Bagian 4
Malam itu gelap dan sunyi sekali di rumah kepala dusun Lui. Agaknya peristiwa sore tadi masih berbekas. Robohnya semua pengawal yang jumlahnya duapuluh orang sungguh membuat gelisah hati keluarga Lui, walaupun kemudian ternyata bahwa dua orang tosu sakti itu dapat mengusir "siluman". Kini diam-diam kepala dusun Lui mendatangkan pengawal-pengawal baru yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang, berjaga-jaga di sekitar perumahan keluarga itu. Terutama sekali di kamar tahanan terdapat penjagaan yang amat ketat karena di situlah tempat Yo Jin ditahan dan kepala dusun Lui tidak ingin melihat tahanan ini lolos.
Walaupun dia berada di dalam tahanan, Yo Jin mendengar dari percakapan para penjaga di luar kamarnya tentang siluman betina yang mengamuk dan merobohkan duapuluh orang pengawal akan tetapi kemudian dapat diusir pergi oleh dua orang tosu. Diam-diam dia merasa heran sekali. Siapakah yang mereka maksudkan dengan siluman betina itu? Benarkah ia itu Siu Kwi? Siu Kwi mengamuk dan mengalahkan duapuluh orang pengawal? Sukar baginya untuk mempercayai berita ini. Siu Kwi demikian lemah-lembut. Alisnya berkerut ketika ia teringat bahwa wanita itu dituduh sebagai siluman, bahkan ayahnya sendiripun menganggapnya demikian. Jangan-jangan memang benar! Dan kini Siu Kwi mengamuk sebagai siluman! Dia bergidik dan cepat mengusir pikiran ini, lalu membayangkan ayahnya. Ayahnya dipukul dan disiksa, dan dia merasa gelisah sekali memikirkan ayahnya. Dia menarik-narik belenggu kaki tangannya, namun tiada guna. Hal itu sudah dilakukannya sejak dia ditahan dan sampai kulit pergelangan kaki dan tangannya lecet-lecet dan nyeri bukan main.
Menjelang tengah malam, sesosok bayangan berkelebatan di luar pekarangan perumahan kepala dusun Lui. Bayangan ini adalah Siu Kwi. Setelah sore tadi ia berhasil melarikan diri, ia bersembunyi di dalam hutan dan duduk bersila, memulihkan tenaganya dan memulihkan pula kesehatannya karena hantaman pada pundak dan tusukan pada pangkal lengannya. Ia sudah mengobati luka di pangkal lengannya. Hatinya gelisah bukan main. Ia belum berhasil membebaskan Yo Jin dan di tempat itu terdapat dua orang lawan yang demikian tangguhnya. Hatinya terasa perih kalau ia teringat kepada pria yang dikasihaninya.
Tak lama kemudian, ia lalu berlari cepat, kembali ke dusun selatan dan dengan bantuan para tetangga, ia mengurus pemakaman kakek Yo. Karena keadaan, maka terpaksa jenazah itu dikubur secara sederhana sekali. Para tetangga juga melakukannya dengan ketakutan setelah mendengar dari Siu Kwi bahwa kakek itu mati karena dipukuli orang-orang kepala dusun Lui, dan juga bahwa Yo Jin ditangkap oleh mereka. Maka, setelah selesai mengubur jenazah itu malam itu juga, para tetangga bergegas pulang ke rumah masing-masing, takut kalau sampai tersangkut urusn itu. Dan Siu Kwi lalu melakukan perjalanan kembali ke dusun timur. Bagaimanapun juga, ia harus dapat menyelamatkan Yo Jin, harus dapat membebaskan pemuda itu dari dalam tahanan.
Sampai lama ia berkeliaran di luar rumah keluarga Lui. Dengan susah payah, tadi ia mengisi perutnya. Ia hampir tak dapat menelan nasi, akan tetapi dipaksakannya karena ia maklum bahwa ia membutuhkan tenaga sepenuhnya untuk dapat menyelamatkan Yo Jin. Kalau ia membiarkan perutnya kosong, tentu tenaganya menjadi berkurang. Kini ia berkeliaran di luar pekarangan, untuk meneliti keadaan. Hatinya terasa girang. Agaknya keluarga Lui menyangka bahwa ia sudah jera untuk datang lagi, sudah takut terhadap dua orang kakek itu, maka kini keadaan di rumah itu sunyi saja, tidak terdapat penjagaan yang ketat. Sunyi dan gelap.
Namun, Siu Kwi bukan seorang bodoh. Ia tidak mau mudah terjebak oleh siasat musuh. Siapa tahu kalau-kalau pihak musuh mengatur jebakan dan sengaja memancingnya. Karena itu ia tidak segera masuk, melainkan melakukan pengintaian dan pemeriksaan dari luar. Ia menanti sampai tengah malam dan setelah melihat bahwa benar-benar tidak terdapat penjaga di sekitar pagar tembok, baru ia meloncat naik ke atas pagar tembok, mendekam di atasnya untuk mengintai ke dalam. Ia merasa heran. Keadaan amat sunyi dan gelap. Benarkah keluarga Lui demikian lengahnya sehingga setelah kemenangan dua orang kakek sore tadi lalu menganggap bahwa ia tidak akan berani muncul kembali? Ataukah setelah ia merobohkan duapuluh orang penjaga itu, lalu tidak ada penjaga lain yang menggantikan karena mereka semua itu lelah dan mengalami patah tulang dan luka-luka? Ia tidak dapat menerima kemungkinan ini. Tak mungkin, pikirnya. Andaikata kepala daerah itu lengah, dua orang tosu lihai itu pasti tidak.
Akan tetapi, mengingat akan Yo Jin, ia tidak perduli lagi. Biarlah mereka mengatur jebakan, ia tidak takut. Ia akan berusaha membebaskan Yo Jin, kalau perlu dengan taruhan nyawa! Setelah meneliti keadaan di dalam dan tidak nampak berkelebatnya orang, ia lalu meloncat turun ke dalam kebun belakang rumah itu. dan menyelinap di antara semak-semak, mendekati bangunan rumah di belakang. Ia menduga bahwa tentu tempat tahanan itu berada di bagian belakang.
Yo Jin mendengar percakapan para penjaga di luar pintu kamar tahanan itu dengan hati khawatir.
"Kalau dombanya dijaga, tentu harimaunya tidak berani muncul. Karena itu maka kita harus bersembunyi." Demikian antara lain dia mendengar seorang penjaga bicara, kemudian terdengar suara mendesis tanda bahwa pembicara itu disuruh diam. Keadaan lalu menjadi sunyi dan ketika Yo Jin bangkit berdiri dan menjenguk dari jeruji pintu, dia melihat betapa di luar pintu tidak terdapat seorangpun penjaga lagi. Keadaaan amat sunyi, dan tempat itu hanya diterangi oleh sebuah lampu gantung. Agaknya lampu-lampu lainnya telah dibawa pergi atau dipadamkan. Suasana sunyi sekali, tak nampak seorang pun di luar kamar tahanan. Sunyi dan gelap di kebun belakang itu, yang nampak dari dalam kamar tahanan.
Yo Jin menggerakkan kedua kakinya melangkah ke arah pintu. Suara belenggu kakinya terseret memecahkan kesunyian. Dia berdiri di belakang pintu kamar yang terbuat dari besi itu, dan berpegang dengan kedua tangan yang terbelenggu pada jeruji besi, memandang ke luar, termenung. Apakah maksud ucapan penjaga tadi? Diakah yang diumpamakan domba tadi? Dan siapakah harimaunya yang diharapkan akan muncul? Siu Kwikah? Jantungnya berdebar tegang. Dia tidak dapat yakin bahwa Siu Kwi yang dimaksudkan harimau itu, betapapun juga, dia tahu bahwa para penjaga itu sedang mengatur siasat untuk memandang dan menjebak seseorang yang disebut harimau, dengan menggunakan dia sebagai domba, sebagai umpannya. Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Yo Jin meninggalkan belakang pintu. memandang ke luar dengan penuh perhatian. Sepasang matanya seperti ingin menembus kegelapan malam di depan sana.
Entah berapa lama dia berdiri memandang keluar itu. Tiba-tiba pandang matanya menangkap berkelebatnya sesosok bayangan hitam. Dia terkejut dan mengikuti dengan pandang matanya. Bayangan itu melompat dan tahu-tahu di bawah lampu gantung, hanya lima meter dari pintu kamar tahanan, berdiri seorang wanita yang bukan lain adalah Siu Kwi!
"Kwi-moi....!" serunya lirih, matanya terbelalak seolah-olah dia tidak dapat percaya kepada pandang matanya sendiri. "Kaukah itu....?" Dan diapun merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kalau wanita ini benar Siu Kwi, apakah ia benar-benar....siluman? Cara pemunculannya ini!
"Sssttt....!" Wanita itu menaruh telunjuk di depan bibir. "Jin-toako, aku datang untuk membebaskanmu...." Akan tetapi Yo Jin teringat akan percakapan para penjaga dan wajahnya berubah pucat. Celaka, kiranya harimaunya benar Siu Kwi dan tentu kini Siu Kwi telah terperangkap.
"Kwi moi, awas! Ini sebuah perangkap....!" teriaknya. "Kau larilah, pergilah!"
Pada saat itu, tiba-tiba saja nampak sinar terang disusul suara berisik. Dan ketika Siu Kwi membalikkan tubuh memandang, ternyata tempat itu telah dikepung oleh puluhan orang bersenjata lengkap di tangan kanan dan dengan obor di tangan kiri. Agaknya mereka tadi bersembunyi dan serentak memasang obor sambil mengepung tempat itu. Dan muncullah dua orang tosu yang sore tadi telah mengalahkannya!
"Ha-ha-ha-ha, siluman betina ini berani muncul lagi. Benar-benar keras kepala dan sudah bosan hidup!" kata Ok Cin Cu dan perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang ketika dia tertawa.
"Ia bukan siluman!" Yo jin membentak marah dari dalam kamar tahanan.
"Heh-heh-heh, siapa bilang bahwa Bi-kwi bukan siluman? Engkau telah mabok oleh rayuannya, orang muda, heh-heh!"
"Tutup mulutmu yang kotor!" Siu Kwi membentak dan menyerang ke arah Thian Kek Seng-jin yang masih tertawa. Panas hatinya mendengar dirinya dihina di depan Yo Jin. Ketika tosu Pek-lian-kauw itu mengelak sambil memutar tongkatnya untuk balas menyerang, Siu Kwi sudah mencabut pedangnya dan menangkis. Ia tadi sudah mengambil senjata ini dan begitu menangkis, iapun menusuk dengan ganasnya.
"Tranggg...." bunga api berpijar ketika pedangnya kini ditangkis dlari samping oleh Ok Cin Cu yang menggunakan tongkat ular hitamnya. Ketua cabang Pek-lian-kauw itupun menerjang dengan tongkat naga hitam, untuk membantu kawannya. Kembali terjadi pengeroyokan. Akan tetapi Siu Kwi mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya.
Yo Jin memandang bengong. Baru dia tahu bahwa wanita yang dicintanya itu sama sekali bukanlah seorang wanita lemah, melainkan seorang ahli silat yang amat lihai! Kini diapun sadar mengapa dalam perkelahian-perkelahiannya, dia selalu menang walaupun dikeroyok, dan kini terjawab pula keanehan ketika para pengeroyoknya mencabut belati akan tetapi tidak sempat mempergunakan senjata itu. Tentu Siu Kwi bukan siluman betina, melainkan seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi!
"Kwi Moi....!" keluhnya dengan terharu. Seorang pendekar wanita telah bersikap demikian baik kepadanya! Kini dia menonton dengan hati yang tidak karuan rasanya. Ada rasa heran, bangga, akan tetapi juga kegelisahan besar melihat betapa kini kekasihnya itu dikeroyok oleh banyak orang.
Para pengawal itu sudah mendengar bahwa banyak rekan mereka sore tadi dilukai oleh wanita ini. Maka, merekapun tidak tinggal diam dan ikut menyerang. Hasilnya sunggh celaka bagi mereka. Begitu ada para pengawal ikut menyerang, gulungan sinar pedang Siu Kwi semakin melebar dan setiap kali ada sinar mencuat dari gulungan cahaya itu, terdengar pekik disusul robohnya seorang pengawal. Dalam waktu sebentar saja, tidak kurang dari tujuh orang pengawal roboh dan terluka oleh ujung pedang di tangan Siu Kwi! Melihat ini, dua orang tosu itu menjadi marah.
"Kalian semua mundur! Biarkan kami berdua yang menangkapnya!" teriak Thian Kek Seng-jin.
Mendengar teriakan ini, para pengawal itu mundur karena merekapun jerih melihat betapa dalam segebrakan saja, setiap orang rekannya yang berani menyerang pasti roboh terluka. Kini mereka mengepung sambil menonton dua orang tosu itu mengeroyok Siu Kwi! Seperti sore tadi, kembali Siu Kwi dikeroyok dua. Kali ini mereka berkelahi lebih mati-matian karena pedang di tangan Siu Kwi kini tidak sungkan-sungkan lagi, mengirim serangan maut yang amat berbahaya. Namun, seperti juga tadi. Siu Kwi belum cukup kuat untuk menghadapi pengeroyokan dua orang tosu yang amat lihai itu, setelah lewat limapuluh jurus, gulungan sinar pedangnya makin menyempit dan iapun terdesak terus oleh dua batang tongkat panjang dan pendek itu. Apa lagi seperti tadi, Thian Kek Seng-jin mengeluarkan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir untuk melemahkan lawan, maka Siu Kwi hampir
tidak mampu balas menyerang lagi, melainkan hanya mengelak dan menangkis sambil mundur.
Yo Jin tidak dapat mengikuti perkelahian itu dengan baik karena selain dia berdiri di belakang pintu jeruji yang sempit, juga jalannya perkelahian itu telampau cepat baginya sehingga ia tidak dapat mengikuti dengan andang matanya yang menjadi kabur. Dia hanya melihat gulungan sinar putih dari pedang Siu Kwi dikurung dua gulungan sinar hitam, dan kadang-kadang saja nampak tubuh tiga orang itu atau kaki mereka yang menginjak tanah. Namun, hatinya merasa khawatir sekali.
"Bukkk....!" Sebuah pukulan tongkat Thian Kek Seng-jin mengenai punggung Siu Kwi dan sedikit darah keluar dari mulut wanita itu. Ia telah terluka. Maka iapun tahu bahwa sekali ini ia juga tidak berhasil. Diputarnya pedangnya dengan nekat sambil membalikkan tubuhnya. Para pengawal yang berada di belakangnya menjadi panik, apa lagi ketika ketika dua orang pengawal roboh. Terpaksa mereka mundur dan membuka kepungan. Siu Kwi menerobos keluar dan meloncat ke dalam kebun, terus meloncat naik ke atas tembok pagar dan melarikan diri. Seperti sore tadi, dua orang tosu itu tidak mengejarnya, melainkan tertawa mengejek.
Terhuyung-huyung Siu Kwi lari memasuki hutan. Ketika tiba di tengah hutan, di bagian terbuka, iapun menjatuhkan diri di atas rumput, menelungkup dan menangis! Ia bukan menangis karena lukanya, melainkan menangis karena tidak mampu manyelamatkan Yo Jin. Kalau ia mengingat kembali betapa Yo Jin berdiri di belakang pintu jeruji dengan kaki tangan terbelenggu dan pucat, ia merasa kasihan sekali dan tangisnya makin mengguguk. Akan tetapi, wanita yang keras hati ini segera dapat menguasai dirinya. Tugasnya masih belum selesai. Yo Jin belum diselamatkan. Dan ia kembali terluka, sekali ini lebih parah karena pukulan dengan tenaga sin-kang itu telah mengakibatkan luka dalam, walaupun tidak amat berbahaya namun membutuhkan pengobatan dengan segera.
Diusirnya bayangan Yo Jin yang melemahkan batinnya.
Siu Kwi mengeluarkan obat dan menelan dua butir pil merah Kemudian iapun duduk bersila untuk mengumpulkan hawa murni, mengobati lukanya dan memulihkan tenaganya. Ia terus bersila sampai pagi, kesehatannya berangsur-angsur pulih, dan juga tenaganya mulai pulih kembali.
Matahari mulai meneroboskan cahayanya melalui celah-celah ranting dan daun pohon, namun Siu Kwi masih bersamadhi dengan lelap. Demikian lelapnya sampai ia tidak tahu bahwa di dalam hutan itu muncul dun orang yang sejak tadi mengintainya. Baru setelah dua orang itu melangkah dekat menghampirinya, ia sadar dan cepat ia membuka mata. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal mereka sebagai Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin!
Akan tetapi rasa kaget ini juga dibarengi kemarahan yang meluap-luap karena kedua orang inilah yang telah menggagalkan usahanya untuk membebaskan Yo Jin. Maka ia meloncat dan menghadapi dua orang tosu itu dengan sepasang mata bernyala ganas penuh kebencian.
"Dua tosu jahanam, kalian masih hendak mendesakku? Baik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya dan iapun sudah memasang kuda-kuda, siap untuk berkelahi mati-matian.
Akan tetapi dua orang tosu itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap bemusuh, bahkan tersenyum.
"Bi-kwi...."
"Namaku Ciong Siu Kwi dan aku tidak mau menggunakan julukan itu lagi!" bentak Siu Kwi memotong kata-kata Ok Cin Cu.
Kakek tinggi besar berperut gendut dengan rambut riap-riapan ini tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, harimau hendak berganti bulu domba, ya? Baiklah, nona Ciong Siu Kwi, kami datang bukan untuk mendesakmu, melainkan untuk berdamai denganmu."
Siu Kwi memandang dengan mata tajam penuh selidik. Tentu saja ia tidak dapat mempercaya begitu saja kepada orang-orang seperti tosu itu. "Apa kehendak kalian?" tanyanya singkat, masih bersikap seperti seorang musuh.
"Ha-ha, bukankah engkau menghendaki agar pemuda she Yo itu kami bebaskan?" kini Thian Kek Seng-jin, ketua cabang Pek-lian-kauw bertanya.
Mendengar pertanyaan ini, sepasang mata Siu Kwi berkilat. Tentu saja timbul gairahnya mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi ia seorang cerdik, dan cepat wajahnya nampak biasa seolah-olah pertanyaan itu bukan merupakan penawaran yang memikat hatinya.
"Hal yang sudah jelas itu mengapa kautanyakan lagi?" Ia balas bertanya.
Kembali dua orang tosu itu tersenyum lebar. "Kita adalah orang-orang segolongan dalam dunia persilatan, karena itu, perlu apa kita harus saling bermusuhan? Sebaiknya kalau kita bekerja sama, saling bantu, bukankah hal itu akan lebih menguntungkan kita kedua pihak?" kata pula Thian Kek Seng-jin yang lebih pandai bicara dibandingkan Ok Cin Cu.
"Kaumaksudkan, kalian akan membebaskan Yo Jin dan sebagai gantinya aku harus melakukan sesuatu untuk kalian?"
"Ha-ha-ha, ia memang seorang wanita yang amat cerdik, toyu!" Ok Cin Cu tertawa girang dan Thian Kek Seng-jin mengangguk-angguk.
"Tepat dugaanmu, nona Ciong. Engkau membutuhkan pembebasan Yo Jin, dan kami berdua juga mempunyai kebutuhan yang kami harapkan akan mendapat bantuanmu agar terlaksana."
"Katakan, apa yang harus kulakukan untuk membantu kalian?"
"Kami berdua mempunyai kebutuhan masing-masing, dan kami akan membebaskan Yo Jin kalau engkau suka memenuhi dua permintaan kami untuk kebutuhan kami itu. Bagaimana, nona Ciong?" tanya pula Thian Kek Seng-jin.
"Katakan, apa yang harus kulakukan." jawab Siu Kwi dan di dalam batinnya, wanita ini tentu saja sudah menyetujui permintaan mereka. Apapun akan ia lakukan demi menyelamatkan Yo Jin, pria yang dicintanya itu.
Thian Kek Seng-jin memandang kepada Ok Cin Cu, kemudian kepada Siu Kwi lagi sambil berkata. "Biarlah sahabat Ok Cin Cu akan menceritakan sendiri permintaannya. Adapun pinto ingin engkau membantu pinto menghadapi seorang musuh besar. Kami sudah maju berdua, namun belum dapat menandinginya. Kulau engkau maju membantu kami, aku yakin akan dapat mengalahkan musuh besar itu."
Siu Kwi terkejut. Kalau dua orang seperti tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini saja tidak mampu menandingi orang itu, tentu musuh besar Thian Kek Seng-jin itu seorang yang lihai bukan main. Akan tetapi ia hanya membantu mereka berdua, dan hal ini tentu saja tidak berat baginya. Hanya, ia sudah mengambil keputusan tidak melakukan perbuatan jahat, maka iapun ingin tahu lebih dahulu siapa orang yang akan mereka keroyok itu.
"Siapakah orang itu?"
"Dia adalah seorang keturunan pendekar Pulau Es."
Siu Kwi terkejut dan mengerutkan alisnya. Keluarga Pulau Eslah yang telah menghancurkan semua cita-citanya, dan biarpun tadinya ia sudah tidak mau memikirkan hal itu dan tidak mau menanam persiapan dengan siapapun, akan tetapi sedikit banyak ada perasaan tidak suka terhadap keluarga Pulau Es dalam hatinya. Maka mendengar bahwa musuh besar ketua cabang Pek-lian-kauw ini adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es, iapun tanpa berpikir panjang lagi lalu mengangguk.
"Baiklah! Aku akan membantu kalian menghadapi musuh itu, dan kalian harus membebaskan Yo Jin."
"Heh-heh, nanti dulu! Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata sambil menyeringai sehingga nampak mulutnya yang tinggal mempunyai beberapa buah gigi yang besar-besar. "Itu adalah syarat yang diajukan sahabat Thian Kek Seng-jin, sedangkan syarat dari pinto masih belum. Kalau engkau membantu menghadapi musuh itu, berarti baru separuh dari syarat kami kau penuhi. Engkau tentu tidak ingin kami membebaskan separuh badan orang she Yo itu, bukan? Kau memilih dari pinggang ke atas atau dari pinggang ke bawah yang harus dibebaskan?"
Siu Kwi tidak mau menyambut kelakar ini. Tentu saja ia tidak mau mendapatkan setengah saja dari badan Yo Jin. "Katakanlah, apa syaratmu!" katanya cepat dan ketus.
Ok Cin Cu menyeringai dan Thian Kek Seng Jin mentertawakan temannya itu. Akan tetapi yang ditertawakan sama sekali tidak merasa malu, bahkan nampak gembir sekali ketika berkata, "Ciong Siu Kwi, sudah lama sekali pinto mendengar akan nama Bi-kwi yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai sekali dalam hal lain mengenai pria. Nah, ilmu silatmu sudah pinto lihat dan rasakan. Akan teapi pinto ingin membuktikan sendiri kelihaianmu dalam hal yang lain itu. Pinto ingin agar engkau tidur bersama pinto satu malam dan melayani pinto. Baru pinto mau membebaskan Yo Jin seutuhnya!"
Kalau lain wanita yang diajukan itu, tentu ia akan merasa malu dan tersinggung sekali. Akan tetapi, bagi Siu Kwi, hubungan dengan pria bukan merupakan hal yang aneh. Sejak remaja ia sudah melayani Sam Kwi, tiga orang gurunya yang juga sudah kakek-kakek, dan selama ia bertualang sebagai Bi-kwi, entah sudah berapa banyak pria yang dipermainkannya uutuk melampiaskan napsunya. Permintaan terang-terangan dari Ok Cin Cu itu dianggapnya biasa saja, walaupun ia merasa terhina karena biasanya, ialah yang memilih laki-laki. Kecuali Sam Kwi, belum pernah ia melayani pria secara terpaksa. Akan tetapi, sekali ini, ia tidak berani marah, ia akan melakukan apa saja untuk pembebasan Yo Jin dan syarat yang diajukan oleh Ok Cin Cu itu, baginya adalah lebih berat dari pada syarat yang diajukan Thian Kek Seng-jin. Menyerahkan badannya bagi Siu Kwi tidak ada artinya, karena hatinya sudah ia serahkan sebulatnya kepada satu orang saja, yaitu Yo Jin! Dan ia melakukan itu bukan karena penyelewengan, bukan karena pemuasan nafsu, melainkan semata-mata untuk menyelamatkan Yo Jin!
"Baik, kuterima syaratmu. Nah, sekarang kalian bebaskan Yo Jin, dan aku akan memenuhi syarat kalian!"
"Ho-ho-ho, jangan tergesa-gesa, nona manis Thian Kek Seng-jin berseru. "Kami yang mengajukan syarat, maka kami harus melihat syarat-syarat itu terlaksana lebih dulu, baru kami akan membebaskan Yo Jin."
Betapa mendongkolnya rasa hatinya, terpaksa Siu Kwi menurut. Pagi hari itu juga kedua orang tosu mengajak Siu Kwi untuk membantu mereka menghadapi musuh besar Thian Kek Seng-jin. Hari telah siang ketika mereka bertiga tiba dilereng sebuah bukit tandus yang penuh dengan batu-batu besar dan guha-guha. Dan di sebuah di antara guha-guha itulah terdapat musuh besar yang dimaksudkan!
Laki-laki itu sedang duduk bersila dimulut guha ketika Ok Cin Cu, Thian Kek Seng-jin dan Ciong Siu Kwi memandang penuh perhatian. Hatinya tertarik untuk melihat orang yang demikian lihainya sehingga dua orang tosu seperti Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin sampai tidak mampu menandinginya.
Laki laki itu belum tua benar, paling banyak empatpuluh tahun usianya. Mukanya bulat dengan kulit yang agak gelap, namun bentuk mukanya tampan dan gagah, juga terawat rapi. Rambutnya yang dikuncir mengkilap bersih dan halus karena minyak, wajahnya juga bersih, tidak ditumbuhi brewok karena agaknya dia rajin mencukur kumis dan jenggotnya. Pakaiannya juga baik dan bersih, bahkan agak mewah. Seorang pria yang pesolek, pikir Siu Kwi. Ia belum pernah bertemu dengan pria ini. Di punggung pria yang duduk bersila itu nampak sepasang pedang beronce biru dan sarungnya terukir indah.
Pria yang gagah ini memang benar keluarga Pulau Es. Bahkan dia masih cucu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, karena dia adalah Suma Ciang Bun! Seperti kita ketahui, delapan tahun yang lalu, Suma Ciang Bun menyelamatkan nyawa Gu Hong Beng yang kemudian selama tujuh tahun digemblengnya di pegunungan. Setelah Hong Beng menjadi seorang pemuda yang lihai, Suma Ciang Bun mengutus muridnya itu untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan, pergi ke kota raja untuk melakukan penyelidikan terhadap pembesar Hou Seng. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, akhirnya dengan bergambung bersama para pendekar sakti, Hong Beng membantu runtuhnya kekuasaan yang dibentuk oleh Hou Seng itu.
Sementara itu Suma Ciang Bun sendiri menyepi ke gunung-gunung untuk bertapa. Seperti biasa di sepanjang perjalanannya, kalau melihat hal-hal yang tidak adil, dia pasti turun tangan sebagai seorang pendekar. Dan sudah beberapa pekan lamanya dia berada di pegunungan tandus itu, menanti kembalinya Hong Beng karena dia sudah berpesan kepada muridnya itu agar dua tahun kemudian datang mencarinya di pegunungan tandus itu.
Kehadirannya di dalam guha di gunung itu diketahui oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin. Dua orang tokoh besar Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini segera mengenal pendekar keturunan keluarga Pulau Es ini dan semenjak dahulu memang kedua aliran ini menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh besar. Semenjak jaman Pendekar Super Sakti masih muda, kedua aliran ini, terutama sekali Pek-lian-kauw, sudah memusuhi Pendekar Pulau Es. Melihat Suma Ciang Bun, tentu saja Thian Kek Seng-jin yang kebetulan berada di situ cepat turun tangan menyerang. Akan tetapi, dia tidak dapat menandingi kelihaian Suma Ciang Bun. Bahkan ketika Ok Cin Cu membantunya, dua orang tosu itu tetap saja kewalahan dan akhirnya mereka melarikan diri.
Itulah sebabnya, melihat kelihaian Siu Kwi, Thian Kek Seng-jin lalu mempunyai akal untuk mengajak wanita itu membantunya dengan janji akan membebaskan Yo Jin dan seperti telah diperhitungkannya, Siu Kwi yang benar-benar jatuh cinta kepada Yo Jin, tak dapat menolak syaratnya.
Dengan hati besar karena mereka kini datang bertiga, Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin tertawa melihat musuh besar itu masih duduk bersila. " Ha-ha-ha, Suma Ciang Bun! Kematianmu sudah berada di depan mata. Bangunlah dan terimalah kematianmu di tangan kami! Thian Kek Seng-jin berseru dengan nyaring sedangkan Ok Cin Cu hanya tertawa bergelak. Siu Kwi tidak bertanya, hanya memandang tajam dan mengamati gerak-gerik orang yang sedang duduk bersila itu. Tiba-tiba saja Siu Kwi berseru, "Awas jarum....!" ketika Suma Ciang Bun menggerakkan tangan kirinya. Jarum-jarum halus sekali menyambar ke arah mereka bertiga. Dua orang tosu itu terkejut sekali dan merekapun cepat meloncat ke pinggir sambil mengebutkan lengan baju. Siu Kwi sendiri meloncat tinggi sehingga beberapa jarum yang menyambar kearahnya lewat di bawah kakinya. Hebat bukan main serangan jarum-jarum halus itu, dilakukan oleh Suma Ciang Bun yang masih duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya. Pendekar itu menyerang mereka hanya mengandalkan pendengarannya saja.
Ketika mereka bertiga sudah berdiri tegak kembali dan memandang, ternyata Suma Ciang Bun kini sudah bangkit, menghadapi mereka dengan alis berkerut. Siu Kwi agak gentar melihat sinar mata yang mencorong itu dan ia dapat menduga bahwa pendekar ini berwatak keras.
Suma Ciang Bun tadi menyerang mereka dengan jarum-jarumnya karena pendekar ini merasa jengkel bahwa samadhinya di ganggu oleh dua orang tosu yang sudah pernah dikalahkannya itu. Akan tetapi dia mendengar seruan seorang wanita dan melihat betapa wanita itu dengan gerakan yang luar biasa ringannya telah meloncat ke atas ketika menghindarkan diri diri sambaran jarum-jarumnya. Tahulah dia bahwa dua orang tosu itu telah datang lagi membawa seorang teman yang amat lihai.
"Siapakah engkau yang membantu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw? Aku tidak pernah bermusuhan denganmu!" Suma Ciang Bun memandang tajam kepada wanita cantik pesolek itu.
Sebelum Ciong Siu Kwi yang merasa bimbang itu menjawab, Thian Kek Seng-jin sudah mendahuluinya. "Ha-ha, engkau tidak mengenal Bi-kwi murid mendiang Sam Kwi yang tewas di tangan para pendekar Pulau Es?" Memang Thian Kek Seng-jin ini cerdik sekali. Dia sudah tahu akan keadaan Siu Kwi, maka dia segera menghadapkan wanita yang membantunya itu sebagai musuh besar Suma Ciang Bun.
Mendengar bahwa wanita itu adalah murid Sam Kwi yang menjadi tokoh-tokoh besar dunia sesat, Ciang Bun tidak merasa heran kalau wanita itu kini membantu musuh-musuhnya.
"Bagus!" serunya marah. "Kalian memang harus dibasmi dan sekali ini aku tidak mau kepalang tanggung!" Berkata demikian, Suma Ciang Bun menggerakkan tangan mencabut sepasang pedangnya. Sepasang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan berada di kedua tangannya dan diapun sudah berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.
Ok Cin Cu sudah melintangkan tongkat ular hitamnya yang dimainkan sebagai pedang, sedangkan Thian Kek Seng-jin menggerakkan tongkat naga hitam sebagai sebatang tongkat panjang yang ampuh. Melihat ini, teringat akan janjinya, Siu Kwi juga melolos pedangnya ikut mengepung pendekar itu.
Ciang Bun sudah pernah bertanding melawan pengeroyokan dua orang tosu itu dan dia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka itu hanya sedikit selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Kalau dia mampu mengalahkan mereka kanyalah karena ilmu silatnya yang luar biasa sehingga dua orang kakek itu menjadi bingung dan kacau dibuatnya. Akan tetapi, tenaga mereka tidak lebih kecil dari pada tenaga sin-kangnya walaupun dia sudah menguasai dua macam tenaga sakti yang bertentangan dari Pulau Es, yaitu Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Sayang bahwa dia tidak pernah berhasil menguasai kedua sinkang itu sampai ke puncaknya. Biarpun tidak begitu mudah baginya mengalahkan pengeroyokan dua orang tosu itu, namun dia percaya bahwa sekali inipun dia akan mampu mengalahkan, bahkan mungkin merobohkan mereka, kalau saja di situ tidak ada si wanita yang memiliki gerakan demikian ringannya. Untuk menguji sampai di mana kehebatan wanita itu, dia lalu langsung menggerakkan tubuhnya menyerang Siu Kwi dengan pedang kanannya yang menusuk ke arah dada disambung dengan gerakan pedang kiri yang dari atas membacok ke arah kepala. Serangan ini cepat dan hebat karena merupakan bagian dari ilmu silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), jurus yang dinamakan Siang-mo jio-cu (Sepasang Iblis Berebut Mustika). Jurus ini dapat dikembangkan dengan serangan-serangan kanan kiri yang berlawanan atau berbeda arahnya dan sambung-menyambung menjadi serangkaian serangan yang amat berbahaya.
Melihat betapa sepasang pedang itu menyerangnya dari depan dan atas, berarti hanya satu jurusan saja, Siu Kwi yang memiliki gerakan cepat itu karena ia telah mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak. Akan tetapi sambil mengelak, ia telah menusukkan pedangnya dari samping ke arah lambung lawan disusul tendangan kilat ke arah lutut. Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan tangguh, maka Siu Kwi bergerak cepat, begitu diserang, mengelak sambil membalas dengan tidak kalah hebatnya.
"Cringgg....!" Ciang Bun terkejut melihat kehebatan wanita itu. Tepat dugaannya bahwa wanita itu lihai, buktinya, menghadapi serangannya tadi, dapat langsung saja membalas. Dia menangkis dengan pedang kirinya dan membabat kaki yang menendang dengan pedang kanan. Akan tetapi Siu Kwi sudah menarik kakinya dan meloncat ke belakang untuk mengatur kedudukannya.
Pada saat itu Ok Cin Cu sudah menyerang dari samping, menusukkan tongkat ular hitam ke arah leher, sedangkan dari belakang, Thian Kek Seng-jin juga menyerang dengan babatan tongkat panjangnya ke arah kaki! Ciang Bnn cepat memutar tubuh, menangkis tongkat yang menusuk leher, kemudian dia meloncat ke atas membiarkan tongkat lewat di bawah kakinya, tubuhnya terus meluncur ke depan, masih menyerang Siu Kwi! Kini sepasang pedangnya itu bergerak dari kanan kiri dengan jurus Siang-mo Koan-bun (Sepasang Iblis Menutup Pintu). Gerakannya ini memang merupakan lingkaran sinar pedang yang menutup jalan keluar lawan.
Lawan yang diserangnya tidak akan mempu mengelak ke kanan atau ke kiri lagi sehingga tidak ada kesempatan untuk balas menyerang.
Namun, Siu Kwi mengenal serangan berhahaya. Ia mempergunakan kelincahan tubuhnya, sudah meloncat ke belakang sehingga kembali serangan Ciang Bun yang amat cepat itu luput dari sasaran! Hal ini membuat Ciang Bun penasaran dan pada saat itu, melihat betapa kedua orang tosu sudah menerjangnya lagi dari kanan kiri, dia memutar sepasang pedangnya menyambut. Berkali-kali terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api berpijar kalau pedang di tangan pendekar itu bertemu dengan tongkat lawan. Siu kwi yang melihat berapa pendekar itu agaknya berbalik hendak mendesak dua orang tosu, sudah cepat menerjang dengan serangan-serangan pedangnya yang sinarnya bergulung-gulung. Tentu saja serangan-serangan wanita ini tak dapat dipandang ringan dan memecah perhatian Ciang Bun yang terpaksa harus melayani tiga orang pengeroyoknya yang tangguh.
Kalau ada yang menonton pertandingan ini, tentu orang akan merasa kagum bukan main, walaupun cepatnya gerakan mereka membuat mata biasa sukar untuk dapat mengikuti pertandingan, sukar melihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak. Yang nampak hanya gulungan sinar senjata mereka, dan bayangan tubuh mereka terbungkus gulungan sinar itu, hanya kadang-kadang saja nampak bayangan mereka dan kaki mereka menyentuh tanah.
Suma Ciang Bun adalah seorang keturunan langsung dari keluarga Pulau Es dan dia sudah menguasai ilmu-ilmu yang luar biasa tingginya. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa yang menjadi penentu terakhir mengenai tinggi rendahnya tingkat seorang ahli silat, adalah si orang itu sendiri, bukan ilmunya. Ilmu silat memang ada yang bagus ada yang buruk ada yang lambat ada yang cepat, ada yang praktis tanpa kembangan ada yang memakai banyak kembangan. Namun, setelah dikuasai seseorang, tentu saja sifat-sifat itu terseret oleh keadaan orang itu sendiri. Dan perlu diketahui bahwa sejak kecilnya, bakat ilmu silatnya tidaklah begitu menonjol dan kalah jauh kalau dibandingkan dengan keturunan keluarga Pulau Es yang lain. Ilmu-ilmu silat yang dikuasa inya memang hebat bukan main, akan tetapi tidak mencapai tingkat yang terlalu tinggi sehingga menghadapi pengeroyokan tiga orang yang lihai ini, Suma Ciang Bun mulai terdesak hebat.
Perhitungan Thian Kek Seng-jin memang tepat. Dia dan Ok Cin Cu tidak mampu menandingi Suma Ciang Bun dan hal ini membuat dia merasa penasaran bukan main. Dia tidak tahu siapa lagi yang dapat dimintai bantuannya. Ketika dia dan Ok Cin Cu bentrok dengan Siu Kwi dan melihat kelihaian wanita itu, terutama sekali kecepatan gerakannya, tahulah dia bahwa kalau wanita ini dapat membantunya, maka dia tentu akan mampu mengalahkan pendekar Pulau Es itu.
Betapapun juga, ilmu-ilmu silat yang dimainkan Suma Ciang Bun memang hebat sekali sehingga walaupun tiga orang itu mampu mengepung ketat dan mendesak sampai seratus jurus lamanya belum juga mereka bertiga itu mampu mengalahkan Suma Ciang Bun yang masih melawan dengan gigih. Akan tetapi kini pendekar itu lebih banyak bertahan dan melindungi diri dari pada menyerang.
Tiba tiba tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menusuk ke arah leher Ciang Bun dari kiri, dibarengi dengan pukulan tongkat naga hitam ke arah pinggangnya dari kanan Ciang Bun tidak sempat mengelak lagi, terpaksa menggunakan sepasang pedangnya menangkis ke kanan kiri dengan jurus Siang-mo Khai-bun (Sepasang Iblis Membuka Pintu). Jurus ini bukan hanya menangkis, melainkan dilanjutkan dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi pada saat dia menangkis, nampak sinar pedang meluncur ganas dari depan, yaitu pedang yang diserangkan oleh Siu Kwi ke arah dadanya. Serangannya sedemikian cepatnya sehingga Ciang Bun merasa terkejut. Dengan menggunakan pantulan tenaga ketika menangkis tongkat naga hitanm, pedang kanannya mental dan meluncur, memapaki sinar pedang Siu Kwi dari depan, sedangkan pedang kirinya dengan tenaga sin-kang masih menempel tongkat ular hitam.
"Cringgg....!"Siu Kwi mengeluarkan seruan kaget karena pedangnya hampir terlepas dari pegangannya ketika bertemu dengan kerasnya dengan pedang lawan. Akan tetapi pada saat itu, tongkat naga hitam menyambar dari belakang dan tidak dapat dielakkan atau ditangkis oleh Ciang Bun lagi.
"Bukkk....!" Tubuh Ciang Bun terlempar keras, terbanting dan terguling-guling. Dia menderita luka parah oleh pukulan tongkat yang mengenai punggungnya itu, maka ketika dia terguling-guling, dia sengaja bergulingan dengan cepat, kemudian meloncat dan melarikan diri. Pendekar ini maklum bahwa dia telah terluka dan kalau tidak melarikan diri, tentu tiga orang lawan itu akan membunuhnya.
"Kejar dia....!" Thian Kek Seng-jin berseru marah ketika melihat lawan yang sudah terluka itu melarikan diri.
"Kenapa mesti dikejar?" Siu Kwi membantah. "Dia sudah kalah dan lari."
"Kejar! Kita harus membunuhnya!" Thian Kek Seng-jin berteriak dan diapun mengejar diikuti Ok Cin Cu, Siu Kwi terpaksa ikut mengejar.
"Jangan mencari penyakit!" kembali ia berkata sambil berlari di samping kakek itu. "Jangan mendesak terus. Bagaimana kalau muncul tokoh-tokoh Pulau Es lainnya? Dia hanya tokoh kecil saja! Aku sudah banyak bertemu dengan mereka, yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dia!"
Thiar Kek Seng-jin mencari-cari akan tetapi bayangan Suma Ciang Bun tak nampak lagi. Juga dia mulai jerih mendengar kata-kata Siu Kwi. Baru mengalahkan Suma Ciang Bun sekarang saja sudah demikian repotnya, apa lagi kalau muncul tokoh Pulau Es lainnya yang lebih lihai. Pula, kalau wanita ini tidak mau membantunya, dia dan Ok Cin Cu juga tidak berdaya menghadapi tokoh yang mereka kejar-kejar itu. Maka, biarpun hatinya kurang puas karena dia tidak berhasil membunuh musuhnya, terpaksa dia memghentikan pengejarannya.
Ketika Ok Cin Cu pada malam itu menuntut syaratnya, diam-diam Siu Kwi bergidik memandang kakek berusia hampir tujuhpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan rambut riap-riapan, tubuhnya yang kurang terjaga kebersihannya itu mengeluarkan bau busuk. Akan tetapi, dengan terpaksa Siu Kwi menyerahkan dirinya kepada tosu gendut itu ketika sang tosu membawanya ke sebuah pondok kecil di luar dusun. Ia menyerahkan diri sambil mematikan perasaannya dan dengan tingkat kepandaiannya, hal ini tidak sukar ia lakukan. Yang masuk ke dalam ingatannya hanyalah bahwa ia melakukan pengorbanan untuk pria yang dicintanya. Apapun akan ia lakukan demi keselamatan Yo Jin. Karena apa yang ia lakukan itu tanpa disertai perasaan sedikitpun, maka bagi Ok Cin Cu wanita ini tiada bedanya dengan sesosok mayat saja. Tentu saja hal ini membuat Ok Cin Cu merasa tidak puas dan kecewa, seperti bercinta dengan mayat atau patung dan diam-diam di pun marah sekali.
Pada keesokan harinya, dua orang tosu itu berjanji bahwa malam berikutnya mereka akan membebaskan Yo Jin. "Engkau datanglah ke tempat tinggal Lui-thungcu pada tengah malam dan Yo Jin akan kami bebaskan dengan diam-diam agar dapat kaujemput. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati agar jangan sampai ketahuan oleh keluarga Lui. Biarlah mereka mengira bahwa engkau dan orang-orang lain yang datang membebaskan Yo jin. Kami akan pura-pura melakukan pengejaran dan mencari," kata Thian Kek Seng-jin dan tentu saja Siu Kwi menyetujui dengan hati penuh harapan.
Malam itu cuaca gelap sekali. Bulan memang belum waktunya keluar dan sedikit bintang yang nampak kadang-kadang tertutup awan hitam yang lewat di bawahnya. Sebelum tengah malam, Siu Kwi telah berada di luar pagar tembok yang mengelilingi kompleks bangunan tempat tinggal keluarga Lurah Lui. Dengan hati berdebar penuh kegembiraan dan ketegangan ia menanti sambil merenungkan semua yang telah terjadi semenjak ia berjumpa dengan Yo Jin. Telah terjadi perubahan besar dalam hidupnya, dimulai sejak ia dan sekutunya kalah dan hancur oleh para pendekar. Akan tetapi perubahan besar baru benar terjadi setelah ia berjumpa dengan Yo Jin. Ia telah berkorban untuk Yo jin. Di luar kehendaknya ia telah membantu dua orang tosu itu memusuhi pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es. Bahkan di luar kehendaknya ia telah menyerahkan tubuhnya kepada Ok Cin Cu. Kedua hal itu terpaksa ia lakukan karena ia tidak melihat cara lain untuk menyelamatkan Yo Jin yang berada dalam cengkeraman dua orang tosu yang tangguh itu. Hatinya gembira. Betapapun juga, pengorbanan itu tidak berapa berat. Apa artinya menyerahkan badan tanpa perasaan dan hati? Dan ia hanya membantu untuk mengalahkan Suma Ciang Bun. Semua hal itu terlupa karena ia membayangkan betapa gembiranya sebentar lagi ia dapat menyelamatkan dan mengajak pergi Yo Jin. Ia akan hidup berbahagia bersama pria itu. Satu-satunya halangan, yaitu ayah Yo Jin, telah tewas pula. Sejak siang tadi ia sudah membayangkan hal ini dan sudah mengatur rencana. Ia hendak mengajak Yo jin pergi dan hidup di sebuah tempat yang baru di mana tak seorangpun akan mengenalnya. Ia akan hidup sebagai manusia baru di tempat yang baru, bukan sebagai Bi-kwi murid Sam Kwi, melainkan sebagai isteri seorang pria sederhana seperti Yo Jin. Betapa akan berbahagianya mereka, merawat dan mendidik anak-anak mereka. Anak-anak! Ah, belum pernah sebelumnya ia membayangkan tentang rumah tangga, suami dan anak-anak.
Suara berdenting ketika tanda waktu dipukul para penjaga, menciutkan hatinya dan membuatnya sadar dari lamunan. Tengah malam telah tiba! Iapun mendekati pagar tembok dan setelah merasa yakin bahwa keadaan di situ sunyi saja, ia lalu meloncat ke atas pagar tembok, meneliti sebentar keadaan di sebelah dalam yang ternyata juga sunyi seperti keadaan di luar. Maka ia lalu melompat turun dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke bagian belakang.
"Kwi-moi.... aku di sini....! Mendengar suara Yo Jin itu, bukan main girang rasa hati Siu Kwi.
"Jin-koko....!" Serunya lirih dengan suara gemetar dan iapun berlari ke arah suara tadi. Agaknya pria yang dikasihinya itu berada di belakang pondok yang menjadi kandang kuda, menantinya. Betapapun gembira dan tegang rasa hatinya, Siu Kwi tidak pernah mengendurkan kewaspadaannya. Ia berurusan dengan dua orang tosu yang selain tangguh, juga cerdik dan mungkin saja suka bertindak curang, maka ia selalu siap siaga.
Kewaspadaan inilah yang menyelamatkannya. Ketika ia sudah melihat bayangan Yo Jin yang berdiri di belakang kandang kuda, dan ia berlari di antara pohon-pohon di kanan kiri, tiba-tiba saja kakinya terlibat tali sehingga ia terguling. Ia meloncat dan kakinya masih terlibat banyak sekali tali yang agaknya ditarik orang. Karena memang sebelumnya sudah siap siaga, hanya sebentar saja Siu Kwi terkejut dan secepat kilat ia telah mencabut pedangnya dan dengan beberapa kali bacokan saja, tambang-tambang itu sudah putus semua. Untung ia melakukan hal ini karena kalau tidak, tentu tubuhnya akan terlibat semua dan ia tentu tidak akan mampu melawan lagi!
Tiba-tiba keadaan menjadi terang. Obor-obor di nyalakan dan ternyata tempat itu telah dikepung oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin sendiri! Dan di kejauhan, ia melihat betapa Yo Jin dengan kaki tangan terikat, berdiri dan terikat pada sebatang pohon. Tahulah ia bahwa memang dua orang tosu itu bersikap curang sekali. Ia sengaja dipancing untuk ditangkap, bukan untuk disuruh menjemput Yo Jin seperti yang dijanjikan. Tentu saja ia menjadi marah sekali dan sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api.
"Tosu-tosu jahanam yang berwatak hina dan rendah!" bentaknya dan iapun menerjang dengan pedangnya ke arah dua orang tosu itu. Akan tetapi, banyak sekali tombak panjang menyambutnya dan sebentar saja ia sudah dikepung dan dikeroyok oleh puluhan orang penjaga yang memegang tombak panjang. Dan kini dua orang tosu itupun menerjang maju sehingga tentu saja Siu Kwi menjadi repot sekali melayani mereka. Namun, ia mengamuk seperti seekor harimau betina terluka, pedangnya berkelebatan dan sudah ada beberapa orang penjaga yang roboh mandi darah. Pedang di tangan Siu Kwi sudah berlepotan darah. Akan tetapi, ia sendiri menerima tusukan tombak dan hantaman tongkat berkali-kali. Pundaknya dan paha kirinya terluka, kulitnya robek dan mengucurkan darah. Pipinya bengkak dan punggungnya juga dua kali menerima hantaman tongkat panjang naga hitam di tangan Thian Kek Seng-jin.
"Kwi-moi...., larilah...., selamatkan dirimu....!" Teriakan melengking ini menyadarkan Siu Kwi. Itulah suara Yo Jin dan iapun sadar bahwa mengamuk terus berarti mencari mati. Dan kalau ia mati di situ, tentu tidak ada harapan lagi bagi Yo jin. Selain ia seorang, siapa lagi yang akan membela Yo Jin? Hatinya berdarah kalau ia membayangkan Yo Jin yang belum juga dapat diselamatkannya. Akan tetapi, ia akan terus berusaha, dan untuk itu, ia harus mampu keluar dari kepungan ini lebih dahulu. Maka, tiba-tiba ia menerjang ke belakang dan membalikkan tubuhnya. Karena yang berada di belakangnya hanya para penjaga, mereka itu menjadi panik ketika tiba-tiba dua orang di antara mereka roboh mandi darah. Terbukalah pengepungan mereka dan Siu Kwi lalu menerjang ke arah itu. Para pengepung mundur dan keadaan menjadi kacau balau. Dua orang tosu tidak dapat mendesak Siu Kwi karena terhalang oleh para penjaga yang lari ke kanan kiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siu Kwi untuk melompat ke luar pagar tembok dan menghilang di dalam kegelapan malam.
******
Siu Kwi menangis sesenggukan. Tangisnya lebih sedih dari pada tangisnya yang pertama kali sebelum ia berjumpa dengan Yo jin. Selamanya ia tidak pernah menangis dan pertama kali menangis adalah ketika ia merasa kesepian, setelah persekutuannya hancur. Akan tetapi tangisnya sekarang ini sungguh keluar dari dasar hatinya. Ia menangis sampai terisak-isak dan tersedu-sedan, kadang-kadang menyebut nama Yo Jin. Ia merasa berduka, gelisah, dan menyesal sekali. Bagaimanapun juga, kalau diusut dari semula, ialah yang menjadi gara-gara sampai Yo Jin terpaksa menjadi orang tahanan, bahkan ayahnya tewas dibunuh orang. Kalau Yo Jin tidak berjumpa dengannya, tentu dia tidak akan mengalami semua malapetaka ini. Dan ia sendiri sekarang tidak berdaya sama sekali untuk menyelamatkan Yo Jin. Semua impiannya kemarin kini buyar dan hancur pula, seperti hancurnya semua cita-citanya. Karena kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan ia sendiri sudah menderita luka-luka yang cukup parah, Siu Kwi hanya dapat menangis! Menangis seorang diri di dalam hutan yang sunyi itu.
Pundak dan pahanya masih terluka menganga dan mengeluarkan darah, juga pipinya benjol, bekas pukulan tongkat di punggungnya juga mendatangkan rasa ngilu dan nyeri bukan main. Akan tetapi ia tidak memperdulikan semua itu, tidak perduli akan keadaan dirinya. Yang terpikir olehnya hanyalah Yo Jin!
Dalam keadaan menangis ini, muncullah Siu Kwi sebagai seorang wanita sepenuhnya. Seorang wanita yang normal, mahluk yang lemah dan terbuai perasaan, dan mencari pelarian dari segala derita ke dalam tangis. Dulu sekali, tangis merupakan hal yang memalukan baginya, merupakan pantangan karena perbuatan ini dianggapnya memamerkan kelemahan dan cengeng. Akan tetapi sekarang, setelah merasa tidak berdaya dan bingung memikirkan keadaan pria yang dicintanya, yang tidak mampu ditolongnya, iapun tak dapat berbuat lain kecuali menangis! Dan tangisnya ini adalah pencurahan dari semua penderitaan batin yang sejak dahulu selalu ditekan dan ditahannya. Penderitaan batin ketika ia masih kecil kehilangan ayah ibu, ketika ia terpaksa melayani gairah nafsu tiga orang gurunya, Sam Kwi, yang diterimanya dengan pasrah namun sebenarnya di dasar hatinya timbul pemberontakan yang ditekannya. Semua himpitan batin itu dahulu ia imbangi dengan perbuatan-perbuatan sesat dan kejam, sebagai pelariannya. Akan tetapi sekarang, setelah ia melihat betapa kesesatannya tidak mendatangkan kebaikan bagi dirinya, setelah ia ingin merobah jalan hidupnya, satu-satunya pelarian hanyalah tangis kesedihan.
"Suci....!" tiba-tiba terdengar suara wanita menegurnya. Siu Kwi mengangkat mukanya yang tadi ditutupi dengan kedua tangannya. Sebuah muka yang membengkak, ujung bibir yang masih berdarah, muka yang basah air mata yang bercucuran dari sepasang mata yang kemerahan. Ketika ia melihat bahwa yang datang menegurnya adalah Bi Lan, Siu Kwi merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan iapun menangis semakin menjadi-jadi sampai mengguguk.
Yang datang itu memang Bi Lan bersama Sim Houw. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah berhasil menghancurkan komplotan kaki tangan pembesar Hou Seng, dibantu oleh para pendekar keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, para pendekar bubaran dan Bi Lan pergi bersama Sim Houw. Kedua orang ini merasa saling tertarik dan terikat satu sama lain, merasa betapa mereka tak mungkin dapat saling berpisah lagi. Memang, selama melakukan perjalanan menuju ke utara, keduanya belum pernah saling mengaku cinta! Sim Houw yang sudah tahu bahwa dia kini mati-matian jatuh cinta kepada Bi Lan, merasa sungkan untnk mengakui cintanya. Dia jauh lebih tua dari pada Bi Lan. Usianya sudah hampir tigapuluh lima tahun, sedangkan Bi Lan belum ada duapuluh tahun! Gadis itu pantas menjadi keponakannya! Biarpun dia sungguh mencintanya, akan tetapi kalau dia mengaku akan hal itu, bukankah dia akan ditertawakan, bahkan disangka bahwa semua kebaikannya terhadap gadis ini berpamrih? Tidak, dia tidak berani mengaku cinta, walaupun hatinya sudah yakin akan hal itu. Di lain pihak, Bi Lan sendiri yang masih hijau dalam soal asmara, hanya melihat Sim Houw sebagai seorang pria yang amat baik kepadanya. Dan iapun merasa amat suka kepada Sim Houw, kagum dan juga bangga dapat mempunyai seorang sahabat seperti pendekar ini. Dan yang lebih dari segalanya, ia merasa aman tenteram penuh kedamaian kalau berada di samping Sim Houw.
Dalam perjalanan mereka ke utara, mereka pada pagi hari ini memasuki hutan dan mereka merasa terheran-heran ketika mendengar isak tangis sampai ke telinga mereka, terbawa angin bersilir. Karena merasa heran dan curiga, menduga bahwa mungkin saja terjadi kejahatan. mereka lalu mempergunakan ilmu meringankan tubuh, berindap menghampiri tempat dari mana suara itu datang. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati Bi Lan ketika melihat bahwa yang sedang menangis terisak-isak itu adalah
Bi-kwi! Karena itu, segera ia memanggil dan kini, setelah sucinya itu memandang kepadanya, ia melihat keadaan sucinya yang luka-luka dan mukanya membengkak, dan kini sucinya menangis semakin menjadi-jadi.
"Suci.... kau.... kau menangis....?" Bi Lan menghampiri dan menjadi semakin terheran-heran. Belum pernah ia melihat sucinya ini menangis, apa lagi menangis sampai sedemikian sedihnya. "Apakah yang telah terjadi, suci?" Bagaimana juga, di dalam hatinya, Bi Lan merasa kasihan kepada sucinya, orang yang sejak ia kecil melatihnya dan menemaninya, walaupan sikap Ciong Siu Kwi terhadapnya tak dapat dibilang manis. Juga ia teringat bahwa tanpa pertolongan sucinya, tentu dirinya telah ternoda oleh Sam Kwi.
Mendengar pertanyaan ini, Siu Kwi menjadi semakin berduka. Akan tetapi, ia segera teringat, bahwa kalau sumoinya ini mau membantu, tentu ia akan dapat menyelamatkan Yo Jin! Timbul lagi harapannya, akan tetapi karena khawatir kalau-kalau Bi Lan menolak permintaan tolongnya, iapun menjadi semakin berduka.
"Sumoi.... jangan dekati aku kalau kau tidak mau ketularan segala kesialan yang menimpa diriku.... ahhh, rasanya aku ingin mati saja, sumoi...." katanya sambil mengusap air mata dari kedua pipinya dan iapun memandang ke arah Sim Houw yang berdiri tak jauh dari situ. Apa lagi kalau orang she Sim itu mau membantunya, sudah dapat dipastikan bahwa Yo Jin dapat diselamatkan!
"Suci, sungguh aku merasa heran sekali melihat engkau dapat berduka cita seperti ini. Apakah yang sesungguhnya telah terjadi? Aku melihat engkau menderita luka-luka. Apakah engkau berkelahi?"
Siu Kwi menarik napas panjang untuk menghentikan tangisnya. "Aku tidak tahu apakah kemunculanmu ini akan merupakan pertolongan bagiku atau tidak, sumoi. Akan tetapi, biarlah kuceritakan semua kepadamu...." Ia kembali menarik napas panjang. Bi Lan kini duduk di atas rumput, di dekatnya sedangkan Sim Houw duduk di atas batu. Agaknya pendekar itupun tertarik untuk mendengarkan ceritanya yang membuat ia sampai menangis sedemikian sedihnya.
"Sumoi, setelah kau membiarkan aku pergi, baru aku merasa betapa sunyi dan merana hidupku, baru aku sadar betapa semua kesesatan yang telah memenuhi hidupku yang lalu tidak pernah mendatangkan kebahagiaan kepadaku. Engkau benar, sumoi, engkau tidak mau mengikuti jejak tiga orang suhu kita yang sesat. Aku ingin merobah hidupku, dan dalam kesadaranku itu, bertemulah aku dengan seorang pemuda petani yang bodoh dan sederhana dan lemah."
Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Yo Jin, betapa kemudian muncul tiga orang pemuda berandalan yang hendak menganggunya, dan betapa Yo Jin, pemuda dusun yang lemah dan bodoh itu, membelanya mati-matian.
"Bayangkan, sumoi! Dia yang lemah dan bodoh, rela dikeroyok dan dipukuli sampai babak-belur, hanya untuk membela aku yang tidak dikenalnya. Betapa gagahnya dia! Dan aku.... akupun jatuh cinta kepadanya, sumoi...."
Kembali Siu Kwi menangis dan Bi Lan memandang sucinya dengan mata terbelalak. Aneh sekali mendengar cerita dan pengakuan sucinya ini. Biasanya, sucinya mempermainkan pria sesuka hatinya. Pria-pria itu dianggap boneka saja olehnya, atau binatang peliharaan yang dianggap sebagai penghibur. Akan tetapi kini, terang-terangan sucinya mengaku jatuh cinta kepada seorang pemuda dusun yang sederhana, bodoh dan lemah!
"Dan semua pengorbanannya untuk diriku itu membawa akibat yang amat mencelakakan baginya. Ayahnya sampai terbunuh orang, dan dia sendiri sekarang menjadi tawanan...."
Siu Kwi menceritakan semua hal yang telah terjadi dengan nada suara sedih sekali.
"Aku telah berusaha untuk menyelamatkannya, untuk membebaskannya. Akan tetapi, dua orang tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw itu terlalu tangguh bagiku. Bahkan mereka telah menipuku. Mereka berjanji membebaskan Yo Jin kalau aku mau bekerja sama. Thian Kek Seng-jin minta aku membantunya melawan dan mengalahkan pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es. Hal ini telah kulakukan dan pendekar itu dapat dikalahkan sampai melarikan diri. Kemudian akupun memenuhi permintaan Ok Cin Cu untuk melayaninya dan tidur bersamanya selama semalam. Semua ini kulakukan dengan pemaksaan diri, di luar kemampuanku demi untuk menolong Yo Jin. Akan tetapi, mereka berdua menipuku, tidak memenuhi janji, bahkan aku dikeroyok banyak orang malam tadi sampai nyaris tewas dan menderita luka-luka inilah, aku hampir putus asa, sumoi. Tidak mengapalah aku mati asal Yo Jin selamat...."
Bi Lan saling pandang dengan Sim Houw. Hampir ia tidak dapat percaya akan cerita sucinya itu. Ia sudah terlalu mengenal sucinya sehingga cerita itu seperti tak masuk akal!
"Suci, sekarang yang terpenting adalah mengobati luka-lukamu. Luka di pundak dan pahamu itu cukup lebar, dan kulihat engkau seperti menderita luka dalam pula. Biarlah kami membantu mengobatimu, suci."
"Tidak! Tidak perlu aku diobati kecuali kalau.... ahh, mana mungkin kalian suka membantuku?" Dan tiba-tiba Siu Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan sumoinya!
"Sumoi, aku mohon padamu, kaubantulah aku menyelamatkan Yo Jin...."
Tentu saja Bi Lan menjadi terkejut setengah mati dan cepat-cepat ia memegang kedua pundak sucinya, membangunkannya kembali.
"Hal itu nanti kita bicarakan, suci. Sekarang biarlah kami mengobatimu dulu...."
"Tidak, sumoi. Kalau engkau tidak mau berjanji untuk membantuku menghadapi dua tosu jahanam itu dan menyelamatkan Yo Jin, akupun tidak perlu diobati dan biarlah aku mati saja."
Bi Lan kembali menoleh dan memandang kepada Sim Houw. Ia masih meragukan kebenaran ucapan sucinya ini, akan tetapi Sim Houw mengangguk. Pendekar itu dapat melihat bahwa tak mungkin Siu Kwi berbohong. Apa lagi mendengar bahwa kedua lawan Siu Kwi adalah tosu-tosu dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, tentu saja hatinya condong untuk membantu bekas suci Bi Lan ini. Tentang benar tidaknya cerita Ciong Siu Kwi, hal itu dapat diselidiki nanti.
"Baiklah, suci. Aku berjanji untuk membantumu, akan tetapi dengan syarat bahwa apa yang kauceritakan semua tadi adalah benar."
Siu Kwi menarik napas panjang dan mengangguk. "Aku mengerti dan tidak menyalahkan kalau engkau masih meragukan kejujuranku, sumoi, Akan tetapi engkaupun tentu belum yakin benar akan keputusanku untuk merobah cara hidupku. Aku telah bertemu dengan pria yang kucinta sepenuh jiwaku, dan aku melakukan apa saja demi untuk dia. Kalau ceritaku tidak benar, boleh engkau mengundurkan diri."
"Sekarang, yang terpenting mengobati luka-lukamu, suci."
"Siu Kwi menurut dan tiba-tiba merintih. Baru sekarang ia merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri, luka-luka itu, perih dan panas, di dalam dadanya juga terasa nyeri dan tenaganya hampir habis! Kini, setelah ia merasa mendapatkan bala bantuan, baru ia merasakan semua kenyerian ini.
Bi Lan dan Sim Houw lalu merawat Siu Kwi. Dengan obat luka Siu Kwi sendiri yang amat manjur, luka di paha dan pundaknya dicuci oleh Bi Lan dan diobati lalu dibalut, sedangkan untuk menyembuhkan luka di dalam dada akibat guncangan pukulan tongkat pada punggungnya, ia dibantu oleh Sim Houw yang menempelkan telapak tangan di punggungnya. membantu wanita itu menghimpun tenaga dalam dan memulihkan kesehatannya. Menjelang senja, sembuhlah Siu Kwi. Tubuhnya yang terlatih memang kuat, ditambah lagi semangatnya yang besar dan menyala-nyala akibat timbulnya harapan dalam hatinya untuk menyelamatkan Yo Jin.
Dan pada malam hari itu juga Siu Kwi mengajak Bi Lan dan Sim Houw untuk membantunya membebaskan Yo Jin. Bi Lan memang sudah berunding mengenai hal ini, maka Bi Lan lalu berkata kepada bekas sucinya itu. Suci, bukan hanya karena kurang penuh kepercayaan kami kepadamu, akan tetapi bagaimanapun juga, kami tidak mau bertindak secara sembrono dan melibatkan diri dalam permusuhan, pada hal kami tidak mempunyai urusan apa-apa. Oleh karena itu, kami mau kau ajak pergi ke dusun itu, Hanya saja tidak bertindak sebagai perampas tawanan, melainkan secara damai."
"Maksudmu bagaimana? Apapun tindakan yang kalian ambil untuk membantuku, terserah. Bagiku yang terpenting adalah keselamatan Yo Jin."
Diam-diam Bi Lan merasa terharu. Bukan main hebatnya cinta kasih sucinya ini terhadap pria yang bernama Yo Jin itu. Dan ia mulai percaya bahwa semua cerita sucinya itu tidak bohong.
"Kami akan ikut bersamamu menemui lurah Lui dan dua orang tosu itu. Kita minta dengan baik-baik saja agar Yo Jin itu dibebaskan. Kemudian kita lihat bagaimana perkembangannya. Kalau perlu, tentu saja kami akan membantumu membebaskan dia dengan jalan kekerasan, tentu saja setelah kami pertimbangkan urusannya."
Siu Kwi mengangguk-angguk. "Aku tidak menyalahkan kalian kalau meragukan kebenaran omonganku. Marilah kita berangkat dan kalian lihat sendiri."
Mereka lalu berangkat menuju ke dusun timur itu, ke tempat lurah Lui di mana Yo Jin ditahan, di bawah pengawasan dua orang tosu yang tangguh. Tidak seperti malam kemarin, malam itu terdapat penjagaan yang ketat sehingga begitu mereka tiba di dusun itu saja, para penjaga sudah melihat dan segera mengenal Siu Kwi. Karena merasa jerih menghadapi wanita itu, para penjaga itu cepat berlari ke rumah lurah Lui dan melaporkan munculnya "siluman" itu. Juga para penduduk dusun itu, yang sudah mendengar akan adanya siluman yang mengamuk di rumah lurah mereka, kini menjadi ketakutan dan cepat-cepat mereka bersembunyi dan menutupkan semua jendela dan pintu rumah mereka ketika mendengar teriakan para penjaga yang berlarian bahwa siluman itu muncul kembali.
Demikianlah, ketika Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw tiba di depan pekarangan rumah lurah Lui, mereka sudah disambut oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh dua orang tosu itu. Banyak obor dinyalakan sehingga keadaan menjadi terang sekali.
Ketika Thian Kek Seng-jin dan Ok Cin Cu melihat bahwa Siu Kwi datang bersama seorang gadis muda yang cantik sekali dan seorang laki-laki yang sikapnya sederhana, mereka berdua memandang rendah. Siu Kwi sudah terluka, pikir mereka dan dua orang temannya itu tak mungkin memiliki kelihaian melebihi Siu Kwi. Pula, di situ terdapat puluhan orang penjaga yang membantu.
"Heh-heh, Bi-kwi, siluman jahat. Engkau berani muncul kembali, apakah engkau ingin menyerahkan nyawamu?" Thian Kek Seng-jin berkata sambil melintangkan tongkat naga hitamnya.
"Ha-ha, barangkali engkau rindu pada pinto, nona manis?" kata si gendut Ok Cin Cu.
Siu Kwi menahan gejolak kemarahan yang memenuhi hatinya. Ia harus dapat meyakinkan sumoinya dan Sim Houw akan kebenaran ceritanya. "Thian Kek Seng-jin dan Ok Cin Cu, aku datang ke sini untuk bicara dengan kalian secara baik-baik. Mengapa kalian berkeras hendak menahan Yo Jin? Dia tidak mempunyai kesalahan apapun. Dia membelaku ketika Lui-kongcu hendak kurang ajar...."
"Dia ditangkap karena berani kurang ajar memukul Lui-kongcu!" kata Ok Cin Cu.
"Akan tetapi Lui-kongcu yang kurang ajar dan lebih dulu menyerangnya. Urusan itu amat kecil, akan tetapi kalian sudah memukul ayahnya sampai tewas. Dan kalian masih belum puas. Kalian membujuk aku untuk membantu Thian Kek Seng-jin mengalahkan Suma Ciang Bun pendekar keluarga Pulau Es, kemudian Ok Cin Cu bahkan memaksa aku melayaninya selama satu malam, dan berjanji akan membebaskan Yo Jin. Aku telah memenuhi permintaan kalian, melakukan hal itu semua. Akan tetapi kalian melanggar janji, bukan
membebaskan Yo Jin, bahkan menjebak dan hendak menangkap aku. Ji-wi totiang, sebagai pendeta, tosu dan tokoh-tokoh kang-ouw, apakah kalian tidak malu atas perbuatan kalian itu? Maka malam ini aku datang untuk minta dengan baik-baik agar Yo Jin dibebaskan, dan akupun tidak akan memperpanjang urusan ini."
Dua orann tosu itu tertawa bergelak dan para penjaga juga ikut pula tertawa. Riuh rendah suara ketawa mereka dan barulah kebisingan itu berhenti setelah Thian Kek Seng-jin bicara. "Bi-kwi siluman jahat! Engkau adalah pecundang kami, masih berani datang untuk mengajukan tuntutan? Apakah karena engkau membawa dua orang temanmu ini? Kami tidak takut dan kalian bertiga tentu takkan dapat lolos dari pengepungan kami!"
Lega rasa hati Siu Kwi karena ia sudah membeberkan semua persoalan dalam tuntutannya tadi dan iapun menoleh kepada Bi Lan dan Sim Houw, "Sumoi dan Sim-taihiap, kurasa sudah cukup aku bicara."
Sim Houw melangkah maju menghadapi dua orang tosu itu. "Ji-wi totiang." Katanya halus. "benarkah apa yang dikatakan oleh nona Ciong tadi, bahwa orang she Yo itu kalian tahan tanpa bersalah, dan kalian telah mengingkari janji terhadap nona Ciong?"
"Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami!" bentak Ok Cin Cu marah.
"Kalau benar, engkau mau apa?" Thian Kek Seng-jin juga membentak.
"Sim-toako, jelas bahwa suci yang benar. Dua orang tosu bau ini memang jahat sekali!" Bi Lan berseru marah.
"Kepung, tangkap atau bunuh mereka bertiga ini!" bentak Thian Kek Seng-jin memberi aba-aba kepada para penjaga yang memang sudah mengepung tempat itu.
"Kalau benar ji-wi adalah Thian Kek Seng-jin ketua cabang Pek-lian-kauw dan Ok Cin Cu ketua cabang Pat-kwa-kauw, maka perbuatan ji-wi ini sungguh patut disesalkan dan amat tercela!" kata pula Sim Houw yang nampak tenang saja walaupun para penjaga sudah bergerak mengepung dengan sikap mengancam.
"Bocah sombong! Kepung dan tangkap, biarkan nona manis yang baru datang ini pinto sendiri yang menangkapnya!" bentak Ok Cin Cu.
"Nanti dulu!" Thian Kek Seng-jin memberi komando kepada anak buahnya. "Pinto merasa penasaran melihat kesombongan bocah ini. Orang muda, siapakah engkau? Pinto tidak ingin membunuh orang yang tanpa nama."
Sebelum Sim Houw menjawab, Siu Kwi sudah mendahului. "Dia adalah pendekar Sim Houw, Pendekar Suling Naga! Dan ini adalah sumoiku Can Bi Lan!"
Mendengar disebutnya Pendekar Suling Naga, dua orang tosu itu saling pandang. Mereka pernah mendengar akan munculnya seorang pendekar baru yang lihai. Akan tetapi mereka tidak merasa takut dan sambil berteriak nyaring, Thian Kek Seng-jin sudah menggerakkan tongkat naga hitamnya menyerang ke arah Sim Houw, sedangkan Ok Cin Cu yang memandang rendah Bi Lan yang diperkenalkan sebagai sumoi dari Siu Kwi, sudah menubruk dengan tongkat ular naga menotok jalan darah di pundak Bi Lan, sedang tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Serangan ini amat kurang ajar sifatnya sehingga dengan marah Bi Lan lalu mengelak sambil mencabut pedangnya.
Melihat sinar mengerikan dari pedang yang berada di tangan Bi Lan, Ok Cin Cu terkejut dan bergidik. Akan tetapi dia tidak menjadi takut dan cepat menggerakkan tongkat ular hitamnya untuk menyerang. Bi Lan menangkis dan balas menyerang sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Ok Cin Cu tidak berani memandang rendah lagi. Gadis yang menjadi sumoi dari Ciong Siu Kwi ini memiliki pedang pusaka amat menggiriskan, juga gerakan-gerakannya tidak kalah cepat dibandingkan sucinya.
Sementara itu, serangan tongkat naga hitam dari Thian Kek Seng-jin juga amat dahsyat, membuat Sim Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Terpaksa diapun mencabut pedangnya dan ketika pedang itu tercabut, terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan pula hati Thian Kek Seng-jin. Di antara kedua orang inipun segera terjadi perkelahian yang seru.
Melihat betapa dua orang tosu itu sudah dilawan oleh sumoinya dan Sim Houw, Siu Kwi lalu mengamuk, menerjang puluhan orang penjaga yang mengepung. Amukannya memang menggiriskan dan sebentar saja sudah ada delapan orang pengeroyok yang roboh oleh pedangnya. Yang lain menjadi gentar dan Siu Kwi terus menerjang maju dan mendesak para pengeroyok untuk mundur. Akhirnya ia
berhasil memasuki pekarangan, terus ia meloncat ke dalam dan lari ke bagian belakang bangunan rumah keluarga Lui. Di bagian belakang, ia disambut oleh enam orang penjaga. Dengan mudah, ia merobohkan lima orang dan menangkap seorang yang hendak melarikan diri.
"Cepat bawa aku ke kamar tahanan Yo Jin!" bentaknya sambil menempelkan ujung pedang di dada orang itu. Pedang itu menembus baju dan menusuk kulit sehingga kulitnya terluka. Tentu saja penjaga itu terkejut dan ketakutan, mengangguk-angguk dan dengan ditodong pedang dia membawa Siu Kwi ke belakang. Akhirnya Siu Kwi menemukan Yo Jin yang duduk bersandar dinding di dalam sebuah kamar tahanan. Siu Kwi menampar penjaga itu dengan tangan kirinya. Tanpa mengeluh lagi penjaga itu roboh dan Siu Kwi mempergunakan pedangnya untuk menjebol daun pintu kamar tahanan.
"Kwi-moi akhirnya engkau datang....!" Yo Jin berseru girang.
"Jin-koko....!" Ingin Siu Kwi merangkul orang itu, akan tetapi perasaan ini ditahannya dan iapun melepaskan belenggu kaki dan tangan pemuda itu. Baru beberapa hari saja ditahan, tubuh pemuda ini menjadi kurus sekali dan mukanya pucat.
"Jin-koko, engkau lebih baik pulang dulu ke dusun, biar aku akan menyusul ke sana setelah selesai urusan ini!" katanya cepat. Ia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan ditawan musuh lagi ketika ia sedang mengamuk bersama sumoinya dan Sim Houw.
"Tapi kau.... kau...."
"Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri. Pulanglah, koko, aku akan menyusul nanti."
Yo Jin mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi di luar, maka diapun mengangguk dan tidak membantah lagi ketika tangannya ditarik oleh Siu Kwi, diajak menuju ke kebun. Dua orang penjaga berusaha menghadang, namun dengan tendangan kakinya, Siu Kwi merobohkan mereka.
"Cepat, keluarlah dari pintu ini!" kata Siu Kwi dan sekali dorong, pintu kecil di kebun itupun jebol. Melihat kehebatan wanita ini, Yo Jin beberapa kali terbelalak. Dia maklum bahwa wanita yang dicintanya ini adalah seorang wanita sakti, maka tanpa bicara apa-apa lagi diapun lari keluar dan cepat pulang ke rumahnya di dusun selatan.
Setelah melihat kekasihnya itu menghilang di dalam kegelapan malam, Siu Kwi lalu melompat kembali ke dalam kebun dan berlari ke dalam rumah. Para pelayan ketakutan, dan dengan mudah saja Siu Kwi menemukan kepala dusun Lui lengkap dengan isteri-isterinya dan anak-anaknya di dalam ruangan belakang. Mereka terjaga oleh belasan orang penjaga, namun setelah ia menyerbu dan merobohkan empat orang, yang lain lalu melarikan diri meninggalkan keluarga itu yang berkelompok sambil menggigil ketakutan. Lurah Lui dan keluarganya, sudah mendengar bahwa Siu Kwi yang dituduh siluman itu sebenarnya adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi, dan hanya dua orang tosu tua itu saja yang mampu menundukkannya. Akan tetapi malam ini, wanita itu datang bersama dua orang teman yang juga amat lihai dan kini "siluman" itu telah datang menemukan mereka!
Siu Kwi masuk dengan pedang di tangan. Melihat betapa pedang itu berlepotan darah, dan wajah yang cantik itu nampak beringas, sepasang matanya seperti mencorong, lurah Lui dan keluarganya menjadi pucat.
Siu Kwi menyapu mereka dengan pandang matanya, lalu menudingkan telunjuk kirinya ke arah Lui kongcu yang mencoba untuk menyembunyikan kepalanya di belakang punggung ibunya.
"Lui-kongcu, ke sini kau!" bentaknya.
"Tidak.... tidak....!" Pemuda itu menggigil ketakutan.
"Ke sini atau akan kuseret dan kubunuh kau!" Pemuda itu hampir terkencing di celananya saking takutnya, akan tetapi mendengar bentakan itu dia lalu merangkak maju dan berlutut di depan Siu Kwi.
"Engkau juga ke sini, lurah Lui!" bentak Siu Kwi.
Lurah Lui bangkit berdiri dan maju. Dengan congkak akan tetapi pucat dia tetap berdiri, tidak berlutut seperti puteranya.
Bagaimanapun juga, dia adalah kepala dusun itu dan sudah biasa orang-orang berlutut di depannya, bukan dia yang harus berlutut.
Siu Kwi tidak perduli akan sikap itu. "Kalian berdua yang membikin gara-gara sehingga Yo Jin ditahan dan ayahnya tewas. Kalian berdua yang membuat aku menderita pula. Pertama-tama adalah gara-gara Lui-kongcu ini yang menjadi biang keladinya. Sudah sepatutnya kalau kupenggal kepalamu sekarang, juga!" Siu Kwi mengelebatkan pedangnya.
"Ampun.... ampun.... tidak....jangan bunuh aku.... aku tidak berani lagi!" Sekali ini Lui-kongcu benar-benar terkencing di
celananya. Melihat ini, Siu Kwi memandang muak. Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan Yo Jin, pemuda pilihannya.
Pemuda ini seperti seekor anjing penakut yang takut digebuk, sebaliknya Yo Jin seperti seekor harimau yang pantang menyerah.
"Engkau telah membuat Yo Jin tersiksa, engkau laki-laki mata keranjang penggoda wanita dengan mengandalkan kedudukan ayahmu!" Tiba-tiba nampak sinar berkelebat. Lui-kongcu menjerit dan darah muncrat. Ketika pemuda itu melihat bahwa lengan kirinya buntung sebatas siku dan darah muncrat-muncrat, dia menjerit-jerit dan lari kepada ibunya, lalu menangis menggerung-gerung dan jatuh pingsan.
Melihat ini, tiba-tiba kedua kaki lurah Lui menjadi lemas dan diapun, roboh berlutut karena kedua lututnya seperti kehilangan tenaga. "Ampun, lihiap.... ampunkan kami...." ratapnya. Keluarganya semua berlutut minta-minta ampun. Melihat keluarga lurah itu, hati Siu Kwi menjadi agak lemah, hal yang baru sekarang ia alami.
"Baik, aku tidak akan membunuhmu. Akan tetapi engkau telah mempergunakan kedudukanmu untuk bertindak sewenang-wenang, memperalat pendeta-pendeta palsu dan jahat untuk menghina orang, maka engkau harus diberi pelajaran!" kembali pedangnya berkelebat dan lurah Lui menjerit kesakitan karena kaki kanannya terbabat buntung sampai lutut! Kembali darah muncrat-muncrat dan ketika semua orang menjerit ketakutan, wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Di luar, perkelahian masih berlangsung dengan seru. Akan tetapi, Ok Cin Cu sudah bermandi peluhnya sendiri. Gerakan lawan yang hanya seorang gadis muda itu memang luar biasa sekali dan terutama sekali pedang di tangan wanita itu membuat dia kadang-kadang menggigil. Bi Lan memang sudah memainkan ilmu pedang Ban-tok-kiam-sut dan karena ilmu itu dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, maka bukan main hebatnya. Bi Lan menyerang dengan sungguh-sungguh. Ia merasa sakit hati dan benci sekali mengingat betapa tosu ini telah menipu sucinya, membujuk sucinya melayaninya dan menyerahkan tubuhnya untuk menebus keselamatan Yo Jin. Sakit hatinya mengingat akan hal ini dan kebenciannya terhadap tosu tinggi besar perut gendut inipun memuncak. Maka ia menyerang untuk membunuh dan gerakan-gerakannya membuat tosu itu kalang kabut.
Di lain pihak, Sim Houw juga mendesak lawannya dengan hebat. Kalau pemuda ini menghendaki, sudah sejak tadi dia mampu merobohkan dan membunuh lawan. Akan tetapi, Sim Houw tidak ingin membunuh. Dia tahu bahwa ketua cabang Pek-lian-kauw ini berwatak buruk dan jahat, suka melakukan hal-hal terkutuk di balik topeng perjuangan melawan pemerintah penjajah. Akan tetapi, dia tidak ingin membunuh, hanya ingin memberi peringatan saja. Ketika dia melihat betapa serangan-serangan Bi Lan merupakan serangan-serangan maut yang amat berbahaya bagi ketua cabang Pat-kwa-kauw, dia terkejut.
"Lan-moi, jangan membunuh orang....!" teriaknya memperingatkan. Pada saat itu terdengar suara keras dan tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu patah menjadi dua, sedangkan sinar pedang Ban-tok-kiam masih terus menyambar ke arah leher kakek gendut itu!
Untung bahwa Bi Lan masih mendengar teriakan Sim Houw dan ia memang patuh sekali terhadap pemuda ini. Ia tahu bahwa sekali saja tergores Ban-tok-kiam, akan sukarlah menyelamatkan nyawa kakek gendut itu, maka ia menyelewengkan pedangnya ke samping, dan berbareng jari tangan kirinya menusuk ke depan.
"Crottt....!" Mata kanan Ok Cin Cu tertembus jari tangan Bi Lan. Kakek itu mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras.
Saat itu, pedang suling naga mengeluarkan lengking tinggi dan terdengar suara keras ketika tongkat naga hitam juga patah menjadi tiga potong. Pedang itu masih terus menyambar dan pergelangan tangan kiri Thian Kek Seng-jin terbabat putus. Kakek inipun menjerit dan melompat jauh ke belakang.
Mereka berdua cepat menotok dan mengurut jalan darah masing-masing untuk menghentikan keluarnya darah dari luka, dan tanpa bicara apa-apa lagi keduanya meloncat dan melarikan diri dari tempat itu. Melihat betapa dua orang tosu itu melarikan diri, para penjaga juga menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.
Pada saat itu Siu Kwi muncul. "Di mana mereka?" tanyanya ketika ia tidak melihat adanya dua orang tosu itu. "Kami sudah memberi hajaran dan mereka melarikan diri," kata Bi Lan, lega bahwa Sim Houw memberi peringatan pada saat yang tepat sehingga ia tidak perlu membunuh tosu yang menjadi lawannya tadi. Lega rasa hati Siu Kwi. Dua orang tosu itu memang jahat, akan tetapi iapun tidak mempunyai nafsu untuk membunuh mereka. "Sudahlah, terima kasih atas bantuan kalian. Tanpa bantuan kalian, tak mungkin aku dapat membebaskan Yo Jin."
"Di mana dia sekarang....?" tanya Bi Lan yang ingin sekali melihat bagaimana macamnya pemuda yang mampu merobohkan hati sucinya yang tadinya dianggap tidak mempunyai hati itu.
"Aku tadi telah membebaskannya dan menyuruhnya pulang ke dusunnya lebih dahulu, baru aku akan menyusulnya.
"Aih, suci, kenapa begitu saja membiarkan dia pergi sendiri? Bagaimana kalau sampai dia tertangkap musuh lagi?" kata Bi Lan. "Mari kita cepat pergi menyusulnya." Bi Lan hanya mempergunakan dugaan ini agar ia dapat ikut pergi menyusul karena ia sungguh ingin sekali bertemu dengan pemuda itu.
"Baik, mari kita pergi," kata Siu Kwi dan mereka bertiga lalu berlari cepat menuju ke dusun selatan Sim Houw diam-diam tersenyum, dapat mengetahui bahwa Bi Lan ingin melihat orang yang mampu menundukkan hati seorang wanita seperti Ciong Siu Kwi yang tadinya terkenal sebagai Bi-kwi yang amat kejam dan jahat. Diapun tidak mengeluarkan pendapatnya karena diapun harus membuktikan bahwa semua peristiwa yang diceritakan Siu Kwi itu benar dan hal ini baru terbukti kalau dia sudah bertemu dengan orang yang bernama Yo Jin itu. Kalau semua ini benar, tidak percuma dia membantu Siu Kwi dan menanam permusuhan baru dengan pihak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Bagi seorang pendekar, yang terpenting adalah bahwa setiap tindakannya berdasarkan membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan kelaliman. Tidak perduli untuk perbuatannya itu dia akan dibenci atau dimusuhi orang, karena yang jelas, mereka yang memusuhinya tentulah bukan orang baik-baik.
Dengan cepat tiga orang itu telah tiba di dusun selatan dan langsung mereka pergi ke rumah keluarga Yo. Akan tetapi, rumah itu kosong dan Yo Jin tidak berada di situ. Dengan hati khawatir Siu Kwi lalu bertanya kepada tetangga dan mendengar bahwa tadi pemuda itu telah pulang, akan tetapi begitu mendengar dari para tetangga bahwa ayahnya telah meninggal dunia, pemuda itu berlari keluar lagi sambil menangis.
"Ah, kasihan Jin-koko...." kata Siu Kwi dengan hati terharu. Aku tahu, ia pasti pergi mengunjungi kuburan ayahnya...." Dan merekapun lalu keluar dari dusun itu, menuju ke sebuah tanah kuburan yang amat sunyi karena letaknya di luar kota, di kaki sebuah bukit.
Benar saja, mereka menemukan Yo Jin sedang berlutut dan menangis di depan sebuah kuburan yang masih baru.
"Jin-ko....!" Siu Kwi berseru memanggil. Pemuda itu bangkit, membalikkan tubuh dan dua orang itu saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang karena malam itu hanya diterangi oleh bintang-bintang bertaburan di langit hitam.
"Kwi-moi....!" Suara pemuda itu terdengar parau karena lama dia tadi menangis.
"Jin-koko....!" Siu Kwi melangkah maju dan entah siapa yang bergerak lebih dulu, keduanya saling rangkul dan keduanya terisak menangis!
Bi Lan berdiri bengong. Benarkah wanita yang menangis di dada laki-laki itu sucinya? Benarkah ia Bi-kwi yang biasanya demikian kejam dan keras hati? Terdengar Sim Houw batuk-batuk untuk menyadarkan dua orang yang sedang dilanda keharuan itu bahwa di situ hadir lain orang!
Suara batuk itu menyadarkan mereka dan keduanya melepaskan rangkulan. "Kwi-moi, ayah.... ayahku...."
"Tenanglah, Jin-ko. Ayahmu telah meninggal dunia dengan tenang dan dia menghembuskan napas terakhir dalam rangkulanku."
"Ahh, Kwi-moi, apakah yang telah terjadi? Ceritakanlah...."
"Mari kita duduk dengan tenang dan aku akan menceritakan semuanya, Jin-ko."
"Kita duduk di dekat makam...."
"Apakah tidak sebaiknya kita pulang saja, Jin-ko dan bicara di rumah?"
"Tidak, malam ini aku tidak akan meninggalkan makam ayah."
"Biar aku membuat api unggun," tiba-tiba Bi Lan berkata dan dibantu oleh Sim Houw, ia mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun di dekat makam.
Yo Jin agaknya baru sadar bahwa wanita yang dicintanya itu datang bersama dua orang lain. "Kwi-moi, siapakah mereka ini?"
"Mari kita duduk dekat api unggun dan kuperkenalkan kau kepada mereka, Jin-ko. Tanpa adanya bantuan mereka, sampai sekarangpun kita belum dapat berkumpul kembali."
Mereka berempat lalu duduk di dekat makam, dan mereka mengelilingi api unggun yang dibuat oleh Bi Lan dan Sim Houw. Yo Jin duduk di dekat Siu Kwi, berhadapan dengan Bi Lan yang duduk di dekat Sim Houw. Mereka sejenak saling berpandangan dan diam-diam Bi Lan harus mengakui bahwa laki-laki pilihan sucinya itu biarpun nampak berpakaian sederhana, memiliki pandang mata yang jujur dan polos, wajah yang bersih dan cukup ganteng walaupun kesederhanaan dan keluguan membayangkan kebodohan. Dan biarpun pemuda ini seorang lemah, dalam arti tidak mengenal ilmu silat, namun bentuk tubuhnya jantan dan kokoh kuat karena terbiasa bekerja berat di ladang. Betapapun juga, Bi Lan masih belum dapat mengerti dan masih terheran-heran memikirkan bagaimana sucinya dapat jatuh cinta kepada seorang pemuda tani sederhana seperti ini. Pada hal kalau ia menghendakinya, sucinya dapat memiliki pemuda�pemuda terbaik dari kota, putera bangsawan atau hartawan atau bahkan putera ahli-ahli silat kenamaan sekalipun. Sucinya cantik jelita, memiliki ilmu kepandaian tinggi, cerdik dan pendeknya, memiliki segala-galanya untuk dapat menarik hati pria manapun.
"Jin-ko, mereka inilah yang telah membantuku untuk membebaskanmu. Gadis ini bernama Can Bi Lan dan ia adalah sumoiku sendiri walaupun tingkat ilmu kepandaiannya jauh melebihiku. Dan pendekar ini adalah Pendekar Pedang Suling Naga bernama Sim Houw, seorang tokoh persilatan yang bernama besar dan terkenal sekali."
Yo Jin dengan secara sederhana, hanya memberi hormat sambil duduk ke arah mereka, berkata lantang, "Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan ji-wi yang mulia, dan semoga Thian yang akan membalas segala budi kebaikan ji-wi."
Diam-diam Sim Houw kagum juga. Seorang pemuda dusun, petani yang bodoh dan mungkin buta huruf, namun mengerti akan tata susila dan kesopanan, mengenal budi walaupun pernyataan terima kasihnya itu sederhana saja.
"Saudara Yo Jin, harap jangan sungkan. Tidak ada istilah melepas budi di antara kita," kata Sim Houw. "Engkau sendiri, walaupun tidak mempunyai keahlian silat telah berani membela nona Ciong, bahkan untuk semua itu selain engkau menderita dan menjadi tawanan, juga ayahmu berkorban nyawa. Dibandingkan dengan apa yang telah kaulakukan itu, perbuatan kami tidak ada artinya."
Mendengar ucapan Sim Houw, diam-diam hati Siu Kwi merasa kagum sekali. Baru sekarang ia melihat dan mendengar sendiri akan sikap seorang pendekar yang rendah hati. Dahulu, tiga orang gurunya, Sam Kwi, selalu menekankan bahwa para pendekar adalah manusia-manusia sombong yang selalu memusuhi golongan mereka. Juga dia merasa senang bukan main mendengar betapa Yo Jin dipuji-puji. Tanpa disadari duduknya semakin mendekat pemuda dusun itu dan pandang matanya penuh kebanggaan dan cinta kasih ketika ia menatap wajah di sampingnya itu yang diterangi cahaya api unggun.
"Jin-koko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling hebat yang pernah kukenal. Dia sudah mengorbankan dirinya, bahkan kehilangan ayahnya, untuk membelaku. Berkali-kali dia membelaku mati-matian. Sungguh aku telah berhutang budi padanya, berhutang nyawa. Mulai detik ini, aku tidak akan mau berpisah darinya, sampai mati.... aku akan mendampinginya sebagai isterinya.... karena aku.... aku cinta padanya. Bagi Sim Houw dan Bi Lan yang sudah mengenal Siu Kwi ucapan yang terang-terangan ini tidak mengherankan akan tetapi wajah Yo Jin menjadi merah padam dan dia merasa malu bukan main. Akan tetapi kejujurannya melenyapkan perasaan malu itu, dan diapun hendak menumpahkan isi hatinya secara blak-blakan, selagi di
situ ada orang-orang lain yang amat berharga untuk menjadi saksi.
"Kwi-moi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku semenjak pertemuan kita yang pertama kali itu, aku takkan merasa lega sebelum hal itu kukemukakan di sini. Biarlah Can-lihiap dan Sim-taihiap ini menjadi saksi."
Siu Kwi memandang kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata berseri. Sikap yang jujur dan terus terang dari pemuda ini merupakan satu di antara watak-watak yang amat dikaguminya. "Bicaralah, Jin-ko."
Yo Jin menarik napas panjang dan agaknya berat baginya untuk mengeluarkan isi hatinya. "Kwi-moi, terima kasih saya amat mendalam bahwa seorang seperti saya ini mendapat kehormatan untuk menerima cinta kasih seorang wanita seperti engkau. Hal ini kuterima dengan hati gembira dan ringan seandainya engkau seorang gadis biasa, karena sesungguhpun sudah jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi...."
Siu Kwi mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang menunduk itu dengan hati khawatir. "Akan tetapi.... apa Jin-ko?"
"Kwi-moi, engkau sudah melihat keadaan saya. Seorang pemuda dusun, pemuda petani yang tidak terpelajar, buta huruf, miskin, bahkan kini setelah ayah tiada, saya hidup sebatangkara, tiada sanak kadang, tiada kemampuan. Akan tetapi engkau...."
"Aku.... kenapa, Jin-koko?" Siu Kwi mendesak sambil tersenyum sehingga nampak deretan giginya yang rapi berkilau tertimpa sinar api unggun. Yo Jin memandang wajah Siu Kwi dan pandang mata mereka saling bertemu, dan masing-masing dapat merasakan kasih sayang terpancar dari pandang mata itu, akan tetapi Yo Jin lalu mengalihkan pandang matanya, kini memandang Sim Houw dan kepada Bi Lan seolah-olah minta pertimbangan dari kedua orang saksi itu.
"Kwi-moi.... ah, sesungguhnya menyebutmu moi-moi saja sudah tidak pantas bagiku. Sepatutnya engkau kusebut lihiap. Engkau adalah seorang wanita kota, terpelajar, kaya, pandai dan bahkan memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Engkau seorang wanita sakti, seorang pendekar wanita yang...."
"Cukup, Jin-ko, cukup....!" Siu Kwi memotong sambil menyentuh lengan pemuda itu. "Aku sudah mengenalmu lahir batin, akan tetapi engkau sungguh belum tahu banyak tentang diriku! Engkaulah yang terlalu berharga untukku, Jin-ko. Engkau seorang pemuda yang bersih, jujur, setia, kuat lahir batin, gagah perkasa, sedangkan aku.... aku hanya...."
"Wanita perkasa, pendekar yang sakti...."
"Tidak, tidak....! Engkau hanya tahu satu tidak mengenal dua tiga dan selanjutnya. Biarlah dari mengaku kesemuanya, Jin-ko. Keadaanku yang lalu juga akan selalu menjadi ganjalan di hatiku kalau belum kuceritakan kepadamu...."
"Suci! Perlukah itu....?" Bi Lan menegur, khawatir melihat sucinya akan menceritakan keadaan masa lalunya.
Siu Kwi tersenyum dan mengangguk kepada sumoinya. "Mutlak perlu, sumoi. Aku tidak tega membiarkan Jin-koko menggambarkan aku sebagai seorang dewi dari langit, pada hal dalam kehidupanku yang lalu aku adalah seorang iblis. Di dalam cinta harus ada kejujuran, kita harus dapat melihat orang yang kita cintai seperti apa adanya, melihat segala cacat dan keburukannya, bukan sekedar melihat kebagusannya saja."
Sim Houw yang sejak tadi mendengarkan semua itu, menggeleng-geleng kepala dan memandang kagum. "Kalian adalah orang-orang luar biasa, hebat.... hebat...."
Yo Jin memandang bingung. "Kwi-moi, aku tidak ingin mendengar tentang keburukanmu...."
Dengarlah baik-baik, Jin-ko, agar engkau tidak merasa rendah diri terhadap aku. Engkau hanya mengenal namaku, yaitu Ciong Siu Kwi, akan tetapi kau tidak mengetahui hal-hal lain mengenai diriku. Seperti juga engkau, aku tidak mempunyai keluarga. Sejak kecil aku ikut bersama tiga orang guruku yang terkenal dengan julukan Sam Kwi (Tiga Iblis), tokoh-tokoh golongan sesat, penahat-penjahat yang kejam dan ganas. Dan jangan mengira bahwa aku seorang pendekar wanita, sama sekali tidak! Aku bahkan dimusuhi para pendekar karena aku memang jahat dan kejam, aku seorang di antara tokoh-tokoh sesat yang dijuluki Bi-kwi (Iblis Cantik)."
"Aku tidak percaya....!" Yo Jin berseru, kaget bukan main mendengar pengakuan yang dianggap mengerikan itu.
"Kenyataannya begitu, Jin-ko. Aku kejam dan jahat, entah telah berapa banyaknya orang, baik yang bersalah maupun yang tidak, tewas di tanganku. Aku telah membunuh banyak orang, aku pendukung kejahatan dan penentang kebaikan. Bukan itu saja, aku juga bukan seorang wanita baik-baik, bukan seorang wanita bersih. Sejak remaja aku sudah menjadi kekasih tiga orang guruku dan sejak dewasa, entah sudah berapa banyak pria yang kujadikan kekasihku, baik dengan suka rela maupun dengan paksa! Aku mempermainkan pria-pria itu seperti barang mainan, kalau sudah bosan kucampakkan, atau kubunuh."
"Tidak.... tidaaaakk....! " Yo Jin berteriak dengan mata terbelalak karena merasa ngeri, dan juga tidak percaya.
"Engkau seorang wanita gagah perkasa, halus budi dan sopan!"
"Itu menurut penglihatanmu, dan memang sejak berjumpa denganmu, aku mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia sesat, untuk merobah kehidupan menjadi seorang baik-baik. Akan tetapi, engkau harus mengenal masa laluku, Jin-ko, agar kalau engkau masih mau memasuki hidup baru bersamaku, engkau masuk dengan mata terbuka, bukan dengan mata terpejam, dengan suka rela, bukan paksaan. Nah, sekarang kulanjutkan, Jin-ko. Baru-baru ini, baru kemarin dulu malam, aku terpaksa menyerahkan tubuhku ini  kepada Ok Cin Cu, tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw yang menangkapmu, aku tidur dengan dia dan melayaninya selama satu malam...."
"Ahhhh, tidaaaakk.... ah, Kwi-moi, kenapa engkau menyiksa hatiku seperti ini....?" Yo Jin menutupi mukanya dengan kedua tangan seperti hendak mengusir gambaran yang diceritakan Siu Kwi kepadanya itu.
"Yo-toako, suci hanya menceritakan hal-hal yang memang benar terjadi. Akan tetapi ketahuilah bahwa suci terpaksa melakukan hal itu demi untuk membebaskanmu. Ia tidak berdaya menghadapi dua orang tosu itu, maka ia dapat ditipu oleh mereka yang menjanjikan untuk membebaskanmu."
Yo Jin menurunkan kedua tangannya. Wajahnya agak pucat dan kedua matanya merah ketika dia menatap wajah wanita yang dicintanya. "Kwi-moi, apakah masih ada lagi ceritamu tentang dirimu? Kalau masih ada, tuangkanlah semua, jangan disimpan-simpan agar kelak engkau tidak akan merasa penasaran dan menceritakannya kembali kepadaku."
Siu Kwi terbelalak. "Jin-koko, masih-belum cukupkah itu? Masih belum cukupkah kotoran yang menodaiku sehingga engkau dapat melihat bahwa akulah yang sesungguhnya tidak berharga bagimu?"
Yo Jin tersenyum dan menggeleng kepala. "Kwi-moi, kejujuranmu ini bahkan menambah cintaku kepadamu. Aku mencinta engkau sekarang ini, seperti keadaanmu sekarang ini. Aku tidak perduli akan keadaanmu yang lampau, apa lagi engkau sudah mengambil keputusan dan untuk merobah jalan hidupmu. Engkau telah melakukan penyelewengan, biarlah aku akan membantumu sekuat tenaga untuk kembali ke jalan benar, Kwi Moi."
"Jin-koko....!" Siu Kwi menubruk dan hendak mencium kaki Yo Jin sambil menangis saking terharu hatinya. Akan tetapi Yo Jin menangkapnya dan menariknya sehingga kini wanita itu menangis dengan kepala di atas pangkuannya, menangis sesenggukan seperti anak kecil dan rambutnya dibelai sayang oleh Yo Jin.
Melihat peristiwa ini, Bi Lan tak dapat menahan keharuan hatinya dan iapun memandangi dengan kedua mata lebar akan tetapi air matanya berlinang-linang, kemudian perlahan-lahan menetes turun melalui sepasang pipinya. Hatinya dipenuhi rasa haru, kasihan, akan tetapi juga ikut gembira bahwa sucinya telah menemukan seorang pria yang sungguh-sungguh mencintanya lahir batin. Ia tidak tahu betapa dari samping, Sim Houw memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kasih sayang.
Setelah tangisnya mereda, Siu Kwi mengangkat kepalanya dari pangkuan Yo Jin dan bangkit duduk. Tangisnya terhenti dan dengan muka yang basah air mata, rambut yang kusut, ia memandang kepada Yo Jin dengan malu-malu, kemudian tersenyum dan berkata lirih, "Aihh, aku seperti anak kecil saja...."
"Aku cinta dan kasihan kepadamu, Kwi-moi, kata Yo Jin yang kini memandang kepada wanita itu dengan sinar mata lain, mengandung rasa iba. Betapa sengsara kehidupan wanita ini di masa yang lalu dan dia berjanji kepada diri sendiri untuk mencoba membahagiakan Siu Kwi dalam kehidupan mendatang.
"Sudahlah, kita hentikan percakapan tentang masa lalu dan kita bicara saja tentang hal-hal yang berada di depan kita, meninggalkan segala yang sudah terlewat di belakang kita." kata Bi Lan dan Sim Houw mengangguk-angguk setuju.
"Kalian memang bijaksana sekali," kata Siu Kwi, "dan aku merasa girang bahwa kalian telah menjadi saksi pengakuanku kepada Jin-ko. Baiklah, sekarang kita bicara tentang masa depan. Sumoi, engkau dan Sim-taihiap hendak pergi ke manakah dan bagaimana bisa kebetulan bertemu dengan aku sehingga kalian dapat menolong aku dan Jin-koko?" Sikap Siu Kwi sudah biasa lagi dan biarpun mukanya masih merah dan basah, rambutnya masih kusut, namun ia sudah dapat menguasai hatinya, bahkan kini setelah ia membuat pengakuan di depan Yo jin yang diterima dengan baiknya oleh pria itu, ada sinar kebahagiaan yang cerah pada wajahnya,
terutama pada sinar matanya. Tadinya, ada perasaan gelisah kalau ia mengingat akan masa lalunya dan membayangkan betapa Yo Jin akan berbalik membencinya kalau mendengar akan masa lalunya. Kalau hal seperti itu terjadi, kiranya akan sukar baginya untuk dapat merobah hidupnya!
Kebaikan tidak dapat dinamakan baik lagi kalau dilakukan dengan kesadaran bahwa hal itu baik. Keinginan hati untuk berbuat baik membuat perbuatan itu sendiri menjadi tidak baik, palsu dan munafik. Kebaikan tidak dapat diperbuat dengan sengaja. Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari atau dilatih. Yang dapat dilatih itu hanyalah kepura-puraan saja. Kebaikan adalah wajar seperti sinar matahari, seperti harumnya bunga. Kebaikan adalah suatu sifat yang terpencar dari suatu kepribadian yang bersih. Kebaikan adalah suatu tindakan yang timbul dari batin yang penuh kasih.
Keinginan untuk menjadi sesuatu, biarpun sesuatu itu kelihatan agung seperti menjadi orang baik, mengotorkan kebaikan itu sendiri. Keinginan menjadi sesuatu selalu mendatangkan kepalsuan, karena pamrih atau keinginan yang menyembunyikan keuntungan bagi diri sendiri itu selalu mempunyai tujuan. Keinginan akan memperoleh buahnya atau hasilnya ini menjadi terpenting, sedangkan perbuatan baik itu sendiri hanya dijadikan alat untuk mencapai hasil yang menguntungkan atau menyenangkan itu!
Hal ini akan nampak jelas kalau kita mau mengamati diri sendiri setiap saat, pada saat keinginan timbul, keinginan yang dianggap suci dan luhur sekalipun. Kita buka mata batin, kita amati dan akan nampaklah bahwa ada setan bersembunyi di sudut belakang keinginan luhur itu, yang menanti datangnya hasil baik untuk diterkamnya.
Yang penting bukan ingin menjadi orang baik, melainkan sadar akan keburukan-keburukan dalam perbuatan kita. Kesadaran akan kekotoran ini timbul dalam pengamatan kita secara serius terhadap diri sendiri lahir batin. Kesadaran akan perbuatan-perbuatan buruk kita akan menghentikan perbuatan buruk itu, bukan dengan maksud agar menjadi baik! Karena kalau menghentikan perbuatan buruk itu menyembunyikan pamrih agar menjadi baik, maka yang menjadi baik juga masih keburukan itu sendiri yang berganti baju atau bersalin warna belaka.
Cinta kasih dan kebaikan selalu ada, karena cinta kasih dan kebaikan adalah suatu kewajaran yang tidak dibuat-buat, bukan hasil latihan, tanpa teori-teori muluk. Akan tetapi, cinta kasih dan kebaikan tidak nampak sinarnya karena batin kita
penuh dengan debu kotoran yang diciptakan pikiran yang membentuk si-aku yang selalu dipenuhi keinginan-keinginan. Singkirkan semua debu kotoran itu, dan cinta kasih dan kebaikan akan memancarkan sinarnya dengan terang dan wajar.
Sejak kecil kita diajar untuk melakukan hal-hal baik sehingga dengan otomatis kita selalu berusaha untuk berbuat baik karena ada pahala di ujung perbuatan baik. Pahala itu dijanjikan kepada kita oleh kebudayaan kita, melalui tradisi dan agama. Pahala itu dapat dinamakan kehidupan tenteram, kebahagiaan, sorga, nirwana dan sebagainya lagi, juga nama baik atau keuntungan materi yang lebih jelas nampak. Maka berlumba-lumbalah kita untuk melakukan perbuatan baik, yang pada hakekatnya hanya berlumba untuk mendapatkan pahala itulah!
Jadi, apa artinya melakukan perbuatan baik, atau menjadi orang baik, kalau dibaliknya tersembunyi pamrih mengejar pahala? Apa artinya kita menolong orang dan memberi sesuatu, kalau dalam perbuatan itu kita mengharapkan balas jasa dari orang yang kita tolong, atau kita mengharapkan pujian, nama baik dan sebagainya? Kalau begini, jauh lebih benar kalau kita tidak melakukan perbuatan baik dari pada melakukan perbuatan baik yang semu, palsu dan berpamrih! Lebih baik kalau kita mengamati diri sendiri dan melihat adanya kepalsuan-kepalsuan dalam kebaikan kita ini. Karena hanya dengan pengamatan yang mendalam dan menyeluruh maka terjadi perobahan, terjadi penghentian segala yang palsu itu. Dan kalau sudah tidak ada keinginan untuk memperoleh pahala, kalau sudah tidak ada keinginan menjadi orang baik, maka semua perbuatan kita adalah wajar! Bukan baik buruk lagi, melainkan wajar. Dan tentu saja kewajaran ini merupakan pencerminan dari pada kepribadian kita. Kalau pribadi sudah bersih dari pada segala macam debu kekotoran berbentuk keinginan-keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, maka yang tinggal hanya kewajaran di mana sinar cinta kasih dan kebaikan akan menerangi semua perbuatan itu.
Karena itu, bukankah jauh lebih baik kalau pelajaran berupa keinginan menjadi orang baik ini dirobah dalam kehidupan anak-anak kita, dirobah menjadi pengamatan terhadap kepalsuan-kepalsuan diri sendiri setiap saat? Agar kebaikan dan cinta kasih menyinarkan cahayanya secara wajar dengan pembersihan diri dari dalam?
Ketika Siu Kwi mengajukan pertanyaan itu kepada Bi Lan, gadis ini lalu menjawab dengan wajah gembira. "Memang hanya karena kebetulan saja kami bertemu denganmu, suci. Aku sedang melakukan perjalanan ke utara, ke gurun pasir untuk mencari suhu dan subo."
"Perdekar Naga Sakti Gurun Pasir ?" tanya! Siu Kwi dan suaranya mengandung kekaguman. Pernah ia sebagai Bi-kwi, bertemu dengan mereka dan merasakan sendiri kesaktian mereka yang menggiriskan.
"Benar, suci. Aku hendak mengembalikan pedang. Ban-tok-kiam milik subo ini. Dan Sim-toako ini berbaik hati untuk mengantarku ke sana. Di dalam perjalanan, ketika kami tiba di hutan itu, kami mendengar tangismu dan sungguh kebetulan sekali kita dapat saling bertemu di sana."
Siu Kwi menarik napas panjang. "Memang, di dunia ini terjadi banyak sekali peristiwa secara kebetulan saja. Baru sekarang aku dapat menyadarinya betapa besar kekuasaan Thian yang seolah-olah sudah mengatur segala yang nampak dan tidak nampak dalam alam semesta ini. Pertemuan dengan jin-ko juga hal yang kebetulan saja."
Sim Houw mengangguk-angguk. "Memang tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ciong-lihiap. Nampaknya saja kebetulan karena tadinya kita tidak tahu sama sekali, akan tetapi sesungguhnya sudah ada garisnya sendiri-sendiri. Baik buruknya garis itu sepenuhnya berada dalam tangan kita masing-masing, karena hal-hal yang nampaknya tidak ada hubungan sama sekali itu sesungguhnya masih merupakan suatu rangkaian yang tergantung dari keadaan kehidupan kita sendiri, yang ditentukan oleh kita sendiri dengan segala ulah kita."
Siu Kwi menghela napas panjang. "Ah, betapa menariknya mempelajari soal kehidupan. Dulu, aku sama sekali tidak perduli akan sebab akibat, tidak perduli akan isi kehidupanku...."
"Sudahlah, suci, kita tadi berjanji akan meninggalkan masa lalu. Sekarang, apa yang akan kalian lakukan dan ke mana kalian hendak pergi?"
Siu Kwi memandang kepada Yo Jin yang juga sedang menatap wajahnya di bawah sinar api unggun. Wajah Siu Kwi nampak luar biasa cantik dan manisnya dalam pandangan mata Yo Jin. Dua pasang mata itu bertemu dan biarpun mulut mereka diam saja, namun mereka seperti saling mengenal isi hati masing-masing dan sudah mengadakan persetujuan dengan pandang mata mereka.
"Aahh, kami.... akan memulai suatu kehidupan baru, sumoi. Aku akan meninggalkan seluruh kehidupan lama yang pernah kulalui dengan segala kekerasannya, melupakan segala-galanya dan belajar menjadi seorang isteri yang baik dan setia, dan kalau Thian menaruh kasihan kepada seorang seperti aku, aku ingin menjadi seorang ibu yang bijaksana bagi anak-anak kami. Kami akan pergi dan tinggal di sebuah dusun yang jauh dan baru, dan aku.... ah, maaf jin-ko, aku lupa belum minta persetujuanmu dalam hal ini...."
Yo jin tersenyum dan memandang dengan sinar mata mengandung penuh kasih sayang dan pengertian. "Aku setuju saja dengan rencanamu, Kwi-moi. Memang sebaiknya kita pergi jauh dari sini untuk melupakan hal-hal lalu dan agar jangan terjadi lagi hal-hal yang buruk."
Malam itu dilewatkan oleh empat orang muda ini dengan bercakap-cakap dan baik Bi Lan maupun Sim Houw diam-diam merasa heran, kagum dan juga girang sekali melihat betapa sikap Siu Kwi yang dulu terkenal dengan julukan Bi-kwi (Setan Cantik) berubah sama sekali! Baik sinar matanya yang menjadi lembut penuh kasih sayang, terutama kalau ditujukan kepada Yo Jin, suaranya yang menjadi halus merdu bebas dari kebencian, gerak-geriknya, pendeknya orang akan pangling dan tidak mengenalnya lagi sebagai Siu Kwi beberapa bulan yang lalu!
Sudah lajim di antara kita manusia, perbuatan sesat mendatangkan akibat yang buruk bagi kita sendiri ,dan kalau sudah demikian, timbul penyesalan dan janji bertaubat di mulut atau di hati. Akan tetapi, bertaubat seperti ini seringkali tidak ada hasilnya sama sekali dan tak lama kemudian kita akan terjerumus lagi ke dalam kesesatan yang sama! Kesesatan dilakukan orang karena orang ingin meneguk kesenangan dari perbuatan itu dan bertaubat karena penyesalan setelah timbul akibat buruk bagi diri sendiri bukanlah bertaubat yang sesungguhnya lagi. Taubat macam ini tidak akan bertahan lama, dan setelah penyesalan sebagai akibat buruk itu menipis. rasa bertaubatpun ikut pula menipis dan tak lama kemudian, daya tarik untuk meneguk kesenangan kembali mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang sama. Seperti orang minum arak. Kalau kemudian mabok dan sakit-sakit seluruh badan, mulut dan hati menyatakan bertaubat tidak akan minum arak lagi. Akan tetapi, setelah rasa sakit-sakit itu hilang, kita akan lupa karena membayangkan enak dan nikmatnya minum arak, dan kitapun minum lagi. Demikian seterusnya seperti lingkaran setan yang tidak pernah putus.
Yang penting bukanlah bertaubat karena menyesal menerima akibat buruk, melainkan pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat. Pengamatan ini akan mendatangkan kesadaran dan kebijaksanaan, dan pengamatan ini akan merobah diri seketika, saat demi saat, sehingga tidak terjadi pengulangan-pengulangan. Kebaikan bukanlah suatu yang menjadi kebiasaan, melainkan harus dihayati detik demi detik dengan pengamatan terhadap diri sendiri. Yang penting itu membersihkan diri dari kotoran, bukan keinginan untuk bersih. Keinginan untuk bersih saja tidak membuat kotoran menjadi lenyap. Dan kalau kotoran sudah lenyap, untuk apa ingin menjadi bersih? Sesal dan taubatpun tidak ada kalau segala perbuatan kita didasari cinta kasih, bukan lagi menjadi pelaksanaan dari pada keinginan untuk mengejar dan memperoleh kesenangan, karena perbuatan didasari cinta kasih ini tanpa pamrih sehingga apapun yang menjadi akibat dari perbuatan ini tidak akan menimbulkan penyesalan apapun.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, Bi Lan dan Sim Houw berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka. Siu Kwi menggandeng tangan Bi Lan dan diajaknya sumoinya itu agak menjauh dari Sim Houw dan Yo Jin karena ia ingin bicara empat mata dengan sumoinya itu. Setelah berada cukup jauh sehingga percakapan mereka tidak akan terdengar orang lain, Siu Kwi lalu merangkul adik seperguruannya.
"Sumoi, aku mengucapkan selamat kepadamu!"
"Eh, untuk apa, suci?"
"Engkau telah memperoleh seorang pacar yang pilihan! Aku ikut merasa girang, adikku. Sim-taihiap adalah seorang pria pilihan yang amat mengagumkan hatiku. Engkau tentu beruntung sekali!"
Wajah Bi Lan berubah merah. Heran ia mengapa sucinya dapat menduga dengan tepat bahwa ia memang diam-diam jatuh cinta sampai ke ujung rambutnya kepada Sim Houw! Akan tetapi, mengingat sikap Sim Houw yang tidak pernah menyatakan cintanya. ia menjadi sedih dan menarik napas panjang.
"Aihh, aku tidak seberuntung engkau, suci."
"Eh? Salahkah rabaanku bahwa engkau mencinta Sim-taihiap?"
Siu Kwi tertawa dan merangkul sumoinya. "Anak bodoh! Tanpa pengakuan mulutpun, apakah engkau tidak dapat mengerti dan melihatnya? Aku sudah melihat dengan jelas sekali betapa Sim-taihiap amat mencintamu!"
"Ehhh....?" Bi Lan terbelalak memandang wajah sucinya penuh selidik.
"Percayalah, sumoi. Dia amat mencintamu, dan mungkin dia terlalu rendah hati untuk membuat pengakuan. Akan tetapi aku yakin bahwa dia cinta padamu, jelas nampak dalam pandang matanya kepadamu, suaranya, dan sikapnya. Hanya wanita yang buta saja yang tidak akan dapat melihat cintanya kepadamu, sumoi!"
Wajah Bi Lan menjadi semakin merah akan tetapi kini wajah itu berseri dan mulutnya tersenyum manis sekali. Ia percaya akan keterangan sucinya, karena ia tahu benar bahwa encinya adalah orang yang sudah memiliki pengalaman luas dalam menilai pria.
"Terima kasih suci!" Bi Lan merangkul dan Bi Lan mengangguk dan mencium pipi sucinya. Kini wajahnya yang manis nampak berseri penuh kebahagiaan.
"Keteranganmu itu sungguh amat berharga, mendatangkan cahaya yang menerangi seluruh hati dan perasaanku. Terima kasih!"
Ketika mereka berangkulan ini, terasa oleh masing-masing betapa keduanya saling mengasihi dan menyayang seperti kakak beradik sendiri saja. Dan Siu Kwi tidak dapat menahan air mata yang membasahi kedua matanya ketika melihat Bi Lan pergi bersama Sim Houw. Akan tetapi, ketika ia merasa ada tangan menyentuh pundaknya dengan lembut, iapun membalik dan merangkul Yo Jin, menyembunyikan mukanya di dada pria yang dicintanya itu. Cinta asmara memang hebat, kuasanya terhadap perasaan manusia amat besarnya sehingga cinta asmara mampu mendatangkan sorga ataupun neraka di dalam kehidupan seseorang.
******
Mereka menemukan sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi di lereng bukit itu. Sudah hampir dua pekan mereka berpisah dari Siu Kwi dani Yo Jin dan kini mereka sudah tiba di deretan bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya dan yang nampaknya tak pernah habis itu, gunung-gunung besar kecil yang bertaburan di sepanjang perbatasan sebelah utara. Tembok Besar nampak bagaikan seekor naga yang berlika-liku dan naik turun bukit-bukit dan gunung-gunung, amat indah dan megahnya. Mereka belum melewati Tembok Besar yang sudah nampak jauh di utara dari tempat mereka berhenti untuk melewatkan malam.
Setelah makan malam dan membersihkan diri di sumber air di belakang kuil tua, makan yang cukup lezat walaupun yang mereka makan hanyalah bekal roti dan daging kering bersama air jernih karena perut lapar dan tubuh lelah, Bi Lan dan Sim Houw duduk di ruangan belakang kuil tua itu. Ruangan itu merupakan bagian yang masih paling baik di antara bagian lain yang sudah rusak dan banyak yang sudah runtuh. Mereka sore tadi sudah membersihkan tempat itu sehingga enak untuk dipakai beristirahat. Sim Houw sudah mengumpulkan kayu bakar yang diambilnya dari dalam hutan, ditumpuk di situ untuk dipakai malam nanti, pengusir nyamuk dan hawa dingin.
Setelah menumpuk beberapa potong kayu bakar, Bi Lan lalu membuat api dan sebentar saja ruangan itu yang tadinya sudah mulai gelap menjadi terang kemerahan dan hawanya yang tadinya dingin menjadi hangat. Hal ini mendatangkan perasaan gembira di hati Bi Lan. Ia memandang wajah Sim Houw yang juga duduk di dekat api unggun, di depannya. Memandang sampai lama jarang berkedip, mulutnya tersenyum seperti orang mengejek. Tadinya Sim Houw tidak menyangka sesuatu karena selama melakukan perjalanan bersama dara ini, hubungan mereka akrab dan setiap hari entah berapa puluh kali dia melihat dara yang memang lincah jenaka ini tersenyum. Dan memang wajah itu paling manis kalau tersenyum, muncul lesung pipit di kanan kiri mulutnya. Akan tetapi ketika melihat bahwa dara itu menatap sejak tadi hampir tak pernah berkedip, diapun merasa canggung dan kikuk sekali, menjadi salah tingkah. Ingin mengalihkan pandang mata, merasa sayang karena pada saat itu wajah Bi Lan nampak cantik jelita dan manis seperti wajah seorang bidadari dalam dongeng, akan tetapi kalau dipandang terus dia merasa malu dan khawatir kalau dianggap kurang sopan. Dicobanya mengalihkan perhatian dengan menambah kayu bakar pada api unggun, akan tetapi karena matanya tidak mau diajak pindah, dia tidak melihat bahwa tangannya terjilat api.
"Uhhh....!" Dia menarik tangannya. Untung dia bertindak cepat dan dua jari tangannya hanya terjilat dan terasa panas saja, belum sampai melepuh.
"Eh, kau kenapa, Sim-koko? Tanganmu terbakar?' tanya Bi Lan kaget dan cepat ia menangkap lengan kiri pemuda itu untuk diperiksa. "Ah, hanya terjilat sedikit, tidak terluka...."
Bi Lan merasa lega melihat bahwa tangan itu tidak melepuh, hanya hangus sedikit. "Sakitkah, koko?"
Melihat kesungguhan sikap Bi Lan yang amat memperhatikan dan mengkhawatirkan tangannya itu, diam-diam Sim Houw merasa gembira sekali. Akan tetapi dia menggeleng kepalanya dan dengan lembut menarik kembali tangannya karena merasa malu diperlakukan seperti anak kecil oleh Bi Lan. "Tidak, Lan-moi, hanya panas sedikit saja. Salahku sendiri kurang hati-hati."
Hening sampai agak lama. Sim Houw kini menunduk dan dia masih merasa bahwa gadis itu terus memandangnya, seolah-olah terasa olehnya sinar mata yang hangat itu menatapnya.
"Sim-koko, ada satu hal yang sudah lama menjadi pertanyaan bagiku dan ingin sekali aku mendengar jawabannya secara terus terang darimu."
Sim Houw mengangkat mukanya memandang dengan penuh keheranan, dan sinar matanya menyelidiki wajah dara itu seperti hendak menjenguk isi hatinya. "Pertanyaan apakah itu, Lan-moi?"
"Sim-ko, perjalanan menuju ke Istana Gurun Pasir merupakan perjalanan yang amat jauh, sukar dan berbahaya, bukankah begitu?"
Sim Houw mengangguk-angguk. "Benar sekali, Lan-moi, dan juga amat jauhnya."
"Nah, inilah yang membuat aku terheran-heran dan tiada habis kupikirkan. Kenapa engkau bersusah payah mengantar aku ke sana, Sim-ko? Perjalanan ini mengandung resiko, berbahaya dan sukar, kenapa engkau yang bukan apa-apa denganku, berani mengambil resiko dan mengantarkan aku? Kenapa, Sim-ko?"
Mendengar pertanyaan ini dan melihat betapa sinar mata dara itu memandang kepadanya dengan amat tajam penuh selidik, wajah Sim Houw berubah merah. Untung sinar api unggun itu juga berwarna merah sehingga menyembunyikan kemerahan mukanya, dan diapun menundukkan muka memandangi api unggun, seolah-olah hendak mencari jawabannya dari nyala api itu.
"Bagaimana, Sim-ko? Jawablah dengan terus terang." kata Bi Lan dan gadis ini yang sudah tahu dari Siu Kwi bahwa pemuda ini sebenarnya cinta kepadanya, memandang dengan hati tegang akan tetapi juga dengan senyum simpul melihat sikap Sim Houw yang seperti orang kebingungan dan canggung.
Akhirnya Sim Houw menarik napas panjang. "Kenapa hal itu saja kautanyakan, Lan-moi? Bukankah sudah jelas bahwa kita adalah sahabat baik? Kita sudah banyak mengalami hal-hal yang berbahaya bersama, bahkan sudah bersama-sama terancam bahava maut. Karena engkau seorang gadis, tentu saja aku tidak ingin membiarkan engkau seorang diri saja mencari Istana Gurun Pasir yang demikian jauhnya, melakukan perjalanan yang demikian berbahayanya seorang diri saja. Karena itulah aku mengantarmu, Lan-moi."
"Akan tetapi,.... perjalanan ini selain sukar juga mempertaruhkan nyawa! Engkau tentu mempunyai banyak sahabat, apakah terhadap semua sahabatmu engkau akan melakukan hal yang sama? Akupun mempunyai banyak sahabat, akan tetapi kiranya selain engkau tidak akan ada yang mau melakukan perjalanan berbahaya ini untuk mengantar aku. Alasan bersahabat itu kurang meyakinkan hatiku, Sim-ko!"
"Akan tetapi kita bukan sahabat biasa, Lan-moi, melainkan sahabat yang sangat baik! Melebihi saudara sendiri. Pendeknya, aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya dan aku.... aku siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu...."
Bukan main girang dan terharu rasa hati Bi Lan. Jelas sudah jawaban itu membuktikan kebenaran keterangan Siu Kwi. Perdekar ini cinta padanya. Akan tetapi ia belum puas. Kenapa tidak secara langsung saja Sim Houw menyatakan cinta padanya? Bagaimanapun juga, tidak baik kalau ia terlalu mendesak, dan iapun tersenyum manis, dengan penuh keyakinan bahwa senyumnya menciptakan lesung pipit yang tidak pernah gagal mendatangkan sinar kagum dalam sepasang mata pendekar itu. Ia tidak menyadari bahwa malam ini, ditimpa sinar api unggun, senyumnya amat istimewa, membuat Sim Houw terpesona dan pendekar ini terpaksa menundukkan pandang matanya untuk menenangkan hatinya yang terguncang oleh kekaguman.
"Kalau begitu, terima kasih atas kebaikan hatimu. Sim-ko." Hening lagi sejenak. Sim Houw termenung memandang nyala api unggun. Bi Lan yang termenung, kadang-kadang mengangkat muka memandang wajah orang muda itu. Bukan seorang pemuda remaja lagi. Akan tetapi juga bukan seorang kakek tua, melainkan wajah seorang laki-laki. Seorang jantan yang sudah matang, denqan wajah memperlihatkan garis-garis pengalaman dan kepahitan hidup.
"Sim-ko...."
"Hemmm....?" Sim Houw sadar dari lamunan dan menatap wajah Bi Lan. Sesaat pandang mata mereka bertemu, bertaut dan kini Bi Lan yang menundukkan pandang matanya, merenung ke arah nyala api.
"Sim-ko," katanya lirih, tetap merenung ke arah api unggun seolah-olah ia bicara kepada api. "Engkau pernah mencinta seorang wanita namun gagal karena ia mencinta pria lain. Sakitkah hatimu, Sim-ko?"
Sim Houw menatap wajah itu penuh selidik namun tetap saja dia tidak tahu ke mana arah angin pertanyaan dara itu. Dia mengerutkan alisnya dan menjawab dengan tegas.
"Sakit hati? Ah, tidak sama sekali, Lan-moi. Kenapa aku harus sakit hati? Ia mencinta pria lain yang lebih baik dari pada aku dan ia hidup berbahagia. Tidak ada alasan bagiku untuk sakit hati."
"Maksudku bukan sakit hati dan menaruh dendam, Sim-ko. Akan tetapi, apakah engkau tidak patah hati, tidak putus asa dan menderita sakit dalam dirimu?"
Sim Houw tersenyum dan memandang gadis itu yang kini juga menatapnya. Heran dia mendengar pertanyaan itu dan diapun menggeleng kepala dengan pasti. "Tidak, Lan-moi. Patah hati dan putus asa hanya dilakukan oleh orang yang lemah. Apapun yang terjadi di dalam hidup, suka maupun duka hanyalah bagaimana kita menilainya saja. Duka hanyalah gambaran iba hati yang berlebihan. Segala macam peristiwa hidup harus kita hadapi dengan tabah dan ikhlas, tanpa keluhan."
"Tapi.... tapi.... apakah kegagalan cinta itu tidak membuat engkau jera, Sim-ko?"
"Jera bagaimana maksudmu?"
"Jera dan tidak berani untuk jatuh cinta kembali."
"Cinta tidak pernah gagal, Lan-moi. Perjodohan bisa saja putus dan gagal. Akan tetapi cinta? Kurasa cinta itu abadi, Lan-moi."
Bi Lan memandang bingung, tidak mengerti. "Akan tetapi.... apakah semenjak engkau gagal.... eh, maksudku semenjak hubungan cintamu dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri Suma Ceng Liong itu engkau pernah jatuh cinta lagi dengan seorang gadis lain?"
Sim Houw tersenyum, sampai lama tidak dapat menjawab. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Kam Bi Eng yang memilih Suma Ceng Liong sebagai jodohnya, dia tidak pernah lagi jatuh cinta, sampai sekarang, karena dia tahu benar bahwa dia jatuh cinta kepada Bi Lan! Akan tetapi untuk mengakui cintanya, dia merasa sungkan dan segan, khawatir kalau-kalau hal itu akan menyinggung perasaan Bi Lan dan juga dia merasa ngeri kalau-kalau hal itu akan memisahkan dia dengan gadis ini.
"Aku sudah tua sekarang, Lan-moi siapakah yang mau menaruh hati kepadaku?" jawabnya menyimpang.
Tiba-tiba Bi Lan tertawa, menutupi mulutnya. Â "Hi-hi-hik," Ia seperti mengajak bicara kepada nyala api unggun karena ia memandang kepada api itu "coba dengarkan keluhan kakek tua renta ini, menyesali kehidupannya yang tua renta dan sepi. Kasihan sekali dia....!"
"Lan-moi, sudahlah jangan goda aku. Kita bicara urusan lain saja...."
"Aku justeru ingin bicara tentang cintamu, Sim-ko."
Sim Houw menarik napas panjang dan dia sungguh tidak mengerti akan sikap dan watak gadis ini yang kini begitu tiba-tiba bicara tentang hal yang bukan-bukan! "Sesukamulah, Lan-moi."
"Kau marah....?"
Sim Houw tersenyum dan memandang dengan wajah berseri. Bagaimana mungkin dia dapat marah kepada dara ini, dara yang dicintanya? Pertanyaan yang aneh-aneh itu merupakan satu di antara keistimewaan Bi Lan, yang demikian lincah dan penuh gairah hidup. "Tidak, Lan-moi. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah marah kepadamu."
"Kenapa?" Tiba-tiba dara itu mendesak.
"Karena.... karena engkau tidak pernah bersalah, engkau wajar dan lincah gembira...." Kembali Bi Lan mengerutkan alisnya. Sukar benar pria ini mengakui cintanya, pikirnya penasaran.
"Jadi selama ini, sejak engkau berpisah dan gagal dalam hubunganmu yang pertama dengan wanita yang kaucinta, engkau tidak pernah jatuh cinta lagi, Sim-ko?"
Sim Houw tidak menjawab, hanya menggeleng kepala, dan tiba-tiba dia memegang tangan Bi Lan, menariknya dengan sentakan keras sehingga dara itu terlempar ke arahnya dan melalui atas api unggun. Tentu saja Bi Lan terkejut bukan main, akan tetapi Sim Houw segera memberi isyarat dengan tangannya. Kiranya seekor ular sebesar kelingking, akan tetapi panjangnya lebih dari dua kaki, telah berada di atas lantai di mana Bi Lan duduk. Ular itu adalah seekor ular berbisa yang amat berbahaya. Dengan sekali menggerakkan tangannya, jari tangan Sim Houw mengetuk ke arah kepala ular yang diangkat tegak. Ular tu terlempar ke dalam api unggun dan berkelojotan.
"Mari....!" kata Sim Houw sambil menyambar tangan Bi Lan dan juga buntalan mereka dan mengajak gadis itu meloncat ke luar kuil dengan gerakan cepat. Kembali Bi Lan terkejut, akan tetapi hilanglah rasa kagetnya ketika mereka tiba di luar dan ia melihat bahwa di luar kuil telah berdiri belasan oranq! Tahulah kini Bi Lan bahwa munculnya ular berbisa tadipun tidak wajar, melainkan dimunculkan dengan sengaja oleh seorang di antara belasan orang ini untuk menyerangnya. Dan melihat bahwa di antara mereka terdapat orang-orang berpakaian seperti pendeta, iapun dapat menduga bahwa tentu mereka ini orang-orang Pek-lian-kauw atau Pat-kwa-kauw.
Dugaannya memang tidak keliru. Di bawah penerangan empat buah obor besar yang dipegang oleh empat orang di antara mereka, ia dapat melihat gambar teratai putih dan segi delapan di dada baju para pendeta itu. Jelaslah bahwa kedatangan mereka ini tentu ada hubungannya dengan dua orang pendeta, yaitu Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang telah ia kalahkan bersama Sim Houw.
"Kalian ini tentulah siluman-siluman dari Pat-kwa kauw dan Pek-lian-kauw!" Bi Lan membentak marah. "Siapakah di antara kalian yang tadi melepas ular berbisa?"
Seorang di antara tigabelas orang itu adalaah seo yang kakek bongkok yang mukanya buruk sekali, seperti monyet karena kecilnya muka itu, hidungnya pesek dan matanya juga amat kecil. Tubuhnya yang kecil pendek dan bongkok itu dibungkus jubah dan melihat gambar bunga teratai di dadanya, jelas dapat diketahui bahwa dia adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan Bi Lan, kakek bongkok ini terkekeh dan suara ketawanya juga lucu dan tidak lumrah seperti tubuhnya karena yang terdengar hanya suara "kek-kek-kek-kek!" seperti leher dicekik dan tubuhnya terguncang-guncang semua.
"Heh-heh-heh!" Suara tercekik-cekik itu disusul kekeh mengejek dan diapun menggurat-gurat tanah di depan kakinya dengan ujung tongkatnya. Tongkat itu berwarna hijau dan bentuknya seperti ular, dan memang tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular besar yang panjangnya tidak kurang dari lima kaki, warnanya hijau dan anehnya, kadang-kadang ular itu dapat menjadi kaku seperti ketika ekornya digutat-guratkan pada tanah tadi. "Akulah yang mengirim ular tadi untuk berkenalan denganmu, nona."
"Kakek iblis jahanam!" bentak Bi Lan dan iapun sudah menerjang ke depan, mengirim pukulan dengan tamparan tangan kanannya ke arah kepala kakek bongkok itu. Ia marah sekali karena dengan mengirim ular berbisa tadi, berarti kakek ini ingin membunuhnya secara keji sekali. Maka, kini iapun langsung saja menyerang dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan karena ia teringat bahwa kakek ini adalah seorang ahli ular berbisa, maka iapun menggunakan ilmu yang sama kejamnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun)! Pukulan dengan ilmu ini memang amat dahsyat. Ilmu ini dipelajari oleh Bi Lan dari nenek Wan Ceng, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka selain amat kuat, juga mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali.
Kakek bongkok itu berjuluk Coa-ong Seng-jin, berusia enampuluh lima tahun dan dia masih terhitung sute dari Thian Kek Seng-jin. Biarpun dalam hal ilmu silat dan ilmu sihir, tingkatnya tidak melebihi tingkat Thian Kek Seng-jin, namun kakek ini memiliki suatu kelebihan. Sesuai dengan julukannya, yaitu Coa-ong (Raja Ular), dia adalah seorang pawang ular yang pandai. Maka, ketika belasan orang ini, atas pemberitahuan Ok Cin Cu dan T hian Kek Seng-jin yang terluka parah oleh Sim Houw dan Bi Lan, mengejar dan mendapatkan dua orang itu, Coa-ong Seng-jin segera mengirim seekor ular berbisa yang nyaris menggigit Bi Lan. Pada hal, andaikata Sim Houw tidak menariknya sehingga gadis itu terhindar dari gigitan ular, bagi Bi Lan tidaklah terlalu berbahaya jika ia sampai digigit ular berbisa. Ia telah mewarisi ilmu Ban-tok Ciang-hoat, dan ia telah menerima pelajaran tentang racun-racun dari nenek Wan Ceng sehingga gigitan beracun tentu tidak akan mencelakainya.
Melihat betapa gadis itu dapat lolos dari "kiriman" ular, Coa-ong Seng-jin maklum bahwa gadis itu dan temannya yang berjuluk Pendekar Suling Naga merupakan dua orang lawan yang tangguh. Apalagi melihat keadaan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang terluka parah. Maka, kini melihat gadis itu menyerangnya dengan tamparan yang cepat dan kuat, Coa-ong Seng-jin juga mengerahkan tenaganya, tangan kirinya menyambut tamparan itu sedangkan tangan kanannya yang memegang tongkat ular hidup itu menggerakkan ularnya yang menyambar ke depan, ke arah leher Bi Lan!
"Dukkk!" Dua tangan itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Coa-ong Seng-jin tergetar hebat. Dia terkejut sekali, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan ular di tangan kanan. Melihat ular yang menyambar ke arah lehernya, Bi Lan sama sekali tidak merasa gentar. Ia menggerakkan tangan kirinya untuk menangkap leher atau kepala ular, untuk dicengkeram hancur. Untungnya kalau memiliki tongkat hidup, ular itu agaknya memiliki indriya yang tajam dan dapat mengelak dengan menarik lehernya ke belakang, melengkung dan mulutnya mendesis-desis mengeluarkan uap beracun. Biarpun ia tidak takut terhadap uap beracun itu, Bi Lan maklum bahwa setidaknya, kalau kulit terkena semburan uap itu, tentu akan gatal-gatal, maka iapun meloncat ke belakang. Coa-ong Seng-jin tidak berani memandang rendah setelah tadi pertemuan tangan dengan gadis muda itu membuat tubuhnya tergetar dan terhuyung. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat!
Sementara itu, Sim Houw tidak menghendaki Bi Lan untuk tergesa-gesa menyerang musuh yang banyak jumlahnya dan dia dapat melihat bahwa lima orang berpakaian pendeta yang berdiri di depannya itu bukanlah orang-orang lemah. Dengan sikap tenang dia lalu melangkah maju.
"Cu-wi totiang (para bapak pendeta), ada keperluan apakah cuwi malam-malam datang mengganggu kami yang sedang beristirahat melewatkan malam di kuil tua ini?"
"Siancai!" Seorang tosu yang kelihatannya sudah amat tua renta karena rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, usianya tentu lebih dari tujuhpuluh tahun, memegang sebatang tongkat yang panjang, sama dengan tinggi tubuhnya, mengelus jenggotnya yang putih panjang ketika dia mengeluarkan seruan itu dan dialah yang melangkah maju menghadapi Sim Houw. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan Sim Houw juga mengamati kakek atu penuh perhatian. Seorang kakek yang tua dan nampaknya lemah,
namun melihat sikapnya yang berwibawa, pandang matanya yang mencorong, diapun dapat menduga bahwa tentu kakek yang pada dadanya ada gambar Pat-kwa ini adalah seorang dari Pat-kwa-kauw yang bertingkat tinggi. Dugaannya juga tepat karena kakek ini merupakan orang ke dua di perkumpulan Pat-kwa-kauw, menjadi wakil ketua. Nama julukannya adalah Thian Kong Cin-jin dan sebagai orang ke dua Pat-kwa-kauw, tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
"Orang muda, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Suling Naga, yang dengan semena-mena telah melukai seorang tokoh kami dari Pat-kwa-kauw, dan juga seorang tokoh sahabat kami dari Pek-lian-kauw?" Agaknya kakek ini memandang rendah kepada Bi Lan, maka dia sama sekali tidak memperdulikan gadis itu, walaupun tadi dia melihat sendiri betapa gadis itu mampu menandingi serangan balasan dari Coa ong Seng-jin.
"Sim-ko, jelas bahwa mereka ini adalah siluman-siluman yang hendak membalaskan kekalahan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, dua orang tosu siluman itu!" Bi Lan berseru.
"Benar, totiang," jawab Sim Houw. "Saya bernama Sim Houw dan nona ini adalah Can Bi Lan."
Kakek yang sikapnya halus berwibawa itu mengangguk-angguk. "Benarkah kalian telah melindungi seorang siluman betina dan melukai dua orang rekan kami?"
Sim Houw mengetutkan alisnya. "Kami berdua membela yang lemah dan benar. Saudara Yo Jin dengan sewenang-wenang ditangkap, ayahnya dibunuh, karena itu kami membantu tunangannya untuk membebaskannya. Kedua orang totiang Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin bahkan hendak menangkap kami, maka terjadilah perkelahian dan akibatnya mereka berdua terluka. Harap cu-wi totiang
memaafkan karena kami sesungguhnya sama sekali tidak mencari permusuhan dengan pihak manapun juga."
"Hemm, enak saja, heh-heh!" kata Coa-ong Seng-jin. "Sudah melukai orang sampai menderita luka parah, minta maaf. Kalian tentu orang-orang yang belum lama ini membasmi para pembantu Hou-taijin. Hayo katakan, siapa di antara kalian yang membunuh Kim Hwa Nio-nio!"
Ditanya demikian oleh si kakek bongkok, Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia tidak merasa heran kalau para tosu Pek-lian-kauw mengenal Kim Hwa Nio-nio, mungkin kenalan baik karena mereka sealiran.
"Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya membantu pembesar durna, maka aku membantu para pendekar untuk membersihkan kota raja dari pengaruh mereka. Dalam pertempuran itu, Kim Hwa Nio-nio memang terbunuh olehku," jawabnya tenang.
Mendengar ini, lima orang tosu itu, dua dari Pat kwa-kauw dan tiga dari Pek-lian-kauw, menjadi marah. Bahkan Thian Kong Cin-jin yang memimpin rombongan itu nampak marah dan kelembutannya tertutup oleh kemarahan yang membuat mukanya merah dan matanya terbelalak. Patut diketahui bahwa Kim Hwa Nio-nio di waktu mudanya amat populer di antara para tosu Pek-lian-kauw dan menjadi sahabat baik mereka.
"Hemm, kiranya yang bernama Suling Naga adalah seorang muda yang sombong dan mudah menjatuhkan tangan maut kepada golongan kami. Sim Houw, Pendekar Suling Naga, sekarang kami datang untuk minta nyawamu guna menebus semua rekan kami yang telah terbunuh atau terluka olehmu!"
"Tidak kelirulah jalan pikiran totiang?" Sim Houw berkata dengan sikap masih tenang sekali. "Semua yang kulakukan itu bukan berdasarkan permusuhan atau kebencian pribadi, melainkan karena aku membela yang benar dan secara tidak kebetulan sekali yang totiang bela itu berdiri di pihak yang sesat. Kalau sekarang totiang hendak membela yang salah, bukankah berarti bahwa totiang juga akan mengambil jalan sesat, tidak sesuai dengan kedudukan totiang sebagai seorang pendeta?"
"Siancai....! Engkau sungguh terlalu sombong, orang muda. Pinto memiliki pandangan dan kebenaran pinto sendiri. Nah, rasakan pembalasan kami!" Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tongkatnya yang panjang dan angin besar menyambar ke arah Sim Houw. Pemuda itu terkejut dan cepat melompat ke belakang. Tongkat tidak mengenai dirinya, akan tetapi anginnya membuat pakaian dan rambutnya berkibar-kibar. Dia maklum akan kelihaian lawan, maka tanpa ragu-ragu lagi diapun cepat menghunus pedang Liong-siauw-kiam yang diputarnya menjadi segulungan sinar yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.
Melihat ini, Bi Lan tidak tinggal diam. Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam dan iapun menerjang maju, yang diterjangnya adalah kakek bongkok yang merasa ngeri sekali melihat pedang di tangan gadis itu. "Pedang iblis.... pedang iblis....!" katanya berkali-kali sambil berloncatan ke sana-sini dan memainkan ular hijau di tangannya untuk mencari peluang memulai serangan. Tiga orang tosu lain sudah mempergunakan senjata mereka masing-masing, yaitu tongkat dan tasbeh untuk mengepung Bi Lan dan Sim Houw. Seorang membantu Coa-ong Seng-jin dan dua orang membantu Thian Kong Cin-jin.
Tingkat kepandaian lima orang itu rata-rata seperti tingkat kepandaian Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, hanya tingkat Thian Kong Cin-jin yang paling tinggi. Kakek tua renta ini memang lihai bukan main dan dia merupakan seorang ahli tenaga sin-kang yang kuat. Kekuatannya itu ditambah dengan kekuatan ilmu hitam sehingga kadang-kadang tongkatnya seperti hidup dan dapat bergerak sendiri! Menghadapi kakek ini saja Sim Houw harus berhati-hati sekali, apa lagi kakek itu dibantu oleh dua orang tosu lain yang juga lihai, maka Sim Houw harus mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Untung bahwa di tangannya terdapat suling Liong-siauw-kiam. Kehebatan permainan pedang suling yang mengeluarkan suara seperti orang
memainkan lagu dengan suling, membuat tiga orang lawannya gentar dan sukar menembus pertahanan Sim Houw.
Di lain pihak, Bi Lan juga mengamuk dengan pedangnya. Sebetulnya, tingkat kepandaian dua orang pengeroyoknya itu masing-masing sudah lebih tinggi sedikit dari pada tingkatnya, akan tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam, dua orang lawannya juga gentar dan berhati-hati sekali menghadapi sambaran sinar pedang yang luar biasa ampuh dan menggiriskan itu.
Thian Kong Cin-jin diam-diam merasa kagum akan tetapi juga penasaran sekali. Di situ masih terdapat beberapa orang murid kepala yang merupakan murid-murid terpandai, akan tetapi makin banyak yang mengeroyok akan membuat gerakannya dan kawan-kawannya menjadi kacau dan tidak teratur. Dia pun teringat akan rencana siasatnya sebelum mereka menyerbu. Melihat kegagahan dua orang muda itu diapun lalu mengeluarkan suara melengking, yaitu aba-aba rahasia yang hanya dimengerti oleh kawan-kawannya, sesuai dengan siasat yang telah mereka rencanakan. Mendengar aba-aba ini, lima orang tosu itu segera berlompatan mundur dan pada saat itu, tiga buah obor besar tadi tiba-tiba saja dipadamkan! Keadaan menjadi gelap gulita dan diam-diam lima orang tosu yang sudah merencanakan siasat ini, telah membentuk kepungan segi lima ! Mereka dapat bergerak di
dalam gelap karena memang sudah mereka rencanakan lebih dulu.
Sim Houw dan Bi Lan terkejut bukan main ketika dari keadaan yang terang kini berubah menjadi gelap dan di dalam kegelapan itu, tiba-tiba saja ada sambaran-sambaran senjata dari lima penjuru! Mereka terpaksa memutar pedang dan menangkis hanya mengandalkan pendengaran mereka saja. Akan tetapi karena sambaran senjata-senjata itu datang dengan gencar, dari arah-arah yang tidak terduga sama sekali, maka paha kiri Bi Lan terkena pukulan tongkat, sedangkan punggung Sim Houw juga terkena pukulan tongkat yang cukup keras. Mereka tidak terluka parah namun pukulan-pukulan itu cukup mendatangkan rasa ryeri. Sim Houw maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia dan Bi Lan mungkin terluka berat karena dia tahu bahwa lima orang pengeroyok itu sudah mengatur siasat untuk bergerak di dalam gelap, gerakan yang sudah diatur semacam barisan. Belum lagi kalau delapan orang yang lain ikut maju mengeroyok!
Diapun mendapatkan akal, dan dengan mengandalkan pendengarannya, dia cepat mendekati dan mengadu punggung dengan Bi Lan, sambil keduanya memutar pedang di depan mereka. Dengan rabaan dan sentuhan lengan kiri, Sim Houw memberi isyarat dan memegang tangan kiri dara itu sambil berteriak, "Lan-moi, kita bobol kepungan di kiri!"
Sambil berkata demikian, dia menarik gadis itu ke kanan dan bersama gadis itu memutar pedang di arah kanan. Ketika dia berteriak, lima orang itu tentu saja memusatkan pertahanan di kiri untuk mencegah mereka melarikan diri. Siapa kira, dua orang yang mereka kepung itu malah menyerbu ke kanan, di mana Coa-ong Seng-jin berada. Kakek bongkok ini berusaha nmenvutar tongkat ular hijaunya, akan tetapi ular itu terpotong menjadi lima potong disambar Ban-tok-kiam dan Liong-siauw-kiam dan ia sendiri cepat melompat mundur kalau tidak ingin terbabat oleh sinar pedang yang berkilauan itu. Sim Houw terus menarik tangan Bi Lan dan keduanya melarikan diri secepatnya setelah berhasil terlepas dari kepungan.
"Kejar mereka!" Thian Kong Cin-jin membentak marah.
"Nyalakan obor!"
"Mereka lari ke arah hutan!"
Obor-obor lalu dinyalakan dan tigabelas orang itu melakukan pengejaran. Namun bayangan dua orang buruan itu telah lenyap. Thian Kong Cin-jin tidak kehilangan akal. Dia lalu memecah-mecah rombongannya menjadi tiga. Dia sendiri pergi bersama dua orang, Coa-ong Seng-jin bersama empat orang, dan lima orang sisanya menjadi satu bagian. Tiga rombongan ini lalu melakukan pengejaran dan pencarian dengan berpencar, memasuki hutan sambil membawa obor.
Melakukan pengejaran sambil membawa obor merupakan suatu kebodohan. Sim Houw dan Bi Lan yang melarikan diri ke dalam hutan, tentu saja dapat melihat obor mereka dan dua orang ini dapat mengarahkan pelarian mereka menjauhi obor. Bi Lan agak terpincang dan Sim Houw juga merasa nyeri pada punggungnya. Setelah mereka keluar dari dalam hutan, mereka melalui sebuah bukit dan menjelang pagi, keduanya mengaso. Para pengejar tidak nampak lagi. Mereka berhenti di bukit yang berbatu-batu, bersembunyi di antara batu-batu besar untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga sambil mengobati bagian yang memar karena pukulan tongkat.
"Sim-ko, kita belum kalah mengapa engkau memaksa aku melarikan diri? Kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin kita akan dapat merobohkan dan membunuh seorang dua orang di antara lima ekor monyet itu," Bi Lan yang merasa penasaran mengeluh karena merasa tidak puas. Pahanya terasa nyeri dau ia belum membalas kepada musuh-musuhnya!
"Justeru itulah yang tidak kukehendaki, Lan-moi. Kalau keadaan terang, aku masih mampu menahan dan memperingatkanmu agar tidak sembarangan membunuh orang. Akan tetapi setelah gelap, berbahaya sekali bagi kita, juga berbahaya bagi mereka karena kalau engkau mengamuk, aku tidak dapat menanggung keselamatan nyawa mereka pula.
"Akan tetapi, Sim-ko. Mereka itu berusaha mati-matian untuk membunuh kita! Kenapa engkau masih tidak setuju kalau kita membunuh mereka? Bukankah mereka itu orang-orang yang jahat?"
"Belum tentu, Lan-moi. Mereka memusuhi Ciong-lihiap, sucimu itu dan tentu saja mereka masih mengira bahwa sucimu itu seorang yang jahat dan sesat. Kiranya hanya kita berdua sajalah yang yakin benar bahwa sucimu kini telah berubah sama sekali. Akan tetapi, orang lain belum tentu dapat percaya. Dari pada kesalahan tangan membunuh orang yang tidak berdosa sehingga tertanam benih permusuhan yang tiada kunjung habis, lebih baik kalau kita meloloskan diri."
"Akan tetapi kita melarikan diri! Tentu mereka mentertawakan kita dan menganggap kita pengecut!" Bi Lan membantah dengan penasaran.
"Mereka tidak akan dapat mentertawakan kita, Lan-moi. Mereka sendiri yang telah memperlihatkan sikap pengecut, dengan pengeroyokan dan pemadaman obor."
Bi Lan lalu teringat akan percakapan mereka tentang cinta sebelum orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu datang menyerbu. Hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Pria ini boleh jadi mencintanya, seperti yang dikatakan oleh sucinya. Dan memang, melihat setiap gerak-gerik Sim Houw, caranya melindunginya, pandang matanya, kata-katanya, iapun percaya bahwa Sim Houw mencintanya. Akan tetapi mengapa dia tidak pernah mengakuinya? Sudah dipancing-pancing dalam percakapan itu, tetap saja Sim Houw pandai mengelak dan mengalihkannya. Tiba-tiba ia memperoleh akal.
"Aduhhhh....!" Ia berteriak dan menggigit bibir, merintih dan kedua tangannya memegang paha kirinya, memijit-mijitnya perlahan, mukanya berkeriput menahan nyeri.
Sim Houw terkejut bukan main dan cepat dia menghampiri. "Kenapa, Lan-moi? Ada apakah dengan kakimu....?" tanyanya penuh was-was.
"Aduhh.... Sim-ko, pahaku ini....ah, tadi tidak begitu nyeri, akan tetapi sekarang...."
"Sekarang bagaimana, Lan-moi....?" Sim Houw bertanya tanpa disadarinya, saking khawatir, dia meraba paha kiri yang dipijit-pijit Bi Lan itu.
"Nyeri sekali.... auuhhh, tak tertahankan nyerinya...."
"Lan-moi, biar aku memeriksanya, jangan-jangan ada tulang yang patah atau urat yang terkilir...."
"Ya.... cepatlah.... aduhhh, pukulan monyet tua bongkok itu keras sekali...."
Sim Houw terpaksa merobek celana di bagian paha kiri dan nampaklah kulit paha yang putih mulus. Dia menggunakan kedua tangannya meraba dan memijit-mijit, memeriksa apakah ada tulang yang patah. Akan tetapi, selain tanda agak biru bekas gebukan, paha itu tidak ada apa-apa, tidak ada tulang yang patah atau urat yang terkilir. Hatinya merasa lega sekali.
"Tidak ada tulang patah dan tidak ada urat terkilir, Lan-moi," katanya.
"Akan tetapi, nyerinya sampai menusuk ke jantung....!" Bi Lan mengaduh.
"Hanya luka memar saja, Lan-moi, akan tetapi mungkin saking kerasnya pukulan, maka menimbulkan rasa nyeri. Biar kuurut sebentar biar jalan darahnya pulih dan luka di bawah kulitnya cepat sembuh." Mulailah Sim Houw memijit-mijit paha itu. Tadi hatinya gelisah karena mengkhawatirkan gadis itu. Sekarang, setelah dia yakin bahwa paha itu tidak apa-apa, hanya luka memar saja yang biarpun nyeri akan tetapi tidak terlalu berbahaya, barulah dia melihat betapa indahnya paha yang nampak karena kain celananya dirobek itu. Dia adalah seorang pria yang normal dan sehat. Usianyapun sudah cukup dewasa, bahkan sudah terlalu dewasa. Maka wajarlah kalau gairahnya bangkit ketika dia melihat mulusnya paha Bi Lan, apa lagi kedua tangannya meraba dan memijit bagian tubuh yang nampak indah itu, merasakan kelembutannya, kekenyalannya dan kehangatannya. Mukanya berubah merah,
napasnya agak terengah dan sepuluh jari tangannya yang meraba dan memijit itu mulai gemetar.
Bi Lan yang sejak tadi mencurahkan perhatiannya untuk memperhatikan keadaan pria itu, tentu saja dapat mengetahui perubahan ini. Dan diam-diam hatinya merasa gembira sekali dan senyumnya membayang di bibir. Tentu saja paha kirinya terasa nyeri, akan tetapi tidaklah separah yang diperlihatkannya. Melihat keadaan Sim Houw, jantungnya berdebar dan kini pijitan jari-jari tangan Sim Houw itu terasa lain, membuatnya berdebar dan terangsang.
"Ahh, enak sekali, Sim-ko, nyerinya hilang. Terima kasih...."
"Tak perlu berterima kasih, Lan-moi. Syukurlah kalau pijitanku menolong," kata Sim Houw yang berusaha keras untuk menekan gejolak perasaannya.
"Sim-ko, aku melanjutkan percakapan kita malam tadi. Apakah sampai sekarang engkau masih belum jatuh cinta kepada seorang wanita? Apakah engkau masih belum berani mengaku cinta kepada wanita lain setelah pengalamanmu yang pahit itu?"
Ditanya begini, kedua tangan Sim Houw semakin gemetar dan dia menghentikan pijitannya. Sudah berada di ujung bibirnya untuk mengaku cinta kepada Bi Lan, namun ditahannya.
"Aku.... aku...." aku saking bingungnya, tak tahu harus berkata apa, dia kembali menggunakan sepuluh jari tangannya memijati paha yang nyeri itu.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring "Tak tahu malu....!"
Baik Sim Houw maupun Bi Lan terkejut bukan main. Sim Houw menarik kedua tangannya. Bi Lan cepat menutupkan bagian celana yang terbuka di paha dan keduanya meloncat bangun dan membalikkan tubuh. Kiranya di situ telah berdiri dua orang laki-laki dan melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Gu Hong Beng yang berdiri terbelalak dengan mata berapi dan bertolak pinggang, Bi LAN teringat akan penglihatan tadi dan mukanya menjadi merah sekali. Terbayang kembali peristiwa beberapa waktu yang lalu.
Pernah ia terluka dan Cu Kun Tek mengobati pinggangnya, hampir sama seperti yang dilakukan Sim Houw tadi, hanya bedanya kalau Kun Tek meraba pinggangnya, Sim Houw meraba pahanya. Ketika itu, Hong Beng muncul dan pemuda yang cemburu ini langsung saja menyerang Kun Tek karena menyangka mereka berbuat cabul! Dan kini, tiba-tiba Hong Beng muncul dan mendengar seruannya tadi yang mengatakan mereka tidak tahu malu iapun tahu bahwa kembali Hong Beng cemburu dan salah sangka! Maka, iapun menjadi marah. Dengan muka merah dan mata berapi-api, iapun melangkah maju.
"Gu Hong Beng, engkaulah laki-laki yang tak tahu malu!" ia membentak dengan marah sekali. "Selalu mencampuri urusan orang dan menjatuhkan fitnah, menuduh orang yang bukan-bukan karena cemburu. Sungguh tak tahu malu, cinta tak dibalas berubah cemburu gila!"
Wajah Hong Beng menjadi merah, bukan hanya karena marah akan tetapi juga karena malu. Ucapan itu memang tepat sekali, seperti ujung pedang yang menusuk dan menembus jantungnya. Karena tepat itulah maka mendatangan rasa nyeri yang lebih hebat lagi. Memang dia cemburu, dia iri terhadap Sim Houw. Kenapa Bi Lan demikian akrab dengan Sim Houw. Mungkinkah dara itu, yang menolak cintanya, kini jatuh cinta kepada Sim Houw? Aneh, pikirnya. Dalam segala hal, kecuali barangkali dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah oleh Sim Houw. Dia lebih muda, sebaya dengan Bi Lan, juga cukup tampan! Sim Houw terlalu tua untuk Bi Lan. Hal ini membuat dia menjadi semakin penasaran.
Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab lagi. Sim Houw yang sudah mengenal Hong Beng sebagai seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa, bahkan dia mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es, cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Hong Beng dan pria yang usianya kurang dari empatpuluh tahun dan nampak pendiam dan serius itu.
"Saudara Gu Hong Beng, harap jangan salah sangka terhadap nona Can Bi Lan. Kami semalam berkelahi melawan musuh-musuh yang lihai dan nona Can terkena pukulan pada paha kirinya. Kami beristirahat di sini dan aku hanya berusaha menghilangkan rasa yeri yang dideritanya karena luka memar di pahanya."
"Aku tidak mempersoalkan itu!" Gu Hong Beng juga membentak dengan suara tetap ketus. "Akan tetapi kalian sungguh tidak tahu malu telah mengambil jalan sesat dan membantu, juga melindungi iblis betina Bi-kwi murid Sam Kwi! Sekarang kami datang untuk minta agar kalian memberi tahu kepada kami di mana tempat persembunyian Bi-kwi agar kami dapat membasminya!"
Bi Lan marah sekali mendengar ini. "Hong Beng, tutup mulutmu yang kotor! Kami berdua memang membela dan melindungi suci Ciong Siu Kwi dari gangguan orang-orang jahat. Dan suci sekarang telah menjadi seorang wanita yang baik-baik, jangan kau memakinya sebagai iblis betina."
"Hemmm, bohong besar Bi Lan, aku tidak menyangka bahwa engkau sekarang telah berbalik pikir dan mencontoh kehidupan sucimu yang bejat ahlaknya itu. Siapa sudi percaya kebohonganmu bahwa orang macam Bi-kwi dapat berubah menjadi wanita baik-baik? Dan buktinyapun tidak begitu. Baru-baru ini ia bahkan membantu orang-orang jahat untuk memusuhi suhuku ini." Berkata demikian, Hong Beng menunjuk kepada laki-laki berusia tigapuluh delapan tahun itu yang sejak tadi memandang tajam tanpa mengeluarkan sebuah katapun.
"Ahhh....!" Sim Houw dan Bi Lan berseru kaget. Kiranya pria yang datang bersama Gu Hong Beng ini adalah guru pemuda itu, berarti bahwa pria ini adalah pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es! Sim Houw memandang penuh perhatian dan merasa terkejut sekali. Para pembaca tentu akan terheran pula bagaimana Suma Ciang Bun dapat muncul bersama Gu Hong Beng di tempat itu.
Seperti telah kita ketahui, Suma Ciang Bun yang sedang bersamadhi diganggu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang minta bantuan Ciong Siu Kwi. Wanita ini terpaksa memenuhi permintaan mereka untuk menyelamatkan Yo Jin yang mereka jadikan tawanan dan semacam sandera untuk memeras Siu Kwi. Dan dalam perkelahian dikeroyok tiga ini, terpaksa Suma Ciang Bun melarikan diri dengan membawa luka.
Belum jauh dia melarikan diri, dia terpaksa beristirahat dan berusaha mengobati lukanya. Dalam keadaan demikianlah dia bertemu dengan Hong Beng, muridnya yang memang sedang mencarinya. Melihat gurunya terluka, Hong Beng lalu membantu suhunya untuk mengobati luka itu dan bertanya bagaimana suhunya sampai menderita luka.
Ditanya oleh muridnya, Suma Ciang Bun menarik napas panjang. "Dua orang dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menyerangku, dan memang dua perkumpulan itu selalu memusuhi keluarga Pulau Es. Aku herhasil mengalahkan dan mengusir mereka berdua. Akan tetapi, beberapa hari kemudian mereka datang lagi, kini dibantu oleh seorang wanita cantik yang masih muda dan lihai sekali. Dan sekali ini, pengeroyokan mereka bertiga membuat aku terluka dan terpaksa melarikan diri."
Hong Beng marah sekali. "Hemm, siapakah wanita itu, suhu? Seperti bagaimana rupanya?"
Ketika Suma Ciang Bun menggambarkan keadaan Siu Kwi, Hong Beng menepuk pahanya.
"Ah, tidak salah lagi! Tentu iblis wanita itu yang membantu para tosu Pek-lian-kauw!" "Kaukenal wanita itu?"
"Ia tentu Bi-kwi, murid Sam Kwi. Ia memang jahat bukan main, suhu, keji dan pantas untuk dibasmi dari permukaan bumi!" Hong Beng lalu menceritakan semua pengalamannya sejak dia meninggalkan suhunya. Girang hati Suma Ciang Bun mendengar bahwa muridnya telah melakukan banyak hal gagah, bahkan muridnya telah bertemu dan bekerja sama dengan para pendekar keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir.
Dengan perawatan Hong Beng, Suma Ciang Bun cepat sembuh kembali dari luka-lukanya. Pada suatu hari, Gu Hong Beng meninggalkan gurunya di dalam guha di bukit yang berbatu-batu itu untuk mencarikan makanan bagi suhunya. Ketika dia sedang berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, menuju ke sebuah dusun, tiba-tiba di sebuah tikungan dia melihat dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu, sedang duduk mengaso di tepi jalan. Agaknya dua orang kakek itu kelelahan, atau sedang sakit. Hong Beng yang menaruh curiga karena teringat akan cerita gurunya yang diganggu oleh tosu tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, cepat menghampiri dua orang kakek itu. Mereka memakai pakaian pendeta, akan tetapi bagian luarnya memakai jubah yang tebal karena hawa memang dingin dan agaknya mereka menderita luka ketika melihat mereka seperti bukan orang jahat, Hong Beng menjura dengan penuh hormat. "Kenapakah ji-wi totiang berada di sini dan kelihatannya seperti sedang menderita? Siapakah ji-wi totiang?"
Melihat seorang pemuda yang gagah dan bersikap sopan, dua orang tosu itu sejenak memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan berperut gendut, segera berkata, "Siancai, siancai.... terima kasih atas perhatianmu, orang muda yang baik. Penglihatanmu tajam sekali, karena kami memang sedang sakit, menderita luka-luka dalam yang cukup berat."
Hong Beng terkejut. "Ahh? Apakah ji-wi totiang baru saja berkelahi dengan orang lain?"
Kakek yang kurus kering mengangguk-angguk. "Memang penglihatanmu tajam sekali, dan tentu engkau seorang yang gagah perkasa, orang muda. Sebelum kita bicara lebih jauh, bolehkah pinto mengetahai siapa namamu dan dari perguruan manakah?"
Melihat sikap dua orang tosu itu seperti bukan orang jahat, dan memang kebanyakan pendeta dan pertapa tentulah orang-orang yang baik, maka diapun mengaku terus terang. "Saya bernama Gu Hong Beng, guru saya adalah pendekar Suma Ciang Bun...."
"Aihhh!" Si kakek gendut berseru. "Pendekar Suma dari Pulau Es?"
Hong Beng tersenyum, agak bangga. "Memang suhu adalah keturunan keluarga Pulau Es dan siapakah ji-wi totiang?"
Sebelum kakek gendut menjawab, kakek kurus sudah mendahului. "Kami adalah dua orang pertapa yang sudah lama mengasingkan diri dan kadang-kadang saja melakukan perjalanan ke gunung-gunung dan dusun-dusun. Pinto Pek-san Lo jin dan ini adalah sute Hek-san Lo-jin. Dalam perjalanan kami, di balik bukit ini, di sebuah dusun kami mendengar bahwa ada seorang siluman betina yang membikin kacau dusun dengan menculik dan membunuhi pemuda-pemuda tampan. Sebagai seorang yang selalu menentang kejahatan, kami berdua lalu melakukan penelitian dan mendapat kenyataan bahwa siluman betina itu adalah Bi-kwi, murid dari mendiang Sam Kwi...."
"Ah, aku tahu siluman itu!" Hong Beng berseru "Apakah ji-wi kalah olehnya sehingga terluka?"
"Sayang sekali, sebenarnya kami berdua dapat menundukkan siluman itu. Akan tetapi muncul dua orang yang membantunya sehingga kami terluka. Pembantunya itu bukan lain adalah seorang pemuda bernama Sim Houw, dan pacarnya bernama Can Bi Lan sumoi dari siluman betina itu...."
"Ahhhh....! Pacarnya....?" Hong Beng menegaskan dengan hati panas. Panas karena Bi Lan dan Sim Houw membantu Bi-kwi, juga panas karena mendengar bahwa Bi Lan menjadi pacar Sim Houw.
"Ya, pacarnya. Mereka demikian akrab, dan mereka lihai sekali. Kami kalah dan terluka. Ah, kalau taihiap adalah murid dari keluarga Pulau Es, kami harap taihiap suka menghadapi mereka, untuk menyelamatkan para pemuda di dusun-dusun wilayah ini."
"Jangan khawatir, ji-wi totiang, saya dan suhu pasti akan dapat membasmi siluman itu dan kaki tangannya!"
Setelah kembali ke tempat di mana gurunya beristirahat, Hong Beng lalu bercerita tentang dua orang pertapa itu. Mendengar ini, Suma Ciang Bun menjadi marah. "Hemmm, mula-mula ia membantu para tokoh Pek-lian-kauw dan kini menculik pemuda-pemuda dusun. Hong Beng, mari kita pergi mencari mereka!"
"Akan tetapi suhu baru saja sembuh...."
"Aku sudah sembuh sama sekali. Mereka itu lihai, kalau engkau yang maju sendiri, aku khawatir engkau akan celaka. Kalau kita maju berdua, tentu mereka akan dapat kita basmi."
Demikianlah, guru dan murid itu meninggalkan guha dan mulai dengan usaha mereka untuk mencari Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw. Dan pagi hari itu, kebetulan sekali mereka melihat Bi Lan dan Sim Houw dan melihat betapa Sim Houw memijit-mijit paha kiri Bi Lan, tentu saja cemburu, iri hati dan kemarahan membuat Hong Beng tak dapat menahan diri dan segera maju menegur dengan sikap marah.
Mendengar tuduhan Hong Beng terhadap Siu Kwi, Bi Lan segera menpambil sikap membela sucinya. "Ia juga menceritakan hal itu kepadaku!" bantahnya. "Memang benar ia telah membantu tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw untuk memusuhi Suma-locianpwe, akan tetapi ia melakukannya dengan terpaksa karena pemuda tunangannya ditawan oleh para tosu itu."
Mendengar mereka berbantahan, Suma Ciang Bun segera melangkah maju. "Sudahlah, tidak perlu berbantahan. Yang penting, harap kalian suka memberi tahu di mana adanya siluman betina itu karena kami ingin membunuhnya."
Bi Lan marah sekali, juga Sim Houw mengerutkan alisnya. Sikap pendekar keturunan keluarga Pulau Es ini sungguh tidak menyenangkan, dan terlalu terburu nafsu hendak membunuh orang. Tidak dapat diajak berunding dengan baik-baik, dan sikap itu agaknya didorong oleh ketinggian hati yang tidak memandang kepada orang lain.
"Suci Ciong Siu Kwi tidak bersalah dan kami tidak tahu ia berada di mana. Andaikata kami tahu sekalipun, tidak akan kami beritahukan kepada orang-orang yang berniat untuk mengganggunya!" kata Bi Lan dengan suara ketus.
Hong Beng meloncat ke depan. "Bi Lan!" katanya, suaranya keren. Antara kita sudah terjalin persahabatan sejak lama sekali, dan kita sama mengenal masing-masing sebagai pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan. Apakah engkau lupa akan hal itu? Ketika kita semua menyerbu para pembantu pembesar lalim Hou Seng. engkau melepaskan Bi-kwi dan kukira hal itu hanya karena engkau mengingat hubungan perguruan dan menaruh hati kasihan kepadanya. Akan tetapi siapa tahu, kini agaknya engkau malah tersesat dan hendak mengikuti jejaknya! Engkau melindungi seorang iblis betina, biarpun iblis itu pernah menjadi sucimu. Ingatlah, Bi Lan dan sadarlah sebelum terlambat." Dia lalu memandang kepada Sim Houw. "Sim-taihiap selama ini kuanggap sebagai Pendekar Suling Naga yang terkenal. Kenapa setelah dekat dengan Bi Lan, tidak mau membimbing gadis ini ke arah jalan yang benar?"
"Hong Beng, tutup mulutmu! Engkau tidak berhak mengurus kehidupanku! Aku yakin akan kebenaran suciku yang ingin menjadi orang baik, dan kalau engkau tidak setuju, terserah. Tidak perlu memberi kuliah kosong kepadaku!" Bi Lan kini juga sudah marah sekali.
"Bi Lan, engkau tahu bahwa aku sayang kepadamu. Akan tetapi kalau engkau berpihak kepada iblis betina Bi-kwi, terpaksa aku menganggapmu sebagai orang yang akan menyeleweng dan patut dihajar."
"Keparat, majulah! Siapa takut kepadamu?" Bi Lan juga membentak marah. Hong Beng maju dan mengirim tamparan yang dielakkan oleh Bi Lan dan gadis inipun membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula dielakkan oleh Hong Beng. Mereka segera terlibat dalam suatu perkelahian sengit, karena keduaya sudah menjadi panas hati dan marah sekali.
Cemburu memang merupakan suatu penyakit yang amat berbahaya. Anggapan bahwa cinta harus dihiasi cemburu adalah anggapan yang menyesatkan.
Cemburu timbul dari pementingan diri pribadi, cemburu adalah iri hati karena keinginannya untuk menguasai sesuatu atau seseorang secara mutlak, terganggu. Cemburu mendatangkan kemarahan dan bahkan kebencian, menimbulkan permusuhan. Cinta kasih adalah sesuatu yang suci murni, dan hanya dengan peniadaan kepentingan diri pribadi maka cinta kasih dapat bersinar. Cemburu adalah kembangnya nafsu, bukan kembangnya cinta.
Hong Beng tadi menganggap bahwa dia mencinta Bi Lan. Akan tetapi karena Bi Lan menolak cintanya, datanglah cemburu dan dia merasa iri hati terhadap setiap orang pria yang akrab dengan gadis yang pernah membuatnya tergila-gila itu. Dan dari kenyataan ini saja mudah dinilai bahwa cintanya terhadap Bi Lan adalah cinta nafsu, cinta karena tertarik oleh kecantikan dan pribadi gadis itu. Cintanya mudah berubah menjadi cemburu dan kebencian sehingga kini tanpa ragu-ragu lagi dia mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk berkelahi dengan gadis yang katanya pernah dia cinta itu! Berkelahi mati-matian berarti berusaha untuk mencelakai, melukai atau bahkan membunuh! Mungkinkah cinta kasih yang suci berubah menjadi nafsu ingin membunuh? Kalau cinta nafsu memang mungkin, karena antara cinta berahi dan nafsu membunuh terdapat pertalian yang kuat, yaitu keduanya timbul dari pementingan diri sendiri, merupakan nafsu yang selalu menguasai batin manusia.
Melihat betapa gadis itu dapat bergerak dengan lincah, Hong Beng lalu mengeluarkan tenaga sakti yang dilatihnya dengan tekun, yaitu tenaga Hwi-yang Sin-kang dari keluarga Pulau Es.
"Dukk!" Bi Lan menahan seruannya ketika tangannya bertemu dengan tangan Hong Beng karena dari tangan pemuda itu keluar hawa panas yang luar biasa sekali, seperti hendak membakar tangannya? Marahlah gadis ini. Ia maklum betapa lihainya murid keluarga Pulau Es ini, maka iapun cepat meraba gagang pedangnya.
"Singgg....!" Nampak sinar berkilauan ketika Ban-tok-kiam dicabut. Melihat ini, Suma Ciang Bun terkejut bukan main. Dia jarang melihat pedang Ban-tok-kiam milik nenek Wan Ceng sehingga dia tidak mengenal pedang itu. Akan tetapi dia tahu benar bahwa pedang di tangan gadis itu tentulah sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, maka dia mengeluarkan seruan kaget. Juga Hong Beng terkejut. Tentu saja dia mengenal pedang ini dan maklum betapa ampuhnya Ban-tok-kiam, maka diapun melompat ke belakang.
"Bi Lan, engkau mempergunakan pusaka itu apakah benar-benar hendak membunuh aku?"
Bi Lan tersenyum mengejek. "Hong Beng, kalau engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan ampuh itu, apakah bukan untuk membunuhku melainkan untuk bersamaku menari-nari?"
Mendengar ejekan ini, Hong Beng maju lagi. "Baiklah, kalau engkau hendak membunuhku, akupun tidak takut mati!" Dan diapun menyerang lagi, akan tetapi terpaksa meloncat ke samping ketika di sambut tusukan pedang yang mengeluarkan sinar yang menggiriskan.
"Gadis kejam menggunakan senjata yang keji!" Tiba-tiba Suma Ciang Bun meloncat ke depan. "Biarkan aku menghadapinya, Hong Beng!"
Akan tetapi, Sim Houw sudah menghadang ke depan pendekar itu. "Locianpwe, maafkan saya. Biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka dan harap locianpwe tidak mencampuri."
Suma Ciang Bun kini menatap wajah Sim Houw. Sudah pernah aku mendengar berita tentang munculnya pendekar muda, yang berjuluk Pendekar Suling Naga. "Kalau engkau membela siluman betina, biarlah aku mencoba kelihaianmu." Berkata demikian. Suma Ciang Bun sudah maju menampar dan tamparannya mendatangkan angin yang amat kuat. Sim Houw cepat mengelak dan diapun maklum bahwa pendekar itu memiliki tenaga sakti dari keluarga Pulau Es yang amat berbahaya, maka diapun lalu mengeluarkan Liong-siauw-kiam, yaitu suling pedangnya yang ampuh. Melihat senjata itu, Suma Ciang Bun memandang kagum.
"Itukah Liong-siauw-kiam yang terkenal itu? Bagus, hendak kucoba keampuhannya!" Dan diapun mencabut keluar sepasang pedangnya. Siang-kiam (sepasang pedang) itu indah sekali, ketika dicabut mengeluarkan sinar putih dan gagangnya dihias ronce-ronce biru dan ketika digerakkan, maka sepasang pedang itu saling berpapasan dan mengeluarkon suara berdencing dan muncratlah bunga api. Dia telah memainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat hebat dari Pulau Es.
Sim Houw tentu saja maklum akan kelihaian lawan dan diapun memutar senjatanya yang istimewa. Akan tetapi, pendekar ini tidak berniat untuk mencelakai lawan. Dia tahu benar bahwa Suma Ciang Bun adalah keturunan keluarga Pulau Es, seorang pendekar tulen dan kalau sekarang berkelahi dengannya, tidak lain hanya karena salah paham gara-gara Siu Kwi. Tentu saja pendekar ini bersama muridnya mengenal Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi karena sejak dahulu memang Siu Kwi dimusuhi para pendekar bahkan sudah beberapa kali bentrok dengan Hong Beng. Tentu saja Hong Beng dan guru nya sama sekali tidak tahu, bahkan tidak akan mau percaya bahwa Ciong Siu Kwi kini sudah bukan Bi-kwi lagi, bukan Setan Cantik, bukan manusia iblis yang jahat, melainkan seorang wanita yang jatuh cinta dan yang sedang berusaha untuk merobah jalan hidupnya, ingin menjadi seorang isteri yang baik dan setia, ingin menjadi seorang ibu yang baik dan bijaksana! Sim Houw tidak mungkin dapat memusuhi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun dan Hong Beng. Kalau dia sekarang terpaksa maju, hanyalah karena dia tidak ingin pendekar itu melawan Bi Lan.
Suma Ciang Bun adalah seorang pendekar yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Tentu saja gerakan-gerakan Sim Houw yang tidak sungguh-sungguh itu segera dapat diketahuinya dan diapun mulai meragu apakah Pendekar Suling Naga ini pantas menjadi musuhnya! Jangan-jangan pendekar ini dan gadis itu membela siluman betina itu karena memang ada dasarnya yang kuat! Diapun meragu dan tidak sungguh-sungguh pula mendesak dengan siang-kiamnya, karena tentu saja dia segan untuk mendesak lawan yang tidak bersungguh-sungguh menyerangnya.
Berbeda dengan perkelahian yang terjadi antara Bi Lan dan Hong Beng. Dua orang muda itu agaknya sudah dikuasai oleh kemarahan dan keduanya berkelahi dengan mati-matian! Akan tetapi, Hong Beng terdesak hebat karena pemuda ini jerih menghadapi Ban-tok-kiam. Dia banyak mengelak dan hanya kadang-kadang saja membalas dengan pukulan jarak jauh, mengandalkan sin-kang yang hebat dari keluarga Pulau Es yang sudah dikuasainya. Dan agaknya Bi Lan juga merasa betapa ia telah mendapatkan kemenangan karena pedangnya, maka pedangnya itu hanya dipergunakan untuk mengancam saja, dengan kelebatan sinarnya yang bergulung-gulung, sedangkan dara ini lebih condong menyerang dengan tamparan tangan kiri atau tendangan kakinya. Agaknya ia
ingin menang dengan serangan kaki atau tangannya, bukan dengan pedangnya.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dari jauh, suara desis yang makin lama semakin keras dan terciumlah bau amis binatang buas! Semua orang yang sedang berkelahi itu cepat meloncat untuk menghentikan perkelahian sementara, dan nampaklah oleh mereka seorang laki-laki kecil kurus bongkok sedang mengeluarkan suara mendesis tinggi sambil kedua tangannya diacung-acungkan ke atas dan di depannyw merayap ratusan ekor ular besar kecil seperti sekumpulan bebek yang sedang digembalakan oleh orang kurus bongkok itu. Ratusan ekor ular itu mengeluarkan suara mendesis-desis dan binatang-binatang inilah yang mengeluarkan bau amis. Suara mendesis semakin keras karena ular-ular itu kini merayap dengan cepat ke arah mereka yang tadi berkelahi, agaknya diberi semangat oleh kakek bongkok yang menjadi gembalanya. Di belakang kakek bongkok itu nampak lima orang lain lagi yang kesemuanya bersenjata tongkat.
Melihat kakek bongkok itu, tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa dia adalah Coa-ong Seng-jin, tokoh Pek-lian-kauw yang semalam mengeroyok mereka. Terkejutlah Sim Houw.
"Lan-moi, mari kita pergi!" katanya dan diapun menangkap tangan Bi Lan dan meloncat jauh lalu mengajak gadis itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
"Hendak lari ke mana kau?" bentak Hong Beng yang hendak mengejar, akan tetapi suhunya berseru. "Hong Beng, jangan kejar!"
Hong Beng tidak melanjutkan pengejarannya dan menghampiri suhunya yang masih memandang ke arah kakek bongkok yang menggiring ratusan ular itu. Kini ular-ular itu seperti binatang-binatang sirkus terlatih saja, mengepung tempat itu seperti barisan mengepung musuh. Melihat betapa penggembala ular itu memakai tanda anggauta Pek-lian-kauw di dadanya, diam-diam Suma Ciang Bun menjadi marah. Jelaslah bahwa dua orang muda tadi benar-benar telah bersekongkol dengan siluman betina yang menjadi sahabat orang-orang Pek-lian-kauw, pikirnya. Dia pernah dikeroyok tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw bersama siluman betina bernama Bi-kwi itu, dan dua orang muda tadi menbela Bi-kwi. Kini terbukti bahwa kakek Pek-lian-kauw dan ular-ularnya ini datang untuk membantu Sim Houw dan Bi Lan, dan mengepung dia dan muridnya.
Tiba-tiba Suma Ciang Bun mengeluarkan bunyi melengking tinggi sekali, suara yang keluar dari mulutnya seperti bukan suara orang, seperti suara suling melengking. Hong Beng yang pernah mendengar dari suhunya bahwa suhunya juga memiliki ilmu pawang ular, yaitu ilmu untuk menguasai ular-ular yang pernah dipelajari dari ibu suhunya, memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian. Dia sendiri tidak pernah mempelajari ilmu itu dan dia tidak gentar menghadapi pengepungan ular-ular itu walaupun merasa jijik. Dia melihat betapa kini semua ular yang berada di situ mengangkat kepala seperti mendengarkan suara melengking itu dan menghadap ke arah Suma Ciang Bun. Pendekar itu menggerak-gerakkan kedua tangannya yang diangkat ke atas dan lengannya, membentuk ular yang mematuk-matuk, hampir sama dengan gerakan Coa-ong Seng-jin yang menggembala ular-ular itu.
Dan kini ular-ular itu berhenti mendesis-desis dan nampak gelisah, bahkan sudah ada yang merayap pergi ketakutan!
Coa-ong Seng-jin terkejut bukan main melihat betapa ular-ularnya dapat dikuasai orang lain. Diapan cepat mengeluarkan suara mendesis tinggi dan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang juga membentuk tubuh ular yang mengangkat kepalanya, dengan tangan menjadi kepala ular. Dia mengerahkan seluruh kepandaian pawangnya untuk menguasai kembali ular-ularnya. Namun, Suma Ciang Bun juga terus mengeluarkan suara melengking dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. Ular-ular itu menjadi panik dan bingung sekali, tidak tahu harus mentaati perintah yang mana di antara keduanya itu karena keduanya memiliki daya tekan yang sama kuatnya. Karena panik, ular-ular itu lari simpang-siur, saling bertabrakan dan kemudian menjadi ganas dan saling gigit!
"Hooo-hoooo, anak-anak bodoh.... dengarkan aku, majulah.... maju dan serang musuhku....!" Coa-ong Seng-jin berteriak-teriak marah.
Akan tetapi karena dia berteriak-teriak, dengan sendirinya desisnya terhenti dan pengaruhnya atas ular ular itupun membuyar sehingga pengaruh lengkingan Suma Ciang Bun menjadi kuat sekali, membuat ular-ular itu mentaati dan segera mereka merayap dan lari cerai-berai meninggalkan tempat itu seperti sekelompok anjing yang disiram air atau diancam gebukan!
Coa-ong Seng-jin menjadi marah bukan main. Dengan sepasang mata berubah merah, dia lalu meloncat ke depan, menangkap seekor ular yang besar dan panjang, dan ular itu segera menjadi jinak di tangannya. Dengan senjata baru berupa ular yang ternyata adalah seekor ular senduk yang amat berbisa itu, dia melangkah maju menghampiri Suma Ciang Bun.
"Setan, siapakah engkau?" bentaknya. Coa-ong Seng-jin tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat dan akal busuk yang dipergunakan oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin untuk mengadu domba antara pendekar keluarga Pulau Es ini bersama muridnya dengan Sim Houw dan Bi Lan. Dia bersama teman-temannya sedang mencari-cari kedua orang muda itu setelah rombongannya yang terdiri dari tigabelas orang dipecah menjadi tiga rombongan kecil oleh Thian Kong Cin-jin. Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu sedang berkelahi melawan dua orang lain dia cepat memanggil ular-ular ita untuk mengepung agar, dia dapat segera turun tangan merobohkan Sim Houw dan Bi Lan. Akan tetapi, ternyata dua orang muda itu sudah lebih dahulu melarikan diri dan kini ular-ularnya malah dibikin kacau oleh laki-laki tampan yang pakaiannya indah ini!
Suma Ciang Bun sudah mengenal Coa-ong Seng-jin sebagai seorang tokoh Pek-lian-kauw dari lukisan teratai putih di jubah kakek itu, maka diapun terus terang menjawab dengan tenang. "Tosu Pek-lian-kauw, aku bernama Suma Ciang Bun dan ini muridku Gu Hong Beng."
"Suma....? Keluarga Pulau Es....?" Coa-ong Seng-jin membentak dan empat orang temannya juga terkejut mendengar nama keluarga itu.
Suma Ciang Bun mengangguk sambil menahan senyumnya. "Celaka, kiranya keparat dari keluarga Pulau Es! Bunuh dia dan muridnya!" Dan diapun sudah menggerakkan tangannya dan ular cobra itu sudah dilemparkannya ke arah Suma Ciang Bun. Pendekar ini dengan tenang saja mengulur tangan menangkap ular itu yang segera menjadi jinak pula, kemudian dia melemparkan ular itu kembali ke arah lawan! Coa-ong Seng-jin menerima ularnya kembali, akan tetapi ular itu segera dibantingnya karena dianggap tidak ada gunanya dipakai menyerang seorang yang memiliki ilmu pawang ular seperti lawannya. Dengan menggereng keras dia lalu mengeluarkan sebatang rantai dari pinggangnya, dan meluncurlah rantai itu menghantam ke arah Suma Ciang Bun. Kiranya kakek bongkok ini memang ahli mempergunakan senjata rantai dan tidak aneh kalau dia suka mempergunakan ular sebagai senjata,
pengganti rantainya.
Suma Ciang Bun menyambut dengan sepasang pedangnya yang tadi sudah disimpannya. Dua gulungan sinar putih berkelebat dan bergulung-gulung ketika dia menghadapi serangan rantai lawannya. Empat orang teman Coa-ong Seng-jin yang terdiri dari tiga orang anggauta Pek-lian-kauw dan seorang anggauta Pat-kwa-kauw maju pula mengeroyok. Hong Beng tidak tinggal diam, cepat dia maju menghadapi dan membantu gurunya.
Kembali di tempat itu terjadi perkelahian yang lebih sengit dari pada tadi. Akan tetapi sekali ini, guru dan murid itulah yang menjadi pemenang dengan mendesak lima orang lawannya. Empat orang pembantu Coa-ong Seng-jin itu adalah murid-murid kepala, maka rata-rata mereka sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Namun, menghadapi Hong Beng dan gurunya, mereka repot sekali. Belum sampai tigapuluh jurus, dua orang murid kepala roboh, seorang terkena tamparan Hong Beng dan yang kedua terserempet pedang di tangan Suma Ciang Bun. Melihat ini, tiga orang tosu lainnya cepat menyambar tubuh kawan yang roboh dan melarikan diri.
Kembali Suma Ciang Bun melarang muridnya untuk melakukan pengejaran. "Tidak perlu mengejar musuh yang melarikan diri," katanya. "Kecali kalau musuh lari membawa pergi sesuatu."
Hong Beng menarik napas panjang. Kemarahannya yang timbul karena cemburu tadi masih belum lenyap dan dia merasa hatinya mengkal dan tidak enak sekali. "Sayang sekali tosu-tosu bedebah itu datang mengganggu, suhu, sehingga Sim Houw dan Bi Lan dapat melarikan diri."
Suma Ciang Bun tersenyum dan memandang wajah muridnya dengan tajam, kemudian tiba-tiba dia bertanya, "Hong Beng, apakah engkau mencinta gadis itu?"
"Gadis.... gadis mana.... apa maksud suhu?" Hong Beng terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu dan biarpun dia maklum siapa yang dimaksudkan suhunya, saking kagetnya dia menjadi gugup.
"Engkau mencinta atau pernah mencinta Can Bi Lan, bukan?" Hong Beng menundukkan mukanya yang berubah merah dan dia mencoba tersenyum, senyum pahit, lalu dia mengangguk. "Teecu tidak dapat berbohong kepada suhu. Memang sesungguhnyalah, teecu mencinta.... atau lebih tepat lagi pernah mencinta Bi Lan."
"Dan menurut ucapan gadis tadi, hubungan kalian putus karena gadis itu menolak cintamu karena ia sudah mencinta Sim Houw?"
"Ia memang menolak cinta teecu, suhu, akan tetapi ketika itu ia belum mencinta siapapun juga. Baru sekarang teecu melihat ia akrab dengan Sim Houw, keakraban yang tidak sopan dan tidak tahu malu!"
Hatinya menjadi semakin panas ketika ia teringat dan membayangkan adegan mesra antara Bi Lan dan Sim Houw tadi.
"Engkau tidak sungguh-sungguh mencintanya, Hong Beng, karena itu lupakan saja gadis itu. Bodoh sekali kalau menyiksa diri dan membenamkan diri dalam kebencian dan kedukaan karena cintanya ditolak."
Wajah Hong Beng menjadi merah. "Teecu juga sudah melupakannya, suhu. Hanya teecu merasa tak senang dan panas sekali melihat betapa Bi Lan yang dahulunya seorang pendekar wanita yang lihai dan menentang kejahatan, kini setelah bergaul dengan Sim Houw lalu berbalik menjadi sesat dan membela wanita iblis seperti Bi-kwi yang bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-kauw.
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. "Aku masih merasa heran dengan sikap mereka, Hong Beng. Pendekar Suling Naga itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak berkelahi sungguh-sungguh tadi ketika melawanku."
"Ah, akan tetapi Bi Lan menyerang teecu dengan mati-matian, sehingga nyaris teecu tewas oleh Ban-tok-kiam di tangannya!" kata Hong Beng penasaran.
"Ban-tok-kiam....?" tanya Suma Ciang Bun karena dia merasa pernah mendengar nama pedang itu.
"Benar, suhu. Pedang yang mengerikan itu adalah Ban-tok-kiam, pedang milik isteri dari locianpwe Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir."
"Apa....?" Suma Ciang Bun terkejut sekali, memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak.
"Kaumaksudkan pedang milik.... bibi Wan Ceng....? Apa hubungannya gadis itu dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?"
"Mereka adalah guru-guru Bi Lan, suhu."
"Eh? Bukankah kaubilang bahwa Can Bi Lan itu sumoi dari Bi-kwi, dengan demikian murid dari Sam Kwi?"
"Benar, suhu, akan tetapi Bi Lan pernah bertemu dengan Kao-locianpwe dan isterinya, dan menerima gemblengan mereka, bahkan diberi pinjam pedang Ban-tok-kiam. Bi Lan sendiri menceritakan semua ini kepada teecu."
Ciang Bun menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. "Sungguh aneh sekali. Bagaimana mungkin paman Kao Kok Cu dan bibi Wan Ceng mau mengambil murid seorang gadis yang telah menadi murid Sam Kwi?"
"Dan sekarang agaknya watak Sam Kwi dan Bi-wi telah menular kepada Bi Lan sehingga ia menjadi seorang wanita sesat."
"Jangan menuduh sembarangan lebih dulu, Hong Beng. Bagaimanapun juga, aku masih merasa sangsi. Kalau mereka bersekutu dengan pihak Pek-lian-kauw, tentu mereka tadi tidak melarikan diri dan bersama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw itu mengeroyok kita. Kalau demikian halnya, mungkin kita berdua takkan kuat bertahan."
Suma Ciang Bun lalu mengajak muridnya meninggalkan tempat itu. Dia bermaksud mengunjungi encinya, yaitu Suma Hui yang telah menjadi isteri Kao Cin Liong, selain untuk menjenguk kakaknya itu,juga untuk bicara dengan kakak iparnya, Kao Cin Liong, tentang keanehan orang tua pendekar itu yang mengambil gadis yang telah menjadi murid Sam Kwi sebagai murid pula, bahkan meminjamkan pedang pusaka sehingga Bi Lan mempergunakan pedang pusaka itu untuk bertindak sesat.
"Sim koko, kenapa sih engkau selalu mengajak aku melarikan diri? Lama kelamaan aku bisa merasa sebagai seorang pengecut besar. Sudah beberapa kali, di tengah pertandingan engkau memaksa aku untuk melarikan diri. Untuk yang sudah-sudah engkau selalu mempunyai alasan. dan sekarang apa lagi alasanmu, Sim-ko? Aku tidak kalah menghadapi Hong Beng yang sombong itu, dan engkaupun belum tentu kalah oleh gurunya. Kemunculan para tosu Pek-lian-kauw itupun tidak membuat aku menjadi jerih. Kenapa kita harus melarikan diri seperti dikejar setan?" tanya Bi Lan dengan suara mengandung penasaran dan matanya yang jeli itu menatap wajah Sim Houw dengan tajam penuh selidik.
"Lan-moi, sebetulnya sejak semula aku ingin mencegah engkau berkelahi dengan Hong Beng dan gurunya, akan tetapi engkau dan Hong Beng demikian bernapsu untuk berkelahi. Ketika para tosu Pek-lian-kauw muncul, kesempatan baik muncul dan aku mengajak engkau pergi. Aku pikir bahwa tidak semestinya kita melayani Hong Beng dan gurunya hanya salah paham dengan kita."
"Salah paham apa? Hong Beng menghinaku!" bentak Bi Lan marah.
Sim Houw tersenyum. "Dia marah-marah karena salah paham, Lan-moi. Pertama, bantuan kita terhadap Ciong-lihiap menimbulkan salah paham sehingga dia menyangka kita membela pihak yang jahat. Kemudian yang ke dua, dia melihat keadaan kita dan kembali dia salah kira, menyangka yang bukan-bukan. Dia bukan sengaja menghina, melainkan bertindak sembrono karena salah sangka dan karena cemburu...."
"Kenapa mesti cemburu? Aku bukan pacarnya, bukan kekasihnya, bukan apa-apanya! Sudah dua kali dia mengulang perbuatannya yang didorong oleh cemburu buta itu. Pertama kali ketika aku terluka dan Cu Kun Tek mengobati punggungku, Hong Beng juga menjadi cemburu dan menyerang Kun Tek kalang-kabut seperti orang gila. Kemudian tadi.... hemmm, dia kira aku ini siapa? Aku bukan apa-apanya, dia tidak berhak untuk cemburu!"
Sim Houw menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Hong Beng. Tahulah dia bahwa Hong Beng pernah tergila-gila kepada Bi Lan dan agaknya karena cintanya ditolak, Hong Beng menjadi sakit hati dan cemburu. Memang hal itu buruk sekali, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan Hong Beng yang masih muda itu.
"Karena engkau menolak cintanya maka dia sakit hati dan cemburu, Lan-moi."
"Apa dia akan memaksa bahwa aku harus membalas cintanya? Phuhh, memang wataknya buruk sekali. Orang lain yang kutolak cintanya tidak marah-marah dan cemburu macam dia!"
Sim Houw tertarik sekali. "Siapakah dia itu, Lan-moi?"
Bi Lan sedang panas hatinya terhadap Hong Beng dan sedang merasa penasaran karena diajak pergi melarikan diri oleh Sim Houw, maka tanpa berpikir panjang lagi ia menjawab, "Kun Tek juga menyatakan cintanya kepadaku dan kutolak!" Tiba-tiba dara itu berhenti bicara karena ia teringat bahwa Kun Tek masih terhitung paman Sim Houw, walaupun usia Sim Houw belasan tahun lebih tua dari pemuda Lembah Naga Siluman itu.
Akan tetapi Sim Houw tersenyum, tidak nampak kaget karena memang diapun sudah pernah menduganya. "Lan-moi, dua orang pemuda gagah perkasa dan pilihan telah menyatakan cinta kepada dirimu. Akan tetapi kenapa engkau menolak keduanya?"
Bi Lan mengerutkan alisnya. "Habis, kalau aku tidak mempunyai perasaan cinta terhadap mereka, apakah aku harus menerima seorang di antara mereka?"
Sim Houw menggeleng kepalanya. "Tentu saja tidak, Lan-moi. Tetapi.... apakah selama ini engkau tidak pernah jatuh cinta kepada seseorang?"
Bi Lan melupakan kemarahannya dan ia tersenyum. "Agaknya nasibku sama dengan engkau, Sim-ko. Seperti juga engkau yang selama ini tidak pernah jatuh cinta lagi kepada seorang gadis, akupun tidak pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Agaknya ada persamaan antara kita. Kalau engkau sekali waktu jatuh cinta kepada seorang wanita, mungkin sekali akupun akan jatuh cinta kepada seorang pria, siapa tahu?" Dan gadis itupun lari mendaki bukit di depan dengan cepat. Sim Houw tertegun sejenak, lalu menggeleng kepala dan mengejar. Dia sungguh tidak mengerti akan sikap Bi Lan. Gadis itu amat menarik hatinya, amat dicintanya sejak pertama kali bertemu. Bi Lan dianggapnya memiliki watak yang amat aneh, dan mungkin keanehan watak gadis inilah yang merupakan satu di antara daya tarik gadis itu baginya. Kadang-kadang demikian mudah membaca isi hati Bi Lan, seperti membaca sebuah kitab terbuka saja. Akan tetapi ada kalanya, sikap Bi Lan merupakan teka-teki yang amat sulit baginya, sukar dimengerti. Kadang-kadang timbul harapannya karena dia melihat tanda-tanda bahwa Bi Lan sayang dan cinta kepadanya, akan tetapi dia masih meragukan hal ini. Mungkin seorang gadis remaja seperti Bi Lan dapat jatuh cinta kepadanya? Bi Lan telah menolak cinta kasih pemuda-pemuda hebat yang sebaya dengan gadis itu. Kalau pendekar-pendekar muda seperti Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek saja ditolak cintanya, apa lagi seorang laki-laki yang sudah tua seperti dia! Usianya sudah tigapuluh empat atau tigapuluh lima tahun, sedangkan usia Bi Lan baru delapan belas tahun. Dia dua kali lebih tua dari gadis itu, pantas menjadi pamannya! Mungkinkah gadis muda seperti Bi Lan yang menolak dua orang pendekar perkasa dan muda seperti Hong Beng dan Cu Kun Tek, dapat mencinta seorang tua seperti dia? Sukar untuk dapat dipercaya dan hal inilah yang membuat hati Sim Houw senantiasa meragu dan dia takut untuk menyatakan cinta kasihnya. Takut kalau-kalau pernyataan cintanya hanya akan memisahkan dia dari Bi Lan. Biarlah tidak menyatakan cinta, disimpannya sebagai rahasianya sendiri saja asalkan dia dapat berdekatan terus dengan Bi Lan. Dia telah tergila-gila kepada Bi Lan, mencinta Bi Lan dengan seluruh batin dan badannya, sampai ke rambut-rambutnya, dan baru sekaranglah dia mencinta wanita lain setelah dulu cintanya ditolak oleh Kam Bi Eng.
Dilihatnya bayangan Bi Lan sudah sampai di puncak bukit itu, maka diapun segera mengerahkan tenaganya untuk mempercepat larinya mengejar gadis itu. Mereka sudah tiba di perbatasan utara dan Sim Houw sudah mendengar bahwa daerah tembok besar ini selain sunyi dan liar, juga amat berbahaya karena siapa yang dihadang oleh orang-orang jahat di daerah ini, jangan harap akan bisa mendapatkan pertolongan dari orang lain karena tempat itu sunyi.
******
Bekas Panglima Kao Cin Liong yang kini menjadi seorang saudagar rempa-rempa di kota Pao-teng, di kenal oleh hampir semua orang di kota itu. Bukan hanya dikenal sebagai seorang pedagang yang berhasil, melainkan juga sebagai seorang dermawan yang selalu membuka kedua tangan untuk menolong orang lain yang kesusahan, juga terkenal sebagai seorang bekas panglima dan seorang pendekar yang berilmu tinggi. Apa lagi di kalangan dunia persilatan. Semua orang kang-ouw tahu belaka siapa adanya Kao Cin Liong, karena dia adalah putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Juga isterinya amat terkenal, karena Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
Seperti telah kita ketahui, Kao Cin Liong yang kini berusia limapuluh tahun dan Suma Hui yang berusia empatpuluh tahun itu, hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan berusia tigabelas tahun yang diberi nama Kao Hong Li. Mudah saja diduga bahwa Hong Li tentu saja memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Ayah dan ibunya adalah pendekar-pendekar kenamaan yang sakti, maka tentu saja sejak anak ini masih kecil, ia telah digembleng oleh kedua orang tuanya sehingga ketika usianya tigabelas tahun, ia telah menjadi seorang anak perempuan yang lincah dan lihai bukan main. Sukar mencari seorang dewasa, biar pria sekalipun, yang akan mampu mengalahkan gadis cilik ini. Bahkan mereka yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja, jangan harap akan mampu menandingi Hong Li. Di dalam usianya yang baru tigabelas tahun, Hong Li sudah nampak cantik. Mudah dilihat
bahwa ia akan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan menarik dalam waktu beberapa tahun lagi. Tubuhnya tinggi langsing dan padat, penuh dengan tenaga terlatih. Matanya yang membuka wajahnya nampak cerah. Mata itu paling indah. Lebar dan jeli, bagaikan telaga yang bening. Sikapnya lincah, jenaka, akan tetapi galak. Hal terakhir ini mungkin timbul karena sebagai anak tunggal, tentu saja ada sedikit kemanjaan dalam hatinya. Apa lagi kesadaran bahwa ayah ibunya adalah pendekar-pendekar sakti yang dikagumi dan dihormati orang sedikit banyak mendarangkan ketinggian hati. Ayah ibunya tidak menghendaki hal ini dan tentu saja mereka tidak suka kalau anak tunggal mereka tinggi hati atau manja, akan tetapi karena mereka menganggap Hong Li masih terlalu kecil dan kurang pengalaman, maka sedikit ketinggian hati dan kemanjaan itu mereka anggap sebagai hal lumrah yang kelak tentu akan hilang sendiri kalau jiwa pendekar sudah menjadi dasar batin Hong Li.
Peradaban dan kebudayaan kita telah membentuk diri kita seperti keadaannya sekarang, yaitu gila hormat dan haus akan pujian! Semenjak kecil kita dijejali kebiasaan untuk mengagungkan nilai-nilai, mengejar nilai-nilai. Anak-anak kecil dipuji kalau melakukan hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan, dicela kalau sebaliknya. Di sekolahpun para murid diajar untuk memperebutkan nilai-nilai. Kemajuan mereka diukur dengan nilai-nilai. Karena itu, kita berangkat besar dengan pengertian bahwa kita amat memerlukan nilai-nilai baik dalam kehidupan ini, dan betapa senangnya menerima pujian-pujian, betapa tidak menyenangkan menerima celaan-celaan. Kita menjadi orang-orang yang munafik dan palsu, mengejar pujian-pujian dengan segala cara. Kita selalu ingin memamerkan segi-segi yang dipandang baik oleh orang lain dalam diri kita, hanya untuk mengejar pujian. Kita berangkat dewasa menjadi manusia yang gila pujian dan gila hormat.
Tidak mengherankan kalau Hong Li tidak terkecuali. Ia berangkat besar seperti anak-anak lain yang selalu haus akan pujian dan selalu ingin memamerkan kepandaiannya, ingin menonjolkan keistimewaan yang ada pada dirinya dan yang tidak terdapat pada diri orang lain.
Seperti orang-orang tua yang hidup di alam kita ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui juga tidak terkecuali, selalu mengajarkan kepada anak tunggal mereka tentang kebaikan agar anak mereka selalu berbuat kebaikan dan menjadi "orang baik", selalu menjauhkan perbuatan-perbuatan yang dianggap jahat dan tidak baik. Seperti juga orang-orang tua lain dalam kehidupan kita ini, mereka ingin membentuk anak mereka, seperti membentuk sebuah boneka dari tanah liat, agar menjadi sebaik-baiknya, tentu saja menurut pandangan mereka yang juga menjadi pandangan masyarakat, menjadi pandangan umum sesuai dengan kebudayaan dan peradaban kita.
Akan tetapi, dapatkah kebaikan diajarkan, dipelajari dan dilatih? Segala yang dapat dipelajari dan dilatih adalah sesuatu yang mati, dan sesuatu yang diusahakan untuk dimiliki tentu mempunyai dasar sebagai pamrih. Kalau kita berbuat kebaikan dengan pamrih, setelah mempelajari dan melatihnya, apakah itu dapat dinamakan kebaikan lagi, ataukah bukan sekedar cara dan usaha untuk mendapatkan pamrih itu, yang dapat saja berupa pujian, kepuasan hati, pahala batiniah dan sebagainya? Kebaikan yang SENGAJA DILAKUKAN dengan kesadaran bahwa kita melakukan perbuatan baik, jelas bukan kebaikan lagi namanya, melainkan suatu usaha. Dan seperti usaha-usaha lainnya, kalau sampai usaha itu gagal mendatangkan hasil, tentu akan mengecewakan. Misalnya, orang yang menolong orang lain kemudian orang yang ditolongnya itu tidak membalas kebaikannya bahkan merugikan, tentu akan merasa sakit hati dan kecewa. Orang yang melakukan kebaikan, kemudian tidak menerima pujian bahkan dicela, tentu akan marah dan kecewa! Jelaslah bahwa kebaikan-kebaikan seperti itu, yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa yang dilakukan itu adalah kebaikan, bukan kebaikan lagi namanya, melainkan hanya sekedar cara untuk menyenangkan hati sendiri memetik buahnya kelak!
Betapa jauh bedanya dengan perbuatan yang dilakukan berdasarkan cinta kasih. Perbuatan ini digerakkan oleh perasaan sayang, perasaan iba, tanpa pamrih apapun juga untuk diri sendiri, merupakan perbuaran spontan yang wajar. Bukan lagi dinamakan kebaikan karena si pelaku tidak mengingat lagi apakah perbuatannya itu baik ataukah tidak baik. Yang ada hanyalah kewajaran, tanpa pamrih, dan dalam perbuatan seperti ini maka sinar cinta kasih akan meneranginya.
Betapa lucu namun amat menyedihkan melihat betapa kita berlumba-lumba untuk menjadi orang baik dengan menyebar segala perbuatan palsu, seolah-olah kebaikan dapat dicapai melalui kepalsuan dan kemunafikan. Lihat betapa bangsa-bangsa berlumba di dunia ini untuk membicarakan dan mencapai perdamaian dengan senjata di tangan! Kalau ada sinar cinta kasih menerangi batin, maka tanpa diusahakan sekalipun, kedamaian tentu sudah ada, karena takkan mungkin terjadi perang! Kalau ada cinta kasih di dalam batin, maka kita tidak perlu melakukan perbuatan yang kita anggap baik lagi, karena setiap perbuatan kita yang berdasarkan cinta kasih adalah suci!
Pada suatu sore, terdengar sorak dan tepuk tangan sekumpulan anak-anak di kebun rumah besar keluarga Kao Cin Liong. Mereka adalah belasan orang anak-anak laki-laki dan perempuan yang berkumpul di kebun itu, mengagumi Hong Li yang sedang bermain silat pedang. Memang indah sekali permainan itu. Hong Li baru saja menerima oleh-oleh sebatang pedang yang indah dari ayah ibunya yang baru saja kembali dari kota raja. Sebatang pedang yang mewah, bukan pedang pusaka, namun terbuat dari baja yang baik, bentuknya kecil dan cocok untuk dimainkan seorang anak perempuan, gagangnya terukir indah dan pedang itu sendiri putih bersih berkilau seperti perak. Sarung pedangnya juga penuh dengan ukiran bunga dan kupu-kupu beraneka warna, amat halus dan indah ukirannya. Dan kini, Hong Li bermain pedang itu di dalam kebun, disaksikan dan dikagumi oleh belasan orang anak-anak. Mereka itu adalah teman-teman bermain Hong Li, anak-anak tetangga. Memang, dalam hal ini Kao Cin Liong dan isterinya bersikap bebas, tidak seperti orang-orang tua lain yang memperhitungkan derajat dan kedudukan dalam memilih teman-teman untuk anak-anak mereka. Biarpun Cin Liong dan Suma Hui adalah suami isteri pendekar yang lihai sekali, bahkan Kao Cin Liong seorang bekas panglima yang terpandang, dan kini mereka hidup berkecukupan, namun mereka membiarkan anak perempuan mereka bergaul bebas dengan anak-anak tetangga. Dalam hal membiarkan anaknya bergaul bebas, Kao Cin Liong dan Suma Hui memang menyimpann dari kebiasaan umum. Biasanya, orang-orang tua akan melarang anak perempuan mereka bergaul bebas, apalagi setelah berusia tigabelas tahun, usia remaja menjelang dewasa. Agaknya, watak mereka sebagai pendekar-pendekar yang biasa hidup berkelana dan bebas yang membuat mereka tidak berkeberatan melihat anak perempuan mereka bergaul dengan anak siapa saja, laki-laki maupun perempuan.
Bagaimanapun juga, anak-anak itu bersikap sopan terhadap Hong Li dan menyebutnya siocia (nona), tentu hal ini mereka lakukan karena melihat betapa semua orang menghormati Hong Li sebagai keluarga jagoan dan keluarga kaya pula.
"Bagus....! Bagus sekali....!"
"Kao-siocia seperti bidadari sedang menari!"
"Lihat, pedang itu seperti naga putih melayang-layang....!"
Pujian-pujian ini keluar dari mulut anak-anak yang sedang menonton Kao Hong Li memamerkan pedang barunya dan juga ilmu silatnya yang memang hebat. Sekecil itu, ia sudah pandai sekali bersilat pedang, bukan hanya indah dipandang, namun di dalamnya mengandung kekuatan-kekuatan yang akan mengejutkan seorang ahli sekalipun. Tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa Hong Li sudah berlatih Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang dipelajarinya dari ibunya, ilmu pedang yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es. Apa lagi ia sudah menguasai dasar-dasar gerakan ilmu pilihan dari Istana Gunung Pasir, yaitu ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Naga Sakti). Biarpun gerakan pedangnya belum matang benar, dan tenaga sin-kang yang mendorongnya belum dapat dibilang terlalu kuat, namun gerakan-gerakan itu selain indah, juga baik sekali, karena dilatih sejak ia masih kecil.
Setelah Hong Li berhenti bermain silat pedang dan sinar yang bergulung-gulung dari pedangnya lenyap, anak-anak itu betepuk tangan memuji.
"Ilmu pedang yang jelek sekali!"
Suara ini melengking tinggi mengatasi kegaduhan anak-anak itu sehingga terdengar oleh mereka semua. Tentu saja semua anak itu terkejut dan menengok, sedangkan Hong Li juga menengok ke kanan dengan alis berkerut, hatinya mendongkol mendengar ada orang mengatakan ilmu pedangnya jelek, pada hal semua anak di situ bersorak memuji. Ketika anak-anak itu menoleh dan memandang kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di situ tanpa mereka ketahui kedatangannya, mereka merasa heran dan tidak tahu siapa adanya kakek berkepala gundul yang memakai jubah lebar berwarna merah darah ini. Akan tetapi Hong Li sudah banyak mendengar dari kedua orang tuanya tentang tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw, tentang pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat, dan betapa di antara para kakek atau nenek yang berpakaian seperti pendeta itu terdapat pula tokoh-tokohnya yang sesat. Maka, melihat munculnya kakek gundul berjubah merah ini, Hong Li memandang dengan hati agak khawatir, tidak tahu apakah kakek ini seorang baik ataukah jahat, kawan ataukah lawan dari ayah ibunya. Akan tetapi, mendengar betapa begitu muncul kakek itu sudah mencela ilmu pedangnya, agaknya tidak mungkin kalau kakek ini merupakan kawan ayah ibunya.
"Kakek tua, siapakah engkau yang berani mencela ilmu pedangku?" tanyanya dengan alis berkerut dan pedang barunya masih berada di tangan kanan. Ia mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara berdesing diikuti sinar pedang berkilat.
Kakek itu tertawa, suara ketawanya juga melengking tinggi dan halus. "Ha-ha-ha, bukan hanya ilmu pedangmu, juga pedangmu itu jelek sekali, Ha-ha!"
Tentu saja Hong Li menjadi semakin marah. Pedangnya itu adalah pedang baru oleh-oleh ayah bundanya dan pedang itu sejak kemarin menjadi pusat kekaguman teman-temannya, akan tetapi sekarang dikatakan jelek sekali oleh kakek ini! Ia memandang dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kemarahan, dan diam-diam ia memperhatikan kakek itu. Seorang kakek yang usianya enampuluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka halus dan gerak-gerik lembut, sepasang matanya bening dan seperti mata wanita dengan bulu mata yang panjang melengkung. Tak dapat disangkal, wajah kakek berkepala gundul ini meninggalkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan sekali.
"Kakek pendeta, engkau ini hwesio dari manakah? Kalau ada keperluan dengan orang tuaku, datang saja lagi besok pagi karena mereka sedang pergi.."
"Omitohud.... aku tahu bahwa mereka sedang pergi membeli rempa-rempa di seberang sungai. Aku datang bukan untuk mereka, melainkan untuk nonton permainan pedangmu yang jelek."
Hong Li menjadi marah sekali. Alisnya yang hitam panjang berkerut, sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar berkilat dan mukanya menjadi kemerahan. "Engkau ini kakek pendeta yang sombong dan jahat. Apa salahku maka engkau datang datang hendak menghina aku?"
"Ha-ha, aku tidak menghina, melainkan hendak nonton ilmu pedang yang jelek."
"Kalau begitu, apakah engkau berani menghadapi pedangku dan ilmu pedangku yang jelek ini?"
"Omitohud, tentu saja aku berani. Ilmu pedangmu dan pedangmu itu tidak ada artinya, hanya patut untuk pamer dan berlagak saja."
Bukan main marahnya Hong Li mendengar ucapan pendeta berjubah merah itu. Sejak kecil ia hanya melihat orang-orang bersikap hormat dan kagum terhadap keluarganya, apa lagi terhadap ilmu silat keluarganya. Dan sekarang, kakek kurus ini menghina ilmu silatnya dan berani menantangnya.
"Kakek sombong, kalau begitu hadapilah pedangku ini!" bentaknya dan sekali melompat ia telah menghampiri kakek pendeta itu dengan pedang ditodongkan.
"Ha-ha, bocah lucu, engkau menodongku dengan setangkai bunga mawar?" tiba-tiba kakek itu berkata sambil tertawa dan tangannya membuat gerakan ke arah pedang dan.... Hong Li, dan belasan orang anak itu, terbelalak ketika melihat betapa yang berada di tangan Hong Li memang benar setangkai bunga mawar, bukan pedang yang tadi dimainkan dengan indahnya!
Akan tetapi, Hong Li adalah keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ibunya adalah cucu Pendekar Super Sakti, maka tentu saja ia segera dapat mengerti bahwa kakek pendeta jubah merah ini telah main-main dan mempergunakan ilmu sihir. Hanya sebentar saja ia terkejut dan terbelalak, lalu ia mengerahkan sin-kangnya, memaksa diri untuk bertahan dan tidak hanyut oleh kekuatan sihir.
"Yang kutodongkan adalah pedang baruku! Siapa bilang bunga mawar?" bentaknya dan iapun menggerak-gerakkan pedangnya. Karena tentu saja tenaga batinnya belum kuat benar, matanya melihat betapa yang berada di tangan kanannya itu berubah-ubah, kadang-kadang nampak sebagai pedang, lalu berubah menjadi setangkai bunga lagi. Namun, ia menjadi nekat, bunga atau pedang, tetap saja ia pergunakan untuk menyerang kakek kurus itu!
Dalam penglihatan belasan orang anak itu, nampak lucu sekali melihat Hong Li menyerang kakek itu kalang kabut dengan menggunakan setangkai bunga mawar! Akan tetapi, kakek itu sendiri kagum bukan main. Anak ini tidak mengecewakan menjadi cucu buyut Pendekar Super Sakti dan ilmu pedangnya memang hebat bukan main. Hatinya semakin tertarik dan suka kepada Hong Li. Menghadapi serangan-serangan gadis cilik itu, ia mempergunakan kecepatan gerakannya, tubuhnya melayang-layang dengan ringan dan lembutnya, seperti berubah menjadi sehelai bulu yang bergerak ke sana-sini, selalu luput dari terkaman ujung pedang yang dimainkan Hong Li.
"Anak baik, engkau berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!" tiba-tiba belasan orang anak itu mendengar suara ini yang diikuti oleh bunyi ledakan keras. Semua anak ketakutan karena tempat itu berubah menjadi lautan asap. Mereka tak dapat melihat, bahkan mereka terpaksa mundur karena asap itu tebal sekali dan menakutkan. Ketika asap itu perlahan-lahan melayang pergi, anak-anak itu menjadi bingung karena mereka tidak melihat Hong Li dan kakek pendeta jubah merah tadi. Mereka berdua telah lenyap tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah ikut terbang pergi bersama asap tebal. Tentu saja anak-anak ini menjadi ketakutan dan bingung. Mereka berlari-larian pulang sambil menangis melapor kepada orang tua masing-masing tentang
peristiwa lenyapnya Kao Hong Li bersama kakek pendeta gundul berjubah merah. Para pelayan keluarga Kao yang mendengar laporan inipun menjadi bingung dan ketakutan. Keadaan menjadi gempar dan semua orang mencari-cari ke mana perginya Hong Li, namun tidak dapat menemukan jejak anak itu yang lenyap seperti berubah menjadi asap.
Keadaan menjadi semakin geger ketika Kao Cin Liong dan Suma Hui pulang dari perjalanan mereka ke seberang sungai untuk membeli rempa-rempa. Dua pekan sekali suami isteri itu memang pergi sendiri membeli barang dagangan. Ketika mereka mendengar akan peristiwa aneh yang mengakibatkan lenyapnya anak tunggal mereka, tentu saja sepasang pendekar ini menjadi terkejut dan marah. Mereka menggunakan kepandaian mereka untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Akan tetapi, sampai semalam suntuk mereka mencari tanpa hasil dan akhirnya, menjelang pagi pada keesokan harinya, dengan lemas mereka pulang ke rumah. Suma Hui menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya merah dan wajahnya membayangkan kedukaan dan kegelisahan yang mendalam. Akan tetapi Kao Cin Liong nampak tenang saja, walaupun tentu saja dia juga merasa bingung dan gelisah.
"Tenangkan hatimu," katanya kepada isterinya karena dia tidak tega melihat wajah isterinya demikian penuh duka dan kegelisahan. "Setidaknya kita boleh merasa yakin bahwa anak kita masih dalam keadaan selamat. Kalau penjahat atau siapa saja yang menculiknya itu berniat buruk, tentu hal itu sudah dilakukannya, tidak perlu bersusah-susah melarikannya."
Suma Hui dapat mengerti pendapat ini. Memang, kalau penjahat itu hendak membunuh Hong Li, tidak perlu dibawa pergi. Akan tetapi, siapa yang menculik Hong Li? Dan kenapa? Mereka berdua lalu mendatangi anak-anak yang menyaksikan peristiwa itu dan kagetlah hati mereka ketika mendengar bahwa sebelum Hong Li dan kakek jubah merah itu lenyap berubah menjadi asap, terdengar kakek itu berkata, "Anak baik, engkau berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!"
Keterangan ini tentu saja amat penting bagi mereka. Jelaslah bahwa pendeta berkepala gundul yang berjubah merah itu adalah Ang I Lama dan dialah yang telah melarikan Hong Li. Kata "berjodoh" yang dipergunakan pendeta itu dapat berarti berjodoh untuk menjadi muridnya, akan tetapi juga untuk maksud yang cabul dan jahat. Mereka berdua tahu betapa banyaknya orang-orang jahat dan keji yang menyembunyikan kejahatannya di balik kedudukan atau pakaian. Betapa banyaknya pencuri-pencuri dan perampok-perampok besar bersembunyi di balik pakaian seorang pembesar, penjahat-penjahat keji bersembunyi di balik pakaian pendeta-pendeta.
"Ang I Lama....? Suma Hui mengulang nama itu sambil mengepal tinju. "Siapakah dia dan mengapa dia melakukan hal ini kepada keluarga kita?" Ia memandang suaminya dengan harapan suaminya akan mengenal nama itu. Akan tetapi sejak tadi Kao Cin Liong juga mengerutkan alisnya dan memeras ingatannya, akan tetapi dia merasa tidak pernah mengenal nama itu. Maka, menjawab pertanyaan isterinya, diapun menggeleng kepalanya.
"Aku tidak pernah mengenal nama itu, akan tetapi untung bahwa dia meninggalkan sebuah nama. Karena dia seorang pendeta Lama, maka di mana lagi dia berada kalau bukan di Tibet?"
Tiba-tiba Suma Hui menepuk meja di depannya.
"Brakkk....! Ah, tentu saja!"
"Apa.... maksudmu?" suaminya bertanya sambil memandang penuh perhatian.
Isteri itu memandang suaminya. "Tentu ada hubungannya dengan Sai-cu Lama! Kita ikut membasmi komplotan Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama dan sekarang muncul seorang pendeta Lama lainnya yang menculik anak kita. Apakah kaupikir tidak ada hubungannya antara kedua orang pendeta Lama itu?"
Suaminya mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, akan tetapi kita tidak mengenal. Ang I Lama itu dan tidak tahu di mana dia berada. Kurasa satu-satunya jalan untuk mencarinya adalah ke Tibet. Di sana tentu kita akan memperoleh keterangan jelas di mana adanya Ang I Lama."
"Memang agaknya hanya itu jalannya dan marilah kita pergi sekarang saja. Aku tidak tahan berdiam di rumah lebih lama lagi memikirkan nasib anak kita...." Dan kini Suma Hui tak dapat menahan membanjirnya airmata. Melihat ini, suaminya lalu mendekatinya dan merangkulnya. Memecah bendungan air mata itu dan Suma Hui menangis tersedu-seda di dada suaminya yang membiarkannya menangis untuk melampiaskan segala perasaan marah, khawatir dan duka yang sejak malam tadi ditahan-tahannya.
Setelah kedukaan Suma Hui mereda, suami isteri ini lalu cepat-cepat berkemas untuk menyediakan bekal perjalanan mencari anak mereka ke Tibet! Perjalanan yang amat jauh dan makan banyak waktu.
Selagi mereka sibuk, datanglah tamu yang tidak mereka duga-duga. Dua orang tamu datang dan mereka ini bukan lain adalah Suma Ciang Bun dan Gu Hong Beng! melihat adiknya, datang lagi perasaan duka di hati Suma Hui dan iapun menubruk adiknya sambil menangis.
Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut sekali melihat ulah encinya. Encinya, setahunya, adalah seorang wanita yang keras hati dan tabah bukan main, lebih tabah dari pada dia sendiri. Kalau sekarang encinya sampai bersedih dan menangis seperti itu, apa lagi melihat betapa sepasang mata encinya sudah bengkak-bengkak bekas banyak tangis, dia khawatir tentu telah terjadi hal yang luar biasa dan hebat sekali.
"Enci Hui, engkau kenapakah? Apa yang telah terjadi sehingga engkau menjadi begini berduka?" Karena encinya menangis semakin sedih, Suma Ciang Bun mengangkat muka memandang cihunya (kakak iparnya) dengan alis berkerut.
Kao Cin Liong merangkul isterinya dan dengan lembut menarik tubuh isterinya dari Suma Ciang Bun, lalu mengajak duduk. "Tenanglah dan kebetulan sekali Ciang Bun datang. Mungkin dia dapat membantu." Mendengar ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan memandang kepada adiknya.
"Hong Li telah diculik orang....!"
Tentu saja Ciang Bun terkejut sekali. "Ah! Siapa penculiknya dan kapan terjadinya? Bagaimana dia berani melakukan hal itu?"
Kao Cin Liong yang lebih tenang segera memberi keterangan kepada adik iparnya. "Kemarin sore, ketika kami berdua pergi membeli rempah-rempah di seberang sungai dan Hong Li berada seorang diri di rumah, datang penculik itu. Dia seorang pendeta Lama yang berjuluk Ang I Lama, dan dia menculik Hong Li dengan mempergunakan ilmu sihir seperti yang kami dengar dari anak-anak yang menemani Hong Li pada waktu itu." Lalu dengan singkat namun jelas, Kao Cin Liong menceritakan tentang peristiwa penculikan itu seperti yang didengarnya jari anak-anak.
"Ang I Lama....?" Suma Ciang Bun mengulang nama itu sambil mengerutkan alis.
"Bun-te, apakah engkau mengenal nama jahanam itu?" tanya Suma Hui penuh harapan.
Suma Ciang Bun yang sudah banyak melakukan perantauan itu termenung. "Seperti pernah kudengar nama itu, akan tetapi entah di mana dan kapan. Nama itu jarang muncul di dunia kang-ouw...."
Pada saat itu Kao Cin Liong melihat betapa Gu Hong Beng, murid adik iparnya itu, memandang dengan sinar mata bercahaya. "Hong Beng, apakah engkau mengenalnya?" Dia bertanya. Suami isteri ini pernah mengenal Hong Beng, bahkan bersama pemuda ini dan para pendekar lainnya, pernah membantu untuk menghancurkan persekutuan yang meudukung Thai-kam Hou Seng.
"Ang I Lama.... apakah tidak ada hubungannya dengan Sai-cu Lama....?" Hong Beng berkata.
"Akupun berpendapat demikian," Suma Hui berkata, "akan tetapi, di manakah adanya Ang I Lama dan mengapa dia melakukan hal ini kepada kami?"
"Ahhh....! Sekarang aku ingat, enci Hui!" kata Suma Ciang Bun. "Aku pernah mendengar nama Ang I Lama dan tentu saja ada hubungan antara dia dan Sai-cu Lama, karena Ang I Lama adalah seorang di antara para pimpinan pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi.... menurut yang pernah kudengar, Ang I Lama termasuk pendeta Lama yang bersih dan tidak sudi melakukan kejahatan, apa lagi menculik keponakanku Hong Li."
"Siapa tahu hati orang? Mungkin saja dia mendendam atas kematian Sai-cu Lama, karena bukankah mereka sama-sama dari Tibet dan sama-sama pendeta Lama? Mungkin atas dasar dendam itulah, dan mengingat bahwa kami berdua juga membantu usaha menghancurkan persekutuan Sai-cu Lama, maka kini Ang I Lama datang membalas dendam dengan cara yang curang, yaitu menculik dan melarikan anak kami," kata Suma Hui.
"Benar, akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, enci. Hal ini harus diselidiki lebih dulu secara cermat agar jangan sampai enci menuduh orang yang tidak berdosa."
"Tentu saja. Sekarangpun kami sedang berkemas untuk segera berangkat ke Tibet, melakukan penyelidikan tentang Ang I Lama itu!"
"Perjalanan yang amat jauh dan sukar," kata Suma Ciang Bun.
"Jangankan baru ke Tibet, biar Ang I Lama melarikan diri ke neraka sekalipun, pasti akan kami kejar sampai dapat!" kata Suma Hui dengan gemas.
"Kalau begitu, biarlah kita membagi tugas," kata Suma Ciang Bun. "Enci dan cihu mencari ke Tibet, dan aku akan mencari di sekitar sini. Siapa tahu yang namanya Ang I Lama itu masih bersembunyi di dekat dan di sekitar daerah ini. Sedangkan Hong Beng biarlah ke Istana Gurun Pasir untuk melapor."
"Eh? Ada urusan apa ke sana?" Kao Cin Lion bertanya sambil memandang heran mendengar bahwa adik iparnya itu hendak menyuruh muridnya mengunjungi tempat kediaman orang tuanya yang jarang dikunjungi orang. Dia sendiri merasa tidak suka kalau ketenangan dan ketenteraman kehidupan ayah ibunya terganggu.
Suma Cang Bun menarik napas panjang. "Sebenarnya kedatanganku ini untuk melapor kepada cihu tentang perbuatan sumoimu."
"Sumoiku? Sumoi yang mana?" Cin Liong bertanya heran.
"Bukankah cihu mempunyai seorang sumoi? Murid Sam Kwi yang diambil murid oleh ayah ibumu."
"Ah, maksudmu gadis yang bernama Can Bi Lan itu? Mengapa ia? Bukankah ia pantas sekali menjadi murid ayah ibuku karena sepak terjangnya menghadapi persekutuan Sai-cu Lama membuat kagum?"
"Ia telah melakukan penyelewengan sekarang! Bayangkan saja, ia membela dan membantu Bi-kwi yang melakukan kecabulan dan membunuhi banyak pemuda. Padahal, Bi-kwi bekerja sama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw untuk mengeroyokku sehingga nyaris aku tewas di tangan mereka. Bi Lan itu telah mempergunakan pedang pusaka ibumu, Ban-tok-kiam untuk bersekongkol dengan tosu-tosu jahat itu, melakukan kejahatan, dan membela Bi-kwi. Dan dalam hal ini, ia dibantu pula oleh Pendekar Suling Naga yang lihai."
Mendengar ini, Kao Cin Liong mengerutkan alisnya. "Hemm, berbahaya sekali kalau begitu. Ia membawa po-kiam (pedang pusaka) dari ibuku, kalau dipergunakan secara keliru, akan merusak nama baik keluarga kami." Suma Hui diam saja tidak berani memberi komentar karena menyangkut nama baik keluarga suaminya.
"Sayang kita harus pergi ke Tibet untuk mencari anak kita, kalau tidak tentu kita dapat mencarinya dan meminta kembali pedang pusaka itu," kata Suma Hui dengan hati-hati karena ia khawatir kalau suaminya akan membatalkan niatnya mencari Hong Li untuk mencari Bi Lan berhubung dengan terancamnya nama baik keluarganya.
"Biarlah saya yang akan pergi menghadap Kaolocianpwe di Istana Gurun Pasir, untuk melaporkan tentang penyelewengan Can Bi Lan dan sekalian mengabarkan tentang diculiknya adik Kao Hong Li oleh Ang I Lama," kata Hong Beng dengan cepat.
"Ah, kalau begitu baik sekali!" Suma Hui berseru girang, memandang kepada suaminya. Cin Liong juga mengangguk dan memandang kepada Hong Beng dengan sinar mata berterima kasih. Tak disangkanya bahwa kehidupannya yang selama ini tenang dan tenteram, dalam satu hari saja berubah menjadi keruh, penuh dengan persoalan yang mendatangkan duka dan kekhawatiran.
Biarpun baru pagi hari itu bertemu, mereka terpaksa harus berpisah lagi pada siang harinya karena mereka harus mulai dengan tugas masing-masing. Kao Cin Liong dan Suma Hui berangkat menuju ke Tibet untuk mencari Ang I Lama dan puteri mereka, sedangkan Suma Ciang Bun pergi mencari jejak pendeta Lama yang melarikan keponakannya. Hong Beng sendiri juga berangkat menuju ke utara, untuk berkunjung ke Istana Gurun Pasir menghadap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya. Kedukaan dan kekhawatiran terbayang di wajah mereka, terutama sekali di wajah Kao Cin Liong dan Suma Hui.
Di dalam hati yang selalu mengejar kesenangan, pasti akan sering kali dikunjungi oleh kesusahan. Tidak mungkin merangkul suka tanpa menyentuh duka, karena suka dan duka adalah sama. Sama-sama menjadi ciptaan pikiran sendiri. Yang mengandung suka atau duka bukanlah si peristiwa, melainkan pikiran kita sendiri dalam menanggapi peristiwa yang terjadi. Kalau kita menghadapi segala macam peristiwa seperti apa adanya tanpa menghendaki lain, tanpa menjangkau kesenangan atau mengelak kesusahan, maka yang ada hanyalah kewajaran yang tidak mendatangkan duka apapun. Seperti orang menghadapi panas terik matahari, tanpa mengeluh kita lalu mempergunakan akal budi untuk berteduh, dan seperti orang menghadapi malam gelap dan dingin, kita pun tidak mengeluh melainkan mempergunakan kebijaksana untuk membuat penerangan di dalam gelap dan mempergunakan sarana untuk berlindung dari kedinginan. Tanpa susah atau senang dan kalau sudah begitu, di dalam kegelapan maupun kepanasan malam dan siang kita dapat melihat keindahan di luar penilaian.
******
Kao Hong Li membuka kedua matanya dan ia merasa seperti dalam mimpi. Ia terbangun dan tidak menggerakkan badan terlebih dahulu. Setelah membuka kedua matanya, anak yang cerdik ini memutar otaknya, mengingat-ingat. Ia lalu teringat akan peristiwa aneh yang dialaminya. Mula-mula yang teringat olehnya adalah ketika ia bermain silat pedang di antara kawan-kawannya, di dalam kebun, disambut pujian para kawannya. Lalu munculnya kakek gundul berjubah merah yang lalu melawannya. Tiba-tiba terdengar ledakan itu, dan nampak asap tebal, dan tubuhnya melayang-layang di antara asap yang membuat ia merasa seperti terbang di angkasa, di antara awan-awan. Lalu iapun lemas tak ingat apa-apa lagi. Ia diculik!
Ingatan ini mengejutkannya. Ia telah dilarikan oleh kakek aneh itu! Kini Hong Li, masih belum menggerakkan tubuhnya, mulai memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia rebah terlentang di atas sebuah dipan kayu yang keras dan kasar dan dipan itu terletak di sudut ruangan ini. Sebuak kamar dari empat dinding yang berlumut dan kotor, dengan daun pintu rusak terbuka di sebelah kanan. Tidak kecil juga tidak berdaun di sebelah kanan. Tidak nampak ada orang di situ, hanya ia sendiri saja di atas dipan. Ia telah dilarikan oleh kakek itu ke sini, pikirnya. Entah di mana ini. Kakek yang aneh dan sakti itu tidak ada. Inilah kesempatan baik baginya untuk melarikan diri.
Hong Li mulai menggerakkan kaki tangannya. Lega rasa hatinya karena kaki tangannya dapat digerakkan dengan mudah dan ketika ia bangkit duduk, kepalanyapun tidak terasa pening. Ia dalam sehat. Dicarinya pedangnya. Tidak nampak di situ. Ia lalu dengan hati-hati turun dari pembaringan itu, perlahan-lahan agar jangan mengeluarkan suara, lalu berindap-indap melangkah menuju ke pintu yang daunnya terbuka lebar karena memang sudah bobrok itu. Agaknya di luar, senja telah mendatang, namun matahari masih
meninggalkan sisa cahayanya sehelum dia menghilang sama sekali. Dengan hati-hati Hong Li mengintai ke luar. Tidak ada orang. Dan di luar sana nampak pohon-pohon lebat. Sebuah hutan! Ia berada di dalam sebuah rumah tua, agaknya bekas kuil, di dalam sebuah hutan lebat. Ia harus cepat melarikan diri!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang halus dan sudah pernah didengar, suara Ang I Lama yang menculiknya! "Aha, anak baik, engkau sudah bangun?"
Hong Li cepat membalikkan tubuhnya dan ternyata kakek itu berada di dalam kamar itu! Pada hal tadi tidak nampak seorangpun di situ. Ah, tentu kakek ini telah mempergunakan ilmu sihirnya pula, pikirnya. Hong Li menjadi marah dan ia meraba-raba pinggangnya, lupa bahwa tadi sia-sia saja ia mencari pedangnya, pedang barunya yang indah.
"Aha, mencari pedangmu? Inilah pedangmu, terimalah!" Dia mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubah merahnya dan menyerahkan kepada Hong Li. Gadis cilik itu cepat menyambar pedangnya, pedang barunya, lalu mengambil sikap untuk menyerang.
"Anak baik, untuk apa engkau mencari pedangmu?"
"Untuk membunuhmu, kakek jahat!" bentak Hong Li dan iapun menggerakkan pedangnya, menyerang dengan marah dan dengan pengerahan seluruh tenaganya.
"Ha-ha, pedang itu tidak ada gunanya, sudah kukatakan ini kepadamu. Lihat, kauboleh tusuk perutku ini, aku takkan menangkis atau mengelak."
Hong Li menerjang maju, menggerakkan pedangnya untuk menusuk ke arah perut. Ia melihat kakek itu berdiri tegak saja, membiarkan perutnya ditusuk! Ketika ujung pedangnya hampir menyentuh jubah merah, Hong Li menahan tenaganya dan bahkan menghentikan tusukannya. Tidak bisa ia menusuk begitu saja perut orang yang tidak melawan! Tidak mungkin ia melakukan pembunuhan dengan hati dingin seperti itu.
"Oho, kenapa tidak kau lanjutkan tusukanmu?" kakek itu tertawa.
"Lawanlah, jangan diam saja!" bentak Hong Li.
Kakek itu terbelalak, memandang heran, lalu tertawa. "Ha-ha, keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir memang aneh luar biasa. Nah, aku melawan sekarang, hendak kutangkap kepalamu dan akan kubuktikan betapa pedangmu itu tidak ada gunanya!"
Kakek itu kini menggerakkan kedua tangannya, hendak mencengkeram kepala Hong Li dari kanan kiri. Melihat ini, gadis cilik itu menyuruk ke depan, mendahului dengan tusukan pedangnya ke arah perut. Kini ia tidak ragu-ragu lagi menusuk karena bukankah musuh menyerangnya dengan hebat pula. Kalau ia tidak mendahului, tentu kepalanya akan remuk oleh kedua tangan yang kuat itu.
"Wuuutt.... krekkk....!"
Kao Hong Li terkejut bukan main. Pedangnya telah menusuk perut, akan tetapi rasanya seperti menusuk segumpal baja saja dan pedangnya kini patah-patah menjadi tiga potong! Ia membuang gagangnya dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, dan melihat betapa kakek itu tersenyum-senyum dan memandang sambil mengejek, ia marah sekali dan dengan nekat kini ia menyerang dengan kedua tangannya yang terkepal.
"Heh-heh-heh, engkau setan cilik yang nakal!" Dan kini Hong Li mengalami hal yang membuatnya semakin terkejut dan heran. Tubuhnya terhalang sesuatu yang tidak nampak, seolah-olah ada tenaga yang menahannya dari depan sehingga gerakannya terhalang dan ia tidak dapat mendekati kakek itu! Betapa kuatnya ia menerjang, selalu ia bertemu dengan tenaga itu dan tubuhnya bahkan terdorong ke belakang. Setelah beberapa kali mencoba dan tidak berhasil, akhirnya Hong Li berdiri diam dan hanya menatap kakek itu dengan sinar mata tajam dan penuh kemarahan. Ia tahu bahwa kakek itu sakti sekali dan ia tidak berdaya, namun Hong Li tidak merasa takut sedikitpun juga.
"Kakek jahat, engkau pengecut besar!" tiba-tiba ia membentak.
Kakek itu yang sedang tersenyum, tiba-tiba menghentikan senyumnya dan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan ada kemarahan membayang pada mata yang tajam mencorong itu. "Hemm. setan cilik, kenapa engkau berani memaki aku pengecut besar?"
"Kalau engkau bukan pengecut, tentu engkau tidak akan memusuhi aku, seorang anak kecil! Kalau engkau memang gagah dan memiliki kepandaian, tentu engkau akan menantang ayahku atau ibuku, bukan menculik dan melarikan diriku. Beranimu hanya mengganggu anak kecil, akan tetapi terhadap ayah dan ibuku, engkau melarikan diri sampai terkencing-kencing. Huh, pengecut besar tak tahu malu!"
Akan tetapi kini kakek itu tertawa bergelak. "Haha-ha, dan engkau setan cilik amat gagah berani, sungguh mengagumkan sekali. Engkau memang berjodoh dengan pinceng, anak baik. Namamu Kao Hong Li, bukan? Heh-heh, dan aku bernama Ang I Lama. Engkau lihat sendiri, kepandaianku setinggi langit dan engkau beruntung sekali dapat ikut bersamaku!"
"Huh, kepandaianmu tidak ada artinya kalau engkau berani melawan ayah dan ibuku!" Hong Li berseru mengejek, pada hal di dalam hatinya ia meragu apakah ayah dan ibunya akan mampu menandingi kakek yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai ilmu sihirnya ini. Menurut penuturan ibunya, kakek buyutnya yang bernama Suma Han berjuluk Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, selain sakti juga memiliki ilmu sihir yang amat hebat. Juga nenek Teng Siang In, isteri dari paman kakeknya yang bernama Suma Kian Bu dijuluki Pendekar Siluman Kecil, memiliki juga kekuatan sihir. Sayang ibunya sendiri tidak pernah mempelajari ilmu sihir dan hanya ahli dalam hal ilmu pawang ular yang pernah ia pelajari sedikit itu.
Karena kakek itu hanya tertawa saja dan tidak menjawab, Hong Li lalu bertanya, suaranya masih terdengar ketus akan tetapi sedikitpun ia tidak memperlihatkan perasaan takut, "Kakek jahat, engkau bernama Ang I Lama, seorang pendeta yang mestinya melakukan kebaikan di dunia ini. Akan tetapi kenapa engkau menculik aku tanpa sebab?"
"Ha-ha, sebabnya karena aku suka kepadamu, Kao Hong Li. Engkau akan menjadi muridku dan menemani hidupku yang sunyi."
"Hemm, kakek jahat, ke mana engkau hendak membawaku?" Hong Li mulai merasa ngeri, membayangkan bahwa ia selanjutnya harus hidup bersama kakek mengerikan ini.
"Ke mana lagi kalau tidak ke Tibet?"
"Tidak, aku tidak mau!" kata Hong Li. "Biar engkau akan membunuhku sekalipun, aku tidak sudi menjadi muridmu, tidak sudi ikut bersamamu!" Setelah berkata demikian, Hong Li lalu meloncat keluar dari ruangan itu melalui pintu yang terbuka. Ia bermaksud melarikan diri dengan nekat.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara kakek itu berkata di depannya, "Hong Li, aku di sini!" Dan tahu-tahu kakek itu telah menghadang di depannya. Hong Li menengok dan dengan mata terbelalak melihat bahwa kakek tadi masih berada di dalam ruangan itu. Bagaimana mungkin kakek itu berubah menjadi dua orang? Ia lalu memutar tubuh ke kiri untuk melarikan diri melalui lorong di depan kamar, akan tetapi kembali terdengar suara kakek itu.
"Hong Li, aku berada di sini!" Dan di depannya kembali sudah menghadang kakek itu. Ketika ia menengok, ternyata kakek yang berada di dalam kamar maupun yang pertama kali menghadangnya masih berada di tempat masing-masing. Dengan demikian, kini ada dua orang kakek yang sama! Ia memutar tubuh lagi dan kembali melihat munculnya seorang kakek lain yang sama sehingga sebentar saja ia sudah dikepung oleh banyak orang kakek yang sama!
Hong Li dapat menduga bahwa ini tentu permainan sihir, maka dengan nekat ia menerjang ke depan. "Ha-ha-ha, anak keras kepala berhati baja. Engkau memang nakal!" Dan tiba-tiba Hong Li merasa banyak tangan menangkapnya sehingga ia tidak mampu bergerak lagi. Kemudian, kakek itu mengikat kaki tangannya dengan ikat pinggang, lalu memondong tubuhnya dan melemparkannya pula ke atas dipan yang tadi dan sama sekali tidak mampu bergerak karena ikatan kaki tangannya itu kuat sekali. Dan kini ia melihat bahwa kakek yang tadinya banyak itu kembali menjadi seorang saja.
Kakek itu berdiri di dekat dipan, menyeringai. "Heh-heh, bagaimana, anak nakal. Apakah engkau sekarang sudah menyerah dan mau ikut bersamaku dengan suka rela?"
"Tidak sudi!" Hong Li membentak, masih galak walaupun kaki tangannya tidak mampu bergerak lagi.
"Engkau memilih mati?"
"Ya! Aku tidak takut mati!" kata Hong Li dengan gagah. Kakek itu memandang kepada Hong Li dengan sinar mata-penuh kagum.
"Bagaimana kalau sebelum mati kusiksa dulu? Engkau berani menghadapi siksaan?"
"Tak perlu cerewet lagi! Mau bunuh, mau siksa, terserah, akan tetapi aku tidak sudi menyerah!"
"Huh, bocah tak tahu disayang! Biar kuberi engkau waktu semalam lagi untuk berpikir panjang. Besok aku datang lagi dan kalau engkau tetap menolak, aku akan menyiksamu sampai engkau merasa menyesal telah dilahirkan di dunia ini!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek itupun lenyap dari situ.
Hong Li rebah seorang diri dan setelah kakek itu pergi, barulah ia merasa ngeri membayangkan betapa ia akan disiksa sampai mati pada besok hari kalau ia tidak mau menyerah. Tidak, ia harus dapat melarikan diri, pikirnya. Ia tidak sudi menyerah, juga tidak ingin mati konyol. Mulailah ia berusaha menggerakkan kaki tangannya untuk melepaskan ikatan, namun sia-sia saja. Ikatan itu terlalu kuat sehingga kedua kaki tangannya sama sekali tidak mampu berkutik. Ia teringat kepada ayah ibunya dan tak terasa lagi, dua titik air mata membasahi pelupuk matanya. Sekarang, setelah ditinggalkan kakek itu, ia mulai merasa ketakutan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya kalau ia membayangkan siksaan yang tak dapat ia perkirakan. Kakek itu terlalu kejam, terlalu jahat. Entah siksaan apa yang akan diterimanya. Kalau ia dibunuh seketika, hal itu tidak ditakutinya, akan tetapi kalau ia disiksa perlahan-lahan, sungguh hal ini amat menakutkan. Akan tetapi menyerah menjadi murid kakek itu? Tidak, ia tidak sudi! Kakek itu terlalu jahat. Dan kalau ia menolak, ia akan di siksa sampai mati. Tidak, ia belum ingin mati, tidak mau mengalami derita siksaan.
Sampai lewat tengah malam, Hong Li diombang-ambingkan oleh perasaan takut dan benci kepada. kakek itu. Menyerah salah, menolak juga salah. Ia bingung sekali dan kalau saja sejak kecil ia tidak digembleng sehingga memiliki semangat dan kegagahan, tentu anak yang baru berusia tigabelas tahun ini sudah menangis atau menjerit-jerit. Akan tetapi tidak, Hong Li hanya diam saja, hanya ada beberapa butir air mata membasahi pipinya dan ia menggigit bibirnya untuk mencegah tangis dan jeritannya.
Tiba-tiba ada gerakan di pintu. Jantung di dalam dada Hong Li berdebar penuh ketegangan. Apakah kakek jahat itu sudah akan memulai dengan siksaannya pada hal malam belum lewat? Hong Li merasa betapa seluruh bulu di tubuhnya meremang saking ngerinya, Akan tetapi, yang muncul bukanlah kakek Ang I Lama yang dibencinya, melainkan seorang wanita cantik! Usia wanita itu sebaya dengan ibunya akan tetapi pakaiannya mewah sekali. Tubuhnya tinggi ramping dan rambutnya digelung ke atas dengan dihias permata dan emas yang indah. Pakaiannya dari sutera tipis berwarna merah muda dan biru. Biarpun usianya tentu ada empatpuluh tahun, namun wanita itu masih nampak muda, dengan sepasang mata yang lebar dan tajam. Begitu memasuki kamar dan melihat Hong Li memandangnya, wanita itu menaruh telunjuk di depan mulutnya sebagai tanda agar Hong Li tidak mengeluarkan suara berisik. Hong Li diam saja, memandang dengan heran, akan tetapi juga dengan penuh harapan. Mudah diduga dari sikapnya bahwa kedatangan wanita asing ini tentu bermaksud baik terhadap dirinya.
Ketika wanita itu menghampiri pembaringan. Hong Li mencium bau yang harum seperti bunga mawar dan begitu wanita itu tersenyum kepadanya, ia merasa suka sekali. Seorang wanita cantik dan ramah, dan tentu datang untuk menolongnya, pikirnya.
"Bibi, engkau siapakah?"
"Sstttt....!" Wanita itu mendesis lirih. "Aku datang untuk menolongmu, akan tetapi aku harus dapat mengalahkan dulu Ang I Lama...."
Hong Li memandang terbelalak, kagum. "Dapatkah engkau mengalahkan dia, bibi?" tanyanya, penuh keraguan mengingat akan kesaktian pendeta Lama yang menculiknya itu. "Tidakkah labih baik bibi membebaskan aku, lalu kita melarikan diri selagi dia tidak berada di sini?"
Wanita itu menggeleng kepalanya. "Engkau tidak tahu siapa Ang I Lama. Dia akan mengejar dan akhirnya aku harus berhadapan dengan dia pula. Tidak, aku harus lebih dulu mengalahkan dia, baru aku akan dapat membebaskanmu. Engkau bernama Kao Hong Li, ayahmu Kao Cin Liong putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan ibumu cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bukan?"
Hong Li mengangguk, tidak merasa heran kalau wanita ini mengenal ayah ibunya, karena ia tahu bahwa nama ayah dan ibunya terkenal sekali di dunia kang-ouw.
"Aku suka dan kagum kepadamu. Engkau tabah dan berani, engkau keturunan para pendekar dan keluarga yang amat terkenal. Dan aku akan menghadapi Ang I Lama dengan taruhan nyawa untuk menolongmu. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau aku minta engkau ingat akan pertolonganku dan membalas budi, bukan?"
Kembali Hong Li mengangguk. Kalau wanita ini menandingi Ang I Lama dengan mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya, tentu saja ia berhutang budi dan nyawa kepadanya. "Aku akan berterima kasih sekali, bibi."
Wanita itu tersenyum. Manis sekali kalau tersenyum. "Apa gunanya terima kasih untukku? Dengar, Hong Li. Aku akan menandingi Ang I Lama dan kalau berhasil mengalahkannya, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi, untuk itu aku minta engkau berjanji bahwa engkau akan mengangkat aku sebagai ibu dan guru."
"Eh, mengapa sebagai ibu?" Hong Li terheran.
"Aku.... aku merindukan seorang anak dan engkau pantas menjadi anak angkatku, Hong Li. Nah, maukah engkau?"
"Menjadi anak angkat dan murid?"
"Bukan itu saja. Engkau harus berjanji mengangkat aku sebagai ibu dan guru, kemudian juga bahwa selama lima tahun engkau akan hidup bersamaku, mempelajari ilmu dan menemani aku sebagai ibu angkatmu."
Hong Li merasa bimbang. Permintaan yang aneh-aneh. Akan tetapi wanita ini hendak mempertaruhkan nyawa menolongnya dan kalau benar dapat mengalahkan Ang I Lama, memang wanita ini patut menjadi gurunya. Juga apa salahnya mengangkat seorang wanita baik yang menyelamatkannya sebagai ibu?
"Hanya itu?" ia bertanya lagi.
"Hanya itu, juga engkau harus berjanji bahwa selamanya, melindungi aku dari gangguan dan serangan siapapun juga."
Tentu saja permintaan terakhir ini tidak berat, bahkan tanpa diminta sekalipun, siapa yang tidak akan melindungi dan membela ibu angkatnya dari serangan orang lain? Kembali ia mengangguk.
"Baiklah, aku berjanji...."
"Hong Li, urusan ini bukan main-main, melainkan persoalan hidup atau mati bagiku, juga menyangkut kebahagiaan hidupku selanjutnya, karena itu, tidak cukup engkau berjanji. Bersumpahlah!"
Kembali Hong Li terkejut. Selamanya belum pernah ia bersumpah dan permintaan wanita ini agar ia bersumpah mengejutkannya dan membuatnya bimbang. Akan tetapi hanya untuk sebentar saja. Janji dan sumpahnya untuk sesuatu yang baik, apa salahnya kalau ia akan diselamatkan dan ditolong oleh wanita ini.
"Baikiah, subo (ibu guru). Saya bersumpah kalau subo dapat membebaskan aku dari tangan Ang I Lama, aku akan mengangkatmu sebagai ibu dan juga sebagai guru, dan aku akan membela dan melindungimu dari gangguan siapapun juga!"
Wanita itu nampak girang bukan main, membungkuk dan mencium pipi Hong Li dengan bibirnya. "Anakku sayang, muridku yang hebat! Kau tunggu saja, agar jangan mendatangkan curiga, sementara engkau rebah dalam keadaan terikat dulu. Aku akan menghadang Ang I Lama di luar dan aku akan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaianku untuk mengalahkannya." Setelah berkata demikian, wanita itu meloncat dan lenyap dari dalam kamar itu.
Hong Li termenung. Hatinya diliputi kebimbangan. Memang, dari gerakannya ketika meloncat atau menghilang tadi, ia dapat mengetahui bahwa wanita yang belum diketahui namanya itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, mampukah wanita itu mengalahkan Ang I Lama yang demikian saktinya? Apa lagi kalau diingat bahwa Ang I Lama memiliki ilmu sihir, ia bergidik. Andaikata wanita cantik itu memiliki ilmu silat tinggi seperti ibunya dan mampu menandingi Ang I Lama dalam perkelahian, akan tetapi bagaimana kalau kakek Tibet itu mempergunakan ilmu sihir? Kalau wanita itu sampai kalah dan tertawan, terluka atau bahkan terbunuh, ia akan merasa semakin menyesal karena berarti bahwa kematian wanita itu adalah karena membelanya!
Waktu terasa merayap lambat sekali bagi Hong Li yang tenggelam dalam ketegangan sejak munculnya wanita cantik itu. Ia bahkan terkejut ketika muncul Ang I Lama dari pintu. Kakek itu menjenguknya lalu tertawa melihat betapa ia masih rebah terlentang dengan kaki tangan terikat.
"Ha-ha-ha, sudah cukupkah engkau merenungkan nasibmu? Nanti kalau, matahari mulai memasukkan sinarnya melalui jendela itu, aku akan datang dan minta keputusanmu, apakah engkau mau menyerah ataukah memilih mati tersiksa. Ha-ha-ha!" Ang I Lama lalu keluar lagi sambil tertawa.
Tiba-tiba perhatian Hong Li tertarik oleh suara yang terdengar dari luar kamar itu. Terdengar suara gedebugan dan gerakan orang berloncatan, disusul bentakan Ang I Lama, "Sin-kiam Mo-li, berani engkau menyerangku?"
Lalu terdengar jawaban yang mendebarkan hati Hong Li karena ia mengenal suara wanita cantik tadi "Ang I Lama, tinggalkan tempat ini dan biarkan aku yang mengurus Kao Hong Li karena ia berjodoh untuk menjadi anak angkatku!"
"Ha-ha-ha, Sin-kiam Mo-li, apakah engkau hendak mengantar kematianmu maka berani mencampuri urusanku? Nah, terimalah kematianmu!" Kembali terdengar suara gedebugan dan Hong Li dengan mata terbelalak dan hati berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran mendengar gerakan orang yang sangat ringan dan cepat. Juga terdengar suara berdesing-desing. Ia menduga bahwa yang bersenjata pedang itu tentulah Sin-kiam Mo-li karena bukankah julukannya itu sudah menunjukkan bahwa wanita itu merupakan seorang ahli pedang. Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Berpedang Sakti), julukan yang mengerikan. Kenapa wanita secantik dan sebaik itu dijuluki Iblis Betina, pikir Hong Li dengan penasaran. Diam-diam ia berdoa agar wanita itu memperoleh kemenangan dalam perkelahian yang terjadi di luar kamar itu.
Tak lama kemudian, di antara suara gerakan orang bersilat itu, terdengar seruan Ang I Lama, "Kiam-sutmu hebat juga. Akan tetapi lihat, apakah ini?" Dan terdengarlah suara ledakan-ledakan yang mengejutkan hati Hong Li karena anak itu maklum bahwa tentu pendeta Lama itu telah mempergunakan ilmu sihirnya. Ia memandang khawatir sekali ke arah pintu dan melihat asap putih mengepul di luar pintu itu. Celaka, pikirnya, mampuskah Sin-kiam Mo-li menghadapi ilmu sihir yang aneh itu?
Akan tetapi, terdengar suara ketawa lembut wanita itu. "Hemm, Ang I Lama, permainan sihirmu ini merupakan permainan kanak-kanak bagiku." Kembali terdengar suara gedebugan, disusul suara Ang I Lama berteriak seperti orang kesakitan.
"Ahhhh. engkau benar lihai....!" Dan suara perkelahian itupun terhenti, tanda bahwa di luar kamar tidak ada lagi orang berkelahi.
Hong Li sampai merasa pedas pada matanya karena sejak tadi ia memandang ke arah pintu dengan mata terbelalak, tak pernah berkedip, dengan hati tegang. Ia tidak tahu bagaimana kesudahan perkelahian itu, akan tetapi mendengar suara-suara mereka tadi, ia merasa yakin bahwa penolongnya tidak kalah walaupun pendeta Tibet itu mempergunakan ilmu sihir. Dugaannya terbukti kebenarannya ketika ia mendengar langkah kaki halus dan muncullah Sin-kiam Mo-li di ambang pintu. Sinar lampu yang tidak begitu cerah menimpa wajah yang nampak cantik itu dan wanita itu tersenyum.
"Subo, kau menang....! Hong Li berseru dan wanita itu semakin girang. Sejak bersumpah, anak ini telah menyebutnya subo! Ia lalu melangkah menghampiri dipan. "Subo, bagaimana engkau bisa melawan ilmu sihirnya?"
Wanita itu memperlebar senyumnya. "Sihir merupakan permainan kanak-kanak bagiku, Hong Li. Lihat ini!" ia menggerakkan kedua tangannya ke arah tangan dan kaki Hong Li dan.... ikatan pada pergelangan tangan dan kaki anak itupun putus-putus dan Hong Li bebas seketika!
Dengan girang dan kagum sekali Hong Li bangkit dari pembaringan, kemudian, sebagai seorang anak angkat dan murid yang tahu diri, ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu. "Subo, terima kasih atas pertolonganmu!"
Sin-kiam Mo-li merangkul Hong Li dan mengangkatnya bangun. Hong Li memandang wanita itu dengan wajah berseri. "Ah, subo tentu lihai sekali mempergunakan pedang-pedang itu." ia menudingkan ke arah sepasang pedang yang berada di punggung Sin-kiam Mo-li. Sebatang pedang pendek dan sebatang pedang panjang. "Mengingat akan julukan subo, Sin-kiam Mo-li, tentu subo merupakan ahli pedang yang hebat!"
Wanita itu mengangguk-angguk. "Hong Li, engkau takkan kecewa menjadi anak angkat dan muridku."
Tiba-tiba teringatlah Hong Li bahwa ia sudah bersumpah mengangkat guru dan ibu kepada wanita ini, dan selama lima tahun ia akan ikut dengan wanita ini, bahkan berjanji akan membela dan melindunginya kelak selama hidupnya. Teringatlah ia akan orang tuanya sendiri dan tiba-tiba saja ia menjadi bingung.
Sin-kiam Mo-li memiliki pandang mata yang tajam. Ia melihat kebimbangan menyelimuti wajah anak itu, maka iapun bertanya sambil mengerutkan alisnya, "Ada apakah, Hong Li?"
Hong Li adalah seorang anak yang berwatak jujur. Ia memandang wajah gurunya dan berkata, "Subo, tiba-tiba saja aku teringat kepada ayah ibuku. Memang benar bahwa aku telah berjanji dan bersumpah kepadamu, dan aku juga akan memenuhi janjiku, selain mengangkatmu sebagai ibu dan guru, juga ikut bersamamu selama lima tahun dan kelak aku akan membela dan melindungimu. Akan tetapi, subo harus tahu bahwa orang tuaku tentu kehilangan aku dan kini mencari-cariku. Bagaimana kalau subo membawa aku lebih dulu pulang untuk berpamit kepada orang tuaku? Aku pasti akan memenuhi janjiku, aku hanya tidak ingin membuat mereka berkhawatir dan berduka."
Akan tetapi Sin-kiam Mo-li menggeleng kepalanya. "Hong Li, permintaanmu ini tentu saja tidak mungkin dapat kupenuhi. Bayangkan saja. Kalau kita bertemu dengan ayah ibumu, apakah engkau kira mereka akan mengijinkan aku pergi membawamu? Dan aku tidak ingin bentrok dengan mereka karena memperebutkan engkau, Hong Li.
Hong Li dapat mengerti akan alasan subonya. "Akan tetapi, bagaimana kalau pada suatu hari ayah ibuku dapat menemukan kita, subo?"
"Mungkin saja, karena mereka orang-orang yang lihai. Dan kalau terjadi hal itu, tentu mereka akan memaksa untuk membawamu pergi, dan aku akan mempertahankan. Kalau sudah begitu, aku hanya mengharapkan kebijaksanaanmu dan kejujuranmu juga kesetiaanmu akan janji dan sumpahmu."
"Jangan khawatir, subo" kata anak perempuan itu dengan sikap gagah. "Aku sudah berjanji dan bagiku, janji adalah kehormatan. Seorang gagah lebih mengutamakan kehormatan daripada nyawa. Dan aku yakin bahwa ayah dan ibu juga tidak ingin melihat anak mereka menjadi seorang pengkhianat yang melanggar sumpahnya sendiri!"
"Bagus, anakku yang baik, muridku yang hebat kelak engkau akan amat berguna bagiku. Aku girang sekali telah menolongmu, Hong Li. Mari ikutlah aku, kita pulang."
"Pulang?"
"Ya, pulang." Sin-kiam Mo-li tersenyum. "Kau kira aku tidak mempunyai tempat tinggal? Marilah, dan engkau akan merasa senang sekali tinggal di rumahku, eh, sekarang menjadi rumah kita."
Akan tetapi, ternyata bahwa mereka harus melakukan perjalanan sampai puluhan hari untuk dapat tiba di tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, karena tempat itu berada di tepi Sungai Cin-sa di kaki Pegunungan Heng-tuan, di tapal batas sebelah barat dari Propinsi Secuan!
******
Dengan melakukan perjalanan yang cepat dan jarang berhenti, Kao Cin Liong dan Suma Hui akhirnya tiba juga di Lhasa, di kota terbesar daerah Tibet itu, tempat yang menjadi pusat dari pemerintahan para Dalai Lama, dan juga menjadi pusat para pendeta Lama. Tempat ini dianggap keramat oleh para pendeta Lama dan oleh seluruh rakyat di Tibet.
Kao Cin Liong adalah seorang yang sudah banyak pengalaman. Ketika dia menjadi seorang panglima kerajaan, dia pernah memimpin pasukan sampai di Tibet, dan sebagai seorang panglima, dia amat dikenal di jaman itu. Maka, kini dia memasuki daerah Tibet tanpa merasa asing. Isterinya, Suma Hui yang belum pernah melihat kota Lhasa, memandang penuh kagum dan diam-diam merasa khawatir. Tembok kota Lhasa demikian kokoh kuat, dan istana yang menjadi pusat para pendeta Lama itu demikian megah, besar dan indah. Kalau puterinya berada di dalam istana itu, bagaimana ia akan mampu mengeluarkannya? Akan tetapi. ketenangan suaminya menimbulkan kembali kepercayaan diri dan keyakinannya bahwa mereka berdua pasti akan dapat menemukan dan membawa pulang puteri mereka tercinta, anak tunggal mereka.
Para pendeta Lama yang menjadi pimpinan di situ, banyak di antaranya yang mengenal bekas Panglima Kao Cin Liong dan merekapun menyambut kunjungan suami isteri itu dengan hormat dan ramah. Suami isteri pendekar itu tidak mau menceritakan kehilangan anak mereka, dan mereka hanya mengatakan bahwa mereka mempunyai urusan pribadi yang penting dengan seorang pendeta Lama berjuluk Ang I Lama.
"Mohon petunjuk para suhu apakah di sini terdapat seorang suhu yang berjuluk Ang I Lama, karena kami berdua sengaja datang dari jauh untuk mencarinya, untuk suatu urusan pribadi yang penting antara suhu Ang I Lama dan kami," demikian antara lain Kao Cin Liong menyatakan keperluan kunjungan mereka di tempat suci itu.
"Omitohud.... aneh sekali kalau ada tamu mencari Ang I Lama untuk urusan pribadi, karena setahu kami, sudah hampir dua tahun Ang I Lama mengasingkan diri dan tidak pernah berurusan deugan dunia luar. Akan tetapi kalau taihiap ingin mengetahui tempat tinggalnya, Ang I Lama kini berada di dalam guha di puncak Bukit Biruang Putih, tidak jauh dari sini."
Suma Hui tidak dapat menahan keinginan tahunya. Setelah suaminya mengucapkan terima kasih atas keterangan itu, iapun bertanya, "Cu-wi losuhu, kalau tidak salah, suhu Sai-cu Lama juga berasal dari sini, bukan?"
Mendengar pertanyaan ini, para pendeta Lama saling pandang dan muka mereka menjadi kemerahan.
"Omitohud....!" Seorang di antara mereka menjura ke arah Suma Hui. "Semoga Sang Buddha mengampuni kami. Memang benar, lihiap, Sai-cu Lama berasal dari sini. Akan tetapi dia murtad dan untung ada Tiong Khi Hwesio yang menolong kami dan menundukkannya. Sahabat kami Tiong Khi Hwesio sudah mengunjungi kami beberapa hari yang lalu dan sudah menceritakan bahwa dia berhasil melenyapkan Sai-cu Lama berkat bantuan para pendekar dan di antara mereka yang membantu untuk membasmi komplotannya termasuk ji-wi. Karena itu, dalam kesempatan ini, pinceng mewakili saudara kami sekalian menghaturkan terima kasih kepada ji-wi."
Kao Cin Liong dan isterinya cepat membalas penghormatan itu, dan bekas panglima itu merasa tidak enak melihat sikap para pendeta Lama yang menjadi kikuk ketika disebut nama Sai-cu Lama yang dianggap mengotorkan nama para pendeta Lama di Tibet.
"Harap cuwi losuhu memaafkan kami. Isteriku menyebut nama Sai-cu Lama karena kami menduga bahwa ada hubungan antara Sai-cu Lama dan Ang I Lama." Dengan ucapan ini, Cin Liong sengaja memancing keterangan tentang kedua orang pendeta Lama itu.
"Omitohud.... dugaan ji-wi memang tepat sekali, Ang I Lama adalah sute dari mendiang Sai-cu Lama, akan tetapi biarpun mereka itu saudara seperguruan, sungguh perbedaan antara mereka seperti bumi dengan langit. Sai-cu Lama menyeleweng dari pada kebenaran dan tersesat mengingkari ajaran-ajaran agama, sebaliknya Ang I Lama adalah seorang yang benar-benar taat kepada agama, bahkan selalu prihatin dan bertapa untuk mencari penerangan dan kedamaian."
Akan tetapi, keterangan bahwa ada hubungan saudara seperguruan antara kedua pendeta Lama itu, menambah keyakinan hati suami isteri itu bahwa mereka telah menemukan jejak yang benar. Tentu Ang I Lama menculik puteri mereka karena hendak membalas dendam atas kematian suhengnya, Sai-cu Lama pikir mereka. Mereka tahu bahwa dendam dapat saja membutakan mata batin manusia,
dan bukan tidak mungkin kalau Ang I Lama yang katanya tekun bertapa itu tidak dapat menahan dendam sakit hatinya.
Setelah memperoleh keterangan dan petunjuk tentang tempat tinggal atau tempat bertapa Ang I Lama, suami isteri pendekar itu lalu menghaturkan terima kasih dan meninggalkan istana para pendeta Lama di kota Lhasa itu, dan dengan cepat mereka mendaki bukit yang bernama Bukit Biruang Putih karena dari jauh memang bentuknya seperti seekor biruang. Di musim dingin, puncak itu diliputi salju sehingga nampak seperti seekor biruang putih, dan di musim panas, masih nampak putih karena puncaknya adalah batu kapur yang gundul.
Hari telah siang ketika suami isteri itu akhirnya tiba di depan guha besar, sebuah guha di puncak bukit kapur dan guha itu sudah memakai pintu kayu buatan manusia. Sunyi sekali di situ dan pemandangan alam dari depan guha memang amat indahnya. Dari situ nampak kota Lhasa, bahkan istana para pendeta Lama juga nampak dari situ, kelihatan seperti mainan saja, namun amat indahnya. Suma Hui berkeringat karena ketegangan hatinya. Ia membayangkan akan dapat menemukan puterinya di dalam gua itu, maka hatinya tegang bukan main. Masih selamatkah puterinya? Dan akan mampukah ia dan suaminya merampas kembali puteri mereka kembali?
Menurutkan dorongan hatinya, ingin Suma Hui menerjang dan menghancurkan pintu guha itu, namun suaminya yang maklum akan keadaan hati isterinya, menggeleng kepalanya memberi isyarat, lalu dia sendiri mendekati pintu kayu yang tertutup dan berkata dengan suara menghormat tidak keras akan tetapi karena dia mengerahkan khi-kangnya, maka suara itu dapat menembus daun pintu ke dalam guha.
"Locianpwe Ang I Lama, maafkan kalau kami datang mengganggu. Kami suami isteri Kao Cin Liong dan Suma Hui dari jauh di timur datang berkunjung untuk bertemu dan bicara dengan locianpwe!"
Keheningan menjawab suara Kao Cin Liong. Suami isteri itu menanti sampai beberapa lama, namun tidak ada jawaban. Mereka saling pandang dan kemarahan nampak di wajah Suma Hui. Wanita ini melangkah mendekati pintu dan tanpa dapat dicegah suaminya lagi, ia menggedor pintu itu.
"Dor-dor-dorrr....!" Daun pintu itu terguncang, lalu ia berteriak, suaranya nyaring sekali. "Ang I Lama, engkau telah menculik puteri kami! Keluarlah dan kembalikan puteri kami kepada kami atau aku akan menghancurkan daun pintu guha ini!"
Kini segera terdengar suara dari balik pintu itu, Omitohud.... apakah dosa pinceng maka hari ini kejatuhan fitnah yang keji ini....?"
Daun pintu terbuka dari dalam dan muncullah seorang kakek yang berpakaian serba kuning dengan jubah lebar berwarna merah. Kakek ini usianya sekitar enampuluh tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata yang tajam namun lembut sinarnya, dan wajahnya yang nampak sabar dan tenang. Dengan langkah lambat dia keluar pintu guha dan menghadapi suami isteri itu dengan sinar mata mengandung keheranan. Sejenak matanya memandang kepada suami isteri itu penuh selidik, kemudian dia berkata lagi.
"Omitohud, tadi pinceng mendengar bahwa ji-wi adalah Panglima Kao Cin Liong dan isterinya Suma Hui. Benarkah itu?"
"Saya bukan panglima lagi, locianpwe. Benar saya adalah Kao Cin Liong dan ini isteriku Suma Hui. Kami datang dari Pao-teng, sengaja untuk mencari dan menemui locianpwe.
"Omitohud.... sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi pinceng. Sayang pinceng tidak dapat menyambut dengan kehormatan, akan tetapi, ada urusan penting apakah maka ji-wi jauh-jauh datang mencari pinceng?"
Suma Hui sudah tidak sabar lagi. Tadi ketika kakek itu muncul, ia mengharapkan kakek itu akan disertai Hong Li. Akan tetapi anak itu tidak nampak, maka ia merasa khawatir sekali.
"Bukankah engkau yang berjuluk Ang I Lama?" tiba-tiba ia bertanya dengan sikap ketus.
Sikapnya ini membuat kakek itu memandang heran, akan tetapi dengan lembut dia mengangguk. "Benar sekali."
"Kalau begitu, jangan berpura-pura lagi dan cepat bawa keluar anak kami Kao Hong Li dan serahkan kembali kepada kami!"
Kini kakek itu memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata penuh keheranan, dan melihat betapa mereka berdua juga memandang kepadanya penuh selidik.
"Omitohud, jadi yang pinceng dengar tadi bukan hanya mimpi? Semula pinceng mendengar bahwa ji-wi datang untuk bicara dan karena sudah bertahun-tahun pinceng bertapa, pinceng terpaksa tidak melayani. Lalu terdengar fitnah keji itu yang memaksa pinceng keluar. Apakah artinya ini? Pinceng sama sekali tidak pernah menculik puteri ji-wi atau puteri siapapun juga. Bahkan selama dua tahun ini baru sekaranglah pinceng keluar dari dalam guha ini."
Suami isteri itu saling pandang dengan alis berkerut. Sungguh tidak mereka sangka mereka akan mendengar jawaban seperti ini. Sama sekali tidak menyenangkan! Kalau benar bukan pendeta Lama ini yang menculik Hong Li, berarti mereka telah melakukan perjalanan jauh dengan sia-sia. Bukan itu saja, juga harapan mereka untuk dapat menemukan kembali anak mereka di situ menjadi buyar, dan di samping itu mereka akan meraba-raba di dalam kegelapan karena tidak tahu siapa penculik itu dan di mana adanya puteri mereka.
"Ang I Lama, tak perlu engkau membohongi kami! Mana mungkin ada orang tinggal di dalam guha selama bertahun-tahun, tanpa makan dan minum. Kalau engkau tidak pernah keluar, berarti engkau tidak pernah makan minum dan hal itu saja membuktikan kebohonganmu!" teriak Suma Hui tak sabar, ngeri membayangkan bahwa benar-benar pendeta ini bukan penculik Hong Li.
"Omitohud, selama hidup pinceng tidak pernah berbohong. Lihat, lihiap, setiap dua tiga hari sekali ada murid Lama yang datang mengantar makanan dan minuman, ditaruhnya di luar daun pintu. Itu kiriman pagi tadi belum kuambil. Biasanya, pinceng hanya mengeluarkan tangan untuk mengambil makanan atau minuman sekedar untuk menghidupkan badan ini." Pendeta Lama itu menuding ke dekat pintu, dan benar saja. Di situ nampak sebuah baki terisi beberapa potong roti, madu dan air dalam botol.
Kao Cin Liong menjura. "Maaf, locianpwe, harap diketahui bahwa kami berdua berada dalam keadaan penuh kekhawatiran dan kedukaan. Anak tunggal kami diculik orang yang menurut anak-anak yang menyaksikannya, penculik itu adalah seorang pendeta berjubah merah yang mengaku bernama Ang I Lama, dan menurut keterangan mereka, bentuk muka dan tubuhnya cocok dengan keadaan locianpwe. Penculik itu berilmu tinggi dan mempergunakan ilmu sihir ketika melarikan anak kami. Mendengar nama itu kami jauh-jauh dari Pao-teng, melakukan perjalanan berbulan-bulan, menyusul ke sini. Setelah bertemu dengan locianpwe dengan penuh harapan akan bertemu dengan anak kami, tentu saja jawaban locianpwe itu mengecewakan sekali dan kami tidak dapat percaya begitu saja."
Kakek pendeta itu mengangguk-angguk. "Pinceng dapat mengerti dan dapat merasakan kecemasan ji-wi. Dari rumah yang amat jauh ji-wi membawa harapan untuk dapat menemukan kembali puteri ji-wi di sini, tentu saja ji-wi tidak mau menerima begitu saja kenyataan yang akan meghancurkan harapan ji-wi. Nah, pinceng persilahkan ji-wi untuk menggeledah ke dalam guha ini dan mencari puteri atau jejak puteri ji-wi.
"Biar aku yang memeriksa ke dalam dan kau menjaga di sini!" kata Suma Hui mendahului suaminya. Cin Liong tahu bahwa isterinya masih belum percaya kepada Ang I Lama dan takut kalau-kalau pendeta itu melarikan diri, maka diapun mengangguk.
Dengan hati penuh ketegangan, juga harapan, Suma Hui lalu memasuki guha itu. Sebuah guha yang cukup lebar dan di dalamnya bersih sekali, mendapatkan cukup hawa, bukan hanya dari pintu yang kini terbuka, juga dari lubang-lubang di bagian atas yang memasukkan hawa dan cahaya matahari. Lantainya dari batu yang halus dan bersih, dan di dalamnya hanya terdapat sebuah dipan kayu bertilam kasur tipis, kitab-kitab agama, tasbeh dan alat-alat sembahyang. Suma Hui meneliti guha itu penuh perhatian, bahkan memeriksa keadaan lantai dengan teliti sekali, mencari jejak puterinya, juga mencari kalau-kalau di situ terdapat alat-alat rahasia dan tempat tersembunyi. Namun, ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, juga tidak menemukan jejak atau tanda-tanda bahwa puterinya pernah berada di tempat itu. Saking kecewa dan bingungnya, kedua mata Suma Hui basah air mata ketika ia keluar dari dalam guha itu. Bagaikan seekor harimau betina kehilangan anaknya, ia menghadapi Ang I Lama dengan sikap marah dan ia membentak.
"Ang I Lama, aku tidak menemukan anakku di dalam guha. Tentu engkau telah menyembunyikan di tempat lain. Hayo kau mengaku dan kembalikan anakku, kalau tidak aku akan memaksamu agar mengaku!"
"Omitohud.... pinceng tidak pernah menculik puteri ji-wi dan pinceng tidak berbohong. Lihiap sudah menggeledah guha pinceng. Lalu apa lagi yang harus pinceng lakukan untuk meyakinkan hati ji-wi bahwa pinceng tidak pernah menculik puteri ji-wi?"
"Semua saksi mengatakan bahwa engkaulah penculiknya!" Suma Hui membentak marah. Ia mengharapkan sekali bahwa kakek inilah penculiknya, karena kalau bukan kakek ini, lalu siapa dan ke mana ia harus mencari anaknya? Perjalanan dari rumahnya ke Tibet merupakan perjalanan yang amat jauh dan sukar, dan ia tidak mau melihat perjalanannya ini sia-sia belaka.
"Omitohud...., sungguh luar biasa sekali. Semua saksi mengatakan bahwa pinceng yang melakukan penculikan itu. Akan tetapi pinceng tidak melakukannya. Mengapa pinceng harus melakukan perbuatan jahat itu? Pinceng tidak pernah bermusuhan dengan siapapun, apa lagi dengan ji-wi," kata kakek itu sambil menarik napas panjang.
"Maafkan kami, locianpwe," kata Cin Liong dengan sikap yang masih hormat. "Bukankah locianpwe masih saudara seperguruan dari mendiang Sai-cu Lama?"
"Mendiang....?" Wajah pendeta itu nampak terheran.
"Dia telah tewas ketika berkomplot dengan pengkhianat dan mengacau di kota raja, dan kami membantu para pendekar yang menghancurkan komplotannya. Nah, hal ini agaknya merupakan alasan yang cukup kuat andaikata locianpwe melakukan balas dendam dengan menculik anak kami."
"Omitohud....! Tentang kematian suheng Sai-cu Lama pun baru sekarang pinceng dengar, bagaimana pinceng dapat mendendam? Sungguh menyedihkan bahwa dia meninggal dunia dalam keadaan penuh dosa. Biarpun pinceng benar sutenya, namun di antara kami tidak pernah ada hubungan, lahir ataupun batin. Andaikata pinceng sudah tahu akan kematiannya sekalipun, pinceng tidak akan mendendam kepada siapapun juga. Hanya Thian yang menentukan kematian seseorang. Ji-wi atau siapapun juga tidak mungkin dapat membunuh seseorang tanpa kehendak Thian, Hanya Thian yang membunuh atau menghidupkan seseorang."
"Tak perlu banyak alasan kosong! Siapa tidak tahu bahwa diantara para Lama jubah marah terdapat banyak yang menyeleweng? Jubah pendetamu, kepala gundulmu, dan pertapaanmu hanya untuk kedok saja, menutupi semua keburukan yang dapat kau lakukan. Ang I Lama, para saksi itu adalah sekumpulan anak yang masih bersih dan jujur. Mereka tidak mungkin membohong. Mereka melihat sendiri betapa penculik itu adalah seorang pendeta yang berjubah merah, dan pendeta itu mengaku bernama Ang I Lama! Engkau hendak menyangkal, terpaksa aku menggunakan kekerasan!" Berkata demikian, Suma Hui yang sudah menjadi marah sekali karena cemas tidak berhasil menemukan jejak puterinya, segera menggerakkan tubuhnya, menyerang dengan hebatnya.
Serangan wanita ini amat hebat dan dahsyat karena ia sedang marah dan ia merasa yakin bahwa kakek yang diserangnya inilah penculik puterinya, maka begitu menyerang ia sudah menggunakan sebuah jurus dari Cui beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Roh). Melihat datangnya serangan dahsyat ini, terdengar Ang I Lama mengeluh dan kakek inipun cepat meloncat ke belakang. Tubuh kakek ini demikian ringannya seolah-olah dia dapat terbang saja dan ketika pukulan itu datang dengan hawa pukulan yang amat kuat, tubuhnya terdorong ke belakang seperti sehelai kapas yang dipukul saja!
Melihat pukulan pertamanya tidak mengenai sasaran, Suma Hui sudah menerjang lagi, melanjutkannya dengan serangan-serangan yang dahsyat, kini mempergunakan tenaga Hui-yang Sin-kang yang mengeluarkan hawa panas. Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengatur langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan semua pukulan dan ketika serangkaian pukulan itu lewat tanpa mengenai tubuhnya, diapun berseru dengan nada sedih.
"Omitohud.... apakah ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es hanya untuk membunuh orang yang tidak bersalah?"
Mendengar keluhan ini, Suma Hui merasa disindir, akan tetapi ia menjadi semakin marah dan penasaran.
"Singgg....! Nampak sinar berkelebat, sinar yang menyilaukan mata dari sepasang pedang yang sudah dicabut oleh wanita perkasa itu. "Ang I Lama, untuk menemukan kembali puteriku, aku berani menghadapi siapa saja dan membunuh siapa saja!" bentaknya dan iapun kini menyerang dengan sepasang pedangnya!
Ang I Lama meloncat ke belakang dengan gerakan seperti seekor kera dan diapun mengeluh, "Omitohud.... lihiap terlalu mendesak! Kegelisahan dan kedukaan telah membuat lihiap menjadi mata gelap."
Suma Hui tidak perduli dan mendesak terus dengan pedang-pedangnya. Kakek itu bersilat dengan gerakan-gerakan lucu, seperti seekor kera, akan tetapi dia berhasil berloncatan menyelinap di antara gulungan kedua sinar pedang. Memang Ang I Lama adalah seorang ahli silat Sin-kauw-kun (Silat Kera Sakti) yang amat lihai. Diapun memiliki sepasang pedang dan menjadi ahli bermain siang-kiam, akan tetapi menghadapi amukan Suma Hui, jelas bahwa dia selalu mengalah, dan tidak mau mempergunakan sepasang pedangnya walaupun serangan-serangan wanita sakti itu amat berbahaya bagi keselamatan dirinya.
Menghadapi desakan sepasang pedang yang demikian lihainya seperti sepasang pedang di tangan Suma Hui yang memainkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), satu di antara ilmu-ilmu keluarga Pulau Es yang amat hebat, mana mungkin hanya mengelak saja? Untuk menyelamatkan dirinya, terpaksa Ang I Lama harus membalas serangan lawan untuk membendung gelombang serangan Suma Hui. Akan tetapi dia membalas bukan dengan maksud mencelakai lawan, melainkan sekedar menahan desakan
lawan, dengan cengkeraman-cengkeraman keras untuk merampas pedang dan totokan-totokan untuk melumpuhkan tubuh lawan.
Ketika sepasang pedang Suma Hui mendesak hebat, tiba-tiba dengan gerakan aneh, tubuh kakek pendeta itu menyelinap dan berada di belakang tubuh wanita itu, tangan kanannya menyambar ke arah tengkuk untuk melakukan totokan. Akan tetapi, Suma Hui membalik dan pedangnya menyambar, membabat ke arah lengan yang diulur ke arah tengkuknya tadi. Sinar pedang berkelebat dan Ang I Lama tidak sempat lagi untuk mengelak dan walaupun dia sudah menarik kembali lengannya, tetap saja pedang itu menyambar
ke arah lengannya dan.... "crokkk....!" setengah dari lengan itu terbabat buntung!
"Hui-moi, jangan....!" Kao Cin Liong berseru kaget dan meloncat ke depan, memegang lengan isterinya dan menariknya lembut agar isterinya menahan dirinya.
"Omitohud, sungguh berbahaya....!" kata kakek itu dan diapun memandang lengan kanannya yang ternyata masih utuh, akan tetapi lengan bajunya yang buntung setengahnya. Kiranya kakek ini, dalam saat terakhir ketika pedang membabat, masih sempat menarik lengannya di dalam lengan baju sehingga yang terbabat buntung hanya lengan bajunya saja!
Melihat kenyataan itu, diam-diam Cin Liong terkejut dan girang. Girang karena ternyata isterinya tidak jadi membikin cacat pendeta yang belum tentu berdosa ini, dan terkejut karena maklum bahwa kakek ini sungguh sakti, sudah dapat membuat lengannya mulur dan mengkeret. Ilmu seperti itu dapat membuat lengan mulur sampai dua kali panjang lengan itu, dan dapat membuat lengan itu memendek sampai setengahnya, seperti yang dilakukan kakek tadi untuk menyelamatkan lengannya dari babatan pedang.
Sudahlah, Hui-moi. Agaknya memang locianpwe ini tidak bersalah karena sejak tadi dia mengalah terus menghadapi serangan-seranganmu. Kalau bukan dia yang melakukan, berarti ada orang lain yang mempergunakan namanya. Aku yakin bahwa locianpwe Ang I Lama tidak akan tinggal diam saja namanya dipergunakan orang lain untuk melakukan kejahatan terhadap kita sehingga mendatangkan fitnah padanya.
Suma Hui juga mengerti bahwa agaknya memang bukan kakek ini yang menculik puterinya. Kalau memang kakek ini memiliki dendam terhadap ia dan suaminya, tentu kakek ini akan melakukan perlawanan, mengingat bahwa tingkat kepandaian kakek ini mungkin lebih tinggi dari tingkatnya. Akan tetapi kakek ini selalu mengalah, tidak balas menyerang dan selalu bersikap lembut. Hal ini membuat hatinya menjadi semakin gelisah dan berduka. Tak terasa lagi, dua matanya menjadi basah dan air mata jatuh menuruni kedua pipinya yang agak pucat. Wanita ini menderita kesengsaraan batin semenjak puterinya, yang merupakan anak tunggal itu, lenyap diculik orang.
"Habis, ke mana kita harus mencari anak kita....?" Suaranya terdengar demikian memelas, menggetar dan lirih, kedua matanya yang merah dan basah itu ditujukan kepada suaminya dengan pandang mata yang penuh duka sehingga suaminya merasa terharu dan kasihan sekali. Dia sendiri tidak tahu harus mencari ke mana, maka pertanyaan penuh kegelisahan itupun tidak dapat dijawabnya.
"Omitohud.... kenapa ada orang tega memisahkan ibu dari anaknya? Sungguh merupakan perbuatan yang amat kejam. Pinceng dapat mengerti akan kedukaan dan kebingungan hati ji-wi. Karena pinceng juga ingin sekali membantu, maka dapakah ji-wi memberitahukan, siapa kiranya musuh-musuh ji-wi yang paling besar?"
Kao Cin Liong menggeleng kepala. "Kami merasa tidak mempunyai musuh-musuh, locianpwe, akan tetapi tentu saja ada orang-orang yang membenci kami di luar pengetahuan kami. Semenjak saya mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai panglima, kami hidup sebagai pedagang dan tidak mencampuri urusan kang-ouw. Kecuali ketika kami membantu para pendekar untuk menghancurkan komplotan Sai-cu Lama yang mengacau di kota raja."
"Nah, itulah, komplotan itulah. Siapakah di antara mereka selain mendiang suheng Sai-cu Lama? Siapakah yang menjadi kelompok pimpinan mereka?" Pendeta itu bertanya dan memandang dengan alis berkerut, penuh perhatian.
"Ada banyak di antara mereka, akan tetapi yang menjadi pimpinan terpenting hanya beberapa orang," jawab Kao Cin Liong sambil mengingat-ingat. "Mereka adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, Iblis Mayat Hidup...."
"Sam Kwi (Tiga Iblis)?" tanya Ang I Lama.
"Benar, locianpwe. Sam Kwi bersama murid mereka yang berjuluk Bi-kwi. Kemudian ada lagi Kim Hwa Nio-nio dan muridnya yang bernama Bhok Gun. Itulah mereka yang menjadi komplotan dan pembantu Sai-cu Lama."
Ang I Lama mengangguk-angguk, sepasang alisnya berkerut dan tangan kirinya meraba-raba dagunya. "Apakah mereka semua tewas dalam pertempuran itu?"
"Semua tewas, kecuali Bi kwi, murid Sam Kwi."
"Hemmm, apakah tidak mungkin ia yang melakukan penculikan itu?"
Cin Liong menggeleng kepala. "Kiranya tidak mungkin. Kalau ia mendendam, tentu tidak ditujukan kepada kami, karena kami hanya membantu saja para pendekar yang menghancurkan komplotan itu. Pula, tidak mungkin ia dapat menyamar sebagai locianpwe, karena ketika melakukan penculikan, menurut saksi, yaitu anak-anak yang menyaksikan, penculik itu menggunakan ilmu sihir dan lenyap diantara gumpalan asap tebal."
"Sihir? Hemmm.... Kakek itu lalu duduk bersila dan seperti orang bersamadhi, akan tetapi kulit di antara kedua alisnya berkerut, tanda bahwa dia tenggelam di dalam pemikiran yang mendalam.
Karena merasa tidak perlu lebih lama berada di tempat itu, Cin Liong lalu menggandeng tangan isterinya yang nampak sedih itu, meninggalkan tempat itu, menuruni bukit perlahan-lahan. Dia harus pulang dulu, baru dari rumah nanti mencari jejak puteri mereka. Juga, dia mengharapkan hasil penyelidikan Suma Ciang Bun, selain itu juga ingin mendengar bagaimana dengan pendapat orang tuanya di Istana Gurun Pasir yang dilapori oleh Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun.
******
Rumah itu tidak besar, merupakan rumah dengan dua buah kamar besar dan tiga kamar dibagian belakang yang menjadi tempat tinggal para pelayan, dua buah ruangan dan sebuah gudang. Kecil akan tetapi nampak indah sekali karena bangunannya dibuat secara artistik, gentengnya merah dan tembok rumah itu sendiri di cat hijau, hampir tersembunyi di antara daun-dan pohon yang besar. Pohon-pohon yang tumbuh disekeliling rumah itupun bukan pohon liar, melainkan diatur tumbuhnya,dan terdiri dari pohon-pohon yang asing dan jarang terdapat di daerah pegunungan Heng-tuan-san itu.
Rumah itu berdiri di lereng paling bawah, masih merupakan kaki pegunungan kaki pegunungan Heng-tuan�san. Tanah disekeliling rumah itu subur sekali karena sungai Cin-sa mengalir di bagian belakang rumah itu, hanya beberapa ratus meter saja jauhnya. Karena daerah itu merupakan daerah tapal batas Propinsi Secuan, dan jauh dari jalan raya, maka keadaannya amat sunyi. Sunyi dan indah. Dusun terdekat berada sejauh belasan li dari situ.
Itulah tempat tinggal wanita cantik yang berjuluk Sin-kiam Mo-li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang bersikap halus menarik itu, kini telah menjadi guru Kao Hong Li. Seperti kita ketahui, Sin-kiam Mo-li telah berhasil merampas Kao Hong Li dari tangan penculiknya yang mengaku bernama Ang I Lama, kemudian Hong Li berjanji untuk berguru dan mengaku ibu kepada Sin-kiam Mo-li, ikut bersama wanita itu selama lima tahun. Bahkan Hong Li telah disuruh bersumpah!
Ketika ia pertama kali tiba di tempat tinggal gurunya yang juga menjadi ibu angkatnya, Hong Li merasa gembira sekali, melihat betapa tempat itu amatlah indahnya. Rumah itu kecil mungil dan dari jauh, ketika mereka tiba di bawah kaki gunung, rumah itu nampak jelas, seperti rumah boneka yang berwarna-warni, dikelilingi pohon-pohon besar yang indah pula, juga diantara pohon-pohon itu terdapat banyak sekali tanaman bunga yang beraneka ragam dan warna. Akan tetapi, ketika mereka mulai mendaki bukit, rumah indah itu lenyap tertutup pohon-pohon yang amat banyak dan mereka mendaki melalui lorong-lorong yang amat sulit dikenal kembali karena bentuknya yang aneh-aneh dan banyak pula yang sama. Lorong-lorong di antara pohon-pohon besar itu juga seringkali membelok, bahkan tikungannya ada pula yang seperti berbalik ke arah yang berlawanan. Di sana-sini lorong itu putus dan di depannya hanya nampak jurang lebar menganga, ada pula yang tiba-tiba saja di depan jalan terdapat kolam pasir yang bentuknya aneh, sama sekali tidak ditumbuhi tanaman. Ada pula lapangan rumpur yang hijau dan nampak segar, akan tetapi gurunya memperingatkan agar ia jangan menginjak lapangan rumput itu. Tadinya Hong Li mengira bahwa gurunya melarangnya agar jangan merusak rumput hijau segar itu, akan tetapi kemudian gurunya memberi tahu bahwa menginjak tempat itu sama saja dengan bunuh diri! Banyak tempat, tempat yang tidak boleh diinjak, bahkan ada pula tanaman-tanaman yang memiliki bunga-bunga indah akan tetapi gurunya melarang ia menyentuh bunga dan daun tanaman itu. Tangannya akan melepuh keracunan, kata gurunya.
Sungguh tempat yang indah akan tetapi aneh dan menyeramkan. Akan tetapi setelah mereka tiba di rumah mungil itu, hati Hong Li tertarik dan ia senang sekali menerima sambutan tiga orang pelayan yang usianya rata-rata tigapuluh tahun, pelayan-pelayan wanita yang rata-rata berwajah cantik dan berpakaian bersih rapi.
"Ini adalah anak angkat, juga muridku," kata Sin-kiam Mo-li kepada mereka, memperkenalkan Hong Li.
"Aih, siocia, engkau manis sekali!" kata yang berbaju merah.
"Siocia, yang baik, kami akan melayanimu dengan penuh kasih sayang!" kata yang berbaju hitam,
"Siocia, siapakah namamu?" tanya yang berbaju putih.
Hong Li memandang mereka seorang demi seorang dengan penuh perhatian. Mereka itu berwajah cantik, tidak seperti pelayan dari dusun, dan pakaian mereka yang rapi itu seperti pakaian seragam. Celana mereka baru, akan tetapi baju mereka, yang mempunyai potongan yang sama, berbeda warnanya. Rata-rata mereka bersikap ramah, akan tetapi yang mengherankan, sikap mereka lincah dan sepasang mata mereka tajam, gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah wanita-wanita bodoh yang lemah. Sebelum ia menjawab, gurunya sudah bicara lagi.
"Hong Li, mereka inilah pelayan-pelayan yang juga menjadi teman kita dan penghuni tempat ini. Nama mereka mudah dilihat dari pakaian mereka. Ini Ang Nio (Nona Merah), dan ini Pek Nio (Nona Putih) dan Hek Nio (Nona Hitam). Kalian ketahuilah bahwa siocia (nona) ini adalah Kao Hong Li. Ia belum tahu akan keadaan tempat tinggal kita, maka hari ini kalian ajaklah ia berjalan-jalan dan kalau aku belum memerintahkan, jangan membuka rahasia tentang tempat ini. Belum waktunya dan bisa berbahaya. Nah. aku mau beristirahat. Layanilah Hong Li sebaiknya." Setelah berkata demikian, Sim-kiam Mo-li meninggalkan muridnya yang segera diajak oleh tiga orang pelayan itu untuk melihat lihat keadaan di dalam rumah itu. Ketika Hong Li diajak masuk ke dalam, ia menjadi kagum dan juga bingung. Kagum karena rumah itu mewah dan memiliki perabot rumah yang serba indah dan mahal, penuh dengan lukisan-lukisan mahal, pot-pot bunga kuno yang antik, juga lantainya ditutup permadani tebal. Akan tetapi yang membuat ia merasa bingung adalah ketika ia harus berputar-putar untuk memeriksa kamar itu yang walaupun tidak berapa besar namun berlika-liku dan memiliki lorong-lorong di antara pot-pot bunga dan perabot rumah. Gurunya mendiami kamar pertama dan ia memperoleh kamar ke dua yang selama ini dibiarkan kosong, sedangkan tiga orang pelayan itu tinggal di kamar belakang. Anehnya, ia harus dituntun oleh Ang Nio ketika melihat-lihat di dalam rumah itu.
"Jangan pandang ringan keadaan dalam rumah ini, nona. Tanpa petunjuk kami, nona takkan dapat memasuki kamar sendiri," kata Ang Nio melihat betapa Hong Li mengerutkan alisnya karena harus dituntun.
"Ah, masa? Kenapa tidak bisa?"
"Keadaan di dalam rumah ini telah diatur oleh toanio (nyonya besar) menurutkan garis-garis pat-kwa (segi delapan), penuh dengan alat-alat rahasia sehingga kalau ada orang luar berani masuk, selain dia terancam oleh jebakan-jebakan, juga sukar baginya untuk mencari jalan keluar."
Hong Li tidak percaya. Tiga orang pelayan itu lalu membiarkan ia mencari jalan sendiri dan benar saja! Jalan yang diambilnya itu buntu, kalau tidak terhalang meja kursi, pot bunga, tentu menjadi tertutup oleh sebuah pintu yang ketika dibukanya membawanya ke bagian lain yang sama sekali tidak disangkanya. Ia mencoba untuk mencapai pintu kamar yang diberikan kepadanya, namun selalu gagal! Dan ketika ia melihat sebuah kursi besar menghalang antara ia dan pintu itu, ia menggeser kursi itu dengan hati girang. Kalau kursi itu disingkirkan, tentu ia dapat langsung saja menghampiri pintu itu dan berarti menang! Akan tetapi, begitu kursi digeser, terdengar suara dan tahu-tahu dirinya telah berada dalam sebuah kurungan besi! Tiga orang pelayan itu menghampiri sambil tertawa-tawa.
"Sudahlah, nona," kata Pek Nio sambil menggerakkan alat rahasia dan kurungan itupun terlipat dan lenyap, sedangkan kursi kembali ke tempatnya semula. "Masih untung engkau terjebak dalam kurungan, karena di sini terdapat jebakan yang lebih berbahaya lagi. Mari, kita tunjukkan semua rahasia dalam rumah ini agar engkau dapat bergerak dengan bebas."
Mau tidak mau Hong Li kini percaya bahwa rumah yang nampak mungil tidak berapa besar ini penuh dengan alat rahasia dan diatur sedemikian rupa sehingga orang luar jangan harap akan dapat masuk, atau kalau sudah masuk jangan harap akan dapat keluar kembali. Tiga orang pelayan itu menerangkan sejelasnya dan Hong Li memang memiliki otak yang cerdas sekali. Dalam waktu sehari saja ia sudah mengenal semua rahasia di dalam rumah itu dan ia merasa kagum sekali, semakin kagum terhadap gurunya atau ibu angkatnya. Dari pengaturan rumah ini saja sudah dapat diketahui bahwa Sin-kiam Mo-li memang amat lihai.
Akan tetapi, ternyata bahwa jalan menuju ke rumah gurunya itupun tidak dapat didatangi orang secara mudah! Jalan itu mengandung rahasia yang lebih rumit dari pada rahasia di dalam rumah dan biarpun dari kaki gunung sudah dapat dilihat rumah mungil di lereng itu, jangan harap bagi orang luar untuk dapat menemukannya! Dia akan tersesat dan hanya berputar-putar di antara pohon-pohon, atau kalau dia salah langkah, dia akan tewas dalam keadaan mengerikan. Dan diam-diam Hong Li amat cemas, untuk dapat mengenal jalan naik turun dari rumah itu ke kaki gunung, ia harus mempelajarinya sampai lebih dari sepekan barulah ia dapat turun dan naik sendiri tanpa ditemani pelayan. Dan ternyata bahwa jalan dari kaki gunung menuju ke rumah itu melalui lorong di antara pohon-pohon yang diatur menurut garis-garis pat-kwa yang amat rumit.
Semenjak tiba di tempat itu bersama gurunya, Hong Li mulai dilatih ilmu silat oleh Sin-kiam Mo-li. Tidak begitu sukar bagi Sin-kiam Mo-li untuk mengajarkan ilmu-ilmunya yang tinggi karena gadis cilik itu memang sudah memiliki dasar yang baik sekali. Sebagai cucu keluarga pendekar besar, sejak kecil ia memang sudah mempelajari dasar-dapat ilmu silat tinggi, bahkan ilmu silatnya sudah demikian lihainya sehingga orang dewasa yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja jangan harap akan mampu menandinginya.
Hong Li merasa suka tinggal di tempat yang indah itu, apa lagi sikap gurunya dan tiga orang pelayan itupun amat ramah kepadanya. Hannya ada satu hal yang membuat ia merasa tidak suka, yaitu tempat itu jauh dari tetangga. Dusun terdekat letaknya belasan li dari situ. Kadang-kadang ia merasa kesepian dan merindukan kehadiran anak-anak lain yang dapat dijadikan teman. Pada suatu pagi, Sin-kiam Mo-li memanggilnya. Hong Li cepat datang menghadap.
"Hong Li, mari kau ikut aku melihat tontonan yang mengasyikkan.
"Tontonan apakah, subo?" Hong Li bertanya dengan girang mendengar bahwa ia diajak nonton sesuatu yang mengasyikkan. Disangkanya bahwa gurunya tentu akan mengajaknya ke sebuah dusun atau kota untuk nonton pertunjukan dan hal ini merupakan suatu perubahan yang segar dan penghibur kesepiannya. Akan tetapi gurunya mengajaknya menuju ke kebun belakang di mana terdapat sebuah menara dari bambu di mana subonya suka berdiam diri untuk berlatih siu-lian. Menara itu tidak mempunyai anak tangga, dan biasanya Sin-kiam Mo-li hanya mempergunakan ilmunya, meloncat seperti burung terbang melayang menuju ke atas menara di mana terdapat sebuah panggung tertutup dari papan.
"Subo, bagaimana aku dapat naik ke sana?" Hong Li bertanya ragu ketika subonya menunjuk ke menara itu dan mengatakan bahwa mereka akan "nonton" dari sana. Biarpun Hong Li sudah berlatih gin-kang sejak kecil dan tubuhnya memiliki keringanan dan kegesitan yang mengagumkan, namun kalau disuruh meloncat setinggi itu, ia masih belum mampu.
"Kelak engkau harus bisa melompat ke atas. Sekarang marilah kubantu engkau!" Wanita cantik itu lalu menyambar lengan kiri Hong Li dan mereka lalu meloncat ke atas. Baru mencapai setengahnya lebih, tubuh Hong Li tentu akan meluncur turun kembali kalau saja gurunya tidak menariknya ke atas dan Hong Li merasa seperti terbang dan tahu-tahu mereka sudah tiba di depan pondok atau panggung tertutup di atas menara itu.
Dari tempat setinggi itu, Hong Li dapat melihat ke kaki gunung dan nampaklah lorong kecil berlika-liku yang menuju ke sebuah dusun di kaki gunung. Pernah ia datang ke dusun itu ketika ia berlatih melewati lorong yang penuh rahasia itu.
"Hong Li, lihat ke sana itu. Kita akan melihat tontonan yang menggembirakan!" kata wanita cantik itu dengan suara gembira dan wajahnya berseri, sepasang matanya berkilauan tajam. Hong Li yang sudah ingin bertanya tontonan apa yang dimaksudkan subonya, kini memandang ke arah yang ditunjuk subonya dan iapun dapat melihat mereka itu. Ada lima orang nampak kecil-kecil dari atas itu, dan mereka sedang merayap perlahan-lahan menuju ke rumah mereka. Kini lima orang itu telah tiba di luar daerah mereka, mulai berhadapan dengan pohon-pohon yang sudah diatur menjadi deretan pertama dari benteng pohon-pohon yang penuh rahasia. Nampak dari atas betapa lima orang itu seperti sedang berunding, kemudian berpencar mengambil jalan sendiri-sendiri. Agaknya mereka tahu bahwa jalan menuju ke rumah itu tidak mudah, maka mereka berpencar mencari jalan sendiri-sendiri. Melihat gerakan mereka yang lincah dan ringan, mudah diduga bahwa lima orang itu bukan orang-orang sembarangan.
"Subo, siapakah mereka?" tanya Hong Li tanpa mengalihkan pandangannya dari lima orang itu. Dari tempat ia berdiri, mudah dilihat gerakan lima orang itu. Biarpun mereka berpencar, karena dari tempat tinggi itu mereka nampak kecil, maka pandang matanya dapat mengikuti gerakan mereka dengan jelas.
"Mereka adalah lima ekor tikus yang agaknya sudah bosan hidup dan mencari mati di sini," jawab subonya dengan suara mengandung kegembiraan. Hong Li terkejut dan kini ia menoleh dan memandang kepada subonya. Wanita cantik itu nampaknya gembira sekali, sepasang matanya berseri mengikuti gerakan lima orang di bawah sana.
"Apa yang subo maksudkan?" tanyanya dengan heran.
Mereka itu mencari mati karena melakukan pelanggaran daerah kita," jawab pula gurunya dengan sikap masih gembira dan acuh terhadap pertanyaanpertanyaan muridnya.
"Tapi.... tapi mengapa, subo? Mengapa Subo membiarkan saja mereka melanggar wilayah kita dan memasuki daerah berbahaya itu?"
Kini Sin-kiam Mo-li menoleh kepada muridnya. "Hemn aku tidak menyuruh mereka melakukan pelanggaran, bukan? Kalau sampai mereka mampus, itu adalah salah mereka sendiri!"
Sejenak Hong Li tidak mampu membantah. Memang tak dapat disalahkan kalau gurunya membiarkan saja lima orang itu memasuki daerah berbahaya dan menghadapi kematian mereka, akan tetapi, mengapa gurunya demikian kejam membiarkan lima orang menghadapi kematian tanpa mencegahnya?
"Subo, kalau begitu biarlah aku yang akan memberi tahu mereka agar mereka mundur dan tidak melanjutkan perjalanan mereka memasuki daerah ini. Mungkin mereka tidak tahu bahwa daerah ini berbahaya," katanya pula.
Tiba-tiba gurunya tertawa. "Hemm, Hong Li engkau tidak tahu. Apa kaukira mereka itu tidak tahu? Mereka sengaja memasuki daerah kita karena mereka hendak mencari aku."
"Eh? Jadi subo mengenal mereka? Mau apa mereka mencari subo?"
"Mereka hendak membunuhku."
Sepasang mata Hong Li terbelalak kiranya ada permusuhan di antara lima orang itu dan subonya. Pantas subonya membiarkan saja mereka menghadapi bahaya. Akan tetapi ia masih merasa penasaran sekali.
"Subo, kenapa mereka hendak membunuh subo? Dan siapakah sesungguhnya mereka itu?"
"Beberapa pekan yang lalu, seorang teman mereka memasuki daerah ini, mungkin dengan niat jahat, dan tewas di pasir maut. Kematiannya itu adalah kesalahannya sendiri, akan tetapi teman-temannya agaknya kini datang hendak menuntut balas atas kematian kawan mereka. Mereka adalah orang-orang dari perkumpulan Cin-sa-pang (Perkumpulan Sungai Cin Sa), orang-orang sombong tak tahu diri sehingga berani menantangku." Di dalam suara wanita cantik ini terkandung kemarahan. "Biar mereka tahu rasa sekarang agar tidak memandang rendah kepadaku."
Hong Li memandang lagi dan melihat betapa dengan cekatan lima orang itu kini berloncatan dan masuk semakin dalam di antara pohon-pohon. "Gerakan mereka lincah dan cekatan. Bagaimana kalau mereka sampai di rumah subo?"
"Tidak begitu mudah. Tiga orang pelayanku sudah siap menyambut mereka. Lihat!"
Hong Li memandang dan benar saja, ia melihat tiga bayangan orang berlari turun setelah keluar dari dalam rumah mungil. Jaraknya terlalu jauh untuk dapat melihat wajah mereka, akan tetapi melihat baju mereka itu, yang seorang merah, seorang putih dan seorang hitam, iapun tahu bahwa mereka itu adalah Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio. Baru sekarang ia melihat betapa tiga orang pelayan itu berloncatan dengan amat cepatnya. Memang ia sudah menduga bahwa mereka sebagai pelayan-pelayan subonya agaknya pandai pula ilmu silat, akan tetapi tidak disangkanya mereka akan dapat bergerak secepat itu.
Dan kini terjadilah tontonan yang memang menegangkan dan mendebarkan hati Hong Li. Dari tempat yang tinggi itu, ia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di sana. Mula-mula Ang Nio yang lebih dulu bertemu dengan seorang di antara lima orang penyerbu itu. Tepat di tengah-tengah setelah orang itu mampu naik sampai ke bagian tengah daerah yang penuh pohon-pohon itu, agaknya bingung dan berputar-putar di sekitar tempat itu. Hong Li tidak tahu apa yang mereka bicarakan, akan tetapi keiihatan betapa laki-laki itu yang lebih dulu menyerang Ang Nio dengan gerakan yang cepat. Dan ia melihat betapa Ang Nio mengelak dan balas menyerang, tak kalah cepatnya gerakan pelayan itu. Ia melihat betapa dua orang itu berkelahi dengan gerakan-gerakan cepat dan kini laki-laki itu mengeluarkan senjata sebatang golok besar. Ang Nio juga mengeluarkan sebatang pedang tipis dan perkelahian menjadi semakin seru dan menegangkan hati Hong Li. Biarpun ia tidak tahu secara jelas urusannya, akan tetapi mendengar penuturan subonya tadi, tentu saja ia berpihak kepada Ang Nio. Dianggapnya bahwa pria yang menyerbu itu memang tak tahu diri, berani melanggar daerah orang lain, bahkan iapun tadi melihat betapa pria itu yang lebih dulu menyerang Ang Nio.
Perkelahian itu tidak berlangsung lama ketika dari tempat Hong Li menonton, terdengar laki-laki itu berteriak dan tubuhnya roboh. Perkelahian itu paling lama hanya berlangsung tigapuluh jurus dan pedang di tangan Ang Nio telah menembus dada lawannya yang roboh dan tewas. Sementara itu, di bagian lain juga terjadi perkelahian antara Pek Nio melawan seorang penyerbu. Juga di sebelah kiri, nampak Hek Nio melayani seorang penyerbu lain.
Hong Li memandang dengan hati berdebar. Agaknya, baik Pek Nio maupun Hek Nio, dapat mengatasi perkelahian itu dan dengan pedang di tangan, mereka mendesak lawan masing-masing yang bersenjata golok. Seperti juga tadi, kurang lebih tigapuluh jurus kemudian, lawan mereka itu roboh oleh pedang mereka. Dari tempat yang cukup jauh itu Hong Li tidak melihat darah mengalir, akan tetapi ia melihat betapa tiga orang telah roboh dan tewas. Kini tinggal dua orang lagi yang secara kebetulan dapat saling bertemu di bawah sebatang pohon besar. Mereka bicara dan menuding ke sana-sini, ke kanan kiri, agaknya saling menceritakan bahwa mereka berdua menjadi bingung dan tidak tahu jalan mana yang akan dapat membawa mereka ke rumah kecil mungil yang tadi nampak dari kaki gunung.
Tiba-tiba mereka terkejut dan membalikkan tubuh. Tiga orang wanita pelayan itu, masing-masing menyeret tubuh seorang lawan yang sudah mati, muncul dari balik pohon dan berada di depan mereka! Tentu saja dua orang laki-laki itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa tiga orang kawan mereka tahu-tahu telah menjadi mayat diseret oleh tiga orang wanita cantik itu. Agaknya merekapun tahu bahwa mereka berada dalam keadaan berbahaya sekali. Tiga orang kawan mereka sudah tewas oleh tiga orang wanita ini, dan tentu mereka seperti menyerahkan nyawa saja kalau melawan. Tanpa dikomando lagi, dua orang itu membalikkan tubuh melarikan diri turun gunung.
"Hik-hik!" Hong Li mendengar suara subonya terkekeh. "Mereka kira akan dapat lolos begitu saja? Bodoh!"
Hong Li memandang kepada dua orang itu yang melarikan diri cerai berai karena lorong itu sempit dan banyak sekali cabang-cabangnya. Ia yang sudah mempelajari rahasia lorong itu segera tahu bahwa mereka berdua mngambil jalan yang keliru! Mereka bukan menuju turun gunung, melainkan akan terputar-putar saja melalui tempat-tempat yang amat berbahaya. Tentu mereka berdua itu akhirnya akan terperangkap di tempat berbahaya, tak mungkin lolos seperti kata-kata subonya tadi, pikirnya. Dugaannya memang tepat karena tak lama kemudian terdengar seorang di antara mereka mengeluarkan teriakan mengerikan, walaupun hanya terdengar lapat-lapat dari tempat Hong Li berdiri itu. Ia cepat memandang dan Hong Li mengerutkan alis, jantungnya berdebar tegang penuh kengerian. Kiranya seorang di antara dua laki-laki yang melarikan diri tadi, kini salah langkah menginjak padang rumput dan segera tubuhnya tersedot karena di bawah rumput yang hijau subur dan indah itu terdapat lumpur yang dapat menyedot mahluk yang bergerak, dan yang terjatuh ke tempat itu. Dan walaupun dari tempat ia menonton tidak nampak, Hong Li tahu bahwa tentu nampak di permukaan padang rumput itu ekor-ekor ular yang seperti belut, yang tentu kini sudah mengeroyok orang yang terjatuh ke situ. Teriakan-teriakan itu masih susul-menyusul, kemudian sunyi dan padang rumput itu sudah nampak hijau dan indah kembali. Orang itu sudah tenggelam dan kalau digali, agaknya hanya akan ditemukan tulang rangkanya saja! Hong Li bergidik. Ia sudah melihat kedahsyatan tempat itu ketika ia mempelajari tempat itu dan rahasianya, diberi petunjuk oleh tiga orang pelayan, dan Ang Nio melempar seekor kelenci ke tempat itu. Ia melihat betapa kelenci itu yang bergerak mencoba untuk lari, disedot semakin dalam dan iapun melihat pula ekor-ekor ular tersembul ketika mereka memperebutkan kelenci yang disedot ke bawah dan lenyap!
Kini Hong Li yang wajahnya menjadi agak pucat karena merasa ngeri, mengikuti larinya orang ke dua dengan pandang matanya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ia merasa kasihan kepada orang itu dan diam diam ia mengharapkan agar orang terakhir itu akan berhasil menyelamatkan diri turun gunung. Kalau saja saat itu ia berada di bawah dan dekat dengan orang itu, tentu, tanpa ragu-ragu lagi ia akan meneriakkan petunjuk agar orang itu dapat menemukan jalan yang benar dan dapat meninggalkan tempat itu dengan selamat.
Dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan, Hong Li memandang ke arah orang terakhir yang tersaruk-saruk mencari jalan keluar itu. Terdengar pula suara gurunya menahan ketawa. Mau tak mau Hong Li merasa tak senang dan melirik. Dilihatnya betapa wajah cantik gurunya itu tampak berseri, matanya penuh kegembiraan mengikuti gerakan orang terakhir itu dan tiba-tiba Hong Li merasa ngeri. Sikap gurunya ini tiada bedanya sikap seekor kucing yang menanti dan melihat seekor tikus yang sudah tersudut! Iapun kembali menujukan pandang matanya ke bawah.
Orang yang berlari-larian itu kini tubuhnya sudah penuh keringat karena beberapa kali dia menghapus keringat dari muka dan lehernya, memandang ke kanan kiri mencari jalan keluar, lalu lari lagi setelah memilih satu di antara lorong yang bercabang-cabang itu.
"Jangan ke sana....!" Tiba-tiba Hong Li berseru, akan tetapi seruannya tentu saja tidak terdengar orang itu. Dan orang itupun sudah sampai di tempat yang amat berbahaya itu. Tak lama kemudian, orang itu sudah mengeluarkan suara jeritan menyayat hati dan tubuhnya sudah tenggelam sampai ke pinggang di pasir maut! Pasir maut itu adalah sebuah kolam pasir, akan tetapi pasir itu dapat berputar dan menyedot seperti lumpur tadi. Pasirnya licin dan mudah bergerak, sedangkan kolam itu dalam sekali. Sedikit saja orang yang terjatuh ke situ bergerak, maka tubuhnya akan tenggelam semakin dalam!
Hong Li merayap turun melalui tihang-tihang yang menyangga menara itu, tihang-tihang bambu yang besar.
"Hong Li, hendak ke mana engkau?" Gurunya menegur heran.
"Subo, aku harus menolong orang itu!" kata Hong Li dan ia merasa heran bahwa gurunya diam saja, tidak menghalangi dan juga tidak menegurnya lagi. Ia terus merayap turun dan setelah tiba setengah lebih tinggi menara itu, iapun berani meloncat turun, kemudian ia lari menuju ke tempat orang itu tenggelam di pasir maut.
"Diam, jangan bergerak sedikitpun!" Hong Li berseru setelah tiba di tepi kolam. "Aku akan menolongmu, jangan bergerak sedikitpun. Makin engkau bergerak, tubuhmu akan semakin tenggelam!"
Laki-laki itu berusia empatpuluh tahun lebih. Setelah dekat, kini Hong Li melihat betapa wajah itu kasar dan buruk, sepasang matanya liar akan tetapi pada saat itu, dia berada dalam keadaan putus asa dan ketakutan. Melihat munculnya seorang gadis cilik yang usianya baru belasan tahun di tepi kolam dan mendengar bahwa gadis itu akan menolongnya, laki-laki itu memandang dengan penuh harapan.
"Tolonglah aku.... ah, selamatkanlah aku...." Suaranya lirih dan gemetar penuh rasa takut. Ngeri dia membayangkan kematian di depan matanya, kematian yang mengerikan. Ketika tadi dia menginjak pasir, kakinya terjeblos sebatas lutut. Dia berusaha untuk mengangkat kakinya, akan tetapi semakin dia berusaha, semakin dalam tubuhnya tenggelam sampai kini dia tenggelam sebatas dada, hanya kedua lengannya saja yang mampu bergerak. Begitu mendengar peringatan Hong Li, diapun tidak berani bergerak dan benar saja. Setelah dia tidak bergerak sama sekali, tubuhnya berhenti tenggelam semakin dalam. Akan tetapi, napasnya sesak dan tubuhnya dari dada ke bawah yang tertanam di pasir itu terasa panas bukan main.
"Tenanglah dan jangan bergerak," kata pula Hong Li. Ia lalu melepaskan ikat pinggangnya yang panjang, hanya meninggalkan sedikit saja secukupnya untuk mengikat celananya dan mempergunakan ikat pinggang itu untuk menyelamatkan orang itu. Ujung ikat pinggang itu diganduli sebuah batu dan dilemparnya ke arah orang yang tenggelam.
"Tangkap ujung ikat pinggang ini dan jangan bergerak, biar aku yang akan menarikmu keluar! Ingat, jangan bergerak agar tubuhmu tidak tenggelam semakin dalam!"
Orang itu menangkap ujung ikat pinggang, akan tetapi karena dia terlalu bergairah untuk segera dapat keluar, dia menarik ikat pinggang itu dan tubuhnya bergerak maka tubuh itu segera tersedot semakin dalam sampai ke leher!
"Tolol, jangan bergerak kataku!" Hong Li membentak marah dan mulailah ia mengerahkan tenaganya untuk menarik orang itu keluar dari pasir. Laki-laki itu kini sudah terlampau takut sehingga tidak berani berkutik, bahkan bersuarapun dia tidak berani lagi. Pasir sudah sampai ke dagunya dan turun beberapa sentimeter lagi, tentu mulut dan hidungnya tertutup dan berarti kematian baginya. Akan tetapi diam-diam hatinya girang dan juga kagum bukan main melihat betapa anak perempuan yang baru belasan tahun usianya itu memiliki kekuatan yang demikian hebat sehingga dia merasa betapa tubuhnya sedikit demi sedikit mulai tertarik keluar! Dia tadi melibat-libatkan ujung tali itu pada pinggang dan lengannya sehingga biarpun kini kedua lengannya sebagian sudah tenggelam pula, ketika tali itu ditarik, tubuhnya terbetot keluar. Sedikit demi sedikit sampai akhirnya tubuhnya keluar sebatas pinggang!
"Tariklah lagi, nona yang baik, tarik terus....!" Laki-laki itu terengah-engah, penuh ketegangan dan harapan. Dan Hong Li menarik terus, keringat membasahi dahi dan lehernya.
"Prattt....!" Tiba-tiba ikat pinggang itu putus tengahnya dan tubuh orang yang sudah naik sampai ke pinggul itu tenggelam kembali sampai ke pinggang di mana dia mengeluh panjang pendek dan tidak berani bergerak sama sekali!
"Jangan bergerak, aku akan mencari alat lain untuk menarikmu keluar," kata Hong Li. Gadis ini lalu menggunakan tenaganya untuk merobohkan sebatang pohon kecil yang panjangnya ada tiga meter. Ia mengguncang-guncang pohon kecil itu sampai akarnya jebol dan akhirnya berhasil menumbangkannya. Setelah membuangi cabang, ranting dan daunnya, ia menggunakan batang pohon yang besarnya hanya sebetis kakinya itu untuk menolong orang itu. Batang pohon itu cukup panjang dan ujungnya dapat dipegang oleh orang itu dengan kedua tangan. Lalu Hong Li mulai menarik lagi, perlahan-lahan dan akhirnya ia berhasil menarik tubuh orang itu sampai keluar dari kolam pasir. Orang itu menjatuhkan diri di atas tanah, terengah-engah dan mukanya yang tadi pucat sekali, sekarang berubah agak merah. Dia mengeluarkan suara seperti setengah menangis dan setengah tertawa. Kemudian dia bangkit duduk memandang Hong Li dan matanya terbelalak.
"Nona, sungguh engkau hebat sekali!"
Hong Li cemberut. Baru teringat ia bahwa ia telah menolong musuh gurunya, merasa seperti seorang pengkhianat. "Kenapa engkau melanggar wilayah kami? Engkau memang bersalah dan sepatutnya dihukum. Akan tetapi aku kasihan padamu, tidak tega melihat orang terjatuh ke kolam pasir maut. Nah, sekarang pergilah, akan kutunjukkan jalan keluar untukmu."
Tiba-tiba orang itu menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu Hong Li sudah ditangkapnya. Gadis cilik terkejut, meronta dan hendak melawan, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena laki-laki itu sudah menotoknya, menotok jalan darahnya yang membuat ia tidak mampu berkutik lagi. Hong Li terkejut dan marah bukan main.
"Apa yang kaulakukan ini?" bentaknya.
Laki-laki itu menyeringai dan secara kurang ajar mengelus dagu Hong Li. "Engkau cantik dan manis sekali! Sekarang engkau menjadi tawananku dan engkau harus menunjukkan jalan keluar yang akan menyelamatkan diriku. Kalau tidak, aku akan mencekikmu sampai mampus!"
Hong Li terbelalak. Kalau saja ia tadi bercuriga, kiranya tidak akan demikian mudahnya ia tertawan dan tertotok. Ia sama sekali tidak mengira bahwa orang yang baru saja diselamatkannya dari ancaman maut mengerikan berbalik malah bertindak curang dan jahat kepadanya. Akan tetapi ia tidak mempunyai waktu lagi untuk berheran dan penasaran karena kini laki-laki itu telah mengikat kedua tangannya ke belakang tubuhnya, menotok jalan darah yang membuat ia tidak mampu mengeluarkan suara, akan tetapi kini tubuhnya dapat bergerak lagi.
"Hayo cepat tunjukkan jalan itu kepadaku, kalau engkau menipuku, tentu engkau akan kusiksa sampai mampus!" kata laki-laki itu sambil mencengkeram pundak Hong Li.
Gadis cilik ini merasa penasaran dan marah sekali sampai kedua matanya mengeluarkan air mata. Bukan air mata karena takut, melainkan karena marah dan penasaran sekali.
"Sudah, jangan menangis dan cepat tunjukkan jalannya!" laki-laki itu mengira bahwa anak perempuan itu menangis karena takut. Dia mendorong tubuh Hong Li dan anak perempuan ini terpaksa melangkah maju. Ia tahu bahwa dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu, melawanpun tidak akan ada gunanya. Dan iapun tidak dapat mengeluarkan suara. Sesungguhnya hal ini tidak perlu dilakukan orang itu. Walaupun tidak ditotok, iapun tidak mau mengeluarkan suara. Untuk apa? Minta tolong kepada suhunya dan tiga orang pelayan? Ia telah mengkhianati mereka, dan ia yakin bahwa gurunya yang berada di menara itu tentu melihat semua peristiwa yang dialaminya ini. Perlu apa minta tolong? Memalukan saja. Biarlah, ia sudah bersalah, dan biarlah kini ia menerima hukumannya. Ia melangkah terus, pundaknya masih dicengkeram laki-laki yang mengikutinya dari belakang.
Hong Li tidak membawa laki-laki itu melalui jalan yang akan menyelamatkannya. Sama sekali tidak. Di dalam dadanya kini membawa api kemarahan yang membuat ia ingin membalas perbuatan laki-laki ini yang dianggapnya terlalu jahat. Mudah saja baginya untuk menjerumuskan laki-laki ini ke dalam perangkap-perangkap maut, akan tetapi iapun tentu akan ikut terjebak dan mati bersama laki-laki ini. Dan ia tidak takut mati, hanya ia tidak sudi kalau harus mati bersama laki-laki ini. Tidak mau melakukan perjalanan ke alam baka berbareng dengan dia, bahkan dari tempat yang sama. Tidak, dia harus dapat mencari perangkap yang lebih baik.
Akhirnya tibalah Hong Li di jalan buntu! Di depan nampak jurang yang amat curam, yang tidak mungkin dilalui. Di situ terdapat dua jalan bercabang ke kiri dan ke kanan. Kedua lorong ke kanan dan ke kiri ini tertutup daun-daun kering, nampaknya aman dan mudah dilewati. Namun, Hong Li yang sudah hafal akan rahasia lorong-lorong itu, maklum bahwa melangkah ke kiri berarti akan membawa mereka terjatuh ke dalam sumur yang di dasarnya tidak kurang dari limabelas meter dalamnya, terdapat batu-batu meruncing yang akan menyambut tubuh mereka! Di balik daun-daun kering yang ke kiri itu terdapat lubang sumur itu. Kalau melangkah ke kanan, mereka akan terjatuh ke dalam kolam lumpur yang juga berbahaya sekali karena tubuh akan terus tenggelam semakin dalam dan akhirnya akan tewas pula. Akan tetapi, tidaklah secepat kalau terjatuh ke dalam sumur itu matinya. Hanya adanya ular-ular lumpur yang sebetulnya semacam belut yang suka makan daging manusia, yang membuat ia bergidik ngeri membayangkan betapa tubuhnya bagian bawah akan digerogoti binatang-binatang itu sebelum ia mati. Ia tahu bahwa jalan satu-satunya adalah melompati sumur di sebelah kiri. Sumur itu tidak lebar, paling lebar satu setengah meter saja. Sekali melompat juga akan melampauinya dan selamat.
Tidak, ia tidak boleh membawa laki-laki itu melompat, karena begitu melompat, laki-laki itu tentu akan mudah turun dan keluar dari daerah berbahaya. Melihat anak perempuan itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu, laki-laki itu mengguncang pundaknya dan membentaknya dengan nyaring, "Hayo cepat tunjukkan jalan!" Diapun bingung melihat betapa jalan itu yang bagian depan buntu, menuju ke jurang yang amat curam, sedangkan jalan kanan dan kiri sama saja tertutup daun-daun kering. Dia tahu betapa
berbahayanya lorong-lorong di situ dan dia tidak tahu mana jalan yang benar, yang kanan ataudah kiri.
Tanpa ragu-ragu Hong Li menudingkan telunjuknya ke kanan! Laki-laki itu nampak lega dan diapun memperkuat cengkeramannya di pundak Hong Li mendorong tubuh anak itu membelok ke kanan dan menghardik, "Hayo jalan!"
Hong Li sudah hafal benar akan rahasia tempat itu. Paling banyak lima langkah mereka akan terjeblos. Ia memperhitungkan langkahnya dan setelah empat langkah, tiba-tiba saja ia membalikkan tubuhnya, meloncat ke belakang dan menendang dengan cepat sekali. Laki-laki itu terkejut, melangkah ke samping akan tetapi ketika cengkeraman tangannya terlepas, dia masih sempat menangkap lagi pundak itu, maka begitu tubuhnya terjeblos, dia membawa Hong Li ikut pula terpelanting dan terjeblos ke dalam kolam lumpur!
"Auhhhhh, toloonggg....!" Laki-laki yang merasa ngeri dan ketakutan itu, perasaan takut yang sudah sejak tadi menghantuinya, tidak dapat menahan lagi mulutnya dan berteriak minta tolong. Dalam kekagetannya tadi, dia melepaskan cengkeramannya dan tubuh Hong Li terpelanting dan terjeblos sejauh dua depa di sebelah depannya. Kalau laki-laki itu yang tadi meronta tenggelam sampai dada, Hong Li tenggelam sampai ke pinggang dan mereka kini saling berpandangan.
Dan laki-laki yang terbelalak dengan muka pucat dan berkaok-kaok minta tolong itu melihat betapa tubuh anak perempuan itu nampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum mengejek memandangnya!
Biarpun Hong Li tidak mampu mengeluarkan suara, namun pandang matanya mengejek sepenuhnya dan rasa puas membayang di sepasang matanya. Gadis cilik ini kehilangan rasa takutnya, lupa akan adanya ular-ular di dalam lumpur, karena girangnya dapat membuat laki-laki yang jahat itu kini tidak berdaya.
Hong Li teringat ketika tiba-tiba ia melihat benda yang mengkilap bermunculan di permukaan lumpur yang tertutup daun-daun kering itu. Ular atau belut lumpur! Matanya terbelalak dan hampir saja ia menjerit saking ngeri dan jijiknya, apalagi ketika ada seekor ular atau belut itu yang muncul tak jauh dari hidungnya, seolah-olah binatang itu ingin berkenalan dulu dengan wajah-wajah para calon korbannya. Akan tetapi ia menahan perasaan ngeri ini dan menggigit bibir. Tidak demikian dengan laki-laki itu. Dia mengeluarkan pekik yang mengerikan karena memang pada saat itu, ada bagian bawah tubuhnya yang mulai dijilati atau digigit.
Berbareng dengan dengan jeritan laki-laki itu, nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu tubuh Hong Li telah terlibat kain hitam dan tubuh itu lalu terbetot naik oleh kain yang melilitnya, kemudian tubuh Hong Li ditarik keluar dari lumpur oleh tangan Sin-kiam Mo-li yang sudah berdiri di tepi kolam lumpur itu, menggunakan sabuk hitam menolong muridnya.
Begitu tiba di tepi kolam, Hong Li menubruk kaki gurunya. "Subo, maafkan aku.... tidak.... hukumlah aku, subo...." katanya setengah menangis saking kesal dan marahnya terhadap laki-laki jahat itu.
Sin-kiam Mo-li tersenyum. "Engkau sudah cukup terhukum, Hong Li."
Pada saat itu, kembali terdengar teriakan-teriakan mengerikan. Hong Li menengok dan melihat betapa laki-laki itu dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali, menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi karena dia keras meronta, maka tubuhnya cepat sekali tersedot semakin dalam dan lumpur sudah mencapai lehernya! Hong Li tidak dapat melihat lebih lanjut dan diapun menyembunyikan mukanya di balik kedua tangannya. Akan tetapi telinganya masih mendengar jeritan-jeritan itu, kemudian pekik itupun terhenti tiba-tiba seolah-olah orang itu tiba-tiba dicekik. Ia tahu apa yang terjadi. Tentu mulut yang berteriak itu kini telah terbenam kedalam lumpur. Ia tidak berani menengok. Baru setelah tidak ada lagi suara terdengar dari belakangnya, ia berani menengok dan kolam lumpur itu telah tenang, tidak ada suara apa-apa lagi, tidak ada gerakan apa-apa lagi dan lumpur telah tertutup kembali oleh daun-daun kering.
Hong Li bergidik dan ia tetap berlutut. Tubuhnya agak menggigil, bukan hanya karena kedinginan. Sebuah tangan lembut menyentuh kepalanya dan terdengar suara Sin-kiam Mo-li.
"Hong Li, sejak tadi aku melihat keadaanmu, dan kalau aku menghendaki, sejak tadi tentu aku dapat membebaskanmu dari cengkeraman jahanam itu. Akan tetapi aku sengaja membiarkan saja, hanya membayangi agar engkau memperoleh pengalaman. Ketika engkau menipunya masuk lumpur, aku tahu bahwa engkau tentu sudah merasa menyesal dan mendapat kenyataan betapa jahatnya orang ini. Nah, pelajaran ini agar kauingat selalu, muridku. Jangan percaya kepada orang lain begitu saja, dan bersikaplah hati-hati selalu terhadap orang lain, apa lagi yang belum kauketahui benar bagaimana wataknya."
"Akan tetapi, subo. Aku sungguh tak dapat membayangkan bagaimana ada orang sejahat itu. Ditolong malah membalas dengan kekejaman dan kejahatan!"
Sin-kiam Mo-li tertawa, kemudian berkata dengan suara tegas, "Semua orang di dunia ini juga begitu, Hong Li. Setiap orang bertindak demi kebaikan dan keuntungan diri sendiri, karena itu, siapa kalah cerdik, siapa kalah kuat, dia menjadi korban. Engkau harus kuat dan cerdik, dan kalau perlu mendahului lawan sebelum engkau yang menjadi korban. Yang ada bukan baik dan jahat, melainkan cerdik dan bodoh, muridku."
Diam-diam Hong Li merasa tidak setuju dan heran sekali mendengar nasihat gurunya ini, akan tetapi ia tidak mau membantah. Alangkah bedanya nasihat gurunya ini dari nasihat ayah ibunya! Ayah ibunya selalu mengajakkan agar ia mempergunakan kepandaiannya untuk menolong sesama manusia yang menderita, untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Akan tetapi, gurunya ini agaknya hanya mengajarkan agar ia selalu bersikap cerdik dan tidak mempercaya semua orang, bahkan turun tangan lebih dahulu sebelum menjadi korban kejahatan orang lain.
Gurunya lalu mengajaknya pulang untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ketika ia memperoleh kesempatan bicara dengan tiga orang pelayan itu, ia memperoleh keterangan bahwa tiga orang penyerbu yang lain, yang telah tewas di tangan mereka, mayatnya tidak mereka kubur melainkan mereka lemparkan begitu saja ke dalam kolam lumpur!
Hong Li hanya menyimpan rasa ngeri dan tidak setujunya, dan mulai saat itu ia lebih banyak menutup mulut, walaupun diam-diam ia merasa heran akan keadaan guru dan tiga orang pelayan itu. Namun ia memang pandai mempergunakan kesempatan dan sejak ia mengetahui bahwa tiga orang pelayan wanita itu lihai, ia mulai mengajak mereka untuk menemaninya berlatih silat. Dan ternyata memang mereka itu lihai sekali dan merupakan teman berlatih yang baik, walaupun dari mereka ia tidak dapat memperoleh ilmu baru. Setidaknya, setiap orang dari mereka itu dapat melayaninya dalam latihan silat.
Mulai hari itu, gurunya seringkali mengajak Hong Li naik ke menara dan menganjurkan muridnya untuk berlatih siu-lian di dalam panggung tertutup di puncak menara. Dan anak itu memang suka naik ke menara karena dari situ ia dapat melihat pemandangan yang luas, dan dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling tempat tinggal gurunya. Kadang-kadang biarpun baru beberapa hari tinggal di situ, kalau sedang berdiri melamun di puncak menara dan memandang gunung-gunung yang jauh, timbul perasaan rindu kepada ayah ibunya.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika matahari sudah naik dan menebarkan cahayanya yang keemasan dan masih lembut ke permukaan bumi, Hong Li sudah berlatih silat seorang diri di bawah menara. Kemudian ia naik ke atas menara. Ia masih belum mampu dengan sekali meloncat naik ke atas, melainkan hanya meloncat sampai setengah tihang, menyambar tihang dan memanjat naik. Kini ia berdiri di puncak, di depan pondok, memandang ke arah timur di mana matahari membuat angkasa di timur cemerlang dan indah bukan main. Beberapa kelompok awan membentuk raksasa-raksasa aneh, akan tetapi warnanya yang biru keabuan itu mulai memudar tertimpa cahaya matahari.
Tiba-tiba perhatian Hong Li tertarik oleh sesosok tubuh yang mendaki kaki gunung dan menuju ke arah rumah gurunya. Orang itu berjalan perlahan dan kini sudah tiba di luar daerah berbahaya yang mengelilingi rumah gurunya. Tadinya disangka oleh Hong Li bahwa orang itu hanya kebetulan lewat saja dan tidak akan memasuki daerah berbahaya, akan tetapi ketika orang itu mulai memasuki lorong yang menuju ke daerah yang penuh bahaya, iapun terkejut dan merasa khawatir sekali. Siapakah orang itu, pikirnya. Lawan ataukah kawan? Dan ia merasa ngeri membayangkan betapa akan jatuh korban lagi di tempat berbahaya itu. Bagaimanapun juga, hatinya tidak setuju dengan adanya daerah rahasia yang penuh dengan bahaya maut itu. Betapapun jahatnya lima orang yang menyerbu tempo hari, cara mereka menemui kematian sungguh amat mengerikan dan terlalu kejam.
Akan tetapi, perasaan khawatirnya segera berubah menjadi perasaan heran dan kagum. Orang yang baru datang itu, biarpun hanya dengan langkah-langkah yang perlahan, namun ternyata orang itu selalu mengambil jalan yang benar! Dari tempat tinggi itu Hong Li dapat melihat dengan mudah. Dari situ ia dapat melihat keadaan lorong-lorong rahasia itu seperti melihat peta dan iapun sudah hafal mana yang benar dan mana yang menyesatkan dan berbahaya. Dan orang itu selalu membelok melalui lorong yang benar, seolah-olah telah mengenal dengan baik jalan-jalan yang penuh dengan rahasia itu. Langkah-langkahnya teratur dan kakinya seperti telah mengenal tempat berbahaya, selalu berjalan melalui tempat aman dan menghindarkan jebakan-jebakan rahasia yang banyak terdapat di situ. Kalau begitu, tentu seorang sahabat baik gurunya yang sudah sering datang ke sini, pikir Hong Li.
Hatinya tertarik sekali dan cepat ia turun dari menara untuk melihat dari dekat siapa adanya orang yang baru datang itu.
Ia berlari menuju ke rumah dan heranlah ia melihat bahwa orang yang tadi dilihatnya dari menara itu ternyata kini sudah tiba di depan rumah. Dari atas nampaknya dia berjalan perlahan, akan tetapi ternyata sudah tiba di depan rumah dengan selamat, berarti bahwa orang itu benar-benar telah mampu melalui lorong-lorong rahasia yang amat berbahaya itu. Dan kini orang itu telah berhadapan dengan gurunya. Juga tiga orang pelayan wanita berada di situ, akan tetapi mereka berdiri agak jauh sambil memandang dengan sikap khawatir. Hong Li lari mendekati tiga orang pelayan itu dan kini ia dapat melihat wajah pendatang itu dengan jelas. Begitu melihatnya, Hong Li terbelalak dan merasa terkejut bukan main ketika ia mengenal bahwa pendatang itu bukan lain adalah Ang I Lama, orang yang dahulu menculiknya dari kebun rumah orang tuanya! Tidak salah lagi. Ia mengenal wajah itu, mengenal tubuh tinggi kurus yang memakai jubah pendeta berwarna merah itu Me lihat munculnya kakek ini, kemarahan muncul dalam hati Hong Li.
Agaknya kakek itu tahu pula akan kehadiran Hong Li dan dia memandang dengan penuh perhatian.
"Omitohud, agaknya inilah anak itu. Eh, anak baik, ke sinilah dan mari engkau ikut pinceng pulang ke rumah orang tuamu. Ke sinilah....!" Kakek itu melambaikan tangan ke arah Hong Li.
Anak perempuan ini terkejut bukan main karena biarpun hatinya tidak menghendaki, namun kedua kakinya di luar kehendaknya sudah melangkah menghampiri kakek itu! Melihat ini, gurunya membentak.
"Hong Li, kembali ke tempatmu!" Dan dalam bentakan ini terkandung kekuatan yang agaknya membuyarkan pengaruh panggilan kakek itu. Hong Li seperti baru dapat menguasai kedua kakinya sendiri dan ia berhenti melangkah, terkejut melihat keadaan dirinya dan iapun berlari kembali mendekati tiga orang pelayan yang segera merangkulnya.
"Siocia, engkau di sini saja dan jangan bergerak," bisik Ang Nio. Hong Li mengangguk dan melepaskan diri dari rangkulan mereka. Ingin ia melihat bagaimana gurunya menghadapi kakek aneh itu. Ia tidak merasa khawatir karena bukankah gurunya pernah menang dari kakek itu ketika merampas dirinya dari tangan kakek itu yang, dikalahkannya di dalam kuil tua dahulu?
Sementara itu, Ang I Lama sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li dan terdengar suaranya yang lemah lembut, "Sekali lagi, Sin-kiam Mo-li, pinceng minta dengan hormat dan sangat agar engkau suka menyerahkan anak itu kepada pinceng."
"Ang I Lama, tidak malukah engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu? Lupakah engkau akan nasib Sai-cu Lama yang menjadi suhengmu? Hemm, tak kusangka bahwa engkau yang dianggap sebagai seorang pertapa yang memiliki kesaktian, ternyata sama sekali tidak mengenal budi antara saudara, dan tidak setia, bahkan ingin mengkhianati golongan sendiri. Pergilah dan jangan mencampuri urusan pribadiku!" Sikap Sin-kiam Mo-li ketus dan tegas.
"Omitohud.... untuk kembali ke jalan benar masih belum terlambat. Kenapa engkau tidak mau melihat kenyataan? Sadarlah dan serahkan anak itu kepada pinceng."
"Kakek tua bangka! Ia telah menjadi murid dan anak angkatku! Dengar baik-baik, ia telah menjadi anakku! Lihatlah, aku adalah seekor harimau betina, mana sudi melepaskan anaknya?"
Tiba-tiba Hong Li terkejut bukan main melihat bahwa gurunya telah berubah menjadi seekor harimau yang besar. Harimau itu mengeluarkan auman yang menggetarkan tanah di mana ia berdiri. Hong Li melirik ke arah tiga orang pelayan wanita itu. Mereka juga berdiri dengan mata terbelalak memandang, akan tetapi mereka bersikap tenang saja, agaknya tidak merasa heran melihat betapa majikan mereka telah berubah menjadi seekor harimau besar dan buas!
Kao Hong Li bukanlah anak sembarangan. Ia keturunan dua orang keluarga besar yang amat terkenal di dunia persilatan, yaitu ayahnya adalah keturunan keluarga Istana Gurun Pasir sedangkan ibunya keturunan keluarga Pulau Es, gudangnya orang-orang sakti. Tentu saja ia, biarpun usianya baru tigabelas tahun, tahu benar bahwa gurunya berubah menjadi harimau hanya merupakan hasil ilmu sihir belaka, bukan sungguh-sungguh menjadi harimau! Betapapun juga, ia masih belum kuat untuk menembus pengaruh sihir ini, maka dalam penglihatannya, gurunya berubah menjadi harimau, sesuai dengan ucapannya tadi! Dan kini "harimau betina" yang hendak mempertahankan anaknya itu dengan buasnya, sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, menyerbu, menerjang
dan menubruk ke arah Ang I Lama!
"Omitohud, engkau semakin jauh tersesat!" Ang I Lama menggerakkan tubuhnya, jubah merahnya berkibar ketika dia meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari tubrukan harimau. Ketika harimau itu membalik dan hendak menubruk lagi, Ang I Lama yang telah menyambar segenggam tanah, menyambitkan tanah itu ke arah harimau.
"Siancai, kembalilah kepada keaselianmu, Sin-kiam Mo-li!" Harimau itu hendak mengelak, namun terlambat dan ketika ada tanah menyentuh tubuhnya, terdengar suara ledakan keras dan harimau itu mengaum, akan tetapi segera lenyap dan berubah kembali menjadi Sin-kiam Mo-li yang nampak terhuyung. Wanita ini marah sekali. Ia mengangkat kedua tangan ke atas dan dari tubuhnya keluarlah asap hitam bergulung-gulung yang segera menutupi tubuhnya dan membuat keadaan di situ menjadi gelap.
Diam-diam Hong Li merasa ngeri menyaksikan ini. Sungguh hebat ilmu sihir gurunya, akan tetapi kakek itupun memiliki ilmu kepandaian tinggi yang ternyata sanggup menaklukkan harimau jadi-jadian tadi. Akan tetapi kembali Ang I Lama tidak nampak gugup, "Omitohud....!" serunya berkali-kali dan diapun merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian mulutnya meniup dan buyarlah asap hitam itu, makin lama semakin menipis dan akhirnya nampaklah kembali Sin-kiam Mo-li yang menjadi semakin penasaran. Wanita cantik ahli sihir ini maklum bahwa agaknya ia tidak akan mampu mengalahkan kakek itu kalau mempergunakan sihir, maka ia segera menerjang maju, sekali ini menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Bukan main hebatnya pukulan yang dilontarkan oleh dua tangan wanita itu. Angin menyambar dahsyat dan terdengar bunyi bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar. Kembali kakek itu mengelak ke samping dan kedua lengannya digerakkan untuk menangkis dari samping.
"Dukkk!" Kedua pasang lengan itu bertemu di udara dan seperti ada halilintar saja yang menyambar terasa oleh Hong Li akibat dari adu kekuatan dahsyat itu. Angin pukulan membuat ia mundur dua langkah sambil terbelalak memandang. Ia melihat gurunya terhuyung, sedangkan kakek itu tetap berdiri tegak sambil tersenyum. Senyum lembut itu sejak tadi tak pernah meninggalkan wajah Ang I Lama. Sin-kiam Mo-li menjadi semakin marah dan ia menyerang lagi dengan pukulan bertubi-tubi. Pendeta Lama itu dengan tenang menyambut dan terjadilah perkelahian yang hebat. Gerakan Sin-kiam Mo-Ii amat cepat, berloncatan menyambar-nyambar bagaikan seekor burung yang menyerang seekor ular, akan tetapi pendeta itu bagaikan seekor ular melingkar, dengan gerakan tenang namun mantap menyambut setiap serangan dari manapun juga datangnya, menangkis sambil balas menyerang. Walaupun dia hanya membalas dengan tamparan-tamparan atau cengkeraman, namun serangannya mengandung kekuatan yang membuat lawannya harus cepat menghindarkan diri. Biarpun gerakan gurunya itu amat cepatnya, namun Hong Li yang sudah menguasai dasar ilmu silat tinggi, dapat mengikuti gerakannya sehingga ia dapat melihat betapa tangguhnya kakek yang bernama Ang I Lama itu. Kalau ia tidak salah menduga, gurunya kalah dalam hal tenaga oleh kakek itu. Hal ini terbukti betapa gurunya selalu menghindarkan bentrokan lengan kalau serangannya ditangkis lawan, dan setiap kali terpaksa kedua lengan bertemu, tentu tubuh gurunya terdorong ke belakang atau terhuyung.
Dugaan anak perempuan itu memang tepat. Sin-kiam Mo-li merasa betapa dahsyatnya tenaga lawan dan ia maklum bahwa kalau ia harus selalu menghindarkan bentrokan, maka akhirnya ia akan terdesak. Cepat kedua tangannya bergerak ke balik bajunya dan di lain saat, tangan kiri wanita itu telah memegang sebuah kebutan bergagang emas dengan bulu merah, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Kiranya Sin-kiam Mo-li memiliki sepasang senjata yang amat hebat, yaitu kebutan dan pedang. Nama julukannya, Sin-kiam (Pedang Sakti) saja sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli pedang yang pandai, sedangkan kebutan di tangan kirinya itupun sama sekali tak boleh dipandang ringan, karena ujung setiap lembar bulu kebutan itu telah dicelup racun sehingga orang yang terkena sabetan ujung kebutan itu tentu akan keracunan!
"Sing-sing....wuuuuttt....!" Nampak gulungan sinar putih dan merah dari pedang dan kebutan ketika wanita itu menyerang dengan cepatnya ke arah lawan.
"Siancai....!" Ang I Lama berseru dan cepat dia membuat langkah-langkah yang aneh untuk menghindarkan diri. Beberapa kali dia berhasil mengelak, kemudian tiba-tiba tangannya memegang seuntai tasbeh dan dengan benda ini yang diputar-putar, dia berhasil menangkis kebutan dan pedang.
"Trik! Trik! Tranggg....!" Nampak api berpijar ketika pedang bertemu dengan biji-biji tasbeh itu. Dan kembali pertemuan tenaga melalui senjata itu membuat Sin-kiam Mo-li terdorong ke belakang.
Perkelahian berlangsung semakin seru. Kadang-kadang tubuh kedua orang itu lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka yang menjadi satu. Agaknya tingkat kepandaian mereka memang seimbang, hanya kakek pendeta itu memiliki tenaga yang lebih kuat walaupun mungkin dia kalah dalam hal kecepatan gerakan. Juga di antara mereka terdapat perbedaan besar dalam hal serangan. Kalau Sin-kiam Mo-li menyerang dengan hebat, setiap serangannya merupakan serangan maut yang mengarah nyawa, sebaliknya pendeta itu selalu berhati-hati dalam serangannya dan jelas bahwa dia banyak mengalah dan tidak bermaksud membunuh lawan.
Betapapun juga, karena kalah tenaga, nampaknya Sin-kiam Mo-li terdesak dan terhimpit, dan kadang-kadang terhuyung ke belakang. Hal ini membuat Hong Li memandang khawatir.
"Majulah, bantulah subo," desaknya berulang-ulang kepada tiga orang pelayan itu.
Tiga orang pelayan itu semua memegang sebatang pedang, akan tetapi mereka tidak berani maju, merasa betapa ilmu kepandaian mereka masih terlampau rendah untuk membantu majikan mereka mengeroyok pendeta Lama yang demikian saktinya. Melihat ini, Hong Li menjadi tidak sabar lagi. Dirampasnya pedang dari tangan Ang Nio dan iapun berkata,"Kalau begitu, biarlah aku yang membantu subo!" Ia pun meloncat ke depan.
Tiga orang pelayan itu terkejut. "Siocia.... mereka berseru, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah menerjang maju dan masuk ke dalam arena perkelahian merekapun tak dapat mencegah lagi.
"Lama jahat!" Hong Li membentak dan pedangnya menusuk ke arah lambung pendeta itu.
Ang I Lama terkejut melihat anak perempuan itu menyerangnya dengan pedang. Dia tidak mengelak, membiarkan pedang itu mengenai lambungnya dan berkata, "Omitohud, anak baik, pinceng datang untuk membebaskanmu!
"Takk!" Pedang itu membalik dan Hong Li merasa tangannya nyeri karena pedangnya seperti menusuk baja saja.
Sebelum ia mampu mengelak, tiba-tiba tangan kiri pendeta Lama itu telah menangkap pundaknya. "Mari ikut bersama pinceng, anak baik!" kata pula Ang I Lama. Akan tetapi Hong Li menjadi marah dan meronta.
"Lepaskan aku, pendeta jahat!" dan kembali pedangnya menusuk, kini mengarah dada kakek itu.
"Trakkk!" Pedangnya patah menjadi dua potong! Dan sekali Ang I Lama menggerakkan tangan kirinya, tubuh Hong Li telah terlempar ke atas dan berada dalam podongan kakek itu.
"Lepaskan anakku!" Sin-kiam Mo-li membentak dan pedangnya membacok ke arah kepala Ang I Lama.
"Tranggg....!" Tasbeh itu menyambar dan menangkis pedang, membuat pedang terpental. Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li membentak dan kebutannya kini menyambar ke arah.... kepala Hong Li yang dipondong pendeta itu. Tentu saja Ang I Lama terkejut bukan main, sama sekali tidak menyangka bahwa wanita itu akan menyerang anak yang dipondongnya. Dengan agak tergesa-gesa diapun menggerakkan tasbehnya melindungi Hong Li dan menangkis kebutan.
"Prattt!" Bulu-bulu kebutan itu kini melibat tasbeh dan terjadi tarik menarik. Pada saat itu, Hong Li yang tidak tahu bahwa baru saja nyawanya terancam maut ketika wanita itu menyerangnya dengan kebutan, kini ingin membantu gurunya. Melihat betapa mereka saling tarik senjata masing-masing, Hong Li menggunakan tangannya, mencengkeram ke arah mata Ang I Lama!
"Siancai....!" Ang I Lama terkejut bukan main. Anggauta tubuhnya tidak akan takut menghadapi serangan seorang anak kecil seperti Hong Li, akan tetapi kalau yang diserang itu matanya, tentu saja mata itu tidak dapat dibuat kebal! Untuk mempergunakan sihir mempengaruhi anak itu, sudah tidak keburu lagi. Terpaksa dia menarik kepalanya ke belakang untuk mengelak dan pada saat itu, pedang di tangan kanan Sin-kiam Mo-li sudah menyambar dan menusuk lambung pendeta Lama itu. Demikian cepat gerakan ini, dilakukan pada saat yang tepat, mempergunakan kesempatan selagi pendeta itu repot mengelak dari cengkeraman tangan Hong Li sehingga tak mungkin dapat dihindarkan lagi.
"Cappp....!" Biarpun pendeta itu mempergunakan sin-kang, namun sudah tidak keburu dan pedang itu menancap sampai dalam dan ketika dicabut, darahpun muncrat dan pada saat itu, Sin-kiam Mo-li telah berhasil merampas kembali Hong Li dari pondongan Ang I Lama.
"Omitohud....!" Ang I Lama menggunakan tangan kiri mendekap luka di lambungnya, lalu membalikkan diri dan lari meninggalkan tempat itu, membawa luka yang dalam di lambungnya!
Sin-kiam Mo-li tidak berani mengejar. Ia tahu bahwa pendeta itu lihai bukan main dan kalau ia tidak memperoleh kesempatan baik tadi, belum tentu ia akan keluar sebagai pemenang. Ia tadi telah bertindak cerdik bukan main dengan menyerang kepala Hong Li. Memang, ia, membahayakan keselamatan nyawa anak itu tadi. Akan tetapi akal itu bagus sekali. Serangan yang mematikan itu tentu saja membuat Ang I Lama yang ingin menyelamatkan Hong Li, menjadi kaget dan melindungi dan terbukalah kesempatan baginya untuk menyerang. Apa lagi di bantu oleh Hong Li. Ia puas dengan dirinya sendiri dan juga girang bahwa ternyata anak angkat dan muridnya itu setia kepadanya. Ia tidak berani mengejar karena ia tidak yakin apakah Lama itu menderita luka yang cukup parah.
Dirangkulnya Hong Li dan diciuminya pipi anak itu. "Hong Li, bagus sekali, engkau telah membantuku mengalahkan Lama yang jahat itu!"
"Akan tetapi, subo. Hampir saja aku celaka olehnya. Dia sungguh lihai dan jahat sekali!" kata Hong Li.
"Memang dia lihai dan jahat, maka engkau harus berlatih dengan baik agar kelak dapat mengalahkan orang-orang seperti dia ini."
"Di bawah bimbingan subo, tentu aku akan dapat menguasai ilmu-ilmu yang hebat, dan sekarang di dalam perlindungan subo aku merasa aman. Subo, jangan lupa mengajarkan ilmu sihir kepadaku."
Sin-kiam Mo-Ii tertawa dan menggandeng anak itu, diajak masuk ke dalam rumah untuk beristirahat. Hong Li merasa girang dan puas pula, sama sekali ia tidak tahu bahwa baru saja ia kehilangan seorang penolong yang akan mampu membawanya kembali kepada orang tuanya dan bahkan membebaskannya dari cengkeraman seorang wanita iblis yang sesungguhnya merupakan musuh besar keluarganya!
Sin-kiam Mo-li tidaklah sebaik hati seperti yang dibayangkan oleh Hong Li. Anak perempuan ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak ia diculik dari kebun rumah orang tuanya, terdapat rahasia besar di balik semua peristiwa itu. Yang melakukan penculikan terhadap dirinya sama sekali bukanlah Ang I Lama yang pada waktu itu masih tekun bertapa di dalam guha pertapaannya. Lalu siapakah yang melakukan penculikan itu? Bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li sendiri! Wanita cantik yang tinggi semampai inilah yang menyamar sebagai Ang I Lama dan melakukan penculikan dengan mempergunakan nama Ang I Lama! Hal ini dapat dilakukannya dengan amat mudah karena selain pandai ilmu silat, iapun pandai ilmu sihir dan pandai melakukan penyamaran.
Akan tetapi, mengapa Sin-kiam Mo-li melakukan hal itu dan siapakah ia sebenarnya? Sin-kiam Mo-li adalah anak angkat dari Kim Hwa Nio-nio! Ketika Kim Hwa Nio-nio bersekongkol dengan Sai-cu Lama, Sin-Kiam Mo-li sedang melakukan perantauan ke daerah pantai selatan dan ia tidak tahu akan persekutuan itu, juga tidak mencampurinya. Ketika ia pulang ke utara, baru ia mendengar bahwa ibu angkatnya, juga gurunya itu, ternyata telah tewas bersama Sam Kwi dan Sai-cu Lama dalam sebuah komplotan yang dihancurkan oleh para pendekar, terutama keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir.
Tentu saja ia terkejut dan berduka, juga sakit hati. Akan tetapi iapun maklum siapa itu keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ia merasa tidak mampu menandingi mereka itu dengan berterang, maka ia lalu melakukan balas dendam dengan cara lain. Setelah melakukan penyelidikan, iapun menjatuhkan pilihannya kepada Kao Hong Li, satu-satunya anak yang menjadi keturunan dari kedua pihak, keturunan keluarga Pulau Es, juga keturunan keluarga Gurun Pasir. Dan terjadilah penculikan itu. Ia sengaja mempergunakan nama Ang I Lama yang mahir dalam ilmu sihir dan mudah dipalsu, dengan maksud untuk mengadu domba. Ia harus membangkitkan Ang I Lama sebagai sute dari Sai-cu Lama agar suka menentang dua keluarga pendekar yang menjadi musuh mereka berdua itu. Akan tetapi ia cukup mengenal watak Ang I Lama yang saleh dan tidak mau menggunakan kekerasan, melainkan hanya bertapa dengan tekun dan tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai. Maka ia mempergunakan siasatnya, menyamar sebagai Ang I Lama untuk mengadu domba. Tadinya, niatnya hanya selain mengadu domba, juga menimbulkan duka kepada keluarga itu yang kehilangan puterinya. Mungkin puteri mereka itu akan ia bunuh untuk membalas dendam. Akan tetapi setelah ia melihat Hong Li yang demikian manis dan tabah, hatinya tertarik dan timbul pikirannya untuk memanfaatkan rasa sukanya itu demi dua keuntungan. Pertama, ia akan merasa puas memiliki murid dan anak angkat yang amat baik dan berbakat, memenuhi kerinduannya akan seorang keturunan, dan ke dua, ia akan mendidik anak itu agar kelak mengikuti jejaknya yang berlawanan dengan jalan hidup musuh-musuhnya, yaitu kedua keluarga pendekar itu!
Hong Li tidak tahu akan semua itu. Ia hanya mengenal gurunya sebagai seorang wanita berilmu tinggi dan pandai sihir yang telah menyelamatkannya dari tangan Ang I Lama! Walaupun pada hari-hari terakhir ini ia mendapat kenyataan bahwa gurunya dapat berwatak keras dan kejam terhadap musuh-musuhnya, seperti yang diperlihatkannya ketika menghadapi lima orang penyerbu dari Cin-sa-pang itu, namun ia menganggap gurunya seorang gagah yang baik hati, terutama terhadap dirinya. Dan iapun dengan penuh ketekunan mempelajari ilmu-ilmu dari Sin-kiam Mo-li, seorang wanita cantik yang dalam hal tingkat kepandaian, tidak berada di
bawah tingkat mendiang gurunya, yaitu Kim Hwa Nio-nio.
******
Dua orang pendeta Lama yang sedang bertapa itu terkejut sekali ketika melihat seorang pendeta Lama lain roboh terpelanting di depan guha mereka, kemudian terdengar suara orang itu mengerang kesakitan.
Dua orang pendeta Lama itu cepat keluar dari guha tempat pertapaan mereka dan alangkah kaget hati mereka ketika mereka mengenal bahwa yang roboh itu adalah Ang I Lama, seorang tokoh Lama yang amat mereka kenal dan masih terhitung paman seperguruan mereka.
"Susiok...." Keduanya berlutut dan dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka melihat bahwa paman guru mereka itu terluka pada lambungnya, luka yang kini membengkak besar sekali, tanda bahwa selain luka itu parah, juga bahwa luka itu tidak terawat selama beberapa hari sehingga membengkak. Melihat keadaan luka itu dan wajah paman guru mereka yang membiru, dua orang pendeta ini dengan sedih mengetahui bahwa keadaan paman guru mereka sudah payah dan sukar untuk dapat diselamatkan
nyawanya.
"Susiok, apa yang telah terjadi? Mengapa susiok terluka seperti ini?" tanya pendeta pertama.
"Susiok, siapa yang melakukan ini?" tanya pendeta ke dua.
Akan tetapi keadaan Ang I Lama sudah demikian payah. Napasnya tinggal satu-satu dan sukar sekali baginya untuk mengeluarkan suara walaupun mulutnya bergerak-gerak. Akan tetapi, di dalam batin Ang I Lama, sedikitpun tidak ada rasa dendam terhadap Sin-kiam Mo-li, maka tidak ada sedikitpun niat di hatinya untuk memberi tahu kepada orang lain siapa yang telah melukainya. Yang menjadi keinginan hatinya adalah untuk memberi tahu kepada Kao Cin Liong dan Suma Hui di mana adanya anak mereka yang diculik orang itu. Akan tetapi sukar sekali mulutnya mengeluarkan kata-kata dan dengan pengerahan tenaga terakhir diapun memaksa diri untuk menyampaikan isi hatinya itu kepada dua orang pendeta Lama ini. Akhirnya dapat juga dia mengeluarkan
suara lirih sehingga dua orang pendeta Lama itu harus mendekatkan telinga mereka agar dapat menangkap lebih jelas.
".... Kao Cin Liong dan isterinya.... mereka.... cepat.... ouhhh...." Â Â kakek itu terkulai dan napasnyapun terhenti. Dia mengerahkan tenaga terlalu banyak namun tidak kuat melanjutkan kata-katanya.
Dua orang pendeta Lama itu saling pandang dengan mata terbelalak. Merekapun tentu saja mengenal siapa yang bernama Kao Cin Liong itu, seorang yang dikenal baik oleh para pendeta Lama karena pernah memimpin pasukan pemerintah untuk menumpas pemberontakan di barat. Panglima Kao amat terkenal dan tentu saja mereka kini terkejut dan heran mendengar disebutnya nama panglima itu dan isterinya sebagai pembunuh Ang I Lama!
Dua orang pendeta itu merasa betapa penting dan gawatnya urusan, maka setelah menyempurnakan jenazah Ang I Lama dengan membakarnya, lalu membawa abu jenazah itu, pergi meninggalkan tempat pertapaan mereka dan cepat mereka menuju ke Tibet. Dan di depan para pimpinan Lama, mereka lalu menceritakan pengalaman mereka ketika menemukan Ang I Lama dalam keadaan sekarat sampai meninggal dunia karena luka parah di lambungnya.
Ketika para pimpinan Lama mendengar bahwa pesan terakhir dari Ang I Lama adalah nama Kao Cin Liong dan isterinya, para pimpinan Lama itu saling pandang. Mereka ingat bahwa belum lama ini, suami isteri itu memang datang kepada mereka dan menanyakan di mana adanya Ang I Lama! Dan mereka melihat sikap isteri pendekar bekas panglima itu jauh dari pada lembut, bahkan agaknya nyonya itu marah sekali terhadap Ang I Lama. Dan kini muncul dua orang pendeta Lama yang menceritakan bahwa Ang I Lama tewas dengan luka di lambungnya. Pada hal, Ang I Lama adalah seorang pendeta Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Tidak sembarang orang akan dapat melukainya, dan pula, pendeta itu adalah seorang yang halus budi dan tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga. Siapa lagi kalau bukan suami isteri pendekar itu yang telah membunuhnya? Mungkin karena Ang I Lama masih sute dari Sai-cu Lama seperti yang ditanyakan oleh isteri pendekar itu.
"Hemm, kita tidak boleh tinggal diam saja. Tanpa sebab mereka telah membunuh seorang yang hidup bersih dan suci seperti Ang I Lama. Kalau hal ini kita diamkan saja, bukankah semua orang lalu memandang rendah kepada kita, para Lama? Kita dapat membiarkan seorang Lama seperti Sai-cu Lama dibasmi dan dibunuh sekalipun tanpa sedikit juga campur tangan. Akan tetapi kalau sampai seorang seperti saudara Ang I Lama dibunuh tanpa dosa, sungguh merupakan hal yang penuh dengan penasaran. Kita harus bertindak terhadap mereka!"
"Akan tetapi mereka adalah pendekar-pendekar yang terkenal sakti dan budiman! Apa lagi kita semua mengenal siapa adanya Kao Cin Liong, bekas panglima yang gagah perkasa!" kata Lama ke dua.
"Kita tidak perlu takut demi membela kebenaran!" kata Lama ke tiga.
Ketua para Lama menarik napas panjang mendengar pendapat para pembantunya. "Omitohud, semoga Sang Buddha menerima saudara Ang I Lama sesuai engan amal kebaikannya sewaktu dia hidup. Kita memang tidak boleh tinggal diam, juga kita tidak perlu merasa takut untuk menghadapi ketidakadilan, akan tetapi bagaimanapun juga, kita harus bertindak dengan hati-hati dan tidak menurutkan nafsu amarah. Kita harus ingat bahwa kita berhadapan dengan keturunan orang-orang besar. Kao-taihiap adalah keturunan dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kita sama sekali tidak menghendaki kalau kita sampai menanam permusuhan dengan kedua keluarga itu. Maka, jalan satu-satunya hanyalah mencari seorang perantara untuk menuntut keadilan kepada keluarga mereka, terutama sekali keluarga Gurun Pasir mengingat bahwa Kao-taihiap adalah putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir."
Mendengar ucapan ketua mereka ini, para pendeta Lama merasa setuju. Bagaimanapun juga, mereka percaya bahwa keluarga para pendekar itu adalah orang-orang yang selalu menunjukkan kebenaran dan keadilan. Kalau sampai peristiwa pembunuhan terhadap diri Ang I Lama yang tidak berdosa ini sampai dilaporkan kepada Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, tentu orang sakti itu akan bertindak adil walau terhadap puteranya sendiri sekalipun.
Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengingat bahwa mungkin sekali urusan yang timbul antara Ang I Lama dan Kao Cin Liong berdua itu ada hubungannya dengan mendiang Sai-cu Lama, maka semua pendeta Lama setuju untuk kedua kalinya minta bantuan sahahat mereka, yaitu Tiong Khi Hwesio. Bukankah Tiong Khi Hwesio yang bersama para pendekar membasmi komplotan Sai-cu Lama? Karena agaknya urusan kematian Ang I Lama ini merupakan lanjutan dari pembasmian komplotan Sai-cu Lama, maka orang perantara yang mereka anggap paling tepat adalah Tiong Khi Hwesio. Apa lagi ketua Lama mengetahui bahwa antara Tiong Khi Hwesio dan keluarga Gurun Pasir masih terdapat ikatan yang amat erat.
"Kalau tidak keliru, ikatan keluarga antara Tiong Khi Hwesio dan isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir," demikian katanya. Kenyataan ini mempertebal kepercayaan para pendeta Lama bahwa Tiong Khi Hwesio memang merupakan orang yang paling tepat untuk menjadi perantara menuntut keadilan ke Gurun Pasir.
Tiong Khi Hwesio lalu dihubungi. Pendeta ini semenjak kembali dari menunaikan tugasnya yang berhasil baik, telah kembali ke tempat pertapaannya, di dalam sebuah pondok sederhana di puncak sebuah bukit di Pegunungan Himalaya. Dia merasa heran akan tetapi juga tidak menolak ketika seorang pendeta Lama menyadarkannya dari pertapaan dan menyampaikan undangan para pimpinan Lama agar dia suka datang ke Lhasa karena ada urusan yang amat penting.
Setelah hwesio tua ini tiba di depan para pendeta Lama, dia disambut dengan amat ramah. Melihat wajah yang penuh kedamaian dari pendeta ini, para pimpinan Lama merasa tidak enak hati sendiri. Akan tetapi urusan yang mereka hadapi teramat penting maka mereka mengesampingkan semua perasaan tidak enak dan pimpinan para Lama segera menceritakan kepada Tiong Khi Hwesio tentang peristiwa yang terjadi. Tentang kematian Ang I Lama terbunuh orang, tentang suami isteri Kao Cin Liong yang sebelumnya datang minta keterangan dari para Lama tentang Ang I Lama, kemudian para pimpinan Lama menyatakan pendapat mereka
yang juga merupakan tuduhan mereka bahwa suami isteri pendekar itulah yang membunuh Ang I Lama.
"Saudara Tiong Khi Hwesio tentu sudah mengenal siapa adanya Ang I Lama, yang sudah sejak puluhan tahun hidup bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga tidak mungkin menanam permusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi, beberapa hari sebelum dia terbunuh, pendekar Kao Cin Liong dan isterinya datang ke sini minta keterangan tentang Ang I Lama, dan melihat sikap mereka, terutama sekali isteri Kao-taihiap, jelas bahwa mereka sedang marah atau tidak suka kepada Ang I Lama yang mereka ketahui adalah sute dari Sai-cu Lama. Tak lama setelah mereka berdua pergi mencari Ang I Lama, dia ternyata dibunuh orang dan sebelum menghembuskan napas terakhir, Ang I Lama hanya dapat menyebutkan nama Kao Cin Liong dan isterinya.
Semua ini kami anggap sudah cukup kuat untuk menjadi bukti kebenaran pendapat kami bahwa mereka berdua yang membunuh Ang I Lama. Terutama harus diingat bahwa Ang I Lama memiliki kepandaian yang tinggi, dan hanya orang-orang seperti suami isteri itu sajalah yang kiranya akan mampu membunuhnya,"
Tiong Khi Hwesio mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan menghadapi urusan seperti itu. Memang semua alasan para pimpinan Lama ini masuk di akal, dan bagaimanapun juga, Kao Cin Liong masih terhitung keponakannya. Ibu kandung pendekar itu, Wan Ceng, adalah adik tirinya seayah berlainan ibu.
Dengan sikap tenang Tiong Khi Hwesio menanti sampai keterangan para Lama itu selesai, barulah dia bicara, sikapnya masih tenang, suaranya halus. "Lalu apa maksud para saudara Lama sekarang mengundang pinceng datang ke sini. Apa yang dapat pinceng lakukan dalam urusan ini?"
"Kami sedang merasa bingung. Urusan pembunuhan ini tidak mungkin didiamkan saja. Akan tetapi kamipun tidak ingin menanam permusuhan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, maka kamipun teringat kepada saudara Tiong Khi Hwesio yang menjadi saudara kami yang amat baik. Terutama sekali mengingat akan adanya tali kekeluargaan saudara dengan mereka, maka kami mengharapkan bantuan saudara untuk menjadi perantara di antara kami dan mereka untuk menuntut keadilan."
Tiong Khi Hwesio mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. Dalam usianya yang sudah tua ini, yang ingin dihabiskannya dalam kedamaian dan ketenteraman, ternyata masih ada saja urusan yang mengejarnya. Namun, semua itu dianggapnya sudah sewajarnya, maka diapun tidak mengeluh dan tidak pula merasa penasaran atau kecewa.
"Omitohud...., kehendak Thian jadilah! Pinceng akan menemui keluarga itu dan membicarakan urusan ini."
Para pimpinan Lama merasa lega. Kalau tidak ada Tiong Khi Hwesio yang menjadi perantara, mereka khawatir kalau-kalau akan terjadi permusuhan yang makin hebat. Para pimpinan maklum bahwa banyak di antara pendeta Lama yang masih belum dapat menguasai dorongan perasaan dan kematian Ang I Lama itu dapat menimbulkan kemarahan dan dendam yang besar.
Beberapa hari kemudian, Tiong Khi Hwesio meninggalkan Pegunungan Himalaya, menuju ke timur dan dia berjalan seorang diri seperti orang melamun. Dia melihat kenyataan yang amat aneh dalam kehidupan ini. Seorang seperti Ang I Lama, bagaimana sampai tertimpa malapetaka seperti itu, dibunuh orang? Pada hal, dia tahu benar bahwa Ang I Lama adalah seorang pendeta yang sejak puluhan tahun sudah mundur dari semua urusan dan keramaian dunia, tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga, bahkan tidak pernah meninggalkan tempat-tempat yang sunyi dan sepi.
Hidup dan mati adalah urusan Tuhan. Manusia tidak menguasai kedua hal itu. Manusia hanya wajib mengisi kehidupan dan tergantung dari dirinya sendirilah akan bagaimana jadinya dengan hidupnya. Dia sendirilah yang akan mewarnai kehidupannya. Namun segalanya bukan dia yang menentukan. Betapapun pandainya seseorang, betapapun kuatnya, dia tidak mungkin dapat mempertahankan hidupnya kalau Tuhan sudah menghendaki kematiannya. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kita lalu begitu saja "menyerahkan nasib" kepada Tuhan. Ini sama saja dengan mempersatukan Tuhan demi kepentingan diri sendiri, bahkan condong untuk memperbudak kekuasaan tertinggi di alam mayapada ini. Tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mau menolong kita kalau kita sendiri tidak mau menolong diri sendiri, karena sesungguhnya di dalam diri kita terdapat pula kekuasaan itu, melalui panca indriya kita, melalui pikiran kita, melalui seluruh urat syaraf di tubuh kita. Semua kekuasaan itu sudah ada pada kita, maka kalau tidak kita pergunakan, tentu saja tidak ada lagi kekuasaan yang akan menolong diri kita.
"Percaya kepada Tuhan" atau yang lazimnya disebut iman bukan hanya permainan lidah belaka, seperti yang kita lihat dalam kehidupan kita ini. Iman tanpa perbuatan hanya merupakan kemunafikan terselubung saja. Sebaliknya, perbuatan tanpa iman, dalam arti kata kesadaran sepenuhnya, keyakinan sedalamnya akan kekuasaan tertinggi yang menentutan segala-galanya, maka perbuatan itu akan dapat memyeleweng tanpa kemudi, hanya didorong oleh naluri dan kepentingan diri sendiri, sama saja dengan perbuatan binatang-binatang yang tidak memiliki akal budi dan pikiran. Kalau kita ingin berhasii, kita harus bertindak. Kalau ingin selamat, harus menjaga diri. Dan apa bila semua itu sudah kita lakukan, namun ternyata akhirnya gagal, maka kita harus
mencari sebab kegagalan itu dalam diri sendiri! Karena semua hal baik maupun kegagalan bersumber dari diri sendiri, bukan karena kesalahan orang lain, dan adalah licik untuk berkeluh kesah dan melontarkan semua ratapan kepada Tuhan, seolah-olah Tuhan yang bertanggung jawab atas kegagalan kita! Kalau ada kegagalan, tentu ada kesalahan dalam tindakan kita, walaupun mungkin saja mata kita tidak melihat adanya kesalahan itu. Kita selalu condong untuk membenarkan diri sendiri, kita merasa amat sukar untuk mengoreksi diri, untuk meneliti tindakan sendiri, untuk menemukan kesalahan dalam diri sendiri.
Cara yang ditempuh Tuhan kadang-kadang bahkan seringkali sukar untuk dimengerti oleh akal manusia yang amat terbatas ini. Kita biasanya hanya menerima segala akibat penempuhan cara yang penuh rahasia itu, kalau menyenangkan kita bersyukur, kalau menyusahkan kita mengeluh, karena semua pendapat kita didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Padahal, belum tentu kalau sesuatu yang kita anggap buruk menimpa diri kita itu memang benar buruk. Belum tentu! Banyak sudah buktinya bahwa peristiwa buruk yang menimpa kita itu merupakan penghindaran yang luar biasa pada diri kita dari ancaman bahaya yang lebih hebat lagi! Seperti sebuah operasi pada tubuh kita, nampaknya menyusahkan, padahal operasi itu penting sekali untuk melenyapkan penyakit yang jauh lebih ganas yang ada pada diri kita.
Karena itu, orang bijaksana selalu akan menerima segala macam peristiwa yang menimpa dirinya tanpa menilainya sebagai baik maupun buruk, selalu menerima apa adanya tanpa membanding-bandingkan, dengan penuh kesadaran bahwa segala yang terjadi sudah dikehendaki oleh Tuhan, maka sudah wajarlah! Orang bijaksana akan selalu mengerti dan yakin bahwa "semua kehendak Tuhan jadilah!" sementara dia selalu waspada akan segala perbuatannya, lahir batin, termasuk jalan pikirannya, ucapannya, Â gerak-geriknya. Tidak menginginkan atau menyesali yang sudah lalu, tidak mengharapkan atau menjauhi hal yang belum datang. Bahkan sama sekali tidak memusingkan masa lalu dan masa depan, melainkan sepenuhnya hidup saat ini, sekarang ini, detik demi detik.
Semua hal inilah yang menjadi isi batin Tiong Khi Hwesio ketika dia berjalan seorang diri dengan tenangnya. Kewaspadaannya membuat dia dapat melihat segala hal yang terjadi dalam dirinya, di luar dirinya dan apa yang terjadi dalam kehidupan manusia pada umumnya di dunia ini. Dia melihat kepalsuan-kepalsuan menyelimuti hampir seluruh kehidupan manusia, kebaikan-kebaikan palsu karena kebaikan-kebaikan itu dilakukan orang sebagai cara untuk memperoleh sesuatu sebagai imbalan, kehormatan dipuja-puja, agama dipakai sebagai alat untuk mencapai kemenangan, dipakai untuk menutupi kebencian yang membakar batin terhadap golongan lain, dipakai untuk menangkat diri dan golongan sendiri ke tempat yang lebih tinggi dan bersih, dipakai untuk mencemooh mereka yang dianggap kotor dan lebih rendah. Kesucian dipergunakan sebagai kebersihan pakaian yang membungkus diri, yang dianggap akan dapat menyucikan dan membersihkan tubuh yang sebenarnya kotor. Peradaban menjadi hal yang paling tidak beradab, namun menang karena disahkan oleh umum. Kesopanan hanya sebatas kulit, kesopanan terletak pada pangkat, pakaian, senyum dan ucapan belaka. Tidak pernah lagi ada kesatuan antara pikiran, ucapan dan perbuatan. Apa yang dipikirkan lain dari apa yang di ucapkan, dan apa yang diucapkan tidak cocok dengan apa yang diperbuat. Kemunafikan dan kepalsuan di
mana-mana. Tidak ada lagi cinta kasih yang tulus ikhlas, tanpa memihak, tanpa memilih, yang ada hanyalah cinta nafsu, cinta yang didorong demi kepentingan, demi kesenangan diri pribadi.
Dia bahkan melihat betapa orang-orang melarikan diri ke guha-guha, ke gunung-gunung atau mengubur diri di dalam kelenteng atau kuil-kuil, menyiksa diri, akan tetapi sebagian besar di antara mereka itu melakukan semua itu hanya sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu yang mereka harap-harapkan, tentu saja sesuatu yang akan menyenangkan hati mereka, akan memberi kepuasan terhadap keinginan mereka. Atau ada pula yang melakukan hal itu karena ingin melarikan diri dari kehidupan yang membuat mereka muak, berduka, kecewa dan sakit hati. Dan tentu saja pelarian inipun merupakan cara untuk mencari sesuatu yang lebih menyenangkan! Semua perbuatan manusia sudah menjadi palsu karena selalu menyembunyikan pamrih untuk kepentingan dan kesenangan diri pribadi.
"Ya Tuhan, apa akan jadinya dengan kita manusia ini?" Akhirnya Tiong Khi Hwesio berbisik dalam hatinya. "Mungkinkah kita menanggalkan semua kepalsuan dan kemunafikan itu, melenyapkan semua pamrih mencari kesenangan dan kepuasan diri pribadi itu, menanggalkan semuanya sehingga kita dapat menghadap Tuhan dalam keadaan telanjang, dalam keadaan kosong sama sekali? Mungkinkah kita menjadi kosong dan diam sehingga menjadi jernih, sehingga sinar-Mu dapat menembus dan memasuki batin. Sehingga kita mengenal cinta kasih yang suci murni?"
Angin bersilir menimbulkan suara bisik-bisik pada daun-daun di pohon. Tiong Khi Hwesio menghentikan langkah, menengadah dan memandang daun-daun pohon yang bergoyang-goyang. Seperti menari-nari sambil saling bergeseran menimbulkan suara bisik-bisik seperti berdendang dan diapun tersenyum.
******
Sim Houw dan Bi Lan telah tiba di daerah Tembok Besar. Bi Lan telah bersikap biasa kembali, merupakan seorang gadis yang bagi Sim Houw sukar untuk dijajaki isi hatinya. Kadang-kadang Sim Houw seperti melihat dengan jelas bahwa gadis itu membalas perasaan hatinya, membalas cintanya. Ada kemesraan hangat dalam senyum dan pandang matanya, namun Sim Houw membantah sendiri kenyataan ini. Tak mungkin, katanya. Bagaimana mungkin seorang gadis remaja seperti Bi Lan, yang usianya tidak akan lebih dari delapanbelas atau sembilanbelas tahun, jatuh cinta kepada dia yang sudah menjelang tua? Usianya sudah hampir tigapuluh lima tahun! Bi Lan tentu memandang dia sebagai seorang sahabat baik, bahkan mungkin sebagai seorang kakak yang melindunginya!
Kalau dia mempunyai pikiran yang bukan-bukan, bagaimana nanti pendapat Bi Lan? Bukankah dia seakan-akan menjadi pagar makan tanaman, seorang pelindung yang hendak mengganggu gadis yang dilindunginya? Tidak, dia tidak akan melakukan hal itu, sampai matipun tidak! Kecuali kalau memang Bi Lan cinta padanya, akan tetapi, tak mungkin hal itu terjadi.
Kedukaan kadang-kadang melanda hati Sim Houw, akan tetapi hanya sebentar karena melihat kelincahan dan kegembirian Bi Lan yang jenaka, lenyaplah kedukaannya. Bagaimanapun juga, melakukan perjalanan bersama gadis itu, pahit maupun manis mengalami bersama Bi Lan, merupakan kebahagiaan yang menghapus segala duka dan keprihatinan hatinya. Dia tidak akan memikirkan hal lain, takkan memikirkan hal yang belum terjadi, apa akan jadinya kelak. Yang penting, sekarang Bi Lan berada di sampingnya selalu dan itu sudah cukup baginya!
Musim salju lewat baru saja dan mereka memasuki bulan musim semi. Biarpun pemandangan amat indah dan bunga-bunga sudah mulai ada yang berkembang, namun musim salju masih meninggalkan hawa dingin menyusup tulang. Seringkali, walaupun sudah mengenakan pakaian tebal dan sudah mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin, tetap saja Bi Lan merengek kedinginan sehingga terpaksa Sim Houw yang merasa kasihan menghentikan perjalanan untuk membuat api unggun, biarpun pada tengah hari. Karena itu perjalanan menjadi amat lambat dan baru setelah mereka tiba di daerah Tembok Besar, hawa tidak begitu dingin seperti ketika mereka melalui puncak-puncak pegunungan yang tinggi. Berkali-kali Bi Lan berhenti untuk menikmati pemandangan yang amat ajaib. Tembok Besar itu nampak seperti seekor naga, memanjang dari barat ke timur seperti tiada habisnya. Nampak indah dan kokoh kuat.
Setelah hari menjadi malam baru mereka mencapai Tembok Besar dan hawa kembali menjadi amat dinginnya di malam hari itu. Mereka berlindung di bawah tembok dan Sim Houw segera membuat api unggun, memanggang bekal makanan yang terdiri dari roti kering dan daging kering. Setelah makan dan minum secara sederhana, mereka lalu duduk beristirahat di dekat api unggun.
"Begini sunyi...." kata Bi Lan dan tubuhnya agak menggigil, bukan karena kedinginan lagi karena api unggun itu bernyala dengan indahnya, melainkan merasa ngeri juga. Ia berada di dalam alam yang begitu luasnya hanya bersama Sim Houw, seolah-olah mereka berdua sajalah manusia-manusia yang hidup di dunia ini. Sunyi dan kadang-kadang terdengar suara-suara binatang yang aneh-aneh, yang belum pernah didengar sebelumnya. Ketika terdengar bunyi lolong yang mengerikan dan panjang berkali-kali, seperti saling sahut dari sebelah kanan dan kiri, Bi Lan berbisik.
"Toako.... suara apakah itu?"
Sim Houw menatap wajah yang cantik kemerahan di bawah sinar api unggun itu sambil tersenyum.
"Itulah suara serigala-serigala yang berkeliaran di daerah ini, Lan-moi."
"Serigala? Aku pernah mendengar namanya akan tetapi belum pernah melihatnya."
"Seperti seekor anjing biasa, tidak berapa besar, namun dia adalah anjing liar yang buas. Lebih kuat dan tangkas dari pada anjing biasa karena sejak lahir berada di dalam alam bebas yang mempunyai hukum rimba, sudah biasa dengan perkelahian mati-matian, baik untuk membela diri maupun untuk mencari makan."
Bi Lan menarik napas lega. "Suaranya demikian mengerikan, ternyata hanya seperti seekor anjing biasa, sama sekali tidak berbahaya."
Kembali Sim Houw tersenyum dan suaranya terdengar lembut, bukan untuk menakut-nakuti ketika dia memperingatkan, "Moi-moi, biarpun serigala hanya merupakan seekor anjing biasa, namun dia jauh lebih berbahaya dari pada anjing. Selain kuat dan tangkas, yang paling berbahaya adalah karena dia licik dan cerdik, juga biasanya hanya menyerbu dengan gerombolan yang cukup banyak. Karena itu, binatang lain yang lebih besar dan kuat, takut menghadapi serigala. Bahkan harimaupun akan lari menjauhkan diri, takut dikeroyok."
Bi Lan terbelalak dan kembali ia menoleh ke kanan kiri dengan sikap ketakutan. Hal ini menggelikan hati Sim Houw dan diapun berkata, "Lan-moi, kalau serigala-serigala itu mengenalmu, tentu mereka yang akan menggigil ketakutan."
"Aku ngeri membayangkan kelicikan mereka. Mereka itu seperti segerembolan orang jahat yang curang dan licik, yang beraninya hanya melakukan pengeroyokan."
"Memang, dan di dunia kang-ouw, orang-orang macam itu memang ada yang disebut sebagai gerombolan serigala."
Tiba-tiba suara lolong serigala itu berubah menjadi suara menyalak-nyalak dan menggonggong yang riuh, seolah-olah ada banyak anjing yang marah-marah dan menggonggong secara berbareng, tidak seperti tadi, melolong saling saut. Mendengar ini, Sim Houw mengerutkan alisnya. Sebagai keturunan ahli-ahli pemburu binatang buas diapun dapat menduga apa artinya suara riuh rendah itu.
"Celaka, mereka telah menyerbu sesuatu. Mari kita lihat!" kata Sim Houw.
"Ih, untuk apa melihat? Paling-paling mereka itu mengeroyok seekor binatang buas yang lebih besar."
"Siapa tahu? Aku khawatir kalau-kalau mereka itu mengeroyok manusia yang perlu kita tolong. Lihat, bulan sudah muncul dan cuaca tidak begitu gelap. Kita dapat mencari ke arah suara hiruk-pikuk itu."
"Mana ada manusia di tempat seperti ini, toako?"
"Engkau tidak tahu. Biarpun jarang, kadang-kadang ada saja rombongan saudagar yang berlalu-lalang di sini, yaitu mereka yang membawa barang dagangan keluar dan masuk Tembok Besar. Marilah."
Mereka lalu menggendong buntalan pakaian mereka dan memadamkan api unggun. Dengan Sim Houw berada di depan dan Bi Lan di belakangnya, mereka lalu berloncatan dengan hati-hati, menuju ke arah suara hiruk-pikuk yang terdengar di sebelah timur. Mereka menyusuri sepanjang Tembok Besar karena suara ribut-ribut itu terdengar di sebelah dalam tembok, bukan di luar.
Akhirnya, setelah mendengar betapa suara gonggongan serigala itu kini bercampur dengan suara menguik dan ketakutan sehingga Sim Houw menduga tentu binatang-binatang itu mengeroyok seekor binatang lain yang kuat, mereka tiba di tempat terbuka, di kaki tembok. Masih nampak ada api unggun kecil menyala di dekat kaki tembok, dan tak jauh dari situ, di atas rumput yang kuning dan baru bersemi setelah layu selama berbulan-bulan karena musim salju, nampak seorang laki-laki sedang dikepung dan dikeroyok oleh gerombolan anjing serigala yang jumlahnya tidak kurang dari duapuluh ekor! Melihat betapa di sekitar tempat itu terdapat bangkai-bangkai serigala berserakan, dapat diketahui bahwa pengeroyok itu tadinya jauh lebih banyak lagi!
Bi Lan hendak meloncat untuk membantu, akan tetapi Sim Houw memegang lengannya.
"Sssttt.... lihat betapa gagahnya dia. Dia tidak membutuhkan bantuan...."
Bi Lan memandang dan iapun menjadi kagum. Laki-laki itu bertubuh tinggi tegap, berdiri kokoh, kuat di atas tanah, lengan kanan ditekuk dengan tangan di bawah pinggang, jari-jari tangan terbuka dan terlentang, lengan kiri diangkat dengan tangan di depan dada, juga terbuka, kedua kaki terpentang lebar ke kanan kiri, sedikitpun tidak bergerak walaupun serigala-serigala itu mengepungnya sambil menyalak-nyalak dan meringis memperlihatkan taring-taring yang runcing dan memandang dengan mata yang merah beringas dan buas.
Tiba-tiba dua ekor serigala menubruk dari belakang sambil mengeluarkan suara gerengan dahsyat. "Licik....!" Bi Lan memaki lirih.
"Bukk! Desss!" Laki-laki itu memutar tubuh seolah-olah di belakang kepalanya ada matanya yang melihat gerakan dua ekor binatang itu, kakinya menendang dan tangannya menyambar. Robohlah dua ekor binatang itu, berkelojotan dan berkuik-kuik seperti anjing-anjing kena gebuk.
"Bagus....!" Bi Lan memuji.
"Kau melihat gerakan itu? Dia murid Siauw-lim-pai atau setidaknya menguasai ilmu silat Siauw-lim-pai," kata Sim Houw, juga kagum.
Laki-laki yang tak dapat dilihat jelas mukanya karena cuaca tidak cukup terang itu memang gagah sekali. Sedikitpun dia tidak nampak gugup, tenang-tenang saja dia menanti serigala-serigala yang mengepungnya menyerang dari berbagai arah. Namun, setiap kali ada serigala yang menerjangnya, tentu disambut pukulan tangan miring atau tendangan dan sekali pukul atau satu kali tendang saja sudah cukup untuk membuat seekor serigala roboh dan tidak mampu bangun kembali.
Serigala-serigala itu agaknya tidak menjadi jera, mereka ini menerjang dari empat penjuru. Laki-laki itu nampak menggerakkan tubuh ke sana-sini sambil menendang dan menampar dan kini ada delapan ekor serigala yang terpelanting ke sana-sini. Barulah sisa gerombolan itu menjadi jerih, mereka mengeluarkan suara seperti menangis dan mundur-mundur, lalu melarikan diri sambil melolong-lolong, seolah-olah merasa kecewa dan menangisi kesialan mereka malam itu.
Laki-laki itu tidak mengejar, sejenak berdiri tegak memandang ke sekeliling. Tidak kurang dari limabelas ekor anjing serigala yang berserakan menjadi bangkai di sekitar tempat itu, ada pula yang masih berkelojotan lemah. Laki-laki itu lalu melompat dan memanjat naik ke atas tembok sambil menatap bulan yang sudah naik agak tinggi di timur.
Sim Houw dan Bi Lan hanya memandang dengan kagum. Betapa gagahnya laki-laki itu, seperti sebuah patung seorang pendekar yang gagah perkasa berdiri di tempat sunyi itu, diterangi sinar bulan. Tiba-tiba laki-laki itu bicara dengan suara nyaring, kata-katanya jelas dan satu-satu, teratur seperti sajak.
"Melihat kejam dan buasnya serigala
mengganggu dan membunuh orang tak berdosa
kenapa tidak turun tangan dan membasminya?
Penjajah lebih kejam dari pada serigala
mencekik dan menindas rakyat jelata
mengapa orang-orang gagah
tidak bangkit dan mengusirnya?"
Mendengar ucapan itu, Sim Houw dan Bi Lan merasa disindir. Jangan-jangan laki-laki itu memang sengaja menyindir mereka! Memang selama ini Sim Houw mendengar akan adanya orang-orang gagah, terutama dari Siauw-lim-pai, yang mengadakan gerakan, bangkit menentang pemerintah penjajah yang mereka namakan "berjuang untuk kemerdekaan rakyat". Tentu saja pihak pemerintah menganggapnya sebagai pemberontakan-pemberontakan kecil dan semua gerakan itu ditindas oleh pasukan besar sehingga sampai demikian jauh, belum ada gerakan yang berhasil. Mereka berdua, Sim Houw dan Bi Lan, tidak pernah mencampuri urusan itu. Dan kalau baru-baru ini mereka membantu para pendekar untuk membasmi komplotan Sai-cu Lama yang menjadi kaki tangan pembesar lalim Hou Seng, maka hal itu mereka lakukan tanpa ada hubungannya sama sekali dengan pemerintahan, melainkan semata-mata karena mereka memusuhi komplotan jahat itu.
Selagi Bi Lan hendak keluar dari tempat persembunyiannya, tiba-tiba Sim Houw memegang lengannya dan memberi tanda agar gadis itu tidak bergerak, kemudian dia menuding ke depan. Bi Lan mengikuti arah yang ditunjuk dan kini iapun dapat melihat bergeraknya beberapa bayangan orang ke arah tembok. Kemudian, nampak lima sosok tubuh yang bergerak dengan gesitnya, berloncatan ke atas tembok besar itu dan di tangan mereka nampak pula senjata tajam berkilauan tertimpa sinar bukan. Akan tetapi bukan itu saja, masih nampak bayangan banyak orang di bawah tembok. Sim Houw dan Bi Lan mengintai dan memandang dengan hati tertarik.
"Lie Tek San, engkau telah di kepung! Menyerahlah sebelum kami mempergunakan kekerasan!" Seorang di antara lima penyerbu itu membentak. Di bawah sinar bulan, nampak bahwa lima orang tua berpakaian sebagai perwira-perwira kerajaan, dan tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa laki-laki itu telah dikepung oleh pasukan pemerintah, entah berapa jumlah mereka. Dan Sim Houw terkejut juga mendengar disebutnya nama Lie Tek San itu. Dia pernah mendengar bahwa Lie Tek San adalah seorang pendekar gagah perkasa yang melakukan gerakan menentang pemerintahan, menentang penjajah Bangsa Mancu. Dia hanya mendengar bahwa Lie Tek San seorang pendekar dari daerah Hok-kian, seorang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang di antara mereka yang dapat lolos ketika pemerintah menyerbu dan membakar kuil Siauw-lim-si. Biarpun dia tidak pernah mencampuri urusan perjuangan menentang pemerintah, namun, diam-diam hatinya sudah merasa kagum terhadap pendekar itu, maka kini dia memandang dengan hati tegang.
Laki-laki tinggi tegap yang disebut Lie Tek San itu kini menghadapi lima orang tadi, sikapnya tenang dan tetap gagah. Sejenak dia memandang mereka, kemudian dia tertawa. "Ha-ha-ha-ha, kalian minta aku menyerah? Dengarlah, Lie Tek San telah bersumpah untuk menentang-kaum penjajah, melepaskan bangsaku dari cengkeraman kuku penjajah Mancu dan kalian minta aku menyerah? Ha-ha-ha!"
Pemimpin rombongan itu membentak, "Lie Tek San, berbulan-bulan kami mencarimu. Engkau pemberontak hina, kami harus menangkapmu, hidup atau mati, dan menyeretmu untuk dihadapkan pada pengadilan yang akan menghukum seorang pemberontak hina!
Sambil bertolak pinggang, Lie Tek San menjawab, suaranya lantang dan ini saja membuktikan bahwa dia memiliki tenaga khi-kang yang kuat. "Mendengar suaramu, engkau tentu seorang Han. Akan tetapi engkau merendahkan diri menghamba pada penjajah Mancu! Apakah sudah tidak ada lagi darah Han mengalir di dalam tubuhmu? Apakah engkau tidak melihat betapa bangsa kita diinjak-injak selama berpuluh-puluh tahun oleh orang-orang Mancu? Ingat baik-baik. Bangsa kita adalah bangsa yang besar, dengan jumlah yang amat banyak. Menurut sejarah, karena Bangsa Han dipimpin oleh orang-orang yang hanya mengejar kesenangan, dan karena perpecahan antara bangsa sendiri, maka bangsa kita yang besar sampai dapat ditundukkan dan dikuasai, dijajah oleh Bangsa Mancu, suku bangsa yang jumlahnya kecil itu, suku bangsa yang biadab dan terbelakang. Ratusan juta Bangsa Han yang mendiami tanah air yang amat luas dapat diperhamba oleh sekelompok orang Mancu sampai seratus tahun lebih! Mengapa bisa demikian? Tak lain karena adanya anjing-anjing penjilat macam engkau inilah yang sudah membantu penjajah Mancu untuk menginjak-injak bangsa
sendiri. Tidak malukah engkau kepada nenek moyangmu dan anak cucumu kelak yang akan mengutuk dan memaki-maki namamu?" Suara Lie Tek San penuh semangat dan kemarahan. Sim Houw dan Bi Lan yang mencuri dengar, merasa betapa bulu tengkuknya meremang, merasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada mereka.
"Lie Tek San pemberontak hina! Engkau melawan pemerintah yang sah!" Si kumis tebal yang menjadi pemimpin pasukan itu, membentak marah.
"Pemerintah penjajah Mancu kau bilang sah? Siapa yang mengesahkan? Anjing-anjing penjilat macam kau? Tak tahu malu!"
"Tangkap pemberontak ini!" Si kumis tebal berteriak dan mereka berlima sudah mengurung orang tinggi besar yang gagah itu dengan golok besar ditangan. Mereka mengurung dengan membentuk ngoeng-tin (barisan lima unsur), dengan rapi dan dengan gerakan ringan mereka mengepung dan siap menyerang, menutup semua jalan keluar. Melihat gerakan dan barisan ini, Lie Tek San berseru nyaring, suaraya penuh teguran dan ejekan.
"Kiranya kalian ini yang terkenal dengan julukan Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Huang-ho), bukan? Kalian adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, orang-orang Han aseli yang telah merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat para penjajah Mancu, menjijikkan sekali! Kalian hanya mengotorkan nama Bu-tong-pai yang besar!"
Lima orang itu memang benar Huang-ho Ngo-liong yang namanya terkenal sekali di sepanjang lembah Huang-ho dan mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai yang berilmu tinggi. Mendengar makian itu, mereka menjadi semakin marah.
"Lie Tek San manusia sombong, pemberontak hina! Bu tong-pai tidak ada hubungan apapun dengan kedudukan kami sebagai perwira, dan Bu-tong-pai juga bukan pemberontak macam Siauw-lim-pai!" Si kumis tebal itu menggerakkan goloknya menyerang, diikuti oleh empat orang pembantunya yan semua masih terhitung sute (adik seperguruan) sendiri.
Laki-laki tinggi besar yang baru saja membasmi serigala-serigala yang menyerbunya dengan kedua tangan kosong, kini menghadapi lima orang itu dengan tangan kosong pula. Dengan geseran-geseran kaki yang kokoh kuat dan cepat, tokoh Siauw-lim-pai ini mengelak dan membalas serangan dengan pukulan dan tendangan kaki. Akan tetapi, lima orang itu dapat bergerak saling bantu dengan rapi sekali merupakan barisan lima orang yang saling melindungi dan saling memperkuat serangan. Karena maklum bahwa lima orang pengeroyoknya ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan segerombolan serigala yang menyerang dengan buas tanpa
perhitungan hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan, melainkan merupakan pengeroyok-pengeroyok yang lihai dan berbahaya, Lie Tek San lalu mainkan Ilmu Silat Kong-jiu-jip-pek-to (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan Seratus Golok). Tubuhnya bergerak dengan amat gesitnya, menyelinap di antara sambar sinar golok dan berusaha untuk masuk ke dalam barisan dan mematahkan lingkaran yang saling melindungi itu.
Namun, lima orang murid Bu-tong-pai itu ternyata lihai bukan main dan betapapun kuatnya Lie Tek berusaha mengacaukan rangkaian lima batang golok itu, usahanya selalu gagal dan barisan lima golok itu menjadi semakin kuat dan berbahaya saja. Berapa kali hampir saja tubuh pendekar Siauw-lim-pai itu tercium golok kalau saja dia tidak cepat melempar diri dan beberapa kali dia harus bergulingan. Akhirnya Lie Tek San meloncat sambil menggekkan tangan dan nampak sinar berkilauan ketika ia sudah mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang panjang.
Terdengar suara berdencingan nyaring ketika pedang itu bergerak menangkisi golok-golok yang datang bagaikan hujan. Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan kini perkelahian menjadi semakin seru terjadi di atas tembok yang lebar itu.
Si kumis tebal mengeluarkan aba-aba dan kini pasukan yang tadinya hanya mengepung dan menonton, mulai memperketat kepungan, bahkan banyak yang sudah naik ke atas tembok dan menggunakan bermacam senjata mereka, ada tombak, golok atau pedang, untuk mengeroyok Lie Tek San.
Pendekar Siauw-lim-pai itu mengamuk dengan pedangnya. Namun, jumlah pengeroyok terlalu banyak. Pasukan itu terdiri lebih dari limapuluh orang, merupakan pasukan istimewa yang bertugas mengadakan pembersihan di perbatasan. Akan tetapi yang membuat Lie Tek San terdesak adalah Ngo-heng-tin yang dilakukan oleh Huang-ho Ngo-liong itu. Barisan lima orang ini ganas sekali, setelah kini dibantu oleh pasukan, gerakan mereka menjadi semakin tangkas dan kuat sehingga dua kali Lie Tek San tercium ujung golok pada pundak dan pahanya sehingga dua bagian tubuh itu terobek kulit dagingnya dan berdarah. Akan tetapi, biarpun dia telah terluka, Lie Tek San masih mengamuk terus dan sedikitnya sudah ada sepuluh orang anggauta pasukan yang roboh oleh pedangnya.
Sementara itu, Sim Houw dan Bi Lan sejak ia nonton perkelahian itu dengan hati tegang. Sejak tadi, mereka berdua mengadakan perundingan sambil mata mereka tak pernah meninggalkan perkelahian itu.
"Tidak semestinya kita mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan," kata Sim Houw yang maklum betapa hati Bi Lan condong untuk membantu Lie Tek San. "Sangat tidak enak kalau sampai dicap pemberontak dan menjadi orang buruan pemerintah. Kehidupan kita tidak akan leluasa lagi."
"Tapi.... betapa mungkin kita memeluk tangan saja melihat orang sedemikian gagahnya terbunuh? Lihat, dia mulai terdesak, terlalu banyak lawan dan terlalu banyak darah keluar dari luka pahanya itu." Bi Lan berkata.
Sim Houw tak dapat menjawab. Bagaimanapun juga, semua ucapan Lie Tek San yang penuh semangat tadi telah membakar hatinya dan menyentuh perasaan halusnya. Dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan itu. Memang, Bangsa Han kini dijajah dan dipermainkan oleh orang-orang Mancu yang sesungguhnya adalah bangsa biadab yang datang jauh dari utara, dari luar Tembok Besar. Andaikata semua orang Han seperti Lie Tek San ini sikapnya dan bangkit, akan bisa apakah orang-orang Mancu itu? Perbandingan rakyat mereka mungkin satu lawan seratus. Sayangnya, banyak di antara orang Han yang mabok kesenangan dan kemuliaan, tidak segan-segan untuk membantu orang-orang Mancu, memperkuat pemerintah penjajah.
"Sim-ko, lihat.... dia terluka lagi. Apakah kita harus membiarkan seorang gagah terbunuh begitu saja oleh gerombolan anjing itu?"
Sim Houw melihat betapa tubuh Lie Tek San terhuyung karena sebatang tombak di tangan seorang perajurit telah mengenai punggungnya. Dia masih mampu melindungi punggung itu dengan sin-kang, namun mata tombak itu sudah terlanjur melukainya dan masuk setengah jari dalamnya. Dia membalik dan dengan tendangan kilat dia merobohkan perajurit itu, mencabut tombaknya dan melontarkan tombak itu ke depan, menyerang si kumis tebal.
"Tranggg....!" Si kumis tebal menangkis dan tombak itu melesat ke samping, mengenai dada seorang perajurit sehingga perajurit itupun roboh berkelojotan!
"Mari kita bantu dia!" Akhirnya Sim Houw mengambil keputusan sedangkan Bi Lan yang sejak tadi sudah merasa gatal tangan akan tetapi belum mau mencampuri perkelahian sebelum Sim Houw menyetujuinya, begitu mendengar ucapan ini langsung saja meloncat ke depan dan melayang naik ke atas Tembok Besar. Karena ia maklum betapa lihainya Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Huang-ho) yang mengeroyok Lie Tek San, sambil meloncat Bi Lan sudah mencabut pedang Ban-tok-kiam dan iapun mengamuk. Begitu pedangnya berkelebat, empat lima batang senjata para pengeroyok patah-patah dan kakinya yang terayun ke kanan kiri merobohkan empat lima orang pengeroyok. Kemudian Bi Lan menyerbu lima orang pemimpin pasukan yang mulai mendesak Lie Tek San dengan hebatnya.
"Lan-moi, jangan bunuh orang!" Sim Houw masih mengingatkan Bi Lan dan gadis inipun ingat bahwa ia memegang Ban-tok-kiam dan tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan iapun naik ke situ bukan untuk membunuh orang. Ia tidak pernah bermusuhan dengan anak buah pasukan itu ataupun lima orang perwira yang mengeroyok Lie Tek San. Ia naik hanya untuk menyelamatkan pendekar Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu.
"Larikan dia, toako, biar aku yang menahan mereka!" teriaknya dan pedangnya diputar menyerang lima orang itu. Huang-ho Ngo-liong terkejut sekali melihat munculnya seorang gadis yang memutar sebatang pedang yang mengandung hawa yang mengerikan, apa lagi melihat betapa dengan mudahnya gadis itu merobohkan beberapa orang perajurit. Juga kemunculan gadis ini disusul munculnya seorang laki-laki yang dengan tangan kosong merampasi senjata para perajurit, dan merobohkan banyak perajurit hanya dengan dorongan tangan yang nampaknya tidak menyentuh lawan! Mereka lalu bersatu menyambut gadis berpedang yang menyerang mereka.
Terdengar bunyi nyaring dan lima orang itu terkejut bukan main. Dua batang golok di antara mereka patah menjadi dua, sedangkan tiga yang lain merasa betapa telapak tangan mereka panas seperti dibakar oleh gagang golok mereka sendiri! Ketika mereka meloncat ke belakang, Sim Houw lalu meloncat ke depan, menyambar tangan Lie Tek San yang masih terhuyung dan agaknya nanar karena luka-lukanya.
"Lie-enghiong, mari kita pergi saja!" Sim Houw menariknya dan membantunya meloncat turun dari tembok. Lie Tek San maklum bahwa dalam keadaan luka-luka itu, melanjutkan perkelahian berarti bunuh diri. Kini muncul dua orang yang menolongnya, maka diapun tidak banyak cakap, lalu membiarkan dirinya ditarik dan diajak lari oleh laki-laki tampan yang tangannya lembut namun mengandung tenaga besar itu.Sementara itu, Bi Lan memutar pedangnya melindungi dari belakang. Huang-ho Ngo-liong berteriak memberi aba-aba dan mereka sendiripun lalu melakukan pengejaran, namun sinar pedang Ban-tok-kiam membuat mereka bergidik dan gentar. Sementara itu, Lie Tek San yang melihat betapa gadis itu memutar pedang yang mengandung sinar menyilaukan dan hawa yang mengerikan, terkejut dan kagum bukan main. Akhirnya lima orang Huang-ho Ngo-liong tidak melanjutkan pengejarannya karena selain mereka sendiri jerih menghadapi pedang di tangan Bi Lan, juga anak buah mereka sudah merasa gentar dan hanya melakukan pengejaran dari jauh dengan ragu-ragu saja. Sementara itu, malam telah tiba dan cuaca menjadi gelap.
"Sebaiknya kita berhenti dulu untuk mengobati luka-lukamu, Lie-enghiong," kata Sim Houw ketika mereka melihat bahwa pasukan itu tidak mengejar lagi dan mereka sudah tiba agak jauh dari tempat itu di kaki sebuah bukit.
Mereka berhenti dan Sim Houw cepat mengeluarkan obat luka dan mengobati luka-luka di punggung, pundak dan paha orang gagah itu. Biarpun luka-luka itu terasa nyeri dan perih, namun Lie Tek San sama sekali tidak mengeluh ketika Sim Houw merawatnya. Di bawah sinar api unggun yang dibuat Bi Lan, mereka bercakap-cakap sambil mengobati luka-luka itu.
"Siapakah ji-wi dan bagaimana dapat mengenalku?" tanya Lie Tek San, memandang gadis dan orang muda itu bergantian dengan sinar mata kagum.
"Maafkan kami, terus terang saja kami sudah sejak engkau dikeroyok gerombolan serigala itu telah mengintaimu, Lie-enghiong. Kami sedang melakukan perjalanan dan kemalaman di sini, lalu kami mendengar suara serigala menyalak-nyalak. Kami datang dan melihat engkau dikeroyok. Kami tidak membantu karena engkau dapat membasmi serigala-serigala itu. Kemudian, kami melihat munculnya lima orang itu yang menyebut namamu. Namamu sebagai seorang pejuang tokoh Siauw-lim-pai telah sering kami dengar."
"Akan tetapi, ji-wi (kalian berdua) memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kepandaianku, dan pedang pusaka nona ini.... hemm, sungguh luar biasa. Siapakah ji-wi?"
"Nama saya Sim Houw...."
"Ahhh....! Apakah pendekar yang baru muncul dengan julukan Suling Naga? Aih benar. aku dapat melihat suling di ikat pinggangmu. Sungguh mengagumkan sekali, Sim-taihiap yang masih muda sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw!"
Sim Houw tersenyum. "Lie-enghiong terlalu memuji. Usiamu mungkin hanya beberapa tahun saja lebih tua dari pada usiaku, dan engkau sudah membuat nama besar dalam perjuangan."
"Dan siapakah nona yang gagah perkasa ini?" tanya Lie Tek San, girang bahwa dia dapat berkenalan dengan seorang pendekar yang mulai terkenal dengan julukan Suling Naga.
"Lie-enghiong, nama saya Can Bi Lan dan saya tidaklah begitu terkenal seperti Sim-toako," kata Bi Lan tersenyum.
"Akan tetapi.... ilmu kepandaian nona hebat, dan terutama pedang itu. Apakah nama pedang pusakamu itu, nona Can?"
Karena yang dihadapinya adalah seorang pendekar dan pejuang ternama, Bi Lan tidak ragu-ragu untuk memberi keterangan yang sebenarnya. "pedang ini adalah Ban-tok-kiam...."
"Wahhh....! Pernah aku mendengar dari para suhu di kuil Siauw-lim-si bahwa Ban-tok-kiam adalah sebuah di antara pusaka dari Istana Gurun Pasir! Benarkah pusaka ini milik locianpwe Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir seperti yang pernah kudengar seperti dongeng dari para suhu di kuil?" tanya Lie Tek San girang.
Bi Lan mengangguk. "Pusaka ini milik isteri pendekar itu yang kebetulan sekali adalah suboku dan beliau meminjamkan pusaka ini kepadaku. Sekarang kami sedang menuju ke sana untuk mengembalikan pusaka ini."
Mendengar ini, kembali jagoan Siauw-lim-pai terkejut dan girang sekali. Dia memandang wajah gadis itu penuh kagum, kemudian menatap wajah Sim Houw dan menggeleng-geleng kepalanya. "Ya Tuhan, sungguh tidak kusangka bahwa malam ini aku dapat bertemu dengan orang-orang muda yang sakti! Sungguh aku merasa amat gembira dan terhormat sekali!"
"Ah, aku hanya menjadi murid suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir selama satu tahun saja," kata Bi Lan merendah.
"Dan kami yang merasa amat kagum, girang dan terhormat telah dapat berkenalan dengan seorang pejuang perkasa. Nama Lie Tek San sudah menggetarkan kolong langit dan kami merasa kagum bukan main," kata Sim Houw dengan suara sungguh-sungguh.
Tiba-tiba Lie Tek San memandang tajam dan bertanya, "Benarkah Sim-taihiap kagum terhadap para pejuang?"
"Mengapa tidak? Bagi kami para pejuang adalah pendekar-pendekar yang mempergunakan ilmunya untuk kebaikan."
Orang gagah itu mengerutkan alisnya. "Hanya sebegitu pengertian pejuang bagi Sim-taihiap?"
Tiba-tiba Sim Houw menarik tangan Lie Tek San, dan bersama Bi Lan dia sudah mengajak orang gagah itu melompat menjauhi api unggun, bahkan Bi Lan menggunakan kakinya menendang tumpukan kayu terbakar itu sehingga cerei-berai dan padam. Pada saat mereka berlompatan itu, terdengar suara berdesing dan banyak sekali anak panah meluncur dan menyerang ke tempat di mana mereka tadi duduk. Dan serangan anak panah ini disusul teriakan-teriakan banyak orang dan ternyata tempat itu telah dikepung oleh pasukan pemerintah.
"Tangkap pemberontak-pemberontak hina!" terdengar bentakan nyaring dan suara ini penuh wibawa.
Ketika tiga orang itu memandang, ternyata ada belasan orang perwira, dipimpin oleh seorang panglima brewokan tinggi besar yang tadi mengeluarkan suara bentakan itu, sedangkan di luar kepungan mereka terdapat pula puluhan orang pasukan yang bersenjata lengkap!
Obor-obor segera bernyala dipegang oleh banyak perajurit sehingga tempat yang terkepung itu kini menjadi terang dan nampak jelas wajah-wajah tiga orang yang dikepung itu, Dan kini Sim Houw dan Bi Lan juga dapat melihat wajah para perwira dan panglima itu, dan mereka mengenal pula bahwa yang memimpin pasukan ini adalah Coa-ciangkun, perwira tinggi yang pernah mereka jumpai ketika mereka bersama para pendekar lainnya membasmi komplotan Sai-cu Lama dan Bhok Gun! Coa-ciangkun inilah yang dulu memimpin pasukan pemerintah yang akan membantu Bhok Gun dan kawan-kawannya, akan tetapi oleh pendekar Kao Cin Liong, bekas seorang panglima pemerintah, Coa-ciangkun dibuat tidak berdaya sehingga dia tidak berani campur tangan dalam bentrokan antara dua kelompok kang-ouw itu. Dan kini, Coaciangkun yang memimpin pasukan mengejar-ngejar Lie Tek San dan telah mengurung mereka bertiga!
Sementara itu, agaknya Coa-ciangkun juga mengenal Sim Houw dan Bi Lan, karena dia berkata dengan lantang, "Ahhh, kiranya pemberontak Lie Tek San bersekutu dengan Pendekar Suling Naga dan gadis ini.... hemmm, bukankah engkau gadis Yang dikatakan sumoi dari nona Ciong Siu Kwi, murid dari Sam Kwi, yang telah berkhianat itu? Bagus! Kiranya kini para pendekar dan juga murid datuk sesat telah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap mereka, hidup atau mati!" bentak Coa-ciangkun dan pengepungan itu diperketat. Sim Houw dan Bi Lan terkejut dan hendak membantah bahwa mereka bukanlah pemberontak. Namun mereka tahu bahwa akan sia-sia saja mereka membantah, dan pula, perlu apa membantah terhadap perwira ini? Kini nampak oleh mereka betapa para perwira dan perajurit Bangsa Han yang membantu kerajaan Mancu memang merupakan lawan yang cukup tangguh, juga perajurit yang mengepung tempat itu amat banyak.
Hebat sekali sepak terjang Lie Tek San. Biarpun dia sudah terluka di tiga tempat dan baru saja diobati, kini dia mengamuk seperti harimau terluka. Berkali-kali mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan dahsyat, disambung kata-kata makian. Basmi semua anjing penjilat Mancu!"
Terseret oleh sepak terjang Lie Tek San yang penuh semangat, Sim Houw dan Bi Lan juga mengamuk. Akan tetapi dua orang ini masih selalu berjaga-jaga agar jangan sampai mereka membunuh lawan. Biarpun lawan amat banyak, namun berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, terutama sekali Sim Houw, mereka mampu merobohkan lawan tanpa membunuh mereka, hanya melukai saja. Dan para perajurit gentar sekali menghadapi sinar pedang Ban-tok-kiam dan sinar senjata pedang berbentuk suling Liong-siauw-kiam.
Kalau sinar pedang Ban-tok-kiam amat mengerikan karena mengandung hawa yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin, maka sinar pedang Suling Naga itupun membuat mereka gentar karena setiap kali bertemu dengan senjata lawan, seperti halnya Ban-tok kiam, tentu senjata lawan patah atau terlempar!
Melihat kehebatan tiga orang itu yang membuat kepungan anak buahnya kocar-kacir, bahkan para perajurit menjadi gentar dan tidak ada yang berani mendekat, Coa-ciangkun terkejut bukan main. Kalau saja dia tahu bahwa Lie Tek San kini dibantu dua orang pendekar sakti itu, tentu tadi dia mengerahkan sedikitnya duaratus orang perajurit! Kini, untuk minta bala bantuan sudah tidak keburu lagi, maka diapun tidak mendesak anak buahnya ketika belasan orang pembantunya sudah roboh terluka dan tiga orang yang dikepung itu kini melarikan diri ke dalam kegelapan malam. Dia hanya mencatat dalam laporannya bahwa Sim Houw dan Can Bi Lan, dua nama yang sudah dikenalnya ketika terjadi bentrokan antara para pendekar dengan para pembantu Hou Seng dulu, kini telah menjadi pemberontak, bersekutu dengan Lie Tek San!
Sementara itu, Lie Tek San yang mengenal jalan mengajak dua orang pendekar yang telah menyelamatkannya itu untuk melarikan diri ke sebuah perkampungan besar yang berada di balik bukit. Hari telah pagi ketika mereka tiba di perkampungan itu dan dari cara penduduk perkampungan itu berpakaian, tahulah Sim Houw bahwa itu adalah perkampungan suku Bangsa Hui! Sebagian besar kaum pria suku Bangsa Hui ini mengenakan sorban putih pada kepalanya dan semua orang Hui, hanya sebagian kecil saja yang tidak beragama Islam. Mereka adalah sekelompok suku bangsa yang bahasanya hanya sedikit berbeda dengan Bangsa Han, bahkan segalanya tidak berbeda dengan Bangsa Han, kecuali agama mereka. Suku Bangsa Hui tersebar di daerah utara yang amat luas, sampai ke sudut-sudut barat utara Propinsi Sin-kiang dan sudut timur utara Propinsi Mongol dan Mancuria, Suku Bangsa Hui terkenal sebagai peternak-peternak, pejagal-pejagal dan terkenal pula pandai membuat masakan yang lezat. Akan tetapi di samping itu, juga mereka terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gagah dan gigih. Di mana-mana nampak mereka itu bangkit menentang penjajah Mancu dan banyak pula yang membantu perjuangan Bangsa Han secara terbuka dalam usaha mengusir penjajah Mancu.
Kedatangan Lie Tek San yang menjadi sahabat para penduduk perkampungan Hui itu disambut meriah dan setelah diperkenalkan, juga Sim Houw dan Bi Lan disambut dengan penuh kehormatan. Mereka bertiga dianggap sebagai tamu-tamu agung dan menerima hidangan yang serbaneka dan lezat dan terutama sekali daging domba. Diam-diam Sim Houw dan Bi Lan kagum sekali melihat mereka. Mereka adalah suku bangsa yang ramah, yang taat beragama, namun berjiwa patriotik dan gagah, walaupun dalam hanyak hal, terutama sekali kebudayaan dan pendidikan, mereka agak terbelakang dan kehidupan mereka sebagian besar sebagai kelompok
nomad yang suka berpindah-pindah mencari daerah yang subur.
Mereka bertiga disambut oleh para pimpinan suku bangsa Hui dan Lie Tek San bercakap-cakap dengan mereka, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sim Houw dan Bi Lan. Yang dibicarakan adalah mengenai perjuangan dan dalam percakapan ini sepasang pendekar itu mendengar banyak sekali hal yang sebelumnya tak pernah mereka ketahui. Tentang kegagah an para pejuang, tentang perjuangan mereka yang mulia. Kalau tadinya Sim Houw dan Bi Lan menganggap para pejuang tiada bedanya dengan para pendekar, kini setelah mendengar keterangan Lie Tek San, mereka dapat melihat betapa terdapat perbedaan besar sekali.
"Perjuangan para pendekar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, dalam membela kaum lemah tertindas dan menentang kejahatan, hanya memiliki daerah yang amat sempit. Para pendekar hanya mengurus masalah perorangan yang tidak begitu besar artinya bagi bangsa dan tak mungkin para pendekar menyelesaikan masalah perorangan yang teramat banyak. Permusuhan dan dendam pribadi terjadi di mana-mana dan biarpun para pendekar turun tangan mempertahankan kebenaran dan keadilan namun kejahatan takkan pernah berakhir. Keadaan kacau-balau dan munculnya kejahatan itu terjadi karena kaadaan, maka yang perlu dirubah adalah keadaan itu sendiri. Perjuangan para pendekar hanya seperti usaha mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri, akan tetapi sebaliknya usaha kami para pejuang adalah melenyapkan penyakitnya!" demikian antara lain Lie Tek San berkata penuh semangat, dan para pemimpin suku Bangsa Hui mengangguk-angguk mengerti dan mereka memandang kepada Lie Tek San penuh kagum.
Akan tetapi Sim Houw dan terutama sekali Bi Lan, merasa bingung. "Lie-enghiong, apakah bedanya antara keduanya itu?" tanya Bi Lan penasaran karena mendengar betapa tindakan para pendekar tidak dihargai seperti tindakan para pejuang.
Lie Tek San tersenyum. "Besar sekali bedanya. Keadaan masyarakat bagaikan orang sakit yang tentu saja menderita nyeri karena penyakitnya. Kalau hanya rasa nyeri itu saja yang dilenyapkan, tanpa mengobati penyakitnya, maka rasa nyeri itu hanya akan lenyap untuk sementara saja dan akan muncul kembali. Sebaliknya, kalau penyakitnya yang diobati, begitu penyakitnya sembuh, otomatis rasa nyeri itupun akan lenyap. Bukankah demikian?"
"Apa hubungannya urusan penyakit dengan urusan sepak terjang para pendekar?" Bi Lan mendesak karena masih belum mengerti.
"Can-lihiap (pendekar wanita Can), biarpun engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi, agaknya belum begitu luas pengetahuanmu sehingga belum dapat menangkap apa yang kumaksudkan. Para pendekar bertindak menolong sesama manusia, berarti hanya mengurus masalah perorangan yang kecil saja dan selama hidupnya takkan pernah dia mampu menyelamatkan seluruh manusia dari pada tekanan kejahatan. Akan tetapi para pejuang bertindak menolong negara, menolong bangsa dan rakyat pada umumnya. Rakyat kita terjajah, tertindas dan hidup dalam kemelaratan dan kesengsaraan karena diperas dan ditindas oleh penjajah, dan dari keadaan inilah timbul banyak perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran. Kami kaum pejuang bergerak untuk menyembuhkan penyakit ini, penyakit tertindas penjajah. Sekali penjajah lenyap dan rakyat kita hidup merdeka, keadaan menjadi adil dan makmur, maka
kejahatanpun akan berkurang atau lenyap dengan sendirinya. Kalau para pendekar hanya menolong perorangan, maka para pejuang menolong seluruh rakyat dan bangsa, bahkan menolong pula anak cucu bangsa kita. Mengertikah engkau sekarang, lihiap?"
Bi Lan menjadi bengong. Baru sekarang ini ia mendengar tentang persoalan yang demikian besarnya, menyangkut seluruh rakyat, menyangkut bangsa. Ia hanya mengangguk, pada hal masih banyak hal yang meragukan hatinya karena belum dapat dimengertinya benar.
"Karena itu, banyak sekali para pendekar yang dianggap sebagai pendekar besar dan budiman, namun sebenarnya mereka itu kosong, bahkan banyak pula yang menyeleweng tanpa mereka sadari karena mereka sama sekali tidak memperhatikan tentang kesengsaraan rakyat seluruhnya, hanya memperhatikan kesengsaraan perorangan bahkan yang tidak ada artinya."
Sim Houw mengerutkan alisnya, merasa tidak setuju mendengar orang gagah ini mencela para pendekar besar yang budiman. "Maaf, Lie-enghiong, setahuku, para locianpwe yang gagah perkasa selalu hidup melalui jalan kebenaran. Siapa yang tidak mendengar akan sepak terjang yang gagah dari keluarga Pulau Es misalnya, atau keluarga Istana Gurun Pasir, juga keluarga besar Siauw-lim-pai dan lain-lainnya?"
"Keluarga Pulau Es?" Lie Tek San menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. "Siapa yang tidak tahu bahwa mereka adalah keluarga para pendekar yang gagah perkasa dan sakti? Akan tetapi, semua orangpun tahu bahwa mereka itu condong untuk memihak penjajah Mancu! Bahkan di dalam darah mereka terdapat darah keluarga kerajaan Mancu! Mana bisa mereka dibandingkan dengan para pejuang yang siap setiap saat mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa? Tidak, bagaimanapun juga, aku tidak dapat mengagumi keluarga Pulau Es! Siapa tidak tahu betapa isteri pertama dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es adalah seorang puteri Mancu, bahkan seorang panglima terkenal yaitu Puteri Nirahai, dan puteri merekapun menjadi panglima terkenal yaitu Puteri Milana? Dan isterinya yang ke dua, yaitu Nenek Lulu juga seorang berdarah Mancu! Keturunan mereka memiliki darah Mancu dan betapapun gagahnya mereka itu, tentu mereka setia kepada Mancu dan membela penjajah yang menindas rakyat kita. Bangsa Han dari suku-suku bangsa lainnya!" Lie Tek San bicara penuh semangat. Sim Houw dan Bi Lan mendengarkan dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka mendengar ada orang gagah yang terang-terangan berani mencela keluarga Pulau Es!
"Bagaimana dengan keluarga Istana Gurun Pasir?" Bi Lan bertanya, suaranya menantang, ingin melihat apakah pejuang itu berani mencela keluarga kedua gurunya.
"Hemmm, tidak banyak bedanya. Bukankah putera tunggal mereka, pendekar Kao Cin Liong, pernah menjadi seorang panglima kerajaan Mancu?"
"Akan tetapi sekarang dia sudah mengundurkan diri!" Bi Lan membantah.
Lie Tek San mengangguk-angguk dan tersenyum. "Maaf, lihiap, bukan maksudku untuk secara membabi-buta mencela para pendekar. Mereka adalah orang-orang sakti yang mengagumkan. Akan tetapi sayang bahwa mereka itu hanya tertarik oleh urusan pribadi. Kalau saja orang-orang sakti seperti mereka itu memikirkan nasib rakyat dan bersama-sama maju menentang penjajah, tentu pemerintah penjajah akan segera dapat dihancurkan dan rakyat kita terbebas dari pada cengkeramannya! Memang benar bahwa akhirnya pendekar Kao Cin Liong mengundurkan diri, akan tetapi kapankah keluarga itu menentang penjajah? Tidak pernah! Bahkan
mereka itu, para pendekar yang gagah perkasa itu, baru-baru ini melakukan suatu kesalahan besar sekali ketika mereka membasmi kaki tangan pembesar Hou Seng!"
"Ahhh....!?!" Sim Houw dan Bi Lan terkejut dan berbareng mereka mengeluarkan seruan kaget sambil menatap wajah pejuang itu. Adapun para pimpinan suku Bangsa Hui sejak tadi hanya mendengarkan saja, kadang-kadang mengangguk-angguk membenarkan ucapan Lie Tek San. "Kebetulan sekali kami berdua juga membantu para pendekar membasmi kaki tangan Hou Seng yang amat jahat itu! Kenapa perbuatan itu dianggap suatu kesalahan besar?"
Kembali pejuang itu menarik napas panjang. Mencela para pendekar bukan merupakan tugas yang menyenangkan, akan tetapi harus dia lakukan untuk membangkitkan semangat mereka yang dianggapnya melempem. "Dipandang secara umum, memang perbuatan menentang dan membasmi kaki tangan Hou Seng itu benar dan gagah, akan tetapi kalau dikaitkan dengan kepentingan perjuangan rakyat yang hendak membebaskan diri dari cengkeraman penjajah, maka perbuatan para pendekar itu sungguh merupakan suatu kesalahan besar yang amat merugikan perjuangan."
"Eh, bagaimana mungkin bisa demikian?" Bi Lan penasaran.
"Lihiap, kami sudah menyelidiki keadaan Hou Seng. Dia seorang pembesar yang korup dan berambisi, dia memelihara jagoan-jagoan yang terdiri dari datuk-datuk sesat yang lihai. Dia meryuruh jagoan-jagoannya untuk menculik dan membunuh para pembesar yang menentangnya. Semua perbuatannya itu sungguh amat menguntungkan perjuangan rakyat. Bukankah dengan demikian, kedudukan kerajaan Mancu menjadi semakin lemah? Hou Seng merupakan penyakit yang menggerogoti dari dalam, melemahkan pemerintah penjajah. Biarpun aku pribadi amat membencinya, namun perbuatannya itu justeru menguntungkan kita, merusak pihak lawan. Seyogianya dia itu dibiarkan saja, biar dia merusak kedudukan kerajaan penjajah, biar terjadi saling hantam di kalangan mereka sendiri. Akan tetapi, para pendekar muncul, membasmi kaki tangan Hou Seng, dan keadaan di istana kerajaan menjadi aman dan bersih kembali, yang berarti memperkuat kerajaan dan kami para pejuang yang rugi. Di dalam diri Hou Seng kami seolah menemukan pembantu yang amat berharga. Mengertikah sekarang ji-wi yang gagah?"
Sim Houw dan Bi Lan saling pandang dan memang mereka mulai mengerti. Kiranya perjuangan membutuhkan pemikiran yang mendalam. Perjuangan harus mengesampingkan perasaan dan urusan pribadi dan semua harus ditujukan demi kepentingan perjuangan rakyat itu sendiri. Betapa besar dan mulianya! Memang jauh lebih besar dari pada sikap dan tindakan para pendekar yang hanya memikirkan nasib orang yang dihadapinya dan ditolongnya. Betapa kecil bantuan kepada perorangan ini kalau dibandingkan degan perjuangan
yang mengingat akan nasib rakyat jelata!
Akan tetapi, Sim Houw adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan dalam pemikirannya sudah banyak pula dia membaca  dan merenungkan permasalahan dunia dan kehidupan manusia pada umumya, maka menghadapi perbandingan antara pejuang dan pendekar, dia melihat perbedaan lain yang membuat para pendekar nampak lebih unggul baginya. Diapun melihat betapa Bi Lan amat tertarik dan dia tidak akan merasa heran kalau gadis yang masih muda itu lebih mudah terseret dan terjun dalam perjuangan dan untuk menyadarkan gadis itu, dia harus mengemukakan pendapatnya sekarang juga.
"Akan tetapi maafkan saya, Lie-enghiong. Saya juga melihat kesalahan besar sekali dilakukan orang dalam perjuangan, yang membuat tindakan pejuang-pejuang menjadi tidak murni lagi."
Lie Tek San memandang tajam, akan tetapi mulutnya tersenyum tanda kelapangan hatinya. "Tidak ada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacat, Sim-taihiap. Akan tetapi apakah kesalahan itu?"
"Kalau sebagian besar perbuatan para pendekar menentang kejahatan dan menolong orang-orang lemah tertindas timbul dari dorongan hati pada saat dia melihat ketidakadilan itu, pada saat itu perdekar bertindak memberantas kejahatan tanpa pamrih, sebaliknya tindakan para pejuang merupakan tindakan yang telah direncanakan dan diatur untuk jangka waktu yang lama dan panjang. Dan biasanya, di dalam tindakan berencana ini, terdapat pamrih untuk diri sendiri walaupun nampaknya mereka berjuang
untuk membela rakyat. Bukankah perjuangan itu bermaksud mengalahkan pemerintah penjajah yang lama dan bukankah perjuangan itu bercita-cita untuk menang dan kalau sudah menang, para pejuang tentu saja memperoleh kekuasaan dan kedudukan? Nah biasanya, walaupun ketika pejuang-pejuang itu masih melakukan perjuangan cita-cita mereka murni dan ditujukan untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan, akan tetapi kalau sudah memperoleh kemenangan dan para pejuang itu memperoleh kedudukan dan kekuasaan, mereka menjadi lupa diri. Mereka akan mabok kemenangan, mabok kekuasaan dan hanya menjejali diri sendiri dengan kesenangan yang mereka anggap sebagai hasil dan upah dari perjuangan mereka."
Para pimpinan suku Bangsa Hui atu saling pandang, dan Lie Tek San mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, wajahnya nampak berduka dan khawatir. "Ah, engkau telah membuka dan menelanjangi kekotoran manusia dalam perjuangan. Sim taihiap! Akan tetapi tak dapat disangkal akan kebenaran ucapanmu itu. Memang terdapat perbedaan antara kemenangan pendekar dan kemenangan pejuang. Kemenangan pendekar terhadap musuhnya tidak mendatangkan suatu keuntungan maka tidak akan menyelewengkan hati pendekar itu, dan sebaliknya kemenangan pejuang memang dapat mendatangkan pahala besar yang mudah menyelewengkan hati manusia yang lemah. Akan tetapi, kiranya tidak semua manusia seperti itu. Dan kita akan menjadi manusia yang berbahagia kalau teringat akan kelemahan itu sehingga penyakit itu tidak akan menghinggapi batin kita. Mudah-mudahan saja kita tidak akan seperti mereka yang kelak dimabok oleh kemenangan dan kekuasaan."
Setelah bercakap-cakap dan berjanji kepada Lie Tek San bahwa mereka akan berpikir tentang perjuangan setelah menyelesaikan urusan pribadi mereka, Sim Houw dan Bi Lan meninggalkan perkampungan suku Bangsa Hui dan mendapat petunjuk dari mereka tentang letak Istana Gurun Pasir yang mereka cari.
******
Istana Gurun Pasir terletak di tengah-tengah gurun pasir, di suatu daerah yang aneh karena di tengah-tengah gurun pasir yang luas itu terdapat sebidang tanah yang subur! Istana tua itu terpencil jauh dari pedusunan dan biarpun mereka lihai, Sim Houw dan Bi Lan tentu akan mengalami kesukaran menemukan tempat ini sungguhpun Bi Lan pernah mendapat keterangan yang cukup jelas dari subonya, kalau saja mereka tidak memperoleh petunjuk dari suku Bangsa Hui.
Suami isteri sakti yang tinggal di istana tua dan kuno itu kini sudah menjadi seorang kakek dan nenek yang usianya sudah lanjut. Kakek Kao Kok Cu yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan sebagai Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, kini telah menjadi seorang kakek yang usianya hampir delapanpuluh tahun. Walaupun dia masih nampak gagah dan sehat, namun dia sudah jarang sekali keluar dari istana tua itu, kecuali untuk keluar ke kebun merawat tanaman sayuran sambil menikmati hawa segar dan sinar matahari yang menyehatkan. Isterinya yang dulu merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, kinipun sudah menjadi seorang nenek berusia kurang lebih tujuhpuluh lima tahun.
Mereka berdua hidup di tempat terpencil dan sunyi itu. Masa gemilang kehidupan mereka telah lalu. Dulu mereka adalah sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan disegani kawan ditakuti lawan, akan tetapi kini mereka hanya sepasang kakek dan nenek yang sudah menjauhkan diri dari keramaian dunia, makin hari semakin lemah dan tua dimakan usia dari dalam. Yang menemani mereka hanyalah sepasang suami isteri berusia empatpuluh tahun lebih, dari suku bangsa Mongol peranakan Han, yang menjadi pelayan dan membantu pekerjaan di kebun dan di rumah. Tanah di daerah itu memang subur, bahkan terdapat sumber airnya sehingga kehidupan empat orang ini cukup makan dari tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam sendiri. Untuk keperluan barang lain, mereka dapat memperolehnya dari pedagang-pedagang keliling di balik bukit, atau bertukar barang dengan penghuni dusun di balik bukit.
Agaknya suami isteri tua renta itu memang hanya menanti saat panggilan Tuhan saja dan mereka memilih tempat sunyi ini dari pada kota yang ramai. Berkali-kali putera tunggal mereka, Kao Cin Liong minta agar ayah dan ibu ini suka ikut tinggal bersama keluarganya di kota, namun kakek dan nenek itu tidak mau, sudah terlanjur betah tinggal di tempat yang sunyi itu. Biarpun keduanya sudah tua, untuk menjaga kesehatan, mereka tidak perrah lupa untuk melatih otot-otot tubuh mereka di samping duduk bersamadhi untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan lain di alam baka.
Ketika mereka tiba di puncak bukit dan melihat istana tua itu di kejauhan, di tengah-tengah gurun pasir, mereka memandang kagum bukan main. Seperti dalam dongeng saja. Sebuah istana yang dari jauh nampak indah sekali, berdiri megah di tengah-tengah padang pasir yang luas dan mati. Dan di sekitar istana itu nampak nyata tumbuh-tumbuhan yang segar dan kehijauan. Benar-benar mentakjubkan.
"Mari kita cepat ke sana!" Bi Lan berteriak girang, membayangkan bahwa ia akan segera bertemu dengan kakek dan nenek yang telah menjadi guru-gurunya dan yang telah menyelamatkannya dari maut ketika ia keracunan oleh ilmu-ilmu yang sengaja diajarkan secara keliru dan menyeleweng oleh Bi-kwi, sucinya.
Sim Houw tersenyum, maklum akan ketegangan dan kegembiraan hati gadis itu. Dia sendiri merasa tegang, akan tetapi bukan gembira melainkan khawatir. Istana kuno itu demikian megah dan nama besar suami isteri sakti itu membuat dia merasa seolah-olah kedatangannya akan merupakan gangguan terhadap kehidupan mereka yang tenteram seperti kehidupan sepasang dewa. Dia khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya akan merasa terganggu oleh kunjungannya dan dia merasa
terasing. Namun dia menghibur diri sendiri. Bagaimanapun juga, kunjungannya ini hanya untuk mengantar Bi Lan, dan bukankah Bi Lan merupakan murid dari mereka?
Saking gembiranya dan besar keinginannya untuk segera dapat bertemu dengan suhu dan subonya. Bi Lan mengerahkan tenaganya dan berlari cepat menuju ke istana itu, menuruni bukit. Kedua kakinya bergerak cepat ketika berlari di atas pasir dan Sim Houw mengikutinya sambil tersenyum, terbawa oleh kegembiraan Bi Lan. Sebentar saja Bi Lan sudah tiba di depan istana, di dalam pekarangan depan yang penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna. Seorang laki-laki berbangsa Mongol dengan wajah dingin sedang mencangkul, membuangi rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar bunga-bunga itu.
Laki-laki itu adalah pelayan di istana itu dan dia sama sekali tidak menengok ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pekarangan. Wajahnya tetap dingin seperti arca, sehingga Bi Lan yang tadinya ingin menegurnya dan bertanya, tidak jadi membuka mulut, hanya memandang dengan penuh harapan ke arah pintu depan istana itu yang nampak terbuka sebagian.
Sinar matanya berseri gembira ketika yang diharapkannya muncul. Seorang kakek dan seorang nenek, keduanya sudah sangat tua akan tetapi wajah mereka masih nampak segar dan tubuh mereka masih lurus, muncul dari dalam pintu, melangkah keluar dan berdiri di serambi.
"Suhu! Subo....!" Bi Lan berseru dan cepat ia lari naik ke atas serambi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu. Sim Houw melihat betapa kakek dan nenek itu berdiri tegak dengan sikap agung dan berwibawa, maka dia pun cepat mengikuti Bi Lan dan menjatuhkan diri berlutut pula di depan mereka.
"Suhu dan subo, teecu datang berkunjung," kata Bi Lan dengan suara mengandung kegembiraan dan keharuan. "Suhu dan subo selama ini dalam sehat saja, bukan?"
Kakek dan nenek itu diam saja dan sampai beberapa lamanya mereka hanya mengamati Bi Lan dan Sim Houw dengan penuh perhatian. Akhirnya terdengar nenek Wan Ceng berkata, suaranya lembut akan tetapi dingin dan tidak terkandung kegembiraan seperti yang diharapkan Bi Lan.
"Bi Lan, keluarkan Ban-tok-kiam dan berikan kepadaku."
Diam-diam Bi Lan terkejut bukan main. Dahulu, biasanya sikap subonya terhadap dirinya amat ramah dan manis, bahkan terkandung rasa sayang di dalam kata-katanya kalau bicara kepadanya. Ia masih ingat benar. Akan tetapi kenapa kini di dalam suara subonya terkandung nada yang dingin dan seperti orang marah. Akan tetapi ia tidak membantah.
"Baik, subo." Dikeluarkannya Ban-tok-kiam dari dalam buntalan pakaiannya dan dengan kedua tangan, diserahkannya pedang pusaka itu kepada subonya. Ketika melakukan ini, ia menengadah dan memandang wajah subonya penuh perhatian. Kembali ia terkejut. Wajah subonya itu kelihatan tidak senang! Juga wajah Suhunya yang biasanya penuh kesabaran dan kecerahan agak muram.
Tanpa memandang lagi kepada muridnya, nenek Wan Ceng mencabut Ban-tok-kiam dari sarungnya, lalu mendekatkan pedang itu kepada hidungnya. Ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan galak. "Hemm, Ban-tok-kiam ternoda darah yang masih baru! Can Bi Lan, darah siapa yang menodai Ban-tok-kiam dan kenapa engkau mempergunakannya untuk membunuh orang?"
Gadis itu terkejut dan cepat memberi hormat. "Harap subo sudi mengampuni teecu. Sesungguhnya, belum lama ini teecu mempergunakan Ban-tok-kiam dalam perkelahian. Teecu terpaksa mempergunakannya karena lawan berjumlah banyak dan cukup kuat."
"Hemm, masih ingatkah engkau apa pesanku ketika meminjamkan Ban-tok-kiam kepadamu?" kembali suara nenek itu terdengar melengking tinggi tanda kemarahan hatinya.
"Teecu masih ingat, subo," kata Bi Lan, jantungnya berdebar tegang dan merasa tidak enak, tidak mengira bahwa kunjungannya diterima dengan kemarahan oleh suhu dan subonya, tidak seperti yang dibayangkannya semula, yaitu melihat suhu dan subonya menerimanya dengan gembira. "Subo memesan agar pedang pusaka itu teecu pergunakan untuk menjaga diri dan hanya mempergunakan kalau keadaan terdesak dan teecu berada dalam bahaya."
"Hemm, bagus kalau kau masih ingat. Apakah ketika engkau mempergunakan Ban-tok-kiam baru-baru ini, engkau juga dalam ancaman bahaya?"
Ditanya demikian, Bi Lan menjadi bingung. Sejenak ia melirik ke arah Sim Houw yang juga menundukkan muka dengan hati merasa tidak enak. "Maaf, subo. Teecu tidak terancam bahaya, akan tetapi ada orang lain yang terancam bahaya dan teecu harus menolongnya. Dia dikepung banyak anak buah pasukan yang dipimpin oleh perwira-perwira yang lihai. Akan tetapi teecu berani bersumpah bahwa Ban-tok-kiam tidak teecu pergunakan untuk membunuh, hauya melukai ringan saja...."
"Cukup. Nenek Wan Ceng membentak. "Biar hanya luka sedikit, kalau terkena Ban-tok-kiam, kaukira akan dapat hidup mereka itu tanpa kauberi obat?"
Dengan penuh semangat karena mengharapkan agar sekali ini ia dibenarkan kedua gurunya, Bi Lan berkata, "Dia adalah seorang pendekar perkasa, seorang pejuang yang gagah berani bernama Lie Tek San. Teecu melihat dia dikeroyok di dekat Tembok Besar, maka teecu turun tangan membantunya."
"Lie Tek San pemberontak dari Siauw-lim-pai itu?" tanya Kao Kok Cu.
"Benar, suhu!" kata Bi Lan gembira karena gurunya ternyata mengenal nama besar pejuang itu.
"Hemm, kiranya bocah ini malah sudah membantu pemberontak!" Tiba-tiba nenek Wan Ceng berseru marah, mengejutkan Bi Lan dan Sim Houw. "Dan orang muda ini tentulah yang bernama Sim Houw dan berjuluk Pendekar Suling Naga. Benarkah?"
Sim Houw terkejut dan cepat memberi hormat, lalu memandang wajah nenek itu.
"Benar sekali, locianpwe, saya bernama Sim Houw...."
"Dan berjuluk Pendekar Suling Naga?" nenek itu menyambung.
"Hal itu adalah karena saya suka mempergunakan senjata Pedang Suling Naga, maka orang-orang menyebut saya demikian." Sim Houw mengaku.
"Bi Lan, semenjak kita saling berpisah, kami banyak mendengar hal-hal buruk tentang dirimu! Dan sekarang aku melihat kenyataan sendiri bahwa bukan saja engkau telah meninggalkan kesusilaan, akan tetapi juga engkau telah menggunakan Ban-tok-kiam unntuk membunuh banyak orang, dan engkau bahkan telah menjadi seorang pemberontak."
"Subo....!" Bi Lan berseru kaget.
"Diam!" bentak nenek Wan Ceng, kini tidak lagi menyembunyikan kemarahannya. "Kami dahulu telah keliru sangka terhadap dirimu, sehingga kami bersusah payah menyembuhkan dan mendidikmu. Kiranya engkau tetap menjadi murid yang baik dari Sam Kwi, tindakanmu memang seperti golongan hitam. Engkau membantu sucimu yang jahat itu, bahkan membantunya berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa! Sungguh kami merasa ikut malu bukan main. Nah, katakan, tidak benarkah engkau dan Pendekar Suling Naga ini membantu sucimu yang berjuluk Bi-kwi itu melakukan kejahatan dan melawan keluarga Pulau Es? Jawab!"
"Teecu memang membantu suci Bi-kwi, subo, akan tetapi.... teecu membantunya hanya karena suci kini sudah sadar dan menjadi orang baik. Teecu bukan membantu ia melakukan kejahatan, melainkan melindunginya dari ancaman. Teecu sama sekali tidak menggunakan Ban-tok-kiam untuk kejahatan itu...."
"Hemmm, karena keteledoranmu menjaga Ban-tok-kiam, pedang pusaka ini terjatuh ke tangan Sai-cu Lama sehingga Teng Siang In menjadi korban Ban-tok-kiam! Bi Lan, sungguh aku kecewa dan menyesal sekali telah mengambilmu sebagai murid. Maka, sekarang engkau sudah datang dan membawa Ban-tok-kiam yang sudah ternoda, aku akan mencabut kepandaian yang pernah kuberikan kepadamu. Bersiaplah engkau!"
Nenek itu lalu menggerakkan tangannya untuk menotok ke arah pundak Bi Lan. Totokan itu mengarah jalan darah pusat dekat leher dan kalau terkena tentu gadis itu akan menjadi lumpuh dan kehilangan semua tenaga dalamnya, bahkan mungkin membahayakan keselamatan nyawanya.
"Dukkk....!" Totokan nenek itu, yang tidak berani dielakkan atau ditangkis oleh Bi Lan, kini tertangkis oleh tangan Sim Houw. Dia tadi terkejut sekali dan melupakan segalanya, menangkis totokan maut itu untuk melindungi Bi Lan.
Nenek Wan Ceng melangkah mundur, matanya mencorong ditujukan kepada Sim Houw yang masih berlutut. Tangkisan tadi menyadarkan nenek Wan Ceng betapa kuat tenaga sin-kang yang dipergunakan pemuda itu untuk menangkisnya tadi. Ia menjadi marah, merasa ditantang.
"Sim Houw, Pendekar Suling Naga, berani engkau mencampuri urusan antara aku dan muridku sendiri. Apakah engkau menantangku?"
"Maaf, locianpwe, saya masih belum begitu gila untuk berani menantang locianpwe. Akan tetapi, kalau locianpwe berkeras untuk menghukumnya, biarlah saya saja yang mewakilinya. Hukumlah saya, locianpwe, karena selama ini ia hanya mengikuti jejak saya. Sayalah yang bertanggung jawab, sayalah yang bersalah dan locianpwe boleh menghukum atau membunuh saya, akan tetapi mohon bebaskan Lan-moi."
Sikap dan suara Sim Houw demikian tegas dan mantap sehingga nenek itu terbelalak tidak percaya. "Engkau menyerahkan diri untuk menggantikan Bi Lan, dan engkau tidak akan melawan?" tanyanya heran.
"Saya bersumpah tidak akan melawan. Hukumlah saya sebagai pengganti adik Bi Lan."
"Hemm, kalau begitu agaknya memang benar engkau yang menjadi biang keladinya sehingga murid kami menjadi jahat dan menyeleweng. Nah, terimalah hukumannya!"
Akan tetapi sebelum nenek Wan Ceng melancarkan pukulan yang lebih hebat dari pada tadi, tangannya telah disentuh suaminya. "Perlahan dulu, aku ingin bicara dengannya," kata kakek Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu. Wan Ceng memandang heran. Biasanya, suaminya sudah tidak mau perduli lagi dengan semua urusan dan kalau sekarang dia mencampuri, itu berarti bahwa suaminya sebenarnya merasa sayang kepada Bi Lan, murid mereka yang hanya setahun berguru kepada mereka itu. Maka ia pun melangkah mundur, membiarkan suaminya yang agaknya akan menghadapi sendiri dua orang muda itu.
Kao Kok Cu melangkah perlahan ke depan. "Orang muda, bangkitlah, aku ingin bicara denganmu," katanya lirih, namun suaranya penuh wibawa yang memaksa Sim Houw untuk bangkit dan dengan sopan dia mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Dia merasa kagum dan tunduk melihat seorang kakek yang biarpun lengan kirinya buntung dan pakaiannya sederhana, namun penuh dengan wibawa yang amat kuat ini. Wajah kakek itu nampak bersih dan terang, sepasang matanya seperti mata naga saja, lembut namun mencorong penuh kekuatan.
"Pendekar Suling Naga Sim Houw, apamukah Can Bi Lan ini?"
Ditanya demikian, Sim Houw menjawab dengan sopan, "Bukan apa-apa, locianpwe, hanya teman seperjalanan. Saya mengantarnya untuk mencari Istana Gurun Pasir karena ia hendak mengembalikan Ban-tok-kiam."
"Kalau bukan apa-apa, mengapa engkau hendak berkorban diri, rela dihukum bahkan dibunuh untuk menyelamatkannya?"
Wajah Sim Houw menjadi merah dan beberapa kali dia melirik ke arah Bi Lan yang masih menundukkan mukanya. Menghadapi seorang tokoh seperti Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini, tentu saja dia harus berterus terang. Berbohongpun tidak akan ada gunanya, dan dia berpendapat bahwa sekaranglah saatnya dia berterus terang kepada Bi Lan pula, sebelum terlambat, yaitu sebelum seorang di antara mereka atau keduanya tewas di tangan suami isteri yang sakti ini.
"Locianpwe, terus terang saja, saya rela berkorban nyawa untuk melindunginya karena saya amat mencintanya."
Mendengar ucapan itu, kakek dan nenek itu saling pandang, dan ketika mereka memandang kepada Bi Lan, mereka melihat betapa gadis itu makin menunduk, akan tetapi tetap saja ada dua butir air mata mengalir turun di sepanjang pipi Bi Lan. Gadis itu merasa terharu bukan main mendengarkan pengakuan Sim Houw. Dia memang sudah dibisiki sucinya, Bi-kwi, bahwa Sim Houw  mencintanya, akan tetapi betapapun ia memancing pengakuan Sim Houw, selalu gagal dan orang muda itu tak pernah menyatakan cintanya melalui mulut. Baru sekarang Sim Houw membuat pengakuan, di depan suhu dan subonya, dengan suara lantang. Hal ini mendatangkan kegembiraan, kelegaan akan tetapi juga keharuan hatinya sehingga walaupun ia sudah menundukkan mukanya, ia tidak dapat menahan beberapa butir air mata mengalir turun.
Kakek itu lalu mundur selangkah dan dengan sepasang mata yang mencorong, dia memperhatikan Sim Houw. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa orang muda ini benar-benar "berisi", mudah saja nampak oleh pandang matanya yang tajam dalam sikap dan pandang mata pemuda itu.
"Demi cinta engkau berani melindungi Bi Lan. Aku sudah pernah mendengar akan nama besarmu. Karena itu, ingin aku melihat apakah benar engkau mencintanya, dan sampai di mana pembelaanmu terhadap Bi Lan. Engkau majulah dan lawan aku, baru aku akan mempertimbangkan nanti apakah engkau cukup berharga untuk melindungi Bi Lan. Nah, bersiaplah untuk melayani aku bertanding, orang muda!"
Sim Houw mengerti. Sikap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini tidaklah mengherankan karena banyak tokoh persilatan yang sakti memiliki kelemahan terhadap ilmu silat. Agaknya kakek inipun ingin menguji kepandaiannya, dan kalau memang merasa bahwa dia memiliki kepandaian cukup, kakek itu tentu akan merasa sayang untuk membunuh atau mencabut kepandaiannya dan mungkin sekali mereka akan dapat mengampuni Bi Lan. Jadi nasib Bi Lan ditentukan oleh perlawanannya terhadap kakek sakti itu.
"Baiklah, locianpwe, saya mentaati perintah!" berkata demikian, Sim Houw juga melangkah mundur sampai ke pekarangan yang luas di bawah serambi itu, dan dia sudah mencabut senjatanya, yaitu Liong-siauw-kiam atau Pedang Suling Naga, dipegang dengan tangan kanannya dan dia berdiri dengan sikap hormat menanti lawannya yang melangkah lambat menuruni anak tangga itu ke serambi.
Kini kedua orang itu sudah saling berhadapan, keduanya tidak memasang kuda-kuda, seperti halnya dua orang yang hendak bertanding ilmu silat. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa keduanya bukanlah ahli silat sembarangan dan tidak lagi memerlukan kuda-kuda yang khusus. Setiap posisi merupakan kuda-kuda yang baik bagi mereka, karena dari segala posisi mereka dapat saja melakukan gerakan silat, baik membela diri maupun menyerang.
Sejak tadi, Bi Lan sudah mengangkat muka dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ia tahu benar betapa lihainya kakek berlengan buntung sebelah itu. Bagaimanapun juga, Sim Houw pasti bukan lawannya dan timbul perasaan ngeri dan takut dalam hatinya. Maka, melihat betapa keduanya sudah berdiri dan siap untuk saling serang, tiba-tiba ia mengeluarkan suara tertahan dan iapun meloncat turun dari keadaan berlutut tadi tahu-tahu ia sudah berdiri di antara Sim Houw dan Kao Kok Cu, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya sambil menangis!
"Suhu....ah, suhu.... jangan suhu menyerang Sim-toako. Lebih baik suhu bunuh saja teecu. Dia tentu akan tewas di tangan suhu dan teecu.... teecu tidak mungkin dapat hidup tanpa dia suhu. Teecu.... mencintanya.... ah, teecu mencintanya...." Bi Lan menangis tersedu-sedu di depan kaki kakek itu. Sim Houw berdiri dengan muka pucat dan kedua kakinya menggigil. Benarkah apa yang didengarnya itu? Benarkah itu Bi Lan yang mengaku cinta padanya di depan kakek itu? Tanpa malu-malu menyatakan cinta kepadanya, bahkan menangis karena khawatir dia akan terbunuh dalam pertandingan ini? Ingin dia merangkul Bi Lan, ingin dia menghiburnya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melakukan hal itu di depan kakek dan nenek yang nampaknya masih marah itu.
"Siapa akan membunuh orang? Anak bodoh, minggirlah dan biarkan aku menguji kepandaian Pendekar Suling Naga. Setelah itu, kalian berdua boleh pergi," kata Kao Kok Cu. Mendengar ini, bukan main girangnya hati Bi Lan dan iapun cepat mundur dan berdiri di pinggiran untuk menonton. Ia percaya bahwa suhunya akan memegang teguh janjinya, tidak akan membunuh Sim Houw?
Tanpa disengaja, ia berdiri di dekat Wan Ceng yang juga sudah turun dari serambi, dan melihat subonya, Bi Lan berbisik, "Subo, teecu bersumpah bahwa kami berdua tidak pernah menyeleweng, tidak pernah melakukan kejahatan." Nenek Wan Ceng melirik kepadanya dan menjawab lirih, suaranya masih dingin.
"Hemm, akan tetapi apa yang kami dengar tentang dirimu tidak seperti yang kaukatakan ini, Bi Lan."
"Subo, untuk setiap persoalan, teecu dapat menjawab dan memberi penjelasan. Setidaknya teecu berhak untuk membela diri, Subo, dari segala berita yang dijatuhkan kepada teecu."
"Sudahlah, nanti saja kita bicara lagi," kata nenek itu yang memperhatikan dua orang yang sudah mulai bergerak saling mendekati. Bi Lan memandang ke arah Sim Houw dari Kao Kok Cu yang sudah saling mendekati, Sim Hoaw memegang sulingnya, kakek itu seperti biasa, tidak memegang senjata apapun kecuali kedua ujung lengannya. Melihat betapa gagahnya Sim Houw, dan betapa gurunya itu sudah nampak tua dan lemah, agak berkurang kekhawatiran di hati Bi Lan. Ia tidak khawatir kalau Sim Houw akan melukai gurunya. Ia mengenal benar siapa Sim Houw, tahu benar akan kebaikan hati Sim Houw dan kegagahannya. Jelas bahwa pendekar itu tidak akan mau melukai kakek yang tua renta itu.
"Engkau mulailah, orang muda!" kata Kao Kok Cu. Tadinya Sim Houw merasa sungkan untuk mendahului, akan tetapi mendengar ucapan kakek itu yang dianggapnya sebagai perintah, diapun lalu menggerakkan sulingnya dan berkata, "Baik, locianpwe, saya mulai menyerang!" Berkata demikian, suling itu berkelebat dan menotok ke arah pundak kiri yang tak berlengan itu!
Kakek itu tersenyum dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan pundaknya. Orang muda ini cerdik sekali, pikirnya, agaknya dapat menduga bahwa justeru lengan baju kiri tanpa isi itulah yang berbahaya, maka dalam serangan pertama itu dia menyerang pundak kiri yang berarti melemahkan bagian yang berbahaya dan kuat! Sambil meloncat ke belakang, kaki kakek itu melayang dengan tendangan yang amat cepat dan tidak terduga datangnya dari samping menyerong ke arah lambung Sim Houw. Namun
pemuda ini sudah dapat mengelak dengan baik, bahkan sulingnya sudah berkelebat lagi menotok ke arah lutut dari kaki yang menendang. Kao Kak Cu sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menampar dengan amat dahsyatnya dari atas, mengarah ubun-ubun kepala Sim Houw dan hampir berbareng, ujung lengan baju kiri menyambar dari bawah, menotok ke arah ulu hati pemuda itu dengan kecepatan luar biasa.
Sim Houw terkejut, akan tetapi dia tidak menjadi gugup. Sudah diduganya bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat lihai, maka sejak tadipun dia sudah tidak berani memandang ringan, selalu waspada dan siap siaga setiap urat syarafnya menghadapi serangan yang aneh dan hebat.
"Takkkk....!" Sulingnya menangkis tangan yang menampar dari atas, sedangkan totakan ujung lengan baju kiri itupun disampoknya dengan tangan kirinya sambil memutar tubuh. Kini sulingnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan bunyi menderu lalu melengking seperti ditiup, mendatangkan angin keras dan hawa yang panas. Sim Houw mulai mengeluarkan kepandaiannya, memainkan sulingnya dengan ilmu gabungan dari Koai-liong-kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas). Kedua ilmu ini telah digabung dan menjadi ilmu yang dinamakan Liong-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) dan cocok sekali dimainkan dengan pedang suling naga itu sebagai pengganti sepasang senjata yang sudah dikembalikannya kepada keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang pusaka Koai-liong-kiam.
"Bagus....!" Nenek Wan Ceng sampai memuji dan memandang kagum sekali ketika ia melihat sinar bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk di sekeliling tubuh suaminya. Belum pernah ia melihat ilmu pedang sehebat itu, apa lagi ditambah dengan suara melengking seolah-olah ada orang yang sedang meniup suling dengan amat pandai dan merdunya.
Juga kakek Kao Kok Cu merasa kagum bukan main. Orang ini masih muda, akan tetapi telah menguasai ilmu yang demikian tingginya! Demikian hebatnya ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu. Suaranya merupakan serangan tenaga khi-kang melalui suara, menggetarkan jantung dan membuyarkan pencurahan perhatian lawan, anginnya juga mengandung hawa panas yang dahsyat dan dapat membingungkan lawan, sedangkan suling aneh itu dapat dipergunakan untuk menotok, akan tetapi juga membacok dan menusuk seperti pedang. Di tangan pemuda itu, suling itu bergerak dengan gulungan sinar seperti seekor naga bermain-main di angkasa. Kakek itu segera terdesak oleh sinar bergulung-gulung itu dan hanya karena dia te lah memiliki ilmu yang matang dan mendarah daging maka dia dapat mengenal atau menangkis dengan tepat pada saat terancam bahaya. Beberapa kali usahanya untuk melilit pedang atau suling itu dengan ujung lengan baju kiri tak pernah berhasil karena begitu terlilit begitu pula terlepas seolah-olah benda berupa suling atau pedang itu licin seperti tubuh ular. Karena terdesak, kakek itu lalu merobah gerakannya dan kini dia mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh, yaitu Sin-liong Ciang�hoat (Ilmu Tangan Naga Sakti).
Barulah keadaan mereka seimbang. Sim Houw terkejut bukan main ketika melihat kakek buntung itu memainkan ilmu silat yang luar biasa kuatnya. Dia merasa seperti menghadapi tembok benteng baja yang amat kuat, sukar ditembus oleh sinar senjatanya, bahkan setiap kali sulingnya bertemu dengan lengan atau lengan baju kiri, tangannya terasa panas dan lengannya tergetar. Bergidik dia membayangkan ada kekuatan sin-kang sehebat itu. Setelah lewat limapuluh jurus, tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba tubuhnya seperti rebah memanjang, seperti seekor naga saja, dan begitu bergerak, tangan kanannya mengeluarkan angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Sim Houw berusaha mempertahankan dengan tangkisan putaran sulingnya, namun tenaga itu mendorong terlampau dahsyat. Itulah ilmu sakti Sin-liong-hok-te yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh seorang yang berlengan sebelah! Sim Houw yang mempertahankan diri, tetap saja terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung! Kalau kakek itu berniat jahat dan mendesak, agaknya sukar baginya untuk menyelamatkan diri. Dengan demikian, jelaslah bahwa dengan ilmu terakhir itu, kakek Kao Kok Cu masih menang satu dua tingkat dibandingkan Sim Houw yang kalah tenaga dalam dan kalah pengalaman.
"Orang muda, engkau hebat dan tidak mengecewakan berjuluk Pendekar Suling Naga!" kata kakek Kao Kok Cu sambil melangkah mundur tiga langkah, berarti dia mengakhiri pertandingan itu.
Bukan main girang dan lega rasa hati Sim Houw. Diapun cepat menyimpan suling, menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Terima kasih banyak saya haturkan atas kemurahan hati locianpwe yang telah memberi petunjuk kepada saya."
Kakek itu menarik napas panjang dan menoleh kepada isterinya yang juga memandang kepadanya dan mengangguk. Tanpa kata, suami isteri yang sudah saling mengenal lahir batin ini bermufakat bahwa seorang pemuda yang berilmu demikian tinggi dengan sikap demikian rendah hati seperti Sim Houw, agaknya sukar dipercaya kalau sampai melakukan penyelewengan dan kejahatan!
Bi Lan juga sudah mendekati Sim Houw dan berlutut di sebelah pemuda itu, hatinya lega dan girang bukan main. "Suhu, terima kasih bahwa suhu tidak melukai Sim-toako."
Kakek itu kini tersenyum dan kembali menarik napas. "Siancai.....! Semoga Tuhan akan memberkahi kalian dalam cinta kasih kalian. Mari kita masuk ke dalam dan bicara di dalam. Agaknya banyak hal-hal yang perlu dibicarakan dan dibikin terang."
"Benar," kata Wan Ceng. "Akupun mulai ragu-ragu apakah benar Bi Lan telah melakukan penyelewengan yang mengecewakan hatiku."
Sim Houw merasa girang sekali, menghaturkan terima kasih dan bangkit berdiri bersama-sama Bi Lan. Ketika bangkit, tanpa disengaja, tangan kiri Bi Lan menyentuh tangan kanan Sim Houw dan otomatis kedua tangan itu saling genggam dan mereka berdua mengikuti kakek dan nenek itu masuk ke dalam istana dengan saling berpegang dan bergandeng tangan. Beberapa kali mereka menoleh saling pandang yang memancing senyum penuh bahagia di kedua mulut mereka.
Mereka dibawa masuk oleh kedua orang tua itu ke dalam ruangan yang luas dan indah walaupun perabot di dalam ruangan itu sederhana. Di sudut terdapat rak senjata dan sebuah almari penuh dengan buku-buku dan di tengah-tengah ruangan terdapat meja kursi terukir dari kayu hitam yang kuno. Mereka berempat duduk di sekeliling meja itulah dan Bi Lan merasa betapa tubuhnya ditelan oleh kursi yang besar dan cekung itu. Ia merasa dirinya kecil lahir batin di tempat yang megah namun kuno ini, apa lagi di depan suhu dan subonya yang baru saja tadi marah kepadanya, bahkan kini agaknya hendak minta keterangan secara serius darinya.
Tak lama setelah mereka duduk, muncul seorang wanita Mongol yang memasuki ruangan itu menghidangkan minuman teh. Setelah wanita yang mukanya dingin seperti arca, persis sikap pria Mongol yang tadi bekerja di pekarangan, nenek Wan Ceng yang merasa penasaran itu mulai dengan pertanyaannya.
"Bi Lan, terus terang saja, kami berdua yang tinggal di tempat sunyi ini baru saja menerima kunjungan dari selatan dan kami mendengar banyak hal yang membuat kami ikut merasa prihatin, terutama ketika kami mendengar tentang sepak terjangmu yang membuat kepalaku pening dan hatiku kecewa, juga menyesal sekali."
Bi Lan terseryum memandang wajah subonya. Betapa ia merindukan wajah ini, akan tetapi sekarang ia harus bersikap sungguh-sungguh. "Subo, kenapa subo belum apa-apa sudah mempercayai berita tentang diri teecu? Seperti teecu katakan tadi, setiap persoalan tentu teecu dapat menjawab dan memberi penjelasan sampai subo dan suhu mengerti benar bahwa semua akibat itu ada sebabnya dan sebabnya bukanlah karena penyelewengan atau kejahatan teecu. Teecu amat menghormat dan menyayang suhu dan subo, mana mungkin berani melakukan perbuatan jahat? Dan andaikata teecu menyeleweng dan berbuat jahat, mana teecu berani datang menghadap ke sini?"
Kakek Kao Kok Cu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Memang benar juga pendapat Bi Lan ini...."
"Sekarang, jawablah pertanyaanku dengan keterangan yang jujur dan sejelasnya, baru aku akan menilai apakah engkau bersalah atau tidak," kata nenek Wan Ceng. "Aku mendengar bahwa Ban-tok-kiam dipergunakan orang untuk membunuh Teng Siang In, isteri mendiang paman Suma Kian Bu. Bagaimana bisa demikian kalau Ban-tok-kiam kuserahkan kepadamu?"
Bi Lan mengangguk. "Teecu tidak berdaya ketika Sai-cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan teecu, subo. Sai-cu Lama, amat lihai dan kepandaiannya terlampau tinggi bagi teecu sehingga pedang pusaka itu dapat dirampasnya dan kemudian dia pergunakan untuk membunuh locianpwe itu. Akan tetapi ketika para pendekar menghadapi komplotan Sai-cu Lama, teecu dan Sim-toako membantu dan kami berhasil merampas kembali Ban-tok-kiam. Teecu mengaku salah bahwa Ban-tok-kiam sampai dirampas orang, akan tetapi hal itu terjadi bukan karena kelengahan, melainkan karena kebodohan dan kelemahan teecu yang tidak mampu menandingi Sai-cu Lama."
Diam-diam Bi Lan merasa heran mendengar subonya menyebut paman kepada tokoh keluarga Pulau Es itu. Ia tidak tahu bahwa nenek Wan Ceng adalah cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, sehingga biarpun usianya lebih tua dari pada mendiang Suma Kian Bu, ia harus menyebut pendekar itu paman.
"Sekarang jelaskan bagaimana engkau membela dan melindungi sucimu yang bernama Bi-kwi, yang amat jahat itu. Bukankah ia dahulu bahkan telah menyelewengkan pelajaran silat padamu sehingga engkau hampir menjadi gila dan terancam maut? Aku mendengar bahwa Bi-kwi itu amat jahat, lebih jahat dari pada Sam Kwi, akan tetapi mengapa engkau malah membelanya, bahkan engkau telah membantunya ketika iblis betina itu berkelahi melawan Suma Ciang Bun dan muridnya, berarti engkau membantu seorang jahat melawan keluarga para pendekar Pulau Es. Nah, apa alasanmu?"
"Subo, biarpun teecu pernah menjadi murid Sam Kwi dari sejak kecil dididik oleh datuk-datuk sesat, namun semenjak menjadi murid suhu dan subo, teecu sudah dapat membedakan antara baik dan buruk. Apa lagi setelah teecu bertemu dengan Sim-toako yang selalu membimbing teecu, teecu tidak pernah membantu kejahatan. Biarpun suci sendiri, karena ia jahat, pernah menjadi lawan dan musuh teecu. Kalau teecu membela dan melindungi, adalah karena suci Bi-kwi telah insyaf dan mengubah kehidupannya menjadi orang baik-baik. Ia diserang oleh Hong Beng dan gurunya karena salah paham saja. Mungkin mereka itu mengira bahwa suci masih tetap jahat, akan tetapi teecu sendiri menyaksikan bahwa suci sudah bertaubat. Kalau orang sudah menyesali kesalahannya dan ingin bertaubat, apakah kita harus merdesaknya sampai ia tidak dapat memperbaiki kesalahannya lagi, subo?" Bi Lan lalu menceritakan tentang keadaan Bi-kwi, betapa Bi-kwi telah bertemu dengan seorang pemuda tani yang dicintanya dan cinta itulah yang telah mengubah watak dan sifat kehidupan Bi-kwi. Demi menyelamatkan kekasihnya itulah dia diperas dan dipaksa oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, tokoh tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sehingga Bi-kwi membantu mereka menghadapi Suma Ciang Bun. Semua ini ia ceritakan dengan sejelasnya, seperti yang pernah ia dengar dari Bi-kwi sendiri.
"Demikianlah, subo. Ketika teecu melindunginya, ia berada dalam keadaan yang sama sekali tidak bersalah dan tidak melakukan kejahatan, dan teecu hanya membela kebenaran, dari manapun datangnya tanpa pilih bulu. Kalau hal itu subo anggap bersalah dan hendak menghukum teecu, maka teecu hanya dapat menyerahkan diri." Bi Lan menutup keterangannya
Nenek Wan Ceng saling pandang dengan suaminya. Diam-diam mereka terharu juga mendengar penuturan Bi Lan tentang Bi-kwi. Suami isteri ini tahu apa artinya cinta dan mereka percaya bahwa cinta kasih akan mampu merobah watak seorang manusia, dari keadaan yang jahat menjadi baik, cinta kasih mampu menghidupkan kembali kepekaan hati yang tadinya beku dan mati. Mereka mendengar semua tentang Bi Lan dan Ban-tok-kiam dari kunjungan dua orang secara berturut-turut. Pertama kali datang Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, mengunjungi mereka dan dari suami isteri inilah mereka mendengar tentang kematian Teng Siang In. yang menjadi korban pedang pusaka Ban-tok-kiam, dan betapa puteri tunggal suami isteri keluarga Pulau Es diculik pula oleh orang yang menggunakan Ban-tok-kiam membunuh Teng Siang In. Kemudian, datang pula. Gu Hong Beng mengunjungi mereka dan pemuda murid Suma Ciang Bun ini mengabarkan tentang diculiknya cucu mereka, Kao Hong Li, oleh seorang yang bernama Ang I Lama juga dari Hong Beng mereka mendengar tentang penyelewengan murid mereka, yaitu Can Bi Lan. Hong Beng yang penuh cemburu dan iri hati itu menceritakan kepada suami isteri tua itu betapa Bi Lan melakukan penyelewengan bukan saja main gila dengan Pendekar Suling Naga, bahkan Bi Lan dan Sim Houw telah membantu iblis betina Bi-kwi, dan menentang keluarga Pulau Es!
Kini, setelah mendengar penuturan Bi Lan, suami isteri ini dapat menarik kesimpulan bahwa memang terjadi salah paham antara Bi Lan berdua Sim Houw dengan Suma Ciang Bun dan muridnya, Gu Hong Beng.
Setelah saling pandang dan memberi persetujuan dengan isyarat mata, Wan Ceng lalu mewakili suaminya berkata kepada Bi Lan. "Sekarang kami, mengerti setelah mendengar keteranganmu, Bi Lan. Akan tetapi, kalian sudah terlanjur mendatangkann kesan buruk kepada keluarga Pulau Es. Karena itu engkau harus menebusnya dengan perbuatan yang akan dapat membersihkan namamu, Bi Lan. Ketahuilah bahwa cucu kami, puteri tunggal anak kami Kao Cin Liong, yang bernama Kao Hong Li, telah diculik orang yang mengaku bernama Ang I Lama. Kauwakililah kami, karena kami sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jauh. Wakili kami dan
cari Hong Li sampai dapat! Kalau engkau berhasil mengembalikan Hong Li kepada orang tuanya, maka baru aku mau mengaku engkau sebagai muridku lagi."
Bi Lan terkejut. Tugas yang amat berat karena ia tidak tahu ke mana anak itu dibawa pergi penculiknya, dan iapun tidak mengenal siapa Ang I Lama. Akan tetapi, Sim Houw yang berada di dekatnya menyentuh lengannya dan berbisik, "Terimalah saja tugas itu, Lan-moi, kita cari bersama."
Mendengar bisikan ini, Bi Lan merasa besar hatinya dan dengan penuh semangat iapun berkata, "Baiklah, subo dan suhu, teecu akan mencari, sampai dapat menemukan kembali adik Kao Hong Li. Teecu baru akan datang menghadap suhu dan subo kalau teecu sudah berhasil dengan tugas itu dan teecu mahon doa restu dari suhu berdua subo.
"Baiklah, Bi Lan. Kami membekali doa restu dan mudah-mudahan engkau akan berhasil. Sekarang berangkatlah kalian," kata nenek Wan Ceng.
Akan tetapi Bi Lan tidak bangkit, bahkan memberi hormat sambil berlutut, diikuti pula oleh Sim Houw yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu. Dua orang kakek dan nenek itu bangkit berdiri, mengira bahwa dua orang muda itu berlutut untuk memberi hormat dan berpamit, akan tetapi ternyata tidak demikian karena Bi Lan berkata dengan suara penuh permohonan.
"Ada satu permohonan dari teecu kepada suhu dan subo, harap saja suhu dan subo dapat mengabulkan permohonan teecu ini."
Wan Ceng tersenyum. "Katakanlah."
"Seperti suhu dan subo mengetahui, teecu hidup sebatangkara, tidak ada orang tua, tanpa keluarga. Ketiga suhu Sam Kwi telah tewas dan bagi teecu, suhu dan subo merupakan pengganti orang tua. Demikian pula dengan Sim-toako yang sudah yatim piatu dan tidak ada keluarga. Oleh karena itu, kami berdua mohon agar suhu dan subo yang sudi menjadi wali kami dan mengesahkan dan merestui perjodohan antara kami."
Diam-diam Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Gadis ini selain mencintanya juga bersungguh-sungguh dan demikian tabah membicarakan persoalan jodoh itu tanpa lebih dulu bertanya kepadanya. Akan tetapi, apa yang diucapkan gadis itu memang amat disetujuinya, bahkan dia akan merasa berbahagia, kalau kelak kakek dan nenek sakti itu mau mengesyahkan perjodohan antara mereka!
Kakek Kao Kok Cu dan Wan Ceng saling pandang dan kakek itu mengangguk sambil tersenyum. Dia dapat melihat cinta kasih berpancar dari wajah dan sinar mata kedua orang muda itu, maka tidak ada lagi halangan bagi mereka untuk berjodoh, apa lagi karena tidak ada keluarga mereka yang dapat dimintai persetujuan. Akan tetapi Wan Ceng yang cerdik segera menjawab.
"Tentu saja kami berdua suka sekali menjadi wali dan mengesahkan perjodohan kalian yang saling mencinta. Akan tetapi, ingat, kalian mempunyai tugas penting, oleh karena itu, laksanakan dulu tugas itu, baru kalian datang ke sini dan kami akan mengabulkan permintaan kalian."
Bukan main girangnya hati Bi Lan. Berkali-kali ia memberi hormat dan menghaturkan terima kasih. Juga Sim Houw menghaturkan terima kasih kepada kedua orang tua itu. Akan tetapi ketika mereka hendak berpamit, tiba-tiba terdengar suara nyaring di luar istana itu.
"Kao Kok Cu dan Wan Ceng....! Apakah kalian masih hidup?"
Tentu saja empat orang itu merasa terkejut sekali mendengar suara yang mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat itu, sehingga suara itu memasuki istana dan sampai ke ruangan itu membawa gema yang kuat. Wan Ceng mengerutkan alisnya. Sukar menduga siapa adanya orang yang berani menyebut namanya dan nama suaminya begitu saja itu! Hatinya merasa tidak senang, maka ia mendahului suaminya dan berkata kepada Bi Lan dan Sim Houw,. "Kalian keluarlah dan lihat siapa orang kasar yang datang itu!"
Nenek ini dahulu ketika muda memang berwatak keras. Mendengar ada orang berteriak-teriak di luar memanggil namanya dan nama suaminya ia merasa tidak senang dan merasa tidak perlu keluar sendiri menyambut, maka ia wakilkan kepada Bi Lan dan Sim Houw. Ia tahu bahwa muridnya itu, terutama sekali Sim Houw, telah memiliki kepandaian yang amat lihai sehingga patut mewakilinya
menghadapi orang yang bagaimanapun juga.
Bi Lan dan Sim Houw cepat berlari keluar dan ketika mereka tiba di luar istana, keduanya tersenyum lebar dengan hati lega ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang hwesio tua renta yang mereka kenal baik. Orang itu bukan lain adalah Tiong Khi Hwesio! Seperti kita ketahui, Tiong Khi Hwesio memimpin para pendekar muda menghadapi komplotan Sai-cu Lama, maka tentu saja Bi Lan dan Sim Houw mengenal baik pendeta ini.
Sebaliknya, Tiong Khi Hwesio juga mengenal dua orang muda itu. Dia tersenyum ramah dan menudingkan telunjuknya kearah mereka, "Eh-eh, kiranya kalian berdua juga berada di sini?"
Sim Houw cepat menghampiri hwesio itu dan memberi hormat, sementara itu Bi Lan sambil tertawa cepat masuk kembali ke dalam istana menemui suhu dan subonya. Dari luar ruangan ia sudah berteriak, "Suhu....! Subo....! Yang datang adalah locianpwe Tiong Khi Hwesio!"
Akan tetapi kakek dan nenek itu tidak mengenal nama Tiong Khi Hwesio dan mereka saling pandang dengan heran. Hanya saja, mendengar bahwa yang datang adalah seorang hwesio, mereka lalu melangkah keluar bersama Bi Lan untuk melihat siapa hwesio yang menyebut nama mereka begitu saja.
Ketika Kao Kok Cu dan Wan Ceng tiba di luar istana, mereka berdua memandang kepada hwesio tua yang berkepala gundul dan berjubah kuning itu. Mereka termangu, tidak mengenal hwesio tua itu. Hwesio yang bermulut sinis, senyum yang mengarah ejekan, sepasang mata yang tajam, mencorong dan tubuh yang masih nampak tegap dan membayangkan kekuatan.
Di lain pihak, Tiong Khi Hwesio memandang kepada kakek dan nenek itu, kemudian melangkah lebar menghampiri, wajahnya berseri dan terutama sekali matanya ditujukan kepada nenek Wan Ceng, kemudian dia merangkap kedua tangan ke depan dada seperti orang berdoa.
"Omitohud....! Terima kasih kepada Sang Buddha bahwa hari ini pinceng masih berkesempatan untuk bertemu dengan Wan Ceng! Ahhh, Wan Ceng, engkau kini telah menjadi seorang nenek yang tua, namun masih nampak kelincahanmu dan kegagahanmu! Suara itu menggetar penuh perasaan. Betapa tidak akan terharu rasa hati kakek hwesio ini bertemu dengan wanita yang di waktu mudanya dulu pernah menggetarkan kalbunya, seorang wanita yang sebenarnya adalah saudaranya sendiri, seayah berlainan ibu!
Wan Ceng terkejut sekali dan melangkah maju mendekat, memandang tajam penuh perhatian dan penuh selidik. "Siapakah engkau....? Aku.... aku tidak mengenal hwesio seperti engkau ini...." tanyanya ragu.
"Hemmm, Si Jari Maut telah menjadi seorang hwesio, sungguh mengagumkan sekali!" Tiba-tiba terdengar suara Kao Kok Cu berkata dan Wan Ceng memandang kepada hwesio itu dengan mata terbelalak.
"Kau.... kau.... Wan Tek Hoat....?" Akhirnya ia berseru, suaranya gemetar dan tiba-tiba saja kedua matanya menjadi basah.
Hwesio tua itu mengejap-ngejapkan matanya yang juga menjadi basah dan dia mengangguk-angguk. "Bertahun-tahun aku sudah menjadi hwesio dan nama pinceng adalah Tiong Khi Hwesio."
"Aihh.... Tek Hoat.... Tek Hoat.... siapa dapat mengira bahwa engkau telah menjadi seorang pendeta? Mengapa pula demikian? Dan di mana adanya adik Syanti Dewi?"
Tiba-tiba sepasang mata hwesio itu yang tadinya berseri, kini menjadi muram dan sejenak dia menundukkan kepalanya dan mengerahkan tenaga untuk menahan rasa nyeri yang tiba-tiba menusuk jantungnya. Hanya sebentar saja dia terpukul, kemudian dia sudah dapat mengangkat mukanya lagi memandang kepada nenek Wan Ceng.
"Sudah beberapa tahun lamanya ia meninggalkan aku, meninggalkan dunia, dan sejak itu pula pinceng menjadi hwesio...."
Kalimat ini cukup bagi Wan Ceng. Ia dapat membayangkan apa yang terjadi dan hal ini memancing datangnya air mata yang lebih banyak lagi. Ia dapat mengerti bahwa tentu Wan Tek Hoat yang amat mencinta isterinya, yaitu Syanti Dewi, menjadi patah semangat dan masuk menjadi hwesio untuk menghibur dirinya.
"Tek Hoat, kasihan kau....! Syanti Dewi, kenapa engkau begitu kejam meninggalkan dia?"
Suasana menjadi hening dan mengharukan, akan tetapi hanya sebentar karena suara ketawa kakek Kao Kok Cu memecahkan keheningan dan membuyarkan keharuan. "Ha-ha-ha, kalian seperti dua orang anak kecil saja yang cengeng! Tiong Khi Hwesio, marilah masuk, kita bicara di dalam. Kunjunganmu sekali ini pastilah membawa berita yang amat penting. Sim Houw dan Bi Lan, kalianpun masuk kembali, kita semua bicara di dalam."
Ucapan dan sikap Kao Kok Cu ini menolong Tiong Khi Hwesio dan Wan Ceng yang tadi dilanda keharuan. Hwesio itu tertawa dan Wan Ceng juga cepat menghapus air matanya dan sikap mereka telah menjadi biasa kembali ketika mereka melangkah ke dalam istana tua itu.
Setelah mereka semua duduk mengelilingi meja besar di ruangan di mana tadi Sim Houw dan Bi Lan bercakap-cakap dengan suami-isteri tua itu, Kao Kok Cu segera bertanya, "Tiong Khi Hwesio, banyak yang dapat kita bicarakan dalam pertemuan ini karena sudah puluhan tahun kita saling berpisah. Akan tetapi kami kira yang terpenting untuk didahulukan adalah urusan yang jauh-jauh kaubawa ke sini. Ada kepentingan apakah yang mendorongmu datang dari tem-pat yang demikian jauhnya? Engkau datang dari Bhutan, bukan?"
Tiong Khi Hwesio menggeleng kepala. "Tidak di Bhutan lagi. Sudah bertahun-tahun pinceng bertapa di Pegunungan Himalaya, dekat Tibet. Dan memang ada hal yang amat penting yang pinceng bawa dari Tibet. Pinceng mengunjungi kalian sebagai utusan dari para pendeta Lama di Tibet." Hwesio itu berhenti dan memandang kepada kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian. Ada bermacam perasaan terkandung dalam pandang mata itu, keraguan, juga kekhawatiran dan perasaan iba.
"Para pendeta Lama di Tibet?" Kao Kok Cu bertanya heran. Kurasa tidak pernah ada hubungan antara kami dengan mereka!"
"Heran!" kata pula nenek Wan Ceng "Aku bahkan tidak pernah bertemu dengan pendeta-pendeta Lama di Tibet. Kepentingan apakah yang membuat mereka menyuruh seorang seperti engkau untuk datang ke tempat sejauh ini, Tek Hoat?" Nenek Wan Ceng merasa kikuk dan enggan untuk menyebut saudaranya ini dengan sebutannya yang baru, yaitu Tiong Khi Hwesio!
Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang. "Sebuah tugas yang sungguh tidak enak bagi pinceng, akan tetapi karena pinceng juga ingin sekali berjumpa dengan kalian, maka tugas ini pinceng lakukan. Masalahnya bukan lain adalah mengenai putera kalian, yaitu Kao Cin Liong...."
"Ada apa dengan dia?" Nenek Wan Ceng bertanya dengan suara penuh kegelisahan.
"Dia bersama isterinya telah membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak berdosa, hanya karena mereka menyangka bahwa Lama itu tentu seorang jahat karena menjadi sute dari mendiang Sai-cu Lama."
"Ahh! Apakah pendeta itu bernama Ang I Lama?" Wan Ceng bertanya cepat.
"Eh, kiranya engkau sudah tahu?" Kini Tiong Khi Hwesio yang memandang heran.
"Tentu saja aku tahu!" Wan Ceng berkata dan suaranya terdengar marah. "Dan jangan katakan bahwa orang yang bernama Ang I Lama itu demikian suci dan tidak berdosa seperti yang kaukira, Tek Hoat. Aku tahu mengapa anakku dan mantuku membunuhnya. Dia telah menculik Kao Hong Li, cucuku! Tentu anak dan mantuku melakukan pengejaran ke sana dan dalam perkelahian memperebutkan Hong Li, mereka telah membunuhnya!"
"Omitohud....!" Tiong Khi Hwesio berseru dengan kaget sekali. "Akan tetapi, pinceng sudah lama mengenal Ang I Lama, juga para pendeta Lama menanggung bahwa dia adalah seorang pertapa yang sudah bertahun tidak keluar dari guhanya, dan tidak mungkin sama sekali kalau dia melakukan penculikan terhadap cucu kalian!"
"Jangan katakan tidak mungkin, Tiong Khi Hwesio," kata Kao Kok Cu dengan sikap dan suara tenang. "Ingat bahwa Ang I Lama adalah sute dari Sai-cu Lama yang baru saja dibasmi komplotannya, bahkan engkau yang memimpin para pendekar muda membasminya. Bukan tidak mungkin dia mendendam dan melakukan penculikan itu, karena anakku juga merupakan seorang di antara mereka yang ikut menentang Sai-cu Lama."
"Wan Tek Hoat!" kata nenek Wan Ceng. "Engkau sudah lama mengenal Ang I Lama, akan tetapi aku telah mengenal Kao Cin Liong sejak dia kulahirkan! Dia dan isterinya tidak mungkin membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak berdosa! Apakah engkau lebih percaya kepada pendeta Lama itu dari pada kepada keluarga kami?"
Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Omitohud.... betapa sukarnya urusan ini. Pinceng sendiri tidak tahu harus berpendapat bagaimana. Memang serba salah...."
"Wan Tek Hoat, apakah setelah engkau menjadi hwesio dan menjadi tua bangka, engkau kehilangan semua kecerdikanmu yang dulu kaubanggakan?" Nenek Wan Ceng kini berkata sambil tersenyum mengejek. "Urusan begitu mudah kenapa engkau buat menjadi sukar? Apakah ada yang menyaksikan perkelahian antara anak dan mantuku dengan Ang I Lama yang membuat pendeta Lama itu tewas?"
"Tidak ada. Dua orang pendeta Lama menemukan Ang I Lama dalam keadaan hampir mati dan Ang I Lama hanya meninggalkan pesan dengan menyebut dua nama, yaitu Kao Cin Liong dan isterinya."
"Hemm, dan hal ini kaujadikan pegangan bahwa anak dan mantuku yang membunuh Ang I Lama tanpa dosa?"
"Sebelum terjadi pembunuhan itu, beberapa waktu sebelumnya, anak dan mantumu itu telah mendatangi para pendeta Lama untuk menanyakan di mana adanya Ang I Lama. Anak dan mantumu mencari Ang I Lama dan tak lama kemudian, Ang I Lama tewas dengan meninggalkan pesan nama anak dan mantumu. Bukankah hal itu sudah jelas?"
"Kurang meyakinkan. Aku percaya bahwa anak mantuku membunuh Ang I Lama, akan tetapi jelas bukan membunuh orang tak berdosa, melainkan membunuh penculik cucuku. Apakah hal itu salah? Tentu saja anak dan mantuku membela anak mereka! Dan satu hal lagi menunjukkan kebodohanmu, Wan Tek Hoat. Yang menjadi orang tertuduh adalah anakku dan mantuku, akan tetapi kenapa engkau keluyuran ke sini? Bukankah lebih mudah kalau engkau datangi saja Cin Liong dan menanyakan hal itu? Bukankah engkau sudah
mengenalnya dan sudah tahu pula di mana tempat tinggalnya?"
Menghadapi serangan kata-kata yang marah itu, Tiong Khi Hwesio tersenyum dan dia memandang kepada nenek itu dengan penuh kagum. Sudah tua renta, namun nenek ini mengingatkan dia akan seorang gadis yang lincah, jenaka dan galak, yaitu ketika Wan Ceng masih seorang gadis. Agaknya selama puluhan tahun ini, Wan Ceng masih mempertahankan wataknya yang keras!
"Jangan salah mengerti, Wan Ceng. Para pendeta Lama mengenal baik Kao Cin Liong ketika dia masih menjadi panglima, dan merekapun tahu bahwa dia adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Karena itu, mereka merasa sungkan kepada kalian, dan akupun berpikir bahwa lebih baik kalau urusan ini kusampaikan saja kepada kalian dari pada aku harus menegur sendiri Kao Cin Liong. Lihat, aku jauh-jauh ke sini karena merasa sungkan, juga kangen kepada kalian."
"Memang urusan ini agak ruwet," kata Kao Kok Cu. "Kami dapat menghargai sikapmu dan sikap para pendeta Lama yang masih menghargai kami orang-orang tua. Akan tetapi, kami merasa yakin bahwa andaikata Cin Liong benar membunuh Ang I Lama, tentu hal itu dilakukan karena ada hal yang amat memaksa, dan tentu dengan alasan kuat sekali. Anakku bukanlah pembunuh kejam yang membunuh pendeta yang tanpa dosa. Hal ini hendaknya engkau yakin, Tiong Khi Hwesio. Sekarang, biarlah kubebankan tugas menerangkan perkara ini kepada Bi Lan dan Sim Houw pula. Kalian dengarlah baik-baik." Kakek itu memandang kepada dua orang muda itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan sikap menghormat.
"Kami siap melakukan perintah suhu," kata Bi Lan.
"Kalian berdua sudah mendengar sendiri apa yang dibawa oleh Tiong Khi Hwesio. Tadinya kami mendengar bahwa cucu kami diculik Ang I Lama, dan kini dari Tiong Khi Hwesio kami mendengar bahwa Ang I Lama dibunuh oleh Kao Cin Liong dan isterinya tanpa dosa. Maka, kalau kalian meninggalkan tempat ini untuk mencari dan menemukan kembali Kao Hong Li, kalian kunjungilah rumah Kao Cin Liong di Pao-teng, dan selidiki persoalan ini baik-baik. Temui mereka dan tanyakan apa yang telah terjadi. Sukurlah kalau Hong Li sudah dapat ditemukan oleh orang tuanya, sehingga kalian tidak banyak repot. Kalau belum, cari Hong Li sampai dapat dan juga kami ingin mendengar laporanmu kelak tentang sebab Ang I Lama dibunuh mereka, kalau benar hal itu terjadi. Nah, sekarang berangkatlah kalian!"
Bi Lan dan Sim Houw lalu minta diri dari tiga orang tua sakti itu, dan meninggalkan Istana Gurun Pasir dengan cepat. Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara, keduanya nampak berlari cepat sambil termenung sehingga menjelang malam, pada senja hari, mereka telah berhasil melewati gurun pasir pertama dan tiba di lereng sebuah bukit yang sudah banyak ditumbuhi pohon di samping banyak pula batu-batu besar dan guha-guha lebar. Mereka berhenti di sebuah guha yang besar dan melepaskan buntalan masing-masing, lalu duduk melepaskan lelah.
Sunyi sekali di situ. Lebih sunyi lagi terasa oleh Bi Lan karena sejak meninggalkan Istana Gurun Pasir, temannya seperjalanan itu tidak pernah bicara, hanya nampak berlari cepat di sampingnya seperti orang melamun. Ia melirik ke arah Sim Houw, melihat betapa laki-laki itupun duduk termenung, menundukkan muka dan sukar melihat bagaimana bentuk wajahnya karena cuaca sudah mulai remang-remang. Beberapa kali, seperti juga tadi ketika mereka berdua lari, Bi Lan menggerakkan bibir untuk bicara, namun lehernya seperti tercekik rasanya dan tak sepatahpun kata keluar dari mulutnya. Ia menelan ludah beberapa kali dan memperkuat hatinya, lalu memaksa diri berkata.
"Sim-toako....!" Betapa sukarnya kata itu keluar dari mulutnya sehingga terdengar seperti bisikan saja. Namun jelas nampak olehnya betapa Sim Houw terkejut mendengar suaranya, seolah-olah ia tadi telah menjerit keras, bukan hanya berbisik.
"Lan-moi, ada apakah....?" Dia bertanya, menoleh, bahkan lalu mendekat dengan menggeser duduknya.
Tiba-tiba saja Bi Lan yang sejak tadi merasa tegang dan penuh harapan, merasa seolah-olah meledak dan ledakan itupun menjadi tangis! Segala macam perasaan girang, terharu, bercampur dengan kekhawatiran, harapan dan kekecewaan sejak pemuda itu mengaku cinta kepadanya sampai tadi pemuda itu melakukan perjalanan tanpa bicara sepatahpun kata, tercurah keluar bersama air matanya dan iapun menangis terisak-isak, menyembunyikan mukanya di dalam kedua lengan yang memeluk lutut kaki yang diangkatnya. Tubuhnya terguncang-guncang karena isaknya.
Tentu saja Sim Houw menjadi terkejut bukan main dan tangannya kini sudah menyentuh pundak Bi Lan dan suaranya terdengar penuh perasaan khawatir ketika dia berkata, "Moi-moi, engkau kenapakah? Kenapa engkau menangis, Lan-moi? Apakah yang telah terjadi? Sakitkah enggkau?"
Bi Lan tidak dapat menjawab karena tangisnya membuat ia tersedu-sedu dan sukar untuk dapat mengeluarkan kata-kata. Sim Houw agaknya tahu akan hal ini maka dia tidak mendesak, membiarkan gadis itu menangis sampai segaia yang mengganjal hatinya mencair. Akhirnya tangis itupun mereda dan Bi Lan mulai mengangkat mukanya, menyusuti air matanya dan kadang-kadang ia memandang kepada pemuda itu dengan sepasang mata basah dan merah.
"Bi Lan moi-moi, engkau kenapakah? Sakitkah engkau?" kembali Sim Houw bertanya setelah gadis itu tidak tenggelam ke dalam isak tangisnya lagi.
Bi Lan mengangguk. "Toako, aku memang sakit...." jawabnya dan legalah hatinya bahwa kini, setelah menangis, kata-katanya menjadi lancar.
Sim Houw mengerutkan alisnya dan mencoba untuk memandang dengan penuh perhatian di dalam cuaca remang-remang itu. "Sakit? Sakit apakah, Lan-moi?"
"Sakit.... hati! Hatiku yang sakit."
"Ehhh?" Sim Houw terbelalak heran. "Sakit hati? Bagaimana rasanya?" Dengan sungguh-sungguh dia memperhatikan, mengira bahwa gadis itu menderita semacam penyakit yang tidak dikenalnya.
"Rasanya?" Bi Lan menelan kembali senyumnya karena merasa geli. "Rasanya.... aku ingin marah-marah, ingin mengamuk dan menangis saja."
"Ahhh....?" Sim Houw masih belum mengerti dan menjadi bingung. "Dan kau sudah menangis tadi...."
"Ya, akan tetapi belum marah-marah, masih belum mengamuk."
Kini Sim Houw baru agak mengerti. Kiranya ada sesuatu yang membuat gadis ini merasa mendongkol dan marah, pikirnya. Dan mengertilah dia apa artinya sakit hati tadi, bukan penyakit badan, melainkan penyakit perasaan.
"Akan tetapi, ada.... apakah, moi-moi?"
"Siapa yang tidak sakit hatinya, toako? Sejak meninggalkan istana, engkau diam saja seperti patung, atau seolah-olah menganggap aku bukan manusia lagi melainkan patung hidup yang tak dapat bicara. Kenapa engkau bersikap demikian, mendiamkan aku sampai hampir sehari lamanya? Engkau sungguh kejam!"
Baru Sim Houw mengerti dengan jelas sekarang dan diam-diam hatinya lega, akan tetapi mukanya juga menjadi merah karena dia merasa semakin salah tingkah. Lalu dengan suara lirih dan gemetar dia berkata, "Lan-moi, kau maafkanlah aku, Lan-moi. Sama sekali aku bukan menganggap engkau patung, akan tetapi aku.... ah, terus terang saja, aku.... tidak berani bicara, Lan-moi. Semua yang terjadi di istana itu.... semua bagiku bagaikan sebuah mimpi yang amat indah dan aku takut, kalau-kalau mimpi itu akan buyar dan aku akan sadar kembali dan mimpi itu akan lenyap kalau aku bicara. Aku .... sungguh aku tadi ingin sekali bicara, akan tetapi setiap kali menggerakkan bibir, aku merasa takut dan seperti tercekik leherku. Kaumaafkanlah aku, moi-moi."
Bi Lan memandang kepada Sim Houw dan pemuda itupun memandangnya. Mereka saling pandang di antara keremangan senja sehingga hanya dapat melihat bentuk muka masing-masing. Bi Lan merasa heran sekali. Mengapa keadaan pemuda itu sama benar dengan keadaan dirinya ketika mereka melakukan perjalanan tadi? Iapun ingin sekali bicara, namun amat sukar mengeluarkan kata-kata!
"Bagaimana sekarang, toako? Apakah masih takut untuk bicara?" tanyanya, setengah menggoda.
"Tidak, moi-moi. Kalau kuingat, memang aku bodoh sekali. Kenyataan yang demikian indahnya membuat aku mabok dan seolah-olah aku tidak percaya akan kenyataan itu. Setelah kini kita bicara, aku tidak takut lagi. Maafkan aku."
Kembali hening, keduanya seolah tidak tahu harus berbuat apa, harus bicara apa. Terutama sekali Sim Houw. Jantungnya berdebar penuh ketegangan yang luar biasa, yang tidak dikenal sebelumnya, akan tetapi dia tidak mengerti mengapa demikian. Agaknya Bi Lan yang lebih tabah dalam menghadapi keadaan yang menegangkan dan membuat mereka merasa canggung itu.
"Toako...."
"Ya, Lan-moi?"
"Toako, aku ingin sekali mengetahui apakah semua pernyataanmu di depan suhu dan subo itu benar-benar keluar dari lubuk hatimu? Apakah engkau bicara sejujurnya ketika itu?"
"Pernyataan yang bagaimana, moi-moi?" Sim Houw bertanya, hanya untuk mencari ancang-ancang atau batu loncatan. menghadapi pertanyaan itu, karena sesungguhnya dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.
Bi Lan mengerutkan alisnya. Kenapa sekarang orang yang selama ini dianggap sebagai sepandai-pandainya orang, lihai bijaksana dan cerdik pandai, mendadak saja berubah menjadi orang yang tolol?
"Pernyataanmu bahwa engkau cinta padaku. Benarkah itu, toako, atau hanya kaujadikan alasan saja untuk menjawab desakan suhu dan subo?"
"Lan-moi, tentu saja benar! Sama benarnya dengan pengakuanmu bahwa engkau cinta padaku. Bagaimana mungkin engkau masih meragukan cintaku kepadamu, moi-moi?"
"Tentu saja aku ragu-ragu. Kenapa selama ini, selama kita berkenalan bahkan melakukan perjalanan bersama, mengalami hal-hal yang menegangkan bersama, engkau tidak pernah menyatakan cintamu, baik dalam perbuatan atau dengan ucapan? Kenapa, toako? Apakah cintamu itu baru timbul ketika kita berada di Istana Gurun Pasir?"
"Tidak, moi-moi! Aku cinta padamu sejak kita pertama kali bertemu!"
"Kalau begitu, kenapa selama ini engkau diam saja, toako? Kenapa engkau agaknya hanya menyimpan saja perasaan cintamu di dalam hati, bahkan seperti hendak merahasiakannya terhadap diriku? Kenapa?"
Sim Houw sudah siap sekarang dengan jawabannya. Dia mengangkat muka, memandang bentuk wajah yang nampak dalam keremangan cuaca itu. "Karena aku selama ini menjadi pengecut terhadap cintaku sendiri, moi-moi. Aku tidak berani mengaku, bahkan aku selalu menyangkal akan adanya kemungkinan bahwa engkau mencintaku. Aku takut! Karena takut gagal maka aku lebih suka merahasiakan perasaan cintaku...."
"Kau takut kalau-kalau cintamu tidak kubalas?"
"Tidak, moi-moi. Bahkan aku selalu merasa bahwa tak mungkin engkau cinta padaku. Aku takut kalau-kalau aku akan kehilangan engkau, takut kalau aku mengaku cinta, engkau lalu menjauhkan diri dariku."
"Sim-toako, engkau kuanggap secerdik-cerdiknya orang, akan tetapi dalam hal ini engkau sungguh bodoh. Apakah engkau tidak dapat melihat perasaan hatiku terhadap dirimu dalam setiap pandang mataku, kata-kataku dan perbuatanku?"
"Memang ada sekali waktu nampak olehku bahwa engkau seperti mencintaku, namun semua itu kusangkal, kuanggap hanya khayalku belaka, karena tidak patut bagi seorang gadis sepertimu ini mencinta seorang laki-laki seperti aku."
"Ihhh....! Kenapa, toako? Kenapa tidak patut?"
"Moi-moi, engkau adalah seorang gadis yang masih muda belia, usiamu baru sembilanbelas tahun, sedangkan aku aku sudah hampir setengah baya...."
"Aduh kasihan, ratap seorang kakek-kakek....!" Bi Lan menggoda. "Sim-toako, mengapa engkau begitu merendahkan diri? Berapa sih usiamu maka engkau mengatakan bahwa engkau sudah separuh baya?"
"Usiaku sudah tigapuluh empat tahun!"
"Hemm, bagiku engkau belum tua, tentu saja lebih tua dariku. Dan di dalam cinta, apakah ada batas usia?"
"Selain usiaku jauh lebih tua darimu, hampir dua kali lipat, juga aku seorang laki-laki sebatangkara, tidak memiliki apa-apa. Kuanggap diriku sama sekali tidak berharga untuk menjadi jodohmu, moimoi. Karena perasaan itulah maka aku selalu diam dan merahasiakan cintaku. Akan tetapi di istana gurun pasir, dihadapan dua orang locianpwe yang sakti dan bijaksana itu, bukan hanya sekedar menolongmu, aku merasa bahwa aku harus berterus terang sebagai seorang laki-laki yang berani mengaku dan bertanggung jawab atas segala perbuatan dan ucapannya."
"Aih, kasihan sekali engkau, toako. Aku.... dapat kubayangkan betapa engkau menderita.... dan aku sendiri, aku sudah tahu sejak lama bahwa engkau cinta padaku, koko...."
"Ah? Engkau sudah tahu?"
Bi Lan mengangguk. "Aku diberitahu oleh suci Ciong Siu Kwi. Ia mengatakan bahwa engkau cinta padaku, hal itu baginya mudah terlihat. Aku menjadi girang sekali, aku menjadi bahagia sekali, koko, apa lagi kalau melihat tingkahmu yang salah langkah.... aku tahu bahwa sejak lama engkau cinta padaku."
"Anak nakal....!" Sim Houw yang merasa gembira bukan main lalu tiba-tiba merangkul leher Bi Lan dan seperti sudah selayaknya, tahu-tahu Bi Lan sudah rebah di pangkuannya dan mereka saling peluk. Sejenak mereka diam, Bi Lan menyandarkan kepalanya di dada pria yang dicintanya itu. Ia merasa aman tenteram, merasa berbahagia dan puas, dan keduanya seperti terbuai dan terpesona oleh kenyataan yang indah itu, bahwa keduanya saling mencinta, bahwa tubuh mereka saling merindukan seperti juga hati mereka.
Sambil membelai rambut kepala gadis itu yang terlepas dari sanggulnya dan terurai di atas dadanya, Sim Houw berkata, "Moi-moi, engkau sudah tahu bahwa aku cinta padamu, akan tetapi aku.... ah, aku selalu ragu-ragu, hampir tidak percaya bahwa seorang gadis seperti engkau dapat jatuh cinta padaku. Sekarangpun aku masih merasa terheran-heran bagaimana engkau dapat cinta padaku, moi-moi."
Bi Lan membuka matanya memandang, sinar matanya berseri dan mulutnya yang berbibir merah basah itu tersenyum. "Sejak dulu aku cinta padamu, koko. Aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi, bahkan guru-guruku jauh dariku. Sam Kwi jauh dari hatiku karena mereka jahat, sedangkan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir juga jauh. Aku sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai kakak atau adik, tidak berkeluarga. Karena itu, dalam dirimu aku menemukan semuanya itu. Bagiku engkau adalah pengganti orang tua, pengganti guru, juga pengganti kakak, keluarga, dan juga kekasin hatiku."
"Tapi.... tapi kenapa justeru aku yang kau. pilih?"
Senyum di bibir Bi Lan melebar. Perasaan halus seorang wanita membuat ia merasa bahwa tentu kekasihnya ini meragukan karena tahu bahwa ada beberapa orang pemuda pilihan yang juga cinta kepadanya. Mengapa ia memilih Sim Houw dan bukan seorang di antara mereka?
"Karena engkau tidak hanya memkirkan diri sendiri, koko. Engkau selalu memikirkan kepentinganku dan meniadakan kebutuhanmu sendiri. Engkau tidak pencemburu (seperti Hong Beng, pikirnya) dan engkau tidak mengkhayal dan memikirkan wanita lain (seperti Kun Tek, pikirnya) walaupun engkau pernah kecewa dan patah hati karena wanita. Cintamu kepadaku murni dan engkau hanya ingin melihat aku berbahagia. Karena semua itulah, juga karena aku tertarik kepada pribadimu, kepada wajahmu, kepada perangaimu, kepada.... segala-galamu, maka aku cinta padamu."
Dihujani pujian-pujian itu, Sim Houw terharu sekali dan tanpa disadarinya lagi dia menunduk, mendekatkan mukanya dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, akan tetapi tahu-tahu mereka saling dekap dengan erat dan bibir mereka saling kecup dengan mesra sampai lama, sampai mereka akhirnya menyudahi ciuman itu dengan napas terengah-engah. Bukan terengah karena kehabisan napas, melainkan terengah karena mereka merasa tubuh mereka panas diingin dan darah dalam tubuh mereka berdesir dan bergolak. Suara seperti rintihan keluar dari leher Sim Houw dan dia menyembunyikan mukanya pada leher yang berkulit putih mulus dan hangat itu, di antara rambut yang membelai mukanya seperti benang-benang sutera hitam. Sementara itu, dengan tubuh menggigil, Bi Lan memejamkan matanya, menggelinjang dan jantungnya berdebar, tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemas dan dari kerongkongannya juga keluar suara seperti merintih halus.
Sampai agak lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, sampai tiba-tiba telinga keduanya menangkap suara yang keluar dari dalam perut Bi Lan.
Suara berkeruyuknya perut yang menuntut isi! Mendengar ini, keduanya sadar dari keadaan yang asyik masyuk itu, akan tetapi biarpun hatinya merasa agak geli, Sim Houw cukup bijaksana untuk diam saja dan pura-pura tidak mendengar. Bahkan dia lalu mempergunakan kekuatan sin-kangnya menekan pada perutnya sendiri sehingga terdengarlah suara berkeruyuk yang sama dengan tadi, hanya yang ini lebih nyaring!
Bi Lan yang tadi merasa canggung dan malu, ketika mendengar keruyuk ke dua dari perut Sim Houw, lalu tertawa. "Hi-hik, ada lumba nyanyi dalam perut kita, koko....!"
Sim Houw juga tertawa dan buyarlah suasana asyik masyuk tadi dan mereka berdua tersadar. Walaupun mereka kini merenggangkan diri dan suasana masih mesra, sentuhan tangan mereka masih mengandung getaran asmara, namun mereka tidak lagi dikuasai berahi seperti tadi.
Mereka bangkit berdiri. Sim Houw memegang kedua lengan gadis itu. Mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan Sim Houw mencium dahi Bi Lan, lalu berkata, suaranya halus dan menggetarkan kasih sayang amat besar. "Lan-moi, mulai sekarang kita harus berhati-hati. Kita harus dapat berjaga diri, jangan sampai terjadi kebakaran...."
"Eh? Maksudmu?"
"Tadi ketika kita saling berciuman, aku hampir kebakaran...."
Bi Lan tersenyum dan menahan suara ketawanya. Wajahnya menjadi merah sekali. Untung cuaca sudah mulai gelap sehingga ia tak perlu menyembunyikan kemerahan wajahnya.
"Aku tahu, karena itu, sebelum kita menikah dengan sah, sebaiknya kalau kita berhati-hati, jangan terlalu dekat agar tidak terjadi kebakaran dan pelanggaran."
"Baiklah, koko.... Bi Lan mengangguk dan semakin kagum terhadap kekasihnya itu. Demikian kuatnya! Kuat lahir batin.
"Semua itu kita lakukan demi kebahagiaan kita sendiri di kemudian hari, bukan, Lan-moi?"
"Engkau benar."
Mereka lalu membuat api unggun, dan Sim Houw berhasil menangkap dua ekor ayam hutan. Daging dua ekor ayam hutan inilah yang mengisi perut mereka sebelum mereka akhirnya beristirahat di dalam guha itu, tubuh mereka dihangatkan oleh api unggun. Dunia nampak amat indah bagi mereka, bahkan keadaan dalam guha yang demikian sederhana, di bawah sinar api unggun, tidur di atas tanah berbatu yang kasar, bau tanah mentah, semua itu nampak amat indahnya.
Keindahan terletak di dalam batin. Batin yang berbahagia membuat segala sesuatu nampak indah menyenangkan, segala penglihatan nampak indah, segala pendengaran menjadi merdu, segala makanan menjadi lezat. Batin yang berbahagia mendatangkan sorga, sebaliknya batin yang keruh mendatangkan neraka. Apapun nampak tidak menyenangkan bagi batin yang keruh.
Batin menjadi keruh karena pikiran selalu sibuk berceloteh. Sayang bahwa kita selalu menjejali pikiran dengan segala macam persoalan sehingga pikiran tiada hentinya bekerja keras dan sibuk, oleh karena itu, batin tak pernah menjadi bening.
Sim Houw dan Bi Lan yang baru saja mendapat sinar cinta, untuk sejenak pikiran mereka tidak sibuk dan batin mereka tidak menjadi keruh. Akan tetapi hanya sebentar saja karena setelah mereka selesai makan dan kini duduk bersila menghadapi api unggun, pikiran mereka mulai bekerja lagi mengingat-ingat akan hal yang telah lalu.
"Sungguh kita beruntung sekali bahwa keadaan berakhir dengan baik di Istana Gurun Pasir," kata Sim Houw. "Kalau aku teringat betapa tadinya subomu sudah marah sekali kepadamu, dan betapa suhu dan subomu agaknya sudah tidak percaya kepadamu, sungguh aku masih merasa ngeri. Kalau mereka menghendaki, tidak akan sukar bagi mereka untuk menghukum kita, bahkan membunuh kita sekalipun."
"Akan tetapi aku tetap percaya akan kebijaksanaan mereka, koko. Yang menggemaskan adalah orang yang memburukkan namaku di depan suhu dan subo, dan agaknya aku tahu siapa orangnya!"
Sim Houw memandang wajah kekasihnya. Diapun dapat menduga siapa orangnya, akan tetapi dia tidak mau mendahului Bi Lan. "Siapakah dia, Lan-moi?"
"Siapa lagi kalau bukan Gu Hong Beng?"
Sim Houw pura-pura kaget. "Kenapa engkau menyangka dia?"
"Di antara tuduhan-tuduhan yang dilontarkan subo kepadaku, terdapat tuduhan bahwa kita telah melakukan perbuatan yang melanggar susila. Siapa lagi orangnya yang akan menyangka kita berbuat demikian kecuali Gu Hong Beng yang dipenuhi perasaan cemburu dan iri itu? Dia bersama gurunya yang mendesak dan menyerang kita, dan dialah yang menuduh kita secara membuta membela suci Ciong Siu KWi. Maka aku yakin tentulah dia yang telah memburukkan namaku di depan suhu dan subo."
Sim Houw menarik napas panjang, maklum mengapa kini pemuda yang gagah perkasa itu, murid dari seorang tokoh keluarga Pulau Es, yang tadinya merupakan seorang sahabat yang setia dan baik dari Bi Lan, kini berubah memburukkan nama Bi Lan. Dia tahu bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Bi Lan, namun ditolak oleh kekasihnya ini, dan agaknya Hong Beng merasa iri hati dan cemburu. Diam-diam dia merasa kasihan karena dia maklum bahwa orang pertama yang tersiksa oleh cemburu bukan lain adalah diri orang yang cemburu itu sendiri.
"Sudahlah, biarkan saja kalau memang benar dia yang memburukkan namamu. Mungkin memang dia menyangka kita membela sucimu secara membuta, mungkin dia mengira bahwa kita telah menyeleweng dari pada kebenaran. Yang penting, kita yakin benar bahwa kita tidak menyeleweng, bahwa kita telah berbuat benar. Kini kita harus mencurahkan segala perhatian kita untuk mencari adik Kao Hong Li. Dan sesuai dengan pesan suhu dan subomu, sebaiknya kita langsung saja menuju ke kota Pao-teng untuk mengunjungi
keluarga locianpwe Kao Cin Liong."
Bi Lan menyatakan persetujuannya dan merekapun tidak lagi membicarakan tentang Hong Beng.
******
Bersambung ke bagian 5 ...