Bagian 2
"Suruh nelayan tua dan nona itu pindah ke perahu sini dulu!" Nenek yang cerdik itu membentak. Dia memang dapat menduga bahwa pemuda hebat itu hanya mau menyerah karena mengkhawatirkan keselamatan dara muda dan kakek yang kelihatan lemah itu.
Kian Lee terpaksa mengangguk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin karena di atas sungai itu tidak ada lain jalan. Hanya menyerah sajalah yang paling aman. Mereka itu tentu tidak akan mengganggu Cui Lan dan Hok-taijin selama dia tidak melawan, karena yang mereka butuhkan hanya perahu itu saja. Cui Lan dan Hoktaijin lalu meninggalkan perahu itu dan pindah ke perahu si nenek. Betapapun juga, Cui Lan bersikap tenang karena yang menawannya adalah wanita-wanita, bukan laki-laki kasar seperti para bajak tadi. Empat orang anggauta Hek-engpang, dipimpin oleh Kim-hi Nio-cu sen diri lalu berlompatan ke atas perahu Kian Lee setelah melihat bahwa dua orang kawan pemuda itu berpindah perahu.
"Mari berangkat!" Nenek itu berseru dan bergeraklah empat buah perahu itu meluncur ke depan dengan cepatnya.
Kim-hi Nio-cu mendekati Kian Lee yang memegang kemudi perahu. Sambil tersenyum manis kepala Pasukan Air yang cantik itu menatap wajah Kian Lee dengan penuh kagum. Seorang nelayan muda yang demikian tampan dan gagah, memiliki kepandaian hebat sehingga mampu menandingi ketua atau gurunya, benar-benar sukar ditemukan di dunia ini! Melihat wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang berpakaian serba hitam yang pakaiannya basah kuyup sehingga pakaian itu melekat di tubuhnya memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh yang sedang masak-masaknya, Kian Lee mengalihkan pandang matanya, tidak mau melihat bentuk tubuh yang agaknya sengaja dipamerkan padanya itu. Melihat ini, Kimhi Nio-cu tersenyum lebar, kemudian terkekeh geli karena dia menganggap sikap Kian Lee itu sikap seorang muda yang masih hijau dan yang malu-malu. Padahal pemuda itu sudah mempunyai isteri! Kemudian dia teringat bahwa isteri pemuda itu berada di perahu lain maka dia menganggap bahwa sikap Kian Lee itu tentu karena marah dan khawatir akan nasib isterinya.
"Jangan kau khawatir, asal engkau tidak membangkang perintah Pangcu, isterimu itu tentu tidak akan diganggu."
"Isteri? Dia bukan isteriku," jawab Kian Lee. Karena Cui Lan tidak terancam seperti ketika para bajak laut tadi hendak kurang ajar, maka dia tidak perlu lagi mengaku sebagai suami dara itu, pikirnya.
"Ahhh....!" Kim-hi Nio-cu berseru kaget dan girang. Jadi pemuda ini benar-benar masih perjaka, pikirnya kagum.
"Dan kakek itu?"
Kian Lee teringat bahwa dua orang itu, terutama Hok-taijin, harus menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menjawab cepat, "Dia adalah sahabatku, dan gadis itu puterinya. Kami sedang mencari ikan ketika bajak-bajak itu memaksa kami membawa mereka sampai bertemu dengan kalian."
"Dan kau begitu gagah dan berkepandaian tinggi....!"
Kian Lee tersenyum mengejek. "Dan tidak berdaya karena kecurangan kalian!"
Kim-hi Nio-cu tertawa kecil dan menutupi mulut dengan gaya genit. "Kami golongan wanita, selain menggunakan ilmu silat juga harus menggunakan akal dan siasat menghadapi kaum pria. Hihik. Eh, pemuda yang lihai, siapakah namamu?"
"Tidak perlu mengenal namaku, kuberitahu pun kau takkan mengenalku."
"Wah-wah, tanpa nama bagaimana dapat menyebut dan memanggilmu?" Kim-hi Nio-cu tertawa genit karena dia makin tertarik kepada pemuda yang aneh ini.
"Hemmm, sebut saja aku Nelayan" kata Kian Lee yang memang tidak ingin memperkenalkan namanya sembarangan saja.
"Eh, Nelayan Muda, ya, kusebut kau Nelayan Muda, yang tampan dan gagah!"
Kian Lee merasa jemu dan membuang muka, selanjutnya tidak melayani lagi semua kata-kata Kim-hi Nio-cu yang jelas amat tertarik kepadanya.
Pelayaran itu makan waktu lama juga, sampai sehari semalam barulah si nenek memerintahkan semua perahu ke pinggir. Selama itu, Kian Lee, Cui Lan dan Hok-taijin tidak mendapat gangguan, dan diajak makan bersama dengan baik, hanya Kian Lee yang selalu diganggu oleh rayuan Kim-hi Nio-cu yang sama sekali tidak dilayaninya dan karena wanita itu maklum akan kelihaian pemuda itu maka dia pun tidak berani menggunakan paksaan.
Semua orang mendarat dan beberapa orang anggauta Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Kim-hi Nio-cu menodongkan pedang mereka ke punggung Cui Lan dan Hok-taijin. Karena ini maka Kian Lee tidak berdaya sama sekali dan dia pun ikut mendarat, akan tetapi dia tetap bersikap tenang. Nenek itu kini menghadapinya, memandang dengan penuh perhatian, kemudian berkata, "orang muda, kami merasa kagum sekali padamu dan kami mengundangmu untuk datang berkunjung ke markas kami di puncak Bukit Cemara." Setelah berkata demikian, nenek itu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk berangkat. "Tapi, Pangcu....!" Kian Lee membantah.
Kim-hi Nio-cu mendorong Cui Lan dan Hok-taijin ke depan dan dari jauh dia ber kata kepada Kian Lee, "Nelayan Muda, tidak ada yang boleh membantah kehendak Pangcu, apalagi beliau mengundangmu dengan baik-baik sebagai seorang tamu. Jangan sampai kami terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap dua orang kawanmu ini."
Karena Cui Lan dan Hok-taijin di todong, maka terpaksa. Kian Lee mengangguk dan mengikuti perjalanan mereka. Dia maklum bahwa selama dia tidak membantah, tentu dua orang itu selamat dan karena permintaan mereka itu pun bukan hal yang tidak patut, melainkan mengundangnya datang berkunjung, dia pun tidak keberatan. Pula, dia pun ingin mengenal markas perkumpulan yang semua anggautanya terdiri dari wanita wanita yang memiliki kepandaian lumayan ini.
Belum jauh mereka berjalan, baru tiba di kaki bukit, mereka telah disambut oleh serombongan wanita yang dipimpin oleh seorang wanita muda berpakaian serba hitam seperti Kim-hi Niocu, mukanya putih dan manis dan rombongan ini segera memberi hormat kepada Hek-eng-pangcu dengan hormat. Kiranya mereka itu adalah Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li. Tiba di lereng bukit, mereka disambut oleh Pasukan Kayu dan Kian Lee merasa makin kagum. Kiranya perkumpulan Hek-engpang itu sungguhpun merupakan perkumpulan kaum wanita, namun mempunyai disiplin yang baik dan semua anggautanya kelihatan gagah dan patuh kepada pimpinan mereka.
Setelah mereka tiba di puncak di mana terdapat markas perkumpulan itu yang merupakan sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok seperti benteng dan mereka memasuki pintu gerbang, Kian Lee menjura ke arah nenek itu dan berkata, "Saya kira cukup sampai di sini saja dan harap Pangcu suka membiarkan kami bertiga kembali ke perahu kami."
Hek-eng-pangcu yang tadi merasakan kelihaian pemuda itu sudah merasa tertarik dan ingin sekali dia mendapatkan seorang pembantu selihai itu, maka mendengar ucapan itu dia menjawab dengan suara dingin. "Kami bermaksud baik, hendak menjamu Sicu sebagai seorang tamu yang terhormat. Bawa mereka ke dalam!" perintahnya kepada Kim-hi Niocu yang segera menggiring Cui Lan dan Hok-taijin ke dalam di bawah todongan pedangnya. Cui Lan menoleh dan memandang ke arah Kian Lee dengan alis berkerut dan melihat pemuda itu seperti orang marah, dia khawatir kalau-kalau pemuda itu menjadi marah dan mengamuk, maka dia cepat menggelengkan kepalanya dan tersenyum menenangkan hati Kian Lee. Kian Lee menarik napas panjang dan diam-diam dia memuji Cui Lan yang dalam segala hal selalu bersikap tenang dan tidak putus harapan, sama sekali tidak kelihatan khawatir.
Setelah dua orang itu "disimpan" nenek itu sendiri lalu mempersilakan Kian Lee memasuki ruangan luas di sebuah gedung pusat di mana akan diadakan pesta untuk merayakan kemenangan mereka yang berhasil membalas penghinaan yang ditimpakan kepada dua orang anggauta mereka. Kian Lee dipersilakan duduk di meja nenek itu sendiri dan tak lama kemudian hidangan-hidangan pun dikeluarkan.
"Saya harap Pangcu tidak melupakan dua orang kawan saya, karena kalau mereka itu sengsara, bagaimanapun saya tidak suka makan minum, kata Kian Lee.
"Hemmm, Sicu benar-benar seorang gagah perkasa yang tahu akan setia kawan. Sungguh aku merasa kagum sekali. Jangan Sicu khawatir, dua orang kawanmu itu tidak akan mengalami suatu kesengsaraan apa pun dan mereka saat ini juga dijamu seperti Sicu, hanya tempatnya yang berbeda. Mari minum untuk persahabatan kita, Sicu."
Tiba-tiba seorang anggauta Hek-engpang datang melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan pangcu.
"Siapa dia? Liong-li, kaulihat siapa dia dan apa niatnya!"
Liong-li, kepala Pasukan Tanah yang hadir dalam pesta itu bersama empat orang kepala pasukan lainnya, cepat bangkit dan berjalan cepat keluar bersama anggauta yang melaporkan itu dan tak lama kemudian dengan wajah berubah lalu mendekati nenek itu dan berbisik, "Pangcu, dia.... dia itu yang datang.... Si Jari Maut"
"Ahhh....? Persilakan dia masuk!" katanya dengan wajah berubah. Dia dahulu telah mendengar laporan Kim-hi Nio-cu dan Liong-li tentang seorang pemuda lihai bukan main yang memesan kepada wanita itu agar mengatakan kepada ketuanya bahwa dia akan datang berkunjung dan kalau si ketua bertanya disuruh mengatakan bahwa dia adalah seorang yang biasa membunuh dengan jari tangan! Hek-eng-pangcu sudah mendengar bahwa orang muda selihai itu yang biasa membunuh dengan jari tangan tentulah Si Jari Maut yang beberapa tahun yang lalu namanya menggetarkan dunia kang-ouw. Kini ternyata pemuda itu benar-benar muncul! Padahal tadinya, diam-diam di dalam hatinya timbul dugaan bahwa pemuda nelayan itulah Si Jari Maut karena menurut berita, Si Jari Maut itu yang memiliki kesaktian hebat adalah seorang pemuda yang tampan. Sekarang kiranya bukan pemuda yang duduk di depannya ini.
"Aku sudah di sini, Pangcu!" Tiba-tiba terdengar suara tenang, dingin dan tegas. Kian Lee terkejut bukan main ketika dia menoleh dan melihat bahwa orang yang masuk itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
"Saudara Ang...., kau di sini....?"
Tentu saja Kian Lee menegur dengan ragu-ragu dan heran karena sepanjang pengetahuannya, Ang Tek Hoat telah menjadi panglima di Bhutan, bahkan telah menjadi calon suami Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tempat ini dan mengaku lagi julukannya yang telah lama ditinggalkannya itu, julukan ketika Si Jari Maut ini masih menggunakan nama Gak Bun Beng, suhengnya, ketika pemuda ini memburuk-burukkan nama Gak Bun Beng dengan segala macam kejahatan karena menganggap Gak Bun Beng seorang musuh besarnya? Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali diceritakan dengan jelas tentang peristiwa itu.
Pemuda itu memang Ang Tek Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia pernah bertemu dengan Kim hi Nio-cu dan Liong-li ketika dia menolong dua orang putera Jenderal Kao Liang yang terancam keselamatannya oleh dua orang dari Huang-ho Kui-liongpang, kemudian dia mengatakan kepada dua orang kepala pasukan Hek-eng-pang itu bahwa dia akan mengunjungi ketua mereka. Ketika dia memandang kepada pemuda yang menyebutnya pada she-nya itu segera dia mengenal putera Pulau Es itu, putera Majikan Pulau Es! Bahkan dia pun tahu bahwa Suma Kian Lee ini terhitung masih paman tirinya sendiri. Suma Kian Lee adalah putera dari neneknya, Lulu dan Suma Man si Pendekar Super Sakti, sedangkan mendiang ayahnya yang amat jahat itu, Wan Keng In, adalah putera Lulu bersama seorang she Wan. Akan tetapi, mengingat akan pesan ibunya yang kini telah tewas dalam cara yang menyedihkan sekali, biarpun dahulu dia tidak setuju dengan pesan ibunya, yaitu bahwa dia harus membalas dendam kepada keluarga Pulau Es, kini melihat Suma Kian Lee dia teringat akan ibunya dan hatinya menjadi dingin terhadap keluarga yang dibenci oleh ibunya itu. Dengan sikap dingin dan acuh tak acuh dia mengangguk kepada Kian Lee.
Tentu saja Kian Lee menjadi heran menyaksikan sikap Tek Hoat ini. Bukankah pemuda yang tadinya tersesat itu kabarnya telah menjadi baik kembali? Bukankah pemuda itu sudah maklum bahwa dia masih terhitung pamannya sendiri? Akan tetapi jelas bahwa sikap Tek Hoat seperti sikap seorang musuh! Ada apa pula ini?
"Aihhh.... Ji-wi (Anda Berdua) sudah mengenal?" Hek-eng-pangcu terkejut dan heran, memandang kepada Kian Lee dengan kagum. Kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, bukan seorang nelayan biasa melainkan seorang sahabat dari Si Jari Maut yang amat tersohor itu!
Tek Hoat tersenyum mengejek dan sambil memandang kepada Suma Kian Lee, dia berkata, "Siapa yang tidak mengenal Suma Kian Lee, saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka yang kalian cari-cari itu?"
Mendengar ini, nenek itu dan semua anak buahnya berteriak kaget dan otomatis mereka bergerak mengepung Kian Lee.
"Hemmm, bagus! Kiranya engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang mencuri harta keluarga Jenderal Kao? Kira-nya engkau memang sengaja hendak menyelidiki dan memata-matai kami? Hayo katakan di mana harta itu, kalau kau tidak mengaku, jangan harap akan dapat lolos dari tempat ini!" Yang-liu Nio-nio mengangkat tangannya dan seorang anak buahnya melemparkan sebatang ranting pohon yang-liu yang segar kepadanya.
Kian Lee memandang kepada Tek Hoat yang kini tersenyum-senyum duduk di atas sebuah kursi minum arak dan sikapnya sebagai orang yang menonton dan menikmati pertunjukan yang menyenangkan hati. Bermacam perasaan mengaduk hati Kian Lee. Pertama, dia teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin yang masih terancam keselamatannya. Ke dua, dia merasa heran mendengar adiknya, Suma Kian Bu, merampok harta benda Jenderal Kao. Mungkinkah ini? Akan tetapi kalau tidak, mengapa Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerang dia? Benarkah Kian Bu kini telah tersesat dan menjadi seorang perampok? Ke tiga, dia merasa gembira juga mendengar tentang Suma-kongcu yang tentu saja Kian Bu adanya, kalau tidak siapa lagi? Berita itu menandakan bahwa Kian Bu masih hidup dan berada di sekitar daerah ini. Ke empat, dia juga heran dan tidak mengerti melihat sikap Tek Hoat.
"Apa artinya ini? Aku tidak tahu sama sekali tentang harta pusaka Jenderal Kao!" teriaknya penasaran" melihat dirinya dikepung oleh para anak buah Hek-eng-pang.
"Tak perlu menyangkal lagi, orang muda engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka Jenderal Kao, akan tetapi engkau menyamar sebagai seorang nelayan miskin. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa engkau sedang melakukan penyelidikan. Sekarang lekas mengaku, di mana saudaramu itu menyembunyikan harta pusaka itu, kalau tidak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan."
Kian Lee menjadi marah. Apa pun yang dilakukan andaikata benar adiknya merampas harta pusaka keluarga Jenderal Kao, tentu telah diperhitungkan oleh adiknya itu dan tentu ada alasannya yang kuat. "Pangcu, kau hendak menggunakan kekerasan bagaimana? Silakan!"
Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan ranting pohon yang-liu di tangan kirinya itu dan terdengarlah teriakan nyaring dari mulut lima orang wanita cantik, yaitu Kim-hi Nio-cu, Liong-li dan tiga orang kepala pasukan yang semua telah berkumpul di situ. Lima orang wanita cantik ini maju mengepung diiringi pasukan masing-masing yang terdiri dari dua belas orang sehingga ketika itu ada enam puluh orang wanita mengepung Kian Lee dari lima penjuru, semuanya memegang senjata!
"Hemmm, kalian sungguh nekad dan gila!" Kian Lee membentak. "Aku sungguh tidak tahu-menahu tentang harta pusaka yang kalian maksudkan itu, akan tetapi kalau kalian memaksa dan hendak bertanding, majulah!"
Kembali lima orang wanita cantik itu kini bergerak secara teratur sekali, membentuk lingkaran dan bergerak-geraklah lingkaran yang berlapis dua itu, yang sebelah dalam bergerak dari kanan ke kiri sedangkan yang sebelah luar bergerak sebaliknya dari kiri ke kanan. Senjata mereka berbeda, yang depan menggunakan golok dan pedang akan tetapi barisan lingkaran ke dua menggunakan tombak dan senjata bergagang panjang. Yang-liu Nio-nio dan lima orang muridnya itu hanya berdiri di luar lingkaran, menonton dan mengatur barisan. Ketika Kian Lee melirik, dia melihat Tek Hoat masih duduk minum arak sambil tersenyum-senyum sehingga hatinya merasa mendongkol bukan main.
"Seranggggg....!" Terdengar teriakan nenek itu dan lingkaran dalam itu segera berhenti gerakannya memutari tubuh Kian Lee dan berkelebatanlah pedang dan golok, menimbulkan sinar yang menyilaukan mata menyambar ke arah Kian Lee dari semua jurusan! Pemuda ini tentu saja tidak dapat mengelak ke kanan atau kiri atau belakang karena senjata-senjata itu datang dari semua jurusan. Namun dia menggunakan keringanan tubuhnya dan tiba-tiba tiga puluh orang wanita dari barisan lingkaran pertama itu terkejut karena pemuda itu telah lenyap dari tengah-tengah mereka. Kiranya Kian Lee telah mencelat ke atas.
Nenek ketua Hek-eng-pang yang memimpin langsung penyerbuan itu berteriak lagi dan kini lingkaran pertama mundur dan lingkaran ke dua maju, menggunakan tombak mereka untuk menyambut tubuh Kian Lee yang melayang turun! Pemuda ini terpaksa menggerakkan kedua tangannya, didorongkan ke sekelilingnya dan lingkaran pemegang tombak dan senjata panjang itu menjadi kalang kabut karena mereka terhuyung-huyung sebelum senjata mereka sempat menyentuh tubuh pemuda itu sehingga Kian Lee dapat turun ke atas lantai dengan selamat, akan tetapi kini dua barisan lingkaran itu telah mengepungnya lagi.
Wajah pemuda itu menjadi merah dan sinar matanya mulai bercahaya. Seperti juga adiknya, Suma Kian Lee memiliki sepasang mata seperti mata ayahnya, Pendekar Super Sakti, yaitu tajam sekali sinarnya. Hanya bedanya, kalau sinar mata Pendekar Super Sakti mengandung keanehan yang mujijat daya sihir yang kuat dan berwibawa, mata dua orang puteranya itu hanya tajam saja, membayangkan kewajaran dan keberanian yang luar biasa.
"Kalian memaksa hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!" Kata-katanya ini disusul dengan gerakan tubuhnya, kedua tangannya mendorong ke sana-sini dan terdengarlah teriakan-teriakan dan jerit-jerit para wanita yang mengepung itu karena enam puluh orang wanita itu seperti daun-daun kering diamuk badai, terpelanting ke sana-sini, terhuyung dan ada yang terjengkang roboh, senjata mereka terpental dan mencelat ke mana-mana, menimbulkan suara gaduh ketika terbanting ke atas lantai. Dalam waktu singkat saja Kian Lee telah membuat enam puluh orang anggauta Hek-engpang itu mundur ketakutan, barisan mereka rusak dan biarpun tidak ada di antara mereka yang tewas, namun semua telah dibikin takut dan kaget oleh hawa pukulan yang menyambar dari kedua tangan pemuda itu, hawa pukulan rasa panas yang luar biasa dan menakutkan. Memang tadi untuk membuyarkan lingkaran yang mengurungnya dengan ketat, Kian Lee telah menggunakan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang yang panas.
Tentu saja lima orang kepala pasukan itu menjadi kaget setengah mati menyaksikan betapa enam puluh orang anak buah mereka dibikin kocar-kacir semudah itu oleh Kian Lee. Mereka tahu bahwa pemuda itu memang hebat, akan tetapi ketika guru mereka memberi isyarat, mereka berlima menemani guru mereka mengurung Kian Lee. Kini pemuda itu dikurung oleh enam orang, yaitu Nenek Yang-liu Nio-nio ketua Hek-eng-pang dan lima orang muridnya yang masing-masing menjadi kepala pasukan di perkumpulan itu. Jumlah murid langsung dari nenek ini hanya ada belasan orang saja dan yang lima ini merupakan murid-murid utama, maka tentu saja mereka berlima telah memiliki kepandaian yang lumayan. Kalau lima orang muridnya itu masing-masing memegang senjata tajam seperti siang-kiam, golok, pedang dan lain-lain, adalah Si nenek itu sendiri hanya membawa sebatang ranting yang-liu tadi karena memang itulah senjatanya yang paling ampuh, di samping pukulan atau cengkeraman tangannya yang terkenal yaitu Hek-eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda Hitam yang mengandung racun berbahaya.
"Bentuk barisan mengepung! Jaga dua orang itu agar jangan lolos!" Tiba-tiba nenek itu berseru kepada semua anak buahnya yang kocar-kocir tadi. Biarpun takut-takut, enam puluh orang itu sudah berkumpul dan membentuk lingkaran lebar mengurung ruangan itu, dan beberapa orang murid ketua itu sendiri yang memimpin penjagaan terhadap Cui Lan dan Hok-taijin agar jangan kabur dan menodongkan senjata mereka kepada dua orang tawanan ini.
"Hek-eng-pangcu, engkau sungguh terlalu!" Tiba-tiba Kian Lee membentak dan tubuhnya sudah bergerak menyerang ke depan,
Yang-liu Nio-nio menggerakkan rantingnya dan lima orang muridnya juga sudah menubruk dengan serangan dalam berbagai gaya. Kian Lee menggerakkan tubuhnya, mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru dan ramai! Tentu saja kalau Kian Lee bermaksud membunuh mereka berenam, dia tidak akan membutuhkan terlalu banyak waktu. Namun pemuda ini tidak suka membunuh, maka dia hanya mempertahankan diri, kemudian kalau dia membalas, itu pun dilakukan dengan hati-hati agar jangan sampai membunuh orang.
Kian Lee adalah seorang pemuda yang selalu berhati-hati dan sikapnya bijaksana. Dalam keadaan marah sekalipun dia tetap tenang dan waspada, tidak mau diseret oleh arus kemarahannya dan dia masih sadar bahwa para murid Yang liu Nio-nio ini hanyalah mentaati perintah guru mereka, maka dia pun bersikap lunak terhadap mereka. Yang diincarnya adalah Yang-liu Nio-nio, maka ketika dia memperoleh kesempatan baik, pada saat nenek itu menggerakkan ranting untuk melecutnya, dia tidak menangkis, membiarkan ranting itu melecut lehernya, dan dengan pengerahan tenaganya dia menangkis cengkeraman tangan nenek itu yang ditujukan ke arah lambungnya.
"Plakkk! Aughhh....!" Nenek itu melompat jauh ke belakang sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya, mengaduh-aduh karena biarpun tulang lengannya tidak patah, namun hawa dingin yang menusuk tulang menjalar dari lengan itu sampai ke dalam dadanya! Kemudian nenek itu lari keluar dari kepungan anak buahnya, menghampiri Tek Hoat yang masih menonton dengan sikap acuh tak acuh.
"Mengapa Sicu diam saja? Bantulah kami! Bukankah Sicu datang sebagai tamu kami?" katanya.
Tek Hoat tersenyum dan memandang ke arah Kian Lee yang masih dikepung anak buah Hek-eng-pang itu, kemudian menghadapi nenek itu. "Aku sanggup mengalahkan dia dan membantumu, akan tetapi aku tidak pernah membantu orang-orang seperti engkau tanpa imbalan."
"Apa imbalannya? Katakan!" Nenek itu mendesak karena melihat betapa anak buahnya kini telah mulai terlempar ke sana-sini oleh amukan Kian Lee.
"Kalian harus membantuku menyerbu Liong-sim-pang "
"Apa? Liong-sim-pang di puncak Naga Api?" Nenek itu terbelalak dan kelihatan khawatir sekali. Siapa yang tidak mengenal nama Hwa-i-kongcu, ketua perkumpulan Liong-sim-pang yang amat lihai dan memiliki banyak anak buah dan memiliki tempat yang juga amat kuat seperti benteng istana itu?
"Aku akan membebaskan seseorang yang tertawan di sana. Bagaimana, mau atau tidak?" Tek Hoat bertanya, sambil tetap tersenyum.
Terdengar suara menjerit dan tubuh Kim-hi Nio-cu yang terlempar itu jatuh berdebuk di depan kaki Yang-liu Nionio. "Pangcu.... aduhhh.... kami tidak kuat menghadapinya" Kim-hi Nio-cu mengeluh dan mengelus pinggulnya yang tadi terkena ditendang kaki Kian Lee.
"Kami terima syaratmu, orang muda. Nah, kaurobohkan dia dan kami akan membantumu menyerbu Liong-sim-pang!" Akhirnya nenek itu berkata dengan cepat.
"Mundurlah kalian semua!" Tiba-tiba Tek Hoat membentak, suaranya mengandung getaran khikang kuat sehingga biar pun yang memerintah mereka ini bukan ketua atau kepala mereka, melainkan seorang pemuda yang belum mereka kenal, namun bentakan Tek Hoat itu membuat mereka semua mundur, apalagi karena memang mereka telah merasa jerih sekali terhadap Kian Lee.
Dua orang pemuda itu kini berdiri saling berhadapan. Keduanya sama tampan dan sama gagahnya, dan mereka kini bukan lagi pemuda lima tahun yang lalu. Ang Tek Hoat telah berusia dua puluh tiga tahun, dan Suma Kian Lee sudah berusia hampir dua puluh dua tahun. Mereka telah menjadi seorang laki-laki, seorang yang sudah dewasa dan matang, bukan lagi seorang pemuda remaja seperti ketika mereka pernah saling bertemu empat lima tahun yang lalu.
Keadaan menjadi penuh ketegangan dan ini dirasakan oleh Yang-liu Nio-nio dan semua murid dan anak buah mereka yang kini menjadi penonton, tidak bergerak. Bahkan mereka yang ditugaskan menjaga Cui Lan dan Hok-taijin, kini juga membawa dua orang tawanannya itu keluar di bawah todongan senjata, untuk menyaksikan pertandingan yang tentu akan terjadi hebat sekali antara Si Jari Maut yang nama besarnya telah mereka dengar melawan pemuda nelayan yang ternyata adalah saudara Jari Suma-kongcu yang mereka cari-cari itu.
"Ang Tek Hoat, apa artinya ini? Benarkah engkau hendak membantu kaum sesat ini untuk menentang aku? Ketahuilah bahwa aku melindungi dua orang yang tidak berdosa itu!" Dia menunjuk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin yang berdiri di sudut ruangan dengan pedang ditodongkan di punggung mereka. Cui Lan memandang dengan penuh perhatian dan wajahnya yang cantik membayangkan kekhawatiran ketika dia memandang Kian Lee.
"Suma Kian Lee, dahulu kita bukan sahabat, sekarang bukan pula teman! Aku tidak membantu siapa-siapa melainkan saling menukar jasa. Kalau kau enggan bertanding melawan aku, penuhilah permintaan Hek-eng-pangcu."
"Ang Tek Hoat, tidak kusangka engkau ternyata sama sekali tidak berubah sejak dahulu! Engkau tidak juga bertobat dan kembali menjadi orang baik-baik!" Kian Lee menegur dengan suara penuh penyesalan karena betapapun juga, pemuda di depannya ini adalah cucu kandung ibunya sendiri!
Tek Hoat tertawa, tertawa yang pahit sekali karena matanya tidak ikut tertawa bahkan mulutnya menyeringai seperti orang menderita nyeri. "Ha-ha-ha, memang aku bukan orang baik-baik, tidak seperti keluarga Pulau Es yang bersih dan terhormat! Dan aku pun tidak ingin menjadi orang baik-baik yang sombong seperti keluarga Pulau Es! Tak perlu banyak cakap, Suma Kian Lee, kau menyerah dan memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pangcu atau harus melawan aku."
"Hemmm, kau tentu mengira aku takut padamu! Majulah!" Kian Lee menantang, sedikit pun tidak merasa takut. Empat lima tahun yang lalu, memang Tek Hoat merupakan seorang tandingan yang lihai bukan main. Akan tetapi selama lima tahun ini dia telah melatih diri di bawah bimbingan ayahnya di Pulau Es dan telah memperoleh kemajuan pesat sekali.
"Kalau begitu terpaksa aku merobohkan engkau!" Tek Hoat berkata dan sebelum kata terakhir habis diucapkan, tangannya sudah menyambar dan sebuah tamparan yang seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kepala Kian Lee.
"Plak-plak-plak-plakkkkk!" Empat kali Tek Hoat menyerang dan empat kali ditangkis oleh Kian Lee. Keduanya merasa betapa lengan lawan mengandung tenaga yang amat kuat, akan tetapi yang terkejut sekali adalah Tek Hoat. Dia maklum akan kelihaian putera Pulau Es ini maka tadi serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaganya, dengan tenaga yang dinamakan tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Butek Siauw-jin datuk ke dua dari Pulau Neraka. Namun, tangkisan Kian Lee mnembuat tenaga mujijat itu buyar dan dia merasakan hawa dingin menghantamnya, membuatnya tergetar dan terguncang!
Akan tetapi, Tek Hoat dapat cepat mengusir hawa dingin itu dan dia kini telah menerjang dengan hebat dan dahsyat, mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang dahulu dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka dan Bu-tek Siauw-jin. Dia menyerang dan memang pemuda ini memiliki watak yang ganas, maka serangan-serangannya itu pun bukan sekedar untuk mengalahkan lawan, melainkan mengandung cengkeraman maut untuk membunuh!
Menyaksikan keganasan sepak terjang Tek Hoat, diam-diam Kian Lee mengeluh. Pemuda ini benar-benar telah tersesat dan seperti seekor harimau yang haus darah, pikirnya. Tentu saja dia tidak mau melayani nafsu membunuh Tek Hoat ini dan dia lebih banyak melindungi dirinya dengan menangkis atau mengelak, kadang-kadang membalas dengan serangan yang hebat pula, namun serangannya selalu diperhitungkan agar jangan sampai membunuh orang. Dia tidak suka membunuh orang apalagi Ang Tek Hoat cucu ibu kandungnya sendiri, keponakannya sendiri. Dia ingin mengalahkan Tek Hoat tanpa membunuhnya. Dan inilah sebabnya mengapa pertandingan itu menjadi ramai dan seimbang.
Kalau dibuat perbandingan, kedua orang pemuda ini sama-sama mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan tinggi, sukar dicari bandingnya di dunia ini. Hanya bedanya, sejak kecil Suma Kian Lee dibimbing oleh Pendekar Super Sakti, ayahnya sendiri, maka tentu saja ilmunya lebih matang dan murni, tidak seperti Ang Tek Hoat yang biarpun menemukan kitab-kitab yang mengandung ilmu-ilmu tinggi, namun dipelajarinya sendiri tanpa bimbingan langsung orang pandai, maka ilmunya tidak lagi murni bercampur dengan ilmu-ilmu lain pernah di pelajarinya sebelum dia memperoleh kitab-kitab peninggalan dua orang, dtuk Pulau Neraka itu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Maka, dalam kematangan ilmu, Kian Lee masih lebih menang setingkat. Akan tetapi kemenangan setingkat ini tidak banyak artinya karena Kian Lee tidak mau melakukan serangan yang mematikan sedangkan Tek Hoat yang maklum akan kehebatan lawan telah bertanding dengan nekat, baginya bukanlah merupakan pertandingan adu kepandaian, melainkan suatu perkelahian mengadu nyawa. Inilah yang membuat Kian Lee kehilangan kemenangan tingkatnya dan pertandingan itu berjalan seimbang dan amat hebatnya. Angin pukulan yang didorong oleh tenaga sakti mereka terdengar bersuitan dan terasa oleh para anggauta Hek-eng-pang yang berdiri jatih, membuat pakaian mereka berkibar dan kulit mereka nyeri, kadang-kadang terasa dingin sekali dan kadang-kadang juga terasa panas sekali. Hawa dingin dan panas ini timbul dari dua macam sinkang yang dipergunakan, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang. Menghadapi dua macam sin-kang yang saling bertentangan ini, diam-diam Tek Hoat mengakui bahwa dalam hal kekuatan sinkang, dia benar-benar kewalahan menghadapi lawannya. Dan hal ini bukan karena kalah tekun berlatih, melainkan selain kalah bimbingan juga kalah murni.
Tek Hoat mengandalkan ilmu silatnya yang aneh, yang didapat dari peninggalan kitab dua orang datuk Pulau Neraka. Tiba-tiba dia berseru keras, suaranya melengking nyaring sekali sehingga ada empat orang wanita anggauta Hek-eng-pang yang kurang jauh berdirinya roboh terjungkal dan pingsan karena jantung mereka tergetar! Tubrukan Tek Hoat ini merupakan jurus serangan yang amat dahsyat, mula- mula tangan kirinya yang menyambar ubun-ubun lawan dengan membentuk cakar, akan tetapi dalam detik selanjutnya, tangan kanannya mencuat dari bawah dengan kiri itu menyambar ke arah ulu hati lawan dengan totokan dua jari tangan. Keduanya adalah serangan maut yang dilakukan hampir bersamaan waktunya.
Kian Lee menghadapi cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu dengan miringkan tubuh atas dan agak ditarik ke belakang, tangan kanannya menangkis, kemudian melihat tangan kanan lawan menotok ke arah ulu hatinya, dia cepat pula meloncat ke samping sambil menangkis dengan tangan kirinya.
"Hyaaattttt....!" Tiba-tiba tubuh Tek Hoat meluncur dengan kaki kanannya melakukan tendangan maut ke arah leher lawan. Tendangan ini cepat dan kuat sekali datangnya, tubuhnya mencelat ke udara dan dari atas kakinya meluncur ke arah lawan.
"Haaaiiiiittttt....!" Kian Lee juga berteriak dan tubuhnya mencelat pula ke atas memapaki.
"Desss. ...!" Dua pasang kaki yang sama kuatnya bertemu di udara dan keduanya terlempar ke atas lantai lagi. Kian Lee berjungkir balik tiga kali dan Tek Hoat agak terhuyung, mukanya berubah pucat. Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal mengapa dia tidak mempunyai lagi pedangnya yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam. Kalau dia mempunyai pedang yang dulu terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka itu, tentu dia mempergunakan pedangnya itu menghadapi Kian Lee yang begini lihai.
Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi tetap saja mereka berimbang karena Kian Lee tetap tidak mau menggunakan tenaga sepenuhnya atau pukulan yang mematikan. Hal inilah yang membuat panas hati Tek Hoat. Dia tahu bahwa pemuda Pulau Es itu tidak mengerahkan seluruh tenaga, bahkan beberapa kali terasa olehnya Kian Lee sengaja mengurangi kecepatan dan tenaganya. Dia merasa penasaran dan marah sekali, karena dia merasa seperti dipandang ringan!
Saking marahnya, Tek Hoat lalu mengambil keputusan untuk mengadu nyawa! Mereka telah bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang kalah, dan nenek ketua Hek-eng-pang sendiri sampai silau menyaksikan pertandingan itu dan merasa bahwa sebenarnya tingkat kepandaiannya kalah jauh oleh dua orang pemuda perkasa itu.
"Suma Kian Lee manusia sombong! Bersiaplah untuk mampus!" teriak Tek Hoat dan dia menyerang makin ganas. Melihat serangan ini, Kian Lee cepat menghindarkan diri dengan mengelak dan menangkis, kemudian untuk menahan serbuan lawan, dia membalas dengan pukulan ke arah dada Tek Hoat. Dia maklum bahwa pukulan ini tentu membuat Tek Hoat mengelak atau menangkis sehingga dia akan dapat membalas dengan desakan pukulan-pukulan berantai.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Tek Hoat tidak mengelak maupun menangkis, melainkan menerima begitu saja pukulannya itu akan tetapi pada saat yang sama, kedua tangan Tek Hoat memukul ke arah paha dan lehernya.
Kian Lee yang terkejut itu mengeluarkan bunyi melengking yang amat nyaring, membuat lima orang anggauta Hek-eng-pang kembali terjungkal pingsan. Maklum bahwa tidak mungkin dia menghindarkan diri dari dua pukulan sekaligus karena tangan kirinya sedang memukul dada Tek Hoat, Kian Lee menggerakkan tangan kanan menangkis pukulan ke arah lehernya yang lebih berbahaya dan terpaksa membiarkan pahanya terpukul.
"Plakkk! Desssss....!"
Dada Tek Hoat terkena dorongan tangan Kian Lee dan pada saat yang sama, paha Kian Lee terkena pukulan keras dari tangan kanan Tek Hoat. Akibatnya, Tek Hoat terlempar ke belakang sampai tiga meter jauhnya dan dia terhuyung-huyung sedangkan Kian Lee roboh pingsan karena kakinya di bagian paha terkena pukulan beracun. Pukulan ini hebat sekali karena merupakan pukulan jari tangan Tek Hoat yang biasanya membunuh orang sehingga dia dijuluki Si Jari Maut, yaitu pukulan yang disebut Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Paha itu menjadi biru dan hawa pukulan beracun menyerang ke atas, membuat putera Pulau Es itu roboh pingsan.
Tek Hoat memejamkan mata dan mengatur pernapasannya. Kalau saja tadi Kian Lee tidak mengurangi tenaganya, tentu sudah putus nyawanya! Dia tahu akan hal ini dan menarik napas panjang lalu menyusut darah yang menetes dari ujung bibirnya.
"Kongcu....!" Cui Lan yang ditodong pedang itu tidak peduli dan dia sudah lari menubruk tubuh Kian Lee yang disangkanya mati, berlutut sambil menangis. Kemudian, melihat Nenek Yang-liu Nio-nio dan Tek Hoat menghampiri, dia lalu bangkit berdiri dan dengan air mata bercucuran, dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Tek Hoat.
"Engkau.... pemuda tiada guna! Engkau hanya menjadi tukang pukul orang! Sungguh malu hidup seperti engkau, pemuda yang tampan dan gagah namun dalamnya jahat seperti sebutir buah yang berulat! Dan kau.... Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Yang-liu Nionio, "Kau seorang wanita yang berhati busuk, dan engkau pengecut besar yang harus merasa malu karena beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan saja!"
"Diam, bocah lancang mulut!" Seorang anak buah Hek-eng-pang yang tadi bertugas menjaga Cui Lan kini sudah mengejar dan tangannya diayun keras. "Plakkk!" Pipi kiri Cui Lan kena ditampar, kulit pipi yang halus putih itu menjadi merah sekali dan dara itu terhuyung ke belakang. Namun bibirnya tersenyum mengejek dan dengan keberanian luar biasa dara ini memandang mereka semua sambil berkata, "Kalian boleh membunuh aku dan aku akan mati sebagai seorang terhormat tidak seperti kalian yang akan hidup sebagai manusia-manusia hina dan kotor!"
"Bangsat, tutup mulut!" Anggauta Hek-eng-pang itu menjadi makin marah dan kini dia mengayun tangan, tidak menampar seperti tadi melainkan memukul ke arah mulut Cui Lan dengan kuat.
"Krekkk.... aduuuhhhhh....!" Anggauta Hek-eng-pang yang memukul itu menjerit dan memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya ketika bertemu tadi dengan tangkisan tangan Tek Hoat!
"Hemmm, apa artinya ini?" Yang-liu Nio-nio menegur dengan alis berkerut, memandang kepada Tek Hoat dengan heran dan penasaran. "Dia memaki-maki kita, sudah sepatutnya dihajar!"
"Siapa yang memaki? Apa yang di katakannya itu benar belaka, kenapa kita mesti marah? Pangcu, janji kita hanya aku merobohkan Suma Kian Lee dan dia sudah roboh, aku tidak suka ditambah dengan penyiksaan atau pembunuhan orang! Dan sekarang juga engkau harus mengerahkan orang-orangmu untuk ikut dan membantuku." Di dalam suara Tek Hoat terkandung perintah yang mengancam.
Nenek itu menelan kembali kemarahannya dan memberi isyarat kepada Kim-hi Nio-cu. "Kaubawa mereka bertiga ke tempat tahanan. Pisahkan mereka dan pergunakan yang dua itu sebagai sandera agar pemuda ini tidak sampai lari." Kemudian setelah Kian Lee yang masih pingsan itu digotong pergi, Cui Lan dan Hok-taijin digiring meninggalkan ruangan itu. Hek-eng-pangcu lalu mengumpulkan orang-orangnya dan akhirnya memilih tiga pasukan. Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li, Pasukan Kayu dan Pasukan Api, semua berjumlah tiga puluh enam orang ditambah tiga orang kepala pasukan, mengiringkan dia sendiri dan Tek Hoat meninggalkan puncak Bukit Cemara.
Kiranya Ang Tek Hoat telah mendengar, bahkan menerima undangan, bahwa Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api, Pegunungan Liu-Liang-san di dekat belokan Sungai Huang-ho, akan menikah dan calon isterinya itu adalah seorang puteri dari Bhutan yang amat cantik jelita! Mendengar ini, jantung Tek Hoat berdebar keras, timbul kekhawatirannya karena dia menduga keras bahwa Puteri Bhutan yang cantik jelita itu sudah pasti adalah Syanti Dewi. Kalau tidak, siapa lagi? Memang banyak wanita muda, puteri-puteri Bhutan yang cantik jelita, akan tetapi puteri-puteri itu tidak akan meninggalkan istana Bhutan. Kemungkinan satu-satunya hanyalah Syanti Dewi yang entah mengapa dan bagaimana telah sampai di tempat itu dan agaknya ditawan Liong-sim-pang. Tek Hoat maklum akan kekuatan Liong-sim-pang, dan kalau hanya sendirian saja tidak mungkin dia akan dapat menolong Puteri Bhutan itu, maka dia lalu mengundang ketua Hek-eng-pang dengan maksud untuk minta "bantuan" mereka. Kebetulan sekali dia melihat Suma Kian Lee dan ketika ketua Hek-eng-pang dan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Kian Lee, timbul akalnya untuk memaksa mereka membantunya. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya, melawan Kian Lee hampir saja dia celaka dan biarpun akhirnya dia bisa merobohkan putera Pulau Es itu, dia sendiri juga menderita luka yang cukup parah dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja amat berbahaya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Untungnya dia kini dibantu oleh pasukan-pasukan Hek-eng-pang dan ketua mereka.
******
Seluruh perkampungan Liong-sim-pang dihias dengan meriah, mulai dari pintu gerbang tembok yang seperti benteng itu, sampai menara yang berdiri di luar tembok sebagai tempat jaga, sampai di sepanjang saluran air yang mengelilingi tembok benteng. Suasana perkampungan Liong-sim-pang yang seperti benteng dan biasanya muram dan menyeramkan itu kini nampak meriah, tanda bahwa orang-orang yang menjadi penghuni sedang bersenang-senang dan bersuka-ria. Dan memang hari itu merupakan hari gembira, untuk menyambut para tamu karena malam itu merupakan malam "midodareni", yaitu menyambut hari pernikahan sang ketua Liong-sim-pang yang akan dilangsungkan besok pagi. Sejak pagi hari dari tadi para tamu sudah membanjiri tempat itu dan mereka itu harus melalui satu-satunya jembatan yang menuju ke pintu gerbang tembok benteng karena jalan lain tidak ada lagi untuk memasuki benteng perkampungan Liong-sim-pang yang dikelilingi saluran air lebar itu. Para penjaga dengan ketat melakukan penjagaan dan pengawasan di pintu gerbang sehingga tidak ada orang luar dapat menyelundup masuk dan para tamu itu membawa undangan sebagai tanda pengenal.
Menjelang senja rombongan pemain opera yang memang dipesan oleh Liong-sim-pang, menyeberang jembatan itu menuju ke pintu gerbang. Mereka terdiri dari tujuh orang wanita dan belasan orang pria, sebagian pemain dan ada pula yang sebagai penabuh musik. Para penjaga yang memeriksa semua orang yang masuk, memperhatikan para pemain opera ini dengan sikap ceriwis, cengar-cengir dan tersenyum-senyum penuh aksi karena tujuh orang wanita anggauta rombohgan itu memang cantik-cantik. Terutama sekali seorang di antara mereka, yang termuda dan memakai pakaian berwarna ungu, bukan main cantiknya! Cantik jelita dan manis sekali, dengan gayanya yang manja dan memikat, lenggangnya yang berliak-liuk seperti lemasnya batang pohon yang-liu tertiup angin, ke-dua lengannya agak melengkung seperti gendewa itu bergerak seperti orang menari kalau dia melenggang, dan senyum yang manisnya membuat semua penjaga mabuk kepayang itu tak pernah meninggalkan belahan bibir yang membuat orang ingin menjadi buah anggur agar dikecup oleh bibir itu! Gerak-gerik dara muda jelita ini membuat para penjaga ingin sekali mencubitnya, memeluknya, pendeknya saking tertariknya membuat mereka menjadi gemas, seperti kalau kita melihat seorang anak kecil yang genit dan montok bersih. Saking tidak dapat menahan gairahnya melihat gerak-gerik dara jelita ini, seorang di antara para penjaga itu sambil berpura-pura memeriksa bawaan mereka, menggerakkan tangannya ingin meraba pinggul yang penuh itu. Akan tetapi.... tangannya hanya meraba angin karena secara cepat sekali gadis itu menggerakkan pinggulnya mengelak. Si penjaga menjadi makin penasaran, kini terang-terangan dia mengulur tangannya meraba ke arah dada. Kembali gadis itu miringkan tubuh dan rabaan itu pun mengenai tempat kosong. Melihat ini, teman-temannya mentertawakan.
"Ha-ha, si A-kiong menangkap katak akan tetapi luput!" A-kiong makin penasaran dan dia hendak merangkul.
"Jangan kurang ajar kalian!" Tiba-tiba gadis itu membentak, suaranya halus akan tetapi nyaring dan mulutnya masih tersenyum, akan tetapi anehnya, semua penjaga termasuk komandannya menjadi gemetar ketakutan seolah-olah mereka itu dimarahi seorang jenderal! Dengan muka pucat ketakutan komandan itu lalu memberi isyarat agar rombongan penari dan pemain opera itu cepat-cepat masuk.
Setelah rombongan itu masuk, si komandan dan anak buahnya saling pandang dengan heran dan bengong. Tidak mengerti mengapa mereka tadi begitu ketakutan mendengar bentakan si dara jelita tadi, yang memiliki wibawa luar biasa sekali dan bentakan tadi mengguncangkan jantung mereka menimbulkan rasa takut yang hebat.
"Ihhh,.... seperti siluman saja....!" seorang akhirnya berkata dan mendengar ini, semua orang bergidik. Memang mereka semua pernah mendengar bahwa siluman selalu mengubah diri menjadi seorang dara cantik sekali untuk memikat pria yang kemudian akan dlhisap darahnya sampai habis!
"Hihhh.... jangan-jangan benar siluman...."
Pada saat mereka dicekam perasaan yang menyeramkan karena memang hari telah mulai menjadi gelap, untung datang serombongan wanita lain yang membuyarkan keseraman itu. Rombongan wanita ini dipimpin oleh seorang wanita yang cantik, dan anggauta rombongan yang jumlahnya dua puluh empat orang itu pun terdiri dari wanita-wanita yang cantik. Pimpinan rombongan itu, yang usianya sekitar tiga puluh tahun, memperlihatkan sehelai surat undangan dan sesampul surat yang ditujukan kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun.
"Kami adalah utusan dari sahabat Tang-kongcu, yaitu Si Jari Maut," kata pemimpin rombongan itu.
Melihat kartu undangan itu, para penjaga tentu saja menaruh kepercayaan, apalagi mendengar nama orang yang mengutus mereka, Si Jari Maut, cepat-cepat mereka mempersilakan semua wanita itu masuk tanpa ada yang berani bersikap kurang ajar. Rombongan ini bukan lain adalah para anggauta Hek-eng-pang yang menyamar, dipimpin oleh Liong-li kepala Pasukan Tanah dan membawa surat Ang Tek Hoat untuk Hwai-kongcu.
Setelah rombongan pemain opera diterima sendiri oleh Hwa-i-kongcu dan diantar oleh para pelayan untuk berhias dan bersiap-siap untuk mulai pertunjukan mereka malam nanti, kini rombongan wanita itu pun diterima oleh Hwa-i-kongcu sendiri. Liong-li yang sudah berhias sebagai seorang pelayan yang cantik, berlutut dan menghaturkan selamat, serta menyerahkan surat dari Ang Tek Hoat.
"Aih, dari Si Jari Maut?" Hwa-i-kongcu berseru bangga. Mengapa beliau tidak muncul sendiri?" Sudah lama dia mendengar nama Si Jari Maut dan mengaguminya, akan tetapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Surat itu segera dibukanya dan dengan wajah berseri dia membaca bahwa Si Jari Maut, menghaturkan selamat atas pernikahannya, dan minta maaf bahwa berhalangan hadir, akan tetapi mengirim dua puluh lima orang wanita untuk membantu pelayanan dalam pesta itu.
"Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut sungguh mengagumkan sekali, dapat mengumpulkan begini banyak wanita cantik dan begitu memperhatikan keperluan kami sehihgga mengirim bantuan pelayan!" Dia lalu memanggil kepala pelayan dan memerintahkan kepala pelayan untuk menerima dua puluh lima orang wanita itu dan agar diberi tugas dalam pelayanan malam nanti dan besok pagi.
Malam pun tibalah. Para tamu sudah berkumpul di sebuah ruangan yang luas sekali, ruangan yang menyambung pada taman indah di mana juga penuh dengan kursi-kursi untuk para tamu. Suara musik sudah sejak sore tadi dibunyikan oleh rombongan pemain opera, sungguhpun opera itu sendiri belum dimulai.
Para "pelayan" yang sesungguhnya adalah anggauta-anggauta Hek-eng-pang yang menyamar itu mulai pula dengan tugas yang sesungguhnya. Di antara mereka memang ada yang membantu para pelayan Liong-sim-pang melayani para tamu mempersiapkan minuman, hidangan dan lain-lain. Akan tetapi sebagian pula di antara mereka mulailah meryelidiki dan mencari-cari di mana adanya Puteri Bhutan seperti yang diceritakan oleh Tek Hoat, puteri yang akan menjadi pengantin besok pagi dan yang harus mereka culik itu. Dua puluh empat orang ini adalah dari Pasukan Tanah dan Pasukan Kayu, sedangkan Pasukan Api bertugas mempersiapkan "jalan keluar " untuk teman-temannya itu apabila mereka telah berhasil menculik sang puteri. Tek Hoat sendiri yang masih menderita luka bekas gempuran tenaga melawan Suma Kian Lee, menanti di luar tembok dan sudah mempersiapkan kuda untuk melarikan puteri itu. Dia maklum bahwa dalam keadaan terluka, amat berbahaya kalau dia sendiri masuk ke dalam. Selain dia tentu akan dikenal, juga untuk melawan banyak orang pandai dalam keadaan terluka, tidaklah mungkin, maka dia mengandalkan kecerdikan para temannya, yaitu wanita-wanita Hek-eng-pang itu.
Sementara itu, Syanti Dewi yang selalu mengharapkan pertolongan dari Siang In, masih berada dalam kamarnya dan dia tidak membantah ketika para pelayan menghias dan merias dirinya di dalam kamarnya. Diam-diam dia masih mengharapkan akan munculnya gadis luar biasa yang telah berhasil meloloskan dirinya dari istana ayahnya itu. Dia akan menanti sampai saat terakhir, yaitu sampai besok malam. Kalau sampai besok malam Siang In atau siapa saja tidak datang menolongnya, kalau sampai tiba saatnya dia
menyerahkan diri kepada Hwa-i-kongcu, pemuda tampan pesolek yang mengerikan hatinya itu, maka dia akan membunuh diri!
Ketika dia mendengar dari para pelayan yang merias bahwa malam itu di dalam pesta akan diadakan pertunjukan tari-tarian dan permainan opera, dan bahwa bintang panggung amat cantik jelita dan jenaka, hati Syanti Dewi tertarik sekali. Dia menduga bahwa tentu Siang In gadis yang cerdik itu menyamar sebagai pemain opera, maka dia lalu minta kepada seorang di antara para pelayan untuk memanggil bintang opera itu karena dia ingin bertemu dan bicara tentang tarian.
Permintaan ini disampaikan oleh si pelayan kepada Hwa-i-kongcu dan tentu saja calon suami yang merasa beruntung akan memperisteri seorang puteri raja mengijinkan permintaan itu. Apalagi karena pelayan yang melayani calon isterinya itu adalah pelayan-pelayan kepercayaannya, ya pelayan ya selir, maka dia tidak menjadi curiga dan diperintahkan kepada seorang pengawalnya untuk menyampaikan permintaan calon mempelai puteri itu kepada pimpinan rombongan opera. Pimpinan opera lalu berbisik kepada bintang panggung, si dara cantik jelita tadi dan sambil tersenyum gembira bintang panggung ini lalu mengikuti si pelayan meninggalkan kamar rias itu.
Liong-li dan kawan-kawannya mencari-cari namun belum berhasil menemukan di mana adanya kamar sang puteri. Akan tetapi tiba-tiba Liong-li melihat seorang pelayan bersama seorang dara cantik jelita berjalan lewat. Diam-diam dia lalu mengikuti mereka dari jauh dan karena dia pun berpakaian pelayan, maka para pengawal yang berjaga-jaga di seluruh tempat itu tidak ada yang menaruh curiga kepadanya. Dara cantik yang diiringkan oleh pelayan itu lincah dan jenaka sekali, di sepanjang jalan bicara dan memuji-muji keindahan rumah gedung seperti istana milik Hwa-i-kongcu yang kaya raya itu. Liong-li terus membayangi mereka dari jauh, melewati gang-gang, kamar-kamar, ruangan-ruangan terbuka, pendapa-pendapa dan taman-taman. Kiranya sang puteri itu berada di tempat yang demikian tersembunyi!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah bangunan kecil yang mungil dan masuk ke dalamnya. Bintang panggung itu diajak masuk ke dalam kamar. Kini mereka berdiri saling pandang, si bintang panggung dan Syanti Dewi. Syanti Dewi kecewa bukan main. Memang bintang panggung itu cantik jelita, dan bentuk tubuhnya seperti bentuk tubuh Siang In yang ramping akan tetapi mukanya bukanlah Sian In! Akan tetapi bintang panggung itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Saya menghaturkan selamat kepada mempelai puteri, semoga hidup bahagia dan dikarunia banyak putera dan berumur panjang!"
Mendengar suara ini, Syanti Dewi terkejut bukan main. ltulah suara Siang In! Dia dapat menenangkan hatinya dan berkata, "Terima kasih." Lalu puteri itu menoleh kepada para pelayannya yang jumlahnya lima orang itu, berkata, "Harap kalian keluar dari kamar dulu, aku ingin bicara seenaknya dengan seniwati ini. Kalian tunggu saja panggilanku dan menanti di luar."
Para pelayan itu saling pandang, tersenyum dan segera mengundurkan diri. Mereka mendapat pesan yang amat keras dari majikan mereka agar melayani sang puteri sebaiknya dan agar memenuhi semua permintaannya. Tentu saja permintaan untuk berduaan dengan bintang panggung yang cantik itu tidak menimbulkan kecurigaan hati mereka dan mereka pun mundur dan keluar dari dalam kamar itu.
Setelah yakin bahwa mereka hanya berdua, Syanti Dewi memandang tajam wajah cantik itu dan bertanya, "Siapakah engkau?"
Bintang panggung itu tersenyum lebar. "Enci, apakah engkau lupa akan suaraku?"
"Ah, Siang In....!" Syanti Dewi lalu maju merangkul dan mereka berangkulan sejenak, dua titik air mata turun dari mata Syanti Dewi yang merasa girang bukan main itu, "Kukira engkau takkan muncul lagi, adikku.... hampir lenyap harapanku...."
"Jangan khawatir, Enci. Aku pasti akan berusaha menolongmu keluar dari sini sedapatku. Akan tetapi, banyak orang pandai di sini, kita harus berhati-hati dan Enci bersikap wajar saja. Aku melihat keanehan di sini. Pelayan-pelayan bantuan itu, demikian banyaknya, katanya mereka itu adalah utusan dari Si Jari Maut"
"Ahhhhh....!" Muka Syanti Dewi menjadi pucat mendengar nama julukan ini. "Dia....?"
Siang In mengangguk. "Akan tetapi aku masih curiga. Sikap mereka mencurigakan sekali. Akan tetapi, mungkin mereka ini akan dapat membantu kita, memudahkan aku membawamu keluar dari sini, Enci Syanti Dewi. Kautinggaliah di sini, bersikaplah tenang dan wajar dan percayalah kepadaku.
Syanti Dewi merangkul dan mencium pipi dara itu, lalu menatap wajah itu dengan penuh keheranan. "Bagaimana mukamu bisa begini berubah sama sekali?"
Siang In tersenyum, meraba dengan kedua tangannya ke bawah dagu, kemudian sekali dia menarik, mukanya berubah menjadi muka Siang In sendiri! Kiranya mukanya ditutup oleh sehelai "kedok" yang amat tipis, setipis kulit manusia, akan tetapi kedok itu sama sekali mengubah mukanya dengan kecantikan yang sama sekali berbeda! Mulutnya menjadi lebar, hidungnya lebih mancung, pipinya lebih montok dan dahinya lebih lebar, matanya agak sipit. Tentu saja Syanti Dewi sendiri tidak mengenalnya.
"Aku harus menyamar sebaiknya, kalau tidak, mana bisa aku mengelabuhi mata Hwa-i-kongcu yang berminyak itu?"
"Berminyak? Ada mata berminyak?" Syanti Dewi terheran karena dia sendiri belum pernah memandang mata calon suaminya secara teliti!
"Hi-hik, berminyak dan berkeranjang! Mata minyak dan mata keranjang, hidungnya belang! Hi-hik!"
Syanti Dewi tertawa geli dan terkejutlah dia betapa dalam sedetik saja dia sudah bisa tertawa! Berdekatan dengan gadis ini memang membuat orang tidak dapat tidak menjadi gembira. Dia sendiri seketika melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya dia masih menjadi tawanan, seperti seekor burung masih berada di dalam sangkar tertutup. Hatinya masih geli ketika dia melihat Siang In mengenakan kembali "kedoknya" yang luar biasa itu dan makin gelisah dia teringat betapa Siang In juga mempunyai kedok yang kalau dipasang tentu akan membuat para pelayannya menjerit-jerit!
"Eh, In-moi, bagaimana kalau kau meminjamkan kedokmu yang polos itu kepadaku dan mengajari aku bagaimana untuk memakainya?"
"Wah, Enci Syanti. Engkau ini aneh-aneh saja. Untuk apa kedok setan itu untukmu?"
"Kalau tidak ada jalan lain, di waktu si hidung belang itu datang kepadaku, aku akan memakai kedok polos itu, hendak kulihat apakah...." Syanti Dewi tak dapat menahan ketawanya.
"Apakah hidungnya masih belang atau tidak? Hi-hik, Enci. Tentu akan lucu sekali dan ingin memang aku melihat bagaimana dia akan lari tunggang-langgang melihat isterinya bermuka polos seperti itu, hi-hik. Akan tetapi berbahaya sekali Enci. Sudahlah, aku harus kembali ke tempat pertunjukan, dan akan kuatur nanti bagaimana baiknya untuk menolongmu sambil melihat perkembangan. Selamat berpisah untuk sebentar, Enci."
Syanti Dewi merangkul dan mencium kedua pipinya yang sudah tertutup kedok namun masih halus dan menarik kemerahan itu. "Nyawaku berada di tanganmu, adikku," bisik Syanti Dewi.
Siang In tersenyum dan melangkah mundur. "Hi-hik, apa kaukira aku ini Giam-lo-ong (Raja Akherat)? Sampai nanti, Enci...." Dan pergilah dia keluar dari kamar. Para pelayan yang berada di luar dan tadi hanya mendengar betapa calon majikan mereka itu tertawa-tawa dengan sripanggung itu, cepat masuk kembali dan mereka melihat wajah yang tadinya agak pucat itu kini berseri dan yang mengherankan hati mereka, kalau selama ini jarang sekali sang puteri mau makan, kini Syanti Dewi menyambut kedatangan mereka dengan kata-kata yang menggirangkan mereka.
"Cepat ambilkan nasi dan masakan yang paling enak. Bukankah malam ini ada pesta? Aku pun ingin pesta sendiri!"
Sementara itu, pada saat itu para tamu mulai dengan pesta. Hidangan makanan kecil mulai dikeluarkan dan para tamu menikmati pertunjukan tari-tarian yang ditarikan oleh enam orang penari yang cantik-cantik. Semua orang memandang ke arah Siang In yang baru kembali dan ada yang kecewa mengapa dara yang paling cantik dan yang menjadi sripanggung itu tidak pula ikut menari.
Setelah para penari itu selesai menari, banyak tamu yang berteriak minta agar sripanggung menari! Pemimpin rombongan itu, seorarag tua yang juga menabuh alat musik, yaitu meniup suling, bangkit berdiri dan berkata dengan hormat bahwa sripanggung akan main sebagai Kauw Gee Thian Si Raja Monyet dalam cerita See-yu akan dipentaskan malam itu, dan karenanya tidak ikut menari. Pemimpin ini khawatir kalau-kalau dara cantik itu tidak pandai menari. Siang In baru kemarin memasuki perkumpulannya dan karena gadis itu mempunyai kepandaian bermain sulap, maka diterimanya gadis sebagai anggauta rombongaannya, akan tetapi sebagai pemain opera, bukan sebagai penari. Dia hanya tahu bahwa gadis itu mempunyai wajah cantik jelita, tubuh yang indah, memikat, pandai main sulap dan tari silat.
Akan tetapi tiba-tiba Siang In berkata, "Lopek, biarkan aku menari sendiri!" Dan dia bangkit, lalu menjura ke arah para tamu yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh.
"Cu-wi sekalian, baru saja saya dipanggil oleh calon mempelai puteri dan beliau mengajarkan sebuah tarian asing kepada saya. Maka saya akan mencoba tarian itu untuk dinikmati oleh Cuwi sekalian, sebagai persembahan dari mempelai puteri!" Semua orang bersorak gembira dan Hwa-i-kongcu juga mengangguk-angguk dengan gembira dan bangga!
Siang In lalu mulai bernyanyi dengan suaranya yang merdu dan halus, dan mulai pula tubuhnya bergerak-gerak menari. Para penabuh musik dari rombongan itu baiknya adalah ahli-ahli yang sudah berpengalaman puluhan tahun, maka ketika mereka mendengar nyanyian yang asing itu, biarpun tidak dapat mengikuti lagu itu seluruhnya, setidaknya mereka dapat memperdengarkan irama untuk membayangi nyanyian dan tarian itu, perlahan-lahan sehingga dengan iringan yang sayup sampai ini, suara nyanyian itu menjadi makin jelas dan gerak tarian itu makin menonjol. Itulah nyanyian dan tarian yang dipelajari oleh Siang In di dalam hutan dari Syanti Dewi.
Memang indah sekali! Baik nyanyiannya maupun tariannya, dan lebih-lebih suaranya dan gerakannya! Memang harus ada perpaduan antara lagu dan yang menyanyikannya, juga antara tarian dan yang menarikannya. Dan semua penonton terpesona, bahkan ada yang sampai lupa diri, bengong terlongong, semangatnya seperti diterbangkan oleh alunan suara Sian In, diayun oleh gerak kaki tangan yang lemah gemulai itu!
"Ini tarian Kerajaan Bhutan!" Tiba- tiba terdengar teriakan orang dan hanya beberapa orang saja yang memperhatikan ini dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kepalanya memakai sorban dan memang dia adalah seorang tamu yang berkebangsaan Nepal. Dia memandang dengan kagum sekali, menggerak-gerakkan tongkat yang dipegangnya sehingga tongkatnya itu mengeluarkan bunyi tak-tok-tak-tok namun iramanya cocok sekali dengan nyanyian dan tarian Siang In itu. Bahkan kemudian suara pukulan tongkatnya inilah yang dijadikan pedoman bagi para pemain musik untuk mengiringi nyanyian dan tarian itu, dan si kakek Nepal ini menggeleng-gelengkan atau menggoyang-goyang kepala menurutkan irama musik sehingga jenggotnya yang panjang sampai ke perut itu pun bergoyang-goyang amat lucunya!
Setelah Siang In menyelesaikan nyanyian dan tariannya, tepuk tangan meledak di ruangan itu dan semua anggauta opera itu pun bertepuk tangan memuji, terutama kakek pemimpin yang merasa girang, seolah-olah dia telah memperoleh mutiara yang tak ternilai harganya! Tentu rombongannya kini akan terkenal dan laris dengan adanya sripanggung ini, pikirnya.
Kini permainan opera pun dimulai. Pementasan ini hanya beberapa adegan saja dari cerita See-yu yang panjang, yaitu di waktu Kauw Cee Thian Si Raja Monyet itu mempermainkan enam orang Siluman Laba-laba yang menjadi enam orang wanita cantik. Siang In lalu memakai topeng monyet dan mulailah dia menari-nari seperti seekor monyet yang membawa sebatang tongkat panjang, yaitu tongkat Kim-kauw-pang, senjata ampuh dari Si Raja Monyet.
Di sini Siang In memperlihatkan kemahirannya bermain sulap! Dia maklum bahwa guru dari Hwa-i-kongcu, Nenek Durganini, adalah seorang ahli sihir yang luar biasa, dan bahwa saat itu Durganini tidak ada di situ karena nenek itu telah kena dia akali dan agaknya telah pergi untuk mencari suhunya, See-thian Hoatsu, maka kini gadis ini berani memperlihatkan kepandaian dalam ilmu sihir. Kalau ada nenek itu di situ, tentu dia tidak berani banyak bertingkah!
Tongkat itu, seperti tongkat Kim-kauw-pang yang sesungguhnya dalam cerita See-yu, digerakkan untuk bermain sulap. Dia sebagai Kauw Cee Thian lalu menyulap tongkat itu menjadi kecil seperti sebatang pensil yang dapat ia selipkan di atas daun telinganya! Kemudian ia menyulapnya menjadi besar sampai panjangnya menjadi tiga kali lipat panjang biasa. Siang In lalu ber main silat, diputar-putarnya tongkat itu sedemikian rupa sampai lenyap bentuk tongkatnya dan yang nampak hanyalah gulungan putih yang amat indah. Tentu saja semua orang bertepuk tangan memujinya.
Akan tetapi, dasar Siang In adalah seorang dara yang lincah dan bengal, kadang-kadang timbul sifat yang ugal-ugalan sehingga dia suka menggoda orang. Pada saat itu timbul kerakusannya akan pujian setelah melihat semua orang terheran-heran dan memujinya. Dia lalu membuat api dengan tongkatnya. Suasana menjadi serem karena pada adegan yang menceritakan pembakaran itu, tahu-tahu dari tongkatnya muncul api berkobar-kobar. Dan semua orang terbelalak kaget ketika melihat betapa gadis cantik itu, kini bermain sebagai Sun Go Kong atau Kauw Cee-Thian yang beralih rupa, berkali-kali berteriak akan berganti rupa, dan dia benar-benar telah beralih rupa di depan mata mereka!
"Lihat, aku akan menjadi seekor harimau!" terdengar dara itu berseru dan "Hauuuwwwww!" Di situ nampak seekor harimau dan si Kauw Cee Thian itu lenyap!
Bahkan pada akhir pertunjukan, semua orang menjadi panik dan di samping rasa kagum mereka juga memandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan kepala pening ketika si Kauw Cee Thian itu "mencabut" bulu tubuhnya, meniup bulu-bulu itu dan munculiah belasan orang Kauw Cee Thian lain di atas panggung!
Suasana menjadi sunyi. Bahkan para pemain opera lainnya menjadi terbelalak, terdengar para pelayan menjerit saking takut dan ngerinya, dan pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi kelenengan yang nyaring sekali. Begitu terdengar suara ini, semua penglihatan aneh itu pun lenyaplah! Bayangan-bayangan Kauw Cee Thian ciptaan dari bulu itu pun lenyap dan di atas panggung Si Raja Monyet yang dimainkan oleh gadis itu terhuyung-huyung. Baiknya suara kelenengan itu berhenti dan Siang In dapat menyelinap di antara kawan-kawan anggauta opera sambil menanggalkan topeng monyetnya. Untung dia memakai kedok sehingga tidak
kelihatan betapa muka yang sesungguhnya dari gadis ini agak pucat. Dia tadi telah diserang oleh suara kelenengan yang mengandung daya mujijat untuk memunahkan semua sihirnya! Diam-diam dia melirik ke arah orang Nepal tadi, yang kini sudah menyimpan kembali kelenengannya. Hemmm, dia seorang ahli, aku harus waspada, bisik hati Siang ln.
"Bagus! Bagus sekali pertunjukan tadi!" Si orang Nepal itu bangkit sambil berkata dalam bahasa Han yang agak kaku namun cukup lancar, tanda bahwa biarpun dia belum dapat melenyapkan lidah asingnya, namun dia sudah mempelajari bahasa daerah ini dengan baik dan telah menguasai sepenuhnya. "Kepandaian sripanggung memang hebat, dan saya Gitananda dari Nepal, benar-benar merasa beruntung dapat melihat kepandaian yang amat hebat dari seorang yang masih begitu muda. Sekarang, untuk meramaikan pesta biarlah saya yang bodoh menyumbangkan sedikit permainan, jika Hwa-i-kongcu mengijinkannya!" Sambil berkata demikian, dia menjura ke arah tuan rumah. Hwa-i-kongcu yang duduk dan sejak tadi memperhatikan permainan Siang In dengan penuh keheranan dan kekaguman itu mengangguk.
Diam-diam Hwa-i-kongcu terheran-heran. Dia sendiri adalah murid seorang ahli sihir dan bagi dia, sihir yang diperlihatkan oleh sripanggung tadi biapun tidak aneh, namun amat mengherankan hatinya karena kalau sripanggung itu dapat menguasai para penonton dengan sihirnya, maka sripanggung itu bukan orang sembarangan! Dan agaknya kakek Nepal ini pun seorang ahli sihir pula! Kalau saja subonya tidak pergi! Tentu saja bagi subonya, semua pertunjukan tadi hanyalah merupakan permainan kanak-kanak saja, sungguhpun bagi, dia sendiri sudah merupakan kepandaian yang tidak mudah dilakukan. Kini Kakek Gita nanda melangkah ke tengah ruangan itu, membawa tongkatnya dan membawa pula sebuah kotak kecil. Setelah mengangguk ke empat penjuru seperti lagak seorang ahli sulap sedang berdemonstrasi, dia lalu melemparkan kotak itu ke atas, lalu tongkatnya diacungkan ke atas menyambar kotak itu yang disangganya dan dibawanya berkeliling. Kemudian dia kembali ke tengah ruangan dan tiba-tiba dia menarik tongkatnya dan.... kotak itu masih tetap terapung di udara tanpa penyangga! Kakek itu lalu duduk bersila di bawah kotak yang terapung itu dan membawa tongkat kemulutnya, meniup dan.... terdengarlah suara suling yang merdu, seolah-olah dia sedang meniup sebatang suling, bukan tongkat!
Semua orang terpesona memandang kearah kakek itu kemudian menahan napas ketika melihat kotak di udara itu terbuka tutupnya, dan dari dalam kotak munculiah seekot ular kobra! Kulitnya yang hitam coklat kekuningan itu berkilat, matanya kemerahan dan lehernya mekar, mulutnya mendesis-desis, akan tetapi ular itu lalu mulai menari-nari mengikuti suara suling tongkat! Lucu dan juga indah karena tubuh ular begitu lemasnya ketika menari-nari, tidak kalah dengan lemasnya pinggang sripanggung yang ramping tadi! Dengan gerakan melenggang-lenggok ular itu melayang keluar dari kotak, lalu turun ke atas lantai di depan si kakek Nepal, lalu kepalanya berubah menjadi dua, tiga, empat dan akhirnya nampaklah ular kobra itu mempunyai tiga belas buah kepala yang semuanya diangkat dan menari-nari menurut bunyi suling yang ditiup kakek itu, suling yang sebetulnya hanyalah sebatang tongkat. Tak lama kemudian, ketika suara suling meninggi, ular kobra berkepala tiga belas itu lalu melayang ke atas, kembali memasuki kotak dan turunlah kotak itu perlahan-lahan ke atas pangkuan si kakek Nepal yang juga menghentikan tiupan pada tongkatnya.
Tentu saja permainannya yang luar biasa itu disambut tepuk tangan riuh, dan si kakek Nepal bangkit berdiri, menjura ke empat penjuru dan matanya yang seperti menjuling di atas sebatang hidung melengkung itu mengerling ke arah Siang In yang diam-diam juga terkejut bukan main, maklum bahwa kakek Nepal itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dalam ilmu sihir.
Hidangan besar dan arak mulai membanjiri meja-meja para tamu dan mulailah para tamu bergembira makan dan minum arak. Minuman keras itu membuat mereka menjadi gembira dan obrolan di antara mereka menjadi makin terlepas dan bebas. Kini di atas panggung diada kan pertunjukan pelawak dan lawakan mereka membuat para tamu yang mulai terpengaruh minuman keras itu tertawa bergelak. Suasana menjadi meriah dan gembira sekali. Para anggauta Hek-eng-pang yang menyamar sebagai pelayan-pelayan yang dikirim oleh Si Jari Maut sebagai sumbangan kepada Hwai-kongcu, dengan sikapnya membantu pelayanan hidangan untuk para tamu sedangkan sebagian pula mulai menyelidiki tempat persembunyian pengantin wanita yang harus mereka culik.
Di panggung kini terjadi pertunjukan yang amat menarik, yaitu kekuatan minum arak! Dan kembali kakek Nepal yang bernama Gitananda dan yang tadi bermain sulap, memperlihatkan kepandaiannya yang hebat. Dia menantang jago-jago minum untuk adu kuat minum arak melawan dia dan sudah ada tiga orang roboh pingsan karena mabuk melawan Gitananda. Mereka digotong ke luar. Kini yang menghadapinya adalah seorang kakek bertubuh pendek, perutnya sebesar gentong dan kepalanya botak, orang ini terkenal sebagai "setan arak" di antara kawan-kawannya dan perutnya yang gendut luar biasa dan kepalanya yang botak itu kabarnya juga karena kebanyakan minum arak!
Cawan demi cawan diminum oleh Gitananda dan lawannya yang baru ini setiap cawan yang memasuki mulut mereka diikuti sorak-sorai para tamu yang menonton pertandingan yang menggembirakan ini.
"Ah, aku haus sekali, sungguh tidak memuaskan minum dari cawan yang kecil ini. Kesinikan dua guci penuh!" tiba-tiba Gitananda bertepuk tangan dan seorang pelayan segera berlari mengambilkan dua guci penuh arak yang digotong oleh empat orang pelayan dan diletakkannya dua buah guci arak itu ke atas meja. Gitananda tertawa memandang kepada lawannya yang gendut.
"Bagaimana kalau kita minum dari guci ini saja?"
Si gendut tersenyum. "Silakan kau dulu!" dia menantang.
Gitananda lalu mengangkat guci itu menempelkan bibir guci ke mulutnya dan terdengarlah suara menggelogok ketika dia menuangkan isi guci ke dalam perut melalui mulutnya. Lama sekali dia minum sampai akhirnya guci itu kosong dan dia meletakkan guci itu di atas meja. Semua orang mengeluarkan seruan kaget, heran dan kagum sekali. Satu guci arak itu biasanya dihabiskan oleh delapan orang atau satu meja untuk satu kali perjamuan. Akan tetapi sekarang ditenggak habis sekaligus oleh kakek Nepal ini.
Sungguh merupakan hal yang luar biasa. "Ha-ha-ha, giliranmu!" kata Gitananda kepada Si gendut.
Dengan dorongan kawan-kawannya, akhirnya Si gendut yang terkenal sebagai setan arak itu pun mengangkat gucinya dan seperti yang dilakukan oleh lawannya tadi, dia pun menenggak arak itu langsung dari gucinya. Lebih lama lagi dia minum, mukanya sampai ke botak-botaknya menjadi merah dan ketika akhirnya dia menghabiskan arak itu, gucinya terlepas dari tangannya dan jatuh menggelinding ke atas lantai. Si gundul botak itu sendiri tertawa aneh, lalu bangkit perutnya yang gendut menjadi makin besar dan matanya menjadi merah. Suara ketawanya menunjukkan bahwa dia telah menjadi mabuk!
"Heh-heh-heh.... kau hebat.... heh-heh, aku kalah deh...." Si gendut bangkit berdiri, terhuyung kembali ke kursinya, akan tetapi hampir dia jatuh. Untuk menahan tubuhnya, tangannya diulur untuk meraih pinggang seorang dayang atau seorang pelayan wanita yang sedang lewat membawa baki. Akan tetapi pelayan itu, yang bukan lain adalah seorang anggauta Hek-eng-pang, dengan mudah mengelak dengan menggerakkan pinggul dan miringkan tubuh. Tentu saja karena raihan tangannya dielakkan, tubuh si gendut mendoyong ke depan. Akan tetapi ternyata setan arak ini bukan hanya kuat minum arak, melainkan juga pandai ilmu silat dan biarpun dia mabuk sekali, dalam keadaan mendoyong hampir jatuh itu kedua tangannya dapat bergerak cepat ke samping untuk merangkul, sekali ini rangkulannya ditujukan kepada buah pinggul yang menonjol besar itu. Semua tamu tertawa menyaksikan ini.
Akan tetapi dengan gerakan lincah, si pelayan itu kembali mengelak. Masakan yang berada di dalam mangkok di atas bakinya sama sekali tidak tumpah, dan sekali ini si gendut tidak dapat mencegah lagi tubuhnya yang limbung. Dia jatuh! Kembali semua orang menertawakannya.
"Ehhhhh!" Si Gendut yang merasa malu karena ditertawakan menjadi marah kepada pelayan itu. Begitu dia terguling, kakinya mencuat untuk menyerampang kaki si pelayan agar jatuh bersama dia. Akan tetapi kembali dia keliru karena pelayan itu meloncat dan kembali dapat menghindarkan diri, terus menyelinap pergi. Para tamu bertepuk tangan memuji kelincahan pelayan wanita itu.
Sementara itu, Hak Im Cu, seorang tosu tinggi kurus yang wajahnya bengis, yang amat tinggi ilmu silatnya dan terkenal sebagai seorang ahli ginkang dan yang menjadi seorang di antara pembantu-pembantu utama Hwa-i-kongcu, diam-diam menjaga keamanan bersama dua orang temannya untuk menjamin keselamatan Hwa-i-kongcu dan Liong-sim-pang. Mereka adalah tiga orang dan sesungguhnya mereka itu bukan anggauta Liong-sim-pang, melainkan tamu-tamu, juga mereka bertiga merupakan sahabat-sahabat dan pembantu-pembantu utama. Di samping tosu Hak Im Cu ini, masih ada dua orang lain yang tidak kalah lihainya. Yang pertama adalah Ban-kin- kwi Kwan Ok, yang sebaya dengan Hak Im Cu, berusia kurang lebih enam puluh tahun. Berbeda dengan Hak Im Cu yang tinggi kurus dan ahli ginkang, Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan tenaganya sekuat gajah! Adapun yang ke dua atau orang ke tiga di antara tiga sekawan ini adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, juga usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek dan kepalanya gundul akan tetapi dia bukan seorang pendeta, melainkan seorang bekas bajak tunggal yang amat terkenal karena selain ahli bermain di air juga dia seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga dalam kuat sekali.
Memang tadinya tiga orang ini bukan merupakan sahabat-sahabat. Akan tetapi, ketiganya diundang oleh Hwa-i-kongcu dan menjadi pembantu utama, tentu saja mereka menjadi sahabat yang memiliki keahlian berbeda-beda. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, tiga orang lihai ini pernah muncul di Telaga Sungai, ketika terjadi perebutan anak ular naga di telaga tersebut dan biarpun tiga orang ini lihai sekali, namun karena di telaga itu berkumpul banyak sekali orang-orang pandai, mereka tidak berhasil mendapatkan anak naga itu.
Demikianlah keadaan singkat tiga orang pembantu utama Hwa-i-kongcu yang kini telah berada di tempat pesta itu. Sejak semula, mereka sudah agak curiga ketika mendengar bahwa Si Jari Maut mengirim sumbangan berupa wanita-wanita pelayan yang cantik-cantik itu, maka diam-diam mereka, terutama sekali tosu Hek Im Cu, memasang mata dan mencurahkan perhatian kepada para pelayan itu. Peristiwa yang terjadi ketika seorang pelayan hendak dirangkul setan arak yang gendut, melihat cara pelayan itu menghindarkan diri, membuat Hak Im Cu menjadi makin curiga. Jelas bahwa pelayan itu memiliki ilmu silat cukup tinggi sehingga dapat menghindarkan tubrukan dan terkaman si gendut sedemikian mudahnya dan dalam gerakannya mengelak itu, baki tidak terguling bahkan kuah dalam mangkok tidak tumpah. Biarpun yang mengirim Si Jari Maut yang terkenal, namun pelayan-pelayan yang pandai ilmu silat sungguh mencurigakan. Apalagi pemimpin pelayan itu, yang cantik dan agung dan yang kini tidak nampak.
Hak Im Cu lalu menghubungi dua orang temannya, mereka berbisik-bisik, lalu dengan tergesa-gesa ketiganya menuju ke belakang untuk menyelidiki dan kalau perlu mengumpulkan pelayan-pelayan sumbangan itu untuk memeriksa mereka. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara terompet dan canang di pukul gencar. Itulah tanda bahaya dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan-teriakan bahwa pengantin puteri diculik orang! Gegerlah keadaan dalam pesta itu ketika suara berisik ini terdengar dan mereka mendengar bahwa pengantin puteri diculik orang.
Keributan ini disusul oleh keributan lain yang lebih meributkan ketika para pelayan wanita itu, dengan menggunakan batu yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya, ada pula yang menggunakan mangkok piring menyambit ke arah lampu-lampu di seluruh tempat sehingga lampu-lampu itu pecah dan padam. Keadaan menjadi gelap gulita dan tentu saja para tamu menjadi panik, kecuali mereka yang berkepandaian tinggi, karena mereka ini maklum bahwa terjadi hal hebat dan cepat mereka menggunakan kepandaian untuk bersiap-siap turun tangan membantu fihak tuan rumah.
Tentu saja Siang In juga terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak mengira bahwa akan terjadi hal seperti itu. Ketika teman-temannya para penari menjerit dan berkumpul menjadi satu dalam keadaan ketakutan, dia sendiri cepat meloncat dan menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik, melihat para pelayan wanita menyambiti lampu-lampu dengan ketepatan seorang ahli, dia memaki kebodohan sendiri yang tidak menduga bahwa pelayan-pelayan wanita itu ternyata adalah orang-orang yang mempunyai niat sama dengan dia yaitu menculik sang puteri! Dia berlari terus menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi dan benar saja, tepat seperti yang dikhawatirkannya, sang puteri telah lenyap dan di situ terdapat Hwa-i-kongcu dan para pembantunya. Hwa-i-kongcu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakannya tolol.
"Kejar! Isteriku harus dapat dirampas kembali!" teriaknya marah-marah dan dari tempat persembunyiannya, Siang In melihat betapa tosu tinggi kurus, raksasa tinggi besar muka hitam, dan si gemuk pendek berkepala gundul itu berkelebat dengan kecepatan yang mengejutkan, melakukan pencarian atau pengejaran tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Dia terkejut. Kiranya Hwa-i-kongcu dibantu orang-orang pandai. Namun toh Syanti Dewi dapat diculik orang. Hal ini menunjukkan betapa lihainya si penculik yang agaknya dibantu oleh para pelayan wanita. Dia meninggalkan tempat sembunyinya untuk melakukan pengejaran pula. Dia harus mendapatkan Syanti Dewi karena agaknya, terjatuh ke tangan siapa pun juga, kecuali ke tangannya, tentu Puteri Bhutan itu akan celaka. Ketika dia keluar, ternyata di sana-sini telah terjadi pertempuran-pertempuran hebat antara wanita-wanita pelayan dan para pengawal dan anak buah Hwa-i-kongcu. Kini jelaslah sudah bahwa pelayan-pelayan wanita itu adalah serombongan orang yang menyamar untuk menculik sang puteri! Dan ternyata mereka itu terdiri dari orang-orang lihai,
sama sekali bukan lawan para pengawal Hwa-i-kongcu atau anggauta-anggauta Liong-sim-pang biasa saja. Hanya tiga orang lihai tadi yang dapat mengatasi mereka dan mulailah ada beberapa orang wanita pelayan roboh dan selebihnya lalu melarikan diri, dikejar oleh tiga orang itu dan para anak buah Liong-sim-pang. Tamu-tamu makin panik dan sebagian besar menyelamatkan diri dengan sembunyi di balik semak-semak atau pohon-pohon di dalam taman, ada pula yang begitu saja memasuki kamar-kamar, tidak peduli kamar siapa, dan ada pula yang menyelinap ke dalam dapur, tidak peduli pakaian dan mukanya penuh hangus. Hanya yang berkepandaian saja membantu para anggauta Liong-sim-pang melakukan pengejaran kepada rombongan wanita pelayan yang ternyata merupakan gerombolan penculik itu.
Ternyata orang-orang Hek-eng-pang amat cerdik dan sebelum mereka melakukan penculikan, sebagian di antara mereka telah mengatur "jalan lari" untuk kawan-kawannya. Kini, mereka mengikuti jalan yang mereka buat, dan dipimpin oleh Hek-eng-pangcu sendiri, yaitu Yang-liu Nio-nio, mereka berserabutan memasuki taman melalui jalan yang sudah direncanakan semula.
"Penculik-penculik hina, hendak lari ke mana kalian?" Hak Im Cu mengejar dan paling cepat larinya tosu ini karena dia memang seorang ahli ginkang yang hebat.
"Liong-li, bawa dia ini!" Yang-liu Nionio berteriak dan melemparkan tubuh Syanti Dewi yang sudah ditotoknya itu ke arah muridnya itu. Liong-li menyambut tubuh itu dan terus melarikan diri, sedangkan Yang-liu Nio-nio menyambut, serangan pedang Hak Im Cu dengan ranting yang-liu yang tadi dipegangnya.
"Singgg.... trakkkkk!" Pedang itu tertahan oleh ranting dan keduanya lalu bertempur seru.
Sementara itu, para pengawal yang melihat pengantin wanita dilarikan seorang pelayan dan belasan pelayan lain, cepat mengejar. Liong-li lari bersama teman-temannya, meloncati jalan di antara semak-semak. Para pengawal atau anak buah Liong-sim-pang mengejar.
"Blarrr....!" Terjadi ledakan keras dan empat orang anak buah Liong-sim-pang terlempar ke sana-sini oleh ledakan itu. Kiranya di situ sudah dipasang jebakan semacam ranjau oleh orang-orang Hek-eng-pang yang tadi meloncati tempat itu. Anak buah Liong-sim-pang yang tidak tahu tentu saja berlari biasa dan menginjak ranjau itu.
Bersama bunyi ledakan, Yang-liu Nio-nio diikuti oleh beberapa orang anak buahnya juga lari karena Ban-kin-kwi Kwan Ok dan Hai-liong-ong Ciok Gu To telah tiba di situ. Melihat adanya tiga orang yang amat lihai ini, Yang-liu Nionio mengajak anak buahnya lari dan mereka menyelinap di semak-semak belukar di luar taman.
"Keparat jangan lari!" Hak Im Cu memaki dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba semak-semak itu terbakar dan nyalanya demikian besar karena ternyata semak-semak itu telah disiram minyak. Terpaksa tiga orang lihai ini tidak berani menerjang api dan mengambil jalan memutar. Mereka melihat wanita tua cantik memegang ranting itu bersama lima orang wanita pelayan lain menyeberangi jembatan di luar taman. Tentu saja dengan cepat mereka mengejar. Wanita-wanita itu telah tiba di seberang jembatan dan baru saja Hak Im Cu dan kawan-kawannya tiba di jembatan dan meloncat ke atasnya, tiba-tiba jembatan itu ambruk! Tentu saja ini pun buatan para anggauta Hek-eng-pang. Untung bahwa yang berada di jembatan itu adalah Hak Im Cu bertiga yang tentu saja dapat meloncat kembali ke belakang dan tidak sampai ikut terjatuh bersama jembatan itu.
Hak Im Cu dan teman-temannya, juga para anak buah Liong-sim-pang cepat mengejar para wanita yang telah tiba di tembok yang mengelilingi tempat markas Liong-sim-pang itu. Dengan gerakan-gerakan yang amat ringan, mereka meloncat ke atas tembok, didahului oleh Liong-li yang memondong tubuh Syanti Dewi.
"Ha-ha-ha, kalian hendak lari kemana?" Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan kiranya di atas tembok, di menara penjagaan, telah nongkrong seorang tinggi besar bersorban yang bukan lain adalah Gitananda, tokoh aneh dari Nepal tadi!
"Liong-li, lari....!" Yang-liu Nio-nio berteriak dan dia sendiri menggunakan ranting yang-liu, langsung menubruk dan menyerang kakek Nepal itu. Si kakek Nepal terkejut karena tahu bahwa serangan nenek cantik ini cepat dan kuat bukan main, maka dia pun menggerakkan tongkatnya menangkis dan mereka segera bertempur di dalam menara penjagaan itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong-li untuk berloncatan pergi ke tempat di mana Tek Hoat dan para anak buah Hek-eng-pang yang lain sudah siap dengan kuda mereka.
Hak Im Cu dan kawan-kawannya tidak mempedulikan nenek yang masih bertanding melawan orang Nepal itu, karena bagi mereka yang terpenting adalah merampas kembali pengatin wanita yang terculik, maka mereka lalu mengerahkan para anak buah Liong-sim-pang untuk mengejar melalui pintu gerbang sedangkan mereka bertiga sendiri melakukan pengejaran dari atas dengan berlompatan.
Melihat bahwa anak muridnya dan para anak buah Hek-eng-pang sudah berhasil keluar dari tembok, Yang-liu Nio-nio cepat mendesak kakek Nepal, dengan gerakan ranting yang-liu dan ketika kakek itu menangkis dengan tongkatnya, tangan kirinya melakukan pukulan atau cengkeraman mautnya, yaitu Hek-eng-jiauw-kang yang hebat bukan main. Dari jari-jari tangannya yang dibentuk seperti kuku garuda itu menyambar hawa dahsyat sekali.
"Ehhhhh....!" Gitananda terkejut dan cepat meloncat ke belakang, akan tetapi dia melihat nenek cantik itu pun meloncat jauh dan melarikan diri di dalam gelap. Karena malam itu gelap dan penerangan dari atas tembok tidak berapa besar, maka kakek Nepal yang hanya menjadi tamu ini tidak mau membahayakan dirinya. Dia maklum bahwa mengejar seorang lawan pandai di tempat gelap amatlah berbahaya, maka dia pun melakukan pengejaran seenaknya saja, dengan sikap amat berhati-hati.
Kini terjadilah kejar-kejaran di luar tembok dan di tempat terbuka di daerah Pegunungan Lu-liang-san, di malam gelap itu. Akan tetapi sebentar saja, para wanita yang memang sebelumnya sudah mengatur jalan dengan cerdiknya, dapat melarikan diri di tempat gelap dan terus dikejar oleh para anggauta Liong-sim pang yang dipimpin oleh Hak Im Cu dan dua orang temannya, bahkan kemudian Hwa-i-kongcu pengantin pria yang gagal itu pun melakukan pengejaran sendiri.
Kita tinggalkan dulu para penculik Syanti Dewi yang melarikan diri dan dikejar oleh anggauta Liong-sim-pang, dan juga secara diam-diam dikejar pula oleh seorang gadis cantik, yaitu Siang In dan mari kita kembali mengikuti keadaan Suma Kian Lee yang menjadi tawanan Hek-eng-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan Suma Kian Lee tidak berdaya dan menjadi setengah tawanan dari Hek-eng-pang karena Hek-eng-pang mengancam akan membunuh Cui Lan dan Gubernur Hok kalau dia melawan. Akan tetapi munculnya Ang Tek Hoat membuka rahasianya dan akhirnya, dalam pertandingan melawan Tek Hoat, dia dikeroyok dan roboh pingsan. Ketika Kian Lee sadar kembali, dia telah berada di dalam sebuah kamar dan dijaga oleh empat orang wanita anggauta Hek-eng-pang yang cantik-cantik. Begitu siuman, dia bangkit duduk dan siap untuk mengamuk, akan tetapi seorang wanita cantik yang dia tahu merupakan seorang di antara kepala-kepala pasukan di Hek-eng-pang, muncul dan berkata, "Harap kau suka tenang, Kongcu. Kalau tidak, terpaksa dua orang kawanmu itu kami bunuh!"
Teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin, Suma Kian Lee tenang kembali dan dia bangkit duduk dan berkata, "Sesungguhnya, apakah yang kalian kehendaki dari aku?" Dia memandang ke kanan kiri dan bertanya lagi, "Mana ketua kalian itu? Dan mana pula Tek Hoat? Suruh mereka bicara dengan aku!"
"Pangcu sedang pergi dan aku yang diberi tugas untuk minta agar kau mengaku saja semuanya, Suma-kongcu. Bukankah sudah jelas bahwa yang merampas harta keluarga Kao adalah seorang pemuda yang dikenal sebagai Suma-kongcu dan menjadi saudaramu? Nah, sekarang, demi keselamatan dua orang kawanmu itu, terutama dara cantik jelita yang selalu menanyakan keadaan dan mengkhawatirkan keselamatanmu itu, yang agaknya adalah.... eh, kekasihmu."
"Jangan bicara sembarangan!" Kian Lee menghardik dan mukanya berubah merah. Ia tahu betapa lembut dan halus perasaan Cui Lan, betapa dara itu masih mengkhawatirkannya, akan tetapi hal itu bukan berarti dara itu cinta kepadanya karena hati dan cinta kasih dara itu telah ditumpahkan kepada Siluman Kecil!
"Maaf, Kongcu. Sekarang, demi keselamatan mereka, harap Kongcu berterus terang saja, di mana adanya harta itu dan agar dikembalikan kepada kami untuk ditukar dengan dua orang kawanmu."
"Kalian adalah orang-orang bodoh yang suka menuduh orang secara ngawur saja!" Kian Lee berkata dengan nada menyesal. "Aku bukanlah orang-orang macam kalian yang suka membohong, apalagi menghendaki barang orang lain. Sesungguhnya, aku sama sekali tidak tahu tentang harta itu. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah kepadaku apa yang telah terjadi?"
Wanita cantik itu tersenyum, seolah-olah dia tahu bahwa Kian Lee berpura-pura. Lalu dia menarik napas panjang dan berkata, "Kongcu, engkau membuat tugas kami menjadi lebih berat lagi. Kenapa masih pura-pura tidak tahu kalau yang melakukan ini adalah saudaramu sendiri?"
Kian Lee menahan kesabarannya. "Aku memang mempunyai saudara yang sedang kucari-cari, akan tetapi saudaraku bukanlah perampok atau penculik! Nah, sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa dalam hal ini. Kau mau menjelaskan atau tidak terserah!"
Melihat sikap ini, wanita itu menjadi ragu-ragu dan dia pun bercerita, "Kami mendengar bahwa keluarga Jenderal Kao Liang telah mengundurkan diri dan hendak pulang ke kampung membawa harta yang besar. Karena rombongannya akan lewat tidak jauh dari sini, maka pangcu lalu memerintah kami untuk menghadang dan merampas harta pusaka itu. Kami sudah hampir berhasil, akan tetapi ternyata banyak fihak lain yang juga mengandung niat yang sama dengan kami.
Mereka adalah orang-orang lembah, yaitu perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang yang menjadi musuh besar kami. Kemudian dalam perebutan harta pusaka keluarga Kao itu muncul pula pengawal-pengawal kerajaan yang menyamar, dan kami mendengar pula nama Suma-kongcu. Karena kami tidak berhasil merampas harta, juga fihak Kui-liong-pang tidak pula, sedangkan para pengawal itu telah kami hancurkan, maka tinggal Suma-kongcu itulah yang mencurigakan dan tentu dia yang telah merampas harta pusaka keluarga Kao."
"Hemmm, dan dimana adanya keluarga Kao sendiri?"
Wanita itu tersenyum dan mencibirkan bibirnya yang merah. "Mereka terculik dan kami tidak tertarik oleh hal itu. Kami hanya mementingkan harta pusaka dan karena jelas bahwa harta itu dirampas oleh Suma-kongcu, sedangkan engkau adalah saudaranya, maka kami mengharap bantuanmu untuk mengembalikan harta itu kepada kami sebagai penukaran diri dua orang kawanmu."
Akan tetapi Kian Lee sudah tidak mempedulikan omongan wanita itu lebih lanjut karena dia sudah melamun! Kini mengertilah dia mengapa hal-hal aneh itu terjadi kepadanya. Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerangnya, tentu mereka itu pun mendengar bahwa Suma kongcu yang tentu saja kalau memang benar demikian adalah adiknya, Kian Bu, yang mencuri harta mereka dan menculik keluarga mereka. Pantas saja jenderal itu dan dua orang puteranya menyerang dia! Tentu ini fitnah belaka! Tidak mungkin adiknya, Suma Kian Bu, telah berubah menjadi garong! Apalagi menjadi penculik!
Ini tentu fitnah! Dan dia berkewajiban untuk membongkar rahasia ini. Dia harus dapat menemukan keluarga Jenderal Kao dan menemukan harta yang dirampas orang, bukan hanya untuk membantu keluarga Jenderal Kao itu melainkan juga untuk membersihkan nama adiknya dari fitnah. Akan tetapi sebelum dapat mencari keluarga Jenderal Kao dan harta pusakanya itu, lebih dulu dia harus dapat meloloskan diri dari tempat ini tanpa membahayakan Cui Lan dan Gubernur Hok. Ah, betapa banyaknya hal yang harus dikerjakan, betapa banyaknya halangan dihadapinya dalam perjalanannya kali ini. Masih ada lagi tugas yang juga amat penting, yaitu menyelidiki dan membebaskan Pangeran Yung Hwa!
"Biarkan aku bicara sendiri dengan Tek Hoat dan dengan ketua kalian," akhirnya dia berkata. "Terjadi salah duga atau fitnah keji dalam hal ini," hanya demikian jawabnya dan akhirnya wanita itu pun meninggalkannya, mengatakan bahwa ketua Hek-eng-pang yang pergi bersama Si Jari Maut belum pulang.
Sampai hari menjadi malam, ketua Hek-eng-pang dan Si Jari Maut belum juga pulang dan malam ini terjadilah peristiwa hebat di puncak Gunung Cemara. Di waktu malam gelap itu, secara tiba-tiba orang-orang lembah, yaitu musuh besar perkumpulan Hek-eng-pang, datang menyerbu! Mereka ini adalah orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang yang datang secara tidak terduga-duga dan menyerang perkampungan Hek-eng-pang dengan hebat, membakari rumah di situ. Pihak Hek-eng-pang tentu saja melakukan perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka pergi bersama ketua mereka, maka jumlah mereka kalah banyak, dan juga tanpa adanya ketua mereka, para anggauta Hek-eng-pang ini lemah semangatnya dan akhirnya mereka melarikan diri cerai-berai mencari keselamatan, meninggalkan rumah-rumah mereka yang menjadi lautan api!
Tentu saja Kian Lee yang terkejut oleh penyerbuan ini, cepat meninggalkan tempat tahanannya. Para wanita yang menjaga kamar tahanan juga sudah tidak ada lagi dan di dalam keributan itu, Kian Lee tidak mau ikut campur, melainkan langsung saja dia mencari Cui Lan dan Gubernur Hok. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia tiba di tempat tahanan dua orang itu, dia melihat dua orang penjaganya, yaitu wanita-wanita anggauta Hek-eng-pang yang ditugaskan menjaga dan menodong mereka, telah menggeletak tewas dan di dalam kamar itu tidak lagi nampak bayangan Cui Lan dan Hok-taijin. Kian Lee lalu berlari ke sana-sini mencari-cari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak dua orang itu.
Ketika dia melihat orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang meninggalkan Gunung Cemara sambil bersorak-sorak seperti barisan tentara menang perang, Kian Lee diam-diam membayangi mereka. Akan tetapi, gerombolan orang-orang dari lembah itu menggunakan perahu-perahu melanjukan perjalanan mereka dan terpaksa Kian Lee lalu membayangi terus di sepanjang pantai sungai.
Sampai pagi hari, perahu-perahu itu terus meluncur dan Kian Lee juga terus membayanginya. Tibalah mereka di sebuah dusun di pinggir sungai dan perahu-perahu itu berhenti mendarat. Akan tetapi tidak semua anggauta Kui-liong-pang mendarat sehingga Kian Lee tidak tahu di mana adanya Cui Lan dan Gubernur Hok, di perahu yang mana. Selagi dia ragu-ragu dan menduga-duga, siap untuk menyerbu dan menolong Cui Lan dan Gubernur Hok, tiba-tiba dia dikejutkan oleh teriakan orang di belakangnya.
"Eh, inilah dia pemuda itu!"
Kian Lee cepat menengok dan dia melihat Honan Cui-lo-mo Wan Lok It, tokoh jagoan dari Gubernur Ho-nan itu, yang gendut dan rambutnya merah, tak pernah melepaskan sebuah guci arak! Bersama kakek ini, ada pula belasan orang anak buahnya dan agaknya mereka tiba di dusun ini dalam usaha mereka mencari-cari Gubernur Hok dan juga dia sendiri. Kian Lee terkejut dan diam-diam dia mengharapkan agar Gubernur Hok dan Cui Lan jangan keluar dari tempat mereka, karena kalau sampai ketahuan, tentu akan ditangkap dan sukar baginya untuk melindungi mereka.
Ciu-lo-mo sudah menerjang dengan guci araknya sebagai senjata, dibantu belasan orang itu yang sudah mengurung Kian Lee. Pemuda ini menganggap bahwa andaikata Cui Lan dan Gubernur Hok ditawan orang-orang lembah, keadaan mereka lebih aman daripada kalau ditawan oleh orang-orang ini, karena orang-orang lembah itu belum tahu siapa adanya Hok-taijin, sedangkan orang-orang ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan. Maka dia lalu melompat merobohkan dua orang anak buah Si Setan Arak Tua dari Ho-nan itu dan melarikan diri, untuk memancing mereka menjauhi perahu-perahu itu yang diduganya menawan Cui Lan dan Hok-taijin.
Benar saja, Cui-lomo dan anak buahnya cepat melakukan pengejaran. Setelah jauh, barulah Kian Lee membalik dan menghadapi mereka dengan tenang, menanti kedatangan mereka dan mengambil putusan untuk memberi hajaran kepada mereka.
Akan tetapi, begitu orang-orang itu tiba di depannya dan sebelum mereka menyerangnya terdengar bentakan halus, "Omitohud....! Tahan senjata.... pinni hendak bicara....!"
Semua orang menengok ke arah datangnya suara itu dan munculiah seorang nikouw (pendeta wanita) tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil dan mukanya pucat, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang membuat Kian Lee mengenal bahwa nikouw itu bukan sembarang orang. Nikouw itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan pandang mata menyelidik, dia bertanya kepada Ho-nan Ciu-lo-mo dengan suara nyaring, "Apakah kalian orang-orang Kui-liong-pang?"
Ciu-lo-mo Wan Lok It memandang marah, akan tetapi karena dia berhadapan dengan seorang nikouw, dia menahan kemarahannya dan berkata, "Harap Losuthai jangan menduga sembarangan dan mengira kami adalah orang-orang dari perkumpulan kotor itu. Kami adalah pasukan dan utusan dari Kui-taijin, Gubernur Ho-nan!" Ciu-lo-mo mengangkat dada untuk membanggakan kedudukannya sebagai utusan gubernur.
Akan tetapi sungguh celaka, ketika nikouw itu mendengar bahwa dia adalah utusan Gubernur Ho-nan, wajah nikouw itu menjadi merah dan sinar matanya menunjukkan kemarahan. "Bagus! Sungguh kebetulan sekali. Justeru kalian inilah orang-orang yang harus pinni cari. Hayo lekas katakan, di mana adanya Phang Cui Lan? Apa yang terjadi dengan dia?"
Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It adalah seorang jagoan Ho-nan yang sama sekali tidak mengenal nikouw ini. Maka tentu saja dia tidak menjadi takut, bahkan dia menghadapi kemarahan nenek ini dengan muka tidak senang. Apalagi sekarang nenek itu menyebut nama Phang Cui Lan, gadis pelayan istana gubernur yang telah berkhianat dan membantu larinya Gubernur Ho-pei, musuh dari Gubernur Ho-nan.
"Hemmm.... nikouw tua...." katanya, kini kurang nada hormatnya. "Apa maksudmu menanyakan gadis pelayan yang berkhianat itu?"
Nikouw itu makin marah. "Kau ini siapa? Dan apa kedudukanmu di gubernuran?"
Ditanya demikian, Wan Lok It menepuk dadanya. "Belum mengenal aku? Inilah Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It dan aku adalah pengawal pribadi Gubernur Ho-nan! Gadis bernama Phang Cui Lan itu adalah seorang pengkhianat, apa maksudmu menanyakan gadis itu?"
"Omitohud! Sungguh kebetulan sekali. Tentu orang-orang macam engkau inilah yang membujuk gubernur untuk mencelakai gadis itu. Pinni mendengar bahwa gadis itu dikejar-kejar oleh orang-orangnya gubernur, bahkan hendak membunuh. Benarkah begitu?"
"Benar sekali! Dan apakah engkau tahu di mana dia bersembunyi? Kalau kau berani melindunginya, engkau akan celaka!"
"Omitohud, sungguh berani mati! Eh, Setan Arak, Nona Phang, itu adalah seorang sahabat pendekar Siluman Kecil yang dititipkan Gubernur Ho-nan, dan sekarang berani kalian hendak membunuh dia! Bukankah dengan demikian gubernur tidak menghargai beliau? Awas, kalau sampai terjadi sesuatu dengan nona itu, gubernur dan semua kaki tangannya tentu tidak akan bebas dari hukuman!"
Kian Lee merasa kagum dan heran mendengar ucapan nikouw itu. Kiranya nikouw tua yang lihai dan berwibawa ini juga merupakan seorang pembantu dari pendekar yang terkenal dengan sebutan Siluman Kecil! Dia kagum karena selain pendekar itu mempunyai banyak pembantu dan namanya amat dikenal dan disegani semua orang, juga ternyata bahwa pendekar itu mempunyai rasa setia kawan yang besar, dan juga semua kawan-kawannya demikian tunduk dan setia kepadanya. Betapa banyaknya orang yang setia kepada pendekar itu dari seorang gadis cantik jelita dan halus budi seperti Cui Lan, sampai kepada orang-orang kasar seperti para pemburu yang menolongnya keluar dari terowongan saluran air itu dan nikouw tua yang menimbulkan rasa hormat ini.
Akan tetapi orang yang sudah biasa mengandalkan kepandaiannya sendiri, kedudukannya dan banyak kawan seperti Cui-lo-mo tidak merasa takut menghadapi nikouw itu, bahkan dia menjadi marah sekali. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Siluman Kecil yang kabarnya muncul seperti siluman, membasmi orang-orang jahat akan tetapi tidak pernah dapat dilihat dengan nyata orangnya itu, yang pernah pula membasmi penjahat yang mengganggu Propinsi Ho-nan dan juga dihormati oleh gubernur sendiri. Akan tetapi, dia sendiri belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, maka tentu saja dia tidak mau tunduk begitu mudah, apalagi yang muncul hanya seorang nikouw tua sepertl itu, yang berani mengeluarkan kata-kata keras bernada mengancam terhadap gubernur dan kaki tangannya!
"Eh, nikouw tua! Hati-hati engkau bicara, atau kau kutangkap sebagai seorang kaki tangan pengkhianat!"
"Hemmm, Setan Arak. Kalau kau berani, boleh coba kautangkap pinni!" jawab nikouw itu.
"Bagus! Engkau yang menantang, jangan nanti persalahkan aku dan mengatakan aku tidak menghormat seorang pendeta wanita tua!" Ho-nan Cui-lo-mo lalu menerjang maju dengan gucinya, menyerang nikouw itu.
"Trang-trang-tringgggg....!" Tongkat nikouw itu menangkis guci dan ketika ada arak muncrat dari guci itu ke arah mukanya, nikouw itu hanya meniup dan arak itu pecah dan buyar. Kemudian tongkatnya membalas dan ternyata serangan balasan nikouw itu pun kuat sekali sehingga mengejutkan Ho-nan Ciu-lo-mo. Maklum bahwa nenek itu ternyata merupakan lawan yang cukup tangguh, dia lalu meneriaki anak buahnya untuk maju mengeroyok.
"Sungguh tak tahu malu!" Kian Lee membentak dan pemuda ini melompat maju, mengamuk dan dalam beberapa gebrakan saja para anak buah dari gubernuran itu cerai-berai dan kacau-balau, bahkan Si Setan Arak sendiri terdorong mundur oleh hawa pukulan yang keluar dari tangan Kian Lee.
Wan Lok It bukan orang bodoh. Dia memang sudah tahu bahwa pemuda itu lihai, akan tetapi dengan mengandalkan belasan orang anak buahnya yang merupakan pengawal-pengawal pilihan dari gubernuran hatinya menjadi besar dan dia tadi hendak menangkap pemuda itu. Namun siapa tahu, di situ muncul nikouw yang juga lihai dan dengan majunya ni-kouw itu bersama si pemuda lihai, tentu saja dia dan kawan-kawannya merasa kewalahan dan akhirnya larilah mereka sambil menyeret teman-teman yang ter luka.
Nikouw itu memandang kepada Kian Lee dengan kagum lalu berkata memuji, "Omitohud! Pinni sungguh keliru dan tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata. Kongcu memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tadi pinni mengkhawatirkan keselamatan Kongcu. Sungguh menggelikan!"
Kian Lee menjura kepada nikouw tua itu dan berkata, "Suthai membela Nona Phang, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa Suthai adalah seorang sahabat. Saya pun sedang mencari dia dan hendak menolongnya dari cengkeraman orang-orang jahat."
"Ohhhhh.... begitukah? Di mana dia dan bagaimana Kongcu bertemu dengan dia?"
"Mari kita mengejar perahu-perahu yang tadi berlabuh di dusun sana, Suthai. Kalau tidak salah, Nona Phang dan seorang.... paman dibawa di dalam sebuah diantara perahu-perahu itu. Mari kita mengejar dan nanti saya ceritakan kepada Suthai tentang pertemuan antara kami."
Kian Lee dan nikouw tua itu mengejar dan ternyata bahwa perahu-perahu itu telah lama pergi. Kiranya begitu melihat keributan di darat, perahu-perahu itu tidak jadi singgah dan melanjutkan perjalanan cepat-cepat sehingga tidak nampak lagi. Kian Lee lalu mengajak nikouw itu mengejar dengan cepat di sepanjang pinggir sungai. Dalam perjalanan ini dia menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Phang Cui Lan dan dengan singkat dia bercerita bahwa Cui Lan bersama dengan seorang kakek melarikan diri dari gubernuran Ho-nan, dikejar-kejar dan dia sendiri terjerumus ke dalam terowongan saluran air. Diceritakannya betapa dia telah ditolong oleh Cui Lan yang mengerahkan teman-temannya para pemburu sehingga dia selamat.
"Ah,.... kiranya Kongcu yang ditolong itu? Pinni mendengar dari para pemburu tentang itu, dan dari mereka itulah pinni tahu bahwa nona Phang dikejar-kejar dan hendak dibunuh, maka pinni mewakili beliau untuk menegur gubernur Ho-nan dan untuk menyelamatkan Nona Phang.
"Maksud Suthai beliau Si Siluman Kecil?" Kian Lee bertanya.
"Siapa lagi?" Nenek itu mengangguk. "Lalu bagaimana, harap Kongcu lanjutkan."
"Saya mengantar Nona Phang untuk mengungsi ke Ho-pei, akan tetapi di tengah jalan kami ditangkap oleh gerombolan Hek-eng-pang. Karena mereka itu mengancam hendak membunuh Nona Phang, terpaksa saya menyerah. Dan malam tadi, Hek-eng-pang diserang oleh gerombolan lain yang menjadi musuh mereka. Saya dapat terbebas, akan tetapi ketika saya mencari Nona Phang, dia telah lenyap. Mungkin sekali ditawan oleh gerombolan yang melarikan diri dengan perahu-perahu itu. Sayang sebelum saya berhasil mendapatkan apakah Nona Phang berada di perahu itu, muncul si Setan Arak yang mengenal saya ketika terjadi keributan di gubernuran Ho-nan dan dia menyerang saya sehingga perahu-perahu itu sempat pergi."
Nikouw itu mendengarkan dengan penuh perhatian. "Ah, kalau begitu Kongcu telah banyak membela dan melindungi Nona Phang dan dengan demikian maka boleh dibilang Kongcu adalah seorang sahabat juga dari beliau."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat namun belum juga dapat menyusul perahu-perahu itu. Hati Kian Lee makin tertarik kepada tokoh yang berjuluk atau dijuluki Siluman Kecil itu.
"Suthai, siapakah sebenarnya Siluman Kecil itu? Siapa namanya dan dia datang darimana?"
Tiba-tiba nikouw tua itu berhenti dan memandang kepada Kian Lee dengan sinar mata penuh selidik dan kecurigaan. Akan tetapi melihat sikap Kian Lee tenang-tenang dan biasa saja, dia menjawab, "Pinni juga tidak tahu banyak. Yang pinni ketahui hanyalah bahwa beliau sering kali datang ke kuil kami dan bercakap-cakap dengan Subo. Beberapa hari yang lalu beliau datang dan setelah bercakap-cakap dengan Subo, pinni dipanggil dan diserahi tugas untuk menyelidiki keadaan Nona Phang." Nikouw itu menghentikan ceritanya dan jelas bahwa dia enggan untuk banyak bicara tentang tokoh itu. Tentu saja sikap ini bahkan makin menarik hati Kian Lee.
"Telah lama saya mendengar nama besar Siluman Kecil. Ingin sekali saya bertemu dengan orangnya dan berkenalan," katanya.
"Hemmm, tidak mudah!" Nikouw itu menggeleng kepala dan mereka melanjutkan perjalanan. "Sungguh sangat sukar bertemu dan berkenalan dengan beliau, sama sukarnya dengan mendaki puncak Thai-san! Beliau tidak suka bertemu orang, bahkan dengan sahabat-sahabat yang amat dipercayanya pun jarang bertemu."
Setelah itu, nikouw tua yang mengaku berjuluk Liang Wi Nikouw itu tidak mau lagi bicara tentang Siluma n Kecil. Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, namun anehnya, mereka tidak juga dapat menyusul rombongan perahu itu. Namun mereka terus mengejar dengan cepat sekali.
Hari telah sore. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya kehilangan teriknya yang hebat. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw tiba di daerah yang berbatu-batu, batu karang yang tajam meruncing dan sukar dilewati. Namun berkat ginkang mereka, keduanya masih dapat melanjutkan perjalanan, sungguh pun dengan hati-hati dan meloncat dari batu ke batu.
Terdengar suara air bergemuruh. Kiranya dibagian yang berbatu-batu itu merupakan tebing yang curam sekali dan air sungai itu kini menjadi air terjun yang amat terjal. Keduanya mendekati dan menjenguk ke bawah. Tinggi sekali tempat itu dan air sungai itu terjun ke tempat yang dalamnya sampai ratusan meter! Air yang menghantam batu-batu di bawah berubah menjadi uap dan dari atas kelihatan gelap seolah-olah mereka berdiri di atas awan.
Jauh sekali di bawah, di sekitar air terjun yang tertutup awan air itu, nampak dikelilingi tebing yang amat curam dan agaknya tidak mungkin di datangi manusia. Dan di antara tebing-tebing itu, seolah-olah dikelilingi tebing yang curam, terdapat tanah datar yang luas dan nampaklah beberapa petak rumah yang dlingkari tembok seperti benteng berdiri di tanah datar itu.
"Ah, ada perkampungan di sana!" Nikouw itu berkata.
"Dan agaknya perahu-perahu yang lenyap itu telah disembunyikan dan sangat boleh jadi bahwa perkampungan di bawah itulah perkampungan orang-orang yang menyerang Gunung Cemara, yang disebut orang-orang lembah atau Perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang."
"Akan tetapi, sungai ini bukan Sungai Huang-hoi" nikouw itu berkata heran.
"Memang bukan, akan tetapi saya rasa merupakan cabang Sungai Huang-ho dan mereka itu adalah bajak-bajak Sungai Huang-ho maka memakai nama demikian. Kalau saya tidak salah menduga, Suthai, di sanalah adanya Nona Phang dan Paman Hok."
"Siapa Paman Hok itu?"
Kian Lee tidak mau sembrono membuka rahasia Gubernur Ho-pei, maka dia menjawab, "Seorang pekerja di Gubernuran Ho-nan yang membantu Nona Phang melarikan diri."
"Kita harus dapat turun ke sana untuk menyelidiki," kata Liang Wi Nikouw.
"Memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat turun ke sana?"
Mereka lalu mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada jalan turun yang merupakan jalan manusia, juga mereka tidak berhasil menemukan jalan rahasia. Jalan turun satu-satunya menuju ke perkampungan di bawah sana itu hanya menuruni tebing curam itu!
"Nona Phang harus ditolong!" kata si nikouw tua. "Kalau terpaksa, kita harus mendaki tebing dan turun ke sana."
Kian Lee mengangguk. "Tebing ini biarpun curam, namun terdiri dari batu karang yang runcing dan kuat. Kita dapat merayap turun. Akan tetapi kalau dilakukan di waktu cuaca masih terang, amat berbahaya, Suthai. Kalau kita sedang merayap lalu diserang dari bawah atau dari atas, bagaimana kita dapat menyelamatkan diri? Lebih baik menanti sampai cuaca mulai gelap. Nah, baru kita merayap turun."
Nikouw itu mengangguk-angguk. "Kongcu benar dan cerdik, biarlah kita menanti sampai gelap."
Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menanti datangnya gelap dan mereka mencari batu yang agak datar di antara batu-batu karang yang kasar dan runcing itu. Dengan duduk bersila di atas batu yang datar, mereka mengaso, melepaskan lelah dan menanti sampai mata hari tenggelam di barat. Liang Wi Nikouw sudah duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi.
Tiba-tiba batu itu bergerak. Bahkan bergeser! Cepat Kian Lee menyambar lengan niitouw itu, dibawanya meloncat turun dan mereka lalu bersembunyi di balik batu karang yang besar, dan mengintai dengan mata terbelalak heran dan kaget. Batu yang tadi mereka duduki itu terus bergeser, terdengar suara berderit dan ternyata di bawah batu itu terdapat sebuah lubang yang besar. Sebuah mulut terowongan! Kiranya batu yang mereka jadikan tempat mengaso itu merupakan sebuah pintu rahasia!
Terdengar suara orang dan muncullah belasan orang dari dalam lubang, dikepalai oleh seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh kecil dan pendek. Orang ini sikapnya tenang dan angkuh, tanda bahwa dia adalah seorang yang memiliki kekuasaan di antara teman-temannya itu. Dan kenyataannya memang demikianlah. Dua orang anak buahnya cepat-cepat membersihkan permukaan batu yang menjadi pintu itu dengan sapu tangan, mengebut bersih debu yang menempel di atas batu itu dan mempersilakan kakek bertubuh kecil pendek itu untuk duduk di situ. Sedangkan dua belas orang anak buah itu hanya duduk sembarangan saja di sekitar tempat itu.
"Ji-pangcu (Ketua ke Dua), apakah para tamu sudah akan datang?" seorang yang duduk paling dekat bertanya.
Kakek kecil itu mengangguk. Dengan mata disipitkan dia memandang ke depan, merenung jauh. "Tadi sudah ada tanda rahasia bahwa mereka akan datang, maka kita harus bersiap-siap menyambutnya di sini.
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi di balik batu karang besar, mendekam, mengintai dan mendengarkan dengan perasaan tegang. Mereka sudah bersepakat untuk tidak sembarangan turun tangan sebelum dapat menyelamatkan Nona Phang dan "paman" Hok, karena kalau mereka itu belum diselamatkan lebih dulu, tentu sukar bagi mereka untuk turun tangan.
Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara suitan nyaring sekali. Orang yang disebut Ji-pangcu itu bangkit berdiri, lalu dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring sebagai sambutan. Diam-diam Kian Lee menilai bahwa orang tua pendek kecil ini memiliki khikang yang cukup tangguh, maka dia makin berhati-hati.
Terdengar kini suara kaki kuda berderap dan tak lama kemudian, munculiah seorang kakek yang diiringkan oleh dua puluh orang yang berpakaian seperti jago-jago silat. Kakek itu bersikap gagah dan segera disambut oleh Ji-pangcu. Setelah saling menjura, kakek pemimpin rombongan ini mengeluarkan sehelai kartu yang cepat diterima oleh Ji-pangcu. Setelah membaca tulisan di atas kartu itu, Ji-pangcu segera menjura lagi dan berkata hormat, "Kiranya Boan-wangwe (Hartawan Boan) yang datang! Selamat datang di Lembah Kui-liong-pang!"
Kakek yang disebut Hartawan Boan ini memandang si kakek kecil pendek penuh perhatian, kemudian tertawa, "Ha-ha-ha, biarpun baru sekarang saling berjumpa, namun kami telah mendengar nama besar dari Khiu-pangcu (Ketua Khiu). Benarkah dugaan kami?"
Kakek pendek kecil itu pun tertawa. "Tepat sekali dugaan Boan-wangwe. Silakan masuk!" Ji-pangcu atau juga disebut Khiu-pangcu itu mempersilakan dengan tangan kanannya dan masuklah Hartawan Boan bersama anak buahnya melalui pintu terowongan itu, diantar oleh seorang di antara dua belas anak buah yang berjaga di luar pintu terowongan itu.
Boan-wangwe itu sebenarnya adalah seorang bekas kepala bajak yang amat terkenal, lihai dan juga berpengaruh. Akan tetapi kini dia tidak pernah menjadi pembajak lagi karena dia sudah menjadi seorang pedagang besar, dagangannya adalah.... ikan yang dihasilkan oleh sungai cabang Huang-ho itu. Akan tetapi dia sendiri bukanlah nelayan dan semua nelayan dari belasan desa di sepanjang sungai itu harus menjual ikan hasil tangkapan mereka kepada Boan-wangwe! Tentu saja dengan harga rendah! Dan tidak ada seorang pun berani menentangnya karena Boan-wangwe selain terkenal mempunyai banyak tukang pukul jagoan, juga terkenal murah hati dalam hal memberi pinjaman dengan bunga-bunga yang mencekik leher. Dan hampir semua nelayan sudah mempunyai hutang padanya. Dia bersedia memberi hutang berupa jala, perahu dan lain-lain keperluan dengan janji bahwa semua hasil tangkapan nelayan itu harus disetorkan kepadanya dengan pengganti sedikit uang lelah! Pendeknya, hartawan she Boan bekas kepala bajak ini merupakan seorang pemeras hebat di sepanjang sungai itu dan kekuasaannya seperti raja saja di kalangan para nelayan.
Kian Lee dan nikouw tua itu mengintai terus dan tak lama kemudlan, kembali terdengar suitan nyaring dan seperti juga tadi, Ji-pangcu menjawab dengan suara melengking. Kiranya suitan nyaring itu adalah tanda rahasia dari penjaga di sebelah depan untuk memberi tahu akan datangnya tamu. Muncullah rombongan ke dua dan rombongan ini terdiri dari sepuluh orang yang mengawal dua orang yang memikul sebuah tandu. Cara mereka datang juga amat aneh dan mengagumkan karena dua orang pemikul tandu itu memikul sambil berloncatan dengan tubuh ringan dan gesit bukan main, demikian pula sepuluh orang pengikut atau pengiring itu semua menggunakan ginkang yang mengagumkan berloncatan dengan ringan sekali seolah-olah yang datang ini adalah sekumpulan burung yang aneh atau sekumpulan kucing yang berloncatan dari batu ke batu dengar gerakan yang cepat sekali!
Setelah tiba di depan Ji-pangcu, tandu atau joli diturunkan dan keluarlah seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba merah muda yang merah terang dan di punggungnya terdapat sebatang pedang yang gagang dan sarungnya terukir indah, dihias dengan ronce-ronce merah tua.
Melihat gadis cantik ini, Ji-pangcu segera menyambut sambil tertawa. "Selamat datang, Ang-siocia! Kiranya Siocia yang datang mewakili Hek-sin Touw-ong (Raja Maling Sakti Hitam)?"
Nona itu tersenyum manis dan menjura. "Benar, Khiu-pangcu. Suhu sedang banyak urusan maka mengutus aku untuk mewakilinya." Dia mengeluarkan sebuah kartu nama seperti tadi dan segera diperkenankan masuk dengan penuh keramahan dan diantar pula oleh seorang anak buah Kui-liong-pang.
Senja mulai mendatang dan cuaca makin gelap. Akan tetapi, setelah malam tiba, bulan muncul sore-sore dan menjadi pengganti langsung dari matahari sehingga biarpun cuaca tidak seterang siang hari, namun cukup terang karena langit bersih dari awan mendung. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi karena maklum bahwa tentu masih ada tamu-tamu lain, buktinya Ji-pangcu masih menanti di situ bersama anak buahnya. Mereka diam-diam merasa heran sekali karena tidak mengerti apa yang terjadi di lembah bawah sana sehingga orang-orang aneh berdatangan mengunjunginya.
Tak lama kemudian, munculiah seorang laki-laki tinggi besar, tanpa pengawal. Juga kedatangannya didahului oleh suitan tanda rahasia. Ji-pangcu cepat menyambutnya dan ternyata pendatang baru ini adalah kenalan lama karena mereka berjabat tangan dan bersendau-gurau. Oleh Ji-pangcu, orang itu disebut Toat-beng Sin-to Can Kok Ma (Golok Sakti Pencabut Nyawa), seorang perampok tunggal yang terkenal. Seperti yang lain-lain, perampok tunggal tinggi besar ini diperkenankan masuk setelah menyerahkan surat pengenal atau surat berupa kartu rahasia. Kemudian banyak lagi orang-orang aneh berdatangan dan mereka semua itu agaknya merupakan orang-orang golongan hitam atau kaum sesat yang rata-rata memiliki sikap aneh dan kepandaian tinggi. Ada pula serombongan yang datang dengan perahu-perahu mereka.
Kemudian, sampai lama tidak ada tamu datang dan Kian Lee diam-diam menduga bahwa agaknya. kini semua tamu sudah datang. Demikian pula dengan Ji-pangcu dan anak buahnya, mereka mulai tidak sabar dan kelihatan ingin segera masuk ke dalam terowongan itu karena menanti di situ berarti dikeroyok nyamuk yang bukan main banyaknya.
Tiba-tiba terdengar suara riak air dan muncullah beberapa buah perahu dari dalam air! Dan belasan orang berlompatan dari permukaan air sambil menyeret perahu mereka. Hebatnya, pemimpin mereka, seorang kakek yang rambutnya awut-awutan dan berwarna dua, meloncat sambil mengempit perahunya dengan kedua kaki, seperti orang menunggang kuda dan kini perahu itu mendarat dengan empuknya di atas batu karang, seolah-olah batu karang itu hanya kasur saja!
Kian Lee terkejut sekali. Orang ini pun kepandaiannya hebat, pikirnya. Akan tetapi, sebelum hilang kagetnya, dia melihat bayangan hitam meluncur turun di atas dan hampir saja pemuda ini berseru saking herannya. Dia mengenal benda itu, yang sama dengan burung Rajawali Pulau Es. Benda yang meluncur itu, yang orang lain hanya kelihatan sebagai tanda hitam yang meluncur turun, dikenal oleh Kian Lee sebagai seekor burung juga, burung yang besar sekali, akan tetapi bukan rajawali, melainkan garuda yang agak berbeda dengan Rajawali Pulau Es, akan tetapi sama besarnya! Dan ketika burung itu melayang setinggi pohon, tiba-tiba dari atas punggung burung itu melayang turun sesosok bayangan manusia dan dengan enaknya orang ini hinggap di atas batu karang di depan Khiu pangcu.
"Kau boleh pergi!" Suara itu merdu sekali, ditujukan kepada burung yang masih melayang-layang dan burung itu memekik kegirangan lalu terbang pergi. Ternyata dia adalah seorang gadis yang berpakaian serba hitam yang luar biasa cantiknya, demikian cantiknya sampai Khiu-pangcu dan anak buahnya menjadi bengong!
Dengan gerakan sembarangan gadis itu terbang pergi. Tampak sebuah tali yang panjang berwarna hitam meluncur turun dari burung itu dan kini tali itu tepat mengenai tangan si gadis dan melingkar-lingkar. Khiu-pangcu dan anak buahnya makin terkejut. Ternyata benda itu bukan tali melainkan dua ekor ular hitam! Akan tetapi dua ekor ular yang panjang bukan main, sungguhpun besarnya hanya sebesar ibu jari kaki.
Gadis itu menengok ke kanan kiri dan ketika sinar bulan menimpa wajahnya yang benar-benar luar biasa cantiknya itu, Suma Kian Lee terkejut dan ber bisik, "Ahhh.... dia....?"
Liang Wi Nikauw berbisik, "Engkau kenal padanya, Kongcu?"
"Tida k.... eh, rasanya sudah pernah melihatnya...."
"Pinni pun belum pernah jumpa, akan tetapi melihat burung itu, dan ular-ular itu, pinni pernah mendengar Subo bercerita tentang ketua Pulau Neraka dan puterinya. Agaknya dialah puteri dari Pulau Neraka yang tadinya pinni kira hanya dongeng belaka."
Makin yakin kini hati Kian Lee. Tidak salah lagi, gadis itu adalah Hwee Li! Puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ahhh, lima tahun tidak bertemu, kiranya Hwee Li telah menjadi seorang gadis yang luar biasa.... cantiknya dan juga lihainya. Namun cara gadis itu muncul, dan ular-ular itu membuat Kian Lee bergidik ngeri.
Kakek yang mengepalai rombongan perahu itu, setelah melompat turun dari atas batu karang dan meninggalkan perahunya di situ, cepat menghormat kepada Khiu-pangcu, agaknya tidak mempedulikan gadis yang baru turun dari burung garuda tadi, ia menyerahkan kartu undangan seperti yang lain-lain tadi. Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan, gadis itu pun sudah melemparkan kartu undangan itu ke arah Khiu pangcu. Kartu undangannya berputar seperti hidup dan menyambar turun ke arah tangan Khiu-pangcu yang sedang diulur untuk menerima kartu undangan yang diserahkan oleh kakek pemimpin rombongan perahu.
"Plakkk! Ahhhhh....!" Khiu-pangcu terkejut karena tiba-tiba saja ada kartu undangan menimpa tangannya yang diulur dan berbareng dia menerima pula kartu undangan yang diserahkan oleh kakek itu.
Kini kakek itu yang mengerutkan alisnya menyaksikan perbuatan nona itu, melangkah ke arah lubang terowongan, akan tetapi ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu nona cantik itu pun sudah mendahuluinya hendak memasuki lubang terowongan! Kiranya nona ini tidak mau didahului orang!
"Ah, aku yang datang lebih dulu!" Kakek itu menjadi penasaran dan kakinya menendang sebongkah batu besar yang berat sekali. Batu itu meluncur dan menghalang di depan si gadis cantik menutupi lubang.
"Brakkkkk!" Gadis itu menggerakkan tangan kirinya ke arah batu dan batu sebesar perut kerbau hamil itu pecah berantakan!
Dengan mata melotot, gadis itu pun menendang sebongkah batu besar yang menyambar ke arah kakek itu. Kakek itu mendengus, bukan menyambut dengan tangan. atau mengelak, melainkan menyambut dengan kepalanya!
"Dukkk!" Batu karang besar itu kena disundul kepalanya dan mencelat ke kiri, jauh sekali dan pecah berhamburan menimpa batu karang lain!
"Huh, hendak kulihat sampai di mana kerasnya kepalamu!" Gadis itu sudah melangkah maju dan kakek itu pun dengan marah sudah siap menandinginya.
"Bocah tak tahu aturan!" bentaknya.
Khiu-pangcu cepat melerai di antara mereka dan menjura. "Harap Ji-wi suka menghabiskan perkara kecil ini di antara orang-orang sendiri. Nona, sahabat ini adalah Tiat-thouw Sin-go (Buaya Sakti Berkepala Besi), dan bernama Thio Sui Lok, ketua Sin-go-pang (Perkumpulan Buaya Sakti). Dan Saudara Thio, Nona ini mewakili Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka. Oleh karena itu, harap saudara suka mengalah."
Biarpun hatinya masih penasaran, akan tetapi mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo, terkejut juga hati si Kepala Besi itu dan dia diam saja, akan tetapi matanya masih bersinar marah. "Silakan, Nona," kata Khiu-pangcu dan sambil mendengus dan mengerling ke arah rombongan perahu itu, tak lupa tersenyum mengejek, nona cantik jelita itu lalu memasuki pintu terowongan dan menghilang.
"Sombong...., bocah sombong....!" Thio Siu Lok yang selamanya dihormat orang dan baru sekarang menerima perlakuan yang tidak menghormat, bersungut-sungut akan tetapi akhirnya dia masuk juga bersama anak buahnya.
Melihat sikap Hwee Li, Kian Lee menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Masih teringat dia betapa dahulu, dia terluka oleh senjata rahasia peledak dari Siluman Kucing Mauw Slauw Mo-li yang menjadi bibi guru gadis itu sendiri, kemudian dia diselamatkan, disembunyikan dan diobati oleh seorang gadis cilik yang jenaka dan cerdik. Gadis cilik itu adalah Hwee Li yang sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa, namun masih saja belum hilang sifatnya seperti kanak-kanak yang bengal dan suka menggoda orang. Namun harus dia akui bahwa gadis itu sekarang amat 1ihai. Pukulannya yang menghancurkan batu tadi benar-benar mengejutkan dan mengerikan.
Kini agaknya para tamu telah datang semua, atau demikian persangkaan Khiu-pangcu karena buktinya dia meninggalkan tempat itu dan masuk melalui terowongan sambil meninggalkan pesan kepada belasan orang anak buahnya agar suka berjaga di situ kalau-kalau masih ada tamu yang datang terlambat.
"Kalau kalian sudah mendengar tanda dari bawah, barulah kalian semua masuk dan tutup pintu terowongan," demikian pesan pangcu ke dua dari Huang-ho Kui-liong-pang itu kepada para anak buahnya yang berjumlah dua belas orang.
"Baik, jangan khawatir, Ji-pangcu!" jawab seorang di antara mereka yang kumisnya kecil panjang berjuntai ke bawah lucu sekali. Agaknya si kumis panjang ini adalah kepala regu penjaga itu.
Kian Lee melihat kesempatan baik ini lalu berbisik kepada Liang Wi Nikouw itu. mengangguk-angguk. Kian Lee lalu mengambil beberapa butir batu kerikil kecil dan menggunakan jari tangannya menyentil sebutir batu kerikil ke arah siku seorang penjaga yang berdiri dekat kepala regu kumis panjang itu pada saat si kumis panjang sedang membetulkan sepatunya. Batu kerikil itu tepat menotok siku si penjaga dan otomatis lengannya bergerak ke depan.
"Plakkk!" Tanpa dapat dicegah lagi tangannya memukul ke depan dan mengenai kepala si kumis panjang.
"Eh, setan! Kau berani menempiling kepalaku, heh? Si penjaga tak dapat menjawab karena dia sendiri tidak mengerti mengapa tangannya secara tiba-tiba tanpa dapat dikendalikannya lagi tadi bergerak menampar kepala si kumis di depannya itu. Si kumis panjang marah dan mengayun tangannya menampar pipi bawahannya.
"Plokkkkk!" Pipi yang digablok itu menjadi merah, akan tetapi anehnya, pada saat pipinya digablok, penjaga itu mengerahkan kaki kanannya ke depan, padahal bukan niatnya demikian. Ternyata Kian Lee telah menyentil sebutir kerikil yang mengenai sambungan lutut penjaga itu sehingga secara otomatis kakinya menendang ke depan.
"Ngekkk....!" Kebetulan sekali gerakan kaki itu membuat lutut si penjaga menghantam selangkangan si kepala penjaga berkumis panjang.
"Aduhhhhh....!" Si kumis panjang menggunakan tangan kiri mendekap selangkangannya dan meringis kesakitan, marahnya bukan kepalang dan dengan tangan kiri mendekap selangkangan sambil terpincang-pincang, dia menggunakan tangan kanannya memukuli penjaga itu.
Seorang penjaga lain yang menyaksikan perkelahian ini, cepat meloncat untuk melerai. Akan tetapi selagi dia meloncat, sebutir kerikil menyambar dan mengenai punggungnya. Seketika tubuhnya menjadi lemas, dia kehilangan tenaganya dan tanpa dapat dicegah lagi dia menubruk si kepala penjaga yang sedang marah.
"Bresssss....!"
"Eh, keparat. ...! Kalian mengeroyok! Pemberontakan!" Kepala penjaga itu kini menjadi marah sekali dan dia mengamuk, setiap ada anak buahnya mendekat tentu dipukulnya karena dia menyangka bahwa mereka itu hendak mengeroyoknya. Kacau-balau di depan pintu terowongan itu dan semua penjaga berusaha untuk menenangkan si kepala penjaga yang mereka sangka kemasukan roh jahat! Karena keributan ini, mereka sama sekali tidak melihat betapa ada dua sosok bayangan yang amat cepat gerakannya telah enyelinap masuk ke dalam lubang terowongan itu tanpa memperlihatkan kartu undangan!
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw berjalan memasuki terowongan dengan cepat namun dengan hati-hati sekali. Lorong terowongan itu menurun dan agak gelap karena hanya diterangi oleh lampu-lampu minyak yang dipasang di sepanjang dinding terowongan. Setiap sepuluh meter terdapat seorang penjaga yang berdiri dengan tombak di tangan. Penjaga pertama yang mendengar ada ribut-ribut di luar, lupa akan tugasnya memeriksa kartu undangan.
"Apakah yang terjadi di luar?" tanyanya.
"Di luar ada pemberontakan. Cepat saudara keluar!" kata Kian Lee. Penjaga itu terkejut dan cepat berlari keluar. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus berjalan masuk dan kepada penjaga ke dua dan ke tiga, Kian Lee berhasil menarik perhatian mereka dengan berita pemberontakan itu sehingga mereka pun bergegas lari keluar menyeret tombak mereka.
Akan tetapi penjaga ke empat yang berada di sebuah tikungan, menghardik, "Harap Ji-wi perlihatkan kartu undangan Ji-wi!" Penjaga ini agaknya sudah merasa kesal berjaga terus di situ maka biarpun sikapnya masih menghormat, namun suaranya sudah tidak ramah lagi terhadap para tamu.
Kian Lee pura-pura merogoh saku dan mendekati penjaga itu. Tangannya keluar dari saku bukan untuk menyerahkan kartu undangan, melainkan untuk bergerak cepat menotok sehingga penjaga itu roboh sebelum sempat berteriak. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus masuk makin dalam dan kini para penjaga makin berkurang, jarak penjaga makin jauh sehingga mudah bagi Kian Lee untuk merobohkan setiap orang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya.
Akhirnya mereka keluar dari terowongan dan tiba di tempat terbuka, di lembah itu yang ternyata penuh dengan bangunan rumah-rumah yang dibagi menjadi dua kelompok, dipisahkan oleh sebuah lapangan yang luas yang terletak di tengah-tengah. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw menyelinap di antara bangunan-bangunan itu sambil memeriksa keadaan dengan hati-hati sekali. Dengan isyarat tangannya, Kian Lee mengajak nikouw tua itu untuk meloncat naik ke atas wuwungan sebuah bangunan besar dan dari atas wuwungan ini mereka mengintai. Sinar bulan cukup terang sehingga mereka dapat meneliti keadaan di lembah itu.
Kelompok bangunan di sebelah kiri terdiri dari rumah-rumah biasa dengan kebun-kebun yang rimbun dan subur, di mana selain terdapat banyak pohon-pohon yang berbuah, juga terdapat sayur-sayuran dan bunga-bungaan. Akan tetapi kelompok ke dua yang berada di sebelah kanan itu sangat aneh bentuknya. Rumah-rumah di kelompok ini bangunannya seperti tempurung yang tertelungkup dan tidak nampak pintu atau jendela biasa, hanya kelihatan sebuah lubang yang agaknya merupakan pintu. Anehnya, di sekitar rumah-rumah luar biasa ini tidak terdapat sebatang pun pohon atau tumbuh-tumbuhan. Bahkan tanahnya kelihatan putih kering ditimpa sinar bulan, retak-retak seperti tanah kapur.
Dari wuwungan itu, nampak para tamu berkumpul di lapangan, yaitu lapangan luas di antara dua kelompok rumah itu. Selain penerangan yang didapat dari sinar bulan, juga di situ dipasangi banyak lampu dan lentera besar sehingga cuaca cukup terang. Para tamu yang banyak juga jumlahnya telah berkumpul di situ duduk di kursi yang diatur menjadi lingkaran besar yang kesemuanya menghadap ke tengah lapangan di mana terdapat semacam panggung tempat duduk fihak tuan rumah dan para tamu kehormatan. Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi dia tidak menemukan Cui Lan dan Hok-taijin di antara para tamu. Kembali dia memandang ke arah panggung dan melihat Khiu-pangcu dan beberapa orang lain yang tidak dikenalnya. Banyak orang aneh di situ, di antaranya terdapat seorang yang bertubuh tinggi tegap, usianya tidak lebih dari tiga puluh tahun, kulitnya gelap coklat, hidungnya mancung agak melengkung dan matanya cekung ke dalam, alisnya tebal, dan jelas bahwa dia bukanlah orang Han aseli, melainkan ada miripnya dengan orang India. Di belakangnya duduk banyak pengawalnya, rata-rata bertubuh tinggi dan lengannya berbulu. Kian Lee menduga bahwa mereka ini tentu orang-orang Nepal, melihat dari pakaian dan juga sorban mereka. Hanya orang muda berpakaian indah di depan itulah yang tidak bersorban. Selain mereka, masih banyak terdapat orang-orang aneh yang dilihatnya tadi memasuki terowongan.
Dengan hati-hati Kian Lee lalu mengajak Liang Wi Nikouw turun dan mempergunakan kesempatan selagi para tamu masih hilir-mudik karena agaknya pertemuan itu belum dimulai, untuk menyelinap masuk di antara para tamu dan memilih tempat duduk di bagian para tamu perorangan yang tidak merupakan rombongan. Dengan demikian, maka mereka bercampur dengan tamu-tamu yang tidak saling mengenal sehingga mereka pun tidak menarik perhatian, sungguhpun ada beberapa orang di antara mereka yang memandang ke
arah Liang Wi Nikouw dengan curiga. Akan tetapi, Liang Wi Nikouw yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dia menghadiri pertemuan orang-orang dari golongan hitam, maka sengaja dia tersenyum-senyum dan "memasang" muka bengis, sehingga semua orang menduga bahwa dia pun seorang anggauta kaum sesat yang bersembunyi di balik kedok nikouw! Dia dan Kian Lee lalu menanti dengan hati berdebar, tidak tahu apa yang akan terjadi dan mengapa demikian banyaknya tokoh-tokoh lihai dari golongan hitam berkumpul di situ.
Akan tetapi yang dicari-cari oleh Kian Lee sejak tadi adalah Cui Lan dan Hok-taijin dan selagi dia menduga-duga di mana kiranya dua orang itu ditahan, tiba-tiba terdengar bunyi canang dipukul di tengah-tengah lapangan itu. Semua orang memperhatikan ke tengah lapangan karena bunyi canang itu menandakan bahwa pertemuan mulai dibuka. Bulan bersinar terang tanpa halangan awan, menimpa muka semua tamu yang diangkat memandang ke arah panggung untuk menanti siapa yang akan muncul sebagai pembuka acara dan terutama sekali untuk melihat wajah tuan rumah. Tidak ada seorang pun di antara para tamu itu yang pernah bertemu dengan ketua Huang-ho Kui-liong-pang, sungguhpun mereka semua telah mendengar bahwa ketua itu adalah seorang yang luar biasa lihainya, seorang aneh yang baru kurang lebih dua tahun ini menjadi ketua Kui-liong-pang. Tadinya, ketua dari Kui-liong-pang adalah Khiu-pangcu itulah. Akan tetapi semenjak munculnya tokoh aneh yang berilmu tinggi itu bersama belasan orang anak buahnya yang rata-rata juga berilmu tinggi, Khiu Sek lalu menggabungkan diri dan tokoh luar biasa itu diangkat menjadi ketua pertama sedangkan dia sendiri cukup puas menjadi ketua ke dua saja. Maka kini semua tamu ingin sekali melihat bagaimana macamnya ketua yang kabarnya merupakan seorang tokoh luar biasa itu.
Akan tetapi, ternyata yang bangkit berdiri dari kursinya dan kini berjalan ke tengah panggung adalah Khiu Sek atau Khiu-pangcu sendiri. Setelah menjura ke empat penjuru, memberi hormat kepada semua tamu kehormatan yang duduk di panggung, Khiu-pangcu lalu berkata, "Cu-wi sekalian yang terhormat. Pertama-tama atas nama pangcu kami dan seluruh perkumpulan Kui-liong-pang, kami menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cu-wi sekalian. Sebelum maksud undangan kami kepada Cu-wi kami bentangkan secara jelas, lebih dulu kami ingin memperkenalkan perkumpulan kami kepada Cu-wi."
Selanjutnya, dengan suara lantang Khiu-pangcu lalu memperkenalkan perkumpulannya, betapa dua tahun yang lalu perkumpulannya menjadi makin kuat setelah memperoleh seorang ketua baru yang amat sakti. Betapa kemudian rombongan dari Gunung Cemara, perkumpulan wanita Hek-eng-pang menjadi iri dan timbul bentrokan di antara mereka sehingga terjadi pertempuran besar.
"Karena munculnya seorang tokoh rahasia yang hanya kami kenal dengan sebutan Siluman Kecil, pertempuran itu dapat dihentikan dan ketua kami berkenan mengampuni Hek-eng-pang. Akan tetapi akhir-akhir ini mereka kembali mencari gara-gara dengan mencoba untuk merebut mangsa kami, yaitu harta pusaka dari keluarga Jenderal Kao Liang yang mengundurkan diri" Kembali Khiu Sek menceritakan semua peristiwa mengenai perebutan harta pusaka keluarga Jenderal Kao itu.
"Gara-gara ikut campurnya fihak Hek-eng-pang yang hendak merebut mangsa kami, maka semua usaha menjadi gagal dan baru-baru ini kami telah mengirim pasukan untuk menghukum Hek-eng-pang dan membakar tempat mereka! Betapapun juga, mangsa kami itu telah lolos dan harta pusaka itu lenyap tanpa bekas, kami dan Hek-eng-pang yang bentrok sendiri tidak ada yang mendapatkannya."
"Hi-hi-hik!" Suara tertawa merdu seorang wanita itu memecahkan kesunyian dan terdengar jelas sekali. Semua orang menengok ke arah suara ini, juga Khiu-pangcu dengan alis berkerut menoleh ke arah gadis cantik jelita yang berpakaian serba merah muda itu, karena yang tertawa adalah gadis cantik ini. Biarpun dia sudah tidak tertawa lagi, akan tetapi gadis ini masih menutupi mulutnya dengan tangan, dan matanya berseri menahan kegelian hatinya.
Merah muka Khiu Sek karena dia merasa ditertawakan. Akan tetapi, sebagai seorang tuan rumah, dia menahan kemarahannya dan dengan suara lantang dia menegur, "Harap Ang-siocia suka menjelaskan mengapa mentertawakan kami?" Lalu ditambahkannya untuk memperkenalkan nona itu kepada para tamu, "Cu-wi sekalian, yang baru saja tertawa adalah Ang-siocia, murid yang mewakili gurunya hadir di sini, yaitu Hek-sin Tou-wong!"
Mendengar nama Hek-sin Touw-wong, semua orang memandang kagum. Raja Maling itu terkenal sekali, dan baru sekarang mereka melihat bahwa Raja Maling yang menyeramkan itu mempunyai seorang murid yang demikian cantiknya, yang pakaiannya serba merah muda dan rapi sehingga kelihatan seperti seorang gadis bangsawan saja!
Melihat dia diperkenalkan dan ditegur, Ang-siocia, gadis she Ang yang hanya dikenal sebagai Nona Ang (Ang-siocia) itu, bangkit berdiri dan berkata lantang, sama sekali tidak kelihatan jerih, "Itulah jadinya kalau dua ekor anjing memperebutkan tulang! Keduanya babak-bundas akan tetapi tulangnya dibawa kabur orang lain!"
Tentu saja Khiu-pangcu menjadi makin marah dan penasaran. Tadi dia ditertawakan dan kini malah disamakan dengan anjing! Akan tetapi, dia masih menahan kemarahannya, hanya bertanya dengan suara yang nadanya kaku dan dingin, "Kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, Nona?"
"Menurut pendapatku? Tentu saja lebih baik kalau kedua ekor anjing itu berdamai dan tulang itu dimakan bersama-sama, dengan demikian berarti menambah persahabatan dan perut keduanya bisa kenyang, hi-hik!"
Semua orang tertawa dan Khiu-pangcu sendiri tersenyum, kemarahannya lenyap dan dia menjura kepada semua orang. "Apa yang diucapkan oleh Ang-siocia tadi memang benar dan tepat sekali. Karena itu pula maka pangcu kami mengirimkan undangan kepada Cu-wi sekalian, yaitu untuk mempersatukan semua golongan dari kita para pencari nafkah yang mengandalkan modal kepandaian silat seperti kita semua ini. Dengan adanya persatuan antara kita, maka tidak akan terjadi lagi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan kelemahan golongan kita sendiri. Kita dianggap golongan hitam, nah, kalau tidak ada persatuan di antara kita, tentu golongan putih yang menyebut diri mereka sendiri para pendekar itu akan merasa girang sekali dan mereka akan mudah untuk memusuhi dan mengalahkan kita."
Terdengar suara teriakan-teriakan menyatakan persetujuan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan karena seperti pada umumnya, manusia di dunia ini tidak ada yang dapat melihat keadaan sendiri, tidak dapat menyadari akan kesalahan dan kejahatan sendiri sehingga kaum itu pun tidak merasa bahwa mereka adalah penjahat-panjahat! Mereka menganggap bahwa "pekerjaan" mereka itu adalah usaha mencari nafkah, dan para pendekar yang memusuhi mereka adalah yang sejahat-jahatnya orang karena merintangi pekerjaan mereka! Tentu saja usul persatuan ini mereka sambut dengan gembira karena memang sudah terlalu sering mereka ditentang dan di kejar-kejar oleh para pendekar.
"Akan tetapi, siapa yang akan memimpin kita?" terdengar suara lantang bertanya.
Khiu-pangcu mengangkat kedua tangan untuk menenangkan suasana yang menjadi hiruk-pikuk itu. Setelah semua orang diam dia lalu berkata, "Sudah tentu saja yang berhak memimpin kita adalah orang yang paling tinggi kepandaiannya di antara golongan kita semua."
"Kalau guruku berada di sini tentu kursi pimpinan jatuh di tangannya!" terdengar gadis cantik berpakaian merah itu berseru.
Khiu-pangcu tersenyum lebar. "Nona, dan Cu-wi sekalian, hendaknya maklum bahwa kursi pimpinan itu tidak diperebutkan sekarang. Untuk itu tentu saja harus ada undangan khusus sehingga yang hadir adalah tokoh-tokoh pertama dari golongan kita. Sekarang yang penting bagi kita adalah bahwa semua fihak setuju untuk berdiri di bawah satu golongan. Dengan demikian, semua hasil karya kita dapat kita pergunakan bersama dan mereka yang hasilnya besar dapat menolong mereka yang sedang sepi pasarannya. Dan kalau seorang di antara golongan kita diusik oleh golongan putih, kita harus saling membantu dan memusnahkan fihak musuh. Dengan demikian, bukankah kedudukan kita menjadi kuat dan tidak ada sembarang pendekar berani untuk mengganggu?"
"Benar....!"
"Setuju....!"
Kembali suasana menjadi berisik sekali. Tiba-tiba, terdengar suara tertawa yang amat nyaring, suara yang mengatasi semua suara berisik itu, suara ketawa yang menggema dan mengaung menggetarkan jantung. Terang bahwa itu adalah suara ketawa yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya. Semua orang terkejut dan menoleh ke tengah lapangan karena suara ketawa itu terdengar dari mulut seorang peranakan Nepal yang muda dan duduk di kursi bagian tamu kehormatan itu. Tentu saja semua orang terkejut dan marah, karena suara ketawa itu terdengar seperti meremehkan, dan kiranya yang mentertawakan mereka hanya seorang peranakan Nepal! Khiu-pangcu juga merasa penasaran, segera menghadapi pemuda peranakan Nepal itu dan dengan suara hormat karena orang itu merupakan tamu agung, akan tetapi bernada teguran, dia bertanya, "Apakah Kongcu (Tuan Muda) tidak menyetujui persatuan ini?".
Pemuda jangkung berkulit coklat itu bangkit berdiri dan menjura, lalu terdengar dia berkata dengan suara lantang, "Kami sangat menyetujui, harap Khiupangcu tidak salah sangka. Hanya kami merasa sangat kecewa dan kasihan melihat cara-cara kalian mencari nafkah yang begitu remeh."
"Haiiiii!!" Semua orang berseru. marah karena tersinggung oleh ucapan itu, bahkan sudah ada yang bangkit berdiri dengan sikap mengancam. Hanya tokoh-tokoh besar lainya, seperti Ang-siocia, lalu gadis cantik jelita yang sama sekali tidak mengacuhkan semua itu dan bermain-main dengan ularnya, kepala bajak sungai yang tadi ribut dengan gadis pembawa ular, yaitu Tiat-thouw Sin-go, perampok tunggal Toat-beng Sin-to, raja kaum nelayan Boan-wangwe, mereka ini tetap duduk diam dan bersikap tenang, sesuai dengan kedudukan mereka yang tinggi.
"Harap Cu-wi jangan salah paham," kata peranakan Nepal itu dengan sikap tenang sekali. Kini dia berdiri di panggung dan menghadapi semua tamu dengan penuh wibawa. "Saya tidak memandang rendah kepada Cu-wi, hanya ingin menyatakan bahwa apa yang Cu-wi lakukan dan kerjakan itu sungguh tidak sesuai dengan jerih payah Cu-wi sekalian. Cu-wi bersusah payah mencari mangsa, menunggu mereka lewat dan menanti datangnya kesempatan, menghadapi bahaya maut, dan semua itu Cu-wi lakukan hanya untuk sejumlah barang yang tidak berarti, bahkan kadang-kadang gagal seperti yang diceritakan oleh Khiu-pangcu ketika memperebutkan harta pusaka keluarga Jenderal Kao itu. Bukankah cara bekerja seperti itu amat remeh dan tidak memadai?"
Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar itu merasa tersinggung juga. Dia memandang dengan mata melotot, lalu berkata dengan suara yang lantang dan kasar karena memang dia terkenal seorang yang kasar, jujur tidak mau menggunakan banyak aturan, "Apakah kau mempunyal usul yang lebih baik?"
Pemuda peranakan Nepal itu menoleh kepada si tinggi besar ini sambil tersenyum, lalu berkata, "Tentu saja dan usulku amatlah baik, tentu saja kalau Cu-w i sekalian setuju. Akan tetapi usul saya ini usul yang amat penting dan gawat, maka hanya akan saya terangkan kalau semua pimpinan sudah hadir, tidak seperti sekarang ini. Baru fihak tuan rumah saja, hanya wakilnya, yaitu Khiu-pangcu yang keluar, bukan ketuanya sendiri, mana bisa disebut lengkap untuk mendengarkan usul kami yang teramat penting dan menyangkut masa depan kita semua ini?"
Khiu-pangcu menjura kepada orang itu. "Maaf, pangcu kami sedang menyelesaikan ilmunya yang baru sehingga selama ini tidak pernah keluar dan mewakilkan segala sesuatu kepada saya. Andaikata pangcu kami sudah keluar, apakah kiranya perempuan-perempuan dari Gunung Cemara itu berani banyak tingkah? Itulah sebabnya maka pangcu kami tidak dapat hadir."
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan rumah tempurung terdepan meledak. Rumah itu hancur berantakan dan keluarlah seorang kakek yang berpakaian hitam, agak terhuyung dan mukanya putih pucat seperti kapur. "Khiu Sek, jangan mengecewakan tamu, ini aku sudah datang!"
Kini dari rumah-rumah tempurung itu bermunculan pula orang-orang yang mukanya putih seperti kapur dan itulah para pengikut ketua baru ini yang menyeramkan. Mereka itu semua agak terhuyung karena terlampau lama berdiam di rumah tempurung itu untuk memperdalam ilmu mereka sesuai dengan petunjuk sang ke tua.
Melihat kakek ini, Kian Lee berdebar dan dia memandang dengan mata terbelalak karena tentu saja dia mengenal kakek ini. Dia itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi, ketua dari Lembah Bunga Hitam, tokoh sesat yang amat sakti dan yang merupakan ahli racun yang luar biasa itu! Di dalam cerita kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan tentang diri kakek ini yang dahulunya adalah seorang pelayan dari Dewa Bongkok dan yang kemudian melarikan diri karena tersangkut dalam pencurian kitab pelajaran ilmu yang mujijat.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka dapat menyaksikan ketua dari Kui-liong-pang yang ternyata amat menyeramkan itu. Ilmu apa gerangan yang dipelajari oleh kakek ini sehingga tadi rumah tempurung itu meledak dan hancur berantakan?
Khiu-pangcu dan semua anak buah Kui-liong-pang menjatuhkan diri berlutut untuk memberi hormat kepada pangcu mereka, sedangkan para tamu juga bangkit berdiri untuk menghormat. Kian Lee yang juga ikut bangkit berdiri melihat betapa Hwee Li masih enak-enak saja duduk bermain-main dengan ularnya, seolah-olah kemunculan kakek itu sama sekali tidak diketahuinya! Benar-benar bocah itu masih seperti dulu, aneh dan bengal!
Hek-hwa Lo-kwi kini menghampiri tempat duduk yang telah disediakan untuknya sambil mengangguk ke kanan kiri kepada para tamu, kemudian dia menghadapi peranakan Nepal itu sambil berkata, suaranya menggetar dan mengandung gema yang meraung aneh, "Nah, sebelum Sicu ceritakan apa usul yang amat penting itu, hendaknya lebih dulu memperkenalkan diri. Maaf kalau kami tidak mengenal Sicu."
Pemuda peranakan Nepal itu menjura dengan hormat dan berkata, "Sungguh beruntung sekali kami semua dapat bertemu dengan Pangcu yang telah kami kenal namanya yang besar. Dan kami menghaturkan selamat atas berhasilnya Pangcu mempelajari ilmu baru. Perkenankan kami memperkenalkan diri kami."
Dengan suara halus dan lantang sehingga semua orang dapat mendengarnya, orang muda peranakan Nepal itu lalu memperkenalkan dirinya dan mendengar penuturannya, Kian Lee menjadi tertarik sekali dan mendengarkan penuh perhatian. Kiranya pemuda itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong! Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa Pangeran Liong Khi Ong dan kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong, telah mengadakan persekutuan untuk mengadakan pemberontakan, akan tetapi akhirnya pemberontakan itu gagal dan kedua orang pangeran tua itu telah tewas. Liong Khi Ong mempunyai seorang selir berbangsa Nepal, dan sebenarnya selir ini masih seorang puteri Nepal, anak Raja Nepal yang juga lahir dari seorang selir dan yang dihadiahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong sebagai tanda persahabatan antara Nepal dan Kerajaan Ceng-tiauw yang pada waktu itu luas sekali daerahnya dan merupakan negara besar yang dihormati negara-negara tetangga termasuk Nepal.
Dari selir Nepal inilah Liong Khi Ong mempunyai putera, yaitu pemuda ini yang memakai nama Liong Bian Cu. Ketika Liong Khi Ong tewas, pemuda ini bersama ibunya melarikan diri ke barat, kembali ke Nepal di mana dia memperdalam ilmu kepandaiannya dengan menjadi murid dari Ban-hwa Sengjin, yaitu koksu (guru negara) Nepal yang lihai itu.
Setelah memperkenalkan diri dan para tamu memandang dengan kagum karena tidak menyangka bahwa peranakan Nepal ini ternyata adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong yang amat terkenal di kalangan dunia hitam karena dahulu pangeran itu banyak menerima tenaga bantuan kaum sesat, bahkan ketua Kui-liong-pang ini pun mengenalnya dengan baik, maka pemuda itu lalu menceritakan usulnya dengan suara lantang.
"Dari pada kita bekerja secara kecil-kecilan dengan resiko besar, lebih baik kita melakukan pekerjaan yang besar. Sudah basah kepalang mandi! Daripada kita dikejar-kejar pemerintah dan orang-orang dari golongan putih, kita mendahului mereka! Kita kumpulkan kawan-kawan yang banyak sehingga menjadi barisan yang kuat, lalu kita serbu kota demi kota, kita sita seluruh kekayaannya, dan kita duduki kotanya. Bukankah itu lebih cepat dan berhasil daripada kita menunggu lewatnya mangsa seperti seekor harimau kelaparan menunggu lewatnya seekor kelinci? Kita taklukkan kota demi kota dan kita paksa penduduknya yang laki-laki, muda-muda dan kuat-kuat untuk menjadi anggauta kita, yang menolak kita bunuh semua! Wanita-wanitanya yang cantik kita bagi-bagi. Dengan demikian, akhirnya kita akan menjadi suatu kekuatan yang amat besar dan daerah kita akan makin luas. Kalau sudah kuat benar, kita hancurkan para gubernur. Kita kuasai propinsi dan tujuan terakhir adalah kota raja. Kita mendirikan kerajaan sendiri, kerajaan kaum hitam!"
Sejenak suasana menjadi sunyi karena mereka yang mendengarkan rencana itu terlalu kaget dan heran. Bahkan Hek-hwa Lo-kwi sendiri kelihatan menunduk, merenung dan mengelus jenggotnya. Kemudian meledaklah kebisingan di situ karena semua orang bicara sendiri, saling berdebat, ada yang setuju, ada yang menolak dan ada yang ketakutan.
Akhirnya Hek-hwa Lo-kwi mengangkat tangan kanan ke atas dan semua orang diam. Lalu terdengar ucapan kakek ini, "Usul yang dikemukakan oleh Liong-sicu bukan hal remeh dan main-main, bahkan hal yang amat baik. Memang pekerjaan kita selalu dibayangi oleh bahaya. Tentu saja makin besar bahayanya, makin besar pula hasilnya, dan kalau kita bersatu, mengapa takut bahaya? Aku sendiri setuju dengan usul itu dan akan mendukung pelaksanaannya!" Ucapan ini disambut oleh tepuk tangan dan sorak-sorai dari mereka yang tadi setuju, sedangkan yang menolak dan yang ragu-ragu terseret dan hanyut oleh suara setuju ini sehingga mereka pun menjadi besar hati.
Kini Liong Bian Cu, pemuda peranakan itu mengangkat tangan dan semua orang berhenti membuat berisik. "Apakah ada di antara Cu-wi yang mengajukan usul lain?"
Terdengar suara merdu nyaring dan gadis berpakaian merah muda, yaitu Ang-siocia, telah berdiri dan berkata, "Bicara memang mudah saja, akan tetapi pelaksanaannya tidaklah semudah menggoyangkan lidah dan bibir!" Memang dara ini biasa bicara dengan tajam. "Kota-kota itu tentu dijaga dan dilindungi oleh pasukan perajurit yang sudah terlatih dan pandai berperang. Mana bisa orang-orang kita yang tidak terdidik perang seperti mereka itu dapat menyerbu kota dan menang? Kepandaian kita hanyalah kepandaian pribadi untuk dipakai dalam pertempuran perorangan atau paling hebat hanya menghadapi keroyokan belasan sampai puluhan orang. Mana mungkin dapat berguna dalam perang antara ribuan orang dan pula fihak pasukan peme rintah tentu diperlengkapi dengan senjata dan perlengkapan yang lebih sempurna?"
Hek-hwa Lo-kwi mengangguk-angguk. "Alasan yang baik dan kuat sekali. Bagaimana jawabanmu, Liong-sicu?"
"Tidak perlu khawatir!" tiba-tiba seorang kakek berusia enam puluh tahun, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut, tangannya memegang tongkat kayu cendana, berseru. Dia ini adalah Gitananda, orang Nepal yang pernah menghadiri pesta pernikahan gagal dari Hwa-i-kongcu Tang Gun di puncak Naga Api itu. Memang Gitananda adalah seorang di antara utusan-utusan Kerajaan Nepal yang mencari kemungkinan menghubungi orang-orang yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Ceng-tiauw, dan kini Gitananda bertugas untuk mengawal dan menemani Liong Bian Cu. "Hendaknya Cu-wi sekalian maklum bahwa Kongcu kami ini
adalah seorang ahli perang yang tentu akan mampu mendidik kawan-kawan dan membentuk barisan-barisan yang kuat!"
Liong Bian Cu bangkit dan menjura ke empat penjuru. "Saya tidak ingin memamerkan diri, akan tetapi terus terang saja, sebagai putera mendiang Ayah yang juga ahli dalam siasat perang, tentu saja saya telah mempelajari ilmu perang dan saya dapat membentuk pasukan-pasukan istimewa yang terlatih baik. Tentang perlengkapan, jangan khawatir karena Raja Nepal adalah kakek saya. Cu-wi sekalian tidak perlu gelisah, dan saya berjanji bahwa kalau kelak kita berhasil, Cu-wi sekalian tentu akan menjadi pembesar-pembesar tinggi yang hidup terhormat dan mulia!"
"Nanti dulu!" Tiba-tiba Hek-hwa Lokwi berkata sambil bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. "Aku ingin sekali mendengar pendapat sahabat lamaku, Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ataukah dia tidak hadir dan tidak mengirim wakilnya?"
Semua orang yang mendengar nama ini terkejut, dan Tiat-thouw Sin-go ketua para pembajak itu mengerling ke arah gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang masih duduk bermain-main dengan ularnya tadi.
"Akulah wakilnya!" tiba-tiba gadis itu berkata sambil bangkit berdiri. Semua orang menoleh dan menahan napas menyaksikan seorang gadis yang demikian cantik moleknya. Wajahnya putih halus kemerahan, dengan rambut yang disanggul indah sekali, dihias dengan batu-batu permata mahal, sepasang matanya seperti bintang pagi, jernih dan lebar akan tetapi mengandung sinar yang tajam menyeramkan, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum, manis dan jelita. Tubuhnya kelihatan ramping padat dengan lekuk lengkung yang menggairahkan, yang sukar disembunyikan oleh pakaian sutera serba hitam itu. Akan tetapi yang membuat orang menjadi ngeri dan kehilangan gairah adalah ketika melihat dua ekor ular yang melingkar-lingkar di kedua lengan yang halus mulus itu.
"Hemmm!" Hek-hwa Lo-kwi menatap dengan tajam, akan tetapi memandang rendah kepada gadis muda itu. "Kalau engkau wakilnya, Nona, apa yang akan dikatakan oleh Hek-tiauw Lo-mo tentang usul tadi?"
Gadis itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo, tersenyum sehingga sekelebatan nampak rongga mulutnya yang merah terhias kilatan gigi putih. "Apa yang hendak dikatakan? Aku tidak tahu. Aku hanya diutus untuk mendengarkan saja tanpa membuka mulut dan akan kusampaikan semua ini kepadanya."
Hek-hwa Lo-kwi berkata kepada Liong Bian Cu, "Dahulu Hek-tiauw Lo-mo pernah membantu Ayahmu, Liong-sicu. Kiranya sekarang pun dia akan setuju dengan usulmu itu."
"Mudah-mudahan begitu," Liong Bian Cu berkata dan matanya masih terus memandang kepada Hwee Li, agaknya peranakan Nepal ini tertarik sekali kepada gadis yang luar biasa cantiknya itu.
"Tentu saja dia mau kalau kelak setelah berhasil dia yang menjadi rajanya!" kata Hwee Li sambil duduk dan bermain main dengan ularnya.
Kian Lee tak dapat menahan senyumnya. Bukan main gadis ini. Berani sekali dan sikapnya seolah-olah memandang mereka semua itu seperti semut saja! Akan tetapi, dia sendiri masih gelisah memikirkan Cui Lan dan Hok-taijin. Sebaiknya kalau dia sekarang mulai menyelidiki di mana adanya dua orang yang dicarinya itu. Akan tetapi, mengingat bahwa yang hadir di situ adalah orang-orang yang berilmu tinggi sehingga akan berbahaya bagi dua orang kawannya itu kalau sampai ketahuan, dia terpaksa memberi isyarat kepada Liang Wi Ni-kouw untuk bersabar. Mereka ini tentu tidak tahu siapa Hok-taijin, sehingga gadis dan kakek itu hanya merupakan tawanan yang tidak penting, yang mereka ambil dari Gunung Cemara ketika mereka membasminya. Kalau sampai dia turun tangan dan ketahuan, tentu mereka akan sadar bahwa dua orang itu merupakan orang-orang penting dan kalau sampai mereka tahu bahwa kakek itu adalah Gubernur Ho-pel, maka akan berbahayalah!
Hidangan mulai dikeluarkan dan sambil bercakap-cakap membicarakan rencana besar yang diusulkan oleh Liong Bian Cu, mereka makan minum. Sementara itu, para tokoh yang penting di atas panggung kehormatan mulai berunding sambil makan minum dan akhirnya diputuskan bahwa sebelum diadakan pemilihan pemimpin yang harus seorang yang terpandai di antara mereka, yang akan merupakan seorang bengcu (pemimpin rakyat), untuk sementara dibentuklah panitia pimpinan atau pengawas yang terdiri dari Hek-hwa Lo-kwi sendiri, Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, Boan-wangwe, Tiat-thouw Sin-go dan Gitananda sebagai wakil fihak orang Nepal. Ketika hal ini diumumkan, semua orang setuju.
Makan minum dilanjutkan dan Liong Bian Cu yang menganggap mereka semua itu sebagai calon-calon pembantunya untuk melanjutkan "perjuangan" mendiang ayahnya dalam kegembiraannya ingin sekali melihat kelihaian mereka. Maka setelah minum beberapa cawan arak yang cukup menghangatkan hatinya, dia bangkit berdiri dan berkata lantang, "Cuwi sekalian! Kita telah bersepakat untuk bersatu dan kita merupakan kesatuan orang-orang yang gagah dan memiliki kepandaian! Oleh karena itu, dalam pertemuan ini sudah selayaknya kalau kita memperlihatkan kepandaian masing-masing, bukan untuk menyombongkan diri melainkan sebagai perkenalan. Dan pertunjukan ini akan saya mulai lebih dulu dengan memperlihatkan sedikit kemampuan saya yang saya pelajari dari guru saya yang terhormat, yaitu Ban-hwa Sengjin, koksu dari Nepal!"
Tentu saja ucapan ini disambut dengan gembira oleh semua orang. Mereka adalah orang-orang yang suka berkelahi, suka akan ilmu silat, maka setiap pertunjukan silat tentu saja menggembirakan hati mereka. Apalagi karena mereka maklum bahwa di antara mereka terdapat banyak sekali orang-orang pandai.
Dengan langkah lebar Liong Bian Cu yang oleh orang-orangnya disebut Liong-kongcu itu menghampiri sebuah batu besar yang berada di tempat itu. Batu itu sebesar kerbau, tentu berat sekali. Akan tetapi dengan mudah dan ringan Liong kongcu mengangkatnya dan melontarkannya tinggi ke atas. Dia menggosok kedua telapak tangannya, kemudian cepat dia menggerakkan kedua lengannya dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka memukul dan mendorong ke arah batu itu.
Terdengarlah suara bercuitan dari tangan kanannya dan dari tangan kirinya keluar suara mendesis. Di sekitar tempat dia berdiri menyambar-nyambar hawa yang panas dan dingin. Yang panas keluar dari tangan kanannya sedangkan yang dingin keluar dari tangan kirinya. Ketika kedua tangan itu bergerak memukul, batu itu tidak dapat meluncur jatuh, melainkan terapung di udara seperti tertahan oleh tenaga mujijat, dan batu itu mulai terputar, makin lama makin cepat sehingga mengeluarkan suara mengaung seperti gasing. Tak lama kemudian nampak debu mengepul, pecahan batu dan pasir berhamburan ke mana-mana.
Liong-kongcu tersenyum, menghentikan gerakan kedua tangannya dan meloncat ke belakang ketika batu itu jatuh berdebuk ke atas tanah. Dan semua orang melongo ketika melihat betapa batu yang tadinya kasar itu kini telah menjadi halus seperti dibubut, bentuknya bulat seperti telur!
Kian Lee yang sejak tadi memandang penuh perhatian, diam-diam memuji. Itulah tenaga Im-yang Sin-ciang yang cukup hebat. Sungguhpun tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, namun pemuda itu sudah boleh juga dan hal itu tidak mengherankan karena pemuda itu, menurut pengakuannya tadi adalah murid dari koksu dari Nepal, yaitu Ban-hwa Sengjin yang pernah dia jumpai di istana Gubernur Ho-nan! Pemuda ini mulai mengerti apa tugas orang-orang Nepal ini. Dia dapat menghubung-hubungkannya dengan kehadiran Ban-hwa Sengjin koksu dari Nepal di istana Gubernur Ho-nan, lalu kehadiran mereka ini di sini, hendak membentuk barisan pemberontak! Apalagi ketika mendengar bahwa Liong-kongcu ini adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong, maka tentu saja apa yang dilihat dan didengarnya semua itu tidaklah terlalu mengherankan. Suatu persekutuan pemberontak agaknya hendak bangkit lagi mengacaukan negara.
Para tamu bersorak memuji kelihaian pemuda peranakan itu, dan Liong-kongcu kini memandang ke arah Hwee Li sambil tersenyum bangga. Akan tetapi senyumnya hilang dan alisnya berkerut ketika dia melihat gadis berpakaian hitam yang menggoncangkan hatinya itu sama sekali tidak ikut bersorak memuji, bahkan bibirnya tersenyum mengejek, seolah-olah apa yang dipertunjukkannya, tadi tidak ada artinya sama sekali bagi nona itu. Selagi Liong-kongcu hendak minta kepada Hwee Li agar memperlihatkan kelihaiannya, tiba-tiba dia didahului oleh Ang-siocia yang sudah bangkit berdiri dan menghampirinya.
"Hik-hik, sungguh lumayan juga kepandaianmu. Ingin sekali aku bertanding denganmu karena ilmu kita hampir bersamaan. Engkau memiliki pukulan tajam, aku pun juga. Akan tetapi aku akan mempergunakan pedang, lihatlah!" Dia mencabut sebatang pedang yang tadi tergantung di punggungnya, pedang yang bersarung dan bergagang indah, yang dihias ronce merah tua di gagangnya. Kemudian, gadis berpakaian merah muda ini mengeluarkan suara melengking panjang dan pedangnya lalu bergerak dengan cepat, bertubi-tubi ke arah batu yang bulat halus seperti telur itu. Cepat sekali gerakan pedangnya, sampai nampak sinar menyilaukan mata dan ketika sinar itu lenyap, ternyata pedangnya telah kembali memasuki sarungnya di punggung nona itu dan dengan tenang dia berdiri memandang ke arah batu. Batu itu tiba-tiba roboh terpotong-potong seperti irisan kue keranjang! Tipis dan lebar. Tentu saja semua orang melongo dan bertepuk tangan memuji.
"Hii-hik, hampir sama bukan?" kata Ang-siocia kepada Liong-kongcu. "Kalau guruku yang melakukannya, tidak usah memakai bantuan pedang, cukup dengan telapak tangan saja. Itulah pukulan Kianto Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok)."
Ang-siocia terkekeh lagi dengan bangga, lalu dia menghampiri batu yang sudah terpotong-potong itu dan menggunakan kakinya untuk mencukil dan melemparkan batu itu ke arah sungai yang mengalir tak jauh dari tempat itu, sungai yang menjadi sambungan dari air terjun. "Lebih baik batu-batu ini dilempar ke sungai!"
Tentu saja perbuatannya ini tak lain mengandung maksud untuk mendemonstrasikan kekuatan kakinya dan memang hebat sekali. Potongan-potongan batu itu beterbang ke depan.
"Heiii, jangan dibuang! Sayang....!" Nampak bayangan berkelebat cepat sekali mendahului batu-batu itu dan ketika dia membalik, dia menggunakan tangannya menuding dan menangkapi potong-potong an batu yang seperti roda bentuknya itu lalu menumpuknya kembali di atas tanah. Semua orang memandang tumpukan batu itu dan terdengar seruan-seruan kagum karena batu-batu yang bentuknya seperti roda itu kini telah berlubang tepat di tengah-tengahnya, sehingga bentuknya seperti gilingan tahu dan ternyata bahwa ketika menangkap batu-batu itu, kakek ini menggunakan jari tangannya melubangi batu-batu itu tepat di tengah-tengah. Kakek ini bukan lain adalah Tiat-thouw Sin-go, yang ternyata bukan hanya kepalanya yang keras melebihi batu, melainkan juga jari tangannya amat kuat. Tentu saja perbuatannya itu pun dimaksudkan untuk mendemonstrasikan kepandaiannya dan kembali semua tamu memuji.
Akan tetapi sebelum orang lain mendemonstrasikan kepandaiannya, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan disusul suara canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan nampaklah beberapa orang penjaga datang berlari-lari dengan muka pucat menghadap pangcu mereka. Ketika mereka melihat bahwa Hek-hwa Lo-kwi sudah hadir di situ mereka itu serta merta menjatuhkan diri berlutut. "Celaka.... Pangcu....!"
"Tolol! Pengecut!" Khiu-pangcu memaki. "Hayo lekas lapor ada apa!"
"Di luar pintu terowongan.... orang-orang Gunung Cemara datang menyerbu....!"
"Huh, begitu saja ribut!" Khiu-pangcu membentak.
"Tapi, Ji-pangcu. Mereka itu dipimpin oleh ketua mereka, Yang-liu Nio-nio dan dua orang yang luar biasa lihainya. Tanpa menyentuh orang, mereka berdua telah merobohkan dan membunuh banyak kawan kita! Mereka adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang mengeluarkan suara seperti kucing.. .. huuuh-hu....!" para penjaga itu menggigil ketakutan.
"Hemmm, sungguh orang-orang Hek-eng-pang tidak boleh diberi ampun sekali ini!" Hek-hwa Lo-kwi membentak marah sekali dan meloncat turun dari atas panggung, kemudian dengan langkah lebar, dia pergi menuju ke pintu terowongan, diikuti oleh para tamu yang ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh ketua yang baru saja keluar dari pertapaannya itu. Juga mereka ini mengharapkan akan menyaksikan pertandingan yang hebat antara Hek-hwa Lo-kwi melawan tokoh-tokoh pimpinan Hek-eng-pang.
Akan tetapi belum juga mereka memasuki pintu terowongan, tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan keras di sebelah luar terowongan itu dan nampak api mengebul di atas tebing arah mulut terowongan di atas. Semua orang terkejut sekali, apalagi ketika mendengar gemuruhnya suara air menyaingi suara gemuruh air terjun. Cepat mereka semua mundur kembali menjauhi pintu terowongan dan tak lama kemudian, dari pintu terowongan itu menyembur air yang amat kuat dan derasnya. Beberapa orang penjaga terowongan terlontar seperti daun-daun kering dihanyutkan air bersama dengan semburan air yang deras itu. Semua orang menjadi
panik karena maklum bahwa entah secara bagaimana, fihak musuh telah berhasil membobolkan sungai di atas dan mengalirkan airnya memasuki mulut terowongan di atas sehingga menggenangi lembah itu! Tentu saja terjadi kepanikan hebat. Orang-orang cepat mencari perahu-perahu yang banyak terdapat di situ. Akan tetapi karena banyaknya orang dan kurangnya perahu mereka banyak tidak kebagian dan terpaksa mereka menebang pohon-pohon dan bambu-bambu untuk dijadikan pengapung atau semacam rakit. Air makin meninggi dan keadaan makin kacau. Mereka yang telah berhasil memperoleh perahu sudah cepat-cepat menyelamatkan diri melalui sungai.
Di dalam suasana yang kacau-balau dan hiruk-pikuk itu, Kian Lee bertindak cepat sekali. Dia tadi melihat Hoa-guji, tokoh Kui-liong-pang tinggi kurus yang tadi mengepalai para pelayan yang mengeluarkan hidangan. Kian Lee menduga bahwa orang ini tentu seorang di antara para anggauta pimpinan, maka begitu dia melihat kesempatan, secepat kilat dia menubruk dan merobohkan orang tinggi kurus ini dengan totokan, lalu menyeretnya ke tempat gelap.
Hoa-gu-ji adalah seorang yang memiliki kepandaian cukup lihai, maka dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya melihat betapa ada orang mampu merobohkannya sedemikian mudahnya! Dia tadi hanya melihat seorang pemuda tampan mendekatinya dan tahu-tahu tubuhnya menjadi lemas dan ketika dia hendak berteriak, pemuda itu menepuk tengkuknya dan lenyaplah suaranya! Kini Hoa-gu-ji benar-benar merasa ketakutan ketika dia diseret di tempat gelap dan dia melihat bahwa di situ telah menanti seorang nikouw tua yang tadi dilihatnya menjadi seorang di antara para tamu di situ.
"Hayo katakan, di mana adanya dua orang tawanan yang kalian bawa dari Gunung Cemara!" Kian Lee membentak sambil menyentuh ubun-ubun kepala orang itu dan dengan tangan kiri membebaskan totokan pada lehernya sehingga dia dapat mengeluarkan suara lagi.
"Ta.... tawanan.... yang mana....?"
Hoa-gu-ji bertanya, jantungnya berdebar tegang karena jari-jari tangan yang menyentuh ubun-ubunnya itu benar-benar merupakan "todongan maut" baginya, maka dia tidak berani main-main.
"Seorang gadis dan seorang laki-laki tua yang kalian bawa dari tempat tahanan Hek-eng-pang. Cepat jawab!"
"Ahhh.... mereka itu?"
Setelah jelas bahwa orang ini mengetahui tentang dua orang temannya, Kian Lee lalu membebaskan totokan pada tubuh Hoa-gu-ji dan sambil mencengkeram leher bajunya, dia menghardik, "Hayo antarkan kami ke sana!"
Hoa-gu-ji mengangguk-angguk. Dia maklum bahwa dia tidak berdaya karena selain pemuda ini luar biasa lihainya, juga teman-temannya sedang sibuk menyelamatkan diri dari serangan air yang membanjiri lembah. Akan tetapi, Kian Lee menjadi repot juga karena air sudah mulai naik sampai ke paha.
"Kita membuat rakit dulu!" kata Liang Wi Nikouw dan nenek ini lalu mengumpulkan kayu dan bambu yang banyak hanyut di situ, bekas orang-orang tadi membuat rakit. Dengan cekatan mereka dibantu oleh Hoa-gu-ji membuat rakit, lalu cepat mereka menuju ke kelompok bangunan yang sudah digenangi air setinggi perut. Akhirnya tibalah mereka di sebelah kamar tahanan dan dengan hati lega Kian Lee melihat Cui Lan dan Hok-taijin berpegang kepada ruji-ruji besi tempat tahanan itu dengan muka pucat dan ketakutan karena air sudah terus naik!
"Kongcu.... syukur engkau datang....!" Cui Lan terisak penuh kegembiraan melihat munculnya pemuda itu. Untung lampu di atas tempat tahanan masih belum padam sehingga keadaan di situ cukup terang. Kian Lee cepat menotok lumpuh Hoa-gu-ji dan membawanya loncat naik ke atas wuwungan rumah dan melemparkan tubuh itu di atas wuwungan karena dia yakin bahwa air tidak mungkin sampai naik ke wuwungan. Kemudian bersama Liang Wi Nikouw dia membongkar pintu tahanan dan menolong gadis dan pembesar itu naik rakit dan mereka lalu mendayung rakit itu keluar dari situ. Di luar, air sudah naik sampai ke dada orang. Bangunan-bangunan kecil roboh terlanda air, akan tetapi bangunan besar di mana tadi Kian Lee melemparkan Hoa-gu-ji ke atas wuwungan cukup kokoh dan tentu akan dapat bertahan.
"Ahhhhh.... Taihiap.... sungguh kami sudah hampir putus asa...." Hok-taijin, berkata. "Untung aku bersama dengan Cui Lan, anakku yang gagah perkasa ini.... dialah yang selalu membesarkan hatiku.... kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi gila...."
Kian Lee memandang kepada Cui Lan dengan sinar mata kagum dan gadis itu menunduk dengan air mata berlinang.
"Cui Lan, ini adalah Liang Wi Nikouw yang diutus oleh Siluman Kecil untuk menyelidiki keadaanmu dan menolongmu," kata Kian Lee sambil memandang gadis itu.
Seketika wajah yang menunduk itu bergerak, diangkat dan biarpun air matanya masih berlinang, namun bibirnya tersenyum dan wajahnya berseri. "Aihhh...? Suthai yang baik, benarkah itu?"
Nikouw itu mengangguk dan tersenyum.
"Di mana dia? Bagaimana dengan dia? Baik-baik sajakah dia?" tanyanya seperti air hujan. Nikouw itu mengangguk-angguk lagi. "Dia mengkhawatirkan keadaanmu, Nona, maka mengutus pinni menyelidiki. Kiranya engkau benar-benar terancam bahaya, untung ada pemuda perkasa ini yang menolong."
Karena mereka masih berada dalam bahaya, maka Cui Lan tidak berani banyak bertanya lagi. Juga dia merasa malu untuk banyak bertanya tentang pendekar luar biasa itu, maka dia kini hanya menunduk sedangkan Kian Lee yang dibantu oleh nikouw yang biarpun sudah tua namun masih kuat itu untuk mendayung rakitnya menuju ke sungai di mana juga terdapat kesibukan dari mereka yang menyelamatkan dirinya.
Sementara itu, jauh di atas tebing nampak tiga orang berdiri menonton semua keributan di lembah. Tentu saja tidak kelihatan jelas benar karena hanya dibantu dengan sinar bulan, akan tetap melihat lampu-lampu bergerak ke sana sini dengan kacau dan teriakan-teriakan orang di bawah terdengar sampai di atas, tiga orang itu cukup puas dan menonton sambil tersenyum. Mereka itu bukan lain adalah Hek-eng-pangcu Yang-liu Nio-nio, Ang Tek Hoat, dan Mauw Siauw Moli. Bagaimana mereka bisa berada di sana? Mari kita ikuti perjalanan Tek Hoat yang kita tahu melakukan usaha menculik Syanti Dewi dari puncak Naga Api, tempat tinggal Hwa-i-kongcu itu.
******
Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah Ang Tek Hoat berhasil membantu Yang-liu Nio-nio ketua Hekeng-pang merobohkan Kian Lee, pemuda itu lalu dibantu oleh Yang-liu Nio-nio dan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke puncak Naga Api menculik Syanti Dewi yang menjadi tawanan di sana dan hendak dipaksa menikah dengan Hwa-i-kongcu Tang Hun, murid dari Durganini yang kaya raya dan lihai itu.
Dan biarpun Hek-eng-pang mengorbankan beberapa orang anggautanya, akhirnya mereka berhasil melarikan Syanti Dewi yang oleh Yang-niu Nio-nio dilemparkan kepada muridnya, Liong-li dan kemudian dibawa keluar di mana telah menanti Tek Hoat bersama beberapa orang anak buah Hek-eng-pang yang siap dengan beberapa ekor kuda yang baik.
Tentu saja Tek Hoat girang sekali melihat bahwa kekasihnya telah berhasil diselamatkan. Akan tetapi dia teringat akan perlakuan Raja Bhutan ayah puteri itu terhadap dirinya dan penghinaan lima tahun yang lalu itu masih membuat hatinya terasa panas, apalagi kalau dia teringat betapa sengsaranya hatinya selama ini yang terkenang dengan penuh kerinduan kepada wanita yang dicintanya itu. Maka, setelah kini dengan susah payah dia dapat bertemu kembali dengan $yanti Dewi, dia tidak mau lekas-lekas memperkenalkan diri lebih dulu. Karena cuaca masih gelap sekali, mudah baginya untuk tidak memperkenalkan diri dan tidak membuka suara. Dia hanya menerima puteri yang tertotok itu dari tangan Liong-li, kemudian dengan mendudukkan wanita yang dicintainya itu di atas punggung kuda, dia melompat di belakang Syanti Dewi dan membalapkan kuda secepatnya, diikuti oleh Yang-liu Nio-nio, Liong-li dan lain anak buah Hek-engpang, menuju kembali ke Gunung Cemara. Untuk membingungkan para pengejarnya, mereka berpencar menjadi tiga rombongan dan Tek Hoat masih tetap bersama Yang-liu Nio-nio dan Liong-li, sedangkan rombongan lain bertugas untuk menghilangkan jejak ketua dan rombongannya ini.
Tentu saja Hwa-i-kongcu Tang Hun dibantu oleh tiga orang sakti Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To terus melakukan pengejaran, akan tetapi mereka ini dibikin bingung dan akhirnya juga berpencar menjadi dua rombongan yang membelok ke kanan kiri, tidak tahu bahwa puteri itu dilarikan terus ke depan oleh Tek Hoat dan rombongannya. Hal ini adalah karena jejak kaki kuda mereka telah dihapus oleh anak buah Hek-eng-pang yang cerdik itu.
Hanya ada satu orang yang tidak mudah dia kali oleh anak buah Hek-eng-pang. Orang ini adalah Siang In! Ketika terjadi keributan di tempat pesta, Siang In yang meninggalkan rombongan penari itu cepat-cepat mencari-cari dan ketika jelas bahwa Syanti Dewi diculik orang, dia pun cepat melakukan pengejaran. Dia amat cerdik, sudah menduga bahwa tentu rombongan penculik itu membawa keluar Syanti Dewi, maka dia telah mendahului pergi ke kandang kuda, mencuri seekor kuda dan menggunakan kesempatan selagi ribut-ribut itu menjalankan kudanya keluar dari benteng yang terjaga.
"Aku sri panggung rombongan penari, hendak membantu mencari pengantin puteri yang terculik!" katanya dan karena penjaga tadi melihat betapa dara cantik jelita ini pandai main sulap, mereka membiarkan Siang In keluar. Dara ini mengintai dan melihat ada rombongan orang membawa kuda menanti di luar tembok, maka dia pun bersembunyi. Ketika para penculik wanita rombongan orang-orang Hek-eng-pang itu keluar dan membawa lari Syanti Dewi, dia pun membalapkan kudanya membayangi dari jauh. Dia cukup hati-hati dan dapat menduga bahwa orang-orang itu tentu memiliki kepandaian, maka dia tidak berani sembrono turun tangan di situ, apalagi dia tahu bahwa tentu fihak Hwa-i-kongcu tidak akan tinggal diam dan melakukan pengejaran, sehingga andaikata dia berhasil merampas Syanti Dewi dari tangan para penculik, dia pun tidak akan terlepas dari tangan Hwa-i-kongcu dan para pembantunya yang lihai itu. Untuk menggunakan sihirnya, dia teringat akan orang Nepal yang lihai tadi, maka sekali ini dia harus bersikap hati-hati sekali.
Sementara itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Ang Tek Hoat memeluk pinggang Syanti Dewi yang duduk di depannya. Pelukan yang penuh kemesraan dan seluruh kerinduan hatinya dicurahkan pada sentuhan mesra itu. Namun dia tetap membisu dan hanya membalapkan kudanya bersama Yang-liu Nio-nio, dan Liong-li.
Hatinya lega karena tidak terdengar derap kaki banyak kuda mengejarnya. Hanya kadang-kadang terdengar derap kaki seekor kuda di belakang, akan tetapi tentu saja hal ini dianggap ringan. Andaikata benar ada satu orang yang mengejar, tentu saja bukan merupakan halangan. Dia sendiri masih belum berani menggunakan terlalu banyak tenaga sebagai akibat luka dalam ketika bertanding melawan Kian Lee, akan tetapi Liong-li dan terutama Yang-liu Nio-nio yang menunggang kuda di dekatnya bukanlah orang-orang yang lemah.
Karena tidak ada pengejar, hati mereka tenang dan mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua yang berada di tepi jalan untuk membiarkan kuda mereka mengaso. Tanpa banyak cakap Tek Hoat memondong tubuh Syanti Dewi dan merebahkan dara itu di atas lantai dalam kuil, kemudian dia membebaskan totokannya dan meninggalkannya pergi. Syanti Dewi mengeluh dan kemudian menangis terisak-isak. Malam hampir lewat dan waktu itu sudah menjelang subuh. Sudah terdengar kokok ayam jantan di kejauhan. Udara dingin sekali. Syanti Dewi menggigil, akan tetapi Tek Hoat hanya berdiri di luar, bermacam perasaan teraduk di hatinya. Dia merasa rindu, merasa girang, merasa kasihan, akan tetapi juga mendongkol dan marah. Ingin dia memeluk, membisikkan kata-kata cinta, menciumi wanita yang selama ini amat dirindukannya itu. Ingin dia menghiburnya, membuatnya gembira dan tertawa, karena dia yakin bahwa tentu Syanti Dewi akan merasa girang sekali bertemu dengan dia. Dia tahu bahwa puteri itu belum dapat menduga siapa adanya orang yang menolongnya bebas dari tangan Hwa-i-kongcu! Akan tetapi karena rasa sakit di hatinya oleh ayah gadis itu, dia masih "menjual mahal" dan mengambil keputusan untuk menjumpai Syanti Dewi pagi nanti kalau cuaca sudah terang. Dia akan muncul begitu saja mengagetkan hati puteri itu. Tersenyum dia membayangkan betapa Syanti Dewi tentu akan menjerit, dan lari memeluknya kalau puteri itu tiba-tiba melihat dia muncul di dalam kamar kuil rusak itu!
Adapun Yang-liu Nio-nio dan Liong-li membuat api unggun di dalam kuil, tidak mau mencampuri urusan Tek Hoat bersama Syanti Dewi, dan mereka membicarakan tentang beberapa orang anggauta mereka yang diduga tewas dalam penyerbuan itu, juga membicarakan tentang orang-orang pandai yang muncul di dalam pesta Hwa-i-kongcu. Tak lama kemudian, sinar matahari pagi mulai mengusir kabut dan hawa dingin dan tiba-tiba Hek-eng-pang bersama muridnya itu mendengar suara teriakan Tek Hoat dari sebelah dalam kuil. Mereka terkejut dan cepat melompat ke dalam dan mereka melihat Tek Hoat dengan muka pucat berdiri di ambang pintu, memandang ke arah puteri yang mereka culik semalam. Puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai sambil menangis dan Si Jari Maut yaneg biasanya tenang dan gagah perkasa itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang puteri itu, mukanya pucat sekali.
"Celaka....!" Tek Hoat berseru marah "Kenapa? Apa yang terjadi....?" Yang liu Nio-nio bertanya.
"Bodoh! Tolol semua! Dia bukan...."
"Bukan apa?"
Dia bukan puteri itu!" Tek Hoat mengepal tinju dan memandang kepada ketua Hek-eng-pang dengan mata melotot. "Kalian telah tertipu! Ini bukan Puteri Syanti Dewi!"
"Tapi....!" Yang-liu Nio-nio membantah, terheran-heran. Dia sendiri yang menculik wanita ini dari dalam kamar pengantin wanita. Tidak bisa salah lagi. Liong-li cepat meloncat dan menarik pundak wanita yang mengempis itu. "Diam kau! Hayo ceritakan siapa kau dan di mana adanya pengantin puteri!" hardiknya sambil mengguncang-guncang pundak wanita muda yang cantik itu.
"Ampunkan saya...." Wanita itu meratap. "Saya adalah seorang pelayan dari Kongcu dan malam tadi.... ada seorang kakek muncul dan menyeret saya, mengancam akan membunuh kalau saya berteriak, lalu saya menjadi lumpuh, bahkan untuk mengeluarkan suara pun tidak mampu.. .. dan kakek itu melucuti pakaian saya dan memaksa saya memakai pakaian ini.... saya tidak tahu apa-apa.... dan tiba-tiba saja saya dilarikan sampai di sini...."
"Di mana pengantin puteri?" Tek Hoat membentak, tidak sabar.
"Saya tidak tahu.... harap ampunkan saya.... saya tidak tahu apa-apa...."
"Hemmm, siapa kakek itu? Bagaimana macamnya?"
"Saya hanya tahu dia kakek tua, entah siapa...."
"Sialan!" Yang-liu Nio-nio meludahi muka wanita itu, tangannya bergerak dan wanita itu roboh tak berkutik lagi karena kepalanya telah pecah oleh ketukan jari tangan ketua Hek-eng-pang yang merasa dipermainkan dan menjadi marah sekali. Dia telah bersusah payah, telah kehilangan beberapa orang anggauta perkumpulannya, dan hasilnya adalah puteri palsu!
Pada saat itu terdengar suara dari luar, "Heiii, Ang Tek Hoat! Biarkan aku bertemu dan bicara dengan Enci Syanti Dewi!l Aku belum puas kalau belum mendengar dari mulutnya sendiri bahwa dia suka ikut dengan orang seperti engkau! Enci Syanti, ini aku, Siang In. Keluarlah dulu dan kita bicara sebentar!"
"Huh!" Tek Hoat mendengus marah dan dia menyambar punggung baju mayat pelayan yang telah dibunuh oleh Yang-liu Nio-nio dan Liong-li yang terkekeh mengejek ke arah Siang In.
Siang In terkejut bukan main melihat tubuh wanita yang disangkanya Syanti Dewi terlempar ke arahnya. Dia mengelak dan tubuh itu terbanting ke atas tanah. Cepat dia memeriksa dan menahan napas lega. Kiranya bukan Syanti Dewi yang dibawa kabur oleh Tek Hoat!
"Hemmm.... kalau begitu, siapa yang menculik Syanti Dewi! Kemana perginya? Orang lihai macam Tek Hoat dan nenek cantik itu masih dapat ditipu orang. Dan melihat Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya melakukan pengejaran dan pencarian ke mana-mana, jelas bahwa Enci Syanti Dewi benar-benar telah lenyap. Akan tetapi siapa yang membawanya dan kemana?"
Dengan hati penasaran Siang In lalu melompat ke atas kudanya dan kembali ke daerah puncak Naga Api untuk menyelidiki hilangnya Syanti Dewi yang penuh rahasia itu.
Demikianlah, dengan marah dan kecewa Ang Tek Hoat kembali ke Gunung Cemara bersama Yang-liu Nio-nio dan Liong-li. Dan ketika mereka tiba di sana, mereka melihat bahwa Gunung Cemara telah dibasmi dan dibakar oleh musuh, yaitu orang-orang dari lembah perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang! Tentu saja Yang-liu Nio-nio menjadi marah dan berduka sekali ketika para anggauta Hek-eng-pang yang tadinya melarikan diri itu berdatangan sambil menangis.
"Orang muda! Kaulihat apa yang terjadi dengan kami karena kami pergi membantumu. Tempat kami dibasmi musuh. Kalau kau tidak membantu kami melakukan pembalasan, sungguh-sungguh aku harus menyebutmu seorang yang tidak mengenal budi!" ketua yang sedang marah dan sakit hati itu berkata kepada Tek Hoat.
Ang Tek Hoat juga merasa tidak senang dengan peristiwa ltu. "Jangan khawatir, Pangcu. Aku tentu akan membantumu."
"Bagus! Kalau begitu, kelak kami pun akan melakukan penyelidikan, siapa yang telah menculik pengantin puteri dari puncak Naga Api itu," Yang-liu Nio-nio berkata. "Akan tetapi, karena anak buahku banyak yang tewas, aku harus minta bantuan dari Subo." Dia lalu menulis sepucuk surat dan menyuruh Liong-Li naik kuda yang kuat untuk cepat minta bantuan gurunya yang dia tahu berada di istana gubernuran di Propinsi Ho-nan.
Sepekan kemudian, munculiah Mauw Siauw Mo-li di tempat itu. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi terkejut melihat wanita cantik yang genit ini, karena dia sudah mengenalnya dahulu ketika dia membantu pemberontakan Pangeran Liong Khi Ong (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Juga Mauw Siauw Mo-li terkejut dan girang bertemu dengan pemuda tampan gagah ini.
"Heh-heh-heh, bukankah engkau Tek Hoat Si Jari Maut? Aku mendengar bahwa engkau telah menjadi seorang panglima dan mantu raja di Bhutan! Bagaimana sekarang berkeliaran di sini?"
Tek Hoat cemberut dan tidak menjawab pertanyaan itu, hanya berkata, "Hemmm, kiranya engkau guru dari Yang-liu Nio-nio? Sungguh tak kusangka!"
"Pangcu, bagaimana engkau dapat bergaul dengan pemuda ini? Ketahuilah, dia pernah menjadi musuhku beberapa tahun yang lalu, hik-hik!" katanya kepada muridnya yang lebih tua daripada dia itu, maka dia menyebutnya pangcu!
Yang-liu Nio-nio terkejut bukan main. "Ahhh.... teecu tidak tahu.... dia.... dia telah membantu teecu dan sekarang pun hendak membantu teecu menghadapi orang-orang Kui-liong-pang."
Mauw Siauw Mo-li tertawa dan memandang wajah Tek Hoat yang tampan dan muram itu sambil berkata, "Tidak mengapa. Ada waktunnya menjadi musuh, ada waktunya menjadi sahabat, bukan? Nah, ceritakan apa yang telah dilakukan orang-orang Kui-liong-pang yang bosan hidup itu."
Yang-liu Nio-nio lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa perkumpulannya bermusuhan dengan Kui-liong-pang dan akhir-akhir ini berebutan pusaka keluarga Jenderal Kao dan betapa ketika dia pergi membantu Tek Hoat untuk menculik pengantin dari Hwa- i-kongcu, orang-orang Kui-liong-pang datang membasmi dan membakar tempat itu.
"Hemmm, sungguh mereka itu harus mampus. Jangan khawatir, aku akan membantumu membasmi mereka. Akan tetapi, sungguh mati aku merasa heran sekali mengapa engkau pergi menculik pengantin puteri, Ang-sicu?" tanyanya kepada Tek Hoat, memandang heran.
Tek Hoat sebenarnya tidak suka kepada wanita yang cabul dan genit ini, dan pandang mata wanita itu kepadanya pun sudah membuat dia merasa muak. Akan tetapi dia tahu pula bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali dan selama Syanti Dewi masih belum dapat olehnya dan terancam keselamatannya di tangan orang-orang sesat, dia perlu bantuan orang-orang seperti wanita ini. Maka dengan terus terang dia menjawab, "Pengantin puteri itu adalah Puteri Syanti Dewi."
"Ehhh....?" Mauw Siauw Mo-li membelalakkan matanya dan wanita yang usianya sudah empat puluh tahun ini masih belum kehilangan daya tariknya. "Bagaimana ini? Bukankah dia sudah kembali ke istana Bhutan?"
Tek Hoat menggelengkan kepalanya. Dia tidak suka menceritakan riwayatnya yang menyedihkan dan memalukan itu kepada orang lain, apalagi kepada seorang wanita seperti Mauw Siauw Mo-li ini. Maka dia menjawab singkat, "Aku pergi dari Bhutan, dia menyusul dan tertawan oleh Hwa-i-kongcu, akan dipaksa menjadi isterinya."
Mauw Siauw Mo-li mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran sekali. Dia mendengar bahwa pemuda ini telah menjadi mantu raja, berarti sudah memperoleh kedudukan yang mulia, akan tetapi mengapa sekarang berkeliaran lagi ke sini dan wajahnya begitu murung? Sungguh dia tidak mengerti sama sekali, akan tetapi dia pun tidak berani mendesak karena tahu bahwa pemuda yang tampan dan lihai ini mempunyai watak yang amat aneh.
Demikianlah, Tek Hoat dan Mauw Siauw Mo-li lalu bersama Yang-liu Nio-nio dan semua sisa anak buah Hek-eng-pang pergi ke lembah yang menjadi sarang Kui-liong-pang dan atas usul Tek Hoat yang melihat keadaan di situ, Mauw Siauw Mo-li lalu mempergunakan senjata peledaknya untuk membobolkan tempat itu sehingga air sungai menyerbu lembah melalui terowongan yang juga telah diledakkan.
Kini mereka bertiga memandang dengan hati puas ke bawah, ke arah lembah yang kebanjiran itu sehingga seluruh penghuni dan para tamunya harus bergegas menyelamatkan diri dengan perahu-perahu dan rakit-rakit darurat. Setelah itu, tanpa berkata apa-apa lagi Tek Hoat lalu membalikkan tubuh sambli berkata, "Aku pergi!"
"Terima kasih, dan kami akan menyebar anak buah kami untuk menyelidiki di mana adanya pengantin puteri itu!" kata Yang-liu Nio-nio. Tek Hoat tidak menjawab dan terus berkelebat pergi.
"Nanti dulu, Ang-sicu!" Bayangan lain juga berkelebat pergi dan ternyata Mauw Siauw Mo-li mengejarnya. Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia membalik dan memandang tokoh sesat itu sambil bertanya, "Engkau mau apa?"
"Ang-sicu, tiga hari yang lalu ketika aku meninggalkan Lok-yang menerima undangan muridku, ketika aku tiba di dusun Khun-kwa aku berpapasan dengan seorang gadis yang bertanya-tanya kepada orang-orang di jalan tentang seorang kakek yang membawa seorang gadis dengan paksa. Aku merasa curiga kepada gadis itu karena aku merasa seperti pernah melihatnya, maka aku bersembunyi dan mengintai. Ketika aku mendengar gadis itu menceritakan ciri-ciri gadis yang dibawa dengan paksa oleh kakek itu, aku teringat bahwa gadis yang diculik itu tentulah gadismu yang dahulu kau pertahankan mati-matian, yaitu Syanti Dewi."
Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali dan wajahnya memancarkan harapan baru. Dia melangkah dekat dan bertanya, "Mo-li, siapa yarg menculik dia?"
Wanita itu tersenyum lebar dan memang dia masih manis sekali. "Mana aku tahu? Akan tetapi, kalau kau mau pergi bersama aku mencarinya, mungkin saja kita dapat menemukan gadis itu dan dari dia kita tentu akan dapat tahu siapa yang menculik puterimu itu. Dengan kerja sama antara kita, apa pun akan dapat kita lakukan dengan berhasil, bukan?"
Tek Hoat yang amat mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya, tidak dapat menolak dan berkata singkat, "Baiklah, mari kita pergi!"
Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan berjalan pergi di samping pemuda tampan itu, menoleh dan berkata kepada muridnya, "Engkau bawa anak buahmu menyingkir dan bersembunyi dulu sebelum mendapatkan tempat baru yang baik. Aku pergi dulu!"
Maka berangkatlah wanita cantik yang hatinya sejak dahulu memang sudah tergerak oleh ketampanan dan kegagahan Tek Hoat ini bersama Tek Hoat yang terpaksa menerimanya sebagai teman seperjalanan dalam usahanya mencari kembali Syanti Dewi yang lenyap.
******
Biarpun yang mereka tumpangi hanya sebuah rakit yang terbuat dari kayu dan bambu yang diikat secara kasar dan tergesa-gesa, namun karena yang memegang dayung adalah Kian Lee dan Liang Wi Nikouw, maka rakit itu dapat meluncur cepat, memasuki sungai bersama dengan orang-orang lain yang berserabutan melolos kan diri dari ancaman air yang membanjiri lembah. Banyak perahu dan rakit yang bermacam-macam terapung di situ. Di depan rakit mereka meluncur perahu besar yang ditumpangi oleh rombongan Boan-wangwe yang memang menggunakan perahu besar yang oleh anak buahnya sudah dipersiapkan itu. Tentu saja dengan cara "membeli" dari anak buah Kui-liong-pang. Dalam keadaan ribut-ribut itu pun pengaruh dan kekuasaan uang masih nampak sehingga rombongan yang kaya raya ini masih mampu memperoleh perahu yang terbesar dan terbaik dengan cara menyogok bagian pengurus perahu-perahu dari Kui-liong-pang.
Tentu saja para tamu yang tidak pernah melihat dan mengenal Cui Lan dan Hok-taijin, tidak memperhatikan empat orang di atas rakit itu, yang mereka anggap juga tamu-tamu yang sama-sama melarikan diri.
"Minggir....!" Seruan yang keras sekali ini terdengar dari belakang rakit!
Suma Kian Lee, Liang Wi Nikouw, Cui Lan dan Hok-taijin terkejut dan memandang sebatang balok besar yang meluncur dengan cepatnya ke arah mereka dari belakang. Di atas balok besar ini duduk Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang menyeramkan karena golok ini di dekat punggungnya mempunyai sembilan buah lubang dan di gagang golok dipasangi tali panjang yang melibat-libat lengan kakek itu.
Melihat betapa balok yang ditumpanginya itu hampir menabrak rakit di depannya, si Golok Sakti ini cepat menggunakan kakinya mendorong rakit Kian Lee sehingga rakit itu menjadi miring hampir terbalik! Cui Lan menjerit dan Hok-tai jin cepat memeluk gadis itu dan karena ini maka keduanya terguling-guling di atas permukaan rakit! Mereka tentu terlempar ke air kalau saja Kian Lee tidak cepat-cepat menggunakan tangan kanannya menepuk air sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang amat hebat. Air muncrat tinggi dan rakit itu seperti terdorong oleh tenaga raksasa, menjadi tegak kembali sehingga Hok-taijin dan Cui Lan tidak jadi terlempar ke air karena mereka sudah berhasil berpegang pada bambu rakit.
Akan tetapi, air yang muncrat tadi mengenai beberapa orang anak buah Boan-wangwe yang mendayung perahu besar di depan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kesakitan ketika air yang muncrat itu mengenai muka mereka karena terasa seperti jarum-jarum menusuk dan panas sekali! Marahlah beberapa orang itu dan seorang di antara mereka yang merupakan tukang pukul dari Boan-wangwe dan tentu saja memiliki kepandaian yang lumayan, memaki dan meloncat ke arah rakit di sebelah. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar hitam meluncur dan sinar seperti tali panjang itu mengenai kaki orang yang meloncat, terus membelit kaki itu dan ketika benda panjang hitam itu bergerak, tubuh orang itu terlempar kembali ke atas papan perahu besar di mana dia bengong terlongong memandang gadis berpakaian hitam yang berada di atas sebuah perahu kecil dan gadis itu menyimpan kembali ular panjang yang melingkar di lengannya. Orang tadi terlalu kaget, terlalu ngeri karena tahu bahwa dia tadi dilemparkan kembali oleh gadis itu dengan menggunakan ular panjang yang mengerikan itu!
Sebelum orang-orangnya Boan-wangwe dapat melampiaskan kemarahan mereka, rakit Kian Lee sudah meluncur melewati perahu besar itu, dan ketika Kian Lee memandang, dia melihat gadis berpakaian hitam yang dia ingat bukan lain adalah Hwee Li, tersenyum kepadanya. Dia mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya dan mempercepat dayungnya sehingga rakit itu meluncur cepat meninggal perahu besar di mana orang-orangnya Boan-wangwe masih memandang marah. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menyamai kecepatan perahu Hwee Li yang meluncur seperti terbang di permukaan air sungai dan sebentar saja sudah lenyap jauh di depan.
Ketika Kian Lee melihat bahwa perahu besar milik Boan-wangwe itu kini juga melaju pesat dengan menambah barisan pendayung, dia cepat-cepat minggirkan rakitnya sampai jauh agar perahu besar itu lewat lebih dulu karena dia tidak ingin ribut-ribut di situ, apalagi tanpa sebab-sebab yang patut diributkan.
Yang penting baginya adalah menyelamatkan Cui Lan dan Hok-taijin dan sekarang mereka telah berhasil diselamatkan, maka dia tidak boleh mencari perkara lagi sebelum kedua orang ini dapat dia antarkan sampai ke daerah Ho-pei.
Mereka menumpang di atas rakit sejak semalam sampai pada keesokan harinya dan baru setelah menjelang sore, Kian Lee menghentikan rakitnya di sebuah dusun nelayan di tepi sungai. Mereka lalu mendarat dan mencari sebuah warung nasi untuk mengisi perut karena mereka berempat sudah merasa lapar sekali.
Mereka memasuki sebuah warung yang cukup besar, akan tetapi keadaan di warung itu sunyi sekali, padahal dusun itu cukup ramai karena merupakan pasar ikan. Setelah mengambil tempat duduk dan memesan makanan, tentu saja masakan sayur tanpa daging untuk Liang Wi Nikouw, Kian Lee melepaskan pandang matanya ke sekelilingnya dan baru dia melihat bahwa tempat itu baru saja mengalami keributan. Masih banyak meja kursi yang patah-patah ditumpuk di pinggir, juga mangkok piring yang pecah. Teman-temannya juga melihat ini dan mereka menduga-duga apa yang telah terjadi di warung ini. Ketika pelayan datang mengantar makanan yang mereka pesan, Kian Lee bertanya, "Eh, Lopek, apakah yang telah terjadi maka banyak meja kursi hancur dan mangkok piring pecah-pecah?" Dia menuding ke arah tumpukan barang-barang rusak itu.
"Aihhh, kami mengalami hari sial kemarin, Kongcu," kata pelayan itu. "Tidak saja barang-barang rusak, akan tetapi sejak peristiwa yang terjadi kemarin, warung kami menjadi sepi karena tidak ada orang berani makan di sini. Baru Kongcu berempat saja yang berani makan di sini dan itulah rejeki kami."
"Eh, apakah yang terjadi?" Kian Lee makin tertarik.
"Kemarin seperti biasa, orang-orang dari Boan-wangwe yang biasa mengumpulkan hasil ikan di dusun ini, sebanyak sepuluh orang, makan di sini. Mereka itu memang orang-orang kasar, akan tetapi Boan-wangwe selalu membayar apa yang mereka makan maka kami pun melayani dengan senang hati. Tiba-tiba masuk pula serombongan tentara yang jumlahnya belasan orang. Tentu saja kami makin sibuk dan kekurangan tenaga untuk melayani terlalu lama, kedua rombongan itu berebut minta didahulukan dan terjadilah pertempuran di sini antara mereka. Wah, bukan main ramainya sampai meja kursi hancur dan mangkok piring beterbangan dan pecah-pecah. Akhirnya fihak tentara itu mengundurkan diri dan pergi. Kami tentu akan mohon kebijaksanaan Boan-wangwe untuk mengganti kerugian kami, akan tetapi ternyata Boan-wangwe sedang pergi entah ke mana."
Hok-taijin tentu saja tertarik sekali mendengar adanya sepasukan tentara. Tentara siapakah itu? Kalau tentara dari Gubernur Ho-nan, berarti dia masih dikejar-kejar dan dicari-cari sampai di sini.
"Tahukah engkau tentara dari propinsi mana mereka itu?" tanyanya kepada si pelayan.
"Mana saya tahu? Tentu saja tentara pemerintah, entah dari propinsi mana."
"Apakah fihak tentara itu kalah?" Kian Lee bertanya lagi karena dia tahu bahwa orang-orang dari Boan-wangwe seperti mereka yang berada di atas perahu besar semalam, adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.
"Sebetulnya sih masih ramai, entah fihak mana yang menang atau kalah karena kami hanya berani menonton sambil bersembunyi. Tentu akan terjadi hal-hal mengerikan dan tentu akan banyak yang mati karena mereka mulai mengeluarkan senjata tajam masing-masing. Baiknya ketika mereka sudah mulai menggerakkan senjata, muncul seorang pendekar yang melerai. Bukan main pendekar ini, tubuhnya terbang seperti burung dan semua senjata itu dirampasnya! Sambil bergerak merampas senjata dia berseru agar mereka menghentikan pertempuran. Dia hanya datang, bergerak merampas senjata, lalu pergi lagi, menghilang begitu saja sehingga kami tidak lagi dapat atau sempat melihat mukanya. Yang tampak hanya rambutnya yang sudah putih semua, padahal dia masih muda dan...."
"Siluman Kecil!" Cui Lan menjerit tanpa disadarinya dan dia bangkit berdiri sampai sepasang sumpitnya terjatuh ke atas lantai.
"Benar....!" kata Liang Wi Nikouw sambil memandang Cui Lan. Gadis ini segera sadar kembali dan menjadi tersipu-sipu, cepat mengambil kembali sepasang sumpitnya membungkuk dan ketika dia membersihkan sepasang sumpit itu, mukanya menjadi merah sekali.
"Munculnya pendekar itu menghentikan pertempuran dan para perajurit itu lalu pergi, demikian pula orang-orangnya Boan-wangwe tidak berani melanjutkan pertempuran setelah melihat betapa senjata-senjata mereka demikian mudahnya dirampas pendekar itu. Sedangkan para perajurit itu menurut kabar bermalam di dusun ini dan heiii, itulah mereka!
Mereka datang lagi ke sini....!" Pelayan itu cepat pergi meninggalkan tamunya untuk masuk ke dalam dan melapor kepada majikannya tentang kedatangan para perajurit yang kemarin itu.
Dia tidak tahu bahwa empat orang tamunya itu pun terkejut sekali dan Kian Lee bersama Liang Wi Nikouw sudah bersiap-siap untuk melawan kalau pasukan itu ternyata anak buah Gubernur Ho-nan. Akan tetapi ketika rombongan itu sudah memasuki warung dan dipimpin oleh seorang perwira yang sudah setengah tua, tiba-tiba Hok-taijin berseru girang.
"Ciangkun, ke sinilah!" teriaknya kepada perwira itu.
Perwira setengah tua itu terkejut, menoleh dan sejenak dia memandang kepada Hok-taijin dengan melongo. Akan tetapi akhirnya dia pun mengenal gubernurnya dan cepat dia maju berlutut dan memberi hormat. "Ah, Taijin! Siapa kira hamba dapat bertemu dengan Taijin di sini!" serunya dengan girang. Semua anak buahnya ketika mengenal pula bahwa kakek berpakaian petani yang berdiri di depan mereka itu bukan lain adalah Hoktaijin, segera berlutut pula memberi hormat.
Perwira itu dipersilakan duduk dan dia bercerita bahwa pasukannya mendapat perintah dari atasannya untuk mencari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap ketika mengiringkan Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Propinsi Ho-nan.
"Semua pasukan disebar, akan tetapi tidak juga berhasil," perwira itu berkata. "Siapa tahu, di tempat yang tidak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa dengan Taijin." Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan setelah dia bertemu dengan gubernur yang dicari-carinya dengan susah payah itu. "Marilah Taijin, hamba antar Taijin kembali pulang. Apakah Taijin ingin naik kereta, ataukah kuda?"
"Cui Lan, apakah engkau biasa menunggang kuda? Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta saja," tanya Hok-taijin kepada Cui Lan. Gadis itu tadinya melamun, karena pikirannya masih tertarik oleh berita tentang Siluman Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa ingin dia berjumpa dengan pendekar yang dipujanya itu. Betapa besar rasa rindu di hatinya ingin memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar matanya yang aneh tapi lembut.
"Eh.... saya.... hemmm, saya pun biasa naik kuda...." jawabnya gagap.
"Bagaimana kabarnya dengan Pangeran Yung Hwa, Ciangkun?" Suma Kian Lee bertanya. Perwira itu memandang kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk.
"Kau boleh menceritakan apa pun juga kepada Suma-taihiap ini," katanya. "Kalau tidak ada dia dan nona ini dan nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan mayatku."
Perwira itu terkejut dan cepat memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menjawab kepada Kian Lee, "Kami tidak mendengar berita tentang Pangeran Yung Hwa. Tidak ada kabar apa-apa dan kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum gubernur pulang."
Kian Lee lalu berkata kepada gubernur itu, "Hok-taijin, kalau begitu sungguh mengkhawatirkan sekali keadaan Pangeran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah bertemu dengan pasukan Taijin, maka kiranya tidak perlu lagi saya mengantar sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini termasuk Propinsi Ho-pei dan Tai jin telah berada di daerah sendiri. Biarlah Taijin dan Nona Phang dikawal oleh pasukan, sedangkan saya sendiri hendak menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa...."
Pada saat itu, Kian Lee memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee melihat, dengan jelas betapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya tidak senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gubernur. Mengapa? Dia merasa heran sendiri. Betapapun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada gadis ini, dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang untuk saling berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin mereka akan terus berkumpul. Tak mungkin! Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus
bersama dengan dia untuk mencari Siluman Kecil.
"Benar, dan pinni pun harus kembali," kata Liang Wi Nikouw.
"Suthai...." Cui Lan berkata akan tetapi ditahannya.
Nikouw yang sudah tua dan bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkandung dalam hati gadis itu, maka dengan tenang dia berkata, "Engkau ingin agar pinni menyampaikan kepada dia bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho-pei, Nona?"
Kedua pipi gadis itu menjadi merah, matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan menggumam, "Terima kasih, Su-thai.... "
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Hok-tai dan Cui Lan.
"Suma-taihiap!" Tiba-tiba kakek itu berseru memanggil. Kian Lee cepat membalik dan menghampiri kakek itu yang sudah bangkit.
"Ada pesan apa yang hendak disampaikan oleh Taijin?"
Hok-taijin melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. "Suma-taihiap, betapa besar aku hutang budi kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu. Sudikah engkau datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami dapat menyatakan terima kasih kami kepadamu?"
Kian Lee tersenyum. Dia tahu bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi. "Baiklah, Taijin. Kelak, kalau sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus kuselesaikan, saya pasti akan berkunjung kepada Taijin."
Mereka pun berpisah dan Hok-taijin lalu dikawal oleh para perajuritnya, bersama Cui Lan pergi ke rumah penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala persiapan. Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah perajurit pengawal itu hanya dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai seorang petani.
Pada keesokan harinya, Hok-taijin dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini bergerak perlahan dan belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar derap kaki banyak kuda lari dari arah belakang.
Perwira pengawal memberi aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda itu lewat. Cui Lan melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar itu tergesa-gesa lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu mengebul tinggi.
Cui Lan memandang kagum. Sudah banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman. Sudah banyak ia menerima pertolongan para pendekar, terutama sekali dari Kian Lee yang dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini sesudah Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah kuda yang ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman Kecil pernah muncul, hatinya merasa sedih.
Tak lama kemudian, kembali terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika mereka menoleh, kelihatan tiga ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu menyerukan aba-aba agar semua kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga orang yang datang membalapkan kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti dan memandang tiga orang penunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar yang memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya.
"Heiiiii.... Enci Lan....!!" Tiba-tiba anak itu berseru. Tiga orang penunggang kuda itu menoleh dan mereka pun melihat Cui Lan, lalu mereka menahan kuda mereka.
"Ah, kiranya engkau, Hong Bu....!" Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun dari kudanya. Tiga orang laki-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan Sim Kun tiga orang pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan anak itu adalah Sim Hong Bu, putera dari Sim Hoat.
"Sam-wi Twako, kalian baik-baik saja?" Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura kepada Cui Lan, juga kepada Hok-taijin yang mereka tahu adalah seorang sahabat dari nona ini. Mereka menghormati Cui Lan yang mereka anggap sebagai sahabat baik dari Siluman Kecil.
"Terima kasih, Nona," jawab Sim Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai bicara dibandingkan dengan dua orang kakaknya yang kasar dan kaku.
"Eh, kalian hendak kemanakah? Kelihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi melewati kami? Ada belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa melewati kami menuju ke depan," Cui Lan bertanya.
Mendengar ini, Sim Hoat tertawa girang. "Ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah berangkat!" katanya kepada dua orang adiknya yang juga kelihatan gembira.
"Sebetulnya ada urusan apakah?" Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena orang-orang ini termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru mengharapkan berita dari Siluman Kecil! Kini Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut mendengarkan, sedangkan para perajurit tetap menanti di atas kuda sambil berjaga-jaga karena mereka itu betapapun juga merasa curiga terhadap tiga orang yang kelihatannya kasar-kasar seperti gerombolan perampok itu. Heran sekali mereka melihat gubernur mereka dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan oleh sang gubernur sebagai anak angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan segala macam orang kasar seperti tiga orang penunggang kuda itu.
"Kami hendak membantu penolong kami, Pendekar Siluman Kecil."
"Ehhhhh....?" Cui Lan berseri wajahnya dan dia maju selangkah. "Apa yang terjadi?" tanyanya penuh gairah.
"Kami hanya mengetahui urusan itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimanapun juga, kami ingin membantu beliau," kata Sim Kun. "Entah benar entah tidak kabar angin itu, kami pun tidak tahu."
"Ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya, bukan Gi-hu?" Cui Lan menoleh kepada ayah angkatnya dengan sinar mata penuh permohonan. Kakek itu mengangguk. Betapapun juga, ketika dikejar oleh tentara Ho-nan, dia dan Cui Lan telah ditolong oleh para pemburu ini pun berkat nama Siluman Kecil, pikirnya.
"Menurut kabar angin di antara kawan-kawan yang seperti semacam dongeng tentang diri Siluman Kecil, lima tahun kurang lebih yang lalu, di dalam pengembaraannya, beliau bertemu dengan musuh yang amat sakti yang tinggal mengasingkan diri di atas bukit di depan sana. Orang sakti itu tinggal bersama murid-muridnya dan pelayan-pelayannya yang kesemuanya juga lihai-lihai sekali. Dan menurut dongeng itu, kabarnya orang sakti ini adalah pewaris dari ilmu-ilmu pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lalu. Entah apa sebabnya, lima tahun yang lalu terjadi pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dan orang sakti itu, dan kabarnya beliau terluka parah oleh suling sakti dari lawan itu dan hampir saja beliau tewas. Akan tetapi beliau dapat diselamatkan dan diobati oleh seorang pendeta wanita, dan biarpun dapat sembuh, namun luka-luka hebat itu membuat rambut beliau menjadi putih semua! Nah, kabarnya beliau membuat perjanjian dengan orang sakti itu untuk saling mengadu ilmu lagi lima tahun kemudian dan hari ini adalah hari perjanjian itu. Kami yang berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil, tidak dapat berdiam diri saja dan kami semua beramai-ramai pergi ke tempat itu untuk membantu beliau."
Setelah selesai bercerita, cerita yang seperti dongeng dan yang hanya mereka dengar sepotong-sepotong itu, hati Cui Lan ingin sekali ikut bersama mereka untuk menyaksikan pertandingan itu, atau sesungguhnya lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa ia ingin pergi untuk menjumpai orang yang dipujanya itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani dan malu untuk menyatakan hal ini kepada ayah angkatnya. Maka ketika tiga orang bersama anak laki-laki itu berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka, Cui Lan melangkah maju beberapa tindak mengikuti mereka sampai ke tempat mereka menambatkan kuda mereka. Air matanya membasahi bulu matanya, ketika dia mendengar mereka berpamit lagi dan melompat ke atas kuda mereka.
"Selamat tinggal, Enci Cui Lan!" terdengar Hong Bu berteriak.
Cui Lan yang tadinya menunduk untuk menyembunyikan air matanya, kini berdongak mendengar seruan suara Hong Bu. Terkejutlah dia ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sim Kun yang ternyata masih berada di situ dan memandangnya dengan sinar mata aneh, lembut, hangat dan mesra! Cui Lan terkejut dan gugup, cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia mendengar Sim Kun berkata, "Selamat berpisah sampai jumpa kembali!" lalu terdengar derap kaki kuda dilarikan cepat ke depan.
Mereka melanjutkan perjalanan dan Cui lan kelihatan termenung. Melihat ini, Hok-taijin bertanya, "Anakku, kenapa kau kelihatan diam? Apakah engkau masih terkesan oleh cerita tadi?"
Memperoleh kesempatan itu Cui Lan lalu berkata, "Benar sekali, Gi-hu. Gi-hu tentu tahu mengapa orang-orang kasar itu sampai begitu setia, mereka semua telah berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil. Saya pun hutang nyawa, bahkan lebih dari itu kepadanya, dan mendengar dia hendak bertanding melawan orang sakti, saya saya ingin sekali menonton, Gi-hu."
Hok-taijin mengerutkan alisnya. "Hemmm, berbahaya sekali, Cui Lan. Orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian silat seperti kita ini, apa gunanya bagi dia? Tidak dapat membantu seperti para pemburu itu, bahkan kita terancam bahaya maut. Jangan khawatir, kalau kita sudah tiba di rumah, aku akan mengirim utusan mengundang Pendekar Siluman Kecil dengan hormat agar sudi berkunjung ke rumah kita."
Terhibur juga hati Cui Lan mendengar janji ini, sungguhpun hatinya masih ingin sekali untuk pergi ke bukit itu. Akan tetapi, selain tidak berani memaksa, juga dia merasa malu terhadap ayah angkatnya dan para perajurit, maka dia melanjutkan perjalanan itu dengan diam saja dan termenung.
Lewat tengah hari, udara panas sekali dan Hok-taijin mengajak mereka beristirahat di sebuah lapangan terbuka dekat hutan di kaki bukit yang penuh dengan hutan-hutan besar. Perwira itu lalu mengeluarkan perbekalan dan Hok-taijin dan Cui Lan lalu makan. Lezat bukan main makan di tempat terbuka itu, sungguhpun yang dimakan hanya roti kering dan daging panggang dibantu oleh air jernih. Setelah keduanya selesai makan, Hok-taijin memberi kesempatan kepada para pengawalnya untuk makan pula. Kakek ini duduk bersandar pohon dan segera terasa kantuk datang menyerangnya ketika tubuh lelah perut kenyang itu dihembus angin sejuk.
Cui Lan berjalan-jalan di sekitar tempat itu mencari kembang. Mendadak dia mendengar suara orang bersenandung, suara yang amat merdu dan gembira. Ketika dia menuju ke tempat itu, dia melihat seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba hitam dan ringkas, pakaian yang ketat memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat dan indah, sedang duduk di antara rumput-rumput hijau dan rebah terlentang sambil bersenandung.
Cui Lan ingin pergi lagi karena dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang beristirahat dengan enaknya itu, akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam menyambar di dekat kakinya. Ketika dia melihat ke bawah, hampir dia menjerit karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah seekor ular yang hitam panjang dan yang kini berada di depan kakinya dengan kepala terangkat dan bergoyang-goyang seperti menari-nari, atau seperti memberi isyarat kepadanya agar jangan pergi!
Cui Lan memandang dengan muka pucat, akan tetapi memang pada dasarnya gadis ini seorang yang tabah. Dia tidak jadi menjerit dan perlahan-lahan dia menggeser kakinya untuk menjauhi.
"Hi-hik, si Hek-coa (Ular Hitam) itu suka kepadamu dan dia ingin agar kau duduk di sini bercakap-cakap dengan aku!"
Cui Lan cepat menoleh dan dia melihat gadis berpakaian hitam tadi sudah duduk dan tersenyum. Bukan main cantiknya! Baru sekarang dia melihat betapa gadis itu mempunyai kecantikan yang luar biasa, cantik jelita dan manis sekali, apalagi kini sedang tersenyum. Dia memandang kagum dan melihat gadis berpakaian hitam dan ular yang kini melilit lengan gadis itu, teringatlah dia akan gadis di dalam perahu yang telah melempar kembali orang dari perahu besar yang meloncat ke rakit mereka.
"Kau.... bukankah kau gadis dalam perahu...."
Gadis itu memang Hwee Li adanya. Dia mengangguk dan menepuk rumput di dekatnya. "Duduklah di sini, enak, lunak seperti duduk di kasur saja. Jangan takut, ularku ini tidak jahat. Aku melihat engkau bersama rombongan perajurit dan si orang tua, akan tetapi mana pemuda yang bersamamu di perahu itu?"
"Ah, dia sudah pergi...." Cui Lan menahan kata-katanya karena dia tidak hendak bercerita tentang urusan Pangeran Yung Hwa kepada seorang asing. Lalu cepat disambungnya dengan pertanyaan, "Engkau siapakah? Aneh sekali seorang gadis cantik seperti engkau bermain-main dengan seekor ular seperti itu."
"Seekor? Ada dua! Lihat di atasmu!"
Cui Lan mengangkat mukanya dan dia menahan jeritnya ketika melihat seekor ular yang amat panjang, bergantung di cabang pohon dengan ekornya dan kini kepala ular itu dekat sekali di atas kepalanya! Bahkan lidah yang merah itu hampir menjilat-jilat dahinya!
Hwee Li tertawa dan dengan gerakan tangan dia membuat ular itu menarik diri lagi ke atas cabang dan ular yang di lengannya itu pun dia suruh pergi merayap naik ke atas pohon, berkumpul dengan temannya.
"Namaku Kim Hwee Li. Kau juga cantik manis, siapa namamu, Enci?"
"Namaku Phang Cui Lan." Cui Lan merasa suka kepada gadis itu dan duduk di atas rumput. Memang enak sekali duduk di situ, rumputnya tebal dan lunak seperti kasur dan tempat itu sejuk di bawah pohon besar. "Hwee Li nama yang indah sekali. Mengapa kau berada di sini seorang diri saja, Hwee Li? Seorang gadis seperti engkau seorang diri saja, sungguh aneh."
"Apa anehnya? Memang aku hanya sendiri saja di dunia ini, eh, tidak sendiri, melainkan bertiga dengan sepasang ular hitamku itu. Aku ingin nonton keramaian di bukit sana."
Cui Lan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. "Kaumaksudkan.... keramaian.... pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dengan orang sakti....?"
Kini Hwee Li yang terkejut. "Apa? Kau tahu pula tentang itu? Kau kenal Siluman Kecil?"
Cui Lan mengangguk. "Tentu saja aku mengenalnya," dan pandang matanya kini merenung, membayangkan pendekar itu.
"Benarkah? Hebat! Namanya sudah tersohor di seluruh daerah ini, dan kau seorang gadis yang lemah telah mengenalnya! Kau lebih aneh dari aku, Cui Lan! Kau seorang lemah akan tetapi kenalanmu pemuda-pemuda hebat! Baru yang di perahu itu saja sudah hebat, sekarang kau bilang kenal dengan Siluman Kecil! Kau benar-benar membuat aku merasa iri."
Terpaksa Cui Lan tersenyum mendengar ini. Gadis ini sikapnya seperti telah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun saja, demikian ramah dan akrab. Seketika timbul rasa sayang di dalam hatinya. "Ah, Hwee Li, seorang gadis seperti engkau ini, yang cantik seperti Dewi Kwan Im, apa sih sukarnya kalau hendak berkenalan dengan pemuda-pemuda yang paling hebat di dunia ini?"
"Benarkah? Eh, orang macam apa sih sebetulnya Siluman Kecil itu?"
"Orang macam apa....?" Cui Lan menengadah dan memejamkan matanya. Terbayang wajah pemuda pendekar itu dan dia menarik napas. "orang yang hebat....! Seorang pendekar yang masih amat muda, akan tetapi rambutnya telah putih semua, seperti benang-benang perak halus mengkilap...."
"Hemmm, kau makin menambah keinginanku untuk nonton pertandingan itu. Kabarnya malam ini Siluman Kecil akan muncul dan melawan Sin-siauw Seng-jin di puncak bukit itu."
"Sin-siauw Seng-jin? Siapakah dia?"
"Seorang tokoh yang maha sakti. Seorang yang terasing akan tetapi seluruh tokoh dunia kang-ouw tidak ada yang berani mengganggunya, dan kabarnya dia hidup seperti dewa. Hemmm, aku berani bertaruh potong leher...."
"Potong leher? " Cui Lan terkejut.
"Nanti dulu, belum habis. Leher ayam maksudku! Siluman Kecil sekali ini tentu akan jatuh namanya. Mana mungkin dia bisa menang! Hi-hik, kedua ekor ularku ini paling suka minum darah, apalagi kalau darah orang sakti seperti Siluman Kecil itu. Hemmm, mereka tentu akan senang sekali."
Pucat wajah Cui Lan. "Apa.... apa.... maksudmu....?"
"Hi-hik, pandang matamu begitu ketakutan dan ngeri seperti seekor kelinci. Ah, memang matamu indah sekali, Cui Lan, seperti mata kelinci! Jangan khawatir, aku tidak akan mencampuri urusan mereka, akan tetapi aku tahu bahwa pasti Siluman Kecil akan tewas dan ular-ularku akan menikmati darahnya kalau dia sudah roboh."
"Ihhh.... kau.... kau kejam sekali!" Cui Lan bangkit berdiri, sepasang matanya menyinarkan api dan kedua pipinya merah, telunjuknya menuding ke arah muka Hwee Li. "Kau sungguh kejam, dan aku.... aku akan menggunakan batu menghancurkan kepala dua ekor ular-ularmu kalau mereka berani melakukan hal itu!"
"Ehhh....?" Hwee Li memandang dengan mata terbelalak.
"Wah.... kau cinta padanya, hi-hik! Kau cinta padanya!"
Lemas lagi rasa tubuh Cui Lan dan dia menjatuhkan diri di atas rumput. Dia mengangguk. "Aku memang cinta padanya...."
"Kalau begitu, mengapa tidak nonton bersama aku? Dengan adanya kekasihnya di sana, hal itu akan membesarkan hatinya!"
"Aku bukan kekasihnya, jangan bicara seperti itu, Hwee Li."
"Ihhh? Bagaimana sih kau ini? Baru saja kau mengaku cinta padanya dan kau tidak mau kusebut kekasihnya?"
"Aku cinta padanya, memang, dengan sepenuh jiwa ragaku. Akan tetapi apakah dia cinta padaku.... hemmm, hal itu aku.... aku tidak tahu...."
"Hi-hik, jangan khawatir. Laki-laki mana yang tidak akan membalas cinta seorang dara seperti engkau? Dia pasti cinta padamu. Pasti! Mari kau ikut aku nonton ke sana, Cui Lan."
Cui Lan menengok ke arah rombongan ayah angkatnya. Mereka agaknya sudah berkemas dan ayahnya sudah bangkit berdiri.
"Aku.... aku tidak bisa, di sana ada ayah angkatku.... aku harus pergi bersama mereka."
"Huh, betapa tidak enaknya hidup seperti engkau ini. Hati ingin nonton ke gunung, akan tetapi kenyataannya terpaksa harus pergi. Kau seperti burung dalam sangkar saja. Dan kau gadis yang memiliki keberanian hebat sungguhpun kau lemah."
"Aku ingin sekali, akan tetapi mereka tentu melarang dan kita tidak bisa memaksa."
"Siapa bilang? Baru dua puluh orang perajurit macam itu, biar ditambah dua puluh lagi masih belum cukup untuk melawan aku!"
"Ah, aku tidak ingin kau bertempur dengan mereka. Orang tua itu adalah ayah angkatku yang amat baik."
"Kalau begitu tidak perlu bertempur. Aku dapat melarikan engkau dari sini tanpa dapat mereka kejar!"
"Benarkah? Akan tetapi aku harus berpamit! Aku tidak boleh menyusahkan hati ayah angkatku."
"Nah, berpamitlah!" Hwee Li lalu menggerakkan tangan dan dua ekor ularnya meluncur turun ke arah kedua lengannya, terus melingkar di situ. Kemudian dia mengiringkan Cui Lan berjalan menghampiri rombongan itu.
Melihat Cui Lan datang bersama seorang gadis cantik berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai gadis yang membantu mereka di atas sungai, Hok-taijin memandang kagum, akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah pucat ketika melihat dua ekor ular melingkar di kedua lengan yang putih mulus itu.
"Gi-hu, ini adalah Kim Hwee Li, seorang sahabat.... dan dia.... dia mengajak saya pergi nonton adu kepandaian di bukit. Gi-hu, perkenankanlah, dan jangan khawatlr, saya pasti akan menyusul Gi-hu.... setelah selesai nonton...."
"Akan tetapi, Cui Lan....!" Hok-taijin berkata penuh keraguan.
"Mari kita pergi, Cui Lan!" Tiba-tiba Cui Lan merasa pinggangnya dibelit sesuatu dan tubuhnya terbang ke atas! Ketika dia tidak melayang lagi, ternyata dia telah berada di atas cabang pohon, dirangkul oleh lengan Hwee Li dan ayah angkatnya bersama para perajurit berada jauh di bawah pohon besar itu!
"Pejamkan mata, kita pergi sekarang," bisik Hwee Li.
"Gi-hu, maafkan, saya pergi dulu....!"
Cui Lan berseru ke bawah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, jauh dari situ dan selanjutnya dia seperti terbang di
atas tanah bersama Hwee Li, pinggangnya dipeluk oleh gadis yang luar biasa itu. Angin bertiup kencang membuat kedua telinganya mendengar suara gemuruh dan Cui Lan merasa ngeri. Dia mendengar suara ayahnya lapat-lapat memanggil namanya, lalu tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suara angin bertiup kencang dan pohon-pohon berlarian cepat di kanan kirinya. Dia memejamkan matanya.
Tak lama kemudian dia mendengar suara Hwee Li, "Kita sudah jauh meninggalkan mereka. Nah, mari kita mendaki bukit itu."
Cui Lan membuka mata. Kiranya mereka telah berada di kaki bukit, di antara banyak pohon-pohon liar dan dia menengok ke sana-sini, akan tetapi sama sekali tidak melihat lagi rombongan gi-hunya, bahkan dia tidak mendengar suara mereka. Hanya suara burung yang berbondong-bondong terbang datang untuk berlindung di dalam pohon-pohon besar melewatkan malam, karena matahari telah condong ke barat. Cui Lan memandang Hwee Li. "Engkau sungguh seorang gadis yang hebat, Hwee Li. Kiranya engkau juga seorang pendekar sakti."
"Hi-hik, enak juga dipuji orang seperti engkau. Tahukah engkau, Cui Lan, ketika aku memelukmu dan meraba tulang-tulangmu, aku mendapat kenyataan bahwa andaikata engkau mempelajari ilmu silat, agaknya engkau malah dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada aku. Bakatmu baik dan nyalimu besar."
Akan tetapi tentu saja Cui Lan menganggap kata-kata Hwee Li itu sebagai kelakar saja dan dia tidak ambil peduli. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki bukit itu. Cui Lan terheran-heran melihat betapa tempat ini amat sunyi. Bukankah tadi terdapat banyak penungang kuda yang katanya juga menuju ke tempat ini? Akan tetapi mengapa di situ sunyi saja, tak pernah mereka bertemu dengan seorang manusia pun? Dengan hati-hati Hwee Li mengajaknya mendaki terus, berjalan di antara rumpun ilalang yang tinggi-tinggi, ada yang setinggi manusia.
"Hati-hati, Hwee Li...." bisik Cui Lan karena gadis ini maklum betapa berbahayanya tempat seperti itu. Kalau ada orang atau harimau bersembunyi di dalam ilalang, tentu tidak kelihatan dan mereka itu dengan mudah dapat menerkam mangaa yang lewat.
"Hik-hik, jangan khawatir, Cui Lan. Dua ekor ularku ini leblh tajam pendengarannya, penciumannya dan pandang matanya daripada seekor anjlng." Baru saja Hwee Li berkata demikian, seekor di antara dua ekor ular yang melilit di kedua lengan dara itu meluncur ke samping, memasuki rumpun ilalang dengan ekornya masih melilit lengan kiri Hwee Li. Tampak ilalang di sebelah itu bergerak-gerak keras dan terdengar suara menguik. Tak lama kemudian, kepala ular itu sudah kembali dan moncongnya yang lebar telah menggigit seekor anak babi yang telah tewas.
"Hik-hik, mengagetkan saja kau. Hayo lepas!" Hwee Li menggerakkan lengan kirinya dan ular itu melepaskan bangkai babi itu, lalu melingkar lagi di lengan Hwee Li.
Cui Lan bergidik ngeri. "Bagaimana kalau yang bersembunyi di situ tadi seorang manusia?" bsiknya.
"Ularku tahu dengan nalurinya. Kalau manusia itu berniat busuk, tentu digigit dan dibunuhnya. Sekali gigitan saja membuat racun yang mematikan membunuh orang itu, akan tetapi kalau orang itu tidak mempunyai niat jahat, ular-ularku pun tidak mau sembarangan membunuh orang tanpa perintahku."
Hari telah menjadi gelap ketika mereka tiba di puncak bukit. Akan tetapi bulan segera muncul dari balik bukit di sebelah timur dan sinarnya cukup menerangi tempat itu. Cui Lan dan Hwee Li duduk di atas batu dan memandang ke depan. Di puncak itu, di antara batu-batu gunung yang besar-besar, berdiri sebuah bangunan kuno yang kelihatan megah dan angker. Di sekeliling rumah itu sunyi saja, tidak terdengar apa-apa dan bahkan tidak ada sedikit pun lampu penerangan, seolah-olah bangunan itu adalah sebuah rumah kuno yang kosong tidak dihuni orang.
"Agaknya kosong...." Cui Lan berkata.
"Sssttttt.... mari kita mendekat dan setelah kita nanti bersembunyi, kau tidak boleh mengeluarkan suara, tidak boleh berisik, Hwee Li berbisik. Cui Lan mengangguk, jantungnya berdebar tegang karena sikap Hwee Li yang begitu berhati-hati mendatangkan ketegangan di dalam hatinya. Sikap gadis perkasa itu membayangkan bahwa mereka berada di tempat yang aneh dan berbahaya sekali. Mereka merangkak dan setelah dekat dengan rumah besar itu, mereka bersembunyi di balik batu besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat dengan jelas ke arah pintu depan gedung kuno itu. Bulan makin naik tinggi dan sinarnya yang keemasan membuat tempat itu indah sekali dan tentu amat menyenangkan kalau saja suasananya tidak begitu menyeramkan.
Malam makin larut dan Cui Lan mulai menggigil kedinginan. "Telan ini...." Hwee Li berbisik dan menyerahkan sebutir pil kuning. Cui Lan menelannya dan pil itu terasa manis dan harum. Tak lama kemudian tubuhnya terasa hangat sekali seolah-olah dia baru saja minum beberapa cawan arak. Dia menyentuh tangan Hwee Li dengan rasa terima kasih dan dara berpakaian hitam itu tersenyum. Giginya berkilat putih tertimpa sinar bulan.
Tiba-tiba mereka menyelinap karena kaget melihat sinar-sinar lampu menyala di gedung itu. Keadaan tetap sunyi dan lampu-lampu penerangan itu seolah-olah dinyalakan oleh tangan setan. Tidak nampak seorang pun di sekitar gedung besar itu.
Dari jauh sekali, dari arah depan rumah, terdengarlah suara orang, suara yang bening halus, "Locianpwe, saya datang memenuhi perjanjlan kita lima tahun yang lalu!" Suara itu biarpun halus namun mengandung gema mengaung dan setelah suara itu lenyap, gemanya masih terdengar, lalu sunyi sekali, sunyi yang mencekam dan menegangkan hati.
Terdengar suara orang berdehem di dalam gedung itu, kemudian terdengar suara seorang laki-laki yang parau, "Silakan masuk!"
Cui Lan terkejut dan terheran bukan main karena entah dari mana datangnya dan bagaimana serta kapan, tahu-tahu di depan pintu gedung itu kini telah berdiri seorang kakek membawa tongkat. Agaknya kakek inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata itu. Kakek ini berdiri seperti arca, tidak bergerak-gerak dan memandang ke depan gedung, ke arah jalan kecil yang menuju ke bawah bukit. Tentu saja Cui Lan dan Hwee Li juga memandang ke arah itu, menduga-duga dari mana akan munculnya orang yang tadi mengeluarkan
suara, yang mereka duga tentulah Siluman Kecil adanya.
"Sssttttt....!" Tiba-tiba Hwee Li menyentuh lengan Cui Lan dan menunjuk ke depan. Cui Lan membelalakkan matanya untuk dapat memandang lebih teliti. Dia hanya melihat sebuah titik putih naik dari bawah, dan melihat sebuah titik putih itu makin membesar. Akhirnya nampaklah bayangan putih seorang manusia bergerak dengan amat cepatnya, seolah-olah orang itu terbang di atas pucuk rumpun ilalang! Kedua kakinya bergerak di antara pucuk ilalang yang bergoyang perlahan. Cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di depan gedung dan menjura ke arah kakek yang memegang tongkat.
Hwee Li mengerahkan kekuatan pandang matanya, memperhatikan orang yang namanya begitu terkenal sebagai seorang pendekar penuh rahasia yang hanya dikenal sebagai Siluman Kecil. Ternyata orangnya masih muda dan wajahnya tampan, rambutnya dibiarkan terurai dan melambai-lambai ditiup angin, rambut yang berwarna putih dan yang mengkilap seperti perak tertimpa sinat keemasan dari bulan purnama. Pakaiannya sederhana dan juga terbuat dari bahan putih semua!
Kakek bertongkat itu sejenak memandang, seolah-olah hendak meneliti apakah benar ini orang yang telah ditunggu-tunggu, kemudian dia balas menjura dan dengan tangannya dia mempersilakan orang itu masuk. Pintu terbuka sendiri seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak. Laki-laki berambut putih itu mengangguk dan melangkah hendak memasuki pintu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan dari depan gedung.
"Anakku....!"
Seorang nikouw tua melompat keluar dari balik sebuah batu besar dan biarpun jarak antara batu dan depan gedung itu cukup jauh, namun dengan satu kali melompat saja nikouw itu telah berada di situ! Diam-diam Hwee Li meleletkan lidahnya tanda kaget dan kagum.
"lbu.. ..!" Siluman Kecil menoleh ke arah wanita itu.
Cui Lan dan Hwee Li saling pandang dan sinar mata mereka bicara banyak. Mereka berdua terheran-heran melihat kenyataan bahwa si pendekar sakti yang berjuluk Siluman Kecil itu adalah putera seorang nikouw tua!
"Ibu, mengapa menyusulku?" tanya Siluman Kecil dengan suara halus dan penuh hormat.
"Hemmm, aku mana bisa tega membiarkan kau menemui sendiri musuhmu? Aku harus ikut, apa pun yang akan terjadi!"
Siluman Kecil membalik dan memandang kepada kakek pemegang tongkat, seperti hendak bertanya apakah ibunya diperbolehkan ikut masuk. Kakek itu mengangguk dan mempersilakan dengan tangan. Ibu dan anak itu lalu melangkah memasuki pintu, diikuti oleh kakek bertongkat dan daun pintu pun tertutup sendiri tanpa ada yang menutupkan.
"Diakah....?" Hwee Li berbisik.
Cui Lan mengangguk, dadanya bergelombang, air matanya berlinang.
Sementara itu, orang muda berambut putih dan nikouw tua yang masuk bersama kakek bertongkat, tiba di ruangan dalam dan di situ nampak duduk seorang kakek tua renta yang rambut, jenggot, kumis dan alisnya telah putih semua. Kakek ini bertubuh tinggi besar dan biarpun mukanya sudah nampak tua, namun sepasang matanya tetap bercahaya penuh semangat dan mulutnya tersenyum lembut. Di kanan kirinya nampak beberapa orang laki-laki yang duduk dan ada pula yang berdiri. Mereka itu adalah murid-muridnya dan kakek bertongkat itu adalah murid pertama. Kakek bertongkat ini menjatuhkan diri berlutut.
"Suhu, dia datang memenuhi janji!" katanya.
Siluman Kecil juga menjura dengan hormat sedangkan nikouw tua itu merangkap kedua tangan di depan dada tanpa bergerak atau bicara. "Dengan perkenan Locianpwe, saya kembali hendak memperlihatkan kebodohan saya," katanya dengan sikap merendah.
Kakek itu tersenyum, akan tetapi alisnya yang putih itu berkerut. "Orang muda, kami telah mendengar bahwa selama lima tahun ini engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, bahkan telah berbuat banyak sehingga memperoleh julukan Siluman Kecil. Kami merasa girang bahwa kami masih hidup saat ini sehingga dapat Mengagumi kemajuanmu. Akan tetapi sayang, engkau yang dahulu berjanji akan datang sendiri kini ternyata membawa kawan-kawan yang banyak sekali jumlahnya. Apakah maksudmu dengan perbuatan itu?"
Siluman Kecil mengangkat muka memandang dan mereka saling bertemu dan beradu pandang. "Locianpwe, menyalahi janji dan membawa kawan-kawan merupakan pantangan besar bagi saya. Apakah Locianpwe menganggap bahwa Ibu saya yang menyusul ini merupakan pelanggaran?"
Kakek itu menggerakkan tangan seperti mencela. "Ahhh, kalau muncul dengan terang-terangan masih tidak apa. Akan tetapi apa artinya banyak kawanmu yang bersembunyi di sekitar tempat ini?"
"Ohhh....! Maksud Locianpwe mereka yang bersembunyi di sekitar luar gedung ini? Sungguh, saya tidak mengerti. Malah saya kira bahwa mereka itu adalah murid-murid Locianpwe yang sengaja menyambut dan mengawasi saya!"
"Hemmm, sungguh aneh. Mari kita suruh mereka keluar." Kakek itu turun dari kursinya, kemudian bersama dengan Siluman Kecil dan nikouw tua mereka semua keluar, diiringkan oleh murid-murid kakek itu yang dipimpin oleh kakek pemegang tongkat.
Kini mereka berdiri di luar gedung, di halaman yang luas. Hwee Li dan Cui Lan masih sembunyi dan memandang dengan mata terbelalak. Girang hati Hwee Li melihat mereka keluar karena dia khawatir kalau pertandingan dilakukan di dalam gedung, berarti dia tidak dapat nonton! Dan kini, mereka berada di halaman sehingga dia akan dapat nonton dengan enaknya karena tempat sembunyinya itu tidak berapa jauh.
Akan tetapi, dia merasa heran karena dua orang yang kabarnya akan bertanding itu tidak berdiri berhadapan, melainkan berjajar dan keduanya menghadap keluar gedung, menoleh ke kanan kiri. Kemudian terdengar suara Siluman Kecil yang bening dan halus nyaring, "Cu-wi sekalian yang bersembunyi di luar gedung, harap suka memperlihatkan diri"
Mendengar suara Siluman Kecil ini, maka berloncatan keluarlah para pemburu dan beberapa orang lain yang memang diam-diam datang mengunjungi tempat itu dengan niat untuk membantu Siluman Kecil yang kabarnya hendak bertanding melawan musuhnya yang amat sakti. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang yang muncul dari berbagai tempat persembunyian mereka! Melihat bahwa mereka adalah teman-temannya yang pernah ditolongnya, diam-diam Siluman Kecil menjadi terkejut sekali dan segera dia menegur, "Mau apa kalian berada di sini? Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini?"
Semua orang itu menjura dengan hormat ke arah Siluman Kecil dan seorang di antara mereka menjawab, "Kami mendengar bahwa Taihiap hendak bertanding dengan seorang lawan yang tangguh, maka kami sengaja datang hendak membantu."
Mendengar jawaban yang terus terang ini, Sin-siauw Seng-jin (Kakek Suling Sakti) tersenyum lebar.
"Aku tidak menghendaki bantuan dari siapapun!" Siluman Kecil berseru dengan muka merah karena merasa malu kepada tuan rumah. Akan tetapi Sin-siauw Sengjin menggerakkan tangan dan berkata halus.
"Cu-wi telah datang, boleh saja menyaksikan pertandingan." Kemudian kakek ini memandang ke kanan kiri dan berkata lagi, suaranya halus namun menembus sampai jauh seperti hembusan angin, "Cu-wi sekalian yang masih bersembunyi, silakan keluar saja!"
Kini bermunculanlah dua puluh lebih orang yang tidak dikenal oleh Siluman Kecli. Pendekar ini merasa heran dan kagum bahwa Kakek Suling Sakti ini ternyata telah mengetahui akan semua orang yang bersembunyi itu. Dan lebih-lebih heran hatinya ketika mendengar kakek itu berkata sambil memandang kepada dua orang kakek yang berdiri dengan penuh wibawa, "Hemmm, kiranya saudara-saudara ketua yang terhormat dari Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai juga hadir!"
Semua orang menjadi terkejut, termasuk Hwee Li dan juga murid-murid kakek itu sendiri ketika mendengar si Suling Sakti menyebut dua nama perkumpulan yang besar dan amat terkenal itu. Juga Siluman Kecil cepat memandang kepada dua orang tua itu, diam-diam merasa heran juga mengapa ketua-ketua perkumpulan silat yang besar itu datang pula di tempat itu.
Ketua Bu-tong-pai dan ketua Kunlun-pai menjura ke arah Sin-siauw Sengjin, kemudian ketua Kun-lun-pai mengelus jenggotnya dan berkata, "Harap Seng-jin maafkan atas kehadiran kami tanpa diundang. Sesungguhnya, tadinya kami hanya ingin menyaksikan ilmu aseli dari Pendekar Suling Emas yang terkenal di seluruh kolong langit ratusan tahun yang lalu, yang menjadi dongeng di dunia persilatan. Akan tetapi Seng-jin telah melihat kehadiran kami, harap maafkan kelancangan kami."
Mendengar ucapan ini, kakek pemegang tongkat yang menjadi murid pertama dari Sin-siauw Seng-jin, memandang kepada gurunya dan dari pandang mata gurunya dia mendapat perkenan, maka majulah dia dan dengan suara halus namun bernada menantang dia berkata, "Apakah Cu-wi sekalian ingin menguji ilmu-ilmu itu? Kalau benar demikian, silakan maju, tidak perlu Suhu yang turun tangan, cukup dengan saya yang akan memperlihatkan kepada Cu-wi."
Dua orang ketua itu adalah orang-orang besar yang memimpin partai persilatan besar, tentu saja mereka memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Mereka tentu tidak sudi mencuri lihat ilmu orang lain, hanya karena mendengar bahwa Sin-siauw Seng-jin sebagai pewaris ilmu-ilmu Suling Emas hendak bertanding, mereka tidak dapat menahan keinginan tahu mereka untuk menonton, biar dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi, kini setelah menerima tantangan, berarti mereka memperoleh kesempatan untuk melihat dan sekaligus menguji sendiri ilmu-ilmu itu, tentu saja mereka menyambut dengan gembira. Ketua Butong-pai memberi isyarat kepada sutenya, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bermuka kuning. Tosu ini adalah orang ke dua dari Bu-tong-pai, tokoh ke dua setelah sang ketua sendiri. Namanya Kim Thian Cu dan sebagai tokoh ke dua, tentu saja dia memiliki kepandaian yang tinggi.
Dengan langkah tenang, Kim Thian Cu menggerakkan kedua lengan jubah pendetanya yang lebar dan tersenyum menghadapi kakek pemegang tongkat itu, lalu menjura. "Silakan!"
Kakek itu juga memandang dengan sinar mata penuh selidik, sikapnya tenang halus seperti gurunya dan dia bertanya, "Kalau boleh saya bertanya, siapakah julukan Totiang?"
"Pinto Kim Thian Cu, tosu yang bodoh dari Bu-tong-pai," kata tosu itu sambil menjura.
Kakek itu lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian melangkah maju pula dan menjura. "Kim Thian Cu totiang, sebagai fihak tuan rumah, saya hanya melayani. Silakan Totiang mulai dan sebelumnya ketahuilah bahwa saya yang rendah pengetahuan akan mempergunakan ilmu tangan kosong dari Suhu."
Kim Thian Cu sebagai seorang tokoh Bu-tong-pai, tentu saja sudah mempunyai pengalaman mendalam dan sekali pandang saja dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka dia tidak bersikap sungkan lagi. "Pinto mulai, sambutlah!" Dan begitu dia bergerak, Kim Thian Cu telah mengeluarkan ilmu silat simpanan dari Bu-tong-pai yang hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan yang amat tangguh saja. Kedua tangannya membentuk cakar garuda dan ketika digerakkan, terdengarlah angin bersiutan dan sepuluh jari tangannya itu berubah menjadi keras seperti baja! Itulah ilmu Kiauw-ta Sin-na yang amat lihai dari Butong-pai, yang kesemuanya ada seratus dua puluh jurus. Biarpun dia sendiri sudah menduduki jabatan wakil ketua atau tokoh ke dua, Kim Thian Cu sendiri hanya mengenal delapan puluh jurus saja dari ilmu kuno ini! Dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan jurus yang paling ampuh, dengan tangan kiri mencengkeram ke ubun-ubun kepala sedangkan tangan kanan yang tadinya seperti cakar, ketika ditusukkan ke arah pusar lawan berubah menjadi lurus seperti pedang! Serangan ini hebatnya bukan kepalang, yang mencengkeram ubun-ubun seperti badai dahsyatnya, yang menusuk pusar seperti kilat menyambar.
"Bagus....!" Kakek yang tinggi kurus itu berseru dan cepat tubuhnya yang bergerak, kedua tangannya menangkis dua serangan itu.
"Dukkk!.... Dukkkkk!" Dua pasang lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi kalau murid Sin-siauw Seng-jin itu hanya terhuyung dua langkah, Kim Thian Cu terhuyung sampai lima langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa tenaga wakil ketua Bu-tong-pai itu kalah kuat.
Kim Thian Cu menjadi penasaran. Dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat, maka dia mengandalkan ginkangnya dan ilmu Silat Kiauw-ta Sin-na dan mulailah dia menerjang dengan cepat dan kuatnya. Kakek tinggi kurus itu lalu mengeluarkan seruan keras, menyambut serangan wakil ketua Bu-tong-pai dengan ilmu silat tangan yang gerakannya aneh sekali namun dahsyat seperti badai laut mengamuk! Tubuh kakek tinggi kurus itu berputaran dan kedua lengannya seperti berubah menjadi belasan buah sehingga hujan serangan dari Kim Thian Cu dapat ditangkisnya semua, bahkan dia membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya!
Giok Thian Cu mengerutkan alisnya, maklum bahwa sutenya tidak akan mampu menang. Sayang bahwa sutenya belum menguasai jurus-jurus yang paling rumit dari Kiauw-ta Sin-na sehingga untuk menghadapi lawan yang demikian tangguh amat sukar mendesaknya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mencampuri dan hanya memandang dengan penuh perhatian untuk mempelajari gerakan lawan yang menggunakan semacam ilmu silat tangan kosong yang aneh. Gerakan tangan kakek tinggi kurus itu kadang-kadang seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan tangan yang lebar itu dikebut-kebutkan sedemikian cepatnya sehingga memang menyerupai kipas saja! Akan tetapi, setiap gerakan tangan itu selain mendatangkan angin seperti kipas, juga mengandung
tenaga yang amat kuat menyambar lawan!
Tepat seperti dugaan ketua Bu-tong-pai ini, belum sampai tiga puluh jurus, Kim Thian Cu terhuyung ke belakang dan kedua lengannya tergantung seperti lumpuh. Ternyata kedua pundaknya telah kena totokan kakek itu. Ketua Bu-tong-pai cepat meloncat ke depan dan sekali menekan kedua pundak sutenya, Kim Thian Cu pulih kembali kedua lengannya dan dia lalu menjura ke arah kakek tadi sambil berkata, "Pinto mengaku kalah."
"Hebat.... hebat....!" Giok Thian Cu ketua Bu-tong-pai menjura ke arah kakek itu sambil tersenyum. "Sungguh hebat dan bukan hanya dongeng kosong belaka ilmu keturunan dari Pendekar Suling Emas. Kalau boleh pinto mengetahui nama Sicu dan nama ilmu pukulan luar biasa tadi...."
Kakek itu tersenyum dan balas menjura. "Saya berjuluk Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak) dan menjadi murid pertama dari Suhu. Adapun tentang ilmu-ilmu yang saya mainkan, saya tidak berhak menyebutkannya kepada siapa juga, yang berhak adalah Suhu."
Giok Thian Cu mengangguk-angguk. "Bagus, memang ilmu sehebat itu tidak boleh sembarangan diketahui orang. Pinto kagum sekali. Nama Pendekar Suling Emas yang sudah ratusan tahun merupakan dongeng dan terpendam itu, hari ini muncul sebagai kenyataan yang mengagumkan dan tentu akan menggegerkan dunia persilatan. Sute Kim Thian Cu telah mengaku kalah, dan kalau boleh pinto sendiri akan menguji kehebatan ilmu-ilmu peninggalan Pendengar Suling Emas. Tidak tahu apakah Sin-siauw Sengjin sendiri yang berkenan maju ataukah mewakilkan kepada muridnya?" Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sebatang pedang dari dalam jubahnya dan kini berdiri tegak dan memegang pedang di depan dada dengan kedua tangan dirangkap tanda penghormatan.
Gin-siauw Lo-jin membalas penghormatan itu dengan mencabut sebatang suling perak dari dalam jubahnya. "Maaf, Totiang. Biarlah saya mencoba-coba mewakili Suhu menyambut penghormatan Totiang."
Giok Thian Cu sekali lagi menghormat, kemudian berseru halus, "Lihat pedang!" dan nampak sinar hijau berkelebat menyambar ke arah lawan.
"Bagus!" Sekali lagi kakek itu berseru memuji dan nampak sinar terang putih berkilauan menyambar ke depan, menyambut sinar hijau itu.
"Tranggg....!" Kedua fihak merasakan lengan kanan mereka tergetar hebat dan tahulah mereka bahwa tenaga sinkang mereka berimbang. Maklum akan kelihaian lawan, Giok Thian Cu juga tidak bersikap sungkan lagi, terus saja dia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang paling lihai, yaitu ilmu Pedang Sin-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong Sakti) sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar hijau yang indah sekali.
Tiba-tiba Gin-siauw Lo-jin yang terkesiap dan terdesak oleh gulungan sinar hijau itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan sulingnya juga lenyap, berubah gulungan sinar perak yang amat luas dan aneh sekali gerakannya. Bukan hanya bergulung-gulung menjadi sinar perak, juga dari suling perak itu terdengar suara mengaung yang aneh dan menyakitkan telinga lawan! Gulungan sinar perak itu kini membuat gerakan coret-moret seperti membentuk huruf-huruf di udara dan setiap coretan mengandung tenaga dahsyat yang menyerang lawan.
"Hebat....! Liang Sim Tosu, ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu menggeleng-geleng kepala saking kagumnya. "Mungkin inilah Ilmu Hong-in Bun-hoat yang disebut dalam dongeng Suling Emas...."
Memang hebat sekali gerakan Gin-siauw Lo-jin. Dalam waktu, kurang dari tiga puluh jurus, sinar perak itu telah menggulung dan menekan sinar hijau sehingga sinar hijau dari pedang di tangan ketua Bu-tong-pai itu menjadi makin sempit. Akhirnya terdengar seruan, "Siancai....!" dan kedua gulungan sinar itu berhenti. Ketua Bu-tong-pai telah menyimpan kembali pedangnya dan sambil tersenyum pahit dan dengan muka agak pucat dia memandang ke arah kedua lengan bajunya yang telah berlubang bekas tusukan suling perak! Tentu saja dalam pertandingan sungguh-sungguh, bukan di lengan baju jatuhnya serangan tusukan itu, melainkan di tempat yang berbahaya.
"Sungguh hebat, pinto mengaku kalah."
"Ahhh, Kim Thian Cu dan Giok Thian Cu toyu terlalu merendah, kepandaian mereka hebat sekali akan tetapi harus diakui bahwa ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas memang amat luar biasa. Pinto juga menjadi gatal tangan dan ingin sekali menguji, kalau boleh."
Liang Sim Tosu sudah melangkah maju dan mengeluarkan sepasang poan-koan-pit berwarna putih dan hitam yang dipegang oleh kedua tangan dan disilangkan di depan dada.
Gin-siauw Lo-jin masih memegang suling peraknya dan dia pun membalas dengan penghormatan dan menjawab, "Kalau Totiang masih penasaran dan hendak menguji, silakan maju."
Liang Sim Tosu cepat menggerakkan kedua poan-koan-pit hitam dan putih yang tadi disilangkan, yang kanan berwarna hitam menuding ke langit, yang kiri berwarna putih menuding ke bumi, kemudian dia berkata, "Gin-siauw Lojin, harap jaga seranganku!" Tiba-tiba nampak sinar hitam dan putih berkelebatan dan makin lama makin cepat sehingga kemudian nampak dua sinar hitam dan putih itu saling sambar dan saling belit, kemudian bersatu menjadi segulungan sinar yang berwarna abu-abu meluncur ke arah kakek yang memegang suling perak.
"Bukan main....!" Gin-siauw Lo-jin berseru kaget dan cepat dia menggerakkan suling peraknya sehingga nampak sinar berkilauan menangkis.
"Cring-tranggg....!
Kini Gin-siauw Lo-jin yang terhuyung dan ketua Kun-lun-pai itu sudah menerjang lagi, serangan halus namun luar biasa kuatnya dan sepasang poan-koan-pit itu memang amat lihaihya, kadang-kadang seperti dua sinar berlawanan saling menggunting, kadang-kadang ber satu menjadi sinar abu-abu yang amat kuat, yang hitam mengandung tenaga Im lemas dan yang putih mengandung tenaga Yang yang kuat dan panas. Kiranya dua buah poan-koan-pit itu mengandung tenaga Im dan Yang, dua unsur yang berlawanan akan tetapi kalau bersatu mempunyai daya yang luar biasa kuatnya. Juga kedua poan-koan-pit itu dapat melakukan totokan-totokan yang bertubi-tubi ke seluruh jalan darah terpenting di tubuh lawan.
Gin-siauw Lo-jin maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat lihai, maka dia cepat mainkan Hong-in Bun-hoat dengan suling peraknya. Ilmu ini memang mujijat, karena dahulu, Pendekar Suling Emas menerima ilmu ini langsung dari manusia dewa Bu Kek Siansu, dan biarpun ilmu ini dimainkan dengan menuliskan huruf-huruf di udara, namun setiap gerakan mengandung daya serang yang amat mujijat, di samping juga dapat menjadi daya tahan yang rapat seperti tembok yang kokoh kuat sehingga kini, gulungan sinar perak itu dapat membendung semua serangan poan-koan-pit yang luar biasa itu.
Pertandingan itu amat cepat dan seru, membuat mata Cui Lan menjadi kabur dan kepalanya pening sehingga dia mengalihkan pandang matanya ke arah Siluman Kecil yang berdiri dengan tegak, tenang dan penuh perhatian. Sebaliknya, Hwee Li menonton dengan wajah berseri. Girang sekali hati gadis ini dapat melihat pertandingan yang demikian hebatnya.
"Ahhhhh....!" Gin-siauw Lo-jin berseru dan terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Biarpun ilmu Hongin Bun-hoat yang dimainkannya dapat membendung serangan lawan, namun karena memang dia kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar dan terhuyung.
"Gin-siauw, mundurlah karena engkau sudah kalah." Tiba-tiba terdengar suara halus dan Gin-siauw Lo-jin cepat meloncat mundur, menyimpan suling peraknya dan menjura ke arah Liang Sim Tosu. Saya mengaku kalah."
Liang Sim Tosu tersenyum lebar. "Bukan main.... terus terang saja pinto hanya menang dalam hal tenaga, akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi ilmu tadi."
Kini Sin-siauw Seng-jin melangkah maju. "Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah. Ilmu Im-yang Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang hebat sekali, akan tetapi betapapun hebatnya, masih belum dapat menandingi Hong in Bun-hoat yang telah dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan mencoba suling kami!" Tampak sinar emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua renta ini telah memegang sebatang suling yang terbuat daripada emas. Semua mata memandang dan jantung mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali dalam dongeng dunia persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal itu!
"Wah-wah-wah.... kalau aku bisa mendapatkan suling itu...." terdengar Hwee Li berbisik.
"Hemmm, kau begitu murka menginginkan emas?" Cui Lan mencela.
"Aihhh, kau mana tahu...."
Mereka menghentikan bisik-bisik itu ketika kini ketua Kun-lun-pai itu telah mulai menyerang dengan poan-koan-pit ditangannya. Akan tetapi, kakek tua renta itu kelihatan tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berkelebat dan setiap kali sepasang poan-koan-pit itu kena ditangkisnya, kemanapun sepasang sinar hitam putih itu menyambar!
"Sekarang jagalah, Totiang!" Kakek tua renta itu berseru dan nampak kini sinar emas yang panjang dan luas sekali seperti seekor naga melayang ke atas, lalu menyambar turun dengan gerakan coret-coret seperti membentuk huruf. Terdengar suara trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Akan tetapi belum sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai mengeluh dan sepasang poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya!
Seorang murid Kun-lun-pai cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua Kun-lun-pai cepat menjura penuh hormat. "Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal dalam dongeng? Hebat bukan main dan pinto mengaku kalah."
Kakek itu tersenyum. "Pukulan tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah ilmu Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aselinya, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan oleh suling adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Hujan)."
Semua orang memandang kagum sekali. Kakek itu menjura ke empat penjuru dan berkata, "Biarpun kami mengakui bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari mendiang Pendekar Sakti Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa kami telah menguasai seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri karena kami merasa bahwa kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-ilmu itu." Semua orang makin kagum mendengar ini.
"Locianpwe, saya sudah menunggu!" Tiba-tiba terdengar suara bening melengking nyaring dan ternyata suara ini adalah suara Siluman Kecil yang telah berdiri di tengah halaman itu dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam.
Kakek tua renta itu menghela napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka saling pandang dan kakek itu berkata, "Aahhh, sudah setua ini baru sekarang kami bertemu dengan seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya. Sicu, sekarang kami melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan ternyata engkau seorang yang memenuhi janji. Lima tahun yang lalu engkau mengaku kalah dan dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah, kami telah slap, majulah!"
Pemuda berambut putih itu memungut sebatang ranting di atas tanah, lalu dia menggerakkan ranting itu di depan dadanya. Terdengar suara mencicit nyaring, lalu dia menghentikan gerakannya dan berkata, "Locianpwe, saya hanya menuntut yang benar. Kalau Locianpwe mengakui kesalahan dan mengembalikan pusaka kepada yang berhak, saya pun tidak akan mendesak."
"Hemmmm, orang muda. Puluhan tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja melepaskannya. Kami sudah siap, majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw yang menjadi saksi pertandingan antara Sin-siauw Seng-jin dan Siluman Kecil."
"Locianpwe mengerti bahwa saya hanya mempertahankan kebenaran!" kata Siluman Kecil sambil menggerakkan rantingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. "Nah, maafkan aku!" Tiba-tiba saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu berubah menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti gerakannya dengan pandang mata dan tahu-tahu kakek itu sudah menggerakkan suling emasnya menangkis.
"Tringgggg....!"
Kini semua orang melihat betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan, mencelat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala mereka yang memandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga suling itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar emas. Memang hebat sekali kakek itu. Gulungan sinar kuning emas itu melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa yang gelap, kadang-kadang mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan terdengar suara suling itu mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak kecil yang sedang belajar main suling. Sumbang dan tidak teratur. Padahal, menurut dongeng tentang Pendekar Suling Emas, kala pendekar itu mainkan suling emas sebagai senjata, maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang merdu! Hal ini saja membuktikan bahwa memang Sin-siauw Seng-jin belum menguasai ilmu itu secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi.
Pertandingan itu makin lama makin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apalagi gerakan Siluman Kecil yang luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini sehingga kakek itu harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya yang serba putih itu seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang menyerangnya dari empat penjuru!
Sudah hampir dua ratus jurus berlangsung dan belum juga ada yang roboh. Semua orang yang menonton pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, terpaksa memejamkan mata. Hanya orang-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai itu saja, termasuk Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus dengan mata tanpa berkedip saking tertariknya. Cui Lan sudah sejak tadi menunduk dan bibirnya berkemak-kemik karena gadis ini telah berdoa untuk kemenangan Siluman Kecil!
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu jatuh terjungkal dan pingsan. Untung Hwee Li sudah menempelkan telapak tangannya di tengkuk Cui Lan sehingga ketika suara itu membuat kepala Cui Lan pening, rasa hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li mencegah gadis itu roboh pingsan pula. Dan terjadi perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti oleh pandangan mata itu. Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Seng-jin berseru kaget dan akhirnya gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke belakang, mukanya pucat, dahinya berkeringat napasnya agak terengah ketika dia memandang kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa saja.
"Aku mengaku kalah.. .. sekali.... ini...."
"Kalau begitu Locianpwe harus mengembalikan...."
"Tidak! Menurut perjanjian, kalau kami kalah, kami semurid kami harus meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali, berarti masih sama. Tunggu setahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu kami kalah, kami akan mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan karena kami yang kalah sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu, Siluman Kecil. Nah, selamat tinggal!" Kakek tua renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan, dengan muka lesu, diiringkan oleh para muridnya dipimpin oleh Gin-siauw Lojin yang membawa tongkatnya dan membawa bungkusan besar. Tidak ada orang yang berani menahan mereka, juga Siluman Kecil diam saja hanya mengikuti mereka dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa kalau dia mengambil kekerasaan, dan dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Pula, memang kakek itu benar. Dia belum dapat dikatakan menang karena pernah kalah sekali dan menang sekali. Penentuannya adalah pertandingan ke tiga dan yang terakhir, pertandingan sampai mati!
"In-kong (Tuan Penolong)....!" Tiba -tiba terdengar teriakan nyaring dan seorang gadis cantik berlari-lari menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang saking girangnya melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pemenang dan selamat, telah lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri dengan kedua lengan di bentangkan seperti, orang hendak memeluk! Seorang gadis lain yang berpakaian serba hitam menyusul di belakangnya.
Siluman Kecil menoleh dan ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara mengandung teguran, "Ah, kau juga di sini, Nona?" Melihat sikap Siluman Kecil itu Seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya sendiri yang penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan merasa seolah-olah pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya sadar betapa dia telah memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil dan banyak orang.
Seketika mukanya menjadi merah sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia berbisik, "In-kong.... saya...."
Akan tetapi, dengan dahi berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak mempedulikannya, malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja ditinggalkan penghuninya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia meloncat ke arah pintu gedung itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti tali meluncur ke arah kakinya.
"Hemmm....!" Siluman Kecil mendengus marah, kakinya bergerak menendang ke arah benda hitam itu. Akan tetapi benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke arah pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak jadi memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tak disangkanya ujung benda yang lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat.
"Ahhhhh....!" Siluman Kecil menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika lengannya lewat, ujung benda itu mematuk kembali.
"Brettt....!"
Siluman Kecil melangkah ke belakang dan memandang dengan muka memperlihatkan kekagetan karena ujung lengan bajunya telah berlubang! Kagetlah dia, karena tak disangkanya bahwa benda panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang itu demikian gesit dan lihainya, maka dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian hitam yang memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah melingkar kembali ke lengannya.
"Laki-laki tak berperasaan!" Hwee Li memaki marah sambil memandang kepada Siluman Kecil dengan sepasang mata berkilat.
Siluman Kecil menjadi bimbang. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia menoleh lagi ke arah pintu gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun menarik perhatiannya pula, maka berkatalah dia kepada nikouw tua yang sejak tadi hanya menonton saja dengan sikap tenahg, "Ibu, tolong Ibu lihat apa yang berada di dalam rumah itu, aku melihat ada orang di dalamnya."
Nikouw tua itu mengangguk, lalu melangkah memasuki pintu gedung yang dapat, didorongnya terbuka dengan mudah.
Sementara itu, Siluman Kecil kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian akan tetapi karena ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ pun tidak berapa terang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas. "Nona, aku seperti pernah melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau?"
Hwee Li mencibirkan bibirnya. "Laki-laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kaukenal baik adalah Cui Lan, akan tetapi kenapa matamu memandang orang lain?"
"Eh, bocah sombong! Engkau sungguh kurang ajar sekali!" teriak Sim Kun, orang termuda dari tiga orang pemburu keluarga Sim itu. Melihat pendekar pujaannya dimaki dan dimarahi oleh gadis ini, tentu saja hatinya, menjadi panas, apalagi ketika nama Cui Lan dibawa-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnye dengan golok yang telah dicabutnya.
"Huh, orang kasar!" Hwee Li mendengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim Tek juga sudah turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang Saudara Sim itu.
Selagi Siluman Kecil hendak melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam itu, terdengar suara teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara nikouw tua, maka tanpa mempedulikan lagi gadis pakaian hitam yang sedang bertempur melawan tiga orang Saudara Sim, dia bergegas masuk, diikuti pula oleh ketua kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi di dalam gedung itu.
Ternyata kamar belakang gedung itu telah porak poranda, meja kursi berserakan dan semua isi lemari awut-awutan. Nikouw tua itu telah tertawan oleh seorang gadis cantik berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu mencengkeram punggung baju nenek itu sedangkan tangan kanan memegang pedang yang ditempelkan di lehernya.
"Berhenti semua! Jangan mendekat atau.... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras habis.... hi-hi, kau datang terlambat, Siluman Kecil!" Gadis cantik itu memandang kepada Siluman Kecil dan dua orang kakek dengan mata bersinar-sinar, sikapnya penuh keberanian dan pedang berkilauan yang berada di tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun juga. Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia yang pernah menghadiri undangan Kuiliong-pang mewakili gurunya, yaitu Heksin Touw-ong si Raja Maling dari perbatasan!
"Siancai.... di tempat begini ada maling!" Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak menerjang, akan tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir akan keselamatan nikouw tua itu.
"Kau lepaskan dia....!" Siluman Kecil berkata halus kepada Ang-siocia.
Ang-siocia tersenyum, nampak deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing merah menyapu bibirnya dengan cepat "Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa kalau aku melepaskan nenek ini, kalian semua tidak akan menyerangku dan membiarkan aku pergi membawa kitab-kitab ini!" Dia menuding ke arah bungkusan kain kuning yang agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya.
"Maling hina yang curang!" Ketua Bu-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh Siluman Kecil, tentu dia sudah menerjang gadis itu.
"Totiang adalah ketua Bu-tong-pai, mengapa tidak bersikap tenang seperti seorang pendeta yang berkedudukan tinggi?" Nona berpakaian serba merah itu mengejek. "Siluman Kecil, bagaimana?"
"Baiklah, kau boleh pergi membawa barang-barang yang kaucuri itu. Akan tetapi aku pasti akan mencarimu!" ucapannya terdengar halus akan tetapi mengandung ancaman yang menyeramkan. "Hik-hik, tentu saja. Dan agar engkau tidak bingung-bingung mencari, aku akan menantimu di ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat tinggal!" Gadis cantik berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bungkusan dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia lalu meloncat keluar melalui jendela kamar belakang itu, lenyap ke dalam kegelapan malam.
"Aku akan segera ke sana!" Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan nampak benda kecil menyambar keluar jendela.
"Ihhhhh....!" Terdengar gadis itu menjerit di luar jendela, lalu terdengar suaranya agak gemetar karena benda itu adalah sebuah kancing baju putih yang tahu tahu telah menyusup ke dalam rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit saja tentu dia sudah menggeletak tanpa nyawa! "Siluman Kecil, aku dan Suhu menantimu di sana!"
Keadaan lalu sunyi kembali dan Siluman Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam gedung itu. Di luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa-tawa Hwee Li mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka dengan ekor dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan berseru, "Jangan bunuh orang.... jangan lukai orang....!"
Melihat ini, Siluman Kecil melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak bayangannya yang putih itu berkelebat.
"Aihhh....!" Hwee Li menahan jerltannya ketika melihat Siluman Kecil menerjangnya dengan kecepatan yang amat hebat. Tiap orang she Sim itu segera mengundurkan diri melihat Siluman Kecil kini sudah menghadapi gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan kini semua orang menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang. Gadis itu ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya untuk mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling terjang, kadang-kadang sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah menjadi satu.
Tiba-tiba terdengar Hwee Li Menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan lenyap di telan kegelapan malam. Siluman Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam. Kemudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan tanpa disengaja tepat sekali dia bertemu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil menundukkan mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw tua yang berdiri di situ, "Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku pergi!" Begitu dia berkata pergi,
tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan putih meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ.
Semua orang tertegun dan tanpa banyak cakap mereka pun bubar dan meninggalkan tempat yang baru saja terjadi hal-hal yang amat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa itu tidak akan dapat mereka lupakan sebagai pengalaman yang menegangkan dan akan menjadi buah bibir di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya.
Begitu melihat Siluman Kecil pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata kepadanya, bahkan seperti tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk, air matanya meleleh tanpa dapat ditahannya pula. Kini jelaslah baginya bahwa pendekar yang dipuja-pujanya itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan dia. Barulah dia sadar bahwa sesungguhnya tidak mungkin dia mengharapkan yang bukan-bukan. Siluman Kecil adalah seorang pendekar besar yang dipuja banyak orang, apalagi setelah dapat memenangkan kakek tadi, sampai-sampai ketua partai-partai besar menghormatinya. Sedangkan dia? Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas pelayan! Seperti kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang gubernur,
akan tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah kepada ayah angkatnya ltu, telah pergi tanpa perkenan. Ayah bundanya mudah tiada, tidak ada sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia pandang dan harapkan, kiranya sama sekali tidak mempedulikannya, apalagi mencintanya. Air matanya makin deras mengucur sampai dia tidak tahu bahwa tempat itu telah sunyi, semua orang telah pergi kecuali dia sendiri dan nikouw tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh rasa iba dan terharu.
Nenek ini saking terharunya mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia tahu benar apa yang terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara ini jatuh cinta kepada Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak membalas cintanya. Dia lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu. Cui Lan menoleh dan barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan bahwa nenek yang tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya.
"Anak yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan antara kita karena kulihat bahwa pengalamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di waktu aku muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu."
Ucapan ini seperti membuka bendungan di hati Cui Lan dan tangisnya makin mengguguk ketika dia membiarkan dirinya digandeng dan dibawa pergi perlahan-lahan meninggalkan puncak itu.
Para pembaca yang pernah mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas, Pendekar Super Sakti, Sepasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal siapa adanya Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan pusaka-pusaka peninggalannya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah diceritakan bahwa senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling Emas itu yang terakhir berada di tangan Puteri Nirahai, dipergunakan oleh Puteri Nirahai untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang akhirnya menjadi suaminya. Adapun mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas yang berisikan pelajaran ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dan mujijat seperti Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat dan kipas pada saat terakhir telah terjatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke Pulau Neraka di mana dia akhirnya menjadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga menjadi isteri Suma Han si Pendekar Super Sakti. Jadi, baik suling emas yang terjatuh ke tangan Puteri Nirahai maupun kipas dan kitab-kitab yang terjatuh ke tangan Lulu, semua telah menjadi milik keluarga Pulau Es, yaitu Suma Han si Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw Sengjin itu?
Hal ini, akan diceritakan kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita karena di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat dibuka atau diceritakan.
Bayangan putih yang seperti terbang melayang dengan kecepatan luar biasa lari dengan ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) itu akhirnya berhenti di sebuah lapangan terbuka yang penuh rumput hijau di bawah bukit. Bulan masih bersinar terang setelah awan-awan yang menutupnya tadi lewat. Lapangan rumput itu seperti laut kehijauan indah bukan main dan Siluman Kecil berdiri di tepi lapangan rumput, menunduk dan melamun. Pikirannya agak kacau karena pertemuannya dengan Cui Lan tadi. Dia tadi sengaja tidak mau memperhatikan dan bersikap acuh tak acuh terhadap dara itu, disengajanya agar dara itu dapat terbuka matanya bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih dara itu. Tentu saja dia tahu bahwa sejak dahulu ketika dia menolong dara itu, Cui Lan telah jatuh cinta kepadanya dan selalu memujanya dan merindukannya. Dia merasa suka dan kasihan sekali kepada Cui Lan, akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak dapat mencinta dara itu. Dia tidak dapat mencinta siapa-siapa lagi di dunia ini! Dia mengerti betapa duka dan merananya orang yang tidak dibalas cintanya, dia terlalu mengerti akan kedukaan ini karena dia sendiri telah mengalaminya! Dia pun pernah mengalami seperti Cui Lan, mencinta seseorang mati-matian, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk dan mesra-mesra, akan tetapi kenyataan amat pahit menghantam hatinya, bahwa orang yang dicintanya itu tidak membalas perasaan hatinya. Beberapa tahun yang lalu dia hidup merana, bahkan bosan hidup, tidak ingin hidup lagi sampai dia tiba di puncak bukit itu, bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin, dan terluka hampir mati. Akan tetapi dia tidak mati, agaknya dia masih diharuskan hidup lebih lama untuk memperpanjang hukumannya, yaitu penderitaan batin karena dia tidak dapat melupakan kedukaan hatinya.
"Ihhhh....! Kau lagi....?"
Bentakan marah ini mengejutkan dan membuyarkan semua lamunannya. Di depannya telah berdiri gadis berpakaian serba hitam tadi, gadis yang membawa ular yang tadinya menyerangnya!
"Hemmm...." Dia hanya menggumam.
"Hemmm apa? Kau laki-laki tak berperasaan, kau laki-laki kejam yang suka menghancurkan hati wanita! Kau tidak mempedulikan orang yang mencintamu malah mengejar wanita lain!" Dara sudah mencak-mencak marah dan menudingkan telunjuk yang berkuku runcing terpelihara ke arah hidung Siluman Kecil.
Siluman Kecil mengerutkan dahinya dan memandang tajam. "Bocah lancang mulut, apa yang kaumaksudkan itu?"
"Huh, mentang-mentang rambutmu sudah putih semua kau lantas boleh menyebut aku bocah, ya? Kaukira aku tidak tahu bahwa sebetulnya kau masih muda, tidak berbeda banyak dengan aku?"
Siluman Kecil merasa kewalahan juga menghadapi dara yang begini galak. Dia menarik napas panjang. "Yaaah, terserah. Sekarang katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu itu tadi?"
"Maksudnya? Maksudnya sudah jelas masih pakai tanya-tanya segala! Engkau kejam terhadap Cui Lan kautinggalkan begitu saja, tidak tahu bahwa hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Engkau, setelah kaujatuhkan hatinya dengan pertolonganmu, dengan kegagahanmu, dengan ketampananmu, lalu kausia-siakan begitu saja. Lebih celaka lagi, kau malah meninggalkan dia dan mengejar aku! Mau apa kau mengejarku? Mau pamerkan kepandaianmu? Mau membunuh aku?"
Siluman Kecil beberapa kali membuka mulut akan tetapi terpaksa menutupkannya kembali karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Kata-kata yang keluar dari mulut yang manis itu seperti memberobotnya anak panah yang dilepas dari busur sakti! Dia kini menghela napas lega setelah dara itu menghentikan serangan-serangannya dan dia mengangkat muka memandang gadis itu bertolak pinggang, sikapnya sama sekali tidak takut bahkan menantang, padahal sudah jelas bahwa gadis itu telah dikalahkannya, sungguhpun harus dia akui bahwa tidak mudah mengalahkan dara yang ternyata memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan aneh itu. Baru sekarang Siluman Kecil merasa serba salah dan canggung.
"Aku tidak mengejarmu, Nona." Akhirnya dia berkata singkat.
"Dusta kau!" Dan tiba-tiba gadis berpakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut. Siluman Kecil cepat mengelak ke sana kemari sambil berkata, "Aku tidak ingin berkelahi!" Akan tetapi Hwee Li tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar itu.
"Lari kemana kau?" Hwee Li membentak dan mengejar. Akan tetapi pada saat itu muncul bayangan orang di balik pohon dan terdengar bentakan halus menegur dara berpakaian hitam itu.
"Hwee Li, jangan kurang ajar. Kembalilah!"
"Eh, Subo....!" Gadis berpakaian hitam itu berseru kaget dan girang.
Siluman Kecil cepat lari akan tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang disebut subo oleh gadis itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia seperti pernah melihat wajah itu.
Akan tetapi dia tidak ingin bentrok dengan wanita cantik itu yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat lagi daripada si dara galak, apalagi karena memang tidak ada permusuhan apa-apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu mempercepat gerakannya dan tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu kelihatan melayang cepat sekali di atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang mata dua orang wanita guru dan murid itu penuh kekaguman.
Fajar telah menyingsing ketika Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat tapal batas Propinsi Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara. Di depan pintu gerbang telah menanti banyak orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota An-yang yang hendak memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang oleh para penjaga. Munculnya Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka, karena keadaan pendekar ini memang aneh. Pakaiannya putih dan rambutnya juga terurai putih, sebagian menutupi mukanya sehingga menyembunyikan sebagian besar wajah yang tampan. Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita muda yang selalu memandangnya, dengan alis berkerut dan sinar mata tajam penuh selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigainya dan memperhatikan semua gerak-geriknya. Siluman Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak, akan tetapi dia diam saja dan berdiri di sudut yang agak gelap. Wanita itu berpakaian serba hijau, menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan wanita itu sendiri berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup cantik dan membayangkan kegagahan.
Ketika pintu gerbang dibuka tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyelinap masuk dan mencari sebuah warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari yang cukup dingin itu. Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum ada tamunya seorang pun, maka dia cepat memasuki warung ini dan memesan masakan bubur ayam dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan pesanannya, masuklah tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu bercakap-cakap dengan suara lantang.
"Lo-ciang, kenapa engkau tidak ikut memasuki pemilihan jago itu? Siapa tahu, engkau akan terpilih dan kelak menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga aku yang menjadi sahabatmu tentu takkan kaulupakan, ha-ha!"
"Enak saja kau bicara, A-seng! Yang dipilih adalah orang-orang yang berilmu tinggi untuk menjadi pengawal gubernur sendiri, dan yang terpandai akan memperoleh kedudukan istimewa. Maka tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini apa? Hanya bisa sekedar menggerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja aku mempunyai kepandaian seperti pendekar Siluman Kecil yang disohorkan orang itu, nah....!"
Siluman Kecil memutar duduknya membelakangi mereka, dan ketika pelayan datang mengantarkan bubur dan air teh yang dipesannya, dia mulai makan bubur yang masih mengebul panas itu. Tiga orang laki-laki itu masih bercakap-cakap ramai akan tetapi tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika ada rombongan orang memasuki warung itu. Siluman Kecil melirik dan melihat bahwa wanita muda berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di pintu gerbang menuntun seorang anak kecil, akan tetapi kini tidak lagi menuntun anak itu, memasuki warung diiringkan oleh lima orang laki-laki yang bersikap hormat seolah-olah mereka adalah pengawal-pengawal wanita itu.
Begitu mengambil tempat duduk, tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara lantang wanita itu memanggil pelayan, kemudian berkata setelah melirik ke arah tiga orang laki-laki muda dan Siluman Kecil, "Pelayan, hidangkan masakan yang paling istimewa dari warungmu ini, dan arak yang hangat dan paling baik. Suguhkan kepada semua tamu atas namaku, aku yang akan membayar semua yang dimakan para tamu di pagi hari ini!"
Tiga orang laki-laki muda itu menoleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah wanita itu. Seorang di antara mereka berkata, "Kouwnio, banyak terima kasih atas kebaikanmu!" Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka sambil tersenyum dan tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap gembira.
Akan tetapi Siluman Kecil tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya, "Harap Twanio tidak perlu repot, saya hanya makan bubar dan air teh, dan akan saya bayar sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu."
"Ah, tidak mengapa, sobat. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan sudah biasa setiap ulang tahun, aku membayar makanan semua tamu di suatu warung seperti ini," kata wanita itu dengan sikap gembira dan melihat sikap dan mendengar kata-kata Siluman Kecil dapat menduga bahwa wanita ini sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung lagi berhadapan dengan orang, bahkan laki-laki asing. Dia tidak mau berbantah dan agar tidak menarik perhatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi memandangnya penuh kecurigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika hidangan disajikan oleh pelayan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan mukanya. Wanita itu sendiri pun tidak memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang laki-laki yang mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang merupakan rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang yang mau membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan minuman arak, agaknya ingin mabuk-mabukan di atas biaya orang lain!
Siluman Kecil cepat menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik sekali melihat pemuda ini yang berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda berbangsa asing atau sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak dilihatnya di kota-kota besar.
"Sumoi....!" Pemuda asing itu berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau tadi.
"Ah, Suheng, kau baru datang?" Wanita itu pun berseru ketika pemuda asing itu menghampiri mejanya.
Lima orang pengiring wanita itu kelihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan pemuda asing itu duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata-kata. Pemuda asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau, "Sumoi, dia kulihat di luar dusun.... sedang menuju ke sini.... sendirian."
Wanita muda itu kelihatan terkejut, akan tetapi lalu berkata, "Hemmm, tak kusangka begitu cepat dia datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya. Betapapun juga kita belum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini merayakan berhasilnya usahaku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada tamu-tamu kita yang kujamu untuk merayakan hari ulang tahunku." Dia bangkit berdiri dan menghadap ke arah meja tiga orang pemuda tadi.
"Cu-wi, ini Suheng saya, dan Cu-wi bertiga adalah...." Wanita itu memperkenalkan.
"Saya Ma Kok Ciang!"
"Saya Kam Seng!"
"Saya Kam Tiong!"
Tiga orang pemuda itu memperkenalkan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura dengan hormat dan mengikuti sumoinya menghadap ke arah Siluman Kecil.
"Sobat, Suhengku ingin berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal namamu yang terhormat?" Wanita baju hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil.
Pendekar ini menundukkan muka, membiarkan rambutnya menutupi mukanya. Sebetulnya dia tidak ingin berkenalan dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan hidangan orang, maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik memperkenalkan diri dan cepat pergi dari situ, pikirnya.
"Namaku....? Hemmm, panggil saja aku Siluman Kecil," jawabnya pendek.
"Ughhh-ukkkhhhhh!" Seorang di antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya itu menyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak menoleh ke arah Siluman Kecil yang mereka hanya dapat lihat punggungnya. Sedangkan wanita baju hijau dan suhengnya itu pun memandang dengan mata terbelalak kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu masih ragu-ragu. Memang sejak berjumpa di pintu gerbang, wanita baju hijau itu sudah menaruh curiga kepada Siluman Kecil dan sudah menduganya bahwa pemuda yang berambut putih dan bersikap aneh itu tentu bukan orang sembarangan. Bahkan di dalam warung ini si wanita baju hijau sengaja mencari jalan untuk berkenalan dengan pemuda rambut putih itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa dia itu adalah Siluman Kecil, tentu saja dia meragu dan tidak mudah percaya begitu saja.
Siluman Kecil sendiri setelah memperkenalkan namanya sudah hendak bangkit dan pergi, akan tetapi pada saat itu terdengar suara gemuruh dan derap kaki kuda menuju ke depan warung. Seorang pelayan yang tadi berada di luar tergopoh-gopoh memasuki warung dan langsung menemui pemilik warung yang duduk di belakang meja. "Celaka, rombongan pembunuh dari perkampungan nelayan itu datang!"
Pemilik warung menjadi pucat mukanya dan semua pelayan juga lari bersembunyi. Melihat ini, Siluman Kecil tidak jadi pergi dan duduk kembali dengan tenangnya, menunduk dan mereguk arak di dalam cawan araknya. Wanita baju hijau itu, bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya, juga tiga orang laki-laki muda yang sudah agak mabuk, semua menengok ke arah pintu warung.
Dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk masuklah dua puluh orang lebih yang bersikap gagah dan kasar, dipimpin oleh seorang kakek yang pakaiannya gemerlapan mewah, pakaian seorang hartawan besar. Dengan matanya yang kelihatan makin sipit karena teraling sepasang pipi yang gemuk, kakek ini menyapu ruangan warung dengan pandang matanya, kemudian dengan gerakan kepala dia memberi perintah kepada tangan kanannya sebagai pemimpin rombongan, yaitu seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi. Laki-laki hitam ini dengan lantang lalu berkata kepada pemilik warung yang masih duduk di belakang meja dengan muka pucat dan agaknya dia telah lumpuh saking takutnya sehingga tidak sempat pula menyembunyikan dirinya seperti yang dilakukan oleh para pelayan.
"Haaai! Pemilik warung, sudah berbulan-bulan engkau tidak pernah menyerahkan hasil tangkapan ikan kepada kami, ya?" kata Si Muka Hitam dengan muka menyeringai dan nada suara menggertak.
Pemilik warung itu menelan ludah beberapa kali untuk mengusir rasa takut yang mencekik lehernya sebelum dapat menjawab, "Saya.... saya adalah pengusaha warung.... harap maafkan.... saya tidak lagi menangkap ikan...."
"Bohong!" Si Muka Hitam menghardik, suaranya keras sekali membuat si pemilik warung menjadi makin ketakutan.
"Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah bekas nelayan yang pandai? Engkau masih mempunyai lima buah perahu dan engkau menyuruh orang-orangmu mencari ikan-ikan tetapi hasil ikan-ikan yang baik dan besar kausuruh bawa ke sini, hanya yang kecil-kecil saja kausuruh menjual. kepada kami. Berani kau menyangkal?"
Gemetar seluruh tubuh pemilik Warung itu. Tak disangkanya bahwa Boan-wangwe, "raja" kaum nelayan itu demikian cerdiknya, dapat tahu setiap langkah perbuatannya. "Maaf.... ampunkan saya.... saya membutuhkan ikan-ikan baik untuk warung saya...."
"Ha-ha-ha!" Kini Boan-wangwe, hartawan itu, tertawa. "Sudahlah! Sekarang kaukeluarkan hidangan dari ikan-ikan yang terbaik, keluarkan semua persediaan masakan dan minuman untuk kami dan kami akan melupakan pelanggaran yang kau lakukan itu. Akan tetapi suruh pergi semua tamu dari sini, kami tidak ingin diganggu."
"Heiii, pelayan! Tambah araknya!" Tiba-tiba terdengar suara si pemuda asing, seolah-olah dia sama sekali tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di situ. Tukang warung itu tergopoh-gopoh mendatangi meja wanita baju hijau itu, membongkok-bongkok dan berkata gugup, "Harap Cu-wi sudi memaafkan saya.... harap sudi meninggalkan saja warung ini dan.... dan Cu-wi tidak usah membayar harga makanan dan minuman tadi...."
"Hemmm, apa artinya ini?" Pemuda asing itu membentak, sikapnya marah.
"Maaf, Siauw-ya.... warung ini.... harus melayani Boan-wangwe dan orang-orangnya, saya tidak bisa menerima tamu lain, semua telah diborong oleh Hartawan Boan...."
"Tidak peduli yang memborong itu hartawan atau jembel, raja atau petani, dewa atau setan yang bernama Boan atau anjing kera, kami sudah datang lebih dulu dan harus dilayani lebih dulu!" Pemuda asing itu membentak marah. "Hayo tambah lagi araknya!"
"Ba.... baik...." Pemilik warung itu menjadi makin ketakutan dan seperti seekor anjing dipukul dia mundur dan mengkeret, lalu berdiri di belakang mejanya dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu, Si Muka Hitam pimpinan rombongan pengikut Boan-wangwe itu, telah melangkah maju sambil memberi isyarat kepada orang-orangnya. Meja wanita baju hijau itu dikurung, akan tetapi wanita baju hijau itu bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya masih tetap duduk mengelilingi meja dengan sikap tenang.
Boan-wangwe sendiri, kakek berpakaian mewah itu, hanya tersenyum lalu dengan enaknya duduk di atas bangku di sudut sambil menonton, mengeluarkan huncwe (pipa tembakau) dan mengisinya dengan tembakau, lalu menyulutnya dengan api, semua ini dilakukan dengan tenang seenaknya seperti orang yang hendak menikmati tontonan yang menarik. Siapakah kakek ini? Di bagian depan telah kita ketahui bahwa kakek ini adalah seorang bekas bajak laut yang berkepandaian tinggi, dan yang sekarang telah menjadi seorang hartawan, seorang pedagang ikan yang melakukan pemerasan terhadap semua nelayan, melepas uang panas, dan memaksa semua orang nelayan untuk menjual hasil tangkapan mereka kepadanya, tentu saja dengan harga murah dan dia mempunyai banyak anak buah yang disebarnya di belasan buah dusun-dusun di sepanjang Sungai Huangho. Hartawan she Boan ini dikenal sebagai "raja" kaum nelayan, dan dia merupakan seorang tokoh kaum sesat yang tidak saja kaya raya dan berani mengeduk saku untuk membantu segolongannya, akan tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, di waktu ketua Huangho Kui-liong-pang mengundang kaum sesat untuk mengadakan pertemuan di lembah, Boan-wangwe juga tidak ketinggalan dan menjadi seorang di antara para tamu kehormatan.
"Orang bule! Agaknya engkau sudah bosan hidup! Hayo lekas engkau dan teman-temanmu merangkak keluar kalau tidak ingin kami seret keluar sebagai mayat!" bentak Si Muka Hitam.
Akan tetapi pemuda asing itu bersama sumoinya masih enak-enak menggunakan sumpit lengan tangan kanan untuk menyumpit daging ini atau sayur itu, membawa ke mulut dan memakannya dengan tenang. Mendengar bentakan itu, pemuda asing yang dimaki orang bule itu menoleh, lalu berkata acuh tak acuh, "Hendak kulihat siapa yang akan mampu menyeret aku keluar!"
"Keparat!" Si Muka Hitam membentak. Dia merupakan seorang di antara pembantu-pembantu Boan-wangwe dan dalam perjalanan ini dia bahkan memimpin rombongan itu, maka tentu saja dia marah bukan main mendengar tantangan si pemuda asing. Sambil memaki dia menghantam ke depan, tangan kanan mencengkeram pundak, tangan kiri menjotos ke arah tengkuk. Serangan maut ini kalau mengenal sasaran, tentu akan membuat yang diserang roboh dan tewas seketika dengan kepala remuk.
"Plak-plakkk.... aughhh...." Si Muka Hitam itu terlempar ke belakang dan roboh terbanting keras! Ternyata dengan tangan kanan masih memegang sumpit dan melanjutkan makannya, pemuda asing itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya, menangkis dua tangan lawan dan mendorong, membuat Si Muka Hitam terjengkang dan roboh!
Tentu saja hal ini membuat semua anak buah Boan-wangwe menjadi marah. Sambil berteriak-teriak mereka bergantian menerjang pemuda asing itu. Akan tetapi sungguh hebat sekali pemuda ini. Dia terus melanjutkan makan minum, ditemani sumoinya yang seolah-olah tidak mempedulikan suhengnya dikeroyok, dan lima orang pengiringnya pun hanya memandang saja dengan sikap siap siaga, akan tetapi sambil melanjutkan makan hidangan, di depannya dengan sumpit, pemuda asing itu menggunakan tangan kirinya, menangkis, menampar, menyodok, merampas senjata dan berturut-turut para pengeroyoknya itu ada yang terpelanting, ada yang terjengkang dan jatuh tumpang tindih!
Boan-wangwe yang melihat keadaan anak buahnya ini, mengerutkan alisnya dan dia menggigit ujung huncwenya, matanya memandang marah akan tetapi dia masih duduk karena melihat anak buahnya masih bangun lagi dan masih mengurung, kini semua mencabut senjata mereka. Lima orang pengiring wanita baju hijau kelihatan bangkit berdiri, meraba gagang pedang di pinggang, akan tetapi wanita baju hijau itu menggeleng kepala. Mereka memandang penasaran, akan tetapi ternyata mereka taat sekali karena mereka sudah duduk kembali sambil memandang pemuda asing yang menghabiskan hidangan di dalam mangkoknya. Setelah hidangannya habis, pemuda asing ini bangkit berdiri dengan muka kesal, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi para pengepungnya. "Kalian sungguh manusia-manusia yang menjemukan!" katanya perlahan dan pemuda ini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan itu diputar-putar di depan dada.
"Suheng, jangan....!" Wanita baju hijau berseru kaget.
Akan tetapi kedua tangan pemuda itu sudah terlanjur digerakkan, mendorong ke depan dan biarpun dia mendengar seruan mencegah dari sumoinya dan sudah mengurangi tenaganya, tetap saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan dari dua puluh orang lebih itu. Mereka tidak roboh, melainkan menggigil kedinginan, gigi mereka berkeretakan berbunyi saling beradu, mulut mereka mengeluarkan suara
"hu-hu-hu-huuu...." dan mereka berusaha mengusir rasa dingin dengan memeluk tubuh sendiri. Keadaan mereka sungguh lucu dan aneh sekali.
Siluman Kecil merasa terkejut bukan main. Dia melihat betapa keringat-keringat yang tadi membasahi tubuh dua puluh orang lebih itu, kini tampak membeku, berubah seperti tepung-tepung salju menempel di tubuh mereka. Bukan main, pikirnya. Seperti Swat-im Sin-ciang dari Pulau Es, akan tetapi bahkan lebih ganas! Juga Boan-wangwe terkejut dan kini dia bangkit berdiri.
"Huh!" Pemuda asing itu mendengus. "Kalau saja Sumoi tidak mengasihani kalian, tentu sekarang kalian telah menjadi patung-patung beku tak bernyawa lagi.
Boan-wangwe kini mengeluarkan semua abu dan tembakau dari huncwenya dan dengan perlahan dia mencabut ujung huncwe yang ternyata bersusun dan kini huncwe itu memanjang sampai selengan panjangnya. Kiranya huncwe itu selain dapat dipakai sebagai penghisap tembakau, juga merupakan senjata yapg aneh dan ampuh! Tangan kirinya merogoh saku dan keluar lagi menggenggam peluru-peluru kecil yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya! Kemudian, dengan mengeluarkan suara menggeram, Boan-wangwe menggerakkan kakinya dan tubuhnya yang agak gendut itu ternyata memiliki gerakan ringan dan cepat sekali, melayang melalui atas kepala orang-orangnya yang masih kedinginan, langsung menyerang pemuda asing itu dengan huncwenya yang panjang!
"Wuuuttttt.... singgggg....!" Sambaran huncwe itu mengejutkan si pemuda asing yang dari suaranya saja maklum bahwa dia menghadapi senjata ampuh yang digerakkan oleh tenaga sakti yang kuat. Maka dia cepat melompat ke samping sambil mengelak, sambil mencabut pedangnya, kemudian balas menusuk yang dapat ditangkis oleh Boan-wangwe.
"Tranggggg!.... Cringgggg....!" Dua kali pedang bertemu huncwe dan nampak api berhamburan, keduanya menarik senjata masing-masing untuk memeriksa. Lega hati mereka melihat betapa senjata mereka tidak rusak biarpun tadi mereka merasakan getaran hebat mengiris telapak tangan mereka.
Para anak buah Boan-wangwe kini mundur dan anehnya, mereka semua kini duduk di atas lantai di sudut ruangan itu, tidak ada seorang pun yang berdiri dan mereka menonton pertandingan hebat antara majikan mereka dan pemuda asing itu penuh perhatian.
Siluman Kecil juga menonton dengan hati tertarik. Kembali dia merasa kagum karena ternyata bahwa pemuda yang berkulit putih dan berambut coklat itu selain memiliki pukulan yang mirip Swat-im Sin-ciang, juga memiliki ilmu pedang yang amat lihai sehingga biarpun Boan-wangwe juga memiliki gerakan lihai sekali, cepat kuat dan aneh, namun kakek ini kelihatan terdesak oleh ilmu pedang si pemuda asing.
"Hyaaaaattttt....!" Tiba-tiba pedang itu meluncur dengan gerakan memutar seperti seekor naga bermain di angkasa, bergulung-gulung dengan cepat sekali. Boan-wangwe menggerakkan huncwenya menangkis dan memutar huncwe untuk mengimbangi kecepatan pedang, namun tetap saja dia masih kalah cepat.
"Brettttt....!" Untung dia masih sempat menarik lengannya sehingga yang terbabat putus hanya ujung lengan bajunya saja. Akan tetapi hal ini cukup membuat dia terkejut sampai mukanya berubah dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan menempelkan ujung huncwe ke mulutnya.
"Awas, Suheng....!" Wanita baju hijau itu berseru dan pemuda asing itu sudah waspada. Dari ujung huncwe itu menyambar sinar-sinar kehitaman yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Melihat benda-benda kecil menyambar ke arahnya, pemuda itu mengelak dan dengan pedangnya dia menangkis.
"Tringgg.... tarrrrr-tarrrrr!" Dua buah peluru kecil yang kena disampok pedang itu meledak dan pemuda asing itu berteriak kaget lalu roboh. Ternyata peluru itu mengandung jarum-jarum lembut sekali yang agaknya beracun, yang berhamburan keluar ketika peluru itu meledak dan ada yang mengenai pemuda bule itu.
"Suheng....!" Wanita baju hijau itu berteriak dan dengan marah dia meloncat ke arah Boan-wangwe, gerakannya ketika meloncat membuktikan bahwa dia memiliki ginkang yang amat hebat. Seperti seekor burung walet menyambar saja ketika dia meloncat.
Akan tetapi Boan-wangwe sudah cepat menggerakkan huncwenya menangkis ketika melihat sinar pedang meluncur cepat.
"Tranggggg....!" Kembali nampak bunga api berhamburan dan Boan-wangwe harus cepat memutar huncwenya karena wanita baju hijau itu ternyata memiliki ilmu pedang yang bahkan lebih hebat daripada suhengnya! Dan selain itu, lima orang pengiringnya kini sudah mencabut pedang semua dan mengeroyoknya!
Boan-wangwe maklum bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran dengan senjata, jangankan dikeroyok enam, melawan wanita baju hijau itu saja sudah kewalahan, maka dia kembali melompat ke belakang dan menggunakan huncwe dan peluru-peluru kecil untuk menyerang lawan. Huncwe yang sudah berubah menjadi senjata sumpitan itu menyemburkan banyak sekali peluru-peluru kecil. Wanita baju hijau terpaksa menangkis, demikian pula lima orang pengiringnya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil. Wanita itu menjerit dan bersama lima orang pengiringnya, juga tiga orang muda yang sudah mabuk dan yang tadi menonton sambil duduk di atas kursi mereka, roboh semua tak sadarkan diri. Mereka semua, sejumlah sembilan orang itu, roboh pingsan terkena serangan jarum-jarum halus yang tak tampak oleh mata, yang berhamburan keluar dari dalam peluru-peluru kecil yang pecah dan meledak.
"Ha-ha-ha, baru kalian tahu rasa!" Boan-wangwe tertawa bergelak. "Berani kalian menentang Huncwe Maut Boan Kwi, ha-ha!" Sekarang pergilah kalian ke neraka!" Dengan iringan suara ketawa anak buahnya yang baru sekarang berani berdiri dengan tubuh masih ada yang menggigil kedinginan, Boan-wangwe melangkah lebar sambil membawa huncwenya, hendak membunuh tujuh orang bekas lawannya itu. Kini baru Siluman Kecil mengerti mengapa anak buah Boan-wangwe tadi semua duduk di atas lantai. Kiranya mereka itu tahu bahwa majikan mereka akan menggunakan huncwe mautnya dan mereka sudah lebih dulu bersembunyi dari sambaran-sambaran peluru yang berisi jarum-jarum halus itu!
Ketika Boan-wangwe sudah mengangkat huncwe untuk memukul kepala si pemuda bule yang masih pingsan, tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Dia terkejut sekali, akan tetapi ketika dia menggerakkan huncwe ke kanan, pukulan itu lenyap dan kini hawa pukulan menyambar dari kiri! Boan-wangwe terkejut dan bingung, mengangkat tangan kirinya menangkis.
"Plakkk....! Nyesssss....!" Boan-wangwe tertegun dan matanya berkejap-kejap heran, menikmati rasa yang amat nyaman dan enak yang dirasainya ketika tangannya bertemu dengan tangan orang yang menghantamnya itu. Tadi dia masih tergetar oleh benturan-benturan tenaga dari si pemuda bule yang mendatangkan rasa dingin sekali, dan sekarang, benturan tenaga ini mendatangkan rasa hangat dan nyaman, nikmat, seolah-olah dia baru saja diserang hawa dingin lalu mendapatkan kehangatan dari perapian atau selimut hangat yang halus. Sukar dilukiskan rasanya, amat enak dan menyenangkan. Akan tetapi ketika dia memandang ke arah lengan kirinya yang tadi terbentur dengan lengan lawan dan yang mendatangkan rasa nyaman itu, dia terbelalak dan hampir saja menjerit. Ternyata lengan bajunya hancur lebur dan kulit tangannya rusak seperti habis disiram minyak mendidih.
"Celaka....!" serunya dan dia cepat menoleh ke kiri. Di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih dan berambut putih pula. Pemuda berambut putih! Muka Boan-wangwe berubah pucat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Apakah ini orangnya yang disebut-sebut di dalam pertemuan di lembah itu? Inikah dia si Siluman Kecil? Bulu tengkuknya meremang. Tak mungkin tokoh yang menggegerkan dunia kang-ouw itu masih begini muda!
Siapapun adanya orang ini, jelas orang ini memiliki ilmu pukulan yang seperti ilmu iblis! Mengerikan sekali! Maka Boan-wangwe tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Cepat dia meloncat ke belakang dan menggunakan huncwenya sebagai sumpitan. Siluman Kecil sudah siap was pada karena dia tadi telah menyaksikan sendiri betapa lihai dan berbahayanya senjata sumpitan itu. Dia harus mengelak kalau dia ingin selamat, sama sakali tidak boleh menangkis, karena justeru di situlah letak bahayanya peluru-peluru kecil itu. Sekali ditangkis, peluru akan meledak dan jarum-jarum halus yang agaknya beracun akan menyerangnya tanpa dapat dielakkannya lagi karena selain terlalu dekat juga terlalu halus tidak dapat dilihat nyata.
Maka begitu ada suara bersuitan dan ada sinar-sinar hitam menyambar, Siluman Kecil lalu menggerakkan tubuhnya dan dia pun sudah berloncatan ke sana-sini dengan kecepatan yang amat luar biasa. Seperti kilat menyambar-nyambar saja layaknya. Setiap kali berloncatan, dia hanya menggunakan satu kaki saja untuk mengenjot tubuhnya, seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki. Kaki yang sebuah lagi ditekuk ke belakang. Akan tetapi, loncatannya itu demikian tiba-tiba dan tubuhnya dapat melejit ke sana-sini, mencelat ke kanan kiri, depan belakang, atas bawah seperti sebuah bola saja melambung ke sana-sini. Cepatnya bukan main karena tubuhnya seolah-olah tidak lagi berloncatan, melainkan melenting ke sana-sini karena memantul kembali.
Pertunjukkan ginkang yang diperlihatkan oleh Siluman Kecil ini benar-benar amat luar biasa sekali. Tubuhnya seperti telah menjadi banyak loncat ke sana-sini, jungkir balik, melayang ke atas, menyentuh atap dan menukik turun seolah-olah kepalanya akan menyentuh lantai, lalu membuat salto sampai lima enam kali berturut-turut, berbalik kembali ke atas, selalu meluncur diantara hujan peluru kecil itu. Kakinya menotol ke sana-sini, menjejak dinding tembok, hinggap di atas meja, di atas bangku, melayang lagi ke atas kepala Boan-wangwe, bahkan pernah kaki itu menyentuh pundaknya dan menggunakan pundak lawan untuk mencelat ke lain bagian, terus mengelak.
Warung itu menjadi sasaran ledakan-ledakan peluru yang mengenai tembok, meja dan bangku sehingga kini semua pelayan termasuk pemilik warung yang bersembunyi, tidak urung terkena jarum halus dan semua roboh pingsan di atas lantai di mana mereka bersembunyi!
Pada saat itu muncul seorang laki-laki yang masih muda, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Dia tiba di ambang pintu dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak. "Hebat!" serunya ketika dia melihat tubuh Siluman Kecil yang melayang-layang. "Ah....!" Dia berteriak kaget ketika melihat peluru-peluru kecil yang meledak itu pecah dan menyebar jarum-jarum lembut yang beracun. Dia melihat banyak orang rebah di lantai akibat serangan jarum-jarum halus itu.
"Tahan....!" Laki-laki ini berseru, suara melengking nyaring dan tubuhnya mendoyong ke depan, hampir menelungkup, dan tiba-tiba badannya meluncur ke depan, cepat sekali, lengan bajunya yang kiri berkibar-kibar dan bergerak-gerak ke kanan kiri seperti seekor ular yang hidup. Dan semua peluru yang kesasar dan menyambar ke arahnya, semua lenyap seperti tertelan atau tergulung oleh lengan baju itu, kemudian dengan gerakan yang bukan main gesitnya, dia mendekati Boan-wangwe dan ujung lengan baju yang seperti ekor naga itu bergerak-gerak di depan sumpit dan menggulung semua peluru yang disemburkan keluar, sampai akhirnya habislah peluru yang berada di mulut Boan-wangwe.
Boan-wangwe terkejut bukan main. Pelurunya habis. Tidak ada lagi yang boleh diandalkannya untuk menghadapi lawan-lawan yang amat sakti ini. Baru menghadapi pemuda rambut putih yang disangkanya tentu Siluman Kecil itu saja, dia sudah kewalahan dan tak mungkin bisa menang, sekarang muncul lagi orang aneh ini yang dengan lengan baju yang kosong dapat membikin peluru-pelurunya yang ampuh dan berbahaya itu mati kutu sama sekali!
Laki-laki tampan dan gagah per kasa itu ternyata memang hanya berlengan satu. Lengan kirinya buntung, maka lengan baju kirinya itu kosong. Akan tetapi hebatnya, justeru lengan baju yang kosong inilah yang amat lihai, yang seolah-olah merupakan ekor naga yang hidup dan mampu menangkap peluru-peluru berbahaya itu. Dengan sikap tenang, orang itu menggunakan tangan kanannya mengambil peluru-peluru kecil yang tergantung oleh lengan baju kirinya, memberikannya kepada Boan-wangwe. sambil berkata dengan suara penuh teguran, "Terimalah kembali peluru-pelurumu! Akan tetapi jangan begltu kejam lagi untuk menghamburkan barang-barang beracun yang keji ini di tempat umum. Lihatlah orang-orang itu yang menjadi korban. Engkau harus mengobati mereka."
Boan-wangwe menerima peluru-pelurunya tanpa berkata-kata, masih terkejut sekali menyaksikan orang-orang yang begini sakti. Si lengan buntung itu melirik ke arah Siluman Kecil yang sedang berjongkok memeriksa wanita baju hijau dan suhengnya yang masih pingsan. Dia sudah memeriksa dan maklum bahwa mereka itu benar saja menjadi korban racun jarum-jarum halus, akan tetapi racunnya amat aneh dan dia tidak mampu mengobati mereka.
Melihat kekejaman orang yang menyebar jarum halus beracun yang amat keji itu, marahlah Siluman Kecil dan dia menoleh untuk memandang kepada Boan-wangwe dengan geram. Akan tetapi pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong seperti mata naga, yaitu mata laki-laki yang buntung lengan kirinya itu. Keduanya kelihatan terkejut sekali, karena si lengan satu itu pun melihat sinar mata yang amat tajam berkilat dari mata pemuda berambut putih itu. Dari pandang mata ini saja keduanya maklum bahwa masing-masing memiliki kesaktian yang hebat, karena hanya mata orang-orang yang telah memiliki tenaga sakti amat kuat sajalah yang mengeluarkan sinar seperti itu.
Laki-laki berlengan buntung itu bukan hanya terkejut melihat sinar mata berkilat dari Siluman Kecil, juga dia terkejut dan kagum sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa orang berambut putih yang memiliki kepandaian demikian dahsyatnya, yang memiliki gerakan yang demikian cepat dan mujijatnya, ternyata masih amat muda. Hal ini da pat dia lihat dari sebagian muka yang tidak tertutup oleh rambut putih riap-riapan itu. Tadinya melihat kelihaian orang itu dan melihat rambutnya yang putih, dia mengira bahwa tentu orang itu sudah tua dan merupakan seorang locianpwe yang sakti. Siapa mengira bahwa orang itu ternyata masih amat muda, hanya rambutnya yang sudah putih semua. Siluman Kecil sebaliknya terkejut dan kagum karena orang yang lengannya buntung sebelah itu memiliki sinar mata yang mencorong seperti mata harimau atau naga. Sejenak mereka beradu pandang, akhirnya keduanya mengangguk, terdorong oleh rasa kagum dan hormat.
"Sungguh hebat sekali ilmu kepandaian saudara, terutama ilmu ginkang tadi. Saya amat kagum melihatnya," kata laki-laki berlengan sebelah itu.
"Hemmm.... tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian saudara!" jawab Siluman Kecil sambil menggerakkan kepala sehingga makin banyak rambutnya yang menutupi muka, dan dia bangkit berdiri.
"Ah, saudara terlalu merendahkan diri," kata Si lengan satu.
"Tidak, saya berkata sungguh-sungguh. Caraku menghadapi peluru-peluru tadi hanya dengan mengelak terus sambil mencari kesempatan untuk membekuknya. Akan tetapi saudara telah langsung menghadapi peluru-peluru tadi dan merampas semua peluru sebelum meledak. Cara saya tadi menimbulkan korban kepada orang-orang lain ketika peluru meledak, tentu saja cara saudara lebih tepat dan lebih baik. Ilmu saudara tadi sungguh mengagumkan!" Kembali Siluman Kecil menjura dengan setulus hatinya karena harus dia akui bahwa selain Sin-siauw Seng-jin kakek yang mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, belum pernah dia bertemu orang yang kepandaiannya sehebat si lengan satu ini.
"Ah, saudara terlalu memuji dan terlalu merendahkan diri, sungguh makin mengagumkan hati saya!" kata Si lengan satu sambil memandang penuh selidik dan benar-benar merasa kagum sekali.
Siluman Kecil tidak mengacuhkannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri Boan-wangwe, berkata dengan nada mengancam, "Manusia kejam! Kalau engkau tidak lekas mengeluarkan obat penawar racunmu yang jahat, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan melumatkan kepalamu!"
"Dan aku pun tidak akan tinggal diam sebelum kau mengobati mereka sampai sembuh!" kata pula Si lengan satu sambil menghampir Boan-wangwe. Bekas bajak sungai yang lihai ini bukan orang bodoh untuk melawan dua orang sakti ini.
"Baiklah," katanya dengan suara berat. "Aku pun tidak bermaksud membunuh orang karena pertempuran ini hanya disebabkan oleh urusan kecil saja!" Dia lalu mengeluarkan sebuah guci arak dan setelah dia menggunakan saputangan yang dibasahi dengan obat dari dalam guci itu untuk menggosok-gosok bagian yang terkena jarum halus dan meneteskan sedikit obat di lubang hidung mereka yang menjadi korban, orang-orang yang tadinya pingsan itu berbangkis beberapa kali dan sadar kembali.
Melihat ini, Siluman Kecil yang tidak ingin dirinya menjadi pusat perhatian, menyelinap pergi dengan cepat. Pula, dia ingin cepat-cepat memenuhi tantangan Ang-siocia dan mencari pencuri pusaka yang agaknya ditinggal oleh Sin-siauw Seng-jin itu di pantai Po-hai. Dia mendengar suara orang berlengan sebelah memanggilnya, akan tetapi dia malah mempercepat larinya karena justeru dia tidak ingin dikenal oleh orang gagah itu.
Setelah semua korban disembuhkan, baru laki-laki berlengan buntung itu membiarkan Boan-wangwe bersama para anak buahnya pergi meninggalkan warung. Derap kaki kuda mereka terdengar berisik ketika mereka meninggalkan warung Diam-diam Boan-wangwe menyadari betapa pentingnya golongan mereka untuk bersatu, mengingat demikian banyaknya orang-orang sakti yang menentang mereka.
Sementara itu, suheng dan sumoi bersama lima orang pengiringnya itu segera menghaturkan terima kasih kepada si lengan satu, kemudian juga bergegas pergi meninggalkan warung setelah dengan royal mengganti semua harga makanan dan mengganti semua harga barang-barang yang rusak akibat pertempuran itu kepada si pemilik warung. Tentu saja pemilik warung menjadi girang sekali dan dalam kesempatan itu dia dapat menarik keuntungan yang tidak sedikit, karena tentu saja dia naikkan semua harga barang yang diganti oleh wanita baju hijau itu.
Kini warung itu menjadi sunyi kembali. Yang tinggal hanyalah laki-laki tampan berlengan sebelah tadi. Bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi hal-hal hebat di warung itu, laki-laki ini lalu memilih tempat duduk di sudut, di mana meja dan bangkunya masih utuh dan dia memanggil si pemilik warung. Orang ini bergegas menghampiri karena maklum bahwa pendekar berlengan satu ini merupakan seorang di antara golongannya, di samping Siluman Kecil yang telah pergi lebih dulu.
"Taihiap hendak memerintah apakah?" tanya si pemilik warung dengan sikap merendah.
"Lopek, harap buatkan masakan untukku. Masakan apa sajakah yang dapat kausediakan?"
"Wah, untuk Taihiap saya sanggup masak apa saja. Akan tetapi, warung kami ini teristimewa menyediakan hidangan-hidangan dari ikan sungai."
"Nah, kalau begitu buatkan goreng udang bumbu tomat lima porsi, ikan lele ditim lima porsi, panggang telur ikan dua porsi, masak kuah daging kepiting lima porsi, ang-sio-hi dua porsi besar, bakso daging ikan satu panci, masak sirip ikan campur sarang burung dan telur dua porsi. Jangan lupa bumbu dan acarnya! Dan bakmi telur lima porsi!"
"Baik.... baik....!" Pemilik warung mengangguk-angguk, sungguhpun di dalam hatinya merasa heran sekali mengapa ada satu orang memesan masakan demikian banyaknya! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. Bukankah pendekar ini telah mendatangkan keuntungan besar sekali baginya, di samping menyelamatkannya? Andaikata tidak dibayar semua masakan yang dipesan itu sekalipun, dia rela memberikanya sebagai tanda terima kasih! Bergegas dia lari ke dapur untuk memimpin sendiri masakan besar itu.
Karena di situ tidak ada tamu lain sedangkan semua tenaga dikerahkan untuk melayani laki-laki berlengan buntung itu, maka terdengarlah kesibukan di dalam dapur, suara golok mencacah daging beradu dengan kayu landasan, suara api bergemuruh, suara minyak mendidih dan alat masak beradu dengan wajan berkerontangan.
Sementara itu, laki-laki berlengan buntung itu duduk termenung. Siapakah laki-laki ini? Para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali tentu sudah dapat menduganya dengan tepat siapa adanya laki-laki tampan yang berlengan buntung sebelah ini. Dia adalah Kao Kok Cu, putera sulung Jenderal Kao Liang, murid Go-bi Bu Beng Lojin yang terkenal dengan sebutan Si Dewa Bongkok. Seperti telah diceritakan dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Kao Kok Cu berjodoh dengan Ceng Ceng atau nama lengkapnya Wan Ceng atau Lu Ceng, puteri dari mendiang Wan Keng In dan Lu Kim Bwee, adik angkat dari Puteri Syanti Dewi. Setelah bertemu dengan Ceng Ceng, mereka menikah dan Kao Kok Cu mengajak isterinya kembali ke Istana Gurun Pasir, istana tempat tinggal gurunya di gurun pasir Go-bi di mana mereka hidup rukun dan damai, penuh kasih sayang dan sudah menjauhkan diri dari urusan dunia ramai.
Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Kao Kok Cu ini sejak kecil hilang karena tersesat di gurun pasir dan ditolong kemudian dipelihara dan dididik oleh gurunya. Setelah dewasa, barulah dia kembali ke selatan mencari orang tuanya dan dalam perjalanan ini dia berjumpa dengan Ceng Ceng, jatuh cinta dan setelah mengalami banyak lika-liku dalam pengalaman hidup yang amat hebat, sehingga dia terpaksa menyembunyikan mukanya di balik topeng yang membuat dia dikenal sebagai Topeng Setan, dan dia kehilangan lengan kirinya ketika membantu Ceng Ceng mencari obat, yaitu anak ular naga, akhirnya dapat juga dia dan Ceng Ceng bersatu sebagai suami isteri yang saling mencinta.
Akan tetapi, memang segala sesuatu tidak ada yang kekal di dunia ini. Keadaan kehidupan setiap orang manusia selalu berubah. Yang berada di atas setiap waktu bisa saja tergelincir ke bawah, sebaliknya yang berada di bawah juga bisa saja sewaktu-waktu naik ke atas. Oleh karena itu, tentu saja keliru kalau orang menjadi besar kepala dan sombong selagi dia berada di atas, sama kelirunya dengan orang yang menjadi putus asa selagi dia berada di bawah. Hanya orang yang wajar dan tidak mengharapkan apa-apa saja yang akan selalu merasa gembira dan bahagia, kalau dia berada di atas, dia tidak khawatir akan tergelincir ke bawah dan kalau dia berada di bawah, dia pun tidak membabi buta mengejar-ngejar tempat yang lebih tinggi. Kalau dia berada di atas, dia tidak menginjak yang berada di bawah, dan kalau dia berada di bawah, dia tidak pula menjilat yang berada di atas!
Keadaan suami isteri Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, yang menjadi majikan dan keluarga Istana Gurun Pasir, yang hidup selama beberapa tahun dalam keadaan tenteram dan rukun, kemudian mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil, menjadi berubah sama sekali ketika putera mereka itu pada suatu hari lenyap tanpa meninggalkan jejak! Peristiwa ini seketika menghancurkan semua ketenangan hidup suami isteri itu, dan mau tidak mau terpaksa mereka harus meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi merantau dan mencari putera mereka dan lenyap! Itulah sebabnya mengapa pada hari itu majikan Istana Gurun Pasir, Kao Kok Cu yang dikenal sebagai Si Naga Sakti itu berada di kota An-yang, dan kebetulan sekali dia melihat pertempuran di dalam warung dan membantu Siluman Kecil menundukkan Boan-wangwe.
Untuk lebih teliti dan mencari jejak putera mereka yang hilang, kemarin dia berpisah dari isterinya, masing-masing mengambil jalan sendiri dan mereka berjanji akan bertemu hari ini di An-yang. Dia sendiri sejak kemarin telah menyelidik tanpa hasil dan kini semua peristiwa tadi telah dilupakannya karena pikirannya sudah penuh lagi dengan urusan lenyapnya puteranya yang membuat pendekar ini duduk termenung. Bahkan ketika semua hidangan yang dipesannya telah diatur di atas meja di depannya, pendekar ini masih saja duduk termenung, tidak mempedulikan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dengan baunya yang sedap menyergap hidung dan melayang-layang tercium oleh mereka yang berada di luar warung.
Melihat betapa pendekar itu mendiamkan saja masakan yang sudah dipersiapkan dengan susah payah itu, si pemilik warung yang seperti juga pemilik warung mana saja di dunia ini ingin sekali melihat tamunya menikmati hidangannya dan sejak tadi menanti dengan pandang mata berseri-seri penuh kebanggaan, menjadi tidak sabar dan dia menghampiri pendekar itu. "Taihiap, masakan sudah siap semua. Silakan Taihiap makan dan menikmatinya selagi masih panas, karena kalau keburu dingin tentu kurang sedap."
Akan tetapi, dengan sikap tak acuh dan kurang semangat, Kao Kok Cu menjawab, "Biarlah, aku memang sedang menanti isteriku. Sebentar lagi dia tentu akan datang. Tidak mengapalah kalau masakan-masakan itu menjadi sedikit dingin."
Dengan mengangkat pundak penuh rasa kecewa si pemilik warung terpaksa mundur dan duduk di belakang menjaga mejanya, akan tetapi kini berkurang keheranannya mengapa pendekar itu memesan masakan begitu banyak. Ternyata pendekar itu menanti kedatangan isterinya dan tentu juga keluarga lainnya.
Seorang pengemis kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun memasuki warung itu. Para pelayan dan pemilik warung itu sudah hampir mengusirnya ketika pendekar itu dengan ramah berkata, "Anak, kau mau apakah?"
Pengemis itu cengar-cengir, hidungnya kembang kempis karena bau masakan yang sedap itu sungguh seperti tangan-tangan jahil yang meremas-remas isi perutnya yang kosong. "Saya.... saya mohon dikasihani, minta sedikit uang pembeli nasi.... katanya.
Si Naga Sakti memandang bengong sejenak, kemudian dia menggeleng kepala. "Aku tidak pernah membawa uang, dan isteriku yang membawa uang belum datang. Apakah kau lapar?"
Jembel kecil itu mengangguk dan matanya memandang ke arah piring-piring berisi masakan yang masih mengepulkan uap dan yang berjajar menantang di atas meja itu. Kao Kok Cu lalu berkata sambil melihat kaleng yang dibawa oleh anak pengemis itu. "Kesinikan kalengmu itu."
Si pengemis dengan girang menyerahkan kalengnya dan Kao Kok Cu lalu mengisi kaleng itu penuh dengan beberapa macam masakan dan bakmi, lalu menyerahkannya kembali kepada anak itu.
"Terima kasih.... terima kasih...." Anak itu menyambut kaleng yang telah penuh makanan dan separuh berlari dia keluar dari warung itu dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Akan tetapi, tak Lama kemudian masuklah seorang anak pengemis lainnya sambil menodongkan kaleng kosongnya. Kao Kok Cu menerima kaleng kosong itu, meletakkannya di atas meja dan kembali mengisinya dengan masakan. Anak itu menghaturkan terima kasih, dan datang pula seorang anak lain. Kiranya peristiwa itu telah memancing datangnya hampir semua jembel kecil di kota An-yang itu yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang anak! Tentu saja, setelah semua orang pengemis kecil itu menerima bagiannya, semua masakan di atas meja telah habis sama sekali! Para pelayan memandang dengan mata terbelalak dan si pemilik warung membanting-banting kakinya, akan tetapi sama sekali dia tidak berani melarang atau mencegah karena melihat pendekar itu membagi-bagi makanan dengan wajah terharu, kemudian tersenyum ketika dia melihat anak-anak itu makan sambil tertawa-tawa di emper warung, dan kadang-kadang mereka menoleh ke dalam, memandangnya seperti mata anjing-anjing yang baru saja diberi makan dan dibelai oleh majikannya. Pandang mata yang jelas membayangkan rasa gembira dan terima kasih yang mendalam.
"Terima kasih, Siauw-ya! Terima kasih, Siauw-yang! Terima kasih, Siauwya!" Anak-anak itu bersorak-sorak dan berteriak-teriak dari luar warung, ada yang bertepuk tangan dan ucapan terima kasih itu mereka nyanyikan dalam paduan suara penuh kegembiraan. Akan tetapi, Kao Kok Cu hanya tersenyum dan memandang keluar karena dia melihat dua orang wanita berjalan menuju ke warung itu. Seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa, dan yang paling cantik di antara seluruh wanita di dunia ini bagi Kao Kok Cu yang mencintanya karena wanita itu adalah Wan Ceng atau Lu Ceng, atau lebih terkenal dengan sebutan Ceng Ceng, isterinya! Dan wanita ke dua adalah seorang dara remaja yang cantik jelita pula, berpakaian serba hitam sehingga menonjolkan kulitnya yang putih halus itu. Dara jelita itu adalah Kim Hwee Li, murid dari isterinya, atau puteri dari Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau Neraka!
Ketika Ceng Ceng yang wajahnya agak pucat dan muram karena selalu memikirkan nasib puteranya dengan hati gelisah itu melihat suaminya menjamu para jembel kecil demikian banyaknya sehingga semua masakan di atas meja telah ludes, dia menegur, "Hemmm, apa pula yang kaulakukan ini?"
"Wah, kedatanganmu terlambat, isteriku. Makanan yang kupesan telah dihabiskan oleh tamu-tamu kita itu. Engkau terlambat sekali sih!" Dia membalas teguran isterinya.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan gemas. Kelakuan suaminya memang aneh, akan tetapi kadang-kadang juga membikin hatinya mengkal, seperti sekarang ini. Dia berjanji akan bertemu dengan suaminya di kota An-yang ini, dan setelah bertemu dan perutnya lapar sekali, suaminya menyambutnya dengan piring-piring kosong karena semua masakan telah diberikan habis kepada pengemis-pengemis kecil itu! Hati siapa tidak akan mendongkol? Melihat gurunya yang cantik itu cemberut dan marah, Hwee Li tertawa dan menutupi mulutnya dengan tangan seperti menyaksikan hal yang lucu sekali.
"Wah, Suhu telah membikin pusing lagi kepada Subo! Hi-hik, Suhu harus didenda dengan minuman tiga cawan arak sebagai tambahan minta ampun kepada Subo! Kalau tidak, Subo akan marah terus!"
"Hwee Li, jangan main-main kau!" Ceng Ceng membentak muridnya yang menahan ketawa dan duduk di dekat meja.
Akan tetapi, Kao Kok Cu memandang keluar, kepada seorang pengemis muda yang duduk di emper rumah di seberang jalan. Dia ingat bahwa pengemis yang satu itu belum memperoleh bagian tadi, maka dia lalu menegur kepada pengemis-pengemis cilik yang berada di dekat pintu warung, "Heiii, kenapa temanmu yang di seberang jalan itu tidak kalian beri bagian makanan?"
"Ah, Siauw-ya, apakah Siauw-ya maksudkan dia yang duduk di sana itu? Dia adalah Siauw-ong-ya, mana dia mau? Dia tidak pernah minta- minta, kalau kami beri tentu kami semua akan dihajar. Kami tidak berani!"
Tentu jawaban ini membuat Kao Kok Cu, Ceng Ceng dan Hwee Li merasa heran sekali dan mereka bertiga lalu memandang ke arah pengemis muda yang disebut Siauw-ong-ya oleh para pengemis kecil itu. Dan seolah-olah tahu bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, pengemis muda itu bangkit berdiri, menghadap ke arah warung dan mulutnya berkemak-kemik. Tiga orang keluarga sakti itu mendengar dengan jelas suaranya yang bergema, "Terima kasih atas perhatian Siauw-ya kepada saya. Akan tetapi tidak perlu Siauw-ya mempedulikan saya. Saya sudah merasa bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Siauw-ya mau mengasihani kawan-kawan saya." Lalu dia berteriak kepada para pengemis kecil itu, "Hei, anak-anak, hayo haturkan terima kasih sekali lagi dan cepat pergi, jangan mengganggu terus."
Anak pengemis itu ternyata amat mentaati seruan pengemis muda itu. Mereka beramai-ramai menyatakan terima kasih mereka kepada Kao Kok Cu, lalu menjura dan berlari-larian pergi dari tempat itu seperti sekawanan burung yang beterbangan bebas dan gembira. Pengemis muda itu sendiri pun melenggang seenaknya meninggalkan emper rumah di seberang jalan itu.
"Hemmm, lagaknya! Kaum jembel pun mempunyai raja segala! Dan bocah itu raja mudanya! Hi-hik, kalau tidak melihat sendiri siapa percaya?" Hwee Li berkata sambil tertawa geli.
"Husss!" Ceng Ceng menegur muridnya. Jangan kau bicara sembarangan, Hwee Li. Apakah kau tidak melihat kenyataan bahwa pengemis muda itu bukan orang sembarangan? Semuda itu dia sudah pandai mengirim suara dari jauh dan khikangnya cukup kuat."
Dengan cepat Ceng Ceng lalu memesan makanan kepada pemilik warung yang melayaninya dengan penuh perhatian.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu? Sudah mencium jejak?" tanya Ceng Ceng kemudian kepada suaminya.
Kok Cu menggeleng kepala. "Belum...." jawabnya dengan wajah muram dan sepasang matanya kini melayang jauh, mengikuti anak-anak pengemis yang pergi dari situ. Isterinya juga memandang kepada anak-anak itu, maklum akan isi hati suaminya, dan kini dia mengerti mengapa suaminya tadi menjamu anak-anak pengemis itu. Tentu suaminya teringat akan anak mereka yang hilang dan sampai sekarang belum dapat mereka temukan jejaknya, membayangkan betapa anak mereka itu mungkin juga terlantar dan kelaparan seperti anak-anak pengemis itu! Ceng Ceng merasa lehernya seperti dicekik dan hanya kekerasan hatinya yang luar biasa sajalah yang mampu membuat dia menahan jatuhnya air matanya.
Mereka berdua telah bersusah payah mencari-cari di seluruh padang pasir. Dalam penyelidikan mereka, anak mereka itu bukan hilang diculik orang karena yang nampak dari dalam istana mereka sampai di luar, hanya tapak kaki anak mereka, tidak nampak tapak kaki orang lain. Tapak kaki anak mereka itu menuju keluar dan tentu saja tak lama kemudian tapak kaki itu lenyap diratakan lagi oleh angin sehingga mereka tidak mampu menemukan jejak anak mereka. Agaknya anak itu bermain-main di luar, lalu bermain-main terlalu jauh dan tersesat, tidak mampu pulang kembali.
"Hemmm, sungguh mengherankan sekali. Kenapa anak kita mengalami peristiwa yang sama dengan pengalamanku ketika masih kecil? Aku dulu juga hilang di gurun pasir ketika masih kecil dan ayahku tidak berhasil menemukan. Baru setelah aku berusia dua puluh lima tahun aku dapat bertemu lagi dengan ayah dan keluargaku. Jangan-jangan Liong-ji (Anak Liong) juga...."
"Jangan kau bicara demikian, suamiku!" Ceng Ceng cepat memotong kata-kata suaminya yang menusuk perasaannya dan menimbulkan kekhawatiran besar didalam hatinya. "Kita harus mencari sampai dapat dan aku yakin kita akan dapat menemukan kembali Cin Liong!"
"Ucapan Subo benar sekali!" Hwee Li berkata dengan wajahnya yang tetap berseri cerah dan gembira. "Tidak mungkin ada orang lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Kita pasti akan dapat menemukan kembali Adik Cin Liong, dan teecu (murid) akan menjelajahi seluruh dunia golongan hitam untuk menyelidiki kalau-kalau di antara mereka ada yang melihat putera Subo."
Ucapan dan sikap Hwee Li amat menghibur suami isteri yang sedang kebingungan dan dilanda kegelisahan itu namun tetap saja hidangan masakan di depan mereka itu hampir tidak dapat tertelan kalau mereka mengingat betapa anak mereka yang hilang itu usianya baru empat lima tahun dan betapa akan sengsaranya bagi anak sekecil itu untuk merana seorang diri, apalagi perginya dari Istana Gurun Pasir itu melalui padang pasir yang luas, panas dan amat berbahaya!
******
Pagi yang cerah. Sinar matahari yang masih menciptakan bayangan-bayangan panjang memuntahkan cahayanya dengan langsung ke bumi, tanpa halangan awan karena langit nampak biru muda dan bersih sekali, bersih dan amat tinggi. Sinar matahari di saat itu mengandung daya hidup yang mukjijzat di dalam kehangatan yang tidak terlalu panas, namun kehangatan yang dapat menembus apa saja dan memberi daya hidup kepada bumi dan apa saja yang berada di permukaannya.
Awan-awan putih yang agaknya menjauh, tidak berani menghalangi berkah yang berlimpahan itu berarak di angkasa, bergerak perlahan-lahan seperti bermalas-malasan, namun semua gerakan itu teratur rapi dan selalu berubah bentuknya, seolah-olah ada tangan gaib yang mengatur awan-awan itu, memilih dan memisah-misahkannya, mengumpul-ngumpulkannya, untuk digiring ke tempat yang membutuhkan hujan kelak.
Tidak ada angin berkelisik. Daun-daun yang bermandikan cahaya matahari nampak kekuningan seperti bermandikan cahaya keemasan, berseri-seri mengelilingi bunga-bunga yang mencuat di sana-sini, dan kupu-kupu bersayap kuning dan putih menyemarakkan suasana yang penuh dengan suka cita di pagi hari itu. Berkelompok-kelompok kecil burung-burung terbang lewat di udara tanpa suara, menuju ke sawah ladang di mana terdapat makanan berlimpah bagi mereka.
Orang-orang yang berpakaian seperti penduduk dusun, membawa bermacam-macam barang dagangan hasil kebun mereka, berlalu-lalang di jalan raya itu pergi ke dan pulang dari kota An-yang yang menjadi pasar bagi barang dagangan hasil bumi mereka. Yang berangkat dan memikul barang dagangan, kelihatan tergesa-gesa dan berjalan separuh berlari tanpa bicara, akan tetapi yang pulang ke dusun berjalan seenaknya sambil mengobrol membicarakan hasil penjualan mereka dan belanjaan mereka.
Siluman Kecil yang sudah keluar dari pintu gerbang kota An-yang, kini berdiri di luar tembok kota, memandang air yang mengalir di tepi tembok. Air itu memasuki kota dari sebelah barat dan keluar dari selatan. Ketika memasuki kota, air itu bersih dan jernih, akan tetapi setelah keluar dari kota, air itu menjadi keruh, penuh dengan sampah-sampah dan segala kekotoran kota yang dicampakkan ke dalamnya. Kekeruhan air ini tidak akan berlangsung lama, karena beberapa mil jauhnya setelah meninggalkan kota, air sungai itu sudah akan menjadi jernih kembali.
Melihat setangkai daun hijau yang agaknya rontok sebelum waktunya hanyut pula di air itu, Siluman Kecil mengikutinya dengan pandang matanya dan dia menarik napas panjang. Keadaannya seperti daun itu. Daun muda yang sudah hanyut seorang diri mengikuti kemana air mengalir. Tidak tahu akan apa jadinya dengan dirinya. Seperti juga dia! Hanya mengikuti jalan peristiwa yang dijumpainya di jalan hidupnya. Siluman Kecil termenung dan tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara orang wanita yang cukup nyaring.
"Kun Cu Souw Ki Wi Ji Heng. Put Goan Houw Ki Gwee!"
Siluman Kecil mengerutkan alisnya. tentu saja dia hafal pula akan ujar-ujar itu karena dia pernah mempelajari semua pelajaran dari Nabi Khong Cu. Dia masih ingat bahwa ujar-ujar yang dinyanyikan mulut wanita itu adalah ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, ayat pertama dari bagian ke tiga belas, yang berarti, "Seorang kongcu (budiman) bertindak sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan hal-hal di luar dari kedudukannya."
Siluman Kecil menarik napas panjang. Dia telah mengalami banyak sekali hal-hal yang amat pahit dalam kehidupannya dan kalau direnungkan secara mendalam, memang karena manusia menginginkan hal-hal yang tidak ada padanya, menginginkan sesuatu yang belum ada, yang tidak dimilikinya, yang berada di luar jangkauannya, dan KEINGINAN inilah yang menjadi biang keladi segala macam penyakit dan kesengsaraan hidup. Dia menarik napas panjang lagi.
Sesungguhnyalah, bukan hanya seperti yang disadari oleh Siluman Kecil bahwa keinginan menjadi biang keladi kesengsaraan hidup. Bahkan keinginan itulah yang membuat kita kehilangan kebahagiaan! Betapa tidak? Keinginan membuat mata kita buta terhadap segala keindahan yang telah kita miliki. Keinginan membuat kita meremehkan dan tidak dapat melihat keindahan yang sudah berada pada kita. Contohnya: Biarpun kita telah memegang sebutir buah apel di dalam tangan, namun kalau kita menginginkan buah anggur yang belum ada, mata kita seperti buta akan kelezatan buah apel yang sudah berada di tangan, menganggapnya tidak enak dan tidak memuaskan dan yang paling memuaskan adalah buah anggur yang kita inginkan, yang belum ada itulah! Karena itu mari kita mencoba untuk membuka mata dan melihat segala sesuatu yang sudah ada pada kita, melihat keindahannya, tanpa membanding-bandingkan dengan yang belum ada, tanpa membayangkan yang lain-lain, maka kita akan melihat keindahan dan akan terbuka mata kita bahwa sesungguhnya selama ini kita hanya diombang-ambingkan oleh pikiran kita yang selalu haus akan hal-hal yang belum ada pada kita! Kita selalu beranggapan bahwa kebahagiaan berada di sana, yang harus kita kejar-kejar, sama sekali kita tidak pernah mau melihat, apa yang berada di sini, yang sudah ada pada kita. Kita seperti mengejar-ngejar bayangan kita, biar dikejar sampai selama hidup pun tidak akan dapat tersusul, kita tidak pernah mau berhenti dan menyelidiki apa gerangan bayangan itu, lupa bahwa bayangan itu adalah kita sendiri, karena kitalah yang menciptakan bayangan yang kita kejar-kejar itu!
Siluman Kecil sadar kembali dari lamunannya ketika dia mendengar suara tadi bernyanyi terus.
"Cai Shang Wi, Put Leng He.
Cai He Wi, Put Wan Shang."
Siluman Kecil mengangguk-angguk, menterjemahkan ujar-ujar itu dalam hatinya. "Dalam kedudukan tinggi, dia tidak menghina yang di bawah. Dalam kedudukan rendah, dia tidak menjilat yang di atas.
Betapa sukarnya mencari seorang kuncu (budiman) seperti itu! Sudah lajim di dunia ini, orang selalu memandang rendah kepada orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada kita, kita suka menginjak dan meremehkan orang-orang yang berada di bawah kita, kita merasa jijik kepada kaum jembel, kita menjebikan bibir terhadap orang-orang miskin dan papa, kita merendahkan mereka yang bekerja kasar dan yang kedudukannya jauh lebih rendah daripada kita. Sebalikya, sudah menjadi KESOPANAN masyarakat bahwa kita selalu bersopan santun kepada orang-orang yang tinggi kedudukannya, kita bermanis muka kepada orang-orang kaya, kita menjilat-jilat kepada pejabat tinggi. Betapa palsunya kita ini! Betapa kejamnya kita ini! Namun kita marah kalau dinyatakan bahwa kita tidak memiliki perikemanusiaan!
Siluman Kecil makin dalam tenggelam dalam renungannya. Dia mengenal ujar-ujar itu yang merupakan ayat ke tiga dari bagian ke tiga belas itu, dan dia masih ingat pula akan bagian selanjutnya, yang berbunyi, "Dia memperbaiki diri sendiri dan tidak mencari kesalahan orang lain, maka dia tidak mempunyai penyesalan apa pun. Ke atas dia tidak menyalahkan Thian dan ke bawah dia tidak menyalahkan manusia lain."
Setelah suara itu berhenti bernyanyi, Siluman Kecil menoleh. Timbul keinginan tahunya untuk melihat siapa gerangan yang di tempat seperti itu menyanyikan ujar-ujar yang mengandung sari pelajaran amat tinggi itu. Dan dia tertegun. Di bawah sebatang pohon yang rindang nampak seorang nenek tua sedang duduk di atas tanah berumput, menghadap barang dagangannya yang bertumpuk di atas tikar terhampar. Seorang nenek tua penjual sepatu rumput rupanya! Dan nenek itulah yang tadi bernyanyi. Memang harus diakui bahwa ujar-ujar dari Nabi Khong Hu Cu dikenal oleh semua orang yang pernah bersekolah, sungguhpun sebagian besar orang hanya mengenalnya sebagai ujar-ujar belaka tanpa menghayati isinya, tanpa meneliti diri sendiri apakah ujar-ujar yang setiap hari keluar dari mulutnya, terus-menerus diulang-ulanginya itu ada pula terkandung dalam langkah hidupnya sehari-hari. Akan tetapi, mendengar ujar-ujar itu dinyanyikan oleh seorang nenek penjual sepatu rumput, dinyanyikan di tempat seperti itu, yaitu di luar kota di bawah pohon, sungguh merupakan hal yang amat janggal didengar. Biasanya, ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu atau ujar-ujar dari Agama Buddha hanya didengar di sekolah-sekolah, di kuil-kuil, atau dibicarakan di antara "orang-orang pandai" sebagai bahan untuk berbantahan dan mempertahankan pendirian dan pentafsiran masing-masing, dan diperalat untuk membanggakan kepintarannya!
Melihat nenek itu menghadapi dagangannya dan kelihatan sama sekali tidak laku, terbukti dari bertumpuknya sepatu rumput itu dan tidak ada seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang itu menengok ke arah nenek itu, apalagi membeli dagangannya, Siluman Kecil merasa kasihan. Nenek itu kelihatannya miskin, pandang matanya sayu, dan siapa tahu sudah berapa hari nenek itu tidak makan. Tubuhnya begitu kurus! Siluman Kecil cepat menghampiri dan berjongkok di depan dagangan nenek itu.
"Nenek, apakah ada sepatu yang ukurannya cocok untuk kakiku?" tanyanya, sambil memandang wajah keriputan itu. Akan tetapi dari sinar matanya, Siluman Kecil tahu bahwa nenek itu agaknya tidak mengerti atau mungkin juga tidak mendengar. Ketika nenek itu menaruh tangan di belakang daun telinganya, mengertilah dia bahwa nenek ini adalah seorang yang sudah berkurang pendengarannya atau agak tuli.
"Apakah ada yang cocok dengan ukuran kakiku?" tanyanya pula dengan suara lebih keras.
"Oh, tentu ada.... ada....! Nah, ini agaknya cocok!" Nenek itu menyerahkan sepasang sepatu dan memandang wajah Siluman Kecil yang sebagian tertutup rambut putih penuh perhatian. "Agaknya Kongcu akan pergi ke selatan juga! Memang lebih enak pakai sepatu rumput, apalagi di selatan sana banyak hujan. Lebih hangat memakai sepatu rumput."
Siluman Kecil mengukur sepatu itu dengan kakinya. Memang cocok. Agaknya pedagang sepatu ini sudah biasa mengira-ngira ukuran kaki orang yang datang membeli sepatunya. "Berapa harganya?" Dia bertanya.
"Memang banyak yang ke sana. Kemarin banyak orang muda yang membeli sepatu saya pula, mereka hendak pergi ke selatan," jawab nenek itu dan Siluman Kecil baru sadar bahwa pertanyaannya yang kurang keras tadi telah didengar lain oleh Si Nenek, maka jawabannya pun kacau.
Dia mengeluarkan uang tembaga dan mengangkat sepatu itu. "Harganya berapa?"
"Ohhh...." Nenek itu tertawa dan nampak mulut yang ompong! Setelah nenek itu memberi tahu harga sepatu yang hanya beberapa potong uang tembaga, Siluman Kecil membayarnya tanpa menawar. Padahal dia tahu bahwa biasa-nya pedagang seperti ini menawarkan dagangannya dengan harga dua kali lipat dan biasanya fihak pembeli pasti juga menawar harga itu. Nenek itu kelihatan girang menerima pembayaran Siluman Kecil dan berkata, "Terima kasih. Mudah-mudahan Kongcu akan diterima menjadi perajurit."
"Apa? Perajurit apa?" Siluman Kecil terheran mendengar itu.
"Eh, apakah Kongcu bukan hendak pergi ke selatan seperti mereka itu, untuk memasuki ujian penerimaan perajurit?"
"Hemmm, ada apakah di selatan sana?
"Kongcu belum tahu? Kabarnya Gubernur Ho-nan sedang mengadakan ujian untuk menerima calon-calon perajurit pengawal. Gajinya besar, kedudukannya tinggi, dan mereka yang terpilih akan dijadikan pengawal gubernur, atau kalau untung malah bisa diangkat menjadi calon pengawal pribadi."
Tiba-tiba percakapan terhenti karena ada serombongan orang menghampiri nenek itu untuk membeli sepatu rumput. Yang membeli sepatu hanya dua orang, yaitu seorang kakek bertubuh tinggi tegap dan seorang setengah tua yang sikapnya pendiam dan matanya bersinar tajam. Sedangkan di belakang dua orang kakek ini terdapat sepuluh orang lain yang berpakaian ringkas dan sikapnya juga pendiam. Kakek berusia enam puluhan tahun yang bertubuh tinggi tegap itu melirik ke arah Siluman Kecil dan pandang matanya tajam penuh selidik. Siluman Kecil menundukkan muka, pura-pura memilih sepatu dan membiarkan rambutnya yang panjang itu menutupi mukanya seperti tirai.
Setelah memilih sepatu dan membayar harganya, kakek itu bertanya kepada si pedagang sepatu, "Apakah banyak orang yang lewat ke sini dan menuju ke Ceng-couw, ibu kota Ho-nan?" Suaranya besar, tegas dan berwibawa.
"Banyak sekali.... banyak orang-orang muda yang hendak melamar pekerjaan pengawal. Agaknya Sicu semua ini juga hendak ke sana?"
Kakek itu hanya menggumam, lalu bangkit berdiri dan bersama ternan-temannya meninggalkan tempat itu.
"Wah, sungguh banyak sekali yang ingin melamar sebagai pengawal," kata Si Nenek. "Tentu ramai sekali di Ceng-couw sana, wah, kalau aku bisa berdagang sepatu di sana, tentu laris sekali!"
"Kenapa kau tidak membawa sepatumu dan berdagang di sana saja?" kata Siluman Kecil sambil bangkit berdiri pula.
"Oh, jadi Kongcu juga ingin ke sana?" tanya nenek itu yang kembali salah dengar.
Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Repot juga bicara dengan seorang tuli. Dia mengangguk-angguk sebagai jawaban, tidak mau lagi berteriak-teriak karena terdengar seperti orang cek-cok saja sehingga tentu akan banyak menarik perhatian mereka yang lewat di jalan itu. Akan tetapi, jawabannya dengan anggukan itu membuat si nenek menjadi gembira dan nenek itu pun bangkit berdiri. "Kalau begitu, sebaiknya Kongcu naik kuda ke sana! Mungkin besok pagi sudah dimulai ujian itu dan Kongcu tentu akan ketinggalan kalau berjalan kaki. Di sini terdapat seorang pedagang kuda yang bagus-bagus dan harganya pun murah. Dia masih keponakanku sendiri. Saya tinggal bersama dia di sana juga. Marilah kuantarkan Kongcu ke sana melihat-lihat. Baru kemarin dia pulang membawa dua ekor kuda peranakan Mongol yang amat baik."
"Tapi aku sudah biasa berjalan kaki, Nek. Aku tidak ingin membeli kuda." Siluman Kecil hendak melangkah pergi, akan tetapi dia melihat seorang pengemis muda duduk tak jauh dari tempat itu. Wajah pengemis ini menarik hatinya karena wajah itu terlalu tampan untuk seorang pengemis, dan sinar mata pengemis ini tidak seperti para pengemis lainnya. Semua pengemis selalu memiliki pandangan mata sayu, baik dibuat-buat atau tidak, akan tetapi sinar mata pengemis ini tajam berseri-seri dan sedikit pun tidak kelihatan duka terbayang di dalamnya! Keadaan ini menimbulkan keharuan di hati Siluman Kecil dan dia lalu memberikan kelebihan uang pembeli sepatu tadi kepada si pengemis muda tanpa mengeluarkan kata-kata. Pengemis itu menerima pemberian ini, membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasih, akan tetapi mulutnya diam saja! Bahkan ada bayangan keangkuhan di sinar matanya! Siluman Kecil merasa makin heran dan tertarik.
"Kongcu akan menyesal setengah mati kalau tidak membeli kuda itu!" Kembali nenek itu mendesak dan ketika Siluman Kecil menoleh, ternyata nenek itu sudah menggulung tikarnya dan membungkus semua sepatunya tanda bahwa dia sudah kukut (berkemas untuk pulang).
"Sudahlah, Nek. Aku tidak punya uang....eh, uangku tidak akan cukup untuk membeli seekor kuda peranakan Mongol yang bagus."
"Aaahhhhh, Kongcu sungguh merendah! Kongcu mempunyai banyak uang....eh, maksud saya, seorang seperti Kongcu yang melakukan perjalanan jauh tentu kaya raya, tentu Kongcu akan mampu membeli seekor kuda yang baik. Apakah Kongcu tidak rela memberi sedikit keuntungan kepada keluarga kami?"
Siluman Kecil terkejut. Dia memang membawa banyak uang, pemberian seorang hartawan yang pernah dltolongnya, sebagai bekal dan terima kasih atas bantuannya. Bagaimana nenek ini bisa tahu?
Akan tetapi, mungkin juga sebagai seorang pedagang, nenek ini memiliki pandangan tajam tentang hal itu. Tertarik juga hatinya. Memang selama ini banyak sekali hal-hal yang menarik hatinya. Dia selalu tertarik oleh urusan orang-orang lain. Apakah hal ini menunjukkan gejala bahwa dia sudah tidak tertarik lagi kepada diri sendiri?
"Baiklah, Nek. Aku hendak melihat kuda yang kaupuji-puji itu. Akan tetapi tidak perlu kau mengemasi dagangan untuk mengantar aku. Katakan saja di mana tempat keponakanmu itu, dan aku akan mencarinya sendiri ke sana. Tidak perlu kau mengorbankan daganganmu yang menjadi tidak laku hanya untuk mengantarkan aku."
"Kongcu, biar saya yang mengantar Kongcu ke sana. Saya juga tahu tempat pedagang kuda itu. Bukankah yang Nenek maksudkan itu adalah Paman Ciok pedagang kuda di sebelah barat jembatan hijau itu?" tiba-tiba pengemis muda itu berkata.
Nenek itu mengangguk dan mengerling ke arah Siluman Kecil. "Benar di sana...."
"Kalau begitu, biar ia ini yang mengantarku, Nek. Terima kasih!" kata Siluman Kecil dan dia lalu pergi bersama si pengemis muda.
Siluman Kecil makin tertarik kepada pengemis ini. Sungguh tidak seperti pengemis-pengemis umumnya. Memang pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi pakaian itu bersih dan jelas bahwa pakaian itu belumlah begitu butut sehingga perlu ditambal-tambal. Agaknya seperti pakaian yang masih baru akan tetapi sengaja ditambal-tambal! Hal ini tentu saja mencurigakan hatinya dan membuat dia menjadi tertarik. Jangan-jangan bocah pengemis ini mempunyai maksud tertentu dan sengaja mendekatinya, pikirnya. Banyak sekali orang-orang yang memusuhinya di dunia ini, apalagi sejak dia dikenal sebagai Siluman Kecil dan banyak menolong orang-orang yang tertindas sehingga otomatis dia dimusuhi oleh mereka yang ditentangnya. Akan tetapi, tentu saja dia tidak merasa gentar, hanya tertarik kepada pribadi pengemis cilik ini.
"Siapakah namamu?"
Pengemis itu terkejut, akan tetapi lalu menjawab dengan suara tenang, "Nama saya Hong, dan orang-orang memanggil saya Siauw-hong (Hong Kecil)."
"Kenapa? Engkau tidak begitu kecil tubuhmu."
"Entahlah, Kongcu. Sejak kecil saya disebut Siauw-hong."
"Hemmm, dimana tempat tinggalmu?"
"Saya tidak mempunyai tempat tinggal."
"Dan ayah bundamu?"
Siauw-hong menggeleng kepala. "Tidak punya."
Siluman Kecil mengerutkan alisnya, kemudian tiba-tiba dia berhenti, memegang pundak pengemis cilik itu dan menggunakan jari-jarinya untuk menotok jalan darah dekat leher, jalan darah kematian. Pengemis itu terkejut, cepat dia miringkan tubuh sehingga pegangan itu meleset dan totokan itu luput.
"Ha, sudah kuduga. Engkau pandai ilmu silat tinggi!" Siluman Kecil berseru.
"Dan Kongcu adalah Siluman Kecil!" pengemis cilik itu berkata.
"Hemmm, ternyata engkau bukan bocah pengemis sewajarnya, seperti pakaianmu yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan masih baru. Hayo katakan, mau apa engkau membayangi aku?" Siluman Kecil menghardik.
Pengemis muda itu menjura. "Maafkan saya, Taihiap. Sesungguhnya bukan maksud saya hendak membayangi, hanya karena sudah lama saya mendengar nama Taihiap dengan penuh kekaguman maka begitu melihat Taihiap tadi, saya sudah menduganya dan saya ingin mengenal dan berdekatan dengan Taihiap. Saya sungguh tidak bermaksud buruk dan hendak mengantar Taihiap kepada rumah pedagang kuda itu."
"Bagaimana engkau berpakaian pengemis? Apa maksudnya?"
"Maaf, memang saya sengaja dan ini merupakan syarat menjadi murid dari guru saya. Ketahuilah bahwa sejak kecil saya diserahkan oleh kakek saya yang sekarang entah berada di mana, kepada guru saya itu, dan setelah saya menjadi muridnya, saya diharuskan berpakaian pengemis untuk memenuhi kebiasaan nenek moyang dari guru saya."
"Hemmm, mengapa begitu?" Siluman Kecil makin tertarik.
"Guru saya adalah keturunan pengemis, Taihiap. Oleh karena itu, biarpun sekarang guru saya tidak menjadi pengemis, akan tetapi semua muridnya diharuskan berpakaian pengemis sebelum tamat belajar untuk menghormati leluhurnya."
Siluman Kecil memandang tajam. Dari gerakan anak ini ketika mengelak tadi, dia maklum bahwa anak ini memiliki dasar ilmu silat tinggi, bukan ilmu silat sembarangan saja, maka guru anak ini tentulah seorang tokoh besar pula.
"Siapakah gurumu itu, Siauw-hong?"
"Maaf, Taihiap, akan tetapi guru saya tidak pernah mau menyebutkan namanya."
Siluman Kecil mengangguk-angguk. Dia maklum akan hal ini karena memang demikianlah, makin tinggi pengertian seseorang, makin rendah hati pula watakhya di samping keanehan-keanehan yang tidak lumrah manusia biasa. Maka dia pun tidak mau mendesak lagi untuk menghormati pendirian guru pengemis cilik ini.
Akhirnya mereka tiba di tempat si pedagang kuda. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, bermata sipit dan berkumis pendek, menyambut kedatangan mereka dan ketika mendengar bahwa Siluman Kecil datang untuk melihat kuda keturunan Mongol itu setelah diberi tahu oleh nenek penjual sepatu rumput, dia tersenyum lebar. "Memang benar, Kongcu. Dan kalau bukan bibi saya yang memberi tahu, tidak sembarangan orang akan saya persilakan melihat dua ekor kuda dagangan saya itu. Kuda simpanan, kuda tunggangan raja-raja di daerah Mongol!"
Sambil memuji-muji kudanya, orang itu mengantar Siluman Kecil dan Siauw-hong ke kandang kuda. Dan memang dua ekor kuda itu merupakan kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan jelas kelihatan kuat sekali. Yang seekor berbulu hitam mulus sedangkan yang ke dua berbulu putih. Warna bulu mereka begitu mulus dan terang sehingga amat menyolok perbedaan warna bulu mereka. Yang putih adalah kuda betina sedangkan yang hitam adalah seekor kuda jantan yang kelihatan galak.
"Coba Kongcu lihat tanda di paha kiri mereka ini!" kata si tukang kuda.
Siluman Kecil melihat dan di paha dua ekor kuda itu, di paha belakang yang kiri, terdapat capnya, yaitu ukiran kepala naga yang tentu saja kasar karena dibuat dengan menempelkan besi membara yang bergambarkan kepala naga di bagian paha itu.
"Apa artinya gambar ini?" tanya Siluman Kecil.
"Itu adalah tanda bahwa sepasang kuda ini adalah bekas milik raja Mongol, seorang di antara raja-raja liar di antara suku bangsa Nomad di Mongol sana dan agaknya raja itu memuja naga. Atau mungkin juga dua ekor kuda ini adalah keturunan Liong-ma (Kuda Naga) yang terkenal itu. Pendeknya, bukan kuda sembarangan, Kongcu, dan kalau Kongcu dapat memiliki seekor kuda ini, Kongcu sungguh beruntung. Akan tetapi, saya anjurkan Kongcu memilih yang putih.
"Yang betina? Mengapa? "
"Karena dua ekor kuda ini memang mempunyai keanehan. Yang putih ini agaknya hanya mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang pria! Sedangkan yang jantan, yaitu yang hitam ini, hanya mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang wanita!"
"Ah, sungguh luar biasa!" Siluman Kecil berseru dan pengemis kecil itu tertawa.
"Ha-ha, kalau begitu mereka adalah kuda-kuda yang cabul!" seru Siauw-hong.
"Hushhhhh, jangan sembarangan saja kau, Siauw-kai (Pengemls Cilik)!" Pedagang kuda itu menghardik.
"Omongannya itu ada benarnya," kata Siluman Kecil membela Siauw-hong.
"Tidak, Kongcu. Sama sekali tidak benar. Dua ekor kuda ini bukanlah kuda cabul, akan tetapi adalah kuda yang sudah terlatih matang di tempat asalnya. Dengan wataknya yang aneh itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tentu kuda hitam ini dahulu adalah kuda tunggangan seorang permaisuri dan dilatih sedemikian rupa, sehingga dia tidak mau ditunggangi seorang pria, maka hanya sang permaisuri sajalah yang dapat menungganginya. Mana boleh kuda tunggangan seorang permaisuri ditunggangi seorang pria? Dan demikian pula dengan kuda putih ini, tentu dahulunya menjadi kuda tunggangan seorang raja."
Siluman Kecil mengangguk-angguk. Biarpun cerita itu agaknya terlalu dibuat-buat, akan tetapi masuk akal juga.
"Saya tidak percaya!" Tiba-tiba Siauw-hong berkata. "Saya yakin bahwa kuda hitam itu lebih baik karena dia jantan. Lebih baik Kongcu memilih yang jantan saja."
"Eh, kau berani tidak percaya kepadaku, Siauw-kai? Kau menyuruh Kongcu naik kuda hitam kemudian dibantingkan?" bentak si tukang kuda.
"Masa dibantingkan! Kuda itu kelihatan begitu jinak!" Siauw-hong membantah.
"Kalau tidak percaya, boleh kaucoba naik di punggungnya!" tantang si tukang kuda.
"Baik, akan saya tunggangi dia!" Siauw-hong menerima tantangan itu.
"Siauw-hong, apakah kau bisa menunggang kuda?" Siluman Kecil bertanya khawatir.
Siauw-hong tersenyum dan anak ini kelihatan tampan sekali kalau tersenyum. "Jangan khawatir, Taihiap, sejak kecil saya sudah biasa menunggang kuda dan entah sudah ada berapa ratus ekor kuda jantan yang saya tunggangi, maka saya tidak percaya kalau ada kuda jantan tidak mau ditunggangi pria!"
"Kau bocah sungguh bermulut besar. Boleh kaucoba si Hitam, akan tetapi Kongcu ini menjadi saksi dan saya tidak mau dipersalahkan kalau nanti kau dibantingkan dan punggungmu patah," kata si tukang kuda.
Siauw-hong tertawa lalu dia menuntun kuda hitam itu keluar kandang. Kelihatan si Hitam ini memang cukup jinak dan menurut saja ketika dituntun keluar. Dengan gerakan cekatan tanda bahwa dia memang biasa menunggang kuda, Siau-whong lalu meloncat ke atas punggung kuda hitam yang tinggi itu. Dan mulailah si Hitam itu memperlihatkan keliarannya. Dia meringkik keras, mendengus-dengus marah lalu berloncatan ke atas, berdiri di atas kedua kaki, meloncat lagi dan membuat punggungnya menjadi melengkung, bergerak ke kanan kiri dan membuat gerakan dengan punggung untuk melemparkan Siauw-hong yang duduk di atas punggungnya. Siauw-hong ternyata memang seorang ahli menunggang kuda. Kalau lain orang yang menunggangi punggung kuda hitam yang mengamuk itu, tentu takkan dapat bertahan lama dan sudah terlempar sejak tadi. Akan tetapi Siauw-hong juga memperlihatkan kelihalannya, biarpun beberapa kali tubuhnya kelihatan hampir terlempar dari punggung, namun ternyata dia masih dapat turun lagi duduk di atas punggung sambil memegangi kendali dengan cekatan.
Siluman Kecil menonton dengan hati tegang. Kembali dia dibuat kagum, sekali ini dibuat kagum oleh Siauw-hong dan juga oleh kuda itu. Benar-benar seekor kuda yang amat aneh, terlatih baik sekali dan penuturan pedagang kuda ini ternyata tidak bohong. Kuda jantan ini benar-benar tidak sudi ditunggangi oleh seorang pria! Kini kuda itu mengeluarkan suara ringkikan yang rendah mirip gerengan harimau dan tiba-tiba dia membanting diri ke kanan dan membuat gerakan bergulingan!
"Awas, Siauw-hong....!" Mau tidak mau Siluman Kecil memekik dan dia sudah siap menolong karena keadaan pengemis muda itu benar-benar amat berbahaya.
"Kuda iblis....!" Siauw-hong berteriak dan tubuhnya terlempar, akan tetapi dengan gerakan pok-sai (salto) dia berhasil turun ke atas tanah dengan kaki lebih dulu. Dia mengebut-ngebutkan pakaiannya dan mengomel, "Taihiap, kuda iblis itu berbahaya sekali!"
Pedagang kuda tertawa menyeringai akan tetapi tidak berani bicara sembarangan karena dia pun sekarang tahu bahwa pengemis cilik itu bukan orang sembarangan setelah dia melihat betapa pengemis itu tadi dapat menyelamatkan diri secara luar biasa. Dia menuntun kuda hitam yang sudah jinak kembali begitu punggungnya tidak ditunggangi orang!
"Kuda yang baik sekali! "
Mereka bertiga menoleh dan melihat seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian mentereng dan bersikap lincah memasuki tempat itu dan memuji si kuda hitam yang liar tadi, Siluman Kecil memandang penuh perhatian. Pemuda itu usianya tentu masih amat muda, mungkin baru belasan tahun, akan tetapi sinar matanya memandang penuh perhatian, dan melihat pakaiannya yang indah dan serba baru, mudah diduga bahwa pemuda ini tentulah putera seorang hartawan besar atau setidaknya putera seorang bangsawan! Tubuhnya kecil, akan tetapi kelihatan gesit, tanda bahwa pemuda hartawan ini tentu "berisi", yaitu pernah berlatih silat. Di belakang pemuda ini berjalan seorang anak laki-laki yang membawa buntalan.
Pedagang kuda itu pun bermata tajam, tentu saja dia segera mengenal seorang hartawan, maka sambil menuntun kuda hitam dia menghampiri dan menjura, "Kuda yang manakah yang Kongcu anggap baik?" tanyanya.
"Mana lagi kalau bukan kuda yang kau tuntun itu," jawab si pemuda tampan sambil memandangi kuda hitam dengan mata bersinar-sinar. "Ini kuda Mongol tuan!" serunya sambil mendekati kuda itu, mengelus leher kuda itu dengan tangannya.
"Apakah Kongcu ingin membeli kuda?" tanya pula si pedagang kuda.
"Benar, aku membutuhkan dua ekor kuda untuk aku dan pelayanku ini, karena aku hendak pergi ke Cheng-couw, untuk memasuki ujian pengawal gubernur!"
Siluman Kecil merasa tertarik sekali. Benar dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian silat, kalau tidak tentu tidak akan ikut-ikut memasuki ujian pengawal.
Pedagang kuda itu tersenyum lebar dan matanya berseri girang. Hari baik rupanya hari ini bagi dia. Sepagi itu sudah banyak orang datang hendak membeli kuda!
"Kongcu tidak salah kalau mencari kuda di sini!" katanya.
"Aku suka sekali dengan kuda hitam ini, berapa harganya? Akan kubeli dia!" kata si kongcu yang masih mengelus-ngelus kuda itu.
Si pedagang kuda kelihatan kaget. "Ohhh, jangan yang ini, Kongcu! Apakah Kongcu tadi tidak melihat betapa liarnya dia? Kuda ini pantang ditunggangi oleh seorang pria. Dia adalah bekas tunggangan seorang permaisuri suku Nomad di Mongol, sudah terlatih untuk menolak kalau ditunggangi seorang pria. Sebaliknya, kuda putih itu pantang ditunggangi seorang wanita. Maka, kalau Kongcu membutuhkan kuda, sebaliknya yang putih itu....eh, kalau belum jadi dibeli oleh Kongcu itu yang datang lebih dulu.
Pemuda tampan itu kini memandang kepada Siluman Kecil, menghampiri dan tersenyum, lalu menjura. Tentu saja Siluman Kecil juga cepat membalas penghormatan orang itu.
"Apakah engkau juga hendak membeli kuda putih itu, Sobat?" Pertanyaan ini diajukan dengan sikap ramah sekali sehingga biarpun Siluman Kecil tidak ingin berkenalan dengan orang itu, terpaksa dia menjawab dengan anggukan kepala.
"Agaknya engkau hendak melakukan perjalanan cepat dan jauh pula, Sobat."
"Saya....kami hendak pergi ke selatan....!
"Ah! Betapa kebetulan sekali! Tidak dicari-cari di sini bertemu dengan seorang teman seperjalanan! Sobat yang baik, kalau begitu mari kita melakukan perjalanan bersama. Sungguh menyenangkan sekali! Aku mendapatkan seorang teman untuk bercakap-cakap di perjalanan!"
Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin melakukan perjalanan dengan orang lain yang tidak dikenalnya. Pula, memang selama ini dia selalu menjauhkan diri dari pergaulan umum.
"Terima kasih atas kebaikan saudara" jawabnya. "Akan tetapi saya masih mempunyai banyak kepentingan lain." Penolakan halus diterima oleh pemuda tampan itu dengan senyum.
"Tidak mengapa. Engkau boleh menyelesaikan semua kepentinganmu dulu, baru kita berangkat bersama." Siluman Kecil tidak menjawab lagi, melainkan menoleh kepada pedagang kuda. "Paman, berapakah harganya kuda putih itu?"
"Tiga ratus tael perak" jawab si pedagang kuda.
"Wah, masa ada kuda harganya sekian?" Siauw-hong berseru. "Biasanya, seekor kuda tidak akan lebih dari seratus tael perak harganya!"
Si pedagang kuda menyeringai. "Siau-kai, biarpun omonganmu itu ada benarnya, akan tetapi dua ekor kuda ini bukanlah kuda biasa! Coba dibayangkan, berapa biayanya mengambil dua ekor kuda ini dari tempat asalnya! Kongcu, harganya tiga ratus tael perak, tidak boleh kurang satu tael pun."
Siluman Kecil tidak tahu akan harga kuda, akan tetapi terdengar pemuda tampan itu berkata, "Tiga ratus tael tidaklah mahal untuk seekor kuda seperti itu."
Mendengar ini, Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Uang baginya bukan apa-apa, apalagi uang itu adalah pemberian orang untuk bekal. Dia tidak membutuhkan banyak uang, hanya memberatkan saja. Tiba-tiba dia terkejut bukan main dan baru teringat bahwa dia tidak merasakan sesuatu yang berat di buntalannya! Karena dia tidak pernah memikirkan uang, dan jarang sekali membawa uang banyak, maka dia tidak merasakan perbedaan itu! Dia mengangkat buntalannya, menimbang-nimbang dan jantungnya berdebar. Benar saja, buntalannya sudah tidak berat lagi! Padahal seingatnya, uang bekal yang diberikan oleh hartawan itu kepadanya amat berat! Cepat dia membuka buntalannya dan dia menahan napas. Uang itu telah lenyap! Dia telah diberi beberapa potong uang
emas dan banyak uang perak oleh hartawan itu, yang rasanya cukup banyak untuk membeli kuda itu. Akan tetapi ternyata uang itu lenyap sama sekali, tidak ada sisanya barang satu potong pun! Dan dia tidak merasakan kehilangan itu!
"Celaka....!" serunya.
"Taihiap, ada apakah....?" Siauw-hong bertanya sambil mendekati.
"Uangku lenyap!
"Ahhh....!" Siauw-hong juga memandang bingung.
Pemuda tampan itu menghampiri Siluman Kecil dan bertanya, "Sobat, apa yang telah terjadi?"
Siluman Kecil mengge lengkepala. "Entah bagaimana, uangku yang berada di dalam buntalan ini lenyap semua tanpa kusadari. Aku lupa bahwa aku membawa uang, maka ketika lenyap aku tidak tahu...."
"Hemmm.... Si pedagang kuda berkata dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh kecurigaan kepada Siluman Kecil dan Siauw-hong.
"Kalau begitu, biarlah aku yang membayarnya! Hei, pedagang kuda, berikan kuda putih itu kepada sobatku ini dan kuda hitam itu kubeli, lalu sediakan dua ekor kuda lain untuk pembantu-pembantu kami!" Pemuda itu cepat mengeluarkan sekantung uang emas dari buntalannya yang tadi dibawa oleh kacungnya.
"Ah, tidak usah, Saudara.... biar kami jalan kaki saja. ..." kata Siluman Kecil.
"Sobat yang baik, kita sudah menjadi sahabat dan calon teman seperjalanan, mengapa banyak sungkan?"
"Aku tidak mau menerima pemberian dari orang yang tidak kukenal dan...."
"Kalau begitu perkenalkan, aku she Kang, bernama Swi," katanya.
"Tetapi...."
"Kalau kau segan menerima pemberianku, biarlah kuda itu kaupinjam saja!"
Siluman Kecil tidak dapat menolak lagi, merasa tidak enak kalau menolak terus kebaikan orang yang kelihatannya demikian tulus dan ikhlas.
"Kalau begitu, baiklah, Saudara Kang Swi. Terima kasih atas kebaikanmu," katanya sambil menjura.
"Akan tetapi saya bukanlah pembantu Taihiap ini, saya hanya mengantarnya sampai ke sini saja," kata Siauw-hong.
Pemuda tampan itu menoleh kepadanya. "Aku melihat engkau tadi pandai sekali menunggang kuda, tentu engkau pandai pula merawat kuda, bukan? Nah, bagaimana kalau kau kuangkat sebagai perawat kuda? Berapakah gaji yang kau-minta, akan kupenuhi."
Siauw-hong mengangkat dadanya dan menjawab, "Saya menerima permintaan Kongcu, akan tetapi bukan karena besarnya gaji, melainkan karena saya memang ingin meluaskan pengalaman ke selatan."
"Jadi kauterima?" tanya kongcu itu dengan girang, akan tetapi ada sinar keheranan melihat sikap pengemis muda itu, yang demikian angkuh sikapnya. "Paman, cepat pilihkan dua ekor kuda lain selain si Putih dan si Hitam ini, dan hitung berapa harus kubayar kepadamu."
Tentu saja si pedagang kuda menjadi girang bukan main. Sungguh mujur dia. Hari ini bertemu dengan kongcu yang kaya dan begini royal, membeli kuda tanpa menawar lagi! Tentu saja dia tidak mau mencelakakan seorang langganan yang begini royal, maka dia berkata, "Akan saya pilihkan seekor kuda yang terbagus untuk Kongcu...."
"Aku sudah memilih si Hitam ini!" jawab kongcu itu.
"Ahhh, jangan, Kongcu! Baru saja Siauw-kai ini hampir terbanting mati oleh kuda itu!"
Siauw-hong juga berkata, "Sebaiknya Kongcu mengambil lain kuda. Kuda hitam ini adalah kuda iblis, atau kuda porno...."
"Eh, kuda porno (cabul).. ..?" Kongcu itu bertanya dan memandang Siauw-hong dengan alis berkerut.
"Habis, kuda jantan ini hanya mau ditunggangi seorang wanita! Cabul dia!" Siauw-hong berkata dan memandang kepada kuda hitam itu dengan hidung dikernyitkan.
Kongcu itu tertawa. "Kalian semua tidak tahu rahasianya. Aku sudah pernah memiliki seekor kuda seperti ini dan kalau tidak tahu rahasianya, memang jangan harap dapat menjinakkan dia."
"Kau kau hendak mengatakan bahwa kau dapat menundukkan dia?" Siluman Kecil bertanya penuh keheranan. Dia melihat sendiri tadi betapa Siauw-hong yang merupakan seorang ahli menunggang kuda, hampir celaka. Apakah pemuda halus yang kaya raya dan royal ini memiliki ilmu menunggang kuda yang lebih mahir daripada Siauw-hong? Agaknya tak mungkin. Dia sendiri pun harus mengakui bahwa dalam menunggang kuda, belum tentu dia mampu menandingi Siauw-hong dan dia akan berpikir dua kali untuk menunggangi kuda liar macam si Hitam itu.
"Tentu saja, " kata pemuda royal itu tersenyum. "Kalau tidak, untuk apa kubeli?"
"Tapi.... tapi dia benar-benar berbahaya sekali," kata Siluman Kecil.
"Aku mengerti bagaimana harus menguasainya, harap kau jangan khawatir, Sobat."
Akan tetapi ketika pemuda tampan itu hendak memegang kendali kuda hitam dari tangan pedagang kuda, si pedagang berkata ragu, "Wah, bagaimana kalau sampai Kongcu terbanting jatuh dan.... dan celaka? Siapa akan membayar kuda-kuda saya?"
Kongcu itu tertawa. "Hitunglah dan akan kubayar sekarang juga. Kalau seandainya nanti aku dibanting mati oleh kuda ini, kau tidak akan rugi apa-apa."
Wajah pedagang kuda itu menjadi merah. "Bukan.... bukan maksudku begitu.... sebaiknya Kongcu jangan mencoba-coba untuk menunggang ini dia sungguh tidak mau ditunggangi oleh pria."
Akan tetapi pemuda itu tidak melayaninya lagi, melainkan mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar empat ekor kuda. Kemudian dia berkata sambil menuntun si Hitam, "Kalian semua lihatlah bahwa aku tidak main-main. Aku tahu bagaimana harus menundukkan kuda Mongol yang terlatih ini." Setelah berkata demikian, dia mengusap-usap kepala kuda hitam itu, mendekatkan mulutnya pada telinga kiri kuda itu dan mengeluarkan kata-kata asing dalam bahasa Mongol. Mulutnya komat-kamit dan terdengar kata-kata aneh seperti mantra. Siluman Kecil mengerti juga bahasa Mongol, akan tetapi karena bahasa dari suku bangsa Nomad banyak sekali macamnya, maka dia tidak merasa heran mendengar bahasa yang mirip bahasa Mongol akan tetapi tidak dimengertinya, yang keluar dari mulut pemuda tampan itu. Akan tetapi dia melihat betapa kuda hitam itu menggoyang-goyangkan ekornya ke kanan kiri dan kelihatan gembira dan jinak! Kemudian, dengan gerakan ringan sekali tanda bahwa pemuda tampan itu memiliki ginkang yang tinggi, pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda. Semua orang, terutama Siuaw-hong, memandang dengan hati berdebar tegang,
menduga bahwa tentu si Hitam itu akan meloncat-loncat, meringkik dan membungkukkan punggung. Akan tetapi sungguh aneh! Kuda itu berdiri diam dan tenang-tenang saja, bahkan ekornya masih bergoyang-goyang!
Pemuda tampan itu tertawa. "Nah, tidak percayakah kalian kepadaku? Kuda ini memang terlatih untuk menantang ditunggangi pria, akan tetapi ada rahasianya untuk menjinakkan dia dan aku mengenal rahasia itu. Sobat, marilah kita berangkat. A-cun, dan kau, Siauw-kai...."
"Nama saya Siauw-hong, Kongcu!" kata Siauw-hong, tidak senang disebut Siauw-kai (Pengemis Cilik). "Dan saya tidak pernah mengemis."
"Ahhh, engkau seorang bocah aneh, tidak kalah anehnya dengan kuda ini dan sahabat itu!" Si pemuda tampan menunjuk ke arah Siluman Kecil yang sudah meloncat naik ke atas punggung si Putih. dan memang benar kata-kata si pedagang kuda. Si Putih itu tenang-tenang saja ketika punggungnya ditunggangi oleh Siluman Kecil, seorang pria!
Mereka berempat lalu berangkat meninggalkan si tukang penjual kuda yang berdiri bengong, masih terheran-heran menyaksikan mereka. Baru hari itu dia memperoleh keuntungan besar di samping keheranannya bertemu dengan orang-orang yang begitu aneh. Si pengemis yang pandai menunggang kuda, si kongcu yang masih muda akan tetapi sudah putih semua rambutnya, dan si kongcu royal yang ternyata seorang ahli yang luar biasa dalam menaklukkan kuda hitam itu!
Akhirnya dia menggeleng-geleng kepala dan berjalan masuk sambil menggenggam uang emas yang memenuhi saku bajunya.
Sementara itu, Siluman Kecil yang menunggang kuda si Putih menjalankan kudanya berendeng dengan pemuda tampan bernama Kang Swi yang menunggang kuda si Hitam. Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan karena Siluman Kecil sedang melamun dan agaknya Kang Swi juga tidak tergesa-gesa. A-cun, kacung dari Kang Swi, dan Siauw-hong, menjalankan kuda di belakang mereka dan Siauw-hong kelihatan gembira sekali, sikapnya sama sekali tidak seperti seorang jembel biarpun pakaiannya tambal-tambalan, melainkan seperti seorang jenderal perang menunggang kuda dan memeriksa barisan!
Siluman Kecil mengerutkan alisnya, mengingat-ingat dan memutar otak, mencari-cari kemana lenyapnya uangnya yang banyak itu. Sungguh memalukan, juga mengherankan. Dia bukan seorang anak kecil yang pelupa, bukan pula seorang yang lemah sehingga uang yang berada di dalam buntalan pakaiannya dapat lenyap begitu saja! Dia adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dijuluki orang Siluman Kecil, namun kenyataannya uangnya dicuri orang dari dalam buntalannya tanpa dia ketahui! Sungguh menggemaskan! Dia mengepal tinju dan tanpa disadarinya, mulutnya mengeluarkan suara, "Hemmmmm!"
Terdengar suara tertawa ditahan dan ketika dia menoleh, dia melihat Kang Swi melirik ke arahnya sambil tersenyum-senyum, senyum yang kelihatan seperti orang mengejek. "Huh, bocah ini sikapnya manja dan sombong bukan main!" pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia merasa tidak enak kalau memperlihatkan rasa gemasnya karena betapapun juga, hartawan muda ini telah membelikan kuda untuknya dan Siauw-hong!
"Tidak mungkin uang itu lenyap begitu saja, bisik hatinya dan kembali dia tenggelam dalam renungan. Ketika dia membayar sepatu rumput, uang itu masih ada. Dia ingat benar. Dan sesudah itu, dia hanya berdekatan dengan si nenek penjual sepatu rumput yang agak tuli dan pengemis muda, Siauw-hong itu. Siau-whong tidak mungkin mengambil uangnya, biarpun dia tahu bahwa Siauw-hong juga bukan anak biasa, melainkan seorang anak yang memiliki kepandaian. Siauw-hong bukan pencuri uangnya. Anak ini
kelihatan jujur dan tidak membawa apa-apa di dalam bajunya yang penuh tambalan itu, dan semenjak bertemu di tempat penjual sepatu rumput, anak ini tidak pernah berpisah dari sampingnya. Bukan, bukan Siauw-hong yang mencuri uang itu. Kalau begitu, tidak ada orang lain, tentu si nenek itu! Si nenek yang mencurigakan sekali sekarang, sikapnya yang ramah dan aneh, bicaranya yang membujuk-bujuk, yang sering harus dia dekati karena tidak mendengar kata-katanya, gerak-geriknya yang aneh dan akhirnya nenek itu tadi menggulung tikarnya hendak kukut dan mengantar dia ke tempat pedagang kuda. Dan sekarang dia teringat betapa nenek itu kadang-kadang tidak mendengar omongannya, akan tetapi kadang-kadang seperti tidak tuli, sikapnya aneh dan penuh rahasia. Menjual sepatu rumput di luar kota, di jalan yang hanya dilalui orang-orang dusun yang tidak akan mau membeli sepatu seperti itu, seolah-olah memang sengaja menghadangnya!
Teringat akan semua itu, tiba-tiba dia menghentikan kudanya.
"Eh, ada apakah?"
"Saya harus kembali sebentar!" Siluman Kecil berkata.
"Hemmm, mau mencari uangmu yang hilang?" Kang Swi bertanya sambil tersenyum simpul. "Tidak ada gunanya. Ke mana engkau hendak mencari uangmu itu di dunia yang begini luas?" Dia mengebutkan ujung bajunya dengan sikap agung-agungan.
"Siauw-hong, nenek itu!" Siluman Kecil menoleh kepada pengemis muda dan Siauw-hong juga mengangguk, seolah-olah baru ingat bahwa mungkin sekali uang "majikannya" itu dicuri oleh nenek penjual sepatu rumput yang aneh itu.
"Mungkin sekali, Taihiap!" kata Siauw-hong.
"Terlambat, Sobat!" kata kongcu tampan itu sambil menggerak-gerakkan cambuknya. "Dia sudah pergi. Bukankah kaumaksudkan nenek si penjual sepatu rumput yang tuli itu? Lihat, sepatu yang dipakai A-cun itu adalah sepatu terakhir yang saya beli darinya," katanya menunjuk ke belakang dan Siluman Kecil melihat sepatu rumput yang dipakai oleh kaki kacung itu.
Siluman Kecil memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada Kang Swi. Dia harus berhati-hati. Pemuda tampan ini tidak kalah anehnya daripada si nenek penjual sepatu rumput! Seorang pemuda yang sikapnya begitu baik kepadanya, yang tahu segala! "Hemmm, Saudara Kang, bagaimana kau tahu bahwa nenek itu yang kumaksudkan?"
Kang Swi tertawa. "Ha-ha, jangan kau memandang kepadaku seperti itu, Kawan! Aku menjadi takut karenanya! Kau memandang kepadaku seolah-olah aku si pencuri uangmu itu! Tentu saja aku tahu. Begitu mudahnya! Jangan engkau memandang ringan kepadaku. Lhhat, engkau memakai sepatu rumput yang baru, dan kau tadi menyebut nenek, maka setiap orang pun tentu akan dapat menduga nenek yang mana yang kaumaksudkan," jawabnya dengan sikap tenang sekali.
Siluman Kecil mengangguk-angguk. "Engkau sungguh cerdik."
"Sama sekali tidak. Hanya aku menggunakan otak dan engkau yang terlalu memandang ringan kepadaku. Bukan hanya itu saja, aku pun dapat menduga siapa adanya engkau, Sahabatku!"
"Eh?" Siluman Kecil kembali menatap wajah tampan itu dengan tajam. "Siapa kiranya?"
"Aku berani bertaruh seribu tael bahwa engkau adalah pendekar yang dijuluki orang Siluman Kecil."
Siluman Kecil cepat menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya yang putih itu sebagian menutupi mukanya. Dia terkejut dan tercengang. Benar-benar pemuda ini aneh dan cerdik bukan main.
Dia harus berhati-hati! "Bagaimana kau tahu? Menggunakan otak pula ataukah hanya kira-kira saja?"
"Aku tidak pernah mau bertindak ceroboh. Segalanya harus kupikirkan masak-masak baru aku mengambil kesimpulan. Dengar alasanku, Sobat. Aku sudah sering mendengar tentang Siluman Kecil, yang kabarnya masih muda akan tetapi rambutnya sudah putih semua. Sekarang, aku bertemu dengan engkau, engkau masih muda, rambutmu seperti benang-benang perak, gerak-gerikmu penuh rahasia, dan Siauw-kai.... eh, Siauw-hong itu menyebutmu Taihiap. Siapa lagi kau kalau bukan Siluman Kecil yang tersohor itu?"
"Saudara Kang Swi, engkau memang cerdik sekali," Siluman Kecil kembali memuji. "Aku harus kembali dulu untuk mencari nenek itu."
"Taihiap.... hemmm, setelah benar bahwa engkau adalah Siluman Kecil, aku harus menyebutmu Taihiap! Taihiap, percuma saja kalau kau hendak mencari nenek itu."
"Mengapa kau berkata demikian?"
"Seorang yang dapat mencuri uangmu tanpa kau ketahui, tentulah bukan orang sembarangan, dan dia tentu tahu bahwa dia telah mencuri uang dari Taihiap, maka setelah berhasil, apakah dia akan menanti di sana sampai Taihiap kembali ke sana dan menghajarnya? Kurasa dia tidaklah begitu bodoh, Taihiap, dan sekarang ini tentu dia sudah pergi jauh sekali, jauh dari kota An-yang. Mencari dia di sana sama dengan membuang-buang waktu, sedangkan kita harus cepat tiba di Ceng-couw karena besok ujian itu sudah dimulai!"
Siluman Kecil terpaksa membenarkan pendapat ini, akan tetapi mendengar ucapah terakhir itu dia berkata, "Aku tidak ingin mengikuti ujian itu."
"Ah, tentu saja tidak. Masa seorang pendekar sakti seperti Taihiap hendak merendahkan dlri menjadi seorang pengawal? Akan tetapi, kurasa amat penting bagi Taihiap untuk pergi secepatnya ke Ceng-couw jika Taihiap hendak menyelidiki tentang lenyapnya uang Taihiap itu.
"Eh?" Siluman Kecil memandang heran dan tidak mengerti.
"Taihiap, setiap orang yang memiliki kepandaian tentu akan tertarik oleh sayembara memasuki ujian pengawal itu, dan kurasa nenek tuli itu pun tidak terkecuali. Satu-satunya tempat di mana Taihiap mengharapkan untuk bertemu dengan dia, kurasa di Ceng-couw itulah tempatnya."
Siluman Kecil mengangguk dan memandang kagum. "Kau benar, mari kita berangkat!" Dan dia pun membedal kuda putih itu dengan cepat. Kongcu tampan itu tertawa dan membedal si Hitam untuk mengejar. Keduanya membalapkan dua ekor kuda itu sampai akhirnya mereka terpaksa berhenti dan menanti dua orang pelayan yang berteriak-teriak karena tertinggal jauh.
Ternyata kemudian oleh Siluman Kecil betapa menyenangkan melakukan perjalanan dengan Kang Swi, pemuda kaya yang royal itu. Mereka selalu makan di rumah makan besar dan kongcu itu memesan masakan-masakan yang termahal dan terbaik, bersikap royal sekali dan ternyata dia merupakan seorang dermawan besar. Setiap orang pengemis yang meminta selalu diberi uang yang tidak tanggung-tanggung banyaknya. Siauw-hong yang menjadi tukang kuda sampai mengacungkan jempolnya saking girang dan kagum terhadap Kang Swi.
"Kang-kongcu benar-behar seorang yang dermawan!" dia memuji. "Saya ikut menyatakan terima kasih atas kebaikan Kongcu terhadap para pengemis itu."
Akan tetapi Kang Swi tersenyum dan tidak kelihatan bangga, malah menjawab, "Aku dapat mencari uang dengan mudah sekali. Begini banyak uang untuk aku sendiri apa gunanya? Lebih baik kubagi-bagi kepada mereka yang membutuhkan!"
Siluman Kecil merasa makin kagum terhadap teman seperjalanan yang aneh ini. Memang bocah itu manja dan agak sombong, pikirnya, tinggi hati dan penuh rahasia, akan tetapi harus diakuinya bahwa Yang Swi memang berwatak dermawan.
Yang amat kagum dan senang hatinya adalah Siauw-hong. Baru sekarang dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa di dunia ini banyak pula orang-orang yang berbaik hati. Dalam beberapa hari saja dia sudah bertemu dengan tiga orang yang selain gagah perkasa dan aneh, juga amat baik. Pertama-tama dia bertemu dengan laki-laki berlengan sebelah yang menjamu para pengemis cilik dengan royal, kemudian Siluman Kecil yang telah tersohor sebagai seorang pendekar budiman, dan kini pemuda yang sikapnya penuh lagak dan agung-agungan ini ternyata lebih baik hati lagi.
Kota Ceng-couw di Propinsi Ho-nan hari itu kelihatan ramai sekali, jauh lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang luar kota membanjiri kota ini dan pagi-pagi sekali sudah banyak orang berduyun-duyun memasuki halaman yang luas di depan istana gubernur. Mereka semua ingin menonton ujian pemilihan calon pengawal dan perajurit.
Gubernur Ho-nan, yaitu Kui Cu Kam,tinggal di Lok-yang, yaitu kota yang menjadi ibu kota Ho-nan, akan tetapi dia mempunyai istana di Ceng-couw dan di kota inilah pemilihan perajurit itu diadakan. Seperti telah diketahui, Gubernur Ho-nan ini diam-diam ingin menanam kekuasaannya di Ho-nan, terlepas dari kedaulatan kaisar dan untuk keperluan ini, selain dia bersekongkol dengan semua fihak yang anti kerajaan, juga dia berusaha mengumpulkan orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi sebanyak mungkin. Untuk keperluan itu pula maka dia memerintahkan untuk mengadakan sayembara pemilihan calon pengawal di Cengcouw itu dan untuk urusan ini, dia telah menugaskan kepada Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It, jagoannya yang terkenal lihai itu, untuk membantu pembesar di Ceng-couw dalam mengawasi jalannya sayembara atau ujian pemasukan pengawal itu.
Karena banyaknya tamu dari luar kota, bukan hanya mereka yang ingin memasuki sayembara akan tetapi juga mereka yang ingin menonton, maka kota Ceng-couw menjadi sibuk sekali. Semua rumah penginapan, besar kecil, penuh dengan tamu, juga semua warung makan penuh dengan tamu sehingga banyak penduduk kota Ceng-couw hari itu benar-benar mengalami panen besar!
Karena banyaknya orang-orang aneh, jagoan-jagoan kang-ouw, memasuki kota Ceng-couw di hari itu, maka munculnya Siluman Kecil dan Kang Swi bersama dua orang pembantu mereka, tidak begitu menyolok dan menarik perhatian banyak orang, sungguhpun dua ekor kuda mereka, si Hitam dan si Putih, menimbulkan kekaguman banyak orang, terutama mereka yang mengenal kuda baik. Akan tetapi, Kang Swi sejak tadi bersungut-sungut dan marah-marah karena semua rumah penginapan telah penuh. Sukar bagi mereka untuk memperoleh kamar di rumah penginapan. Akhirnya, Kang Swi turun tangan sendiri, tidak mengandalkan dua orang pelayan itu untuk menanyakan kamar di rumah penginapan. Dia mendatangi sebuah rumah penginapan yang besar dan langsung dia menemui pemilik rumah penginapan itu.
"Saudara Kang, bukankah tadi A-cun dan Siauw-hong sudah menanyakan dan di situ sudah penuh pula?" Siluman Kecil menegur temannya itu ketika mereka turun dari atas punggung kuda di depan sebuah rumah penginapan besar.
"Hemmm, ingin kulihat sendiri apakah benar-benar sudah penuh semua, Taihiap."
"Sssttttt, harap Saudara Kang jangan menyebut aku Taihiap di tempat ramai ini, itu hanya akan menarik perhatian orang saja," Siluman Kecil berkata.
Kang Swi tersenyum, senyum pertama sejak dia merengut dan marah-marah karena belum memperoleh kamar tadi. Matanya berkedip-kedip menggoda, "Kenapa sih? Bukankah Taihiap memang pendekar sakti yang terkenal itu?"
"Sudahlah, aku tidak ingin dikenal orang."
"Kalau begitu, karena engkau lebih tua daripada aku, aku akan menyebutmu Twako (Kakak), akan tetapi siapa namamu?"
"Kau boleh menyebutku Twako, dan aku....aku tidak punya nama."
Kang Swi tertawa lagi. "Engkau sungguh seorang manusia aneh penuh rahasia, Twako. Nah, aku akan mencari kamar." Dia lalu berjalan memasuki penginapan besar itu sambil membawa kantung uangnya. Tak lama kemudian keluarlah dia dengan wajah berseri.
"Aku berhasil mendapatkan sebuah kamar!" teriaknya.
"Eh! Tadi saya sendiri yang menanyakan dan para pengurus itu bilang kamar telah penuh semua!" Siauw-hong berseru dengan penasaran.
"Tentu saja, memang penuh semua kata Kang Swi.
"Eh, Kang-kongcu.... kalau begitu...." Siauw-hong berkata heran.
"Yang kusewa adalah kamarnya. Kamar pemilik rumah penginapan itu sendiri. Dia mengalah dan bersama isterinya dia rela tidur di gudang malam ini dan menyerahkan kamarnya untukku." Dia tertawa dan sikapnya penuh lagak kemenangan. Diam-diam Siluman Kecil dapat menduga. Tentu dengan kekuasaan uang, pikirnya. Entah berapa puluh kali lipat dari harga biasa pemuda royal ini menyewa kamar itu.
"Akan tetapi sayang, kamarnya hanya satu untukku sendiri, dan untuk kalian bertiga terpaksa aku menyewakan sebuah kandang kosong karena memang sudah tidak ada kamar kosong lagi. Maaf, Twako."
"Hemmm....!" Siluman Kecil menggumam. "Di kandang atau di mana pun tidak ada bedanya bagiku." Pelayan muncul dan empat ekor kuda itu digiring ke kandang, juga tiga orang laki-laki itu. Kandang yang disulap menjadi kamar untuk mereka bertiga itu sudah dibersihkan dan lantainya ditutupi rumput kering. Bau rumput kering dan tahi kuda kering memang tidak begitu busuk, bahkan mempunyai kesedapan yang khas, akan tetapi tetap saja hati Siluman Kecil merasa mendongkol juga. Kurang ajar, pikirnya. Sungguh sekali ini dia tidak dihargai orang sama sekali! Dia, yang di mana-mana disambut orang dengan penuh penghormatan, kini tidur di kandang kuda, sedangkan pemuda royal berpakaian mewah dan banyak uangnya itu tidur sendirian di dalam kamar besar! Kalau dilanjutkan begini, pada suatu hari aku tentu akan menampar kepala yang sombong itu, pikirnya. Dan hal itu amat tidak baik karena pemuda itu, betapapun juga telah bersikap baik kepadanya, tidak sayang membelikan kuda untuk dia dan Siauw-hong dengan harga mahal.
"Aku harus cepat-cepat pergi menghindarinya," katanya dalam hati.
Dengan hati mengkal Siluman Kecil meninggalkan A-cun dan Siauw-hong di dalam kandang kuda itu dan dia keluar. Malam gelap, langit hitam pekat, akan tetapi banyak lampu dipasang di sekitar penginapan itu. Siluman Kecil melangkah keluar dengan niat hendak mencari warung untuk makan dan minum arak menghangatkan badan, karena malam itu dingin sekali sehingga perutnya terasa amat lapar.
"Ahhh...." Tiba-tiba dia mengeluh dalam hati dan merogoh semua saku bajunya untuk mencari kalau-kalau ada sisa uang di dalam salah saku bajunya. Namun percuma dan dia sudah menduganya. Semua sakunya kosong. Dia tidak mempunyai uang sepeser pun! Mana mungkin membeli makanan dan minuman? Mencuri? Mudah saja baginya, akan tetapi hal itu tidak sudi dia melakukannya. Minta? Hemmm, sedangkan seorang bocah jembel seperti Siauw-hong saja tidak sudi mengemis, apalagi dia!
"Twako! Kau di sini?" Tiba-tiba terdengar teguran orang dan wajah Siluman Kecil bersungut-sungut di dalam gelap. Pemuda congkak itu sudah berada disampingnya sambil tersenyum-senyum, seolah-olah mengerti akan kesukarannya, yaitu ingin makan minum akan tetapi tidak mempunyai uang! Dia hanya mengangguk, tidak ingat bahwa mungkin saja di dalam kegelapan itu pemuda she Kang itu tidak dapat melihat jawabannya tanpa kata itu.
"Twako, mari kita mencari minuman!" Kang Swi berkata dengan nada suara gembira. Sebelum Siluman Kecil sempat menjawab, tangannya sudah digandeng dan ditarik oleh pemuda itu dan diajak memasuki sebuah warung arak yang berada di sebelah rumah penginapan.
Muka Siluman Kecil terasa panas. Untung bahwa waktu itu malam, maka penerangan lampu warung yang kemerahan menyembunyikan perubahan mukanya yang menjadi merah. Bagaimana dia dapat menolaknya biarpun hatinya merasa amat tidak enak? Pemuda ini boleh jadi congkak dan agung-agungan, akan tetapi harus diakuinya amat ramah dan akrab. Mereka memasuki warung itu dan memilih tempat duduk di sudut. Seperti biasa, secara royal sekali Kang Swi menanyakan masakan istimewa dari warung itu dan memesan masakan macam-macam dan arak yang paling baik!
Siluman Kecil diam-diam menegur diri sendiri mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, melihat sikapnya yang demikian ramah, semua ketidaksenangan hatinya lenyap sama sekali! Malah dia mendapatkan dirinya makan minum dengan lahapnya, karena selain perutnya lapar, juga hawa yang dingin dan masakan yang lezat membuat dia menjadi seorang pelahap! Dan seperti biasa, yang diketahuinya semenjak dia melakukan perjalanan dengan Kang Swi, pemuda tampan ini makan sedikit sekali.
"Kenapa makanmu sedikit amat?" Dia pernah bertanya siang tadi.
"Habis, kalau sebegitu saja sudah kenyang, perlu apa banyak-banyak?" jawab yang ditanya.
"Pantas tubuhmu kecil!"
Dan sekatang, pemuda itu juga makan sedikit saja, biarpun hampir semua masakan dicobanya. Akan tetapi pemuda itu minum arak dengan lagak seorang jagoan minum.
"Agaknya engkau kuat minum arak, Kang-hiante," kata Siluman KeciL melihat wajah yang gembira itu. Kang Swi tersenyum dan diam-diam Siluman Kecil harus mengakui bahwa pemuda ini memang tampan sekali. Kalau tersenyum tampak deretan gigi yang putih bersih, kecil dan rata. Mulutnya berbentuk indah. Seperti mulut wanita saja.
"Ah, kaukira hanya engkau yang kuat minum, Twako? Mari kita bertanding minum arak, agar diketahui siapa di antara kita yang lebih kuat."
"Hemmm, engkau bisa mabuk nanti," Siluman Kecil menjawab sambil tersenyum melihat lagak pemuda yang seperti anak-anak itu.
"Eh, eh, engkau memandang rendah. Nah, mari kita coba. Berapa banyak pun engkau minum, akan kuimbangi, Twako!"
Siluman Kecil dapat menduga bahwa pemuda tampan ini memang bukan orang sembarangan, dan tentu memiliki kepandaian, akan tetapi karena sikapnya yang baik dan ramah, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus menguji kepandaiannya, biarpun dia ingin sekali tahu sampai di mana kelihaiannya. Maka sekarang dia, memperoleh kesempatan untuk menguji kekuatan minum pemuda itu dan bagi seorang ahli silat tinggi hal ini sudah dapat dipakai ukuran akan kekuatan tenaga dalam seseorang.
"Baiklah, aku akan minum tiga cawan berturut-turut." Siluman Kecil lalu minum tiga cawan arak berturut-turut.
Sambil tertawa dan dengan sikap memandang ringan, Kang Swi juga minum tiga cawan arak dan cara dia minum memang menunjukkan dia seorang ahli, sekali teguk saja setiap cawan lenyap memasuki perutnya yang kecil.
Siluman Kecil tersenyum. "Kau memang ahli minum, katanya dan kini dia minum berturut-turut lima cawan arak! Lalu dia memandang kepada temannya itu yang juga tersenyum dan tanpa berkata apa-apa pemuda tampan itu lalu dengan gerakan tangan cepat sekali minum sampai tujuh cawan arak berturut-turut! "Aku melebihi dua cawan, Twako," katanya sambil tersenyum lebar.
Siluman Kecil terkejut juga. Gerakan tangan pemuda itu demikian cepatnya dan biarpun sudah menghabiskan tiga dan tujuh cawan arak, akan tetapi sedikit pun jari-jari tangannya tidak pernah kelihatan gemetar dan jari-jari tangan itu masih tetap tenang ketika meletakkan kembali cawan kosong di atas meja. Padahal dia yang baru minum delapan cawan sudah merasakan betapa hawa arak yang keras naik ke dalam kepalanya yang tentu saja dapat ditekannya keluar dengan tenaga sinkangnya. Dia memandang wajah yang tersenyum ramah itu. Tidak enak juga kalau sampai Kang Swi diujinya terus sehingga menjadi mabuk, pikirnya. Sekarang pun sudah jelas bahwa dugaannya tidak salah. Pemuda ini memiliki sinkang yang cukup kuat. Biarlah dia minum lima cawan lagi.
"Kau memang hebat," katanya dan kini dia minum lagi lima cawan arak.
Akan tetapi Kang Swi memegang guci araknya. "Mengapa bersikap sungkan, Twako? Kita sama-sama kuat minum. Mari kita habiskan arak dari guci masing-masing." Dan pemuda tampan itu lalu mengangkat guci araknya, menempelkan bibir guci di mulutnya yang dibuka, kepalanya ditengadahkan dan guci itu lalu dimiringkan, araknya dituang dan seperti pancuran memasuki mulutnya yang ternganga sampai habislah arak dari dalam guci itu. Ketika dia menaruh kembali guci kosong ke atas meja, jari-jari tangannya masih tidak gemetar sama sekali sungguhpun mukanya yang putih itu menjadi agak kemerahan dan kepalanya agak bergoyang-goyang!
Siluman Kecil terkejut. Dia sudah menduga bahwa pemuda tampan itu memang memiliki sinkang yang kuat, akan tetapi tidak disangkanya sedemikian kuatnya. Maka gembiralah hatinya karena ternyata teman seperjalanannya ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia pun lalu minum semua arak dari gucinya. Setelah kemasukan arak yang masing-making tidak kurang dari tiga puluh cawan, Siluman Kecil melihat betapa wajah yang kemerahan itu makin berseri dan, sikap Kang Swi makin gembira! Kiranya ada pula sedikit hawa arak mempengaruhi pemuda ini dan diam-diam Siluman Kecil merasa girang karena bagaimanapun juga dialah yang menang dalam pertandingan ini. Pemuda itu biar pun belum dapat dikatakan mabuk, akan tetapi caranya bicara dan tersenyum sudah lebih ringan dan lebih gembira dari biasa, tanda bahwa dia telah dipengaruhi hawa arak.
Tiba-tiba pemuda itu tertawa sambil memandang keluar. Siluman Kecil juga memandang dan ternyata yang ditertawakan oleh Kang Swi itu adalah seorang laki-laki yang jalannya pincang. Orang ini mukanya penuh dengan kumis dan cambang bauk, amat lebat hampir menyembunyikan semua mukanya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Begitu masuk, orang ini duduk di sudut bagian depan dan sama sekali tidak mempedulikan para tamu lainnya yang mulai berdatangan untuk makan malam. Kemudian, dengan gerak tangannya dia memanggil pelayan. Ketika pelayan itu telah berdiri di depannya, si pincang itu membuat gerakan-gerakan tangan memesan nasi dan arak. Dari gerakannya dan dari suaranya yang hanya ah-ah-uh-uh itu tahulah Siluman Kecil bahwa orang itu, selain pincang, juga gagu.
"Heh-heh-heh!" Kang Swi tertawa-tawa melihat tingkah laku si gagu itu ketika memesan makanan dan minuman, membuat gerakan seperti orang sedang makan dan minum. Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Bocah ini terlalu lancang dan sembrono, pikirnya, mentertawakan orang begitu saja, apalagi cara tertawanya begitu terpingkal-pingkal seolah-olah pemuda tampan itu melihat suatu hal yang luar biasa lucunya. Padahal, apakah lucunya seorang gagu memesan makanan dan minuman? Tentu saja harus menggunakan gerak tangan!
"Hemmm, Hiante, jangan sembarangan mentertawakan orang!" tegurnya. "Apakah kau tidak melihat langkahnya tadi biarpun terpincang-pincang? Dan lihat sinar matanya! Hati-hatilah, jangan menghina orang, kurasa dia bukan orang sembarangan!."
"Ha-ha-ha!" kembali Kang Swi tertawa dan masih terdengar terkekeh biarpun dia sudah mendekap mulutnya. "Bagaimana tidak akan tertawa melihat yang selucu itu? Hi-hik, Twako.... apa kau tidak tahu, heh-heh...." Kang Swi kembali tertawa dan menutupi mulutnya sambil memejamkan mata menahan kegeliannya.
Tangis dan tawa biasanya amat menular. Melihat Kang Swi tertawa terpingkal-pingkal seperti itu, biarpun dia sendiri masih belum mengerti apa yang ditertawakannya, tanpa disadarinya Siluman Kecil juga tersenyum dan ikut gembira.
"Apa sih yang lucu?" tanyanya, kini menjadi ingin sekali untuk mengetahuinya.
"Twako, hi-hik aku tidak mentertawakan pincangnya atau gagunya, akan tetapi....heh-heh...."
"Ada apa sih?"
"Mungkin orang lain dapat dia kelabui, akan tetapi aku!" Kang Swi menepuk dada dengan lagak sombong. "Di depan hidung seorang ahli seperti aku dia berani main gila, ha-ha! Kumisnya terlalu ke atas dan agak miring penempelannya, dan cambangnya terlalu penuh di bagian pipi kiri. Ha-ha-ha, kalau tidak pandai menyamar, sungguh berbahaya permainan itu!" Pemuda ini terus tertawa ha-ha-hi-hi dan Siluman Kecil maklum bahwa biarpun tidak sampai mabuk, terlalu banyak arak itu membuat Kang Swi menjadi terlalu gembira sehingga dia khawatir kalau-kalau sampai menimbulkan persoalan. Betapapun juga, dia kini memperhatikan orang itu dan setelah mendengar kata-kata Kang Swi tadi, dia baru dapat melihat hal-hal yang hanya dapat diketahui oleh seorang ahli itu. Dan agaknya, temannya ini benar! Mencurigakan sekali si pincang itu. Mendengar orang tertawa, si pincang menengok, akan tetapi karena terhalang oleh pilar dan pot bunga, dia tidak melihat Siluman Kecil dan Kang Swi.
Siluman Kecil juga terpaksa ikut tertawa, lalu bertanya lirih, "Apakah kau mengenal dia?"
Kang Swi menggeleng kepala sambil tersenyum-senyum, pringas-pringis seperti orang sinting. Melihat keadaan temannya ini, Siluman Kecil merasa khawatir kalau-kalau ulahnya yang biasanya memang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan itu kini ditambah oleh pengaruh arak akan menimbulkan keributan, maka dia lalu bangkit dan mengajak kembali ke rumah penginapan. Kang Swi tidak membantah, dibayarnya harga makanan dengan royal, dan mengatakan bahwa uang kembalinya agar dibagi-bagi di antara para pelayan, kemudian dia berjalan bersama Siluman Kecil pergi meninggalkan warung, setelah sekali lagi tertawa ke arah si pincang, sedangkan Siluman Kecil menyembunyikan mukanya di balik rambutnya yang putih panjang.
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan rumah penginapan, terdengar teriakan tertahan, "Siluman Kecil....!"
Siluman Kecil dan Kang Swi terkejut dan cepat menoleh. Mereka masih sempat melihat dua orang perajurit dengan mata terbelalak dan muka pucat melarikan diri tergesa-gesa dari situ, menyelinap di antara orang banyak.
Siluman Kecil menarik napas panjang dan berbisik, "Sungguh tidak enak sekali. Di sini banyak orang mengenalku."
Kang Swi tersenyum. "Twako, agaknya di kota ini banyak terdapat orang-orang yang ketakutan melihat wajahmu yang tampan dan gagah...."
"Hemmm, tidak perlu mengejek!" Siluman Kecil menegur.
"Ah, aku salah bicara. Mereka takut mendengar namamu yang tersohor."
"Sudahlah, aku pun tidak mempunyai keperluan di sini. Malam ini aku akan pergi saja," kata Siluman Kecil.
"Eh-eh, apakah kau akan merelakan saja uangmu dibawa lari oleh nenek itu? Kurasa hanya di tempat keramaian besok sajalah kita dapat menemukan nenek itu."
"Bukankah ujian sudah dimulai hari ini?"
"Tidak, sudah kuselidiki. Hari ini hanya diadakan pemilihan di antara para pelamar, pemilihan dari mereka yang berkepandaian tinggi untuk dipertandingkan besok, memperebutkan kedudukan pengawal pribadi gubernur yang hanya akan dipilih tiga empat orang banyaknya. Selebihnya hanya akan diterima sebagai perajurit pengawal kalau memenuhi syarat. Jadi besoklah orang-orang kang-ouw akan bermunculan dan tentu kita akan dapat menemukan nenek itu."
"Akan tetapi aku banyak dikenal orang, hanya akan menimbulkan keributan saja." Siluman Kecil yang biasanya menyendiri itu merasa tidak enak kalau mengingat akan hal itu.
"Twako, Jangan khawatir. Aku tadi mentertawakan penyamaran konyol si pincang itu bukan karena sombong, akan tetapi karena aku benar-benar seorang ahli dalam mendandani orang. Kalau Twako besok kudandani, agaknya orang tuamu sendiri tidak akan dapat mengenalmu lagi, Twako. Dengan menyamar, Twako akan dapat menonton dengan leluasa, juga akan dapat mencari nenek penjual rumput itu."
Siluman Kecil menghela napas. Dia merasa kalah bicara dengan pemuda lincah ini. "Baiklah...." katanya.
"Dan maafkan aku, Twako. Bukan sekali-kali maksudku untuk merendahkan Twako dengan menyewakan, kandang kuda, akan tetapi apa boleh buat, kamar telah habis dan aku.... sejak kecil aku tidak bisa tidur sekamar dengan orang lain. Ataukah Twako yang memakai kamarku itu dan biar aku tidur di luar saja?"
"Ah, tidak....! Jangan....! Pakailah kamar itu sendiri, aku sudah biasa tidur di alam terbuka. Akan tetapi sungguh mengherankan. Mengapa sih kau tidak bisa tidur berdua dengan orang lain dalam satu kamar?"
"Sudah sejak kecil.... aku tidak bisa tidur kalau ada orang lain dalam kamarku."
Siluman Kecil terseret oleh sikap dan keanehan temannya itu, maka dia menggoda, "Hemmm, kalau begitu bagaimana kelak kalau kau kawin?"
"Ihhh! Twa ko sungguh ceriwis! Siapa yang mau kawin?" Setelah berkata demikian, Kang Swi berkelebat pergi memasuki rumah penginapan dengan gerakan cepat. Siluman Kecil tersenyum dan menggeleng-geleng kepala. Pemuda itu seperti anak kecil saja. Siauw-hong agaknya lebih dewasa daripada Kang Swi. Maka dia pun lalu memasuki kandang kuda dari pintu pekarangan samping dan ternyata A-cun dan Siauw-hong sudahh tidur. Siluman Kecil lalu duduk melakukan siulian dan ternyata enak mengaso di atas tumpukan rumput kering itu dan mendapatkan hembusan angin semilir yang lembut dan yang dapat memasuki kandang kuda.
******
Pada keesokan harinya, keadaan di kota Ceng-couw menjadi makin ramai. Dan memang keramaian sayembara itu terjadi pada hari ini, di mana para pelamar yang berkepandaian tinggi akan memperebutkan kedudukan pengawal-pengawal pribadi dari gubernur. Di antara ratusan orang pelamar, setelah diuji ketangkasan dan tenaganya kemarin, hanya ada belasan orang saja yang dicalonkan, dan tentu saja bagi mereka yang belum sempat diuji, kalau memiliki kepandaian, diperkenankan juga mengikuti pertandingan adu kepandaian itu.
Pekarangan yang merupakan alun-alun di depan istana gubernur penuh dengan manusia yang kesemuanya mengelilingi sebuah panggung yang tinggi dan luas, yang sengaja dibangun untuk keperluan itu. Karena panggung itu tinggi, maka biarpun mereka yang kebagian tempat agak jauh pun dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di atas panggung. Dan di tempat duduk kehormatan yang berada di depan istana, duduklah Gubernur Ho-nan sendiri, yaitu Gubernur Kui Cu Kam, dikelilingi oleh para pengawalnya dengan ketat untuk menjaga keselamatan gubernur ini. Sedangkan Cui-lo-mo Wan Lok It yang mengatur sayembara pemilihan pengawal itu, sejak kemarin sudah sibuk dan kini dia kadang-kadang kelihatan di dekat panggung, kadang-kadang tidak kelihatan karena si rambut merah dan pemabuk ini kadang-kadang mengadakan perondaan sendiri untuk menjamin kelancaran pemilihan itu dan juga menjaga keamanan gubernur yang berkenan menyaksikan pula pemilihan calon pengawal-pengawalnya itu.
Setelah matahari naik tinggi dan Gubernur Kui Cu Kam telah duduk di tempatnya, bersama dengan para pembesar-pembesar dan para pembantunya, tambur dan canang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa sayembara akan dimulai. Seperti semut-semut yang sibuk, orang-orang yang menonton bergerak mendekati panggung.
Kang Swi yang sudah siap dengan dandanan ringkas dan dengan pedang di punggung, sejak tadi telah siap dan kini dia mendatangi kandang kuda bersama seorang kakek keriputan. Kakek tua ini bukan lain adalah Siluman Kecil yang telah "disulap" menjadi kakek oleh tangan Kang Swi yang ternyata memang benar pandai sekali merias penyamaran itu, dan ternyata pemuda tampan ini sudah membawa perlengkapan untuk merias dan membuat penyamaran-penyamaran. Ternyata bahwa dia memang benar seorang ahli, maka tidak mengherankan kalau dia dapat mengetahui penyamaran si pincang yang gagu itu dan mencela penyamarannya.
Siluman Kecil menjadi kagum bukan main ketika dia melihat bayangan wajahnya sendiri yang sudah berubah menjadi seorang kakek itu di dalam cer min. Dia memuji kelihaian Kang Swi akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja. "Sekarang kau tidak khawatir akan dikenal orang lagi, Twako, dan dengan leluasa kau dapat mencari nenek itu di antara penonton."
A-cun, pelayan atau kacung pengiring Kang Swi, memandang dengan bengong terlongong kepada kakek tua yang datang bersama majikannya itu. Dia tidak berani bertanya kepada majikannya siapa adanya kakek itu, hanya dia merasa heran dari mana datangnya kakek itu yang memasuki kandang bersama majikannya.
"Eh, A-cun, di mana adanya Siauw-hong?" tanya pemuda tampan itu ketika dia tidak melihat si pengemis muda di situ.
"Dia? Ah, sejak tadi dia sudah pergi, Kongcu. Katanya dia hendak nonton keramaian."
"Hemmm, kalau begitu kau tinggaliah di sini menjaga kuda-kuda kita, A-cun, kami hendak pergi nonton keramaian juga," kata Kang Swi yang segera mengajak Siluman Kecil pergi. Kang Swi tidak lupa untuk membawa pedangnya yang digantung di punggungnya sehingga dia kelihatan gagah karena pagi hari itu dia mengenakan pakaian yang ringkas.
Setelah tiba di depan istana gubernur, ternyata di situ telah berkumpul banyak orang dan di atas panggung itu tengah terjadi pertandingan yang ramai, diikuti oleh sorak-sorai para penonton yang sudah terdengar dari tempat jauh. Siluman Kecil lalu memisahkan diri untuk mencari nenek pencuri uangnya dan mereka saling berjanji akan berjumpa kembali nanti di rumah penginapan. Kang Swi sendiri lalu menyelinap di antara penonton untuk mendekati panggung.
Ternyata pertandingan di atas panggung telah selesai. Seorang yang bertubuh gemuk pendek dirobohkan oleh seorang pemuda tinggi kurus. Pemuda tinggi kurus ini memang istimewa sekali. Dia bukan merupakan seorang di antara para calon yang kemarin terpilih, melainkan seorang yang baru muncul di antara penonton. Akan tetapi secara berturut-turut dia telah mengalahkan sepuluh orang calon terpilih dan masing-masing dirobohkan dalam waktu belasan jurus saja! Si gemuk pendek yang terakhir itu pun dirobohkannya dalam waktu sepuluh jurus, maka tentu saja kemenangan-kemenangannya disambut oleh sorak-sorai para penonton yang merasa kagum terhadap pemuda tinggi kurus berpakaian sederhana itu. Kini, atas perintah Honan Ciu-lo-mo yang dapat menilai kepandaian orang, pemuda itu dipersilakan untuk beristirahat lebih dulu. Pemuda itu mengangguk dan turun dari atas panggung, lenyap di antara para penonton.
Ketika Kang Swi tiba di dekat panggung, pemuda tinggi kurus itu sudah turun sehingga pemuda tampan dan royal ini tidak sempat melihat wajah pemuda yang sudah menang sepuluh kali itu. Kini pengatur pertandingan, seorang perwira tinggi besar dan tua, yaitu bukan lain adalah Su-ciangkun yang bernama Su Kiat, seorang di antara pengawal Gubernur Ho-nan, setelah menyuruh mundur pemuda tinggi kurus, lalu memanggil dengan suara nyaring nama seorang calon yang kemarin dipilih. Munculiah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang bertubuh kecil, yang muncul di panggung dengan muka agak pucat dan sikap yang sungkan dan jerih. Memang hati si kecil ini sudah jerih ketika menyaksikan betapa selain para calon, ternyata di antara banyak penonton itu terdapat orang pandai seperti pemuda tinggi kurus tadi. Oleh karena itu, belum juga bertanding, hatinya sudah merasa jerih dan dia kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Dengan sikap sungkan-sungkan dan merendah dia berdiri menanti di atas panggung, dengan kedua pundak ke muka sehingga tubuhnya kelihatan makin kecil lagi. Sebuah nama dipanggil lagi dan munculiah orang ke dua, juga seorang calon yang kemarin telah dipilih, yang mukanya kuning pucat dan mulutnya selalu tersenyum masam. Setelah diberi tanda oleh Perwira Su Kiat, mereka bergebrak dan bertanding. Akan tetapi, belum sampai dua puluh jurus, si kecil menang dan orang bermuka kuning pucat itu terlempar ke bawah panggung, disambut sorak-sorai penonton yang merasa kagum bahwa laki-laki yang pemalu dan bertubuh kecil itu ternyata lihai juga. Berturut-turut maju sampai lima orang calon, akan tetapi semuanya dikalahkan o leh si kecil yang lihai dan yang kini mulai menemukan kembali kepercayaannya kepada diri sendiri setelah berturut-turut memperoleh kemenangan. Habislah semua calon yang terpilih kemarin.
"Kini dibuka kesempatan kembali kepada para orang gagah yang hadir di antara penonton dan yang belum sempat didaftar kemarin, untuk mengikuti sayembara pertandingan dan dipersilakan naik ke atas panggung!" kata Perwira Su Kiat dengan suaranya yang menggeledek.
"Biar saya mencobanya!" Terdengar jawaban yang tidak kalah nyaringnya dan dari bawah panggung melayanglah sesosok tubuh yang tinggi besar. Semua penonton tertegun ketika melihat seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan kepalanya gundul, bukan gundul karena dicukur, melainkan memang gundul karena botak!
Dengan mulut menyeringai lebar, raksasa gundul ini menghampiri si kecil, lalu berkata, "Anak yang baik, lebih baik kau meloncat turun saja dengan tubuh utuh dan mengalah kepadaku."
Biarpun tadinya si kecil ini merasa jerih, akan tetapi kini setelah memperoleh kemenangan berturut-turut selama lima kali, hatinya sudah menjadi besar dan tentu saja dia marah sekali mendengar dirinya disebut "anak yang baik" oleh raksasa itu. Terdengar suara ketawa di antara para penonton mendengar ucapan itu dan si kecil menjadi merah mukanya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia lalu menyerang dengan pukulan kedua tangannya. Gerakannya memang gesit bukan main dan kemenangannya yang berturut-turut tadi pun mengandalkan kegesitannya itulah.
"Buk! Buk! Buk!" Secara bertubi-tubi dan cepat bukan main, kedua tangan jagoan kecil itu telah melakukan pukulan, dan anehnya si raksasa gundul itu menerima semua pukulan yang tepat mengenai perut dan dadanya itu tanpa menangkis atau mengelak, seolah-olah semua pukulan itu tidak dirasakannya sama sekali! Dan memang semua pukulan si kecil. itu seperti mengenai karet saja, membalik dan selagi si kecil terkejut setengah mati, tiba-tiba raksasa itu tertawa, tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu menyambar.
"Plakkk!" Sebuah tamparan mengenai bawah telinga si kecil dan dia mengeluh lalu roboh pingsan! Tentu saja peristiwa mengejutkan ini disambut oleh sorak-sorai para penonton. Si kecil tadi demikian lihainya, akan tetapi dengan sekali tamparan saja dia roboh pingsan oleh raksasa gundul itu. Maka dapat dibayangkan betapa lihainya si raksasa gundul ini! Dan tentu akan ramai sekali kalau raksasa gundul yang kebal ini diadu dengan pemuda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali tadi.
Agaknya, Perwira Su Kiat juga berpendapat demikian, dan dia sudah mencari-cari dengan pandang matanya ke arah menyelinapnya pemuda tinggi kurus tadi. Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan seorang pemuda tampan telah melompat dengan gerakan indah dan ringan ke atas panggung, menghadapi si raksasa gundul. Pemuda tampan ini tersenyum lebar dan memandang si raksasa dengan sinar mata berkilat. Di punggungnya pemuda ini kelihatan tergantung sebatang pedang dan pakaian pemuda ini biarpun ringkas namun amat perlente dan serba indah. Karena pemuda tampan ini berperawakan kecil ramping, maka berhadapan dengan raksasa gundul nampak perbedaan yang amat menyolok sekali. Yang satu kecil dan kelihatan halus lemah, sedangkan yang ke dua tinggi besar dan kelihatan kokoh kuat. Sungguh bukan merupakan lawan yang seimbang!
"Ha-ha, anak kecil mengapa ikut-ikutan dan ingin bertanding?"
"Lebih baik pulang, nanti dicari ibumu!"
"Belajar lagi sepuluh tahun baru datang ke sini!"
Teriakan-teriakan penonton yang dilontarkan kepada pemuda yang kelihatan masih remaja dan tampan itu disambut oleh pemuda itu dengah senyum simpul. Pemuda ini bukan lain adalah Kang Swi, pemuda tampan royal yang datang bersama Siluman Kecil. Dengan sikap tenang Kang Swi melangkah maju menghadapi si raksasa gundul.
"Heh, kau anak kecil yang lebih pantas membaca kitab daripada berada di sini! Si gundul berteriak.
"Benar, turun saja!"
"Buat apa mengantar nyawa sia-sia!"
"Mati konyol nanti! Sayang ketampananmu!"
Kang Swi tersenyum. Senang hatinya. Dia merasa yakin akan dapat mengalahkan raksasa gundul ini, maka makin hebat orang mengkhawatirkan dirinya, makin baiklah karena kemenangannya nanti akan terasa lebih nikmat. Dia menjura ke empat penjuru dengan lagak yang angkuh, sehingga Perwira Su Kiat yang juga memandang rendah pemuda remaja ini lalu berseru, "Hayo kalian berdua cepat memulai!"
Raksasa gundul itu lalu melangkah maju. "Bocah sombong, biarlah kau boleh memukulku, tanpa kulawan pun engkau akan kalah dan kedua tanganmu akan patah-patah dipakai memukul tubuhku." Banyak orang tertawa menyambut ucapan raksasa ini.
"Benarkah?" Kang Swi bertanya. "Hendak kucoba sampai di mana sih tebalnya kulitmu maka kau berani berkata demikian. Nah, terimalah ini!" Tangan kiri Kang Swi menyambar ke depan secara sembarangan.
"Syuuuttttt, plakkkkk!"
"Aughhh....!" Raksasa gundul itu jatuh berlutut dan kedua tangannya memegangi dada yang terkena tamparan Kang Swi. Tangan pemuda halus itu rasanya seperti tusukan pedang tajam yang menembus kekebalannya, dadanya terasa nyeri bukan main, panas dan perih. Semua penonton tadinya menyangka bahwa raksasa itu pura-pura saja untuk mempermainkan lawan, akan tetapi ketika mereka melihat wajah itu berkerut-merut menahan nyeri, kemudian muka raksasa itu menjadi merah dan matanya melotot marah, mereka terkejut dan terheran-heran. Benarkah tamparan yang perlahan itu membuat si raksasa yang kebal itu kesakitan? Sikap raksasa gundul itu menjawab keraguan mereka ketika si raksasa mengeluarkan suara gerengan marah dan tiba-tiba tubuhnya yang tadi berlutut itu menerjang ke depan. Gerakannya seperti seekor singa marah menerkam kambing, kedua lengan yang panjang itu dikembangkan, jari-jari tangan membentuk cakar hendak menerkam, matanya melotot dan mulutnya terbuka mengerikan!
Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, Kang Swi sudah meloncat ke samping tepat pada saat kedua tangan lawan sudah hampir dapat mencengkeramnya dan pada detik itu juga, kaki kanannya menendang ke arah lutut dan tangannya dengan jari terbuka menyambar ke arah lambung.
"Dukkk! Plakkk!"
Tak dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu terjelungkup ke depan dengan terpaksa, dan hidungnya mencium lantai panggung sehingga ketika dia merangkak bangun, hidungnya berdarah dan mulutnya menyeringai karena selain lututnya terasa nyeri, juga lambungnya mendadak menjadi mulas! Akan tetapi, dia menjadi makin penasaran dan marah, apalagi ketika mendengar para penonton bersorak riuh rendah. Tadi, ketika raksasa itu jatuh berlutut, para penonton masih belum yakin benar akan kelihaian Kang Swi, akan tetapi robohnya raksasa itu untuk kedua kalinya, kelihatan jelas oleh para penonton sehingga meledaklah pujian mereka terhadap Kang Swi. Tidak mereka sangka bahwa pemuda tampan yang masih muda sekali itu demikian hebatnya, dengan mudah saja dalam dua gebrakan telah merobohkan raksasa itu dua kali!
"Arghhhhh....!" Seperti suara seekor singa menggereng, raksasa gundul itu menyerang dan kini serangannya itu merupakan serangan maut yang mengerikan karena dia bukan hanya menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram dari kanan kiri, akan tetapi juga mempergunakan kepalanya yang gundul botak itu untuk menyeruduk ke arah dada Kang Swi!
"Hemmm....!" Kang Swi berseru mengejek dan tiba-tiba ketika dia menjejakkan kakinya, tubuhnya mencelat ke atas dengan gerakan cepat tak terduga sehingga serangan si raksasa itu luput dan tubuhnya terhuyung ke depan. Kang Swi yang meloncat tinggi ke atas itu kini sudah meluncur turun sambil membalikkan tubuh dan kakinya menginjak tengkuk lawan sambil mengerahkan tenaganya.
"Hekkk!" Tubuh tinggi besar itu terdorong ke bawah dan karena tadi dia menggunakan tenaga untuk menyeruduk, maka begitu diinjak tengkuknya, tenaga serudukannya bertambah dan kepalanya kini menyeruduk ke bawah dengan kekuatan dahsyat.
"Brakkkkk....!" Kepala itu menancap di lantai papan panggung, masuk sampai kelehernya dan kedua kakinya bergerak-gerak di atas panggung! Terdengar suara ketawa di sana-sini dari mulut mereka yang suka akan tontonan yang menyeramkan, akan tetapi banyak pula yang meringis dan merasa ngeri, mengira bahwa kepala botak itu pecah atau setidaknya tentu akan robek-robek.
Kang Swi mendekati, kakinya menendang.
"Bukkk!" Tubuh itu tercabut dan terlempar keluar panggung, jatuh berdebuk di bawah panggung dalam keadaan pingsan, dirubung banyak orang dan mereka ini terheran-heran karena kepala botak itu sama sekali tidak terluka, sungguhpun orangnya pingsan. Maka meledaklah sorak dan pujian yang dilontarkan orang kepada Kang Swi.
Diam-diam Perwira Su Kiat terkejut sekali. Hari ini dia telah banyak sekali melihat orang-orang yang kepandaiannya jauh melampaui tingkatnya! Apalagi perwira ini, bahkan Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It sendiri yang merupakan jagoan kepercayaan Gubernur Ho-nan terkejut melihat kepandaian Kang Swi. Pemuda tampan itu benar-benar hebat, entah mana lebih lihai dibandingkan dengan pemuda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali pertandingan tadi. Maka Ciu-lo-mo segera memberi isyarat kepada Su Kiat untuk memanggil pemuda tinggi kurus tadi, dan dia sendiri lalu duduk dan minum arak dari gucinya dengan hati penuh kegembiraan dan ketegangan hendak menyaksikan pertempuran yang tentu akan amat menarik antara kedua orang pemuda itu. Sementara itu, Gubernur Kui Cu Kam sendiri mengangguk-angguk dan memuji, dia merasa senang kalau mendapatkan seorang pengawal yang lihai dan tampan seperti Kang Swi itu.
"Orang muda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali tadi, kini dipersilakan naik ke panggung!" Su Kiat berseru dengan suara lantang.
Dia harus mengulang panggilannya sampai tiga kali, barulah kelihatan pemuda tinggi kurus itu naik ke atas panggung, sikapnya seperti orang ragu-ragu sehingga mengherankan hati semua orang.
Apakah pemuda tinggi kurus itu takut melawan pemuda tampan yang telah mengalahkan si raksasa gundul itu?
Kang Swi sendiri terkejut dan terheran-heran ketika dia memandang wajah pemuda itu karena ternyata bahwa pemuda itu bukan lain adalah tukang kudanya sendiri! Siauw-hong! Dia memang sudah menduga bahwa tukang kudanya itu adalah seorang pengemis muda yang memiliki kepandaian, akan tetapi sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa Siauw-hong yang hanya kebetulan saja bertemu dengan Siluman Kecil, kini ikut pula memasuki sayembara dan menurut ucapan perwira itu tadi telah menang sepuluh kali!
"Harap Ji-wi enghiong suka memperkenalkan kepada Taijin dan semua tamu yang terhormat!" terdengar Perwira Su Kiat yang mendapatkan isyarat dari Ciu-lo-mo berseru dari sudut panggung.
Siauw-hong dan Kang Swi segera menghadap ke arah tempat kehormatan, menjura ke arah para pembesar di situ dan terdengarlah Kang Swi berkata dengan suara lantang, "Hamba bernama Kang Swi!"
Siauw-hong juga menjura dan ber kata, suaranya lirih, tidak selantang suara pemuda royal itu, "Hamba bernama Siauw-hong!"
Su Kiat lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangannya. "Karena calon-calon sudah habis, maka untuk menentukan siapa pemenangnya, harap ji-wi enghiong suka mulai dengan pertandingan ini. Silakan!"
"Kongcu...." Siauw-hong berkata sambil memandang kepada calon lawannya dengan sinar mata penuh keraguan.
"Hemmm, kiranya engkau, Siauw-hong?" Kang Swi berkata lirih.
"Benar, Kongcu".
Kang Swi memandang kepada Siauw-hong dengan penuh perhatian dan diam-diam merasa tertarik sekali. Wajah itu kini tidak kotor seperti biasa, melainkan bersih dan pakaiannya, biarpun sederhana dan tidak mewah, namun rapi dan tidak ada tambalannya seperti kemarin. Wajah itu tampan sekali, biarpun agak kurus. Dipandang seperti itu, Siauw-hong merasa canggung dan malu.
"Harap maafkan, Kongcu, sebenarnya.... saya telah tamat belajar maka saya berhak menanggalkan pakaian pengemis itu. Saya saya ingin mencari pengalaman, maka saya memasuki saye
mbara ini, tidak saya sangka akan berhadapan dengan Kongcu sebagai saingan." Dia tersenyum, hanya sebentar saja senyumnya karena dia segera memandang dengan wajah serius kembali.
Kang Swi tertawa. "Bagus! Aku senang sekali dapat menguji kepandaianmu, Siauw-hong. Marilah!"
"Silakan Kongcu mulai," kata Siauw hong yang bersikap hormat dan merendah.
"Nah, jagalah seranganku!" Kang Swi menerjang maju dengan cepat dan Siauw-hong juga sudah bergerak cepat sekali mengelak dan balas menyerang. Gerakan pemuda pengemis ini mantap dan cepat, dari lengannya menyambar hawa pukulan yang membuktikan bahwa dia telah memiliki kekuatan sinkang yang cukup hebat. Kang Swi si pemuda tampan yang royal itu terkejut bukan main karena baru terbuka matanya bahwa tukang kudanya itu, yang dianggapn sebelumnya hanya pernah belajar silat saja, ternyata merupakan seorang ahli silat kelas tinggi! Apalagi ketika Siaw-hong mainkan ilmu silat yang penuh mengandung serangan-serangan totokan maut amat aneh dan cepat, dia sampai terdesak mundur!
Akan tetapi, pemuda hartawan she Kang ini mempunyai semacam watak yang buruk, yaitu dia selalu terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sehingga sedikit congkak dan memandang remeh kepandaian orang lain. Kini, biar pun sudah jelas padanya bahwa kepandaian Siauw-hong sama sekali tidak boleh dipandang ringan, namun dia bersikap sebagai seorang yang tingkatnya lebih tinggi hendak menguji kepandaian orang yang lebih rendah tingkatnya, maka dia sengaja main mundur dan hendak "menguras" kepandaian orang! Karena kekurang hati-hatian yang timbul dari kecongkakan inilah, ketika dia menangkis sambil mengelak, tanpa dapat dicegahnya lagi lengan dekat sikunya kena tertotok dan hampir saja dia berteriak karena untuk beberapa detik lamanya lengan, yang tertotok itu menjadi lumpuh! Namun, memang orang she Kang ini lihai bukan main. Tubuhnya sudah mencelat ke atas, tinggi sekali seperti seekor burung terbang, berjungkir balik sampai empat kali di udara dan ketika dia turun kembali, lengannya sudah sembuh dan kini baru dia tahu bahwa Siauw-hong benar-benar amat berbahaya kalau diberi kesempatan. Oleh karena itu, dia lalu menyerang dan mengeluarkan ilmu simpanannya. Dari kedua tangannya yang terbuka itu menyambar hawa yang mengeluarkan suara bersuitan seperti gerakan sebatang pedang tajam. Siauw-hong berseru kaget dan cepat mengelak ke sana-sini.
Di bawah panggung, menyelinap di antara banyak orang, Siluman Kecil juga kagum sekali. Dia belum berhasil menemukan nenek penjual sepatu rumput yang dianggapnya mencuri uangnya itu, maka dia berkesempatan pula menonton pertandingan antara dua orang yang dikenalnya dengan baik itu, dan terkejutlah Siluman Kecil. Tidak disang kanya bahwa mereka, terutama sekali Siauw-hong yang tidak mau mengaku siapa gurunya itu, ternyata adalah orang-orang yang benar-benar amat lihai, bukanlah ahli-ahli silat sembarangan saja! Dan kini dia memandang dengan penuh perhatian ilmu silat yang mujljat dari Kang Swi, maklum bahwa pukulan-pukulan yang mengandung hawa tajam bersuitan itu benar-benar amat berbahaya sekali. Dia dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan, selain Siauw-hong tentu kalah, juga pukulan itu mungkin saja mencelakakan pengemis muda itu. Dia pasti tidak akan mendiamkannya saja kalau sampai Kang Swi mencelakai Siauw-hong dalam pertandingan mengadu ilmu itu, pikirnya.
Perkiraan Siluman Kecil memang tidak salah. Siauw-hong terkejut setengah mati ketika melihat cara lawan ini menyerangnya. Hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bersuitan itu hebat bukan main dan ketika dia memberanikan diri menangkis dengan pengerahan sinkang, lengan bajunya robek-robek seperti terbabat pedang dan kulit lengannya terluka berdarah seperti disayat pisau tajam! Tentu saja dia meloncat ke belakang dan menjura. "Saya mengaku kalah!"
Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It yang tadi pun menonton pertandingan itu, merasa kagum dan juga girang karena dua orang ini benar-benar patut untuk menjadi rekannya dan menjadi pengawal-pengawal pribadi Gubernur Ho-nan karena kepandaian mereka boleh diandalkan! Akan tetapi selagi dia ingin memanggil kedua orang itu untuk menghadap gubernur, kelihatan ada orang meloncat naik ke atas panggung. Melihat ini, Siauw-hong yang sudah merasa kalah itu segera mundur dan diajak turun oleh Ho-nan Ciu-lo-mo yang mempersilakan dia menanti di bawah panggung.
Sementara itu, ketika Kang Swi melihat siapa yang meloncat ke atas panggung menghadapinya, dia tersenyum lebar. "Aihhh, kiranya badut sandiwara itu yang muncul!" Dia mengejek, dan orang pincang yang gagu itu hanya memandang tajam, kemudian dengan gerak tangan dia menantang.
Para penonton yang berada di sekeliling panggung memandang heran, ada pula yang tertawa. Bagaimana orang bercambang bauk yang baru datang ini demikian berani mati? Mungkin juga pernah belajar ilmu silat, akan tetapi melihat bahwa dia hanya seorang gagu dan seorang yang kakinya pincang pula, mana mungkin dapat melawan pemuda tampan yang ternyata amat lihai itu?
Akan tetapi, Kang Swi yang juga ingin sekali tahu sampai di mana kelihaian orang gagu dan pincang yang dia duga menyamar itu, segera menyambut tantangan dengan kata-kata nyaring, "Kau majulah!"
Si gagu sudah menerjang dengan pukulan sembarangan. Akan tetapi, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan yang berada di tempat itu, seperti Siauw-hong, Kang Swi sendiri, Ciu-lo-mo, Siluman Kecil dan orang-orang lain terkejut karena mereka ini maklum betapa di balik pukulan sembarangan itu tersembunyi hawa pukulan yang amat kuat. Kang Swi yang menangkis pukulan itu segera mengetahuinya karena tangkisannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkangnya ternyata bertemu dengan tenaga sakti yang amat dahsyat dan yang membuat dia terhuyung! Marahlah pemuda tampan ini. Sambil berteriak keras dia menerjang, langsung saja dia mengeluarkan ilmu pukulan yang mengandung hawa tajam bersuitan tadi. Akan tetapi sekali ini dia benar-benar bertemu tanding. Biarpun si gagu itu tidak mengeluarkan ilmu-ilmu tertentu yang dapat dikenal orang, melainkan bergerak sembarangan saja, bahkan gerakannya meniru gerakan lawan, namun tetap saja Kang Swi menjadi kewalahan! Pukulan-pukulannya dengan mudah dapat dielakkan atau ditangkis tanpa mengakibatkan apa-apa karena hawa pukulan mujijat yang tajam itu ternyata lenyap ditelan hawa pukulan dari lawannya, bahkan beberapa kali dia dibuat terhuyung ke belakang, terpelanting ke samping atau hampir jatuh terjerumus ke depan. Seolah-olah dia tidak berdaya dan dipermainkan oleh serangkum tenaga dahsyat yang menguasainya. Celakanya, secara aneh sekali tenaga si gagu itu kadang-kadang mengandung hawa panas membakar dan kadang-kadang dingin membekukan sehingga Kang Swi benar-benar menjadi bingung dan penasaran. Karena jelas bahwa dia kalah angin, dan betapapun dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya tetap saja dia terdesak, dia merasa tersinggung kehormatannya, maka Kang Swi meraba gagang pedangnya dengan maksud menggunakan senjatanya itu.
"Uh-uh-uhhh!" terdengar si gagu berseru keras dan tiba-tiba Kang Swi terpelanting roboh, dan dia hanya merasa betapa kakinya terangkat dan dia tidak dapat mencegah lagi tubuhnya terpelanting!
Sorak-sorai menyambut kemenangan si gagu ini. Akan tetapi Kang Swi menjadi amat marah. Dia meloncat bangun dan hendak mencabut pedangnya, akan tetapi ternyata Ho-nan Ciu-lo-mo telah berada di situ dan berkata, "Silakan Ji-wi ikut bersama kami menghadap gubernur!" Dan ternyata Siauw-hong juga sudah diajak oleh Wan Lok It ini. Sementara itu, Perwira Su Kiat mengumumkan bahwa kini telah terpilih tiga orang yang dianggap patut menjadi pengawal-pengawal pribadi di istana gubernur, yaitu yang pertama adalah si gagu, ke dua adalah Kang Swi, dan ke tiga adalah Siauw-hong.
Para penonton menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai memuji sedangkan tiga orang yang dipilih itu sudah diajak menghadap gubernur dan berlutut di depan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam yang merasa girang memperoleh tiga orang yang demikian gagah perkasa sehingga hal itu akan lebih memperkuat kedudukannya. Sang gubernur memuji-muji mereka bertiga dan menyatakan bahwa hari itu juga dia akan mengajak mereka bertiga kembali ke Lok-yang dan mereka itu langsung saja bertugas sebagai pengawal-pengawal istananya.
Perwira Su Kiat masih sibuk untuk mengadakan pemilihan calon-calon perajurit dan selagi para penonton masih memenuhi tempat itu, diam-diam Siluman Kecil menyelinap di antara banyak orang.
Tidak ada orang yang menaruh curiga kepadanya. Siapa yang akan mencurigai seorang kakek sederhana dan biasa saja, seorang kakek yang menjadi seorang di antara ribuan orang penonton itu?
Siluman Kecil melihat seorang yang pakaiannya penuh tambalan seperti pengemis menyelinap di antara banyak penonton dan hatinya tertarik sekali. Pengemis yang usianya setengah tua ini pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi bersih. Serupa benar dengan pakaian Siauw-hong sebelum pemuda itu berganti pakaian untuk mengikuti sayembara, sewaktu Siauw-hong masih menjadi seorang pengemis muda pula. Pakaian yang agaknya masih baru namun sudah penuh tambalan. Lebih tertarik lagi hatinya ketika dia melihat betapa ada seorang kakek agaknya membayangi pengemis itu dan ternyata olehnya bahwa kakek ini adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang sudah dikenalnya. Siapa yang tidak mengenal jagoan Ho-nan itu? Tentu saja dia sudah mengenal baik Ho-nan Ciu-lo-mo, apalagi pernah dia menjadi tamu kehormatan Gubernur Ho-nan ketika dia membersihkan Honan dari para penjahat sehingga dia memperoleh kehormatan diterima sebagai tamu kehormatan oleh gubernur dan dia sekalian menitipkan Phang Cui Lan kepada sang gubernur.
Melihat betapa Ciu-lo-mo membayangi atau lebih tepat mengejar pengemis setengah tua itu, Siluman Kecil merasa tertarik sekali dan dia pun cepat membayangi mereka berdua. Dan benar saja dugaannya. Ketika pengemis setengah tua itu telah keluar dari pekarangan semacam alun-alun yang penuh dengan penonton itu, dan agaknya dia maklum bahwa dia dibayangi oleh Ciu-lo-mo, pengemis itu lalu melarikan diri dengan gerakan cepat sekali. Ciu-lo-mo juga cepat mengejarnya dan diam-diam Siluman Kecil yang masih menyamar sebagai seorang kakek itu pun mengejar dari jauh, ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan oleh Ciu-lo-mo terhadap pengemis itu.
Suasana di kota agak sunyi karena semua orang tertarik untuk menonton sayembara di depan istana, maka pengemis itu yang berlari cepat dikejar oleh Ciu-lo-mo, dapat bergerak leluasa dan akhirnya yang berkejaran itu menuju ke pintu gerbang kota di sebelah utara. Pengemis itu ternyata dapat berlari cepat sekali sehingga sekian lamanya belum juga Ciu-lo-mo mampu menyusulnya. Ketika melihat betapa pengemis itu akan lolos dari pintu gerbang, Ciu-lo-mo cepat mengerahkan khikangnya dan berteriak memberi perintah kepada penjaga pintu gerbang untuk menutupkan pintu gerbang.
"Tutup pintu gerbang....! Jangan biarkan dia lolos....!" Suaranya menggema sampai jauh dan para penjaga pintu gerbang mengenal suara Ciu-lo-mo. Apalagi ketika para penjaga yang berjaga di menara pintu gerbang melihat dari atas betapa Ciu-lo-mo datang berlari dari jauh mengejar seorang pengemis yang juga berlari cepat sekali, mereka cepat-cepat memutar alat yang menggerakkan pintu gerbang itu. Pintu besi yang amat tebal dan berat itu bergerak perlahan dari kanan kiri, berderit-derit suaranya ketika bergerak di atas landasan besi.
Karena tergesa-gesa didorong oleh perintah Ciu-lo-mo, maka empat orang sekaligus maju memutar alat untuk menggerakkan daun pintu besi yang dua buah dan yang maju dari kanan kiri itu.
Dua buah daun pintu itu sudah hampir tertutup, tinggal dua jengkal lagi ketika pengemis itu akhirnya tiba di situ. Empat orang penjaga menghadangnya dengan tombak di tangan, akan tetapi dengan beberapa kali gerakan kaki tangannya, empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri dan pengemis itu bagaikan burung terbang cepatnya sudah menerjang ke arah pintu yang masih dua jengkal terbuka. Dia menggunakan kedua tangan menahan dua buah daun pintu. Terjadilah adu tenaga antara empat orang penjaga yang memutar alat penutup pintu dan si pengemis. Empat orang itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memutar alat yang tiba-tiba macet itu, namun sia-sia belaka. Dua orang penjaga maju lagi dan menyerang si pengemis yang mempertahankan daun pintu dengan golok, akan tetapi dua kali kaki pengemis itu menendang dan dua orang penjaga itu terlempar dan terbanting roboh. Kini pengemis itu mengeluarkan suara nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menyelinap melalui renggangan yang sebetulnya terlalu kecil untuk dilalui tubuhnya itu. Ternyata dia telah mempergunakan ilmu Sia-kut-hoat yang amat hebat sehingga dia dengan mudah dapat menerobos celah dua daun pintu itu dan lolos keluar dari pintu gerbang, tepat pada saat Ciu-lo-mo telah tiba di situ.
"Tolol! Buka pintu!" teriak Ciu-lo-mo ketika melihat daun pintu itu kini terus tertutup setelah tidak ditahan lagi oleh tangan pengemis. Mendengar bentakan ini, empat orang penjaga itu terkejut dan cepat memutar lagi alat untuk membuka daun pintu. Ciu-lo-mo lalu menerobos keluar dan melanjutkan pengejarannya. Para penjaga hanya melongo dan memandang dengan bingung ketika mereka melihat seorang kakek lain cepat berlari keluar dari pintu gerbang, tidak lama setelah Ciu-lo-mo lewat. Tentu saja kakek ini adalah Siluman Kecil yang terus membayangi mereka berdua.
Setelah keluar dari kota, kini pengemis itu berlari makin cepat lagi, akan tetapi Ciu-lo-mo yang merasa penasaran mengejar secepatnya sehingga setelah tiba di lereng bukit, dia hampir berhasil menyusul pengemis itu. Tiba-tiba pengemis itu berhenti dan mengeluarkan busur dan meluncurkan anak panah yang meletus ketika melayang sampai di tempat yang tinggi. Itu adalah tanda rahasia dan tentu saja Ciu-lo-mo menjadi makin curiga.
Kiranya sekarang pengemis itu tidak lari lagi, bahkan menyambut kedatangan Ciu-lo-mo dengan sikap tenang. Mereka berhadapan dan Ciu-lo-mo membentak, "Mata-mata laknat! Engkau tentu seorang mata-mata, hayo cepat berlutut dan menyerah dengan baik-baik daripada harus kupaksa dengan kekerasan!"
"Setan Arak, siapa yang takut kepadamu?" Pengemis setengah tua itu membentak.
"Mata-mata hina!" Ho-nan Ciu-lo-mo marah sekali dan guci arak di tangannya menyambar ganas ke arah kepala pengemis itu. Pengemis itu cepat mengelak dan balas menyerang dengan sebuah tongkat pendek yang ujungnya bercabang. Gerakannya gesit dan juga mengandung tenaga dahsyat maka cepat Ciu-lo-mo menangkis dengan guci araknya.
Tenaga mereka seimbang karena benturan dua macam senjata itu membuat keduanya terjengkang akan tetapi tidak sampai roboh. Melihat hal ini, Ciu-lo-mo tentu saja terkejut. Tak disangkanya bahwa pengemis itu demikian lihai, maka dia cepat menubruk dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan guci arak dan dengan tangan kirinya. Pengemis itu pun bergerak cepat, mengelak, menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang seru dan dari balik sebuah pohon besar, Siluman Kecil hanya menonton tanpa mencampuri pertandingan itu karena dia pun tidak mengenal siapa adanya pengemis setengah tua yang cukup lihai itu.
Tiba-tiba Ciu-lo-mo mengeluarkan suara melengking nyaring dan guci araknya menyambar dari bawah menghantam ke arah dada lawan. Serangan ini dahsyat sekali dan ketika pengemis itu menggerakkan tongkatnya untuk menangkis, dia terkejut bukan main melihat sinar keemasan menyambar ke arah mukanya. Itulah arak yang muncrat dari dalam guci, yang merupakan senjata rahasia yang amat aneh dan berbahaya.
"Ahhh....!" Pangemis itu menarik kepalanya ke belakang dan gerakan ini membuat tangkisannya menjadi kurang tepat.
"Trakkkkk....!" Tongkatnya patah dan dia terlempar ke belakang. Akan tetapi dia cepat sudah meloncat bangun dan melempar diri ke kiri sehingga terhindar dari pukulan maut yang disusulkan oleh Ciu-lo-mo.
"Tahan....!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan pada saat itu Ciu-lo-mo kembali sudah menyerang, akan tetapi dia merasa betapa ada serangkum hawa yang amat kuat mendorongnya dari samping membuat dia hampir roboh dan cepat-cepat dia melompat ke belakang dengan kaget sekali, lalu mengangkat muka memandang.
Ternyata yang muncul adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah, bersama seorang setengah tua yang juga bersikap gagah walaupun pakaian mereka sederhana. Siluman Kecil yang mengintai dari balik pohon, tadi kagum bukan main menyaksikan betapa kakek tua itu mendorong Ciu-lo-mo dari jarak jauh menggunakan tenaga sinkang yang amat hebat, dan dia mengenal kakek ini sebagai kakek pembeli sepatu rumput pada nenek penjual sepatu rumput, kakek yang memimpin rombongan beberapa orang. Dia menduga-duga siapa gerangan kakek tua yang memiliki kepandaian tinggi ini.
Sementara itu, Ciu-lo-mo terkejut bukan main ketika dia mengenal laki-laki setengah tua, karena dia tahu bahwa laki-laki itu bukan lain adalah Panglima Souw Kee An, komandan Pasukan Garuda yang dulu mengawal Pangeran Yung Hwa! Komandan yang lolos ketika dikepung dan telah terjerumus ke dalam selokan air di bawah tanah. Dan kini komandan Souw Kee An datang bersama kakek tua yang kelihatan lihai ini, maka tentu saja dia menjadi gentar. Menghadapi pengemis itu saja, dia sudah merasa agak sukar untuk memperoleh kemenangan, dan dia tahu bahwa kepandaian komandan Souw itu juga tinggi, setidaknya berimbang dengan dia.
Padahal kakek yang tadi hampir merobohkannya dengan dorongan dari jarak jauh itu sudah jelas merupakan lawan yang amat berat.
Ciu-lo-mo tidak akan menjadi orang kepercayaan Gubernur Ho-nan kalau dia, di samping kepandaiannya yang tinggi, tidak cerdik pula. Dia tahu bahwa menggunakan kekerasan merupakan kebodohan, maka dia cepat menjura ke arah komandan Souw Kee An dan menebalkan muka berkata ramah, "Ah, kiranya Souw-ciangkun yang datang! Kalau Cu-wi ada keperluan dengan taijin, silakan menghadap selagi taijin masih berada di Ceng-couw. Saya tadi mengejar dia karena sikapnya mencurigakan dan saya mengira dia seorang mata-mata musuh."
"Hemmm, memang dia mata-mata yang kami suruh menyelidiki ke Ceng-couw!" Tiba-tiba kakek tinggi tegap yang gagah itu berkata, suaranya menggeledek dan penuh wibawa. "Dan memang kami ingin bicara dengan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam taijin. Akan tetapi kami tidak sudi memasuki perangkap yang kalian pasang di Ceng-couw, seperti yang telah kalian lakukan terhadap Pangeran Yung Hwa. Ciu-lo-mo, kausampaikan kepada Gubernur Kui, kalau dia ingin damai, dia harus menemui kami di sini, bukan di istananya. Kalau tidak, maka terpaksa kami akan menghancurkan istananya dan menangkapnya sebagai seorang tawanan pemberontak!"
Biarpun tidak berani memperlihatkan sikap secara berterang karena dia merasa kedudukannya saat itu kalah kuat, namun di dalam hatinya Ciu-lo-mo mengejek kata-kata yang dianggapnya terlalu sombong ini. Tiga orang ini berada di wilayah Propinsi Ho-nan, akan tetapi berani mengeluarkan kata-kata sesombong itu! Agaknya, kakek tua itu dapat membaca isi hati Ciu-lo-mo, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa marah. Suaranya terdengar demikian keras sehingga bumi sekitar tempat itu seperti tergetar karenanya. Siluman Kecil sendiri memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi menjadi terkejut dan diam-diam dia kagum sekali, di dalam hati memuji kekuatan khikang kakek ini yang ternyata mahir ilmu Saicu-ho-kang (Ilmu Auman Singa). Ilmu seperti ini kalau dipergunakan untuk menyerang lawan, sekali mengaum saja cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat dan wibawanya melebihi singa tulen yang kalau hendak menangkap mangsa didahului dengan auman yang cukup membikin pingsan atau lumpuh binatang yang akan menjadi korbannya.
Ciu-lo-mo juga kaget setengah mati, apalagi ketika dia mendengar suara gegap-gempita, suara banyak sekali orang dari balik bukit. Keringat dingin membasahi leher dan dahi jagoan Ho-nan itu karena dia mengerti apa artinya itu. Kiranya kakek luar biasa ini bukan hanya datang sendirian, melainkan membawa bala tentara yang entah berapa banyaknya!
"Di sana terdapat selaksa perajurit pilihan yang sudah siap untuk menghancurkan daerah ini dan menangkap Gubernur Ho-nan kalau dia tidak mau hadir di sini. Nah, kau pergilah!" kata kakek itu dengan sikap penuh wibawa kepada Ciu-lo-mo.
Ciu-lo-mo bersikap hormat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kakek ini dapat memimpin pasukan yang begitu besar, tahu-tahu sudah memasuki Propinsi Ho-nan tanpa ada penjaga tapal batas yang datang memberi kabar. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek ini memang hebat luar biasa dan bahwa Propinsi Ho-nan terancam bahaya hebat. Dia menjura dengan hormat dan berkata, "Baiklah, saya akan menyampaikan pesan itu kepada Kui-taijin. Akan tetapi bolehkah saya mengetahui siapa gerangan Locianpwe, agar saya dapat memperkenalkan kepada Kui-taijin?"
Kakek itu tidak menjawab, bahkan memandang pun tidak kepada Ciu-lo-mo. Adalah komandan Souw Kee An yang menjawab, "Ketahuilah olehmu, Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It. Beliau ini adalah utusan yang dipercaya oleh Sri Baginda Kaisar untuk menuntut pertanggungan jawab Gubernur Ho-nan atas peristiwa yang terjadi di Ho-nan tempo hari. Dunia kang-ouw mengenal beliau sebagai Saicu Kai-ong (Raja Pengemis Singa) dan secara tidak resmi seluruh perkumpulan kai-pang (persatuan kaum pengemis) memujanya sebagai seorang pemimpin dan pengawas."
Siapakah sebenarnya kakek yang hebat ini? Memang kakek ini hanya terkenal di antara para tokoh dunia pengemis saja, sungguhpun dia tidak pernah berpakaian pengemis. Kakek ini yang berjuluk Sai-cu Kai-ong dan dianggap sebagai raja oleh seluruh pengemis yang bagaimana rendah sampai tinggi pun, yang lemah sampai yang sakti, ini sebenarnya bernama Yu Kong Tek dan memang nenek moyangnya dahulu merupakan tokoh-tokoh pengemis yang hebat-hebat. Yu Kong Tek ini masih keturunan dari Yu Jin Tianglo, ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang yang amat terkenal di jaman Suling Emas! Yu Jin Tianglo mempunyai putera Yu Kang, kemudian Yu Kang mempunyai putera Yu Siang Ki (baca cerita Mutiara Hitam) yang menikah dengan Song Goat puteri seorang berilmu yang berjuluk Si Raja Obat (Yok-ong) dan kemudian suami isteri ini hidup sebagai orang-orang biasa dan
membuka sebuah toko obat. Biarpun Yu Siang Ki sudah tidak mengurus perkumpulan pengemis, bahkan telah mengundurkan diri dari dunia pengemis, namun dia selalu masih menghargai kedudukan nenek moyangnya. Oleh karena itu, turun-menurun keluarga Yu ini masih menggunakan tradisi nenek moyang mereka, yaitu di waktu muda mengembara sebagai seorang pengemis untuk menggembleng diri lahir batin!
Sampai kepada Kakek Yu Kong Tek, tokoh ini pun tidak pernah melupakan tradisi nenek moyangnya dan biarpun dia sekarang sebagai seorang kakek tidak lagi berpakaian pengemis, namun dia memakai julukan pengemis, yaitu Sai-cu Kai-ong! Dan biarpun dia tidak langsung menjadi raja pengemis, namun namanya dikenal dan dihormati oleh seluruh kaum pengemis, dari anggauta terkecil sampai dengan para ketua perkumpulan yang berkepandaian tinggi. Bagi para pembaca yang telah membaca, cerita Suling Emas dan cerita Mutiara Hitam, tentu akan bertemu dengan nenek moyang Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek ini. Karena nenek moyangnya di fihak ayah adalah seorang ahli silat yang sakti sedangkan dari fihak ibu adalah seorang ahli pengobatan, maka Yu Kong Tek
ini selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga mahir ilmu pengobatan. Dia jarang muncul, namun akhirnya dapat menjadi kepercayaan kaisar karena komandan Souw Kee An yang memperkenalkan namanya kepada kaisar. Semenjak istana ditinggalkan oleh Puteri Milana, kaisar kehilangan orang kepercayaan yang memiliki kesaktian, maka banyak ponggawa yang setia memperkenalkan banyak orang-orang pandai, akan tetapi Sai-cu Kai-ong memperoleh kepercayan kaisar dan dalam kesempatan ini kepandaian dan kesetiaan tokoh ini diuji oleh kaisar dengan mengutusnya untuk membereskan kekacauan di Ho-nan.
Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It tidak mengenal kakek ini. Tokoh Ho-nan berambut merah yang lihai ini hanya pernah mendengar bahwa di kalangan para pengemis terdapat seorang tokoh yang dijunjung tinggi dan dihormat oleh para pengemis, yang besar sekali pengaruhnya secara turun-temurun dan ilmu silat keluarga tokoh ini kabarnya amat hebat, bahkan menurut dongeng, tidak kalah hebatnya oleh ilmu silat keluarga Suling Emas! Menurut dongeng yang didengarnya, antara keluarga tokoh pengemis itu dan keluarga Suling Emas, dahulu, ratusan tahun yang lalu, memang terdapat hubungan yang amat erat, seperti keluarga saja. Seperti dikabarkan orang, ilmu keluarga Suling Emas katanya terjatuh ke tangan keluarga Pulau Es, dan ilmu keluarga pengemis aneh itu entah terjatuh ke tangan siapa. Apakah benar kakek ini keturunan dari keluarga pengemis aneh itu? Hatinya penuh ketegangan dan setelah memberi hormat dan berjanji akan menyampaikan semua kepada majikannya, Ciu-lo-mo lalu pergi meninggalkan mereka.
Setelah jagoan Ho-nan yang berambut kemerahan dan membawa guci arak itu pergi, pengemis setengah tua yang tadi bertanding melawan Ciu-lo-mo segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gagah itu. "Su-hu!"
Kakek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong itu memandang muridnya dan bertanya, "Bagaimana hasil penyelidikanmu?"
Pengemis setengah tua itu adalah murid pertama dari Sai-cu Kai-ong dan dia pun hanya menggunakan nama julukan saja, sungguhpun dia masih memperkenalkan she-nya (nama keturunannya), yaitu she Gu. Dia berjuluk Gu Sin-kai (Pengemis Sakti she Gu). Mendengar pertanyaan gurunya, Gu Sin-kai lalu menceritakan tentang pemilihan pengawal yang diadakan oleh Gubernur Ho-nan, sampai dia dicurigai dan dikejar oleh Ho-nan Ciu-lo-mo tadi.
"Selain itu, teecu juga melihat suatu keanehan luar biasa, Suhu," sambungnya. "Teecu melihat sute, akan tetapi sungguh mengherankan teecu melihat sute memasuki sayembara pula dan dia berhasil dipilih sebagai pengawal gubernur tingkat ke tiga, yaitu sesudah seorang pincang gagu dan seorang kongcu yang tampan." Diceritakanlah jalannya pertandingan pemilihan pengawal itu.
Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya yang tebal. "Ahhhhh....! Memang telah kuberitahukan bahwa dia telah tamat belajar dan dia sudah bebas untuk menjadi pengemis atau orang biasa, akan tetapi sungguh tidak kuduga mengapa dia mengangkat diri menjadi pengawal Gubernur Ho-nan yang tersesat itu!"
Siluman Kecil yang masih mengintai dan mendengarkan, menjadi maklum bahwa ternyata Sai-cu Kai-ong yang gagah perkasa itu adalah guru dari Siauw-hong! Maka dia merasa tidak enak untuk mengintai terus, apalagi ketika guru dan murid itu membicarakan urusan mereka sendiri. Dia tidak perlu mendengarkan terus karena bagi dia masih banyak urusan menanti, yaitu mencari nenek pencuri dan kemudian mencari pencuri kitab-kitab pusaka Suling Emas. Maka keluarlah Siluman Kecil dari tempat persembunyian dan dia berjalan pergi.
"Eh, apakah dia itu temanmu?" Tiba-tiba Sai-cu Kai-ong bertanya kepada Gu Sin-kai.
"Teecu tidak mengenal dia, tidak tahu pula bahwa dia berada di sini."
"Ah....!" Sai-cu Kai-ong mengeluarkan suara gerengan seperti singa dan tahu-tahu tubuhnya mencelat ke depan dan karena dia menaruh curiga kepada kakek yang diam-diam menyelinap pergi dari tempat persembunyiannya itu, langsung saja Sai-cu Kai-ong mengulur tangan hendak mencengkeram pundak Siluman Kecil dan menangkapnya untuk diperiksa. Dia sedang memimpin pasukan dengan tugas amat penting dari kaisar, maka tentu saja kakek sakti itu harus bersikap waspada terhadap gerak-gerik musuh yang mungkin sudah menyebar mata-mata dan di antaranya barangkali adalah kakek yang hendak ditangkapnya itu.
"Wuuuttttt....!" Tangan Sai-cu Kai-ong seperti cakar singa yang menyambar, cepat dan kuat bukan main menuju ke pundak kiri Siluman Kecil.
"Plakkkkk!" Tanpa menoleh, Siluman Kecil menggerakkan tangannya menangkis sehingga dua tangan bertemu di udara. Keduanya tergetar dan Sai-cu Kai-ong yang tubuhnya masih melayang tadi, cepat berjungkir-balik dan turun ke atas tanah dengan mata terbelalak lebar! Sungguh tidak disangkanya bahwa orang itu mampu menangkis cengkeramannya dan bukan hanya mampu, bahkan dia merasa betapa lengannya tergetar hebat! Juga Siluman Kecil merasa lengannya tergetar, tanda bahwa Sai-cu Kai-ong memang benar seorang sakti yang memiliki sinkang kuat sekali.
Sai-cu Kai-ong makin curiga. Orang yang dapat menangkis dengan kekuatan seperti itu, malah agaknya jauh lebih kuat daripada Ciu-lo-mo tadi, tentulah seorang yang benar-benar merupakan mata-mata pilihan dari Gubernur Ho-nan dan merupakan bahaya bagi tugasnya. Maka dengan cepat dia sudah menerjang lagi, kini menambah tenaga dalam gerakan tangannya. Di lain fihak, ketika dia merasakan betapa lengannya sendiri tergetar hebat dalam pertemuan tangan tadi, Siluman Kecil menjadi gembira dan ingin sekali dia menguji kehebatan guru Siauw-hong itu, maka ketika melihat kakek gagah itu menyerang dengan cepat dan kuat, dia pun cepat bergerak mengelak dan balas menyerang tidak kalah hebatnya.
"Plak! Pla kkk!" Kembali ada pertemuan tenaga yang dahsyat melalui dua pasang telapak tangan dan keduanya terdorong mundur.
"Uhhh....!" Sai-cu Kai-ong makin penasaran, mendengus keras dan menyerang lagi. Akan tetapi, Siluman Kecil sudah lenyap dari depannya seperti setan dan tahu-tahu telah menyerangnya dari atas, mencengkeram ke arah batok kepalanya.
"Hebat....!" Sai-cu Kai-ong menggerakkan tubuhnya miring dan tangannya menyambar, dapat ditangkis oleh Siluman Kecil yang selanjutnya mengeluarkan ilmunya yang mujijat, yaitu gerakan yang amat cepat seperti berkelebatnya kilat, seperti seekor burung yang beterbangan ke sana-sini dengan kecepatan yang mentakjubkan. Namun, dia harus mengakui bahwa daya tahan kakek itu pun hebat sekali sehingga setelah dia berkelebatan dan bertanding sampai lima puluh jurus, barulah dia berhasil melubangi ujung lengan baju kakek itu.
"Bukan main....!" Sai-cu Kai-ong melompat ke belakang dan memeriksa lengan bajunya yang sudah bolong! Kalau tidak menghadapinya sendiri tentu dia tidak akan percaya. Biarpun hanya merupakan kekalahan tipis saja, namun ternyata bahwa kakek di depannya ini telah dapat mengalahkannya! Sungguh sukar dipercaya. Tidak mungkin kiranya kalau Gubernur Ho-nan memiliki mata-mata yang seperti itu kepandaiannya, sedangkan orang kepercayaan gubernur itu saja, si Ciu-lo-mo, tingkat kepandaiannya baru setingkat dengan muridnya, Gu Sin-kai. Di lain fihak, Siluman Kecil juga kagum karena kembali dia bertemu dengan seorang yang sakti! Kalau mereka berdua bertanding sungguh-sungguh, dia masih belum dapat memastikan apakah dia akan dapat mengalahkan kakek ini dengan mudah. Maka dia merasa ragu-ragu untuk maju, hanya menanti gerakan lawannya.
"Sabar, tahan dulu! Siapakah engkau dan mengapa engkau mengintai di sini?" tanya Sai-cu Kai-ong sambil memandang kakek di depannya itu penuh perhatian.
Siluman Kecil menjura dan menjawab, "Maaf, saya tidak sengaja mencampuri urusan Locianpwe. Saya kebetulan lewat, hanya orang lewat biasa saja.... maaf." Siluman Kecil menjura lagi dan memutar tubuhnya hendak pergi dari situ.
"Sahabat yang baik, tunggu dulu!" Sai-cu Kai-ong berseru. Kakek ini sungguh luar biasa, pikirnya, berwatak demikian sederhana dan merendah, kepandaiannya begitu tinggi namun masih menyebut dia "locianpwe". "Setelah kita bertemu di sini, setelah tanpa disengaja kita saling menguji kepandaian, apakah sahabat menganggap saya terlalu rendah untuk dijadikan kenalan? Saya disebut orang Sai-cu Kai-ong dan saya merasa kagum sekali kepadamu yang memiliki kepandaian hebat. Bolehkan saya mengetahui namamu yang terhormat?"
Siluman Kecil menggeleng kepalanya yang penuh rambut putih menutupi mukanya yang keriputan. "Saya tidak bernama....saya tidak mempunyai nama...."
Sai-cu Kai-ong tidak merasa heran mendengar ini. Dia maklum bahwa makin tinggi kepandaian orang, makin seganlah dia memperkenalkan namanya. Dia sendiri pun tidak pernah menyebutkan namanya sendiri dan membiarkan orang lain menamakannya. Tidak pernah nama aselinya, yaitu Yu Kong Tek, dikenal orang.
"Sahabat yang baik, biarpun engkau tidak sudi memperkenalkan nama, akan tetapi dengan hormat saya mengundangmu untuk menemani kami. Harap saja engkau orang tua tidak akan menolak undangan kami"
Siluman Kecil sebetulnya tidak suka untuk berkenalan dengan orang banyak. Akan tetapi, mendengar tentang urusan Pangeran Yung Hwa tadi, dia merasa tertarik sekali dan sebetulnya ingin juga dia mengetahui bagaimana perkembangan urusan yang menyangkut diri pangeran itu, maka tanpa banyak cakap dia lalu mengangguk. Sai-cu Kai-ong girang sekali dan dia lalu bersama Siluman Kecil, diiringkan oleh Gu Sin-kai dan Panglima Souw Kee An, kembali keperkemahan para pasukan di balik bukit, di mana dia menjamu Siluman Kecil dan bercakap-cakap tentang ilmu silat. Makin gembiralah hati Sai-cu Kai-ong mendengar betapa tamunya itu ternyata luas sekali pengetahuannya tentang ilmu silat. Sebaliknya, Siluman Kecil terkejut ketika mendengar pengakuan tuan rumah bahwa kakek gagah itu ternyata adalah keturunan dari para pendiri Khong-sim Kai-pang dan nenek moyangnya menjadi sahabat-sahabat baik dari keturunan Pendekar Sakti Suling Emas! Siluman Kecil mendengarkan pula penuturan tentang lenyapnya Pangeran Yung Hwa yang tadinya menjadi utusan kaisar, lenyap ketika terjadi keributan di taman bunga istana Gubernur Ho-nan.
Yang menceritakan urusan ini adalah Perwira Souw Kee An.
Menjelang sore hari itu, penjaga melaporkan bahwa di kejauhan muncul kurang lebih seribu orang perajurit dari Ho-nan dan utusan pasukan itu datang menyampaikan berita bahwa Gubernur Ho-nan telah datang untuk menemui pimpinan pasukan kota raja yang diutus oleh kaisar dan ingin bicara! Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk.
"Baik sekali kalau dia datang bicara," katanya di hadapan Siluman Kecil, Souw Kee An, dan Gu Sin-kai. "Aku pun tidak akan merasa senang kalau harus menggempur Ho-nan dan mengorbankan banyak perajurit dan rakyat yang tidak berdosa." Kakek gagah ini lalu memerintahkan penjaga untuk membawa utusan pasukan gubernur itu menghadap.
Setelah perajurit yang bermuka pucat itu menghadap, Sai-cu Kai-ong berkata, "Sampaikan kepada Gubernur Kui Cu Kam, bahkan saya akan menantinya di puncak bukit, dan saya mempersilakan dia datang tanpa pasukan, hanya bersama satu orang pengawal saja. Pergilah!"
Perajurit itu pergi dan Sai-cu Kai-ong berkata, "Sahabat yang baik, kini aku minta kepadamu untuk menemaniku menemui gubernur."
"Baik, Kai-ong," jawab Siluman Kecil. "saya pun ingin sekali mendengar bagaimana nasib pangeran itu." Siluman Kecil kini menyebut tuan rumah itu Kai-ong, karena Sai-cu Kai-ong menolak ketika disebutnya locianpwe. Sedangkan Saicu Kai-ong hanya menyebut Siluman Kecil "sahabat" saja karena Siluman Kecil berkeras tidak mau memperkenalkan namanya.
Berangkatlah dua orang itu ke puncak bukit. Dan mereka melihat bahwa dari depan, ada dua orang pula yang mendaki puncak bukit kecil itu dan ternyata mereka itu adalah Gubernur Kui Cu Kam sendiri yang dikawal oleh seorang kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, kepalanya botak, mantelnya lebar dan berwarna merah darah, dan mulutnya selalu menyeringai lebar dengan lagaknya yang congkak. Orang ini bukan lain adalah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang telah bersekutu dengan Gubernur Ho-nan!
Setelah empat orang ini saling berjumpa di puncak bukit itu, mereka tidak saling memberi hormat, melainkan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Akhirnya, Gubernur Ho-nan bertanya, "Menurut pelaporan Ciu-lo-mo, engkau mengundang kami datang ke sini. Apakah urusannya?" Dari suaranya, jelas bahwa gubernur ini marah sekali karena sesungguhnya dia datang dengan terpaksa karena khawatir mendengar ancaman itu, bahwa kalau dia tidak datang maka Hon-an akan diserbu. Menurut para penyelidiknya, memang ada sepuluh ribu orang perajurit kota raja siap di balik puncak bukit ini!
Sai-cu Kai-ong mengangguk dan berkata, "Gubernur Kui Cu Kam, kami memenuhi perintah kaisar untuk menuntut agar engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa dan memberi penjelasan akan sikapmu yang tidak layak itu!"
Suara Sai-cu Kai-ong menggeledek dan muka gubernur itu menjadi agak pucat. Akan tetapi, Ban Hwa Seng-jin hanya tersenyum mengejek dan memandang rendah, bahkan dia menggerak-gerakkan kakinya untuk menghilangkan lumpur dari bawah sepatunya pada sebongkah batu karang. Nampak bunga api berpijar ketika bawah sepatunya bertemu dengan batu karang dan ujung batu karang itu pun hancur lebur oleh injakan sepatunya yang dilapis tapal baja! Tentu saja suara tapal baja mengenai batu karang itu nyaring dan mengganggu dan memang inilah yang dimaksudkan oleh Ban Hwa Seng-jin untuk memperlihatkan sikap bahwa dia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada dua orang kakek di depannya itu.
Gubernur Kui tersenyum dan matanya yang sipit menyambar penuh kecerdikan. "Kalau memang manusia she Hok dari Ho-pei itu sudah mengadu ke sana, penjelasan dari kami apa lagi artinya? Tentu keadaan yang sebenarnya telah diputarbalikkan oleh orang she Hok Gubernur Hopei itu. Di antara dia dan kami memang sudah lama ada pertikaian mengenai wilayah di perbatasan, dan pertikaian itu meletus ketika dia mengantar Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar. Keributan antara dia dan kami serta para pembantu kami kedua fihak tak dapat dicegah lagi. Sudah tentu saja dia memutarbalikkan kenyataan dan mendongeng di kota raja bahwa fihak kami sengaja hendak mencelakakan Pangeran Yung Hwa. Padahal, fihak orang she Hok itulah yang sengaja memancing timbulnya keributan di taman istana kami agar dapat mempergunakan sebagai bahan fitnah."
Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya. Dia pribadi tentu saja tidak akan berfihak kepada Gubernur Ho-nan ini atau kepada Gubernur Ho-pei, dan dia tidak pula mengatahui apa urusannya antara mereka berdua. Akan tetapi sebagai utusan, dia hanya akan melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.
"Gubernur Kui, penjelasanmu tentu akan kami sampaikan kepada Sri Baginda Kaisar. Sekarang, kami harap engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa agar beliau dapat kembali ke kota raja bersama kami."
Gubernur itu kembali tersenyum, lalu berkata lantang, "Anggapan bahwa kami menangkap Pangeran Yung Hwa tentu timbul karena fitnah yang dilontarkan oleh Gubernur Ho-pei itu. Padahal, kami hanya melindungi Pangeran Yung Hwa karena kami tahu bahwa fihak Ho-pei tentu berusaha sekuat mungkin untuk dapat membunuh pangeran itu sehingga kemudian kami pula yang akan dituduh sebagai pembunuhnya. Pangeran Yung Hwa kami lindungi dan dalam keadaan selamat. Tentu akan kami bebaskan dan setelah mendengar perjelasan kami ini, maka pengiriman pasukan dari kota raja itu sungguh tidak pada tempatnya dan harap sekarang juga ditarik mundur kembali."
"Hemmm, mudah saja menarik mundur pasukan. Akan tetapi saya hanya akan menarik mundur pasukan kalau sudah melihat Pangeran Yung Hwa dibebaskan dan berada di antara kami."
"Orang tua yang tinggi hati! Kami mendengar bahwa engkau bukanlah seorang panglima, dan menurut Ciu-lo-mo, engkau hanya seorang kang-ouw yang berjuluk Sai-cu Kai-ong."
"Memang benar demikian," jawab kakek itu tenang.
"Mengapa orang seperti engkau tidak mempercayai kami?" bentak gubernur itu, marah bukan main bahwa seorang "raja pengemis" saja berani tidak percaya kepadanya."
"Tidak ada soal percaya atau tidak percaya, Kui-taijin. Kami hanya menjalankan tugas yang akan kami pertahankan sampai detik terakhir. Kami ulangi bahwa kami baru akan menarik mundur pasukan kalau Pangeran Yung Hwa sudah diserahkan kepada kami."
Gubernur itu menoleh kepada Ban Hwa Sengjin dan sampai beberapa lamanya mereka bertemu pandang, kemudian Gubernur Kui berkata, "Baiklah, kautunggu saja. Besok akan kami bebaskan Pangeran Yung Hwa. Hari sudah mulai gelap, kami akan kembali dulu." Setelah berkata demikian, gubernur itu mengangguk kepada Ban Hwa Sengjin. Koksu dari Nepal yang bertubuh seperti raksasa itu lalu memondong tubuh Gubernur Kui, kemudian dia berlari cepat sekali menuruni bukit itu. Gerakannya gesit dan larinya seperti terbang saja.
"Hemmm, raksasa itu lihai sekali dan gubernur itu amat cerdik," kata Sai-cu Kai-ong dan Siluman Kecil mengangguk.
"Saya kira juga ada sesuatu yang direncanakannya," kata Siluman Kecil.
Sai-cu Kai-ong lalu mengajak Siluman Kecil kembali ke perkemahan dan dia mengadakan rapat kilat di antara para pembantunya. Semua pembantunya juga menyatakan rasa curiga mereka terhadap Gubernur Kui, maka akhirnya diambil keputusan bahwa Sai-cu Kai-ong sendiri, dibantu oleh Gu Sin-kai, pergi menyelidiki ke istana Gubernur Kui di Lok-yang dan atas permintaan Sai-cu Kai-ong, Siluman Kecil mau juga menemani mereka. Berangkatlah mereka bertiga pada malam hari itu juga menuju ke Lok-yang.
Malam itu amat sunyi di istana gubernuran di kota Lok-yang. Karena menurut keterangan dari Ho-nan Ciu-lo-mo bahwa Gubernur Kui sedang sibuk dengan urusan penting dan belum sempat berbicara dengan tiga orang jagoan yang terpilih sebagai pengawal-pengawal pribadi, maka tiga orang yang memenangkan sayembara yang diadakan di Ceng-couw itu kini diserahi tugas menjaga keamanan di istana gubernuran, ditemani oleh Ciu-lo-mo sendiri. Seperti diceritakan di bagian depan, yang memang dalam pertandingan itu adalah tiga orang, yaitu pertama adalah laki-laki pincang yang gagu, ke dua adalah, Kang Swi pe muda royal itu, dan ke tiga adalah Siauw-hong, yaitu pengemis muda yang tadinya menjadi tukang kuda dari Kang Swi. Setelah menang dalam sayembara, Kang Swi memberikan empat ekor kudanya kepada A-cun, kacungnya itu dan menyuruh kacungnya itu pergi.
Kang Swi yang berwatak ugal-ugalan dan manja, juga agak angkuh itu, masih merasa penasaran karena dia hanya jatuh nomor dua, dinyatakan kalah oleh si pincang gagu! Padahal, siapakah si gagu itu? Orang yang sama sekali tidak punya nama! Benar-benar tidak punya nama karena si gagu itu tidak bisa menjawab ketika ditanyai namanya, dan ketika disuruh tuliskan namanya, dia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangannya sebagai tanda bahwa dia tidak dapat menulis. Pincang, gagu, dan buta huruf! Akan tetapi toh dianggap pengawal nomor satu dan dia berada di bawahnya!
Karena malam itu sunyi dan mereka menanti berita dari gubernur, maka mereka merasa kesal juga. Setelah makan malam, Ciu-lo-mo lalu mengajak mereka bermain kartu. Akan tetapi, dalam permainan ini pun si gagu amat bodoh dan sukar diajari sehingga Kang Swi merasa makin tidak senang.
"Aku berani bertaruh bahwa kumismu itu palsu, Gagu!" katanya. Karena tidak punya nama, maka laki-laki pincang gagu yang menjadi yang nomor satu atau juara di antara tiga pengawal baru yang terpilih itu, disebut Gagu. Dan si Gagu ini biarpun tidak pandai bicara, rupanya dapat mengerti semua kata-kata orang yang ditujukan kepadanya. Akan tetapi, ternyata orangnya pendiam, sabar dan terhadap goda-godaan dan gangguan-gangguan Kang Swi dia sama sekali tidak mau melayaninya.
"Kang-sicu, harap kau suka hentikan godaan-godaanmu itu. Jangan sampai dia menjadi marah dan terjadi keributan antara engkau dan dia." Ciu-lo-mo akhirnya menegur Kang Swi yang terus-menerus menggoda Gagu.
"Hemmm, kalau dia marah aku pun tidak takut," kata Kang Swi.
"Bukan soal takut, akan tetapi kalau sampai terjadi keributan di sini, bukankah hal itu tidak baik sekali?" Ciu-lo-mo menasihatinya. Akan tetapi, di dalam hatinya Kang Swi masih merasa penasaran dan marah karena dikalahkan oleh orang gagu dan pincang ini, maka dia tetap saja membantah.
"Mana dia berani ribut-ribut? Akan kubuka kedoknya kalau dia ribut-ribut. Dia ini orang palsu, entah darimana dia. Kalau dia berani ribut, kuajak keluar dia dan dalam pertandingan sungguh-sungguh, tentu pedangku mampu membuka kedoknya!"
Ciu-lo-mo mengerutkan alisnya dan tiba-tiba si gagu menggebrak meja, lalu bangkit berdiri dan meninggalkan mereka bertiga. Kang Swi juga bangkit, akan tetapi Ciu-lo-mo berkata, "Kang-sicu, harap kau jangan mencari keributan di sini. Biarlah dia sendiri dan jangan mengganggu lagi!" Suaranya mulai terdengar keras sehingga Kang Swi menengok kepadanya.
"Apa yang dikatakan oleh Ciu-lo-mo memang benar, Kang-kongcu. Sebagai pengawal-pengawal baru, sungguh tidak baik kalau membuat ribut-ribut. Kalau nanti taijin datang dan mendengar bahwa antara engkau dan si Gagu terjadi keributan, tentu beliau menjadi marah." Siauw-hong juga membujuk Kang Swi.
Pemuda tampan ini mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya seolah-olah dia tidak takut akan semua akibatnya, akan tetapi akhirnya dia duduk lagi dan mereka bertiga melanjutkan permainan mereka tanpa mempedulikan si Gagu yang kelihatan berjalan-jalan perlahan seperti orang yang sedang meronda, memandang ke sana-sini dengan penuh perhatian. Ketika Ciu-lo-mo menoleh kepadanya, si Gagu memberi isyarat dengan kedua tangannya bahwa dia hendak meronda dan berkeliling memeriksa istana itu untuk menjaga keamanan. Ciu-lo-mo dapat mengerti maksudnya, maka untuk mencegah agar jangan sampai si Gagu itu digoda terus oleh pemuda she Kang itu, dia mengangguk memberi ijin.
Mula-mula si Gagu meronda di dekat sekitar tempat itu dan masih kelihatan oleh tiga orang pengawal yang bermain kartu, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dirinya tidak lagi diperhatikan oleh tiga orang yang makin asyik bermain kartu setelah tidak ada gangguan dari si Gagu yang kurang pandai bermain, si Gagu menyelinap dan masuk ke bagian belakang dari istana itu. Dan begitu dia menyelinap masuk dan tidak nampak lagi oleh tiga orang itu, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dengan kecepatan luar biasa dia telah meloncat ke dalam taman dan mencari-cari! Agaknya dia tidak asing dengan tempat itu, buktinya dia berlari ke sana-sini dengan cepatnya dan akhirnya tibalah dia di tempat tahanan yang tersembunyi, yaitu di bagian ujung belakang istana. Dia melihat enam orang perajurit pengawal berjaga di luar sebuah kamar sambil bercakap-cakap. Si Gagu lalu keluar dari tempat sembunyinya, dan berjalan seenaknya menghampiri mereka. Enam orang perajurit itu ketika melihat si Gagu, cepat berdiri dan memberi hormat. Mereka tentu saja sudah mengenal si Gagu yang telah diperkenalkan kepada semua pasukan pengawal, bahkan tiga orang pengawal pribadi gubernur yang baru itu tadi menjadi bahan percakapan mereka, terutama si Gagu ini yang membuat mereka merasa kagum sekali. Pincang, gagu dan kabarnya buta huruf, namun memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga mengalahkan semua peserta sayembara. Bahkan mereka mendengar bahwa tingkat kepandaian si Gagu ini kiranya masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Ciu-lo-mo sendiri.
"Selamat malam, Ciangkun!" kata mereka serentak, bingung harus menyebut apa kepada si Gagu yang tak bernama ini.
Si Gagu mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, kemudian dengan tangannya dia menuding ke arah kamar dan menunjuk dada sendiri, lalu menunjuk dua orang di antara mereka. Dengan jelas dia memberi isyarat bahwa dia ingin memeriksa kamar itu dan minta agar ditemani oleh dua orang diantara mereka. Mereka saling pandang dengan ragu-ragu, akan tetapi karena si Gagu ini adalah orang baru yang menjadi pengawal pribadi gubernur, mereka tentu saja tidak berani membantah, apalagi ada mereka di situ, dan si Gagu minta diantar oleh dua orang. Dua orang pengawal lalu mengantarnya membuka pintu kamar dengan kunci dan masuklah mereka bertiga.
Ternyata Pangeran Yung Hwa yang berada di dalam kamar itu, kamar yang cukup mewah dan indah, dan pangeran itu kelihatan sehat-sehat saja, bahkan ketika mereka memasuki kamar itu, pangeran yang muda itu sedang asyik membaca kitab. Ketika mendengar pintu dibuka, dia menoleh dan memandang tiga orang yang masuk itu dengan alis berkerut, kemudian Pangeran Yung Hwa membentak, "Mau apa kalian? Berani sekali masuk tanpa kupanggil!"
Dua orang pengawal itu menjura dengan hormat sekali. "Harap Paduka maafkan, Pangeran. Perwira....eh, Gagu yang baru saja diangkat menjadi pengawal ini...." Tiba-tiba orang itu menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, berbareng dengan temannya dia sudah roboh pingsan ditotok dengan jari-jari tangan si Gagu di arah tengkuk mereka. Si Gagu cepat menyambar tubuh mereka agar tidak roboh. Pangeran Yung Hwa tentu saja terkejut sekali, akan tetapi tiba-tiba orang yang dinamakan Gagu itu berkata lirih kepadanya, "Harap Paduka tenang saja, Pangeran. Saya datang untuk menolong Paduka keluar dari tempat tahanan ini."
Ternyata si Gagu itu sama sekali tidak gagu! Bahkan dia dapat bicara dengan halus sekali.
"Akan tetapi...." Pangeran Yung Hwa berkata dengan mata terbelalak, bingung dan juga curiga.
"Sssttttt...." Si Gagu itu memberi tanda dengan jari di depan bibir, kemudian dia berjalan ke pintu, membuka pintu sedikit dan memberi isyarat kepada para penjaga di luar pintu agar dua di antara mereka masuk. Dua orang pengawal bergegas masuk, akan tetapi begitu mereka tiba di dalam, sebelum mereka sempat berteriak, mereka sudah roboh oleh totokan si Gagu yang amat lihai. Kembali dia menjenguk keluar pintu dan dua orang penjaga lainnya dipanggilnya masuk dengan isyarat tangan, dan mereka ini pun dirobohkannya. Enam orang pengawal itu roboh semua dalam keadaan pingsan tertotok!
"Apa artinya ini?" Pangeran Yung Hwa bertanya sambil berdiri tegak dan memandang tajam kepada orang yang tidak dikenalnya itu.
"Maaf, Pangeran. Kiranya tidak banyak waktu untuk memberi penjelasan. Akan tetapi saya datang untuk membebaskan Paduka...."
"Ah, akan tetapi aku tidak ditahan! Aku malah dilindungi di sini."
Si Gagu menjadi terkejut dan memandang heran. "Dilindungi?"
"Benar, Gubernur Ho-nan telah menyelamatkan aku dan melindungi aku dari ancaman Gubernur Ho-pei yang hendak memberontak! Aku tidak diperbolehkan kembali karena khawatir kalau tertimpa bencana, bahkan katanya sampai sekarang orang-orangnya Gubernur Ho-pei masih mencari-cariku. Dan kau.... jangan-jangan.... kau...." Pangeran itu memandang tajam penuh kekhawatiran.
"Ah, Paduka telah ditipu! Gubernur Ho-nan itulah yang akan memberontak! Saya mengalaminya sendiri, juga Gubernur Ho-pei hampir saja tewas! Percayalah Paduka kepada saya, dan mari kita lari selagi masih ada waktu."
"Hemmm, engkau orang aneh, aku tidak mengenalmu, akan tetapi.... memang aku juga selalu curiga kepada Gubernur Ho-nan. Katanya aku selalu dilindungi dan dijaga, akan tetapi aku dilarang keluar dari kamar, seperti orang tahanan saja."
"Memang Paduka ditawan...., marilah...." Si Gagu lalu menggandeng tangan Pangeran Yung Hwa diajak lari keluar dari dalam kamar itu. Dengan cepat dia mengajak pangeran itu ke ruangan dalam dan dia mencari-cari jalan keluar yang paling aman. "Sebaiknya kalau saya menyelidiki dulu keadaan di luar harap Paduka menunggu...." bisiknya dan dia lalu menghampiri jendela ruangan itu, menjenguk keluar untuk melihat keadaan.
Kemudian perlahan-lahan dia membuka pintu ruangan itu untuk meneliti keadaan di luar.
"Wuuuttttt....!" Terkejutlah si Gagu ketika dia melihat ada bayangan orang menyambar turun dari atas genteng dan tahu-tahu orang itu telah tiba di depan pintu ruangan. Orang ini adalah seorang pengemis setengah tua. Si Gagu terkejut sekali melihat munculnya seorang yang berpakaian pengemis. Juga pengemis itu pun terkejut melihat seorang laki-laki bercambang bauk berada di dalam tempat itu bersama Pangeran Yung Hwa yang sudah dikenalnya.
"Pangeran, harap, Paduka tenang. Kami datang untuk menolong Paduka!" kata si pengemis dan secepat kilat dia sudah menyerang si Gagu! Tentu saja si Gagu terkejut dan dia pun cepat mengelak dan balas menyerang, karena dia sendiri tidak percaya bahwa pengemis ini datang untuk menolong Pangeran Yung Hwa. Keadaan negara sedang kacau dan banyak terdapat orang-orang yang berniat membantu pemberontak, maka dia tidak boleh percaya kepada siapapun juga dalam hal menolong Pangeran Yung Hwa ini.
Pengemis setengah tua itu bukan lain adalah Gu Sin-kai, murid dari Sai-cu Kai-ong yang datang ke istana itu bersama gurunya dan Siluman Kecil. Mereka bertiga melakukan penyelidikan secara berpencar untuk mencari tempat ditahannya Pangeran Yung Hwa dan kebetulan sekali Gu Sin-kai melihat si Gagu bersama Pangeran Yung Hwa di dalam ruangan itu. Tentu saja Gu Sin-kai menganggap si Gagu itu orangnya gubernur dan langsung saja dia menyerangnya. Terjadilah pertempuran di dalam ruangan itu. Pangeran Yung Hwa sendiri hanya menonton saja dengan bingung. Dua orang yang saling hantam ini keduanya mengaku datang hendak
menolongnya, akan tetapi kedua-duanya tidak dia kenal, maka tentu saja dia tidak tahu harus percaya dan membantu yang mana. Karena itulah maka dia diam saja dan hanya menanti perkembangan selanjutnya.
Akan tetapi ternyata kepandaian si Gagu terlalu tinggi bagi Gu Sin-kai dan dalam belasan jurus saja Gu Sin-kai sudah terdesak hebat sekali sampai beberapa kali terhuyung dan nyaris roboh. Baiknya bagi pengemis ini adalah kenyataannya bahwa si Gagu tidak mau menurunkan tangan besi, karena kalau demikian, kiranya pengemis itu sudah roboh sejak tadi.
Tiba-tiba terdengar suara menggeledek, "Muridku, mundurlah kau!" Dan dari luar menerjang masuk seorang kakek yang gagah perkasa, yang datang-datang terus menerjang si Gagu dengan pukulan yang mendatangkan angin bersuitan saking kuatnya tenaga sinkang yang terkandung di dalamnya. Gu Sin-kai cepat melompat mundur dan hatinya girang melihat kedatangan gurunya, yaitu Saicu Kai-ong.
Seorang kakek lain yang sebenarnya adalah penyamaran Siluman Keciil, juga sudah tiba di situ dan Siluman Kecil hanya menonton saja ketika melihat Sai-cu Kai-ong bertanding melawan laki-laki penuh cambang bauk itu. Tidak perlu membantu seorang yang sakti seperti Sai-cu Kai-ong, pikirnya dan di dunia ini jarang ada orang yang akan mampu menandingi kakek itu.
Akan tetapi, makin lama dia menjadi makin terheran-heran dan memandang dengan mata terbelalak kaget dan kagum ketika dia melihat betapa lawan Sai-cu Kai-ong itu ternyata memiliki gerakan yang cepat dan hebat bukan main! Tentu saja Sai-cu Kai-ong sendiri merasa terkejut ketika tangkisan lengan lawannya itu membuat dia terhuyung ke belakang. Dia menjadi penasaran dan menubruk dengan pengerahan tenaga dahsyat karena dia ingin cepat merobohkan lawan ini agar dapat menolong Pangeran Yung Hwa.
"Desssss....!" Pertemuan tenaga itu amat hebatnya dan akibatnya tubuh Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan dia harus berjungkir-balik beberapa kali baru dapat berdiri dan memandang kepada lawannya dengan mata terbelalak. Kemudian dia menerjang lagi dan kini Siluman Kecil yang menjadi bengong. Orang itu ternyata dapat melancarkan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang dari Pulau Es!
"Keparat!" bentaknya dan ketika kembali Sai-cu Kai-ong terdorong mundur dengan muka pucat dan tubuh menggigil kedinginan, Siluman Kecil sudah menerjang ke depan, disambut oleh si Gagu dengan sama kuatnya. Keduanya terkejut karena ternyata serangan mereka dapat dielakkan oleh lawan dengan mudah. Melihat kesaktian lawannya, Siluman Kecil langsung saja mengeluarkan ilmu nya, ilmu yang hebat, yaitu ilmu gerak kilat yang diberi nama Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang Awan). Hebat bukan main
pertandingan itu. Tubuh Siluman Kecil mencelat ke sana-sini, namun tidak mudah baginya untuk dapat mengalahkan si Gagu yang ternyata benar-benar sakti dan menyimpan banyak ilmu-ilmu mujijat dan sakti itu.
Sai-cu Kai-ong yang berdiri menonton berkali-kali menggeleng kepalanya. Baru sekarang ini selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang seperti ini hebatnya. Dia seorang sakti, keturunan dari keluarga yang gagah perkasa, namun pandang matanya sampai menjadi kabur ketika dia menyaksikan kakek berambut putih itu bertanding melawan laki-laki bercambang bauk. Sukar mengatakan siapa yang terdesak karena keduanya berkelebatan seperti dua ekor burung garuda bertanding di angkasa. Di seluruh ruangan itu menyambar-nyambar angin pukulan yang bercampur aduk, sebentar panas sebentar dingin sehingga Pangeran Yung Hwa sendiri sudah bersembunyi di balik meja di sudut ruangan karena tidak tahan menghadapi sambaran-sambaran angin itu. Kulit mukanya terasa sakit semua dilanda hawa yang amat panas dan kadang-kadang berubah amat dingin itu, bahkan Gu Sin-kai sendiri juga sudah menjauh sampai mepet dinding ruangan.
Si Gagu agaknya merasa penasaran bukan main. Selama ini, dia hanya mengeluarkan sebagian kecil saja kepandaiannya untuk melayani musuh, akan tetapi sekarang ini, biarpun dia sudah mengeluarkan semua ilmu simpanannya, dia masih tidak mampu menang, bahkan mulai terdesak karena gerakan kilat lawannya benar-benar amat hebat. Dengan penasaran dia lalu mengerahkan seluruh tenaga di kedua tangannya, lalu memukul dengan dorongan kuat.
Siluman Kecil terkejut bukan main. Dia tahu bahwa pukulan lawannya itu merupakan pukulan maut yang amat hebat, maka dia pun lalu menerimanya dengan dua tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga sakti yang selama ini dilatihnya, yaitu tenaga sakti yang merupakan penggabungan dari inti tenaga Im dan Yang.
"Bresssss....! Tubuh si Gagu terlempar seperti sehelai daun tertiup angin dan tubuh Siluman Kecil terhuyung-huyung sampai jauh ke belakang. Hebat bukan main pertemuan tenaga itu, terasa oleh semua orang dan dinding ruangan itu sampai tergetar. Tubuh si Gagu rebah terlentang dan dia mengeluh perlahan, kulitnya luka-luka seperti terkena air mendidih. Cambang bauk dan kumisnya ternyata palsu semua dan kini cambang bauk itu copot semua, meninggalkan pemuda yang tampan. Akan tetapi, Siluman Kecli juga kehilangan topeng penyamarannya yang dilakukan oleh Kang Swi. Topeng itu terkupas oleh hawa pukulan lawan sehingga
kelihatanlah wajah yang aseli, wajah seorang pemuda yang tampan akan tetapi dengan rambut panjang berwarna putih semua, wajah Siluman Kecil yang aseli!
"Kokooooo....!" Tiba-tiba Siluman Kecil lari dan menubruk si "Gagu" yang masih terlentang di atas lantai ruangan itu. "Koko.... ah, Kian Lee koko.... kiranya engkau.... ya Tuhan, apa yang telah kulakukan tadi....?" Dan Siluman Kecil merangkul dan memeluk tubuh si "Gagu" itu dan menangis sejadi-jadinya!
Semua orang terkejut bukan main menyaksikan peristiwa aneh ini. Sai-cu Kai-ong sampai melongo karena tidak disangkanya bahwa "kakek" sakti yang menjadi temannya itu ternyata adalah seorang yang masih amat muda dan yang kini menangis, seperti anak kecil memeluk bekas lawannya yang juga masih amat muda.
Sementara itu, si "Gagu" yang ternyata adalah penyamaran Suma Kian Lee, membuka mata memandang orang yang memeluknya. Luka yang dideritanya akibat pukulan gabungan tenaga Im dan Yang dari Siluman kecil itu hebat sekali, akan tetapi dia tidak pingsan, bahkan kini dia tidak mengeluh sama sekali, menahan rasa nyeri yang seolah-olah menghancurkan seluruh tulang di dalam tubuhnya.
Mula-mula dia memandang penuh keraguan ke arah wajah pemuda berambut putih itu, rambut putih itulah yang meragukannya, akan tetapi kemudian dia pun menggerakkan kedua lengannya yang lemah, memeluk dan ber kata, "Aihhhhh.... Kian Bu adikku.... sayang, betapa sukarnya mencarimu, Bu-te. Engkaukah kiranya si kakek rambut putih tadi? Bukan main, adikku, kau hebat.... sekali...., ah, kau maju pesat sekali.... uhhh, adikku, betapa selama bertahun-tahun aku rindu kepadamu, Bu-te...."
"Koko, ah, Koko.... apa yang telah kulakukan tadi....?" Siluman Kecil yang ternyata bukan lain adalah Suma Kian Bu, masih menangis melihat keadaan kakaknya. Pukulannya tadi hebat sekali, pukulan yang dilatihnya selama bertahun-tahun ini, pukulan yang mengandung penggabungan dari inti tenaga sakti Im dan Yang. Di tempat asal mereka, yaitu di Pulau Es, mereka berdua memang telah digembleng oleh ayah mereka, Si Pendekar Super Sakti, dan telah melatih diri dengan ilmu inti hawa sakti Im, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, inti dari hawa sakti Yang. Dan ayah mereka pun telah melatih mereka dengan penggabungan antara kedua ilmu itu, akan tetapi penggabungan itu hanya merupakan kerja sama, yaitu menggunakan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang secara bergantian, atau juga berbareng dengan tangan kanan dan kiri. Akan tetapi, penggabungan kedua tenaga yang berlawanan, sehingga merupakan tenaga yang mujijat sekali, yang ketika melatihnya hampir saja mengorbankan nyawanya akan tetapi ternyata dia telah berhasil menguasai tenaga mujijat itu. Dan kini, yang menjadi korban adalah kakaknya sendiri!
"Sudahlah,.... jangan berduka, adikku.... aku.... aku mati pun tidak akan penasaran.... engkau tidak bersalah.... kita saling menyamar dan tidak mengenal.. .. dan kau hebat sekali, Bu-te....eh, adikku, kenapa rambutmu menjadi putih semua....? Apakah untuk menyamar? Bu-te.... kalau kau pulang nanti.... jangan bilang kepada Ayah dan Ibu.... bahwa.... kita saling bertanding...." Napas Kian Lee terengah-engah dan agaknya sukar sekali baginya untuk bicara.
"Koko....!" Kian Bu memeluknya. Sampai dalam keadaan hampir tewas pun kakaknya ini tidak menyalahkannya, bahkan ingin agar tidak sampai diketahui oleh orang tua mereka bahwa adiknya yang telah memukulnya seperti itu! "Kian Lee koko.... kalau kau mati.... aku pun tidak mau hidup!"
"Ah, jangan begitu, Bu-te...." Kakak dan adik ini berpelukan. Melihat ini, Saicu Kai-ong yang sejak tadi melongo dan hanya mendengarkan saja dua orang pemuda luar blasa itu berangkulan dan bicara, kini melangkah maju dan berkata.
"Biarkan saya memeriksa dan mengobatinya."
Kian Bu menoleh kepadanya. "Locianpwe, dia ini kakakku, dan dia hampir tewas oleh pukulanku sendiri. Kalau Locianpwe dapat menyembuhkannya, aku Suma Kian Bu akan berterima kasih sekali dan tidak akan melupakan budimu."
"Suma....?" Kini Sai-cu Kai-ong terkejut setengah mati.
"Kalian she Suma? Ada hubungan apa dengan majikan Pulau Es, Suma Han?"
"Dia adalah ayah kami...." kata Suma Kian Bu dengan suara lirih dan lemah.
"Ahhh....! Ya Tuhan, kalian putera Pendekar Super Sakti dan telah saling hantam sendiri? Minggirlah, biarkan aku memeriksanya dan aku akan berusaha mati-matian untuk menyelamatkan dia."
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut. Ternyata kini pasukan pengawal telah mengepung ruangan itu! Melihat munculnya banyak pengawal, otomatis Kian Bu memondong tubuh kakaknya sedangkan Sai-cu Kai-ong cepat memondong Pangeran Yung Hwa.
"Darimana datangnya penjahat-penjahat yang bosan hidup berani mengancam di sini?" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan seperti seekor burung melayang tahu-tahu di antara para pasukan pengawal itu meloncat masuk seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Kang Swi. Pemuda ini langsung menyerang ke arah Sai-cu Kai-ong untuk merampas Pangeran Yung Hwa yang dipondong oleh kakek itu. Akan tetapi, kakek gagah perkasa itu sudah melompat ke samping dan terdengar Gu Sin-kai membentak marah lalu kakek pengemis inilah yang menerjang dan menyambut Kang Swi. Mereka segera bertanding dengan hebat sedangkan para pengawal sudah menyerbu ke dalam ruangan itu sehingga kakek gagah perkasa dan Kian Bu yang masing-masing menggendong Pangeran Yung Hwa dan Kian Lee, mengamuk dengan tamparan satu tangan dan tendangan-tendangan kaki mereka.
Sepak terjang kakek itu hebat, dan Kian Bu yang marah dan berduka melihat keadaan kakaknya, juga marah bukan main sehingga setiap tendangan atau tamparan tangannya tentu merobohkan seorang pengeroyok. Senjata-senjata beterbangan dan para pengeroyok terlempar ke sana-sini di tengah-tengah teriakan-teriakan mereka.
Akan tetapi, Gu Sin-kai terdesak hebat oleh Kang Swi yang amat lihai, apalagi setelah Kang Swi mencabut pedangnya. Biarpun Gu Sin-kai melawan mati-matian dengan tongkatnya, namun tetap saja dia menjadi kewalahan karena pedang di tangan Kang Swi benar-benar amat lihai, mengeluarkan suara bersuitan dan mengandung hawa yang panas dan tajam. Tiba-tiba Gu Sin-kai berteriak kaget ketika ujung pedang itu mencium pundaknya sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah.
"Mundurlah, Gu Sin-kai, biarkan saya yang menghadapinya!" teriak Kian Bu marah dan biarpun dia menggunakan tangan kirinya untuk memanggul tubuh kakaknya, namun dengan berani dia menerjang Kang Swi dengan tangan kosong.
"Wuuuuuttt....!" Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda royal itu.
"Eihhhhh...., kau....?" Kang Swi berseru kaget sekali, tidak mengira bahwa Siluman Kecil yang telah menjadi "sahabatnya" itu kini menyerangnya demikian ganas. Dia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan itu membuat dia terdorong mundur dan terhuyung-huyung!
"Saudara Kang Swi, mundurlah! Kau telah keliru membela orang! Gubernur Ho-nan adalah seorang pemberontak," Kian Bu berkata. "Jangan kau halangi kami menyelamatkan Pangeran Yung Hwa!"
"Twako, aku telah menjadi pengawal, aku harus setia kepada tugasku. Kembalikan Pangeran Yung Hwa dan aku akan membiarkan kalian pergi dengan baik-baik!" kata Kang Swi.
"Bandel, kalau begitu terpaksa kita harus menjadi lawan!" Kian Bu menerjang lagi. Kang Swi menyambut dengan pedangnya yang ditusukkan ke arah lambung Kian Bu sedangkan kakinya menendang ke arah lutut Siluman Kecil itu.
"Huhhh!" Kian Bu mendengus, tangannya tidak ditarik mundur melainkan langsung menangkis pedang itu! Dan dia pun menyambut tendangan lawan dengan tendangan kakinya.
"Tranggg.... dukkk.... aihhhhh....!" Kang Swi menjerit dan tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting keras dan dia bangkit duduk dengan mata terbelalak sambil memijit-mijit kakinya. Tulang keringnya bertemu dengan kaki Siluman Kecil, bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk-nusuk tulang sumsum, sedangkan pedangnya yang bertemu dengan tangan pendekar itu tadi telah terlempar, entah lenyap kemana. Tentu saja dia bengong dan hampir tidak percaya bahwa dia dirobohkan dalam segebrakan saja, dan betapa pedangnya ditangkis oleh tangan kosong saja!
Akan tetapi, Kian Bu tidak mempedulikannya lagi karena pada saat itu telah muncul Ho-nan Ciu-lo-mo dan Siauw-hong! Di belakang mereka nampak banyak pengawal lagi yang memenuhi tempat itu!
Ho-nan Ciu-lo-mo segera mengenal Kian Lee yang berada di atas pundak Kian Bu, maka tahulah dia bahwa istana itu telah kebobolan mata-mata dari Ho-pei, akan tetapi ketika dia melihat Sai-cu Kai-ong, dia terkejut setengah mati. Kiranya orang tua gagah yang memimpin pasukan besar dari kota raja itu pun telah berada di situ dan kini sudah memondong Pangeran Yung Hwa. Dia maklum akan siasat majikannya, maka dia lalu membentak marah, "Penculik-penculik hina, lepaskan Pangeran Yung Hwa!" bentaknya dan bersama beberapa orang pembantu dia sudah menerjang maju. Akan tetapi Kian Bu yang tidak ingin melihat pangeran itu terancam bahaya, sudah memapaki si muka dan rambut merah itu dengan tamparan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memondong tubuh kakaknya.
"Wuuuttttt....!" Ciu-lo-mo cepat mengelak dan terkejut melihat sambaran tenaga dahsyat itu. Cepat dia menggerakkan guci araknya menyerang ke arah kepala Kian Bu, sedangkan arak dari guci itu muncrat menyerang ke arah muka Kian Lee yang setengah pingsan.
"Keparat!" Kian Bu. membentak, dengan gerakan tangannya dia menangkis dan sekaligus membuyarkan percikan arak itu dengan tiupan mulutnya.
"Tranggg!" Guci arak membalik dan nyaris terlepas dari tangan Ciu-lo-mo saking kerasnya terpental oleh tangkisan itu.
"Hong-ji (Anak Hong)....!" Terdengar Sai-cu Kai-ong berseru ketika dia melihat Siauw-hong menyerbu ke dalam.
"Suhu....!"
"Apa kau sudah gila? Kau membantu musuh-musuhku?" Kakek itu membentak lagi sambil merobohkan seorang pengawal yang menyerangnya dengan golok dari samping dengan tendangan kakinya yang panjang dan besar.
"Suhu....!" Siauw-hong memandang bingung. "Teecu.... teecu menjadi pengawal dengan baik...."
"Tolol! Yang kaubantu adalah seorang pemberontak!"
"Ahhhhh....!" Siauw-hong memandang bingung.
"Hayo kaubantu kami keluar dari tempat ini, menyelamatkan Pangeran ini!" Kakek itu kembali berseru.
"Baik, Suhu!" Siauw-hong berseru dan kini dia membalik, sekali bergerak dia telah merobohkan dua orang pengawal!
Akan tetapi, kini banyak sekali pengawal yang sudah mengepung tempat itu sehingga tidak ada lagi jalan keluar yang terbuka. Para pengawal yang tidak kebagian ruangan berjejal di depan pintu dan jendela, siap dengan senjata di tangan untuk menggantikan kawan-kawan mereka yang roboh. Melihat ini, Kian Bu merasa khawatir. Betapapun lihainya mereka, menghadapi begitu banyak lawan di tempat sempit ini amat berbahaya, pikirnya. Apalagi amat berbahaya bagi kakaknya yang terluka parah.
"Mampuslah!" Dia membentak dan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang ke arah Ciu-lo-mo. Kakek pemabuk ini terkejut mendengar suara pukulan yang bercicitan suaranya itu. Dia cepat menggerakkan guci araknya dengan sepenuh tenaga untuk menangkis.
"Pyarrrrr....!" Guci arak itu pecah berantakan araknya muncrat berhamburan dan tubuh si muka dan rambut merah itu roboh terjengkang!
"Siauw-hong, kautolong panggul kakakku ini, biar aku membuka jalanl" Tiba-tiba Kian Bu berseru kepada Siauw-hong yang juga masih mengamuk dan melindungi suhunya.
"Baik, Taihiap,"' jawab Siauw-hong dan dia cepat mendekati Kian Bu dan menerima tubuh Kian Lee yang sudah lemas setengah pingsan itu lalu dipondongnya.
Melihat ini, Sai-cu Kai-ong merasa girang. "Hong-ji, kau sudah mengenal pendekar ini?" tanyanya sambil bergerak ke sana-sini sambil menggerakkan lengan bajunya yang lebar untuk menghalau senjata-senjata yang datang menyerangnya.
"Tentu saja, Suhu," jawab Siauw-hong sambil meloncat ke kiri untuk membiarkan lewat sebatang tombak yang menusuknya, kemudian tangan kanannya mendorong dan si pemegang to mbak itu menjerit dan roboh terjengkang.
"Taihiap ini adalah Siluman Kecil."
"Ahhhhh...." Sai-cu Kai-ong berteriak kaget. Sungguh dia telah mendengar banyak hal yang aneh dan mengejutkan. Tadi, pemuda berambut putih itu mengaku sebagai putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan kini ternyata menurut penuturan muridnya, pemuda itu adalah juga Siluman Kecil yang namanya sudah tersohor!
Kini Kian Bu yang sudah tidak lagi memondong tubuh kakaknya, mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Dia menggunakan ilmunya yang mujijat, yaitu ilmu Sin-ho-coan-in, tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dengan cepatnya dan kedua tangannya menyambar-nyambar ganas sehingga dalam waktu pendek saja, semua pengawal yang berada di ruangan itu sudah roboh malang melintang seperti disambar petir.
"Mari keluar, biar aku membuka jalan!" teriaknya dan dia sudah menerjang ke pintu, sekali dorong saja dia merobohkan enam orang pengawal di luar pintu. Tentu saja kehebatan pemuda yang rambutnya putih terurai ini mengejutkan orang-orang, apalagi ketika mereka mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Siluman Kecil!
"Siluman Kecil....!"
"Celaka, dia mengamuk. Minggir....!"
Para perwira pengawal dan para anggauta pengawal yang sudah pernah melihat bayangan Siluman Kecil, bahkan pernah menyanjungnya sebagai seorang pendekar perkasa yang mengamankan Ho-nan, menjadi gentar sekali dan mereka semua mundur. Memang nama Siluman Kecil sudah terkenal sekali di Ho-nan. Dia pernah membersihkan Ho-nan dari gangguan orang-orang jahat, bahkan pernah mengakurkan semua fihak yang bertentangan dari orang-orang kang-ouw, dan dia pernah diterima oleh Gubernur Ho-nan sendiri sebagai seorang pahlawan. Dan kini, Siluman Kecil mengamuk dan membantu orang-orang yang hendak melarikan Pangeran Yung Hwa. Keraguan dan rasa jerih menghantui hati para pengawal sehingga mereka tidak banyak melawan atau menghalangi ketika Kian Bu mempelopori teman-temannya keluar dari ruangan itu dan langsung melarikan diri keluar dari daerah istana gubernuran.
"Siluman Kecil mengamuk!"
"Siluman Kecil melarikan Pangeran Yung Hwa!"
Teriakan-teriakan para pengawal ini membuat para pengawal lain menjadi gentar hatinya dan mereka tidak banyak melakukan usaha pencegatan sehingga rombongan Kian Bu dapat terus melarikan diri sampai ke pintu gerbang.
"Buka pintu! Aku, Siluman Kecil, hendak lewat bersama teman-temanku! Jangan membikin aku marah!" Kian Bu membentak, suaranya nyaring dan menggema karena memang dia sengaja mengerahkan khikangnya dan dia sengaja menggunakan nama julukannya untuk menggertak agar mereka tidak perlu mengerahkan tenaga dan membuang waktu untuk menggunakan kekerasan terhadap para penjaga di pintu gerbang itu. Dia harus cepat dapat menyelamatkan kakaknya. Jangan-jangan kakaknya yang dipondongnya lagi itu telah tewas! Dia menunduk, dan melihat bahwa Suma Kian Lee ternyata masih membuka mata memandangnya dengan kagum.
"Kau hebat, adikku.... kau hebat...." bisik Kian Lee.
"Ahhhhh....!" Jantung Kian Bu rasanya seperti ditusuk dan bagi pendengarannya, pujian kakaknya itu seperti ujung pedang menghujam dadanya karena kehebatannya itu dipergunakan untuk memukul roboh kakaknya sendiri!
"Lekas buka! Kalau tidak, kubunuh kalian semua!" bentaknya geram untuk menutupi hatinya yang tersiksa rasanya.
"Baik.... baik, Taihiap!" terdengar jawaban seorang penjaga dan bergegas dia membuka pintu benteng itu dibantu oleh kawan-kawannya.
Keluarlah mereka dari tembok kota yang merupakan benteng pertahanan kota Lok-yang. Akan tetapi, malam telah mulai terganti pagi dan tiba-tiba nampak debu mengebul dan dari depan datanglah serombongan orang berkuda yang dipimpin oleh seorang raksasa berkepala botak bermantel merah. Ban Hwa Sengjin koksu dari Nepal bersama pengawal-pengawal pribadi Gubernur Kui dari Ho-nan! Kira nya sudah ada berita terdengar oleh Gubernur Kui yang masih berada di Ceng-couw dan mendengar berita bahwa ada keributan di Lok-yang, maka gubernur minta bantuan Koksu Nepal yang sakti itu untuk memimpin serombongan pengawal cepat-cepat menuju ke Lok-yang dan kebetulan sekali mereka bertemu dengan rombongan yang melarikan Pangeran Yung Hwa itu di luar tembok benteng Lok-yang!
"Ha-ha-ha-ha, kiranya kalian ini hanyalah penculik-penculik hina!" bentak Ban Hwa Sengjin sambil tertawa bergelak penuh ejekan. "Seperti sekumpulan maling kesiangan saja. Setelah bertemu dengan kami, lebih baik kalian menyerah daripada mati konyol!" Biarpun suaranya agak kaku namun ternyata Koksu Nepal ini pandai sekali berbicara dalam bahasa daerah.
Sai-cu Kai-ong marah sekali. "Manusia sombong! Engkau menjadi kaki tangan pemberontak, padahal kulihat engkau bukanlah orang Han. Agaknya engkau malah yang membujuk Gubernur Ho-nan untuk memberontak. Sekarang bertemu dengan aku Sai-cu Kai-ong, berarti ajalmu sudah berada di depan mata! Siapakah engkau, orang asing?"
"Ha-ha-ha-ha! Aku adalah sahabat baik dari Gubernur Ho-nan, dan namaku Ban Hwa Sengjin. Kini aku bertugas menangkap kalian maling-maling kecil. Julukanmu Sai-cu Kai-ong? Ha-ha, biarpun suaramu seperti seekor sai-cu (singa) namun engkau menghadapi aku seperti seekor singa ompong, jembel busuk!"
Dimaki singa ompong dan jembel busuk yang tentu diambil dari julukannya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis), kakek gagah itu menjadi marah bukan main. "Siauw-ji, kau jaga beliau," katanya sambil menunjuk Pangeran Yung Hwa yang berdiri di belakangnya, kemudian dengan langkah lebar dia menghampiri Ban Hwa Sengjin yang dengan sikap tenang telah turun dari atas punggung kudanya.
"Ban Hwa Sengjin pengecut hina! Kau mengandalkan pasukanmu yang jumlahnya dua puluh orang lebih ini untuk menggertak kami? Kaukira kami takut?" Sai-cu Kai-ong membentak.
"Ha-ha, mereka ini hanya menjadi pengantarku. Dengan tenagaku sendiri aku mampu merobohkan kalian semua, satu demi satu atau berbareng. Kalau aku tidak dapat mengalahkan kalian, biarlah kalian lewat tanpa kami ganggu."
Ucapan ini merupakan kesombongan yang hebat. "Benarkah itu? Apakah manusia macam engkau akan dapat menahan diri untuk tidak bersikap curang dan dapat memegang janji?"
Alis yang tebal itu berkerut. "Sai-cu Kai-ong, tahan sedikit mulutmu. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah seorang koksu dari Kerajaan Nepal, tahu?" bentak Ban Hwa Sengjin.
"Ah, kiranya begitu?" Sai-cu Kai-ong berseru. Mengertilah kini dia mengapa orang Nepal ini berada di sini. Kiranya dalam usahanya untuk memisahkan diri dari kaisar, Gubernur Ho-nan telah mendekati dan mengadakan hubungan rahasia dengan Kerajaan Nepal di barat!
"Nah, majulah menyerahkan nyawamu!" Ban Hwa Sengjin melangkah maju dengan tangan kosong sambil tersenyum mengejek.
"Sambutlah!" Sai-cu Kai-ong membentak dan sudah menerjang ke depan dengan gerakan tangkas dan karena dia dapat menduga akan kelihaian kakek botak ini, maka begitu dia menyerang langsung dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu keluarga turun-temurun dari nenek moyangnya. Ilmu ini dinamakan Khong-sim-sin-ciang (Ilmu Pukulan Tangan Sakti Hati Kosong), sesuai dengan nama perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh nenek moyangnya, yaitu perkumpulan Khong-sim-kai-pang. Ilmu pukulan ini amat lihai, kelihatan kosong namun berisi dan memang inti ilmu pukulan ini berdasarkan kekosongan. Menurut dongeng yang diceritakan turun-temurun dalam keluarganya, nenek moyangnya adalah orang-orang yang suka sekali mempelajari Agama To dan dari pelajaran Agama To inilah maka Ilmu Khong-sim-sin-cang itu diciptakan. Menurut cerita neneknya dahulu, dalam keluarga Yu terdapat ayat dari Kitab To-tik-khing yang amat mereka junjung tinggi, yaitu pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang kekosongan yang menjadi inti dari segalanya, bahkan yang berisi tidak akan ada gunanya tanpa ada kekosongan itu seperti disebutkan dalam ayat ke sebelas dari Kitab To-tik-khing.
"Tiga puluh ruji berpusat pada satu poros roda, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.
Dari tanah liat dibuatlah jembangan, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.
Lubang pintu dan jendela dibuat untuk rumah, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya."
Selain ayat dari To-tik-khing itu, juga masih banyak wejangan keluarga turun-temurun yang mengingatkan mereka akan pentingnya kekosongan, antara lain dinyatakan bahwa di dalam setiap langkah kaki, jarak yang dilewati antara kedua kaki, yaitu yang tidak terinjak, yang kosong itulah yang berguna karena tanpa itu tidak akan ada kemajuan dalam langkah kaki. Juga keindahan dan kenikmatan sebuah lagu tidak akan terasa lagi tanpa adanya jarak-jarak yang kosong antara satu dan lain nada!
Serangan yang dilancarkan oleh Sai-cu Kai-ong hebat bukan main. Kelihatannya sih ringan dan kosong saja, akan tetapi begitu anginnya menyambar, seorang sakti seperti koksu dari Nepal itu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat dia mengelak. Jubahnya yang lebar dan merah itu sampai berkibar terkena hembusan hawa pukulan yang sifatnya kosong namun berisi penuh dengan kekuatan dahsyat itu! Dia cepat membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga Sai-cu Kai-ong juga terkejut dan cepat melompat ke samping karena dia tidak berani menyambut pukulan yang amat hebat itu. Terjadilah pertandingan hebat dan keadaan sekeliling tempat itu disambar oleh hawa-hawa pukulan kuat sekali sehingga dua puluh orang lebih pengawal yang mengiringkan Ban Hwa Sengjin terpaksa mundur karena kuda mereka meringkik ketakutan dan gelisah sekali. Bahkan Pangeran Yung Hwa juga cepat bersembunyi di balik tubuh Siauw-hong karena merasa ngeri.
Akan tetapi, seorang yang sudah menjadi koksu sebuah negara, bahkan kini menjadi utusan raja, tentu saja adalah seorang yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Dahulu, di jaman Kerajaan Beng-tiauw, seorang utusan kaisar seperti Panglima Besar The Hoo juga merupakan seorang yang luar biasa saktinya, juga semua utusan raja-raja dari semua negara tentulah merupakan seorang tokoh pilihan yang berilmu tinggi. Demikian pula dengan Ban Hwa Sengjin ini. Ilmu kepandaiannya amat tinggi karena boleh dibilang dia merupakan tokoh nomor satu yang dikenal orang di negara Nepal, maka tentu saja dia telah membekali dirinya dengan ilmu-ilmu yang amat hebat. Tidak hanya ilmu silat, akan tetapi juga dia mahir sekali dalam ilmu sihir dan ilmu perang, juga ahli dalam soal-soal kenegaraan! Kini, menghadapi seorang lawan yang demikian lihainya seperti Sai-cu Kai-ong, dia merasa gembira dan dia tidak mau menggunakan ilmu sihirnya selama ilmu silatnya masih belum kalah. Dan dia selama ini menganggap bahwa tidak mungkin ilmu silatnya dapat dikalahkan orang lain!
Memang, amat berbahayalah bagi seorang manusia yang merasa telah mempelajari ilmu sampai tinggi, apalagi kalau sudah menerima sanjungan-sanjungan orang lain! Seorang yang dipuji-puji orang lain, kepalanya menjadi seperti sebuah balon karet yang ditiup, penuh oleh angin pujian sehingga kepalanya melembung besar dan dia merasa bahwa dialah orang yang terpandai, terbaik dan segala macam "ter" lagi. Dan kalau sudah demikian, dia menjadi orang yang setolol-tololnya, sebodoh-bodohnya dan patut dikasihani. Maka, seorang bijaksana akan selalau waspada akan semua kekurangan dan kebodohan diri sendiri sampai saat kematian tiba, karena hanya dengan kewaspadaan ini saja maka dia dapat melihat betapa bahayanya semua pujian yang diterimanya dalam keadaan bagaimanapun juga.
Bersambung ke bagian 3 ...