Bagian 2
Pernyataan itu sangat menggemparkan. Hampir semua orang serentak berbangkit dan serentak bertanya, "Apa?" Yang terus berduduk di kursi hanyalah Po Si yang rupanya sudah tahu rahasia itu.
"Kukatakan, 'Cwan Ong tidak mati,' kata pula Peng Ah Si. "Tapi ia dikepung musuh yang berjumlah sangat besar dan tidak dapat meloloskan diri. Ketiga wisu, Biauw, Hoan dan Tian, telah menerjang turun dari gunung untuk meminta pertolongan, tapi bala bantuan tak kunjung datang. Sementara itu tentara musuh makin mendesak, sehingga Seantero sisa pasukan Cwan Ong menghadapi bahaya kemusnaan. Dalam putus harapan, Cwan Ong mengangkat golok komandonya dan mau menggorok leher, tapi keburu dicegah oleh wisu she Ouw, yang bergelar 'Hui Thian Ho Li'. Si orang she Ouw sangat cerdik dan dalam bahaya, ia dapat memikir suatu tipu. Dari antara mayat-mayat tentara, ia memilih mayatnya seorang tentara yang tinggi dan besar tubuhnya bersamaan dengan Cwan Ong. Mayat itu lalu dipakaikan pakaian kebesaran Cwan Ong dan pada lehernya digantungkan cap kekuasaan raja muda itu. Sesudah itu, ia membacok-bacok muka mayat, sehingga tak dapat dikenali lagi. Akhirnya, dengan menggendong 'mayat Cwan Ong',
ia pergi ke markas besar tentara Ceng dan menakluk. Ia mengaku sudah membinasakan Cwan Ong dan menyerahkan jenazah raja muda itu untuk meminta hadiah. Pahala itu bukan main besarnya. Panglima perang Ceng yang bertugas pun bisa naik pangkat mendapat hadiah dari jungjungannya. Maka itu, jangankan memang sebenarnya ia tidak ragu-ragu, sedangkan andaikata ia masih bersangsi, ia tentu akan coba menghilangkan rasa sangsi itu. Demikianlah panglima perang Boan lantas saja menerima baik pengakuan 'Hui Thian Ho Li' dan membubarkan tentara yang mengepung Kiu Kiong San. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, Cwan Ong yang tulen dengan mudah dapat meloloskan diri. Hai! ... Cwan Ong tertolong, tapi 'Hui Thian Ho Li' sendiri lantas saja menghadapi bahaya besar."
"Dalam menjalankan tipu itu, 'Hui Thian Ho Li' sangat menderita. Dalam kalangan Kang Ouw, orang-orang gagah sangat mengutamakan 'kesatriaan' dan 'pribudi'. Untuk menolong majikannya, 'Hui Thian Ho Li' bukan saja harus menekuk lutut di hadapan musuh, tapi juga harus menerima cacian sebagai manusia hina-dina yang sudah menjual majikan untuk mendapat pangkat. Nama 'Hui Thian Ho Li' telah menggetarkan kolong langit Saban kali namanya disebut orang-orang Dunia Persilatan selalu mengacungkan jempolnya. Tapi sekarang ia harus menodai nama baiknya yang telah dipupuk hidup. Pengorbanan ini sepuluh kali lipat lebih sukar daripada melakukan perbuatan-perbuatan kesatria."
"Sudah menakluk kepada Gouw Sam Kwi, ia terus naik pangkat sehingga menjadi teetok Berkat kecerdikan, kegagahan dan kepandaiannya, ia mendapat kepercayaan besar dari Gouw Sam Kwi. Tapi selama itu, diam-diam ia membulatkan tekad untuk membalas sakit hati terhadap Gouw Sam Kwi, sebab pembesar itulah yang sudah menggagalkan usaha Li Cwan Ong. Kalau ia mau membunuh Gouw Sam Kwi, ia dapat melakukannya dengan mudah sekali. Tapi ia seorang berakal budi dan tentu saja tidak mau bertindak secara begitu sembrono. Selama beberapa tahun, dengan hati-hati dan dengan diam-diam, ia menjalankan tipunya. Di satu pihak, ia bertindak untuk membangkitkan kecurigaan kaisar Boan terhadap Gouw Sam Kwi, sedang di lain pihak, ia bekerja untuk mengganggu ketenteraman hati pembesar itu, supaya pada akhirnya, mau tidak mau, Gouw Sam Kwi harus memberontak. Atas bujukannya, Gouw Sam Kwi mengumpulkan tentara dan membeli kuda-kuda perang di propinsi Inlam, tapi diam-diam, ia melaporkan gerak-gerik Gouw Sam Kwi itu kepada kaisar Boan. Tentu saja kaisar menjadi curiga dan segera menyelidiki. Tindakan-tindakan kaisar selalu diincar olehnya dan ia melaporkannya kepada Gouw Sam Kwi."
"Demikianlah, dalam beberapa tahun saja, kedudukan Gouw Sam Kwi sudah terdesak begitu rupa, sehingga ia tak dapat tidak memberontak. Waktu itu daerah selatan-tengah bergoncang hebat, dan tenaga pemerintah Boan sangat berkurang. Itulah saat yang sangat baik untuk Cwan Ong merebut pulang negara. Andaikata pemberontakan Gouw Sam Kwi gagal dan usaha Cwan Ong juga tidak berhasil, sedikitnya Gouw Sam Kwi akan terbasmi. Maka itu, menurut pendapat 'Hui Thian Ho Li', tipu yang sedang dijalankannya banyak lebih bermanfaat daripada kalau ia hanya membunuh Gouw Sam Kwi seorang.
"Waktu tiga saudara angkat Biauw, Hoan dan Tian datang di Kun Beng untuk membunuh Gouw Sam Kwi, tipu 'Hui Thian Ho Li' sudah hampir berhasil. Maka itulah, pada detik yang sangat berbahaya, ia segera muncul dan menolong Gouw Sam Kwi, sehingga percobaan itu menjadi gagal.
"Tahun itu, tanggal lima belas bulan ketiga, ia mengundang ketiga saudara angkatnya untuk membuat pertemuan dan minum arak di tepi telaga Tinti. la berniat untuk membuka rahasia, untuk memberitahukan segala tipu-dayanya. Tapi di luar dugaan, sebelum ia sempat berceritera, pada waktu ia lengah, tiba-tiba ia diserang oleh ketiga saudara angkatnya. Serangan bokongan itu dilakukan sebab ketiga saudara tersebut, merasa jeri akan kepandaiannya yang tinggi. Pada waktu mau menghembuskan napasnya yang penghabisan, sambil mengucurkan air mata, ia berkata, 'Sayangi Sungguh sayang, tipuku telah gagal seanteronya' Sesudah berdiam sejenak, dengan suara lemah ia berkata pula, 'Goansweeya berada di Ciok Bun Kiap ..."'
"Dengan berkata begitu, ia ingin memberitahukan, bahwa Li Cwan Ong pada waktu itu sedang menyamar sebagai pendeta di kuil To Cu Si, gunung Kiap San, disterik Ciok Bun Koan, dengan menggunakan nama Hong Thian Giok Hweeshio.
"Cwan Ong berumur panjang. Ia hidup sampai pada bulan kedua, tahun Kahsin, pada pemerintahan Kaisar Khong Hi dan meninggal dunia pada usia 70. Dalam memimpin angkatan perang, Cwan Ong menggunakan nama Hong Thian Ciang Gi Taygoanswee. Namanya sebagai orang pertapaan ialah Hong Thian Giok dan huruf 'giok' berasal dari huruf 'ong' yang ditambah dengan satu titik."
Sehabis mendengar ceritera Biauw Yok Lan, semua orang menganggap, bahwa 'Hui Thian Ho Li' manusia jahat. Tak dinyana, dalam hal itu bersembunyi sebuah rahasia besar. Mereka kaget tercampur heran dan mereka kelihatannya belum percaya keterangan Peng Ah Si. Melihat kesangsian orang, Peng Ah Si berpaling kepada nona Biauw dan berkata, "Menurut penuturanmu, pada tanggal lima belas bulan ketiga, putera 'Hui Thian Ho Li' telah menemui ketiga pamannya dan bicara lama dengan mereka dalam sebuah kamar dan waktu ketiga orang itu keluar dari kamar, mereka membunuh diri. Biauw Kouwnio, soal apakah yang telah dibicarakan mereka
dalam kamar itu?"
'Apakah yang dibicarakan bukan soal tipu-daya 'Hui Thian Ho Li'?" Yok Lan balas menanya.
"Bukankah kau ingin maksudkan, bahwa dalam kamar itu, putera 'Hui Thian Ho Li' telah membuka rahasia dan menceriterakan penderitaan ayahandanya?"
"Benar," jawabnya. "Kalau ketiga orang itu tidak merasa menyesal, bahwa mereka telah membinasakan saudara angkatnya yang tidak berdosa, cara bagaimana mereka bisa membunuh diri-sendiri? Sesudah mendengar keterangan putera 'Hui Thian Ho Li', mereka baru tahu, bahwa bukan saja mereka sudah membunuh seorang yang putih-bersih, tapi juga sudah menggagalkan suatu usaha besar yang sudah hampir berhasil. Rasa menyesal mereka adalah sedemikian besar, sehingga mereka merasa tidak dapat menebus dosa, jika mereka tidak membunuh diri. Tapi pada waktu itu Cwan Ong masih hidup, sehingga rahasia tidak boleh bocor. Walaupun kepada orang-orang yang paling dipercaya, mereka tak dapat memberitahukan rahasia itu. Apa yang harus disayangkan, ialah, meskipun mereka orang-orang yang mempunyai kesetiaan dan pribudi tinggi, mereka semberono dan ceroboh. Bahwa mereka telah membinasakan 'Hui Thian Ho Li' karena salah paham, sudah merupakan suatu kesalahan hebat. Tapi pada waktu membunuh diri, sekali lagi mereka membuat kesalahan besar. Mereka tidak memesan anak-anak dan murid-murid mereka untuk tidak coba membalas sakit hati kepada putera 'Hui Thian Ho Li'. Inilah yang dinamakan kesalahan berlapis kesalahan, sehingga, sebagai akibatnya, turun-temurun keempat keluarga itu jadi bermusuhan."
Di dalam kamar, putera 'Hui Thian Ho Li' telah memberitahukan ketiga pamannya, bahwa rahasia itu baru dapat dibuka pada tahun It Yu, yaitu seratus tahun kemudian. Biar bagaimana panjang pun jua usianya Cwan Ong, pada waktu itu ia tentu sudah meninggal dunia. Manakala rahasia tersebut dibocorkan terlalu siang, pemerintah Ceng bisa mengadakan penyelidikan dan jiwa Cwan Ong bisa terancam. Rahasia besar itu hanya diketahui oleh turunan keluarga Ouw. Turunan keluarga Biauw, Hoan dan Tian tetap tinggal gelap. Waktu turunan keluarga Ouw tiba pada Ouw It To Ouw toaya, batas waktu seratus tahun sudah lewat, sehingga oleh karenanya, Ouw toaya berani meminta pertolongan Giam Ki untuk menyampaikan rahasia itu kepada Biauw Jin Hong.
"Hal yang kedua adalah sebab-musabab dari kebinasaan ayah 'Kim Bian Hud' dan Tian siangkong. Belasan tahun yang lalu, kedua orang tua itu bersama-sama pergi ke Kwan Gwa dan telah lenyap dengan begitu saja. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan nama mereka telah menggetarkan dunia Kangouw. Maka itu diduga pasti, bahwa mereka telah dibinasakan oleh seseorang yang berkepandaian tinggi juga. Apa mau, waktu itu Ouw toaya justeru berada di Kwan Gwa dan dengan mengingat, bahwa keluarga Ouw adalah musuh turunan keluarga Biauw dan Tian, maka siapa pun jua tentu akan menduga, bahwa Ouw toayalah yang sudah membunuh mereka. Beberapa kali 'Kim Bian Hud' dan Tian siangkong pergi ke Kwan Gwa untuk menyelidiki. Tapi mereka bukan saja tidak bisa mendapat keterangan apa-apa, bahkan Ouw toaya pun tidak dapat dicari. Karena tidak berdaya, 'Kim Bian Hud' sudah sengaja memakai gelar 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu' untuk dirinya, supaya Ouw toaya menjadi gusar dan mau menemuinya. Ouw toaya mengerti maksudnya, tapi ia tidak meladeni. Diam-diam ia sendiri berusaha untuk mencari kedua orang tua itu. Menurut keinginannya, sesudah berhasil, barulah ia mau menemui 'Kim Bian Hud' untuk mencuci bersih tuduhan yang dijatuhkan atas dirinya."
"Langit selalu memberkahi usaha manusia yang sungguh-sungguh. Sesudah mencari-cari beberapa tahun, Ouw toaya akhirnya mendapat keterangan jelas mengenai nasibnya kedua orang tua itu. Waktu itu Ouw Hujin hamil. Ia asal Kanglam dan begitu mengandung, ia ingin sekali pulang ke kampung asalnya. Maka itu, kedua suami-isteri lantas saja berangkat ke Selatan. Setibanya di Tong Koan Iim-ii, lebih dahulu Ouw toaya bertempur melawan orang she Hoan dan she Tian dan kemudian barulah ia bertemu dengan 'Kim Bian Hud'. Pesan yang ia minta Giam Ki menyampaikan kepada Biauw Jin Hong adalah begini, Kalau 'Kim Bian Hud' ingin mencari jenazah mendiang ayahnya, ia bisa membawanya ke tempat itu sesudah mengantarkan isterinya.
Dengan melihat jenazah, Biauw Jin Hong akan tahu, cara bagaimana ayahnya menemui kebinasaan. Oleh karena kedua orang tua itu mati dalam cara yang agak memalukan, maka Ouw toaya merasa kurang enak untuk memberitahukan dengan mulutnya sendiri. Maka itu, sebaiknya biar 'Kim Bian Hud' dan Tian siangkong yang melihat dengan mata sendiri."
"Hal ketiga, mengenai golok komando Cwan Ong. Dalam golok itu bersembunyi rahasia dari harta karun yang tidak mungkin disebutkan berapa besar harganya. Harta itu meliputi perak, emas, batu pertama, mustika dan sebagainya dalam jumlah yang tidak bisa dihitung berapa banyaknya."
Pada paras muka semua orang lantas saja terlihat rasa heran yang sangat besar. "Jika kalian dengar pesan Ouw toaya kepada Giam Ki, kalian tentu tak akan merasa heran lagi," kata pula Peng Ah Si. "Begitu lekas Cwan Ong memukul pecah kota Pakkhia, sanak-keluarga dan menteri-menteri kerajaan Beng lantas saja menakluk. Mereka itu kaya-raya. Cwan Ong segera mengeluarkan pengumuman, bahwa untuk mendapat pengampunan, mereka harus menyerahkan harta. Dalam beberapa hari saja, emas, perak dan lain-lain sudah bertumpuk bagaikan gunung. Belakangan pada waktu Cwan Ong mundur dari Pakkhia, ia memerintahkan seorang panglima kepercayaannya untuk menyembunyikan harta itu di suatu tempat yang aman, supaya dapat digunakan untuk keperluan angkatan perang di hari kemudian."
"Tempat penyimpanan harta dilukiskan dalam sebuah peta, akan tetapi kunci untuk mencari harta itu terletak pada golok komando tersebut. Pada waktu kalah perang di Kiu Kiong San, Cwan Ong menyerahkan peta dan golok kepada 'Hui Thian Ho Li' dan sesudah 'Hui Thian Ho Li' dibinasakan, peta dan golok itu jatuh ke dalam tangan ketiga adik angkatnya. Tapi tak lama kemudian, kedua barang itu dirampas pulang oleh puteranya 'Hui Thian Ho Li'."
"Sesudah berebutan selama seratus tahun, golok komando dipegang oleh keluarga Tian dari Thian Liong Bun, sedang peta jatuh ke dalam tangan keluarga Biauw. Akan tetapi, baik Tian maupun Biauw sama sekali tak tahu adanya rahasia itu dan itulah sebabnya mengapa mereka tak berusaha untuk mencarinya. Yang tahu rahasia itu hanyalah turunan she Ouw, tapi mereka pun tidak berdaya sebab tidak memiliki golok dan peta. "Dengan membuka rahasia kepada 'Kim Bian Hud', Ouw toaya ingin supaya Biauw Jin Hong menggali harta tersebut untuk menolong sesama manusia dan kalau bisa, menggunakannya untuk mengusir penjajah Boan dan merampas pulang tanah air kita."
"Ketiga hal itu penting semuanya. Maka itu, ia merasa heran, mengapa sesudah diberitahukan, Biauw Jin Hong masih juga mau bertempur dengannya. Sampai pada waktu mau menghembuskan napasnya yang penghabisan, Ouw toaya belum dapat memecahkan teka-teki itu. Apakah 'Kim Bian Hud' bukan kesatria tulen? Entahlah. Apakah 'Kim Bian Hud' tidak percaya pemberitahuan itu?
Entahlah."
Berkata sampai di situ, Peng Ah Si menghela napas panjang. To Pek Swee yang sedari tadi terus mendengari tanpa membuka mulut, tiba-tiba berkata, "Aku tahu mengapa Biauw Jin Hong tetap mau bertanding dengan Ouw It To. Tapi untuk sementara aku tak mau bicarakan hal itu. Sekarang aku mau tanya, perlu apa kau datang ke sini?"
Itulah pertanyaan yang ingin diajukan oleh semua orang. "Aku datang untuk membalas sakit hatinya Ouw toaya," jawabnya.
"Membalas sakit hati?" menegas To Pek Swee. "Terhadap siapa?" Peng Ah Si tertawa dingin. "Terhadap manusia yang sudah mencelakai Ouw toaya," jawabnya.
Paras muka Biauw Yok Lan berubah pucat-pasi. "Hanya sayang ayahku belum datang kemari," katanya dengan suara perlahan.
"Bukan, bukan terhadap ayahmu," kata Peng Ah Si dengan lepat "Orang yang mencelakai Ouw toaya bukan 'Kim Bian Hud', tapi seorang yang dahulu menjadi sinshe tukang mengobati luka-luka kepukul dan sekarang berubah menjadi pendeta. Dia sekarang dikenal sebagai Po Si!"
Po Si berbangkit dan tertawa terbahak-bahak. "Bagus!" serunya. "Kalau kau mempunyai kepandaian, turun tanganlah sekarang juga!"
'Aku sudah turun tangan," kata Peng Ah Si dengan tenang. "Terhitung dari hari ini, jiwamu tidak lebih panjang daripada tujuh hari dan tujuh malam lagi."
Semua orang kaget, lebih pula Po Si. Tapi biarpun hatinya ketakutan, mulutnya mencaci, "Binatang, apakah yang bisa diperbuat olehmu terhadapku?"
"Bukan saja kau, tapi semua orang, lelaki, perempuan, tua dan muda yang berada di sini juga tak akan bisa melewati tujuh hari dan tujuh malam!" teriak Peng Ah Si dengan suara bernapsu. Semua orang terkesiap -- ada yang berbangkit dari tempat duduknya, ada pula yang mengawasi Peng Ah Si dengan mata membelalak.
'Apa kau menaruh racun dalam air teh dan makanan kami?" tanya Po Si dengan gusar.
"Mana bisa kau mampus begitu enak?" katanya dengan suara mengejek. "Kau bakal mati perlahan-lahan, mati kelaparan."
"Mati kelaparan?" menegas Co Hun Ki, To Pek Swee dan The Sam Nio dengan berbareng. "Benar," jawabnya dengan adem. "Di puncak ini sebenarnya tersedia makanan yang cukup untuk sepuluh hari. Sekarang, sebutir beras pun sudah tak ada lagi. Semuanya sudah dilemparkan ke bawah gunung olehku!"
Pernyataan itu disambut dengan teriakan tertahan. Po Si melompat dan menyengkeram tangan kiri Peng Ah Si. Dia tidak melawan, sedang pada bibirnya tetap tersungging senyuman dingin. Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang mendekati, siap-sedia untuk menyerang jika Peng Ah Si melawan. Dengan tersipu-sipu Ie koankee masuk ke belakang dan tidak lama kemudian, ia keluar lagi dengan paras muka pucat "Taysu," katanya dengan suara gemetar. "Semua beras, kerbau kambing, ayam-bebek dan sayur-mayur yang berada di sini semua sudah di lemparkan ke bawah gunung!"
"Buk!" Co Hun Ki meninju dada Peng Ah Si yang lantas saja muntahkan darah Tapi ia tetap bersenyum dingin.
"Apakah dalam gudang makanan dan di dapur tidak ada manusianya?" tanya Po Si dengan mendongkol.
"Ada tiga orang, tapi mereka semua diikat oleh bangsat itu," jawabnya. "Hai! ... Waktu kedua setan kecil itu membikin ribut di ruangan ini, kita semua keluar untuk melihatnya. Tak dinyana, itu merupakan tipu memancing harimau keluar dari gunung. Biauw Kouwnio, semula kami menganggap, bahwa dia adalah orangmu yang dibawa olehmu kemari."
Biauw Yok Lan menggelengkan kepala "Bukan," katanya. "Sebaliknya aku sendiri menduga, bahwa dia adalah pengurus rumah dari perkampungan ini."
"Apakah tak ada makanan yang ketinggalan?" tanya Po Si. Ie koankee menggoyang-goyangkan kepalanya.
Dengan gusar Co Hun Ki mengangkat pula tinjunya.
"Co toaya, tahan!" kata nona Biauw. "Dia masih memeluk nama ayahku. Dia tidak boleh diganggu oleh siapa pun jua."
Tinju itu berhenti di tengah udara. Sambil mengawasi si nona dengan mata merah, Co Hun Ki berkata, "Kita semua bakal mampus dalam tangannya Mengapa ... mengapa kau..."
"Soal mati-hidup merupakan suatu soal, soal yang barusan dikatakan olehku merupakan lain soal," kata si nona. "Dia telah melemparkan semua makanan ke bawah gunung dan oleh karena perbuatannya itu, kita semua menghadapi kebinasaan. Tapi dia pun akan mati bersama-sama kita.
Kalau seseorang berani melakukan suatu perbuatan tanpa menghiraukan jiwa sendiri, dia tentu mempunyai alasan teguh untuk melakukannya. Po Si Taysu, Co toaya, hidup atau mati adalah takdir. Kita bingung pun tiada gunanya. Paling benar kita membiarkan dia bicara terus, supaya kita bisa menimbang-nimbang, apa benar kita pantas mati di sini."
Si nona bicara dengan suara tenang dan ramah-tamah, tapi entah bagaimana, suara itu mempunyai pengaruh yang sangat besar. Po Si segera melepaskan cengkeramannya, sedang Co Hun Ki pun kembali pada kursinya.
"Peng Ya, kau ingin kita semua mati kelaparan," kata Yok Lan. "Apakah kau bisa memberitahukan, sebab-musabab dari perbuatanmu itu? Bukankah dengan berbuat begitu, kau ingin membalas sakit hatinya Ouw It To pehpeh?"
"Panggilan 'Peng Ya' (Paduka Tuan Peng) tak dapat diterima olehku," kata Peng Ah Si. "Seumur hidup, aku selalu menggunakan istilah 'Ya' untuk orang lain, tapi orang lain belum pernah menggunakan panggilan itu terhadapku. Biauw Kouwnio, bahwa Ouw toaya sudah menghadiahkan perak kepadaku dan menolong jiwa serumah-tanggaku, aku merasa sangat, sangat berterima kasih. Tapi di samping itu masih ada lain hal yang membuat aku lebih-lebih merasa berterima kasih. Apakah itu? Hm ... Semua orang memanggil aku sebagai si A Si yang kepalanya budukan. Semua orang menghina aku. Hanyalah Ouw toaya yang memanggil aku 'saudara kecil' dan ia mendesak supaya aku memanggilnya dengan menggunakan istilah 'toako'."
"Seumur hidup, aku, Peng Ah Si, selalu dihina orang. Hanyalah Ouw toaya seorang yang mengatakan, bahwa di dalam dunia pada hakekatnya tidak ada manusia tinggi atau manusia rendah. Semua sama. Dalam mata Langit, semua manusia adalah sama. Mendengar perkataan itu, kedua mataku seperti baru melek sesudah buta belasan tahun. Sesudah mendengar itu, kedua mataku melihat sinar yang terang. Hanya dalam sehari aku bertemu dengan Ouw toaya. Tapi di dalam hati, aku sudah menganggap ia sebagai anggauta keluarga sendiri."
"Selama beberapa hari Ouw toaya bertanding dengan 'Kim Bian Hud', tanpa ada keputusannya. Selama beberapa hari itu aku tentu saja berkuatir akan keselamatan Ouw toaya. Belakangan, Ouw toaya binasa sebab racun golok, dan Ouw Hujin pun membunuh diri. Kejadian itu telah disaksikan dengan kedua mataku sendiri dan tak dapat aku melupakannya. Giam tayhu, pada hari itu tangan
kirimu menenteng peti obat-obatan, sedang dalam buntalanmu yang digendong di punggungmu, terdapat belasan potong perak. Bukankah benar begitu? Hari itu kau mengenakan baju kulit kambing dan memakai tudung warna kuning. Bukankah begitu?"
Muka Po Si jadi pucat pasi, tangan kanannya yang mentekel biji-biji tasbih kelihatan bergemetaran. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mengawasi Peng Ah Si dengan mata membelalak.
"Kemarin malamnya, Ouw toaya dan 'Kim Bian Hud' tidur seranjang," Peng Ah Si melanjutkan penuturannya.
"Dengan berdiri di luar jendela, tabib Giam mendengari pembicaraan mereka. Dari dalam kamar 'Kim Bian Hud' mengirim tinju, sehingga hidung Giam tayhu bocor dan mukanya berdarah-darah. Menurut pengakuannya, sesudah dipukul, ia pergi tidur. Tapi dalam pengakuan itu ada sesuatu yang tidak disebutkan. Dengan mata sendiri aku melihat, bahwa sebelum tidur, lebih dahulu ia
melakukan serupa pekerjaan. Pekerjaan apa? Dari dalam peti obat-obatan, ia mengeluarkan semacam obat cair yang lalu dipoleskan pada golok dan pedang yang digunakan Ouw toaya dan 'Kim Bian Hud'. Waktu itu aku masih anak-anak, baru berusia belasan tahun. Aku tak tahu, bahwa ia sedang melakukan perbuatan terkutuk. Sesudah Ouw toaya meninggal dunia, barulah aku mendusin, bahwa Giam tayhu telah melabur racun di atas kedua senjata itu. Dia mengharap supaya Ouw toaya dan Biauw Jin Hong mati bersama-sama. Giam tayhu, oh Giam tayhu, isi perutmu sungguh beracun!"
"Bahwa dia mengharapkan kebinasaan 'Kim Bian Hud', dapatlah dimengerti. Dia tentu mau membalas sakit hati, sebab dipukul. Tapi dengan Ouw toaya, dia sama sekali tidak bermusuhan. Mengapa dia melabur juga racun di pedangnya Biauw Jin Hong? Aku terus memutar otak untuk menjawab pertanyaan. Hm ... tak bisa salah lagi, manusia itu ingin memiliki kotak besi Ouw toaya."
"Giam tayhu mengatakan, bahwa ia tak tahu apa isinya kotak besi itu. Dusta! Dia tahu! Pada waktu Ouw toaya menyerahkan kotak besi itu kepada Hujin, ia menuang semua isinya di atas meja -- Mutiara dan barang permata. Adikku,' kata Ouw toaya, 'dengan kepandaian yang dimiliki olehmu, jika kau memerlukan uang, dengan mudah kau bisa mengambil emas-peraknya pembesar rakus atau hartawan kejam. Tapi kalau perbuatan itu dilakukan terlalu sering, suatu kesalahan mungkin tidak akan dapat dielakkan. Aku . . aku ...,' Mendengar perkataan suaminya, Hujin berkata, toako, legakanlah hatimu. Manakala terjadi sesuatu atas dirimu, aku akan memusatkan seluruh perhatianku guna memelihara anak kita. Dengan menjual perlahan-lahan barang-barang permata ini, ibu dan anak bisa hidup cukup untuk seumur hidup. Aku tidak akan bertempur lagi dengan orang dan tidak akan Mencuri lagi. toako, bagaimana pendapatmu?' Seraya tertawa besar Ouw toaya berkata, 'Bagus!' Ia mengambil sejilid kitab dan berkata pula, 'Kitab ini adalah Kun Keng To Po (Kitab Ilmu Silat Tangan Kosong dan Ilmu Silat Golok), yang ditulis dengan tangan oleh leluhurku.' Hujin bersenyum. 'Bagus sungguh!' katanya. 'Seluruh kepandaian 'Hui Thian Ho Li' tertulis dalam kitab ini. Sungguh pandai kau menyembunyikan, sehingga aku sendiri sampai tak tahu.' Ouw toaya tertawa terbahak-bahak. 'Menurut pesan leluhurku, kitab itu boleh diturunkan kepada anak lelaki, tidak boleh diturunkan kepada anak perempuan, boleh diturunkan kepada keponakan, tidak boleh diturunkan kepada isteri,' katanya. Itulah sebabnya mengapa ilmu silat golok itu dinamakan Ouw Kee To Hoat' Hujin berkata, 'Nanti, sesudah anak kita mengenal surat, aku akan menyerahkan kitab itu kepadanya. Aku berjanji tidak akan mencuri belajar.' Ouw toaya menghela napas. Ia memasukkan pula barang-barang itu ke dalam kotak besi yang ditaruh di bawah bantal kepala Hujin. Belakangan, sesudah Hujin membunuh diri, cepat-cepat aku masuk ke kamarnya. Tapi di luar dugaan Giam tayhu sudah lebih dulu berada di situ dan tangannya mendukung bayi Ouw toaya."
"Dengan hati berdebar-debar, buru-buru aku bersembunyi di belakang pintu. Tangan kiri Giam tayhu memeluk anak itu, sedang tangan kanannya menarik keluar kotak besi dari bawah bantal. Sesudah menekan keempat sudut dan bagian bawah kotak, tutup kotak lantas saja terbuka sendirinya. Dengan satu tangannya ia mengangkat barang-barang permata itu, satu demi satu, sedang ilernya menetes di lantai. Karena tak puas dengan hanya menggunakan satu tangan, ia lalu menaruh bayi itu di lantai dan kemudian mengambil Kun Keng To Po yang lalu dibulak-balik lembarannya. Karena tidak didukung lagi, anak itu menangis. Giam tayhu kuatir orang mendengarnya dan ia lalu menarik selimut dan menutupi si bayi, dari kepala sampai di kaki."
'Aku kaget bukan main, sebab anak itu bisa mati mengap. Mengingat budi Ouw toaya, aku segera mengambil keputusan untuk merebut anak itu. Tapi aku masih kecil, tidak mengerti ilmu silat dan bukan tandingan Giam tayhu. Tiba-tiba kulihat palang pintu yang bersandar di tembok. Indap-indap aku mengambilnya dan indap-indap pula, aku mendekati tabib itu. Kemudian, aku menghantam batok kepalanya dengan palang pintu itu.
'Aku menghantam dengan Seantero tenaga dan tanpa mengeluarkan suara, Giam tayhu terguling. Barang permata yang dipegangnya berhamburan di lantai. Cepat-cepat aku membuka selimut dan mendukung anak itu. Kutahu, bahwa semua orang yang berada di situ adalah musuh-musuhnya Ouw toaya. Jalan satu-satunya ialah membawa anak itu pulang ke rumah dan menyerahkannya kepada ibuku untuk dirawat. Aku juga tahu; bahwa kitab ilmu silat itu sangat penting dan tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Maka itu aku segera membungkuk dan mengambilnya dari tangan Giam tayhu. Di luar dugaan, dalam kedaaan pingsan, dia masih mencekelnya erat-erat. Dengari bingung aku membetotnya. 'Brett!' dua lembarannya tersobek dan tetap tercekel dalam tangan si tabib. Tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Itulah suara Biauw Jin Hong dan beberapa orang yang coba mencari anak itu. Buru-buru aku lari ke belakang dan kabur dari pintu belakang."
"Semenjak hari itu sehingga hari ini, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Giam tayhu. Tak dinyana, sekarang ia sudah menjadi pendeta. Apakah ia ingin menebus dosa -- dosa yang bertumpuk-tumpuk? Dengan bantuan dua lembar kitab ilmu silat itu, ia memiliki kepandaian tinggi dan memperoleh nama besar dalam kalangan Kang Ouw. Ia rupanya menganggap bahwa di dalam dunia tak seorang pun tahu asal-usulnya. Ia sama-sekali tak pernah mimpi, bahwa orang yang dahulu menghantam batok kepalanya dengan palang pintu, sampai sekarang masih hidup di dalam dunia. Giam tayhu, coba kau memutar badan, supaya semua orang dapat melihat bekas luka di batok kepalamu. Tanda itu adalah akibat pukulan dari si tukang menyalakan api di dapur."
Perlahan-lahan Po Si berbangkit. Semua orang mengawasinya sambil menahan napas. Mereka menduga pasti, bahwa pendeta itu akan menyerang. Tapi di luar dugaan, ia Ininya menyebut, "Omitohud," dan kemudian berduduk lagi. "Selama dua puluh tujuh tahun, aku tak tahu siapa yang sudah memukul kepalaku," katanya dengan suara perlahan. "Hari ini teka-teki telah terpecahkan."
Semua orang merasa heran Mereka tidak menduga, bahwa Po Si akan mengakui kebenarannya ceritera Peng Ah Si.
"Tapi bagaimana nasibnya anak itu?" tanya Biauw Yok Lan.
"Baru saja aku lari keluar dari pintu belakang, di belakangku sudah terdengar bentakan, 'Hei, buduk! Bawa kembali anak itu!'" kata Peng Ah Si. "Aku tak meladeni dan lari makin keras. Orang itu mencaci dan mengubar dan dalam sekejap, ia sudah mencekel lenganku untuk merampas anak itu. Aku bingung. Aku menggigit belakang tangannya, sehingga berdarah."
"Guruku!" memutus Co Hun Ki.
Tian Ceng Bun melirik dan ia merasa menyesal, tapi tak berguna lagi karena perkataan itu sudah keluar dari mulutnya. Ia merasa sangat tidak enak sebab semua orang mengawasinya dengan sorot mata menanya.
"Tak salah, orang itu memang Tian siangkong adanya," kata Peng Ah Si. "Sampai sekarang di belakang tangannya masih terlihat tanda bekas luka akibat gigitan. Tapi ia tentu tak akan memberitahukan orang, siapa yang menggigitnya dan mengapa tangannya sampai digigit."
Tian Ceng Bun, Whi Su Tiong, Co Hun Ki dan Ciu Hun Yang saling mengawasi. Di dalam hati, mereka mengakui, bahwa memang benar Tian Kui Long belum pernah menceriterakan hal gigitan itu.
'Aku menggigit secara nekat, tanpa memperdulikan keselamatan jiwaku' kata pula Peng Ah Si.
"Biarpun berkepandaian tinggi, Tian siangkong tak kuat menahan gigitan itu, mukanya berubah pucat pasi. Ia menghunus pedang dan membacok mukaku, kemudian membacok pula lenganku, sehingga putus. Dalam gusarnya ia menendang, sehingga tubuhku terbang dan tercebur ke dalam sungai. Meskipun satu lenganku sudah putus, lengan yang satunya lagi tetap memeluk erat-erat putera Ouw toaya."
"Ah!" Biauw Yok Lan mengeluarkan teriakan perlahan.
"Begitu tercebur, aku pingsan," Peng Ah Si melanjutkan penuturannya "Waktu tersadar, aku rebah di atas sebuah perahu. Aku mengerti, bahwa jiwaku telah ditolong orang. 'Anak! Anak!' teriakku. Seorang wanita tertawa seraya berkata, Akhirnya dia tersadar juga. Anakmu ada di sini.'
Aku mendongak dan melihat, bahwa putera Ouw toaya sedang disusui oleh wanita itu. Belakangan baru kutahu, bahwa aku baru tersadar sesudah berada di perahu itu enam hari enam malam lamanya. Aku tahu, bahwa aku sudah berada jauh dari kampung halamanku. Sebab kuatir musuh Ouw toaya mencelakai anak itu, aku tak berani pulang. Didengar keterangan Biauw Kouwnio, Biauw Tayhiap sendiri menganggap, bahwa anak itu sudah mati."
"Benar," kata si nona. "Kalau begitu, ia masih hidup. Bukankah begitu? Kalau ia tahu, ayah pasti akan merasa girang sekali. Di mana dia sekarang? Bolehkah kau mengantarkan aku untuk menemuinya?" Ia bicara dengan menggunakan istilah "anak". Di lain saat ia ingat, bahwa untuk puteranya Ouw It To, "anak" itu sebenarnya sudah berusia dua puluh tujuh tahun, lebih tua sepuluh tahun daripada usianya sendiri. Mengingat begitu, paras mukanya lantas saja bersemu dadu.
"Tak dapat lagi," jawab Peng Ah Si. "Orang-orang yang berada di sini tak akan bisa turun dengan masih bernyawa"
"Thia-thia pasti akan datang kemari untuk menolong kita," kata nona Biauw. "Sedikit pun aku tak kuatir."
"Ayahmu dikenal sebagai seorang yang tiada tandingannya di dalam dunia," kata Peng Ah Si.
"Tapi yang dipukul, dirobohkan olehnya, hanyalah manusia, manusia biasa. Meskipun berkepandaian tinggi, ia tentu tak akan bisa merobohkan puncak gunung yang tingginya berlaksa tombak."
"Apakah anak itu yang menyuruh kau melakukan perbuatan ini?" tanya Biauw Yok Lan.
Peng Ah Si menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak! ... Tidak! ..." serunya. "Anak itu seorang kesatria, tiada bedanya seperti mendiang ayahnya. Kalau ia tahu tipu-dayaku yang sangat beracun ini, ia pasti akan mencegah."
"Bagus sekali!" bentak Co Hun Ki. "Kalau begitu kau pun tahu, bahwa perbuatanmu sangat beracun."
"Bagaimana anak itu, apa dia orang baik?" tanya Yok Lan. "Siapa namanya? Apa ilmu silatnya tinggi? Apa pekerjaannya?"
Semenjak kecil, setiap tahun ia menyaksikan ayahnya menyembahyangi suami-isteri Ouw It To dan setiap kali bersembahyang, "Kim Bian Hud" selalu mengatakan rasa menyesalnya, bahwa ia tidak dapat memelihara anak itu.
Peng Ah Si menghela napas dan menjawab, "Biauw Kouwnio, jika aku tidak membakar tambang, hari ini kau bisa bertemu dengannya."
"Apa?" menegas si nona.
"Ia telah berjanji untuk bertemu dengan majikan perkampungan ini," menerangkan Peng Ah Si.
"Pertemuan itu akan dilakukan pada waktu ngo si (antara jam 11 dan 1 siang). Sekarang waktu itu sudah hampir tiba dan mungkin sekali ia sudah berada di bawah puncak ini."
Semua orang terkesiap. "Soat San Hui Ho?" seru mereka hampir berbareng.
"Benar," jawabnya. "Ia bernama Ouw Hui, bergelar 'Soat San Hui Ho', putera mendiang Ouw It To, Ouw toaya."
Sesudah mendengar riwayat Ouw It To, semua orang merasa kagum. Sekarang, setelah mengetahui, bahwa "Soat San Hui Ho" putera Ouw It To, mereka ingin sekali bisa berjumpa dengan pemuda itu. Mengingat, bahwa majikan perkampungan itu telah mengundang banyak jago untuk menghadapinya, maka mungkin sekali si Rase Terbang tidak kalah gagahnya dari mendiang ayahnya.
"Celaka!" tiba-tiba Biauw Yok Lan berteriak. "Pembantu-pembantu yang diundang oleh majikan perkampungan ini dan ayahku belum datang. Jika bertemu dengan Soat San Hui Ho di kaki gunung, mereka pasti akan bertempur. Ayahku tak tahu, bahwa dialah putera Ouw pehpeh. Bagaimana kalau ayah membunuh dia?"
Peng Ah Si tertawa tawar. "Biarpun Biauw Tayhiap bergelar 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu', kurasa tak gampang ia bisa membunuh Ouw siangkong." Karena di mukanya terdapat tanda bekas bacokan golok yang sangat panjang, maka begitu tertawa, otot-ototnya tertarik dan mukanya kelihatan sangat menyeramkan.
Sesudah berdiam sejenak, ia berkata lagi, "Hari ini Ouw siangkong ingin datang untuk bertanding dengan Biauw Tayhiap guna membalas sakit hatinya. Tapi karena sudah menyaksikan sendiri kecintaan antara Ouw It To Ouw toaya dan Biauw Tayhiap dan juga karena kutahu, bahwa kebinasaan Ouw toaya sebenarnya tidak dikehendaki oleh Biauw Tayhiap, sebisa-bisa aku sudah coba mencegahnya Tapi ia tetap pada pendiriannya dan tak mau mendengar segala bujukanku. Belakangan, di kaki gunung kulihat Giam tayhu. Aku segera menguntit dia kemari dan akhirnya membakar tambang dan membuang semua makanan supaya kita semua bisa mati kelaparan bersama-sama Dengan berbuat begini, aku ingin membalas budi Ouw toaya yang sangat besar."
Semua orang saling mengawasi. Mereka merasa, bahwa kalau Po Si mesti mati kelaparan, hal itu memang sepantasnya saja sebagai pembalasan dari kejahatannya. Tapi, bahwa mereka, yang tak bersangkut-paut dengan peristiwa itu, harus mati bersama-sama, sungguh-sungguh harus dibuat penasaran.
Melihat sikap bermusuhan dari orang-orang itu, Po Si segera berbangkit dan membentak, "Hari ini kita semua berada di dalam satu perahu dan kita semua harus mencari daya-upaya untuk turun dari gunung ini. Penjahat itu ...."
Belum habis perkataannya, seekor merpati putih tiba-tiba terbang masuk ke dalam ruangan itu dan hinggap di atas meja 'Ah! Putih, kau pun turut datang kemari," kata nona Biauw, yang lantas saja mendekati dan memegang burung itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa pada sebelah kaki merpati itu terikat selembar benang. Ia lalu menariknya dan benang itu ternyata sangat panjang, sebab sesudah menarik beberapa lama, belum juga kelihatan ujungnya Dengan heran, ia terus menarik. Tian Ceng Bun menghampiri dan membantu. Sesudah benang itu tertarik beberapa puluh tombak, tarikannya berubah berat, seperti juga ada serupa benda yang diikatkan pada ujungnya "Kita ketolongan!" kata Yok Lan dengan girang.
"Bagaimana kau tahu?" tanya semua orang dengan serentak.
"Merpati putih ini adalah kesayangan keluargaku," jawabnya. "Ayah sering membawa-bawanya untuk menyampaikan warta dari satu ke lain tempat. Aku merasa pasti, sekarang ayah sudah berada di kaki gunung dan pada ujung benang ini diikatkan serupa benda yang dapat menolong kita"
Paras muka Peng Ah Si berubah pucat. Seraya menggeram, ia melompat untuk memutuskan benang itu. Tapi In Kiat yang berdiri di dekatnya sudah mendahului dan lalu mendorongnya, sehingga roboh di lantai.
"Cici, hati-hati jangan sampai benang itu putus," kata Tian Ceng Bun. Yok Lan mengangguk dan menarik terus.
Biarpun halus, benang itu sangat kuat. Makin lama, benda yang ditarik mereka jadi makin berat, tapi benang itu tetap tidak menjadi putus. Sesudah menarik lagi beberapa lama, nona Biauw kelihatannya capai. "Biauw Kouwnio, kau mengasolah," kata To Cu An. "Biar aku yang menariknya." Seraya berkata begitu, ia menyambuti benang itu dari tangan si nona.
Sementara itu, Whi Su Tiong, Co Hun Ki, Lauw Goan Ho dan beberapa orang lain sudah keluar dari pintu untuk melihat penolong apa yang diikatkan pada ujung benang. Sesudah menarik lagi beberapa lama, di luar pintu sekonyong-konyong terdengar sorak-sorai dan hampir berbareng, To Cu An dan Tian Ceng Bun merasa tarikannya enteng. Semua orang segera memburu keluar.
Mereka lihat Whi Su Tiong dan Co Hun Ki berdiri di pinggir tebing dengan kedua tangan bergerak-gerak tak hentinya, seperti sedang menarik sesuatu. Ternyata, pada ujung benang terikat selembar tambang yang agak kasar dan sesudah tambang itu ditarik habis, pada ujungnya terikat pula tambang yang lebih kasar lagi. Semua orang kegirangan. Dengan cepat mereka mengikat ujung tambang di badan pohon siong yang tumbuh di tepi tebing.
"Mari kita turun, biarlah aku yang turun lebih dahulu," kata Lauw Goan Ho. Seraya berkata begitu, ia mencekel tambang dan ingin segera menyerosot ke bawah. "Tahan!" bentak To Pek Swee. "Enak saja kau! Kalau kau turun lebih dahulu, kau bisa main gila."
Lauw Goan Ho mendelik. "Bagaimana maunya kau?" tanyanya dengan aseran. To Pek Swee terkejut. Ia lantas saja ingat, bahwa setiap orang yang berada di puncak itu mempunyai kepentingan pribadi dan saling tidak mempercayai. Siapa jua pun yang turun lebih dahulu, yang lain tentu hercuriga. Maka itu, ditanya begitu ia tak dapat menjawab. "Biarlah orang-orang perempuan turun lebih dahulu," kata Co Hun Ki. "Untuk kita, orang-orang lelaki, diundi saja"
"Begini saja," kata Him Goan Hian. "Orang Thian Liong Bun, Eng Ma Coan dan Peng Thong Piauw Kiok turun bergiliran, satu demi satu. Yang lain saling menjaga. Dengan begitu, kita tak usah takut ada yang main gila"
"Begitu pun baik," kata Whi Su Tiong. "Po Si Taysu, pulangkanlah kotak besi itu." Sambil berkata begitu, ia menghampiri Po Si dan mengangsurkan tangannya. Pada waktu menghadapi bahaya, semua orang hanya memikiri soal mati-hidupnya. Sekarang, sesudah bahaya lewat, mereka ingat lagi kepada mustika yang luar biasa itu. Semula mereka hanya tahu, bahwa di dalam kotak besi itu terdapat sebuah mustika luar biasa dalam Rimba Persilatan. Mengapa benda itu dianggap sebagai mustika dan mengapa dikatakan luar biasa, mereka tak tahu. Sesudah mendengar keterangan Peng Ah Si, bahwa golok komando itu mempunyai sangkut-paut dengan harta karun Cwan Ong, barulah mereka mengerti keluarbiasaannya dan mereka jadi mata merah. Sepanjang ceritera, sesudah Cwan Ong masuk di kota Pakkhia, seorang jenderalnya yang bernama Lauw Cong Bin telah memeras sanak-keluarga dan menteri-menteri kerajaan Beng dan emas permata yang didapat bertumpuk-tumpuk bagaikan gunung. Tak lama kemudian Cwan Ong kalah perang dan harta itu tak ketahuan lagi kemana perginya. Sekarang terdapat harapan, bahwa dari golok komando itu, orang bisa dapat mencari harta karun tersebut. Maka itu, bagaimana orang tak jadi mata merah? Po Si tertawa dingin. "Loolap ingin mengajukan satu pertanyaan," katanya "Apakah kemuliaan dan kemampuan Thian Liong Bun, sehingga kamu mau mengangkangi golok mustika ini? Thian Liong Bun sudah memegangnya hampir seratus tahun. Adalah sepantasnya saja jika sekarang golok ini menukar majikan."
Whi Su Tiong terkejut. Dengan serentak In Kiat, Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang bergerak dan berdiri di samping Whi Su Tiong.
Po Si tertawa terbahak-bahak. "Apa kamu mau berkelahi?" tanyanya. "Dahulu, dengan menggunakan golok, Thian Liong Bun mendapat mustika. Hari ini, di ujung golok Thian Liong Bun kehilangan mustika. Adil, itulah ingat adil."
Whi Su Tiong gusar bukan main. Kalau menuruti napsunya, ia tentu sudah menerjang untuk membinasakan pendeta tua itu. Tapi karena tahu Po Si berkepandaian tinggi, ia tak berani bergerak Bukan saja tidak berani maju, ia bahkan mundur beberapa tindak karena diawasi Po Si dengan sorot mata bagaikan kilat. Untuk beberapa saat, puncak itu diliputi kesunyian yang menakuti. Sekonyong-konyong, Khim Ji, pelayan Biauw Yok Lan, menuding ke bawah seraya berteriak, "Siocia, lihat! Siapa itu?"
Semua orang terkejut dan pergi ke tepi tebing untuk menyelidiki. Mereka lihat seorang lelaki yang mengenakan pakaian putih sedang memanjat tambang bagaikan seekor kera. "Biauw cici, apa itu ayahmu?" tanya Ceng Bun.
Yok Lan menggelengkan kepala. "Bukan, ayah tak pernah mengenakan pakaian putih," jawabnya.
Sementara itu, orang itu sudah datang makin dekat. "Hei! Siapa kau?" teriak Ie koankee.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, begitu nyaring sehingga puncak dan lembah seolah-olah tergetar.
Melihat Po Si berdiri di tepi jurang dengan kedua tangan memegang kotak besi, diam-diam Whi Su Tiong menarik tangan Co Hun Ki dan memberi isyarat sambil menuding punggung pendeta itu. Co Hun Ki mengangguk sedikit, sebagai tanda, bahwa ia sudah mengerti maksud paman gurunya.
Dengan serangan membokong, Po Si pasti akan dapat dilontarkan ke bawah tebing. Biarpun ia memiliki kepandaian yang sepuluh kali lipat lebih tinggi, kalau jatuh ke bawah, ia pasti tak akan bisa menyelamatkan jiwa. Sesudah Po Si binasa, kotak besi itu yang tentu tak akan rusak, bisa dicari dengan perlahan. Demikianlah, sesudah saling mengangguk, dengan berbareng Whi Su Tiong dan Co Hun Ki melompat ke punggung Po Si dan memukul dengan sekuat tenaga. Sesaat itu, Po Si berdiri kira-kira satu kaki dari pinggir tebing dan Seantero perhatiannya ditujukan kepada orang yang sedang memanjat tambang. Ia tak pernah menduga, bahwa dirinya akan dibokong orang.
Maka itulah, ia kaget tak kepalang ketika dengan mendadak ia merasa sambaran angin di punggungnya. Pada detik bencana, ia masih keburu menggunakan ilmu Tiat Pan Kio dan badannya tiba-tiba rebah ke depan. Tiat Pan Kio adalah serupa ilmu yang sangat lihay untuk menolong diri dari serangan senjata rahasia. Senjata rahasia biasanya menyambar cepat, sehingga, kadang-kadang orang yang diserang tidak keburu berkelit atau melompat. Dalam keadaan begitu, dengan ilmu Tiat Pan Kio, ia merebahkan badannya, yang dibikin kaku bagaikan mayat, ke belakang dengan kedua kaki tetap menancap di tanah. Dengan demikian, senjata rahasia itu akan lewat di atas tubuhnya Makin tinggi ilmunya seseorang, makin dekat tubuhnya kepada tanah. Ilmu itu dinamakan Tiat Pan Kio sebab kaki bagaikan besi (tiat), badan kaku seperti papan (pan) dan tubuh rebah seakan-akan jembatan (kio). Tapi Tiat Pan Kio yang digunakan Po Si agak berbeda dengan yang biasa. Sebaliknya daripada rebah ke belakang, yaitu rebah celentang, ia rebah ke depan, rebah tengkurup, sehingga sebagian badannya berada di tengah udara, di luar tebing. Dalam serangan itu, Whi Su Tiong dan Co Hun Ki menggunakan seantero tenaganya Melihat si pendeta tidak bersiap-siaga, mereka kegirangan, tapi hampir pada detik itu juga, hati mereka mencelos sebab mereka sudah memukul angin. Whi Su Tiong yang berkepandaian lebih tinggi dapat menolong diri. Dengan berjumpalitan, ia berhasil melompat ke samping. Tapi Co Hun Ki menyelonong terus dan "bluss!" tubuhnya roboh ke dalam jurang!
Semua orang berteriak. Dengan tangan memegang tasbih, Po Si berkata, "Omitohud! Takdir! ... sudah takdir." Tian Ceng Bun roboh pingsan dan To Cu An buru-buru membangunkannya. Yang lain mengawasi ke bawah, mengawasi tubuh Co Hun Ki yang tinggi-besar melayang ke kuburannya!
Mendadak, mendadak saja, si baju putih menggaetkan kedua kakinya kepada tambang, tangan kirinya menolak tembok puncak dan bagaikan orang main ayunan, tubuhnya terbang ke arah Co Hun Ki. Waktu dan tenaga yang digunakan semua tepat. Dengan sekali menjambret, ia sudah menyengkeram punggung Co Hun Ki.
Di luar dugaan, dengan suara "bret!" baju Co Hun Ki lobek, badannya terlepas dari cengkeraman si baju putih dan terus melayang ke bawah. Hal ini sudah terjadi sebab tubuh Co Hun Ki sangat berat, ditambah lagi dengan tenaga jatuhnya yang sangat hebat. Hampir berbareng, kedua kaki si baju putih juga terlepas dari tambang dan badannya sendiri jatuh ke bawah. Pada detik yang sangat, sangat berbahaya, tangan si baju putih kembali menjambret dan ia berhasil menangkap kaki kanan Co Hun Ki. Dengan mata membelalak, semua orang mengawasi kedua orang itu yang terus melayang ke bawah. Dengan tambang berada dalam jarak kira-kira setombak, biarpun si baju putih berkepandaian lebih tinggi lagi, ia pasti tak akan bisa menolong jiwanya. Untuk menolong sesama manusia, ia mesti korbankan jiwa sendiri! Di luar dugaan, tangan kanannya mendadak terangkat dan seperti orang menyabetkan senjata, ia menyabet tambang itu dengan tubuh Co Hun Ki. Ketika itu Co Hun Ki sudah berada dalam keadaan lupa-ingat. Begitu menyentuh tambang, kedua tangannya segera menyengkeram tambang itu. Bagaikan seorang yang kelelep tiba-tiba bertemu dengan sebatang rumput, ia mencekel tambang mati-matian. Dalam waktu biasa, tenaga Co Hun Ki tak cukup besar untuk menahan tenaga jatuhnya dua orang dari tempat yang begitu tinggi. Tapi dalam menghadapi kebinasaan, entah dari mana, tenaganya bertambah berlipat ganda Di lain saat, tambang itu terayun ke kiri dengan dua tubuh manusia yang menggelantung. Dengan meminjam tenaga tambang, si baju putih mengerahkan lweekang pada pinggangnya. Tubuhnya lantas saja terangkat naik dan tangan kirinya segera mencekel tambang itu. Sambil menepuk pundak Co Hun Ki, ia berbisik, "Naiklah ke atas."
Mendengar bisikan itu, Co Hun Ki tersadar. Cepat-cepat ia menarik tambang dengan kedua tangannya dan memanjatnya dengan menggunakan Seantero tenaga. Semua orang yang berdiri di tepi menyaksikan kejadian itu sambil menahan napas. Tak lama kemudian Co Hun Ki sudah tiba di atas dan In Kiat bersama Ciu Hun Jang segera bantu mengangkatnya. "Siapa orang yang pakai baju putih itu?" tanya mereka dengan berbareng.
Sesudah meredakan napasnya yang tersengal-sengal, Co Hun Ki menyahut, "Orang gagah itu minta aku menyampaikan kepada kalian, bahwa 'Soat San Hui Ho' Ouw Hui sudah tiba di tempat ini."
Semua orang yang sudah dipengaruhi oleh kejadian barusan, mencelos hatinya. "Celaka!" teriak seorang sambil lari masuk ke dalam gedung. Tanpa memikir panjang-panjang, yang lainnya turut memburu ke pintu. Apa mau, To Pek Swee, Lauw Goan Ho dan Whi Su Tiong tiba di mulut pintu dengan berbareng dan karena mereka berlomba-lomba dengan penuh ketakutan, maka setibanya di mulut pintu, mereka saling dorong seperti anak kecil. Co Hun Ki dan To Cu An berebut mau menolong Tian Ceng Bun yang pingsan dan sekali lagi mereka hampir-hampir bertempur. Dalam sekejap orang-orang "gagah" yang tadi berkumpul di luar pintu sudah tak kelihatan mata hidungnya lagi. Ie koankee dan Khim Ji yang mengiring Biauw Yok Lan dan berjalan paling belakang, hampir-hampir tidak dapat pintu. Dengan tergesa-gesa Him Goan Hian menutup pintu, sedang In Kiat lalu mengambil palang dan memalangnya keras-keras. Karena kuatir belum cukup kuat, To Pek Swee buru-buru mengambil sepotong balok yang lalu digunakan untuk mengganjal pintu.
Ketika itu Tian Ceng Bun sudah tersadar. "'Soat San Hui Ho' belum pernah mengenal dia, mengapa kalian jadi begitu ketakutan?" katanya Whi Su Tiong mengeluarkan suara di hidung. "Hm! ... Belum pernah mengenal kita?" ia menegas. "Ayahmu dan ayahnya adalah musuh besar. Apa kau kira dia akan mengampuni jiwamu?"
"Sesudah kita melukai Peng Ah Si, dia pasti tak mau sudah," menyambung Lauw Goan Ho. Mendadak To Cu An mendongak dan berkata, "Kita sudah mengunci pintu, apa dia tidak bisa datang dari atas?"
"Benar," kata Whi Su Tiong. "To siheng, sebaiknya kau naik ke genteng dan menjaga di atas." To Cu An tertawa dingin.
"Whi susiok berkepandaian tinggi," katanya. "Paling benar Whi susiok yang menjaga di utas."
Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan yang sangat keras dan ... palang pintu patah, kedua daun pintu terbuka lebar! Seraya mengeluarkan teriakan ketakutan, semua orang kabur ke belakang dan di lain saat, ruangan yang besar itu sudah tiada manusianya. Semula, setelah mendengar ceritera Peng Ah Si, mereka ingin sekali bertemu muka dengan putera Ouw It To. Tapi sesudah menyaksikan kelihayan "Soat San Hui Ho" dan mengingat, bahwa sedikit-banyak mereka mempunyai permusuhan dengan keluarga Ouw, nyali mereka berubah ciut. Perasaan takut sangat menular. Melihat yang satu kabur, yang lain ikut-ikutan. Orang-orang itu yang biasanya sangat galak sekarang seolah-olah tikus-tikus yang diubar kucing. Ie koankee coba mencari Po Si untuk minta bantuannya, tapi sesudah dicari di sana-sini, pendeta itu tak kelihatan bayang-bayangannya. "Cujin (Majikan) telah menyerahkan perkampungan ini dalam pengurusanku," pikirnya. "Biarpun mesti mati, aku haruslah menjaga mukanya"
Ia mendekati Yok Lan dan berkata dengan suara perlahan, "Nona, pergilah ke kamar Hujin dan bersembunyi dalam kamar rahasia di bawah tanah bersama-sama Hujin. Rahasiakanlah hal ini terhadap siapa pun jua. Orang-orang yang berada di sini, tak satu pun berhati baik. Biar aku sendiri yang menemui 'Soat San Hui Ho'." Si nona melirik The Sam Nio dan Tian Ceng Bun.
"Bolehkah aku membawa kedua cici itu?" tanyanya Ie koankee menggelengkan kepala "Tidak," jawabnya. "Mereka bukan orang baik. Nona dan Hujin adalah orang-orang yang berharga ribuan emas. Tak usah nona memperdulikan orang lain."
"Apakah kau bisa menahan orang she Ouw itu, jika dia mau membunuh dan membakar?" tanya pula Yok Lan.
Sambil mencekel gagang golok yang tergantung di pinggangnya, Ie koankee menjawab dengan suara parau, "Hari ini aku akan mengorbankan jiwa untuk membalas budinya Cujin. Aku hanya berdoa supaya Hujin dan nona tidak kurang suatu apa."
Sesudah memikir sejenak, si nona berkata, "Sebaiknya kita berdua, aku dan kau, yang menemui dia."
Ie koankee jadi bingung. "Biauw Kouwnio, apakah kau tidak dengar perkataan pendeta itu?" tanyanya. "Ayahmu, Biauw Tayhiap, dan dia mempunyai permusuhan besar. Jika kau jatuh ke dalam tangannya, maka ..."
Yok Lan bersenyum dan berkata, "Sedari mendengar ceritera ayah mengenai Ouw pehpeh, aku selalu mengharap-harap supaya anak itu masih hidup di dalam dunia dan juga, mengharap-harap, supaya pada suatu hari aku akan bisa bertemu dengannya. Kalau hari ini aku tidak bisa bertemu dengan dia, maka aku akan merasa menyesal seumur hidup." Suara si nona lemah lembut, tapi penuh dengan tekad yang tak dapat diubah lagi. Ie koankee kagum bukan main. Ia merasa, bahwa biarpun tidak bisa silat, nona Biauw tak malu menjadi puterinya "Kim Bian Hud". Membandingkan dengan nona yang lemah itu, orang-orang yang mempunyai gelaran-gelaran hebat, tapi yang sudah mabur seperti kawanan tikus, dengan sesungguhnya mempunyai muka yang sangat tebal. Tadi ia merasa sangat ketakutan. Tapi sekarang, sesudah menyaksikan sikap si nona yang sedemikian tenang, sebagian besar rasa takutnya telah menghilang. Ia segera menuang dua cangkir teh dan berjalan keluar dengan diikut Yok Lan.
"Kami tidak dapat menyambut Ouw toaya dari tempat jauh, harap dimaafkan!" seru Ie koankee. Ia memberi hormat dengan membawa secangkir teh. Ketika itu, si baju putih berdiri menghadap keluar dengan badan agak membungkuk di samping sebuah meja, entah sedang mengerjakan apa Begitu mendengar seruan Ie koankee, ia memutar badan dan ia kaget karena melihat seorang wanita yang cantik dan ayu. Yok Lan pun kaget sebab melihat seorang pemuda yang menyeramkan. Muka Ouw Hui penuh berewok kasar dan kaku, rambutnya tebal dan tidak tersisir, seperti juga segunduk rumput. Sedari kecil ia sudah menanam rasa kasihan terhadap putera Ouw It To, tapi di luar dugaan, orangnya begitu kasar dan ganas kelihatannya. Tapi sejenak kemudian, ia berkata dalam hatinya, "Ouw It To pehpeh juga mempunyai paras muka yang sangat angker, sehingga dapatlah dimengerti kalau puteranya beroman bengis. Ah, aku sendiri yang sudah membayang-bayangkan secara keliru."
Ia merangkap kedua tangannya dan berkata seraya membungkuk, "Siangkong, selamat bertemu."
Pada waktu naik ke puncak itu, "Soat San Hui Ho" Ouw Hui bersiap-sedia untuk melakukan pertempuran mati-matian melawan orang-orang yang berada di situ. Maka itu, ia heran ketika ternyata, bahwa yang menyambutnya hanyalah seorang wanita cantik. "Tipu apa yang sedang dijalankan oleh mereka?" tanyanya di dalam hati. Ia membalas hormat dan berkata, "Aku yang rendah bernama Ouw Hui. Bolehkah aku mendapat tahu she nona yang mulia?"
Buru-buru Ie koankee memberi isyarat dengan kedipan mata, supaya Yok Lan menyebutkan she palsu. Tapi si nona seperti juga tidak mengerti maksud orang dan segera menjawab, "Ouw siheng, kita adalah sahabat turunan, hanya kita belum pernah bertemu muka. Aku she Biauw."
Ouw Hui terkejut, tapi paras mukanya tidak berubah. "Pernah apakah nona dengan 'Kim Bian Hud' Biauw Tayhiap?" tanyanya Ie koankee bingung, dengan tangan bergemetaran ia menarik tangan baju si nona yang tetap tidak memperdulikannya. '"Kim Bian Hud' adalah ayahku," jawabnya dengan tenang.
Ouw Hui mendongak dan tertawa terbahak-bahak. "Sungguh beruntung! Sungguh beruntung aku bisa bertemu dengan nona," katanya. "Tapi mengapa ayah nona tidak muncul untuk menemui aku?"
Ie koankee mencekel gagang golok sebab kuatir pemuda itu menyerang. Waktu ia melirik, nona Biauw masih tenang-tenang saja. "Gila sungguh!" pikirnya "Dalam menghadapi musuh besar, ia memperlihatkan muka sendiri."
"Ayah belum tiba," jawab si nona. "Kalau ia tahu, bahwa Ouw siheng adalah putera sahabatnya, biarpun ada urusan yang bagaimana besar pun jua, ia tentu buru-buru datang untuk bertemu dengan Ouw siheng."
Ouw Hui heran. "Nona sendiri sudah tahu asal-usulku, tapi mengapa ayahmu masih belum tahu?" tanyanya.
"Aku tahu sebab tadi kudengar penuturan sahabatmu, Peng kun (tuan Peng)," jawabnya.
"Aha! Peng sisiok juga berada di sini?" seru pemuda itu. "Mana dia?"
Ie koankee terkejut. Ia menengok ke sana-sini, tapi Peng Ah Si tidak kelihatan bayang-bayangannya.
Apa yang dilihatnya hanya darah yang belum kenng. "Mungkin waktu semua orang memperhatikan merpati yang membawa benang, dia kabur dari puncak ini," pikirnya "Dia adalah tuan penolong Ouw Hui, sehingga kalau sampai terjadi sesuatu atas dirinya, bencana yang bakal menimpa akan lebih hebat lagi."
Melihat Ie koankee mengawasi darah, paras muka pemuda itu lantas saja berubah. 'Apa itu darah Peng sisiok?" tanyanya dengan suara keras.
"Benar," jawab Ie koankee.
Semenjak ditinggal oleh kedua orang tuanya, Ouw Hui dipelihara oleh Peng Ah Si dan di antara mereka terdapat kecintaan seperti antara bapak dan anak. Maka, dapatlah dimengerti kalau jawaban Ie koankee mengejutkan sangat hatinya. Dengan sekali melompat, ia menyengkeram lengan kanan Ie koankee. "Di mana ia?" bentaknya. "Apa ... apa sudah terjadi atas dirinya?"
Ie koankee merasakan kesakitan hebat di lengannya yang seperti juga dijepit dengan gelang baja. Sambil menggigit gigi ia menahan sakit, sehingga keringat sebesar-besar kacang muncul pada dahinya. Paras mukanya pucat-pasi dan ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata. "Ouw siheng jangan bingung," kata Yok Lan dengan suara lemah lembut. "Peng sisiok berada di sana." Seraya berkata begitu, ia menuding sebuah kamar samping di sebelah timur. Ouw Hui segera melepaskan cekelannya dan dengan beberapa lompatan saja, ia sudah berada di depan pintu yang lalu ditendangnya, sehingga terpental. Ia lihat Peng Ah Si rebah di ranjang dengan napas tersengal-sengal. "Sisiok, bagaimana keadaanmu?" tanyanya dengan girang.
"Tak apa-apa, jangan kuatir," jawabnya dengan suara lemah Pemuda itu mendekati dan mendapat kenyataan, bahwa muka paman itu pucat bagaikan kertas. Rasa girangnya yang barusan lantas saja berubah menjadi rasa kuatir. "Sisiok, siapa yang melukai kau?" tanyanya.
"Kalau mau diceriterakan sangat panjang," sahutnya. "Kalau tidak ditolong Biauw Kouwnio, aku tidak akan bisa bertemu lagi dengan kau."
Ternyata, pada waktu semua orang memburu keluar dari toathia (ruangan tengah) karena datangnya merpati yang membawa benang, Biauw Yok Lan dan Khim Ji menggunakan kesempatan itu untuk membawa Peng Ah Si ke sebuah kamar kosong di samping gedung. Belakangan Po Si coba mencarinya untuk dibinasakan, tapi tidak bisa diketemukan. Sebab tengah menghadapi bahaya, dia tidak keburu mencari terlebih teliti dan oleh karena begitu, jiwa Peng Ah Si ketolongan.
Mendengar keterangan sang paman, Ouw Hui manggut-manggutkan kepala dan lalu mengeluarkan sebutir yowan merah dari sakunya. Sambil memasukkan pel itu ke dalam mulut sang paman, ia berkata, "Sisiok, telanlah dahulu obat luka ini."
Sesudah Peng Ah Si menelannya, hatinya agak lega dan lalu kembali ke ruangan tengah Sambil menyoja dengan membungkuk, ia berkata, "Biauw Kouwnio, terima kasih atas pertolonganmu kepada Peng sisiok."
Nona Biauw buru-buru membalas hormat. "Peng siya adalah seorang mulia dan siauwmoay merasa sangat kagum," katanya. "Bantuan itu tak cukup berharga untuk dibicarakan."
Ouw Hui bersenyum dan menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam. Tiba-tiba ia lihat lian kayu yang huruf-hurufnya ditulis oleh Biauw Jin Hong dan ia merasa heran karena lian itu bersandar di meja, sedang lian yang satunya lagi tergantung di tengah tembok (lian biasanya sepasang dan dinamakan "tui lian").
Ia bersenyum dan lalu membacanya dengan suara nyaring, "Dalam bahaya besar hanya mengandalkan sebatang pedang, Ribuan emas datang hanya dengan sekali melemparkan dadu."
Ia menceguk teh dan berkata, "Huruf-huruf yang ditulis ayahmu sangat indah dan angker. Walaupun bukan seorang pintar, aku ingin menyambut dengan sepatah dua patah. Kuharap kau jangan mentertawai aku."
Nona Biauw mengangguk seraya menyahut, "Bagus! Aku merasa beruntung bisa menerima pelajaran dari siangkong." Di dalam hati ia merasa girang, sebab biarpun kelihatannya kasar, Ouw Hui ternyata dapat mengeluarkan kata-kata seorang terpelajar. Sambil tertawa Ouw Hui menepuk tembok dan sebatang paku yang menancap di dinding lantas saja menonjol keluar! Ia lalu menjepitnya dengan jempol dan jari tengah dan dengan menggunakan sedikit tenaga, paku itu sudah tercabut.
Ie koankee mempunyai pengalaman luas dalam dunia Kang Ouw, tapi belum pernah ia mendengar ceritera tentang kekuatan jari tangan yang begitu hebat. Dengan menggunakan paku itu, Ouw Hui lalu menulis huruf-huruf di atas sebuah meja persegi dan setiap coretan masuk di papan kira-kira setengah cun dalamnya. Meja itu terbuat daripada kayu merah yang sangat keras dan bahwa Ouw Hui dapat berbuat begitu, dengan sesungguhnya merupakan kejadian luar biasa dalam Rimba Persilatan.
Kalau Ie koankee, sebagai seorang ahli silat, terpesona oleh tenaga jari tangan pemuda itu, Yok Lan mengagumi huruf-huruf yang ditulisnya, yang berbunyi seperti berikut, "Sedari lahir tulangnya bukan tulang sembarang orang, Belum berkumis sudah menjadi seorang taytianghu, Dalam menghadapi bahaya hanya mengandalkan sebatang pedang, Ribuan emas datang hanya dengan sekali melempar dadu. Janganlah nyanyikan lagu kedukaan, Dunia ini hanya merupakan sebuah impian."
Menulis sampai di situ, ia berhenti dan mendongak mengawasi genteng untuk memikirkan dua baris yang berikutnya. Tiba-tiba Yok Lan berkata, "Di empat penjuru mengikat persahabatan. Dalam pertemuan, tanya dahulu, kawan atau lawan."
"Benar," kata pemuda itu sambil tertawa. Sesudah selesai menulis, ia mengulangi dengan suara kagum, "Di empat penjuru mengikat persahabatan. Dalam pertemuan, tanya dahulu, kawan atau lawan."
"Dari tempat jauh Ouw siheng datang di sini, tapi menyesal di gedung ini tak ada makanan untuk menjamu kau," kata si-nona. "Khim Ji, ambillah arak."
"Majikan rumah ini telah berjanji untuk bertemu dengan aku pada waktu ngo si, tapi mengapa dia masih belum muncul?" tanya Ouw Hui.
"Karena ada urusan penting, ia turun ke bawah dan sampai sekarang belum kembali," jawab si nona.
"Untuk pelanggaran janji itu, siauwmoay terlebih dahulu ingin meminta maaf."
Melihat sikap dan mendengar perkataan nona Biauw, bukan main rasa herannya Ouw Hui. "Kata orang, keluarga Biauw, Hoan dan Tian terdiri dari jago-jago lihay," katanya di dalam hati.
"Tapi mengapa semua lelaki bersembunyi dan mereka mengajukan seorang wanita lemah untuk menghadapi aku? Nona ini sedikit pun tidak mengunjuk rasa takut. Apakah ia memiliki ilmu silat sangat tinggi yang sengaja disembunyikan?"
Selagi ia bersangsi, Khim Ji sudah keluar dengan sebelah tangan menyangga sebuah nampan, yang terisi sebuah poci arak dan cangkir. Ia menaruh nampan itu di atas meja dan sambil menuang arak ke cangkir, ia berkata seraya tertawa, "Ouw siangkong, ayam, bebek, ikan, daging, sayur dan bebuahan di puncak ini semuanya telah dilemparkan ke bawah oleh Peng siya-mu. Maaf. Kami hanya bisa menyuguhkan kau secawan arak putih."
Sehabis berkata begitu, Khim Ji mengangsurkan nampan dan pada detik nampan itu berada di antara Ouw Hui dan Yok Lan, tiba-tiba pemuda itu mengangkat tangan kirinya dan mendorong nampan tersebut ke arah pundak si nona. Dorongan itu sangat enteng, tapi disertai tenaga dalam, sehingga jika tidak dilawan dengan tenaga dalam jua, orang yang tersentuh seperti juga ditusuk senjata tajam. Yok Lan yang tidak mengerti ilmu silat hanya mengangkat kedua tangannya dalam gerakan biasa untuk mendorong balik nampan itu. Ie koankee terkesiap. Ia tahu, bahwa kepandaiannya masih kalah terlalu jauh dan andaikata ia mau coba menolong, pertolongan sudah tidak keburu lagi. "Celaka!" ia mengeluarkan seruan tertahan.
Pada detik yang sangat berbahaya, bagaikan kilat tangan Ouw Hui menyambar dan menjepit nampan itu dengan kedua jarinya. Gerakannya tepat sekali dan nampan tertahan pada saat menyentuh pakaian si nona. Yok Lan sama sekali tak pernah mimpi, bahwa barusan, dari hidup ia menuju ke kebinasaan, dan dari kebinasaan, ia hidup kembali.
"Ayahmu adalah seorang yang ilmu silatnya tiada tandingan dalam dunia ini, tapi mengapa ia tidak mengajar ilmu itu kepada nona?" tanya Ouw Hui.
"Karena ayah ingin mengakhiri permusuhan yang sudah berjalan lebih seabad," jawabnya. "Ia telah mengambil keputusan untuk tidak mengajar Biauw Kee Kiam Hoat kepada siapa pun jua" Ouw Hui terkejut, sehingga cawan yang sudah diangkatnya berhenti di tengah udara. Sesaat kemudian, barulah ia menceguk isi cawan itu. "Biauw Jin Hong! Oh, Biauw Jin Hong! Kau sungguh pantas mendapat gelar Tayhiap!" serunya "Kuingat ceritera thia-thia mengenai pertemuannya dengan ayahmu," kata si-nona. "Waktu itu,
ayahmu mengundang ayahku untuk minum arak. Ada orang menasehati supaya ayah berjaga-jaga akan kemungkinan ditaruhnya racun di dalam arak. Kata ayah, 'Ouw It To adalah seorang gagah pada jaman ini. Tak mungkin ia melakukan perbuatan serendah itu.' Hari ini aku menyuguhkan arak dan Ouw siheng pun sudah minum tanpa ragu-ragu. Apa kau tidak kuatir diracuni?" Ouw Hui tertawa dan mengeluarkan sebutir pel merah dari mulutnya 'Ayahku binasa karena diakali orang," katanya. "Jika tidak berhati-hati, bukankah aku seorang tolol? Yowan ini dapat memunahkan segala rupa racun. Tapi sekarang, sesudah mendengar perkataan nona, aku jadi malu dan merasa bahwa pemandanganku sempit sekali." Sehabis berkata begitu, ia menuang pula secawan arak yang lalu diceguk sehingga kering.
"Di gunung ini tidak ada makanan untuk minum arak," kata Yok Lan. "Siauwmoay merasa malu, karena tidak bisa menyuguhkan siheng secara selayaknya. Orang jaman dahulu minum arak sambil membaca kitab Hansu. Siauwmoay ingin menabuh Hankhim untuk menggembirakan siheng, tapi kukuatir siheng akan menertawai."
Ouw Hui girang. "Bagus!" serunya "Cobalah, cobalah! Aku ingin sekali mendengar lagu-lagu merdu yang ditabuh nona."
Tanpa menunggu perintah, Khim Ji segera masuk ke dalam dan keluar dengan membawa sebuah khim yang lalu ditaruh di atas meja Ia pun segera menyulut sebatang hio wangi dan menancapkannya di hiolo.
Yok Lan menabuh lagu "Sian Ong-Sian Ong." Sesudah memetik beberapa saat, ia menyanyi, "Hari yang mendatang diliputi kesukaran, Mulut membakar, lidah kering, Hari ini penuh kebahagiaan, Ramai-ramai bergembira-ria, Gunung tinggi-tinggi, Cico menari-nari, Dewa Ong Kiauw, Menghadiahkan sebutir yowan."
Sampai di situ ia berhenti menyanyi, tapi suara khim berkumandang terus. Ouw Hui tahu, bahwa yang dinyanyikan si nona adalah sajak "Sian Cay Heng," sebuah sajak yang melukiskan pembicaraan antara tuan rumah dan tamu dalam sebuah perjamuan di jaman dahulu.
Semenjak ahala Han dan Gui, sajak itu sudah jarang dikenal orang. Sungguh tak dinyana, dalam usahanya untuk membalas sakit hati di kali ini, ia mendengar sajak yang tua itu. Empat kalimat yang di depan melukiskan ajakan tuan rumah supaya tamunya minum arak, sedang empat kalimat yang belakangan ialah pemberian selamat panjang umur dari pihak tamu. Tadi Ouw Hui mengulum
yowan (pel) untuk memunahkan racun. Dalam nyanyian itu kebetulan terdapat kata-kata "cico" (rumput lengci yaitu rumput dewa) dan "yowan."
Sambil mengawasi sebatang pedang yang tergantung di dinding, Ouw Hui berkata, "Ada arak, ada nyanyian. Ada khim tidak bisa tidak ada pedang." Seraya berkata begitu, ia mengambil senjata itu dan menghunusnya. Hawa dingin menyambar dari badan pedang yang berkilau-kilauan dan ia tahu, bahwa senjata itu senjata mustika. Ia segera menuang secawan arak dan kemudian, dengan tangan kiri mencekel cawan dan tangan kanan memegang pedang, ia mulai menari-nari sambil menyanyikan lagu seperti berikut,
"Hanya sayang tangan bajuku pendek, Lenganku terbuka dan kedinginan, Kumalu tak punya sesuatu. Untuk membalas Tio Soan"
Nyanyian itu berarti, bahwa si tamu merasa malu tidak bisa membalas budi tuan rumah, karena ia sangat miskin dan tak punya sesuatu yang berharga (tangan baju pendek dan lengan kedinginan berarti miskin).
Mendengar jawaban dari sajak "Sian Cay Heng" juga, Yok Lan jadi girang. "Dia ternyata 'Bun Bu Siang Coan' (mahir ilmu surat dan ilmu silat)," katanya di dalam hati. "Jika thia-thia tahu, bahwa Ouw pehpeh mempunyai putera yang begitu pintar dan gagah, ia tentu akan bersyukur."
Karena hatinya senang, sambil bersenyum si nona lalu menyanyi pula, "Rembulan menyelam, Bintang Pak Tauw naik, Sahabat di ambang pintu, Lapar tidak keburu makan,"
Sajak itu berarti, bahwa karena kunjungan seorang sahabat, ia jadi begitu bergirang sehingga ia lupa makan, biarpun perutnya sangat lapar.
Sambil bersilat, Ouw Hui segera menyambungi, "Kesenangan terlalu sedikit, Kejengkelan terlampau banyak, Bagaimana melupakan
kedukaan? Tabuh-tabuhan, arak dan nyanyian. Pat Kong dari Hoaylam, Luar biasa, Mengendarai kereta enam naga, Pesiar di angkasa."
Empat kalimat yang belakangan adalah untuk memberi selamat panjang umur kepada tuan rumah dan merupakan jawaban pada sajak tuan rumah yang lebih dahulu. Sesudah menyanyi, sambil melontarkan pedang ke udara, Ouw Hui menceguk arak dan kemudian menangkap gagang pedang yang melayang turun. Tiba-tiba terdengar suara "cring!" dan si nona pun berhenti memetik khim. Mereka berdiri berhadapan dan saling memberi hormat.
Ouw Hui lalu memasukkan pedang ke dalam sarung dan menggantungnya kembali di dinding. "Karena tuan rumah belum pulang, biarlah besok kudatang lagi," katanya sambil menuju ke kamar samping di sebelah timur dengan tindakan lebar. Ia keluar lagi dengan menggendong Peng Ah Si dan sesudah membungkuk kepada Yok Lan, segera bertindak ke arah pintu. Si nona mengantarnya sampai di ambang pintu. Dengan sekali berkelebat, pemuda itu sudah mulai merosot turun dari tambang yang menggelantung.
Yok Lan berdiri terpaku dan bagaikan linglung, ia mengawasi gunung yang tertutup salju. "Siocia, apa yang dipikir olehmu?" tanya Khim Ji. "Masuklah. Di sini dingin sekali."
"Aku tak dingin," jawabnya. Ia pun tak tahu, apa yang dipikirnya Sesudah didesak dua kali lagi, barulah ia memutar badan dan kembali ke gedung dengan tindakan perlahan. Di ruangan tengah sudah berkumpul banyak orang -- orang-orang yang tadi bersembunyi. Begitu Yok Lan masuk, mereka berbangkit dan berebut mengajukan pertanyaan. "Apa dia sudah pergi ?"
"Apa yang dikatakan dia?"
"Kapan dia kembali?"
"Apa dia datang untuk membalas sakit hati!"
"Siapa yang dicari dia?"
Di dalam hati, si nona memandang mereka sebagai manusia-manusia rendah yang bernyali tikus. Dalam menghadapi bahaya, mereka kabur dan meninggalkan seorang wanita untuk menghadapi musuh. Maka itu, ia menjawab dengan suara dingin. "Ia tidak mengatakan apa pun jua."
"Aku tak percaya," Po Si. "Kau telah menemani dia lama sekali. Biar bagaimana pun juga, mesti ada sesuatu yang dinyatakan olehnya."
Sambil menunjuk meja, Yok Lan berkata, 'Apa yang ingin dikatakan olehnya sudah ditulis di atas meja itu."
Tulisan itu siang-siang sudah dilihat Po Si yang merasa tidak enak waktu membaca kalimat yang berbunyi, "Dalam pertemuan. tanya dahulu kawan atau lawan" Mendengar jawaban Yok Lan ia tidak berani membuka mulut lagi.
Melihat paras muka orang-orang itu yang penuh rasa takut di dalam hati si nona lantas saja timbul ingatan untuk menggertak mereka. "Menurut katanya saudara Ouw itu, kedatangannya adalah untuk membalas sakit hati karena ayahnya telah dibunuh orang," katanya. "Hanya sayang, musuh telah menyembunyikan diri. Sekarang ia menjaga di kaki gunung untuk membinasakan musuh yang turun ke bawah -- turun satu, bunuh satu, turun dua, bunuh sepasang."
Semua orang terkesiap. Mereka benar-benar tengah menghadapi kebinasaan. Di atas, tak ada makanan, di bawah, menunggu setan pembetot jiwa. Dalam permusuhan antara keluarga Ouw, Biauw, Hoan dan Tian, masih ada beberapa hal yang belum terang bagi Biauw Yok Lan, yang ingin sekali mengorek rahasia dengan menggunakan kesempatan tersebut. Maka itu, ia berkata, "Ouw siheng mengatakan, bahwa semua orang yang berada di sini bermusuhan dengan dirinya. Tapi permusuhan itu berbeda-beda tingkatannya, ada berat, ada enteng. Pembalasan sakit hatinya pun berbeda-beda, berat terhadap yang berat dan enteng terhadap yang enteng. Supaya tidak mencelakai orang secara serampangan, ia minta aku menanya kalian, mengapa kalian berkumpul di tempat ini? Apakah kalian ingin mengeroyok dia?"
Kecuali Po Si, semua orang lantas saja membantah. Mereka menolak anggapan itu. Sedang nama "Soat San Hui Ho" baru pernah didengar mereka, sedang mereka pun tidak pernah bermusuhan dengan si Rase Terbang, perlu apa mereka mengeroyok pemuda itu?
Sesudah semua orang mengeluarkan bantahannya, Yok Lan menengok ke arah To Pek Swee dan berkata, "To pehpeh, ada sesuatu yang tidak terang bagi titli (keponakan perempuanmu) dan titli hendak mengajukan sebuah pertanyaan. Apa boleh?"
"Tentu saja boleh," jawabnya.
"Tadi," kata si nona, "Peng Ah Si Peng siya memberitahukan, bahwa Ouw It To Ouw pehpeh telah minta bantuan Po Si Taysu untuk menyampaikan tiga hal kepada ayahku. Tapi thia-thia belum pernah menyebutkan hal itu. Barusan To pehpeh menyatakan bahwa pehpeh tahu sebab musababnya. Apakah pehpeh sudi memberitahukan sebab-musabab itu kepadaku?"
"Ya," jawabnya. "Biarpun nona tidak menanya, aku memang mau memberitahukan." Sambil menuding Whi Su Tiong, In Kiat, Co Hun Ki dan yang lain-lain, ia berteriak, "Jago-jago Thian Liong Bun itu telah menuduh, bahwa puteraku telah mencelakai Tian Kui Long cinkee! Huh-huh!"
Suara si tua memang nyaring. Dalam gusarnya, suaranya lebih nyaring lagi. Sesudah berdiam sejenak untuk meredakan napasnya yang memburu, ia berkata pula, "Aku akan berceritera dari kepala sampai di buntut. Aku ingin minta pendapat kalian, siapa yang salah, siapa yang benar."
"Bagus!" kata In Kiat. "Kami memang ingin minta penjelasan dari To loocianpwee."
"Di waktu masih muda, dengan Tian Kui Long, aku jual-beli tanpa modal," demikian To Pek Swee mulai.
Semua orang tahu, bahwa To Pek Swee seorang liok lim (rimba hijau artinya kalangan perampok), toaceecu (pemimpin pertama) dari sarang perampok Eng Ma Coan. Tapi mereka belum pernah mendengar, bahwa dahulu Tian Kui Long pun pernah menjadi perampok. Semua orang kaget dan saling mengawasi dengan sorot mata menanya.
"Dusta!" teriak Co Hun Ki, "Guruku adalah seorang gagah dalam Rimba Persilatan. Jangan ngaco! Tak boleh kau menodai nama baik guruku!"
"Kau memandang rendah orang-orang gagah dari hek to (jalanan hitam atau perampok), tapi para enghiong dari hek to pun memandang rendah segala orang gagah bebodoran yang bermacam seperti kau!" kata si tua dengan suara keras. "Kami mencari nafkah dengan golok dan pedang. Apa bedanya dengan orang-orang seperti kamu yang menjadi centeng, piauwsu dan sebagainya?"
Co Hun Ki berbangkit dengan darah meluap, tapi sebelum ia membuka mulut lagi. Tian Ceng Hun sudah menarik tangan bajunya seraya berkata "Suko, sudahlah! Biarkan dia menutur terus."
Dengan muka merah-padam, Co Hun Ki mengawasi To Pek Swee, tapi perlahan-lahan ia duduk kembali.
"Sedari kecil aku To Pek Swee menjadi perampok dan aku belum pernah membohong," kata pula si tua, "Seorang laki-laki, berani berbuat, berani menanggung akibatnya."
"To pehpeh," kala Yok Lan, "ayahku juga pernah mengatakan, bahwa di dalam rimba hijaupun terdapat enghiong dan hoohan (orang gagah), yang tidak boleh dipandang rendah, oleh siapa pun jua. Sekarang sebaiknya pehpeh meneruskan ceritera mengenai Tian sioksiok."
"Kau dengarlah!" kata To Pek Swee sambil menuding Co Hun Ki. "Biauw Tayhiap sendiri mengatakan begitu. Apa kau lebih pintar daripada Biauw Tayhiap?"
Co Hun Ki mengeluarkan suara di hidung, tapi tidak mengatakan suatu apa lagi. "Aku dan Tian Kui Long telah melakukan banyak perampokan besar dan sesudah menikah, barulah kita mencuci tangan," kata si tua dengan suara terlebih sabar. "Kalau dia memandang rendah orang-orang hek to, tak nanti ia sudi menjodohkan puteri tunggalnya dengan puteraku. Tapi ... entahlah. Memang mungkin sekali ia berbesan denganku bukan karena baik hati. Bisa jadi dia mempunyai maksud tertentu. Mungkin ia ingin menutup mulutku, supaya aku tidak membuka satu rahasia besar."
"Pada waktu Tian Kui Long dan Hoan Pangcu mencegat suami-isteri Ouw It To di Congciu, aku menjadi pembantu Tian Kui Long. Di antara orang-orang yang ditimpuk jalan darahnya dengan kim chi piauw oleh Ouw It To dari kereta, terdapat To Pek Swee. Belakangan, dalam pertempuran di atas genteng, Ouw Hujin telah merobohkan banyak orang dengan selendang sutera dan di antara orang-orang yang roboh juga terdapat To Pek Swee."
Mendengar sampai di situ, tanpa merasa nona Biauw mengeluarkan seruan "ah!" To Pek Swee melanjutkan penuturannya, 'Aku turut menyaksikan meninggalnya suami-isteri Ouw It To. Kejadian itu sesuai dengan penuturan nona Biauw dan Peng Ah Si. Ceritera Po Si Taysu hanya omong-kosong. Nona Biauw bertanya, jika Biauw Tayhiap mengetahui, bahwa Ouw It To bukan musuh yang telah membunuh ayahnya, mengapa ia tetap mencari Ouw It To untuk bertanding? Kalian pasti akan menduga, bahwa semua itu karena gara-gara Po Si yang tidak menyampaikan pesan Ouw It To kepada Biauw Tayhiap."
Semua orang memang menduga begitu, tapi sebab Po Si berada di situ, mereka tak berani mengiakan. To Pek Swee menggeleng-gelengkan kepalanya. "Salah, salah sekali jika kalian menduga begitu," katanya. "Pikirlah. Giam Ki hanya seorang tabib, sebenarnya bukan tabib, hanya tukang mengobati luka-luka yang kedudukannya sangat rendah. Mana dia berani main gila di hadapan kedua jago itu? Ia telah menjalankan perintah, sesuai dengan keinginan Ouw It To. Hanya Biauw Tayhiap tidak pernah mendengar ceriteranya. Waktu dia pergi ke gedung itu, Biauw Tayhiap kebetulan keluar dan dia diterima oleh Tian Kui Long. Kepada Tian Kui Long-lah, dia menyampaikan ketiga hal yang dipesan Ouw It To. 'Baiklah, kau pulang saja' kata Tian Kui Long. Aku akan memberitahukan ketiga hal itu kepada Biauw Tayhiap. Kalau kau bertemu dengan Biauw Tayhiap, janganlah disebut-sebut lagi. Jika ditanya Ouw It To, katakan saja, bahwa kau sudah menyampaikan pesannya kepada Biauw Tayhiap. Sehabis berkata begitu, ia menghadiahkan tigapuluh tahil perak. Melihat uang, mulut Giam Ki lantas saja bungkam."
"Mengapa Biauw Tayhiap tetap cari Ouw It To? Karena Tian Kui Long tidak menyampaikan ketiga hal itu kepada Biauw Tayhiap. Mengapa Tian Kui Long tidak menyampaikan? Kalian pasti akan menjawab begini, sebab Tian Kui Long bermusuhan dengan Ouw It To, maka dia ingin meminjam tangan Biauw Tayhiap untuk membinasakan Ouw It To. Jawaban itu hanya benar sebagian. Memang benar, Tian Kui Long mengharapkan binasanya Ouw It To. Tapi dia lebih-lebih ingin meminjam tangan Ouw It To untuk membunuh Biauw Tayhiap," Keterangan itu diterima dengan rasa sangsi oleh para hadirin. Tian Kui Long ingin meminjam tangan Biauw Jin Hong untuk membunuh Ouw It To, guna membalas sakit hati. Ini memang masuk akal. Tapi terlalu gila jika dikatakan, bahwa dia mengharapkan kebinasaannya Biauw Jin Hong.
"Kalian tak percaya?" tanya To Pek Swee. "Baiklah. Aku akan memberi penjelasannya. Biauw Tayhiap ..."
"To pehpeh, tak usah diceriterakan lagi," memutus nona Biauw. "Aku tahu mengapa dia ingin membunuh ayahku."
"Hmm ... memang lebih baik aku tidak menjelaskan," kata si tua. "Secara diam-diam Tian Kui Long menyerahkan secepuk racun kepadaku dan minta supaya aku berusaha untuk melabur racun itu di senjata Ouw It To dan Biauw Tayhiap. Sebab sukar, aku segera menyerahkannya kepada Giam Ki. Coba kalian pikir. Ouw It To adalah seorang gagah yang jarang tandingan. Jika kena racun biasa, mana bisa ia gampang-gampang mati? Giam Ki hanya tukang mengobati luka-luka. Dia tentu tak punya racun yang lihay dan mahal harganya. Kalian pasti akan menanya, Ouw It To kena racun apa? Racun Thian Liong Bun yang tiada keduanya dalam dunia ini. Pasti Tui Beng Tok Liong Cui yang sangat ditakuti, mendapat nama besarnya karena racun itu."
Mendengar sampai di situ, orang-orang yang semula bersangsi lantas saja mulai percaya. Mereka melirik Whi Su Tiong, Co Hun Ki dan lain-lain anggauta Thian Liong Bun, yang biarpun gusar, tidak berani mengumbar napsu amarahnya.
Sesudah berdiam sejenak, To Pek Swee melanjutkan penuturannya, "Hari itu, pada waktu Tian Kui Long menutup pintu dan menyimpan pedang dan mengadakan perjamuan besar, ia mengundang ratusan orang gagah dalam dunia Kang Ouw. Sebagai besan, aku tiba beberapa hari lebih dahulu dari tamu biasa untuk memberi bantuan sekedarnya. Menurut peraturan Thian Liong Bun, sesudah pemimpin Pak Cong menyimpan pedang, maka kitab pedang, Cong Tiap dan kotak besi yang menjadi pusaka partai, harus diserahkan kepada Lam Cong In heng, apakah aku tidak salah?"
In Kiat mengangguk beberapa kali. "In toacaycu (hartawan) yang bergelar 'Wi Cin Thian Lam' adalah Ciang Bun dari Lam Cong," kata pula To Pek Swee. "Seperti aku, ia pun tiba terlebih siang di gedung Tian Kui Long. Apakah Tian Kui Long menyerahkan kitab pedang, Cong Tiap dan kotak besi kepada Lam Cong, sebaiknya diceriterakan oleh In heng sendiri."
Sesudah batuk-batuk beberapa kali, In Kiat berbangkit. "Jika urusan ini tidak dibuka oleh To ceecu, aku sungkan membicarakannya di hadapan orang luar," katanya. "Urusan ini berbelit-belit dan memang juga, kalau aku terus menutup mulut, mungkin sekali para suheng dari Pak Cong akan merasa curiga. Beginilah kejadiannya, hari itu, sesudah menjamu para tamu, Tian suheng masuk ke ruangan dalam. Menurut peraturan partai, ia sekarang sudah boleh mengumpulkan anggauta-anggauta Pak Cong dan Lam Cong dan sesudah bersembahyang di hadapan sinwi Cwan Ong, ia harus segera menyerahkan kotak besi kepadaku. Tapi sesudah masuk ke ruangan dalam, ia tidak keluar lagi. Aku menunggu sampai tengah malam, sampai semua tamu bubar. Tiba-tiba Tian Ceng Bun titli keluar dan memberitahukan, bahwa karena kurang enak badan, maka penyerahan pusaka partai akan dilakukan pada keesokan harinya.
"Aku merasa sangat heran. Tadi, waktu melayani tamu, Tian suheng tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit. Mengapa mendadak ia kurang enak badan? Di samping itu, penyerahan pusaka sangat sederhana -- hanya perlu bersembahyang. Mengapa harus ditunda sampai besok? Apa Tian suheng tidak rela menyerahkannya?"
"In suheng, dugaanmu tidak benar," sela Whi Su Tiong. "Jika tujuanmu hanya untuk menerima kitab dan kotak, Tian suko tentu sudah siang-siang menyerahkannya kepadamu. Perlu apa kau mengajak begitu banyak jago? Kau tentu mengandung maksud yang kurang baik."
In Kiat tertawa dingin. "Hm! Maksud jelek apa bisa dipunyai olehku?" tanyanya.
"Aku tahu segala niatanmu," jawabnya.
"Begitu lekas kitab dan kotak berada dalam tanganmu, kau akan menggunakan kekerasan untuk mempersatukan Pak Cong dan Lam Cong, supaya kau bisa menjadi Ciang Bun Jin dari seluruh Thian Liong Bun."
Paras muka In Kiat berubah merah. "Bahwa Thian Liong Bun dipecah menjadi Pak Cong dan Lam Cong asal-mulanya adalah untuk memudahkan pengurusan partai," katanya.
"Waktu memegang pimpinan atas Pak Cong, Tian suheng sendiri juga ingin sekali mempersatukan kedua bagian itu. Dalam usahaku, tujuanku yang satu-satunya adalah untuk memakmurkan partai kita dan menurut pendapatku, maksud ini maksud yang baik. Biar bagaimana pun jua, tindakanku banyak lebih terhormat daripada tindakan Whi suheng yang kasak-kusuk dengan Hun Ki untuk merampas kedudukan Ciang Bun Jin."
Mendengar kedua belah pihak saling membuka rahasia busuk, semua orang tertawa di dalam hati. Yok Lan yang sungkan mendengar lebih jauh perebutan kekuasaan itu, lantas saja berkata, "Habis bagaimana?"
"Aku segera pergi ke kamarku dan berdamai dengan para sutee," jawab In Kiat. "Mereka berpendapat, bahwa Tian suheng pasti bermaksud tidak baik dan mereka mendesak supaya aku menyelidiki.
"Aku segera pergi ke kamar tidur Tian suheng dengan berlagak mau menanya penyakitnya. Aku bertemu dengan Tian Ceng Bun titli, yang dengan mata merah karena menangis, berdiri di ambang pintu. Ayah sudah tidur. In siokhu kembali saja. Terima kasih atas kebaikanmu," katanya.
Melihat sikapnya yang luar biasa, aku jadi heran. Andaikata Tian suheng benar sakit, ia pun tak perlu menangis begitu hebat. Aku segera balik ke kamarku dan berselang setengah jam, sesudah menyalin pakaian, aku kembali dan berdiri di depan pintu kamar Tian suheng untuk menengok penyakitnya..."
"Buk!" Whi Su Tiong menumbuk meja. "Huh! Menengok penyakit!" bentaknya. "Apakah seorang yang mau menengok kawan yang sakit, berdiri di luar pintu?"
In Kiat bersenyum tawar. "Kalau aku mencuri dengar pembicaraan, mau apa kau?" tanyanya dengan kaku. "Benar aku bersembunyi di depan jendela dan mendengari pembicaraan di dalam kamar.
"Kau tak usah mendesak aku," kata Tian suheng.
"Hari ini aku menutup pintu dan menyimpan pedang dan di hadapan semua orang gagah, aku sudah menyerahkan kedudukan Ciang Bun Jin dari Pak Cong Thian Liong Bun kepada Hun Ki. Pengumuman ini tak dapat diubah lagi."
Di lain saat kudengar Whi Su Tiong, Whi suheng, berkata, "Bagaimana aku berani mendesak suko? Tapi sesudah Hun Ki dan Tian Ceng Bun berlaku begitu busuk -- sehingga mereka mendapat anak -- mana bisa orang-orang kita takluk terhadapnya?"
Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan. Ternyata, Tian Ceng Bun jatuh bersama-sama kursi dan ia rebah dalam keadaan pingsan.
Tanpa mengatakan suatu apa, To Cu An segera membacok kepala Co Hun Ki dengan goloknya. Karena tidak bersenjata, Hun Ki menangkis dengan kursi Mendengar calon menantunya melakukan perbuatan yang sebusuk itu, To Pek Swee berteriak-teriak bagaikan kalap Ia mengangkat kursi dan turut menyerang Co Hun Ki. Terhadap luar, orang-orang Thian Long Bun biasanya bersatu-padu. Tapi sekarang, karena yang bertempur adalah orang-orang sendiri yang saling membuka rahasia busuk, tak satu pun yang bergerak. Keadaan lantas saja menjadi kalut.
"Berhenti!" teriak Biauw Yok Lan. "Semua orang berhenti! Duduk!"
Entah mengapa, perkataan si nona mempunyai pengaruh luar biasa. To Cu An kelihatan terkejut dan segera menarik pulang goloknya, tapi To Pek Swee masih mengamuk terus dengan kursinya. Sambil mencekel kursi itu, To Cu An berkata, "Thia, berhentilah dahulu. Biarlah semua orang mendengar ceritera ini sampai di akhirnya, supaya mereka bisa menimbang, siapa salah, siapa benar." Mendengar perkataan puteranya, si tua lantas berhenti mengamuk.
"Khim Ji," kata pula Yok Lan, "Ajaklah nona Tian ke kamar untuk mengaso." Perlahan-lahan Tian Ceng Bun tersadar. Dengan paras muka pucat, ia berjalan masuk ke ruangan dalam sambil menundukkan kepala. Semua orang lantas saja mengawasi In Kiat dan mengharap supaya ia meneruskan penuturannya.
Kata In Kiat, "Kudengar Tian suheng menghela napas dan berkata, "Pembalasan! Inilah pembalasan!" Sesudah menghela napas lagi berulang-ulang, barulah ia berkata dengan suara perlahan, "Biarlah kita berdamai lagi besok. Pergilah! Minta Cu An datang kemari. Aku ingin bicara dengan dia."
Seraya mengawasi ayah dan anak she To itu, In Kiat melanjutkan penuturannya, "Whi suheng masih mau bertengkar, tapi Tian suheng sudah lantas menepuk ranjang dan membentak dengan gusar. Apa kau mau mendesak sampai aku mampus?' Dibentak begitu Whi suheng tidak berani bersuara lagi dan sambil berjalan keluar lalu membuka pintu. Karena aku mencuri dengar pembicaraan orang dan juga sebab pembicaraan itu tiada sangkut-pautnya dengan Lam Cong, maka buru-buru aku kembali ke kamarku supaya jangan sampai berpapasan dengan Whi suheng."
Whi Su Tiong tertawa dingin dan berkata, "Malam itu, begitu bertindak keluar, kulihat berkelebatnya bayangan hitam. Anjing dari mana berani mencuri dengar pembicaraan orang?" bentakku. Aku tidak mendapat jawaban dan aku menduga, bahwa bayangan itu adalah bayangan sebangsa anjing geladak. Tak dinyana, orang itu In suheng adanya. Maaf, maafkan aku." Seraya berkata begitu, ia menyoja. Walaupun mulutnya meminta maaf, ia sebenarnya mencaci In Kiat yang paras mukanya lantas saja berubah. Tapi In Kiat sabar luar biasa. Ia membalas hormat dan berkata sambil tertawa, "Tidak tahu tidak bersalah. Whi suheng jangan berlaku begitu sungkan."
"Sekarang giliranku," kata To Cu An. "Sesudah beramai-ramai membuka rahasia, aku pun mau membuka mulut. Aku ... aku ... " Ia tidak bisa meneruskan perkataannya karena hatinya bergoncang keras, sedang air mata mengalir turun di kedua pipinya. Melihat menangisnya seorang pemuda gagah, semua orang jadi merasa kasihan. Mereka melirik Co Hun Ki dengan rasa sedikit mendongkol.
"Kau sungguh tolol! Perlu apa kau memperlihatkan kelemahanmu di sini?" bentak sang ayah.
"Untung juga kau belum menikah, sehingga perbuatan terkutuk itu tidak menodai keluarga kita." Sesudah menyusut air mata dengan tangan bajunya, To Cu An berkata pula, "Dulu-dulu, setiap kali aku datang berkunjung ke rumah ... ke rumah ... Tian pehhu Mendengar Cu An menggunakan panggilan "pehhu" (paman) dan bukan "gakhu" (mertua), diam-diam Co Hun Ki merasa girang.
"Aku girang bocah itu tidak mengakui Ceng moay sebagai isterinya," katanya di dalam hati. To Cu An melanjutkan penuturannya, "Kalau ada orang, Ceng moay selalu menyingkir jauh-jauh dengan paras muka kemerah-merahan dan tidak mau bicara denganku. Tapi kalau tak ada orang lain, ia mau beromong-omong dengan sikap menyinta. Saban aku memberikan sesuatu kepadanya, ada saja balasannya, misalnya dompet uang, baju ma kwa dan sebagainya ..."
Muka Co Hun Ki tak enak dilihat. Ia mendongkol mendengai pengakuan saingannya. "Waktu Tian pehhu bikin pesta, dengan penuh kegembiraan, aku mengikuti ayah," kata pula To Cu An. "Begitu melihat Ceng moay, aku kaget. Mukanyu pucat dan kurus, seperti baru saja sembuh dari penyakit berat. Aku merasa kasihan dan di mana ada kesempatan, aku selalu coba menghibur padanya. Aku tanya ia sakit apa. Bermula jawabannya tak terang. Belakangan, waktu aku mendesak, ia jadi gusar dan menyemprot aku dengan perkataan pedas dan kemudian tak mau meladeni aku lagi. Aku bingung dan jengkel. Tentu saja aku tak punya kegembiraan untuk makan minum. Secara kebetulan aku bertemu dengan ia di taman bunga. Ia ternyata baru habis menangis -- kedua matanya merah. Aku segera meminta maaf. "Ceng moay, akulah yang salah," kataku. "Kau jangan marah" Tiba-tiba ia bergusar. 'Jangan rewel! Aku ingin mati!' bentaknya.
Aku makin bingung. Waktu kembali ke kamarku, hatiku makin tak enak. Aku memutar otak untuk mencari sebab-musabab dari kegusarannya. Perlahan-lahan aku bangun dan pergi ke kamarnya. Aku mengetuk tiga kali di bawah jendela. Itulah pertandaan yang digunakan kalau kita ingin saling bertemu. Tapi kali ini, sesudah mengetuk berulang-ulang, aku tidak mendapat jawaban. Aku menarik jendela yang ternyata tidak dikunci dan lantas terbuka. Kamar gelap-gulita. Karena sangat ingin bicara dengannya, aku segera masuk dengan melompati jendela ... "
"Perlu apa kau masuk ke kamar seorang gadis di tengah malam buta?" bentak Co Hun Ki.
Sebelum To Cu An keburu menjawab, Khim Ji sudah mendahului, "Perlu apa kau campur-campur? Mereka adalah tunangan."
Sambil mengawasi budaknya Yok Lan, To Cu An manggut-manggut dan lalu berkata pula, "Di depan ranjang kulihat sepasang sepatu. Dengan memberanikan hati aku menyingkap kelambu dan meraba-raba. Tiba-tiba tanganku menyentuh satu bungkusan, tapi Ceng moay sendiri tidak berada di ranjang itu. Rasa heranku makin menjadi-jadi dan aku lalu meraba-raba lagi bungkusan itu.
Tiba-tiba hatiku mencelos. Bayi! ... Mayat bayi yang sudah mati lama juga, karena badannya sudah dingin. Rupanya bayi itu mati mengap"
"Trang!" cangkir teh yang dicekel Yok Lan jatuh dan paras muka si nona berubah pucat.
"Kalian kaget?" tanya To Cu An. "Kalau sekarang kalian kaget, kagetku di waktu itu lebih-lebih lagi. Hampir-hampir aku berteriak. Sekonyong-konyong kudengar tindakan kaki dan seorang masuk ke dalam kamar. Buru-buru aku bersembunyi di kolong ranjang. Orang itu, yang ternyata bukan lain daripada Ceng moay sendiri, duduk di pinggir ranjang dan menangis. Ia mendukung mayat bayi dan menciumnya berulang-ulang. 'Anak, janganlah kau gusari ibumu yang sudah membunuh kau. Hati ibumu seperti disayat pisau. Tapi kalau kau hidup, ibu tak bisa hidup. Ibumu memang kejam.' Bulu romaku bangun semua. Dengan anjing geladak dari mana dia membikin perhubungan rahasia? Akhirnya, dia bangun dan sesudah menutup bayi itu dengan mantel, ia keluar dari kamarnya. Aku pun merangkak keluar dari kolong ranjang dan mengikuti dari belakang. Waktu itu, aku sedih dan marah. Aku mengambil keputusan untuk mencari tahu siapa kecintaannya. Ia pergi ke belakang taman dan keluar dengan melompati tembok. Dari jauh aku menguntit terus. Sesudah berjalan kira-kira setengah li, ia tiba di satu tempat pekuburan. Dari bawah mantel ia mengeluarkan cangkul pendek. Baru saja mau mencangkul, tiba-tiba terdengar suara benterokan antara besi dan batu. Ada seorang lain menggali tanahl Ia kaget dan buru-buru mendekam. Selang beberapa saat, ia merangkak dan mendekati suara itu. Indap-indap aku mengikuti dari belakang. Tak lama kemudian kulihat sebuah lentera di samping satu kuburan dan dengan pertolongan sinar lentera, kulihat satu bayangan hitam sedang menggali tanah. Orang itu membuat lubang. 'Apa dia juga mau mengubur bayi?' tanyaku di dalam hati. Sesudah beres menggali, orang itu menjemput sebuah bungkusan panjang dari atas tanah, bentuk bungkusan sangat menyerupai mayat bayi. Ia menaruh bungkusan itu di dalam lubang dan kemudian menguruknya dengan tanah. Tiba-tiba ia menengok ke jurusanku. Aku terkesiap sebab orang itu bukan lain daripada 'Hui Liong Kiam' Ciu Hun Jang, Ciu suheng."
Muka Ciu Hun Jang yang sedari tadi sudah pucat, sekarang jadi makin pucat. To Cu An melanjutkan penuturannya, 'Aku sungguh bingung. Apa bangsat she Ciu itu yang main gila dengan Ceng moay? Mengapa ia pun mengubur bayi? Melihat dia, Ceng moay buru-buru merebahkan dirinya di tanah dan tidak maju lagi. Sementara itu, Ciu suheng menginjak-injak tanah urukan, menanam rumput di atasnya dan menyebar batu-batu di atas rumput, supaya orang tidak mengenali galian itu. Sesudah beres, barulah ia menyingkir. Begitu lekas Ciu suheng berlalu, cepat-cepat Ceng moay menggali lubang dan mengubur bayinya. Sesudah itu, ia menghampiri kuburan yang tadi dibuat Ciu suheng dan lalu menggalinya untuk menyelidiki benda yang berisi di dalamnya. Apa celaka, baru saja Ceng moay mencangkul beberapa kali, Ciu suheng balik kembali.
'Ceng moay bikin apa kau?' tanyanya. Ternyata ia seorang yang sangat berhati-hati. Tadi ia hanya berlagak menyingkir dan sekarang balik kembali untuk memeriksa tanamannya. Ceng moay kaget dan melompat, ia melemparkan cangkul di tanah dan tidak dapat menjawab pertanyaan Ciu suheng. Ciu suheng tertawa dingin. 'Adik Ceng Bun,' katanya. 'Kau tahu aku tanam apa, aku pun tahu kau tanam apa Kalau rahasia mau disimpan, kita menyimpan bersama-sama. Kalau mau dibuka, kita membuka bersama-sama.' 'Baik,' kata Cengmoay. 'Kalau begitu, kau bersumpahlah.' Ciu suheng lantas saja bersumpah, begitu juga Ceng moay. Sesudah itu, mereka segera kembali ke gedung. Melihat lagak kedua orang itu, aku tersangsi. Ku tak tahu perhubungan apa terdapat di antara mereka Diam-diam aku menguntit dengan tangan menggenggam senjata rahasia beracun. Aku mengambil keputusan, asal mereka menunjukkan lagak seperti kecintaan atau mengeluarkan perkataan yang tidak enak didengar, aku akan segera menimpuk. Tapi mereka bernasib baik. Dari pekuburan ke gedung, mereka berjalan dengan terpisah jauh satu sama lain dan mereka tidak mengeluarkan sepatah kata. Ceng moay kembali ke kamarnya dengan menangis segak-seguk. Sambil berdiri di bawah jendela, macam-macam niatan masuk ke dalam otakku. Aku ingin menerobos masuk dan membacok mampus dadanya, aku ingin membakar perkampungan keluarga Tian sampai menjadi rata dengan bumi, aku ingin membeber rahasianya Akhirnya aku mengambil satu keputusan. Sebelum bertindak lebih jauh, aku akan menyelidiki siapa adanya lelaki bangsat itu. Dengan badan dingin aku balik ke kamarku. Ayah sudah menggeros. Aku berdiri seperti patung. Entah sudah lewat berapa lama, tiba-tiba Whi susiok memanggil aku dan memberitahukan, bahwa Tian pehhu ingin bicara denganku. 'Inilah dia!' kataku di dalam hati. 'Coba kudengar apa yang akan dikatakan olehnya. Apa dia mau membujuk supaya aku membatalkan pernikahan? Apa dia akan berlagak pilon?' Sesudah menyampaikan keinginan Tian pehhu, Whi susiok segera berlalu. Karena kuatir terjadi sesuatu yang hebat, aku membangunkan ayah dan minta supaya ia berjagajaga. Dengan membawa senjata dan senjata rahasia, bahkan gendewa dan anak panah yang disembunyikan dalam jubah, aku segera menuju ke kamar Tian pehhu. Begitu masuk, kulihat Tian pehhu rebah di ranjang dengan mata mengawasi langit-langit pembaringan. Ia mencekel selembar kertas putih dalam tangannya dan ia rupanya tak tahu masuknya aku. Aku batuk-batuk dan menegur, A-thia!' Ia kelihatan kaget dan buru-buru memasukkan kertas putih itu di bawah kasur. Ah, Cu An, kau?' katanya. Aku mendongkol. Bukankah dia sendiri yang memanggil aku? Tapi melihat mukanya, aku yakin, bahwa ia benar-benar sedang ketakutan hebat. Ia menyuruh aku memalang pintu, tapi belakangan meminta aku mementang jendela, sebab ia kuatir ada orang yang bersembunyi di luar jendela. 'Cu An,' katanya.
'Jiwaku terancam dan aku minta pertolonganmu.' Sekonyong-konyong Co Hun Ki berbangkit dan membentak seraya menuding Cu An, "Omong kosong! Tak bisa jadi guruku meminta bantuan bocah cilik seperti kau! Apa kepandaianmu?" Tanpa meladeni bentakan itu, Cu An meneruskan penuturannya, "Mendengar perkataan itu, aku kaget. 'Gakhu, apa pun jua yang diperintah olehmu, biarpun mesti masuk di dalam api, aku pasti tak akan menolak.' Tian pehhu manggut-manggutkan kepalanya. Dari bawah selimut, ia mengeluarkan satu bungkusan sutera sulam yang panjang dan memberikannya kepadaku. 'Bawalah barang ini dan malam ini juga kau pergi keluar Tembok Besar,' katanya. 'Pendamlah di tempat yang tidak ada manusianya. Jika tidak diketahui orang, mungkin sekali kau akan bisa menolong jiwaku.'
"Aku menyambuti. Bungkusan itu ternyata berat sekali, seperti juga besi. 'Gakhu, apa ini?' tanyaku. 'Siapa yang maui jiwamu?' Tian pehhu mengibas tangannya Ia kelihatannya lelah sekali.
'Pergi lekas-lekas!' katanya 'Malah kepada ayahmu sendiri, kau tidak boleh beritahukan hal ini. Kalau terlambat, mungkin tak keburu lagi. Aku melarang keras kau membuka bungkusan itu.'
Aku tidak berani menanya lagi. Aku memutar badan dan segera bertindak keluar. Tapi baru tiba di ambang pintu, Tian pehhu mendadak berkata, 'Cu An, apa yang disembunyikan di dalam jubahmu?' Aku terkesiap. Matanya sungguh lihay! 'Senjata, gendewa dan anak panah,' jawabku.
'Sebab hari ini banyak tamu dan karena kuatir ada orang jahat, maka aku membekal senjata untuk menjaga terjadinya sesuatu.' Ia mengangguk dan berkata, Bagus. Kau sangat hati-hati. Kalau Hun Ki bisa turut ketelitianmu, aku akan merasa terlebih senang. Serahkanlah gendewa dan anak panah itu kepadaku.'
Aku segera mengeluarkan dan menyerahkan apa yang diminta Ia mengambil sebatang anak panah, yang sesudah dibulak-balik beberapa kali, lalu dipasang pada gendewa. 'Kau pergilah!' katanya Melihat paras mukanya, aku sangat berkuatir. Kukuatir, selagi berjalan keluar, ia memanah punggungku! Maka itu, dengan berlagak memberi hormat sambil membungkuk, aku jalan mundur dan sesudah keluar dari pintu, dengan mendadak aku memutar badan dan berjalan cepat-cepat. Sebab kepingin tahu, sekali lagi aku menengok.
Ternyata, ia menjuju anak panah ke arah mulut jendela Dengan penuh kecurigaan, aku balik ke kamarku. Di samping rasa ketakutan, dari paras mukanya, Tian pehhu seperti juga sedang menyembunyikan sesuatu. Aku merasa pasti, ia mengandung maksud tak baik terhadapku. Maka itu, aku segera menceritakan pengalamanku kepada ayah. Tapi sebab kuatir ia marah, maka halnya Ceng Bun moaycu tidak disebut-sebut olehku. 'Paling benar kita buka bungkusan itu,' kata ayah. Aku menyetujui dan kami segera membukanya. Di dalam bungkusan ternyata berisi kotak besi itu. Kotak besi itu adalah mustika dari Thian Liong Bun.
Aku sudah pernah mendengar penuturan Ceng moay. Ayah dan Tian pehhu adalah kawan lama dan dengan mata sendiri, pernah lihat, cara bagaimana Tian pehhu merampasnya dari tangan ahli waris Ouw It To. Belakangan ia menaruh golok komando Cwan Ong di dalam kotak ini.
'Sungguh mengherankan,' kata ayah. 'Mengapa dia menyerahkan kotak ini kepadamu.' Ayah tahu, bahwa pada kotak ini di pasang anak panah yang bisa melesat sendiri dan juga tahu cara membuka kotak. Ia segera membukanya. Di lain saat, kami mengawasi dengan mata membelalak tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Ternyata kotak itu kosong. Apa artinya ini?' kata ayah. Aku sudah menduga artinya. Aku menduga pasti, bahwa Tian pehhu ingin mencelakai diriku. Ia menyembunyikan golok mustika di tempat lain dan menyerahkan kotaknya kepadaku. Ia tentu sudah memerintahkan orang mencegat dan membekuk aku di tengah jalan. Aku tentu akan dituduh mencuri golok dan jika aku tidak bisa mengeluarkan golok mustika itu, aku pasti akan dibunuh. Dengan demikian, pernikahanku dengan Ceng moay akan batal sendirinya dan Ceng moay bisa menikah dengan Co suheng. Ayah yang belum tahu latar belakang itu, tentu saja tidak bisa menduga maksud Tian pehhu."
"Dusta!" teriak Co Hun Ki. "Kau sudah membinasakan guruku dan mencuri golok mustika. Sekarang kau mengeluarkan omongan gila-gila"
To Cu An tertawa dingin. "Biarpun Tian pehhu sudah meninggal dunia, aku masih memegang bukti," katanya.
Co Hun Ki berjingkrak-jingkrak bahna gusarnya. "Bukti?" teriaknya. "Bukti apa? Keluarkan, supaya semua orang bisa melihatnya!"
"Kalau sudah tiba waktunya aku pasti akan mengeluarkan bukti itu," jawabnya dengan tenang.
"Tuan-tuan, sebab Co suheng selalu memutuskan penuturanku, maka lebih baik dia saja yang menggantikan bicara."
"Co Hun Ki," kata Po Si. "Tadi kau coba menggulingkan loolap ke bawah gunung dan loolap belum berhitungan denganmu."
Pemuda itu ketakutan dan tidak berani membuka mulut lagi. Cu An melanjutkan penuturannya, "Kutahu keadaan sudah mendesak. Begitu keluar dari pintu keluarga Tian dengan membawa kotak besi, aku bisa mati. Bukan saja mati, namaku pun akan menjadi rusak. 'Thia, hal ini ada latar belakangnya yang berbelit-belit,' kataku. 'Paling selamat aku mengembalikannya kepada Gakhu.' Aku segera membungkus lagi kotak itu dengan bungkusannya dan menyiapkan beberapa perkataan untuk menyentil Tian pehhu. Tapi waktu tiba di depan kamarnya, lampu sudah dipadamkan dan jendela tertutup rapat 'Gakhu! Gakhu!' aku memanggil.
Tapi tak dapat jawaban. Aku bercuriga. Tian pehhu memiliki kepandaian tinggi dan biarpun lagi pulas, ia tentu sudah tersadar kalau dipanggil-panggil. Apa dia sengaja tidak mau. meladeni aku? Makin lama aku makin ketakutan. Apa murid-murid Thian Liong Bun sudah bersembunyi di sekitar aku dan akan segera menyergap aku? Maka itu, sambil mengetuk-ngetuk pintu, aku berkata, 'Gakhu! Aku pulangkan bungkusan. Kami mempunyai urusan penting dan tidak bisa menjalankan perintahmu.' Tapi tetap tidak terdengar jawaban. Aku bingung. Dengan golok aku mengorek palang pintu dan sesudah pintu terbuka. aku masuk ke kamar yang gelap gulita Aku segera menyalakan api dari menyulut lilin. Tiba-tiba aku terkesiap. Kulihat Tian pehhu-rebah di pembaringan tanpa bernyawa lagi, sedang di dadanya tertangkap sebatang anak panah yaitu anak panahku yang barusan kuberikan kepadanya. Mukanya menakuti, seperti juga ia telah melihat pemandangan hebat pada sebelum menutup mata. Untuk beberapa saat, aku berdiri bagaikan patung. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana Jendela terkunci. Cara bagaimana pembunuh bisa masuk ke dalam kamar? Aku mendongak, tapi semua genteng tetap utuh Hal ini membuktikan, bahwa pembunuh tidak menggunakan jalan dari atas genteng. Baru saja aku mau menyelidiki lagi, tiba tiba kudengar tindakan kaki beberapa orang di lorong di luar kamar. Aku kaget. Tian pehhu mati dengan dada tertancap sebatang anak panahku. Jika ada orang masuk ke kamar, bagaimana aku bisa meloloskan diri? Buru-buru aku mengambil gendewa yang menggeletak di atas selimut Baru saja aku mau mencabut anak panah yang menancap di dada, dengan bantuan sinar lilin kulihat dua rupa benda di atas pembaringan.
Hatiku mencelos, tanganku bergemetaran, ciaktay jatuh dan lilin padam. Apakah kalian bisa menebak kedua benda yang dilihat olehku? Kalian pasti tak akan bisa menebak. Yang satu golok mustika, yang lain mayat yang mati dikubur oleh Ceng moay! Dalam otakku berkelebat anggapan, bahwa bayi itu keluar dari kuburannya untuk minta ganti jiwa karena penasaran. Dalam bingung, aku menjemput golok mustika dan lantas kabur. Baru saja tiba di ambang pintu, mendadak kuingat serupa hal. Dengan memberanikan hati, aku kembali lagi dan meraba-raba di bawah kasur Tian pehhu. Benar saja aku dapatkan selembar kertas putih. Aku merasa pasti, bahwa kertas itu mempunyai sangkut-paut dengan kebinasaan Tian pehhu. Aku tak berani menyalakan lilin lagi dan segera memasukkan kertas itu ke dalam saku. Selagi mengangsurkan tangan untuk mencabut anak panah, kupingku menangkap suara tindakan kaki dan tiga orang bertindak ke ambang pintu. Celaka! Jika ketahuan, aku pasti akan binasa, pikirku.
Dalam menghadapi bahaya, bagaikan kilat aku masuk ke kolong ranjang. Ketiga orang itu mendorong pintu dan lantas masuk. Mereka adalah Whi susiok, Co suheng dan Ciu suheng. 'Suko!' memanggil Whi susiok. Karena tak dijawab, ia segera menyuruh Ciu suheng menyulut lilin. Aku ketakutan setengah mati. Begitu lekas lilin menyala, mereka akan tahu kebinasaan Tian pehhu dan kalau mereka menggeledah kamar, jiwaku pasti akan melayang. Mengingat begitu, jalan satu-satunya bagiku adalah coba kabur waktu kamar masih gelap. Whi susiok dan Co suko memiliki kepandaian tinggi. Seorang diri, aku pasti tak akan bisa melawan mereka Tapi jika kukabur dengan tiba-tiba, mungkin sekali aku masih bisa meloloskan diri. Aku tidak boleh bersangsi lagi. Perlahan-lahan aku merangkak ke pinggir ranjang. Baru saja aku mau melompat keluar, tanganku mendadak menyentuh muka seorang! Ada seorang lain yang bersembunyi di situ! Karena kaget, hampir hampir aku berteriak. Bagaikan kilat, orang itu menyengkerani nadiku. Aku mengeluh. Tapi dia segera menulis huruf-huruf begini di telapak tanganku, 'Kita keluar bersama-sama.' Aku girang. Selesai itu, kamar terang benderang -- Ciu suko menenteng sebuah teng. Dari kolong ranjang orang itu melepaskan senjata rahasia yang berhasil memadamkan lilin teng. Dengan sekali membalik tangan, ia merampas golok mustika yang dicekal olehku. Dengan bergulingan aku keluar dari kolong ranjang dan lalu kabur sekuat tenagaku. Orang itu juga turut keluar. 'Bangsat!' bentak Whi susiok sambil menghantam. Whi susiok berkepandaian tinggi. Orang itu mungkin tak akan bisa meloloskan diri. Dengan terbirit-birit aku kembali ke kamar, membangunkan ayah dan malam-malam kami meninggalkan gedung keluarga Tian. Itulah pengalamanku.
Kotak besi itu telah diberikan kepadaku oleh Tian pehhu yang memerintahkan, supaya aku memendamnya di luar Tembok Besar. Aku sudah melakukan perintah itu. Di lain pihak, karena menemukan anak panahku di dada Tian pehhu, para susiok dan suheng dari Thian Liong Hun sudah menduga bahwa Tian pehhu dibunuh olehku. Aku tidak dapat menyalahkan mereka. Hanya sayang aku tak tahu siapa adanya orang yang bersembunyi di kolong ranjang bersama-sama aku. Kalau kutahu, aku tentu bisa mencarinya untuk dijadikan saksi. Tapi biarpun begitu, aku tahu siapa yang sudah membunuh Tian pehhu. Tuan-tuan, sekarang lihatlah. Selembar kertas yang akan segera dikeluarkan olehku adalah kertas yang disembunyikan di bawah kasur oleh Tian pehhu. Sebab takut dibunuh oleh musuhnya, ia mementang gendewa yang ditujukan ke jendela. Yang ditunggu olehnya adalah orang itu. Tapi orang itu toh datang juga dan Tian pehhu tak bisa terlolos." Seraya berkata begitu, ia mengeluarkan satu kantong sulam dari sakunya. Semua orang tahu, bahwa kantong itu yang sangat indah sulamannya, dibuat oleh Tian Ceng Bun. Tanpa merasa mereka menengok ke arah Co Hun Ki. To Cu An membuka kantong dan mengeluarkan selembar kertas. Semula ia bergerak untuk menyerahkannya kepada Po Si, tapi sesudah bersangsi sejenak, ia mengangsurkan kertas itu kepada Biauw Yok Lan. Si nona segera membuka lipatan kertas dan begitu melihatnya, ia mengeluarkan seruan kaget. Ternyata, di atas kertas itu tertulis dua baris huruf. "Selamat kepada Tian loocianpwee yang hari ini menutup pintu dan menyimpan pedang. Kekayaan dan umur semua berpulang. Boanpwee Ouw Hui akan datang untuk memberi hormat."
Huruf-huruf itu indah sekali, tiada bedanya dengan huruf-huruf di atas tiap yang diantar oleh sepasang bocah. Tak bisa salah lagi, itulah tulisan tangan dari "Soat San Hui Ho" Ouw Hui. Dengan tangan agak bergemetar Yok Lan memegang kertas itu "Apa dia?" katanya dengan suara hampir tak kedengaran.
Whi Su Tiong mengambil kertas itu dari tangan Yok Lan dan sesudah membaca, ia berkata, "Benar tulisan Ouw Hui. Dengan begini kita sudah salah menyangka Cu An." Tiba-tiba ia berpaling kepada Lauw Goan Ho dan berkata, "Lauw Tayjin, perlu apa kau bersembunyi di kolong ranjang Tian sutee? Apa kau disuruh oleh 'Soat San Hui Ho'?"
Semua orang kaget, berikut juga Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang. Malam itu, orang yang bersembunyi di kolong ranjang telah bertempur beberapa jurus dengan Whi Su Tiong, tapi akhirnya dia bisa melarikan diri. Sebegitu lama, mereka tidak bisa menebak siapa adanya orang itu. Mengapa sekarang Whi Su Tiong mendadak menuduh Lauw Goan Ho? Lauw Goan Ho sendiri tertawa dingin, tapi tidak menjawab pertanyaan Whi Su Tiong. "Malam itu, dalam kegelapan, aku tak bisa lihat mukanya," kata pula Whi Su Tiong. 'Aku merasa sangat takluk akan kepandaiannya yang sangat tinggi. Kami bertiga, paman guru dan dua keponakan murid, tidak berhasil membekuknya Bukan saja begitu, kami bahkan tak tahu siapa manusianya Tapi hari ini, dalam pertempuran di atas salju, aku telah mendapat kehormatan untuk melayani Lauw Tayjin beberapa jurus. Ternyata, Lauw Tayjin adalah orang yang dahulu bersembunyi di kolong ranjang. Huh-huh! Selamat bertemu. Sungguh sayang Sungguh sayang!"
Ciu Hun Yang mengerti, bahwa untuk mencaci Lauw Goan Ho, paman gurunya harus mendapat bantuan. Maka itu ia lantas saja bertanya, "Susiok, sayang apa?"
"Sayang sungguh, bahwa seorang yang berkedudukan begitu tinggi sebagai 'Gi Cian Si Wi' Lauw Tayjin bisa melakukan perbuatan sebagai seorang pencuri ayam atau anjing." teriaknya. Lauw Goan Ho tertawa terbahak-bahak. "Tepat sungguh cacian Whi toako!" katanya. "Orang yang malam itu bersembunyi di kolong ranjang Tian Kui Long memang aku sendiri. Tak salah kalau kau mencaci aku sebagai pencuri ayam atau anjing." Berkata sampai di situ, paras mukanya berseri-seri. "Tapi aku mencuri ayam atau anjing, atas perintah Hongsiang (Kaisar)!" ia menambahkan."
Semua orang kaget tak kepalang. Semula mereka anggap Lauw Goan Ho omong kosong, tapi di lain saat, mereka ingat, bahwa memang benar dia seorang si wi, pengawal kaisar dalam keraton, sehingga pengakuannya itu bukan hal yang tidak bisa jadi. Mungkin sekali ia telah menerima firman untuk menghadapi Thian Liong Bun. Orang-orang Eng Ma Coan yang memang berseteru dengan pembesar negeri, tidak menjadi gentar. Tapi para anggauta Thian Liong Bun rata-rata mempunyai rumah tangga dan perusahaan, lebih-lebih In Kiat yang dikenal sebagai hartawan besar dalam propinsi Kwitang dan Kwisay, sehingga tidaklah heran, kalau keterangan Lauw Goan Ho sudah membuat mereka kaget tercampur takut.
Melihat perkataannya sudah berhasil menindih semua orang, Lauw Goan Ho jadi lebih girang lagi. "Sebab keadaan sudah menjadi begini, biarlah aku pun turut bicara." katanya. "Mungkin sekali kalian belum pernah lihat barang ini." Seraya berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah amplop besar yang berwarna kuning dan yang di atasnya tertulis dua huruf, "Perintah Rahasia." Ia membuka mulut amplop, menarik keluar selembar kertas kuning dan membacanya dengan suara nyaring, "Berdasarkan firman Seri Baginda, Lauw Goan Ho, Gi Cian Si Wi kelas satu yang bersenjata golok, diperintah bekerja sesuai dengan siasat yang telah diberikan Congkoan Say." Sesudah membaca, ia meletakkan kertas itu di atas meja supaya semua orang bisa memeriksanya.
In Kiat, To Pek Swee dan beberapa orang lain yang berpengalaman lantas saja mengetahui, bahwa yang menandatangani perintah itu adalah Congkoan (Kepala) dari para si wi, yang bernama Say Siang Gok. Say Congkoan dikenal sebagai ahli silat utama dari suku-bangsa Boan dan sangat disayang oleh Kaisar Kian Liong.
"Whi toako," kata Lauw Goan Ho, "kau tak usah mendelik-delik terhadapku. Kalau mau diceriterakan, asal-mula urusan ini sebenarnya adalah karena gara-garanya suhengmu juga, yaitu Tian Kui Long. Kejadiannya adalah begini, pada suatu hari, Say Congkoan menjamu delapan belas si wi di gedungnya. Oleh sahabat-sahabat, delapan belas si wi ini digelarkan sebagai 'Delapan
belas ahli silat yang berkepandaian tinggi dalam istana'. Sebenar-benarnya mereka hanya mempunyai kepandaian pasaran. Mana bisa dinamakan 'ahli silat yang berkepandaian tinggi?' Tapi sebab gelaran itu diberikan oleh sahabat-sahabat yang ingin menempelkan emas di muka kami, maka kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah begitu? Begitu tiba di gedung Say Congkoan, pemimpin itu lantas saja mengatakan, bahwa hari ini kami akan diperkenalkan dengan seorang tokoh, terkemuka dalam Rimba Persilatan. Kami segera menanyakan siapa adanya pentolan itu, tapi Say Congkoan hanya bersenyum dan tidak mau memberitahukan. Sesudah perjamuan dibuka, ia mengajak seorang pria yang potongan badannya kekar masuk ke dalam. Biarpun rambut di kedua pelipisnya sudah beruban, orang itu, yang berparas sangat tampan, masih gagah sekali. 'Saudara-saudara,' kata Say Congkoan, 'inilah Ciang Bun dari Thian Liong Bun bagian Pak Cong, Tian Kui Long, Tian toako, gunung Thay San atau bintang Pak Tauw dalam Rimba Persilatan.'
Kami agak terkejut. Nama besarnya Tian Kui Long sudah didengar kami. Tapi sebegitu jauh Thian Liong Bun tidak pernah berhubungan dengan pembesar negeri. Entah bagaimana Say Congkoan sudah berhasil mengundang jago itu. Dalam perjamuan, dengan bergiliran kami mengangkat cawan untuk menghormatinya. Tian toako bersikap sangat sungkan. Dengan perkataan-perkataan manis, ia merendahkan diri dan memuji-muji kami. Tapi tak satu perkataan pun keluar dari mulutnya yang menunjuk sebab-musabab dari kunjungannya ke kota-raja. Sesudah selesai bersantap, Say Congkoan mengundang kami ke kamar samping sebelah timur untuk minum teh. Di situlah mereka baru memberitahukan kami tentang maksud kedatangan Tian toako.
"Ternyata, meskipun Tian toako pernah menjadi perampok, kesetiaannya terhadap negeri tidak lebih kurang daripada kami, orang-orang yang menjadi pegawai negeri. Kedatangannya ke kotaraja adalah untuk mempersembahkan sebuah harta karun kepada Hongsiang (Kaisar). Harta ini ialah harta yang telah dikumpulkan oleh pengkhianat Li Cu Seng pada waktu ia menduduki Pakkhia
Menurut katanya Tian toako, untuk mendapatkan harta ini, orang harus memperoleh dua rupa petunjuk. Kedua petunjuk itu harus dipersatukan. Yang satu adalah golok komando Li Cu Seng. Golok itu berada dalam tangan Thian Liong Bun dan sekarang turut dibawanya. Petunjuk yang satunya lagi agak sukar didapatkan. Petunjuk tersebut merupakan peta bumi gudang harta yang, dari satu turunan, disimpan oleh keluarga Biauw Kee Kiam. Kalau orang bisa mendapatkan kedua petunjuk itu. maka harta tersebut bisa dicari secara mudah, seperti orang merogo saku sendiri. Biarpun kami pegawai negeri, tapi sebagai orang dari Rimba Persilatan, kami mengenal nama 'Biauw Kee Kiam'. Kami tahu lihaynya 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu' Biauw Jin Hong. Siapa berani main gila terhadapnya?
Melihat paras muka kami yang menunjuk rasa putus harapan, Tian toako bersenyum. 'Jika aku belum mempunyai daya untuk menghadapi Biauw Jin Hong, mana berani aku datang mengganggu kalian?' katanya. Dengan suara perlahan ia segera menuturkan tipu-dayanya. Kami mengangguk-angguk tipu itu memang bagus sekali. Nanti, kalau sudah tiba waktunya, kalian akan tahu apa adanya tipu-daya Tian toako. Sekarang aku tak usah menceriterakan. Besoknya Tian toako meninggalkan Pakkhia. Say Congkoan segera memerintahkan kami untuk bekerja sesuai dengan tipu Tian toako. Belakangan, sesudah memikir bulak-balik, Say Congkoan
merasa sangsi. Dalam mempersembahkan tipu-dayanya, Tian toako tidak menghendaki pangkat dan juga tidak bermaksud untuk mengeduk keuntungan. Ia mengantarkan hadiah besar itu secara cuma-cuma. Dalam dunia, di mana ada manusia yang begitu mulia? Mungkin sekali, di dalam urusan ini terselip sesuatu yang tidak diketahui. Memikir begitu, Say Congkoan diam-diam memerintahkan beberapa orang untuk pergi menyelidiki, antaranya aku sendiri. Baru saja meninggalkan kota-raja, aku segera mendengar, bahwa Tian toako mengadakan pesta untuk merayakan hari menutup pintu dan menyimpan pedang. Aku lantas saja menyediakan barang antaran dan datang berkunjung. Bertemu dengan aku, Tian toako girang sekali. Ia menarik tanganku ke tempat yang sepi dan dengan bisik-bisik meminta bantuanku. In toako, kuharap kau tidak marah. Ia minta bantuanku untuk melaporkan kepada pembesar negeri, menjatuhkan tuduhan berat atas dirimu, supaya kau dipenjarakan."
In Kiat mencelat dari kursinya. "Tian suheng dapat melakukan perbuatan yang sebusuk itu?" tanyanya dengan mata membelalak. "Untung sungguh Lauw Tayjin menaruh belas kasihan dan aku pasti akan membalas budi yang besar."
"Bagus, bagus," kata Lauw Goan Ho. "Ketika itu aku segera menanya, apa di antara Tian toako dan In toako terdapat permusuhan. Permusuhan tidak ada, jawabnya, tapi menurut peraturan Thian Liong Bun, pada hari Ciang Bun Jin Pak Cong menutup pintu dan menyimpan pedang, maka golok komando Li Cu Seng harus diserahkan kepada Lam Cong. Kalau golok itu jatuh ke tangan
In toako, maka sukar sekali bisa diambil pulang," katanya.
"Walaupun keterangan itu masuk akal, kecurigaanku jadi makin besar. Aku segera memberi jawaban samar-samar, tidak mengiakan dan juga tidak menolak. Aku segera memasang mata. Malam itu, aku menyaksikan pertengkaran antara Tian toako dan In toako karena urusan penyerahan golok komando. Tiba-tiba satu pikiran berkelebat dalam otakku, untuk membantu Tian toako. Jika kucuri golok itu, Tian toako tidak akan bisa menyerahkannya kepada In toako. Biar pun In toako bergusar, ia tak akan bisa berbuat apa pun jua. Di samping itu, aku sendiri berjasa besar untuk membalas budinya Hongsiang. Memikir begitu, diam-diam aku masuk ke kamar Tian toako. Tapi baru saja aku mau cari golok mustika itu, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki dan Tian toako kembali ke kamarnya. Sebab tidak bisa melarikan diri lagi, aku segera menyembunyikan diri di kolong ranjang.
Begitu masuk di kamarnya, Tian toako membuka sebuah peti kayu dan mengeluarkan satu kotak besi. Mendadak ia berseru, 'Ih! ... Di mana golok itu?' la pasti tidak berpura-pura sebab nada suaranya menunjuk rasa kaget yang sangat hebat. Dengan lantas ia memanggil puterinya, Tian Kouwnio, dan menanyakan. Tian Kouwnio, yang tidak tahu apa-apa, juga turut bingung. Beberapa saat kemudian, Whi toako masuk. Karena urusan mengangkat Ciang Bun Jin baru, antara kedua saudara seperguruan terjadi percekcokan hebat. Dengan gusar Tian Kouwnio keluar dari kamar itu, sebab urusan percintaannya dengan Co Hun Ki Co siheng disebut-sebut. Belakangan To Cu An, To siheng, dipanggil dan Tian toako menyerahkan kotak besi kosong kepadanya, dengan permintaan supaya ia mengubur kotak itu di luar Tembok Besar. Dengan berdiam di kolong ranjang, aku bisa mendengar setiap perkataan. Diam-diam aku merasa geli karena To siheng benar-benar tolol dan sudah masuk dalam jebakan. Sesudah To siheng keluar, kudengar Tian toako menghela napas berulang-ulang dan berkata seorang diri 'Ouw It To! Biauw Jin Hong!'
Ketika itu aku hanya menduga, bahwa ia jengkel sebab Biauw Jin Hong sudah mencuri goloknya. Kutak tahu, bahwa ia telah menerima tiap dari Ouw Hui putera Ouw It To dan ia merasa, bahwa ia tak akan bisa terlolos lagi. Selang beberapa lama Tian Kouwnio masuk lagi dengan tersipu-sipu. 'Thia aku tahu di mana adanya golok mustika itu,' katanya Tian toako melompat bangun dan bertanya, 'Di mana?' Tian Kouwnio mendekati dan berbisik, 'Dicuri Ciu suheng.' Apa benar?' menegas Tian toako. 'Di mana dia sekarang? Di mana golok itu?' Jawab Tian Kouwnio, 'Dengan mata sendiri kulihat dia memendamnya di satu tempat.'
'Bagus,' kata Tian toako, 'kau ambillah sekarang juga.' Tian Kouwnio berkata, 'Thia, aku mau melakukan sesuatu dan kuharap kau tidak gusar.'
'Apa,' tanya Tian toako. 'Kau panggil Ciu suheng kemari dan aku akan bersembunyi di belakang pintu,' jawabnya 'Begitu berhadapan, kau tanya, apa benar dia curi golok itu. Kalau dia mengaku, aku akan segera menimpuk dengan Tok Liong Cui.'
'Aku bergidik. Jahat benar perempuan itu,' pikirku. 'Patahkan saja kedua tulang betisnya, tak usah kita mengambil jiwanya,' kata Tian toako. Kata Tian Kouwnio, 'Jika kau tidak mau menuruti kehendakku, aku tak akan ambil golok itu.' Sesudah berpikir sejenak, Tian toako berkata, 'Baiklah. Pergilah ambil. Sesudah kau memperlihatkannya kepadaku, kau boleh berbuat sesuka hati.'
Tian Kouwnio lantas saja berlalu. Waktu itu aku menduga, bahwa di antara Tian Kouwnio dan suhengnya terdapat permusuhan hebat. Hari ini, sesudah mendengar penuturan To siheng, barulah kutahu, bahwa Tian Kouwnio mau membunuh kakak seperguruannya untuk menutup mulut kakak itu, supaya dia tidak bisa membuka rahasia tentang penguburan bayi Tian Kouwnio. Aku berdiam terus di kolong ranjang. Kuingin menyaksikan akhirnya sandiwara ini. Aku pun mau menunggu kembalinya golok mustika. Di samping itu, dengan Tian toako di atas ranjang, mana bisa aku keluar? Tak lama kemudian Tian Kouwnio balik dengan tindakan cepat. 'Thia,' katanya dengan suara bergemetar, 'golok itu sudah diambil dia Aku sungguh bodoh. Aku terlambat.
'Dia juga ... juga ...'
'Dia kenapa?' tanya Tian toako. Tian Kouwnio sebenarnya ingin mengatakan, 'Orokku turut dikeduk juga.' tapi kata-kata itu tak dapat keluar dari mulutnya. Ia bengong beberapa saat dan kemudian berseru, 'Aku cari dia!' Ia loncat keluar, tapi roboh di pinggir pintu, mungkin sebab kegoncangan hati yang melewati batas. Bukan main mendongkolnya hatiku. Ketika itu, aku sebetulnya ingin sekali padamkan penerangan dan kabur, akan tetapi, melihat puterinya roboh, Tian toako sama sekali tidak bergerak dari pembaringannya, ia Cuma menghela napas panjang. Perlahan-perlahan Tian Kouwnio bangun berdiri sambil pegangi pinggiran pintu. Beberapa saat kemudian, Tian toako turun dari pembaringannya dan sesudah kunci pintu kamar, ia lalu duduk di atas kursi. Ia taroh pedangnya di atas meja, tangannya menyekal busur dan anak panah, sedang mukanya yang pucat pias menakuti sekali. Hatiku berdebar-debar. Jika ia mengetahui aku bersembunyi di kolong ranjang, jiwaku mungkin tak akan dapat ditolong lagi. Sesudah selang setengah jam, lilin sudah jadi pendek sekali. Selama setengah jam itu, Tian toako duduk menjublek di kursinya, badannya tak bergerak bagaikan patung, cuma kedua matanya berkilat-kilat. Keadaan sunyi-senyap, cuma kadang-kadang kesunyian malam dipecahkan oleh suara menyalaknya anjing di tempat jauh. Mendadak seekor anjing kedengaran menggonggong di tempat yang sangat dekat, disusul dengan satu jeritan hebat dan lalu berhenti menyalak. Rupanya binatang itu dipukul mati. Tian toako loncat berdiri, dibarengi dengan suara terketuknya pintu. Sungguh cepat kedatangannya orang itu! Barusan saja anjing itu terkuing-kuing dan ia sudah tiba di depan pintu! Suara Tian toako seram ketika ia menanya, 'Ouw Hui, kau datang juga?' Tapi jawabnya orang itu begini, 'Tian Kui Long, kau kenal aku siapa?' Mukanya Tian toako jadi pucat bagaikan mayat.
'Biauw ... Biauw Tayhiap!' katanya tergugu. 'Benar, aku!' jawab orang yang di luar. 'Biauw Tayhiap, untuk apa kau datang di sini?' tanya Tian toako. 'Kau toh sudah berjanji tak akan celakakan aku.'
'Hm!' kata orang itu. 'Aku bukan mau celakakan kau, aku cuma ingin kasikan serupa barang padamu.' Tian toako agak bersangsi, tapi sesaat kemudian, ia taruh busur dan anak panahnya dan membuka pintu.
Seorang yang berbadan tinggi-kurus dan bermuka kuning masuk ke dalam. Aku mengintip dari kolong ranjang. Angker sekali paras mukanya orang itu, yang dikenal sebagai jago nomor satu dalam Rimba Persilatan. Tangannya menyekal dua rupa barang yang panjang, yang lalu ditaruh di atas meja. 'Ini golok wasiatmu, ini, cucu luarmu (gwasun)!' kata ia.
Badannya Tian toako gemeteran dan roboh di atas kursi. 'Muridmu telah pedayai kau dan pendam golok itu,' kata Biauw Tayhiap. 'Puterimu kelabui kau dan pendam anak haramnya. Semua dilihat olehku dan sekarang aku bayar pulang.'
'Terima kasih,' sahut Tian toako. Aku... keluargaku tak beruntung. Kejadian itu sungguh memalukan.' Kedua matanya Biauw Tayhiap merah, seperti orang mau menangis. Tiba-tiba parasnya berubah, paras pembunuhan yang menyeramkan.
'Bagaimana caranya dia binasa?' tanya Biauw Tayhiap dengan keluarkan perkataannya satu demi satu." Mendadak terdengar suara nyaring. Semua orang berpaling dan lihat cangkir tehnya Biauw Yok Lan jatuh hancur. Heran sungguh, kenapa seorang yang begitu tenang sebagai Yok Lan, tak dapat pertahankan dirinya setelah mendengar penuturan itu.
Khim Ji buru-buru keluarkan sapu-tangan untuk menyeka air teh yang berhamburan di bajunya Yok Lan. "Siocia," katanya, "Pergi mengasohlah, jangan dengar lagi segala cerita itu."
"Tidak," sahut si nona. "Aku hendak dengar sampai akhirnya"
Lauw Goan Ho lirik Yok Lan dan teruskan penuturannya, "Mendengar pertanyaan itu, Tian toako menyahut, 'Hari itu ia dilanggar pilek dengan sedikit batuk-batuk. Aku panggil tabib dan tabib bilang tidak kenapa, cuma kelanggar pilek sedikit, makan sebungkus obat juga sudah sembuh. Tak dinyana, ia buang obat yang sudah dimasak dengan mengatakan obat itu terlalu pahit dan juga tak mau menelan nasi. Dengan begitu, penyakitnya menjadi berat. Aku panggil tabib lagi, tapi ia tetap tak mau makan obat dan makan nasi."
Mendengar sampai di situ, Yok Lan menangis dengan perlahan. Him Goan Hian dan yang lain-lain merasa heran. Mereka tak tahu siapa adanya wanita itu dan hubungan apa terdapat antara wanita tersebut dan Tian Kui Long serta Biauw Tayhiap. Tapi To Pek Swee ayah dan anak serta orang-orang Thian Liong Bun mengetahui, bahwa wanita itu adalah isteri Tian Kui Long. Mereka hanya
tidak mengetahui, ada hubungan apa antara nyonya itu dengan Biauw Tayhiap dan kenapa Yok Lan jadi begitu sedih. Apa nyonya Tian anggauta keluarga Biauw? Sementara itu, Lauw Goan Ho kembali sambung ceritanya, "Ketika itu aku merasa sangat mendongkol, lantaran tak tahu, siapa yang mereka maksudkan. 'Kalau begitu, ia sendiri yang sudah bosan hidup?' tanya Biauw Tayhiap. Jawab Tian toako, 'Yah! Aku berlutut di hadapannya dan memohon-mohon, tapi sedikit pun ia tak menggubris.'
'Apa ia tinggalkan pesanan?' Biauw Tayhiap menanya pula.
'Ia minta jenazahnya dibakar dan abunya disebar di tengah jalan, supaya diinjak-injak orang,' sahutnya. Biauw Tayhiap loncat seraya membentak, 'Dan kau turut?' Aku turut sebagian,' sahut Tian toako. 'Jenazahnya aku bakar, tapi abunya ada di sini.' Ia hampiri pembaringan dan keluarkan satu guci, yang lantas ditaroh di atas meja. Biauw Tayhiap lirik guci itu dengan paras sedih dan gusar, la cuma melirik satu kali, sesudah itu, ia pelengoskan mukanya.
Tian toako rogo sakunya dan keluarkan satu tusuk konde burung hong yang tertata mutiara. Ia taroh perhiasan itu di atas meja dan berkata, 'Ia minta aku pulangkan tusuk konde ini kepada kau atau kepada Tian Kouwnio. Ia kata, barang ini adalah miliknya keluarga Biauw.'"
Semua mata segera ditujukan kepada Yok Lan. Di kondenya nona Biauw kelihatan tertancap tusuk konde burung hong yang indah dengan beberapa butir mutiara yang bundar dan besar.
"Biauw Tayhiap ambil tusuk konde itu," demikian Lauw Goan Ho. "Ia cabut selembar rambutnya yang lantas ditusukkan ke dalam mulutnya burung hong dan rambut itu tembus. Ia pegang kedua ujung rambut dan tarik dengan perlahan. Mendadak sebagian kepala burung terbuka! Biauw Tayhiap tunggingkan tusuk konde itu dan segumpal kertas loncat keluar dari lubang itu. Ia buka kertas itu dan berkata dengan suara dingin, 'Kau lihatlah!' Mukanya Tian toako jadi semakin pucat.
Lewat beberapa saat, ia menghela napas panjang. 'Siang-malam tak hentinya kau putar otak buat coba rampas peta bumi ini,' kata Biauw Tayhiap. 'Tapi ia tak sudi membuka rahasia dan akhirnya pulangkan barang ini kepada keluarga Biauw. Peta bumi harta karun tersimpan dalam perhiasan ini ... hm! Mungkin ngimpi pun kau tak pernah mengimpi!'
Ia masukkan pula kertas itu ke dalam kepala burung dan tarik rambutnya sehingga lubangnya tertutup pula. Ia taroh tusuk konde itu di atas meja seraya berkata, 'Kau sudah tahu cara membuka kepala burung. Ambillah dan carilah harta karun itu!' Tapi Tian toako mana berani ambil? Di kolong ranjang, hatiku berdebar-debar. Peta bumi dan golok sudah berada bersama-sama, tapi dapat dilihat, tak dapat dipegang. Adalah pada ketika itu, Biauw Tayhiap lakukan satu perbuatan mengejutkan. Ia buka guci, tuang air teh ke dalamnya dan lalu minum isinya!"
Mukanya Biauw Yok Lan jadi pias. Ia mendekam di atas meja sambil menangis sesenggukan. Lewat beberapa saat, Lauw Goan Ho berkata pula, "Sesudah Biauw Tayhiap hirup isinya guci, Tian toako tepuk meja dan berkata dengan suara nyaring, 'Biauw Tayhiap, bunuhlah aku! Sedikit pun aku tak merasa menyesal.' Biauw Tayhiap tertawa terbahak-bahak. 'Kenapa juga aku mesti membunuh kau?' katanya. 'Manusia hidup belum tentu lebih beruntung dari manusia mati. Tempo hari, beberapa hari beruntun aku telah bertempur melawan Ouw It To dan akhirnya kedua suami-isteri itu jadi binasa Aku sendiri hidup terus, tapi selama hidup, aku menderita. Ouw It To suami-isteri hidup bersama-sama dan mati bersama-sama dan sungguh-sungguh mereka lebih beruntung daripada aku. Hm! Harta sudah berada dalam tanganmu, toh kau pulangkan kepadaku. Buat apa aku bunuh kau? Biarlah kau menyesal seumur hidupmu! Bukankah itu lebih baik daripada ambil jiwamu?' Sehabis berkata begitu, ia sembat tusuk konde itu dan keluar dengan tindakan lebar.
Sesaat kemudian terdengar pula suara terkuing-kuingnya sang anjing. Ternyata, binatang itu bukan dibinasakan, tapi cuma ditotok jalan darahnya, dan sembari lewat, Biauw Tayhiap rupanya sudah buka totokannya.
Tian toako menghela napas beberapa kali. Ia taroh mayat orok dan golok di atas pembaringan dan lalu mengunci pintu. 'Manusia hidup belum tentu lebih beruntung dari manusia mati,' ia menggerendeng. Lama ia duduk di atas ranjang. 'Lan! Ah, Lan' katanya dengan suara menyayatkan hati. 'Untukku, kau terpleset. Untuk kau, aku terpleset. Benar-benar kita menderita!' Berbareng dengan itu terdengar suara serupa benda masuk di daging, disusul dengan berkelejetnya Tian toako dan kemudian tidak terdengar apa-apa lagi. Aku kaget, buru-buru keluar dari kolong ranjang. Di dadanya Tian toako tertancap sebatang anak panah dan napasnya sudah berhenti. Saudara-saudara, Tian toako mati bunuh diri, bukannya dipanah mati oleh siapa juga. Bukan dibinasakan oleh To Cu An atau Ouw Hui. Ia binasa dengan tangannya sendiri! Ia sama sekali tak menyintai To Cu An atau Ouw Hui dan tentu tak dapat dikatakan ingin membela mereka.
Aku tiup lilin dan niat kabur dengan membawa golok itu. Tapi, sebelum maksudnya kesampaian, To siheng mengetuk pintu. Terpaksa aku menyelesap pula ke kolong ranjang. Kejadian selanjutnya sudah dituturkan oleh To siheng. Ia ambil golok wasiat itu dan kabur ke Kwan Gwa. Sesudah mengetahui segala rahasia, cara bagaimana aku bisa berpeluk tangan?"
Sehabis berkata begitu, ia keprik-keprik bajunya dengan kedua tangan, seperti juga mau membersihkan debu yang menempel waktu bersembunyi di kolong ranjang. Ia cegluk dua cangkir teh dan ia kelihatannya legah sekali.
Sesudah mendengar cerita panjang-lebar itu, perasaan herannya semua orang sudah hilang sebagian besar, diganti dengan rasa lapar. Semakin banyak minum teh, semakin lapar rasanya. "Sekarang semua orang sudah mengetahui, bahwa golok itu telah diserahkan kepada anakku oleh Tian Kui Long sendiri," kata To Pek Swee dengan suara keras. "Maka itu, saudara-saudara tak berhak coba merebut pula."
"Apa yang diserahkan kepada To siheng oleh Tian toako adalah kotak besi kosong," kata Lauw Goan Ho sembari tertawa. "Jika kau inginkan kotak kosong, aku sama-sekali tidak berkeberatan. Tapi golok wasiat bukannya bagianmu"
"Tak usah direwelkan lagi, golok itu mesti pulang kepada Thian Liong Lam Cong (cabang selatan dari Thian Liong)" kata In Kiat.
"Mana boleh?" membantah Whi Su Tiong. "Sebelum dibikin upacara penyerahan golok oleh Tian suheng, golok itu masih jadi miliknya cabang utara."
Demikian mereka tarik urat, masing-masing sungkan mengalah. "Saudara-saudara!" Po Si mendadak berseru dengan keras. "Aku mau tanya, Apakah sebenarnya tujuan perebutan golok itu?"
Mendengar pertanyaan itu, semua orang jadi bungkam. "Dahulu, kalian cuma tahu, golok itu berharga besar sekali, tapi tak mengetahui, bahwa pada golok tersebut tersimpan rahasia dari suatu harta karun," berkata pula Po Si. "Sekarang, sesudah rahasia terbuka, setiap orang jadi mata merah, ingin punyakan harta tersebut. Tapi, aku kembali mau menanya, tanpa peta buminya, apa gunanya golok itu?"
Semua orang terkejut. Benar sekali perkataannya Po Si dan semua matanya lantas ditujukan kepada tusuk kondenya Biauw Yok Lan.
Yok Lan adalah suatu gadis lemah. Sekali gerakkan tangan, tusuk konde itu pasti dapat dirampas. Akan tetapi, setiap orang mengetahui, ayahnya Yok Lan tak boleh dibuat gegabah. Jika ayahnya datang, siapa berani melawan? Maka itu, walaupun mudah dirampas, tak barang satu orang berani meraba.
Lauw Goan Ho melirik, pada parasnya terlukis kesombongan. Ia hampiri Yok Lan, tangan kanannya bergerak dan tusuk konde itu sudah pindah ke dalam tangannya. Yok Lan malu tercampur gusar, ia mundur dua tindak dengan muka pucat. Semua orang kaget melihat keberaniannya Lauw Goan Ho.
"Aku datang ke sini dengan membawa firmannya Kaisar," kata Lauw Goan Ho dengan suara nyaring. "Takuti apa segala Biauw Tayhiap? Hm! Buat bicara terang-terangan, sekarang ini, orang yang bergelar 'Kim Bian Hud" itu belum ketentuan mati-hidupnya"
"Kenapa begitu?" beberapa orang menanya dengan berbareng. Lauw Goan Ho nyengir. "Andaikata 'Kim Bian Hud' masih hidup, sepuluh-sembilan ia sudah terborgol kaki-tangannya. dan sedang mendekam di dalam penjara istana," katanya dengan suara angkuh.
Yok Lan terkesiap. Hatinya berdebar-debar. "Cobalah kau bicara secara lebih terang," meminta Po Si.
Mendengar itu, Lauw Goan Ho jadi ingat pengalamannya ketika naik ke puncak itu, cara bagaimana ia sudah menerima hinaan di atas salju. Tapi begitu dengar ia datang dengan perintahnya firman Kaisar, sikapnya Po Si segera berubah dan majukan permintaan itu. Hatinya girang bukan main, hampir-hampir ia membuka rahasia. "Po Si Taysu," ia berseru.
"Terlebih dahulu aku mau tanya, siapakah adanya majikan tempat ini?" Semua orang yang belum mengetahui siapa adanya majikan tempat itu, sangat menyetujui pertanyaan Goan Ho.
"Jika kalian bicara terus-terang, loolap pun harus bicara terus-terang," sahut Po Si sembari tertawa. "Majikan tempat ini she Touw bernama Sat Kauw, seorang yang sangat lihay dalam Rimba Persilatan."
Semua orang jadi saling lihat-lihatan, oleh karena mereka belum pernah dengar nama itu. Po Si mesem dan berkata pula, "Tingkatannya Touw enghiong sangat tinggi dan sungkan bergaul dengan sembarangan orang. Oleh karena begitu, meskipun ilmu silatnya sangat tinggi, orang biasa tak pernah dengar namanya. Tapi jago-jago kelas satu dari kalangan Kang Ouw, semuanya kagumi ia."
Ucapannya Po Si yang mengandung hinaan, sudah membikin semua orang jadi kurang senang. Mukanya In Kiat, Whi Su Tiong dan yang lain-lain jadi berubah merah. Antara mereka, adalah Lauw Goan Ho yang bicara paling dahulu. "Pada waktu kita naik ke sini," katanya, "pengurus ini memberitahu, bahwa majikannya telah pergi ke Leng Ko Tha untuk mengundang 'Kim Bian Hud' dan ke Pakkhia guna mengundang Hoan Pangcu dari Kay Pang. Keterangan ini agak aneh dan tak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya, oleh karena siauwtee mengetahui, Hoan Pangcu sudah kena dibekuk di kota Kayhong, propinsi Holam, dan dalam peristiwa itu, siauwtee malahan sudah turut menyumbang sedikit tenaga."
"Hoan Pangcu ditangkap?" menegasi beberapa orang dengan terkejut.
"Ini semua adalah berkat tangannya Say Congkoan," menerangkan Lauw Goan Ho dengan sikap menengik "Kita membekuk Hoan Pangcu cuma guna dijadikan dia sebagai umpan, untuk pancing seekor ikan emas. Ikan emas itu adalah Biauw Jin Hong. Majikan di sini katanya pergi ke Leng Ko Tha guna mengundang Biauw Jin Hong, tapi tujuan yang sebenarnya adalah pergi ke Pakkhia untuk menolongi Hoan Pangcu. Hm! Di Pakkhia Say Congkoan sudah pasang Thian Loo Tee Bong (Jaring Langit Jala Bumi) untuk tunggu kedatangannya Biauw Jin Hong! Kalau dia tak masuk jebakan, yah kami pun tak berdaya untuk membekuknya. Tapi kalau dia berani datang di Pakkhia, hm! Ini namanya burung masuk di jaring!"
Ketika Yok Lan mau berpisahan dengan ayahnya, memang juga Biauw Jin Hong sedang mau berangkat ke Pakkhia untuk mengurus serupa urusan. Ketika itu, sang ayah pesan, supaya ia pergi dahulu ke Soat Hong (Puncak Salju). Mendengar perkataan Lauw Goan Ho, hatinya si nona jadi bergoncang keras dan menduga ayahnya tentu sudah masuk dalam perangkap. Mendadak, matanya gelap, kakinya lemas dan ia jatuh duduk di atas kursi. Melihat penderitaan si nona. Lauw Goan Ho senang benar hatinya. "Sekarang kita sudah mempunyai peta bumi dan sudah mempunyai juga golok wasiat," kata ia. "Sekarang juga kita harus pergi untuk menggali harta karunnya Li Cu Seng dan mempersembahkan itu kepada Hongsiang (Kaisar). Saudara-saudara yang berada di sini. sudah tentu akan mendapat ganjaran dan pangkat yang setimpal"
Sehabis berkata begitu, matanya menyapu semua orang. Ia lihat ada yang berparas girang, tapi ada juga yang mengunjukkan kesangsian. Ia mengetahui, bahwa orang-orang seperti To Pek Swee memandang harta lebih penting daripada pangkat, dan oleh karena begitu, lantas saja ia berkata pula, "Harta karun itu katanya bertumpuk-tumpuk bagaikan gunung. Setibanya di situ, tidak halangan kalau kita masing-masing mengambil seorang sedikit guna menjaga hari tua. Bukankah baik begitu?" Satu sorakan terdengar, sebagai tanda menyetujui usul yang bagus itu. Tian Ceng Bun yang bersembunyi dalam kamar dengan kemalu-maluan, juga dengar sorakan itu. Ia tahu orang sudah tidak bicarakan lagi urusan busuknya, maka indap-indap ia keluar dan berdiri di pinggir pintu.
Sesaat itu Lauw Goan Ho sudah cabut selembar rambutnya dan seperti contohnya Biauw Jin Hong, ia kasi masuk rambut itu ke dalam mulut burung dari tusuk kondenya Yok Lan. Dengan sekali tarik, sebagian kepala burung terbuka dan keluarlah segumpalan kertas. Ia buka kertas itu dan beber di atas meja, dikerumuni oleh semua orang. Kertas itu, tipis bagaikan sayap tonggeret,
masih utuh, walaupun usianya sudah tua sekali. Di situ terlukis satu puncak gunung yang dan lempeng, menjulang ke langit. Di sampingnya terdapat perkataan yang seperti berikut, "Di belakangnya puncak Giok Pit Hong, gunung Ouw Lan San."
"Ah!" berteriak Po Si. "Sungguh kebetulan! Tempat ini, di mana sekarang kita ramai-ramai berdiri, adalah puncak Giok Pit Hong dari gunung Ouw Lan San!"
Peta puncak yang tertulis di atas kertas itu, sedikit pun tiada bedanya dengan Puncak Salju (Soat Hong). Tiga pohon siong tua yang tumbuh di pinggir tebing atas puncak, juga terdapat atas peta itu.
"Majikan dari perkampungan ini, Touw lounghiong, adalah seorang yang berpengetahuan luas sekali," berkata pula Po Si. "Apakah tak mungkin, Touw lounghiong sudah mengetahui rahasia itu dan sengaja mendirikan perkampungan ini? Jika bukannya begitu, guna apa ia mau menempuh kesukaran yang sedemikian besar?"
"Celaka!" berseru Lauw Goan Ho.
"Benar katamu! Perkampungan ini sudah didirikan lama sekali, sehingga mungkin harta itu sudah dikuras habis!" Po Si mesem dan berkata pula, "Ah, belum tentu begitu. Lauw Tayjin, cobalah kau pikir. Kalau benar harta itu sudah diketemukan, ia tentu sudah pindah ke lain tempat dan tak bisa jadi, ia mau berdiam di sini terus-menerus."
Lauw Goan Ho tepuk dengkulnya keras-keras. "Benar! Benar!" katanya. "Hayo! Sekarang juga kita pergi ke belakang gunung!"
"Bagaimana dengan Biauw Kouwnio dan para penghuni perkampungan ini?" tanya Po Si sembari menunjuk Yok Lan.
Lauw Goan Ho balik badannya, tapi Ie koankee dan lain bujang sudah tak kelihatan mata hidungnya. Saat itu, Tian Ceng Bun munculkan diri dari belakang pintu seraya berkata, "Entah bagaimana, semua penghuni di sini, lelaki dan perempuan, semuanya sudah pada menghilang."
Mendadak Lauw Goan Ho sembat sebatang golok dan hampiri Yok Lan seraya berkata, "Semua pembicaraan kita sudah didengar olehnya. Tak dapat kita kasi dia tinggal hidup buat jadi bibit penyakit di belakang hari." Ia angkat goloknya yang mau segera disabetkan ke kepalanya nona Biauw. Sekonyong-konyong, satu bayangan manusia berkelebat. Bayangan itu adalah Khim Ji, yang pada detik berbahaya, sudah lompat sambil memeluk, akan kemudian gigit pergelangan tangannya Lauw Goan Ho. Diserang secara tak diduga, Lauw Goan Ho berteriak dan goloknya jatuh di atas tanah.
"Manusia umur pendek!" Khim Ji mencaci secara berani. "Kalau kau berani langgar selembar rambutnya siocia, Looyaku pasti akan cabut uratmu dan keset kulitmu! Semua manusia di sini tak barang satu yang akan dapat selamatkan diri!"
Bukan main gusarnya Lauw Goan Ho. Ia angkat tangannya dan menjotos mukanya Khim Ji. Tapi kepalan itu keburu disampok oleh Him Goan Hian yang lantas berkata, "Suko, yang paling penting adalah cari harta itu. Untuk apa membunuh orang?"
Kenapa Him Goan Hian kesudian menolong Khim Ji? Berbeda dengan Lauw Goan Ho yang bekerja sebagai pengawal Kaisar dan pandang jiwa manusia bagaikan rumput, Him Goan Hian adalah seorang piauwsu yang nyalinya kecil dan takut banyak urusan. Mendengar ancaman Khim Ji, hatinya jadi keder. Andaikata ayahnya Yok Lan benar dapat loloskan diri, celakalah dia! In Kiat, yang juga sependapat dengan Goan Hian, lantas turut membujuk. "Sudahlah Lauw suheng," katanya. "Mari kita cari harta karun itu."
Lauw Goan Ho melotot dan membentak sambil tuding Yok Lan, "Tapi, bagaimana harus kita perlakukan binatang itu?"
Sembari mesem Po Si maju beberapa tindak dan totok jalanan darahnya si nona yang lantas saja rebah di atas kursi. Ia gusar dan malu, tapi tak dapat bicara lagi. Khim Ji yang kuatir pendeta itu celakakan siocianya, lantas menubruk dan cekal tangannya Po Si. Tapi dengan sekali membalik tangan, pendeta itu sudah totok jalanan darahnya Khim Ji yang lantas juga rubuh seperti majikannya.
"Biauw moay duduk di situ tak begitu bagus kelihatannya," kata Tian Ceng Bun sambil menghampiri dan pondong badan orang. "Enteng benar. Seperti tak bertulang," katanya, tertawa.
Ia pergi ke kamar di sebelah timur dan tolak pintunya. Kamar itu adalah kamar tetamu yang diperaboti lengkap. Ceng Bun rebahkan nona Biauw di atas pembaringan, buka sepatunya dan baju luarnya, sehingga hanya baju dalam yang menempel pada badannya, selimutkan padanya dan kemudian turunkan kelambu. Biauw Yok Lan mengawasi dengan sorot mata gusar, tapi ia tak dapat berbuat suatu apa.
Sesudah itu, sambil pegang baju orang, ia keluar seraya berkata dengan tertawa. 'Aku sudah buka baju luarnya. Walaupun jalanan darahnya terbuka sendiri sesudah lewat tempo, ia tentu tak berani keluar!" Semua orang jadi tertawa mendengar omongan itu.
"Berangkat!" Lauw Goan ho memberi perintah dengan suara yang dibuat-buat. Ia jalan paling dahulu, diikut oleh yang lain-lain. Selagi mau turut jalan, matanya Co Hun Ki mendadak dapat lihat golok wasiat itu yang menggeletak di atas meja. "Coba aku lihat golok itu. Ada apanya sih?" kata ia sembari ambil golok tersebut.
Ia lihat, selain komando yang berbunyi, "Membunuh satu orang seperti membunuh ayahku, menodai satu orang seperti menodai ibuku" dan "Cwan Ong Li" yang tertata di atas sarung tak terdapat lain keistimewaan.
Dengan tangan kiri menyekal sarung dan tangan kanan memegang gagang, ia mencabut golok itu. Sinar hijau yang berhawa dingin memencar ke empat penjuru sehingga tanpa merasa, ia bergidik. "Ah!" demikian terdengar seruan tertahan dari mulutnya beberapa orang. Mendengar seruan itu, Lauw Goan Ho yang sudah berjalan sampai di ruangan tengah, lantas hentikan tindakannya.
Semua orang berkerumun meneliti golok itu. Di satu muka, golok itu licin, di lain mukanya, terdapat guratan-guratan yang merupakan dua ekor naga, satu besar, satu kecil, lukisannya begitu jelek, sehingga kalau dikatakan naga, bukannya naga, dikata ular bukannya ular, lebih mirip kalau dikatakan semacam binatang berbulu. Akan tetapi, 'ciu' (mutiara) yang diperebutkan oleh kedua binatang itu sepotong giok (batu pualam) merah yang bersinar terang.
"Ada apa herannya" kata Co Hun Ki
"Kedua binatang itu tentulah juga mempunyai sangkut paut dengan gudang harta," kata Po Si.
"Paling benar kita segera pergi ke gunung belakang guna menyelidiki. Serahkan padaku!" Ia angsurkan tangannya guna menyambuti golok itu. Tanpa berkata suatu apa, Co Hun Ki mengebas golok itu untuk melindungi diri dan lalu lari keluar.
Po Si gusar bukan main. "Mau kemana kau?" ia membentak sembari mengubar begitu keluar dari pintu besar, Po Si mengayun tangan dan serenceng tasbih menyambar jalanan darah "Kian Ceng Hiat", di pundaknya Co Hun Ki. Begitu kena, lengannya kesemutan dan golok itu jatuh di atas salju. Dengan beberapa kali loncatan lebar, Po Si sudah memungut golok mustika itu. Co
Hun Ki tak berani banyak tingkah lagi dan dengan kemalu-maluan, ia minggir ke pinggir. Demikianlah dengan jalan berendeng dengan Lauw Goan Ho, yang membawa peta bumi, Po Si segera menuju ke gunung belakang sambil menengteng golok itu. Ketika itu, Whi Su Tiong, Tian Ceng Bun dan yang lain-lain pun sudah keluar dari pintu tengah dan mengikuti dari belakang."
"Lauw Tayjin," berkata Po Si sembari tertawa. "Barusan loolap telah berlaku kurang ajar, harap Tayjin tidak menjadi gusar."
Lauw Goan Ho jadi merasa girang sekali. "Ilmu silat Taysu tinggi sekali dan aku merasa sangat kagum," ia memuji.
"Di kemudian hari, satu ketika aku tentu perlu bantuan Taysu."
Po Si segera mengucapkan beberapa perkataan merendahkan diri dan mereka lalu berjalan terus dengan riang-gembira.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, di pinggiran puncak sudah tidak terdapat jalanan lagi, di seputar mereka hanya salju yang berwarna putih. Walaupun mengetahui, bahwa harta karun itu tersimpan di puncak Giok Pit Hong, di mana mereka harus mencarinya? Andaikata mereka menggunakan tenaganya ribuan orang, dalam setahun belum tentu mereka dapat memacul habis es dan salju yang menutup puncak tersebut. Puluhan tahun Touw Sat Kauw berdiam di situ, tapi ia pun belum berhasil mendapatkan gudang harta itu. Mereka berdiri di bawah tebing dengan perasaan masgul dan putus harapan. Tiba-tiba Tian Ceng Bun menuding satu gundukan salju yang merupakan bukit, di kaki puncak. "Lihat!" ia berseru.
Semua mata ditujukan ke jurusan yang ditunjuk, tapi mereka tak dapat lihat apa-apa yang luar biasa.
"Coba kalian perhatikan bentuknya bukit itu," kata Tian Ceng Bun.
"Bukankah mirip dengan gurat-guratan yang terdapat di atas goloknya Cwan Ong?"
Semua orang lantas saja menjadi sadar. Mereka segera mengawasi dengan terliti. Di situ ternyata terdapat dua rentetan bukit, yang satu dari utara timur menjurus ke selatan barat, yang satunya lagi, dari selatan ke utara. Di tempat bertemunya kedua rentetan bukit tersebut, terdapat satu puncak bundar yang tidak tinggi. Po Si mengawasi bukit itu dan kemudian memperhatikan guratan di atas golok. Benar saja, kedudukannya bukit-bukit itu bersamaan dengan lukisan dua ekor "naga", sedang puncak bundar itu bersamaan duduknya dengan "cu" yang dikerebuti oleh kedua "naga" itu.
"Tak salah" ia berseru dengan suara girang. "Harta karun itu tentu berada di puncak bundar!"
"Hayolah!" mengajak Lauw Goan Ho.
Ketika itu, semua orang bersatu hati untuk mencari gudang harta dan tidak lagi mempunyai niatan untuk saling mencelakakan. Mereka segera membuka baju yang lalu disambung-sambung sehingga merupakan tambang, dan dengan pegangan tambang itu mereka mulai turun gunung. Yang paling dulu turun adalah Lauw Goan Ho, yang paling akhir In Kiat. Dari jauh, puncak bundar itu kelihatannya dekat sekali. Tapi, sesudah didekati, jaraknya masih kurang-lebih dua puluh li. Mereka semua adalah ahli silat yang mempunyai ilmu entengkan badan tinggi dan belum cukup setengah jam, mereka sudah berada di depan puncak. Mereka lalu berkeliaran di seputar itu, tapi sesudah mencari lama juga, gudang harta yang dicari masih belum dapat diketemukan. Mendadak To Cu An menunjuk ke barat sambil berseru, "Siapa itu?"
Semua orang menoleh dan lihat satu bayangan wanita abu abu yang melesat di atas salju bagaikan anak panah cepatnya, dan dalam tempo sekejap, sudah tiba di kakinya Giok Pit Hong.
"Soat San Hui Ho!" Po Si berseru.
"Tak dinyana anaknya Ouw It To begitu lihay!" Sehabis berkata begitu, mukanya lantas saja berobah pucat. Selagi semua orang berdiri bengong, Tian Ceng Bun mendadak menjerit. Semua orang buru-buru memutar badan ke arah jeritan itu. Pada tanjakan puncak bundar terlihat satu lubang, sedang Tian Ceng Bun sudah tak kelihatan bayangannya lagi. To Cu An dan Co Hun Ki, yang berdiri di dekat Ceng Bun, terkejut bukan main ketika lihat wanita itu kejebelos ke dalam lubang. "Ceng moay!" mereka berteriak sembari bergerak untuk loncat menolong. To Pek Swee tarik tangan puteranya dan membentak, "Mau apa kau?"
Sang putera tidak meladeni, sambil menggentak tangannya, ia loncat ke lubang bersama-sama Co Hun Ki. Tak dinyana, lubang itu sangat cetek. Kaki mereka menginjak badannya Ceng Bun dan ketiga orang itu berteriak dengan berbareng. Kawannya yang menyaksikan, jadi merasa geli dan segera tarik mereka ke atas.
"Mungkin harta karun itu berada di sini," berkata Po Si. "Tian Kouwnio, apakah yang kau lihat?"
"Gelap, tak kelihatan apa juga," sahutnya sembari mengusap-usap badannya yang kepukul batu.
Po Si loncat turun dan nyalakan bahan api. Lubang itu belum ada setombak dalamnya, dindingnya adalah batu-batu dan es. Sesudah memeriksa beberapa lama, ia loncat naik pula. Tiba-tiba terdengar suara teriakannya Ciu Hun Jang dan The Sam Nio yang mendadak kejebelos ke dalam lubang. Whi Su Tiong dan Him Goan Hian, yang berdiri paling dekat, buru-buru angkat mereka naik. Dilihat gejalanya, tempat itu agaknya penuh lubang, sehingga semua orang yang kuatir turut kejebelos, tak berani berjalan sembarangan dan berdiri tetap di tempatnya.
"Puluhan tahun Touw chungcu berdiam di Giok Pit Hong, tapi ia masih belum dapat menemukan gudang harta itu," berkata Po Si sambil menghela napas. "Sekarang kita sudah tahu terang, bahwa harta itu tersimpan di dalam bukit ini, tapi toh kita pun tidak berdaya. Dibanding-banding, kita masih lebih tolol daripada Touw chungcu."
Mereka semua sudah lelah sekali dan lalu pada duduk di atas salju. Sambil menggigit gigi, The Sam Nio mengusap-usap dengkulnya yang luka dan sakit sekali. Tiba-tiba, ketika ia memutar kepala, matanya mendapat lihat sinar berkilauan dari batu mustika di golok komando. Banyak tahun ia mengikuti suaminya menjadi piauwsu dan macam-macam batu mustika ia sudah pernah lihat. Tapi mustika di golok itu adalah lain dari yang lain. Hatinya jadi tergerak dan segera berkata, "Taysu, bolehkah aku lihat golok itu?"
Po Si yang tidak takuti Sam Nio, segera angsurkan golok itu. Sam Nio mengawasi dengan terliti. Matanya yang berpengalaman lantas saja mendapat tahu, bahwa mustika itu "diikat" dengan "pantat" ke atas. (Sebagaimana diketahui, batu permata biasanya mempunyai dua muka, yaitu "muka," yang seharusnya di atas, dan "pantat" yang seharusnya di bawah. Mustika di golok itu "diikat" dengan "pantat" menghadap ke atas. Matanya orang biasa tak akan dapat mengetahui perbedaan tersebut, akan tetapi The Sam Nio yang banyak pengalamannya sudah segera mendapat lihat keanehan itu).
"Taysu," katanya "Mustika ini diikat dengan pantat ke atas. Mungkin ada apa-apa yang tersembunyi."
Po Si yang sedang tidak berdaya, lantas saja mengambil putusan untuk menyelidiki. Ia ambil pulang golok itu dan mencabut pisau belatinya yang lantas digunakan untuk mengorek mustika itu dari "ikatannya." Begitu dicongkel, mustika itu jatuh dan Po Si buru-buru memungut, lalu diteliti dengan membulak-balik. Lama juga ia memperhatikan mustika itu, tapi tak dapat lihat apa juga yang luar biasa Dengan perasaan putus harapan, ia mengawasi lubang "ikatan" mustika di golok itu. Tiba-tiba ia berseru, 'Ah, di sini!"
Ternyata, dalam lubang "ikatan" itu terdapat guratan-guratan yang mengunjuk tempat menyimpan harta. Di sebelah utara timur terlihat guratan huruf "Po" (mustika) yang sangat kecil. Po Si menjadi sadar. Ia mengetahui, bahwa tengah lubang merupakan atasnya puncak bundar itu. Lantas saja ia memperhatikan keadaan di seputarnya dan menghitung-hitung jaraknya Setindak demi setindak ia berjalan maju dan benar saja, begitu sampai di tempat yang menurut perhitungan adalah tempat menyimpan harta, kedua kakinya kejebelos di lubang. Po Si segera nyalakan bahan api dan mengetahui, ia berada di depannya sebuah guha. Sesaat itu, Lauw Goan Ho dan yang lain-lain pun sudah loncat ke bawah. Belum jalan berapa jauh, obornya Po Si sudah menjadi padam. Guha itu amat panjang dan belat-belit.
"Tuan-tuan tunggulah di sini," kata Co Hun Ki. "Aku mau keluar untuk mengambil cabang-cabang kering." Ia lalu berjalan keluar dan balik kembali dengan seikat kayu kering, yang lalu disulut. Co Hun Ki yang adatnya tidak sabaran, lantas saja jalan paling dulu dengan tindakan lebar. Di seputar dinding guha melekat es yang ribuan tahun tak pernah lumer, dan di beberapa tempat, kepingan-kepingan es berbentuk tajam bagaikan golok dan pedang. Dengan tangan menyekal satu batu, sembari jalan To Pek Swee menggempur es yang tajam itu. Baru saja mereka biluk di satu tikungan lagi, Tian Ceng Bun mendadak mengeluarkan seruan kaget, sambil menuding serupa benda kecil berwarna kuning, yang menggeletak di sebelah depannya Co Hun Ki. Co Hun Ki membungkuk dan pungut benda itu yang ternyata adalah sebatang pit (pena Tionghoa) kecil, dibuat dari emas murni, dan pada batangnya terukir satu huruf 'An." Pit itu tiada bedanya dengan pit yang pernah dipegang oleh Tian Ceng Bun, sebelum mereka mendaki Giok Pit Hong. Bukan main herannya Co Hun Ki. Ia berpaling kepada To Cu An, seraya berkata, "Hm! Kalau begitu, kau sudah pernah datang ke sini!"
"Siapa bilang?" kata Cu An, mendongkol. "Kau toh lihat, sudah lama guha ini tak pernah disatroni manusia!"
"Apa ini bukan milikmu?" menanya Co Hun Ki dengan aseran, sembari memperlihatkan pit emas itu. "Di situ terang-terangan terukir namamu."
"Tidak, aku belum pernah lihat," jawabnya, sambil menggelengkan kepala. Co Hun Ki jadi gusar sekali.
Ia melepaskan pit itu yang lantas jatuh di tanah dan menjambak bajunya Cu An. "Masih menyangkal?" ia membentak dan meludahi muka orang. "Dengan mata sendiri, aku lihat dia (Tian Ceng Bun) pegang itu pit yang kau berikan kepadanya."
Sempitnya guha itu membikin Cu An tidak dapat berkelit, sehingga ludanya Co Hun Ki mampir tepat di kedua matanya. Bagaikan kalap, ia menendang dan jitu kempungannya Hun Ki dan berbareng menghantam dengan kedua tangannya. Co Hun Ki lemparkan obornya dan mengirim satu jotosan dengan tangan kanannya yang mengenakan tepat hidungnya To Cu An. Sesaat itu, obor padam, sehingga guha jadi gelap-gulita. Mereka terus bertempur dengan seru dan akhirnya bergulingan di atas tanah. Semua orang jadi mendongkol, berbareng geli. Mereka coba membujuk, tapi mana didengar oleh kedua orang yang sedang sengit?
Tiba-tiba Tian Ceng Bun berteriak dengan suara nyaring, "Siapa yang tidak mau berhenti, aku tak akan bicara lagi dengan ia."
Co Hun Ki dan To Cu An terkejut, tanpa merasa mereka berhenti bertempur. "Eh, kalian jangan gebuk aku, Him Goan Hian," demikian kedengaran suaranya orang she Him di tempat gelap. "Aku mau cari obor." Sesudah meraba-raba beberapa lama, ia mendapatkan obor itu yang lalu disulut. Semua orang jadi geli, melihat Co Hun Ki dan To Cu An benapas sengal-sengal, dengan muka babak-belur dan matang-biru. Sementara itu, Tian Ceng Bun mengeluarkan sebatang pit emas dari sakunya dan kemudian memungut pit yang menggeletak di atas tanah. "Kedua pit ini benar sangat bersamaan," kata Ceng Bun kepada Co Hun Ki. "Siapa yang beritahukan kau, bahwa dialah (To Cu An) yang memberikan kepadaku?"
Co Hun Ki jadi tergugu. "Kalau bukan dia, dari mana kau dapatkan itu?" ia menanya.
"Ada sangkut-paut apa dengan kau?" menanya Ceng Bun dengan tawar. Mukanya Co Hun Ki lantas saja berobah merah.
"Kau ... kau" katanya menuding Ceng Bun.
To Pek Swee ambil sebatang pit dari tangannya Ceng Bun dan lalu berkata kepada Co Hun Ki, "Gurumu adalah Tian Kui Long. Siapa sucouwmu (kakek guru)?"
"Sucouw?" Co Hun Ki menegasi dengan perasaan kaget. "Sucouw adalah ayahnya suhu. Namanya, di atas An, di bawah Pa."
"Benar! Tian An Pa!" kata To Pek Swee. "Senjata rahasia apa yang ia biasa gunakan?"
"Aku ... aku belum pernah bertemu sucouw," jawabnya dengan suara tak lampias.
"Yah, memang juga kau belum pernah bertemu dengan sucouwmu," kata pula To Pek Swee.
"Whi susiokmu telah menerima pelajaran ilmu silat dari Tian An Pa. Coba tanya dia."
"Hun Ki! Sudahlah jangan rewel," kata Whi Su Tiong. "Sepasang pit emas itu adalah senjata rahasianya Sucouwmu."
Co Hun Ki tak dapat berkata apa-apa lagi, tapi hatinya sangsi bukan main. "Jika kalian mau berkelahi, pergilah keluar!" berkata Po Si. "Yang lain mau mencari harta."
Mendengar perkataan Po Si, sambil mengangkat obor tinggi-tinggi, Him Goan Hian segera bertindak paling dulu, diikut oleh yang lain-lain. Sesudah membiluk pula di satu tikungan, jalanan jadi semakin sempit dan kate, sehngga mereka harus berjalan sembari membungkuk. Berjalan sedikit jauh lagi, mereka sudah harus merangkak. Dengkul dan tangan mereka dirasakan sakit oleh karena menempel dengan es, tapi harapan mendapat harta sudah membikin mereka lupakan rasa sakit itu. Sesudah merangkak kira-kira seminuman teh, jalanan depan terpepat dengan dua batu, satu batu bundar di bawah, satu batu besar di atasnya, sedang di antara kedua batu itu, terdapat lapisan es yang sangat keras.
Him Goan Hian menoleh ke belakang. "Bagaimana sekarang?" ia menanya Po Si. Po Si menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal tanpa memberi jawaban. Antara jagoan-jagoan itu, In Kiat-lah yang paling cerdas otaknya. Sesudah memikir beberapa saat, ia berkata, "Dua batu yang menempel itu, pasti dapat digerakkan. Persoalannya hanya terletak kepada es yang memegang kedua batu itu."
"Benar," kata Po Si dengan girang. "Kita dapat melumerkan es itu dengan obor."
Him Goan Hian lantas saja mendekati obornya kepada dua batu itu untuk melumerkan es. Lauw Goan Ho, Whi Su Tiong dan beberapa orang lain lantas merangkak keluar dan balik dengan membawa lebih banyak cabang-cabang kering. Dengan bantuan bahan bakar baru, api jadi semakin besar dan sepotong demi sepotong, kepingan-kepingan jatuh di atas tanah. Sesudah sebagian besar es menjadi lumer, Po Si yang merasa tidak sabaran, segera mendorong batu itu dengan kedua tangannya, tapi sedikitpun tidak bergerak. Pembakaran dilangsungkan terus dan sesudah menunggu beberapa saat, Po Si mendorong pula. Sekali ini ia berhasil! Setelah bergoyang-goyang beberapa kali, batu besar itu terdorong ke belakang dan terbukalah satu pintu batu, buatan alam. Berbareng dengan terbukanya pintu itu, satu sorakan girang memecah kesunyian guha.
Dari tumpukan api, Po Si sambar sebatang cabang yang menyala dan loncat masuk paling dulu, diikut oleh kawan-kawannya yang masing-masing menyekal obor. Begitu masuk di pintu, satu pemandangan yang sungguh-sungguh menakjubkan terbentang di depan mata mereka! Sinar emas yang gilang-gemilang memancar ke empat penjuru, sehingga matanya setiap orang menjadi silau. Mereka semua menahan napas dengan mulut ternganga. Apakah yang mereka lihat?
Mereka berada dalam satu ruangan guha yang sangat besar dan luas. Di depan mereka bertumpuk-tumpuk potongan-potongan emas dan perak, mutiara dan macam-macam batu permata yang beraneka-warna, yang tak dapat dihitung berapa banyaknya! Akan tetapi, semua barang berharga itu berada di dalam es. Dapat diduga, bahwa pada ketika orang-orangnya Cwan Ong sudah menaruh emas-permata itu di dalam guha, mereka lalu menyiram dengan banyak sekali air yang kemudian lalu membeku. Demikianlah sekarang harta karun itu seperti juga tersimpan di bawahnya batu kristal raksasa. Setiap orang mengawasi dengan mata mendelong. Mereka kesima dan untuk sejenak, tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Tiba-tiba, dengan serentak mereka bersorak, bagaikan kalap menubruk es raksasa itu. Mendadak Tian Ceng Bun mengeluarkan teriakan kaget. "Ada orang!" ia berseru sambil menunjuk ke dalam. Di bawah sinarnya obor, benar saja terlihat dua bayangan manusia yang berdiri di dekat tembok.
Semua orang kaget bagaikan disambar geledek. Mereka tak mengimpi, bahwa dalam guha itu terdapat lain manusia. Mereka segera mencabut senjata dan tanpa merasa, berkumpul menjadi satu. Lewat beberapa saat, kedua bayangan hitam itu masih juga tidak bergerak.
"Siapa?" Po Si membentak, tapi tidak mendapat jawaban. Semua orang jadi merasa terlebih heran. "Cianpwee (orang yang tingkatannya lebih tinggi) siapakah yang berdiri di situ," berkata pula Po Si. "Harap suka keluar untuk berkenalan."
Suaranya Po Si yang nyaring berkumandang keras dalam ruangan itu, akan tetapi, kedua orang itu tetap bungkam dan tidak bergerak.
Sambil mengangkat obor tinggi-tinggi, Po Si mendekati beberapa tindak. Setelah mengawasi beberapa saat, ia dapat kenyataan, bahwa kedua bayangan hitam itu berdiri di sebelah luarnya satu lapisan es, yang merupakan satu tembok kristal dan membagi ruangan itu menjadi dua, yaitu ruangan depan dan ruangan belakang. Sambil membesarkan nyali, ia maju pula beberapa tindak. Hatinya berani, tapi kakinya mau lari, dan oleh karena begitu, ia berpaling dan berseru, "Eh, kalian mari! Ikut aku!"
Dengan diikuti kawan-kawannya, Po Si menghampiri tembok es dan menyuluhi mukanya kedua orang itu. Begitu melihat tegas, bulu badannya bangun semua Ternyata kedua orang itu bukannya manusia hidup, akan tetapi mayat-mayat yang sudah meninggal dunia dalam tempo lama. Hampir berbareng The Sam Nio dan Tian Ceng Bun mengeluarkan teriakan kaget. Mereka mendekati kedua mayat itu yang masing-masing tangannya menyekal sebilah pisau belati, yang satu amblas di dada, yang satunya lagi menancap di kempungan.
Tiba-tiba Whi Su Tiong berlutut dan berkata sambil menangis, "Insu (guru yang budinya sangat besar!) Tak dinyana, kau berada di sini." Kawan-kawannya terkejut dan lalu ajukan berbagai pertanyaan. "Siapa dua orang ini?"
"Dia gurumu?"
"Kenapa bisa berada di sini?" dan lain-lain pertanyaan.
Sambil menyusut air-matanya, Whi Su Tiong menunjuk kepada mayat yang badannya lebih kate. "Ia adalah guruku, An Pa," ia menerangkan. "Pit emas yang tadi dipungut oleh Hun Ki, adalah miliknya."
Dari paras mukanya, Tian An Pa kelihatannya masih muda, belum cukup empatpuluh tahun usianya, lebih muda dari Whi Su Tiong. Bermula semua orang merasa heran, akan tetapi segera juga mereka sadar, bahwa kedua mayat itu sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan pada beberapa puluh tahun berselang dan sudah membeku oleh karena hawa yang luar biasa dingin, sehingga kelihatannya seperti juga baru meninggal satu-dua hari.
"Susiok," kata Co Hun Ki sembari menunjuk mayat yang satunya lagi. "Siapa dia? Kenapa dia binasakan sucouw?" Sembari berkata begitu, ia menendang mayat itu yang potongan badannya kurus-jangkung.
"Dia adalah ayahnya 'Kim Bian Hud'," menerangkan sang paman. Waktu masih kecil, ia panggil ia Biauw ya dan hubungannya dengan guruku, sebenarnya baik sekali. Aku ingat, di tahun itu mereka berdua sama-sama bikin perjalanan ke Kwan Gwa. Kami tak tahu, mereka pergi untuk apa. Apa yang kami mengetahui, hanya mereka pergi dengan gembira sekali. Tapi sekali pergi, mereka tidak balik kembali. Belakangan tersiar desas-desus, bahwa mereka berdua telah dibinasakan oleh jago Liauw Long, Ouw It To. Itulah sebabnya, kenapa belakangan 'Kim Bian Hud' dan Tian suheng sama-sama pergi mencari Ouw It To guna menuntut balas. Tak dinyana, ini ... orang she Biauw telah dibikin gelap mata oleh harta karun ini dan sudah turunkan tangan jahat terhadap Insu." Untuk mengunjuk rasa marahnya, sehabis berkata begitu, Whi Su Tiong menendang mayat ayahnya 'Kim Bian Hud', tapi tak bergeming lantaran kakinya sudah menempel keras dengan lantai, dengan bantuannya selapis es.
Mendengar omongannya Whi Su Tiong yang seenaknya saja, semua orang jadi mesem dalam hatinya. "Siapa tahu bukan gurumu yang gelap mata dan turunkan tangan terlebih dulu?" pikir mereka.
Sementara itu, To Pek Swee menghela napas beberapa kali dan lalu berkata, "Dulu Ouw It To pernah minta seorang sahabatnya memberitahu Biauw Tayhiap dan Tian Kui Liong, bahwa dia (Ouw It To) mengetahui sebab-sebab kebinasaan kedua orang tua itu. Akan tetapi, oleh karena cara binasanya kedua orang itu sangat menyedihkan dan memalukan, dia sungkan membuka rahasia sendiri dan bersedia mengajak Biauw Tayhiap serta Tian Kui Long pergi melihat dengan matanya sendiri. Sekarang ternyata, perkataannya Ouw It To tidaklah dusta. Dilihat begini, Ouw It To sendiri pernah datang ke guha ini, tapi sungguh heran, ia tidak angkut harta karun ini."
"Hari ini aku menemui satu urusan yang sangat mengherankan," menyeletuk Tian Ceng Bun.
"Apa?" menanya Whi Su Tiong.
"Pagi ini kita mengejar ia ..." sembari berkata begitu, ia monyongkan mulutnya ke jurusan To Cu An, sedang mukanya, bersemu merah. "Susiok, kau mengejar paling dulu, sedang aku mengikuti dari belakang ... "
"Kudamu paling jempol, kenapa jadi kebelakangan?" membentak Co Hun Ki. "Kau ... kau memang sungkan bertempur dengan manusia she To itu!"
Dengan sikap acuh tak acuh, Ceng Bun menyahut, "Kau sudah mencelakakan seluruh penghidupanku, apa sekarang ingin mempersakiti pula diriku? Boleh! Boleh berbuat sesukamu! To Cu An adalah suamiku! Aku memang sudah berlaku sangat tidak pantas terhadapnya. Walaupun ia sudah tak menyintai aku, akan tetapi, selain ia, dalam lubuk hatiku tidak terdapat lain manusia."
"Aku tetap menyintai kau, Ceng moay! Aku tetap menyintai kau!" berseru To Cu An.
"Kau maui perempuan hina-dina itu?" membentak To Pek Swee. "Tapi aku tak sudi mempunyai menantu yang macamnya begitu!"
"Binatang!" berteriak Co Hun Ki. "Kalau kau mempunyai kepandaian, bunuhlah aku terlebih dulu!"
Tian Ceng Bun menunduk mengawasi tanah dan sehabis mereka berteriak-teriak, barulah ia berkata pula dengan suara perlahan, "Meskipun kau masih menyintai aku, aku sendiri tak ada muka untuk mengikuti kau. Sesudah keluar dari guha ini, biarlah kita berdua jangan bertemu muka lagi."
"Tidak, tidak, Ceng moay!" berkata Cu An dengan suara bingung. "Memang dia yang terlalu busuk. Dia hinakan kau, persakiti kau. Biarlah aku binasakan padanya." Ia angkat goloknya dan terjang Co Hun Ki.
"Eh!" Lauw Goan Ho loncat menyelak. "Kalau kau orang mau bertempur, pergilah keluar!" Ia tangkap pergelangan tangannya To Cu An dan rampas goloknya yang lalu dilemparkan di atas tanah.
Co Hun Ki pun sudah loncat maju, tapi ia juga kena dihalangi oleh In Kiat. Melihat caranya Ceng Bun mengadu dan mempermainkan kedua jagoan itu, semua orang jadi merasa geli dalam hatinya.
"Tian kouwnio," berkata Po Si. "Kau merdeka untuk menikah dengan siapa juga, tapi kau tentu tak akan mau menikah dengan aku, si hweeshio tua. Maka itu, aku hanya perlu menanya kau, urusan heran apakah yang kau ketemui di pagi tadi?"
Semua orang tertawa terbahak-bahak, sedang Tian Ceng Bun pun jadi mesem simpul. "Kudaku yang larinya perlahan tak dapat menyusul rombongan susiok," ia menerangkan.
"Selagi enak larikan kuda, mendadak aku dengar suara kaki kuda di sebelah belakang. Satu tangannya penunggang kuda itu menyekal poci arak yang besar. Ia dongak dan gelokgok isinya poci itu. Aku lihat, mukanya penuh brewok dan badannya bergoyang-goyang lantaran sinting.
Tanpa merasa, aku tertawa. "Eh, apakah kau anak perempuannya Tian Kui Long?' mendadak ia menanya. 'Benar,' jawabku. 'Siapakah tuan?' Tanpa menjawab, ia mementil dengan dua jerijinya dan sebatang pit emas menyambar aku. Aku berkelit, tapi pit itu sudah sambar putus satu anting-antingku. Aku kaget bukan main, tapi orang itu sudah kaburkan kudanya. Hatiku heran, tak tahu kenapa ia berikan pit itu kepadaku."
"Kau kenal dia siapa?" menanya Po Si.
Tian Ceng Bun manggutkan kepalanya. "Dia adalah 'Soat san Hui Ho' Ouw Hui yang tadi naik ke gunung," katanya. "Ketika ia memberikan pit itu, aku tentu saja tak kenal padanya, Tapi tadi, sesudah ia bicara dengan adik Biauw, aku kenali suaranya."
Co Hun Ki kembali jadi curiga. "Pit itu adalah miliknya sucouw," kata ia. "Dari mana Ouw Hui dapatkan itu? Kenapa dia berikan kepadamu?"
Tian Ceng Bun yang selalu berlaku manis terhadap lain orang, lantas saja berobah paras mukanya begitu mendengar perkataannya Hun Ki. Ia merengut dan tidak menjawab. "Aku percaya Ouw It To pernah datang ke guha ini," kata Lauw Goan Ho. "Tentu juga ia
mendapatkan pit itu di atas tanah atau di badannya Tian An Pa. Akan tetapi, ia meninggal dunia ketika Ouw Hui baru saja berusia beberapa hari. Cara bagaimana ia dapat mewarisi pit itu kepada oroknya?"
"Mungkin sekali Ouw It To tinggalkan pit itu di rumahnya dan sesudah Ouw Hui menjadi dewasa, ia dapat menemukan senjata rahasia itu di antara barang-barang peninggalan ayahnya," Him Goan Hian ajukan pendapatnya.
"Yah, memang mungkin sekali," berkata Whi Su Tiong sambil manggutkan kepalanya. "Pit itu berlubang di tengah-tengahnya dan kepalanya dapat ditekuk ke bawah. Ceng Bun, coba kau lihat kalau-kalau di dalamnya tersimpan apa-apa yang luar biasa."
Tian Ceng Bun segera menekuk kepala pit yang didapat dari jalanan guha, tapi di dalamnya tidak terdapat apa pun juga. Sesudah itu, barulah ia menekuk kepala pit yang diberikan Ouw Hui, dan benar saja, di dalamnya terdapat segulung kecil kertas. Semua orang segera menghampiri untuk melihat isinya kertas itu. Mereka merasa sjukur, bahwa Whi Su Tiong berada di situ, sebab jika tidak, mereka tentu tidak mengetahui adanya alat rahasia yang sedemikian halus pada pit tersebut. Ceng Bun lantas saja membuka gulungan kertas itu, yang ternyata terdapat tulisan yang bunyinya seperti berikut, "Tuan-tuan dari Thian-liong, beramai-ramai datang di Liauw Tong, datangnya menunggang kuda, pulangnya menunggang angin." Di bawahnya kertas itu terdapat gambar rase bersajap, sedang tulisannya adalah buah kalamnya "Soat San Hui Ho", atau si Rase Terbang.
Sesaat itu, paras mukanya Whi Su Tiong mengunjuk kegusaran hebat. "Hm!" katanya. "Belum tentui" Tapi, sedang mulutnya berkata begitu, hatinya mengakui, bahwa kepandaiannya Ouw Hui memang bukan main tingginya dan ia mengetahui segala gerak-geriknya orang-orang Thian Liong Bun. Mengingat, ia bergidik dan bulu badannya bangun semua.
"susiok, apa artinya 'pulang menunggang angin?'" menanya Co Hun Ki.
"Hm! Dia mengatakan, kita semua akan binasa di Liauw Tong," menerangkan sang paman guru. "Kita semua dikatakan bakal menjadi setan-setan yang akan pulang ke rumah dengan menunggang angin."
"Binatang!" memaki Co Hun Ki.
Sedang orang-orang Thian Liong Bun mengawasi kertas kecil itu dengan perasaan mendongkol dan berkuatir, adalah Po Si, To Pek Swee, Lauw Goan Ho dan yang lain-lain sudah memusatkan perhatiannya kepada harta karun itu. Po Si segera mencabut golok dan membacok es beberapa kali. Ia tertawa terbahak-bahak sambil menggenggam emas dan batu-batu permata. Disoroti sinar obor, emas-permata itu mengeluarkan sinar berkilauan, sehingga tanpa menunggu tempo lagi, yang lain-lain lantas mencabut senjata dan turut membacok kalangkabutan. Sambil membacok, mereka masukkan "bebolehannya" ke dalam saku dan semakin padat saku mereka, semakin giat mereka membacok. Tapi tak lama kemudian, golok dan pedang sudah menjadi gompal dan bacokan-bacokannya tak begitu gencar lagi seperti tadi. Harus diketahui, bahwa golok dan pedang itu adalah senjata-senjata biasa yang mereka sembat dari rumahnya Touw Sat Kauw. Senjata mereka sendiri, sebagaimana diketahui, telah dikutungkan oleh sepasang kacungnya Ouw Hui.
"Lebih baik kita ambil kayu bakar untuk melumerkan es ini," berkata Tian Ceng Bun. Semua orang segera menyetujui. Cara tersebut sebenarnya sudah harus diingat sedari tadi, akan tetapi, begitu melihat emas-permata, mata mereka berkunang-kucang dan lalu mengambil jalan yang paling pendek. Usulnya Ceng Bun disetujui oleh semua orang, tapi tak ada satu pun yang mau bergerak untuk mengambil kayu bakar. Setiap orang merasa kuatir, bahwa selagi pergi mengambil kayu, orang lain sudah kantongi lebih banyak harta. Po Si menyapu semua orang dengan matanya dan lalu memberi perintah, "Ciu siheng, To siheng dan Him Piauw Thauw, kalian bertiga pergilah keluar mengambil kayu bakar. Yang menunggu di sini semua mengaso, siapa juga tak diperbolehkan mengambil emas-permata ini."
Ketiga orang itu merasa sangsi, tapi oleh karena segani Po Si, dengan ogah-ogahan mereka lalu berjalan keluar.
"Soat San Hui Ho" Ouw Hui sudah berjanji dengan Touw Sat Kauw chungcu untuk bertanding di puncak Giok Pit Hong pada sha gwee capgo (bulan ketiga, tanggal lima belas.) Ketika naik ke puncak pertama kali, Touw chungcu belum pulang dan ia bertemu dengan Biauw Yok Lan. Sesudah turun dari puncak, hatinya selalu berdebar-debar, paras mukanya Biauw Yok Lan selalu berbayang di depan matanya, suara khim dan nyanyiannya si nona berkumandang dalam telinganya.
Bersama Peng Ah Si dan kedua kacungnya, ia mengaso di dalam satu guha dan makan makanan kering yang dibawa. Lukanya Peng Ah Si berat, tapi tidak membahayakan jiwanya, sehingga Ouw Hui jadi terhibur.
Ia rebahkan dirinya di atas tanah dan lalu meramkan kedua matanya. Begitu lekas meramkan mata, paras dan gerak-geriknya nona Biauw kembali berbayang-bayang. Dengan uring-uringan, ia membuka kedua matanya lebar-lebar dan mengawasi dinding batu dari guha itu. Di lain saat, suara nyanyiannya Biauw Yok Lan sayup-sayup masuk ke dalam telinganya, seperti juga keluar dari dinding batu itu. Ouw Hui menghela napas. "Ah, kenapa juga aku jadi seperti orang edan?" katanya di dalam hati. "Ayahnya adalah musuh besarku yang sudah membunuh ayahku. Meskipun waktu itu, ayahnya tidak bermaksud membinasakan ayah, tetapi sama saja, ayahku sudah binasa lantaran gara-gara ayahnya. Aku hidup sebatang kara, tak punya ayah, tak punya bunda, dan itu semua adalah gara-gara ayahnya. Untuk apa aku pikiri dia?"
Tapi baru saja memikir begitu, lain pikiran datang kepadanya. "Ketika itu, ia belum dilahirkan," pikir Ouw Hui. "Sakit hati itu mengenai orang tuanya dan tiada sangkut-pautnya dengan dia. Hai! Dia adalah ciankim siocia (nona yang berharga ribuan tahil emas, berarti nona bangsawan atau hartawan)! Sedang aku? Aku hanyalah lelaki gelandangan dari dunia Kang Ouw. Untuk apa aku cari-cari urusan?"
Akan tetapi, walaupun hatinya berkata begitu, ibarat orang yang kejebelos di dalam lumpur, semakin lama Ouw Hui tenggelam semakin dalam. Memang juga, jika ikatan cinta dapat diputuskan dengan begitu saja, ikatan itu bukannya ikatan cinta.
Tak kurang sejam, Ouw Hui menggelisah. Macam-macam pikiran datang kepadanya. "Apa tak bisa jadi, lantaran takut keok, lawanku sudah memasang 'Bi Jin Kee' (tipu dengan menggunakan wanita cantik)?" ia menanya dalam hatinya. Tapi segera juga ia sesalkan pikiran itu, yang seolah-olah menghina Biauw Yok Lan. "Tidak!" ia menggerendeng. "Dia mulia bagaikan dewi. Mana bisa dia jadi begitu rendah? Tidak! Akulah yang picik, yang mempunyai pikiran rendah!" Ketika itu, siang sudah mulai terganti dengan malam, la mendekati Peng Ah Si seraya berkata, "Sisiok, aku mau naik ke puncak lagi. Kau mengasolah di sini."
Tanpa menunggu jawaban, badannya sudah melesat keluar dan lalu berlari-lari ke arah puncak dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di kaki puncak dan lalu naik dengan menggunakan tambang. Begitu tiba di depan pintu, hatinya berdebar-debar. Ia masuk ke ruangan depan., tapi di situ tidak terdapat barang satu manusia. Dengan heran, ia berseru, "Boanpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah) ingin berjumpa. Apakah Touw chungcu sudah pulang?"
Ia berteriak beberapa kali, tapi tak mendapat jawaban. Ia mesem dan berkata dalam hatinya, "Percuma Touw Sat Kauw dikenal sebagai jagoan Liauw Tong. Biar pun kau memasang jebakan, aku Ouw Hui sedikit pun tidak merasa jeri."
Ia duduk dengan niatan segera turun bukit, sesudah menulis beberapa perkataan untuk mengejek Touw Sat Kauw. Tapi segera juga ia mengurungkan niatan untuk lantas turun. Entah kenapa ia merasa berat untuk meninggalkan tempat itu. Tanpa tujuan, ia pergi ke kamar samping yang letaknya di sebelah timur. Ia masuk ke dalam kamar itu, yang ternyata adalah satu kamar buku yang diperaboti dengan indah sekali. Ia duduk, ambil sejilid buku dan lalu coba membaca. Tapi segera juga ia lepaskan buku itu oleh karena artinya tak dapat masuk ke dalam otaknya. Tak lama kemudian, cuaca menjadi gelap dan Ouw Hui lalu mengeluarkam bahan api untuk menyulut lilin. Mendadak, kupingnya menangkap suatu tindakan yang sangat enteng di atas salju.
Ia terkejut dan mengetahui, bahwa orang itu berkepandaian tinggi. Di atas tanah, dengan tidak terlalu sukar, hampir setiap orang dapat berjalan tanpa mengeluarkan suara. Akan tetapi jika seseorang berjalan di atas salju, biar bagaimana pun juga, ia tak akan dapat menghilangkan suara tindakannya. Perbedaannya hanya terletak atas kepandaiannya, Jika ia berkepandaian tinggi, tindakannya enteng dan suaranya halus, jika berkepandaian rendah, tindakannya berat dan suaranya keras. Ouw Hui lantas saja urungkan niatan untuk menyulut lilin dan masukkan bahan api itu ke dalam sakunya. Sesaat kemudian, ia mengetahui, bahwa di belakangnya orang yang pertama, mengikuti beberapa orang lain, yang semuanya mempunyai ilmu silat yang tidak rendah. Ouw Hui lalu menghitung dan ternyata jumlah mereka adalah lima orang. Tiba-tiba terdengar tiga tepukan tangan, yang disambut dengan tiga tepukan tangan pula dari luar rumah. Tidak lama kemudian, di luar rumah itu datang enam orang lain. Sebagai seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, nyalinya Ouw Hui sangat besar. Akan tetapi, berkumpulnya sebelas orang yang rata-rata berilmu tinggi, sudah membikin ia menghitung-hitung juga. "Paling benar aku berlalu dulu dari rumah ini, supaya tidak masuk ke dalam jebakan," katanya di dalam hati. Ia lalu berjalan keluar, tapi pada sebelum menggenjot badan, di atas genteng sekonyong-konyong terdengar suara kresekan dan dengan kupingnya yang sudah terlatih, ia segera mengetahui, bahwa kembali ada beberapa tetamu yang datang berkunjung. Buru-buru ia balik ke dalam kamar. Ia dapat kenyataan, bahwa rombongan yang baru datang itu tidak kurang dari tujuh orang. Di atas genteng terdengar tiga tepukan tangan, dibalas dengan tiga tepukan juga dari luar rumah Sesaat kemudian, tujuh orang itu melayang turun dan lalu menghampiri kamar samping di mana Ouw Hui berada. Oleh karena jumlah musuh terlalu besar, Ouw Hui jadi gentar juga dan lalu memutar otaknya untuk mencari siasat baik guna merebut kemenangan. Memang ia sudah menduga bahwa Touw Sat Kauw akan mencari pembantu-pembantu guna menghadapi dirinya, akan tetapi sama-sekali ia tidak nyana, orang she Touw itu mempunyai "muka yang begitu besar" (sangat dipandang,) sehingga dapat mengundang begitu banyak orang pandai. Begitu lekas ketujuh orang itu menghampiri pintu kamar, Ouw Hui segera loncat ke belakang sekosol untuk mencari tahu, jebakan apa yang mereka sedang pasang. Tiba-tiba ia dengar suara orang menghidupkan bahan api. Ia terkesiap sebab mengetahui, begitu lekas lilin disulut, ia tak dapat sembunyikan dirinya lagi di belakang sekosol. Sekali menyapu kamar itu dengan matanya, ia dapat lihat satu ranjang yang kelambunya diturunkan, tapi di depannya tidak terdapat sepatu, sehingga dapat dipastikan, pembaringan itu tidak sedang ditiduri orang. Dengan cepat ia loncat ke depan tempat tidur itu, membuka kelambunya dan lalu masuk ke dalam selimut. Gerakannya itu luar biasa cepat dan enteng, sehingga meskipun ketujuh orang itu mempunyai kepandaian tinggi, tak ada satu pun yang mengetahui.
Begitu masuk ke dalam selimut sulam, bukan main terkejutnya Ouw Hui, lantaran tangannya tersentuh dengan tubuh manusia dan hidungnya mengendus bebauan yang sangat harum. Tak bisa salah lagi, manusia itu adalah manusia wanita!
Selama hidup duapuluh tujuh tahun lamanya, belum pernah ia menyenggol badannya seorang wanita. Maka itu, tidaklah heran, ia kaget bagaikan dipagut ular. Ia ingin segera merosot turun, akan tetapi, lilin sudah disulut dan malahan satu orang menghampiri sekosol sambit melongoklongok, dengan satu tangan memegang ciaktay (tempat menancap lilin).
"Di sini tidak ada manusia, kita boleh bicara," katanya sambil menghampiri kursi.
Apa yang membikin Ouw jadi lebih kaget lagi adalah bebauan harum yang dindus olehnya. Wewangian itu adalah wewangian yang digunakan Biauw Yok Lan.
"Apakah Biauw Kohnio?" ia menanya dirinya sendiri dengan hati berdebar-debar 'Ah! Kedosaanku benar-benar besar! Tapi ... tapi, jika aku keluar sekarang, beberapa orang itu, yang melihat aku tidur bersama-sama Biauw Kouwnio, tentu akan menyiarkan omongan gila-gila.
Dengan demikian, namanya Biauw Kouwnio yang suci-bersih, dirusak olehku. Ah! Tak lain jalan daripada terus menanti sampai mereka keluar dari kamar ini. Sesudah itu, barulah aku memohon maaf dan berlalu dan sini. Setelah mengambil putusan itu, ia lalu menggeser badannya sejauh mungkin dari nona Biauw. Meskipun tak dapat bergerak akibat totokan pada jalanan darahnya, kesadaran Biauw Yok Lan sedikit pun tidak berkurang. Ketika Ouw Hui masuk ke dalam pembaringan, kagetnya bagaikan disambar geledek. Dalam keadaan yang tidak berdaya, ia meramkan kedua matanya dan pasrahkan nasibnya kepada Tuhan. Akan tetapi, sesudah lewat beberapa saat, ia dapat kenyataan bukan saja pemuda itu tidak berlaku kurang ajar, tapi malahan menjauhkan dirinya. Hatinya menjadi agak lega dan timbullah perasaan herannya. Perlahan-lahan ia membuka kedua matanya dan apa mau, pada saat itu, Ouw Hui pun sedang mengawasi padanya. Sementara itu, di luar sekosol sudah terdengar suara orang bicara, "Say Congkoan," kata satu orang. "Benar-benar perhitunganmu jitu seperti perhitungan dewa. Itu 'Kim Bian Hud', yang disohori sebagai manusia yang tiada tandingannya dalam dunia ini, tanpa merasa masuk ke dalam jebakan dan walaupun dia mempunyai sayap, tak nanti dia bisa terbang mabur."
Orang yang menyuluhi kamar dengan membawa ciaktay lantas saja tertawa terbahak-bahak. "Thio hiantee (adik)," kata ia. "Jangan kau terlalu memuji-muji aku. Sesudah usaha kita berhasil, aku tentu tak akan melupakan kalian semua."
Mendengar begitu, bukan main kagetnya Ouw Hui dan Yok Lan, orang-orang itu ternyata sedang mengatur jebakan untuk mencelakakan Biauw Jin Hong. Nona Biauw yang tidak mengenal selak-beluknya Kang Ouw, masih belum seberapa kaget. Ia menganggap ayahnya yang mempunyai ilmu silat luar biasa tinggi, tak akan dapat dicelakakan oleh siapa juga. Adalah Ouw Hui yang terkejut bagaikan disambar petir. Ia mengetahui, bahwa Say Congkoan adalah ahli silat nomor satu di dalam kerajaan bangsa Boan, dengan mempunyai lweekang dan gwakang yang bersamaan tingginya. Di sebelahnya itu, dengar kelicikannya dan kelicinannya, entah sudah berapa banyak ksatria penyinta negeri yang celaka dalam tangannya. Ia adalah wisu utama yang paling dipercaya oleh Kaisar Kian Liong. Sekarang, dengan membawa begitu banyak pembantu, ia sendiri datang di Giok Pit Hong, sehingga Ouw Hui merasa sangat kuatir Biauw Jin Hong sukar terlolos dari tangannya. Sesaat itu juga, Ouw Hui segera mengambil putusan yang sangat berani. Dengan cepat ia membuka kelambu dan sambil mengerahkan tenaga dalam, ia mengebaskan tangannya ke arah api lilin. Dengan satu suara "bet," lilin itu padam, tanpa diketahui oleh siapa pun juga, bahwa itu adalah perbuatannya seorang tetamu malam. "Ah! Lilin padam!" berkata satu orang.
Pada waktu itulah, dari luar kembali masuk sejumlah orang. "Lekas sulut lilin!" berkata seorang lain.
"Nyalakan lampu saja," kata orang ketiga.
"Aku rasa, lebih baik kita omong-omong dalam kegelapan," demikian terdengar suaranya Say Congkoan. "Biauw Jin Hong sangat licin. Jika ia lihat sinar api, mungkin sang ikan yang sudah menelan umpan, akan dapat meloloskan diri."
Semua orang lantas saja menyetujui pikiran itu. "Pemandangan Congkoan adalah sangat jauh dan bekerja secara sangat hati-hati," kata seorang.
Sekosol diisarkan dan kamar penuh orang, ada yang duduk di pinggir ranjang. Ouw Hui sangat berkuatir, kalau-kalau dalam capenya, ketiga orang itu merebahkan dirinya di atas pembaringan. Maka itu, lantas saja ia menggeser badannya sampai ke tepi belakang ranjang. Waktu itu, Ouw Hui sudah mengambil suatu keputusan pasti, bahwa jika tempat sembunyinya diketahui orang, walaupun harus membuang jiwa, ia akan binasakan itu delapan belas orang. Seorang pun ia tak akan kasi hidup terus untuk mencegah ternodanya nama Biauw Yok Lan. Tapi untung ketiga orang itu duduk tetap di pinggir ranjang. Ouw Hui belum mengetahui, bahwa Yok Lan kena ditotok jalanan darahnya. Ia berkuatir berbareng girang, ketika melihat nona Biauw tidak mengisarkan diri.
"Saudara-saudara," demikian terdengar pula suaranya Say Congkoan. "Sekarang biarlah Touw chungcu lebih dulu memperkenalkan kalian."
"Aku merasa sangat bersukur dan berterima kasih, bahwa saudara-saudara sudah sudi berkunjung kemari," kata Touw Sat Kauw.
"Yang ini adalah Congkoan Gi Cian Si Wi (Pemimpin Pasukan Pengawal Pribadi Kaisar) Say Tayjin. Namanya Say Tayjin sudah lama menggetarkan Rimba Persilatan dan aku rasa kalian semua juga sangat ingin berjumpa dengan dianya."
Semua orang lantas saja mengeluarkan kata-kata pujian dan mengumpak-umpak. Mendengar nama-nama yang diperkenalkan Touw Sat Kauw, lebih-lebih terkejutnya Ouw Hui. Di sebelahnya Say Congkoan dan tujuh Gi Cian Si Wi itu, setiap orang adalah jago kenamaan dalam kalangan Kang Ouw, antaranya Hian Beng Cu dari Ceng Cong Pay, Leng Ceng Ki Su dari Kun Lun San, Chio lookunsu (guru silat) dari Thay Kek Bun di Holam dan sebagainya. Ouw Hui memasang kupingnya. Ia merasa sangat heran, oleh karena Touw Sat Kauw sudah berhenti, setelah ia selesai memperkenalkan enam belas orang. Dalam kamar itu terdapat delapan belas orang, sehingga, di sebelahnya dia sendiri, seharusnya ada tujuh belas orang. Siapa yang satunya lagi?
Selainnya Ouw Hui, beberapa orang lain juga sadar akan kekurangan itu. "Masih kurang satu orang," kata seorang. "Siapa saudara itu?"
Agak luar biasa, Touw Sat Kauw tidak menjawab. Sesudah lewat beberapa saat, adalah Say Congkoan yang membuka mulut. "Baiklah! Aku yang memberitahukan. Saudara itu adalah pemimpin Hin Han Kay Pang, Hoan Pangcu!"
Semua orang terkesiap. Beberapa antaranya yang kupingnya terang, sudah dapat mendengar, bahwa Hoan Pangcu kena dibekuk oleh pembesar negeri. Beberapa orang lainnya mengetahui, bahwa pemimpin partai pengemis itu selalu bermusuhan dengan pihak kerajaan dan munculnya dengan bergandengan tangan dengan rombongan si wi, sudah membikin semua orang menjadi heran.
"Duduknya persoalan adalah begini," menerangkan Say Congkoan sembari tertawa. "Hari ini saudara-saudara datang ke sini atas undangan Touw chungcu untuk menghadapi 'Soat San Hui Ho'. Akan tetapi pada sebelum kita merubuhkan si Rase Terbang, lebih dulu kita ingin membekuk seorang 'Pousat'."
"Kim Bian Hud?" menanya seorang sembari tertawa.
"Benar," sahut Say Congkoan. "Kami sudah banyak menyusahkan Hoan Pangcu dengan tujuan memancing Biauw Jin Hong supaya dia pergi ke kota-raja guna menolongi Pangcu yang dikatakan tertangkap pembesar negeri. Akan tetapi, ikan besar itu luar biasa licinnya dan tidak mencaplok pancing."
Di antara ketujuh si wi itu ada seorang yang mendehem, akan tetapi tidak berkata apa-apa. Dalam keterangannya itu, Say Congkoan telah menyembunyikan suatu hal. Duduknya urusan yang sebenarnya adalah begini, begitu mendengar Hoan Pangcu dipenjarakan, seorang diri Biauw Jin Hong menyatroni penjara istana guna memberi pertolongan. Usahanya itu gagal, akan tetapi pedangnya yang lihay sudah membinasakan sebelas si wi dan malahan Congkoan sendiri mendapat luka. Dalam memasang jebakannya, Say Congkoan sudah membikin persiapan sangat hati-hati. Akan tetapi, apa mau dikata, kepandaiannya Biauw Jin Hong adalah sedemikian dahsyat, sehingga ia dapat menoblos keluar dari lubang jarum. Kejadian itu dianggap oleh Say Congkoan
sebagai kejadian yang sangat memalukan dan sungkan menceritakan kepada lain orang.
"Touw chungcu dan Hoan Pangcu adalah orang-orang yang mempunyai pribudi sangat tebal dan sudah berjanji akan membantu kami," kata lagi Say Congkoan. "Aku berterima kasi tak habisnya dan sesudah usaha kita berhasil, aku tentu akan memberi laporan kepada Hongsiang, agar semua orang mendapat ganjaran dan hadiah yang setimpal dengan jasanya ..."
Baru berkata sampai di situ, di sebelah kejauhan mendadak terdengar suara tindakan yang cepat dan enteng sekali. Kupingnya Say Congkoan sangat tajam. "Kim Bian Hud!" katanya, hampir berbisik. "Kami bersembunyi, saudara-saudara lainnya pergilah menyambut dia."
Touw Sat Kauw, Hian Beng Cu, Leng Ceng Ki Su dan yang lain-lain segera bangun dan berjalan keluar, meninggalkan tujuh wisu yang bersembunyi di dalam kamar. Dalam sekejap, suara tindakan sudah berada di luar pekarangan rumah. Kecepatan bergeraknya orang itu sungguh sukar dilukiskan dengan sang kalam.
Bagaikan seorang pelaut yang tengah menghadapi badai, Say Congkoan dan enam rekannya berdebar-debar hatinya dan tanpa merasa, lalu mencabut senjata. "Sembunyi!" memerintah Say Congkoan.
Satu wisu menghampiri ranjang dan bergerak untuk membuka kelambu, dengan niatan bersembunyi di tempat tidur itu.
"Tolol!" membentak Say Congkoan. "Sembunyi di ranjang seperti juga tidak bersembunyi!"
Orang itu urungkan niatannya dan ketujuh pengawal Kaisar tersebut segera mencari tempat sembunyi yang dirasa baik, ada yang masuk ke kolong ranjang, ada yang menutup dirinya di dalam lemari, ada yang melingkar di rak buku dan sebagainya. Ouw Hui tertawa geli. "Kau maki orang tolol, tapi kau sendiri yang tolol," katanya di dalam hati.
Sementara itu, di luar kamar sudah terdengar suara tertawanya Touw Sat Kauw dan Chio lookunsu, dan beberapa saat kemudian, mereka mengantar seorang tetamu masuk ke dalam kamar samping itu. Diam-diam Touw Sat Kauw mendongkol berbareng heran. Kenapa tak ada satu pun bujang yang munculkan diri? Akan tetapi, berhubung dengan mendesaknya keadaan, ia tak mempunyai tempo lagi untuk menyelidiki hal itu. Touw Sat Kauw melirik Biauw Jin Hong. Paras mukanya jago itu ternyata tetap tenang, seperti juga tiada kejadian suatu apa yang luar biasa. Sesudah semua orang mengambil tempat duduk, Touw Sat Kauw segera berkata, "Biauw heng! Aku dan 'Soat San Hui Ho' telah mengadakan perjanjian untuk mengadu silat di tempat ini, pada hari ini. Bantuan yang diberikan oleh Biauw heng dan beberapa saudara lainnya, aku hanya dapat mengucapkan ribu-ribu terima kasih. Sekarang siang sudah terganti malam, tapi 'Soat San Hui Ho' belum juga muncul. Mungkin sekali, mendengar kedatangannya saudara-saudara, dia jadi ketakutan dan sembunyikan buntut rasenya."
Bukan main gusarnya Ouw Hui. Kalau menuruti adatnya, saat itu juga ia sudah keluar menerjang. Biauw Jin Hong hanya mengeluarkan satu suara "hm". Ia berpaling kepada Hoan Pangcu seraya berkata, "Hoan heng. Aku tak tahu, kau belakangan dapat juga meloloskan diril"
Hoan Pangcu bangun dan menyoja. "Tanpa perdulikan keselamatan jiwa sendiri, Biauw ya sudah menyatroni penjara guna menolong aku," katanya dengan sikap menghormat. "Budi ini, sampai mati tak akan aku dapat melupakan. Pada ketika Biauw ya membinasakan belasan pengawal istana, keadaan menjadi kalut dan dengan menggunakan kesempatan itu, para persakitan pada menerjang keluar. Berkat keangkeran Biauw ya, akhirnya aku pun dapat menoblos keluar."
Omongan Hoan Pangcu dusta belaka. Sesudah Biauw Jin Hong gagal dalam usahanya menolong orang she Hoan itu, Say Congkoan pergi menemui Kepala Pengemis itu di penjara. Dengan ancaman dan dengan harta, ia coba membujuk supaya Hoan Pangcu mengambil pihak pemerintah, tapi sesudah berusaha beberapa hari, masih juga belum berhasil. Say Congkoan adalah ahli membaca hatinya orang. Sesudah berkutet beberapa hari, ia segera mengetahui kelemahannya Hoan Pangcu yang kepala batu itu. Ia mengetahui, bahwa pemimpin Kay Pang itu senang sekali diumpak-umpak. Demikianlah, pada suatu hari, ia sendiri pergi ke penjara dan ajak Hoan Pangcu berdiam dalam rumahnya sendiri, sebagai seorang "tahanan" terhormat. Ia pilih beberapa wisu yang pandai menjilat-jilat guna menemani Hoan Pangcu. Selang beberapa hari, orang she Hoan itu, yang setiap hari dijejal dengan umpakan dan jilatan, sudah menjadi lumer hatinya dan mau omong-omong dengan beberapa wisu itu.
Say Congkoan diam-diam merasa girang sekali. Belakangan, sesudah tawanannya menjadi jinak, Say Congkoan lalu turun tangan sendiri dan menemani orang she Hoan itu. Pada suatu hari, mereka berdua merundingkan jago-jago pada jaman itu. Meskipun Hoan
Pangcu seorang sombong, akan tetapi ia masih mengakui, bahwa Biauw Jin Hong lah yang mempunyai ilmu silat paling tinggi di kolong langit.
"Pangcu terlalu merendahkan diri," kata Say Congkoan. "Menurut pendapatku, biarpun 'Kim Bian Hud mendapat julukan 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu', belum tentu ia dapat menangkan Pangcu."
Diangkat secara begitu, bukan main senangnya orang she Hoan itu. Lantas saja ia merasa, bahwa kepandaian Biauw Jin Hong benar-benar tidak seberapa dan jika benar-benar bergebrak, ia pasti tidak akan kalah.
Mereka bicara uplek sekali, seluruh malam mereka tak merasa cape. Tiba-tiba Say Congkoan bicarakan ilmu silatnya sendiri. Sesaat itu, seperti sudah diatur terlebih dulu, beberapa wisu datang menimbrung. Mereka menceritakan pertempuran antara Say Congkoan dan Biauw Jin Hong ketika terjadi peristiwa pembongkaran penjara. Kata mereka, dalam seratus jurus yang pertama,
kekuatan kedua belah pihak dapat dibilang berimbang. Sesudah itu, Say Congkoan berada di atas angin, dan jika Biauw Jin Hong tidak buru-buru kabur, ia pasti akan dapat dibikin rubuh. Hoan Pangcu mesem-mesem hatinya tak percaya.
"Sudah lama aku dapat dengar, bahwa ilmu golok Ngo Hongto dari Pangcu, yang mempunyai delapan puluh satu jalan, tiada bandingannya di dalam dunia," kata Say Congkoan. "Kali ini, meskipun benar kami menerima firmannya Hongsiang, akan tetapi, rekan-rekan kami juga sesungguhnya ingin belajar kenal dengan ilmu silat Pangcu. Demikianlah sesudah merangkap tenaganya delapan belas si wi kelas satu, barulah kami dapat mengundang Pangcu datang ke sini. Kami semua merasa sangat menyesal belum mendapat kesempatan untuk menerima pelajaran dari Pangcu dengan satu melawan satu. Sekarang, sedang kita lagi bergembira, marilah kita main-main beberapa jurus."
Mendengar begitu, Hoan Pangcu segera berkata, "Sedang Biauw Jin Hong sendiri masih bukan tandingan Congkoan, aku kuatir diriku bukan tandingan."
"Ah! Pangcu terlalu merendahkan diri," kata Say Congkoan sembari tertawa.
Sesudah bicara lagi sedikit, mereka lalu bergebrak di gedung Congkoan. Hoan Pangcu menggunakan golok, Say Congkoan menggunakan tongkat long gee pang (tongkat gigi anjing hutan) yang gagangnya pendek. Tenaga Say Congkoan sangat besar dan serangannya hebat dan sesudah bertempur kurang-lebih tiga ratus jurus, belum juga ada yang keteter. Sesudah bertanding pula kira-kira semakanan nasi, Say Congkoan kelihatan mulai lelah dan kena didesak sampai di pojok rumah. Beberapa kali, ia coba menerjang keluar, tapi selalu tak dapat menobloskan kurungan sinar goloknya Hoan Pangcu. Di lain saat, ia berseru, "Pangcu sungguh lihay! Aku menyerah kalah!"
Dengan hati bunga, sambil tertawa, Hoan Pangcu loncat mundur, sedang Say Congkoan segera melemparkan kedua tongkatnya di atas tanah, dengan bikin laga seperti orang mendongkol. "Ah!" katanya, menghela napas. "Dahulu aku menganggap diri sebagai orang gagah yang tak ada tandingannya. Sekarang baru aku tahu, bahwa di luar langit masih ada langit, di atas manusia masih ada manusia lain."
Ia menyusut keringatnya, yang berketel-ketel dan napasnya sengal-sengal. Sesudah merebut "kemenangan" itu, orang she Hoan itu lalu diangkat sampai di awang-awang. Mulai waktu itu, ia bergaul semakin rapat dengan para si-wi dan ta'luk terhadap si Congkoan yang dianggap sebagai seorang manis budi, seorang berpangkat tinggi yang tak sombong. Sebagai satu manusia kasar, Hoan Pangcu sama sekali tak mengetahui, bahwa semua itu adalah siasatnya Say Congkoan yang sudah sengaja berlaga keok. Jika sama-sama mengeluarkan kepandaian, dalam seratus jurus saja, ia sudah rubuh di bawah long gee pang. Tapi kenapa, sedang kepandaiannya Hoan Pangcu masih belum mencapai puncak yang paling tinggi, si Congkoan sudah mau capekan hati begitu rupa, untuk menarik dia ke pihaknya?
Sebabnya adalah begini, meskipun Hoan Pangcu tidak terlalu lihay, ia mempunyai semacam ilmu turunan yang tidak dipunyai oleh orang lain. Ilmu itu adalah "Houw Jiauw Kin Na Chiu" (ilmu menangkap dengan tangan cara cengkeraman harimau). Tak perduli bagaimana tinggi kepandaiannya sang lawan, begitu kena dipegang atau dicengkeram bagian tubuhnya yang berbahaya, jangan harap bisa terlepas lagi. Dengan mendengar omongannya Tian Kui Long, Say Congkoan telah memasang jebakan untuk membekuk Biauw Jin Hong, dalam usaha mendapatkan harta karun. Tapi jebakannya yang sudah diatur sedemikian rapi, akhirnya mendapat kegagalan. Maka itu, ia ingin meminjam tangannya Hoan Pangcu untuk merubuhkan Biauw Jin Hong, dengan "Houw Jiauw Kin Na Chiu". Akan tetapi, berhubung dengan lihaynya 'Kim Bian Hud', Hoan Pangcu pasti akan gagal jika harus bertempur secara terang-terangan. Itulah sebabnya, kenapa mereka ramai-ramai datang ke Giok Pit Hong guna meringkus Biauw Jin Hong dengan tipu membokong. Mendengar pernyataan terima kasihnya Hoan Pangcu, Biauw Jin Hong segera membalas hormat.
"Orang bagaimana sih itu 'Soat San Hui Ho'?" menanya ia. 'Ada ganjelan apakah antara Touw heng dan dia. Bolehkah aku mendapat tahu?"
Mukanya Touw Sat Kauw lantas saja berobah merah. "Aku sebenarnya tidak mengenal dia," sahutnya. "Entah kenapa, mungkin lantaran mendengar segala desas-desus, ia telah menyatroni beberapa kali dan meminta pulang barang mustikanya yang katanya diwarisi oleh leluhurnya. Aku mengetahui, ia mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi dan mengingat diriku bukan tandingannya, ditambah dengan usiaku yang sudah lanjut, maka aku lalu mengundang saudara-saudara datang kemari. Jika dia terus berkepala batu, aku mohon bantuan saudara-saudara untuk ajar adat bocah yang kurang ajar itu"
"Dia kata, Touw heng telah mengambil mustika leluhurnya," kata pula Biauw Jin Hong.
"Bolehkah aku mendapat tahu, mustika apa?"
"Mustika apa? Semuanya dusta!" sahut Touw Sat Kauw dengan suara mendongkol.
Dalam persahabatannya dengan Touw Sat Kauw, Biauw Jin Hong mengetahui, sahabat itu adalah satu manusia serakah. Bahwa ia sekarang berumah di Giok Pit Hong juga adalah untuk mencari harta. Maka itu, tuduhan "Soat San Hui Ho" mungkin bukan hanya tuduhan belaka.
Sambil mengawasi tuan rumah, ia memikir beberapa saat. "Kalau benar mustika itu adalah miliknya 'Soat San Hui Ho', jika sebentar dia datang kemari, baiklah Touw heng membayar pulang saja," kata 'Kim Bian Hud' dengan suara tawar Touw Sat Kauw jadi mendongkol. "Tidak! Dusta!" ia berseru. "Mana dia mustikanya? Dari mana aku harus membayar pulang?"
Hoan Pangcu lihat keadaan sudah mendesak. Biauw Jin Hong adalah seorang yang sangat cerdas otaknya. Ia berkuatir, jika 'Kim Bian Hud' duduk lama-lama, jebakan yang dipasang akan dindus olehnya. Maka itu, lantas saja ia mendekati seraya berkata, "Touw chungcu! Perkataannya Biauw ya adalah benar. Sesuatu barang mempunyai majikan, apalagi mustika warisan leluhur. Lebih baik chungcu kasi pulang padanya. Guna apa angkat senjata?"
Dalam bingungnya, Touw Sat Kauw jadi gusar. "Kau pun berkata begitu? Apa kau tak percaya padaku?" ia menanya dengan mata melotot.
"Aku tak mengetahui asal-usulnya urusan ini," kata Hoan Pangcu. "Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Biauw ya mestinya benar. Banyak tahun aku berkelana di dunia Kang Ouw dan tidak percaya omongan siapa juga. Hanya omongan Biauw ya seorang yang aku percaya."
Sehabis berkata begitu, ia berjalan ke belakangnya Biauw Jin Hong dan kedua tangannya lalu bergerak! Mendadak, Biauw Jin Hong yang sedang mendengari kata-kata umpakannya orang she Hoan itu, rasakan dua jalanan darahnya kesemutan, yaitu jalanan darah Hong Ti Hiat di belakang kuping dan Sin To Hiat di punggung.
"Celaka!" ia mengeluh. Ia menggerakkan lengan kirinya untuk menghantam si pembokong. Akan tetapi, oleh karena kedua jalanan darah itu adalah jalanan darah yang sangat penting, ditambah pula serangannya dilakukan dengan menggunakan ilmu "Houw Jiauw Kin Na Chiu", maka di lain saat, 'Kim Bian Hud' rasakan seluruh tubuhnya lemah tidak bertenaga. Dengan badan yang lemas itu, meskipun mempunyai kepandaian setinggi langit, ia tak mampu mengeluarkan kepandaiannya itu.
Tapi tidak percuma Biauw Jin Hong memperoleh gelaran, "Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu" yang sudah kenyang mengalami macam-macam badai. Sambil membentak laksana guntur, ia menundukkan kepalanya, dan dengan sekali mengerahkan tenaga di pinggang, badannya Hoan Pangcu yang besar terbang melewati atas kepalanya! Say Congkoan dan enam rekannya berseru keras dan menerjang keluar dari tempat sembunyinya. Meskipun sudah dilontarkan Biauw Jin Hong, "Houw Jiauw Kin Na Chiu" adalah bagaikan lintah yang meletak pada tubuh manusia. Saat itu, Hoan Pangcu sudah berhadapan dengan Biauw Jin Hong, akan tetapi kedua tangannya masih terus menyengkeram kedua jalanan darah di belakang kuping dan di punggungnya Biauw Jin Hong. Oleh karena begitu, 'Kim Bian Hud' masih tetap tidak berdaya. Sesaat itu, para si wi sudah menerjang padanya.
"Ah! Selama hidup, aku Biauw Jin Hong malang-melintang di dunia Kang Ouw, tak nyana hari ini aku harus binasa di dalam tangannya segala manusia rendah," katanya di dalam hati Sesaat itu, satu si wi sudah menubruk sambil mementang kedua tangannya, untuk peluk lehernya.
Dalam kegusarannya yang meluap-luap, sedang badannya tak dapat bergerak sedikit pun, mendadak ia benturkan kepalanya ke kepalanya si wi itu. Sebagai orang yang mempunyai ilmu weduk "Kim Ciong To", benturan itu hebat luar biasa. Begitu kena, begitu kepalanya si wi hancur dan binasa seketika.
Semua orang jadi kesima. Serentak terjangan mereka terhenti, dalam jarak kira-kira beberapa kaki dari Biauw Jin Hong.
Sesudah berhasil satu kali, cepat bagaikan kilat, Biauw Jin Hong benturkan kepalanya kepada tubuhnya Hoan Pangcu. Si pemimpin pengemis mencelos hatinya. Dalam bingungnya, ia menundukkan kepala, kedua tangannya memeluk pinggangnya "Kim Bian Hud" erat-erat, sedang kepalanya disesapkan di kempungannya Biauw Jin Hong. Pada saat Hoan Pangcu memindahkan kedua tangannya dari punggung ke pinggang, kakitangannya 'Kim Bian Hud' dapat bergerak pula. Ia angkat satu kakinya dan tendang terpental satu si wi yang berada paling dekat, dan berbareng, ia angkat satu tangannya untuk menghantam punggungnya Hoan Pangcu. Tapi tangannya mandek di tengah udara, kaki-tangannya mendadak lemas kembali, sebab pada saat itu, jalanan darah di pinggangnya sudah tercengkeram kembali.
Semua kejadian itu, yang harus dituturkan secara panjang-lebar, terjadi dalam sekejap mata saja. Say Congkoan mengetahui, bahwa cengkeramannya Hoan Pangcu hanya bisa berhasil dalam sementara waktu. Maka itu, ia segera loncat maju dan menotok dua kali jalanan darah "Siauw Yauw Hiat di pinggangnya 'Kim Bian Hud'. Totokan Say Congkoan tidak begitu cepat turunnya, tapi kenanya sangat berat. Begitu kena, 'Kim Bian Hud' mengeluarkan suara "heh!" dan sekujur badannya seperti juga mati Hoan Pangcu yang menyesapkan kepalanya di kempungan Biauw Jin Hong, tak mengetahui adanya kejadian itu. Sepuluh jerijinya terus mencengkeram jalanan darah Biauw Jin Hong. "Hoan Pangcu! Kau sudah memperoleh pahala besar sekali," kata Say Congkoan. "Lepaskanlah tanganmu!"
Sesudah berseru tiga kali, barulah Hoan Pangcu angkat kepalanya, tapi ia masih tidak berani melepaskan tangannya.
Satu si-wi segera mengeluarkan borgolan baja yang dibawa dari kota-raja dan lalu memborgol kedua tangan dan kakinya 'Kim Bian Hud'. Sesudah itu, barulah Hoan Pangcu berani melepaskan kedua tangannya. Meskipun sudah terborgol kaki-tangannya, Say Congkoan masih berkuatir, kalau-kalau dengan satu dan lain jalan, Biauw Jin Hong masih dapat meloloskan dirinya. Jika sampai kejadian begitu, bahaya bagi dirinya tak dapat diukur bagaimana besarnya. Memikir begitu, lantas saja ia ambil sebilah golok dari tangannya seorang rekannya, seraya berkata, "Biauw Tayhiap Bukannya aku, si orang she Say tidak menyinta sahabat. Tapi, oleh karena ilmu silatmu benar-benar terlalu tinggi, jika urat tangan dan urat kakimu tak diputuskan, kami semua tak dapat makan dan tidur enak." Sembari berkata begitu, satu tangannya menyekal lengannya 'Kim Bian Hud', sedang lain tangannya mengangkat golok. Empat kali saja golok itu turun, tamatlah riwayatnya Biauw Jin Hong sebagai "Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu". Lebih dari itu, ia malahan akan menjadi seorang bercacad yang tiada gunanya. Melihat begitu, tak tega hatinya Hoan Pangcu. Ia melonjorkan tangannya untuk menahan tangannya Say Congkoan, seraya berseru, "Jangan lukakan padanya!"
Say Congkoan tertawa dingin dan berkata dalam hatinya, "Hm! Kau kira benar-benar aku kalah dari kau? Biar aku beri sedikit pelajaran kepadamu!"
Sembari berpikir begitu, ia lantas saja mengerahkan tenaga dalam nya dan dengan menggunakan pundak kanan ia bentur tangannya Hoan Pangcu. Lantaran benturan itu dikirim dengan tenaga dalam yang dahsyat dan juga lantaran Hoan Pangcu sama sekali tidak mengimpi bakal diperlakukan secara begitu, maka, begitu kebentur, dengan satu suara "duk!" tubuhnya Hoan Pangcu terpental dan menghantam dinding papan dari kamar tersebut. Benturan itu ada sedemikian hebat, sehingga sang dinding toblos dan badannya Hoan Pangcu terlempar keluar dari lubang itu! Say Congkoan tertawa terbahak-bahak. Tanpa rintangan lagi, ia lalu angkat pula goloknya ... Semua orang menahan napas! Pada detik yang memutuskan nasibnya Biauw Jin Hong, satu bentakan bagaikan guntur memecah kesunyian yang penuh ketegangan itu. Satu bayangan hitam, yang gerakannya cepat secepat arus listrik, melesat dari dalam kelambu yang tertutup. Itulah "Soat San Hui Ho", si Rase Terbang dari Gunung Salju!
Barusan, ketika goloknya Say Congkoan terangkat naik, Ouw Hui rasakan otaknya puyeng oleh karena adanya dua pikiran yang bertentangan satu sama lainnya. Tapi, sebagai satu ksatria, lantas saja ia mengambil keputusan. "Walaupun Biauw Jin Hong adalah musuh yang sudah membinasakan ayahku, tapi dia adalah pendekar besar dalam jaman ini," katanya di dalam hati.
"Cara bagaimana aku dapat membiarkan ia jadi korbannya segala manusia bangsa cecurut?" Demikianlah, sambil membentak keras, "Soat San Hui Ho" lalu mengenjot badannya Bukan main hebatnya si Rase Terbang! Sebelum kedua kakinya hinggap di lantai, kedua tangannya sambar dua si wi dan benturkan kepala yang satu dengan kepala yang lain. Seketika itu juga, dua batok kepala remuk dan roh mereka bersama-sama pergi menemui Giamkun!
Semua orang kaget bagaikan disambar geledek. Dalam kagetnya, Say Congkoan memutar badan, goloknya yang mau digunakan membacok Biauw Jin Hong, urung turun. Di lain saat, Ouw Hui sudah merubuhkan dua orang lain. Kamar itu adalah kamar yang tidak seberapa besar. Di pihaknya Say Congkoan ada delapan belas orang, dua antaranya sudah binasa. Ditambah dengan Ouw Hui dan Biauw Jin Hong, jumlah manusia dalam kamar itu tetap delapan belas dan dapatlah dimengerti, bahwa di tempat yang begitu sempit, dengan jumlah manusia yang begitu banyak, tak ada satu pun yang dapat mengeluarkan kepandaiannya.
Ouw Hui terus kasi kerja kedua tangannya dengan cepat sekali. Dengan tangan kanan, ia hantam satu si wi yang lantas saja terpelanting, sedang tangan kirinya menyodok seorang musuh lain. Ouw Hui agak terkejut, sebab tangan kirinya "terpleset," seperti juga menghantam benda yang licin. Ia mengawasi musuh itu yang ternyata adalah seorang tua yang jenggotnya panjang dan mukanya bersinar merah. Dengan segera ia mengetahui, bahwa orang itu adalah satu ahli lweekee (ilmu dalam) yang tak boleh dibuat gegabah, dan memang juga benar begitu, oleh karena orang tua tersebut bukan lain daripada Chio lookunsu. Ouw Hui sudah mendapatkan gelaran "Soat San Hui Ho" oleh karena bukan saja ilmu silatnya sangat tinggi, tapi juga sangat berakal-budi. Di antara belasan musuh itu, jika satu melawan satu, semuanya bukan tandingannya. Akan tetapi, jika mereka mengerubuti, ia bakal jadi berabe sekali. Memikir begitu, lantas saja ia mendapat suatu daya. Bagaikan kilat, ia menendang dadanya Leng Ceng Ki Su.
Leng Ceng Ki Su adalah ahli gwakee (ilmu luar). Melihat sambaran kaki, ia segera membabat dengan tangannya. Ouw Hui yang memang hanya menggertak, segera menarik pulang kakinya, dan pada saat itu, di luar dugaan orang, satu tangannya menyambar dadanya Touw Sat Kauw, sedang lain tangannya menyengkeram kempungannya Hian Beng Cu. Ia angkat badannya dua musuh itu, yang segera digunakan sebagai senjata, untuk menghantam rombongan musuh yang berkumpul. Oleh karena kuatir mencelakakan kedua kawannya, mereka tidak berani turun tangan ramai-ramai, lalu mundur ke pojok kamar.
Melihat keadaan yang jelek bagi pihaknya, Say Congkoan menjejek kedua kakinya dan badannya lantas melesat keluar dari antara kawan-kawannya. Ia pentang sepuluh jerijinya untuk menyengkeram kepalanya Ouw Hui.
"Soat San Hui Ho" yang justru ingin Say Congkoan berbuat begitu, lantas saja loncat mundur beberapa tindak dan tertawa terbahak-bahak "Ah, loo Say," ia berkata dengan suara menjengek.
"Sungguh aku tak nyana, mukamu begitu punya tebal!" Say Congkoan gusar tercampur kaget. "Kenapa?" ia menanya tanpa merasa.
Dengan kedua tangan tetap menyengkeram jalanan darahnya Touw Sat Kauw dan Hian Beng Cu, Ouw Hui berkata dengan suara nyaring, "Dengan belasan orang dan dengan menggunakan akal busuk yang sangat rendah, barulah kau berhasil membekuk 'Kim Bian Hud'. Tapi apa kau tak malu? Kau, seorang yang katanya jagoan nomor satu di istana Kaisar!"
Mendengar cacian itu, yang sangat tajam, paras mukanya Say Congkoan jadi merah-padam. Ia mengebas tangannya dan kawannya lantas saja berpencar ke empat penjuru untuk mengurung Ouw Hui. "Apa kau 'Soat San Hui Ho'?" ia membentak.
"Yah, itulah aku!" jawab Ouw Hui. "Sudah lama aku dengar, bahwa di Pakkhia terdapat satu orang yang dipanggil Say Congkoan. Ketika itu, aku menduga, bahwa dia sedikitnya adalah satu manusia. Tapi tak dinyana, dia hanyalah satu siauwjin (manusia rendah) yang tak mengenal malu. Di sebelahnya bermuka tebal, dia ternyata tak lebih dari segentong nasi dan telur busuk! Ah, loo Say! Loo Say! Lebih baik kau pulang saja dan empo-empo orok."
Selama hidupnya, Say Congkoan adalah seorang sombong. Maka itu, manalah ia dapat menelan makian yang sehebat itu? Akan tetapi, walaupun dadanya seperti mau meledak, sebagai seorang licik, ia masih menghitung-hitung. Ia lihat Ouw Hui berusia sangat muda, sehingga, biarpun lihay, menurut perhitungannya, tenaga-dalamnya tentu belum seberapa. Akan tetapi, melihat caranya ia menengteng Touw Sat Kauw dan Hian Beng Cu seperti juga orang menengteng ayam, hatinya jadi bersangsi. Demikianlah, sedang ia belum dapat mengambil keputusan cara bagaimana harus bertindak, Ouw Hui sudah menggape dan berkata, "Mari, mari! Mari kita main-main. Jika dalam tiga kali jurus aku belum dapat merubuhkan kau, 'Soat San Hui Ho' akan berlutut di hadapanmu!"
Say Congkoan yang sedang bersangsi, lantas saja menjadi girang ketika dengar tantangan Ouw Hui. Dalam perhitungannya, meskipun ia tidak dapat menjatuhkan si Rase Terbang, akan tetapi, adalah mustahil ia bisa dirubuhkan oleh Ouw Hui dalam tiga jurus. Lantas saja ia tertawa terbahak-bahak. "Baik, baik!" katanya. "Baiklah! Aku si orang she Say akan menemani kau main-main."
"Tapi, bagaimana jika dalam tiga jurus, kau rubuh dalam tanganku?" menanya Ouw Hui. "Aku menyerah atas segala kemauanmu," jawab Say Congkoan. "Kau pandang aku sebagai apa sih? Jika sampai kejadian begitu, aku si orang she Say mana ada muka untuk hidup lebih lama dalam dunia ini? Jangan rewel! Jagalah ini!" Sembari berkata begitu, ia menghantam dadanya Ouw Hui dengan kedua tangannya. Oleh karena kuatir Ouw Hui menggunakan tubuh Touw Sat Kauw dan Hian Beng Cu untuk menyambut serangannya, maka sembari memukul, ia mengangsek, untuk memaksa si Rase Terbang menggunakan kedua tangannya. Ouw Hui mengawasi menyambarnya pukulan itu dengan mata tajam, ia tak berkelit, juga tak menyampok. Pada saat kedua tangannya Say Congkoan hampir mengenakan dadanya, mendadak saja ia menyedot napas dan mengkeretkan dadanya, dan pukulannya Say Congkoan lantas menjadi punahi Say Congkoan terkejut. Ia tak nyana, Ouw Hui yang berusia masih begitu muda, mempunyai lweekang yang begitu dalam. Buru-buru ia loncat mundur lantaran takut si Rase Terbang menghantam balik dengan tenaga dalamnya.
"Jurus pertama!" berseru kawan-kawannya si Congkoan. Sebenarnya, gebrakan itu hanya boleh dihitung separoh jurus, sebab baru Say Congkoan yang mengirim pukulan dan Ouw Hui belum membalas. Akan tetapi, oleh karena ingin membantu si Congkoan, kawan-kawannya lantas saja menghitung "satu jurus".
Ouw Hui mesem tawar. Tiba-tiba ia mendehem dan riaknya menyambar mukanya Say Congkoan, sedang kedua kakinya, dalam gerakan berantai, mengirim dua tendangan. Bukan main kagetnya Say Congkoan melihat serangan riak dan dua kaki itu. Ia tahu, jika ingin menyingkirkan riak, ia harus meloncat tinggi atau menundukkan kepala Tapi, jika meloncat tinggi. Kempungannya tentu jadi sasaran kaki kiri musuh, sedang jika ia menunduk, janggutnya pasti akan berkenalan dengan kaki kanannya Ouw Hui. Demikianlah, dalam keadaan serba sukar, ia angkat kedua tangannya ke dada untuk menyambut kedua tendangan itu dan membiarkan
sang riak menyambar mukanya. Dengan satu suara "plok!" riaknya Ouw Hui nemplok di antara kedua alisnya! Bukan kepalang malunya Say Congkoan. Tapi lebih malu lagi, ia malahan tidak berani menyusut riak itu, lantaran kuatir serangan musuh.
"Jurus kedua!" berseru kawan-kawannya. Tapi seruan itu tidak senyaring yang pertama. Say Congkoan yang memang martabatnya rendah, diam-diam merasa girang. "Ah! Biarlah aku menelan sedikit hinaan," katanya di dalam hati. "Dengan menjaga diri baik-baik, apa sukarnya menyambut satu serangannya? Sesudah itu, aku mau lihat, apa lagi ia bisa kata?"
"Tinggal sejurus lagi!" ia membentak. "Hayo!" Ouw Hui mesem, la maju setindak dan sekonyong-konyong angkat tubuhnya Touw San Kauw dan Hian Beng Cu yang lantas dihantamkan ke arah Say Congkoan. Serangan semacam itu memang sudah diduga oleh Say Congkoan. Sedari tadi ia sudah mengambil putusan, bahwa jika terpaksa, ia tak akan sungkan-sungkan untuk mencelakakan juga kawan sendiri. Maka itu, begitu tubuh kedua kawannya menyambar, ia segera mengerahkan tenaganya dan menyampok dengan kedua tangannya. Tapi, mengimpi pun si Congkoan tak pernah mengimpi, bahwa sekali ini ia "ketemu batunya". Sebagaimana diketahui, Ouw Hui telah menyengkeram jalanan darah kedua jagoan itu, sehingga mereka tak dapat bergerak sama sekali. Pada sebelum tubuhnya kedua tawanan itu kebentrok dengan tangannya Say Congkoan, secara mendadak si Rase Terbang melepaskan cengkeramannya di jalanan darah dan hanya menyekal dengan cekalan biasa. Di lain pihak, begitu lekas jalanan darahnya terbuka dan kaki-tangannya dapat bergerak pula dengan leluasa, sebagai ahli-ahli silat, secara otomatis Touw Sat Kauw dan Hian Beng Cu menghantam kalang-kabutan dengan kaki-tangannya, dengan tujuan melepaskan dirinya dari cekalan musuh. Hantaman itu, yang dikirim dengan kegusaran dan kenekatan, bukan main dahsyatnya. Satu teriakan mengerikan keluar dari mulutnya Say Congkoan! ulu-atinya, dadanya, kempungannya dan beberapa anggauta badan lain kena dihajar telak sekali. Kakinya lemas dan tanpa ampun, ia jatuh duduk! Ouw Hui melepaskan cekalannya dan menyengkeram pula jalanan darahnya Touw Sat Kauw dan Hian Beng Cu. "Jurus ketiga!" ia berseru. Mulutnya berteriak, jerijinya menyengkeram terlebih keras dan kedua tawanannya lantas saja menjadi pingsan. Sekali lagi ia angkat kedua tubuh itu yang lantas saja dilontarkan ke arah dua jagoan lain. Mereka terkejut dan lalu loncat minggir, oleh karena kuatir mengalami nasib seperti Say Congkoan. Sembari melemparkan tubuh orang, Ouw Hui barengi melompat dan pada sebelum kakinya kedua jagoan yang loncat minggir itu hinggap di atas lantai, ia sudah sambar tubuh kedua orang itu dan menyengkeram jalanan darahnya. Sesudah itu, barulah ia memutar badan dan berkata kepada Say Congkoan, "Sekarang bagaimana?"
Congkoan yang temberang itu, sekarang mati kutunya. Ia menundukkan kepalanya dan mukanya pucat bagaikan kertas. "Sukamu," jawabnya dengan suara perlahan. "Guna apa tanya-tanya lagi?"
"Lepaskan Biauw Tayhiap!" ia memerintah.
Say Congkoan segera berpaling dan mengebaskan tangannya kepada dua si wi yang berdiri paling dekat. Mereka tidak berani membantah dan segera membuka borgolannya Biauw Jin Hong. Jalanan darah "Kim Bian Hud" telah ditotok oleh Say Congkoan dan kedua si wi itu tidak dapat membukanya, akan tetapi, baru saja Ouw Hui mau bergerak menolong, Biauw Jin Hong sudah mengerahkan pernapasannya dan begitu borgolan terbuka, ia menarik napas dalam-dalam dan jalanan darahnya sudah bebas kembali. Hampir berbareng, kaki kirinya menendang dan tubuhnya Leng Ceng Ki Su terpental. Belum puas dengan itu, satu tinjunya menjotos dan satu jagoan lain jungkir-balik. Hoan Pangcu yang tadi dihajar oleh Say Congkoan sehingga badannya menobloskan dinding papan, sesudah lewat beberapa lama barulah bisa bangun berdiri. Apa celaka, selagi ia berjalan masuk ke kamar dari lubang dinding, tubuhnya jagoan yang dijotos terpental oleh Biauw Jin Hong, menubruk ia. Tubrukan itu cukup hebat dan dalam keadaan setengah sadar, tanpa perdulikan kawan atau lawan, mereka saling menghantam dengan sekuat tenaga.
Di lain pihak, sebagai pentolan Kun Lun Pay, begitu ditendang Biauw Jin Hong, selagi badannya berada di tengah udara, Leng Ceng Ki Su goyang pinggangnya, sehingga ia jatuh di atas ranjang.
Ouw Hui terkejut bukan main. Ia menjejek kedua kakinya untuk melompat, guna menyeret keluar badannya Leng Ceng Ki Su. Tapi sebelum bergerak, satu kesiuran angin tajam menyambar dadanya, dan berbareng, dari sebelah kanan terdengar sambaran golok. Ternyata, Chio lookunsu dan satu si wi sudah serang padanya dengan berbareng. Goloknya si wi masih dapat dipunahkan, akan tetapi pukulan Chio lookunsu sukar dapat diegos. Maka itu, dengan terpaksa ia menyambut serangan itu. Akan tetapi, ilmu silat Thay Kek adalah bagaikan gelombang, pukulan yang satu menyusul yang lain, dan oleh karena begitu, niatannya untuk menyeret keluar tubuhnya Leng Ceng Ki Su menjadi gagal. Begitu jatuh di atas pembaringan, Leng Ceng Ki Su segera bangun kembali sembari menyepak dengan kakinya. Apa celaka, kakinya menyepak selimut dan, pada saat itu juga, sebagian badannya Biauw Yok Lan jadi kelihatan! Biauw Jin Hong yang sedang mengamuk, berhenti sejenak ketika melihat tubuhnya wanita itu. Ia mengawasi dan ... kedua matanya lantas saja "keluar api". Siapa yang tidak kaget, melihat wanita itu yang berbaring dengan hanya mengenakan pakaian dalam, adalah puteri sendiri? "Lan ji (anak Lan), kenapa kau?" ia berteriak. Biauw Yok Lan, yang ditotok jalanan darahnya, tak dapat menyahut. Ia hanya mengawasi sang ayah dengan paras muka merah.
'Kim Bian Hud' loncat dan tarik puterinya. Tubuhnya Yok Lan ternyata lemas bagaikan kapas akibat totokan. Dengan mata sendiri, tadi ia lihat Ouw Hui loncat keluar dari pembaringan itu, maka dapatlah dimengerti, jika darahnya jadi berdidih. Tak sempat ia membuka jalanan darah puterinya. Sembari berteriak, "Binatang!" ia merampas sebatang pedang dari tangan satu musuhnya dan mengirim tiga tikaman hebat ke arah si Rase Terbang, sembari menghantam juga dengan satu tangannya. Serangan itu, yang dikirim dengan kegusaran hebat, bukan main dahsyatnya. Ouw Hui terkesiap dan segera loncat untuk menyingkirkan diri. Dengan suara "buk", tinjunya Biauw Jin Hong menghantam punggungnya satu kiamkek (ahli pedang) undangannya Touw Sat Kauw.
Dalam Rimba Persilatan, kiamkek tersebut kesohor kuat kakinya, kuda-kudanya tak terkisar, walaupun ditarik belasan orang. Jotosan Biauw Jin Hong, yang dikirim dengan tenaga dalam yang sepenuhnya, sebenarnya ditujukan untuk Ouw Hui. Akan tetapi, si Rase Terbang yang gerakannya cepat luar biasa, sudah dapat kelit pukulan itu, yang secara tepat menyasar ke punggungnya kiamkek tersebut. Begitu kepukul, kedua kakinya cukup teguh, adalah punggungnya tidak sekuat kaki. Dengan suara "krek", punggungnya patah dua, badannya segera doyong bagaikan pohon rubuh, tapi kedua kakinya masih tetap berdiri tegak! Melihat dahsyatnya Biauw Jin Hong, semua orang lalu berpencaran untuk menyingkirkan diri. Sesaat itu, "Kim Bian Hud" sudah mengirim pula satu tendangan hebat ke arah Ouw Hui. Melihat Biauw Yok Lan yang rebah di atas ranjang tanpa berdaya, si Rase Terbang lantas saja mengambil satu putusan untuk menyelamatkan dirinya nona Biauw yang suci-bersih. Begitu kakinya Biauw Jin Hong bergerak, ia sambar badannya satu si wi yang digunakan sebagai tameng, sedang ia sendiri loncat ke depan pembaringan. Cepat bagaikan kilat, ia menggulung tubuhnya nona Biauw dengan selimut, dan sebelum orang dapat melihat tegas gerakannya, badannya
sudah melesat keluar dari lubang dinding. "Binatang! Lepaskan anakku!" berteriak Biauw Jin Hong sekeras suara. Ia segera mengenjot badan untuk mengubar, akan tetapi, oleh karena sempitnya kamar dan serangannya beberapa jagoan, untuk sementara "Kim Bian Hud" tak dapat menoblos keluar.
Melihat kegusaran dan keangkeran Biauw jin Hong, Ouw Hui merasa agak gentar. Sambil mendukung Yok Lan ia tak berani hentikan tindakannya. Begitu tiba di tebing, dengan satu tangan mencekal tambang is segera merosot turun dari puncak. Ia mengetahui, di dekat situ terdapat satu guha yang jarang didatangi manusia. Lantas saja ia mengerahkan tenaga dalamnya dan berlari-lari ke guha itu dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Kira-kira seminum teh, tibalah mereka di guha itu. Hati-hati Ouw Hui senderkan badannya Yok Lan di dinding guha. Dalam pada itu, Ouw Hui berada dalam keadaan serba salah. Untuk membuka jalanan darahnya Yok Lan, tak dapat tidak ia harus menyentuh badannya si nona. Jika tidak segera ditolong, nona Biauw bisa mendapat luka di dalam oleh karena ia sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Dalam sangsinya, ia segera mengeluarkan bahan api dan menyulut sebatang cabang kering. Di bawah sinarnya api yang remeng-remeng, ia merasa parasnya si nona jadi terlebih cantik lagi. "Biauw Kouwnio," kalanya "Aku sesungguhnya tidak berani berlaku kurang ajar terhadapmu. Akan tetapi, untuk membuka jalanan darahmu, aku harus menyentuh sebagian badanmu. Bilanglah, cara bagaimana aku harus berbuat?"
Biauw Yok Lan tak dapat menggerakkan anggauta badannya, tapi dari sorot matanya dapatlah diketahui, bahwa si nona sedang kemalu-maluan, tercampur dengan rasa berterima kasih. Ouw Hui jadi merasa sangat girang dan lalu membuka jalanan darah nona Biauw dengan jerijinya. Perlahan-lahan, kaki-tangannya dapat bergerak pula. "Terima kasih," katanya dengan suara tertahan.
Sesaat itu, "Soat San Hui Ho" yang tidak gentar menghadapi musuh yang bagaimana tangguh, jadi tergugu di hadapannya si gadis yang lemah lembut. Lama, lama sekali ia berdiri tanpa mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya, sesudah berhasil memulihkan ketenangannya, barulah ia berkata dengan suara perlahan, "Aku adalah seorang kasar. Barusan, dengan tidak disengaja, aku terpaksa melanggar adat sopan-santun. Kebersihan hatiku, Langit dan Matahari menjadi saksinya. Mohon nona sudi memaafkannya."
"Aku mengerti," jawab si nona sembari menundukkan kepala. Banyak sekali perkataan ingin diucapkan oleh kedua orang muda itu, akan tetapi semua perkataan tak dapat keluar dari tenggorokan. Lama sekali, bagaikan sepasang manusia gagu, mereka duduk berhadapan di tempat gelap itu. Di luar guha luar biasa dingin dengan es dan saljunya, akan tetapi di dalam guha dirasakan hangat oleh karena hati mereka adalah hangat. Akhirnya, kesunyian dipecahkan oleh Biauw Yok Lan. "Tak tahu bagaimana nasibnya ayah," kata ia.
"Ayahmu adalah seorang gagah yang tiada tandingan dan kawanan manusia itu sama sekali bukan tandingannya," jawab Ouw Hui dengan suara menghibur. "Legakanlah hatimu."
Nona Biauw menghela napas panjang. "Kasihan ayah," katanya. "Ia anggap kau ... kau berlaku tak baik terhadapku."
"Kita tak dapat menyalahkan ia," kata Ouw Hui. "Kita tak dapat merobah keadaan itu."
Tiba-tiba paras mukanya Yok Lan berobah merah dan berkata dengan suara jengah, "Oleh karena hati ayah pernah terluka hebat, maka ia gampang sekali tersinggung. Mohon Ouw ya tidak menjadi gusar."
"Ada urusan apa yang membikin luka hatinya?" menanya Ouw Hui. Sesudah mengeluarkan perkataan itu, barulah ia merasa sudah keterlepasan bicara. Ia ingin sekali menyimpangkan pembicaraan, tapi tak tahu harus berkata apa. Demikianlah, "Soat San Hui Ho" yang terkenal cerdas, jadi seperti manusia tolol di hadapannya Biauw Yok Lan.
"Walaupun soal ini adalah soal yang sangat memalukan, akan tetapi aku boleh tak usah menutupi terhadapmu," kata Yok Lan. "Soalnya adalah soal ibuku."
"Ah!" Ouw Hui keluarkan seruan tertahan.
"Ibuku telah membuat satu kesalahan besar," kata si nona.
"Mana ada manusia yang tidak pernah salah?" kata Ouw Hui. "Soal kesalahan janganlah terlalu dibuat pikiran."
Biauw Yok Lan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kesalahannya terlalu besar," katanya sambil menghela napas. "Seorang wanita tak dapat membuat kesalahan begitu. Lantaran kesalahannya, ia harus mengorbankan jiwa, dan malahan ayahku, hampir-hampir ia turut membuang jiwa," Ouw Hui berdiam tapi hatinya sudah menduga duduknya persoalan.
"Ayahku adalah seorang gagah dari kalangan Kang Ouw, sedang ibuku adalah satu ciankim siocia, puterinya satu pembesar negeri," menerangkan Yok Lan. "Satu waktu, secara kebetulan ayah menolong keluarga ibu dan oleh karena adanya budi itu, mereka lalu menikah. Mereka sungguh tidak sembabat. Tapi itu masih tidak mengapa. Yang lebih hebat, ayah telah berbuat satu kesalahan besar. Di hadapan ibu, sering-sering ia memuji ibumu!"
"Ibuku?" Ouw Hui menegasi dengan suara heran.
"Benar," jawabnya. "Pada waktu ayah pibu (bertanding) dengan ayahmu, ibumu telah mengasi lihat suatu sifat yang melebihi laki-laki jantan. Kalau sedang omong-omong, sering sekali ayah sebut-sebut untung ayahmu yang dikatakan baik sekali.
"Ouw It To hidup sehari dengan didampingi isterinya, lebih beruntung dari lain orang yang hidup seratus tahun," demikian sering-sering ayah berkata. Ibuku tidak kata apa-apa, tapi hatinya semakin lama jadi semakin mendongkol. Belakangan Tian Kui Long, dari Thian Liong Bun, mengunjungi kami sebagai tetamu. Ia adalah seorang lelaki yang berparas cakap sekali dan di sebelahnya itu, pandai benar ia mengambil-ambil hati wanita. Dalam kekhilafannya, ibuku mengikut dia lari."
"Ada kejadian begitu?" kata Ouw Hui dengan kaget sekali.
"Waktu itu aku baru berusia dua tahun," Yok Lan sambung penuturannya dengan suara sedih.
"Sambil mendukung aku, malam-malam ayah mengubar. la tak makan dan tak tidur. Sesudah mengubar tiga hari dan tiga malam, ia dapat menyandak. Melihat ayahku, Tian Kui Long berlutut dan minta-minta ampun. Selagi ayah mau turunkan tangan, ibu menyelak dan menubruk. Melihat ibu benar-benar sudah berobah pikiran dan menyintai lelaki itu, ayah menghela napas panjang berulang-ulang dan segera berlalu sambil mendukung aku. Begitu pulang, ia sakit berat, hampir-hampir ia mati. Ayah pernah kata, kalau bukan kasihan aku yang bakal jadi sebatang kara dalam dunia yang lebar ini, benar-benar ia sudah bosan hidup. Tiga tahun, ayah tak pernah melangkah pintu. Kadang-kadang, sambil mendongakkan kepala, ia mengeluh, Ah, Lan! Lan! Kenapa kau begitu gila!" Seperti aku, ibu pun bernama 'Lan.'"
Menutur sampai di situ, mukanya Yok Lan mendadak merah Pada jaman itu, namanya seorang wanita adalah suatu rahasia, orang luar cuma mengetahui she-nya (nama keluarga). Kecuali kepada orang yang sangat dekat, rahasia nama tak dapat gampang-gampang dibuka. Maka itu tidaklah heran jika si nona menjadi jengah, ketika tanpa merasa, ia sudah memberitahukan namanya kepada Ouw Hui.
Mendengar penuturan si nona, bukan main terharunya Ouw Hui. Ia terharu berbareng merasa berterima kasih, oleh karena si nona sudah mempercayai rahasia rumah tangga yang begitu besar, kepadanya. Dan hatinya jadi semakin bergoncang, ketika mendengar si nona memberitahukan namanya sendiri.
"Biauw Kouwnio," kata ia. "Tian Kui Long adalah manusia yang berhati sangat busuk. Aku rasa, ia bukan benar-benar mencintai ibumu."
"Ayah pun pernah mengatakan begitu," jawabnya. "Belakangan, sering-sering ayah sesalkan diri sendiri. Ia kata, jika ia tidak bersikap terlalu tawar terhadap ibu, pastilah ibu tidak kena digoda orang. Maksud sebenarnya dari orang she Tian itu memang juga adalah untuk menggaet satu peta bumi dari suatu harta karun. Peta bumi itu adalah warisan leluhur keluarga Biauw. Akan tetapi, meskipun ia berhasil membikin rumah-tangga ayah jadi berantakan, meskipun ia berhasil membikin aku jadi anak tanpa ibu, pada akhirnya usahanya yang busuk itu gagal sama-sekali. Sesudah hidup beberapa lama dengan ia ibuku mengetahui maksud tujuannya yang busuk. Maka itulah, pada waktu mau menutup mata, ibu telah memesan, supaya satu tusuk konde mutiara kepala burung hong dipulangkan kepada ayah. Dalam tusuk konde itulah tersimpan peta bumi yang dicari-cari oleh Tian Kui Long."
Sesudah itu, Yok Lan segera menceritakan segala pengalamannya Lauw Goan Ho waktu ia bersembunyi di kolong ranjangnya Tian Kui Liong. Akhirnya ia tuturkan, cara bagaimana peta bumi itu sudah dirampas oleh kawanan Po Si, yang dengan membawa golok komandonya Cwan Ong, sedang berusaha mencari harta karun itu.
"Yah, orang she Tian itu bukan main jahatnya" berkata Ouw Hui.
"Lantaran jeri terhadap ayahmu dan juga sebab gagal merampas peta, ia sudah coba menggunakan tangannya pembesar negeri untuk membekuk ayahmu, supaya bisa paksa ayahmu mengeluarkan peta bumi itu. Tapi ia tak dapat melawan maunya Tuhan. Hai! Gara-gara harta karun itu, tak tahu berapa banyak orang sudah mesti mengorbankan jiwa ." Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata pula, "Tapi ... tapi, justru lantaran gara-gara harta karun itu, ayah dan ibuku jadi terangkap jodo."
"Apa?" menanya nona Biauw dengan perasaan sangat ketarik. "Hayo, ceritakan!" Ouw Hui mesem sembari mengawasi si nona yang paras mukanya bersinar gembira.
"Kau tahu siapa ibuku?" menanya ia. "Ia adalah saudari misanan dari Touw Sat Kauw!" Yok Lan jadi terlebih heran lagi "Sedari kecil aku sudah kenal Touw pehpeh, tapi ayah belum pernah memberitahukan hal itu," katanya.
"Aku mengetahui hal itu dari surat-surat peninggalan ayah," menerangkan Ouw Hui. "Mungkin sekali, ayahmu tak tahu rahasia ini. Sudah lama sekali Touw chungcu mendapat endusan, bahwa harta karun itu tersimpan di puncak Giok Pit Hong. Maka itulah, ia sudah berdirikan rumah di puncak tersebut dan tak hentinya berusaha untuk mencarinya. Akan tetapi, lantaran otak tumpul dan juga sebab tak berjodo, usahanya itu tinggal sia-sia. Di lain pihak, ayah yang menyelidiki secara diam-diam, ada lebih beruntung. Waktu masuk ke dalam guha harta, ia dapat lihat ayahnya Tian Kui Long dan ayahnya Hoan Pangcu binasa bersama-sama. Pada ketika ayah mau menyongkel harta itu, ibu mendadak datang. Kepandaian ibuku banyak lebih tinggi daripada Touw chungcu. Melihat beberapa hari beruntun, ayah berkeliaran di sekitar tempat itu, hatinya lantas saja bercuriga dan lalu menguntit. Hari itu, ia turut masuk ke dalam guha harta dan bertempur dengan ayahku. Sebagai buntut dari pertandingan itu, kedua belah pihak saling mengagumi dan di situ juga ayah meminang ibuku.
Ibu memberitahu, bahwa sedari kecil ia dipelihara oleh kakak misanannya, yaitu Touw chungcu, sehingga jika ayah ambil harta itu, ia merasa tidak enak terhadap kakaknya itu. Oleh karena begitu, ibu suruh ayah memilih satu antara dua, ia atau harta. Ayah hanya bisa mendapat satu, tak mungkin mendapat dua-duanya. Ayah tertawa terbahak-bahak dan mengatakan, bahwa walaupun di hadapannya berjejer sepuluh laksa gudang harta, tanpa bersangsi ia akan memilih ibu. Ayah lalu menulis sebuah tulisan yang menuturkan segala kejadian itu dan menempel tulisan tersebut di dalam guha. Di bawahnya tulisan itu, ayah dan ibu masing-masing menulis satu syair, supaya di kemudian hari, orang yang menemukan gudang harta tersebut dapat mengetahui, bahwa di dalam dunia kini, yang paling berharga bukannya harta, akan tetapi kecintaan yang suci murni."
Mendengar sampai di situ, Yok Lan mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata kagum. "Biarpun kedua orang-tuamu meninggal dunia dalam usia muda, akan tetapi mereka banyak lebih berbahagia daripada kedua orang-tuaku," katanya dengan suara perlahan.
"Akan tetapi, sebagai anak piatu, aku lebih banyak merasakan sengsara daripada kau," kata Ouw Hui. Nona Biauw mengawasi dengan perasaan kasihan. "Yah," katanya sambil menghela napas "Jika ayahku mengetahui kau masih hidup, biar bagaimana pun juga, ia akan pelihara kau. Jika itu terjadi, bukankah siang-siang kita sudah mengenal satu sama lain?"
"Kalau aku menumpang di rumahmu, mungkin sekali kau merasa sebal akan diriku," kata Ouw Hui sembari tertawa.
"Tidak." kata Yok Lan dengan suara keras. "Mana bisa begitu? Aku pasti akan perlakukan kau seperti saudara kandung sendiri."
Jantungnya Ouw Hui berdenyut keras. "Tapi ... tapi apakah pertemuan kita tidak terlalu lambat?" ia menanya.
Nona Biauw tidak lantas menyahut selang beberapa saat, barulah ia menjawab dengan suara berbisik, "Tidak!"
Si Rase Terbang jadi girang bagaikan kalap. Jawaban si nona sudah merupakan satu pengakuan yang tak dapat ditafsirkan lain, daripada satu pengakuan, bahwa ia menyintai Ouw Hui.
"Aku bersumpah," ia berkata dengan suara terharu, "bahwa selama hidupku, aku Ouw Hui tak akan mensia-siakan kau!"
Kedua orang muda itu lantas saling menyekal tangan dan tidak berkata-kata lagi. Bagi dua hati yang sudah bersatu, kata-kata tidak diperlukan lagi. Bagi mereka guha yang kecil dan sempit itu sudah merupakan merupakan dunia yang serba lengkap, sehingga mereka seakan-akan lupa, bahwa di luar guha masih terdapat langit dan bumi yang tiada batasnya. Lama, lama sekali mereka saling menyekal tangan. Akhirnya, lagi-lagi Biauw Yok Lan yang memecahkan kesunyian. "Mari kita bersama-sama mencari ayah," mengajak ia.
"Baiklah," sahut Ouw Hui, yang sebenar-benarnya sungkan berkisar dari situ. Yok Lan pun mempunyai perasaan yang sama. Maka itu, lantas saja ia berkata, "Sedang Touw chungcu masih mempunyai ikatan keluarga dengan kau, kenapa kau mau tempur padanya?"
Ouw Hui kertek giginya. "Ah! Jika diceritakan, sungguh-sungguh mendeluhkan," katanya. "Pada waktu mau menutup mata, ibuku menulis satu surat wasiat yang ditaroh di atas buntalan pakaianku. Dalam surat itu, ia memohon ayahmu dan Touw chungcu, supaya mereka suka memelihara aku sampai menjadi besar. Akan tetapi belakangan terjadi kejadian yang tidak diduga-duga.
Peng sisiok telah bawa aku kabur. Oleh karena menduga ayahmu mempunyai niatan kurang baik terhadapku, ia bawa aku kabur ke tempatnya Touw chungcu. Akan tetapi, sebaliknya dari ayahmu, adalah Touw chungcu yang berhati busuk. Ia sangat ingin merampas kitab ilmu silat ayahku dan di sebelahnya itu, ia pun menduga kedua orang-tuaku mengetahui rahasia gudang harta itu. Begitulah, diam-diam ia sudah menggerayangi barang-barang peninggalannya ibu. Peng sisiok yang mengetahui kejadian itu, buru-buru mabur sambil mendukung aku. Ia berhasil membawa Buku Pitkip (Kitab Ilmu Silat) ayahku, tapi sebuntal barang-barang peninggalan ibu, sudah hilang di rumah Touw chungcu. Itulah sebabnya kenapa aku sudah janjikan untuk mengadakan satu pertemuan dengan ianya, guna mengambil pulang barang peninggalannya ibuku."
"Biasanya terhadap lain orang Touw chungcu selalu berlaku manis budi, tak nyana terhadap kau, ia begitu jahat," kata si nona.
"Hm!" Ouw Hui keluarkan suara di hidung. "Bahwa ia sudah bersekutu untuk mencelakakan ayahmu, sudah merupakan bukti cukup dari kejahatannya," Belum habis perkataannya, dari arah sebelah kiri mendadak terdengar suara beradunya senjata, dicampur dengan bentakan-bentakan! Ouw Hui yang kupingnya tajam luar biasa, segera berkata, "Heran! Kenapa suara itu keluar dari bawah tanah? Kau tunggu di sini, aku akan pergi menyelidiki."
"Tidak! Aku ikut," kata si nona. Ouw Hui yang sebenarnya tak ingin tinggalkan ia sendirian, lantas saja berkata, "Baiklah."
Sambil menuntun tangannya nona Biauw, ia lalu berjalan keluar dari guha itu. Malam itu adalah malam sha gwee capgo (bulan tiga, tanggal lima belas.) Sang Puteri Malam yang bundar menyiarkan sinarnya yang putih bagaikan perak di atas salju yang putih pula. Sungguh indah pemandangan itu. Mereka seakan-akan berada dalam dunia impian. Oleh karena kuatir si nona kedinginan, Ouw Hui membuka juba luarnya dan berikan itu kepada Yok Lan. Perlahan mereka menuju ke arah suara itu. Sesudah berjalan beberapa lama, suara itu kedengaran semakin keras Ouw Hui berhenti sejenak dan memasang kupingnya "Ah! Suara itu datang dan gudang harta," katanya. "Mereka tentu sedang bertempur untuk berebut harta karun itu."
Dari kitab peninggalan mendiang ayahnya, si Rase Terbang sudah mendapat tahu di mana letaknya guha harta itu dan sudah pernah masuk-keluar beberapa kali. Dari guha itu, ia sudah ambil syair yang ditulis oleh kedua orang-tuanya dan ambil juga pit emas ayahnya Tian Kui Long, yang ia sudah timpukkan kepada Tian Ceng Bun pada pagi itu. Walaupun sudah keluar-masuk di gudang harta, akan tetapi mengingat pesanan kedua orang-tuanya, Ouw Hui belum pernah memikir untuk meraba emas-permata itu.
Begitu mengetahui dari mana datangnya suara itu, si Rase Terbang segera menduga, bahwa Po Si dan kawan-kawannya sedang saling bunuh untuk kangkangi emas-permata itu. Dugaan Ouw Hui memang benar adanya. Ketika itu, orang-orang dari Thian Liong Bun, Eng Ma Coan dan Peng Tong Piauw Kiok sedang bertempur mati-matian dengan ditonton oleh Po si sembari mesem tawa. Dalam hatinya ia ingin menunggu sampai semua orang menjadi rusak dan kemudian barulah membereskan mereka satu per satu Sesaat itu, Ci Hun lang dan Him Goan Hian bergelut dan bergulingan di atas tanah. Semakin lama mereka semakin mendekati perapian. Bermula masing-masing ingin mendorong musuhnya ke arah api, akan tetapi, sesudah bergulingan beberapa kali, perapian yang tersentuh itu hampir saja menjadi padam.
"Gila kau!" memaki Po Si. "Kalau perapian padam, kau semua mampus kedinginan di sini!" Ia angkat kaki kanannya dan menyontek badannya Ciu Hun Jang yang sedang memeluk Him Goan Hian. Tubuhnya kedua orang itu lantas saja "terbang", akan kemudian ambruk kembali di atas tanah dengan satu suara "buk!"
Sembari mesem-mesem, Po Si membungkuk dan mengambil sepotong kayu untuk menambah bahan bakar di perapian. Ketika ia sedang melempangkan kembali pinggangnya, matanya mendadak lihat dua bayangan manusia yang bergoyang-goyang di dinding seberang, menuruti goyangannya api perapian. Ia terkesiap dan segera memutar badan. Di situ, di dinding sana, ternyata sedang berdiri dua orang, yang satu adalah Biauw Yok Lan yang parasnya merah kemalu-maluan, sedang yang lain adalah "Soat San Hui Ho" yang brewoknya kasar dan yang sedang mengawasi padanya dengan sorot mata gusar.
Po Si mengeluarkan teriakan "ah!" Dengan sekali mengayun tangan, serenceng tasbih menyambar bagaikan ular terbang. Ketika baru dilontarkan, tasbih itu masih dalam rencengan, tapi selagi melesat, di tengah udara, talinya putus dan beberapa puluh biji tasbih menyambar jalanan darahnya Ouw Hui dan Yok Lan dari atas, bawah, kiri dan kanan. Itulah ilmu simpanannya Po Si yang ia sudah latih belasan tahun lamanya dan belum pernah digunakan terhadap siapa juga. Dan kali ini, begitu lihat Ouw Hui, ia mendahului turun tangan dengan ilmu simpanannya itu, untuk menyelamatkan jiwanya.
Sembari tertawa dingin, Ouw Hui loncat ke depan guna melindungi badannya Yok Lan dengan tubuhnya sendiri. Melihat si Rase Terbang sama-sekali tidak bergerak untuk menangkis tasbihnya, hatinya Po Si jadi riang sekali. Ia menduga musuhnya hanya mempunyai nama kosong dan akan segera menjadi korban senjata rahasianya yang istimewa. Selagi ia tergirang-girang, puluhan biji tasbih itu sudah mengenakan berbagai jalanan darahnya Ouw Hui dengan telak sekali. Tapi ... sebaliknya dari rubuh terjungkal, si Rase Terbang mengambil sikap acuh tak acuh, seperti juga ia sama sekali tidak merasakan hantaman itu! Ternyata, begitu lihat sambaran tasbih, Ouw Hui segera mengerahkan tenaga dalamnya dan "menutup" semua jalanan darahnya. Jika Po Si menotok dengan jerijinya, mungkin sekali ia akan dapat menobloskan "tutupan" itu. Tapi dengan menggunakan begitu banyak senjata rahasia, sehingga tenaganya jadi terpecah kepada puluhan biji tasbih itu, ia sebenarnya tidak boleh mengimpi akan dapat merubuhkan seorang ahli silat seperti Ouw Hui. Melihat senjatanya yang paling istimewa sudah dipunahkan secara begitu, nyalinya Po Si menjadi hancur. Akan tetapi, sebagai seorang licik dan kejam, dalam keadaannya yang kepepet, buru-buru ia loncat ke belakangnya Co Hun Ki. Dengan kedua tangannya ia menyengkeram punggungnya orang she Co itu yang lantas diangkat dan dilemparkan ke perapian, dengan maksud supaya sang api padam dan Ouw Hui tak dapat cari padanya. Tapi siapa nyana, begitu jatuh di atas perapian yang sedang berkobar-kobar, pakaiannya Co Hun Ki terbakar, sehingga sebaliknya dari padam, api jadi semakin besar dan guha itu jadi semakin terang-benderang. Melihat kekejiannya Po Si dan mengingat kedua orang-tuanya sudah celaka lantaran gara-garanya, darahnya Ouw Hui jadi mendidih. Ia membungkuk dan kedua tangannya meraup batu-batu permata yang berhamburan di atas tanah. Tangan kanannya lantas saja mementil tak hentinya dan bagaikan hujan gerimis batu-batu berharga itu -- mutiara, giok, mustika dan sebagainya -- menyambar tubuhnya Po Si. Po Si loncat ke atas, ke bawah, ke kanan dan ke kiri untuk kelit senjata rahasia yang berharga mahal itu, akan tetapi, batu-batu tersebut seperti juga ada matanya dan semuanya mampir dengan tepat di badannya. Apa yang mengherankan adalah, meskipun dalam ruangan itu terdapat banyak orang, batu-batu itu tak pernah menyasar ke badan orang lain. Melihat yang dimaui hanya Po Si seorang, Lauw Goan lio. To Pek Swee dan yang lain-lain lantas pada mepet di dinding guha tanpa berani bergerak. Sesudah berloncat-loncat beberapa lama, kedua kakinya Po Si dengan beruntun kehantam batu giok dan sembari keluarkan teriakan kesakitan, ia rubuh tanpa mampu bangun kembali. Seperti orang edan, sambil berteriak-teriak ia bergulingan di atas tanah oleh karena hujan batu permata masih menyambar terus. Semakin lama, sentilannya Ouw Hui jadi semakin berat. Ia sengaja tak mau menimpuk jalanan darah supaya Po Si merasakan kesakitan yang lebih hebat. Semua orang jadi ketakutan setengah mati. Mereka takut, kalau-kalau akan datang gilirannya. Mendengar teriakannya Po Si, Biauw Yok Lan jadi tak tega.
"Manusia itu memang jahat sekali, tapi rasanya sudah cukup ia mendapat hajaran," berbisik si nona. "Ampunilah padanya!"
Menurut kebiasaannya Ouw Hui, dalam membasmi kejahatan, ia selalu membasmi sampai ke akar-akarnya. Apalagi terhadap satu musuh besar yang sudah mencelakakan kedua orang-tuanya. Akan tetapi, entah kenapa, begitu dengar perkataan nona Biauw, hatinya lantas saja membenarkan, bahwa manusia itu sudah cukup mendapat hajaran dan harus diberi ampun. Ia segera turunkan tangan kanannya dan ayun tangan kirinya yang menyekal belasan batu permata. Bagaikan kilat batu-batu itu menyambar dan menancap dalam sekali di dinding guha. Semua orang yang menyaksikan pada leletkan lidah. Satu saja mengenakan badannya Po Si, rohnya tentu akan lantas menghadap Giamkun. Ouw Hui mendelik dan menyapu semua orang dengan matanya yang luar biasa tajam. Mereka semua menundukkan kepala dan keadaan dalam guha jadi sunyi-senyap. Biarpun sekujur badannya sakit, Po Si juga tidak berani merintih. Selang beberapa saat, Ouw Hui membentak dengan suara angker, "Kau orang begitu menyintai emas-permata, biarlah kau orang terus berdiam di sini, menemani harta karun itu!" Sehabis berkata begitu, sambil menuntun tangannya Yok Lan, ia segera berjalan keluar. Semua orang jadi girang bukan main. Mereka tak nyana si Rase Terbang sudah melepaskan mereka secara demikian. Sesudah tindakan Ouw Hui dan Yok Lan kedengaran jauh di lorong guha. Mereka lalu kasak-kusuk dan mulai mengantongi lagi emas-permata itu. Tiba-tiba di lorong guha keluar suara luar biasa. Bermula mereka tak tahu suara apa adanya itu, akan tetapi, beberapa saat kemudian, muka mereka jadi pucat bagaikan mayat. "Celaka!" berseru mereka. "Dia tutup mulut guha!" berteriak satu orang.
"Hayo! Mati atau hidup, kita mesti lawan padanya!" berseru seorang lain. Dalam bingungnya mereka jadi nekat dan lalu memburu ke mulut guha. Benar saja, batu raksasa penutup guha sudah dipindahkan kembali oleh Ouw Hui ke tempat asalnya. Sebagaimana diketahui, mulut guha itu sempit luar biasa. Di sebelah luar, orang dapat bergerak leluasa untuk menggunakan tenaganya, akan tetapi di sebelah dalam, lorong guha yang sempit hanya dapat memuat badannya satu orang. Begitu lekas batu raksasa itu menutup lubang, air es yang terdapat di sekitarnya lantas saja membeku, sehingga jika tidak ditolong oleh orang luar, mereka yang berada di dalam tak usah harap bisa keluar lagi. Nona Biauw kembali tak tega hatinya "Apa kah kau ingin binasakan mereka semua?" ia menanya.
"Apakah di antara mereka terdapat manusia baik-baik yang dapat diampuni jiwanya?" Ouw Hui balas menanya.
"Yah," berkata si-nona sambil menghela napas. "Di sebelahnya ayah dan kau, aku memang tak tahu apa dalam dunia ini masih ada manusia baik. Akan tetapi, kau tidak boleh membunuh begitu banyak orang."
Si Rase Terbang agak terkejut. "Apa aku terhitung manusia baik?" ia menanya.
Perlahan-lahan Yok Lan angkat kepalanya. "Aku tahu, kau adalah seorang baik," katanya dengan sorot mata yang suci-murni. "Aku sudah tahu, sebelum bertemu muka toako (kakak)! Apakah kau tahu, semenjak kapan aku sudah menyerahkan hatiku kepadamu?"
Mendengar perkataan "toako" yang dikeluarkan dengan suara menyinta, Ouw Hui tak dapat menahan perasaannya lagi. Dengan rasa cinta yang suci, ia memeluk si nona, yang lalu menyendarkan kepalanya di dada Ouw Hui, dengan hati penuh kebahagiaan. Lorong guha itu sempit dan demak. Akan tetapi, bagi mereka, tapi bagi mereka tempai ini merupakan tempat yang paling indah dalam dunia ini.
Mendadak di pintu guha terdengar suara tindakan kaki. Ouw Hui terkejut. "Celaka!" katanya di dalam hati. "Aku memepat mereka, sebaliknya aku sendiri dipepat lain orang!" Sambil mendukung Yok Lan, buru-buru ia lari ke pintu guha. Ia jadi lega oleh karena pintu guha masih tetap terbuka.
Di bawah sinar rembulan, mereka lihat dua orang sedang berlari-lari di atas salju dengan cepat sekali. Dari gerakannya, dapat dikenali, bahwa mereka adalah orang-orang yang pernah bertempur dengan ianya di rumah Touw chungcu.
"Lan!" kata Ouw Hui sembari tertawa. "Ayahmu sudah mendapat kemenangan. Musuh-musuhnya sudah pada kabur." Ia membungkuk dan meraup salju yang kemudian lalu dikepal-kepal sehingga menjadi keras dan bundar. Dengan sekali menimpuk, orang yang lari di sebelah depan lantas terjungkal tanpa bisa bangun lagi, lantaran pinggangnya kehantam bola salju secara telak sekali. Yang lari belakangan kaget dan menoleh ke belakang. Hampir pada sesaat itu juga, satu bola salju menyambar dadanya dan ia pun lantas saja rubuh kejengkang. Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. Mendadak ia berhenti tertawa dan berkata dengan suara lemah-lembut, "Lagi kapankah kau menyerahkan hatimu kepadaku .... Aku rasa, pasti tak lebih siang daripada aku. Dalam pertemuan yang pertama kali, begitu kedua mataku melihat parasmu, aku ... aku lantas tak dapat melupakan lagi."
"Tapi aku sudah menyerahkan hatiku pada sepuluh tahun berselang, ketika baru berusia tujuh tahun," jawab si nona. "Waktu itu, untuk pertama kali, aku mendengar cerita ayah tentang kedua orang-tuamu. Mulai dari waktu itu, aku selalu mengingat kau, meskipun belum pernah bertemu muka. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa kalau kau masih hidup dalam dunia ini dan aku dapat menemukannya, aku akan merawat kau seumur hidup, supaya kau dapat mengicipi sedikit keberuntungan, dan melupakan segala penderitaan waktu kau masih kecil."
Si Rase Terbang terharu bukan main, dan tanpa merasa, kedua matanya mengembang air. Sepatah pun ia tak dapat berkata-kata, hanya kedua tangannya menyekal sepasang tangannya si nona erat-erat. Tiba-tiba ia lihat beberapa bayangan hitam bergerak-gerak di atas puncak es dan kemudian merosot ke bawah dengan menggunakan tambang.
"Lan," katanya. "Mari kita bantu ayahmu dan cegat manusia-manusia jahat itu." Sehabis berkata begitu, sembari mendukung kecintaannya, ia berlari-lari dengan menggunakan ilmu entengkan badan dan dalam sekejap mata, mereka sudah berada di kaki puncak. Sesaat itu, dua jagoan sudah hinggap di atas tanah, sedang beberapa orang lain masih merosot turun. Sesudah melepaskan dukungannya, Ouw Hui lalu menyambit dengan dua bola salju dan dengan berbareng, kedua orang itu rubuh di atas tanah. Selagi ia mau menimpuk beberapa jagoan yang masih berada di tengah udara, dari antara lereng gunung mendadak terdengar suaranya orang, "Mereka dilepaskan olehku. Jangan merintangi!"
Itulah suaranya Biauw Jin Hong. "Ayah!" berteriak Yok Lan, kegirangan. Didengar dari suaranya, 'Kim Bian Hud' berada dalam jarak beberapa li dari tempat itu. akan tetapi, semua perkataannya kedengaran tegas dan nyaring, sehingga dapatlah dibayangkan, bagaimana tinggi lweekangnya Biauw Jin Hong Mau tak mau, Ouw Hui jadi merasa kagum. Ia merasa, lweekangnya sendiri masih belum dapat menandingi orang tua itu. Sekali lagi si Rase Terbang menimpuk dengan dua bola salju. Jika tadi ia menimpuk untuk merubuhkan orang, sekali ini ia menyambit untuk membuka jalanan darahnya kedua jagoan itu. Begitu kena timpukan, mereka segera bangun berdiri dan lalu kabur tanpa menengok lagi.
"Sungguh bagus ilmu itu! Cuma sayang perbuatannya tidak bagusi" demikian terdengar seruannya Biauw Jin Hong. Suara itu yang bermula kedengaran di tempat jauh, sudah mendekati luar biasa cepat, dan ketika ia mengucapkan perkataan "bagus", badannya yang kurus-jangkung sudah berada di hadapan Ouw Hui.
Sementara itu, di sebelah kejauhan terdengar suara tindakannya sejumlah orang yang sedang kabur, sesudah jiwa mereka diampuni oleh Biauw Jin Hong. Selang beberapa saat, seorang yang jalan terpincang-pincang kelihatan menghampiri mereka orang itu adalah Touw chungcu. Begitu berhadapan, Touw Sat Kauw segera mengangsurkan satu bungkusan yang panjangnya kurang-lebih satu kaki, kepada Ouw Hui. "Inilah barang peninggalan ibumu," kata ia. "Sepotong juga tiada yang kurang. Ambillah!"
Ouw Hui menyambuti bungkusan itu dengan perasaan yang tak dapat dilukiskan. Dari bungkusan tersebut seakan-akan keluar semacam hawa hangat yang terus menembus ke dalam hatinya, sehingga si Rase Terbang jadi gemetar sekujur badannya. Dengan rasa sayang, "Kim Bian Hud" mengawasi bayangannya Touw Sat Kauw yang berlalu dengan terpincang-pincang. Ia itu sebenarnya adalah satu jagoan yang "Bun Bu Coan Cay" (pandai ilmu surat dan ilmu silat) dan mempunyai banyak sekali sahabat dalam Rimba Persilatan, di mana ia masih terhitung sebagai satu tokoh yang berkedudukan tinggi. Dan sungguh sayang, oleh karena kekhilafan di satu ketika, sekarang ia mengalami satu kehancuran yang tidak dapat diperbaiki lagi Memikir begitu, tanpa merasa Biauw Jin Hong menghela napas panjang. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa Touw Sat Kauw dan ibunya Ouw Hui masih misanan dan juga tidak mengetahui, bahwa si brewok yang berdiri di hadapannya adalah itu anak piatu yang ia tak dapat melupakan selama lebih dari duapuluh tahun lamanya. Perlahan-lahan Biauw Jin Hong memutar kepalanya. Ia lihat puterinya yang tercinta sedang berdiri di situ dengan memakai jubah luarnya seorang lelaki. Pemuda yang sekarang berdiri di hadapannya adalah seorang penolong yang sudah menyelamatkan jiwanya dari bahaya maut, akan tetapi, ia juga ada itu manusia yang menurut anggapannya, sudah menodai kesucian puterinya yang tunggal. Lantas saja ia ingat rumah tangganya yang sudah dirusak orang. Jika dapat, ia ingin membinasakan semua lelaki kurang-ajar dalam dunia ini, semua lelaki busuk yang suka mengganggu kehormatannya kaum wanita. Sesaat itu, darahnya lantas saja mendidih!
"Ikut aku!" ia berkata dengan suara perlahan, tapi sangat menyeramkan. Sehabis berkata begitu, ia memutar badan dan berjalan pergi.
"Ayah!" berseru Yok Lan. "Dia adalah ...."
Biauw Jin Hong tak menyahut. Ia memang seorang yang tidak suka banyak bicara, terutama pada waktu ia sedang bergusar. Sesaat itu, ia lihat Ouw Hui mengangsurkan tangan untuk menyekal puterinya.
"Binatang!" ia membentak sembari menyekal tangannya Ouw Hui.
"Lan ji," kata ia. "Kau tuggu di sini. Aku mau bicara sedikit dengan orang ini."
Sembari berkata begitu, ia menuding satu puncak gunung yang berada di sebelah kanan mereka. Puncak itu tidak setinggi Giok Pit Hong, akan tetapi kelihatannya banyak lebih berbahaya. Biauw Jin Hong lantas melepaskan cekalannya dan dengan menggunakan ilmu entengkan badan, berlari-lari ke puncak yang diunjuk olehnya.
"Lan," kata Ouw Hui. "Aku harus menurut kemauan ayahmu dan pergi menemui ia. Kau tunggulah di sini sebentaran."
"Apakah kau suka meluluskan satu permintaanku?" tanya si nona.
"Jangan kata satu, biar seribu atau selaksa permintaan, aku pasti akan meluluskan," jawab si Rase Terbang.
Yok Lan menundukan kepalanya, sedang mukanya bersemu dudu. Selang beberapa saat, barulah ia berkata dengan suara sangat perlahan dan terputus putus, "Jika ayah ingin ... kau ... menikah dengan ... aku"
"Legakanlah hatimu," berkata Ouw Hui dengan suara tetap. "Peganglah bungkusan ini, peninggalan ibuku. Di kolong langit, tidak ada lain tanda mengikat pertunangan yang lebih berharga daripada bungkusan ini!"
Dengan kedua tangannya, Yok Lan menyambuti bungkusan tersebut, dan sebagai akibat dari hati yang sangat terharu, sekujur badannya nona Biauw jadi gemetaran. "Tentu saja aku percaya padamu," berbisik si nona. "Hanya aku kuatirkan adat ayah yang aneh. Jika ia gusar, jika ia maki atau gebuk kau, dengan memandang mukaku, aku minta kau suka mengalah"
Si Rase Terbang tertawa. "Baiklah," katanya. "Aku berjanji akan turut segala pesananmu." Ia mengawasi dan lihat jauh-jauh Biauw Jin Hong sedang mendaki puncak. Ouw Hui membungkuk dan mencium jidatnya si nona, akan kemudian berlalu untuk menyusul "Kim Bian Hud". Ouw Hui menyusul dengan mengikuti tapak kakinya Biauw Jin Hong. Sesudah belok di beberapa tikungan jalanan gunung jadi semakin berbahaya, sehingga ia harus berlaku hati-hati supaya jangan terpleset dan jatuh kedalam jurang. Sesudah manjat lagi beberapa lama, selebar puncak tertutup es dan jalanan licin luar biasa. "Ah, dengan mengambil jalanan yang begini berbahaya, mungkin sekali Biauw Tayhiap ingin menjajal kepandaianku," kata ia dalam hatinya.
Memikir begitu, lantas saja ia mengempis semangat dan menggunakan ilmu entengkan badan yang paling tinggi. Badannya lantas saja sepeiti melayang di atas es dan salju, jalanan semakin berbahaya, ia "terbang" semakin cepat. Selang beberapa saat, ketika baru membiluk di satu tikungan, di dinding gunung, di atas satu batu besar yang menjulang ke atas, bagaikan satu pohon tua, berdiri seorang yang berbadan jangkung-kurus. Orang itu Biauw Jin Hong adanya. "Bagus!" ia berkata dengan suara perlahan. "Naiklah, jika kau mempunyai nyali!" Ouw Hui terkejut dan hentikan tindakannya. Biauw Jin Hong berdiri dengan membelakangi rembulan. Kedua matanya bersinar dan lapat-lapat dapat dilihat, bahwa mukanya menyeramkan sekali. Ouw Hui membuang napasnya yang agak sengal-sengal. Ia mengawasi "Kim Bian Hud" dengan rupa-rupa perasaan. Ia ingat, bahwa Biauw Jin Hong adalah musuh yang sudah membunuh ayahnya, akan tetapi ia juga adalah ayahnya Biauw Yok Lan. Selainnya begitu, dari Peng Ah Si ia mendapat tahu, bahwa "Kim Bian Hud" adalah seorang ksatria sejati, yang belum pernah berbuat apa-apa yang tercela terhadap mendiang ayah dan ibunya. Ia ingat, bahwa gelarannya Biauw Jin Hong adalah "Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu", akan tetapi, hatinya sungkan menyerah kalah dan ingin sekali menjajal-jajal kepandaiannya "Kim Bian Hud" yang disohori tiada tandingannya di kolong langit. Di sebelahnya itu, ia ingat pula, bahwa keluarga Biauw dan keluarga Ouw adalah musuh turunan. Tapi kenapa, "Kim Bian Hud" sudah tidak menurunkan ilmu silatnya kepada puterinya yang sebiji mata? Apakah tujuannya benar-benar untuk menghabiskan permusuhan itu? Sesudah melihat ia dan Yok Lan tidur bersama di satu pembaringan, apakah "Kim Bian Hud" akan mau mengerti, jika diberi keterangan? Demikianlah, macam-macam pikiran datang kepada Ouw Hui. Ia berdiri bengong dan untuk beberapa saat, tak mengeluarkan sepatah kata.
Di lain pihak, Biauw Jin Hong mengawasi Ouw Hui dengan perasaan heran. Ia lihat si pemuda dengan brewoknya yang seperti kawat, berdiri di situ dengan paras muka angker, seolah-olah Ouw It To hidup kembali. Hatinya bergoncang keras, akan tetapi, segera juga ia ingat, bahwa puteranya Ouw It To siang-siang sudah kena dicelakakan orang dan dilemparkan ke dalam sungai di Congciu. Maka itu, lantas saja ia menarik kesimpulan, bahwa pemuda itu hanya secara kebetulan mempunyai paras muka yang mirip dengan Ouw It To. Di lain saat, ia ingat perbuatannya si brewok terhadap puteri tunggalnya dan darahnya lantas saja bergolak-golak Tiba-tiba ia angkat tangan kanannya dan menghantam dadanya Ouw Hui. Melihat menyambarnya tinju yang hebat itu, Ouw Hui segera menyambut dengan tangannya. Begitu kedua tangan kebentrok, badannya Biauw Jin Hong dan Ouw Hui sama-sama bergetar dan masing-masing segera loncat mundur dengan perasaan kagum Semenjak bertempur melawan Ouw It To pada dua puluh tahun lebih yang lalu, belum pernah Biauw Jin Hong bertemu pula dengan lawan yang setanding. Sekarang, dari gebrakan pertama, ia mengetahui, bahwa si brewok adalah lawanan berat. Oleh karena begitu, hatinya jadi semakin mendongkol dan dengan beruntun lalu mengirim tiga pukulan berantai. Dengan gerakan indah, Ouw Hui kelit dua pukulan, akan tetapi, waktu ia kelit pukulan yang ketiga, tenaga dalam yang dikirim oleh "Kim Bian Hud" ada sedemikian hebat, sehingga, biarpun ia berhasil kelit pukulan tersebut, badannya jadi bergoyang-goyang, hampir-hampir ia nyungsap ke dalam jurang.
"Ah, kalau mengalah terus-terusan, bisa-bisa aku mampus konyol," kata Ouw Hui dalam hatinya dan lantas saja angkat kedua tangannya untuk menyambut pukulannya Biauw Jin Hong yang sudah menyambar pula. Akan tetapi, walaupun sudah mengambil putusan untuk melayani orang tua itu, si Rase Terbang tidak mengeluarkan tenaga yang sepenuhnya. Dalam pertempuran antara jago dan jago masing-masing pihak tak boleh mengalah sedikitpun. Sekali mengalah, ia bisa celaka. Begitulah, pada waktu dua pasang tangan kebentrok, Ouw Hui yang menggunakan setengah tenaga lantas saja rasakan dadanya sakit. Ia terkejut dan buru-buru mengempos untuk memperbaiki keadaannya. Tapi tak dinyana, "Kim Bian Hud" sudah menurunkan tangan tanpa mengenal kasihan. Melihat lawannya berada di bawah angin, ia segera menyerang secara lebih hebat lagi. Jika pertempuran dilakukan di atas tanah yang rata, Ouw Hui dapat loncat keluar dari gelanggang dan memperbaiki pula kedudukannya. Akan tetapi, pertandingan itu justru dilangsungkan di atas batu yang sangat tebing, di mana tidak terdapat tempat untuk mengundurkan diri. Sambil kertek gigi, dengan terpaksa ia mengeluarkan "Cun Can Ciang Hoat" (Pukulan Ulat Sutera) untuk melindungi dirinya rapat rapat.
"Cun Can Ciang Hoat" adalah semacam ilmu silat yang hanya digunakan untuk melindungi diri dari serangannya musuh yang terlebih unggul. Dalam mempergunakan ilmu tersebut, kaki dan tangan tidak boleh memukul panjang, paling banyak boleh dikeluarkan setengah kaki jauhnya dari sang badan. Tapi pembelaan "Cun Can Ciang Hoat" rapat bukan main. Biar bagaimana tangguh adanya sang musuh, hampir tak dapat ia menembuskan pembelaan itu. Hanya ilmu itu mempunyai satu kelemahan, yaitu, tidak dapat digunakan untuk menyerang. Sesuai dengan namanya, "Cun Can Ciang Hoat" adalah bagaikan seekor ulat sutera yang membuat selubung benang sutera di sekitar badannya. Selubung itu tak dapat ditembuskan, akan tetapi juga tak bisa digunakan untuk balas menyerang musuh Semakin lama Biauw Jin Hong menghantam dengan pukulan yang semakin berat, tapi heran sungguh, setiap pukulannya selalu dapat dipunahkan dengan bagus sekali oleh si brewok, dan oleh karena Ouw Hui sama-sekali tidak membalas, ia dapat menghantam kalang-kabutan bagaikan hujan dan angin. Sesudah berkutet beberapa lama, sembari mengempos semangat, "Kim Bian Hud" mengirim satu jotosan hebat.
Ouw Hui berkelit dan tinjunya Biauw Jin Hong mengenakan lamping gunung. Batu dan tanah muncrat! Sungguh lacur, sekeping batu kecil menyambar masuk ke dalam mata kirinya Ouw Hui! Itulah suatu kejadian yang tidak diduga-duga dan tak mungkin dapat dikelit oleh siapa pun juga.
Ouw Hui rasakan matanya sakit bukan kepalang, tapi ia tidak berani meraba matanya, oleh karena pukulannya Biauw Jin Hong terus menyambar-nyambar. Melihat lawannya kelilipan, sambil menyender di lamping gunung, kedua tangannya mendorong sang musuh dengan sepenuh tenaga. Sesaat itu, Ouw Hui berdiri di pinggir tebing dan sekali terpeleset atau mundur, badannya akan segera hancur-lebur di dalam jurang. Biauw Jin Hong sungkan memberi napas kepadanya dan terus mengirim serangan-serangan hebat. Tapi si Rase Terbang yang sangat cerdas, tak gampang-gampang dapat dirubuhkan. Ia tidak menyambut kekerasan dengan kekerasan, tapi punahkan pukulan "Kim Bian Hud" dengan "kelembekan", dan dengan taktik itu, untuk beberapa saat, ia masih dapat bertahan terus. Akan tetapi, oleh karena ilmu silatnya kedua belah pihak kira-kira berimbang, maka, Ouw Hui yang berada dalam kedudukan jelek, semakin lama semakin jatuh di bawah angin. Tiba-tiba badannya Biauw Jin Hong melesat ke atas dan dengan beruntun mengirim tiga tendangan. Bagaikan kilat, Ouw Hui kelit tendangan-tendangan itu. Pada waktu menendang ketiga kalinya, "Kim Bian Hud" membarengi dengan pukulan kedua tangannya yang ditujukan ke arah dadanya Ouw Hui. Dua pukulan itu tak dapat dipunahkan lagi, sedang untuk berkelit pun sudah tak mungkin. Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, si Rase Terbang mengempos semangatnya dan menyambut kekerasan dengan kekerasan. Begitu empat tangan beradu, Biauw Jin Hong membentak keras dan pusatkan tenaga dalamnya pada telapakan tangannya, sehingga tanpa ampun badannya Ouw Hui jadi bergoyang-goyang.
Untuk menolong jiwa, Ouw Hui tak dapat berbuat lain daripada mengempos semangatnya dan menahan tindihan tenaga dalamnya "Kim Bian Hud".
Itulah suatu peraduan tenaga dalam yang luar biasa dahsyat! Kedua pihak saling mengawasi dengan mata mencorong, kedua pihak mengempos semangatnya habis-habisan. Mereka sama-sama bertahan sambil menempel tangan, tubuh mereka sedikit pun tak bergerak. Kaget sungguh hatinya "Kim Bian Hud". "Dalam beberapa tahun ini, aku jarang berkelana di kalangan Kang Ouw dan tahu-tahu dalam Rimba Persilatan muncul satu manusia yang seperti dia," katanya di dalam hati.
Tiba-tiba "Kim Bian Hud" menekuk sedikit kedua dengkulnya dan, sambil menyender di lamping gunung, ia mengeluarkan semacam ilmu pukulan yang istimewa. Bermula, ia "menyedot" tenaga dalamnya Ouw Hui, dan kemudian, dengan meminjam tenaga lamping gunung di mana ia menyender, ia mendorong sekeras-kerasnya! "Pergi!" ia berteriak.
Sungguh hebat dorongan itu! Sesaat itu juga, badannya Ouw Hui bergoyang-goyang, kaki kirinya sudah berada di tengah udara, hanya satu kaki kanan yang masih menginjak tebing!
Akan tetapi, ilmu silatnya si Rase Terbang sungguh sudah sampai di puncaknya kesempurnaan Sungguh aneh, dalam menghadapi dorongan yang sedemikian berat. kaki kanannya seolah-olah berakar di tebing itu. Tiga kali Biauw Jin Hong mendorong, tiga kali badannya hanya bergoyang-goyang. "Kim Bian Hud" jadi kagum tak kepalang. "Hebat sungguh kepandaiannya pemuda ini!" ia memuji dalam hatinya. "Dalam seratus tahun, belum tentu muncul satu manusia yang seperti ia. Sungguh sayang, ia jalan di jalanan tersesat. Jika hari ini aku tidak binasakan padanya, di lain hari, belum tentu akan dapat menandingi ia. Kalau ia melakukan kejahatan dengan andalkan kepandaiannya, siapa lagi yang akan dapat menaluki padanya?"
Memikir begitu, Biauw Jin Hong segera angkat kaki kirinya dan menyapu kaki kanannya Ouw Hui. Si Rase Terbang mencelos hatinya. "Sudahlah!" ia mengeluh. "Siapa nyana, hari ini aku mesti binasa dalam tangannya?"
Akan tetapi, sebegitu lama masih bernapas, setiap makhluk hidup selalu berusaha mencari keselamatannya. Demikianlah, dalam keadaan yang agaknya tak akan dapat tertolong lagi, Ouw Hui menjejek kaki kanannya dan badannya segera melesat ke atas, setombak lebih tingginya! Pada detik itu, kakinya Biauw Jin Hong sudah lewat tanpa mengenakan sasarannya. Pada waktu tubuhnya melayang turun, dengan gerakan "Ho Cu Hoan Sin" (Burung Memutar Badan), ia menghantam pundaknya "Kim Bian Hud" dengan kedua tinjunya. "Bagus!" berseru Biauw Jin Hong sembari goyang pundaknya. Pukulannya Ouw Hui mengenakan tepat pada pundaknya "Kim Bian Hud", akan tetapi, badannya sendiri sudah kena didorong, dan sekali ini, tak ampun lagi... tubuhnya si Rase Terbang tergelincir ke dalam jurang! Ouw Hui meramkan kedua matanya dan mengeluarkan suara tertawa yang nyaring, tapi nadanya menyayatkan hati!
Tapi ... mendadak saja, ia rasakan badannya yang sedang melayang ke bawah, berhenti di tengah udara!
Dengan heran, ia membuka kedua matanya dan ternyata, orang yang menolong ia adalah Biauw Jin Hong sendiri, yang sudah menjambret bajunya dan angkat ia ke atas tebing.
"Kau sudah pernah menolong jiwaku, sekarang aku mengampuni kau untuk membalas budi," membentak "Kim Bian Hud".
"Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa Siapa juga tak berhutang budi lagi. Mari Mari kita bertempur pula!" Sehabis berkata begitu, "Kim Bian Hud" segera berdiri berhadapan dengan Ouw Hui dan tidak lagi menyender di lamping gunung.
Ouw Hui angkat kedua tangannya dan berkata dengan sikap hormat, "Boanpwee bukannya tandingan Biauw Tayhiap, guna apa bertanding pula? Apa juga yang Biauw Tayhiap ingin berbuat boanpwee akan menurut."
Biauw Jin Hong kerutkan alisnya dan berkata dengan suara aseran, "Tadi kau menurunkan tangan dengan setengah hati. Apa kau kira aku tak mengetahui? Apakah kau anggap, lantaran sudah tua. Biauw Jin Hong bukannya tandinganmu?"
"Mana berani boanpwee berpikir begitu," menyahut Ouw Hui. "Hayo!" membentak "Kim Bian Hud" yang sudah tidak sabar lagi.
Sesaat itu, Ouw Hui mengambil putusan untuk menerangkan duduknya segala kejadian, yang memaksa ia berada dalam pembaringan bersama-sama Yok Lan. Maka itu, ia lantas saja berkata, "Mengenai kejadian kejadian di kamar itu.."
"Binatang " ia berteriak sembari menghantam Ouw Hui tak dapat berbuat lain daripada menyambut serangan itu. Sesudah mendapat pengalaman getir si Rase Terbang mengetahui bahwa sekali mengalah, jiwanya akan segera berada dalam bahaya. Oleh karena begitu, sekali ini ia segera melawan tanpa sungkan-sungkan lagi. Sengit sekali kedua jago kelas berat itu bertempur di atas tebing Tiga ratus jurus sudah lewat, akan tetapi belum ada yang kelihatan keteter. Semakin lama, hatinya Biauw Jin Hong jadi semakin heran Segala gerakannya dan semua cara-cara bertempur si brewok sungguh mirip dengan Ouw It To. Sesudah beberapa gebrakan lagi, Biauw Jin Hong mendadak loncat mundur dan berseru, "Tahan? Apakah kau kenal Ouw It To?"
Mendengar nama ayahnya, hatinya Ouw Hui menjadi sedih berbareng gusar, sehingga otaknya tak dapat bekerja lagi secara tenang. "Ouw Tayhiap adalah ksatria sejati," menyahut Ouw Hui dengan suara terharu. "Sungguh sayang, ia sudah kena dibinasakan oleh manusia jahat. Kalau aku bisa mendapat beberapa petunjuknya, walaupun lantas mati, aku akan rela."
"Benarlah," berkata Biauw Jin Hong dalam hatinya. "Ouw It To sudah meninggal dunia duapuluh tujuh tahun lamanya. Orang ini baru saja berusia kira-kira duapuluh tahun. Mana dia dapat mengenal Ouw It To?"
Sembari memikir begitu, ia lantas memotes dua cabang pohon yang besarnya dan panjangnya bersamaan. Ia melemparkan salah satu kepada Ouw Hui, seraya berkata, "Biarlah kita menentukan siapa hidup siapa mati dengan menggunakan senjata."
Sembari berkata begitu, ia menikam dengan "Biauw Kee Kiam Hoat" (ilmu Pedang Keluarga Biauw) yang tiada keduanya dalam dunia.
Walaupun senjata yang digunakan hanyalah sebatang cabang pohon, akan tetapi, oleh karena cabang pohon itu digerakkan dengan tenaga dalam yang luar biasa, maka kehebatannya tidaklah kalah dari pedang yang terbuat dari baja murni. Ouw Hui tak berani berlaku ayal lagi. Ia menyampok senjata Biauw Jin Hong dengan cabang pohonnya, satu sampokan yang dalam kekerasannya mengandung kelemahan. Lagi-lagi Biauw Jin Hong terkejut. "Kenapa ilmu pedangnya kembali mirip dengan ilmunya Ouw It To?" ia menanya dirinya sendiri. Akan tetapi, dalam pertempuran antara ahli-ahli silat kelas satu, pantangan paling besar adalah memecah perhatian. Oleh karena begitu, Biauw Jin Hong tidak berani memikir panjang-panjang dan lalu pusatkan Seantero perhatian dan semangatnya kepada pertempuran itu, dan dalam sekejap, pertempuran menjadi seru kembali. Selama hidupnya, belum pernah Ouw Hui mengalami pertempuran yang sehebat itu. Seluruh kepandaiannya si Rase Terbang adalah berdasarkan kitab peninggalan mendiang ayahnya, yang ia sudah pelajari seanteronya secara terliti. Dalam ilmu silat, boleh dikatakan Ouw Hui sudah mencapai puncak yang paling tinggi. Apa yang kurang adalah pengalaman dan latihannya yang masih terbatas akibat usianya yang masih muda. Akan tetapi, sjukur juga, kekurangan itu dapat ditambal dengan tenaga mudanya yang sedang kuat. Puluhan jurus sudah lewat dan keadaan masih tetap berimbang. Melihat serangannya Biauw Jin Hong yang begitu cepat, lancar dan tepat, kagum sekali hatinya Ouw Hui. "Sungguh-sungguh namanya 'Kim Bian Hud' Biauw Tayhiap bukan satu nama kosong," ia
memuji dalam hatinya. "Jika ia masih muda, siang-siang aku sudah kalah Dari sini dapat dilihat, bahwa ketika dulu ayah jatuh dalam tangannya, kemenangannya itu bukannya didapat dengan jalan licik."
Sesudah bertempur beberapa lama lagi, Biauw Jin Hong mendadak menikam dadanya Ouw Hui dengan gerakan "Ui Liong Coan Sin Touw Sit Sit" (Naga Kuning Menghantam dengan Kumisnya Sembari Memutar Badan). Tikaman itu luar biasa cepat dan tidak mungkin dikelit lagi. Ouw Hui terkejut dan buru-buru menyampok dengan gerakan "Hok Houw Sit" (Pukulan Menakluki Harimau). "Bagus!" berseru Biauw Jin Hong sembari menggetarkan cabang pohonnya yang berhasil menyentuh satu jerijinya Ouw Hui. Sedang Ouw Hui merasakan kesakitan, "Kim Bian Hud" sudah maju setindak dan bergerak menikam padanya .......... Sesaat itu suatu kejadian yang tak terduga telah terjadi. Oleh karena terinjak-injak terus dengan empat kaki manusia yang berhawa hangat, dengan perlahan es yang menutupi tebing telah menjadi lumer. Pada ketika "Kim Bian Hud" menikam, berat badannya tertumplek pada kaki kirinya. Di detik itu, dengan suara "krek!" sepotong batu yang esnya lumer sempal dan jatuh ke dalam jurang, sehingga tak ampun lagi, badannya Biauw Jin Hong turut tergelincir! Dengan kaget, Ouw Hui jambret tangan bajunya orang tua itu. Akan tetapi, walaupun jambretan itu tepat, badannya Ouw Hui sendiri turut tergelincir oleh karena ketarik berat badannya Biauw Jin Hong!
Dengan serentak mereka menggoyang badan di tengah udara dan menempelkan badan mereka di dinding jurang. sambil mengeluarkan ilmu "Pek Ho Yu Ciang" (Cecak Merayap di Tembok) untuk merayap ke atas. Apa mau, dinding jurang itu berlapis es yang sangat licin, sehingga jangan kala manusia. sekalipun cicak sendiri belum tentu bisa merayap di situ Akan tetapi, biarpun tidak berhasil naik ke atas, ilmu tersebut sudah memperlambat kecepatan jatuhnya mereka. Tanpa tercegah pula, dengan perlahan mereka merosot turun. Waktu melongok ke bawah, mereka lihat di sebelah bawah, kira-kira sepuluh tombak lagi, terdapat satu batu besar yang menonjol dari dinding jurang. Jika mereka gagal mendarat di atas batu itu, teranglah sudah, mereka akan tergelincir terus dan jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam Kedua orang itu, bukan saja setanding ilmu silatnya, akan tetapi juga hampir bersamaan jalan pikirannya. Dengan berbareng, mereka mengeluarkan ilmu "Cian Kin Tui" (ilmu membikin berat badan) dan menancap kaki mereka di atas batu itu, yang ternyata berbentuk bundar dan berlapis es, sehingga bukan main licinnya. Masih untung mereka mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, sehingga dapatlah mereka berdiri tetap di atas batu tersebut. Di lain saat, bahaya lain kembali terbayang di depan mata. Batu itu mulai bergoyang-goyang, rupanya tak kuat menahan berat badannya Biauw Jin Hong dan Ouw Hui? Waktu mereka tergelincir, dua cabang pohon yang tadi digunakan sebagai senjata, sudah turut jatuh di atas batu. Melihat keadaan yang sangat berbahaya, Biauw Jin Hong buru-buru membungkuk dan memungut satu cabang dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya mengirim satu pukulan. Ouw Hui menundukkan kepalanya untuk kasi lewat pukulan itu dan di lain saat, ia pun sudah menyekal cabang pohon yang satunya lagi. Begitulah kedua harimau itu lantas bertempur pula, sekali ini pertempuran yang akan memutuskan mati atau hidup. Tujuan masing-masing pihak adalah menjatuhkan lawannya secepat mungkin, agar sang batu tak usah menahan berat badannya dua orang. Hanyalah dengan begitu, baru ada harapan dapat menyelamatkan jiwa. Sesudah bertempur kira-kira sepuluh jurus, Biauw Jin Hong kembali diliputi perasaan heran, oleh karena, terang-terangan ia membuktikan, bahwa setiap gerakannya Ouw Hui adalah gerakannya Ouw It To. Tapi, sesaat itu, tak sempat ia menanya lagi. Pada detik itu, ia sudah menyerang dengan pukulan "Hoan Wan Ek Tek Cwan Tiang" yang akan segera disusul dengan pukulan "Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit". Pukulan ini adalah simpanan Biauw Jin Hong yang sudah
menaksir pasti, si brewok tak akan dapat menyelamatkan dirinya lagi. Akan tetapi, sebagaimana diketahui, pada sebelum menyerang dengan pukulan "Te Liau Kiam Pek Ho Su Sit", punggungnya Biauw Jin Hong sudah biasa terangkat sedikit. Seperti sudah dituturkan di atas, kebiasaan ini sudah berjalan semenjak ia kecil. Waktu itu, sang rembulan pencarkan sinarnya yang terang-benderang dan putih bagaikan perak. Di bawah sinarnya sang Puteri Malam, dinding jurang itu yang dilapis es merupakan satu kaca yang bersinar terang, sehingga punggungnya Biauw Jin Hong berbayang tegas sekali di atas "kaca" tersebut.
Begitu lihat punggung "Kim Bian Hud" terangkat sedikit, Ouw Hui segera ingat penuturannya Peng Ah Si, mengenai pertempuran antara mendiang ayahnya dan Biauw Jin Hong pada duapuluh tujuh tahun berselang. Pada waktu itu, begitu punggungnya "Kim Bian Hud" terangkat naik, ibunya Ouw Hui memberi tanda batuk-batuk kepada Ouw It To. Akan tetapi, sekarang ia tidak perlu bantuan orang lain, oleh karena sudah mendapat bantuan dinding jurang. Demikianlah, begitu lekas punggungnya "Kini Bian Hud" terangkat, ia segera mendahului dengan serangan "Pat Hong Cong To".
Di lain pihak, baru saja Biauw Jin Hong mengirim separoh serangan "Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit", seluruh badannya sudah dikurung dengan senjatanya Ouw Hui. Sekarang, pada saat itulah, ia sadari Ia mengetahui, bahwa pemuda yang menjadi lawannya mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan Ouw It To. "Pembalasan!" ia mengeluh sembari menghela napas dan meramkan kedua matanya untuk menunggu kebinasaan. Tapi, selagi mengangkat senjata untuk menamatkan riwayatnya Biauw Jin Hong, di dalam otaknya Ouw Hui mendadak berkelebat mukanya Biauw Yok Lan dan sedetik itu, ia ingat janjinya kepada nona Biauw, bahwa, walaupun bagaimana juga, ia tak akan mencelakakan ayahnya kecintaan itu. Akan tetapi, apabila saat itu ia tidak menurunkan tangan dan membiarkan "Kini Bian Hud" menyelesaikan pukulan "Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit", adalah ia sendiri yang harus menerima kebinasaan. Apakah yang ia harus berbuat? Apakah ia harus berlaku begitu tolol dan antarkan jiwa secara begitu rupa? Di lain pihak, jika ia menurunkan tangan, cara bagaimana ia masih mempunyai muka untuk bertemu pula dengan Biauw Yok Lan? Dan jika seumur hidup ia tak dapat bertemu muka pula dengan nona Biauw, daripada hidup menderita, lebih baik mati! Bagaimana? Bagaimana? Lama, lama sekali, Biauw Yok Lan berdiri di atas salju, menunggu-nunggu pulangnya kedua orang yang dicintai. Saking kesal, perlahan-lahan ia membuka bungkusan yang tadi diserahkan kepadanya oleh si Rase Terbang. Dalam bungkusan itu terdapat beberapa stel pakaian bayi, sepasang sepatu anak orok dan satu bungkusan dari kain kuning. Dengan bantuan sinarnya rembulan, ia dapat lihat, bahwa di atas bungkusan kuning itu tertulis, "Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu" Itulah barang pemberian ayahandanya sendiri untuk Ouw Hui pada duapuluh tujuh tahun berselang! Ia terpaku, ia berdiri di situ bagaikan patung. Jauh dari puncak, jauh pula dari dasar jurang yang sangat dalam, tepat di tengah jurang di atas batu yang goyah dan saban saat dapat jatuh, satu pertanyaan yang akan menentukan ia mati atau hidup, belum terjawab, Bagaimana, bagaimanakah Ouw Hui harus berbuat? Sampai di sini, berakhirlah sudah cerita Soat San Hui Ho yang sebenarnya belum berakhir.
Sambungan cerita ini akan segera diterbitkan dengan judul "HUI HO GWA TOAN" atau "Kisah si Rase Terbang".
TAMAT