Misteri Kapal Layar Pancawarna

Cerita silat karya Gu Long (1964), dengan judul asli: Huan Hua Xi Jian Lu, atau dalam Bahasa Inggris: The Tale of Refining the Sword Like Cleansing the Flower. Disadur ke dalam Bahasa Indonesia oleh Gan KL.

Jilid 1. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Angin dingin menyayat, awan tebal berlapislapis memenuhi langit. Suasana di pantai Pohay terlebih seram, dipandang dari kejauhan hanya terlihat langit bersentuhan dengan laut, dalam kegelapan ombak bergemuruh memukul batu karang.

Sekonyong-konyong sebatang tiang layar terdampar ke atas karang, "prak", tiang layar patah menjadi beberapa bagian, waktu ombak menyurut, sekilas di dalam laut berkelebat sinar mata yang tajam. Waktu ombak mendampar kembali dan menyurut lagi, sinar mata itu sudah lebih mendekat pantai dan samar-samar kelihatan wajahnya.

Bahwa di tengah malam gelap dan dingin, di bawah gemuruh ombak mendampar itu dari balik gelombang laut itu bisa muncul satu orang, hal ini sungguh sukar untuk dipercaya.

Namun setelah belasan kali ombak mendampar, akhirnya benar-benar sesosok bayangan orang muncul dari dasar laut, selangkah demi selangkah menuju ke pesisir di samping batu karang.

Mendadak petir menyambar dan guntur menggelegar, cahaya kilat berkelebat di tengah gumpalan awan tebal, terlihat bayangan orang itu berambut panjang terurai di pundak dan setengah menutupi wajahnya, kedua tangan menggenggam sebatang pedang panjang berbentuk aneh dan bersarung hitam. Urat hijau tampak merongkol pada punggung tangan orang itu, dia seperti rela kehilangan segalanya daripada melepaskan pedang itu.

Melihat gelagatnya, agaknya sesudah kapalnya karam, lalu ia gunakan pedang panjang itu sebagai tongkat dan selangkah demi selangkah ia berjalan di dasar laut dan akhirnya mencapai pantai. Gemuruh ombak raksasa itu ternyata tidak dapat membuatnya jera, dan tidak mampu memukulnya mundur.

Setelah mendarat, ia melangkah lagi beberapa tindak, lalu ambruk. Tapi sebelum ambruk, tubuhnya tetap menegak, sinar matanya juga tetap kemilau serupa sinar kilat.

Malam panjang mulai lalu, gumpalan awan pun mulai menipis, remang subuh sudah mulai menerangi bumi raya ini, orang yang tidur lelap di pesisir itu mendadak melompat bangun, dengan tangan kiri pegang pula pedang panjang itu dengan erat, betapa cepat dan gesit gerakannya sungguh sukar dilukiskan.

Namun ia pun tidak mau membuang tenaga percuma, begitu tubuh menegak segera otot daging sekujur badan mengendur, perawakannya kelihatan tidak kekar, tapi dari kepala sampai ke kaki terasa sangat serasi pertumbuhannya, tiada setitik daging lebih. Kulit badannya telah berjemur hingga berwarna kuning legam, sekilas pandang mirip patung perunggu. Kedua alisnya panjang tebal,

hidung mancung, usianya seperti baru 30-an tapi juga serupa mendekati setengah abad.

Bajunya belum lagi kering, sekujur badan berlepotan pasir, namun dia tidak mengebutnya, tapi dari dalam baju lantas dikeluarkan satu bungkusan minyak, di dalam bungkusan ada peta yang tertulis dengan sangat jelas, ada pula sejilid buku yang penuh tercatat nama dan alamat orang.

Ia asyik membaca sejenak, lalu bergumam, "Lo-san ... Hui-ho-bun ... Jing-ho Liu Siong ...."

Ia simpan kembali bungkusannya, dengan pedang terhunus ia melangkah ke arah barat. Tampaknya dia melangkah dengan lambat, tapi dalam sekejap sudah pergi jauh, hanya tertinggal sebaris tapak kakinya di pesisir, jarak setiap tapak kakinya itu sama dua kaki, biarpun dicetak dengan ukuran juga tak lebih tepat daripada jarak tapak kakinya itu.

Jing-ho (si tangan hijau) Liu Siong, seorang tokoh persilatan di timur provinsi Soatang, sedikitnya sudah 40 tahun namanya terkenal karena ilmu pukulan Hoaho-ciang, ke-17 jurus cakar bangau yang disebut Ho-jiau-cap-jit-ciau, dan Ho-ihciam atau jarum bulu bangau, ketiga macam Kungfu itu merupakan kepandaian khas andalan Liu Siong.

Sejak Hui-ho-bun atau perguruan si bangau terbang didirikan Liu Siong, selama ini dia dihormat dan disegani sebagai seorang guru besar ilmu silat. Rumah keluarga Liu di kaki gunung Lo-san cukup luas dan megah.

Menjelang magrib, tiba-tiba datang seorang dari jurusan timur dengan berbaju putih kain belacu, kening sebatas alis memakai ikat kepala kain putih belacu pula, rambut panjang terurai, pedang panjang tersandung pada punggungnya.

Nyata orang inilah si tokoh aneh yang muncul dari dasar laut itu. entah sejak kapan ia telah berganti pakaian, namun langkahnya tetap tegap, tetap berjarak dua kaki, tidak kurang dan tidak lebih.

Dengan kalem ia menaiki undak-undakan batu gedung keluarga Liu, meski daun pintu gerbang sudah tertutup rapat, namun dia seperti tidak melihatnya, ia masih terus melangkah ke depan.

"Brak", begitu tubuh menyentuh daun pintu tanpa berhenti ia sudah melangkah ke dalam, daun pintu gerbang yang bercat hitam itu telah bertambah sebuah lubang besar berbentuk tubuh manusia. Sepotong papan yang persis bentuk tubuh orang itu ambruk ke depan, ketika kaki orang itu menginjak papan, seketika papan hancur menjadi bubuk.

Air muka si baju putih tidak berubah sedikit pun, daun pintu itu dianggapnya serupa buatan dari kertas belaka dan setiap orang sanggup menerobosnya.

Beberapa lelaki kekar yang berada di bawah pohon di dalam halaman sama menjerit kaget menyaksikan kejadian itu, namun si baju putih seperti tidak menghiraukannya, ia tetap melangkah ke depan dan berseru sekata demi sekata, "Di mana Liu Siong? Suruh dia keluar!"

Suaranya jelas dan tegas, namun kedengarannya kaku dan aneh.

Sementara itu sang surya sudah terbenam, cahaya senja yang remang-remang menyinari tubuhnya yang kuning legam dengan rambut panjang terurai, dan air mukanya yang dingin serta sorot matanya yang tajam, semua itu menambah seram dan misterius.

Semua orang sama melongo dan tidak sanggup bersuara, mendadak mereka membalik tubuh dan berlari serentak. Padahal orang-orang ini adalah jago Huiho-bun yang tangguh, biasanya urusan berkelahi, bunuh-membunuh dan mengucurkan darah dipandang seperti santapan sehari-hari, tapi sekarang mereka dibuat ketakutan oleh pendatang ini, sungguh peristiwa yang belum pernah terjadi. Sekonyong-konyong terdengar seorang membentak, "Ada urusan apa? Kenapa ketakutan?"

Suaranya lantang dan menggetar anak telinga orang. Seorang kakek berjubah satin dan berambut putih tampak muncul dari ruangan tengah.

Dengan muka pucat beberapa lelaki kekar tadi melapor, "Su ... Suhu, coba lihat, keparat itu entah ... entah setan atau manusia ...."

"Omong kosong?!" bentak si kakek dengan kening bekernyit. Namun ketika melihat sikap aneh si baju putih, tidak urung ia pun terkejut.

Segera ia memberi hormat dan menegur, "Siapakah sahabat ini? Ada keperluan apa?"

Ia bicara dengan suara keras menggetar anak telinga, jelas dia sengaja pamer kekuatan terhadap si baju putih.

Siapa tahu, si baju putih seperti tidak mendengar, selangkah demi selangkah ia mendekati si kakek, lalu bersuara, "Kamu ini Liu Siong?"

"Betul," jawab si kakek.

"Baik, keluarkan senjatamu dan ayo mulai!" kata si baju putih.

Liu Siong melengak, tanyanya, "Bilakah sahabat bermusuhan denganku?"

"Tidak ada!" jawab si baju putih.

"Kalau tidak ada permusuhan, selamanya kita pun tidak kenal, untuk apa kita harus berkelahi?" tanya Liu Siong.

"Habis siapa suruh kamu menjadi guru silat terkenal?" kata si baju putih.

Kembali Liu Siong melenggong, "Memangnya asalkan tokoh Bu-lim terkenal pasti akan kau tantang untuk bertempur?"

Tersembul senyuman aneh pada ujung mulut si baju putih, ucapnya perlahan, "Betul, menantang setiap tokoh Bu-lim di dunia ini memang menjadi maksud tujuan kedatanganku ini."

Suaranya memang aneh, ditambah lagi senyuman yang misterius, Liu Siong merinding dibuatnya, tapi ia coba menjawab dengan bergelak, "Hah, hanya dengan kekuatan sendirian hendak menantang seluruh kesatria sejagat, apakah engkau tidak ... tidak bergurau?"

Air muka si baju putih yang dingin itu tidak memperlihatkan sesuatu emosi, dingin dan kaku serupa patung, tambah ngeri perasaan Liu Siong, ia terkekeh beberapa kali dan tidak sanggup meneruskan lagi.

"Nah, lekas mulai!" ucap si baju putih sekata demi sekata.

Sekilas pandang Liu Siong melihat anak muridnya sudah banyak yang memburu tiba, berpuluh pasang mata sedang mengikuti apa yang terjadi.

Liu Siong tahu tidak bisa tidak harus turun tangan, segera ia tepuk tangan, segera anak buahnya menyodorkan sepasang senjata berbentuk cakar bangau berwarna hitam gilap.

Lebih dulu ia katakan kegunaan senjata sendiri, sedikit pun ia tidak mau menarik keuntungan.

"Kudengar dalam dunia persilatan daerah Tionggoan akhir-akhir ini bertambah lagi 13 macam senjata aneh, tak terduga pertarunganku yang pertama setiba di sini lantas bertemu dengan salah satu senjata aneh yang dimaksud." kata si baju putih.

"Silakan memberi petunjuk!" bentak Liu Siong mendadak, serentak senjata menyambar lebih dulu dan yang kanan menyambar belakangan, berbareng ia terus berputar dengan cepat.

Akan tetapi apa pun gerak serangannya, si baju putih tetap berdiri tegak di tempatnya, sedikit pun tidak bergeser. Bukan saja pedang tidak dilolosnya, malahan seakan-akan terpejam, serupa kaum Hwesio yang semadi.

Selama hidup Jing-ho atau si bangau hijau Liu Siong entah berapa kali bertempur dengan orang dan entah berapa banyak pula jiwa lawan yang melayang di bawah 17 jurus cakar bangau andalannya ini. Tapi sekarang demi tangan memegang senjatanya yang dingin dan keras ini, tanpa terasa jari pun rada gemetar.

Sudah tentu gejala ini tidak cocok dengan namanya sebagai tokoh termasyhur, sedapatnya ia membangkitkan semangat, kedua cakar dibenturkan hingga menerbitkan suara nyaring, ia pasang gerak pembukaan dengan cakar bangau berselang, lalu berkata, "Senjataku ini selain 17 jurus cakar yang banyak gerak perubahannya, di dalamnya juga tersembunyi jarum bulu bangau yang khusus digunakan menyerang Hiat-to, hendaknya kamu hati-hati!"

Dengan cepat Liu Siong sudah berputar 17 lingkaran, beberapa kali cakarnya bermaksud menyerang, tapi sikap tenang lawan membuatnya tidak berani sembarangan turun tangan.

Cuaca tambah gelap, bayangan si baju putih tampak semakin seram, meski dekat musim dingin kening Liu Siong sudah penuh butiran keringat. Anak muridnya yang menonton di samping sama melongo cemas.

Sekonyong-konyong Liu Siong bersuit panjang serupa bunyi bangau yang terbang di udara, cakar bangau terpentang, dua jalur hitam gilap berputar cepat, sekali serang tujuh tempat, serentak berbagai Hiat-to maut di tubuh lawan diserangnya.

Anak murid Hui-ho-bun tahu betapa lihai jurus serangan ini, biasanya tidak pernah meleset dan selalu menang, selagi mereka hendak bersorak, siapa duga dalam sekejap itu tiba-tiba selarik sinar hijau berkelebat, bayangan kedua orang merapat terus berpisah lagi.

Dengan cepat Liu Siong berputar dan menyurut mundur hampir setombak jauhnya, sebaliknya si baju putih tetap berdiri tegap tanpa bergeming, cuma pedang yang tersandung di punggung sudah dilolosnya, ujung pedang menuding miring ke arah Liu Siong, tertampak titik darah segar menetes perlahan dari ujung pedang.

Hanya sejenak kemudian tubuh Liu Siong mendadak roboh terjengkang, di tengah kegelapan malam terlihat kedua matanya mendelik, satu garis darah mulai dari kening terus menurun melalui hidung, bibir, tenggorokan hingga dada, garis darah itu tepat di tengah-tengah tubuh dan beberapa senti dalamnya, jelas biarpun dewa turun dari kahyangan pun sukar menyelamatkan nyawa Liu Siong.

Menyaksikan musuh cuma satu jurus serangan saja sudah menewaskan guru mereka, berpuluh pasang mata anak murid Hui-ho-bun itu sama melotot kaget, tiada seorang pun tahu cara bagaimana si baju putih menyerang dengan pedangnya.

Saking takutnya semuanya lupa menjerit dan juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Selang sejenak ujung pedang si baju putih perlahan diturunkan dan tiada tetesan darah lagi. Sinar matanya yang terlebih tajam daripada pedangnya menyapu pandang sekejap kepada semua orang, tertampil senyum ejeknya seakan-akan hendak berkata, "Hm, kalau cuma kalian saja tidak sesuai bagiku untuk turun tangan."

Ia terus membalik tubuh dan melangkah keluar pintu gerbang, langkahnya tetap tegap dalam jarak tertentu serupa datangnya tadi.

Sekonyong-konyong seorang membentak, "Bangsat, bayar ... bayar kembali nyawa guruku!"

Orang ini adalah murid tertua Hui-ho-bun, meski hati merasa takut, mana dia dapat menyaksikan musuh pembunuh guru pergi begitu saja, cuma di antara suara bentakannya terasa agak gemetar juga, langkahnya juga kurang mantap.

Empat murid Hui-ho-bun lain yang bernyali lebih besar serentak ikut memburu maju bersama Toasuheng mereka, kelimanya sudah nekat, sekaligus mereka melancarkan pukulan.

Meski beberapa murid Hui-ho-bun ini bukan jago kelas satu, namun Kungfunya juga tidak lemah. Pukulan mereka cukup kuat dan tidak boleh diremehkan.

Namun si baju putih sama sekali tidak menoleh, pedang panjang mendadak menyabat ke belakang, di bawah kelebat pedang beberapa kali, terdengar serentetan jeritan ngeri, kelima murid Hui-ho-bun sama terjungkal dengan luka panjang dari dahi sampai dada.

Meski serangan pedang si baju putih sekaligus mengincar lima orang, namun caranya seperti dilakukan dengan lima pedang dan kelima orang terluka berbareng dan menjerit bersama, sebab itulah kedengarannya seperti jeritan panjang.

Keruan anak murid Hui-ho-bun yang lain sama kaget dan beramai ikut memburu keluar. Namun terlihat si baju putih sedang melangkah ke depan dengan tegap, kini sudah puluhan tombak jauhnya, bekas tetesan darah tampak mengikuti bekas kakinya yang berjarak sama itu, kelima kawannya sama terkapar di situ.

Nyali semua anak murid Hui-ho-bun serasa rontok, kaki terasa lemas, mana mereka berani mengejar lagi.

Tanpa menoleh di baju putih melanjutkan perjalanan hingga dua-tiga li jauhnya, lalu dikeluarkannya peta dan buku catatan, dibacanya perlahan, "Tanggal tujuh Jing-ho Liu Siong, tanggal delapan Siang-goan Tio Jit-hong, tanggal sembilan Patsian-

kiam Li Jing-hong, tanggal sepuluh Pat-jiu-pio Kim Tai-hui, tanggal sebelas giliran tiba ajal Ce-lam Pek Sam-kong!"

Angin dingin meniup, tiba-tiba hujan pun menitik, seakan-akan langit pun ikut berduka bagi malapetaka yang menimpa dunia Kangouw ini ....

Tanggal sebelas bulan sepuluh, cuaca di kota Ce-lam mendung dan lembap, seperti mau hujan tapi belum hujan.

Belasan lelaki kekar berbaju belacu berkabung mengiringi empat kereta jenazah dengan empat peti mati datang dari timur dan menyelusuri jalan raya serta berhenti di depan sebuah gedung yang megah.

Delapan lelaki berbaju hitam cepat membuka pintu gerbang dan menyambut kedatangan jenazah dengan kepala tertunduk dan berduka.

Peti mati diusung ke dalam rumah. Terlihat seorang tua berbaju panjang warna hitam, berjenggot panjang, wajah kereng dan berdiri diam di depan ruangan.

Melihat si orang tua, serentak belasan orang yang membawa peti mati itu berhenti, peti mati diturunkan, serentak mereka berlutut dan meratap, "Peklocianpwe, mohon sudi mengingat persahabatan dengan guru kami dan sukalah membalaskan sakit hati guru kami."

Wajah si kakek baju hitam kelihatan kelam masam, perlahan ia menuruni undak-undakan batu, waktu ia memberi tanda, serentak ada orang membuka tutup peti mati dan tertampaklah empat sosok mayat orang tua, semuanya mati dengan wajah beringas, mata mendelik murka, jelas pada waktu mendekati ajal penuh diliputi rasa kejut dan gusar. Luka yang menyebabkan kematian mereka juga serupa, yaitu terdiri dari satu jalur luka dimulai dari kening menurun sampai dada.

"Tutup pintu gerbang, jaga ketat, sembarang orang dilarang masuk," segera si kakek memberi perintah.

Beberapa pemuda kekar berpedang mengiakan dengan hormat dan berlari keluar, pintu gerbang hitam lantas ditutup rapat.

Si kakek berbaju hitam berjalan mondar-mandir di halaman, ucapnya dengan menyesal, "Jing-ho Liu Siong, Siang-goan Tio Jit-hong, Pat-sian-kiam Li Jinghong, Pat-jiu-pio Kim Tai-hui ternyata tewas semuanya dalam sehari terbunuh secara keji, ai, bilamana tidak menyaksikan sendiri kejadian ini, siapa yang mau percaya? ...."

Si kakek baju hitam ini bukan lain daripada pendekar pedang Pek Sam-kong, ketua perserikatan guru silat di provinsi Soatang.

Pek Sam-kong bersama Liu Siong dan lain-lain adalah sahabat karib sehidup semati, sebab itulah sesudah Liu Siong dan lain-lain tewas, anak muridnya segera membawa peti jenazah guru masing-masing dan mendatangi Pek Sam-kong serta mohon bantuannya agar membalaskan sakit hati sang guru.

Maka terdengarlah suara ramai orang yang penuh tanda tanya itu, mereka sama tukar informasi tentang tokoh aneh si baju putih yang keji itu, tentang tindak tanduknya yang nyentrik dan ilmu pedangnya yang mengejutkan.

Kecuali anak murid Hui-ho-bun yang sempat mendengar beberapa patah kata ucapan tokoh aneh itu, anak murid perguruan lain paling-paling cuma mendengar tokoh itu bertanya, "Benarkah kamu si ...." Dan ucapan "ayo mulai", selebihnya tidak ada, juga tidak terlihat sesuatu perasaan pada wajahnya, dan begitu bertempur, kecuali kemenangan yang dituju, segala urusan lain sama sekali tidak dihiraukannya.

Makin lama makin berat perasaan Pek Sam-kong mendengar berbagai keterangan, ia bergumam, "Sejurus saja mematikan orang? Kungfu macam apakah itu ...."

Dalam pada itu kedelapan anak murid yang berjaga di luar pintu melihat dari ujung jalan sana muncul seorang berbaju putih.

Seketika hati mereka berdebar, mereka saling pandang dengan waswas, sementara itu si baju putih sudah mendekati, bagai sinar kilat tokoh aneh itu memandang sekejap kedelapan murid itu lalu berucap. "Suruh Pek Sam-kong keluar!"

Sama sekali dia tidak mau membuang tenaga percuma, maka pada waktu berjalan tidak mau menggunakan Ginkang, bila bicara juga tidak mengerahkan tenaga.

Kedelapan murid Jing-peng-bun tidak kenal kelihaian orang, karena suara orang yang tidak memperlihatkan sesuatu kekuatan itu, mereka pikir betapa tinggi Kungfu orang masakah mampu menahan serangan kami berdelapan?

Kedelapan orang berpikiran sama, setelah saling pandang sekejap, segera murid pertama Bok Put-kut mendengus, "Sahabat ingin bertemu dengan guru kami, untuk itu perlu menerobos dulu rintangan kami ini."

Belum lenyap suaranya, terdengar gemerantang nyaring, serentak mereka melolos pedang. Selain cepat gerak kedelapan orang, juga dilakukan secara serentak. Terlihat cahaya pedang berkelebat menyilaukan mata, bilamana jago silat biasa saja pasti sudah rontok nyalinya melihat gerak melolos pedang mereka yang hebat ini.

Namun sorot mata si baju putih kembali memperlihatkan sikap mengejek, mendadak ia menyurut mundur beberapa tindak, sinar pedang berkelebat, tahu-tahu pedang sudah masuk sarungnya lagi. Caranya melolos pedang, memutar pedang dan menebas, tiga gerakan dilakukan sekaligus dalam sekejap.

Waktu anak murid Jing-peng-bun sama memandang ke sana, pada tangan si baju putih sudah bertambah sepotong ranting kayu kering, kiranya dia melolos pedang tadi hanya untuk memotong sepotong ranting kayu ini.

"Ini, perlihatkan kepada gurumu," kata si baju putih dengan perlahan, lalu ia melangkah ke sana dan duduk di atas batu di bawah pohon dan tidak bersuara lagi serupa orang yang sedang semadi.

Kedelapan murid Jing-peng-bun sama melongo bingung. Bok Put-kut mengambil ranting kayu yang dikatakan si baju putih tadi, gumamnya, "Apa-apaan ini?"

"Jangan-jangan dia jeri terhadap kita?" ucap Kim Put-wi, murid kedua.

Orang ini tinggi delapan kaki, bahu lebar, seorang lelaki kasar tapi perkasa.

Setelah berpikir, murid ketiga Sun Put-ti ikut berkata, "Urusan ini tidak sederhana, kita harus lapor dulu kepada Suhu."

Perawakan orang ini kurus kecil, namun paling cerdik, Pek Sam-kong sengaja memberi nama "Put-ti" (kurang akal) padanya justru menganjurkan dia agar selalu berpikir secara bijaksana dan jangan terlampau memakai akal licik.

Bok Put-kut memandang si baju putih sekejap lalu mengangguk dan berkata, "Ya, memang harus diperlihatkan kepada Suhu."

Cepat ia membuka pintu dan menyelinap ke dalam.

Melihat gerak-gerik muridnya yang gugup itu segera Pek Sam-kong tahu tamu yang ditunggu itu sudah datang, dengan air muka berubah ia tanya, "Di mana dia?"

"Di luar," jawab Put-kut, "dia tidak berani bergebrak dengan Tecu berdelapan, juga tidak berani menerjang masuk, tapi menebas sepotong ranting kayu ini dan minta diperlihatkan kepada Suhu."

Dengan kening bekernyit Pek Sam-kong menerima ranting kayu itu, semula hanya dipandangnya beberapa kejap tanpa acuh, akan tetapi mendadak sorot matanya mencorong, bagian ranting kayu terpotong itu ditatapnya dengan terkesiap.

Melihat sikap sang guru yang aneh, seperti sangat kagum, prihatin dan juga jeri itu, akhirnya bahkan tangannya kelihatan rada gemetar, tentu saja Bok Put-kut terheran-heran, tanyanya tidak tahan, "Suhu, apakah orang itu perlu kami usir saja?"

Mendadak Pek Sam-kong menarik muka, ucapnya dengan gusar, "Apakah kalian ingin mampus?"

"Tapi ... tapi ..." Bok Put-kut gelagapan.

"Dia merasa tidak sudi bergebrak dengan kalian, kalau tidak, mustahil jiwa kalian dapat bertahan sampai sekarang?" ucap Pek Sam-kong.

Bok Put-kut menunduk dan tidak berani bicara lagi, namun dalam hati merasa sangat penasaran.

"Ai, percuma kau belajar silat kalian sekian lama, ternyata punya mata tapi tidak dapat melihat gelagat," ucap Pek Sam-kong dengan gegetun. "Sudahlah, panggil masuk saja para Sutemu."

"Tapi ... tapi keparat itu ...." Bok Put-kut merasa sangsi.

"Jika dia mau masuk, memangnya kalian mampu merintanginya?" kata Pek Samkong dengan gusar. "Ayolah, jika dia mau menunggu berarti tidak perlu khawatir dia akan menerjang masuk kemari. Nah, lekas buka pintu."

Terpaksa Bok Put-kut menurut dan membuka pintu gerbang, ketujuh Sutenya dipanggil masuk. Namun si baju putih tetap duduk diam saja di bawah pohon, senyum ejeknya tampak tetap menghiasi ujung mulutnya.

Pek Sam-kong lantas menuju ke ruang belakang, dengan cepat ia menulis sepucuk surat, berikut sepotong ranting kayu itu dibungkusnya dalam sampul surat.

Kedelapan anak muridnya menunggu dengan cemas, ketika melihat sang guru muncul kembali dengan memegang sampul surat dan air muka kelihatan kelam, semuanya sama diam saja.

Di bawah gemerdep cahaya lampu Pek Sam-kong memandang sekejap anak muridnya itu, mendadak ia membentak, "Berlutut semua!"

Kedelapan murid utamanya itu sama melengak, tapi serentak mereka pun berlutut memenuhi lantai.

"Apa larangan ketiga peraturan perguruan kita?" tanya Pek Sam-kong.

Disiplin Jing-peng-bun sangat ketat, anak murid Pek Sam-kong biasanya juga sangat patuh, tanpa pikir mereka sama menjawab, "Perintah guru laksana gunung, yang membangkang akan terkutuk!"

Dengan suara berat Pek Sam-kong berkata pula, "Pertempuran hari ini, apakah gurumu akan menang atau kalah, yang penting kalian sama sekali tidak boleh ikut turun tangan!"

"tapi Suhu ...." Seketika anak muridnya merasa panik.

Kembali Pek Sam-kong membentak sehingga muridnya tidak berani bersuara lagi, katanya pula, "Inilah perintah guru, yang membangkang akan terkutuk! Kalian mau omong apa lagi?"

Para murid sama menunduk dan tidak berani bicara.

"Pokoknya bila hari ini gurumu gugur dalam pertempuran, maka Put-kut bertujuh orang hendaknya membagi tugas menuju ke Siau-lim, Bu-tong, Go-bi, Tiam-jong, Kong-tong, Hoa-san dan Wi-yang-pay, ketujuh perguruan besar ini ada persahabatan karib dengan kita, tentu mereka akan menerima kalian. Hendaknya kalian belajar lebih giat dan tidak perlu pikirkan urusan lain, hanya ... hanya kau saja ...."

Sorot matanya tertuju kepada murid kedelapan yang paling muda, yaitu Oh Putjiu, lalu menyambung pula, "Hanya tugasmu yang terberat, selanjutnya mungkin kamu sukar hidup dengan tenang, entah kamu sanggup menerima tugas mahaberat ini atau tidak?"

Tanpa ragu Oh Put-jiu menjawab, "Sekuat tenaga Tecu laksanakan ...."

Oh Put-jiu ini berkepala besar dan bertubuh pendek, dahi lebar, wajah selalu membawa senyum meski tidak tersenyum. Mulutnya sehari-hari lebih sering digunakan makan daripada untuk bicara. Di antara kedelapan murid utama Jinpeng-bun tampaknya dia paling tidak berguna, namun sekarang Bok Put-kut bertujuh menyaksikan sang guru menyerahkan tugas paling berat kepadanya,

tentu saja mereka penasaran.

Segera Bok Put-kut berseru, "Bila ada urusan harap Suhu serahkan kepadaku atau Kongsun-samte ...."

Mendadak Pek Sam-kong menarik muka, dampratnya, "Di sini bukan tempatnya bagimu untuk bicara, lekas menyingkir!"

Lalu ia menyerahkan surat yang sudah ditulisnya kepada Oh Put-jiu, katanya pula, "Jika gurumu kalah dalam pertarungan nanti, hendaklah cepat kau datang ke ruang belakang dan bawalah pergi Po-ji, datangi alamat menurut apa yang tertulis di atas sampul, serahkan surat dan Po-ji kepada penerima surat, urusan selanjutnya harus tunduk kepada segala perintahnya."

Tanpa membaca Oh Put-jiu menerima dan menyimpan sampul surat yang disodorkan sambil mengiakan.

Air muka Pek Sam-kong tampak rada tenang kembali, katanya, "Setiba di tempat tujuan, kejadian aneh apa yang kau lihat janganlah terkejut. Nah, sekarang juga bolehlah kau berangkat."

Ia tidak menghiraukan lagi muridnya, diambilnya pedang pribadinya di atas meja, lalu menuju keluar dengan langkah lebar. Ketika melewati keempat peti mati, ia merandek sejenak, perlahan ia meraba peti mati yang terdekat, mendadak ia menengadah dan tergelak, katanya, "Hah, seorang pesilat memang harus mati di medan laga, hidup atau mati adalah kejadian biasa, kenapa mesti takut? ...."

Di tengah gelak tertawanya ia terus mendekat si baju putih, tegurnya, "Anda tidak segan membunuh orang demi menjunjung tinggi ilmu silat, aku tidak gentar mati bertempur demi menegakkan kebenaran ilmu silat, kita berlain jalan tapi mempunyai tujuan sama, biarpun sebentar kau bunuh diriku juga takkan kusalahkanmu."

Perlahan si baju putih berdiri, tiba-tiba ia membungkuk tubuh sebagai tanda hormat.

Tentu saja Pek Sam-kong heran, katanya, "Untuk apa Anda melakukan penghormatan padaku?"

Tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan si baju putih menjawab, "Engkau adalah pesilat sejati satu-satunya yang kutemui sejak kedatanganku di daratan sini, adalah pantas kuberi hormat."

"O, terima kasih," kata Pek Sam-kong dengan khidmat.

"Nah, mulai!" kata si baju putih singkat.

"Sret", segera Pek Sam-kong melolos pedang, sarung pedang dilemparkan, ujung pedang lurus ke depan setengah terangkat, katanya, "Silakan!"

Begitu kata "silakan" terucap, seketika suasana berubah sunyi senyap, meski para penonton berpuluh orang jumlahnya, namun tiada seorang pun bersuara, bernapas pun tidak berani keras, andaikan jarum jatuh pun terdengar.

Segera Jing-peng-kiam-kek, si pendekar pedang santai Pek Sam-kong mengangkat pedangnya, mata menatap tajam pada ujung pedang, mendadak pedang menebas ke depan.

Anak murid Liu Siong, To Jit-hong dan lain-lain pernah menyaksikan guru masing-masing menghadapi si baju putih, semuanya berlari mengitari si baju putih, habis itu lantas menyerang. Tapi sekarang Pek Sam-kong justru berdiri berhadapan tanpa bergerak dan menebas dengan cepat dengan jurus serangan yang sangat umum, sedikit pun tidak memperlihatkan kelihaiannya.

Keruan semua orang terkesiap, mereka mengira asalkan pedang si baju putih bergerak, seketika mayat Pek Sam-kong akan terkapar.

Siapa tahu jurus serangan yang sangat umum itu justru membuat si baju putih menyurut mundur selangkah, sama sekali tidak balas menyerang.

Segera Pek Sam-kong mendesak maju, pedang berputar kembali, suatu tebasan lurus ke depan dilancarkan lagi. Dengan cara yang sama si baju putih juga lantas menyurut mundur pula.

Tentu saja anak murid Liu Siong dan lain-lain sama heran dan bingung, pikir mereka, "Meski guruku melancarkan jurus serangan paling lihai, tidak urung dalam satu jurus saja terbunuh oleh musuh. Padahal jurus serangan Jing-pengkiam-kek tiada sesuatu yang berarti, entah mengapa si baju putih ini malah terdesak mundur?!"

Mereka tidak tahu bahwa dua jurus serangan Pek Sam-kong yang sangat umum itu sebenarnya mengandung gerak ikutan yang sangat rapat untuk bertahan, sebab dari rekan-rekannya yang menjadi korban keganasan musuh diketahui lukanya dimulai dari kening menurun ke dada. Maka dia mencurahkan perhatiannya untuk menjaga rapat bagian kening.

Kini si baju putih terdesak mundur dua kali, seketika semangat Pek Sam-kong terbangkit, sekali pedang berputar, jurus ketiga lantas dilontarkan lagi.

Anak murid Pek Sam-kong yakin serangan ketiga sang guru ini tentu jauh lebih lihai daripada serangan yang lalu dan bukan mustahil musuh dapat dirobohkan. Maka begitu sinar pedang berkelebat, serentak mereka bersorak memberi semangat.

Siapa tahu, baru saja suara sorak mereka bergema, sekonyong-konyong cahaya perak menyilaukan menyambar dari belakang si jubah putih, terdengar suara "cring" perlahan, selarik sinar hijau meluncur ke sana dan "crak", menancap di batang pohon, itulah setengah potong pedang, sedang pedang yang dipegang Pek Sam-kong tahu-tahu tersisa setengah potong, bahkan kelihatan dia menyurut mundur dengan sempoyongan sambil berucap dengan meringis, "Sungguh heb ...."

Belum sempat kata "hebat" terucapkan ia lantas roboh terjengkang dengan kening berlumur darah.

Pedang panjang yang dipegang si baju putih tampak bergetar, darah segar menitik dari ujung pedangnya, sorot matanya yang dingin menatap titik darah yang menetes, rambutnya yang panjang terurai bertebaran tertiup angin, sikapnya kelihatan kaku dingin menambah seram suasana.

Semua orang sama melenggong sekian lama barulah ada orang menjerit, Bok Put-kut bertujuh lantas menubruk tubuh sang guru yang menggeletak tak bernyawa lagi dan menangis sedih.

Hanya Oh Put-jiu saja yang diam-diam menyingkir jauh ke sana, dari kejauhan ia berlutut dan memberi penghormatan terakhir kepada jenazah sang guru, air mata pun berlinang, segera ia berlari ke ruang belakang meninggalkan hiruk-pikuk di depan berhubung dengan terbunuhnya Pek Sam-kong.

Suasana di halaman belakang hening dan kelam, keramaian di depan sama sekali tidak memengaruhi ketenangan di ruang belakang.

Di atas sebuah dipan tampak bertiarap seorang anak berusia 1-1 tahun dengan baju satin mentereng, anak itu asyik membaca, di sebelahnya tertaruh sepiring buah-buahan yang lupa dimakannya.

Waktu Oh Put-jiu berlari tiba, pada punggungnya sudah bertambah ransel, melihat anak yang sedang membaca itu, segera ia menegur, "Po-ji ...."

Berulang ia memanggil tiga kali, namun anak itu seperti lagi memusatkan perhatian pada buku yang dibacanya sehingga sama sekali tidak mendengar.

Oh Put-jiu menghela napas, ia mendekat dan menarik lengan anak itu.

Baru sekarang anak itu mendongak, ucapnya dengan kening bekernyit, "Aih, orang lagi asyik membaca, untuk apa kau ganggu diriku? Lekas pergi berlatih ilmu silatmu!"

Wajah anak itu masih hijau pelonco, namun cara bicaranya serupa orang tua, seakan-akan lebih tua daripada Oh Put-jiu.

"Eh, Gwakongmu (kakek luarmu) menyuruhku membawamu pesiar keluar, masa kamu tidak senang?" ucap Oh Put-jiu dengan suara lembut.

Kiranya anak ini bernama Pui Po-ji, anak tunggal Pek Man-sah, putri kesayangan Pek Sam-kong.

Pek Man-sah dan suaminya Pui Su-hiap suka berkelana menjelajahi dunia, sejak kecil Po-ji dititipkan di rumah sang kakek.

Anak kecil umumnya tentu akan kegirangan bila mendengar akan diajak pesiar, namun Pui Po-ji justru menggeleng kepala dan menjawab, "Tidak, aku tidak mau!"

Habis bicara kembali ia asyik membaca.

Oh Put-jiu kenal watak anak ini agak kepala batu, bahkan banyak tipu akalnya dan suka berbuat aneh-aneh, siapa pun bila ingin memaksa dia melakukan sesuatu yang tidak disukainya, maka akibatnya pasti akan cari susah sendiri.

Tiba-tiba ia mendapat akal, katanya, "Kata orang kuno, membaca selaksa kitab, menempuh jalan selaksa li. Tapi kamu cuma baca melulu, masakah kamu tidak mau pesiar keluar untuk mencari pengalaman?"

Po-ji mendongak pula sambil berpikir, katanya kemudian, "Ehm, betul juga ucapanmu. Baik, kuikut pesiar keluar bersamamu, tapi kan perlu juga berbenah seperlunya baru berangkat."

Oh Put-jiu khawatir anak itu takkan tahan menyaksikan kejadian sedih di ruangan depan sana, maka ia sengaja berolok-olok, "Huh, seorang lelaki sejati sekali bicara berangkat harus segera angkat kaki, hanya orang yang suka omong kosong saja pakai berbenah segala!"

Muka Pui Po-ji tampak merah, ucapnya kurang senang, "Baik, boleh berangkat sekarang juga. Asalkan kau berani pergi, ke mana pun aku berani!"

"Nah, inilah baru lelaki sejati," ujar Oh Put-jiu dengan tertawa. "Baik, mari ikut padaku!"

Segera Oh Put-jiu membawa Po-ji keluar melalui pintu belakang. Meski dalam hati cemas dan gelisah, namun terpaksa Oh Put-jiu bersenda gurau dengan anak itu.

Meski sudah dekat musim dingin, tapi setelah menempuh dua-tiga li jauhnya, Poji telah mandi keringat, mendadak ia berhenti dan berkata dengan serius, "Paman kepala besar, tampaknya engkau bersifat serupa anak kecil, kalau bekerja sesuatu hanya memikirkan diri sendiri tanpa urus orang lain. Mestinya kau tahu orang biasa sekolah dan membaca, mana dapat berjalan cepat serupa kalian?"

Melihat anak kecil yang berlagak orang tua dan mengomeli dirinya, sama sekali Oh Put-jiu tidak merasa geli, sebaliknya malah timbul kasih sayangnya, pikirnya, "Ayah bunda anak ini entah ke mana perginya, satu-satunya anggota keluarga terdekat, yaitu kakeknya sekarang .... Ai, jika bukan aku siapa lagi yang akan

menjaga dia?"

Segera ia menuding sebuah warung di kejauhan dan berkata, "Jika kamu lelah, bolehlah kita istirahat dulu di sana."

"Nah, seharusnya sejak tadi kau katakan demikian," ucap Po-ji.

Setiba di warung tepi jalan itu barulah Oh Put-jiu mengeluarkan surat yang diterimanya dari Pek Sam-kong itu, ia pura-pura mau kencing dan menyingkir untuk membaca surat itu. Dilihatnya pada sampul surat itu tertulis: "Supaya dibaca oleh Put-jiu".

Cepat ia membuka sampul dan membacanya, ternyata isi surat itu berbunyi:

Put-jiu,

Waktu surat ini kau baca, tentu gurumu sudah binasa di tangan musuh. Ketika kulihat bagian ranting kayu yang terpotong segera kutahu ilmu pedang orang ini beberapa kali lebih hebat daripadaku, tokoh Bu-lim zaman ini pun tidak ada yang sanggup menandinginya.

Menurut pengakuannya, kedatangannya ke daratan sini bermaksud menempur setiap tokoh persilatan terkemuka, dari ilmu pedangnya yang ganas agaknya hatinya diliputi dendam kesumat dan pasti tak kenal ampun terhadap siapa pun.

Apabila tokoh dunia persilatan Tionggoan tidak ada yang mampu mengalahkan dia, maka sukar diramalkan entah berapa banyak jago terkemuka yang akan binasa di bawah pedangnya.

Musibah segera akan tiba, gurumu tidak boleh melarikan diri di garis depan, maka aku sudah bertekad akan gugur sebagai pesilat, sayang aku tidak mampu membela kaum sesamanya menghindarkan malapetaka ini, jalan satu-satunya adalah menyuruhmu ke pantai timur, intai di sepanjang pantai, asalkan melihat kapal besar berlayar pancawarna, hendaknya dengan jalan apa pun kamu harus berusaha naik ke atas kapal tersebut dan serahkan ranting kayu dalam sampul kepada nakhoda kapal itu.

Tentu kamu akan ditanya, maka bolehlah kau ceritakan apa yang terjadi, sama sekali tidak boleh bohong. Lalu boleh kau tunggu jawabannya.

Hanya nakhoda kapal pancawarna itulah satu-satunya orang di dunia ini yang ada harapan akan dapat menaklukkan tokoh aneh si baju putih.

Usahamu inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dunia persilatan, hendaknya kamu bertindak hati-hati dan tugas harus terlaksana dengan baik. Ingat, jangan lengah!

Melihat tulisan tangan yang sudah sangat dikenalnya, Oh Put-jiu jadi terkenang kepada wajah sang guru, saking sedihnya air matanya berlinang.

Mendadak terdengar suara Pui Po-ji menegurnya dari belakang. "Paman kepala besar, kenapa engkau tidak duduk dan minum dulu? Ai, dasar pesilat!"

Sedapatnya Oh Put-jiu menahan air mata, ucapnya dengan tersenyum sembari berpaling, "Memangnya kenapa kalau pesilat?"

Wajah Po-ji yang masih polos dan kekanak-kanakan itu mendadak timbul semacam rasa duka orang dewasa, ia menunduk dan tidak bicara lagi.

Dengan kening bekernyit Oh Put-jiu menukas, "Melihat gerak-gerikmu, memangnya selama hidupmu takkan belajar silat lagi? Sesungguhnya apa sebabnya?"

Po-ji menghela napas, ucapnya, "Biar kukatakan juga engkau takkan paham. Ayolah berangkat!"

Diam-diam ia membatin dengan menyesal, "Urusan sudah telanjur begini, biarpun kamu tidak mau belajar silat juga tidak boleh lagi."

Segera ia ambil ancang-ancang jurusan, lalu menuju ke pantai timur.

Waktu itu sudah musim dingin, perjalanan jauh memang sudah cukup sulit, apa lagi keberangkatan Oh Put-jiu dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga tidak membawa sangu yang cukup. Maka belasan hari kemudian, sisa uang dalam sakunya sudah tersisa tak seberapa.

Menurut perkiraan Oh Put-jiu, sisa sangu itu mungkin dapat bertahan hingga mencapai pantai timur, tapi entah kapan baru dapat menemukan kapal layar pancawarna itu, bagiku tidak menjadi soal hidup sehematnya, tapi Po-ji masih kecil, mana ia tahan menderita?

Karena pikiran itu, meski dia bernama Put-jiu atau tidak sedih, tidak urung merasa sedih secara diam-diam.

Suatu hari sampailah mereka di pantai timur, pemandangan laut yang tidak pernah dilihatnya itu membuat Po-ji sangat tertarik dan berkeplok gembira.

Saking isengnya Oh Put-jiu justru duduk jauh di batu karang sana untuk memancing.

Po-ji tidak tahu tujuan memancing Put-jiu itu selain hendak mencari ikan sekadar isi perut, sekaligus juga mengawasi bayangan kapal layar yang mungkin akan muncul.

"Paman kepala besar, asyik juga tampaknya engkau memancing ikan?" tegur Poji dengan tertawa.

Oh Put-jiu hanya menyengir saja tanpa menjawab, sampai larut malam ia berhasil memancing beberapa ekor ikan segar, segera ia membuat api unggun, ikan dibakar dan dimakan.

Bintang berkelip di angkasa raya, ombak mendebur, api unggun di pantai laut, Po-ji merasa dirinya serupa berada di alam dongeng. Sampai ikan bakar yang berbau amis itu pun dirasakannya seperti makanan yang paling lezat, sekaligus ia habiskan tiga ekor, lalu berkata dengan tertawa, "Menurut kitab, habis makan kenyang baru bisa tidur nyenyak. Sekarang lekas kita mencari hotel untuk tidur."

Oh Put-jiu diam saja, sejenak kemudian baru menjawab, "Seterusnya kita tidak dapat tinggal lagi di hotel."

Po-ji menunduk dan berpikir, katanya dengan tertawa, "Aha, tidak tinggal di hotel juga baik, biarlah kita gunakan langit sebagai ranjang, kehidupan seperti ini juga cukup menarik."

"Kehidupan seperti ini apakah tahan bagimu?" tanya Put-jiu.

"Memangnya mau apa tahan atau tidak?" ujar Po-ji dengan tertawa. "Yang jelas uang sangu yang kau bawa sudah habis, tanpa duit cara bagaimana bisa tinggal di hotel?"

Oh Put-jiu melenggong, katanya kemudian dengan sambil menyengir dan menggeleng, "Ai, sungguh anak yang cerdik. Bila bicara denganmu, terkadang aku tidak percaya kamu ini baru anak yang berusia dua belasan."

"Di sinilah manfaatnya orang bersekolah dan banyak membaca, maka aku ...."

Belum lanjut ucapan Pui Po-ji, mendadak dilihatnya muka Oh Put-jiu rada berubah dan mendesis, "Ssst, ada orang datang. Entah bagaimana maksud kedatangan orang ini, sebaiknya kita berlaku hati-hati."

Benar juga, dari kejauhan sana tampak berlari datang dua sosok bayangan orang, terdengar seorang di antaranya sedang berkata, "Belum tiba waktunya, cahaya api juga tidak cocok, kubilang bukan di sini tempatnya, tapi kamu ngotot dan mengajak ke sini."

Kawannya menjawab, "Apa pun juga, kan boleh juga kita istirahat dulu di sini ... wah, lihat, malahan terdapat ikan panggang ...."

Ia tidak melanjutkan, begitu berhadapan ia terus duduk di samping Oh Put-jiu, tanpa permisi seekor ikan panggang dicomotnya terus dimakan dengan lahapnya, seperti ikan ini memang miliknya, Oh Put-jiu dan Pui Po-ji dipandang serupa orang mampus saja, sama sekali tidak dihiraukan.

Mata P0-ji mendelik, tegurnya dengan gusar, "Hei, kawan, hendaknya tahu sopan sedikit ...."

Belum habis ucapannya Oh Put-jiu lantas mencengkeram lengannya dan membentak, "Kedua tuan ini sudi makan ikan panggang kita kan suatu kehormatan bagi kita, anak kecil tahu apa?"

Sembari mengomel ia pun mengedipi Po-ji, lalu ia menoleh dan berkata dengan tertawa, "Silakan kedua tuan makan saja, masih ada, biar kupanggang lagi!"

"Hm, mendingan orang kasar seperti dirimu ini bisa melihat orang, kalau tidak ...." Belum lanjut ucapan lelaki sebelah kanan segera kawannya menukas, "kalau tidak, bisa jadi kamu berdua yang akan kami panggang ...."

Po-ji menahan gusarnya dengan menggereget, di bawah gemerdep api unggun terlihat lelaki yang sebelah kiri berwajah putih pucat, tubuh kurus, memakai baju satin warna merah jambon, baju dengan potongan indah, dari wajahnya dapat diterka orang ini pasti peminum dan gemar main perempuan.

Sedang lelaki sebelah kanan bertubuh tinggi besar dan bercambang, pada punggung kedua orang sama menggembol sebuah ransel besar, keduanya juga sama membawa golok.

Sekaligus si lelaki berewok makan dua ekor ikan panggang, sebaliknya si baju merah hanya memandangnya dengan kening bekernyit, ucapnya sambil menggeleng, "Buat apa ...."

Baru berucap demikian, mendadak ia melompat bangun dan memegang golok sembari membentak, "Siapa itu yang datang?!"

Suaranya melengkung tajam dan berkumandang jauh memecah malam sunyi.

Segera seorang menjawab dalam kegelapan sana, "It-tin-hong dari Kangpak, datang tanpa bayangan, pergi tanpa bekas!"

Sesosok bayangan lantas melayang tiba mengikuti suaranya dan hinggap di depan api unggun, ternyata seorang pemuda kurus berbaju hitam ringkas, di punggung juga menggembol sebuah ransel.

Si berewok membuang tulang ikan dan bergelak tertawa, "Haha, kukira siapa, rupanya Hong-lote adanya. Eh, mari, mari, silakan duduk dan makan ikan panggang!"

Pemuda baju hitam terkekeh, jawabnya, "Dari jauh kulihat cahaya api, semula kusangka Leng-kong-sin-hwe (api ajaib neraka), maka kususul kemari, siapa tahu kalian Piu dan Hou berdua saudara yang berada di sini."

Air muka si jambon yang pucat kelihatan tambah pucat, desisnya, "Jangan-jangan Hong-heng juga menerima Sin-bok-leng (perintah kayu sakti) dan mengantar sesajen ke sini?"

Ia bicara sambil celingukan seakan-akan khawatir didengar orang.

"Ya, kemarin dulu kuterima Sin-bok-leng," jawab si baju hitam dengan tertawa.

"Maka dalam dua hari sekaligus kurampok 23 keluarga hartawan, akhirnya berhasil mengumpulkan sekadar sesajen ini."

Si baju jambon tertawa, katanya, "Sudah lama kudengar It-tin-hong dalam semalam menghabisi seribu keluarga, sehari menyikat seratus rumah, dan kenyataan memang tidak bernama kosong. Dan kuyakin kado yang Hong-heng

bawa pasti jauh berharga daripada kepunyaan kami."

Si baju hitam menjawab, "Ah, jangan sungkan. Siapa yang tidak tahu Hun-piu (macan jambon) dan Thi-hou (harimau baja), bilamana kalian mau, harta benda di dunia ini kan serupa isi kantong kalian berdua.

Pui Po-ji melongo mengikuti pembicaraan mereka, diam-diam ia menarik Oh Putjiu dan membisikinya, "Buset, kiranya ketiga orang ini adalah bandit."

Muka Oh Put-jiu tampak prihatin, waktu ketiga orang itu asyik bicara barulah ia membisiki Po-ji pula, "Ketiga orang ini bukan sembarang bandit, mereka adalah neneknya bandit, nama mereka termasyhur dan biasa membunuh orang tanpa berkedip. Kedua orang yang datang lebih dulu masing-masing bernama Hun-piu dan Thi-hou, Gwakang mereka sangat menonjol, sarang mereka terletak di Pekma-san. Dan It-tin-hong (angin lesus) yang datang belakangan itu adalah bandit yang beroperasi sendirian."

Po-ji berkedip-kedip, katanya kemudian, "Mengapa ketiga bandit besar ini tanpa berjanji bisa datang ke tempat terpencil ini, jangan-jangan di sini akan datang seorang hartawan besar?"

Oh Put-jiu menggeleng, "Tidak, dari pembicaraan mereka tadi, agaknya mereka menerima perintah dari seorang tokoh mahalihai yang disebut Sin-bok-leng dan mereka diharuskan cepat mengantar kado ke sini. Tentunya mereka telah diberi tahu akan menggunakan cahaya api sebagai tanda, sebab itulah ketika melihat cahaya api unggun kita, ketiga orang ini lantas memburu ke sini, siapa tahu mereka salah alamat. Ai, ketiga orang ini adalah tokoh yang sukar direcoki, maka dapat dibayangkan orang yang memerintahkan mereka ke sini pasti tokoh yang terlebih hebat."

"Mau apa kalau lebih hebat?" ucap Po-ji. Paling-paling juga cuma bandit yang suka rampok dan main bunuh ..."

Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong terlihat It-tin-hong, Hun-piu dan Thi-hou bertiga serentak berdiri, tiga pasang mata sama menatap jauh ke depan, berbareng mereka menegur, "Siapa itu?!"

Suara mereka bertiga berbeda-beda, ada yang kasar, ada yang halus, ada pula yang melengkung, maka gabungan tiga macam suara mereka itu membuat orang yang mendengarnya merasa tidak enak.

Anak telinga Oh Put-jiu dan Pui Po-ji juga mendengung tergetar, namun selang sekian lama tetap tiada suara jawaban dalam kegelapan. Yang terdengar cuma suara keresek orang berjalan dengan langkah yang berat.

Langkah orang berkumandang dari jauh dan semakin dekat, agaknya pendatang melangkah dengan lambat dan seenaknya.

Seketika ketiga orang yang duduk di tepi api unggun menjadi tegang, "sret", Thihou lantas melolos golok dan membentak, "Siapa itu yang datang, jika tetap tidak bersuara, jangan menyesal bila kami ...."

Di tengah bentakan dari kegelapan sana sudah muncul sesosok bayangan, ternyata seorang perempuan tua gemuk pendek, rambutnya putih seluruhnya dan hampir mendekati botak, berbaju longgar dari kain kasar, anehnya bajunya penuh saku, sedikitnya ada belasan buah. Tangan memegang tongkat panjang yang hampir sekali lebih panjang daripada tubuhnya. Dengan napas terengah ia mendekat, melihat cahaya api unggun ia menghela napas lega dan berucap, "Hangat sekali di sini, bolehkah kududuk di sini dan ikut menghangatkan badan?"

Po-ji melihat muka nenek ini bulat serupa bulan dan senantiasa tersenyum simpul ramah, suaranya juga lemah lembut, diam-diam ia khawatir bagi orang tua ini, khawatir akan dibikin susah oleh ketiga bandit tadi.

Siapa tahu Hun-piu bertiga tetap diam saja, bahkan demi melihat perempuan tua ini mereka pun terkesiap dan melenggong.

Setelah duduk di samping api unggun, dari salah satu saku bajunya si nenek meraba keluar satu biji manisan cermai, lebih dulu diendus beberapa kali, seperti merasa berat untuk dimakan, tapi juga sangat ingin makan, akhirnya manisan perlahan dijejalkan ke mulut, sambil menghela napas perlahan ia nikmati manisan cermai itu, asyik dan nikmat sekali caranya makan sehingga ketiga lelaki kekar bersenjata yang duduk di sampingnya sama sekali tidak dihiraukannya.

It-tin-hong bertiga saling pandang beberapa kali, mendadak mereka sama berlutut dan menyembah dengan wajah kejut dan takut, sampai sekian lama mereka bersujud dan tidak berani menegak.

Si nenek tetap anggap tidak melihat kelakuan mereka, sekaligus ia habiskan tiga biji manisan cermai, lalu dikeluarkan lagi sepotong Siopia dari saku lain, seperti tadi, lebih dulu diendus-endus, habis itu dengan rasa berat baru dimakan dengan nikmat.

Melihat kelakuan nenek itu, Po-ji merasa geli juga heran. Ia geli karena belasan saku baju si nenek ternyata berisi penganan dan jajanan melulu. Ia terkejut melihat ketiga bandit besar yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip itu ternyata sedemikian hormat dan jeri terhadap nenek rakus ini, entah apa sebabnya?

Akhirnya terdengar Thi-hou berkata dengan tergegap, "Terima ... terimalah hormat kami, Ban-lohujin!"

Dengan mulut penuh makanan, si nenek memandang sekejap dengan mata menyipit, lalu tertawa cerah dan berkata, "Aha, anak baik, lekas bangun! Dasar sudah tua, mataku sudah hampir lamur, sejak tadi tidak tahu kalian berada di sini, maaf ya?"

Kepala Thi-hou bertiga menunduk terlebih rendah, ucap Hun-piu, "Semoga Bantayhiap juga baik-baik saja selama ini."

"Siapa itu Ban-tayhiap (pendekar besar tua Ban)?" kata Ban-lohujin dengan tertawa, "kan sudah lama temanku yang tua bangka itu meninggal dunia .... Ah, barang kali kau maksudkan putraku yang tidak becus itu? Ya, baik, baik, dia sangat baik, cuma ada sedikit kurang berbakti kepada orang tua, setelah punya bini lantas lupa kepada ibu."

Ia bicara dengan tersenyum, kedengaran agak ceriwis serupa nenek umurnya. Melihat kelakuannya itu, tanpa terasa Pui Po-ji lantas terkenang kepada neneknya sendiri.

Sebaliknya muka Oh Put-jiu tampak sangat prihatin, ia sedang bergumam, "Bantayhiap ... jangan-jangan dia ibu In-bong-tayhiap Ban Cu-liong?"

Sementara itu Thi-hou bertiga sudah berdiri, dengan tertawa Ban-lohujin lantas berkata pula. Melihat kelakuan kalian, jangan-jangan kalian datang membawakan kado atas perintah Sin-bok-leng?"

"Betul" jawab Thi-hou.

Ia menjawab terlampau cepat sehingga tidak keburu dicegah oleh Hun-piu.

"Ai, pemilik Sin-bok-leng itu sungguh hebat sekali," ucap Ban-lohujin dengan menghela napas, "meski sudah menghilang sekian tahun, namun wibawanya sebagai ketua perserikatan masih tetap bertahan, begitu dia memberi perintah, cepat-cepat kalian bertiga mengantar hadiah baginya. Sesungguhnya hadiah berharga apa yang kalian antar untuk dia, bolehkah kulihat?"

It-tin-hong bertiga saling pandang sekejap, tertampil rasa sulit mereka.

"Masa kulihat saja tidak boleh?" ucap Ban-lohujin pula dengan suara lembut.

"Jika ... jika Ban-lohujin menghendaki demikian, mana kami berani menolak," kata Hun-piu dengan gugup.

Serentak mereka bertiga membuka ransel masing-masing, isi ransel berserakan di tanah.

Seketika pandangan menjadi silau oleh gemerlap batu permata sehingga cahaya api unggun pun kalah terang.

It-tin-hong melirik isi ransel sendiri dan menampilkan rasa bangga. Sebaliknya Hun-piu cepat membungkus kembali ranselnya.

"Ban-lohujin," kata Thi-hou dengan tertawa. "Menurut penilaian Lohujin, apakah hadiah yang kami bawa ini cukup memenuhi syarat?"

Ban-lohujin tersenyum, katanya, "Barang seperti ini jika dipersembahkan kepada raja mungkin masih bolehlah, tapi ...."

"Tapi apa?" tanya Thi-hou.

"Tapi jika hendak dipersembahkan kepada pemegang Sin-bok-leng itu, kukira tidak cukup," tutur Ban-lohujin perlahan.

Kalimat yang pertama membuat It-tin-hong merasa puas dan senang, tapi kalimat kemudian serupa air dingin yang menyiram mukanya dan membuat rasa senangnya berubah menjadi rasa kecut.

"Masa tidak cukup? Hadiah yang kami bawa ini tidak memadai?" Thi-hou menegas dengan terbelalak.

Ban-lohujin menggeleng, katanya, "Ya, tidak cukup, kecuali ... kecuali hadiah kalian bertiga digabung menjadi satu sebagai hadiah seorang saja. Kalau tidak, bila pemegang Sin-bok-leng marah, wah, bisa runyam."

Ia ambil sepotong permen kacang dan dimakan pula dengan nikmatnya dengan mata terpejam tanpa memandang Hun-piu dan lain-lain lagi.

Serentak Hun-piu bertiga meraih ransel masing-masing dan menyurut mundur satu tindak, mendadak It-tin-hong tergelak dan berseru, "Wah, jika demikian anjuran Ban-lohujin, kan lebih baik barang yang kalian bawa itu diberikan padaku saja dan tentu aku akan berterima kasih padamu."

"Sialan, kamu berani mengincar barang kami?" damprat Thi-hou dengan gusar.

It-tin-hong menyeringai, katanya, "Bukan maksudku mengincar barang kalian, tapi kalian tentu tahu, lebih baik kubunuh kalian daripada bersalah kepada pemegang Sin-bok-leng."

"Kentut," jawab Thi-hou dengan gusar. "Boleh coba saja, apakah kamu dapat membunuh kami atau kami yang akan mampuskan dirimu."

Di tengah bentakannya golok Thi-hou dan Hun-piu lantas terhunus, It-tin-hong tidak tinggal diam, senjata andalannya, yaitu tombak berantai juga segera disiapkan.

Ban-lohujin tetap duduk tenang di tempatnya, tetap dengan tersenyum ramah sambil menikmati jajanan yang dibawanya.

Semua ini dapat disaksikan Oh Put-jiu dengan jelas, diam-diam ia membatin nenek yang kelihatan lemah lembut dan welas asih ini sungguh sangat licin dan keji, hanya beberapa patah kata saja dia sudah dapat mengadu domba It-tin-hong bertiga dan ia sendiri tetap tenang saja.

Karena mengemban tugas berat, Oh Put-jiu tidak berani ikut campur urusan orang, ia cuma menonton saja tanpa ikut bicara.

Tak terduga, baru saja ia berpikir begitu, tiba-tiba Pui Po-ji berseru, "Eh, nenek, bukankah kedatanganmu juga hendak mengantar kado?"

Kedua mata Ban-lohujin terbuka sedikit, ucapnya dengan suara halus, "Anak sayang, kau bilang apa?"

"Oo, tidak ada apa-apa," jawab Po-ji dengan tersenyum dan menggeleng.

Namun ucapan Po-ji itu justru menggugah pikiran Thi-hou bertiga, mereka terhitung tokoh Kangouw yang sudah berpengalaman, seketika mereka pun menyadari maksud tujuan si nenek.

Mestinya Hun-piu akan menyerang, tapi segera diurungkan, ia tergelak dan berseru, "Aha, sungguh lucu dan menggelikan!"

"Menggelikan? Dan apa yang lucu?" tanya Thi-hou.

"Memang betul," tukas It-tin-hong. "Kita ini sungguh sudah keblinger, sama sekali tidak ingat bahwa kedatangan Ban-lohujin ini juga untuk memenuhi perintah Sin-bok-leng, sampai kita harus diingatkan oleh seorang anak kecil, kan lucu dan menggelikan?"

"Ya, cuma kedatangan Ban-lohujin ini agak tergesa-gesa dan tidak membawa kado," sambung Hun-piu, "sebab itulah dia sengaja mengadu domba kita agar kita sama menggeletak dan Ban-lohujin dapat mengambil barang kita untuk dijadikan kadonya."

Sembari bicara mereka bertiga sudah berdiri berjajar dengan senjata terhunus sambil menyurut mundur.

Ban-lohujin menghela napas perlahan, ucapnya lembut, "Ai, ucapan kalian terasa sangat merendahkan diriku. Coba kalian lihat apa ini?"

Dari sebuah sakunya ia mengeluarkan serenceng kalung mutiara warna ungu gelap, setiap biji mutiara itu sebesar gundu.

Sudah sekian lama Thi-hou bertiga berkelana di dunia Kangouw dan banyak melihat benda mestika aneh, namun belum pernah terlihat mutiara sebesar ini dan berwarna ungu gelap seperti ini.

Dengan sendirinya mereka sangat tertarik dan ingin lebih jelas, tanpa terasa mereka sama melangkah maju.

"Mutiara kristal ungu seperti ini, cukup satu biji saja sudah merupakan mestika yang sukar dicari, apa lagi serenceng kalung, umpama dipersembahkan kepada raja akhirat juga akan diterimanya dengan senang hati," demikian kata Banlohujin.

"Nah, jika aku sudah memiliki benda berharga ini, untuk apa kuambil barang kalian yang tidak ada artinya itu?"

Thi-hou bertiga sama terbelalak memandangi kalung mutiara itu, mereka merasa kagum dan juga malu.

"Mutiara sebagus ini mungkin kalian belum pernah lihat bukan?" kata si nenek dengan tertawa. "Nah, kalau ingin lihat jelas, silakan periksa lebih dekat."

Tanpa terasa Thi-hou bertiga bergeser pula ke depan.

"Kita memang sia-sia berkelana sekian lama di dunia Kangouw, benda mestika seperti ini jangankan melihat, mendengar saja tidak pernah ...." It-tin-hong bergumam dengan gegetun.

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong kalung mutiara yang dipegang Banlohujin berputar dan berubah menjadi berpuluh larik sinar hitam dan menyambar ke depan, mengincar berbagai Hiat-to Thi-hou bertiga. Tangan si nenek merogoh saku pula, dikeluarkannya bermacam makanan kecil dan disambitkan serabutan. Betapa cepat gerak serangannya sungguh sukar dibayangkan.

Sama sekali Thi-hou bertiga tidak menyangka si nenek akan menyerangnya begitu saja, terlebih tidak menduga makanan kecil dalam sakunya dapat digunakan sebagai Am-gi atau senjata rahasia.

Selagi ketiganya silau dan bingung oleh berhamburnya senjata rahasia, tahu-tahu dada, perut dan bagian lain telah tertimpuk, terdengar jeritan mereka, ketiganya roboh terjungkal, di tubuh masing-masing sedikitnya terhinggap tujuh-delapan biji Am-gi yang terdiri dari biji lengkeng, cermai dan lain sebagainya, semuanya

amblas ke dalam daging seperti lengket.

Hanya Thi-hou saja yang bertubuh tinggi besar, dia tidak mati seketika, dengan suara parau ia sempat berteriak, "Engkau sudah ... sudah punya mutiara ungu sebanyak itu, buat apa ... buat apa mengincar barang kami ...."

"Ai, anak bodoh, di dunia ini mana ada mutiara ungu?" ucap Ban-lohujin sambil menggeleng.

Thi-hou melengak, butiran keringat sebesar kacang menghiasi dahinya, dengan menahan sakit ia meronta dan berteriak pula, "Habis barang ... barang apakah itu?"

Si nenek tersenyum, katanya, "Ini sejenis anggur, kalian sudah lama berkelana, masakah buah anggur begini saja tidak kenal?"

Tergetar tubuh Thi-hou, kedua matanya melotot, teriaknya parau, "Oo, mati aku ...."

Belum lanjut ucapannya, terdengar kerongkongannya berbunyi "krok", seketika pula putus napas. Sungguh dia mati penasaran.

Memandangi mayat mereka, dengan suara lembut Ban-lohujin berucap, "Ai, sayang, sungguh sayang!"

Po-ji terkesima menyaksikan semua kejadian itu, sekarang ia pun mendongkol demi mendengar gumam si nenek, pikirnya, "Kalau sayang, kenapa kau bunuh orang?"

Didengarnya Ban-lohujin berucap pula dengan menyesal, "Sayang barang makananku sebanyak ini terbuang percuma oleh ketiga manusia tak becus ini."

Dengan tongkatnya ia mendekati ketiga sosok mayat itu, ia berjongkok dan mengorek keluar semua makan kecil yang terjepit di tubuh mereka itu, digosoknya makanan itu pada baju mereka untuk menghilangkan noda darah,

lalu sebiji demi sebiji dimasukkan kembali ke dalam saku.

Baru sekarang Po-ji tahu yang disayangkan si nenek bukanlah manusianya, melainkan makanannya. Menyaksikan kelakuan orang tua itu, kaki dan tangan Po-ji terasa dingin dan mual pula, tak tertahan lagi ikan panggang yang dimakannya tadi semua tertumpah keluar.

Karena ucapan Po-ji tadi, semula Oh Put-jiu mengira anak itu akan menimbulkan malapetaka, tapi kejadian selanjutnya berlangsung dengan cepat dan membuatnya terkesima juga.

Sekarang ia baru saja menenangkan diri, pada saat si nenek berdiri menghadap ke sana, cepat ia angkat Po-ji yang sedang tumpah itu terus hendak dibawa kabur.

Siapa tahu, baru saja ia bergerak, tahu-tahu Ban-lohujin sudah berdiri di depannya dengan gelak tertawa, katanya sambil menuding Po-ji, "Ini anak siapa? Sungguh pintar dan cerdik."

Oh Put-jiu tidak menjawab, sekali berputar segera ia melompat ke arah lain dan segera hendak lari pula.

Tapi baru saja ia geser tempat, tahu-tahu si nenek mengadang lagi di depannya dan menegur dengan tertawa, "Untuk apa kau lari? Anak sepintar ini, masa nenek sampai hati mencelakai dia?"

Oh Put-jiu tidak tahu cara bagaimana nenek itu bergerak, tapi tahu-tahu sudah berada di depannya serupa hantu, ia tahu sukar lagi kabur, ia berbalik tenang dan mencari akal untuk menghadapi orang.

Po-ji meronta sekuatnya untuk turun, lalu berteriak, "Hei, jika engkau tidak sampai hati mencelakaiku, tapi juga tidak melepaskan kami pergi, sesungguhnya ada apa?"

Ban-lohujin tertawa lembut, katanya, "Orang tua serupa nenek ini, bila melihat anak yang pintar tentu akan sayang dan berat melepaskannya. Nah, anak sayang, akan nenek beri permen dan manisan."

Benar juga, segera ia mengeluarkan sebiji manisan cermai.

Melihat di atas manisan itu masih ada bekas darah, kembali Po-ji mual dan tumpah pula.

"Anak sayang, kamu tidak berani makan? Ai, padahal manisan cermai berdarah ini jauh lebih manis daripada makanan apa pun," ucap Ban-lohujin dengan tertawa.

Meski yang diperbuatnya jelas hal-hal yang paling keji dan kejam, namun air mukanya justru senantiasa dihiasi senyuman yang paling lembut dan paling asih.

Po-ji terus mendamprat, "Perempuan siluman tua bangka, nenek kejam, makhluk tua bangka, pada suatu hari akhirnya darahmu pasti juga akan diminum orang serupa air teh."

Oh Put-jiu tidak menyangka anak ini bernyali sebesar ini sehingga berani mencaci maki nenek yang memandang nyawa manusia serupa mainan anak kecil ini, keruan ia ketakutan. Segera ia bermaksud memburu maju untuk membelanya, tapi lantas terpikir sesuatu, segera ia duduk malah di tanah seperti tidak ada yang perlu ditakuti lagi, sedikit pun tidak khawatir bagi anak itu.

Terdengar Ban-lohujin berkata pula dengan tersenyum, "Anak baik, kau berani memaki diriku, memangnya tidak kau lihat cara bagaimana ketiga orang tadi mati?"

"Mati ya mati, memangnya aku takut?" jawab Po-ji dengan bersitegang leher.

"Ai, anak bodoh," ucap si nenek dengan gegetun. "Masa benar kamu tidak takut mati? Hendaknya ingat, setiap manusia cuma punya satu nyawa dan tidak ada nyawa serep, kan sayang bila nyawa amblas secara sia-sia? .... Ai, jika nenek membuatmu merasakan bagaimana orang yang mati tidak dan hidup pun tidak, nah, kamu baru tahu betapa berharganya nyawa."

Mendadak ia turun tangan, sekaligus tiga Hiat-to di tubuh Po-ji ditutuknya, lalu dikempitnya anak itu.

Waktu ia menoleh, dilihatnya Oh Put-jiu masih duduk tenang dengan tersenyum, sedikit pun tidak khawatir atau cemas. Biarpun licik dan licin, melihat sikap Oh Put-jiu itu mau tak mau nenek itu terheran-heran, tanyanya dengan tertawa, "Hei bocah kepala besar, apakah kau datang bersama anak kecil ini?"

"Betul," jawab Oh Put-jiu dengan tertawa.

Perlahan Ban-lohujin membelai rambut Pui Po-ji, ucapnya lembut, "Sekali anak ini kubawa pergi, apakah kau kira dia akan pulang menemuimu dengan hidup?"

"Kukira takkan begitu," jawab Oh Put-jiu dengan tertawa.

"Jika begitu, kenapa sama sekali kamu tidak cemas?" tanya pula si nenek.

Put-jiu menjawab dengan tersenyum, "Jika dia kau bawa pergi, tentu ada orang yang akan mencarimu untuk minta kembali anak itu. Bila kau bunuh dia, dengan sendirinya juga ada orang akan menuntut balas padamu. Untuk apa aku merasa cemas?"

"Menuntut balas padaku?" kata Ban-lohujin dengan tertawa. "Ha, nenek reyot macam diriku memang sudah bosan hidup dan kuharapkan ada orang akan mencariku untuk membalas dendam, paling baik kalau aku dapat dibunuhnya

agar aku tidak hidup merana sendirian di dunia fana ini. Cuma sayang, ai, selama berpuluh tahun ini, tidak sedikit orang yang mati di tanganku, sebaliknya tiada seorang pun berani menuntut balas padaku."

"Orang lain tidak berani, orang ini pasti berani," ucap Put-jiu dengan santai.

"Hahaha, jika kau pun kubunuh sekalian, siapa pula yang tahu bagaimana nasib anak ini di tanganku?" seru si nenek dengan tergelak. "Huh, anak kepala besar seperti dirimu ini tampaknya pintar, kenapa urusan kecil ini tidak kau pikir?"

Oh Put-jiu tersenyum, tambah acuh sikapnya, katanya, "Orang lain mungkin tidak tahu, tapi orang ini pasti tahu. Jika engkau tidak percaya, boleh saja kau coba."

"Wah, caramu bicara, orang itu kau gambarkan sedemikian sakti, aku justru ingin tahu sesungguhnya tokoh macam apakah orang yang kau maksud itu?"

Mendadak Oh Put-jiu berdiri, dengan hati-hati ia mengeluarkan potongan ranting kayu itu, katanya, "Orang itu memotong ranting ini dengan pedangnya, boleh coba kau periksa."

Si nenek menerima ranting kayu itu dan diamat-amati ke tepi api unggun, setelah memandang beberapa kejap, air mukanya yang semula tersenyum mendadak lenyap, lalu timbul rasa kejut dan jeri, ucapnya dengan parau,

"Siapakah gerangan yang memiliki ilmu pedang setinggi ini? Jangan ... jangan Ngo ...."

"Betul, ialah Ngo-sik-bang-cun-cu (nakhoda kapal layar pancawarna)!" tukas Oh Put-jiu dengan hambar.

Ban-lohujin menyurut mundur dua langkah, mendadak ia lepaskan Pui Po-ji, dengan kedua tangan ia kembalikan ranting kayu itu kepada Oh Put-jiu, bibirnya bergerak seperti mau bicara, tapi urung. Sekali tongkatnya mengentak, tubuhnya yang buntak itu terus melayang miring ke udara, hanya beberapa kali berkelebat dalam kegelapan, lalu menghilang.

Melihat orang sudah pergi jauh, segera Oh Put-jiu memburu ke arah Po-ji, tapi baru melangkah ia lantas ambruk.

Kiranya ia tahu dirinya bukan tandingan si nenek, dalam keadaan putus asa ia mendapat akal, yaitu coba menggertak si nenek dengan nama nakhoda kapal layar pancawarna dengan memperlihatkan bekas tebasan pada ranting kayu itu.

Put-jiu memang cerdik, ia menduga pada bekas tebasan ranting kayu itu pasti terdapat tanda ilmu pedang yang mahatinggi dan mungkin dapat membuat gentar si nenek.

Usahanya ternyata berhasil, demi melihat ranting kayu itu, seketika terunjuk rasa jeri Ban-lohujin. Ia tidak tahu dunia persilatan Tionggoan baru saja kedatangan seorang jago pedang berbaju putih dari lautan timur, maka dengan sendirinya yang terpikir adalah nakhoda kapal layar pancawarna, ditambah lagi Oh Put-jiu lantas menyebut nama nakhoda itu, kontan nenek itu dibuat ketakutan dan cepat kabur.

Pada lahirnya saja Oh Put-jiu kelihatan tenang, padahal dalam hati juga sangat khawatir bilamana usahanya gagal, saking ketakutan hingga kedua kaki sama lemas. Maka begitu ia memburu maju seketika ia jatuh terduduk. Cepat ia merangkak bangun lagi, Po-ji diangkatnya terus dibawa lari cepat beberapa li jauhnya, habis itu barulah ia berani berhenti.

Di tengah malam gelap terlihat tempat ini adalah sebuah lereng bukit kecil, sekitar penuh batu padas tandus, dalam kegelapan malam terasa seram.

Oh Put-jiu mencari sebuah gua karang yang agak tinggi dan coba menyusup ke situ, lalu dibukanya Hiat-to Po-ji yang tertutuk.

Jilid 2. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Setelah siuman, Po-ji merasa sekujur badan masih kaku, rasanya seperti dibelenggu. Tapi segera Oh Put-jiu mengurutnya sehingga dalam waktu singkat ia dapat duduk dengan bebas.

Anak itu terbelalak, sampai sekian lama tidak sanggup bersuara.

Pedih dan sayang Oh Put-jiu terhadap anak itu, ucapnya lembut, �Po-ji, apakah kamu ketakutan oleh kejadian tadi?�

Po-ji menggeleng, katanya, �Mati pun aku tidak takut, Cuma kejadian begitu saja masa membuatku takut? Aku Cuma heran, hanya ditutuk begitu saja oleh si nenek dan aku lantas tak bisa berkutik.�

�Itu namanya Tiam-hiat (ilmu menutuk),� tutur Oh Put-jiu. �Jika kamu ingin paham lebih banyak ilmu demikian dan tak ingin ditutuk orang lagi, maka kamu harus tekun belajar ilmu silat.�

Po-ji tersenyum, �Hah, rupanya kesempatan ini kau gunakan untuk menyuruhku belajar silat? Supaya kau tahu, aku lebih suka ditutuk orang seratus kali lagi daripada belajar silat segala.�

Oh Put-jiu melengak, sampai sekian lama ia tidak bicara.

Terdengar Po-ji berkata pula, �Aku heran tentang sesuatu.�

�Urusan apa?� tanya Put-jiu.

�Nenek tadi tidak gentar terhadap apa pun, entah mengapa, begitu melihat ranting kayu kering itu lantas ketakutan setengah mati dan cepat-cepat kabur. Memangnya tokoh macam apakah nakhoda kapal layar pancawarna itu?�

Meski tadi Hiat-to tertutuk, namun daya pendengarannya tidaklah hilang.

�Aku pun tidak tahu,� ujar Put-jiu.

Po-ji menunduk dan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan menyesali, �Ai, jika kita sama tidak tahu, marilah kita tidur saja.�

Belum lama berselang anak ini harus mengalami berbagai kejadian yang berbahaya, sekarang semua itu seperti sudah terlupa olehnya begitu ia baringkan diri segera tertidur.

Sebaliknya Oh Put-jiu bergulang-guling tidak dapat pulas.

Entah berapa lama lagi, sekonyong-konyong mereka terjaga bangun oleh suara-suara aneh.

Suara itu seperti alat tiup, juga seperti suara raung binatang buas, hanya berbunyi tiga kali, lalu lenyap.

Sambil kucek-kucek matanya yang masih sepat Po-ji bertanya, �Suara apakah itu?�

Seketika Put-jiu mendekap mulut anak itu sambil berdesis, �Ssst, jangan bersuara, biarlah kita diam-diam mengintainya.�

Saat itu hari belum terang, namun sudah mulai remang-remang, mereka merangkak ke tepi gua karang dan melongok keluar.

Terlihatlah di tanah lereng yang landai itu entah sejak kapan sudah menyala tujuh gunduk api, cahaya api warna kebiruan dan tidak terdapat kayu bakar atau bahan bakar lain, tempat api itu adalah sebuah baskom tembaga, api menyala dari dalam baskom, tujuh gunduk api unggun itu mengelilingi seorang berbaju cokelat dan duduk bersila di situ.

Karena heran, Po-ji berbisik di tepi telinga Oh Put-jiu, �Sungguh aneh, entah apa yang dilakukan orang itu? Umpama takut dingin kan juga tidak perlu menggunakan tujuh gundukan api unggun.�

�Itu bukan orang,� kata Oh Put-jiu.

Po-ji melenggong, dilihatnya �orang� itu memang tidak bergerak.

Setelah diawasi sejenak lagi, akhirnya baru diketahuinya memang bukan orang melainkan cuma sebuah boneka kayu belaka. Cuma lantaran ukiran boneka itu sedemikian hidupnya sehingga dari jauh sukar dibedakan apakah manusia atau patung.

Mau tak mau timbul juga rasa seram Oh Put-jiu, katanya, �Jangan-jangan di balik boneka kayu ini ada sesuatu keanehan lagi? ....�

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar pula suara suitan perlahan, dua sosok bayangan berlari cepat muncul dari sana. Melihat gerak langkah mereka, jelas mereka pun tokoh Bu-lim kelas satu.

Tapi setelah muncul di lereng landai ini, langkah mereka lantas diperlambat, dengan setengah membungkuk, selangkah demi selangkah mereka mendekati patung kayu itu dan serentak bersujud.

Orang yang di sebelah kiri berkata dengan suara berat, �Ting Tiong-hoa dan Ting Pek-hoa, mereka bersama mempersembahkan 71 benda mainan, seluruhnya bernilai tujuh ratus tahil emas, mohon Sin-kun sudi menerimanya!�

Lalu kedua orang meninggalkan ransel yang mereka bawa, isi bungkusan dikeluarkan satu per satu dan ditaruh di depan patung. Ternyata semuanya mestika yang berharga.

Setelah memberi sembah lagi, kedua orang lantas menyurut mundur dan berdiri. Wajah keduanya tampak gembira, setelah mempersembahkan harta benda 700 tahil emas itu rupanya sama sekali tidak merasa sayang, sebaliknya sangat senang dan bangga.

Tentu saja Po-ji terheran-heran, �Apakah kedua orang ini orang dungu, masa begitu hormat terhadap boneka kayu dan bicara pula padanya, betapa pun mereka bicara masa didengar oleh patung?�

Bukan cuma Po-ji saja yang heran, Oh Put-jiu jauh lebih heran daripada dia. Maklumlah, Ting Tiong-hoa dan Ting Pek-hoa itu di dunia Kangouw terkenal sebagai Kim-ci-gin-kau Ting-si-siang-kiat atau kedua jago Ting bersaudara, si panah emas dan si gaetan emas. Mereka adalah bandit budiman terkenal di sekitar provinsi Ciat-kang dan Kangsoh.

Sekarang kedua bandit besar ini jauh-jauh datang ke sini dan mempersembahkan sesajen bernilai sebesar ini, sungguh kejadian yang luar biasa. Ia pikir, �Jangan-jangan patung inilah lambang pemegang Sin-bok-leng itu, dan ketujuh gunduk api adalah Leng-kong-sin-hwe yang disebut-sebut It-tin-hong bertiga itu?�

Dengan kejut dan heran Put-jiu dan Po-ji terus mengintai, hanya dalam waktu tidak terlalu lama, di lereng bukti itu telah datang 17 tokoh dunia persilatan kelas terkemuka yang biasanya jarang terlihat.

Ke-17 orang ini macam-macam bentuknya, ada tua, ada muda, ada lelaki ada perempuan. Ada yang datang berkawan dua atau tiga orang, ada yang muncul sendirian. Namun tujuan mereka sama, yaitu mempersembahkan sesajen kepada patung kayu ini, yang dipersembahkan seluruhnya adalah benda berharga.

Setiba di depan patung, semuanya berlutut dan menyembah serta melaporkan nama sendiri, waktu pergi juga memperlihatkan rasa gembira. Agaknya asalkan mereka dapat mempersembahkan sesajen kepada patung, hal ini sudah merupakan perbuatan yang sangat menggembirakan mereka.

Pengetahuan Oh Put-jiu cukup luas dan daya ingatnya cukup baik, dari nama ke17 orang itu, diketahuinya mereka adalah jago Lok-lim (kaum bandit) yang biasanya memandang barang orang bagai milik sendiri. Mereka biasa merampas barang milik orang lain, tapi sekarang mereka rela menyerahkan barang sendiri kepada patung ini, sungguh peristiwa aneh yang tidak pernah terjadi.

Hanya dalam satu-dua jam di sekeliling patung itu sudah penuh tertumpuk harta benda mestika yang tak terhitung jumlahnya, karena cahaya kemilau benda mestika itu, makin membuat seram patung kayu yang misterius ini.

Po-ji tidak tahan, kembali ia membisiki Put-jiu, �Pemilik boneka itu tidak hadir, melulu boneka begitu saja masa mampu menjaga harta benda sebanyak itu, memangnya tidak khawatir akan dicuri atau dirampas orang?�

Put-jiu tersenyum dan menjawab lirih, �Aku sendiri tidak mengerti akan kejadian ini, namun ....�

Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba terdengar kumandang suara orang berdendang dari lereng sana, seperti paduan suara beberapa orang. Yang dinyanyikan adalah lagu kaum pengemis yang meratapi nasibnya.

Tidak lama kemudian, muncul tiga orang pengemis berbaju penuh tambalan, semuanya berusia 40-an, masing-masing menggembol enam-tujuh buah karung. Ketika melihat patung kayu aneh itu, serentak mereka berhenti nyanyi dan sama merasa kejut dan heran.

Melihat karung goni yang disandang ketiga pengemis itu, segera Oh Put-jiu dapat menerka mereka pasti anak murid Kay-pang (perserikatan kaum jembel) yang tersebar sangat luas di dunia Kangouw, dan dari jumlah karung yang dipanggul mereka dapat diduga mereka mempunyai kedudukan tinggi dalam organisasi pengemis itu.

Melihat gerak-gerik mereka, jelas kedatangan mereka bukan hendak mengantar sesajen kepada patung melainkan tanpa sengaja memergoki keadaan ini, sebab itulah mereka kejut dan heran melihat keadaan ini.

Ketiga orang saling pandang sejenak, lalu seorang di antaranya yang paling kurus mendesis, �Ssst, Losi (keempat) dan Lojit (ketujuh), apakah kalian dapat menerka apa-apaan ini?�

Kedua kawannya menggeleng, salah seorang yang lehernya ada uci-uci berkata, �Jangan-jangan ada upacara sembahyang yang diadakan sesuatu perkumpulan rahasia dunia Kangouw?�

Kawannya yang waktu jalan agak pincang menanggapi, �Kukira bukan. Masa mempersembahkan harta benda begini kepada setan, hm, mereka kalau bukan dungu tentu gila.�

Serentak ketiga orang sama memandang kian kemari, namun tiada sesuatu yang mereka dapatkan.

Oh Put-jiu menahan napas dan tidak berani mengeluarkan suara apa pun. Terdengar pengemis kurus tadi berkata, �Sekitar sini tidak ada manusia ....�

�Wah, alangkah baiknya jika harta mestika ini kita miliki,� tukas si pengemis beruci-uci.

Si pengemis pincang ikut berkata, �Harta mestika ini dimiliki patung kayu seperti ini, apakah patung kayu bisa menikmatinya? Kukira lebih baik kita ambil saja.�

�Betul,� sambung si pengemis beruci-uci. �Toh orang tidak tahu, setan pun tidak melihat ....� Ia pandang si pengemis kurus sekejap, lalu bertanya, �Bagaimana pendapatmu, Jiko?�

Pengemis kurus termenung sejenak, katanya kemudian, �Entah itu patung sungguh atau bukan?�

�Biar kucobanya,� kata pengemis beruci-uci, ia pungut sepotong batu kecil dan disambitkan, dengan cepat dan membawa desir angin batu itu tepat mengenai kepala patung.

�Tokkk�, memang benar suara benturan kayu dan batu.

Si pengemis pincang tertawa cerah, katanya, �Jika bukan patung, kepalanya terkena batu sambitan Lojit, mustahil kepalanya takkan bocor dan keluar kecapnya.�

�Tapi kalau diketahui Pangcu ....� Si pengemis kurus tampak ragu, ia pandang onggokan benda mestika yang tak terhitung jumlahnya itu, lalu menggeleng dan berucap pula dengan gegetun, �Ai, andaikan diketahui Pangcu juga apa boleh buat.�

�Ya, betapa pun Jiko memang orang pintar,� puji si pengemis beruci-uci.

Serentak ketiga orang bergerak cepat menubruk ke arah patung kayu.

Diam-diam Oh Put-jiu membatin, �Sudah lama kudengar disiplin Kay-pang sangat keras, tak terduga ada juga muridnya yang kemaruk harta.�

Baru berpikir demikian, dilihatnya ketiga pengemis sudah memasuki lingkaran api unggun. Gerak si pengemis pincang justru paling cepat, ia mendahului menerjang ke sana, sebelah tangan terus meraih, segenggam batu permata lantas diraupnya.

�Maaf, saudara patung,� katanya dengan tertawa terhadap boneka kayu itu.

�Kami bertiga ingin pinjam harta mestikamu yang menganggur ini, nanti kalau ....�

Belum lanjut ucapannya, mendadak tubuh tergetar dan tidak dapat bergerak lagi, batu permata yang diraupnya jatuh berserakan ke tanah, seperti mendadak melihat sesuatu yang sangat menyeramkan.

Dalam pada itu si pengemis kurus dan beruci-uci sudah menyusul tiba, mereka tanya dengan heran, �Hei, ada apa?�

Waktu mereka menoleh, seketika mereka pun tergetar, mulut melongo tanpa bersuara.

Kiranya sesudah mereka mendekati, terlihat kedua mata patung kayu yang semula terpejam itu mendadak terpentang dan memancarkan sinar mata yang tajam.

�Hahh, kiranya engkau man ... manusia,� seru si pengemis pincang dengan suara agak gemetar.

Nyata, selama dua-tiga jam patung yang sama sekali tidak bergerak itu rupanya manusia hidup.

Tentu saja ketiga pengemis itu terkejut, malahan kejut Oh Put-jiu dan Pui Po-ji juga tidak terkatakan.

Mendadak si pengemis beruci-uci membentak, �Biarpun kamu manusia juga akan kubuat kau jadi setan!�

Rupanya merasa dipermainkan orang, pula untuk menutupi perbuatan tamaknya tadi, seketika timbul nafsunya membunuh, sekali menubruk maju, kedua tangan menghantam sekaligus, secepat kilat ia hantam dada orang berbaju cokelat yang duduk bersila dan semula disangka patung itu.

Pengemis beruci-uci ini bertenaga raksasa pembawaan, latihan fisiknya terhitung paling tangguh, ia termasuk sati di antara ke-17 jago andalan Kay-pang. Ia memukul dengan kedua tangan, tenaganya paling sedikit ada tujuh atau delapan ratus kati, jika cuma tubuh manusia biasa pasti tidak tahan.

Siapa tahu si baju cokelat sama sekali tidak mengelak atau menghindar, keruan si pengemis uci-uci sangat girang, bentaknya, �Kena!�

�Blang�, dengan tepat kedua kepalan si pengemis menghantam pada dada sasarannya.

Namun yang dirasakan pengemis itu, pukulan mahadahsyat itu rasanya seperti mengenai kayu lapuk saja, sama sekali tidak serupa tubuh manusia yang berdarah daging.

Akibatnya jika si baju cokelat masih tetap duduk bersila di tempatnya, tahu-tahu si pengemis sendiri yang tergetar dan terpental jatuh. Darah serasa bergolak dalam rongga dada, kedua pergelangan tangan kesakitan seperti patah, wajah pun pucat ketakutan.

Kedua pengemis yang lain juga terkejut, melongo tanpa bersuara.

Apabila si baju cokelat ini manusia hidup, mengapa tubuhnya serupa kayu lapuk? Dan jika dia bukan manusia hidup, mengapa matanya memancarkan sinar tajam?

Si baju cokelat masih tetap diam saja serupa patung, tiba-tiba dari belang ketiga pengemis berkumandang suara lembut, �O, kasihan ...�

Meski suara itu lemah lembut, namun ketiga pengemis itu serupa burung yang sudah ketakutan oleh pelinteng, serentak mereka membalik tubuh. Maka terlihatlah seorang perempuan tua bertubuh gemuk buntak, tangan kiri

menjinjing sebuah bungkusan besar, tangan kanan memegang tongkat, dengan langkah lamban ia muncul dari kegelapan.

Di bawah cahaya api Po-ji dapat melihat jelas perempuan tua ini, desisnya, �Wah, celaka, perempuan siluman ini datang lagi.�

Nenek ini memang benar Ban-lohujin adanya. Semula Po-ji merasa senyum orang sangat welas asih, tapi sekarang wajah yang kelihatan ramah tamah ini membuatnya mual, sungguh ia ingin memejamkan mata dan tidak mau memandangnya.

Namun apa yang terjadi sekarang sungguh terlampau aneh menarik, siapa pun juga pasti ingin tahu dan tidak nanti memejamkan mata, apa lagi Po-ji yang masih kecil dan serba-ingin tahu.

Dilihatnya sambil melangkah Ban-lohujin bergumam dengan gegetun, �O, anak kasihan ... kasihan ....�

Dengan napas terengah akhirnya nenek itu sampai di depan api unggun.

Ketiga pengemis sama tercengang dan waswas, si pengemis uci-uci tidak tahan, bentaknya, �Siapa anak kasihan?�

Ban-lohujin memandangnya dengan menghela napas, katanya kemudian sambil menggoyang kepala, �Siapa lagi, ialah dirimu ini.�

Pengemis itu melengak, katanya dengan tertawa, �Sungguh nenek sialan, ada apa aku dikasihani?�

�Kasihan kamu takkan hidup tiga jam lagi,� ucap Ban-lohujin dengan gegetun.

�Huh, ngaco-belo!� bentak si pengemis uci-uci dengan gusar.

�Eh, kau kira nenek dusta padamu?� kata Ban-lohujin perlahan. �Ai, kamu sudah tergetar oleh tenaga sakti Koh-bok-sin-kang kalau bisa hidup tiga jam lagi sudah untung bagimu.�

Heran sekali Po-ji melihat ketakutan mereka itu, �Koh-bok-sin-kang apakah itu? Mengapa membuat mereka ketakutan setengah mati.�

Tiba-tiba dirasakan tangan Oh Put-jiu yang memegang tangannya juga penuh keringat dingin, waktu ia melirik, dilihatnya wajah Oh Put-jiu juga menampilkan rasa ketakutan, tidak sampai Po-ji tanya ia sudah membisiki anak itu, �Koh-boksin-kang itu adalah semacam ilmu mukjizat yang sudah lama hilang dari ilmu silat, orang yang berlatih ilmu ini segenap anggota badannya kaku dan pati rasa, gerak-geriknya juga sukar diraba. Tampaknya orang ini sudah cukup sempurna berlatih Koh-bok-sin-kang, seluruh badannya sudah kaku serupa kayu, senjata biasa saja sukar melukainya. Tadi si pengemis uci-uci tergetar luka oleh tenaga saktinya, jelas jiwanya sukar dipertahankan, maka kita harus hati-hati, jangan sampai dilihat olehnya.�

Setelah dia bicara sebanyak itu, ketiga pengemis tadi masih tetap berdiri saja dengan mulut melongo dan mata terbelalak penuh rasa seram, sedikit pun tidak bergerak, dipandang dalam kegelapan malam mereka pun serupa patung.

Mendadak si pengemis uci-uci menjerit, darah segar terus tersembur dari mulutnya, lalu jatuh terjungkal. Habis terluka dan baru sekarang roboh, suatu tanda betapa keji tenaga Koh-bok-sin-kang.

�Ai, ternyata benar hidup tidak lebih dari tiga jam lagi,� ucap Ban-lohujin sambil menggeleng kepala, sikapnya penuh rasa kasihan, seolah-olah seekor semut pun ia merasa sayang untuk menginjaknya.

Jika tidak menyaksikan sendiri dalam sekejap tadi si nenek membunuh tiga orang, tentu Po-ji tidak percaya hati orang tua itu sesungguhnya sangat kejam.

Terlihat si pengemis kurus dan pincang sama berteriak kaget dan berjongkok memeriksa keadaan kawannya, wajah pengemis uci-uci kelihatan biru hangus, dalam sekejap saja jiwa sudah melayang, tanpa terasa kedua pengemis itu mencucurkan air mata.

�Jika kalian sedemikian berduka baginya, apa artinya hidup bagi kalian?� ucap Ban-lohujin. �Biarlah nenek berbuat baik dan mengantar kalian menjadi teman perjalanannya saja.�

Segera ia pegang tongkat dengan tangan kiri, tangan kanan terus merogoh saku.

Keruan Po-ji terkejut, pikirnya, �Wah, celaka, kembali nenek siluman ini hendak membunuh orang lagi dengan manisan cermai!�

Pada saat itulah si baju cokelat yang sejak tadi tidak bergerak dan tidak bersuara serupa patung itu mendadak berkata, �Urusan Bok-long-kun tidak perlu orang lain ikut campur.�

Suaranya kaku ketus, setiap kata seperti diucapkan dengan mengerahkan tenaga seolah-olah lidah pun kaku.

Dengan tersenyum Ban-lohujin mengiakan.

Lalu si baju cokelat alias Bok-long-kun (tuan kayu) berkata pula, �Anak murid Kay-pang maju sini!�

Meski si pengemis kurus dan beruci-uci berduka akan kematian kawannya, tapi melihat kesakitan ilmu silat Bok-long-kun, mana mereka berani mengemukakan niat membalas dendam segala. Dengan menurut mereka lantas mendekat ke sana.

�Mengingat Cukat Tong, jiwa kalian kuampuni,� kata Bok-long-kun.

Kedua pengemis itu kegirangan dan berucap, �Terima kasih, Cianpwe.�

�Dan bolehlah kalian memenggal tangan kanan sendiri yang telah menjamah harta mestika tadi,� kata Boklong-kun pula.

Tergetar hati kedua pengemis itu, seketika keringat dingin membasahi tubuh mereka.

�Ampun, Cianpwe,� ratap si pengemis kurus sambil menyembah. �Jika Cianpwe ada hubungan baik dengan Pangcu kami, mohon mengingat kepada beliau sudilah mengampuni kami ....�

�Penggal sekalian kedua lengan,� tukas Bok-long-kun dengan dingin.

Keruan kedua pengemis terkejut dan berteriak, �Cianpwe, engkau ....�

�Potong pula kedua telinga kalian!� sambung Bok-long-kun.

Kaki kedua pengemis menjadi lemas dan jatuh terkapar, bibir pun pucat ketakutan.

Po-ji juga gemetar menyaksikan kejadian ini.

Dengan suara lembut Ban-lohujin berkata, �Biarlah kuberi nasihat kepada kalian, lebih baik janganlah banyak omong, jika omong lagi, mungkin tangan kanan dan hidung kalian pun sukar diselamatkan!�

Kedua pengemis tahu ucapan si nenek memang tidak salah, terpaksa mereka berdiri dengan gemetar, masing-masing mengeluarkan belati terus memotong daun telinga sendiri.

Biasanya sangat cepat cara mereka membunuh orang, tapi sekarang mereka diharuskan menyayat daun kuping sendiri, tangan mereka justru gemetar sehingga sebuah daun telinga kecil sukar putus meski sudah diiris beberapa kali.

�O, anak kasihan!� ucap Ban-lohujin dengan gegetun, mendadak tongkat yang dipegangnya menyambar ke atas, ujung tongkat yang lantas menjeplak, sebatang pisau panjang terjulur.

Panjang tongkatnya mencapai sembilan kaki, ditambah lagi pisau sepanjang duatiga kaki, panjang seluruhnya menjadi dua belasan kaki, maka tanpa bergeser tubuh ujung tongkat sudah menyambar sampai di depan hidung kedua pengemis.

Terlihat cahaya perak berkelebat beberapa kali disertai jerit ngeri kedua pengemis, secepat terbang mereka terus melarikan diri, sampai jenazah kawan sendiri pun tidak terpikir lagi. Di atas tanah tampak tercecer dan terdapat empat potong daun kuping, dua lengan kutung.

Pisau pada ujung tongkat si nenek sudah lenyap, tongkat telah ditarik kembali, hanya napasnya terengah dan berkata sambil menggeleng, �Ai, sudah tua, tidak berguna lagi ....�

Berbareng ia merogoh saku dan mengambil sebiji manisan cermai serta dimakan dengan nikmatnya.

Semula Oh Put-jiu menyangka kelihaian si nenek hanya karena keanehan senjata rahasianya dan caranya menyerang orang di luar dugaan, sekarang setelah menyaksikan betapa cepat ia menyerang kedua pengemis, baru diketahuinya bahwa Kungfu nenek itu memang sangat lihai, tongkatnya yang panjang itu bahkan sejenis senjata yang amat ampuh dan serbaguna.

Terdengar Bok-long-kun mendengus, �Hm, siapa yang minta kau turun tangan?�

�Eh, jangan marah dulu,� jawab Ban-lohujin dengan tertawa. �Aku kan juga datang menyampaikan hadiah, memangnya Sin-kun juga akan membikin susah padaku?�

Bok-long-kun hanya mendengus saja.

Ban-lohujin lantas membuka bungkusan yang dibawanya, katanya dengan tertawa, �Ini, jika Sin-kun anggap tidak cukup, Lopocu (nenek tua) masih dapat mencarikan tambahan lagi.�

Baru saja ia taruh bungkusan di atas tanah, Bok-long-kun yang duduk bersila itu mendadak berdiri tegak, wajahnya yang kaku timbul selapis hawa hijau.

Air muka Ban-lohujin berubah seketika, tanyanya dengan tertawa, �Sin-kun mau apa?�

�Siapa yang menyuruhmu ke sini? Menyuruhmu berbuat apa?� tanya Bok-longkun sekata demi sekata.

�Apa? Aku tidak tahu apa-apa?� jawab Ban-lohujin dengan sikap bingung.

�Hm, kamu tidak perlu berlagak pilon,� jengek Bok-long-kun dengan terkekeh, suaranya melengking menusuk telinga, namun wajahnya tetap kaku tanpa emosi dan membuat ngeri orang yang melihatnya.

�Apa maksud Sin-kun, sama sekali Lopocu tidak tahu, masa aku perlu berlagak pilon segala?� kata Ban-lohujin dengan tertawa dan tetap berlagak bingung, namun sikapnya jelas tidak tenteram.

�Apakah perempuan hina she Cui itu yang menyuruhmu ke sini?� tanya Bok-longkun, �apakah karena dia tahu kugunakan Sin-bok-leng untuk mengumpulkan harta benda dan akan digunakannya untuk memohon bantuan Ngo-sik-bang-cuncu (nakhoda kapal layar pancawarna), maka kamu disuruh mencari kesempatan di sini untuk membegal?�

Oh Put-jiu terkesiap mendengar ucapan itu, ia heran urusan ini ternyata ada sangkut pautnya dengan nakhoda kapal layar pancawarna.

Terdengar Ban-lohujin bergelak tertawa dan menjawab, �Orang bilang sekujur tubuh Bok-long-kun kaku serupa kayu, hanya hatinya saja yang tidak kaku. Tampaknya sekarang memang bukan omong kosong, buktinya gerak-gerikku dapat kau ketahui juga.�

�Sama sekali tidak ada perintahku padamu, tapi orang semacam dirimu masakah mau mengantar hadiah tanpa sebab?� jengek Bok-long-kun, sekali melangkah tahu-tahu ia sudah keluar dari lingkaran timbunan harta mestika.

Anggota badannya tampak kaku dan tidak bisa membengkok, namun betapa cepat gerak-geriknya sungguh sangat mengejutkan.

�Wah, setelah maksud kedatanganku sudah terbongkar oleh Sin-kun, tiada jalan lain terpaksa harus minta ampun kepada Sin-kun,� kata Ban-lohujin, sambil memegang tongkat ia terus hendak berlutut.

�Ah, nenek siluman ini kembali hendak menyergap orang secara mendadak,� demikian pikir Po-ji.

Benar juga, belum selesai berpikir, tongkat si nenek sudah menonjok langsung ke depan, pisau yang terpasang pada ujung tongkat mendadak menjeplak keluar lagi dan dalam sekejap saja sudah menusuk belasan kali.

Jarak si nenek dari Bok-long-kun ada lebih setombak jauhnya, tongkatnya yang panjang juga lebih setombak, yang digunakan adalah gaya tonjokan, gerakannya lincah dan cepat serupa pagutan ular, betapa cepat cara lawan menghindar, ujung tongkat berpisau itu selalu menutup jalannya sehingga lawan tidak mampu mendekatnya dan dengan sendirinya tidak sanggup balas menyerang.

Menyaksikan itu, diam-diam Oh Put-jiu terkesiap, ia pikir serangan si nenek sungguh sangat lihai, senjatanya juga sesuai pemeo dunia Kangouw �satu inci lebih panjang, satu inci lebih berbahaya�. Nyata dengan serangan senjata panjang begitu, yang jelas si nenek sendiri sudah berada dalam posisi yang

takkan kalah.

Terlihat sinar perak berkelebat, Bok-long-kun berubah menjadi sesosok bayangan dan berlompatan di luar sinar tajam itu, namun sejauh itu ia tidak mampu mendesak maju.

Api unggun yang kebiruan juga gemerdep terdampar oleh angin senjata, sekonyong-konyong Bok-long-kun membentak, bayangannya lenyap, tahu-tahu ia berdiri tegak tak bergerak lagi.

Ujung tongkat berpisau Ban-lohujin tampak beberapa senti di depan dada lawan, juga tidak bergerak lagi. Dan hanya sekejap saja gerak tubuh mereka berhenti, entah cara bagaimana, tahu-tahu tangan Bok-long-kun telah meraih ujung tongkat berpisau lawan, dengan tangan kosong mencengkeram senjata tajam dan ternyata tidak terluka sedikit pun.

Ban-lohujin terkejut, cepat ia menarik sekuatnya.

Pada saat itu juga mendadak Bok-long-kun lepas tangan, keruan Ban-lohujin kehilangan imbangan badan dan jatuh terjengkang, serentak Bok-long-kun melangkah maju terus menghantam.

Beberapa gerakan Bok-long-kun itu tampaknya sangat sederhana, tapi sesungguhnya sudah diperhitungkan dengan tepat setiap detik dan setiap kemungkinannya.

Meski Oh Put-jiu anak murid perguruan ternama, tidak urung agak bingung juga menyaksikan beberapa jurus luar biasa itu. dilihatnya Ban-lohujin sudah kehilangan posisi dan jelas akan kalah total.

Hendaknya maklum, pada umumnya senjata panjang memang menguntungkan untuk menyerang dari jarak jauh, tapi bilamana sampai lawan sempat mendesak maju, bila senjata sendiri tidak dibuang, tentu awak sendiri yang akan kerepotan.

Daya getaran tubuh Bok-long-kun sedemikian kejinya, maka betapa lihai pukulannya dapat dibayangkan, begitu tangan terangkat segera terlihat warna hijau pada telapak tangannya.

Ban-lohujin sama sekali tidak menduga gerak tubuh lawan sedemikian anehnya, baru terkejut serangan Bok-long-kun sudah menyambar tiba dan tampaknya sukar lagi mengelak.

Meski tidak mahir ilmu silat juga Pui Po-ji dapat melihat bahaya yang mengancam nenek itu, diam-diam ia bergirang, �Semoga nenek siluman ini hari ini mampus saja di sini sehingga dunia akan kehilangan bibit bencana ....�

Belum habis berpikir, mendadak terlihat tongkat si nenek ditekan ke depan, ujung tongkat amblas ke dalam tanah, sekali melejit, tubuh si nenek melayang ke atas dan berjumpalitan di udara, dengan cepat ia melintas di atas kepala Boklong-kun dan berada di belakangnya, dengan sebelah tangan memegang tongkat dan terjungkir dengan kepala di bawah dan kaki di atas.

Karena tidak terduga-duga akan kejadian ini, terpaksa Bok-long-kun tarik kembali pukulannya tadi.

Di luar dugaan, mendadak pergelangan tangan Ban-lohujin berputar, tongkat panjang itu tahu-tahu patah menjadi dua, membanjirlah asap hitam dari bagian tongkat patah itu, begitu cepat asap itu bertebaran sehingga bayangan si nenek lantas menghilang, di tengah asap tebal bahkan terseling pula sambaran cahaya

perak mengarah dada Bok-long-kun.

Perubahan ini terlebih di luar dugaan orang, betapa pun Pui Po-ji memang masih anak kecil, tanpa terasa ia menjerit khawatir, �Wah, celaka ....�

Dilihatnya Bok-long-kun seperti terkena serangan cahaya perak dan roboh terjungkal.

Waktu ia pandang Ban-lohujin, nenek itu sudah berada belasan tombak jauhnya dan sedang tertawa, �Haha, nenek memiliki kesakitan yang tak terkira, siapa yang mampu melukaiku?�

Belum lenyap suara tertawanya, bayangannya sudah menghilang.

Tanpa terasa Po-ji menghela napas lagi, ucapnya gegetun, �Sayang ....�

Belum lanjut ucapannya tahu-tahu Bok-long-kun telah melompat bangun dengan kaku, sorot matanya yang mencorong terpancar ke atas, menatap tempat sembunyi Po-ji dan Put-jiu, katanya, �Turun!�

Po-ji melenggong, serunya, �Hah, kiranya dia tidak ... tidak mati!�

Hanya senjata rahasia begitu saja mana dapat mencelakai dia?� ujar Oh Put-jiu.

�Kita tidak turun, coba dia bisa apa?� kata Po-ji.

�Untuk lari pun tidak bisa lagi, lebih baik turun saja,� kata Put-jiu dengan tertawa.

Dia memang pemuda yang baik hati, meski Po-ji banyak omong dan mendatangkan kesulitan, namun sama sekali ia tidak mengomel, sebaliknya tetap tersenyum simpul, anak itu diangkatnya, lalu melompat turun dari gua karang yang tinggi itu.

�Anak itu, coba kemari,� kata Bok-long-kun setelah memandang mereka sekejap.

Belum lagi Oh Put-jiu bersuara segera Po-ji menanggapinya dengan suara keras, �Untuk apa ke situ?�

�Apakah kamu yang bicara di atas tadi?� tanya Bok-long-kun.

�Betul, kau mau apa?� jawab Po-ji sambil meronta turun dari gendongan Put-jiu.

Perlahan Bok-long-kun mendekati Po-ji, pada wajahnya tidak terlihat sesuatu emosi, siapa pun tidak tahu apakah dia bermaksud baik atau buruk. Tapi Po-ji juga tidak gentar, ia berdiri dengan tegak dan membusung dada.

Meski diam-diam Put-jiu merasa khawatir, namun ia tahu ingin lari pun sukar, maka ia pun tidak menghindar.

Dengan tegak bagai tenggak Bok-long-kun berdiri di depan Pui Po-ji, mendadak ia tersenyum.

Meski senyumnya dingin dan kaku, namun membuat air mukanya yang kaku dingin itu timbul sedikit rasa hangat. Po-ji tidak mengira orang akan mengunjuk senyum, tanpa pikir ia tanya, �Apa yang kau tertawakan?�

�Haha, selama hidupku tak terhitung banyaknya orang yang kubunuh, entah berapa banyak orang Kangouw yang berdoa semoga aku lekas mati, tak terduga, haha, ketika kau lihat terancam bahaya tadi, kamu ternyata merasa khawatir bagiku, waktu kuroboh, kau pun merasa sayang, sungguh kejadian yang tidak pernah kualami selama ini, hahaha ....�

Ia bicara diselingi gelak tertawa, seperti kegirangan luar biasa, namun mukanya tetap kaku dingin serupa orang bertopeng.

Bicara sampai di sini, mendadak sorot matanya beralih kepada Oh Put-jiu dan bertanya, �Dan kamu siapa?�

Po-ji mengadang di depan Put-jiu, dengan mendelik ia mendahului menjawab, �Dia paman kepala besar, kau mau apa?�

Walaupun masih kecil dan lemah, namun sekarang ia bersikap seolah-olah seorang pelindung.

�Kamu berani mengintip, seharusnya kamu dihukum mati,� kata Bok-long-kun kepada Oh Put-jiu, �tapi mengingat anak ini, biarlah jiwamu kuampuni. Nah, lekas berbenah dan ikut berangkat bersamaku.�

�Siapa mau ikut padamu?� teriak Po-ji.

Perlahan Bok-long-kun berkata, Ada maksudku mengambil dirimu sebagai murid, asalkan sepanjang jalan kau turut kepada perkataanku, setelah urusan di sini selesai, segera kuterima dirimu sebagai murid terakhir.�

�Tidak, aku tidak mau belajar silat,� seru Po-ji, �juga tidak mau mengangkat guru padamu ....�

�Hah, entah berapa banyak orang di dunia ini sama berlutut di depanku dan mohon kuterima dia sebagai murid dan selalu kutolak, sekarang aku yang mau menerimamu sebagai murid, tidak nanti kamu boleh menolak.�

�Aku justru meno ....�

Belum lanjut ucapan Po-ji, mendadak Oh Put-jiu menarik bajunya dan menyela, �Ai, anak bodoh, bilamana kamu bukan anak penurut, belum tentu Sin-kun mau menerimamu sebagai murid.�

Ia sudah tahu kepergian Bok-long-kun ini pasti akan mencari nakhoda kapal layar pancawarna, maka ajakan orang agar dirinya ikut berangkat tentu saja sangat kebetulan baginya.

�Ehm, perkataanmu memang tepat,� kata Bok-long-kun.

Terpikir oleh Po-ji, �Sepanjang jalan nanti aku justru tidak mau menurut perkataanmu, segala hal akan kutentang dan kukacau, coba apa yang akan diperbuatnya atas diriku?�

Dia memang anak cerdik dan juga nakal, dalam sekejap itu sudah timbul berpuluh macam akalnya untuk menggoda orang. Terbayang dirinya bakal mengecohkan tokoh semacam Bok-long-kun, ia menjadi sangat senang, katanya

dengan tertawa, �Baik, kuikut pergi bersamamu.�

�Hahaha ... haha ....� terbahak-bahak Bok-long-kun, mendadak ia berputar satu kali sambil memukul, seketika angin pukulannya memadamkan ketujuh gunduk api unggun, lalu katanya pula, �Berbenah semua barang itu dan berangkat!�

�Baik,� jawab Oh Put-jiu, diam-diam ia pun bergirang. Cepat ia meringkasi harta benda yang berserakan itu menjadi sepuluh bungkusan besar, semuanya diikat kencang, waktu itu baru diketahui dalam ketujuh baskom itu terisi minyak kental warna hitam.

Ia tidak tahu bahwa itulah minyak mentah yang dihasilkan di wilayah Sekong dan Tibet, namun dapat menduga barang cair itu pasti semacam bahan bakar yang sangat berguna, api yang menyala sukar ditiup padam.

Begitulah ketiga orang lantas memanggul beberapa bungkusan besar itu terus berangkat menuju ke timur menyongsong sang surya yang baru terbit.

Sepanjang jalan benar juga Pui Po-ji selalu mencari alasan untuk mengacau sehingga tidak pernah tenteram barang sebentar pun. Jika Bok-long-kun menyuruh dia menuangkan teh, maka ia sengaja menangkap seekor kecoak dan ditaruh di dalam cangkir.

Bila Bok-long-kun tanya dia berusia berapa maka ia menjawab aku biasa tidur tanpa selimut.

Oh Put-jiu tahu watak anak ini, sekali ada orang membuatnya tidak senang, maka dia pasti akan membalas dengan macam-macam godaan tanpa habis-habisnya. Diam-diam ia cemas bagi anak itu.

Tak tahunya Bok-long-kun itu serupa orang yang sama sekali sudah pati rasa, sedikit pun ia tidak marah, jika di dalam cangkir minum ada kecoak, maka berikut kecoak lantas diminumnya sama sekali. Dan kalau Po-ji menjawab menyimpang dari pertanyaannya, maka ia akan bertanya pula apakah kamu tidur pakai selimut, lalu Po-ji akan menjawab usiaku tahun ini tiga belas.

Sampai akhirnya Po-ji kehabisan akal sendiri.

Put-jiu merasa geli, diam-diam ia pikir sekarang anak ini baru ketanggor atau ketemu batunya.

Mereka terus melanjutkan perjalanan selama tiga hari, sampailah mereka di pesisir, tampaknya di situ semula ada sebuah dusun nelayan, mungkin mendadak mengalami perubahan besar sehingga dusun ini sudah telantar. Hanya terlihat di pantai berserakan kerangka kapal yang sudah rusak dan lapuk, tersisa belasan gubuk yang juga sudah miring dan reyot tidak keruan bentuknya.

Diam-diam Put-jiu merasa heran, �Tempat apakah ini? Masa nakhoda kapal layar pancawarna itu bisa tinggal di tempat semacam ini?�

Walaupun heran, namun ia tidak berani bertanya. Dilihatnya Bok-long-kun mendekati salah satu gubuk yang bobrok dan tampaknya setiap saat bisa runtuh.

�Masa rumah begitu juga dihuni orang?� diam-diam Po-ji merasa heran.

Sementara itu dilihatnya Bok-long-kun sedang mendorong pintu gubuk itu, waktu Po-ji melongok ke dalam, ia menjadi terkejut.

Kiranya dari luar gubuk itu kelihatan reyot dan hampir ambruk, tapi di dalam keadaan sangat mewah, terpajang sangat serasi, dinding sekeliling penuh tergantung kulit binatang berbulu yang beraneka warna segar. Meja kursinya juga sangat bagus dengan berbagai hidangan terpilih.

Terlihat dua lelaki berbaju satin menongkrong di atas kursi dan asyik minum arak.

Mimpi pun Po-ji tidak menyangka keadaan di dalam gubuk bobrok itu bisa semewah ini. Kedua lelaki itu pun terkejut ketika ada orang menerjang ke dalam rumah.

Serentak yang di sebelah kiri berdiri sambil membentak, �Siapa itu?�

Tinggi orang ini mendekati sembilan kaki, bahu lebar dan berjanggut panjang warna kemerahan, gagah perkasa tampaknya, suaranya juga lantang bagai bunyi genta menggetar anak telinga.

Diam-diam Po-ji memuji keperkasaan orang.

Oh Put-jiu juga terperanjat melihat jenggotnya yang aneh itu, pikirnya, �Jangan-jangan orang inilah bajak yang biasa malang melintang di lautan bebas dan terkenal sebagai Ci-si-liong (si naga jenggot merah) Siu Thian-ce adanya?�

Lelaki perkasa berjenggot itu pun melenggong demi melihat Bok-long-kun.

Tanpa bicara lagi Bok-long-kun masuk ke rumah itu, bungkusan dilemparkan ke lantai, lalu duduk bersila dan mendengus, �Tuangkan arak!�

Kembali berubah air muka si jenggot merah, namun sedapatnya ia menahan rasa gusar, dituangnya secawan arak dan disodorkan ke depan Bok-long-kun, katanya, �Baik-baikkah selama ini, Sin-kun?�

Melihat sikap orang sedemikian lunak, sama sekali tidak memperlihatkan kegagahannya, diam-diam Po-ji merasa kecewa, ia pun melemparkan bungkusan yang disungginya, lalu berpaling dan tidak mau memandangnya lagi.

Bok-long-kun minum secawan arak, lalu mendengus, �Siu Thian-ce, tak tersangka kamu masih kenal padaku, tapi kawanmu itu apakah buta matanya?�

Lelaki berbaju satin yang lain sejak tadi duduk membelakangi pintu dan tidak bergerak melainkan makan minum sendiri sehingga wajahnya belum sempat terlihat jelas.

Hanya tertampak dia memakai kopiah berhias mutiara, berjubah sulam, perawakannya tidak tinggi besar, telapak tangan yang memegang cawan arak kelihatan kurus kering dan berwarna kuning gelap.

Mendengar ucapan Bok-long-kun, mendadak ia tertawa terkekeh dan berucap, �Hehe, biarpun Sin-kun tidak kenal diriku, namun kukenal Sin-kun. Mari kuberi selamat secawan arak kepada Sin-kun.�

Suaranya nyaring serupa logam digosok dan membuat orang ngilu dan merinding.

Bahwa orang ini dapat duduk dan minum arak bersama �Ci-si-liong� atau naga berjenggot merah, maka dapat diduga orang ini pasti bukan tokoh sembarangan, semula Oh Put-jiu menjadi ingin melihat wajahnya, ingin tahu sesungguhnya siapa dia.

Tapi dari suaranya yang tajam menusuk telinga itu, wajahnya yang mengejutkan orang pun dapat dibayangkan. Sebab itulah Oh Put-jiu lantas berharap orang jangan menoleh agar tidak mengejutkan bila melihat wajahnya.

Terdengar Bok-long-kun berucap dengan suara berat, �Jika kau kenal aku, mengapa kamu tidak berdiri?�

Orang berkopiah mutiara tetap tertawa mengekek, katanya, �Sin-kun kan tamu yang tak diundang dan menerjang masuk kemari tanpa permisi, sebagai tuan rumah di sini tentu saja aku tidak perlu berdiri dan menyambut.�

Gemerdep sinar mata Bok-long-kun, jengeknya, �Tapi mulai sekarang juga akulah tuan rumah di sini, lekas berdiri dan enyah saja!�

�Hehe, memang sudah lama kutahu Sin-kun bermaksud mengangkangi rumah ini dan aku pun bermaksud menyerahkannya padamu, cuma kukhawatir Sin-kun tidak berani tinggal di sini,� ucap si kopiah mutiara.

�Haha, untuk pertama kalinya selama hidupku mendengar ucapan demikian,� Bok-long-kun tergelak. �Bahwa di dunia ini ada tempat yang tidak berani kudiami, hah, sungguh lucu. Tapi boleh coba jelaskan apa alasanmu berkata demikian?�

Meski dia bergelak tertawa, namun suara tertawanya sangat berbeda ketika bicara dengan Pui Po-ji kemarin, orang lebih suka tuli telinganya daripada mendengar suaranya.

�Soalnya rumah ini sudah kusanggupi dipinjam oleh seseorang,� tutur si kopiah mutiara, �yaitu sebagai pondoknya waktu menanti kedatangan kapal layar pancawarna. Dan orang itu jelas Sin-kun tidak berani merecokinya.�

�Oo, siapa dia?� tanya Bok-long-kun.

Sekata demi sekata si kopiah mutiara menjawab, �Dia bukan lain ialah Cui ....�

Belum lanjut ucapannya, seketika wajah Bok-long-kun yang kaku itu menampilkan perubahan aneh, seakan-akan alis, mata, telinga dan hidung sama bergeser tempat.

�Cui Thian-ki ... kembali Cui Thian-ki!� teriak Bok-long-kun dengan parau. �Jika kepergok olehku, tentu kulit badannya yang halus dan dagingnya yang putih itu akan kusayat secuil demi secuil ....�

�Apa betul!?� mendadak si kopiah mutiara berpaling dengan terkekeh.

Sebenarnya Oh Put-jiu tidak mau melihat wajahnya, tapi tidak tahan oleh rasa ingin tahu sehingga urung ia memandangnya, terlihatlah mukanya kuning pucat dan kurus tiada setitik daging pun sehingga tiada memperlihatkan sesuatu emosi, tampangnya itu lebih mirip tengkorak belaka, sungguh sangat menakutkan.

Selama hidup Pui Po-ji tidak pernah melihat muka seram begini, hampir ia menjerit ketakutan.

Gemertuk gigi Bok-long-kun menahan gusar, jelas tidak kepalang rasa bencinya terhadap Cui Thian-ki, ucapnya gemas, �Jika Cui Thian-ki berani masuk ke rumah ini, boleh kau lihat saja cara bagaimana kumampuskan dia.�

Waktu ia membuka tangan yang menggenggam, cawan arak yang dipegangnya tahu-tahu hancur menjadi bubuk.

Air muka si kopiah mutiara tetap tenang saja, ucapnya dengan tertawa, �Kungfu bagus, cuma sayang, anak buah Cui Thian-ki sendiri?!�

Serentak Bok-long-kun berdiri dan membentak, �Kurang ajar! Sesungguhnya kamu ini siapa? Dari mana kau tahu ....�

�Hehe, siapa aku ini, masa sampai sekarang tidak dapat kau terka?� ucap si kopiah mutiara dengan tertawa.

Tanpa bergerak tahu-tahu tubuhnya mengepung lurus ke atas sehingga atap rumah dijebol menjadi sebuah lubang, hanya sekali berkelebat saja sudah menghilang, sebagai gantinya mendadak beberapa larik sinar perak menyambar masuk dari lubang atap.

Betapa tinggi kepandaian Bok-long-kun ternyata juga sangat jeri terhadap beberapa larik benang perak yang halus itu, sama sekali tidak berani menangkis atau menangkapnya, apa lagi mengejar. Sekali bergerak, tahu-tahu ia menyurut mundur keluar pintu malah.

Terlihat beberapa larik benang perak jatuh di tanah dan lenyap dalam sekejap, kiranya cuma beberapa larik air yang disemprotkan dari bumbung serupa pompa.

Diam-diam Po-ji merasa heran, ia pikir senjata rahasia ini serupa bambu air, mainan anak kecil, mengapa Bok-long-kun sedemikian takut terhadap air begini?

Belum habis pikir, terlihat kulit binatang yang dibuat karpet itu mengeluarkan suara mendesis terkena air tadi, hanya dalam sekejap saja kulit binatang yang lebur itu lantas membusuk dan lenyap tanpa bekas. Bahkan lantai di bawahnya juga membusuk menjadi sebuah lubang, maka dapat dibayangkan betapa keras racun dalam air itu.

Begitu menyurut mundur tadi segera Bok-long-kun melayang balik lagi, ucapnya sambil mengentak kaki, �Dia, memang dia ....�

Mukanya yang kaku bisa juga berkerut-kerut, suatu bukti betapa rasa gemasnya.

Terdengar dari jauh berkumandang suara tertawa mengikik orang dan berkata, �Hihi, aku duduk di depanmu, tapi tidak kau kenal, masih suka omong segala. Tampaknya yang buta bukan aku melainkan kamu sendiri.�

Suara tertawanya nyaring merdu, suaranya juga lembut menarik, sama sekali berbeda daripada suara nyaring mengilukan tadi.

Mendengar suara merdu begini, tanpa terasa Oh Put-jiu ingin lagi melihat wajah aslinya.

Bok-long-kun tahu sukar lagi menyusul orang, dengan melotot ia pandang Ci-siliong Siu Thian-ce, bentaknya parau, �Kau tahu ... mengapa tidak kau katakan?�

�Kampung ini tadinya tempat berkumpul saudara-saudara kami,� tutur Siu Thiance.

�Tapi kemudian lantaran sering kapal layar pancawarna itu singgah ke sini, terpaksa kami pindah tempat berkumpul. Beberapa tahun terakhir ini, setiap orang Kangouw bila ada sesuatu permohonan kepada nakhoda kapal layar pancawarna. Pada musim seperti sekarang tentu datang menunggu di sini. Cayhe adalah bekas tuan rumah di sini, mau tak mau ingin memenuhi sekadar kewajiban sebagai tuan rumah terhadap para kesatria yang datang dari berbagai tempat.�

�Sebab itulah isi rumah gubuk ini kuperbaiki agar cocok menjadi tempat memondok para tamu. Soal siapa-siapa yang datang dan apa maksud tujuannya selama ini aku tidak berani bertanya. Makanya kalau tamu tadi ternyata samaran Thian-ki Hujin, hal ini aku pun tidak tahu-menahu, harap Sin-kun jangan marah padaku.�

Orang ini tidak malu menjadi pentolan bajak meski dalam hati merasa jeri, namun cara bicaranya tetap tenang dan lancar, berdirinya juga tegak.

Bok-long-kun mendengus dan duduk jauh di sebelah sana tanpa bersuara lagi, sekian lama kemudian, air mukanya berubah kaku lagi, lalu ia berkata sambil memberi tanda, �Keluar sana!�

Siu Thian-ce memberi hormat dan mengundurkan diri, waktu melewati bekas air tadi, ia berputar ke sebelahnya dan tidak berani menyentuhnya.

�Orang tadi seorang perempuan?� tanya Po-ji heran.

�Hm, dia perempuan hina dina yang paling keji dan cabul di dunia ini,� jengek Bok-long-kun. �Maka lain kali bila kau lihat dia hendaknya menyingkir saja sejauhnya.�

Selang sejenak ia berkata pula, �Perempuan hina ini memang mahir merias muka dan tidak ada tandingannya di dunia, setiap saat ia dapat berubah menjadi pelayan restoran, kusir kereta atau kakek pencari rumput, bisa jadi saudagar bahkan menjadi orang yang paling dekat denganmu tanpa kau curigai, maka setiap saat perlu waspada terhadap kelicikannya, sedikit meleng dan jatuh di tangannya, mungkin ingin mati pun sukar.�

Ucapan ini keluar dari wajahnya yang kaku dingin sehingga menambah rasa seramnya, tanpa terasa Po-ji juga merinding.

Pada saat itulah di luar jendela tiba-tiba bergema suara tertawa nyaring merdu, suara lembut seorang perempuan berkata dengan tertawa, �Anak sayang, jangan kau percaya ocehannya. Ia sendirilah manusia paling keji, paling tidak tahu malu ....�

Belum lanjut ucapannya, Bok-long-kun berteriak murka terus menerjang keluar jendela serupa sebatang tombak ditimpukkan dengan kuat, cepatnya luar biasa.

Siapa tahu baru saja bayangannya menerobos keluar jendela, tahu-tahu bayangan orang-orang menyelinap masuk malah.

Gerak bayangan orang ini sungguh sukar dilukiskan cepatnya sehingga sukar terlihat jelas bentuk tubuh dan wajahnya.

Kaget juga Oh Put-jiu, bentaknya, "Hai ...."

Namun pendatang ini tidak memberi kesempatan bicara padanya, baru saja ia bersuara begitu, tahu-tahu orang sudah menerjang tiba.

Tentu saja Oh Put-jiu terkejut, namun tidak sempat menghindar lagi. Siapa tahu bayangan orang itu berhenti tepat beberapa senti di depannya, lalu tangan bergerak secepat kilat, sekaligus ia tutuk tiga Hiat-to penting di dada Oh Put-jiu.

Belum lagi tubuh Oh Put-jiu roboh, sekali raih, bayangan orang itu telah merangkul Po-ji, tangan lain bekerja lagi, beberapa Hiat-to anak itu ditutuknya, berbareng kakinya tetap bekerja cepat dan melayang keluar jendela yang lain.

Waktu Put-jiu roboh, bayangan orang itu pun sudah lenyap, betapa cepat sungguh serupa hantu layaknya. Sungguh dengar saja Put-jiu tidak pernah ada Ginkang setinggi ini, begitu saja ia saksikan Po-ji dibawa lari, meski khawatir dan cemas, namun tidak berdaya.

Dan begitu bayangan itu melayang keluar jendela, sebelah tangan lantas terayun dan setitik cahaya perak menyambar cepat ke depan memecah angkasa, ia sendiri segera mendekam di bawah jendela dan tidak bergerak sedikit pun.

Tentu saja Po-ji terheran-heran, "Aneh, mengapa orang ini tidak kabur, sebaliknya malah ...."

Pada saat yang hampir sama didengarnya suara bentakan murka di dalam rumah, lalu Bok-long-kun memburu keluar lagi, "brrr", ia melayang lewat di atas kepala mereka dan mengejar ke arah cahaya perak tadi tanpa memandang ke kaki jendela.

Dan baru saja bayangan Bok-long-kun menghilang di kejauhan sana, bayangan orang ini lantas melompat ke atap rumah dengan membawa Pui Po-ji.

Baru sekarang Po-ji tahu duduknya perkara, agaknya dengan akal yang sama orang ini tadi pun dapat mengingusi Bok-long-kun yang mengejar lurus ke depan, padahal orang ini bersembunyi di bawah jendela dan segera melompat pula masuk ke dalam rumah.

Terdengar orang ini berbisik lirih padanya, "Anak sayang, lihatlah cara bibi mempermainkan patung tolol itu, menarik bukan?"

Suaranya halus merdu laksana kicau burung kenari di lembah sunyi.

Meski kecil usia Po-ji, tidak urung tergiur juga perasaannya oleh suara orang, tapi ketika ia buka mata dan melihat orang ini bukan lain daripada si kopiah mutiara yang bermuka buruk, cepat ia pejamkan mata dan tidak ingin memandangnya lagi.

Terasa sekujur badan sendiri lemas lunglai tanpa bertenaga, sampai bicara pun tidak sanggup, rasanya sangat berbeda daripada waktu Hiat-to tertutuk kemarin.

Tiba-tiba terdengar suara suitan, dalam sekejap saja Bok-long-kun sudah melayang tiba pula di tengah suitannya, ia mendobrak jendela gubuk yang lain dan menerjang ke dalam.

Terdengar jeritan kaget orang perempuan dan Bok-long-kun lantas melompat keluar lagi melalui jendela sisi lain. Dan begitulah ia masuk dari timur dan keluar melalui barat, hanya sebentar saja setiap gubuk itu telah digeledah seluruhnya, pintu dan jendela didobrak dan membuat penghuninya menjerit kaget dan takut.

Sama sekali tak terduga olehnya bahwa orang yang dicarinya justru menongkrong di atap rumah.

Setelah mencari kian kemari tidak bertemu, dengan gusar ia kembali ke gubuk tadi tanpa memandang ke atas rumah. Dan begitu ia masuk ke dalam gubuk itu, segera terdengar suara gedubrakan, agaknya saking tidak terlampias rasa gemasnya Bok-long-kun menghancurleburkan berbagai perabot di dalam rumah.

Pada saat itulah si kopiah mutiara telah membawa Po-ji melompat ke bawah rumah, langkahnya berubah sangat lambat, selangkah demi selangkah tanpa mengunjuk rasa terburu-buru sedikit pun.

Kembali Po-ji merasa heran, "Apa maksudnya?"

Setelah dipikir lagi segera ia paham duduknya perkara, "Ah, betul, ia sengaja berjalan dengan lambat supaya tidak menimbulkan suara, dengan begitu takkan diketahui Bok-long-kun karena sama sekali takkan menduga lawan berani berjalan di luar rumahnya."

Dia memang anak pintar dan sangat cerdik, setelah dipikir lagi, ia merasa akal Cui Thian-ki ini memang lain daripada yang lain, apa pun yang diperbuatnya selalu jauh di luar dugaan orang.

Setelah agak jauh, langkah si kopiah mutiara alis Cui Thian-ki makin dipercepat, sampai akhirnya Po-ji merasa angin mendesir di tepi telinga, dirinya serupa melayang-layang di udara.

Setelah berlari sekian lama barulah Cui Thian-ki berhenti, terlihat sekitar hanya batu karang belaka, ombak mendebur di bawah karang, tempat ini entah berjarak berapa jauhnya dengan kampung nelayan tadi.

Cui Thian-ki menepuk badan Po-ji dan membuka Hiat-to yang ditutuknya, katanya dengan tertawa, "Anak sayang, marilah kita mengadakan persetujuan kesatria, asalkan kamu tidak lari, maka Hiat-tomu juga takkan kututuk, setuju?"

"Toh aku tidak bakalan lolos, untuk apa kukabur?" teriak Po-ji.

Cui Thian-ki meraba punggungnya dan berkata lembut, "Anak pintar, apakah kamu sedih setelah kurebut dirimu dari gurumu itu?"

"Hm, kenapa sedih?" jengek Po-ji. "Jika selama hidupku ini takkan melihatnya lagi, bukannya sedih, aku justru sangat gembira ...."

Mendadak teringat olehnya Oh Put-jiu yang masih dalam cengkeraman Bok-longkun itu, mau tak mau ia merasa khawatir, juga teringat sebabnya perempuan siluman ini merampas dirinya, tentu tidak baik maksudnya dan mungkin dirinya tidak dapat pulang lagi ke rumah. Apa lagi bila teringat ucapan Bok-long-kun tadi yang menyatakan ingin mati pun tidak bisa bila jatuh dalam cengkeraman perempuan ini.

Betapa pun dia masih anak kecil, maka segala macam perasaannya mudah tertampil pada wajahnya.

Dengan tertawa Cui Thian-ki lantas berkata, "Anak sayang, kau bilang tidak sedih, namun dalam hati jelas kamu sedih sekali, betul tidak? Masa kamu dapat mengelabui pandangan bibi?"

Po-ji tidak ingin membantah, ia cuma melengos dan memejamkan mata.

Dirasakan tangan Cui Thian-ki masih terus meraba-raba pada tubuhnya, bagian yang diraba dirasakan enak seakan-akan pada tangan perempuan itu ada kekuatan gaib yang aneh. Apabila Po-ji bukan anak kecil tentu dia takkan tahan oleh belaian maut itu.

Dengan suara lembut Cui Thian-ki berkata pula, "Mestika sayang, jangan takut, juga jangan gelisah, selang satu dua hari lagi tentu bibi akan mengantarmu pulang."

Perlahan ia peluk Po-ji ke dalam pangkuannya, keruan anak itu merasakan tubuhnya yang lunak dan enak, membuat orang merasa berat untuk berpisah. Asalkan ia memejamkan mata, segera terlupa wajah orang yang buruk dan seram, sebaliknya terasa lembut, hangat menyenangkan.

Tiba-tiba Cui Thian-ki menghela napas perlahan, katanya, �Semoga si patung mau menerima syaratku itu, kalau tidak ... ai, anak pintar dan menyenangkan seperti dirimu ini, mana kusampai hati membunuhmu.�

Po-ji lantas melompat bangun dan berteriak, �Memangnya aku hendak kau gunakan sebagai sandera untuk memaksakan sesuatu urusan terhadap Bok-longkun?�

�Hah, kamu memang pintar, tepat dugaanmu ....�

�Jika demikian, jelas engkau salah besar,� seru Po-ji dengan tertawa. �Sebab biarpun aku kau cencang juga Bok-long-kun takkan sedih sedikit pun.�

�Oo, apa betul?� Cui Thian-ki menegas dengan tertawa.

�Kenapa tidak betul. Aku dan dia bukan sanak kadang, sepanjang jalan malahan banyak kubikin susah padanya, mana dia mau memenuhi syaratmu untuk membela diriku. Jika engkau tidak percaya, boleh saja coba dulu.�

Ia bicara dengan mata tetap terpejam rapat dan tidak mau memandangnya.

�Anak bodoh,� ujar Cui Thian-ki dengan tertawa. �Umpama betul perkataanmu kan tidak perlu kau beri tahukan padaku. Jika kurasakan kamu sudah tidak berguna lagi bagiku, kan bisa segera kubunuhmu?�

Po-ji melenggong, diam-diam ia mengakui kebenaran ucapan orang, padahal pikirannya seharusnya dirahasiakan, mengapa malah dikatakan terus terang padanya, meski merasa jemu padanya, tapi isi hatiku kukatakan begitu saja padanya.

Tanpa terasa ia membuka mata, tapi cuma sekejap terlihat wajahnya yang seram itu, segera ia pejamkan mata lagi.

�Kamu tidak berani memandangku, apakah merasa mukaku terlampau buruk?� tanya Cui Thian-ki dengan tertawa.

�Yaa, lebih buruk daripada setan,� kata Po-ji.

Cui Thian-ki tertawa nyaring merdu, sejenak kemudian ia berkata, �Coba sekarang boleh kau lihat pula.�

�Tidak, tidak mau,� jawab Po-ji. Walaupun begitu ucapnya, tidak urung perlahan ia buka matanya dan mengintip, dan sekali pandang matanya tidak terpejam lagi.

Ternyata yang berada di depan mata sekarang bukan lagi makhluk yang bermuka buruk seperti setan dan menakutkan itu, melainkan seorang perempuan mahacantik dengan kerlingan mata yang menggiurkan, senyumnya yang manis menawan itu dapat membuat orang semaput bila melihatnya.

Selama hidup Po-ji tidak pernah terbayang akan melihat perempuan secantik ini, meski banyak Po-ji membaca, sukar juga baginya untuk menemukan istilah yang tepat untuk melukiskan wajah cantiknya.

Meski usia Po-ji masih muda belia, tidak urung terkesima juga menghadapi wajah secantik ini.

�Anak sayang, cantik bukan bibimu ini?� tanya Cui Thian-ki dengan senyum lembut.

Po-ji menghela napas, katanya, �Sering kubaca istilah-istilah yang melukiskan betapa cantiknya seorang perempuan, kukira semua ungkapan itu cuma khayalan belaka, setelah melihatmu sekarang baru kupercaya memang benar ada perempuan secantik bidadari.�

�Benar kau anggap aku sangat cantik?� Cui Thian-ki menegas.

�Ya, anak kecil serupa diriku saja silau melihatmu, apa lagi lelaki muda, mustahil tidak tergila-gila padamu, sekalipun engkau menyuruhnya membunuh orang tentu takkan mereka tolak,� kata Po-ji. �Maka baru sekarang juga kutahu arti istilah yang pernah kubaca dalam kitab kuno.�

�Istilah apa?� tanya Cui Thian-ki tertawa.

�Yaitu, perempuan diibaratkan sebagai sumber bencana, dan kukira memang tepat,� kata Po-ji.

�Hehe, kamu masih kecil, urusan yang kau pahami ternyata tidak sedikit,� kata Cui Thian-ki dengan tertawa. �Sungguh sangat menyenangkan bicara dengan anak kecil serupa dirimu ini daripada kaum lelaki busuk.�

Bicara sampai di sini, mendadak ia menjerit sambil memegang erat tangan Po-ji, mata pun terbelalak memandang lantai, muka pucat serupa melihat setan.

Tentu saja Po-ji kaget dan heran, waktu ia memandang ke arah sana, terlihat seekor tikus kecil mendekam di lantai seakan-akan juga sedang mengincar perempuan itu.

Saking ngeri dan ketakutan, sehingga Cui Thian-ki tidak sanggup bicara lancar lagi, �Ti ... tikus ....�

Nyata mesti ilmu silatnya sangat tinggi, betapa pun dia tetap orang perempuan.

Pada umumnya sembilan di antara sepuluh orang perempuan pasti takut terhadap tikus.

Po-ji lantas melangkah maju dan mengentak kaki sambil mendesis, �Ssst, tikus sialan, lekas pergi ....�

Namun tikus itu justru tidak bergerak sama sekali, karena tidak ada batu, terpaksa Po-ji mencopot sebelah sepatu dan melompat maju untuk mengusir tikus itu.

Karena itulah tikus putih itu berbunyi kaget dan lari.

Cui Thian-ki menghela napas panjang sambil tepuk-tepuk dadanya, katanya, �Ai, sungguh menakutkan .... Anak sayang, syukur kamu tidak takut tikus.�

Po-ji memakai lagi sepatunya dan berucap, �Sebenarnya aku pun takut.�

�Habis, ken ... kenapa ....� Cui Thian-ki terheran-heran.

Dengan lagak pahlawan Po-ji menukas, �Seorang lelaki kan wajib membela orang perempuan. Kulihat engkau ketakutan, aku jadi lupa pada rasa takut sendiri.�

�Oo, mestikaku sayang ....� Seru Cui Thian-ki dengan tertawa, mendadak ia angkat Po-ji dan �ngok�, diciumnya sekali pipi anak itu.

Seketika muka Po-ji merah jengah, teriaknya, �Hei, lepas ... antara lelaki dan perempuan tidak boleh bersentuhan.�

�Ah, kamu kan masih anak kecil,� kata Cui Thian-ki dengan tertawa terkial-kial bagai tangkai bunga kehujanan.

Dengan sikap serius Po-ji berucap, �Meski kita berbeda usia, namun engkau tetap orang perempuan dan aku orang lelaki. Menurut ajaran nabi, antara lelaki dan perempuan tetap ada perbedaannya, kecuali suami istri, siapa pun tidak boleh melanggar peraturan ini.�

�Oo, kalau begitu, bolehlah kau jadi suami kecilku saja,� ucap Cui Thian-ki dengan tertawa. �Tadi kamu sudah mengusirkan tikus bagiku dan menyelamatkan jiwaku, pantas juga bila kujadi istrimu.�

Po-ji terdekap dalam pelukan Cui Thian-ki, ingin meronta sukar terlepas, mukanya menjadi merah, diam-diam ia pikir, �Jika kamu boleh bercanda padaku, kenapa aku tidak?�

Berpikir begitu, mendadak ia pun merangkul erat Cui Thian-ki, bukan dicium lagi, tapi hidung orang digigitnya sekali.

Karena kesakitan, Cui Thian-ki mengendurkan pelukannya, omelnya sambil meraba hidung, �Hei, kau ... kau berani ....�

�Hihi, itulah hadiah suami cilik terhadap istriku,� kata Po-ji dengan tertawa. �Dan sekarang hendaknya istri ikut pergi bersama suami ....�

�Ke mana?� tanya Cui Thian-ki dengan tertawa geli.

Dengan lagak seorang suami kereng Po-ji berucap, �Kata nabi, menjadi istri ayam harus ikut ayam, menjadi istri anjing harus tunduk kepada anjing. Ke mana pergi sang suami, ke sana pula si istri harus ikut.�

Mendadak Cui Thian-ki berhenti tertawa, dengan serius ia berkata, �Tidak sedikit kamu membaca, masa tidak tahu ada lagi ajaran nabi?�

�Ajaran bagaimana?� tanya Po-ji.

�Menjadi suami ayam harus ikut ayam, menjadi suami anjing harus tunduk pada anjing,� kata Thian-ki.

�Hah, mana ada ajaran begitu?� Po-ji melenggong.

�Ada saja, terbukti dalam berbagai kitab kuno, boleh kau baca ulang.� Kembali Po-ji melongo, tanyanya pula, �Dalam kitab apa? Karangan siapa?�

�Karangan istri Khonghucu ....�

Belum lanjut ucapannya, ia sudah tertawa terpingkal-pingkal dan menungging. Po-ji juga tertawa geli dan memegang perut, entah berapa lama mereka tertawa. �Sudah lama sekali aku tidak pernah segembira ini,� ucap Cui Thian-ki kemudian.

�Sayang sekarang aku harus bekerja dan tidak dapat menemanimu di sini.�

�Apakah engkau hendak mencari perkara kepada Bok-long-kun itu?� tanya Po-ji.

�Betul, boleh kau tunggu di sini, jangan kabur ya?� ucap Thian-ki tertawa.

�Entah, sukar kujamin,� kata Po-ji sambil berkedip-kedip.

�Jika begitu, boleh kau tidur saja,� ucap Thian-ki dengan lembut, perlahan ia tutuk Hiat-to tidur anak itu dan menaruhnya di tempat yang teraling dari tiupan angin, kancing bajunya dibetulnya, kelakuannya itu serupa seorang istri yang penuh kasih sayang.

�Suami kecil sayang, tidur yang nyenyak, segera kukembali,� kata Thian-ki dengan lembut.

Melihat wajah Po-ji yang merah serupa apel itu, tanpa terasa ia �ngok� sekali lagi pipi anak itu, lalu ia usap muka sendiri sehingga wajahnya berubah buruk dan seram pula, lalu berlari pergi secepat terbang.

Dan baru saja bayangan Cui Thian-ki menghilang di kejauhan, mendadak dari balik batu karang yang aneh, dari dalam sebuah gua tersembunyi melompat keluar dua anak perempuan.

Kedua gadis ini berbaju merah dan putih, yang seorang ramping, yang lain agak gemuk, namun semuanya berkulit badan putih bersih laksana batu kemala, mata jeli dan jernih, keduanya sama cantik sekali, usia mereka antara 17-18 tahun.

�Kungfu perempuan tadi sungguh tidak lemah, bila kita kepergok olehnya, sungguh sukar menandingi dia,� kata si gadis baju merah.

�Ya, waktu kamu bergerak tadi, sungguh aku sangat khawatir,� ujar si baju putih dengan tertawa. �Tampaknya perempuan tadi sedemikian cerdik, sedikit suara saja tentu jejak kita akan ketahuan.�

Si gadis baju merah tertawa, �Untung kau tangkap tikus putih tadi dan kau lepaskan pada waktunya sehingga kita bebas dari kesukaran.�

Si nona baju putih juga tertawa geli, katanya, �Tak tersangka perempuan tadi sedemikian takut pada tikus. Kalau tidak, pasti jejak kita akan diketahuinya.�

Kedua nona itu selalu belum bicara sudah tertawa lebih dulu, malahan tertawa dengan sangat manis, sikap mereka begitu menarik dan menggiurkan, lincah dan gembira, seperti sama sekali tidak kenal duka nestapa di dunia ini.

Si gadis baju merah berjongkok, perlahan ia membelai rambut Pui Po-ji, katanya dengan tertawa, �Anak ini sangat pintar dan cerdik, sungguh sangat menyenangkan.�

�Eh, jangan-jangan kamu juga ingin mengambil dia sebagai suami kecilmu?� ucap si gadis baju putih dengan tertawa.

�Huh, budak mampus, kau sendiri yang kepingin barangkali ....� omel si baju merah.

�Bicara sesungguhnya, sungguh ingin kubawa pulang anak ini,� ujar si baju putih.

�Nah, apa katamu tadi,� seru si baju merah sambil berkeplok tertawa. �Kan betul, jelas kau sendiri ingin mencari suami kecil, tapi menuduh orang lain.�

Si gadis baju putih mengomel dengan tertawa, �Memangnya aku serupa dirimu, segala apa hanya memikirkan diri sendiri. Kupikir ... karena anak ini sangat pintar, kurasa akan sangat cocok dijadikan teman main Siaukongcu (putri cilik) kita.�

�Aha, gagasan bagus,� seru si baju merah sambil berkeplok. �Kecerdikan anak ini memang benar suatu pasangan dengan Siaukongcu kita.�

�Memang,� tukas si baju putih dengan tertawa. �Sepanjang hari Siaukongcu selalu menggerutu kesepian, tidak punya kawan bermain. Jika anak ini kita bawa pulang, tentu kita kan banyak lebih tenang dan tidak perlu diributi oleh Siaukongcu.�

�Cuma ... bila kita membawa lari suami kecil orang, bukankah kita akan dibenci setengah mati bila orang pulang dan kehilangan suami kecilnya?�

�Peduli amat, tugas kita kan sudah selesai, asal diam-diam kita bawa pulang anak ini, siapa yang tahu?� ujar si baju putih. �Wah, jika kedua anak ini berkumpul, entah betapa banyak kejadian lucu yang akan mereka lakukan. Akhir-akhir ini Loyacu (tuan besar) suka marah-marah, tapi bila melihat anak yang menyenangkan ini kuyakin beliau takkan marah lagi.�

Begitulah kedua gadis itu bicara ceriwis seperti burung berkicau, makin bicara makin senang. Akhirnya si baju merah berkata, �Baik, mari kita kerjakan.�

Tanpa ragu ia terus mengangkat Pui Po-ji yang tertidur nyenyak itu.

�Apakah tidak perlu membuka Hiat-tonya dulu?� tanya si gadis baju putih.

�Tidak perlu,� si baju merah menggoyang kepala dengan tertawa. �Biarkan dia tidur saja, bila ia mendusin dan merasakan dirinya berada di tempat serupa surga, tentu akan terjadi hal-hal yang lucu.�

�Ah, kamu memang suka mempermainkan orang ....� Si baju putih tertawa mengikik. �Ayo berangkat!�

Begitulah dua sosok bayangan merah dan putih lantas melayang turun ke bawah karang secepat burung terbang. Gerak tubuh mereka ringan, gesit dan cepat, tampaknya sama sekali berbeda dengan Ginkang dunia persilatan umumnya.

Di bawah karang sana, di tempat yang sepi dan tersembunyi tertambat sebuah perahu yang terbuat dengan sangat indah dan kukuh, sedang terombang-ambing dibuai ombak ....

*****

Entah berselang berapa lama, waktu Pui Po-ji mendusin, tahu-tahu ia merasakan tempatnya berbaring bukan lagi batu karang keras dan dingin itu, melainkan di tempat tidur dengan kasur yang empuk dan berbau harum.

Terlihat sekeliling tempat tidurnya bergantung kelambu bersulam indah, di sekitar tempat tidur berdiri tujuh atau delapan gadis berbaju sutera secantik bidadari, semuanya tersenyum manis ....

Po-ji menyangka dirinya sedang mimpi, ia coba menggigit bibir sendiri dan terasa sakit, jelas bukan mimpi. Cepat ia melompat turun tempat tidur dan kucek-kucek mata sendiri.

Sungguh ia tidak percaya kepada apa yang dilihatnya adalah keadaan sesungguhnya.

Melihat kelakuan anak itu, kawanan gadis jelita itu sama tertawa geli.

Dengan mata terbelalak lebar Po-ji bertanya, �Tempat ... tempat apakah ini?�

Salah seorang gadis jelita yang berbaju putih tampak paling riang tertawanya, biji matanya berputar dan menjawab, �Coba kau lihat, tempat ini serupa apa?�

Telinga gadis itu memakai anting-anting keleningan emas kecil, maka begitu tertawa lantas menimbulkan suara dering nyaring.

Jilid 3. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Setelah celingukan sejenak baru diketahui Po-ji bahwa tempat tidur ini sangat mewah, bahkan seluruh isi ruangan yang tidak terlalu besar ini semuanya serbaindah dan serasi.

Kakek luar Po-ji, yaitu Pek Sam-kong, merupakan pemimpin dunia persilatan wilayah Soatang dan terkenal kaya raya, sejak kecil Po-ji hidup di tengah keluarga terkemuka yang serbamewah.

Tapi bila kemewahan keluarga Pek dibandingkan tempat ini, rasanya sukar disebutkan berapa kali selisihnya. Po-ji memandang kian kemari dengan melongo dan terbelalak.

"Ayo katakan, di sini mirip tempat apa?" seru si gadis baju putih dengan tertawa.

Po-ji menghela napas, ucapnya, "Ai, dari mana kutahu tempat apa ini, rasanya aku berada di surga, berada di tengah kawanan bidadari serupa Cici sekalian!"

"Haha, masa kami secantik bidadari?" tanya kawanan gadis itu dengan tergelak.

"Meski aku tidak beruntung melihat bidadari dari kahyangan, tapi kutahu para Cici sangat cantik dan hidup bebas tanpa duka, jelas sukar dibandingi orang cantik di dunia ini."

Melihat cara bicara Po-ji serupa orang dewasa, meski merasa geli, senang juga kawanan gadis itu. Berputar biji mata si nona baju putih, katanya dengan tertawa, "Eh, bagaimana bila kami dibandingkan binimu yang besar itu?"

Ia gunakan istilah "bini besar" untuk padanan "suami kecil", ia sendiri tidak tahan rasa geli dan tertawa terpingkal-pingkal.

"Dari ... dari mana kalian tahu?" tanya Po-ji dengan melenggong.

"Jika kami dewa dari kahyangan, tentu saja segala apa kami tahu," kata si baju putih.

Pada saat itulah, tiba-tiba dari luar berkumandang suara orang memanggil, "Hei kelening kecil, lekas gosokkan tinta bagiku, kalau tidak cepat bisa kumarah!"

Suaranya merdu dan renyah, serupa kicau burung.

Si gadis baju putih menggerundel, "Ai, Siaukongcu memang bikin repot melulu, setiap saat minta ditemani orang. Untung sekarang sudah kudapatkan tenaga serep, sedikitnya aku dapat istirahat."

Dari suara keleningan kecil pada anting-anting si baju putih, Po-ji tahu nona inilah yang bernama "si kelening kecil", diam-diam ia merasa geli juga.

Ling-ji atau si kelening kecil lantas memegang tangan Po-ji, katanya dengan lembut, "Akan kubawamu menemui seorang Siaukongcu yang mirip bidadari dan akan kuminta dia menemanimu, mau?"

Po-ji menggeleng kepala, katanya, "Biarpun benar di sini adalah Surgaloka juga aku akan pulang, aku tidak ingin bertemu dengan Siaukongcu apa segala, hendaknya Cici lekas mengantarku pulang saja."

Ling-ji tertawa ngikik dan berseloroh, "Hihi, tentu kau ingin mencari bini besarmu bukan?"

Dengan muka merah Po-ji menjawab, "Sia ... siapa yang ingin menemuinya? Aku ...."

"Jika tidak ingin menemui dia, maka tinggal saja di sini," ucap Ling-ji dengan lembut. "Asal sekali kau lihat Siaukongcu kami, kuyakin biarpun diusir pun kau takkan mau pergi lagi."

"Aku ... aku ...."

Tanpa memberi kesempatan bicara lagi, beramai-ramai kawanan gadis itu lantas menariknya keluar ruangan itu.

Di luar adalah jalan serambi yang panjang, kedua tepi ada beberapa buah pintu.

Dengan perlahan si gadis baju hijau meraba kepala Po-ji dan berkata, "Temani saja Siaukongcu dengan baik, kalau tidak, bisa kami antar dirimu ke ujung langit yang jauh sana sehingga selamanya kau tak bisa pulang."

Keruan Po-ji melonjak kaget, pikirnya, "Wah, kawanan gadis ini tampaknya cantik lagi lemah lembut, siapa tahu semuanya juga bukan manusia baik-baik, aku hendak dijadikan kacung Siaukongcu mereka, tapi mereka terus omong muluk-muluk seolah-olah aku tidak tahu."

Waktu ia dibawa lari Cui Thian-ki, meski merasa kesal, tapi kemudian ada harapan untuk pulang, siapa tahu sekarang tanpa diketahui apa yang terjadi dan tahu-tahu sudah berada di tempat aneh dan misterius ini, jalan untuk pulang pun sukar ditemukan, apa lagi kapal layar pancawarna dan jago pedang nomor satu apa segala, semuanya tak terlihat.

Ia lantas teringat kepada kakek luar dan paman kepala besar, walaupun khawatir, namun urusan sudah kadung begini, terpaksa ia pasrah nasib.

Setelah berpikir, ia merasa geli malah, "Orang kuno baru pasrah nasib bila sudah berusia 50, umurku belum lagi 15, mengapa aku pun meniru pasrah nasib?"

Biarpun usianya masih muda belia, namun pikiran anak ini cukup terbuka, terhadap urusan apa pun ia bisa berpikir panjang, tidak mau mencari susah sendiri dan bersedih tanpa alasan.

Sementara itu kawanan anak gadis tadi telah membawanya ke depan pintu nomor satu di depan sana, si baju hijau membuka pintu, Ling-ji mendorong dari belakang, tanpa kuasa Po-ji menyelonong ke dalam.

Dilihatnya pepajangan di dalam rumah ini terlebih mewah lagi, sebuah meja marmer hijau terletak di tengah, di atas meja ada sebuah pot kemala putih dihiasi beberapa tangkai bunga kamelia.

Di samping botol kemala terbentang kertas tulis warna hijau muda dan ada alat tulis seperti mopit, tempat tinta, ada lagi sebuah mangkuk kemala berisi air, mungkin tempat mencuci mopit setelah terpakai.

Seorang anak perempuan berumur 12-13 tahun dengan baju putih bersih duduk menyanding meja dengan bertopang dagu dan sedang melamun memandangi bunga kamelia pada pot kemala itu.

Po-ji coba memandang juga bunga kamelia pada pot kemala, dirasakan rangkaian bunga itu agak kacau tanpa teratur, tapi setelah dipandang lagi sejenak, makin dilihat makin terasa cara merangkai bunga itu sungguh sangat menakjubkan, besar kecilnya, posisinya, jaraknya, semuanya terangkai dengan sangat indah dan serasi.

Sama sekali Po-ji tidak menyangka merangkai bunga juga begini menakjubkan, saking pesona tanpa terasa ia bergumam, "Setelah melihat bunga ini barulah kutahu kebanyakan perangkai bunga cuma orang tolol belaka."

Meski lirih suaranya, membuat terkejut juga Siaukongcu atau putri kecil itu, mendadak ia menoleh dan melototi Po-ji sejenak, katanya kemudian dengan melengak, "Kau ini barang ... barang apa?"

"Aku manusia, bukan barang," jawab Po-ji dengan menahan rasa dongkol.

Kembali Siaukongcu itu memandangnya sejenak, "Jika kau manusia, mengapa kau tidak serupa diriku, juga berdandan tidak keruan begini?"

Dongkol dan geli juga Po-ji, katanya, "Aku lelaki dan kau perempuan, dengan sendirinya berbeda."

Disangkanya putri kecil yang tampaknya pintar ini seorang idiot, karena itulah ia merasa kasihan padanya.

Putri cilik itu memandangnya lagi dengan terbelalak, katanya kemudian, "Ah, tidak benar, tidak cocok, jika kau lelaki, mengapa tidak berjenggot?"

Po-ji melenggong, jawabnya kemudian dengan tertawa, "Usiaku masih kecil, dengan sendirinya tidak berjenggot. Ai, masakah urusan begini saja kau tidak tahu?"

Siaukongcu itu melongo sejenak, lalu tertawa cerah dan berkata, "Oo, pahamlah aku. Kiranya lelaki yang berusia kecil tidak berjenggot, kalau sudah tua baru berjenggot, serupa halnya anak kecil yang tidak berambut, kalau sudah besar barulah rambut bertambah panjang."

Ia bicara dengan serius, seperti mengenai sesuatu urusan yang rumit dan merasa senang, karena dirinya dapat berpikir sejauh itu.

Melihat kelakuan orang, Po-ji terpingkal-pingkal sehingga pot bunga hampir tersambar jatuh, ucapnya sambil menuding putri kecil itu, "Ka ... kau ...."

"Kenapa geli?" omel putri kecil itu dengan mendelik. "Kulihat ayah berjenggot, dengan sendirinya kusangka setiap lelaki tentu berjenggot."

Seketika Po-ji berhenti tertawa, tanyanya dengan heran, "Memangnya selama hidupmu ini tiada ... tiada lelaki lain yang kau lihat kecuali ayahmu?"

"Ayahku adalah lelaki paling pintar, paling gagah, paling cakap, paling kaya di dunia ini, masakah kusudi melihat lelaki lain?" ucap putri kecil itu dengan sikap pongah, namun begitu sukar menutupi perasaan sunyi yang tertampil pada mata

alisnya.

Po-ji menghela napas panjang, katanya, "Urusan ... urusan begini, masa selama ini tidak ada yang bercerita padamu?"

"Ayah melarang orang bicara padaku, aku pun tidak mau mendengarnya," ucap putri cilik itu.

Mendadak ia seperti ingat sesuatu, "Oya, selama ini tidak ada orang lelaki yang menerobos ke sini, kulupa tanya padamu, cara bagaimana kau masuk kemari?"

"Kau tanya padaku, lalu harus kutanya siapa?" jawab Po-ji sambil angkat pundak.

"Ketika aku bangun tidur, tahu-tahu aku sudah berada di sini."

Kedua mata Siaukongcu yang jeli itu berkedip-kedip, katanya pula, "Ah, tahulah aku, tentu waktu si kelening kecil dinas keluar, pulangnya kau dibawa kemari."

Meski ia tidak paham sama sekali urusan lelaki dan perempuan, namun caranya menduga sesuatu urusan ternyata lebih cerdik daripada orang tua, cepat lagi tepat, sama sekali tidak mirip seorang anak perempuan berumur belasan tahun.

Biji mata Po-ji berputar, sekilas dilihatnya tangkai bunga dalam pot tersentuh kacau oleh tangannya waktu tertawa sehingga karangan bunga yang indah itu tidak teratur lagi dengan baik, tentu saja ia merasa tidak enak hati, ia coba membetulkan karangan bunga itu.

Tak terduga, mendadak Siaukongcu itu sangat gusar, dampratnya sambil mengentak kaki, "Siapa yang menyuruhmu menyentuh bungaku dengan tanganmu yang kotor?"

Seluruh tangkai bunga dalam pot itu mendadak diangkatnya dan dibuang ke dalam baskom di sampingnya, lalu digosok dan dicuci, wajahnya yang ayu mendadak berubah penuh gusar dan benci.

Sayang bunga kamelia itu, banyak kelopak bunga yang rontok sehingga kehilangan bentaknya yang indah tadi.

"He, ada apa," seru Po-ji. "Bunga sebagus itu ...."

"Bunga yang tersentuh oleh tanganmu yang kotor harus kucuci bersih," ucap putri cilik itu dengan gusar.

"Umpama betul tanganku kotor, setelah ... setelah kau cuci, bukankah bunga yang segar dan indah itu akan rusak?"

"Sengaja kucuci bunga ini, peduli apa denganmu?" ucap putri kecil itu dengan ketus.

Po-ji melenggong, ucapnya, "Ai, tak tersangka engkau ini tidak pakai aturan ...."

Seketika putri kecil itu melompat bangun dan berdiri di depan Po-ji dengan bertolak pinggang, teriaknya dengan garang. "Siapa yang tidak pakai aturan? Coba jawab, kenapa kau sentuh bungaku?"

Siaukongcu dalam sikap seperti ini sungguh kelihatan galak, bawel dan judes, sama sekali berbeda dengan bentuknya yang lemah lembut dan menyenangkan tadi. Po-ji melenggong oleh perubahan sikap anak dara yang mendadak ini.

"Blang", mendadak putri kecil itu membanting pot kemala itu ke lantai, menyusul kertas tulis di atas meja juga dirobek-robek, lalu mengomel pula sambil mengentak kaki, "Dengan susah payah selama seharian suntuk baru selesai kurangkai bunga ini, selama ini belum pernah sebagus ini rangkaian bungaku, tapi ... tapi sekarang semuanya telah kau rusak, harus kau ganti ... harus kau ganti ...."

"Baik, akan ... akan kuganti," kata Po-ji.

Meski pada dasarnya Po-ji sendiri juga jail, menghadapi orang yang lebih tua daripada dia, segala apa dapat diperbuatnya. Tapi sekarang terhadap anak perempuan yang lebih kecil ini, ia benar-benar mati kutu dan tak berdaya, terpaksa ia menahan rasa dongkol dan bicara baik-baik mengikuti kehendak si nona cilik.

Siapa tahu putri cilik itu masih terus berteriak-teriak, "Kau mau ganti? Apa yang dapat kau ganti?"

Po-ji berpikir sejenak, ia merasa dirinya memang tidak sanggup merangkai bunga sebagus itu, akhirnya ia menghela napas menyesal dan berucap, "Ya, memang tidak dapat kuganti, lantas ... lantas bagaimana baiknya?"

Siaukongcu seperti mau menangis, matanya tambah basah merah, serunya, "Takkan kuampunimu, selamanya tidak dapat kuampunimu, kecuali ... kecuali kau ...."

Mendengar masih ada jalan keluar lain, cepat Po-ji menukas, "Kecuali apa?"

"Jika kukatakan, apakah dapat kau terima?" tanya Siaukongcu.

"Untuk itu perlu lihat dulu urusan apa, jika ...."

Mendadak putri itu melonjak dan menangis sungguh-sungguh, teriaknya, "O, bangsat cilik, keparat cilik, jika tidak kau terima, akan kubeset kulitmu dan kubetot uratmu ...."

Selamanya Po-ji tidak pernah menghadapi anak perempuan yang ribut dan menangis seperti ini, keruan ia menjadi kelabakan, cepat katanya, "Baik, baik, kuterima."

"Tapi sekarang tidak bisa lagi cuma kau terima satu urusan melainkan harus sepuluh urusan, kalau tidak, tetap tidak dapat kuampuni," sambil bicara putri cilik itu masih terus menangis.

Tiada jalan lain terpaksa Po-ji menjawab, "Baik, sepuluh ya sepuluh."

"Kalau sudah terima tidak boleh menyesal dan ingkar janji," kata Siaukongcu.

"Tentu saja, seorang lelaki sejati tidak nanti ingkar janji," jawab Po-ji tegas.

"Kalau ingkar janji, lantas kau ini apa?"

"Kalau ingkar janji, anggaplah aku bangsat cilik, binatang cilik."

Mendadak Siaukongcu tertawa ngikik, "Ai, anak bodoh, urusan begini mana boleh kau terima begitu saja? Jika kuminta kau potong hidung sendiri, coba bagaimana?"

Ia mengusap air matanya sehingga kelihatan mukanya yang manis dan menarik, kalau tidak melihat sendiri, siapa pun takkan percaya Siaukongcu yang cantik manis dan lemah lembut ini adalah putri kecil yang bersikap galak dan judes tadi.

Po-ji melongo juga oleh ucapan orang, pikirnya, "Benar juga, mana boleh sembarangan kuterima permintaannya? Ai, aku memang ... memang anak tolol."

Waktu ia dipanggil "anak bodoh" oleh Cui Thian-ki, meski ia pun terima lahir batin seperti sekarang. Tapi Cui Thian-ki adalah iblis perempuan yang sudah terkenal, sedang Siaukongcu ini cuma anak perempuan kecil, bahwa anak dara sekecil ini juga dapat membuat orang lain tak berdaya dan pusing kepala serupa seorang iblis perempuan termasyhur, kelak bila sudah dewasa kan terlebih hebat.

Dan sekarang entah kesepuluh pekerjaan aneh apa yang dirancangnya agar dikerjakan Po-ji. Makin dipikir makin cemas juga Po-ji, seketika ia berdiri melongo dan tidak sanggup bicara.

"Haha," anak dara itu tertawa, "dasar anak bodoh, masa dapat kusuruh kau potong hidung sendiri? Idih, darahnya mancur, betapa menakutkan, buat apa potong hidung?"

Bola matanya berputar beberapa kali, lalu katanya pula dengan perlahan, "Oya, belum pernah kulihat orang lelaki menangis. Nah, urusan pertama itu, boleh coba perlihatkan padaku cara bagaimana kau menangis."

Po-ji tambah melongo. Meski dia bukannya tidak pernah menangis, tapi sekarang mendadak diharuskan menangis, mana dia sanggup?

Siaukongcu menarik muka, omelnya, "Bagaimana, urusan pertama saja sudah kau ingkar?"

"Aku ... aku tidak dapat menangis," kata Po-ji.

"Sungguh tidak becus," ujar Siaukongcu. "Apa susahnya menangis? Kalau mau menangis segera aku menangis, ingin tertawa seketika aku tertawa. Ini kan pekerjaan teramat mudah?"

Dongkol dan juga geli Po-ji, tapi bila teringat anak dara ini memang dapat menangis dan tertawa sesukanya, diam-diam ia pun kagum. Terpaksa ia menghela napas dan mendekap mukanya serta menangis.

Namun apa pun juga sukar keluar air matanya, terpaksa ia colek sedikit air liur untuk membasahi pipi sendiri.

"Selama aku tidak bilang berhenti, kau harus terus menangis," ucap Siaukongcu.

Gemas juga Po-ji, terpaksa ia menggerung sekian lamanya dengan kering, meski air mata tetap tidak menitik, namun sekujur badan bermandi peluh.

"Hihi, tangis orang lelaki rupanya tidak mencucurkan air mata melainkan air keringat?!" Siaukongcu berolok-olok dengan tertawa. "Tapi, meski tangismu tidak mirip, namun kau banyak mengeluarkan tenaga. Baiklah, boleh berhenti."

Po-ji seperti mendapat pengampunan maharaja, ia duduk selonjor di kursi dengan napas terengah-engah.

Dengan mata berkedip-kedip Siaukongcu berkata pula, "Dan urusan kedua ...."

Begitulah anak dara itu terus memeras otak dan mengemukakan macam-macam soal agar dikerjakan Pui Po-ji. Sebentar ia suruh Po-ji berjumpalitan 50 kali, lain saat ia minta bocah itu merangkak kian kemari 30 kali, mendadak ia suruh Po-ji duduk selama dua jam dan dilarang bergerak sama sekali.

Po-ji benar-benar dikerjai hingga tenaga habis dan badan loyo, ia hanya dapat meringis belaka.

Ruangan itu tidak tembus sinar matahari sehingga tidak diketahui sudah berselang berapa lama, yang jelas sudah empat-lima kali orang mengantarkan nasi. Anak gadis yang mengantar santapan itu sama melirik Po-ji dengan tertawa geli.

Po-ji tidak dapat menerka sesungguhnya tempat apakah ini, terlebih tidak tahu ayah Siaukongcu ini tokoh macam apa, mengapa sejauh ini tidak datang menengok putri sendiri.

Untung juga akhirnya Siaukongcu itu juga bisa lelah, lalu ia merangkai bunga. Kesempatan itu juga digunakan Po-ji untuk mengaso sembari menyaksikan nona cilik itu merangkai bunga.

Ketika putri cilik itu merasa puas akan rangkaian bunganya, tanpa terasa Po-ji juga berkeplok memuji, ia menjadi tertarik dan bertanya siapa yang mengajarkan seni merangkai bunga itu kepada si putri cilik.

Dengan bangga Siaukongcu bertutur, "Ada seorang sahabat ayahku, konon seorang kosen yang luar biasa di dunia ini, beberapa tahun yang lalu beliau berkunjung kemari, dengan berbagai daya upaya ayah menahannya tinggal di sini dan minta dia mengajarkan sedikit kepandaian kepadaku. Meski lebih sebulan dia tinggal di sini, namun aku cuma diajari seni merangkai bunga melulu, pagi merangkai bunga, petang juga mengarang bunga, rangkai sini dan karang sana, sungguh aku kesal sekali. Akan tetapi ayah justru sangat senang, katanya dalam seni merangkai bunga ini terdapat teori ilmu silat yang mahatinggi."

"Aku tidak percaya," kata Po-ji sambil menggeleng.

"Aku juga tidak percaya," tukas Siaukongcu dengan tertawa, "maka sengaja kutanya ayah. Siapa tahu ayah sendiri tidak dapat menjelaskan, sebaliknya aku dianjurkan lebih giat belajar merangkai bunga. Terpaksa setiap hari aku merangkai bunga pula. Meski sudah kurangkai sini dan karang sana, tetap sukar kupahami di mana dalil ilmu silat yang terkandung dalam seni mengarang bunga ini. Tapi lambat laun, tanpa terasa aku menjadi mencandu dan gemar merangkai bunga. Sebab pada akhirnya dapat kurasakan bahwa cara merangkai bunga ini tampaknya sangat sederhana, yang benar luas sekali pengetahuan yang terkandung di dalamnya."

"Ya, hal ini tadi pun sudah kurasakan," tukas Po-ji dengan gegetun. "Sama-sama beberapa tangkai bunga, karanganmu dan rangkaianku ternyata sangat berbeda, serupa ...."

Ia bermaksud memberi suatu perumpamaan, akan tetapi sukar teringat seketika.

"Serupa halnya sebatang pedang, bahkan sejenis ilmu pedang yang sama, bilamana dimainkan seorang tokoh kelas tinggi tentu sangat berbeda dengan jago kelas rendahan."

"Ya, ya, betul, tepat," seru Po-ji sambil berkeplok tertawa.

Ia pandang putri kecil itu sejenak, lalu berkata pula, "Terkadang aku merasa heran, sesuatu urusan yang sederhana tidak dapat kau pahami, sebaliknya urusan yang ruwet dan mendalam justru banyak yang kau pahami."

"Apa betul?" ucap Siaukongcu dengan tertawa manis.

"Tampaknya ilmu silatmu pasti juga sangat mahir," ujar Po-ji.

"Tentu saja," kata si putri cilik seakan-akan paham ilmu silat adalah sesuatu yang biasa.

Selang sejenak, berkata pula, "Eh, mungkin kau ingin kuperlihatkan sejurus dua kepadamu."

"Tidak, tidak mau," sahut Po-ji dengan kening bekernyit.

Biasanya ia memang tidak suka ilmu silat, beberapa hari terakhir banyak dilihatnya pula bunuh-membunuh dan darah mengucur, tentu saja ia tambah jemu terhadap ilmu silat.

Mendadak Siaukongcu mendelik dan mengomel, "Kau tidak mau lihat, aku justru suruh kau lihat. Jika kau bilang ingin lihat, bisa jadi aku berbalik malas memperlihatkan padamu."

"Baik, aku mau, aku mau ...."

"Hihi, kau mau lihat, tentu saja memang harus kau lihat," ucap si nona cilik dengan terkikik.

Po-ji jadi melenggong sendiri, dengan apa boleh buat ia duduk sambil menghela napas tanpa berdaya.

Betapa pun ia bicara begini dan begitu, asalkan si nona cilik main putar sedikit dan ucapan Po-ji lantas terperangkap. Keruan ia tambah mendongkol, ia bersungut-sungut dengan mulut mencuat hingga cukup untuk dibuat gantungan botol.

"Hihi tampangmu waktu marah sangat lucu, selanjutnya pasti akan kucari akal untuk membuatmu marah setiap hari," kata Siaukongcu dengan tertawa.

Tambah sedih Po-ji mendengar ucapan itu, dilihatnya tubuh Siaukongcu yang kecil mungil itu mendadak berputar cepat, dengan ringan tahu-tahu mengapung meninggalkan lantai.

Bajunya yang putih bagai salju itu berkibar di udara serupa sayap kupu-kupu, kakinya yang bersepatu hias mutiara mendepak perlahan di udara, mendadak tubuhnya menurun ke tengah baskom.

Keruan Po-ji terkejut, baru saja ia hendak memburu maju untuk memegangi si nona, siapa tahu kaki si putri kecil telah menginjak kelopak bunga yang menongol di permukaan air baskom, berdiri dengan tenang dan mantap tanpa goyang sedikit pun.

Baskom penuh terisi air jernih, di dalam terendam bunga kamelia merah muda, di atas kelopak bunga berdiri Siaukongcu berbaju seputih salju, sungguh pemandangan yang indah mirip lukisan bidadari yang sedang bermain air.

Meski tidak suka ilmu silat, demi melihat gaya indah si nona serupa lukisan, mau tak mau Po-ji merasa takjub dan tanpa terasa bersorak memuji.

Sekali melayang, dengan ringan Siaukongcu turun kembali ke lantai, katanya dengan tertawa, "AH, ini belum apa-apa, hanya kungfu kasaran saja, setiap orang di rumahku baik besar maupun kecil sama mahir gerak ringan tubuh ini."

"Jika ku bilang kungfu kasaran, maka guru silat dunia kangouw yang biasanya sok anggap jagoan tentu harus malu diri," ucap Po-ji dengan gegetun.

"Oo, kiranya kau pun paham ilmu silat," kata Siaukongcu.

"Meski aku tidak paham ilmu silat, sedikitnya dapat kubedakan antara yang bagus dan jelek," kata Po-ji. "Apa lagi Gwakong (kakek luar), ayah dan ibuku juga ...."

Mestinya ia hendak bilang "juga tokoh dunia persilatan", tapi bila teringat usia si nona yang masih muda belia sudah memiliki kungfu setinggi ini, apa lagi ayahnya, entah betapa hebatnya, seketika Po-ji urung mengumpak kelihaian kakek dan orang tua sendiri.

Teringat ayah si nona entah tokoh lihai macam apa, Po-ji menjadi sedih akan nasib sendiri dan entah kapan baru dapat pulang ke rumah.

Melihat anak itu berdiri termenung, Siaukongcu lantas bertanya, "Ayah-ibumu bagaimana katamu tadi?"

Belum lagi Po-ji menjawab, sekonyong-konyong dirasakan seluruh rumah ini sama berguncang hebat sehingga Po-ji terjatuh, muka anak itu seketika berubah pucat.

"Jangan takut, anak bodoh," ucap Siaukongcu dengan tertawa. "Mari, kutarik dirimu."

Ia ulurkan tangannya yang putih halus dan menarik bangun Po-ji.

Tak terduga, begitu berdiri Po-ji terus merangkulnya dengan erat sambil berteriak, "Wah, celaka! Langit akan ambruk, lekas kita lari!"

Putri cilik itu tertawa ngikik, jawabnya, "Anak bodoh, siapa bilang langit mau ambruk? Ini tidak lain karena kapal yang kita tumpangi membentur tepian, masa kau takut?"

"Hah, kita ... kita berada di atas kapal?" Po-ji menegas dengan melenggong.

"Memangnya di mana kalau tidak di atas kapal?" jawab si nona cilik.

"Aneh, jika di atas kapal, mengapa sama sekali tidak kurasakan?" ujar Po-ji. "Bila kunaik kapal lain, selalu terasa pusing dan mabuk."

Siaukongcu tertawa, katanya, "Maklumlah, kapal ini teramat besar. Kapal kecil bisa goyang, kapal besar takkan goyang .... Eh, maukah lepaskan tanganmu?"

Baru sekarang Po-ji menyadari anak dara itu masih didekapnya erat-erat, cepat ia lepas tangan, namun masih dirasakan hangat dan enak sekali.

"Antara lelaki dan perempuan tidak boleh berpegangan, kenapa kau rangkul diriku barusan?" tanya Siaukongcu dengan melotot.

Teguran demikian belum lama baru saja diucapkan Po-ji, siapa tahu sekarang ia sendiri juga ditegur orang, keruan mukanya menjadi merah dan serba kikuk.

"Ayo bicara, sebab apa?" tanya Siaukongcu pula dengan suara parau.

Po-ji menunduk dan menjawab, "Aku ... aku ...."

Ia merasa salah, namun sukar untuk menjawab, maka ia cuma gelisah, serba susah dan hampir mencucurkan air mata.

Siapa tahu kembali Siaukongcu mengikik tawa, ucapnya dengan suara lembut, "Jangan sedih, aku cuma main-main saja. Padahal aku sangat suka dipeluk olehmu, sungguh nikmat."

Mendadak ia merangkul leher Po-ji dengan kedua tangannya yang kecil dan putih halus, "ngok", perlahan ia cium pipi anak itu, lalu berlari ke sana dengan terkikik.

Memandangi baju si nona yang putih dan melambai ringan itu, hati Po-ji terasa manis dan juga rada kecut ... entah apa rasanya sesungguhnya, hanya dirasakan hal ini belum pernah dialaminya selama hidup ini, sungguh terasa lebih nikmat daripada apa pun.

Siaukongcu meliriknya sekejap, entah mengapa, mendadak mukanya berubah merah dan mengomel dengan mengentak kaki, "Kau jahat, aku ... aku tidak gubris lagi padamu ...."

Hati kedua bocah ini sedemikian suci murni, terhadap urusan laki perempuan seperti tidak paham, ingin bicara tapi urung. Keadaan demikian dan perasaan ini sungguh sukar untuk dilukiskan.

Siaukongcu lantas menunduk di pojok sana sambil memain ujung baju sendiri, sedangkan Po-ji berdiri di pojok lain sambil mendongak terkesima.

Keduanya sama-sama tidak bersuara, sampai lama dan lama sekali ....

Mendadak Siaukongcu berpaling dan menegur, "Hai, apakah kau bisu?"

Agaknya Po-ji lagi melamun sehingga tidak menjawab.

"Eh, janjimu padaku masih berapa kali yang belum kau kerjakan?" omel anak dara itu.

"Empat kali," sahut Po-ji.

Siaukongcu tertawa, "Kukira kau benar bisu, kiranya tidak. Eh, sesungguhnya apa yang lagi kau pikirkan?"

Po-ji menggeleng kepala, "Tidak ... tidak dapat kukatakan."

"Harus, harus kau katakan, aku justru suruh kau bicara," desak Siaukongcu dengan muka merah.

"Kupikir ... kupikir jika kapal ini sudah menepi, tentu banyak permainan menarik di daratan sana," tutur Po-ji dengan tergegap. "Alangkah baiknya jika kau mau melihatnya."

Siaukongcu melengak, mendadak ia membelakangi Po-ji dan tidak menggubrisnya lagi. Sejenak kemudian perlahan ia menunduk, seperti menitikkan air mata.

Tanpa terasa Po-ji mendekatinya dan bertanya, "Eh, ken ... kenapa?"

Anak dara itu menggigit bibir dan mengentak kaki, serunya, "Enyah, lekas pergi!"

Po-ji merasa bingung, "Katakan padaku, sebab apa kau menangis?"

"Bangsat cilik, keparat busuk, tidak nanti kukatakan kepadamu," damprat anak dara itu dengan gemas. "Hm, kiranya tadi kau bukan lagi memikirkan diriku, apa pun takkan kukatakan padamu."

Ia bilang tidak mau mengatakan apa pun, padahal semuanya sudah ia katakan. Ia marah dan menangis, sebab tadi ia lagi memikirkan Pui Po-ji, sebaliknya Po-ji cuma memikirkan permainan di daratan.

Po-ji menghela napas, katanya, "Siapa bilang aku tidak memikirkan dirimu? Aku justru senantiasa memikirkan dirimu, hampir gila kupikirkan dirimu."

"Betul?" dari menangis Siaukongcu berubah tertawa.

"Tentu saja betul," jawab Po-ji. Namun dalam batin ia mencela diri sendiri sekarang pun mulai suka dusta. Pikirnya, "Tidak lama aku keluyuran di luar, sekarang aku pun pintar berdusta. Ai, meski berdusta bukan perbuatan baik, tapi agar dia mau mendarat bersamaku hingga aku ada kesempatan melarikan diri, terpaksa harus kudustai dia satu kali. Apa lagi caraku dusta ini juga untuk membuatnya gembira dan tidak bermaksud jahat padanya ....

Dilihatnya nona itu lagi berpikir dengan kepala miring, tiba-tiba ia tanya pula, "Eh, apa betul di daratan sana banyak permainan menarik? Aku ... aku jadi ingin melihat ke sana?"

"Hah, bagus, boleh sekarang juga kita pergi," seru Po-ji girang.

Tiba-tiba anak dara itu menghela napas, ucapnya dengan sayu, "Setiap tahun sebelum kapal menepi, ayah selalu mencari jalan untuk memberi hukuman kurungan 50 hari padaku dan dilarang keluar kamar selangkah pun. Sekarang baru 31 hari aku dikurung, mana boleh kukeluar?"

Diam-diam Po-ji gegetun bagi anak dara itu, pikirnya, "Kiranya selama hidupnya tinggal di atas kapal dan tidak pernah naik ke daratan. Ai, pantas dia tidak pernah melihat orang lelaki kecuali ayahnya saja. Sepanjang hari dia dikurung di dalam kamar, kalau tidak membaca hanya peras otak belaka, dengan sendirinya

terhadap setiap urusan yang ruwet ia pandai berpikir dan memecahkannya, tapi terhadap urusan duniawi yang sederhana dia justru tidak paham sama sekali."

Teringat kepada kehidupan yang sunyi itu, tanpa terasa timbul rasa kasihan Po-ji terhadap anak dara itu, katanya segera, "Mari kita mengeluyur keluar di luar tahu ayahmu."

Siaukongcu terbelalak, katanya, "Wah, bukankah nanti ayah akan ... akan marah sekali?"

Rupanya selama ini dia tidak pernah berbuat sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sang ayah.

"Asalkan ayahmu memang tidak tahu, mana bisa dia marah?" ujar Po-ji.

Namun Siaukongcu hanya menggeleng kepala saja.

"Kita hanya keluar untuk melihat sebentar saja dan segera pulang kemari," kata Po-ji. "Boleh kita lihat betapa merahnya buah Tho, betapa warna hijau kekuningan pisang, betapa indahnya jembatan dan pepohonan ...."

Ia sengaja putar lidah dan menggunakan berbagai istilah indah yang pernah dibacanya untuk melukiskan betapa permainya pemandangan di daratan, padahal di daratan sana mana ada buah Tho dan pisang segala?

Bola mata Siaukongcu yang hitam itu tampak berputar-putar, jelas hatinya tergelitik oleh ocehan Po-ji, sejenak kemudian ia berkata dengan tertawa, "Betul juga, asalkan ayah tidak tahu, mana bisa dia marah?"

"Nah, kan sudah kubilang kau ini anak pintar, sekali pikir lantas paham," tukas Po-ji dengan tertawa.

Siaukongcu sangat senang karena Po-ji memujinya, tapi di mulut ia sengaja berkata, "Apa betul aku pintar? Hm, tentu kau dusta. Pada waktu berusia lima tahun aku baru bisa menguasai setengah ilmu pedang ajaran ayah, sering ayah memaki aku anak bodoh, dan pada waktu aku berumur enam ...."

Ia bicara macam-macam, tujuannya cuma ingin mendengar pujian Po-ji lagi.

Namun Po-ji khawatir anak dara itu menyimpangkan pokok persoalan, ia berlagak tidak mengerti dan berkata urusan lain, "Di luar pintu ini adakah penjaganya? Dapatkah kita mengeluyur keluar?"

Siaukongcu menghela napas kecewa, katanya kemudian, "Banyak sekali orang di luar pintu, tapi ... tapi di sini ada sebuah jalan rahasia yang dapat menembus ke ruangan tamu di atas, setiba di sana tentu kita bisa mengeluyur keluar."

"Aha, bagus," seru Po-ji girang. "Tapi ... tapi mungkinkah ayahmu berada di ruang tamu situ?"

Anak dara itu menggeleng, "Tidak, sepanjang hari ayah selalu berada di kamarnya, belum pernah kulihat beliau berada di ruang tamu ...."

Perlahan ia mendekati sebuah cermin perunggu untuk menyisir rambut.

"Ayo, kalau mau pergi lekas berangkat sekarang," ajak Po-ji tidak sabar.

Siaukongcu berpaling dan melototinya sekejap, omelnya, "Kau ini, jika kita mau mendarat, kan aku perlu berdandan dulu, kalau tidak, apakah tidak malu dilihat orang?"

"Ai, anak perempuan semacam dirimu sudah merupakan tercantik daripada semua orang perempuan yang pernah kulihat, tanpa bersolek pun jauh lebih cantik daripada orang lain."

"Apa betul?" tanya Siaukongcu dengan senang. "Aku ...."

"Tentu saja betul," cepat Po-ji memotong. "Oya, di mana letak jalan rahasia itu?"

Siaukongcu menuding sehelai tirai sulam di sebelah sana.

Benar juga, di balik tirai sulam itu adalah sebuah pintu rahasia. Siaukongcu membukanya dan mendahului masuk ke situ, lalu menoleh dan berkata, "Aku merasa takut, jantungku berdebar keras."

Cepat Po-ji menggunakan macam-macam ucapan untuk menghiburnya. Begitulah kedua anak itu satu di depan dan yang lain ikut dari belakang, keduanya menyusuri jalan rahasia itu, setelah membelok kian kemari, akhirnya mendaki sebuah tangga.

"Ssst, di atas tangga inilah ruang tamu pada anjungan," desis Siaukongcu sambil menarik tangan Po-ji dan merambat ke atas selangkah demi selangkah.

Jantung Po-ji sendiri juga berdetak keras. Dilihatnya Siaukongcu menarik sebuah palang kayu dan mengangkat sepotong papan, lalu ada cahaya menyorot dari atas.

Dengan hati-hati kedua anak itu melangkah keluar, terlihat ruang anjungan kapal sangat luas dengan pepajangan sangat mewah, keadaan sunyi senyap tiada sesuatu suara.

Tidak ada minat Po-ji untuk memandangi ruangan indah itu, baru saja ia hendak melongok ke luar jendela untuk melihat suasana di luar, tiba-tiba terdengar suara langkah orang sudah dekat pintu.

Diam-diam Po-ji mengeluh, "Wah, celaka!"

Siaukongcu juga tampak pucat, desisnya, "Ssst, ada orang!"

Cepat ia menarik Po-ji dan bermaksud menyurut mundur ke lorong rahasia. Namun suara orang sudah makin dekat, ingin membuka lagi papan lubang tadi sudah tidak keburu lagi.

Tentu saja kedua anak itu sama kelabakan, mendadak terlihat di pojok ruangan sana juga ada tirai sulam yang panjang melambai ke lantai, tanpa disuruh lagi keduanya berlari ke sana dan bersembunyi di balik tirai.

"Jangan bergerak, tahu tidak?" desis Siaukongcu di tepi telinga Po-ji. "Jika diketahui ayah perbuatan kita ini, selain aku akan dihajar, kau pun takkan terhindar dari tanggung jawab."

Po-ji merasa kuping gatal-gatal geli, ingin tertawa tapi tidak berani, ia cuma mengangguk saja.

Ia berdiri bersandar dinding, kebetulan dapat mengintip melalui celah-celah tirai dan dinding, tentu saja kesempatan mengintip itu tidak disia-siakan.

Terlihat enam-tujuh perempuan yang bertubuh tinggi besar dan kekar serupa orang lelaki sedang menyapu ruang anjungan kapal yang sebenarnya sudah cukup bersih.

Habis itu terdengarlah suara kelening nyaring dari jauh mendekat kemari.

Diam-diam Po-ji membatin, "Itu dia si kelening kecil."

Benar juga, baru berpikir segera tertampak si gadis berbaju putih sudah melangkah masuk dengan gaya gemulai, tanyanya, "Sudah selesai dibersihkan belum?"

"Lapor nona, sudah selesai," jawab salah seorang perempuan kekar.

"Kalau sudah selesai hendaknya lekas keluar, segera tamu akan datang," kata Ling-ji alias si kelening.

Perempuan kekar tadi mengiakan, lalu berbenah peralatan pembersih sebangsa sapu, ember dan sebagainya, lalu mengundurkan diri.

"Sialan," diam-diam Po-ji menggerutu. "kenapa tidak cepat atau lambat, justru pada waktu ada kesempatan untuk kabur bagiku tiba-tiba kedatangan tamu."

Mendadak sesosok tubuh yang lunak bersandar pada bahunya, kiranya Siaukongcu juga tidak tahan oleh rasa ingin tahu, ia pun ikut berimpitan dan mengintip.

Terlihat Ling-ji berjalan sekeliling di ruang tamu, kedua tangan membentang gaun, lalu menyembah dengan lemah gemulai, katanya, "Ruang tamu sudah selesai dibersihkan, silakan Houya (paduka tuan) masuk!"

Menyusul lantas terdengar daun pintu dibuka disusul dengan suara keresek-keresek kain baju, 16 anak gadis bergaun panjang dan berdandan serupa dayang istana dengan tangan masing-masing membawa mistar kemala dan kipas bulu melangkah masuk, lalu berdiri menjadi dua baris di kedua sisi.

Kemudian empat gadis jelita dengan membawa mangkuk emas mengiringi seorang berbaju ungu muncul dengan langkah lebar setelah melangkahi permadani merah dan naik ke mimbar di balik pintu angin terus duduk di kursi berukir naga melingkar.

Betapa pun Po-ji menggeser kian kemari bola matanya tetap tidak dapat melihat jelas perawakan si baju ungu, hanya di antara gaun kawanan gadis itu terlihat ujung baju berwarna ungu.

Perlahan Siaukongcu memegang tangan Po-ji dan menggores dua huruf pada telapak tangannya, huruf itu berbunyi "ayahku".

Po-ji mengangguk, meski di dalam hati semakin ingin tahu bagaimana wajah orang kosen ini, namun ia tidak berani melongok keluar tirai. Apa lagi seumpama ia melongok keluar juga takkan melihatnya, sebab tubuh orang berbaju ungu ini sudah teraling lebih dulu oleh pintu angin.

Pintu angin itu tingginya delapan kaki, bagian bawah yang luang cuma setengah kaki di atas lantai. Po-ji penasaran, ia coba mendekam, dengan muka menempel lantai ia coba mengintip ke sana.

Akan tetapi yang terlihat hanya kedua kaki si baju ungu, ada lagi seekor kucing putih yang meringkuk di samping kaki si baju ungu, lebih ke atas lagi tetap tak terlihat olehnya.

Dalam pada itu terdengarlah suara alat musik dari kejauhan, merdu merayu suara musik itu, entah datang dari mana.

Ling-ji mendengarkan dengan mendekam di lantai, tanyanya kemudian, "Apakah sekarang juga kita membuka pintu menyambut tamu?"

Terdengar suara kemalas-malasan menjawab di balik pintu angin, "Kau adalah petugas penyambut tamu, segala urusan boleh terserah padamu."

Suaranya lantang dan tenang, kedengarannya seperti orang yang bicara ini tidak pernah merisaukan apa pun, seperti juga tidak pernah ada sesuatu urusan di dunia ini yang dipikirkan olehnya.

Terdengar Ling-ji mengiakan sekali dan menyembah lagi, lalu berbangkit dan melangkah keluar.

Namun pandangan Po-ji masih tetap tertuju ke bagian bawah pintu angin, mendadak sebuah telapak tangan putih mulus bagai ukiran kemala putih terjulur ke bawah, kelima jarinya kelihatan panjang lentik dan halus, sedikit pun tidak kelihatan kotor atau cacat. Di antara ibu jari dan jari telunjuk tercomot seekor ikan emas kecil.

Si kucing putih yang sejak tadi meringkuk kemalasan di samping kaki mendadak mendongak dan ikan emas itu dicaploknya sekaligus, lalu mendekam lagi dengan kemalasan.

Tangan si baju ungu masih terus membelai badan kucing putih itu dengan perlahan, kelihatan sangat sayang.

Melihat itu, kejut dan girang Po-ji, kejutnya karena ikan emas dari jenis yang sukar dicari itu berharga sangat mahal, tapi sekarang orang menggunakannya untuk makanan kucing. Girangnya karena akhirnya sebelah tangan orang dapat dilihatnya.

Ling-ji melangkah keluar ruang anjungan, melintasi geladak kapal yang sudah dicuci bersih dan menuju ke haluan kapal. Dari situ ia memandang ke bawah, ternyata di depan haluan kapal, di permukaan air mengapung tiga buah rakit kayu, di atas rakit berdiri berpuluh orang dengan potongan tubuh yang berbeda.

Kiranya kapal ini terlampau besar, perairan di situ agak dangkal sehingga kapal tidak dapat merapat ke tepian, barang siapa hendak naik kapal harus menumpang rakit untuk mendekati kapal itu.

Ling-ji berbaju putih berdiri di haluan kapal dengan latar belakang langit yang biru dan gumpalan awan di angkasa, sungguh dia mirip bidadari yang baru turun dari kahyangan.

Berpuluh orang penumpang rakit sama mendongak memandang ke atas, sebagian besar memandang dengan terkesima serupa orang linglung.

Ling-ji tertawa, katanya, "Kedatangan kalian hendak memandang diriku atau ingin mengunjungi Houya kami?"

Semua orang sama melengak, Ling-ji lantas menyambung dengan tertawa, "Jika kedatangan kalian hendak menyampaikan sembah bakti kepada Houya kami, sekarang juga silakan naik ke atas kapal."

Seketika terjadi keributan di atas rakit, semua berebut naik dulu.

Mendadak Ling-ji membentak, "Nanti dulu! Houya memberikan juga sehelai kartu nama, hanya orang yang namanya tercantum dalam kartu nama baru boleh naik kemari, bila namanya tidak terdapat pada kartu ini dan kau sengaja naik kemari, maka ... mungkin kau takkan pulang lagi untuk selamanya. Nah, jika terjadi demikian janganlah menyesal dan menyalahkan aku tidak memberitahukan di muka."

Seketika timbul berisik orang banyak, mendadak seorang yang bersuara tajam melengking berteriak, "Houya baru saja pulang dari berlayar, dari mana beliau tahu siapa-siapa di antara kami yang hendak menghadap beliau?"

Ling-ji menjawab dengan tertawa, "Memangnya ada sesuatu urusan di dunia ini yang tidak diketahui Houya kami?"

Dari dalam lengan baju lantas dikeluarkannya sehelai kertas surat terus dilemparkan ke bawah.

Angin laut meniup kencang, kertas surat sangat ringan, dilemparkan lagi dari ketinggian kapal, semua orang menyangka kertas surat itu pasti akan kabur terbawa angin, siapa duga kertas surat yang enteng seperti ditolak orang dan perlahan melayang turun ke bawah.

"Sungguh hebat kungfu nona!" segera ada orang bersorak memuji.

Ling-ji tersenyum manis, katanya, "Silakan kalian baca, apakah ada kesalahan pada daftar nama ini?"

Waktu semua orang membaca daftar nama pada kertas surat itu, yang tertulis di situ memang betul tokoh-tokoh ternama yang menanti di daratan sana, hampir tidak ada salah seorang pun, hanya nama beberapa orang yang dikenal busuk saja dicoret.

Melihat air muka semua orang sama mengunjuk heran dan kejut, dengan tersenyum Ling-ji berkata pula, "Jika benar daftar nama itu, silakan yang bersangkutan naik kemari menurut nomor urutan masing-masing."

Habis berkata ia lantas berputar dan masuk ke anjungan.

Terdengar di belakang suara kesiur angin, beramai belasan orang melompat ke atas kapal. Belasan orang ini semuanya memiliki ginkang tinggi, waktu hinggap di geladak sama sekali tidak menimbulkan suara.

Di atas rakit tersisa belasan orang, semuanya menunduk lesu serta sama bergumam, "Sungguh aneh, dari mana ia tahu siapa-siapa yang menunggunya di daratan sana?"

Apa lagi Pui Po-ji hadir di situ, tentu ia dapat menduga lebih dulu Ling-ji sudah mendarat dan menyelidiki seluk-beluk dan asal-usul orang-orang itu, lalu dicatat dalam sebuah daftar nama, pulangnya bertemu dengan Po-ji dan sekalian dibawanya pulang ke kapal.

Namun sekarang Po-ji sembunyi di belakang tirai dan sedang mengintip dengan menahan napas, sama sekali ia tidak tahu apa yang terjadi di luar. Selang agak

lama barulah dilihatnya Ling-ji yang berbaju putih itu muncul dari pintu anjungan, menyusul belasan pasang kaki ikut di belakangnya, belasan pasang kaki itu memakai belasan pasang sepatu yang beraneka ragamnya dengan bentuk yang aneh-aneh. Malahan seorang di antaranya bertelanjang kaki.

Diam-diam Po-ji merasa heran, pikirnya, "Melihat wibawa Houya yang hebat ini, siapa tahu undangannya ternyata begini aneh."

Terdengar Ling-ji berseru, "Lapor Houya, para tamu sudah tiba!"

"Silakan," kata suara kalem tadi.

Po-ji mendekam di lantai, cuma kelihatan belasan pasang kaki itu masuk bersama Ling-ji, sesudah di dalam ruangan sebagian lantas berlutut dan menyembah, tapi lebih banyak cuma merandek sejenak, agaknya cuma menjura sekadarnya, lalu mengambil tempat duduk di kedua sisi.

Orang bertelanjang kaki itu malahan sama sekali tidak berhenti dan langsung duduk di pinggir sana.

Po-ji lantas sibuk pula berusaha memandang wajah para tamu itu, perlahan ia berdiri dan mengintip melalui celah-celah tirai, tapi para tamu aneh itu sudah keburu teraling oleh ke-16 dayang istana sehingga seorang pun tidak kelihatan.

"Kalian datang dari berbagai penjuru yang jauh, kukira pasti ada urusan penting yang perlu minta petunjuk Houya kami," kata Ling-ji dengan tertawa. "Rasanya sukar bagiku untuk menyilakan siapa yang bicara lebih dulu ...."

Mendadak seorang memotong, "Kami datang dari tempat jauh, urusan yang perlu dibicarakan tentu juga urusan penting dan tidak dapat terburu-buru, maka boleh silakan orang yang datang dari dekat dengan urusan tidak begitu gawat untuk bicara lebih dulu."

Orang ini bicara dengan kalimat-kalimat yang kaku, tapi lagaknya terpelajar, kedengarannya juga agak tersendat-sendat serupa burung kakaktua yang lagi belajar omong.

Dengan geli Ling-ji menjawab, "Jika demikian, bolehlah kalian bersabar dan menunggu giliran untuk bicara. Dan sekarang siapa kiranya yang datang dari dekat dengan urusan yang tidak begitu penting, dapatkah aku diberi tahu?"

Segera seorang berseru, "Jika hadirin sama sungkan, biarlah aku Hingciu Thi Kim-to yang minta petunjuk lebih dulu kepada Houya."

Suara orang itu terdengar berat, tapi keras, menyusul suaranya seorang lelaki besar berbaju sulam tampil ke depan.

Sekali ini Po-ji dapat melihat dengan jelas, orang yang mengaku bernama Thi Kim-to atau si golok emas ini berwajah hitam, gagah dan kereng, rambut dan jenggotnya sudah putih sebagian besar namun semangatnya tidak kalah dibanding anak muda. Pada sebelah tangannya menjinjing sebuah peti kecil, golok panjang tergantung di pinggangnya, sarung golok penuh bertabur batu manikam, baju satin yang dipakainya sangat mencolok.

Meski Po-ji tidak kenal tapi ketenaran orang ini pasti di bawah kakeknya, yaitu Jing-peng-kiam-kek Pek Sam-kong, melihat kegagahan orang diam-diam ia bersorak memuji.

Ling-ji berkata pula, "Peraturan Houya sudah diketahui Thi-taihiap bukan?"

"Kutahu," jawab Thi Kim-to dengan hormat. "Tentang sebutan nona padaku rasanya tidak berani kuterima."

Ling-ji tersenyum, katanya, "Dahulu dengan golok emasmu kau pernah menyikat habis ke-17 bandit di daerah Kangsay, jika kusebut Taihiap padamu juga pantas. Akhir-akhir ini namamu cukup cemerlang, boleh dikata nama besar dan usaha sukses, entah ada urusan apa lagi yang perlu bantuan Houya kami untuk menyelesaikannya. Pula setelah kau tahu peraturan Houya kami selama 20 tahun ini, bolehlah kau perlihatkan barang yang kau bawa."

Melihat gadis jelita ini tahu sejelas ini terhadap riwayat hidupnya, Thi Kim-to terkejut, katanya sambil menghormat, "Baik!"

Segera ia menyodorkan peti kayu cendana yang dibawanya. Semua orang menyangka isi peti itu pasti berbagai macam benda mestika, siapa tahu isi peti itu cuma beberapa jilid buku saja, warna kertasnya juga sudah kuning.

"Wanpwe mempersembahkan kitab Budha asli tulisan Ong Hi-ci, mohon Houya sudi menerimanya," kata Thi Kim-to.

Po-ji terkejut, sebab ia tahu benar kitab Budha asli tulisan Ong Hi-ci boleh dikatakan semacam benda mestika yang sukar dinilai harganya.

Terdengar orang di balik pintu angin itu menghela napas gegetun, ucapnya, "Boleh juga maksud baikmu ini. Terima saja, Ling-ji."

Suaranya tetap kemalasan seakan-akan benda mestika yang sukar dicari ini pun tidak menarik baginya.

Ling-ji menerima peti itu, katanya dengan tertawa, "Setelah Houya kami mau menerima kado yang kau bawa ini, maka apa kesulitanmu bolehlah kau ceritakan saja."

Wajah Thi Kim-to terunjuk rasa girang, katanya dengan hormat, "Baik!"

Setelah berpikir dan berdehem, lalu ia bertutur, "Lebih 70 tahun yang lalu, Ho-hou-bun kami di Hingciu sama menonjolnya di dunia persilatan dengan Ban-liongkau di Sinyang. Waktu itu terkenal sebagai 'Ho-hou Ban-liong, To-kau-jinghiong'. Sungguh nama kedua perguruan kami sangat gemilang dan tidak ada bandingannya pada waktu itu, namun ...."

"Hendaknya bicara singkat dan sederhana saja, jangan bertele-tele dan membual," kata Ling-ji dengan tertawa.

Muka Thi Kim-to berubah merah, ia berdehem kikuk, lalu menyambung, "Selama berpuluh tahun kedua perguruan kami selalu berhubungan erat seperti saudara, siapa tahu sejak 17 tahun yang lalu setelah Han It-kau menjadi ketua Ban-liongbun, keadaan mendadak berubah sama sekali. Han It-kau menyatakan urutan nama Ban-liong harus di atas Ho-hou, kami diharuskan mengubahnya dan minta maaf, kalau tidak kami ditantang untuk bertanding, biar segenap kawan dunia persilatan tahu jelas sesungguhnya Ho-hou atau Ban-liong yang harus

menempati urutan di atas."

"Hah, setelah urutan nama di atas, apakah lantas mendapat untung lebih banyak?" ujar Ling-ji dengan tertawa.

"Perkataan nona memang benar," kata Thi Kim-to dengan menghela napas panjang. "Tapi rasa penasaran ini sungguh aku tidak tahan, maka terjadilah duel di luar kota Sinyang. Dengan sendirinya kawan Bu-lim mendapat kabar itu dan datang menonton. Siapa tahu dalam pertempuran itu, pada jurus ke-720 aku dilukai oleh gaetannya."

"Dengan sendirinya kau penasaran atas kekalahan itu, maka pada tahun kedua kalian bertarung lagi," tukas Ling-ji dengan tertawa.

"Memang betul terkaan nona," sahut Thi Kim-to dengan menyesal. "Setelah sembuh lukaku, pada tahun kedua kembali kami bertarung di tempat yang sama. Pertarungan ini terlebih seru lagi, sampai sekian ratus jurus kami bergebrak, tampaknya aku sudah mulai unggul, siapa tahu setelah lewat jurus tujuh ratusan,

mendadak Han It-kau menggunakan jurus ampuh yang dulu melukaiku itu, dan aku tetap tidak mampu menangkisnya dan dilukai lagi dengan gaetannya."

"Dan kau pasti juga penasaran dan tahun ketiga akan menantangnya pula," tukas Ling-ji.

Thi Kim-to menghela napas, "Ya, dan untuk ketiga kalinya aku terluka lebih parah, sehingga pada tahun kelima baru kutantang dia lagi, tapi setelah terjadi pertarungan sengit, akhirnya ... ai ...."

"Kau kalah lagi?" Ling-ji menegas.

Air muka Thi Kim-to tampak malu dan sedih, ia menghela napas dan berkata, "Bukan saja kalah, bahkan tetap kalah pada jurusnya yang aneh itu."

Mau tak mau terunjuk juga rasa heran pada Ling-ji, katanya, "Dengan ilmu silat dan pengalamannya ternyata berturut-turut kau kalah tiga kali pada satu jurus yang sama, sungguh mengherankan .... Ai, setelah kekalahanmu yang pertama kali, seharusnya kau perhatikan dan mempelajari jurus serangan musuh itu dan

pada pertarungan kedua kali kau harus berjaga dengan baik."

"Tentu saja kutahu dalil ini." Ucap Thi Kim-to dengan muram, "sebelumnya sudah kupelajari dengan baik, malahan pada waktu duel yang ketiga kali itu sengaja kuajak belasan kawan Bu-lim untuk menyaksikan. Setelah kekalahanku pada ketiga kalinya, aku lantas bersama dengan belasan kawan itu, dengan daya pikir himpunan belasan orang tetap tidak mampu mengetahui di mana letak kelemahan jurus serangan musuh, juga tidak dapat menerka di mana letak perubahan susulan jurus serangannya, sebab itulah sekali musuh melancarkan serangan ini, seketika ditentukan kalah dan menang."

Dan bagaimana pada pertarungan yang keempat?" tanya Ling-ji.

Dengan suara berat Thi Kim-to bertutur, "Pada waktu bertarung keempat kali senantiasa kujaga diri dengan mantap, sebelumnya sudah kulatih selama tujuh tahun baru kutantang dia lagi, tapi ... ai ...."

Ia mengentak kaki dan tidak melanjutkan.

"Kutahu, pada keempat kali ini kau tetap dikalahkan jurusnya yang aneh itu," tukas Ling-ji sambil menganggut-anggut. "Dan dengan sendirinya kau ingin mengalahkan dia pada pertarungan yang kelima kalinya, tapi sampai saat ini kau belum lagi mengerti di mana letak keajaiban jurus lawan, sebab itulah kau datang minta petunjuk kepada Houya kami, tapi ... tapi jurus ampuh itu kan belum pernah dilihat Houya kami."

"Sudah lama kuraba dengan jelas permainan jurus itu, kalau perlu biarlah sekarang juga kutirukan untuk diperlihatkan kepada Houya," kata Thi Kim-to.

"Jika benar gerak jurus itu sudah dapat kau raba dengan jelas, dan nyatanya sampai sekarang kau tetap tidak mampu mematahkannya, ini menandakan jurus itu memang sangat lihai. Rasanya aku jadi ingin melihatnya juga," kata Ling-ji.

"Kelihaian jurus ini adalah gerak susulan yang terkandung di dalamnya dan membuat orang sukar merabanya, sebab itulah meski kutahu cara bagaimana jurus itu akan menyerang, tapi tetap tidak dapat memecahkannya," sembari berkata Thi Kim-to lantas melolos golok emasnya dan berkata pula, "Akan kugunakan golok sebagai gaetan, mohon petunjuk Houya."

Segera goloknya berputar terus menebas ke depan, cahaya emas berkelebat dan menyilaukan mata.

Mendadak seorang di pojok ruangan sana berseru memuji, "Ba ... bagus, jurus serangan bagus!"

Tergerak hati Po-ji, ia merasa suara orang ini sudah sangat dikenalnya, seperti suara Oh Put-jiu, si paman kepala besar.

Tapi belum lagi terpikir lain, tiba-tiba bergema pula suara tertawa tajam melengking, seorang berkat, "Hm, apakah ini juga terhitung jurus serangan bagus? Hehe, biarpun anak umur tiga di rumahku juga lebih hebat daripada jurus ini."

Suaranya melengking menusuk telinga, kedengarannya lebih buruk suaranya daripada ringkik kuda atau kuak kerbau.

Seketika Thi Kim-to berhenti main golok, teriaknya dengan gusar, "Orang she Thi justru kalah empat kali di bawah jurus serangan ini, tapi sahabat justru menganggap jurus ini sebagai permainan anak kecil, orang she Thi menjadi ingin minta petunjuk ...."

Orang bersuara ringkik kuda itu tertawa aneh, katanya, "Baik, memang hendak kuberi petunjuk padamu!"

Sesosok bayangan terus meloncat dari pojok sana. Mendadak sesosok bayangan lain ikut melayang ke atas dan menarik turun bayangan pertama.

Kedua orang sama bergerak secepat hantu, Po-ji merasa pandangannya kabur sehingga warna apa baju kedua orang itu pun tidak terlihat jelas, hanya terdengar orang yang bersuara serupa kakaktua belajar omong tadi bicara pula, "Tempat kediaman Ci-ih-hou (paduka tuan baju ungu) yang suci ini mana boleh sembarangan kau kacau, bilamana Ci-ih-hou marah, tentu urusan yang akan kau mohon bantuannya akan gagal total?"

Suara orang serupa kuda meringkik itu terbahak, "Haha, betul, betul, aku tidak berani lagi sembarang omong!"

Makin mendengar makin geli Po-ji, ia tambah ingin tahu betapa banyak bentuk orang-orang aneh ini. Tapi sejauh ini dia tetap tidak dapat melihatnya.

Dengan menahan rasa gusar Thi Kim-to berpaling, lalu dari balik pintu angin berkumandang lagi suara Ci-ih-hou yang kemalasan itu, "Jurus ini disebut Kiankue-boh-thian-sik, berasal dari ilmu pedang zaman kuno, meski sangat lihai, tapi tidak berarti tanpa titik kelemahan .... Cu-ji, pernah kau belajar permainan golok, juga pernah belajar permainan gaetan, boleh kau beri petunjuk padanya."

Habis bicara sebanyak ini, agaknya dia seperti kelelahan dan perlu mengaso, maka ucapannya lantas berhenti.

Lalu terdengar suara merdu menjawab di balik pintu angin mengiakan, seorang gadis jelita berambut ikal melangkah keluar dengan lemah gemulai, di antara rambutnya yang hitam pekat itu penuh berhias mutiara yang bercahaya menyilaukan.

Kejut dan juga kagum sekali Thi Kim-to demi mendengar Ci-ih-hou dapat begitu saja menyebut nama dan asal-usul jurus sakti yang sukar dimengerti itu. Tapi sekarang orang hanya menyuruh seorang gadis lemah untuk mengajarnya, betapa pun ia merasa kecewa juga, pikirnya dengan sangsi, "Pernah kuminta petunjuk berbagai tokoh-tokoh persilatan terkemuka mengenai jurus serangan yang mengalahkanku beberapa kali ini, namun sejauh ini tiada seorang pun mampu mematahkan jurus ini, memangnya seorang gadis cilik ini justru memiliki

kemahiran sehebat ini?"

Melihat perubahan air muka orang, agaknya gadis bernama Cu-ji itu tahu apa yang dipikirkan orang, dengan tersenyum ia menepuk perlahan bahu Thi Kim-to dan berkata lembut, "Mari ikut padaku!"

Dan tanpa kuasa Thi Kim-to ditarik keluar. Baru sekarang dirasakan gadis yang kelihatan lemah gemulai ini justru memiliki ilmu silat yang sukar diukur.

Seterusnya tampil lagi beberapa tokoh persilatan seperti Suto Jing, Jik Tiang-lim, Toan Giok, Ji Co-ki dan Bu It-peng berlima, semuanya mempersembahkan harta pusaka yang mereka bawa. Kelima orang ini mempunyai nama tenar dalam dunia persilatan dan datang dari tempat jauh, harta benda yang mereka persembahkan juga sukar dinilai, urusan yang mereka minta dengan sendirinya juga luar biasa.

Akan tetapi setiap urusan segera dapat diselesaikan oleh Ci-ih-hou dengan hanya dua-tiga kata saja, suaranya tetap kemalas-malasan, pada hakikatnya sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap harta benda dan juga perkara yang dikemukakan padanya.

Setelah kelima tokoh itu sama mengundurkan diri, kelihatan Thi Kim-to berlari masuk lagi dengan wajah gembira, ia berlutut dan bersujud beberapa kali kepada Ci-ih-hou.

"Bagaimana, cara pemecahan jurus itu sudah kau pahami?" tanya Ling-ji dengan tertawa.

"Hanya bicara sebentar dengan nona Cu-ji tadi, rasanya lebih berfaedah daripada belajar kungfu selama 30 tahun, sungguh tidak kusangka ...."

Belum lanjut ucapan Thi Kim-to, terdengar Ci-ih-hou berucap di balik pintu angin, "Ini bukan soal sulit, jika sudah kau kuasai kepandaian itu, boleh lekas kau pergi saja."

Nyata kata-kata sanjung puji orang saja enggan didengarnya.

Maka Thi Kim-to memberi sembah lagi dan mengiakan, lalu bergegas mengundurkan diri.

"Dan giliran siapa berikutnya?" seru Ling-ji.

"Biarkan kuda ini saja bicara lebih dulu," terdengar seorang berkata dengan suara dingin.

Suaranya yang kaku dingin itu seketika membuat Po-ji melonjak kaget, kiranya Bok-long-kun juga sudah datang.

Segera ia pun paham duduknya perkara, "Ah, kiranya ayah Siaukongcu bukan lain adalah nakhoda kapal layar pancawarna. Tak terduga tanpa sengaja kudatang juga ke sini. Suara orang tadi jelas suara paman kepala besar. Tapi biarpun dia berada di sini, cara bagaimana aku dapat menemui dia?"

Seketika hati terasa kejut dan girang serta sedih pula.

Mendadak suara yang serupa ringkik kuda tadi membentak dengan gusar, "Hai, manusia patung, apakah kau maksudkan diriku?"

"Kau makan rumput apa tidak?" suara Bok-long-kun berkata.

Ling-ji tertawa geli, serentak suara mirip ringkik kuda meraung murka, "Kau yang makan ...."

Selama hidup ia tidak mau rugi, sekarang ia pun ingin balas memaki dan mengejek, tapi tidak tahu apa yang harus dikatakannya, terpaksa ia cuma berteriak murka, "Ayo keluar!"

Sesosok bayangan ikut muncul bersama suara itu.

Sekali ini Po-ji dapat melihat jelas orangnya, terlihat perawakan orang kurus kering dan jangkung dengan jubah satin berwarna-warni, namun punggungnya bungkuk sehingga setengah badan bagian atas mendoyong ke depan, mukanya juga sangat panjang, dalam keadaan murka sehingga hidungnya berkembang kempis, bentaknya itu memang sangat mirip seekor kuda.

Teringat kepada olok-olok Bok-long-kun tadi dan menyaksikan pula bentuk orang, hampir saja Po-ji tertawa geli.

Segera Bok-long-kun menjengek, "Hm, memangnya tempat ini boleh sembarangan kau main gila di sini?"

Kedua lengan si muka kuda terpentang, ruas tulang sekujur badan berbunyi keriang-keriut, teriaknya parau, "Jika tidak segera kau keluar, biar kucengkeram dan menyeretmu keluar."

Dengan tangan terpentang selangkah demi selangkah ia mendekat ke sana.

Diam-diam Po-ji heran, apakah orang hendak berkelahi di sini dan Ci-ih-hou tetap tinggal diam saja? Padahal dalam hati ia pun ingin menyaksikan cara bagaimana si muka kuda akan bertempur melawan Bok-long-kun alias boneka kayu.

Tiba-tiba pandangannya terasa silau, tiba-tiba Po-ji melihat sesuatu benda bulat dan bercahaya emas mengadang di depan si muka kuda. Waktu ia mengawasi lebih cermat, kiranya benda bulat itu adalah seorang pendek gemuk, memakai kopiah emas dan berjubah emas pula.

Meski sekujur badan si buntek ini serbaemas yang mewah, namun sikapnya kelihatan muram durja dan sedih selalu.

Diam-diam Po-ji merasa geli, pikirnya, "Tampaknya sepanjang masa orang ini selalu dirundung rasa duka, entah mengapa dia bisa tumbuh segemuk ini?"

Si jubah emas pendek gemuk itu lantas berkata perlahan, "Hanya soal sepele, siapa bicara lebih dulu kan cuma urusan sebentar saja, kenapa Anda terburu nafsu?"

Dengan gemas si muka kuda menjawab, "Tapi patung ini ...."

"Ai, untuk menuntut balas kan belum terlambat menunggu sepuluh tahun lagi," kata si buntek. "Jika Anda ingin menggergaji kayu buat apa terburu-buru, betul tidak?"

Tiba-tiba suara Ci-ih-hou bergema, "Ling-ji, jika kedua orang ini ribut-ribut lagi, boleh kau seret mereka dan masukkan ke sumur!"

Si jubah emas buntek tidak marah, jawabnya dengan serius, "Kami datang dari negeri Wan raya yang jauh, tidak Houya perlakukan dengan baik, mengapa kami hendak dimasukkan sumur malah?"

"Ya, sudahlah," sela Ling-ji dengan tertawa. "Jika benar kalian datang dari negeri asing, kado apa yang kalian bawa, silakan keluarkan, dan ada urusan apa juga silakan bicara."

Baru sekarang Po-ji tahu persoalannya, pikirnya, "Pantas cara bicara orang ini sangat aneh, bentuknya juga lucu, kiranya mereka bukan bangsa Han, dan entah apa permintaan mereka kepada Ci-ih-hou itu?"

Dengan tenang si jubah emas mengeluarkan sepotong saputangan putih, di atas saputangan yang putih itu berlepotan titik merah serupa bekas darah.

"Apa itu?" tanya Ling-ji dengan kening bekernyit.

"Sejak dinasti Han dulu, negeri Wan raya kami terkenal dengan kuda jenis pilihan yang sukar dicari, oleh kaisar Han-bu-te sendiri kuda keluaran negeri kami pernah diberi gelar Thian-ma (kuda langit), dan titik merah pada saputangan ini adalah air keringat Thian-ma kelahiran negeri Wan raya kami, dan sekarang Kokcu (kepala negara) kami sengaja mengirim tiga pasang Thian-ma pilihan untuk dipersembahkan kepada Houya."

Pui Po-ji banyak membaca kitab kuno, ia tahu Han-bu-te pernah mencari kuda langit negeri Wan, pernah juga raja itu mengirim panglima perangnya Li Kong membawa palsukan besar menyerbu kerajaan Wan, tapi pulang dengan mengalami kekalahan.

Namun Han-bu-te tidak menjadi kapok, sebaliknya mengirim pasukan terlebih besar dan akhirnya meski mendapat kemenangan, tapi korban jiwa dan harta benda sudah sukar dihitung jumlahnya.

Dari sini tertampak betapa berharganya kuda pusaka berkeringat merah darah, dan sekarang raja Wan justru mengirim hadiah tiga pasang kuda berkeringat merah, tentu ada sesuatu permintaannya yang lain daripada yang lain.

Dengan tertawa Ling-ji lantas berkata, "Tak tersangka sampai kepala negara Wan juga ada keperluan yang ingin minta bantuan Houya kami. Tapi di manakah ketiga pasang kuda mestika yang kau katakan? Kalau cuma kau perlihatkan keringat kudanya kan tiada gunanya."

Si jubah emas berkata, "Bahasa Han saudara lebih lancar, silakan bicara bagiku."

Rupanya dia kurang fasih bahasa Han, apa yang dikatakan tadi sudah cukup memeras otak, maka sekarang ia minta si muka kuda yang menjadi juru bicara.

Ling-ji menjawab dengan tertawa, "Ya, sejak tadi seharusnya kau suruh dia bicara. Nah, boleh kau bicara saja."

Si muka kuda berkata, "Ketiga pasang Thian-ma sudah diangkut sampai di pantai dan dijaga oleh ke-18 jago pengawal kami, setiap saat dapat dibawa kemari."

Ia menuding si jubah emas dan menyambung lagi, "Dia ini Koksu (imam negara) kedua kerajaan kami, aku sendiri Kam Sun dan menjabat sebagai Koksu ketiga, kedatangan kami sekarang adalah karena kepala negara kami sudah lama dengar ilmu pedang Houya kalian terkenal sebagai nomor satu di dunia, sebab itulah raja

kami ingin minta Houya kalian menjabat Koksu pertama kami untuk mengajarkan ilmu pedang kepada para jago pengawal di negeri kami. Koksu utama merupakan kedudukan yang diagungkan dan cuma di bawah raja seorang. Sungguh suatu kedudukan yang mahaagung dan bahagia, kuyakin Houya kalian tentu ...."

Belum habis ucapannya mendadak Ci-ih-hou membentak, "Melihat bentuk dan bicaramu, kau juga orang Han, betul tidak?"

Suaranya kereng dan bengis dan tidak kemalas-malasan seperti tadi lagi.

Si muka kuda alias Kam Sun bermaksud menjawab dengan membusungkan dada, namun apa daya punggungnya tetap bungkuk, katanya, "Meski dulu aku orang Han, tapi sekarang berkat budi kebaikan Kokcu kami, kini aku sudah ...."

Mendadak Ci-ih-hou membentak, "Tak tersangka bangsa Han seperti dirimu rela menjadi pengkhianat dan diperalat orang asing dan lupa kepada kakek moyang sendiri, sungguh rendah jiwamu dan pantas dibinasakan. Kalau tidak mengingat kedatanganmu ini adalah tamu, tentu kepalamu sudah kupenggal, tapi lain kali bila kepergok olehku, hm, jangan harap jiwamu bisa selamat!"

Si muka kuda alias Kam Sun semula tampak berseri-seri, sekarang mukanya berubah pucat karena dampratan Ci-ih-hou.

Sungguh gembira dan puas Po-ji menyaksikan apa yang terjadi, hampir saja ia berkeplok memuji, pikirnya, "Ci-ih-hou ini sungguh seorang pahlawan bangsa dan berjiwa kesatria, bilamana bangsa Han kita semuanya berjiwa pahlawan seperti dia, mustahil negara takkan kuat dan berjaya. Musuh dari luar pun jangan harap

akan mampu mengganggu kita."

Dahi si jubah emas tampak penuh keringat, katanya dengan tergegap, "Tapi ... tapi kuda berkeringat darah ...."

"Hm, memangnya kau kira aku ini orang macam apa?" damprat Ci-ih-hou.

"Pulang dan katakan kepada raja kalian, jangankan cuma tiga pasang Thian-ma, biarpun tiga ribu pasang atau tiga laksa pasang juga jangan harap akan dapat membeli diriku."

"Ini ... ini ...," muka si jubah emas tampak pucat serupa mayat.

Sekonyong-konyong seorang berjubah putih dan berambut pirang serta bermata biru melompat keluar, gerakan tubuhnya gesit dan aneh, tampaknya seperti loncatan kelinci dan binatang liar, terdengar suara tertawanya yang ngekek, katanya, "Selamanya Ci-ih-hou tinggal di atas lautan, untuk apa kuda baginya? Permohonanmu jelas tidak terkabul, kalau barangku pasti akan diterima dan permintaanku akan dikabulkan."

Dia juga tidak fasih bicara bahasa Han, maka cara bicaranya kaku dan kalimatnya tidak tersusun baik, kedengaran sangat lucu dan sebagian tertawa geli.

Namun kebanyakan tokoh yang hadir itu orang cerdik, mereka dapat menangkap maksud ucapannya dengan baik.

Orang bermata siwer itu mengira orang sama memuji ucapannya, ia pun tertawa gembira dan berkata pula, "Aku Cirus datang dari Persi, banyak kubawa hadiah, kiriman raja kami, dan aku ... aku ...."

Jilid 4. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Mestinya ia hendak bilang "aku ini utusan raja", tapi ia tidak tahu istilah apa yang harus digunakan sehingga membuat orang lain yang mendengarkan merasa tidak sabar.

Pada saat itulah mendadak terdengar ribut-ribut di luar, tiba-tiba seorang berambut pirang dan berjubah putih menerobos masuk, orang ini pun berdandan sebagai bangsa Persi, gerak-geriknya juga sangat aneh. Begitu melompat masuk segera ia berteriak, "Aku Cirus, utusan Syah kami, memangnya kamu ini barang apa?"

Cara bicara orang ini pun kaku, namun dia fasih mengucapkan istilah "utusan".

Cirus kelihatan kaget, tanyanya, "Ka ... kamu datang dari mana?"

"Aku datang kemari atas suruhan raja Persi, kubawa hadiah," jawab Cirus kedua, sekali ia tepuk tangan, segera empat orang berambut pirang dan berbaju putih muncul dengan menggotong dua buah peti besar.

Cirus pertama bercuat-cuit macam-macam bahasa Persi. Tapi Cirus kedua malah berkata, "Di tempat bangsa Han sini tidak boleh bicara bahasa yang tidak dipahami orang."

Cirus pertama tampak gelisah dan mengentak kaki, ucapnya tergegap, "Aku ... aku yang membawa hadiah ini, aku ... aku utus, kamu bukan ...."

"Aku makan nasi, kamu makan najis," tukas Cirus kedua.

Karena ribut mulut kedua orang ini, orang lain sama tertawa terpingkal-pingkal, tapi juga sama kejut dan heran, mengapa utusan kerajaan Persi bisa muncul dua orang yang berebut tulen dan palsu.

Segera Ling-ji berteriak, "Houya kami merasa kepala pusing karena keributan kalian. Jika kalian mau bertengkar, silakan minggir sana, kalau sudah jelas baru maju lagi."

"Betul," kata Cirus kedua, segera ia tarik rekannya ke samping, di situ kedua orang ribut lagi tanpa berhenti. Cirus pertama berulang mengentak kaki, mendadak iga terasa kesemutan, kontan kaku tak bisa berkutik.

Cirus kedua tergelak, "Hah, bagus, kamu sudah mengaku salah dan tidak ribut lagi, silakan duduk mengaso dulu."

Sekali dorong, tanpa kuasa Cirus pertama jatuh terduduk di pojok sana dengan mata melotot tanpa bisa bersuara.

"Ah, ringkik kuda dan kicau burung sungguh berisik, coba ganti seorang yang bicara cara manusia saja," kata Ci-ih-hou tak sabar.

Dengan kaku Bok-long-kun berdiri dan melangkah maju dengan membawa bungkusan besar, katanya, "Hari ini banyak tamu yang datang dari negeri Wan, Persi, Kochin dan negeri lain, semua ini menandakan nama Houya sungguh tersebar luas dan dikagumi bangsa asing sekalipun. Meski kado yang kubawa tidak dapat dibandingkan hadiah tamu dari negeri asing, namun kuharap akan diterima Houya dengan senang hati."

"Haha, rasanya cara bicaramu bernada manusia," seru Ling-ji dengan tertawa.

"Nah, apa permintaanmu, katakan saja."

Bok-long-kun membuka bungkusannya, seketika cahaya kemilau menyilaukan mata semua orang sehingga Bok-long-kun sendiri yang kaku serupa patung juga mengilat.

Po-ji benci padanya, ia mencibir ke arah orang. Dengan sendirinya perbuatan Poji tidak diketahui Bok-long-kun.

"Caihe Bok-long-kun adanya," demikian ucap si patung, "datang dari Jing-bokkiong sebelah timur, ayahku Bok-ong ...."

"Tidak perlu kau baca silsilah keturunanmu, asal-usulmu sudah kuketahui," ucap Ci-ih-hou perlahan.

"Begini," tutur Bok-long-kun, "belum lama ini ayahku dilukai oleh perempuan siluman dari Pek-cui-kiong, sekujur badan membusuk, tenaga sakti hampir buyar, di kolong langit ini hanya Tai-hong-ko (salep angin besar) simpanan Houya yang dapat menyembuhkan penyakit ayahku. Sebab itulah dari jauh kudatang kemari dengan membawa harta pusaka istana kami sekadar mohon Houya suka memberi obat mustajab itu."

Ci-ih-hou tertawa kemalasan, katanya, "Pemilik Jing-bok-kiong pernah merajai dunia persilatan, harta benda yang kau bawa ini kukira bukan kau bawa dari rumah."

Bok-long-kun menjawab, "Apa pun juga ini kan juga tanda kesungguhan hatiku."

Air mukanya tidak berubah, sebab wajahnya kaku serupa kayu, biarpun merah mukanya juga tidak kentara.

"Beralasan juga ucapanmu," ucap Ci-ih-hou perlahan. "Apa lagi urusan ini juga tidak sulit ...."

"Tidak, tidak bisa, sulit ...." mendadak seorang berteriak sambil melompat tiba serupa loncatan kelinci atau kijang. Kiranya Cirus kedua yang mengaku sebagai utusan syah Persi.

Dengan gusarnya Bok-long-kun memaki, "Kurang ajar, orang asing biadab juga berani cari perkara di sini?

Orang Persi itu tidak menggubrisnya, ia menjura kepada Ci-ih-hou dan berkata, "Kami mengajukan permohonan lebih dulu, maka Houya harus memeriksa dulu hadiah kami ini untuk menentukan apakah akan memenuhi permintaan kami atau tidak, habis itu baru giliran dia."

Meski bicaranya juga kurang teratur kalimatnya, namun cukup lancar.

"Mengapa harus begitu?" bentak Bok-long-kun dengan gusar.

Karena sudah lama Ling-ji mendengar barang kerajinan tangan negeri Persi sangat bagus buatannya, maka ia ingin lihat benda mestika apa saja yang dibawa mereka, segera ia menyela dengan tertawa, "Mereka datang dari jauh, kukira boleh juga mereka diberi kesempatan untuk bicara lebih dulu, rasanya engkau kan juga tidak perlu terburu-buru."

Bok-long-kun mendengus, dengan menahan rasa gusar ia menyingkir.

Segera orang Persi itu memberi tanda, sebuah peti lantas diusung ke depan, katanya dengan tertawa, "Tempat kediaman Houya di sini serupa istana, cuma sayang kurasakan masih kurang sesuatu."

"Kurang apa?" tanya Ling-ji.

Cirus kedua itu lantas membuka peti, dikeluarkannya sepotong permadani, ia suruh anak buahnya membentang permadani, terlihatlah hamparan itu bercahaya mengilat, sukar diterka dibuat dari bahan apa.

Yang jelas permadani itu diberi gambar sulaman pemandangan istana raja Persi, beratus orang tersulam bagai manusia hidup dengan sikap yang berbeda-beda, ada lelaki yang kelihatan mabuk, ada yang sedang angkat gelas mengajak minum, ada pula yang berpelukan dengan perempuan cantik dan ada penari yang sedang menari di tengah pesta pora.

Terlukis seorang perempuan yang sangat cantik dengan garis tubuh yang menggiurkan, membuat siapa yang memandangnya pasti akan terpesona dan tergila-gila.

Semua orang yang hadir sama terkesima oleh keindahan hamparan itu, bahkan Ci-ih-hou juga menghela napas gegetun, katanya, "Kerajinan tangan orang Persia sungguh sukar dicari tandingannya."

Dengan tenang Cirus berkata, "Permadani hasil kerajinan tangan negeri kami sudah turun-temurun sejak zaman dahulu, setiap keluarga rata-rata menguasai teknik rahasia masing-masing. Permadani yang kubawa ini adalah buah karya 100 ahli yang dikumpulkan dari seluruh negeri oleh Syah kami dengan biaya besar dan makan waktu tiga tahun lamanya, sehingga boleh dikatakan tidak ada bandingannya di dunia ini. Bilamana lantai di sini diberi hamparan ini, dibanding istana raja juga tidak lebih asor."

"Kau bawa hadiah bernilai sebesar ini, apa yang kau minta?" tanya Ling-ji.

Cirus tertawa, "Hadiah ini sebenarnya tidak seberapa, masih ada yang lebih bagus yang belum kuperlihatkan."

Segera ia tepuk tangan sehingga anak buahnya mengusung maju lagi peti kedua.

Semua orang sama tertarik oleh permadani yang bagus dan mewah ini, semuanya ingin melihat pula benda mestika apa dalam peti kedua ini.

Perlahan Ci-ih-hou berkata, "Katakan saja dulu apa permohonanmu padaku baru nanti melihat barang lain yang kau bawa."

Cirus tertawa, katanya, "Apakah Houya khawatir yang kami minta akan sama serupa orang negeri Wan, maka Houya tidak mau melihat barang dulu supaya tidak terpikat."

"Pintar juga kau ...." ucap Ci-ih-hou tak acuh.

"Houya mengutamakan kepentingan negara dan bangsa sendiri, sungguh kami merasa kagum dan salut," kata Cirus. "Namun janganlah Houya sangsi, apa yang kami minta sangatlah sederhana yaitu agar dalam waktu tiga tahun, janganlah Houya memberikan Tay-hong-ko kepada siapa pun."

Utusan negeri Persi yang datang dari jauh ini dan mempersembahkan harta benda sebesar ini, apa yang dimohon ternyata cuma soal sepele begini saja, keruan semua orang yang mendengarnya sama melongo.

Cirus pertama yang tertutuk Hiat-to kelumpuhan dan meringkuk di pojok sana terlebih gemas oleh ucapan Cirus kedua itu, matanya mendelik dan urat hijau sama menonjol memenuhi dahinya.

"Bangsat keparat, jadi kau sengaja hendak mengacau padaku?" bentak Bok-longkun dengan gusar.

Ling-ji mencegahnya, katanya dengan tertawa, "Kan Houya kami juga belum pasti memenuhi permintaannya, apa salahnya melihat dulu isi peti kedua ini?"

"Tapi ...."

Belum lanjut ucapan Bok-long-kun segera dipotong Ling-ji, "Dan kalau Houya kami mau terima permintaannya, lantas kau bisa berbuat apa?"

Bok-long-kun tahu orang ingin tahu apa isi peti, terpaksa ia tidak dapat berbuat apa-apa dan menahan rasa gusar.

Ling-ji lantas memelototi Cirus kedua dan berkata, "Buka petimu, tunggu apa lagi?"

Orang Persi itu mengiakan.

Begitu tutup peti terbuka, seketika terdengar suara alat musik yang merdu, seorang kerdil dengan tubuh setinggi tiga kaki atau kurang lebih 80-90 sentimeter, membawa kecapi senar lima mendahului melompat keluar. Begitu hinggap di lantai terus berjumpalitan empat-lima kali sehingga tiba di depan Ci-ih-hou, setelah menyembah tiga kali, lalu melompat ke samping dan membunyikan alat musiknya membawakan lagu merdu.

Meski tubuh manusia mini ini sebesar anak kecil, namun wajahnya sudah serupa orang dewasa, ukuran anggota badannya juga serasi dengan perawakannya. Semua orang sama terheran-heran melihat kemunculannya, siapa pun tidak menyangka di dalam peti berisi manusia hidup.

Siapa tahu, setelah manusia mini ini melompat keluar, dari dalam peti perlahan terjulur keluar pula sebuah tangan seputih kemala dengan jari lentik halus, pergelangan tangan yang putih halus itu terikat serencengan keleningan emas kecil.

Begitu suara keleningan gemerencing dan tangan putih terjulur, menyusul lantas terlihat lengan yang indah, lalu seorang perempuan cantik berbaju sutera tipis putih, kepala penuh hiasan yang menimbulkan suara gemerencing, dengan gaya menggiurkan ia berdiri dan berlenggak-lenggok mengikuti irama musik.

Terlihat rambut perempuan cantik itu berwarna kuning laksana emas, kerlingan matanya yang memikat membawa warna hijau kebiruan, kulit badannya yang putih bersih laksana batu kemala yang mulus.

Wanita secantik itu, biarpun sesama kaum wanita juga akan tergiur, apalagi lelaki. Keruan semua orang sama melotot dan melongo.

Sampai anak kecil seperti Pui Po-ji juga terkesima, diam-diam ia membatin, "Tak tersangka negeri asing ada perempuan secantik ini, sungguh setiap senti setiap bagian pada sekujur badannya adalah perempuan tulen tanpa ...."

Belum habis berpikir, tiba-tiba sebuah tangan kecil mengalingi matanya, lalu dirasakan Siaukongcu lagi menggores tulisan di atas tangannya, "Dilarang pandang!"

Selang sejenak, kembali ditulisnya, "Perempuan ini tidak tahu malu."

Meski merasa geli, tapi semakin Siaukongcu bilang perempuan itu tidak tahu malu, semakin merangsang keinginan Po-ji untuk melihatnya. Cuma sayang tangan Siaukongcu itu tidak mau lagi disingkirkan.

Terdengar bunyi musik tadi semakin nyaring, iramanya bertambah cepat, lalu si cantik pirang pun mulai menari dengan gaya yang memikat.

Padahal usia Po-ji masih kecil, biarpun benar disuruhnya melihat juga takkan menjadi soal. Tapi sekarang hanya telinga saja mendengar alunan musik, mata juga tidak melihat langsung, hatinya berbalik tergerak malah. Saking dongkolnya sungguh tangan putri kecil ingin digigitnya.

Maklumlah, memang begitulah jalan pikiran lelaki umumnya, sesuatu yang tak terpandang langsung biasanya jauh lebih memikat daripada melihat.

Begitulah baju sutera si cantik tampak berkibar, kulit badannya samar-samar terlihat, bau harum memabukkan tersiar mengikuti gaya tariannya yang eksotik, semua orang yang memandangnya sama terbelalak dan lupa daratan.

Mendadak suara musik berhenti, si cantik pirang menjulurkan kedua tangan ke depan dan menyembah dengan mendekam di lantai, pada kulit badannya yang putih mulus itu kelihatan menitik butiran keringat.

Tubuh yang padat itu tampak masih bergerak-gerak perlahan ....

Sampai sekian lama sekali baru semua orang mengembus napas lega.

Terdengar Cirus kedua tadi bergelak tertawa dan berucap. "Inilah wanita tercantik negeri kami, bukan saja kecantikannya tidak ada bandingan, bahkan tari dan nyanyi juga mahir, bahkan ...."

Ia terbahak dan tidak melanjutkan lagi.

Sudah tentu orang lelaki sama tahu apa yang dimaksudkannya sehingga hati semua orang tergelitik, sedang hadirin yang perempuan juga tahu maksudnya meski pura-pura tidak tahu. Kalau ada yang benar-benar tidak paham mungkin cuma Pui Po-ji dan Siaukongcu alias si putri cilik.

Tiba-tiba Ling-ji menjengek, "Hm, hanya perempuan begini saja kenapa mesti heran?"

"Ah, si kelening cilik tampaknya iri," diam-diam Po-ji tertawa geli.

Padahal yang geli tidak cuma Po-ji seorang saja, bahkan Cirus kedua itu juga terkekeh dan berkata, "Aha, ucapan nona itu rasanya rada-rada kecut. Meski kecantikan wanita negeri kami ini tidak melebihi bidadari, akan tetapi boleh dikatakan mahacantik di dunia ini, apakah sekiranya cukup memenuhi selera Houya?"

Belum lagi Ci-ih-hou menanggapi, kembali Ling-ji mendengus, "Hm, jika dia juga terhitung perempuan cantik, bukankah perempuan cantik di jagat ini akan meluber? Coba kau lihat saudara-saudaraku ini, mana yang kalah cantik daripada dia? Apa lagi saudara-saudaraku ini semuanya serba mahir, baik syair, nyanyi, tari, menulis, melukis, memetik alat musik, segalanya serba bisa. Malahan setiap orang memiliki ilmu silat tinggi, semuanya pandai melayani orang dengan ramah tamah, apakah makan minum atau cuma mengobrol iseng, pasti memuaskan. Apakah semua ini dapat dilakukan oleh perempuan negeri kalian?"

Diam-diam Bok-long-kun bergirang, "Aha, tampaknya aku tidak perlu turun tangan dan apa yang diminta orang Persi ini pasti akan buyar juga."

Namun Cirus kedua hanya mendengarkan dengan tertawa saja, katanya kemudian, "Ucapan nona memang betul, betapa pun cantiknya seorang perempuan, bilamana kurang pintar meladeni tentu tidak ada rasanya."

"Asal kau tahu saja," ucap Ling-ji.

"Tapi bilamana kutampilkan seorang perempuan cantik yang juga serbabisa serupa ucapan nona tadi, lalu bagaimana?" tanya Cirus kedua mendadak.

"Hm, gadis demikian mungkin sangat sulit dicari, bilakah baru akan kau dapatkan?" ejek Ling-ji.

"Tidak perlu cari dan tunggu lagi melainkan sekarang juga sudah ada," kata Cirus kedua dengan tertawa.

Ling-ji melenggong, katanya kemudian dengan tertawa, "Sekarang juga katamu? Memangnya si cantik akan jatuh dari langit atau muncul dari bumi?"

Cirus tersenyum dan tidak menjawab, mendadak ia membuka pakaian sendiri, jubah putih ditanggalkan sehingga kelihatan garis tubuhnya yang sangat indah dengan baju warna jambon yang sangat singsat.

Semua orang terperanjat.

Waktu mereka mengawasi lebih jelas, terlihat "Cirus kedua" ini telah menarik rambutnya yang pirang sehingga kelihatan rambut aslinya yang hitam gelap, menyusul ia mengusap dan menarik lagi di sana-sini di sekitar wajahnya, mukanya yang semula sangat jelek mendadak berubah menjadi seraut wajah mahacantik.

Tertampak potongan tubuhnya yang serasi, tiada setitik pun daging lebih, tiada bagian tulang yang lebih besar atau kecil, semuanya seimbang, tidak ada lebih kurus sedikit, juga tidak lebih gemuk setitik. Kerlingan matanya sungguh membetot sukma, terlebih senyumnya yang menggiurkan itu, sungguh membuat orang lupa daratan.

Jika perempuan Persi tadi dikatakan mahacantik di dunia ini, maka si cantik sekarang pastilah bidadari yang turun dari kahyangan. Bilamana si cantik dari Persi dikatakan membetot sukma dengan tarian eksotiknya, maka kerlingan mata si cantik sekarang sudah ribuan kali lebih menggiurkan daripada segalanya.

Hadirin yang berjumlah puluhan orang dan terdiri dari laki-perempuan tua-muda serta datang dari berbagai penjuru itu sama melongo kesima oleh perempuan mahacantik ini, seketika semuanya tidak sanggup bersuara.

Si cantik dari Persi itu juga merasa rendah diri demi melihat kecantikan orang, diam-diam ia menyingkir dan sembunyi di pojok sana.

Yang paling terkejut tak lain tak bukan adalah Pui Po-ji, sungguh mimpi pun ia tidak menyangka orang yang menyaru sebagai "Cirus" dari Persi ini adalah Cui Thian-ki, saking kagetnya sampai ia menjerit.

Keruan Siaukongcu terkejut, untung pada saat yang sama ketika Po-ji bersuara, Ling-ji juga berteriak kaget, "Hei, bukankah engkau ini bi ... bini besarnya?"

Bok-long-kun juga membentak dan melompat bangun, "Kukira siapa yang sengaja mengacau padaku, kiranya kembali kamu si perempuan hina dina lagi."

Cui Thian-ki menoleh dan menegur dengan tertawa, "Apa kabar?"

"Apa kabar?!" teriak Bok-long-kun dengan gusar. "Aku ingin membinasakanmu!"

Kedua lengannya yang kurus kering serupa kayu serentak terpentang terus mencengkeram leher Cui Thian-ki.

Namun Cui Thian-ki tetap tersenyum saja tanpa bergerak, ucapnya dengan suara lembut, "Memangnya siapa yang berani main bunuh di sini?"

Tiba-tiba Ci-ih-hou juga membentak, "Siapa yang berani membunuh orang di sini?"

Selain itu ada suara lain lagi yang juga membentak, "Siapa yang berani main bunuh orang di sini?"

Suara tiga orang membentak bersama, suara yang seorang lemah lembut, seorang lagi bersuara kereng berwibawa dan yang ketiga tajam melengking aneh dan menusuk telinga.

Mau tak mau Bok-long-kun menarik kembali mentah-mentah tangannya. Terlihatlah muncul seorang tua berkepala gundul dan telanjang kaki, berjubah kain belacu, kulit badan hitam pekat, nyata seorang hwesio miskin pengembara yang di negeri Hindu terkenal sebagai padri fakir.

Tiba-tiba Ci-ih-hou menegur, "Apakah Taisu ini Kah-sing Hoat-ong dari Thiantiok?"

Nada suaranya rada kejut, jelas asal-usul padri ini lain daripada yang lain.

Mendengar nama "Kah-sing Hoat-ong", semua orang juga terperanjat.

Maklumlah, meski Kah-sing Hoat-ong ini jauh tinggal di negeri Thian-tiok (India), tapi di dunia persilatan Tiongkok sudah lama tersiar berita tentang kesaktiannya. Konon selain memiliki lwekang yang mahatinggi, fakir ini juga menguasai semacam ilmu golongan Hindu yang aneh yang dikenal sebagai Yoga, dia tidak mati direndam air selama tujuh hari, ditanam di bawah tanah selama setengah bulan juga tidak binasa, makan warangan pun takkan keracunan, jalan di atas bara dengan kaki telanjang tidak terbakar dan macam-macam cerita lagi.

Bahwa fakir yang terkenal mahasakti itu sekarang mendadak muncul di sini, tentu saja semua orang terkejut.

Maklumlah, sejak Tong Sam-cong mengambil kitab ke wilayah barat, maka hubungan antara negeri Thian-tiok dengan Tiongkok bertambah ramai, sebab itulah Kah-sing Hoat-ong ini cukup fasih berbahasa Han.

Segera padri fakir itu berucap, "Omitohud! Tidak nyana Sicu (tuan dermawan) juga kenal Siauceng (padri kecil). Biarlah kuberi tontonan menarik dulu bagi Sicu, habis itu baru kita bicara lagi."

Ia berputar dan mendekati Bok-long-kun, katanya, "Keluar sana!"

Ci-ih-hou memang ingin melihat betapa lihai padri asing ini, sebab itulah ia tidak bicara dan mencegah.

Semua orang juga ingin tahu cara bagaimana Bok-long-kun akan menghadapi fakir itu, maka semuanya diam saja menantikan tontonan menarik.

Biarpun diam-diam Bok-long-kun merasa jeri, tapi di bawah tatapan orang banyak, betapa pun ia tidak mau unjuk lemah, segera ia menjawab, "Hm, berdasarkan apa kau suruh kukeluar?"

"Tidak lekas keluar, jangan menyesal bila Siauceng bertindak kasar," kata Kahsing Hoat-ong.

Cui Thian-ki tertawa genit, katanya, "Hoat-ong suruh kamu keluar, jika kamu membangkang, jelas mencari susah sendiri."

Ucapannya ini tiada ubahnya serupa api disiram minyak, tujuannya membakar.

Dengan gusar Bok-long-kun berteriak, "Siapa pun tidak dapat menyuruhku keluar!"

Mendadak tangan Kah-sing Hoat-ong berputar ke belakang, menampar muka Bok-long-kun sebelah kanan.

Tamparan ini menyambar tanpa suara, secepat kilat Bok-long-kun menangkis, reaksinya boleh dikatakan tidak kalah cepatnya. Siapa tahu ruas lengan Kah-sing Hoat-ong seakan-akan terpasang pegas dan dapat membengkok keluar, maka terdengarlah suara "plak" sekali, meski Bok-long-kun dapat menangkis lengan orang namun telapak tangan si fakir tetap mengenai mukanya dengan telak.

Meski tamparan itu serupa mengenai kayu lapuk dan kulit kering, sama sekali tidak mencederai Bok-long-kun, namun jelas sangat merugikan gengsinya.

Kejut dan murka Bok-long-kun, ia membentak kalap dan menerjang maju. Hanya sekejap saja ia melancarkan tujuh kali serangan, setiap jurus serangannya lihai dan aneh. Siapa tahu, ketujuh jurus serangannya tidak mengenai sasaran, sebaliknya "plok", kembali mukanya tertampar sekali lagi.

Hendaklah maklum, di dunia kangouw terkenal ada Ngo-hing-mo-kiong, lima istana iblis pancaunsur, yaitu emas, kayu, air, api dan tanah. Penguasa setiap istana itu sama memiliki semacam kungfu khas yang aneh dan lihai sehingga sangat ditakuti orang kangouw umumnya. Jing-bok-kiong, istana kayu hijau, yang terletak di timur dengan penguasa Bok-long-kun dan ayahnya meyakinkan Koh-bok-kang atau ilmu kayu lapuk, selain jurus serangannya aneh dan lihai, yang paling hebat adalah bagus untuk menyerang dan juga kuat untuk diserang atau tahan pukul. Betapa pun hebat tenaga pukulan lawan dan berbisa sekalipun tetap sukar mencederai mereka.

Tapi sekarang ilmu silat Kah-sing Hoat-ong ternyata berpuluh kali terlebih aneh daripada Bok-long-kun, keruan si patung kayu sangat terkejut.

Padahal bilamana keduanya bertempur mati-matian, belum tentu Bok-long-kun akan dikalahkan begitu saja. Lucunya, Kah-sing Hoat-ong tampaknya tidak sungguh-sungguh hendak mencederai Bok-long-kun melainkan cuma ingin membuatnya malu saja. Dalam keadaan demikian Bok-long-kun benar-benar mati kutu.

Dengan kedudukan Bok-long-kun, di depan orang banyak ia kena ditampar dua kali, tentu saja ia kehilangan muka dan tidak dapat bertempur lagi. Mendadak ia melompat keluar anjungan, menyusul lantas terdengar suara debur air, nyata ia telah terjun ke laut.

"Hah. Tidak mampu melawan orang, rupanya dia lantas membunuh diri dengan terjun ke dalam air," dengan tertawa Cui Thian-ki berolok-olok.

"Meski dia sudah pergi, kukira ia takkan menyudahi begini saja urusan ini," kata Kah-sing Hoat-ong. "Maka selanjutnya kamu harus hati-hati."

"Terima kasih atas petunjuk Hoat-ong," jawab Cui Thian-ki dengan tertawa.

Diam-diam Pui Po-ji merasa geli, pikirnya, "Kalau bicara tipu-menipu, jelas Boklong-kun jauh bukan tandingan Cui Thian-ki, ia sendiri entah sudah berapa kali dikibuli perempuan itu, sungguh lucu hwesio tua ini justru khawatir Bok-long-kun mengakali dia."

Terpikir pula oleh Po-ji apa yang terjadi sekarang, tentu sebelumnya Cui Thian-ki sudah mengikuti setiap gerak-gerik utusan kerajaan Persi itu, maka ia sengaja menyamar dalam bentuk yang sama serta meminjam pakai hadiah yang dibawanya, semua ini selain di luar dugaan siapa pun, ia sendiri juga tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun. Betapa bagus akalnya ini, biarpun Bok-longkun hidup lagi seratus tahun juga takkan mampu menggungguli dia.

Terlihat Kah-sing Hoat-ong sedang menghadapi Ci-ih-hou sambil mengeluarkan seuntai tasbih terbuat dari kayu cendana, katanya, "Siauceng orang beragama dan tidak mampu memberi hadiah besar, hanya sedikit oleh-oleh ini mohon Sicu suka menerimanya dengan senang hati."

"Terima kasih Taisu," jawab Ci-ih-hou. Lalu ia memberi perintah, "terimalah Lingji."

Segera Ling-ji menerima tasbih itu, katanya dengan tertawa, "Hoat-ong adalah orang kosen zaman ini dan serba mahir, masakah engkau juga ada sesuatu urusan yang perlu minta dipecahkan oleh Houya kami?"

"Ya, ada," sahut Kah-sing Hoat-ong.

"Silakan Hoat-ong bicara," kata Ci-ih-hou.

"Begini," tutur Kah-sing Hoat-ong. "Selama hidupku kalau bergebrak dengan orang selalu menang tanpa kalah. Kedatanganku sekarang justru ingin coba-coba mengukur kepandaian dengan jago pedang nomor satu zaman ini, ingin kucicipi bagaimana rasanya kalah."

Mendengar maksud kedatangan padri Thian-tiok ini justru sengaja hendak menantang bertanding dengan Ci-ih-hou, tentu saja semua orang sangat tertarik, hanya Po-ji saja yang diam-diam merasa heran, "Tanpa sebab mengapa mau berkelahi lagi?"

Maka terdengar Ci-ih-hou menjawab dengan tertawa, "Sudah lama kutelantarkan kungfuku, mana sanggup kulawan Taisu. Jika tujuan Taisu ingin kalah, jelas engkau salah alamat dan keliru mencari diriku."

"Ah, jangan Sicu merendah hati," kata Kah-sing Taisu. "Ruangan ini tidak cukup luas, namun cukup untuk pertarungan kita. Bagaimana kalau kumohon petunjuk beberapa jurus kepada Sicu?"

Ci-ih-hou tetap menjawab dengan tertawa, "Sudah lebih 20 tahun aku tidak pernah bergebrak dengan orang, Taisu datang dari jauh sebagai tamu, tidak nanti kuterima tantangan Taisu."

"Dari tempat jauh sengaja kudatang kemari, sikap Sicu ini sungguh membuatku kecewa," kata Kah-sing Taisu.

"Maaf, sungguh aku tidak berani bergebrak denganmu," ucap Ci-ih-hou.

Wajah Kah-sing yang kurus dan hitam itu tampak rada berubah, ucapnya, "Jangan-jangan Sicu memandang hina padaku. Memangnya aku tidak memenuhi syarat untuk bergebrak denganmu?"

"Bukan begitu maksudku, aku cuma minta janganlah Taisu memaksakan kehendakmu kepada orang lain," kata Ci-ih-hou.

Kah-sing Taisu termenung sejenak, katanya kemudian, "Mana berani kupaksa Sicu ...."

Mendadak ia menanggalkan jubah belacunya sehingga kelihatan tubuhnya yang kurus dan hitam, lalu ia membuka ranselnya dan mengeluarkan sebatang palu dan beberapa buah paku sepanjang tiga inci, sembari memegang paku segera Kah-sing Taisu mengangkat palu, "tring", paku dipalunya hingga amblas ke dalam dagingnya.

"Nah, jika Sicu tetap tidak terima permintaanku, terpaksa kulakukan hukum siksa ini untuk mencari pembebasan," kata si padri fakir.

Sembari bicara ia terus memaku tanpa berhenti, hanya sebentar saja berpuluh paku telah menancap pada tubuhnya, paku sepanjang tiga inci itu amblas dua inci ke dalam daging. Namun padri itu seperti tidak merasakan apa-apa, darah pun tidak mengalir.

Semua orang sama terperanjat, Po-ji sampai melelet lidah hingga tak dapat mengkeret lagi.

"Kenapa Taisu bertindak demikian?" ujar Ci-ih-hou.

"Asalkan Sicu terima permintaanku, segera Siauceng berhenti," kata Kah-sing Taisu.

Ci-ih-hou menghela napas, katanya, "Ai, jika Taisu berkeras ingin berbuat demikian, terpaksa aku tidak dapat omong lagi."

Nyata, apa pun juga dia tetap menolak bergebrak dengan fakir itu.

Tiba-tiba suara musik bergema, pentolan bajak melangkah masuk dan memberi hormat, katanya, "Wanpwe sudah menyiapkan perjamuan buah-buahan segar, apakah sekarang juga Houya hendak dahar?"

"Syukur kau tahu sepanjang tahun sukar bagiku menikmati buah segar di lautan lepas, setiap tahun kamu selalu berpikir cermat bagiku," kata Ci-ih-hou.

"Asalkan Houya sudi mampir, itu pun sudah kehormatan besar bagi hamba," kata pentolan bajak laut itu.

"Jika begitu, boleh perintahkan anak buahmu membuka perjamuan sekarang juga," ucap Ci-ih-hou.

Pemimpin bajak itu mengiakan dan mengundurkan diri.

Ci-ih-hou menguap kantuk, katanya, "Kebanyakan urusan penting hadirin sudah mendapatkan penyelesaian, aku sendiri juga sudah letih, acara hari ini biarlah berakhir sampai di sini. Bilamana hadirin berminat, boleh silakan tinggal untuk menikmati buah segar bersamaku, kalau tidak, boleh silakan ...."

"Nanti dulu!" mendadak seorang berteriak lantang sambil berlari masuk.

Tertampak orang ini bertubuh pendek dan kepala besar, kedua tangan panjang melebihi dengkul, kening lebar, mata besar dan alis tebal.

Tidak perlu memandang lagi segera Po-ji tahu pendatang ini adalah pamannya yang berkepala besar, yaitu Oh Put-jiu. Diam-diam ia heran entah ada urusan apa sang paman kepala besar ini hendak mohon bantuan kepada Ci-ih-hou, padahal dia sudah kehabisan uang, untuk makan saja sulit, memangnya sekarang ia membawa sesuatu hadiah berharga?

Ia lihat Oh Put-jiu datang dengan bertangan kosong, mana ada hadiah apa segala. Padahal orang lain sama membawa hadiah untuk membeli jasa Ci-ih-hou, itu pun belum pasti diterima. Sekarang Oh Put-jiu datang tanpa membawa sesuatu, jelas tidak ada harapan akan minta pertolongan kepada Ci-ih-hou.

Ling-ji tampak berkerut kening, katanya, "Jika kamu juga ingin minta pertolongan Houya, kenapa sejak tadi tidak tampil?"

Dengan hormat Oh Put-jiu menjawab, "Soalnya nama dan kedudukanku sangat rendah, mana berani kuberebut duluan dengan orang lain?"

Potongan tubuhnya lucu, tidak cakap, tidak gagah, namun sikapnya wajar dan selalu tersenyum cerah sehingga menyenangkan orang yang diajak bicara.

Ling-ji memandangnya dua kejap, lalu bertanya, "Apakah Houya memberi kesempatan bicara kepadanya?"

Lebih dulu Ci-ih-hou menghela napas, lalu berkata, "Baik, boleh dia bicara."

"Kedatangan Wanpwe agak terburu-buru," tutur Oh Put-jiu, "sebab itulah tidak membawa sesuatu hadiah apa pun ..."

"Kamu tidak membawa sesuatu hadiah?" potong Ling-ji. "Masa kamu tidak tahu peraturan Houya?"

"Meski Wanpwe tidak membawa hadiah apa pun, namun urusan yang kuminta bukanlah untuk kepentinganku melainkan demi keselamatan para kawan Bu-lim dan mohon pertolongan Houya agar suka turun tangan," tutur Oh Put-jiu. "Dan bila Houya menolak permintaanku, mungkin selanjutnya segenap tokoh dunia kangouw akan gugur semua di medan laga, dunia persilatan pasti juga akan kacau-balau."

Oh Put-jiu memang pandai bicara, yang diucapkan juga bagian yang penting, maka cuma beberapa kalimat saja ucapannya sudah cukup menarik perhatian orang banyak.

Tak terduga Ci-ih-hou hanya menanggapi dengan dingin, "Mati-hidup segenap tokoh dunia persilatan ada sangkut paut apa denganku? Jika aku mati, mereka juga pasti takkan menitikkan setetes air mata pun."

Oh Put-jiu melenggong, katanya, "Tapi ...."

"Sudah sejak 30 tahun yang lalu aku tidak mau turun tangan membela orang," tukas Ci-ih-hou, "apa lagi sekarang, sudah lama aku malas bergerak. Nah, anak muda, kukira lebih baik kamu jangan suka ikut campur urusan orang lain."

Seketika Oh Put-jiu tertegun, bola matanya berputar.

Po-ji tahu, bilamana bola mata sang paman kepala besar ini sudah berputar, segera akan terjadi hal-hal yang menarik. Tapi menghadapi Ci-ih-hou, rasanya akal apa pun yang digunakannya pasti takkan berhasil membujuknya.

Tengah berpikir, terdengar Oh Put-jiu berkata pula, "Namun urusan ini pun ada sangkut pautnya dengan Houya sendiri."

"Ada sangkut paut apa denganku?" tanya Ci-ih-hou.

"Bencana yang menimpa dunia persilatan sekali ini disebabkan entah dari mana datangnya, seorang jago pedang aneh yang sengaja hendak menantang bertempur segenap tokoh Bu-lim," tutur Oh Put-jiu.

"Hah, ada orang demikian? Tidak kecil suaranya," kata Ci-ih-hou.

"Meski nada ucapan orang ini agak sombong tapi betapa tinggi ilmu pedangnya memang pantas disebut nomor satu di dunia," tutur Oh Put-jiu. "Mungkin Houya sendiri ...."

Sampai di sini ia berhenti dan berdehem, lalu bungkam.

Meski ia cuma bicara setengah-setengah, namun di balik ucapannya jelas hendak menyatakan Houya juga takkan mampu menandingi orang itu.

"Kau bilang dia nomor satu di dunia, mungkin tidak begitu," kaya Ci-ih-hou tenang.

Melihat orang sudah rada terpancing, diam-diam Oh Put-jiu bergirang, namun di mulut ia sengaja berkata dengan menyesal, "Meski tidak ada maksudku sengaja memuji kelihaian orang lain dan merendahkan kemampuan pihak sendiri, namun menurut pandanganku, ilmu pedang orang itu memang tidak ada yang mampu menandinginya."

Ci-ih-hou termenung sejenak, mendadak ia terbahak-bahak, "Haha, anak muda, biarpun tinggi akalmu memancing emosi orang, namun jangan harap akan memancing diriku. Biarkan saja dia jago pedang nomor satu, apa sangkut

pautnya denganku."

Put-jiu tenang saja, katanya, "Jika demikian, baiklah Wanpwe mohon diri saja, cuma sayang ... ai ...."

Segera ia memberi hormat dan hendak mengundurkan diri.

Tapi sebelum dia melangkah keluar pintu, mendadak Ci-ih-hou memanggilnya, "Kembali sini."

Put-jiu menoleh dan bertanya, "Houya ada pesan apa?"

"Kau bilang sayang apa, coba katakan," tanya Ci-ih-hou.

"Maksudku, setiap orang yang belajar ilmu pedang harus melihat betapa hebat ilmu pedang orang itu," tutur Put-jiu. "Sebab ilmu pedangnya ... ai, sungguh sayang bila tidak melihatnya sendiri."

"Sesungguhnya ilmu pedang apa yang dikuasainya itu? Betapa pula hebatnya?" tanya Ci-ih-hou lagi.

Nyata timbul juga minatnya untuk mengetahui jelas betapa tinggi ilmu pedang orang karena cara bicara Oh Put-jiu yang setengah-setengah itu, tanpa terasa ia telah terjebak oleh pemuda kepala besar itu.

Dengan tenang Put-jiu bertutur, "Betapa hebat ilmu pedang orang itu, sungguh sukar bagiku untuk melukiskannya. Ai, pendek kata, ilmu pedangnya boleh dikatakan saat ini hanya ada di langit dan tidak ada di bumi. Sekarang juga kubawa suatu barang, asalkan Houya sudah melihatnya tentu segera akan tahu betapa lihai ilmu pedangnya."

"Barang apa? Coba kulihat," kata Ci-ih-hou tidak tahan lagi.

Oh Put-jiu benar-benar orang yang bisa menahan perasaan, sampai saat ini wajahnya tetap tidak memperlihatkan rasa girang sedikit pun, perlahan ia merogoh saku, tapi mendadak tangan ditarik kembali.

"Ada apa?" tanya Ci-ih-hou.

"Jika Houya toh pasti tidak mau turun tangan, kukira lebih baik barang ini jangan dilihat," ujar Put-jiu.

"Siapa bilang aku pasti tidak mau turun tangan? Coba, lekas perlihatkan," seru Ci-ih-hou.

Baru sekarang Oh Put-jiu merogoh saku, dengan perlahan dikeluarkannya potongan ranting kayu kering itu.

Kini bukan cuma Ci-ih-hou saja yang terangsang ingin tahu, bahkan semua orang juga sangat ingin lihat barang apa yang dimaksudkan Put-jiu.

Perhatian semua orang seketika terpusat pada tangan Oh Put-jiu sehingga tidak ada yang memandang paku yang menancap di tubuh Kah-sing Taisu. Tapi kemudian ketika mengetahui barang yang dikeluarkan Put-jiu cuma sepotong ranting kecil, semua orang merasa kecewa, bahkan banyak yang merasa bingung.

Namun Oh Put-jiu justru mengangsurkan ranting kayu itu ke hadapan Ci-ih-hou dengan prihatin.

Seketika suasana sunyi senyap, hanya terdengar palu memukul paku masih berbunyi "tring-ting" berulang, sedang Ci-ih-hou lagi mengamati potongan kayu itu dengan penuh perhatian.

Semua orang tidak tahu di mana letak kehebatan sepotong kayu itu, mengapa Ciih-hou begitu tertarik sehingga mengamatinya sekian lama. Akhirnya Ci-ih-hou menghela napas panjang dan berucap, "Ya, sungguh ilmu pedang mahalihai, ilmu pedang mahacepat, ilmu pedang mahabagus ...."

Ternyata jago pedang nomor satu yang selama ini tidak ada tandingannya berulang memuji tiga kali, hal ini menandakan ilmu pedang orang yang menebas ranting kayu itu memang lain daripada yang lain.

Oh Put-jiu merasa sedih juga, pikirnya, "Jika Ci-ih-hou juga bukan tandingan jago pedang berbaju putih itu, lalu bagaimana dan apa dayaku pula?"

Ling-ji tidak tahan, ia coba tanya, "Setelah melihat potongan kayu ini, segera Houya dapat menilai betapa tinggi ilmu pedang orang itu?"

"Betul," jawab Ci-ih-hou.

"Dapatkah Houya menjelaskan tanda-tandanya untuk menambah pengalaman hamba," pinta Ling-ji.

Ci-ih-hou menghela napas, katanya, "Bilamana ilmu pedangmu sudah mencapai setaraf diriku tentu akan kau lihat dari tempat potongan kayu ini. Kalau tidak, biar pun kuberi penjelasan tiga hari tiga malam juga takkan kau pahami."

Ling-ji melengak, ucapnya sambil menyengir, "Wah, rasanya sampai tua pun hamba takkan paham."

Apa yang ditanyakan Ling-ji sama juga ingin diketahui oleh orang banyak termasuk Oh Put-jiu dan Pui Po-ji. Jawaban Ci-ih-hou yang kurang jelas itu membuat semua orang merasa kecewa.

"Orang itu berada di mana sekarang?" tanya Ci-ih-hou mendadak.

"Apakah Houya mau turun tangan?" Put-jiu menegas.

"Jika aku tidak mau turun tangan, di mana ia berada kan tidak ada sangkut pautnya denganku?" jawab Ci-ih-hou. "Ai, dapat bertanding ilmu pedang dengan tokoh kelas wahid seperti ini, rasanya tidak sia-sia hidupku ini."

Sama sekali semua orang tidak menduga bahwa Oh Put-jiu yang datang tanpa membawa sesuatu hadiah, apa yang diminta juga sangat sulit, namun Ci-ih-hou ternyata lantas menerimanya begitu saja, tentu saja mereka terkejut dan terheran-heran.

Maklumlah, bilamana ilmu silat seorang mahatinggi, dalam batin justru akan timbul semacam rasa sunyi dan menyendiri, apabila dapat menemukan seorang lawan yang sembabat, baginya akan lebih menggembirakan daripada mengikat seorang sahabat karib, soal kalah atau menang sama sekali tak terpikir olehnya.

Mendadak terdengar orang membentak dengan suara parau serupa kain robek, "Nanti dulu!"

Tahu-tahu Kah-sing Hoat-ong yang tubuhnya kini penuh paku itu menerobos ke depan.

Ngeri juga semua orang menyaksikan tubuh padri fakir yang serupa landak itu.

"Taisu ada petunjuk apa?" tanya Ci-ih-hou.

"Bila Sicu hendak bergebrak dengan orang, seharusnya Siauceng yang perlu kau lawan lebih dulu, biarpun Siauceng cuma kaum keroco, memangnya lebih rendah daripada pendekar pedang tak ternama itu?"

Ci-ih-hou menghela napas, katanya, "Silakan Taisu menilai sendiri ilmu pedang orang ini."

Baru lenyap suaranya, serentak Po-ji melihat ranting kayu kering itu melayang dari balik pintu angin, begitu lambat gerak melayangnya sehingga serupa di bawahnya disanggah oleh tangan yang tak berwujud.

Tentu saja Po-ji sangat heran, "Aneh, mengapa ranting kayu itu tidak jatuh ke bawah, sungguh aneh bin ajaib ...."

Menyaksikan lwekang Ci-ih-hou yang tidak ada taranya, semua orang juga melengak.

Tapi Kah-sing Hoat-ong lantas menangkap ranting kayu itu dan diamat-amati dengan teliti, air mukanya tampak berubah beberapa kali, habis itu mendadak ranting kayu itu dibuangnya, tanpa bicara lagi ia terus melayang pergi.

Hanya sepotong kayu kecil saja ternyata dapat menggertak lari Kah-sing Hoatong yang termasyhur, kalau tidak disaksikan sendiri, siapa yang mau percaya akan cerita ini.

Oh Put-jiu lantas menjemput ranting kayu tadi, katanya dengan menyesal, "Wanpwe disuruh kemari oleh Suhu, sebenarnya masih ada satu permintaan lagi kepada Houya, tapi sekarang ... sekarang ...."

"Siapa gurumu?" tanya Ci-ih-hou heran. "Dan ada permintaan apa lagi padaku?"

"Suhuku dikenal sebagai Jing-peng-kiam-kek ...."

"O, kiranya Pek Sam-kong," kata Ci-ih-hou. "Ketika mengembara dunia kangouw waktu muda pernah aku dijamu olehnya .... Ai, kalau diceritakan kejadian ini sudah 30 tahun yang lalu."

"Persoalan kedua yang diminta guruku adalah ... adalah ...," mendadak Oh Putjiu berpaling dan menuding Cui Thian-ki, sambungnya, "Mohon Houya menangkap perempuan ini."

"Ai, ai, memangnya aku bersalah padamu?" seru Cui Thian-ki dengan tertawa genit. "Memangnya kau pun serupa si patung kayu, karena mempunyai seorang ayah yang suka menggoda orang perempuan dan telah kulukai?"

Setiap patah katanya selalu menusuk perasaan orang, bilamana ada orang yang berjingkrak gusar karena ucapannya, maka hatinya akan gembira sekali.

Siapa tahu watak Oh Put-jiu terlebih aneh daripada dia, ia dapat bersabar terhadap urusan apa pun, sesungguhnya sulit seperti hendak mendaki langit barang siapa bermaksud memancing kemarahannya.

Begitulah, betapa pun menusuk perasaan ucapan Cui Thian-ki dianggapnya seperti tidak mendengar saja, ia berkata pula dengan tenang, "Perempuan ini telah membawa lari cucu luar guruku ...."

"Hihi, jangan Houya percaya kepada ocehannya," kata Cui Thian-ki dengan mengikik. "Anak yang nakal dan bandel itu siapa yang mau, diberi gratis juga akan kutolak, untuk apa kubawa lari dia?"

Makin mendengarkan makin gusar Po-ji, pikirnya, "Kiranya aku menghilang sama sekali tidak membuatnya khawatir. Rupanya hanya di depanku saja ia bilang sayang padaku, kenyataannya aku dianggapnya anak nakal dan menjemukan."

Terlihat Oh Put-jiu tidak dapat menanggapi ucapan Cui Thian-ki. Sedang bola mata Ling-ji tampak berputar-putar dan juga tidak bersuara dan juga tidak bersuara, agaknya dia sengaja ingin melihat keributan apa yang akan terjadi lagi.

Maka Cui Thian-ki berucap pula, "Houya, coba lihat, si kepala besar ini berani sembarang mengoceh di depanmu dan memfitnah anak perempuan lemah semacam diriku ...."

"Jelas kamu yang ...."

Belum sempat Oh Put-jiu membela diri, segera Cui Thian-ki memotong sambil mengentak kaki, "Bagus, jadi kamu malah sembarangan menuduhku lagi. Mohon Houya suruh dia memberi buktinya, kalau tidak bisa, dia harus menyembah dan minta maaf padaku."

Ia bicara dengan lagak seperti anak perempuan yang perlu dikasihani dan membuat siapa pun yang melihatnya akan iba.

Dengan menyesal Ci-ih-hou berucap, "Ya, jika kamu tidak dapat memberi bukti, memang tidak pantas kau nista dia."

"Betul itu ...." Tukas Cui Thian-ki. Lalu ia tarik lengan baju Ling-ji dan berkata, "Cici yang baik, kumohon bantuanmu, coba, dia menista diriku sedemikian rupa, sungguh aku tidak ... tidak ingin hidup lagi."

Dengan lagak manja ia sandarkan kepala ke dada Ling-ji, mendadak ia cubit belakang pinggang Ling-ji dan berbisik, "Budak cilik, ke mana kau sembunyikan suami cilikku?"

Sebenarnya Ling-ji sedang tertawa ngikik, mendengar bisikan itu, tentu saja ia terkejut, namun ia tetap tertawa dan pada suatu kesempatan ia balas berbisik, "Siapa bilang?"

Dengan lagak menangis, Cui Thian-ki berbisik pula, "Jika bukan disembunyikan olehmu, dari mana kau tahu aku ini bini besarnya?"

Baru sekarang Ling-ji menyadari ucapannya tadi telah membocorkan rahasia perbuatannya membawa lari Pui Po-ji, diam-diam ia mengakui kelihaian orang.

Didengarnya Cui Thian-ki berbisik lagi padanya, "Jika tidak kau bantu mempermainkan si kepala besar ini, biar sebentar kubongkar perbuatanmu yang membawa lari anak lelaki orang."

"Cara bagaimana mempermainkan dia?" tanya Ling-ji dengan lirih.

"Apa yang kukatakan harus kau dukung, si kepala besar itu harus digoda sehingga berjingkrak murka dan penuh rasa penasaran, begitu baru aku puas," bisik Thian-ki.

Kedua anak perempuan itu saling berangkulan, yang satu menangis dan yang lain tertawa, semua orang merasa bingung, tapi tiada yang dengar percakapan mereka.

Segera Ling-ji berseru, "Hei, kepala besar, ayo keluarkan buktimu?"

"Wah, ini ... ini ...." Oh Put-jiu agak kelabakan.

"Jika kamu tidak dapat memberi bukti, tidak pantas sembarangan kau tuduh orang," omel Ling-ji. "Memangnya anak perempuan seperti kami ini boleh dicerca begitu saja? Ayo lekas kemari menyembah dan minta maaf padanya."

Betapa pun sabarnya Oh Put-jiu terpancing juga sehingga muka merah padam, katanya, "Jika Houya tidak percaya, bolehlah Bok-long-kun dihadapkan ke sini, dia pasti tahu semua ini."

Sambil mendekap dalam pelukan Ling-ji dan berlagak menangis, Cui Thian-ki berkata, "Ia benci padaku, dengan sendirinya ia bantu dirimu mencerca diriku."

Semua orang merasa bantahannya cukup beralasan, ada yang tidak tahan dan segera berseru, "Betul, kepala besar itu harus menyembah dan minta maaf, agar selanjutnya dia tidak berani lagi menista kaum wanita."

Yang bicara dengan sendirinya orang perempuan. Pada waktu menghadapi lelaki, orang perempuan terkadang memang dapat bersatu.

Oh Put-jiu merasakan berpuluh sorot mata sama terarah kepadanya, sorot mata yang mengandung permusuhan, sungguh gusar dan gemasnya tidak kepalang, sampai tangan pun terasa gemetar.

Sekilas melirik kepada pemuda kepala besar itu, sungguh gembira sekali Cui Thian-ki karena maksud tujuannya tercapai.

Ci-ih-hou berkata pula dengan menyesal, "Jika kamu memang tidak mempunyai bukti, tampaknya kamu terpaksa harus minta maaf padanya."

Selagi Oh Put-jiu merasa tak berdaya dan mati kutu, sekonyong-konyong suara orang berteriak, "Siapa bilang tidak ada bukti. Ini dia buktinya."

Suara itu datang dari belakang pintu angin sana, keruan semua orang sama terperanjat.

Maka tertampaklah seorang anak bermata besar, berhidung mancung, muka putih semu merah dan halus menyenangkan lari keluar dari balik pintu angin. Siapa lagi dia kalau bukan Pui Po-ji.

"Hei, Po-ji, kenapa kau pun berada di sini?" seru Oh Put-jiu, sungguh ia tidak mengerti bahwa Po-ji bisa berada di atas kapal ini.

Muka Po-ji tampak merah marah oleh urusan Cui Thian-ki, katanya, "Ceritanya agak panjang, biarlah kulampiaskan rasa dongkol paman dulu baru nanti kuceritakan."

"Kamu hendak melampiaskan rasa dongkolku?" tanya Put-jiu heran.

"Betul," sahut Po-ji, lalu ia berpaling menghadap Ci-ih-hou.

Akhirnya baru dapat dilihatnya dengan jelas wajah tokoh misterius ini. Terlihat orang berjubah satin ungu, memakai kopiah raja bertatah mutiara, mukanya putih bersih serupa ukiran batu kemala dan menampilkan semacam kekuatan yang membuat orang gentar. Dengan nyali Pui Po-ji ternyata juga tidak berani mengamati mata alis orang terlebih cermat.

Agaknya sudah sejak tadi Ci-ih-hou mengetahui di belakang tempat duduknya sana tersembunyi orang. Maka kemunculan Po-ji tidak membuatnya kaget atau heran, sikapnya tetap dingin dan tak acuh.

Po-ji memberi hormat, lalu berucap dengan kalimat bahasa sastra tinggi yang berarti, "Houya biasa hidup berkelana bebas di lautan lepas serupa malaikat dewata, apakah mungkin juga masih menghargai tata adat dunia ramai?"

Melihat seorang anak kecil bicaranya serupa seorang sastrawan, wajah Ci-ih-hou yang dingin menampilkan rasa heran, jawabnya perlahan, "Meski selama ini hidupku kian kemari di lautan lepas, namun aku bukan bangsa biadab, masa aku tidak menghargai tata adat?"

Nyata ucapannya cukup ramah dan memandang anak kecil itu serupa seorang tamu terhormat.

Po-ji menyembah pula dan berkata, "Pokok dasar tata adat kita sudah tercantum jelas dalam berbagai kitab, bilamana ada orang sengaja melanggar tata adat ini, menurut pendapat Houya apakah orang ini harus dijatuhi hukuman atau tidak?"

Bahwa seorang anak kecil seperti Pui Po-ji ternyata dapat bicara dengan lancar tanpa gentar serupa orang dewasa, semua orang sama kejut dan heran, juga merasa tertarik. Siaukongcu sembunyi di belakang tirai dan tidak berani keluar, ia gelisah dan berulang mengentak kaki.

Terdengar Ci-ih-hou menjawab, "Jika ada orang berani melanggar tata adat, sepantasnya ia dihukum."

"Kata pepatah, raja adalah Thian (Tuhan) hambanya, ayah adalah Thian anaknya, suami adalah Thian istrinya, jika ada istri tidak patuh pada kelakuan sebagai istri di depan suaminya, lalu apa yang harus dilakukan?" tanya Po-ji pula. Tanpa terasa tersembunyi senyuman pada wajah Ci-ih-hou, katanya, "Anak sekecil dirimu masakah juga sudah punya istri?"

Semua orang ikut tertawa geli.

Siapa tahu Po-ji menjawab tegas, "Betul."

"Oo, siapa istrimu, coba ceritakan," ucap Ci-ih-hou dengan tertawa.

"Dia," seru Po-ji sambil membalik tubuh dan menuding Cui Thian-ki. Tudingan Po-ji ini seketika membuat heboh semua orang yang hadir di situ, ada yang terkejut, ada yang tertawa geli, ada yang tidak percaya.

Oh Put-jiu juga geleng-geleng kepala dan membatin, "Ai, mengapa anak ini bisa ngibul begini?"

Terdengar Ci-ih-hou menegas, "Dari mana kau tahu?"

Tiba-tiba Ling-ji menyela dengan tertawa ngikik, "Memang betul, pada waktu nona Cui ini menikah dengan anak ini, hamba dan Cu-ji melihatnya dengan jelas."

"Sialan, budak mampus ...," omel Cui Thian-ki dengan tertawa.

"Memangnya kau berani menyangkal?" sahut Ling-ji dengan tertawa.

"Mengaku juga tidak menjadi soal, memangnya kenapa?" ujar Cui Thian-ki. "Ayo kemari, suami cilik, mari kita suami istri bermesraan sedikit."

Dengan mendelik Po-ji mendamprat, "Jika kamu istriku, kenapa kau berani bersikap kasar terhadap pamanku, orang muda berani terhadap orang tua, ini namanya tidak sopan. Sekarang kamu sudah mengaku, tapi tadi menyangkal pernah menculik diriku, caramu bicara plinplan, itu namanya tidak dapat dipercaya. Setelah kamu menjadi istri orang, tapi masih berkeluyuran kian kemari, demi mencapai maksud tujuanmu, kamu tidak sayang menyerahkan diri sendiri kepada orang sebagai hadiah, ini namanya tidak tahu malu."

"Aduhh, bengis amat caci makimu," kata Cui Thian-ki dengan tertawa ngikik. Po-ji tidak menggubrisnya, ia berpaling dan berkata pula terhadap Ci-ih-hou, "Nah, perempuan yang tidak sopan, tidak tahu malu dan tidak dapat dipercaya begini, apakah tidak pantas diberi hukuman seberatnya?!"

"Betul dan cara bagaimana akan kau hukum dia?" jawab Ci-ih-hou dengan tersenyum.

Po-ji berkedip-kedip, katanya, "Lebih dulu hukum dia menyembah dan minta maaf kepada pamanku, habis itu ...."

Tiba-tiba dari balik tabir sana seorang menyambung, "Habis itu menghukum pula dia kerja paksa tiga tahun di tempat kita ini, setiap hari dia harus membaca dan menulis."

Suaranya terdengar kecil dan lembut, jelas suara Siaukongcu alis putri cilik.

Sejak kecil ia dimanjakan, selamanya tidak tahu apa artinya kerja paksa, yang diketahui cuma membaca dan menulis dan dirasakan sebagai pekerjaan yang paling susah di dunia ini.

Tentu saja semua orang tertawa geli mendengar anak dara itu memandang soal membaca menulis sebagai kerja paksa yang sukar.

Cui Thian-ki tertawa ngikik, katanya, "Kerja paksa begini apa alangannya kulakukan selama tiga tahun."

"Baik," kata Ci-ih-hou mendadak.

Cui Thian-ki jadi melengak, "Baik ... baik apa?"

"Jika kau bilang tidak alangan, maka jadi kuhukum kau tinggal di sini untuk membaca dan menulis tiga tahun," jawab Ci-ih-hou.

"Tapi ... tapi aku cuma berkelakar saja," bingung juga Cui Thian-ki.

"Di depanku mana boleh sembarangan berkelakar," ucap Ci-ih-hou.

Sekali ini Cui Thian-ki tidak dapat tertawa lagi, ucapnya gelagapan, "Aku ... aku ...."

Segera Ling-ji memberi tanda, serentak bersama Cu-ji dan dua gadis mengelilingi Cui Thian-ki dan berkata dengan tertawa, "Kenapa, apa kamu tidak terima?"

Bola mata Cui Thian-ki berputar, ia tahu ingin lari pun tidak bisa lagi, mendadak ia tertawa nyaring, katanya, "Baik juga. Sudah lama kulari kian kemari dan memang sudah merasa capek. Kalau dapat tetirah tiga tahun di sini justru sangat kuharapkan. Tapi suami istri harus berdampingan, maka suami cilikku juga harus

tinggal bersamaku di sini."

Siaukongcu berkeplok tertawa, serunya, "Hihi, tentu saja, dia harus tinggal bersamamu di sini."

Tersentuh pikiran Oh Put-jiu, serunya girang, "Aha, memang betul, daripada dia keluyuran kian kemari tidak bekerja, suruh dia mendampingi Siaukongcu sekolah di sini memang sangat cocok."

"Dan sekarang dia harus menyembah dulu kepadamu," kata Po-ji.

"Wah, aku tidak berani disembah, bebaskan saja," ujar Oh Put-jiu dengan tertawa.

Pada saat itulah mendadak Ci-ih-hou membentak perlahan, "Siapa itu?"

Serentak bergema suara dua orang, yang satu mendengus, "Tajam benar pendengaran Houya."

Seorang lagi bergelak dan berkata, "Peristiwa aneh setiap tahun ada dan tahun ini bertambah banyak, ada bangku memanjat ke dinding, ada batu menggelinding ke atas bukit, ada anak kecil umur belasan menikahi nenek, haha, bisa copot gigiku Ong-loji menertawai."

Suara kedua orang itu berbeda nada dan berseru sekaligus, namun suara mereka tidak sampai terbaur dan dapat didengar dengan jelas oleh setiap orang. Namun sebelum suara mereka bergema, tokoh dunia persilatan yang memenuhi anjungan kapal ini tiada seorang pun yang tahu kedatangan mereka, padahal cuma terpisah oleh dinding papan yang dekat.

Air muka Ci-ih-hou tampak berubah tenang ucapnya, "Kiranya kau ...."

Suara dingin tadi menjawab, "Ya, sengaja kudatang mengunjungi Houya."

Seorang tampak muncul dengan langkah lebar, perawakannya tinggi kurus, muka pesat kehijauan. Meski bajunya penuh tambalan, baju biru ini tercuci bersih. Kedua tangannya juga seputih batu kemala, jari tengah kanan memakai sebentuk cincin permata yang aneh, sikapnya kelihatan tak acuh, langkahnya tidak menimbulkan suara.

Padahal tadi ada suara dua orang, tapi sekarang yang masuk cuma seorang. Tentu saja semua orang heran dan sama ingin tahu suara siapa yang bernada kocak tadi.

Si baju biru langsung menuju ke depan Ci-ih-hou, ia memberi hormat dengan merangkap kedua kepalan, sapanya, "Belasan tahun tidak berjumpa, daya pendengaran Houya ternyata belum mundur sedikit pun, selamat bahagia!"

"Ya, belasan tahun tidak bertemu, Ginkangmu ternyata tambah maju," sahut Ci-ih-hou dengan tertawa. "Agaknya gelar jago Ginkang nomor satu selain dirimu sukar direbut orang lain."

"Tahun yang lalu aku berlomba Ginkang selama sehari-semalam dengan Hongtojin, akhirnya aku lari lebih cepat satu li lebih jauh," tutur si baju biru. "Cuma biasanya aku tidak suka menonjolkan nama, tentang gelar Ginkang nomor satu tetap kuberikan kepadanya."

Meski tak acuh caranya bicara, namun nadanya sangat bangga dan angkuh, seperti Ginkang orang lain sama sekali tidak terpandang olehnya.

Mendengar Ginkang si baju biru ini ternyata lebih unggul daripada Hong-tojin, semua orang terkejut, diam-diam sama meraba dan menduga-duga asal-usul tokoh aneh ini.

Hanya Siaukongcu saja yang merasa tidak senang terhadap sikapnya yang pongah, tiba-tiba ia mengomel, "Huh, sok membual!"

"Ya, meniup balon!" tukas Po-ji segera.

Mendadak si baju biru menoleh, sorot matanya menyapu sekejap pada wajah kedua anak kecil itu. Jelas terlihat oleh Po-ji dan Siaukongcu bahwa meski wajah orang pucat dingin, namun sorot matanya membawa rasa hangat serupa api membara.

"Hm, kedua anak kecil, apakah kalian maksudkan diriku?" jengek si baju biru.

Mendadak Cui Thian-ki memburu maju dan mengadang di depan Po-ji, katanya dengan tertawa, "Eh, orang tua jangan mengganas terhadap anak kecil. Sahabat yang datang bersamamu itu mengapa tidak ikut masuk?"

"Dia sudah masuk," jawab si baju biru.

"Di mana?" tanya Cui Thian-ki sambil memandang sekelilingnya.

Tiba-tiba suara simpati tadi bergema dari depan, "Ini, di sini, di depanmu! Meski kau tidak melihatku, tapi kau dapat kulihat."

Cui Thian-ki dan Pui Po-ji sama terperanjat, waktu mereka memandang ke depan, yang terlihat cuma si baju biru saja dan tiada orang lagi, wajah si baju biru tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, juga tidak mirip habis bicara. Namun jelas suara tertawa dan suara bicara tadi berkumandang dari depan, lantas siapa dia? Memangnya orang ini menguasai ilmu menghilang sehingga cuma terdengar suaranya dan tidak terlihat wujudnya?

Po-ji agak merinding sehingga tanpa terasa ia rapatkan tubuhnya dengan Cui Thian-ki.

Segera suara tertawa tadi berkumandang pula dari depan, "Haha, dua sejoli, cinta kasih, main ...."

Mendadak Po-ji berteriak, "Hei, dia ... juga dia ... kedua suara sama timbul dari dia .... Perut ... perutnya dapat bicara."

Suara tadi segera berhenti, sekilas sorot mata si baju biru menampilkan senyuman, namun sikap dan air mukanya tetap dingin.

Cui Thian-ki melengak, dipandangnya sejenak si baju biru, lalu berkeplok dan tertawa, "Aha, Ong Poan-hiap, luar dingin dalam hangat, setengah pendekar setengah latah. Sejak tadi seharusnya kuingat akan dirimu."

"Teringat sekarang juga belum terlambat," ucap si baju biru.

"Sudah lama terdengar Ong Poan-hiap adalah tokoh mahaajaib di dalam daftar orang kosen dunia persilatan, tak tersangka hari ini dapat berjumpa di sini, sungguh beruntung sekali," kata Cui Thian-ki dengan tertawa.

"Dan kau sendiri bukankah juga satu di antara daftar tokoh ajaib dunia persilatan itu," ujar si baju biru alias Ong Poan-hiap atau Ong setengah pendekar.

Po-ji memandangnya dengan mata terbelalak, tanyanya, "Ken ... kenapa perutmu dapat bicara?"

Dengan geli Cui Thian-ki berkata, "Justru keahliannya bicara dengan perut inilah, dia berkeras menganggap dirinya sendiri ada dua orang, malahan memakai nama \'Hoa-sin-siang-hiap\' (pendekar kembar) sehingga kawan Bu-lim sama bingung dan pusing dipermainkan olehnya, sebab siapa pun tidak tahu dengan jelas sesungguhnya dia ini satu orang atau dua orang?"

Dengan dingin Ong Poan-hiap menjawab, "Berhadapan dengan kesatria sejati aku ini Ong Poan-hiap, menghadapi manusia licik dan keji aku ini Ong Poan-ong (Ong setengah latah atau gila), dengan begini kan jauh lebih baik daripada caramu yang sebentar mengaku lelaki dan lain saat menjadi perempuan."

"Dan kunjungan Ong-heng sekarang ini entah sebagai Ong Poan-hiap atau Ong Poan-ong?" tanya Ci-ih-hou dengan tersenyum.

"Jika Ong Poan-ong, tentu aku tidak datang kemari," jawab Ong Poan-hiap.

"Sebab urusan ini sebenarnya tidak ada sangkut paut apa pun denganku. Bila jauh-jauh aku mau kemari, tujuanku hanya ikut campur kepentingan orang saja."

Sinar matanya berputar, mendadak ia tanya, "Siapa murid Pek Sam-kong?"

"Wanpwe adanya." jawab Oh Put-jiu sambil menjura. "Entah Cianpwe ada petunjuk apa?"

"Apa sudah kau laksanakan pesan gurumu itu?" tanya Ong Poan-hiap.

"Sudah," jawab Put-jiu. "Dan Houya pun sudah menerima dengan baik."

"Bagus," ucap Ong Poan-hiap. "Kalau sudah diterima, mengapa tidak lekas berangkat. Masa kau tidak tahu gawatnya urusan ini, terlambat satu hari pun berarti akan bertambah satu korban tokoh dunia persilatan kita?"

"Eh, kiranya kedatanganmu juga untuk urusan ini," ucap Ci-ih-hou.

"Betul, kedatanganku memang juga untuk urusan ini," sahut Ong Poan-hiap.

"Maklum, saat ini yang mati di bawah tangan jago pedang berbaju putih itu seluruhnya sudah lebih 20 orang."

"Masa begitu keji keparat itu?" Ci-ih-hou menegas dengan kening bekernyit.

"Dalam pertarungan pertama sejak keparat itu datang dari lautan timur, yang pertama terbunuh ialah Liu Siong, seterusnya dari Soatang ia terus menuju ke barat laut, dengan pedangnya yang berbentuk aneh hampir menyapu seluruh dunia persilatan Tionggoan, sampai Tiong-ciu-it-kiam Sau Bun-sing dan Jing peng-kiam-kek Pek Sam-kong yang terkenal hebat ilmu pedangnya juga tidak dapat lolos di bawah pedangnya."

"Hah, kakekku ...." jerit Po-ji dengan khawatir.

"Siapa kakekmu?" tanya Ong Poan-hiap dengan heran.

"Bocah inilah cucu guruku," sela Oh Put-jiu dengan sedih.

Po-ji mencengkeram leher baju Oh Put-jiu dan bertanya, "Bagaimana keadaan kakek? Kau tahu bukan?"

Dengan menunduk Put-jiu menjawab, "Beliau mungkin sudah ...."

"Pek Sam-kong tidak mati," potong Ong Poan-hiap.

Po-ji merasa lega, karena kejut dan girangnya, kaki pun terasa lemas dan hampir tidak sanggup berdiri lagi.

Oh Put-jiu juga kejut dan heran, tanyanya, "Jadi guruku tidak ...."

"Ya, meski Pek Sam-kong terkena pedang jago pedang baju putih, namun tidak tewas," tutur Ong Poan-hiap. "Dia merupakan satu-satunya orang yang dapat menyelamatkan nyawa di bawah pedang orang itu."

Padahal Oh Put-jiu sendiri menyaksikan gurunya terkena tusukan pedang dan menggeletak, kini mendengar berita gurunya masih hidup, rasa kejut dan girangnya sungguh jauh melebihi Po-ji.

Tepi mendadak Ong Poan-hiap menghela napas, ucapnya perlahan, "Meski dia tidak mati, namun keadaannya lebih celaka daripada mati."

"Sebab apa?" tanya Put-jiu cepat.

"Para kesatria Bu-lim saat ini sedang menunggui dia untuk tanya betapa ajaib ilmu pedang si jago baju putih itu," kata Ong Poan-hiap. "Sebab hanya dia satu-satunya orang yang masih hidup setelah bertanding dengan jago pedang baju pulih sehingga di mana letak rahasia kelihaian ilmu pedang orang itu tentu tahu lebih banyak daripada siapa pun."

"Dan apakah gu ... guruku sudah bercerita?" tanya Put-jiu.

Ong Poan-hiap menggeleng kepala, ucapnya, "Justru lantaran si jago pedang baju putih itu bermurah hati padanya sehingga jiwa Pek Sam-kong dapat selamat, maka siapa pun yang mendesak dan bertanya padanya, sama sekali ia tidak mau membocorkan satu kata pun rahasia ilmu pedang lawan. Namun bilamana ia menyaksikan sesama kawan Bu-lim satu per satu menjadi korban keganasan pedang orang, sungguh hatinya sangat pedih sekali, maka aku diminta menyusul kemari .... Ai, jika Houya sudah menerima permintaannya, hendaknya selekasnya berangkat dan menghadapi dia."

Untuk pertama kalinya Cui Thian-ki mendengar kisah kelihaian jago pedang berbaju putih itu, betapa pun ia ikut kebat-kebit, ucapnya, "Memangnya tokoh Bu-lim di Tionggoan tiada seorang pun mampu menahan dia?"

"Tidak ada," kata Ong Poan-hiap.

"Satu orang tidak mampu, sepuluh orang atau seratus orang masakah tidak dapat membinasakan dia?" ujar Cui Thian-ki.

"Kemunculan orang ini konon justru ingin mempelajari intisari ilmu silat, orang yang dicarinya juga kaum kesatria yang terkenal gagah perkasa," tutur Ong Poan-hiap dengan dingin. "Meski orang-orang ini sama mati di bawah pedangnya kan juga gugur demi kesucian ilmu silat. Jika membunuhnya dengan tenaga gabungan berpuluh orang, bukankah akan diejek oleh para kesatria di dunia ini?"

"Diejek atau disindir kan jauh lebih baik daripada mati konyol?" ujar Cui Thian-ki dengan gegetun.

Mendadak Po-ji berteriak, "Itu pun tidak seluruhnya benar. Ada sementara orang lebih suka mati daripada berbuat sesuatu yang memalukan, kematian begitu baru dapat dipuji sebagai kematian seorang kesatria sejati."

"Ehm, anak baik," Ong Poan-hiap manggut-manggut sambil membelai rambut anak itu.

"Ya, memang anak baik ...." Ci-ih-hou juga tersenyum.

"Huh, anak baik apa? Kukira dia cuma seorang anak bodoh," kata Cui Thian-ki.

"Sudahlah, jangan omong iseng lagi," sela Ong Poan-hiap. "Jika Houya mau turun tangan, sekarang juga silakan berangkat."

Ci-ih-hou terdiam sejenak, dari tangan seorang gadis cantik di sebelahnya, diambilnya sebatang pedang.

Di ruangan ini hampir setiap bagian penuh benda mewah, sampai perhiasan yang dipakai anak gadis itu juga batu permata yang sukar dinilai, hanya pedang ini saja sarung pedangnya ternyata sangat jelek dan sederhana.

Dengan kedua tangan Ci-ih-hou memegang dan mengamati pedang itu, setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia memanggil Kin Ji, si muka kuda tadi, "Coba kemari!"

Si muka kuda ini lagi kebingungan oleh apa yang dilihatnya tadi, panggilan Ci-ihhou membuatnya terkesiap, jawabnya, "Houya ada ... ada pesan apa?"

Meski di dalam hati enggan maju, namun tanpa kuasa kaki sudah melangkah ke depan.

Perlahan Ci-ih-hou berucap pula, "Akan kuhitung tiga kali, habis itu segera akan kuserang padamu dengan pedang ini, jika kau dapat mengelak, segera aku akan mendampingimu ke negerimu, tapi bila kau tidak mampu menghindar, seranganku juga takkan membahayakan jiwamu, aku cuma minta jasamu berangkat ke Tionggoan tutuk melaksanakan suatu urusan bagiku."

"Hanya satu kali serangan?" Kin Ji menegas dengan kejut dan heran.

"Ya, hanya satu jurus serangan," kata Ci-ih-hou. "Akan kuserang ketujuh Hiat-to yang terletak di antara Koh-cing-hiat dan Lu-coan-hiat, sama sekali tak ada serangan ikutan lain."

Diam-diam Kin Ji bergirang, pikirnya, "Lebih dulu ia sudah memberitahukan bagian yang akan diserangnya, apalagi cuma satu jurus serangan saja. Aku bukan orang mampus, masa tidak mampu mengelak?"

Dengan suara lantang segera ia menjawab, "Baik!"

Perlahan Ci-ih-hou mulai menghitung, "Satu ... dua ...."

Serentak Kin Ji alias si muka kuda mencurahkan segenap perhatiannya pada pedang yang dipegang Ci-ih-hou.

Dan begitu Ci-ih-hou mengucap "tiga", tubuh tanpa bergerak, tapi pedang terus menusuk ke depan dengan perlahan.

Gerak pedang ini sangat lambat dan tanpa variasi, bahkan jelas takkan mencapai bagian yang diarah. Sekalipun Kin Ji tidak mengelak dan menghindar juga takkan tertusuk oleh pedang itu.

Keruan Kin Ji melenggong, "Memang terhitung jurus serangan apa ini?"

Belum habis berpikir, gerak pedang yang lugas dan lamban itu mendadak memancarkan cahaya kemilau, bagian yang menjadi sasaran yang jelas takkan tercapai itu mendadak berubah dapat dicapainya.

Jilid 5. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Pandangan semua orang terasa silau, terdengarlah Kin Ji menjerit kaget, tahu-tahu pedang Ci-ih-hou sudah tersimpan kembali, meski Kin Ji tidak roboh, namun pada tubuhnya telah bertambah tujuh luka berdarah.

Siapa pun tidak tahu jelas cara bagaimana Ci-ih-hou melukai Kin Ji hingga tujuh tempat itu, bahkan tersebar di antara kedua bahu, dada perut dan iga.

Wajah Kin Ji yang lonjong serupa muka kuda itu tampak pucat pasi dan berdiri melongo tanpa bergerak. Si buntak pun terkesima dan ketakutan setengah mati, selagi orang lain tidak memerhatikan dia, diam-diam ia mengeluyur keluar.

Padahal Ci-ih-hou berkata, "Hiat-to Kin-heng ini telah kutusuk dengan ujung pedang ...."

Mendengar orang dapat menusuk Hiat-to dengan ujung pedang, saking kagumnya Oh Put-jiu menghela napas.

Terdengar Ci-ih-hou melanjutkan, "Kalian boleh membawa Kin-heng ini kepada jago pedang berbaju putih itu, suruh dia memeriksa lukanya, katakan orang yang melukai dia ini sedang menanti di pantai laut timur, diharap Pek-ih-kiam-kek (jago pedang berbaju putih) itu datang kemari untuk menempurnya."

Ong Poan-hiap bekernyit kening, ucapnya, "Houya, jika engkau pergi sendiri ke sana kan lebih cepat beres?"

Ci-ih-hou tersenyum getir, katanya, "Sejak belasan tahun yang lampau pedangku dikalahkan seorang, aku bersumpah selama hidup ini takkan menginjak daratan lagi."

"Hah, di zaman ini ilmu pedang siapa pula yang dapat mengalahkan Houya?" tanya Ong Poan-hiap dengan melengak.

Ci-ih-hou menghela napas perlahan tanpa menjawab.

"Dan bagaimana bila Pek-ih-kiam-kek itu tidak mau datang kemari?" tanya Ong Poan-hiap setelah terdiam sejenak.

"Jika dia datang demi ilmu silat, setelah melihat ketujuh tempat luka Kin Ji, apa pun juga dia pasti akan bertempur denganku," ucap Ci-ih-hou. "Kalau tidak, maka dia hanya menggunakan ilmu silat sebagai alasan untuk membunuh orang, jika begitu, bolehlah kalian mengerubutnya beramai-ramai tanpa perkara."

Ong Poan-hiap memandang Kin Ji sekejap, katanya kemudian dengan menyesal, "Untuk membawa kuda ini, kukira harus bikin repot padamu, Oh Put-jiu!"

Tanpa banyak omong mereka terus berangkat dengan membawa si muka kuda Kin Ji yang terluka itu.

******

Menjelang fajar, suasana sunyi dan remang-remang. Di atas benteng kota Lokyang, di suatu lekukan duduk seorang berbaju putih tanpa bergerak serupa patung, hanya rambutnya yang panjang terurai melambai tertiup angin.

Sebatang pedang panjang tersandang di punggungnya, sepotong kain belacu menjadi ikat kepala sebatas alis menaungi wajahnya yang kelam sehingga terlihat misterius menyeramkan.

Dengan sorot mata hambar ia memandang keremangan kota Lokyang dengan termenung, memandangi beribu atap rumah yang terhampar di depan dengan perasaan sunyi, di tengah beribu rumah penduduk sekian banyak itu ternyata tiada seorang pun mampu melawannya.

Ketika cahaya sang surya mulai menembus kabut pagi di ufuk timur, perlahan si baju putih berbangkit dan menuruni benteng kota menuju ke arah barat, setiap langkahnya berjarak sama, tegap dan mantap.

Di barat kota Lokyang, di tengah pepohonan yang rimbun menelusur sebuah jalan berbatu kerikil, suasana masih senyap, tapi kalau diperhatikan dapat terlihat di bawah setiap pohon yang tumbuh di tepi jalan sama berdiri seorang lelaki berbaju putih dengan sikap tegang dan siap siaga seakan-akan menanti kedatangan tamu agung dan juga siap menghadapi musuh.

Pada ujung jalan adalah sebuah kompleks perumahan yang cukup luas, keadaan sepi, segenap penghuni perkampungan itu seperti masih tidur lelap.

Tapi begitu memasuki pintu gerbang perkampungan segera terlihat keramaian orang berlalu-lalang, namun setiap orang tetap bungkam saja biarpun satu sama lain berpapasan.

Di depan kelihatan sebuah ruang besar, segala perabot di situ sudah disingkirkan sehingga suasana kelihatan lengang dan agak seram, mendadak sembilan orang berbaju putih muncul berturut-turut dan duduk menjadi satu baris di satu sisi dekat dinding.

Perawakan kesembilan orang ini berbeda-beda, gerak-gerik juga tidak sama, tapi sikap mereka kelihatan penuh semangat, gagah perkasa. Kesembilan orang sama membawa sebuah kantong hijau, pandangan mereka sama tertuju ke luar pintu.

Kabut di luar sudah mulai buyar dan sinar sang surya memancar dengan gemilangnya, seorang yang duduk di tengah berucap, "Sudah waktunya ...."

Belum lenyap suaranya mendadak seekor merpati pos terbang masuk, seketika kesembilan orang saling pandang dengan tegang dan tidak bersuara lagi.

Sementara itu si baju putih tadi sudah dekat ujung jalan batu tadi, mendadak terdengar teriakan menggelegar seorang, serentak ratusan orang yang berdiri di kedua sisi jalan membentak, "Sambut tamu!"

Ratusan golok seketika terangkat ke atas dan terpasang menjadi palang golok di bawah barisan pohon. Suasana tegang dan khidmat.

Si baju putih tetap memandang ke depan tanpa peduli ratusan orang bergolok itu, selangkah demi selangkah ia maju ke depan.

Tiba-tiba dari halaman seorang membentak pula, "Sambut tamu!"

Suaranya terlebih lantang daripada tadi, serentak dari pintu gerbang hingga undakan ruang pendopo beratus lelaki kekar sama mengangkat golok masing-masing dan dipalangkan di atas. Bilamana si baju putih berjalan menyusuri barisan golok, asalkan golok membacok ke bawah, biarpun tubuhnya terbuat dari baja juga akan tercencang menjadi perkedel.

Beratus lelaki bergolok itu sama membatin, "Coba lihat apakah dia berani melalui barisan golok ini?"

Ternyata tanpa pikir si baju putih langsung menerobos barisan golok itu, beratus golok mengilat itu dianggapnya seperti besi karatan saja, langkahnya tetap tegap dan mantap dengan jarak yang sama, tidak cepat juga tidak lambat.

Semua orang sama melongo dan kagum juga terhadap ketabahan orang.

Setelah menerobos barisan golok, si baju putih melangkah ke dalam ruangan pendopo, dengan sikap dingin ia berdiri di depan kesembilan orang tadi, sorot matanya yang tajam memandang orang pertama di sebelah kiri terus berpindah hingga orang paling akhir di ujung kanan.

Sorot matanya bergerak sangat cepat, tapi dirasakan orang lain sedemikian lambannya, suara gertakan dan barisan golok di luar ternyata tidak mengurangi sedikit pun ketabahan orang ini, keruan diam-diam kesembilan tokoh itu terkesiap, mereka heran apakah benar orang ini memang tidak takut mati?

Setelah memandang kesembilan orang itu, agaknya si baju putih dapat meraba isi hati mereka, dengan dingin ia berkata, "Orang persilatan memang pantas gugur demi ilmu silat, biarpun aku mati di bawah golok juga sesuai dengan kewajibanku, mati pun takkan menyesal."

Orang yang duduk di tengah memandang kawan di ujung kiri dengan muka bersemu merah, katanya kemudian, "Hari ini selain kesembilan tokoh utama daerah Tiongciu sudah berkumpul di Lian-hun-ceng ini, segenap anak murid

kesembilan perguruan juga berada di sini. Dalam pertempuran ini, bilamana Anda dapat menang, maka tidak perlu lagi berkunjung kian kemari mencari lawan."

Orang ini bermuka tirus, mata cekung, jelas ilmu silatnya tinggi dan juga pandai menggunakan akal.

Si baju putih memandangnya sekejap dan berucap, "Ti-sing Pang Jing?"

"Betul, aku Pang Jing," sahut orang itu.

"Baik, ayo mulai!" kata si baju putih.

Pang Jing mendengus, "Hari ini kami bersembilan sama hendak belajar kenal denganmu, soal siapa yang akan turun tangan lebih dulu tidak ditentukan olehmu. Sebab pertarungan hari ini sangat besar sangkut pautnya, kami sudah menimbang dengan masak, bahwa berkumpulnya kami di sini bukan sengaja memberi kelonggaran padamu melainkan hendak menempurmu secara bergiliran untuk menguras tenagamu, dengan begitu kawan yang turun tangan terakhir akan banyak menghemat tenaga hingga mudah menundukkanmu. Meski tindakan ini rada kurang gemilang, namun tidak sampai melanggar semangat pertandingan, sebab kalau tidak, bilamana beribu penghuni Lian-hun-ceng ini mau main kerubut, maka ... hehe ...."

Sampai di sini ia hanya terkekeh beberapa kali dan tidak meneruskan.

"Apa salahnya jika kau coba dulu?" ujar si baju putih.

Tengah Pang Jing bicara, ada kawannya yang memberi kedipan mata agar dia tidak banyak bicara. Ada lagi yang kelihatan malu dan ada pula yang menunduk.

Mendadak lelaki berewok yang duduk di sebelah kanan berdiri dan berseru, "Apa yang dikatakan tadi menjadi tanggung jawab orang she Pang sendiri dan tidak ada hubungannya dengan aku Hui-thian-pa. Jika kau ingin bergebrak, biarlah Hui-thian-pa melayanimu dulu."

"Baik, silakan!" jawab si baju putih.

Meski Hui-thian-pa atau si macan tutul terbang ini berwatak kasar dan lugas, tapi menghadapi lawan tangguh, tindak tanduknya tidak terburu nafsu. Ia angkat kantong hijau, lalu melangkah keluar dengan perlahan.

Sementara itu sang surya sudah terbit dan sedang memancarkan cahayanya yang keemasan sehingga beratus golok kawanan lelaki di halaman itu sama gemerlapan.

"Simpan kembali senjata masing-masing," bentak Hui-thian-pa.

Seketika beberapa puluh orang menurunkan goloknya, tentunya mereka itu anak murid Hui-thian-pa. Selang sejenak, kedelapan tokoh lain juga sama memberi tanda sehingga kemilau golok di halaman tidak kelihatan lagi.

Si baju putih tahu perintah menyimpan kembali golok masing-masing itu adalah agar cahaya golok yang gemerlapan itu mungkin akan menyilaukan mata dan memengaruhi pertarungan mereka. Diam-diam ia menduga kesembilan tokoh ini pasti bukan jago sembarangan. Ia justru berharap kepandaian Hui-thian-pa ini cukup tinggi sehingga memenuhi syarat untuk menjadi lawannya.

Setelah memandang sekitarnya, Hui-thian-pa lantas menjura kepada orang yang duduk di tengah, lalu ia buang kantong hijau sehingga kelihatan senjata yang semula terbungkus oleh kantong itu, kiranya sepasang Liu-sing-lian-cu-tui, bola berantai panjang.

"Awas, bola berantai ini panjang seluruhnya hampir dua tombak, sudah beratus tokoh yang pernah kuhadapi, harap engkau waspada," ucap Hui-thian-pa.

Habis berucap, perawakannya yang tinggi besar itu mulai berputar, langkahnya ringan tanpa mengeluarkan suara, hanya rantai menyentuh tanah menerbitkan suara gemerencing.

Suara gemerencing itu makin lama makin keras, langkahnya juga bertambah cepat. Namun jaraknya dengan si baju putih tetap lebih dari setombak, umpama mendadak pedang si baju putih bergerak juga takkan mencapai sasarannya.

Betapa tinggi kepandaian si baju putih, biarpun dapat menang, tapi bila ingin sekali tusuk merobohkan lawan rasanya tidaklah semudah itu.

Sekonyong-konyong Hui-thian-pa membentak, bola berantai itu melayang ke depan membawa suara mendesing dan menghantam leher si baju putih.

Mendadak si baju putih angkat kedua tangannya ke belakang pundak kiri, kedua tangan memegang tangkai pedang, "sret", pedang terlolos sejengkal, semua orang mendengar suara "trang" sekali, pada detik berbahaya si baju putih telah membentur bola berantai Hui-thian-pa dengan tangkai pedang.

Padahal bola berantai itu merupakan senjata andalan Hui-thian-pa, tenaganya tidak lemah, sekali sendal ia tarik kembali bola sebelah kanan, menyusul bola sebelah kiri lantas menyambar lagi ke depan.

Begitulah kedua bola berantai sambar bergantian, pandangan semua orang sampai kabur, hanya terdengar deru angin disertai gemerencing nyaring, pedang si baju putih tetap belum dilolos dan 18 kali serangan bola berantai Hui-thian-pa sama tergetar mencelat oleh tangkai pedang.

Tiba-tiba dua larik cahaya perak menyambar, selarik sinar hijau menerobos di tengah cahaya perak, menyusul suara Hui-thian-pa menjerit dan roboh terkapar tanpa bernyawa lagi. Ternyata pedang si baju putih sudah terlolos, darah segar menitik dari ujung pedangnya.

Suasana sunyi senyap, tiada seorang pun berani bersuara. Kedelapan tokoh yang berada di tengah ruangan juga diam saja, apa yang terjadi ini seperti sudah terduga oleh mereka.

Serentak empat orang berlari masuk, mayat Hui-thian-pa dibungkus dengan kain kafan terus diangkut keluar sama cepatnya seperti datangnya tadi. Hanya dalam sekejap sama tokoh termasyhur serupa Hui-thian-pa sudah tamat untuk selamanya.

Dengan sorot mata tajam si baju putih memandang ujung pedangnya, darah sudah menitik habis, ucapnya, "Berikutnya!"

Orang yang duduk di sebelah Hui-thian-pa berdiri perlahan dan tampil ke depan.

Perawakan orang ini kurus kering, muka pucat kuning, namun sinar matanya tajam, ia pun membawa sebuah bungkusan besar yang lekak-lekuk, isinya seperti bukan senjata.

Si baju putih meliriknya sekejap, katanya, "Jit-jiu-tay-sing Kiau Hui?"

"Ya," jawab si kurus kering alias Jit-jiu-tay-sing atau si monyet bertangan tujuh. Perlahan ia menuju ke pojok ruangan, dibukanya bungkusan dan isinya ternyata beberapa kantong senjata rahasia Piau yang berwarna-warni.

Kiau Hui mengikat setiap kantong senjata itu pada pinggangnya dengan teliti, seperti tempat kantong senjata itu sudah melalui perhitungan yang cermat dan jitu agar caranya mengambil dapat terlaksana dengan cepat dan bebas tanpa rintangan. Ia berbaju putih sehingga kantong senjata yang berwarna-warni itu menjadi hiasan yang menarik.

Pedang si baju putih terjulur ke bawah dan memandang Kiau Hui dengan dingin, setiap gerak-gerik hadirin yang berada di ruangan tiada seorang pun lolos dari sorot mata dingin si baju putih.

Setelah Kiau Hui berbenah, lalu ia berdiri tegak di pojok sana, serunya, "Orang she Kiau terkenal karena senjata rahasia yang kugunakan, selain ini tidak mempunyai keahlian lain. Untuk ini apakah Anda sudi memberi petunjuk seperlunya?"

"Boleh, silakan!" sahut si baju putih.

"Dalam ketujuh kantongku ini terisi senjata rahasia yang tak terhitung jumlahnya, pernah sekaligus kubinasakan 36 bandit Hok-gu-san," tutur Kiau Hui.

"Sekarang Anda hanya melayaniku dengan pedang, mungkin takkan menguntungkan dirimu."

Ia bicara dengan suara datar, dalam keadaan bagaimana pun tidak memperlihatkan sesuatu emosi.

Si baju putih tidak bicara lagi, bahkan meliriknya saja tidak.

Padahal biasanya lawan yang berhadapan dengan Kiau Hui betapa pun tidak berani meremehkan dia dan kedua tangan Kiau Hui pasti akan diperhatikan, sebab dari tangan Kiau Hui itulah kemungkinan maut akan menyambar tiba. Tapi sekarang si baju putih ternyata tidak memedulikan tangannya, keruan ia heran dan mendongkol, tapi juga girang.

Dilihatnya semangat tempur si baju putih seakan-akan mengendur, pedang juga terjulur tak acuh ke depan, sama sekali tidak ada tanda siap tempur.

Pada saat itulah, mendadak kedua tangan Kiau Hui bergerak cepat, dua tangan seakan-akan berubah menjadi berpuluh tangan meraba kantong yang tergantung di pinggangnya. Inilah caranya menghamburkan senjata rahasia, kepandaian andalannya yang disegani, tidak ada orang tahu dari arah mana dan senjata rahasia apa yang akan dihamburkannya.

Apalagi jaraknya dengan si baju putih sekarang hampir dua tombak jauhnya, jika si baju putih ingin sekali tusuk membinasakan Kiau Hui jelas tidak mungkin.

Karena yakin dirinya sudah dalam posisi tak terkalahkan, barulah mendadak Kiau Hui membentak, berbareng berpuluh bintik sinar perak pun berhamburan.

Sekilas pandang hamburan berpuluh sinar perak ini seperti kacau tanpa perhitungan, tampaknya tidak ditujukan kepada si baju putih. Tapi setiap tokoh yang hadir di situ sama tahu bilamana berpuluh titik putih itu menyambar sampai di depan si baju putih, segera akan terjadi benturan dengan suara nyaring, ada

yang terpental balik dan ada yang berputar untuk menyerang belakang si baju putih. Itulah cara menimpuk senjata rahasia yang amat mahir, dan sangat keji.

Siapa tahu, pada detik berbahaya itulah sekonyong-konyong si baju putih melompat ke atas, pandangan semua orang sama silau oleh berkelebatannya cahaya hijau menyelinap di tengah berhamburnya bintik perak. Menyusul lantas terdengar jeritan Kiau Hui, kontan ia roboh terjungkal, sebatang pedang telah menembus batok kepalanya dan memanteknya di lantai.

Pada saat yang sama, berpuluh bintik senjata rahasia itu baru membentur dinding, si baju putih tampak menempel di langit-langit rumah serupa cecak. Rupanya pedang digunakannya sebagai senjata rahasia untuk membunuh Kiau Hui.

Sama sekali Kiau Hui tidak menyangka pedang lawan akan disambitkan, ia cuma memerhatikan serangan sendiri dan lupa menjaga diri. Ketika diketahui cahaya hijau menyambar tiba secepat kilat, ingin menghindar pun sudah terlambat.

Sejak dia mulai turun tangan sampai roboh binasa, semua itu hanya berlangsung dalam sekejap saja, tatkala senjata rahasia membentur dinding dan rontok ke lantai, si baju putih juga lantas berdiri di depan Kiau Hui, pedang sudah dilolosnya kembali seperti tidak pernah terlepas.

Darah menyembur dari tubuh Kiau Hui sehingga baju putih penuh bintik merah darah.

Sisa ketujuh tokoh yang lain sama diam saja, semuanya memandang kematian seperti pulang ke rumah, tidak ada yang gelisah atau cemas.

Kembali empat lelaki kekar berlari masuk dan membungkus mayat Kiau Hui dengan kain putih dan diusung keluar.

"Dan siapa berikutnya?!" ucap si baju putih perlahan.

Orang yang duduk di sebelah Kiau Hui perlahan berdiri dan berkata, "Ji Bun-ti mohon petunjuk!"

Orang ini bertulang pelipis tinggi, pipi kempot, kaki dan tangan panjang besar, tubuh jangkung.

Dengan tak acuh si baju putih memandangnya sekejap dan berucap, "Tay-lik-sinciu, baik silakan mulai!"

Ji Bun-ti alias Tay-lik-sin-ciu atau si elang sakti bertenaga raksasa, ia pun membuka bungkusan senjata yang dibawanya, serentak sebatang toya tiga ruas terpegang di tangan dan mengeluarkan suara gemerantang.

*****

Sementara itu dua ratusan li di luar kota Lokyang, sebuah kereta besar ditarik dua ekor kuda sedang dilarikan secepat terbang. Penumpang dalam kereta adalah Ong Poan-hiap dan Oh Put-jiu.

Si muka kuda Kin Ji meringkuk di pojok karena Hiat-to tidur tertutuk. Kusir kereta adalah seorang lelaki kekar berbaju compang-camping, agaknya seorang anggota Kay-pang.

Sama sekali ia tidak kasihan kepada kedua ekor kuda itu, cambuknya tiada hentinya menghujani punggung kuda sehingga babak belur.

Berulang Ong Poan-hiap melihat cuaca dan bergumam, "Wah, terlambat ... terlambat ...."

"Terlambat bagaimana?" tanya Oh Put-jiu.

"Hari ini kesembilan tokoh Tiongciu berjanji akan berhadapan dengan jago pedang berbaju putih itu, saat ini mungkin mereka telah mengalami nasib malang," ujar Ong Poan-hiap.

Oh Put-jiu menghela napas, katanya, "Manusia berusaha, Thian yang menentukan. Jika benar ...."

Mendadak Ong Poan-hiap menggebrak kabin kereta dan berteriak, "Untuk apa kau bicara lagi? Kalau bukan gara-gara keponakanmu itu dan buang-buang waktu, saat ini tentu sudah sampai di sana."

Oh Put-jiu tidak berani bicara lagi.

Ong Poan-hiap masih terus mengomel panjang-pendek, tidak cuma mulut saja mengomel, perutnya juga mencaci maki, jadi dua macam suara makian bercampur baur serupa dua orang yang sedang bertengkar. Oh Put-jiu merasa

geli dan juga mendongkol karena menjadi sasaran makian orang.

Sekonyong-konyong kuda meringkik, kereta pun berguncang hebat, tahu-tahu kereta selip ke tepi jalan.

"Ada apa?" bentak Ong Poan-hiap.

Sembari bicara ia terus mendorong pintu kereta dan begitu lenyap suaranya ia sudah berada di luar, sungguh cepat luar biasa reaksinya.

Ternyata salah seekor kuda sudah menggeletak binasa, kuda yang lain juga sempoyongan hendak roboh, mulut tampak berbusa.

"Ai, kuda ini pun tidak berguna lagi," ucap si kusir dengan menyesal.

Ong Poan-hiap tampak gelisah, katanya sambil mengentak kaki, "Sialan, pada saat genting justru selalu terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan. Cukat Tong bilang kau seorang kusir mahir, kenapa juga tidak becus begini?"

Si kusir menunduk, jawabnya, "Hamba sudah berusaha sekuat tenaga, namun kedua ekor kuda ini .... Ai, sebenarnya kedua ekor kuda ini pun kuda pilihan, tapi betapa hebat kuda ini juga tidak tahan dilarikan secara begini."

Ong Poan-hiap tidak sabar lagi, ia melompat maju, katanya, "Bila terlihat ada kereta lalu hendaknya segera dicegat, siapa pun penumpangnya harus diturunkan dulu. Habis itu gunakan kudanya dan segera menyusul ke Lian-hunceng, tahu?"

Belum lagi si kusir menjawab, segera Oh Put-jiu bertanya, "Cianpwe hendak pergi ke mana?"

"Kuberangkat dulu ke sana, akan kucari akal untuk mengulur waktu ...." belum lanjut ucapannya segera Ong Poan-hiap berlari pergi.

Anggota Kay-pang yang menjadi kusir, Ma Liang, menghela napas, ucapnya, "Tak tersangka Ong-cianpwe sedemikian keras wataknya. Ai, kenapa beliau tidak pikir tiada kuda di dunia ini yang bisa lebih cepat daripada kakinya ...."

Belum lenyap suaranya, tiba-tiba dari kejauhan ada suara derap lari kuda, bayangan kereta pun kelihatan, betapa cepat datangnya kereta ini kalau tidak disaksikan sendiri sungguh sukar dipercaya ....

*****

Di ruang pendopo Lian-hun-ceng sekarang, kecuali jago pedang si baju putih, kesembilan tokoh utama Tiongciu kini tersisa lima orang saja.

Si baju putih tidak ada tanda kelelahan, hanya sikapnya tambah tak acuh, setelah memandang hadirin sekejap, lalu bergumam. "Masih ada empat ...."

"Lima!" tukas Ti-sing-jiu Pang Jing.

"Kau tidak setimpal bergebrak denganku," jengek si baju putih tanpa meliriknya.

Air muka Pang Jing berubah, teriaknya gusar, "Kenapa ...."

"Yang ingin kutempur adalah jago silat dan bukan pengecut," jengek si baju putih.

Muka Pang Jing sebentar merah sebentar pucat, sejenak kemudian ia tergelak, katanya, "Biarpun engkau tidak sudi bergebrak denganku, kukira engkau pun tidak dapat bertindak sesukamu."

"Jika aku tidak mau turun tangan, siapa pun tidak dapat memaksaku," ucap si baju putih dengan ketus.

Ti-sing-jiu Pang Jing terbahak-bahak, katanya, "Setiba di sini ...."

"Setiba di sini lantas kau mau apa?" bentak si baju putih, mendadak ia bergerak cepat menyelinap ke tengah-tengah gerombolan orang banyak di halaman sana, di mana ia lewat segera terdengar jerit kaget orang banyak.

Hanya sekejap saja si baju putih sudah putar balik ke tengah ruangan sambil mengempit berpuluh batang golok, sekali pentang tangan, berpuluh golok itu dibuangnya ke lantai hingga menerbitkan suara gemerantang keras.

Dengan pandangan mengejek ia hanya melirik Pang Jing tanpa bicara. Sikapnya yang angkuh itu seakan-akan hendak bilang. "Biarpun kau pandang tempat ini serupa tembok baja dan dinding besi, bagiku justru tidak lebih serupa daerah tak bertuan."

Air muka Pang Jing kelihatan pucat, seperti ingin cari alasan untuk bicara lagi, namun si baju putih tidak menghiraukannya pula, jengeknya, "Masih ada empat orang, siapa berikutnya?"

Seorang lelaki bermata besar dan beralis tebal tampil ke muka. Di antara kesembilan tokoh Tiongciu, usia orang ini kelihatan paling muda, yaitu antara 26-27 tahun, tapi justru paling gagah perkasa, langkahnya kuat mantap. Begitu ia merobek bungkusan senjata, segera terlihat sepasang senjata aneh, serupa gaetan dan seperti gancu.

"Thi-un-hou?" ucap si baju putih sambil memandang senjata orang.

"Betul," jawab si lelaki alis tebal.

"Sudah lama kudengar Jit-song-cian (tombak gugur tujuh) Thi-un-hou merupakan tokoh kedelapan di antara ke-13 jenis senjata aneh zaman ini, kuyakin pasti dapat belajar kenal dengan jurus seranganmu yang hebat!"

Sisa keempat tokoh yang lain saling pandang sekejap, semua merasa kejut dan heran dari mana jago pedang dari lautan sana bisa sedemikian hafal terhadap seluk-beluk dunia persilatan di daratan Tionggoan.

"Maaf, senjataku ini meliputi empat jurus dan tiga daya guna, terpaksa tidak dapat kujelaskan satu per satu," kata Thi-un-hou sambil angkat senjata Jit-songcian.

"Tidak soal, silakan!" kata si baju putih.

Tapi sebelum pertarungan sengit terjadi, tiba-tiba terdengar bentakan orang di luar sana, "Jangan bergebrak dulu!"

Baru terdengar suaranya serentak seorang melayang tiba secepat terbang.

Jit-song-cian diturunkan kembali oleh Thi-un-hou. Ti-sing-jiu Pang Jing berempat juga melengak, tapi sekilas pandang legalah perasaan mereka, kata Pang Jing, "Syukur akhirnya Ong-heng datang juga."

Kiranya orang yang melayang tiba ini memang benar si tokoh aneh Ong Poanhiap adanya, kelihatan bajunya basah kuyup, dengan napas agak terengah sampai sekian lama ia tidak sempat bicara.

Ternyata jarak perjalanan dua ratus li jauhnya telah ditempuhnya dalam waktu dua jam, betapa mengejutkan Ginkangnya sungguh sukar dilukiskan. Dan dengan sendirinya tenaga yang terkuras juga sukar dibayangkan.

Si baju putih memandangnya sekejap dengan dingin, ucapnya kemudian.

"Memang Ginkang yang hebat!"

"Te ... terima kasih," kata Ong Poan-hiap dengan tersengal, sekilas pandang ia pun terkejut serunya, "He, Kiau-losam, Ji Bun-ti dan ...."

"Mereka sudah sama gugur," tutur Pang Jing dengan suara berat.

Ong Poan-hiap duduk dengan lemas dan termangu-mangu sekian lama.

Pek-ih-kiam-kek berdiri di depan Ong Poan-hiap, ucapnya sekata demi sekata, "Boleh silakan kau turun tangan."

"Kedatangan Ong-toako bukan untuk bertempur," teriak Thi-un-hou.

"Jika tidak untuk bertanding, buat apa datang kemari?" jengek si baju putih.

Serentak Ong Poan-hiap melompat bangun dan berteriak, "Kedatanganku hanya membawakan surat tantangan bagi jago pedang nomor satu di dunia, engkau diharap pergi ke ...."

"Jago pedang nomor satu?" jengek si baju putih. "Hm, biarpun benar jago pedang nomor satu juga harus tunggu giliran sampai pertandingan di sini selesai. Apalagi siapa yang percaya dia benar jago pedang nomor satu?"

"Setelah kau periksa surat tantangannya tentu tidak ragu lagi bergebrak dengan orang lain," tutur Ong Poan-hiap. "Malahan segera engkau akan percaya pengirim surat tantangan ini memang benar jago nomor satu."

"Di mana surat tantangan itu?" tanya si baju putih.

"Tunggu sebentar dan segera akan diantar kemari," jawab Ong Poan-hiap.

"Tunggu? Memangnya harus tunggu berapa lama?" tanya Pek-ih-kiam-kek.

"Paling lama dua jam lagi," ujar Ong Poan-hiap.

Si baju putih berpikir sejenak, katanya kemudian, "Baik, akan kutunggu!"

Segera ia duduk di lantai tanpa bergerak lagi. Agaknya ia dapat duduk di mana pun, setiap tempat dapat dijadikan tempat tinggal, ia bahkan dapat tidak makan minum berhari-hari, makanan busuk dan air kotor pun dapat ditelannya, sebab kecuali "ilmu silat", rasanya tiada urusan lain yang terpikir olehnya.

*****

Ketika itu Oh Put-jiu dan Ma Liang menyaksikan dari kejauhan kereta itu datang secepat terbang, mereka terkejut dan heran juga gembira.

"Cepat amat kuda ini," ucap Oh Put-jiu sambil mengusap keringat.

"Ya, sejak kecil aku sudah berkawan dengan kuda, sampai kini sudah 20 tahun dan belum pernah kulihat kuda secepat ini," ujar Ma Liang dengan gegetun.

Belum lenyap suaranya kereta itu sudah mendekat.

Serentak Oh Put-jiu melompat ke tengah jalan sambil membentak, "Berhenti!"

Disangkanya kereta yang dilarikan secepat itu pasti sukar berhenti mendadak, maka sebelumnya ia sudah siap bila perlu akan mencemplak ke atas kereta itu.

Siapa tahu kusir kereta itu lantas bersuit, kedua ekor kuda serentak berjingkrak dan berhenti seketika.

Terlihat kusir itu memakai topi lebar sehingga menutupi mata alisnya, meski habis berlari cepat, kedua ekor kuda itu tetap kelihatan gagah perkasa dan menyenangkan.

Ma Liang seorang ahli kuda dan juga pencinta kuda, begitu melihat kedua ekor kuda bagus ini, seketika ia sangat tertarik, ia coba mendekatinya dan meraba bulu surinya.

Oh Put-jiu memberi hormat, ucapnya, "Kebetulan Cayhe ada urusan penting, mohon pinjam pakai kudamu sebentar ...."

"Hehe, apa kau gila?" sahut si kusir dengan terkekeh, suaranya ketus, logatnya aneh.

Selagi Oh Put-jiu melenggong, terdengar Ma Liang sedang berseru kaget, "Hah, Han-hiat-po-ma (kuda mestika berkeringat merah darah)!"

Kiranya tangannya yang mengusap tubuh kuda itu berlepotan dengan air keringat kuda yang berwarna merah serupa darah. Keruan Oh Put-jiu tambah terkejut, katanya kemudian, "Sahabat di dalam kereta ...."

Tiba-tiba penumpang kereta terbahak-bahak dan berkata, "Hahaha, dicari-cari tidak ketemu, didapatkan tanpa susah payah ... haha, bagus, bagus sekali!" Cara bicara orang ini pun berlogat aneh dengan kalimat tidak teratur, tapi segera Oh Put-jiu berseru kaget, "Hah, Jian-kiam-kiu (bola seribu tahil emas)!"

Dan ketika penumpang kereta itu keluar, ternyata benar dia inilah si pendek buntak berbaju emas itu, Kam Sun adanya. Kam Sun tersenyum misterius sambil memandang sekitarnya, lalu berkata, "Bagus, cuma kau sendirian di sini, bukankah Kin-heng juga berada dalam kereta?"

Oh Put-jiu saling mengedip dengan Ma Liang, tanyanya kemudian, "Apakah kau susul kemari hendak mencari si muka kuda? Haha, bagus ...."

Berbareng sebelah tangan Oh Put-jiu lantas menghantam. Tak tersangka bentuk tubuh Kam Sun yang bundar buntak itu dapat bergerak dengan cepat dan lincah, sedikit mengegos dapatlah pukulan itu dihindarkan.

Gerak tubuhnya yang aneh itu serupa bola menggelinding di tanah.

Dalam pada itu Ma Liang juga telah memegang kaki si kusir dan diseret turun. "Kurang ajar ...." damprat si kusir dengan gusar. Tapi sebelum orang berdiri, sekali angkat dan disengkelit, kontan kusir itu dibanting lagi hingga setengah kelengar.

Kusir itu sebenarnya terhitung jago kerajaan Wan yang tangguh tapi menghadapi Ma Liang sama sekali ia tidak bisa berkutik.

Di sebelah sana Oh Put-jiu tampak berulang menghadapi serangan berbahaya. Kelihatan tubuh Kam Sun berguling kian kemari, Oh Put-jiu terkurung di tengah dan cuma diserang melulu tanpa bisa balas menyerang. Dalam keadaan begitu, kepandaian gulat Ma Liang tidak dapat memberi bantuan apa-apa, apalagi Kungfu Kam Sun memang sangat aneh, setiap kali ia menyerang, kena atau tidak, juga tidak peduli lawan balas menyerang atau tidak, selalu ia menggelinding pergi lagi. Kungfu seperti ini, memang sulit orang hendak melukainya, tapi begitu pula sama sulitnya dia hendak melukai lawan.

Sungguh Ma Liang tidak pernah melihat cara berkelahi pengecut semacam ini. Selagi bingung, tiba-tiba Oh Put-jiu berteriak, "Aha, bagus, Ong-toasiok datang!"

"Di mana?!" tanya Kam Sun sambil melompat bangun.

Belum lenyap suaranya, kontan Oh Put-jiu menjotos dada orang, menyusul kaki pun mendepak, kontan Kam Sun terpental dan terguling-guling.

Oh Put-jiu merasa tubuh orang yang terpukul olehnya terasa lunak sekali, sedikit pun sukar melukainya. Keruan ia terkejut dan heran.

Siapa tahu, meski tidak terluka, tapi begitu melompat bangun lagi segera Kam Sun kabur secepat terbang.

Ma Liang geleng-geleng kepala, geli dan gemas, ucapnya, "Dasar pengecut!"

Oh Put-jiu tersenyum, katanya, "Kungfu orang ini sebenarnya di atasku, jika tahu dia takut mati, tentu sejak tadi kukerjai dia. Akhirnya cuma kugertak dia, waktu ia kaget dan melompat bangun, dapatlah kujotos dan depak dia hingga kabur ketakutan."

Memandangi Oh Put-jiu yang berkepala besar itu dan selalu mengulum senyum, diam-diam ia kagum juga bahwa si kepala besar ini ternyata juga dapat menggunakan akal dan tetap berlaku tenang meski keadaan cukup mencemaskan.

Dengan tertawa Oh Put-jiu berkata pula, "Apa pun juga kita harus terima kasih atas bantuannya mengantarkan kedua ekor kuda pusaka ini. Ayo lekas memindahkan si muka kuda ke sini dan segera kita berangkat agar tidak membuat gelisah Ong-locianpwe."

Keduanya lantas bekerja cepat, tapi ketika mereka membuka pintu kereta semula, tanpa berjanji keduanya menjerit berbareng dan berdiri melongo seperti patung.

Ternyata si muka kuda Kin Ji yang semula meringkuk di dalam kereta kini telah menghilang ....

*****

Sang surya sudah semakin tinggi di tengah cakrawala, perkampungan Lian-hunceng yang luas itu masih dalam keadaan sunyi senyap.

Sinar sang surya pada akhir musim rontok tidak terlampau terik, namun beberapa ratus lelaki kekar yang berkumpul di halaman itu sama mandi keringat dan baju sudah basah kuyup.

Ong Poan-hiap, Thi-un-hou dan Pang Jing berenam sama duduk bersandar dinding, semuanya sama menatap ke arah pintu dan kelihatan gelisah sekali.

Akan tetapi si baju putih tetap duduk tanpa bergerak serupa patung, baju putih tampak kekuning-kuningan tersorot sinar matahari sehingga menambah bentuknya yang misterius.

"Sialan, kenapa belum lagi muncul?" gumam Ong Poan-hiap.

Mendadak si baju putih berdiri, dengusnya, "Dua jam sudah lalu!"

"Oo, sudah dua jam? ...." tukas Ong Poan-hiap dengan kikuk.

"Di mana surat tantangan jago pedang nomor satu itu?" tanya si baju putih.

"Kukira satu ... satu jam lagi pasti akan datang," jawab Poan-hiap dengan ragu.

"Sudah kunyatakan menunggu dua jam, maka cuma dua jam saja kutunggu," jengek si baju putih ketus. "Waktu hanya tersia-sia untuk menunggu sesuatu yang tidak jelas, hal ini tidak sesuai jiwa orang persilatan."

"Memangnya yang kau tahu cuma Pi-bu (bertanding silat), Lian-bu (berlatih silat), dan jiwa persilatan segala sehingga urusan lain tidak kau peduli lagi?"

"Apakah engkau tidak tahu di dunia ini selain ilmu silat masih ada urusan lain yang menyenangkan, masih banyak kesenangan orang hidup, apakah semua itu tidak ingin kau nikmati lagi?" tukas Pang Jing.

Perlahan si baju putih menjawab, "Jiwaku sudah kupersembahkan kepada ilmu silat dan urusan lain tidak perlu kupikirkan."

Suaranya perlahan, tapi tegas dan pasti tanpa ragu. Ong Poan-hiap menghela napas. "Kau sungguh seorang keranjingan ilmu silat, seorang gila silat ...."

Si baju putih tidak bicara lagi, perlahan ia angkat pedangnya dan berucap, "Silakan!"

Serentak Thi-un-hou berdiri, katanya, "Jika demikian, biar aku ...." Pada saat itulah mendadak terdengar suara ribut di luar, orang banyak sama berteriak, "Itu dia, sudah datang ... sudah datang ...."

Di tengah suara sorak ramai itu terseling pula derap kaki kuda.

Hanya sekejap saja dua ekor kuda lari datang lantas serentak berhenti, dua penunggang kuda lantas berlari masuk dengan cepat.

"Hah, Put-jiu, kau datang tepat ...." belum lanjut ucapan Ong Poan-hiap, mendadak air mukanya berubah dan bertanya, "Hei, di ... di mana Kin Ji itu?"

Dengan napas masih terengah Oh Put-jiu menjawab dengan menunduk, "Dia ... dia hilang ...."

Kejut dan gusar Ong Poan-hiap, teriaknya beringas, "Hilang katamu? Dalam keadaan Hiat-to tertutuk, mengapa dia bisa hilang?"

Malu dan juga menyesal Oh Put-jiu, secara ringkas ia ceritakan apa yang terjadi. Berulang Ong Poan-hiap mengentak kaki, teriaknya dengan gusar, "Wah, bagaimana ... bagaimana baiknya sekarang? .... Kau tahu betapa banyak tokoh Bu-lim akan gugur karena kejadian ini?!" Oh Put-jiu tidak berani menanggapi. Kening Ong Poan-hiap tampak penuh butiran keringat, dengan sedih ia berkata pula, "Siapa ... siapa yang menculik Kin Ji? Siapakah yang tega bertindak sekeji itu? ...."

Meski Thi-un-hou dan lain-lain sudah bertekad akan berkorban bagi ilmu silat, tapi harapan hidup yang baru timbul sekarang terputus lagi, betapa pun tertampil juga perasaan kecewanya.

Dengan tergagap Oh Put-jiu bertutur, "Jika tidak keliru dugaanku, orang yang menculik Kin Ji itu dalam waktu singkat akan muncul di sini."

"Mana mungkin, memangnya dia sengaja mengantar kematian ke sini?" ujar Ong Poan-hiap dengan gusar.

Semua orang juga merasakan dugaan Oh Put-jiu itu tidak masuk akal.

Hanya Pang Jing saja yang berucap dengan halus kepada Oh Put-jiu, "Coba ceritakan alasanmu?"

"Menurut pendapatku, jika tujuan orang itu bukan sengaja menyelamatkan si muka kuda Kin Ji, itu berarti tiada gunanya ia menculik Kin Ji kecuali hendak menggunakannya sebagai sandera." kata Oh Put-jiu. "Jika begitu halnya, yang hendak diperas adalah kita sendiri, maka untuk itu dalam waktu sesingkatnya dan pada detik yang gawat dia pasti akan muncul di sini, sebab terlambat sedikit saja berarti nilai Kin Ji akan merosot keras."

Semua orang terkesiap oleh cerita Put-jiu itu, mereka tidak mengira si kepala besar ini dapat mengemukakan dalil yang tak terpikir oleh orang lain ini. Mau tak mau Ong Poan-hiap manggut-manggut, "Ya, memang masuk di akal, mungkin ...."

Sekonyong-konyong pandangan semua orang terasa kabur, sesosok bayangan orang melayang masuk, orang ini berbaju cokelat, muka kaku tanpa emosi, ternyata Bok-long-kun adanya.

Tanpa pikir lagi segera Oh Put-jiu tahu yang menculik Kin Ji pastilah Bok-longkun, segera ia memberi tanda kepada Ong Poan-hiap, desisnya, "Apa yang kuterka mungkin tidak keliru."

Walaupun sebagian besar orang yang berada di situ tidak kenal Bok-long-kun, tapi melihat bentuknya segera mereka sama tahu dia pasti tokoh Jing-bok-kiong yang ditakuti itu.

Ong Poan-hiap lantas melangkah maju sambil membentak, "Di mana Kin Ji?!"

"Hehe, cerdik juga Anda," jawab Bok-long-kun dengan terkekeh. "Memang betul, si muka kuda itu memang berada padaku. Tapi bila kalian ingin melihat dia, kurasa tidak begitu mudah."

"Apa syaratmu, lekas katakan saja," desak Ong Poan-hiap.

"Hehe, Anda memang orang yang suka terus terang," ujar Bok-long-kun.

"Syaratku kiranya tidak sulit. Pertama, kalian harus berusaha mendapatkan Tayhong-ko bagiku dari tempat Ci-ih-hou."

Tanpa pikir Ong Poan-hiap menjawab, "Itu tidak sulit."

"Ah, janganlah terlalu cepat kau sanggupi, aku menjadi kurang percaya," ucap Bok-long-kun.

"Asalkan lebih dulu kau bawa Kin Ji ke sini urusan apakah pasti akan kupenuhi," teriak Ong Poan-hiap. "Tokoh Kangouw serupa kita selalu mengutamakan janji, sekali bicara tidak nanti dijilat kembali. Apalagi orang she Ong, masa kuingkar janji padamu?"

Bok-long-kun menatapnya sejenak, katanya kemudian, "Baik, setelah kau dapatkan Tay-hong-ko, tentu akan kusuruh orang untuk mengambilkan. Cuma syaratku tidak cuma satu itu, syarat lain juga bukan kutujukan padamu."

"Siapa yang kau tuju?" tanya Ong Poan-hiap.

Pandangan Bok-long-kun beralih ke arah Oh Put-jiu, dikeluarkannya sebuah botol kecil, katanya, "Obat dalam botol ini tanpa warna dan tidak berbau, dicampur ke dalam air minum atau makanan tidak nanti diketahui orang."

"Apakah maksudmu menyuruhku memberikan obat ini kepada Po-ji dan minta dia mencampurkannya ke dalam minuman atau makanan Cui Thian-ki?" tanya Oh Put-jiu.

"Hehe, memang betul begitulah ...." Bok-long-kun terkekeh-kekeh.

"Urusan ini pun mudah, biarpun pekerjaan berpuluh kali lebih sulit juga takkan kutolak," kata Oh Put-jiu. "Apalagi sudah lama kami merasa benci terhadap perempuan she Cui itu."

Ia merandek sejenak, lalu menyambung, "Meski diriku bukan tokoh ternama, paling tidak juga anak murid perguruan terhormat dan sama sekali takkan ingkar janji, untuk ini mohon Cianpwe jangan khawatir."

Ia terus terima botol kecil itu dan disimpan baik-baik, sikapnya kelihatan sukarela tanpa paksaan sedikit pun.

Bok-long-kun tampak sangat senang, ia menengadah dan tertawa, katanya, "Tindakanku biasanya tidak suka memepetkan orang hingga habis-habisan, bila kalian suka bicara secara blak-blakan pasti kulayani secara terbuka pula."

Belum lenyap suaranya ia terus melompat keluar, hanya sebentar saja ia sudah masuk lagi dengan membawa seorang, siapa lagi kalau bukan Kin Ji si muka kuda.

Rambut si muka kuda tampak semrawut, muka bengkak mata merah dan sedang melototi Bok-long-kun dengan penuh rasa benci, agaknya Bok-long-kun tidak lupa pada dendam kejadian yang lalu, sehingga telah menghajar si muka kuda.

"Blang", begitu masuk segera Bok-long-kun membanting si muka kuda ke lantai.

Ong Poan-hiap merasa lega melihat orang yang diharapkan dalam keadaan baik-baik, cepat ia membangunkannya dan bertanya, "Ini dia surat tantangannya!"

"Ini terhitung surat tantangan apa?" jengek si baju putih.

Biasanya dia tidak pernah memperlihatkan sesuatu perasaan kejut atau heran meski melihat sesuatu yang luar biasa, tapi sekarang tidak urung nadanya terdengar mengunjuk rasa heran.

Segera Ong Poan-hiap merobek baju Kin Ji sehingga kelihatan ketujuh bekas luka yang kini sudah kering, sekilas pandang bekas luka itu tidak ada sesuatu yang janggal, hanya saja bagian luka itu terletak pada Hiat-to penting di tubuh manusia, bilamana tusukan itu lebih dalam satu senti, tentu jiwa sasarannya sudah melayang.

Sebelum Ong Poan-hiap memberi penjelasan, pandangan si baju putih sudah tertarik oleh bekas luka itu, tanpa terasa ia melangkah perlahan mendekati Kin Ji.

Suasana sunyi senyap, setiap orang sama menanti reaksi si baju putih setelah memeriksa bekas luka itu, perasaan semua orang tertekan seakan-akan tertindih barang berat.

Kelihatan wajah si baju putih yang pucat itu bersemu kemerahan yang penuh semangat, sorot matanya yang selalu dingin itu juga menampilkan emosi yang terbakar.

Sekonyong-konyong tangan si baju putih bergerak cepat, sekaligus ia tepuk tujuh kali di tubuh Kin Ji, setiap tepukan itu tepat pada bagian bekas luka itu.

Kin Ji menjerit, pernapasan yang sesak sejak terluka itu mendadak terembus dan terasa lega, sekuatnya meronta lepas dari pegangan Ong Poan-hiap dan lari keluar, tapi baru beberapa langkah dekat pintu lantas jatuh tersungkur.

Si baju putih tidak memandangnya lagi, ia angkat pedangnya dengan ujung ke atas dan kelihatan agak gemetar, dengan suara agak gemetar juga ia berseru, "Haha, akhirnya ada juga seorang yang dapat menjadi tandinganku ...."

Mendadak ia berlutut dan menunduk, rambutnya yang panjang terurai, ia seperti lagi mengheningkan cipta, seolah-olah sedang berterima kasih kepada Thian yang telah memberi seorang lawan, seperti juga lagi memuji kebesaran Tuhan yang dapat menciptakan seorang kesatria yang dapat menjadi tandingannya.

Semua orang sama melongo dan entah bagaimana perasaannya. Oh Put-jiu terharu juga oleh adegan yang aneh ini.

Tiba-tiba terdengar orang menjerit kaget disertai ringkik kuda, tahu-tahu Boklong-kun melayang ke sana.

Kiranya pada saat semua orang meleng mendadak si muka kuda alias Kin Ji mencemplak ke atas kuda berkeringat darah yang ditunggangi Oh Put-jiu waktu datang tadi dan dilarikan secepat terbang.

Kin Ji memang orang kerajaan Wan, negeri yang terkenal menghasilkan kuda ternama, dengan sendirinya kepandaiannya naik kuda jarang ada bandingannya.

Begitu memburu keluar, serentak Bok-long-kun mencemplak kuda merah satunya lagi. Beberapa lelaki kekar segera menubruk maju hendak mencegah, tapi mereka tidak ada artinya bagi Bok-long-kun, hanya dengan sebelah tangan dan sebelah kaki saja, kontan beberapa orang itu dihantam dan didepak terjungkal.

"Jangan lupa apa yang telah kau sanggupi ...." sambil berseru kuda Bok-long-kun lantas membedal secepat terbang, hanya sebentar saja lantas menghilang.

"Sayang, sayang!" berulang Ma Liang mengentak kaki. "Kuda ... kuda keringat darah itu ...."

"Memang bukan milik kita, kenapa mesti dibuat sayang?" ujar Oh Put-jiu dengan tertawa.

Walaupun terjadi keributan, namun si baju putih tetap diam saja tanpa bergerak. Setelah sekian lama barulah ia berdiri, katanya, "Orang yang menggunakan pedang sebagai surat tantangan sekarang berada di mana?"

"Di pantai laut timur." tutur Ong Poan-hiap.

"Harap membawaku ke sana," kata si baju putih.

"Cayhe siap untuk berangkat," sahut Oh Put-jiu.

Si baju putih memandangnya sekejap dan berkata, "Baik, ayo berangkat!"

Ketika melangkah sampai di ambang pintu, mendadak ia membalik tubuh dan berkata, "Semangat ilmu silat laksana mendaki gunung, bilamana dapat mendaki puncak tertinggi, gunung lain tidak perlu didaki lagi."

Sampai di sini, ia terus melangkah pergi tanpa berpaling pula.

Kawanan lelaki kekar yang berkerumun di luar sama memberi jalan baginya, tertampak rambutnya berkibar tertiup angin, wajah tetap dingin, setiap langkahnya tetap sama jaraknya, tegap dan mantap, seakan-akan segala urusan di dunia ini tidak mungkin dapat mengubah pendiriannya yang kukuh dan jangan harap pula akan merintangi tujuannya mendaki puncak tertinggi ilmu silat.

Oh Put-jiu lantas mohon diri juga kepada semua orang dan menyusul pergi bersama si baju putih.

Segera Thi-un-hou berteriak, "Pertarungan di pantai laut ini pasti lain daripada yang lain, betapa pun aku tidak mau kehilangan kesempatan baik ini, sekarang juga ingin kuberangkat ke sana."

Pang Jing juga berseru, "Betul, setiap orang persilatan tentu tidak mau sia-siakan tontonan yang tidak pernah terjadi ini, untung di sini banyak tersedia kuda bagus, jika mau, hadirin silakan menggunakan kuda dan mari berangkat bersama."

"Selama hidupku tidak biasa naik kuda," sela Ong Poan-hiap dengan tersenyum.

"Maka biarlah kuberangkat lebih dulu, sepanjang jalan juga sekalian kusiarkan berita besar ini agar kawan Kangouw sama berangkat ke sana untuk menyaksikan pertarungan menarik ini, sekaligus juga dapat memberi bantuan semangat kepada Ci-ih-hou."

Selagi semua orang bermaksud mengantar keberangkatannya, siapa tahu sekali berkelebat bayangannya, tahu-tahu Ong Poan-hiap sudah pergi jauh.

*****

Jago pedang akan bertanding di pantai timur. Jago pedang nomor satu zaman ini, Ci-ih-hou, akan bertanding dengan tokoh misterius berbaju putih yang berulang membinasakan puluhan tokoh Kangouw, berita ini dalam waktu singkat telah tersiar ke mana-mana.

Tokoh Gak-keh-jiang Gak Hiong yang terkenal dengan tombaknya saat itu sedang minum arak, begitu menerima berita itu serentak ia taruh cangkir arak dan langsung berangkat ke pantai timur, sampai kawan yang asyik minum arak bersama dia juga tidak diberi tahu.

Hoyan Siu, si cambuk kilat, saat itu sibuk mencuci kudanya dengan telanjang badan, demi mendengar kabar itu, tanpa pamit pada keluarganya langsung ia memakai bajunya dan mencemplak ke atas kuda, terus berangkat.

Liong-hou-to Tu Cing, si golok naga dan harimau, ia habis makan dan sedang berjalan-jalan mencari angin, tiba-tiba dilihatnya Hoyan Siu membedal kudanya lewat secepat terbang, segera ia tanya kawan itu ada urusan apa, begitu tahu peristiwa yang akan terjadi di pantai timur itu, segera ia pun mencemplak dan membonceng kuda Hoyan Siu.

Di kota Buhoh, si tangan kilat Tau Ji-peng dan si golok terbang Nyo Se-gi, karena berebut pasar barang dagangan keduanya sama membawa anak muridnya dan bermaksud perang tanding. Tapi begitu mendapat kabar pertarungan yang akan berlangsung di pantai timur, serentak runtuh semangat tempur mereka, akhirnya kedua orang menumpang sebuah kereta dan berangkat bersama ke pantai timur, banjir darah yang hampir timbul antara kedua pihak seketika urung terjadi.

Ada orang lain lagi yang menerima berita melalui macam-macam cara, maka sebelum si baju putih bersama Oh Put-jiu melintasi wilayah Soatang, lebih dulu berita pertarungan itu sudah tersebar sampai di pantai.

Sepanjang jalan, di mana dan kapan saja, setiap orang persilatan, asalkan mendengar berita yang menggemparkan itu, yang asyik makan bisa segera meninggalkan santapannya, yang lagi berjudi bisa serentak bubar, semuanya ditinggalkan untuk segera berangkat menyaksikan pertarungan yang unik itu.

Gembong bajak laut Ci-si-liong Siu Thian-ce, si naga jenggot merah, sudah memperhitungkan kedatangan para pahlawan persilatan, maka beberapa hari ia perintahkan anak buahnya dengan kerja lembur memasang puluhan, bahkan ratusan rumah papan di sekitar pantai. Tamu yang datang terlambat sedikit tetap tidak mendapatkan pondokan. Tapi banyak orang yang biasa hidup mewah di rumah, demi menyaksikan pertarungan yang luar biasa ini mereka rela tidur di tempat terbuka beralaskan tikar.

Hanya dalam beberapa hari saja orang sama berjubel di pantai timur, kapal layar pancawarna yang berlabuh di tengah laut itu tampak gemerlapan di kejauhan.

Menjelang magrib, si baju putih dan Oh Put-jiu sudah menyeberangi sungai Lu.

Sepanjang jalan jago pedang misterius itu selalu memilih jalan kecil yang sepi, melalui hutan belukar dan tidak mau melalui jalan raya, jiwanya seakan-akan sudah dipersembahkan kepada ilmu silat, urusan lain tidak ada yang terpikir olehnya.

Jika sudah lelah dalam perjalanan, di mana pun mereka lantas menggeletak terus tidur, biarpun di tengah hutan belukar juga tidak peduli. Kalau lapar, dengan batu ia timpuk burung atau kelinci untuk dijadikan makanan secara mentah.

Hidup secara primitif serupa manusia purba ini, jika orang lain, sungguh satu hari saja tidak betah. Namun Oh Put-jiu memang aneh pembawaannya, ia dapat menyesuaikan diri dengan siapa pun.

Asalkan tempat yang dapat dibuat tidur tokoh berbaju putih itu, ia pun dapat ikut tidur dengan nyenyak. Bilamana si baju putih doyan, makanan mentah pun dapat diganyangnya.

Jika wajah si baju putih selalu dingin kaku, sebaliknya Oh Put-jiu selalu tersenyum simpul. Bila si baju putih jarang bicara, sama sekali Oh Put-jiu tidak ambil pusing.

Hari itu mereka sudah menyeberangi sungai Lu, keduanya melanjutkan perjalanan sejak pagi hingga magrib, meski si baju putih tetap tidak letih sedikit pun, namun Oh Put-jiu sudah kehabisan tenaga dan bertahan sekuatnya.

Walaupun langkahnya sudah berat, namun Put-jiu tetap tersenyum, sama sekali tidak mengeluh.

Tiba-tiba si baju putih memandangnya sekejap, lalu berhenti dan duduk.

Diam-diam Put-jiu menghela napas lega, cepat ia pun duduk dan berbaring, anggota badan terasa longgar seluruhnya, sukar diceritakan enaknya, biarpun disediakan hadiah sebesar gunung juga ia tidak mau melangkah lagi.

Mendadak terdengar si baju putih menengadah dan menarik napas panjang sambil bergumam, "Pek Sam-kong, sungguh lelaki sejati!"

Sudah sekian lama Oh Put-jiu menempuh perjalanan dengan dia, sekarang ucapan orang yang pertama adalah memuji gurunya, tentu saja ia terkejut dan juga senang, ia menjadi bingung dan entah apa yang dikatakan.

Selang sebentar lagi, kembali si baju putih berkata, "Kau pun boleh juga."

Kalimat singkat ini tercetus dari mulut tokoh semacam si baju putih, sungguh jauh lebih berharga daripada ucapan beribu orang lain.

"Terima ... terima kasih ...." ucap Oh Put-jiu dengan tergagap.

Si baju putih menengadah memandangi langit biru kelam dan tidak bicara lagi. Oh Put-jiu tidak berani mengganggunya.

Saat itu cuaca sudah mulai gelap, bumi raya ini terasa sunyi sepi, angin meniup sepoi-sepoi entah apa yang sedang dipikirkan tokoh misterius itu.

Memandangi profil orang yang serupa patung itu, timbul perasaan haru Oh Putjiu, pikirnya dengan gegetun, "Apakah selama hidupnya selalu dirundung kesepian seperti ini? Memangnya dia tidak mempunyai seorang pun sanak keluarga atau sahabat? Apa saja yang dikerjakannya selama hidup ini? Apa yang dipikirkannya? Ai, dia dapat mencapai puncaknya ilmu silat, siapa pula yang dapat ikut menikmati puncak keberhasilannya? Siapa pula dapat ikut mengenyam kejayaannya? Mungkin semua itu hanya semakin menambah kesepiannya saja ...."

Seketika Oh Put-jiu merasa kehidupan si baju putih yang serupa teka-teki itu sungguh penuh mengandung kepedihan dan kemalangan, biarpun ilmu silatnya setinggi langit, namun kehidupannya justru guram kelabu.

Tiba-tiba si baju putih berdendang perlahan membawakan lagu yang memilukan, membayangkan duka nestapa kaum kesatria yang nelangsa.

Oh Put-jiu menghela napas, katanya tiba-tiba, "Anda selalu menyendiri dan mencari kesunyian, padahal dengan kesanggupan Anda, kiranya tidak perlu berduka."

Si baju putih tidak menjawab, sampai sekian lama barulah ia berkata, "Inilah lagu kesukaan mendiang ayahku ...."

Dalam hatinya seperti banyak menyimpan kedukaan dan ingin dilampiaskannya, namun sampai di sini mendadak ia berhenti bicara.

Oh Put-jiu menghela napas, seperti dapat menemukan setitik jawaban dari asal usul orang yang seperti teka-teki itu, ia coba memancing lagi, "Ayah Anda pasti orang yang luar biasa, orang yang luar biasa pasti juga mempunyai pengalaman yang lain daripada yang lain."

Kembali si baju putih terdiam agak lama, katanya kemudian, "Mendiang ayahku memang memiliki bakat luar biasa, beliau mahir berbagai kepandaian, tapi lantaran itu juga perhatiannya terpencar sehingga ilmu silatnya sukar mencapai puncak. Karena itulah setiap pertempuran beliau selalu kalah dan hidup nelangsa, kenyang dihina orang dan akhirnya berlayar jauh ke lautan sana sudah berpuluh tahun ...."

Ia merasa bicara terlampau banyak, maka mendadak berhenti dengan wajah muram.

Namun uraian singkat itu sudah cukup membuat pikiran Oh Put-jiu berpikir jauh, "Ayah orang ini tentu menyesali nasib sendiri, maka menyuruh putra kesayangan mengesampingkan segala urusan dan hanya mencurahkan segenap perhatian untuk berlatih ilmu silat. Dari nyanyiannya yang penuh rasa duka dan penasaran tadi, tentu mati pun orang tua itu tidak tenteram. Karena sejak kecil orang berbaju putih ini sudah dicekoki rasa penasaran, dengan sendirinya ia pun benci kepada sesamanya dan ingin mempersembahkan jiwa raganya demi ilmu silat."

Dari uraian ringkas si baju putih dapatlah ia menarik kesimpulan asal usul orang, tapi hal ini entah membuatnya senang atau gegetun.

Tiba-tiba si baju putih berkata pula, "Tentang asal usulku, orang lain tidak berhak mengetahui, biarpun sudah kuceritakan sekadarnya, hendaknya semuanya kau lupakan saja."

Ucapannya ketus dan dingin, sedikit pun tidak ada perasaan halus lagi.

Nyata, meski pintu kehidupannya yang kesepian selama ini baru terbuka sedikit saking tidak tahan, tapi baru saja tersingkap setitik segera dirapatkannya kembali.

*****

Pada saat itu di atas kapal layar pancawarna di tengah anjungan yang mewah, Siaukongcu atau si putri cilik lagi asyik merangkai bunga.

Lengan bajunya tersingkap tinggi sehingga kelihatan lengannya yang putih bersih

serupa salju. Tangannya yang putih kecil itu memegang setangkai bunga kamelia yang mekar dengan indahnya, namun pot bunga masih kosong. Pui Po-ji duduk di samping dan sedang memandang si nona cilik itu dengan kesima, ingin tahu cara bagaimana anak dara itu merangkai bunga.

Cui Thian-ki duduk di depan mereka dengan memegang sejilid kitab setengah tergulung, entah sedang membaca atau lagi melamun.

Mendadak Siaukongcu membuang bunga yang dipegangnya dan mengomel, "Ah, tidak mau lagi."

"Hei kenapa?" tanya Po-ji dengan terbelalak.

"Ditonton olehmu, caraku merangkai selalu jelek," ucap Siaukongcu.

Cui-Thian-ki mengulet kemalasan, katanya tiba-tiba dengan tertawa genit, "Eh suami cilik, lekas kemari menemaniku membaca daripada duduk di sana membuat jemu orang." Sembari bicara ia menjulur tangan dan menarik Po-ji ke sana, katanya pula

dengan tertawa, "Sayang, duduklah di sini. Ehm, bagus!"

Kedua orang jadi duduk berjajar dan mulai membaca. Siaukongcu memandang mereka, mendadak ia berdiri dan mondar-mandir beberapa kali, lalu duduk pula, gunting dipegangnya dan bunga tadi dipotong-potong hingga hancur.

Cui Thian-ki meliriknya sekejap, ucapnya dengan terkikik, "Hei, suami cilik sudah kusingkirkan ke sini, masa caramu merangkai bunga belum baik juga?"

Sambil memainkan gunting Siaukongcu menjawab dengan mengentak kaki, "Ai, sebal, dan kesal!"

Cui Thian-ki tertawa geli, katanya sambil menepuk bahu Po-ji, "Coba lihat, kau duduk di sana membuat orang sebal, setelah kau duduk di sini orang pun kau bikin kesal. Wah, lantas bagaimana baiknya?"

"Dia kukira paling baik mati saja," ucap Siaukongcu dengan menggigit bibir.

"Aduh, kan aku bisa jadi janda," seru Cui Thian-ki dengan tertawa. "O, suamiku cilik, janganlah kau mati."

"Aku takkan mati, kalian jangan khawatir," ucap Po-ji.

Mendadak Siaukongcu mendekati anak muda itu, ia pegang lengan Po-ji dan digigitnya sekali dengan gemas. Keruan Po-ji menjerit kesakitan dan jatuh terperosot dari tempat duduknya. Tiba-tiba terdengar suara gemerencing nyaring berkumandang dari sana, Ling-ji tampak menolak pintu dan melongok ke dalam, ucapnya dengan tertawa, "Wah, ketiga anak ini sungguh nakal, bisa terbalik kapal ini karena tingkah polah kalian."

Cui Thian-ki tertawa dan mengomel, "Budak setan, coba katakan lagi, anak mana yang kau maksudkan?"

"Memangnya apa jika kau bukan anak?" ujar Ling-ji dengan terkikik.

"Apaan? Coba katakan lagi? ...." sembari mengomel Thian-ki memburu ke sana, segera ia hendak mengitik-ngitik ketiak Ling-ji.

Sebelum tangan orang menyentuh tubuhnya Ling-ji sudah tertawa terkial-kial dan setengah berjongkok, ucapnya, "Oo, Cici yang baik, ampunilah aku. Engkau bukan ... bukan anak kecil, engkau ne ... nenek .... Oo, Po-ji, lekas ... tolong ... bini nenekmu nakal ...."

Begitulah karena senda guraunya, terlihat Cu-ji juga menolak pintu dan melangkah masuk, melihat perbuatan mereka, ia pun geli, katanya, "Sudahlah, jangan ribut lagi. Semua orang sudah naik ke sana, hanya kalian yang sedang ditunggu."

"Siapa yang menunggu kami?" tanya Cui Thian-ki sambil melepaskan Ling-ji.

Dengan terengah Ling-ji mengomel, "Coba, sampai lupa pada urusan penting, Houya menyuruh segenap penumpang kapal ini sama naik ke ruangan atas, ada pesan yang hendak dibicarakannya."

*****

Di ruangan besar tercium bau harum semerbak. Lebih 20 anak gadis berbaju sutera sudah berkumpul di situ, meski lagi bicara perlahan dan bergurau, namun jelas sama ingin tahu entah pesan apa yang hendak diberikan oleh Houya atau junjungan mereka.

Ketika rombongan Po-ji masuk ruangan besar itu, ia pun ketularan oleh suasana yang kelihatan prihatin itu, tanpa terasa lenyap pula senyum yang menghiasi wajahnya.

Ci-ih-hou belum lagi muncul, Po-ji memandang jauh ke luar sana bersandar jendela, dilihatnya cahaya sang surya terang benderang, ombak bergemuruh di lautan, di daratan sana bayangan orang tampak berjubel-jubel entah berapa banyaknya, semuanya sedang memandang ke arah kapal layar ini.

Di tengah gemuruh ombak dan deru angin terkadang terseling pula suara tertawa orang dari kejauhan, agaknya orang-orang yang menunggu di daratan itu sedang berkelakar karena sudah kesal menunggu.

Tiba-tiba terdengar orang berdehem perlahan, suasana dalam anjungan seketika sunyi senyap. Waktu Po-ji berpaling, dilihatnya Ci-ih-hou sudah duduk di kursi besar di depan pintu angin.

Sinar mata Ci-ih-hou yang tajam menyapu pandang sekejap segenap hadirin. Poji merasakan sinar mata itu mengandung semacam wibawa yang sukar dijelaskan, tanpa terasa ia menunduk.

Meski Ci-ih-hou belum bersuara, namun dalam hati setiap orang lamat-lamat sudah merasakan semacam firasat yang tidak baik, suasana tambah hening.

Tiba-tiba berkumandang suara langkah orang banyak, masuklah puluhan orang perempuan kekar berbaju biru sama mengusung sebuah peti kayu cendana, pada tepian setiap peti itu dilingkari lapis tembaga, mereka berbaris khidmat dan tidak berani bersuara.

"Taruh dan buka," kata Ci-ih-hou dengan suara berat.

Segera orang-orang perempuan itu menaruh peti masing-masing ke lantai dan membuka tutup peti. Serentak terlihat cahaya kemilau batu permata. Ternyata isi berpuluh peti itu adalah harta mestika yang tak terhitung jumlahnya.

Perlahan Ci-ih-hou berkata pula, "Harta benda milik keluargaku hampir seluruhnya berada di sini, kecuali Ling-ji dan Cu-ji, setiap orang mendapat bagian satu peti ...."

Kawanan gadis jelita sama terperanjat, seru mereka dengan suara gemetar, "Wah, kenapa ... kenapa begini? Apakah ... apakah hamba berbuat sesuatu kesalahan sehingga Houya hendak ... hendak memecat kami ...."

Ci-ih-hou tertawa, katanya, "Sudah sekian tahun kalian menghamba padaku, bilamana mengalami sesuatu esok dan mati, kukhawatir kalian akan hidup kapiran tak terurus. Maka sengaja kuberikan bagian masing-masing satu peti harta benda ini, kiranya cukup untuk hidup senang selama hidup kalian. Semoga kalian akan mendapatkan jodoh yang cocok dan tidak sia-sia berkumpul sekian

tahun denganku ...."

Belum habis ucapannya, banyak di antara anak dara itu mencucurkan air mata, banyak yang berseru, "Houya tampak sehat dan kuat, tanpa sebab kenapa bicara seperti ini?"

"Musuh tangguh berada di depan mata, pertarunganku ini sukar diramalkan akan mati atau hidup," tutur Ci-ih-hou. "Jika sebelumnya tidak khawatir masa depan kalian, maka hatiku dapat tenteram menghadapi pertarungan maut nanti."

Meski ia bicara dengan tenang dan tertawa, di balik tertawa itu terasa juga agak muram.

Kawanan gadis itu sambil berlutut, ingin bicara tapi tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Tiba-tiba Siaukongcu menangis dan berteriak, "Ayah, jika engkau tidak yakin akan menang, buat apa mesti bertempur menghadapi dia?"

Mendadak Ci-ih-hou menarik muka, dampratnya, "Kau anak kecil tahu apa? Meski dalam pertarungan ini aku akan mati juga tidak dapat kuelakkan dan tiada pilihan lain. Apalagi kemungkinan kalah atau menang dalam pertarungan ini juga belum pasti, kesempatan di antara separuh-separuh .... Kau adalah anak kesayanganku, hendaknya ingat dengan baik bahwa 'ada yang tidak boleh kau lakukan dan ada juga yang perlu kau lakukan'. Inilah petuah yang menjadi cermin kaum persilatan kita."

Siaukongcu tidak berani bicara lagi, namun tangisnya juga tiada berhenti.

"Ada yang tidak boleh dilakukan dan ada yang harus dilakukan", tiba-tiba darah dalam rongga dada Po-ji bergolak oleh ketegasan pesan ini.

Waktu ia berpaling ke sana, semua orang sama mencucurkan air mata, ada yang menggerung, bahkan Cui Thian-ki juga berlinang air mata dan tidak sampai hati menyaksikan adegan yang mengharukan ini.

Ci-ih-hou menengadah, memandang awan di luar jendela, setelah termenung sejenak, kemudian berkata, "Ling-ji, Cu-ji, seharusnya akan kukembalikan juga kebebasan kalian, cuma ...."

Ia menghela napas perlahan, lalu menyambung dengan menunjuk Siaukongcu, "Cuma dia sesungguhnya masih terlampau kecil dan perlu orang menjaganya. Kalian berdua sudah lama mendampingi dia, sekarang kuserahkan dia kepada kalian bersama kapal layar ini dan semua sisa barang yang berada di sini .... Ai, sungguh aku tidak tega membuat usia muda kalian tersia-sia di lautan ini, namun ...."

Air mata memenuhi muka Ling-ji dan Cu-ji, mereka berlutut dan meratap, "Oo, jangan Houya bicara demikian, sekalipun Houya menyuruh kami mati juga kami sukarela."

Kawanan gadis yang lain juga sama menangis dan meratap, "Kami rela ikut mati bersama Enci Ling-ji dan Cu-ji daripada meninggalkan kapal ini."

Dengan suara berat Ci-ih-hou berkata pula, "Ada sementara urusan bilamana sudah berhadapan sukar dipaksakan, apalagi usia kalian masih muda belia, mana boleh sembarangan bicara tentang mati?"

Meski air mukanya kelihatan prihatin, namun sikapnya tetap sangat tenang.

Po-ji termangu-mangu memandangi kawanan gadis yang menangis sedih itu, memandang Ci-ih-hou yang selalu bersikap tenang dan sabar itu, tanpa terasa timbul semacam perasaan yang aneh, pikirnya, "Seorang bila menghadapi saat antara mati dan hidup dan tetap dapat bersikap tenang serupa Ci-ih-hou ini, maka dia kalau bukan manusia yang memang berdarah dingin, tentu dia seorang

pahlawan sejati yang berani berbuat dan berani bertanggung jawab menghadapi segala apa pun."

Pada saat itulah, sayup-sayup terdengar suara ribut di daratan sana, terdengar orang lagi berteriak, "Itu dia sudah datang ... sudah datang ...."

Tanpa terasa hati Po-ji juga tergetar, ia coba berpaling dan melongok ke luar jendela, terlihatlah sebuah sampan sedang meluncur kemari dari tepi daratan sana. Dua orang lelaki bertelanjang dada sedang mendayung dengan kuat. Seorang lelaki kekar lain berbaju hitam ringkas berdiri tegap di haluan sampan.

Dari jarak belasan tombak, orang itu lantas berteriak, "Lapor Houya, Pek-ihkiam-kek itu sudah datang!"

Tentu saja segenap penumpang kapal layar pancawarna sama terkesiap, melulu nama "Pek-ih-kiam-kek" atau si jago pedang berbaju putih yang singkat itu entah sudah mengandung betapa besar daya tarik yang cukup mengguncangkan suasana dan membuat orang terkesiap.

Jilid 6. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Wajah Ci-ih-hou yang pucat dan tenang itu pun timbul semacam cahaya yang aneh dan menambah daya tariknya yang misterius.

Jari tangan Pui Po-ji pun gemetar, meski ia tidak suka ilmu silat, tapi melihat pertempuran yang mahadahsyat segera akan berlangsung, betapa pun ia ikut tegang dan penuh semangat, dirasakan tangan Cui Thian-ki yang memegangnya itu juga berubah dingin.

Ketegangan para kesatria yang berkerumun di tepi pantai sana juga jauh di atas Po-ji dan Thian-ki, sebab mereka sudah melihat si baju putih, tokoh misterius pujaan dunia Kangouw kini pun sudah mendekat pantai bersama Oh Put-jiu.

Sorakan gemuruh yang memekak telinga bahkan menenggelamkan suara gemuruh ombak yang mendebur.

Namun sorak gemuruh itu tidak membuat air muka si baju putih yang dingin itu berubah sedikit pun, ia tatap panji pancawarna kapal layar dengan termenung.

Sementara itu Siu Thian-ce membawa keempat pembantu utamanya telah memburu tiba untuk menyambut tamu agung. Tapi salah seorang pembantunya yang berewok seketika gemetar dengan wajah pucat demi melihat tokoh misterius berbaju putih ini serupa melihat setan saja, kaki pun tidak mau turut perintah lagi, sukar bergerak dan bergemetar.

Dengan sendirinya si baju putih juga melihatnya, sinar matanya berkelebat dan mendadak berubah arah, langsung ia mendekati Siu Thian-ce berlima.

Tentu saja si lelaki berewok kebat-kebit, ngeri juga Siu Thian-ce dan ketiga orang lain melihat sorot mata orang yang tajam.

"Eng ... engkau belum lagi mati ...." si lelaki berewok itu berucap dengan gemetar.

Si baju putih mencibir, sorot matanya yang tajam dingin itu menampilkan rasa menghina, ucapnya sekata demi sekata, "Kau tidak setimpal membuat kuturun tangan padamu."

Ia putar haluan dan langsung menuju ke pantai.

Lelaki berewok itu menghela napas lega, mendadak ia jatuh duduk terkulai dengan mandi keringat.

"Sesungguhnya apa yang terjadi?" dengan heran Siu Thian-ce coba tanya pembantunya itu.

"Orang ini menumpang kapal dan datang dari kepulauan Tong-eng (kepulauan Okinawa)," tutur lelaki berewok. "Di teluk Losan, anak buah hamba menemukan barang muatan pada kapalnya tidaklah ringan, seperti sebangsa emas perak. Maka dikirim penyelam untuk membobol kapalnya sehingga tenggelam. Tampaknya orang ini pun ikut karam ke dalam laut, jarak tempat kapal karam

dengan pantai lebih satu li jauhnya, semua orang yakin dia pasti akan terkubur di dasar laut, siapa tahu ... siapa tahu dia ternyata tidak mati."

Ia tidak tahu Iwekang si baju putih ini sudah mencapai tingkatan paling sempurna, sehingga sanggup tahan napas sekian lamanya, sesudah ikut tenggelam ke dasar laut, dengan ilmu membuat berat badan sendiri, ia berjalan dari dasar laut menuju ke pantai, karena munculnya si baju putih dari dasar laut tidak sempat dilihatnya, maka ia sangka orang sudah terkubur di dasar laut, sama sekali tak terpikir olehnya tokoh baju putih yang sedang ditunggu orang banyak inilah tokoh misterius itu.

"Ada berapa penumpang di kapalnya itu?" tanya Siu Thian-ce dengan suara tertahan.

"Cuma ... cuma satu orang," tutur lelaki berewok itu. "Melihat dia mengarungi lautan luas hanya sendirian saja, segera hamba tahu dia pasti orang yang luar biasa. Malahan lebih dari itu, hamba hanya pernah dilihatnya sekilas saja, ternyata sampai sekarang dia masih ingat padaku. Siapa pun tidak menyangka bahwa barang yang termuat pada kapalnya itu ternyata bukan barang mestika segala melainkan sebangsa besi yang beratus ton beratnya untuk menahan kapalnya agar tidak terbalik oleh damparan ombak samudra."

"Dan sekarang dia justru mengampunimu," ucap Siu Thian-ce dengan gusar.

"Ya, dia tidak menuntut balas kepada hamba, sungguh di luar dugaan ...."

"Dia dapat mengampunimu, akulah yang tidak dapat memberi ampun padamu," bentak Siu Thian-ce dengan gusar. "Kau ternyata tidak mengindahkan moral dan etika pelayaran laut dan merampok terhadap penumpang yang sendirian, apa dosamu tentu kau tahu sendiri?"

Pucat muka si berewok, ucapnya gemetar, "Ya, hamba tahu ... tahu dosa."

"Jika tahu, harus kau bereskan diri sendiri," kata Siu Thian-ce dengan bengis. Habis berkata, tanpa memandangnya lagi ia melangkah ke sana, menyusul si baju putih.

Si berewok menengadah dan menghela napas panjang, ratapnya, "O, nasib ...."

Mendadak ia berlutut kepada ketiga lelaki kawannya, ucapnya pedih, "Mohon ketiga saudara sudi mengingat hubungan baik yang lalu dan suka menjaga anak istriku ...."

Dengan wajah sedih ketiga orang itu menjawab, "Jangan khawatir ...."

Hanya sekian saja mereka sanggup bicara, mereka lantas berpaling, seperti tidak tega memandangnya lagi.

Si berewok menyembah beberapa kali dan mengucapkan terima kasih. Segera ia melolos sebilah belati dari sepatu kulitnya yang berlaras panjang itu, langsung ia menikam dada sendiri. Terdengar suara raungan dengan darah segera muncrat, tubuhnya roboh terkulai perlahan dan putus nyawanya.

Ketiga lelaki itu mengangkat mayat kawannya dan menyusul juga ke arah si baju putih.

Ketika mendengar raungan tadi, si baju putih sempat menoleh sekejap.

Siu Thian-ce sudah menyusul sampai di belakangnya, katanya sambil menghormat, "Bawahanku bertindak kurang pantas, namun hukum laut tidak boleh dilanggar ...."

Si baju putih seperti tahu si berewok pasti akan membunuh diri dan tahu orang akan membawa mayat kepadanya, tanpa menoleh ia membentak, "Bawa pergi!" Ketiga lelaki tadi mengiakan.

Lalu Siu Thian-ce berkata pula, "Meski orang yang bersalah sudah mendapatkan hukuman setimpal, namun orang she Siu masih wajib mengganti rugi kapal Anda. Setengah jam lagi akan datang sebuah kapal layar baru."

Hanya sekejap si baju putih menatapnya dan tidak bicara lagi, dengan langkah lebar ia menuju ke tepi pantai. Angin agak mereda, ombak masih mendebur meratakan bekas kaki yang memenuhi pesisir.

Terdengar suara halus berkumandang dari kapal layar jauh di laut sana, "Ilmu pedang Anda tidak ada bandingannya dan pantas disebut pendekar pedang tanpa bandingan, apakah Anda sudi bertempur denganku di tengah laut?!"

Suaranya halus lembut, namun sekata demi sekata terdengar dengan jelas serupa orang yang bicara di tepi telinga.

Semua orang sama melengak dan mengakui betapa kuat Iwekang orang.

Namun si baju putih tetap bersikap dingin, ucapnya perlahan, "Cara bagaimana harus bertempur di tengah laut?"

Suaranya juga perlahan, datar dan berkumandang jauh ke laut sana menembus debur ombak dan deru angin.

Cui Thian-ki, Pui Po-ji dan para gadis jelita yang berada di atas kapal juga sama terkejut dan diam-diam berkhawatir bagi Ci-ih-hou.

"Apakah Anda ingin penjelasan?" terdengar Ci-ih-hou menanggapi.

"Kukira tidak perlu lagi," jawab si baju putih setelah termenung sejenak.

"Kita menumpang kapal bersama dan bertemu di tengah laut, setuju," kata Ci-ihhou pula.

"Baik," jawab si baju putih. Meski jarak kedua orang sekian jauhnya, namun cara bicara mereka serupa berhadapan dekat, meski keduanya tahu pertarungan ini akan menentukan mati-hidup masing-masing, tapi cara bicara mereka tetap tenang saja.

Akan tetapi setiap orang yang berada di tepi pantai, di atas kapal, dan mendengar percakapan mereka itu, semua merasa tegang sekali.

Ketika Siu Thian-ce memberi tanda, segera sebuah sampan meluncur tiba. Si baju putih memandang Oh Put-jiu sekejap, katanya, "Kau mau menjadi tukang sampan bagiku?"

"Tentu saja!" jawab Oh Put-jiu tanpa ragu.

Segera Oh Put-jiu menyuruh tukang sampan melompat turun, ia sendiri menggantikannya memegang pendayung. Si baju putih melompat ke haluan sampan dan sampan pun meluncur dengan cepat ke depan.

Di sana Ci-ih-hou juga sudah keluar dan anjungan kapalnya, dengan tersenyum ia berkata kepada orang yang sedang melapor dengan sampan tadi, "Pertarungan ini sangat berbahaya, apakah kau suka menjadi tukang perahuku?"

Tentu saja orang itu merasa mendapat kehormatan besar, dengan semangat ia menjawab, "Hamba ... hamba merasa sangat bangga ...." suaranya tersendat dan tidak sanggup meneruskan lagi.

Ci-ih-hou menoleh dan memandang Siaukongcu sekejap seperti ingin bicara, tapi tiada sepatah pun yang terucap dan segera ia melompat ke atas perahu.

Semua penumpang kapal layar pancawarna sama berlinang air mata, ingin bicara tapi sukar bersuara. Siaukongcu menggigit bibir, air mata hampir menitik, meski ia gigit bibir dan bertahan sekuatnya hingga bibir pun pecah, tidak urung air mata pun menetes akhirnya dengan derasnya.

Beratus, bahkan beribu pasang mata sama memandang ke tengah laut sana. Sang surya sudah hampir terbenam, cahaya senja gemilang menyinari permukaan laut dan memantulkan cahaya berwarna-warni. Kedua sampan semakin mendekat.

Ci-ih-hou mengangkat pedangnya dengan kedua tangan dan berucap, "Silakan!"

Si baju putih juga angkat pedang dan menjawab, "Silakan!"

Serentak terdengar suara pekikan serupa naga meringkik, di bawah cahaya senja mendadak bertambah dua jalur cahaya pedang yang menyilaukan mata.

Oh Put-jiu masih terus mendayung, tangan pun penuh keringat karena tegangnya. Ia coba memandang ke depan, terlihat si baju putih yang berada di haluan perahu berdiri tegak lurus dengan ujung pedang lurus miring ke depan.

Ci-ih-hou di haluan perahu depan sana juga berdiri tenang dengan pedang terhunus, meski sampan bergoyang-goyang, namun ujung pedangnya tampak mantap.

Jarak kedua perahu semakin dekat, sinar mata kedua orang sama menatap tajam pihak lawan tanpa menghiraukan lain lagi. Muka Ci-ih-hou tambah pucat, sorot mata si baju putih yang penuh semangat semakin membara.

Sekonyong-konyong kedua sampan lewat bersimpang, pedang Ci-ih-hou menebas lurus ke depan.

Jurus serangan ini tiada sesuatu yang istimewa, hanya ujung pedang kelihatan gemerdep, dalam sekejap saja bergetar berpuluh kali sehingga berpuluh Hiat-to di tubuh si baju putih terkurung di bawah sinar pedangnya. Akan tetapi gerak pedang tidak diteruskan, jelas gerak serangan, ternyata sesungguhnya adalah jurus bertahan yang paling menakjubkan di dunia ini.

Pergelangan tangan si baju putih berputar, pedang pun sekaligus berubah puluhan tempat, akan tetapi juga tidak berani melancarkan serangan di bawah jurus pedang Ci-ih-hou itu.

Tiba-tiba ombak mendampar, kedua sampan terpencar.

Setelah bergebrak satu jurus itu, Ci-ih-hou dan si baju putih kembali pada sikap tenang semula. Ketegangan para penonton pun ikut terempas lega.

Oh Put-jiu paling beruntung, karena dapat menyaksikan pertarungan itu dari dekat. Ia merasa jurus serangan Ci-ih-hou itu meliputi intisari berbagai Kungfu perguruan ternama, semuanya merupakan jurus serangan yang paling ampuh. Bahwa dalam satu jurus saja Ci-ih-hou dapat mengembangkan inti berbagai jurus serangan lihai itu, sungguh sukar dimengerti cara bagaimana dia

menciptakannya.

Ketika ombak mendampar lagi, kedua perahu berpapasan pula. Sekali ini pedang Ci-ih-hou terangkat tinggi tanpa bergerak. Gaya ini jelas gaya bertahan belaka. Tapi sikap si baju putih lebih prihatin daripada tadi, ia pun angkat pedang ke atas, ia tahu gaya lawan yang kelihatan bertahan itu sebenarnya mengandung gaya serang susulan yang sukar diraba.

Angin menderu, ombak mendebur, sampan bergoyang, namun si baju putih sedikit pun tidak bergerak. Sebab ia menyadari, sedikit salah gerak dan memperlihatkan peluang tentu sukar lagi lolos di bawah pedang Ci-ih-hou.

Jadi keduanya tetap berdiri tegak serupa patung di atas sampan masing-masing. Oh Put-jiu sampai melongo dan menahan napas saking tegangnya, sukar lagi baginya untuk mendayung, sedikit merandek sampan lantas terhanyut mundur sehingga jarak Ci-ih-hou dan si baju putih terpisah beberapa tombak jauhnya.

Setelah dua gebrakan ini, Oh Put-jiu merasa hasil pertarungan ini sangat besar kemungkinannya dimenangkan Ci-ih-hou, sebab ilmu pedangnya jelas sudah sangat sempurna, jika ada ilmu pedang lain yang dapat mengalahkan dia, maka hal ini sukar untuk dipercaya.

Diam-diam Oh Put-jiu merasa lega, juga merasa pedih. Meski si baju putih ini dirasakan sebagai musuh bersama setiap orang persilatan, namun jiwa dan perilaku orang ini pun pantas dipuji dan dihormati.

Karena termenung sejenak, ia lupa mendayung. Begitu juga lelaki yang menjadi tukang perahu Ci-ih-hou pun melongo dan lupa mendayung sampannya. Waktu ombak mendampar lagi, jarak kedua sampan tambah jauh.

Ci-ih-hou dan si baju putih masih tetap berdiri dengan gaya semula tanpa bergerak. Sungguh Oh Put-jiu ingin kedua sampan ini terhanyut terpisah untuk selamanya dan tidak kembali lagi, agar pertarungan kedua tokoh misterius itu selamanya tidak diketahui kalah dan menang. Sebab siapa yang kalah atau menang tetap merupakan pukulan baginya.

Mendadak terdengar suara "brak" disertai guncangan sampan. Ternyata sampannya telah patah menjadi dua, haluan sampan tempat berdiri si baju putih telah berpisah dengan badan sampan.

Rupanya si baju putih menjadi tidak sabar menunggu, diam-diam ia mengerahkan Iwekang untuk menggetar patah sampan itu.

Tampaknya Ci-ih-hou juga berpikir sama, sampan yang ditumpanginya juga kelihatan patah menjadi dua.

Oh Put-jiu dan lelaki itu tidak sanggup menahan keseimbangan sampannya lagi, ketika ombak mendampar, mereka sama tercebur ke dalam laut. Kejadian ini membuat gempar para penonton.

Sementara itu keadaan bertambah tegang, Ci-ih-hou dan si baju putih sama-sama membawa sebagian haluan sampan yang patah itu dan terapung di atas ombak, jarak keduanya semakin dekat.

Mendadak berkelebat pula cahaya perak di tengah gemilapan cahaya senja, hanya dalam sekejap saja pedang Ci-ih-hou dan si baju putih sudah saling serang berpuluh kali.

Para penonton hanya melihat sinar pedang berkelebat dan sukar membedakan serangan siapa. Sekonyong-konyong terdengar lengking nyaring menggema angkasa.

Di tengah lengking nyaring itu bayangan Ci-ih-hou tampak bergoyang-goyang terus terjungkal ke dalam laut. Sebaliknya si baju putih mengangkat pedangnya tanpa bergerak lagi.

Dada semua penonton serasa sesak karena menahan napas, mulut melongo tanpa suara.

Sampai sekian lama suasana sunyi senyap di tepi pantai, lalu suara jerit kaget dan khawatir meledak serentak. Sebagian besar kawanan gadis jelita di atas kapal layar pancawarna sama jatuh terkulai dan menangis sedih. Siaukongcu pun jatuh pingsan. Pui Po-ji juga melongo dan terbelalak seperti orang linglung.

Melihat tubuh si baju putih yang kaku serupa patung itu mengapung ke tepi pantai, meninggalkan cahaya senja yang kemilauan di tengah debur ombak laut.

Suara jerit kaget dan khawatir tadi mereda, semua orang sama menunduk sedih ....

Dalam keadaan mencekam itulah, tiba-tiba di tengah gelombang ombak laut itu muncul sesosok bayangan orang, meski sekujur badan basah kuyup, namun sikapnya tetap agung berwibawa serupa malaikat yang baru muncul dari laut. Siapa lagi dia kalau bukan Ci-ih-hou.

Sungguh kejut dan girang para penonton tak terkatakan, kejadian tak terduga ini sungguh membuat mereka melongo tidak habis mengerti.

Si baju putih akhirnya mencapai pantai, sedangkan Ci-ih-hou lantas melompat kembali ke atas kapal layar pancawarna.

Air muka si baju putih tidak menampilkan sesuatu perasaan, namun sinar matanya tambah dingin, mendadak ia berucap dengan suara berat, "Di mana kapalnya?"

Si naga jenggot merah alias Siu Thian-ce melengak, baru saja ia menyadari pertanyaan itu ditujukan kepadanya, tiba-tiba dari kerumunan orang banyak seorang berkata, "Di sana!"

Selaku kepala bajak, dengan sendirinya ia harus pegang janji. Ia sudah menyatakan akan ganti rugi sebuah kapal kepada si baju putih, maka tidak peduli mati atau hidup, kalah atau menang, sejak tadi kapal itu sudah disiapkan untuk si baju putih.

Waktu si baju putih memandang ke arah yang ditunjuk, benar juga terlihat sebuah kapal baru berlabuh belasan tombak di sebelah sana. Ia cuma memandang sekejap, lalu berpaling dan berucap terhadap kapal layar pancawarna, "Ilmu pedang Anda memang benar tiada bandingannya di dunia ini."

Ci-ih-hou masih berdiri di haluan kapalnya, dengan sikap khidmat ia menjawab, "Sikap kesatria Anda sungguh pantas menjadi teladan segenap orang persilatan di dunia ini, sungguh aku sangat kagum dan hormat."

"Menang tidak takabur, kalah tidak perlu patah semangat!" ucap si baju putih.

"Dan ke mana Anda akan pergi sekarang?" tanya Ci-ih-hou.

"Ke tempat jauh yang tak dapat kusebutkan," jawab si baju putih.

"Jika begitu kuucapkan selamat jalan!"

"Terima kasih!"

Begitulah kedua orang itu bercakap dari jauh, sejenak kemudian, si baju putih menambahkan pula, "Kekalahanku ini takkan kulupakan selama hidup, tujuh tahun kemudian aku akan datang kembali untuk membersihkan noda kekalahan ini."

Begitu selesai berucap, sekali berkelebat, secepat terbang ia melayang ke atas kapal baru yang disiapkan untuk dia itu.

Baru sekarang semua penonton tahu jelas bahwa pertandingan tadi telah dimenangkan oleh Ci-ih-hou. Maka tak tertahan lagi sorak-sorai gegap gempita.

Wajah setiap orang sama berseri gembira oleh kemenangan gemilang ini, sementara penonton yang bersorak-sorai terus menumpang sampan dan didayung mendekati kapal layar pancawarna, banyak yang tidak kebagian sampan sama kecebur ke laut dan akhirnya sampan pun terbalik.

Menyaksikan kejadian yang mengharukan itu Pui Po-ji pun berjingkrak kegirangan sambil merangkul Cui Thian-ki dan berteriak, "Hidup Ci-ih-hou!"

Dikecupnya sekali Po-ji oleh Cui Thian-ki sambil berucap dengan tertawa, "O, sayang!"

Nyata suasana gembira ini meliputi segenap lapisan dunia persilatan itu, semuanya ikut merasakan kemenangan itu dan merasa bangga.

Kawanan gadis di atas kapal layar pancawarna terlebih gembira serupa orang gila, mereka saling rangkul dan berjingkrak serta berpesta pora.

Thi Kim-to yang berjubel di tengah orang banyak berteriak, "Kan sudah kukatakan, ilmu pedang Houya kita tidak ada bandingannya di kolong langit ini, mana bisa beliau dikalahkan makhluk aneh itu."

"Hehe, lucu juga makhluk aneh itu belum lagi rela, ia bilang tujuh tahun kemudian akan datang lagi," kata seorang lain.

"Biarpun dia datang lagi tujuh tahun kemudian bisa berbuat apa," teriak Thi Kim-to dengan terbahak. "Haha, paling-paling ia akan kabur lagi dengan mencawat ekor."

"Haha, ucapan kawan Thi memang betul ...." Serentak semua orang tertawa gemuruh.

Oh Put-jiu telah merangkak ke atas kapal dari laut, melihat suasana gembira itu, ia pun sangat senang, tapi juga terasa agak kesal dan sedih. Ia lihat Ci-ih-hou berdiri tegak di haluan kapal, mukanya yang pucat tidak kelihatan semangat orang yang baru mendapat kemenangan, air mukanya yang kelam tampaknya terlebih kesal daripada Oh Put-jiu, hanya di tengah sorak gembira orang banyak, siapa pun tidak memerhatikan sikapnya yang luar biasa itu.

Entah siapa mendadak berteriak, "Mohon Houya memberi petuah sekata dua patah ...."

Serentak orang bersorak menyambutnya, "Benar, mohon Houya memberi beberapa patah kata sambutan."

Perlahan Ci-ih-hou berpaling dan mengangkat kedua tangannya.

"Harap semua orang diam, supaya Houya dapat bicara dengan jelas," teriak Lingji.

Setelah berulang ia berseru lagi barulah semua orang mulai diam.

Setelah memandang sekelilingnya, akhirnya Ci-ih-hou bersuara, "Maksud baik hadirin sungguh kuterima dengan bangga, cuma ...."

Siapa tahu, baru bicara sampai di sini, mendadak darah segar tersembur dari mulutnya, perawakannya yang tegap itu pun tidak tegak lagi berdirinya dan agak sempoyongan.

Ling-ji dan Cu-ji sama menjerit kaget, beramai mereka memburu maju untuk memegangi sang majikan. Semua orang juga terkejut.

"Ada apa, Houya?" tanya kawanan gadis jelita itu setelah berkerumun.

Tersembul senyuman pedih pada ujung mulut Ci-ih-hou, ucapnya sekata demi sekata, "Berulang kuganti berpuluh jurus serangan, akhirnya kugunakan satu jurus Hok-mo-kiam-hoat (ilmu pedang penakluk iblis) yang sudah lama lenyap dari dunia persilatan, dan beruntung dapatlah kuatasi dia, walaupun begitu tetap tidak dapat kulukai dia, namun ...."

Sampai di sini suaranya sudah sangat lemah, napas pun terengah dan tidak sanggup meneruskan lagi.

Ling-ji dan Cu-ji merasa cemas dan khawatir, perlahan mereka memijat dan mengurut dada dan punggung sang majikan.

Semua orang pun saling pandang dengan khawatir, angin mendesir, suasana berubah sunyi pula.

Setelah berhenti sejenak, sekuatnya Ci-ih-hou bertutur lagi, "Tapi setelah kuserang berpuluh jurus, tenagaku sudah terkuras terlampau banyak, meski beruntung dapat mengatasi dia, akan tetapi urat nadi jantungku pun tergetar luka .... Dia memang lelaki sejati, meski ia tahu keadaanku sangat payah, dia tetap mengaku aku menang setengah jurus, kalau tidak ... ai, asalkan dia tidak kenal malu dia melancarkan serangan lagi, mungkin saat ini aku sudah ... sudah terkubur di dasar laut."

Mendadak Thi Kim-to berteriak, "Orang baik tentu mendapatkan ganjaran baik. Dengan kemenangan Houya ini, selanjutnya pasti bertambah jaya dan panjang umur!"

"Betul, hidup Houya kita!" teriak orang banyak.

Kembali Ci-ih-hou menampilkan senyuman pedih, ucapnya dengan sedih, "Terima kasih atas doa hadirin cuma kutahu keadaanku yang tak dapat bertahan lagi sampai besok pagi. Maka ... ai, biarlah di sini juga kita berpisah!"

Ia berputar dan masuk kembali ke anjungan diikuti Ling-ji dan lain-lain. Mereka sudah sekian tahun meladeni sang majikan, baru sekarang untuk pertama kalinya terdengar orang tua itu menghela napas. Mau tak mau mereka sama terharu.

Semua orang ikut sedih memandangi bayangan Ci-ih-hou yang menghilang ke dalam anjungan, siapa pun tidak menyangka kemenangan ini ternyata membawa pengorbanan sebesar ini. Setelah sorak gembira, kini harus menahan sedih.

Tidak ada lagi yang bersuara, semuanya lesu dan kembali ke tepi pantai. Tapi semuanya tetap merasa berat meninggalkan pantai yang mendatangkan rangsangan gembira dan juga kesedihan ini.

Entah siapa yang mulai duduk dulu di tepi pantai dan yang lain pun ikut duduk di situ. Seketika pesisir penuh berjubel orang duduk, sebagian masih basah kuyup tanpa menghiraukan angin laut yang menggigilkan, semuanya duduk termenung memandang kapal layar pancawarna itu.

Cahaya mulai lenyap, ombak laut berubah menjadi kelam, kapal pancawarna pun kehilangan cahayanya yang gemilang.

Kapal layar yang ditumpangi jago pedang baju putih itu sejak tadi sudah menghilang entah ke mana, tapi tiada seorang pun sangsi apakah tujuh tahun kemudian dia akan datang atau tidak?

Dalam hati setiap orang sama berpikir, "Ci-ih-hou sudah meninggal, tujuh tahun kemudian bilamana benar si jago pedang baju putih datang lagi, lalu siapakah yang mampu menandingi dia?!"

*****

Anjungan kapal yang dulu semarak dengan segala kemewahan, sekarang diliputi awan mendung kesedihan.

Kawanan gadis jelita mengerumuni Ci-ih-hou, Siaukongcu berlutut di bawah kaki sang ayah. Pui Po-ji, Cui Thian-ki, Oh Put-jiu dan lain-lain berdiri agak jauh di samping. Siu Thian-ce berdiri di luar anjungan, tidak berani masuk tanpa disuruh.

Suasana sunyi senyap, hanya terdengar suara isak tangis perlahan.

Kedua mata Ci-ih-hou terpejam, wajah pucat dan sedih, berulang ia bergumam, "Tujuh tahun kemudian ... tujuh tahun kemudian, bilamana dia datang lagi ... ai ...."

Dengan air mata berlinang Ling-ji berkata, "Harap Houya istirahat dengan tenang, bisa jadi kesehatan Houya akan sembuh, kenapa mesti sedih mengenai urusan tujuh tahun lagi?"

Mendadak Ci-ih-hou membuka matanya, katanya dengan bengis, "Mengenai mati-hidupku kenapa mesti disayangkan? Tapi mana boleh kutinggalkan kawan dunia persilatan ini tanpa peduli?"

Po-ji terharu melihat kesatria yang menghadapi ajal ini tetap tidak melupakan bencana yang bakal menimpa orang persilatan pada tujuh tahun kemudian tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, jiwa luhur ini sungguh harus dipuji.

Seketika darah panas bergolak dalam dada Po-ji, pikirnya, "Inilah kesatria sejati, seorang pahlawan besar. Kelak kalau aku sudah dewasa, harus kutiru dia, supaya hidupku ini tidak sia-sia!"

Ling-ji menunduk, ucapnya dengan menangis perlahan, "Mungkin sekarang jarang ada yang sanggup melawannya, tapi tujuh tahun kemudian, bukan mustahil sudah banyak orang kosen yang dapat mengungguli dia, janganlah Houya ...."

"Ai, menurut penilaianku, biarpun tokoh Bu-lim terkemuka saat ini berlatih lagi tujuh tahun juga tiada seorang pun mampu mengalahkan dia, apalagi, dia keranjingan ilmu silat, jika ia pun berlatih tujuh tahun pula, jelas kemajuannya sukar dibayangkan. Sungguh sayang Toako, dia ...."

Sampai di sini Ci-ih-hou menghela napas panjang dan tidak meneruskan lagi, kening tampak bekernyit seperti sedang merenungkan sesuatu yang sukar dipecahkan.

Semua orang tidak berani mengganggunya, hanya Pui Po-ji saja yang bersemangat seperti terangsang oleh ucapan orang gagah itu.

"Ah, betul!" seru Ci-ih-hou mendadak.

Tergetar perasaan semua orang, disangkanya Ci-ih-hou berhasil memikirkan sesuatu cara untuk mengalahkan tokoh si baju putih.

Tak terduga Ci-ih-hou lantas memandang sekejap dan berucap pula, "Siapa mahir main catur?"

Ling-ji dan lain-lain sama melengak, akhirnya ia menjawab, "Hamba sama bisa ...."

Ci-ih-hou tersenyum, katanya, "Cara bermain catur kalian sudah kukenal seluruhnya, tanpa melihat papan catur pun dapat kulayani permainan kalian. Kalian tidak dapat kuterima."

"Cayhe juga dapat main," sela Oh Put-jiu.

"Baik, boleh coba kau main satu babak denganku," kata Ci-ih-hou.

Semua orang tidak mengerti dalam keadaan demikian Ci-ih-hou berhasrat main catur segala. Tapi karena dia kelihatan sangat bergairah, semua orang tidak berani bertanya.

Ci-ih-hou duduk miring di atas pembaringan, kelihatan sangat bergairah, biji caturnya ditaruh dengan cepat.

Dengan sikap hormat Oh Put-jiu berdiri di depan ranjang, ia pun menaruh biji catur dengan sama cepatnya. Agaknya ia dapat menduga sebabnya Ci-ih-hou mengajaknya main catur pasti mempunyai maksud tertentu, padahal mengenai seni main catur dia memang cukup mahir, maka hanya dalam waktu singkat biji catur kedua pihak hampir memenuhi papan catur.

Wajah Ci-ih-hou kelihatan berubah-ubah, sebentar tersenyum, lain saat kening bekernyit, seperti sedang memikirkan sesuatu yang tak terpecahkan, seperti juga sudah memahaminya, air mukanya sekarang persis seperti waktu dia melihat ranting kayu yang tertebas pedang tempo hari.

Namun air mukanya sekarang tambah pucat, sorot matanya juga semakin buram, ketika biji catur ke-49 ditaruh, ia seperti menghadapi jalan buntu dan terpaksa berpikir agak lama, napas pun semakin memburu, mendadak tubuh tersuruk ke depan sehingga papan catur tertumbuk dan biji catur berjatuhan ke lantai.

"Wah, sayang, sayang, bagaimana baiknya sekarang?!" ucap Ci-ih-hou dengan agak gugup.

"Tidak menjadi soal," ucap Oh Put-jiu, segera ia memunguti semua biji catur yang jatuh, satu per satu dikembalikan kepada posisi semula, dan setiap biji catur itu ternyata dapat menempati posisi semula dengan tepat.

Heran juga kawanan gadis, sukar dimengerti pemuda yang tidak menarik ini ternyata memiliki daya ingat sekuat ini.

Meski tertampil juga sorot mata Ci-ih-hou yang heran dan memuji, tapi ia cuma memandangnya sekejap, lalu mencurahkan perhatian pula terhadap papan catur, biji catur yang dipegangnya sampai sekian lama sukar ditaruh lagi di tempat yang

tepat.

Diam-diam Oh Put-jiu merasa heran, ia merasakan langkah catur orang ini sebenarnya sangat sederhana, sukar dimengerti mengapa jago catur serupa Ciih-hou bisa ragu menaruh biji caturnya.

Tiba-tiba Ci-ih-hou menghela napas panjang, seluruh biji catur diubrak-abriknya, katanya, "Setelah kuperas otak, kurasakan ilmu pedang si baju putih memang ada bagian yang selaras dengan seni main catur, maka maksudku ingin memecahkan rahasia ilmu pedangnya melalui permainan catur ini. Ai, bilamana aku dapat tahan hidup sebulan-dua bulan lagi sangat mungkin dapat kupecahkan rahasia ilmu pedangnya, tapi sekarang hanya dalam waktu beberapa jam saja ingin kupecahkan rahasianya, rasanya pasti tidak mungkin tercapai."

Diam-diam Po-ji membatin, "Thian sungguh tidak adil, kenapa membuat orang jahat hidup di dunia dan orang baik harus mati. Ai, jika aku dapat menggantikan dia mati tentu segalanya akan menjadi baik."

Selang sejenak, Ci-ih-hou berkata pula perlahan sambil memandang Oh Put-jiu, "Tapi permainan catur barusan bukannya sama sekali tidak berguna, paling tidak aku menjadi tahu kau ternyata mempunyai daya ingatan yang luar biasa. Bakatmu ini mana boleh terbenam begini saja."

Segera ia mengeluarkan sebuah anak kunci yang berbentuk aneh, ucapnya pula, "Di kamar tulisku tersimpan kitab yang berisi rahasia intisari 193 aliran persilatan, hanya dengan anak kunci ini saja kamar tulisku itu dapat dibuka. Nah, boleh kau ambil."

"Wah mana ... mana hamba berani?" ucap Oh Put-jiu ragu.

"Kunci ini adalah benda yang diimpi-impikan setiap orang persilatan, sekarang kuberikannya kepadamu, hanya kau saja mungkin dapat mengingat seluruh catatan dalam kitab pusaka itu," kata Ci-ih-hou.

Kejut dan girang Oh Put-jiu, ia tidak tahu apa yang harus diucapkan, ia hanya berlutut dan menyembah, diterimanya anak kunci yang kecil itu, akan tetapi dirasakan berbobot sebesar gunung.

Ci-ih-hou menengadah dan berucap pula dengan sedih, "Tapi, biarpun segenap ilmu silat yang tercantum dalam kitab itu dapat kau pelajari, kau tetap bukan tandingan si baju putih."

Mendadak Pui Po-ji menimbrung, "Jika orang lain sama bukan tandingannya, biarlah aku saja yang melawan dia. Tujuh tahun kemudian bila dia datang lagi, akan kuhantam lari dia!"

Ci-ih-hou tercengang dan rada geli juga, katanya, "Memangnya kau mahir ilmu silat?"

"Tidak," jawab Po-ji.

"Lantas cara bagaimana akan kau tandingi dia?" tanya Ci-ih-hou dengan sinar mata berkelip.

Po-ji membusungkan dadanya yang kecil dan berseru, "Meski aku tidak paham ilmu silat dan juga tidak ingin belajar, tapi karena urusan ini tidak dapat dilaksanakan orang lain, dengan sendirinya hanya aku saja yang dapat melakukannya."

Ia bicara dengan lantang tanpa ragu, meski wajahnya kelihatan kekanak-kanakan, namun sikapnya gagah perkasa dan berjiwa kesatria.

Sejenak Ci-ih-hou memandangnya, katanya kemudian, "Beribu kesatria di dunia ini tidak sanggup melaksanakan tugas ini, berdasarkan apa kau mampu mengerjakannya?"

"Asalkan ada kemauan, segala apa pun pasti akan tercapai," jawab Po-ji tegas.

"Kan si baju putih juga manusia, aku pun manusia, kenapa aku pasti tidak dapat menandingi dia?"

"Hm, anak ingusan semacam dirimu sudah berani membual," ucap Ci-ih-hou dengan bengis, mendadak sebelah tangannya menampar.

Meski ia kurang sehat, namun tamparannya mana dapat dihindarkan Po-ji, kontan anak itu terpukul jatuh.

Semua orang memandangnya dengan rasa kasihan dan juga terkejut. Betapa pun mereka suka kepada anak kecil yang menyenangkan seperti Po-ji ini, terutama Oh Put-jiu yang ada hubungan erat dengan dia, namun sekarang ia justru tidak memperlihatkan rasa kaget atau khawatir, sebaliknya malah timbul rasa girang.

Semula Cui Thian-ki juga khawatir, setelah memandang Oh Put-jiu sekejap, akhirnya air mukanya berubah girang.

Dilihatnya Pui Po-ji melompat bangun tanpa memperlihatkan rasa takut.

"Sengaja kupukulmu, apakah kau penasaran?" tanya Ci-ih-hou.

"Tentu saja penasaran," jawab Po-ji tegas.

"Lantas apa yang akan kau lakukan? Ingin balas memukulku, tapi tidak berani, begitu bukan?" tanya Ci-ih-hou.

"Bukan tidak berani balas memukulmu, melainkan tidak tega memukulmu," jawab Pui Po-ji. "Soalnya usiamu sudah lanjut, pula seorang kesatria pujaan orang banyak, adalah layak aku pun menghormati dirimu, ditambah lagi saat ini engkau sedang sakit dan aku harus mengalah. Maka pukulanmu ini meski membuatku penasaran, terpaksa kuterima saja."

Ia bicara tanpa gentar, sikapnya yang berani itu membuat Cu-ji dan gadis lain sama terkesima, sebab sudah sekian lama mereka ikut Ci-ih-hou dan belum pernah melihat siapa pun berani bicara sekasar ini terhadap sang majikan.

Dengan muka kelam Ci-ih-hou berkata, "Semua itu cuma alasanmu saja, yang benar kau selain tidak sanggup, juga bukannya tidak tega, lebih tepat kau tidak berani."

Mendadak Po-ji tertawa, katanya, "Hihi, ucapanmu juga ada yang tidak betul. Selain aku memang tidak sanggup, juga bukan karena tidak tega, soalnya aku memang tidak mau."

"Huh, kata macam apa?" jengek Ci-ih-hou.

"Sebab kutahu, walaupun wajahmu bengis, namun sorot matamu tidak kejam, caramu memukulku tadi pasti tidak sungguh hati bermaksud memukulku melainkan cuma ingin menguji diriku saja," ujar Po-ji dengan tertawa.

Kembali Ci-ih-hou memandangnya sejenak, mendadak ia bergelak tertawa keras dan berseru, "Haha, anak baik ... anak ...."

Karena lukanya memang cukup parah, maka belum lanjut ucapannya ia lantas terbatuk-batuk, setelah batuk berhenti barulah ia menyambung, "Kau pandai membedakan antara yang benar dan salah dan tidak mau sembarang bertindak, kau terhitung cerdik. Kau bisa bersabar dan mengalah, hormat kepada yang tua dan kasihan kepada yang lemah, kau terhitung bijaksana. Menghadapi bahaya

kau tidak gentar dan siap menghadapi segala kesukaran, kau terhitung berani. Anak yang cerdik, bijaksana dan juga berani serupa dirimu, selama hidupku baru kulihat seorang dirimu saja."

Diam-diam Po-ji membatin, "Engkau sepanjang tahun hidup di lautan, dengan sendirinya tidak pernah melihat."

Waktu orang memaki dia, dengan membusung dada ia hadapi tanpa gentar, sekarang orang memujinya, ia berbalik kikuk sehingga muka merah dan tidak dapat bicara.

Oh Put-jiu dan Cui Thian-ki saling pandang sekejap, diam-diam kedua orang sama merasa senang karena Po-ji dipuji Ci-ih-hou.

Selang sejenak, perlahan Ci-ih-hou berkata pula, "Karena sepanjang tahun hidupku berlayar di lautan lepas, orang lain sama menyangka aku sudah bosan kehidupan di dunia ramai. Padahal dunia ramai banyak hal-hal yang mengesankan, sebabnya aku berlayar adalah karena dahulu aku pernah dikalahkan oleh pedang seorang, maka selama hidup aku tidak mau menginjak daratan lagi."

Ada sementara orang sudah pernah mendengar ceritanya tentang kekalahannya atas seorang jago pedang, tapi waktu itu orang tidak menaruh perhatian, sekarang keterangan ini membuat mereka bergirang. Sebab kalau orang itu sanggup mengalahkan Ci-ih-hou, dengan sendirinya juga pasti dapat mengalahkan tokoh si baju putih.

Terdengar Ci-ih-hou menyambung, "Orang itu tak-lain-tak-bukan adalah Suhengku sendiri. Waktu kecilnya kami belajar bersama satu perguruan, orang lain sama menyangka ilmu pedangku tidak ada bandingan, padahal ilmu pedang Suhengku yang benar nomor satu di dunia."

Meski pada dasarnya pendiam, tidak urung sekarang Oh Put-jiu ikut menimbrung, "Meski hamba tidak tahu apa-apa, tapi mengingat ilmu pedang Houya sudah mencakup intisari segenap ilmu pedang aliran mana pun dan sudah mencapai tingkatan paling sempurna, sampai jago pedang baju putih yang sudah tergembleng sehebat itu paling-paling juga Iwekangnya saja mampu melawan Houya, tapi kalau bicara tentang ilmu pedang jelas dia ketinggalan."

"Betul," kata Ci-ih-hou gegetun, "kalau bicara tentang intisari segala macam ilmu pedang di dunia ini, memang seluruhnya sudah kupelajari dan kupahami dengan baik. Tapi kemampuan Suhengku itu justru setingkat lagi di atasku."

"Maaf, hamba ingin tanya, entah cara bagaimana dia bisa melebihi Houya?" tanya Oh Put-jiu heran.

"Soalnya meski aku dapat memahami segenap ilmu pedang di dunia ini, tapi Suhengku juga dapat mengingatnya tanpa kurang setitik pun, lalu melupakannya pula sama sekali, sebaliknya aku tidak dapat. Biar pun aku sudah berdaya sebisanya tetap sukar melupakan sebagian saja di antaranya."

Semua orang saling pandang dengan bingung, sampai Oh Put-jiu juga melenggong, tapi segera ia tersenyum seperti memahaminya.

Rupanya ia tahu bilamana orang hendak mengingat sesuatu hal bukanlah pekerjaan sulit, tapi jika ingin melupakan segala sesuatu yang pernah diingatnya, inilah yang mahasulit.

Misalnya ada sementara urusan mestinya tidak suka kau ingat-ingat dan juga tidak perlu diingat, tapi urusan-urusan itu justru menggoda pikiranmu. Ada sementara urusan yang mestinya sudah lama dapat kau lupakan, tapi justru sukar untuk dikesampingkan, bahkan dalam mimpi pun selalu teringat.

Falsafah kehidupan yang sukar dipahami itu tentu saja belum dapat diselami oleh kaum gadis, mereka cuma merasa heran, "Jika dia sudah melupakan seluruh ilmu pedang yang dipelajarinya, cara bagaimana pula dia dapat menang dengan ilmu pedang?"

Terdengar Ci-ih-hou bertutur lagi, "Setelah Suhengku melupakan segenap ilmu pedangnya barulah beliau menyadari arti ilmu pedang itu sendiri, ia berhasil melebur segenap jiwa raganya ke dalam pedang sehingga dapatlah ia menguasai pedangnya sesuka hati tanpa sesuatu jurus tertentu, tapi setiap gerakan yang dikehendakinya selalu merupakan jurus yang ampuh dan sukar ditahan. Meski aku mahir memainkan segala macam ilmu pedang di dunia ini, tapi yang kukuasai tidak lebih hanya bentuknya saja, sebaliknya yang dikuasai Suheng adalah jiwa ilmu pedangnya. Biarpun ilmu pedangku terkenal tidak ada tandingannya, kalau dibandingkan Suheng sungguh sama sekali tidak ada artinya."

Uraian ini membuat semua orang sama melongo dan tidak dapat bicara.

Selang agak lama barulah Oh Put-jiu menghela napas panjang, pikirannya berkecamuk tak keruan demi mendengar ceramah ilmu pedang yang sukar dipahami ini, seperti banyak yang ingin ditanyakan, tapi sukar berucap.

"Jika begitu sakti kepandaian Suhengmu, kenapa tidak mohon beliau menempur si baju putih saja?" kata Po-ji tiba-tiba.

"Hidup Suhengku itu suka aman tenteram, selamanya tidak mau berurusan dengan orang, belasan tahun yang lalu dengan segala daya upaya kupaksa dia coba menempurku, karena tiada jalan lain barulah dia bertanding dan aku telah dikalahkan sehingga aku tidak dapat menggodanya lagi. Tapi dia tetap khawatir aku akan terluka, maka dia tidak mengerahkan segenap tenaganya. Tapi, ai ... dasar watakku memang suka menang, meski sudah kalah satu jurus aku masih coba menjaga pamor, pada saat lengah, dapatlah Suheng kulukai. Tapi beliau memang berjiwa besar, ia khawatir aku berduka dan sengaja bertahan sekuatnya serta tinggal pergi dengan tersenyum ...."

Agaknya kisah ini pernah menyakitkan hatinya, maka bertutur sampai di sini, wajah kelihatan pucat dan air mata berlinang, bicaranya pun tersendat.

Oh Put-jiu tahu bilamana sebelum mangkat orang dapat membeberkan segala persoalan yang pernah membuatnya malu, tentu kepergiannya akan merasa tenteram. Maka dengan hormat ia tanya. "Kemudian bagaimana?"

"Kemudian ... dalam perjalanan pulang, di luar dugaan Suhengku kepergok musuh bebuyutan, dalam keadaan terluka, dengan sendirinya beliau bukan tandingan musuh, sekuatnya dia bertahan dan berhasil menggertak mundur musuh dengan ilmu pedangnya yang tiada taranya, tapi ia sendiri juga terserang oleh senjata rahasia musuh, Suheng sempat berlari beberapa li jauhnya,

sekuatnya beliau berusaha menawarkan racun senjata rahasia musuh sehingga dapatlah jiwa dipertahankan, namun sejak itu ilmu silatnya pun punah, ilmu pedangnya yang tidak ada bandingannya seterusnya sukar dimainkan lagi."

Kisah ini boleh dikatakan sangat umum, mungkin sering terjadi peristiwa serupa di dunia Kangouw, tapi sekarang cerita ini terurai dari mulut tokoh misterius serupa Ci-ih-hou, dengan sendirinya penuh daya tarik dan terlebih misterius.

Perasaan semua orang sama tertekan, semuanya ingin menangis rasanya, mendadak Siaukongcu berkata, "Eh, orang yang diceritakan ayah itu adalah paman yang mengajar seni merangkai bunga kepadaku itu?"

Ci-ih-hou mengangguk, katanya, "Betul, meski dia cedera akibat perbuatanku, namun dia tidak pernah benci dan dendam padaku. Ketika melihat kepintaranmu, ia justru bermaksud mengajarkan ilmu pedangnya padamu, praktiknya dia mengajar seni merangkai bunga padamu, sesungguhnya dia membaurkan ilmu pedangnya ke dalam seni merangkai bunga. Ketahuilah, baik seni sastra, seni

bunga, seni catur dan sebagainya, semua itu adalah saripati kecerdasan leluhur kita. Akhir-akhir ini terbetik kabar di kepulauan timur sana juga ada orang mempelajari seni pedang ini, tapi kuyakin sukar membandingi bangsa kita."

Ia merandek sejenak, lalu menyambung, "Setelah Kungfu Suheng punah, terpaksa beliau hidup mengasingkan diri untuk mencari ketenangan, di situlah dia menemukan ilmu sejati daripada seni bunga dan catur yang tidak banyak berbeda daripada seni pedang, sebab itulah dia berharap kau juga dapat memahami ilmu pedangnya. Ai, ternyata kau memang pintar, namun terlampau

suka menang, betapa pun kau bukan orangnya untuk mempelajari seni pedangnya, karena itulah paman tinggal pergi dengan kecewa."

Siaukongcu diam saja dengan mendongkol, akhirnya ia berkata juga, "Sesuatu yang tidak dapat kupelajari, kukira tiada orang lain lagi di dunia ini yang mampu menguasainya."

Ci-ih-hou hanya tersenyum saja tanpa bersuara, sorot matanya beralih ke arah Pui Po-ji.

Siaukongcu terbelalak, katanya, "Ayah, apakah engkau maksudkan dia?"

"Ehm," Ci-ih-hou mengangguk.

"Apa yang tidak dapat kupelajari masakah dia sanggup?" tanya Siaukongcu.

"Memangnya kau sangka dirimu lebih pintar daripada orang lain?" kata Ci-ih-hou.

"Tentu saja," kata Siaukongcu. "Dengan sendirinya aku lebih pintar daripada dia."

"Kau tahu apa bedanya pintar dan cerdik?" tanya Ci-ih-hou dengan tersenyum.

"Kau memang pintar, tapi Po-ji terlebih cerdik, apa yang dia dapat belajar tidak dapat kau lakukan. Nah, paham sekarang?"

Siaukongcu melengak dan melototi Po-ji sekian lama, mendadak ia berteriak, "Huh, tidak perlu kau sok gagah, pada suatu hari kelak tentu aku lebih hebat daripadamu, ingat saja!"

Ia mengentak kaki dan berlari ke pojok sana, bahu tampak bergerak-gerak, tapi tidak ada suara tangis.

Po-ji juga melenggong, ucapnya tergegap, "Buat ... buat apa menangis? Engkau memang, memang lebih hebat daripadaku."

Ia hendak mendekati anak dara itu, tapi urung.

"Jangan urus dia," kata Ci-ih-hou. "Coba kemari."

Dengan kepala tertunduk Po-ji mendekati Ci-ih-hou.

Sambil membelai rambut Po-ji, dengan suara lembut Ci-ih-hou berkata, "Bila urusan di sini selesai, harus secepatnya kau pergi mencari Suhengku, tahu?"

Po-ji mengiakan.

Lalu Ci-ih-hou mengeluarkan sebuah kantong sulam kecil, katanya pula, "Inilah barang tinggalan Suhengku, di dalam kantong ini tertulis tempat tirakatnya. Selama sekian tahun ini dia menghindari musuh sehingga tempat pengasingannya sama sekali tidak diberitahukan kepada siapa pun. Meski dia meninggalkan kantong ini, tapi aku dipesan hanya pada saat paling genting baru

boleh mengirim seorang untuk mencarinya. Berulang ia menegaskan hanya boleh menyuruh seorang, sebab itulah aku sendiri pun tidak pernah membaca apa yang tertulis dalam pesannya ini."

Po-ji menerima kantong kecil itu tanpa bicara.

"Sifat Suhengku sangat aneh," tutur Ci-ih-hou. "Maka kantong sulam ini tentu juga ada sesuatu yang aneh. Ai ... apakah dapat kau temukan dia juga belum kuketahui."

Mendadak Po-ji menengadah dan berseru, "Sekali sudah kukatakan akan kulakukan tentu akan kulaksanakan, di mana pun dia berada pasti juga akan kutemukan dia."

"Tempat kediamannya itu bisa jadi jauh di ujung langit sana, tapi kau harus pergi ke sana sendirian, padahal usiamu sekecil ini, juga tidak mahir ilmu silat, perjalanan sejauh ini, apakah kau tidak takut?" tanya Ci-ih-hou.

Dengan tegas Po-ji menjawab, "Biarpun takut juga tetap kupergi ke sana. Selama hidupku ini entah berapa kali menghadapi urusan yang menakutkan, namun aku tidak pernah gentar."

Ci-ih-hou tersenyum, "Bagus, anak bagus, ini namanya kesatria sejati. Hanya orang dungu, orang dogol saja yang tidak kenal apa artinya takut dan tidak dapat terhitung kesatria sejati."

Ucapan ini kedengaran sukar dipahami, padahal mengandung dalil yang luas, Oh Put-jiu coba menyelami maknanya berulang sehingga serupa orang linglung.

Tiba-tiba Ci-ih-hou menghela napas, katanya, "Segala urusan sudah ada penyelesaiannya, biarpun mati juga dapatlah kupergi dengan lega ...."

Mendadak ia membentak, "Ambilkan arak, biar kuberangkat ke neraka dengan mabuk, ingin kukatakan kepada kawanan setan di sana bahwa di dunia ini penuh lelaki yang tidak gentar mati, setan pun harus tunduk bila berhadapan dengan mereka."

Terpaksa kawanan gadis mengambilkan arak dan melayani dengan air mata berlinang.

Ci-ih-hou menuang arak dan minum sendiri, setelah menghabiskan beberapa cawan, mukanya yang pucat perlahan bersemu merah, mendadak ia terbahak dan bersenandung membawakan lagu mengharukan ....

Di tengah gelak tertawa keras ia meronta bangun dan berlari ke kamar rahasia sana dengan langkah sempoyongan. Ling-ji, Cu-ji dan lain-lain sama menyusul ke sana hendak memayangnya.

Namun Ci-ih-hou mengebaskan lengan baju sambil membentak, "Jangan mendekat, aku dapat datang dan pergi sendiri ... hahahaha ...."

Segera ia berlari pula masuk ke dalam ruangan belakang, "blang", pintu ditutup dan tidak terbuka lagi.

Terdengar suara gelak tertawa latah di dalam ruangan, semula sangat keras, lambat laun makin perlahan dan akhirnya tidak terdengar lagi. Pendekar zaman yang kosen ini telah pergi begitu saja ....

Sementara itu ufuk timur sudah mulai terang, lautan timbul lagi cahaya gemilang, namun di dalam anjungan kapal itu suasana diliputi kekelaman dan kepedihan.

Ketika angin meniup, keleningan pada anting-anting Ling-ji berbunyi mengejutkan orang banyak yang termenung. Entah berapa lama lagi, mendadak Ling-ji menuju ke haluan kapal dan memandang jauh ke pantai sana.

Para kesatria yang masih berkerumun di pantai itu juga ikut duka menyaksikan datangnya fajar, angin laut meniup dengan santernya membuat tubuh mereka sama menggigil.

Ketika mendadak terlihat Ling-ji muncul di haluan, para kesatria sama tidak berani memandangnya, mereka dapat merasakan firasat yang tidak enak.

Setelah memandang sekejap orang banyak yang berkerumun di pantai itu, dari jauh Ling-ji berseru sekata demi sekata, "Houya sudah mangkat!"

Habis berucap, baru saja tangan meraba rambutnya yang terurai, tahu-tahu ia roboh terkulai.

Semua orang tergetar kesima oleh ucapan Ling-ji itu sehingga robohnya nona itu tidak diperhatikan orang.

Entah siapa yang mulai lebih dulu berlutut, serentak orang banyak sama berlutut di tepi pantai. Terdengar seorang bersenandung, membawakan kidung yang mengharukan. Muncul seorang lelaki bertelanjang kaki dengan rambut semrawut dan menuju tepi laut. Dia ternyata Ong Poan-hiap adanya.

Ombak mendebur menimbulkan buih putih laksana bunga perak, sang surya yang baru terbit segera terbenam pula oleh awan mendung tebal, suasana terasa suram kelam.

Dengan terharu Ong Poan-hiap menengadah dan memanjatkan doa bagi kepergian Ci-ih-hou.

Mendadak seorang mendekat dan mencengkeram lengan Ong Poan-hiap dengan erat, begitu keras cengkeramannya sehingga tulang lengan Ong Poan-hiap seakan remuk.

Waktu Ong Poan-hiap melirik dengan kening bekernyit, dilihatnya seorang padri kelilingan bercaping lebar dan berkasa warna kelabu berdiri di sampingnya.

Karena caping sangat lebar dan ditarik turun ke depan sehingga hampir seluruh wajah si padri tertutup, namun dari warna muka orang yang kecokelatan dengan tulang pipi yang menonjol serta mulutnya yang terkancing rapat, tidak perlu diperiksa lagi segera ia tahu orang adalah Bok-long-kun.

Terdengar Bok-long-kun bertanya dengan suara tertahan, "Janji memintakan obat masa sudah kau lupakan?"

"Tidak," jawab Ong Poan-hiap.

"Mana obatnya?" tanya Bok-long-kun pula.

"Tidak ada," kata Ong Poan-hiap.

"Memangnya kau sengaja ingkar janji?"

"Ci-ih-hou sudah meninggal, kepada siapa dapat kuminta obatnya?"

"Sebelum mati Ci-ih-hou telah menyerahkan segalanya kepada Ling-ji dan Cu-ji, lekas kau tanya kedua genduk itu dan minta obat padanya, kalau tidak ...."

"Kalau tidak mau apa?" potong Ong Poan-hiap ketus. "Aku cuma berjanji padamu akan mintakan obat kepada Ci-ih-hou, memangnya pernah kujanjikan akan minta obat pada Ling-ji?"

"Tapi ... tapi ...." Bok-long-kun melenggong dan tidak dapat bicara lagi.

"Jika Ci-ih-hou sudah mati, dengan sendirinya aku tidak dapat lagi minta obat padanya. Kalau aku tidak pernah berjanji akan minta obat kepada Ling-ji, dengan sendirinya pula aku tidak perlu minta obat padanya."

Gelisah dan juga gusar Bok-long-kun, tapi toh tidak berdaya, seketika ia berdiri melongo seperti patung.

*****

Sudah sekian lamanya keadaan di atas kapal layar pancawarna itu masih sunyi.

Hanya suara tangis orang terdengar di sana-sini.

Siaukongcu memburu ke sana dan mendekap pintu ruangan rahasia itu sambil meratap, "Oo ayah, betapa engkau tega men ... meninggalkan anak ...."

Po-ji tidak berani memandang anak dara itu, Cui Thian-ki memegangi pundak anak itu dengan tangan agak gemetar dan mencucurkan air mata. Sekonyong-konyong berkumandang suara orang yang seram dari pantai sana,

"Oh Put-jiu ... Oh Put-jiu ...." suaranya serupa setan merintih.

"Suara siapa itu?" tanya Cui Thian-ki.

"Untuk apa tanya lagi jika sudah kau kenali?" kata Oh Put-jiu.

"Ada urusan apa Bok-long-kun memanggilmu?"

"Dia ingin menagih janji padaku."

"Kau berjanji apa padanya?"

"Aku berjanji padanya akan meracun mati dirimu," tutur Oh Put-jiu.

Tergetar hati Cui Thian-ki, ia terbelalak dan tidak dapat bicara lagi.

Suara Bok-long-kun yang seram itu bergema pula, "Oh Put-jiu ... malam nanti ... tengah malam ...."

"Kau dengar," Oh Put-jiu, "ia suruh kuracunimu tengah malam nanti."

"Memangnya dapat kau laksanakan?" kata Cui Thian-ki dengan tertawa.

"Pada waktu kau lengah, apa susahnya jika hendak meracunimu?"

"Tapi sekarang kutahu kau akan meracuniku, masa aku tidak berjaga-jaga. Bukan mustahil aku akan mencari akal untuk membunuhmu dulu agar tidak mati diracun."

"Betul, turun tangan dulu lebih menguntungkan, memang harus begitu," kata Oh Put-jiu dengan tersenyum.

Kedua orang saling pandang, biji mata berputar dan entah apa yang sedang dirancang mereka.

Kedua orang ini sama cerdik dan licin, untuk menerka pikiran orang bukanlah pekerjaan sulit, sebaliknya apa yang mereka pikir sangat sulit diketahui orang lain.

Sementara itu awan mendung semakin tebal, akhirnya hujan pun turun.

Makin lebat hujan yang turun, para kesatria yang masih berjubel di tepi laut kembali basah kuyup, namun tetap tiada seorang pun yang menyingkir untuk mencari tempat berteduh, semuanya tetap memandangi kapal layar pancawarna dengan termenung.

Kapal layar pancawarna ini pernah mewakili semacam kekuasaan yang sukar dilawan, sumber kekuasaan itu, Ci-ih-hou, kini sudah meninggal, namun kedudukan kapal layar itu dalam pandangan semua orang justru semakin berjaya.

Melihat sikap Oh Put-jiu dan Cui Thian-ki itu, Po-ji merasa khawatir juga.

Perlahan Ling-ji tanya dia, "Apa yang kau khawatirkan?"

"Coba lihat mereka berdua, aku khawatir ...."

"Anak bodoh," ujar Ling-ji. "Jika benar Oh Put-jiu hendak meracun mati dia, mana mungkin ia katakan terus terang padanya?"

"Meski sederhana dalil ini dan dapat diraba setiap orang, tapi untuk digunakan atas diri paman kepala besar dan dia, jelas tidak laku, mereka sama-sama orang aneh ...."

Pada saat itulah tiba-tiba seorang berseru di luar anjungan, "Lokyang Pang Jing ingin menyampaikan sesuatu."

Cepat Ling-ji mengusap air mata dan memapak keluar, "Ada urusan apa?"

Di bawah hujan tampak sebuah sampan meluncur tiba, Pang Jing berdiri di haluan perahu dan berseru, "Atas wafatnya Ci-ih-hou, setiap kawan Kangouw sama menyatakan berdukacita dan sampai saat ini mereka masih berada di pantai untuk membuktikan kepedihan mereka. Jika mereka masih terus berada di situ, kukhawatir akan terjadi sesuatu. Kubicara terus terang tentang ini, harap nona jangan marah."

"Bahkan maksudmu demi kebaikan orang banyak, mana kumarah padamu," kata Ling-ji dengan menyesal. "Cuma beradanya kawan Kangouw di sana adalah kehendak mereka sendiri, cara bagaimana dapat kusuruh mereka pergi?"

"Jika kapal nona ini berlayar keluar teluk ini dan berlabuh lagi di tempat lain, kukira para tokoh Kangouw itu pasti akan bubar, usulku yang bodoh ini entah dapat diterima nona atau tidak?"

"Ehm, boleh juga cara ini ...." ucap Ling-ji setelah berpikir sejenak.

"Tidak jauh di sebelah utara sana ada sebuah muara kecil dan cukup baik untuk berlabuh," tutur Pang Jing.

"Pang-tayhiap sungguh berbudi dan selalu memikirkan kepentingan orang banyak, sungguh hamba sangat berterima kasih," kata Ling-ji sambil menghormat.

Pang Jing melambaikan tangan dan segera putar sampan ke arah pantai.

Meski berdiri di tepi pantai, tapi pergi datangnya sampan ini tidak diperhatikan oleh Ong Poan-hiap, ia menatap Bok-long-kun dan berkata, "Tidak lekas lepaskan tanganmu?"

Bok-long-kun mendelik dengan gemas, akhirnya ia lepaskan cengkeramannya atas lengan orang, katanya bengis, "Jangan kau kira kutakut padamu, hanya lantaran perkataan yang sudah telanjur terucap sehingga aku tidak berdaya padamu."

"Hm, mendingan kau pun bisa pegang pada ucapanmu," ujar Ong Poan-hiap.

"Maka perlu kuberi nasihat sekalian, lebih baik janganlah banyak urusan, tengah malam nanti hendaknya jangan sembarangan bertindak. Kalau tidak, hanya beberapa nona di atas kapal itu sudah cukup untuk melemparkanmu ke laut."

"Huh, kentut!" jengek Bok-long-kun sambil melangkah pergi.

Memandangi bayangan orang, Ong Poan-hiap hanya menggeleng kepala.

Mendadak beberapa anggota Kay-pang yang menyandang beberapa buah karung muncul dari jubelan orang banyak dengan langkah tergesa-gesa dan kelihatan gugup.

Seorang di antaranya mendekati Ong Poan-hiap, memberi hormat dan berkata, "Pangcu mengalami musibah, semalam ...." ia bicara dengan suara lirih sehingga sukar terdengar apa yang dikatakan.

Terlihat air muka Ong Poan-hiap berubah hebat, ia pandang layar yang berwarna-warni itu, lalu menunduk dan termenung sejenak, akhirnya mengentak kaki dan ikut berlalu bersama anak murid Kay-pang.

Dalam pada itu badan kapal layar pancawarna yang besar itu mulai bergerak, meluncur ke arah utara.

Maka terjadi kegemparan di antara orang-orang yang berkerumun di pantai itu, ada yang mengomel, ada yang gegetun. Bok-long-kun berdiri jauh di bawah hujan sana sambil memandangi bayangan kapal layar ini, gumamnya gemas, "Hm, akan ke mana kau pergi ...."

*****

Ternyata cocok dengan perhitungan Pang Jing, begitu kapal layar pancawarna berlayar, segera kawanan orang Kangouw itu pun sama bubar. Menjelang malam suasana pantai sudah bersih dan sunyi, tersisa bekas kaki memenuhi pesisir, suatu tanda di sini belum lama berselang baru terjadi sesuatu yang luar biasa. Tapi bekas kaki itu akhirnya rata juga tersapu oleh air ombak.

Belasan li lebih ke utara memang benar ada sebuah muara kecil.

Ombak mendampar pantai, hujan belum berhenti, malam tambah kelam, kapal layar pancawarna yang besar itu hanya diterangi beberapa lampu yang tampak kelap-kelip dari kejauhan sehingga menambah seramnya kegelapan malam.

Ketika angin malam meniup lewat, mendadak sesosok bayangan muncul serupa hantu, terdengar suara gumamnya, "Kau takkan bisa lolos ...."

Suaranya kaku parau, siapa lagi kalau bukan Bok-long-kun.

Ia sudah berganti pakaian ringkas warna hitam mulus sehingga perawakannya tambah jangkung, ia terjun ke laut dan berenang ke arah kapal, sekali menyelam ia menghilang dalam kegelapan.

Keadaan di atas kapal layar pancawarna itu masih tetap tenang dan kelam.

Bok-long-kun muncul dari dalam laut dan merambat ke atas kapal dengan gesit tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

Siapa tahu, baru saja ia berdiri tegak, tiba-tiba dari dalam anjungan suara seorang menegurnya, "Kau sudah datang?"

Meski lirih suaranya, tapi di tengah malam gelap dan hujan itu cukup membuatnya terperanjat. Serentak Bok-long-kun berpaling.

Terlihat sebuah kepala melongok keluar dari dalam anjungan, seorang lagi menggapai perlahan padanya.

Waktu Bok-long-kun memerhatikan, kiranya orang ini adalah Oh Put-jiu. Legalah hatinya dan cepat melompat ke sana, dengan suara tertahan ia tanya, "Bagaimana, sudah selesaikan tugasmu?"

"Ssst, ikut kemari," desis Oh Put-jiu sembari menarik kepalanya ke dalam.

Bok-long-kun ragu sejenak, tapi segera ia menyelinap ke sana dengan siaga penuh. Dilihatnya ruang anjungan seluas itu sunyi senyap hanya diterangi sebuah lentera.

Angin laut meniup dari jendela sehingga cahaya lentera bergoyang-goyang. Di bawah cahaya lentera yang redup itu, di atas dipan terbujur sesosok tubuh dibalut kain kafan putih.

Terlihat rambut panjang orang ini terurai, tubuh kaku dan tiada tanda bernapas, jelas sudah mati cukup lama.

Biarpun tabah, tidak urung timbul juga rasa seram Bok-long-kun. Ia coba beranikan diri dan melangkah ke sana bersama Oh Put-jiu. Setelah melihat lebih jelas, ia merasa girang.

Kiranya yang terbujur di atas dipan itu tak-lain-tak-bukan ialah Cui Thian-ki, kedua mata terpejam, di bawah cahaya lentera yang guram wajahnya yang pucat kelihatan menakutkan.

Bok-long-kun menyeringai, jengeknya, "Hm, perempuan hina, mampus juga akhirnya kau ...."

Kedua tangannya yang kurus kering serupa kayu itu terjulur terus mencekik leher Cui Thian-ki. Nyata bencinya terhadap perempuan itu sudah merasuk tulang, meski orang kelihatan sudah menjadi mayat tetap tak diampuninya.

Mendadak Oh Put-jiu menarik tangannya dan mendesis, "Ssst, nanti dulu!"

"Ada apa?" tanya Bok-long-kun kurang senang.

"Obat yang kau serahkan padaku itu sudah kuberi minum seluruhnya kepadanya," tutur Put-jiu.

"Kutahu ...."

"Jadi selanjutnya urusanmu dengan dia tiada sangkut paut lagi denganku."

"Sangkut paut apa? Memangnya kau tiada sangkut paut apa pun."

"Baik," kata Put-jiu, segera ia berpaling dan melangkah pergi.

Memandangi bayangan punggung Oh Put-jiu, Bok-long-kun bergumam, "Gila, bocah ini memang orang gila."

Sembari berteriak seram kedua tangannya lantas mencengkeram lagi ke leher Cui Thian-ki.

Tampaknya Cui Thian-ki sudah mati sehingga tidak bergerak lama sekali. Siapa tahu, mendadak perempuan yang kelihatan kaku itu menjulurkan tangan dan secepat kilat pergelangan tangan Bok-long-kun terpencet olehnya. Keruan Bok-long-kun kaget setengah mati, ingin mengelak pun tidak keburu lagi, terdengar suara "krak-krek" dua kali, ruas tulang lengan dan bahu terpuntir

patah.

"Hehe, hanya sedikit obat racunmu itu dapat membunuh diriku?" jengek Cui Thian-ki dengan terkekeh. "Nah, lekas pulang saja, supaya tidak membuatku marah."

Kejut, gemas dan juga gusar Bok-long-kun, tapi ia pun tahu bukan tandingan Cui Thian-ki dengan sebelah tangan, sambil berteriak aneh cepat ia kabur. Terdengar suara debur air di luar, agaknya ia terjun ke laut untuk menyelamatkan diri, lalu tidak terdengar apa-apa lagi selain desir angin laut.

Diam-diam Oh Put-jiu muncul dari tempat sembunyinya, katanya dengan tertawa, "Bagaimana?"

"Meski tidak parah, sedikitnya dapat membuat dia menderita beberapa bulan," ujar Cui Thian-ki dengan tertawa. "Boleh juga akalmu ini, terima kasih."

"Semua itu kan demi kebaikanmu," kata Put-jiu.

"Jangan lupa, aku kan bini besar keponakanmu, jangan omong yang tidak-tidak," kata Thian-ki.

Muka Put-jiu menjadi merah dan tidak bicara lagi.

"Haha, kiranya kau pun bisa malu, tadinya kusangka kulit mukamu setebal tembok," ejek Cui Thian-ki.

Put-jiu berdehem kikuk dan mengeluyur pergi.

Pada saat itulah, dari permukaan laut yang kelam tanpa suara muncul 20-an sosok bayangan, semuanya memakai baju hitam ringkas. Agaknya likuran orang ini sangat mahir berenang sehingga sama sekali tidak menimbulkan suara ketika bergerak di dalam air.

Semuanya memakai kain kedok hitam, hanya kelihatan sinar matanya yang gemerdep, ketika melihat suasana di atas kapal sunyi senyap, serentak mereka merunduk maju mendekati anjungan dengan gerakan enteng dan gesit.

Terdengar Cui Thian-ki lagi tertawa senang di dalam, Ling-ji, Cu-ji dan kawanan gadis muncul bersama Siaukongcu, Pui Po-ji dan Oh Put-jiu, semuanya sudah berganti baju.

"Bok-long-kun tadi ...." belum lanjut Po-ji bicara, mendadak Cui Thian-ki menjerit dan menubruk di atas tubuhnya, keduanya lantas jatuh tersungkur.

Pada saat yang sama terdengar suara mendesir, sebuah senjata rahasia menyambar masuk menyerempet lewat di atas kepala Cui Thian-ki dan menancap pada tiang, kiranya sebatang anak panah kecil.

"Siapa itu?" bentak Ling-ji.

"Di sini kawanan ke-24 siluman pemburu nyawa, jika kalian ingin nyawa hendaknya serahkan harta!" seru seorang di luar.

"Blang", jendela dijebol sehingga kelihatan puluhan orang berseragam hitam ringkas dan berkedok.

Dengan bertolak pinggang dan mendelik Siaukongcu membentak, "Bandit keparat, kau tahu tempat apakah ini, berani main gila kemari!"

Si baju hitam yang menjadi kepala rombongan tertawa seram, jawabnya, "Tuan besar hanya tahu harta mestika, peduli tempat apakah ini. Kalau ingin selamat hendaknya berdiri tegak dan angkat tangan, kalau tidak ...."

"Kalau tidak mau apa?" bentak Ling-ji gusar.

Puluhan orang berseragam hitam sama terkekeh-kekeh, seorang mendadak menghantam ambang jendela sehingga bubuk kayu berhamburan.

Sama sekali Ling-ji tidak mengira kawanan bajak ini memiliki tenaga sehebat ini, nyata semuanya jago silat kelas tinggi. Ia coba menimbang kekuatan pihak sendiri. Bagi diri sendiri dan Cu-ji serta Cui Thian-ki mungkin tidak perlu gentar, tapi kepandaian yang lain jelas sukar melawan musuh sebanyak itu.

Diam-diam ia merasa khawatir, ia coba menggertak, "Kalian berani main gila di sini, apakah kalian ini anak buah si naga jenggot merah?"

"Si naga jenggot merah? Huh, kutu macam apa dia si naga jenggot merah?" jengek orang itu.

"Tidak peduli siapa kalian, yang jelas ayahku telah berkorban bagi dunia persilatan umumnya, beliau baru saja gugur dan segera kalian datang main gila, memangnya kalian tidak punya perasaan?" damprat Siaukongcu.

Orang berbaju hitam itu menengadah dan terbahak-bahak, "Haha, perasaan? Bilakah tuanmu pakai perasaan?"

Sekali ia memberi tanda, serentak likuran orang itu menerobos masuk.

Ling-ji dan Cu-ji terkejut, cepat mereka mengadang ke depan.

Tiba-tiba Cui Thian-ki berseru, "Haha, semula kuheran tokoh macam apakah ke 24 siluman penyambar nyawa itu, baru sekarang kutahu duduknya perkara."

"Kau tahu perkara apa?" bentak orang tadi.

Cui Thian-ki tidak peduli padanya, ia pandang Oh Put-jiu dan menyambung, "Apakah kau paham maksudku?"

"Paham," Put-jiu mengangguk perlahan.

"Sesungguhnya siapakah mereka?" tanya Ling-ji heran.

Dengan perlahan Oh Put-jiu berucap tegas, "Ti-sing-jiu Pang Jing!"

Semua orang terperanjat, orang berbaju hitam yang menjadi pemimpin rombongan itu pun menyurut mundur dua tindak.

"Bagus, kiranya kau," seru Ling-ji. "Jadi sengaja kau minta kami menyingkir ke sini, rupanya sudah kalian rencanakan untuk berbuat cara pengecut agar tidak diketahui orang banyak. Huh, biasanya kau kelihatan seorang kesatria sejati, tak tahunya cuma manusia yang berhati binatang."

"Binatang apa? Pada hakikatnya lebih rendah daripada binatang," kata Siaukongcu.

Mendadak orang yang menjadi pemimpin itu menanggalkan kedoknya sehingga kelihatan wajah aslinya. Nyata dia memang betul Ti-sing-jiu Pang Jing adanya.

Dengan menyeringai Pang Jing berkata, "Tak tersangka kalian pun cerdik sehingga dapat menerka asal usul tuanmu. Sebenarnya mengingat Ci-ih-hou jiwa kalian hendak kuampuni, tapi sekarang, hm, terpaksa kalian harus kami sikat habis."

Sembari menyeringai selangkah demi selangkah ia mendesak maju.

Meski kawanan bajak ini datang dengan siap siaga, tapi menghadapi kawanan dayang di atas kapal Ci-ih-hou, mau tak mau mereka harus berpikir dua kali sebelum bertindak, sebab itulah mereka mendesak maju dengan perlahan hati-hati.

Dari imbangan kekuatan kedua pihak Oh Put-jiu dapat menilai pihak sendiri pasti bukan tandingan kawanan bajak itu setelah berpikir lagi, diam-diam ia mengeluarkan anak kunci emas pemberian Ci-ih-hou dan disisipkan pada gelung rambutnya.

Tiba-tiba terdengar Pang Jing membentak perlahan, serentak likuran orang menerjang maju sekaligus.

"Jaga Siaukongcu, Cu-ji!" seru Ling-ji.

"Aku tidak perlu dijaga orang," teriak Siaukongcu malah.

Jilid 7. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Dalam pada itu salah seorang lelaki jangkung berseragam hitam lantas menubruk ke arah Siaukongcu. Tentunya karena anak dara itu kelihatan lemah dan hendak ditawannya hidup-hidup, maka tidak menggunakan senjata melainkan hendak memegangnya dengan tangan.

Dengan mendelik Po-ji berteriak, "Huh, tidak tahu malu, orang tua hanya pandai menganiaya anak kecil."

Anak ini memang berjiwa luhur, melihat orang terancam bahaya, ia pun lupa akan diri sendiri yang tak mahir ilmu silat, tapi terus mengadang di depan anak dara itu, bahkan mendahului menjotos lelaki jangkung itu.

Namun lelaki jangkung itu juga tokoh persilatan terkenal, mana pukulan Po-ji ini mampu mengenai sasarannya.

"Awas Po-ji ...." seru Cui Thian-ki khawatir.

Belum lenyap suaranya, tahu-tahu Po-ji sudah diangkat orang dan dilemparkan jauh ke sana, "blang", tubuh anak itu membentur dek kapal dan tidak bergerak lagi.

Pucat wajah Siaukongcu, serunya, "Po-ji ...."

"Eh, mestika sayang, jangan urus dia ...." ucap si jangkung sambil menyeringai, ia pentang kedua tangannya yang lebar terus hendak meraih tubuh Siaukongcu yang kecil mungil itu.

Namun Siaukongcu sempat berputar cepat dan menyelinap lewat di bawah tangkapan orang.

"Hehe, boleh juga Ginkangmu, mestika sayang," ejek si jangkung dengan terkekeh, kembali ia pentang kedua tangan dan meraih kian kemari.

Namun Ginkang Siaukongcu memang hebat, cuma Kungfu lain memang agak kurang. Tapi karena orangnya kecil dan langkahnya pendek, ia lari dua-tiga tindak, lawan cukup sekali melangkah saja sudah menyusul sampai di belakangnya.

Ling-ji dan Cu-ji bermaksud membantunya, tapi mereka sendiri kerepotan menghadapi lawan yang lebih banyak.

Tiba-tiba terdengar Siaukongcu menjerit kaget diselingi tertawa mengakak si jangkung, tahu-tahu Siaukongcu sudah terpegang olehnya.

Sementara itu kawanan gadis di atas kapal sudah ada sebagian tak bisa berkutik lagi karena Hiat-to tertutuk musuh. Oh Put-jiu juga mandi keringat, akhirnya tidak tahan dan roboh terkulai.

Hanya Cui Thian-ki saja yang gesit masih sanggup berputar kian kemari di bawah kerubutan musuh, akan tetapi juga lebih banyak bertahan daripada balas menyerang, melihat gelagatnya, dalam waktu tidak lama ia pun akan kecundang.

Meski Kungfu Ling-ji dan Cu-ji cukup tinggi, tapi kebanyakan cuma teori saja dan kurang pengalaman tempur, tenaga pun kalah kuat. Maka hanya sebentar saja mereka sudah mandi keringat.

"Nona Cui, lekas kau lari saja, tidak perlu urus kami lagi," seru Cu-ji.

"Tidak, aku tidak dapat pergi," kata Cui Thian-ki tegas.

Cu-ji sangat terima kasih, dengan suara gemetar ia berkata pula, "Nona Cui, jangan ...."

"Jangan salah paham," ucap Cui Thian-ki dengan tersenyum, "Bukan maksudku hendak mengorbankan jiwa percuma bagi orang lain. Soalnya kapalmu jauh dari pantai, aku sendiri tidak mahir berenang."

Dalam keadaan bahaya ia masih dapat bicara dan tertawa, sengaja bergurau dan setengah mengejek.

Bagi pendengaran Ling-ji dan Cu-ji, ucapan Cui Thian-ki itu membuat mereka rada runyam.

Mendadak seorang lelaki menubruk maju, tapi sekali bergebrak kontan Ling-ji dapat menutuknya. Gerak tutukan Ling-ji ini sungguh sangat aneh dan sukar diduga, biarpun tenaganya sudah mulai lemah, namun kepandaiannya menutuk Hiat-to yang lihai ini membuat lawan tidak berani sembarangan mendekat.

"Pang-toako," teriak seorang lelaki pendek kecil dengan suara serak, "beberapa perempuan ini cukup tangguh, apakah perlu kugunakan cara istimewa?"

"Coba saja," jawab Pang Jing tertawa.

"Baik," kata si pendek kecil, berbareng ia melompat ke samping seorang gadis yang tertutuk dan tak bisa berkutik.

Belasan gads yang tertutuk telah digusur ke pojok dinding kapal sana.

Meski Hiat-to mereka sama tertutuk, namun mereka masih sadar, semuanya tampak pucat ketakutan.

Si pendek kecil menyeringai dan mencolek pipi seorang gadis, katanya dengan terkekeh, "Hehe, mestika sayang, wah, putih dan halus juga!"

Melihat kelakuan orang, Ling-ji berseru khawatir, "Keparat, akan ... akan kau apakan dia?"

Orang itu tertawa dan mengejek, "Coba katakan, akan kuapakan dia?"

Mendadak tangannya meraih sehingga baju gadis tadi terobek dan tertampaklah kulit badannya yang putih halus.

"Kau bin ... binatang!" teriak Ling-ji gemetar.

"Ya, aku memang binatang," kata si pendek. "Hehe jika kau tidak menurut, sebentar akan terjadi lagi yang lebih hebat."

Sambil bicara tangan pun bekerja, dirabanya pinggang si gadis terus ke bawah hingga pinggul yang padat, dengan cengar-cengir pula.

Keruan gadis itu ketakutan, sorot matanya menampilkan rasa mohon kasihan serupa anak domba yang akan disembelih. Tubuhnya yang putih mulus itu kelihatan gemetar.

Sembari bertempur, Ling-ji dan Cu-ji juga memerhatikan apa yang terjadi di sebelah sini, dengan sendirinya mereka pun khawatir.

Lelaki jangkung yang lain juga telah mengangkat tinggi Siaukongcu, katanya sambil menyeringai, "Hah, budak cilik ini pun tidak kecil lagi, apakah kau ingin melihatnya ...."

"Lepaskan dia, lepaskan ...." teriak Ling-ji parau.

"Jangan menyerah," seru Cui Thian-ki. "Ingat, jika kita sama jatuh ke dalam cengkeraman kawanan binatang ini, akibatnya sukar dibayangkan."

"Tapi ... tapi ...." teriak Ling-ji setengah meratap.

Pada saat itulah mendadak lentera yang menyala semua padam sekaligus.

Meski di luar ada cahaya bintang, namun karena cahaya lampu padam serentak, pandangan semua orang seketika kabur dan tidak melihat apa pun. Hanya hidung semua orang segera mencium semacam bau harum yang aneh.

Menyusul dari luar anjungan tiba-tiba melayang masuk lagi puluhan bayangan emas serupa hantu dan seperti badan halus, tapi juga serupa binatang aneh.

Komplotan Pang Jing itu kebanyakan adalah tokoh Kangouw yang biasa membunuh orang tanpa kenal ampun, tapi sekarang mereka pun merasa ngeri menyaksikan puluhan bayangan emas serupa hantu itu, tanpa terasa mereka sama menyurut mundur dan berjubel menjadi satu.

Ling-ji, Cu-ji dan Cui Thian-ki juga lantas menyingkir ke pojok sana dengan tangan berpegang tangan.

Kini semua orang sudah dapat melihat bahwa bayangan emas itu bukan setan iblis atau badan halus, tapi mirip bayangan manusia, dan bau harum tadi pun tersiar dari tubuh orang-orang ini.

Sekonyong-konyong entah dari mana datangnya, berpuluh garis cahaya kuat memancar ke arah tubuh bayangan manusia warna emas itu sehingga membuat pandangan semua orang sama silau.

Sejenak kemudian barulah semua orang dapat melihat jelas bayangan emas itu terdiri dari kawanan gadis yang berpotongan tubuh ramping dengan rambut panjang tersampir di pundak, tubuh kawanan gadis jelita itu rata-rata sangat montok menggiurkan, seperti tidak mengenakan sepotong kain pun, namun penuh dilumuri bubuk emas yang sangat aneh dan memancarkan cahaya emas di

bawah cahaya yang terang.

Melihat tubuh yang penuh daya tarik, terlebih bau harumnya yang aneh itu, barang siapa mengendus bau harum itu seketika akan timbul semacam perasaan syur yang sukar dilukiskan.

Pada saat perasaan semua orang terombang-ambing itulah sekonyong-konyong kawanan gadis warna emas sama pentang tangan dan tertawa genit menubruk ke arah orang-orang berseragam hitam.

Meski kawanan orang berseragam itu sudah berpengalaman tempur, tapi dalam keadaan demikian menghadapi lawan aneh begini, seketika mereka menjadi gugup. Sementara itu kawanan gadis warna emas sudah menerjang tiba dan mereka masih berdiri melongo, tidak mengelak juga tidak menangkis. Maklumlah, tubuh yang montok dengan bau harum yang menggiurkan itu membuat mereka

lupa daratan.

Dan ketika mereka terkejut sadar, ingin menghindar pun sudah kasip.

Lebih 20 anak gadis berwarna emas itu tahu-tahu sudah menubruk ke atas tubuh kawanan orang berseragam hitam, kedua tangan mereka menyusup ke belakang dan merangkul bahu dengan erat, kedua kaki mereka yang panjang juga mencawat ke belakang tubuh lawan, ujung kaki tepat mengait bagian lutut.

Sepintas pandang serupa pasangan muda-mudi yang sedang pacaran dengan mesranya, sama sekali tidak ada tanda orang yang sedang bertempur atau saling bunuh.

Semua orang sudah sering menyaksikan adegan pertempuran sengit, tapi mimpi pun tidak pernah melihat cara bertempur yang aneh itu. Keruan semua orang sama melenggong.

Kawanan orang berseragam hitam selain kejut dan heran, terasa pangkuan masing-masing terangkul juga sesosok tubuh yang panas serupa api, pikiran mereka terguncang dan pandangan kabur, kaki tangan pun tidak bertenaga, mana lagi sanggup bertempur.

"Kita orang apa?" terdengar salah seorang gadis warna emas itu berteriak.

Serentak kawanan gadis emas yang lain menjawab lantang, "Wi-kim-mo-li!"

Di tengah suara nyaring itu terdengarlah suara "krak-krek" beruntun-runtun disusul suara jeritan ngeri, lalu suara tertawa genit menggiurkan kawanan gadis warna emas.

Waktu kawanan gadis emas itu melompat turun dari tubuh lawan, serentak kawanan orang berseragam hitam sama roboh dengan merintih tanpa bergerak lagi.

Rupanya kawanan gadis emas yang menamakan dirinya "Wi-kim-mo-li" atau gadis iblis emas murni ini dalam sekejap saja telah membuat remuk ruas tulang bahu dan lutut kawanan orang berseragam hitam itu.

Keruan orang-orang lain yang menyaksikan itu sama melongo pucat, hanya Cui Thian-ki saja yang tetap tenang, sama sekali tidak gugup, sebaliknya kelihatan senang.

Pang Jing tampak mandi keringat, ucapnya dengan gemetar. "Jadi kalian Wi-kim-mo-li dari barat ...."

Tiba-tiba seorang menanggapi dengan suara melengking tajam, "Betul, ternyata luas juga pengetahuanmu!"

Suaranya nyaring serupa benda logam yang bergesek dan mengilukan.

Tambah takut Pang Jing, ucapnya gemetar, "Kim ... Kim-locianpwe, selamanya tiada permusuhan apa pun antara kita, ken ... kenapa engkau ...."

"Kentut!" bentak orang di luar anjungan itu. "Biarpun Ci-ih-hou bukan manusia baik, tapi kawanan dayangnya masakah boleh sembarangan disentuh oleh kawanan anjing seperti kalian ini?"

Lebih dulu ia memaki Ci-ih-hou bukan manusia baik, rasanya ia pun menaruh hormat kepada tokoh misterius itu, maka sukar diketahui sesungguhnya dia kawan atau lawan Ci-ih-hou.

Kawanan gadis merasa kejut dan girang. Bilamana orang ini adalah kawan Ci-ih-hou, maka musibah hari ini tentu akan berubah menjadi selamat. Sebaliknya kalau orang ini bukan kawan Ci-ih-hou, maka urusan pasti akan runyam.

Cui Thian-ki masih kelihatan tenang-tenang saja, agaknya ia sudah dapat meraba asal usul dan siapa pendatang ini.

Orang lain sama memandang keluar anjungan, sebab pendatang ini apakah baik atau busuk, kawan atau lawan, betapa pun pasti seorang tokoh yang terkemuka dan berharga untuk ditonton.

Mendadak cahaya emas berkilauan, sepotong lonjoran emas sepanjang tiga kaki terlempar masuk dengan cepat, dan begitu lonjoran emas jatuh ke lantai baru terlihat jelas lonjoran emas ini adalah manusia.

Perawakan orang ini tidak lebih dari satu meter, sekujur badan gemerdep warna emas, baju yang dipakainya entah terbuat dari bahan apa, kepala memakai kopiah raja emas berbentuk aneh, namun jelas sangat berat, jika terpakai di atas kepala orang lain bisa jadi tulang leher akan tertindih patah.

Yang paling aneh adalah jenggotnya yang panjang melebihi tubuhnya itu terseret menyentuh lantai, warna jenggotnya juga kuning emas sehingga kelihatan aneh dan lucu.

Bentuk orang ini jelas sangat lucu, tapi demi melihat dia, semua orang tiada lagi yang merasa geli, malahan lebih banyak yang gemetar ketakutan.

Serentak kawanan gadis warna emas tadi sama menyembah, tubuh mereka yang menggiurkan serupa patung bidadari emas yang memesona.

Kakek berjenggot emas itu terbahak-bahak, serunya, "Haha, bagus, bagus, mendingan kalian tidak membikin malu padaku."

Memangnya suaranya terasa mengilukan, sekarang suara tertawanya tambah membuat telinga orang mendengung. Siapa pun sukar membayangkan bahwa orang tua yang bertubuh kerdil ini bisa mengeluarkan suara sekeras ini.

Mendadak suara tertawa si kakek berjenggot emas terhenti, sorot matanya beralih ke tubuh Cui Thian-ki.

Bukan saja seluruh tubuhnya berwarna emas, sampai sorot matanya juga memancarkan cahaya keemasan, asalkan beradu pandang dengan dia tanpa terasa akan timbul rasa ngeri.

Namun wajah Cui Thian-ki justru menampilkan senyuman genit dan menggiurkan.

Kim-si-lojin alias si kakek berjenggot emas tertawa, serunya, "Aha, bagus, tak tersangka si budak Cui juga berada di sini."

"Bagus, bagus, tak terduga Kim-ho-ong akan hadir kemari!" Cui Thian-ki menanggapi dengan tertawa.

Cara bicaranya sengaja menirukan lagak lagu si kakek yang disebut Kim-ho-ong (Raja Sungai Emas) itu, dan caranya menirukan ternyata sangat persis sekali. Sampai kawanan gadis berwarna emas tadi juga terbelalak heran.

Ling-ji dan lain-lain terkejut dan bergirang, pikir mereka, "Ah, syukurlah nona Cui kenal dia, agaknya kita akan tertolong. Selain bentuknya aneh, nama orang tua ini juga lucu, entah mengapa disebut Kim-ho-ong?"

Betapa pun mereka orang muda, begitu hilang rasa takutnya lantas mulai memikirkan hal-hal yang lucu.

Kim-ho-ong tertawa keras, katanya, "Budak kurang ajar, berani kau tirukan suara paman Kim?"

Biji matanya yang berwarna keemasan berputar, lalu berucap pula dengan menyesal, "Tapi budak Cui, sering kau omong besar betapa tinggi kepandaianmu, setelah kusaksikan sendiri tadi, sungguh aku sangat kecewa."

"Oo? ...." Cui Thian-ki tertawa.

"Jika kau berada di sini, mengapa kau biarkan kawanan dayang Ci-ih-hou dan putrinya dianiaya kawanan binatang ini, sungguh aku pun kehilangan muka atas ketidakbecusanmu," omel Kim-ho-ong sambil menggeleng kepala.

Agaknya dia sangat mendongkol sehingga jenggotnya yang panjang ikut bertebaran tertiup angin sehingga sekilas pandang serupa arus air sungai yang berwarna emas.

Baru sekarang kawanan ini tahu arti nama orang tua itu, rupanya karena jenggotnya yang bergerak seperti arus itu.

"Kawanan binatang ini memang menggemaskan," kata Cui Thian-ki kemudian.

"Entah cara bagaimana engkau akan membereskan mereka?"

"Mengingat di antara mereka ada juga yang kenal asal usulku, bolehlah mereka diampuni ...." ucap Kim-ho-ong.

Pang Jing dan begundalnya menjadi girang, sebaliknya kawanan gadis merasa penasaran.

Tak terduga Kim-ho-ong lantas menambahkan, "Dan bolehlah kematian mereka diberi keringanan, biar mereka mati dengan tubuh sempurna."

Ucapan ini selain membuat kawanan orang berseragam hitam merasa ngeri, para gadis juga terperanjat. Siapa pun tidak menyangka si kakek emas bisa bertindak sekeji ini, katanya hendak mengampuni orang, namun nyawa orang tetap harus dilenyapkan.

Dengan suara parau Pang Jing berteriak, "Wi-kim-kiong ...."

Belum lanjut ucapannya dua gadis emas sudah menarik tubuhnya terus dilemparkan keluar, kontan tubuh Pang Jing menerobos jendela dan jatuh di tengah laut.

Menyusul lantas terdengar suara "plang-plung" berulang, dalam sekejap saja likuran orang berseragam hitam itu sudah dilempar semua ke laut.

Orang-orang berseragam hitam itu sudah cacat badan, dengan dilempar ke laut, jelas nyawa mereka pasti amblas.

Kim-ho-ong terbahak-bahak sambil meraba jenggotnya yang panjang, katanya, "Nah, baru sekarang beres seluruhnya. Kawanan lelaki yang bertubuh sempurna itu paling membuatku benci."

Waktu ia berpaling, mendadak ia menuding Oh Put-jiu dan membentak, "Kenapa masih tersisa satu, lemparkan sekalian!"

Keruan Cu-ji dan Ling-ji terkejut. Terlihat kawanan gadis emas sudah mulai mengangkat tubuh Oh Put-jiu.

Tadi Ling-ji dan Cu-ji sudah menyaksikan Kungfu kawanan gadis emas yang hebat dan aneh itu, mereka sadar melulu tenaga sendiri sukar menyelamatkan Oh Put-jiu, tapi apa pun juga mereka tidak dapat menyaksikan si kepala besar dilempar ke laut begitu saja. Serentak mereka lantas melompat maju menghalangi daun jendela.

"Dia ... dia bukan komplotan kawanan orang berseragam, juga tiada permusuhan apa pun dengan kalian, mengapa kalian hendak membunuhnya?" teriak Ling-ji.

"Setiap lelaki di dunia ini pantas mampus semua, tahu tidak?" ucap Kim-ho-ong.

"Nah, lekas minggir?!"

Kejut dan gusar juga Ling-ji, teriaknya, "Jika begitu, memangnya setiap lelaki di dunia ini harus kau binasakan seluruhnya dan tersisa engkau sendiri saja baru puas, begitu?

"Ya, memang begitu, sebab ...."

Belum lanjut ucapan Kim-ho-ong, mendadak Cui Thian-ki menukas, "Sebab setelah setiap lelaki di dunia ini mati ludes, maka tiada orang yang merasakan dia terlebih cebol daripada lelaki lain."

Kim-ho-ong tertawa keras, "Ya, betul, tahu juga kau."

Watak kakek kerdil ini sungguh sangat aneh dan jarang ada bandingannya, pada waktu tidak perlu marah, ia justru marah. Sekarang ia disindir oleh Cui Thian-ki, ia berbalik tidak memperlihatkan rasa gusar.

Maka Cui Thian-ki berkata pula, "Tapi bila kau bunuh orang ini, ibuku pasti tidak suka, tatkala mana bila ibu tidak gubris lagi padamu, tentu bisa runyam bagimu."

"Oo, apa betul?" tampak Kim-ho-ong melenggong.

"Siapa yang berani menipumu?"

Kembali Kim-ho-ong melenggong, mendadak ia mengentak kaki dan memukuli dada sendiri, papan geladak sampai berbunyi keras.

Melihat kegusaran kakek itu, kawanan gadis sama melengak, disangkanya sekali ini Oh Put-jiu pasti akan terbunuh.

Tak tersangka setelah berjingkrak sejenak, Kim-ho-ong lantas berteriak lagi, "Lepaskan bocah buruk itu, lempar ke belakang dan jangan sampai kulihat dia lagi."

Dan sekali lempar, kawanan gadis emas itu lantas melemparkan Oh Put-jiu ke belakang anjungan.

Selang sejenak, setelah Ling-ji tenang kembali, perlahan ia tampil ke muka dan memberi hormat, katanya, "Cianpwe telah membebaskan kami dari kesukaran, entah cara bagaimana kami harus membalas budi pertolongan ini."

"Betul, aku sudah menyelamatkan nyawa kalian," seru Kim-ho-ong, "kalian memang pantas membalas kebaikanku ini. Cara bagaimana kalian akan membalas budi, boleh kau katakan sendiri saja."

Ling-ji berpikir sejenak, ucapnya kemudian, "Ada juga Houya meninggalkan sedikit harta benda ...."

Kim-ho-ong tergelak, "Haha, harta benda? Siapa yang menghendaki harta bendamu? Setiap orang tahu Wi-kim-kiong kaya raya tiada tandingan, memangnya kedatanganku ini ingin mencari harta?"

Ling-ji melengak, ia coba melirik kawanan gadis emas, ucapnya dengan gugup, "Habis Cianpwe ingin ... ingin apa?"

"Kau pun tidak perlu khawatir akan kubawa pergi kalian," kata Kim-ho-ong pula.

"Meski aku pun penggemar perempuan cantik, tapi pelayan orang lain rasanya tidak sudi kugaet."

Baru sekarang Ling-ji mengembus napas lega, ucapnya hampa, "Entah Cianpwe ingin memberi pesan apa?"

Mendadak Kim-ho-ong berhenti tertawa, katanya dengan menarik muka, "Kedatanganku ini hanya ingin mencari berita satu orang. Permusuhanku dengan orang ini sedalam lautan dan tidak mungkin hidup bersama. Jika tidak kutemukan jejaknya dan membunuhnya, selama hidupku ini takkan tenteram."

Ia bicara dengan penuh rasa dendam kesumat sehingga membuat ngeri orang yang mendengarkan.

"Entah ... entah siapakah orang ini?" tanya Ling-ji dengan rada gemetar.

Gemertuk gigi Kim-ho-ong saking geregetan, katanya. "Dia bukan lain Suheng Ci-ih-hou yang busuk itu, ia ketakutan padaku sehingga bersembunyi seperti kura-kura. Di seluruh jagat ini hanya Ci-ih-hou saja yang tahu jejaknya."

"Tapi ... tapi agak terlambat kedatangan Cianpwe, sebab Houya kami sudah ... sudah wafat," ucap Ling-ji.

"Huh, memangnya kau kira aku tidak tahu dia sudah mampus," kata Kim-ho-ong dengan terkekeh. "Justru lantaran dia sudah mati, maka kudatang kemari. Mungkin kalian tidak tahu sudah belasan tahun kutunggu kematiannya dan selama itu belum terjadi. Ketika kudengar kabar dia akan bertanding pedang dengan orang, segera juga kususul kemari, ingin kulihat dia mampus di bawah pedang orang ...."

"Tapi dengan wafatnya Houya, kan tiada orang lain lagi yang tahu jejak ...."

"Haha, memangnya orang macam apa diriku ini sehingga dapat kau bohongi?" Kim-ho-ong tertawa aneh pula. "Hubungan Ci-ih-hou dengan Suhengnya lain daripada yang lain, bila Ci-ih-hou mati, mustahil dia tidak meninggalkan pesan apa-apa padamu? Terlebih si tokoh berbaju putih itu menyatakan tujuh tahun kemudian akan datang lagi, masakah Ci-ih-hou tidak menunjuk seseorang agar

datang kepada Suhengnya untuk minta belajar?"

Air muka Ling-ji berubah, ucapnya tergegap, "Tapi ... tapi ...."

"Tapi apa?!" bentak Kim-ho-ong. "Ayo, lekas kalian mengaku terus terang di mana dia tinggal, kalau tidak, jangan menyesal jika terpaksa aku bertindak kasar padamu."

Meski biasanya Ling-ji pintar omong dan pandai putar lidah, tidak urung sekarang ia menjadi gelagapan.

Kim-ho-ong menarik sebuah kursi, ia melompat ke atas kursi dan duduk bersila di situ, katanya sambil memberi tanda kepada kawanan gadis emas, "Ayo lekas menyanyi, bawakan lagu yang enak didengar!"

Kawanan gadis emas itu mengiakan, segera mereka menyanyi. Meski suara mereka cukup merdu, namun kaku dan dingin, sedikit pun tidak enak didengar.

"Sehabis mereka bernyanyi dan kalian belum juga memberi keterangan, segera akan kuhajar adat padamu," ucap Kim-ho-ong, lalu ia pejamkan mata untuk mengumpulkan semangat.

Ternyata lagu yang dibawakan gadis emas itu kemudian berubah menjadi merdu merayu dengan lirik yang porno sehingga membuat para pendengar terkesima dan akhirnya tidak tahan.

Mendadak Cui Thian-ki berseru, "Sudahlah, jangan nyanyi lagi!"

"Siapa itu yang bilang?" bentak Kim-ho-ong sambil membuka mata.

"Ai, seumpama mereka menyanyi tiga hari tiga malam dan orang tetap tidak mau bicara sekata pun, lain bisa apa?" ujar Cui Thian-ki.

Serentak Kim-ho-ong melompat turun, dampratnya sambil menuding Cui Thianki, "Budak busuk, jelas kau sendiri anggota keluarga Ngo-heng-sin-kiong kita, mengapa kau bicara membela orang lain?"

"Aku tidak bermaksud membela orang luar," sahut Cui Thian-ki dengan tertawa.

"Aku hanya bicara menurut fakta saja, memangnya engkau lebih suka aku dusta padamu."

Kim-ho-ong memberi tanda sehingga suara nyanyi segera berhenti, dengan gemas ia melototi Ling-ji dan Cu-ji hingga sekian lama, mendadak ia membentak, "Kalian mau mengaku atau tidak?"

Namun Cu-ji dan Ling-ji tetap bungkam tanpa bersuara.

"Nah, apa kataku, betul tidak?" ujar Cui Thian-ki dengan tertawa.

Kim-ho-ong berjingkrak murka, tapi semakin garang ia mencaci maki, semakin rapat pula Ling-ji dan Cu-ji membungkam.

Cui Thian-ki berdiri bersandar dinding dengan santai, ucapnya perlahan, "Jika engkau percaya dan mau menurut, hendaknya engkau pulang saja supaya tidak bikin rusak kesehatanmu sendiri jika terus marah-marah di sini."

Kim-ho-ong termangu-mangu sejenak, tiba-tiba ia tertawa keras lagi, katanya, "Haha, bagus, ingin kulihat apakah kalian mau mengaku atau tidak?"

Segera ia mengeluarkan segulung kawat emas.

Panjang kawat emas ini tampaknya ada beberapa tombak, halus serupa benang, mirip benang sulam yang biasa dipakai orang perempuan, siapa pun tidak tahu apa gunanya kawat emas lembut ini bagi Kim-ho-ong.

Hanya Cui Thian-ki saja yang tahu apa gunanya kawat emas itu, mendadak air mukanya berubah.

Dalam pada itu Kim-ho-ong telah mengayun tangannya sehingga gulungan kawat emas itu terjulur panjang ke depan dan tertarik hingga lurus.

"Hehe, coba, kau mengaku atau tidak?" dengan terkekeh Kim-ho-ong lantas menyabetkan kawat emas itu ke tubuh kawanan gadis.

Kawat emas itu beberapa tombak panjangnya sehingga setiap anak gadis itu rata-rata tersabet oleh kawat itu. Orang mungkin menyangka kawat emas selembut itu takkan menimbulkan rasa sakit meski tersabet. Ternyata tidak demikian halnya, begitu sabetan menyentuh badan, kontan baju kawanan gadis itu sama robek berkeping-keping sehingga kelihatan kulit badan yang putih

bersih dan babak belur.

Karena Hiat-to mereka tertutuk sehingga tidak dapat bergerak, ingin menjerit pun tidak bisa, hanya wajah mereka kelihatan ketakutan dan menahan rasa sakit.

Ling-ji dan Cu-ji berteriak terus menubruk maju, segera mereka bermaksud menarik kawat emas. Siapa tahu kawat emas lembut itu ternyata bergerak serupa ular hidup, sekali berputar dan melingkar balik, kontan Ling-ji berdua juga tersabet.

Tergetar tubuh Ling-ji dan Cu-ji, sabetan kawat emas itu serupa besi panas yang menyengat tubuh, sakitnya sukar dilukiskan.

"Nah, mengaku tidak?" bentak Kim-ho-ong pula dengan terkekeh. Melihat orang lain tersiksa, tampaknya dia sangat senang, tangan bergerak dan kawat emas segera hendak menyabet pula.

Ling-ji dan Cu-ji menjadi nekat dan bermaksud menerjang musuh untuk melabraknya.

Mendadak terdengar seorang berteriak, "Berhenti dulu, akan kukatakan!"

"Haha, bagus, akhirnya ada juga yang mengaku!" seru Kim-ho-ong dengan tertawa, sekali sendal, kawat emas panjang itu melingkar balik dan tergulung menjadi satu.

Maka terlihatlah seorang anak lelaki dengan mata besar dan hidung mancung muncul dari pojok ruang sana. Siapa lagi dia kalau bukan Pui Po-ji. Entah sejak kapan dia sudah siuman.

"Huh, setan cilik macam dirimu ini tahu apa?" omel Kim-ho-ong dengan kening bekernyit.

Berbareng Ling-ji dan Cu-ji lantas berteriak juga, "Po-ji, tidak boleh kau katakan."

Semula Kim-ho-ong tidak percaya anak sekecil itu tahu sesuatu, demi mendengar ucapan Ling-ji dan Cu-ji, ia menjadi girang, sebab kalau benar anak bocah ini tidak tahu apa-apa, tentu Ling-ji berdua tidak perlu khawatir.

Sekali lompat segera Kim-ho-ong mendekati Po-ji, ucapnya dengan tertawa, "Anak sayang, lekas katakan apa yang kau ketahui, sebentar kakek memberikan permen untukmu."

Ia menjulurkan tangan dan bermaksud membelai kepala Po-ji, sayang ia terlampau kerdil, lebih pendek satu kepala daripada Po-ji, dengan sendirinya sukar meraba kepala anak itu.

Mendadak Po-ji mendelik dan menjawab, "Engkau kakek siapa?"

Kim-ho-ong melenggong, lalu tergelak dan berkata, "Haha, bagus, bagus! Aku kakek orang lain!"

Po-ji tertawa, katanya, "Bagus, adik cilik berjenggot panjang, beginilah baru kakak sayang padamu, sebentar kakak membelikan permen untukmu."

Kembali Kim-ho-ong melenggong, seperti mau marah, tapi urung sehingga sikapnya kelihatan kikuk, hanya meraba jenggot terus-menerus.

Bilamana tidak lagi tertekan perasaannya, tentu Ling-ji dan Cu-ji sudah tertawa geli.

Segera Po-ji bertutur, "Setelah Ci-ih-hou wafat, pernah dia tinggalkan sepucuk surat wasiat, pada sampul surat tertulis alamat Suhengnya. Surat wasiat itu sekarang berada pada siapa, hal ini tentu sangat ingin kau ketahui bukan?"

"Ya, betul, lekas berkata," seru Kim-ho-ong girang.

"He, bicara dengan Toako, mana boleh sekasar ini?!" omel Po-ji.

Kim-ho-ong berdehem kikuk, diam-diam ia memaki di dalam hati, "Binatang cilik, sebentar bila sudah kau katakan, bisa kurobek tubuhmu."

Tapi sebelum Po-ji bertutur, andaikan dia disuruh memanggil anak itu sebagai kakek mungkin juga akan dilakukannya.

Terpaksa ia terkekeh dan menjawab, "Oya, Toako, mohon lekas menjelaskan."

Cui Thian-ki tertawa mengikik geli, serunya, "Hihihi, lucu bin aneh, lelucon setiap tahun terjadi, baru ini terlebih lucu. Kakek jenggot panjang justru memanggil Toako kepada seorang anak kecil!"

Ling-ji dan Cu-ji tidak tahan lagi rasa gelinya, mereka mengikik tawa. Tapi demi teringat kepada persoalan rumit yang belum terpecahkan, air mata mereka hampir menitik lagi.

Terdengar Po-ji berkata, "Jika kau minta Toako bicara, mudah saja. Cuma anak gadis ini sama sekali tiada permusuhan denganmu, lebih baik kau bebaskan mereka pergi saja."

Gemertuk gigi Kim-ho-ong saking geregetan, tapi di mulut terpaksa menjawab, "Ah, gampang, gampang ...."

Lalu ia memberi tanda, "Buka Hiat-to mereka dan bebaskan mereka pergi!"

Hendaknya maklum, dengan susah payah ia berusaha mencari tahu tempat pengasingan Suheng Ci-ih-hou, segala urusan lain dapat dikesampingkannya. Kalau tidak, masakah dengan kedudukannya yang diagungkan sudi menyebut "Toako" kepada Pui Po-ji?

Maka dengan gerak cepat kawanan gadis emas tadi lantas bekerja, hanya sekejap saja kawanan gadis lantas dapat bergerak bebas.

Keadaan kawanan gadis itu agak mengenaskan, baju robek dan muka pucat, badan babak belur pula, berdiri saja tampak lemas, dan tangan mereka berusaha menutupi bagian badan yang terbuka, dengan wajah memelas mereka memandang Ling-ji dan Cu-ji.

Namun Ling-ji dan Cu-ji sendiri juga berlinang air mata, mereka menunduk dan berucap lemah, "Kalian lekas pergi saja ...."

Po-ji tidak tega memandang mereka, ia cuma berseru, "Peti yang terletak di pojok sana itu memang bagian mereka, bagaimana kalau diberikan juga kepada mereka."

"Oya, boleh, boleh saja ...." kata Kim-ho-ong sambil memberi tanda.

Hanya sekejap saja kawanan gadis emas sudah mengangkat puluhan peti harta itu ke depan kawanan gadis jelita.

Terpaksa kawanan gadis itu angkat kaki dengan menerima pesangon itu. Biarpun mereka tidak mau pergi, terpaksa mereka pergi dengan perasaan berat. Betapa pun mereka adalah anak perempuan yang tidak tahan siksa dan hinaan lagi.

"Budak busuk!" bentak Kim-ho-ong. "Tidak lekas enyah, mau tunggu apa lagi? Apa minta kuhajar pula?"

Dengan gemetar kawanan gadis itu sama berlutut di depan Ling-ji dan Cu-ji sambil meratap, "Maaf, kami ... kami menyesal ...."

"Tidak, Houya pasti tidak menyalahkan kalian," ujar Ling-ji. "Sekarang lekas kalian pergi saja."

"Betul, Houya memang juga menyuruh kalian lekas pergi, maka lekaslah berangkat, bila terlambat lagi mungkin menjadi kasip seterusnya," tukas Cui Thian-ki sambil membagikan peti harta benda itu.

Berulang Kim-ho-ong mengentak kaki dan membentak agar kawanan gadis itu lekas enyah.

Akhirnya kawanan gadis itu melangkah pergi, sebelum keluar anjungan, tanpa terasa mereka sama menoleh memandang sekejap kepada Po-ji, meski cuma sekilas pandang saja, namun sorot mata mereka yang pedih dan terima kasih itu cukup membuat Po-ji takkan lupa selamanya.

Malam bertambah larut, kabut tambah tebal sehingga cahaya bintang pun guram.

Terlihat belasan sosok bayangan emas kecil menjinjing lentera, ada yang duduk dan ada yang berdiri sama berpegangan pada tambang layar di sekitar anjungan, cahaya lentera menembus ke dalam anjungan melalui jendela yang terbuka.

Bayangan emas kecil itu tampaknya serupa benar dengan Kim-ho-ong, tapi bila diawasi baru ketahuan "mereka" tidak lain adalah belasan ekor kera berbulu emas yang sudah terlatih sehingga paham benar kehendak sang majikan.

Di samping kapal layar terdapat belasan rakit kulit yang ringan, mungkin rakit yang digunakan Kim-ho-ong dan rombongannya. Rakit kulit yang enteng dan gesit sehingga tidak menimbulkan suara ketika meluncur di permukaan air.

Kawanan gadis menurunkan sampan, lalu berangkat dengan menahan isak tangis.

Kim-ho-ong sudah tidak sabar menunggu lagi, segera ia terkekeh dan menegur Pui Po-ji, "Nah, mereka sudah pergi. Sekarang tentunya dapat kau katakan siapa yang memegang surat wasiat tinggalan Ci-ih-hou."

"Ya, berada padaku sendiri," jawab Po-ji.

"Oo, berada ... berada padamu?!" Kim-ho-ong menegas. "Wah, bagus sekali. Nah, serahkan padaku."

Tapi Po-ji hanya menatapnya dengan pandangan tajam, sorot matanya menampilkan sikap yang aneh, seperti mengejek, serupa juga senang, "Kau tidak dapat mengambilnya."

"Binatang cilik," Kim-ho-ong menyeringai. "Apakah kau pun ingin tahu rasa?"

Mendadak Po-ji tertawa, ejeknya, "Huh, kau monyet emas tua bangka, kenapa tidak kau bunuh diriku dan makan diriku atau bakar diriku, yang jelas surat wasiat itu takkan dapat kau ambil, sebab surat wasiat itu sudah kumakan di dalam perut."

Kejut dan girang Ling-ji dan Cu-ji, akhirnya terharu juga dan mencucurkan air mata pula, mencucurkan air mata bagi Pui Po-ji. Siapa pun tidak menyangka anak sekecil ini sedemikian berani dan sedemikian cerdik.

Kim-ho-ong seperti disambar petir dan termangu-mangu, mendadak ia membentak murka, "Binatang cilik, akan kubedah perutmu!"

Habis bicara serentak ia menubruk maju dan mencengkeram serupa hantu. Meski perawakannya lebih kecil, sekali cengkeram Po-ji kena diangkatnya ke atas.

Po-ji sudah bertekad untuk mati, maka sama sekali ia tidak memperlihatkan rasa takut, sebaliknya ia malah tersenyum, hanya dalam hati terasa agak pedih. Ling-ji menjerit dengan gemetar, "Jangan takut Po-ji, jika engkau mati biar kutemanimu ...."

"Aku juga ...." sambung Cu-ji dengan menangis sehingga tidak dapat meneruskan ucapannya.

"Lepaskan dia!" mendadak Cui Thian-ki membentak.

Dengan menyeringai Kim-ho-ong menjawab, "Sebentar setelah kubedah perutnya baru kulepaskan dia!"

"Akan kau bedah perutnya? Memangnya sengaja hendak kau bikin aku menjadi janda?" seru Cui Thian-ki.

Kim-ho-ong melenggong heran, "Apa ... apa katamu?"

Dengan santai Cui Thian-ki menjawab, "Dia sudah menjadi suamiku, aku telah menjadi istrinya. Sekarang dia adalah majikan cilik 'Seng-cui-sin-kiong' kami, memangnya berani kau bunuh dia?"

Setelah tertegun sejenak, mendadak Kim-ho-ong menengadah dan terbahak-bahak, "Hahaha, kau telah menjadi istrinya? Hahaha, binatang cilik ini suamimu? Haha ... omong kosong ... kentut belaka ... lelucon yang tidak lucu ...."

Suara tertawanya makin lama makin ewa, makin lemah, sampai akhirnya cuma keluar suara "ho-ho-ho" dan "he-he-he" dari kerongkongannya. Soalnya dari sikap Ling-ji dan Cu-ji serta ketenangan Cui Thian-ki, ia tahu apa yang dikatakan Cui Thian-ki itu bukanlah kentut, juga bukan omong kosong, apalagi lelucon.

"Nah, tidak kau lepaskan dia sekarang?!" kata Cui Thian-ki pula dengan tersenyum.

Kim-ho-ong mengentak kaki berulang-ulang dengan menggertak gigi, tiba-tiba ia terkekeh dan berucap halus, "Hehe, nona yang baik, kumohon, kuminta dengan hormat, biarkan kubunuh bocah ini. Jika tidak kubunuh bocah ini, sungguh rasa gemasku tidak terlampiaskan. O, nona baik, biarkan kubunuh dia, selama hidupku takkan kulupakan kebaikanmu."

"Ai, kenapa engkau menjadi pikun begini?!" ujar Cui Thian-ki dengan tertawa genit. "Kan sudah kukatakan, dia sudah menjadi suamiku, mana kutega membiarkan dia dibunuh olehmu?"

"Oo, nonaku yang baik, selanjutnya, biarpun harus kupanggil bibi padamu pun jadi, ingin kusembah padamu pun boleh, asal saja ...."

"Tidak, betapa pun tidak bisa," potong Cui Thian-ki sambil menggeleng.

Mendadak Kim-ho-ong berteriak dan memaki, "Keparat, budak busuk, budak mampus, jangan kau lupa, berpuluh orang tua-muda atau besar-kecil penghuni Ngo-heng-kiong hanya Kungfuku yang paling tinggi, jika kubunuh dia begitu saja memangnya kau bisa berbuat apa padaku?"

Cui Thian-ki tertawa, katanya, "Betul, memang Kungfumu paling tinggi, tapi jika berhadapan dengan ibuku, sama sekali Kungfumu tidak ada gunanya lagi. Meski caramu bicara sekarang galak seperti setan, bila berhadapan dengan ibuku, kentut saja kau tidak berani."

Kepala Kim-ho-ong lantas menunduk, muka pun kelihatan merah, agaknya apa yang dikatakan Cui Thian-ki itu memang bukan omong kosong.

Kawanan gadis emas saling pandang dan sama menampilkan senyuman aneh. Meski orang luar tidak ada yang tahu kenapa Kim-ho-ong yang garang itu bisa sedemikian takut terhadap majikan perempuan "Seng-cui-sin-kiong", namun kawanan gadis emas itu tentu saja tahu dengan jelas hal tersebut.

Selang tak lama, tiba-tiba Kim-ho-ong mengangkat kepala, katanya dengan menyeringai, "Hm, bilamana kau pun kubunuh sekalian di sini, dari mana ibumu mendapat tahu siapa yang berbuat kejam padamu?"

"Memangnya kau berani?" tanya Cui Thian-ki dengan tertawa.

"Kenapa tidak berani?" jawab Kim-ho-ong.

"Tidak, kau tidak berani," ujar Thian-ki dengan tertawa. "Jika berani tentu sejak tadi sudah kau lakukan. Sebab, apa pun juga kau tidak pernah lupa kepada Bucui-wi-hong-kiam (sengat tawon kuning tanpa cairan) Seng-cui-sin-kiong kami.

Biarpun aku dapat kau bunuh juga sebelum mati akan kusengat dirimu satu kali, sengatan yang tidak dapat disembuhkan oleh siapa pun di dunia ini, sebab orang yang pernah merasakan sengatan demikian sudah lama sama pulang ke rumah nenek moyangnya alias modar, sebabnya selama ini Bok-long-kun tidak berani bergebrak denganku secara terbuka bukankah karena dia juga takut kugunakan jurus terakhir yang siap untuk gugur bersama ini?!"

Kembali Kim-ho-ong melenggong sampai sekian lama, mendadak ia lepaskan Pui Po-ji, bentaknya dengan geregetan, "Kurang ajar! Bisa mati aku saking gusar!"

Habis berucap, terus saja ia menerjang ke dinding anjungan. Betapa kuat dinding kapal itu, tapi sekali ditumbuk oleh kepalanya, langsung dinding kapal menjadi bolong, di tengah berhamburnya bubuk kayu ia terus menerobos keluar.

Melihat betapa hebat kekuatan orang tua kerdil itu, Ling-ji dan Cu-ji sama melongo kaget.

Selang sejenak, "blang", tahu-tahu dinding sebelah lain berlubang pula dan Kimho-ong melayang masuk lagi sambil terbahak-bahak.

Sementara itu Cui Thian-ki sudah membangunkan Pui Po-ji dan sedang meraba-raba tubuh anak itu sambil bertanya, "Sakit tidak?"

Lalu ia berpaling dan tanya Kim-ho-ong, "Nah, rasa gemasmu sudah terlampias?!"

"Haha, aku ini sungguh keledai tolol, keledai goblok!" ucap Kim-ho-ong dengan tertawa.

"Jadi baru sekarang kau tahu?" ujar Cui Thian-ki dengan terkikih geli.

Kim-ho-ong tidak menggubrisnya lagi, ia tetap terkekeh dan berkata pula, "Hehe, meski tidak dapat kubunuh kalian, memangnya tidak dapat kubekuk kalian, lalu kukurung di suatu tempat terpencil, akan kusiksa kalian dengan perlahan, akhirnya bocah ini masa tidak mengaku di mana alamat yang tertulis pada surat wasiat itu?"

Air muka Cui Thian-ki berubah, untuk pertama kalinya ia memperlihatkan rasa kejut dan khawatirnya.

"Hehe, biarpun tidak kutemukan mayat Ci-ih-hou, tapi kapal ini dapat kuhancurkan hingga berkeping-keping, sedikit-banyak akan terlampiaslah rasa dongkolku."

Ling-ji dan Cu-ji menjadi khawatir oleh ancaman kakek kerdil itu, soalnya bukan cuma mayat Ci-ih-hou memang masih berada di dalam kapal, Siaukongcu juga belum meninggalkan kapal. Sejak tadi mereka tidak berani memandang putri kecil itu justru lantaran khawatir asal usul Siaukongcu sebagai satu-satunya keturunan Ci-ih-hou akan diketahui musuh.

Sekarang dalam keadaan khawatir mereka tidak dapat berpikir panjang lagi, serentak mereka menubruk ke atas tubuh Siaukongcu, dengan mendelik mereka berkata, "Kau be ... berani?"

Kim-ho-ong menyeringai, "Hehe, kenapa tidak berani? Bukan saja kapal ini akan kuhancurkan, juga segenap penumpang di atas kapal ini akan kubunuhi seluruhnya. Hanya budak cilik ini ...."

Sampai di sini ia menuding Siaukongcu, tertawanya tambah riang, lalu menyambung, "Budak cilik ini tampaknya pasti keturunan Ci-ih-hou, maka akan kubesarkan dia dan kelak akan kujadikan dia sebagai selirku yang ke-199."

"Kau ... kau ...." saking cemas hingga Ling-ji tidak sanggup bicara.

Pada saat itulah tiba-tiba dari luar anjungan kapal layar pancawarna itu bergema suara orang menyebut Buddha, "Omitohud!"

Kata-kata yang sederhana itu diucapkan dengan sangat kaku, menyusul suara seorang yang dingin dan aneh berkata pula, "Siapa pun tidak boleh mengganggu sesuatu benda apa pun di kapal ini."

Waktu suaranya mulai bergema kedengaran sangat jauh, tapi pada kata terakhir diucapkan, tahu-tahu orangnya sudah berada di luar pintu.

Kejut dan gusar Kim-ho-ong, bentaknya, "Siapa itu, berani ikut campur urusanku?"

"Apakah kau kenal diriku?" jengek suara seorang di luar, lalu muncul seorang padri berkulit hitam dan berkaki telanjang dengan jubah kain belacu.

"Hah, apakah engkau ini Kah-sing Hoat-ong?" tanya Kim-ho-ong kaget.

Hendaknya maklum, nama Kah-sing Hoat-ong, padri fakir dari India ini sudah lama terkenal, meski Kim-ho-ong tidak pernah melihatnya, tapi dari dandanan dan bentuknya yang aneh yang sering dilukiskan dalam cerita orang Kangouw ini, sekali pandang saja dapatlah Kim-ho-ong menerka siapa dia.

Wajah Kah-sing Hoat-ong yang kurus kering itu menampilkan senyuman aneh, senyuman yang tidak senyum, hanya ujung mulut saja bergerak sedikit.

Ia merangkap kedua telapak tangan di depan dada, ucapnya perlahan, "Tidak tersangka Kim-kiong-mo-cu juga kenal diriku."

Dandanan Kim-ho-ong yang aneh dan perawakannya yang unik juga diketahui oleh setiap orang Kangouw, maka sekali pandang saja segera pula Kah-sing Hoat-ong tahu siapa dia.

"Hehe, sama-sama," ucap Kim-ho-ong. "Antara kita sebenarnya serupa air sungai tidak pernah melanggar air sumur, entah mengapa Taysu sengaja datang mencampuri urusanku?"

"Aku tidak ingin ikut campur urusanmu, apakah kau ingin hidup atau minta mati sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganku," kata Kah-sing Hoat-ong.

"Hanya mengenai kapal layar pancawarna ini, siapa pun tidak boleh mengganggunya."

Ketika melihat kedatangan penolong, semula Ling-ji dan Cu-ji merasa gembira, sekarang diketahui kedatangan padri fakir ini bermaksud jahat, tentu saja mereka sangat kecewa.

Diam-diam Cui Thian-ki mendekati mereka dan berkata, "Kalian tidak perlu kecewa, kalian harus tahu orang yang datang ke kapal ini semuanya serupa serigala yang menyampaikan selamat ulang tahun kepada ayam, tidak seorang pun yang berniat baik. Maka bila kita ingin menyelamatkan diri, kita sendiri yang harus mencari akal."

"Akal ... akal apa?" tanya Ling-ji.

Cui Thian-ki menghela napas, ucapnya, "Saat ini pun aku tidak tahu akal apa."

Dalam pada itu Kim-ho-ong sedang mendengus, "Hm, tak terduga orang beragama seperti Taysu juga punya pikiran tamak dan hendak merampas harta milik orang lain. Memangnya engkau tidak takut berdosa?"

"Aku cuma tidak sampai hati menyaksikan Kungfu sakti tinggalan Ci-ih-hou akan lenyap begitu saja, maka sengaja kudatang kemari untuk mengambil kitab pusaka ilmu silat tinggalannya untuk disebarluaskan, mengenai barang lain sama sekali tidak perlu kusentuh, inilah tujuanku yang baik, masakah kau bilang aku tamak?"

"Wah, jika begitu, jadi akulah yang salah omong, maaf," kata Kim-ho-ong.

"Omitohud! Yang tidak tahu tidak salah," ucap Kah-sing Hoat-ong.

"Hahaha, sungguh padri bajik munafik," mendadak Kim-ho-ong tergelak. "Jika Kungfu tinggalan Ci-ih-hou harus disebarluaskan, itulah merupakan tugas anak muridnya, masakah perlu minta jasamu?"

"Memangnya siapa anak muridnya?" tanya Kah-sing Hoat-ong dengan sinar mata gemerdep.

"Semua yang berada di anjungan ini," kata Kim-ho-ong.

Sorot mata Kah-sing Hoat-ong yang tajam menyapu pandang sekejap atas diri Pui Po-ji, Cui Thian-ki. Ling-ji, Cu-ji dan Siaukongcu, lalu katanya dingin, "Hm, bakat kelima orang ini kurang bagus, jika mereka mewarisi Kungfu Ci-ih-hou, hasilnya tentu akan memalukan perguruan Ci-ih-hou. Sudah lama aku bersahabat moril dengan Ci-ih-hou, aku tidak tega membiarkan namanya tercemar setelah meninggal, terpaksa hari ini aku harus bertindak baginya dan mengambil seluruh kitab pusaka ilmu silatnya."

"Huh, padri tua serupa dirimu ini jelas ingin mencuri ilmu silat orang lain, tapi sengaja bicara muluk-muluk, sungguh menggelikan," sindir Kim-ho-ong.

"Kau berani kasar terhadapku?" teriak Kah-sing Hoat-ong gusar.

"Hari ini paling-paling kita harus berkelahi, memangnya kasar atau halus apa bedanya?" sahut Kim-ho-ong. "Hm, orang lain takut padamu, masakah aku pun takut?"

"Hah, bagus!" seru Kah-sing Hoat-ong gusar. "Memangnya sudah lama ingin kulihat betapa hebat Kungfu istana emas. Ayo, silakan mulai!"

"Silakan kentut, boleh coba Hwesio mulai dulu," kata Kim-ho-ong dengan mencibir.

Keduanya saling melotot dan berdiri muka berhadapan muka. Meski Kah-sing Hoat-ong juga pendek kecil, ternyata Kim-ho-ong jauh lebih cebol daripada dia. Angin meniup kencang sehingga menambah hawa dingin.

Melihat kedua tokoh kelas top ini segera akan bertempur mati-matian, semua orang ikut bersemangat dan ingin menonton peristiwa menarik ini. Maklumlah, keduanya sama-sama tokoh aneh, tentu Kungfu mereka pun lain daripada yang lain.

Selain tertarik untuk melihat Kungfu yang aneh, para penonton juga berbeda perasaan daripada menyaksikan pertarungan Ci-ih-hou dengan jago pedang baju putih itu. Semua orang ikut prihatin atas kalah atau menang pertandingan Ci-ihhou, sebaliknya kalah atau menang akhir pertarungan kedua orang aneh ini tiada seorang pun yang peduli.

Maklumlah, siapa pun di antara mereka menang tiada sedikit pun bermanfaat bagi orang banyak. Jika kedua orang ini nanti sama-sama terkapar, itulah kejadian yang diharapkan.

Sementara itu Kah-sing Hoat-ong dan Kim-ho-ong masih berdiri saling melotot tanpa bergerak. Dengan sendirinya pandangan semua orang juga terpusat kepada mereka.

Sekonyong-konyong tangan Kim-ho-ong bergerak, kawat emas yang tergenggam itu mendadak menyambar ke depan membawa suara mendesir dan tepat mengenai tubuh Kah-sing Hoat-ong.

Biarpun kawat emas itu menyambar dengan cepat, namun semua orang memperkirakan padri fakir itu tentu dapat mengelak dengan gesit. Siapa tahu Kah-sing Hoat-ong sama sekali tidak mengelak dan menghindar melainkan membiarkan tubuh disabet oleh kawat emas itu.

Ling-ji dan Cu-ji sudah merasakan betapa sakit sabetan kawat emas, disangkanya Kah-sing Hoat-ong pasti juga sukar terhindar dari babak belur, siapa tahu padri fakir itu ternyata baik-baik saja, kulit badannya yang hitam tiada tanda lecet luka apa pun, juga wajahnya tidak memperlihatkan rasa sakit.

Kim-ho-ong masih terus ayun tangan, dalam sekejap saja sudah menyabet empat kali.

Kah-sing Hoat-ong seperti terkesima dan membiarkan diri dihujani cambukan tanpa bergerak.

Sambil menyeringai mendadak kawat emas Kim-ho-ong menyabet terlebih keras, lalu tidak ditarik kembali lagi melainkan terus melingkar, serupa ular saja kawat emas itu membelit tubuh Kah-sing Hoat-ong hingga belasan kali. Waku Kim-hoong menarik sekuatnya, ternyata gagal. Malahan Kah-sing Hoat-ong lantas pejamkan mata, siapa pun tidak mampu membuatnya bergerak.

Heran dan kejut semua orang, diam-diam Cu-ji berkata, "Meski Kungfu Kah-sing Hoat-ong sangat lihai, tapi caranya bertempur dengan orang tanpa bergerak, mana dapat ia mengalahkan lawannya?"

"Kukira dia mempunyai cara untuk mengalahkan lawannya, hanya entah ...."

Cui Thian-ki mendengus sebelum lanjut ucapan Ling-ji, "Peduli dia akan menang atau kalah, paling baik keduanya mampus sekaligus."

Mendadak Po-ji yang dipegangnya itu meronta lepas.

"Hei, kau mau apa?" tanya Thian-ki.

"Paman kepala besar sedang memanggilku, biar kujenguk dia," desis Po-ji.

Sementara itu air muka Kim-ho-ong tampak prihatin, kawat emas yang dipegangnya terbetot lurus, namun benang sehalus itu ternyata tidak putus.

Kah-sing Hoat-ong tetap tidak bergerak. Rupanya ilmu yoga dari negeri Thiantiok (India) memang sangat ajaib, yang diutamakan adalah "tahan" atau sabar. Seorang ahli yoga kelas top biasanya dibakar atau direndam pun takkan mati, bahkan dikubur selama berpuluh hari pun tetap hidup. Sesuatu hal yang orang lain tidak tahan justru dapat dilakukan mereka.

Pertarungan di antara dua orang, jika selisih Kungfu masing-masing tidak banyak, maka soal kesabaran dan ketahanan memegang peranan penting dan merupakan kunci kalah atau menang.

Kah-sing Hoat-ong terkenal sebagai jago nomor satu di negeri Thian-tiok, dengan sendirinya dalam hal "tahan" boleh dikatakan tidak ada taranya lagi.

Angin menderu di luar, kapal layar besar ini jadi rada goyang, namun perhatian semua orang sama terpusat pada pertarungan sengit ini sehingga tidak merasakan perubahan cuaca.

Kening Kim-ho-ong mulai keluar butiran keringat.

Perlahan Po-ji kembali mendekati Ling-ji dan mendesis, "Paman kepala besar tanya padamu, di mana tempat perpustakaan Ci-ih-hou?"

Ling-ji berjongkok sedikit dan membisiki telinga Po-ji, "Yaitu pada pintu yang dimasuki Houya tadi."

Po-ji mengangguk, diam-diam ia mengeluyur pergi lagi. Pada saat itulah mendadak Kim-ho-ong membentak tertahan, "Menari!"

Serentak kawanan gadis emas mengiakan dan terjun ke arena dan mulai berlenggak-lenggok lagi.

Di bawah cahaya lentera terlihat paha mereka yang jenjang dan dada yang montok dengan gaya menari yang menggiurkan serta desis perlahan yang menggetar sukma.

Biarpun Ling-ji dan Cu-ji juga sama orang perempuan, tidak urung mereka pun terkesima dan terangsang.

Air muka Kah-sing Hoat-ong yang semula tampak tenang tiba-tiba berubah prihatin, lambat laun dahinya yang hitam itu pun merembes keluar butiran keringat.

Sebaliknya sikap Kim-ho-ong kelihatan agak santai. Deru angin di luar juga mulai mereda.

Sekonyong-konyong angin meniup tanpa suara, "prak, blang", badan kapal berguncang keras disertai beberapa jeritan melengking, sebagian lentera sama padam. Rupanya tiang layar mendadak patah.

Berbareng Ling-ji dan Cu-ji berteriak kaget, "Liong-kui-hong (sejenis angin puyuh)!"

Belum lenyap suaranya, kembali angin menyambar lagi, terdengar jeritan di sana-sini, cahaya lentera padam seluruhnya. Mungkin kawanan kera emas yang memegang lentera itu sama terbawa angin dan tercemplung ke laut.

Seketika keadaan gelap gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan.

Angin meniup kencang, kapal menjadi oleng. Ling-ji saling pegang tangan dengan Cu-ji, Cui Thian-ki berteriak-teriak, "Po-ji ... Po-ji ...." Namun tidak ada suara jawaban.

Angin tambah keras, kapal semakin guncang, kawanan gadis emas ikut menjerit juga.

Dengan erat Cui Thian-ki merangkul tiang layar, baru saja membuka mulut hendak berteriak, seketika angin dahsyat membuatnya gelagapan sehingga sukar bersuara. Terdengar angin menderu bagai harimau meraung di samping telinga.

Mendadak badan kapal miring ke samping disertai suara "blang-blung", di tengah serentetan suara keras itu terseling pula jeritan ngeri orang perempuan, entah suara siapa.

Cepat Kim-ho-ong membentak, "Jangan ...."

Belum lanjut ucapannya lantas terputus, entah putus oleh deru angin yang dahsyat atau karena kena serangan Kah-sing Hoat-ong.

Maka tidak ada lagi suara orang. Di tengah angin dahsyat tiba-tiba terdapat pula suara hujan, dari kecil menjadi besar, dalam sekejap raja butiran air hujan laksana mutiara yang jatuh berhamburan.

Ombak bergemuruh dan hujan angin memekak telinga, bumi dan langit gelap gulita, dalam keadaan demikian, betapa pun tangkasnya seorang juga akan tunduk di bawah amukan alam.

Cui Thian-ki masih terus merangkul tiang dan tampak ketakutan, dalam keadaan demikian baru dirasakan betapa kecilnya manusia, tanpa kuasa ia memberosot dan berlutut.

Air ombak mendampar ke atas kapal sehingga Cui Thian-ki basah kuyup, daun jendela tergetar rontok dan ditelan ombak yang tidak kenal ampun.

Entah berselang berapa lama, lambat-laun Cui Thian-ki tidak sadarkan diri, yang teringat cuma merangkul tiang seeratnya dan tidak tahu urusan lain.

Mendadak sinar kilat berkelebat, suara guntur pun menggelegar.

Di bawah cahaya kilat dan bunyi guntur, terlihat seseorang menggelinding keluar dari pojok sana, siapa lagi dia kalau bukan Oh Put-jiu. Ia seperti sukar menyelamatkan diri dan segera akan terguling keluar anjungan dan segera pula bisa ditelan ombak.

Sekilas lihat, secara di bawah sadar Cui Thian-ki berteriak, "Selamatkan dia!"

"Kenapa harus menyelamatkan dia?" jengek seorang dengan dingin.

"Sebab rahasia tempat sembunyi kitab tinggalan Ci-ih-hou hanya dia saja yang tahu," seru Cui Thian-ki dengan suara parau.

Baru lenyap suaranya, kembali sinar kilat berkelebat dan guntur berbunyi.

Sesosok bayangan orang segera melayang maju dan menubruk di atas tubuh Oh Put-jiu, kedua tangannya yang kuat serupa cakar baja menjuju, "crat", langsung kedua tangan menancap geladak kapal sehingga tubuh Oh Put-jiu serupa terbelenggu erat di atas geladak.

Cui Thian-ki dapat melihat dengan jelas, orang yang menyelamatkan Oh Put-jiu itu bukan lain daripada Kah-sing Hoat-ong.

Hanya sekilas pandang saja, lalu Cui Thian-ki tidak ingat apa-apa lagi.

Guntur masih menggelegar disertai sinar kilat, angin menderu dan ombak mendampar.

Entah berselang berapa lama lagi, Cui Thian-ki mendusin seperti habis mimpi buruk, dalam keadaan samar-samar tubuh terasa berguncang, mata tidak melihat sesuatu, telinga juga tidak mendengar apa pun. Hanya deru angin dan hujan sudah semakin jauh, suasana kosong, hampa ....

*****

Fajar sudah tiba, ombak akhirnya tenang. Terkadang ada tiang layar patah, sobekan layar serta meja kursi yang hancur dan papan terdampar ke pantai. Hujan masih gerimis.

Sejauh mata memandang dari pantai hanya kilatan awan mendung menyelimuti permukaan laut, tidak terlihat lagi kapal layar pancawarna yang megah itu.

Namun betapa pun hujan badai tidak kenal ampun, tetap belum dapat membuat tenggelam kapal raksasa ini melainkan cuma menghanyutkannya jauh di tengah samudra sana dan merampas kejayaannya.

Waktu Cui Thian-ki benar-benar sadar, tatkala itu sudah pagi.

Ia coba mengamati keadaan sekitarnya, terlihat anjungan kapal yang mewah itu sudah tidak keruan rupa lagi terpukul angin badai, meja kursi dan perabot lain sudah sama hanyut terbawa ombak, hanya tersisa ruang anjungan yang luas dan rusak.

Di tengah ruang anjungan sekarang hanya tersisa dia sendiri dan tiada bayangan orang lain, sungguh seram rasanya berada di tengah kehampaan dan kesunyian ini.

Cui Thian-ki merasa ngeri, tubuh agak menggigil, gigi gemertuk, mendadak ia menjerit terus menerjang ke luar.

Di luar masih hujan deras, tidak terlihat pantai, juga tidak tampak sehelai bayangan layar pun.

Di kolong langit ini seakan-akan cuma tersisa Cui Thian-ki sendirian, perasaan ngeri dalam keadaan sendirian ini membuatnya hampir gila.

Dengan rambut panjang terurai ia berjalan dari haluan kapal menuju ke buritan sambil berteriak-teriak, "Po-ji ... Ling-ji ... Po-ji ... di mana kalian?!"

Mendadak teriakannya terhenti, sebab tiba-tiba dilihatnya di samping anjungan sana ada lagi sesosok bayangan manusia yang kurus kering, siapa lagi dia kalau bukan Kah-sing Hoat-ong.

Dalam keadaan dan di tempat begini, di atas "bangkai kapal" ini ternyata ada jejak manusia, sekalipun orang ini adalah Kah-sing Taysu yang aneh, mau tak mau membuatnya terkejut dan juga bergirang.

Waktu diperhatikan, terlihat di bawah tubuh padri fakir itu ternyata ada lagi sesosok tubuh lain, ternyata Oh Put-jiu yang belum lagi sadar itu.

Kah-sing Hoat-ong menoleh dan memandangnya sekejap, sekilas timbul juga rasa gembiranya, tapi hanya sekejap saja lantas lenyap dan berubah dingin lagi, lalu menunduk, dengan telapak tangannya yang hitam ia coba mengurut Hiat-to Oh Put-jiu untuk mengeluarkan air yang memenuhi perut anak muda itu.

Setelah mengalami musibah begini dan tiba-tiba menemukan sesamanya, sungguh Cui Thian-ki sangat ingin bercengkerama dengan dia, tak terduga padri fakir itu hanya memandangnya sekejap dengan sikap dingin, keruan ia sangat kecewa, tapi ia coba mengajak bicara juga, "Sehabis ditimpa musibah dan tidak mengalami cedera apa pun, sungguh Taysu harus diberi selamat dan entah Taysu melihat orang lain tidak?"

Ia berharap dari jawaban padri itu dapat diketahui keadaan Po-ji dan lain-lain. Tahu-tahu Kah-sing Hoat-ong tetap diam saja tidak menggubris.

Tentu saja Cui Thian-ki mendongkol, ucapnya ketus, "Sedemikian kaku sikap Taysu terhadap orang lain, tapi ternyata mau turun tangan menolong orang, sungguh peristiwa ajaib."

Namun Kah-sing Hoat-ong tetap diam saja. Sejenak kemudian, mendadak ia mendengus, "Hm, tujuanku menolong dia sama sekali tidak berniat baik, tidak perlu kau heran."

"Tidak bermaksud baik, kenapa kau tolong dia malah?" tanya Cui Thian-ki.

"Tujuanku hanya ingin kucari tahu di mana kitab pusaka tinggalan Ci-ih-hou. Kalau tidak, biarpun dia mati seribu kali juga tidak kupeduli."

Baru sekarang Cui Thian-ki ingat waktu dirinya dalam keadaan hampir kelengar tadi sempat mengatakan rahasia kitab pusaka tinggalan Ci-ih-hou hanya diketahui oleh Oh Put-jiu, pantas padri fakir ini mau menolong pemuda kepala besar itu.

Bola matanya berputar, mendadak ia tertawa dan berkata, "Hihi, kitab pusaka tinggalan Ci-ih-hou masakah mungkin diwariskan kepada bocah tolol ini?"

"Tapi kau sendiri yang bilang ...."

"Itu cuma ucapanku pada waktu kepepet agar engkau mau menolong dia, tak tersangka orang cerdik semacam dirimu juga mudah percaya begitu."

Air muka Kah-sing Hoat-ong agak berubah, ia termenung sejenak, tiba-tiba tersembul lagi senyuman dingin, ucapnya perlahan, "Betul, keterangan itu kau katakan pada saat kepepet, tapi justru ucapan pada waktu gawat itulah pengakuan yang jujur dan bukan karangan belaka. Sekali rahasia itu sudah telanjur kau bocorkan, memangnya sekarang dapat kau tarik kembali?"

Diam-diam Cui Thian-ki mengakui kelihaian pikiran orang, namun ia tetap tenang saja, jengeknya, "Hm, percaya atau tidak terserah padamu."

"Jika begitu, rasanya aku pun tidak perlu buang tenaga percuma, akan kulemparkan dia ke laut saja dan habis perkara," kata Kah-sing Hoat-ong, sekali cengkeram segera Oh Put-jiu diangkatnya.

Keruan Cui Thian-ki kaget, cepat serunya, "Nanti dulu!"

Kah-sing melototinya dan mendengus, "Memangnya bagaimana?"

"Dia ... dia ...."

"Dia kenapa?" ejek Kah-sing.

Akhirnya Cui Thian-ki menghela napas, katanya, "Ya, rahasia tempat sembunyi kitab pusaka tinggalan Ci-ih-hou memang cuma dia saja yang tahu."

"Pengakuanmu ini betul atau dusta?"

"Seratus persen benar."

"Hahaha, budak cilik ingusan juga ingin belajar menipu orang?" Kah-sing Hoatong terbahak-bahak. "Tapi untuk main gila denganku masih selisih sangat jauh."

Selama hidup Cui Thian-ki entah sudah berapa banyak sudah mempermainkan tokoh Kangouw yang lihai, sekarang ia benar-benar mati kutu, hati gemas, tapi tidak berdaya.

Tidak lama kemudian, akhirnya Oh Put-jiu siuman.

Dengan bengis Kah-sing Hoat-ong lantas membentak, "Di mana tempat simpanan kitab pusaka Ci-ih-hou, kau tahu bukan?"

Oh Put-jiu memandangnya sekejap, lalu memandang Cui Thian-ki pula, habis itu baru menjawab, "Tahu."

Kah-sing Hoat-ong berbalik melenggong karena jawaban tegas dan cepat anak muda itu, ia pandang Oh Put-jiu dan terbelalak dengan rasa sangsi.

"Jika aku sudah berada dalam cengkeramanmu, kecuali mati, lambat atau cepat toh harus kukatakan, dan karena aku tidak mau mati, tentunya lebih cepat kukatakan kan lebih baik," tutur Put-jiu.

Kah-sing Hoat-ong manggut-manggut, ucapnya dengan tertawa, "Ehm, pintar juga kau, pantas Ci-ih-hou mau mewariskan kitab pusakanya kepadamu. Nah, di mana kitab pusaka tinggalannya itu disimpan, lekas membawaku ke sana."

"Baik," jawab Put-jiu.

Bertiga orang lantas mendekati pintu ruangan rahasia tempat menyimpan kitab, mendadak Oh Put-jiu mendepak sekuatnya, tepat mengenai daun pintu, namun pintu tidak bergerak, sebaliknya ujung kaki kesakitan.

"Apa kau gila?" omel Kah-sing Hoat-ong dengan kening bekernyit.

Cui Thian-ki mendahului mendengus, "Orang ini memang sering berbuat gilagilaan, buat apa kau peduli."

Dengan rasa terima kasih Oh Put-jiu memandang Cui Thian-ki sekejap, dilihatnya bola mata nona itu gemerdep, seperti dapat menerka maksud depakan Put-jiu tadi.

Hendaknya maklum, keduanya sama-sama cerdik, meski tindak tanduk Oh Putjiu sukar diduga, tapi sedikit bola matanya berputar segera Cui Thian-ki dapat menerka apa yang sedang dipikir anak muda itu.

Sekarang kedua orang hanya saling pandang sekejap saja dan keduanya lantas ada kontak batin, Oh Put-jiu merasa bersyukur ada yang tahu isi hatinya, Cui Thian-ki juga yakin dugaan sendiri ternyata tidak salah.

Tapi sesungguhnya apa yang terpikir dan terduga oleh mereka justru sama sekali tidak diketahui oleh Kah-sing Hoat-ong, ia cuma mendengus, "Jika kitab pusaka Ci-ih-hou telah diwariskan padamu, tentu kau pegang kunci ini."

"Hehe, Taysu ternyata sangat pintar," kata Put-jiu dengan menyesal.

"Memangnya aku dapat kau tipu?" ujar Kah-sing Hoat-ong dengan tertawa bangga.

Dari gelung rambutnya Put-jiu mengeluarkan sebuah anak kunci dan disodorkan, "Silakan Taysu membukanya."

Kah-sing Hoat-ong menerima anak kunci itu, segera Put-jiu menyingkir jauh ke sana, Cui Thian-ki bahkan lari terlebih jauh.

Baru saja Kah-sing mendekati pintu, sekilas lirik melihat perbuatan kedua orang itu, seketika ia melompat mundur, sekali cengkeram ia pegang bahu Oh Put-jiu, anak kunci dikembalikan kepada anak muda itu dan membentak, "Kau buka sendiri."

"Ken ... kenapa Taysu tidak jadi membukanya sendiri?" tanya Put-jiu.

Kah-sing mendengus, "Hm, tentu ada sesuatu yang tidak beres pada pintu ini, memangnya kau kira aku tidak tahu. Haha, jangan kau harap akan menjebak diriku."

Oh Put-jiu berlagak terpaksa menerima kembali anak kunci, katanya, "Jika begitu, boleh Taysu tunggu di sini, biarkan kami berdua membuka pintu."

Ia memberi tanda lirikan kepada Cui Thian-ki, kedua orang lantas mendekati pintu.

Terdengar Kah-sing Hoat-ong mengejek, "Huh, ketika kau laksanakan permintaanku begitu saja memang sudah kuduga pasti ada sesuatu yang tidak beres ...."

Sampai di sini, mendadak Kah-sing Hoat-ong melompat maju lagi secepat terbang, Cui Thian-ki diseretnya mundur.

Keruan Thian-ki terkejut, tanyanya, "Memangnya apa maksud Taysu?"

"Hm, untuk membuka pintu kan cukup satu orang saja, kau ikut berdiri bersamaku di sini, jangan membantu setan cilik itu main gila padaku," jengek Kah-sing.

Air muka Cui Thian-ki berubah cemberut, selang sejenak, tiba-tiba ia bergumam dengan tersenyum, "Ah, baik juga, biar sama-sama tenang dan bebas."

Tanpa menoleh Oh Put-jiu juga bergumam, "Jagalah diri dengan baik ... banyak terima kasih atas bantuan terlaksananya urusan ini ...."

Kata-kata kedua orang itu membuat Kah-sing Hoat-ong merasa bingung, tapi juga curiga, mendadak ia membentak, "Huh, apakah kalian sudah gila? Kenapa ...."

Pada saat itulah tahu-tahu daun pintu sudah terbuka, dengan cepat Oh Put-jiu lantas menyelinap ke balik pintu, menyusul lantas "brak", pintu ditutup rapat lagi.

Kejut dan gusar Kah-sing Hoat-ong, secepat terbang ia menubruk maju sambil membentak, "Hei, apa yang kau lakukan? Kau tutup dirimu di dalam, memangnya kau sangka aku tidak dapat masuk ke situ?"

Akan tetapi meski ia membentak dan berteriak berulang, pintu tetap tidak dibuka.

"Jika dapat masuk ke situ, kenapa tidak kau coba?" ucap Cui Thian-ki dengan sinis.

Kah-sing mundur dua-tiga tindak dan menyingsing lengan jubah, setelah menghimpun tenaga, mendadak ia ayun telapak tangan dan menghantam daun pintu sekuatnya.

"Blang", tergetar anak telinga Cui Thian-ki, geladak kapal pun berguncang, namun daun pintu baja itu tetap bergeming, jangankan hendak membobolnya.

Biarpun culas orangnya, wajah Kah-sing yang hitam kelam itu kini pun dibuat merah legam, dengan gemas ia berlari mengitari anjungan, tiada hentinya ia menghantam dan menendang sehingga berjangkit suara gemuruh, dinding anjungan dari bahan kayu sama ambrol dan bertebaran, namun ruang bagian tengah tempat menyimpan kitab itu ternyata dinding sekelilingnya terbuat dari

pelat baja, biarpun Kah-sing Taysu mengerahkan segenap tenaganya tetap tak dapat membobolnya.

Cui Thian-ki menghela napas, ia duduk bersila di lantai, ucapnya perlahan, "Jika aku menjadi Taysu, pasti aku takkan buang tenaga sia-sia."

Kah-sing melompat ke depan Cui Thian-ki, bentaknya dengan parau, "Jadi ... jadi sebelumnya kau sudah tahu?"

"Dinding ruangan ini terbuat dari baja, kan sejak tadi sudah diketahui semua orang, depakan Oh Put-jiu tadi justru ingin mengujinya," tutur Cui Thian-ki dengan santai, lalu sambungnya dengan tertawa. "Waktu itu sudah kuduga dia akan meninggalkanmu di luar sini, sebabnya dia menyuruhmu membuka pintu hanya akal pancingan saja, sungguh lucu Taysu yang mengaku cerdik ternyata juga tertipu olehnya. Mestinya aku pun ingin ikut masuk ke sana bersama dia tapi karena diseret mundur olehmu, terpaksa aku pasrah adanya. Kami bergumam tadi justru membicarakan hal ini."

Jilid 8. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Tidak kepalang gemas Kah-sing Hoat-ong, hampir meledak dadanya oleh uraian Cui Thian-ki itu, jika Kim-ho-ong tentu sudah berjingkrak dan dinding anjungan diterjangnya hingga bolong.

Namun Kah-sing Hoat-ong memang lain daripada yang lain, ia cuma tertegun sejenak, lalu mendengus pula, "Biarpun dinding ini terbuat dari baja kan tidak berarti tidak dapat dibobol."

"Memang di dunia ini ada senjata yang mampu memotong baja dengan mudah, tapi sekarang kan tidak mudah bagi Taysu untuk mencari senjata setajam itu?" ujar Thian-ki. "Umpama Taysu pergi mencari senjata, kembali lagi ke sini mungkin tidak menemukan apa-apa lagi."

"Apa artinya ucapanmu ini?" tanya Kah-sing dengan melengak.

"Benarkah Taysu tidak paham?" kata Cui Thian-ki. "Hehe, asalkan Taysu meninggalkan kapal ini, bukankah Oh Put-jiu akan segera kabur dengan membawa kitab pusaka?"

"Memangnya tidak dapat kutunggu dia mati kelaparan baru kupergi?" ujar Kahsing Taysu.

"Sebelum mati, memangnya dia takkan memusnahkan seluruh kitab pusaka yang ada di situ? Dengan begitu bukankah usaha Taysu juga akan sia-sia belaka?"

Tergetar perasaan Kah-sing Taysu, ia termangu-mangu sejenak, kemudian bergumam, "Ya, sebelum mati kelaparan, jika dia memusnahkan kitab pusaka, lalu bagaimana?"

Tiba-tiba Cui Thian-ki berkata pula dengan santai, "Siapa bilang dia pasti akan mati kelaparan?"

Kah-sing melengak, katanya, "Biarpun dalam kapal ini ada persediaan air minum dan makanan, tapi ruang ini tertutup rapat dan tiada lubang apa pun, cara bagaimana dia akan mendapatkan air minum dan makanan?"

"Dengan sendirinya aku mempunyai cara sendiri," ujar Thian-ki dengan tersenyum.

"Jika begitu, lekas katakan," bentak Kah-sing.

Cui Thian-ki berkedip-kedip, katanya dengan tertawa genit, "Jika kau minta petunjuk padaku, sepantasnya kau bicara dengan ramah tamah dan memohon dengan baik-baik, masa bersikap kasar begitu?"

"Yang ingin menyelamatkan jiwanya kan dirimu, buat apa kumohon padamu," ujar Kah-sing.

"Betul, yang gelisah ingin menyelamatkan jiwanya tadi adalah diriku, tapi sekarang yang terburu-buru menghidupkan dia adalah dirimu, jangan lupa kitab pusaka ...."

"Kurang ajar!" bentak Kah-sing gusar. "Jika geregetan, biar kubunuh kau sekalian, memangnya kau mau apa?"

"Ah, silakan, silakan," sahut Thian-ki tertawa. "Jika kau bunuh diriku, mungkin selama hidup ini jangan harap lagi akan melihat kitab pusaka yang tidak ada bandingannya itu. Nah, silakan, kenapa tidak lekas turun tangan?"

Muka Kah-sing Taysu sebentar merah, sebentar pucat, ia terdiam sejenak dengan gemas, akhirnya ia menghela napas dan berkata, "Baiklah, aku menyerah kalah. Coba katakan."

"Apakah cara begini sudah terhitung sopan? Tidak, tidak cukup," kata Thian-ki sambil menggeleng.

Tidak kepalang mendongkol Kah-sing, tapi terpaksa ia merendah diri dan memohon, "Baiklah, mohon nona Cui sudi memberi petunjuk cara bagaimana supaya dia tidak mampus di dalam."

"Nah, beginilah baru benar ...." ucap Cui Thian-ki dengan tertawa, senang sekali hatinya karena dapat mempermainkan padri fakir ini. "Sekarang coba kau pikirkan, jika anjungan kapal ini terkurung rapat tanpa sesuatu lubang angin, kan seluruh penghuninya bisa mati sesak napas. Memangnya orang yang membangun kapal ini kau kira orang dungu?"

"Ya, ya, betul," kata Kah-sing Taysu.

"Dan kalau ada lubang angin, dengan sendirinya dapat kita sodorkan makanan atau minuman melalui lubang angin itu, masakah dalil sederhana ini tidak kau pikirkan?"

Kah-sing Hoat-ong melenggong sejenak, mendadak ia menengadah dan tergelak, "Haha, betul, memang betul!"

"Tapi kau pun jangan gembira dulu." ucap Cui Thian-ki pula. "Lubang angin itu tentu saja sangat kecil, paling-paling cuma sebesar kepala. Maka kecuali engkau dapat berubah menjadi kecil sebesar burung pipit, kalau tidak, jangan harap akan dapat masuk ke situ."

"Siapa bilang mau masuk ke situ?" sahut Kah-sing.

"Bagus jika begitu ...." kata Thian-ki dengan tertawa. "Bilamana nasib kita mujur dan mendapat angin buritan, kukira tidak sampai setengah bulan kapal ini pasti akan mencapai pantai."

"Siapa yang ingin mendarat?" ujar Kah-sing Hoat-ong. "Pendek kata, sehari anak keparat itu tidak keluar, satu hari pula aku tidak akan meninggalkan kapal ini. Dan selama aku tidak meninggalkan kapal, selama itu pula kapal ini tidak perlu menepi."

"Tapi ... tapi kalau selamanya dia takkan keluar, lalu bagaimana?" tanya Cui Thian-ki dengan rada cemas juga.

"Setahun dia tidak keluar, setahun pula kutunggu dia, sepuluh tahun dia tidak keluar, sepuluh tahun juga kutunggu di sini. Jika selamanya dia tidak keluar, selama hidup pula akan kutunggu dia. Dan kau pun terpaksa harus menemaniku selama hidup di sini. Ingin kulihat kesabaran siapa yang lebih tahan lama."

Cui Thian-ki menarik napas dingin, lalu termangu-mangu tak bisa bicara lagi. Ia takkan percaya bila orang lain yang bicara demikian, tapi Kah-sing Hoat-ong tentu sanggup berbuat sesuai ucapannya itu.

"Apabila perbekalan dalam kapal ini tidak mencukupi, maka kau harus kerja bakti bagiku dengan menangkap ikan atau udang," kata Kah-sing pula. "Jika kehabisan air minum, waktu hujan harus kau tadah air hujan dan ditimbun sebanyaknya. Kalau kebetulan ada kapal layar lain yang lewat di sini, kan boleh juga kau tiru perbuatan kaum bajak dan rampas sedikit perbekalan yang kita perlukan."

Murung Cui Thian-ki mendengarkan uraian padri fakir itu, ia menghela napas panjang, katanya kemudian, "Tak tersangka engkau dapat berpikir sejauh itu."

"Hahaha, masa kau lupa pada peribahasa yang mengatakan asalkan ada kemauan, cita-cita apa pun pasti akan tercapai," ujar Kah-sing dengan tertawa.

"Mungkin tidak perlu menunggu keluarnya bocah itu sudah dapat kucari jalan untuk membobol dinding baja ini. Sebab itulah kau pun tidak perlu gelisah.

Berada di kapal megah ini, kebetulan bagiku dapat hidup aman tenteram untuk beberapa tahun lamanya."

Diam-diam Cui Thian-ki menggereget, katanya, "Hm, jangan keburu senang dulu. Biarpun kau dapat membobol dinding baja, memangnya tidak dapat kuminta dia memusnahkan kitab pusaka yang berada di situ sebelum dinding dibobol."

"Hah, untuk ini jangan kau pikirkan," ujar Kah-sing tertawa. "Sebagai pesilat, tentu kau pun tahu betapa seorang pesilat kemaruk terhadap sesuatu kitab pusaka ilmu silat, masa dia sampai hati memusnahkannya begitu saja. Kuyakin pasti takkan dilakukannya, kecuali ia tahu sudah dekat ajalnya. Selama dia tidak mati, selama itu pula dia takkan berbuat sebodoh itu. Misalnya, pernahkah kau dengar seorang peminum membuang arak enak? Pernahkah orang tamak membuang buang uang percuma? Nah, apa yang kukatakan adalah berdasarkan dalil yang sama."

Cui Thian-ki termenung sejenak, perlahan ia mengentak kaki, mendadak ia lari ke dek di bawah. Kah-sing Hoat-ong juga tidak merintanginya melainkan cuma memandangi bayangan orang dengan tersenyum ejek.

Selang tidak lama, Cui Thian-ki muncul kembali, wajahnya kembali tersenyum manis sambil membawa senampan santapan yang masih mengepul.

"Aha, kebetulan aku sudah lapar, lekas bawa kemari," kata Kah-sing.

Thian-ki menurut dan menaruh nampan hidangan itu di depan Kah-sing Taysu, ia sendiri berdiri di samping.

Kah-sing memegang sumpit, dicapitnya secomot sayuran, baru saja hendak dijejalkan ke mulut, tiba-tiba ia pandang Cui Thian-ki sekejap, lalu sumpit ditaruh kembali.

"Eh, apakah Taysu merasa hidangan masih panas?" kata Thian-ki dengan tertawa.

"Coba kau cicipi dulu," jengek Kah-sing Taysu.

"Wah, kenapa Taysu jadi sungkan padaku, kan tidak enak hati bagiku," ujar Thian-ki dengan tertawa genit.

Kah-sing hanya mendengus saja dan tidak menanggapi.

Cui Thian-ki berkedip-kedip, ucapnya kemudian dengan tertawa, "Ai, kutahu. Rupanya Taysu khawatir dalam makanan ditaruh racun. Ai, apa boleh buat, terpaksa kumakan dulu."

Segera ia ambil mangkuk kosong dan mengambil santapan yang paling baik, sambil membawa mangkuknya ia berjalan satu lingkaran, benar juga dilihatnya di ujung dinding menonjol sebuah pipa besi. Pipa yang kosong bagian tengah itu sebesar bulatan mangkuk.

Segera Thian-ki memanggil melalui lubang pipa, "Hei, kepala besar ... Oh Put-jiu ... Oh kepala besar ...."

Berulang ia memanggil beberapa kali dan ternyata tiada jawaban apa pun.

Seketika berubah air muka Cui Thian-ki, sangsi dan khawatir.

Pada saat itulah tahu-tahu suara Oh Put-jiu berkumandang dari lubang pipa, "Apa di situ nona Cui?"

Suaranya agak serak, seperti baru saja mengalami sesuatu yang aneh dan mengejutkan, namun kelainan suara itu tidak dapat dirasakan oleh Cui Thian-ki, ia tanya pula, "Hei, dipanggil kenapa tidak lekas menjawab. Ini, makanan ...."

Ia teroboskan makanan itu melalui lubang pipa. Terdengar Oh Put-jiu mengucapkan terima kasih dan seperti omong apa-apa lagi.

Namun Cui Thian-ki lantas membalik tubuh, ia pilih pula tiga hidangan kegemarannya dan dimakan sendiri. Sesudah dia makan, hidangan yang tersisa tinggal sebangsa tulang dan kulit belaka.

"Wah, sungguh tidak enak hati, masakah Taysu harus makan hidangan sisa," ucap Cui Thian-ki dengan tertawa. "Eh, biarlah kuturun ke dapur untuk masak lagi."

"Tidak perlu," jengek Kah-sing Taysu. "Aku memang suka makan barang sisa."

Segera ia angkat sumpit dan benar-benar makan dengan lahapnya.

Meski merasa geli, namun Cui Thian-ki tidak bicara lagi, hanya perasaannya lebih banyak sedih daripada gembiranya. Waktu malam tiba, kembali Thian-ki mengantar makanan lagi kepada Oh Put-jiu.

Pemuda kepala besar itu seperti sudah menunggu di sebelah dalam, begitu mendengar suara Thian-ki segera ia tanya dengan suara parau, "Bagaimana dengan Po-ji? Di mana dia? Adakah kau lihat dia?"

Thian-ki berdiri termangu sejenak, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Jangan khawatir, Po-ji baik-baik saja dan telah pergi bersama Ling-ji dan Siaukongcu, kalau tidak, kan aku bisa lebih cemas daripadamu."

Meski di mulut ia bicara demikian, tidak urung air mata hampir menitik.

Oh Put-jiu ternyata tidak khawatir apa-apa, dan begitulah sang waktu sehari lewat sehari, malahan nafsu makan Oh Put-jiu bertambah banyak, suaranya juga makin lantang, sebaliknya Cui Thian-ki semakin pucat dan tambah kurus.

Hidup dalam kesepian, mimpi pun terkenang kepada Po-ji, ia sendiri tidak tahu sebab apa bisa begitu rindu terhadap anak kecil itu, rindunya tidak kurang serupa gadis remaja merindukan kekasih, tapi juga seperti kasih ibu yang mengharapkan kepulangan anak kesayangan. Terkadang ia suka termenung memandangi matahari terbenam, memandang kesima cahaya senja sehingga berjam-jam

tanpa bergerak.

*****

Menjelang fajar, sebuah perahu nelayan tampak meluncur dari utara dan berlabuh di pesisir. Sekilas pandang bentuk perahu ini sungguh sangat aneh. Dibilang kapal, bentuknya serupa rakit. Dikatakan rakit, tampaknya juga mirip kapal.

Badan kapal itu persegi, ternyata terbuat potongan balok kayu raksasa seutuhnya, sampai kulit pohon pun belum terkelupas. Di atas geladak dibangun ruang kabin berbentuk segitiga serupa anjungan, juga serupa tenda, hanya sehelai layarnya yang sangat lebar, kuat dan indah sehingga tidak serasi dengan kapalnya yang tidak keruan bentuknya itu.

Meski kapal ini dibangun serabutan dan berbentuk aneh, namun memberi kesan kukuh dan kuat, biarpun didampar hujan badai betapa dahsyatnya juga takkan bercerai-berai.

Di bawah layar besar yang berkembang itu tidur telentang seorang lelaki hitam kekar, keempat anggota badannya yang dijulurkan dengan bebas itu kelihatan panjang dan kuat sehingga mirip seekor harimau yang sedang tidur.

Belum lagi kapal ini menepi segera lelaki kekar melompat bangun dan melayang ke pesisir sambil membentak, sekali tarik, kapal balok itu telah diseretnya dan kandas di atas pesisir.

Waktu ia berdiri tegak, terlihat perawakannya yang tinggi besar bagai raksasa, sedikitnya ada dua meter tingginya, ia memakai baju jago silat hitam ringkas dari kain satin, bajunya itu bagi orang lain pasti kelonggaran, tapi baginya justru kelihatan ketat dan membalut tubuhnya dengan kencang, malahan kaki celana hanya sebatas dengkul, kancing baju pun sukar digunakan sehingga lebih mirip pakaian hasil rampas dari orang lain.

Walaupun perawakannya menakutkan, namun alisnya yang tebal dan mata besar, hidung singa dan mulut harimau, bentuknya ketolol-tololan dan terasa menyenangkan orang.

Hujan sudah mulai reda, selangkah demi selangkah lelaki hitam kekar itu berjalan di pesisir sambil memandang kian kemari, terdengar ia memaki, "Dirodok, Locu sudah datang, kenapa kawanan bangsat itu malah belum tampak batang hidungnya?"

Ia meraba raba perut sendiri, lalu rebah telentang lagi dan berseru sembari meraba perut, "Wah, lapar, lapar sekali! Kenapa dari langit tidak jatuh dua potong bakpao agar dapat kumakan dengan kenyang, supaya bertenaga untuk bertempur."

Sejenak ia berbaring, agaknya tidak tahan lagi akan rasa lapar, mendadak ia melompat bangun dan berlari ke atas kapal kotak tadi, dari dalam tenda dikeluarkan sepotong entah daging apa yang tampaknya tidak masak juga tidak mentah, lalu dirogoh keluar lagi beberapa potong penganan yang sudah kering dan keras, gumamnya, "Keparat! Makin lama makin lapar, biarlah kumakan habis persediaan untuk malam dan esok, bilamana nanti aku dibinasakan orang, kan besok juga tidak dapat makan lagi."

Sembari menggerundel makanan terus dijejalkan ke mulut sehingga mengunyah pun sukar.

Sekonyong-konyong ombak mendampar, di tengah gelombang ombak tampak ada sesuatu benda yang beraneka warna dan ikut terdampar ke pesisir.

Lelaki kekar itu menggaruk kepala dan bergumam, "Hei, mainan apa ini ...."

Segera ia memburu ke sana dan barang itu diraihnya, mendadak ia berteriak, "Wah, celaka! Mengapa laut pun dapat melahirkan anak?!"

Kiranya benda yang terdampar ke pesisir itu adalah seorang anak kecil berbaju satin, kedua tangan anak itu merangkul erat sepotong kayu, mati pun tak terlepaskan, gigi terkatup, muka pucat dan jelas tak sadarkan diri, entah masih hidup atau sudah mati.

"Wah, celaka, celaka ...." kembali lelaki itu berteriak-teriak, anak itu dilempar-lemparkan dan ditinggal lari terbirit-birit.

Tapi baru lari beberapa langkah segera ia berhenti lagi sambil bergumam, "Ah, tidak, tidak bisa, anak laut mana bisa terdampar pingsan. Ehm, bocah ini tentu terjatuh dari kapal lain ...."

Ia lari balik lagi dia mengangkat anak tadi, dirabanya dada anak itu, gumamnya pula dengan tertawa, "Aha, tidak jelek, bocah ini masih hangat, dia takkan mati!"

Cepat ia tiarapkan anak itu dan segera menekan punggungnya dengan kuat.

Bocah itu merintih perlahan dan tumpahkan air laut yang membuatnya kembung.

Lelaki itu berteriak sambil berjingkrak gembira dan menari-nari, serunya, "Hore, hidup, dia hidup kembali!"

Dapat menyelamatkan nyawa orang, hatinya merasa sangat senang sehingga perut lapar pun terlupakan, daging dan penganan tadi tercecer di tanah tanpa dipikir lagi, ia angkat bocah itu dan berlari ke pesisir yang lebih kering, berulang ia tepuk dan raba tubuh yang kecil itu, ucapnya dengan tertawa, "Ayo, anak kecil, kalau hidup, seharusnya kau pentang matamu!"

Akhirnya anak itu membuka mata, setelah memandang sekejap sekitarnya, tersembul rasa kejut dan herannya, tapi segera ia berubah tenang dan tersenyum terhadap lelaki kekar itu.

"Haha, kau tertawa .... Anak kecil, kau dapat bicara bukan?" seru lelaki itu.

Anak itu mengangguk.

"Kalau bisa bicara ayolah lekas bicara," seru orang itu. "Eh, siapa namamu?"

"Aku she Pui, orang suka memanggilku Po-ji," jawab anak itu.

Memang betul, anak ini adalah Pui Po-ji yang terbawa badai ke laut itu.

"Hah, Po-ji ... Po-ji ... kau memang seorang anak mestika, lihat kakimu ini, hampir sama besarnya dengan jariku," seru lelaki itu dengan tertawa.

Po-ji memandangnya dengan terkesima, seperti sangat tertarik, bola matanya berputar, lalu bertanya, "Eh, anak besar, siapa namamu?"

"Aku she Gu, sejak kecil ayahku memanggilku Thi-wah," tutur lelaki kekar itu.

"Tapi orang lain suka memanggilku si dungu besar. Bilamana mendongkol dipanggil begitu, kontan kulempar mereka ke parit."

Pui Po-ji tertawa geli dan melupakan dirinya baru saja terlepas dari bencana.

Meski dalam hati ia pun mengkhawatirkan keselamatan Oh Put-jiu, Cui Thian-ki dan lain-lain, tapi bilamana teringat dirinya saja tidak mati, sedang kepandaian mereka jauh lebih tinggi daripadanya, mustahil mereka akan mati malah?

Namun bila teringat entah kapan baru dapat bertemu lagi dengan mereka, mau tak mau terasa sedih juga hatinya.

Apa pun dia masih anak kecil, hati anak kecil memang tidak dapat lama menahan rasa sedih, apalagi di depannya sekarang ada seorang dungu besar yang menarik, setelah bergelak tertawa, segala rasa sedih dan kesal pun terlupakan seluruhnya.

Si lelaki gede alias Gu Thi-wah mendadak seperti teringat sesuatu, tanyanya pula, "He, di mana ayahmu? Tubuhmu kan kecil, masakah ayahmu khawatir jatuh miskin memberi makan padamu? Mengapa sendirian kau lari ke sini?"

Po-ji menghela napas sambil menggeleng, lalu berkata dengan tertawa, "Dan kau sendiri, apakah karena di rumah tidak bisa makan sehingga sendirian kau lari kemari?"

"Haha, anak kecil sungguh pintar, sekali terka lantas kena," seru Gu Thi-wah dengan tergelak. Selang sejenak, ia seperti teringat apa-apa lagi, dengan tertawa lebar ia berkata pula, "Eh, kau kehilangan ayah, aku pun belum punya anak, bagaimana kalau kau menjadi anakku saja?!"

Po-ji melenggong sejenak, matanya berkedip-kedip, jawabnya kemudian, "Apakah kau punya bini?"

"Bini?" Thi-wah menegas. "Wah, biniku mungkin masih berada dalam perut biangnya."

"Nah, jika bini saja kau tidak punya, akan lucu jika kau hendak mengambilku sebagai anak," kata Po-ji.

"Habis, apakah kau sendiri punya bini?" tanya Gu Thi-wah.

"Ah, malu ah ... punya satu," sahut Po-ji.

Gu Thi-wah melotot, dipandangnya anak itu dari kepala sampai kaki dan sebaliknya lalu geleng-geleng kepala dan berucap, "Wah, tak tersangka masih kecil begini sudah punya bini, hebat sekali kau ini."

"Memang, biarpun kecil begini, tapi kecil cabai rawit, kepandaianku jauh melebihi orang gede seperti kau," kata Po-ji dengan membusungkan dada.

"Wah, jika begitu, marilah kita menjadi saudara saja," mohon Gu Thi-wah.

"Baik, aku Toako dan kau adiknya," kata Po-ji.

Gu Thi-wah tertawa terpingkal-pingkal.

"Eh, awas ususmu bisa putus karena caramu tertawa itu, bisa-bisa nanti harus kubedah perutmu dan menyambung ususmu yang putus, kan bikin repot," kata Po-ji.

Thi-wah melengak, segera ia pegang perutnya dan tidak berani tertawa lagi. Namun dengan napas terengah ia berkata, "Huh, kau menjadi adikku saja masih terlampau kecil, tapi kau malah ingin menjadi Toakoku?"

"Masa kau tidak tahu pepatah yang menyatakan, untuk belajar tidak ada soal besar atau kecil, yang lebih mahir ialah menjadi guru?"

"Jangan mengoceh begituan, aku tidak mengerti," ujar Thi-wah.

"Arti pepatah itu adalah manusia itu tidak mengutamakan soal usia tua atau muda, asalkan pengetahuannya lebih luas, maka bolehlah dia menjadi guru orang yang cetek pengetahuannya itu," tutur Po-ji. "Sekarang pengetahuanku lebih banyak daripadamu, kepandaianku juga lebih banyak daripadamu, jika aku mau menjadi gurumu kan sudah suatu kehormatan besar bagimu. Maka apa pun juga aku harus menjadi Toakomu."

Thi-wah menggaruk kepala yang tidak gatal, gumamnya, "Kata pepatah tentunya tidak bakal keliru. Tapi ... tapi sekali hantam dapat kubinasakanmu, sungguh aku tidak rela menjadi adikmu."

"Huh, memangnya kau kira tanganmu lebih kuat daripadaku?" tanya Po-ji.

"Hahaha, hidup sebesar ini, belum pernah kulihat ada orang yang bertenaga lebih kuat daripadaku," seru Thi-wah dengan tergelak. "Ini, lihat ...."

Mendadak ia berjongkok terus menghantam pesisir, kontan tanah pasir di situ terpukul sebuah liang besar.

"Ehm, boleh juga ...." ucap Po-ji. "Coba kau cengkeram lagi segenggam pasir, ingin kulihat apakah kau mampu melemparkan pasir itu ke laut atau tidak?"

"Sepuluh genggam juga dapat," ucap Thi-wah dengan tertawa, segera ia meraup segenggam pasir dan dilemparkan sekuatnya.

Tapi ketika tertiup angin laut, kontan pasir berhamburan dan tidak dapat mencapai jauh, malahan sebagian besar tertiup balik dan menimpa muka Gu Thiwah dan membuatnya kelilipan, cepat ia kucek-kucek mata dengan kelabakan sambil, berteriak, "Wah, aneh ... sungguh aneh ...."

"Nah, sekarang coba kau lihat kepandaianku," kata Po-ji.

"Kau mam ... mampu?" tanya Thi-wah.

"Sedekat ini bukan apa-apa bagiku, biar kumundur lagi lebih jauh," kata Po-ji sambil menyingkir ke pesisir yang pasirnya basah, lalu ia meraup segenggam pasir basah dan dikepal, sekali ia membentak dan lempar, pasir basah itu terlempar beberapa tombak jauhnya baru kemudian buyar tertiup angin dan pasir pun jatuh di atas laut.

Gu Thi-wah melongo dan termangu-mangu.

"Nah, kau menyerah sekarang?" tanya Po-ji dengan tertawa.

"Ya, menyerah, takluk," jawab Thi-wah.

"Jika menyerah, kenapa tidak lekas menyembah kepada Toako," kata Po-ji.

"Baik, Toa ... Toako, terimalah hormatku ini," sembari bicara Gu Thi-wah benarbenar bertekuk lutut dan menyembah.

Po-ji menjadi rikuh malah, cepat ia balas menghormat.

Setelah mereka menjadi saudara angkat, Gu Thi-wah meladeni Po-ji dengan lebih hormat, ia jemput kembali makanannya yang tercecer tadi dan diberikan kepada Pui Po-ji, lalu mencari sepotong batu besar untuk tempat duduk anak itu.

Selang sejenak, tiba-tiba Thi-wah bertanya, "Toako, usus dalam perut apakah betul dapat putus karena tertawa?"

Rupanya soal ini telah direnungkannya sejak tadi dan masih penuh tanda tanya baginya, maka sekarang ia minta penjelasan.

Dengan serius Po-ji menjawab, "Bilamana kau suka menertawakan orang, pada suatu hari ususmu bisa putus tertawa. Apabila tertawanya timbul dari setulus hati tentu tidak beralangan."

Thi-wah tertawa cerah, katanya, "Wah, jika begitu legalah hatiku, kalau tidak seterusnya aku akan senantiasa khawatir usus putus sehingga tidak berani tertawa, hidup begini kan susah."

"Apakah kau memang gemar tertawa?" tanya Po-ji.

"Setiap hari aku bergelak tertawa 30 kali dan tertawa kecil 300 kali, dengan begitu baru timbul tenaga ...." sampai di sini mendadak ia melompat bangun dan melotot ke arah permukaan laut.

Tanpa terasa Po-ji ikut memandang ke arah yang diperhatikan Gu Thi-wah alias bocah gede baja itu, tertampaklah sebuah kapal layar sedang meluncur kemari, badan kapal kelihatan rusak di sana sini, agaknya karena serangan hujan badai semalam, agaknya kapal ini berlabuh di tempat yang terhindar dari serangan badai, tapi toh mengalami kerusakan juga.

"Itu dia datang sekarang ...." gumam Thi-wah.

"Apakah kau kenal penumpang kapal itu?" tanya Po-ji.

"Keparat, siapa kenal dia?" damprat Thi-wah. "Orang di atas kapal itu adalah kawanan bandit, melihat kemiskinanku dan kelaparan, mereka bermaksud menyeretku masuk ke dalam komplotan mereka. Tapi aku Gu Thi-wah biarpun rudin dan mati kelaparan juga tidak sudi menjadi perompak, cuma ... hehe, barang kaum bajak justru akan kurampas, asalkan mereka terpencil sendirian

dan kepergok olehku, tentu akan kuhajar mereka dan sedikit banyak kurampas barang mereka."

"Eh, baju yang kau pakai ini tentunya juga hasil rampasan," tanya Po-ji tertawa.

"Tidak cuma baju saja, makanan ini dan perbekalan kapal semuanya hasil rampasanku, karena itulah kawanan perampok sangat gemas padaku dan aku ditantangnya untuk berkelahi di sini hari ini."

"Oo, mereka menantangmu dan segera kau terima?" tanya Po-ji.

"Tentu saja kuterima, kalau tidak kan kelihatan pengecut?!" ujar Thi-wah dengan melotot.

"Mereka sukar membekukmu, maka sengaja menantangmu ke sini, dengan sendirinya mereka sudah siap sedia," ujar Po-ji dengan menyesal. "Jumlah mereka jelas sangat banyak, bukankah kau bisa dihajar mampus oleh mereka?"

Thi-wah berpikir sejenak, lalu berkata, "Biarpun terhajar mampus juga harus datang kemari ...."

Sementara itu kapal bobrok itu sudah menepi, lebih 20 lelaki kekar dengan senjata tombak, garpu ikan, cundrik, golok dan sebagainya sama melompat ke pantai.

Meski sekian banyak gerombolan orang ini, namun tampaknya rada jeri juga terhadap Gu Thi-wah, mereka cuma mencaci maki saja dari kejauhan dan tidak berani menerjang maju.

Seorang yang paling depan membentak, "Hai, si dungu besar, hari ini jika kau tidak menyerah, bisa jadi badanmu akan kami cencang hingga hancur."

"Kentut makmu busuk, memangnya tuanmu takut padamu!" teriak Thi-wah dengan gusar. Lalu ia berpaling dan berkata kepada Po-ji, "Harap Toako duduk saja di sini, biar kuhajar kawanan bangsat itu."

"Jika kau harus berkelahi boleh maju saja, hendaknya hati-hati," kata Po-ji.

"Toako jangan khawatir," jawab Thi-wah sambil menanggalkan baju sehingga badan bagian atas telanjang, ia mengangkat sepotong batu besar seberat ratusan kati terus lari ke depan.

Melihat si gede menerjang tiba, kawanan bajak itu tidak berani ayal, sekali bersuit, serentak mereka pasang barisan.

Seorang lelaki dengan rambut awut-awutan dan bergolok besar segera membentak dan mendahului menerjang maju, langsung goloknya membacok kepala Gu Thi-wah.

"Keparat!" damprat Thi-wah sambil memapak golok lawan dengan batu besar.

"Trang", golok membacok batu sehingga tangan lelaki itu tergetar luka, golok pun terpental ke udara.

"Hahaha, tahu busuk!...." Thi-wah tergelak mengejek.

Mendadak dari samping sebuah tombak menusuk, sukar bagi Thi-wah untuk menangkis, terpaksa ia lemparkan batu sekuatnya ke depan, menyusul sebelah tangannya terus meraih ke samping dan tepat tombak lawan kena dipegangnya.

Terdengar desir angin kencang, batu seberat ratusan kati itu ditambah daya lempar Thi-wah yang kuat, keruan cukup mengejutkan luncuran batu itu, kawanan bajak berteriak ketakutan dan lari terpencar.

Dalam pada itu Thi-wah telah membetot sekuatnya sehingga tombak lawan dapat dirampasnya. Melihat kawanan bajak itu lari tunggang langgang, ia tertawa gembira dan memaki, "Telur busuk! Pulang saja kelonan dengan binimu! Berkelahi apa lagi?"

Ia putar tombaknya dengan kencang sehingga membawa deru angin keras. Meski caranya sama sekali tidak pakai jurus ilmu silat, namun deru anginnya cukup mengejutkan, bilamana tersabet oleh tombak, andai kata tidak mampus juga pasti akan sekarat.

Dengan sendirinya kawanan bajak itu tidak berani mendekat, bilamana Thi-wah mendesak maju, segera mereka lari tersebar lagi.

Thi-wah tambah senang, ia mencaci maki kalang kabut dan mengejek.

Seorang lelaki berbaju hitam yang menjadi pemimpin kawanan bajak itu berteriak, "Si dungu ini jelas cuma bertenaga besar saja dan sama sekali tidak mahir ilmu silat, ayolah kita kerubut dia menurut cara yang sudah kita rencanakan, pasti dapat membereskan dia, jangan takut!"

Kawanan bajak berteriak setuju, segera salah seorang membentak, "Ayo, sembelih dia dahulu!"

Dengan murka Thi-wah menerjang maju lagi dengan tombak berputar, meski kawanan bajak kembali menyingkir jauh, namun mereka cukup terlatih dan dapat menggunakan Ginkang, sia-sia saja Gu Thi-wah menguber kian kemari, tiada seorang pun dapat disusulnya. Sampai sekian lamanya, akhirnya Thi-wah lelah sendiri. Baru saja ia hendak mengaso, tahu-tahu berbagai macam senjata lawan mengerubutnya lagi. Betapa pun Thi-wah bukan bertubuh baja, mana ia tahan, tidak sampai setengah jam ia

sudah mandi keringat dan megap-megap. Sedikit meleng, mendadak pinggul tertusuk garpu musuh, kontan bokong terluka tiga lubang dan darah pun mengucur.

Kawanan bajak tertawa senang, ada yang mengejek, "Haha, tampaknya segera kita akan santap daging panggang!"

Semakin murka dan semakin kencang putar tombaknya, semakin cepat pula tenaga Thi-wah terkuras dan tidak tahan lama.

Sekonyong-konyong ia berteriak, "Nanti dulu, berhenti!"

Kawanan bajak kaget oleh suaranya yang menggelegar dan sama merandek.

"Kau mau menyerah?" tanya si bajak baju hitam.

Siapa duga, selagi kawanan bajak itu tertegun, mendadak Thi-wah berlari menyingkir sambil membentak, "Kawanan bangsat, ayolah kalau berani boleh coba kejar kemari, boleh rasakan bala bantuanku yang sudah siap di sini!"

Mimpi pun kawanan bajak itu tidak mengira bocah dungu gede ini pun dapat main licik, seketika mereka tidak berani sembarangan mengejar.

"Masakah dia dapat kabur dari sini, kita lihat saja permainan apa yang akan diperbuatnya," kata si bajak baju hitam.

Sementara itu Thi-wah sudah lari sampai di depan Pui Po-ji, segera ia berlutut dan menyembah.

Po-ji sendiri berdebar khawatir menyaksikan pertarungan tadi, dengan suara mendesis ia tanya, "Ssst, bagaimana? Apakah perlu lari?"

"Betapa pun sukar untuk kabur, berkelahi juga kalah, tampaknya hari ini Gu Thi wah harus mati di tangan mereka ...." keluh Thi-wah dengan napas masih tersengal-sengal, bicara sampai di sini air matanya lantas menitik, ucapnya pula dengan menunduk, "Thi-wah telah mengangkat saudara dengan Toako dan tidak dapat memberikan apa-apa, hanya kapalku itu masih lumayan, di sana juga masih tersimpan beberapa kati daging, biarlah kuantar Toako ke atas kapal dulu, habis itu baru Thi-wah mengadu jiwa dengan mereka."

Terharu juga Po-ji oleh ucapan Gu Thi-wah itu, air matanya juga berlinang-linang. Biarpun muda usianya, namun sudah berjiwa kesatria, segera ia berseru, "Tidak, tidak boleh jadi. Sekali kita sudah bersaudara, mana boleh kusaksikan orang membunuhmu. Jika kau mati tentu aku pun tidak mau hidup."

Thi-wah melenggong, setelah berpikir, tiba-tiba ia menggeleng dan berkata, "Wah, tidak boleh, Toako sudah punya bini, jika Toako mati, kan binimu bisa menjadi janda."

Geli dan juga terharu hati Po-ji, ia usap air matanya dan berkata dengan tersenyum, "Jangan khawatir, kita takkan mati."

Meski di mulut ia hibur orang, padahal dalam hati sendiri juga ketakutan.

Siapa tahu ucapannya itu justru membuat girang Gu Thi-wah, mendadak ia melompat bangun dan berteriak, "Aha, betul, kepandaian Toako memang jauh lebih hebat daripadaku, tentu Toako mempunyai cara untuk menghajar kawanan bangsat itu."

Tergerak juga hati Po-ji, timbul suatu akalnya, cuma tidak diketahui akalnya akan berguna atau tidak. Tapi keadaan sudah mendesak, terpaksa harus dicoba. Segera ia berseru, "Ya, kau tunggu saja di sini, biar kubereskan kawanan keroco itu."

Ia benar-benar berdiri dan mendekati kawanan bajak.

Tubuh kawanan bajak itu rata-rata tinggi besar, sebaliknya perawakan Po-ji tidak lebih tinggi daripada satu setengah meter, apalagi sama sekali tidak paham ilmu silat, majunya ini ibaratnya domba diantar ke mulut harimau. Akan tetapi Gu Thi-wah justru penuh menaruh kepercayaan kepada anak itu, ia malah berteriak-teriak, "Nah, kawanan bangsat, Toakoku sudah maju, bolehlah kalian menanti ajal!"

Kawanan bajak tertawa riuh, ada yang berseru, "Haha, setan cilik inikah Toakomu? Hahaha, ayolah maju, lihat saja sekali tendang akan kukeluarkan kuning telurmu!"

Gugup juga Po-ji berdiri di hadapan sekawanan bajak yang ganas serupa serigala, kaki pun terasa agak lemas, tapi selangkah pun ia tidak mundur, sebaliknya malah membusungkan dada, dengan tabah ia membentak, "Jika kalian hidup berkecimpung di tengah laut, tentunya kalian ini anak buah Siu Thian-ce, bukan?"

Kawanan bajak saling pandang sekejap dan mengunjuk rasa terheran-heran. Bajak baju hitam lantas membentak dengan bengis, "Kau setan cilik ini mengapa tahu nama besar pemimpin kami?!"

Bahwa kawanan bajak ini ternyata benar anak buah Siu Thian-ce, hal ini membuat hati Po-ji bertambah lega lagi, segera ia mendengus, "Hm, disiplin anak buah Siu Thian-ce biasanya sangat ketat, tak tersangka ada juga anak buahnya yang kotor serupa kalian ini, suka main kerubut dan menganiaya mangsa yang sendirian, memangnya kalian sudah lupa bahwa merampok mangsa yang

sendirian bagaimana hukumannya?"

Betapa pun Po-ji adalah anak kecil, meski ia berlagak seperti orang Kangouw berpengalaman, nyata nadanya tetap agak janggal.

Namun bagi pendengaran kawanan bajak itu justru menimbulkan rasa kaget, sebab Siu Thian-ce yang mengepalai kawanan bajak di pantai timur itu dan telah memberi hukuman berat terhadap anak buahnya yang mengganggu kapal si jago pedang berbaju putih itu telah tersiar luas, apalagi kawanan bajak sekarang berkedudukan lebih rendah daripada bajak laut yang dihukum mati Siu Thian-ce itu, tentu saja hal ini sangat memprihatinkan mereka.

Dengan sendirinya mereka kebat-kebit demi mendengar teguran Po-ji, segera si bajak baju putih tadi bertanya pula, "Eh, sahabat cilik ini berasal dari mana, bolehkah mendapat penjelasan?"

Nyata nadanya sudah berubah lunak. Sebaliknya nada Po-ji berbalik galak, jengeknya, "Hm, hanya kau saja tidak ada harganya untuk bertanya asal usulku. Suruh Siu Thian-ce kemari untuk bicara denganku."

Seorang lelaki beralis tebal sejak tadi telah mengamat-amati Pui Po-ji, sekarang mendadak ia berseru tertahan, "Aha, teringatlah olehku!"

Kawanan bajak sama berpaling ke arah si alis tebal dan bertanya dengan suara lirih, "Maksudmu teringat akan diri setan cilik ini?"

"Ya, setan ... sahabat cilik ini kulihat berada di kapal layar pancawarna itu," tutur si alis tebal.

Serentak kawanan bajak sama melengak, seru mereka, "Hah, apa betul? Kau tidak keliru?"

"Pasti tidak," jawab si alis tebal. "Waktu Ci-ih-hou bertanding dengan jago pedang berbaju putih itu, dari jauh kulihat sahabat cilik ini berbicara dengan Ci-ih-hou."

Bagi pandangan kawanan bajak ini, orang yang dapat bicara langsung dengan Ci-ih-hou tentu saja luar biasa kedudukannya. Seketika mereka saling pandang dengan bingung, air muka pun berubah pucat.

Entah siapa yang mulai, mendadak mereka sama berlutut di depan Po-ji.

"Maaf, hamba sekalian tidak tahu asal usul Anda sehingga bicara kasar, mohon Anda jangan marah dan sudi mengampuni kami," seru si baju hitam tadi.

Kejadian ini pun membuat Po-ji merasa di luar dugaan, maklumlah, ia sendiri tidak tahu bahwa penumpang kapal layar pancawarna itu ternyata sedemikian dihormati oleh kawanan bajak ini.

Menyaksikan Pui Po-ji mendekati kawanan bajak, hanya bicara sebentar saja dan tanpa bergebrak, tahu-tahu kawanan bajak yang sukar dilawan itu ternyata bertekuk lutut dan tunduk benar-benar terhadap anak itu, keruan Gu Thi-wah melongo heran, kejut dan juga bergirang.

"Haha, bagus! Sungguh hebat, kepandaian Toako memang hebat!" seru Thi-wah sambil berkeplok tertawa.

Bola mata Po-ji berputar, katanya terhadap kawanan bajak, "Urusan hari ini boleh dianggap selesai, tapi selanjutnya bagaimana lagi jika kalian bertemu dengan saudaraku yang gede ini?"

Beramai kawanan bajak menjawab, "Selanjutnya bilamana kami bertemu dengan Gu-toaya, kami pasti akan menghormatinya, biarpun Gu-toaya memukuli kami juga tak berani kami balas."

"Keparat," damprat Gu Thi-wah. "Jika kalian tidak melawan memangnya untuk apa kuhajar kalian? Omong kosong belaka!"

"Ya, ya, ucapan Gu-toaya memang benar," sahut kawanan bajak.

Diam-diam Po-ji merasa geli, tapi ia berlagak kereng, katanya pula, "Selanjutnya jika kalian berani main kerubut lagi, tentu akan kuminta pertanggungjawaban kepada Siu Thian-ce."

Si bajak berbaju hitam tadi mengiakan dan menyatakan tidak berani lagi, selang sejenak ia berkata pula, "Dan adakah Toaya memberi pesan lain?"

"Tidak ada," jawab Po-ji.

Belum lenyap suaranya Thi-wah lantas menukas, "Ada, masih ada!"

"Silakan memberi pesan, pasti akan kami laksanakan," jawab si baju hitam.

Thi-wah tertawa, katanya, "Nah, lekas bawa sebagian perbekalan kapal kalian kemari, pilih daging yang baik, biar kumakan enak bersama Toako."

Si baju hitam mengiakan, bersama kawanan bajak mereka lantas lari ke atas kapal dan membawakan satu keranjang makanan serta disuguhkan kepada Po-ji dengan hormat.

Mendadak Thi-wah mendelik dan membentak, "Sesudah makanan tersedia, lekas kalian enyah, memangnya kalian ingin minta bagian lagi?"

Hampir saja Po-ji mengakak geli. Sebaliknya kawanan bajak itu serupa mendapat pengampunan besar, segera mereka angkat kaki dan menghilang dalam sekejap saja.

Thi-wah terbahak-bahak, "Hahaha, ada daging, ada bakpao .... Tak tersangka jiwa tidak melayang, sebaliknya malah dapat makan besar sepuasnya."

Hari ini mereka berdua benar-benar dapat makan dengan puas. Setelah kenyang, Gu Thi-wah lantas rebah dan segera pulas. Dalam keadaan begitu, biarpun dia dilemparkan ke laut pun sama sekali tidak tahu.

Meski Po-ji juga merasa lelah, tapi pikirannya terus bekerja sehingga sukar tidur.

Esok paginya, kembali Thi-wah makan kenyang, katanya, "Jika Toako tidak mempunyai tempat tujuan, marilah ikut adik mengembara di lautan bebas, meski terkadang kurang makan, namun hidup merdeka tanpa susah, setiap hari dapat tidur nyenyak, apakah Toako sepakat?"

"Jika hidupku benar dapat bebas merdeka seperti dirimu tentu aku akan senang," kata Po-ji.

"Apakah Toako masih ingin mengerjakan sesuatu?" tanya Thi-wah heran.

"Ya, ada," sahut Po-ji dengan gegetun.

Mendadak Thi-wah menunduk sedih, ucapnya, "Ai, jika demikian, bila ... bila Toako meninggalkanku ...."

Meski tubuhnya sekali lipat lebih gede daripada Po-ji, tapi cara bicaranya sekarang serupa anak yang manja, namun rasa sedihnya memang benar timbul dari lubuk hatinya yang dalam.

Mau tak mau Po-ji juga merasa berat, ucapnya, "Aku pun tidak tega meninggalkanmu, cuma ... ai, nanti saja kalau urusanku sudah beres tentu akan kucari dirimu lagi."

"Entah Toako hendak pergi ke mana?" tanya Thi-wah.

"Aku pun tidak tahu hendak pergi ke mana, cuma aku perlu mencari seorang, tapi di mana orang itu sesungguhnya sampai saat ini aku sendiri tidak tahu," tutur Po-ji.

Thi-wah berpikir sekian lama, tiba-tiba ia angkat kepala dan berkata, "Jika begitu, biarlah kuantar keberangkatan Toako, akan kuantar ke Tiangkang, di sana ada beberapa juragan kapal kenalanku, biar kumohon mereka mengantar Toako ke hulu Tiangkang, di sana selain akan memudahkan perjalanan Toako, mencari orang juga lebih leluasa."

Selama bicara ia tidak berani mengangkat kepala, kiranya air matanya telah berlinang-linang dan khawatir dilihat Po-ji.

Tak tersangka oleh Po-ji bahwa bocah gede serupa kerbau ini juga punya perasaan akrab begini, biarpun keduanya baru saja kenal, namun sudah sebaik serupa saudara sekandung.

Seketika Po-ji merasa duka dan juga girang, kedua orang lantas naik ke atas kapal kotak dan pasang layar, lalu berlayar menuju ke muara Tiangkang.

Wusiong adalah kota pelabuhan di muara sungai Tiangkang yang makmur, kapal yang berlabuh di sini hilir mudik tiada hentinya sepanjang hari.

Melalui kota pelabuhan inilah kapal Gu Thi-wah menuju ke hulu sungai, mereka mendapatkan sebuah teluk dan berlabuh di situ. Thi-wah bermaksud mencarikan seorang juragan kapal agar dapat mengantar perjalanan Po-ji lebih lanjut.

Tiba-tiba Po-ji berkata, "Setelah kupikir lagi, kukira lebih baik melanjutkan perjalanan melalui darat saja."

"Sebab apa?" tanya Thi-wah.

"Orang yang hendak kucari itu mestinya ada alamatnya yang tertentu, cuma watak orang ini agak aneh, ia tidak mau menuliskan alamatnya yang jelas melainkan sengaja membuat orang main teka-teki untuk mencarinya. Setelah kuterka kian kemari juga belum dapat kutebak sesungguhnya di mana tempat tinggalnya, bukan mustahil tempatnya justru terletak di sekitar pantai sini. Maka

kalau aku menumpang kapal, meski lebih enak bagiku, tapi kan repot jika aku tersesat jalan malah."

Thi-wah melotot, katanya, "Tapi ... tapi Toako sendirian, juga tidak membawa sangu, kan Toako bisa kelaparan dalam perjalanan?"

"Untuk ini kau tidak perlu khawatir, Toako kan banyak kepandaian," ujar Po-ji dengan tertawa.

"Aha, betul, kepandaian Toako memang jauh melebihiku, makanmu justru jauh lebih sedikit daripadaku. Kalau Thi-wah saja tidak pernah kelaparan, masa Toako bisa kelaparan," seru Thi-wah dengan gembira.

Sejenak kemudian, mendadak ia mengeluarkan segenap sisa makanan yang masih tersedia dalam kapal, katanya dengan tertawa lebar, "Ini semua milik Toako."

Po-ji melenggong, ucapnya, "Siapa bilang milikku? Kan milik Thi-wah sendiri."

"Bukan, milik Toako, harap Toako bawa pergi saja," kata Thi-wah sambil menggeleng.

"Tidak, tinggalkan saja untukmu," ujar Po-ji.

"Kalau tidak Toako bawa, Thi-wah bisa ... bisa ...." bisa apa sukar lagi diucapkan bocah gede itu.

Tiba-tiba Po-ji berkata dengan tertawa, "Eh, kan sepantasnya ada rezeki harus dinikmati bersama. Sekarang tersedia makanan sebanyak ini, ayolah lekas kita sikat, siapa pun tidak perlu membawanya pergi. Setuju?!"

"Aha, bagus, bagus sekali!" seru Thi-wah.

Kedua orang lantas duduk dan mulai makan minum, tangan Thi-wah tidak pernah berhenti, mulut juga tidak berhenti mengunyah, berulang ia berteriak puas dapat makan sepuasnya.

Sejenak kemudian, mendadak ia berhenti makan dan berteriak, "Ah, tidak, tidak betul, ini tidak adil!"

"Tidak adil apa?" tanya Po-ji.

"Aku makan terlampau banyak dan Toako makan sangat sedikit, maka aku tidak mau makan lagi," kata Thi-wah.

Dengan menahan rasa duka Po-ji masukkan sepotong daging panggang yang tersisa ke dalam baju, katanya dengan tertawa, "Baiklah, sepotong daging ini akan kubawa. Sekarang bolehlah kau pergi, segera aku pun akan berangkat."

Thi-wah memandangnya sejenak dengan termangu-mangu, lalu berdiri, katanya dengan menunduk, "Toako, jangan ... jangan lupa kepada Thi-wah ...."

Mendadak ia putar tubuh dan bertindak pergi dengan langkah lebar, ia dorong kapalnya dan hanya sekejap saja sudah meluncur jauh.

Po-ji memandangi bayangan kapal dengan termenung, entah berapa lama lagi, mendadak ia berteriak, "Thi-wah ... Thi-wah, aku pasti tidak melupakanmu."

Namun Thi-wah sudah pergi jauh dan tidak mendengarnya lagi, wajah Po-ji pun bercucuran air mata.

Selama hidupnya entah betapa banyak orang yang sayang dan memanjakan dia, tapi semua itu adalah kasih sayang orang yang lebih tua daripadanya, baru sekarang dirasakannya kasih sayang antarsahabat, dan sahabat yang setia itu sekarang sudah pergi. Meski Po-ji sudah bertekad akan menjadi seorang lelaki berhati baja, tidak urung sekarang ia mencucurkan air mata.

Ia mendapatkan sepotong batu dan duduk di situ, pikiran terasa kusut dan tidak keruan rasanya. Untuk pertama kalinya ini ia mulai merasakan pahit getir dan manis kecutnya orang hidup, merasakan keruwetan kehidupan manusia, terkenang olehnya waktu berbaring iseng di rumah dan membaca dengan santai, namun cuma berselang beberapa puluh hari saja hidupnya sekarang seperti

sudah berada di dunia lain.

Waktu itu ia berharap dirinya dapat menambahkan pengalaman orang hidup dan memahami lebih banyak, sekarang baru dirasakan akan lebih baik jangan banyak mengetahui hal-hal kehidupan manusia.

Cuma, sang waktu yang berlalu betapa pun tidak dapat diputar balik lagi, ia menjadi terharu akan pengalamannya yang serba-singkat ini.

Sampai agak lama, mendadak terdengar suara orang membentak keras berkumandang dari lautan di belakangnya.

Po-ji terkejut dan berpaling, dilihatnya kapal Gu Thi-wah itu meluncur balik lagi, belum mencapai pantai Thi-wah lantas melompat turun dan menyeret kapalnya ke pesisir, lalu berlari-lari ke arah Po-ji dengan kaki telanjang.

Kejut dan girang Po-ji, tanyanya dengan heran, "Hei, ken ... kenapa kau kembali lagi ke sini?"

Thi-wah menunduk, jawabnya dengan tergegap, "Meski ... meski kepandaian Toako lebih besar daripada Thi-wah, tapi apa pun juga Thi-wah merasa ... merasa khawatir Toako berangkat sendirian. Maka kupikir lebih baik kupergi bersama Toako saja."

Hati Po-ji terasa hangat, darah panas terasa bergolak, kerongkongan serasa tersumbat dan tidak sanggup bicara.

"Toako, apakah ... apakah engkau marah padaku?" tanya Thi-wah. "Jika Toako merasa tidak leluasa jalan bersamaku, biarlah aku ikut dari kejauhan saja."

Mendadak Po-ji melompat bangun dan merangkul leher Thi-wah, teriaknya, "Kenapa kumarah padamu? Jika kau mau menemaniku, tentu sangat bagus!"

Pandangan Thi-wah terasa kabur karena teraling oleh air mata, ujung mulutnya membawa senyuman lega, ucapnya dengan agak gemetar, "Ben ... benarkah begitu? Ah, alangkah gembiranya aku ... sungguh gembira ...."

Kedua orang saling rangkul dengan erat. Meski perawakan keduanya berbeda sangat mencolok, namun perasaan tulus murni tidak ada berbeda, sampai sang surya pagi pun seperti ikut senang dan menongol dari balik lapisan awan.

Kedua orang lantas kerja keras, mereka mencari dan mengumpulkan segala keperluan dan diangkut ke atas kapal, lalu gentong air minum diisi penuh. Mereka lupa sekarang sudah berada di sungai, selanjutnya tidak perlu lagi khawatir kehabisan air minum.

Ternyata benar ada sementara juragan kapal yang berlayar di Tiangkang itu cukup kenal Gu Thi-wah, dari kejauhan mereka saling tegur sapa, ada yang berseloroh, "Hai, Thi-wah, kau sudah pulang. Wah, agaknya panenan tahun ini tidak cukup untuk kita makan lagi."

Maklumlah, Gu Thi-wah terkenal sangat banyak takaran makannya.

Juga ada orang bertanya, "Hai, Thi-wah, siapakah saudara cilik yang berada bersamamu itu?"

"Dia Toakoku!" jawab Thi-wah dengan suara keras.

Yang bertanya sama melengak, lalu sama bergelak tertawa pula. Maklum, bilamana Pui Po-ji dikatakan sebagai Toako si bocah gede itu, dengan sendirinya tidak ada yang mau percaya.

Thi-wah juga tertawa lebar bilamana orang lain sama melongo heran. Malamnya, sudah sekian jauh kapal mereka berlayar, lalu mereka mencari satu tempat berlabuh di ujung sebuah semenanjung.

Tiba-tiba dari jauh ada orang berteriak, "Toako ... Toako, tunggu ...."

Suaranya halus merdu, ternyata suara anak perempuan.

"Hah, tak tersangka ada orang yang juga memanggil Toako padamu," ucap Po-ji dengan tertawa.

Waktu memandang ke sana, terlihat sebuah sampan meluncur tiba secepat anak panah terlepas dari busurnya. Yang mendayung sampan itu adalah seorang anak gadis manis berbaju hijau.

Lengan baju anak gadis itu tersingsing tinggi sehingga kelihatan lengannya yang putih mulus, dua gelang kemala hijau menghiasi pergelangan tangannya.

Hanya memandang sekejap saja Thi-wah lantas memperlihatkan rasa kegirangan, ia lari ke buritan kapal dan berteriak, "Hai, Samoay, dayung yang keras, cepat kemari!"

Wajah anak gadis berbaju hijau yang putih itu tampak sudah berkeringat, namun kecepatan sampan itu sungguh luar biasa, hanya sebentar saja sudah menyusul tiba.

Sekali Thi-wah menjulurkan tangannya, dengan enteng saja gadis manis itu diangkatnya ke atas kapal dan dirangkulnya erat-erat, teriaknya, "Lekas katakan, mengapa kau pun berada di sini?"

Si gadis memandang Thi-wah dari atas ke bawah dan dari bawah kembali ke atas, katanya kemudian dengan tertawa, "Wah, Toako, engkau tumbuh terlebih kekar lagi .... Eh, siapakah adik cilik ini?"

Ia tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya.

Thi-wah tertawa, katanya, "Adik cilik apa? Dia Toakoku, jadi juga Toakomu, ingat!"

Gadis baju hijau itu terbelalak bingung, ia menegas, "Toa ... Toako?"

"Ya, Toako," kata Thi-wah. "Kepandaian Toako kita ini sungguh sangat hebat.

Oya, Toako, inilah adik perempuanku, namanya Thi-lan. Ia jauh lebih pintar daripadaku."

Dengan terbelalak si gadis baju hijau alias Gu Thi-lan memandang Pui Po-ji, sejenak kemudian barulah ia menegas, "Engkau ... engkau ini Toakoku?"

Mendadak ia tertawa terkial-kial sehingga sesak napas.

"Tertawa apa?" omel Thi-wah. "Ayo, lekas memberi hormat kepada Toako."

Dengan tertawa manis Thi-lan mendekati Po-ji, ingin menahan tertawa, tapi sukar ditahan, katanya, "Apa benar engkau ingin ... ingin kupanggil sebagai Toako?"

"Sudah tentu harus panggil begitu," teriak Thi-wah sebelum Po-ji menjawab.

"Baik, baik, Toako ... Toako cilik ...." sambil memanggil Thi-lan tertawa mengikik.

"Apakah kau anggap usiaku terlampau muda dan tidak pantas kau panggil sebagai Toako?" tanya Po-ji.

"Jika aku menyangkal berarti aku dusta padamu," sahut Gu Thi-lan.

Bola mata Pui Po-ji berputar, katanya, "Kau sendiri masih muda belia, anak perempuan pula, mengapa seorang diri mengeluyur keluar rumah dan bikin khawatir ayah ibu?"

Seketika Gu Thi-lan berhenti tertawa, ucapnya heran, "Hei, dari mana kau tahu aku mengeluyur ...."

Mendadak ia menyadari telanjur omong dan kalimat lanjutannya ditelan kembali mentah-mentah.

Po-ji menudingnya dan berkata pula, "Jika kau tidak mengeluyur keluar di luar tahu ayah-ibumu, waktu ditanya Toakomu tadi mengapa kau tidak menjawab?"

Thi-lan memandang Po-ji dengan terkesiap, nyata ia terheran-heran anak sekecil itu mengapa mempunyai pandangan setajam itu dan begitu teliti pula caranya menganalisis sesuatu urusan.

Mendadak Gu Thi-wah membentak, "Samoay, jadi benar kau mengeluyur keluar secara diam-diam?"

Terpaksa Gu Thi-lan mengangguk.

"Bagus, anak berumur dua belasan sudah begitu berani, apa kau tidak takut dimakan orang jahat?" omel Thi-wah.

"Memangnya siapa anak berumur dua belasan?" jawab Thi-lan kurang senang.

"Buset, jika kau tidak berumur dua belasan, habis berapa?" kata Thi-wah. "Jelas aku masih ingat beberapa hari sebelum kupergi kau baru saja berulang tahun ke 12."

Thi-lan tertawa geli, sahutnya, "Itu kan kejadian lima tahun yang lalu, memangnya orang tidak bisa tumbuh besar lagi dan masih tetap berumur 12 saja?"

Baru sekarang Gu Thi-wah menyadari kekeliruannya, serunya, "Ah, betul, betul, aku sudah pergi lima tahun lamanya ...."

"Sejak Toako pergi, Jiko (kakak kedua) lantas mengambil Jiso (kakak ipar kedua)," tutur Thi-lan.

"Hah, apa benar? Loji sudah menikah?" Thi-wah menegas dengan girang.

"Ya," jawab Thi-lan. "Jiso itu orangnya cantik dan juga cerdik, sungguh sukar dimengerti mengapa dia mau menjadi istri Jiko."

"Memangnya kenapa dengan Loji? Apakah dia tidak sesuai menjadi suami orang?" omel Thi-wah dengan mendelik.

"Jiko memang punya sedikit rezeki, cuma ...." Thi-lan menghela napas lalu menyambung, "Cuma Jiso yang cantik lagi pintar itu ternyata terlampau lihai juga."

"Lihai bagaimana?" tanya Thi-wah.

"Sejak Jiso masuk rumah kita, keadaan rumah kita lantas banyak berubah daripada dulu," tutur Thi-lan dengan menyesal. "Dahulu, meski kita miskin, namun hidup kita cukup gembira. Tapi kemudian ... kemudian Jiso datang dengan membawa harta, lalu keluarga kita tidak semiskin dulu lagi. Namun ... namun aku lebih suka hidup miskin seperti dahulu itu."

"Maksudmu dia mengganggumu?" tanya Thi-wah.

Thi-lan menggeleng, lalu mengangguk pula, mata pun tampak basah, ucapnya sedih, "Tidak menjadi soal jika dia menggangguku, tapi Jiko, Jiko juga dia ...."

"Memangnya Jiko juga diganggunya?" tanya Thi-wah dengan gusar.

Thi-lan menunduk, sampai lama tidak bicara lagi.

"Ayo lekas katakan," bentak Thi-wah.

Sampai sekian lama Thi-lan termenung, ia pandang Po-ji sekejap, lalu bertutur perlahan, "Sebelum ... sebelum dia kawin dengan Jiko, banyak kawannya yang sering datang mencari dia ...."

"Apa alangannya banyak kawan datang mencari dia?" ujar Thi-wah dengan melotot. "Jika suka bersahabat, suatu tanda dia anak perempuan yang berbudi baik dan sepantasnya kau menghormati dia."

"Tapi ... tapi para sahabatnya itu semuanya orang lelaki ...."

"Memangnya kenapa kalau lelaki?" teriak Thi-wah. "Apakah orang lelaki tidak boleh dijadikan sahabat? Hehe, kau ini memang anak aneh."

"Huh, Toako sendiri yang aneh," jawab Thi-lan sambil mengentak kaki.

"Perempuan yang sudah menikah sepantasnya tidak ... tidak boleh sembarangan bersahabat lagi dengan lelaki lain, masa urusan begini saja Toako tidak paham?"

"Memangnya kenapa? Masa perempuan yang sudah menikah tidak boleh bersahabat lagi?" gumam Thi-wah, ia pandang Po-ji sekejap, lalu bertanya, "Coba Toako, apakah uraian Samoayku ini tepat?"

"Memang begitulah seharusnya," kata Po-ji.

Thi-wah berpikir, lalu berteriak, "Jika begitu, seharusnya Jikomu memberi hajaran kepada bininya dan melarang dia sembarangan bergaul lagi dengan kawannya."

"Masakah Toako tidak kenal tabiat Jiko," ujar Thi-lan dengan menyesal. "Dia tidak berani bertengkar dengan siapa pun, terhadap Jiso terlebih tunduk, asalkan Jiso berdehem saja seketika Jiko akan mendekatinya dan meninggalkan pekerjaan apa pun."

"Ai, kenapa ayah juga tidak mengurus dia?" ujar Thi-wah.

"Sampai ayah dan ibu juga rada-rada takut padanya," tutur Thi-lan dengan menyesal. "Betapa pun Jiso membuat ribut, biasanya ayah dan ibu juga tidak berani bicara, hanya aku ... hanya aku saja ...."

"Kau kenapa?" tanya Thi-wah.

"Hanya aku saja yang tidak takut padanya," tutur Thi-lan. "Bilamana dia bertindak kelewatan, diam-diam aku lantas memusuhi dia, dengan berbagai daya upaya kubikin dia serba susah menghadapi apa pun."

Mendadak Thi-wah tertawa, katanya, "Haha, dahulu bila aku bertengkar denganmu, diam-diam aku pun sering dipermainkan olehmu. Kuyakin perempuan itu pasti juga banyak kau kerjai, dan entah cara bagaimana dia membalas dirimu?"

"Di luar dia tidak memperlihatkan sesuatu, tapi bila aku berada sendirian, segera dia mendekati aku dan mengajak berkelahi," tutur Thi-lan.

"Hah, adik perempuan Gu Thi-wah masakah kalah berkelahi dengan orang?" seru Thi-wah.

"Perawakannya kecil, tapi tenaganya besar, gerakannya juga cepat, sering aku tercecar dan tidak sanggup melawannya."

"Apakah Loji tahu apa yang terjadi?" tanya Thi-wah dengan gusar.

Thi-lan menunduk, jawabnya, "Cara turun tangannya keji dan ganas, meski aku dipukuli dan kesakitan setengah mati, tapi tempat yang dipukulnya selalu dipilih bagian yang tersembunyi sehingga tidak terlihat, sampai ... sampai Jiko juga tidak tahu."

Muka Thi-wah merah padam saking gusarnya, dampratnya, "Wah, pantas mampus, pantas mampus!"

"Dan karena aku tidak tahan, terpaksa kabur dari rumah," tutur Thi-lan.

Tiba-tiba Po-ji menimbrung, "Wah, Jisomu itu agaknya seorang aneh. Menurut ceritamu, jika benar dia begitu galak, jangan-jangan dia menguasai ilmu silat?"

"Ya, konon dia anak murid Hoa-san-pay," jawab Thi-lan.

Kening Po-ji bekernyit, pikirnya, "Jika anak murid Hoa-san-pay, pintar lagi cantik, mengapa mau kawin dengan pemuda dusun yang miskin, di balik ini tentu ada sesuatu yang tidak beres."

Waktu ia memandang, terlihat Gu Thi-lan memakai baju wanita nelayan, namun dari bahan yang halus, potongannya juga serasi dengan perawakannya.

Perlahan Thi-wah menepuk bahu adik perempuannya, gumamnya dengan penasaran, "Selama aku tidak di rumah, tentu telah bikin susah padamu." Perlahan Thi-lan mengangguk.

"Selama sekian tahun kau benar hidup susah?" tiba-tiba Po-ji tanya pula. Thi-lan melengak oleh pertanyaan ini, air mukanya rada berubah juga, tapi ia lantas tersenyum dan berkata, "Ah, orang muda kan tidak menjadi soal susah sedikit."

"Sudah berapa lama kau meninggalkan rumah?" tanya Po-ji.

"Kira-kira tiga tahun," jawab Thi-lan.

"Selama tiga tahun ini apa yang kau lakukan?"

"Menangkap ikan untuk belanja hidup sehari-hari," sahut Thi-lan.

"Dari mana kau peroleh kapal itu?"

"Kusewa, setiap bulan tiga cekak perak."

"Kami cari duit dengan susah payah kenapa caramu berdandan sedemikian boros?"

"Anak perempuan mana yang tidak suka bersolek?" jawab Thi-lan dengan tertawa. "Hidupku cukup hemat, dengan tabungan lebih dua tahun baru dapat kubeli sepasang gelang kemala ini."

Po-ji merasa sangsi, pertanyaannya cepat dan gencar, tapi jawaban Thi-lan terlebih cepat daripada pertanyaannya, namun jawabnya biarpun cepat tanpa cacat, tetap Pui Po-ji merasa anak perempuan ini ada sedikit aneh, sorot matanya yang bening itu seperti menyembunyikan sesuatu rahasia.

Sedangkan keanehan dan rahasia ini justru sukar ditebak oleh Po-ji. Diam-diam ia merasakan semacam firasat yang tidak enak, cuma sukar dijelaskan apa firasat itu.

Tanpa berkedip ia pandang Gu Thi-lan, namun gadis itu tidak memandangnya lagi.

Mendadak Thi-wah berkata dengan tertawa, "Ah, kau sudah tumbuh menjadi gadis besar, cepat sekali kau dewasa."

Hanya sekejap saja ia sudah melupakan rasa duka tadi, dengan tertawa ia berkata pula, "Untung hari ini dapat kau temui aku, kalau tidak, bila nanti kau sudah tua baru bertemu denganku, tentu sukar bagiku untuk membayangkan si Lan kecil dahulu telah berubah menjadi nenek-nenek .... Ya, untung, sungguh untung kita dapat bertemu ...."

"Kudengar cerita mereka bahwa engkau terlihat di sini, maka buru-buru kususul kemari ...." kata Thi-lan dengan tertawa.

Kembali hati Po-ji tergerak, segera ia menukas, "Orang-orang sama sibuk menangkap ikan, jika kau juga hidup dari menangkap ikan, kenapa kau tinggal di rumah?"

"O, ini ... aku kan juga perlu istirahat sehari dua hari," sahut Thi-lan.

"Banyak kenalan keluarga kalian di sini, jika kau sudah tinggal di sini selama tiga tahun, memangnya ayah-bundamu tidak tahu dan mengapa mereka tidak mencarimu ke sini?" tanya Po-ji.

"Aku ... aku sendiri tidak tahu apakah ayah dan ibu mengetahui aku berada di sini atau tidak, yang jelas mereka memang tidak pernah mencariku."

Ia tetap menjawab dengan lancar dan cepat, namun kata-katanya sudah rada tergegap.

Kembali kening Po-ji bekernyit dan tambah sangsi. Semula ia sangka keluarga Gu Thi-wah pasti sangat sederhana, baru sekarang diketahui cukup ruwet dan ada sesuatu yang tidak beres.

Pula antara mereka kakak beradik ternyata sangat berbeda, si kakak polos bersahaja, sebaliknya si adik justru penuh diliputi misterius. Sang kakak bicara lugu, si adik justru pandai putar lidah, setiap katanya sukar untuk dipercaya, sungguh Po-ji tidak menyangka Gu Thi-wah bisa mempunyai seorang adik perempuan seperti ini.

Sedangkan Gu Thi-lan juga sama sekali tidak menyangka anak kecil serupa Pui Po-ji ini ternyata dapat melihat rahasia pribadinya, tahu begini tentu dia takkan sembarangan menyusul kemari.

Sebaliknya Gu Thi-wah sama sekali tidak tahu apa-apa, ia masih tertawa lebar dan gembira. Melihat adik perempuan yang tumbuh semakin besar ini, selain tertawa ia tidak mau berpikir urusan lain lagi.

Tapi Thi-lan seperti teringat banyak urusan, ia menunduk dan memainkan ujung baju.

"Ayo berangkat," kata Po-ji tiba-tiba.

"Ke mana?" tanya Thi-wah.

"Kan pantas jika mampir ke tempat tinggal adikmu," sahut Po-ji.

"Aha, benar," seru Thi-wah tertawa. "Kalau tidak disebut Toako, hampir saja kulupa. Eh, Samoay, di mana letak rumahmu? Ayolah kita berangkat."

"Baik ... baiklah, ikut padaku," sahut Thi-lan dengan menunduk. Tapi mendadak ia berteriak kaget, "Wah, celaka! Di ... di manakah sampanku?...."

Thi-wah memandang sekitarnya, ternyata benar sampan adiknya sudah hilang. Mungkin saking asyiknya mereka bicara sehingga tidak tahu sampan itu hanyut terbawa arus entah ke mana.

"Mengapa tidak ... tidak kau tambat dengan tali," omel Thi-wah.

Thi-lan menangis dan ribut, "Wah, lantas bagaimana baiknya? Sampan itu milik orang lain, untuk mengganti rugi jelas aku tidak mampu .... Toako, katanya kepandaianmu sangat besar, mohon engkau sudilah mencarikan akal."

"Susul ke hilir sana," ucap Po-ji dengan kening bekernyit.

"Betul, usul bagus," seru Thi-wah.

Padahal cara ini sedikit pun tidak bagus, bahkan boleh dikatakan cara yang paling bodoh. Jika sampan sudah hanyut ke hilir, ke mana lagi mereka dapat menemukannya, apalagi cuaca pun mulai gelap.

Sekonyong-konyong dari depan sana sebuah perahu meluncur tiba. Penumpangnya juga seorang gadis berbaju hijau, keadaannya serupa Gu Thi-lan.

Segera Thi-lan berteriak, "Lau-cici, apakah kau lihat sampanku?"

"Tidak," jawab gadis itu. "Marilah kubawamu mencarinya."

"Baik," sahut Thi-lan. "Toako, hendaknya kalian tunggu di sini saja, sampan itu kecil dan ringan, mudah ditemukan ...."

Sementara itu perahu tadi sudah mendekat.

Sejak tadi Po-ji ingin bicara apa-apa, namun dapat ditahannya.

"Lekas, Samoay, tahu tidak?" seru Thi-wah.

Thi-lan mengiakan dan melompat ke atas perahu.

Melihat gerak tubuh Gu Thi-lan, kembali hati Po-ji tergetar. Meski ia sendiri tidak mahir ilmu silat, namun sudah cukup banyak ia melihatnya, sekarang dapat dipastikannya adik perempuan Gu Thi-wah ini pasti menguasai ilmu silat cukup tinggi.

Dilihatnya Thi-lan memberi salam dan perahu tadi didayung pergi lagi. Kelihatan gadis berbaju hijau itu berbisik apa-apa di tepi telinga Thi-lan entah apa yang dikatakannya, lalu menoleh dan memandang Po-ji sekejap, kemudian perahu itu pun semakin menjauh.

Memandangi kepergian adik perempuannya, tiba-tiba Thi-wah berkata dengan tertawa, "Dandanan nona itu selain serupa benar dengan adikku, bahkan perahu yang dibawanya juga serupa sampan Losam tadi, sungguh aneh dan menarik ...."

Meski otaknya tidak selincah orang biasa, tapi orang yang berpikiran polos seperti ini sering kali dapat langsung memberi reaksi dan menyelami sesuatu persoalan secara lebih mendalam daripada orang lain, sebab jalan pikirannya tidak ruwet seperti orang lain, yang dipikir tidak sebanyak orang, maka terkadang sekaligus dapat memegang titik pokoknya dengan jitu.

Meski Po-ji sudah dapat melihat hal-hal yang mencurigakan yang tidak mungkin dapat dilihat oleh Gu Thi-wah, tapi terhadap urusan yang mudah kelihatan berbalik tidak dapat memahaminya.

Sekarang hati Po-ji tergerak lagi, serunya, "Aha, betul!"

"Apanya yang betul?" tanya Thi-wah.

"Oo, tidak ada apa-apa ...." meski demikian jawab Po-ji, tapi di dalam hati ia pikir, "Adik perempuan Thi-wah pasti telah ikut sesuatu Pang-hwe (perkumpulan dan organisasi) rahasia, dan di dalam Pang-hwe itu pasti banyak terdapat anak gadis berdandan serupa dia. Melihat caranya menjaga rahasia, rasanya Pang-hwe itu pasti tidak berhaluan baik."

Urusan keluarga Thi-wah itu makin dipikir makin memusingkan kepala. Sebaliknya Thi-wah sendiri sama sekali tidak ambil pusing, ia telah menyeret kapal kotaknya sehingga kandas di pesisir.

"Waktu kecilnya apakah adik perempuanmu pernah belajar silat?" tanya Po-ji.

Thi-wah menyeret kapalnya sambil menggeleng, "Tidak pernah."

"Tapi sekarang dia sudah mahir ilmu silat," kata Po-ji dengan kening bekernyit.

"Apa betul?" Thi-wah menegas dengan tertawa. "Wah, jika begitu tentu sangat bagus, kelak biar kuminta belajar padanya."

"Siapa gurunya yang mengajar kungfu padanya?" tanya Po-ji pula. "Jika dia hidup dari menangkap ikan, mengapa ada orang mengajar ilmu silat padanya? Memangnya kau tidak heran terhadap hal-hal demikian?"

"Heran apa?" tanya Thi-wah dengan tertawa lebar.

Po-ji menghela napas dan tidak bicara lagi.

Kedua orang menunggu cukup lama di pantai, Thi-wah semula berdiri di tepi pantai sambil celingukan kian kemari, akhirnya ia berbaring di pesisir dan tertidur nyenyak.

Memandangi bocah gede itu, Po-ji menggeleng kepala, gumamnya, "Sungguh orang yang polos ...."

Sementara itu sudah magrib, tabir malam sudah menyelimuti angkasa, bintang sudah berkelip di langit. Namun bayangan Gu Thi-lan masih belum lagi kelihatan.

Diam-diam Po-ji membatin, "Jangan-jangan ia khawatir kami singgah ke tempat tinggalnya, maka diam-diam tinggal pergi."

Bersambung ke Jilid 9 ...