap dan tinggal dia seorang diri. Teringat kematian orang-orang Tiat-cha-hwe yang mengerikan di lorong itu, Boh-thian menjadi merinding takut. Mendadak ia menjerit terus berlari terbirit-birit keluar kampung. Sesudah belasan li berlari barulah Boh-thian melambatkan langkahnya. Waktu ia periksa kembali telapak tangannya sendiri, ia melihat toh merah yang timbul di tengah telapak tangan itu sekarang sudah hilang sebagian besar dan tidak sejijik seperti tadinya, maka legalah hatinya. Kiranya timbulnya toh merah di telapak tangan itu adalah tergantung keadaan, karena dia sudah tidak mengerahkan tenaga, maka racun yang terdesak itu lantas mengalir kembali ke dalam tubuh melalui urat nadinya. Dan begitulah selanjutnya karena dia berlatih tiap hari, maka racun jahat itu pun perlahan-lahan punah sendiri dan lwekangnya juga ikut bertambah hebat. Sesudah 7x7=49 hari nanti barulah seluruh kadar racun di dalam tubuh itu dapat punah seluruhnya. Begitulah, tanpa membedakan arah, Ciok Boh-thian terus berjalan mengikuti langkahnya. Sesudah setengah harian, kembali ia telah sampai di tepi Tiangkang (Sungai Panjang). Segera ia menyusur jalan di tepi sungai itu dan menuju ke hilir sungai. Sewaktu tengah hari sampailah di suatu kota kecil, Boh-thian membeli bakmi sekadar isi perut, lalu melanjutkan perjalanan ke timur. Karena dia tiada mempunyai sesuatu kepentingan, maka ia terserah ke mana dirinya akan terbawa oleh kakinya. Waktu petang, tiba-tiba dilihatnya jauh di depan di antara hutan sana ada dinding rumah, sesudah dekat, kiranya adalah sebuah kelenteng yang megah. Di depan kelenteng itu terbentang sebuah jalanan yang lebar dan rata terbuat dari papan-papan batu. Tiba-tiba dari dalam kelenteng tampak berjalan keluar dua tojin (imam agama To atau Tau) berkopiah kuning dan membawa pedang. Waktu melihat Ciok Boh-thian, dengan langkah cepat kedua tojin setengah umur itu lantas mendekatinya. Seorang imam itu lantas menegur, "Kau mau apa?" Rupanya dia melihat pakaian Boh-thian kotor dan kumal, usianya masih muda, kelakuannya juga ketolol-tololan, maka nada teguran imam itu menjadi agak kasar. Namun Boh-thian tidak ambil pusing, ia menjawab dengan tertawa, "Ah, tidak mau apa-apa, aku hanya berjalan-jalan saja. Eh, apakah di sini adalah kelenteng hwesio (padri agama Buddha)? Apakah bisa memberi sedikit makanan padaku?"

"Anak goblok sembarangan omong," semprot tojin itu dengan gusar. "Kau sendiri lihat apakah aku ini seorang hwesio? Hayo, lekas enyah, lekas! Kalau berani main gila lagi ke Siang-jing-koan sini, awas kedua kaki anjingmu!" Berbareng tojin yang lain tampak meraba-raba pedangnya dengan muka bengis, lagaknya seperti segera akan lolos senjata untuk membunuh orang. Namun dengan tertawa Boh-thian hanya berkata, "O, jika bukan kelenteng hwesio, maka tentulah kelenteng tosu. Soalnya perutku sudah lapar, maka ingin minta sedikit makanan pada kalian, toh aku tidak ingin berkelahi. Ya, tanpa sebab buat apa mesti membunuh dua orang tojin?" Sambil berkata ia pun terus berjalan pergi. "Kau bilang apa?" damprat imam yang muda tadi dengan gusar, berbareng ia lantas memburu maju. Apa yang dikatakan Ciok Boh-thian itu sesungguhnya tidaklah salah. Ketika di ruang bawah tanah di tempat sembunyi orang-orang Tiat-cha-hwe itu, sekali tangannya bergerak tentu jatuh

seorang korban, hal ini membuatnya sangat menyesal, maka ia benar-benar tidak ingin berkelahi lagi dengan orang. Sekarang dilihatnya imam muda itu memburu dan hendak melabraknya, ia menjadi khawatir jangan-jangan di luar tahunya kembali imam itu dibunuhnya pula. Maka tanpa pikir lagi ia terus angkat langkah seribu, dengan cepat ia lari masuk ke dalam hutan. Maka terdengarlah kedua tojin itu tertawa terbahak-bahak. Imam yang setengah umur tadi berkata, "Hahaha! Rupanya seorang bocah dogol, hanya sedikit digertak saja sudah lari terbirit-birit mencawat ekor!" Boh-thian sendiri merasa lega melihat kedua imam itu tidak mengejarnya. Tapi hari sebentar lagi akan gelap, untuk mencari sedikit makanan atau buah-buahan sekadar tangsel perut juga susah, sebab hutan itu melulu pohon cemara dan sebagainya yang tak berbuah. Ia coba berlari ke atas sebuah bukit kecil dan memandang sekitarnya, ia lihat dari belasan rumah. Cerobong rumah bagian belakang tampak mengepulkan asap, hal ini menandakan penghuninya sedang menanak nasi dan memasak. Kecuali kompleks bangunan kelenteng itu tiada terdapat bangunan lain di sekitar situ. Melihat cerobong yang mengepulkan asap, Ciok Boh-thian menjadi terbayang-bayang kepada masakan-masakan enak, maka perutnya yang lapar itu tambah berkeroncongan. Ia pikir, "Para tojin itu tampaknya sangat garang, baru saja bicara sudah ajak berkelahi. Biarlah aku mengintip ke rumah belakang sana, bila ada makanan, segera aku mencurinya dan lari." Begitulah ia lantas memutar ke belakang kelenteng, ditujunya rumah yang bercerobong asap tadi, lalu ia menggeremet maju mepet tembok. Tiba-tiba dilihatnya pintu belakang rumah itu setengah tertutup dan setengah terbuka, keruan ia menjadi girang. Ia melongok ke dalam dan melongok ke belakang seperti maling khawatir kepergok, lalu menyelinap masuk kedalam. Sementara itu hari sudah gelap, sesudah masuk pintu belakang itu, maka Boh-thian telah berada di suatu pelataran dalam. Disebelah sana adalah serambi panjang dengan kamar dapur yang besar, terdengar suara wajan gemerencang terketok dan suara minyak mengosos disertai bau sedap yang teruar jauh ke luar dapur. Keruan semua itu makin merangsang selera Ciok Boh-thian yang memang sudah kelaparan itu, hampir saja ia mengiler, cepat ia menelan ludah, biji lehernya sampai naik-turun. Ia dengar di dalam dapur itu banyak orang, ia pikir kalau menuju langsung ke sana tentu akan kepergok. Tiba-tiba ia mendapat akal, dengan hati-hati ia mendekati pintu dapur, ia sembunyi di pinggir serambi yang gelap. Pikirnya, "Ingin kulihat masakan yang selesai diolah itu nanti dibawa ke mana? Jika di dalam ruang makan sana toh belum ada orang, maka aku akan mencuri sepotong daging dan semangkuk nasi, lalu akan kubawa lari, dengan demikian aku tak perlu berkelahi atau membunuh orang lagi." Benar juga, tidak antara lama, terlihatlah tiga orang keluar dari kamar dapur itu. Semuanya adalah tosu kecil. Seorang membawa tanglung (lampu berkerudung) berjalan di depan, dibelakangnya dua orang masing-masing membawa nampan dengan masakan-masakan yang menyiarkan bau sedap, terang

masakan-masakan itu adalah sebangsa Ang-sio-bak, ayam goreng dan sebagainya. Keruan biji leher Ciok Boh-thian naik-turun lagi, berulang-ulang ia telan ludah sendiri pula. Dengan berjinjit-jinjit ia lantas menguntit di belakang tosu-tosu kecil itu. Sesudah menyusur serambi dan melalui sebuah gang, akhirnya ketiga tosu cilik itu masuk ke sebuah ruangan. Masakan-masakan yang mereka bawa itu ditaruh di atas meja. Dua tosu kecil di antaranya lantas kembali dulu ke dapur, tertinggal seorang tosu kecil yang masih mengatur meja-kursi, sumpit dan cawan dan lain-lain yang perlu dalam perjamuan. Dengan sembunyi di balik jendela ruangan yang panjang itu dengan mata tak berkedip Ciok Boh-thian terus mengincar makanan-makanan yang sudah siap di atas meja itu. Sungguh kalau dia tidak khawatir memukul mati tosu cilik itu, tentu sejak tadi dia sudah menerjang masuk dan menggasak makanan lezat itu. Tunggu punya tunggu, syukurlah akhirnya tosu kecil itu meninggalkan ruang makan itu dan menuju ke ruangan sana. Tanpa ayal lagi Ciok Boh-thian lantas menyerobot ke dalam,

lebih dahulu ia comot sepotong "Ang-sio-gu-bak" (daging sapi masak saus) dan dijejalkan ke dalam mulut, saking keburunya sampai ia keselak. Sambil mengunyah, kedua tangannya lantas menyambar pula seekor ayam kuah dan bermaksud membetot paha ayam, "Pek-sak" (ayam masak kuah bening) itu. Tapi baru saja Ang-sio-gu-bak tadi masuk ke perutnya, tiba-tiba terdengar di luar jendela sana ada suara orang bicara, "Sute, Sumoay, silakan sebelah sini!" Lalu terdengar suara tindakan beberapa orang menuju ke ruangan makan itu. "Wah, celaka! Bisa kepergok aku ini!" demikian Boh-thian mengeluh. Saat itu paha ayam "Pek-sak" tadi belum lagi kena dibesetnya, terpaksa ia angkat ayam itu seekor penuh terus hendak berlari ke ruangan belakang, tapi mendadak dari belakang juga ada suara orang yang lagi mendatangi. Ia coba periksa sekitarnya, ternyata ruangan itu cukup luas dan tiada tempat sembunyi yang baik. Diam-diam Boh-thian mengeluh dan gelisah, "Wah, jangan-jangan aku terpaksa harus berkelahi dan membunuh lagi."

Bab 28. Thian-hi Tojin Ketua Siang-jing-koan

Dalam pada itu beberapa orang itu sudah berada di depan deretan jendela panjang, sejenak lagi tentu akan memasuki ruang makan. Pada saat yang sudah sangat mendesak itu, sekilas Boh-thian melihat di atas ruangan itu tergantung melintang sebuah papan pigura besar yang bertuliskan tiga huruf emas. Karena sudah kepepet, tanpa pikir lagi Boh-thian lantas meloncat ke atas belandar, lalu menyusup ke belakang papan pigura itu. Ia setengah merebah dan rasanya cukup baginya untuk sembunyi. Apa yang terjadi itu hanya berlangsung dalam beberapa detik saja. Di sini Ciok Boh-thian baru saja sembunyi di belakang papan pigura, di sebelah sana orang-orang tadi pun sudah mendorong pintu dan melangkah masuk. Terdengar seorang diantaranya sedang berkata, "Kita adalah saudara seperguruan, mengapa Suko seperti kedatangan tamu agung saja dan mengadakan perjamuan apa segala." Boh-thian merasa suara orang itu sudah dikenalnya. Ia coba mengintip ke bawah melalui sela-sela pigura itu, ia lihat ada belasan tojin mengiringi dua orang tamu pria dan wanita. Kiranya kedua orang tamu ini adalah Ciok-cengcu suami-istri, yaitu Ciok Jing dan Bin Ju dari Hian-soh-ceng. Terhadap Ciok Jing berdua sampai sekarang Ciok Boh-thian masih sangat berterima kasih, lebih-lebih Nyonya Ciok yang dahulu pernah memberi sedekah kepadanya, pula belum lama berselang telah mengajarkan ilmu pedang padanya. Maka setelah bertemu sekarang, seketika timbul perasaan hangat dilubuk hati pemuda itu. Sementara itu seorang tosu tua yang sudah ubanan terdengar membuka suara, "Sute dan Sumoay datang dari jauh, sungguh suhengmu ini merasa girang tak terhingga, hanya secawan arak bening ini saja masakah dapat dikatakan sebagai perjamuan?" Tiba-tiba tosu tua itu melihat di atas meja perjamuan penuh tetes air kuah, sebuah pinggan (basi) hanya tinggal sedikit sisa kuah bening, masakan pokok di dalam basi itu entah ayam atau itik, ternyata sudah terbang. Tosu tua itu mengerut kening, ia pikir bagaimana kerjanya anak-anak ini, masakah makanan yang sudah siap tidak dijaga sehingga kena digondol kucing. Karena berada di depan tamu, ia merasa tidak baik untuk mendamprat anak-muridnya yang lengah itu. Tatkala itu kembali ada tosu-tosu cilik membawakan masakan lain lagi. Waktu mereka melihat keadaan meja perjamuan yang morat-marit itu, mereka menjadi kikuk dan serbasalah, cepat mereka membersihkan meja dan menyiapkan daharan yang lain lagi. Dengan hormat tosu tua itu menyilakan Ciok Jing suami-istriduduk di meja utama, ia sendiri mengiringinya bersama tiga orang tojin lain yang setengah umur, sisanya 12 orang tojin lagi terbagi pada dua meja yang lain. Setelah minum beberapa cawan, kemudian tosu tua itu membuka suara pula dengan terharu, "Selama delapan tahun tidak bertemu, ternyata Sute dan Sumoay tidak kurang sehat dan gagahnya daripada dahulu. Sebaliknya suhengmu ini sekarang sudah tua dan loyo."

"Rambut Suheng memang telah tambah ubanan, tapi semangatmu toh tetap sangat kuat," sahut Ciok Jing. "Tambah ubanan apa? Rambutku ini adalah karena pikiranku yang sedih, hanya dalam semalam saja lantas ubanan," kata sitosu tua. "Jika Sute dan Sumoay datang kemari pada tiga hari yang lalu, tentu jenggot dan rambutku tidaklah seputih ini, paling-paling cuma setengah putih saja."

"Yang dipikirkan Suheng apakah urusan tentang kedua sucia (rasul) Siang-sian dan Hwat-ok (pengganjar bajik dan penghukum jahat) itu?" tanya Ciok Jing. "Ya, kecuali urusan ini, rasanya tiada urusan kedua di dunia ini yang dapat membuat Thian-hi Tojin dari Siang-jing-koan berubah menjadi lebih tua 20 tahun hanya dalam waktu semalam," sahut si tosu tua alias Thian-hi Tojin. "Justru Sute dan Sumoaymu ini mendengar tentang berita bahwa kedua rasul itu kembali muncul, dunia persilatan harus menghadapi bencana pula, makanya siang-malam kami memburu kemari untuk berunding dengan Ciangbun-suheng dan para Suheng dan Sute," tutur Ciok Jing. "Selama sepuluh tahun terakhir ini nama Siang-jing-koan kita cukup menonjol dikalangan bu-lim, pohon besar tentu terancam angin, kukira kedua rasul itu boleh jadi akan berkunjung ke sini. Maka ada maksud Siaute suami-istri untuk tinggal satu-dua bulan di sini. Bilamana mereka benar-benar mencari gara-gara ke sini,

walaupun tidak becus, sedikitnya kami suami-istri juga dapat berjuang mati-matian bahu-membahu bersama para Suheng demi perguruan." Thian-hi saling pandang sekejap dengan para tosu yang hadir di situ, lalu menghela napas perlahan sambil merogoh keluar dua bentuk medali tembaga. Ia taruh kedua buah medali itu diatas meja. Dari atas Boh-thian dapat melihat dengan jelas bahwa kedua medali tembaga itu pun terukir muka tertawa dan muka gusar sebagaimana medali-medali yang pernah dilihatnya di atas kapal mayat dan di sarang Tiat-cha-hwe. Diam-diam ia tercengang, "Aneh, mengapa Thian-hi Tojin ini pun mempunyai dua buah medali yang serupa?" Dalam pada itu terdengar Ciok Jing telah berkata dengan heran, "Eh, kiranya sucia itu sudah berkunjung kemari. Jika demikian kedatangan Siaute suami-istri toh tetap ketinggalan walaupun kami telah memburu kemari siang dan malam. Dan apakah mengenai urusan itu? Lalu cara... cara bagaimana Suheng melayaninya?" Karena pikiran Thian-hi tidaklah tenteram, seketika ia menjadi susah menjawab. Segera seorang tojin setengah umur yang duduk di sebelahnya mewakilkan menjawab, "Datangnya kedua sucia itu adalah kejadian tiga hari yang lalu. Berkat budi Ciangbun-suheng yang luhur dan rela menanggung segala kemungkinan, maka beliau sudah menyanggupi akan pergi kesana untuk makan `Lap-pat-cok' (bubur atau jenang tanggal 8 bulan 12 atau penutup tahun)." Ketika melihat kedua medali tembaga, memangnya Ciok Jing sudah menduga akan hal demikian. Segera ia berbangkit dan memberi hormat kepada Thian-hi, katanya, "Dengan rela Suko telah menanggungnya sendirian untuk menyelamatkan seluruh penghuni Siang-jing-koan ini, sungguh Siaute merasa berterima kasih dan malu pula, di sini terimalah hormat Siaute lebih dulu. Cuma Siaute masih ada suatu permohonan yang kurang pantas, sebelumnya mohon Suko sudi memaafkan." Thian-hi tersenyum, sahutnya, "Segala apa di dunia ini sekarang bagiku adalah laksana awan yang terapung di udara itu. Apa yang Sute inginkan tentu akan kupenuhi."

"Jika demikian, jadi tegasnya Suko sudah menyanggupi?" Ciok Jing menegas. "Ya, kusanggupi," sahut Thian-hi. "Entah apakah keinginan Sute itu?"

"Begini, dengan lancang Siaute mohon agar Suko suka menyerahkan tugas ciangbun atas Siang-jing-koan ini kepada kami suami-istri," tutur Ciok Jing. Ucapan Ciok Jing ini membuat para tosu yang hadir di situ menjadi melengak semua. Dan belum lagi Thian-hi menjawab, segera Ciok Jing menyambung pula, "Setelah kami suami-istri memegang jabatan ciangbun ini, maka undangan untuk makan Lap-pat-cok itu biarlah kami yang pergi ke sana mewakilkan Suko." Mendadak Thian-hi terbahak-bahak, suara tertawa yang mengandung rasa pahit getir, matanya juga tampak basah berkaca-kaca. Katanya, "Maksud baik Hiante berdua, biarlah suhengmu terima di dalam hati. Sebagai ketua Siang-jing-koan, suhengmu sudah cukup dikenal oleh orang bu-lim selama belasan tahun ini. Sekarang di kala menghadapi bahaya masakah aku malah menghindarkan tanggung jawabku, lalu muka Thian-hi yang tua keriput ini kelak harus ditaruh kemana?" Sampai di sini Thian-hi telah pegang tangan kanan Ciok Jing,lalu menyambung pula, "Sute, usia kita selisih terlalu banyak, kau adalah keluarga preman pula, kita jarang berkumpul dimasa yang lalu, tapi hubungan kita selamanya sangat baik, apalagi ilmu silatmu dan pribadimu sesungguhnya adalah tokoh utama perguruan kita, selama ini Suheng sangat kagum padamu. Coba kalau bukan lantaran janji Lap-pat-cok ini, tentu Suheng akan menyerahkan jabatan ciangbun ini kepadamu. Namun keadaan hari ini sudah lain, maka permintaanmu tiada mungkin dapat kupenuhi lagi. Hahaha!" Di tempat sembunyinya Boh-thian dapat mendengar dengan jelas percakapan itu. Ia tidak tahu barang apakah "Lap-pat-cok" yang dibicarakan itu. Ia masih ingat istilah itu pun pernah diucapkan Thio Sam waktu bertemu dengan orang-orang Tiat-cha-hwe, sekarang demi menyebut janji makan "Lap-pat-cok", Thian-hi Tojin lantas sedih, apa barangkali "Lap-pat-cok" itu adalah sesuatu racun yang lihai? Dalam pada itu terdengar Thian-hi telah berkata pula, "Sute, bahwasanya rambut Suheng menjadi putih dalam semalam, hal ini sekali-kali bukanlah karena takut mati. Usiaku sekarang sudah 62 tahun, kalau mati tahun ini juga sudah cukup umur. Hanya saja yang selalu kupikirkan adalah cara bagaimana agar kita dapat melenyapkan bencana besar yang setiap sepuluh tahun satu kali tentu menimpa bu-lim ini? Dengan cara bagaimana agar nama dan ilmu silat perguruan kita yang jaya ini dapat dipertahankan? Ya, memang semuanya ini adalah urusan mahasulit. Selama 32 tahun berselang, pihak sana sudah tiga kali mengadakan perjamuan Lap-pat-cok. Setiap tokoh dan setiap jago dari berbagai kalangan dan golongan yang diundang ke sana belum pernah ada seorang pun yang dapat pulang. Sesungguhnya kematian Suheng ini tiada perlu dibuat gegetun, hanya, saja urusan kesudahannyalah yang perlu kita pikirkan." Tiba-tiba Ciok Jing juga terbahak, ia angkat cawan arak dan mengeringkan isinya, lalu berkata, "Suko, bahwasanya secara lancang Siaute mohon Suko menyerahkan jabatanmu, hal ini bukanlah Siaute ingin mewakilkan Suko untuk mengantarkan jiwa, tapi bertujuan ingin menyelidiki persoalan ini, ya, boleh jadi Thian memberkahi sehingga Siaute dapat menyelidiki rahasia di dalamnya, walaupun Siaute tak berani menjamin akan mampu menumpas malapetaka yang selalu mengancam bu-lim ini, tapi asal rahasia di balik layar sudah dapat disiarkan, lalu setiap orang persilatan sama berbangkit dan beramai-ramai berjuang, masakah kita benar-benar tak mampu melawan pihak mereka itu?" Namun Thian-hi telah menggeleng perlahan, katanya, "Bukanlah aku sengaja menilai tinggi pihak orang dan mengartikecilkan Sute, coba lihat, tokoh-tokoh sebagai It-bok Totiang dari Bu-tong-pay, Giok-cin Tojin dari Jing-sia-pay, dan tokoh-tokoh lain yang berkepandaian tinggi toh mereka hanya bisa pergi dan tak bisa kembali. Maka menurut pendapatku, ai, biarpun ilmu silat Sute cukup tinggi, betapa pun... betapa punjuga belum dapat dibandingkan dengan kaum cianpwe (angkatan tua) sebagai It-bok dan Giok-cin Totiang."

"Untuk ini Siaute juga cukup tahu diri," ujar Ciok Jing. "Namun berhasil atau tidak dari sesuatu urusan sebagian adalah tergantung pada kepandaian dan sebagian lagi juga tergantung kepada nasib. Andaikan Siaute tidak mampu menumpas bencana ini, tapi berusaha untuk menyelidiki sedikit rahasia yang menyangkut urusan ini rasanya bukanlah tiada harapan sama sekali." Namun Thian-hi tetap menggeleng, katanya, "Jabatan Ciangbunjin Siang-jing-koan kita selama ratusan tahun ini

selalu dipegang oleh kaum beribadat (tosu). Bila aku mati, maka aku sudah menunjuk Tiong-hi Sute sebagai penggantiku. Untuk selanjutnya asalkan Sute berdua suka membantu sepenuh tenaga agar supaya golongan kita tetap berkembang, maka cukuplah bagiku untuk menyatakan terima kasih yang tak terhingga." Begitulah meski Ciok Jing telah berulang kali mendesak, tapi Thian-hi tetap menolak sehingga semua orang sampai berhenti minum dan lupa makan. Di tempat sembunyinya Boh-thian sendiri sedang asyik menikmati ayam Pek-sak yang dicurinya dari meja perjamuan tadi. Sepotong demi sepotong ia jejalkan daging ayam itu ke dalam mulut, tapi karena khawatir mengeluarkan suara, maka ia tidak berani mengunyah, jadi terus menelannya matang-matang begitu saja. Walaupun demikian ia pun tidak lupa pasang mata mengintip segala kejadian di bawah. Dilihatnya Nyonya Ciok, yaitu Bin Ju, sejak mula hanya mendengarkan saja pembicaraan sang suami dengan Thian-hi

Tojin tanpa menimbrung apa-apa, sebaliknya perlahan-lahan ia mengambil kedua bentuk medali tembaga yang berada di atas meja, ia mengamat-amati medali-medali itu sejenak, lalu seperti sengaja dan seperti tidak sengaja ia hendak memasukkan benda-benda itu ke dalam sakunya. "Taruh kembali, Sumoay!" mendadak Thian-hi berseru. "Ah, aku yang menyimpannya bagi Suko toh sama saja," sahut Bin Ju dengan tersenyum dan tampaknya kedua medali itu segera akan masuk ke dalam bajunya. Thian-hi menjadi khawatir, mencegahnya dengan ucapan tak dihiraukan, terpaksa ia hendak merebutnya kembali dengan tangan. Tapi kebetulan pada saat itu Ciok Jing sedang menjulurkan sumpitnya hendak mengambil makanan sehingga lengannya tepat merintangi tangan Thian-hi yang terjulur itu. Segera Tiong-hi yang duduk di sebelahnya Bin Ju ikut bergerak, cepat tangannya menyambar hendak merampas medali-medali itu sambil berkata, "Lebih baik serahkan padaku saja!" Namun cepat Bin Ju telah mengangkat tangannya ke atas, berbareng tangan yang lain terus mengebas ke bawah. Terpaksa Tiong-hi menarik kembali tangannya dan balas menutuk pergelangan tangan Nyonya Ciok dan begitulah lantas terjadi serang-menyerang di antara mereka. Tiong-hi sudah ditetapkan oleh Thian-hi untuk menggantikannya menjabat sebagai ketua Siang-jing-koan, ini berarti Tiong-hi adalah calon pemimpin yang akan datang, ia pun terhitung tokoh yang tertinggi ilmu silatnya di dalam

kelenteng itu di samping Thian-hi sendiri. Sudah tentu Tiong-hi mengetahui apa yang dilakukan Ciok Jing dan istrinya itu timbul dari maksud yang baik. Tapi kedua bentuk medali tembaga itu menyangkut jiwa semua penghuni Siang-jing-koan, Thian-hi sudah menerimanya dari kedua rasul pengganjar dan penghukum, jika sekarang jatuh ke tangan orang lain, hal ini berarti jiwa semua imam di dalam kelenteng itu pun terancam, sebab inilah maka Tiong-hi telah berusaha merebutnya sedapat mungkin. Begitulah, sambil tetap berduduk Tiong-hi dan Bin Ju telah bergebrak belasan jurus. Kedua orang adalah tunggal guru, yang dimainkan adalah Kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan memegang) dari perguruan sendiri, walaupun masing-masing

tiada maksud melukai lawannya, tapi terpaksa juga mesti mengeluarkan segenap kepandaian. Sebagai saudara seperguruan mereka sudah berpisah 20-an tahun, selama itu walaupun pernah bertemu beberapa kali, tapi belum pernah menyaksikan sampai di mana kemajuan ilmu silat masing-masing. Sekarang kedua orang mendadak bergebrak dengan sama kuatnya, mau tak mau dalam hati masing-masing juga memuji akan kemajuan lawannya. Belasan tojin yang duduk di meja-meja lain sementara itu juga telah mengikuti pertarungan Tiong-hi dan Bin Ju. Tojin-tojin itu adalah jago-jago terkemuka semua, mereka pun tahu selama belasan tahun ini nama Ciok Jing dan Bin Ju sangat menonjol didunia Kangouw, sekarang menyaksikan Nyonya Ciok itu berebut medali tembaga dengan Tiong-hi secara diam-diam, nyonya itu telah memperlihatkan segenap intisari ilmu silatnya dari perguruan mereka, maka tojin-tojin itu merasa sangat kagum dan gegetun. Ternyata di antara mereka tiada seorang pun yang sadar bahwa di atas kepala mereka masih ada sepasang mata yang lain sedang mengikuti perebutan medali itu. Pada belasan jurus permulaan kekuatan Bin Ju dan Tiong-hi boleh dikata sembabat. Namun sebelah tangan Nyonya Ciok itu memegang dua buah medali sehingga tangan kanan itu cuma dapat menggunakan kepalan saja dan jarinya tak dapat dimanfaatkan. Lantaran demikian, Kim-na-jiu-hoat yang paling bagus menjadi tak dapat dimainkan dengan sempurna. Sesudah beberapa jurus pula, dengan lwekang yang kuat tangan kiri Tiong-hi berhasil memaksa lengan kiri Ciok-hujin ke bawah, berbareng tangan kanannya sudah menyambar dan sudah dapat menyentuh medali-medali yang tergenggam ditangan nyonya itu. Bin Ju insaf sekali ini pasti susah dipertahankan lagi. Jika ia menggenggam terus dan sama-sama mengadu lwekang, pertama kurang pantas dilihat orang banyak, kedua dirinya betapa pun adalah wanita, dalam hal lwekang tentu tidak sekuat Tiong-hi. Segera ia  mengendurkan tangannya sehingga kedua bentuk medali dibiarkan jatuh. Dengan jalan demikian ia berharap sang suami yang duduk di sisinya akan dapat menyambar benda-benda itu. Di luar dugaan, baru saja Ciok Jing hendak menjulurkan tangannya, sekonyong-konyong dua rangkum yang keras telah menyambar ke mukanya. Kiranya Thian-hi yang telah menolaknya dengan kedua tangan. Kedua rangkum angin itu sangat kuat, kalau tidak ditangkis tentu akan terluka parah. Maka terpaksa ia angkat tangan untuk menangkis. Dan karena sedikit ayal itulah, Ciau-hi Tojin yang duduk di sebelah Thian-hi telah dapat menyambar kedua medali tembaga itu. Begitu medali-medali itu jatuh di tangannya Ciau-hi, serentak Ciok Jing suami-istri, Thian-hi dan Tiong-hi lantas bergelak tertawa dan berhenti bergebrak. Tiong-hi dan Ciau-hi lantas membungkuk tubuh dan berkata, "Harap Sute dan Sumoay suka memaafkan." Cepat Ciok Jing dan Bin Ju membalas hormat, kata Ciok Jing, "Mengapa kedua Suheng berkata demikian, justru Siaute berdua yang telah berlaku kasar. lwekang yang telah dicapai Ciangbun-suheng ternyata sedemikian tingginya dan berpuluh kali lebih kuat daripada Siaute, rasanya perjalanan ini walaupun berbahaya, tapi untuk meloloskan diri saja dengan selamat rasanya juga bukan tiada harapan." Kiranya sesudah bergebrak tadi, Ciok Jing telah mengetahui lwekang sang suheng ternyata jauh lebih tinggi daripada dirinya, maka semangatnya yang sok jagoan tadi lantas lenyap sebagian besar. Dengan tersenyum getir Thian-hi lantas menjawab, "Ya, semoga terkabul menurut doa Sute itu. Terima kasih. Marilah, silakan minum!" Lalu ia mengangkat cawan dan menenggaknya hingga habis. Meski Siang-jing-koan adalah tempat beribadat, tapi mereka tidak pantang minum arak dan makan barang berjiwa. Dalam pada itu Ciok Boh-thian yang menyaksikan Bin Ju tak berhasil merebut kedua medali tembaga yang tidak diketahui apa gunanya itu, karena teringat kepada kebaikan Nyonya Ciok dahulu, maka diam-diam ia telah merancang, "Tosu itu telah merebut medali-medali tembaga, sebentar aku akan merebutnya pula untuk dihadiahkan kepada Ciok-hujin." Sementara itu sesudah saling mengangkat gelas dan habis minum, lalu Ciok Jing berbangkit dan berkata, "Kuharap perjalanan Suheng nanti takkan mengalami sesuatu halangan

sehingga dapat pulang dengan selamat. Siaute sendiri karena urusan seorang anakku kena diculik orang dan sekarang buru-buru ingin pergi menolongnya sehingga tidak sempat bicara lebih lama dengan para Suheng dan Sute, maka sukalah para Suheng memaafkan, sekarang juga kami mohon diri." Mendengar itu, para tosu terperanjat. Kata Thian-hi, "Kabarnya putra Sute belajar di tempat Swat-san-pay, dengan nama Sute suami-istri, ditambah pengaruh Swat-san-pay yang besar, masakah ada manusia yang begitu kurang ajar dan berani menculik putramu?" Ciok Jing menghela napas, sahutnya, "Urusan ini terlalu panjang untuk diceritakan, soalnya juga karena salah Siaute sendiri yang tidak pandai mendidik anak, maka akibat yang ditimbulkan anak yang menyeleweng itu tidaklah dapat menyalahkan orang lain." Hendaklah maklum bahwa Ciok Jing adalah seorang yang bijaksana, walaupun Hian-soh-ceng, kediamannya yang megah itu, telah dibakar habis oleh Pek Ban-kiam, tapi ia tahu sebab musababnya adalah kesalahan di pihaknya sendiri, maka dia tidak menaruh dendam kepada Swat-san-pay. Di antara para tosu itu, Tiong-hi terhitung orang yang paling simpatik, dengan suara lantang ia lantas berseru, "Sute dan Sumoay, jika musuh berani menculik putramu, itu berarti dia pun memandang rendah kepada Siang-jing-koan. Tak peduli tokoh macam apa penculik itu, biarpun suhengmu ini tidak becus juga pasti akan memberi bantuan padamu." Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Sedangkan putramu diculik orang, tapi kau toh perlukan datang ke tempat perguruan yang sedang menghadapi kesukaran, hal ini menandakan betapa baik budi Sute berdua. Untuk ini masakah kami tidak mempunyai perasaan dan berpeluk tangan membiarkan Sute mengalami kesukaran sendiri?" Ia sangka kalau penculik itu sudah tidak gentar kepada Ciok Jing suami-istri dan tidak takut kepada orang-orang Swat-san-pay yang berpengaruh itu, maka penculik itu tentulah seorang tokoh yang sangat lihai. Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa orang yang menangkap putranya Ciok Jing itu justru adalah kaum Swat-san-pay. Pertama memang Ciok Jing tidak ingin perbuatan sang putra yang merusak nama keluarganya diketahui orang luar, apalagi sekarang Siang-jing-koan sendiri sedang menghadapi kesulitan, tentu saja ia lebih-lebih tidak ingin para suheng itu mengikat permusuhan baru dengan pihak lain lagi. Maka cepat ia menjawab, "Maksud baik para Suheng dan Sute, sungguh kami merasa terima kasih tak terhingga. Cuma persoalan ini sekarang masih harus diselidiki dulu dengan lebih jelas, biarlah kelak bilamana urusan sudah agak jelas, jikalau Siaute berdua merasa kurang kuat, dengan sendirinya kami akan pulang kemari untuk minta bantuan."

"Baiklah jika demikian halnya," ujar Tiong-hi. "Tatkala mana Sute juga tidak perlu datang sendiri, asalkan menyampaikan sedikit berita saja tentu seluruh isi Siang-jing-koan akan dikerahkan." Ciok Jing dan Bin Ju memberi hormat dengan ucapan terima kasih. Tapi di dalam hati diam-diam merasa berduka, mereka tahu dosa putranya, andaikan anak itu akan dicincang atau digantung oleh Swat-san-pay, mau tak mau mereka hanya bisa menerima nasib saja dan tidak nanti minta pertolongan kepada Siang-jing-koan. Begitulah Ciok Jing berdua lantas mohon diri, mereka diantar keluar oleh Thian-hi, Tiong-hi dan lain-lain. Melihat semua orang sudah keluar agak lama, segera Ciok Boh-thian melompat keluar dari tempat sembunyinya, ia melompat ke atas rumah dan melintasi pagar tembok. Pikirnya, "Ciok-cengcu dan Ciok-hujin mengatakan putra mereka telah diculik orang, entah siapakah yang melakukan perbuatan itu? Tentang medali-medali tembaga itu tampaknya hanya benda permainan yang tiada artinya, dapat direbut atau tidak, tidaklah menjadi soal, sebaliknya tentang putranya yang diculik itu aku harus bantu mencarikannya untuk membalas budi kebaikan Ciok-hujin padaku. Ya, bila aku dapat menolong kembali putranya, tentu dia akan sangat gembira. Biarlah aku menyusulnya untuk tanya siapakah nama putranya itu, berapa umurnya dan bagaimana rupanya agar aku dapat mencarinya." Ia coba melompat ke atas pohon yang tinggi, ia lihat belasan buah lampu kerudung dalam dua baris sedang bergerak kesebelah sana, kiranya para tosu sedang mengantar Ciok Jing dan Bin Ju keluar kompleks kelenteng. Pikir Boh-thian, "Kuda tunggangan Ciok-cengcu berdua sangat cepat larinya, ada lebih baik aku mendahuluinya mencegat mereka di depan sana." Sesudah membedakan arah yang akan dituju Ciok Jing suami-istri, segera ia melompat turun dan mendahului berangkat melalui lereng bukit. Tak terduga, belum lagi beberapa jauh ia meninggalkan kompleks kelenteng itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan orang, "Siapa itu? Lekas berhenti!" Bahwasanya dengan lwekang Ciok Boh-thian yang tinggi itu, ia sembunyi di atas papan pigura dengan menahan napas sehingga sama sekali tidak diketahui oleh siapa pun juga. Tapi sekarang begitu dia angkat kaki dan berlari, seketika imam-imam Siang-jing-koan yang bukan kaum keroco itu lantas mengetahui tempat mereka telah kemasukan orang luar. Semula mereka pun masih tinggal diam saja, tapi begitu Ciok Jing dan Bin Ju sudah agak jauh, segera mereka menyusul dan menggerebek Ciok Boh-thian dari berbagai jurusan. Dalam kegelapan mendadak Ciok Boh-thian merasa hawa pedang yang dingin, tahu-tahu dua orang tojin sudah mengadang di depannya dengan pedang terhunus dan memancarkan sinar yang gemerlapan. Samar-samar ia melihat seorang di antaranya tak-lain-tak-bukan adalah Ciau-hi. Ia menjadi girang, segera ia bertanya, "Apakah Ciau-hi Tojin disitu?" Ciau-hi melenggong, ia pikir kiranya orang sudah mengenalnya. Segera ia menjawab, "Ya, betul. Siapakah saudara ini?"

Tanpa banyak cincong lagi Boh-thian lantas berkata sambil mengangsurkan tangan, "Berikan medali-medali tembaga tadi padaku!" Ciau-hi menjadi gusar. "Terimalah ini!" bentaknya, berbareng pedangnya terus menusuk ke paha Ciok Boh-thian. Kaum Siang-jing-koan mempunyai peraturan yang keras, yaitu tidak boleh sembarangan membunuh. Sekarang asal-usul pihak lawan belum jelas, walaupun begitu datang Ciok Boh-thian lantas minta medali tembaga apa segala, namun serangan Ciau-hi itu toh tidak diarahkan ke tempat yang berbahaya. Dengan cepat Boh-thian dapat mengegos, berbareng tangan kanan balas mencengkeram pundak lawan. Melihat gerak-gerik Boh-thian sangat cekatan, Ciau-hi tidak berani ayal lagi, pedang berputar terus menusuk pula ke bahu kanan lawan. Lekas-lekas Boh-thian mendakkan tubuh dan menggeser kesamping, berbareng tangan kanan digunakan menyampuk. Diluar dugaan, kontan Ciau-hi lantas mencium serangkum bau amis yang memuakkan, kepalanya menjadi pening, seketika ia roboh terjungkal. Selagi Boh-thian tercengang atas kejadian itu, tiba-tiba pedang tojin kedua sudah menusuk dari belakang. Sekarang Boh-thian sudah tahu bahwa telapak tangannya sendiri itu rada-rada ajaib, asal memukul tentu akan membinasakan orang, maka ia tidak berani balas menyerang lagi, lekas-lekas ia melompat ke depan. Namun sudah kasip sedikit, "bret", bajunya telah terobek satu garis, bahkan kulitnya juga tergores sedikit. Meski ilmu silat tojin itu lebih rendah daripada Ciau-hi, tapi karena melihat Ciau-hi telah dirobohkan lawan dengan cara yang tak jelas, maka buru-buru ia ingin menolong sang suheng, pedangnya berputar dengan kencang, ia serang Boh-thian dengan gencar. Karena tak berani balas memukul, terpaksa Boh-thian berusaha menghindar. Pada suatu kesempatan ia dapat menjemput pedang Ciau-hi yang terlempar di atas tanah itu. Ia lihat musuh masih terus menyerang tanpa kenal ampun, segera ia pun memutar pedang itu sebagai gantinya golok, ia mainkan Kim-oh-to-hoat yang lihai itu. "Trang", sekaligus ia tangkis pergi pedang lawan yang sedang menusuk. Karena tenaga dalam Ciok Boh-thian yang luar biasa kuatnya itu, tojin itu tidak mampu  memegangi pedangnya lagi, senjata itu terlepas dan mencelat dari cekalannya. Tapi ilmu silat kaum Siang-jing-koan tidak melulu dalam hal ilmu pedang saja, Kim-na-jiu-hoat juga merupakan salah satu kepandaian tunggal yang disegani di dunia persilatan. Maka begitu kehilangan senjata, tojin itu tidak menjadi gentar, sebaliknya ia terus menubruk maju malah, kedua tangannya yang mirip cakar itu terus mencengkeram dada dan perut Ciok Boh-thian. Dengan cara pertarungan dari jarak dekat ini, pihak lawan yang berpedang menjadi sukar untuk menggunakan senjatanya. "Hei, jangan, jangan!" demikian Boh-thian berteriak-teriak gugup karena musuh menyeruduk dengan nekat. Berbareng tangan kirinya terus menyampuk untuk mendorong pergi tojin itu. Pada saat dia sudah mengeluarkan tenaga, dengan sendirinya racun jahat yang mengeram di tubuhnya itu juga sudah ikut terkumpul di telapak tangannya. Maka sekali tangannya mendorong, kontan saja tojin itu pun roboh terkulai. "Ai, ai! Sesungguhnya aku toh tidak ingin membikin celaka kau!" seru Boh-thian sambil banting-banting kakinya sendiri dengan penuh menyesal. Dalam pada itu terdengar suara suitan yang sahut-menyahut, para tosu sudah makin mendekat. Cepat Boh-thian meraba sakunya Ciau-hi, benar juga kedua medali tembaga dapat diketemukannya. Segera ia masukkan benda-benda itu kedalam bajunya sendiri, lalu angkat langkah seribu menuju ke jurusan yang ditempuh Ciok Jing dan istrinya. Sekaligus tanpa berhenti ia terus berlari sampai belasan li jauhnya, tapi sama sekali tak terdengar suara larinya kuda. Pikirnya, "Apa barangkali kuda-kuda tunggangan Ciok-cengcu dan Ciok-hujin itu sedemikian cepatnya sehingga aku tidak dapat mendahului mereka? Atau, jangan-jangan aku telah salah ambil arah, mereka tidak melalui jalan besar ini, tapi mengambil jurusan lain?" Setelah berlari beberapa li lagi, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Cepat Boh-thian memandang ke arah suara kuda itu, dari jauh dapat dilihatnya di bawah sebatang pohon tertambat dua ekor kuda, seekor hitam dan seekor lagi putih. Terang itulah kuda-kuda tunggangan Ciok Jing berdua. Boh-thian sangat girang, segera ia mengeluarkan kedua medali tembaga dan disiapkan di tangan. Baru saja ia hendak pentang mulut untuk menyapa,  sekonyong-konyong terdengar suara Ciok Jing sedang bicara di kejauhan, "Adik Ju, maling kecil itu secara sembunyi-sembunyi telah menguntit kita, tentu dia tidak bermaksud baik, bolehlah kau bereskan dia saja." Keruan Boh-thian terperanjat, disangkanya Ciok Jing tidak suka dikintil olehnya. Anehnya suara Ciok Jing terdengar dengan jelas, tapi orangnya tidak kelihatan. Ia menjadi khawatir kalau-kalau Ciok-hujin melabrak dirinya dan terpaksa ia harus balas menyerang, lalu nyonya baik itu juga terpukul mati, kan urusan bisa runyam. Maka cepat ia menyusup dan sembunyi di tengah alang-alang yang lebat. Ia pikir Bin Ju pasti akan memburu ke situ, jika demikian ia akan melemparkan medali-medali tembaga tadi kepada nyonya itu, lalu ia akan melarikan diri. Tiba-tiba terdengar suara berkeresek, sesosok bayangan orang

telah melompat keluar dari balik pohon di sebelah sana, dengan pedang terhunus orang itu menuding ke tengah semak-semak sambil membentak, "He, anak muda, untuk apa kau menguntit kami? Hayo lekas keluar!" Itulah suaranya Bin Ju. Baru saja Boh-thian hendak menjawab, sekonyong-konyong dari tengah semak-semak rumput menyambar keluar tiga titik sinar, ada orang sedang menyerang Bin Ju dengan senjata rahasia. Ketika Bin Ju mengayun pedangnya dan baru saja senjata-senjata rahasia itu disampuk jatuh, cepat dari semak-semak rumput telah melompat keluar seorang laki-laki berbaju hijau, dengan golok laki-laki itu lantas membacok Bin Ju. Kejadian ini benar-benar di luar dugaan Boh-thian, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa di tengah semak-semak rumput itu tersembunyi orang lain pula. Dilihatnya gerakan laki-laki itu cukup gesit, golok diputar dengan kencang. Bin Ju hanya menangkis seperlunya saja dan tidak balas menyerang. Sementara itu Ciok Jing juga sudah muncul dari balik pohon sana, ia hanya menonton saja dengan berpangku tangan. Setelah mengikuti beberapa jurus, tiba-tiba ia menegur, "He,  kau, bukankah kau ini muridnya Loh Cap-pek dari Thay-san?" "Kalau betul mau apa?" bentak orang itu, goloknya sedikit pun tidak kendur. "Walaupun Loh Cap-pek tiada persahabatan dengan kami, tapi juga tidak bermusuhan," kata Ciok Jing. "Kau sudah menguntit kami beberapa li jauhnya, apa maksud tujuanmu yang sebenarnya?"

"Aku tidak sempat menjelaskan...." sahut laki-laki itu. Kiranya Bin Ju tampaknya seperti seenaknya saja melayani serangan-serangan lawan, tapi sebenarnya laki-laki itu sudah terdesak sehingga kelabakan. Maka Ciok Jing berkata pula dengan tertawa, "Ilmu golok Loh Cap-pek jauh lebih tinggi daripada kami, tapi tampaknya kau belum lagi ada tiga bagian mempelajari kepandaian suhumu itu. Nah, lepas senjata dan berdiri saja di situ!" Mendengar ucapan Ciok Jing ini, kontan pedang Bin Ju juga tepat menusuk pergelangan laki-laki itu. Sedikit berputar kesamping, Bin Ju putar gagang pedangnya untuk mengetok, dengan tepat hiat-to di punggung orang lantas ditutuknya. "Trang", golok laki-laki itu jatuh ke tanah, sedangkan tubuhnya sudah tak bisa berkutik lagi. "Kau she apa, sahabat?" tanya Ciok Jing dengan tersenyum. Namun orang itu sangat kepala batu, biarpun terancam dia tetap tidak gentar. Bahkan dengan galak ia menjawab, "Mau bunuh boleh bunuh, buat apa banyak bicara?"

"Jika sahabat tidak mau bicara juga tidak menjadi soal," ujar Ciok Jing dengan tertawa. "Kau telah ikut di dalam  organisasi mana? Agaknya gurumu tidak mengetahui, bukan?" Laki-laki itu mengunjuk rasa sangsi dan heran, ia pikir dari manakah orang mengetahui seluk-beluk tentang dirinya? Maka Ciok Jing menyambung lagi, "Cayhe tiada pernah bermusuhan dengan gurumu, andaikan dia benar-benar mengirim orang untuk menguntit kami, hehe, untuk bicara terus terang, rasanya gurumu masih cukup menghormati kami dan takkan mengutus orang semacam saudara." Di balik kata-katanya ini Ciok Jing ingin mengatakan bahwa ilmu silatmu terlalu rendah, tidaklah mungkin gurumu mengirim seorang keroco seperti kau ini. Keruan muka orang itu menjadi merah jengah, untung dalam keadaan gelap sehingga tidak dilihat orang lain. Ciok Jing lantas menepuk dua kali di pundak laki-laki itu, katanya, "Kami suami-istri selamanya suka blakblakan dalam segala hal. Jika kau ingin tahu jejak kami, tiada halangannya kami memberitahukan secara terus terang. Kami tadi baru datang dari menyambangi Thian-hi Totiang di Siang-jing-koan. Bolehlah kau pulang dan tanya kepada gurumu, tentu kau akan tahu bahwa di waktu mudanya Ciok Jing dan Bin Ju pernah belajar silat di Siang-jing-koan dan Thian-hi Totiang adalah suheng kami. Sekarang kami hendak berangkat ke Leng-siau-sia di Swat-san untuk menemui Wi-tek Siansing, ciangbunjin dari Swat-san-pay. Nah, jika sahabat tiada sesuatu yang perlu ditanyakan lagi bolehlah silakan pergi saja." Sesudah pundaknya ditepuk, segera laki-laki itu merasa badannya bisa bergerak lagi. Di samping malu ia menjadi kagum juga. Ia memberi hormat dan menjawab, "Ciok-cengcu ternyata berbudi luhur dan tidak bernama kosong, maafkan tadi aku telah mengganggu." Habis berkata, goloknya yang jatuh tadi pun tidak berani dijemput kembali, segera ia putar tubuh dan melangkah pergi. Baru beberapa tindak orang itu berjalan, tiba-tiba Ciok Jing berseru pula, "He, sahabat, apakah pangcu kalian sudah diketemukan?"

Orang itu terkejut. "Jadi... jadi kau sudah tahu semua?" sahutnya dengan terputus-putus sambil berpaling. "Ah, tidak, aku tidak tahu," kata Ciok Jing sambil menghela napas perlahan. "Jadi belum ada beritanya, ya? "Ya, belum ada," sahut laki-laki itu sambil menggeleng. "Kami suami-istri juga ingin mencari dia," kata Ciok Jing pula. Untuk sejenak ketiga orang berdiri terpaku berhadapan, kemudian orang itu membalik tubuh dan melanjutkan perjalanannya. "Engkoh Jing, apakah dia orang Tiang-lok-pang?" tanya Bin Ju sesudah orang itu pergi agak jauh. Hati Ciok Boh-thian tergetar demi mendengar "Tiang-lok-pang" disebut.

Bab 29. Ciok Jing Suami-Istri Difitnah Meracuni

Dalam pada itu terdengar Ciok Jing telah menjawab, "Tadi waktu dia berputar tubuh dan menarik jubahnya, lapat-lapat aku melihat ujung bajunya itu tersulam setangkai bunga kuning, maka aku coba-coba menegurnya, dan ternyata memang betul. Sebabnya dia menguntit kita kiranya... kiranya adalah anak Giok. Tahu begitu, tentu tadi kita tak perlu membikin susah padanya."

"Tampaknya mereka... mereka sangat setia kepada anak Giok," ujar Bin Ju. "Ya, anak Giok kena diculik oleh Pek Ban-kiam, tentu saja orang-orang Tiang-lok-pang disebarkan untuk mencegat dimana-mana," ujar Ciok Jing. "Jumlah mereka sangat banyak, hubungan luas dan pengaruh besar, tak tersangka toh tetap tiada mendapatkan sesuatu berita apa-apa."

"Dari... dari mana kau mengetahui tiada sesuatu berita apa-apa?" kata Bin Ju dengan sedih. Dengan penuh kasih sayang Ciok Jing memegang tangan sang istri, katanya dengan lembut, "Adik Ju, bila mereka sudah mendapat berita tentang anak Giok, tentu mereka takkan menyebarkan orang ke mana-mana untuk mengikuti jejak tokoh-tokoh Kangouw. Murid Loh Cap-pek tadi tanpa sebab telah menguntit kita, selain ingin mencari tahu jejak pangcu mereka rasanya tiada maksud tujuan lain lagi."

Tempat di mana Ciok Jing dan Bin Ju berada itu jaraknya kira-kira beberapa meter dari tempat sembunyi Ciok Boh-thian. Walaupun suara bicara Ciok Jing tidak keras, tapi cukup jelas didengar oleh pemuda itu. Sebenarnya dengan kepandaian Ciok Jing suami-istri yang tinggi, waktu datangnya Boh-thian tadi tentu akan diketahui oleh mereka. Cuma waktu itu mereka lagi mencurahkan perhatian kepada laki-laki murid Loh Cap-pek yang selalu menguntit itu, ditambah lagi lwekang Boh-thian sekarang sudah sangat tinggi, langkahnya enteng tak bersuara, sebab itulah sehabis Ciok Jing menyelesaikan urusan laki-laki itu, sama sekali mereka tidak menduga bahwa di tengah semak-semak sana masih sembunyi seorang lain lagi. Dari percakapan Ciok Jing berdua itu, Boh-thian mendengar tentang Pangcu Tiang-lok-pang yang diculik Pek Ban-kiam yang maksudnya rasanya seperti dirinya, tapi "anak Giok" apa segala toh bukanlah dirinya. Memangnya dalam benak Ciok Boh-thian telah penuh tanda tanya mengenai asal usulnya sendiri, kalau sekarang mendadak ia keluar dari tempat sembunyinya tentu juga kurang pantas. Maka ia lantas diam saja untuk mendengarkan lebih lanjut. Saat itu adalah malam yang gelap, suara serangga dan katak mulai bergema, angin pun meniup mendesis-desis, sebaliknya Ciok Jing suami-istri pun tidak bicara lagi. Karena khawatir jejaknya diketahui, maka Ciok Boh-thian sampai bernapas pun tidak berani terlalu keras. Selang agak

lama barulah didengarnya nyonya Ciok menghela napas, menyusul terdengar suara tersedu-sedu yang perlahan. Lalu terdengar Ciok Jing telah berkata, "Adik Ju, selama kita merantau di kalangan Kangouw belum pernah kita melakukan sesuatu yang jahat. Beberapa tahun terakhir ini demi keselamatan anak Giok bahkan kita lebih banyak menjalankan kebajikan. Kalau sudah begini kita masih diharuskan tidak mempunyai keturunan maka apa mau dikata lagi bilamana memang sudah suratan nasib, apalagi anak durhaka sebagai anak Giok itu ada lebih baik kita anggap tidak mempunyai anak saja, sudah."

"Meski anak Giok memang agak nakal sejak kecil, tapi dia... dia tetap jantung hati kita," ujar Bin Ju dengan suara lembut. "Hanya karena anak Kian telah tewas dengan mengenaskan ditangan orang, kita menjadi lebih memanjakan anak Giok dan mengakibatkan gara-gara seperti sekarang ini, namun... namun aku tetap takkan membencinya. Tempo hari waktu di kelenteng kecil itu bukankah dia belum seburuk sebagaimana kita sangka? Jika aku tidak... tidak salah melukai dia, tentu... tentu takkan...." sampai di sini suaranya menjadi terguguk-guguk, rupanya ia sangat menyesal dan berduka.

"Sudah kukatakan janganlah kau sedih atas kejadian itu, andaikan tempo hari kita dapat menyelamatkan dia, toh tidak

mustahil akan direbut lagi oleh mereka," kata Ciok Jing. "Urusan ini pun sangat aneh, ke manakah perginya orang-orang Swat-san-pay ini, mengapa mendadak telah menghilang semua dan tiada berita apa-apa lagi di dunia persilatan Tionggoan. Adik Ju, besok juga kita berangkat langsung ke Leng-siau-sia. Setiba di sana, baik atau buruk tentu kita akan mendapat keterangan yang jelas."

"Tanpa beberapa pembantu yang kuat, apakah kita mampu menyelamatkan anak Giok dari sarang harimau sebagai Leng-siau-sia itu?" ujar Bin Ju. "Untuk menolong orang di sana memang tidaklah gampang," kata Ciok Jing. "Harapan kita hanya mencegatnya di tengah jalan, tapi sekali anak Giok sudah berada di Leng-siau-sia, maka itu berarti kambing sudah masuk ke dalam mulut harimau."

"Kukira dalam urusan ini juga tidak seluruhnya anak Giok yang bersalah," kata Bin Ju. "Lihatlah Swat-san-kiam-hoat yang dimainkan anak Giok itu sedemikian ceteknya, tentu karena Swat-san-pay tidak mengajarkan dia dengan sungguh-sungguh. Anak Giok adalah pemuda yang angkuh dan tinggi hati pula, mungkin di sana ia telah banyak mengikat permusuhan. Tentu selama beberapa tahun ini dia telah sangat menderita lahir batin."

"Ya, semuanya adalah karena salahku, sungguh aku sangat menyesal," kata Ciok Jing. "Dahulu waktu aku memutuskan akan mengirim dia belajar kepada Swat-san-pay, walaupun kau tidak membantah, tapi kutahu di dalam hati kau merasa sangat berat. Sungguh tidak nyana Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li yang sedemikian terhormat, persahabatannya dengan kita juga

begini baik, ternyata anak Giok telah disia-siakan di sana."

"Engkoh Jing, urusan ini mana boleh menyalahkan kau," ujar Bin Ju. "Maksudmu mengirim anak Giok ke Leng-siau-sia adalah demi kebaikanku, walaupun kau tidak menjelaskan juga aku tahu sendiri. Kau tahu bahwa untuk membalas sakit hati anak Kian melulu tenagaku sendiri tentu tidak berhasil, sampai pada saat yang menentukan juga kau tidak enak ikut campur, ditambah lagi pihak musuh terlalu hafal akan ilmu silat perguruan kita, tentu dia sudah mempunyai cara untuk mengalahkan kita. Tapi kalau anak Giok berhasil mempelajari Swat-san-kiam-hoat, dengan bahu-membahu kami ibu dan anak tentu mampu membinasakan musuh. Siapa tahu... siapa tahu... ai!" Ciok Boh-thian dapat mengikuti percakapan Ciok Jing dan Bin Ju itu, tapi sebagian besar ia merasa tidak paham dan bingung. Hanya terpikir olehnya, "Nasib nyonya Ciok sungguh malang, sedemikian sedih dia merindukan anaknya itu. Agaknya anaknya telah ditawan orang Swat-san-pay dan dibawa ke Leng-siau-sia, biarlah aku ikut mereka ke sana dan bila perlu akan kubantu mereka. Bukankah tadi dia mengatakan ingin mencari beberapa pembantu?" Tengah merenung, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara derapan kuda yang ramai dari kejauhan, ada belasan ekor kuda sedang lari mendatangi dengan cepat. Rupanya Ciok Jing berdua juga sudah dengar, mereka tidak bicara lagi, tapi duduk dengan diam saja. Selang tidak lama, suara derapan kuda makin mendekat, lalu ada orang berseru, "Itu dia, di sini!" Menyusul ada orang berseru pula, "Ciok-sute, Bin-sumoay, kami ingin bicara dengan kalian!" Ciok Jing dan Bin Ju mengenali suara Tiong-hi Tojin itu, mereka agak heran, tapi lantas melompat maju. Seru Ciok Jing, "Tiong-hi Suheng, apakah telah terjadi sesuatu?" Maka tertampaklah Thian-hi, Tiong-hi, dan belasan suheng dan sute dari Siang-jing-koan itu semuanya berkuda, dua tojin di antaranya masing-masing memondong sesosok tubuh. Karena keadaan gelap sehingga tubuh-tubuh siapakah itu tidaklah jelas. Dengan pada yang gugup dan kasar Tiong-hi lantas menegur, "Ciok... Ciok-sute dan Bin-sumoay, kalian tidak berhasil merebut kedua medali pengganjar dan penghukum di dalam kelenteng, mengapa lantas menggunakan tipu muslihat untuk merebutnya pula? Urusan kedua medali tembaga itu tidak menjadi soal, tapi mengapa kalian memakai cara keji terhadap Ciau-hi dan Thong-hi Sute, perbuatan kalian ini sungguh... sungguh tidak patut." Ciok Jing dan Bin Ju terkejut semua mendengar uraian itu. Cepat Ciok Jing bertanya, "Ciau-hi dan Thong-hi Suheng telah... telah mengalami cedera? Mengapa... mengapa bisa terjadi demikian? Apakah jiwa kedua suheng itu berbahaya?" Karena mengkhawatirkan keselamatan kedua suheng itu, seketika juga Ciok Jing tidak sempat mendebat dan membela diri atas tuduhan Tiong-hi tadi. Tapi dengan marah-marah Tiong-hi berkata pula, "Entah kau telah bersekongkol dengan kaum pengecut yang tidak kenal malu sehingga berani menggunakan racun yang keji. Walaupun kedua sute belum lagi binasa, tapi keadaan mereka sekarang rasanya juga tidak berbeda banyak."

"Harap Suheng jangan marah dulu, coba kuperiksa mereka," kata Ciok Jing sambil melangkah maju hendak melihat keadaan Ciau-hi dan Thong-hi. Tapi lantas terdengar suara "sret-sret" di sana-sini, beberapa tojin sudah melolos pedang dan mengadang di depan Ciok Jing. Dengan menghela napas Thian-hi lantas berkata, "Menyingkirlah kalian! Ciok-sute bukanlah manusia semacam itu." Para tojin itu mendengus, lalu menurunkan pedang dan memberi jalan. Segera Ciok Jing mengeluarkan geretan api untuk menerangi muka Ciau-hi dan Thong-hi. Maka terlihatlah wajah kedua tojin itu hitam gelap, itulah memang tanda-tanda terkena racun. Waktu pernapasan mereka diperiksa, ternyata denyut jantungnya sangat lemah, jiwa mereka sudah tinggal sesaat dua saat saja. Hendaklah maklum bahwa ilmu silat Siang-jing-koan mempunyai gayanya tersendiri dan mempunyai kelebihan daripada ilmu silat golongan lain. Ciau-hi dan Thong-hi Tojin semuanya memiliki lwekang yang cukup tinggi, sedangkan pukulan berbisa Ciok Boh-thian tidak langsung mengenai tubuh mereka, maka kedua tojin itu cuma jatuh pingsan terkena hawa berbisa yang tertolak keluar dari telapak tangan Ciok Boh-thian. Namun demikian, terang ajal mereka pun takkan tahan lebih lama daripada satu atau setengah jam. Melihat begitu parah kedua tojin itu keracunan, Ciok Jing menoleh dan tanya kepada sang istri, "Adik Ju, kau kira orang dari golongan manakah yang memakai cara sekeji ini?" Dan karena menolehnya itu, tertampaklah beberapa tojin yang lain dengan pedang terhunus sudah mengepung mereka dengan rapat.

Tapi Bin Ju anggap tidak tahu saja atas sikap permusuhan para imam itu. Ia menerima geretan api dari tangan sang suami, lalu mendekat untuk periksa air muka Ciau-hi dan Thong-hi, sedikit saja terendus hawa berbisa yang diembuskan dari pernapasan kedua imam itu, seketika Bin Ju sendiri merasa kepala pening, cepat ia melangkah mundur. Setelah memikir sejenak, lalu ia berkata, "Aku belum pernah melihat racun begini selama merantau. Tolong tanya, Tiong-hi Suheng, cara bagaimana kedua suheng ini kena racun? Apakah salah minum obat racun? Atau terkena senjata rahasia musuh yang berbisa? Apakah tubuh mereka ada bekas luka?"

"Dari mana aku bisa tahu?" sahut Tiong-hi dengan marah. "Kami justru menyusul ke sini untuk tanya padamu. Kau perempuan ini tadi tampak mencurigakan, besar kemungkinan waktu makan-minum tadi, karena tidak berhasil merebut medali-medali itu, lalu kau menaruh racun di dalam arak. Kalau tidak, mengapa orang lain tidak keracunan, tapi Ciau-hi Sute yang mengantongi medali-medali itu justru keracunan? Sedangkan me... medali-medali itu pun direbut lagi oleh kalian." Saking gusarnya air muka Bin Ju sampai pucat pasi. Tapi dasar perangainya memang halus, sejak kecil ia pun sangat sopan dan menghormati para suheng, maka ia tidak suka bercekcok mulut dengan mereka, hanya air matanya yang berlinang-linang dan hampir-hampir menetes. Ciok Jing tahu di dalam persoalan ini tentu adalah kesalahpahaman yang besar. Tadi dirinya suami-istri tidak berhasil merebut medali-medali tembaga itu, habis itu Ciau-hi lantas keracunan dan kehilangan medali-medali itu. Dalam keadaan demikian mereka suami-istri memang berada pada tempat yang harus dicurigai. Ia coba memegang tangan sang istri dengan maksud menghiburnya agar jangan berduka. Tapi seketika ia pun bingung dan tak berdaya. "Aku... aku...." demikian Bin Ju bermaksud membela diri, tapi hanya kata-kata itu saja yang sanggup diucapkan dan sudah menangis. "Biarpun kau menangis sampai langit runtuh, memangnya kedua sute ini dapat kau hidupkan kembali? Huh, kucing menangisi tikus...." jengek Tiong-hi dengan gusar. Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong di belakang mereka ada orang berseru, "Mengapa kalian tidak membedakan hitam atau putih dan sembarangan memfitnah orang?" Mendengar suara orang yang sangat keras dan kuat itu, para imam terkejut dan berpaling semua. Maka tertampaklah di sebelah sana sudah berdiri seorang laki-laki berbaju rombeng kumal. Tatkala itu fajar sudah mulai menyingsing sehingga remang-remang wajahnya kelihatan, rupanya usianya masih sangat muda. Ciok Jing dan Bin Ju menjadi girang demi melihat pemuda itu. Bin Ju sampai berteriak, "Ha... kau...." syukurlah pengalamannya cukup luas sehingga kata-kata "anak Giok" tidak sampai terucapkan. Pemuda itu memang betul Ciok Boh-thian adanya. Dia sembunyi di dalam semak alang-alang dan mendengarkan para imam itu menuduh Ciok Jing berdua telah meracuni kedua sute mereka. Boh-thian menjadi ragu-ragu, kalau dirinya tampil kemuka, tentu akan bergebrak dengan para imam dan bukan mustahil pukulan berbisanya akan banyak minta korban lagi, hal ini sesungguhnya sangat bertentangan dengan pikirannya. Tapi akhirnya demi melihat Tiong-hi makin garang dan makin mendesak sehingga Bin Ju sampai menangis, maka Boh-thian tidak tahan lagi, segera ia keluar dari tempat sembunyinya. "Siapa kau? Dari mana kau mengetahui kami sembarangan memfitnah orang?" bentak Tiong-hi segera. Boh-thian menjawab, "Ciok-cengcu dan Ciok-hujin tidak mengambil medali-medali tembaga kalian, tapi kalian bersitegang menuduh mereka, bukankah ini memfitnah secara ngawur?"

"Huh, kau bocah ini tahu apa? Kau berani sembarangan mengoceh di sini?" bentak pula Tiong-hi sambil melangkah maju setindak dengan pedang terhunus. "Sudah tentu aku tahu," sahut Boh-thian. Mestinya ia hendak mengatakan bahwa sesungguhnya dia yang mengambil medali-medali itu, tapi terpikir pula bila dikatakan terus terang, tentu kawanan imam itu akan main rebut lagi, dan kalau tidak dikembalikan, tentu akan terjadi pertarungan sengit sehingga terpaksa membunuh orang. Sebab itulah ia pikir lebih baiktidak dikatakan saja. Di lain pihak hati Tiong-hi juga tergerak, ia pikir boleh jadi pemuda ini mengetahui seluk-beluk tentang medali-medali itu. Maka ia lantas tanya, "Habis siapakah yang mengambil medali-medali itu?"

"Pendek kata bukanlah Ciok-cengcu dan Ciok-hujin yang mengambil." kata Boh-thian. "Kalian telah bersikap kasar kepada mereka, sampai-sampai Ciok-hujin jadi menangis, sungguh tidak pantas, lekaslah kalian meminta maaf kepada Ciok-hujin." Sungguh girang Bin Ju tak terkatakan ketika mendadak melihat sang putra kesayangan yang dirindukannya siang dan malam itu, ternyata dalam keadaan selamat tanpa kurang sesuatu apapun. Sekarang didengarnya pula pemuda itu menyuruh Tiong-hi meminta maaf, terang sekali anak muda itu ingin membela sang ibu. Bin Ju mempunyai dua orang putra yang telah banyak

menyusahkan orang tua, dan baru sekarang ia mendengar sang putra mengucapkan kata-kata yang bersifat membela ibunda, seketika lega dan terhiburlah hatinya, ia merasa jerih payah dan duka derita yang telah dialaminya selama 20-an tahun bagi sang putra tidaklah sia-sia. Melihat wajah sang istri berseri-seri, tapi air matanya berlinang-linang pula, Ciok Jing dapat memahami pikirannya, tangan istrinya yang masih dipegangnya itu digenggamnya lebih kencang lagi. Ia pun berpikir, "Ya, betapa pun jeleknya kelakuan anak Giok, terhadap ibunya toh dia masih sangat berbakti." Dalam pada itu Tiong-hi menjadi gusar karena Boh-thian berani bicara dengan kasar padanya. Dengan suara keras ia membentak pula, "Siapakah saudara ini? Berdasar apa kau berani menyuruh aku meminta maaf kepada Ciok-hujin?" Karena senang hatinya, Bin Ju menjadi anggap sepi terhadap tuduhan Tiong-hi yang tak berdasar tadi, ia khawatir putranya bertengkar dengan imam-imam itu sehingga menimbulkan persengketaan di antara saudara seperguruan sendiri, maka cepat ia menyela, "Tiong-hi Suheng hanya salah paham saja, kita adalah orang sendiri semua, asalkan duduknya perkara dibikin terang, maka tidak perlu bicara tentang minta maaf apa segala." Lalu ia berpaling kepada Boh-thian dan berkata pula dengan suara halus, "Para Totiang adalah supek dan susiokmu, lekas kau menjura kepada mereka." Terhadap Bin Ju memangnya Ciok Boh-thian mempunyai kesan baik, sekarang dilihatnya nyonya itu memandangnya dengan wajah ramah dan penuh kasih sayang, hal ini selama hidupnya belum pernah diterimanya dari siapa pun juga. Seketika darah Ciok Boh-thian bergolak, ia merasa biarpun apa yang harus dilakukannya menurut pesan Bin Ju, sekalipun mati juga tidak menolak, apalagi cuma disuruh menjura saja. Maka tanpa pikir lagi ia lantas tekuk lutut dan menjura kepada Tiong-hi sambil berkata, "Ciok-hujin menyuruh aku menjura padamu, maka aku lantas menjura!" Thian-hi, Tiong-hi dan lain-lain sama melengak. Mereka heran mengapa Ciok Boh-thian sedemikian menurutnya kepada Bin Ju. Mereka tahu Ciok Jing mempunyai dua orang putra. Yang satu telah dibunuh oleh musuh, seorang lagi hilang diculik, maka pemuda ini besar kemungkinan adalah muridnya saja. Walaupun tabiat Tiong-hi agak berangasan, tapi apa pun juga dia adalah kaum beribadat, melihat Ciok Boh-thian memberi hormat padanya, seketika rasa gusarnya lantas mereda. Cepat ia melompat turun dari kuda dan hendak membangunkan pemuda itu, katanya, "Ah, janganlah banyak adat!"

Tak tersangka bahwa sekali Ciok Boh-thian sudah disuruh menjura, maka ia pikir harus menjura benar-benar, waktu Tiong-hi memayangnya ia tidak lantas bangun. Dengan sendirinya waktu tangan Tiong-hi memegang bahu Boh-thian, ia merasa tubuh anak muda itu sangat berat, sedikit pun tidak bergoyah. Keruan ia menjadi marah lagi, pikirnya, "Kau anggap aku sebagai orang tua, tapi sekarang kau sengaja pamer lwekang lagi di hadapanku." Segera ia menarik napas dalam-dalam dan mengerahkan tenaga untuk mengangkat ke atas, maksudnya hendak menjungkirkan Ciok Boh-thian yang bandel itu. Melihat kuda-kuda Tiong-hi itu, segera Ciok Jing suami-istri mengetahui apa yang hendak dilakukan sang suheng. Ciok Jing agak mendongkol atas sikap Tiong-hi itu. Tapi demi mengingat sang suheng hendak memberi sedikit hajaran kepada putranya, ya, apa boleh buat, terpaksa membiarkan anak muda itu tahu rasa sedikit. Sebaliknya Bin Ju lantas berseru, "Perlahan sedikit, Suko!"

Maka terdengarlah suara "Wuuut... bluk", bukannya Ciok Boh-thian yang terangkat, sebaliknya tubuh Tiong-hi sendiri mencelat ke belakang dan tertumbuk pada kudanya sendiri. Dengan sempoyongan lekas-lekas Tiong-hi menggunakan ilmu "Jian-kin-tui" (membikin berat tubuh), dengan demikian barulah ia dapat berdiri tegak lagi. Namun kudanya yang tertumbuk itu lantas meringkik dan terjungkal. Kejadian yang disaksikan orang banyak ini sudah tentu membuat semua orang terkejut. Ciok Jing dan Bin Ju sendiri pernah bertanding pedang dengan Ciok Boh-thian di kelenteng kecil di luar kata Yangciu tempo hari dan mengetahui tenaga dalam anak muda itu sangat kuat, namun sama sekali tak terbayang oleh mereka bahwa kekuatan lwekangnya sekarang sudah memuncak selihai ini, hanya tenaga pentalan saja sudah membikin tokoh kelas wahid dari Siang-jing-koan mencelat sendiri. Begitu Tiong-hi sudah berdiri tegak, "sret", segera ia melolos pedang. Saking gusarnya ia berbalik tertawa. Serunya, "Bagus,bagus, bagus! Murid didik sute dan sumoay ternyata lain daripada yang lain, maka biarlah aku belajar kenal beberapa jurus dengan dia." Habis berkata, kontan ujung pedang lantas menusuk ke dada Ciok Boh-thian. "Tidak, ti... tidak, aku tak mau berkelahi dengan kau!" seru Boh-thian sambil goyang-goyang kedua tangannya dan mundur setindak. Di sebelah lain Thian-hi sudah dapat melihat ilmu silat Ciok Boh-thian tidak boleh dibuat main-main, ia pikir kalau Tiong-hi Sute bertempur dengan anak muda ini, kalau menang toh takkan terpuji, sebaliknya kalau kalah malah akan ditertawai orang. Sekarang dilihatnya Ciok Boh-thian tidak mau bertanding, hal ini menjadi kebetulan, maka cepat ia menyela, "Ya, kita adalah orang sendiri, buat apa bertanding segala? Andaikan ingin tukar pikiran tentang kepandaian masing-masing juga tidak perlu sekarang juga."

"Betul itu," Boh-thian menimpali. "Kalian adalah suheng dan sutenya Ciok-cengcu, bilamana bergebrak dan aku membinasakan kalian lagi, wah, kan bisa berabe!" Maklum, sama sekali Boh-thian tidak tahu adat istiadat orang hidup, ia khawatir jangan-jangan dalam pertarungan nanti pukulannya yang berbisa akan membinasakan lawan lagi, maka ia telah katakan terus terang isi hatinya itu. Tak disangkanya bahwa ucapannya itu biarpun didengar oleh siapa pun juga tentu akan menimbulkan rasa murka dan akan melabraknya. Apalagi imam-imam Siang-jing-koan itu biasanya sangat menilai tinggi ilmu silat golongan mereka, keruan mereka menjadi gusar. Begitu pula Ciok Jing lantas membentak juga, "Kau bilang apa? Jangan sembarang mengoceh!" Semula Tiong-hi sudah menarik kembali pedangnya dan hendak menyingkir karena perintah Thian-hi tadi. Tapi demi

mendengar ucapan Ciok Boh-thian yang menghina dan memandang enteng para imam itu, ia tidak tahan lagi, segera ia melangkah maju pula dan membentak, "Baik, aku justru ingin tahu cara bagaimana kau akan membinasakan kami. Nah, mulailah!"

"Tidak, aku tidak mau berkelahi dengan kau," sahut Boh-thian dengan goyang-goyang kedua tangannya. Tiong-hi semakin murka, dengusnya, "Hm, jadi kau merasa tiada harganya buat bergebrak dengan aku?!"

"Sret", kontan ia mendahului menusuk ke bahu anak muda itu. Karena Boh-thian tidak bersenjata, maka serangan Tiong-hi ini sengaja ditujukan ke tempat yang tidak berbahaya. Dia adalah jago pedang terkemuka dari Siang-jing-koan, walaupun pengalaman tempurnya tidak lebih banyak daripada Ciok Jing dan Bin Ju, tapi ketangkasannya bahkan melebihi suami-istri itu. Keruan Boh-thian menjadi kelabakan, ia tidak sempat mengelakkan diri lagi, "cret", bahunya telah tertusuk sedikit, kontan darah merembes keluar. "Aduh!" Bin Ju menjerit khawatir. Sebaliknya Tiong-hi lantas membentak pula, "Lekas keluarkan senjatamu!" Namun Boh-thian berpikir, "Kau adalah suhengnya Ciok-hujin, tadi aku sudah salah membunuh dua orang suhengnya, kalau sekarang membunuh kau lagi, pertama, tidaklah baik terhadap Ciok-hujin, kedua, aku pun akan dianggap sebagai orang jahat." Sebab itulah ia tidak menangkis tusukan Tiong-hi tadi, ia khawatir kalau tangannya bergerak, bukan mustahil telapak tangan yang beracun itu akan menimbulkan korban lagi. Maka kedua tangannya sengaja ditelikungnya di belakang punggung dan saling genggam dengan erat, betapa pun dibentak Tiong-hi tetap dia tidak mau mainkan tangannya. Melihat kelakuan Boh-thian ini, para imam Siang-jing-koan menyangka dia sengaja menghina, keruan mereka menjadi marah biarpun biasanya mereka adalah orang yang sabar. Segera ada yang berseru, "Tiong-hi Suheng, bocah itu terlalu sombong, berilah hajaran yang setimpal!"

"Apa kau benar-benar tidak sudi bergebrak dengan aku?" segera Tiong-hi membentak Ciok Boh-thian lagi. "Sret-sret", kembali ia menyerang pula dua kali. Saking cepatnya serangan Tiong-hi, dalam hal ilmu pedang memangnya Boh-thian juga kurang mahir, walaupun lwekangnya tinggi, tapi tidaklah sanggup menghindar, kontan lengan kiri dan dada kanan tertusuk pula. Untung Tiong-hi tidak bermaksud membunuhnya melainkan cuma memaksanya bergebrak saja, maka tusukan-tusukan itu hanya mengenai kulitnya dan pedang lantas ditarik kembali, makanya Boh-thian hanya terluka lecet saja. Melihat putra kesayangan berturut-turut terluka tiga tempat, sungguh hati Bin Ju merasa seperti dirinya yang terluka. Maka waktu melihat Tiong-hi kembali menusuk pula, "trang", segera ia menangkiskannya bagi Ciok Boh-thian. Serentak terdengarlah suara "trang-tring, trang-tring" yang ramai, dalam sekejap saja Tiong-hi dan Bin Ju sudah bergebrak 13 kali. Kedua orang sama-sama terhitung jago pilihan dari Siang-jing-koan, sekali ilmu pedang "Siang-jing-gway-kiam" dimainkan, Tiong-hi sekaligus menyerang 13 kali dan Bin Ju sekaligus juga menangkis 13 kali, seketika lelatu meletik sebagai kembang api disertai sinar pedang yang kemilauan, cepatnya tak terkatakan. Maka begitu ke-13 jurus sudah dimainkan, serentak para imam dan Ciok Jing lantas bersorak dan menyenggak, "Bagus!" Karena kedua orang adalah tunggal guru, Thian-hi tahu biarpun

bertarung lebih lama lagi juga susah menentukan kalah dan menang. Maka ia lantas berkata, "Bin-sumoay, apa kau sudah terang akan membela anak muda ini?" Bin Ju tidak menjawab, ia hanya pandang Ciok Jing dengan harapan sang suami yang menyatakan ketekadannya. Maka Ciok Jing lantas membuka suara, "Bocah ini terlalu angkuh dan sembrono, memanglah pantas kalau diberi hajaran. Berturut-turut dia sudah kena tiga kali tusukan Tiong-hi Suheng, syukurlah Tiong-hi Suheng sengaja bermurah hati sehingga jiwanya tidak sampai melayang. Hanya sedikit kepandaian kasaran bocah ini mana dia sesuai untuk bergebrak dengan Tiong-hi Suheng? Nak, lekas kau menjura dan minta maaf kepada Supek!"

"Sudah terang dia memandang rendah kepada Siang-jing-koan kita, ia anggap tiada harganya bergebrak dengan kita," seru Tiong-hi dengan marah-marah. "Kalau tidak, mengapa tadi dia menyatakan sekali tangannya bergerak kita tentu akan terbunuh semua?" Waktu Ciok Boh-thian membuka tangannya, lapat-lapat ia melihat noktah merah dan garis-garis biru di tapak tangannya itu agak timbul lagi. Ia menghela napas dan berkata, "Kedua tanganku ini benar-benar penyakit, sedikit-sedikit tentu membinasakan orang." Mendengar itu, kembali air muka para imam Siang-jing-koan berubah. Mau tak mau Ciok Jing sendiri menjadi marah juga demi mendengar ucapan Boh-thian yang sombong dan menyinggung perasaan itu. Segera ia membentak, "Kau bocah ini benar-benar tidak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi. Tadi Tiong-hi Supek sengaja mengampuni kau, makanya jiwamu tidak sampai melayang, apa kau tidak tahu?"

"Aku... aku...." sahut Boh-thian dengan tergagap-gagap. Dalam pada itu Tiong-hi sudah mulai curiga. Tadi ia telah

menusuk tiga kali kepada Ciok Boh-thian, dilihatnya cara pemuda itu belum paham cara menghindarnya, sebaliknya lwekangnya sedemikian lihainya, kalau bicara tentang ilmu silat tampaknya bukanlah murid didiknya Ciok Jing suami-istri. Apalagi waktu Boh-thian membuka kedua tangannya, sayup-sayup tercium olehnya bau amis busuk yang memusingkan kepala. Keruan ia tambah sangsi. Segera ia membentak pula, "Sebenarnya kau murid siapa? Dari mana kau belajar berlagak dan bermulut besar?"

"Aku... aku adalah murid tertua Kim-oh-pay," sahut Boh-thian. Tiong-hi melengak. Pikirnya, "Kim-oh-pay? Setahuku di dunia persilatan tiada terdapat nama demikian, besar kemungkinan bocah ini membual lagi." Segera ia berkata, "O, kukira kau adalah muridnya Ciok-sute sendiri, tapi ternyata bukan orang sendiri, ini menjadi kebetulan malah." Segera ia mengedipi dua orang sute yang berdiri di sebelahnya. Kedua imam itu tahu maksud sang suheng, segera mereka memutar pedang, masing-masing dengan jurus "Tiau-pay-kim-teng" (Menyembah Puncak Emas), yang seorang menghadapi Ciok Jing dan yang lain mengarah Bin Ju. Gaya "Tiau-pay-kim-teng" ini adalah satu jurus penghormatan kepada lawan dari ilmu pedang  Siang-jing-koan, biasanya digunakan bilamana hendak bertanding dengan tokoh Bu-lim yang terkemuka atau angkatan yang lebih tua. Jurus ini tampaknya cuma sebagai penghormatan saja dengan ujung pedang mengarah ke bawah, tapi sebenarnya telah mengadakan penjagaan yang sangat rapat dalam lingkaran beberapa meter. Sekali lawan bergerak, seketika lantas

mendahului menggempur. Sudah tentu Ciok Jing berdua paham maksud kedua imam itu, yaitu mengawasi gerak-gerik mereka. Asalkan dirinya bergerak hendak membela sang putra, maka kedua imam itu serentak akan melayaninya. Tapi kalau dirinya tidak bergerak, maka kedua imam itu pun takkan melakukan penyerangan lebih dulu. Dalam pada itu Tiong-hi sudah tak sabar lagi, kembali ia membentak Boh-thian, "Lekas keluarkan senjatamu! Jika kau tidak balas menyerang, segera aku mampuskan kau murid jahat dari Kim-oh-pay ini." Dengan tegas ia mengatakan "Kim-oh-pay", terang supaya Ciok Jing berdua tak dapat membelanya lagi andaikan nanti Boh-thian benar-benar dibunuh olehnya. Pada saat yang menentukan itu, Ciok Jing menduga bila Boh-thian tidak menandangi tantangan Tiong-hi itu, tentu anak muda itu akan terancam bahaya. Sebaliknya kalau terima tantangan itu, karena mengetahui ada kemungkinan dirinya suami-istri akan membela anaknya, tentulah dia akan pikir-pikir lebih dulu sebelum merobohkannya dan paling-paling anak muda itu hanya dilukai sedikit saja sekadar sebagai hajar adat. Maka Ciok Jing lantas berseru, "Nak, jika Supek ingin memberi petunjuk padamu, hal ini akan sangat berguna bagimu, tentu

Supek takkan melukai kau, janganlah takut. Lekas kau keluarkan senjata untuk melayaninya!" Melihat sinar pedang Tiong-hi yang gemerlapan dan wajah sang supek yang kereng itu, diam-diam Boh-thian menjadi jeri. Berulang-ulang dia telah tertusuk tiga kali, ia tahu ilmu pedang imam itu sangat lihai. Sekarang didengarnya Ciok Jing menyuruhnya mengeluarkan senjata, tiba-tiba timbul suatu pikiran padanya, "Ya, betul, aku akan menangkis serangannya dengan senjata, dengan demikian racun di tanganku tentu takkan membinasakan dia." Sekilas dilihatnya di atas tanah ada sebatang golok, yaitu senjata yang ditinggalkan muridnya Loh Cap-pek tadi. Dengan girang ia lantas berseru, "Baik, baik! Aku akan melayani seranganmu. Tapi... tapi kau jangan menyerang lebih dulu, tunggulah aku mengambil golok itu. Jika kau menggunakan kesempatan ini untuk menusuk punggungku tentu tak bisa dianggap menang, jangan kau main belit." Melihat cara bicara Ciok Boh-thian itu seperti anak kecil saja, Tiong-hi sangat mendongkol dan geli pula. Ia menjengek sekali sambil melangkah mundur. "Cret", ia tancapkan pedangnya ketanah dan berkata, "Huh, kau anggap aku Tiong-hi ini orang macam apa? Masakah pakai menyerang dari belakang terhadap bocah ingusan macam kau?" Dengan tangan tolak pinggang Tiong-hi sengaja menunggu Boh-thian menjemput golok di atas tanah itu. Pikirnya, "Kiranya bocah ini mahir menggunakan golok, jika demikian terang dia bukan muridnya Ciok-sute. Hanya saja entah mengapa Ciok-sute menyuruh dia memanggil supek pula padaku?" Begitulah, selagi Ciok Boh-thian berjongkok hendak mengambil golok, mendadak timbul pula suatu pikirannya, "Wah, dalam pertarungan nanti jangan-jangan secara tidak sengaja aku menggunakan sebelah tangan yang kosong ini dan tentu akan membinasakan dia pula. Ya, ada lebih baik tangan kiri ini kuikat saja pada badanku, dengan demikian akan aman sentosa segalanya."

Bab 30. Rahasia Putra-putra Ciok Jing yang Hilang

Maka ia tidak jadi menjemput golok itu, ia menegak kembali dan berkata kepada Tiong-hi, "Maaf, harap kau tunggu dulu

sebentar." Habis itu ia lantas melepaskan ikat pinggang, tangan kiri ia julurkan lurus di samping badan, lalu dengan tangan kanan ia mengikat lengan kiri pada badannya sendiri. Dengan mata terbeliak semua orang mengikuti perbuatannya itu, semuanya tidak tahu permainan apa yang akan dilakukan olehnya. Namun Boh-thian tetap asyik melakukan pekerjaannya sendiri, setelah tangan kiri sudah terikat kencang di atas badan, lalu golok di atas tanah barulah diambilnya dan berkata, "Baiklah, sekarang kita boleh mulai, dengan demikian aku takkan membinasakan kau." Sungguh Tiong-hi hampir-hampir jatuh kelengar saking gusarnya. Anak muda menerima tantangannya dengan mengikat sebelah tangannya, ini berarti suatu hinaan yang tak terkatakan. Sudah tentu para imam Siang-jing-koan juga marah-marah, mereka membentak dan mencaci maki. Ciok Jing dan Bin Ju juga lantas menyemprot Boh-thian, "Anak kurang ajar! Hayo lekas melepaskan ikat pinggangmu itu!"

Untuk sejenak Boh-thian tertegun, pada saat itulah Tiong-hi sudah hilang kesabarannya, pedangnya dengan cepat sudah menusuk. Dengan gugup lekas-lekas Boh-thian mengangkat goloknya untuk menangkis. Tiong-hi sudah tahu lwekang anak muda itu sangat kuat, maka sebelum pedangnya terbentur golok, cepat ia sudah ganti serangan. "Sret-sret-sret", berturut-turut ia melancarkan enam-tujuh kali tusukan sehingga Boh-thian kerepotan melayaninya, jangankan hendak menangkis, dari mana

datangnya serangan lawan saja Boh-thian tidak jelas. Diam-diam anak muda itu mengeluh, "Wah, celaka!" Dalam keadaan kepepet, tanpa pikir goloknya lantas membacok dan menebas serabutan, sedikit pun tidak menurut aturan. Untunglah Tiong-hi sudah agak kapok terhadap lwekangnya yang mahakuat itu, walaupun permainan golok Ciok Boh-thian kelihatan banyak lubang kelemahannya, tapi di waktu goloknya membacok, mau tak mau Tiong-hi harus menarik kembali pedangnya dan menghindarkan diri, ia khawatir kalau-kalau pedangnya terbentur golok dan mencelat, hal ini tentu akan membikin malu habis-habisan padanya. Sesudah membacok tak keruan, dilihatnya Tiong-hi berbalik mundur, maka Ciok Boh-thian sempat tenangkan diri untuk sementara. Teringat olehnya ilmu golok yang diciptakannya dengan parang karatan yang ditemukan di Ci-yan-to tempo hari, tiba-tiba timbul pikirannya, "Eh, ya, mengapa aku tidak menggunakan ilmu golokku itu untuk melayani dia?" Hanya saja dahulu tangan kirinya menggunakan pedang dan tangan kanan memakai golok, sekarang tangan kiri sendiri terikat kencang, hanya tinggal tangan kanan saja yang tetap memainkan golok, dengan sendirinya daya gunanya menjadi banyak berkurang, namun begitu jurus-jurus serangannya yang aneh-aneh tetap tidak kurang banyaknya. Sebenarnya kepandaian ciptaan Boh-thian sendiri ini tidaklah sempurna, banyak lubang kelemahannya. Akan tetapi begitu ia mengerahkan lwekangnya yang tiada bandingannya, dengan sendirinya daya tempurnya menjadi sangat hebat. Hanya belasan jurus saja para imam Siang-jing-koan dan Ciok Jing suami-istri sudah melongo terheran-heran. Lebih-lebih Tiong-hi, di samping kejut dan gusar, ia menjadi rada-rada jeri pula. Sebagai orang beribadat, pengalaman tempur Tiong-hi tidaklah luas, tapi ilmu golok dari golongan-golongan terkemuka di dunia persilatan boleh dikata sudah dikenalnya semua. Sekarang dilihatnya ilmu golok Ciok Boh-thian itu sudah dangkal dan bodoh, caranya ngawur pula dan sangat bertentangan dengan teori ilmu golok pada umumnya. Ilmu golok demikian mestinya sekali gempur sudah cukup mengalahkan anak muda itu, tapi aneh bin ajaib, justru dirinya

sendiri yang berulang-ulang terancam oleh serangan ngawur itu, hal ini sungguh-sungguh tidak masuk akal. Sesudah belasan jurus pula, lama-lama Tiong-hi menjadi gelisah dan hilang sabar. "Sret", pedangnya menusuk dari depan. Kebetulan pada saat itu golok Ciok Boh-thian telah berputar balik. Karena kedua orang sama-sama cepatnya, "trang", benturan kedua senjata tak dapat dihindarkan lagi. Tiong-hi sudah berjaga-jaga sebelumnya, ia telah pegang pedangnya dengan sangat kencang. Tapi tenaga dalam Ciok Boh-thian benar-benar terlalu kuat, di tengah jerit kaget orang banyak, pedang Tiong-hi tertampak sudah melengkung, gagang pedang pun berdarah, ternyata genggaman tangan Tiong-hi sampai tergetar pecah. Tiong-hi terkesiap, diam-diam ia merasa nama harumnya selama hidup sudah terhanyut sekarang, apa gunanya meyakinkan ilmu pedang dan menjadi ciangbunjin segala? Tanpa bicara lagi ia sambitkan pedang melengkung itu ke arah Ciok Boh-thian, menyusul kedua tangannya bagaikan cakar baja terus menubruk maju. "Trang", Ciok Boh-thian sempat menangkis timpukan pedang melengkung itu sehingga terpental, tapi lantaran itulah bagian dadanya menjadi terbuka, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Tiong-hi yang sedang menubruk maju itu, dengan cepat kedua hiat-to penting di dada Ciok Boh-thian telah kena dicengkeramnya. Serangan Tiong-hi ini laksana banteng ketaton dahsyatnya. Kim-na-jiu-hoat kaum Siang-jing-koan pun terhitung sesuatu kepandaian tunggal yang lihai. Siapa duga baru saja kedua tangannya menyentuh hiat-to di dada Ciok Boh-thian, kontan ia terpental balik oleh tenaga dalam anak muda itu sehingga mencelat. Sekali ini karena dia menyerang dengan kalap, maka tenaga pental balik itu pun tambah keras, tubuhnya yang mencelat itu tampaknya dengan segera akan terbanting telentang, jika ini terjadi, maka dia pasti akan malu besar. Syukurlah Thian-hi Tojin cepat bertindak, dengan cepat ia sempat menggunakan sebelah tangannya untuk menolak pundak sang sute ke samping sehingga daya pental itu dihapus sebagian, kedua kakinya menyentuh tanah lebih dulu dan meloncat ke atas. Dengan demikian Tiong-hi tidak sampai roboh terjungkal, tapi lalu menurun kembali dengan enteng. Namun wajahnya sudah lantas pucat pasi sebagai mayat. Setelah mendorong Tiong-hi ke samping, berbareng pula Thian-hi sudah melolos pedangnya dan berkata, "Ternyata benar-benar seorang kesatria muda yang hebat, kagum, sungguh kagum sekali! Biarlah sekarang aku yang belajar kenal beberapa jurus padamu, mungkin aku yang sudah loyo ini pun bukan tandingan saudara." Sambil bicara, berbareng pedangnya lantas menusuk lambat kedepan. Waktu Boh-thian angkat goloknya menangkis, mendadak ia merasa tenaga yang dikerahkan pada batang goloknya itu punah tanpa bekas. Kiranya Thian-hi mengetahui lwekang Ciok Boh-thian sangat lihai, maka serangannya telah menggunakan cara "menggeser" untuk menghapus tenaga lawan. Namun tidak urung lengan kanan pun terasa tergetar dan kesemutan, dada pun kesakitan. Keruan ia terkejut dan khawatir, jangan-jangan dirinya sudah terluka dalam. Maka waktu menyerang pula, sebelum terbentur dengar golok lawan, segera ia tarik pedangnya dan menyusul menusuk dari samping. Jangan mengira Thian-hi sudah lanjut usianya, tapi kegesitannya ternyata tidak kalah daripada orang muda, bahkan serangannya lebih jitu dan makin ganas. Begitulah, dalam waktu singkat saja kedua orang sudah bergebrak lebih 20 jurus, karena sambaran angin senjata semakin meluas, maka lingkaran para penonton juga makin terdesak lebar. Leng-hi Tojin dan kawannya yang bertugas mengawasi Ciok Jing dan Bin Ju sampai teralih perhatiannya dan asyik mengikuti pertarungan yang seru di tengah kalangan. Sementara itu Ciok Boh-thian telah mainkan ilmu goloknya dengan semakin lancar, tenaga dalamnya juga ikut tambah kuat, semula Thian-hi masih dapat menandingi, tapi setiap bergebrak satu jurus tenaga anak muda itu pun tambah kuat sebagian, boleh dikata tumbuh tiada habis-habis dan tiada berhenti-henti. Walaupun menang dalam kebagusan ilmu pedang, tapi kedua

kaki Thian-hi sudah terasa mulai lemas, lengan juga mulai pegal, setiap kali bergebrak berarti semakin payah. Sekarang Ciok Jing dan Bin Ju juga sudah dapat melihat jelas, apabila pertarungan itu diteruskan tentu Thian-hi akan kecundang. Sebaliknya kalau sang putra yang dibentak suruh berhenti, hal ini sama dengan menyuruh dia mengalah di depan umum dan tentu akan membikin malu kepada Thian-hi. Sungguh cemas dan bingung Ciok Jing berdua, mereka merasa serbasalah dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ciok Boh-thian sendiri makin bertempur makin bersemangat, sampai akhirnya Thian-hi yang selalu terdesak malah. Sekonyong-konyong Boh-thian melihat kaki kanan Thian-hi menjadi lemas dan hampir-hampir tekuk lutut, namun imam tua itu masih terus bertahan sekuatnya, hanya air mukanya yang sudah berubah hebat. Tiba-tiba tergerak hati Boh-thian, teringat olehnya ucapan A Siu ketika berada di Ci-yan-to dahulu, "Di waktu kau bertempur dengan orang, hendaklah selalu ingat bahwa di mana dapat  mengampuni orang hendaklah mengampuni saja." Sekali teringat kepada pesan A Siu itu, seketika Boh-thian terbayang wajah yang lembut dan ayu itu. Segera ia melintangkan goloknya terus mendorong ke depan. Kontan Thian-hi merasa dorongan golok itu membawa tenaga tekanan yang dahsyat sehingga napasnya terasa sesak. Cepat ia melompat mundur dua tindak dan tidak urung tindakan mundur itu pun sudah membuatnya terhuyung-huyung. Diam-diam ia mengeluh, "Celaka, jika dia mendesak maju lagi, untuk mundur saja rasanya aku pun tidak kuat lagi." Akan tetapi Ciok Boh-thian tidak mendesak maju pula, sebaliknya goloknya lantas menebas kosong ke kiri, lalu ditarik kembali dan menusuk kosong lagi ke kanan, habis itu golok berputar ke atas terus membacok di depan anak muda itu sendiri. Tiga kali gerakan itu adalah serangan kosong semua, namun betapa hebat tenaga yang digunakannya sehingga debu pasir sampai bertebaran terguncang angin senjatanya. Selagi Thian-hi tercengang dengan napas terengah-engah, terlihatlah Boh-thian sudah menarik goloknya sambil mundur dua tindak, lalu berdiri tegak sambil memondong senjata dan berkata, "Ilmu pedang tuan sangat bagus, Cayhe merasa sangat kagum. Hari ini susah menentukan kalah dan menang, bolehlah kita berhenti dan marilah bersahabat saja." Thian-hi hampir-hampir tidak percaya kepada pendengarannya sendiri, ia berdiri termangu-mangu dan tidak sanggup berbicara. Melihat Ciok Boh-thian menarik senjata dan melangkah mundur dengan gayanya yang sangat indah serta kuat itu, tanpa merasa semua orang memberi sorakan memuji. Ciok Jing tersenyum-senyum dan merasa lega hatinya dengan kesudahan pertarungan yang damai itu. Lebih-lebih Bin Ju, girangnya tak terkatakan lagi. Mereka senang karena ilmu silat sang putra yang hebat itu, tapi yang lebih menggirangkan adalah sikap Ciok Boh-thian yang terakhir itu, sudah pasti akan menang, tapi toh dia mau mengalah dan menyudahi pertarungan itu dengan damai tanpa syarat ini benar-benar perbuatan yang luhur dan cocok sekali dengan sifat-sifat mereka suami-istri. Namun Bin Ju lantas membentak Boh-thian dengan tertawa,

"Huh, anak goblok, sembarangan mengoceh tak keruan, mengapa pakai sebutan Cayhe segala, harus panggil supek dan mengaku Siautit (keponakan)!" Thian-hi sendiri pun menghela napas lega, katanya dengan gegetun, "Arus sungai selalu mendorong ke muka, orang muda memang selalu lebih hebat, kita sudah tua, tidak berguna lagi!"

"Nak, lekas kau memberi hormat dan minta maaf kepada Supek," cepat Bin Ju berseru pula. Boh-thian mengiakan, ia membuang goloknya, lalu menjura dengan penuh hormat. Bin Ju sangat senang, katanya, "Ciangbun-suko, ini adalah anak nakal sute dan sumoaymu, sejak kecil kurang mendapat didikan, harap suka memberi maaf atas kesalahannya." Thian-hi terkesiap. "O, kiranya adalah lenglong (putra kalian), pantas, pantas!" sahutnya kemudian. "Tapi Sute tadi mengatakan lenglong telah diculik orang, kiranya hal itu tidaklah betul."

"Siaute mana berani mendustai Suheng," kata Ciok Jing. "Anak itu memang diculik orang, entah cara bagaimana dia bisa lolos sampai sekarang kami pun belum sempat tanya keterangannya."

"Ya, memangnya, dengan kepandaiannya yang tinggi ini memang tidak susah untuk meloloskan diri," ujar Thian-hi dengan manggut-manggut. "Hanya saja ilmu silat lenglong terang bukan ajaran Sute dan Sumoay, dalam ilmu goloknya inipun tidak banyak terkandung jurus-jurus ilmu silat Swat-san-pay, sebaliknya tenaga dalamnya sedemikian hebatnya dan susah diukur. Bahkan jurus yang terakhir tadi lebih-lebih jarang terlihat."

"Betul itu, jurus ini adalah ajaran A Siu," demikian Boh-thian menanggapi. "Dia bilang padaku agar senantiasa bermurah hati kepada lawan, di mana dapat mengampuni orang supaya mengampuni saja. Jurus ini bernama `Pang-kau-cik-kik' (pukul dari samping dan hantam dari pinggir), gunanya untuk mengalah kepada lawan, tapi juga takkan dilukai oleh lawan." Begitulah tanpa tedeng-aling-aling dan prasangka apa-apa Ciok Boh-thian mencerocos menurutkan apa saja yang hendak

diucapkan, keruan muka Thian-hi sebentar merah sebentar pucat, malunya tak terkatakan. Segera Ciok Jing membentak, "Diam! Kau sembarangan mengoceh apa?"

"Baiklah, aku takkan bicara lagi." kata Boh-thian. "Apabila sejak mula terpikir olehku untuk mengikat tanganku yang

berbisa ini dan melulu gunakan golok untuk bergebrak dengan orang, tentu takkan... takkan...." sampai di sini ia lantas berhenti, ia pikir kalau bicara terus terang bahwa dirinya yang telah membinasakan Ciau-hi dan Thong-hi, tentu akan timbul persengketaan baru lagi. Namun begitu Thian-hi dan imam-imam lain sudah terperanjat, beramai-ramai mereka membentak, "Apa katamu? Telapak tanganmu berbisa?" � "Jadi Ciau-hi dan Thong-hi Sute adalah kau yang membunuhnya?" � "Dan kedua medali tembaga itu pun kau yang mencurinya bukan?" Begitulah senjata-senjata para imam yang tadinya sudah dimasukkan kembali ke sarungnya ini sekarang beramai-ramai dicabut keluar lagi. Boh-thian menghela napas menyesal, katanya, "Sesungguhnya aku tiada bermaksud membunuh mereka, tak terduga tanganku hanya sedikit bergerak saja mereka sudah lantas roboh sendiri." Dengan murka Tiong-hi lantas berseru kepada Ciok Jing, "Nah, Ciok-sute, cara bagaimana urusan ini harus diselesaikan, hendaklah kau katakan saja!" Pikiran Ciok Jing menjadi kusut, ketika berpaling dilihatnya pula air mata sang istri berlinang-linang, perasaannya juga sangat khawatir dan cemas, terpaksa ia menjawab dengan kuatkan perasaan, "Betapa pun kepentingan perguruan harus diutamakan. Binatang cilik ini telah banyak menimbulkan gara-gara, kami suami-istri susah juga untuk membelanya, maka terserah kepada keputusan Ciangbun-suheng untuk mengambil tindakan padanya."

"Bagus!" seru Tiong-hi, berbareng pedangnya bergerak, serentak ia hendak maju mengerubut."Nanti dulu!" tiba-tiba Bin Ju mencegahnya. Dengan melirik Tiong-hi berkata, "Apa yang Sumoay ingin katakan lagi?"

"Ciau-hi dan Thong-hi Suheng saat ini toh belum meninggal, boleh jadi mereka masih dapat tertolong." ujar Bin Ju dengan suara gemetar. Tiong-hi mengekek sambil mendongak, katanya dengan mengejek, "Kedua sute sudah terkena racun sejahat ini, masakah mereka masih ada harapan buat hidup lagi? Ucapan Sumoay ini apa bukan sengaja mengolok-olok saja?" Bin Ju pun tahu tiada harapan lagi, ia coba tanya Ciok Boh-thian, "Nak, racun apakah yang berada di telapak tanganmu itu? Apakah ada obat pemunahnya?" Sambil bertanya ia lantas mendekati anak muda itu, katanya, "Coba kuperiksa sakumu apakah terdapat obat pemunah."  Lalu ia pura-pura memasukkan tangannya ke saku Ciok Boh-thian untuk mencari obat, tapi diam-diam ia membisiki anak muda itu, "Lekas lari lekas! Ayah dan ibu tak sanggup menolong kau lagi!" Boh-thian terperanjat. "Ayah dan ibu? Siapa adalah ayah dan ibu?" serunya menegas. Kiranya tadi Thian-hi selalu menyebut tentang "lenglong" apa segala, karena buta huruf, maka Boh-thian tidak tahu bahwa "lenglong" artinya "putramu". Bahwasanya Ciok Jing suami-istri juga menyebutnya sebagai "anak", hal ini pun ia sangka sebutan lazim kaum tua kepada kaum muda, sama sekali tak terduga olehnya bahwa suami-istri itu telah salah mengenalnya sebagai putra mereka. Pada saat itulah, sebelum Ciok Boh-thian dapat berbuat apa-apa, tiba-tiba terasa punggungnya tersentuh oleh sesuatu. Kiranya Ciok Jing yang telah menjuju punggungnya dengan ujung pedang, katanya, "Adik Ju, kita tidak boleh membela binatang cilik ini sehingga merusak hubungan baik dengan perguruan sendiri. Dia tidak boleh lari!" Nada ucapannya ternyata penuh mengandung perasaan pahit getir.

Bin Ju pun hampir-hampir pingsan saking pedihnya, katanya dengan suara gemetar, "Nak, apakah jiwa kedua supek ini

benar-benar tiada obat yang dapat menolong mereka?" Saat itu Leng-hi yang berdiri di samping dan bertugas mengawasi Bin Ju itu menjadi khawatir jangan-jangan sang sumoay akan merintangi atau mungkin juga mendadak membunuh diri, maka dengan cepat ia pegang tangan Bin Ju dan merampas pedangnya. Tatkala mana Bin Ju sedang mencurahkan perhatian atas diri Ciok Boh-thian sehingga dengan gampang saja pedangnya kena dirampas. Sebaliknya Ciok Boh-thian tidak tinggal diam melihat Bin Ju diperlakukan begitu, ia berteriak, "Apa yang kau lakukan?" berbareng pedang Bin Ju tadi lantas hendak direbutnya kembali. Akan tetapi Leng-hi telah putar pedang itu terus memotong. Sebelum tertebas, cepat Boh-thian menarik tangan terus membalik untuk memegang pergelangan tangan lawan. Ini adalah satu jurus kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong tempo hari. Walaupun kim-na-jiu-hoat ini amat bagus, tapi mana dapat digunakan atas diri Leng-hi yang tergolong jago pilihan Siang-jing-koan? Mendadak Leng-hi membentak, "Bagus!" Berbareng pedangnya memutar balik untuk menangkis. Tak tersangka tubuhnya lantas sempoyongan, pandangannya menjadi gelap, "bluk", ia jatuh tersungkur sendiri. Kiranya racun di telapak tangan Ciok Boh-thian itu telah teruar pada waktu tangannya bergerak tadi. Ketika Leng-hi membentak, dengan sendirinya ia harus menyedot napas, maka kontan ia keracunan. Saking kagetnya para imam sampai menyingkir mundur beberapa tindak, wajah mereka pun pucat seketika laksana melihat setan iblis. Boh-thian insaf keonaran yang ditimbulkannya ini telah tambah

besar, walaupun para imam itu tampak melangkah mundur, tapi setiap orang tetap menghunus pedang dan mengepung di

sekelilingnya, untuk menerjang keluar tidak boleh tidak harus menjatuhkan korban jiwa lagi. Sekilas dilihatnya pula kedua tangan Leng-hi memegang perutnya sendiri sambil menggosok-gosok dan meremas-remas tiada hentinya, terang imam itu sedang menderita sakit perut yang tak terhingga. Kiranya imam-imam Siang-jing-koan itu jauh lebih kuat lwekangnya dibanding anggota-anggota Tiat-cha-hwe, oleh karena itu mereka tidak lantas binasa terkena hawa berbisa, tapi masih sanggup tahan untuk sejam dua jam lamanya. Tiba-tiba Ciok Boh-thian teringat kepada Thio Sam dan Li Si sewaktu menderita sakit perut dan berkelesotan di sarang Tiat-cha-hwe tempo hari, kemudian Thio Sam telah mengajarkan cara menolongnya sehingga racun di dalam tubuh kedua saudara angkat itu dapat dipunahkan, maka cepat ia lantas membangunkan Leng-hi. Para imam di sekelilingnya sudah siap-siap dengan pedangnya untuk mengerubutnya, namun Boh-thian buru-buru ingin menolong Leng-hi, maka sikap permusuhan imam-imam itu tak dihiraukan lagi. Dengan tangan kiri Boh-thian lantas tahan leng-tay-hiat di punggung Leng-hi, sedangkan tangan kanan memegang tat-tiong-hiat di bagian dada, ia kerahkan tenaga melalui tangan kiri dan tangan kanan dipakai menyedot, dengan cara yang diajarkan Thio Sam itu, tidak lama kemudian Leng-hi Tojin lantas bisa menarik napas panjang, sakit perutnya lantas berhenti. Dan begitu sudah sembuh, kontan Leng-hi memaki, "Maknya, bangsat kau!" Sebagai orang beribadat, caci maki Leng-hi itu sesungguhnya tidak pantas, tapi sekali dia sudah dapat bersuara, segera semua orang mengetahui jiwanya sudah dapat diselamatkan, maka semua orang lantas bersorak gembira dan tidak

memusingkan kata-kata Leng-hi yang kurang sopan tadi. Saking girangnya Bin Ju sampai meneteskan air mata. Katanya, "Nak, Ciau-hi dan Thong-hi Supek juga keracunan sejak tadi, lekas kau menolong mereka!" Dalam pada itu dua tosu sudah memondong Ciau-hi dan Thong-hi ke depan Ciok Boh-thian, keadaan kedua imam itu sudah sangat payah, napas mereka sudah tinggal Senin-Kamis saja. Segera Boh-thian menjalankan cara penyembuhan seperti tadi. Karena Ciau-hi dan Thong-hi lebih lama keracunan, maka diperlukan waktu lebih lama pula barulah racun-racun di dalam tubuh mereka dapat dipunahkan. Begitu sadar kontan Ciau-hi lantas mendamprat, "Kakekmu disambar geledek, anak keparat!" Dan Thong-hi juga tidak mau ketinggalan, ia pun mengumpat, "Anak jadah piaraan biang anjing, kau berani menggunakan racun untuk menyerang tuanmu!" Karena senangnya sehingga Ciok Jing dan Bin Ju tidak mengambil pusing lagi kepada caci maki ketiga suhengnya yang menyangkut kehormatan suami-istri mereka. Sebaliknya diam-diam mereka menertawakan imam-imam itu, "Percuma saja ketiga suheng itu bertirakat selama ini, biasanya mereka sangat saleh, tampaknya seperti imam yang sangat alim, tapi di waktu kepepet kata-kata mereka pun sedemikian kasarnya." Setelah Ciok Boh-thian menyembuhkan Ciau-hi bertiga, maka rasa gusar para imam tadi lantas hilang pula sebagian besar. Bin Ju lantas berkata, "Nak, jika kau yang mengambil medali-medali tembaga dari Ciau-hi Supek itu, hendaklah kau mengembalikan saja kepada beliau, ibu tidak inginkan benda-benda itu lagi."

"Ibu? Ibu?" Boh-thian menggumam dengan terperanjat, lalu ia mengeluarkan medali-medali itu dan dikembalikan kepada Ciau-hi sambil menegas lagi kepada Bin Ju, "Ibu? Kau... kau adalah ibuku?" Di sebelah sana Thian-hi Tojin sudah lantas berkata kepada Ciok Jing dan Bin Ju, "Sute dan Sumoay, biarlah kita berpisah saja di sini!" Ia tahu untuk bertemu lagi kelak susahlah diramalkan, maka tanpa mengucapkan "sampai bertemu lagi" segera ia memimpin para imam dan berangkat pergi.

Ciok Boh-thian masih memandangi Bin Ju dengan termangu-mangu dan penuh keragu-raguan. Sebaliknya kedua mata Bin Ju tampak basah, dengan tersenyum-senyum ia berkata, "Anak bodoh, apa kau tidak... tidak mengenali ayah-ibumu lagi?" Habis itu segera ia merangkul Boh-thian ke dalam pangkuannya. Sejak tahu seluk-beluknya orang hidup belum pernah Boh-thian dikasihi orang, terhadap Bin Ju selama ini dia memang merasa sangat suka dan terima kasih, kini mendadak mengalami perlakuan sedemikian, dengan sendirinya perasaannya juga terguncang dan terharu, ia terlongong-longong tak sanggup bicara. Sampai agak lama barulah dia bisa membuka suara, "Apakah dia... Ciok-cengcu adalah... adalah ayahku? Tapi aku kok tidak tahu. Cuma... engkau bukanlah ibuku, aku... aku memang sedang mencari ibuku sendiri." Hati Bin Ju menjadi pilu karena Boh-thian tidak mengenalinya lagi, hampir-hampir ia meneteskan air mata pula. Katanya, "O, kasihan anak ini. Tapi kau juga tak dapat disalahkan, sesudah... sesudah sekian tahun lamanya tentu kau sudah pangling kepada ayah-ibumu. Waktu kau meninggalkan Hian-soh-ceng tinggimu baru seperut ibu, tapi sekarang kau sudah lebih tinggi daripada ayahmu. Wajahmu ternyata juga banyak berubah, pertemuan di dalam kelenteng tempo hari kalau sebelumnya ayah-ibu tidak mengetahui kau yang telah ditawan Pek Ban-kiam, di kala bertemu juga tentu kita takkan saling mengenal." Boh-thian semakin heran mendengarkan uraian nyonya Ciok itu. Soal dirinya ditawan Pek Ban-kiam dan dibawa ke kelenteng Toapekong itu memang betul terjadi, tapi tentang ibunya yang diketahui bermuka kuning pucat, perawakannya juga jauh lebih pendek dan kecil daripada Bin Ju, untuk ini tidaklah mungkin dia pangling. Maka dengan tergagap-gagap ia berkata, "Ciok-hujin, engkau telah... telah salah kenal, aku... aku bukan an... anak kalian!"

"Engkoh Jing," Bin Ju berpaling kepada Ciok Jing, "coba kau lihat anak ini...." Mendengar Ciok Boh-thian tidak mau mengakui ayah-ibunya, diam-diam Ciok Jing lantas menimbang-nimbang, "Bocah ini sangat cerdik, dia tidak mau mengakui orang tua sendiri tentu dia mempunyai maksud yang mendalam. Jangan-jangan dia telah menimbulkan bencana besar di Leng-siau-sia dan telah banyak melakukan kejahatan di Tiang-lok-pang, namanya tersohor sangat busuk, maka dia merasa malu untuk mengakui ayah-ibu sendiri. Atau mungkin juga takut dihukum dan khawatir merembet ayah-ibunya?" Sesudah berpikir sejenak, kemudian ia tanya, "Jika demikian, kau ini Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang atau bukan?" Boh-thian garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sahutnya, "Ya, semua orang mengatakan aku adalah Ciok-pangcu, tapi sebenarnya bukan, mereka pun telah salah mengenali diriku."

"Habis siapa namamu?" tanya Ciok Jing. "Aku tidak punya nama dan tidak punya she," sahut Boh-thian dengan wajah bingung. "Ibu hanya panggil aku `Kau-cap-ceng'." Ciok Jing saling pandang dengan Bin Ju, mereka merasa ucapan Ciok Boh-thian itu sangat jujur dan sungguh-sungguh, sedikit pun tiada tanda-tanda sengaja berdusta. Segera Ciok Jing mengedipi sang istri dan mengajaknya menyingkir agak jauh, lalu dengan suara perlahan ia berkata, "Adik Ju, bocah ini sebenarnya Tiong-giok atau bukan? Dari kabar-kabar yang kita peroleh memang diketahui bahwa Tiong-giok telah menjadi pangcu di Tiang-lok-pang, tapi sebagai seorang pangcu masakah bisa jadi sedemikian dungunya?"

"Anak Giok sudah belasan tahun meninggalkan kita," sahut Bin Ju dengan berat, "sesudah dewasa sudah tentu muka dan perawakannya akan banyak berubah. Akan tetapi... aku yakin dia pasti putraku."

"Kau benar-benar mantap, sedikit pun tidak sangsi?" Ciok Jing menegas. "Kesangsian sih ada, tapi entah mengapa, aku percaya bahwa... bahwa dia pasti putra kita. Apa sebabnya, aku sendiri pun tak bisa menjelaskan." Tiba-tiba Ciok Jing teringat kepada sesuatu, katanya, "Ah, aku mendapat akal. Bukankah kau masih ingat waktu perempuan hina itu hendak menyatroni kau, adik Ju?...." Apa yang diungkap Ciok Jing ini merupakan kejadian yang tak bisa dilupakan oleh mereka suami-istri, hanya mereka tidak mau menyinggung kejadian itu. Maka Ciok Jing cuma menyebut awalnya dan Bin Ju pun lantas mengerti. "Betul, biar kutanya padanya," demikian Bin Ju lantas sadar akan maksud sang suami. Lalu ia berduduk di atas sepotong batu besar, kemudian Boh-thian dipanggilnya, "Nak, coba kemari, ada yang hendak kukatakan padamu." Boh-thian lantas mendekatinya dan oleh Bin Ju dia disuruh duduk juga di sebelahnya, lalu nyonya itu mulai bertanya, "Nak, pada waktu kau berusia dua tahun, datanglah seorang penjahat wanita yang hendak membikin susah ibumu, kebetulan ayahmu tidak di rumah, sedangkan ibu baru saja melahirkan adikmu sehingga tidak mampu melawan penjahat wanita itu. Wanita jahanam itu benar-benar sangat jahat, bukan saja ibumu hendak dibunuhnya, bahkan kau dan adikmu juga akan dibunuh olehnya."

"Hah, lalu aku terbunuh atau tidak?" seru Boh-thian terkejut. Tapi ia lantas tertawa sendiri dan menyambung pula, "O, aku benar-benar sudah linglung, sudah tentu aku tidak terbunuh." Namun Bin Ju tidak tertawa, ia melanjutkan ceritanya, "Waktu itu ibu membopong kau dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memainkan pedang untuk melawannya dengan mati-matian. Penjahat wanita itu sangat lihai, aku menjadi kewalahan. Pada saat berbahaya itu kebetulan ayahmu keburu pulang. Dengan cepat penjahat wanita itu menimpukkan tiga buah kim-ci-piau (senjata rahasia berbentuk mata uang), dua buah di antaranya kena disampuk jatuh oleh ibumu, kim-ci-piau yang ketiga telah mengenai bokongmu. Kau menjerit menangis, ibumu menjadi khawatir dan lelah terus jatuh pingsan. Tapi karena melihat ayahmu, penjahat wanita itu pun lantas melarikan diri. Wanita itu benar-benar amat kejam, sewaktu melarikan diri dia sekalian menggondol pergi adikmu pula. Karena buru-buru ayahmu harus menolong aku dahulu, pula khawatir kalau-kalau penjahat wanita itu menyembunyikan pembantu dan aku akan dicelakai, maka ayahmu tidak mau mengejarnya, pula mengingat... mengingat penjahat wanita itu pun tidak mungkin membunuh putranya,

paling-paling orok itu sengaja diculik untuk menakut-nakuti ayahmu saja. Siapa tahu pada hari ketiga mayat adikmu telah

dikirim pulang oleh penjahat wanita itu, di atas badan ulu hatinya tertancap dua bilah pedang kecil, yang sebatang pedang hitam dan sebatang lagi pedang putih, bahkan di atas pedang-pedang itu terukir pula nama ayah-ibumu...." bercerita

sampai di sini, saking sedihnya air matanya sudah bercucuran sebagai hujan. Boh-thian juga gusar mendengar peristiwa kejam itu, katanya, "Penjahat wanita itu benar-benar terlalu keji, seorang anak bayi yang tak berdosa juga tega membunuhnya. Wah, kalau tidak terbunuh aku kan senang mempunyai seorang adik? Ciok-hujin, kejadian itu selamanya ibu tak pernah katakan padaku."

"Nak," kata Bin Ju pula dengan air mata berlinang-linang, "apa benar-benar kau telah melupakan ibu kandungmu sendiri?

Aku... aku inilah ibumu yang sesungguhnya." Boh-thian mengamat-amati sejenak wajah Bin Ju, lalu menggeleng perlahan-lahan, katanya, "Bukan, kau bukan ibuku. Kau telah salah mengenali aku."

"Dahulu pantatmu telah tertumpuk oleh kim-ci-piau si penjahat wanita, walaupun sekarang kau sudah dewasa, tentu bekas

luka itu takkan hilang. Nah, coba kau membuka celanamu dan periksalah sendiri."

"Aku... aku...." sahut Boh-thian dengan muka merah dan serbasalah. Teringat olehnya bahwa di atas pundak sendiri terdapat bekas gigitan si Ting Tong, di atas paha juga terdapat enam titik bekas luka tusukan pedang oleh "Liau-susiok" dari Swat-san-pay, semuanya itu sebenarnya sudah dilupakan olehnya, tapi setiap kali ia membuka baju dan periksa, selalu terlihat jelas apa-apa yang tertinggal di atas badannya sebagaimana dituduhkan orang. Seluk-beluk di dalam urusan ini benar-benar membuatnya bingung dan tidak habis mengerti. Sekarang Ciok-hujin mengatakan pula bahwa di pantatnya terdapat bekas luka kim-ci-piau, wah, jangan-jangan luka demikian itu benar-benar ada pula. Ia coba meraba-raba pantat sendiri sebelah kiri dari luar, ia merasa tidak ada sesuatu bekas luka apa-apa. Hanya saja ia sudah kapok dengan dua kali kejadian sebelumnya, yaitu luka gigitan di pundak dan luka pedang di paha, mau tak mau sekarang ia menjadi sangsi.

"Aku adalah ibu kandungmu, entah sudah berapa kali aku mengganti kain popokmu jika kau ngompol atau berak, masakah sekarang kau merasa malu segala?" ujar Bin Ju dengan tersenyum. "Baiklah, boleh kau periksakan kepada ayahmu saja." Habis berkata ia lantas memutar tubuh dan menyingkir kesana. Ciok Jing sendiri juga merasa ragu-ragu, katanya, "Nak, boleh kau lepaskan celana dan  periksa sendiri saja." Dengan sangsi Boh-thian meraba pantat sendiri pula dari luar, sesudah yakin tiada bekas luka apa-apa barulah dia membuka tali kolor dan melorotkan celananya, waktu ia melongok ke belakang, terlihatlah di sebelah kiri pantat itu lapat-lapat ada sejalur bekas luka kira-kira tiga-empat senti panjangnya, rupanya luka itu sudah terlalu lama, maka bekas luka itu sudah samar-samar saja. Seketika Boh-thian ternganga kaget, ia merasa langit dan bumi seakan-akan berputar, dirinya serasa mendadak telah berubah seorang lain, tapi toh dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa. Saking kaget dan takutnya, tak tertahan lagi Boh-thian menangis keras-keras. Cepat Bin Ju berpaling kembali, dilihatnya sang suami sedang manggut-manggut padanya, maksudnya berkata, "Ya, dia memang betul Tiong-giok adanya." Bin Ju menjadi girang dan cemas pula, ia berlari mendekati Boh-thian terus merangkulnya. Katanya dengan air mata

bercucuran, "Anak Giok, O, anak Giok, jangan takut, betapa pun besarnya urusan tentu ayah-ibu akan menyelesaikan bagimu."

"Aku sudah lupa kepada segala kejadian di masa lampau," kata Boh-thian sambil menangis. "Aku tidak tahu engkau adalah

ibuku, tidak tahu dia adalah ayahku, tidak tahu di pantatku ada bekas luka demikian ini. Aku tidak tahu, ya, tidak tahu, segala apa pun tidak tahu...."

"Lwekangmu yang begini tinggi ini kau belajar dari mana?" tanya Ciok Jing. "Entah, aku tidak tahu," sahut Boh-thian. "Habis pukulanmu yang berbisa itu kau pelajari dari siapa pula?" desak Ciok Jing. "Tidak tahu, tiada orang yang mengajarkan padaku," sahut Boh-thian dengan takut-takut. "Ai, kenapakah aku ini, segala apa sudah linglung bagiku. Apakah aku benar-benar Ciok Boh-thian, Ciok-pangcu? Ciok... Ciok, jadi aku benar-benar she Ciok dan adalah anak kalian?" Saking gugupnya sampai muka Boh-thian menjadi pucat, kedua tangannya masih memegangi celananya yang kedodoran, khawatir kalau melorot ke bawah, sebaliknya lupa mengikat tali kolornya. Melihat Boh-thian sedemikian gugup dan takutnya, Bin Ju merasa sangat kasihan, tiada hentinya ia menepuk-nepuk perlahan pundak anak muda itu dan berkata, "Anak Giok, jangan takut, jangan takut!" Ciok Jing lantas kesampingkan juga rasa gemasnya kepada putranya yang diketahui berkelakuan tidak senonoh itu, pikirnya, "Aku pernah melihat kepala orang mengalami pukulan keras atau menderita sakit parah, lalu melupakan segala apa yang pernah dialaminya, konon penyakit ini bernama `sakit hilang ingatan' dan sangat sukar disembuhkan kembali.

Jangan-jangan... jangan-jangan anak Giok sekarang terkena penyakit aneh ini?" Pikiran Ciok Jing ini tidak berani lantas dikatakan kepada sang istri, tak terduga Bin Ju sendiri juga mempunyai pikiran yang serupa. Suami-istri itu saling tukar pandang dengan ragu-ragu, akhirnya sama-sama tercetus, "Sakit hilang ingatan!" Ciok Jing tahu orang yang menderita penyakit aneh itu tidak boleh ditanyai terus-menerus, semakin didesak penyakitnya akan semakin berat. Jalannya harus perlahan-lahan membantunya memulihkan daya ingatannya, lalu dipancing dan ditanya sedikit demi sedikit. Maka dengan ramah tamah ia lantas berkata, "Hari ini kita telah dapat berkumpul kembali, sungguh suatu hal yang sangat menggembirakan. Nak, tentu perutmu sudah lapar, marilah kita pergi ke kota di depan sana untuk makan dan minum."

"Se... sebenarnya siapakah diriku ini?" demikian Boh-thian masih bingung. Bin Ju lantas bantu melipatkan celana anak muda itu dan mengikat tali kolornya, lalu katanya dengan halus, "Nak, apakah kau pernah terjatuh sehingga kepalamu terbentur dengan keras? Atau kau pernah berkelahi dengan orang dan kepalamu kena diketok benda keras oleh lawanmu?"

"Tidak, tidak pernah," sahut Boh-thian sambil geleng-geleng kepala. "Atau selama ini pernahkah kau jatuh sakit panas?" tanya Bin Ju pula. "O, ya, pernah," sahut Boh-thian. "Beberapa bulan yang lalu sekujur badanku terasa sangat panas sebagai dibakar di dalam tungku. Kemudian berubah menjadi dingin setengah mati. Waktu itu aku berada di atas gunung, lalu... lalu jatuh pingsan dan apa yang terjadi selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi."

Bab 31. Ciok Jing Berkisah tentang Rasul-rasul Pengganjar dan Penghukum

Ciok Jing menjadi girang dan merasa lega karena sang istri telah dapat menjelajahi sumber penyakit anak muda itu. "Nak, janganlah kau takut," kata Bin Ju pula dengan lembut, "karena sakit panas itu sehingga kau telah melupakan segala apa di masa lampau, tapi perlahan-lahan daya ingatanmu pasti akan pulih kembali." Namun Boh-thian masih bersangsi. "Jadi kau benar-benar adalah ibuku dan... dan Ciok-cengcu adalah ayahku?" tanyanya pula. "Betul," sahut Bin Ju dengan tersenyum. "Nak, aku dan ayahmu telah mencari kau ke mana-mana, berkat Tuhan yang maha pengasih, akhirnya kita bertiga telah dapat berkumpul kembali. Eh, mengapa kau tidak... tidak lekas panggil ayah?" Boh-thian percaya penuh bahwa Bin Ju pasti tidak membohonginya, memangnya ia sendiri pun tidak punya ayah, maka sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia memanggil ayah pada Ciok Jing. "Dan panggil juga ibu!" sahut Ciok Jing dengan tersenyum. Disuruh memanggil ibu kepada Bin Ju bagi Ciok Boh-thian menjadi lebih sukar keluar dari mulutnya. Ia masih ingat dengan jelas bahwa wajah ibunya sendiri sama sekali berbeda daripada Bin Ju, ibunya yang menghilang itu rambutnya sudah mulai ubanan, sebaliknya rambut Bin Ju masih hitam mengilap. Tabiat ibunya sangat keras, sedikit-sedikit lantas marah-marah dan memaki, bahkan main pukul segala, sama sekali berbeda daripada sikap Bin Ju yang ramah tamah ini. Melihat air muka Bin Ju penuh menaruh harapan akan panggilannya, bahkan kelihatan matanya menjadi basah sesudah menunggu sekian lamanya belum lagi dipanggil, Boh-thian menjadi tidak tega, akhirnya ia memanggil dengan suara perlahan, "Ibu!" Sungguh girang Bin Ju tak terlukiskan, terus saja ia merangkul Boh-thian sambil berseru, "O, anakku yang baik!" berbareng air matanya sudah bercucuran pula. Ciok Jing pun terharu, pikirnya, "Kalau mengingat sepak terjang anak ini ketika di Leng-siau-sia dan di tengah orang-orang Tiang-lok-pang, dosanya itu biarpun ditebus dengan jiwanya juga belum cukup setimpal, mana dapat dikatakan sebagai `anak yang baik'?" Tapi mengingat anak itu menderita penyakit hilang ingatan, ia merasa tidak enak untuk menegurnya tentang perbuatan-perbuatannya. Apalagi kalau diingat bahwa kesalahan setiap orang harus diberi kesempatan untuk memperbaikinya, bukan mustahil kelak anak ini akan berubah menjadi baik. Padahal kalau ditinjau lebih mendalam, sejak kecil dia sudah berpisah dengan ayah-ibu, betapa pun dirinya sebagai ayah harus bertanggung jawab karena kurang memberi didikan. Hanya saja perbuatan tidak senonoh bocah inilah yang benar-benar telah membikin busuk nama baik Hian-soh-siang-kiam (sepasang pedang dari Hian-soh-ceng) yang tersohor di Kangouw selama ini. Begitulah sesaat itu pikiran Ciok Jing menjadi bergolak disamping gembira juga merasa menyesal dan gemas. Melihat air muka sang suami yang sebentar terang sebentar masam itu, segera Bin Ju dapat meraba apa yang dipikirnya. Khawatir kalau suaminya mulai menanyai dosa Ciok Boh-thian cepat Bin Ju berkata, "Engkoh Jing, Anak Giok, aku sudah sangat lapar, marilah kita lekas mencari makanan." Ia lantas bersuit, sejenak kemudian kedua ekor kuda hitam-putih lantas berlari mendatangi dari semak-semak sana. "Nak, kau bersatu kuda tunggangan dengan ibu saja." Melihat sang istri sangat gembira, hal ini jarang terjadi selama belasan tahun ini, maka Ciok Jing hanya tersenyum saja dan lantas mencemplak ke atas kuda hitam. Boh-thian dan Bin Ju bersama menunggang kuda putih terus dilarikan menuju ke jalan besar. Tapi di dalam hati Boh-thian tetap ragu-ragu dan tidak habis mengerti, "Apakah dia benar-benar ibuku? Jika betul ibu yang membesarkan aku sejak kecil itu tentulah bukan ibuku lagi. Sebenarnya yang manakah yang betul adalah ibuku?" Begitulah tiga orang berdua kuda telah melanjutkan perjalanan. Beberapa li kemudian, tiba-tiba terlihat di tepi jalan ada sebuah kelenteng. "Marilah kita sembahyang dahulu ke dalam kelenteng," tiba-tiba Bin Ju mengajak. Lalu ia mendahului melompat turun terus masuk ke dalam kelenteng. Terpaksa Ciok Jing dan Boh-thian ikut ke dalam kelenteng. Padahal Ciok Jing mengetahui sang istri selamanya jarang bersembahyang. Tapi sekarang dilihatnya Bin Ju sudah berlutut di depan patung ji-lay-hud (Buddha) dan sedang menjura berulang-ulang. Waktu ia berpaling ke arah Ciok Boh-thian, tiba-tiba timbul rasa terima kasihnya, pikirnya, "Walaupun bocah ini tidak genah kelakuannya, padahal cintaku kepadanya melebihi jiwaku sendiri. Jika ada orang hendak membikin celaka padanya tentu aku akan membelanya sekalipun nyawaku harus melayang. Hari ini kami ayah-ibu dan anak dapat berkumpul kembali, sungguh Tuhan yang maha pengasih benar-benar sangat memberkati kepadaku." Karena itu, tanpa merasa ia pun berlutut dan menjura ke hadapan patung Buddha. Boh-thian hanya berdiri saja di samping, ia dengar Bin Ju memanjatkan doa dengan suara perlahan, "Mohon Buddha memberkati agar penyakit putraku ini lekas sembuh. Dia masih terlalu muda, biarlah segala dosanya ditanggung olehku sebagai ibunya, segala kutuk hukuman ibunya yang akan memikulnya, asalkan putraku selanjutnya dapat membarui hidupnya, bebas dari kesukaran dan bencana, hidup sejahtera dan bahagia." Suara Bin Ju itu sebenarnya sangat lirih tapi dengan lwekang Ciok Boh-thian yang tinggi sekarang, dengan sendirinya ia dapat mendengarnya dengan jelas. Seketika darahnya tersirap, perasaannya terguncang, pikirnya, "Jika dia bukan ibu kandungku, masakah dia sedemikian baiknya kepadaku? Selama ini aku ragu-ragu untuk memanggil ibu padanya, aku benar-benar sudah terlalu linglung." Saking terharunya mendadak ia terus menubruk maju terus merangkul pundak Bin Ju dari belakang sambil berseru, "Ibu, O, ibu, kau benar-benar adalah ibuku!" Dari panggilan ibu tadi keluar dari mulutnya dengan sangat dipaksakan adalah sekarang panggilan Boh-thian ini benar-benar timbul dari lubuk hatinya yang tulus. Sudah tentu Bin Ju dapat mendengar dari nada suaranya itu, dengan terharu ia lantas berpaling dan balas memeluk sambil berseru, "O, anakku yang bernasib malang!" Dasar watak Ciok Boh-thian memang jujur dan berbudi, ia menjadi teringat kembali kepada "ibu" yang pernah selama  belasan tahun di atas gunung yang sunyi itu, walaupun dirinya diperlakukan dengan kurang baik, tapi ibu dan anak telah hidup berdampingan sekian lamanya, betapa pun hatinya juga merasa berat. Maka ia telah bertanya pula, "Dan bagaimana dengan ibuku yang dahulu itu? Apakah... apakah dia memang membohongi aku?"

"Bagaimana macamnya ibumu yang dahulu itu? Coba kau terangkan pada ibu," kata Bin Ju sambil membelai-belai rambut Ciok Boh-thian. "Dia... dia punya rambut sudah agak putih, jauh lebih pendek daripadamu, dia pun tak bisa ilmu silat, dia sering marah-marah sendiri, terkadang marah-marah padaku dengan mata melotot," demikian tutur Boh-thian. "Kau bilang dia adalah ibumu, apakah dia pun panggil anak padamu?" tanya Bin Ju. "Tidak, dia panggil aku sebagai `kau-cap-ceng'!" sahut Boh-thian. Hati Ciok Jing dan Bin Ju tergerak semua, pikir mereka, "Wanita itu memanggil Anak Giok sebagai kau-cap-ceng (anak anjing campuran), teranglah karena dia terlalu benci kepada kami suami-istri, jangan-jangan... jangan-jangan adalah wanita hina itu?" Maka cepat Bin Ju tanya pula, "Apakah ibumu itu bermuka bundar telur, kulit badannya sangat putih, kalau tertawa terdapat dekik di atas pipinya?"

"Bukan," sahut Boh-thian sambil menggeleng. "Ibuku itu berpipi gemuk dan kekuning-kuningan, jarang tertawa, juga tiada dekik di pipi apa segala."

"O, kiranya bukan dia," ujar Bin Ju dengan menghela napas. "Nak, ketika di kelenteng kecil malam itu pedang ibu telah melukai kau, bagaimana dengan lukamu itu?"

"Tidak apa-apa, hanya luka ringan saja, beberapa hari lagi tentu akan sembuh," sahut Boh-thian. "Dan cara bagaimana kau lolos dari cengkeraman Pek Ban-kiam?" tanya Bin Ju pula. "Anak kita benar-benar hebat, sampai `Gi-han-se-pak' juga tidak mampu menawannya." Kata-kata terakhir ini dia tujukan kepada Ciok Jing dengan rasa bangga. Ciok Jing sendiri memang sangat kagum kepada kepandaian Pek Ban-kiam setelah pertandingan di kelenteng Toapekong tempo hari. Maka ia pun setuju atas ucapan sang istri. Ia hanya menjawab, "Ah, jangan terlalu memuji padanya, nanti terlalu memanjakan dia." Tapi Ciok Boh-thian lantas menerangkan, "Bukan aku sendiri yang meloloskan diri, tapi Ting-samyaya dan si Ting-ting Tong-tong yang menyelamatkan aku." Ciok Jing dan Bin Ju terperanjat mendengar namanya Ting Put-sam itu, cepat mereka tanya keterangan lebih lanjut. Karena cerita ini agak panjang, maka Ciok Boh-thian lantas menguraikan dengan jelas tentang cara bagaimana Ting Put-sam dan si Ting Tong telah menolongnya, kemudian Ting Put-sam hendak membunuhnya, tapi Ting Tong telah mengajarkan kim-na-jiu-hoat padanya dan akhirnya dia terlempar ke dalam perahu yang lain. Bin Ju lantas menanyakan pula kejadian-kejadian sebelumnya, terpaksa Boh-thian menuturkan cara bagaimana ia telah dinikahkan dengan si Ting Tong oleh Ting Put-sam dan cara bagaimana ditawan oleh Pek Ban-kiam di markas besar Tiang-lok-pang. Kemudian ceritanya melompat kejadian berikutnya, di mana dia telah bertemu dengan Su-popo dan A Siu di Sungai Tiangkang serta bertanding melawan Ting Put-si, lalu cara bagaimana Su-popo telah menerimanya sebagai murid pertama Kim-oh-pay ketika mendarat di Ci-yan-to. Sesudah itu dia ditinggal pergi si nenek dan A Siu, lalu menemukan kapal mayat Hui-hi-pang, akhirnya dia ketemu dengan Thio Sam dan Li Si serta mengangkat saudara dengan mereka. Ia menceritakan seluruhnya sehingga sampai di sarang Tiat-cha-

hwe dan akhirnya kesasar ke dalam Siang-jing-koan. Apa yang telah dialaminya di dunia Kangouw itu memangnya sudah membikin bingung padanya, sekarang dia disuruh cerita, sudah tentu terjungkir balik tiada teratur. Namun Ciok Jing dan

Bin Ju selalu tanya secara teliti sehingga akhirnya sebagian besar cerita Ciok Boh-thian itu dapatlah dipahami mereka. Begitulah makin mendengar cerita itu makin terheran-heran Ciok Jing berdua, pikiran mereka pun semakin tertekan. Waktu Ciok Jing menanyakan cara bagaimana Boh-thian bisa masuk ke dalam Tiang-lok-pang, maka anak muda itu lantas menguraikan cara bagaimana dia dibawa Cia Yan-khek ke atas Mo-thian-kay sehingga mendapat ilmu menangkap burung dari jauh, kemudian ia putar kembali ceritanya mengenai dahulu ia pernah terima persen dari Bin Ju di depan warung siopia ketika bertemu dengan Bin Ju di sana. Sudah tentu Ciok Jing dan Bin Ju sama sekali tidak menduga bahwa si pengemis kecil yang kotor dekil yang pernah dijumpai di Hau-kam-cip dahulu itu ternyata bukan lain adalah putranya sendiri. Bila teringat keadaan si pengemis kecil yang terlunta-lunta dan harus dikasihani itu, kembali Bin Ju merasa pilu hatinya. Diam-diam Ciok Jing juga membatin, "Kalau dihitung menurut waktu pertemuan di Hau-kam-cip tempo dulu itu, tatkala mana bocah ini toh belum lama melarikan diri dari Leng-siau-sia. Mengapa Kheng Ban-ciong dan kawan-kawannya bisa pangling kepada Anak Giok ini?" Berpikir demikian, segera Ciok Jing mengamat-amati pula air muka "Ciok Tiong-giok". Ia merasa muka si pengemis kecil yang sekilas pernah dilihatnya di Hau-kam-cip dahulu itu samar-samar sudah tak teringat olehnya, yang masih jelas adalah pakaiannya yang compang-camping dan mukanya yang kotor saja. Lalu terpikir lagi, "Sejak dia melarikan diri dari Leng-siau-sia, sepanjang jalan ia hidup dari mengemis, sudah tentu mukanya menjadi dekil, bukan mustahil malah dia yang sengaja membikin kotor mukanya supaya tidak mudah dikenali orang sehingga Kheng Ban-ciong dan kawan-kawannya menjadi pangling. Aku pun sudah berpisah sekian tahun lamanya, perubahan anak kecil juga sangat cepat, dengan sendirinya aku lebih-lebih pangling lagi." Setelah ragu-ragu sejenak kemudian Ciok Jing coba bertanya, "Waktu di depan warung siopia tempo dulu, apa kau tidak merasa takut ketika melihat Kheng Ban-ciong dan para susiokmu yang lain?" Sebenarnya Bin Ju tidak suka sang suami menyinggung urusan Swat-san-pay itu, tapi karena sudah diucapkan, untuk mencegahnya juga tidak bisa lagi, ia hanya mengerut alis, ia khawatir sang suami terus mengusut perbuatan-perbuatan putranya yang tidak senonoh. Tak terduga Ciok Boh-thian telah menjawabnya, "Kheng Ban-ciong? Orang-orang Swat-san-pay itu? Apakah mereka benar-benar adalah susiokku? Tatkala itu aku tidak tahu mereka hendak menangkap aku, dengan sendirinya aku tidak takut kepada mereka."

"Kau tidak tahu mereka hendak menangkap kau?" Ciok Jing menegas. "Kau... kau benar-benar tidak tahu Kheng Ban-ciong

adalah susiokmu?"

"Ya, tidak tahu," sahut Boh-thian sambil menggeleng. Melihat wajah sang suami sekilas agak masam, Bin Ju tahu Ciok Jing telah menahan rasa gusarnya sedapat mungkin. Maka cepat ia membuka suara, "Nak, setiap orang tentu pernah berbuat salah, asalkan insaf akan kesalahannya dan berani memperbaikinya rasanya belumlah terlambat. Ayah dan ibu mencintai kau melebihi jiwanya sendiri, maka segala apa tidak perlu kau merahasiakan, katakanlah terus terang segala sebab musababnya kepada ayah-ibumu saja. Sebenarnya bagaimana sikap Hong-suhu terhadap dirimu?"

"Hong-suhu? Hong-suhu yang mana?" Boh-thian menegas dengan bingung. Tiba-tiba teringat olehnya ketika di kelenteng Toapekong tempo hari ayah-ibunya pernah sebut-sebut namanya Hong Ban-li, maka ia lantas menyambung pula, "Apakah kau maksudkan Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li? Aku pernah mendengar kalian menyinggung namanya, tapi aku tidak kenal dia."

Ciok Jing dan Bin Ju saling pandang sekejap. Segera Ciok Jing tanya pula, "Dan bagaimana dengan Pek-yaya (Kakek Pek)? Tabiat beliau sangat keras bukan?"

"Pek-yaya siapa? Entah, aku tidak pernah melihat dan tidak kenal dia," sahut Boh-thian sambil geleng kepala. Menyusul Ciok Jing dan Bin Ju bergilir menanyakan pula suasana dan keadaan Swat-san-pay di Leng-siau-sia, tapi Ciok Boh-thian ternyata tidak mengetahui apa pun. "Engkoh Jing, penyakitnya ini terang terjadi sejak waktu itu," kata Bin Ju kepada sang suami. Ciok Jing mengangguk, tapi diam saja. Kiranya kedua orang sekarang telah paham duduknya perkara, mereka menarik kesimpulan, "Anak Giok sudah mengalami pukulan batin yang mahahebat sejak dia melarikan diri dari Leng-siau-sia, jika bukan kepalanya terkena benda keras waktu di tempat perguruannya itu, tentu disebabkan saking ketakutannya sehingga pikirannya menjadi linglung dan melupakan segala kejadian di masa lampau. Tentang pengalamannya waktu di Mo-thian-kay dan di Tiang-lok-pang, semuanya itu terjadi sesudah dia menderita sakit hilang ingatan." Kemudian Bin Ju berusaha menjajaki lagi kejadian-kejadian dimasa kecilnya, tapi bicara ke sana kemari Ciok Boh-thian hanya ingat pernah hidup di atas pegunungan yang sunyi, kerjanya cuma menangkap burung dan memburu ayam hutan, lebih dari itu dia tidak dapat menjelaskan lagi, seakan-akan sejak dia dilahirkan sehingga berumur belasan tahun, masa hidupnya itu hanya kosong belaka tanpa sesuatu peristiwa. "Anak Giok," kata Ciok Jing akhirnya, "ada suatu hal penting yang menyangkut mati-hidupmu di masa depan. Tentang ilmu silat Swat-san-pay sebenarnya sampai berapa banyak telah kau pahami?" Boh-thian tampak termangu-mangu, jawabnya kemudian, "Aku hanya menyaksikan orang-orang Swat-san-pay melatih ilmu pedang di dalam kelenteng tempo hari, diam-diam aku pun mengingatnya sebagian saja. Apakah lantaran ini mereka sangat marah padaku sehingga aku hendak dibunuh oleh mereka? Ayah, itu Pek-suhu bersitegang mengatakan aku adalah murid Swat-san-pay, entah apakah maksudnya? Anehnya mengapa di atas pahaku memang benar terdapat bekas luka tusukan ilmu pedang mereka itu. Ai, sungguh aku pun tidak habis mengerti akan hal ini."

"Adik Ju, biar kucoba lagi dia punya ilmu pedang," kata Ciok Jing kepada sang istri. Lalu ia melolos pedangnya dan menyambung pula, "Coba, boleh kau gunakan Swat-san-kiam-hoat yang telah kau pahami itu untuk bergebrak dengan Ayah, sedikit pun kau tidak boleh menyembunyikan kepandaianmu." Bin Ju lantas mencabut pedang dan diserahkan kepada Ciok Boh-thian sambil tersenyum, maksudnya mendorong anak muda itu agar melakukan apa yang dikehendaki Ciok Jing. Ketika Ciok Jing mulai menusuk dengan lambat, segera Ciok Boh-thian mengangkat pedang untuk menangkis, yang dia gunakan adalah jurus "Siok-hong-hut-khi" (Angin Utara Mendadak Meniup), gerakannya lamban, gayanya kaku dan banyak lubang kelemahannya. Ciok Jing mengerut kening melihat ketololan ilmu pedang anak muda itu, sebelum kedua pedang kebentur, segera ia ganti serangan lagi sambil berkata, "Kau pun boleh balas serang saja!"

"Baik!" sahut Boh-thian. Mendadak pedangnya membacok dari samping, ia gunakan pedang sebagai golok sehingga yang dia mainkan lebih mirip Kim-oh-to-hoat daripada disebut ilmu pedang. Dengan cepat Ciok Jing mempergencar serangan-serangannya, pikirnya, "Betapa pun licin bocah ini juga jangan harap akan dapat mengelabui diriku dalam hal ilmu silat. Setiap orang yang menghadapi detik menentukan antara mati atau hidup tidaklah mungkin berpura-pura lagi dalam permainan ilmu pedangnya." Karena pikiran ini, segera ia mendesak lebih kencang pula, setiap serangannya selalu menuju tempat-tempat berbahaya ditubuh Ciok Boh-thian. Mau tak mau Boh-thian menjadi kelabakan, dalam gugupnya untuk mempertahankan diri secara otomatis ia lantas memainkan kepandaian ciptaannya sendiri, yaitu ilmu yang mirip ilmu golok dan menyerupai ilmu pedang. Dalam pada itu serangan-serangan Ciok Jing bertambah gencar. Coba kalau lawannya bukan putranya sendiri, niscaya dengan mudah dia sudah membikin tamat riwayatnya. Pada jurus ke-11 jika mau dada Ciok Boh-thian tentu sudah ditembus oleh pedangnya, ketika jurus ke-23 mestinya buah kepala anak muda itu pun dapat ditebasnya menjadi dua, bahkan setiba jurus ke-28 pertahanan Ciok Boh-thian menjadi terbuka semua, dadanya, perutnya, pundaknya, kakinya,

semuanya dengan gampang dapat dijadikan sasaran pedang. Ciok Jing menoleh sekejap kepada sang istri sambil menggeleng. "Sret", menyusul pedangnya lantas menusuk kedepan, perut Ciok Boh-thian segera terancam oleh ujung pedang. Keruan Boh-thian kelabakan, ia coba menangkis sebisanya, "trang", tahu-tahu pedang Ciok Jing tergetar mencelat, berbareng dadanya terasa sesak, kontan ia tersentak mundur beberapa tindak. Di bawah guncangan tenaga dalam Ciok Boh-thian yang mahakuat itu, hampir-hampir saja ia tidak sanggup berdiri tegak lagi. "He, kenapakah kau, Ayah?" seru Boh-thian kaget, cepat ia membuang pedangnya dan memburu maju hendak memayang Ciok Jing. Tiba-tiba Ciok Jing merasa pening dan muak, lekas-lekas ia menutup pernapasan dan memberi tanda agar Boh-thian jangan mendekatnya. Kiranya sekali Ciok Boh-thian sudah bergebrak dengan orang, dengan sendirinya racun yang mengeram di dalam tubuhnya lantas terdesak keluar oleh tenaga dalamnya yang bergolak itu. Syukurlah sebelumnya Ciok Jing sudah mengetahui seluk-beluk kepandaian putranya sehingga tidak sampai roboh keracunan. Khawatirkan diri sang suami, cepat Bin Ju juga memburu maju untuk memayangnya, ia menoleh dan menegur Boh-thian, "Ayah cuma menjajal kepandaianmu saja, mengapa kau begini sembrono?" Boh-thian menjadi khawatir, sahutnya cepat, "Ya, aku... aku yang salah, Ayah! Apakah kau terluka?" Melihat bocah itu menaruh perhatian secara tulus dan sungguh-sungguh kepadanya, diam-diam Ciok Jing sangat girang dan terhibur. Ia tersenyum, sesudah mengatur napasnya, kemudian ia menjawab, "Ah, tidak apa-apa. Adik Ju, jangan kau salahkan Anak Giok. Dia memang benar belum memahami ilmu pedang Swat-san-pay, sebab kalau dia sudah mahir, tentu dapat menyerang dan dapat menarik kembali dengan tepat, dengan sendirinya dia takkan sembrono padaku. Tenaga dalam bocah ini benar-benar sangat hebat, tokoh Bu-lim yang mampu

menandingi dia boleh dikata sangat terbatas." Bin Ju cukup kenal watak sang suami yang biasanya tidak sembarangan memuji orang persilatan pada umumnya, kalau sekarang dia memuji putra kesayangannya, hal ini menandakan kepandaian Ciok Boh-thian memang benar-benar hebat. Tentu saja Bin Ju ikut bergirang, katanya, "Tapi ilmu silatnya masih terlalu kaku, sebaiknya sang ayah memberi petunjuk-petunjuk seperlunya."

"Ketika di kelenteng tempo hari bukankah kau sudah pernah mengajarkan dia?" ujar Ciok Jing dengan tertawa. "Tampaknya dalam hal mendidik anak nakal si ayah yang keras harus menyerah kepada sang ibu yang pengasih." Bin Ju tersenyum gembira, katanya, "Kalian tentu sudah lapar, marilah kita mencari rumah makan." Sesudah mereka sampai di suatu kota kecil dan tangsel perut seperlunya, kemudian mereka keluar kota menuju ke suatu tempat yang sunyi. Di sini Ciok Jing lantas menguraikan letak saripati ilmu pedang yang hebat. Dasarnya Ciok Boh-thian memang tidak bodoh, selama ini dia telah  banyak memahami pula berbagai macam ilmu silat, sekarang diberi petunjuk pula oleh tokoh silat terkemuka sebagai Ciok Jing, sudah tentu ia tambah cepat mengerti. Apalagi lwekang Ciok Boh-thian memangnya sudah sangat tinggi dan melebihi jago kelas satu di dunia Kangouw, yang masih kurang baginya hanya dalam hal pengalaman tempur saja. Begitulah Ciok Jing dan Bin Ju bergilir memberi petunjuk dan saling gebrak dengan Boh-thian, bilamana ada sesuatu kesukaran segera mereka memberi petunjuk di mana perlu, dengan demikian kemajuan Boh-thian terang jauh lebih pesat daripada waktu Bin Ju memberi petunjuk secara diam-diam waktu bertemu di kelenteng Toapekong dahulu. Karena tenaga dalam Ciok Boh-thian teramat kuat, biarpun dia berlatih terus dari siang sehingga petang tanpa berhenti dan mengaso, namun sedikit pun dia tidak kelihatan lelah, bahkan napasnya tidak sampai terengah-engah. Sebaliknya Ciok Jing dan Bin Ju yang memberi petunjuk secara bergilir malah mandi keringat dan merasa capek. Secara ringkas saja pelajaran-pelajaran itu telah berlangsung selama beberapa hari, kemajuan Boh-thian sangat pesat, dari ilmu pedang ajaran ayah-ibunya sudah dapat dipahaminya tujuh-delapan bagian.

Hian-soh-kiam-hoat memangnya adalah ilmu pedang yang lihai, ditambah lagi tenaga dalam Ciok Boh-thian yang mahakuat, kelak kalau bertemu lagi dengan Pek Ban-kiam, Ting Put-sam, dan Ting Put-si dan lain-lain, andaikan Boh-thian belum dapat mengalahkan jago-jago tua itu, paling sedikit ia pun sudah mampu mempertahankan diri. Selama beberapa hari itu, di kala mengaso atau di waktu makam, Ciok Jing dan Bin Ju masih terus berusaha memancing Ciok Boh-thian menceritakan pengalamannya di masa lampau dengan maksud membantunya memulihkan daya ingatannya. Akan tetapi Boh-thian hanya dapat menceritakan dengan jelas tentang kejadian sesudah dia berada di Tiang-lok-pang, sampai kejadian-kejadian kecil ia pun dapat menerangkan, tapi ditanya sewaktu kecilnya, ketika tinggal di Hian-soh-ceng dan belajar silat di Leng-siau-sia, semuanya ini ia hanya melongo saja tak bisa menjawab. Pada hari itu, sesudah makan siang, mereka bertiga kembali berada di bawah pohon yang biasanya mereka suka duduk-duduk di situ dan mengobrol. Tiba-tiba Bin Ju menjemput setangkai ranting dan menggores-gores di atas tanah, ia menulis empat huruf "Hek-pek-hun-beng" (hitam dan putih harus dibeda-bedakan dengan tegas), lalu katanya, "Anak Giok, apakah kau masih ingat keempat huruf ini?" Boh-thian menggeleng-geleng kepala, sahutnya, "Tidak, aku tidak bisa membaca." Ciok Jing dan Bin Ju terkejut semua. Padahal waktu anak mereka meninggalkan rumah Bin Ju sudah mengajarkan membaca kepadanya, kitab-kitab yang sederhana sebagai "Sam-ji-keng" (kitab aksara tiga), "Tong-si" (sanjak Tong) boleh dikata sudah dapat dihafalkan di luar kepala, mengapa sekarang jawabnya tidak bisa membaca? Apalagi Wi-tek Siansing dari Swat-san-pay terkenal serbapandai, baik ilmu silat maupun ilmu sastra. Anak muridnya juga terkenal sebagai kaum cerdik pandai semua. Waktu Ciok Jing memasrahkan Tiong-giok kepada Hong Ban-li dahulu juga dengan tegas dinyatakan semoga anak itu mendapat didikan ilmu silat maupun ilmu sastra, tatkala itu Hong Ban-li telah berkata

dengan tertawa, "Pek-tehu (adik ipar Pek, maksudnya istri Pek Ban-kiam) adalah sastrawan wanita di Leng-siau-sia kita, biarkan dia yang mengajar putramu, tanggung tidak akan mengecewakan harapanmu." Tapi kini anak muda itu ternyata mengaku buta huruf. Tentang empat huruf "Hek-pek-hun-beng" itu adalah tulisan di atas papan yang tergantung di pendopo Hian-soh-ceng mereka, tulisan itu adalah sumbangan seorang tokoh Bu-lim angkatan tua, maknanya cocok dengan sepasang pedang hitam-putih andalan Ciok Jing dan istrinya, tapi juga mengandung pujian kepada mereka suami-istri yang suka membela keadilan dan membantu kaum lemah untuk menumpas kejahatan. Sebabnya Bin Ju menulis keempat huruf yang dahulu sering dilihat putranya sejak kecil, mungkin dari situ akan dapat mengingatkan dia kepada kejadian-kejadian di masa lampau, siapa duga anak muda itu bahkan menjawab tidak dapat membaca. Lalu Bin Ju menggores lagi angka "satu" di atas tanah, tanyanya pula dengan tertawa, "Dan huruf ini kau masih ingat tidak?"

"Tidak, huruf apa pun aku tidak tahu, tiada yang pernah mengajarkan padaku," jawab Boh-thian. Pedih sekali hati Bin Ju, air matanya lantas berlinang-linang lagi. "Anak Giok, coba kau mengaso dulu ke sebelah sana," kata Ciok Jing kepada Boh-thian. Setelah mengiakan, Boh-thian lantas jinjing pedangnya dan menyingkir ke sana untuk berlatih sendiri. Kemudian Ciok Jing telah menghibur sang istri, "Adik Ju, penyakit yang diderita Anak Giok tampaknya tidaklah enteng dan tak dapat disembuhkan dalam waktu singkat." Sesudah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, "Seandainya dia memang sudah melupakan segala kejadian yang lalu, hal ini pun bukanlah urusan jelek. Sepak terjang bocah ini di masa lampau terlalu sembrono, walaupun sekarang agak... agak linglung, tapi tingkah lakunya terang jauh lebih baik dan lebih prihatin. Hal ini boleh dikata merupakan suatu kemajuan besar baginya." Bin Ju pikir apa yang dikatakan sang suami itu pun ada benarnya, seketika dari sedih berubah menjadi girang. Apa halangannya kalau cuma buta huruf saja, paling-paling

diajarkan lagi dari permulaan kan beres? Tiba-tiba Ciok Jing berkata pula, "Adik Ju, ada suatu hal yang aku tidak habis paham. Penyakit hilang ingatan bocah ini terang sudah terjadi sewaktu dia meninggalkan Leng-siau-sia, kemudian ia menderita sakit panas lagi, hal ini hanya semakin menambah parah penyakitnya itu. Akan tetapi... akan tetapi...." Mendengar ucapan sang suami itu mengandung sesuatu teka-teki yang mendalam, mau tak mau Bin Ju ikut menjadi tegang, cepat ia tanya, "Akan tetapi apa?"

"Bicara tentang kesusastraan terang Anak Giok buta huruf," kata Ciok Jing. "Bicara tentang ilmu silatnya juga tidak terlalu mahir, hanya lwekangnya saja yang luar biasa. Bicara soal pengalaman, pengetahuan dan tipu akalnya, semuanya lebih-lebih tiada yang dapat dipilih. Padahal Tiang-lok-pang adalah suatu organisasi besar yang sangat menonjol pada masa akhir-akhir ini, namanya sangat disegani oleh dunia persilatan, mengapa... mengapa...."

"Ya, betul, mengapa mengangkat seorang anak kecil sebagai Tiong-giok untuk menjadi pangcu mereka?" sambung Bin Ju dengan manggut-manggut. Ciok Jing merenung sejenak, lalu sambungnya pula, "Waktu di Ciciu tempo hari kita pernah mendengar cerita bahwa Ciok Boh-thian, Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang adalah seorang yang suka main perempuan, tingkah lakunya culas dan licik, tapi ilmu silatnya sangat tinggi pula. Sebenarnya tiada seorang pun yang tahu asal-usul Ciok-pangcu itu, belakangan entah mengapa dia telah dapat dikenali oleh murid wanita dari Swat-san-pay yang bernama Hoa Ban-ci, katanya dia adalah murid murtad Swat-san-pay mereka, Ciok Tiong-giok, yang sedang dicari-cari oleh perguruannya. Tapi kalau dilihat sekarang, segala apa tentang tingkah lakunya culas licik dan ilmu silatnya sangat tinggi, ulasan-ulasan itu sesungguhnya tidak tepat digunakan atas diri Tiong-giok." Dengan mengerut kening Bin Ju menanggapi, "Ya, dahulu kita pikir usia Anak Giok memang masih muda, tapi otaknya memang tajam, jika ilmu silatnya benar-benar telah maju pesat sehingga dapat menjabat sebagai pangcu apa juga bukan sesuatu yang aneh, sebab itulah kita tatkala itu sedikit pun tidak curiga, kita hanya berunding cara bagaimana menyelamatkan dia dari pencarian Swat-san-pay. Akan tetapi melihat kelakuannya sekarang, kukira... kukira...." Sampai di sini mendadak ia perkeras suaranya, "Ya, Engkoh Jing, kukira di balik urusan ini tentu adalah suatu muslihat keji. Coba pikir saja, betapa cerdik pandai tokoh `Tio-jiu-seng-jun' Pwe-siansing itu, masakah...." sampai di sini ia menjadi takut sendiri, suaranya menjadi gemetar pula. Ciok Jing sendiri berjalan mondar-mandir dengan berpangku tangan, mulutnya tiada hentinya menggumam, "Ya, mengangkat dia menjadi pangcu , mengangkat dia menjadi pangcu , apa maksud tujuannya? Apa maksud tujuannya?" Setelah dipikir berulang-ulang, akhirnya jelaslah duduknya perkara baginya, segala apa yang terjadi sangat cocok dengan persoalannya, cuma saja urusan ini terlalu mengerikan, maka ia tidak berani lantas mengutarakan pendapatnya. Waktu ia memandang sang istri, sekilas sorot mata Bin Ju juga sedang menatap ke arahnya dengan penuh rasa cemas dan khawatir. Untuk sejenak suami-istri itu saling pandang, habis itumendadak mereka berseru berbareng, "Pengganjar dan Penghukum!" Ucapan ini cukup keras sehingga dapat didengar oleh Ciok Boh-thian, segera anak muda ini mendekati dan bertanya, "Ayah, ibu, sebenarnya macam apakah Pengganjar dan Penghukum itu? Aku pernah mendengar nama itu dari orang-orang Tiat-cha-hwe, imam-imam Siang-jing-koan itu pun pernah menyebut-nyebutnya." Ciok Jing tidak menjawab sebaliknya malah bertanya, "Sewaktu kau mengangkat saudara dengan Thio Sam dan Li Si, apakah mereka mengetahui kau adalah Pangcu Tiang-lok-pang?"

"Mereka tidak tanya, aku pun tidak bilang, mungkin mereka tidak tahu," sahut Boh-thian. "Bagaimana keadaan mereka ketika kau berlomba minum arak berbisa dengan mereka? Coba kau ceritakan lagi dengan lebih jelas," tanya Ciok Jing. "Hah, apakah arak itu berbisa? Mengapa aku tidak keracunan?" sahut Boh-thian dengan heran. Lalu ia pun menuturkan lagi pengalamannya ketika bertemu dengan Thio Sam dan Li Si, dimana mereka telah makan babi panggang dan minum arak sepuas-puasnya. Ciok Jing mendengarkan dengan diam saja, sesudah Boh-thian menutur, ia merenung sejenak, lalu berkata, "Anak Giok, ada suatu hal harus kukatakan padamu, baiknya saat ini masih dapat dicegah, maka kau pun tidak perlu khawatir." Sesudah merandek sebentar, kemudian ia menyambung, "Pada masa 30 tahun yang lalu, banyak sekali di antara gembong-gembong dan tokoh-tokoh Bu-lim dari berbagai golongan dan aliran mendadak telah menerima undangan yang meminta mereka sebelum tanggal 8 bulan 12 supaya datang ke Liong-bok-to (Pulau Kayu Naga) di Laut Selatan untuk makan Lap-pat-cok."

"Ya, semua orang asalkan mendengar tentang `Lap-pat-cok' lantas sangat ketakutan, entah apa sebabnya?" kata Boh-thian sambil manggut-manggut. Namun Ciok Jing menyambung terus, Tokoh-tokoh dari berbagai golongan dan aliran itu semuanya adalah orang-orang yang punya harga diri, ketika mereka menerima medali undangan...."

"Medali undangan? Apakah kedua potong medali tembaga itu?" sela Boh-thian. "Betul, tak-lain-tak-bukan adalah kedua buah medali tembaga yang pernah kau rebut dari Ciau-hi Supek itu," sahut Ciok Jing. "Muka medali-medali itu masing-masing terukir wajah orang yang sedang tertawa, ini mempunyai arti `pengganjar', yaitu memberi ganjaran kepada orang yang berbuat bajik, sebaliknya medali yang lain terukir wajah marah yang berarti `penghukum', yaitu pemberi hukuman kepada setiap kejahatan. Pengirim-pengirim medali undangan itu adalah dua orang pemuda gemuk dan kurus." "Pemuda?" Boh-thian menegas. Ia sudah menduga pengirim-pengirim medali-medali itu tentulah Thio Sam dan Li Si, tapi demi mendengar pemuda, ia merasa tidak cocok pula dengan mereka. "Apa yang terjadi itu adalah di waktu lebih 30 tahun yang lalu, dengan sendirinya ketika itu mereka masih muda," ujar Ciok Jing. "Para pemimpin Bu-lim yang kebagian medali undangan itu dengan sendirinya ragu-ragu, mereka menanyakan siapakah tuan rumah yang mengundang itu, tapi kedua utusan itu menyatakan bahwa sesudah para tamu sampai di tempat tujuan tentu akan tahu sendiri. Gembong-gembong persilatan itu ada yang anggap sepele akan undangan itu dan menerimanya dengan tertawa, ada juga yang marah-marah. Menurut kedua utusan itu, bila penerima undangan itu

menepati undangan itu, maka segalanya akan aman tenteram, sebaliknya kalau menolak, maka golongan atau organisasi mereka ini pasti akan tertimpa bencana. Karena itulah para pemimpin persilatan itu saling bertanya-tanya, `Hadir atau tidak?'

"Orang pertama yang menerima medali undangan itu adalah Siau-san Totiang, Ciangbunjin Jing-sia-pay di Sucwan Barat. Sambil tertawa ia mengerahkan tenaga dalam sehingga kedua medali tembaga itu kena diremas menjadi dua potong tembaga rongsokan. Dengan memperlihatkan kepandaiannya yang hebat itu Siau-san Totiang mengira kedua pemuda yang takabur itu pasti akan kabur dengan ketakutan. Siapa duga, baru saja medali-medali itu dirusaknya, kontan keempat tangan pemuda-pemuda itu pun sekaligus menghantam dada Siau-san Totiang, tanpa ampun lagi tokoh persilatan di daerah Sucwan itu terbinasa seketika."

"Ah, sedemikian keji cara mereka itu," seru Boh-thian. "Ya, serentak orang-orang Jing-sia-pay juga lantas mengerubut maju," sambung Ciok Jing. "Tatkala itu ilmu silat kedua pemuda belum mencapai tingkatan setinggi seperti sekarang, segera mereka merampas dua batang pedang, setelah membunuh tiga orang Tojin mereka lantas melarikan diri. Namun demikian, kejadian tentang Jing-sia-pay diubrak-abrik dan Siau-san Totiang dibunuh dua orang pemuda yang tak terkenal dalam waktu singkat saja sudah lantas membikin geger dunia persilatan. "Dua puluh hari kemudian, Tiau-lopiauthau di Ekciu juga

menerima medali undangan tersebut. Waktu itu Tiau-lopiauthau sedang sibuk mengadakan perjamuan untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-60. Tamu-tamu yang hadir sangat banyak, tiba-tiba kedua pemuda yang tidak diundang muncul di tengah perjamuan dan mengaturkan medali-medali tembaga mereka. Memangnya sebagian besar para hadirin itu lagi ramai membicarakan peristiwa Jing-sia-pay, sekarang diketahui kedua pemuda itu mengacau pula ke situ, serentak mereka bergerak dan hendak menghajar kedua pemuda itu. Tak terduga dengan gampang saja kedua pemuda itu dapat meloloskan diri dari kepungan orang banyak. Bahkan tiga hari kemudian, keluarga Tiau-lopiauthau sebanyak lebih 30 jiwa pada tengah malam buta semuanya telah tewas. Di atas pintu rumah jelas terpaku dua bentuk medali tembaga muka tertawa dan muka marah itu."

"Pertama kalinya aku melihat kedua medali tembaga itu adalah di pintu ruangan kapal Hui-hi-pang yang penuh mayat itu," kata Boh-thian dengan menghela napas. "Tak tersangka bahwa... bahwa kedua medali itu mirip saja dengan kartu undangan yang dikirim oleh Giam-lo-ong (raja akhirat)."

"Setelah kejadian itu tersiar, segera ketua Siau-lim-pay tampil ke muka dan mengundang para pemimpin terkemuka dari dunia persilatan untuk merundingkan cara menghadapi persoalan medali-medali tembaga itu, berbareng penyelidik-penyelidik disebarkan untuk mencari tahu jejak kedua utusan yang mengganas itu," demikian Ciok Jing melanjutkan ceritanya. "Namun kedua pemuda utusan itu benar-benar sangat licin, sering kali mereka menyamar dan ganti rupa sehingga jejak mereka susah diketemukan. Tapi bilamana orang-orang Bu-lim sudah mulai lengah, tahu-tahu kedua pemuda itu muncul lagi untuk menyampaikan kedua medali panggilan. "Bukan saja jejak kedua pemuda itu susah diketemukan dan ilmu silatnya tinggi, malahan mereka pandai menggunakan racun pula. Seperti Sian-pun Tianglo dari Siau-lim-pay, Kho-pek Tojin dari Bu-tong-pay, mereka telah tewas semua sesudah menerima medali undangan. Waktu menerima medali-medali itu tiada terjadi apa-apa, tapi lewat sebulan kemudian mendadak mereka kena penyakit keras terus binasa. Menurut perkiraan, tentulah kedua rasul Siang-sian dan Hwat-ok Sucia itu jeri kepada ilmu silat Sian-pun Tianglo dan Kho-pek Totiang yang tinggi, mereka tidak mampu melawannya, maka diam-diam mereka telah menaruh racun jahat di atas medali-medali mereka, sesudah tangan menyentuh racun itu, akhirnya racun akan bekerja dan membunuh sang korban. Anehnya racun itu sama sekali tidak memberi tanda-tanda sebelumnya, tapi sekali sudah kumat, hanya dalam waktu satu jam saja lantas binasa, sungguh lihainya susah dikatakan."

Bab 32. Ting Tong! Dia Muncul Lagi

Ciok Boh-thian sampai merinding mendengarkan cerita seram itu, katanya, "Masakah kedua saudara-angkatku Thio Sam dan

Li Si itu adalah manusia-manusia yang begitu kejam? Mereka suka bermusuhan dengan orang-orang Bu-lim, sebenarnya apa maksud tujuannya?"

"Entahlah, selama 30-an tahun ini persoalan yang rumit ini tetap tak terpecahkan," sahut Ciok Jing sambil menggeleng. "Sesudah tewasnya tokoh-tokoh terkemuka seperti Siau-san Totiang dari Jing-sia-pay, Tiau-lopiauthau dari Sucwan, Sian-

pun Taysu dari Siau-lim-si, Kho-pek Totiang dari Bu-tong-pay, mau tak mau pemimpin-pemimpin Bu-lim yang lain menjadi kebat-kebit dan merasa tidak aman, mereka tidak berani main kasar lagi, bila di antaranya ada yang menerima medali undangan, segera disanggupi untuk hadir pada perayaan makan Lap-pat-cok itu. Jika demikian, maka kedua rasul itu akan berkata, `Sungguh kami merasa mendapat kehormatan atas kesediaan tuan akan hadir di Liong-bok-to, diharap pada hari dan bulan sekian silakan menunggu di mana, pada waktunya tentu ada orang akan menyambut kalian dengan perahu.' � Begitulah, selama tahun undangan itu, tokoh-tokoh Bu-lim, ciangbunjin, pangcu dari berbagai golongan yang telah menjadi korban keganasan mereka itu ada 14 orang, selain itu ada 19 tokoh yang melaksanakan undangan mereka. Akan tetapi ke-19 orang itu hanya dapat pergi saja dan tidak dapat pulang, selama 32 tahun ini sedikit pun tiada berita-berita tentang nasib mereka."

"Terletak di lautan selatan manakah pulau yang disebut Liong-bok-to itu?" tanya Ciok Boh-thian. "Mengapa tidak mengumpulkan teman dan pergi menolong ke-19 orang itu?"

"Tentang Liong-bok-to itu sudah ditanyakan kepada hampir seluruh nelayan dan ahli pelayaran, tapi tiada seorang pun yang kenal nama pulau itu, tampaknya pulau itu hanya omong kosong kedua pemuda itu saja," tutur Ciok Jing lebih jauh. "Begitulah setahun demi setahun telah lalu dengan cepat, selain keluarga-keluarga dari ke-33 orang yang mengalami nasib malang itu, maka semua orang lambat laun sudah melupakan peristiwa-peristiwa tersebut. Tak terduga 11 tahun kemudian, tahu-tahu medali undangan itu muncul lagi di dunia Kangouw. Kali ini ilmu silat kedua rasul itu sudah tambah maju lagi, hanya di dalam waktu 20-an hari saja beberapa ratus orang dari berbagai aliran dan organisasi besar telah dibunuh oleh mereka. "Keruan kejadian itu semakin menggegerkan dunia Kangouw. Waktu itu tiga orang tertua Go-bi-pay lantas tampil ke muka untuk mengumpulkan 20-an jago-jago pilihan, secara diam-diam mereka sembunyi di markas Ang-jio-hwe (perkumpulan

tombak merah) di daerah Holam untuk menantikan kedatangan kedua pengganas. Tak terduga kedua pengganas itu seperti

serbatahu saja, mereka telah menghindari Ang-jio-hwe, bahkan tidak menginjak ke dalam wilayah Holam, sebaliknya medali panggilan mereka masih terus disebarkan ke tempat-tempat lain. Asal penerima medali undangan itu menyanggupi akan hadir, maka segenap anggota keluarga penerima undangan itu akan aman tenteram, jika tidak maka biarpun betapa keras dan rapatnya penjagaan, tentu segenap anggotanya akan menjadi korban keganasan kedua orang itu. "Tahun itu Soa-pangcu dari Hek-liong-pang juga mendapat medali undangan, tatkala itu ia telah menyanggupi akan hadir, tapi diam-diam ia telah memberitahukan waktu dan tempat perahu yang akan memapaknya kepada Ang-jio-hwe. Maka tiba pada saatnya serentak ke-20 tokoh persilatan itu lantas menuju ke tempat yang dimaksudkan. Akan tetapi sial bagi mereka, entah siapa yang telah membocorkan rahasia mereka itu, ketika tiba saatnya ternyata tiada seorang pun atau perahu yang datang menyambut. Mereka coba menunggu lagi beberapa hari, namun satu demi satu di antara mereka itu berturut-turut tewas keracunan. "Keruan sisanya menjadi ketakutan dan beramai-ramai mereka lantas bubar menyelamatkan diri. Akan tetapi belum lagi sampai di rumah masing-masing, di tengah jalan mereka sudah mendapat kabar, ada yang seluruh anggota keluarganya telah habis dibunuh orang, ada pula segenap anggota organisasinya telah habis dibinasakan tanpa mengetahui siapa pembunuhnya.

Dalam tahun itu hanya ada tujuh orang tokoh saja yang telah menumpang sebuah kapal lain menuju ke Liong-bok-to, tapi

mereka pun bisa pergi dan tak bisa pulang, besar kemungkinan mereka sudah terkubur di dasar lautan yang susah dijajaki. Apa yang terjadi itu adalah peristiwa pada 21 tahun yang lalu. Ai, benar-benar bencana besar bagi Bu-lim, kalau dipikir sungguh menyeramkan dan menyedihkan!" Ciok Boh-thian ingin tidak memercayai cerita yang mengerikan itu, akan tetapi dengan mata kepala sendiri ia telah menyaksikan terbunuhnya anggota-anggota Tiat-cha-hwe serta kapal mayat orang-orang Hui-hi-pang, bahkan tanpa sengaja dia sendiri telah membantu Thio Sam dan Li Si melakukan keganasan itu, kalau teringat sekarang sungguh ia menjadi bergidik sendiri. Ia dengar Ciok Jing telah menyambung pula, "Selang 11 tahun kemudian, kembali kedua rasul itu muncul lagi. Yang pertama menerima medali undangan adalah Bu-kek-bun di daerah Kangsay. Setahun sebelumnya di antara pemimpin-pemimpin berbagai golongan dan aliran sudah mengadakan musyawarah dan permufakatan, tak peduli siapa yang menerima undangan, maka seluruhnya akan menerima dengan baik dan berjanji akan hadir. Mereka telah bertekad kepada pemeo yang mengatakan `tidak masuk sarang harimau, mana bisa mendapat anak harimau'. Mereka bertekad akan datang ke Liong-bok-to untuk melihat keadaan yang sebenarnya, semua orang telah bersatu padu akan menumpas musuh bersama dari dunia persilatan itu. "Sebab itulah pada tahun undangan itu, di mana medali undangan disampaikan sebegitu jauh tidak terjadi korban jiwa, seluruhnya ada 33 orang yang telah menerima undangan, maka ada 33 orang yang akan hadir, akan tetapi ke-33 jago dan kesatria pilihan yang terkenal cerdik pandai itu pun mengalami nasib yang sama, mereka bisa pergi dan untuk selamanya tidak pernah pulang lagi, hilang tanpa bekas dan tanpa berita. "Karena pengacauan Liong-bok-to itu, maka jago-jago terkemuka Bu-lim selama ini menjadi terkuras habis. Siang-jing-koan kami biasanya jarang berkeliaran diKangouw, meski ilmu silat ayah-ibumu berasal dari Siang-jing-koan, tapi dalam pergaulan selalu menggunakan nama Hian-soh-ceng. Para paman gurumu yang berilmu silat tinggi itu pun jarang bertarung dengan orang sehingga bagi penglihatan orang luar para imam Siang-jing-koan dikira hanya orang-orang beribadat yang saleh dan tidak paham ilmu silat...."

"Apakah lantaran mereka jeri kepada Liong-bok-to?" Boh-thian memotong. Untuk sejenak Ciok Jing tampak serbaragu-ragu, katanya kemudian, "Para paman gurumu itu biasanya tidak pernah bermusuhan dengan orang, mereka adalah imam-imam yang suci, tapi bila dikatakan mereka jeri kepada Liong-bok-to, ya, memang benar juga. Maklum, biarpun kau adalah tokoh Bu-lim

kelas satu, biarpun punya pengaruh besar dan berkawan banyak, asalkan menyebut `Liong-bok-to', siapa pun akan kebat-kebit. Sungguh tidak tersangka bahwa Siang-jing-koan yang sedemikian prihatin, akhirnya tetap tak terhindar dari bencana." Habis berkata ia lantas menghela napas panjang. "Ayah ingin menjadi Ciangbunjin Siang-jing-koan, katanya hendak menyelidiki keadaan Liong-bok-to yang sebenarnya," tanya Boh-thian pula. "Tapi kalau mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu, di mana tidak sedikit tokoh-tokoh terpandai yang hanya bisa pergi dan tak bisa pulang, rasanya tugas ayah pun tidaklah gampang dilaksanakan."

"Ya, sudah tentu sangat sulit," ujar Ciok Jing. "Tapi kita biasanya memandang membantu kesukaan orang sebagai kewajiban sendiri, apalagi urusan mengenai perguruannya sendiri, masakah kita bisa berpeluk tangan tanpa peduli?" Boh-thian mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia tanya, "Kau bilang kedua saudara angkatku Thio Sam dan Li Si itu adalah kedua rasul dari Liong-bok-to yang menyampaikan medali undangan?"

"Itu sudah terang dan tidak disangsikan lagi," sahut Ciok Jing. "Jika mereka adalah orang jahat, mengapa mereka mau

mengangkat saudara dengan aku?" kata Boh-thian dengan heran. Ciok Jing tertawa geli. Katanya, "Waktu itu kau bicara dengan ketolol-tololan sehingga mereka tidak dapat menolak. Apalagi sumpah yang mereka ucapkan itu adalah palsu dan tidak dapat dianggap."

"Sumpah palsu bagaimana?" tanya Boh-thian. "Thio Sam dan Li Si adalah nama mereka yang palsu," tutur Ciok Jing. "Mereka mengucapkan sumpah atas nama Thio Sam dan Li Si, dengan sendirinya segala sumpah yang diucapkan hanya palsu belaka."

"O, kiranya demikian! Kelak kalau bertemu lagi tentu aku akan menegur mereka." Sampai di sini Bin Ju yang sejak tadi hanya tinggal diam saja tiba-tiba menyela, "Anak Giok, lain kali kalau ketemu kedua orang itu hendaklah kau berlaku hati-hati. Tangan kedua orang itu sudah penuh berlumuran darah, mereka biasa membunuh orang tanpa berkedip, kalau pertarungan secara terang-terangan tidak menang mereka lantas menyerang secara menggelap. Kalau menyerang secara menggelap tidak berhasil mereka lantas menggunakan racun."

"Ya, jangankan kau masih sangat hijau dan pikiranmu jujur polos, sekalipun tokoh-tokoh yang jauh lebih cerdik daripada kau juga susah menghindarkan diri dari keganasan kedua utusan itu," sambung Ciok Jing. "Maka bicara tentang hati-hati dan berjaga-jaga boleh dikata sangat sulit. Sebaliknya, anak Giok, kalau lain kali bertemu lagi harus serentak menggunakan pukulan mematikan, harus mendahului daripada didahului. Walaupun cuma seorang saja di antara mereka yang dapat dibunuh juga sudah terhitung mengurangi suatu bencana bagi Bu-lim."

"Tapi... tapi kami adalah kiat-pay-hiati (saudara angkat), masakah aku boleh membunuh mereka?" ujar Boh-thian dengan ragu-ragu. Ciok Jing hanya menghela napas dan tidak bicara lagi. Ia pikir memang tidaklah patut untuk memaksa sang putra membunuh saudara-saudara angkatnya sendiri. "Engkoh Jing," kata Bin Ju dengan tertawa, "kau bilang anak Giok orang yang jujur polos, jadi sudah terang putra kita telah berubah baik bukan?"

"Dia memang sudah berubah menjadi baik," sahut Ciok Jing sambil mengangguk. "Dan justru sebab itulah maka ada orang ingin memperalat dia untuk menahan bencana yang akan menimpa mereka. Anak Giok, apakah kau tahu sebenarnya apa maksud tujuan para pemimpin Tiang-lok-pang itu mengangkat kau sebagai pangcu mereka?" Sesungguhnya Ciok Boh-thian memang bukan anak bodoh, hanya sejak kecil hidup di gunung bersama ibunya, di waktu mudanya tinggal di atas Mo-thian-kay bersama Cia Yan-khek, kedua orang juga jarang bicara, sebab itulah terhadap seluk-beluk dan lika-liku orang hidup sama sekali tak dipahami olehnya. Sekarang demi mendengar uraian Ciok Jing tadi, seketika dia sadar, tanpa terasa tercetus dari mulutnya, "Ya, mereka mengangkat aku sebagai pangcu, jangan-jangan...jangan-jangan aku hendak dijadikan tameng oleh mereka?" Ciok Jing menarik napas lega, katanya, "Ya, sebenarnya sebelum duduknya perkara dibikin jelas tidaklah pantas mengukur jelek hati orang dan menilai rendah kesatria Kangouw, tapi kalau bukan begitu, di dalam Tiang-lok-pang sendiri toh banyak terdapat tokoh-tokoh terkenal, masakah seorang muda yang masih hijau sebagai dirimu yang diangkat menjadi pangcu? Tiang-lok-pang itu adalah suatu organisasi besar yang baru menonjol pada beberapa tahun terakhir ini, ketika kita bertemu di Hau-kam-cip dulu di dunia Kangouw masih belum mengenal `Tiang-lok-pang' apa. Menurut perkiraanku, karena kemajuan pesat yang dicapai Tiang-lok-pang pada masa akhir-akhir ini, maka para pemimpin Tiang-lok-pang telah memperhitungkan sudah dekat dengan waktu munculnya medali undangan dari Liong-bok-to, sekali ini Tiang-lok-pang mereka pasti akan menerima juga undangan itu, sebab itulah lebih dulu mereka lantas memilih seorang yang mempunyai hubungan rapat dengan mereka untuk diangkat menjadi pangcu, dan bila tiba saatnya, pangcu yang baru ini lantas didorong ke depan untuk memikul segala bencana yang akan menimpa." Ciok Boh-thian sampai terlongong-longong, sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa hati manusia ternyata sedemikian licin dan kejamnya. Tapi perkiraan Ciok Jing itu memang sangat masuk di akal sehingga mau tidak mau ia pun percaya penuh. "Nak," Bin Ju ikut berkata, "nama Tiang-lok-pang di kalangan Kangouw sangat busuk, walaupun tidak terlalu jahat, tapi soal merampok, mengganas dan perbuatan-perbuatan kekerasan lain bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka, lebih-lebih mereka tidak pantang kecabulan, hal ini lebih-lebih tidak dapat dimaafkan oleh orang Bu-lim. Para Thocu dan Hiangcu di dalam organisasi mereka itu bukanlah manusia baik-baik semua, kalau mereka sengaja membikin perangkap untuk menjerat kau, hal ini pun tidak mengherankan."

"Hm, mereka sengaja mencari orang untuk menjadi pangcu dan anak Giok memang pilihan yang paling tepat," jengek Ciok Jing. "Dia sudah melupakan kejadian-kejadian di masa yang lampau, terhadap seluk-beluk dan lika-liku orang Kangouw juga tidak paham, Mereka cuma tidak menyangka sama sekali bahwa pangcu muda mereka ini ternyata adalah putranya Ciok Jing dan Bin Ju dari Hian-soh-ceng sehingga perhitungan mereka belum pasti akan terlaksana dengan tepat." Sampai di sini, tangannya memegang gagang pedang sambil memandang jauh ke timur, yaitu arah letak markas pusat Tiang-lok-pang. "Jika kita sudah mengetahui tipu muslihat mereka, maka kita tidak perlu khawatir lagi," kata Bin Ju. "Untungnya anak Giok belum lagi menerima medali undangan. Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan, Engkoh Jing?" Ciok Jing merenung sejenak, jawabnya, "Kita bertiga harus datang ke Tiang-lok-pang untuk membongkar rahasia mereka. Cuma dengan demikian mereka tentu akan malu dan menjadi kalap sehingga besar kemungkinan akan terpaksa main kekerasan, padahal kita hanya bertiga, pula kita perlu kesaksian beberapa orang terkemuka dari Bu-lim agar dikemudian hari mereka tidak dapat merecoki anak Giok lagi."

"Nyo Kong, Nyo-toako di Ka-hin-hu, Ciatkang, adalah sahabat kental kita, pergaulannya juga sangat luas, boleh kita minta dia tampil ke muka untuk mengajak kawan-kawan Bu-lim bersama-sama berkunjung ke Tiang-lok-pang."

"Usul ini sangat bagus," kata Ciok Jing dengan girang. "Kawan-kawan Bu-lim di sekitar Kanglam rasanya pasti akan suka

membantu kita suami-istri." Hendaklah maklum bahwa hubungan Ciok Jing suami-istri dengan orang-orang Bu-lim biasanya sangat baik, mereka suka membantu kesukaran kawan dan jarang minta bantuan orang lain. Sekarang tiba-tiba mereka inginkan bantuan kawan-kawan itu, tentu saja dengan gampang mereka akan mendapatkan bala bantuan secukupnya. Begitulah mereka bertiga lantas mengambil jalan ke arah timur menuju ke Ka-hin-hu. Tiga hari kemudian, sampailah mereka dan bermalam di Liong-ki-tin. Kota kecil ini cukup ramai, mereka bertiga bermalam di suatu hotel. Ciok Jing suami-istri mendiami sebuah kamar besar di bagian depan, sedangkan Ciok Boh-thian memperoleh sebuah kamar agak kecil disebelah dalam. Mestinya Bin Ju hendak mencarikan sebuah kamar besar bagi putra kesayangannya itu, tapi karena kamar-kamar sudah penuh tamu, terpaksa apa adanya. Malam itu Boh-thian duduk bersila di atas tempat tidurnya, ia melatih ilmunya sehingga badan terasa segar dan semangat penuh. Waktu ia periksa kedua telapak tangannya, ternyata noktah merah dan garis-garis biru di tengah telapak tangan itu sudah samar-samar dan hampir-hampir tak kelihatan lagi. Ia tidak tahu bahwa kedua botol arak berbisa itu sekarang sudah terbaur menjadi tenaga dalam yang mahakuat di dalam tubuhnya, ia menyangka tentu kegiatannya berlatih selama beberapa hari ini sehingga racun telah diusir keluar, maka ia menjadi girang, lalu ia merebah dan tidur. Sampai tengah malam, tiba-tiba terdengar jendela bersuara gemeletak, ada orang sedang mengetok jendela dengan perlahan. Tepat Boh-thian bangun dan tanya dengan suara tertahan, "Siapa?" Tapi kembali terdengar suara "tek-tek-tek" tiga kali, suara

jendela diketok itu sudah sangat hafal baginya. Hati Boh-thian berdebar, cepat ia tanya pula, "Apakah Ting-ting Tong-tong disitu?" Maka terdengarlah suara si Ting Tong menjawab perlahan diluar jendela, "Sudah tentu aku adanya, memangnya kau mengharapkan siapa?" Boh-thian menjadi girang dan gugup pula demi mendengar suara si nona, seketika ia sampai tidak sanggup bicara lagi. Tiba-tiba terdengar suara "bret", kertas jendela terobek, sebuah tangan menyelonong masuk, tahu-tahu telinganya telah dijewer. "Hayo, mengapa tidak lekas membuka jendela?" demikian terdengar si nona berkata. Boh-thian menjadi kesakitan, tapi khawatir membikin kaget ayah-ibunya, maka ia tidak berani bersuara dan lekas-lekas membuka daun jendela. Segera Ting Tong melompat masuk ke dalam kamar, ia mengekek tawa dan berkata, "Engkoh Thian, kau kangen padaku atau tidak?"

"Aku... aku... aku...." berulang-ulang Boh-thian menyebut "aku", tapi tidak sanggup meneruskan lagi. "Bagus, jadi kau tidak kangen padaku, ya?" omel si Ting Tong. "Yang kau rindukan hanya pengantin baru yang telah bersembahyang Thian bersama kau itu?"

"Bilakah aku pernah bersembahyang Thian lagi dengan siapa lagi?" sahut Boh-thian. "Huh, dengan mata kepala sendiri aku melihatnya, kau berani mungkir?" semprot si nona. "Baiklah, aku pun tidak menyalahkan kau, ini memang sifatmu yang bangor dan biasa main gila, aku berbalik merasa senang. Dan di manakah nona cilik pengantin baru itu?"

"Sudah hilang, ketika aku kembali ke dalam gua di sana, dia sudah hilang meski aku telah mencarinya," tutur Boh-thian. "O, semoga Buddha memberkati, supaya selama hidup ini kau takkan menemukan dia lagi," kata si Ting Tong dengan mengikik. "Dan di manakah kakekmu, apakah beliau baik-baik saja?" tanya Boh-thian.

"Kenapa kau tidak tanya diriku baik-baik atau tidak?" omel sinona sambil mencubit lengan pemuda itu. Tapi mendadak ia menjerit, "Aduh!" Kiranya tenaga dalam Ciok Boh-thian telah mementalkan tangan si nona dengan kuat sehingga nona itu menjerit kaget. "Apakah kau baik-baik saja, Ting-ting Tong-tong?" tanya Boh-thian kemudian. "Sungguh untung bagiku, waktu kau melemparkan aku ke dalam sungai, kebetulan aku jatuh didalam sebuah perahu sehingga tidak sampai mati tenggelam."

"Untung apa? Akulah yang sengaja melemparkan kau ke dalam perahu itu, masakah kau tidak tahu?" kata Ting Tong. Boh-thian menjadi kikuk, sahutnya, "Di dalam hatiku sudah tentu tahu kau sangat baik padaku, hanya saja... hanya saja aku merasa malu untuk mengatakannya." Ting Tong tertawa, katanya, "Kau dan aku adalah suami-istri, masakah pakai malu apa segala?" Begitulah mereka duduk berdampingan di pinggir ranjang, sayup-sayup Boh-thian mengendus bau harum yang timbul dari badan si Ting Tong, harumnya anak perawan yang khas, keruan perasaan Boh-thian seperti dikilik-kilik dan.... Tapi demi teringat bahwa ayah-ibunya juga berada di kamar sebelah, urusan perkawinan dengan si Ting Tong ini entah bagaimana pendapat mereka, ia angkat tangan kanan dan bermaksud merangkul si nona, tapi baru saja menyentuh bahunya, cepat ia menarik kembali lagi tangannya. "Engkoh Thian, hendaklah katakan sejujurnya padaku, sesungguhnya aku lebih cantik ataukah binimu yang baru itu lebih ayu?" tiba-tiba si Ting Tong bertanya. "Di manakah aku ada bini baru lagi? Aku hanya punya... punya istri kau seorang saja," sahut Boh-thian. Ting Tong kegirangan, mendadak ia peluk si anak muda dan "ngok", ia menciumnya satu kali. Boh-thian menjadi merah jengah dan bingung, ingin mendorong pergi si nona, rasa berat karena nikmat juga ciuman itu, hendak balas memeluk, eh, hati tidak berani. Biarpun tingkah laku si Ting Tong itu lebih berani, tapi apa pun juga dia adalah anak perawan yang masih suci, ketika tanpa sadar ia mencium Ciok Boh-thian satu kali, lalu ia pun merasa menyesal. Dengan malu ia lantas menyusup ke tengah ranjang, ia tarik sehelai selimut terus membungkus dirinya rapat-rapat. Sampai sekian lamanya Boh-thian merasa ragu-ragu, tangannya ingin memegang anak dara itu, tapi takut-takut dan tidak jadi. Akhirnya ia hanya memanggil perlahan, "Ting-ting Tong-tong! Ting-tang Ting-tong!" Namun si nona diam saja tak menggubrisnya. Akhirnya Boh-thian menguap kantuk, ia duduk di atas kursi sambil mendekap di atas meja kemudian terpulas. Di pihak lain si Ting Tong merasa bersyukur karena kekasih yang dicari-cari selama ini telah dapat diketemukan pula. Dengan rasa senang serta badan lelah, tanpa merasa akhirnya ia pun tertidur di atas ranjang. Sampai fajar sudah menyingsing, tiba-tiba terdengar suara orang mengetok pintu, lalu terdengar Bin Ju sedang memanggil, "Anak Giok, kau sudah bangun?"

"O, ibu!" Boh-thian menjawab sambil berbangkit. Tapi demi memandang ke arah si Ting Tong, seketika ia menjadi bingung. "Buka pintu, anak Giok, aku ingin bicara," terdengar Bin Ju berkata pula. Boh-thian mengiakan. Dengan ragu-ragu pintu lantas hendak dibukanya. Sudah tentu si Ting Tong menjadi kelabakan juga. Yang akan masuk itu adalah ibu mertua, kalau dilihatnya dirinya bermalam di suatu kamar bersama Ciok Boh-thian, walaupun mereka tidak melanggar tata susila apa-apa, tapi siapa yang mau percaya, bukankah kelak akan dipandang hina oleh ibu mertua itu? Segera ia membuka daun jendela dan bermaksud melompat keluar. Tapi ketika ia melirik Ciok Boh-thian, tiba-tiba hatinya terasa berat pula untuk berpisah, dengan susah payah ia telah mencari anak muda itu dan akhirnya diketemukan di sini, jika sekarang berpisah lagi maka susahlah diramalkan kapan akan dapat bersua pula. Maka berulang-ulang ia memberi tanda agar anak muda itu jangan membuka pintu dahulu. "Ibuku, tidak menjadi soal," bisik Boh-thian, sementara itu tangannya sudah menyentuh palang pintu. Ting Tong menjadi gugup, pikirnya, "Kalau orang lain memang tidak menjadi soal, tapi ibumu justru menjadi soal." Ia melihat palang pintu sudah hampir diangkat oleh anak muda itu, untuk melompat keluar jendela rasanya juga tidak keburu lagi. Mestinya si Ting Tong adalah anak dara yang tidak takut mati, tapi demi terpikir akan berjumpa dengan ibu mertua, bahkan kepergok dalam keadaan yang kurang pantas begini, mau tak mau ia menjadi gugup. Saat itu Boh-thian sudah hampir menarik palang pintu, tanpa pikir lagi segera ia bertindak dengan menggunakan kim-na-jiu-hoat, tangan kirinya mencengkeram "leng-tay-hiat" di punggung anak muda itu dan tangan kanan tepat memegang "koan-ki-hiat" di tengkuknya. Boh-thian hanya merasa kedua tempat hiat-to itu kesemutan dan kaku, lalu tak bisa berkutik lagi. Ia merasa si Ting Tong telah merebahkan tubuhnya, lalu menyeretnya dan sembunyi bersama-sama ke kolong ranjang. Bin Ju adalah tokoh Kangouw yang sudah berpengalaman. Ketika didengarnya suara jawaban sang putra di dalam kamar, tapi sampai sekian lamanya pintu kamar tidak dibuka, kemudian terdengar pula suara-suara yang mencurigakan, ia menjadi khawatir atas keselamatan Ciok Boh-thian, tanpa pikir lagi segera ia mendobrak pintu dengan bahunya. Ketika palang pintu patah dan daun pintu terpentang, segera dilihatnya jendela pun sudah terbuka, sedangkan putra kesayangannya sudah tiada berada di dalam kamar lagi. Cepat ia berseru, "Lekas kemari, Engkoh Jing!" Dengan menjinjing pedang Ciok Jing segera memburu tiba. "Anak... anak Giok telah digondol lari orang!" seru Bin Ju dengan suara gemetar sambil menunjuk jendela. Habis itu susul menyusul suami-istri itu lantas melayang keluar jendela, satu hitam yang satu putih laksana dua ekor burung raksasa saja, gayanya sangat indah. Si Ting Tong yang sembunyi di kolong ranjang diam-diam memuji juga akan kepandaian pasangan suami-istri yang tersohor itu. Sebenarnya dengan pengalaman Ciok Jing dan Bin Ju yang luas itu mestinya tidak gampang tertipu. Soalnya mereka terlalu mengkhawatirkan keselamatan sang putra sehingga tidak sempat berpikir panjang lagi, begitu melihat jejak putranya

sudah hilang, pikiran Bin Ju lantas bingung dan menduga keras pasti orang Swat-san-pay atau Tiang-lok-pang yang telah menculik Ciok Boh-thian. Ketika dia mendobrak pintu dan masuk ke dalam kamar, jarak waktunya dengan suara-suara yang mencurigakan di dalam kamar itu hanya selang sejenak saja, ia menaksir masih dapat menyusul penculiknya, sebab itulah tidak menaruh perhatian keadaan di dalam kamar. Ciok Boh-thian sendiri yang kena dicengkeram Hiat-to yang penting itu untuk sedetik dua detik memang tak bisa berkutik, tetapi karena lwekangnya terlalu lihai, hanya sekejap saja ia sudah dapat melancarkan kembali Hiat-to yang tertutuk itu. Cuma saja ia merasa senang dan nikmat badannya berada dalam pelukan si Ting Tong, maka ia tidak mau bersuara memanggil ayah-ibunya. Dan karena sedikit ayal itulah sementara itu Ciok Jing dan Bin Ju sudah melompat ke luar jendela dan pergi jauh. Di kolong ranjang itu sudah tentu banyak debu kotoran,akhirnya Boh-thian tidak tahan dan bersin beberapa kali, ia tarik tangan si Ting Tong dan menerobos keluar dari kolong ranjang. Ia lihat muka si nona juga penuh debu, tapi tidak mengurangi cantiknya dan kelihatan malu-malu. "Mereka adalah ayah-ibuku," demikian Boh-thian coba menerangkan. "Aku sudah tahu, petang kemarin aku mendengar kau memanggil mereka," sahut Ting Tong. "Nanti kalau ayah dan ibu sudah kembali, maukah kau menemui mereka saja?" tanya Boh-thian. "Aku tak mau," sahut Ting Tong sambil membuang muka. "Ayah-ibumu memandang hina kepada kakekku, dengan sendirinya juga memandang rendah padaku." Selama beberapa hari berada bersama ayah-ibunya Ciok Boh-thian telah banyak mendengar pembicaraan mereka, ia merasa ayah-ibunya benar-benar pendekar-pendekar yang berbudi luhur, berbeda sekali dengan tindak tanduk Ting Put-sam. Karena itulah ia menjadi ragu-ragu dan bungkam. Ting Tong menaksir tidak lama lagi Ciok Jing berdua pasti akan pulang, segera ia mengajak, "Marilah kau ikut ke kamarku, aku ingin bicara sesuatu dengan kau."

"Kau pun menginap di hotel ini?" tanya Boh-thian dengan heran. "Tidak menginap di sini, habis menginap di mana?" ujar si nona. Lalu ia menggapai Boh-thian dan mendahului melompat keluar jendela, ia menyusur ke serambi sana dan lantas masuk ke sebuah kamar. Segera Boh-thian menyusul ke dalam kamar si nona, ia tanya, "Di mana kakekmu?"

"Aku berkeluyuran sendiri, tidak bersama kakek lagi," sahut Ting Tong. "Sebab apa?" tanya Boh-thian."Hm, sebab apa?" si nona mendengus. "Aku ingin mencari kau, tapi kakek tidak mengizinkan, terpaksa aku minggat sendirian." Boh-thian menjadi terharu, katanya, "Ting-ting Tong-tong, kau sungguh sangat baik terhadapku." Si nona sangat girang, sahutnya dengan tertawa, "Semalam kau rikuh untuk mengatakan, mengapa sekarang kau tidak rikuh lagi?"

"Kau sendiri yang mengatakan bahwa kita adalah suami-istri, tidak perlu rikuh-rikuh dan malu-malu," kata Boh-thian dengan tertawa. Muka si Ting Tong kembali bersemu merah. Pada saat itulah terdengar di luar suara Ciok Jing sedang berseru, "Ini uang sewa kamar dan rekening makanan!" Habis itu lantas terdengar suara berdetaknya kaki kuda, rupanya Ciok Jing suami-istri telah berangkat meninggalkan hotel. "Apakah kau tahu di mana letak Ka-hin-hu?" tanya Boh-thian kepada si Ting Tong. "Ka-hin-hu adalah tempat yang besar, masakah tidak tahu?" sahut si nona dengan tertawa."Ayah-ibuku hendak pergi ke sana untuk mencari seorang yang bernama Nyo Kong, sebentar biarlah kita menyusul ke sana saja," kata Boh-thian. Agaknya ia pun merasa berat untuk berpisah dengan si nona jelita yang baru saja bersua kembali. Karena keterangan Boh-thian itu, tiba-tiba Ting Tong mendapat akal, "Dia tidak kenal jalanan ke Ka-hin-hu yang terletak dijurusan tenggara sana, biarlah nanti aku mengajaknya berangkat ke arah timur laut supaya makin lama makin jauh berpisah dengan ayah-ibunya, dengan demikian tentu tidak khawatir akan bertemu lagi di tengah jalan." Lantaran hatinya senang, dengan sendirinya mukanya yang memang ayu itu bertambah cantik menggiurkan. Boh-thian sampai terkesima memandangi anak dara itu. "Mengapa kau memandang aku sedemikian rupa? Memangnya baru saja kenal?" Ting Tong menggoda dengan tertawa. "Ting-ting Tong-tong, kau... kau sungguh sangat enak dipandang, jauh lebih bagus daripada ibuku," ujar Boh-thian. Si nona mengikik tawa, sahutnya, "Engkoh Thian, kau pun sangat bagus, jauh lebih bagus daripada kakekku." Habis berkata ia lantas terbahak-bahak. Begitulah kedua muda-mudi itu bicara dan bersenda gurau, akhirnya Boh-thian tetap teringat kepada ayah-ibunya, katanya, "Bilamana aku tidak diketemukan ayah dan ibu, mereka tentu akan khawatir. Marilah sekarang juga kita menyusul mereka."

"Baiklah," sahut Ting Tong. "Engkau benar-benar putra yang berbakti." Segera mereka pun membereskan rekening hotel dan lantas berangkat bersama. Sudah tentu pengurus dan pelayan hotel dibuat terheran-heran ketika melihat Ciok Boh-thian yang datangnya diketahui bersama Ciok Jing suami-istri, kini tahu-tahu keluar bersama dari kamar si nona cantik yang semula datang sendirian. Maka gegerlah suasana hotel itu ramai membicarakan kejadian itu, ada yang membumbu-bumbui dengan kata-kata kotor dan cabul, ada pula yang kagum kepada rezeki Ciok Boh-thian yang dianggapnya kejatuhan bidadari dari langit.... Sesudah meninggalkan Liong-ki-tin itu, Ting Tong lantas mengajak Boh-thian ke jurusan timur. Beberapa li kemudian, sampailah mereka di suatu persimpangan jalan cabang tiga. Tanpa pikir si Ting Tong lantas mengambil jurusan timur laut. Karena percaya si nona pasti kenal jalanan, maka tanpa curiga Boh-thian mengikut saja. Katanya, "Ayah-ibuku menunggang kuda bagus, bilamana mereka tidak berhenti mengaso ditengah jalan terang kita tidak dapat menyusul mereka."

"Setiba di rumah keluarga Nyo di Ka-hin-hu dengan sendirinya akan bertemu," ujar Ting Tong dengan tersenyum. "Ayah-ibumu sudah kenyang makan asam-garam, memangnya kau khawatir mereka akan kesasar?"

"Ayah dan ibu sudah menjelajahi hampir seluruh jagat,masakah mereka bisa kesasar?" sahut Boh-thian dengan tertawa. Begitulah sepanjang jalan mereka bicara dan bergurau dengan gembira ria. Sejak berkumpul dengan ayah-ibunya dan hanya mendapat petunjuk-petunjuk, maka sekarang Boh-thian sudah jauh lebih paham tentang seluk-beluk orang hidup. Melihat tingkah laku ketolol-tololan sang kekasih telah banyak berkurang, diam-diam si Ting Tong sangat girang. Pikirnya, "Sesudah menderita sakit parah, banyak kejadian-kejadian dimasa lampau telah dia lupakan. Asalkan aku menceritakannya kembali hal-hal itu, tentu dia takkan lupa lagi." Maka sepanjang jalan ia sengaja menceritakan kejadian-kejadian di dunia persilatan, tentang peraturan-peraturan Kangouw, soal hati manusia yang baik dan jahat dan macam-macam lagi. Sewaktu tengah hari, sampailah mereka di suatu kota kecil. Mereka mendapatkan sebuah rumah makan untuk mengaso dan tangsel perut.

Ketika masuk ke ruangan rumah makan itu, terlihat tiga buah meja besar di bagian tengah sudah penuh diduduki tetamu. Terpaksa mereka mengambil sebuah meja kecil di pojok ruangan. Rumah makan itu tidak terlalu besar, si pelayan sedang sibuk menyiapkan daharan bagi tamu-tamu yang berada pada tiga meja besar itu sehingga tidak sempat mengurusi kedatangan Boh-thian berdua. Ting Tong melihat di antara tamu-tamu yang mengelilingi meja-meja besar terdapat tiga orang wanita yang usianya boleh dikata tidak muda lagi, dengan sendirinya juga tak dapat disebut cantik. Orang-orang itu semuanya membawa senjata, logat mereka adalah orang-orang daerah Liau-tang. Mereka sedang makan-minum secara bebas. "Sobat-sobat Kangouw ini kalau bukan orang-orang dari piaukiok (perusahaan pengawalan) tentu adalah jago-jago kalangan lok-lim (kaum begal dan sebagainya)," demikian pikir si Ting Tong. Ia lihat Boh-thian juga sedang memandang ke arah tamu-tamu di meja besar itu, tiba-tiba terpikir pula olehnya, "Semoga aku senantiasa berada bersama Engkoh Thian dan makan bersatu meja seperti sekarang ini, maka bahagialah selama hidupku ini." Begitulah, karena rasa bahagianya itu, maka meski pelayan terlambat meladeninya juga tidak menimbulkan rasa marahnya. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar ada orang berseru di luar, "Aha, bagus, bagus! Ada arak dan ada daging, memangnya kakek sudah sangat lapar!" Boh-thian merasa suara orang sudah dikenalnya. Benar saja, segera tertampak seorang tua telah melangkah masuk. Ternyata adalah Ting Put-si. "Wah, celaka!" diam-diam Boh-thian mengeluh. Cepat ia berpaling ke arah lain agar tidak dilihat orang tua itu. Si Ting Tong juga lantas membisikinya, "Wah, aku punya cekkong (mbah cilik), jangan kau pandang dia, biar aku menyaru dahulu." Dan tanpa menunggu jawaban Boh-thian segera ia mengeluyur ke ruangan belakang.

Bab 33. Kembali Ciok Boh-thian Membikin Keok Ting Put-si

Sesudah masuk, Ting Put-si melihat meja-meja sudah penuh tetamu, hanya di meja Ciok Boh-thian masih ada tempat duduk

yang lowong, tapi di atas meja belum terdapat daharan apa-apa, maka tak disi olehnya. Sebaliknya ia lantas duduk di atas bangku panjang pada meja yang tengah, waktu ia mendesak sedikit, kontan seorang laki-laki yang duduk lebih dulu di atas bangku itu terdesak ke ujung. Keruan laki-laki itu menjadi gusar, sekuatnya ia pun mendesak kembali. Ia pikir berapa kuat tenaga kakek loyo ini, hanya sedikit desak saja pasti akan membuatnya mencelat keluar pintu. Tak terduga baru saja badannya kontak dengan tubuh Ting Put-si, seketika timbul suatu kekuatan yang mahadahsyat dan mendesaknya kembali sehingga dia sendiri yang terpental. Untunglah Ting Put-si keburu menariknya sambil berkata, "Jangan sungkan-sungkan, marilah duduk bersama!" Karena tarikan Ting Put-si barulah laki-laki itu tidak jatuh tersungkur. Seketika mukanya merah padam dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya lagi. Ting Put-si lantas berkata pula, "Hayo, silakan, silakan! Jangan sungkan-sungkan, silakan!" Lalu mangkuk besar yang berisi arak lantas diangkatnya terus ditenggak hingga habis. Menyusul ia lantas ambil sumpit bekas pakai si lelaki tadi dan menyumpit sepotong daging terus dimakannya dengan nikmat. Kelakuannya itu seakan-akan dialah tuan rumahnya yang sedang menjamu tamu. Tiada seorang pun di antara tetamu itu yang kenal Ting Put-si, tapi lwekang si lelaki tadi terhitung paling kuat di antara mereka, karena desakannya tadi lelaki itu hampir-hampir saja mencelat dan jatuh, maka dapatlah dibayangkan si kakek loyo ini tentu bukan orang sembarangan. Kiranya lelaki yang didesak Ting Put-si tadi adalah Hoan It-hui dari Ho-hou-kau di Kwantang. Sambil menikmati daharannya, seperti tidak sengaja Ting Put-si menatap seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya dan sedang melotot padanya, pinggang lelaki itu terlibat sebatang "kiu-ciat-nui-pian" (ruyung lemas beruas sembilan). Mendadak ia menegur, "Hei, bocah, dari golongan mana kau? Mengapa kau pun menggunakan kiu-ciat-pian?"

"Cayhe Hong Liang, ketua Jing-liong-bun di Kimciu," sahut laki-laki itu dengan suara lantang, "Numpang tanya Locianpwe, apakah Cayhe tidak boleh menggunakan kiu-ciat-pian?" Saat itu si Ting Tong sudah menyamar sebagai pelayan dan telah keluar lagi, mukanya dipoles dengan hangus, tangannya juga penuh hangus, ketika dia meraba muka Ciok Boh-thian, kontan muka Boh-thian juga penuh hangus hitam, kedua muda-mudi saling pandang dengan geli. Tiba-tiba terdengar Ting Put-si bergelak tertawa, katanya, "Hahaha! Masakah Yaya melarang orang menggunakan kiu-ciat-pian?" Dan ketika tangannya meraba ke pinggang sendiri dan ditarik kembali, "sret", tahu-tahu tangannya juga sudah memegang sebatang ruyung lemas. Ujung ruyung berbentuk kepala naga, badan ruyung bercahaya kemilauan berhiaskan emas putih dan batu permata, bila ruyung itu bergerak, terpancarlah sinar gemerlapan yang menyilaukan mata. Diam-diam semua orang terperanjat. "Kiranya dia sendiri juga menggunakan kiu-ciat-pian?" demikian pikir mereka. Sementara itu Ting Put-si telah berkata pula, "Bocah ingusan yang tidak punya kepandaian apa-apa juga berani membawa-bawa kiu-ciat-pian segala, bila bertempur dengan orang tentu lebih banyak kalah daripada menang dan orang tentu akan memandang rendah kepada setiap pemain kiu-ciat-pian. Memang sudah lama Yaya mendengar di daerah Kimciu terdapat sekawanan yang mengaku Jing-liong-bun segala, keparat, katanya turun-temurun kalian juga memakai kiu-ciat-pian. Maka sudah lama aku ingin membunuh habis segenap keluargamu, cuma saja daerah Kwantang terlalu dingin, Yaya malas datang ke sana buat bunuh orang. Sekarang kebetulan pergoki kau bocah ini di sini, nah, tidak lekas kau membunuh diri mau tunggu apa lagi?" Baru sekarang Hong Liang paham duduknya perkara. Kiranya kakek ini bersenjatakan kiu-ciat-pian, maka orang lain dilarang menggunakan senjata yang serupa. Hal ini benar-benar terlalu aneh dan sewenang-wenang. Sebelum Hong Liang memberi jawaban, sekonyong-konyong bergemalah suara seorang di meja sebelah kiri sana, "Hm, untung juga kau bocah tua ini tidak menggunakan golok!" Waktu Ting Put-si memandang ke arah pembicara itu, terlihatlah orang itu bermuka lebar dan penuh berewok pendek. Segera ia tanya, "Jika aku menggunakan golok, lantas bagaimana katamu?"

"Sebab yayamu juga menggunakan golok, kalau menuruti logika kau bocah tua yang semena-mena ini, bukankah Yaya juga akan kau bunuh?" sahut lelaki berewok. "Tapi seumpama kau mampu membunuh Yaya, di dunia ini masih beribu-ribu dan berlaksa-laksa orang yang memakai golok, apakah kau mampu membunuh habis mereka?" Habis berkata, "sret", ia melolos goloknya dari pinggang terus ditancapkan ke atas meja. Golok itu berwarna emas lembayung, punggung golok tebal dan mata golok tipis, pada pangkal gagang golok tergantung seuntai kain sutra warna ungu. Waktu golok itu menancap diatas meja, bergetarlah mangkuk piring yang berada di atas meja sehingga mengeluarkan suara, nyata sekali golok itu sangat berat dan tenaga pemakainya juga sangat kuat. Kiranya lelaki berewok itu adalah Lu Cing-peng berjuluk Ci-kim-to (Si Golok Emas Lembayung), ketua Gway-to-bun (Golongan Golok Kilat) dari Tiang-pek-san. "Cret", mendadak Ting Put-si menyimpan kembali ruyungnya, ketika sebelah tangannya menjulur, tahu-tahu golok yang terselip di pinggang si lelaki yang berada di sebelahnya telah dicabut olehnya, lalu serunya, "Baik, anggap Yaya memang bersenjatakan golok, lantas bagaimana? Tapi, wah, keliru! Kurang ajar!.... Yaya berjuluk `Ce-jit-put-ko-si', sekarang di sini ada 11 bocah keparat yang bergolok, ditambah lagi pemakai ruyung ini, terpaksa Yaya harus membagi dan membunuh selama tiga hari...." Golok adalah senjata yang sangat umum, maka di antaranya orang-orang Kwantang itu memang ada 11 orang yang membawa golok. Mereka menjadi terkejut menyaksikan kecekatan Ting Put-si merebut golok itu, tanpa merasa mereka sama meraba goloknya sendiri dan siap bertempur. Ketika mendengar si kakek mengaku berjuluk "Ce-jit-put-ko-si" atau satu hari tidak lebih dari empat, beberapa orang di antaranya sampai berseru, "Ha, dia... dia adalah Ting Put-si!"

"Ya, hari ini Yaya belum pernah membunuh orang maka dapatlah aku membunuh empat bangsat cilik, nah, siapakah diantara kalian yang ingin mampus?" demikian Ting Put-si berseru sambil tertawa. "Hayo lekas laporkan nama kalian! Jika tidak kecuali bocah bersenjata ruyung ini asal kalian mau menjura sepuluh kali dan minta ampun kepada Yaya, maka boleh juga jiwa kalian diampuni." Tapi lantas terdengarlah suara tertawa dingin di sana-sini, empat orang serentak berbangkit dan melangkah keluar rumah makan itu mereka lantas berdiri sejajar di depan pintu. Selain Hong Liang, Hoan It-hui, Lu Cing-peng, orang keempat adalah seorang wanita setengah umur. Wanita itu tidak bersenjata, begitu sudah berdiri di luar pintu, segera ia singkap kedua sayap kun (gaun panjang) dan diikat pada ikat pinggangnya, maka tertampaklah dua baris pisau kecil yang gemerlapan di bagian pinggangnya. Pisau itu panjangnya cuma belasan senti, sedikitnya ada 30 batang lebih, secara rajin terselip pada seutas sabuk bersulam yang terikat di pinggang. Sedangkan senjata Hoan It-hui adalah sepasang boan-koan-pit, dengan suara lantang ia membuka suara, "Cayhe adalah Liau-tang-ho (Burung Ho dari Liautang) Hoan It-hui, ketua Ho-pit-bun, bersama-sama dengan ketua Jing-liong-bun, saudara Hong Liang; ketua Gway-to-bun, saudara Lu Cing-peng dan Hui-hong-to (Pisau Belalang Terbang) Ko Sam-niocu dari Han-bwe-ceng. Keempat golongan kami dari Kwantang ini selamanya tiada permusuhan apa-apa dengan Ting-loyacu, tapi entah sebab apa Ting-loyacu telah sengaja menghina dan mengolok-olok kami, haraplah sudi memberi penjelasan?" Ting Put-si tidak menjawab, sebaliknya ia sengaja mengamat-amati Ko Sam-niocu dengan kepala miring-miring ke sini dan meleng-meleng ke sana seperti lagaknya anak kecil mengincar boneka. Kemudian ia berkata, "Kurang! Kurang cantik!" Melihat lagak Ting Put-si itu sudah tentu semua orang tahu yang dimaksudkannya "kurang cantik" itu adalah Ko Sam-niocu. Dasar watak Ko Sam-niocu memang sangat keras, kepandaiannya juga memang tinggi, ayahnya, bapak mertuanya dan gurunya, semuanya cukup ternama dan berpengaruh di dunia persilatan Kwantang, Han-bwe-ceng mereka juga terkenal suatu perkampungan yang kaya raya dengan sawah-ladang, perkebunan dan peternakan yang subur. Sebab itulah biarpun dia sudah janda, tapi sangat terkenal di Kwantang. Apalagi pada masa mudanya dia pun tersohor sangat cantik, walaupun sekarang sudah setengah umur juga masih belum hilang seluruh kecantikannya itu. Keruan ia menjadi murka mendengar hinaan Ting Put-si itu. Terus saja ia berteriak, "Ting Put-si, keluarlah kau!" Dengan acuh tak acuh Ting Put-si melangkah keluar rumah makan itu. Tanyanya, "Apakah kalian berempat ini yang ingin mampus?"Sekonyong-konyong sinar putih berkilauan, lima batang pisau terbang telah menyambar tiba dari berbagai jurusan. Cepat sekali datangnya pisau-pisau terbang itu, meski pisau-pisau itu sangat pendek, tapi desiran angin yang timbul dari sambaran pisau-pisau itu tidak kalah kerasnya daripada angin sambaran golok atau pedang. "Pisaunya bagus! Orangnya tidak cantik!" bentak Ting Put-si. Berbareng tangan kanan lantas menarik keluar kiu-ciat-pian, dimana cahaya kuning berkelebat, empat pisau musuh lantas tersampuk jatuh. Dalam pada itu pisau kelima telah menyambar ke mukanya, dia lantas pamerkan sekalian

kepandaiannya, begitu mulut terbuka ujung pisau itu lantas tergigit. Hong Liang, Hoan It-hui dan Lu Cing-peng terperanjat. Tapi serentak mereka lantas menerjang maju. Cepat Ting Put-si menghindarkan bacokan golok Lu Cing-peng, berbareng kakinya menendang pergelangan tangan Hoan It-hui untuk memaksanya menarik kembali boan-koan-pitnya. Sedangkan kiu-ciat-pian yang diputarnya berbalik digunakan untuk melibat ruyung Hong Liang. Akan tetapi sebelumnya Hong Liang sudah siap sedia, ia tahu si kakek lawannya ini tidaklah empuk, maka begitu ruyung Ting Put-si menyambar tiba segera ia menyendal ruyungnya sendiri sehingga batang ruyung melurus lempeng laksana tombak terus ditusukkan ke dada musuh. "Boleh juga, bocah keparat ini!" puji Ting Put-si sambil mengulur tangan kanan untuk menarik ujung ruyung lawan. Hong Liang terkejut dan cepat menarik kembali senjatanya. Tapi lengan Ting Put-si masih tetap menjulur maju. Untunglah pada saat itu golok Lu Cing-peng lantas menebas sehingga Ting Put-si terpaksa menarik kembali tangannya. Dan dari sebelah lain Ko Sam-niocu juga telah menyambitkan sebilah pisau. Begitulah karena dikerubut orang empat, mau tak mau Ting Put-si tak berani mengolok-olok lagi, Dengan penuh tenaga ia putar ruyungnya untuk menjaga diri. Baru sekarang dia mengetahui bahwa kepandaian orang-orang Liautang itu ternyata tidak rendah, jika satu lawan satu memang tidak ada artinya, tapi satu dikeroyok empat, betapa pun ia agak kerepotan juga. Ciok Boh-thian dan Ting Tong ikut menyaksikan pertarungan itu bercampur dengan orang banyak. Sesudah beberapa puluh jurus, tertampak Lu Cing-peng dan Hoan It-hui serempak menyerang maju. Waktu Ting Put-si mengayun ruyungnya untuk memaksa mundur kedua lawan itu, pada saat itulah kiu-ciat-pian Hong Liang lantas menyabet ke atas kepala Ting Put-si. Buru-buru Ting Put-si miringkan kepalanya, tapi hampir pada saat yang sama dua bilah pisau terbang Ko Sam-niocu juga telah menyambar tiba. Dalam seribu kerepotannya itu lekas-lekas Ting Put-si mendoyongkan tubuhnya ke belakang, dua bilah pisau itu menyerempet lewat di tepi tenggorokannya, hanya selisih beberapa senti saja tentu lehernya sudah bocor. Walaupun begitu tidak urung sebagian kecil jenggot Ting Put-si yang sudah putih beruban itu juga terpapas sehingga benang-benang perak itu bertebaran jatuh. "Hui-to (pisau terbang) yang bagus!" demikian belasan orang-orang Kwantang yang menonton di depan pintu memberi sorakan kepada Ko Sam-niocu. Diam-diam Ting Put-si juga mengakui kelihaian senjata rahasia janda Kwantang itu. Ia pikir kalau tidak menggunakan serangan mematikan, bukan mustahil dirinya yang bakal kecundang. Segera ia putar ruyungnya dengan lebih kencang, di tengah berkelebatnya bayangan ruyung ia selingi pula dengan kim-na-jiu-hoat dengan tangan lain. Ruyung digunakan menyerang jarak jauh, yang berani dekat segera dicakar dan dicengkeram dengan tangan kiri, dengan demikian Lu Cing-peng dan Hoan It-hui terpaksa harus menghindar dan tidak berani mendekat lagi. Melihat Ting Put-si memainkan kim-na-jiu, yang paling senang adalah Ciok Boh-thian. Maklum, dahulu ketika di atas perahu Ting Put-si pernah mengajar ilmu menangkap dan mencengkeram itu kepadanya, cuma waktu itu pengetahuannya dalam teori-teori ilmu silat sangatlah terbatas, apa yang diajarkan Ting Put-si itu hanya ditelannya mentah-mentah dan cuma diingatnya di dalam hati saja, tapi tidak mampu mempraktikkannya. Tapi sekarang dia telah mendapat petunjuk-petunjuk ilmu silat dari ayah-ibunya, banyak pula mendapat petunjuk-petunjuk ilmu silat yang berharga, dengan sendirinya benaknya yang tadinya bebal lantas terbuka. Ia merasa sangat senang dan cocok dengan setiap jurus serangan Ting Put-si baik mencengkeram, mencakar, memegang, menarik dan gaya-gaya serangan lain. Sampai pada suatu saat menentukan, mendadak tangan kiri Ting Put-si merangsang ke pundak Lu Cing-peng. Cepat Cing-peng memutar balik goloknya untuk menebas lengan lawan. Boh-thian terkejut. Ia tahu apabila tebasan Lu Cing-peng itu diteruskan, tangan Ting Put-si tentu akan berubah menampar dan pasti akan kena mukanya, menyusul tangannya akan

menyambar ke bawah untuk merampas goloknya. Tamparan Ting Put-si itu tentu akan membikin kepala Lu Cing-peng pecah berantakan. Maka tanpa lagi pikir lagi Boh-thian lantas berseru, "Awas, dia akan pukul mukamu!" Karena lwekangnya sangat kuat, maka suaranya itu dapat didengar setiap orang walaupun di tengah suasana pertempuran yang ramai. Sebagai jago silat terkemuka dengan sendirinya Lu Cing-peng mendengar juga seruan Ciok Boh-thian itu. Seketika ia tersadar dan cepat membuang golok dan menjatuhkan diri ke bawah. Walaupun cukup cepat dia menghindar, tidak urung terserempet juga angin tamparan Ting Put-si sehingga mukanya terasa panas pedas. Sesudah bergelindingan beberapa meter jauhnya barulah Lu Cing-peng melompat bangun dengan hati berdebar-debar. Untunglah ada orang berseru memperingatkan, kalau tidak jiwanya pasti sudah melayang di bawah pukulan lawan. Tapi dengan menyingkirnya Lu Cing-peng, Hoan It-hui menjadi payah menghadapi Ting Put-si, berulang-ulang ia diberondong dengan serangan-serangan berbahaya. Cepat Cing-peng berseru, "Ambilkan golok!" Segera seorang anak buahnya melemparkan sebatang golok, begitu sambar golok itu serentak Lu Cing-peng menerjang maju lagi. Tiba-tiba dilihatnya ruyung Ting Put-si sedang berlibatan dengan ruyung Hong Liang, sekonyong-konyong tubuh Hong Liang terseret terus ditumbukkan kepada golok Lu Cing-peng yang sedang membacok itu. Terpaksa Cing-peng memutar balik goloknya. "Awas, orang she Hoan! Lehermu akan dicengkeram!" mendadak Boh-thian berteriak. Hoan It-hui terkejut, tanpa pikir ia lantas tegakkan boan-koan-pit untuk melindungi tenggorokannya sendiri. Benar juga, saat itu kelima jari Ting Put-si sudah mencakar tiba, "cret", lehernya keserempet dan meninggalkan lima jalur lecet berdarah. Berturut-turut Boh-thian berseru dan menyelamatkan jiwa dua orang, keruan para jago Kwantang itu merasa sangat terima kasih. Mereka melihat muka penggembor itu terpoles hangus hitam, terang muka aslinya tidak ingin dikenali orang. Sebaliknya Ting Put-si menjadi murka, kontan ia memaki, "Kurang ajar! Anak anjing siapa itu yang membacot di sini? Kalau berani boleh majulah untuk menempur Yaya!"

"Wah, dia... dia telah mengenali kita?" kata Boh-thian kepada si Ting Tong sambil menjulurkan lidah."Habis siapa yang suruh kau buka mulut?" omel Ting Tong. "Tapi dia mengatakan anak anjing siapa, mungkin dia belum tahu siapa dirimu." Dalam pada itu kelima orang itu kembali sudah bertempur pula dengan lebih sengit. Ting Put-si buru-buru ingin tahu siapa orang yang berseru membantu lawannya itu, maka ia menyerang semakin gencar dengan jurus-jurus mematikan. Tapi berulang-ulang Ciok Boh-thian berseru tepat pada waktunya sehingga Lu Cing-peng tertolong pula dua kali, Hoan It-hui empat kali dan Hong Liang tiga kali. Pada satu kali mendadak Ting Put-si menggunakan serangan berisiko, sekonyong-konyong ia meloncat ke atas terus menubruk ke arah Ko Sam-niocu. Untung juga Ciok Boh-thian berseru memperingatkannya sehingga Ko Sam-niocu sempat menghindar, tapi tidak urung pundak Ko Sam-niocu tersampuk oleh jari Ting Put-si sehingga lengannya terasa kaku dan susah bergerak lagi. Namun janda Kwantang itu pun benar-benar sangat lihai, meski tangan kanan tak bertenaga lagi, segera tangan kiri mencabut pisau, "crit-crit" dua kali, dua batang pisau lantas menyambar ke arah Ting Pit-si. Tapi sekali gulung dengan ruyungnya, kedua pisau itu lantas terlibat terus disambitkan kearah Hong Liang dan Lu Cing-peng. Berbareng itu bahkan Ting Put-si lantas meloncat ke atas, ruyungnya terus menyabet ke bawah. Cepat Ko Sam-niocu membungkuk tubuh untuk menghindar. Tapi terdengarlah suara jeritan orang banyak, menyusul janda Kwantang itu merasa kepalanya terangkat, tanpa kuasa tubuhnya terus melayang ke atas. Kiranya ujung ruyung Ting Put-si dengan tepat kena melilit sanggulnya dan badannya ikut terangkat. Keruan Hong Liang bertiga sangat terkejut. Dengan tenaga mereka berempat saja masih kewalahan, apalagi kalau Ko Sam-niocu mengalami nasib malang, sisa mereka bertiga tentu juga tak terhindar dari bencana. Maka dengan mati-matian mereka lantas mengerubut maju. Mendadak mulut Ting Put-si meniup, "berrr", pisau yang tergigit olehnya tadi lantas disemburkan ke perut Ko Sam-niocu. Sedangkan tangan kiri berbareng mencengkeram, mencakar dan menjambret, dalam sekejap saja ia dapat menghalau Hong Liang bertiga yang sekaligus menerjang maju itu. Saat itu tubuh Ko Sam-niocu masih terapung di udara, sambaran pisau yang ditiup Ting Put-si itu betapa pun sukar dihindarnya. "Selama ini entah sudah berapa banyak musuh yang binasa di bawah pisau terbangku, tapi hari ini senjata akan makan tuannya, akhirnya aku mesti mati di bawah senjatanya sendiri," begitulah terbayang olehnya sambil memejamkan mata dan menanti ajal. Sungguh di luar dugaan siapa pun juga, secara kebetulan dua bilah pisau yang dilibat dan disambitkan Ting Put-si tadi masing-masing telah kena disampuk mencelat oleh Hong Liang dan Lu Cing-peng, dengan tepat pisau-pisau itu telah menyambar lewat di samping Ciok Boh-thian. Melihat keadaan sangat berbahaya, untuk bersuara memperingatkan juga tidak keburu lagi, segera Boh-thian menangkap kedua batang pisau itu dan secepat kilat lantas disambitkan. Maka terdengarlah suara "trang" yang nyaring, sebilah pisau itu tepat membentur jatuh pisau yang sedang menyambar kearah perut Ko Sam-niocu, pisau yang lain juga tepat memapas putus rambutnya sehingga Ko Sam-niocu terjatuh ke bawah. Tapi begitu kakinya menyentuh tanah, cepat ia melompat mundur dengan berjumpalitan, Mukanya tampak pucat pasi ketakutan. Penonton-penonton di samping juga terkesima kaget, sampai lupa menyoraki kepandaian Ciok Boh-thian yang luar biasa itu. Apa yang terjadi ini pun sama sekali di luar dugaan Ting Put-si. Cepat ia berpaling dan membentak, "Sobat dari manakah yang selalu merintangi urusanku? Kalau berani hayolah maju untuk bertempur 300 jurus dengan aku, terhitung kesatria macam apa jika main sembunyi-sembunyi saja?" Kedua mata Ting Put-si melotot ke arah Ciok Boh-thian, tapi muka pemuda itu terpoles hangus, maka ia tidak mengenalnya. Tapi mengapa orang ini tahu sebelumnya setiap jurus serangannya, bahkan benturan kedua bilah pisau itu amat jitu disertai tenaga yang amat kuat, maka teranglah lwekang sendiri sekali-kali bukan tandingannya. Walaupun watak Ting Put-si sangat tinggi hati, sekarang mau tak mau ia harus prihatin dan tidak berani mengoceh semena-mena lagi seperti tadi. Sebaliknya perbuatan Ciok Boh-thian tadi hanya terdorong oleh

maksudnya ingin menyelamatkan orang, sekarang mendadak dipelototi dan ditegur oleh Ting Put-si dengan garang, ia menjadi lupa pada mukanya sendiri yang telah dipoles hangus oleh si Ting Tong, maka dengan gugup ia menjawab, "Siyaya, aku... aku inilah Si Lemper Raksasa!" Untuk sejenak Ting Put-si tercengang, lalu ia berkata dan terbahak-bahak, "Hahaaak! Kukira siapa, tak tahunya adalah...adalah Si Lemper Raksasa!" Ia pikir pantas bocah ini mengetahui setiap jurus seranganku di

muka, sebab tempo hari bocah ini pernah kuberi tahu tentang ilmu silatku. Maka lenyaplah rasa jerinya tadi, segera ia

membentak Ciok Boh-thian, "Anak keparat, mengapa kau berani ikut campur urusan yayamu?" Kontan ruyungnya lantas menyabet ke atas kepala pemuda itu. Tapi dengan enteng sekali Ciok Boh-thian dapat menghindar dengan melompat ke samping. Ting Put-si tambah murka karena serangannya luput, beruntun-runtun ia menyerang tiga kali pula dan semuanya kena dielakkan oleh Ciok Boh-thian. Ia tidak tahu bahwa dengan lwekang yang dimiliki Ciok Boh-thian sekarang, berbagai jurus serangan ilmu silat dalam pandangannya adalah terlalu sepele dan tiada artinya lagi. Hanya saja ia masih takut kepada wibawa Ting Put-si, maka ia hanya berkelit saja tanpa balas menyerang. Diam-diam Ting Put-si merasa heran, ia merasa tidak pernah mengajarkan ilmu permainan ruyung itu kepada Ciok Boh-thian, mengapa pemuda itu mampu mengikuti serangan-serangannya dengan baik tanpa cedera apa-apa? Orang-orang lain yang menyaksikan Ciok Boh-thian berkelit kesini dan menghindar ke sana di bawah sambaran ruyung menjadi khawatir. Sebaliknya Boh-thian sendiri berpikir, "Kenapa Siyaya tidak menyerang aku dengan sungguh-sungguh? Apa barang kali dia cuma main-main dengan aku?" Nyata ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ting Put-si sudah mengeluarkan segenap kepandaiannya, cuma kakek itu tetap kalah setingkat sehingga ruyungnya tidak mampu mengenai

Boh-thian. Ting Tong cukup kenal watak kakek-ciliknya itu, dalam keadaan kalap bukan mustahil sekali-kali ruyungnya akan mengenai sasarannya, maka ia menjadi khawatir dan cepat berseru, "Engkoh Thian, lekas balas menyerang, lekas! Kalau tidak bisa celaka kau!" Mendengar suara jeritan nyaring anak dara keluar dari mulut seorang "pelayan" rumah makan, keruan semua orang menjadi heran dan memandang sekejap kepada si Ting Tong. Sebaliknya Ciok Boh-thian tidak mau mengerti. Pikirnya, "Mengapa bisa celaka? Ah, barangkali karena aku tidak balas menyerang, maka Siyaya akan anggap aku telah menghinanya sebagaimana halnya dahulu aku dianggap demikian oleh imam-imam Siang-jing-koan karena aku menempur mereka dengan sebelah tangan terikat." Karena itu, segera ia menjulurkan kedua tangannya terus mencengkeram ke dada Ting Put-si sekaligus, yang dia gunakan adalah 13 jurus kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong dahulu. Sudah tentu Ting Put-si mengenal ilmu silat keluarganya sendiri itu. Hanya saja ia menjadi kaget karena setiap jurus serangan yang tampaknya sepele, tapi di tangan Ciok Boh-thian lantas menjadi suatu serangan dahsyat yang lihai. Keruan ia bingung dan berteriak-teriak, "Ada setan! Ada setan!" Beberapa jurus kemudian, dengan gerakan "Hong-bwe-jiu" (Pegangan Ekor Burung Hong), tangan Boh-thian membalik dan tepat ujung ruyung Ting Put-si kena dicengkeramnya. Sekuatnya Ting Put-si membetot, tapi tidak bergoyah sedikitpun. Ia menjadi kalap, dengan bentakan keras ia kerahkan segenap tenaganya untuk menarik, saking nafsunya ia menarik sehingga ruas tulang seluruh badannya sampai berbunyi kratakan, nyata ia telah keluarkan seluruh tenaganya habis-habisan. Melihat si kakek sedemikian ngotot hendak menarik kembali ruyungnya, Boh-thian membatin, "Jika kau tidak mau lepas tangan, biarlah aku yang lepas saja!" Waktu dia kendurkan pegangannya, maka terdengarlah suara gedubrakan yang ramai gemuruh, tubuh Ting Put-si mencelat ke belakang sehingga dinding rumah makan itu ambrol tertumbuk, bahkan terus jatuh ke ruangan makan, meja kursi dan mangkuk piring ikut terseruduk jatuh dan pecah berantakan. Menyusul terdengarlah empat kali jeritan ngeri, seorang anak buah Kwantang dan tiga orang penonton biasa tahu-tahu telah jatuh tersungkur, punggung mereka terlihat mengeluarkan darah. Waktu Boh-thian memburu masuk, dilihatnya punggung keempat orang itu ada yang terkena beling pecahan mangkuk, ada yang terkena sumpit, tapi Ting Put-si sudah menghilang entah ke mana perginya. Kiranya Put-si tahu kalau dirinya bukan tandingan Ciok Boh-thian lagi, saking gusar dan gemasnya lantas dilampiaskannya kepada orang-orang yang berada di dekatnya, sekenanya ia sambar pecahan mangkuk dan sumpit untuk menimpuk empat orang itu. Ketika Hoan It-hui dan kawan-kawannya memeriksa korban-korban yang jatuh itu, ternyata semuanya sudah tidak bernyawa lagi. Kejut mereka tak terhingga mengingat keganasan Ting Put-si itu. Coba kalau Ciok Boh-thian tidak turun tangan menolong mereka, tentu saat ini mayat yang menggeletak di situ bukanlah keempat orang itu, tapi adalah mereka berempat ciangbunjin dari Kwantang. Segera mereka menjura kepada Ciok Boh-thian dan mengucapkan terima kasih, "Atas budi pertolongan Siauhiap

(pendekar kecil), selama hidup kami ini takkan lupa. Tolong tanya siapakah nama Siauhiap yang mulia?" Karena sudah mendapat petunjuk-petunjuk tentang tata krama dari ibunya, segera Ciok Boh-thian membalas hormat dan menjawab, "Ah, hanya sedikit urusan saja tidak perlu disebut-sebut lagi. Cayhe she Ciok dan bernama Tiong-giok." Lalu ia pun tanya nama dan asal usul keempat orang itu. Hoan It-hui memperkenalkan dirinya bersama tiga kawannya, kemudian ia tanya pula nama si Ting Tong. "O, dia bernama Ting-ting Tong-tong, dia adalah... adalah...." berulang-ulang ia mengucapkan "adalah", mukanya menjadi merah dan tidak dapat menyambung lagi. Sebagai orang yang lebih tua dan berpengalaman luas, Hoan It-hui tidak menanya lebih lanjut. Ia pikir sepasang muda-mudi ini mengadakan perjalanan bersama, sudah tentu ada hubungan istimewa di antara mereka yang serbasusah untuk diceritakan kepada orang lain. "Marilah kita pergi saja!" demikian si Ting Tong lantas mengajak. "Ya, baiklah!" sahut Boh-thian sambil mohon diri kepada semua orang. Berulang-ulang Hoan It-hui dan kawan-kawan menyatakan terima kasih sambil mengantar. Mestinya mereka ingin tanya pula dari golongan mana dan siapa perguruan Ciok Boh-thian, tapi lihat si Ting Tong beberapa kali mengedipi pemuda itu, nyata mereka tidak ingin diganggu lebih lama oleh orang lain, terpaksa It-hui berkata pula, "Budi pertolongan Siauhiap tadi entah cara bagaimana harus kami balas. Di kemudian hari asal ada perintah dari Siauhiap, biarpun masuk lautan api atau terjun ke dalam air mendidih tidak nanti akan kami tolak." Tiba-tiba Boh-thian teringat kepada tanya-jawab yang diajarkan ibunya, segera ia berkata, "Kita adalah sesama orang Bu-lim, seharusnya kita saling bantu membantu. Jika kalian sedemikian sungkan, aku jadi rikuh sendiri. Hari ini kita dapat bersahabat sungguh aku merasa senang tak terhingga." Memangnya Hoan It-hui merasa sangat berterima kasih karena jiwanya ditolong pemuda itu, ternyata tutur kata jago muda budiman ini juga sedemikian ramah tamahnya, keruan ia tambah kagum dan merasa suka berkawan padanya. Begitu pula si Ting Tong diam-diam merasa girang, "Coba, siapa berani mengatakan Engkoh Thian adalah orang linglung, bukankah pikirannya sekarang sudah semakin jernih."

Karena hatinya senang, maka wajahnya lantas bersenyum simpul. Tapi ia lupa mukanya telah dipoles dengan hangus, dadanya memakai kain koki, tapi kupingnya memakai anting-anting, maka tampaknya menjadi ganjil dan lucu, diam-diam semua orang tertawa geli. Ko Sam-niocu lantas memegang lengan si Ting Tong, katanya dengan tertawa, "Pelayan rumah makan secantik ini sungguh jarang terdapat di kampung halaman kita. Nyata beda sekali suasana di Kanglam ini dengan daerah Kwantang kita." Mendengar itu, semua orang mengakak tawa. Ting Tong juga mengikik, pikirnya, "Ya, saking gugupnya karena melihat sicekkong (kakek-cilik keempat) tadi aku lantas buru-buru menyamar, sekarang aku menjadi lupa mencuci muka dan melepaskan anting-antingku ini." Dalam pada itu kelihatan beberapa ratus penduduk setempat sedang merubung dan menonton, agaknya mereka merasa jeri karena pertarungan sengit tadi. Tapi Ting Put-si telah membunuh tiga orang, tentu penduduk akan mengira mereka ini adalah kaum perampok dan kawanan bandit yang biasa mengganas. Maka Ko Sam-niocu lantas berkata pula, "Kita jangan lama-lama tinggal di sini, marilah berangkat." Lalu ia pun berkata kepada Ting Tong, "Adik cilik, karena

penyamaranmu ini mungkin bajumu sendiri telah menjadi kotor. Aku membawa cukup banyak pakaian, jika kau sudi bolehlah mencari suatu tempat untuk cuci badan dan ganti pakaianku. Sungguh gadis cantik seperti dirimu ini selamanya belum pernah kulihat, kelak kalau kupulang ke Liautang tentu engkau akan dapat kugunakan sebagai bahan cerita kepada sanak keluargaku." Meski si Ting Tong adalah seorang dara yang nakal dan cerdik, tapi sejak kecilnya mengikut kakeknya tinggal di tempat yang terpencil dan berkelana di Kangouw, belum pernah ia mendapat pujian sebagaimana diterimanya dari Ko Sam-niocu, keruan ia menjadi senang sekali, sahutnya dengan tertawa, "Ah, masakah aku cantik? Cici terlalu memuji saja!"

"Tapi... tapi pada malam... malam itu kau benar-benar telah bersolek dengan sangat cantik," tiba-tiba Boh-thian ikut berkata. Maksudnya adalah malam pengantin mereka tempo hari, cuma saja tidak jadi diucapkannya. Ting Tong melototinya sambil menjulur lidah. Ko Sam-niocu lantas memberi tanda dan berseru, "Marilah berangkat!" Beramai-ramai semua orang mengiakan. Segera mereka membawakan kuda, lebih dulu Ciok Boh-thian dan si Ting Tong disilakan naik ke atas kuda, habis itu berbondong-bondong mereka pun mencemplak ke atas kuda masing-masing, dengan membawa jenazah kawan mereka dari Liautang itu dengan cepat mereka lantas meninggalkan tempat itu. Bicara tentang usia maupun ilmu silat sebenarnya Hoan It-hui adalah paling tinggi di antara rombongan mereka itu. Tapi perjalanan mereka ke Tionggoan ini semua ongkos telah dipikul oleh Ko Sam-niocu yang memang terkenal sangat tangan terbuka, menggunakan uang seperti membuang sampah, maka

nyonya itu berbalik seakan-akan menjadi pemimpin dari rombongan. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda pilihan dari Liautang, maka dalam waktu singkat saja beberapa puluh li sudah mereka lalui. Diam-diam Boh-thian tanya kepada Ting Tong, "Apakah jalan ini menuju ke Ka-hin-hu?" Ting Tong mengangguk dengan tersenyum. Padahal letak Ka-hin-hu itu di jurusan tenggara, sebaliknya mereka menuju kearah timur laut, jadi jarak mereka dengan Ciok Jing menjadi semakin jauh. Petangnya mereka sampai di Kota Peng-yang-ceh. Mereka bermalam pada suatu hotel yang terbesar di kota ini. Kawan mereka yang mati itu adalah dari Gway-to-bun, maka Lu Cing-peng dan anak muridnya berkewajiban menyelesaikan layonnya. Ko Sam-niocu sendiri membantu si Ting Tong berdandan kembali sebagai wanita. Diam-diam Ko Sam-niocu merasa heran, si Ting Tong berdandan sebagai nyonya muda, tapi tingkah lakunya jelas masih anak perawan, sungguh ia tidak habis mengerti akan hal ini.

Bab 34. Tonghong Heng, Ketua Tiang-lok-pang yang Asli

Malamnya jago-jago Liautang itu mengadakan perjamuan besar bagi Ciok Boh-thian. Karena tidak ingin diketahui hubungan dirinya dengan Ting Put-si, maka setiap kali Ko Sam-niocu, Hoan It-hui dan lain-lain memancing tentang asal usul dan perguruan dirinya dan Ciok Boh-thian selalu Ting Tong berusaha membelokkan pokok pembicaraan. Karena yang ditanya enggan menerangkan, maka para jago itu pun tidak berani banyak bertanya lagi. Melihat hubungan Ciok Boh-thian dan si Ting Tong penuh kasih sayang, Ko Sam-niocu menduga tuan penolongnya dengan adik perempuan cilik itu besar kemungkinan adalah sepasang kekasih yang diam-diam minggat dari rumah. Jika demikian halnya, adalah tidak tahu diri bila kita menghalangi malam bahagia mereka ini. Sebab itulah, sesudah cukup makan minum, Ko Sam-niocu lantas memberi tanda kepada Hoan It-hui, masing-masing menggandeng Ciok Boh-thian dan Ting Tong untuk diantarkan ke kamar mereka. Dengan tertawa penuh arti Hoan It-hui lantas mengundurkan diri, sebaliknya Ko Sam-niocu masih menggoda, "Inkong, coba lihatlah, pengantin perempuan kita ini cantik sekali bukan?" Muka Boh-thian menjadi merah, ketika ia melirik si nona, tertampak air muka si Ting Tong juga merah jengah, kerlingan matanya menggetar sukma, jantung Boh-thian memukul keras. Cepat kedua muda-mudi itu sama-sama melengos, keduanya sama-sama mundur beberapa tindak dan berdiri bersandar dinding. Ko Sam-niocu mengekek tawa, katanya, "Malam pengantin kalian ini janganlah disia-siakan, mengapa kalian mesti malu-malu?" Sambil berkata sebelah tangannya lantas menutupkan pintu kamar dari luar, sebelah tangan yang lain lantas mengayun pula, sebilah pisau terbang lantas menyambar sehingga batang lilin yang menerangi kamar itu terpapas bagian atasnya. Seketika keadaan di dalam kamar menjadi gelap gulita, sedangkan pisau terbang itu masih terus melayang keluar dengan menembus jendela. "Selamat malam dan selamat tidur! Semoga kalian hidup bahagia sampai hari tua!" demikian Ko Sam-niocu berseru dengan tertawa. Lalu pintu kamar dirapatkannya. Seperti halnya pada malam pengantin mereka dahulu, sekarang Ciok Boh-thian dan si Ting Tong juga sama-sama bingung dan malu-malu walaupun dalam hati mereka sebenarnya seperti dikilik-kilik. Sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang di pelataran sana, "Huh, jika memang jantan dan kesatria sejati, hayolah keluar untuk berkelahi secara terang-terangan, mengapa mesti main menimpuk pisau secara sembunyi-sembunyi, huh, bukankah ini perbuatan kaum pengecut?" Ciok Boh-thian dan Ting Tong menjadi geli. Si nona lantas berlari mendekati Boh-thian, empat tangan saling menggenggam dengan kencang. Nyata perbuatan Ko Sam-niocu yang menimpukkan pisau untuk memadamkan api lilin mereka tadi telah menimbulkan salah paham orang di luar itu. Mestinya Ciok Boh-thian ingin bersuara memberi penjelasan, tapi terasalah sebuah tangan yang halus dan lunak telah mendekap mulutnya dan melarangnya bersuara. Segera ia pun rangkul si Ting Tong ke dalam pelukan. Dalam pada itu orang yang berada di pelataran itu masih terus memaki, "Pisau terbang yang keji semacam ini besar kemungkinan adalah perbuatan perempuan hina yang tidak kenal malu dari Liautang itu. Hm, janda she Ko itu tidak becus ilmu silatnya, paling-paling hanya pandai menyerang secara menggelap dengan pisau karatan seperti ini. Jika kesatria dari Tionggoan sini tentu tidak sudi menggunakan senjata rahasia begini." Oleh karena timpukan pisaunya telah menimbulkan salah paham orang, mestinya Ko Sam-niocu tidak ingin cekcok dan membiarkan orang mencaci dan habis perkara. Siapa duga caci maki orang itu secara terang-terangan telah dialamatkan kepadanya, diam-diam ia heran, "Apakah orang itu mengenali pisauku atau cuma omong sekenanya saja?" Tapi caci maki orang itu ternyata semakin galak dan meluas, katanya, "Huh, dasar Kwantang adalah daerah miskin, daerah kere, di mana penuh kaum perampok dan kawanan bandit. Bedebah, di sana ada seorang yang berjuluk `Ban-to-bun' (SiGolok Lambat), permainan goloknya lamban, pintarnya cuma menggunakan obat tidur untuk membikin celaka orang. Ada pula seorang yang bernama Jing-coa-pang (Gerombolan Ular Hijau), pekerjaannya cuma mengemis dengan membawa ular. Ada lagi seorang she Hoan pakai nama `It-hui-lok-cui' (SekaliTerbang Kecemplung ke Dalam Air), kemahirannya adalah menggunakan dua batang kayu pencukit tahi, haha, sungguh menggelikan!" Keruan gembar-gembor orang di pelataran itu membuat jago-jago Liautang di dalam hotel menjadi gusar. Mereka tahu orang sengaja mengolok-olok dan menantang kepada mereka. Segera Lu Cing-peng menjinjing goloknya dan menerjang kepelataran. Maka tertampaklah seorang laki-laki pendek kecil sedang mencak-mencak, mencaci maki dengan tak terhingga senangnya. "Hai, sobat," segera Lu Cing-peng membentak, "apa maksudmu menggembar-gembor tak keruan di sini?!"

"Apa maksudku?" orang itu menjawab. "Asal aku melihat muka orang dari Liautang aku lantas merasa muak dan ingin kupenggal kepalanya untuk digantung di atas tiang sana."

"O, bagus! Ini dia kepala orang Liautang berada di sini, boleh coba kau memenggalnya!" seru Lu Cing-peng, berbareng ia terus melompat ke samping orang itu, golok Ci-kim-to bekerja, kontan ia menebas ke pinggang orang. Orang itu menjerit, tahu-tahu Ci-kim-to telah menebasnya menjadi dua sebatas pinggang. Badan bagian atas itu sampai mencelat dua-tiga meter jauhnya dan darah memenuhi pelataran. Sementara itu Hoan It-hui, Hong Liang, Ko Sam-niocu, dan lain-lain telah berdiri di sekeliling pelataran dan sedang menonton, mungkin mereka takkan terkejut seperti sekarang apabila lelaki pendek kecil itu mengeluarkan ilmu silatnya yang hebat dan aneh atau sekalipun Lu Cing-peng yang tertebas menjadi dua, sungguh sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa hanya dengan sekali tebas saja dan tanpa mengadakan perlawanan, lelaki yang galak di mulut itu ternyata sudah terbunuh mati. Keruan Lu Cing-peng sendiri juga ternganga kaget karena lawannya ternyata tidak mahir ilmu silat sedikitpun. Dan selagi semua orang saling pandang dengan bingung itu, tiba-tiba di atas atap rumah ada suara orang berkata dengan nada dingin, "Bagus sekali! Sungguh kepandaian yang hebat! Lu-tayhiap dari Gway-to-bun di Liautang dengan sekali tebas telah membikin pelayan hotel terputus menjadi dua potong!" Waktu semua orang mendongak dan memandang ke atas, maka tertampaklah seorang dengan jubah warna kelabu sedang berdiri di atas rumah sambil bertolak pinggang. Melihat itu sadarlah semua orang bahwa orang yang dibunuh oleh Lu Cing-peng barusan kiranya adalah pelayan hotel yang

telah disuruh oleh orang tak dikenal itu untuk sengaja mencari perkara kepada jago-jago Liautang. Tanpa bicara lagi tangan Ko Sam-niocu lantas bekerja "crit-crit-crit" tiga kali, tiga batang pisau terbang terus menyambar keatas. Namun dengan cepat sekali orang itu telah tangkap sebilah pisau terbang terus melompat ke samping sehingga dua bilah pisau yang lain juga terhindar. Lalu dengan tertawa orang itu berseru, "Atas kedatangan Su-tay-mui-pay dari Kwantang, kami akan menunggunya dengan hormat di tengah hutan siong yang terletak 12 li di utara kota ini, jika kalian tidak berani datang juga tidak menjadi soal." Dan sebelum Hoan It-hui dan lain-lain menjawab, cepat orang itu lantas melompat turun ke sana terus menghilang dalam kegelapan. Untuk sejenak semua orang terdiam. Kemudian berkatalah Ko Sam-niocu, "Kita akan pergi atau tidak?"

"Tak peduli siapa adanya pihak lawan, sekali mereka sudah menantang, mau tak mau kita harus menerimanya," ujar Hoan It-hui. "Benar," tukas Ko Sam-niocu. "Betapa pun kita harus mempertahankan martabat dan nama Su-tay-mui-pay dari kalangan persilatan di Kwantang." Lalu ia mendekati jendela kamar Ciok Boh-thian dan berseru, "Ciok-inkong, adik perempuan cilik, kami ada janji dengan orang dan terpaksa harus berangkat dulu, biarlah besok saja kita bertemu pula di kota sebelah depan sana." Setelah merandek dan tidak mendapat jawaban Ciok Boh-thian, segera ia menyambung pula, "Di tempat ini sudah terjadi perkara jiwa, tentu akan timbul kesukaran, maka ada lebih baik Inkong berdua juga lekas berangkat saja daripada tersangkut dalam perkara ini." Dia tidak langsung minta Ciok Boh-thian dan Ting Tong ikut hadir dalam pertemuan mereka nanti, maklum siang harinya jiwa mereka baru saja ditolong oleh Ciok Boh-thian, kalau sekarang mereka mengajaknya pula akan berarti pemuda itu seakan-akan telah dijadikan pengawal mereka, hal ini tentu akan sangat memerosotkan derajat jago-jago Su-tay-mui-pay dari Kwantang. Namun segala gerak-gerik di pelataran ini telah cukup jelas didengar oleh Ciok Boh-thian dan si Ting Tong. Dengan bisik-bisik Boh-thian telah tanya Ting Tong, "Bagaimana kita harus berbuat?"

"Ya, toh tidak dapat tinggal terlalu lama lagi di sini, terpaksa kita harus mengikut di belakang mereka untuk menonton," ujar Ting Tong sambil menghela napas gegetun. Maklumlah, sebab dengan demikian maka malam yang bahagia bagi mereka berarti akan dilalui dengan sia-sia pula. Namun Ciok Boh-thian ternyata tidak berpikir dan tidak merasakan apa-apa tentang malam pengantin segala, katanya pula, "Entah siapakah pihak lawan mereka itu, apakah tidak mungkin adalah siyaya-mu?"

"Aku pun tidak tahu," sahut Ting Tong. "Biarlah kita jangan perlihatkan diri saja, boleh jadi siyaya-ku yang akan mereka hadapi."

"Wah, jika demikian tentu bisa runyam," seru Boh-thian dengan khawatir. "Le... lebih baik aku tidak ikut pergi saja."

"Tolol," omel Ting Tong. "Jika betul Siyaya yang akan mereka hadapi, kan kita dapat mengeluyur pergi secara diam-diam? Sekarang ilmu silatmu sudah begini tinggi, Siyaya juga tidak mampu membikin susah lagi padamu. Aku tidak khawatir, kau sendiri malah takut." Tengah bicara, terdengarlah suara derapan kuda yang ramai, jago-jago Kwantang itu beramai-ramai sudah meninggalkan hotel. Terdengar Ko Sam-niocu berteriak kepada pengurus hotel, "Aku meninggalkan 210 tahil perak di sini, yang sepuluh tahil adalah biaya-biaya tinggal kami, sedangkan 200 tahil yang lain adalah ganti rugi dan ongkos penguburan si pelayan yang mati itu. Pembunuhnya adalah begal dari Soatang yang bernama Ong Tay-hou, janganlah kalian merembet perkara ini kepada orang lain." Boh-thian menjadi heran, ia tanya si Ting Tong dengan suara lirih, "Siapakah Ong Tay-hou itu?"

"Tolol! Itu kan nama palsu, agar besok dalam laporan kepada yang berwajib ada cukup alasannya," kata Ting Tong. Mereka lantas keluar juga dan melihat dua ekor kuda tertambat di muka hotel, segera mereka mencemplak ke atas kuda dan meninggalkan hotel itu. Walaupun tahu telah terjadi pembunuhan di dalam hotel itu, tapi siapakah di antara penghuni-hotel yang berani keluar untuk menegur mereka? Begitulah Boh-thian dan Ting Tong lantas mengintil rombongan jago-jago Kwantang itu dari jauh. Kira-kira belasan li jauhnya, benar juga di depan sana terbentang sebuah hutan siong yang lebat. Dari jauh terdengar Hoan It-hui telah berseru dengan suara lantang, "Entah sobat dari kalangan mana tadi telah mengundang kami, maka sekarang orang-orang Han-bwe-ceng, Gway-to-bun, Jing-liong-bun ,dan Ho-hou-kau sudah berada di sini dan mohon bertemu!" Dalam kalangan Kangouw terdapat semboyan yang mengatakan "Hong-lim-bok-jip" (Bila Ketemu Hutan Janganlah Masuk), apalagi dalam malam gelap, siapa tahu kalau di dalam hutan itu sudah disediakan perangkap bagi mereka? Sebab itulah jago-jago Kwantang itu lantas berhenti di depan hutan dan menyapa. "Marilah kita sembunyi di semak-semak sana, coba lihat dulu apakah Siyaya atau bukan?" kata Ting Tong kepada Boh-thian. Kedua orang lantas melompat turun dari kuda mereka, dengan merunduk mereka lantas sembunyi di belakang sepotong batu besar yang sekelilingnya tumbuh rumput yang cukup lebat. Ketika mendengar suara kaki kuda, Hoan It-hui dan kawan-kawannya sudah tahu bahwa Boh-thian berdua jadi mengikut dibelakang mereka. Maka sekarang mereka pun tidak menyapa pemuda itu, mereka memusatkan perhatian ke arah hutan. Empat pemimpin berdiri paling depan, belasan anak murid mereka berbaris beberapa meter di belakang mereka. Akan tetapi keadaan ternyata sunyi senyap, sedikit pun tiada jawaban apa-apa. Malam itu bulan sudah menyerong ke barat dan agak guram, wajah semua orang menjadi agak kepucat-pucatan tersorot cahaya rembulan itu, perasaan mereka rada tegang. Selang agak lama, tiba-tiba terdengar suara suitan di dalam hutan, menyusul dari sebelah kiri dan kanan lantas berlari keluar sebaris laki-laki berseragam hitam, kedua barisan yang berjumlah ratusan orang itu lantas berputar ke belakang sehingga jago-jago Kwantang itu akhirnya terkurung di tengah. Sesudah itu, dari dalam hutan kembali keluar sepuluh orang laki-laki seragam hitam pula, serentak kesepuluh orang ini lantas berdiri secara berjajar. Ciok Boh-thian bersuara heran perlahan di tempat sembunyinya. Kiranya kesepuluh orang ini telah dikenalnya semua. Mereka bukan lain daripada para hiangcu Lwe-go-tong dan wakilnya dari Tiang-lok-pang. Bi Heng-ya, Tan Tiong-ci, Tian Hui dan lain-lain juga termasuk di antara kesepuluh orang itu. Dan sesudah kesepuluh orang itu sudah berdiri di tempatnya, lalu keluar lagi seorang dari dalam hutan, siapa lagi dia kalau bukan "Tio-jiu-seng-jun" Pwe Hay-ciok. Lebih dulu tabib she Pwe itu batuk-batuk beberapa kali, lalu membuka suara, "Para pemimpin Su-tay-mui-pay dari Kwantang telah sudi berkunjung kemari, kami... huk, huk, tidak berani menunggu di markas, tapi sengaja datang menyambut ke sini. Hanya saja... huk, huk,... hanya saja kedatangan kalian agak terlambat, sungguh membikin para saudara kami merasa tidak sabar lagi." Mendengar pembicaraannya diseling dengan terbatuk-batuk, maka Hoan It-hui lantas tahu tokoh di hadapannya ini pasti Pwe Hay-ciok yang termasyhur di dunia persilatan itu. Tapi ia merasa lega malah setelah mengetahui bahwa pihak lawan ternyata adalah Tiang-lok-pang yang justru menjadi tujuan perjalanan mereka ini. Ia pikir kebetulan juga dapat bertemu dan bertempur untuk menentukan mati atau hidup dengan Tiang-lok-pang di tempat ini daripada tanpa sebab terlibat dalam permusuhan dengan Ting Put-si yang gila-gilaan itu. Maka cepat ia memberi hormat dan menjawab, "O, kiranya Pwe-siansing yang telah jauh-jauh menyambut kedatangan kami ini, sungguh kami sangat terima kasih. Cayhe adalah Hoan It-hui dari Ho-hou-kau dan saudara ini adalah.." begitulah ia lantas perkenalkan pula Lu Cing-peng, Hong Liang, dan Ko Sam-niocu. Melihat kedua pihak itu bertemu secara ramah tamah, diam-diam Boh-thian menyangka mereka tidak jadi berkelahi, segera ia membisiki si Ting Tong, "Kiranya adalah kawan-kawan sendiri semua, marilah kita keluar untuk menemui mereka." Namun si Ting Tong pantas mencegahnya, bisiknya perlahan, "Nanti dulu, tunggulah sebentar lagi!" Di sebelah sana terdengar Hoan It-hui mulai bicara pula, "Kami sudah berjanji akan berkunjung ke tempat kalian pada hari Tiong-yang-ce, tak terduga di tengah jalan kami telah mengalami sedikit halangan sehingga datang agak terlambat, untuk ini mohon Pwe-siansing dan para hiangcu sudilah memaafkan." "Ah, tidak," jawab Pwe-tayhu. "Cuma saja Ciok-pangcu sudah cukup lama menunggu dan kalian belum juga berkunjung datang, maka beliau telah berangkat pergi untuk urusan penting yang lain. Beliau menyangka janji pertemuan kalian itu tentu telah dibatalkan, maka tidak menunggu lebih lama lagi." Hoan It-hui tertegun atas keterangan itu. Katanya kemudian, "Entah sekarang Ciok-enghiong pergi ke mana? Sesungguhnya saja kedatangan kami dari jauh ke Tionggoan sini justru berharap dapat berjumpa dengan Ciok-enghiong kalian. Jika tidak dapat bertemu, maka... maka kami benar-benar sangat kecewa."

"Dasar orang goblok," demikian si Ting Tong membisiki Boh-thian. "Dia berada bersama kau, makan-minum bersama satu meja, tapi mengatakan tidak bertemu dengan kau dan sangat mengecewakan mereka. Sungguh menertawakan." Dalam pada itu terdengar Hoan It-hui telah menyambung lagi, "Kunjungan kami ini telah membawa juga sedikit hasil bumi Kwantang, beberapa lembar kulit berbulu dan beberapa kati jinsom untuk dipersembahkan kepada Ciok-enghiong, Pwe-siansing, dan para hiangcu yang terhormat. Sedikit oleh-oleh yang tak berarti ini sudilah kiranya kalian terima dengan suka hati." Habis bicara ia lantas memberi tanda, segera ada tiga orang anak buahnya mendekati seekor kuda dan menurunkan tiga bungkusan dari punggung binatang tunggangan itu. Lalu dengan membungkuk hormat mereka mendekati Pwe Hay-ciok. "Ah, kalian... kalian benar-benar sangat baik hati," sahut Pwe-tayhu dengan tertawa. "Atas... huk, huk,... atas hadiah kalian yang berharga ini, sungguh kami sangat... sangat berterima kasih, sangat berterima kasih!" Lalu dari punggung sendiri Hoan It-hui lantas menanggalkan juga sebuah bungkusan kecil, ia melangkah maju tiga tindak, lalu bungkusan kecil itu dipersembahkan sambil berseru, "Tonghong-pangcu dari Pang kalian dahulu pernah tinggal di Kwantang serta mempunyai persahabatan yang akrab dengan kami. Di sini adalah sebuah jinsom tua yang telah berbentuk badan manusia, kalau dimakan akan dapat awet muda dan panjang umur, jinsom ini terhitung benda yang jarang terdapat, dengan ini khusus kupersembahkan kepada Tonghong-toako." Dengan kedua tangannya dia persembahkan bungkusan kecil itu, tapi sorot matanya menatap tajam kepada Pwe-tayhu. Diam-diam Ciok Boh-thian sangat heran, ia tidak tahu dari mana munculnya seorang Tonghong-pangcu lagi? Sementara itu terdengar Pwe-tayhu sedang terbatuk-batuk beberapa kali, lalu menghela napas pula dan menjawab, "Pangcu kami yang dahulu, Tonghong-toako, pada... huk, huk, pada beberapa tahun yang lalu telah mengalami sesuatu urusan yang tidak menyenangkan, beliau menjadi putus asa dan tidak mau mengurus soal organisasi lagi. Sebab itulah segala urusan penting dari Pang kami telah diserahkan kepada Ciok-pangcu yang sekarang. Tonghong toako sendiri lantas... huk, lantas mengasingkan diri, sampai saat ini kami pun tidak pernah menerima kabar beritanya dan sangat merindukan beliau. Sekarang kalian membawakan oleh-oleh berharga ini, tapi entah cara bagaimana harus menyampaikan kepada beliau?"

"Entah Tonghong-toako bertirakat di mana dan sebab apakah beliau sampai perlu mengasingkan diri?" tanya It-hui. Lapat-lapat nadanya sudah mengandung maksud menegur dan mendesak. Namun Pwe-tayhu menjawabnya dengan tersenyum, "Cayhe cuma bawahan Tonghong-toako saja, pengetahuan kami atas urusan pribadi beliau sangatlah terbatas dan tidak banyak. Jika saudara Hoan dan para kawan mengaku adalah sahabat akrab Tonghong-pangcu, maka kebetulan Cayhe ingin minta petunjuk: sebab apakah di kala Tiang-lok-pang sedang berkembang dengan pesat dan namanya lagi jaya, tapi mendadak Tonghong-pangcu malah menyerahkan beban yang amat berat ini kepada Ciok-pangcu?" Tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya. Dengan demikian Hoan It-hui menjadi terdesak dan susah menjawabnya. "Tentang ini, mungkin... mungkin...." It-hui menjawab dengan tergagap-gagap dan tidak sanggup meneruskan. Maka Pwe-tayhu lantas berkata pula, "Pada waktu Tonghong-pangcu menyerahkan kedudukan pangcu, saat itu para saudara kami boleh dikata sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk tentang ilmu silat dan pribadi Ciok-pangcu yang sekarang. Mengingat usianya masih sangat muda namanya juga tidak menonjol di dunia persilatan, sekarang dia diharuskan memimpin para kesatria, tentu saja menimbulkan ketidakadilan dalam hati saudara-saudara kami. Namun sesudah Ciok-pangcu menduduki jabatannya, berturut-turut beliau lantas melakukan beberapa pahala bagi Pang kami, hal ini membuktikan bahwa pandangan Tonghong-pangcu benar-benar sangat tajam dan pintar memilih penggantinya, bukan saja ilmu silatnya memang tinggi, bahkan pengetahuannya juga lain daripada yang lain.... Huk, huk, jika tidak demikian masakah beliau dapat bersahabat akrab dengan kalian? Hahahaha!" Di balik kata-katanya, yang terakhir ini seakan-akan dia ingin mengatakan bahwa kalau kalian anggap pilihan Tonghong-pangcu itu tidak tepat, maka kalian yang merupakan sahabat pilihan Tonghong-pangcu pula tentu juga bukan manusia baik-baik atau cuma kaum keroco saja. "Pwe-tayhu," mendadak Lu Cing-peng menimbrung, "berita yang kami peroleh di Kwantang justru tidak demikian ini, sebab itulah maka jauh-jauh kami sengaja datang kemari untuk menyelidikinya."

"Berita yang tersiar sejauh itu bukan mustahil telah sengaja ditambah dan dibuat-buat," ujar Pwe Hay-ciok. "Entah berita bohong apakah yang telah kalian dengar?"

"Ya, sebelum jelas duduknya perkara yang sebenarnya memang susah untuk dikatakan apakah berita ini cuma berita bohong atau bukan," kata Lu Cing-peng. "Dari seorang kawan kami mendengar, katanya Tonghong-toako telah... telah...." sampai di sini sorot matanya mendadak berapi-api, nadanya lantas meninggi, "telah dibunuh oleh pengkhianat dalam Tiang-lok-pang, kematiannya tidaklah jelas dan kedudukan pangcu telah ditempati oleh seorang pemuda yang kejam, angkara murka dan cabul pula perbuatannya. Apa yang kami dengar dari kawan itu rasanya bukan bualan belaka. Mengingat persahabatan kami dengan Tonghong-toako di masa lampau, walaupun kami sadar baik ilmu silat maupun derajat kami sesungguhnya tidak sesuai untuk ikut campur dalam urusan Pang kalian, tapi demi untuk kepentingan Tonghong-toako, terpaksa... terpaksa kami harus berlaku sembrono."

"Benar, ucapan Lu-heng memang tepat, tindakan kalian ini memanglah sembrono," sambung Pwe Hay-ciok dengan tertawa dingin. Muka Lu Cing-peng menjadi panas, diam-diam ia mengakui "Tio-jiu-seng-jun" Pwe Hay-ciok memang benar-benar pintar dan cerdik. Segera ia menjawab dengan suara keras, "Sebenarnya soal pengangkatan pangcu kalian, sebagai orang luar kami tidak perlu ikut campur. Kedatangan kami jauh-jauh dari Kwantang ini hanya ingin tanya kepada Pang kalian, sesungguhnya Tonghong-toako saat ini masih hidup atau sudah mati. Dia mengundurkan diri sebagai pangcu sesungguhnya dilakukan secara sukarela atau atas paksaan orang lain?" Pwe Hay-ciok tertawa dingin. Katanya, "Sekalipun orang she Pwe ini tidak becus, tapi jelek-jelek juga ada sedikit nama didunia Kangouw, apa yang sudah kukatakan masakah pernah dijilat kembali? Biarpun kalian menganggap aku berdusta, apa mau dikata lagi, terpaksa orang she Pwe akan berdusta sampai titik terakhir. Hehe, kalian adalah orang-orang yang ada nama di dunia persilatan, dengan penuh semangat kalian suka membela teman, hal ini sungguh harus dipuji dan dikagumi. Tapi dalam urusan ini rasanya tidaklah tepat." Selamanya Ko Sam-niocu suka disanjung puji orang, keruan sekarang ia menjadi gusar atas olok-olok Pwe Hay-ciok itu. Dengan suara garang ia berkata, "Orang yang membunuh Tonghong-toako bukan mustahil kau orang she Pwe inilah biang keladinya. Kedatangan kami ke Tionggoan sini adalah untuk menuntut balas bagi Tonghong-toako, memangnya kami sudah bertekad takkan pulang dengan hidup. Seorang laki-laki sejati berani berbuat harus berani bertanggung jawab, mengapa kau bicara secara plintat-plintut? Nah, lebih baik kau mengaku terus terang saja, sebenarnya Tonghong-toako sudah meninggal atau masih hidup?" Dengan acuh tak acuh Pwe Hay-ciok menjawab, "Orang she Pwe ini sudah lama menderita sakit sehingga selalu tersiksa, memangnya aku sudah merasa bosan hidup. Jika Ko Sam-niocu mau bunuh, boleh silakan mulai saja."

"Huh, percuma saja kau mengaku sebagai tokoh persilatan, tapi main akal bulus terhadap nyonya besarmu ini," damprat Ko Sam-niocu. "Baiklah, jika kau tidak mengaku, bolehlah kau panggil keluar itu anak jadah she Ciok, biar nyonya besar tanya langsung kepadanya." Ia pikir Pwe Hay-ciok terlalu licik, untuk adu mulut rasanya tidak bisa menang, main kekerasan juga mungkin kalah karena jumlah lawan lebih banyak. Sebaliknya Ciok-pangcu itu hanya seorang pemuda ingusan, andaikan nanti tidak mau bicara terus terang, sedikitnya dari sikapnya dan gerak-geriknya akan dapat diketemukan sedikit tanda-tanda yang meyakinkan. Akan tetapi Tan Tiong-ci yang berdiri di sebelah Pwe Hay-ciok itu mendadak menanggapi, "Untuk bicara terus terang kepada Ko Sam-niocu, memang Ciok-pangcu kami biasanya paling suka kepada kaum wanita, tapi yang dia pilih hanya anak dara yang masih muda dan cantik, yang masih halus dan empuk. Kalau beliau diminta menemui Ko Sam-niocu, hehe, kukira... kukira...." Ucapan Tan Tiong-ci itu bernada sangat bangor, secara terang-terangan ia mengolok-olok Ko Sam-niocu sudah tua lagi jelek mukanya, maka Ciok-pangcu mereka tentu tidak mau menemuinya. Diam-diam si Ting Tong merasa geli, ia membisiki Boh-thian, "Sebenarnya Ko-cici juga sangat cantik, jika menurut kata-kata Tan-hiangcu tadi, apakah kau juga telah penujui dia?"

"Hus, jangan sembarangan mengoceh!" bentak Boh-thian tertahan sambil memegang tangan si nona. Dalam pada itu Ko Sam-niocu menjadi gusar, kontan ia telah menyambitkan tiga bilah pisaunya ke arah Tan Tiong-ci. Tapi Tan Tiong-ci dapat mengelakkannya semua, katanya dengan tertawa, "Eh, apa gunanya kau penujui diriku?...." begitulah mulutnya lantas mencerocos lagi dengan kata-kata yang tidak senonoh. Keruan Ko Sam-niocu semakin kalap, segera pisau terbangnya menyambar lagi. "Nanti dulu!" It-hui bermaksud melerai. Akan tetapi sekali Ko Sam-niocu sudah murka, maka susahlah dihentikan, sekaligus ia telah menyambitkan enam bilah pisau, yang satu menyambar terlebih cepat daripada yang lain. Keenam bilah pisau itu dapat dihindarkan oleh Tan Tiong-ci, akan tetapi waktu pisau ketujuh menyambar tiba, "cret", ia tidak sempat mengelak, dengan tepat kaki kanan termakan, seketika kaki Tan Tiong-ci sakit dan lemas sehingga berlutut. "Huh, apa gunanya berlutut dan minta ampun?" demikian Ko Sam-niocu balas mengejek. Sekarang Tan Tiong-ci yang menjadi murka, ia cabut pisau yang menancap di kakinya itu terus menerjang maju. Akan tetapi Hong Liang telah putar ruyungnya dan menyabet sehingga Tiong-ci terpaksa mundur lagi. Tampaknya pertempuran total segera dapat terjadi, untunglah pada saat itu mendadak Ciok Boh-thian lantas berseru, "Jangan berkelahi! Jangan berkelahi! Kalian ingin bertemu dengan aku, bukankah kalian sudah bertemu sekarang?" Sembari bicara ia lantas keluar dari tempat sembunyinya dengan gandeng tangan si Ting Tong, hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah berdiri di tengah-tengah orang banyak. Serentak Tan Tiong-ci dan Hong Liang yang telah siap-siap bertempur tadi lantas melompat mundur, segenap anggota Tiang-lok-pang lantas bersorak gemuruh dan sama memberi sembah hormat, "Pangcu sudah tiba!" Keruan Hoan It-hui dan lain-lain sangat terkejut. Sebenarnya dia merasa sangsi, tapi kalau melihat sikap anggota-anggota Tiang-lok-pang yang sungguh-sungguh itu rasanya toh tidaklah pura-pura. Lalu terpikir olehnya, "Ya, Inkong mengaku she Ciok, usianya masih muda, ilmu silatnya sangat tinggi, memangnya tidaklah mengherankan juga dia adalah Pangcu Tiang-lok-pang, adalah salah kami sendiri yang tidak berpikir

sampai begini jauh." Ko Sam-niocu juga lantas menyapa, "Eh. Ciok... Ciok-inkong, kiranya kau adalah... adalah Pangcu Tiang-lok-pang? Ai, kami benar-benar terlalu sembrono. Tahu begini, masakah kami berani tidak memercayai lagi?" Boh-thian hanya tersenyum, katanya kepada Pwe Hay-ciok, "Pwe-siansing, sungguh tidak nyana bahwa kita akan bertemu di sini. Mereka ini adalah sahabatku semua, jangan kita saling cekcok." Memangnya Pwe Hay-ciok juga sangat girang atas munculnya Ciok Boh-thian, ia pun tiada permusuhan apa-apa dengan jago-jago Kwantang itu, segera ia memberi hormat dan menjawab, "Pangcu sudah datang sendiri, maka segala sesuatu terserah kepada kebijaksanaan Pangcu."

"Sungguh kami tidak pernah menduga bahwa pangcu baru Tiang-lok-pang kiranya adalah Inkong," demikian Ko Sam-niocu berkata. "Kami telah percaya kepada berita bohong yang mengatakan Tonghong-toako dicelakai kaum pengkhianat, makanya kami lantas mengadakan janji pertemuan dengan Pang kalian. Tapi jika Pangcu baru ternyata adalah Inkong adanya, dengan budi luhur Inkong ini tidaklah mungkin berbuat sesuatu yang tidak pantas terhadap Tonghong-toako, kami percaya pasti Tonghong-toako yang penujui Inkong karena nyata-nyata berjiwa luhur dan berkepandaian tinggi, maka beliau rela mengundurkan diri dan memberikan tempatnya kepada tenaga muda. Cuma keadaan Tonghong-toako entah baik-baik atau tidak?" Ciok Boh-thian menjadi bingung untuk menjawabnya. Ia berpaling dan coba bertanya kepada Pwe-tayhu, "Tonghong... Tonghong-toako ini...." "O, Tonghong-pangcu telah mengasingkan diri di pegunungan sunyi, beliau tidak mau menemui tetamu dari mana pun juga," jawab Pwe Hay-ciok. "Ya, sayang, kalian yang penuh menaruh perhatian atas diri beliau dan sengaja datang dari jauh, mestinya memang harus bertemu dengan beliau."

"Tadi ucapan Cayhe mungkin agak kasar, untuk mana haraplah Pwe-siansing suka memberi maaf," kata Hoan It-hui sambil

memberi hormat. Lalu sambungnya pula, "Hanya saja hubungan, kami dengan Tonghong-toako boleh dikata lain daripada yang lain, maka betapa pun juga kami harap dapatlah bertemu sejenak dengan beliau, untuk ini mohon Inkong dan Pwe-siansing sudi meluluskan. Walaupun Tonghong-toako menyatakan tidak mau menemui orang luar, tapi kami ini bukanlah orang luar."

"Tempat tirakat Tonghong-toako itu entah jauh atau tidak?" kata Boh-thian kepada Pwe Hay-ciok. "Sesungguhnya memang sangat mengecewakan bila kedatangan Hoan-toako dan kawan-kawannya dari tempat sejauh ini ternyata tidak dapat bertemu dengan beliau." Pwe Hay-ciok menjadi serbasusah. Setiap ucapan sang pangcu boleh dikata adalah perintah. Tapi apa yang terjadi di antara persoalan pangcu lama dan baru tampaknya sudah dilupakan seluruhnya olehnya, di hadapan orang banyak tidak leluasa pula untuk mengingatkannya kembali. Terpaksa ia mengulur tempo dan berkata, "Untuk ini seketika juga susah diterangkan. Sementara ini silakan para tamu mampir dulu di markas kita yang terletak tidak jauh dari sini, sambil minum sekadarnya perlahan-lahan kita dapat membicarakannya lagi."

"Markas kita terletak tidak jauh dari sini?" Boh-thian menegas dengan heran. Pwe-tayhu memandang sekejap kepada pemuda itu. "Penyakit linglung Pangcu kembali kumat lagi?" pikirnya. Tapi ia pun lantas menjawab, "Dari sini menuju ke timur laut, dengan mengambil jalan singkat kita hanya perlu menempuh 50-an li saja sudah dapat sampai di markas besar kita di Yangciu." Baru sekarang Boh-thian sadar telah disasarkan oleh si Ting Tong. Waktu dia memandang si nona, si Ting Tong telah menjawabnya dengan menjulurkan lidah dan tertawa. Hoan It-hui dan kawan-kawannya memang ingin mencari tahu di mana beradanya Tonghong Heng, maka mereka lantas menerima baik undangan Pwe Hay-ciok. Begitulah beramai-ramai mereka lantas berangkat ke jurusan timur laut. Menjelang pagi mereka sudah sampai di markas besar Tiang-lok-pang. Petugas-petugas penyambut tamu sibuk melayani Hoan It-hui dan kawan-kawannya. Sedangkan Ciok Boh-thian dan si Ting Tong lantas masuk ke ruangan dalam. Melihat sang pangcu telah pulang, Si Kiam sangat girang dan kejut pula ketika melihat beliau membawa pulang seorang nona cantik. Pikirnya, "Baru saja kesehatannya sedikit pulih, sekarang penyakit bangornya sudah kumat lagi. Tadinya kukira dia akan berubah kelakuannya yang buruk ini, siapa duga dia tetap demikian. Ya, memangnya kalau sifatnya itu dapat berubah, tentu matahari akan muncul dari arah barat." Sesudah cuci muka dan baru saja Boh-thian minum teh, terdengarlah Pwe Hay-ciok berseru di luar kamar, "Enci Si Kiam, harap sampaikan kepada Pangcu bahwa Pwe Hay-ciok mohon bertemu."

Bab 35. Pek Ban-kiam Menerjang ke Sarang Tiang-lok-pang

Tanpa menunggu laporan Si Kiam, segera Boh-thian keluar dan berkata, "Pwe-siansing, memangnya aku ingin bicara dengan kau. Sebenarnya bagaimana duduknya perkara tentang Tonghong-pangcu?"

"Harap Pangcu ikut kemari," sahut Pwe Hay-ciok, Ia membawa Boh-thian menyusur taman dan sampailah di suatu gardu pemandangan. Ia menunggu Boh-thian mengambil tempat duduk, habis itu barulah dia sendiri pun berduduk. Lalu katanya, "Sesudah Pangcu menderita sakit ini, jangan-jangan telah melupakan semua kejadian di masa lampau?" Boh-thian sendiri sudah mendengar pembicaraan ayah-ibunya dan mengetahui sebabnya orang-orang Tiang-lok-pang mengangkatnya menjadi pangcu sebenarnya tidak dengan iktikad baik, tapi justru ingin memperalat dan mengorbankan jiwanya demi keselamatan orang banyak di dalam Pang mereka. Hanya saja selama ini Pwe Hay-ciok selalu ramah tamah dan sangat menghormat padanya, di waktu dirinya menderita sakit payah juga berkat pengobatannya yang tekun, biar bagaimanapun juga orang tua itu telah banyak mengurangi penderitaannya. Jika sekarang dirinya menegur dengan terus terang, tentu akan membuatnya kikuk. Apalagi kejadian-kejadian di masa dahulu memangnya dirinya juga sudah lupa, untuk ini perlu juga mendapat keterangan yang jelas. Maka ia lantas menjawab, "Ya, benar! Harap Pwe-siansing sudi menguraikannya dari awal sampai akhir sejelas-jelasnya."

"Tonghong-pangcu yang dulu nama lengkapnya adalah Tonghong Heng, berjuluk Pat-jiau-kim-liong (Si Naga Emas Delapan Cakar), beliau adalah Pangcu punya susiok, apakah Pangcu masih ingat?"

"Aku punya susiok?" Boh-thian menegas dengan heran. "Mengapa... mengapa aku tidak ingat sedikit pun? Dari aliran dan golongan manakah dia itu?"

"Tentang asal usul perguruan Tonghong-pangcu, karena kami adalah kaum bawahan dan tidak pantas untuk tanya kepada beliau," sahut Pwe Hay-ciok. "Tiga tahun yang lalu, Pangcu sendiri mendapat perintah Suhu...."

"Mendapat perintah Suhu? Siapa sih guruku?" tanya Boh-thian. Hay-ciok menggeleng-geleng kepala. Katanya, "Penyakit Pangcu ini benar-benar sangat parah, sampai-sampai gurunya sendiri pun sudah terlupa. Tentang perguruan Pangcu, kami sebagai bawahan juga tidak mengetahui. Tempo hari, itu Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay menuduh Pangcu adalah murid pelarian dari Swat-san-pay mereka, hal ini pun membuat Siokhe (bawahan) merasa heran." Sampai di sini ia lantas berhenti, agaknya mengharap agar Boh-thian menyambungnya dan membeberkan asal usul perguruannya sendiri. Tapi Boh-thian cuma menerangkan, "Tentang guruku, aku hanya pernah mengangkat Su-popo dari Kim-oh-pay sebagai suhu, hal ini pun baru terjadi tidak lama berselang." Lalu ia ketok-ketok dahi sendiri karena apa yang diingatnya selalu berbeda daripada apa yang dikatakan orang lain, hal demikian ini membuatnya sangat kesal. Kemudian ia menanya lagi, "Lalu bagaimana sesudah aku mendapat perintah dari guruku?"

"Atas perintah guru Pangcu, maka Pangcu telah datang menumpang kepada Tonghong-pangcu dan mohon bimbingannya agar dapat menambah pengalaman. Tidak lama kemudian Pang kita lantas terjadi suatu urusan penting, yaitu mengenai medali tembaga tanda undangan Siang-sian dan Hwat-ok Sucia. Tentang ini apakah Pangcu masih ingat?"

"Tentang medali dari Siang-sian dan Hwat-ok itu memang aku mengetahui," sahut Boh-thian, "tapi bagaimana dan apa yang dirundingkan pada waktu itu, hal ini sedikit pun aku tidak ingat lagi."

"Begini, menurut tradisi Pang kita, setiap tahun satu kali kita mesti mengadakan sidang pleno pada tanggal tiga bulan tiga," demikian Pwe Hay-ciok menjelaskan. "Pada hari itu berkumpul para hiangcu dari pusat dan para thocu dari cabang-cabang diberbagai tempat. Pada suatu sidang besar tiga tahun yang lalu tiba-tiba ada kawan menyinggung tentang kemajuan Pang kita yang pesat, lewat dua-tiga tahun lagi soal undangan medali tembaga akan muncul pula di Kangouw, tatkala mana rasanya Pang kita takkan terhindar daripada undangannya, lalu cara bagaimana harus menghadapinya, ini harus dirundingkan sekalian supaya tiba saatnya nanti tidak tergesa-gesa dan bingung."

"Ya, benar itu," ujar Boh-thian sambil mengangguk. "Bila medali tembaga rasul-rasul itu sudah disampaikan, kalau Pangcu tidak mau terima dan berjanji akan hadir, maka segenap anggota tentu akan ikut menjadi korban. Hal ini aku sudah menyaksikan sendiri."

"Pangcu telah menyaksikan sendiri?" tanya Hay-ciok terheran-heran. "Sesungguhnya saja aku bukan pangcu kalian," kata Boh-thian. "Cuma tentang Siang-sian dan Hwat-ok Sucia itu aku memang telah menyaksikannya sendiri, yaitu ketika mereka membunuh habis-habisan orang-orang Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe." Tentang tertumpasnya Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe lantaran menolak untuk menerima medali tembaga, berita-berita itu sudah lama didengar oleh orang-orang Tiang-lok-pang.

Pwe Hay-ciok menghela napas, lalu berkata pula, "Kita juga sudah menduga akan tiba suatu hari nahas seperti kawan-kawan Kangouw itu, sebab itulah hiangcu yang dahulu mengemukakan persoalan ini sesungguhnya cukup beralasan. Cuma saja Tonghong-pangcu menjadi gusar dan anggap hiangcu she Ho itu sengaja menjangkitkan perasaan takut dan mengeruhkan suasana, segera beliau memerintahkan Ho-hiangcu itu ditahan. Ketika para kawan memohonkan ampun bagi Ho-hiangcu, pada lahirnya Tonghong-pangcu menyatakan baik, tapi pada malamnya Ho-hiangcu itu lantas dibunuh olehnya, besok paginya diumumkan katanya Ho-hiangcu telah membunuh diri karena takut kepada dosanya sendiri."

"Mengapa beliau berbuat demikian?" tanya Boh-thian. "Ya, mungkin Tonghong-pangcu ada permusuhan pribadi dengan Ho-hiangcu itu, kesempatan itu lantas digunakan untuk membunuhnya."

"Tidak, tidak begitulah soalnya," kata Pwe Hay-ciok sambil menggeleng. "Alasan yang sesungguhnya adalah karena

Tonghong-pangcu tidak ingin orang lain mengungkat soal medali tembaga itu."

"O," Boh-thian mengangguk dan pahamlah dia. Hendaklah maklum bahwa sebenarnya dia mempunyai bakat yang pintar, soalnya dia jarang bergaul sehingga seluk-beluk orang hidup sama sekali asing baginya. Tapi akhir-akhir ini dia telah berkumpul dengan Ting Tong, selama beberapa hari berbicara dan tukar pikiran pula dengan Ciok Jing dan Bin Ju, maka sekarang ia telah dapat meraba pikiran orang lain, Pikirnya, "Rupanya Tonghong-pangcu sadar bila terima undangan medali tembaga, maka berarti akan tamatlah riwayatnya. Sebaliknya kalau tidak mau terima medali itu, tentu segenap anggota akan ikut berkorban. Lantaran soal yang serbamenyusahkan ini, maka beliau tidak mau soal sulit itu disebut-sebut." Dalam pada itu Pwe Hay-ciok telah menyambung ceritanya, "Sudah tentu para kawan mengetahui bahwa beliau sendiri yang telah membunuh Ho-hiangcu. Dari perbuatannya ini para kawan lantas dapat menarik kesimpulan bahwa kelak bila medali tembaga itu disodorkan kepadanya, tentu beliau akan menolak, tidak mungkin beliau rela mengorbankan diri sendiri untuk keselamatan para kawan. Tatkala itu semua orang hanya membatin saja, tapi tiada yang berani membuka suara. Pada saat itulah, hanya engkau Pangcu yang telah tampil ke muka dan menegur Tonghong-pangcu atau susiokmu itu."

"Aku... aku yang tampil ke muka dan... dan menegurnya?" Boh-thian menegas dengan terheran-heran. "Benar!" sahut Hay-ciok. "Waktu itu dengan tegas Pangcu telah berkata, `Susiok, sebagai seorang pangcu, hendaklah engkau berpikir panjang demi kepentingan Pang kita di kemudian hari. Hari munculnya Siang-sian dan Hwat-ok Sucia sebab tidak jauh lagi, sebabnya Ho-hiangcu mengemukakan soal ini juga mengingat kebaikan kita bersama, tapi Susiok telah mendesaknya sehingga dia membunuh diri, hal ini mungkin akan menimbulkan rasa penasaran para kawan.' -- Tonghong- pangcu menjadi gusar dan mendamprat engkau, `Anak kurang ajar! Di tengah sidang ini masakah kau berani ikut bicara? Akulah yang mendirikan Tiang-lok-pang, kalau mau runtuh biarlah aku pula yang meruntuhkannya, orang lain tidak perlu banyak bacot.' -- Ucapan Tonghong-pangcu itu lebih-lebih menimbulkan rasa kurang puas para kawan. Tapi Pangcu sendiri lantas berkata, `Susiok, engkau akan terima medali tembaga atau tidak, akhirnya toh tetap akan mati, apa sih bedanya? Jika engkau tidak mau terima, paling-paling jiwa kawan-kawan yang setia ini akan ikut menjadi korban, cara demikian apa manfaatnya bagimu? Maka ada lebih baik kalau Susiok menerima medali secara kesatria sehingga segenap anggota Pang kita pasti akan selamanya teringat kepada budi kebaikanmu.'"

"Ya, benar juga kata-kata ini," ujar Boh-thian sambil angguk-angguk. "Akan tetapi... akan tetapi, Pwe-siansing, aku merasa tidak... tidak mahir bicara sebagus itu. Aku tidak mampu mengucapkan kata-kata seindah itu."

"Ah, mengapa Pangcu mesti merendah hati?" kata Hay-ciok dengan tersenyum. "Soalnya Pangcu baru saja sembuh dari sakit keras, maka daya ingatanmu belum lagi pulih. Kelak bila kesehatanmu sudah pulih, tentang kepandaianmu berbicara dan berdebat, jangankan segenap kawan kita, sekalipun tokoh-tokoh Kangouw pada masa kini juga tiada seorang pun yang dapat menandingi engkau."

"Apa ya?" kata Boh-thian dengan setengah percaya dan setengah ragu-ragu. "Lalu... lalu bagaimana sesudah aku berkata begitu?"

"Seketika muka Tonghong-pangcu lantas merah padam," tutur Pwe Hay-ciok. "Beliau menggebrak meja dan berteriak-teriak, `Kurang ajar! Hayo, lekas... lekas ringkus bocah murtad ini!' -- Tetapi meski dia membentak berulang-ulang, semua orang hanya saling pandang belaka dan tiada seorang pun yang bergerak. Keruan Tonghong-pangcu semakin murka, dia berteriak-teriak, `Ha! Jadi kalian telah bersekongkol dengan bocah ini dan hendak berontak padaku? Baik, kalian tidak mau turut perintah, biarlah aku sendiri yang membinasakan bocah keparat ini!'"

"Apakah para kawan tidak dapat mencegahnya?" tanya Boh-thian. "Sudah tentu semua orang tidak mau turut perintahnya, tapi tetap tiada seorang pun yang berani bersuara," kata Hay-ciok. "Segera Tonghong-pangcu mengeluarkan senjatanya, Pat-jiau-

hui-coa (Cengkeram Bercakar Delapan), kontan dia lantas menyerang engkau, Pangcu. Tapi dengan cepat engkau sempat

menghindar. Berulang-ulang Tonghong-pangcu melancarkan serangan mematikan, tapi satu per satu dapat dielakkan olehmu, sebaliknya engkau tetap tidak balas menyerang. Permainan cengkeram delapan cakar Tonghong-pangcu itu terhitung suatu kepandaian tunggal di dunia persilatan, tapi engkau mampu menghindarkan beberapa kali serangannya, hal ini sudah boleh dikata sangat hebat, Saat itu Bi-hiangcu lantas berseru, `Pangcu, sutitmu telah mengalah beberapa kali seranganmu tanpa membalas, hal ini adalah karena dia menghormati engkau sebagai pangcu dan susioknya, jika engkau menyerang secara ganas lagi, tentu seluruh kesatria dijagat ini akan anggap kau yang salah.'

"Tapi Tonghong-pangcu tambah murka, bentaknya, `Boleh kau suruh dia balas menyerang saja! Memangnya kalian sudah condong padanya, jika perlu bolehlah kalian maju semua dan bunuhlah aku, angkatlah bocah ini sebagai pangcu, supaya terlaksana maksud tujuan kalian!' -- Sambil memaki serangan-serangannya tidak pernah berhenti sehingga engkau berulang-ulang terancam bahaya, tampaknya dengan segera jiwamu akan melayang di bawah senjatanya. "Pada saat itulah Tian-hiangcu telah berseru padamu, `Terimalah pedang ini, Saudara Ciok!' -- Berbareng dia lantas melemparkan sebatang pedang padamu. Sesudah bersenjata engkau mengalah tiga jurus lagi, lalu berkata, `Susiok, aku sudah mengalah lebih 20 jurus, jika kau tetap mendesak, janganlah menyalahkan aku berlaku kasar padamu.' -- Akan tetapi dengan sinar mata yang buas Tonghong-pangcu menjawab kau dengan serangan keji, mukamu segera hendak dicakar dengan senjatanya. "Para kawan menjadi penasaran dan berteriak-teriak menganjurkan engkau membalas serangannya. Akhirnya barulah engkau mengucapkan maaf, lalu melancarkan

serangan balasan. Pertarungan kalian menjadi sangat seru. Kepandaian Tonghong-pangcu dan Pangcu adalah berasal dari suatu perguruan, keruan para kawan susah membedakan siapa yang lebih unggul. "Namun sesudah sekian lamanya, akhirnya semua orang dapat melihat jelas bahwa Pangcu engkau belum mengeluarkan segenap tenaga dan terang masih mengalah padanya, sebaliknya Tonghong-pangcu menyerang semakin kalap. Akhirnya dengan sejurus yang menyerupai `Sun-cui-tui-ciu' (Mendorong Perahu Menurut Arus) dapatlah engkau menusuk pergelangan tangannya, hui-jiau terjatuh ke lantai, tapi engkau tidak menyerang lebih jauh, sebaliknya lantas menarik senjata dan melompat mundur malah. "Dengan muka pucat Tonghong-pangcu terpaku di tempatnya, sinar matanya menyapu ke muka para kawan satu per satu. Keadaan sunyi senyap, tiada seorang pun yang membuka suara. Selang agak lama barulah Tonghong-pangcu berkata dengan nada iba, `Ya, baik, baik!' -- Lalu ia melangkah keluar dengan cepat. Para kawan hanya menyaksikan kepergiannya itu dan tetap tidak seorang pun yang bersuara. "Dengan perginya Tonghong-pangcu itu, teranglah beliau merasa malu untuk kembali lagi. Tapi Pang kita tidak boleh tanpa pimpinan, maka beramai-ramai para kawan lantas mengangkat engkau sebagai pangcu. Waktu itu dengan rendah hati engkau berkata, `Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa, sebenarnya aku tidak berani menanggung kewajiban seberat ini. Cuma saja mengingat dua-tiga tahun lagi akan muncul pula soal medali tembaga, maka sementara ini biarlah aku menjabat kedudukan ini, jika medali tembaga itu diantar kemari, akulah yang akan menerimanya dengan baik untuk menanggung segala akibatnya.'

"Mendengar pernyataanmu itu, serentak para kawan bersorak gembira dan lantas menyembah padamu. Kepandaianmu tinggi dan telah menundukkan Tonghong-pangcu, sekarang engkau menyanggupi pula berkorban bagi orang banyak, budi kebaikanmu itu sungguh tiada taranya. Para kawan merasa tidak kecewa telah mendukung engkau sebagai pangcu."

"O, makanya beberapa kali aku melancong keluar, kalian menjadi panik dan khawatir kalau-kalau aku tidak pulang lagi," kata Boh-thian. Muka Pwe Hay-ciok menjadi merah. Cepat ia berkata, "Kami hanya khawatirkan keselamatan Pangcu. Selama ini walaupun Pangcu agak keras terhadap para kawan, tapi budi kebaikan Pangcu tetap membuat kami berterima kasih."

"Pwe-siansing," kata Boh-thian sesudah merenung sejenak, "kejadian-kejadian di masa lampau aku sudah tidak ingat lagi.

Maka hendaklah kau jangan menutupi apa adanya, sebenarnya aku pernah berbuat kesalahan-kesalahan atau tidak?"

"Dikatakan kesalahan, sebenarnya juga jamak," ujar Pwe Hay-ciok dengan tersenyum. "Usia Pangcu masih muda, tentu juga agak romantis dan suka pelesir. Pula wanita-wanita itu kebanyakan adalah sukarela, tidaklah banyak terjadi pemaksaan. Nama Tiang-lok-pang kita memangnya tidak terlalu disukai orang luar, andaikan terjadi apa-apa juga dianggap sepele saja oleh para kawan." Diam-diam Boh-thian sangat mencela kepada dirinya sendiri. Ia tahu ucapan Pwe Hay-ciok itu meski kedengaran soal sepele, tapi jelas selama beberapa tahun ini dirinya pasti sudah banyak melakukan perbuatan tidak senonoh, yaitu dalam hal main perempuan. Akan tetapi sudah dipikir dan diingat kembali, rasanya selain si Ting Tong toh dirinya tidak pernah berhubungan dengan perempuan lain lagi. "Pangcu," Hay-ciok berkata pula, "Siokhe ingin mengemukakan sesuatu yang agak menyinggung, entah Pangcu sudi mendengarkan atau tidak?"

"O, ya, aku justru ingin mendapat petunjuk-petunjuk Pwe-siansing silakan bicara terus terang saja," sahut Boh-thian cepat. "Bahwasanya Tiang-lok-pang terpaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan gelap, hal ini memang susah dihindarkan, kalau

tidak daripada kita memperoleh pembiayaan sandang-pangan bagi beberapa ribu anggota Pang kita? Memangnya kita juga bukan kaum kesatria dari kalangan pek-to (golongan baik-baik) sehingga tidak perlu patuh kepada adat peraturan mereka yang tengik. Cuma saja mengenai putri atau istri bawahannya sendiri, menurut pendapat Siokhe ada lebih baik Pangcu jangan terlalu menggubrisnya agar... agar tidak menimbulkan sengketa di antara saudara-saudara kita sendiri." Seketika muka Boh-thian merah jengah. Teringat olehnya pada malam itu Tian-hiangcu telah berusaha membunuhnya dengan menuduh dirinya telah mencemarkan kehormatan istri hiangcu itu. Karena dirinya kena penyakit hilang ingatan, bukan mustahil hal demikian itu memang betul terjadi, wah, lantas bagaimana baiknya sekarang? Dalam pada itu Pwe Hay-ciok telah berkata pula, "Tingkah laku Ting Put-sam, Ting-losiansing itu rada aneh, ilmu silatnya juga sangat tinggi, jika Pangcu berhubungan dengan cucu perempuannya, kelak kalau Pangcu membuangnya lagi, mungkin Ting-losiansing tidak mau terima dan hal ini berarti akan menambah permusuhan...."

"Mana bisa aku membuangnya?" sela Boh-thian. Hay-ciok tersenyum, katanya, "Di waktu Pangcu sedang menyukai seorang nona sudah tentu Pangcu menganggapnya sebagai jantung hati kesayangan. Cuma biasanya Pangcu tidak bisa lama menyukai nona-nona itu. Tentang nona Ting, jika Pangcu benar-benar suka padanya juga tidak menjadi soal, tapi janganlah sekali-kali mengadakan upacara nikah segala supaya tidak masuk perangkap Ting-losiansing itu."

"Akan tetapi aku... aku sudah menikah dengan dia," kata Boh-thian dengan rada tergagap. "Ya, waktu itu penyakit Pangcu belum lagi sembuh, besar kemungkinan dalam keadaan tak sadar Pangcu telah terjerat oleh perangkap Ting Put-sam, hal ini pun tidak perlu dianggap," ujar Hay-ciok.  Boh-thian mengerut dahi dan merasa bingung untuk menjawabnya. Sampai di sini Hay-ciok merasa sudah cukup membicarakan soal pribadi sang pangcu, kalau melampaui batas boleh jadi akan mendatangkan rasa rikuh malah. Maka ia lantas membelokkan pokok pembicaraan, katanya, "Su-tay-mui-pay dari Kwantang telah datang kemari dengan garang sekali, tapi begitu bertemu dengan Pangcu sikap mereka lantas lunak, bahkan memanggil inkong tak habis-habis, hal ini menandakan budi luhur dan wibawa Pangcu yang tiada bandingannya." Kiranya tentang Ciok Boh-thian menggempur lari Ting Put-si serta menolong jiwa Ko Sam-niocu dan kawan-kawannya, di tengah jalan jago-jago Kwantang itu sudah bercerita kepada orang-orang Tiang-lok-pang, dan sudah tentu banyak dibumbu-bumbui. Maka Pwe Hay-ciok berkata pula, "Meski ilmu silat orang-orang itu selisih sangat jauh dibandingkan Pangcu, tapi di dunia persilatan mereka pun tergolong tokoh-tokoh ternama. Mereka telah utang budi kepada Pangcu, kesempatan ini dapat digunakan untuk merangkul mereka. Jika nanti mereka bertanya pula tentang Tonghong-pangcu, hendaklah Pangcu menjawab bahwa Tonghong-pangcu sudah mengundurkan diri, kejadian yang Siokhe ceritakan tadi tidaklah perlu diberitahukan kepada mereka agar tidak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan."

"Ya, saran Pwe-siansing ini memang beralasan," kata Boh-thian sambil mengangguk. Sesudah bicara sejenak pula, kemudian Pwe Hay-ciok mengeluarkan sehelai daftar dan melaporkan tentang keuangan organisasi, tentang mutasi petugas, tentang

penerimaan sumbangan dari pelabuhan atau dari gunung mana. Sudah tentu Ciok Boh-thian tidak paham tentang administrasi segala, apalagi dia memang buta huruf, maka dia hanya mengiakan saja atas laporan Pwe Hay-ciok itu. Cuma sekarang lantas diketahuinya juga bahwa apa yang dilakukan oleh Tiang-lok-pang kiranya adalah hal-hal yang tidak halal, banyak diterima upeti dari kaum begal di berbagai tempat, hakikatnya adalah persekongkolan dan membagi rezeki. Hati Boh-thian merasa tidak enak, tapi tidak tahu cara bagaimana harus bicara kepada Pwe Hay-ciok. Malamnya diadakan perjamuan besar-besaran untuk menghormati jago-jago dari Kwantang itu. Hoan It-hui, Ko Sam-niocu, Hong Liang, dan Lu Cing-peng berempat duduk di

tempat yang terhormat dengan diiringi Ciok Boh-thian, Pwe Hay-ciok, dan si Ting Tong. Sesudah saling angkat gelas serta mengobrol hal-hal yang biasa, kemudian Hoan It-hui berkata, "Dengan bakat Inkong yang tinggi ini sehingga Tiang-lok-pang semakin berkembang dan jaya, untuk ini Tonghong-toako tentu juga merasa sangat senang."

"Saat ini Tonghong-pangcu sendiri sedang menikmati kehidupannya yang aman dan tenteram, beliau tidak mau ikut campur lagi urusan-urusan dalam Pang, maka kami pun tidak berani melaporkan sesuatu kepadanya," kata Hay-ciok. Dan baru Hoan It-hui ingin memancing lebih jauh untuk mendapatkan keterangan tentang diri Tonghong Heng, tiba-tiba wakil hiangcu dari Hou-beng-tong mendekati Pwe Hay-ciok dengan tergesa-gesa dan membisiki apa-apa kepadanya. Lalu Hay-ciok mengangguk dengan tersenyum. Kemudian ia berpaling dan berkata kepada Ciok Boh-thian, "Harap Pangcu maklum bahwa Swat-san-pay telah mengirim bala bantuan kemari dengan maksud menolong kawan-kawan mereka. Di luar dugaan mereka, bukannya berhasil menolong kawan mereka, sebaliknya dua orang di antara penyatron baru itu kembali diringkus kita lagi."

"Ha, anak murid Swat-san-pay telah kita tawan?" Boh-thian menegas dengan terkejut. "Tempo hari sesudah Pangcu meninggalkan markas bersama Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay itu, Siokhe dan para kawan merasa khawatir kalau-kalau Pangcu kena diingusi oleh orang she Pek itu, maka menyusul para kawan lantas bergerak serentak untuk mencari jejak Pangcu," demikian Pwe Hay-ciok menjawab tanpa menjelaskan ditawannya Ciok Boh-thian oleh Pek Ban-kiam dahulu supaya tidak kehilangan muka dihadapan jago-jago Kwantang itu, "Di tengah jalan kita telah pergoki serombongan mereka di sini. Cuma sayang Pek Ban-kiam itu cukup cerdik sehingga hanya ia sendiri yang berhasil lolos."

"Dan bagaimana dengan nona Hoa Ban-ci itu?" mendadak siTing Tong menimbrung. "Dia sudah tertawan lebih dulu pada rombongan pertama, tatkala mana nona Ting juga berada di sini, bukan?" sahut Hay-ciok. "Pertama kali itu seluruhnya kita telah menawan tujuh orang Swat-san-pay." Hoan It-hui dan kawan-kawannya terperanjat. Sungguh tak terduga oleh mereka bahwa Swat-san-pay yang begitu tersohor ternyata sudah dikalahkan habis-habisan oleh Tiang-lok-pang. Maka Pwe Hay-ciok menyambung pula, "Ketika kita memeriksa dan menanyakan jejak Pangcu kepada anak murid Swat-san-pay itu, mereka sama mengaku bahwa pada malam itu juga Pangcu telah meninggalkan kelenteng kecil itu, kemudian tidak pernah bertemu lagi. Setelah yakin keadaan Pangcu tidak kurang suatu apa pun, Siokhe dan para kawan barulah merasa lega. Sekarang terserahlah kepada kebijaksanaan Pangcu cara bagaimana akan memperlakukan orang-orang Swat-san-pay itu." Diam-diam Boh-thian membatin, "Menurut cerita ayah-ibu, katanya dahulu aku pernah berguru kepada Swat-san-pay dan orang-orang Swat-san-pay ini masih terhitung paman guruku. Sekarang mana boleh aku menahan mereka apalagi menghukum mati mereka?" Maka berkatalah Boh-thian, "Kukira di antara kita dan Swat-san-pay telah terjadi sedikit salah paham, maka lebih baik...lebih baik berkawan saja daripada mencari lawan. Pwe-siansing, kukira bebaskan mereka saja dan undang mereka ikut makan minum sekalian, bagaimana pendapatmu?"

"Jika Pangcu anggap jalan ini adalah paling baik, nyata sekali keluhuran budi Pangcu ini harus dipuji," sahut Pwe Hay-ciok dengan tertawa. Segera ia memberi perintah, "Bawalah kemari orang-orang Swat-san-pay itu!" Wakil hiangcu tadi mengiakan terus berlalu. Sejenak kemudian empat anggota Tiang-lok-pang telah menggiring datang dua lelaki berbaju putih. Tangan kedua orang itu terikat telikung, baju mereka berlepotan darah, agaknya sebelum tertawan mereka telah melawan mati-matian sehingga terluka. "Lekas maju dan menyembah kepada Pangcu!" bentak wakil hiangcu tadi. Lelaki yang berusia lebih tua hanya mendelik saja. Sebaliknya kawannya berumur 30-an itu lantas mencaci maki, "Sembah apa? Jika berani bolehlah bunuh saja tuan besarmu ini! Kalian kawanan bandit yang kejam ini adakalanya tentu akan menerima ganjaran yang setimpal. Tunggulah kedatangan guruku, Wi-tek Siansing, beliau akan mencincang kalian sehingga hancur luluh untuk membalas dendam kami."

"Dampratan Si-sute sangat tepat! Ya, makilah mereka, bandit anjing! Maling yang tidak tahu malu!" demikian mendadak suara seorang yang keras menanggapi dari luar. Menyusul terdengarlah suara gemerencing nyaringnya rantai besi makin mendekat. Tertampaklah 20-an orang Swat-san-pay yang terborgol semua telah memasuki ruang pendopo dengan bersitegang leher. Kheng Ban-ciong, Houyan Ban-sian, Kwan Ban-lu, Kwa Ban-kin, Ong Ban-jim, Hoa Ban-ci, semuanya termasuk di antara

tawanan-tawanan itu. Bahkan Ong Ban-ek yang memiliki ginkang tertinggi sekarang juga ikut tertangkap. Begitu masuk, Ong Ban-jim dan kawan-kawannya lantas mencaci maki lebih keras lagi, ada pula di antaranya berteriak murka, "Huh, dasar bangsat pengecut, hanya pandai main asap pembius dan obat tidur, perbuatan demikian biasanya cuma dilakukan oleh golongan maling ayam yang rendah!" Mendengar itu. Hoan It-hui saling pandang sekejap dengan kawan-kawannya. Pikir mereka jika apa yang dituduhkan orang-orang Swat-san-pay itu benar, memang perbuatan demikian itu bukanlah sesuatu yang gemilang walaupun berhasil membekuk lawan-lawannya. Rupanya Pwe Hay-ciok dapat menduga pikiran jago-jago Kwantang itu, segera ia berbangkit. Katanya dengan tertawa, "Ya, memang tempo hari kami telah menggunakan obat tidur, hal ini bukanlah kami takut kepada kepandaian kalian, tapi adalah mengingat hubungan Ciok-pangcu dengan perguruan kalian, kalau sampai kami melukai kalian tentulah tidak baik. Sekarang kalian bergembar-gembor, agaknya kalian merasa penasaran karena telah tertawan. Baik begini saja, boleh kalian maju satu per satu untuk coba-coba padaku, asal salah seorang di antara kalian mampu bertahan sepuluh jurus saja, maka Tiang-lok-pang kami boleh kalian anggap bangsat yang rendah dan pengecut?" Tempo hari dalam pertempuran di markas besar Tiang-lok-pang ini Pwe Hay-ciok telah memperlihatkan kepandaiannya "Ngo-heng-liok-hap-ciang", Kwa Ban-kin dan kawan-kawannya tiada satu pun yang mampu melawannya, hanya dalam dua-tiga jurus saja sudah kena ditutuk roboh semua, maka untuk bergebrak sepuluh jurus dengan Pwe Hay-ciok sekarang memang bukanlah soal mudah. Si Ban-lian, murid Swat-san-pay yang baru sekarang ikut tertawan, dia belum kenal betapa lihainya Pwe Hay-ciok. Sebaliknya ia melihat muka Pwe Hay-ciok pucat kurus seperti orang sakit tebese, sudah tentu ia tidak takut padanya. Terus saja berteriak, "Tiang-lok-pang kalian hanya menang dengan jumlah orang lebih banyak, apanya yang luar biasa? Huh, jangankan sepuluh jurus, biar seratus jurus juga akan Locu layani!"

"Bagus, bagus!" kata Hay-ciok dengan tertawa. "Saudara ini benar-benar pemberani dan harus dipuji. Kita boleh bertaruh saja, jika kau mampu bertahan dalam sepuluh jurus, maka Tiang-lok-pang boleh dianggap sebagai kawanan bangsat pengecut, tapi kalau saudara yang kalah di dalam sepuluh jurus, apakah Swat-san-pay juga boleh dianggap sebagai kawanan bandit pengecut?" Sambil bicara ia terus mendekati Si Ban-lian dan begitu mengebut dengan jarinya, kontan beberapa utas tali yang meringkus di tubuh Si Ban-lian itu lantas putus semua. "Nah, silakan mulai sekarang!" kata Hay-ciok pula dengan tertawa. Hanya dengan sekali kebutan jari saja tali-tali rami sebesar jeriji itu lantas putus semua, padahal tadi Si Ban-lian telah meronta sekuatnya dan tidak mampu melepaskan diri. Keruan muka Ban-lian menjadi pucat, tanpa merasa badannya menjadi gemetar. Pada saat itulah tiba-tiba dari luar ada suara seorang menanggapi ucapan Pwe Hay-ciok tadi, "Bagus, bagus! Jadilah kita bertaruh!" Mendengar suara itu, anak murid Swat-san-pay lantas bergirang, sebaliknya orang-orang Tiang-lok-pang melengak, sampai-sampai Pwe Hay-ciok sendiri juga rada terkejut. Maka tertampaklah seorang yang gagah berwibawa telah muncul di depan pintu. Siapa lagi dia kalau bukan "Gi-han-se-pak" Pek Ban-kiam. Sesudah melangkah masuk, segera Ban-kiam memberi salam kepada Hay-ciok, lalu berkata, "Cayhe tidak becus, tapi ingin coba-coba sepuluh jurus dengan Pwe-siansing." Pwe Hay-ciok tersenyum, sikapnya tetap sangat tenang, tapi batinnya sebenarnya serbarunyam. Menurut kepandaian Pek Ban-kiam, rasanya paling sedikit harus ratusan jurus lebih baru bisa menangkan tokoh Swat-san-pay ini, jadi tidaklah mungkin dapat mengalahkannya di dalam sepuluh jurus saja. Namun sebagai seorang tua yang berpengalaman, hanya berpikir sekejap saja ia lantas menjawab dengan tertawa, "Pertaruhan sepuluh jurus hanya dapat digunakan untuk menggertak para sute Pek-tayhiap saja, sekarang Pek-tayhiap sendiri yang datang, maka syarat pertaruhan ini perlu diubah sedikit. Jika Pek-tayhiap ada minat buat lemaskan otot dengan Cayhe, maka bolehlah kita tentukan saja di dalam dua-tiga ratus jurus."

"O, kiranya apa yang telah diucapkan Pwe-siansing tadi dijilat kembali?" desak Pek Ban-kiam. "Hahaha!" Hay-ciok tertawa. "Pertaruhan sepuluh jurus hanya ditujukan kepada kaum muda yang hijau dan congkak saja, masakah Pek-tayhiap tergolong orang-orang demikian ini?"

"Jika Tiang-lok-pang mau mengaku sebagai kawanan bangsat pengecut, apa halangannya kalau aku dianggap masih hijau dan congkak?" Kiranya sesudah Pek Ban-kiam masuk ke ruang pendopo, ia menjadi mendongkol ketika melihat Ciok Boh-thian duduk terhormat di tengah ruangan, sebaliknya para sutenya bermuka pucat dan teringkus semua. Sebab itulah ia terus pegang kelemahan ucapan Pwe Hay-ciok tadi agar dia mau mengaku bahwa Tiang-lok-pang adalah kawanan bangsat pengecut. Pada saat itulah tiba-tiba di luar ada orang berseru dengan suara lantang, "Nyo Kong dari Ka-hin-hu dan suami-istri Ciok Jing dari Hian-soh-ceng datang berkunjung!" Itulah suaranya Ciok Jing. Ciok Boh-thian sangat girang, cepat ia melompat bangun sambil berseru, "Ayah! Ibu!" Berbareng ia terus berlari keluar. Ketika lewat di samping Pek Ban-kiam, mendadak Ban-kiam pegang tangannya. Karena di luar dugaan, tahu-tahu nadi pergelangan tangan Ciok Boh-thian sudah terpencet. Tapi dia

buru-buru ingin menemui ayah-ibunya, tanpa pikir lagi ia lantas mengebaskan tangannya, di mana tenaga murninya bekerja, seketika Ban-kiam merasa separuh tubuhnya pegal kesemutan, lekas-lekas Ban-kiam lepas tangan, namun tidak urung terasa juga suatu arus tenaga mahadahsyat telah menumbuk ke arahnya, cepat ia melangkah mundur. Air muka Ban-kiam berubah seketika. Dilihatnya Pwe Hay-ciok sedang tersenyum-senyum padanya sambil berkata, "Benar-benar kepandaian yang hebat!" Ucapan ini seperti memuji Ciok Boh-thian, tapi sesungguhnya menyindir kepandaian Pek Ban-kiam terlalu cetek, masih hijau dan sombong. Dalam pada itu tertampaklah Ciok Boh-thian telah masuk kembali mengiring kedatangan Ciok Jing dan Bin Ju, selain itu ada pula seorang tua berjenggot putih dan berbadan tinggi besar. Jarak Yangciu dan Ka-hin-hu tidak terlalu jauh, maka jago-jago Tiang-lok-pang mengenali Nyo Kong adalah tokoh silat ternama di daerah Kanglam, lebih-lebih sang pangcu memanggil Ciok Jing dan Bin Ju sebagai "ayah-ibu", dengan sendirinya mereka lantas berbangkit sebagai tanda hormat. Dengan penuh kasih sayang tertampak Ciok Boh-thian menggandengi tangan Bin Ju. Nyonya itu tersenyum simpul,

katanya kepada Boh-thian, "Sungguh aku sangat khawatir ketika kau menghilang dari hotel kemarin pagi. Tapi ayahmu

mengatakan jangan khawatir, tidak mungkin orang mampu menculik kau lagi. Dia bilang pasti akan bisa mendapat kabar tentang dirimu bila tanya ke Tiang-lok-pang sini, benar juga kau ternyata berada di sini." Sebaliknya muka si Ting Tong menjadi merah atas kedatangan Ciok Jing dan Bin Ju, cepat ia melengos ke arah lain, hanya pasang kuping untuk mendengarkan apa yang dibicarakan mereka. Maka terdengar Ciok Jing suami-istri, Nyo Kong telah bersalaman dengan Pwe Hay-ciok, Hoan It-hui dan lain-lain. Karena sama-sama tokoh persilatan yang ternama, maka masing-masing saling mengucapkan kata-kata pujian kepada kenalan-kenalan baru itu. Lebih-lebih Hoan It-hui dan kawan-kawannya menjadi tambah hormat kepada Ciok Jing dan Bin Ju ketika diketahui mereka adalah ayah-ibunya Ciok Boh-thian. Kemudian Boh-thian berkata kepada Pwe Hay-ciok, "Pwe-siansing, kesatria-kesatria Swat-san-pay ini biarlah kita lepaskan semua saja."

"Atas perintah Pangcu, lepaskan semua `kesatria' Swat-san-pay!" sambung Pwe Hay-ciok dengan tertawa meneruskan perintah Ciok Boh-thian. Kata-kata "kesatria" sengaja diucapkan dengan lebih keras, terang ia sengaja hendak menyindir tawanan tawanannya itu. Belasan anggota Tiang-lok-pang serentak mengiakan atas perintah itu. Lalu petugas-petugas yang bersangkutan sama maju membuka ringkusan dan belenggu atas diri anak murid Swat-san-pay.Tapi dengan muka merah padam sambil meraba gagang pedangnya Pek Ban-kiam lantas membuka suara, "Nanti dulu! Ciok... hm, Ciok-pangcu, Pwe-siansing, mumpung Nyo Kong, Nyo-loenghiong dan Ciok-cengcu suami-istri berada di sini, marilah urusan kita harus dibicarakan dahulu sehingga jelas." Sesudah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, "Kita sebagai orang-orang Bu-lim, jika kita sendiri yang tidak becus sehingga terkalahkan, maka pihak lawan akan membunuh atau menghinanya, biar bagaimanapun adalah lumrah dan mati pun tidak perlu menyesal. Akan tetapi para suteku ini tertawan oleh karena dibius dengan obat tidur, perbuatan Tiang-lok-pang yang rendah dan memalukan ini sebenarnya merugikan nama baik Swat-san-pay atau merusak nama baiknya Tiang-lok-pang sendiri? Dan apa pula yang telah dikatakan oleh Pwe-siansing tadi rasanya tidak ada salahnya untuk diuraikan lagi agar dapat didengar sekalian oleh ketiga orang sobat yang baru datang ini." Pwe Hay-ciok terbatuk-batuk beberapa kali, lalu menjawab dengan tertawa, "Rupanya saudara Pek ini...."

"Siapa yang sudi bersaudara dengan kawanan bangsat yang rendah dan pengecut? Huh, tidak punya malu!" potong Pek Ban-kiam dengan suara bengis. "Ciok-pangcu kami...."

"Pwe-siansing," demikian Ciok Jing menyela sebelum Pwe Hay-ciok bicara lebih jauh, "usia anakku ini masih muda dan pengalamannya cetek, masakah dia memenuhi syarat untuk menjadi pangcu kalian? Belum lama berselang ia pun jatuh sakit keras sehingga melupakan segala kejadian yang lampau. Maka dalam persoalan ini tentu ada salah paham yang besar, sebaiknya sebutan `pangcu' janganlah digunakan lagi. Sebabnya Cayhe mengundang Nyo-loenghiong ke sini justru ingin bikin terang urusan ini. Pek-suheng, soal persengketaan Swat-san-pay kalian dengan Tiang-lok-pang dan anakku yang durhaka ini pernah berdosa pula kepadamu, dua persoalan ini hendaklah dipisah-pisahkan untuk diselesaikan tersendiri-sendiri. Aku orang she Ciok walaupun cuma kaum keroco biasa saja, tapi selamanya tidak sudi berdusta kepada siapa pun juga. Aku ingin mengatakan bahwa putraku ini benar-benar telah melupakan segala apa yang terjadi di masa lampau."

Bab 36. Ciok Boh-thian Tulen dan Palsu, yang Satu Jantan, yang Lain Pengecut

Dan sesudah merandek sejenak, kemudian ia sambung pula dengan suara lantang, "Namun demikian, segala sesuatu yang pernah dilakukan olehnya, tak peduli apakah dia masih ingat atau sudah lupa, pendek kata tidak nanti kami mengelakkan tanggung jawab. Sebaliknya jika perbuatan orang lain yang dilakukan dengan memperalat nama putraku, untuk ini kami menyatakan dengan tegas di sini bahwa semuanya tidak ada sangkut pautnya dengan kami." Seketika heran dan bingunglah semua orang yang hadir di situ, sungguh tiada seorang pun akan menduga bahwa mendadak bisa terjadi hal-hal yang luar biasa ini. "Hehe, hehe, mengapa bicara demikian?" jawab Pek Hay-ciok dengan terkekeh kaku. "Ciok-pangcu kami...." Tiba-tiba Ciok Boh-thian menimbrung, "Ya, Pwe-siansing, apa yang dikatakan ayah memang tidak salah. Aku bukan pangcu kalian, hal ini berulang-ulang sudah kukatakan, tapi kalian tetap tidak percaya."

"Sebenarnya rahasia apa yang terkandung di dalam urusan ini, sungguh kami ingin ikut mengetahuinya dengan jelas,"

demikian Hoan It-hui membuka suara. "Kami hanya kenal Pangcu Tiang-lok-pang adalah Tonghong Heng, Tonghong-toako, mengapa beliau bisa diganti oleh Ciok-inkong?" Sejak tadi Nyo Kong hanya diam saja, sekarang ia pun ikut bicara sambil mengelus jenggotnya, "Pek-suhu, janganlah engkau keburu nafsu, siapa yang salah dan siapa yang benar didalam urusan ini tentu dunia persilatan akan memberi pertimbangan yang adil." Meski usianya sudah tua, tapi suaranya ternyata keras lantang dan berwibawa. Terdengar ia melanjutkan lagi, "Maka segala persoalan biarlah kita bicara secara tenang saja. Paling betul

sekarang belenggu atas diri beberapa saudara itu hendaklah dibuka lebih dulu." Melihat Pwe Hay-ciok sudah mengangguk setuju, segera beberapa anggota Tiang-lok-pang tadi melepaskan orang-orang Swat-san-pay yang tertawan itu. Sesudah mendengar nada Ciok Jing dan Nyo Kong tadi yang lebih condong menegur kepada Pwe Hay-ciok dan tiada tanda bermusuhan dengan dirinya, hal ini membuat Pek Ban-kiam menjadi heran Sebenarnya sikapnya yang keras dan menantang kepada Pwe Hay-ciok tadi hanyalah karena terpaksa mengingat para sutenya sudah tertawan, sekarang dia hanya bersendirian, demi mempertahankan martabat Swat-san-pay terpaksa ia bersuara galak dan siap menghadapi segala risiko. Tapi dengan datangnya Ciok Jing suami-istri dan Nyo Kong secara mendadak, tampaknya situasi menjadi berubah, maka ia pun tidak banyak bicara lagi, hanya tunggu dan lihat dulu apa yang akan diperbuat oleh Pwe Hay-ciok. Menunggu sesudah anak murid Swat-san-pay telah dibebaskan semua dan telah ambil tempat duduk masing-masing, kemudian Ciok Jing berkata pula, "Pwe-siansing, usia putraku masih demikian muda, pengalamannya terlalu cetek, kalau dia dapat menduduki pemimpin suatu organisasi besar sebagai Tiang-lok-pang kalian, apakah hal ini takkan ditertawai setiap kesatria Kangouw? Hari ini mumpung Nyo-loenghiong, Pek-suheng, dan para saudara-saudara Swat-san-pay yang lain serta Su-tay-mui-pay dari Kwantang juga hadir di sini, maka persoalan ini harus dibikin jelas. Ingin kukatakan bahwa sejak kini putraku, Ciok Tiong-giok ini tiada sesuatu hubungan dan sangkut paut apa-apa lagi dengan Tiang-lok-pang. Tentang perbuatan-perbuatannya selama beberapa tahun ini, apa yang

dia lakukan sendiri sudah tentu akan dibereskan, sebaliknya perbuatan yang dilakukan orang lain dengan memperalat namanya, apakah perbuatan itu baik atau jelek, bukanlah menjadi tanggung-jawab anak Giok."

"Apa yang dibicarakan Ciok-cengcu ini benar-benar membikin orang merasa bingung dan tidak habis mengerti," demikian Pwe Hay-ciok menjawab dengan tertawa. "Bahwasanya Ciok-pangcu menjabat pangcu kami, hal ini sudah berlangsung selama tiga tahun dan bukan kejadian sehari semalam saja, selama ini kami pun tidak pernah mendengar cerita dari Pangcu bahwa Hian-soh-siang-kiam yang termasyhur di dunia Kangouw ternyata adalah ayah-ibu beliau. Pangcu, mengapa tidak kau katakan sejak dulu? Kalau tidak, jarak Hian-soh-ceng dari ini toh tidak terlalu jauh, pada waktu engkau diangkat menjadi pangcu tentu kita sudah mengundang ayah-bundamu untuk menyaksikan upacara resmi itu."

"Aku... aku sebenarnya juga tidak tahu," sahut Boh-thian. Jawaban Boh-thian ini membuat semua orang melengak. "Mengapa kau sebenarnya juga tidak tahu?" demikian mereka bertanya-tanya di dalam hati. Maka cepat Ciok Jing menukas, "Ya, sebagaimana telah kukatakan tadi, putraku ini pernah jatuh sakit keras sehingga melupakan segala kejadian di masa lampau, bahkan ayah-ibunya sendiri juga tak teringat lagi. Maka soal ini tak bisa menyalahkan dia." Sebenarnya Pwe Hay-ciok serbasusah dan terdesak oleh kata-kata Ciok Jing tadi. Tak mungkin secara terang-terangan ia menceritakan maksud tujuan mereka mengangkat Ciok Boh-thian sebagai pangcu hanya untuk tameng saja dalam menghadapi undangan medali tembaga dari kedua rasul penghukum dan pengganjar, sedangkan soal ini pun tidak pernah diucapkan oleh orang-orang Tiang-lok-pang sendiri, mereka hanya sama-sama tahu di dalam hati saja, masakah di hadapan orang luar boleh diceritakan? Tapi sekarang demi mendengar Ciok Boh-thian mengaku bahwa sebelumnya dia sendiri pun tidak tahu Ciok Jing dan Bin Ju adalah ayah-ibunya, maka dapatlah dia alasan bantahannya, segera ia berkata, "Ya, belum lama memang Pangcu telah menderita sakit keras, tapi kejadian itu baru dua bulan saja, ketika beliau diangkat menjadi pangcu kesehatannya cukup baik, pikirannya sangat jernih, kalau tidak mana mungkin beliau mampu menandingi dan bahkan mengalahkan Tonghong-pangcu?" Ciok Jing dan Bin Ju menjadi curiga, mereka merasa belum pernah mendengar kejadian demikian dari sang putra. "Nak, sebenarnya bagaimana kejadian yang dikatakan itu?" tanya Bin Ju kepada Boh-thian. "Aku sendiri pun sama sekali tidak ingat lagi," sahut Boh-thian sambil geleng kepala. "Kami hanya tahu pangcu she Ciok dan bernama Boh-thian, nama Ciok Tiong-giok hanya baru saja kami mendengarnya dari Pek-suhu dan Ciok-cengcu," kata Pwe Hay-ciok pula. "Apa tidak mungkin Ciok-cengcu yang telah salah mengenali orang?"

"Putra kandungku sendiri masakah aku bisa salah mengenalnya?" sahut Bin Ju dengan gusar. Biasanya dia sangat ramah tamah, tapi Pwe Hay-ciok mengatakan Ciok Boh-thian bukan putranya, betapa pun ia menjadi geram juga. Melihat Pwe Hay-ciok tetap ngotot, Ciok Jing pikir tiada jalan lain kecuali mengungkap terus terang saja tipu muslihat mereka. Segera ia berkata, "Pwe-siansing, biarlah kita bicara secara blakblakan. Sebabnya pang kalian sedemikian menghargai putraku yang masih hijau ini kukira sekali-kali bukanlah lantaran dia memiliki kepandaian tinggi dan pengetahuan luas segala, tujuan kalian hanya ingin memperalat dia untuk menghadapi bencana undangan medali tembaga saja, coba katakan betul tidak?" Karena ucapan Ciok Jing ini secara langsung telah kena isi hati Pwe Hay-ciok, biarpun dia sudah berpengalaman dan licin, tidak urung air mukanya berubah juga. Ia terbatuk-batuk untuk mengulur tempo, dalam benaknya terkilas macam-macam pikiran dengan cepat cara bagaimana harus menjawab tuduhan Ciok Jing itu. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang bergelak tertawa dan berseru, "Kalian sedang menunggu undangan medali tembaga bukan? Bagus, bagus sekali! Ini dia medali yang kalian tunggu sudah datang!" Dan tahu-tahu di tengah ruangan sudah berdiri dua orang, satu gemuk dan satu kurus, pakaian mereka sangat perlente. Cara bagaimana datangnya mereka itu ternyata tiada seorang pun yang memerhatikan. Ciok Boh-thian sangat girang demi melihat kedua orang itu, cepat ia menyapa, "He, Toako dan Jiko, sudah lama berpisah, apakah kalian baik-baik saja?" Ciok Jing dan Bin Ju pernah mendengar cerita putranya itu tentang mengangkat saudara dengan Thio Sam dan Li Si. Maka mereka menjadi terkejut ketika mengetahui yang dimaksudkan Thio Sam dan Li Si itu kiranya adalah kedua pendatang ini. Cepat mereka berkata, "Kedatangan kalian berdua ini sungguh sangat kebetulan, kami sedang susah menentukan tentang kedudukan pangcu dari Tiang-lok-pang, untuk ini harap kalian berdua suka ikut menjadi saksi." Sementara itu Boh-thian sudah mendekati Thio Sam dan Li Si untuk memegang tangan mereka dengan mesra sekali. "He, kiranya Samte adalah Pangcu Tiang-lok-pang, pantas ilmu silatmu sedemikian hebat," kata Thio Sam dengan berseri-seri. Diam-diam Bin Ju pikir keselamatan sang putra hanya tergantung dalam waktu singkat ini saja, maka cepat ia menyela, "Pangcu Tiang-lok-pang sebenarnya adalah Tonghong-siansing, mereka telah menipu putraku ini untuk menjadi tameng, maka kedudukan anakku ini tak bisa dianggap sungguh-sungguh." Thio Sam memandang sekejap kepada Li Si, tanyanya, "Bagaimana pendapatmu, Losi?"

"Harus mencari orang yang sesungguhnya," sahut Li Si dengan nada dingin. "Benar," seru Thio Sam. "Kita sudah mengangkat saudara dan berjanji akan hidup bahagia bersama, ada kesulitan dipikul bersama. Sekarang Samte kita hendak digunakan sebagai tameng oleh mereka, bukankah ini berarti mencari setori kepada kita berdua?" Melihat cara munculnya Thio Sam dan Li Si yang mendadak itu, semua orang sudah tahu bahwa ilmu silat kedua orang ini susah diukur. Dari wajah dan tingkah laku mereka jelas kelihatan pula sama dengan kedua rasul penghukum dan pengganjar yang namanya mengguncangkan Bu-lim selama beberapa puluh tahun ini, keruan semua orang terkesiap. Sekalipun Pwe Hay-ciok dan Pek Ban-kiam juga ikut kebat-

kebit. Dalam pada itu terdengar Thio Sam telah berkata pula dengan tertawa-tawa, "Kami mengundang tamu untuk ikut menikmati Lap-pat-cok, maksud kami adalah baik, tapi entah mengapa setiap orang yang kami undang selalu sungkan hadir sehingga sangat mengecewakan kami. Padahal orang yang kami undang semuanya adalah ciangbunjin-ciangbunjin yang terkenal,

pangcu-pangcu yang ternama atau kaucu-kaucu dari kalangan terpuji, kalau cuma orang biasa saja tidak nanti dikunjungi oleh medali-medali tembaga kami. Ya, bagus, bagus, bagus!" Sambil mengucapkan "bagus-bagus" sorot matanya lantas menyapu ke arah Hoan It-hui, Lu Cing-peng, Hong Liang dan Ko Sam-niocu sehingga keempat orang itu merasa mengirik. Ketika paling akhir pandangannya menatap Ko Sam-niocu, untuk sejenak sorot matanya berhenti lebih lama, dengan tertawa ia menambahkan sekali lagi, "Bagus!" Sebelumnya Hoan It-hui sudah merasa sebagai seorang ciangbunjin tentu tidak luput dari undangan medali tembaga, maka dapat diduga ucapan "bagus" empat kali Thio Sam itu tentu maksudnya mereka berempat ciangbunjin dari Kwantang kebetulan juga di sini, dengan demikian dia tidak perlu susah payah melawat ke daerah Kwantang untuk menyampaikan medalinya. Sebaliknya Ko Sam-niocu menjadi gusar, segera ia berteriak, "Apa maksudmu dengan ucapan `bagus' sambil memandangi nyonya besarmu ini?"

"Bagus berarti bagus, apa sih maksudnya yang lain? Pendek kata bagus pasti tidak berarti tidak bagus," sahut Thio Sam sambil tertawa. "Jika mau bunuh boleh lekas bunuh, tapi jangan harap nyonya besar mau terima medalimu!" bentak Ko Sam-niocu, Berbareng tangan kanan bergerak, kontan dua bilah pisau lantas melayang ke arah Thio Sam. Semua orang ikut terkejut. Sungguh tidak terduga bahwa sedikit hatinya tidak senang seketika juga dia lantas menyerang, bahkan terhadap kedua rasul pengganjar dan penghukum itu ternyata tidak merasa jeri sedikit pun. Sesungguhnya walaupun watak Ko Sam-niocu sangat keras, tapi dia bukanlah seorang yang sama sekali tak bisa berpikir. Ia sudah menduga jika kedua rasul itu toh sudah berniat menyampaikan medali tembaga padanya, maka bencana ini betapa pun susah dihindarkan. Sekarang ada sekian jago-jago terkemuka yang berkumpul di markas Tiang-lok-pang, dalam keadaan menghadapi musuh bersama, begitu mulai bergebrak, tentu yang lain-lain takkan berpeluk tangan, mereka tentu berpikir daripada dibunuh oleh kedua rasul itu ada lebih baik sekarang mengerubut maju bersama, dengan tenaga gabungan Su-tay-mui-pay dari Kwantang, ditambah Tiang-lok-pang, Swat-san-pay, Hian-soh-siang-kiam dan lain-lain, boleh jadi kedua musuh itu dapat ditumpas. Karena itulah Ciok Boh-thian menjadi kaget ketika melihat Ko Sam-niocu mulai menyerang dahulu, cepat ia berseru, "Awas, Toako!"

"Tidak apa-apa, jangan khawatir!" ujar Thio Sam dengan tertawa. Dan begitu lengan bajunya mengebas, dua potong tanda warna kuning lantas menyambar ke depan dan tepat berbenturan dengan kedua pisau terbang Ko Sam-niocu. "Trang-tring", didahului oleh suara nyaring mendenging, kedua benda kuning itu dari tegak berubah menjadi melintang dan dengan mendorong kedua bilah pisau terus menyambar ke arah Ko Sam-niocu. Didengar dari suara sambaran angin, nyata kekuatan benturan tadi sangat hebat, kalau Ko Sam-niocu mendak dan mengegos, tentu kawan-kawan yang berdiri di belakangnya yang akan menjadi korban. Tanpa pikir lagi kedua potong benda kuning itu lantas ditangkapnya. Seketika terasa kedua lengannya tergetar sakit, setengah badannya bagian atas terasa linu kesemutan. Waktu ia periksa benda-benda kuning yang menolak kembali pisaunya itu, kiranya bukan lain dari dua buah medali pengganjar dan penghukum yang ditakuti itu. Sudah lama juga Ko Sam-niocu mendengar tentang peraturan yang ditentukan oleh kedua rasul pengganjar dan penghukum, siapa saja asal sudah menerima medali tembaga mereka, maka dapatlah dianggap sebagai telah terima baik undangan mereka untuk hadir dalam perjamuan Lap-pat-cok dan tak mungkin menolaknya pula. Seketika pucatlah mukanya, sampai-sampai tubuhnya juga agak gemetar. Tapi dengan tertawa-tawa Thio Sam terus berkata pula, "Pwe-siansing, kalian telah memasang perangkap untuk menipu Samte kami agar dapat dipalsukan sebagai pangcu kalian. Samte kami adalah seorang yang jujur dan polos, dengan

gampang saja dia terjebak. Tapi kami Thio Sam dan Li Si ini bukan manusia jujur. Kedatangan kami adalah untuk mengundang tamu, sudah tentu sebelumnya kami sudah menyelidiki dengan jelas. Kalau kami sampai salah mengundang orang, bukankah akan menjadi buah tertawaan? Ke mana lagi muka Thio Sam dan Li Si ini akan ditaruh? Sebab itulah, eh, saudaraku, tidakkah lebih baik kita persilakan turun saja sasaran utama yang hendak kita undang ini?"

"Benar, seharusnya kita persilakan dia turun," sahut Li Si. Habis berkata, sekonyong-konyong ia sambar sebuah bangku bundar terus dilemparkan ke langit-langit rumah. "Blang", seketika atap rumah tertimpuk menjadi suatu lubang besar, debu pasir bertebaran disertai sepotong benda yang besar. "Bluk", benda besar itu jatuh terbanting di tengah ruangan.

Tanpa merasa para hadirin mundur beberapa tindak karena jatuhnya benda besar itu. Ketika mereka memerhatikan, kiranya yang jatuh terbanting itu adalah satu manusia. Orang itu tampak meringkuk tak bergerak. Waktu Li Si menutuk beberapa kali dari jauh dengan jari kiri, seketika hiat-to orang yang tertutuk itu terbuka dan perlahan-lahan dapatlah berbangkit. Sungguh kejut dan kagum tak terkatakan semua orang atas kepandaian tiam-hiat (menutukjalan darah) Li Si dari jarak jauh itu. Dalam pada itu orang itu telah kucek-kucek matanya, kemudian memandang sekitarnya dengan bingung. Demi mengenali siapa orang itu, serentak ramainya suara teriakan kaget, "He, dia!" -- "Kenapa... kenapa dia?" -- "Sungguh aneh!" Ternyata wajah orang itu mirip benar dengan Ciok Boh-thian, hanya saja pakaiannya lebih perlente, bajunya dari kain sutra, kopiahnya berhiaskan mutiara yang besar. "Ciok-pangcu, kami datang kemari untuk mengundang kau pergi makan Lap-pat-cok, kau akan hadir atau tidak?" demikian Thio Sam lantas berkata kepada pemuda itu sambil mengeluarkan dua buah medali tembaga. Agaknya Ciok Boh-thian tidak habis mengerti atas kejadian itu. Ia bertanya, "He, Toako, seb... sebenarnya apa-apaan ini?"

"Samte, coba kau lihat, wajah orang ini mirip kau atau tidak?" sahut Thio Sam dengan tertawa. "Mereka telah menyembunyikan dia, sebaliknya kau ditipu untuk menggantikan dia sebagai pangcu. Akan tetapi, hahaha, toako dan jikomu akhirnya dapat menemukan dia sehingga kau gagal menjadi pangcu mereka, untuk ini kau menyesal kepada kami atau tidak?" Boh-thian menggeleng-geleng kepala, dengan mata tak berkedip ia pandang orang itu. Selang sejenak barulah berkata,

"Ayah, ibu, Ting-ting Tong-tong, Pwe-siansing, sejak mula aku sudah menyatakan kalian telah... telah salah mengenali diriku, sekarang menjadi lebih terang lagi bahwa aku bukan dia, dia...dialah yang tulen!" Cepat Bin Ju melangkah maju, dengan suara terputus-putus ia bertanya, "Kau... kau adalah anak Giok?" Orang itu mengangguk, sahutnya, "Ya, ibu, ayah, kalian berada di sini semua?" Pek Ban-kiam juga mendesak maju dan menegur, "Kau masih kenal padaku tidak?" Orang itu lantas menunduk, sahutnya, "Pek-susiok dan... dan para Susiok, kalian juga berada di sini semua?!"

"Hahahaha! Ya, memang kami sudah datang semua!" kata Ban-kiam dengan terbahak-bahak. Sebaliknya dengan mengerut kening Pwe Hay-ciok berkata, "Muka mereka berdua satu-sama-lain sangat mirip, perawakan dan usia mereka juga sama, sebenarnya siapakah di antara kalian adalah pangcu kami, sungguh aku tidak mampu membedakan. Wah, ini benar-benar suatu kejadian aneh. Apakah engkau inilah pangcu kami?" Orang baru itu tampak mengangguk. Lalu Pwe Hay-ciok bertanya pula, "Habis selama ini sebenarnya Pangcu pergi kemana?"

"Ai, susah untuk diceritakan, biarlah kita bicarakan nanti saja," kata orang itu. Seketika suasana di ruang pendopo itu menjadi sunyi senyap, yang terdengar hanya sedu sedan Bin Ju yang sedang menangis. "Wajah orang memang banyak yang sama, tapi bekas luka pedang di paha apakah juga bisa sama, kukira di dalam persoalan ini ada sesuatu yang ganjil," kata Ban-kiam. "Ya, orang ini adalah palsu," akhirnya Ting Tong ikut bicara. "Engkoh Thian yang tulen di atas pundak kirinya ada... ada sebuah bekas luka gigitan." Ciok Jing menjadi ragu-ragu juga, ia pun mengemukakan alasannya, "Benar, putraku pada waktu kecilnya juga pernah terluka oleh senjata rahasia musuh." Lalu ia tuding Ciok Boh-thian dan melanjutkan, "Pada tubuh orang ini justru terdapat bekas luka senjata rahasia itu. Untuk membedakan siapa yang tulen atau palsu, asal keduanya diperiksa tentu segera akan dapat diketahui." Semua orang menjadi heran dan bingung juga mengikuti percakapan itu. Mereka sebentar-sebentar pandang Ciok Boh-thian dan lain saat mengamat-amati pula si pemuda berpakaian perlente itu. Maka terdengarlah Thio Sam bergelak tertawa sambil berkata, "Jika Ciok-pangcu sudah harus dipalsukan, maka setiap ciri-

cirinya dengan sendirinya harus dibikin persis pula. Kalau diatas badan yang tulen ada bekas luka, yang palsu dengan

sendirinya juga harus ada." Habis berkata, "sret", mendadak ia lolos sebatang pedang yang tergantung di pinggang seorang wakil hiangcu Tiang-lok-pang dan di mana pedangnya menyambar, kontan bahu, paha kiri dan pantat pemuda perlente itu masing-masing tergores suatu lingkaran, ketika dia meniup pula, kontan jatuhlah tiga potong kain kecil bulat sebesar mangkuk. Tiga potong kain bundar itu kemudian bertebaran dan berubah menjadi sembilan potong. Ternyata hanya sedikit bergerak saja pedangnya telah mengorek satu bundaran pakaian pemuda perlente yang berlapis tiga (baju luar dan dalam) sehingga kelihatan kulit badannya. Maka tertampaklah di ujung bahunya terdapat keriput bekas luka, di paha dan di pantatnya juga ada, semuanya cocok seperti apa yang dikatakan si Ting Tong, Pek Ban-kiam, dan Ciok Jing. Melihat itu, semua orang sampai menjerit kaget, selain kejut atas kepandaian Thio Sam yang luar bisa itu, mereka pun heran melihat bekas luka di badan pemuda itu ternyata serupa dan persis seperti apa yang terdapat pada Ciok Boh-thian. Cepat Ting Tong memburu maju, dengan suara gemetar ia tanya, "Apa kau benar-benar Engkoh Thian?" Pemuda itu tersenyum getir, sahutnya, "Ting-ting Tong-tong, sudah lama kita tak bertemu, sungguh aku sangat kangen padamu, sebaliknya kau ternyata sudah melupakan daku. Biarpun kau tak kenal padaku lagi, tapi aku, biarpun seratus tahun atau seribu tahun juga aku masih tetap kenal kau." Mendengar itu, saking girangnya sampai si Ting-tang Ting-tong melelehkan air mata, serunya, "Ya, engkau inilah benar-benar Engkoh Thian-ku. Dia... dia ini hanya penipu yang memuakkan, mana bisa dia mengucapkan kata-kata mesra demikian? Hampir-hampir saja aku tertipu olehnya!" Sambil berkata ia pun melotot marah kepada Ciok Boh-thian, berbareng ia lantas gandeng tangan pemuda perlente itu dengan mesra. Ketika pemuda itu menggenggam kencang tangan si nona dan tersenyum padanya, seketika si Ting Tong merasa senang dan bahagia tak terperikan. "Ting-ting Tong-tong, memangnya sejak mula aku sudah menyatakan aku bukan kau punya Engkoh Thian, apa sekarang kau ma... masih marah padaku?" tanya Boh-thian sambil mendekati anak dara itu. "Plok", mendadak ia dipersen sekali tamparan oleh si Ting Tong dengan dampratan, "Kau penipu, aduh...." kiranya dia menampar terlalu keras sehingga tangannya kesakitan tergetar oleh tenaga dalam Ciok Boh-thian yang lihai itu. "Apakah tanganmu sa... sakit?" tanya Boh-thian. "Enyah, enyah kau! Aku tidak sudi melihat penipu yang tak kenal malu seperti kau ini!" damprat Ting Tong dengan gusar. Boh-thian menjadi murung. "Aku... aku tidak sengaja menipu kau," katanya setengah menggumam sendiri. "Kau masih menyangkal?" semprot si Ting Tong. "Kau sengaja membuat bekas luka palsu di pundakmu, mengapa tidak kau katakan sejak mula?"

"Aku... aku sendiri pun tidak tahu adanya bekas luka ini," ujar Boh-thian. "Penipu! Pendusta! Enyah kau!" bentak Ting Tong dengan muka merah padam. Air mata berlinang-linang di kelopak mata Ciok Boh-thian dan hampir-hampir menetes, sedapat mungkin ia menahannya sambil menyingkir mundur. "Pwe-siansing," segera Ciok Jing berkata kepada Pwe Hay-ciok, "pem... pemuda ini dari mana kalian menemukannya dan putraku ini mengapa bisa dipaksa menjadi pangcu kalian? Mumpung di sini banyak hadir kawan-kawan Bu-lim, urusan ini harus kau jelaskan untuk menghindarkan rasa curiga semua orang?"

"Pemuda ini serupa benar dengan Ciok-pangcu, kalian Hian-soh-siang-kiam sendiri adalah ayah-ibu kandungnya toh juga salah mengenalnya, apalagi orang lain?" jawab Pwe Hay-ciok. Ciok Jing mengangguk, ia pikir memang beralasan juga ucapan tokoh Tiang-lok-pang itu. Maka Pwe Hay-ciok berkata pula, "Adapun soal diangkatnya Ciok-pangcu sebagai pimpinan pang kami, untuk ini beliau telah mengalahkan Tonghong-pangcu dahulu dengan kepandaian yang sejati, karena itu maka para saudara kami telah mendukungnya. Coba silakan Ciok-pangcu bicara apa betul atau tidak kejadian ini? Bahwasanya kami `memaksa'

beliau, kami sangsi apakah istilah ini cukup tepat?"

"Apa yang dilakukan tempo dulu sebenarnya hanya keputusan untuk sementara saja untuk mencegah kerusuhan yang mungkin timbul di dalam pang kita," kata si pemuda perlente alias Ciok Tiong-giok itu dengan nada tergagap-gagap. "Pwe-siansing, jabatan pangcu ini kukira... kukira engkau sendiri saja yang menduduki, aku... aku tidak sanggup melakoni lagi." Air muka Pwe Hay-ciok tampak guram membesi, katanya, "Apa yang telah Pangcu katakan dahulu itu? Mengapa sekarang kau merasa menyesal dan menghindarkan kewajiban?"

"Ya, sesungguhnya aku tidak sanggup melakukannya lagi," sahut Tiong-giok. "Segala urusan pang kita pada hakikatnya adalah Pwe-siansing yang mengambil keputusan, aku hanya menjadi pangcu boneka saja, sebab itulah aku bertekad menyingkir pergi untuk memberikan tempatku kepada orang lain yang lebih pandai. Dan karena kepergianku tanpa pamit ini, dengan sendirinya aku bukan pangcu lagi. Bukankah dalam surat yang kutinggalkan padamu itu sudah kukatakan dengan cukup jelas?"

"Surat?" Pwe Hay-ciok menegas dengan heran. "Surat apa? Mengapa aku tidak pernah melihatnya?"

"Kepandaian Pwe-siansing benar-benar luar biasa," kata Ciok Tiong-giok dengan tertawa. "Ketika aku menghilang, entah dari mana engkau telah menemukan bocah yang mukanya mirip benar dengan aku ini. Jika dia sudah mau memalsukan diriku, maka bolehlah dia lakukan sampai saat terakhir, buat apa tanya padaku lagi? Ayah dan ibu, marilah kita tinggalkan saja tempat yang tak genah ini!" Nyata mulutnya sangat lincah, kalau dibandingkan Ciok Boh-thian jelas seperti langit dan bumi bedanya. Dengan bergelak tertawa Thio Sam lantas berkata, "Ciok-pangcu, Pwe-siansing, kalian tentu tahu peraturan Liong-bok-to kami. Jika pangcu kalian sendiri yang menerima medali undangan kami, maka inilah jalan yang terbaik, sebaliknya kalau pangcu tidak mau terima, ini berarti pang kalian memandang rendah kepada Liong-bok-to, dari kawan kita akan berubah menjadi lawan dan terhadap lawan biasanya Liong-bok-to tidak mau sungkan-sungkan lagi." Pwe Hay-ciok dan gembong-gembong Tiang-lok-pang yang lain terkesiap. Mereka tahu bilamana tiada orang yang tampil ke muka untuk menerima medali tembaga yang dikatakan, maka si gendut dan si kurus pasti akan mulai mengganas. Dilihat dari kepandaian yang telah diperlihatkan mereka tadi rasanya segenap anggota Tiang-lok-pang tiada seorang pun yang mampu melawannya. Melihat orang-orang Tiang-lok-pang tertegun, segera Ciok Boh-thian berkata, "Pwe-siansing, apa yang dikatakan Thio-toako itu bukanlah berkelakar, sekali beliau bilang bunuh orang tentu akan segera terjadi pembunuhan. Seperti orang-orang Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe, seluruh anggota mereka telah dibunuh habis oleh Toako berdua. Maka sebaiknya medali mereka itu diterima saja lebih dahulu, tak peduli siapa yang akan menjadi pangcu nanti, yang terang korban jiwa orang banyak dapatlah dihindarkan. Kedua belah pihak adalah saudara sendiri semua, kalau sampai terjadi perkelahian, sungguh aku tidak tahu harus membantu pihak mana?"

"Itu adalah urusan Pangcu, kami yang menjadi bawahan tidak dapat mengambil keputusan," ujar Pwe Hay-ciok. "Ciok-pangcu," Boh-thian lantas berkata kepada Ciok-Tiong-giok, "harap kau terima medali itu saja. Medali itu kau terima akan mati, tidak terima juga pasti mati. Bedanya jika kau tidak terima, maka segenap anggota yang lain juga akan ikut menjadi korban, untuk ini apakah... apakah kau tega?"

"Hehe, kau bicara seenaknya dan sok budiman bagi orang lain, jika sedemikian luhur budimu, kenapa kau sendiri tidak terima saja kedua medali itu demi keselamatan Tiang-lok-pang? Hehe, sungguh menggelikan!" demikian jawab Tiong-giok. Boh-thian memandang sekejap kepada Ciok Jing suami-istri dan si Ting Tong sambil menghela napas, katanya, "Pwe-siansing, selama ini kalian sangat baik terhadap diriku, memangnya kalian berharap agar aku dapat melepaskan bencana ini bagi Tiang-lok-pang. Jika sekarang Ciok-pangcu yang tulen tidak mau menerima medali-medali undangan itu, maka biarlah aku yang menerimanya saja." Habis berkata ia lantas mendekati Thio Sam dan hendak mengambil medali yang terdapat di tangannya itu.

"Nanti dulu!" cepat Thio Sam menarik tangannya. Lalu katanya kepada Pwe Hay-ciok, "Medali undangan Liong-bok-to ini hanya diserahkan langsung kepada orang yang diundang. Nah, sesungguhnya kalian menganggap siapa yang benar-benar menjadi pangcu kalian?" Sama sekali Pwe Hay-ciok dan gembong-gembong Tiang-lok-pang itu tidak menduga bahwa Ciok Boh-thian masih mau berkorban bagi pang mereka meski sudah tahu akan tipu muslihat dan intrik mereka. Dalam keadaan demikian, betapapun keji dan kejamnya mereka, mau tak mau mereka merasa sangat berterima kasih juga kepada Ciok Boh-thian, serentak mereka lantas membungkuk tubuh memberi hormat kepada Boh-thian sambil berseru, "Kami rela mengangkat Ciok-tayhiap sebagai pangcu kita, segala perintah Pangcu akan kami laksanakan dan taati."

"Ah, mana aku berani!!" sahut Boh-thian sambil balas menghormat. "Aku tidak paham apa-apa, kalau salah omong atau salah berbuat diharap kalian janganlah marah padaku."

"Hahahahaha!" Thio Sam bergelak tertawa. "Nah, Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang, pada tanggal delapan bulan dua belas tahun ini diharap sudi hadir ke Liong-bok-to kami untuk sekadar menikmati Lap-pat-cok."

"Baiklah, tentu aku akan hadir sekalian menyambangi Toako dan Jiko," sahut Boh-thian. Thio Sam dan Li Si saling pandang sekejap dengan mengerut dahi. Tapi Thio Sam lantas mengayun tangannya, dua potong medali tembaga terus melayang ke arah Ciok Boh-thian dengan perlahan. Ketika semua orang memusatkan perhatian untuk menyaksikan cara bagaimana Ciok Boh-thian akan menerima medali-medali itu, sekonyong-konyong Bin Ju berteriak, "Jangan terima, nak!"

"Aku sudah menyanggupinya, ibu!" sahut Boh-thian. Ketika kedua tangannya menjulur, dengan gampang saja masing-masing tangannya sudah menangkap sepotong medali tembaga itu. Lalu katanya pula kepada Bin Ju, "Seperti Ciok... Ciok-cengcu, meski sudah tahu ada bahaya toh beliau tetap mau mewakilkan Siang-jing-koan untuk hadir ke Liong-bok-to, sungguh sikapnya itu sangat mengagumkan orang, maka anak juga ingin menirukannya."

"Bagus, memang kesatria sejati dan pendekar budiman, tidak percumalah kita telah mengangkat saudara," puji Li Si. "Tapi, Samte, biarlah kita bicara di muka secara terang-terangan, apabila sudah datang di Liong-bok-to nanti, Toako dan Jiko akan memandang kau sebagaimana tamu-tamu yang lain tanpa pandang bulu dan tak dapat memberi sesuatu pelayanan istimewa."

"Ya, sudah seharusnya demikian," sahut Boh-thian. "Dan di sini masih ada beberapa buah medali yang harus diserahkan kepada saudara-saudara Hoan, Hong dan Lu dari Kwantang, silakan nanti juga hadir ke Liong-bok-to untuk menikmati Lap-pat-cok. Apakah kalian mau terima atau tidak?" demikian Li Si berkata pula. Hoan It-hui memandang sekejap kepada Ko Sam-niocu, pikirnya, "Kau toh sudah menerima medalinya, kita Su-tay-mui-pay dari Kwantang sudah berjanji mati-hidup bersama, tiada jalan lain terpaksa ikut mengantarkan jiwa juga ke Liong-bok-to." Maka berkatalah dia, "Ya, jikalau sedemikian Liong-bok-to menghargai kami, masakah kami menolak arak suguhan dan memilih arak hukuman? (maksudnya masakah diundang tidak mau sebaliknya minta dipaksa)." Lalu ia mendahului melangkah maju untuk menerima medali undangan disusul dengan Hong Liang dan Lu Cing-peng. "Terima kasih, terima kasih!" sambut Thio Sam dan Li Si. Lalu katanya kepada Ciok Boh-thian, "Samte, kami masih perlu melanjutkan perjalanan jauh, hari ini terpaksa tidak dapat minum sepuas-puasnya dengan kau. Biarlah kami lantas mohon diri saja."

"Tiada halangannya kalau kita minum tiga mangkuk saja," seru Boh-thian, "Eh, di manakah buli-buli arak Toako dan Jiko?"

"Sudah kami buang," sahut Thio Sam. "Arak kami itu tidak dapat dibuat di dalam waktu singkat, apa gunanya selalu membawa buli-buli kosong. Baiklah, mari Jite, kita bertiga habiskan tiga mangkuk arak." Segera anggota-anggota Tiang-lok-pang menuangkan arak, Thio Sam, Li Si, dan Ciok Boh-thian masing-masing lantas menghabiskan tiga mangkuk penuh. Tiba-tiba Ciok Jing melangkah maju sambil berseru, "Cayhe Ciok Jing adanya, biasanya dikenal sebagai cengcu dari Hian-soh-ceng, kami suami-istri ada maksud hendak ikut hadir keLiong-bok-to untuk minta semangkuk Lap-pat-cok." Cepat Thio Sam berpaling. Pikirnya dengan heran, "Selama lebih 30 tahun ini, setiap orang Bu-lim bila mendengar nama Liong-bok-to tentu kebat-kebit dan ketakutan, tapi hari ini ternyata ada orang yang sengaja minta berkunjung ke sana, hal ini benar-benar baru terjadi untuk pertama kalinya." Tapi ia pun lantas menjawab, "Ciok-cengcu, maafkan atas permintaanmu ini. Kalian berdua adalah murid Siang-jing-koan dan belum pernah berdiri sendiri secara resmi di dunia persilatan, maka kami tidak dapat mengundang. Begitu pula seperti halnya dengan Nyo-loenghiong dan Pek-tayhiap."

Bab 37. Ciok Boh-thian Memalsukan Ciok Tiong-giok untuk Menolong Ciok Jing

"Kalian bilang akan melanjutkan perjalanan jauh, apakah...apakah kalian akan berkunjung juga ke Leng-siau-sia?" tiba-tiba Ban-kiam bertanya. "Dugaan Pek-tayhiap sangat jitu, kami berdua memang hendak berkunjung dan menyambangi ayahmu, Wi-tek Siansing Pek-loenghiong," sahut Thio Sam dengan tertawa. Ban-kiam melangkah maju, tampaknya ia ingin bicara apa-apa, tapi tidak jadi. Selang sejenak barulah berkata, "Ya, baik, baiklah!"

"Jika Pek-tayhiap cepat pulangnya mungkin kita dapat berjumpa pula di Leng-siau-sia," ujar Thio Sam. "Nah, selamat tinggal, sampai bertemu!" Sesudah memberi salam, bersama Li Si segera mereka melangkah keluar. "Keparat! Berlagak apa di sini?!" mendadak Ko Sam-niocu memaki, berbareng empat bilah pisau terbang lantas ditimpukkan ke punggung kedua orang.

Sebenarnya Ko Sam-niocu sadar bahwa serangannya itu sukar mengenai sasarannya, soalnya dia teramat murka, beberapa bilah pisau terbang itu hanya sekadar pelampias saja. Benar juga, kedua orang itu seperti tidak merasa apa-apa meski empat bilah pisau itu sudah melayang sampai di belakangnya. "Awas, Toako!" seru Boh-thian khawatir. Tapi mendadak bayangan orang berkelebat, kedua orang itu tahu-tahu melesat ke samping untuk kemudian menghilang dengan cepat sehingga pisau-pisau terbang itu mengenai tempat kosong dan jatuh dengan sendirinya. Betapa cepatnya gerakan kedua orang itu sungguh susah untuk diukur, keruan semua orang saling pandang dengan tercengang. Saat itu Ciok Tiong-giok sebenarnya bermaksud mengeluyur pergi dengan membawa si Ting Tong, tak terduga serangan Ko Sam-niocu itu telah memancing perhatian semua orang ke arah pintu sehingga perbuatan Ciok Tiong-giok itu diketahui. "Berhenti!" bentak Pek Ban-kiam dengan bengis. Lalu katanya kepada Ciok Jing, "Ciok-cengcu, silakan menyatakan keputusanmu!"

"Apa mau dikata lagi jika memang demikian jadinya," sahut Ciok Jing dengan menghela napas. "Pek-suheng, biarlah kami suami-istri membawa serta anak murtad itu ikut kau pergi ke Leng-siau-sia untuk menerima hukuman dari Pek-supek." Ucapan Ciok Jing ini benar-benar di luar dugaan Pek Ban-kiam dan anak murid Swat-san-pay yang lain. Untuk membela putranya yang palsu tempo hari Ciok Jing suami-istri telah bertempur mati-matian pantang menyerah, sekarang demi putranya yang tulen sudah ketemu malah dia menyanggupi berkunjung ke Leng-siau-sia, jangan-jangan di balik ini ada sesuatu tipu muslihat. Dalam pada itu Ciok Jing dan Bin Ju sendiri merasa sangat sedih, mereka sangat menyesalkan putranya yang tak becus, sudah mau menjadi pangcu, di kala ada bahaya berbalik main sembunyi dan mengelakkan kewajiban, manusia demikian biarpun ilmu silatnya setinggi langit juga takkan diindahkan oleh orang gagah di dunia Kangouw. Bilamana mereka bandingkan dengan Ciok Boh-thian yang telah kumpul bersama sekian lamanya, walaupun tutur kata pemuda itu rada-rada kekanak-kanakan, tapi dasar wataknya sangat jujur dan polos, terkadang pun memperlihatkan jiwa kesatrianya yang menggembirakan mereka menjadi suka kepada pemuda itu. Tak terduga Ciok Tiong-giok yang tulen mendadak muncul, meski wajah kedua pemuda itu sangat mirip, tapi jiwa mereka sangat berbeda, yang satu gagah perwira, yang lain lemah pengecut. Celakanya yang pengecut itu justru adalah putranya sendiri yang tulen, sedangkan kesatria muda itu berbalik bukan putranya, hal ini membuat Bin Ju sangat kecewa. Tapi apa pun juga pemuda itu tetap darah dagingnya sendiri, tidak urung ia memanggilnya, "Anak Giok, coba ke sinilah!" Segera Tiong-giok mendekat dan berkata dengan tersenyum, "Ibu, sudah beberapa tahun kita berpisah, sungguh anak sangat merindukan engkau. Tampaknya ibu menjadi semakin cantik dan lebih muda, setiap orang yang melihat tentu akan mengira engkau adalah kakak perempuanku dan takkan percaya engkau adalah ibu kandungku." Bin Ju tersenyum, tapi hatinya sangat mendongkol, ternyata putranya hanya pandai omong sebagai bergajul saja. Dalam pada itu Tiong-giok berkata pula, "Ibu, anak telah memperoleh sepasang gelang kemala yang indah, sudah lama anak berharap dapat berjumpa dengan ibu agar dapat memasang gelang kemala ini di tangan ibu sendiri." Sambil berkata ia lantas mengeluarkan sebuah bungkusan kecil yang berisi sepasang gelang kemala dan sebuah tusuk kundai berbingkai mutiara dan berbatu permata indah. Ia tarik tangan sang ibu dan memasukkan sepasang gelang kemala hijau itu. Memang Bin Ju sangat suka kepada perhiasan dan berdandan, melihat sepasang gelang kemala itu sangat bagus, mau tak mau ia menjadi senang juga atas kebaktian putranya kepada orang tua. Lalu Tiong-giok membalik tubuh dan menancapkan tusuk kundai bermutiara itu di atas sanggul si Ting Tong, katanya dengan perlahan, "Tusuk kundai mutiara ini seharusnya lebih cantik sepuluh kali lagi baru cocok untuk mengimbangi wajah siTing-ting Tong-tong yang cantik molek." Ting Tong menjadi girang, sahutnya lirih, "Engkoh Thian, kau memang selalu pandai bicara." Rupanya Pwe Hay-ciok menjadi tidak sabar menyaksikan adegan itu, segera itu berseru, "Hari ini Nyo-loenghiong, Ciok-cengcu dan nyonya, para kesatria Swat-san-pay dan su-tay-mui-pay (empat golongan besar) Kwantang berkumpul di sini semua, segala kesalahpahaman juga sudah dapat diakhiri, sekarang marilah kita mulai dengan jamuan baru, marilah kita sama-sama bergembira." Akan tetapi Ciok Jing, Pek Ban-kiam, Hoan It-hui, dan lain-lain masih tertekan perasaan, mereka pikir, "Kesukaran Tiang-lok-pang kalian sudah ada yang mau menghadapi, tapi kami masih harus memikirkan keselamatan sendiri-sendiri, siapa yang punya nafsu untuk makan-minum lagi?" Segera Pek Ban-kiam membuka suara, "Menurut kedua sucia dari Liong-bok-to itu, katanya mereka akan berkunjung juga ke Leng-siau-sia, persoalan ini menyangkut kepentingan ayah dan Swat-san-pay kami, maka Cayhe harus lekas-lekas pulang kesana. Tentang maksud baik Pwe-siansing ini Cayhe hanya mengucapkan terima kasih saja."

"Kami bertiga ingin berangkat bersama dengan Ciok-suheng," segera Ciok Jing menambahkan. Maka Hoan It-hui dan kawan-kawannya juga lantas mohon diri dengan alasan waktunya sudah mendesak, mereka harus lekas-lekas pulang ke Kwantang untuk kemudian bersiap-siap menghadiri pertemuan di Liong-bok-to. Begitulah dengan perasaan hampa Ciok Boh-thian mengikuti Pwe Hay-ciok mengantar para tamu yang mohon diri itu. Pikirnya dengan rasa pedih, "Memangnya sejak mula aku bilang mereka telah salah paham, tapi si Ting-ting Tong-tong justru mengatakan aku adalah dia punya Engkoh Thian, Ciok-cengcu dan nyonya juga bilang aku adalah putra mereka, tapi sekarang diriku telah ditinggal sendirian oleh mereka."

Mendadak ia merasa di dunia ini hanya tertinggal seorang diri saja, siapa pun tiada sangkut pautnya dengan dia, sungguh ia ingin menangis sepuas-puasnya. Ketika memberi salam perpisahan, Ciok Jing dan istri melihat Ciok Boh-thian mengunjuk rasa cemas yang tak terhingga, mestinya Bin Ju hendak mengatakan akan memungut Boh-thian sebagai anaknya, tapi mengingat dia adalah pangcu suatu organisasi besar, ilmu silatnya juga sedemikian lihai, kedudukannya sudah jauh lebih tinggi daripada mereka suami-istri, maka ia merasa rikuh untuk mengemukakan maksudnya. Terpaksa ia hanya berkata dengan suara halus, "Ciok-pangcu, karena salah kenal tempo hari sehingga selama ini kami agak kurang hormat padamu, untuk ini kami berharap... berharap kelak kita dapat berjumpa pula." Boh-thian hanya mengiakan saja dengan kurang semangat. Sampai semua tamunya sudah lenyap dari pandangan dia masih termangu-mangu di depan pintu. Para anggota Tiang-lok-pang tiada berani mengusiknya, mereka menduga mungkin sang pangcu menjadi masygul karena sadar sudah dekat ajalnya sesudah menerima medali tembaga kedua rasul pengganjar dan penghukum tadi, kalau mereka mengganggunya, jangan-jangan rasa marah sang pangcu akan dilampiaskan atas diri mereka? Malamnya selekasnya Boh-thian sudah masuk kamar tidurnya, tapi pikirannya bergolak, sampai tengah malam masih belum pulas. Pada saat mulai melayap-layap hendak pulas, mendadak terdengar daun jendela diketuk perlahan-lahan tiga kali. Cepat Boh-thian bangun berduduk, teringat olehnya dahulu apabila si Ting-ting Tong-tong datang mencarinya selalu memberi tanda dengan ketukan jendela seperti sekarang ini. Tanpa merasa ia lantas menegur, "Apakah Ting-ting...." baru sekian ucapannya ia lantas menghela napas, sebab lantas teringat pula bahwa saat itu si nona tentu sudah berada di dalam pelukan Engkoh Thian yang dicintainya dan tidak mungkin sudi datang mencarinya lagi. Di luar dugaan, daun jendela perlahan-lahan telah terdorong buka, sesosok tubuh yang langsing tampak melompat masuk sambil mengikik tawa, siapa lagi dia kalau bukan si Ting Tong? "Mengapa kau potong namaku, Ting-tong kau ganti menjadi Ting-ting saja?" demikian nona genit itu berkata dengan suara perlahan sambil mendekati tempat tidur Ciok Boh-thian. "Hah, kenapa kau kem... kemari lagi?" seru Boh-thian sambil meloncat turun dari tempat tidurnya, ia girang dan terkejut pula. "Aku rindu padamu, maka datang menjenguk kau lagi," sahut Ting Tong dengan tertawa. "Gimana sih? Apakah aku tak boleh datang kemari?"

"Kau sudah menemukan kembali kau punya Engkoh Thian, buat apa kau datang menjenguk diriku lagi?" ujar Boh-thian sambil menggeleng. "Ai, kau marah padaku, bukan?" kata Ting Tong dengan tertawa merayu. "Engkoh Thian, siang tadi aku telah menampar kau, apakah kau masih marah padaku?" sambil berkata ia terus meraba-raba pipi Ciok Boh-thian yang ditamparnya itu. Hidung Boh-thian lantas mengendus bau harum yang menggiurkan, mukanya terasa diraba oleh sebuah tangan yang putih dan halus, tanpa kuasa perasaannya menjadi kacau. Katanya dengan setengah menggumam, "Aku tidak marah, Ting-ting Tong-tong. Tak usah kau datang menjenguk diriku, memangnya kau telah salah mengenali diriku, asal kau tidak sebut aku sebagai penipu saja sudah cukup bagiku."

"Penipu, penipu! Ai, jika kau benar-benar penipu, mungkin aku malah senang," ujar Ting Tong dengan suara lembut. "Ai, Engkoh Thian, engkau benar-benar seorang jantan, seorang kesatria sejati yang jarang terdapat di dunia ini. Kau sudah menikah dan sudah sembahyang Thian dengan aku, kita pun sudah... sudah tidur bersama, tapi selama itu... selama itu kau tidak pernah memperlakukan aku sebagai istrimu." Muka Boh-thian menjadi merah jengah, sekujur badannya terasa panas, katanya dengan tergagap-gagap, "Ting-ting Tong-tong, aku... aku bukan kesatria sejati! Bukanlah aku tidak... tidak kepingin, aku hanya... hanya tidak berani! Ya, untung juga kita belum... belum apa-apa, kalau tidak, wah, tentu bisa runyam!" Ting Tong menggeser dan duduk di tepi ranjang, mendadak ia menutupi matanya dan menangis tersedu sedan. Keruan Boh-thian menjadi gugup, cepat ia tanya, "He, ada apakah, Ting-ting Tong-tong?"

"Ya, aku tahu engkau adalah seorang kesatria se... sejati, akan tetapi tidak begitulah pendapat... pendapat orang lain,"

demikian sahut Ting Tong sambil menangis. "O, sungguh, biarpun aku terjun ke dalam sungai juga tidak cukup untuk membersihkan nama suciku. Ciok... Ciok Tiong-giok itu mengatakan... mengatakan bahwa aku sudah menikah dengan kau dan sudah bersatu kamar, maka dia tidak mau padaku lagi."

"He, maaa... mana boleh jadi!" seru Boh-thian sambil membanting-banting kaki. "Ting-ting Tong-tong, jangan khawatir kau, biar kubicarakan dengan dia, akan kuterangkan bahwa hubungan kita adalah suci bersih, selamanya tidak... tidak pernah...."

"Tapi... tapi dia sudah sangat benci padamu, biarpun kau bicara padanya juga dia takkan percaya," ujar Ting Tong sambil menangis. Dalam hati kecilnya lapat-lapat Boh-thian merasa senang, "Jika dia tidak mau padamu, akulah yang mau." Tapi ia pun tahu kata-kata demikian tidak layak diucapkan, bahkan memikirnya juga tidak pantas. Maka dia hanya berkata, "Lalu bagaimana? Wah, gara-gara diriku sehingga ikut membikin susah padamu!" Dengan terguguk-guguk Ting Tong berkata pula, "Dia bukan sanak kadangmu, kau pun tidak berbuat sesuatu kebaikan baginya, sebaliknya malah menyerobot dan menikah dengan kekasihnya, sudah tentu saja dia benci dan dendam padamu. Apabila dia... dia bukan dia, tapi misalnya Hoan It-hui atau kawan-kawannya, mereka pernah utang budi padamu, dengan sendirinya mereka akan percaya segala apa yang kau katakan." Boh-thian mengangguk, katanya, "Ya, benar. Ting-ting Tong-tong, sungguh aku merasa tidak enak, kita harus mencari suatu akal yang baik. Eh, ya, kau boleh minta kakekmu berbicara padanya, tentu dia akan menurut."

"Percuma, percuma!" sahut Ting Tong, "Dia... dia Ciok Tiong-giok itu jiwanya sedang terancam, dalam waktu singkat kita pun tak dapat menemukan kakek."

"Hah, mengapa jiwanya sedang terancam?" tanya Boh-thian terkejut."Itu Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay tadinya mengira kau adalah Ciok Tiong-giok sehingga kau ditangkap olehnya, syukur kakek dan aku telah menyelamatkan kau, kalau tidak, tentu kau sudah digiring ke Leng-siau-sia dan dicincang di sana, kau masih ingat tidak kejadian itu?"

"Ya, sudah tentu masih ingat. Wah, celaka, sekali ini Pek-suhu tentu akan menggiring dia ke Leng-siau-sia pula."

"Memangnya! Orang-orang Swat-san-pay itu sudah terlalu benci padanya, sekali dia sudah sampai di Leng-siau-sia, pasti jiwanya akan melayang!"

"Benar, kalau melihat cara orang-orang Swat-san-pay yang berulang-ulang menguber dan menangkap aku tempo hari, tampaknya urusannya tentu bukan sembarang persoalan. Cuma saja mengingat kehormatan Ciok-cengcu suami-istri, boleh jadi kau punya Engkoh Thian hanya akan didamprat sekadarnya saja dan urusan akan menjadi beres."

"Enak saja kau bicara," ujar si Ting Tong. "Jika mereka mau mendamprat, apa tak bisa dilakukan pada setiap tempat, buat apa mereka mesti susah-susah menggiringnya pulang ke Leng-siau-sia? Apakah kau tidak tahu bahwa dalam usaha menangkapnya selama ini Swat-san-pay sudah jatuh korban beberapa orang?" Seketika Boh-thian berkeringat dingin. Memang diketahuinya bahwa Swat-san-pay telah jatuh korban beberapa orang, jangankan dosa yang diperbuat Ciok Tiong-giok di Leng-siau-sia itu pasti sangat berat, hanya melulu perhitungan korban akibat pemburuannya di daerah Kanglam ini saja sudah cukup alasan untuk menjatuhkan hukuman mati padanya. Dalam pada itu si Ting Tong berkata pula, "Engkoh Thian memang betul bersalah, adalah pantas kalau dia menebus dosanya dengan jiwanya sendiri. Yang harus disayangkan adalah Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, mereka adalah orang-orang baik, tapi sekarang mereka harus ikut berkorban `jiwa'."

"Hah? Apa katamu? Ciok-cengcu dan nyonya juga akan ikut berkorban jiwa?" seru Boh-thian sambil melonjak bangun. Ia masih ingat kebaikan suami-istri she Ciok itu, ia merasa mereka adalah orang yang paling baik di dunia ini, maka demi mendengar kedua orang itu menghadapi bahaya, dengan sendirinya ia menaruh perhatian penuh. "Kau sudah tahu bahwa Ciok-cengcu berdua adalah ayah-bunda Engkoh Thian, jika mereka mengantar Engkoh Thian ke Leng-siau-sia, masakah mereka sengaja mengantarkan kematian putranya? Sudah tentu mereka akan mintakan ampun kepada Pek-losiansing. Namun dapat dipastikan Pek-losiansing tentu takkan meluluskan dan tetap akan membinasakan Engkoh Thian. Untuk mana Ciok-cengcu berdua tentu akan membela putra kesayangan mereka dan pada saat mana mau tak mau pasti akan menggunakan kekerasan. Coba kau pikir, betapa banyak jago-jago Swat-san-pay itu, pula dirumahnya sendiri, sebaliknya Ciok-cengcu hanya bertiga, mana bisa mereka melawannya? Ai, kulihat selama ini Ciok-hujin sangat baik padamu, ibumu sendiri mungkin juga tidak sedemikian sayangnya padamu. Tapi sekarang dia akan... akan tewas juga di Leng-siau-sia." Sambil berkata ia terus menutupi mukanya dan kembali menangis pula. Seketika darah Ciok Boh-thian bergolak dan mendidih, serunya tanpa pikir, "Jika Ciok-cengcu dan Ciok-hujin ada kesukaran, biarpun betapa bahayanya di Leng-siau-sia sana juga aku akan menyusul untuk membantunya. Seumpama aku tidak mampu menolong mereka, aku lebih suka gugur bersama mereka disana daripada hidup sendirian. Ting-ting Tong-tong, biarlah

sekarang juga aku akan pergi!"

"Kau hendak ke mana?" tanya si Ting Tong sambil menarik lengan baju pemuda itu. "Malam ini juga aku akan menyusul mereka untuk bersama-sama naik ke Leng-siau-sia," sahut Boh-thian. "Kabarnya ilmu silat Wi-tek Siansing Pek-loyacu itu sangat lihai, di samping itu ada tokoh-tokoh lain seperti Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li dan sebagainya, andaikan kepandaianmu

dapat menangkan mereka, tapi di tengah Leng-siau-sia konon penuh terdapat pesawat-pesawat rahasia seperti jaring kawat, panah berbisa, jebakan di bawah tanah, dan macam-macam lagi, sedikit kurang hati-hati tentu kau akan masuk perangkap mereka."

"Jika begitu apa mau dikata lagi kalau memang sudah nasib," ujar Boh-thian. "Janganlah kau terdorong oleh ketekadanmu yang timbul seketika ini, jika terjadi apa-apa atas dirimu, siapa lagi yang mampu menolong Ciok-cengcu dan nyonya?" ujar Ting Tong. "O, apabila engkau gugur di sana, entah betapa akan rasa dukaku, aku... aku pun tentu tak bisa hidup sendirian." Hati Boh-thian berdebur keras mendengar ucapan yang meresap itu, katanya dengan agak gemetar, "Mengapa engkau

sedemikian... sedemikian baik padaku? Aku toh bukan... bukan kau punya Engkoh Thian yang sebenarnya?"

"Ya, kalian berdua terlalu mirip laksana pinang dibelah dua, dalam hatiku hakikatnya tiada perbedaan, apalagi kita telah berkumpul cukup lama, selama itu pun kau sangat baik dan jujur padaku," sampai di sini tiba-tiba Ting Tong pegang kedua

tangan Ciok Boh-thian dan menambahkan, "Engkoh Thian, berjanjilah padaku, biar bagaimanapun engkau jangan pergi dan binasa."

"Akan tetapi aku harus menolong Ciok-cengcu dan istrinya," ujar Boh-thian. "Sebenarnya aku ada satu akal, cuma kukhawatir engkau curiga dan mengira aku menipu kau, maka tidak enak akan kukatakan," kata Ting Tong. "Lekas katakan, lekas! Apakah akalmu itu, masakah aku curiga padamu?" Ting Tong tampak merenung sejenak, katanya dengan ragu-ragu, "Engkoh Thian, cara ini sesungguhnya terlalu membikin susah padamu, sebaliknya terlalu menguntungkan dia, setiap orang yang mengetahui akalku ini tentu akan mengatakan aku sengaja menjebak kau. Ai, tidak, tidak bisa, biar bagaimanapun hal ini adalah terlalu tidak adil."

"Sebenarnya bagaimana akalmu itu? Asal dapat menolong Ciok-cengcu berdua, biarpun sedikit membikin susah padaku apa sih halangannya?"

"Engkoh Thian, jika kau berkeras ingin tahu, biarlah akan kuturut dan akan kuterangkan," sahut Ting Tong. "Cuma kalau kau benar-benar akan menjalankan akalku ini, maka akulah yang tidak boleh. Aku akan tanya dulu padamu, apakah kau tahu sebab apakah orang-orang Swat-san-pay sedemikian bencinya kepada Ciok Tiong-giok dan bertekad akan membunuhnya?"

"Kalau tidak salah Ciok Tiong-giok itu adalah murid Swat-san-pay, dia telah melanggar larangan perguruan, telah

mengakibatkan kematian putri Pek-suhu sehingga sebelah lengan gurunya, yaitu Hong Ban-li ikut menjadi korban, ditebas oleh Pek-losiansing, ya, boleh jadi berbuat pula kejahatan-kejahatan lain yang tidak senonoh."

"Benar, justru karena Ciok Tiong-giok itu telah mencelakai orang, makanya mereka akan membunuhnya untuk mengganti jiwa. Engkoh Thian, apakah kau telah membinasakan putri Pek-suhu dari Swat-san-pay itu?"

"Hah, aku?" seru Boh-thian melengak. "Sudah tentu tidak! Sedangkan muka putri Pek-suhu itu belum pernah kulihat."

"Itu dia," kata Ting Tong. "Akalku ini sesungguhnya juga sangat sederhana, ialah engkau boleh menyaru sebagai Ciok

Tiong-giok dan ikut Ciok-cengcu ke Leng-siau-sia sana, nanti bila mereka hendak membinasakan kau barulah kau mengaku terus terang bahwa kau sesungguhnya adalah Kau-cap-ceng dan bukan Ciok Tiong-giok. Yang akan mereka bunuh adalah Ciok Tiong-giok dan bukan kau, paling-paling mereka akan mencaci maki padamu karena kau telah menipu mereka dengan menyaru, tapi akhirnya kau toh akan dibebaskan juga. Dan karena kau tak dibunuh oleh mereka, dengan sendirinya Ciok-cengcu berdua juga tidak perlu bergebrak dengan mereka dan tentu pun tidak berbahaya lagi." Untuk sejenak Boh-thian terdiam, katanya kemudian, "Akalmu ini cukup baik, cuma letak Leng-siau-sia itu jauh di wilayah barat sana, dalam perjalanan sejauh ribuan li bersama Pek-suhu dan rombongannya itu bukan mustahil sedikit salah omong saja penyamaranku akan diketahui. Kau sudah tahu sendiri, Ting-ting Tong-tong, aku tidak pintar bicara, gerak-gerikku juga bodoh, mana dapat menirukan Ciok Tiong-giok yang... yang pintar dan cerdik itu."

"Soal ini sudah kupikirkan juga," ujar Ting Tong dengan tertawa. "Kau bisa semir sejenis... sejenis obat yang berbisa di bagian tenggorokanmu sehingga di bagian itu akan menjadi bengkak, kau pura-pura sakit tenggorokan dan susah bicara,

pura-pura menjadi bisu dan tidak perlu membuka suara dalam perjalanan." Sampai di sini tiba-tiba Ting Tong menghela napas, lalu katanya pula dengan menyesal, "Engkoh Thian, meski akalku ini cukup bagus, tapi kau yang harus menderita, maka aku merasa tidak enak." Mendengar ucapan si nona itu penuh rasa kasih sayang padanya, sungguh Boh-thian menjadi terharu. Dalam keadaan demikian jangankan dia cuma disuruh pura-pura menjadi bisu, sekalipun dia diminta mati baginya juga mau. Maka segera ia berseru, "Bagus, akalmu sangat bagus! Cuma cara bagaimana aku harus menggantikan Ciok Tiong-giok itu?"

"Rombongan mereka itu bermalam semua di Heng-co-tin disebelah barat sana, sekarang juga kita dapat menyusul kesana," kata Ting Tong. "Kutahu kamar tidurnya Ciok Tiong-giok, diam-diam kita masuk ke sana dan kalian dapat saling tukar pakaian. Besok pagi kau lantas pura-pura merintih-rintih kesakitan dan mengatakan bagian tenggorokanmu keluar bisul jahat sehingga susah bersuara, sebelum saat kau hendak dibunuh orang Swat-san-pay janganlah kau membuka mulut dan bicara."

"Ting-ting Tong-tong, akal sebagus ini hanyalah engkau yang dapat memikirkannya," seru Boh-thian dengan girang. "Dan ingatlah, sepanjang jalan jangan kau bicara dengan siapa pun juga, terhadap Ciok-cengcu dan Ciok-hujin juga tidak boleh memberi isyarat apa-apa. Maklum Pek-suhu dan kawan-kawannya itu sangat lihai, sedikit kau memperlihatkan tanda-tanda yang mencurigakan akan berarti membikin celaka kepada Ciok-cengcu berdua."

"Ya, baiklah, biarpun kepalaku dipenggal juga aku takkan bicara," sahut Boh-thian sambil mengangguk. "Hayolah, sekarang juga kita berangkat." Tapi mendadak pintu kamar dibuka orang, suara seorang wanita berseru, "Jangan kau tertipu olehnya, Siauya!" Remang-remang Boh-thian melihat seorang wanita muda berdiri di depan pintu, kiranya adalah Si Kiam. "Jangan... jangan tertipu apa, Si Kiam?"

"Di luar kamar telah kudengar seluruhnya," sahut Si Kiam. "Nona Ting ini tidak bermaksud baik, dia... dia hanya ingin menyelamatkan dia punya Engkoh Thian dan sengaja menipu kau untuk mewakilkan kematiannya."

"Ah, masakah begitu?" ujar Boh-thian. "Nona Ting membantu aku memikirkan cara bagaimana harus menolong Ciok-cengcu dan Ciok-hujin."

"Ai, mengapa Siauya tidak pikir masak-masak, mungkinkah mereka menaruh maksud baik padamu?" kata Si Kiam. Mendadak Ting Tong tertawa dingin, "Huh, memangnya kau adalah pelayan pangcumu yang tulen, sekarang kau sengaja membantu orang luar dan sengaja mengadu domba." Lalu ia berpaling kepada Boh-thian dan berkata, "Engkoh Thian, jangan kau pedulikan perempuan hina ini, lekas kau pergi minta sedikit bun-hiang (dupa pemabuk) kepada Tan-hiangcu, tapi jangan bicara tentang urusan kita ini, sesudah mendapatkan dupa itu boleh tunggu aku di luar sana saja."

"Untuk apa kita membawa dupa seperti itu?" tanya Boh-thian. "Sebentar tentu kau akan tahu, sekarang lekas berangkat, lekas!" desak si Ting Tong. Boh-thian mengiakan dan segera melangkah keluar. Setelah Boh-thian pergi, segera Ting Tong menyemprot SiKiam, "Hm, budak hina, baik juga ya hatimu!" Si Kiam menjadi takut, ia menjerit terus hendak lari. Tapi si

Ting Tong tidak memberi kesempatan padanya, cepat ia memburu maju, kedua tangannya menghantam sekaligus, tepat punggung Si Kiam kena digenjot dan tanpa ampun lagi mati seketika. Sebelum meninggalkan kamar itu, lebih dulu Ting Tong menyeret jenazah Si Kiam itu ke dalam kamar, ia sengaja merobek-robek pakaian Si Kiam dan meletakkan jenazah pelayan itu di atas ranjang agar besok paginya dicurigai orang-orang Tiang-lok-pang yang pasti akan menyangka pangcu mereka sendiri yang telah membunuh pelayannya lantaran melawan kehendak sang pangcu yang tidak senonoh. Dengan demikian Pwe Hay-ciok dan lain-lain tentu juga tidak akan kaget bilamana mendadak Ciok Boh-thian menghilang, mereka tentu mengira sang pangcu sengaja menyingkir untuk beberapa hari lamanya karena merasa malu. Selesai mengatur, perlahan-lahan Ting Tong lantas menyusup keluar dan setelah menunggu agak lama barulah kelihatan Ciok Boh-thian muncul. "Sudah dapat!" kata pemuda itu. "Bagus!" sahut Ting Tong dengan girang dan segera mengajaknya berangkat menuju ke tepi sungai dan naik keatas perahu yang sudah siap. Setelah mendayung perahu itu beberapa li jauhnya, kemudian mereka mendarat, ternyata di bawah pohon sana sudah tertambat dua ekor kuda. "Marilah kita menunggang kuda saja!" kata si nona."Ai, rencanamu ini benar-benar sangat rapi, sampai-sampai kuda pun sudah disiapkan," ujar Boh-thian. "Rapi apa segala?" semprot Ting Tong dengan muka merah.

"Ini adalah kuda Yaya, aku toh tidak tahu kalau kau ingin buru-buru hendak pergi menolong Ciok-cengcu." Boh-thian menjadi bingung mengapa si nona mendadak marah. Ia tidak berani banyak bicara lagi dan terus cemplak ke atas kuda. Kira-kira jam tiga dini hari sampailah mereka di luar Kota Heng-co-tin, mereka turun dari kuda dan masuk ke dalam kota. Ting Tong membawa Boh-thian ke sebuah hotel. Di luar hotel si nona berbisik-bisik padanya, "Ciok-cengcu suami-istri dan putranya tidur di kamar kedua di sebelah timur sana."

"Apakah mereka bertiga tidur di suatu kamar?" tanya Boh-thian. "Wah, jangan-jangan nanti ketahuan Ciok-cengcu dan Ciok-hujin."

"Mereka terpaksa harus tidur sekamar, mereka harus mengawasi putranya agar tidak melarikan diri," sahut Ting Tong. "Ai, mereka hanya memikirkan harga diri mereka sebagai kesatria tanpa memikirkan mati-hidup putranya, orang tua demikian benar-benar jarang terdapat di dunia ini." Mendengar nada si nona seperti merasa penasaran, Boh-thian menjadi bingung dan tidak dapat menanggapi. Terpaksa ia tanya dengan suara tertahan, "Habis, bagaimana?"

"Boleh kau sulut dupa pemabuk yang kau bawa, masukkan ke dalam kamar mereka melalui celah-celah jendela, sesudah mereka tak sadarkan diri barulah kau membuka jendela dan masuk ke dalam, diam-diam kau pondong keluar Ciok Tiong-giok dan selesaikan tugasmu. Ginkangmu sangat tinggi, keluar-masuk kamar tentu takkan diketahui Pek-suhu dan kawan-kawannya. Aku akan menunggu kau di bawah emper sana."

"O, kiranya demikian," kata Boh-thian sambil mengangguk. "Baiklah, akan kukerjakan menurut petunjukmu. Apakah dupa ini yang digunakan Tan-hiangcu dan kawan-kawannya untuk menawan orang-orang Swat-san-pay sebagaimana dikatakan mereka itu?"

"Benar," sahut Ting Tong. "Ini adalah perbuatan rendah yang biasa dilakukan oleh orang-orang Pang kalian, tentu dupa ini sangat manjur, kalau tidak masakah orang-orang Swat-san-pay yang bukan kaum lemah itu dapat dibekuk begitu saja? Cuma kau pun harus hati-hati, jangan sampai menerbitkan suara sedikit pun. Ketahuilah Ciok-cengcu dan nyonya tidak dapat disamakan dengan anak murid Swat-san-pay." Boh-thian mengiakan perlahan. Segera ia menyalakan dupa pembius yang dibawanya. Walaupun di tempat terbuka kepalanya terasa pusing juga ketika membau asap dupa itu. Keruan ia terkejut. "Dupa ini bisa mematikan orang tidak?" cepat ia tanya. "Mereka telah menawan orang-orang Swat-san-pay dengan dupa semacam ini, apakah di antara orang-orang Swat-san-pay ada yang mati?" Ting Tong balas bertanya. "Ya, tidak," sahut Boh-thian. "Baiklah, harap kau tunggu disini." Perlahan-lahan ia melompat, melintasi pagar tembok, ternyata enteng sekali gerakannya sehingga tiada menimbulkan suara sedikit pun. Ia menemukan jendela kamar kedua di serambi timur, ia dengar suara napas ketiga orang di dalam kamar itu sedang terpulas dengan nyenyaknya, perlahan-lahan ia membasahi kertas penutup jendela dengan air ludah sehingga terkorek menjadi sebuah lubang kecil, lalu ia menyalakan dupa dan memasukkannya ke dalam kamar. Nyala dupa itu sangat cepat dan sebentar saja sudah habis. Ia dengar sekeliling situ tiada sesuatu suara, dengan hati-hati ia lantas mendorong daun jendela sehingga terpentang, palang jendela telah patah oleh tenaga dalamnya yang kuat. Dengan gesit ia lantas melompat ke dalam kamar.

Bab 38. Ciok Boh-thian Pura-pura Sakit Gondok

Di bawah cahaya bintang-bintang yang remang-remang dilihatnya dalam kamar itu terdapat dua buah dipan. Ciok Jing

suami-istri bersatu dipan dan Ciok Tiong-giok tidur sendirian di dipan yang lain. Baru saja ia hendak mengangkat tubuh Ciok Tiong-giok, mendadak ia merasa kepala sendiri agak pusing, ia tahu telah mengisap bau dupa pemabuk, cepat ia menahan napas dan membawa Ciok Tiong-giok keluar hotel. Ting Tong sudah menunggu di sana, bisiknya perlahan, "Marilah kita menyingkir agak jauh supaya tidak membikin kaget Pek-suhu dan kawan-kawannya." Boh-thian mengiakan, dengan memondong Ciok Tiong-giok ia ikut si nona menyingkir ke tempat lebih jauh dari hotel itu. "Lekas kau menanggalkan pakaiannya dan menukar dengan pakaianmu, begitu pula seluruh isi sakunya," kata si Ting Tong. Waktu Boh-thian merogoh kantongnya sendiri, ia mengeluarkan sekotak boneka kayu pemberian Tay-pi Lojin dahulu serta dua potong medali tembaga. "Apakah ini juga... juga diberikan padanya?" tanyanya. "Ya, berikan semua," sahut Ting Tong. "Kalau tersimpan di bajumu, jangan-jangan akan dilihat orang dan terbongkar rahasia penyamaranmu. Biarlah aku meronda di sebelah sana. Cepat kau bertukar pakaian dengan dia." Menunggu sesudah si Ting Tong menyingkir agak jauh, segera Boh-thian melepaskan, pakaiannya sendiri, lalu  belejeti Ciok Tiong-giok dan saling bertukar pakaian. "Sudah, sudah selesai!" serunya kemudian. Maka kembalilah Ting Tong mendekat, katanya, "Jiwa Ciok-cengcu dan Ciok-hujin selanjutnya tergantunglah padamu, jika kau kurang pandai bergaya tentu celakalah mereka."

"Aku akan berbuat sebisanya," ujar Boh-thian. Lalu Ting Tong mengeluarkan sebuah kotak kecil, ia membuka tutup kotak dan mengorek sedikit salep dengan kukunya sambil berkata, "Dongakkan kepalamu!" Sesudah Boh-thian mengangkat kepalanya, segera ia poles salep itu di lehernya dan berkata pula, "Sebelum pagi mendatang nanti harus kau membersihkan salep ini supaya tidak dilihat orang lain. Besok akan terasa sakit sedikit, untuk ini kau harus tahan derita."

"Tidak apa," sahut Boh-thian. Tiba-tiba terlihat badan Ciok Tiong-giok sedikit bergerak seperti akan siuman. Cepat ia berkata, "Ting-ting Tong-tong, aku akan kembali ke kamarnya, sampai bertemu!"

"Ya, lekas, selamat!!" sahut Ting Tong. Kira-kira belasan meter jauhnya Boh-thian melangkah ke arah hotel, waktu menoleh, terlihat Ciok Tiong-giok sudah berduduk dan seperti sedang bicara dengan si Ting Tong dengan suara lirih. Tiba-tiba terdengar Ting Tong mengikik tawa, suaranya sangat perlahan, tapi penuh rasa gembira. Sekonyong-konyong Boh-thian merasakan semacam kecemasan yang hebat, lapat-lapat ia merasa selanjutnya tidak dapat berkumpul bersama si Ting Tong lagi. Sesudah merandek sejenak, akhirnya ia melompat masuk ke dalam hotel dan menyusup ke dalam kamar. Asap dupa di dalam kamar masih cukup keras, ia membuka daun jendela supaya ada hawa segar. Terdengar suara derapan kuda yang makin menjauh, ia tahu si Ting Tong dan Ciok Tiong-giok telah pergi bersama. Pikirnya, "Ke manakah mereka? Sekarang si Ting-ting Tong-tong tentulah sangat senang. Aku sendiri terlalu bodoh dan tidak pintar bicara, berada bersama dia hanya selalu membikin marah padanya saja." Ia berdiri termenung-menung agak lama di depan jendela, ketika mendadak merasa lehernya mulai sakit barulah cepat-cepat ia menyusup ke kolong selimut. Obat salep si Ting Tong itu ternyata sangat manjur, tidak

sampai satu jam tenggorokan Ciok Boh-thian sudah kesakitan. Waktu ia meraba dengan tangan, tempat tenggorokan itu sangat panas dan bengkak seperti orang gondok. Ia tahan sampai fajar sudah menyingsing, lalu ia membersihkan bekas salep itu dengan selimut, kemudian mulai merintih-rintih kesakitan menurut ajaran Ting Tong supaya menarik perhatian Ciok Jing suami-istri dan tidak curiga bilamana mengendus sisa bau dupa. Benar juga, sesudah merintih-rintih sebentar lantas didengar oleh Ciok Jing, segera orang tua itu bertanya, "Kenapa kau?" Nadanya bukannya kasih sayang, sebaliknya rada marah. Bin Ju juga lantas bangun dan bertanya, "Kenapakah anak Giok? Apakah badanmu kurang enak?" Dan tanpa menunggu jawaban segera ia mendekati Boh-thian. Ketika mendadak melihat kedua pipi Boh-thian merah membara, lehernya juga bengkak, ia menjadi kaget dan cepat berteriak, "He, Engkoh Jing, lekas kemari, coba lihatlah!" Mendengar seruan sang istri yang khawatir itu, cepat Ciok Jing lantas melompat bangun ke depan dipan putranya, ia menjadi khawatir juga demi tampak leher putranya merah bengkak sebagai gondokan. "Besar kemungkinan hanya penyakit bisul biasa saja, kalau diobati cepat-cepat tentu akan segera sembuh." Lalu ia tanya Boh-thian, "Bagaimana, Nak? Apakah sangat sakit?" Boh-thian hanya merintih saja dan tidak berani membuka suara. Pikirnya sendiri, "Karena ingin menolong kalian, makanya aku pura-pura sakit untuk menipu kalian. Hanya sakit bisul begini saja kalian sudah sedemikian menaruh perhatian padaku, ini menandakan kalian masih sangat cinta kepada putramu Ciok Tiong-giok itu walaupun dia telah banyak berdosa. Ai, mengapa di dunia ini tiada seorang pun yang mencintai aku seperti ini." Teringat demikian ia menjadi terharu sehingga mengembeng air mata. Melihat putranya mewek-mewek akan menangis, Ciok Jing dan Bin Ju mengira dia kesakitan, maka mereka tambah khawatir. Ciok Jing bertanya, "Biarlah kucari seorang tabib."

"Di kota kecil seperti ini tentu tiada tabib pandai, marilah kita pulang ke Yangciu saja dan minta tolong Pwe-tayhu untuk memberi obat padanya," usul Bin Ju. "Tidak," jawab Ciok Jing. "Jangan-jangan akan menimbulkan curiga Pek Ban-kiam dan kawan-kawannya, pula akan dipandang hina oleh Pwe Hay-ciok." Ia tahu Pwe Hay-ciok dan orang-orang Tiang-lok-pang sudah dendam kepada putranya yang khianat ini, bilamana dibawa kesana bukan mustahil sang putra akan dicelakai malah. Segera Bin Ju membawakan semangkuk kuah hangat untuk Ciok Boh-thian, tak terduga salep berbisa itu sangat lihai, luar-dalam tenggorokan itu telah bengkak semua sehingga tak dapat makan-minum sama sekali. Keruan Bin Ju tambah khawatir. Ciok Jing lantas mencari seorang tabib. Dasar tabib kampungan, tapi berlagak mahapandai, sesudah memeriksa penyakit Boh-thian itu, sebentar ia bilang cuma penyakit gondok, tapi lain saat ia menakut-nakuti katanya sakit kanker. Akhirnya ia membual betapa kepandaiannya dan minta pasiennya jangan khawatir, lalu ia membuka resep. Ciok Jing memberi pujian sekadarnya dan memberikan honorarium yang cukup, setelah tabib itu pergi ia lantas membeli obat ke apotek. Karena kesibukan Ciok Jing, itu, akhirnya orang-orang Swat-san-pay mendapat tahu juga persoalannya. Khawatir kalau-kalau Ciok Jing main gila dan berusaha menyelamatkan putranya, maka Pek Ban-kiam pura-pura menjenguk kekamarnya. Ketika melihat tenggorokan Ciok Boh-thian benar-benar seperti orang sakit gondok dan Bin Ju tampak khawatir dan bingung, diam-diam ia merasa senang dan syukur. Pikirnya, "Kau bocah durhaka ini sudah berdosa kelewat takaran, jika kau terbunuh begitu saja di Leng-siau-sia nanti akan terlalu murah bagimu, memangnya kau harus disiksa dan banyak menderita dahulu agar kau bertobat." Walaupun demikian pikirnya, namun sebagai seorang kesatria ia malah menghibur Bin Ju agar jangan khawatir. Sesudah memberikan obat kepada putranya, kemudian Ciok Jing berkata kepada sang istri, "Aku sudah siapkan kereta diluar. Tiong-giok adalah seorang lelaki, dia harus berani tahan uji, sedikit penyakit saja tidak boleh menghalangi urusan orang banyak. Marilah kita lantas berangkat saja." Bin Ju menjadi ragu-ragu, katanya, "Penyakit anak begini parah, kalau dipaksa meneruskan perjalanan mungkin... mungkin akan tambah berat."

"Kedua sucia pengganjar dan penghukum itu sedang menuju ke Leng-siau-sia, Pek-suheng harus buru-buru menyusul kesana, jika Wi-tek Siansing sampai bergebrak dengan mereka, kita tak dapat membantu, sebaliknya memperlambat perjalanan Pek-suheng, hal ini tidaklah pantas." Bin Ju terpaksa mengiakan, katanya kepada Boh-thian, "Nak, marilah kubantu kau memakai baju." Lalu ia membantu Boh-thian berpakaian dan lantas keluar hotel. Melihat Ciok Jing memaksa putranya melanjutkan perjalanan dalam keadaan sakit, mau tak mau Pek Ban-kiam menaruh hormat juga atas jiwa kesatrianya. Sebaliknya Bin Ju paham apa yang diperhitungkan sang suami, ia kenal watak suaminya tidak nanti mengeluyur pergi dengan membawa lari putranya. Tapi menurut perhitungan Ciok Jing kunjungan Thio Sam dan Li Si ke Leng-siau-sia nanti pasti akan

cekcok dan bertempur dengan Pek Cu-cay alias Wi-tek Siansing yang berperangai keras dan tidak nanti mau terima medali

tembaga yang disodorkan itu. Jika bisa Ciok Jing ingin mencapai Leng-siau-sia tepat pada waktunya dan dapat

membantu pihak Swat-san-pay dengan sepenuh tenaga, jika nasibnya malang dan gugur dalam pertempuran itu, maka paling sedikit akan dapat mencuci bersih nama busuk putranya, sebaliknya kalau untung mendapat kemenangan, maka berita tentang Swat-san-pay bergabung dengan Hian-soh-ceng telah menjatuhkan Thio Sam dan Li Si pasti akan tersiar di dunia Kangouw, jasa itu tentu dapat menebus dosa putranya dan Pek Cu-cay tentu tidak tega membunuhnya lagi. Namun Bin Ju sendiri sudah menyaksikan kepandaian Thio Sam dan Li Si di markas Tiang-lok-pang dan menduga lebih banyak kalah daripada menangnya bila benar-benar bergabung melawan kedua orang itu. Akan tetapi selain pikiran sang suami itu rasanya tiada jalan lain lagi yang lebih sempurna, sebab itulah ia pun menurut saja. Sebenarnya tabib di Heng-co-tin itu memang tidak becus, dia telah salah sangka bengkak di tenggorokan Ciok Boh-thian itu sebagai sakit gondok. Namun dengan demikian Ciok Jing dan Bin Ju menjadi tidak curiga apa-apa. Pula wajah Boh-thian dan Ciok Tiong-giok memang sangat mirip, sesudah saling tukar pakaiannya, siapa pun tidak dapat membedakannya lagi. Dengan enak-enak Boh-thian bertiduran di dalam kereta kuda tanpa bersuara sedikit pun, maka rahasianya juga tidak sampai ketahuan siapa-siapa. Kepergian si Ting Tong tanpa pamit itu

adalah kebetulan bagi Ciok Jing dan Bin Ju, maka mereka pun tidak mengusut lebih lanjut. Begitulah rombongan mereka lantas mempercepat perjalanan agar tidak didahului oleh Thio Sam dan Li Si. Setiba di wilayah Provinsi Oulam, bengkak di tenggorokan Ciok Boh-thian sudah kempis, akan tetapi dia masih gagu dan tidak dapat bicara. Beberapa kali Ciok Jing membawanya kepada tabib-tabib dikota yang dilalui, namun tidak diperoleh sesuatu kepastian tentang penyakitnya, hal ini membuat Ciok Jing menjadi masygul dan Bin Ju pun lebih sering mencucurkan air mata. Suatu hari sampailah mereka di wilayah Se-ek (daerah provinsi-provinsi sebelah barat). Orang-orang Swat-san-pay sangat hafal keadaan setempat, mereka selalu mengambil jalanan kecil yang lebih dekat. Untuk ini mereka yakin pasti akan dapat tiba lebih dulu di tempat tujuan daripada Thio Sam dan Li Si. Makin dekat dengan Leng-siau-sia makin legalah hati mereka. Hanya Ciok Jing dan Bin Ju saja yang merasa bimbang, mereka menduga pada waktu bertemu dengan Wi-tek Siansing nanti kedua pihak tentu akan serbasalah. Apabila orang tua itu lantas marah-marah terus membinasakan anak Giok dan pada saat itu juga Thio Sam dan Li Si muncul pula, maka keadaan tentu akan menjadi sulit. Diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju juga saling berunding, tapi susah mengambil sesuatu keputusan, terpaksa mereka pasrah nasib dan terserah kepada keadaan nanti. Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di suatu lereng gunung di mana terdapat sederetan rumah-rumah papan kayu, Pek Ban-kiam telah tanya penjaga rumah-rumah papan itu dan diketahui beberapa hari terakhir ini belum pernah ada orang asing lalu di situ, maka hatinya menjadi makin lega. Mereka bermalam di perumahan papan itu, besok paginya mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Kiranya perjalanan selanjutnya sangatlah terjal dan tidak dapat dilalui dengan kuda. Beberapa murid Swat-san-pay jalan di depan sebagai penunjuk jalan mereka terus mendaki gunung dan melintasi tanjakan. Kira-kira satu jam kemudian, seluruh tanah mulai tertampak hanya salju belaka. Untung ginkang setiap orang tidaklah lemah sehingga tidak mengalami suatu kesukaran. Sepanjang jalan Ciok Boh-thian terus ikut di belakang ayah-bundanya, tidak mendahului juga tidak ketinggalan. Melihat kekuatan berjalan sang putra sangat tangkas, napasnya juga panjang, diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju

merasa lwekang pemuda itu tidak lebih lemah daripada mereka sendiri, mereka menjadi kagum dan senang. Tapi demi ingat tidak lama lagi akan berjumpa dengan Pek Cu-cay, kembali mereka khawatir pula. Petangnya mereka melihat di depan sana berdiri suatu puncak gunung yang menjulang tinggi dengan bangunan berpuluh-puluh rumah. "Ciok-cengcu, inilah Leng-siau-sia adanya, tempatnya terlalu terpencil dan miskin, segalanya kasar dan sederhana saja," kata Pek Ban-kiam. "Sungguh suatu tempat yang bagus," puji Ciok Jing. "Puncak yang tertinggi dikelilingi gunung-gemunung, benar-benar sesuai dengan namanya sebagai `leng-siau' (mencakar langit)." Tertampak awan mengapung ke atas dan lambat laun seluruh Leng-siau-sia telah terselubung semua di-tengah-tengah gumpalan awan yang tebal. Ketika rombongan mereka sampai di kaki puncak gunung itu hari pun sudah gelap, mereka lantas bermalam pada dua rumah batu yang biasanya disediakan untuk orang-orang yang hendak berkunjung ke Leng-siau-sia agar besok pagi-pagi dapat mendaki puncak tinggi itu dengan tenaga penuh. Waktu fajar baru menyingsing segera rombongan mereka mulai mendaki puncak terjal itu. Walaupun semua orang berkepandaian tinggi, tidak urung mereka harus berhenti mengaso dua kali serta makan ransum di gardu kecil di tengah

gunung. Lewat tengah hari barulah mereka sampai di luar Leng-siau-sia. Tertampaklah beratus-ratus rumah dikelilingi selapis tembok benteng yang putih dan tingginya lebih dari lima-enam meter, kelihatannya penuh dengan salju yang sudah membeku. "Pek-suheng, dinding benteng penuh dengan salju yang membeku, maka pastilah sangat kukuh laksana baja, orang luar tidaklah mungkin dapat menyerbu ke dalam," kata Ciok Jing. "Ya, selama lebih 170 tahun berdirinya golongan kami memang tidak pernah diserbu musuh dari luar," sahut Ban-kiam dengan tertawa. "Hanya saja di musim dingin sering mendapat gangguan kawanan serigala yang lapar, tapi juga tidak mampu masuk ke dalam benteng." Sampai di sini dilihatnya jembatan gantung yang melintasi sungai es yang mengelilingi benteng itu masih tergantung tinggi-tinggi dan belum dihubungkan, diam-diam Ban-kiam menjadi marah, segera ia membentak, "Siapa itu yang dinas jaga? Apakah tidak lihat kami telah pulang?" Maka tertampaklah di atas benteng menongol sebuah kepala dan berkata, "Kiranya Pek-supek dan para supek yang lain telah pulang, segera akan kulaporkan dulu."

"Ada tamu jauh berkunjung kemari, lekas turunkan jembatan gantung!" bentak Ban-kiam pula. Terdengar orang itu mengiakan sambil mengkeretkan kembali kepalanya, tapi sampai sekian lamanya jembatan gantung masih tetap tidak diturunkan. Ciok Jing melihat sungai yang mengelilingi benteng itu lebarnya ada lima-enam meter lebih, untuk melompat ke seberang memang tidak gampang. Pada umumnya dinding benteng memang selalu dikelilingi oleh sungai pelindung benteng, tapi di puncak gunung ini hawa sangat dingin, air sungai telah membeku menjadi es, sungai ini pun sangat dalam, tepi sungai juga membeku sebagai dinding es yang licin, baik binatang maupun manusia jika terjerumus ke bawah tentu sangat sukar untuk naik kembali. Dalam pada itu terdengar Kheng Ban-ciong dan Kwa Ban-kin juga sedang membentak-bentak suruh penjaga-penjaga benteng lekas turunkan jembatan gantung dan membuka pintu. Melihat suasana agak luar biasa, Ban-kiam menjadi khawatir

jangan-jangan terjadi apa-apa di dalam benteng. Segera ia membisiki kawan-kawannya, "Para Sute harap waspada, boleh jadi kedua orang dari Liong-bok-to itu sudah tiba lebih dahulu." Mendengar itu semua orang terkesiap dan tanpa merasa sama

meraba senjatanya masing-masing. Pada saat itulah terdengar suara berkeriang-keriut, jembatan gantung perlahan-lahan telah diturunkan. Pintu gerbang lantas terbuka dan tertampak berlari keluar seorang yang berjubah putih, lengan baju sebelah kanan terikat pada ikat pinggangnya, di dalam lengan baju itu tertampak kosong melompong, terang tiada isinya, yaitu lengannya buntung. Orang ini lantas berteriak-teriak, "Haha, kiranya Ciok-heng dan Ciok-so yang telah tiba, sungguh tamu yang tak terduga, selamat datang!" melihat Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li menyambut sendiri kedatangan mereka, sedangkan lengan kanannya kelihatan buntung akibat perbuatan putranya sendiri, sungguh Ciok Jing menyesal tak terhingga. Cepat ia memapak maju sambil berseru, "Hong-jite, kami suami-istri membawa putra durhaka ini sengaja datang kemari untuk menerima hukuman yang akan dijatuhkan Pek-supek dan engkau." Habis berkata ia terus melangkah maju dan bertekuk lutut memberi hormat. Sejak Ciok Jing terkenal di dunia Kangouw belum pernah ia memberi hormat kepada angkatan yang setingkat kecuali kepada orang tua, sekarang lantaran pengorbanan Hong Ban-li terlalu besar gara-gara perbuatan putranya, maka tanpa merasa ia lantas menjura kepada sobat lama itu. Melihat suaminya berlutut dan menjura, sebaliknya sang putra masih berdiri termangu di samping, cepat Bin Ju menarik baju Ciok Boh-thian sambil berlutut di samping sang suami. Boh-thian sendiri tidak tahu apa-apa, tapi ia berpikir, "Dia adalah gurunya Ciok Tiong-giok yang kusamar sekarang, ketemu guru memang seharusnya memberi hormat." Maka ia lantas berlutut juga dan menjura berulang-ulang sampai kepalanya membentur tanah. Hong Ban-li tidak menggubris perbuatan Ciok Boh-thian itu sebaliknya ia berkata kepada Ciok Jing, "Ai, mengapa Ciok-heng dan Ciok-so memakai adat setinggi?" Cepat ia pun berlutut dan balas menjura. Sesudah Ciok Jing suami-istri dan Hong Ban-li berbangkit kembali, hanya Ciok Boh-thian sendiri yang masih berlutut disitu. Sama sekali Ban-li tidak menggubris Ciok Boh-thian, katanya kepada Ciok Jing, "Ciok-heng dan Ciok-so, rasanya sudah belasan tahun kita tidak bertemu, kalian berdua ternyata semakin sehat dan tambah muda. Selama ini terdengar juga nama kalian berdua yang sangat terpuji di dunia Kangouw, sungguh aku merasa sangat kagum dan terimalah ucapan selamat dariku." "Kami tidak mampu mengajar anak, segala pujian kawan-kawan Kangouw hanya nama kosong saja, apa yang perlu ditonjolkan?" sahut Ciok Jing dengan rendah hati. "Hari ini melihat keadaan Hong-hiante, sungguh kami merasa malu tak terhingga."

"Ah, kita adalah sahabat lama dan sesama kaum persilatan, hanya sedikit persoalan mengapa harus selalu disebut-sebut? Kalian datang dari jauh dan tentu sudah capek, hayolah lekas masuk ke dalam benteng dan mengaso dulu," kata Hong Ban-li tetap tidak ambil pusing kepada Ciok Boh-thian yang masih berlutut di tempatnya. Segera Hong Ban-li mengiringi Ciok Jing mendahului masuk ke dalam benteng. Bin Ju lantas menarik bangun putranya dengan mengerut kening, melihat sikap Hong Ban-li tadi walaupun ucapannya enak didengar, tapi jelas belum mau mengampuni dosa Ciok Boh-thian. Ketika masuk ke benteng, Pek Ban-kiam telah memanggil seorang penjaga dan bertanya dengan suara perlahan, "Apakah Loyacu (tuan besar, maksudnya ayahnya) baik-baik saja? Apa yang telah terjadi di sini sesudah aku pergi?"

"Loyacu... Loyacu cuma suka marah-marah dan agak kasar perangainya," sahut anak murid Swat-san-pay itu. "Sejak Supek berangkat juga tiada terjadi apa-apa. Hanya... hanya...." "Hanya apa?" desak Ban-kiam dengan menarik muka. Murid itu menjadi ketakutan, jawabnya, "Lima... lima hari yang lalu mendadak Loyacu mengamuk dan... dan telah membunuh Liok-supek dan Boh-susiok."

"Hah? Mengapa bisa begitu?" tanya Ban-kiam terkejut. "Tecu sendiri tidak tahu," sahut murid itu. "Kemarin dulu kembali Loyacu membunuh Yan-susiok pula, juga sebelah kaki Tho-supek kena ditebas kutung oleh beliau." Sungguh kaget Ban-kiam tak terkatakan. Pikirnya, "Boh, Lio, Yan, dan Tho-sute adalah jago-jago pilihan dalam Swat-san-pay, biasanya ayah sangat sayang kepada mereka, mengapa mendadak ayah berlaku sekejam ini kepada mereka?" Cepat ia menarik murid itu ke samping, sesudah Bin Ju dan Ciok Boh-thian pergi lebih jauh, segera ia tanya pula, "Sesungguhnya apa yang telah terjadi?"

"Tecu benar-benar tidak tahu," sahut murid itu. "Sesudah meninggalnya paman-paman guru itu, setiap orang di Leng-siau-sia merasa tidak tenteram dan kebat-kebit. Kemarin malam Thio-susiok, Be-susiok, dan lain-lain juga pergi tanpa pamit, katanya hendak pergi mencari Pek-supek. Untunglah hari ini Pek-supek sudah pulang dan dapatlah meredakan kemarahan Loyacu." Karena tidak mendapatkan keterangan yang diharapkan, segera Ban-kiam menyusul ke rumah. Setiba di ruangan tamu,

tertampak Hong Ban-li sedang mengiringi Ciok Jing dan Bin Ju minum teh. Segera ia berkata, "Silakan kalian duduk dahulu, Siaute akan menemui ayah dan minta beliau keluar bertemu dengan tamu." Mendadak Hong Ban-li menukas dengan mengerut kening, "Beberapa hari yang lalu mendadak Suhu jatuh sakit, mungkin beliau harus mengaso beberapa hari lagi baru dapat menemui tamu. Kalau tidak, beliau biasanya sangat menghormati Ciok-heng, tentu sejak tadi beliau sudah keluar." Pikiran Ban-kiam menjadi kacau, cepat ia berkata, "Jika demikian, biarlah aku menjenguk ayah dahulu." Dengan langkah lebar segera ia menuju ke kamar tidur sang ayah, sampai di luar pintu, ia berdehem dahulu, lalu berseru, "Ayah, anak sudah pulang!" Maka tertampaklah tirai pintu tersingkap, muncul seorang wanita cantik pertengahan umur, ialah bini muda Pek Cu-cay yang bernama Yu-nio. Wajahnya kelihatan agak pucat, melihat Ban-kiam segera ia berkata, "Syukurlah sekarang Toasiauya sudah pulang, memangnya kami sedang bingung apa yang harus kami lakukan. Sejak kemarin dulu pikiran Loyacu mendadak menjadi linglung, aku... aku telah sembahyang dan berdoa, tapi sedikit pun tidak berhasil apa-apa. Toasiauya, semoga kau...." sampai di sini ia lantas menangis terguguk-guguk. "Urusan apakah yang membikin ayah menjadi marah-marah?" tanya Ban-kiam. "Ya entah anak muridnya salah omong apa sehingga Loyacu menjadi murka, berturut-turut beberapa muridnya telah dibunuh," tutur Yu-nio. "Saking marahnya sekujur badan Loyacu menjadi gemetar, sepulangnya di kamar mukanya tampak berkejang, mulutnya berbuih dan mengiler, bicara pun tidak sanggup lagi. Ada orang mengatakan beliau terkena `angin' dan entah betul atau tidak...." sembari bicara dia terus menangis sedih. Mendengar penyakit "kena angin", seketika Pek Ban-kiam menjadi khawatir, tanpa bertanya lagi ia lantas berseru, "Ayah!" dan terus berlari ke dalam kamar. Ia lihat kelambu tempat tidur sang ayah tertutup rapat, di dalam kamar ternyata ada sebuah anglo kecil dan sedang masak obat. "Ayah!" seru Ban-kiam pula sambil membuka kelambu. Maka tertampaklah ayahnya bertiduran dengan menghadap kesebelah sana, badannya sedikit pun tidak bergerak. Pendengaran Ban-kiam sangat tajam, ia merasa pernapasan ayahnya seperti sudah  berhenti. Saking kagetnya tanpa pikir ia terus menjulur tangan untuk memeriksa pernapasan hidung sang ayah. Tapi baru saja sebelah tangannya terjulur sampai di samping mulut ayahnya, dari dalam selimut mendadak menyambar keluar suatu benda, "krek", tahu-tahu tangan Ban-kiam telah terbelenggu dengan kencang, kiranya benda itu adalah sebuah jepitan baja yang penuh berduri tajam. Keruan Ban-kiam tambah kaget. "Ayah, akulah, anak telah pulang!" teriaknya. Tapi mendadak dada dan perutnya berbareng telah tertutuk dua kali dan tepat mengenai hiat-to yang penting sehingga dia tidak bisa berkutik lagi.... Dalam pada itu Ciok Jing suami-istri yang dilayani Hong Ban-li dalam sedang minum di ruangan tamu itu pun merasakan sesuatu yang aneh pada orang-orang Swat-san-pay yang dilihatnya, seakan-akan setiap orang itu menyembunyikan rahasia apa-apa. Ciok Jing menjadi heran dan mengira jangan-jangan berhubung akan datangnya kedua rasul pengganjar dan penghukum dari Liong-bok-to itu, maka orang-orang Swat-san-pay itu merasa cemas dan gelisah. Rupanya Hong Ban-li mengetahui perasaan tamunya, ia coba memberi penjelasan bahwa gurunya sudah tua, biasanya cukup sehat, tapi mendadak jatuh sakit rada berat. Untuk mana Ciok Jing juga mendoakan agar Pek Cu-cay lekas sembuh dan minta Hong Ban-li jangan terlalu berduka. Sementara itu hari sudah mulai gelap, Hong Ban-li perintahkan orang menyiapkan perjamuan. Kheng Ban-ciong, Kwa Ban-ki dan lain-lain ternyata tidak muncul lagi, maka Ciok Jing bertiga diiringi oleh Ban-li sendiri bersama seorang sutenya yang bernama Liok Ban-thong. Sekali ini Ciok Boh-thian juga disilakan duduk dan disuguhi arak. Dengan alasan minum arak untuk bikin hangat badan, berulang-ulang Ban-li menyilakan tamunya penghabisan isi cawan sehingga Bin Ju sampai-sampai menghabiskan tiga cawan. Sekonyong-konyong terasa suatu arus panas menaik dari dalam perut, menyusul dada pun terasa panas sebagai dibakar, cepat Bin Ju mengerahkan lwekang untuk bertahan, katanya dengan tertawa, "Hong-hiante, arakmu ini sungguh lih... lihai! Agaknya Ciok Jing juga merasakan hebatnya arak itu, mendadak ia berbangkit dan membentak, "Arak apakah ini?"

"Ini adalah som-yang-ciu (arak kolesom) yang memang agak keras sedikit tapi rasanya tak sampai memabukkan Hian-soh-

siang-kiam, bukan?" sahut Ban-li dengan tertawa. Dengan suara bengis Ciok Jing membentak pula, "Kau... kau...." tapi mendadak tubuhnya menggeliat dan akan jatuh. Cepat Bin Ju dan Ciok Boh-thian berbangkit dan bermaksud memayang Ciok Jing, tak terduga mereka berdua berbareng juga merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang. Sekaligus mereka pun roboh dan terduduk kembali di tempatnya masing-masing tak sadarkan diri. Entah berselang berapa lama, dengan lwekang Ciok Boh-thian

yang kuat itu perlahan-lahan ia siuman lebih dulu. Semula ia mengira di dalam mimpi saja, perlahan-lahan ia menggerak-gerakkan tangannya dan bermaksud menahan tubuhnya untuk berduduk, sekonyong-konyong terasa kedua tangannya terkatup oleh sesuatu benda yang keras dan dingin. Ia terkejut, pikirannya lantas jernih seketika. Maka tahulah dia bahwa kaki dan tangannya telah terbelenggu semua. Waktu ia membuka mata, ternyata keadaan gelap gulita dan tidak mengetahui di mana ia berada. Ia coba berdiri dan melangkah ke depan, tapi baru dua tindak saja, "blang", batok kepalanya lantas membentur dinding yang keras. Ia coba tenangkan diri sambil raba-raba kepalanya yang benjut Perlahan-lahan ia meraba-raba dinding di sekelilingnya, kiranya dia terkurung di dalam sebuah kamar batu yang kecil. Keadaan gelap gulita, hanya pada ujung kiri sana remang-remang ada cahaya yang menembus masuk. Ketika diperiksa, kiranya adalah sebuah lubang sebesar belasan senti, jangankan manusia, anjing pun susah menerobos lewat. Ia coba ketok-ketok dinding batu dengan borgol di tangannya itu sehingga mengeluarkan suara gemerantang yang nyaring, nyata dinding batu itu sana tebal dan kukuh. Boh-thian duduk bersandarkan dinding dan mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi, "Mengapa aku bisa sampai disini? Apa barangkali arak kolesom yang mereka suguhkan itu dicampur dengan obat tidur sehingga Ciok-cengcu suami-istri juga jatuh pingsan di tempat perjamuan itu. Tampaknya orang-orang Swat-san-pay berkeras akan membunuh Ciok Tiong-giok, khawatir kalau Ciok Jing berdua membelanya, maka mereka perlu dipulaskan lebih dulu dengan obat tidur. Tapi mengapa mereka belum membunuh aku? Ah, besar kemungkinan karena Wi-tek Siansing sedang sakit, mereka sengaja mengurung kami untuk beberapa hari lagi dan akan diputuskan sendiri oleh Wi-tek Siansing bila sakitnya sudah sembuh." Lalu terpikir pula olehnya, "Bilamana Wi-tek Siansing tanya padaku, asal aku mengatakan bahwa aku adalah Kau-cap-ceng dan bukan Ciok Tiong-giok, kukira dia pasti akan membebaskan diriku. Tapi Ciok-cengcu berdua belum tentu akan dibebaskan olehnya, boleh jadi akan tetap dipenjarakan sebagai sandera sampai tertangkapnya Ciok Tiong-giok yang tulen. Selama dipenjarakan, orang halus dan suka bersih sebagai Ciok-hujin apakah tahan di tempat yang gelap dan kotor seperti ini, wah, entah betapa dia akan merana. Cara bagaimanakah aku harus mencari suatu akal untuk menolong Ciok-hujin dan Ciok-cengcu, habis itu barulah aku akan bicara menurut aturan dengan Pek-loyacu." Demi teringat harus bertempur seketika ia menjadi sedih pula, padahal dirinya sekarang dalam keadaan terborgol dan memerlukan pertolongan orang lain, cara bagaimana pula dapat pergi menolong Ciok-cengcu berdua? Di dalam Leng-siau-sia ini adalah orang-orang Swat-san-pay semua, siapa yang mau menolongnya? Ia coba meronta dan membetot-betot borgol itu, tapi hanya terdengar suara gemerencing rantai saja, kiranya di antara borgol tangan dan kaki itu tersambung pula beberapa utas rantai besi. Pada saat itulah mendadak dari lubang kecil di dinding tadi ada cahaya lampu menembus masuk. Ada orang mendekati kamar batu itu dengan membawa pelita. Menyusul dari luar lubang dinding itu terlihat disodorkan masuk sebuah kuali kecil yang berisi setengah kuali nasi, di atas nasi terdapat beberapa iris sayur asin, sepasang sumpit tertancap di atas nasi pula. Boh-thian tidak pikirkan lagi tentang pura-pura menjadi gagu segala, segera ia berteriak, "He, he! Aku ingin bicara dengan Pek-loyacu, lekas sampaikan kepada beliau!" Tapi orang di luar itu hanya mendengus saja tanpa menjawab. Sinar pelita tadi lambat laun menjadi pudar dan akhirnya lenyap. Ternyata orang itu telah pergi tanpa menggubris permintaan Boh-thian. Terendus bau sedapnya nasi barulah Boh-thian ingat perutnya sudah lapar. Padahal ia ingat sudah makan cukup banyak dalam perjamuan itu, mengapa sekarang sudah lapar sekali. Rupanya waktu tak sadar dan terkurungnya di kamar batu itu sudah cukup lama. Tanpa pikir lagi segera ia pegang kuali nasi itu, sumpit lantas bekerja dan makan dengan lahap, hanya sekejap saja isi kuali itu sudah disapu bersih ke dalam perutnya. Habis makan ia taruh kuali kosong itu di tempatnya semula. Beberapa kali ia coba membetot lagi, tapi borgol di kaki-tangannya itu ternyata terbuat dari baja, biarpun ia mengerahkan segenap lwekangnya juga susah mematahkannya, sebaliknya pergelangan tangan dan kaki sendiri yang kesakitan dan lecet. Ia coba meraba daun pintu kamar batu itu, akhirnya ia menemukan garis celah-celah pintu, sekuatnya ia mendorong dengan pundak, tapi pintu batu tidak bergerak sedikit pun. Boh-thian menjadi putus asa dan menerima nasib di samping mengkhawatirkan keselamatan Ciok Jing dan istrinya. Daripada susah-susah akhirnya ia tidak mau pikir lagi, dengan bersandarkan dinding ia pejamkan mata dan tidur. Di dalam kamar tahanan yang gelap gulita itu susah diketahui sudah lewat berapa lamanya, besar kemungkinan sudah menunggu satu hari barulah ada orang mengantarkan nasi lagi. Terlihat sebuah tangan menjulur masuk dari luar lubang dinding untuk mengambil kuali kosong. Sekilas benak Ciok Boh-thian timbul suatu akal. Ketika orang itu memasukkan makanan pula, secepat kilat Boh-thian menubruk maju, di tengah gemerencingnya rantai besi, tahu-tahu pergelangan tangan orang itu sudah terpegang. Dengan kim-na-jiu-hoat ditambah lwekang yang lihai, sekali tangannya sudah dipegang Ciok Boh-thian, biarpun tokoh

terkemuka di dunia persilatan juga tidak tahan, apalagi sekarang hanya seorang pengantar makanan biasa saja? Keruan orang di luar itu kaget, saking kesakitan ia menjerit laksana babi hendak disembelih. Ketika Ciok Boh-thian sedikit menarik, seluruh lengan orang itu telah kena diseret masuk ke dalam, bentaknya, "Jangan berteriak, kalau berteriak lagi segera kubetot putus lenganmu!" Terpaksa orang itu minta ampun, "Tidak, aku takkan berteriak lagi. Lek... lekas engkau melepaskan tanganku!"

"Buka dulu pintu kamar batu ini, lepaskan aku keluar," sahut Boh-thian. "Baik, lepaskan tanganku, biar kubuka pintunya," kata orang itu. "Sekali kulepaskan tentu kau akan lari, tidak dapat kulepaskan tanganmu," ujar Boh-thian. "Habis, cara bagaimana aku dapat membukakan pintunya?" jawab orang itu. Boh-thian pikir benar juga alasan orang itu. Kalau melulu memegangi tangannya saja terang tak berguna. Tapi dengan susah payah tangan orang sudah kena dipegang, masakah sekarang lantas dilepaskan begitu saja? Tiba-tiba ia mendapat akal pula, katanya, "Lekas serahkan kunci borgol kaki-tanganku ini!"

"Kunci?" orang itu menegas. "Wah, buk... bukan aku yang memegang kuncinya. Hamba cuma seorang pengantar ransum saja." Boh-thian merasa curiga atas pada jawaban orang. Ia pikir toh sudah tiada jalan lain, terpaksa orang ini harus didesak terus. Segera ia genggam lebih keras sambil berkata, "Baiklah, biar kupatahkan dulu tanganmu dan urusan belakang!" Keruan orang itu berkuik-kuik kesakitan pula. Di luar dugaan, sesudah mengaduh-aduh beberapa kali, akhirnya terdengar suara nyaring, sebuah kunci telah terlempar masuk. Ternyata orang itu sangat licin sekali, dia sengaja melemparkan kunci ini jauh-jauh sehingga tangan Boh-thian tidak sampai untuk mengambilnya. Jika mau ambil kunci itu terpaksa pemuda itu harus melepaskan dulu tangannya.

Bab 39. Dengan Perkasa Ciok Boh-thian Menolong Su-popo dan A Siu

Seketika Boh-thian menjadi bingung juga. Sambil membetot sekuatnya tangan orang itu Boh-thian mengulurkan sebelah kakinya ke belakang untuk meraih kunci borgol itu. Namun meski lengan orang itu sudah terbetot sampai-sampai hampir copot dari ruasnya toh masih belum bisa mencapai kunci itu. Sebaliknya orang itu menjerit-jerit kesakitan pula seperti babi, "Aduh, aduuuh! Jangan tarik lagi, kalau tarik lagi tanganku tentu putus!" Melihat kaki sendiri tidak bisa mencapai tempat kunci, tiba-tiba Boh-thian mendapat akal pula, cepat ia menanggalkan sebelah sepatunya sendiri, ia incar dinding sebelah sana, lalu sepatu itu ditimpukkan sekuatnya. Ketika sepatu itu membentur dinding dan terpental balik, dengan tepat kunci yang terletak di tanah itu juga tersampuk dan terbawa ke sebelah sini. Boh-thian sampai bersorak saking senangnya karena akalnya mencapai hasil yang diharapkan. Segera ia jemput kunci itu dan memakai kembali sepatunya. Secara bergantian ia membuka kedua belah borgol tangannya. Habis itu mendadak "krek", ia gunakan borgol itu untuk membelenggu tangan orang itu. Keruan orang itu terkejut. "He, ap... apa yang kau lakukan?" serunya takut. "Sekarang bolehlah kau membukakan pintu kamar tahanan ini," kata Boh-thian dengan tertawa sambil mengeluarkan rantai borgol. Tapi orang itu masih ragu-ragu, Boh-thian menjadi tidak sabar, ia tarik rantai borgol sehingga lengan orang itu terseret kedalam lubang lagi. Rupanya agak keras juga tenaga yang digunakan Ciok Boh-thian sehingga muka orang itu tertumbuk dinding, kontan batok kepalanya benjut dan hidung keluar kecapnya. Orang itu sadar tidak dapat membangkang lagi, terpaksa sambil menyeret rantai borgol ia membukakan pintu kamar batu itu. Akan tetapi ujung rantai yang lain masih terikat pada borgol kaki Ciok Boh-thian, meski pintu sudah terbuka, namun kedua ujung rantai besi itu menembus lubang dinding batu dan terikat pada tangan dan kaki dua orang, jadi Ciok Boh-thian tetap tidak dapat keluar. "Coba serahkan kunci borgol kakiku ini," kata Boh-thian sambil menarik rantai borgol tangan orang itu. "Aku benar-benar tidak memegang kuncinya," sahut orang itu dengan wajah sedih. "Hamba benar-benar cuma seorang pengantar makanan saja dan tidak berkuasa memegang kunci."

"Baiklah, jika begitu tunggulah sesudah aku keluar dahulu," kata Boh-thian. Segera ia tarik pula lengan orang itu ke dalam lubang dan membukakan borgolnya. Begitu tangannya terlepas dari borgol, dengan cepat orang itu lantas berlari ke sana dan bermaksud menutup kembali pintunya. Akan tetapi semuanya ini sudah dalam perhitungan Ciok Boh-thian, secepat kilat ia sudah melompat ke sana dan menyelinap keluar pintu. Sekali cengkeram segera ia bekuk kuduk orang itu dan diangkat ke atas. Ia lihat orang itu berjubah putih, badannya kekar, mukanya cerdas, terang adalah anak murid Swat-san-pay dan bukan pengantar nasi saja seperti pengakuannya tadi. Segera ia membentaknya, "Kau mau buka borgol kakiku atau tidak? Atau kau minta kutumbukkan kepalamu di atas dinding batu ini?" Sebenarnya ilmu silat orang itu juga tidak lemah, tapi kebentur di tangan Ciok Boh-thian orang itu menjadi seperti anak ayam dicengkeram oleh elang, sedikit pun tidak dapat berkutik. Tiada jalan lain terpaksa ia mengeluarkan kunci dan membuka borgol kaki pemuda itu. "Di mana kalian telah mengurung Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, lekas membawa aku ke sana," bentak Boh-thian. "Sebenarnya Swat-san-pay tiada permusuhan apa-apa dengan Hian-soh-ceng, maka Ciok-cengcu suami-istri sudah pergi tanpa cedera sesuatu apa pun," sahut orang itu. Boh-thian merasa sangsi, sekilas dilihatnya orang itu melirik ke arah pintu yang terletak di ujung lorong sebelah sana, ia pikir orang ini tentu berdusta, boleh jadi Ciok-cengcu berdua terkurung di kamar sana. Segera ia menyeret orang itu ke depan pintu batu itu, lalu bentaknya, "Lekas membuka pintu ini." Air muka orang itu tampak berubah pucat, katanya, "Aku... aku tidak punya kuncinya! Yang terkurung di dalam ini bukan... bukan manusia, tapi adalah... adalah seekor singa dan dua ekor macan, jika dibuka tentu bisa celaka." Boh-thian merasa heran bahwa yang terkurung di dalam situ adalah singa dan harimau, ia coba menempelkan telinganya ke pintu dan mendengarkan dengan cermat, tapi tak terdengar sesuatu suara binatang-binatang buas itu. "Engkau toh sudah terlepas, silakan lekas melarikan diri saja, jika tinggal lebih lama di sini, jangan-jangan akan dipergoki orang dan mungkin engkau akan tertangkap pula," demikian kata orang itu setengah menakut-nakuti. Boh-thian pikir kau toh bukan kawanku, mengapa sedemikian baik hatimu memikirkan keselamatanku? Padahal tadi aku minta dibukakan borgol saja kau tidak mau, sekarang malah suruh aku lekas melarikan diri. Jangan-jangan Ciok-cengcu berdua memang benar-benar dikurung di dalam kamar ini. Segera ia angkat tubuh orang itu, ia benturkan kepalanya dengan perlahan di dinding batu, lalu bertanya, "Kau mau buka pintu tidak? Atau minta kepalamu pecah? Hm, aku justru ingin tahu macam apa singa dan harimau yang kau katakan itu."

"Ai, binatang-binatang itu sangat buas, sudah beberapa hari tidak diberi makan, bila melihat manusia nanti pasti akan terus menerkam...." Karena buru-buru ingin menolong Ciok Jing dan istrinya, Boh-thian merasa sebal akan ocehan orang, tanpa menunggu selesai uraiannya segera ia jungkirkan tubuh orang itu dan dikocok-kocok untuk memaksanya menurut. Di luar dugaan lantas terdengar suara gemerencing nyaring, dari baju orang itu telah terjatuh dua buah kunci. Boh-thian sangat girang, segera ia lemparkan orang itu ketanah dan cepat menjemput kunci-kunci itu untuk membuka pintu batu. Benar juga, hanya sekali putar saja segera kunci pintu itu terbuka. Dalam pada itu orang tadi telah menjerit kesakitan, cepat ia

merangkak bangun dan segera putar tubuh hendak angkat langkah seribu. Namun Boh-thian tidak memberi kesempatan padanya. Ia pikir kalau orang ini sampai lari keluar dan memanggil kawan, tentu akan banyak menimbulkan kesukaran lagi. Secepat terbang Boh-thian lantas memburu maju, sekali jambret segera orang itu diseretnya terus dijebloskan ke dalam kamar tahanannya sendiri tadi, sekalian ia lemparkan borgol kaki dan tangan beserta rantainya ke dalam dan menutup pintunya, bahkan dikunci pula dari luar. Habis itu barulah ia kembali ke kamar batu di ujung lorong sana. "Ciok-cengcu! Ciok-hujin! Apakah kalian berada di sini?" seru Boh-thian sambil melongok ke dalam kamar. Tapi tak terdengar suara jawaban apa-apa. Ia coba pentang pintu lebih lebar, ternyata di dalam tiada terdapat seorang pun. Sebaliknya kira-kira dua-tiga meter di sebelah sana terdapat sebuah pintu pula. Pikirnya, "Ya, pantas ada dua buah kunci." Segera ia menggunakan kunci yang lain untuk membuka pintu kedua, baru saja pintu itu terbuka sedikit dan belum lagi ia bersuara, tiba-tiba terdengarlah ada orang sedang mencaci maki di dalam situ, "Jahanam keparat, haram jadah! Akan kusembelih dan potong-potong kalian agar kalian sekarat setengah mampus...." dan di samping itu terdengar pula suara gemerencingnya rantai besi. Suara caci maki orang itu kedengaran sangat berat, rupanya tenggorokannya serak, sama sekali bukan logat orang Kanglam sebagaimana suaranya Ciok Jing. Maka percayalah Boh-thian bahwa Ciok Jing dan istrinya memang tidak dipenjarakan disitu. Tapi lantas terpikir olehnya mengapa tidak membebaskan sekalian orang yang ditawan Swat-san-pay ini. Karena itu ia lantas berseru, "He, kau tidak perlu memaki lagi, biar kutolong kau keluar dari sini!" Namun orang itu masih terus memaki, "Huh, kau kutu macam apa? Berani mengaco-belo dan menipu Locu? Apa kau minta kupuntir putus lehermu...." Boh-thian merasa geli dan anggap perangai orang benar sangat kasar. Tapi ia pun maklum, siapa pun kalau dikurung di tempat demikian tentu akan merasa sebal dan tertekan pantas kalau orang ini pun marah-marah. Ia lantas melangkah ke dalam kamar dan berkata, "Apakah engkau juga diborgol dan dirantai oleh mereka?" Tapi baru sekian ia berkata, dalam kegelapan sekonyong-konyong sesuatu benda yang berat terasa mengepruk dari atas. Cepat Boh-thian berkelit ke samping, namun belum lagi dia berdiri kuat, tahu-tahu hiat-to penting di bagian punggung sudah kena dicengkeram orang, menyusul lehernya lantas dicekik oleh sebuah lengan yang besar dan kuat, makin lama makin kencang sehingga napasnya sesak seketika, telinganya sampai mendenging-denging dan mata mulai berkunang-kunang, sebaliknya terdengar pula suara caci maki orang itu. Sama sekali Boh-thian tidak menduga bahwa di dalam kamar tahanan situ akan terdapat jago selihai itu. Sekali kena didahului orang, seketika ia pun tak berdaya, diam-diam ia hanya mengeluh dan sedapat mungkin mengerahkan tenaga ke bagian lehernya untuk melawan cekikan lengan orang itu. Meski daging bagian tenggorokan cukup lemas dan tidak sekuat lengan, tapi lwekang Ciok Boh-thian teramat hebat, semakin bertempur semakin kuat, di mana tenaganya sampai, tangan orang itu ternyata dapat ditolak agak kendur. Cepat Boh-thian mengambil napas, ketika lengan orang itu hendak mengait kembali dengan lebih kencang, tanpa ayal lagi tangan kanan Ciok Boh-thian lantas digunakan untuk menarik, berbareng kepalanya lantas memberosot ke bawah sambil melompat mundur. "Hai, dengan maksud baik aku hendak menolong kau keluar, mengapa tanpa bertanya engkau menyerang aku malah?" seru Boh-thian dengan mendongkol. "Eh, sia... siapa kau? Boleh juga ya kepandaianmu?" demikian orang itu sangat terkejut sambil memandang Boh-thian dengan mata terbelalak lebar. Selang sejenak, kembali ia bersuara heran, lalu membentak, "Anak busuk, siapa kau?"

"Aku... aku...." seketika Ciok Boh-thian menjadi bingung untuk menjawab apa mesti mengaku bernama Kau-cap-ceng atau tetap memalsukan nama Ciok Tiong-giok? "Ya, kau dengan sendirinya adalah kau, masakah tidak punya nama?" semprot orang itu. "Loyacu, biar kutolong kau keluar dahulu, segala urusan boleh kita bicarakan nanti," ujar Boh-thian. "Apa? Kau hendak menolong aku? Hahaaah! Apakah gigi orang seluruh dunia ini takkan copot semua menertawakan kau? Hahaha, siapakah aku ini? Dan macam apakah kau itu? Huh, hanya sedikit kepandaianmu yang mirip cakar ayam saja mampu menolong aku?" Dari dekat sekarang Boh-thian dapat melihat orang itu sudah tua, jenggotnya sudah putih, tubuhnya tinggi besar tapi agak

bungkuk seakan-akan kamar batu yang kecil ini kurang tinggi bagi tubuhnya yang tegap itu, kedua matanya lekuk ke dalam, tapi sorot matanya tajam berwibawa. Boh-thian sampai mengirik ketika sinar mata orang itu menyapu kian-kemari di atas mukanya. Pikirnya, "Orang Swat-san-pay tadi bilang di kamar ini terkurung singa dan harimau, melihat macamnya orang ini ternyata benar-benar mirip seekor binatang buas." Ia tidak berani banyak bicara lagi padanya, segera katanya, "Loyacu, biar kupergi mencari kunci untuk membuka borgolmu." Orang tua itu menjadi gusar, dampratnya, "Aku tidak perlu, aku sendiri suka tinggal tirakat di sini, kalau tidak, di dunia ini siapa yang mampu mengurung aku? Huh, kau bocah ini barangkali tidak punya mata, masakah anggap aku dikurung orang di sini? Hehe, untung saat ini Yaya lagi sabar, kalau tidak tentu badanmu sudah kurobek-robek." Ketika kedua tangannya digoyang-goyangkan, terdengarlah suara gemerencing rantai borgolnya. Lalu ditambahkannya, "Ini, sekali Yaya sudah murka, apa artinya rantai-rantai seperti ini, apa gunanya borgol-borgol ini, hm, dalam pandanganku tidak lebih seperti tahu yang empuk." Sudah tentu Boh-thian tidak mau percaya, ia pikir tutur kata orang ini kok mirip orang gila, tapi kepandaiannya sangat tinggi pula, akan kutolong berbalik aku hendak dipentung. Lebih baik kutinggal pergi untuk mencari Ciok-cengcu saja. Maka katanya kemudian, "Baiklah, jika begitu biar aku pergi saja dari sini!"

"Pergi ya pergi, lekas enyah kau! Selamanya Yaya malang melintang di dunia ini tanpa ketemu tandingan masakah mengharapkan pertolongan bocah ingusan macam kau? Hahaha, benar-benar lucu, sungguh menggelikan...."

"Ya, sudah, maaf, maaf!" kata Boh-thian sambil mengundurkan diri dan perlahan-lahan merapatkan kembali daun pintu. Jalan lorong itu cukup panjang, Boh-thian menyusur ke sana dan membelok satu kali, sesudah belasan meter lagi barulah sampai di ujung. Tertampak di kanan-kiri masing-masing terdapat sebuah pintu. Ia coba mendorong pintu sebelah kiri, tapi tertutup kencang, waktu mendorong pintu yang lain dengan mudah saja pintu itu lantas terpentang. Kiranya di situ adalah sebuah ruangan. Tidak seberapa jauh memasuki ruangan itu lantas terdengar dari arah kiri sana ada suara beradunya senjata, agaknya pertempuran cukup sengit. "Kiranya Ciok-cengcu sedang bertempur dengan orang di sini," demikian pikir Boh-thian. Segera menuju ke arah datangnya suara. Akan tetapi ia tidak menemukan pintu yang menuju ketempat suara pertempuran itu. Karena khawatirkan keselamatan Ciok Jing dan Bin Ju, ketika dilihatnya dinding papan di sebelah sana tidak terlalu tebal, segera ia menumbuknya dengan bahunya dan kontan dinding papan itu jebol. Seketika suara nyaring beradunya senjata tambah keras dan ramai. Kiranya di situ juga sebuah ruangan, empat laki-laki berjubah putih dan berpedang sedang mengerubut dua orang wanita. Sesudah mengenali kedua orang wanita itu, tanpa merasa Boh-thian terus berteriak, "He, Suhu, A Siu! Kalian berada di sini?!" Kiranya kedua wanita itu tak-lain-tak-bukan adalah Su-popo dan cucu perempuannya, si A Siu. Su-popo memakai golok dan A Siu memutar sebatang pedang, dengan rambut kusut kedua orang sedang melawan kerubutan empat murid Swat-san-pay. Baju nenek dan cucu itu tampak berlepotan darah, agaknya sudah terluka, keadaannya cukup mengkhawatirkan. Mereka mendengar juga seruan Ciok Boh-thian, tapi serangan-serangan keempat lawannya terlalu gencar sehingga tidak sempat menoleh. Bahkan lantas terdengar jeritan kaget A Siu, pundaknya tertusuk musuh pula. Walaupun tidak bersenjata, tanpa pikir Ciok Boh-thian lantas menerjang maju, kontan punggung orang yang sedang mencecar A Siu itu hendak dicengkeramnya. Cepat orang itu berkelit dan balas menebas dengan pedangnya. Mendadak tangan kanan Ciok Boh-thian menyampuk pula sehingga pedang orang itu terguncang ke samping, menyusul tangan kiri Ciok Boh-thian lantas menggaplok ke arah seorang tua yang lain. Namun orang tua itu ternyata tidak kalah cepatnya tahu-tahu pedangnya sudah mendahului menusuk perut Boh-thian. Serangan itu benar-benar sangat lihai dan cepat, untung Boh-thian tempo hari sudah mendapat didikan Su-popo, terhadap

intisari ilmu pedang Swat-san-pay sudah dipahami dengan baik, diketahui bahwa serangan si orang tua adalah jurus yang

bernama "Leng-sing-song-bwe" (Sepasang Pohon Bwe di Atas Bukit), mestinya cuma satu jurus, tapi mempunyai dua gerakan, tusukan pertama segera disusul dengan tusukan kedua. Maka cepat Boh-thian mengerutkan perutnya kebelakang untuk menghindar, menyusul tangan kiri lantas mengebut ke bawah, jarinya segera menyelentik. Benar juga, saat itu tusukan kedua si orang tua sedang dilancarkan sehingga pedangnya seakan-akan sengaja disodorkan untuk diselentik Ciok Boh-thian. Maka terdengarlah suara "tring" sekali, kontan pedang itu patah menjadi dua. Separuh tubuh si orang tua sampai kesemutan karena getaran tenaga selentikan itu, tanpa kuasa lagi setengah potong pedang juga terlepas dari cekalan, cepat ia melompat mundur dengan muka pucat. Boh-thian tidak mendesak lebih jauh, orang yang sedang menyerang A Siu lantas kena dicengkeram terus diangkat dan dijujukan ke arah pedang kawannya yang datang hendak menolong. Keruan orang itu terkejut dan cepat menarik kembali senjatanya. Kesempatan itu tidak disia-siakan Boh-thian, kontan ia menghantam dan tepat mengenai dadanya, orang itu terhuyung-huyung mundur dan akhirnya jatuh terduduk. Menyusul Boh-thian lantas melemparkan tawanannya ke arah orang keempat. Orang itu sedang melabrak Su-popo dengan mati-matian, ia menjadi kaget dan tidak sempat menghindar lagi, ia kena ditumbuk dengan keras oleh tubuh kawannya sendiri, kedua orang sama-sama muntah darah dan menggeletak tak sadarkan diri. Hanya dalam sekejap saja keempat orang itu telah dirobohkan semua oleh Ciok Boh-thian, hanya si orang tua saja yang belum terluka. Namun nyalinya menjadi pecah juga demi menyaksikan ketangkasan Boh-thian yang lihai itu. "Kau...kau...." demikian entah apa yang hendak dikatakannya, mendadak ia putar tubuh terus hendak lari. "Jangan membiarkan dia lari!" seru Su-popo. Cepat Boh-thian melompat maju, sekali kakinya menyapu, kontan orang tua itu terjungkal, kedua lutut kakinya keseleo semua dan tak bisa bangun. "Bagus, muridku yang bagus! Murid pertama dari Kim-oh-pay kita memang benar-benar hebat!" seru Su-popo dengan tertawa. Wajah A Siu tampak putih pucat, sepasang matanya memandang Boh-thian dengan sayu merawan, nyata sekali hatinya sangat girang. "Suhu, A Siu, sungguh tidak nyana dapat berjumpa dengan kalian di sini," kata Boh-thian. Buru-buru Su-popo membalut luka si A Siu, menyusul nona itu pun merobek ujung bajunya sendiri untuk membalut luka sang nenek. Syukurlah luka kedua orang tidak parah sehingga tidak menjadi halangan. "Tempo hari waktu aku kehilangan kalian di Ci-yan-to, sungguh aku merasa sangat kesepian, sekarang kita telah berjumpa pula, paling baik paling baik untuk selanjutnya kita jangan berpisah lagi," demikian kata Boh-thian. Muka A Siu yang pucat itu seketika bersemu merah dan menunduk malu. Ia tahu sifat Ciok Boh-thian yang tulus jujur dan tidak pandai bicara. Apa yang diucapkan itu jelas timbul dari lubuk hatinya yang murni, walaupun dirasakan malu juga karena pemuda itu terang-terangan menyatakan isi hatinya didepan sang nenek, tapi tidak urung hati A Siu merasa sangat senang. Su-popo tertawa mengekek, katanya, "Jika kau sudah berjasa besar, hal ini bukan mustahil akan terlaksana dan boleh anggap nenek sendiri yang telah meluluskan permintaanmu." Kepala A Siu makin menunduk, mukanya tambah merah lantaran malu. Sebaliknya Ciok Boh-thian masih belum tahu bahwa ucapan Su-popo itu berarti telah menerima lamarannya. Dengan bingung ia malah tanya, "Suhu meluluskan permintaanku soal apa?"

"Aku mengizinkan cucu perempuanku ini menjadi istrimu, kau mau tidak? Kau ingin tidak? Kau suka tidak?" kata Su-popo dengan tertawa. Boh-thian terkejut campur girang. "Aku... aku sudah tentu suka...." sahutnya dengan tergagap-gagap. "Tapi kau harus berjuang dan berjasa dahulu," kata Su-popo. "Sekarang Swat-san-pay sedang terjadi huru-hara, kita harus pergi menolong satu orang dahulu."

"Ya, memangnya aku hendak menolong Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, marilah kita lekas pergi mencarinya," sahut Boh-thian. Teringat keadaan Ciok Jing suami-istri dalam keadaan bahaya, seketika hatinya menjadi gelisah sehingga urusan A Siu tak terpikir lagi. "Apakah Ciok Jing dan istrinya juga sudah datang di sini?" tanya Su-popo. "Kita harus mengamankan pemberontakan dahulu, soal Ciok Jing berdua adalah urusan biasa saja. A Siu, binasakan saja keempat orang ini!" Segera A Siu menghunus pedang dan melangkah maju. Tiba-tiba dilihatnya si orang tua yang kedua kakinya keseleo tadi sedang duduk bersandarkan dinding, sorot matanya penuh mengunjuk rasa minta diampuni. Maka A Siu menjadi tidak sampai hati untuk membunuhnya. Katanya, "Nenek, beberapa orang ini bukanlah biang keladinya, mereka hanya ikut-ikutan saja, sementara ini biarlah diampuni dahulu, nanti sesudah diperiksa dan jika memang bersalah barulah dibunuh."

"Ya, sudah! Hayo lekas, jangan sampai bikin runyam urusan, lekas berangkat!" sahut Su-popo. Segera ia mendahului

melangkah pergi dan disusul oleh Boh-thian dan A Siu. Cepat sekali Su-popo menyusur serambi dan melintasi ruangan-ruangan, setiap kali ada orang datang dari depan mereka lantas sembunyi di pojok atau di belakang pintu untuk menghindar, tampaknya nenek itu hafal sekali terhadap setiap kamar dan ruangan di situ. Boh-thian jalan berjajar dengan A Siu dari belakang, dengan suara tertahan ia tanya si nona, "Suhu suruh aku berjuang dan berjasa apa? Siapakah yang akan ditolong?" Baru saja A Siu akan menjawab, tiba-tiba terdengar suara tindakan yang ramai, dari depan telah mendatangi lima atau enam orang. Lekas Su-popo sembunyi di balik sebuah tiang yang besar. Segera A Siu juga menarik Boh-thian untuk sembunyi dibelakang pintu. Beberapa orang itu sambil berjalan sembari mengobrol. Kata seorang di antaranya, "Sesudah bergotong royong bersama-sama dan dapat mengurung si tua gila itu barulah kita merasa lega. Selama beberapa hari ini hidup kita benar-benar sangat tertekan dan terancam."

"Ya, selama Si Gila itu belum binasa, selalu pula kita belum bebas dari ancaman," kata seorang lagi. "Ce-supek masih ragu-ragu saja, bukan mustahil bisa membikin urusan menjadi runyam malah." Segera seorang dengan suara kasar menanggapi, "Memangnya, daripada kerja kepalang tanggung, mestinya kita bereskan Ce-supek sekalian! "Hus," bentak seorang kawannya dengan suara tertahan. "Kata-kata demikian masakah boleh kau ucapkan dengan keras? Jika didengar oleh anak muridnya Ce-supek, sebelum kita menumpas mereka boleh jadi buah kepalamu sudah berpisah dengan kau." Orang yang bersuara kasar itu rupanya menjadi penasaran, sahutnya, "Kalau perlu biar kita coba-coba dengan mereka, masakah kita pasti kalah?" Begitulah orang-orang itu makin menjauh. Ciok Boh-thian yang berjubelan sembunyi di belakang pintu bersama A Siu dapat merasakan badan anak dara itu rada gemetar. Dengan berbisik-bisik ia tanya, "Apakah kau takut, A Siu?"

"Ya, aku agak takut," sahut si nona. "Jumlah mereka sangat banyak mungkin kita tak dapat melawan mereka." Dalam pada itu Su-popo telah keluar dari tempat sembunyinya dan berseru tertahan kepada mereka, "Ayo, lekas!" Segera ia mendahului menyusur ke depan dengan cepat. Sesudah melalui sebuah pelataran luas dan menembus sebuah serambi yang panjang, akhirnya mereka sampai di suatu taman bunga yang luas. Taman itu penuh salju, hanya kelihatan sebuah jalanan kecil dari batu-batu kecil menembus ke suatu ruangan tertutup. Su-popo mendekam di balik sebatang pohon, ia comot segumpal salju, sesudah dikepal segera disambitkan keluar ruangan tertutup tadi, "plok" batu salju itu jatuh di tanah dan mengejutkan dua orang penjaga yang berdiri di samping ruangan itu. Cepat mereka berlari datang untuk memeriksa dengan pedang terhunus. Menunggu kedua orang itu sudah dekat, sekonyong-konyong Su-popo melompat keluar, goloknya menebas dua kali dengan cepat luar biasa. Kontan leher kedua orang itu tertebas, tanpa bersuara sedikit pun kedua orang itu terjungkal binasa. Untuk pertama kalinya Ciok Boh-thian menyaksikan Su-popo membunuh orang secara ganas, tanpa merasa bulu romanya sama berdiri. Selang sejenak baru teringat olehnya bahwa jurus serangan Su-popo tadi pernah juga diajarkan padanya di Ci-yan-to tempo hari, jurus itu bernama "Cay-au-to" (Golok Menebas Tenggorokan) dan dirinya sudah mahir menggunakannya, cuma selama ini belum pernah terpikir olehnya bahwa jurus serangan itu ternyata sedemikian bagus dan cepat untuk membunuh orang. Ketika dia tenang kembali, sementara itu Su-popo sudah menyeret kedua mayat ke belakang gunung-gunungan, lalu dengan enteng sekali ia mendekati jendela ruangan tertutup itu untuk mendengarkan. Telinga Ciok Boh-thian amat tajam, belum dekat dengan jendela itu sudah didengarnya di dalam ruangan itu ada suara dua orang sedang bertengkar. Meski suara mereka tidak terlalu keras, tapi terang keduanya sama-sama marah dan tidak mau mengalah. Terdengar seorang di antaranya berkata, "Menangkap harimau adalah gampang dan celakalah kalau melepaskannya. Peribahasa ini tentu kau sudah paham. Urusan ini sudah telanjur kita kerjakan, sekarang kau menjadi takut malah. Jikalau si tua gila itu sampai lolos keluar, tentu kita akan mati semua tanpa ampun." Diam-diam Boh-thian berpikir, "Jangan-jangan `si tua gila' yang mereka maksudkan adalah orang tua aneh di dalam kamar tahanan itu? Tingkah laku orang tua itu memang aneh, aku mau menolong dia keluar, tapi dia justru tidak mau. Mungkin dia memang benar-benar orang gila. Ilmu silat orang tua itu memang sangat lihai, pantas kalau semua orang ini sedemikian takut kepadanya." Maka terdengar seorang lain telah menjawab, "Si Gila itu sudah terkurung di penjara binatang, sekalipun dia memiliki kepandaian setinggi langit juga tak mampu lolos keluar. Kalau saat ini kita mau membunuh dia adalah teramat mudah, cuma kita harus menjaga nama baik kita. Perbuatan durhaka terhadap orang tua demikian mungkin Liau-sute sendiri tidak ambil pusing, tapi aku tidak berani memikul tanggung jawabnya. Kelak kalau kita ditanyai kawan-kawan dunia persilatan, lantas cara bagaimana kita akan menjawab dan ke mana muka kita harus ditaruh?"

"Huh, jika kau takut bertanggung jawab atas perbuatan durhaka, seharusnya sejak mula kau jangan menjadi biang keladi urusan ini," jengek orang pertama yang disebut she Liau itu. "Sekarang urusan sudah dilaksanakan, kau menjadi menyesal dan ingin mengelakkan tanggung jawab. Hm, masakan di dunia ini ada soal seenak ini? Pendek kata, Ce-suko, apa yang kau pikirkan sudah kuketahui, lebih baik kita bicara blakblakan saja dan tidak perlu pura-pura."

"Aku mempunyai pikiran apa? Ha, ucapan Liau-sute benar-benar berduri dan penuh tulang," sahut orang she Ce. "Apa maksudnya ucapan berduri?" kata si orang she Liau. "Sesungguhnya Ce-suko cuma pura-pura baik hati dan ingin menimpakan perbuatan durhaka ini kepadaku saja. Tujuanmu ialah satu kali tembak dapat dua burung, supaya kau sendiri bisa enak-enak dan tenang-tenang naik di atas singgasana."

"Haha, aneh benar tuduhan Liau-sute ini!" jawab orang she Ce. "Berdasarkan apa aku ada hak naik ke atas singgasana? Kalau mesti menurutkan urut-urutan, di atas kita masih ada Seng-suko dan tidak mungkin jatuh kepada bagianku." Mendadak suara seorang yang lebih tua dan serak menyela, "Kalian bertengkar urusan kalian sendiri dan tidak perlu menyangkutpautkan diriku."

"Seng-suko, engkau adalah orang jujur, kau tidak lebih hanya akan digunakan sebagai tameng oleh Ce-suko, maka segala sesuatu hendaklah kau pikirkan yang jelas, janganlah dijadikan boneka sedangkan engkau sendiri masih belum sadar," demikian kata orang she Liau. Boh-thian coba membasahi kertas perapat jendela dengan air ludahnya, perlahan-lahan ia mengorek sebuah lubang kecil, lalu mengintip ke dalam ruangan. Ia menjadi terkejut ketika diketahui bahwa di dalam situ tidak cuma tiga orang yang bicara saja, tapi masih ada dua-tiga ratus orang lainnya, ada yang berdiri dan ada yang berduduk, laki-laki dan wanita, ada yang tua dan ada yang masih muda, semuanya berjubah putih seragam murid Swat-san-pay.

Di tengah ruangan tertampak ada lima buah kursi besar, kursi yang tengah kosong, keempat kursi di kedua sampingnya berduduk empat orang. Terdengar ketiga orang tadi masih berdebat tak henti-hentinya. Dari suara mereka dapat dikenali bahwa yang duduk di sebelah kiri adalah orang-orang she Seng dan Liau, seorang yang duduk di sebelah kanan terang she Ce, seorang lagi berwajah putih kurus dan muram durja seakan-akan baru kematian istri. Saat itu terdengar orang she Ce telah menegurnya, "Nio-sute, sejak tadi kau diam saja, sesungguhnya bagaimana pendapatmu?" Orang she Nio yang berwajah muram itu menghela napas, lalu geleng-geleng kepala, kemudian menghela napas pula dan tetap tidak membuka suara. "Nio-sute tidak berbicara, dengan sendirinya ia menyetujui urusan ini," kata si orang she Ce. "Kau toh bukan cacing pita di dalam perut Nio-sute, dari mana kau mengetahui pikirannya?" debat orang she Liau dengan gusar. "Kita berempat yang telah melakukan urusan ini, seorang laki-laki sejati, sekali sudah berbuat harus berani bertanggung jawab. Kalau berani di muka dan takut belakangan, huh, terhitung orang gagah macam apa ini?" Tapi si orang she menjawab dengan dingin, "Justru karena kita semua ini takut mati, makanya telah melakukan kejadian ini, masakah kita dapat disebut sebagai kesatria atau orang gagah? Lebih tepat kalau dikatakan bahwa kita sudah kepepet sehingga terpaksa menyerempet bahaya."

"Ban-li," sekonyong-konyong si orang she Liau berseru. "Coba katakan, bagaimana menurut pendapatmu?" Maka majulah seorang ke depan, yakni Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li yang buntung sebelah tangannya. Ia memberi hormat, lalu menjawab, "Tecu tidak mampu menyelesaikan urusan ini sehingga menimbulkan malapetaka, dosa ini saja sudah diganjar dengan kematian, masakah sekarang Tecu berani mempunyai pikiran durhaka lagi? Maka Tecu setuju dengan usul Ce-susiok, jangan sekali-kali turun tangan keji kepada beliau."

"Aku pernah menyelamatkan jiwamu, apakah kau sudah lupa?" bentak si orang she Liau dengan gusar. "Mana mungkin Tecu melupakan budi kebaikan Susiok," sahut Ban-li. "Tapi kalau Susiok menyuruh Tecu membunuh beliau, betapa pun Tecu tidak bisa menurut."

"Lalu cara bagaimana kau akan menyelesaikan anak murid Tiang-bun (cabang utama) yang baru pulang itu?" tanya orang she Liau dengan suara bengis. "Jika Susiok mengizinkan Tecu ikut bicara, maka menurut pendapatku sementara ini mereka dapat ditahan dulu untuk kemudian dicarikan jalan penyelesaiannya," ujar Ban-li. "Cari penyelesaian apa? Hehe, keputusanmu sudah lama disiapkan, masakah aku tidak tahu?" jengek orang she Liau. "Apa maksud ucapan Susiok ini?" tanya Ban-li. Si orang she Liau menjawab, "Anak murid Tiang-bun kalian berjumlah banyak, tinggi pula kepandaiannya, sudah tentu kedudukan ciangbun (ketua) tidak rela diserahkan kepada anak murid dari cabang lain. Lebih dulu kau ingin menimpakan dosa pendurhakaan atas diriku, kemudian anak murid cabang empat kami akan kalian bunuh habis, dengan demikian kalian tentu akan menjagoi dengan aman sentosa." Sampai di sini mendadak ia keraskan suaranya, "Maka dari itu, setiap murid Tiang-bun semuanya merupakan bibit bencana, hari ini kita harus babat rumput sampai akar-akarnya. Kita harus turun tangan bersama, setiap murid Tiang-bun harus dibinasakan seluruhnya." Habis berkata, "sret", segera pedangnya dilolosnya. Serentak dari sekitar ruangan melompat maju dua-tiga puluh orang dengan pedang terhunus dan siap siaga di seputar Hong Ban-li, tapi di samping itu ada pula beberapa puluh orang dengan pegang pedang juga telah mengepung. Diam-diam Boh-thian menjadi khawatir dan berpikir, "Tampaknya Hong-suhu susah melawan orang banyak, entah aku harus membantunya atau tidak?" Dalam pada itu terdengar Hong Ban-li telah berseru, "Seng-susiok, Ce-susiok, dan Nio-susiok, apakah kalian membiarkan Liau-susiok malang melintang di sini? Jika cabang empat mereka sudah membunuh habis anak murid Tiang-bun, maka cabang-cabang dua, tiga dan lima kalian tentu akan menjadi giliran dibasmi pula oleh mereka."

"Bergerak!" bentak orang she Liau memberi komando kepada anak buahnya, berbareng ia terus menubruk maju, kontan dada Hong Ban-li lantas ditusuknya. Cepat Ban-li melolos pedang dengan tangan kiri untuk menangkis serangan itu. Terdengar suara "trang", menyusul lantas "bret" pula. Walaupun pedang lawan tertangkis, tapi tidak urung lengan baju kanan Hong Ban-li terkupas sepotong. Hendaklah maklum bahwa Hong Ban-li terkenal lihai seperti halnya Pek Ban-kiam, kedua orang merupakan jago-jago utama Swat-san-pay dari angkatan kedua, ilmu pedangnya sesungguhnya tidak kalah daripada paman-paman gurunya she Seng, Ce, Liau, dan Nio itu. Cuma sayang sebelah lengannya sudah buntung, permainan pedang dengan tangan kiri dengan sendirinya kurang leluasa. Ia telah dapat menangkis tusukan orang she Liau itu, tapi paman guru itu mendadak mengganti gerakan pedangnya dari menusuk menjadi menebas. Walaupun Ban-li sudah menduga akan jurus serangan itu, tapi pedang di

tangan kiri agak canggung digunakan, untung lengan kanan sudah buntung sehingga yang tertebas hanya lengan bajunya, kalau tidak tentu lengannya akan menjadi korban pula. Paman gurunya itu benar-benar kejam, sekali berhasil serangannya, menyusul serangan kedua lantas dilancarkan pula. Namun dari samping Ban-li lantas menyambar maju dua batang pedang saling beradu sehingga serangan orang she Liau kembali gagal. "Kenapa tidak lekas maju!" bentak orang she Liau kepada anak buahnya. Sambil berteriak-teriak serentak beberapa puluh orang dari anak murid cabang empat lantas mengerubut maju. Seketika terdengarlah suara riuh ramai, pertarungan sengit lantas terjadi, anak murid cabang utama kebanyakan harus satu-lawan-dua atau tiga. Ruangan itu seketika berubah menjadi medan pertempuran. Orang she Liau lantas melompat ke pinggir untuk menyaksikan pertempuran. Dilihatnya anak murid dari cabang dua, tiga dan lima tidak bergerak, semuanya menonton di samping. Tergerak hatinya dan tahulah dia apa sebabnya. Segera ia berseru, "Loji, Losam, Longo, keji amat kalian, sengaja kalian membiarkan cabang empat kami bertarung mati-matian dengan cabang utama dan nanti kalian yang akan mengambil keuntungannya. Hehe, jangan kalian mimpi!" Karena pikiran demikian, ia menjadi murka, kedua matanya menjadi merah, kontan ia terus menyerang orang she Ce. Maka kedua orang lantas saling gebrak dengan sengit. Nyata ilmu pedang orang she Liau lebih bagus daripada orang she Ce. Sesudah belasan jurus si orang she Ce lantas mulai terdesak mundur.

Cepat orang she Seng, yaitu suheng kedua, melompat maju dengan pedang terhunus, serunya, "Losi, segala urusan hendaklah dirundingkan dengan baik-baik. Sesama saudara seperguruan mengapa mesti menggunakan kekerasan seperti ini?" berbareng pedangnya lantas menyambar maju sehingga tusukan orang she Liau kena ditangkis. Melihat jisuheng sudah ikut maju, kesempatan itu tidak diabaikan orang she Ce, cepat ia melangkah maju dan balas menusuk perut orang she Liau. Serangan samsuheng she Ce ini pun tidak kurang kejinya, tujuannya hendak membinasakan lawannya tanpa kenal ampun sedikit pun.

Bab 40. Su-popo Ternyata adalah Nyonya Pek Cu-cay

Saat itu pedang orang she Liau sedang ditangkis pergi oleh pedang jisuhengnya dan sedang saling adu tenaga dalam buat

melepaskan lengketan pedang lawan, maka tusukan samsuhengnya itu benar-benar di luar dugaan dan betapa pun susah dielakkan. Pada saat demikian untunglah sang sute she Nio yang tadi hanya diam-diam saja itu kini mendadak ikut melolos pedang terus menusuk ke punggung orang she Ce sambil berkata, "Ai, dosa, dosa caramu ini!" Untuk membela diri, terpaksa orang she Ce menarik kembali pedangnya untuk menangkis serangan gosute she Nio itu. Begitulah anak murid dari cabang dua, tiga, lima dan lain-lain lantas ikut menerjang maju untuk membela gurunya masing-masing. Maka pertempuran menjadi tambah seru....Ciok Boh-thian sampai bingung menyaksikan pertarungan gaduh itu. Hanya sebentar saja terjadilah banjir darah di ruangan pendopo itu, banyak tangan kutung dan kaki patah tercecer di sana-sini diseling suara jerit ngeri. "Toako, aku... aku takut!" kata A Siu dengan suara gemetar sambil menggelendot di samping Boh-thian. "Sebenarnya ada urusan apakah, mengapa mereka saling hantam sendiri?" tanya Boh-thian. Tatkala itu setiap orang di dalam ruangan itu sedang memikirkan keselamatannya sendiri, maka biarpun Boh-thian bicara lebih keras di luar juga takkan dipedulikan. Sebaliknya Su-popo lantas menjengek, "Hm, bagus, bagus! Pertarungan yang bagus! Biarkan semuanya mampus barulah puas hatiku!" Pertempuran sengit beratus-ratus orang tanpa teratur itu agak lucu juga tampaknya, lebih-lebih pakaian mereka adalah seragam putih semua, senjata yang dipakai juga sama, kawan atau lawan menjadi susah membedakan. Semula anak murid cabang utama bertarung melawan cabang ketiga, tapi sesudah anak murid cabang-cabang lain juga ikut masuk medan pertempuran, seketika keadaan menjadi kacau, banyak diantaranya yang memangnya ada permusuhan pribadi lantas dilampiaskan dalam pertempuran gaduh ini. "Sudahlah, kita jangan lihat lagi, marilah menyingkir saja," kata A Siu kepada Boh-thian.Pada saat itulah mendadak terdengar suara gedubrakan yang gemuruh, daun pintu telah terpentang dan terlepas dari engselnya. Lalu terdengar seorang berseru dengan suara lantang, "Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to berkunjung kemari hendak bertemu dengan ketua Swat-san-pay!" Begitu keras dan nyaring suara seruan itu sehingga suara pertempuran yang riuh ramai tadi tersirap semua. Mendengar nama Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to sudah tiba, semua orang sangat terkejut. Segera sebagian orang berhenti bertempur dan melompat ke pinggir. Berturut-turut yang lain juga berhenti bertempur. Hanya sekejap saja semua orang sudah menyingkir ke samping, perhatian semua orang tertuju ke arah pintu. Di tengah ruangan hanya tertinggal suara rintihan mereka yang terluka, suara lain tiada terdengar lagi. Sejenak kemudian penderita-penderita luka itu pun lupa merintih lagi dan sama memandang ke arah pintu. Ternyata di ambang pintu secara berjajar telah berdiri dua orang, satu gemuk dan satu kurus, pakaian mereka sangat perlente. Hampir-hampir Ciok Boh-thian berseru menyapa ketika melihat yang datang itu adalah Thio Sam dan Li Si. Tapi lantas teringat dirinya dalam penyamaran sebagai Ciok Tiong-giok dan belum waktunya untuk menonjolkan siapa sebenarnya dia. Dalam pada itu terlihat Thio Sam mulai berkata dengan tertawa, "Pantas ilmu silat Swat-san-pay termasyhur di seluruh jagat, kiranya di waktu latihan di antara sesama saudara seperguruan digunakan cara menyerang dan membunuh sungguhan. Wah, cara demikian benar-benar hebat. Sungguh

mengagumkan." Orang she Liau lantas tampil ke muka dan menegur dengan suara bengis, "Apakah kalian ini yang disebut sebagai Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to?"

"Benar," sahut Thio Sam. "Entah siapakah di antara kalian ini adalah Ciangbunjin Swat-san-pay? Atas perintah Liong-bok-to Tocu kami ingin menyampaikan medali undangan agar ciangbunjin kalian kelak berkunjung ke pulau kami untuk sekadar ikut minum semangkuk Lap-pat-cok." Sambil bicara ia lantas mengeluarkan dua buah medali tembaga, tiba-tiba ia berpaling kepada Li Si dan berkata, "Eh, kabarnya Ciangbunjin Swat-san-pay adalah Wi-tek Siansing Pek-loyacu, tampaknya orang-orang yang berada di sini kok tidak mirip dia?"

"Ya, aku pun berpikir begitu," sahut Li Si. Segera orang she Liau tadi menanggapi, "Orang she Pek itu sudah mati, ciangbunjin yang baru...." Belum habis ia bicara mendadak Hong Ban-li lantas memotong dengan mendamprat, "Kentut busuk! Wi-tek Siansing masih baik-baik, beliau hanya...."

"Apakah demikian ini caranya kau bicara dengan susiokmu?" si orang she Liau balas mendamprat. "Orang macam kau ini juga ada harganya untuk dipanggil susiok?" jawab Ban-li. Nama orang she Liau itu selengkapnya adalah Liau Cu-le, wataknya sangat keras dan berangasan. Karena jawaban Ban-li yang kasar itu, kontan pedangnya lantas menusuk. Cepat Ban-li menangkis sambil melangkah mundur. Rupanya Liau Cu-le sudah merah matanya, dengan murka ia lantas menerjang maju. Tapi seorang murid cabang utama lantas mengadang maju untuk melabraknya. Menyusul Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Nio Cu-cin, berturut-turut juga menyerbu maju lagi sehingga pertempuran gaduh kembali terjadi. Hendaklah maklum bahwa geger-geger yang terjadi di dalam Swat-san-pay ini cukup berat persoalannya. Sebab itulah keempat saudara seperguruan she Seng, Ce, Liau, dan Nio itu saling tidak mau mengalah, saling sirik, saling dendam, asal salah seorang di antara mereka binasa keadaan tentu akan berubah, sebab itulah meski kedua rasul pengganjar dan penghukum itu sudah datang toh mereka masih cekcok mengenai urusannya sendiri. Menyaksikan suasana begitu Thio Sam lantas bergelak tertawa, katanya, "Rupanya kalian tekun benar melatih ilmu silat perguruannya sendiri, tapi temponya kan masih banyak, mengapa mesti buru-buru pada saat ini?" Habis berkata ia terus melangkah maju dengan perlahan, mendadak kedua tangannya bekerja, ia mencengkeram dan

menarik ke sana kemari, maka terdengarlah suara gemerencing yang ramai, tahu-tahu beberapa batang pedang sudah terbuang ke atas lantai. Entah cara bagaimana pedang orang-orang she Seng Ce, Liau, dan Nio beserta pedang Hong Ban-li dan dua orang muridnya tahu-tahu sudah kena dirampas oleh Thio Sam, mereka hanya merasa tangan tergetar kesemutan, lalu pedang sudah terlepas dari cekalan. Keruan mereka menjadi terperanjat semua, baru sekarang mereka nyaho bahwa ilmu silat kedua tamu itu bukan main lihainya. Dalam kagetnya mereka sampai lupa mengenai percekcokan di antara mereka sendiri itu dan teringat kepada macam-macam cerita tentang korban yang jatuh di mana tempat yang kedatangan Siang-sian dan Hwat-ok Sucia.

Sekarang mereka telah menyaksikan dan merasakan sendiri jelas bilamana kedua rasul itu mau mengganas, mungkin susah

dilawan sekalipun segenap kekuatan Swat-san-pay dikerahkan seluruhnya. Apalagi di dalam golongan sendiri sedang saling bunuh-membunuh. Begitulah mereka menjadi takut dan ada yang sampai menggigil. Sementara itu Thio Sam berkata pula dengan tertawa, "Ketekunan kalian meyakinkan ilmu silat sungguh harus dipuji, tapi juga tidak perlu segiat ini dan masih banyak tempo. Kami berdua masih harus menyampaikan medali undangan ke lain tempat dan tiada waktu senggang untuk tinggal di sini. Tentang Wi-tek Siansing apakah dia sudah mati atau masih hidup kami tidak ambil pusing, yang pasti Swat-san-pay toh

harus ada seorang ciangbunjin. Yang diundang oleh Liong-bok-to kami adalah ciangbunjin dari Swat-san-pay, maka lekas terangkan yang manakah adalah ciangbunjin kalian?" Untuk sejenak Seng Cu-hak dan para sutenya hanya saling pandang saja tanpa bisa menjawab. Mereka tahu selama berpuluh tahun ini, setiap ciangbunjin yang menerima undangan dan pergi ke Liong-bok-to selamanya tiada seorang pun yang dapat pulang kembali, maka siapa saja yang menjadi Ciangbunjin Swat-san-pay sekarang akan berarti membunuh diri pula menghadapi utusan-utusan dari Liong-bok-to ini. Tadinya mereka anggap Leng-siau-sia terletak jauh di wilayah barat dan jarang ada hubungan dengan orang-orang persilatan daerah Tionggoan, medali undangan Liong-bok-to itu rasanya takkan sampai di Leng-siau-sia yang terpencil ini. Pula tentang kepandaian rasul-rasul pengganjar dan penghukum itu hanya beritanya saja yang mereka dengar dan besar kemungkinan, sengaja dibesar-besarkan dan dilebih-lebihkan oleh orang, padahal belum tentu benar sedemikian lihainya. Siapa duga hal-hal yang disangka takkan terjadi itu mendadak lantas muncul di depan mereka sekarang. Kalau beberapa saat sebelumnya tadi kelima cabang murid Swat-san-pay saling bertengkar dengan harapan cabangnya sendiri yang akan menjagoi dan pemimpinnya sendiri yang keluar sebagai pejabat ciangbunjin, untuk mana mereka tidak  segan-segan saling hantam dan saling bunuh. Tapi sekarang setelah keadaan berubah mendadak, mereka menjadi mengkeret dan berharap agar pihak lawan yang menjadi ciangbunjin saja, supaya bisa mewakilkan mereka mengantar nyawa ke Liong-bok-to. Lantaran itulah, serentak Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, Nio Cu-cin, dan Hong Ban-li saling tunjuk dan sama berseru, "Itu dia! Dia adalah ciangbunjinnya!" Tentang Swat-san-pay dapat diterangkan bahwa sudah cukup lama diketuai oleh Wi-tek Siansing Pek Cu-cay, yaitu ayahnya Pek Ban-kiam. Pek Cu-cay mempunyai empat orang sute, ialah Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, dan Nio Cu-cin. Guru mereka sudah lama wafat sehingga kepandaian keempat sute itu sebagian besar adalah ajaran Pek Cu-cay, sebab itulah resminya Pek Cu-cay adalah suheng mereka, tapi sesungguhnya adalah guru dan murid. Ilmu silat Swat-san-pay terkenal banyak ragam perubahannya, tentang lwekang berbalik tiada sesuatu yang bisa ditonjolkan. Pek Cu-cay sendiri hanya secara kebetulan pada masa mudanya telah makan sejenis buah ajaib sehingga mendadak tenaga dalamnya bertumbuh dengan luar biasa. Karena tenaga dalamnya yang hebat itu ditambah bagusnya ilmu silat, maka selama beberapa puluh tahun ini dia menjagoi daerah Se-ek tanpa tandingan. Caranya Pek Cu-cay menurunkan kepandaiannya kepada para sute dan anak muridnya tidak pernah menyembunyikan satu-dua jurus yang istimewa, tapi telah mengajar dengan segenap kepandaian yang dia miliki sendiri. Hanya tentang lwekangnya yang diperolehnya secara kebetulan itulah yang susah dipelajari, sebab itu kepandaian para sutenya selalu terbatas dan susah mencapai tingkatan seperti Pek Cu-cay. Dasar watak Pek Cu-cay adalah suka menang dan tinggi hati, mengenai dia kebetulan makan buah ajaib sehingga lwekangnya tumbuh mendadak, hal ini selalu dirahasiakannya, dengan demikian dia ingin menunjukkan bahwa kepandaiannya itu adalah berkat kecerdasan dan kegiatannya berlatih dan bukan diperoleh secara mujur. Sebaliknya di dalam hati keempat sutenya itu lantas timbul rasa penasaran dan sirik, mereka anggap sang suheng yang dipesan mendiang gurunya agar memberi bimbingan kepada para sute itu berlaku tamak dan sengaja merahasiakan sebagian ilmu silat perguruan sendiri. Lebih-lebih ilmu silat Pek Ban-kiam dan Hong Ban-li ternyata sangat tinggi dan hampir-hampir memadai keempat susioknya, hal ini membuat Seng, Ce, Liau, dan Nio menjadi penasaran.

Cuma di bawah pengaruh Wi-tek Siansing mereka tidak berani memperlihatkan perasaan kurang puas itu. Dan baru sekarang ketika anak murid Tiang-bun (cabang utama di bawah Pek Cu-cay) banyak yang turun gunung, Pek Cu-cay sendiri kurang waras pula pikirannya, maka para sutenya serentak melakukan pemberontakan. Namun kepandaian antara mereka berempat boleh dikata sembabat, maka siapa pun tidak mau tunduk kepada yang lain dan sama-sama ingin menjadi ciangbunjin. Tapi untuk bisa mencapai cita-cita itu mereka pun sadar harus berdaya menumpas dahulu ketiga orang sekutunya barulah dapat aman menduduki kursi ciangbunjin. Sama sekali tak terduga bahwa pada saat yang krisis itulah mendadak kedua sucia dari Liong-bok-to muncul di situ. Begitulah, kalau tadi mereka berebut menjadi ciangbunjin, maka sekarang mereka sama-sama ingin mengelakkan tanggung jawab. Kata Ce Cu-bian, "Usia Samsuheng (Ce Cu-bian) adalah paling tua, menurut aturan dan dengan sendirinya dia yang harus menjabat ketua golongan kita."

"Hanya usia lebih tua saja apa gunanya?" jawab Ce Cu-bian. "Dalam urusan kita ini kau yang paling banyak mengeluarkan tenaga, jika Liau-sute tidak mau menjadi ciangbunjin siapa lagi yang cocok untuk menjabatnya?"

"Huh, soal Ciangbunjin Swat-san-pay kita sebenarnya adalah biasa dijabat oleh Toasuheng, sekarang Toasuheng sudah exit, dengan sendirinya Jisuko yang harus menggantikannya, kenapa mesti dipersoalkan lagi?" demikian kata Gosute, Nio Cu-cin. Tapi jisuheng Seng Cu-hak lantas menjawab, "Bicara tentang banyak akal dan kecerdikan di antara kita berempat harus diakui Gosute yang paling pintar. Maka aku setuju bila Gosute yang menjabat ciangbunjin kita. Maklumlah urusan hari ini lebih mengutamakan mengadu kecerdikan daripada mengadu kekuatan." Liau Cu-le lantas menyambung pula, "Ciangbunjin kita memangnya dijabat oleh orang dari Tiang-bun, jika Ce-suheng tidak mau menggantikannya, maka boleh silakan Heng-sutit dari Tiang-bun yang menjabatnya. Kukira semua orang pasti tidak mempunyai alasan untuk menolaknya, paling sedikit aku

orang she Liau pasti setuju."

"Tapi tadi ada orang berteriak-teriak, katanya anak murid Tiang-bun harus dibinasakan semua, entah siapakah tadi itu yang melepaskan kentut anjing demikian?" kata Ban-li. Liau Cu-le menjadi gusar, alisnya sampai menegak. Mestinya ia hendak balas memaki, tapi lantas terpikir sesuatu olehnya, sedapat mungkin ia bersabar dan berkatalah, "Urusan sudah kadung demikian, apakah terhitung seorang kesatria sejati jika mengkeret digaris depan?" Begitulah kelima orang itu ribut mulut sendiri saling mengajukan orang lain untuk menjadi ciangbunjin. Sejak tadi Thio Sam hanya mendengarkan saja dengan tersenyum-senyum tanpa membuka suara. Sebaliknya Li Si yang tidak sabar lagi mendengarkan pertengkaran orang-orang Swat-san-pay yang tidak habis-habis itu. Segera ia membentak, "Sebenarnya siapakah di antara kalian ini adalah ciangbunjinnya? Kalian bertengkar terus, kalau sampai makan waktu seminggu atau sebulan, apakah kami juga disuruh menunggu begitu lama?"

"Ya, Seng-suko, hendaklah kau lekas menerima saja," kata Nio Cu-cin. "Jika ayal lagi jangan-jangan akan timbul malapetaka, maka kaulah yang akan membikin susah orang banyak."

"Mengapa aku yang akan membikin susah orang banyak?" sahut Seng Cu-hak dengan gusar. Begitulah kembali kelima orang itu bertengkar pula dengan sengitnya. Segera Thio Sam berkata pula dengan tertawa, "Aku ada suatu akal. Begini, kalian berlima boleh memutuskan urusan ini dengan mengadu kepandaian masing-masing. Kepandaian siapa yang paling tinggi, dialah yang akan menjadi Ciangbunjin Swat-san-pay." Kelima tokoh Swat-san-pay itu tidak berani menjawab. Mereka saling pandang dan menimbang-nimbang dalam hati masing-masing. Maka Thio Sam menyambung pula, "Tadi waktu kami datang terlihat kalian berlima sedang saling labrak, kukira di samping kalian sedang berlatih untuk mempertinggi ilmu silat perguruan kalian, tentu pula kalian sedang mengukur tenaga untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan berhak menjadi ciangbunjin. Rupanya kami terlalu buru-buru masuk ke sini sehingga pertandingan kalian terputus setengah jalan. Maka sekarang kalian boleh meneruskan, tidak sampai satu jam tentu dapat ditentukan pihak yang kalah atau menang. Kalau tidak, menuruti watak saudaraku yang tidak sabaran ini, satu jam kemudian jika urusan masih belum selesai mustahil semua orang Swat-san-pay akan dibunuh habis olehnya sehingga tiada seorang pun di antara kalian yang berhasil menjadi ciangbunjin. Nah, satu, dua, tiga! Lekaslah mulai!"

"Sret", segera Liau Cu-le mendahului melolos pedang. Tapi mendadak Thio Sam berseru pula, "Yang mengintip di luar jendela itu tentunya juga orang Swat-san-pay, harap masuk saja sekalian ke sini! Karena ciangbunjin ini akan ditentukan dengan ilmu silat, maka tidak peduli tua atau muda, setiap orang boleh ikut." Habis berkata lengan bajunya lantas mengebas ke belakang, "blang", daun jendela terpentang dan terpental tersampuk oleh angin pukulannya itu. Karena jejaknya sudah ketahuan, segera Su-popo menarik A Siu dan Ciok Boh-thian masuk ke dalam ruangan. Melihat mereka bertiga, seketika semua orang yang berada didalam ruangan menjadi tercengang. Serentak Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, dan Nio Cu-cin berempat mengelilingi mereka dengan senjata terhunus. Namun Su-popo hanya tertawa dingin saja tak ambil pusing. Sebaliknya Hong Ban-li lantas melangkah maju dan memberi hormat sambil menyapa, "Terimalah hormatku, Sunio (ibuguru)!"

Boh-thian terperanjat. Pikirnya, "Aneh, mengapa suhuku adalah dia punya ibu guru?" Dalam pada itu Su-popo hanya menengadah saja tanpa menggubris hormat Hong Ban-li itu. Dengan tertawa Thio Sam lantas berkata, "Bagus, bagus! Sobat cilik yang tidak mau mengaku sebagai Pangcu Tiang-lok-pang ternyata sudah kembali ke Swat-san-pay sini! Jite, coba lihat, alangkah miripnya bocah ini dengan samte kita." Li Si mengangguk dan menjawab, "Ya, cuma tutur katanya rada-rada tengik dan tingkah lakunya agak bergajul. Di mana ada nona cantik, di situ juga dia lantas hinggap." Diam-diam Boh-thian anggap kebetulan malah karena kedua saudara angkat itu telah salah sangka dia sebagai Ciok Tiong-giok. "Eh, kiranya nenek ini adalah Pek-lohujin, maaf kami berlaku kurang hormat," demikian Thio Sam membuka suara lagi. "Para sutemu sedang mengincar kedudukan Ciangbun Pek-loyacu, mereka sedang mengukur tenaga dan adu otot untuk merebut jabatan terhormat itu. Nah, baiklah, kalian boleh mulai lagi. Satu-dua-tiga, hayo mulai!" Namun Su-popo lantas menggandeng tangan A Siu dan Boh-thian, dengan bersitegang leher ia berjalan ke depan. Seng Cu-hak dan lain-lain tidak berani merintanginya dan menyaksikan nenek itu berduduk pada kursi besar yang tengah dengan sikap yang mencemoohkan orang-orang di sekitarnya. "Hayo, kenapa kalian belum mulai, mau tunggu kapan lagi?" bentak Li Si mendadak. "Benar!" sahut Seng Cu-hak terus mendahului menusuk Nio Cu-cin dengan pedangnya. Cepat Cu-cin menangkis sambil melangkah mundur, entah sengaja atau sungguhan, mendadak ia sempoyongan dan berkata, "Wah, ilmu pedang Seng-suko benar-benar luar biasa, aku mengaku bukan tandinganmu!" Di sebelah sana Liau Cu-le dan Ce Cu-bian berdua juga sudah mulai adu tanding. Tapi keempat orang itu hanya main beberapa jurus saja, diam-diam para penontonnya sudah sama menggeleng kepala. Kiranya setiap jurus serangan mereka semuanya sangat lemah dan kurang jitu, sama sekali tidak memperlihatkan sebagai tokoh kelas satu dari golongan Swat-san-pay. Nyata sekali bahwa pertempuran mereka sekarang bukan "cari menang" lagi, sebaliknya mereka hanya mencari kalah malah, mereka sudah tidak mau berebut menjadi ketua Swat-san-pay lagi. Hanya karena terpaksa maka mereka bertempur sekadarnya, yang diharapkan bukannya menang melainkan kalah saja. Tapi karena mereka mempunyai pikiran yang sama, maka untuk mencari kalah pun tidak gampang. Suatu ketika tertampak Nio Cu-cin sengaja menubruk ke ujung pedang Seng Cu-hak, sebaliknya mendadak Cu-hak menjerit, "Aduh!" Sekonyong-konyong sebelah kakinya kesandung sehingga tusukannya mengarah ke lantai malah. Menyaksikan pertarungan yang menyebalkan itu, Thio Sam terbahak-bahak, katanya, "Losi, kita berdua sudah menjelajah seluruh jagat ini, tapi pertandingan sebagus ini benar-benar baru pertama kali ini kita lihat. Pantas ilmu silat Swat-san-pay sangat termasyhur, nyatanya memang lain daripada yang lain." Rupanya Su-popo merasa sebal juga, dengan suara bengis ia lantas membentak, "Ban-li, di mana kau telah mengurung Ciangbunjin dan anak murid Tiang-bun? Lekas pergi melepaskan mereka!"

"Liau... Liau-susioklah yang mengurung mereka, Tecu sendiri tidak... tidak tahu apa-apa," sahut Ban-li dengan suara gemetar. "Kau tahu apa tidak, pendek kata mereka harus lepas dibebaskan atau segera kubinasakan kau saat ini juga!" bentak Su-popo pula. "Ya, ya, Tecu akan coba mencarinya," sahut Ban-li sambil putar tubuh hendak bertindak pergi. "Nanti dulu!" tiba-tiba Thio Sam mencegah. "Saudara juga salah seorang calon pewaris ciangbunjin dari Swat-san-pay, mana boleh kau tinggal pergi begini saja? Hayolah kau, kau, kau... kau!" berulang-ulang ia menuding empat murid Swat-san-pay, lalu melanjutkan, "Kalian berempat yang pergi membebaskan seluruh orang Swat-san-pay yang dikurung di Leng-siau-sia ini dan bawa ke sini semua. Kalau sampai kurang satu orang saja maka kepala kalian akan hancur seperti contoh ini." Habis berkata tangan kanannya terus mencakar ke atas tiang kayu di sebelahnya sehingga tiang itu seketika melekuk suatu lubang. Tertampak dari sela-sela jarinya bertebaran bubuk kayu yang halus. Dalam waktu singkat saja sekaligus dia telah perlihatkan dua macam ilmunya yang sakti, keruan orang-orang Swat-san-pay menjadi jeri dan mengkeret. Empat orang yang ditunjuk tadi sampai gemetar ketakutan. Tanpa disuruh lagi segera mereka mengiakan dan mengundurkan diri untuk melaksanakan perintah itu. Di sebelah sana Seng Cu-hak berempat masih belum berhenti dari pertarungan mereka yang lucu. Mereka pun sadar tingkah laku mereka itu mungkin susah mengelabui mata Thio Sam dan Li Si, maka sedapat mungkin mereka pura-pura bertanding sungguh-sungguh dan mengadu jiwa walaupun setiap kali selalu mengalah dan memberi kesempatan kepada pihak lawan masing-masing. Makin melihat makin dongkol Su-popo, segera ia mendamprat, "Huh, permainan setan begini juga dianggap sebagai ilmu silat Swat-san-pay? Hm, kalian benar-benar membikin malu nama Leng-siau-sia yang keramat ini." Mendadak ia berpaling kepada Ciok Boh-thian dan berkata, "Muridku, ambil golok ini dan tebaslah sebelah lengan mereka, setiap orang satu." Di depan Thio Sam dan Li Si sedapat mungkin Boh-thian tidak berani membuka suara agar tidak dikenali. Terpaksa ia terima golok yang disodorkan padanya, lalu melangkah maju, ia tuding Seng Cu-hak terus membacok. Mendengar Su-popo memberi perintah agar lengannya yang harus ditebas, keruan Seng Cu-hak tidak berani main-main. Cepat ia angkat pedangnya untuk menangkis. Karena sekarang menyangkut keselamatannya, maka gerakan pedangnya ini sangat kuat dan indah, suatu jurus ilmu pedang Swat-san-pay yang sejati. "Bagus! Mendingan jurus ini daripada tadi!" senggak Thio Sam. Tiba-tiba Boh-thian mendapat pikiran, "Kedua Giheng sudah kenal tenaga dalamku yang hebat, jika aku menang dengan menggunakan lwekang, tentu mereka akan lantas mengenali aku sebagai Kau-cap-ceng, padahal aku menyaru sebagai Ciok Tiong-giok, terpaksa aku juga harus menggunakan Swat-san-kiam-hoat saja!" Segera ia putar goloknya dan menusuk dari samping, yakni merupakan satu jurus ilmu pedang Swat-san-pay yang disebut "Am-hiang-soh-eng" (Harum Kedaluan Hilang Bayangan). Melihat ilmu pedang Boh-thian hanya sepele saja, Seng Cu-hak tidak jeri pula. Ia putar pedang untuk melindungi tempat-tempat penting di tubuhnya sendiri, sesudah beberapa jurus kemudian, sengaja ia pancing golok Ciok Boh-thian menusuk ke atas kakinya. Ia pura-pura tidak sempat menangkis dan mengelak, sambil menjerit kesakitan ia melompat minggir dengan luka di kakinya itu. Segera ia membuang pedangnya dan berseru, "Pahlawan selalu timbul dari kalangan muda, tua bangka sudah tak berguna lagi! Aku terima mengaku kalah." Melihat ada kesempatan, Nio Cu-cin juga tidak mau ketinggalan, segera ia mendahului ayun pedang dan menebas ke pundak Ciok Boh-thian sambil membentak, "Kau bocah ini benar-benar tidak tahu aturan lagi, sampai-sampai Susiokco (kakek-guru muda) juga kau lukai?" Ia cukup paham ilmu pedang yang dimainkan Ciok Boh-thian, maka hanya beberapa jurus saja ia sengaja memancing suatu serangan pemuda itu sehingga lengan kirinya terserempet pedang. Segera ia berteriak-teriak, "Wah, luar biasa! Hampir-hampir saja lenganku ini ditebas putus oleh anak ingusan ini." Menyusul Ce Cu-bian dan Liau Cu-le juga tidak kalah liciknya, berturut-turut mereka pun mencari suatu kesempatan dan membiarkan ujung golok Ciok Boh-thian melukai sedikit kulit badan mereka, lalu mengaku kalah dan mengundurkan diri. Maklumlah bahwa Ciok Boh-thian memang tiada maksud menebas kutung lengan mereka sebagai diperintahkan oleh Su-popo tadi, pula ia tidak mengeluarkan kepandaiannya yang sejati, yang digunakan hanya sedikit ilmu pedang Swat-san-pay yang belum masak dilatihnya. Selain itu Seng Cu-hak berempat sebenarnya sangat lihai, hanya lantaran mereka sengaja mengalah, maka tidak sulit bagi mereka untuk memainkan kelicikannya. Coba kalau Ciok Boh-thian juga tidak

bermaksud memenangkan mereka, tentu mereka pun tidak gampang pura-pura kalah. Jadi pertandingan barusan ini lebih mirip dengan permainan anak kecil saja. Keruan Su-popo sangat mendongkol. Tapi ia pun tidak ambil pusing, dengan suara bengis ia lantas membentak, "Jadi kalian sudah dikalahkan oleh bocah ini, kalian sudah rela mengangkat dia sebagai ciangbunjin?" Diam-diam Seng Cu-hak berempat membatin, "Kalau dia diangkat menjadi ketua, paling-paling kita hanya akan memperalat dia sebagai korban yang mewakilkan Swat-san-pay pergi ke Liong-bok-to, apanya yang membuat kita keberatan?" Maka serentak mereka menjawab, "Ya, kedua sucia dari Liong-bok-to tadi sudah menetapkan syaratnya, kedudukan ciangbun harus direbut berdasarkan kepandaian masing-masing. Sekarang kami sudah kalah, ya, apa mau dikata lagi?"

"Jadi kalian benar-benar sudah takluk?" Su-popo menegas. "Ya, takluk lahir batin tanpa syarat," sahut mereka. Tapi diam-diam mereka berpikir, "Huh, jika kedua jahanam Liong-bok-to ini sudah pergi, bukankah Leng-siau-sia ini akan menjadi dunia kami pula? Hanya seorang nenek loyo dan seorang anak ingusan saja bisa berbuat apa?"

"Jika begitu mengapa kalian tidak lekas menyampaikan sembah bakti kepada Ciangbunjin dan mau tunggu kapan lagi?" ujar Su-popo dengan suara lantang. Sebelum Seng Cu-hak berempat menjawab atau bertindak, tiba-tiba terdengar teriakan seorang di luar, "Siapa yang berani menduduki jabatan ketua Swat-san-pay?" Itulah suaranya "Gi-han-se-pak" Pek Ban-kiam. Benar juga segera tertampak tokoh muda Swat-san-pay itu melangkah masuk dengan menyeret rantai borgol, di belakangnya mengikut beberapa puluh orang pula, semuanya juga terbelenggu. Di belakang Pek Ban-kiam kelihatan Kheng Ban-ciong, Kwa Ban-kin, Ong Ban-jim, Houyan Ban-sian, Bun Ban-hu, Ang Ban-ek, Hoa Ban-ci, dan anak murid Tiang-bun yang baru saja pulang dari Tionggoan. Ketika melihat Su-popo juga berada di situ, segera Ban-kiam menyapa, "Engkau sudah pulang, ibu!" Nadanya terdengar penuh rasa girang dan di luar dugaan. Tadi waktu mendengar Hong Ban-li memanggil Su-popo sebagai ibu-guru, lapat-lapat Boh-thian sudah merasa nenek itu tentu adalah istri Pek Cu-cay, sekarang mendengar Pek Ban-kiam memanggilnya sebagai ibu, maka dugaannya itu terang tidak perlu disangsikan lagi. Hanya saja ia masih heran, "Jika suhuku adalah istri ketua Swat-san-pay, mengapa beliau mengaku pula sebagai ketua Kim-oh-pay, bahkan selalu mengatakan bahwa Kim-oh-pay merupakan bintang bencana bagi Swat-san-pay?" Dalam pada itu dilihatnya si A Siu telah berlari ke depan Pek Ban-kiam dan menyapa, "Ayah!" Tertampak Ban-kiam sangat girang, sahutnya dengan suara terputus-putus, "A Siu, kau, kau ternyata tidak... tidak mati?"

"Sudah tentu dia tidak mati!" sela Su-popo dengan mendengus. "Memangnya semua orang sedemikian tak becus semacam kau? Huh, hanya kau yang bermuka tebal yang masih berani memanggil ibu padaku! Hm, benar-benar tiada gunanya aku melahirkan anak goblok seperti kau. Orang tua sendiri telah dikurung orang, dirinya sendiri juga berhias besi-besi rombengan demikian, kau merasa senang ya dengan kejadian ini? Dasar telur busuk semua, huh, Swat-san-pay apa segala? Yang tua telur busuk, yang muda juga telur bau, semuanya telur kopyor. Rasanya lebih baik Swat-san-pay berganti nama menjadi Telur-busuk-pay saja." Pek Ban-kiam diam saja membiarkan ibunya mencaci maki sepuasnya, kemudian barulah ia berkata, "Bu, tertawannya anak bukanlah karena kepandaianku kalah tinggi daripada mereka, tapi kawanan pengkhianat ini telah menggunakan akal licik, dia... dia telah pura-pura menyaru sebagai ayah dan memasang perangkap di dalam selimut, lantaran itulah maka anak telah terjebak."

"Dasar telur busuk kecil macam kau ini memang tidak pantas diberi hidup," damprat Su-popo pula. "Kalau salah mengenali orang luar sih masih dapat dimengerti, masakah ayahnya sendiri juga salah mengenalnya, huh, apakah kau masih dapat dianggap sebagai manusia?" Rupanya sejak kecil Ban-kiam sudah biasa dimaki dan dihajar sang ibu, maka sekarang ia pun anggap biasa meski dimaki habis-habisan di depan orang banyak. Yang terpikir olehnya hanya keselamatan ayahnya. Maka cepat ia tanya, "Bu, apakah ayah baik-baik saja?"

"Telur busuk tua itu mati atau hidup, sedangkan kau telur busuk kecil ini pun tidak tahu, dari mana lagi aku bisa tahu?" sahut Su-popo dengan gusar. "Daripada hidup membikin malu saja karena kena dikurung oleh sute-sutenya, ada lebih baik dia lekas mampus saja." Mendengar ucapan itu baru sekarang Ban-kiam merasa lega, ia tahu sang ayah cuma berada dalam tahanan kawanan pemberontak saja. Katanya segera, "Terima kasih kepada langit dan bumi bahwa ayah ternyata masih selamat."

"Selamat kentut!" bentak Su-popo dengan gusar. Walaupun begitu katanya, namun dalam hati sesungguhnya ia pun memikirkan keselamatan sang suami. Segera ia berkata kepada Seng Cu-hak dan para sutenya, "Di mana kalian telah mengurung Toasuheng? Mengapa tidak lekas-lekas dikeluarkan?" Seng Cu-hak menjawab, "Perangai Toasuheng sangat keras, siapa pun tidak berani mendekat padanya, kalau mendekat segera akan dibunuh olehnya." Terkilas rasa girang dan lega pada wajah Su-popo. Katanya

kemudian, "Bagus, bagus! Dasar telur busuk tua itu selalu anggap ilmu silatnya nomor satu di dunia ini, sombongnya tidak kepalang. Sekarang biarlah dia mengalami sedikit penderitaan supaya tahu rasa." Agaknya Li Si menjadi tidak sabar mendengarkan caci maki yang tak habis-habis itu, akhirnya ia menimbrung, "Sesungguhnya yang manakah ketua Telur-busuk-pay itu?" Sekonyong-konyong Su-popo melangkah maju, ia tuding Li Si dan mendamprat, "Istilah `Telur-busuk-pay' masakah boleh diucapkan oleh telur busuk macam kau? Aku memaki lakiku dan anakku sendiri. Hm, kau ini kutu busuk jenis apa, berani kau ikut-ikut menghina Swat-san-pay kami?" Semua orang menjadi kebat-kebit melihat Su-popo mendamprat Li Si dengan sikap sedemikian galak. Mereka pikir kalau sampai Li Si menjadi gusar dan menyerang, maka nenek itu pasti akan celaka. Maka dengan cepat Ciok Boh-thian lantas melompat maju dan mengadang di depan Su-popo, asal Li Si menyerang segera akan ditangkisnya. Pek Ban-kiam sendiri masih terbelenggu, dia hanya mengeluh saja dan tak mampu berbuat apa-apa. Di luar dugaan Li Si ternyata tidak marah, sebaliknya ia tersenyum dan berkata, "Baiklah, anggaplah aku telah salah omong, harap Pek-hujin memaafkan. Nah, sebenarnya siapakah ketua Swat-san-pay kalian!"

"Pemuda ini sudah mengalahkan para pengkhianat itu, mereka sudah mengangkatnya sebagai ketua Swat-san-pay, siapa lagi

yang merasa tidak takluk?" jawab Su-popo sambil menuding Boh-thian. "Anak tidak mau terima dan ingin bertanding dulu dengan dia!" Seru Pek Ban-kiam. "Bagus!" sahut Su-popo. "Hayo, buka semua belenggu mereka itu!" Liau Cu-le menjadi ragu-ragu, ia saling pandang dengan Seng Cu-hak dan Nio Cu-cin. Pikir mereka, "Jika anak murid Tiang-bun ini dibebaskan, maka untuk mengatasi mereka tentu tidak gampang lagi. Padahal kita sudah mengadakan pemberontakan, perbuatan durhaka ini betapa pun tak bisa diampuni. Namun dalam keadaan sekarang ini mau tak mau mereka harus dilepaskan juga." Tapi sedapat mungkin Liau Cu-le mencari jalan lain, katanya, "Kau adalah jago yang sudah keok di bawah tanganku, sedangkan aku saja sudah takluk, berdasarkan apa kau berani membangkang?" Ban-kiam menjadi gusar. Dampratnya, "Huh, kau pengkhianat yang durhaka ini, kalau bisa aku ingin mencincang tubuhmu hingga hancur luluh, hm, sebaliknya kau masih berani mengatakan aku adalah jago yang sudah keok di bawah tanganmu? Secara licik kau telah menjebak aku, sekarang tanpa malu-malu kau masih berani bicara?"

Bersambung … ke Bab 41 ...