Bagian 5

Lima ribu orang pasukan lagi bertugas untuk memotong jalan kalau barisan pemberontak dari Teng-bun mengirim bala bantuan ke Koan-bun, dan lima ribu orang pasukan lagi bertugas menyerbu Teng-bun. Pasukan pertama dipimpin oleh Puteri Milana dan pasukan ini juga bertugas sebagai pembantu pasukan yang menyerbu Teng-bun yang menjadi pusat kekuatan pemberontak, sedangkan pasukan penyerbu Teng-bun itu dipimpin oleh Jenderal Kao sendiri, dibantu oleh Kian Bu. Pemuda ini masih merasa gelisah memikirkan Kian Lee yang tidak tahu berada di mana, juga Puteri Syanti Dewi yang lenyap. Akan tetapi karena keadaan tidak mengijinkan untuk mencari, dan perang sudah berada di depan mata, pemuda ini terpaksa menekan kekhawatirannya dengan hiburan bahwa kakaknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan biarpun mengalami luka di pahanya, kiranya masih akan mampu menjaga diri dengan baik. Hanya dia gelisah memikirkan Syanti Dewi, karena kalau puteri itu terjatuh ke tangan pemberontak, tentu celaka. Akan tetapi dia mempunyai harapan dan kepercayaan bahwa Gak Bun Beng kiranya akan dapat mencari dan menemukan kedua orang yang lenyap itu.

Setelah Kok Cu berunding dengan Panglima Thio Luk Cong dan menerima pesan-pesan ayahnya, menjelang pagi dia meninggalkan hutan itu untuk mulai dengan tugasnya, membantu Panglima Thio yang diam-diam menggerakkan pasukannya menjadi barisan pendam di sekitar kota Koan-bun.

Tek Hoat melayani Pangeran Liong Khi Ong makan minum. Pemuda ini kelihatannya biasa saja, akan tetapi sebenarnya hatinya merasa risau bukan main. Semenjak dia bertemu dengan Syanti Dewi dan melihat puteri bangsawan itu terjatuh ke tangan Pangeran Tua ini, hatinya selalu gelisah. Dia sendiri tidak mengerti mengapa, akan tetapi dia merasa betapa semua semangatnya lenyap, kegairahannya untuk membantu pihak pemberontak agar dapat cepat mencapai kemenangan dan dia memperoleh kesempatan untuk meraih kedudukan tinggi, kini menjadi dingin dan kehilangan artinya. Bahkan kegembiraan Pangeran Liong Khi Ong yang makan minum sampai mabok ditemani oleh panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan dia sendiri bersama Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak mendatangkan kegembiraan pula di dalam hatinya, bahkan sebaliknya dia merasa tidak senang, sungguhpun ketidaksenangannya ini tidak dia perlihatkan. Tanpa disadarinya sendiri, terjadi perubahan di dalam hati Tek Hoat, dan perubahan itu terjadi di luar pengetahuannya dan hanya disebabkan oleh kehadiran Syanti Dewi sebagai orang tawanan Pangeran Liong Khi Ong.

Memang Pangeran Liong Khi Ong gembira sekali setelah dia dapat menawan Syanti Dewi yang ternyata luar biasa cantiknya, melebihi semua kabar yang pernah diperolehnya tentang Puteri Bhutan yang oleh Kaisar dijodohkan dengan dia itu. Kehadiran puteri itu secara tak terduga-duga sampai terjatuh ke tangannya sungguh merupakan hal yang amat menguntungkan, baik untuk pribadinya sendiri maupun untuk perjuangannya. Puteri Bhutan itu merupakan orang penting pada waktu itu. Pertama-tama, siasat mereka menimbulkan sakit hati Raja Bhutan dengan lenyapnya Syanti Dewi ketika diantar ke timur telah berhasil, dan kelak, kalau perjuangan itu berhasil dan dia bersama kakaknya menduduki tampuk pemerintahan, lalu mereka "berjasa" menemukan kembali

Puteri Bhutan yang hilang itu, berarti menanam hubungan baik dengan Bhutan. Ketiganya, dia dapat memiliki puteri cantik jelita itu disamping jasa-jasa baik ini!

"Eh, Kim-ciangkun, bagaimana beritanya tentang Tambolon dengan pasukannya yang menyerbu Ang-kiok-teng?" Pangeran yang mukanya sudah merah itu bertanya kepada Panglima Kim Bouw Sin.

Kim Bouw Sin tersenyum lebar. "Tepat seperti yang kita rencanakan, berkat siasat Ang-taihiap yang cerdik sekali. Tambolon dan anak buahnya itu seperti gerombolan anjing kelaparan, diberi tulang-tulang busuk pun sudah berebutan! Kini mereka kekenyangan tulang busuk dan tidak banyak menggonggong lagi. Tunggu beberapa hari lagi dan kalau mereka sudah mulai lapar, kita pergunakan mereka sebagai pasukan-pasukan pelopor menyerbu ke selatan."

Pangerap Liong Khi Ong tertawa gembira dan berkata sambil memandang Tek Hoat, "Untuk jasa itu kami perlu memberi selamat kepadamu dengan secawan arak, Ang Tek Hoat."

Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong Khi Ong memberi selamat dengan minum arak yang terpaksa diterima dan diikuti oleh Tek Hoat dengan hati berat, akan tetapi Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak mengangkat cawan arak mereka. Melihat hal ini, Tek Hoat mengerutkan alisnya akan tetapi dia diam saja. Liong Khi Ong yang melihat hal ini menjadi tidak senang hatinya. Tek Hoat adalah pembantunya yang utama, tangan kanannya, sedangkan dua orang kakek aneh itu kini merupakan pembantu-pembantu Kim Bouw Sin.

"Eh, Ji-wi Siang Lo-mo mengapa tidak ikut memberi selamat kepada Ang Tek Hoat yang sudah berjasa besar?"

Pak-thian Lo-mo yang mukanya putih itu tidak menjawab, hanya menunduk dan mengerling ke arah Tek Hoat dengan pandang mata tidak senang. Sedangkan Lam-thian Lo-mo yang lebih pandai bicara, mengangguk hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong sambil berkata, "Siasat itu memang baik sekali dan sudah sepatutnya kalau semua memujinya. Akan tetapi setelah apa yang kami dengarkan dari Hek-wan Kui-bo, kami berdua menjadi agak ragu-ragu untuk memberi selamat, sebelum Ang-sicu memberi penjelasan  akan perbuatannya itu."

Tek Hoat memandang kakek kembar itu dengan sinar mata tajam dan mereka pun menatap wajahnya dengan penuh selidik sehingga mereka saling pandang dengan sinar mata yang makin lama makin menjadi panas! Api persaingan telah mulai menyala di antara para pembantu utama pimpinan pemberontak itu!

Tek Hoat yang cerdik itu tentu saja telah dapat menduga apa yang telah diceritakan oleh nenek buruk itu, akan tetapi dengan cerdik dia malah sengaja menantang untuk menimbulkan kesan bahwa dia tidak menyimpan rahasia apa-apa, dan dia bertanya, "Siang Lo-mo, di depan Pangeran dan Kim-ciangkun, tidak perlu bicara sembunyi-sembunyi, katakan saja mengapa kalian meragukan aku dan apa yang telah diceritakan oleh nenek iblis itu kepada kalian mengenai diriku."

Sepasang kakek kembar itu saling pandang dan nampaknya mereka terheran melihat sikap pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gugup atau takut sebagaimana biasanya orang yang melakukan kesalahan. Kemudian Lam-thian Lo-mo berkata lagi, "Kami mendengar dari Hek-wan Kui-bo bahwa ketika engkau diajak oleh Kui-bo melihat gadis yang ditawannya, tiba-tiba engkau menyerangnya sehingga nenek itu terpaksa melarikan diri dan cepat melapor kepada Pangeran tentang Puteri Bhutan itu. Bukankah perbuatanmu itu aneh sekali, Ang-sicu?"

Suasana menjadi sunyi dalam ruangan itu setelah Lam-thian Lo-mo mengajukan pertanyaan ini. Pangeran Liong Khi Ong dan Panglima Kim memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata jelas membayangkan keheranan dan keinginan tahu, menuntut penjelasan. Tek Hoat telah memutar otaknya dan kelihatan tenang saja, bahkan tersenyum ketika dia berkata kepada kakek kembar itu, "Tentu saja ada penjelasanku untuk hal itu. Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku lebih dulu ingin mengetahui bagaimana pendapat dan dugaan Siang Lo-mo tentang perbuatanku itu sehingga kalian menaruh curiga kepadaku?"

Pertanyaan ini jelas merupakan tantangan kepada sepasang kakek kembar untuk membuka isi hatinya di depan Pangeran Liong dan Panglima Kim. Pak-thian Lo-mo yang tidak pandai bicara, melihat saudara kembarnya ditantang, segera bertepuk tangan dan berkata tegas, "Ang-sicu mendengar Kui-bo hendak mempersembahkan gadis itu kepada Pangeran lalu menyerangnya, tentu berniat hendak memiliki sendiri dara cantik itu!"

Tek Hoat tersenyum dan memandang kepada Lam-thian Lo-mo. "Demikiankah pendapatmu pula?"

Lam-thian Lo-mo mengangguk. "Apa lagi kalau tidak begitu niatmu, Sicu? Karena kecantikan seorang gadis, hampir engkau meninggalkan kesetiaanmu!"

Tek Hoat lalu menoleh kepada Pangeran Liong dan Panglima Kim yang memandangnya tajam, lalu bertanya, "Apakah saya diharuskan menjelaskan perbuatan saya menyerang Hek-wan Kui-bo?"

Pangeran Liong mengangguk. "Karena pertanyaan telah diajukan, hati kami tidak akan merasa puas sebelum mendengar penjelasanmu, Ang Tek Hoat."

Tek Hoat lalu berkata, suaranya lantang dan tenang, "Memang saya akui bahwa saya telah menyerang nenek iblis itu. Saya bertemu dengan nenek itu di jalan dan hal ini saja sudah menimbulkan kecurigaan saya, menyangka bahwa dia adalah seorang mata-mata musuh. Kemudian dia menyatakan hendak mempersembahkan seorang gadis. Tentu saja kecurigaan saya bertambah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, siapa tidak mencurigai nenek iblis yang tiba-tiba saja hendak mengabdi dan mempersembahkan seorang gadis sebagai sogokan? Dan ketika saya dibawanya masuk ke dalam gedung Coa-wangwe, melihat Coa-wangwe sekeluarga dibelenggu, saya hampir yakin bahwa nenek iblis itu tentulah seorang mata-mata musuh yang amat berbahaya. Coa-wangwe adalah seorang sahabat kita yang banyak membantu perjuangan, melihat dia sekeluarga diperlakukan seperti itu, siapa yang tidak merasa marah dan curiga? Apalagi setelah saya melihat bahwa gadis itu bukan lain adalah Sang Puteri Syanti Dewi yang tentu saja saya segera mengenalnya, kecurigaan saya menjadi bulat bahwa nenek ini mempunyai niat yang jahat, maka tanpa banyak cakap lagi saya lalu menyerangnya. Sampai detik itu pun saya masih mencurigai nenek itu, apakah hal ini berarti aku kehilangan kesetiaan?"

Tek Hoat bicara dengan tenang dan lancar, dan alasannya cukup meyakinkan sehingga bukan hanya Pangeran Liong dan Panglima Kim yang mengangguk-angguk, bahkan Siang Lo-mo sendiri juga mengangguk dan lenyaplah kecurigaan mereka.

Pangeran Liong tertawa girang. "Bagus, dengan demikian teranglah sudah segalanya. Dan engkau tidak perlu meragukan, Tek Hoat. Nenek itu adalah seorang tokoh besar golongan hitam, mana mungkin dia membantu Pemerintah Ceng? Bahkan dia menyatakan bahwa suhengnya yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, yang katanya memiliki kepandaian paling tinggi di dunia ini, juga sudah berada di kota ini dan siap membantu perjuangan kita, demikian pula seorang sumoinya yang amat lihai berjuluk Mauw Siauw Mo-li."

Tek Hoat mengangguk-angguk. "Kalau begitu, saya tidak curiga lagi akan tetapi kecurigaan saya hanya karena saya setia terhadap perjuangan, tidak seperti kecurigaan Siang Lo-mo terhadap saya yang didasari oleh perasaan iri hati!"

"Hemm, apa maksudmu dengan kata-kata itu, Ang-sicu?" Pak-thian Lo-mo bertanya dengan suara keren dan pandang mata tajam.

Tek Hoat tersenyum dan memandang kepada kakek kembar itu dengan sinar mata mengejek, "Maksud saya sudah jelas! Kalian tidak suka memberi selamat kepadaku karena iri, maka biarlah sekarang saya yang memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!" Sambil tersenyum, Tek Hoat membuka kedua tangannya ke arah dua buah cawan arak kosong yang terletak di atas meja, di depan dua orang kakek kembar itu dan seperti bernyawa saja, dua buah cawan arak kosong itu "terbang" ke arah kedua tangan Tek Hoat. Pemuda ini cepat mengisi dua cawan arak itu dengan arak sampai penuh, kemudian mengangkat dua cawan yang penuh arak itu dengan lengan kedua tangan dilonjorkan dan disodorkannya kedua cawan itu ke arah Siang Lo-mo sambil berkata, "Nah, terimalah pemberian selamat saya kepada kalian!"

"Tek Hoat dan Siang Lo-mo, jangan melakukan kekerasan dan bertentangan antara kawan sendiri!" Pangeran Liong Khi Ong berkata dengan khawatir.

"Saya hanya memberi selamat kepada Siang Lo-mo, Pangeran," Tek Hoat menjawab tenang.

Lam-thian Lo-mo tertawa, "Ha-ha-ha, harap Paduka jangan khawatir, agaknya Ang-sicu hanya ingin menguji hamba berdua." Dia menoleh kepada Pak-thian Lo-mo dan berkata, "Mari kita menerima pemberian selamat Ang-sicu."

Dua orang kakek kembar itu lalu meluruskan lengan dan menyambut cawan arak itu dengan tangan kanan mereka, tentu saja mereka yang maklum bahwa pemuda itu bukannya memberi selamat secara biasa saja, mereka telah mengerahkan sin-kang mereka, disalurkan melalui lengan sampai ke tangan mereka ketika jari-jari tangan mereka menyentuh cawan arak.

Jari-jari tangan tiga orang itu melekat pada dua buah cawan itu dan lengan mereka mulai tergetar hebat. Adu tenaga sin-kang terjadi, satu melawan dua! Sepasang kakek kembar itu sudah mengenal Tek Hoat dan maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi karena mereka maju berdua, mereka tidak menjadi gentar dan mereka yakin bahwa tidaklah mungkin lawan semuda itu akan dapat mengalahkan tenaga sin-kang mereka yang tergabung.

Pangeran Liong Ki Ong dan Panglima Kim Bouw Sin memandang dengan hati tegang akan tetapi juga gembira karena mereka memang sering menduga-duga siapa di antara mereka yang lebih lihai, sungguhpun terdapat kekhawatiran di dalam hati mereka bahwa adu tenaga sin-kang itu akan berubah menjadi pertandingan sungguh-sungguh. Mereka memandang dengan hati berdebar dan terkejutlah mereka melihat betapa arak di dalam dua cawan itu tiba-tiba menjadi naik dan terguncang. Mereka melihat Tek Hoat tersenyum dan agaknya pemuda itu hendak menggunakan sin-kangnya untuk membuat arak itu terus naik dan muncrat ke arah dua orang kakek kembar. Akan tetapi, dua orang kakek itu mengerahkan tenaga mereka dan arak itu turun kembali. Beberapa kali arak itu naik lagi, bahkan sampai melampaui bibir cawan, dan anehnya tidak tumpah seolah-olah arak itu menjadi beku, dan setelah dua orang kakek itu kelihatan mengerahkan seluruh tenaga, barulah arak itu turun lagi. Mereka bersitegang beberapa lamanya dan sepasang kakek kembar itu sudah mulai berkeringat dahi mereka akan tetapi Tek Hoat masih tenang dan tersenyum, seolah-olah dia tidak mengeluarkan seluruh tenaganya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa biarpun dia dikeroyok dua, namun dia sama sekali tidak

terdesak.

Melihat keadaan dua orang kakek yang menjadi pengawal dan pembantu-pembantunya itu kelihatan terdesak dan berkeringat, Panglima Kim hendak menghentikan adu tenaga ilmu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa halus seorang wanita dan tampak dua bayangan orang berkelebat dan di situ tahu-tahu telah berdiri dua orang yang kedatangannya seperti setan saja! Yang seorang adalah kakek yang tubuhnya tinggi besar dan mukanya menyeramkan seperti raksasa liar, akan tetapi orang ke dua merupakan seorang wanita yang cantik dengan pakaian mewah dan dia muncul didahului bau harum semerbak! Sambil tersenyum wanita dan kakek raksasa itu mendekati meja. "Aihh, suguhan arak kalau tidak diterima sungguh sayang. Biar aku mengambil satu cawan!"

"Ha-ha, kau benar sekali, Mo-li! Engkau secawan dan aku secawan!" Kakek raksasa itu pun berkata sambil tertawa dan tampaklah dua buah taring di dalam mulutnya.

Mereka membuka mulut dan menyedot, dan.... arak dari dalam cawan yang sedang diperebutkan oleh Tek Hoat dan Siang Lo-mo itu tiba-tiba bergerak naik dan keluar, terus memancar naik memasuki mulut wanita dan kakek raksasa itu yang menelannya dengan enak sekali.

Melihat ini, Tek Hoat dan Siang Lo-mo menarik kembali tenaga mereka. Mereka tidak merasa heran dengan perbuatan dua orang pendatang baru itu. Karena tadi mereka saling mengadu tenaga dan mempertahankan cawan, tentu saja dua orang yang juga memiliki sin-kang kuat itu berhasil "mencuri" arak dari dalam kedua cawan. Andaikata mereka bertiga tidak sedang mengadu tenaga dan mempertahankan, tidak mungkin dua orang itu akan dapat "minum" semudah itu.

Tek Hoat dan Siang Lo-mo sudah meloncat berdiri untuk melindungi Pangeran Liong dan Panglima Kim, sedangkan panglima itu sendiri sudah berteriak memanggil para pengawal yang berada di luar. Pasukan pengawal berlari masuk dan mereka terheran-heran melihat adanya dua orang itu yang tidak mereka lihat masuknya.

"Heh-heh, harap Paduka Pangeran dan Ciangkun tidak salah paham. Suhengku dan sumoiku sudah datang untuk menyumbangkan tenaga!" Suara ini terdengar dari dalam, suara Nenek Hek-wan Kui-bo.

Mendengar ini, Pangeran Liong Khi Ong mengangkat tangan menahan pasukan pengawal yang sudah mengurung dua orang itu, lalu bertanya, "Apakah kalian yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li?"

Kakek tinggi besar dan wanita cantik itu menjura dengan hormat, dan kakek raksasa itulah yang menjawab, "Tepat dugaan Paduka Pangeran Liong Khi Ong!"

"Maafkan kedatangan kami yang tidak diundang," kata pula Mauw Siauw Mo-li dengan suaranya yang halus, lirikan matanya menyambar ke wajah Tek Hoat yang tampan dan senyumnya memikat.

Pangeran Liong Khi Ong terkenal sebagai seorang yang pandai mengambil hati orang-orang pandai, maka dia ditugaskan oleh kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong sebagai penghimpun tenaga di luar kota raja yang ternyata berhasil baik. Bahkan Panglima Kim Bouw Sin adalah panglima yang kena dipikat oleh pangeran ini. Kini, menghadapi dua orang pandai dan golongan hitam itu, Pangeran Liong yang cerdik segera dapat menentukan sikapnya. Sambil tertawa dia lalu berkata, "Ah, sudah lama kami menanti kedatangan kalian berdua. Silakan duduk dan terimalah ucapan selamat datang dari kami!"

Panglima Kim Bouw Sin menyuruh pengawal-pengawal mundur dan mereka lalu menjamu dua orang yang baru datang itu. Mauw Siauw Mo-li segera tertarik sekali kepada Tek Hoat dan dia mengangkat cawan araknyaa, memandang tajam penuh daya pikat kepada pemuda itu, berkata halus sambil tersenyum dan ketika bicara bibirnya bergerak penuh tantangan, "Saya telah mendengar nama besar pendekar muda Ang Tek Hoat dan sungguh seperti mimpi saja rasanya dapat bertemu dan makan semeja dengan pendekar muda Ang. Saya menghaturkan secawan arak untuk persahabatan antara kita!"

Biarpun hatinya masih bercuriga kepada dua orang ini, namun karena mereka sudah diterima oleh Pangeran Liong sendiri, Tek Hoat terpaksa bersikap manis, menerima pemberian selamat itu dan mengucapkan terima kasih. Pangeran Liong menjadi makin gembira ditemani oleh dua orang pembantu baru ini, apalagi sikap Mauw Siauw Mo-li yang penuh daya pikat itu membuat dia lupa bahwa sejak tadi dia sudah terlampau banyak minum arak keras. Akhirnya pangeran itu menjadi agak mabok oleh pengaruh arak.

"Ha-ha-ha, perutku sudah kenyang.... aih, aku ngantuk sekali, ingin tidur.... akan tetapi siapa yang mau menemaniku?" Berkata demikian, dia bangkit dari bangkunya sambil memandang dengan penuh ajakan kepada Mauw Siauw Mo-li yang cantik. Melihat ini, Lam-thian Lo-mo yang mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu dan belum percaya betul kepada wanita yang baru datang ini, cepat berkata, "Apakah Paduka lupa akan bunga segar dari Bhutan itu?"

Berkata demikian, Lam-thian Lo-mo melirik ke arah Tek Hoat dengan pandang mata penuh arti. Kiranya kakek bermuka merah yang cerdik ini tidak saja ingin mencegah pangeran itu tidur bersama Mauw Siauw Mo-li yang belum dipercayanya, akan tetapi juga ingin membuktikan bahwa Tek Hoat memang tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Puteri Bhutan itu.

"Ha-ha-ha-ha, engkau benar sekali, Lam-thian Lo-mo. Mengapa aku sampai terlupa? Kelak dia menjadi isteriku, sekarang pun apa bedanya? Ha-ha-ha-ha, Mo-li, lain kali saja kita melanjutkan persahabatan kita, ya? Silakan kalian melanjutkan pesta ini, aku mau.... mau.... menikmati bunga segar dari Bhutan, ha-ha-ha!" Pangeran yang mabok itu bangkit dari kursinya dan terhuyung-huyung meninggalkan ruangan itu menuju ke kamar di mana Syanti Dewi dikeram dan dijaga oleh Hek-wan Kui-bo di luar kamarnya.

Dapat dibayangkan betapa mendongkol rasa hati Tek Hoat. Dia mengerti akan lirikan mata Lam-thian Lo-mo dan dia menahan kemarahan hatinya. Dalam bingungnya dia tidak tahu harus berbuat apa. Dibayangkannya betapa Syanti Dewi meronta-ronta di bawah dekapan Pangeran Liong Khi Ong yang memperkosanya, dan dia merasa jantungnya seperti berhenti berdetik.

"Ang-sicu, mari kita minum arak bahagia untuk memberi selamat kepada pangeran yang sedang berpengantin di dalam kamar bersama Puteri Bhutan!" Lam-thian Lo-mo berkata sambil mengangkat cawan araknya.

Tek Hoat terpaksa minum araknya dengan hati panas karena dia maklum bahwa kakek itu sengaja hendak mengejeknya. Namun Tek Hoat adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa betapapun tinggi kepandaiannya, dia tidak mungkin akan dapat menandingi begitu banyaknya orang pandai. Sepasang kakek kembar itu mungkin dapat dia tandingi, biar dibantu oleh nenek Hek-wan Kui-bo sekalipun, akan tetapi kedatangan Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li merubah keadaan dan kalau mereka ini pun maju menentangnya, tentu dia akan celaka.

"Hi-hik, Ang-taihiap.... pangeran itu sungguh romantis.... hemmm, membuat orang menjadi tertarik dan timbul semangat! Ang-taihiap, bagaimana kalau kita berdua juga mengaso dan saling menuturkan riwayat hidup kita untuk mempererat persahabatan?"

"Ha-ha-ha, engkau sungguh mata keranjang, Sumoi!" Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak.

"Aih, Suheng! Hidup satu kali kalau tidak bersenang-senang mau apa lagi? Kalau sudah mati, kepingin pun tidak akan mampu bergerak lagi. Betul tidak, Ang-taihiap?"

Sambil berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li menggeser bangkunya mendekat dan tangannya meraba-raba dari bawah meja ke paha Tek Hoat. Selagi pemuda ini bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar ruangan itu dan dua orang pengawal masuk dan memberi hormat kepada Panglima Kim Bouw Sin, lalu berkata lantang, "Lapor! Peristiwa hebat terjadi di Koan-bun!"

Kim Bouw Sin bangkit berdiri dan matanya terbelalak. "Lekas katakan. Apa yang terjadi di Koan-bun?"

Dengan sikap gugup pengawal itu lalu menjawab, "Koan-bun pada saat ini sedang diserbu oleh pasukan liar Raja Tambolon dan membutuhkan bantuan, Ciangkun."

Berita ini amat mengejutkan. "Celaka....!" Tek Hoat sudah meloncat dari kursinya. "Pangeran harus segera diberi tahu!"

Bagaikan kilat cepatnya tubuhnya sudah meloncat ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah menggedor pintu kamar Pangeran Liong Khi Ong.

"Ihh, engkau mau apa?" Nenek Hek-wan Kui-bo menegur dan tongkatnya sudah siap untuk menyerang.

"Bodoh!" Tek Hoat membentak. "Ada laporan penting untuk Pangeran!" Dia mengetuk pintu lagi dan pintu terbuka dari dalam. Dengan muka merah karena setengah mabok dan juga marah Pangeran Liong Khi Ong memperlihatkan mukanya sambil memandang marah kepada pembantunya itu.

"Ang Tek Hoat, mengapa engkau menggangguku?"

Dari pintu yang terbuka sedikit itu Tek Hoat dapat melihat ke dalam dan ketika dia melihat Syanti Dewi duduk di atas kursi di kamar itu dengan mata terbelalak dan muka pucat, akan tetapi hanya kelihatan marah sedangkan pakaiannya masih lengkap, hatinya menjadi lega. Dia cepat memberi hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong lalu berkata, "Berita buruk sekali, Pangeran. Baru saja datang laporan bahwa Tambolon yang curang itu telah mengerahkan pasukannya menyerbu Koan-bun."

Seketika rasa mabok oleh arak dan oleh kecantikan Puteri Bhutan terbang meninggalkan benak pangeran ini. "Apa....?" Dia sudah membuka lebar daun pintu dan berlari ke ruangan, diikuti oleh Tek Hoat sedangkan Hek-wan Kui-bo tetap menjaga di depan pintu kamar Syanti Dewi. Memang bagi dua orang kakak beradik Pangeran Liong, urusan pemberontakan mereka merupakan hal terpenting bagi hidup mereka, oleh karena itu tidak mengherankan apabila Pangeran Liong Khi Ong segera melupakan semua kesenangan pribadinya begitu mendengar berita diserbunya Koan-bun oleh Raja Tambolon. Ketika dia tiba di ruangan itu, Panglima Kim Bouw Sin, Siang Lo-mo, Hek-tiauw Lo-mo, dan Mauw Siauw Mo-li sedang mendengarkan pelaporan lengkap dari pembawa berita itu.

Kemunculan pangeran ini mengharuskan Si Pengawal mengulang semua laporannya.

"Mereka datang sebagai sahabat," pengawal itu menutup laporannya. "Akan tetapi begitu pintu gerbang dibuka untuk membiarkan Raja Tambolon dan para pengikutnya masuk, tiba-tiba rombongan raja liar itu membunuhi penjaga pintu gerbang dan pasukannya yang bersembunyi dalam gelap langsung menyerbu ke dalam kota."

Pangeran Liong Ki Ong marah sekali mendengar ini. "Raja biadab itu! Panglima Kim Bouw Sin, kita harus menghajar dan menumpas mereka!"

Panglima Kim Bouw Sin segera mengumpulkan para perwira pembantunya dan menyiapkan pasukan yang besar untuk membantu Koan-bun dan menumpas pasukan liar Tambolon itu. Tek Hoat maklum bahwa karena dia yang mengusulkan untuk membiarkan Tambolon dan pasukannya menetap di Ang-kiok-teng, sudah sepatutnya kalau dia yang kini membantu dan ikut memimpin pasukan itu. Andaikata tidak ada Syanti Dewi di situ, tentu sudah tadi dia mengajukan diri. Kini dia berpendapat lain dan kecerdikannya membuat dia cepat berkata kepada Panglima Kim Bouw Sin, akan tetapi tentu saja kata-katanya ini ditujukan untuk menarik perhatian Pangeran Liong Khi Ong. "Tambolon seperti anjing, diberi sejengkal ingin sehasta! Manusia macam dia harus dibasmi, dan kesempatan yang amat baik ini hendaknya dipergunakan untuk menguji kesanggupan dua orang pembantu baru kita yaitu Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li. Hal-hal aneh terjadi, maka kita harus tetap waspada dan terutama keselamatan pangeran harus dijaga baik."

Ucapan ini diterima baik oleh Panglima Kim dan juga Pangeran Liong. Maka segera diputuskan bahwa pasukan besar yang akan membantu Koan-bun itu selain dipimpin oleh para perwira, juga dibantu pula oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.

"Saya sendiri akan melakukan perondaan dan mengatur penjagaan ketat di Teng-bun, karena dalam keadaan segawat ini, kita harus tetap waspada dan memperkuat penjagaan," Tek Hoat berkata pula dan tanpa menanti persetujuan, dia sudah keluar pula dan lenyap di dalam kegelapan malam. Pasukan besar yang diperbantukan kepada pertahanan kota Koan-bun itu segera berangkat pada malam hari itu juga.

Sementara itu, dengan didampingi oleh Ceng Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon, dua orang pengawalnya, yaitu Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai lihai, memimpin seribu orang pasukan yang liar itu malam-malam menyerbu Koan-bun. Seperti telah diceritakan oleh para pelapor kepada Pangeran Liong Khi Ong, Tambolon menggunakan siasat, bersama empat orang pembantunya yang lihai itu dia muncul di depan pintu gerbang selatan kota Koan-bun dan berteriak minta dibukai pintu karena dia hendak menemui komandan kota Koan-bun. Setelah kepala penjaga mengenal Raja Tambolon ini, jembatan gantung diturunkan dan pintu gerbang dibuka, Raja Tambolon, dua orang pengawal, Ceng Ceng dan Topeng Setan, segera menyeberangi jembatan gantung dan secara tiba-tiba, lima orang yang berkepandaian tinggi ini menyerang pasukan penjaga yang terdiri dari dua puluh orang lebih. Dalam waktu singkat saja mereka itu telah merobohkan semua penjaga dan pasukan liar itu segera menyerbu ke dalam kota. Gegerlah kota Koan-bun dan perang terjadi dengan hebatnya dan kacau-balau karena penyerbuan yang tak terduga-duga itu membuat pasukan-pasukan pertahanan kota Koan-bun menjadi bingung.

Kalau saja tidak datang pasukan bantuan dari Teng-bun yang tiba di Koan-bun menjelang pagi, tentu kota Koan-bun sudah terjatuh ke tangan pasukan Tambolon. Kedatangan pasukan besar dari Teng-bun ini membangkitkan kembali semangat sisa pasukan pertahanan Koan-bun dan perang dilanjutkan sampai keesokan harinya. Sebagian pasukan liar telah menduduki separuh dari kota Koan-bun akan tetapi sebagian pula kini bertempur di luar pintu gerbang untuk menahan serbuan pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun. Perang hebat terjadi di dalam kota Koan-bun dan juga di luar kota itu. Akan tetapi kini pasukan liar di bawah

pimpinan Tambolon terjepit antara dua pasukan yang berada di dalam dan yang datang dari luar. Karena jumlah mereka jauh kalah banyak, maka mulailah mereka terhimpit dan korban-korban berjatuhan.

Tambolon sendiri seperti biasa dibantu oleh dua orang pengawalnya yang setia, ikut berperang dan mengamuk ganas. Juga Ceng Ceng dan Topeng Setan bertempur bahu-membahu, merobohkan banyak tentara pemberontak. Diam-diam kedua orang ini merasa girang sekali melihat betapa siasat mereka berhasil baik, bahkan bukan saja mereka dapat mengadu domba antara pasukan-pasukan liar Tambolon dan pasukan pemberontak, juga mereka memperoleh kesempatan ikut pula bertempur membasmi para pemberontak.

Akan tetapi kini pasukan liar Tambolon ini mulai terdesak hebat. Yang mempertahankan diri di luar terhadap serbuan pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun kini didesak masuk kota oleh pasukan besar pemberontak itu. Kini semua pasukan liar yang berperang seperti binatang-binatang buas itu telah digiring masuk ke dalam kota Koan-bun dan di dalam kota ini terjadilah peristiwa-peristiwa mengerikan. Bukan hanya perang antara anak buah pasukan-pasukan yang berlawanan, melainkan pasukan itu terpecah-pecah dan terjadilah perang campuh kacau-balau yang menyeret pula penduduk kota Koan-bun. Seluruh kota menjadi kacau dan di sana-sini terjadi pembakaran-pembakaran. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana.

Pasukan liar itu makin terjepit. Mereka terdiri dari orang-orang liar dan buas yang kalau sedang berperang seperti berubah menjadi binatang-binatang buas sehingga mereka itu telah menjatuhkan banyak sekali lawan dalam perang campuh itu. Setiap orang anggauta pasukan Tambolon ini baru roboh kalau sedikitnya telah menjatuhkan tiga orang lawan. Akan tetapi setelah balabantuan dari Teng-bun tiba, jumlah mereka jauh kalah banyak dan mulailah mereka terhimpit dan mulai pula timbul rasa panik di antara mereka.

Ceng Ceng dan Topeng Setan masih mengamuk dengan pedang mereka, merobohkan banyak sekali pasukan pemberontak. Akan tetapi setelah pasukan dari Teng-bun berhasil mendesak masuk dan barisan pemberontak ini datang seperti air banjir, mereka berdua terdesak dan terdorong sampai saling berpisah.

Di antara kekacauan yang terjadi di Koan-bun itu, di antara ribuan orang penduduk yang menjadi panik dan ketakutan, terdapat seorang pemuda yang bersembunyi di atas wuwungan rumah dan menonton perang campuh itu dengan hati tertarik sekali. Ketika dia mendengar bahwa pasukan liar yang dipimpin Tambolon menyerbu kota Koan-bun, dia terkejut dan merasa heran. Akan tetapi setelah menyaksikan perang hebat antara pasukan liar ini melawan pasukan-pasukan pemberontak, hatinya menjadi girang. Pemuda ini adalah Suma Kian Lee. Dia tidak mengerti mengapa sekutu pemberontak, pasukan kuat dari suku bangsa liar yang dipimpin Tambolon itu menyerbu Koan-bun dan memerangi pasukan pemberontak, sekutu mereka sendiri. Akan tetapi hal ini tentu saja menguntungkan pemerintah, maka Kian Lee menjadi girang ketika dia menyaksikan perang campuh kacau-balau yang terjadi di bawah itu.

Pemuda ini masih belum meninggalkan Koan-bun karena dia ingin mencari suhengnya, adiknya dan Syanti Dewi yang terpisah darinya. Seperti diketahui, pemuda ini menderita luka karena racun senjata rahasia peledak yang dilepas Hek-wan Kui-bo, akan tetapi luka di pahanya itu telah diobati oleh Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo. Kini lukanya telah sembuh benar, akan tetapi hatinya gelisah karena dia masih belum berhasil bertemu kembali dengan Gak Bun Beng, Suma Kian Bu, dan Syanti Dewi.

Ketika dari atas wuwungan loteng sebuah rumah besar dia melihat perang yang kacau-balau itu menjurus ke perbuatan kejam terhadap penduduk, baik yang dilakukan oleh kaum liar maupun oleh tentara pemberontak yang mempergunakan kekacauan itu untuk melampiaskan nafsu-nafsu pribadi mereka, menggarong, memperkosa, dan membunuh, Kian Lee lalu meloncat turun dan menyelidiki dari rumah ke rumah. Sudah dua kali dia membunuh dua orang tentara liar yang sedang memaksa dan hendak memperkosa wanita, dan dia pun telah membunuh tiga orang tentara pemberontak yang menggarong dan mencoba untuk membunuh pemilik rumah yang digarongnya.

Perang dilanjutkan sampai keesokan harinya, akan tetapi kini semua pasukan liar di bawah pimpinan Tambolon itu telah digiring masuk dan perang campuh yang berat sebelah terjadi di dalam kota Koan-bun karena jumlah tentara Tambolon itu jauh kalah banyak.

Ceng Ceng yang terpisah dari Topeng Setan masih menggerakkan pedangnya, merobohkan setiap orang tentara pemberontak yang berani mendekatinya. Dia sudah lelah sekali karena sejak penyerbuan malam tadi sampai pagi ini dia harus bertempur. Kini dia hanya menjaga diri saja sambil beristirahat dan mencari-cari pembantunya yang tidak kelihatan lagi itu. Perang dilanjutkan dan kini pihak pemberontak mulai melakukan pembersihan karena sisa tentara liar itu sudah cerai-berai dan mulai main kucing-kucingan bersembunyi di antara rumah-rumah penduduk Koan-bun. Dengan cara demikian, mereka masih mampu melakukan perang gerilya yang tentu saja makin mengacaukan kota itu dan membikin geger para penduduk karena tempat tinggal mereka dipergunakan sebagai tempat persembunyian, kejar-kejaran dan saling bunuh.

Sehari itu pihak pasukan liar hanya mampu mempertahankan diri sambil bersembunyi di sana-sini dan akhirnya, ketika malam tiba, sisa mereka tinggal sedikit dan mereka kini hanya berani melawan kalau ketahuan tempat sembunyi mereka dan hanya karena terpaksa saja.

Ceng Ceng makin bingung karena tidak melihat Topeng Setan. Dia mencari-cari ke seluruh kota namun tidak berhasil karena dia pun harus selalu menghindari pertemuan dengan pasukan-pasukan pemberontak yang mengadakan operasi pembersihan. Dia tadi melihat bahwa pasukan pemberontak itu dipimpin oleh seorang kakek raksasa dan seorang wanita cantik yang amat lihai. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, raksasa lihai sekali Ketua Pulau Neraka yang pernah dijumpainya, bahkan pernah menangkapnya di Lembah Bunga Hitam, ayah dari Kim Hwee Li yang pernah menolong dan membebaskannya. Ceng Ceng gentar menghadapi raksasa itu, dan pula, selain dia amat lelah, juga dia telah merasa puas dengan siasatnya, menghancurkan pasukan Tambolon dan merugikan besar sekali kepada pasukan pemberontak.

Ceng Ceng menjadi bingung juga karena hari telah menjadi gelap dan hanya terjadi pertandingan-pertandingan kecil di sana-sini antara sisa tentara Tambolon yang ketahuan tempat persembunyian mereka melawan pasukan pemberontak yang mengadakan pembersihan. Dia masih belum berhasil menemukan kembali Topeng Setan. Dan tadi dia melihat sinar dari anak panah berapi meluncur tinggi di angkasa, berwarna kebiruan dan indah. Dia tidak tahu apa artinya anak panah berapi itu yang meluncur dari tengah kota Koan-bun.

Selagi dia menyelinap di antara rumah-rumah di dalam cuaca yang mulai gelap itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan tahu-tahu dia telah dikepung oleh belasan orang tentara pemberontak yang dipimpin oleh seorang wanita cantik yang memegang sebatang pedang.

"Ini dia wanita pemimpin pasukan liar itu!" terdengar bentakan seorang perajurit.

Wanita cantik yang bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li itu, memandang Ceng Ceng yang tak dapat melarikan diri lagi itu penuh perhatian, lalu sambil tersenyum dia bertanya, "Ah, benarkah Tambolon mempunyai pembantu secantik ini?"

"Tidak salah lagi, Kouw-nio (Nona). Kami tadi melihat dia mengamuk di samping Tambolon dan para pembantunya. Dia lihai sekali!" kembali terdengar suara meyakinkan dari seorang perajurit pemberontak.

Mauw Siauw Mo-li melangkah maju. "Eh, perempuan cantik, apakah engkau selir Tambolon? Hayo katakan di mana adanya Tambolon dan para pembantunya itu!"

Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan marah hati Ceng Ceng mendengar kata-kata dan pertanyaan yang dianggapnya menghina itu. "Perempuan pemberontak rendah!" Dia memaki sambil menyerang ke depan dengan Ban-tok-kiam di tangannya.

"Sing.... wuuuuttt-tranggg....!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang Ban-tok-kiam di tangan Ceng Ceng bertemu  dengan pedang di tangan Mauw Siauw Mo-li. Ceng Ceng terhuyung ke belakang, akan tetapi siluman kucing itu pun terperanjat melihat betapa ujung pedangnya patah dan ada hawa beracun yang mengerikan keluar dari pedang di tangan lawannya itu. Jelas bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Ceng Ceng masih kalah oleh lawannya, akan tetapi keampuhan Ban-tok-kiam juga mengejutkan hati Mauw Siauw Mo-li. Pada saat itu, dua orang perajurit menubruk dari kanan kiri menggunakan golok mereka menyerang. Ceng Ceng memutar pedangnya dan terdengar suara nyaring disusul runtuhnya dua batang golok yang menjadi buntung berikut lengan kedua orang itu!

"Mundur kalian....!" Mauw Siauw Mo-li berteriak nyaring dan ketika belasan orang pasukan itu mundur, dia sudah melemparkan bola-bola hitam berturut-turut sebanyak lima buah ke arah Ceng Ceng. Gadis ini maklum bahwa lawan menggunakan senjata rahasia yang aneh dan belum dikenalnya, maka cepat dia menjatuhkan diri bergulingan dan untung saja dia melakukan pengelakan secara ini, karena ketika bola-bola itu terbanting ke atas tanah terdengar ledakan-ledakan dan tentu Ceng Ceng akan terluka kalau saja dia tidak bergulingan di atas tanah. Ceng Ceng terkejut bukan main. Cepat dia menggerakkan pedang menangkis sambil meloncat bangun ketika wanita itu menubruknya dan mengirim tusukan, tusukan maut yang nyaris mengenai perutnya. Namun berkat keampuhan Ban-tok-kiam yang membuat lawan menjadi jerih dan tidak berani beradu pedang secara langsung, Ceng Ceng mampu meloncat tinggi dan terus mencelat ke atas genteng lalu melarikan diri! Dia maklum akan kelihaian wanita itu dan kalau sampai datang lebih banyak pasukan pemberontak lagi lebih-lebih kalau sampai Hek-tiauw Lo-mo muncul, tentu dia akan celaka.

"Kejar dia....!" Mauw Siauw Mo-li berteriak sambil meloncat naik ke atas genteng dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Untung bahwa Ceng Ceng telah lebih dulu menghilang di atas genteng, kalau tidak agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena dalam hal gin-kang, dia pun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing itu. Mauw Siauw Mo-li terus mencari dengan penasaran, bahkan mendatangkan pasukan lebih banyak lagi. Biarpun pasukan bantuan dari Teng-bun berhasil mengalahkan dan hampir membasmi habis pasukan liar Tambolon, namun pasukan pemberontak itu sendiri kehilangan banyak sekali anggauta tentara dan kalau dia atau suhengnya tidak mampu menangkap Tambolon dan para pembantunya, mati atau hidup, hati Mauw Siauw Mo-li belum puas.

Ceng Ceng berlari-larian, kadang-kadang di atas genteng, kemudian meloncat turun dan menyelinap di antara bayangan-bayangan rumah yang gelap. Ketika dia berhenti sebentar di belakang sebuah rumah, tiba-tiba terdengar suara bisikan, "Lu-bengcu.... mari sini....!"

Ceng Ceng terkejut, apalagi ketika mengenal Raja Tambolon dan dua orang pembantunya yang lihai itu. Kiranya Tambolon, Liauw Kui Si Petani Maut dan Si Siucai Yu Ci Pok bersembunyi di dalam rumah kosong itu! Biarpun hatinya tidak suka, namun Ceng Ceng yang sedang dikejar-kejar Mauw Siauw Mo-li dan pasukannya itu segera meloncat masuk melalui pintu kecil di belakang rumah yang dibuka oleh Tambolon. Mereka berempat segera menutup pintu dan memasuki rumah kosong. Ceng Ceng memandang ruangan yang diterangi lentera itu penuh harapan, akan tetapi hatinya kecewa ketika dia tidak melihat Topeng Setan di situ.

"Untung ada kalian di sini...." kata Ceng Ceng. "Akan tetapi di mana adanya Topeng Setan?"

"Hemmm.... justeru kami hendak bertanya kepadamu, Lu-bengcu. Dimanakah Topeng Setan pembantumu itu?"

Mendengar suara dan melihat sikap Raja Tambolon, Ceng Ceng terkejut, apalagi ketika melihat bahwa tiga orang itu membuat gerakan mengurungnya, Tambolon di depannya sedangkan dua orang pembantu raja di kanan kirinya, sikap mereka seperti orang yang marah kepadanya.

"Eh, apa maksudmu, Raja Tambolon?" Ceng Ceng bertanya dengan sikap biasa.

"Ha-ha, engkau masih pandai berpura-pura lagi! Sikap dan maksudku sudah jelas! Engkau telah menjebloskan kami ke dalam perangkap. Engkau telah menyebabkan pasukan kami terbasmi habis, dan sekarang pembantumu itu tidak tampak bayangannya dan engkau masih berpura-pura lagi, Nona."

Di dalam hatinya Ceng Ceng terkejut sekali. Akan tetapi dia cerdik dan dia berkata dengan nada suara dan penasaran. "Raja Tambolon, begitu tidak tahu terima kasihkah engkau? Apakah engkau tidak melihat betapa aku tadi hampir celaka oleh pasukan yang dipimpin wanita lihai itu? Kalau usaha kita tidak berhasil karena keburu datang bala bantuan dari Teng-bun, apakah itu salahku? Mengapa engkau tidak menyalahkan pasukanmu sendiri yang tidak becus dan kurang mampu!"

Raja Tambolon yang sudah kehilangan segala-galanya itu masih bisa tertawa. Kemudian dia berkata, "Nona Lu Ceng, kalau tadi kami tidak melihat betapa engkau dikejar-kejar, tentu sekarang engkau sudah mati di tanganku! Akan tetapi jangan mengira bahwa hal itu sudah cukup bagi kami. Tidak hadirnya Topeng Setan di sampingmu memperkuat dugaan kami bahwa kalian telah mempermainkan kami dan karena engkaulah maka kini pasukanku terbasmi habis. Mana bisa aku mendiamkannya saja hal ini? Tidak! Untuk meyakinkan hatiku bahwa engkau tidak mengkhianati aku, engkau tidak boleh lagi berpisah dari sampingku."

Berdebar jantung Ceng Ceng mendengar ucapan ini. Sudah cukup jelas baginya apa yang terkandung di dalam hati raja liar ini. Akan tetapi untuk mengulur waktu sambil memutar otaknya mencari akal dia berpura-pura tidak mengerti dan bertanya, "Maksudmu?"

"Ha-ha-ha! Pasukanku boleh terbasmi habis, akan tetapi aku masih mempunyai dua orang sahabat dan pembantuku yang setia ini, ditambah lagi memiliki engkau yang cantik jelita, muda lagi pintar dan cerdik sebagai sahabat dan penghiburku, sebagai permaisuriku! Dengan adanya kita berempat, mudah bagi kita untuk menghimpun pasukan lagi dan membangun sebuah negara yang kuat, ha-ha-ha!"

Makin berdebar rasa jantung Ceng Ceng. Tepat seperti telah diduganya. Akan tetapi melihat Tambolon dan dua orang pembantunya itu menghadapi dengan sikap siap untuk menghalangi dia melarikan diri, dia masih berkata, "Hemm, rencanamu memang bagus sekali, akan tetapi bagaimana dengan Topeng Setan?"

"Dia? Ha-ha-ha, kalau memang dia itu bukan pengkhianat dan saat ini tidak bergabung kepada musuh, dia pun bisa menjadi orang kelima, bisa menjadi pembantuku. Akan tetapi kalau tidak muncul, persetan dengan dia. Kita berempat sekarang juga harus kabur keluar dari kota terkutuk ini!"

"Engkau memang manusia hina!" Tiba-tiba Ceng Ceng membarengi makiannya itu dengan gerakan kedua tangannya yang menyebar jarum-jarum hitam beracun yang tadi diam-diam sudah disiapkannya di kedua tangannya.

"Ehhhh!"

"Heiitttt!"

"Hyaattt!"

Tambolon dan dua orang pembantunya itu memang bukan orang-orang sembarangan. Mereka bertiga itu selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga sudah puluhan tahun menghadapi segala macam keadaan sehingga tentu saja mereka sudah waspada akan akal yang dipergunakan Ceng Ceng tadi yang mereka anggap tiada lebih sebagai akal kanak-kanak saja. Maka begitu kedua tangan dara itu bergerak dan ada sinar hitam menyambar ke arah mereka, tiga orang ini sudah bergerak cepat, membuang diri ke bawah dan bergulingan sehingga serangan jarum-jarum beracun yang mendadak itu dapat mereka elakkan.

Akan tetapi kesempatan ini cukup bagi Ceng Ceng untuk secepat kilat meloncat keluar dari rumah itu melalui jendela, terus berloncatan ke atas genteng melarikan diri karena dia maklum bahwa menghadapi tiga orang pandai itu dia tidak akan mampu menang.

"Ha-ha, betina liar, kau hendak lari kemana?" Tambolon berseru dan bersama dua orang pembantunya, dia mengejar dengan cepat. Mereka bertiga juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang membuat gerakan mereka cepat sekali sehingga setelah melewati empat wuwungan rumah, Ceng Ceng yang meloncat turun telah dikurung lagi di sebelah kebun kosong yang sunyi.

"Ha-ha-ha-ha, sungguh hebat! Makin liar dan hebat engkau melawan, akan makin manis dan mesra kalau engkau sudah terjatuh ke dalam pelukanku, ha-ha!" Tambolon tertawa bergelak.

"Tambolon, manusia iblis! Kau hanya dapat menguasai aku kalau aku sudah dapat menjadi mayat!" Ceng Ceng berteriak sambil mencabut pedangnya, yaitu Ban-tok-kiam yang mengeluarkan hawa mujijat dan menyeramkan. Dengan nekat Ceng Ceng yang maklum bahwa melarikan diri pun percuma saja lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya yang mengandung hawa beracun itu dengan sengit dan membabi buta.

Akan tetapi jangankan dikurung bertiga, baru melawan seorang di antara mereka saja Ceng Ceng tidak akan mampu menang. Petani Maut Liauw Kui menggerakkan pikulannya dan senjatanya ini saja sudah cukup untuk menahan gulungan sinar pedang Ban-tok-kiam sehingga tidak dapat bergerak leluasa karena selalu terhalang oleh pikulan yang digerakkan secara lihai sekali. Sedangkan dari kanan kiri, Yu Ci Pok yang menggunakan sepasang senjata poan-koan-pit mengancam dengan totokan-totokan cepat dan Tambolon yang tertawa itu menggunakan kedua lengannya yang panjang berbulu untuk menerkam tubuh Ceng Ceng!

Tentu saja Ceng Ceng menjadi sibuk sekali. Semua kepandaiannya telah dikeluarkannya, bahkan dia telah menggunakan pukulan tangan kiri beracun, juga menggunakan ludah yang telah menjadi beracun karena pengerahan ilmunya, namun tiga orang lawan itu terlalu kuat baginya. Hanya karena Tambolon menghendaki dia hidup-hidup sajalah maka dia masih belum roboh. Kalau mereka itu

ingin membunuhnya, tentu sudah sejak tadi dia tewas. Justeru karena tahu bahwa dia akan ditangkap hidup-hidup dan dijadikan barang permainan oleh Tambolon, Ceng Ceng merasa ngeri. Dia tidak takut mati, akan tetapi dia menggigil penuh kengerian kalau teringat betapa dia akan diperkosa dan dipermainkan oleh raja liar itu. Teringat akan pengalamannya ketika diperkosa orang, Ceng Ceng ingin menjerit. Dia tidak sudi dijadikan permainan oleh Tambolon, akan tetapi dia pun tidak ingin mati sebelum mampu membalas sakit hatinya kepada Kok Cu, pemuda murid Si Dewa Bongkok yang telah memperkosanya. Tidak, dia tidak ingin mati sebelum dapat berhadapan dengan Kok Cu! Akan tetapi dia pun tidak sudi menderita perkosaan lagi, perkosaan yang lebih mengerikan dan lebih menghina kalau dia sampai tertangkap oleh Tambolon!

"Cringgg....!" Tiba-tiba pedang Ban-tok-kiam yang bertemu dengan pukulan Petani Maut tidak dapat dia tarik kembali, seolah-olah melekat pada pikulan itu. Pada saat itu, ujung senjata pensil di tangan siucai itu menyentuh jalan darah di pergelangan tangan kanannya. Ceng Ceng menjerit dan terpaksa melepaskan pedangnya karena lengannya itu seketika menjadi lumpuh.

"Ha-ha-ha, kuda betina liar! Apakah engkau masih belum mau jinak?" Tambolon yang sudah menyambar pedang Ban-tok-kiam itu kini tertawa bergelak.

Ceng Ceng mengeluarkan suara melengking nyaring dan dengan penuh kenekatan dia menerjang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dada Tambolon.

"Plakk....! Dukkk!" Tubuh Ceng Ceng terjengkang dan dia roboh bergulingan ketika pukulannya ditangkis dan tubuhnya didorong oleh Tambolon sambil tertawa-tawa itu.

"Wah, kuda betina seperti ini harus ditudukkan dan dijinakkan sekarang juga, kalau tidak, dia akan bertingkah terus! Liauw Kui, Yu Ci Pok, pegang dia, biar dia merasakan dan mengenal siapa yang berkuasa! Ha-ha-ha!" Tambolon tertawa-tawa dan dengan  gerakan tenang mulai menanggalkan jubah luarnya.

Ceng Ceng membelalakkan matanya. Dia akan diperkosa begitu saja, dengan kedua orang itu memegangnya dan Tambolon menggagahinya.

"Tidaaaakkk....! Jangan....!" jeritnya penuh kengerian ketika dua orang lihai itu mendekatinya. Dia masih duduk di atas tanah karena kepalanya agak pening ketika dia terbanting tadi.

"Hemm, engkau perawan liar memang harus dipaksa!" Si Petani berkata dan bersama Yu Ci Pok dia menubruk ke depan.

"Plak! Plakk!"

"Eihhhh....?"

"Heiiii....!"

Liauw Kui dan Yu Ci Pok terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak kepada Kian Lee yang sudah berdiri di situ dengan sikap tenang akan tetapi mukanya merah dan alisnya berkerut, matanya seperti bercahaya di tempat gelap itu ketika dia memandang kepada mereka.

"Raja Tambolon, kiranya selain raja orang-orang liar engkau sendiri juga seorang manusia biadab!" Kian Lee berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka raja tinggi besar itu. Sementara itu, Ceng Ceng yang masih terduduk tadi memandang kepada Kian Lee tanpa mengenalnya. Dia menduga-duga siapa adanya pemuda tampan dan gagah perkasa yang muncul secara tiba-tiba dan yang sekali menangkis membuat dua orang pembantu Tambolon terhuyung mundur itu. Tadi Kian Lee sedang menyaksikan kehancuran pasukan liar Tambolon yang didesak oleh pasukan-pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun ketika tiba-tiba dia melihat bayangan-bayangan orang berkelebatan cepat sekali di atas genteng. Ketika melihat seorang wanita dikejar tiga orang, dia merasa heran apalagi melihat betapa gerakan mereka amat cepat. Ketika mendengar percakapan mereka dan tahu bahwa tiga orang laki-laki itu adalah Tambolon dan dua orang pembantunya, Kian Lee makin menaruh perhatian. Akan tetapi dia baru turun tangan membantu ketika melihat dengan hati kaget dan berdebar aneh bahwa gadis yang dikeroyok itu bukan lain adalah Lu Ceng, saudara angkat Syanti Dewi, penolong Jenderal Kao Liang, gadis yang telah beberapa kali dijumpainya dan yang tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu! Begitu dia mengenal Ceng Ceng, cepat dia bergerak dan menangkis dua orang yang hendak menangkap gadis itu.

Tambolon memandang dengan matanya yang lebar dan ganas, kemudian tertawa lagi karena dia memandang rendah kepada pemuda yang baru muncul itu. "Liauw dan Yu, kalian bereskan bocah lancang itu, biar aku menjinakkan sendiri betina liar ini karena kita tidak mempunyai banyak waktu." Sambil berkata demikian, dia sudah menubruk Ceng Ceng yang baru saja hendak bangkit berdiri.

"Keparat!" Kian Lee membentak akan tetapi ketika dia bergerak maju, Yu Ci Pok sudah mengirim totokan bertubi-tubi dengan sepasang poan-koan-pit ke arah jalan-jalan darah berbahaya di depan tubuh Kian Lee, sedangkan Liauw Kui sudah mengayun pikulannya menghantam ke arah kepalanya. Kian Lee terpaksa mengelak dan ketika dia melirik, ternyata Ceng Ceng sudah menyambut tubrukan itu dengan tendangan kakinya. Ditendang seperti itu, Tambolon tertawa saja dan ketika tendangan mengenai perutnya, bukan dia yang roboh, bahkah Ceng Ceng sendiri yang terjengkang dan terbanting telentang di atas rumput. Sambil tertawa, Tambolon menubruk tubuh gadis yang sudah telentang itu.

"Dessss....!"

"Auggghhh....!" Tambolon berteriak keras sekali dan dia masih sempat menangkis dorongan tangan orang yang tiba-tiba muncul di samping, dan ketika kedua dengan itu bertemu, Tambolon terpelanting dan hampir roboh. Dia cepat meloncat dan menghadapi laki-laki yang baru muncul itu. Laki-laki itu setengah tua, berpakaian sederhana dan sikapnya tenang, akan tetapi pandang matanya membuat Tambolon bergidik karena pandang mata itu tajam seolah-olah menembus jantungnya.

"Huh, banyak manusia lancang yang sudah bosan hidup!" Tambolon berteriak marah sekali.

"Suheng....!" Kian Lee menjadi girang melihat bahwa yang muncul itu adalah Gak Bun Beng. Bun Beng hanya tersenyum kepadanya, akan tetapi dia tidak sempat bicara karena Tambolon yang marah karena kehendaknya selalu dirintangi orang itu sudah menerjangnya dengan dahsyat. Raja liar itu memang hebat. Dia adalah keturunan seorang Panglima Mongol yang berilmu tinggi dan serangannya itu dibarengi dengan pekik dahsyat yang mengandung khi-kang kuat sekali sedangkan tangannya yang memukul ke arah Bun Beng juga mengandung pengerahan tenaga sin-kang yang amat besar.

Bun Beng sudah mendengar akan kehebatan Raja liar ini dan kini melihat gerakan pukulan itu yang didahului oleh suara angin pukulan bersiutan diam-diam dia menjadi kagum juga. Seorang manusia biadab yang hidupnya liar dapat memiliki tingkat kepandaian seperti ini, sungguh mengagumkan dan jarang ada. Maka dia pun cepat menggerakkan tangannya, didorong ke depan untuk menyambut hantaman lawan itu. Melihat ini Tambolon menjadi girang. Selama ini, dia terkenal dengan pukulan mautnya dan belum pernah ada orang berani menerima pukulannya yang memiliki kekuatan ribuan kati. Batu karang pun pecah terkena pukulannya dan hawa pukulannya dapat membuat air di dalam sumur bergelombang! Kini lawannya yang sederhana ini berani menyambut pukulannya, dasar mencari jalan kematian yang cepat, pikirnya.

"Desss....!" Dua telapak tangan bertemu di udara didahului oleh bertemunya hawa pukulan yang amat hebat dan akibatnya membuat Tambolon terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini dan memandang dengan mata terbelalak. Orang ini sama sekali tidak bergoyang! Mana mungkin ini? Dia menjadi penasaran sekali, dan bagaikan seekor kerbau mengamuk, dia menyerbu lagi, kini menggunakan kedua tangannya untuk memukul.

"Plak! Desss....!" Makin hebat pukulan Tambolon, makin hebat pula dia terguncang ketika ditangkis, sehingga kini dia terhuyung ke belakang sampai lima langkah!

"Darrr....! Darrr....!"

Dua buah benda meledak dan untung bahwa mereka semua yang berada di situ adalah orang-orang pandai sehingga dapat mengelak dan mengebut pecahan-pecahan yang menyambar ke arah mereka. Muncullah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li!

"Ah, badai besar! Berlindung....!" Teriakan Tambolon ini merupakan isyarat kepada dua orang pembantunya bahwa bahaya yang tak terlawan datang dan mereka perlu melarikan diri. Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang juga menghadapi lawan berat karena pemuda tampan itu ternyata mampu menghadapi senjata mereka dengan gerakan cepat, maklum akan teriakan pemimpin mereka dan cepat mereka meloncat ke dalam gelap, mengikuti perginya Raja Tambolon.

"Hi-hik, ini dia Si Perempuan Jalang!" Mauw Siauw Mo-li membentak ketika dia melihat Ceng Ceng.

"Ha-ha-ha, cantik.... cantik....!" Hek-tiauw Lo-mo terkekeh.

Ceng Ceng yang baru saja terlepas dari bahaya tadi berdiri dengan muka pucat memandang kepada dua orang yang datang menolongnya. Kini melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li dengan pasukan pemberontak, juga munculnya Hek-tiauw Lo-mo yang sudah dia ketahui amat lihai, menjadi putus harapan.

"Hek-tiauw Lo-mo iblis busuk!" bentaknya sambil meloncat ke depan dan menghantam raksasa itu karena Hek-tiauw Lo-mo yang berada paling dekat dengannya.

"Ha-ha-ha, kiranya engkau ini?" Hek-tiauw Lo-mo tertawa, dan karena dia maklum bahwa gadis ini memiliki ilmu tentang racun yang amat berbahaya, dia lalu mengerahkan tenaga beracun dan menangkis sambil terus menampar.

"Plakk! Bukk....!" Tubuh Ceng Ceng terbanting karena selain pukulannya kena ditangkis, juga pundaknya terkena tamparan tangan beracun Ketua Pulau Neraka yang amat lihai itu.

"Hek-tiauw Lo-mo manusia keji!" Kian Lee yang tadinya ingin mengejar Tambolon, melihat Ceng Ceng roboh terpukul, menjadi marah sekali dan dia sudah menerjang raksasa itu dengan pukulan tangannya.

"Duk-duk-desss!" Tiga kali lengan pemuda itu beradu dengan Hek-tiauw Lomo dan melihat betapa kakek itu ternyata kuat sekali, Gak Bun Beng sudah meloncat maju menggantikan Kian Lee menerjang Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi terkejut setengah mati ketika merasa betapa angin pukulan yang keluar dari kedua tangan Gak Bun Beng menimbulkan angin besar dan amat kuatnya.

"Sute, kauselamatkan dulu gadis itu dan tinggalkan tempat ini....!" Bun Beng berseru.

Kian Lee meloncat ke dekat Ceng Ceng yang masih rebah. Ketika dia mengangkat bangun gadis itu, Ceng Ceng mengeluh.

"Ah, engkau terluka, Nona. Mari kupondong keluar dari kepungan mereka...."

Akan tetapi Ceng Ceng menggeleng kepalanya. "Tidak usah.... aku akan melawan mereka.... sampai napas terakhir...."

"Tidak, Nona. Suhengku mampu menahan mereka, marilah...."

Akan tetapi kembali Ceng Ceng menolak dan tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek. "Hi-hik, percuma kau membujuk, orang muda yang tampan. Dia sudah keracunan dan akan mampus. Engkau sungguh hebat, muda, ganteng, dan lihai. Menyerahlah saja, dan engkau akan menikmati kesenangan bersama aku, hi-hik!" Dari dada wanita itu lalu terdengar suara mirip suara kucing.

Kian Lee terkejut, cepat dia meloncat berdiri melindungi di depan Ceng Ceng yang masih duduk di atas tanah sambil memegangi pundaknya yang tadi terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo. "Hemm, kiranya engkau yang disebut Siluman Kucing itu?" Dia teringat akan penuturan Kim Hwee Li puteri Ketua Pulau Neraka tentang bibi gurunya yang lihai ini, yang katanya malah lebih lihai daripada Hek-wan Kui-bo yang telah melukai pahanya dengan obat peledak. Mengertilah dia kini bahwa yang melepaskan senjata peledak sehingga menakutkan Tambolon tadi adalah wanita ini.

Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih rapi dan menarik sekali. "He-hemm.... kiranya engkau sudah mengenal aku, pemuda ganteng? Kebetulan sekali kalau begitu...."

"Sumoi, apa perlunya mengobrol? Cepat tangkap atau bunuh mereka dan lekas kau membantuku! " Tlba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak. Kiranya Ketua Pulau Neraka ini mulal terdesak oleh Gak Bun Beng! Makin lama Hek-tiauw Lo-mo menjadi makin kaget dan heran melihat betapa lawannya ini benar-benar amat hebat kepandaiannya sehingga semua ilmu pukulannya yang beracun mampu ditangkisnya tanpa melukainya, bahkan dia yang selalu tergetar dan terdorong oleh hawa pukulan yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin amat luar biasa.

Mauw Siauw Mo-li lalu memberi aba-aba dan para perajurit pemberontak serentak maju mengepung dan mengeroyok. Ceng Ceng yang masih menyeringai kesakitan, sudah melompat berdiri dan mengamuk dengan kaki tangannya, karena pedangnya Ban-tok-kiam telah dirampas oleh Tambolon. Biarpun bertangan kosong, gadis ini masih hebat sekali karena dia menggunakan pukulan-pukulan beracun, sehingga setiap orang perajurit pemberontak yang terkena pukulannya tentu terjungkal dan tak dapat bangkit kembali.

Akan tetapi setiap kali merobohkan lawan dengan pengerahan tenaga, dara ini mengeluh lirih dan makin lama gerakannya menjadi makin lemah.

Kian Lee yang mengamuk sambil melindungi Ceng Ceng sedapat mungkin, Karena sebagian besar perhatiannya dicurahkan untuk melindungi gadis itu dan dia telah berkali-kali menghalau bahaya yang mengancam Ceng Ceng dengan merobohkan penyerang gelap dari belakang gadis itu, maka dia masih belum mampu mengalahkan Mauw Siauw Mo-li yang memang amat lihai Itu. Gerakan Siluman Kucing itu cepat sekali, gin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi sehingga karena dia tidak berani menjauhi Ceng Ceng, maka sukar baginya untuk dapat merobohkan wanita itu. Sedangkan Gak Bun Beng yang mulai mendesak hebat kepada Hek-tiauw Lo-mo, juga terpaksa harus membagi tenaganya untuk menghadapi pengeroyokan perajurit-perajurit pemberontak yang makin banyak itu.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan agak jauh, disusul sorak-sorai dan pekik banyak sekali manusia yang agaknya datang dari luar tembok kota. Tak lama kemudian, terdengar teriakan-teriakan di antara perajurit pemberontak yang berlari-larian di dekat tempat itu.

"Celaka, barisan pemerintah menyerbu benteng!"

"Kita telah dikurung!"

"Kita terjebak....!"

"Mereka telah membobolkan pintu gerbang di tiga tempat!"

Teriakan-teriakan itu terdengar dengan jelas dan membikin panik para pengeroyok, termasuk Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.

"Sumoi, apa artinya itu?" Beberapa kali ketua Pulau Neraka itu berteriak sambil terus mundur dari desakan Bun Beng, mengandalkan pengeroyokan puluhan orang perajurit itu.

"Entah, Suheng....!" Mauw Siauw Mo-li menjawab bingung dan dia pun tidak begitu mendesak lagi kepada Kian Lee sehingga pemuda ini dengan leluasa dapat membantu dan melindungi Ceng Ceng dari pengeroyokan puluhan orang perajurit pemberontak yang sudah menjadi gelisah itu.

Suara gemuruh itu makin lama makin dekat dan tak lama kemudian makin banyak perajurit pemberontak yang lari cerai-berai, agaknya ketakutan.

"Hai....! Tikus-tikus bernyali kecil, pengecut-pengecut tak tahu malu!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah. "Kenapa kalian berlari-larian? Apa yang terjadi?" Suaranya nyaring sekali mengatasi suara hiruk-pikuk dan dia telah meninggalkan Gak Bun Beng yang masih dikeroyok oleh puluhan orang perajurit pemberontak.

"Barisan pemerintah menyerbu ke dalam kota Koan-bun seperti banjir! Kita telah terjebak dan dikurung!" Seorang perwira pemberontak menjawab dengan muka pucat.

Hek-tiauw Lo-mo terkejut sekali. Dia dan sumoinya mencampuri urusan pemberontakan karena kebetulan saja melihat gerakan para pemberontak dan ingin "membonceng" agar dapat memperoleh kedudukan dan kemuliaan, maka mereka telah menawarkan diri membantu. Siapa tahu, belum apa-apa sudah nampak gejala kegagalan pemberontakan ini, bahkan kini mereka terhimpit di dalam kota Koan-bun.

"Sumoi, tidak lekas pergi mau tunggu apalagi?" teriaknya, karena Ketua Pulau Neraka ini pun jerih menghadapi Gak Bun Beng yang memiliki kepandaian amat tinggi itu.

Akan tetapi tiba-tiba datang pasukan pemerintah di tempat itu dan seorang pemuda tinggi besar meloncat dengan gerakan kilat dan tahu-tahu telah berada di depan Hek-tiauw Lo-mo sambil membentak, "Hek-tiauw Lo-mo pencuri rendah! Kiranya engkau berada di sini pula menjadi kaki tangan pemberontak. Hayo cepat kembalikan sebagian kitab yang kaucuri dari Istana Gurun Pasir!"

"Orang muda lancang mulut! Siapa kau....?"

"Aku adalah murid majikan Istana Gurun Pasir yang diutus Suhu untuk merampas kembali kitab pusaka dan memberi hajaran kepada pencurinya."

"Bocah sombong!" Biarpun telah berkali-kali bertemu lawan tangguh, Hek-tiauw Lo-mo masih memandang rendah orang lain dan menghadapi pemuda tinggi besar itu dia pun memandang rendah, lalu menyerang dengan tiba-tiba.

"Desss....!" Pukulan majikan Pulau Neraka itu ditangkis oleh pemuda itu dan kagetlah Hek-tiauw Lo-mo ketika tangkisan itu membuat dia terdesak ke belakang. Baru dia percaya bahwa murid Si Dewa Bongkok ini lihai sekali. Akan tetapi tentu saja untuk mengembalikan kitab yang hanya sebagian berada di tangannya itu dia merasa sayang. Dia masih belum berhasil merampas sebagian dari kitab yang berada di tangan Ketua Lembah Bunga Hitam, yaitu Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek sehingga dia belum dapat mempelajari isi kitab dengan sempurna.

"Kok Cu....! Jahanam engkau....!" Tiba-tiba terdengar jerit melengking dan Ceng Ceng sudah lari menghampiri pemuda tinggi besar itu dan menyerang dengan pukulan ganas, mengerahkan seluruh tenaga saktinya.

Kao Kok Cu, pemuda itu, terbelalak memandang Ceng Ceng yang menyerangnya, seperti orang terpesona, sama sekali tidak mengelak maupun menangkis.

"Bukkkk! Bukkk!"

"Nona Lu Ceng....!" Kian Lee yang menjadi terkejut sekali sudah meninggalkan para pengeroyoknya dan berteriak memanggil sambil meloncat ketika dia melihat Lu Ceng seperti orang gila menyerang dan memukul Kok Cu. Pada saat itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat jauh dan melarikan diri bersama Mauw Siauw Mo-li, dan Kok Cu hanya berdiri bengong setelah dipukul dadanya dua kali oleh Ceng Ceng. Dara itu setelah memukul dua kali dengan pengerahan tenaga sekuatnya, mengeluh dan terguling roboh. Untung Kian Lee cepat menyambarnya sehingga dia tidak terbanting roboh dan pingsan di dalam pelukan Kian Lee.

Gak Bun Beng juga sudah meloncat dekat. Melihat wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu, pendekar ini terkejut bukan main karena dia maklum bahwa dara itu telah menderita luka hebat akibat racun! Dia memandang Kok Cu dengan alis berkerut dan melihat pemuda tinggi besar itu pemimpin pasukan pemerintah dan agaknya kenal dengan Kian Lee, dia bertanya, "Lee-sute, siapa dia ini?"

"Suheng dia adalah saudara Kao Kok Cu, putera Jenderal Kao."

Bu Beng mengangguk. "Ahh....!" Kemudian dia berkata, "Sute, cepat kaubawa pergi nona ini. Dia terluka dan keracunan hebat."

Kok Cu yang masih berdiri bengong memandang Ceng Ceng yang pingsan di dalam pelukan Kian Lee berkata, "Saudara Kian Lee, kaubawalah nona ini, ikutlah perwira ini agar mendapat perawatan sebaiknya." Dia memerintahkan seorang perwira yang segera mengajak Kian Lee yang memondong tubuh Ceng Ceng itu pergi meninggalkan tempat itu.

Kok Cu kini berhadapan dengan Gak Bun Beng, keduanya saling pandang penuh selidik karena masing-masing dapat menduga akan kelihaian mereka. Kok Cu yang mendengar Kian Lee menyebut suheng kepada laki-laki setengah tua ini, diam-diam terkejut. Dia sudah tahu sekarang bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah putera-putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, tentu saja ilmu kepandaian mereka hebat sekali. Dan laki-laki setengah tua yang sederhana dan tenang ini adalah suheng mereka! Sebenarnya dia ingin sekali berkenalan dengan orang yang berilmu tinggi ini, akan tetapi hatinya sudah dibuat gelisah bukan main oleh pertemuan dengan Ceng Ceng, gadis penolong ayahnya akan tetapi juga gadis yang mendendam sakit hati setinggi langit sedalam lautan kepadanya! Gadis yang diperkosanya sewaktu dia berada dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh racun jahat. Dan yang menjadi biang keladi peristiwa memalukan ini adalah Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, dua orang yang mencuri kitab suhunya. Merekalah yang membuat dia keracunan hebat itu sehingga dia melakukan perbuatan keji terhadap Lu Ceng!

"Kiranya engkau adalah putera Kao-goanswe? Sungguh menggembirakan sekali, bagaimana pasukan pemerintah bisa datang begini tepat? Di mana ayahmu?" Gak Bun Beng bertanya.

"Semua ini adalah jasa Nona Lu Ceng itu yang telah mengatur siasatnya...." Kok Cu berkata akan tetapi matanya memandang ke arah larinya Hek-tiauw Lo-mo.

"Ah...., maksudmu....?" Gak Bun Beng tercengang.

"Dia membujuk Tambolon menyerang Koan-bun dan selagi pemberontak dan pasukan Tambolon bertempur sendiri, barisan pemerintah bergerak, sebagian menyerbu Koan-bun, sebagian dipimpin Puteri Milana memotong jalan dan sebagian dipimpin Ayah menyerbu Teng-bun malam ini juga."

"Ahhh.... sungguh hebat!" Bun Beng memuji.

"Maaf, saya harus mengejar Hek-tiauw Lo-mo!" Kok Cu berkata dan cepat dia meninggalkan Bun Beng dan sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari situ, membuat Bun Beng mengikutinya dengan pandang mata kagum sekali. Pendekar ini terheran-heran dan masih tercengang dengan jalannya peristiwa yang begitu cepat dan tidak tersangka-sangka. Dia tadi pun seperti juga Kian Lee, menonton dengan penuh keheranan betapa pasukan yang dipimpin oleh Tambolon menyerbu Koan-bun dan seperti juga sutenya itu, dia menolong banyak penduduk yang diganggu oleh tentara kedua pihak. Terheran-heran hati pendekar ini melihat munculnya begitu banyak orang pandai. Mula-mula Tambolon dengan dua orang pembantunya yang lihai, kemudian Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li yang tidak kalah lihainya. Yang terakhir muncul pemuda putera Jenderal Kao itu! Pemuda itu pun amat lihai, akan tetapi anehnya, mengapa Nona Lu Ceng itu begitu melihatnya lalu menyerangnya dengan penuh kebencian? Akan tetapi pendekar ini tidak mau memusingkan hal itu dan dia lalu membantu pasukan pemerintah yang telah melakukan perang mati-matian melawan pasukan pemberontak dan pertempuran terjadi di seluruh kota sampai keesokan harinya. Kota Koan-bun mengalami perang yang luar biasa hebatnya, dimulai dari penyerbuan pasukan liar yang dipimpin oleh Tambolon lalu dilanjutkan oleh pasukan pemerintah yang menumpas pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun sebagai bala bantuan. Kalau tadinya pasukan Tambolon membasmi pasukan yang bertahan di Koan-bun, kemudian tiba giliran pasukan liar itu yang dibasmi oleh pasukan besar pemberontak dari Teng-bun, kini pasukan pemerintah turun tangan melakukan pukulan terakhir kepada barisan pemberontak.

Yang patut dikasihani adalah penduduk kota Koan-bun. Sukar bagi mereka untuk mengatakan mana kawan mana lawan karena semua anak buah pasukan selalu mengganggu mereka. Kota mereka menjadi neraka yang penuh dengan mayat dan orang-orang luka, darah membanjir setiap tempat dan banyak rumah yang habis terbakar.

Pertempuran-pertempuran mengerikan itu berlangsung sampai dua hari lamanya, tentu saja menjatuhkan korban manusia di kedua pihak yang banyak sekali. Akan tetapi akhirnya Koan-bun jatuh ke tangan barisan pemerintah yang dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong dan Kao Kok Cu yang sudah tidak kelihatan lagi bayangannya sejak dia melakukan pengejaran terhadap Hek-tiauw Lo-mo untuk merampas kembali kitab suhunya yang dicuri oleh Ketua Pulau Neraka itu.

******

Mulai malam itu, dimulai dengan penyerbuan pasukan Tambolon ke dalam kota Koan-bun, terjadilah perang yang seru dan dahsyat, yang mengerikan karena semenjak malam itu sampai beberapa hari lamanya terjadilah pembunuhan dan pembantaian antara manusia, bahkan antara bangsa sendiri sehingga puluhan ribu manusia tewas di ujung senjata tajam!

Tidak hanya di Koan-bun terjadi perang yang hebat dan kacau-balau, akan tetapi juga di tengah jalan antara Koan-bun dan Teng-bun, di mana barisan yang dipimpin oleh Puteri Milana melakukan pencegatan dan barisan pemberontak yang menyerbu ke Koan-bun untuk menumpas pasukan Tambolon itu tidak dapat kembali ke Teng-bun karena dihadang dan disergap oleh barisan Milana ini, bahkan Sang Puteri yang melihat betapa pihak musuh amat lemah lalu memecah barisannya, sebagian lalu menuju ke Teng-bun untuk membantu barisan penyerbu Teng-bun yang merupakan barisan inti dipimpin sendiri oleh Jenderal Kao Liang dibantu oleh Suma Kian Bu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pangeran Liong Khi Ong tertunda niatnya yang keji untuk memaksa Syanti Dewi menjadi miliknya dengan jalan memperkosanya ketika tiba-tiba ada laporan bahwa Koan-bun diserang oleh pasukan Tambolon. Gangguan ini sekaligus mengusir nafsu berahinya dan malam itu dia tidak berani tidur, selalu berdekatan dengan Panglima Kim Bouw Sin agar dapat mengetahui keadaan. Mereka semua mengharapkan bahwa pasukan besar yang dikirim dari Teng-bun ke Koan-bun dan yang dibantu oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li itu akan berhasil menumpas pasukan liar Tambolon.

Akan tetapi tentu saja mereka menjadi gempar ketika datang laporan bahwa pasukan yang menggempur Tambolon di Koan-bun itu telah terhimpit oleh barisan pemerintah yang secara tiba-tiba saja muncul. Bahkan kini barisan pemerintah yang amat kuat sedang menuju ke Teng-bun!

Panglima Kim Bouw Sin segera mengumpulkan para pembantunya dan menyusun kekuatan untuk mempertahankan benteng Teng-bun. Menjelang pagi muncullah musuh yang ditunggu-tunggu itu, disertai suara gemuruh yang menggetarkan hati semua perajurit pemberontak yang sudah berjaga-jaga di benteng dan di luar benteng. Panglima Kim Bouw Sin sendiri dengan beberapa orang panglima pembantunya berdiri di atas benteng untuk meninjau keadaan. Barisan pemerintah itu belum melakukan gerakan, dan memang Jenderal Kao Liang menanti sampai matahari terbit! Dia ingin melakukan gertakan lebih dulu dengan harapan untuk menggetarkan dan mengecilkan hati para perajurit pemberontak yang dahulu adalah bekas anak buahnya. Setelah matahari timbul di ufuk timur, Jenderal Kao Liang yang menunggang kuda ditemani oleh Suma Kian Bu, mendekati menara di sudut tembok benteng itu, di mana terdapat panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan para perwira pembantunya, sedangkan Pangeran Liong Khi Ong yang berada pula di situ menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang sebelum usaha pemberontakan berhasil seluruhnya.

"Kim Bouw Sin pemberontak rendah!" Jenderal Kao berseru sambil mengerahkan tenaganya sehingga suaranya terdengar oleh mereka yang berada di menara dan juga oleh sebagian besar perajurit pemberontak yang sudah berjaga di atas tembok benteng. "Apakah engkau masih belum insyaf betapa pemberontakanmu telah mendekati akhir dan kehancuran? Koan-bun sudah terjatuh kembali ke tangan kami! Pasukanmu yang ke sana malam tadi telah terbasmi, demikian pula sekutumu Tambolon sudah dihancurkan! Lebih baik engkau menakluk dan mengakui dosamu daripada mengorbankan nyawa ribuan perajurit yang hanya terkena hasutanmu!"

"Keparat dia! Hujani anak panah!" Pangeran Liong Khi Ong membentak marah sekali karena dia maklum betapa berbahayanya suara jenderal itu terdengar oleh para perajurit, karena jenderal itu merupakan seorang tokoh besar dalam ketentaraan yang amat disegani. Dia sudah melihat betapa wajah para pengawal dan perajurit yang berada di menara itu berubah pucat mendengar suara ini.

"Lepaskan anak panah!" Tiba-tiba Kim Bouw Sin memberi aba-aba, karena dia sendiri pun marah dan merasa tidak mampu untuk menjawab ucapan Jenderal Kao di bawah itu.

Para perajurit pasukan panah segera melakukan perintah ini dan anak panah meluncur ke bawah seperti hujan banyaknya. Melihat ini, Kian Bu cepat memutar pedang yang diterimanya dari Jenderal Kao dan tampaklah segulungan sinar berkilauan yang membuat anak panah yang menyambarnya runtuh semua. Juga Jenderal Kao telah memutar pedangnya, kemudian berkata kepada Kian Bu. "Taihiap, kaulindungilah aku. Aku harus membalas kecurangan mereka itu!"

Kian Bu lalu meloncat turun dari atas kudanya dan bergerak-gerak memutar pedangnya yang kini berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti mereka berdua. Jenderal Kao lalu menurunkan busur dan memasang anak panah, membidik ke atas dan tak lama kemudian terdengarlah suara berdesing ketika sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan seperti kilat ke arah panglima pemberontak Kim Bouw Sin yang melihat penyerangan anak buahnya dengan penuh harapan.

"Ciangkun, awas....!" Lam-thian Lo-mo yang selalu mendampingi panglima pemberontak ini bersama Pak-thian Lo-mo, berseru dan cepat dia menarik tangan panglima itu sehingga tubuhnya tertarik ke samping. Terdengar teriakan nyaring dan seorang perwira yang berdiri di belakang panglima pemberontak ini roboh, lehernya tertembus anak panah dan dia tewas seketika.

Jenderal Kao dan Kian Bu telah meninggalkan tempat berbahaya itu dan mulailah perang yang amat dahsyat terjadi di sekeliling tembok benteng kota Teng-bun. Mula-mula hujan anak panah dari kedua pihak, kemudian setelah Panglima Kim Bouw Sin melihat bahwa kekuatan barisan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang itu tidak besar, kurang dari separoh jumlah pasukannya yang berjaga di Teng-bun, dia lalu memerintahkan pasukan untuk menyerbu keluar, dibantu oleh barisan anak panah dan batu yang menghalau setiap usaha musuh yang hendak naik ke tembok benteng.

Maka terjadilah perang tanding di luar pintu gerbang benteng sebelah selatan. Memang perhitungan Kim Bouw Sin tepat. Jumlah pasukannya jauh lebih besar dan dia hendak menggunakan kemenangan jumlah pasukan ini untuk menggempur dan menghancurkan pasukan Jenderal Kao. Akan tetapi Jenderal Kao Liang adalah seorang pemimpin yang banyak siasatnya. Segera dia memberi komando melalui bunyi terompet dan pasukan-pasukannya berpencar, sebagian lari ke pintu gerbang di timur dan sebagian lagi menyerbu melalui sungai di barat kota Teng-bun. Melihat ini, dengan sendirinya Kim Bouw Sin harus pula membagi bagi pasukannya dan karena gerakan Jenderal Kao yang merubah-rubah jumlah pasukannya amat cepat, kadang-kadang di selatan hanya ada sedikit pasukan dan agaknya mengerahkan kekuatan untuk menggempur pintu gerbang timur, akan tetapi ketika pihak pemberontak mengerahkan tenaga menjaga di timur, kiranya yang di selatan itulah yang lebih kuat sehingga penjagaan-penjagaan dan pertahanan-pertahanan di benteng itu menjadi kacau dan panik.

Akan tetapi, karena Kim Bouw Sin adalah paglima yang tadinya menjadi pembantu Jenderal Kao, dia pun amat ahli mengatur penjagaan sehingga dengan jumlah pasukan yang jauh kalah banyak itu, agaknya tidaklah mudah bagi Jenderal Kao untuk menduduki kota benteng Teng-bun yang amat kuat itu. Dua hari dua malam perang telah berlangsung dan hanya diseling waktu untuk menyusun kekuatan di pihak masing-masing. Pada hari ke tiga, datanglah barisan bantuan dari selatan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yang memimpin sisa pasukannya setelah berhasil membantu pasukan yang dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong yang telah merebut

kembali kota Koan-bun. Tentu saja bantuan ini amat menggirangkan hati Jenderal Kao Liang dan disusunlah kekuatan baru dan dengan dahsyat barisan tergabung ini melakukan hantaman-hantaman yang menggetarkan dan mengguncangkan tembok benteng kota Teng-bun berikut semangat perlawanan para perajurit pemberontak yang memang sudah gentar ketika mendengar bahwa Jenderal Kao

Liang yang mereka takuti itu kini dibantu oleh Puteri Milana yang telah mereka kenal pula itu.

Biarpun pihak pemberontak masih mampu mempertahankan dirinya selama tiga hari tiga malam, namun kedudukan mereka telah goyah, pasukan telah gelisah dan para penjaga yang mempertahankan pintu-pintu gerbang telah kelelahan dan turun semangat. Semua ini tentu saja diketahui baik oleh Pangeran Liong Khi Ong yang menjadi makin gelisah. Selama sepekan ini dia tidak bisa tidur dan

selalu gelisah. Dia dan kakaknya memang merupakan orang-orang yang berambisi besar, akan tetapi sekali-kali bukan orang peperangan, maka menyaksikan perang di depan hidungnya dia menjadi gelisah bukan main, dan dikuasai ketakutan yang mencekam hatinya setiap saat. Demikian takutnya dia sehingga dia melarang Tek Hoat meninggalkan dirinya. Tentu saja Tek Hoat juga tidak berani membantu dan bahkan pemuda ini merasa girang karena dia dapat menjaga agar pangeran ini tidak melakukan hal yang amat dikhawatirkannya terhadap diri Syanti Dewi.

Ketika Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa pihak musuh yang masih juga belum berhasil membobol benteng Teng-bun itu kabarnya dibantu oleh pasukan baru di bawah pimpinan Puteri Milana, dia menjadi pucat ketakutan. Memang sejak dahulu dia merasa jerih terhadap Puteri Milana yang dalam persaingan di istana selalu memihak lawannya, yaitu Perdana Menteri Su. Kim Bouw Sin menenangkan hati pangeran ini dengan mengatakan bahwa pasukan mereka tidak akan kalah, dan andaikata keadaan  mendesak dan berbahaya, pangeran itu masih dapat menyelamatkan diri dengan sebuah kereta melalui pintu rahasia yang keluar ke dalam hutan di sebelah barat benteng.

Akan tetapi akhirnya Panglima Kim Bouw Sin harus mengakui akan kekuatan musuh setelah pasukan yang dipimpin Puteri Milana datang membantu Jenderal Kao Lian. Dan atas permintaannya, terpaksa Pangeran Liong membolehkan Tek Hoat membantu Panglima Kim Bouw Sin. Mulailah Tek Hoat terjun ke medan pertempuran bersama Siang Lo-mo. Mereka bertiga ini memang berhasil membangkitkan semangat para perajurit pemberontak, dan kini pertempuran secara berhadapan mulai terjadi di dua pintu gerbang. Pihak tentara pemerintah makin mendesak dan akhirnya, pada hari ke empat, bobollah pintu selatan diserbu oleh pasukan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Milana dibantu oleh Suma Kian Bu. Amukan dua orang keturunan Pendekar Super Sakti itu sedemikian hebatnya sehingga menggiriskan hati para perajurit pemberontak yang terus mundur memasuki kota.

Siang Lo-mo yang mengamuk di pintu barat dan timur, merobohkan banyak perajurit musuh, mendengar akan bobolnya pintu gerbang selatan. Selagi mereka hendak lari membantu para penjaga di pintu gerbang selatan itu, tiba-tiba ada perwira-perwira yang memanggil mereka dan ternyata bahwa mereka dipanggil oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk mengawal pangeran itu keluar dari Teng-bun.

Panglima Kim Bouw Sin mengerahkan pasukan istimewa, dengan panah api berhasil menghalau pasukan musuh yang telah menyerbu masuk melalui pintu gerbang selatan. Melihat pasukannya banyak yang roboh dan panik oleh hujan anak panah berapi, terpaksa Milana dan Kian Bu menarik kembali pasukan itu keluar dari pintu gerbang dan kembali pintu gerbang dikuasai oleh pihak pemberontak yang menutupnya dengan pintu besi yang tadi sudah ambruk, menjaganya kuat-kuat dan memasang barisan panah di tempat itu. Untung malam tiba sehingga pihak pasukan pemerintah menghentikan serangan dan mundur, menghimpun kembali tenaga untuk dipakai menyerang lagi pada keesokan harinya.

Tek Hoat kembali ke gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong. Tubuhnya lelah karena dia ikut bertempur sejak pagi sampai sore. Pakaiannya berlepotan darah korban yang dirobohkannya dan pahanya berdarah, luka sedikit oleh tombak para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya dalam perang campuh tadi. Dia mulai merasa bosan berperang, kebosanan yang menyerangnya sejak dia bertemu dengan Syanti Dewi. Dia merasa bahwa semua orang, termasuk dia, menjadi alat-alat yang dipergunakan oleh beberapa orang terutama Pangeran Liong Bin Ong dan Liong Khi Ong, untuk merebut kemuliaan di kota raja! Biarpun dia membantu pemberontak dengan hasrat ingin memperoleh kedudukan yang tinggi kelak, namun harus diakuinya bahwa dia pun hanya merupakan alat dari dua orang pangeran itu, dan andaikata pemberontakan itu berhasil kelak, sudah terbayang olehnya bahwa dia tentu hanya akan menjadi orang bawahan dua pangeran itu, karena bukan hal yang mudah untuk mencapai kedudukan tertinggi. Dan dia merasa pula bahwa betapapun tinggi kedudukan yang diperolehnya kelak, kalau dia melihat Syanti Dewi menjadi barang permainan Liong Khi Ong, hatinya tidak akan pernah mengalami kebahagiaan. Sekarang pun, hatinya gelisah karena dia pagi tadi harus membantu perang, dan dia tidak dapat lagi mengawasi pangeran tua mata keranjang itu. Bagaimana kalau ketidak-hadirannya tadi membuka kesempatan bagi Pangeran Liong Khi Ong untuk memaksa Syanti Dewi menuruti keinginannya? Sungguhpun dia tahu bahwa rasa ketakutan hebat kiranya tidak memberi kesempatan kepada Pangeran Liong Khi Ong untuk ingat akan nafsunya terhadap Syanti Dewi, namun tetap saja hati Tek Hoat berdebar tegang, mukanya menjadi panas dan dia mengepal tinjunya ketika dia menghampiri gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong yang kelihatan sunyi itu.

Tiba-tiba dia menyelinap di balik pohon ketika mendengar suara roda kereta. Dia mengenal kereta itu, kereta yang disediakan untuk Pangeran Liong Khi Ong. Dan di dalam kereta itu duduk Siang Lo-mo! Hatinya curiga. Dia pun sudah mendengar bahwa kereta itu disiapkan oleh Panglima Kim Bouw Sin untuk Sang Pangeran, dapat dipergunakan oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk lari mengungsi apabila keadaan berbahaya, melalui sebuah pintu rahasia yang menembus hutan di sebelah barat benteng. Cepat dia menggunakan kepandaiannya untuk berlari di belakang kereta dan karena roda kereta itu menimbulkan bunyi yang cukup keras, maka betapapun lihainya Siang Lo-mo, mereka tidak tahu bahwa ada orang yang lari di belakang kereta, dekat sekali.

"Mengapa kita yang disuruh mengawal Pangeran, bukan Ang Tek Hoat?" terdengar oleh Tek Hoat suara Pak-thian Lo-mo.

"Ha-ha, apakah engkau tidak dapat melihat kenyataan? Dari penuturan Hek-wan Kui-bo saja sudah jelas bahwa pemuda sombong itu jatuh cinta kepada puteri Bhutan itu! Tentu saja Pangeran juga tahu akan hal ini, maka dia akan ditinggalkan di sini untuk membantu Panglima Kim sedangkan sebaliknya kita dan Hek-wan Kui-bo yang disuruh mengawal sampai Pangeran dan puteri Bhutan itu tiba di kota raja."

"Untung kita!" Pak-thian Lo-mo berkata dengan nada suara gembira. "Benteng ini tidak akan dapat dipertahankan lebih lama lagi. Dan kita sudah akan berada di kota raja kalau benteng itu jatuh ke tangan musuh!"

"Sstttt...., kita sudah sampai, sebaiknya tidak bicara tentang itu," bisik Lam-thian Lo-mo. Kereta berhenti di belakang Istana yang gelap. Agaknya Pangeran yang hendak melarikan diri itu menghendaki demikian dan segalanya sudah diatur sebelumnya.

Sepasang kakek kembar yang lihai itu meloncat turun dari dalam kereta. "Kautunggu di sini sebentar!" kata Lam-thian Lo-mo kepada kusir kereta yang berpakaian seperti perajurit dan yang duduk di bagian depan kereta itu, memegang cambuk panjang. Kusir itu menjawab singkat, "Baik, Locianpwe." Memang semua perajurit yang bertugas dekat dengan Pangeran dan Panglima Kim, mengenal dua orang kakek kembar yang lihai ini dan semua menyebut mereka "locianpwe". Ketika dua orang kakek itu dengan cepat lari memasuki gedung, kusir itu duduk menanti dan memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, sesuai dengan kehendak pangeran agar tempat itu dikosongkan sehingga tidak ada penjaga yang melihat keberangkatannya karena hal itu mendatangkan pengaruh kurang baik bagi semua perajurit yang harus mempertahankan benteng itu sampai saat terakhir.

Beberapa saat kemudian dengan sikap tergesa-gesa tampak Pangeran Liong Khi Ong yang memakai pakaian biasa, menyamar sebagai seorang pedagang, menggandeng tangan Syanti Dewi yang juga memakai pakaian biasa, setengah menyeret dara itu keluar dari gedung menuju ke kereta yang menanti di belakang gedung. Wajah Syanti Dewi kelihatan pucat dan jelas bahwa puteri ini kelihatan marah dan tidak suka, akan tetapi dia dipaksa oleh pangeran itu dan di belakang mereka ini berjalan Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Tidak ada orang lain lagi yang mengawal mereka.

Lam-thian Lo-mo lalu membukakan pintu kereta, dan Pangeran Liong Khi Ong menarik tangan puteri itu untuk memasuki kereta. Di depan pintu kereta, Syanti Dewi merenggutkan tangannya dan berkata, suaranya tetap tenang namun penuh penyesalan dan kemarahan. "Pangeran, sungguh tidak kusangka bahwa engkau ternyata hanya seorang pengecut yang akan melarikan diri setelah melihat benteng ini terkepung musuh. Dan tak kusangka bahwa aku akan dipaksa begini, seolah-olah aku berada di tangan sekelompok penjahat. Biarlah aku ditinggalkan di sini saja, aku tidak ingin ikut dengan Pangeran ke kota raja."

"Aih, mana bisa, manis! Engkau adalah calon isteriku, ke manapun harus kubawa serta. Maafkan aku, selama berada di tempat ini aku kurang perhatian terhadap dirimu karena kita menghadapi perang. Akan tetapi di kota raja nanti, hemm.... kita akan bersenang-senang...."

"Tidak! Kita bukan tunangan lagi! Aku dahulu suka menuruti kehendak ayahku karena ayahku sebagai Raja di Bhutan menerima pinangan langsung dari Kaisar Kerajaan Ceng-tiauw. Akan tetapi ternyata bahwa engkau pangeran sekarang malah memberontak kepada Kerajaan Ceng! Tentu saja saya tidak sudi menerima pinangan seorang pemberontak yang hina!" Sikap puteri itu kini marah sekali dan dia berdiri tegak dengan pandang mata menghina kepada pangeran yang berdiri dengan canggung di depannya itu.

"Pangeran, mengapa melayaninya? Semua wanita dari tingkat apapun juga selalu cerewet!" Lam-thian Lo-mo berkata.

"Heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo, jangan lancang begitu mulutmu memaki orang perempuan!" Hek-wan Kui-bo mencela sambil tertawa.

"Perempuan memang harus cerewet dan galak, baru menarik, seperti mawar dengan durinya." Pak-thian Lo-mo yang biasanya pendiam itu kini memberi komentar. Lam-thian Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo menyambut komentar ini dengan tertawa, dan Pangeran Liong tertawa juga.

Syanti Dewi maklum bahwa tidak ada gunanya lagi bicara dengan pangeran ini, tidak ada gunanya memasukkan segala alasan berdasarkan kesusilaan dan kesopanan kepada pangeran tua yang sudah bebal ini karena dia melihat sudah bahwa tidak ada bedanya antara pangeran ini dengan tiga orang tua seperti iblis itu. Hanya pada lahirnya saja pangeran ini halus dan terpelajar, namun di dalam batinnya dia malah lebih parah dari orang-orang kasar ini. Maka dia membuang muka, tidak mempedulikan lagi kepada mereka dan memasuki kereta sendiri karena dia pikir lebih baik begitu daripada dipaksa. Dia masih merasa beruntung bahwa keadaan perang di Teng-bun membuat pangeran itu belum sempat mengganggunya, dia akan menghadapi apa saja yang akan menimpa dirinya dengan tabah. Masih belum terlambat baginya untuk mempergunakan pisau yang disembunyikan di

dalam lipatan bajunya apabila saatnya tidak memberi harapan lagi kepadanya.

Pangeran Liong Khi Ong masih tertawa ketika dia pun masuk ke dalam kereta dan duduk di dekat Syanti Dewi. Sepasang kakek kembar dan Hek-wan Kui-bo juga masuk dan duduk di depan mereka sebagai pengawal.

"Kusir dungu! Hayo jalan!" Lam-thian Lo-mo membentak ke arah kusir yang duduk tegak di belakang kuda agak tinggi itu. Sejak tadi kusir ini tidak berani menengok dan pura-pura tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di depan pintu kereta tadi.

"Baik, Locianpwe!" jawabnya otomatis dengan suaranya yang tinggi dan parau.

Kereta bergerak setelah terdengar cambuk meledak dan melecut di atas kepala empat ekor kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik dan tak lama kemudian kereta berjalan cepat sekali menuju ke barat.

"Locianpwe, saya belum tahu harus pergi kemana...." Kusir itu berkata dengan suara lirih seolah-olah dia merasa takut terhadap para penumpangnya.

"Pangeran, harap memberitahukan jalannya," Lam-thian Lo-mo berkata.

"Terus saja," kata Pangeran Liong Khi Ong, karena hanya dia sendiri dan Panglima Kim Bouw Sin serta beberapa orang perwira kepercayaan yang lain saja yang tahu akan tempat itu, termasuk Tek Hoat. "Setelah tiba di pintu gerbang barat, membelok ke selatan kurang lebih satu li."

Kusir itu mencambuk kuda dan kereta meluncur cepat di malam gelap itu menuju ke barat. Orang-orang yang melihat bahwa kusir kereta itu seorang yang berpakaian perajurit, tidak ada yang menduga siapa yang berada di dalamnya, hanya mengira bahwa penumpangnya tentulah seorang di antara para perwira tinggi.

Setelah tiba di pintu gerbang barat yang terjaga kuat dan membelok ke selatan, kereta memasuki sebuah kebun yang tidak terawat dan akhirnya, di tempat yang amat sunyi ini, Pangeran Liong Khi Ong menyuruh Siang Lo-mo membuka sebuah pintu rahasia yang tertutup rumpun ilalang dan cara membukanya digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi di dalam batang pohon yang berlubang. Setelah kereta itu menerobos pintu rahasia di tembok benteng yang sunyi itu, Siang Lo-mo menutupkan kembali dari luar dan kereta melanjutkan perjalanannya. Ternyata di sebelah luar tembok itu adalah sebuah hutan yang lebat, gelap dan sunyi.

"Terus masuk ke dalam hutan," Pangeran Liong berkata.

"Kita sembunyi di dalam hutan malam ini, besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke selatan."

Setelah kereta tiba di dalam hutan, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo turun dari kereta, melihat-lihat keadaan. Hutan itu sunyi dan mereka merasa lega.

"Kita menanti sampai pagi dan tentu pihak musuh sudah mulai menyerang benteng lagi," kata Pangeran itu. "Perhatian mereka akan tercurah ke benteng semua sehingga kita memperoleh kesempatan untuk melanjutkan perjalanan dengan aman. Dari sini kita harus ke barat sampai keluar dari hutan dan tiba di lereng bukit dan dari sana mulailah kita menuju ke selatan."

Kusir kereta itu turun pula dan tanpa mengeluarkan suara dia melepaskan empat ekor kuda itu, membawanya ke tempat yang banyak rumputnya dan membiarkan mereka makan rumput. Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah membuat api unggun dan duduk di sekeliling api sambil bercakap-cakap.

Pangeran Liong Khi Ong dan Syanti Dewi berada di dalam kereta. Hek-wan Kui-bo yang memandang ke kereta itu berkata lirih sambil terkekeh, "Heh-heh, Pangeran sampai lupa dingin, tidak turun dari kereta."

"Nenek tua, apa engkau tidak tahu senangnya orang berpengantinan?" Lam-thian Lo-mo juga terkekeh.

"Hi-hik, agaknya di dalam kereta itu Pangeran merasa lebih hangat daripada di dekat api ini." Hek-wan Kui-bo tertawa lagi.

Akan tetapi tak lama kemudian tiga orang datuk kaum sesat itu sudah bicara dengan serius, suara mereka berbisik-bisik karena mereka kini terlibat dalam percakapan yang amat penting bagi mereka, yaitu tentang gerakan pemberontak yang mulai terpukul oleh barisan pemerintah. Mereka bertiga itu, seperti juga Ang Tek Hoat, membantu pemberontakan karena mereka hendak mengejar kedudukan dan kemuliaan di hari tua mereka. Kini, melihat kenyataan betapa pasukan pemberontak mulai dihajar oleh barisan pemerintah yang jauh lebih kuat, semangat mereka juga menurun. Akan tetapi mereka masih belum kehilangan harapan selama mereka masih mengawal Pangeran Liong Khi Ong yang mereka tahu mempunyai kedudukan mulia di kota raja. Selama mereka masih menjadi pembantu-pembantu kedua orang Pangeran Liong, harapan masih terbuka bagi mereka. Setidaknya sebagai pengawal-pengawal Pangeran Liong kedudukan mereka pun sudah cukup terhormat di kota raja.

Karena senasib dan segolongan, dalam waktu singkat Hek-wan Kui-bo dan sepasang kakek kembar itu sudah menjadi sahabat yang akrab dan mereka bicara secara terus terang tanpa saling mencurigai karena sudah mengenal isi hati masing-masing.

"Apa katamu?" Hek-wan Kui-bo bicara lirih kepada Pat-thian Lo-mo. "Kalau sampai di kota raja kedua pangeran itu gagal? Ah, kalau sudah berada di istana, mana bisa gagal? Setidaknya sebelum aku pergi dari kota raja, banyak terbuka kesempatan untuk mengambil banyak barang berharga dari istana dan hasil itu pun sudah lumayan untuk menutup kegagalanku."

"Uhh, apa artinya harta kekayaan bagi kita yang sudah tua?" Lam-thian Lo-mo mencela.

"Kalau begitu, apa yang akan kalian lakukan kalau ternyata usaha Pangeran Liong gagal pula di istana?" tanya nenek itu.

"Kami tidak mau mencuri barang berharga akan tetapi kami akan membawa dia...." Lam-thian Lo-mo menggerakkan kepalanya ke arah kereta.

"Eihh....? Puteri Bhutan?" nenek itu bertanya dan melihat dua orang kakek itu mengangguk, dia bertanya, "Untuk apa? Apakah kalian ini kiranya bandot-bandot tua bangka pula seperti Pangeran Liong?"

"Bodoh!" Pak-thian Lo-mo mencela. "Kami antar dia pulang ke Bhutan dan di sana kami akan berusaha mencapai kedudukan tinggi."

"Aih, kiranya kalian benar-benar gila pangkat." Nenek itu berkata geli dan pada saat itu, terdengar jerit tertahan dari dalam kereta.

"Hi-hi-hik, Pangeran itu sungguh tidak sabar lagi!" Hek-wan kui-bo terkekeh. "Apa dia hendak memaksa Puteri Bhutan di

ruangan kereta yang sempit itu?"

"Tidak....! Jangan menyentuhku!" Terdengar suara Syanti Dewi menjerit marah. "Pangeran Liong Khi Ong, ternyata engkau hanyalah seorang laki-laki keji dan hina. Akan tetapi jangan mengira akan dapat menyentuhku, lihat apa yang kupegang ini! Sebelum engkau menjamahku, lebih dulu aku akan menjadi mayat!"

Tiga orang tua lihai yang tadinya hanya tertawa-tawa saja sambil memandang ke arah kereta, menjadi kaget juga mendengar teriakan Syanti Dewi itu, dan mereka terbelalak makin heran dan kaget ketika mereka melihat betapa kusir kereta yang tadinya menggunakan kain menggosok dan membersihkan kereta itu tiba-tiba kini menghampiri pintu kereta dan menyingkap tirai yang menutupi pintu kereta itu.

"Heiii, kusir tolol! Mau apa kau?" Hek-wan Kui-bo membentak marah.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati tiga orang tua itu ketika mereka melihat kusir itu membuka pintu kereta dengan paksa lalu meloncat ke dalam kereta. Terdengar teriakan Pangeran Liong, teriakan mengerikan dan disusul dengan berkelebatnya bayangan kusir tadi yang telah memondong tubuh Syanti Dewi yang meronta-ronta dan berteriak-teriak, "Lepaskan aku!"

"Eh, kusir keparat!" Tiga orang tua itu cepat meloncat dan mengejar ke arah kereta. Sekali bergerak, Hek-wan Kui-bo sudah membuka pintu kereta dan mereka menjenguk ke dalam, terkejut bukan main melihat Pangeran Liong Khi Ong sudah menggeletak tak bernyawa lagi dan di dahi pangeran itu tampak tiga gambar jari tangan hitam.

"Si Jari Maut....!"

"Kiranya dia si jahanam itu!"

Mereka melompat dan mengejar. Ketika melihat bayangan kusir yang memondong tubuh Syanti Dewi itu meloncat ke atas seekor kuda sedangkan tiga ekor kuda yang lain dicambuk dan lari cerai-berai, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo cepat mengejar.

Kusir itu memang Tek Hoat adanya. Ketika tadi melihat kereta yang ditumpangi Siang Lo-mo menuju ke gedung Pangeran Liong, dia membayangi dan dapat mendengar percakapan antara kedua orang kakek itu, Tek Hoat merasa gelisah sekali. Tanpa disadarinya sendiri, urusan Syanti Dewi telah menjadi hal yang amat penting baginya, jauh lebih penting dari urusan apa pun, lebih penting daripada cita-citanya untuk memperoleh kedudukan mulia. Maka setelah Sepasang Kakek Iblis itu memasuki gedung, dia cepat turun tangan meloncat dan menyergap kusir kereta itu seperti seekor harimau menerkam domba, menyeret kusir itu menjauhi kereta, menotoknya lumpuh dan tak dapat bersuara, melucuti pakaiannya dan mengenakan pakaian dan topi kusir itu lalu dengan tenang dia menggantikan tempat kusir itu. Dia tadi pernah mendengar suara kusir itu ketika menjawab perintah Siang Lo-mo, maka dia mampu menirukan suaranya dan untung baginya bahwa baik Pangeran Liong maupun tiga orang pengawalnya itu tidak mengenal mukanya yang selalu dia sembunyikan agar tidak langsung menerima sinar lampu penerangan di sepanjang perjalanan itu. Dia tidak berani turun tangan menolong Syanti Dewi di dalam kota Teng-bun karena hal itu amatlah berbahaya. Baru setelah kereta keluar dari kota dan berada di dalam hutan, dia melepas-lepaskan kuda dan ketika mendengar teriakan marah Syanti Dewi, tahulah dia bahwa saat baginya untuk turun tangan telah tiba maka secepat kilat dia memasuki kereta, membunuh Pangeran yang mulai dibencinya sejak Syanti Dewi terjatuh ke tangan Pangeran itu, memondong dengan paksa tubuh Syanti Dewi dan melarikan diri dengan menunggang seekor kuda setelah dia mencambuk tiga ekor kuda yang lain sehingga binatang-binatang itu kabur ketakutan.

"Ang Tek Hoat pengkhianat rendah!" Lam-thian Lo-mo memaki dan bersama Pak-thian Lo-mo dia melakukan pengejaran.

"Minggirlah, biar kurobohkan dia!" Hek-wan Kui-bo berteriak dan dua orang kakek itu masih mengejar akan tetapi berpencar ke kanan kiri untuk memberi kesempatan kepada Hek-wan Kui-bo untuk melakukan penyerangan.

Nenek itu sudah mengeluarkan dua buah senjata rahasianya yang berbentuk besi bulat, lalu melontarkan dua buah benda itu ke arah Tek Hoat yang membalapkan kudanya.

Mendengar desingan angin dari belakang, Tek Hoat terkejut sekali. Dia sudah pernah menyaksikan Hek-wan Kui-bo menggunakan senjata rahasianya yang dapat meledak, maka kini tahu bahwa nenek itu menyerangnya dengan senjata dahsyat itu, dia terkejut dan cepat meloncat dari atas punggung kuda sambil memondong tubuh Syanti Dewi, dan begitu kakinya menyentuh tanah, dia terus  bergulingan menjauh dan masih memondong tubuh dara itu.

"Maaf, terpaksa begini, senjatanya berbahaya sekali...." Tek Hoat berbisik.

"Dar! Darr!" Dua buah senjata rahasia itu meledak dan mengeluarkan kilat dibarengi muncratnya pecahan-pecahan besi. Kuda itu meringkik dan roboh terguling, perutnya pecah.

"Ahhh....!" Syanti Dewi mengeluh, ngeri menyaksikan nasib kuda itu. Kini dia tidak meronta lagi karena menduga bahwa pemuda ini memang sengaja membunuh Pangeran Liong dan membawanya pergi hendak menolongnya, sungguhpun dia masih merasa sangsi apakah benar pemuda yang menjadi kaki tangan pemberontak ini menolongnya dengan niat baik. Betapapun juga, kiranya jauh lebih baik dan lebih ada harapan terjatuh ke tangan pemuda yang bersikap halus ini daripada terjatuh ke tangan dua orang kakek dan nenek iblis yang mengerikan itu.

"Nona, kautunggulah di sini, biar kuhadapi mereka itu," kata Tek Hoat yang telah membuang topi perajurit dan telah menanggalkan pakaian perajurit yang tadi menutupi pakaiannya sendiri. Dengan tenang dia lalu menanti tiga orang lawan itu yang sudah berlari mendatangi.

Kini mereka berdiri berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Bulan di langit meluncurkan sinarnya yang lembut dan menerobos celah-celah daun pohon sehingga kini biarpun tidak memperoleh penerangan lentera kereta yang jauh dari mereka, empat orang itu dapat saling memandang cukup jelas.

"Heh-heh-heh, sudah kuduga sebelumnya! Sejak semula engkau dahulu menyerangku, aku sudah tahu bahwa engkau adalah seorang pengkhianat, Ang Tek Hoat! Sudah kuperingatkan Pangeran, akan tetapi dia tidak percaya. Sekarang dia percaya akan tetapi sudah terlambat!" Hek-wan Kui-bo berkata.

"Belum terlambat!" Pak-thian Lo-mo berkata. "Kita mengirim dia menyusul Pangeran."

"Sayang, seorang seperti engkau ini menjadi berubah begitu bertemu dengan wanita cantik, Si Jari Maut! Engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, satu-satunya orang yang sudah memberi harapan kepada kita. Sekarang kami tidak dapat pergi ke kota raja lagi, gara-gara engkau!"

Tek Hoat tersenyum mengejek. "Orang yang cerdik selalu dapat melihat keadaan, akan tetapi kalian bertiga tua bangka ini agaknya tidak dapat melihat kenyataan. Jatuhnya Koan-bun dan Teng-bun yang tak akan dapat bertahan lama lagi berarti berakhirnya petualangan Pangeran Liong, apakah kita masih harus mengabdi kepada kekuasaan yang sudah mendekati keruntuhannya?"

"Engkau yang tolol!" Hek-wan Kui-bo membentak. "Biarpun pemberontakan itu sendiri gagal, akan tetapi dengan adanya Pangeran, kita dapat mengunjungi istana kerajaan dengan aman dan di sana terbuka banyak kesempatan bagi kita. Akan tetapi engkau sekarang membunuhnya sehingga hancur semua harapan dan susah payah kita!"

"Hemm, aku sudah membunuhnya dan kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela kematiannya?"

"Cuhhh!" Pak-thian Lo-mo meludah. "Kami tidak akan membela siapa pun kecuali membela kepentingan kami sendiri!"

"Apa yang dikatakannya itu benar, Ang-sicu," Lam-thian Lo-mo berkata. "Soal engkau membunuh pangeran atau raja, tidak ada sangkut-pautnya dengan kami. Kami bukan orang yang mengekor kepada siapa pun, apalagi kepada Liong Khi Ong. Kalau kami membantu dia, seperti juga engkau, hanya karena kami melihat kemungkinan baik bagi kami untuk memperoleh kemuliaan. Akan tetapi sekarang dia kaubunuh, berarti kau merugikan kami yang hanya dapat kaubayar sekarang juga."

"Dengan nyawaku? Cobalah kalau kalian mampu!" Tek Hoat menantang dengan senyum mengejek.

"Sombong engkau!" Hek-wan Kui-bo sudah marah sekali dan hendak menyerang, akan tetapi Lam-thian Lo-mo mencegahnya dan nenek ini yang sekarang merasa menjadi sekutu Siang Lo-mo untuk menghadapi pemuda lihai itu tidak membantah.

"Ang Tek Hoat, jangan salah duga. Liong Khi Ong sudah mampus, maka biarlah. Hanya karena kami juga kehilangan harapan untuk pergi ke kota raja, maka sekarang kami minta bantuanmu. Kami hendak mengantarkan Puteri Bhutan itu kepada ayahnya di Bhutan. Kami tentu akan memperoleh balas jasa di Kerajaan Bhutan dan siapa tahu kami akan mendapatkan ganti kemuliaan di sana." Lam-thian Lo-mo berkata dengan suara bernada halus.

"Keparat, jangan minta yang bukan-bukan!" Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi permintaan itu membuat Tek Hoat naik darah.

"Hi-hik, percuma, Lam-thian Lo-mo. Dia ingin mengangkangi sendiri gadis itu. Aku sudah tahu akan hal ini sejak dulu!" Hek-wan Kui-bo berkata.

Tek Hoat melirik ke arah Syanti Dewi. Puteri itu telah bangkit berdiri dan bersembunyi di balik pohon dan kini mengintai dan memandang ke arahnya dengan sinar mata ketakutan.

"Apa yang kurasakan tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian bertiga. Pendeknya, aku tidak percaya kepada kalian dan tidak akan menyerahkan dia kepada kalian!"

"Ang Tek Hoat, apakah engkau memilih mati daripada menyerahkan puteri itu kepada kami?" Pak-thian Lo-mo berteriak.

"Hemm, kalian yang akan mampus di tanganku kalau berani menentangku."

"Bocah sombong! Engkau berani menentang kami bertiga?" Lam-thian Lomo membentak marah.

"Perlu apa banyak cakap? Bunuh saja bocah ini!" Hek-wan Kui-bo membentak dan dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan tongkatnya, disusul oleh Siang Lo-mo yang merasa marah sekali terhadap bekas rekan ini.

Ang Tek Hoat memang bersikap sombong terhadap tiga orang tokoh hitam ini, akan tetapi dia cerdik dan dia sebenarnya tidak memandang ringan. Dia maklum bahwa mereka bertiga adalah orang-orang yang amat lihai dan kalau maju bersama merupakan lawan yang berat dan berbahaya. Maka begitu melihat mereka sudah menyerang, dia pun meloncat mundur menjauhi tempat Syanti Dewi bersembunyi, sambil mencabut pedang Cui-beng-kiam yang dipalangkan di depan dadanya. Sinar pedang yang mengandung hawa mujijat dan menyeramkan ini mendatangkan kengerian juga di hati tiga orang lawannya, akan tetapi karena mereka juga merupakan tokoh-tokoh yang sudah lama malang melintang di dunia persilatan, mereka tidak menjadi gentar dan sudah bergerak mengurung dengan senjata di tangan. Tangan Hek-wan Kui-bo memutar-mutar tongkat sehingga di depan tubuhnya tampak sinar hitam bergulung-gulung seperti ada kitiran besar berputar di depan tubuhnya dan mengeluarkan suara berdesingan.

"Tar-tar-tarrr!" Senjata di tangan kedua orang Lo-mo itu berupa sabuk atau pecut baja yang ketika digerak-gerakkan di atas kepala mengeluarkan bunyi meledak-ledak dan ujungnya yang melecut mengenai batangnya sendiri mengeluarkan bunga api!

Syanti Dewi yang bersembunyi di balik batang pohon itu menonton dengan muka pucat dan mata terbelalak. Percakapan antara empat orang itu tadi saja sudah menceritakan kepadanya orang-orang macam apa adanya mereka itu. Kalau dia terjatuh di tangan pemuda yang bernama Ang Tek Hoat dan yang telah berkhianat kepada bekas majikannya sendiri dan telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, dia masih belum tahu apa yang akan terjadi atas dirinya. Kalau memang pemuda itu mempunyai niat keji dan buruk terhadap dirinya seperti yang dikatakan Hek-wan Kui-bo tadi, dia tentu akan menjaga diri dan akan membunuh diri sebelum pemuda itu dapat menjamah tubuhnya. Sebaliknya kalau dia terjatuh ke dalam tangan tiga orang iblis tua itu, seperti juga Tek Hoat, dia tidak percaya bahwa mereka akan menyerahkan dia begitu saja kepada ayahnya, Raja Bhutan. Orang-orang seperti mereka ini tentu tidak akan segan-segan untuk memeras ayahnya, memaksa ayahnya menuruti kehendak mereka untuk melihat puterinya selamat! Tidak, betapapun juga, kalau bisa dikatakan ada kesempatan memilih, dia memilih terjatuh ke tangan pemuda itu yang belum tentu akan berbuat jahat kepada dirinya.

Tek Hoat berdiri dengan sikap tenang dan sedikit pun tidak bergerak, pedang melintang di depan dada dan tangan kiri dengan jari terbuka di atas kepala, telunjuknya menuding langit, hanya sepasang manik matanya saja yang bergerak ke kanan kiri untuk mengikuti gerakan tiga orang yang menghadapinya. Hek-wan Kui-bo berdiri di depannya, Lam-thian Lo-mo di sebelah kanannya dan Pak-thian Lo-mo di sebelah kirinya. Dia maklum bahwa di antara tiga orang ini, kepandaian Hek-wan Kui-bo yang dapat dianggap paling rendah sungguhpun senjata rahasia peledak dari nenek ini amat berbahaya. Dia tahu pula bahwa senjata pecut besi di

tangan kakek kembar itu tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangannya karena senjata dua orang kakek itu mengandung racun yang amat jahat. Hanya pedangnya, peninggalan dari iblis Pulau Neraka, Cui-beng Koai-ong, adalah sebatang pedang mujijat yang mengandung hawa mujijat dan inilah keunggulan senjatanya dari senjata tiga orang lawannya.

"Taarrr.... siuuuutttt....!" Pecut yang tadi berputaran di atas dan meledak-ledak itu kini menyambar dari kanan mengarah

kepalanya dan ujung pecut itu meluncur untuk menotok ubun-ubun kepala Tek Hoat. Menghadapi serangan maut dari Lam-thian Lo-mo ini, cepat Tek Hoat mengelak dengan tubuh direndahkan, akan tetapi pada saat itu, dari kiri menyambar pecut Pak-thian Lo-mo sedangkan dari depan menyusul tongkat Hek-wan Kui-bo yang meluncur ke arah pusarnya.

Tek Hoat meloncat, menghindarkan kakinya yang tertotok secara bertubi oleh ujung pecut Pak-thian Lo-mo yang mengarah kedua mata kaki dan lututnya, dan pedangnya digerakkan menangkis tongkat Hek-wan Kui-bo. Nenek ini sudah mengenal keampuhan pedang Cui-beng-kiam, maka dia tidak berani mengadu tenaga, melainkan hanya menarik tongkatnya dan dibalik sehingga dalam detik lain ujung tongkat itu sudah menusuk ke arah mata Tek Hoat.

Tek Hoat menggerakkan pedang menangkis sambil melompat mundur menghindarkan sambitan ujung pecut dari kanan. Akan tetapi kembali dua batang pecut besi itu sudah menyambar dari atas dan bawah sedangkan tongkat dari nenek itu pun menyerang dengan bertubi-tubi. Tek Hoat mengeluarkan kepandaiannya, pedangnya diputar menjadi sinar bergulung-gulung melindungi tubuhnya dan sekaligus menangkis serangan tiga buah senjata lawan, kemudian tiba-tiba dari dalam gulungan itu mencuat sinar terang yang membuat gerakan melengkung dan menyambar ke arah perut tiga orang lawan itu seperti seekor naga melayang.

Tiga orang itu terkejut dan cepat mengelak ke belakang karena sambaran pedang itu amat berbahaya, kemudian dari jarak agak jauh pecut-pecut dari kanan kiri sudah menyambar lagi. Suara kedua senjata ini meledak-ledak seperti petir menyambar dan bunga api berpancaran menyilaukan mata. Namun Tek Hoat selalu dapat mengelak atau menangkis semua serangan itu, bahkan untuk setiap serangan dia tentu mengadakan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Syanti Dewi yang menonton pertandingan itu menjadi bengong. Bukan main hebatnya pertandingan itu, matanya sampai menjadi silau dan berkunang. Tidak dapat lagi dia mengikuti gerakan empat orang itu, bahkan bayangan mereka pun lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka. Hanya kadang-kadang saja nampak kaki atau tangan yang segera lenyap lagi ke dalam gulungan sinar senjata. Jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Dia tidak dapat pergi dari tempat itu karena dia tidak mengenal jalan dan hutan itu amat lebat. Ke mana dia harus pergi? Tentu akan menghadapi banyak bahaya yang lebih besar lagi. Kalau terjatuh ke tangan orang-orang ini, dia tahu bahwa dia belum akan menghadapi bahaya maut sungguhpun dia tidak dapat membayangkan nasib apa yang akan dideritanya. Akan tetapi kalau dia lari dan bertemu dengan binatang buas, tentu dia akan menjadi mangsanya, dan kalau sampai dia terjatuh ke tangan orang-orang liar, nasibnya tentu akan lebih mengerikan lagi. Setidaknya, empat orang itu adalah orang-orang pandai yang agaknya ingin mencari kedudukan dan kemuliaan dengan mempergunakan dirinya.

Pertandingan itu memang hebat sekali. Tiga orang tokoh tua itu menjadi kagum bukan main. Baru sekali itu mereka bertemu dengan lawan seorang pemuda yang begitu lihai sehingga dikeroyok tiga oleh mereka tidak hanya mampu bertahan sampai seratus jurus lebih, akan tetapi juga bahkan sempat membalas dengan tidak kalah hebatnya.

Kadang-kadang bulan tertutup awan dan dalam keadaan gelap mereka berempat melanjutkan pertandingan hanya mengandalkan pendengaran yang tajam dan perasaan yang peka. Ketika pertandingan sudah hampir berlangsung dua ratus jurus tanpa ada yang mengalami luka atau terdesak, bulan bersinar kembali dengan terangnya karena awan telah menjauh.

"Kui-bo, lepas peledakmu!" Tiba-tiba Lam-thian Lo-mo yang merasa penasaran itu berteriak dan bersama Pak-thian Lo-mo dia sudah bertiarap di atas tanah. Hek-wan Kui-bo memenuhi permintaan kakek itu dan dia melemparkan senjata peledaknya ke arah Tek Hoat. Pemuda itu cepat meloncat jauh ke samping dan bergulingan sehingga ketika senjata rahasia itu meledak, dia terhindar dari sambaran pecahan besi. Akan tetapi kembali nenek itu melemparkan senjata dahsyat kepadanya dan terpaksa Tek Hoat meloncat tinggi sekali. Pecahan senjata peledak itu menyerong dan hanya akan mengenai orang-orang yang berdiri di sekitarnya, maka ketika Tek Hoat meloncat jauh ke atas, dia pun terhindar dari pecahan besi. Akan tetapi itulah saat yang dinanti-nanti oleh Lam-thian Lo-mo dan Pak-thian Lo-mo. Siang Lo-mo yang memiliki kerja sama amat baik berdasarkan naluri atau getaran perasaan yang saling berhubungan antara mereka itu, dalam waktu yang sama tanpa direncana lebih dulu telah menggerakkan cambuk besi mereka yang meluncur ke atas, yang kanan menyerang ke arah mata kaki Tek Hoat, yang kiri menyerang ke arah tengkuk! Serangan yang dilakukan berbareng pada saat Tek Hoat masih meloncat ke atas dan yang mengarah dua tempat yang berlainan itu ternyata membuat Tek Hoat terkejut juga. Dia harus memilih salah satu dan karena penyerangan di tengkuknya merupakan serangan maut, maka dia menggerakkan pedangnya menangkis cambuk yang digerakkan oleh Pak-thian Lo-mo ke arah tengkuknya itu sambil sedapat mungkin menarik kakinya yang disambar pecut Lam-thian Lo-mo. Namun gerakan ini tidak cukup dan betisnya dihunjam ujung pecut besi sehingga celana berikut daging betisnya robek.

"Haiiiittt....!" Tek Hoat mengerahkan tenaganya, berjungkir balik sehingga pecut itu tidak melibatnya dan ketika tubuhnya menukik turun, dia menyerang Lam-thian Lo-mo yang telah melukai betis kanannya itu.

"Trang-trang.... cringgg....!" Tiga senjata lawan menangkis pedangnya dan penyatuan kekuatan tiga orang itu membuat Tek Hoat terpental dan terguling-guling.

Selagi Tek Hoat bergulingan itu, tiga orang lawannya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan mereka mengejar. Hek-wan Kui-bo yang merasa penasaran sudah menggerakkan tongkatnya menghantam dan menusuk berkali-kali, akan tetapi Tek Hoat dapat mengelak dengan ilmunya bergulingan yang amat cepat. Akan tetapi karena dia pun dihujani sambaran dua ujung cambuk maka akhirnya Hek-wan Kui-bo berhasil menghantam pundaknya, nyaris saja mengenai kepalanya.

"Bukk!" Tek Hoat merasa betapa pundaknya seperti remuk ditimpa tongkat butut itu, dia menjadi marah dan nekat, otomatis tangan kirinya menyambar tongkat itu dan membetot dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang amat hebat kekuatannya. Hek-wan Kui-bo terkejut ketika tiba-tiba dia terbetot ke bawah dan sebelum dia mampu melihat bahaya dan melepaskan tongkat yang membuat tubuhnya ikut terbetot, tahu-tahu Cui-beng-kiam telah meluncur dari bawah dan menembus perutnya sampai ke punggung!

"Aigghhhhh...!" Hek-wan Kui-bo memekik dahsyat.

Tek Hoat mendorong tongkat dan mencabut pedangnya sehingga tubuh nenek itu terjengkang, akan tetapi pada saat itu, ujung cambuk di tangan Pak-thian Lo-mo telah menyambar pada saat pemuda itu meloncat bangun dan tahu-tahu telah membelit leher pemuda itu!

Tek Hoat terkejut sekali, apalagi ketika saat itu terdengar Lam-thian Lo-mo tertawa. "Jangan lepaskan dia, ha-ha, biar

kuhancurkan kepalanya! Tar-tar-tarrr!" Cambuk Lam-thian Lo-mo meledak-ledak dan menyambar-nyambar kepalanya, mengarah ubun-ubun, tengkuk, dahi dan kedua pelipis! Sibuk juga Tek Hoat memutar pedangnya menangkisi sambaran pecut besi di tangan Lam-thian Lo-mo itu, sedangkan lehernya masih dicekik oleh cambuk Pak-thian Lo-mo yang makin lama makin erat mencekiknya. Terasa napasnya terhenti dan kulit lehernya berdarah! Maklumlah dia bahwa kalau dia tidak menemukan akal, dia akan mati sekali ini. Maka untuk menghindarkan ancaman bertubi-tubi dari ujung cambuk Lam-thian Lo-mo, dia cepat dengan tiba-tiba merebahkan diri dan bergulingan mendekati Pak-thian Lo-mo agar cekikan cambuk itu mengendur.

"Tarrr!" Ujung cambuk Lam-thian Lo-mo mengenai punggungnya, untung tidak mengenai tengkuk sehingga Tek Hoat hanya mengeluh karena rasa nyeri yang amat hebat. Dia meloncat lagi.

"Tar-tarrr!" Dua kali ujung cambuk Lam-thian Lo-mo menggigit paha dan lambungnya, membuat celana dan bajunya robek berikut kulit dan dagingnya. Badannya sudah berlumur darah yang bercucuran dari punggung, leher, lambung dan paha. Pada saat itu, dengan kemarahan memuncak, Tek Hoat mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, pekik yang membuat Syanti Dewi jatuh terduduk dan hampir pingsan karena memang dia sudah gemetar seluruh tubuhnya menyaksikan betapa pemuda itu telah terbelit lehernya dan dicambuki serta berlumur darah amat mengerikan. Akan tetapi bersamaan dengan bunyi pekik itu, tampak sinar berkelebat dan Pak-thian Lo-mo mengeluarkan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon di sekitar tempat itu. Tubuhnya terhuyung, cambuknya terlepas dari tangan dan kedua tangannya mencengkeram gagang pedang Cui-beng-kiam yang berada di dadanya karena pedang itu sendiri telah tertanam di dadanya sampai menembus punggungnya ketika dilontarkan secara tiba-tiba dan amat kuatnya oleh Tek Hoat tadi!

"Kau.... bunuh dia....?" Lam-thian Lo-mo berteriak dengan suara terisak.

"Tar-tar-tar-tarrr....!" Cambuknya mengamuk dan tubuh Tek Hoat menjadi bulan-bulanan sambaran cambuk yang ujungnya seperti mulut ular mematuk-matuk dan membuat pakaian Tek Hoat robek-robek dan makin banyak lagi luka-luka di tubuhnya. Akan tetapi, dengan penderitaan rasa nyeri yang hebat itu karena semua luka mengandung racun, akhirnya Tek Hoat dapat menangkap ujung cambuk. Ketika Lam-thian Lo-mo yang melotot marah itu menarik-narik cambuknya, Tek Hoat melibat-libatkan ujung cambuk di

tangan kanannya dan terjadilah betot-membetot di antara mereka. Akhirnya, dengan mengeluarkan teriakan yang merupakan lengking dahsyat, kedua orang itu meloncat ke depan saling terjang di udara.

"Desss....!" Syanti Dewi yang menonton dari balik batang pohon hanya melihat bayangan dua orang itu bertumbukan di udara, kemudian dia melihat kedua orang itu terbanting roboh dan tidak bergerak lagi.

"Ahhh....!" Syanti Dewi sejenak berdiri dengan hati penuh kengerian, ditelan kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti tempat itu. Tidak ada suara apa-apa lagi terdengar, akan tetapi setelah keadaan di dalam hutan itu sunyi, semua orang kecuali dia telah rebah tidak berkutik lagi, lapat-lapat dan sayup sampai telinganya menangkap suara gemuruh dan hiruk-pikuk dari tempat yang jauh sekali. Suasananya menjadi makin menyeramkan karena suara yang lapat-lapat terdengar itu seperti mengandung suara tangis dan tawa yang agaknya datang dari angkasa atau mungkin juga dari dalam bumi, pantasnya suara yang keluar dari dalam neraka seperti yang pernah dia dengar dongengnya.

"Ahhh.... matikah dia....?" Tak terasa lagi Syanti Dewi berbisik dengan hati penuh kekhawatiran. Puteri Bhutan ini adalah seorang yang berbudi mulia dan memiliki kepekaan rasa sehingga tidak mudah bagi dia melupakan budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya. Dia tahu bahwa dia tidak boleh mempercayai seorang seperti Ang Tek Hoat yang telah menjadi kaki tangan pemberontak akan tetapi yang ternyata mengkhianati atasannya sendiri itu. Akan tetapi, dia tahu pula bahwa sekali ini Ang Tek Hoat melakukan pengkhianatan dan melawan rekan-rekannya sendiri sampai mempertaruhkan nyawa karena hendak menolongnya! Sungguhpun dia sendiri belum dapat memastikan apakah perbuatan pemuda itu terdorong oleh maksud menolongnya ataukah hendak memperebutkannya, akan tetapi harus dia akui bahwa kalau tidak ada Tek Hoat, tentu dia telah membunuh diri ketika hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi Ong. Perasaan berterima kasih ini ditambah lagi perasaan seolah-olah Tek Hoat bukan merupakan orang asing baginya, membuat puteri ini keluar dari tempat persembunyiannya dan berindap-indap menghampiri pemuda itu.

Dia bergidik ketika melewati tubuh Lam-thian Lo-mo. Kakek yang hampir telanjang, yang hanya mengenakan cawat ini, rebah telentang, matanya melotot, mulutnya terbuka dan kepalanya pecah. Hek-wan Kui-bo rebah menelungkup dan seluruh tubuhnya bermandi darahnya sendiri, sedangkan tubuh Pak-thian Lo-mo juga terlentang dengan dada masih tertusuk pedang.

Syanti Dewi bergidik ngeri, lalu memutari mayat-mayat itu dan menghampiri Tek Hoat yang menggeletak miring dan tidak bergerak lagi. "Ohh...." Syanti Dewi mengeluh dan merasa kasihan melihat pemuda itu. Pakaiannya robek-robek dan penuh darah, tampak luka-luka bekas cambukan dari kaki sampai ke lehernya yang dibelit luka yang berdarah. Ketika Syanti Dewi melihat muka pemuda itu, dia makin cemas. Muka itu pucat sekali, seperti muka mayat. Dengan hati berdebar dia menggerakkan tangannya, menyentuh dahi yang pucat itu. Masih hangat! Lalu dengan jari-jari tangan gemetar dia meraba dada. Masih ada ketukan jantungnya. Masih hidup! Hatinya lega. Pemuda ini belum mati.

Syanti Dewi pernah merawat Gak Bun Beng ketika pendekar itu menderita sakit, maka sedikit banyak dia telah mempunyai pengalaman. Kini, menghadapi pemuda yang tubuhnya penuh dengan luka, mandi darah dan pingsan itu, dia cepat memberanikan diri berlari ke arah kereta. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Khi Ong membawa perbekalan-perbekalan dan dia membutuhkan arak untuk menolong Tek Hoat. Dalam ketegangannya hendak menolong Tek Hoat, dia lupa akan Pangeran Liong Khi Ong dan begitu saja dia menyingkap tirai kereta dan naik ke dalam kereta.

"Aiihhh....!" Syanti Dewi menjerit dan cepat meloncat turun lagi keluar kereta. Dalam keadaan terkejut setengah mati itu,

otomatis kepandaian silat yang pernah dipelajarinya keluar, bahkan kecepatan gerakannya bertambah! Siapa yang tidak kaget setengah mati? Ketika dia masuk kereta tadi, tanpa disengaja kakinya menyentuh kaki mayat Pangeran Liong Khi Ong yang mati sambil duduk di kereta dan ketika kakinya tersentuh, tubuhnya terguling sehingga bagi Syanti Dewi yang lupa akan pangeran ini dia melihat mayat itu hidup kembali dan menubruknya!

Dengan seluruh tubuh gemetar, Syanti Dewi memberanikan diri menyingkap tirai, memperingatkan diri sendiri bahwa Pangeran itu tadi telah mati! Ketika dia menyingkap tirai, dia melihat Pangeran itu menelungkup di lantai kereta, sama sekali tidak bergerak. Syanti Dewi bergidik, lalu dengan hati-hati dia naik ke dalam kereta, melangkahi mayat Pangeran itu dan cepat mulai mencari-cari di bagian belakang kereta itu. Di dalam kereta itu tidak begitu gelap seperti di luar karena lentera kereta masih menyala. Setelah dia menemukan guci arak, dia melompat turun dan cepat berlari menghampiri tubuh Tek Hoat yang kini sudah rebah terlentang akan tetapi agaknya masih belum siuman dari pingsannya.

Syanti Dewi menggunakan saputangannya yang dibasahi dengan arak untuk menekan-nekan luka-luka di tubuh Tek Hoat, selain membersihkan luka juga agar darah yang keluar dapat berhenti. Hatinya lega ketika melihat bahwa luka-luka itu tidak dalam, hanya kulit yang robek berikut sedikit daging di bawahnya. Akan tetapi luka di sekeliling leher itu amat mengerikan, seolah-olah leher itu dikerat pisau hendak disembelih. Luka ini terjadi ketika lehernya dijerat oleh cambuk besi tadi dan darah yang mengucur dari luka ini yang paling banyak sehingga sebentar saja saputangan Syanti Dewi menjadi merah oleh darah.

Setelah matahari mulai bersinar, Syanti Dewi bangkit berdiri, lalu pergi dari situ mencari-cari air. Untung tak jauh dari situ dia menemukan sebatang anak sungai kecil yang airnya jernih sekali. Cepat dia mengambil air, menggunakan guci arak yang sudah kosong dan kini dia dapat mencuci luka-luka di tubuh Tek Hoat dengan jelas. Setelah dia membalut leher yang terluka itu dengan saputangan, dia lalu menggunakan air untuk membasahi muka dan kepala pemuda yang masih juga belum siuman itu.

Tek Hoat mengeluh lirih, lalu gelagapan. "Hepp.... haeppp.... haeppp...!" Dia gelagapan seperti orang tenggelam di air!

"Eh, kenapa....? Kau kenapa....? Apanya yang sakit....?" Syanti Dewi mengguncang pundak Tek Hoat ketika melihat pemuda itu gelagapan dengan mulut megap-megap. Tanpa disengaja, Syanti Dewi mengguncang pundak yang terluka berat karena tadi ditimpa tongkat Hek-wan Kui-bo. Tentu saja diguncang seperti itu menjadi nyeri bukan main, pemuda yang sudah siuman dan dapat merasakan itu berteriak mengaduh, kiut-miut rasa pundaknya.

"Add.... duuuhh-duh duhhh.... pundakku....!" Karena masih setengah pingsan, maka Tek Hoat berteriak-teriak dan bersambat. Kalau dia sudah sadar betul, tentu saja pemuda yang keras hati ini tidak akan sudi bersambat, apalagi di depan gadis itu.

"Ohhh....!" Syanti Dewi cepat menarik kembali tangannya dan melihat pundak itu. Baju di pundak juga robek dan baru sekarang dia melihat betapa pundak itu kulitnya biru menghitam. "Maafkan aku....!"

"Maaf....? Sudah menghantam pundak masih minta maaf? Nenek keparat....!" Tek Hoat memaki dan membuka matanya.

"Ouhhhh....!" Syanti Dewi menutup mulutnya.

"Aahhh....!" Tek Hoat membelalakkan matanya ketika melihat siapa yang berlutut di dekatnya.

Tek Hoat cepat teringat akan keadaannya. Segera dia bangkit duduk dan menggigit bibir karena begitu dia bangkit, dunia di sekelilingnya seperti berpusingan dan seluruh tubuhnya sakit-sakit, berdenyut-denyut dan menusuk-nusuk. Akan tetapi dia mempertahankan rasa nyeri itu, memandang ke sekeliling dan baru lega hatinya ketika dia melihat mayat Hek-wan Kui-bo, Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo berserakan tidak jauh dari situ. Barulah dia memperhatikan dirinya sendiri, meraba lehernya yang terasa panas dan mendapat kenyataan bahwa lehernya telah terbalut, mukanya basah kuyup dan air masih menetes-netes dari rambutnya ke atas muka.

Jantungnya berdebar penuh kebingungan dan hampir dia tidak percaya akan dugaannya sendiri. Dengan gagap dia bertanya suaranya berbisik, "Kau.... kau....  yang merawatku....?"

Syanti Dewi yang masih memandang kepadanya dengan terbelalak, takut kalau-kalau pemuda ini sudah berubah ingatannya, juga takut kalau pemuda ini menjadi liar dan ganas seperti yang pernah disangkanya, bergerak mundur menjauhi, tangan kanannya meraba gagang pisau yang terselip di pinggangnya dan dia mengangguk, tangan kirinya masih memegang kain basah yang tadi dipergunakan untuk membasahi muka dan kepala pemuda itu. Dia hanya menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kepalanya.

Kenyataan ini merupakan pukulan hebat bagi Tek Hoat. Gadis itu, Puteri Bhutan itu, yang membuat dia tergila-gila, yang ingin dirampasnya dan dipaksanya menjadi isterinya, ketika dia pingsan dan tidak berdaya, ternyata tidak membunuhnya. Padahal, alangkah mudahnya bagi puteri itu untuk membunuhnya. Sekali tikam saja dengan pisau di pinggang itu, dia akan tewas dan karena semua pengawal pangeran sudah tewas, hal itu berarti kebebasan sepenuhnya bagi Syanti Dewi. Akan tetapi tidak! Puteri itu, wanita bangsawan tinggi itu, malah merawat luka-lukanya! Kenyataan ini membuat Tek Hoat tertawa sendiri, suara ketawa yang aneh.

Syanti Dewi memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Wajah itu, suara ketawa itu. Dia pernah rasanya mengenal pemuda ini! Bukan, bukan sejak menawannya dan membawanya kepada Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi jauh sebelum itu, dan dalam keadaan yang lebih baik. Akan tetapi dia lupa lagi kapan dan di mana.

Dipandang seperti itu, Tek Hoat menghentikan suara ketawanya yang tadi keluar di luar kehendaknya, dengan gugup dia berkata, "Aku.... aku.... bermimpi.... tenggelam ke dalam sungai.... kiranya engkau membasahi mukaku...."

"Aihh....!" Syanti Dewi meloncat berdiri, ucapan itu mengingatkan dia. "Engkau adalah tukang perahu itu! Ya, engkau tukang perahu dahulu itu!" Dia mengingat-ingat, lalu berkata lagi. "Aku mengerti sekarang! Engkau dahulu menyamar sebagai tukang perahu, pantas ada yang menyebutmu Si Jari Maut!"

Tek Hoat berusaha untuk tersenyum, akan tetapi mana bisa dia tersenyum kalau seluruh tubuhnya terasa sakit, dan lebih lagi dari itu, kalau seluruh hati dan pikirannya terasa sakit? Dia begitu jahat, dan puteri itu begitu baik! Seperti si binatang liar dan si Dewi Kahyangan! Dia menghela napas dan memejamkan matanya. "Puteri Syanti Dewi, kau pergilah....! Pergilah sebelum terlambat....!"

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. "Akan tetapi engkau.... engkau terluka parah...."

"Biarkan aku mampus, dunia takkan rugi karenanya!" Katanya dengan hati sebal dan dia melemparkan tubuh ke belakang.

"Dukkk! " Kepalanya menimpa akar pohon dan dia mengerang lirih, menjadi setengah pingsan lagi karena benturan kepalanya dengan akar yang dalam keadaan biasa tentu tidak akan terasa olehnya itu, kini terasa seolah-olah kepalanya dihantam palu godam sebesar kerbau!

"Aihhh, kasihan engkau.... pemuda yang malang....!" Syanti Dewi sudah berlutut lagi di dekatnya dan menggunakan kain basah itu untuk menghapus darah yang kembali mengalir di leher dan pipi, karena benturan tadi membuat kepala yang luka oleh lecutan cambuk berdarah lagi.

"Kasihan? Engkau.... kasihan kepadaku?" Tek Hoat bangkit duduk, tidak peduli betapa pandang matanya sendiri berkunang dan kepalanya menjadi pening sekali. "Puteri Syanti Dewi kasihan kepadaku? Ha-ha-ha! Semestinya engkau kasihan kepada dirimu sendiri yang sudah begitu percaya kepada orang lain, kepada tukang perahu jahanam itu!"

Syanti Dewi mengerutkan alisnya, memandang khawatir. Tak salah lagi, pemuda ini menjadi miring otaknya karena pukulan-pukulan yang diterimanya ketika bertanding tadi!

"Mengapa? Tukang perahu itu telah menolong aku dan Adik Candra Dewi," bantahnya.

"Ha-ha-ha! Betapa bodohnya! Tukang perahu itu adalah mata-mata Pangeran Liong yang sengaja diutus untuk menyelidik dan untuk menawan Puteri Syanti Dewi! Dan puteri itu malah percaya kepada seorang pembantu dan tangan kanan pemberontak Liong Khi Ong!"

"Akan tetapi, engkau telah menyelamatkan aku dari mereka, engkau malah telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang kaki tangannya!"

Tek Hoat memandang puteri itu dengan mata merah, tertawa dan menudingkan telunjuknya seperti orang gila. "Ha-ha-ha, engkau puteri bodoh! Patut dikasihani! Engkau terlalu baik hati, engkau terlalu percaya orang. Aku membunuh mereka karena ingin memperebutkan engkau! Aku orang jahat, dan engkau.... engkau malah merawatku! Ha-ha, belum pernah aku melihat yang segila ini. Pergilah kau.... pergi....! Sebelum aku lupa diri....!"

Kembali Tek Hoat merebahkan dirinya dan memejamkan mata, menggunakan jari-jari tangannya menjambak rambutnya sendiri. "Aku keracunan.... terluka parah, tentu akan mati.... kau pergilah, kau menjauhlah, jangan dekat-dekat.... aku kotor sekali, aku perampok, pembunuh, tukang perkosa.... aku tidak berharga.... ahh, Ibu....!" Ucapan Tek Hoat sudah kacau tidak karuan. Memang pemuda ini selain menderita luka-luka, juga telah terkena racun yang hebat, racun yang berada di cambuk Siang Lo-mo. Seperti telah diketahui, sejak Siang Lo-mo merampas kitab cacatan tentang racun dari Ban-tok Mo-li, mereka telah menggunakan ilmu tentang racun itu untuk membuat cambuk mereka menjadi senjata yang mengandung racun amat berbahaya. Kini, terluka berkali-kali oleh cambuk-cambuk beracun itu, tentu saja Tek Hoat terpengaruh dan luka-luka itu mulai membengkak dan membiru, bahkan lehernya telah menjadi matang biru dan mengerikan sekali.

"Ah, kasihan engkau, orang muda yang malang....!" Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut. Melihat kesengsaraan dan penderitaan pemuda ini, hatinya menjadi tidak tega, penuh dengan perasaan iba, maka dia tidak mempedulikan sikap pemuda itu, bahkan tanpa takut-takut lagi dia lari mendekat, berlutut dan membasahi dahi pemuda itu dengan air karena dahi itu amat panas sampai mengepulkan uap! Tek Hoat merintih-rintih dan mengeluh, menyebut-nyebut ibunya karena dia seolah-olah melihat ibunya yang marah-marah dan memaki-makinya, kemudian melihat wajah Kam Siok, pemilik restoran di Shen-yang yang dibunuhnya, wajah Kam Siu Li, puteri Kam Siok yang telah dikawinkan kepadanya kemudian dibunuhnya pula, wajah Liok Si, janda Kam Siok yang genit itu, dan wajah orang-orang yang pernah dibunuhnya, semua datang dan mengejar-ngejarnya hendak membalas dendam! Dia lari ketakutan, kemudian dia melihat Syanti Dewi yang melayang turun dari angkasa seperti Dewi Kwan Im Pouwsat, cantik jelita dan agung, lemah-lembut dan ramah, mengulurkan tangan kepadanya.

"Lindungi aku.... ohh, lindungi aku...."

"Tenanglah, Tek Hoat, tenanglah...." Dewi itu berkata halus dan menaruh tangannya ke atas dahinya. Tangan yang lembut dan halus, sejuk dan mengusir nyeri.

"Ampunkan aku yang penuh dosa...." Dia berbisik, meraba dan menangkap tangan halus lembut itu dan mencium tangan itu.

Syanti Dewi menarik tangannya dengan halus. Hatinya terharu. Boleh jadi orang ini telah melakukan penyelewengan-penyelewengan hebat, pikirnya, dan penyesalan telah menggerogoti perasaannya sendiri. Penyesalan akan perbuatan yang berdosa merupakan hukuman yang amat berat bagi orang itu.

"Ang Tek Hoat, engkau tadi begitu gagah kenapa sekarang menjadi begini lemah?" Suara Syanti Dewi ini merupakan air dingin yang mengguyur kepala Tek Hoat. Seketika dia berhenti mengeluh, membuka mata dan pandang matanya kembali menjadi dingin, biarpun mukanya kini merah sekali seperti dibakar. Dia bangkit duduk, menggoyang-goyang kepala sebentar seperti hendak mengusir kepeningannya. Kemudian dia berkata, "Puteri Syanti Dewi, terima kasih atas kebaikanmu. Engkau mulia seperti dewi, dan aku jahat seperti iblis. Engkau pergilah dari sini, kaucari Jenderal Kao. Dia seorang gagah yang akan menolongmu...." Tiba-tiba mata pemuda itu kelihatan beringas memandang ke kanan. Syanti Dewi bangkit berdiri, juga menoleh dengan ketakutan,

mengira bahwa ada musuh-musuh baru yang datang.

Tampak datang beberapa orang berlarian cepat sekali gerakan mereka, seperti sekumpulan binatang rusa yang lari sambil berlompatan menuju ke tempat itu. Sukar bagi Syanti Dewi untuk mengenal bayangan orang-orang yang berlari secepat itu dan kini mereka yang terdiri dari tiga orang itu telah berdiri di situ, memandangi kereta dan mayat-mayat yang berserakan, kemudian memandang kepada Tek Hoat dan Syanti Dewi.

"Bu-koko....!" Syanti Dewi berseru dengan lega dan girang ketika melihat mereka dan di antara mereka itu terdapat Jenderal Kao Liang dan Suma Kian Bu! Terutama sekali melihat Kian Bu hatinya begitu lega sehingga tak terasa lagi dia berlari ke arah pemuda ini yang juga berlari menghampirinya.

"Adik Syanti Dewi....!"

Dan tanpa dapat dicegah lagi, lupa akan keadaan saking lega dan girangnya hati, Syanti Dewi membiarkan dirinya dipeluk oleh Suma Kian Bu! Dia menangis dengan penuh keharuan dan kelegaan hati.

Yang datang adalah Jenderal Kao Liang, Kian Bu, dan Puteri Milana. Malam tadi menjelang pagi, ketika barisan yang dipimpin Puteri Milana tiba di depan Teng-bun untuk membantu Jenderal Kao, jenderal ini segera mengerahkan barisan untuk menyerbu Teng-bun dengan kekuatan yang jauh lebih besar setelah ada bantuan itu. Perang hebat terjadi akan tetapi sekali ini, Kim Bouw Sin tidak lagi dapat bertahan. Apalagi karena dia sudah kehilangan para pembantunya yang lihai. Tek Hoat tidak kelihatan mata hidungnya, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah pergi mengawal Pangeran Liong Khi Ong, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li juga tidak kelihatan lagi. Maka setelah matahari terbit, pasukan-pasukan pe merintah berhasil membobolkan pintu-pintu gerbang dan menyerbu masuk seperti banjir. Teng-bun tak dapat dipertahankan lagi dan Kim Bouw Sin sendiri tewas

dalam perang itu.

Tentu saja Jenderal Kao dan Milana, diikuti oleh Kian Bu, pertama-tama menyerbu gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong untuk menangkap pangeran pemberontak itu. Akan tetapi ternyata Pangeran itu telah melarikan diri semalam. Ketika mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran itu pergi membawa Puteri Bhutan, Kian Bu dan Jenderal Kao terkejut sekali. Bersama Puteri Milana, mereka lalu secepatnya melakukan pengejaran melalui pintu rahasia yang tentu saja dikenal oleh Jenderal Kao dan mereka terus mengejar ke dalam hutan.

Tek Hoat membuka mata dan mengejap-ngejapkan matanya, sejenak memandang ke arah Syanti Dewi yang menangis dalam dekapan seorang pemuda tampan yang dia kenal sebagal seorang di antara dua orang pemuda kakak beradik yang pernah berlawan dengannya. Dia melihat pula Jenderal Kao dan seorang wanita cantik sekali yang amat gagah perkasa. Dia pernah melihat wanita ini dan samar-samar teringatlah dia kepada wanita yang dulu dijumpainya di dalam hutan ketika wanita yang amat lihai ini membunuh

seekor harimau besar. Akan tetapi dia tidak mempedulikan itu semua, matanya kini menatap Syanti Dewi, yang dipeluk oleh pemuda itu. Hatinya menjadi panas sekali dan tanpa mempedulikan apa-apa lagi Tek Hoat melompat dan menerjang ke arah Suma Kian Bu!

"Plakkk!" Tek Hoat terpelanting ketika dari samping ada lengan halus yang mendorongnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Kiranya wanita itu dengan sikap gagah dan pandang mata tajam menusuk menegurnya, "Engkau mau apa?"

Tek Hoat menjadi marah sekali. Dia tidak peduli siapa adanya wanita gagah itu, akan tetapi yang ada di dalam hatinya hanyalah kemarahan yang amat hebat. Kemarahan yang timbul seketika pada saat dia melihat Syanti Dewi dalam pelukan pemuda tampan itu.

"Aku mau membunuh!" bentaknya dan kemarahan membuat dia lupa akan segala kenyerian yang menusuk-nusuk seluruh tubuh, dari kepala sampai kaki dan dengan ganas dia sudah menerjang lagi, otomatis dia menggunakan jurus Pat-mo Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Iblis) yang menjadi ilmu silat tinggi pertama kali yang dilatihnya. Gerakan ilmu silat ini memang hebat dan ganas sekali, dan sin-kang yang mendorong gerakan ilmu ini adalah sin-kang yang mengeluarkan hawa panas.

"Aihhh....!" Puteri Milana terkejut dan terheran-heran bukan main, cepat menggerakkan kaki tangannya dengan ilmu silat yang sama pula. Tentu saja dia merasa heran karena gerakan pemuda ini adalah gerakan ilmu silat rahasia dari perkumpulan Thian-liong-pang, yaitu perkumpulan yang dahulu diketuai oleh ibunya, Puteri Nirahai (baca ceritaSepasang Pedang Iblis).

Dan ilmu silat ini adalah ciptaan ibunya itu, yang mengambil gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-sut digabung dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) sehingga terciptalah Ilmu Silat Tangan Kosong Pat-mo Sin-kun itu. Akan tetapi ilmu itu hanya dikenal oleh ibunya, dia sendiri dan para bekas tokoh Thian-liong-pang saja. Bagaimana sekarang bisa dimainkan oleh pemuda ini secara demikian baiknya?

"Hai, dari mana engkau mempelajari Pat-mo Sin-kun?" Puteri Milana berseru makin heran karena mendapat kenyataan betapa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat, sungguhpun jelas bahwa pemuda ini sudah menderita luka-luka parah dan keracunan.

Tek Hoat juga terkejut ketika melihat wanita menghadapinya dengan Pat-mo Sin-kun yang demikian baik gerakannya, jauh lebih baik daripada gerakannya sendiri. Maka tanpa menjawab dia lalu mengerahkan tenaga Inti Bumi dan mendorong.

"Bress.... ihhh....!" Milana terdorong dan terhuyung, bukan main kagetnya.

"Keparat, engkau pemberontak keji! " Kian Bu sudah melepaskan Syanti Dewi dan melihat kakaknya terdorong itu, dia lalu menerjang ke depan dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.

Tek Hoat yang marah dan benci kepada pemuda yang memeluk Syanti Dewi ini, membalikkan tubuh mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menangkis. Keduanya mengeluarkan tenaga sekuatnya, akan tetapi Kian Bu sama sekali tidak tahu bahwa lawannya itu telah terluka parah.

"Desss....!" Tubuh Tek Hoat terlempar, membentur batang pohon dan roboh tergelimpang, tidak bergerak lagi! Ternyata ketika Tek Hoat mengadu tenaga dengan Puteri Milana tadi, dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dan hal ini membuat luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya menjadi lebih parah lagi. Maka begitu dia bertemu dengan Kian Bu yang memiliki sin-kang murni dari Pulau Es, tentu saja dia tidak mampu menandinginya dan dia terbanting dengan keras sampai pingsan.

"Ah, Bu-ko, kau membunuhnya....?" Syanti Dewi berlari menghampiri tubuh Tek Hoat, berlutut dan memandang penuh kekhawatiran.

"Adik Syanti Dewi, dia kaki tangan pemberontak, dia jahat....!" Kian Bu berkata dengan heran dan penasaran melihat dara itu membela lawannya. Juga Puteri Milana memandang dengan heran dan diam-diam dia kagum akan kecantikan Puteri Bhutan ini. Pantas saja adik kandungnya tertarik kepada puteri ini dan sikap mereka ketika bertemu tadi menimbulkan dugaannya bahwa adiknya itu jatuh hati kepada Syanti Dewi. Maka kini sikap Syanti Dewi yang berlutut di dekat kaki tangan pemberontak itu mengherankan hatinya.

"Apa artinya ini?" Dia bertanya.

"Adik Syanti, pemberontak ini dibunuh pun sudah sepatutnya." Kian Bu berkata lagi.

"Tidak.... tidak....! Bu-koko, engkau tidak tahu. Dialah yang telah menolongku. Dia yang telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya. Lihat itu, mayat mereka masih berada di sana. Kalau tidak ada Tek Hoat ini, aku tentu telah menjadi mayat sekarang." Syanti Dewi berkata sambil menunjuk ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan dan dia membayangkan betapa dia sekarang tentu telah membunuh dirinya karena hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi Ong kalau saja tidak ditolong oleh Tek Hoat.

"Ehh....?" Kian Bu tertegun heran.

"Dia adalah tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang terkenal sekali. Dialah yang berjuluk Si Jari Maut dan yang mempergunakan nama Gak Bun Beng Taihiap! Dia jahat dan keji, juga menjadi kaki tangan pemberontak. Syanti, minggirlah, orang ini harus ditangkap atau dibunuh." Jenderal Kao Liang juga berkata sambil melangkah maju menghampiri Puteri Bhutan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri itu.

"Gi-hu (Ayah Angkat)....!" Syanti Dewi bangkit dan memegang lengan jenderal tinggi besar itu. "Harap jangan bunuh dia. Dia terluka dan menderita seperti itu karena menolong saya. Andaikata dia tidak menolong saya, tentu dia sudah dapat melarikan diri jauh dari sini dan kalian tidak dapat menangkapnya. Dia menolong saya dan karenanya dia terluka dan tidak dapat lari. Kalau kalian membunuhnya, sama artinya dengan saya yang membunuhnya. Gi-hu, apakah engkau ingin mempunyai seorang anak angkat yang berwatak palsu tidak mengenal budi orang?"

Puteri Milana sudah melangkah maju dan berkata kepada adiknya, "Bu-te (Adik Bu), dia betul. Kita harus merawatnya, dan aku melihat keanehan pada dirinya. Dia mengenal ilmu rahasia Thian-liong-pang! Mungkin pemuda ini menyimpan rahasia."

Kian Bu masih ragu-ragu. "Akan tetapi, Enci, menurut Kao-goanswe dia telah mempergunakan nama Gak-suheng dan merusak namanya!"

"Hal itu pun ada rahasianya. Kita rawat dan menahan dia sebagai seorang tawanan yang terawat baik. Betapapun juga, dia telah berjasa dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya yang lihai ini."

Kian Bu tidak berani membantah lagi dan dia lalu memanggul tubuh Tek Hoat yang lunglai dan pingsan. Kemudian mereka kembali ke Teng-bun yang sudah diduduki oleh pasukan pemerintah. Pukulan hebat yang dilakukan oleh pasukan di bawah pimpinan Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana itu sekaligus menghancurkan kekuatan pemberontak, apalagi kematian Panglima Kim Bouw Sin dan kematian Pangeran Liong Khi Ong melemahkan semangat perlawanan para anak buah pasukan sehingga sebagian besar di antara mereka segera takluk dan menyerah dan hanya sedikit saja yang melarikan diri secara liar karena takut akan hukuman yang pasti dijatuhkan kepada mereka.

******

Seperti juga kota Teng-bun, kota pemberontak ke dua, Koan-bun, dengan mudah terjatuh ke tangan pemerintah setelah terjadi perang yang amat hebat di dalam kota itu. Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Thio dan dibantu oleh putera Jenderal Kao itu telah berhasil membasmi pemberontak yang telah kelelahan karena baru saja pasukan pemberontak bertanding mati-matian ketika mereka menghancurkan pasukan liar Tambolon. Apalagi di kota ini terdapat Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee yang telah berhasil mengusir tokoh hitam lihai yang membantu pemberontak, yaitu ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya, Mauw Siauw Mo-li.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng roboh pingsan karena luka-lukanya akibat pukulan-pukulan yang mengandung racun, terutama sekali pukulan yang diterimanya dari Hek-tiauw Lo-mo, karena tangan Ketua Pulau Neraka ini mengandung racun yang amat ampuh sehingga biarpun Ceng Ceng sendiri merupakan seorang ahli tentang racun, namun tetap saja dia menderita luka di sebelah dalam tubuhnya yang parah. Dengan hati penuh kekhawatiran, Suma Kian Lee memondong tubuh dara yang telah mencuri hatinya sejak pertama kali dia melihat dara ini di pasar kuda dahulu, mengikuti seorang perwira menuju ke sebuah gedung yang telah diduduki pasukan pemerintah.

Setelah merebahkan tubuh yang mukanya kini pucat agak kehijauan itu di atas pembaringan, Kian Lee cepat duduk bersila di dekat gadis itu, meletakkan kedua tangannya di atas pundak Ceng Ceng dan mulailah dia mengerahkan tenaga sin-kang yang amat kuat untuk membantu gadis itu mengusir hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya. Namun dengan amat terkejut dan heran Kian Lee merasakan betapa ada tenaga lain yang keluar melawan pengerahan tenaganya. Dia tidak tahu bahwa tubuh dara itu telah mengandung racun setelah dia menguasai ilmu tentang racun dari Ban-tok Mo-li dan melatih diri, tubuhnya menjadi beracun sehingga dara itu dapat mengerahkan hawa beracun yang amat hebat, bukan hanya di dalam pukulannya, bahkan di ludahnya sekalipun! Adalah hawa ini yang melawan ketika dia mengerahkan sin-kang untuk mengusir hawa beracun yang disangkanya adalah akibat pukulan-pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Andaikata pukulan Hek-tiauw Lo-mo itu merupakan pukulan beracun biasa saja, agaknya tidak akan mampu membuat Ceng Ceng terluka sedemikian beratnya. Akan tetapi pukulan Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang dilatihnya dari kitab yang dapat dicurinya dari Dewa Bongkok, dan pukulan beracun ini hebat sekali, melebihi kehebatan hawa beracun di tubuh Ceng Ceng! Itulah sebabnya maka pemuda yang memiliki sin-kang murni dari Pulau Es ini akan tetapi bukan seorang ahli pengobatan, menjadi gagal dan bingung. Akan tetapi dia tidak menghentikan usahanya untuk menolong Ceng Ceng dan

masih terus saja dia mengerahkan sin-kangnya, tidak peduli bahkan ketika dia mulai merasa betapa ada perasaan gatal-gatal menjalar masuk melalui telapak tangannya. Dia tahu bahwa secara aneh sekali, ada hawa beracun yang menular kepadanya, akan tetapi dia tidak mempedulikan dirinya sendiri dalam keinginannya untuk menyembuhkan Ceng Ceng.

Setengah hari lebih Kian Lee berusaha mati-matian untuk menyembuhkan gadis itu dengan sia-sia. Lewat tengah hari, Ceng Ceng siuman dari pingsannya dan terkejutlah dia ketika melihat pemuda tampan yang menolongnya itu duduk bersila, menempelkan kedua telapak tangan di kedua pundaknya dan dari kedua telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang hangat. Apalagi ketika dia melihat betapa kedua tangan pemuda itu menjadi agak kehijauan, dia terkejut sekali, tahu apa yang telah terjadi dengan diri pemuda itu.

"Jangan....! Hentikan itu....!" katanya sambil bangkit duduk.

"Tenanglah, Nona. Aku akan berusaha untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu...."

"Jangan lakukan itu! Ah, engkau tidak tahu.... engkau mencari celaka sendiri....!" Ceng Ceng menolakkan kedua tangan pemuda itu dan duduk di pinggir pembaringan, kepalanya terasa pening sekali dan di dada kanan dan punggung terasa nyeri.

"Engkau malah meracuni dirimu sendiri...." katanya, suaranya agak terharu melihat tangan pemuda itu menjadi kehijauan.

"Nona Lu, engkau terkena pukulan-pukulan beracun, kalau tidak segera dilenyapkan hawa beracun itu, amat berbahaya. Biarlah aku mencobanya lagi...."

"Tidak! Engkau sendiri yang akan celaka.... ah, kau tidak tahu. Racun di tubuhku telah menular kepadamu. Lihat kedua telapak tanganmu."

Kian Lee memandang kedua telapak tangannya. "Tidak mengapa, yang penting engkau harus terhindar dari bahaya maut."

Ceng Ceng memandang pemuda itu penuh perhatian, alisnya berkerut ketika dia bertanya, "Engkau mengenalku?"

Kian Lee mengangguk. "Engkau adalah Nona Lu Ceng, saudara angkat Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, engkau seorang dara perkasa yang berjiwa pahlawan, engkau hampir mengorbankan nyawa sendiri ketika menolong Jenderal Kao Liang, sekarang engkau pun terancam bahaya maut setelah engkau berhasil mengadu domba Tambolon dengan pemberontak. Engkau seorang dara yang hebat, Nona Lu."

Jantung gadis ini berdebar tegang dan aneh. Pandang mata pemuda ini mengingatkan dia akan pandang mata Pangeran Yung Hwa, sungguhpun sikapnya tidak seperti pangeran itu yang menyatakan cintanya terang-terangan! Pandang mata seorang pria yang mencintanya!

"Kenapa.... kenapa engkau berusaha menolongku dengan menempuh bahaya? Kau bisa keracunan dan mati!"

Suma Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku tidak akan mati, Nona, dan andaikata mati pun kalau dapat menyelamatkan engkau dari bahaya maut, hatiku akan puas."

"Hemm, kau siapakah namamu?"

"Namaku Suma Kian Lee dan.... ohh, engkau kenapa, Nona?" Dia hendak menubruk maju dan sudah mengulur tangan, akan tetapi dia tidak berani memegang atau menyentuh tubuh itu demi kesopanan.

Ceng Ceng memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Dia menguatkan dirinya dan membuka matanya lagi.

"Engkau pernah kulihat.... ah, lupa lagi aku di mana...."

"Di pasar kuda, dan kedua kalinya di waktu engkau hendak ditangkap oleh Hek-tiauw Lo-mo...." Kian Lee berhenti sebentar dan memandang wajah yang cantik itu penuh perhatian, karena dia teringat betapa jauh bedanya keadaan dara itu dalam dua kali pertemuan itu. Yang pertama dara itu kelihatan lincah jenaka dan gembira, akan tetapi yang kedua kalinya dara itu menjadi dingin dan amat ganas. "Dan yang ketiga kalinya aku dan adikku melihat engkau di rumah Jenderal Kao di kota raja, akan tetapi engkau terus berlari pergi. Nona Lu, biarkan aku mengobatimu, kalau engkau sudah sembuh baru kita bicara lagi." Kian Lee khawatir sekali melihat wajah cantik yang kehijauan itu.

Ceng Ceng menggeleng kepala lalu bangkit berdiri, agak terhuyung dan dia terpaksa berpegang kepada punggung kursi. "Tidak, tidak ada gunanya. Engkau tidak akan dapat menyembuhkan aku, tidak ada yang dapat menyembuhkan.... biarkan aku pergi saja dari sini...."

"Heh! Siapa bilang tidak ada orang dapat menyembuhkan? Aku belum pernah melihat penyakit yang tak dapat kusembuhkan!"

Kian Lee cepat menengok, dan dengan mata sayu Ceng Ceng yang pandang matanya berkunang itu pun menoleh ke arah pintu.

"Sute, kau kenapa....?" Gak Bun Beng cepat menghampiri Kian Lee, menangkap tangan pemuda itu dan memeriksanya.

"Ahh, kau keracunan!" Pendekar itu berseru kaget.

"Dia.... dia keracunan.... ketularan oleh racun di tubuhku...." Ceng Ceng berkata lemah. "Biarkan aku pergi...." Dia terhuyung hendak menuju ke pintu.

"Dia keracunan hebat, dan pemuda ini pun keracunan," kata kakek yang datang bersama Gak Bun Beng, seorang kakek yang aneh, membawa tongkat dan pandang matanya tidak acuh. "Akan tetapi jangan mengira aku tidak dapat menyembuhkan!" Kakek ini adalah Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok. Seperti telah diketahui kakek ini adalah ahli pengobatan yang pernah bertemu dan bahkan mengadu kepandaian dengan Gak Bun Beng yang ketika itu sedang sakit dan melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi. Biarpun wataknya

aneh bukan main, Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti) ini adalah seorang yang benci terhadap pemberontakan, maka begitu mendengar bahwa Koan-bun dan Teng-bun diserbu oleh pasukan-pasukan pemerintah, dia cepat datang dan membantu. Kebetulan dia bertemu dengan Gak Bun Beng di Koan-bun. Kehadiran seorang ahli pengobatan tentu saja penting sekali bagi Bun Beng karena di dalam perang terjatuh banyak korban yang perlu dengan pengobatan, apalagi dia juga teringat gadis yang telah menderita keracunan hebat, maka dia mengajak Sin-ciang Yok-kwi untuk menyusul Kian Lee setelah dia menyelesaikan bantuannya terhadap serbuan tentara pemerintah.

"Yok-kwi, kalau begitu cepat obati mereka. Nona ini adalah Nona Lu Ceng, seorang nona muda yang berjiwa pahlawan, dan pemuda ini suteku."

Lu Ceng menudingkan telunjuknya ke arah Gak Bun Beng. "Engkau mengenal aku, akan tetapi siapakah kau....?"

Kian Lee seakan-akan hendak menutupi sikap suhengnya, maka cepat dia berkata, "Nona Lu, dia ini adalah suhengku, Gak Bun Beng.... Eh, kenapa?" Dia terkejut sekali melihat Ceng Ceng membelalakkan matanya, memandang kepada Gak Bun Beng seperti orang melihat setan, kemudian dia menggeleng kepala keras-keras.

"Bohong! Gak Bun Beng sudah mati....!" Dan dia pun terguling dan tentu akan terbanting jatuh kalau tidak ditangkap oleh Kian Lee yang selalu siap di dekatnya. Dara itu telah pingsan.

"Suheng...." Kian Lee memandang Gak Bun Beng dan dari pandang mata ini saja cukup jelaslah bagi pendekar itu apa yang terkandung di dalam hati sutenya itu. Hatinya merasa terharu, karena dia pun pernah merasakan dorongan cinta kasih pertama seperti yang dialami sutenya pada saat itu. Maka dia lalu menoleh kepada Sin-ciang Yok-kwi.

"Yok-kwi, kalau engkau tidak cepat menolong mereka berdua ini, pandanganku terhadap kemampuanmu akan menurun!" kata Bun Beng dengan muka sungguh-sungguh.

Sin-ciang Yok-kwi tidak menjawab, alisnya berkerut dan kedua tangannya sudah mulai memeriksa Ceng Ceng yang direbahkan kembali oleh Kian Lee di atas pembaringan. Makin dalam kerut di muka kakek itu dan beberapa kali dia mengeluarkan seruan aneh. Sampai lama dia memeriksa tubuh Ceng Ceng, kemudian dia membalik kepada Kian Lee yang duduk di pinggir pembaringan lalu memeriksa pemuda itu, memeriksa kedua tangannya yang menghijau sampai ke bawah siku, memeriksa detik jantungnya pula.

Kakek itu terhenyak ke atas kursi, matanya memandang kosong melalui pintu kamar itu.

"Yok-kwi, bagaimana?" Bun Beng bertanya dengan penuh kekhawatiran karena pada wajah tabib pandai itu nampak kebingungan.

Yok-kwi me nggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Baru sekali ini aku berhadapan dengan keadaan yang luar biasa sekali!" katanya dan menoleh ke arah Ceng Ceng dengan pandang mata penuh keheranan. "Pukulan yang diterima oleh gadis ini, pasti sudah akan mematikan orang lain karena racun yang terkandung di dalamnya amat luar biasa. Akan tetapi gadis ini tidak mati, bahkan di samping racun pukulan itu, di seluruh tubuhnya terdapat hawa beracun yang membuat dia berbahaya sekali bagi orang lain, racun yang kehijauan dan pemuda ini pun terkena racun yang terkandung di seluruh tubuhnya itu. Luar biasa sekali! Gadis ini bisa dinamakan manusia beracun!"

"Cukup semua keterangan itu! Yang penting, bisakah engkau menyembuhkannya, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok?" Bun Beng membentak tak sabar.

Kakek itu memandang kepada Bun Beng. "Gak-taihiap, engkau tahu bahwa aku adalah seorang tabib yang sanggup mengobati segala macam penyakit dan luka yang beracun sekalipun. Akan tetapi mengobati seorang manusia beracun? Sungguh tak mungkin bagiku. Pemuda ini dapat kuobati, apalagi sutemu ini memiliki sin-kang yang murni dan amat kuat. Akan tetapi gadis ini.... terus terang saja aku hanya mampu memberi obat penawar yang melenyapkan rasa nyeri sehingga dia tidak akan terlalu tersiksa. Akan tetapi.... kalau dia dapat bertahan sampai satu bulan saja sudah amat luar biasa namanya. Mungkin dalam belasan hari saja dia sudah harus mati...."

"Tidak....!" Tiba-tiba Kian Lee yang biasanya bersikap tenang itu berteriak. "Suheng, tidak mungkin membiarkan dia mati....!"

Gak Bun Beng menarik napas panjang. "Sute, bukan kitalah yang menentukan tentang hidup atau mati. Kita hanya dapat berusaha, dan tentu saja kita harus berusaha sedapat mungkin untuk menyembuhkan Nona Lu ini. Yok-kwi, sebagai seorang yang telah berani memakai julukan Setan Obat, tidak malukah engkau kalau harus mengatakan bahwa engkau tidak mengenal cara penyembuhan bagi nona ini?"

Kakek ahli obat itu memandang Bun Beng dengan mata melotot, kelihatan marah sekali. "Gak Bun Beng, engkau terlalu mendesak dan memandang rendah padaku!" Kemudian dia menarik napas panjang. "Di dunia ini, hanya ada Pulau Es yang terkenal dengan ketinggian ilmu silatnya, sayang tidak terbuka bagi semua orang dan hanya dikenal oleh orang-orang seperti engkau dan keluarga Pulau Es sehingga Pulau Es menjadi tempat dalam dongeng, kemudian ada tokoh yang luar biasa ilmunya tentang racun dan dia adalah Ban-tok Mo-li akan tetapi sayang tidak ada seorang pun tahu di mana nenek iblis itu berada, ada lagi tempat yang dikenal dalam dongeng, yaitu Istana Gurun Pasir yang kabarnya ditempati oleh orang yang seperti dewa dan ahli pula tentang segala macam racun. Kemudian orang ke empat adalah suhengku, yang dalam kepandaian tentang racun dan pengobatan boleh menjadi guruku, akan tetapi suheng yang berjuluk Yok-sian (Dewa Obat) telah meninggal, sedangkan dua orang anaknya entah ke mana aku sendiri pun tidak tahu. Kaulihat, Gak-taihiap, di dunia ini yang dapat mengobati Nona ini kiranya hanyalah Ban-tok Mo-li, atau manusia dewa di Gurun Pasir, atau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, yaitu gurumu sendiri."

"Suheng, biar kubawa dia ke Pulau Es, minta pertolongan ayah...." Kian Lee berkata, penuh semangat.

"Apa....? Jadi pemuda ini adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?" Yok-kwi bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak kagum. Ketika dia melihat Gak Bun Beng mengangguk membenarkan, dia cepat berkata, "Ah, maaf.... maaf.... sungguh beruntung aku dapat memperoleh kesempatan bertemu dengan puteranya, sungguhpun tidak beruntung dapat melihat ayahnya."

"Sute, kiranya akan terlambat kalau membawanya ke Pulau Es," Bun Beng berkata kepada pemuda itu. "Engkau sudah mendengar keterangan Yok-kwi tadi bahwa Nona Lu hanya dapat bertahan selama satu bulan, sedangkan perjalanan ke sana sedikitnya akan makan waktu satu bulan lebih."

"Suheng, habis bagaimana baiknya? Locianpwe, saya harap dapatlah Locianpwe menolongnya...." Kian Lee menghadapi dua orang sakti itu dengan sikap bingung. Hal ini tidak perlu diherankan karena biarpun Kian Lee seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian tinggi dan biasanya berwatak tenang, namun kini melihat dara yang dicintanya terancam bahaya maut, dia menjadi gelisah sekali.

"Harap tenang, orang muda yang gagah perkasa. Tepat seperti yang dikatakan oleh Suhengmu tadi, kita manusia hanya dapat berusaha, dan untuk dapat berusaha dengan baik kita perlu memiliki batin yang tenang. Biarlah sekarang aku memberi obat penawar kepadanya agar dia terbebas dari rasa nyeri, dan kedua tanganmu pun perlu diberi obat agar bersih dari hawa beracun."

"Yok-kwi, hawa beracun di kedua tangan suteku biarlah kukeluarkan dengan sin-kang...."

"Jangan, Gak-taihiap. Engkau sudah melihat sendiri betapa sutemu ketularan begitu dia berusaha mengobati gadis itu dengan kekuatan sin-kang. Hawa beracun hijau ini aneh sekali dan hawa ini yang membuat Nona Lu menjadi manusia beracun. Cara pengobatanmu dengan sin-kang tentu akan membuat engkau ketularan pula." Kakek itu mencegah, lalu dia membuat ramuan obat-obatan yang aneh-aneh dan yang bahannya sebagian dicarinya sendiri di dalam hutan.

Setelah diobati oleh Yok-kwi, diberi minum obat dan kedua lengannya digosok, benar saja warna menghijau itu lenyap dari kedua lengan Kian Lee. Kemudian Ceng Ceng yang masih setengah pingsan itu diberi minum obat oleh Yok-kwi, dan dia lalu meninggalkan beberapa bungkus obat kepada Kian Lee untuk digodok dan diberi minum kepada Ceng Ceng setiap hari. Obat itu cukup untuk sebulan lamanya dan kakek itu lalu berkata kepada Bun Beng, "Gak-taihiap. Aku memang harus malu kalau sampai tidak dapat menyembuhkan Nona Lu. Karena itu, aku akan pergi mencari obat untuknya. Syukur kalau aku dapat bertemu dengan penghuni Istana Gurun Pasir, atau Ban-tok Mo-li, atau mungkin keponakan-keponakanku yang hilang. Kalau sampai aku tidak berhasil, biarlah kubuang saja nama julukanku Yok-kwi."

Gak Bun Beng terkejut dan merasa menyesal bahwa ucapannya yang pernah dikeluarkannya itu diterima dengan sungguh-sungguh oleh Setan Obat ini. "Ahh, Yok-kwi, aku tidak bermaksud demikian...."

Akan tetapi Yok-kwi tertawa dan menjura kepadanya, lalu kepada Kian Lee. "Sudah demikianlah keputusan hatiku. Di samping itu, melakukan sesuatu untuk putera Pendekar Super Sakti merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan besar bagiku. Selamat tinggal, mudah-mudahan aku tidak akan terlambat memperoleh obat itu." Tanpa dapat dicegah lagi, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok pergi meninggalkan kota Koan-bun yang sudah aman kembali dan mulai dibersihkan dari mayat-mayat yang bergelimpangan itu.

Dengan penuh ketekunan Kian Lee merawat sendiri gadis itu dan dua hari kemudian barulah Ceng Ceng siuman dari pingsan atau setengah pingsan itu. Dia membuka mata, menoleh ke kanan kiri, kemudian melihat Kian Lee duduk tertidur di atas kursi dekat pembaringannya, dia bangkit duduk. Tubuhnya tidak terasa sakit lagi, ringan dan enak. Teringatlah dia akan semua yang dialaminya, terutama sekali teringat dia akan wajah seorang laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, laki-laki yang mengaku bernama Gak Bun Beng! Padahal nama ayahnya adalah Gak Bun Beng. Akan tetapi ayahnya yang telah menyia-nyiakan ibunya itu telah mati. Tentu hanya sama namanya saja, pikirnya. Lalu dia memandang kepada pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali, dan gagah perkasa, dan.... tentu pemuda ini mencintanya. Jantung Ceng Ceng berdebaran aneh. Pemuda ini tentu telah merawatnya, dan menjaganya!

Sedikit gerakan Ceng Ceng itu cukup membangunkan Kian Lee. Dia memandang dan cepat bertanya, "Engkau sudah dapat bangun? Syukurlah, Nona...." nada suaranya girang dan penuh harapan. "Bagaimana rasanya tubuhmu....?"

Ceng Ceng menatap wajah itu, hatinya diliputi keharuan. "Saudara Suma Kian Lee.... bagaimana tanganmu....?"

Kian Lee mengulurkan kedua tangannya, memandang tangannya sambil berkata, "Ah, tidak apa-apa, sudah disembuhkan oleh Yok-kwi."

"Berapa lamanya aku tidur.... eh, tak sadarkan diri?"

"Ah, aku khawatir sekali, Nona Lu. Engkau pingsan dan mengigau, mengeluh selama dua hari dua malam...." Kian Lee bergidik kalau teringat betapa nona itu dalam pingsannya atau tidurnya selalu gelisah, bahkan seringkali berteriak-teriak lirih seperti orang ketakutan yang dianggapnya tentulah akibat rasa takutnya ketika hendak diperkosa oleh Tambolon dahulu itu.

"Dua hari dua malam....? Dan selama itu.... kau terus merawat dan menjaga aku....?"

Kian Lee tersenyum. "Ah, sudah semestinya, Nona. Habis, engkau membutuhkan perawatan, engkau telah memperoleh obat penawar dari Yok-kwi, yang untuk sementara dapat melenyapkan rasa nyeri, akan tetapi.... ah....," Kian Lee tergagap mengingat bahwa sebenarnya gadis ini masih belum sembuh sama sekali dan masih berada dalam cengkeraman maut!

"Yok-kwi Locianpwe sedang mencarikan obat penyembuh bagimu.... eh, Nona, kau.... kau menangis?"

Ceng Ceng menundukkan mukanya dan menghapus beberapa titik air matanya. Hatinya terharu dan seperti ditusuk-tusuk rasanya. Pemuda ini selain telah mempertaruhkan nyawa sendiri ketika berusaha menyedot racun dari tubuhnya, juga telah merawat dan menjaganya selama dua hari dua malam dan jelas bahwa pemuda itu agaknya tidak makan dan tidak tidur, buktinya wajahnya pucat lesu dan tadi sampai tertidur di atas kursi! Seorang pemuda yang begini tampan dan gagah, berbudi mulia, telah menyatakan cinta kasihnya lewat perbuatannya, cinta kepada dia yang tidak berharga lagi! Makin diingat tentang keadaannya, makin terharu dan sakit rasa hatinya. Pemuda-pemuda pilihan telah jatuh cinta kepadanya. Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran putera Kaisar yang tampan, terpelajar tinggi, halus, romantis dan jujur! Kini, seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya, tampan dan gagah perkasa! Mereka itu jelas amat mencintanya, akan tetapi dia.... ah, dia telah menjadi setangkai bunga yang layu, tidak berharga lagi, telah diperkosa oleh seorang pemuda laknat, seorang pemuda biadab. Tiba-tiba dia teringat!

"Ah, di mana dia....?" Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat turun dari pembaringan akan tetapi cepat Kian Lee memegang lengannya dengan halus.

"Nona, hati-hatilah. Engkau belum sembuh.... beristirahatiah dulu...."

Ceng Ceng sadar bahwa sikapnya terlalu kasar. Dia menoleh ke kanan kiri, mencari kalau-kalau pemuda tinggi besar yang menjadi musuhnya, pemuda yang bernama Kok Cu, pemerkosanya, berada di situ. Dia tidak mimpi! Dia telah bertemu dua kali!

Bayangan berkelebat di pintu dan Ceng Ceng siap untuk menyerang kalau yang datang ini adalah musuh besarnya. Akan tetapi yang muncul di pintu adalah laki-laki setengah tua yang mengaku bernama Gak Bun Beng. Ceng Ceng bengong dan terduduk kembali di atas pembaringan.

"Gak-suheng...." Kian Lee berkata menyambut suhengnya.

Bun Beng tersenyum. "Ah, Nona Lu sudah sadar kembali? Syukurlah, bagaimana rasanya tubuhmu?"

Ceng Ceng tidak menjawab. Jantungnya berdebar keras dan dengan hati tak sabar lagi dia bertanya setelah mendengar Kian Lee menyebut orang ini Gak-suheng. "Apakah namamu Gak Bun Beng?"

Bun Beng dengan tenang lalu menarik sebuah bangku dan duduk menghadapi gadis yang duduk kembali di pinggir pembaringan itu. Memang dia sudah merasa tertarik dan heran melihat sikap Ceng Ceng sebelum jatuh pingsan ketika gadis itu mendengar namanya disebut, dan mendengar gadis itu menyatakan bahwa yang bernama Gak Bun Beng sudah mati!

"Benar, Nona Lu Ceng. Namaku memang Gak Bun Beng. Apakah engkau pernah mendengar namaku itu?"

"Mendengar....? Apakah engkau murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?" Ceng Ceng pernah mendengar kakeknya dulu bilang bahwa ayahnya yang bernama Gak Bun Beng bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar sakti, murid majikan Pulau Es yang berjuluk Pendekar Super Sakti!

Pertanyaan ini mengejutkan Bun Beng dan Kian Lee. "Benar sekali, Nona. Dari mana Nona mengetahui namaku?"

Wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu menjadi pucat, matanya terbelalak memandang wajah Bun Beng dan jantungnya berdebar tidak karuan seolah-olah dia melihat setan di tengah hari. "Harap.... harap kau jangan membohongi aku...." katanya gagap. "Gak Bun Beng murid Pendekar Super Sakti itu telah mati....! Dia adalah ayah kandungku, sudah mati, jangan kau berani-berani memalsukan namanya!"

"Ohhh....!"

"Ahhhh....!"

Bun Beng dan Kian Lee terkejut dan saling berpandangan.

"Aihh, Nona Lu, sadarlah.... ingatlah.... ah, harap kau istirahat dulu...." Dengan hati penuh iba karena mengira bahwa nona ini menjadi bingung dan berubah ingatan karena menderita keracunan, Kian Lee sudah bangkit dari bangkunya, menghampiri Ceng Ceng dan dengan sikap lemah lembut berusaha membujuk gadis itu untuk berbaring kembali.

"Sute, biarkan dia. Ada apa-apa di balik semua ini." Bun Beng berkata dan sutenya duduk kembali, memandang dengan penuh kecemasan. Bun Beng melihat bahwa Ceng Ceng tidak bicara seperti seorang yang hilang atau berubah ingatan, melainkan dengan sungguh-sungguh.

"Nona Lu Ceng," katanya tenang sambil memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Engkau adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi, bukan?"

Ceng Ceng mengangguk, matanya masih memandang Gak Bun Beng dengan penasaran karena mengira bahwa orang ini berani sekali memalsukan nama ayahnya yang sudah meninggal dunia.

"Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang dirimu."

"Kak Syanti....? Engkau mengenalnya? Di mana dia?"

"Tentu saja aku mengenalnya. Aku menyelamatkannya dari air sungai...."

"Ah, sukurlah...."

"Dan dia sekarang pun telah diselamatkan dari tangan pemberontak. Nona Lu, sepanjang pendengaranku dari cerita Syanti Dewi, engkau sejak kecil tinggal di Bhutan. Benarkah demikian?"

Ceng Ceng mengangguk lagi. Terlalu banyak hal-hal aneh terdengar olehnya sehingga sukar baginya untuk membuka suara.

"Jika sejak kecil engkau berada di Bhutan, bagaimana engkau dapat mengenal nama Gak Bun Beng yang kaukatakan sebagai ayah kandungmu?"

"Memang dia ayah kandungku! Kong-kong yang bercerita kepadaku," katanya kemudian.

"Pernahkah engkau bertemu dengan ayah kandungmu itu?"

Ceng Ceng menggeleng kepala. "Siapakah nama kakekmu?"

"Kakek adalah Lu Kiong...."

"Yang menurut cerita Syanti Dewi tewas ketika melindungi engkau dan Syanti Dewi?" Bun Beng menyambung.

"Benar."

"Dan nama ibumu?"

"Ibuku bernama Lu Kim Bwee...." Ceng Ceng kini terkejut memandang Bun Beng yang meloncat berdiri dari bangkunya.

"Lu Kim Bwee....? Di mana dia sekarang?" tanyanya penuh semangat.

"Ibuku? Dia.... dia sudah mati...."

Ceng Ceng berkata dan dia memejamkan matanya. Teringat bahwa ayah bundanya sudah mati, juga kong-kongnya, dan dia sendiri tertimpa malapetaka hebat, dia merasa betapa sengsara hidupnya!

"Ahhh....!" Bun Beng berseru kembali dan duduk di atas bangkunya, menghela napas panjang. "Nona Lu, harap kau suka menceritakan kepadaku, apa saja yang diceritakan oleh kong-kongmu itu kepadamu, tentang orang bernama Gak Bun Beng itu."

Hati Ceng Ceng merasa tegang. Sikap dua orang itu, yang dia tahu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, menimbulkan dugaan di hatinya bahwa memang ada sesuatu yang aneh, suatu rahasia mengenai keadaan dirinya. Kakeknya jelas adalah seorang Han, bahkan menurut pengakuan kakeknya, dahulu kakeknya adalah seorang pengawal Kaisar yang setia, maka kakeknya selalu menanamkan kesetiaan dan kepahlawanan padanya. Akan tetapi mengapa kakeknya dan ibunya meninggalkan tanah air dan berada di Bhutan yang begitu jauh? Tentu ada rahasia di balik itu semua, dan dia merasa bahwa saat terbukanya rahasianya itu hampir tiba. Maka dengan singkat namun jelas dia pun menuturkan keadaan dirinya dan kakeknya.

"Kong-kong adalah seorang bekas pengawal Kaisar yang mengundurkan diri dan tinggal bersamaku di Bhutan," dia bercerita sambil menatap wajah Bun Beng dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang mata Kian Lee seperti melekat dan bergantung kepada bibirnya, mata yang sinarnya penuh kemesraan dan kasih sayang! "Kong-kong bernama Lu Kiong dan ibu sudah tidak ada. Menurut penuturan Kong-kong, ayah kandungku bernama Gak Bun Beng dan ibuku yang bernama Lu Kim Bwee telah meninggal dunia karena merana dan berduka ditinggal pergi oleh ayah kandungku itu."

"Ahh.... sungguh kasihan engkau, Kim Bwee...." Bun Beng mengeluh.

Jantunq Ceng Ceng makin berdebar tegang. Orang ini jelas mengenal ibuku, pikirnya! Akan tetapi dia melanjutkan. "Mendengar penuturan Kong-kong, aku lalu menyatakan hendak mencari dan menegur Ayah atas perbuatannya terhadap Ibu, akan tetapi.... Kong-kong bilang bahwa ayahku yang bernama Gak Bun Beng, murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu telah mati. Nah, begitulah cerita Kong-kong kepadaku."

"Tidak, Nona Lu Ceng. Orang yang bernama Gak Bun Beng itu belum mati. Kakekmu dan ibumu salah sangka.... akulah orang yang mereka maksudkan itu...."

Ceng Ceng mengeluarkan jerit tertahan dan mukanya pucat, matanya terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng.

"Kalau.... kalau begitu.... engkau.... Ayaaahh....!" Ceng Ceng sudah menubruk ke depan, merangkul pinggang pendekar itu dan menangis tersedu-sedu.

Bun Beng membiarkan gadis itu menangis di dadanya, kemudian baru dia berkata dengan halus, "Nona, tenanglah Nona, dan duduklah baik-baik untuk mendengarkan penuturanku...."

"Suheng! Jadi dia.... dia ini.... puterimu....?" Kian Lee juga bertanya.

"Tenang, Sute. Dan engkau pun boleh mendengarkan penuturan ini karena.... ahhh, Tuhan saja yang Maha Tahu dan mengatur segala sesuatu di dunia ini sehingga terjadi hal seperti yang kuhadapi ini, karena engkau pun.... agaknya ada kepentingan dalam hal ini. Semoga Tuhan memberi kekuatan kepada kita bertiga. Duduklah, Nona Ceng...."

Ceng Ceng melepaskan pelukannya, melangkah mundur dan duduk kembali ke atas pembaringan, wajahnya pucat dan matanya memandang penuh kekagetan dan keraguan kepada Bun Beng. "Engkau.... engkau ayah kandungku, mengapa...."

Dia tidak melanjutkan ketika melihat sinar mata penuh iba terpancar dari mata pendekar itu, dan keheranannya bertambah. Tadi mendengar ayah kandungnya masih menyebutnya nona, dia sudah terkejut dan terheran sekali.

"Sayang sekali, Nona Ceng, sungguh sayang sekali bahwa terpaksa aku mengaku bahwa aku bukan ayah kandungmu. Ah, aku akan bersukur kepada Tuhan andaikata benar aku adalah ayah kandungmu. Aku akan merasa bahagia dan bangga mempunyai seorang anak seperti engkau...."

Makin terbelalak mata Ceng Ceng dan jelas bahwa kata-kata dari Bun Beng itu merupakan tikaman hebat yang membuyarkan semua harapan dan kebahagiaannya tadi. Mukanya seperti muka mayat hidup yang berwarna kehijauan.

"Ah, Nona.... tabahkanlah hatimu...." Kian Lee berkata dan tanpa terasa lagi, tidak malu-malu lagi kepada suhengnya karena dia seolah-olah tidak sadar apa yang dilakukannya, dia memegang tangan Ceng Ceng. Gadis itu terisak, memejamkan matanya, membiarkan air matanya bertitikan jatuh ke atas kedua pipinya dan dia menggenggam erat-erat tangan pemuda itu, seolah-olah dia minta bantuan dan kekuatan dari Kian Lee.

Bun Beng melihat ini semua dan hatinya tertusuk. "Kalian berdua tenanglah dan beri kesempatan kepadaku untuk bercerita dengan tenang."

Ceng Ceng sadar kembali, menarik tangannya, memandang kepada Kian Lee dengan mata basah dan bersinarkan terima kasih, kemudian menghapus air matanya, menarik napas panjang. "Hidupku selalu dirundung kemalangan dan kekecewaan demi kekecewaan menimpa diriku. Mengapa perjumpaan kembali dengan ayah kandung pun direnggut dari harapanku! Gak Bun Beng, kalau benar engkau bukan ayah kandungku, setelah tadi kau menghidupkan kembali ayah kandungku yang telah mati.... kaujelaskanlah ini semua. Demi

Tuhan, kauberi penjelasan akan semua ini!" Suaranya setengah menjerit.

Bun Beng menarik napas panjang. "Aku makin kagum padamu, Nona. Engkau menghadapi pukulan batin yang hebat itu dengan tabah. Kian Lee-sute, kuharap engkau pun dapat mencontoh kegagahan dan ketabahan hati Nona ini."

Kian Lee memandang kepada suhengnya dengan heran, akan tetapi dia mengangguk. Dua orang muda kini menanti dengan penuh perhatian dan suasana menjadi sunyi dan hening sekali sebelum Bun Beng mulai bercerita.

"Dahulu di waktu aku masih muda, belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda sesat yang melakukan banyak sekali perbuatan jahat, di antaranya memperkosa wanita, akan tetapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali...."

"Pemuda macam itu harus dibunuh!" Ceng Ceng berseru, marah karena dia teringat akan pemuda yang memperkosa dirinya.

Bun Beng tersenyum. Dara ini mengingatkan dia akan watak Giam Kwi Hong, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Lalu dia melanjutkan. "Pemuda sesat itu bermusuhan dengan aku, maka dia selalu menggunakan namaku dalam melakukan perbuatannya yang sesat itu. Pada suatu hari, aku mengejar pemuda itu dan tiba di tepi telaga, di mana terdapat sebuah pondok tempat peristirahatan seorang gagah bernama Lu Kiong...."

"Kakekku...."

"Dan seorang gadis cantik bernama Lu Kim Bwee...."

"Ibuku...."

"Ya, akan tetapi Lu Kim Bwee itu sesungguhnya bukan anak kakek itu, melainkan cucunya!"

"Ahhh....!" Ceng Ceng terheran-heran dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Lu Kiong adalah seorang bun-bu-cwan-jai (ahli surat dan ahli silat), bekas pengawal yang setia. Ketika mendengar bahwa pemuda sesat yang kucari-cari berada di sekitar telaga, Kakek Lu Kiong lalu membantuku untuk mencari dan mengejar pemuda itu. Akan tetapi ketika malam itu dia dan aku pergi berpencar melalui kanan dan kiri telaga, mengelilingi telaga mencari pemuda sesat itu, ternyata orang jahat itu diam-diam memasuki pondok dan memperkosa Lu Kim Bwee."

"Ahhh....!" Ceng Ceng meloncat ke atas dan mengepal tinjunya, penuh kemarahan. "Katakan, siapa penjahat laknat itu?"

"Dia sekarang sudah tidak ada lagi, Nona." Bun Beng berkata.

Ceng Ceng menjadi lemas kembali, duduk dan dua titik air matanya meloncat keluar, teringat betapa sama nasib ibunya dan dia!

"Celakanya, penjahat itu melakukan perbuatan biadab itu di dalam kegelapan dan dia memang sengaja melakukan hal itu dengan memakai namaku, sehingga Kakek Lu dan Kim Bwee menuduhku! Kakek Lu menuntut agar aku mengawini Kim Bwee. Karena aku tidak merasa melakukan perbuatan biadab itu, aku menolak dan mereka lalu memusuhi aku. Bahkan kemudian, bekerja sama dengan wanita-wanita lain yang telah dibuat sakit hati oleh penjahat itu yang mengaku namaku, Lu Kim Bwee dan beberapa orang lain itu mengeroyok aku dan aku terjatuh ke dalam jurang. Mereka tentu mengira bahwa aku telah mati, Padahal sebenarnya tidaklah demikian kenyataannya. Aku masih hidup dan semenjak itu aku tidak lagi bertemu dengan Lu Kim Bwee. Demikianlah, Nona.

Agaknya ibumu itu, Lu Kim Bwee, bersama kakeknya, Lu Kiong, lalu pindah ke Bhutan, mungkin untuk menghindarkan aib karena agaknya ibumu telah mengandung sebagai akibat perbuatan pemuda sesat itu. Engkau terlahir dan tentu saja kakekmu masih menganggap bahwa Gak Bun Beng yang memperkosa ibumu, maka dengan sendirinya kakekmu menceritakan bahwa ayah kandungmu adalah Gak Bun Beng. Padahal tidaklah demikian kenyataannya."

"Penjahat terkutuk!" Kian Lee memaki marah. "Siapakah manusia jahat itu, Suheng?"

"Jangan kau memaki dia, Sute. Dia sudah meninggal dunia dan tentu dia pun menyesalkan semua perbuatannya. Dia itu bukan orang lain...."

"Siapa dia?" Ceng Ceng mendesak ketika melihat Bun Beng meragu. "Siapa penjahat yang memperkosa ibuku dan menjadi ayah kandungku itu?"

"Namanya adalah Wan Keng In...."

"Ya Tuhan....!" Kian Lee menjerit, mukanya pucat.

"Eh, mengapa engkau....?" Ceng Ceng terkejut melihat Kian Lee yang kini menundukkan muka yang disembunyikan di balik kedua tangannya.

Melihat keadaan Kian Lee, Bun Beng menghela napas panjang. Betapa kejam nasib mempermainkan mereka bertiga!

Dia dapat merasakan kehancuran hati Ceng Ceng tadi, dan kini kehancuran hati Kian Lee, yang melihat kenyataan bahwa dara yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri, karena Wan Keng In adalah putera ibunya dari lain ayah. Bun Beng bangkit berdiri meninggalkan kamar itu menuju ke kamarnya sendiri, membiarkan dua orang muda itu menghadapi kenyataan itu berdua saja.

"Saudara Kian Lee, kau kenapakah....?" Kini Ceng Ceng memegang dengan Kian Lee dan mengguncangnya.

Kian Lee menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengatasi pukulan hebat itu, kemudian menurunkan tangan. Ceng Ceng terkejut melihat wajah yang kini menjadi pucat, mata yang sayu dan agak cekung itu karena memang Kian Lee menjadi agak kurus dan lemas.

"Ceng-ji, (Anak Ceng), engkau she Wan, dan jangan menyebut aku saudara karena aku adalah pamanmu!"

"Ehhh....?"

"Ketahuilah bahwa Wan Keng In itu adalah putera ibu kandungku, dari lain ayah. Ibuku sebelum menjadi isteri ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, menjadi isteri orang lain she Wan dan mempunyai anak Wan Keng In itu. Kau.... kaumaafkan aku.... Wan Ceng.... bahwa aku.... sebagai pamanmu, telah.... pernah.... jatuh cinta padamu. Nah, sudah kuakui sekarang, agak lega hatiku. Namun.... tentu saja hal itu tak mungkin lagi.... aku adalah siok-hu-mu (pamanmu) dan engkau keponakanku...."

"Paman....!" Ceng Ceng menubruk dan mereka berpelukan. Ceng Ceng merasa suka dan berhutang budi kepada pemuda yang halus ini dan biarpun tahu betapa akan mudah bagi dia untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, di samping pemuda seperti Pangeran Yung Hwa. Akan tetapi jangankan terdapat kenyataan bahwa pemuda ini adalah pamannya sendiri, andaikata tidak demikian pun, mana mungkin dia berani membalas cinta seorang seperti Suma Kian Lee ini? Apalagi setelah diketahuinya bahwa pemuda itu adalah putera dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es! Dia sudah tidak berharga lagi!

"Paman, maafkanlah saya....!" Hatinya seperti diremas mengingat betapa dia tanpa disengaja telah menghancurkan hati pamannya yang baik ini, mematahkan cinta kasih yang bersemi di hati pemuda ini.

"Sudahlah, Ceng Ceng, sudahlah. Tuhan menghendaki demikian dan memang sebaiknya begini daripada menghadapi kenyataan bahwa cintaku hanya sepihak. Bagiku sama saja, Ceng Ceng, engkau tetap seorang keluarga dekat dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengusahakan pengobatan bagimu. Engkau masih dalam cengkeraman bahaya maut...." Tiba-tiba Kian Lee berhenti dan kaget karena tanpa disengaja dia telah membuka rahasia itu.

"Jangan ragu-ragu, Siok-siok (Paman). Dalam keadaan setengah sadar aku pun samar-samar mendengar dari kakek tukang obat ini bahwa aku hanya dapat bertahan hidup sampai sebulan saja, bukan?"

Kian Lee mengangguk. "Akan tetapi, dia sedang berusaha untuk mencarikan obat bagimu, Ceng Ceng. Dan aku akan pergi mencari Ayah, karena menurut Yok-kwi, yang dapat mengobatimu hanyalah Ayah, atau Ban-tok Mo-li...."

"Ban-tok Mo-li sudah mati."

"Bagaimana engkau bisa tahu?"

"Karena aku muridnya."

"Ahhh!" Kian Lee terkejut dan sekarang mengertilah dia mengapa gadis ini berubah menjadi dingin dan aneh. Kiranya telah menjadi murid nenek iblis itu. "Kata Yok-kwi, tubuhmu mengandung racun sehingga dia tidak mampu menyembuhkanmu. Kalau engkau murid Ban-tok Mo-li, tentu kau dapat mengobati sendiri."

"Tidak bisa, Siok-siok. Ilmuku belum sedemikian tingginya dan pukulan Hek-tiauw Lo-mo amat hebat. Akan tetapi, biarlah.... aku tidak takut menghadapi kematian.... dan pula, hidup lebih lama lagi untuk apakah?"

"Ceng Ceng....!"

"Benar, Paman. Hidupku penuh dengan kesengsaraan dan malapetaka selalu datang menimpa diriku...."

"Ceng Ceng, jangan putus harapan," Kian Lee berkata, hatinya sendiri seperti ditusuk pisau dan dia maklum bahwa tidak akan mudah baginya untuk menyembuhkan "lukanya" sendiri ini.

Tiba-tiba seorang perajurit penjaga muncul dan berkata bahwa di luar ada seorang tamu yang mengaku bernama Topeng Setan dan hendak bertemu dengan Nona Lu Ceng.

"Topeng Setan?" Kian Lee berseru kaget.

Akan tetapi Ceng Ceng tersenyum. "Dia pembantuku, Paman."

Dari luar terdengar suara memanggil, "Lu-bengcu....!"

"Eh, siapakah yang berteriak itu?"

"Itulah Topeng Setan, pembantuku. Siok-siok, ketahuilah bahwa keponakanmu yang sesat ini telah menjadi seorang beng-cu kaum sesat di dekat kota raja dan Topeng Setan adalah pembantuku."

Ceng Ceng lalu keluar dari kamar itu diikuti oleh Kian Lee yang masih bengong saking herannya. Bun Beng juga keluar dari kamarnya dan mereka bertiga lalu keluar dari gedung itu. Topeng Setan telah berdiri di depan gedung, dan dia menjura ketika melihat Ceng Ceng. "Harap Beng-cu maafkan saya yang terlambat menghadap karena saya tidak tahu bahwa Beng-cu berada di sini."

"Tidak apa. Aku telah bertemu dengan musuh-musuh berat, terkena pukulan-pukulan dari Tambolon dan kemudian terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo sehingga keracunan hebat. Topeng Setan, aku telah ditolong oleh mereka ini. Kau harus memberi hormat, pemuda ini adalah siok-hu Suma Kian Lee dan ini adalah...." Dia meragu ketika memandang kepada Gak Bun Beng karena tidak tahu harus menyebut apa kepada orang yang tadinya dianggap sebagai ayahnya itu.

"Menurut hubungan keluarga, sebut saja aku supek-hu (uwak seperguruan)." Bun Beng membantunya sambil tersenyum.

"Dia ini supek-hu Gak Bun Beng," Ceng Ceng melanjutkan.

Topeng Setan menjura kepada Kian Lee dan Bun Beng.

"Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Dua Pendekar Besar) yang telah menyelamatkan Beng-cu kami." Kemudian Topeng Setan berkata lagi kepada Ceng Ceng, "Karena Beng-cu menderita luka parah, marilah kita pergi mencari obatnya."

Ceng Ceng mengangguk. "Supek, dan Siok-hu, aku akan pergi bersama Topeng Setan...."

"Eh, Ceng Ceng, engkau masih sakit. Kita sedang menanti kembalinya Yok-kwi yang mencarikan obat untukmu," Gak Bun Beng berkata.

"Ceng Ceng, kau harap menanti di sini. Aku akan mengusahakan sekuat tenagaku untuk mencarikan obat bagimu. Aku akan ke Pulau Es...." kata Kian Lee.

"Tidak perlu, Supek dan Siok-siok, terima kasih atas kebaikan kalian. Akan tetapi, kurasa lebih baik kalau aku pergi saja dan tidak merepotkan kalian lagi.... aku.... aku.... ah, aku lebih senang merantau....!" Ceng Ceng mengangguk kemudian pergi dari situ tanpa menoleh lagi. Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Bun Beng dan Kian Lee.

"Harap Ji-wi tidak khawatir, saya akan mengusahakan sampai Beng-cu kami sembuh kembali," katanya perlahan, kemudian dia pergi menyusul Ceng Ceng.

Kian Lee hendak mencegah, akan tetapi Bun Beng memegang tangannya. "Sebaiknya begitu, Sute. Dan kulihat Topeng Setan itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia dapat mengusahakan kesembuhannya."

Mereka berpandangan dan Kian Lee menunduk, tidak menjawab, hanya mengangguk. Hatinya terasa kosong, seolah-olah semangatnya ikut pergi terbawa oleh Ceng Ceng, gadis yang menjadi cinta pertamanya akan tetapi yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu.

"Kita harus menyusul ke Teng-bun, melihat keadaan di sana dan menemui Syanti Dewi dan Kian Bu sute. Kabarnya Syanti Dewi telah diselamatkan di sana." Bun Beng berkata lagi dan Kian Lee hanya mengangguk sunyi.

******

"Gak-taihiap, apakah engkau tidak bertemu dengan puteraku?" tanya Jenderal Kao Liang kepada Gak Bun Beng ketika Bun Beng dan Kian Lee tiba di Teng-bun disambut oleh jenderal itu sendiri.

"Puteramu, Goanswe?" Bun Beng bertanya heran karena baru sekali dia melihat putera jenderal itu, dan yang terjadi di dalam medan pertempuran maka dia lupa lagi.

"Saudara Kok Cu telah berhasil dengan pasukannya menyerbu Koan-bun dan membasmi pemberontak, Kao-goanswe. Akan tetapi dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo dan mengejar Ketua Pulau Neraka itu." Kian Lee menjelaskan karena dia sudah mendengar dari Bun Beng tentang putera jenderal Itu yang mengejar Hek-tiauw Lo-mo.

"Ah, anak itu terlalu berbakti kepada suhunya, melaksanakan perintah suhunya sampai lupa kepada orang tua dan belum juga dapat berkumpul dengan kami." Jenderal itu menghela napas. "Dan.... apakah Ji-wi bertemu dengan Nona Lu Ceng?"

Kian Lee merasa jantungnya tertusuk, dia menunduk dan tidak berkata apa-apa. Bun Beng yang kini menjawab, "Nona itu hebat sekali, Kao-goanswe! Akan tetapi dia telah pergi bersama Topeng Setan, pembantunya, padahal dia menderita luka hebat."

Jenderal yang hatinya penuh kegembiraan karena pemberontakan telah terbasmi dan yang selalu bersikap polos dan terbuka itu menghela napas dan berkata kepada Gak Bun Beng, "Gak-taihiap, lihat betapa seorang tua seperti aku selalu menjadi kecewa karena ulah orang-orang muda! Ataukah kekecewaanku ini terjadi karena keinginanku sendiri yang bukan-bukan sehingga tidak tercapai? Aihhh, sampai bermimpi-mimpi olehku betapa akan bahagianya kalau benar Nona Lu Ceng masih hidup dan kelak menjadi mantuku, menjadi jodoh Kok Cu....!"

Mendengar pernyataan yang terang-terangan ini, Bun Beng dan Kian Lee saling pandang. Akan tetapi karena Kian Lee melihat bahwa suhengnya tidak berkata apa-apa mengenai hubungan keluarga antara dia dan Ceng Ceng, dia pun tidak mau mengatakannya, pula karena ada rahasia yang kurang baik tentang ayah kandung gadis itu. Betapapun juga dia tidak dapat berdiam diri saja ketika teringat akan peristiwa aneh di Koan-bun antara Ceng Ceng dan Kok Cu, maka dia berkata, "Kao-goanswe, ketika puteramu datang memimpin pasukan menyerbu Koan-bun, dia telah bertemu pula dengan nona itu, akan tetapi, entah mengapa.... Nona Lu Ceng telah menjadi marah-marah dan memukul Saudara Kok Cu sampai dua kali."

"Eihhh....?" Kenapa?" Jenderal itu berseru kaget sekali.

"Entahlah, kami juga tidak tahu mengapa. Mungkin saja di dalam perantauan mereka sudah pernah saling bertemu," kata Kian Lee.

"Pada saat itu Nona Lu Ceng baru saja mengalami pukulan tangan beracun yang hebat. Bisa saja terjadi bahwa dia kurang sadar lalu menganggap puteramu musuh dan memukulnya, Kao-goanswe." Bun Beng cepat berkata dan jenderal itu mengangguk-angguk. Hanya Kian Lee yang tahu bahwa suhengnya itu sebetulnya juga merasa heran, dan ucapannya itu hanya untuk menghibur belaka karena mereka berdua mendengar betapa Ceng Ceng memaki dan menyebut nama Kok Cu sebelum memukul, yang hanya berarti bahwa Ceng Ceng memukul dalam keadaan sadar dan telah mengenal pemuda putera jenderal yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.

"Kao-goanswe, dimana adanya Enci Milana, kakakku? Dan di mana pula adikku Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi? Kami mendengar bahwa mereka berada di sini." Kini Kian Lee bertanya, merasa heran mengapa hanya jenderal itu seorang yang menyambut dia dan suhengnya. Bun Beng juga memandang kepada Jenderal itu dengan pandang mata penuh pertanyaan, karena sesungguhnya sejak tadi dia pun ingin sekali tahu di mana adanya Puteri Syanti Dewi dan Puteri Milana, dua orang yang selalu berada dekat sekali di lubuk hatinya.

"Mereka telah berangkat ke kota raja. Puteri Milana khawatir kalau terjadi sesuatu dengan keluarga Kaisar di istana karena perbuatan Pangeran Liong Bin Ong, dan beliau ingin cepat-cepat melaporkan kepada Kaisar tentang tertumpasnya pemberontakan dan juga agar cepat dapat menangkap Pangeran Liong Bin Ong yang sebetulnya merupakan tokoh pertama dalam pemberontakan itu. Maka beliau segera berangkat ke kota raja, sekalian mengajak Puteri Syanti Dewi menghadap Kaisar, diikuti oleh Suma Kian Bu

taihiap. Selain itu, beliau juga membawa seorang tawanan yang amat penting, yaitu Ang Tek Hoat bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong."

"Ahhh, pemberontak lihai itu!" Kian Lee berseru.

Gak Bun Beng juga teringat akan tokoh muda pemberontak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan yang memiliki tenaga sin-kang seperti tenaga Inti Bumi sehingga pernah mengejutkan hatinya.

"Benar," kata Jenderal Kao Liang. "Dan dia pulalah yang berjuluk Si Jari Maut, yang telah banyak melakukan kejahatan dengan menggunakan namamu, Gak-taihiap."

"Ahhh....!" Gak Bun Beng berseru heran.

"Heran sekali, mengapa orang sejahat itu tidak dibunuh saja dan malah dibawa ke kota raja oleh Enci Milana?" Kian Lee bertanya.

Jenderal Kao Liang menghela napas. "Kalau aku tidak salah menduga, hal itu adalah karena cinta! Cinta memang amat kuasa menimbulkan segala macam peristiwa hebat-hebat dan aneh-aneh di dalam dunia ini di antara manusia."

"Heemmm, apa maksud kata-katamu itu, Goanswe?" Bun Beng bertanya.

"Puteri Milana, aku sendiri, dan Suma-taihiap tadinya juga berpendapat demikian dan akan membunuh saja Ang Tek Hoat itu. Akan tetapi anak angkatku itu, Puteri Syanti Dewi, adalah seorang wanita yang halus budi dan mulia. Dialah yang melarang kami membunuh Tek Hoat."

"Ahhh....!" Gak Bun Beng terkejut dan alisnya berkerut,

"Mengapa?"

"Kiranya Tek Hoat yang terluka berat dan parah itu telah menyelamatkan Syanti Dewi dari bahaya maut dan pemuda yang sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi itu ternyata telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo yang lihai dalam perlawanannya membela Syanti Dewi. Mengingat akan jasa-jasanya semua itu, bukan hanya menyelamatkan nyawa Syanti Dewi akan tetapi juga membunuh pentolan-pentolan pemberontak itu, maka Puteri Milana lalu memutuskan untuk menawan pemuda itu dan membawanya ke kota raja sebagai tawanan dalam keadaan masih terluka hebat karena pukulan-pukulan maut dari Siang Lo-mo. Apalagi menurut Puteri Milana, beliau merasa terheran-heran melihat betapa pemuda itu pandai mainkan ilmu silat rahasia dan simpanan dari Puteri Nirahai sehingga menduga bahwa tentu ada hubungan sesuatu antara pemuda itu dengan Thian-liong-pang, bekas perkumpulan yang dipimpin Puteri Nirahai."

Gak Bun Beng mengangguk-angguk. Kini dia dapat mengerti mengapa Milana menawan pemuda itu dan dia dapat menduga pula bahwa yang dimaksudkan oleh jenderal itu tentang cinta tadi adalah perubahan yang terjadi pada diri pemuda pemberontak itu yang karena cinta sampai membalik dan melawan, bahkan membunuh Pangeran Liong Khi Ong sendiri bersama tiga orang pengawalnya yang lihai-lihai itu. Dan tidak anehlah baginya kalau Syanti Dewi mencegah pemuda itu dibunuh. Dia sudah cukup mengenal kepribadian Syanti Dewi yang penuh dengan kelembutan dan belas kasihan, juga penuh dengan perasaan ingat budi.

"Kalau begitu, aku akan segera menyusul ke kota raja, Suheng!" Kian Lee berkata. "Harap Gak-suheng suka menemani aku kesana."

"Hemm.... aku tidak mempunyai kepentingan di kota raja, Sute." Bun Beng menjawab karena di dalam hatinya, dia sungkan, bahkan takut untuk bertemu dengan Milana dan Syanti Dewi, maklum akan kelemahan hati sendiri.

Jenderal Kao Liang memandang tajam dan berkata, suaranya biasa saja akan tetapi pandang matanya bicara banyak. "Gak-taihiap, sebelum berangkat Puteri Milana meninggalkan pesan kepada saya untuk menyampaikan kepada Taihiap bahwa beliau ingin membicarakan suatu hal penting dengan Taihiap setelah urusan negara selesai. Hanya itulah pesan beliau."

"Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat berdua, Suheng. Apakah Suheng tidak ingin bertanya kepada Ang Tek Hoat yang ditawan itu mengapa dia menggunakan nama Suheng untuk melakukan kejahatan? Pula, apakah Suheng tidak ingin mengurus tentang Adik Syanti Dewi?"

Bun Beng tidak dapat mengelak lagi. Terpaksa dia memenuhi permintaan Kian Lee dan setelah bermalam di Teng-bun pada keesokan harinya mereka berangkat meninggalkan Teng-bun, naik kuda pilihan yang disediakan oleh Jenderal Kao Liang untuk mereka.

******

Ang Tek Hoat rebah terlentang di atas pembaringan, mukanya pucat sekali dan napasnya empas-empis. Semenjak dia dibawa dari Teng-bun sampai ke kota raja, dia terus pingsan, tak sadarkan diri dan keadaannya makin memburuk. Ramuan obat yang diminumkan kepadanya oleh tabib-tabib tentara tidak menolong sama sekali. Akhirnya Puteri Milana yang mendengar akan keadaan tawanan ini, menyuruh pengawal membawa pemuda yang menderita luka-luka pukulan beracun itu ke istananya.

Puteri Milana bersama suaminya, Han Wi Kong, yang ketika bala tentara menyerbu ke utara juga ikut memimpin pasukan penyerbu ke Teng-bun, diikuti pula oleh Suma Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi telah menghadap Kaisar. Kaisar menerima mereka dengan girang sekali, terutama mendengar laporan bahwa pemberontak di utara telah dibasmi dan bahwa dara jelita itu adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dapat diselamatkan. Ketika mendengar laporan Puteri Milana tentang Pangeran Liong Khi Ong yang tewas sebagai pimpinan pemberontak, Kaisar hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Akan tetapi ketika Puteri Milana melapor bahwa Pangeran Liong Bin Ong berada di balik pemberontakan itu, Kaisar mengerutkan keningnya dan berkata, "Liong Bin Ong tidak pernah meninggalkan Istananya di kota raja. Untuk menentukan salah tidaknya, harus dilakukan pemeriksaan dan penelitian lebih dulu, jangan sampai aib menimpa kerajaan." Kemudian Kaisar menahan Syanti Dewi sebagai tamu Istana untuk menghormat Raja Bhutan dan untuk memperlihatkan iktikad baik kerajaan terhadap Kerajaan Bhutan, dan minta kepada Puteri Milana untuk menanti keputusannya tentang Pangeran Liong Bin Ong, dan juga tentang diri Puteri Syanti Dewi yang kini gagal menjadi mantu Kaisar karena matinya Liong Khi Ong itu.

Berat hati Milana terutama hati Kian Bu, meninggalkan Syanti Dewi di Istana Kaisar. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah, apalagi karena Puteri Bhutan itu diberi kebebasan untuk saling berkunjung dengan Puteri Milana setiap saat pun.

Demikianlah, ketika Ang Tek Hoat sudah diangkut ke istana Puteri Milana, puteri ini dan Kian Bu memeriksa keadaannya. "Enci, kiranya hanya ada satu jalan untuk mencoba menolongnya. Dia terpukul oleh pukulan beracun yang hebat. Bagaimana kalau kita berdua membantunya?"

Milana mengangguk. "Memang itulah yang ingin kulakukan. Dia telah berjasa besar dan untuk jasanya itu sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk menolongnya."

Han Wi Kong yang juga berada di situ berkata, "Memang tepat sekali pendapat itu. Belum tentu orang yang sekali berbuat dosa, lalu selama hidupnya menjadi orang berdosa. Apalagi dia masih amat muda."

Bekas panglima yang gagah ini selalu bermuram durja semenjak dia kembali dari penyerbuan di utara. Biarpun dia tidak menyaksikan serdiri, namun dia mendengar akan pertemuan antara isterinya, Puteri Milana dengan Gak Bun Beng, dan dia merasa berduka sekali karena dia merasa bahwa dialah yang menjadi penghalang bagi kebahagiaan isterinya.

Memang cinta kasih mengambil jalan yang aneh-aneh. Han Wi Kong dahulu adalah seorang panglima muda yang gagah perkasa, yang terpaksa dipilih oleh Puteri Milana karena desakan Kaisar agar cucu ini menikah. Han Wi Kong dipilih di antara banyak calon karena selain gagah perkasa, juga sifat lemah-lembut dan penuh pengertian dari panglima ini menimbulkan kepercayaan di dalam hati Milana. Memang tadinya Han Wi Kong pun hanya tertarik sekali dan laki-laki manakah yang tidak akan tergila-gila kepada seorang puteri seperti Milana? Akan tetapi, setelah menikah Han Wi Kong betul-betul jatuh cinta kepada isterinya, cinta yang murni dan hanya satu keinginan di hatinya, yaitu melihat Milana hidup bahagia. Oleh karena itu, dia mau menerima kenyataan bahwa Milana tidak cinta kepadanya, bahkan kenyataan pahit bahwa Milana mau menikah dengan dia hanya karena hendak memenuhi perintah Kaisar. Karena cintanya yang murni, yang jauh lebih kuat daripada nafsu berahi, Han Wi Kong menekan penderitaan batinnya, dia rela menderita batin dan tidak pernah menuntut haknya sebagai seorang suami! Justeru sikap Han Wi Kong inilah yang membuat Milana terharu dan selalu berusaha agar di depan umum mereka merupakan suami isteri yang rukun. Dia berusaha menyenangkan hati suaminya dengan cara lain, sungguhpun dia maklum bahwa semua itu tentu tidak dapat mengobati kesengsaraan batin suaminya.

Han Wi Kong telah mendengar pengakuan Milana tentang cinta kasih yang gagal dari isterinya itu, tentang Gak Bun Beng yang semenjak pernikahan mereka itu tidak pernah terdengar lagi namanya, seolah-olah pendekar itu telah lenyap ditelan bumi. Hatinya mulai merasa lega karena dia ingin sekali melihat Milana dapat melupakan kekasihnya itu, dan kalau Gak Bun Beng telah meninggal dunia atau lenyap, dia percaya lambat laun kedukaan hati isterinya itu akan sembuh. Dia sama sekali bukan mengharapkan agar isterinya akan dapat membalas cintanya, hal ini sudah tidak menjadi jangkauan harapannya lagi. Dia melainkan ingin melihat isterinya bahagia. Maka, dapat dibayangkan betapa duka rasa hatinya mendengar bahwa Gak Bun Beng muncul lagi dan sejak pendekar ini muncul di kota raja, isterinya selalu gelisah dan merana. Bahkan secara halus namun terus terang Milana pernah menyatakan kepadanya sejak Milana melihat Bun Beng di kota raja, bahwa Milana akan pergi mencari Bun Beng sampai dapat bertemu setelah urusan pemberontak dapat diselesaikan. Kemudian dia mendengar akan pertemuan Bun Beng dengan Milana yang membuat isterinya pingsan dan semenjak itu isterinya berwajah pucat dan sering termenung. Tentu saja dia merasa makin berduka dan diam-diam dia menaruh hati benci kepada Bun Beng, bukan membenci karena didasari iri atau cemburu, melainkan benci karena Bun Beng dianggapnya sebagai orang yang telah merusak kehidupan dan kebahagiaan Milana!

Demikianlah, dengan menahan perasaan gelisah melihat isterinya kehilangan kegembiraan hidupnya, Han Wi Kong ikut menyaksikan ketika Ang Tek Hoat dibawa ke Istananya oleh isterinya. Dia pun dapat menerima pendapat isterinya tentang Ang Tek Hoat, apalagi ketika isterinya menceritakan betapa pemuda bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong ini mahir I1mu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, padahal penggabungan ilmu ini adalah merupakan ilmu simpanan dan rahasia dari Puteri Nirahai!

"Kalau begitu, mari kita mencoba untuk menolongnya, Adik Bu. Kong-ko (Kanda Kong), harap kau suka menjaga di pintu, jangan sampai ada yang mengganggu kami karena hal itu bisa berbahaya."

"Baik," Han Wi Kong menjawab. Dia sendiri pun seorang yang berkepandaian, dan sungguhpun sin-kangnya tidak sekuat isterinya atau Kian Bu sebagai anak-anak dari Pendekar Super Sakti, namun dia cukup maklum akan bahayanya orang-orang yang lagi mengerahkan sin-kang untuk menyembuhkan orang lain apabila diganggu oleh orang luar. Dia mengambil sebuah bangku dan duduk di ambang pintu.

Puteri Milana dan Kian Bu lalu duduk di tepi pembaringan, berslla dan meletakkan telapak tangan mereka di dada dan lambung Tek Hoat, mengumpulkan hawa murni dan mulailah mereka mengerahkan sin-kang ke dalam tubuh pemuda yang terluka parah di sebelah dalam tubuhnya itu.

Dari ambang pintu, Han Wi Kong duduk dan memandang penuh kagum. Isterinya dan Kian Bu adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai dan betapa bahaganya dia dapat disebut sebagai suami puteri yang cantik jelita dan berilmu tinggi serta gagah perkasa ini. Seorang pahlawan wanita sejati!

Wajah Tek Hoat tadinya pucat sekali. Lewat satu jam setelah dua orang keturunan Pulau Es itu menyalurkan sin-kang mereka, wajah Tek Hoat berubah, makin lama makin menghitam. Itulah tanda bahwa hawa becacun yang mengeram di dalam tubuh mulai dapat didesak naik dan keluar. Lewat tiga jam, warna hitam di muka Tek Hoat itu makin lama makin menipis, lalu berubah menjadi putih pucat lagi.

Han Wi Kong melihat betapa isterinya dan adik iparnya mulai berpeluh. Akan tetapi lewat lima jam, warna putih wajah Tek Hoat mulai menjadi merah dan pernapasannya mulai teratur. Akhirnya terdengar pemuda itu mengeluh dan membuka matanya. Mata itu melirik dan terbelalak seperti orang terkejut dan keheranan melihat dua orang itu yang sedang mengobatinya. Cepat dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk menolak dan kedua orang itu melepaskan tangan mereka lalu melompat turun dari pembaringan, menghapus keringat dari dahi dan leher. Milana memandang adiknya dengan senyum penuh kagum, karena ternyata bahwa pernapasan Kian Bu tidak begitu memburu seperti napasnya, hai ini menandakan bahwa dalam hal sin-kang, adiknya itu sedikit lebih kuat daripada dia!

"Engkau sudah sembuh sekarang," katanya sambil memandang kepada Ang Tek Hoat. Pemuda ini cepat bangkit duduk, memejamkan mata sejenak karena ketika bangkit itu matanya berkunang dan kepalanya pening, tubuhnya lemas sekali karena sudah berhari-hari dia tidak makan.

"Berbaringlah dulu, engkau masih lemah," kata pula Milana. Akan tetapi Tek Hoat tetap duduk di tepi pembaringan, lalu membuka mata lagi memandang kepada Milana, Kian Bu, dan Han Wi Kong yang sudah masuk ke kamar lagi bergantian.

"Pa.... paduka.... adalah Puteri Milana....!" katanya agak gagap dan bingung, karena apa yang dilihat dan dialaminya tadi seperti dalam mimpi saja. "Dan kau.... kau adalah seorang di antara dua pemuda perkasa itu, mata-mata pemerintah!"

Milana memandang dengan senyum dan Kian Bu memandang dengan tajam penuh selidik. Tidak seperti encinya, dia masih curiga kepada bekas pembantu pemberontak yang dia tahu amat lihai ini.

"Kenapa....? Kenapa Ji-wi (Anda Berdua) menolong dan mengobati saya?"

"Ang Tek Hoat, engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong si pemberontak dan tiga orang pengawalnya yang lihai, untuk menyelamatkan Syanti Dewi. Hal itu saja cukup membuat kami berpendapat bahwa engkau bukanlah musuh lagi," kata Milana.

"Enciku ini memang bermurah hati, akan tetapi kalau engkau masih berpendirian untuk menjadi pemberontak, masih belum terlambat untuk menghukummu!" Kian Bu menyambung.

Akan tetapi Tek Hoat tidak begitu memperhatikan ucapan Kian Bu, dia menoleh ke kanan kiri, lalu bertanya, "Di mana dia? Sang Puteri Bhutan....?" Dia lalu memandang kepada Kian Bu dengan penuh selidik, karena dia teringat betapa puteri itu lari memeluk pemuda ini pada waktu itu.

"Dia telah selamat dan kini menjadi tamu agung dari Kaisar," kata Milana.

Hening sejenak. Kemudian Tek Hoat bangkit berdiri dengan limbung, menjura kepada mereka bertiga dan berkata, "Saya Ang Tek Hoat bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Ji-wi telah menolong saya dan saya menghaturkan terima kasih. Saya tidak ingin mengganggu dan merepotkan lebih lama lagi dan sebaiknya kalau saya pergi...."

"Nanti dulu, engkau bisa celaka kalau pergi dalam keadaan seperti ini, Ang Tek Hoat. Tubuhmu masih lemas dan lemah."

Pada saat itu, seorang pengawal yang tadi diperintah oleh Han Wi Kong datang membawa baki terisi semangkok obat penguat dan bubur. "Engkau minumlah obat ini dan makan bubur ini, baru kita bicara."

Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa perutnya kosong dan tubuhnya lemah sekali, mungkin dipakai berjalan pun akan terguling, maka dia mengangguk, menerima mangkok obat dan bubur itu lalu minum dan menghabiskannya dengan cepat. Biarpun tidak berapa banyak, bubur itu menghangatkan perutnya dan tenaganya agak pulih kembali.

"Sekarang kita bicara, Tek Hoat," kata Milana setelah pengawal itu pergi. "Engkau berhadapan dengan Puteri Milana, dan ini suamiku Han Wi Kong, dan adikku Suma Kian Bu...."

"Ah, kiranya dia ini adik paduka? Jadi.... jadi putera Pendekar Super Sakti?" Tek Hoat tahu bahwa Puteri Milana adalah anak dari Pendekar Super Sakti seperti pernah diceritakan oleh ibunya.

"Benar, dan agaknya sedikit banyak engkau tahu akan keluarga ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dari siapa engkau mengenal kami?"

"Dari ibu, akan tetapi sudahlah.... saya merasa heran sekali akan tetapi juga berterima kasih kepada paduka yang tidak membunuh saya malah menolong saya. Agaknya benar cerita ibu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti terdiri dari orang-orang gagah dan budiman, sungguh tidak seperti kami...."

Melihat pemuda itu merendah dan hendak pergi, selalu memandang ke pintu seolah-olah tidak betah berada di situ terlalu lama, Milana dapat memaklumi isi hatinya. Pemuda ini jelas adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan, hatinya keras dan memiliki harga diri yang tinggi. Namun entah bagaimana terjeblos ke dalam tangan para pemberontak sehingga kini pemuda ini merasa betapa dia kotor dan tidak berharga, merasa malu terhadap diri sendiri sehingga tidak betah berada di antara orang-orang yang dianggapnya gagah dan budiman!

"Ang Tek Hoat, terus terang saja, kami bukanlah orang-orang budiman dan terlalu gagah seperti yang kausebutkan tadi. Kita sama saja, hanya kebetulan saja kami berada di pihak yang benar dan engkau terjeblos ke dalam kesesatan. Ketika menolongmu, selain untuk balas jasamu membunuh Pangeran pemberontak dan kaki tangannya serta menolong Syanti Dewi, juga karena kami ingin mengajukan pertanyaan kepadamu yang kuharap engkau akan suka menjawabnya."

Ang Tek Hoat menatap wajah yang cantik jelita itu, biarpun usianya lebih tua akan tetapi kecantikannya mengingatkan dia kepada Syanti Dewi, sepasang mata yang bening dan tajam itu, kemudian menjawab, "Asal saja pertanyaan paduka itu pantas untuk dijawab, dan dapat saya jawab, tentu akan saya jawab," katanya singkat.

Hemm, pemuda ini benar-benar keras hati dan juga cerdik, pikir Milana. "Pertanyaanku yang pertama adalah pertanyaan yang pernah kuajukan padamu ketika engkau melawanku di hutan itu. Dari mana engkau mempelajari Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun dan siapa yang melatihmu?"

Tek Hoat sendiri sudah pernah mendengar dari Sai-cu Lo-mo yang pernah menggemblengnya bahwa kakek sakti itu memperoleh kepandaiannya dari Puteri Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Maka dia pun tidak merasa heran bahwa Puteri Milana dapat mainkan ilmu silat itu dengan mahir sekali. Karena dia tidak ingin disangka mencuri ilmu orang, maka dia menjawab sejujurnya, "Saya pernah menerima pelajaran ilmu itu dari Suhu Sai-cu Lo-mo."

"Aihh, kalau begitu engkau masih murid keponakanku!" Milana berseru.

"Maaf, saya tidak berani, karena Suhu Sai-cu Lo-mo pernah berpesan agar saya tidak mengakuinya sebagai guru. Hanya karena paduka bertanya dan saya sudah tahu bahwa antara beliau dengan paduka ada hubungan, maka saya berani berterus terang menyebutnya."

Milana mengangguk-angguk. Heran sekali dia mengapa Sai-cu Lo-mo sampai menurunkan ilmu rahasia itu kepada pemuda ini.

"Akan tetapi, dibandingkan dengan Sai-cu Lo-mo, kepandaianmu jauh lebih tinggi."

Ang Tek Hoat tidak mau menanggapi kata-kata Puteri Milana itu, dan dia diam saja, menanti pertanyaan ke dua.

"Sekarang pertanyaanku ke dua, Tek Hoat. Di beberapa tempat, engkau memakai julukan Si Jari Maut dan menggunakan nama Gak Bun Beng. Mengapa begitu? Mengapa engkau begitu jahat dan curang, melakukan kejahatan dengan menggunakan nama lain orang?"

Kini dengan suara ketus karena diingatkan kepada musuh besarnya, dia menjawab, "Memang, semua perbuatan itu saya lakukan untuk memburukkan nama Gak Bun Beng, karena jahanam itu telah membunuh ayah! Sayang dia telah mampus, kalau tidak, tentu sudah kucari dan kubunuh dia, tidak perlu lagi saya memburuk-burukkan nama orang yang sudah mati."

"Ah keparat bermulut lancang!" Kian Bu sudah bergerak hendak menerjang Tek Hoat, akan tetapi Milana memegang lengannya.

"Jangan terburu nafsu, Bu-te!"

Kian Bu teringat bahwa orang yang akan diserangnya itu masih lemah, dan memang amat lucu untuk menyerang orang yang baru saja dia tolong dan sembuhkan! Akan tetapi, mendengar kata-kata Tek Hoat tadi dia sudah marah sekali.

"Ang Tek Hoat, engkau sungguh kurang ajar, berani engkau memaki suhengku dan mengatakan bahwa sudah mati. Kalau tidak ingat bahwa engkau belum sehat benar kuhancurkan mulutmu!"

Tek Hoat terbelalak memandang Kian Bu, Milana, dan Han Wi Kong. "Apa katamu? Dia.... dia.... masih hidup?" Tentu saja dia merasa heran sekali. Bukankah ibunya telah dengan jelas bercerita kepadanya bahwa musuh besar yang bernama Gak Bun Beng itu telah mati terbunuh ibunya?

"Engkau memang tukang membohong! Suheng Gak Bun Beng masih segar bugar, bahkan pernah engkau bertemu dengan dia beberapa kali, sudah pernah mengadu tenaga pula. Dia adalah Suheng yang melakukan perjalanan bersama aku, Lee-ko, dan Adik Syanti Dewi."

Mata Tek Hoat makin terbelalak dan mukanya berubah. "Aihh.... dia....? Gak Bun Beng pembunuh ayahku? Masih hidup? Kalau begitu...." Dia diam saja tenggelam ke dalam pikirannya yang bergelombang. Memang tidak mungkin kalau ibunya dapat membunuh musuh dengan kepandaian seperti itu! Bahkan laki-laki setengah tua gagah perkasa itu memiliki tenaga sakti Inti Bumi yang amat kuat! Akan tetapi kenapa ibunya mengatakan bahwa dia telah membunuh Gak Bun Beng. Apakah hanya namanya saja yang sama? Dia harus memecahkan rahasia ini. Dia harus menemui laki-laki yang bernama Gak Bun Beng itu dan memaksanya untuk mengaku apa yang telah terjadi dengan ayahnya!

"Ang Tek Hoat, benarkah ayahmu dibunuh oleh Gak Bun Beng?" Puteri Milana bertanya sambil memandang dengan tajam penuh selidik.

"Saya tidak perlu membohong. Ayah saya dibunuh oleh Gak Bun Beng dan karena saya kira dia sudah mati maka saya sengaja memburukkan nama musuh besar saya itu," jawabnya.

"Engkau melihat sendiri bahwa ayahmu dibunuh olehnya?" tanya lagi Puteri Milana dan diam-diam dia mengingat-ingat karena wajah pemuda yang tampan ini mengingatkan dia akan seseorang akan tetapi dia lupa lagi siapa. Mata itu, bibir itu, benar-benar tidak asing baginya!

"Hal itu terjadi sebelum saya lahir. Ibu yang memberitahukan saya...."

"Ahhh....! Siapa ibumu? Dan siapa ayahmu?"

Tek Hoat menggeleng kepalanya. "Maaf, itu merupakan rahasia saya, dan tidak dapat saya ceritakan kepada lain orang. Biarlah saya mencari Gak Bun Beng dan bicara sendiri dengan dia. Saya mohon kepada paduka agar suka memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh besar saya itu, kecuali.... kecuali kalau paduka hendak menghukum saya karena pemberontakan itu.... saya tidak akan dapat melawan...."

"Enci Milana, manusia ini berhati palsu dan curang, lagi jahat dan berbahaya sekali kalau dia dibiarkan pergi begitu saja!" Kian Bu berkata dengan alis berkerut.

"Benar, sebaiknya dia ditahan dulu, sambil kita menanti kedatangan Gak-taihiap," kata Han Wi Kong.

Akan tetapi, ucapan suaminya itu dirasakan oleh Milana seperti ujung belati menusuk jantungnya. Setiap kebaikan sikap suaminya mengenai diri Gak Bun Beng merupakan tusukan baginya, makin baik sikap suaminya, makin tertusuk dia karena dia maklum bahwa dia telah berdosa terhadap suaminya ini. Maka kata-kata suaminya itu membuat dia bangkit menentang.

"Tidak, biarkan dia pergi! Pertama, dia adalah murid Sai-cu Lo-mo, berarti masih orang sendiri. Ke dua, dia memang pernah membantu pemberontak, akan tetapi kesesatan itu telah ditebusnya dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya, juga dengan menolong Syanti Dewi. Tentang urusannya dengan.... Gak-suheng, biarlah dia selesaikan sendiri dengan yang berkepentingan. Ang Tek Hoat, kalau engkau ingin pergi, pergilah. Hanya kuharap bahwa engkau akan selalu ingat bahwa kami tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu, maka jika menghadapi segala urusan, jangan engkau terburu nafsu dan kami selalu siap untuk membantumu memecahkan persoalan yang sulit."

Sikap dan ucapan Milana ini benar-benar mengharukan hati Tek Hoat. Selama dia meninggalkan ibunya, dia tidak pernah menemui manusia yang bersikap tulus, jujur dan mulia terhadap dirinya. Kalau toh ada yang bersikap baik terhadap dia, kebaikan itu hanya menutupi suatu pamrih tertentu yang lebih merupakan penjilatan atau juga penggunaan karena tenaganya dibutuhkan seperti halnya kaum pemberontak yang berbaik kepadanya. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang amat dikaguminya, seorang wanita yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi mulia dan berwibawa. Tanpa disadarinya sendiri, kedua kakinya menjadi lemas dan Ang Tek Hoat pemuda yanp angkuh dan keras hati itu, yang tidak pernah mengenal takut dan tidak pula mau tunduk kepada siapa pun kini menjatuhkan diri berlutut di depan Puteri Milana! Dia merasa betapa dirinya adalah orang yang

sudah kotor, yang bergelimang dengan kesesatan, yang membuat dia memandang dirinya amat rendah sekali dibandingkan dengan orang-orang gagah seperti kedua orang saudara putera Pendekar Super Sakti itu, yang membuat dia merasa tidak berharga, akan tetapi yang sekaligus juga memperkeras hatinya, menimbulkan keangkuhannya sehingga sampai mati pun dia tidak akan sudi tunduk kepada "orang-orang bersih" seperti mereka itu. Akan tetapi, sikap Milana mencairkan kekerasan dan keangkuhannya, karena puteri ini bersikap sungguh-sungguh kepadanya, tidak memandang rendah, bahkan sinar mata yang mengandung iba yang mendalam itu membuat dia tunduk dan terharu. Suaranya agak tergetar ketika dia berkata, "Saya Ang Tek Hoat sungguh kagum kepada paduka dan selama hidup saya akan memuliakan nama paduka Puteri Milana." Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri, menjura kepada tiga orang itu dan dengan langkah lebar dia keluar dari kamar dan gedung itu, agak terhuyung-huyung.

Milana meneriaki pengawal dan dengan singkat memerintahkan agar pengawal itu terus membayangi dan menjaga agar pemuda itu tidak diganggu dan diperbolehkan keluar dari kota raja tanpa halangan. Pengawal itu memberi hormat, lalu tergesa-gesa mengejar Tek Hoat.

"Enci Milana, betapa pun juga, aku masih menganggap dia itu seorang yang berbahaya...." Suma Kian Bu menyatakan pendapatnya, hatinya kurang puas akan sikap encinya yahg demikian lunak terhadap pemuda jahat itu.

Milana hanya menggeleng kepala dan menghela napas, memegangi kepalanya. "Bu-te, aku seperti pernah mengenalnya.... dahulu.... ah, biarkan aku mengaso sambil mengingat-ingat...." Dia lalu pergi memasuki kamarnya sendiri, meninggalkan suaminya yang kini duduk bercakap-cakap dengan Kian Bu, membicarakan pengalaman mereka ketika pasukan pemerintah menyerbu Koan-bun dan Teng-bun.

Di dalam kamarnya, Milana lalu mengunci pintu dan menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kepalanya agak pening, bukan hanya karena urusan Tek Hoat dan bukan hanya karena dia agak lelah mengerahkan tenaga sin-kang selama lima jam untuk mengobati Tek Hoat tadi. Akan tetapi ada hal lain yang lebih mendalam lagi, yang selama beberapa hari ini menusuk-nusuk jantungnya. Teringat dia akan peristiwa itu, peristiwa yang takkan dapat dilupakannya, ketika Puteri Syanti Dewi yang muda dan cantik jelita itu menegurnya dengan hebat sewaktu mereka berdua berada di dalam kamar dan tidak ada orang lain lagi.

"Bibi Milana, saya tidak tahu apakah nanti Bibi akan membunuh saya atau menganggap saya kurang ajar setelah saya selesai bicara, akan tetapi bagaimanapun juga, saya akan menanggung semua akibatnya karena hal ini tidak mungkin saya simpan saja dan tidak dibicarakan dengan Bibi. Sudah berada di ujung bibir saya sejak kita saling bertemu, bahkan jauh sebelum pertemuan itu hal ini selalu berada di lubuk hati saya dan sekaranglah tiba saatnya kita hanya berdua saja di dalam kamar ini maka saya akan keluarkan isi hati saya."

Melihat Puteri Bhutan yang muda remaja itu berhadapan dengan dia di kamar itu sambil memandang dengan sepasang pipi kemerahan seperti dibakar, mata bersinar-sinar dan bibir penuh semangat, Milana yang selalu bersikap tenang dan sabar itu tersenyum.

"Syanti Dewi, kaukeluarkan isi hatimu dan bicaralah dengan hati tenang agar jelas karena tidak baik membiarkan hati dikuasai kemarahan."

"Bibi Milana, setelah bertemu dengan engkau, maka aku merasa kagum sekali. Engkau seorang puteri sejati, begitu gagah perkasa, bersikap agung dan berhati mulia, akan tetapi sungguh sayang sekali bahwa di balik kebaikan itu semua tersembunyi hati yang amat kejam terhadap pria!"

Milana mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak menjadi marah mendengar tuduhan hebat ini. "Syanti Dewi, aku yakin bahwa orang seperti engkau tidak mungkin mengeluarkan kata-kata seperti itu tanpa alasan yang kuat. Jelaskanlah tuduhanmu itu dan tidak perlu menyimpan rahasia."

"Bibi Milana, mengapa Bibi melakukan kehidupan yang palsu ini? Bibi mencinta pria lain, akan tetapi menikah dengan pria lain lagi! Bibi membiarkan pria yang mencinta Bibi dan juga Bibi cinta itu hidup sengsara selamanya, hidup tersiksa dalam duka nestapa setiap saat, padahal pria yang sampai sekarang masih mencinta Bibi dengan seluruh tubuh dan nyawanya itu adalah orang yang sebaik-baiknya orang, dan yang tidak ada keduanya di dunia yang penuh dengan manusia palsu dan jahat ini!" Syanti Dewi mengeluarkan kata-kata itu dengan cepat karena kata-kata itu sudah lama tersimpan di hatinya, matanya berapi-api dan mukanya

kemerahan. "Bibi Milana sungguh kejam sekali! Nah, puaslah sudah hatiku mengeluarkan umpatan yang sudah lama terkandung ini dan kalau Bibi marah dan hendak membunuhku, silakan!"

Wajah cantik Puteri Milana menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah, dan pucat lagi. Dia memandang Syanti Dewi dengan mata terbelalak dan bibir gemetar, kedua tangan dikepal dan andaikata yang bicara itu bukan Syanti Dewi, agaknya puteri ini tentu sudah menggerakkan tangan untuk melakukan pukulan maut, dan kalau hal itu dilakukan, tentu Syanti Dewi sudah menggeletak tak bernyawa lagi!

"Bibi marah, akan tetapi aku tidak menyesal mengeluarkan semua ucapanku tadi, karena aku menuntut agar Bibi Milana suka mengambil keputusan dan tidak membiarkan hidup seorang pria yang kujunjung tinggi itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak."

"Syanti Dewi...." suara Milana gemetar dan serak, seperti bisikan. "Siapa.... siapa yang kaumaksudkan dengan pria itu....?" Dia bangkit perlahan, tidak peduli betapa kedua kakinya menggigil.

"Siapa lagi kalau bukan Paman Gak Bun Beng? Kalian saling mencinta dengan sepenuh jiwa raga, akan tetapi Bibi telah begitu tega untuk meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, membiarkan dia merana sepanjang hidupnya."

"Oohhh...." Tubuh Milana menjadi lemas, dia memejamkan matanya dan jatuh terduduk lagi di atas kursinya. Kemudian dia membuka lagi matanya yang menjadi kemerahan dan basah air, mata. "Syanti Dewi.... dari mana.... engkau mengetahui semua tentang kami....?"

"Paman Gak Bun Beng yang bercerita kepadaku."

"Ahh....? Tak mungkin....!" Milana meloncat ke depan dan memegang pundak Syanti Dewi, jari-jari tangannya yang kecil lembut halus itu kini mencengkeram seperti cakar harimau dan Syanti Dewi menggigit bibir menahan sakit. "Kau.... kau mencintanya!"

Ucapan Milana yang menuduh ini mendatangkan semangat dan mengusir rasa sakit di pundaknya. Syanti Dewi juga bangkit berdiri dan berkata dengan gagah, "Memang! Aku pernah mencintanya, Bibi. Dan seandainya di dunia ini tidak ada Puteri Milana, tentu aku akan tetap mencinta Gak Bun Beng sampai aku mati! Akan tetapi aku tahu bahwa cintaku sia-sia dan aku yakin bahwa dia tidak dapat mencintaku. Cinta kasihnya hanya untukmu, Bibi Milana! Karena itu, aku mengubur cintaku, cinta seorang wanita terhadap pria yang semulia-mulianya orang, dan kupaksa menjadi kasih seorang anak terhadap ayah atau seorang murid terhadap guru. Hanya engkaulah wanita pujaan hatinya yang akan dicintanya sampai dia mati, dan dia bahkan berbahagia di dalam kesengsaraannya asalkan engkau hidup bahagia! Betapa kejamnya engkau, Bibi Milana!" Tanpa disadarinya lagi, air mata bercucuran dari kedua pelupuk mata Puteri Bhutan itu.

"Ouhhhh...." Milana terisak, menggigit bibirnya, memejamkan matanya menahan kepedihan hati yang seperti ditusuk-tusuk rasanya. "Aihhh.... Syanti Dewi.... kau tidak tahu.... kau tidak tahu.... betapa selama belasan tahun aku hidup dengan hati remuk-redam.... betapa aku hidup sengsara dan merana.... yang mungkin tidak kalah pahitnya dengan penderitaannya...." Wanita cantik itu kini menundukkan mukanya dan memejamkan mata, menggoyang-goyang kepala untuk mengusir semua kepedihan yang menghimpitnya.

Kini Syanti Dewi membelalakkan matanya, dan cepat dia menghapus air matanya. Lalu dia maju berlutut di depan Milana, memeluk pinggang puteri itu.

"Syanti....!" Milana tak dapat menahan keharuan dan kepedihan hatinya, dia memeluk kepala Puteri Bhutan itu sambil menangis sesenggukan. Betapa belasan tahun ini dia menahan kesengsaraannya, tak pernah dikeluarkan sehingga kini bagaikan air bah memecah bendungannya, air matanya mengalir membasahi kepala dan rambut Syanti Dewi. Puteri Bhutan ini mengejap-ngejapkan matanya menahan tangis, lalu dengan sikap halus dan lemah lembut dia mengeluarkan saputangannya, menghapus air mata dari pipi Puteri Milana seperti orang dewasa menghibur seorang anak kecil yang sedang menangis. Dia membiarkan Milana menangis sesenggukan sampai beberapa lamanya, kemarahannya berubah menjadi perasaan kasihan sekali terhadap puteri gagah perkasa ini, yang kini oleh kekuatan cinta kembali ke asalnya, seorang wanita yang lemah dan hanya bergantung kepada tangis dan rintihan hatinya.

"Bibi Milana," suara Syanti Dewi kini penuh kesungguhan, penuh kedewasaan, dan penuh teguran. "Bibi Milana mengapa telah bertindak begitu bodoh? Jelas bahwa sesungguhnya Bibi amat mencinta Paman Gak Bun Beng, sejak dahulu sampai saat ini, akan tetapi mengapa Bibi memaksa diri menikah dengan pria lain? Apa sebabnya tindakan yang amat bodoh ini?"

Milana sudah dapat menekan perasaannya. Tangisnya tadi, yang baru sekali ini dapat dia curahkan keluar, sedikit banyak melegakan hatinya. Dia mengangkat Syanti Dewi bangkit dan mengajak dara itu duduk berdampingan di pinggir pembaringannya.

"Engkau anak baik, pertanyaanmu sungguh tidak tepat! Engkau sendiri tahu akan keadaan wanita-wanita yang tidak kebetulan menjadi puteri-puteri istana seperti kita ini! Apa daya kita menghadapi perintah junjungan kita, dalam hal ini Kaisar yang menjadi kakekku dan Raja Bhutan yang menjadi ayahmu? Engkau sendiri menerima saja ketika dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah tua!"

"Aih, Bibi Milana. Keadaan saya lain lagi dengan keadaan Bibi! Andaikata saya seperti Bibi, sudah mempunyai seorang kekasih di Bhutan, sampai mati pun saya tidak akan sudi! Kalau saya mentaati perintah ayah, adalah karena hati saya masih bebas dan betapa pun saya tidak suka dikawinkan dengan orang yang belum pernah saya lihat, namun demi kebaktian terhadap ayah, terutama terhadap negara karena ayah menyerahkan saya demi negara, terpaksa saya menyetujuinya. Jauh bedanya dengan Bibi yang telah

mempunyai seorang pujaan hati sehebat Paman Gak! Mengapa Bibi begitu bodoh?"

Demikianlah, percakapannya dengan Puteri Syanti Dewi itulah yang terus menghantui hatinya. Kini Puteri Milana rebah seorang diri di atas pembaringannya di dalam kamarnya yang tertutup, mengenangkan semua percakapannya dengan Syanti Dewi dan baru terbuka matanya betapa dia telah berbuat kesalahan besar terhadap Gak Bun Beng! Pernikahannya dengan Han Wi Kong juga tidak mempunyai arti apa-apa bagi Kaisar atau kerajaan, dan yang jelas dia telah merusak kehidupan Gak Bun Beng, merusak kebahagiaan hidupnya sendiri! Teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu dahulu, belasan tahun yang lalu dan makin diingat, makin menyesallah dia karena sejak dahulu, Bun Beng selalu bersikap baik dan penuh cinta kasih kepadanya, sebaliknya, telah beberapa kali dia menyakiti hati kekasihnya itu! Bahkan yang terakhir sekali, dia menuduh Gak Bun Beng sebagai seorang pria jahat dan keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia telah bersekutu dengan wanita-wanita lain yang disangkanya menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng untuk membunuh pria itu! Dan hampir saja maksud kejamnya ini terlaksana (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Kemudian barulah dia tahu, baru terbuka matanya bahwa Gak Bun Beng adalah pria yang bersih, gagah perkasa, mulia, karena si jahat itu bukanlah Gak Bun Beng, melainkan Wan keng In!

"Ahhh.... Wan Keng In, benar dia....!" Tiba-tiba Puteri Milana meloncat turun dari atas pembaringannya, memandang terbelalak ke arah pintu kamarnya. Ketika dia mengenangkan masa lalu dan terbayang wajah Wan Keng In, tiba-tiba saja dia melihat wajah Ang Tek Hoat! Mengapa dia begitu bodoh? Wajah Ang Tek Hoat persis wajah Wan Keng In!

Han Wi Kong dan Kian Bu terkejut sekali ketika melihat Milana memasuki kamar di mana mereka berdua bercakap-cakap itu dengan muka berubah agak pucat. "Mana dia? Bu-te, lekas kau kejar dia! Ang Tek Hoat itu adalah putera Wan Keng In!"

Kian Bu terkejut. Tentu saja dia telah mendengar siapa adanya Wan Keng In yang disebut oleh encinya itu. Wan Keng In adalah putera ibu tirinya, ibu kandung Kian Lee, anak tiri ayahnya yang telah lama meninggal dunia dan kabarnya dahulu amat lihai akan tetapi juga menyeleweng.

"Bagaimana kau bisa tahu, Enci?"

"Aku bodoh, telah lupa wajah Wan Keng In yang persis benar dengan wajahnya. Lekas, Bu-te, susul dia dan suruh dia kembali, aku akan bicara dengan dia. Kini aku tahu mengapa dia memusuhi Gak Bun Beng."

Kian Bu cepat berlari keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, pengawal tadi menceritakan bahwa pemuda itu telah keluar dari pintu gerbang kota raja dan entah pergi ke mana, Kian Bu menyusul dan mengejar sampai jauh di luar kota raja, keluar dari pintu gerbang selatan, namun hasilnya sia-sia dan terpaksa dia kembali kepada encinya dengan tangan hampa.

Milana merasa menyesal sekali. "Di dalam kamar tadi, baru aku teringat. Memang tadinya aku merasa mengenal wajah Tek Hoat, hanya sayang aku lupa bahwa wajahnya itu persis wajah Wan Keng In, kakakmu Bu-te. Dia she Ang pula, siapa lagi dia kalau bukan anak Ang Siok Bi yang dahulu diperkosa oleh Wan Keng In yang menyamar sebagai Gak Bun Beng? Ahh, tentu akan terjadi hal-hal hebat kalau mereka saling bertemu!"

"Sebaiknya aku kembali ke Teng-bun atau Koan-bun, mencari Gak-suheng dan memberitahukan hal Tek Hoat itu kepadanya agar dia dapat berjaga-jaga, Enci!" kata Kian Bu.

"Tidak perlulah, Bu-te. Kurasa dia dapat menghadapi pemuda itu, apalagi Tek Hoat masih lemah tubuhnya dan perlu mengumpulkan tenaga sampai belasan hari lamanya. Pula, kita menanti datangnya kakakmu, Kian Lee, dan yang lain-lain. Mengapa mereka belum juga datang?" Hanya Han Wi Kong yang dapat menduga bahwa yang dimaksudkan "yang lain-lain" oleh isterinya itu, bukan lain adalah Gak Bun Beng yang amat diharap-harapkan kedatangannya.

Dan pada keesokan harinya, benar saja Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee muncul di istana Puteri Milana itu! Han Wi Kong dan Milana bersama Kian Bu menyambut mereka dengan gembira, akan tetapi Milana hanya sekilas saja bertemu pandang mata dengan Bun Beng, kemudian wajahnya berubah merah sedangkan wajah Bun Beng berubah pucat dan mereka tidak bicara apa-apa kecuali menyapa.

"Gak-suheng!"

"Sumoi....!"

Han Wi Kong maklum betapa kedua orang itu merasa sungkan dan tidak enak, maka dia bersikap ramah sekali.

"Gak-taihiap, sudah amat lama saya mendengar nama besar Taihiap dan sungguh merupakan suatu kehormatan besar bagi saya dapat berjumpa dengan Taihiap ini!"

Gak Bun Beng menatap wajah yang tampan dan gagah itu, dan hatinya ikut gembira bahwa Milana ternyata menikah dengan seorang pria yang tidak mengecewakan. "Terima kasih, Han-ciangkun, dan karena saya adalah suheng dari isterimu, harap kau jangan menyebutku taihiap (pendekar besar)."

Han Wi Kong tertawa dan begitu bertemu saja dia sudah merasa suka kepada pendekar besar yang sederhana sekali ini. "Kalau begitu, baiklah saya menyebutmu Gak-twako saja. Akan tetapi saya pun bukan lagi menjadi seorang perwira maka jangan menyebut saya ciangkun, Gak-twako (Kakak Gak)."

"Baiklah, Han-laote (Adik Han)."

Karena sikap Han Wi Kong, maka rasa sungkan dan tidak enak di pihak Bun Beng dan Milana perlahan-lahan berkurang dan Han Wi Kong lalu menjamu tamu yang dihormatinya itu dengan pesta kecil. Sambil bercakap-cakap, Han Wi Kong, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, dan Gak Bun Beng menghadapi meja bundar dan makan minum.

Karena sedang makan, mereka tidak membicarakan urusan penting dan setelah mereka selesai makan dan duduk di ruangan tamu, barulah mereka bicara tentang hal-hal yang lebih penting menyangkut diri mereka.

"Lee-ko, mengapa kau kelihatan pucat dan tidak bersemangat?" Kian Bu bertanya dan Milana juga memandang adik ini dengan penuh perhatian.

"Engkau kelihatan seperti orang sakit, Adik Kian Lee," dia juga berkata.

"Ah, tidak ada apa-apa," jawab Kian Lee.

"Jangan-jangan karena kakimu yang terluka dahulu itu, Lee-ko? Sekarang sudah sembuh sama sekali, bukan?"

"Sudah, Bu-te." Kian Lee menjawab singkat dan ketika adiknya itu bertanya tentang pengalamannya dan ketika kakinya terluka dan mereka terpisah, Kian Lee hanya menceritakan dengan singkat saja bahwa dia kebetulan bertemu dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo dan mendapatkan obat sehingga mudah sembuh.

"Heran...., heran....!" Kian Bu berkata sambil tertawa.

"Ayahnya iblis akan tetapi puterinya bidadari agaknya!"

Kini tiba giliran Bun Beng yang bertanya, tidak langsung menghadapi Milana melainkan pertanyaannya ditujukan kepada Han Wi Kong, "Saya mendengar bahwa ada seorang tahanan bernama Ang Tek Hoat. Apakah benar dia berada di kota raja dan apakah dapat saya bertemu dengan dia?"

"Ahh, Gak-suheng, memang terjadi hal yang hebat sekali dengan pemuda itu!" Milana berkata. "Dia.... dia.... itu.... putera Wan Keng In....!"

"Ehhh....?" Bun Beng demikian kagetnya sehingga dia bangkit berdiri, lalu duduk kembali. Sementara itu Milana sudah teringat akan peristiwa dahulu, maka dia menjadi pucat dan menunduk, tidak mampu melanjutkan kata-katanya.

"Bu-sute, apakah yang terjadi?" tanya Bun Beng, menoleh kepada Kian Bu.

"Gak-suheng, kami tadinya bertanya kepadanya mengapa dia berjuluk Si Jari Maut dan menggunakan nama Suheng untuk melakukan kejahatan. Dia menjawab bahwa Suheng telah membunuh ayahnya dan dia tidak melanjutkan keterangannya, hanya tadinya menyangka bahwa Suheng telah mati maka setelah mendengar bahwa Suheng masih hidup, dia menyatakan ingin bertemu dan ingin membalas dendam kematian ayahnya."

"Hemm...., sungguh aneh...." Bun Beng berkata.

"Akan tetapi Enci Milana lalu teringat akan wajah Keng In...."

"Bukan mirip lagi, Suheng, melainkan persis seperti pinang dibelah dua! Dan dia she Ang, siapa lagi kalau bukan anak Ang Siok Bi?" Milana berkata, dan ketika Bun Beng memandangnya, mereka bertemu pandang dara Milana menunduk, karena menyebut nama Siok Bi sama dengan menggali kenangan lama yang membuat dia merasa berdosa sekali.

Bun Beng mengangguk-angguk. "Hemm, sekarang aku mengerti! Pantas dia memusuhi aku...."

"Enci Milana khawatir sekali kalau sampai terjadi sesuatu yang hebat apabila Suheng bertemu dengan dia," kata pula Kian Bu.

"Aku dapat mengatasinya. Ahh, sungguh kejadian yang amat luar biasa aneh, dan sekaligus terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan...." Bun Beng menghela napas panjang.

"Gak-suheng, apa maksudmu?" Milana bertanya, karena dia merasa bahwa ada sesuatu yang penting terkandung dalam ucapan pendekar itu.

Bun Beng memandang kepada Milana, sedikit pun tidak memperlihatkan penyesalan ketika dia bertanya, "Sumoi tentu masih ingat kepada Lu Kim Bwee, bukan?"

Pertanyaan ini amat mengejutkan hati Milana, karena tidak disangka-sangkanya, padahal dia selalu membayangkan dua orang wanita, Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, dua orang wanita yang dahulu bersama dia mengeroyok Bun Beng dan hampir saja membunuh pendekar ini (baca cerita Sepasang Pedang Iblis).

Milana menelan ludah, memandang kepada Bun Beng tanpa dapat menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk.

"Nah, Lu Kim Bwee itu pun ternyata mempunyai seorang anak dari Wan Keng In, dan anaknya itu adalah Lu Ceng."

"Ooohhh....!"

"Aihhhh....!" Kian Bu terbelalak dan menoleh kepada Kian Lee. Melihat Kian Lee menundukkan muka, Kian Bu membungkam mulutnya lagi, tidak berani mengeluarkan suara. Maklumlah dia sekarang mengapa Kian Lee begitu pucat dan muram. Kiranya dara yang dia tahu telah mencuri hati kakaknya itu ternyata adalah anak dari mendiang Wan Keng In, kakak mereka sendiri, yang berarti bahwa Ceng Ceng adalah keponakan mereka sendiri.

Keadaan menjadi sunyi karena semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing. Han Wi Kong yang pernah mendengar cerita tentang Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, yang tadinya disangka menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng yang kemudian ternyata adalah perbuatan Wan Keng In, memecahkan kesunyian itu sambil berkata, "Kiranya dua orang yang menggemparkan itu adalah keponakan-keponakan Adik Kian Lee sendiri."

Kian Lee mengangguk sunyi dan semua orang masih tenggelam ke dalam keanehan yang luar biasa ini, peristiwa yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka. Milana tidak menyangka bahwa peristiwa ketika dia muda dahulu, yang dilakukan oleh Wan, Keng In, ternyata berekor demikian panjang sehingga biarpun pelakunya telah tewas, ternyata akibat kelakuannya masih terus menjadi riwayat! Dan celakanya, kalau dulu Wan Keng In melakukan perbuatan yang mencelakakan diri Gak Bun Beng, sekarang keturunannya juga melakukan hal yang sama, sungguhpun apa yang dilakukan oleh Tek Hoat adalah karena pemuda itu mengira bahwa Gak Bun Beng sudah mati dan menjadi pembunuh ayahnya.

Selagi mereka semua termenung, tiba-tiba datang penjaga pintu yang melaporkan bahwa ada utusan dari Kaisar datang untuk bertemu dengan Puteri Milana! Puteri Milana terkejut dan cepat menyambut. Kiranya yang datang adalah Perdana Menteri Su sendiri, yang tentu saja cepat disambutnya dengan penuh hormat. Han Wi Kong, Gak Bun Beng, dan kedua orang saudara Suma ikut menyambut, dan karena perdana menteri datang sebagai utusan Kaisar yang berarti wakil Kaisar sendiri, Milana dan yang lain-lain menyambut dan berlutut.

Perdana Menteri Su mengenal semua yang hadir. Dia sudah mendengar akan kedua orang adik Puteri Milana, putera-putera dari Pendekar Super Sakti, dan dia dahulu sudah pernah bertemu dengan Gak Bun Beng. Maka cepat dia menggerakkan tangan minta kepada mereka semua untuk bangkit berdiri.

"Harap Cu-wi bangkit kembali dan penghormatan Cu-wi terhadap Sri Baginda telah saya terima. Sekarang kita bicara sebagai sahabat dan biarlah pesan Sri Baginda saya bicarakan di atas cawan-cawan arak saja karena keputusan beliau perlu dipertimbangkan bersama."

Puteri Milana dan yang lain-lain segera bangkit berdiri dan mempersilakan tamu agung itu ke ruangan tamu, di mana mereka menjamu Perdana Menteri Su dengan hormat dan ramah.

Perdana Menteri Su yang sudah tua dan setia itu menghela napas panjang dan berkata, "Aihhh.... betapa girang dapat bertemu dengan orang-orang gagah seperti Cu-wi, dan betapa kecewa hati membawa berita yang tidak menyenangkan. Puteri Milana, Sri Baginda Kaisar menitah saya untuk menyampaikan keputusan beliau tentang Pangeran Liong Bin Ong dan Puteri Syanti Dewi."

"Bagaimana dengan Paman Pangeran Liong Bin Ong?" Puteri Milana bertanya.

"Sri Baginda menyatakan bahwa menurut penyelidikan beliau, Pangeran Liong Bin Ong tidak bersalah apa-apa, dan pemberontakan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab mendiang Pangeran Liong Khi Ong...."

"Ahhh....!" Puteri Milana berseru, mukanya merah dan kelihatan penasaran sekali.

"Puteri Milana, demikianlah keputusan Sri Baginda," Perdana Menteri Su berkata keren dan memandang wajah puteri itu penuh arti. Sang Puteri mengangguk dan membungkuk, tidak berani berkata apa-apa lagi sungguhpun dia maklum bahwa keputusan ini bukan hanya membuat dia penasaran, bahkan terutama sekali membuat perdana menteri itu menjadi kecewa dan khawatir. Mereka berdua tahu belaka bahwa Liong Khi Ong hanya merupakan orang ke dua, hanya pembantu dari Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi dalang pertama dari pemberontakan itu!

"Adapun mengenai diri Puteri Bhutan itu, Puteri Syanti Dewi yang tadinya akan menikah dengan Pangeran Liong Khi Ong, menurut keputusan Sri Baginda akan dinikahkan dengan Pangeran Yung Hwa!"

"Heiiiihh....!" Kian Bu berteriak sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya.

"Bu-te, duduklah! Ini perintah Sri Baginda Kaisar!" Puteri Milana membentak adiknya, akan tetapi matanya memandang adiknya dengan penuh duka karena puteri ini maklum bahwa adiknya itu telah jatuh cinta kepada Syanti Dewi.

".... ya... ya, Enci Milana...." Kian Bu duduk kembali dan menundukkan mukanya yang berubah menjadi pucat.

"Betapapun juga, keputusan ke dua ini adalah cukup adil dan tepat," Perdana Menteri Su berkata sambil mengelus jenggotnya. "Memang tadinya Pangeran Yung Hwa yang ingin berjodoh dengan Puteri Bhutan, hanya dia terdesak dan kalah oleh mendiang Pangeran Liong Khi ong. Ikatan jodoh ini berarti memperkuat tali hubungan antara Kerajaan Ceng dengan Kerajaan Bhutan."

Milana tidak menjawab karena dia maklum bahwa perdana menteri itu tidak tahu akan rasa hati Kian Bu. Dia hanya mengangguk saja. Tak lama kemudian, Perdana Menteri Su berpamit dan setelah dia pergi, barulah Milana meremas cawan araknya sampai perak itu menjadi satu gumpalan!

"Sungguh celaka sekali! Pangeran Liong Bin Ong si pemberontak besar itu dibebaskan! Tentu dia akan membuat huru-hara lagi! Ahh, mengapa Sri Baginda tidak dapat melihat kenyataan?" Milana melirik ke arah Kian Bu yang masih menundukkan mukanya dan tiba-tiba dia bangkit berdiri. "Dan Syanti Dewi.... ah, sungguh membikin orang penasaran....!" Milana mengerutkan alisnya, sejenak bertukar pandang dengan Gak Bun Beng, lalu dia minta maaf kepada Bun Beng dan meninggalkan ruangan itu memasuki kamarnya.

Kian Bu bangkit berdiri pula, tanpa berkata apa-apa dia pun lalu setengah lari menuju ke kamarnya, diikuti oleh Kian Lee yang kini memandang adiknya itu dengan wajah penuh kecemasan.

Tinggallah Haan Wi Kong duduk berhadapan dengan Gak Bun Beng. Keduanya bengong dan termenung.

"Hemmm...., banyak sekali peristiwa terjadi dalam kehidupan manusia yang berlawanan dengan apa yang dikehendakinya, bukan, Gak-twako?"

"Ehhh....?" Bun Beng yang melamun sambil tak sadar mengambil cawan yang telah menjadi gumpalan perak karena dicengkeram oleh Milana tadi, membolak-balikkan benda itu di tangannya, terkejut mendengar ucapan itu, lalu mengangkat muka memandang. "Agaknya begitulah hidup...."

"Mengapa harus begitu, Twako?" Han Wi Kong mendesak.

"Yah, manusia tidak akan dapat melawan nasib...." Bun Beng menarik napas panjang.

"Hemmm...., begitukah? Atau bukan sebaliknya bahwa nasib berada di tangan manusia sendiri? Orang yang menyerah kepada nasib adalah orang lemah, dan orang-orang lemah memang sudah sepatutnya hidup menderita, Twako! Hanya orang yang berani menentang dan menghadapi keadaan dan peristiwa dengan tabah, merubah nasibnya sendiri dan terbebas dari penderitaan kelemahannya!"

Gak Bun Beng menatap wajah panglima yang tampan dan gagah itu dengan sinar mata penuh pertanyaan, kemudian bertanya, "Akan tetapi, keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan oleh Kaisar merupakan keputusan mutlak dan mana mungkin dirubah...."

"Mengapa tidak mungkin? Tergantung si manusia sendiri yang mampu atau tidak, berani atau tidak untuk merubahnya. Keadaan tidak akan berubah selama si manusia sendiri tidak berusaha untuk merubahnya!"

Bun Beng merasa terpukul dan ucapan itu mendatangkan kesan mendalam. Dia harus mengaku pada diri sendiri bahwa dia merana dalam hidupnya karena dia lemah, karena dia "menerima nasib", karena dia lebih condong menangisi nasibnya daripada berusaha merubah keadaan itu! Dan kedua orang adik seperguruannya, Kian Lee dan Kian Bu, juga mengalami "nasib" yang sama dengan dia, yaitu kalau mereka tidak mau turun tangan, tidak mau bertindak melawan "nasib" itu!

"Kata-katamu mengandung kebenaran yang patut untuk direnungkan, Laote. Maafkan, saya harus menengok kedua orang suteku itu."

Gak Bun Beng meninggalkan Han Wi Kong yang tersenyum-senyum seorang diri, memasuki kamar kedua orang sutenya dan melihat mereka itu duduk termenung di depan meja. Wajah Kian Bu pucat sekali dan Kian Lee yang bersikap tenang itu berusaha menghibur adiknya ketika Bun Beng muncul di depan pintu. Diam-diam Bun Beng kagum juga terhadap Kian Lee. Dia tahu betul betapa sutenya ini juga "patah hati" karena cintanya yang gagal terhadap Ceng Ceng, namun kini masih dapat menghibur adiknya yang mengalami hal yang sama!

Bun Beng tersenyum, menghampiri Kian Bu dan menepuk bahu pemuda itu. "Eh, Bu-sute, apakah engkau ini seorang banci?"

Ditanya seperti itu, Kian Bu yang sedang termenung dan tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan itu terperanjat, dan memandang kepada suhengnya itu dengan mata terbelalak. Kalau saja dia tidak terlalu dihimpit duka dan kecewa, tentu wataknya yang gembira ini akan menanggapi pertanyaan Bun Beng sebagai suatu kelakar.

"Apa maksudmu, Suheng?"

"Hanya seorang banci saja yang merenungi nasibnya dan menangisi peristiwa yang menimpa diri. Seorang jantan akan bertindak melawan keadaan yang tidak menyenangkan hatinya. Akan tetapi kulihat di sini engkau termenung menangisi nasib!"

"Aih, Suheng. Apa yang dapat saya lakukan menghadapi keputusan Kaisar? Biarpun beliau itu kakek besarku sendiri, namun aku tetap saja rakyat!" Kian Bu berkata.

"Hemm, mengapa engkau begitu lemah? Pula, mengapa engkau sudah menjadi patah hati? Apakah engkau sudah tahu bagaimana perasaan hati Syanti Dewi terhadap dirimu? Kalau aku menjadi engkau...."

"Bagaimana, Suheng?" Kian Bu bertanya penuh gairah. Dia adalah seorang pria yang baru menjelang dewasa, masih "hijau" dan tentu saja dia memandang suhengnya ini sebagai seorang pria yang sudah "berpengalaman" yang patut ditiru.

"Kalau aku yang menghadapi peristiwa seperti engkau ini, aku akan menemui dia dan terus terang kunyatakan perasaan hatiku kepadanya untuk mengetahui bagaimana tanggapannya. Kalau dia ternyata tidak mencintaku, mengapa engkau menangisi hal kosong? Sebaliknya, kalau dia memang cinta kepadaku seperti aku cinta kepadanya, aku akan mengajak dia lari bersama!"

Wajah Kian Bu menjadi berseri dan dia memegang tangan suhengnya. "Terima kasih, Suheng. Aku bukan seorang banci! Aku seorang laki-laki sejati dan akan kulaksanakan nasihatmu itu sekarang juga!" Kian Bu meloncat keluar dari tempat itu. Kian Lee memanggilnya, namun pemuda itu sudah pergi jauh.

"Ah, Gak-suheng, engkau bisa menimbulkan gara-gara dengan nasihatmu itu," Kian Lee berkata, khawatir. "Jangan-jangan akan timbul keributan."

"Lee-sute, yang sudah jelas, kalau didiamkan saja, sudah terjadi keributan dalam hati Bu-sute yang mungkin akan membuat dia merana selama hidupnya. Belum lagi diingat betapa puteri itu pun akan menjadi sengsara. Bukankah itu sudah merupakan hal yang hebat? Sebaliknya, kalau memang mereka saling mencinta, apa salahnya mereka berdua melarikan diri dan berjodoh? Ingat, Puteri Nirahai juga dulu kawin lari dengan ayahmu, buktinya sekarang mereka berbahagia." Sampai di sini Bun Beng berhenti karena dia

teringat akan urusannya sendiri dengan Milana. Dia bisa memberi nasihat, bahkan sudah ada contoh yang mutlak, yaitu antara Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, akan tetapi toh dia dahulu sengaja menjauh dan tidak berani menghadapi kenyataan bahwa dia dan Milana saling mencinta. Hal ini hanya karena dia merasa rendah diri, sebagai keturunan penjahat, merasa tidak pantas menjadi jodoh seorang gadis mulia seperti Puteri Milana!

Setelah berkata demikian, Bun Beng lalu meninggalkan, Kian Lee dan pergi ke kamarnya sendiri, tidak jauh dari kamar kakak beradik itu. Akan tetapi dia merasa gelisah, bayangan Milana terus mengejarnya, dan timbul rasa takut di hatinya, takut dan tidak percaya kepada diri sendiri, karena kalau terlalu lama dia berada di rumah kekasihnya ini, terlalu sering berjumpa dengan Milana, dia khawatir kalau-kalau pertahanan batininya akan bobol. Aku harus segera pergi dari sini, pikirnya. Tidak ada urusanapa-apa lagi. Syanti Dewi sudah jelas akan dinikahkan dengan Yung Hwa, dan kalau betul seperti yang diharapkannya bahwa Syanti Dewi membalas cinta Suma Kian Bu, biarlah puteri itu hidup bahagia dengan sutenya itu. Tek Hoat pun sudah pergi dan ternyata pemuda itu adalah puteri Wan Keng In yang kembali mengulang perbuatan ayah kandungnya dahulu. Sebaiknya dia pergi dan menjumpai pemuda itu agar persoalannya menjadi jelas dan dendam dapat dihapus dari dalam dada pemuda itu. Akan tetapi dia merasa tidak enak juga kalau harus pergi begitu saja tanpa pamit, dan dia pun harus menanti kembalinya Kian Bu untuk melihat bagaimana jadinya dengan sutenya itu.

Kegelisahannya membuat Bun Beng tidak betah di dalam kamarnya. Hanya sebentar dia rebahan, kemudian dia turun dan keluar dari kamar, melalui pintu samping dia masuk ke dalam taman bunga yang luas dan indah dari istana itu. Hari telah menjelang senja dan di dalam taman bunga itu sunyi sekali. Bun Beng terus masuk ke dalam dan di tengah-tengah taman, tertutup oleh pohon-pohon apel, terdapat kolam ikan emas yang lebar dan indah. Arinya jernih sehingga ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari itu nampak nyata, beriring-iringan dengan warna sisik, mereka yang keemasan dan berkilauan tertimpa sinar kemerahan matahari senja. Bun Beng duduk di atas bangku batu di dekat kolam. Air yang memancar ke luar dari pinggir kolam membuat kolam itu selalu jernih airnya dan luapan air kolam mengalir ke dalam selokan kecil yang berliku-liku di dalam taman, mengairi kembang-kembang yang tampak mekar dengan indahnya, seolah-olah sedang bersaing kecantikan.

"Dia hidup bahagia, dan itu sudah cukup bagiku," diam-diam Bun Beng mengeluh. "Kehadiranku hanya akan memungkinkan datangnya gangguan dalam hidupnya. Suaminya amat gagah dan baik, kedudukannya mulia dan terhormat, kekayaannya berlimpah, terpenuhilah semua syarat hidup senang. Kalau dahulu ikut bersamaku? Tentu akan hidup serba kekurangan, bahkan hidup di tempat asing dan miskin...." Akan tetapi, suara hatinya yang menghibur diri bahwa orang-orang yang dicinta sudah hidup bahagia itu dibantah oleh suara lain dalam benaknya.

"Siapa bilang dia bahagia? Dia cukup dengan kesenangan dunia, memang. Akan tetapi apakah itu dapat mendatangkan bahagia? Lihat, dia begitu terguncang sampai pingsan begitu bertemu dengan aku. Dan tentang hidup miskin, mungkin saja mendatangkan bahagia karena cinta. Lihat contohnya Puteri Nirahai dan Pendekar Super Sakti. Biar hidup di Pulau Es yang sunyi, namun penuh madu bahagia...."

"Huh, tolol!" bentaknya sendiri kepada diri sendiri. "Habis kau mau apa?"

"Gak-suheng...."

Bun Beng terkejut dan hampir saja dia meloncat ke dalam kolam! Suara itu dikenalnya benar. Sampai mati pun suara itu tentu akan terus terngiang di telinganya dan dikenalnya baik-baik. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia berdiri berhadapan dengan Milana!

"Sumoi...., maafkan aku.... aku memasuki tamanmu tanpa permisi...." dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat puteri itu yang berdiri tegak dan agung ternyata mencucurkan air mata! Satu-satu butiran air mata turun seperti untaian mutiara, di sepanjang kedua pipinya.

"Gak-suheng, sudikah kau mengampunkan aku? Suheng, betapa aku telah menghancurkan hidupmu...., aku telah berkali-kali berdosa kepadamu, Suheng...."

Berdebar keras rasa jantung Bun Beng dan dia hanya menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak.... tidak demikian.... Sumoi. Apa yang kauucapkan ini....?"

"Suheng, tidak perlu kau berpura-pura lagi. Aku tahu betapa hidupmu menderita, sengsara dan merana karena aku. Suheng, apakah engkau masih tidak mau mengampunkan aku? Mengampunkan pernikahan dengan Han Wi Kong?"

Pertanyaan itu diucapkan dengan suara penuh permohonan, dengan pandang mata yang menusuk ulu hati Bun Beng. Pendekar itu menguatkan hatinya dan dia memaksa tersenyum. "Sumoi.... Sumoi! Milana.... mengapa engkau bertanya demikian? Sudah sepantasnya engkau menikah dengan dia, dia seorang yang amat baik dan aku.... aku sudah merasa cukup senang melihat engkau hidup bahagia di sampingnya, Sumoi. Aku.... sebaiknya pergi saja...."

"Gak-suheng....!" Milana meloncat dan memegang lengan pendekar itu. Sejenak mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan tiba-tiba Milana terisak dan memeluk pinggang Bun Beng. "Suheng.... ah, Suheng.... aku melihat betapa jahatnya aku.... betapa hancurnya hidupmu karena aku.... ampunkan aku, Suheng."

Bun Beng memejamkan matanya. Merasa betapa tubuh orang yang paling dicintanya di dunia ini memeluk dan menempel di tubuhnya, hampir dia tidak kuat menahan lagi dan dia pun merangkul dan mengusap rambut yang selalu dirindukannya itu, mendekap kepala yang disayangnya itu. Akan tetapi dia segera teringat dan cepat dia melepaskan diri dan melangkah dua tindak ke belakang.

"Tida k.... tidak boleh begini....! Sumoi, jangan menuruti bisikan setan!"

Milana mengangkat muka memandang, matanya berlinangan air mata. "Gak-suheng, katakanlah terus terang, apakah engkau masih cinta kepadaku?"

"Aku? Cinta padamu? Wahai, Milana, tidak pernah ada sedetik pun aku berhenti mencintamu.... akan terkutuk dan bohonglah aku kalau mengatakan tidak. Akan tetapi, semua itu sudah terlambat.... Sumoi...."

"Tidak, Suheng. Aku siap mengikutimu kemanapun engkau membawaku! Aku.... aku.... ah, engkau tidak tahu betapa hidupku selama berpisah denganmu seperti dalam neraka. Aku menderita dan kalau tidak kuat-kuat aku bertahan, aku tentu sudah membunuh diri. Kalau sekarang engkau menolak, kiranya tidak ada lagi pegangan bagiku, Suheng...."

"Ahhh....?" Bun Beng terkejut bukan main mendengar kata-kata itu, merasa seperti disambar petir. "Jangan berkata yang bukan-bukan! Engkau bahagia dengan suamimu!"

"Tidak.... tidak.... dia memang seorang yang amat baik, akan tetapi.... aku tidak mencintanya, Suheng. Hanya engkaulah seorang...."

"Aihhh, Sumoi, engkau menghancurkan hatiku!" Bun Beng berteriak, terhuyung ke belakang dan menjatuhkan diri duduk di atas bangku tadi, mukanya pucat sekali, dadanya ternyata sakit. "Kalau begitu.... sia-sia belaka semua pengorbananku.... sia-sia belaka aku menyiksa diri.... Sumoi, mengapa begitu?"

Milana lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bun Beng.

"Aku sudah berdosa, Suheng. Aku mentaati perintah Kaisar untuk kawin. Akan tetapi, baru sekarang aku melihat betapa bodohnya hal itu, aku hanya menyiksa diri sendiri dan engkau, orang yang kucinta. Akan tetapi sekarang kiranya masih belum terlambat, Suheng.... untuk memperbaiki kesalahan itu, kalau.... kalau engkau masih mencintaku seperti aku mencintamu."

"Milana!" Bun Beng setengah membentak, "Omongan apa yang kaukeluarkan ini? Tidak malukah engkau? Kukira aku ini orang apa, hendak melarikan isteri orang? Apakah engkau hendak membuat dosa terhadap suamimu yang baik?"

Milana memandang dan air mata makin deras bercucuran, dia menggeleng kepalanya. "Dia seorang yang berbudi mulia.... aku bahkan merusak hidupnya karena dia tahu bahwa aku masih mencintamu, tidak dapat mencintanya. Kau tahu, Suheng? Dialah yang tadi membujuk aku agar menemanimu.... dia telah memberi restunya.... dia yang membujuk agar aku menyambung tali cinta kasih kita demi kebahagiaanku...."

"Tidak....!" Gak Bun Beng meloncat dan menjauh, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil. "Tidak....! Engkau adalah Nyonya Han Wi Kong, engkau bukan Milana lagi. Tidak boleh aku menyentuhmu, tidak boleh sama sekali....! Duhai Milana.... Sumoi.... jangan.... jangan kita lakukan itu.... lebih baik aku mati daripada melakukan perbuatan terkutuk itu!" Bun Beng lalu berkelebat dan lari keluar dari taman.

"Suheng....!" Namun Bun Beng tidak menengok dan berkelebat lenyap.

"Gak-suheng....!" Milana mengeluh dan terguling roboh, pingsan di dekat kolam!

Han Wi Kong lari tergopoh-gopoh, dia mengangkat tubuh isterinya, dibawa masuk ke dalam kamar. Mata panglima ini merah dan basah. Dia merebahkan isterinya di atas pembaringan, kemudian menulis surat, meletakkan surat di atas meja, dan memanggil pelayan, disuruh menjaga isterinya yang masih pingsan dan disangka tidur oleh pelayan itu. Kemudian Hari Wi Kong pergi dari istananya setelah berganti pakaian sebagai bekas panglima, cucu mantu Kaisar dan pergi tanpa pengawal.

Sementara itu, di sudut ruangan luas di dalam kompleks Istana Kaisar, Puteri Syanti Dewi duduk berhadapan dengan Suma Kian Bu yang tadi diterimanya sebagai seorang tamu yang datang berkunjung kepadanya. Para pengawal tentu saja sudah mengenal Kian Bu, bahkan tahu bahwa adik Puteri Milana ini yang ikut mengantarkan Puteri Bhutan itu ke istana, maka tentu saja kunjungannya diperbolehkan dan tidak ada yang berani mencurigainya. Bahkan ketika Sang Puteri menerimanya bercakap-cakap di sudut ruangan yang luas itu, para pengawal tidak ada yang berani mendekat dan hanya menjaga di luar pintu ruangan.

Syanti Dewi girang sekali melihat Kian Bu dan dia menyambut kedatangan pemuda itu dengan kata-kata, "Sungguh girang hatiku bahwa engkau yang datang, Bu-koko. Aku sudah menanti-nanti berita dari Bibi Milana...."

"Engkau sudah mendengar tentang keputusan Kaisar, Adik Syanti....?"

Dara itu mengangguk dan alisnya berkerut, pandang matanya penuh kegelisahan.

"Lalu bagaimana pendapatmu dengan keputusan itu?"

"Aku tidak suka! Aiiih, Koko, kautolonglah, suruh Bibi Milana menolongku.... aku tidak suka dengan pernikahan itu!"

"Akan tetapi, itu adalah keputusan Kaisar dan Pangeran Yung Hwa tidak dapat kausamakan dengan Pangeran Liong Khi Ong. Dia seorang pangeran muda yang tampan dan pandai, bahkan dialah yang dahulu suka kepadamu sebelum kau dijodohkan dengan Pangeran Liong...."

"Aku tidak peduli dia tampan atau buruk, pandai atau bodoh. Akan tetapi sekali ini, bukan ayahku yang menjodohkan aku. Aku tidak mau, Koko.... kausampaikan permohonanku kepada Bibi Milana.... tolonglah aku...., atau.... tolong kaucari Paman Gak Bun Beng. Dialah satu-satunya orang yang kugantungi harapanku."

"Kalau benar engkau tidak suka menerima keputusan itu, Adik Syanti.... aku.... aku...." Kian Bu yang biasanya paling pandai menggoda wanita itu kini menjadi gagap gugup, beberapa kali menelan ludahnya dan sukar sekali kata-kata keluar dari mulutnya.

"Ada apa, Koko? Bagaimana?" Puteri Syanti Dewi memandang dengan sepasang matanya terbelalak lebar dan begitu indahnya sehingga Kian Bu menjadi makin bingung lagi.

"Adik Syanti.... hemmm.... ehhh, aku.... aku bersedia untuk menolongmu.... untuk mengajak kau lari dari sini...."

"Bu-koko....! Terima kasih....! Ah, aku tahu engkau seorang yang amat berbudi, seperti suhengmu, Paman Gak Bun Beng!" Syanti Dewi bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Kian Bu, memegang lengan pemuda itu penuh harapan.

Kian Bu juga bangkit berdiri. "Aku.... aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Syanti Dewi, karena.... aku.... aku cinta padamu, aku cinta padamu semenjak kita bertemu.... dan kalau kau lebih memilih aku daripada menjadi isteri seorang pangeran, marilah kita lari...."

"Ahhhh....!" Syanti Dewi melepaskan kembali pegangan tangannya dan melangkah mundur, lalu menunduk dan memejamkan matanya, akan tetapi tetap saja air matanya bertitik yang cepat diusapnya. Puteri ini lemah lembut, mudah menaruh kasihan kepada orang, juga mudah terharu, namun dia memiliki keagungan seorang puteri raja.

"Bu-koko, harap engkau maafkan padaku. Engkau seorang pemuda yang hebat.... ah, amat baik dan hebat, tampan dan gagah perkasa, berbudi dan putera seorang pendekar yang sudah tersohor di seluruh dunia, anak dari seorang mulia seperti Puteri Milana! Gadis mana yang takkan berbahagia menerima cintamu? Akan tetapi aku.... ah, aku akan berbohong kalau aku berpura-pura mengatakan cinta kepadamu, hanya agar engkau suka menolongku. Tidak, aku tidak mau membohongimu demi keselamatanku, dan kelak

menghancurkan hatimu. Tidak, Bu-koko, kalau engkau menolongku dengan dasar cinta kasih seperti itu, aku lebih baik.... menghadapi malapetaka itu seorang diri saja, tanpa pertolonganmu."

Wajah Kian Bu yang tadinya sudah merah karena ada harapan ketika dia menuruti nasihat suhengnya, kini menjadi pucat sekali.

"Kau.... kau tidak.... tidak cinta padaku, Adik Syanti?" tanyanya dengan suara serak.

Syanti Dewi menggeleng kepalanya, memandang penuh iba. "Maafkan aku."

"Kalau begitu engkau.... engkau tentu sudah mencinta lain orang....?"

Syanti Dewi mengerutkan a lisnya. "Memang, aku pernah mencinta orang, yaitu suhengmu, Gak Bun Beng! Aku cinta Kepadanya, aku memujanya karena dia seorang jantan, seorang laki-laki sejati, seorang yang mulia hatinya. Hanya sayang dia tidak cinta kepadaku, maka aku menghapus cinta itu. Aku tidak dan belum mencinta siapa-siapa lagi. Sudahlah, Bu-koko, aku suka kepadamu,  aku kagum dan menghormatimu, akan tetapi jangan mengharapkan yang lebih dari itu. Kau kembalilah dan kalau engkau suka, harap

sampaikan permohonanku kepada Bibi Milana agar beliau sudi menolongku."

Kian Bu diam sampai lama karena dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan pukulan yang amat menyakitkan itu. Kemudian dia berkata lemah, "Biarpun engkau tidak cinta kepadaku, Adik Syanti, aku.... aku bersedia menolongmu. Mari kau kularikan keluar dari istana ini."

"Tidak, Bu-koko. Engkau adalah cucu Kaisar, engkau akan celaka kalau melakukan hal itu, padahal aku tidak dapat menerima cintamu. Tidak, biar Bibi Milana saja yang menolongku dan mencarikan akal...."

"Aku menolongmu dengan ikhlas! Tadi engkau suka kutolong...."

"Tadi lain lagi, Koko. Pulanglah, dan maafkan aku...." Puteri Syanti Dewi bertepuk tangan memberi isyarat kepada pengawal. "Suma-taihiap hendak pulang, antarkan keluar,"  katanya penuh wibawa.

Kian Bu menunduk, lalu berjalan keluar seperti mayat hidup, diikuti pandang mata Syanti Dewi yang berlinang-linang karena merasa kasihan.

Pemuda yang sebenarnya masih terlalu muda untuk jatuh cinta ini, merasa seolah-olah dunia hampir kiamat, kehilangan keindahannya. Bangunan-bangunan istana yang biasanya mempesonakan dan amat dikaguminya itu, kini tidak lebih seperti onggokan-onggokan batu nisan di kuburan yang tidak menarik sama sekali. Orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan, seolah-olah semua menyeringai dan mencemoohkannya. Syanti Dewi ternyata tidak cinta kepadanya, seperti yang disangkanya, atau lebih tepat, seperti yang diharapkannya. Bahkan mencinta suhengnya, Gak Bun Beng! Si Tua! Hatinya memaki, akan tetapi kesadarannya memperingatkannya bahwa tidak adil dan tidak tepatlah kalau dia memaki dan menyalahkan suhengnya. Gak-suheng adalah seorang laki-laki sejati, pikirnya, tepat seperti yang dikatakan Syanti Dewi, dan suhengnya itu tidak menerirna Syanti Dewi sehingga dara jelita ini merubah cintanya menjadi cinta seorang anak kepada ayahnya atau seorang murid kepada gurunya. Aih, betapa dia amat tidak berharga! Seorang yang sudah setengah tua seperti suhengnya saja mampu merebut hati seorang dara seperti Syanti Dewi, mengapa dia yang jauh lebih muda tidak mampu? Apakah dia kurang tampan? Kurang gagah? Mungkin kurang jantan! Pikiran demi pikiran bergelombang dan mengaduk-aduk hati Kian Bu ketika dia kembali ke istana encinya.

Senja telah lewat, malam mulai tiba dan Kian Bu langsung menuju ke kamarnya, hampir tidak melihat dan tidak menjawab penghormatan para pengawal yang berjaga di depan istana encinya itu. Ketika dia memasuki kamarnya, langsung saja dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan, telentang dan menatap langit-langit kamar.

"Bu-te, bagaimana....?" Kian Lee mendekati, duduk di tepi pembaringan dan memandang wajah adiknya yang pucat dan tidak bersemangat itu.

Kian Bu tadi juga tidak melihat bahwa kakaknya termenung di dalam kamar itu, kini melihat kakaknya mendekatinya, dia bangkit dan mereka berdua duduk di tepi ranjang.

"Lee-ko.... aku menyesal sekali tentang.... Lu Ceng...." Kian Bu berkata dengan suara halus penuh iba.

Kian Lee menggeleng kepala. "Jangan pedulikan aku, Bu-te. Bagaimana dengan engkau? Sudahkah kau...."

"Sudah, dan dia.... dia ternyata tidak cinta kepadaku, Lee-ko...."

"Ahhh....?" Kian Lee hampir tidak percaya dan dia menatap wajah adiknya penuh selidik.

"Dia sudah mencinta orang lain...."

"Hemmm....?"

"Dia mencinta Gak-suheng."

"Hehhh....?" Kian Lee mengeluarkan seruan heran dan kaget sambil meloncat turun. "Gak-suheng?"

Melihat wajah kakaknya seperti orang penasaran dan marah, Kian Bu cepat menjelaskan. "Dia telah berterus terang bahwa dia mencinta Gak-suheng, akan tetapi Gak-suheng tidak mencintanya sehingga dia merubah cintanya sebagai cinta anak terhadap ayah, atau murid terhadap guru...."

"Aahhhh.... sungguh aneh, dan Gak-suheng baru saja pergi tanpa pamit."

"Pergi ke mana? Mengapa tanpa pamit?"

"Entah, Enci Milana yang memberi tahu dan kulihat mata Enci Milana merah bekas tangis, mukanya pucat dan sinar matanya layu, mengandung kedukaan besar. Entah mengapa aku tidak tahu."

"Hemm,  mengapa timbul peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan di antara kita bersaudara ini?" Kian Bu menunduk dan tertekan batinnya.

"Engkau tidak mengajak dia pergi dari istana untuk menghindarkan pernikahan itu?" Kian Lee bertanya.

"Dia tidak mau karena katanya aku melakukan itu karena cinta. Dia tidak dapat membalas cintaku dan dia hanya minta agar aku menyampaikan permohonannya kepada Enci Milana supaya ditolong."

Kian Lee merangkul adiknya. "Aih, adikku.... mengapa kita semua gagal dalam bercinta? Mengapa kita harus menghadapi kekecewaan ini?"

"Lee-ko...."

Kakak beradik itu saling peluk dan memejamkan mata, karena pantang bagi kedua orang pemuda gagah perkasa ini untuk mencucurkan air mata kedukaan.

"Bu-te, kuatkan hatimu. Dan kausampaikan nanti kepada Enci Milana bahwa aku pun terpaksa harus pergi lebih dulu, sekarang juga."

Kian Bu memandang muka kakaknya yang muram dan tidak ada sinarnya itu. "Lee-ko.... kau.... kau tenggelam dalam kedukaan!"

"Tidak lagi, Bu-te, aku harus.... dan kau juga, harus dapat mengatasi ini semua, jangan biarkan diri kita tenggelam oleh kegagalan cinta. Aku akan pergi mencari Hek-tiauw Lo-mo, harus kubalas jahanam itu yang telah memukul.... Ceng Ceng dengan pukulan beracun sehingga mengancam keselamatan nyawanya."

"Lee-ko, aku ikut...."

"Jangan Bu-te. Sebaiknya kita berpisah dulu. Kita masing-masing perlu untuk mengembalikan ketenangan batin.... dalam keadaan begini aku lebih suka menyendiri dulu, Bu-te. Sebetulnya sudah tadi aku hendak pergi, akan tetapi aku menanti kau kembali. Lihat, pakaianku sudah kusiapkan." Kian Lee lalu mengambil buntalan pakaiannya dan setelah menepuk-nepuk pundak adiknya dengan mata merah karena menahan turunnya air mata, dia lalu pergi meninggalkan Istana itu dengan cepat.

Kian Bu duduk termenung, merasa kasihan sekali kepada kakaknya dan aneh, begitu dia merasa kasihan kepada kakaknya, penderitaannya sendiri terlupa dan dadanya terasa ringan! Dia tidak tahu bahwa duka timbulnya dari pikiran, dari ingatan yang membayang-bayangkan segala kekecewaan dan segala macam hal yang terjadi dan yang tidak menyenangkan dirinya. Begitu ingatan ini tidak ada, begitu pikiran beralih ke lain hal, maka dengan sendirinya duka pun lenyap dan baru akan muncul lagi kalau ingatan kembali ditujukan kepada hal-hal yang mengecewakan atau tidak menyenangkan tadi. Jelaslah bahwa Si Pembuat Duka adalah pikiran kita sendiri. Segala peristiwa yang terjadi adalah suatu fakta yang wajar, tidak membawa duka maupun suka, dan suka atau duka adalah hasil permainan pikiran kita sendiri. Maka, bebas dari pikiran berarti bebas pula dari duka! Bebas dari ingatan berarti bebas dari masa lalu, tidak mengingat-ingat lagi hal-hal yang telah lalu atau telah terjadi, baik hal itu menguntungkan atau merugikan diri pribadi.

Kian Bu teringat akan suhengnya yang katanya pergi tanpa pamit, dan akan encinya yang menurut kakaknya tadi sepergi orang yang berduka, maka dia lalu bangkit dan keluar dari kamarnya, menuju ke kamar encinya. Pintu kamar itu tertutup dan dia mengetuknya.

"Siapa di luar?" terdengar suara Milana setelah agak lama Kian Bu mengetuk pintu kamar itu.

"Aku, Enci Milana."

"Oh, Bu-te. Kaumasuklah!"

Kian Bu mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Dia melihat encinya sedang rebah di atas pembaringan dan di bawah sinar penerangan, dia melihat wajah encinya pucat seperti orang sakit.

"Enci Milana, kau kenapakah? Sakitkah?" Kian Bu menghampiri dan duduk di atas bangku dekat ranjang.

Milana bangkit duduk dan menggeleng kepala lemah.

"Tidak, Bu-te. Engkau sudah kembali? Bagaimana dengan Syanti Dewi?"

Kian Bu menunduk. Tak disangkanya bahwa encinya juga agaknya sudah tahu bahwa dia tadi pergi mengunjungi Syanti Dewi, dan memang Milana mendengar akan hal ini dari Kian Lee.

"Dia.... dia menyampaikan pesan untuk mohon pertolongan darimu, Enci, agar dia dapat keluar dari istana karena dia tidak suka akan keputusan pernikahannya itu."

Milana memandang tajam dan tentu saja dia melihat wajah muram adiknya itu. Sampai lama mereka berdua diam saja, Milana memandang penuh selidik sedangkan Kian Bu lebih banyak menunduk.

"Bu-te, engkau.... cinta kepada Syanti Dewi?"

Kian Bu makin menunduk, dia merasa malu dan juga sedih. Akhirnya dia mengangguk dan berkata, "Akan tetapi dia.... dia tidak cinta padaku.... dia mencinta orang lain...."

Milana diam-diam menarik napas panjang, maklumlah dia siapa yang dicinta oleh Puteri Bhutan itu. "Tenangkan hatimu, adikku. Kiraku sebaiknya begitulah, lebih baik mencinta namun tidak terbalas dan dengan demikian menginsyafkan kita, bahwa cinta kita salah alamat, daripada saling mencinta akan tetapi tidak dapat berjodoh. Saling mencinta akan tetapi harus saling berpisah. Engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki kegagahan. Ditolak cintamu oleh seorang gadis tidak perlu menurunkan semangat dan merendahkan diri, bahkan kau harus berterima kasih dan bersyukur bahwa Syanti Dewi bersikap jujur kepadamu."

Kian Bu mengangguk-angguk. Sedikit nasihat itu dirasakannya tepat sekali dan sudah merupakan obat yang manjur baginya.

"Enci Milana, aku mendengar dari Lee-ko bahwa Gak-suheng sudah pergi. Kemanakah dia dan mengapa tidak memberitahukan Lee-ko dan aku?"

"Entahlah.... dia sudah pergi. Kau tahu orang aneh seperti dia....!" Milana tidak mau banyak bicara tentang Bun Beng, juga memang dia tidak sanggup bicara banyak tentang pria itu karena hal ini hanya akan menusuk perasaannya saja.

"Enci, Lee-ko juga sudah pergi, dia minta agar aku memberitahukan kepadamu."

"Ehh?" Milana terkejut, "mengapa anak itu? Kemana dia pergi?"

"Enci, agaknya kau tidak tahu. Sebetulnya.... Lee-ko juga mengalami patah hati."

"Heiii? Patah hati bagaimana?"

"Dia sesungguhnya amat mencinta Ceng Ceng, kemudian terdapat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakannya sendiri."

"Aihhh....!" Milana terbelalak, diam-diam perasaannya makin tertusuk. Mengapa begini kebetulan? Mereka bertiga, anak-anak dari Pendekar Super Sakti, dalam waktu yang bersamaan semua menderita patah hati karena cinta gagal?

"Dia bilang hendak mencari Hek-tiauw Lo-mo yang telah melukai Ceng Ceng, hendak membalas dendam kepada kakek Pulau Neraka itu. Karena semua sudah pergi, aku pun akan pergi sekarang juga, Enci."

"Eh, anak nakal! Engkau pula? Hendak kemana kau?"

"Aku hendak menghibur hati dan pergi malam ini juga.... mungkin aku terus kembali ke Pulau Es.... atau ke mana saja, pokoknya jauh dari sini...."

Milana menarik napas panjang. Dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh adiknya ini yang setelah kekecewaannya dalam kegagalan cintanya kini ingin secepat mungkin pergi sejauh mungkin meninggalkan wanita yang menjadi sebab kepatahan hatinya itu.

"Kenapa tidak besok saja, Adikku....?"

"Tidak, Enci Milana. Sekarang juga aku pergi, dan harap sampaikan maafku kepada Ci-hu (kakak ipar).... selamat tinggal, Enci." Dia lalu berlari keluar untuk mengambil pakaiannya dan malam itu juga dia pergi meninggalkan istana encinya.

Milana mengerutkan alisnya, termenung dan membayangkan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya, mengikuti bayangan Gak Bun Beng yang pergi dalam keadaan patah hati dan semangatnya, dan bayangan Kian Lee dan Kian Bu yang juga mengalami kegagalan dalam cintanya. Tak terasa lagi, puteri yang cantik jelita dan gagah perkasa ini meruntuhkan air mata, terisak-isak menangis di atas pembaringannya.

Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, tiga orang laki-laki gagah perkasa itu semua patah hati dan menderita sengsara karena wanita. Betapa banyaknya peristiwa seperti itu terjadi di dunia ini, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang. Sejak jaman dahulu, banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa laki-laki yang gagah perkasa, satria-satria dan pahlawan-pahlawan, pendekar-pendekar sakti yang sukar menemukan tandingan, akhirnya roboh oleh wanita! Banyak pula dalam sejarah tercatat betapa

kaisar-kaisar, raja-raja besar, panglima-panglima dan pemimpin-pemimpin gemblengan, seorang demi seorang roboh tak berdaya di bawah telapak kaki halus seorang wanita. Bahkan di dalam dongeng-dongeng kuno dari bahasa apa pun, tentu terdapat peristiwa di mana para dewata yang memiliki kesaktian dan kekuatan, dapat pula roboh karena wanita. Siapa pula yang tidak mengenal cerita tentang manusia pertama, Adam yang juga runtuh karena bujuk rayu Hawa, seorang wanita pula?

Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah itu bahwa mereka, para pria yang jatuh itu, raja-raja yang kehilangan tahtanya, pahlawan-pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya, pendekar-pendekar yang kehilangan kegagahannya, semua jatuh karena kesalahan wanita? Wanitakah yang bersalah sehingga kaum pria runtuh oleh kelembutan mereka?

Tidak! Kiranya tidaklah tepat kalau kita berpendapat demikian. Wanita pun banyak yang menjadi korban karena hubungannya dengan pria. Hampir semua wanita yang terperosok ke dalam lembah kehinaan, yang umumnya dinamakan pelacur, tentu akan dapat menceritakan riwayat masing-masing yang hampir semua adalah akibat dari perbuatan pria, atau menjadi korban hubungan mereka dengan pria. Juga dalam hal mereka ini, tidak dapat dipersalahkan kepada kaum pria.

Bukan wanita dan bukan pria yang bersalah dengan terjadinya semua kegagalan hidup itu. Yang bersalah adalah yang disebut cinta antara pria dan wanita, yang sesungguhnya bukankah cinta sejati, melainkan cinta yang diciptakan oleh nafsu belaka. Cinta nafsu tentu saja menimbulkan bermacam peristiwa, yang menimbulkan kenikmatan dan kesenangan hebat, namun di lain saat bisa mendatangkan derita dan kedukaan yang hebat pula. Karena cinta nafsu adalah penonjolan dari diri pribadi dalam bentuk yang paling nyata, dan selama diri pribadi ditonjolkan, sudah pasti yang ada hanyalah suka dan duka, nikmat dan derita!

  Tiada yang senikmat cinta

  sorgaloka turun ke dunia

  membuai dan membius manusia!

  Tiada yang selucu cinta

  manusia menjadi badut-badut

  dibuatnya

  segala kepalsuan dilakukannya!

  Tiada yang secelaka cinta

  mendatangkan derita tiada taranya

  dunia berubah menjadi neraka!

  Akan tetapi....,

  tiada yang seindah cinta sejati

  dalam tawa remaja puteri

  Dalam sinar matahari pagi

  yang terkandung dalam tangis bayi

  dalam lautan danau dan sungai

  dalam semua isi langit dan bumi

  dalam segala yang hidup dan mati

  Cinta mulia dan suci

  tetap ADA dan kekal abadi

  apabila AKU TIADA lagi.

"Apa kaubilang....?" Puteri Milana meloncat dengan kaget sekali mendengar laporan dari seorang pengawalnya dengan muka pucat bahwa suaminya, Han Wi Kong, sedang membuat huru-hara di istana Pangeran Liong Bin Ong dan kini sedang dikeroyok oleh para pengawal pangeran itu.

"Hamba.... hamba dengar.... Pangeran Liong Bin Ong telah dibunuhnya...."

Milana menahan jeritnya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari depan pengawal yang melaporkan peristiwa hebat itu. Bagaikan bayangan siluman saja saking cepatnya, Milana berlari ke istana Pangeran Liong Bin Ong dan ketika dia melayang naik ke atas genteng istana itu, dia sudah mendengar suara ribut-ribut di bagian belakang istana. Cepat dia melayang turun. Dua orang pengawal berteriak dan menghadang, akan tetapi dua kali tangannya bergerak, dua orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri seperti disambar petir. Milana terus lari ke dalam dan ketika dia tiba di tempat yang luas di ruangan belakang menuju ke pintu taman, dia terkejut bukan main. Pangeran Liong Bin Ong telah menggeletak di atas lantai dengan dada tertusuk pedang yang dia kenal sebagai pedang suaminya! Pangeran tua itu mati dan melihat meja yang penuh hidangan, agaknya tadi pangeran itu sedang menjamu tamu yang agaknya suaminya itulah! Dan tak jauh dari situ dia melihat suaminya dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pengawal, dan di antaranya terdapat seorang kakek yang tidak berbaju. Kakek ini memegang sebatang gendewa besar dan kelihatan lihai sekali sungguhpun melihat pakaian dan sikapnya dia itu sepantasnyalah seorang pekerja di dapur atau tukang kebun di taman!

Han Wi Kong sudah luka-luka dan dengan gagah berani panglima ini membela diri dengan tangan kosong. Ketika dia melihat isterinya muncul di situ, dia terkejut sekali.

"Milana...., pergilah kau....!"

"Dess....!" Sebatang toya menghantam pundak panglima itu ketika dia menoleh kepada isterinya. Han Wi Kong terhuyung, kemudian dia meloncat ke arah Milana.

"Cepat.... pergi dari sini.... tiada jalan lain aku membunuh pemberontak itu...."

"Wirrr-wirrr-wirrr....!"

"Awas panah....!" Milana menjerit kaget.

"Cep-cep-ceppp....! Aughhhh....!" Tiga batang anak panah yang dilepas oleh kakek telanjang baju dari jarak dekat dengan gendewanya yang besar itu telah menancap di lengan dan punggung Han Wi Kong.

Panglima itu mengeluh, terbelalak karena dua batang anak panah yang menancap di punggung menancap dalam sekali, sedangkan lengannya tertembus sebatang anak panah.

"Milana.... maafkan aku.... lekas pergi.... surat di atas mejaku.... kauberikan dia...." Setelah berkata demikian, Han Wi Kong roboh terguling dan tewas di saat itu juga karena dua batang anak panah yang menancap di punggungnya itu menembus jantung.

"Aihhhh....!" Milana terbelalak memandang mayat suaminya sambil menutup mulut dengan punggung tangan kanan. Kemudian dia mengangkat muka, memandang kakek telanjang itu dan para pengawal yang sudah maju menghampiri dan mengurungnya, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api, cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.

Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi nyaring yang menggetarkan semua pengawal, suara lengking mengerikan yang keluar dari mulut kecil Puteri Milana, dan tampak bayangan merah dari jubahnya yang lebar berkelebat ke depan. Para pengawal terkejut dan mengangkat senjata, namun terdengar suara keras dan empat orang di antara mereka terpental, terbentur pada dinding dan tewas seketika dengan kepala pecah!

Para pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dipelihara oleh Liong Bin Ong untuk mengawal dirinya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan pemberontak itu, maka biarpun mereka tahu akan kelihaian Puteri Milana, mereka menganggap puteri ini sebagai musuh majikannya. Bahkan laki-laki memegang gendewa itu adalah seorang tokoh hitam yang bekerja di situ menyamar sebagai tukang masak, padahal dia pun merupakan seorang pengawal dalam yang dipercaya dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Tadi sore Han Wi Kong datang secara baik-baik, dan resminya adalah untuk mengucapkan berduka cita atas kematian Pangeran Liong Khi Ong. Akan tetapi Liong Bin Ong yang cerdik itu menyambut ucapan dukacita itu dengan tertawa.

"Dia mati karena ulahnya sendiri. Siapa suruh dia memberontak terhadap pemerintah yang sah?" kata Liong Bin Ong. "Sudah sering aku memberi nasihat, akan tetapi tidak diturutnya. Sekarang dia tewas, itulah hukumannya, dan kita tidak perlu berdukacita!"

Untuk memperlihatkan bahwa dia "tidak ada hubungan" dengan adiknya yang memberontak itu, Liong Bin Ong memperlihatkan kegembiraan, bahkan dia lalu menjamu makan kepada suami Puteri Milana yang diam-diam merupakan lawan tangguh dan musuh besarnya itu. Milana terhitung keponakan pangeran ini, maka Han Wi Kong juga masih merupakan keluarga dekat, yaitu mantu keponakan.

Mereka makan minum di ruangan belakang dan dijaga oleh dua belas orang pengawal kepercayaan Pangeran Liong Bi Ong. Akan tetapi, dengan tidak tersangka-sangka sama sekali, ketika tuan rumah dan tamu itu sudah minum sampai setengah mabok tiba-tiba saja Han Wi Kong mencabut pedang dan menusuk pangeran tua itu dari depan, tepat mengenai dadanya dan Pangeran Liong Bin Ong roboh dan tewas seketika. Tentu saja peristiwa yang tidak tersangka-sangka ini tidak dapat dicegah oleh para pengawal yang kini menjadi marah dan mengepung serta menyerang Han Wi Kong. Keributan ini terdengar dari luar sehingga sampai juga ke istana Puteri Milana sehingga seorang pengawal cepat melaporkan kepada puteri itu.

Kini Milana mengamuk. Kedukaan dan kemarahan bercampur menjadi satu membuat puteri ini menjadi luar biasa berbahayanya. Gelang di tangan kirinya yang terbuat dari emas itu telah berlepotan darah dan dalam waktu singkat saja, delapan orang pengawal telah roboh oleh wanita sakti ini. Tinggal empat orang pengawal bersama kakek telanjang baju yang masih melawannya, akan tetapi biarpun kakek itu memiliki kepandaian tinggi dan gerakan gendewa sebagai senjatanya itu amat kuat, namun sudah dua kali dia terhuyung kena diserempet hawa pukulan dari tangan lembut Puteri Milana.

"Serr-serr-serrr....!" Tiga batang anak panah meluncur, dilepas oleh kakek itu dari jarak dekat.

"Bedebah....!" Milana memaki karena panah-panah ini mengingatkan dia akan kematian suaminya. Cepat tangannya menyambar dan tiga batang anak panah itu telah dapat disambarnya di udara, kemudian dia memekik dan tiga batang anak panah itu dilontarkan dengan kecepatan kilat ke arah kakek itu.

Kakek itu terkejut sekali melihat betapa wanita itu dapat menangkap tiga batang anak panahnya dan kekagetannya inilah yang mencelakakan dia karena ketika dia melihat berkelebatnya tiga sinar kilat menyambarnya, dia kurang cepat mengelak sehingga sebatang di antara tiga anak panah itu menyambar tenggorokannya.

"Arrgghhhh....!" Kakek itu mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, kemudian dia menubruk dengan nekat, menggunakan gendewanya untuk melakukan serangan terakhir. Namun, Milana sudah meloncat ke samping, kakinya menendang dan tubuh kakek itu roboh terjengkang, tewas seketika. Empat orang pengawal menjadi jerih, dan hendak lari, namun tahu-tahu ada bayangan berkelebat melewati mereka dan ketika mereka memandang, Puteri Milana sudah berdiri di depan mereka!

"Tidak ada yang kubiarkan hidup!" Milana membentak dan begitu dia bergerak, kaki tangannya sudah menyerang dan berturut-turut robohlah empat orang pengawal itu. Baru puas rasa hati Milana dan dia cepat meloncat ke dekat mayat suaminya, mencabuti tiga batang anak panah itu lalu memanggul mayat itu dan meloncat pergi, terus melarikan diri ke dalam istananya sendiri.

Dia merebahkan mayat suaminya di atas pembaringan, teringat akan pesan suaminya dia menoleh ke atas meja. Benar saja, di situ terdapat dua buah sampul surat kuning yang ketika dibacanya, yang sebuah dialamatkan kepadanya dan yang sebuah lagi dialamatkan kepada Gak Bun Beng! Dengan jari-jari tangan gemetar Milana membuka sampul surat untuknya, membaca dengan muka pucat dan perlahan-lahan air matanya yang tadi tertahan oleh kemarahan mulai menetes-netes ke atas surat yang dibacanya, melunturkan tintanya.

Milana isteriku tercinta, Hanya ada satu jalan bagi kita semua, juga bagi keselamatan negara, yaitu aku harus membunuh Liong Bin Ong. Percayalah, aku bukan melakukan bunuh diri dengan membuta, melainkan sudah kupertimbangkan masak-masak, demi keselamatan negara dan terutama sekali demi kebahagiaan hidupmu. Kaubawalah suratku dan berikan kepada Gak Bun Beng, dia patut menerima cinta kasihmu. Selamat tinggal.

Suamimu, juga sahabatmu,

Han Wi Kong

"Ahhhh....!" Milana menubruk ke pembaringan dan berlutut sambil menangis di depan mayat suaminya. Dia maklum, dia mengerti mengapa suaminya melakukan perbuatan ini. Suaminya sudah tahu bahwa dalam membunuh Pangeran Liong Bin Ong, dia pasti akan tewas. Dan memang harus diakui bahwa satu-satunya jalan untuk menghindarkan negara dari bahaya ancaman pangeran yang palsu hatinya itu, hanyalah dengan cara membunuhnya, karena Kaisar terlampau sayang dan terlampau percaya kepada saudaranya itu. Dan Han Wi Kong telah sengaja melakukan itu untuk memberi kesempatan kepada dia dan Gak Bun Beng.

"Han Wi Kong, harap kau sudi mengampunkan aku. Di dunia ini aku tidak bisa menjadi isterimu, biarlah di dalam kehidupan lain kelak aku akan suka menjadi apa saja untuk melayanimu."

Tiba-tiba para pengawal berlari masuk dan dengan terengah-engah melaporkan bahwa Perdana Menteri Su sendiri dengan para petugas keamanan istana telah datang, dan pasukan itu mendapat perintah, untuk menangkap Puteri Milana!

"Jangan melawan!" kata Milana dan cepat dia menyimpan dua buah surat itu ke saku bajunya, kemudian dia menggunakan pit untuk membuat corat-coret di atas tembok kamar suaminya karena dia sudah tidak mempunyai waktu untuk menulis surat dengan baik-baik. Kemudian, dia cepat mengumpulkan beberapa perhiasan dan pakaian, membuntalnya dengan kain kuning, menyambar pedangnya dan mengikatkan pedang dan buntalan di pundak, kemudian dia meloncat melalui jendela kamar itu ketika mendengar

derap kaki banyak orang mendatangi ke arah kamar itu.

Ketika Perdana Menteri Su dan para pasukan memasuki kamar, pembesar ini hanya melihat mayat Han Wi Kong dan coretan-coretan di atas tembok yang berbunyi: "Milana akan berterima kasih sekali kepada Perdana Menteri Su jika sudi mengurus jenazah Han Wi Kong dengan sepatutnya.

Tertanda : Puteri Milana.

Perdana Menteri Su menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Biarpun dia tadi terkejut sekali mendengar akan peristiwa pembunuhan Pangeran Liong Bin Ong, namun dia mengerti mengapa Han Wi Kong melakukan perbuatan nekat itu dan diam-diam dia bersyukur karena dibunuhnya Pangeran Liong Bin Ong itu terbebaslah negara dari ancaman bahaya besar. Maka dia lalu menghampiri jenazah Han Wi Kong dan tanpa ragu-ragu lagi pembesar tinggi yang sudah tua ini menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan sebagai penghormatan dan mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada Han Wi Kong yang disebutnya sebagai seorang pahlawan bangsa! Mudah saja dia akan membujuk Kaisar dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah pertikaian pribadi antara keluarga Milana dan Liong Bin Ong, sehingga dengan demikian Han Wi Kong tidak akan dianggap sebagai seorang musuh negara.

"Hei, kenapa kalian bengong saja?" Setelah dia berdiri lagi dia membentak pasukan yang dipimpin oleh seorang panglima itu. "Hayo lekas cari dan tangkap Puteri Milana!"

Pasukan itu lalu lari cerai-berai. Hanya lagaknya saja Perdana Menteri Su berkata demikian, akan tetapi diam-diam dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara pasukan itu yang akan berani menyentuh ujung jubah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati.

Maka lenyaplah Puteri Milana dan berbareng dengan menghilangnya puteri ini dari kota raja, hilang pula Puteri Syanti Dewi dari kamarnya tanpa ada yang tahu ke mana Puteri Bhutan itu pergi. Hanya Perdana Menteri Su yang mengangguk-angguk dan menduga bahwa pasti Puteri Milana yang melakukan hal itu, sengaja mengajak Puteri Syanti Dewi lari dari istana karena tidak setuju Puteri Bhutan itu dikawinkan dengan Pangeran Yung Hwa. Perdana Menteri Su merasa heran sekali dan tidak mengerti mengapa Milana melakukan hal itu. Maka didatanginyalah Pangeran Yung Hwa dan betapa herannya pembesar yang bijaksana dan setia ini melihat Pangeran Yung Hwa kegirangan luar biasa mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah melarikan diri!

"Paman Menteri, saya girang sekali, ahh, saya bersyukur sekali bahwa dia telah pergi, karena kalau tidak, tentu aku yang akan pergi lagi."

"Eh, kenapa begitu, Pangeran?"

"Aku tidak suka diharuskan menikah dengan puteri Bhutan."

Perdana Menteri Su memandang heran dan mengerutkan alisnya. "Ingatlah, Pangeran Muda, dahulu engkau marah-marah dan melarikan diri dari istana karena permintaanmu untuk menikah dengan puteri Bhutan ditolak Sri Baginda. Sekarang keinginanmu itu dituruti, engkau malah menolak. Apa artinya ini?"

Pangeran Yung Hwa tersenyum. "Artinya, Paman, bahwa dulu itu cintaku adalah cinta yang mentah, cinta monyet, cinta kanak-kanak karena yang kucinta adalah bayangan seorang gadis yang muncul karena cerita-cerita indah tentang dirinya. Dahulu aku mencinta seorang dara yang belum pernah kulihat, cinta bayangan saja. Sekarang, saya telah tahu apa artinya cinta, saya telah mencinta seorang dara dari darah daging, bukan bayangan kosong belaka. Biar dia gadis biasa, aku cinta padanya dan setelah Syanti Dewi pergi, saya pun akan pergi untuk mencari dara yang saya cinta itu. Saya girang dapat bebas dari Puteri Bhutan!" Pangeran Yung Hwa bergembira dan bersenandung!

Perdana Menteri Su meninggalkan pangeran itu sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh uban. Heran dia melihat ulah orang-orang muda dan makin kagum hati kakek itu menyaksikan kekuatan cinta yang menguasai hampir seluruh kehidupan manusia. Tanpa cinta, matahari akan kehilangan sinarnya, bunga-bunga akan kehilangan keharumannya dan madu akan kehilangan manisnya! Dengan hati-hati dan cerdik, perdana menteri ini akhirnya dapat pula meredakan kemarahan Kaisar dan mengajukan alasan-alasan

masuk akal bahwa peristiwa itu terjadi karena pertikaian pribadi antara keluarga Puteri Milana dan Pangeran Liong Bin Ong, sama sekali tidak menyangkut urusan negara, maka hendaknya Kaisar tidak mencampurinya. Adapun tentang kehilangan Puteri Syanti Dewi, Perdana Menteri berjanji akan menyebar orang untuk mencarinya dan mengusulkan bahwa seyogianya urusan perjodohan itu ditunda saja.

"Dahulu Paduka melamar Puteri Bhutan untuk mendiang Pangeran Liong Khi Ong, dan kalau sekarang suami untuk Puteri itu ditukar tanpa mengadakan perundingan lebih dulu dengan Kerajaan Bhutan, hamba kira hal itu malah akan menanamkan sakit hati seolah-olah Paduka kurang menghargai Kerajaan Bhutan. Sebaiknya dinanti sampai ada kabar tentang puteri itu, baru mengajukan usul perubahan ikatan jodoh itu dengan Kerajaan Bhutan."

Semua alasan yang kuat diajukan oleh Perdana Menteri Su dan akhirnya Kaisar dapat dibujuk sehingga tidak meributkan lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi itu. Malah Kaisar juga tidak keberatan ketika mendengar betapa Perdana Menteri Su mengurus jenazah Han Wi Kong dan menguburkan jenazah itu di dalam kuburan keluarga Kaisar tingkat dua, karena betapapun juga, Han Wi Kong adalah mantu cucu dari kaisar sendiri. Maka terlaksanalah apa yang menjadi permohonan Milana kepada Perdana Menteri Su.

Duka timbul dari kecewa. Kecewa timbul dari tidak tercapainya nafsu keinginan. Nafsu keinginan adalah hasrat pengejaran terhadap sesuatu yang menyenangkan dari si aku. Si aku timbul dari pikiran. Si aku adalah pikiran sendiri. Pikiran adalah ingatan yang mengenang masa lalu, ingin mengejar lagi kenangan yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Kebahagiaan hidup, baru mungkin ada apabila bebas dari nafsu keinginan, tidak lagi mencari-cari, tidak lagi mengejar sesuatu seperti yang kita inginkan. Bebas dari pikiran yang membanding-bandingkan, berambisi, berkhayal. Bebas dari si aku. Kebebasan ini menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu ini adalah indah dan sempurna, tidak ada kecualinya. Yang ada hanyalah kenyataannya, apa adanya dan ini adalah wajar dan mutlak. Bukan suka bukan pula duka, bukan puas bukan pula kecewa, bukan nikmat dan bukan derita karena banding-membanding dan semua kebalikan-kebalikan ini adalah permainan pikiran yang memilih-milih sehingga timbullah konflik-konflik batin yang kemudian meledak menjadi konflik-konflik lahir. Kebahagiaan terletak di atas segalanya itu, di atas dan bebas dari pikiran. Kekurangan dan kekecewaan hanya diderita oleh mereka yang tidak mengenal kecukupan. Maka hanya mereka yang tidak membutuhkan apa-apa lagi salah yang dapat menyentuh kebahagiaan!

Hawa udara panas sekali. Terik matahari seolah-olah hendak membakar segala sesuatu di permukaan bumi. Sinar matahari yang langsung menimpa bumi, terpantul kembali menciptakan hawa yang gerah.

Seorang pemuda yang duduk di bawah sebatang pohon besar dalam hutan itu membuka kancing bajunya dan meniupi leher dan dadanya. Pemuda ini berwajah tampan dan rambutnya mengkilap hitam, dikuncir panjang berjuntai di belakang pundak kanan. Pakaiannya sederhana, jubahnya yang hitam kebiruan lebar dan panjang, menutupi baju dan celana sehingga membuat dia makin kegerahan. Pemuda ini adalah Suma Kian Bu yang telah melakukan perantauan seorang diri, pergi dari kota raja di mana hatinya untuk pertama kali mengalami pecah berantakan akibat cinta gagal. Akan tetapi, karena dasar wataknya memang gembira, setelah merantau sebulan lebih, luka di hatinya itu hanya tinggal bekasnya saja, tidak terasa nyeri lagi.

"Uihhhh, panasnya....!" Dia mengeluh. Hutan yang penuh pohon itu masih belum mampu melawan hawa panas yang datang dari gurun. Daerah sekitar hutan itu adalah daerah pegunungan yang diselang-seling padang rumput dan padang pasir. Tadi, sebelum memasuki hutan, Kian Bu melewati padang pasir yang luar biasa panasnya. Matanya silau melihat sinar matahari menimpa pasir-pasir yang berkilauan, dan terasa benar olehnya hawa yang panas menyerangnya dari bawah. Maka ketika dia memasuki hutan itu, hawa terasa

sejuk dan nyaman sehingga dia menjatuhkan diri di bawah pohon besar itu sambil meniupi lehernya. Tubuhnya lelah sekali dan betapa nikmatnya duduk di bawah pohon, terlindung dari sengatan terik matahari. Angin sepoi-sepoi semilir meniupi muka dan lehernya, membuat matanya menjadi berat dan mengantuk.

Betapa enak rasanya dilanda kantuk! Sudah pasti bahwa tidak ada yang lebih nikmat di duia ini daripada tidur bagi orang yang mengantuk, seperti juga makan bagi orang yang lapar dan minum bagi orang yang haus.

"Dukk....!" Kepalanya membentur batang pohon.

"Heh-heh, pemalas!" Kian Bu mengomel sambil tertawa ketika dia tersadar karena ketika dia melenggut tadi, kepalanya terbanting ke belakang dan membentur batang pohon. Agaknya sudah tidak berbekas lagi kepatahan hati pemuda yang berwatak gembira ini.

Dia bangkit berdiri, memandang ke sekeliling. Hutan itu liar dan lebat, sunyi bukan main. Dia ingin sekali tidur barang sejenak, akan tetapi jangan-jangan ada binatang buas dan berbisa di hutan asing ini datang mengganggunya di waktu dia tertidur nyenyak. Maka dia lalu berdongak ke atas dan di lain saat pemuda yang memiliki kepandaian tinggi itu sudah melesat ke atas pohon, memilih tempat yang enak di atas cabang pohon yang besar, duduk mepet di pangkal cabang, melingkar seperti seekor monyet dan tak lama kemudian pemuda ini sudah tertidur pulas!

Tidur merupakan berkat bagi tubuh manusia. Tidur dengan pikiran kosong tanpa mimpi, biar hanya sekejap saja, sudah sanggup memulihkan kesegaran tubuh, dan tidur pulas sejam saja sudah terasa amat lama. Sebaliknya, yang membuat tidur merupakan suatu kemalasan yang bahkan melelahkan adalah jika pikiran bekerja terus di waktu tidur sehingga timbul mimpi-mimpi buruk.

"Clekittt....!"

"Auwwww....!" Kian Bu terbangun dan cepat menggaruk-garuk pinggulnya.

"Sialan.... semut merah!" gerutunya ketika dia merogoh ke balik celananya dan jari-jari tangannya menjepit seekor semut merah. Pinggulnya sudah bintul dan terasa gatal sekali. Kiranya semut itu menyelinap masuk melalui pakaiannya dan entah mengapa, menggigit pinggulnya.

"Huh, tentu semut betina!" gerutunya lagi. "Kalau jantan mana mau mencubit pinggul? Sialan!" Dia menggaruk-garuk pinggulnya, makin digaruk makin gatal.

Tiba-tiba dia berhenti menggaruk pinggul. Ada suara derap kaki kuda! Kiranya hutan liar ini bukannya tidak ada manusianya seperti yang dia kira semula. Makin lama makin jelas suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu dan tak lama kemudian dia melihat dua orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat dan bertubuh tegap-tegap dan kuat-kuat seperti tubuh orang-orang yang biasa hidup mengandalkan kekuatan tubuhnya. Di punggung mereka terselip golok telanjang yang mengkilap tajam. Ketika tiba di bawah pohon itu, mereka menahan kuda mereka. Dua ekor kuda itu meringkik dan mengangkat kaki depan, hidung mereka mendengus-dengus dan mulut mereka mengeluarkan busa.

"Sudah jelaskah bahwa dia itu mata-mata?" tanya yang bercambang tebal.

"Tak salah lagi, dia mengejar kita dan kepandaiannya hebat. Kita harus cepat pulang dan melaporkan ini kepada pimpinan. Siapa tahu dia diikuti oleh pasukan musuh."

"Baiknya kita berpencar di sini, dan kalau kita dapat terbebas dari dia, berkumpul di dusun Ma-cin," kata pula yang bercambang tebal.

"Baik!"

Dua orang itu lalu berpisahan, yang seorang membalapkan kuda membelok ke kiri, dan yang seorang lagi ke kanan. Keadaan menjadi sunyi kembali setelah derap kaki dua ekor kuda itu menghilang dan tak terdengar lagi. Sunyi yang menegangkan. Kian Bu duduk di atas cabang pohon, bersembunyi di balik daun-daun lebar sambil termenung. Jelas bahwa dua orang itu merupakan anggauta suatu kelompok atau pasukan atau gerombolan. Perkumpulan apakah yang agaknya menguasai daerah ini? Siapa mereka itu dan siapa ketua mereka? Dan siapa pula orang-orang yang mereka bicarakan tadi, yang disangka mata-mata musuh? Dia menanti sampai lama karena mengira bahwa orang yang dibicarakan mereka berdua tadi, yang katanya mengejar mereka, tentu akan muncul pula. Akan tetapi, sampai satu jam lebih dia menanti, tidak juga tampak ada yang datang mengejar.

"Huh, pengejar yang lambat dan bodoh seperti itu mana akan mampu menyusul buruan?" Dia sudah mengomel karena merasa kesal juga menanti sebegitu lamanya di atas pohon, dan merasa mendongkol karena dia telah terganggu dari kenikmatan tidur siang terayun-ayun di cabang itu. Kini dia harus berjaga dengan penuh ketegangan, namun yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Siapa tidak menjadi gemas?

"Uuuhhh, pengejar tolol....!" Habis kesabarannya dan selagi dia hendak meloncat turun, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Sayup-sampai suaranya, akan tetapi makin lama  makin jelas. Suara seorang wanita bernyanyi. Merdu bukan main! Suara itu bening, halus dan pulen, terbawa angin semilir memasuki telinganya mendatangkan perasaan nyaman dan sedap! Kian Bu terbelalak heran. Suara wanita begitu merdu di hutan liar dan sunyi ini? Jangan-jangan suara siluman itu! Yang dinantikannya adalah seorang pengejar yang bengis, bukan seorang yang suaranya mengalahkan biduanita yang pernah didengarnya bernyanyi di kota raja! Dan isi nyanyian itu! Dia mendengarkan penuh perhatian.

"Pada usia delapan tahun aku mencuri pandang di dalam cermin,dan aku sudah dapat menghitami alis mataku!

Pada usia sepuluh aku pergi ke pesta sincia dengan baju baru berkembang bunga teratai!

Pada usia dua belas aku belajar meniup suling,hiasan kuku tak pernah lepas dari jari tanganku!

Pada usia empat belas aku tak berani bertemu pria, menduga-duga akan segera dijodohkan.

Pada usia lima belas aku menangis di dalam musim bunga, dan menyembunyikan mukaku di balik pintu taman...."

Kian Bu tertegun. Tentu saja dia mengenal sajak nyanyian itu. Kian Bu telah diberi pelajaran sastra oleh ibunya dan banyak sajak-sajak ciptaan sastrawan-sastrawan kuno hafal olehnya. Dia ingat bahwa nyanyian itu diambil dari sajak ciptaan pujangga Li Shang Yin yang hidup di abad ke sembilan (812-858). Li Shang Yin terkenal dengan tulisan sajaknya, terutama sajak Tujuh Sajak Cinta dan yang dinyanyikan suara merdu itu adalah saja ke tiga!

Kian Bu menjadi penasaran karena sampai lama orangnya belum juga muncul. Kalau penyanyi itu berjalan kaki, tentu jalannya lambat sekali, apalagi kalau naik kuda. Agaknya kudanya itu berjalan sambil makan rumput di sepanjang jalan! Akan tetapi, wanita dengan suara seperti itu tidak pantas kalau berjalan kaki atau naik kuda di hutan liar ini, pantasnya naik kereta. Akan tetapi dia tidak mendengar suara roda kereta!

Kian Bu merayap turun dari atas pohon. Kalau yang muncul seorang wanita bersuara semerdu ini, dia tidak perlu lagi bersembunyi. Sebaliknya malah, dia ingin menemui wanita itu dan melihat apakah orangnya juga seindah suaranya! Dengan tergesa-gesa dia merayap turun, lalu meloncat ke bawah.

"Heiiitttt.... eihhhh....!" Kian Bu meloncat ke samping menghindarkan kakinya yang hampir menginjak sebuah kepala orang! Dia memandang dengan mata terbelalak dan tengkuknya berdiri karena merasa serem. Kepala itu berambut panjang sudah putih semua, kepala yang kecil, kepala seorang tua renta, seorang kakek kurus yang sedang tidur mendengkur di bawah pohon, kepalanya berbantalkan akar pohon itu.

Kian Bu melongo. Bagaimana dan bilamana orang ini bisa berada di bawah pohon tanpa diketahuinya? Mustahil! Kalau sudah lama, pasti tampak oleh dua orang berkuda tadi. Kalau baru saja, bagaimana sampai dia tidak tahu? Jangan-jangan ini bukan orang, melainkan setan, iblis hutan yang menjaga hutan itu! Dan jangan-jangan suara merdu tadi itu pun suara peri atau siluman yang suka menjadi perempuan cantik. Dia bergidik akan tetapi dilawannya dengan keyakinan bahwa menurut dongeng-dongeng manapun juga, setan dan iblis tidak muncul di siang hari! Dan sekarang masih siang. Kata yang empunya dongeng, semua mahluk halus takut akan sinar matahari. Bukan kalau begitu, bukan iblis! Kalau manusia, tentu luar biasa sekali kepandaian kakek ini! Kiranya hanya orang dengan kepandaian setingkat kakaknya atau dia sendiri yang akan mampu datang tanpa suara seperti itu! Kian Bu menjadi khawatir, dan melihat orang itu tidur mendengkur, dia lalu melayang lagi ke atas, sembunyi di dalam daun-daun

sambil mengintai ke bawah. Kalau kakek itu berniat buruk kepadanya, tentu sudah dilakukannya dari tadi, tidak tidur mendengkur dulu di bawah pohon.

Kini terdengar bunyi kerincingan. Masih lirih tanda bahwa suara itu masih jauh akan tetapi suara kerincingan itu bening sekali. Tang-ting-tang-ting dan crang-cring-crang-cring seperti perak dipukul. Dan kini terdengar lagi suara wanita bernyanyi, suara yang merdu tadi, kini diiringi suara kerincingan tang-ting-tang-ting itu, seolah-olah yang-kim (kecapi) yang hanya mempunyai dua macam nada. Suaranya yang merdu itu kini bernada gembira dan jenaka.

  "Hujan musim rontok,

  hujan musim rontok!

  Tiada bulan, tiada malam.

  Berintik-rintik, bercucuran deras!

  Lampunya padam, kasurnya dingin,

  kesepian yang menjemukan.

  Si Cantik Jelita berduka merana!

  Angin barat semilir meniup bambu di jendela,

  berhenti sebentar dan mulai lagi,

  dua butir air mata seperti mutiara

  bergantung di sepasang pipi dingin.

  Betapa sering kakanda berjanji,

  Apabila angsa liar terbang datang....

  Kakanda melanggar janji,

  angsa liar telah datang,

  namun kakanda tidak...."

Saking kagumnya karena dia pun mengenal sajak indah ini, Kian Bu meloncat turun lagi, lupa bahwa di bawah itu ada orang tidur. Untung rambut putih itu tampak olehnya sehingga dia cepat berjungkir balik dan turun di balik pohon besar. Sialan, pikirnya. Kamu mengejek aku, ya! Dia baru, saja mengalami kegagalan cinta dan sejak tadi suara itu bernyanyi tentang cinta gagal! Tapi kakek ini agaknya menanti yang bersuara itu.

Kian Bu menyelinap di balik batang pohon besar, tak jauh dari situ, menanti dan siap untuk membantu kalau kakek seperti setan ini nanti menyerang si penyanyi yang tentu saja seorang wanita.... dan sepatutnya cantik pula. Suara seperti itu sepantasnya keluar dari bibir yang mungil, mulut yang basah kecil dan segar! Mau dia mempertaruhkan.... kucirnya kalau tidak begitu!

Suara berkerincing tadi makin jelas dan dari balik tempat sembunyinya, Kian Bu memandang ke depan, sama sekali lupa dia sudah akan kehadiran kakek yang tadi tidur mendengkur di bawah pohon. Hatinya berdebar tegang karena ingin sekali dia melihat orang yang mempunyai suara indah itu.

Mula-mula yang tampak adalah kuda putih kecil seperti keledai muncul di tikungan jalan. Kuda itu mungkin keturunan keledai, pendek dan telinganya panjang seperti telinga keledai. Leher kuda itu dipasangi kalung yang terbuat dari kerincingan-kerincingan kecil itu sehingga selalu mengeluarkan bunyi ketika kuda setengah keledai itu berjalan. Akan tetapi, kuda atau keledai Kian Bu tidak peduli, yang penting adalah penunggangnya! Seorang dara remaja yang.... aduhai! Cantik manis, jelita remaja, dengan bentuk tubuh yang meranum, duduk seenaknya di atas punggung keledai sehingga Kian Bu mendengar hatinya berbisik, "Aku juga mau menjadi keledai itu!" Dara itu memegang sebatang payung yang terbuka dan payung itu bergerak-gerak terkena angin, akan tetapi tetap dipertahankan menjaga mukanya yang manis itu dari sengatan sinar matahari.

Seperti orang terpesona, Kian Bu lupa bahwa dia harus bersembunyi. Tahu-tahu dia sudah melangkah keluar dari pohon besar itu, memandang kepada dara ayu beraksi dengan payungnya di atas keledai itu sambil tersenyum, memasang "senyum mautnya" karena kini sudah pulih kembali Kian Bu, menjadi seperti Kian Bu yang dahulu, jenaka gembira dan paling suka berhadapan dengan wanita jelita!

"Selamat siang, Nona. Wahai.... suaramu tadi, nyanyianmu tadi, hebat bukan main...." Kian Bu menegur ramah.

Dara itu menahan keledainya, berhenti di depan Kian Bu tanpa menurunkan payungnya, memandang penuh selidik, kemudian terdengar dia bertanya, suaranya serak-serak basah tidak seperti nyanyian yang bening tadi, akan tetapi malah terdengar makin menarik bagi "telinga keranjang" Kian Bu.

"Apanya yang hebat? Apakah engkau mengerti nyanyian tadi?" Agaknya dara itu menduga bahwa Kian Bu hanyalah seorang pemuda gunung yang mencari kayu bakar di hutan itu.

"Kesemuanya hebat dan indah! Sajak ke tiga dari Lagu Tujuh Cinta karangan Li Shang Yin di jaman Tong-tiauw itu hebat, akan tetapi sajak Yen Sian di jaman Sung-tiauw tadi pun indah. Dan terutama sekali.... suaramu amat merdu, Nona...."

Dara itu membelalakkan matanya, sekali lagi tangannya bergerak, "Treppp!" Payung itu telah tertutup dan sekali pinggangnya yang ramping dan pinggulnya yang melengkung itu bergerak, dia sudah meloncat turun dari punggung keledai. Kian Bu makin kagum melihat gadis itu sudah berdiri. Kiranya bentuk tubuhnya juga hebat, seperti yang diduganya, setelah kini dara itu berdiri, akan tetapi untuk memuji tubuh orang dia tidak berani, maka biarpun sepasang matanya memandang tubuh dara itu, mulutnya memuji keledai, "Keledaimu putih mulus dan bentuknya mempesona!"

"Apa, keledai? Buka matamu baik-baik, sobat. Engkau pandai mengenal sajak, akan tetapi tidak dapat mengenal binatang keramat!"

"Hahh....?" Kian Bu baru sekarang memandang keledai itu penuh perhatian karena disebutnya binatang keramat oleh dara itu. Dia mendekati dan melihat dengan teliti dari moncong sampai ke ekor, dari ujung telinga sampai ujung kaki, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang aneh pada binatang "keramat" ini. "Kau melihat sesuatu yang aneh?" dara itu bertanya. Kian Bu menggeleng kepalanya. "Ini hanya seekor keledai biasa, hanya bulunya putih dan...."

"Engkaulah yang bodoh melebihi keledai!" Gadis itu mencela. "Ini bukan keledai melainkan seekor kuda."

"Hah? Kuda? Memang mukanya tidak sebodoh keledai, akan tetapi telinganya panjang dan kakinya pendek...."

"Agaknya engkau seorang kutu buku yang hanya tahu tentang sajak," gadis yang amat lincah dan galak itu mengomel. "Ini adalah keturunan dari kuda Han-hiat-po-ma (Kuda Keramat Berkeringat Darah) dan seekor keledai. Masih keturunan yang ke tiga puluh sembilan dari kuda tunggangan Kaisar Jenghis Khan di jaman dahulu!"

"Ahhhh....!" Kian Bu mengangguk-angguk. "Tentu hebat sekali!"

"Tentu saja hebat!" Dara itu lalu mengalungkan gagang payung yang bengkok itu ke sebuah di antara telinga keledai itu dan.... telinga itu menegang dapat menahan payung!

"Ha-ha, kiranya bisa juga dipakai sebagai tempat menyimpan payung!" Kian Bu tertawa.

"Kau menertawakan kuda keramat ini? Hemm, dasar engkau tolol. Akan tetapi sudahlah, aku mau bertanya padamu."

"Tanya? Tanyalah!" Kian Bu tertarik sekali. Gadis remaja ini lincah, gembira dan jenaka, begitu bebas dan terbuka, akan tetapi juga memperlihatkan keberanian luar biasa, tidak malu-malu seperti kebanyakan gadis biasa.

"Aku mau bertanya, apakah engkau tadi melihat orang lewat di sini?"

"Orang lewat? Dua orang laki-laki penunggang kuda?"

"Ih, bukan! Siapa yang mencari laki-laki? Cihh!"

Kian Bu tersenyum, lalu dia teringat akan kakek yang mendengkur itu. Wah, sudah pasti kakek itu yang dicari. Gadis manis jenaka dengan keledai aneh ini pantasnya memang berkawan dengan kakek aneh itu. "Apakah kau mencari dia....?" Kian Bu menoleh dan menuding ke bawah pohon di mana dia tidur tadi. "Ehhhh....? Heeee, kemana dia....?" Kian Bu tertegun karena di bawah pohon itu tidak ada apa-apanya, jangankan seorang kakek tidur, seekor cacing pun tidak nampak. Kian Bu mencari-cari dengan pandang matanya, ke kanan kiri, ke atas bawah, depan belakang, namun tidak kelihatan lagi bayangan seorang kakek. "Wah, kemana dia....? Apakah aku mimpi....?"

Gadis itu juga menoleh ke kanan kiri dan dia tertawa geli melihat sikap Kian Bu yang kebingungan. Dia tertawa dengan manis sekali, mengeluarkan suara ketawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan, akan tetapi karena jari-jari tangan yang dipakai menutupi mulut itu merenggang, jadi masih nampak deretan gigi putih seperti mutiara di balik belahan bibir merah.

"Hi-hi-hik, kau mencari apa?"

"Kakek tua renta...."

"Aku juga tidak butuh kakek-kakek! Yang kucari adalah seorang wanita!"

Kian Bu memandang dara itu. "Seorang wanita?"

"Ya, seorang wanita cantik sekali, pakaiannya indah menyala, mukanya bundar telur, dagunya runcing, matanya seperti bintang kejora, berkedip-kedip dan lirikannya tajam seperti gunting, hidungnya agak terlalu mancung, pipinya merah, bibirnya lebih merah lagi dan senyumnya manis melebihi madu lebah. Pakaiannya indah dan dari sutera mahal, jubahnya berwarna merah muda, ikat pinggangnya kuning dan celananya biru, rambutnya digelung ke atas seperti puteri istana. Hemm, pendeknya seorang wanita cantik dan kaya, dan dia amat genit, genit memikat hati. Kau melihat dia?"

Kian Bu melongo. Bukan karena penuturan itu, akan tetapi melongo mengikuti gerakan bibir yang tiada hentinya bergerak ketika bicara panjang lebar itu. Bibir yang gerakannya menggemaskan, mencas-mencos akan tetapi manis sehingga Kian Bu merasa seolah-olah pandang matanya melekat pada bibir itu, bibir bawah yang mempesona itu. Gadis ini benar-benar genit menarik, dan dia masih dapat mengatakan orang lain genit memikat! Melihat usianya tentu tidak akan lebih dari lima belas tahun, seperti tersebut di dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi "bocah" ini sudah pandai bicara, pandai mainkan bibir dan gerak bola mata, bahkan sudah pandai pula menilai wanita lain!

"Yang bagaimana sih yang disebut genit memikat itu?" Kian Bu menggoda, akan tetapi sikapnya seolah-olah dia mengingat-ingat barangkali dia pernah bertemu dengan wanita yang digambarkan oleh dara itu.

"Genit memikat saja kau tidak tahu? Waahh, sungguh bocah gunung yang terbelakang kau! Genit memikat adalah.... aihhh.... bagaimana, ya?" Dara itu kelihatan tersipu, agaknya sukar juga baginya untuk memberi penjelasan. "Pendeknya, sikap yang genit, yang centil, yang mempunyai daya pikat, terhadap pria terutama. Masa kau tidak mengerti?"

Kian Bu yang merasa suka sekali kepada sikap dara ini, mulai menggodanya.

"Apakah kaumaksudkan, genit memikat hati itu seperti sikap ini?" Kian Bu lalu bergaya, meliak-liukkan tubuhnya, melerok dan menjulurkan lidahnya seperti orang menakut-nakuti anak kecil. "Beginikah genit memikat?"

"Hi-hi-hik!" Dara itu tertawa geli, menggeleng kepalanya keras-keras. "Ah, sama sekali bukan!"

"Apakah begini?" Kian Bu merubah gayanya, melotot cemberut seperti nenek-nenek marah.

"Bukan! Bukan....! Ihh, menakutkan gitu mana bisa disebut memikat?"

"Habis bagaimana? Coba kauberi contoh biar aku mengerti!"

Gadis itu menjadi gemas akan kebodohan pemuda itu. "Dasar engkau tolol! Nah, dengarkan baik-baik, dan lihat baik-baik, buka telinga dan matamu lebar-lebar. Wanita yang genit memikat itu adalah seorang wanita yang pandai bergaya palsu, tidak wajar, seperti seorang pemain sandiwara, kau pernah melihat wayang? Nah, dia beraksi di depan pria untuk memikat hati pria itu, langkahnya dibuat-buat...." Gadis itu lalu melangkah hilir-mudik di depan Kian Bu, lenggangnya dibuat-buat dan karena memang bentuk tubuhnya ramping dan lekuk-lengkungnya penuh dan padat dalam keranumannya, belum masak benar akan tetapi tubuhnya lunak dan lemas sekali, maka ketika dia melenggang dengan gaya dibuat-buat itu, pinggangnya berliuk seperti batang yang-liu tertiup angin, pinggulnya seperti dua benda hidup bergerak ke kanan kiri dan lehernya yang panjang menoleh kanan kiri!

"Selain lenggangnya menarik, dia pun menggerak-gerakkan bibirnya dan matanya menyambarkan kerling maut, seperti ini...."

Kian Bu berdiri bengong, matanya terbelalak, mulutnya ternganga sehingga kalau banyak lalat di situ mungkin mulutnya akan ke masukan lalat tanpa disadarinya, seluruh perhatiannya terbetot dan semangatnya terseret karena dia sudah terpikat benar-benar oleh peniruan sikap genit memikat dari gadis itu! Kini dia mengikuti gerak bibir yang mencap-mencep, dasar bibirnya berbentuk bagus sekali, merah membasah, yang bawah penuh berkulit dan penuh berkulit tipis seperti mudah sekali pecah, kadang-kadang digigit oleh giginya yang putih, dilepaskan lagi, dijebikan, pendeknya setiap gerak bibir itu menimbulkan kemanisan tersendiri. Semua ini ditambah oleh matanya yang bening itu mengerling penuh daya pikat sehingga Kian Bu merasa seolah-olah disedot dan ingin dia melangkah mendekati gadis itu, seperti besi ditarik semberani!

"Lenggang dan gerak bibir dan mata ini tentu saja ditambah dengan sentuhan-sentuhan memikat untuk menjatuhkan hati pria, begini contohnya...." Kini gadis yang melenggang hilir-mudik di depan Kian Bu itu mendekat dan sambil lewat kini telunjuknya bergerak, mencubit lengan, menowel dagu Kian Bu. Hampir saja Kian Bu tidak kuat bertahan lagi. Bau sedap harum yang keluar dari dara itu ketika mendekat, sentuhan halus telunjuk ke dagunya yang mengirim getaran sampai ke ujung kaki dan ubun-ubun kepalanya, benar-benar membuat gadis itu amat menarik dan memikat. Hampir saja dia lupa diri dan memeluk dengan gemas. Akan tetapi tentu saja ditahannya keinginan ini dan dia makin bingung, makin melongo dan bengong terpesona.

Dara itu tertawa cekikikan dengan geli hati ketika melihat betapa pemuda tampan itu plonga-plongo seperti seorang tolol ketika melihat dia bergaya tadi.

"Eh, kau kenapa sih?"

Kian Bu sadar kembali dan dia tersenyum, mengusap kepalanya seolah-olah hendak mengusir kepeningan otaknya. "Wah, engkau hebat sekali, Nona. Eh, sebetulnya siapa sih yang kaucari itu? Dan mengapa kau mencarinya?"

Gadis itu duduk di atas akar pohon, membiarkan kuda keramatnya itu terlepas begitu saja. Kian Bu juga duduk di depannya dan gadis itu memandang wajah Kian Bu penuh selidik, baru dia berkata, "Wajahmu mendatangkan kepercayaan di hatiku, tidak seperti wajah orang-orang yang kutemui sebelum ini."

Kian Bu mengusap mukanya. "Wajahku kenapa sih?"

"Wajahmu seperti orang tolol.... hi-hik, dan orang-orang tolol merupakan orang yang boleh dipercaya, tidak seperti orang-orang pintar yang biasanya terlalu pintar, akan tetapi kepintarannya itu hanya untuk menipu orang lain. Eh, siapa sih namamu? Kalau belum kenal, mana mungkin aku menceritakan keadaanku?"

"Aku Suma Kian Bu, dan kau...."

"Namaku Siang In, she Teng."

"Teng Siang In, nama yang indah, seindah orangnya."

"Hi-hik! "

"Kenapa kau tertawa, Siang In?"

"Kurasa kau agaknya berdaya-upaya untuk memuji-mujiku. Apakah engkau merupakan seorang yang genit memikat pula? Tentu saja dari golongan laki-laki! Biasanya laki-laki memikat wanita dengan pujian-pujian."

"Wah, kau agaknya serba tahu saja. Siang In, aku suka bersahabat denganmu. Engkau seorang gadis yang jujur, pandai sastra, suaramu merdu, wajahmu cantik jelita, dan kau aneh sekali, sungguh menarik hatiku. Sekarang ceritakan, siapa yang kaucari itu?"

"Kian Bu, entah mengapa, begitu bertemu dengan engkau hatiku terus saja percaya penuh, seolah-olah sudah lama aku mengenalmu. Eh, kau tadi bilang tentang orang di bawah pohon, yang kaucari-cari tadi. Siapa dia?" Gadis itu tiba-tiba memandang dengan penuh kecurigaan ke kanan kiri.

"Aku pun heran sekali. Tadi aku melihat seorang kakek tua renta berada di bawah pohon, tertidur mendengkur, akan tetapi dalam sekejap mata saja lenyap seperti setan."

"Ihhh.... aku paling ngeri dengan segala setan!" Gadis itu ketakutan dan menggeser duduknya lebih dekat dengan Kian Bu. Tentu saja pemuda itu menjadi girang dan dia melanjutkan ceritanya.

"Tadi aku mengaso di atas pohon itu dan aku tidak melihat ada orang datang dekat.... eh, tahu-tahu ada seorang kakek tua sekali tidur di bawah pohon, mendengkur dan kakek itu rambutnya sudah putih semua, tidak seperti manusia biasa. Aku sudah curiga karena kedatangannya yang tiba-tiba itu tidak lumrah, dan tadi.... eh, tahu-tahu dia lenyap begitu saja. Apa lagi kalau bukan iblis penunggu hutan ini...."

Gadis ini makin ketakutan, mepet dan memegang lengan Kian Bu. Akan tetapi betapa kagetnya hati Kian Bu melihat wajah gadis itu menjadi pucat sekali dan ada air mata di pipinya. Gadis itu menangis saking takutnya! Kian Bu menjadi menyesal sekali dan cepat dia meloncat berdiri sambil bertepuk tangan. "Ha-ha-ha, engkau kena kubohongi! Tidak ada setan tidak ada apa-apa!"

Dara itu cemberut. "Ihh, engkau sungguh nakal. Aku sampai hampir pingsan ketakutan. Kau bukan orang baik, kau suka bohong, aku tidak jadi berteman denganmu kalau begitu!" Gadis itu sudah bangkit berdiri dan hendak pergi menghampiri keledainya.

Kian Bu tertegun. Bocah ini benar aneh. Biarpun belum matang benar, akan tetapi juga bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi di samping kecantikannya dan pandainya bergaya, seperti orang dewasa, gadis ini takut kepada setan dan suka ngambek seperti anak kecil!

"Ah, Siang In, kaumaafkanlah aku. Aku hanya main-main, masa engkau menjadi marah? Maafkan aku."

"Aku mau maafkan kalau kau berlutut dan menyebut aku nenek!" gadis itu berkata cemberut dan membanting-banting kaki kanannya.

Kian Bu hampir tertawa bergelak, akan tetapi untuk menyenangkan hati gadis remaja yang aneh itu, apa boleh buat dia lalu berlutut, mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan sambil menyebut, "Nenekku yang baik, kauampunkan cucumu ini!"

"Hi-hi-hik!" Gadis itu terkekeh dan Kian Bu juga bangkit sambil tertawa-tawa. Keduanya tertawa gembira dan duduk lagi di atas akar pohon. Aneh, Kian Bu merasa gembira sekali dan lenyaplah semua bayangan gelap dari masa lalu. Dia kini sudah lebih matang dan hati-hati, tidak mau gampang saja jatuh cinta. Dara ini merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.

"Siang In, sekarang kauceritakan tentang dirimu dan mengapa engkau berada di tempat sunyi ini seorang diri dan siapa itu wanita genit memikat yang kaucari itu."

Setelah kini bebas dari perasaan takut akan setan, sepasang pipi dara itu menjadi kemerahan lagi, bibirnya yang manis merekah penuh senyum dan matanya yang jeli bersinar-sinar.

"Tidak ada apa-apanya yang menarik dalam riwayatku," gadis itu memulai.

"Orangnya saja sudah amat menarik, apalagi riwayatnya." Kian Bu berkata dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya.

"Eh, Twako.... kau mau kan kusebut twako? Aku tidak mempunyai kakak laki-laki, maka biarlah engkau menjadi penggantinya. Kalau aku tidak merasa yakin bahwa engkau seorang yang baik, tentu aku curiga melihat sikapmu terlalu manis, pujian-pujianmu terlalu muluk itu. Sikapmu seperti laki-laki perayu wanita benar!"

"Aku hanya bilang sejujurnya, masa tidak boleh? Aku suka akan kembang indah harum, suka melihat dara secantik engkau. Apakah aku harus membohong mengatakan engkau gadis buruk?"

Siang In tertawa. "Akan tetapi sinar matamu kalau memandangku.... hihhh, aku menjadi ngeri dibuatnya! Nah, aku mau bercerita tentang diriku. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi...."

"Aduh kasihan....!"

"Akan tetapi aku mempunyai seorang enci (kakak perempuan)...."

"Juga cantik jelita jelita seperti engkau?"

"Ihh, Twako. Engkau mata keranjang benar!"

"Lho, kenapa mata keranjang? Pertanyaan wajar, kan? Masa aku harus bertanya apakah encimu itu tampan dan gagah, kan menjadi banci nanti!" Mereka berdua tertawa-tawa lagi dan hutan yang biasanya sunyi itu kini bergema suara tertawa pemuda dan dara itu.

"Tentu saja enciku yang bernama Siang Hwa amat cantik melebihi aku yang buruk ini. Kami berdua tinggal di lereng gunung sana itu melanjutkan usaha mendiang Ayah, menanam obat-obatan yang kami jual ke kota dan sebagian kami bagi-bagikan kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan obat."

"Aih, kiranya engkau ini ahli obat, ya? Lengkap benar kepandaianmu?"

"Lengkap apanya?"

"Coba kuhitung. Satu, engkau pandai memelihara kuda keramat, dua, engkau pandai meniru gaya wayang dan berperan sebagai wanita genit memikat, tiga, engkau pandai ilmu silat, dan empat, engkau pandai ilmu pengobatan!"

"Huh, engkau hanya memuji kosong saja, kalau kudengarkan kepalaku bisa berubah menjadi segentong besarnya. Sudah, tak perlu memuji-muji, tapi dengarkan ceritaku. Mendiang ayahku barulah berani disebut ahli pengobatan karena beliau itu terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Yok-sian...."

"Ahhh....!" Kian Bu berteriak dan meloncat berdiri. Teringat akan setan yang amat ditakuti, Siang In juga meloncat dan memandang ke kanan kiri.

"Ada apa?" Dia sudah memegang lengan pemuda itu lagi.

"O, tidak ada apa-apa, aku hanya terkejut mendengar julukan ayahmu."

"Huh, kekagetanmu membikin aku kaget." Mereka duduk kembali di atas akar pohon.

"Apakah ayahmu itu Suheng dari kakek yang berjuluk Sin-ciang Yok-kwi?"

"Eh, bagaimana engkau bisa, mengenal julukan Susiok (Paman Guru)?"

"Wah, engkau yang kami cari-cari, ketemu sekarang orangnya!"

"Lho, kenapa mencari-cari aku?"

Kian Bu lalu menceritakan tentang "keponakannya" yang terluka hebat oleh pukulan beracun dan menurut keterangan Sin-ciang Yok-kwi, seorang di antara mereka yang kiranya dapat mengobati gadis keponakannya itu adalah keturunan Yok-sian.

"Sayang, sekarang keponakanku itu pergi entah ke mana sehingga biarpun aku berjumpa denganmu juga percuma."

"Dan pula, aku juga tidak bisa mengobati. Aku hanya ahli mengenal buah, bunga, daun, dan akar obat. Yang mewarisi kepandaian Ayah adalah Enci Siang Hwa. Bu-twako, kalau kau terus-terusan mengganggu ceritaku, tidak akan habis-habis riwayatku."

"Oh, teruskanlah."

"Seperti kuceritakan tadi, kami hidup berdua saja. Aku tukang menanam tumbuh-tumbuhan obat, mencari dan memilih bibit bibitnya dari hutan, dan enci yang menjual hasil tanaman itu ke kota. Pada beberapa hari yang lalu, aku sendirian saja di rumah, Enci sudah dua hari pergi ke kota menjual obat dan belum juga pulang, padahal biasanya tidak pernah bermalam. Lalu datang seorang wanita...."

"Genit pemikat...."

"Kok tahu?"

"Yang kaucari-cari itu tentu, siapa lagi!"

"Benar. Wanita cantik pesolek itu datang dan karena sikapnya manis budi, dan di lereng itu kami tidak mempunyai tetangga dan hari sudah malam, aku tidak keberatan ketika dia menyatakan hendak bermalam. Dia pandai bicara dan ramah sekali, sampai aku lalai dibuatnya dan pada keesokan harinya, Si Cantik Genit itu telah pergi sebelum aku bangun...."

"Wah engkau tentu pemalas dan bangunmu kesiangan!"

"Ngaco! Siapa bilang aku pemalas? Jam lima pagi aku sudah bangun, tidak mau keduluan ayam...."

"Makannya!"

"Ihh, kau menghina, ya? Kalau aku gembul makan, tentu tubuhku menjadi gendut. Nih, lihat, apa aku gendut?"

"Kau ramping! Habis, tidak mau keduluan apa oleh ayam?"

"Mandi."

"Wah, tentu saja! Habis, ayam tidak pernah mandi, biar kau bangun jam sembilan dan mandi jam sepuluh juga tidak akan keduluan ayam. Sudahlah, lalu bagaimana?"

"Ya sudah habis. Wanita cantik genit memikat itu pergi dan aku lalu melakukan pengejaran sampai di sini. Tadinya aku mencari di pegunungan itu tidak ketemu, lalu aku pulang menanti Enci kembali dari kota untuk melaporkan hal itu. Akan tetapi sampai lima hari Enci tidak pulang-pulang, aku khawatir Enci mendapatkan halangan biarpun dia pandai ilmu silat dan tidak sembarangan orang mampu mencelakainya. Aku lalu mengajak Pek-liong pergi mencari Enci dan perempuan maling kitab itu."

"Pek-liong (Naga Putih)....?"

"Itulah dia Pek-liong." Dara itu menuding ke arah keledai yang masih enak enak makan rumput. Kian Bu menahan gelinya. Keledai kecil itu dinamakan Naga Putih!

"Wah, kasihan sekali engkau, Siang In."

"Sudah, aku tidak minta kasihanmu, sekarang kauceritakan riwayatmu."

"Riwayatku? Aku orang biasa saja...."

"Tidak, engkau luar biasa. Tidak ada pemuda gunung buta huruf yang mengenal sajak Li Shang Yin dan Yen Siang!"

"Habis, menurut penglihatanmu, aku orang apa?"

"Engkau tentu seorang pemuda kota, seorang sastrawan lemah yang terbuai khayal, agak berfilsafat dan engkau perayu wanita tapi tidak kurang ajar dan.... sudah, kauceritakan riwayatmu."

"Riwayatku tidak ada apa-apanya. Namaku Suma Kian Bu dan aku sedang merantau untuk menghibur hati dan melihat keindahan alam, aku suka akan kesunyian maka aku berada di hutan ini. Eh, sekarang kau hendak ke mana, Adik Siang In yang baik?"

Dara itu lupa bahwa penuturan riwayat Kian Bu itu sama sekali tidak lengkap, karena dia sudah terpikat oleh sikap dan pertanyaan yang ramah itu. "Aku hendak mencari enciku dan perempuan genit itu."

"Kemana?"

Dara itu mengerutkan alisnya. "Entahlah. Sampai di sini aku kehilangan jejak. Di dusun seberang gurun itu ada yang melihat Si Perempuan Genit menuju ke sini, maka aku mengejar. Kiranya bertemu dengan engkau, dan sialnya engkau tidak melihat perempuan itu."

"Mari kubantu engkau mencari dia dan encimu."

"Kemana?"

"Kemana saja, dan karena menurut penyelidikanmu, wanita itu lewat ke jurusan ini, kita tentu akan dapat menemukan jejaknya lagi di luar dusun ini, asal kita dapat melewati dusun."

"Aku pernah mencari daun-daun obat di hutan ini dan di sebelah barat hutan ini terdapat perkampungan."

"Bagus sekali. Kalau begitu kita mencari ke sana. Hayo kita berangkat!"

Siang In kelihatan girang sekali. Dia mengambil payungnya dari telinga keledai karena biar keledai itu makan rumput, payung tadi masih saja tergantung di telinganya, kemudian menuntun keledainya.

"Kenapa tidak kautunggangi?"

"Ah, tidak. Enakan berjalan bersama engkau, Twako. Kalau hanya aku sendiri menunggang keledai dan kau jalan, tidak enak, ah!"

"Ditunggangi berdua pun kasihan, keledai kecil begitu."

"Ih, jangan memandang rendah kuda keramatku, ya? Mau mencoba kekuatannya? Mari kau meloncat ke punggungnya," Siang In menantang. Karena ingin tahu, Kian Bu menurut dan naik ke punggung kuda atau keledai itu.

"Kau maju sedikit, beri tempat untukku!" Siang In berseru.

Kian Bu makin heran, akan tetapi dia menggeser ke depan dan tiba-tiba dia merasa betapa bagian belakang tubuhnya bersentuhan ketat dengan sesuatu yang lunak dan hangat. Tubuh dara itu yang sudah duduk di belakangnya! Dia merasa geli dan bulu tengkuknya berdiri semua sehingga dia tertawa-tawa.

"Apa cekikikan? Lihat betapa kuatnya kuda keramatku Pek-liong agar engkau tidak menghinanya lagi. Pek-liong, terbanglah!" Siang In mengeprak perut keledai itu dengan tumit kakinya. Dan hampir saja Kian Bu berteriak saking kagetnya ketika tiba-tiba keledai itu meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali! Benar-benar cepat larinya, tidak kalah oleh kuda besar yang manapun sehingga dia melihat pohon-pohonan berlari-lari di kanan kirinya dan telinganya mendengar desir angin! Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak merasa takut karena ilmunya berlari cepat tidak kalah cepatnya dengan larinya keledai ini, dan sebetulnya dia merasa nikmat dan senang sekali karena punggungnya beradu ketat dengan dada gadis itu ketika keledai berlari, akan tetapi

karena dia ingin dianggap sebagai "sastrawan lemah" maka dia sengaja berteriak-teriak ketakutan.

Siang In menghentikan keledainya dan tertawa. "Bagaimana? Kau masih berani menghina Pek-liong?" Dia melompat turun dan Kian Bu juga merosot turun. Dilihatnya keledai itu bernapas biasa saja sehingga diam-diam dia menjadi kagum juga.

"Wah, wah, sebentar lagi dia tentu benar-benar terbang. Agaknya kudamu ini memang penjelmaan naga putih, Adik Siang In."

Gadis itu gembira sekali mendengar pujian ini dan mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bersendau-gurau dan tertawa-tawa, kalau dilihat dari jauh seperti sepasang orang muda sedang bertamasya saja layaknya. Betapa indahnya hidup ini bagi orang-orang muda, maka kasihanlah orang-orang muda yang tidak mampu menikmati keindahan hidup, bahkan terseret mencari-cari kesenangan hampa yang mengotorkan tubuh dan jiwa!

******

Dusun itu cukup besar dan ramai, menjadi tempat perhentian mereka yang melakukan perjalanan di perbatasan utara itu. Hari telah senja ketika Kian Bu dan Siang In tiba di dusun ini.

"Perutku lapar...." Siang In berkata sambil menekan perutnya.

"Sama...." Kian Bu menjawab. "Mari kita cari kedai makanan."

Sambil menuntun Pek-liong, Kian Bu berjalan bersama Siang In memasuki dusun dan mencari-cari. Akhirnya mereka melihat sebuah kedai makanan dan Kian Bu segera mencancang keledai itu di luar kedai, kemudian mereka berdua masuk ke dalam kedai makanan yang penuh dengan orang makan minum itu. Di antara para tamu, Kian Bu mengenal dua orang penunggang kuda yang dilihatnya dari

atas pohon di hutan tadi, maka dia lalu mengajak Siang In duduk di meja tak jauh dari mereka. Kian Bu memasang telinga dan mendengar percakapan bisik-bisik dua orang itu. Ternyata mereka berdua "lolos" dari kejaran mata-mata musuh dan menurut percakapan itu, kiranya mereka menduga adanya banyak mata-mata musuh yang berkeliaran di daerah itu dan yang agaknya menyelidiki keadaan. "Kita harus cepat lapor kepada pimpinan." Demikian kata Si Cambang Tebal yang segera menghentikan percakapan setelah melihat masuknya beberapa orang tamu lagi dan duduk di dekat mereka. Tiba-tiba mereka itu kelihatan terkejut, bergegas bangkit, memanggli pelayan membayar makanan yang belum habis mereka makan dan mereka berdua dengan sikap tergesa-gesa menyelinap keluar melalui pintu samping. Melihat sikap mereka, Kian Bu menjadi terheran-heran. Dia maklum bahwa

pasti dua orang itu melihat sesuatu yang membuat mereka seperti ketakutan, maka otomatis dia lalu menengok ke arah pintu depan.

"Aahhhh...." Dia menahan seruannya dan bengong memandang keluar. Melihat sikap Kian Bu dan mendengar seruan kagum ini, Siang In juga cepat menengok dan memandang ke luar. Di luar warung, di seberang jalan, tampaklah seorang wanita cantik sekali, berpakaian menyala, rambutnya digelung tinggi ke atas, sedang memandang dan longak-longok mengulur leher, agaknya ada yang sedang dicari-carinya.

"Itu dia....!" Tiba-tiba Siang In menjerit, membuat Kian Bu tersentak kaget. Siang In meloncat dan lari ke pintu kedai itu.

"Brussss....!" Tanpa dapat dicegah lagi, Siang In bertumbukan dengan seorang laki-laki setengah baya yang secara tiba-tiba masuk pintu kedai itu dan diiringkan oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan tegap. Karena Siang In tidak mengira ada orang masuk pada saat perhatiannya tercurah kepada wanita cantik yang berada di seberang jalan, dan pria itu pun agaknya tidak mengira akan ada orang lari keluar, maka tumbukan antara mereka tak dapat dihindarkan lagi. Siang In terpelanting dan hampir roboh. Untung laki-laki setengah tua itu dengan gerakan cepat telah menyambar dan memegang lengan Siang In sehingga dara ini tidak sampai terbanting jatuh.

Laki-laki setengah tua itu tersenyum dan bertanya dengan sikap sopan dan suara halus sambil melepaskan pegangannya, "Maafkan saya, Nona. Untung tidak sampai jatuh. Apakah ada yang sakit....?"

Siang In membelalakkan matanya dan membentak marah, "Orang kurang ajar dari mana jalan nabrak-nabrak saja?"

Kian Bu sudah tiba di samping gadis itu, memegang lengannya dan berkata, "Sudahlah, engkau sendiri yang kurang hati-hati, berlari keluar. Paman ini tidak bersalah...." Kian Bu setengah menarik tangan Siang In dan dara ini bersungut-sungut dan setelah mengirim lirikan marah kepada laki-laki setengah tua yang dengan tenang dan sabar tersenyum memandang, dia lalu melanjutkan langkahnya keluar dari kedai, pandang matanya mencari. Akan tetapi, wanita cantik tadi sudah tidak kelihatan lagi.

"Sialan! Orang buta tadi yang jadi gara-gara sampai dia hilang lagi!"

"Eh, orang buta mana?"

"Yang menabrak aku tadi, kalau matanya tidak buta, masa nabrak-nabrak?"

Kian Bu tersenyum. Biarpun sedang muring-muring, gadis ini makin cantik saja!

"Sudahlah, aku sendiri juga tidak tahu siapa yang menabrak tadi, dia atau engkau."

"Dia! Si Buta itu! Aku harus menghajarnya!" Dia kembali memasuki pintu dan hampir saja menabrak seorang pelayan yang membawa baki dan sedang keluar. Untung Kian Bu sudah menarik lengannya, kalau tidak tentu terjadi tabrakan untuk kedua kalinya dan sekali ini berbahaya karena di atas baki terdapat bakmi kuah yang masih panas.

"Eh.... Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona), mau ke mana? Ini pesanan kalian tadi.... dua bakmi kuah dan...."

"Kaumakan saja sendiri!" Siang In membentak dan membalikkan tubuhnya keluar dari kedai itu. Kian Bu melemparkan mata uang ke atas baki.

"Kami tidak jadi makan, ini uangnya," katanya dan terus menyusul Siang In yang sudah pergi menuntun keledainya sambil cemberut.

"In-moi (Adik In), jangan marah ah...."

"Aku harus mencari dia! Si Tolol buta itu menghalangiku!" Siang In cemberut dan melihat ke sana-sini mencari-cari.

"Dia siapa?"

"Si Genit!"

"Ohh...."

"Si Pemikat! Kau tidak lihat dia tadi?"

Kian Bu mengangguk. Kiranya wanita itu yang dicari? Memang cantik, cantik se kali, akan tetapi dia belum melihat jelas benar. Agaknya wanita yang sudah matang, tidak seperti dara ini yang masih mentah, atau baru setengah matang, setengah dewasa setengah kanak-kanak, akan tetapi malah amat menarik hati.

Mereka lalu mencari sampai ke setiap sudut dusun itu akan tetapi sia-sia belaka dan akhirnya Siang In berhenti di tepi jalan yang sunyi, duduk di atas rumput dan kelihatan marah dan kecewa sekali. Kian Bu lalu pergi membeli sepuluh butir kue bakpauw dan mereka makan bakpauw di tepi jalan. Lima butir bakpauw sudah cukup mengenyangkan perut, akan tetapi mencekik tenggorokan!

Karena malam tiba, mereka lalu mencari pondokan dan bermalam di dalam dua buah kamar sederhana di pondok dusun itu, setelah memesan mi-bakso dan minum teh hangat kemudian mandi. Pada keesokan harinya, agaknya Siang In sudah tidak cemberut lagi, akan tetapi pagi-pagi sekali dia sudah menggedor pintu kamar Kian Bu dan mengajak pemuda itu cepat-cepat berangkat melanjutkan perjalanan mencari pencuri kitab itu. Kian Bu gelagapan, terpaksa hanya sempat mencuci muka, kemudian sarapan dan berangkatlah mereka lagi keluar dari dusun itu sambil bertanya-tanya tentang wanita cantik yang rambutnya digelung tinggi.

Akhirnya, jejak yang mereka temukan dan ikuti membawa mereka ke sebuah dusun kecil di tepi sungai yang besar dan yang menjadi tapal batas dengan daerah liar di utara. Di seberang sungai itu sudah merupakan daerah liar yang tidak memperoleh penjagaan dari pasukan-pasukan pemerintah. Karena itu dusun ini cukup ramai karena menjadi tempat penyeberangan para pedagang. Banyak orang-orang suku Nomad dan liar yang menyeberang ke selatan untuk menjual rempah-rempah dan hasil sungai dan laut, sebaliknya para pedagang dari selatan banyak yang mengeduk keuntungan besar dengan membawa dagangan dan menyeberang ke utara, menjual atau menukar dagangan mereka dengan suku-suku asing di luar tapal batas.

Ketika Kian Bu dan Siang In tiba di tepi sungai, di situ sudah sunyi. Waktu penyeberangan yang ramai adalah pagi dan sore, dan siang hari yang panas itu di tempat itu sudah sunyi dan hanya terdapat seorang penjaga perahu kosong yang duduk melenggut ngantuk.

"Dia tentu menyeberang. Kita menyeberang saja," kata Siang In.

"Bagaimana dengan Pek-liong?"

"Kita tinggal saja."

"Aih! Ditinggalkan? Sayang dong....!"

"Bu-twako, engkau masih belum mengenal kehebatan Pek-liong. Dia kutinggalkan akan tetapi dia bisa pulang sendiri. Itulah satu di antara kelihaiannya. Kaulihat!" Siang In lalu melepaskan kendali keledai itu, lalu berkata, "Pek-liong, kau pulanglah dan jaga rumah baik-baik! Hayo!" Dia menepuk pantat kuda keledai itu tiga kali dan binatang itu meringkik, terus lari congklang pergi dari tempat dengan cepat. Kian Bu melongo. Benar-benar hebat binatang itu. Kelihatannya saja seekor keledai bodoh, kiranya seekor binatang yang jinak dan cerdik!

Mereka lalu membangunkan tukang perahu yang mengantuk. Tukang perahu kelihatan ogah-ogahan menyambut mereka. Menyeberangkan dua orang saja merugikan dia, karena biasanya, perahunya itu menyeberangkan sedikitnya lima belas orang penumpang. Kalau dua orang itu mau membayar lebih.... "Sudahlah jangan khawatir, kami bayar dobel!" kata Kian Bu tak sabar.

Akan tetapi, dibayar dobel pun masih rugi dan dengan malas-malasan tukang perahu itu mendayung perahunya ke tengah. Belum jauh perahu meluncur, terdengar orang-orang berteriak memanggil dan ternyata di tepi sungai itu sudah berdiri lima orang laki-laki yang dikenal oleh Siang In dan Kian Bu sebagai laki-laki gagah yang ditabraknya di kedai bersama empat orang pengikutnya!

Tentu saja tukang perahu menjadi girang dan cepat mendayung kembali perahunya ke pinggir. "Tidak usah kembali, terus saja!" Siang In membentak.

"Aih, Nona, kasihan mereka dan saya pun ingin penghasilan lebih," bantah tukang perahu.

"Biarlah, In-moi. Mereka itu kelihatan orang-orang yang baik dan sopan. Masa urusan kecil begitu saja membuat engkau masih marah-marah terus? Kata Nenek, orang marah lekas tua!"

Siang In membanting-banting kaki, akan tetapi tidak berani marah lagi karena tidak mau menjadi lekas tua, hal yang amat dibuat ngeri oleh seluruh wanita di permukaan bumi ini!

Ketika lima orang itu naik ke perahu, laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu segera tersenyum dan menjura. "Aih, kiranya Ji-wi yang telah berada di perahu. Terima kasih atas kerelaan Ji-wi membiarkan perahu kembali lagi untuk membawa kami, dan harap Nona sudi memaafkan peristiwa di kedai tadi."

Mau tidak mau Siang In harus mengakui bahwa pria setengah tua itu benar-benar sopan dan halus budi. Maka dia pun meniru perbuatan Kian Bu untuk membalas penghormatan mereka, dan perahu meluncur terus ke tengah sungai karena layar telah dibentangkan dan angin bertiup keras.

Tiba-tiba tukang perahu kelihatan gugup dan wajahnya menjadi pucat. "Celaka...." bisiknya.

Lima orang yang bersikap gagah itu bangkit berdiri, memandang ke arah dua buah perahu kecil yang meluncur cepat mendekati perahu mereka. "Siapa mereka?" tanya pria setengah tua yang usianya kira-kira empat puluh tahun dan berjenggot pendek itu.

"Mereka.... mereka.... bajak sungai...." tukang perahu berbisik. "Biasanya tidak pernah mengganggu...."

"Jangan takut!" Laki-laki berjenggot pendek berkata tenang, kemudian bersama empat orang temannya dia berdiri di kepala perahu, mencabut golok dan dengan golok terhunus mereka menanti dua buah perahu yang meluncur datang itu. Sikap mereka gagah sehingga Siang In menjadi kagum.

"Kiranya mereka itu pendekar-pendekar kang-ouw...." bisiknya kepada Kian Bu yang hanya tersenyum saja dan sudah tentu dia pun diam-diam bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Setelah dua buah perahu yang membawa sepuluh orang yang tinggi besar dan kelihatan berslkap ganas itu mendekat, orang setengah tua yang berjenggot pendek itu berseru dengan suara nyaring dan berwibawa, "Kami bukanlah pedagang yang membawa banyak uang atau barang berharga, harap Cu-wi tidak mengganggu kami!"

Sepuluh orang itu memandang, kemudian dua perahu itu melempar jangkar dan mereka semua lalu terjun ke air dan menyelam! Tentu saja lima orang gagah itu memandang dengan heran, akan tetapi tukang perahu berseru lagi, "Celaka....!"

Sebelum semua penumpang tahu mengapa tukang perahu begitu ketakutan, tiba-tiba perahu itu bergerak dan miring, bergoncang keras. Maka tahulah Kian Bu bahwa sepuluh orang bajak sungai itu menyelam dan dari bawah kini berusaha menggulingkan perahu.

"Ah, bagaimana ini, Bu-twako?" Siang In sudah memeluk Kian Bu dengan ketakutan dan menjerit setiap kali perahu miring. Gadis ini memiliki kepandaian silat lumayan dan seorang yang pemberani, akan tetapi karena dia tidak pandai renang, menghadapi air sungai yang bergelombang itu dia ngeri.

Para penumpang sama sekali tidak berdaya dan akhirnya perahu terbalik dan mereka semua terle mpar ke air!

"Bu-twako....!" Siang In memeluk Kian Bu erat-erat, membuat pemuda itu makin gelagapan. Kian Bu yang sejak kecil tinggal di Pulau Es dan dekat dengan lautan, tentu saja pandai berenang akan tetapi dia bukan ahli dan berenang di air laut lebih ringan daripada berenang di air sungai, maka ketika Siang In yang gelagapan itu saking takutnya memeluknya dengan ganas, Kian Bu juga menjadi repot sekali dan beberapa kali dia terpaksa minum air sungai.

Ternyata bahwa lima orang gagah itu pun tidak pandai berenang sehingga dalam waktu belasan menit saja, semua penumpang termasuk Kian Bu ditawan dalam keadaan pingsan dan dinaikkan ke dalam dua buah perahu kecil, terus dibawa pergi setelah kedua tangan mereka dibelenggu. Tukang perahu menangis sambil memegangi pinggiran perahunya yang terguling. Rugi besar-besaran di hari itu, sungguhpun untung bahwa dia tidak dibunuh para bajak.

Ketika Kian Bu membuka matanya dan siuman, dia telah berada di dalam sebuah kamar tahanan yang kuat dan dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya. Cepat dia menoleh ke kanan-kiri dan hatinya lega ketika dia melihat Siang In masih rebah di dekatnya, juga tangan dara ini terbelenggu dan biarpun Siang In masih pingsan, namun dara ini tidak mati. Demikian pula dengan lima orang gagah yang terbelenggu dan sudah mulai siuman.

Kian Bu menggerakkan kedua tangannya dan dengan jari-jari tangan dia mengurut perlahan tengkuk Siang In. Gadis itu mengeluh lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk, memandang kedua lengannya yang terbelenggu di depan tubuhnya.

"Aihh.... di mana kita?" Siang In bertanya dan memandang Kian Bu, lalu menoleh kepada lima orang lain yang juga sudah mulai siuman.

"Kita agaknya menjadi tawanan bajak-bajak itu," kata Kian Bu. Dia sudah memeriksa tali belenggunya dan kalau dia mau, tentu dia akan dapat mematahkan belenggunya itu biarpun tali itu terbuat dari otot binatang yang amat kuat. Dia melihat lima orang itu mulai merenggut-renggut tangan mereka, namun hasilnya sia-sia. Kian Bu maklum bahwa tidak sembarangan orang akan dapat mematahkan belenggu ini, harus menggunakan sin-kang tingkat tinggi. Maka dia pun dapat mengukur bahwa kepandaian lima orang itu, terutama pemimpin mereka yang berjenggot pendek, biarpun mungkin tinggi namun sin-kang mereka belumlah begitu kuat.

"Tenang....!" Tiba-tiba Si Jenggot Pendek berkata. "Mereka menawan kita, berarti mereka tidak akan membunuh kita. Menggunakan kekerasan tidak ada gunanya, apalagi belenggu ini amat kuat. Kita harus tenang dan menanti keadaan."

Siang In juga mencoba-coba untuk mematahkan belenggu, akan tetapi malah kulit lengannya yang menjadi nyeri. "Aih, Twako, bagaimana ini....?" keluhnya.

"Nona, harap jangan khawatir, kami akan melindungimu," Si Jenggot Pendek berkata menghibur.

Siang In cemberut. "Huh, melindungi bagaimana? Kalian sendiri pun tidak berdaya."

Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke luar dari terali besi di atas pintu, lalu dia memberi isyarat kepada mereka semua untuk ikut melihat. Mereka kini bangkit semua dan memandang ke luar. Kiranya tempat itu merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikurung pagar tembok kuat, tampak dari tempat tahanan yang berada di tengah kampung itu. Dan semua penduduk perkampungan itu agaknya sedang bersuka ria, sedang menghadapi suatu pesta yang sedang mereka rayakan. Ada yang membawa kertas-kertas berwarna, pajangan-pajangan dan orang-orang itu hilir-mudik sambil tersenyum-senyum, akan tetapi rata-rata mereka itu mempunyai wajah bengis, dan melihat dari pakaian mereka, baik yang perempuan maupun yang laki-laki, mereka adalah

orang-orang suku Nomad , yang berkeliaran di daerah utara, terdiri dari campuran bermacam suku bangsa, akan tetapi sebagian besar adalah keturunan suku bangsa Mongol.

Sepasukan orang terdiri dari dua belas orang bersenjata golok besar datang ke tempat tahanan itu dan pintu besi dibuka dari luar. Kemudian tujuh orang tawanan itu digiring memasuki sebuah rumah besar dan terus ke ruangan samping rumah gedung besar itu. Di dalam sebuah ruangan telah menanti seorang laki-laki tua yang duduk di atas kursi. Tujuh orang tawanan itu mengira bahwa tentu mereka akan dihadapkan kepada kepala bajak yang kejam dan bengis, dan Kian Bu yang sengaja tidak mematahkan belenggu untuk melihat perkembangan sebelum turun tangan, sudah siap untuk mengambil tindakan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia memandang dan mengenal orang yang duduk di atas kursi itu. Pernah dia bertemu dengan orang ini di Koan-bun. Orang itu berpakaian sastrawan dan dia tahu bahwa orang itu adalah pengawal lihai dari Raja Tambolon, yaitu Yu Ci Pok yang berpakaian pelajar (siucai) di samping pengawal lain yang berpakaian petani dan bernama Liauw Kui! Akan tetapi perjumpaannya dengan Tambolon dan dua orang pengikutnya itu hanya sepintas saja maka kini Yu Ci Pok Si Siucai Maut itu tidak mengenalnya dan Kian Bu juga hanya menundukkan mukanya.

Memang tidak salah penglihatan Kian Bu orang itu adalah Yu Ci Pok, pengawal Raja Tambolon, dan tempat itu adalah tempat yang dijadikan sarang oleh Raja Tambolon pada saat itu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Raja Tambolon gagal dalam merebut Koan-bun dan di kota itu pasukannya yang terdiri dari seribu orang malah hancur-lebur dan terbasmi, hampir tidak ada lagi sisanya. Akan tetapi, berkat kelihaiannya, dia dan dua orang pengawalnya berhasil menyelamatkan diri dan dia lalu lari ke utara. Biarpun dia telah kehilangan pasukan, namun nama Raja Tambolon telah dikenal oleh para suku Nomad, maka tentu saja

kemunculannya disambut dengan penuh penghormatan dan sebentar saja, Raja Tambolon sudah dapat mengumpulkan kekuatan dan dia bahkan menjadi raja kecil di daerah perbatasan di seberang sungai dan kekuasaannya meliputi daerah yang cukup luas! Adapun kedua orang pengawalnya itu kini diangkatnya menjadi menteri-menterinya karena dia sendiri menjadi raja kecil di situ. Para bajak sungai yang beroperasi di sepanjang sungai itu semua ditundukkannya dan menjadi anak buahnya!

Kian Bu melirik ke depan dan melihat bahwa sastrawan itu ditemui oleh dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua orang penunggang kuda yang dilihatnya di hutan itu. Kiranya dua orang itu adalah kaki tangan sastrawan pengawal Tambolon ini, pikirnya. Dia menduga bahwa pengawal Raja Tambolon ini telah berdikari dan menjadi kepala bajak. Tidak heran, karena memang orang itu lihai, pikirnya. "Mereka berlima itulah!" Terdengar Si Kumis Tebal menerangkan kepada sastrawan itu. "Jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang dari Bhutan!"

Siucai itu memandang penuh perhatian, lalu membentak kepada lima orang itu. "Benarkah kalian adalah keparat-keparat dari Bhutan?" Kerajaan Bhutan telah menjadi musuh-musuh dari Tambolon dan kaki tangannya.

Orang setengah tua itu mengangkat dadanya dan berkata, suaranya tabah dan memandang rendah, "Hemm, kiranya di sini pun terdapat kaki tangan Tambolon yang merajalela! Aku tahu bahwa engkau adalah Yu-siucai, pengawal Tambolon. Di manakah rajamu yang liar itu sekarang? Ha-ha, aku mendengar akan kehancurannya di Koan-bun!"

Siucai itu terbelalak, memandang penuh perhatian dan bangkit dari kursinya, mendekati orang setengah tua itu, mengamat-amati, lalu membentak, "Keparat! Kiranya engkau Panglima Jayin dari Bhutan?"

"Matamu masih awas, Yu-siucai!"

Siucai itu kembali duduk dan tertawa gembira, "Ha-ha-ha, siapa kira kita dapat menawan tokoh ke dua dari Bhutan! Ah, tentu Tai-ong akan gembira sekali melihat mukamu, Jayin!"

Dia lalu menoleh kepada dua orang itu. "Lekas kalian laporkan kepada Ong-ya bahwa lima orang tawanan dari Bhutan itu adalah Jayin dan empat orang pembantunya! Akan tetapi hati-hati, jangan ganggu Ong-ya yang sedang bergembira."

Dua orang itu mengangguk dan pergi, wajah mereka girang karena mereka telah membuat jasa besar.

Kemudian Yu-siucai memandang Kian Bu dan Siang In. Gadis ini menundukkan mukanya, pakaiannya masih basah dan menempel ketat di tubuhnya sehingga lekuk-lengkung tubuhnya yang ranum itu nampak nyata.

"Kalian siapa?" bentaknya.

"Maaf, Taijin (Pembesar)...." Kian Bu menjawab cepat, mendahului Siang In. "Saya bernama Teng Bu dan ini adik saya, Teng Siang In.... kami berdua sedang menumpang perahu.... tidak ada hubungan kami dengan mereka ini...." Kian Bu memperlihatkan sikap ketakutan, dan diam-diam Siang In melirik kepadanya, agak geli juga mendengar Kian Bu merubah namanya dan mengaku sebagai kakaknya dan membonceng shenya (nama keturunan).

"Yu-siucai, dua orang ini memang hanya kebetulan saja menumpang perahu. Harap bebaskan mereka yang tidak bersalah apa-apa."

"Hemm, keputusannya berada di tangan raja kami. Dan untung bahwa kini kami sedang mengadakan pesta pernikahan raja kami, kalau tidak, tentu kalian sudah menerima hukuman langsung."

Panglima Jayin, tokoh Bhutan itu tertawa. Seperti telah kita kenal, panglima ini adalah murid dari Kakek Lu Kiong, kakek dari Ceng Ceng dan menjadi orang terkenal di Bhutan. Dia bersama empat orang pembantunya itu bertugas untuk mencari Puteri Syanti Dewi. "Ha-ha-ha, entah sudah berapa puluh kali aku mendengar Tambolon menikah!"

Siucai itu melompat ke depan, tangannya menampar. "Plak-plak!" Bibir Panglima Jayin pecah dan berdarah, akan tetapi dia masih berdiri tegak, memandang dengan mata menghina.

"Kalau bukan hari baik raja kami, aku tentu sudah membunuhmu!"

"Pengecut!" Tiba-tiba Siang In memaki dan matanya terbelalak memandang siucai itu. "Laki-laki macam apa engkau ini? Beraninya menghina orang yang terbelenggu. Hih, tak tahu malu! Buang saja pakaian pelajar itu, ganti pakaian penjahat!"

Siucai itu terkejut dan memandang kepada dara itu dengan muka merah, dan Panglima Jayin tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Yu-siucai, dengarkan suara seorang dara sederhana yang jauh lebih gagah daripada engkau. Ha-ha-ha! Terima kasih, Nona. Engkau sungguh patut dikagumi, dan aku akan mati gembira mengenangkan seorang dara yang gagah seperti engkau!"

Siang In tersenyum dan dia tidak takut lagi kini. Pada saat itu, dua orang tadi datang lagi dan berkata, "Pesta sudah dimulai, Yu-taijin diminta menghadiri pesta dan para tawanan diperbolehkan nonton dan ikut bersenang-senang sebelum diambil keputusan hukuman mereka. Demikian pesan Ong-ya."

Yu-siucai mengangguk. "Hemm, kalian masih bernasib baik. Raja kami sedang bergembira dan tidak ada nafsu melihat darah musuh-musuhnya. Giring mereka ke sana!"

Kembali dua belas orang pasukan menggiring tujuh orang tawanan itu menuju ke ruangan besar dan luas di mana telah terdengar suara riuh rendah orang berpesta. Kiranya pada waktu itu, Raja Tambolon sedang merayakan hari pernikahannya dan pesta besar dirayakan. Ruangan yang luas itu penuh dengan para tamu, akan tetapi tamu-tamu itu terdiri dari orang-orang yang kasar dan liar. Suasana pesta di situ kacau-balau dan sama sekali tidak teratur dan sebagian sudah mabok. Dan hampir di setiap meja di "hias" dengan perempuan-perempuan cantik yang bermacam-macam sikapnya. Ada yang genit dan agaknya sudah mahir melayani orang-orang besar itu, ada yang kelihatan berduka dan takut-takut, akan tetapi semuanya berpakaian mewah dan berbedak tebal. Mereka ini adalah wanita-wanita rampasan yang telah dijadikan alat hiburan secara paksa oleh Tambolon dan kaki tangannya, dan kini mereka dikerahkan untuk menemani dan menghibur para tamu!

Siang In memandang dengan cemas, dan diam-diam Kian Bu juga muak menyaksikan keadaan di situ. Tanpa aturan sama sekali! Ada yang berkeliaran ke sana-sini, dan ada yang mengadu kekuatan minum sampai ada yang muntah-muntah. Ada pula yang mengadu kekuatan pergelangan tangan, dirubung dan disoraki dengan bising, ada pula yang sedang menggeluti seorang wanita. Tawa dan kekeh terdengar memenuhi udara, bercampur dengan bau keringat dan arak dan mulut busuk! Di sudut kiri terdapat para pemain musik dan para penyanyi yang suaranya sudah mulai serak dan sumbang karena diloloh minuman keras oleh para tamu yang merubung tempat hiburan ini, agaknya mereka yang agak "nyeni" atau yang suka akan seni musik!

Tujuh orang tawanan itu digiring masuk terus ke tempat Tambolon untuk menghadap raja itu. Akan tetapi Tambolon sedang sibuk dan ketika Yu-siucai mendekatinya dan berbisik, raja itu hanya menoleh sebentar ke arah tawanan, kemudian menggeleng kepala dan menyuruh semua menunggu karena dia sedang sibuk menonton adu gulat yang berlangsung di ruangan itu. Memang adu gulat merupakan tontonan dan olahraga yang amat populer di daerah itu, dan Tambolon sendiri dahulu merupakan seorang ahli gulat nomor satu di daerahnya. Setelah dia belajar ilmu silat tinggi, tentu saja dia memandang rendah ilmu ini, akan tetapi dia masih suka menonton. Ramai sekali pertandingan adu gulat di gelanggang yang disediakan khusus itu dan banyak tamu yang suka akan tontonan ini mengepung tempat itu untuk menonton. Tambolon kini sudah tercurah seluruh perhatiannya kepada pertandingan itu lagi setelah tadi terganggu sebentar.

Kian Bu tetap memegang tangan Siang In sehingga empat tangan mereka yang pergelangannya terbelenggu itu tak pernah berpisah. Dia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tempat itu penuh orang, hampir kesemuanya orang-orang asing dan hanya sedikit saja orang-orang Han yang juga merupakan orang-orang kasar dari golongan hitam. Banyak pula kepala-kepala suku yang mendapat tempat kehormatan akan tetapi juga kini bercampur menjadi satu menonton apa saja yang disukai mereka di dalam pesta awut-awutan itu. Dari bentuk tubuh mereka yang tegap dan tinggi besar, dengan otot-otot yang membelit-belit seperti tali kuat, dapat dimengerti bahwa mereka itu rata-rata adalah orang-orang kasar, tukang-tukang berkelahi yang kuat dan berani. Kian Bu agak gentar hatinya, mengingat bahwa dia harus melindungi Siang In. Dia melirik ke arah lima orang tawanan dari Bhutan itu, dan kebetulan Panglima Jayin memandangnya. Mereka saling tersenyum dan Kian Bu kagum sekali. Panglima ini benar-benar amat gagah berani dan tenang. Dia menarik Siang In, mendekati panglima itu, lalu berbisik, "Agaknya engkau mencari Syanti Dewi?"

Panglima Jayin terkejut sekali, terbelalak dan mengangguk.

"Dia berada di istana kaisar, di kota raja," Kian Bu berbisik lagi lalu menjauh karena khawatir kalau didengar orang lain.

Panglima itu mengangguk-angguk dan kelihatan girang. Panglima yang setia ini memang merasa girang sekali. Dia sendiri terancam bahaya, namun hal itu bukan apa-apa baginya dan mendengar bahwa puteri yang dicarinya sudah berada di tempat aman, di istana kaisar, tentu saja dia merasa lega dan girang.

Kini Kian Bu memperhatikan Tambolon. Raja itu kelihatan menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar dan matanya yang terbelalak lebar, mulut besar menyeringai dan kedua tangannya bergerak-gerak mengikuti gerakan kedua orang pegulat yang sedang bertanding. Raja itu kelihatan amat tertarik sehingga tidak peduli akan keramaian di sekitarnya. Di sebelah kirinya duduk pengantin perempuan yang selalu menundukkan mukanya yang tertutup tirai halus, dan kelihatan pengantin ini lesu dan lemas. Di belakang agak ke samping, berdiri seorang yang memakai pakaian perang dan Kian Bu mengenalnya sebagai pengawal Tambolon yang lihai, yaitu Si Petani Maut Liauw Kwi! Dan di sebelah pengantin perempuan, agak jauh dan menyendiri, seperti mengantuk dan malas, duduk seorang nenek tua yang berkulit kehitaman, memakai pakaian sutera hitam yang hanya dilibat-libatkan di seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke kepalanya. Melihat sepasang mata nenek yang mengantuk itu, sinar mata yang tajam seperti sepasang mata ular, Kian Bu terkejut sekali. Dia dapat mengenal orang berilmu seperti yang pernah didengar dari ayahnya. Melihat sinar mata itu mungkin sekali nenek ini pandai ilmu sihir! Dan dugaannya berdasarkan penuturan

ayahnya memang benar. Nenek itu adalah guru dari Tambolon, seorang yang datang dari Pegunungan Himalaya, dari daerah See-thian (India) yang tinggi ilmu silatnya dan mahir ilmu sihir!

Jantung Kian Bu berdebar. Keadaannya sulit dan berbahaya! Dia harus melindungi Siang In, dan terutama sekali dia harus berhati-hati menghadapi Tambolon, Petani Maut, Yu-siucai, dan nenek itu! Di samping itu masih ada ratusan orang liar yang kelihatan kuat-kuat. Baru dua orang pegulat yang sedang berlaga itu saja sudah amat hebat. Tubuh mereka yang telanjang dan hanya memakai cawat, seperti tubuh dua ekor gajah. Otot-otot mereka menggelembung dan mengeluarkan bunyi berkerotan ketika mereka mengadu kekuatan otot, berusaha untuk saling membanting. Sungguh dia berada di tengah-tengah jagoan-jagoan yang tak boleh dipandang ringan!

Tiba-tiba Kian Bu tersentak kaget. Ada suara orang mendengkur di belakangnya. Di tengah-tengah orang hiruk-pikuk berpesta-pora ini, masih ada yang tidur mendengkur. Gila! Mendengkur? Dia bergidik dan teringat akan sesuatu, cepat menoleh dan.... terbelalak dia memandang kepada seorang kakek berambut putih semua yang tidur mendengkur di atas sebuah kursi, tepat di belakangnya! Tangan kakek itu masih memegang sebuah guci arak yang menetes-netes araknya. Agaknya dia mabok dan tertidur. Akan tetapi Kian Bu ingat benar bahwa di belakangnya tadi tidak ada apa-apa, tidak ada kursinya, apalagi kakek yang tertidur mendengkur. Hatinya tergetar. Betapa lihainya kakek ini! Dan dengan hadirnya kakek ini sebagai lawan, makin beratlah keadaannya. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Tempat ini menjadi sarang orang-orang pandai.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dari mereka yang menonton adu gulat, setelah terdengar suara berdebuk keras. Kiranya seorang di antara pegulat itu dapat dibanting keras dan tentu saja kalah dengan tulang punggung remuk!

Tambolon agaknya menjagoi yang menang, buktinya dia bersorak-sorak dan menjadi girang sekali.

"Si Bolohok menang! Ha-ha-ha, sudah kuduga. Kaulihat, isteriku, jagoanku menang. Hayo minum untuk kegembiraan ini!" Tambolon melihat pengantin wanita menggeleng kepala, akan tetapi dia memaksa, tangan kanan memegang cawan arak, tangan kiri membuka kerudung yang menutupi muka pengantin wanita. Kian Bu melihat wajah seorang wanita yang cantik!

"Enci Siang Hwa....!" Tiba-tiba Siang In yang berdiri di sampingnya menjerit ketika kerudung muka pengantin wanita itu dibuka, dan dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, lari ke arah encinya yang juga sudah melihatnya.

"Adikku....!" Pengantin wanita juga menjerit dan menangis.

Jarak antara mereka agak jauh dan semua orang tercengang mendengar jerit dua orang gadis itu dan memandang bengong. Pengantin wanita dengan kerudung terbuka, bangkit berdiri mengembangkan kedua tangan, sedangkan dara remaja yang terbelenggu kedua tangannya itu lari terhuyung menghampirinya sambil menangis juga.

Melihat ini, Yu Ci Pok yang sejak tadi menjaga para tawanan, meloncat untuk menangkap Siang In. Akan tetapi, loncatannya gagal karena dia merasa seperti ada sesuatu yang mengait kakinya sehingga dia terperosok ke depan. Akan tetapi siucai ini memang lihai sekali, dengan berjungkir-balik dia dapat mematahkan bantingan itu dan tubuhnya mencelat ke depan. Dia berhasil menyambar lengan Siang In, akan tetapi karena gerakannya tidak wajar lagi oleh gangguan hebat tadi, tidak urung dia terhuyung dan menabrak meja di depan Tambolon sehingga meja itu terbalik dan arak serta hidangan makan tumpah semua. Tentu saja keadaan menjadi kacau dan geger!

"Siang In....!" Pengantin wanita itu kini memegang tangan adiknya dan mereka berpelukan, akan tetapi Tambolon yang menjadi marah dengan gangguan itu, menarik tangan pengantinnya. Yu Ci Pok yang merasa kaget membikin terbalik meja junjungannya, lalu menyelinap di antara orang banyak untuk mencari orang yang telah menjegal kakinya tadi. Saking marahnya, siucai ini lupa akan para tawanannya.

Kian Bu yang memperhatikan semua itu, kini melihat betapa kakek yang tadi menjegal kaki Yu Ci Pok, kini dengan gerakan cepat menghampiri lima orang Bhutan dan begitu jari-jari tangannya meraba, belenggu-belenggu lima orang itu patah semua. Kakek itu menghampiri dia, mengulur tangan ke arah belenggu yang mengikat kedua tangan Kian Bu dan.... kakek itu terbelalak dan mengeluarkan suara "huhh!" ketika melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda itu menggerakkan kedua tangan dan belenggu itu patah-patah!

"Enci.... kenapa engkau menjadi begitu....?"

"Adikku.... aku.... aku dipaksa...."

"Bocah lancang, kau bosan hidup!" Tambolon menjadi marah sekali dan mengangkat tangan hendak memukul Siang In. Melihat ini, Kian Bu menjadi merah mata dan mukanya, darahnya naik dan perutnya terasa panas. Lengkingan yang tinggi nyaring mengejutkan semua orang dan menambah kekacauan keadaan, bahkan di antara orang-orang tinggi besar dan bertubuh kuat itu ada yang terguling dan menutupi telinganya, ada yang menekan dadanya karena suara melengking yang keluar dari mulut Kian Bu itu adalah

pengerah khi-kang sakti dari Pulau Es, suara yang mengandung getaran hebat sehingga dapat memecahkan anak telinga dan melumpuhkan jantung! Dengan kemarahan meluap, Kian Bu meloncat ke atas, melewati kepala banyak orang dan melesat ke arah Tambolon sambil menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang sekuatnya. Tenaga Inti Salju yang amat hebat ini mendatangkan hawa dingin yang amat luar biasa sehingga beberapa orang yang tersentuh hawa ini menggigil kedinginan, sampai gigi mereka berkerutukan seperti orang menderita sakit demam!

Mendengar lengking tadi, Tambolon terkejut dan sudah mengurungkan pukulannya terhadap Siang In. Kini lebih kaget lagi melihat seorang pemuda melayang datang dan menghantam dengan pukulan yang membawa hawa dingin amat dahsyatnya itu.

Dari belakang raja itu, Petani Maut yang mengenal serangan dahsyat, sudah bergerak, meloncat ke depan, tangannya masih memegang sebuah guci arak penuh yang tadi hendak digunakan mengisi cawannya. Guci arak yang penuh itu kini dia pergunakan untuk menyambut hantaman Kian Bu yang dahsyat itu.

"Pyaaaarrrr....!"

Petani Maut terhuyung ke belakang dan menggigil kedinginan. Tambolon juga terbelalak melihat betapa guci itu pecah berkeping-keping dan araknya berhamburan ke mana-mana, sebagian menjadi butiran-butiran es karena beku oleh hawa mujijat dari Swat-im Sin-kang! Menyaksikan kelihaian pemuda ini, Tambolon cepat berteriak kepada para pembantunya untuk mengepung dan mengeroyok. Gegerlah keadaan pesta itu. Kian Bu mengamuk dikeroyok oleh banyak jagoan-jagoan kaki tangan Tambolon. Panglima Bhutan dan empat orang pembantunya yang telah dibebaskan dari belenggu oleh kakek berambut putih tadi, kini juga mengamuk dan berusaha untuk mencari jalan keluar. Akan tetapi, tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh anak buah Tambolon sehingga seperti juga Kian Bu, mengamuklah Panglima Jayin dan empat orang pembantunya. Pertandingan hebat, mati-matian dan kacau terjadilah di tempat itu. Medan pesta berubah menjadi medan pertempuran. Para tamu yang sudah mabok ada yang ikut-ikut mengamuk, akan tetapi mereka ini roboh sendiri tanpa diserang karena berdiri pun mereka ini sudah tidak mampu tegak lagi. Ada pula tamu mabok yang enak-enak bernyanyi, ada yang memeluk wanita tanpa mempedulikan segala keributan itu. Pendeknya, tempat itu menjadi kacau-balau sama sekali.

Keributan menjadi makin kacau dan hebat, ketika ada minyak mengalir di bawah bangku dan meja yang berserakan dan tak lama kemudian minyak bakar ini disambar api yang dilepas oleh kakek berambut putih dengan membantingkan sebuah lentera ke atas lantai yang berminyak. Ruangan itu mulai dimakan api yang bernyala besar dan hawa menjadi panas bukan main. Gegerlah semua orang yang sedang bertempur itu. Amukan api yang hebat membuat mereka lupa akan pertempuran, lupa akan lawan karena api merupakan lawan dan bahaya yang lebih hebat lagi. Larilah semua orang berserabutan menuju ke pintu dan berjejal-jejal dalam usaha mereka untuk keluar dari pintu karena api yang menjilat minyak itu berkobar tinggi dan sudah menjilat atap!

Melihat bahaya maut dari api yang mengamuk ini, Tambolon cepat menoleh dan menyambar ke arah pengantinnya. Ketika tangannya bergerak hendak menangkap lengan Teng Siang Hwa yang kini berpelukan dengan adiknya, dalam keadaan takut dan memandang ke arah pertempuran yang bubar oleh amukan api, Siang Hwa cepat mengelak dan gerakannya ini menyeret adiknya sehingga mereka terhuyung dan terpisah.

"Hayo kita pergi dari ruangan ini!" Tambolon berseru dan kembali tangannya menyambar dan sekali ini agaknya Siang Hwa tidak akan dapat mengelak lagi.

"Dukkkk....!" Tambolon terkejut dan terhuyung. Ketika dia memandang, ternyata seorang kakek berambut putih telah berdiri di depannya.

Suara hiruk-pikuk terdengar dan ada bagian atap yang roboh termakan api. Sebatang balok kayu bernyala jatuh menimpa ke dekat mereka. Kakek itu menjadi terhalang dan tidak dapat melindungi Siang Hwa. Akan tetapi melihat Tambolon yang melompat ke samping menghindarkan diri dari timpaan balok sambil berusaha menubruk pengantinnya, kakek itu menggerakkan tangan kanannya mendorong ke arah Tambolon. Itulah pukulan jarak jauh yang dahsyat. Tambolon kembali tertahan gerakannya dan merasa ada hawa

menyambar dia lalu menangkis. Api makin membesar dan asap membuat mata Tambolon menjadi pedas dan panas. Maka dia lalu menubruk ke depan, akan tetapi karena dia melakukan ini dengan sebagian perhatian ditujukan kepada Si Kakek, dan matanya juga hampir terpejam karena panas dan pedas, dia salah tubruk dan yang tertangkap dan cepat ditotoknya itu bukannya Siang Hwa melainkan Siang In, adik Si Pengantin Wanita. Akan tetapi Tambolon agaknya tidak peduli lagi dan cepat dia memanggul tubuh Siang In yang lemas tertotok itu di atas pundak kanannya dan dia meloncat dan lari dari ruangan yang terbakar itu melalui sebuah pintu rahasia.

Api mengamuk makin ganas dan makin banyak bagian atap ruangan itu yang ambruk. Kini mulailah penduduk perkampungan bajak atau anak buah Tambolon itu menggunakan air untuk mencoba memadamkan api yang mulai menjilat-jilat dan menjalar ke mana-mana. Asap hitam bergulung-gulung, memenuhi tempat itu, menghalangi pandangan dan menyesakkan napas. Kekacauan ini memberi kesempatan baik sekali kepada Kian Bu dan lima orang Bhutan itu untuk melarikan diri karena semua orang lebih memperhatikan amukan api daripada para tawanan itu. Bahkan agaknya tidak adalagi yang peduli akan tawanan-tawanan itu karena semua orang kini sibuk berusaha memadamkan api yang telah membakar habis ruangan pendopo tempat pesta tadi. Dengan suara gemuruh ambruklah ruangan pesta yang luar biasa itu, berikut bangunan-bangunan di dekatnya, terbakar menjadi arang dan abu. Akhirnya api dapat dipadamkan setelah puas menghabiskan tempat itu, dan tawanan telah lolos! Lenyap semua tawanan-tawanan itu dan juga pengantin wanita.

Tambolon marah-marah, mencak-mencak karena sekali ini dia menderita rugi besar. Sebagian bangunan gedungnya musnah, para tawanan lolos dan pengantinnya kabur! Beberapa orang anak buahnya ada yang tewas dimakan api, ada pula yang luka-luka. Setelah dia melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan, dia lalu berlari keluar dan teringatlah dia akan gurunya, nenek dari India itu. Kemana perginya gurunya itu? Mengapa tidak kelihatan keluar dari ruangan yang terbakar?

Tambolon keluar dan menenangkan para tamu yang cerai-berai itu, dan berkata, "Harap para tamu jangan pergi dulu, pesta akan dilanjutkan di taman bunga! Kebakaran ini tidak akan menghalangi kita bersenang-senang!" Para tamu bersorak-sorai gembira dan semua menuju ke taman di mana mulai diatur oleh para anak buah Tambolon, sedangkan Tambolon sendiri bersama dua orang pengawalnya menuju ke puing bekas ruangan tadi untuk mencari nenek yang menjadi gurunya. Nenek itu amat lihai dan sakti, akan tetapi memang sudah agak pikun. Jangan-jangan gurunya itu keenakan melamun sehingga dimakan api, atau bisa jadi juga gurunya itu melakukan pengejaran terhadap para tawanan dengan pembantu mereka yang lihai, yaitu pemuda tampan itu dan Si Kakek berambut putih!

Tambolon dan dua orang pengawalnya menghadapi tumpukan abu dan kayu-kayu yang menjadi arang, yang merupakan puing menggunung. Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh dan tumpukan debu arang dan kayu itu berhamburan dan muncullah Si Nenek guru Tambolon itu sambil tertawa-tawa dan dalam keadaan segar bugar, hanya kotor penuh debu. Tidak ada luka, tidak ada yang terbakar pada tubuh nenek itu, dan sedikit pun tidak kelihatan dia kepanasan ketika dia melangkah dan menginjak sisa-sisa api

yang masih membara itu dengan enaknya. Para anak buah Tambolon yang sejak nenek itu datang memandang rendah nenek tua renta itu dan hanya menghormatinya karena Tambolon mengakui sebagai gurunya, kini terbelalak memandang kagum dan ngeri. Nenek ini seperti bukan manusia biasa tampaknya!

Tambolon cepat menyongsongnya dan bertanya, "Subo (Ibu Guru) tidak apa-apa?"

Nenek itu tertawa, hanya mulutnya saja yang terbuka dan memperlihatkan lubang yang dalam dan tanpa ada giginya, hanya nampak gelap saja, tidak ada terdengar suara ketawa, "Aku sedang melamun, tahu-tahu atap runtuh dan aku tertimpa. Mana dia si bocah tua bangka itu?" Matanya yang kecil penuh keriput di seputarnya itu memandang ke kanan kiri, mencari-cari. "Mana bocah gila itu? Dia selalu mengikuti dan mengganggu aku!"

"Siapakah yang Subo cari?" Tambolon bertanya.

"Siapa lagi kalau bukan See-thian Hoat-su? Aku tahu betul bahwa tadi dia datang dan kaukira siapa yang menimbulkan kebakaran kalau bukan dia? Sayang aku tadi sedang melamun, kalau tidak sudah kutangkap dia!"

Tambolon terkejut mendengar nama See-thian Hoat-su itu. Dia belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi dia tahu bahwa See-thian Hoat-su adalah bekas suami gurunya ini. Menurut cerita gurunya yang pernah didengarnya, gurunya itu dahulu mempunyai seorang suami, seorang bangsa Han yang di waktu mudanya merantau ke India dan berguru kepada ayah nenek itu untuk belajar ilmu sihir. Nenek itu pun masih muda dan mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri. Akan tetapi makin tua makin tidak cocoklah mereka dan seringkali mereka bercekcok sampai bertanding ilmu. Dalam hal ilmu silat, Si Suami lebih pandai, akan tetapi menghadapi ilmu sihir isterinya yang lebih lihai daripadanya, See-thian Hoat-su (Ahli Sihir dari Dunia Barat) ini merasa tobat sehingga akhirnya dia meninggalkan isterinya, kembali ke pedalaman.

Nenek itu sendiri setelah amat terkenal dan disebut Durganini, seolah-olah dia adalah titisan atau penjelmaan Dewi Durga, isteri dari maha dewa yang menjadi kepala dari bangsa iblis! Tambolon berguru kepada Durganini setelah nenek itu berpisah dari suaminya.

Tambolon teringat akan kakek rambut putih yang dilihatnya muncul tiba-tiba di waktu keadaan kacau-balau tadi. "Ah, kakek rambut putih itukah See-thian Hoat-su?"

"Kalau dia muncul lagi, cepat beritahu agar dapat kucengkeram tengkuknya!" Nenek itu berkata sambil berjalan ke kamarnya dan meneriaki pelayan agar datang membawa air, memandikannya dan mengganti pakaiannya.

Pesta itu dilanjutkan juga pada malam harinya. Para tamu dijamu lagi di ruangan belakang, tidak kalah meriahnya dengan sebelum terjadi keributan, dan kini pengantin wanita telah digantikan tempatnya oleh Siang In! Dara remaja ini tidak berdaya karena ditotok dan dipaksa duduk bersanding dengan Tambolon di dalam ruangan itu! Pesta berlangsung dengan penuh kegembiraan dan gila-gilaan. Setelah merasa puas minum dan menjamu para tamunya, Tambolon yang sudah mulai mabok itu, timbul kegembiraannya melihat bahwa dara pengganti pengantinnya itu ternyata tidak kalah cantiknya dengan kakaknya yang telah melarikan diri! Maka sambil tersenyum dia lalu memanggul tubuh "pengantinnya" itu dan di bawah sorak dan tawa para tamu yang masih belum pulang, Tambolon membawa pengantinnya itu pergi dari dalam ruangan dan terus menuju ke dalam kamar pengantin yang sudah terhias meriah dan berbau harum karena disiram minyak wangi dan dibakari dupa wangi! Siang In terkejut dan ketakutan, akan tetapi karena dia sudah ditotok lumpuh, dia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terbelalak seperti seekor kelenci yang diterkam harimau.

Tambolon sebenarnya bukanlah seorang yang mata keranjang atau gila wanita. Akan tetapi, dia mempunyai kepercayaan bahwa dia akan "awet muda " dan dapat menggunakan ilmunya untuk memindahkan kemurnian seorang gadis kepada tubuhnya sehingga memperkuat tenaga mujijatnya jika dia memperoleh seorang gadis, maka raja liar yang berilmu tinggi ini di mana-mana selalu mencari korban seorang gadis. Dia tidak pernah jatuh cinta dan setiap kali mendapatkan seorang perawan, setelah dipermainkannya paling lama sepekan saja lalu "dioperkan" kepada para pembantunya untuk menyenangkan hati para pembantunya itu. Tentu saja setelah dia menyedot hawa murni dari gadis korbannya itu untuk memperkuat dirinya. Dia tidak pernah mempunyai isteri dan karena kepandaiannya yang tinggi dan bantuan para kaki tangannya, amat mudah bagi Tambolon untuk di mana saja mencari perawan untuk menjadi korbannya. Betapapun juga, tentu saja untuk membangkitkan berahinya, dia selalu memilih wanita yang cantik.

Ketika Siang Hwa membawa bahan-bahan obat untuk dijual ke kota, dia bertemu dengan serombongan kaki tangan Tambolon yang dipimpin oleh Si Petani Maut. Melihat gadis cantik ini, Petani Maut yang memang sudah dipesan oleh Tambolon untuk mencarikan "isteri" lalu menangkapnya dan perlawanan Siang Hwa percuma saja. Tambolon yang baru saja kehilangan pasukannya dan sedang berusaha untuk menghimpun tenaga, lalu menggunakan kesempatan memperoleh "isteri" baru itu untuk mengundang para pimpinan suku bangsa liar di utara mengadakan perjamuan untuk menyenangkan hati mereka. Pesta pernikahan itu hanyalah alasan saja, karena yang penting baginya adalah menyenangkan hati calon-calon pembantu dan sekutunya itu dan ke dua memperoleh korban seorang perawan baru.

Demikianlah, dengan wajah berseri sungguhpun tadi dia marah-marah karena gangguan di dalam pesta sehingga terjadi kebakaran, kini Tambolon memanggul tubuh Siang In. Dengan kasar dia membentak para pelayan dan penjaga di depan kamarnya agar pergi, kemudian dia berkata kepada Siang In, "Heh-heh, manis, sekarang kita hanya berdua saja, jangan kau bersikap malu-malu lagi...."

"Jahanam, iblis keji, anjing babi hina dina! Kaubunuhlah saja aku....!" Siang In memaki-maki dengan suara serak karena sudah sehari penuh dia memaki-maki tadi. Kalau saja kaki tangannya tidak menjadi lumpuh ditotok secara istimewa oleh Tambolon, tentu dia sudah mengamuk atau membunuh diri.

"Heh-heh-heh, sayang kalau dibunuh, kau begini segar dan muda!" Tambolon menendang daun pintu kamarnya terbuka, lalu melangkah masuk ke dalam kamar.

"Heh-haaaa?" Dia terbelalak dan terheran-heran memandang ke dalam karena di tengah kamarnya, seperti seorang dewi dari kahyangan, berdiri seorang wanita yang cantik dan menyala pakaiannya, dengan gelung rambut tinggi dihias emas mutiara, jubahnya merah dan pakaiannya ketat membayangkan tubuh yang penuh tantangan, akan tetapi wanita ini berdiri sambil bertolak pinggang, sikapnya gagah dan sebatang pedang tergantung di punggungnya!

"Eh, Nona cantik, siapa kau....?" Tambolon benar-benar terkejut dan kagum sekali. Wanita yang berdiri di dalam kamarnya itu biarpun tidak semuda gadis remaja yang dipanggulnya, akan tetapi cantik menarik dan penuh daya pikat, dengan tubuh yang sudah matang!

"Ta mbolon, kaubebaskan bocah itu."

"Kenapa?" Tambolon bertanya. "Dan siapakah kau?"

"Hi-hik, kalau kau tidak keburu melarikan diri ketika pasukanmu dihancurkan di Koan-bun, tentu engkau telah bertemu dengan aku. Suheng Hek-tiauw Lo-mo dan aku Mauw Siauw Mo-li yang memimpin pasukan pemberontak menghancurkan pasukan itu!"

"Ahhhh....!" Tambolon terkejut dan cepat melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan sambil berkata, "Manis, kautunggu sebentar di situ!" Kemudiah dia menghadapi wanita itu dan memandang dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Hek-tiauw Lo-mo yang hebat dan kiranya wanita ini adalah adik seperguruan tokoh itu.

"Jadi begitukah? Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya menentang Tambolon?"

"Tambolon, semua itu adalah salahmu sendiri. Mula-mula engkau membantu Pangeran Liong, seperti juga kami, akan tetapi siapa suruh engkau berkhianat dan malah menyerang pasukan Pangeran Liong? Sehingga terjadi saling serang dan akhirnya kita semua dihancurkan oleh pasukan pemerintah! Sekarang kita semua telah gagal, dan kedatanganku bukan karena urusan kegagalan itu, melainkan untuk minta Nona ini."

Tambolon mengangguk-angguk. Memang dia telah sadar bahwa dia telah dipancing oleh Lu Ceng dan Topeng Setan! Juga tidak baik kalau dia harus memusuhi Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya ini. Dengan orang-orang seperti itu jauh lebih baik bersekutu daripada bermusuhan, dan dia sedang membutuhkan banyak tenaga bantuan untuk menghimpun kekuatan baru. Maka dia lalu tertawa.

"Ha-ha-ha, Mauw Siauw Mo-li sungguh enak saja bicara. Engkau tahu bahwa nona ini telah menjadi isteriku, bagaimana mungkin akan kau minta begitu saja?" Dia lalu melanjutkan setelah menjelajahi tubuh wanita cantik itu dengan pandang matanya. "Kalau kau hendak mengambil dia, apakah engkau akan menggantikan dia menemaniku malam ini? Ha-ha-ha!"

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. "Menemanimu saja bukan merupakan keberatan bagiku, Tambolon. Akan tetapi aku perlu nona ini sekarang, dan kalau kau memberikannya baik-baik, kelak masih belum terlambat bagiku untuk berkunjung dan menemanimu beberapa malam. Akan tetapi sekarang aku tidak ada waktu lagi, dan biarkan aku pergi membawa nona itu."

"Kalau aku menolak?"

"Hi-hik, engkau tentu tahu bahwa kami kakak beradik seperguruan tidak biasa dibantah!"

Tambolon tersenyum. Baginya, mendapatkan Siang In atau tidak bukanlah merupakan hal yang amat penting. Masih banyak perawan yang bisa didapatkan pada malam itu juga dan berapa banyak pun. Dan sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ini amat cantik, pula kalau dia dapat bersekutu dengan Hek-tiauw Lo-mo melalui wanita ini, hal itu akan memperkuat kedudukannya. Akan tetapi dia adalah seorang raja, selain amat merendahkan kalau dia harus menurut perintah wanita itu begitu saja, juga sebagai seorang yang berilmu tinggi dia ingin sekali mencoba kepandaian wanita yaang mengaku sebagai sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo.

"Bagus, Mauw Siauw Mo-li, aku pun ingin sekali mencoba apakah kepandaianmu juga sehebat kecantikanmu. Sambutlah!" Tambolon lalu meloncat ke depan mengirim serangan dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah pundak wanita cantik itu.

"Hemm, bagus....!" Wanita itu dengan gerakan yang amat lincahnya sudah mengelak ke kiri. Mauw Siauw Mo-li bukan tidak tahu bahwa raja orang liar ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, dan dia pun tahu pula bahwa Tambolon mempunyai pembantu-pembantu yang lihai dan dia telah memasuki sarang naga yang berbahaya. Maka sambil meloncat, dia terus mencelat ke arah pembaringan dan di lain saat dia telah berhasil menyambar tubuh Siang In yang dikempit oleh lengan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebuah benda kecil. Benda itu berbentuk dos kecil tempat yanci (alat pemerah pipi). Melihat wanita memegang yanci, Tambolon tertawa dan tentu saja tidak menduga apa-apa, terus menubruk ke depan. Akan tetapi wanita itu membawa Siang In meloncat keluar kamar melalui jendela sambil menyambitkan dos kecil itu ke arah Tambolon. Raja yang liar ini cukup cerdik. Biarpun benda itu hanya dos kecil, namun dia menjadi curiga dan cepat melompat jauh menghindari sambil bertiarap.

"Darrr....!" Seperti yang telah dikhawatirkan oleh Tambolon, benda kecil yang kelihatan tidak berarti itu kiranya adalah sebuah senjata rahasia peledak yang amat hebat kekuatannya. Meja kursi dan pembaringan di dalam kamar itu hancur berantakan dan kalau saja Tambolon tidak bertiarap, tentu dia dapat terluka pula. Dia menjadi kagum akan tetapi juga marah. Wanita itu memang patut dijadikan sekutu, akan tetapi telah terlalu menghinanya, maka dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan minta bantuan gurunya untuk melakukan pengejaran. Karena Mouw Siauw Mo-li sudah berlari jauh dan berlindung di kegelapan malam bersama Siang In, maka dengan hati mendongkol Tambolon lalu mengirim pasukan untuk mengejar terus.

Siang In tadinya marah sekali ketika melihat Mauw Siauw Mo-li, karena wanita pesolek itulah yang telah mencuri kitab catatan peninggalan ayahnya. Akan tetapi ketika melihat wanita itu menolongnya dan melarikannya dari kamar Tambolon, dia merasa heran dan juga bersyukur sekali, sungguhpun dia menduga bahwa perbuatan wanita itu tentu mengandung pamrih sesuatu. Seorang yang berwatak palsu seperti wanita ini, yang diterimanya sebagai tamu dengan ramah kemudian malah mencuri kitab seperti maling, tidak mungkin mengenal perbuatan baik. Di balik pertolongannya melarikan dia dari tangan Tambolon pasti bersembunyi keinginan lain demi kepentingan dirinya sendiri.

Mauw Siauw Mo-li membebaskan totokannya dan Siang In kini berjalan di sampingnya di dalam kegelapan malam, melalui pegunungan yang hanya disinari cahaya bulan muda dan bintang-bintang di langit.

"Setelah mencuri kitab, engkau ini pura-pura menolongku ada keperluan apa?" Siang In menegur, akan tetapi tidak menghentikan kakinya yang berjalan mengikuti wanita itu karena dia maklum bahwa Tambolon dan anak buahnya tentu melakukan pengejaran.

"Kitab itu? Nih, kau boleh terima kembali!" Mauw Siauw Mo-li menyerahkan kitab kuno kecil kepada Siang In. Dara ini makin heran akan tetapi menerima kitab itu dan disimpannya di saku baju dalamnya. Kitab itu sebetulnya tidak lagi berguna bagi dia atau kakaknya karena mereka telah hafal akan isinya, dan mereka menyimpannya hanya sebagai barang pusaka peninggalan ayah mereka.

"Engkau seorang yang aneh sekali. Engkau tadi menyebutkan nama julukanmu Mauw Siauw Mo-li? Apakah artinya semua perbuatanmu ini? Mula-mula engkau mengunjungi aku, mencuri kitab ini, sekarang engkau bersusah payah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon lalu mengembalikan kitab. Sebetulnya, apakah kehendakmu?"

Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, lalu berkata, "Engkau puteri mendiang Yok-sian, sayang kalau sampai menjadi makanan Tambolon yang rakus! Dan, eh adik kecil yang baik, siapa namamu?"

"Aku Teng Siang In."

"Adik Siang In, sebagai keturunan orang pandai, engkau tentu mengutamakan balas budi. Engkau tentu tahu bahwa tanpa aku yang melarikanmu dari tangan Tambolon, saat ini engkau sudah mengalami hal yang amat menyenangkan hati Tambolon akan tetapi yang bagi dirimu merupakan penghinaan yang akan terasa seumur hidupmu. Engkau akan sudah diperkosa, menderita penghinaan berkali-kali sampai kau tidak kuat menahan dan mati, dalam keadaan hina dan mengerikan. Nah, kau mengakui adanya pertolonganku ataukah tidak?"

Mendengar ucapan itu, Siang In membayangkan apa yang dapat menimpa dirinya itu dan dia bergidik ngeri. Akan tetapi dia seorang dara yang cerdik, dan setelah terbebas dari ancaman bahaya maut di tangan Tambolon, kini dia pun tidak takut lagi menghadapi bahaya baru dan dia menjawab, "Mo-li, lebih baik katakan saja terus terang, apa yang kau kehendaki dari aku setelah kitab yang kaucuri ini agaknya tidak ada gunanya bagimu."

"Hi-hik, engkau lumayan juga, engkau cerdik! Nah, lebih baik aku berterus terang saja." Dia berhenti di bawah pohon kecil dan duduk di atas batu, Siang In berdiri di depannya. "Terus terang saja, aku menderita keracunan di sebelah dalam darahku. Hal ini terjadi ketika aku mencuri mempelajari ilmu pukulan beracun dari kitab milik suhengku. Sebelum sempurna aku mempelajarinya, suhengku tahu akan hal itu dan dia merampas kembali kitab itu sehingga aku tidak dapat melanjutkan latihanku. Karena tidak ada lagi petunjuknya, hawa beracun yang sudah terkumpul itu tidak dapat kusalurkan dan mulai meracuni diriku sendiri. Aku telah minta tolong Suheng, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi suhengku itu memang orang kejam! Dia malah menyukurkan, bilang bahwa itu hukumannya seorang yang mencuri pelajaran orang lain. Huh, seperti aku tidak tahu saja bahwa dia pun mencuri kitab itu dari Dewa Bongkok! Akan tetapi untuk memaksanya, aku tidak berani karena dia lihai sekali. Nah, aku

mendengar bahwa tokoh pengobatan yang paling pandai adalah Yok-sian, ayahmu. Sayang dia telah meninggal dunia, maka aku lalu mencuri kitab itu. Kiranya kitab itu hanya terisi catatan tentang nama-nama dan macamnya tetumbuhan obat, sama sekali tidak ada gunanya bagiku. Karena itu, Adik Siang In, aku menolongmu dan ingin minta bantuanmu agar engkau suka menerangkan, obat apa yang kiranya akan dapat menyembuhkan aku, karena engkau tentu telah mewarisi kepandaian itu dari ayahmu."

Siang In mengerutkan alisnya. "Sayang sekali, kepandaian pengobatan itu diwarisi enciku, dan aku hanya mengenal bahan-bahan obat saja. Akan tetapi, biar enciku sendiri kiranya tidak akan dapat menyembuhkan akibat racun yang menyerang dari dalam karena latihan yang salah. Ada suatu rahasia besar yang diketahui oleh enciku dan aku, dan karena engkau telah menyelamatkan aku, biarlah aku membuka rahasia itu kepadamu dan mungkin saja rahasia itu akan menjadi jalan penyembuhanmu."

Mauw Siauw Mo-li gembira sekali mendengar ini. "Rahasia apa itu yang akan mampu menyembuhkan aku? Lekas katakan!"

"Mendiang Ayah pernah bercerita kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, Ayah sendiri pernah mencoba untuk mendapatkan anak naga itu...."

"Anak naga? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!"

Karena merasa telah dihindarkan dari bahaya yang mengerikan di tangan Tambolon, Siang In lalu membuka rahasia seperti yang pernah dituturkan oleh mendiang ayahnya itu. Di sebuah telaga yang amat luas, yaitu Telaga Sungari yang jarang didatangi manusia, di sebelah barat Pegunungan Jang-kwan-cai, hidup seekor naga yang mungkin merupakan naga terakhir di dunia ini. Naga itu tidak pernah keluar dari dasar telaga yang amat dalam itu, dan hanya setiap sepuluh tahun sekali, pada permulaan musim semi, naga itu keluar dari dalam telaga, membawa anaknya yang baru menetas untuk menerima sinar matahari. Setiap sepuluh tahun sekali naga itu bertelur dan jarang sekali ada telurnya yang menetas, akan tetapi kalau ada yang menetas, anaknya lalu dibawa ke permukaan telaga untuk menghisap tenaga yang dari matahari. Nah, anak naga yang baru menetas itu merupakan mustika yang tak ternilai harganya, karena dapat dipergunakan untuk obat yang menyembuhkan segala macam penyakit, terutama keracunan. Juga bagi yang tidak menderita sakit, anak naga itu merupakan obat yang dapat membikin tubuh menjadi kuat dan kebal, dapat pula memperkuat tenaga sin-kang.

"Sekarang aku telah berusia lima belas tahun berarti sepuluh tahun telah lewat sejak naga itu muncul di permukaan air Telaga Sungari. Bulan depan adalah permulaan musim semi, maka kalau engkau mau pergi ke telaga itu dan dengan kepandaianmu engkau dapat merampas anak naga, jangankan baru keracunan di dalam darahmu, biar engkau sudah tiga perempat mati pun akan dapat disembuhkan."

Mauw Siauw Mo-li tertarik sekali. "Permulaan musim semi? Hanya kurang beberapa hari lagi...." Dia berhenti dan menatap wajah dara itu, menajamkan pandangan untuk menembus kegelapan remang-remang itu menyelidiki wajah Siang In. "Siang In, benarkah apa yang kauceritakan semua itu?"

Siang In cemberut. "Mo-li, engkau tadi menyebut-nyebut nama ayahku yang telah meninggal dunia. Apa kaukira aku sudi untuk mencemarkan nama baik ayahku dengan cara membohongimu? Betapapun juga, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon, dan sudah sepatutnya kalau kau kuberi tahu tentang anak naga itu agar engkau dapat mencari penyembuhan untuk darahmu yang keracunan."

"Bagus! Kalau ceritamu benar dan aku berhasil, kelak aku akan menghaturkan terima kasih ke lembah Pek-thouw-san di mana engkau tinggal. Akan tetapi kalau engkau membohong, aku pun akan datang ke sana dan engkau akan menerima hukuman yang lebih mengerikan daripada kalau engkau terjatuh ke tangan Tambolon." Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan lenyap. Siang In hanya mendengar suara lengking aneh seperti seekor kucing terinjak ekornya dari jauh. Dia bergidik. Pantas julukannya Siluman Kucing, pikirnya. Kemudian dia teringat bahwa dia ditinggalkan sendirian saja, sedangkan mungkin sekali pasukan Tambolon masih melakukan pengejaran, maka dia lalu melanjutkan perjalanan melarikan diri.

Siang In adalah seorang dara remaja yang sejak kecil hidup tenteram di lereng Gunung Pek-thouw-san, sebuah puncak di Pegunungan Jang-pai. Dia hidup bersama encinya, Siang Hwa dan biasanya dia hanya pergi ke hutan-hutan di sekitar pegunungan itu mencari bahan-bahan obat atau rempah-rempah yang banyak tumbuh di daerah itu. Kini, dia melakukan perjalanan mencari encinya, tentu saja dia kurang pengalaman dan dia sama sekali asing dengan daerah yang dilaluinya sekarang ini. Apalagi perjalanan pelarian itu dilakukan di malam hari, hanya diterangi bulan muda dan bintang-bintang, dalam keadaan gelisah karena dikejar pula, maka dia lalu melarikan diri secara ngawur. Sebaliknya, yang melakukan pengejaran dua rombongan. Rombongan pertama adalah pasukan yang melakukan pengejaran terhadap lima orang Bhutan, Kian Bu, dan Siang Hwa yang dapat melarikan diri lebih dulu ketika terjadi kebakaran. Rombongan ke dua adalah pasukan yang mengejar Mauw Siauw Mo-li dan Siang In. Yang pertama dipimpin oleh Si Petani Maut, sedangkan pasukan ke dua dipimpin oleh Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Pasukan-pasukan pengejar ini terdiri dari orang-orang Nomad yang sejak kecil hidup di daerah itu secara berpindah-pindah, tentu saja mereka mengenal baik daerah itu dan mereka dapat melakukan pengejaran dengan terarah dan mengepung serta memotong jalan-jalan di daerah itu.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada keesokan harinya, Siang In terkejut sekali mendengar derap kaki kuda jauh dari belakangnya. Dia sudah keluar dari daerah hutan dan berada di tanah datar tanpa pohon, maka tidak sempat lagi baginya untuk bersembunyi, maka larilah dara ini ke depan, secepat mungkin!

Tak lama kemudian terdengar suara hiruk-pikuk dan para pengejar itu membalapkan kuda mereka karena mereka telah melihat gadis yang berlari cepat itu, dan mendengar betapa derap kaki kuda makin dekat, Siang In mempercepat larinya dan mengeluh, "Ahh.... kalau saja Pek-liong berada di sini...." Kalau dia menunggang keledai itu, dia tidak takut biar dikejar oleh siapapun juga karena keledainya dapat berlari lebih cepat dari kuda yang bagaimanapun.

Para pengejar makin dekat dan napas Siang In sudah terengah-engah ketika tiba-tiba dia membelalakkan matanya dan menghentikan larinya karena di depannya membentang luas sebatang sungai yang amat lebar. Sungai ini adalah Sungai Yi-tung.

"Celaka....!" Siang In berseru kaget dan cepat dia memutar tubuhnya. Belasan orang penunggang kuda mendatangi dengan cepat dipimpin oleh Si Sastrawan! "Biar aku melawan sampai mati!" Siang In yang maklum bahwa dia tidak dapat lari terus karena ada sungai lebar menghalang di depannya, kini sudah berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan dia menggigit bibir bawah dan matanya berkilat penuh kemarahan!

Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan dari kiri dan ketika Siang In menoleh, dia melihat belasan orang lagi datang berlarian di tepi sungai, dan mereka itu bukan lain adalah orang-orang liar yang dipimpin oleh Si Petani Maut, yaitu para pengejar pertama yang dalam usahanya mengejar para tawanan yang lolos telah tiba pula di tempat itu! Tentu saja hati Siang In menjadi makin gelisah, akan tetapi dara itu telah kehilangan rasa takut karena dia tahu bahwa melawan atau tidak, dia akan celaka di tangan mereka, dan dia memilih mati sambil melawan daripada hidup menjadi tawanan dan permainan dari Raja Tambolon!

"In-moi....!"

Siang In terkejut dan jantungnya berdebar keras. Itulah suara encinya Siang Hwa!

"Cici....!" Dia cepat menoleh dan makin girang hatinya ketika dia melihat Kian Bu bersama encinya, seorang kakek tua berambut putih, dan lima orang tawanan itu berada di atas rakit bambu yang didayung oleh mereka ke tepi sungai.

"Bu-koko.... kautolonglah aku...." Siang In berteriak girang melihat munculnya pemuda itu. Dia telah salah mengira bahwa pemuda yang pandai mengenal sajak kuno itu hanyalah seorang kutu buku yang lemah. Dia mengerti sekarang bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka begitu bertemu dia berteriak minta tolong.

"Siauw-moi, (Adik Kecil), kau tenanglah!" Kian Bu berkata sambil meloncat ke darat dengan gerakan yang amat lincah, diikuti oleh kakek berambut putih yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.

Pada saat itu, hampir berbareng Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Yu Ci Pok telah tiba di situ.

"Nona, kemana engkau hendak lari?" Yu Ci Pok yang bertugas menawan kembali "pengantin ke dua" ini menubruk sambil meloncat dari atas kudanya.

Siang In mencoba untuk mengelak ke kiri sambil mengirim pukulan dengan tangan kanannya ke arah dada sastrawan itu.    "Plakk!" Pukulan dara itu yang dilakukan dengan sekuatnya diterima oleh Si Sastrawan sambil tertawa dan sebaliknya sastrawan itu menangkap pergelangan tangan Siang In.

"Lepaskan aku....!" Siang In meronta namun percuma karena pegangan Yu Ci Pok itu kuat sekali.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Keparat, Lepaskan dia!"

Yu Ci Pok cepat menengok dan melihat tubuh pemuda tampan bekas tawanan itu melayang dengan cepat ke arahnya. Dia terkejut, melepaskan Siang In dan menyambut Kian Bu dengan tamparan dahsyat, mengambil kesempatan selagi pemuda itu masih melayang.

"Desss....!" Kian Bu sudah mendorong dan mengerahkan sin-kangnya. Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh sastrawan itu hampir roboh terjengkang kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang sambil memandang heran dan mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit.

Sementara itu, Si Petani Maut juga sudah tiba di situ, akan tetapi sebelum dia sempat turun tangan, terdengar suara ketawa dan ketika dia menoleh ada tangan menampar mukanya. Untung Liauw Kui adalah seorang berkepandaian tinggi dan merupakan pembantu utama dari Tambolon, maka begitu mendengar ada angin menyambar, dia sudah mengelak dan cepat menengok. Kiranya yang menamparnya tadi adalah seorang kakek berambut putih yang menamparnya sambil tertawa-tawa!

Liauw Kui teringat bahwa kakek ini yang muncul di dalam kekacauan pesta, maka dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu lihai sekali. Seperti juga Tambolon sendiri, dua orang pembantu utamanya ini belum mengenal See-thian Hoat-su bekas suami Durganini guru Tambolon. Liauw Kui sudah cepat mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya lalu menyerang kakek itu sambil menyerukan perintah mengepung dan mengeroyok kepada semua anak buah kedua pasukan yang jumlahnya ada tiga puluh orang lebih itu!

Siang Hwa, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya sudah cepat mendayung perahu getek atau rakit bambu itu ke tengah setelah Siang Hwa yang tadi meloncat ke darat, berhasil menarik adiknya dan membawanya lari ke atas rakit. Sedangkan Kian Bu dan See-thian Hoat-su mengamuk dikeroyok oleh dua orang pembantu Tambolon yang lihai dan tiga puluh orang lebih itu. See-thian Hoat-su tidak mengeluarkan ilmu sihirnya karena kakek ini mengira bahwa bekas isterinya, Durganini ikut pula mengejar dan mengeluarkan ilmu sihir berarti mencari penyakit kalau nenek bekas isterinya yang merupakan tokoh sihir itu berada di situ. Malah dia pun sudah merasa gentar, maka cepat dia berkata, "Orang muda, mau tunggu apalagi? Hayo lekas kembali ke rakit!"

Kakek itu sudah menyambar beberapa buah batu, lalu dia melemparkan sebuah batu melayang lurus ke depan, tepat di permukaan air sungai, disusul tubuhnya meloncat, menginjak batu itu sambil melempar lagi batu ke dua ke depan, meloncat lagi dan dengan cara mengagumkan ini dia telah tiba di atas rakit. Akan tetapi, ternyata Kian Bu juga telah berada di atas rakit itu. Kiranya pemuda ini tadi melayang tinggi ke atas, lalu di atas membuat jungkir balik sembilan kali sehingga tubuhnya meluncur terdorong gerakan poksai susul-menyusul ini dan hinggap di atas rakit dengan ringan. Siang Hwa, Siang In, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya melongo melihat demonstrasi gin-kang istimewa yang dilakukan oleh kakek berambut putih dan pemuda tampan itu.

Siang Hwa dan Siang In berpelukan dan mencucurkan air mata saking girang dan terharu bahwa mereka berdua telah lolos dari bahaya mengerikan yang mengancam diri mereka di sarang Raja Tambolon. Akan tetapi mereka tidak memperoleh banyak kesempatan untuk bertangisan dan saling menceritakan pengalaman lebih lama lagi karena Kakek See-thian Hoat-su berseru, "Hayo kalian hentikan tangis-menangis itu, lihat mereka telah mengejar kita!"

Semua orang menengok dan memang benar. Kiranya tiga puluh lebih anak buah Tambolon itu telah mempergunakan rakit-rakit yang banyak terdapat di tepi sungai dan melakukan pengejaran di atas enam buah rakit yang mulai mengepung dan mencegat dari empat jurusan.

"Awas anak panah!" Kian Bu berseru sambil meloncat berdiri. Bersama Kakek See-thian Hoat-su, pemuda Pulau Es ini dengan tangkas menyambut anak-anak panah yang datang menyambar, menangkis dengan kaki tangannya. Melihat ini, See-thian Hoat-su tertawa gembira.

"Ha-ha-ha, orang muda perkasa. Engkau memang hebat!" Dan seperti berlomba dan tidak mau kalah, dia pun menangkis dan menendang setiap anak panah yang meluncur dan menyambar di dekatnya. Kakek tua renta itu tertawa-tawa, gembira sekali seperti seorang anak kecil bermain perang-perangan. Akan tetapi selagi kedua orang ini sibuk menghadapi serangan anak panah dengan menangkis, enam buah rakit itu telah mengepung dekat dan mereka telah menyerang dengan tombak-tombak panjang.

Si kakek berambut putih menjadi makin girang. Dia dapat menangkap sebatang tombak musuh dan sambil bersorak girang dia meloncat ke atas sebuah rakit musuh dan mengamuk di situ. Susahnya bagi para pelarian itu, kakek ini seperti anak kecil, tidak segera merobohkan enam orang di atas rakit itu melainkan mempermainkan mereka dan hanya menampar dan menendang perlahan saja untuk mempermainkan, membuat mereka berjatuhan akan tetapi mereka masih dapat bangkit kembali dan mengeroyok lagi. Hal ini agaknya menyenangkan hati kakek itu, seperti seekor kucing mempermainkan enam ekor tikus, melayani mereka, membagi-bagikan tamparan sambil tertawa-tawa. "Heiittt, wuuhh, tidak kena.... heh-heh-heh, nah, berlututlah engkau, dan engkau rebahlah!" Demikianlah kakek itu bermain-main, membuat gemas juga hati Kian Bu. Kalau kakek itu bersungguh-sungguh, agaknya bersama dia akan dapat melawan dan menahan semua musuh ini. Akan tetapi kakek itu main-main dan kini dia sibuk seorang diri menahan pengeroyokan para pengepung. Untung bahwa Panglima Jayin dan empat orang pembantunya juga melawan dengan gagah berani, juga Siang Hwa dan Siang In membantu sekuat tenaga mereka, sungguhpun keadaan mereka amat repot karena dikepung dan dikeroyok.

"Awas pinggir rakit!" Kian Bu berteriak dan cepat kakinya menendang kepala seorang musuh yang tahu-tahu muncul di pinggir rakit. Kiranya mereka itu kini telah mengirim beberapa orang untuk menyelam dan agaknya ingin menggulingkan rakit! Akan tetapi Panglima Jayin dan para pembantunya juga sudah siap menjaga keselamatan rakit mereka yang mulai bergoyang-goyang.

"Auuhhh....!" Seorang di antara pembantu Panglima Jayin mengeluh dan tubuhnya terjungkal ke dalam air sungai karena perutnya telah terkena sebatang senjata rahasia paku beracun yang dilepas oleh Si Petani Maut.

"Awas senjata rahasia!" Kian Bu berteriak lagi dan dia sudah menghadapi serangan paling dahsyat di pinggir rakit. Berkat amukan Kian Bu yang amat tangguh, Si Petani Maut Liauw Kui dan Sastrawan Yu Ci Pok yang tidak dapat langsung menyerang secara dekat itu kembali menyuruh para anak buahnya mundurkan rakit.

"Lepas anak panah....!" Perintahnya dan kembali anak-anak panah berluncuran menyerang ke perahu para pelarian itu. Kian Bu sibuk sendiri dan tidak mungkin dia harus melindungi seluruh rakit dari anak-anak panah itu. Panglima Jayin dan anak buahnya juga sudah memutar golok mereka menangkisi anak-anak panah yang datang menyambar ke arah mereka. Juga dua orang gadis itu harus berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri. Akan tetapi tiba-tiba Siang Hwa mengeluh dan roboh di atas rakit.

"Cici....!" Siang In menubruk encinya dan betapa kaget hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa punggung encinya terluka hebat dan ketika dia mendekap encinya, Siang Hwa mengerang lirih.

"In-moi.... kau.... jaga dirimu.... baik-baik...." Gadis ini mengerang lalu terkulai. Sebatang paku beracun yang dilepaskan oleh Petani Maut kembali telah memperoleh korban, memasuki punggung Siang Hwa dan tepat mengenai jantung sehingga gadis itu tewas seketika.

"Enci Siang Hwa....!" Siang In menjerit dan menangis sambil memeluk encinya yang sudah menjadi mayat.

Melihat ini, Kian Bu menjadi makin gemas kepada See-thian Hoat-su, "Kakek menjemukan! Kau membantu kami ataukah membantu musuh?" teriaknya.

See-thian Hoat-su tertawa dan sekali kaki tangannya bergerak, enam orang yang dipermainkannya itu terlempar semua dari atas rakit, tenggelam dan hinggap di pinggir rakit para pelarian itu.

"Eh, oh, kenapa menangis....? Kenapa dia?"

"Enci Siang Hwa.... telah.... tewas....!" Siang In menangis.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah enak-enak mati mengapa ditangisi? Apa kau ingin melihat encimu hidup lagi dan menderita seperti kita ini? Ohhhh, bocah tolol kau! Aku yang ingin sekali mampus sampai puluhan tahun tidak juga mampus, sekarang encimu sudah enak-enak mati, membikin aku iri saja, engkau malah menangis!"

Siang In tidak mempedulikan kata-kata aneh dan gila-gilaan dari kakek itu, terus memeluki mayat encinya dengan hati hancur dan dia tidak peduli lagi apakah dia terancam bahaya atau tidak, karena setelah encinya mati, dia amat ngeri dan takut menghadapi hidup seorang diri saja di dunia yang kejam ini. Encinya merupakan pengganti ayah bundanya, sekarang encinya telah mati, berarti bahwa dia akan hidup seorang diri saja di dunia yang penuh dengan kekerasan dan kesengsaraan ini.

Kakek See-thian Hoat-su, Kian Bu, Panglima Jayin dan pembantunya yang tinggal tiga orang itu masih melakukan perlawanan mati-matian karena para anak buah Tambolon masih terus mengepung mereka. Andaikata pertandingan itu terjadi di atas daratan, dengan adanya See-thian Hoat-su dan Suma Kian Bu, tentu sudah sejak tadi dua orang pengawal Tambolon beserta puluhan orang anak buahnya itu akan roboh semua dalam waktu singkat. Akan tetapi pertempuran terjadi di atas sungai, di atas rakit dan dikepung dari jauh, dihujani anak panah dan senjata rahasia, maka tentu saja para pelarian itu makin lama makin repot. Rakit mereka telah berada di tengah sungai yang lebar itu, terlalu jauh dari tepi sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka untuk mendarat. Para pengeroyok sudah mengepung mereka dan biarpun di antara para pengeroyok itu sudah sepuluh orang yang terjungkal ke dalam air, namun Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang maklum akan kelemahan lawan di air, terus mengepung dan berusaha menggulingkan rakit itu dengan berbagai cara.

Sementara itu, di langit atas mereka berkumpul awan mendung menghitam tanpa diketahui oleh mereka yang sedang bertempur. Pada waktu itu, Liauw Kui sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyerang dengan panah api! Dia merasa penasaran sekali bahwa dengan banyak anak buah belum juga mereka dapat mengalahkan para pelarian itu, maka timbul keinginannya untuk menumpas musuh yang tidak bisa ditawan kembali itu. Berhamburanlah anak panah berapi ke rakit itu dan See-thian Hoat-su berteriak-teriak marah. Akan tetapi kakek yang lihai ini bersama Suma Kian Bu repot menangkis panah-panah ini, demikian pula Jayin dan anak buahnya. Hanya Siang In yang tidak peduli akan itu semua, dan kalau tidak ada Kian Bu yang selalu melindunginya, tentu gadis ini akan menjadi korban panah berapi. Akan tetapi, biarpun mereka tidak atau belum terkena anak panah tetapi ada panah yang menancap di rakit mereka yang mulai terbakar!

Seorang anak buah Panglima Jayin cepat melepas jubahnya, membasahi jubah itu dengan air sungai kemudian dia cepat memadamkan api yang mulai membakar permukaan rakit dari bambu. Akan tetapi, karena sibuk dengan usaha ini, dia tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan terdengar teriakan mengerikan ketika orang ini terkena anak panah yang menancap di lambungnya! Orang Bhutan ini terjungkal dan jatuh ke dalam air sungai.

Pada saat itu, tiba-tiba turun hujan dengan derasnya, seperti dituang dari langit, dibarengi dengan angin yang besar. Amukan hujan dan angin ini sekaligus membubarkan pertempuran, karena selain hujan yang amat deras membuat cuaca menjadi gelap sekali dan membuat mereka sukar membuka mata, juga angin ribut membuat air sungai mulai bergelombang yang makin lama makin dahsyat. Beberapa kali Siang In menjerit karena hampir dia tidak dapat menahan mayat kakaknya yang akan terlempar keluar karena rakit itu mulai berguncang dan miring ke kanan kiri. Semua orang harus berpegang kuat-kuat pada pinggiran rakit agar tidak terlempar keluar. Ternyata hujan sejak tadi turun di hulu Sungai Yi-tung dan kini air mulai membanjir datang, menciptakan arus yang amat kuat dan rakit-rakit itu hanyut dan terputar-putar tanpa dapat dikendalikan lagi.

Rakit yang membawa para pelarian itupun hanyut terseret arus, berputaran. Kian Bu mendengar Siang In menjerit dan menangis karena jenazah encinya tak dapat dipertahankannya lagi. Rakit itu hampir jungkir-balik dan dia hampir saja terbawa air kalau saja dia tidak cepat-cepat memegang pinggiran rakit. Dan karena menyelamatkan diri sendiri ini, dia melepaskan mayat encinya yang tahu-tahu telah lenyap disambar air.

"Enci....!" Dara itu menjerit dan dengan nekat dia hendak menyusul mayat encinya.

"In-moi, jangan....!" Di antara air hujan deras yang membuat orang sukar membuka mata, Kian Bu melihat dara itu bangkit berdiri. Dia lalu meloncat dan berhasil mendorong kembali Siang In sehingga terlempar dan roboh di atas rakit, disambar lengannya oleh See-thian Hoat-su, akan tetapi Kian Bu sendiri tergelincir di pinggir rakit dan terseret oleh air yang mengganas.

"Bu-twako....!" Siang In menjerit akan tetapi Kian Bu telah lenyap ditelan air sungai yang menggelora itu. Siang In menjerit-jerit dan roboh pingsan di pelukan Kakek See-thian Hoat-su.

"In-moi.... ah, In-moi...."

Kian Bu mengeluh, kepalanya terasa pening dan yang pertama kali teringat olehnya ketika dia siuman dari pingsannya adalah Siang In karena ketika dia terlempar ke air sungai dia sedang berusaha menolong gadis itu. Betapa pun kuatnya tubuh Kian Bu di dalam air yang mengamuk itu dia sama sekali tidak berdaya. Dia terseret oleh arus, dibuat terguling-guling, tenggelam-timbul, diangkat ke atas oleh gelombang, dihempaskan ke bawah dan dia pingsan, tubuhnya seperti tidak bernyawa lagi dipermainkan air Sungai Yi-tung yang mengamuk. Dan mungkin saja karena pingsan inilah maka nyawanya tertolong. Andaikata dia tidak pingsan, tentu dia akan melawan maut dan justeru perlawanan yang sia-sia itu membuat tubuhnya kaku dan mungkin akan remuk-remuk terbanting-banting seperti itu. Setelah pingsan tubuhnya menjadi lemas dan tak pernah melawan dipermainkan air dan agaknya air sungai pun tidak bernafsu lagi menghadapi korban yang tidak mau melawan, seperti seekor kucing tidak bernafsu lagi mempermainkan seekor tikus yang sudah tidak dapat bergerak. Akhirnya air menjadi bosan dengan tubuh manusia yang tak mampu bergerak lagi itu dan menyeretnya ke tepi, melontarkannya ke pinggir sehingga separuh tubuhnya berada di atas tanah sedangkan dari pinggang ke bawah masih di dalam air.

"Siang In.... kasihan kau...." Kembali dia mengeluh.

"Engkau juga kasihan, muda belia yang tampan...." Terdengar suara halus berada di dekatnya.

Kian Bu terkejut dan kesadarannya mulai kembali. Ketika dia merasa betapa kepalanya rebah di tempat yang lunak dan hangat, dia cepat membuka matanya dan terbelalak heran melihat sebuah wajah yang cantik sekali berada di atasnya. Wajah yang berkulit halus, dengan sepasang mata bening menatap mesra, dengan bibir yang merah tersenyum ramah. Dan dia ternyata rebah di atas rumput di tepi sungai, kepalanya rebah di atas pangkuan wanita berwajah cantik itu!

Tentu saja Kian Bu terkejut sekali dan cepat dia bangkit duduk dan membalikkan tubuh memandang. Wanita itu cantik bukan main dan ia mencium bau harum semerbak.

"Kau.... kau siapakah....?" Kian Bu bertanya meragu karena dia seperti pernah melihat wanita ini.

Senyum di bibir merah itu makin melebar dan nampaklah deretan gigi putih bersih, kemudian, hanya sekilas pandang, nampak ujung lidah yang meruncing dan merah menjilat keluar di antara deretan gigi atas bawah, hanya sebentar saja akan tetapi mendatangkan penglihatan yang mengesankan.

"Namaku Hong Kui.... she Lauw.... aku melihat engkau rebah di tepi sungai, kukira sudah mati, lalu kutarik ke sini, ternyata engkau masih hidup. Sukurlah, Kongcu, sukur engkau masih hidup...." Suara wanita ini merdu dan seperti orang bernyanyi saja penuh dengan nada tinggi rendah dan kata-katanya diiringi gerak bibir mempesona dan kerling mata yang menyambar-nyambar.

Heran sekali, melihat bibir yang bergerak-gerak dan mata mengerling tajam itu teringatlah Kian Bu kepada Siang In ketika dara itu berlagak meniru gerak-gerik wanita yang genit memikat. Wanita genit memikat! Tak salah lagi, dia inilah orangnya!

"Jadi.... engkaukah ini....?" Dia meloncat berdiri dan wanita itu memandang ke arah celananya yang basah kuyup dan menempel ketat di tubuhnya, sambil tertawa. Kian Bu menunduk dan cepat dia menutupkan jubahnya yang juga basah kuyup di depan tubuhnya. Sialan! Celana yang basah kuyup itu membuat dia seperti telanjang saja.

"Engkau sudah mengenal aku, Kongcu?" wanita itu bertanya dan memandang penuh selidik.

"Bukankah engkau yang dicari-cari oleh Teng Siang In?" Kian Bu bertanya, diam-diam harus mengakui bahwa wanita yang sudah matang ini benar-benar cantik menarik dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. "Bukankah engkau yang.... eh, mencuri kitab dari dara itu?"

Wanita yang berpakaian mewah dan indah, dengan gelung rambutnya yang tinggi itu tersenyum lagi. Dia ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li. Seperti telah kita ketahui, setelah mendengar dari Siang In tentang obat anak naga di Telaga Sungari, wanita ini meninggalkan Siang In dan melanjutkan perjalanan hendak menuju ke telaga itu. Akan tetapi dia terhalang oleh hujan angin dan terpaksa dia mencari tempat perlindungan dan berteduh di dalam sebuah bekas bangunan kuil tak jauh dari Sungai Yi-tung yang akan diseberangi. Setelah hujan berhenti, dia keluar dari tempat peneduhan itu dan secara kebetulan saja dia melihat Kian Bu terdampar di tepi sungai. Melihat seorang pemuda yang amat tampan dan muda itu terdampar seperti telah mati, dia merasa sayang sekali dan cepat menghampiri. Segera ditolongnya pemuda itu ketika dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu masih hidup.

"Ah, agaknya Adik Siang In telah bercerita kepadamu tentang kitab itu? Ah, Kongcu, kitab itu hanya kupinjam saja dan sekarang telah kukembalikan. Apakah dia tidak bercerita kepadamu betapa aku telah menolong dan menyelamatkannya dari tangan Tambolon? Aku yang mengajaknya lari sebelum dia menjadi korban kejahatan Tambolon dan mengantarnya sampai dia selamat dari kejaran mereka."

Kian Bu lalu duduk kembali dan wanita itu membuat api unggun. Sampai lama mereka tidak bicara, dan wanita itu sering mengerling dan tersenyum kepadanya, sedangkan semua gerak-geriknya ketika membuat api unggun, ketika melangkah dan melenggang, semua penuh daya pikat dan seluruh bagian tubuh wanita itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak penuh keindahan, dari gerak matanya, sampai ke ujung jari tangannya, pinggungnya, kakinya, bibirnya.

"Agaknya engkau telah menolong aku pula, Toanio...."

"Aihhh, jangan menyebut aku Toanio, Kongcu...." wanita itu cepat memutar tubuh, mencela akan tetapi sambil tertawa.

"Setelah kita bertemu di sini dan kebetulan aku menarikmu dari air, bukankah kita telah menjadi sahabat?"

"Engkau juga menyebut aku Kongcu (Tuan Muda)...."

"Hi-hik, engkau sungkan benar...., biarlah kau menyebut aku.... enci, karena aku memang lebih tua darimu dan kau.... eh, siapa sih namamu?"

"Aku Kian Bu, Suma Kian Bu."

"Namamu gagah, seperti orangnya. Nah, Kian Bu, bukankah kita sekarang sudah bersahabat dan lebih akrab kalau aku menyebut namamu saja dan kau menyebut enci kepadaku seolah-olah kita ini dua orang bersahabat atau bersaudara?"

"Terima kasih.... Enci Hong Kui, engkau baik sekali."

Wanita itu kembali tersenyum dan membesarkan api unggun. "Kau duduklah dekat api, biar tubuhmu hangat dan pakaianmu kering."

"Aku harus pergi mencari yang lain-lain, Enci. Mungkin mereka pun terdampar dan selamat seperti aku."

"Eh, yang lain-lain siapakah?"

Mereka berdua duduk berdampingan di atas rumput, dekat api unggun. Malam itu gelap dan dingin, akan tetapi api unggun itu hangat. Kian Bu lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia bersama Siang Hwa, Kakek See-thian Hoat-su dan lima orang Bhutan melarikan diri dari sarang gerombolan Tambolon. Kemudian setelah berhasil membawa pula Siang In yang muncul di tepi sungai, mereka dikepung oleh anak buah Tambolon dan dikeroyok, akhirnya sampai hujan angin menyerang mereka semua.

"Aku tidak tahu bagaimana dengan nasib mereka karena aku terlempar keluar dari rakit dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku harus segera mencari Siang In. Kasihan sekali gadis itu, sudah kehilangan encinya yang tewas di atas rakit, kemudian dia sendiri masih terancam bahaya maut. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan selamat, dan aku harus mencarinya sekarang juga, Enci Hong Kui."

Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li menggeleng kepalanya. "Tidak akan ada gunanya, Kian Bu. Malam amat gelap, langit masih diliputi mendung dan tidak mungkin kita dapat mencari dia di tempat gelap begini. Kita menanti sampai besok dan aku akan membantumu mencari dia. Sekarang, mari kau makan dulu, aku membawa bekal roti dan arak."

Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke arah sungai. Air masih penuh sungguhpun gelombang tidak mengamuk seperti tadi, akan tetapi keadaannya gelap benar sehingga memang tidak mungkin untuk mencari Siang In di sepanjang tepi sungai itu. Dia menarik napas panjang dan duduk kembali sementara wanita itu mengeluarkan bungkusan roti dan seguci arak. Makanan itu dibelinya dari warung di dusun yang dilewatinya tadi dan dibawa sebagai bekal.

"Sungguh kasihan sekali Siang In...." Kian Bu berkata ketika dia sudah duduk dan membayangkan keadaan dara yang lincah jenaka itu.

"Eh...., apamukah dia itu? Sahabat baikmu? Pacarmu?"

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan terakhir itu, pertanyaan yang diajukan dengan suara biasa saja.

"Oh, bukan! Kami hanya teman-teman seperjalanan yang beberapa hari saling berjumpa dalam hutan."

"Ah, kukira pacar atau.... calon isteri."

"Hemm, aku masih belum bertunangan," Kian Bu menjawab cepat untuk menyetop percakapan mengenai hal itu.

Wanita itu memandangnya dengan kerling tajam dan senyumnya melebar, manis sekali. Wajahnya kelihatan kemerah-merahan di bawah sinar api unggun. "Kian Bu, kau makanlah. Roti ini kubeli di dusun tadi, masih lunak. Marilah!"

"Terima kasih." Kian Bu menerima roti dan bersama Mauw Siauw Mo-li yang mengaku bernama Lauw Hong Kui, nama kecilnya yang jarang dikenal orang itu, dia makan roti karena memang perutnya terasa lapar sekali. Teringat olehnya betapa dia bersama Siang In sudah sejak ditawan tidak makan apa-apa dan perutnya menerima roti dengan hangat.

Melihat Kian Bu menelan roti agak seret, Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan mengulurkan tangannya yang memegang guci arak. "Minumlah.... arak ini pun arak baik, manis dan tidak begitu keras."

"Mana cawan atau mangkoknya?" Kian Bu menerima guci.

"Ih, membawa cawan di perjalanan berabe saja dan di tempat ini mana ada mangkok? Kauminum saja dari guci itu."

"Tapi.... tapi.... ini guci arakmu dan...."

"Aih, Kian Bu, mengapa engkau banyak sungkan? Minum begitu saja mengapa sih?"

"Habis, bagaimana engkau nanti kalau hendak minum?"

"Bagaimana? Ya biasa saja, dari guci."

"Kalau begitu, kauminumlah dulu!" Kian Bu mengembalikan guci arak, merasa sungkan kalau harus mendahului. Untuk minum dari guci, berarti bahwa mulut guci akan beradu dengan mulutnya.

"Hi-hik, engkau seperti anak kecil saja." Mauw Siauw Mo-li diam-diam merasa girang sekali dan makin tergila-gila kepada pemuda remaja yang tampan dan sopan ini. Dia membuka tutup guci, mencucup mulut guci mereguk sedikit arak, kemudian menyerahkan guci itu kepada Kian Bu. "Nah, giliranmu minum!"

Karena memang roti itu sebagian berhenti di kerongkongannya, Kian Bu menerima guci arak dan mereguk araknya, langsung dari mulut guci masuk ke mulutnya. Setelah dia menurunkan guci itu, Mauw Siauw Mo-li mengambil dari tangannya dan tanpa ragu-ragu wanita itu minum lagi. Kian Bu melihat betapa sepasang bibir yang berkulit tipis itu mengulum mulut guci dan betapa leher yang panjang itu bergerak-gerak ketika arak memasukinya. Cepat Kian Bu menunduk karena penglihatan itu terlalu mendebarkan jantungnya, entah mengapa dia sendiri pun tidak mengerti.

Baru saja mereka selesai makan roti dan minum arak, dan Kian Bu duduk membelakangi api untuk mengeringkan pakaiannya di punggung, tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan dia bersikap waspada sungguhpun masih kelihatan tenang saja. Dia tahu bahwa ada gerakan beberapa orang mendekat tempat itu dari arah daratan yang penuh pohon-pohon. Mula-mula dengan penuh harapan, timbul dugaannya bahwa itu adalah Siang In dan teman-teman lain, akan tetapi dia tahu bahwa harapannya itu sia-sia karena kalau Siang In, tentu sudah berseru memanggilnya, pula kalau mereka itu teman-teman, tentu tidak berindap-indap seperti kelakuan orang-orang yang mempunyai niat buruk.

"Ssssttt, kau mendekatlah ke sini. Ada orang-orang datang...." Mauw Siauw Mo-li berbisik dan tahulah Kian Bu bahwa wanita ini juga memiliki pendengaran yang amat tajam. Dan wanita ini kelihatan tenang saja, bahkan kini menambah kayu kering pada api unggun sehingga keadaan di situ menjadi cukup terang.

"Kau mendekatlah agar aku dapat melindungimu, Kian Bu. Mereka itu tentu orang-orang yang berniat buruk...."

Kian Bu menurut dan dia mendekati wanita itu. Mereka masih duduk di dekat api unggun ketika orang-orang itu telah datang mengurung dan dari sudut matanya Kian Bu melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pembantu Tambolon bersama sepuluh orang anak buah mereka. Dia bersikap waspada karena maklum bahwa dua orang pembantu raja liar itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga. Munculnya dua orang pengejar ini mendatangkan dua macam perasaan di hati Kian Bu. Dengan masih berkeliarannya mereka itu di sini, berarti bahwa mereka belum dapat menawan kembali Siang In dan yang lain-lain, akan tetapi juga menimbulkan keraguan apakah mereka semua yang menjadi pelarian itu dapat menyelamatkan diri dari sungai yang mengganas.

Yang datang itu memang benar adalah sisa anak buah Tambolon yang berhasil menyelamatkan diri dari amukan badai di Sungai Yi-tung, dipimpin oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Mereka tidak berhasil menemukan para pelarian itu dan melihat api unggun dari jauh, mereka lalu berindap-indap datang ke tempat itu. Marah hati mereka ketika mengenal Kian Bu sebagai seorang diantara para pelarian itu, dan dua orang pembantu Tambolon ini mengenal pula Mauw Siauw Mo-li, karena ketika Siluman Kucing ini dahulu bersama Hek-tiauw Lo-mo memimpin pasukan pemberontak menumpas pasukan Tambolon di Koan-bun, mereka berdua langsung berhadapan dengan wanita ini dan suhengnya yang lihai.

"Hemm, kiranya engkau pula yang berada di sini, Siauw Mo-li! " Liauw Kui berkata marah sambil melintangkan batang pikulannya di depan dada. "Sudah berkali-kali engkau sengaja merintangi jalan kami. Sesudah penyerbuan di Koan-bun, engkau melarikan pengantin raja kami, kemudian sekarang engkau di sini bersama seorang buruan kami. Berikan dia kepada kami."

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. "Kalian orang-orang liar kaki tangan Tambolon, lebih baik lekas pergi dari sini jangan mengganggu aku kalau kalian belum bosan hidup." Dengan sikap tenang seenaknya Lauw Hong Kui, wanita cantik yang merasa terganggu kesenangannya itu berkata sambil mengorek api unggun sehingga nyalanya menjadi makin besar.

"Perempuan sombong! Kaukira aku takut kepadamu?" Liauw Kui membentak marah sekali.

"Hi-hik, engkau sudah bosan hidup!" Mauw Siauw Mo-li tertawa lalu berbisik kepada Kian Bu, "Engkau tunggu sebentar, aku akan menghajar tikus-tikus busuk ini!"

Kian Bu mengangguk dan memandang dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita cantik jelita yang telah menolongnya ini, yang mempunyai nama indah, yaitu Lauw Hong Kui, kiranya adalah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing yang telah dia dengar namanya dari kakaknya itu. Kiranya ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang lihai! Heran sekali dia mengapa seorang iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo memiliki seorang sumoi sehebat ini dan sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li yang dikabarkan seperti iblis betina itu ternyata adalah seorang wanita yang begitu cantik. Dan wanita ini tidak membohong ketika mengatakan bahwa dia menyelamatkan Siang In dari tangan Tambolon, karena menurut ucapan Liauw Kui yang marah tadi agaknya memang demikian. Kini Kian Bu duduk di dekat api unggun dan menonton dengan hati tertarik. Lauw Hong Kui tidak tahu bahwa dia memiliki kepandaian maka dia pun tidak akan turun tangan kalau tidak perlu sekali, sungguhpun dia telah siap karena maklum betapa lihainya dua orang pembantu utama Tambolon.

"Mampuslah....!"

Tiba-tiba tangan Mauw Siauw Mo-li bergerak dan dia telah melontarkan sebatang ranting yang ujungnya bernyala ke arah Petani Maut. Ranting yang ujungnya terbakar itu meluncur seperti anak panah cepatnya, menyambar ke arah dada pembantu utama Tambolon itu. Liauw Kui mendengus marah, batang pikulannya bergerak menangkis dan ranting itu meluncur ke kiri. Terdengar pekik mengerikan dan seorang di antara anak buah pasukan Tambolon itu roboh dengan perut tertembus ranting tadi yang kini menjadi padam.

Siauw Mo-li tertawa dan Liauw Kui menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa lontaran ranting itu sedemikian kuatnya sehingga biarpun telah dapat ditangkis, namun masih dapat membunuh seorang anak buahnya.

Lauw Hong Kui sudah meloncat berdiri dan tangan kanannya meraba punggung. Sinar kehijauan nampak di antara cahaya api ketika wanita ini sudah mencabut pedangnya. Melihat ini Liauw Kui sudah berteriak keras dan menerjang maju, sambil menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya.

"Singgg.... wirrr....!" Pikulan berubah menjadi sinar bergulung ketika menyambar ke arah Siauw Mo-li, namun wanita ini tidak menjadi gentar, cepat mengelak dan menggerakkan pedangnya untuk balas menyerang.

"Tring-tring-tringgg....!" Berkali-kali kedua senjata bertemu dan bunga api berhamburan. Keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar, maka dengan kaget mereka melangkah mundur dan memeriksa senjata masing-masing. Setelah ternyata bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak, mereka bergerak lagi saling menyerang dengan marah.

Kian Bu yang menonton pertempuran itu menjadi kagum. Ternyata bahwa Lauw Hong Kui selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat luar biasa, juga memiliki kepandaian tinggi, ilmu pedangnya indah dan lihai sehingga kalau saja pembantu utama Tambolon itu bukan seorang yang berilmu, tentu tidak akan kuat bertahan menghadapi gerakan pedang yang cepat dan aneh itu. Mereka ternyata seimbang karena senjata batang pikulan itupun luar biasa, berputar seperti kitiran dan mengandung kekuatan yang dahsyat. Kian Bu mengerti bahwa dalam hal tenaga, Petani Maut itu lebih kuat dibandingkan dengan Siauw Mo-li, kan tetapi jelas bahwa wanita itu lebih cepat gerakannya, lebih lincah dan ringan sehingga mengandalkan kelincahannya ini, Siauw Mo-li dapat mengimbangi desakan lawan. Betapapun juga, Kian Bu maklum bahwa kalau dilanjutkan, besar kemungkinan wanita

itu akan dapat merobohkan lawannya, sungguhpun akan tidak mudah baginya melakukan hal itu. Maka dia hanya menonton saja dan waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai Maut dan anak buahnya yang juga menonton dengan penuh perhatian.

Melihat betapa setelah lewat lima puluh jurus temannya belum juga dapat mengalahkan wanita itu, bahkan kini gulungan sinar pedang kehijauan itu menjadi makin lebar dan makin menghimpit, Yu Ci Pok menjadi tidak sabar.

"Iblis betina banyak tingkah!" teriaknya dan dia sudah menerjang maju dengan sepasang poan-koan-pit di tangannya melakukan gerakan cepat menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan darah depan tubuh wanita lihai itu.

"Cring-cring-cring-tranggg....!" Siauw Mo-li terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan batang pikulan dan sepasang poan-koan-pit yang amat lihai itu.

Melihat dua orang itu sudah menerjangnya lagi dan sembilan orang anak buahnya itu sudah makin mendekat, Mauw Siauw Mo-li tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa diikuti suara aneh seperti seekor kucing, tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu ke arah gerombolan itu, tangan kanan memutar pedang mendesak dua orang lawan yang sudah menyerangnya lagi sambil berteriak, "Kian Bu, tiarap....!"

Terdengar bunyi ledakan keras dan empat orang anak buah Tambolon roboh sedangkan yang lima orang lagi cepat lari cerai-berai. Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li sendiri terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci Pok. Sebuah totokan yang amat cepat menyerempet lututnya, membuat wanita ini terhuyung dan pada saat itu, batang pikulan Liauw Kui menghantam punggungnya yang biarpun sudah ditangkisnya dengan pedang, tetap saja masih membuat dia terjengkang dan roboh ke atas tanah. Kini dua orang pembantu Tambolon itu sudah menubruk ke depan dengan senjata mereka.

"Wuuuttt.... desss!" Dua orang itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga dahsyat dan berhawa dingin sekali melanda mereka dari depan.

Itulah dorongan pukulan yang mengandung hawa sakti Swat-im Sin-kang dari Kian Bu. Pemuda ini tentu saja tidak mau membiarkan wanita cantik yang sudah menolongnya itu tewas di tangan musuh begitu saja, maka dia sudah meloncat ke depan dan melakukan pukulan jarak jauh tadi.

"Enci Hong Kui.... apakah engkau tidak apa-apa? Tidak terluka....?" kata Kian Bu sambil menghampiri wanita yang masih terduduk di atas tanah itu dan yang kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar penuh keheranan.

"Kian Bu, awas....!" Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li berseru keras.

Akan tetapi dengan tenang saja Kian Bu membalikkan tubuhnya dan menggerakkan kedua tangan. Tentu saja tanpa diperingatkan pun dia telah tahu bahwa dia diserang dari belakang oleh dua orang itu.

"Plak-plak-bresss....!"

Liauw Kui dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke belakang ketika penyerangan mereka disambut tangkisan dan tamparan kedua tangan Kian Bu yang mengandung tenaga dahsyat itu, kini tidak lagi mengandung hawa dingin, melainkan hawa panas karena pemuda itu telah mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang. Liauw Kui tertangkis batang pikulannya yang membalik dan hampir menghantam kepalanya sendiri, sedangkan Yu Ci Pok tertampar tangan Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia merasa lengannya seperti lumpuh dan panas terbakar.

Pada saat itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan dua buah benda bundar lagi ke arah musuh. "Awas peledak....!" Si Petani Maut berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya dia meloncat jauh. Akan tetapi tetap saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling dan maklum bahwa mereka tidak akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita berbahaya itu, Liauw Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri, menghilang di kegelapan malam diikuti anak buah mereka yang tinggal empat orang itu. Kian Bu tidak mengejar, hanya berdiri tegak memandang ke arah mereka itu melarikan diri.

Tiba-tiba Kian Bu menunduk dan dia melihat wanita itu telah berlutut di dekatnya, memegang tangan kanannya lalu menciumi tangannya itu.

"Eh, engkau kenapa, Enci?" tanyanya, akan tetapi tidak dapat menarik tangannya yang digenggam erat-erat dan dibelai oleh wanita itu.

"Kian Bu.... kau.... tak kusangka.... aihh, engkau hebat sekali! Kiranya engkau seorang pemuda yang sakti, sungguh mati aku tidak menyangkanya.... kau hebat, aku kagum sekali padamu...."

"Ah, sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci Hong Kui."

Wanita itu bangkit berdiri, masih memegangi lengan Kian Bu, dan dibawah sinar api unggun dia melihat betapa muka wanita itu kemerahan, matanya yang indah itu agak terpejam, menyipit dan sayu menatapnya, jari-jari tangan wanita itu merayap dari lengannya, ke atas, membelai dadanya, pundaknya, lehernya dan mengelus pipinya, bibirnya tersenyum, agak terbuka, agak terengah. Teringat dia akan Siang In yang pernah meniru lagak wanita genit memikat, wanita ini yang dimaksudkan oleh dara itu dan kini dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li yang amat memikat itu. Berdebar rasa jantungnya, dan dia cepat menarik

diri dengan halus sambil berkata, "Kiranya engkau adalah Mauw Siauw Mo-li.... sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo?"

Siauw Mo-li tersenyum, tidak mendesak dengan rayuannya karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat sekali, tidak boleh dipandang ringan. Hati wanita ini sudah terpikat. Baru sekali ini selama hidupnya dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang pria. Biasanya dia menganggap pria hanya sebagai barang permainannya, untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan nafsu berahinya. Entah sudah berapa banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas mempermainkannya lalu menjadi bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum prialah yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw Mo-li yang tergila-gila kepada Kian Bu, setelah dia melihat betapa pemuda yang tampan gagah ini ternyata

amat lihai, memiliki kepandaian yang agaknya lebih tinggi daripada kepandainnya sendiri.

"Aku benci sekali kepada julukan itu, Kian Bu. Julukan yang diberikan oleh mereka yang tidak suka kepadaku. Aku benci sekali, apalagi kalau engkau yang menyebutnya. Bagimu aku adalah Lauw Mong Kui, wanita biasa saja...."

Kian Bu tersenyum. "Enci Hong Kui, biarpun engkau mengaku seorang wanita biasa saja, kenyataannya engkau adalah seorang wanita yang luar biasa. Engkau cantik jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari Ketua Pulau Neraka...."

Akan tetapi wanita itu sudah tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya dari Kian Bu. Demikian girang hatinya mendengar pujian bahwa dia cantik jelita. "Benarkah, Kian Bu? Benarkah engkau berpendapat bahwa aku cantik jelita?"

"Engkau memang cantik dan genit memikat...." Kian Bu kembali teringat kepada Siang In. "Dan biarpun engkau sumoi Hek-tiauw Lo-mo, ternyata engkau baik, telah menolong Siang In, dan juga telah menolongku. Akan tetapi sekarang aku harus pergi, Enci Hong Kui. Aku harus mencari Siang In...." Kian Bu sudah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik kalau dia terus berdekatan dengar wanita ini, yang membuat jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki daya tarik yang amat luar biasa. Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu menjelajahi tubuhnya, seperti ular-ular merayap, bulu tengkuknya meremang, akan tetapi di samping kengerian ini dia pun merasakan sesuatu yang aneh, nikmat dan membangkitkan keinginan tahunya.

"Eh, Kian Bu, nanti dulu!" Lauw Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li sudah lari mengejar dan memegang lengan tangan pemuda itu. "Kenapa kau hendak pergi sekarang? Sudah kukatakan malam amat gelap, engkau tidak akan berhasil mencarinya, pula, di tempat ini berkeliaran orang-orangnya Tambolon sehingga di dalam gelap amat berbahaya, dapat celaka oleh mereka. Tunggulah sampai besok pagi, aku akan membantumu mencari dia, Kian Bu."

"Tidak perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri. Engkau baik sekali dan terima kasih atas semua bantuanmu."

"Kau nekat hendak pergi mencari gelap-gelap begini? Kalau begitu, biar aku menemanimu."

Tentu saja Kian Bu tidak dapat menolak atau melarang dan mereka berdua mulai mencari-cari di sepanjang sungai itu. Akan tetapi, karena memang cuaca amat gelap, sukar sekali mencari orang dan akhirnya Kian Bu terpaksa menurut bujukan Hong Kui untuk beristirahat dan menanti sampai malam lewat, baru akan melanjutkan usaha mencari Siang In dan yang lain-lain itu. Mereka duduk di tepi sungai, membuat api unggun.

"Tidurlah, Kian Bu. Engkau baru saja mengalami bahaya maut di sungai, mengalami pertandingan yang berat. Engkau tentu lelah sekali, biar aku yang menjaga di sini."

Kian Bu memang merasa lelah sekali. Dia lalu merebahkan diri terlentang di atas rumput dekat api unggun, memandang wanita itu yang duduk dekat api unggun sambil menambah kayu bakar ke dalam api. Hong Kui menoleh dan mereka saling pandang. Wanita itu tersenyum. Giginya yang berderet rapi itu berkilauan tertimpa cahaya api. Wanita cantik sekali, pikir Kian Bu yang rebah terlentang berbantal kedua tangannya.

"Enci Hong Kui, kita baru saja saling bertemu. Mengapa engkau begini baik kepadaku dan selain menolongku dari sungai ketika aku pingsan, membantuku melawan anak buah Tambolon, bersikap manis dan kini hendak membantuku mencari Siang In? Mengapa?"

Pertanyaan yang mengandung nada suara penuh selidik ini tentu saja dapat tertangkap oleh wanita yang sudah berpengalaman itu. Mauw Siauw Mo-li tahu pemuda macam apa adanya Kian Bu. Seorang pemuda yang masih perjaka, yang belum berpengalaman, namun seorang yang gemblengan dan biarpun di dalam sinar mata pemuda itu terdapat semangat kegembiraan yang besar, namun pemuda seperti ini tidak akan mudah tunduk kepada dorongan nafsu begitu saja. Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti yang sering dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula mempergunakan obat bius atau obat perangsang. Satu-satunya jalan dia harus dapat menundukkan hati pemuda ini dengan rayuannya, harus dapat menimbulkan cinta kasih di hati pemuda ini. Dan dia dapat membayangkan betapa akan senang dan bahagia hatinya kalau pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat menjadi ke kasihnya. Dia akan melepaskan semua petualangannya, akan menghindari semua pria lain kalau saja dia bisa mendapatkan cinta kasih dari pemuda luar biasa ini. Maka dia harus bersikap cerdik dan hati-hati.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Bu ketika tiba-tiba dia melihat wanita cantik itu menutupi muka dengan kedua tangan dan terisak menangis!

"Eh, Enci...., kau kenapa?" tanyanya sambil bangkit duduk.

Hong Kui terisak lirih, mengatur pernapasannya terengah, kemudian dia menurunkan kedua tangan. Mukanya pucat matanya merah dan air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia menggigit bibir seperti hendak memperkuat hatinya, kemudian baru dia berkata sambil menunduk, "Pertanyaanmu mengingatkan aku bahwa aku hanyalah seorang calon mayat, Kian Bu...." Air matanya bercucuran.

"Eh, apa maksudmu, Enci?" Kian Bu memandang penuh perhatian dan teringat akan gaya Siang In ketika menirukan gerak-gerik wanita ini. Akan tetapi sekali ini agaknya Hong Kui tidak bersandiwara, tidak berpura-pura dan bergaya memikat.

"Tadi aku tidak berterus terang ketika menceritakan kepadamu, Adik Kian Bu. Aku sampai mencuri kitab dari Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah Adik Siang In, hanya karena terpaksa. Aku keracunan hebat oleh latihan yang keliru, melatih ilmu dari kitab suheng Hek-tiauw Lo-mo, dan aku tahu bahwa kalau tidak memperoleh obat yang tepat, aku akan mati. Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, maka timbul kembali harapanku, akan tetapi.... aku sangsi apakah engkau akan sudi membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari ancaman maut...., maka aku membantumu sekuat tenagaku hanya.... hanya agar engkau menaruh kasihan kepadaku...."

"Enci Hong Kui, mengapa kau berkata demikian? Tanpa engkau menolongku sekalipun, kalau memang aku dapat membantu, aku tentu takkan menolak jika engkau membutuhkan bantuanku."

Wajah yang pucat itu menjadi agak berseri, mata yang sayu oleh tangis itu memandang penuh harapan. "Benarkah, Kian Bu? Ah, benarkah kau sudi menolongku? Aku.... aku adalah seorang sebatang kara, tidak punya ayah bunda, tidak ada saudara...."

"Ada suhengmu...."

"Suhengku adalah seorang yang jahat, seorang yang kejam, bahkan ancaman maut ini datang dari kitabnya yang kupelajari, dan dia tidak peduli...."

"Akan tetapi masih ada Hek-wan Kui-bo. Bukankah dia sucimu....? Ah, maaf, hampir aku lupa bahwa dia telah tewas...."

"Andaikata masih hidup pun, Suci itu lebih jahat lagi daripada Suheng. Pendeknya, aku hidup sebatang kara di dunia ini, dan sekarang terancam bahaya. Hanya engkau yang kuharapkan, hanya engkau yang dapat membantuku, Kian Bu."

"Enci Hong Kui, engkau sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau hanya mencari obat saja, tanpa bantuanku pun engkau tentu dapat melakukannya."

"Aihhh, engkau tidak tahu. Pernah Suheng berkata kepada puterinya, si anak nakal Hwee Li, bahwa yang akan dapat menyembuhkan keracunan di tubuhku ini hanya anak naga di Telaga Sungari. Dan bulan depan ini naga itu akan muncul, munculnya setiap sepuluh tahun sekali. Nah, anak naga yang dibawa muncul di permukaan air telaga oleh induknya itulah yang akan dapat membersihkan darah dan tubuhku dari keracunan. Akan tetapi, tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu. Dengan tenagaku sendiri saja, agaknya tidak akan mungkin berhasil. Oleh karena itu, aku mohon kepadamu...., sudilah engkau membantuku menangkap anak naga di Telaga Sungari itu, yang berarti bahwa engkau akan menyelamatkan nyawaku." Dan wanita itu menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Bu!

Pemuda itu terkejut, merasa kasihan sekali lalu membangunkan wanita itu. "Jangan begitu, Enci. Baiklah, aku akan membantumu."

"Terima kasih.... ohh, terima kasih....!" Lauw Hong Kui memegang tangan Kian Bu dan mencium tangan pemuda itu. Perbuatan ini bukan merupakan sandiwara lagi, melainkan keluar dari setulusnya hati karena dia merasa gembira dan berbahagia sekali.

"Enci, kau aneh sekali." Kian Bu perlahan menarik tangannya. "Apa sih anehnya tolong-menolong antara manusia dalam hidup ini? Bahkan kuanggap bukan pertolongan lagi namanya, melainkan sudah semestinya kalau manusia hidup harus bantu-membantu."

"Aku besok akan membantumu mencari Siang In dan yang lain-lain sampai dapat, Kian Bu. Setelah itu barulah kita berangkat ke Telaga Sungari dan mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena urusan ini adalah mati hidup bagiku."

Hong Kui cerdik sekali dan dia tidak mau terlalu mendesak, menahan kerinduan dan berahinya karena dia tidak ingin pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini akan menjadi curiga kepadanya. Memang dia amat membutuhkan obat seperti yang diceritakan oleh Siang In itu, akan tetapi dia membohong bahwa dia akan mati. Yang jelas, dia merasa bahwa kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang terasa nyeri di dadanya sebagai akibat keracunan itu. Akan tetapi yang penting baginya bukanlah itu, melainkan Kian Bu! Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang membuatnya tergila-gila ini sebagai suami atau kekasih, biar mati oleh racun itupun dia sudah merasa puas!

Kedua orang ini lalu beristirahat. Kian Bu bersandar pada batang pohon, memandang ke arah tubuh Hong Kui yang rebah terlentang di dekat api unggun dalam keadaan pulas. Cantik sekali wanita ini, pikirnya, kagum melihat wajah yang cantik itu tertimpa sinar api unggun dan tubuh yang menggairahkan itu menonjol di balik pakaian dari sutera, dadanya yang penuh turun naik dalam pernapasannya. Wanita cantik yang terancam bahaya maut. Akan tetapi benarkah itu? Perempuan ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, dan Ketua Pulau Neraka itu demikian jahatnya! Bagaimana kalau wanita ini pun jahat seperti suhengnya dan menjalankan siasat untuk menipunya? Kelihatannya begitu sehat dan segar, dan gerakannya ketika bertanding tadi amat ringan dan lincah, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan. Akan tetapi, dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja tanda-tanda itu tidak nampak olehnya. Betapapun juga, kepandaiannya tentang jalan darah dan hawa murni di dalam tubuh yang dimilikinya ketika dia dilatih sin-kang, di bawah gemblengan ayahnya, membuat dia dapat menentukan apakah seseorang mengandung hawa beracun di dalam tubuhnya atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya dan detik jantungnya.

Kian Bu mendekati tubuh Hong Kui. Melihat wanita itu sudah tidur pulas, dan hal ini diketahuinya dari jalan pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur tangan, yang kiri meraba ulu hati Hong Kui, yang kanan memegang pergelangan tangannya. Pemuda yang lihai namun masih hijau ini dapat dikelabuhi oleh Hong Kui. Wanita ini amat pandai, dan tahu bahwa untuk mengelabuhi seorang pemuda setinggi Kian Bu kepandaiannya bukanlah hal mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata pura-pura tidur saja tentu akan diketahui oleh pemuda lihai itu. Dia pun tahu bahwa bagi seorang yang mengerti akan ilmu silat, tanda bagi seseorang apakah dia itu pulas atau tidak dapat dilihat dari pernapasannya, karena pernapasan dari seorang yang tidak tidur, betapapun diusahakan supaya halus dan panjang, tetap saja dikuasai oleh kesadaran dan setiap saat dapat berubah sesuai dengan isi pikirannya yang menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat terlepas dari keadaan jantung itu terpengaruh pula, pernapasan seorang yang tidur adalah wajar dan tidak dikuasai apa-apa, paru-paru bekerja sewajarnya dan dengan sendirinya. Pendengaran tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu dapat membedakannya. Oleh karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang dan sengaja menghimpit bajunya di bawah tubuh sehingga bajunya tertarik ketat mencetak lekuk-lengkung tubuhnya sehingga kelihatan amat menggairahkan, melakukan siu-lian sambil rebah sehingga keadaannya tiada bedanya dengan orang tidur karena segala bentuk rasa, hati dan pikiran telah terhenti dan tidak lagi mempengaruhi jantungnya, membuat pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur!

Patut dikagumi kekuatan kemauan wanita ini. Dapat dibayangkan betapa ketika Kian Bu mendekatinya, menempelkan telapak tangan di antara bukit dadanya, nafsu berahinya telah terangsang dan ingin dia merangkul leher pemuda itu dan menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan tetapi Hong Kui menahan diri dan tidak bergerak sama sekali.

Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki sifat-sifat romantis. Dia memang tidak mempunyai niat lain kecuali memeriksa keadaan tubuh wanita itu untuk menyelidiki apakah benar wanita itu keracunan darah dan tubuhnya, akan tetapi ketika ujung jari tangannya menyentuh ulu hati dan tanpa disengaja menyentuh lereng bukit dada, jantungnya sendiri berdebar tegang sehingga ketegangannya membuat kepekaannya berkurang dan dia tidak tahu bahwa dalam beberapa detik, jantung wanita itu berdebar keras sekali, kemudian terhenti dan menjadi normal lagi. Ketika Kian Bu mengerahkan sedikit sin-kang yang

hangat untuk menyelidiki, dan merasa betapa tenaganya itu bertemu dengan hawa yang tidak wajar padahal wanita itu masih pulas, tahulah dia bahwa memang ada hawa beracun yang mujijat dan berbahaya mengeram di dalam tubuh dan darah Lauw Hong Kui. Cepat dia melepaskan kedua tangannya dan kembali ke tempatnya semula, yaitu bersandar pada batang pohon.

Dia tidak membohong, pikirnya lega, akan tetapi perasaan jari tangan bersentuhan dengan bukit dada tadi selalu mengganggu pikirannya, tak pernah dapat dilupakannya sehingga Kian Bu menjadi gelisah dan tidak berhasil tidur sama sekali. Maka dia lalu menghampiri api unggun, ditambahi  kayu sehingga api membesar, kemudian dia duduk bersila untuk mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu dan digelitik pengalaman tadi. Akhirnya dia dapat menenangkan dirinya dan dapat beristirahat, tidak tahu betapa sebuah di antara sepasang mata Hong Kui bergerak dan setengah terbuka memandang ke arahnya, dan betapa bibir bawah yang berkulit tipis penuh dan merah segar itu bergerak-gerak aneh mengarah senyum.

Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan. Matahari amat teriknya sehingga bumi seperti terengah-engah kehausan. Musim panas agaknya dimulai dengan kemarahan matahari yang sudah terlalu sering diganggu mendung dan hujan.

Sepasang mata di wajah yang buruk itu menatap wajah cantik yang bersandar pada batang pohon dan kedua matanya terpejam itu. Wajah cantik itu bersinar kehijauan, warna yang tidak wajar sungguhpun tidak merusak atau mengurangi kecantikan wajah yang manis itu.

Ceng Ceng yang bersandar pada batang pohon memejamkan matanya, mengenangkan kembali semua pengalamannya, teringat dia akan Kian Lee, pemuda gagah tampan yang cinta kepadanya akan tetapi ternyata adalah pamannya sendiri itu! Membayangkan wajah gagah berwibawa dari Gak Bun Beng, supeknya yang selama ini dianggapnya sebagai ayah kandungnya yang sudah mati. Betapa anehnya lika-liku jalan hidupnya, aneh dan penuh dengan kekecewaan karena peristiwa yang tak tersangka-sangka olehnya. Betapa semenjak meninggalkan Bhutan, dia bertemu dan berhubungan dengan orang-orang besar dan pandai. Dimulai dengan pengangkatan saudara oleh Puteri Syanti Dewi, disusul peristiwa hebat yang membuat kakeknya gugur dan membuat dia mulai memasuki hidup baru, hidup perantauan dan petualangan yang penuh kegetiran hidup. Pertemuannya dengan Ang Tek Hoat, dengan Jenderal Kao, dengan Ban-tok Mo-li, sampai dengan Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hitam, dengan Hek-tiauw Lo-mo, kemudian malapetaka yang

menimpa dirinya, yang menghancurkan semua keindahan hidupnya, pemerkosaan atas dirinya! Semua itu agaknya masih belum habis  sehingga dia terlibat dalam pemberontakan, berhasil membantu demi kehancuran pemberontakan, dan bertemu dengan rahasia kehidupan mendiang ibunya! Dan sekarang, dia menderita luka parah yang agaknya tidak ada lagi obatnya.

Nyawanya hanya tinggal paling lama satu bulan lagi saja. Satu bulan! Hanya tiga puluh hari lagi, bahkan menurut Yok-kwi, mungkin dalam belasan hari saja dia akan mati! Dan musuh besarnya, pemerkosanya, belum juga dapat ditemukannya! Ah, mengapa nasibnya begini buruk? Ayahnya...., ah, ibunya pun diperkosa orang, dan dia adalah anak yang lahir dari hasil perkosaan! Mengapa mesti disesalkan? Dia seorang yang tidak berharga, dan tinggal sebulan lagi! Mengapa hidup yang tinggal singkat itu harus diisi dengan kedukaan? Tidak, dia harus bergembira! Dia dahulu selalu gembira, sebelum bertemu dengan Syanti Dewi.

Sekarang, hidup tinggal sebulan, bahkan mungkin hanya beberapa hari lagi saja, dia harus bergembira.

"Hemm, sebulan lagi....!" Dia berkata sambil membuka matanya.

Begitu membuka matanya, tampaklah Topeng Setan yang duduk tak jauh di depannya, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan iba dan kekhawatiran. Baru Ceng Ceng teringat bahwa dia tidak sendirian, bahwa di situ masih ada Topeng Setan yang menjadi satu-satunya sahabatnya di dunia ini. Manusia aneh yang berkali-kali telah menolongnya, yang amat setia kepadanya.

"Lu-bengcu, mengapa kau kelihatan berduka sekali?" Topeng Setan bertanya, suaranya mengandung getaran aneh, seperti orang yang amat terharu, sungguhpun wajah yang kasar dan buruk itu tidak membayangkan apa-apa.

Ceng Ceng menarik napas panjang, menatap wajah buruk itu penuh perhatian sehingga beberapa lamanya mereka saling beradu pandang mata dan akhirnya Topeng Setan menundukkan mukanya, seolah-olah tidak kuat menatap pandang mata itu.

"Kenapa engkau tidak mau menanggalkan topengmu dan memperkenalkan wajahmu kepadaku?" Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya dan Topeng Setan cepat menggeleng kepalanya. "Harap bengcu tidak memaksaku, kita telah berjanji...."

Ceng Ceng menghela napas. "Aku tidak ingin melanggar janji, hanya karena engkau satu-satunya sahahatku yang baik dan karena aku ingin tahu apakah engkau ini seorang kakek tua renta, seorang setengah tua atau seorang muda sehingga memudahkan aku untuk memanggilmu...."

"Mengapa? Bengcu sudah biasa memanggilku Topeng Setan dan aku sudah merasa senang dengan panggilan itu...."

"Tidak pantas! Sungguh tidak pantas. Engkau adalah penolongku, sudah berulang kali membantu dan menyelamatkan aku. Apakah engkau seorang kakek-kakek ataukah seorang muda? Kepandaianmu demikian tingginya sehingga sepantasnya engkau sudah sangat tua, akan tetapi...."

"Aku memang sudah tua, Bengcu...."

"Kalau begitu, biarlah kusebut engkau Paman...."

"Terserah kepada Bengcu...."

"Dan harap Paman tidak menyebutku bengcu (ketua), karena sekarang aku tidak mau menjadi kepala dari para perampok dan maling itu. Apalagi dengan sebutan Lu-bengcu karena aku bukan she Lu."

"Eh....?" Topeng Setan berseru heran.

"Aku bukan she Lu, aku she Wan.... ah, aku sendiri baru tahu. Namaku Wan Ceng, nama terkutuk...."

Topeng Setan kelihatan kaget dan gelisah. "Bengcu...., mengapa.... mengapa begitu? Apa yang terjadi?"

"Paman, maaf, aku tidak dapat menceritakan kepadamu. Dan karena aku sudah menyebutmu paman, maka kauanggaplah aku keponakanmu sendiri dan kau menyebut namaku yang biasa dipanggil Ceng Ceng. Tentu saja kalau kau sudi...."

"Tentu saja! Dan kuharap kau jangan memikirkan yang bukan-bukan sehingga hatimu menjadi tertindih, Ceng Ceng. Apalagi dengan luka yang kauderita sekarang, sama sekali kau tidak boleh diganggu pikiran yang menimbulkan duka."

Ceng Ceng tersenyum. "Memang aku harus bergembira, Paman. Paling lama hidupku tinggal sebulan lagi, perlu apa aku berduka?"

"Tidak! Demi Tuhan, tidak, Ceng Ceng. Engkau memang menderita pukulan beracun, akan tetapi kau tidak mati...."

"Terima kasih, Paman. Kata-katamu menghibur sekali, akan tetapi tidak perlu kau memberi harapan kosong. Yok-kwi adalah seorang ahli yang pandai dan dia mengatakan bahwa aku tidak akan dapat bertahan lebih dari satu bulan, kecuali kalau bertemu dengan manusia-manusia dewa yang pandai seperti Pendekar Super Sakti ayah dari.... Paman.... eh, dari Suma Kian Lee, atau dengan Si Dewa Bongkok atau.... Ban-tok Mo-li guruku sendiri yang telah mati...."

"Ahhh....! Jadi engkau murid Ban-tok Mo-li?"

"Benar, dan hal itulah yang membuat Yok-kwi tidak dapat menolongku. Pukulan-pukulan yang kuderita dari Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang amat dahsyat akan tetapi itupun masih dapat disembuhkan oleh Yok-kwi, kalau saja di dalam tubuhku tidak penuh dengan racun yang timbul karena latihan-latihan pukulan beracun yang kuterima dari mendiang Subo Ban-tok Mo-li. Karena tubuhku mengandung hawa beracun, maka pukulan Hek-tiauw Lo-mo bergabung dengan racun di tubuhku sendiri, maka aku tidak dapat tertolong lagi...."

"Cukup, Ceng Ceng. Jangan kau khawatir karena ada orang yang akan mampu menolongmu dan menyembuhkanmu."

"Siapa....?"

"Aku sendiri!"

"Aihh.... Paman.... engkau yang telah menolongku berkali-kali.... katakanlah sejujurnya, apakah benar engkau dapat menyembuhkan aku?" Ceng Ceng berteriak sambil meloncat berdiri dengan mata terbelalak dan wajahnya yang bersinar kehijauan itu membayangkan harapan besar, kedua matanya menjadi basah karena hatinya tergoncang penuh ketegangan.

Topeng Setan mengangguk. "Duduklah, Ceng Ceng dan tenangkan hatimu. Kebetulan sekali bahwa aku pun pernah mempelajari tentang racun-racun yang terkandung dalam pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Coba perkenankan aku memeriksa pundakmu yang terpukul oleh iblis tua itu."

Dengan penuh gairah Ceng Ceng lalu duduk di dekat Topeng Setan, membuka bajunya dan membiarkan pundaknya yang kanan telanjang. Dia tidak melihat betapa Topeng Setan memejamkan matanya sebentar sambil menahan napas ketika melihat dia membuka baju dan melihat pundak yang berkulit putih halus itu. Kemudian orang aneh itu membuka matanya kembali dan berkata, "Maafkan aku harus meraba pundakmu untuk memeriksa, Ceng Ceng."

"Aih, Paman Topeng Setan mengapa begitu sungkan? Aku sudah menganggap engkau sebagai pamanku sendiri."

Topeng Setan lalu meraba pundak yang menjadi hijau kehitaman itu. Beberapa lamanya dia meraba-raba pundak dan punggung, menekan sana-sini dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan kaget.

"Bagaimana Paman?"

"Ah, Yok-kwi itu memang pintar sekali...."

Ceng Ceng terkejut. "Kalau begitu.... benarkah bahwa aku.... aku akan mati dalam waktu sebulan?"

Topeng Setan menjawab cepat. "Tidak! Memang demikian kalau tidak ada yang mengobati, akan tetapi aku akan menyembuhkanmu, Ceng Ceng. Demi Tuhan, aku akan menyembuhkanmu, apa pun yang akan terjadi!"

Ceng Ceng merasa heran dan terharu menangkap nada suara yang aneh dan tergetar di dalam kata-kata Topeng Setan.

"Dan memang benar sekali ketika mengatakan bahwa racun pukulan Hek-tiauw Lo-mo bercampur dengan racun di tubuhmu yang timbul karena latihan-latihanmu menurut pelajaran Ban-tok Mo-li. Akan tetapi aku mengenal pukulan Hek-tiauw Lo-mo ini dan aku dapat menyembuhkan. Hanya hawa beracun di tubuhmu yang kini telah membalik dan menyerang dirimu sendiri.... biarpun setelah akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo lenyap engkau tidak akan mati karenanya, akan tetapi hawa beracun itu akan membuatmu menderita dan kiranya hanya ada satu macam obat yang akan dapat membersihkan tubuhmu sama sekali dari cengkeraman hawa beracun itu."

"Dan obat itu tak mungkin didapatkan....?" Ceng Ceng bertanya, siap menghadapi hal yang paling buruk sekalipun karena sekarang Topeng Setan sudah menyatakan sanggup melenyapkan ancaman maut dari tubuhnya.

"Sukar sekali didapatkan, akan tetapi akan kucoba juga. Obat itu merupakan seekor anak naga yang berada di Telaga Sungari, yang muncul sepuluh tahun sekali. Itu pun kalau kebetulan telurnya menetas. Sudahlah, hal itu kita bicarakan lagi nanti kalau luka pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah sembuh. Akan tetapi kita harus mencari tempat sunyi untuk pengobatan ini agar jangan terganggu orang lain."

Mereka lalu memasuki sebuah hutan lebat dan akhirnya mereka berdua tiba di tempat yang sunyi dan tersembunyi, di balik sekumpulan batu-batu besar yang tertutup semak-semak belukar. Topeng Setan minta agar Ceng Ceng membuka baju di punggungnya, menyuruh dia duduk bersila, kemudian dia sendiri lalu duduk bersila dan bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga dan memusatkan panca indra.

"Kaulumpuhkan semua tenaga di dalam tubuhmu, dan apa pun yang kulakukan kepadamu, jangan kaulawan dan jangan kaget kalau nanti engkau muntah darah," terdengar suara Topeng Setan berbisik dan Ceng Ceng mengangguk, membiarkan dirinya "terbuka" dan melemaskan seluruh urat menyimpan semua hawa tenaga di dalam tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu, pukulan seorang biasa saja sudah cukup untuk membunuhnya! Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan pengalamannya ketika Kian Lee mencoba untuk mengobatinya, maka dia berkata, "Nanti dulu, Paman. Apakah pengobatan ini tidak berbahaya bagimu? Paman.... Suma Kian Lee pernah mencoba untuk mengobatiku dengan sin-kang dan hampir dia celaka karena racun di tubuhku menular kepadanya."

"Jangan khawatir, aku akan mencegah hawa beracun di tubuhmu mengadakan perlawanan otomatis. Nah, aku mulai!"

Topeng Setan lalu menotok jalan darah di daerah pundak yang terluka, di seputarnya, kemudian mengurut punggung dara itu beberapa kali. Ceng Ceng merasa betapa tubuh belakangnya menjadi panas sekali, akan tetapi dia mempertahankannya, bahkan ketika kepalanya terasa pening, dia pun tidak menggerakkan tubuh sedikitpun juga. Dia sudah pasrah dengan kepercayaan penuh kepada orang aneh bertopeng buruk ini. Nyawanya sudah terancam bahaya maut, apakah artinya bahaya lain lagi yang mungkin mengancamnya dalam cara pengobatan ini?

Kemudian gerakan jari-jari tangan yang kuat dan mengurut-urut punggung dan pundaknya itu berhenti, lalu terasa olehnya betapa kedua telapak tangan yang lebar, kasar dan kuat itu menempel di punggung atas dan dekat pundak. Mula-mula hanya ada hawa hangat saja menjalar keluar dari kedua telapak tangan itu, hawa panas yang berputaran dan berpusat di pundaknya yang terluka. Rasa nyeri menusuk-nusuk tempat itu, akan tetapi Ceng Ceng tetap duduk tak bergerak dan hanya beberapa tetes air mata yang meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di sepanjang kedua pipinya saja yang menandakan betapa gadis itu menderita

rasa nyeri yang hebat! Kedua tangan yang lebar itu kini gemetar dan makin lama makin hebat, akhirnya menggigil dan Ceng Ceng merasakan betapa gelombang demi gelombang hawa yang amat kuat memasuki tubuhnya dan menyerang pundaknya yang terluka. Dia kagum sekali. Pernah dia merasakan hawa sakti yang keluar dari tangan Suma Kian Lee, juga amat kuat dan panas akan tetapi halus dan tidak sedahsyat tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan ini. Diam-diam dia makin kagum dan terheran-heran. Siapakah sebenarnya orang yang amat lihai ini? Siapa yang bersembunyi di balik topeng buruk itu dan mengapa orang ini menyembunyikan mukanya dari dunia? Agaknya orang ini sudah mengalami pukulan batin hebat pula, pikir Ceng Ceng dengan perasaan kasihan.

Tiba-tiba hawa yang amat kuat mendesaknya dari pundak ke atas dan dia merasa lehernya tercekik dari dalam, membuatnya tidak dapat bernapas lagi! Kalau saja Ceng Ceng tidak sudah menyerahkan seluruh keselamatan nyawanya kepada Topeng Setan, kalau saja dia tidak sudah percaya sepenuhnya lahir batin karena dia tahu bahwa nyawanya memang sudah terancam maut, tentu dia akan meronta dan melawan. Akan tetapi, dia pasrah dengan seluruh kepercayaannya sehingga cekikan yang dirasakan dalam tubuhnya, yang membuatnya sama sekali tidak dapat bernapas lagi itu, tidak membuat dia menjadi panik. Bahkan dia merasakan serta mengikuti tenaga dahsyat yang mengalir dari bawah dan mendesak itu. Akhirnya hawa yang amat kuat itu sampai di tenggorokannya dan tak dapat ditahan lagi dia lalu muntahkan darah kental menghitam yang cukup banyak!

Topeng Setan melepaskan kedua tangannya dan berkata lirih, "Sekarang kau rebahlah, Ceng Ceng. Rebah dan tidurlah, jangan memikirkan apa-apa...."

Seperti terkena sihir, tanpa membuka matanya Ceng Ceng lalu merebahkan diri terlentang, bajunya masih belum dipakai lagi, kini dipegang oleh kedua tangannya dan menutupi dadanya. Rasa lemas dan lelah luar biasa membuat Ceng Ceng seperti setengah pingsan, akan tetapi rasa nyaman meliputi dirinya, terutama sekali karena pundaknya tidak terasa sakit lagi, membuat dia menjadi mengantuk sekali dan tak lama kemudian gadis ini pun sudah tidur pulas!

Ketika dia terbangun, Ceng Ceng merasakan tubuhnya nyaman dan ringan, juga perutnya menjadi lapar sekali. Dia teringat akan pengobatan tadi dan membuka matanya. Ternyata di luar bajunya yang dipakai menutupi dadanya kini terdapat sehelai jubah lebar yang menyelimutinya. Jubah Topeng Setan! Dia teringat bahwa tadi dia muntah darah, akan tetapi ternyata sudah tidak ada bekas-bekasnya di situ, sudah dibersihkan oleh Topeng Setan tentunya. Ceng Ceng bangkit duduk dan memakai kembali bajunya. Sambil membawa jubah itu, dia keluar dari balik batu-batu besar dan melihat Topeng Setan sedang memanggang sesuatu.

"Eh, kau sudah bangun? Nah, mukamu sudah merah lagi, tanda hawa beracun itu telah lenyap. Eh, eh.... apa yang kaulakukan ini?"

Topeng Setan cepat meloncat berdiri ketika dia melihat Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut di depannya!

"Paman telah berkali-kali menolongku, dan sekarang pun Paman telah memperlihatkan kebaikan kepadaku, entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikan Paman."

"Eh, kau.... kau.... jangan begitu!" Sekali tarik saja, Topeng Setan telah membuat Ceng Ceng terpaksa bangkit berdiri.

"Ceng Ceng, jangan kauulangi lagi perbuatanmu itu. Aku berusaha mengobatimu dengan hati tulus, sama sekali tidak mengandung pamrih agar engkau berhutang diri kepadaku. Aku.... aku tidak suka engkau bersikap demikian. Pula engkau memang sudah terbebas dari pukulan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi engkau masih dicengkeram hawa beracun dalam dirimu yang menjadi racun jahat setelah bertemu dengan pukulan kakek iblis itu."

Ceng Ceng mengembalikan jubah itu, duduk dekat api tempat Topeng Setan memanggang seekor ayam hutan, menarik napas panjang lalu berkata, "Aku tidak akan berbuat demikian lagi kalau engkau tidak suka, Paman Topeng Setan. Akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku? Mengapa engkau selalu menolongku, sejak aku dikeroyok orang di atas rumah di kota raja dahulu itu? Mengapa?"

"Karena.... aku adalah pembantumu, Ceng Ceng. Engkau bengcu dan aku pembantumu, bukan?"

"Ah, harap jangan menggunakan alasan itu, karena aku tahu bahwa itu hanya merupakan alasan kosong yang dicari-cari. Kepandaianmu sepuluh kali lebih tinggi daripada kepandaianku, namun engkau merendahkan diri menjadi pembantuku! Kita semua telah berpura-pura, bersandiwara. Kau tahu bahwa aku menjadi bengcu karena hanya ingin membantu pemerintah agar gerombolan itu tidak dikuasai oleh Tek Hoat yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dan Tek Hoat bersandiwara karena dia kalah janji dan terikat sumpah dengan aku. Akan tetapi kau.... mengapa kau selalu menolongku?"

Topeng Setan menarik napas panjang dan membalik panggangannya. "Mungkin karena aku kasihan kepadamu, Ceng Ceng, juga karena kagum menyaksikan jiwa kepahlawananmu. Sudahlah, mari kita makan ayam panggang ini dan aku sudah mencari air minum." Dia mengangkat sebuah guci penuh air. "Engkau harus makan sampai kenyang, baru nanti kuberi petunjuk latihan untuk membersihkan sisa hawa pukulan itu, sungguhpun racun di dalam tubuhmu hanya dapat disembuhkan oleh obat mujijat itu."

"Anak naga....?"

Topeng Setan mengangguk. Mereka lalu makan daging ayam panggang yan masih mengepulkan uap itu. Gurih sedap! Makanan apa pun akan terasa gurih, sedap dan lezat apabila perut sudah lapar dan tubuh membutuhkan tenaga baru. Apalagi makanan daging ayam hutan panggang, ayamnya muda dan gemuk lagi! Tak lama kemudian habislah semua daging ayam itu, dan setelah mereka minum air jernih dari guci itu, Ceng Ceng bertanya, "Paman, kalau obat mujijat itu berupa seekor anak naga, mana mungkin kita menangkapnya?"

"Sebetulnya mungkin hanya sebutannya saja anak naga! Menurut cerita dari guruku, yang berada di dasar Telaga Sungari itu adalah seekor ular besar, semacam ular laut yang sudah pindah ke telaga dan menjadi ular telaga. Ular ini mungkin hanya tinggal satu-satunya di dalam dunia. Setiap sepuluh tahun sekali dia bertelur dan kalau telurnya menetas, biasanya hal itu terjadi di permulaan musim semi, dia akan membawa anaknya yang baru menetas itu keluar ke permukaan telaga untuk menangkap inti tenaga matahari. Nah, permulaan musim semi adalah bulan depan, maka kita harus berusaha untuk menangkap ular besar itu."

"Tentu sukar dan berbahaya sekali. Dan kalau kita gagal bagaimana, Lopek (Paman Tua)?" Ceng Ceng berhenti sebentar dan memandang penuh selidik. "Kalau gagal memperoleh obat mujijat itu, akhirnya aku akan mati juga?"

Topeng Setan menggeleng kepalanya. "Bahaya pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah lewat. Pukulannya itu adalah pukulan Hek-coa-tok-ciang (Pukulan Tangan Beracun Ular Hitam) yang kukenal, dilatihnya dengan menggunakan racun ular hitam. Tidak, engkau tidak akan mati karena racun itu, Ceng Ceng, hanya.... karena racun di tubuhmu sudah diselewengkan oleh akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo, maka tanpa obat itu engkau akan menjadi seorang manusia beracun yang banyak menderita. Akan tetapi, untuk itu pun masih ada jalan untuk mengurangi penderitaan dan dengan sedikit demi sedikit racun itu dapat dikurangi pengaruhnya."

"Jalan apa, Paman?"

"Dengan latihan inti dari gerakan ilmu silat."

"Paman, sudah sejak kecil saya berlatih silat...."

"Aku tahu, Ceng Ceng. Akan tetapi harus kau akui bahwa selama ini engkau mempelajari silat dengan dasar membekali diri untuk perkelahian, bukan? Itulah maka engkau sampai terjeblos mempelajari ilmu dari Ban-tok Mo-li. Padahal, ilmu silat tercipta dari gerakan yang tadinya sama sekali mempunyai dasar lain, yaitu dasar sebagai olah raga untuk menjaga kesehatan."

"Paman Topeng Setan, aku tidak mengerti apa yang kaumaksudkan, aku belum pernah mendengar tentang itu."

"Begini riwayatnya, Ceng Ceng. Engkau perlu mengetahui riwayatnya lebih dulu sebelum melatih diri dengan ilmu itu untuk menyehatkan tubuhmu dan sedikit demi sedikit mengusir hawa beracun dari tubuhmu. Engkau tentu telah mendengar bahwa pencipta ilmu silat yang amat terkenal adalah Tat Mo Couwsu. Beliau adalah seorang pendeta yang sakti dan mulia, yang tidak hanya mengajarkan ilmu kebatinan Agama Buddha untuk menolong manusia dari lembah kesengsaraan dan menuntun ke jalan kebajikan, juga beliau yang menciptakan dasar-dasar gerakan yang menjadi inti dari ilmu silat, terutama ilmu silat para pendeta Buddha, yaitu

Siauw-lim-pai."

Ceng Ceng mengangguk-angguk. Soal Tat Mo Couwsu pernah didengarnya dari kakeknya. Menurut kakeknya, Tat Mo Couwsu adalah pencipta pertama dari ilmu silat yang menjadi sumber semua ilmu silat yang dikenal sekarang.

Bersambung ke Bagian 6 ...