Bagian 1
Jalan kecil itu menuju ke kota Tai-goan. Jalan yang buruk dan becek, apalagi karena waktu itu musim hujan telah mulai. Udara selalu diliputi awan mendung, kadang-kadang turun hujan rintik-rintik, sambung menyambung menciptakan hawa dingin. Seperti biasa, segala keadaan di dunia ini selalu mendatangkan untung dan rugi, dipandang dari sudut kepentingan masing-masing. Para petani menyambut hari-hari hujan dengan penuh kegembiraan dan harapan, karena banyak air berarti berkah bagi mereka. Akan tetapi di lain fihak, para pedagang dan pelancong mengomel dan mengeluh karena pekerjaan atau perjalanan mereka terganggu oleh jatuhnya hujan rintik-rintik yang tak kunjung henti.
Hujan rintik-rintik membuat jalan kecil itu sunyi. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang yang melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu lebih suka menunda perjalanan, beristirahat di warung-warung sambil minum arak hangat, di kuil-kuil atau setidaknya di bawah pohon rindang, pendeknya asal mereka dapat terlindung dari hujan. Kalaupun ada yang melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu di waktu hujan rintik-rintik menambah dingin hawa udara pagi itu, mereka tentu bergesa-gesa agar cepat tiba di tempat tujuan. Beberapa ekor kuda dibalapkan lewat, juga serombongan kereta lewat dengan cepatnya melalui jalan kecil, sejenak memecahkan kesunyian dengan suara roda kereta, derap kaki kuda dan cambuk, diseling suara pengendara yang menyumpah jalan buruk dan hawa dingin.
Akan tetapi pada pagi hari itu, seekor kuda kurus berjalan perlahan melalui jalan kecil itu. Kuda yang kurus dan buruk, berjalan seenaknya seakan-akan menikmati air hujan yang berjatuhan jarang di atas kepalanya. Warna kulit kuda ini agaknya dahulunya merah, kini penuh debu basah sehingga warnanya menjadi coklat dan kotor. Penunggangnya sama dengan kudanya dalam menghadapi gangguan hujan. Tidak merasa terganggu sama sekali. Duduk di atas punggung kuda sambil meniup suling! Aneh, mana ada orang lain berhujan-hujan meniup suling?
Laki-laki itu tinggi tegap, usianya tentu mendekati lima puluh tahun. Raut wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya sayu namun bersinar tajam. Kepalanya terlindung sebuah topi lebar, terbuat dari anyaman rumput dan sudah butut, robek-robek pinggirnya. Pakaiannya longgar dan amat bersih, akan tetapi sudah terhias tambalan di beberapa tempat. Biarpun keadaan orang dan kudanya membayangkan kemelaratan dan sama sekali tidak menarik, namun suara sulingnya luar biasa sekali. Sayang bahwa tiupan suling seindah itu tidak pernah terdengar orang karena setiap kali bertemu orang, laki-laki di atas kuda kurus ini selalu menghentikan tiupan sulingnya. Agaknya ia tidak suka kalau tiupan sulingnya didengar orang.
Setelah keluar dari sebuah hutan kecil yang gelap, laki-laki itu menghentikan kudanya. Sepasang mata yang terlindung topi lebar itu memandang ke kanan kiri. Hutan terganti kebun dan sawah. Beberapa orang petani sibuk bekerja di ladang, agak jauh dari jalan kecil itu. Laki-laki itu tampak tertarik dan sejenak wajah yang tampan itu berseri. Kemudian ia menarik perlahan kendali kudanya. Binatang kurus itu berjalan lagi, seenaknya. Hujan gerimis sudah mereda, tinggal kecil dan jarang, sebentar lagi juga berhenti. Di timur, sinar matahari mulai menerobos awan tipis mengusir dingin. Laki-laki itu sejenak memandang ke arah matahari yang belum menyilaukan mata, lalu mulutnya bernyanyi!
"Syarat memimpin negara dan dunia adalah sembilan kebenaran
memperbaiki diri sendiri
menghargai orang bijak dan pandai
mencinta sanak keluarga
menghormat pembesar tinggi
mengasihi pembesar rendah
mencinta rakyat seperti anak
mengundang ahli-ahli bangunan
menghibur pengunjung dari jauh
mengikat persahabatan dengan negara lain!"
Sambil bernyanyi, laki-laki itu melakukan gerakan-gerakan aneh dengan sulingnya. Setiap kata-kata ia barengi dengan gerakan suling yang kalau diperhatikan merupakan gerakan menulis kata-kata itu, menulis di udara dan sungguh aneh, setiap gerakan menulis ini mengakibatkan suara angin melengking yang berbeda-beda! Andaikata pada waktu itu terdapat seorang ahli silat tinggi yang menyaksikan gerakan-gerakan ini, tentu dia akan terheran-heran dan merasa kagum karena selain melihat gerakan luar biasa, juga akan merasa betapa dari gerakan ini keluar hawa pukulan mujijat! Akan tetapi, kalau gerakan-gerakan sambil bernyanyi itu terlihat oleh orang biasa, tentu ia akan mengira bahwa laki-laki berkuda itu seorang yang miring otaknya.
Melihat keadaannya yang melarat, tak seorangpun akan mengira bahwa laki-laki ini sesungguhnya adalah seorang pendekar besar, seorang pendekar sakti yang pada belasan tahun yang lalu amat terkenal dan sukar dicari tandingnya. Jarang ada orang yang mengetahui namanya, dan para tokoh dunia persilatan hanya mengenalnya sebagai SULING EMAS. Telah belasan tahun dunia persilatan kehilangan tokoh ini dan tidak seorangpun tahu kemana perginya. Dahulu orang mengenal Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) sebagai seorang laki-laki yang tinggi tegap dan tampan gagah, pakaiannya terbuat daripada sutera halus berwarna hitam, dengan sulaman benang emas menggambarkan bulan dan sebatang suling di bagian dadanya. Dahulu, belasan tahun
yang lalu, sepak terjangnya amat mengagumkan kawan maupun lawan. Mulia seperti malaikat bagi yang tertolong, hebat mengerikan seperti iblis bagi penjahat yang dibasminya. Itulah dia Suling Emas!
Akan tetapi laki-laki setengah tua yang menunggang kuda kurus itu, yang pakaiannya membuat ia lebih patut disebut jembel, sama sekali tidak memperlihatkan bekas bahwa dialah sesungguhnya Suling Emas. Jauh bedanya bagaikan bumi dengan langit. Suling yang tadi ditiupnya kini berselubung tembaga di luarnya, merupakan suling biasa. Hanya seorang ahli kalau melihat gerakan-gerakannya sambil bernyanyi tadi, akan mendapat kenyataan bahwa selama belasan tahun bersembunyi ini, kepandaian Suling Emas tidaklah mundur, bahkan makin hebat. Gerakan-gerakannya tadi sama sekali bukan gerakan seorang gila hendak menari, melainkan gerakan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu Ilmu Silat Sastra Awan dan Angin yang berdasarkan gerakan penulisan huruf-huruf dari kitab Tiong-yong! Nyanyiannya tadi adalah ayat-ayat dari kitab Tiong-yong. Jangan dikira bahwa gerakan-gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan, karena setiap huruf yang ditulis, merupakan gerakan lihai sekali, baik dalam bentuk serangan maupun dalam bentuk tangkisan. Kuda kurus itu berjalan terus. Sinar matahari pagi kini mencipta suasana cerah dan indah. Burung-burung berkicau menambah keindahan suasana. Lalu lintas mulai ramai setelah kini hujan berhenti dan tembok kota Tai-goan sudah tampak dari jauh, Suling Emas tidak bernyanyi lagi, tidak pula meniup sulingnya. Bahkan sulingnya, kini tersembunyi dibalik bajunya yang penuh tambalan. Ia menunduk, tidak memperhatikan orang-orang yang lewat dan bersimpang jalan dengannya. Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri, perhatiannya terhadap manusia dan dunia menipis. Kadang-kadang ketenangannya terganggu oleh batuk. Apabila serangkaian batuk menyerangnya, mulutnya membayangkan rasa nyeri yang ditahan-tahan. Dan rangkaian batuk yang menyesakkan dada ini membuat ia kecewa.
Suling Emas kecewa akan dirinya sendiri. Percuma saja belasan tahun ia menyembunyikan diri. Ia dapat bersembunyi daripada dunia ramai, namun ia tidak dapat bersembunyi daripada pikiran dan hatinya sendiri! Kemanapun juga ia pergi, kepuncak-puncak gunung yang sunyi, kedalam guha-guha yang sepi dimana tidak nampak bayangan manusia lain, pikiran dan perasaan hatinya selalu mengejarnya. Bayangan wajah wanita-wanita yang pernah merampas hatinya, selalu menggodanya. Ia mempergunakan kekuatan dan kekerasan hati, menekan semua itu, namun hasilnya merusak jantungnya sendiri. Suling Emas selama belasan tahun hidup bersengsara, hidup nelangsa, hidup menyiksa batin sendiri, korban asmara!
Ketika kudanya berjalan perlahan, bermacam kenangan memenuhi kepalanya, kenangan yang timbul dari serangkaian batuk yang menyerangnya tadi. Karena serangan batuk ini mengingatkannya kembali akan keadaan dirinya. Teringatlah ia akan nasib ayah bundanya, nasib gurunya. Mereka itu, orang-orang tua yang tidak sempat ia balas dengan kebaktian itu, yang telah lama meninggalkannya seorang diri di dunia ini, juga mengalami nasib buruk dalam cinta kasih. Ayah bundanya gagal dalam cinta kasih sehingga bercerai sampai mati. Kemudian gurunya yang tercinta, gurunya yang menjadi pula pengganti ayah bundanya, mengalami kegagalan asmara yang lebih pahit pula. Kasihan gurunya Kim-mo-Taisu, pendekar sakti yang patah hati!
Suling Emas kembali menarik napas panjang, tangan kirinya membenamkan topinya makin dalam. Matahari disebelah kanannya mulai menyilaukan mata dan topinya amat baik untuk melindungi matanya dari sinar matahari. Ia termenung kembali, tampaknya melenggut ngantuk di atas punggung kudanya. Betapapun sengsara orang tua dan gurunya menjadi korban asmara gagal, jika dibandingkan dengan apa yang ia alami, mereka itu masih mendingan! Terbayang wajah wanita yang menjadi cinta pertamanya,
gadis yang terjungkal kedalam jurang dan tewas pada saat mereka berdua sedang bertunangan! Kemudian wajah cintanya yang kedua, yang kini menjadi nyonya pangeran, hidup mewah dan mulia bersama suami dan anak-anaknya! Akhirnya terbayang pula wajah cintanya yang ketiga, atau yang terakhir, wajah Kam Lin Lin, atau lebih tepat sekarang disebut Ratu Yalina, ratu suku bangsa Khitan di utara!
"Ahh, bodoh!" Suling Emas menyendal kendali kudanya merasa gemas kepada dirinya sendiri yang ia anggap amat lemah. "Engkau sudah tua bangka berpikir yang bukan-bukan!" Didalam hatinya ia menyumpahi diri sendiri. Lamunan-lamunan, kenangan-kenangan, dan pikiran macam itulah yang selalu mengejar dan menggodanya, kemanapun juga ia pergi, sehingga akhirnya timbul batuk yang menggerogoti dadanya.
Kalau sudah terganggu oleh kenang-kenangan seperti itu hatinya serasa diremas, terasa sakit dan perih, semangatnya melemah dan seluruh tubuhnya lelah, membuat ia malas dan satu-satunya keinginan hanya tidur, kalau mungkin tidur selamanya tanpa sadar lagi! Sebuah kuil tua dipinggir jalan, diluar kota Tai-goan menarik hatinya karena ia melihat tempat mengaso yang enak dalam kuil tua itu, dimana ia dapat mengaso dan tidur memenuhi keinginan hatinya. Dibelokkannya kuda kurus itu kekiri memasuki pekarangan kuil tua yang penuh rumput, seperti juga kuilnya sendiri yang sudah kosong dan tidak terpelihara, pekarangan itupun kotor penuh rumput. Akan tetapi hal ini menguntungkan bagi kuda kurus yang terus saja melahap rumput hijau didepan kuil. Kuda itu dilepas begitu saja oleh Suling Emas yang memasuki kuil dengan mata setengah tidur! Tanpa menoleh kekanan kiri tanpa mempedulikan beberapa orang pengemis yang duduk disudut ruangan depan, ia terus melangkah kedalam, mengebut-ngebutkan ujung baju membersihkan lantai disudut yang kosong, lalu duduk bersandar dinding, terus melenggut tidur! Hanya dengan istirahat beginilah batuk yang menyerangnya menjadi berkurang.
Mengapa pendekar sakti seperti Suling Emas sampai menjadi begini? Padahal, kalau ia menghendaki kedudukan, Kerajaan Sung akan membuka kesempatan sebesarnya kepada Suling Emas, tokoh yang sudah banyak dikenal, bahkan Kaisar sendiri memberi penghargaan kepada Suling Emas, memberi izin istimewa kepada Suling Emas, untuk memasuki istana setiap saat sesuka hatinya! Selain ini, juga para pimpinan Beng-kauw yang menjadi orang-orang paling berpengaruh di samping Kaisar Nan-cao, juga akan
menerimanya dengan tangan terbuka. Betapa tidak? Suling Emas adalah cucu keponakan dari ketua Beng-kauw! Mengapa ia menolak semua kemuliaan ini dan memilih penghidupan miskin, terlantar, patah hati dan terserang penyakit?
Para pembaca cerita "SULING EMAS" dan cerita "CINTA BERNODA DARAH" tentu masih ingat betapa parah cinta kasih yang gagal merobek hati Suling Emas.
Cintanya yang terakhir lebih-lebih lagi menghancurkan hatinya. Ikatan cinta kasih antara dia dan Ratu Yalina, amatlah erat. Masing-masing telah saling mencinta, bahkan Ratu Yalina tadinya rela mengorbankan kedudukannya untuk menjadi isterinya. Namun, Suling Emas terpaksa menolaknya. Menolak karena pertama, Suling Emas sebagai seorang tokoh besar didunia kang-ouw tentu saja dimusuhi banyak orang, apalagi karena mendiang ibunya sewaktu hidupnya telah mengakibatkan banyak permusuhan dengan orang-orang dunia persilatan. Ia tidak mau menyeret Yalina dalam hidup penuh bahaya dan permusuhan. Kedua, Yalina adalah puteri angkat ayahnya, jadi masih adik angkatnya sendiri, sehingga kalau mereka berdua berjodoh, tentu akan menjadi bahan ejekan dan cemoohan, mencemarkan nama baik keluarganya. Ketiga, suku bangsa Khitan amat membutuhkan bimbingan Ratu Yalina untuk memperkuat kembali suku bangsa itu. Inilah sebabnya mengapa ia rela berpisah dari kekasihnya itu, rela hidup merana dan menderita tekanan batin.
Hampir dua puluh tahun ia menyembunyikan diri semenjak berpisah dari Ratu Yalina. Musuh-musuh ibunya akhirnya merasa bosan mencari-carinya untuk dimintai pertanggungan jawab akan sepak terjang ibunya puluhan tahun yang lalu. Akhirnya ia, Suling Emas, dilupakan orang!
Benarkah itu? Benarkah Suling Emas dilupakan orang? Mudah-mudahan demikian, pikir Suling Emas sambil melenggut. Mudah-mudahan dunia sudah lupa kepada Suling Emas! Lebih dilupakan lebih baik! Siapa yang akan mengenal Suling Emas yang sekarang telah menjadi seorang jembel setengah tua? Gurunya dahulu pernah hidup sebagai seorang jembel. Malah jembel yang gila! Berpikir sampai di sini, senyum pahit menghias mulutnya dan ia membuka sedikit matanya. Kebetulan sekali ia melihat dua orang pengemis tua yang tadi duduk melenggut disudut luar, kini keduanya saling berbisik dan menoleh kepadanya. Kemudian, aneh sekali, dua orang pengemis tua itu menghampirinya dan keduanya membuat gerakan aneh, yaitu tangan kiri menekan dada kiri arah tempat jantung, dan tangan kanan diangkat keatas membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah.
Apa artinya itu? Mengapa mereka memberi salam seaneh itu? Suling Emas tidak mengenal siapa mereka, juga yakin bahwa tidak mungkin mereka mengenalnya. Akan tetapi mereka itu sudah menyalamnya, biarpun salam yang lucu dan aneh. Agaknya mereka itu memberi salam karena mengira diapun seorang pengemis, jadi segolongan. Dan agaknya para pengemis didaerah ini sudah lajim menyalam seorang "rekan" secara itu. Untuk menjaga jangan sampai dua orang itu tersinggung Suling Emas lalu meniru gerakan mereka, membalas salam itu dengan gerakan yang sama, lalu ia meramkan mata dan melenggut pula, tidak memperhatikan lagi dua orang itu yang wajahnya sejenak berubah girang sekali ketika melihat balasan salamnya. Agaknya seorang di antara dua pengemis tua itu hendak bicara dan Suling Emas diam-diam merasa geli hatinya, akan tetapi mendadak mereka berdua itu sudah meloncat dan dilain saat sudah mendengkur lagi sambil duduk bersandar tembok. Gerakan mereka begitu cepat sehingga diam-diam Suling Emas tercengang, maklum bahwa dua orang pengemis itu bukanlah pengemis sembarangan, melainkan pengemis
kang-ouw yang berilmu tinggi! Selagi ia terheran mengapa mereka tidak jadi bicara dan bersikap seaneh itu, tiba-tiba diluar terdengar suara langkah kaki orang disusul suara dalam bahasa Khitan yang dimengerti pula oleh Suling Emas.
"Tidak salah lagi. Dia tentu berada didalam kuil ini. Lihat itu kudanya, aku mengenal kuda kurus ini!" Demikian suara itu
dan diam-diam Suling Emas terkejut. Ia teringat bahwa kemarin ia melihat tiga orang laki-laki bangsa Khitan yang berpakaian seperti perwira, menunggang kuda dengan membalap. Mereka itu ketika bersimpang jalan, memandang penuh perhatian kepadanya. Melihat perwira-perwira Khitan ini, Suling Emas teringat kepada kekasihnya, Ratu Yalina. Akan tetapi karena pada masa itu Kerajaan Sung bersahabat dengan Kerajaan Khitan dan adanya orang-orang Khitan diwilayah Kerajaan Sung bukanlah hal aneh lagi, maka Suling Emas tidak menaruh perhatian lagi. Siapa kira, tiga orang itu agaknya menyusul dan mencarinya sampai disini!
Sedikitpun Suling Emas tak dapat menduga mengapa ada perwira-perwira Khitan mencarinya dan mulai timbul dugaan bahwa tentu mereka itu salah lihat, mengira dia orang lain, maka ia tetap saja duduk dengan sikap tenang. Tiga orang Khitan itu segera muncul diruangan dalam kuil itu. Seorang diantara mereka, yang menjadi pemimpin, bertubuh gemuk dengan kumis melintang tebal. Si Kumis Tebal inilah yang sekarang berdiri dan menjura kepadanya, memandang tajam, penuh selidik kearah wajah dibawah topi sambil berkata, "Taihiap (Pendekar Besar), kami menjalankan perintah Ratu kami yang minta dengan hormat agar Taihiap suka pergi berkunjung sekarang juga bersama kami ke Khitan."
Jantung Suling Emas berdebar keras. Baru sekali ini setelah belasan tahun ia mengalami ketegangan batin. Ratu Khitan Yalina mengundangnya? Apa yang dikehendaki oleh Lin Lin? Mengapa ingin bertemu? Pertemuan yang tentu hanya akan membuat luka dihatinya menjadi makin parah saja. Di saat itu juga, ia sudah mengambil keputusan untuk menolak undangan ini. Akan tetapi ia tidak ingin pula lain orang mengetahui bahwa dia Suling Emas. Bagaimana perwira Khitan ini dapat mengenalnya?
"Apa.... apa yang kau maksudkan? Aku tidak mengerti omonganmu!" Ia menjawab lirih, pura-pura tidak mengerti kata-kata tadi yang diucapkan dalam bahasa Khitan. Si Kumis Tebal itu saling lirik dengan dua orang temannya, pada wajahnya terbayang keheranan dan keraguan. Ia segera berkata dalam bahasa Han.
"Kami diutus junjungan kami untuk mengundang Taihiap berkunjung ke Khitan sekarang juga bersama kami." Tentu saja Suling Emas maklum bahwa Lin Lin atau Sang Ratu Yalina yang mengundangnya, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu. Diam-diam ia kagum dan heran sekali akan kecerdikan orang-orang Khitan sehingga berhasil mengenal dan mendapatkannya. "Ah, apa artinya ini? Aku sama sekali bukan Taihiap, dan aku tidak mengenal siapa itu junjunganmu di Khitan."
Kembali wajah gemuk itu dibayangi keraguan. "Harap Taihiap jangan berpura-pura lagi. Junjungan kami adalah Sang Ratu yang mulia di Khitan. Menurut petunjuk yang saya terima, tidak salah lagi Taihiap orangnya. Kuda kurus itu.... dan bentuk tubuh Taihiap. Perintah junjungan kami merupakan perintah besar yang harus dilaksanakan sampai berhasil, dan kami sudah bertahun-tahun dalam usaha mencari Taihiap!"
Diam-diam Suling Emas merasa terharu. Kembali terbayang wajah Lin Lin, terbayang semua peristiwa yang lalu. Lin Lin adalah puteri angkat ayahnya yang ternyata kemudian sebagai Puteri Mahkota Khitan. Mereka saling mencinta, namun tak mungkin menjadi suami isteri. Ia telah memenuhi hasrat hatinya, memenuhi permohonan Lin Lin sebelum berpisah sampai kini dari wanita yang tercinta itu. Ia telah secara diam-diam dan rahasia berkunjung di istana Sang Ratu Yalina, berdiam sampai satu bulan di dalam kamar Sang Ratu, hidup sebagai suami isteri penuh cinta kasih, penuh kemesraan selama sebulan, suami isteri diluar pernikahan yang tak mungkin dilakukan! Mereka berdua runtuh oleh gelora cinta dan nafsu. Namun hal itu tak dapat dipertahankan terus. Demi menjaga nama baik Yalina sebagai Ratu, dan demi untuk menjaga nama baik keluarga. Terpaksa Suling Emas harus meninggalkan Khitan meninggalkan dengan keputusan hati takkan kembali lagi, takkan bertemu lagi dengan wanita yang dikasihinya, hanya dengan hiburan bahwa wanita yang dicintanya itu juga mencintanya sepenuh jiwa raga. Mereka bersumpah takkan menikah dengan orang lain. Belasan tahun hal itu terjadi dan telah lalu. Hampir dua puluh tahun. Dan sekarang tiba-tiba Sang Ratu Yalina mengutus perwira-perwiranya untuk mencarinya sampai dapat, untuk mengundangnya ke Khitan. Apa perlunya? Bukankah kesemuanya itu sudah musnah habis?
"Aku yakin bahwa kalian tentu salah kira dan menganggap aku orang lain. Kalian mengira aku ini siapakah?" Suling Emas
masih berusaha mempertebal keraguan orang. "Siapa lagi Taihiap ini kalau bukan Kim-siauw-eng?"
"Aiiihhh....!" Teriakan tertahan ini terdengar dari sudut ruangan dimana dua orang kakek pengemis tadi duduk bersandar.
Berdebar keras jantung Suling Emas. Celaka, benar-benar orang-orang Khitan ini bermata tajam. "Ah, apa-apaan ini?" teriaknya. "Kalian benar-benar salah melihat orang! Aku bukan Taihiap, bukan pula Kim-siauw-eng, kalian lekas pergi saja
jangan menggangguku."
"Taihiap, salah atau tidak, kami harus melakukan kewajiban kami! Petunjuk yang baru kami terima kemarin dari atasan kami tak salah lagi. Berpakaian sebagai pengemis, bertopi lebar butut, menunggang kuda kurus. Tidak salah lagi, Harap Taihiap tidak membikin repot kami dan suka, kami antar ke Khitan sekarang juga."
"He mmm.... kalau aku tidak mau?"
"Kami mendapat perintah untuk mengawal Taihiap ke Khitan, mau atau tidak, karena kami sudah mendapat wewenang, kalau perlu kami akan memaksa Taihiap." Sambil berkata demikian, Si Kumis Tebal itu mengepal tinju dan melangkah dekat. Akan tetapi jelas bahwa ia gelisah sehingga dahinya penuh keringat.
"Waahh...., jangan menghina kaum jembel....!" Kiranya dua orang pengemis tua itu sudah berdiri menghadang didepan tiga orang perwira Khitan dengan sikap melindungi Suling Emas. Di tangan kanan mereka tampak tongkat pengemis.
Perwira Khitan yang gemuk itu memandang dengan mata melotot, lalu membentak.
"Jembel-jembel tua bangka, kalian mau apa mencampuri urusan kami?" Kakek pengemis yang punggungnya bongkok tersenyum lebar, lalu berkata. "Melihat sekaum dihina orang, bagaimana kami dapat tinggal diam? Apalagi kalau yang kalian hina adalah saudara tua kami yang terhormat." Kemudian kakek bongkok itu menoleh kearah Suling Emas lalu menjura. "Tianglo yang mulia silakan beristirahat yang enak, biarlah kami berdua mewakili Tianglo memberi hajaran kepada anjing-anjing Khitan ini!" Setelah berkata demikian, kembali ia menghadapi para perwita Khitan dan berkata mengejek, "Saudara tua kami tidak suka menerima undangan Ratu Khitan, mengapa memaksa? Sungguh Ratu kalian tak tahu malu!"
"Keparat, berani menghina....?" Perwira gemuk itu segera menghantam kearah dada pengemis bongkok. Hantaman yang amat kuat sehingga mengeluarkan hawa pukulan yang menyambar keras. Si Pengemis Bongkok maklum akan kekuatan lawan, maka ia cepat mengelak. Dua orang perwira lain yang memegang toya juga segera menyerbu dan terjadilah perkelahian seru di dalam kuil tua ini.
Ketika Suling Emas menyaksikan sikap kedua orang pengemis tua itu terhadapnya, menjadi makin terheran-heran. Kalau para perwira Khitan itu dengan tepat dapat mengenal atau setidaknya menyangkanya Suling Emas, adalah para pengemis ini mengira dia orang lain dan menyebutnya Tianglo! Tentu dia dianggap seorang tokoh pengemis yang mereka hormati. Tidak beres kalau begini, pikirnya. Namun, masih mending dianggap seorang tokoh pengemis daripada dikenal sebagai Suling Emas! Ia merasa kesal melihat dirinya dijadikan sebab perkelahian, maka melihat lima orang itu bertanding seru, ia lalu menggunakan kepandaiannya, sekali berkelebat ia sudah lenyap dari tempat itu, meloncat keluar kuil dan dilain saat ia sudah menunggang kudanya yang kurus. Akan tetapi sekali ini, kuda kurus itu memperlihatkan keasliannya ketika Suling Emas menarik kendali dan menendang perutnya, karena kuda kurus itu berlari amat cepatnya dan melihat gerakan kakinya jelas bahwa kuda kurus
itu adalah seekor kuda pilihan!
Biarpun para perwira Khitan itu tiga orang mengeroyok dua orang pengemis tua yang tubuhnya kurus kering malah seorang diantaranya bongkok, namun mereka itu segera mendapat kenyataan bahwa dua orang jembel tua itu benar-benar amat lihai! Untung bagi orang-orang Khitan itu bahwa dua orang jembel tua itu agaknya memang hanya ingin mempermainkan mereka. Seperti telah disebutkan tadi, pada masa itu, diantara Kerajaan Sung dan Kerajaan Khitan terdapat persahabatan. Orang-orang Khitan tentu saja masih dianggap bangsa yang "liar" akan tetapi karena orang-orang Khitan itu selalu membuktikan disiplin yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan di wilayah Sung, maka rakyatpun tidak membenci mereka. Hal ini terjadi setelah suku bangsa Khitan dipimpin oleh Ratu Yalina yang mengeluarkan peraturan-peraturan keras untuk rakyatnya. Karena inilah,
agaknya dua orang pengemis yang terang bukan orang-orang sembarangan itu juga enggan untuk mencelakai tiga orang perwira Khitan itu, melainkan hanya ingin mencegah mereka memaksa pengemis aneh yang mereka sangka seorang "saudara tua" tadi.
"Eh, kemana perginya Tianglo....?" Tiba-tiba Si Bongkok berseru kaget dan keduanya segera menghentikan pertempuran, bahkan tanpa berkata sesuatu dua orang pengemis itu sudah meloncat keluar dan sebentar saja lenyap dari situ. Perwira gemuk itu mengejar bersama dua orang temannya, namun setiba mereka diluar kuil, keadaan sepi saja. Tak nampak seorangpun manusia. Juga kuda kurus tidak berada pula didepan kuil. Perwira gemuk berkumis tebal itu mengerutkan keningnya, meraba-raba dagu lalu berkata, "Sungguh meragukan apakah benar dia tadi Suling Emas. Terang dia menolak, dan dua orang jembel tua bangka tadi sungguh menjemukan, membikin sukar pelaksanaan tugas kita yang tidak mudah. Kalian lekas beri laporan kepada pusat
markas penyelidik di Tai-goan, katakan betapa lihainya dua orang pengemis tua bangka tadi. Kalau dia tadi betul Suling Emas dan sampai lolos, tentu kita semua akan menerima hukuman berat! Lekas berangkat, aku akan mencoba mengikuti jejaknya...."
Dua orang perwira bawahan itu cepat pergi menunggang kuda mereka menuju ke Tai-goan, sedangkan Si Perwira Gemuk juga membalapkan kuda melakukan pengejaran kearah timur setelah meneliti jejak kaki kuda yang ditunggangi Suling Emas. Betapa heran hatinya ketika melihat jejak kaki kuda itu tak pernah berhenti biarpun ia mengikutinya sampai matahari condong kebarat. Mungkinkah kuda kurus kering mau mati itu dapat melakukan perjalanan sebegitu jauhnya dan melihat jejaknya selalu berlari cepat? Diam-diam Si Perwira Gemuk mengeluh dan mengomel. Sudah lebih dari lima tahun ia ditugaskan mencari seorang yang bernama Suling Emas! Membawa pasukan, bahkan kemudian akhir-akhir ini pencaharian dan penyelidikan diperhebat dengan
datangnya para pengawal jagoan dari Khitan yang berpusat di Tai-goan. Namun selama ini, penyelidikannya selalu sia-sia
belaka. Suling Emas yang dimaksudkan ratunya itu seakan-akan lenyap ditelan bumi, atau memang orang itu tidak pernah ada!
Kemarin, dia menerima berita dari seorang di antara penyelidik yang disebar di mana-mana, bahwa seorang penunggang kuda kurus yang perawakannya sama dengan orang yang selama ini dicari-cari. Dengan penuh semangat dia bersama dua orang pembantunya melakukan penyelidikan dan akhirnya bertemu dengan Suling Emas didalam kuil itu. Aneh sekali caranya orang itu melenyapkan diri, pikir Si Perwira Gemuk sambil mengepal tinju. Mengapa tidak seorangpun di antara mereka ada yang tahu? Padahal, dua orang pengemis tua itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Namun merekapun tidak melihat perginya orang yang disangka Suling Emas itu. Hal ini hanya berarti bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian hebat. Cocok dengan gambaran tentang diri Suling Emas yang oleh para pengawal istana disohorkan memiliki kepandaian seperti dewa! Sekali ini harus berhasil, pikirnya. Harus berakhir pengejaran dan penyelidikan yang bertahun-tahun ini!
Suling Emas membalapkan kudanya dan baru ia membiarkan kudanya mengaso dan berjalan perlahan setelah lewat tengah hari. Ia tidak jadi pergi ke Tai-goan. Ia harus melarikan diri, tak peduli kemana, asal jangan sampai bertemu dengan orang-orang Khitan itu. Kembali jatuh hujan rintik-rintik, akan tetapi ia tidak peduli. Mengapa, Lin Lin berusaha keras untuk mengundangnya ke Khitan? Apakah selama ini Lin Lin juga hidup menderita batin seperti dia? Kasihan Lin Lin! Ia tahu betapa mendalam cinta kasih Lin Lin kepadanya dan betapa perpisahan itu akan membuat Lin Lin hidup sebagai Ratu Yalina, terkurung dalam istana, yang keras dan sunyi!
"Oughhh....!" Kembali serangkaian batuk menyerang Suling Fmas. Selalu ia terserang batuk kalau pikirannya mengenang masa lalu yang menimbulkan duka. Agaknya serangan batuk kali ini hebat sehingga ia terbatuk-batuk dan tubuhnya berguncang-guncang di atas kuda, wajahnya menjadi pucat, napasnya terengah-engah. Sudah lama ia terserang penyakit,
bertahun-tahun sudah, akan tetapi ia tidak pernah mempedulikannya, tidak mau mencari obat. Biarlah demikian pikirnya setiap kali timbul keinginan mengobati penyakitnya, kalau penyakit ini mengakibatkan kematian alangkah baiknya. Bebas daripada duka nestapa dan derita batin!
Betapa besar kekuasaan asmara! Kuasa menciptakan sorga maupun neraka dalam penghidupan manusia! Suling Emas yang dahulu terkenal gagah perkasa, tahu akan segala filsafat hidup, menguasai berbagai ilmu yang tinggi dan pelik-pelik, namun sekali tercengkeram asmara, menjadi lemah seperti seorang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa, menjadi begitu lemah sehingga tidak mampu menguasai dirinya sendiri!
Betapa ingin hatinya bertemu kembali dengan Ratu Yalina! Betapa ingin hatinya dapat memandang wajah wanita yang dikasihinya itu, dapat memegang tangannya. Ah, akan tetapi bagaimana mungkin? Dia sudah tua, juga Lin Lin bukanlah orang muda lagi. Dahulupun di waktu mereka masih muda, hal ini tak mungkin dilakukan tanpa mengakibatkan noda nama. Apalagi sekarang, Lin Lin adalah seorang ratu yang disembah rakyatnya, sedangkan dia.... dia seorang sebatang kara dan miskin. Betapa mungkin ia menjerat Lin Lin kedalam kehinaan?
"Tidak!" Suara hati terucapkan bibirnya. "Aku harus bertahan! Dia tidak boleh merendahkan diri, tidak boleh bertemu denganku!" Keputusan ini membuat Suling Emas seketika mengeluarkan sebuah saputangan lebar dan ditutupnyalah sebagian mukanya dengan saputangan. Jangan sampai orang-orang Khitan itu mengenalku!
Akan tetapi, keputusan yang amat berlawanan dengan hasrat hati ini makin memayahkan keadaannya. Serasa ditusuk-tusuk jantungnya sehingga tubuhnya makin lemah. Ia terbatuk-batuk lagi dan akhirnya ia terguling roboh dari atas punggung kudanya, jatuh dan rebah diatas tanah tak sadarkan diri! Kudanya mengeluarkan suara meringkik perlahan, berhenti dan membalikkan tubuh. Dengan hidungnya kuda kurus itu mendengus-dengus menciumi kepala Suling Emas. Biasanya kalau ia melakukan hal ini, majikannya lalu mengelus-elus kepala dan lehernya. Akan tetapi sekarang, majikannya diam saja tak bergerak. Hal ini menyusahkan hati si Kuda, yang kembali meringkik dan menjauhkan diri, berlindung di bawah pohon dari serangan hujan yang makin menderas sambil makan ujung-ujung rumput hijau.
Suling Emas tidak tahu berapa lama ia rebah pingsan ditempat itu. Pakaiannya basah kuyup, topi dan saputangannya masih menutupi mukanya. Ketika ia siuman kembali, ia mendengar suara orang-orang bergerak di dekatnya. Cepat Suling Emas membuka mata sambil menahan batuk yang mulai menyerangnya lagi. Kiranya dua orang kakek pengemis yang tadi bertempur melawan orang-orang Khitan didalam kuil telah berada didekatnya! Mereka itu berlutut dikanan kirinya dengan sikap hormat sekali, dan kakek yang bongkok berkata,
"Tianglo, maafkan kami yang baru sekarang dapat bertemu dengan Tianglo, sehingga Tianglo mengalami keadaan begini sengsara...."
"He mmm...., kau kira aku ini....?" Suling Emas bertanya perlahan akan tetapi tidak melanjutkan kata-katanya karena kembali ia terbatuk-batuk.
"Ahh...., Tianglo, kali ini kami tidak akan salah lihat! Engkau Yu Kang Tianglo yang mengenal baik tanda rahasia dengan
tangan dari perkumpulan kita, Khong-sim Kai-pang! Tianglo .... "
"Aku bukan Yu Kang Tianglo....!" Suling Emas memotong dengan suara keras. Ia sudah mengenal siapa Yu Kang Tianglo. Dahulu pernah ia bekerja sama, dengan Yu Kang, tiga puluh tahun yang lalu. Ketika itu Yu Kang adalah seorang tokoh dari Khong-sim Kai-pang berusia tiga puluh tahun, yang berusaha membalas dendam kematian ayahnya ditangan seorang di antara Enam Iblis Dunia bernama It-gan Ka i-ong. Karena ketika itu It-gan Kai-ong merupakan seorang tokoh jahat, Suling Emas lalu turun tangan, membantu Yu Kang merobohkan It-gan Kai-ong sehingga Yu Kang dapat membalas dendam (baca cerita SULING EMAS ).
Aneh sekali, pikirnya. Biarpun Yu Kang dan dia memang memiliki bentuk tubuh yang hampir sama, akan tetapi seingatnya, Yu Kang dahulu lebih tua dari padanya. Sedikitnya lebih tua lima tahun! Agaknya, Yu Kang juga seperti dia, mengasingkan diri sehingga para pengemis ini tidak dapat membedakan antara dia dan Yu Kang.
"Harap Tianglo mengingat akan perkumpulan kita dan menaruh kasihan kepada kami! Semenjak merobohkan It-gan Kai-ong tiga puluh tahun yang lalu, Tianglo menghilang. Kami mengira bahwa Tianglo khawatir akan pembalasan It-gan Kai-ong maka sengaja mengasingkan diri. Akan tetapi setelah belasan tahun yang lalu It-gan Kai-ong tewas mengapa Tianglo masih juga mengasingkan diri? Apakah Tianglo tidak kasihan kepada saudara-saudara kita yang sudah terlalu lama kehilangan pemimpin yang bijaksana?"
Selagi pengemis bongkok itu bicara dengan penuh permohonan, diam-diam Suling Emas berpikir. "Hemm, mengapa tidak? Biarlah Yu Kang menyembunyikan diri dan dia yang menggantikannya! Pertama, karena ia tahu bahwa perkumpulan Khong-sim Kai-pang adalah perkumpulan baik-baik sehingga sudah sepatutnya kalau ia bela. Kedua, dengan menyamar menjadi Yu Kang, Ia dapat menyembunyikan diri daripada pengejaran Lin Lin."
Pada saat itu, hujan turun lagi dengan derasnya dan pengemis tua yang memegang tongkat berseru, "Ah, dasar bandel monyet gendut itu! Dia berani muncul lagi!"
Suling Emas kaget dan segera bangun berdiri. "Saudara-saudara, biarkanlah aku sendiri menghadapinya." Ia berkata ketika melihat dua orang pengemis tua itu degan marah hendak menerjang maju. Mendengar ini., dua kakek itu menjadi girang dan menanti di kanan kiri.
Perwira Khitan yang gemuk itu melangkah lebar menghampiri tempat itu, menempuh hujan. Ketika melihat orang yang dicarinya berdiri di depannya dengan muka sebagian tertutup saputangan sedangkan dua orang pengemis tua yang lihai tadi berdiri di kanan kirinya. Ia terkejut. Akan tetapi segera ia menyeringai dan berkata. "Terpaksa saya harus mengikuti Taihiap sampai dimanapun juga. Saya mempertaruhkan nyawa untuk tugas ini!"
Suling Emas bertanya. "Tugasmu adalah mencari orang yang berjuluk Kim-siauw-eng, bukan?"
"Betul, Taihiap."
"Dan engkau mengira bahwa akulah orang yang kaucari itu?"
"Tidak bisa salah lagi, beginilah menurut petunjuk."
"Apakah engkau pernah bertemu dengan Suling Emas?"
"Waah.... belum pernah. Akan tetapi, petunjuknya cocok, dan akan ada seorang atasanku yang pernah bertemu dan akan mengenal Taihiap."
"Kalau begitu, jangan membandel. Katakan kepada atasanmu bahwa yang kausangka Suling Emas itu sebetulnya adalah Yu Kang Tianglo, ketua dari Khong-sim Kai-pang! Sudah, jangan engkau mengganggu kami lagi!" Ia menoleh kepada dua orang pengemis tua sambil berkata, suaranya memerintah, "Mari kita pergi!"
Si Perwira Khitan yang gendut itu terkejut dan meragu. Ia melangkah maju.... "tetapi....,"
Baru sampai sekian ucapannya, Suling Emas mengulurkan tangannya dan perwira itu tiba-tiba berdiri kaku tak bergerak. Ia telah menjadi korban totokan yang luar biasa sekali! Melihat ini, dua orang pengemis tua yang sudah kegirangan itu menjadi kagum sekali lalu mereka berdua menjatuhkan diri berlutut didepan Suling Emas sambil berkata, "Pangcu (Ketua)....!"
Di balik saputangan, Suling Emas tersenyum masam, lalu mengibaskan tangan baju dan berkata keren, "Bangunlah dan mari kita pergi."
Dengan muka gembira dan taat sekali, dua orang pengemis tua itu bangkit dan pergilah mereka bertiga menempuh hujan
meninggalkan perwira Khitan yang masih berdiri seperti patung. Ketika hujan mulai berhenti, mereka sudah berteduh di dalam sebuah gubuk petani di tengah ladang. Kuda kurus tunggangan Suling Emas tadi berjalan mengikuti majikannya yang memanggilnya Siauw-ma, dan kini makan rumput dipinggir jalan ketika majikannya duduk didalam gubuk bersama dua orang kakek pengemis.
"Dan sekarang, ceritakanlah siapa kalian, dan apa sebabnya kalian memaksa aku yang sudah puluhan tahun mengasingkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kai-pang (perkumpulan pengemis) atau mengapa kalian mengganggu ketenanganku hidupku?"
Ketika dua orang kakek pengemis itu secara bergantian mulai bercerita, Suling Emas mendengarkan penuturan yang amat menarik hatinya sehingga ia menaruh perhatian. Tak disangkanya bahwa selama ia mengasingkan diri telah terjadi banyak hal hebat di dunia. kang-ouw.
Selama puluhan tahun, ketika dunia kang-ouw dikuasai oleh Enam Iblis Bumi Langit, dunia pengemis juga terlanda malapetaka karena seorang di antara Enam Iblis, yaitu It-gan Kai-ong, merajai dunia pengemis. Setelah akhirnya It-gan Kai-ong tewas, dunia pengemis yang sudah terbebas dari kekuasaan jahat itu menjadi kacau, kehilangan pimpinan dan terpecah-pecah karena terjadi perebutan kekuasaan antara golongan pengemis yang baik dan golongan pengemis yang jahat. Golongan lain di dunia kang-ouw telah mendapatkan pimpinan-pimpinan baru dan fihak yang jahat dapat dibersihkan. Akan tetapi hanya golongan pengemis saja yang belum mempunyai pemimpin yang kuat sehingga fihak yang jahat selalu menimbulkan kekacauan dan terjadilah
pertentangan-pertentangan hebat di antara mereka sendiri. Melihat kelemahan dunia pengemis ini maka orang-orang jahat yang terusir dan tidak mendapatkan tempat di dalam golongan lain, lalu menyelundup masuk ke dalam dunia pengemis untuk mencari kedudukan.
Khong-sim Kai-pang adalah sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh, berpusat di kota Kang-hu. Sejak puluhan tahun yang lalu Khong-sim Kai-pang termasuk golongan partai bersih yang mengutamakan kebenaran dan selalu memusuhi kejahatan. Akan tetapi karena sudah puluhan tahun tidak mempunyai ketua yang pandai Khong-sim Kai-pang kehilangan pengaruhnya sebagai perkumpulan besar sehingga tidak dapat menjadi peranan penting dalam dunia pengemis. Namun karena dahulu pernah dipimpin oleh orang-orang bijaksana seperti Yu Kang Tianglo, mendiang ayah Yu Kang, para anggautanya masih setia dan mereka inilah yang merasa prihatin melihat keadaan dunia pengemis yang mulai dicengkeram oleh golongan hitam.
Beberapa kali para tokoh Khong-sim Kai-pang berusaha untuk membersihkan dunia pengemis daripada pengaruh oknum-oknum jahat, akan tetapi setiap kali usaha mereka gagal, bahkan banyak di antara mereka yang tewas dalam bentrokan itu. Akhirnya, dari banyak tokoh Khong-sim Kai-pang hanya tinggal dua orang tokoh yang termasuk orang-orang tingkat tinggi di perkumpulan itu. Mereka ini adalah Gak-lokai si kakek jembel bongkok dan Ciam-lokai si kakek jembel bertongkat. Dua orang kakek ini maklum bahwa kalau Khong-sim Kaipang tidak segera mendapat pimpinan yang tepat dan bijaksana, akan rusaklah keadaannya, tidak hanya keadaan perkumpulan mereka, juga dunia pengemis akan terjatuh ke tangan orang jahat. Mereka teringat akan Yu Kang
yang puluhan tahun lamanya tak pernah muncul. Hanya putera mendiang Yu Jin Tianglo itulah kiranya yang akan dapat membangun kembali Khong-sim Kai-pang. Maka mulailah mereka berdua merantau dan mencari Yu Kang Tianglo sampai mereka berjumpa dengan Suling Emas dan mengira bahwa pendekar ini adalah orang yang mereka cari-cari.
"Demikianlah Pangcu. Tanpa mengenal lelah kami berdua mencarimu sampai belasan tahun. Kami mendengar bahwa Tianglo merantau ke dunia barat. Kami telah menyusulmu kesana, hampir celaka di negeri asing itu. Akan tetapi disana kami mendengar bahwa Tianglo telah kembali ke timur sehingga kami kembali menyusul ke sini, untung dapat bertemu dengan Tianglo di kuil rusak. Agaknya Tuhan memang telah memanggil kembali Tianglo untuk memimpin dunia pengemis, karena kalau Tianglo tidak menaruh kasihan, tentu dunia pengemis akan terjatuh ke tangan iblis-iblis baru dan terseret ke dalam golongan hitam!" Demikian mereka berdua menutup penuturan mereka.
Suling Emas termenung sejenak. Ia mempertimbangkan keadaannya, kemudian menarik napas panjang dan berkata, "Apakah kalian hendak menarik aku menduduki kursi ketua Khong-sim Kai-pang? Aku yang sudah biasa merantau bebas seperti burung di udara, bagaimana bisa terikat dan terkurung? Sungguh tak mungkin dapat kulakukan!" Ia menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. "Tidak usah sampai begitu, Pangcu!" kata kakek bongkok yang bernama Gaklokai cepat-cepat. "Cukup asal pangcu
memperkenalkan diri sebagai ketua Khong-sim Kai-pang dan menghadiri pertemuan besar para ketua perkumpulan-perkumpulan pengemis yang akan diadakan di permulaan musim semi. Pertama untuk membangun kembali semangat para anggauta Khong-sim Kai-pang, kedua untuk mencegah dunia pengemis terjatuh ke tangan kaum sesat. Mohon kiranya pangcu tidak akan tega membiarkan kehancuran Khong-sim Kai-pang dan dunia pengemis umumnya." Setelah berkata demikian kedua orang kakek itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Suling Emas.
Diam-diam Suling Emas terkenang kepada Yu In Tianglo, seorang tokoh Khong-sim Kai-pang yang bijaksana dan putera ketua ini, Yu Kang, seorang pengemis yang gagah perkasa. Ayah dan anak ini adalah orang-orang gagah yang sudah sepatutnya dibela. Memang kasihan dan sayang sekali kalau perkumpulan pengemis yang sudah terkenal sebagai golongan kaum bersih ini sampai terseret ke dalam lembah kejahatan. Selain ini, juga ia mendapat kesempatan untuk menyembunyikan diri dari kejaran orang-orang Khitan! Kalau ia sudah mengaku sebagai ketua Khong-sim Kai-pang, mustahil kalau para petugas yang diutus Lin Lin itu akan mengejarnya lagi dan menyangkanya Suling Emas!
"Baiklah," Akhirnya ia berkata. "Akan kucoba sekuat tenagaku mencegah kaum sesat menguasai dunia pengemis. Akan tetapi aku hanya mau menjadi pangcu dari Khong-sim Kai-pang dengan syarat, pertama apabila semua sudah beres, aku tidak mau tetap tinggal di satu tempat. Urusan kai-pang boleh kalian urus sedangkan aku tetap akan melakukan perantauan seperti biasa, tanpa ada yang mengganggu. Kedua, aku tidak ingin memperkenalkan mukaku kepada orang lain sehingga dalam kedudukan sebagai pangcu, aku akan selalu menutup mukaku. Kalian pun harus bersumpah bahwa kau tidak pernah melihat mukaku. Mengerti?"
Dua orang kakek pengemis yang merasa yakin bahwa pendekar ini tentulah Yu Kang Tianglo menjadi gembira sekali. Dengan bercucuran air mata saking girangnya mereka menyanggupi semua permintaan Suling Emas.
"Cukup, sekarang pergilah kalian. Tunggu kedatanganku di Kang-hu waktu bulan purnama yang akan datang. Bukankah pusat Khong-sim Kai-pang masih berada di kuil tua, di luar kota Kang-hu?"
Dua orang kakek itu makin girang dan tidak ragu-ragu lagi mereka sekarang bahwa orang ini tentulah Yu Kang putera mendiang ketua Yu Jin Tianglo yang lenyap ketika berusia tiga belas tahun dan ketika Khong-sim Kai-pang diserbu penjahat. Mereka mengangguk-angguk dan dengan mata basah air mata saking terharunya kakek bongkok berkata, "Tentu saja masih di sana, Pangcu. Siapa dapat melupakan kuil itu? Suling Emas menarik napas panjang memberi tanda dengan tangan agar kedua orang kakek itu pergi. Setelah mereka pergi, baru ia melompat ke atas punggung kudanya menepuk-nepuk leher kudanya sambil berkata lirih, "Siauw-ma, mau tak mau kita harus mengalami hal-hal baru di antara para pengemis itu. Terpaksa Siauw-ma, terpaksa....! Ataukah.... lebih baik ke Khitan....? Ah, tidak....! Jangan! Biarlah untuk sementara aku menjadi ketua pengemis!"
Berjalanlah kuda itu perlahan-lahan. Hujan telah berhenti dan tak lama kemudian terdengarlah suara suling ditiup, suaranya mengalun dan mengharukan, menggetarkan jiwa tertekan dan batin menderita.
***
Pada masa itu, Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisarnya yang kedua, yaitu Sung Thai Cung. Sungguhpun kemajuan di jaman Kerajaan Sung ini tidak dapat menandingi kerajaan-kerajaan yang lalu sebelum jaman Lima Wangsa, namun jika dibandingkan dengan jaman pemerintahan Sung Thai Cu kaisar pertama Kerajaan Sung, maka pemerintahan kaisar kedua ini boleh dibilang mengalami kemajuan. Hasil yang dicapai lebih besar. Ia telah berhasil menjatuhkan Kerajaan Hou-han di Shan-si, Kerajaan Wu-yue di selatan, dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya, kemudian memasukkan daerah kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan ini ke dalam wilayah Sung.
Namun harus diakui bahwa terhadap dua buah kerajaan, yaitu kerajaan bangsa Khitan di timur laut yang terutama, dan Kerajaan Nan-cao di daerah Yu-nan, Kaisar Sung Thai Cung tidak berdaya. Mula-mula memang diusahakannya untuk menaklukkan dua buah kerajaan ini, namun selalu gagal. Bahkan berkali-kali bala tentara Sung terpukul mundur sehingga akhirnya kaisar tidak mendesak lagi. Hanya perang dan bentrokan kecil-kecilan terjadi di perbatasan, namun tidak ada artinya. Bahkan akhirnya, Kerajaan Sung mengambil sikap dan politik lunak, mendekati dua kerajaan ini dan bahkan mengirim upeti-upeti sebagai tanda persahabatan!
Tidaklah amat mengherankan apabila ditinjau keadaan dua kerajaan di sebelah utara dan sebelah selatan itu. Semenjak dipegang oleh Ratu Yalina, Kerajaan Khitan menjadi sebuah kerajaan yang amat kuat sehingga sukar dikalahkan, bahkan bangsa Khitan telah menaklukkan bangsa-bangsa nomad lain yang berkeliaran di daerah utara sehingga kerajaannya menjadi makin besar. Adapun Kerajaan Nan-cao, sungguhpun hanya merupakan kerajaan kecil, namun yang berkuasa di situ adalah kaum Agama Beng-kauw yang mempunyai banyak orang pandai, setia dan berdisiplin. Karena cerita ini banyak menyangkut keadaan Kerajaan
Khitan, maka marilah kita menjenguk keadaan kerajaan di sebelah utara dan timur laut itu. Bangsa Khitan adalah bangsa
nomad yang besar, terdiri dari orang-orang gagah perkasa dan ulet. Keadaan hidup mereka yang selalu berpindah-pindah untuk mencari tempat yang lebih baik dan untuk menyesuaikan diri dengan iklim yang buruk, kesukaran hidup berjuang dengan alam, membuat mereka menjadi bangsa yang ulet, tabah dan pantang mundur. Semenjak bangsa Khitan dipimpin oleh Ratu Yalina,
kerajaan ini mengalami kemajuan pesat. Di dalam cerita CINTA BERNODA DARAH , diceritakan betapa Ratu Yalina ini di waktu keciinya diangkat sebagai anak oleh seorang jenderal besar bangsa Han, dan di waktu remaja menerima gemblengan ilmu silat dari orang-orang pandai. Bahkan sebelum menjadi ratu, secara kebetulan sekali ia telah menemukan sebuah pusaka peninggalan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw di Nan-cao, yaitu catatan ilmu yang dahsyat, yang dirahasiakan. Setelah mewarisi ilmu yang disebut Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) inilah maka ilmu kepandaian Ratu Yalina amat hebat dan sukar dicari tandingannya.
Di waktu masih remaja, Ratu Yalina ini pernah mengalami derita batin yang takkan dapat ia lupakan selama hidup. Antara dia dan Suling Emas, terjalin kasih asmara yang amat mendalam. Keadaanlah yang memaksa mereka berpisah, yang tidak memungkinkan perjodohan di antara mereka. Apa sebabnya? Bukan lain oleh karena kebetulan sekali bahwa Suling Emas adalah "kakak angkatnya" sendiri, putera kandung ayah angkatnya, Jenderal Kam! Sebetulnya hal ini bukanlah menjadi halangan benar bagi Puteri Yalina yang ketika itu belum menjadi ratu. Akan tetapi Suling Emas yang berkeras tidak mau, bukan hanya karena masih saudara angkat, juga terutama sekali karena Yalina amat diperlukan oleh bangsanya untuk menjadi Ratu sehingga Suling Emas
mengalah dan pergi!
Akan tetapi, sebelum mereka saling berpisah untuk puluhan tahun lamanya itu, Suling Emas telah memenuhi permohonan Ratu Yalina untuk tinggal di dalam istananya selama sebulan. Menjadi suami diluar nikah! Biarpun tidak berhasil menjadi suami isteri, namun mereka telah saling menumpahkan cinta kasih mereka yang mendalam, tak kuasa menahan rindu hati yang tak tercapai karena halangan keadaan lahir. Betapa tersiksa dan menderita batin Ratu Yalina ketika kekasihnya sudah pergi, ia mendapat kenyataan bahwa ia mengandung! Peristiwa yang bagi setiap orang isteri merupakan kebahagiaan mutlak ini, bagi Ratu Yalina bahkan merupakan derita dan siksa batin! Betapa tidak? Ia seorang ratu! Seorang ratu dan bukan seorang isteri. Ia tidak bersuami. Ia secara resmi masih seorang gadis! Dan ia mengandung! Kalau saja Ratu Yalina tidak teringat akan kedudukannya, tidak ingat akan bangsanya yang dikasihinya, tentu ia sudah melarikan diri dari Khitan, melarikan diri untuk
mencari Suling Emas, kekasih dan.... suaminya, biarpun hanya suami tidak sah!
Ratu Yalina merasa tersiksa. Ia berduka dan juga malu. Bagaimana kalau nanti bangsanya mengetahui bahwa ratunya yang masih belum menikah itu mengandung? Hampir saja Ratu Yalina putus asa. Lebih baik mati membunuh diri daripada menanggung aib yang hebat! Akan tetapi, untung baginya bahwa panglimanya, orang yang paling dipercayanya karena panglima ini diam-diam juga mencintainya tahu akan rahasianya. Panglima ini Panglima Kayabu namanya, seorang Khitan yang gagah perkasa, tahu bahwa antara ratunya dan Suling Emas terjalin cinta kasih yang mendalam. Tahu pula bahwa demi bangsanya, ratunya rela berkorban perasaan, berpisah dari kekasihnya. Ia tahu pula bahwa Suling Emas ditahan dalam istana ratunya sampai sebulan sebelum mereka berdua saling berpisah. Kemudian ia tahu pula bahwa ratunya telah mengandung!
Secara rahasia, dijumpailah Ratu Yalina. Pada saat itulah terbukti kesetiaan Panglima Kayabu. Karena panglima ini telah
dapat menduga kesemuanya, sambil menangis Ratu Yalina membuka rahasianya dan menyerahkan nasibnya ke tangan panglimanya yang juga menjadi sahabat satu-satunya dalam menghadapi peristiwa hebat ini. Kayabu menghiburnya dan memberi usul bahwa Sang Ratu seyogianya memelihara kandungannya dan secara rahasia kelak melahirkan anak. Sementara itu, dia sendiri secara serentak akan memililh seorang gadis Khitan dan mengawininya, kemudian kelak kalau Sang Ratu melahirkan anak, anak itu akan diakuinya sebagai anaknya sendiri! Tentu saja ia akan menyuruh isterinya itu bersikap seolah-olah mengandung sehingga kelak
tidak akan mencurigakan kalau "melahirkan" anak. Rahasia yang hebat! Akan tetapi, karena tidak ada jalan lain, demi untuk menjaga nama baiknya sebagai ratu, dan demi menjaga agar bangsanya tidak menjadi kacau, Ratu Yalina melakukan sandiwara ini sesuai dengan rencana Panglima Kayabu! Panglima ini, yang tentu saja luka dan patah hatinya, memaksa diri memilih dan mengawini seorang gadis Khitan yang cantik.
Semua berjalan sesuai dengan rencana, yaitu Ratu Yalina dapat menyembunyikan keadaannya yang mengandung dari mata rakyatnya. Di lain fihak, isteri Panglima Kayabu "pura-pura mengandung". Akan tetapi, ketika. tiba waktunya Sang Ratu melahirkan, di dalam kamar rahasia dan secara rahasia dihadiri oleh isteri Panglima Kayabu dan seorang dukun beranak, terjadilah hal yang sama sekali di luar dugaan mereka. Sang Ratu Yalina melahirkan sepasang anak kembar! Pertama seorang bayi laki-laki dan kedua seorang bayi perempuan!
Kalau saja kelahiran macam ini tidak terjadi di Khitan, tentu tidak akan mendatangkan kebingungan. Akan tetapi, telah
menjadi kepercayaan umum di Khitan bahwa kembar laki-laki dan perempuan merupakan pertanda bahwa kedua anak itu adalah titisan atau penjelmaan suami isteri, dan karenanya, kedua orang anak itu harus dipisahkan dan kelak harus dijodohkan sebagai suami isteri! Ketika dukun beranak dan isteri Panglima Kayabu menyatakan hal ini, yang dimengerti pula oleh Ratu Yalina, ratu yang malang ini menangis sedih dan roboh pingsan. Isteri Panglima Kayabu menjadi sibuk dan cepat-cepat memberi laporan secara diam-diam kepada suaminya. Panglima Kayabu cepat memasuki kamar itu dan untung Ratu Yalina sudah siuman dan kini ratu itu menangis terisak-isak di atas pembaringan.
"Harap Paduka jangan gelisah." panglima yang setia itu menghibur.
"Aduh.... Kayabu.... lebih baik mati saja aku kalau begini....!" Yalina menangis. "Kayabu, kau tolonglah aku....kau carilah dia, suruh datang ke sini, biar dia yang akan memutuskan keadaan ini...."
Panglima Kayabu mengerutkan keningnya. Ia maklum siapa yang dimaksudkan ratunya itu. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, kalau mencari dan memanggil Suling Emas, bukan merupakan hal yang baik. Kalau terpaksa rahasia ini dibuka, tentu akan timbul kegemparan di kalangan rakyat, tentu akan menimbulkan aib dan hal ini amat merugikan karena pada waktu itu, Khitan dikepung musuh dari selatan dan dari barat.
"Harap Paduka tenang saja. Biarlah hamba mengakui anak laki-laki ini sebagai putera hamba, sedangkan anak perempuan ini, secara diam-diam kita singkirkan agar dipelihara orang lain dan kelak kalau mereka berdua sudah besar, mudah saja hamba menariknya sebagai mantu."
Ucapan ini mengiris jantung Yalina. Dengan sepasang mata penuh air mata dan dengan muka pucat ia mengulurkan kedua tangan ke depan dan berkata kepada dukun beranak yang sedang mengurus dua orang anak yang menangis nyaring seperti berlumba itu.
"Ke sinikan anak-anakku.... biarlah aku melihat mereka.... biarkan aku mencium dan memeluk mereka.... ahhh .... !" Ia
menangis tersedu-sedu. Isteri Panglima Kayabu ikut menangis, demikian pula dukun beranak, wanita tua itu yang merasa terharu sekali. Kayabu sendiri, seorang panglima gagah perkasa yang pantang mengeluarkan air mata, merasa betapa sepasang matanya panas dan jantungnya serasa diremas. Wanita yang pernah menjatuhkan hatinya itu kini demikian sengsara, sama sekali tidak seperti seorang ratu yang berwibawa, sama sekali bukan seperti seorang wanita yang ia tahu amat perkasa dan sakti, melainkan seperti seorang wanita yang lemah, seorang wanita yang ditinggalkan kekasih, seorang ibu yang rindu akan anak-anaknya!
"Anakku.... anakku.... ! Bagaimana aku dapat berpisah dari mereka ini...." Ratu Yalina mencium kedua anaknya. Hampir ia
pingsan saking sedihnya ketika melihat bahwa anaknya yang laki-laki memiliki mata dan hidung kekasihnya! "Anakku-
anakku.... di mana Ayahmu.... ? Anak-anakku.... bagaimana kalian tega meninggalkan Ibumu....?" Ratu Yalina mencium lagi, kemudian menjerit lirih dan roboh pingsan sambil memeluk kedua anaknya yang mulai menangis lagi.
"Cepat-cepat, bawa pulang anak laki-laki itu!" kata Panglima Kayabu kepada isterinya. Untung bahwa peristiwa kelahiran itu terjadinya pada waktu tengah malam sehingga tidak sampai diketahui orang lain. "Dan kau, Bibi, dapatkah engkau membantu? Aku harus dapat menyerahkan anak perempuan ini kepada seorang yang boleh dipercaya!"
"Ha mba.... hamba sanggup membantu.... hamba.... mempunyai keponakan. Biarlah puteri ini dipeliharanya, hamba tanggung takkan bocor rahasia ini...." kata Si Dukun Beranak sambil terisak menangis.
"Tentu saja jangan sampai bocor. Kalau bocor, engkau sekeluargamu akan dijatuhi hukuman mati!" Kata Kayabu yang diam-diam merasa girang bahwa anak perempuan itu ada yang megurusnya. Tentu saja tidak sukar baginya memerintahkan siapa saja memelihara anak itu, akan tetapi justeru sukarnya, jangan sampai ada yang tahu akan rahasia besar ini.
Lewat tengah malam, kamar Ratu Yalina menjadi sunyi kembali. Kedua orang anak yang baru lahir itu sudah dibawa pergi dari kamar. Yang laki-laki dibawa oleh isteri Panglima Kayabu, sedangkan yang perempuan dibawa pergi oleh dukun beranak yang keluar dari istana melalui pintu rahasia di sebelah belakang, lalu nenek tua itu menghilang di dalam gelap.
Akan tetapi pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali para penjaga istana menjadi gempar ketika menemukan nenek dukun beranak itu menggeletak tak bernyawa lagi di sebelah belakang istana!
Tentu saja Panglima Kayabu yang mendengar laporan ini merasa seakan-akan dicabut jantungnya saking kaget dan heran. Cepat ia sendiri mendatangi tempat pembunuhan itu, sehingga para pengawal menjadi heran mengapa panglima besar mereka begitu menaruh perhatian atas kematian seorang nenek dukun beranak.
"Pembunuhan terjadi di dekat istana, hal ini amat gawat demi keselamatan Ratu." kata panglima yang cerdik ini. Lebih-lebih kaget dan herannya ketika memeriksa keadaan mayat dukun beranak itu. Panglima Kayabu mendapat kenyataan bahwa tubuh itu tidak terluka sama sekali, akan tetapi tanda-tanda biru di pelipis menyatakan bahwa nenek ini menderita luka hebat di dalam kepala akibat pukulan yang dahsyat, mengandung hawa sakti, pukulan seorang ahli yang memiliki kepandaian tinggi. Tentang anak perempuan yang baru dilahirkan semalam, tidak ada tanda-tanda dan bekas-bekasnya sama sekali!
Kematian nenek ini sebenarnya malah melegakan hati Kayabu karena lenyaplah kekhawatiran akan bocornya rahasia besar itu. Akan tetapi kalau ia mengingat akan lenyapnya anak perempuan. Ia mengerutkan keningnya dan menjadi bingung!
Tak mungkin ia dapat mengumumkan kehilangan anak perempuan itu dan menyuruh anak buahnya menyelidiki atau mencari. Maka secara diam-diam ia sendiri melakukan penyelidikan dan mencari, namun sia-sia belaka. Anak perempuan itu lenyap tak meninggalkan bekas sama sekali, bahkan di seluruh Khitan tidak terdapat seorang anak bayi perempuan yang baru dilahirkan. Jelas bahwa anak itu dibawa oleh pembunuh nenek dukun, dibawa keluar dari Khitan atau dibawa sembunyi di tempat rahasia. Akan tetapi siapakah pembawanya?
Hal ini menjadi rahasia dan teka-teki yang tak terpecahkan. Dan tentu saja hal ini menambah kesengsaraan hati Ratu Yalina. Memang agak terhibur hatinya melihat Talibu, yaitu putera kandungnya yang menjadi putera Panglima Kayabu. Ketika Talibu berusia lima tahun, secara resmi ia diangkat anak oleh Ratu Yalina! Upacara pengangkatan ini dilakukan secara resmi dan dirayakan oleh semua orang Khitan. Gembiralah hati bangsa Khitan yang tadinya merasa prlhatin melihat ratu mereka yang terkasih itu tidak mau menikah. Akan tetapi setelah melihat Sang Ratu itu mengangkat putera, dan putera itupun bukan anak orang biasa melainkan putera Panglima Besar Kayabu, legalah hati mereka. Kini mereka telah mempunyai seorang pangeran mahkota! Tentu saja tak seorangpun di antara mereka tahu betapa hati Sang Ratu itu jauh lebih lega dan bahagia daripada mereka. Diam-diam hati Ratu Yalina bahagia sekali karena pengangkatan Talibu sebagai puteranya itu merupakan Pesta pertemuan dan berkumpulnya kembali secara resmi antara seorang ibu dan anak kandungnya!
Pada waktu itu panglima Kayabu sendiri telah mempunyai seorang anak perempuan terlahir ketika Talibu berusia dua tahun. Anak perempuan yang cantik ini bernama Puteri Mimi yang menjadi "adik kandung" dan teman bermain Pangeran Talibu sejak kecil. Kalau melihat keadaan Puteranya yang kini benar-benar telah menjadi puteranya, bahkan menjadi putera mahkota, bahagialah hati Ratu Yalina. Akan tetapi makin besar anak itu, makin gelisah dan prihatin hatinya. Bagaimana ia tidak akan merasa gelisah dan prihatin kalau mengingat bahwa puteranya ini telah kehilangan saudara kembarnya, telah kehilangan calon "jodohnya"? Bagaimana takkan gelisah dan bingung hatinya karena menurut kepercayaan bangsanya, anak kembar laki perempuan kalau tidak dijodohkan, tentu akan hidup menderita dan mengalami malapetaka? Kalau teringat akan hal ini, Ratu Yalina menjadi sedih sekali dan teringat kekasihnya, Suling Emas, ayah daripada kedua orang anaknya itu!
Kekhawatiran akan hilangnya anak perempuannya itulah yang membuat akhirnya Ratu Yalina berkeras memberi perintah kepada Panglima Kayabu untuk berusaha mencari dan memanggil Suling Emas ke Khitan. Apapun yang terjadi, ayah dari anak-anaknya itulah yang harus mengambil keputusan! Ayah kandung anak-anak itu sendiri yang harus menentukan nasib sepasang anak kembar yang terpisah secara ajaib itu. Dan Panglima Kayabu hanya mentaati perintah, mengirim pasukan dan pembantu-pembantunya yang
cukup pandai untuk mencari dan memanggil Suling Emas. Bahkan setelah bertahun-tahun gagal menjumpai Suling Emas dan Pangeran Talibu sudah makin besar, Ratu Yalina menulis segulung surat untuk diberikan kepada Suling Emas kalau orang-orangnya berhasil menjumpai pendekar itu. Sementara itu, Pangeran Talibu makin besar makin gagah dan tampan. Semua rakyat mencinta pangeran ini. Selain tampan, juga putera mahkota ini digembleng ilmu surat dan ilmu silat. Tidak hanya Panglima Kayabu yang menurunkan kepandaiannya kepada putera mahkota, juga Sang Ratu Yalina sendiri menurunkan ilmu silat saktinya Yaitu Khong-in-ban-kin dan Khong-in-liu-san. Adapun ilmu silat ajaib Cap-sha-sin-kun ia ajarkan pula secara hati-hati dan perlahan-lahan karena ilmu ini bukan ilmu sembarangan dan kalau belum matang keadaan seorang ahli silat, tak mungkin dapat mempelajarinya dengan sempurna.
Sebelum kita melanjutkan cerita ini, lebih baik kita menengok keadaan anak perempuan yang lenyap tanpa bekas itu. Kemanakah menghilangnya anak perempan itu, adik kembar Pangeran Talibu? Dan apakah yang terjadi lewat tengah malam itu di belakang istana Ratu Yalina?
Ketika itu, nenek dukun beranak memondong bayi perempuan yang dibungkusnya dengan selimut. Ia bergegas keluar dari pintu rahasia yang membawanya keluar dari istana dan muncul diluar taman bunga.
Nenek ini tersenyum-senyum girang. Peristiwa aneh yang ia alami di dalam istana ini tak dapat tidak akan mendatangkan untung besar kepadanya. Betapa tidak? Rahasia Sang Ratu berada di tangannya. Yang dibungkus selimut ini merupakan sebagian rahasia besar itu. Sebagai orang yang mengetahui rahasia itu tentu hidupnya terjamin. Dan juga keponakannya akan hidup mewah dan mulia kelak, sebagai pengasuh dan pemelihara puteri Sang Ratu! Nenek ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan berkelebat mengikutinya.
Tiba-tiba nenek itu berhenti melangkah, kaget memandang ke depan. Di depannya telah berdiri sesosok bayangan orang. Malam itu bulan sepotong menyinarkan cahayanya yang suram, akan tetapi cukup untuk membuat ia dapat melihat orang yang seperti setan tiba-tiba saja berdiri di depannya. Seorang perempuan! Seorang perempuan berpakaian serba putih! Tubuhnya ramping padat, dengan lekuk-lengkung mencolok. Pendeknya tubuh seorang wanita muda yang montok, tubuh yang sedang mekar dalam usia muda. Akan tetapi muka dan kepala wanita muda ini tertutup anyaman benang sutera hitam Membuat wajahnya hanya nampak bayangannya saja, bayangan seram sekali karena sepasang matanya mengeluarkan sinar seperti bukan mata manusia! Lebih tepat kalau mata itu dimiliki iblis, atau setidaknya sepasang mata harimau liar!
"Apa... eh, siapa...?" Nenek ini tergagap dan ketakutan.
"Hi-hik! " Wanita aneh itu terkekeh dan sekali tangannya merenggut, anak dalam buntalan selimut itu telah berada ditangannya. Nenek dukun beranak terkejut dan kemarahannya mengatasi takutnya, kedua tangannya diulur hendak merampas kembali anak itu.
"Huh, macam engkau mana ada harga merawat anak Lin Lin?" Tangan kirinya menyambar ke depan. Terdengar bunyi "krekk!" dan tubuh nenek itu terguling tak bernyawa lagi! Sambil tertawa-tawa yang mengatasi tangis anak perempuan itu, wanita aneh itu sekali berkelebat lenyap ke dalam gelap. Suara ketawanya yang nyaring melengking amat menyeramkan, memecah kesunyian malam dan pasti akan membuat hati orang yang bagaimana tabahnya tergetar.
Siapakah wanita aneh yang menyeramkan ini? Melihat gerak-geriknya ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa hebatnya. Larinya amat cepat, seperti terbang saja sehingga ketika fajar menyingsing keesokan harinya, ia sudah berada di tempat yang ratusan li jauhnya dari Kota Raja Khitan. Ketika itu ia masih berlari terus memasuki sebuah hutan lebat, jauh di sebelah selatan. Orang tentu akan heran sekali melihat bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya! Wajahnya cantik jelita, tubuhnya ramping padat, pakaiannya serba putih terbuat dari sutera halus yang membungkus ketat tubuhnya, membayangkan lengkung lekuk tubuhnya yang menggairahkan. Anehnya muka dan kepalanya tersembunyi dibelakang kain penutup atau "tirai" sulaman benang sutera hitam sehingga garis-garis mukanya yang cantik hanya nampak remang-remang. Akan tetapi, sepasang mata di balik tirai itu jelas tampak berkilat-kilat menakutkan, mata yang jeli dan indah, namun dengan sinar mata yang liar dan mengerikan.
Wanita ini sesungguhnya bukan orang asing bagi Ratu Yalina. Dia ini adalah kakak angkatnya sendiri, puteri ayah angkatnya. Mendiang ayah angkat Ratu Yalina, yang bernama Jenderal Kam Si Ek, seorang jenderal dari Hou-han yang perkasa dan pandai, mula-mula menikah dengan puteri Beng-kauwcu, yang bernama Liu Lu Sian yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik Beracun) dan berputera Suling Emas! Kemudian Jenderal Kam bercerai dari Liu Lu Sian, menikah lagi dan mempunyai dua orang anak. Pertama adalah Kam Bu Sin yang kini menjadi mantu dari ketua Beng-kauw yang baru dan bersama istrinya tinggal di selatan. Adapun yang kedua adalah Kam Sian Eng, seorang anak perempuan yang cantik. Sayang sekali bahwa, seperti juga halnya Ratu Yalina, Kam Sian Eng ini gagal dalam asmara dan mengalami penderitaan batin yang lebih parah lagi. Gadis yang bernasib malang ini telah menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang laki-laki yang jahat, putera pangeran dan bernama Suma Boan. Dapat
dibayangkan betapa hancur hatinya ketika Kam Sian Eng akhirnya mendapat kenyataan betapa laki-laki yang dicintainya itu membalasnya dengan kekejian, bahkan memperkosanya. Kehancuran cinta kasih yang diinjak-injak oleh kekasihnya ini membuat Kam Sian Eng menjadi tertekan batinnya yang membuatnya seperti gila! (Baca cerita CINTA BERNODA DARAH )
Secara kebetulan, Kam Sian Eng menemukan kitab-kitab pusaka peninggalan Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian (Ibu kandung Suling Emas) dalam istana bawah tanah.
Dalam keadaan setengah gila ia mempelajari semua kitab-kitab itu setelah berhasil membunuh Suma Boan bekas kekasihnya itu. Ia menyembunyikan diri dan tekun mempelajari kitab-kitab pusaka, yaitu kitab-kitab pusaka yang dahulu dicuri dari partai-partai persilatan besar oleh Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Tentu saja Kam Sian Eng yang memang tadinya sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi, makin lama menjadi makin hebat kepandaiannya sehingga sukar untuk di bayangkan lagi. Hebat dan juga mengerikan karena pikirannya yang setengah gila itu membuat ia kadang-kadang mempelajari ilmu kesaktian secara keliru yang akibatnya membuatnya menciptakan ilmu-ilmu yang dahsyat seperti ilmu iblis!
Wanita aneh yang muncul di Khitan dan menculik anak perempuan Ratu Yalina itu bukan lain adalah Kam Sian Eng! Tadinya, selagi pikirannya waras dan ia terkenang kepada adik angkatnya di Khitan, Kam Sian Eng bermaksud mengunjungi adiknya yang kini menjadi ratu itu. Secara kebetulan sekali ia tiba di Khitan pada malam hari dan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi ia memasuki istana dan alangkah herannya ketika ia melihat betapa dalam kamar rahasia itu adik angkatnya yang menjadi Ratu Khitan sedang melahirkan!
Bagaikan disambar petir rasa hati Kam Sian Eng. Dengan air mata bercucuran ia melihat keadaan adik angkatnya dari tempat sembunyinya di atas genteng. Terbayanglah ia akan pengalamannya sendiri. Seperti adik angkatnya ini, ia pun pernah melahirkan anak tanpa ayah! Perbuatan Suma Boan terhadap dirinya telah membuatnya mengandung. Inilah sebetulnya yang membuat batinnya tertekan, membuat ia menjadi makin gila, membuat ia menyembunyikan diri dari dunia ramai, seorang diri di dalam istana bawah tanah. Di situ pula ia seorang diri melahirkan seorang anak laki-laki! Hal itu telah terjadi setahun yang lalu. Dan untuk merawat anaknya terpaksa ia pergi menculik seorang wanita yang mempunyai anak kecil dan memaksa wanita itu untuk selamanya tinggal di dalam istana bawah tanah untuk menyusui dan merawat anaknya! Betapa sedih hati ibu muda yang diculik itu, sukarlah untuk diceritakan. Ia dipaksa iblis betina itu bercerai dari anaknya yang baru berusia dua bulan, untuk dikeram dan hidup di bawah tanah! Akan tetapi, Kam Sian Eng bersikap baik kepadanya dan anak kecil yang mungil itupun sedikit banyak menghibur hatinya, menjadi pengganti anaknya sendiri, seorang anak laki-laki yang entah kapan dapat ia lihat
kembali. Kenangan yang pahit itu membuat penyakit gila Sian Eng kambuh pada saat ia mengintai di kamar Ratu Yalina. Ia
mendengarkan semua percakapan, kemudian membatalkan pertemuannya dengan Ratu Yalina dan mengikuti nenek dukun beranak, membunuhnya dan menculik anak perempuan adik angkatnya! Ia sama sekali tidak peduli bahwa perbuatannya ini tentu akan menghancurkan hati Yalina yang kehilangan seorang diantara anak kembarnya!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati ibu muda yang merawat anak Kam Sian Eng ketika pada hari itu wanita yang dianggapnya iblis betina, amat ditakuti akan tetapi diam-diam juga amat dikasihinya itu tiba-tiba pulang membawa seorang anak perempuan yang masih merah kulitnya!
"Ya Tuhan! Kouwnio (Nona), apa pula yang kaulakukan ini? Anak siapa ini? Mana Ibunya ... ?" Wanita itu berseru sambil
membelalakkan matanya. Bahkan Suma Kiat, anak laki-laki berusia setahun yang digendongnya juga memandang dengan mata terbelalak kepada bayi yang dipondong ibunya. Kam Sian Eng tertawa. Berhadapan dengan orang luar, wanita ini tidak pernah tertawa, akan tetapi terhadap wanita yang diculik dan dipaksanya merawat anaknya itu ia bersikap seperti saudara. Hal ini tidak mengherankan oleh karena memang hanya Phang Bi Li ibu muda inilah yang menjadi temannya di dalam tempat rahasia di bawah tanah.
"Hi-hik! Enci Bi Li, kau kubawakan seorang keponakan baru, seorang bayi perempuan yang mungil untuk menjadi teman bermain Kiat-ji (Anak Kiat) kelak. Kaulihat, lucu dan mungil, bukan? Namanya... hemm, coba kucarikan yang baik... Kwi Lan, ya... Kwi Lan. Kam Kwi Lan. Hi-hi-hik!"
Wanita itu segera menerima anak perempuan tadi dari tangan Sian Eng. Memang benar, anak itu mungil dan cantik sekali. Phang Bi Li menahan isak teringat akan anaknya sendiri yang ditinggalkan dalam usia dua bulan! Segera Kwi Lan, anak itu merampas hatinya dan dirawatnya penuh cinta kasih seperti anaknya sendiri. Juga Kam Sian Eng biarpun kadang-kadang kumat gilanya, tak pernah lupa akan segala keperluan Kwi Lan sehingga karena Bi Li sudah tidak menyusui Kiat-ji lagi, wanita aneh itu lalu merampas lembu betina, dibawa masuk ke dalam istana bawah tanah dan dipelihara untuk diambil air susunya.
Karena tempat persembunyian itu merupakan gudang pusaka-pusaka berupa kitab pelajaran pelbagai ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh, maka kedua anak itu, Kiat-ji dan Kwi Lan, semenjak kecil digembleng oleh Kam Sian Eng. Bahkan Bi Li, wanita dusun yang tadinya hanya seorang wanita muda yang lemah, karena setiap hari berkumpul dengan Sian Eng, mulai pula memperhatikan dan belajar ilmu silat!
Setelah dua orang anak itu mulai besar, berusia sepuluh tahun, Phang Bi Li menyatakan kekhawatirannya. "Sian-kouwnio, aku tidak peduli kalau kau akan mengeram dirimu selama hidup dalam gedung kuburan ini! Juga aku tidak memikirkan lagi diriku sendiri yang sudah kaupaksa tinggal bersamamu di sini. Aku anggap diriku sudah mati seperti engkau sendiri mati dari dunia luar. Akan tetapi, engkau harus ingat kepada puteramu! Juga harus ingat kepada Kwi Lan. Dua orang anak itu, anak-anak yang tidak punya dosa, yang tidak tahu apa-apa, mengapa hendak kau kubur hidup-hidup di tempat ini? Mereka berhak menikmati hidup di atas tanah di dunia ramai seperti semua anak lain di dunia ini!"
"Hik-hik, engkau salah besar, Enci Bi Li! Tempat ini aman tentram, penuh damai dan di sini kita tidak usah mengkhawatirkan apa-apa. Sekali kita muncul di atas tanah dan bertemu dengan orang, akan timbullah keributan dan malapetaka. Bergaul dengan manusia di dunia ramai berarti terjun ke dalam jurang penuh keributan dan penderitaan!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Sian Eng menangis tersedu-sedu dan tidak mau bicara lagi kepada Bi Li!
Akan tetapi, berbulan-bulan lamanya Bi Li tidak pernah bosan untuk membujuk dan membujuk lagi. Apa yang keluar dari mulut wanita ini memang sesungguhnya suara yang keluar dari hatinya. Ia sudah putus asa untuk dirinya sendiri. Ia sudah tidak ingin bertemu dengan keluarganya, karena oleh suami dan keluarganya tentu ia dianggap seorang wanita durjana yang meninggalkan anak yang masih kecil. Selain itu! ia pun, amat mencintai Kwi Lan yang dianggapnya anak sendiri. Ia tidak suka kepada Suma Kiat sungguhpun ketika masih kecil anak itu menyusu dadanya. Anak ini amat nakal. "Tidak! Aku tidak sudi hidup di atas tanah bergaul dengan dunia ramai yang palsu dan keji!" Sian Eng berkali-kali menjerit marah kalau dibujuk oleh Bi Li. "Kalau kau tidak mau aku pun tidak memaksa atau menyuruhmu keluar dari kuburan ini Sian-kouwnio". Aku hanya menuntut untuk dua orang anak itu. Kenapa engkau begini angkuh? Kalau kita membuat bangunan sederhana di atas kuburan ini, dan membiarkan dua orang anak ini hidup di udara bebas, dan engkau sendiri sembunyi di sini, bukankah bagimu sama juga? Kalau kau ingin bertemu dengan kami bertiga tinggal panggil saja dan kami tentu sewaktu-waktu akan turun ke sini. Sian-kouwnio! biarpun engkau tidak pernah bercerita aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita sakti keturunan orang gagah yang berkedudukan tinggi. Aku dapat menduga bahwa dahulu kau telah mengalami tekanan batin dan menderita patah hati. Akan tetapi, mengapa karena itu engkau lalu hendak menghukum puteramu sendiri dan Kwi Lan yang tidak dosa?"
Akhirnya dibujuk oleh Bi Li yang diperkuat oleh kedua anak itu yang selalu rewel minta diperbolehkan melihat keadaan di
luar, terpaksa Sian Eng mengalah.
"Akan tetapi aku pesan, tidak boleh kalian meninggalkan hutan di atas Istana ini. Kalau melanggar aku takkan mengampuni nyawa kalian. Biar Kiat Ji sendiri akan kubunuh mampus kalau berani melanggar!" ancamnya dengan suara bengis dan mata bersinar ganas.
Akan tetapi ancaman yang akan membuat orang lain merasa ngeri ini, seperti tidak didengar oleh Phang Bi Li, Suma Kiat dan Kwi Lan. Mereka bertiga sudah menjadi girang sekali. Segera mereka dibantu pula oleh Sian Eng yang masih terus mengomel sepanjang hari keluar dari pintu rahasia dan mulai membangun sebuah pondok sederhana di dalam hutan di atas istana bawah tanah itu.
Cara Kam Sian Eng menggembleng ilmu silat kepada dua orang anak itu amat luar biasa, Mula-mula ia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat disamping mengajar ilmu membaca. Setelah kedua orang anak itu berusia sepuluh tahun dan pandai membaca, ia menyuruh mereka membaca kitab-kitab pusaka yang berisi ilmu-ilmu silat tinggi, peninggalan Tok-siauw-kwi. Kitab-kitab ini adalah kitab-kitab rahasia yang mengandung pelajaran pelik dan gawat, bukan ilmu silat biasa.
Tentu saja kedua orang anak itu, terutama sekali Suma Kiat yang otaknya tidak begitu cerdas, amat sukar menyelami isinya. Dan celakanya, ketika mereka bertanya kepada Sian Eng, mereka mendapat penjelasan yang sebenarnya menyimpang daripada pelajaran sesungguhnya. Sian Eng sendiri melatih diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi secara keliru sehingga ilmu silat tinggi yang di ciptakan orang-orang sakti itu berubah menjadi ilmu dahsyat seperti ilmu ciptaan iblis sendiri! Dengan bekal ilmu pengetahuan yang amat kurang ditambah sukar dan tingginya isi kitab-kitab pusaka, kemudian digembleng oleh seorang yang sudah sesat ilmunya seperti Kam Sian Eng, tentu saja kedua orang anak itupun menjadi pelajar-pelajar ilmu sesat. Namun karena mereka memang berbakat, mereka berhasil memiliki ilmu-ilmu yang amat hebat dan mengerikan.
Diam-diam Kam Sian Eng merasa kagum kepada Kwi Lan. Anak ini amat cerdas, jauh lebih cerdas daripada puteranya sendiri. Kwi Lan mempunyai watak haus akan pelajaran, tidak takut akan kesukaran sehingga diantara kitab-kitiab Pusaka itu, Kwi Lan memilih yang sukar-sukar. Justru sifat kitab-kitab pusaka itu, makin sukar dimengerti, makin sukar dipelajari, makin tinggilah mutunya! Juga Kwi Lan amat tekun berlatih sehingga Suma Kiat yang usianya setahun lebih tua itu tertinggal olehnya.
Semenjak Kwi Lan pandai bicara, menyuruh anak itu menyebut bibi kepadanya. Karena kurang pergaulan dengan anak-anak lain, ketika masih kecil, Kwi Lan tidak dapat membedakan mengapa Suma Kiat yang ia sebut suheng (kakak seperguruan) itu menyebut ibu sedangkan ia sendiri menyebut bibi kepada wanita yang ia anggap sebagai orang paling baik di dunia ini setelah Bibi Bi Li. Memang Phang Bi Li amat kasih kepada Kwi Lan, menganggap anak itu anak kandungnya sendiri. Akan tetapi Sian Eng juga amat baik terhadapnya. Biarpun wataknya kadang-kadang aneh, namun terhadap Kwi Lan ia tidak pernah marah-marah.
Ketika Kwi Lan berusia dua belas tahun dan sudah dua tahun lamanya tinggal di pondok di atas tanah, mulailah Kwi Lan melihat perbedaan-perbedaan. Mulailah ia bertanya-tanya kepada Bi Li tentang perbedaan-perbedaan itu. "Bibi, kenapa Kiat-suheng menyebut Ibu kepada Bibi Sian?" demikian tanyanya pada suatu sore ketika mereka berdua pergi memetik bunga dalam hutan. Ketika itu Suma Kiat turun ke bawah, dipanggil ibunya.
"Kenapa? Ah, Lan Lan, alangkah anehnya pertanyaanmu ini. Tentu saja karena Kiat-li memang anaknya!" Karena tidak kuasa menyelami hati dan pikiran Kwi Lan, maka Bi Li menganggap pertanyaan itu wajar-wajar tapi bodoh.
Kwi Lan masih tetap memilih dan memetik bunga, membantu Bi Li.
"Kalau aku, kenapa aku harus menyebut Bibi Sian kepadanya?" Masih tidak sadar akan nada suara aneh dalam pertanyaan ini, Bi Li menjawab. "Anak bodoh, tentu saja engkau menyebut Bibi karena engkau bukan anaknya."
Kwi Lan menggigit bibirnya yang tiba-tiba gemetar. Setelah menekan hatinya, ia berkata lagi. "Bibi Bi Li, kau dulu pernah bilang ketika Kiat-suheng bertanya tentang ayahnya bahwa dia boleh bertanya kepada Bibi Sian. Bibi Sian marah-marah ketika ditanya dan memaki-maki, bilang bahwa ayah Kiat-suheng sudah mampus.
Kemudian Bibi Sian menangis menggerung-gerung. Semenjak itu, Kiat-suheng tidak berani bertanya-tanya lagi tentang ayahnya. Benarkah, Bibi, bahwa Ayah Kiat-suheng telah mati?"
Bi Li mengerutkan keningnya, lalu berkata sambil menarik napas panjang, "Bibi Sian-mu itu memang aneh. Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi kalau dia bilang demikian, agaknya memang benar bahwa ayah Kiat-ji telah meninggai dunia."
Hening sejenak dan mereka melanjutkan pekerjaan memetik bunga. "Bibi Bi Li.... kalau.... Ayah dan Ibuku.... siapakah mereka? Dimana mereka....?"
Bi Li tersentak kaget bagaikan disengat lebah. Cepat ia menoleh dan melihat betapa wajah Kwi Lan menjadi pucat, sepasang matanya memandang tajam kepadanya, bibirnya yang pucat menggigil dan anak itu hampir menangis! Barulah tahu Bi Li bahwa sejak tadi, terjadi hal-hal yang hebat dalam hati dan pikiran anak yang amat disayangnya itu. Baru terbuka matanya bahwa anak ini mulai mengerti dan mencari ayah bundanya. Ia menjadi terharu, mengeluh perlahan lalu merangkul Kwi Lan. Tak tertahan lagi air matanya menetes-netes ketika ia mencium pipi Kwi Lan dan menariknya duduk di atas rumput.
"Lan Lan, Anakku sayang.... kau.... kau.... adalah Anakku, Lan Lan." Kwi Lan balas pelukan dan ciuman wanita yang semenjak ia kecil telah merawatnya penuh kasih sayang itu. Kemudian ia berkata, ada suaranya mendesak. "Bibi Bi Li, kalau engkau
Ibuku, mengapa selama ini aku dibohongi? Dan kalau benar aku anak kandungmu, mengapa aku tidak menyebut Ibu, melainkan Bibi kepadamu? Bibi Bi Li, harap jangan membohongi aku lagi, aku sudah besar dan dapat membedakan kebohongan atau bukan. Bibi, katakanlah, siapakah Ayah Bundaku dan dimana mereka sekarang? Mengapa aku bisa terpisah dari mereka dan berada di sini?"
Tiba-tiba Bi Li menangis sedih. Teringat ia akan keadaannya sendiri. Dia sendiri dipaksa berpisah dari suaminya dan dari anaknya yang baru berusia dua bulan! Sedangkan Kwi Lan ini dibawa datang oleh Sian Eng sejak masih bayi, agaknya dipaksa berpisah dari ibu kandungnya!
"Aku tidak tahu, Anakku.... aku sendiri sama sekali tidak tahu tentang dirimu sedangkan aku sendiripun dipaksa berpisah dari suami dan anak...."
Kwi Lan tercengang. Ia merangkul wanita itu dan bertanya "Apa yang terjadi, Bibi?" Setelah mengeringkan air mata dan berkali-kali menghela napas Bi Li lalu bercerita. "Suamiku seorang penebang pohon dan kami hidup bahagia di dalam dusun. Ketika itu, aku baru berusia dua puluh, melahirkan seorang anak laki-laki. Pagi hari itu, selagi suamiku pergi menebang pohong datang Sian-kouwnio, menangkap dan membawaku pergi meninggalkan Anakku dibawa ke sini.... sampai sekarang...."
"Apa....?" Kwi Lan membelalakkan matanya yang jeli. "Mengapa....?" Bi Li tersenyum pahit. "Untuk merawat dan menyusui Kiat-
ji."
"Anak kandungnya sendiri? Mengapa? Mengapa harus engkau yang menyusuinya, Bibi?" Bi Li menggeleng-geleng kepalanya. "Entahlah. Selamanya Bibimu Sian itu seorang aneh luar biasa. Klat-ji memang anak kandungnya, akan tetapi ia menyuruh aku menyusui dan merawatnya. Ahhh, nasibku sama dengan si Belang...."
Kwi Lan makin heran. Si Belang adalah nama lembu betina yang dipelihara di bawah tanah dan sekarang sudah sangat tua.
"Apa maksudmu, Bibi Bi Li?" Dengan senyum pahit di bibir, Bi Li menjawab, "Aku dipaksa ke sini untuk menyusui Kiat-ji, sedangkan si Belang dipaksa ke sini untuk menyusui engkau, Kwi Lan. Setahun setelah aku berada di sini, si Belang didatangkan oleh Sian-kouwnio untuk diambil air susunya untukmu."
"Dan.... aku.... dari manakah aku, Bibi....?" Wajah Kwi Lan pucat dan suaranya mengandung isak. "Aku tidak tahu, Anakku. Aku tidak tahu apa-apa."
Tiba-tiba Kwi Lan menjatuhkan semua kembang yang dipegangnya. Kini wajahnya menjadi merah, matanya mengeluarkan kilat dan kedua tangannya yang kecil dikepal. Wajahnya yang cantik mungil itu kini nampak beringas mengancam.
"Kalau begitu Bibi Sian jahat sekali! Kau dipaksa berpisah dari suami dan anak, sedangkan aku dipaksa berpisah dari Ayah dan Ibu! Sekarang juga aku akan bertanya kepadanya, Bibi. Dia harus memberi keterangan sejelasnya!"
"Ssttt, anak bodoh, apa yang hendak kau lakukan ini?" Bibi Li memeluknya erat-erat dengan wajah penuh kekhawatiran. "Apakah engkau masih belum melihat betapa Bibimu Sian itu seorang yang amat luar biasa wataknya? Kau tidak boleh bertanya apa-apa kepadanya, tidak boleh membikin susah atau marah kepadanya."
"Mengapa tidak boleh, Bibi?" Kwi Lan bertanya kecewa, akan tetapi mulai membayang pula di hatinya kini rasa takut dan jerih terhadap bibinya yang selalu bersembunyi di bawah tanah itu.
"Kwi Lan, apapun juga yang telah terjadi dengan kita, namun engkau sendiri tentu telah merasa betapa baiknya sikap Sian-kouwnio terhadap kita. Segala kebutuhan kita dicukupi, bahkan engkau dianggap seperti anak sendiri, dirawat dan dididik tiada bedanya dengan Kiat-ji, putera kandungnya. Aku pun telah mendapat perlakuan yang amat baik sehingga harus kuakui bahwa keadaan hidupku di sini jauh lebih baik daripada ketika masih tinggal di dusun yang kadang-kadang menderita kurang makan. Makan pakaian cukup, aku pun diberi kebebasan, dan bahkan dilatih ilmu silat. Karena kebaikannya yang ia limpahkan kepada kita inilah, maka sekali-kali kita tidak boleh membikin susah hatinya. Aku tahu, dibalik keadaannya yang serba aneh luar biasa itu, tersembunyi penderitaan batin yang amat hebat pada diri Sian-kouwnio. Ia patut dikasihani. Agaknya ia menculik kita berdua bukan karena jahat, melainkan terpaksa. Ia menculikku karena ia membutuhkan air susuku untuk memelihara puteranya. Kemudian ia menculikmu karena.... agaknya, dia ingin puteranya mendapatkan teman bermain-main."
"Tapi ia tidak peduli betapa anak kandungmu sendiri kehilangan Ibu, dan betapa Ayah-bundaku kehilangan anak!" Kwi Lan membantah.
"Benar, akan tetapi memang demikianlah watak sebagian besar manusia. Kepentingan sendiri selalu menutupi kepentingan lain orang." Bi Li menarik napas panjang. "Kitapun tidak boleh membikin marah kepadanya, karena dia seorang aneh luar biasa, kalau sekali ia marah, agaknya ia tidak akan segan-segan untuk sekali turun tangan membunuh kita berdua!" Bi Li bergidik ngeri. Akan tetapi Kwi Lan sama sekali tidak merasa takut, bahkan bertanya dengan suara menuntut.
"Bibi, kalau kau melarang aku membikin susah dan membikin marah Bibi Sian, habis apakah aku harus tinggal diam saja dipaksa berpisah dari Ayah Bunda kandungku?" Kini Kwi Lan tidak menangis lagi karena kemarahan memenuhi hatinya.
Bibi Li memeluknya dan mengelus-elus rambutnya. "Anakku yang baik, sama sekali bukan begitu maksudku. Kau harus bersabar, Anakku. Kau tahu bahwa yang tahu akan rahasia dirimu hanyalah Sian-kouwnio seorang. Hanya dari dialah engkau akan dapat mengetahui siapa Ayah Bundamu. Karena itu, engkau harus bersabar. Kalau sekarang kautanyakan hal itu kepadanya dan dia tidak mau mengaku malah marah, engkau akan bisa berbuat apakah? Jangan-jangan engkau malah akan dibunuhnya! Lebih baik engkau tekun belajar, memperdalam kepandaianmu karena kepandaian silat itu merupakan bekalmu kelak kalau Sian-kouwnio tidak mau mengaku, untuk kaupakai mencari sendiri orang tuamu."
Terbukanya rahasia tentang keadaan dirinya inilah yang membuat Kwi Lan, makin tekun dan giat belajar. Dia seorang gadis yang keras hati, yang tahan menderita. Biarpun setiap saat pertanyaan tentang ayah ibunya sudah berada di ujung lidah, namun ia dapat selalu menekan dan menelannya kembali, tidak mau bertanya akan hal itu kepada Sian Eng yang makin lama menjadi makin kagum saja akan keadaan keponakan dan muridnya ini Semua kitab simpanan "dilalap" habis oleh Kwi Lan bahkan kitab-kitab yang oleh Sian Eng sendiri kurang dimengerti. oleh Kwi Lan dihafal di luar kepala! Memang seperti tidak ada gunanya baginya, karena tidak ada yang menerangkan artinya, juga Sian Eng tidak mengerti. namun Kwi Lan menghafalnya di luar kepala dengan keyakinan bahwa kelak tentu ada gunanya. Dalam hal kemajuan ilmu silat, Suma Kiat tertinggal jauh oleh Kwi Lan sehingga kadang-kadang Sian Eng merenung seorang diri.
"Tidak aneh! Kwi Lan keturunan seorang sakti seperti Suling Emas, sedangkan Kiat-ji anak bajingan macam Suma Boan!" Lalu ia menangis seorang diri, menangisi kematian Suma Boan, putera pangeran yang amat dikasihinya, juga amat dibencinya sehingga kedua tangannya sendirilah yang membunuh Suma Boan.
Dua tahun kemudian ketika Kwi Lan telah berusia empat belas tahun pada suatu pagi gadis cilik ini bersama Phang Bi Li
mencari kembang seperti dua tahun yang lalu di dalam hutan, tidak jauh dari pondok mereka.
"Bagaimana kalau sekarang aku bertanya kepada Bibi Sian tentang orang tuaku, Bibi Bi Li?" Bi Li menggeleng kepala. "Belum waktunya, Kwi Lan. Sedikitnya lima tahun lagi, kalau engkau sudah betul-betul kuat, baru kau boleh bertanya."
Selagi Kwi Lan hendak bicara lagi, tiba-tiba Bi Li memandangnya dan menaruh telunjuk di bibir. "Ssshh, tidakkah kau mendengar sesuatu?"
Kwi Lan mendengarkan penuh perhatian. "Ada orang bertempur....!" Akhirnya ia berkata.
Bi Li mengangguk. "Agaknya tidak jauh dari sini. Mari kita lihat, akan tetapi kita harus bersembunyi."
Berlari-larianlah mereka ke arah suara beradunya senjata tajam. Tak lama kemudian sampailah mereka ke tempat bertempur tadi, di pinggir hutan. Mereka bersembunyi di balik pohon-pohon sambil mengintai.
Kiranya yang bertanding itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti seorang
jembel miskin sekali, pakaiannya penuh tambalan dan amat butut, melawan pengeroyokan empat orang lain yang pakaiannya juga penuh tambalan. Hanya bedanya, kalau orang pertama yang dikeroyok itu pakaiannya butut dan kotor, adalah pakaian empat orang yang mengeroyok ini, biarpun penuh tambalan, amat bersih dan tambalannya juga berkembang-kembang.
Ilmu kepandaian pengemis butut itu lumayan demikian Kwi Lan yang menonton berpikir. Senjatanya hanya sebatang tongkat, akan tetapi gerakannya gesit dan tenaganya besar. Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan empat orang pengemis bersih ia nampak repot. Empat orang lawannya itu memegang tongkat yang lebih besar dan panjang, dan biarpun gerakan mereka tidak secepat gerakan Si Pengemis butut, namun ilmu silat mereka lihai dan tenaga mereka tidak kalah besarnya. Selain ini, tempat pertandingan itu dikurung oleh belasan orang pengemis baju bersih yang bersorak menjagoi empat orang kawan mereka dan mengejek Si Pengemis baju butut. Agaknya pertandingan itu sudah berlangsung cukup lama dan tampak betapa pengemis
berpakaian butut itu sudah payah. Tubuhnya penuh luka-luka dan napasnya sudah terengah-engah pucat. Namun masih terus melawan penuh semangat.
"Aiihhh....!"
Seruan ini mengagetkan hati Kwi Lan. Ketika ia menoleh ke kiri, ia melihat betapa Bi Li me mandang dengan mata, terbelalak dan muka pucat sekali ke arah pertempuran. Kemudian, nyonya itu meloncat ke depan bagaikan seekor harimau betina, langsung menerjang tempat pertandingan dan begitu kaki tangannya bergerak, empat orang pengeroyok itu terlempar keempat jurusan Phang Bi Li cepat menghadapi pengemis baju butut itu sambil berseru suaranya gugup.
"Kau.... kau.... bukankah engkau Tang Sun....?" Pengemis baju butut itu terhuyung-huyung saking lelahnya, mengeluh panjang ketika memandang Bi Li, kemudian berkata lemah. "Bi Li.... ! Kau... Bi Li....? Ah, tidak mungkin...."
Sepasang mata Bi Li sudah bercucuran air mata. "Aku betul Bi Li isterimu!" Pengemis itu terbelalak memandang, napasnya serasa terhenti. "Bi Li....? Aduh.... Hauw Lam.... Hauw Lam.... dimanakah engkau....? Ini Ibumu, Nak....!" Pengemis bernama
Tang Sun itu terguling dan roboh pingsan! Untung Bi Li cepat meloncat dan menubruknya sehingga ia tidak sampai terbanting, akan tetapi alangkah kaget hati Bi Li ketika melihat dia ternyata telah terluka hebat, bahkan tulang iganya ada yang patah-patah. Kiranya laki-laki yang ternyata adalah suaminya ini tadi melakukan perlawanan mati-matian dan nekat dalam keadaan terluka parah mendekati mati! Cepat ia merebahkan suaminya, memanggil-manggil namanya dan menangis.
Sementara itu, sejenak para pengemis baju bersih yang belasan orang jumlahnya tercengang menyaksikan betapa sekali bergerak, wanita setengah tua itu telah membuat empat orang kawan mereka terlempar dan jatuh terbanting tidak mampu bangkit lagi, hanya mengaduh-aduh karena tulang lengan dan kaki mereka patah-patah! Kini melihat betapa pengemis baju butut roboh pingsan dan wanita itu berlutut menangis, timbul kegarangan mereka.
"Perempuan liar darimana berani mengganggu kami?" bentak seorang di antara mereka yang bermuka bopeng koban penyakit cacar. "Hayo hajar dia!" perintah Si Muka Bopeng ini dengan suara keras. Enam orang pengemis yang tubuhnya tinggi besar dan agaknya menjadi jagoan mereka di samping empat orang pengeroyok yang sudah roboh oleh Bi Li, kini menerjang maju dengan senjata mereka yang sama, yaitu tongkat sebesar lengan setinggi orang.
Saat itulah Kwi Lan turun tangan. Sekali ia menggerakkan kakinya, ia telah melompat dan bukan main kagetnya enam orang pengemis tinggi besar melihat bayangan berkelebat seperti seekor burung terhang dan tahu-tahu seorang gadis remaja yang cantik jelita telah berdiri di depan mereka sambil bertolak pinggang! Akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul menghadang hanyalah seorang gadis cilik belum dewasa dan bertangan kosong pula, mereka memandang rendah dan tertawa.
"Ho-ho-ha-ha! Cucuku yang mungil. Minggirlah, Engkongmu (Kakekmu) tidak ada waktu untuk melayanimu." teriak seorang di antara mereka yang kepalanya gundul.
"Eh, Nona cilik yang manis. Apakah engkau menantang berpacaran? Minggirlah lebih dulu, tunggu kalau aku selesai membikin mampus anjing betina tua itu, baru aku layani kau, heh-heh-heh!" kata seorang pengemis tinggi bermuka hitam.
Kwi Lan semenjak kecil berwatak riang gembira, jenaka dan pandai bicara. Hal ini diketahui baik oleh Phang Bi Li, apalagi
oleh Suma Kiat yang selalu kalah berdebat. Dan hanya didepan Sian Eng saja gadis ini tunduk dan berubah pendiam. Kini menghadapi orang-orang yang menimbulkan kemarahan di hatinya itu, muncul pula sikapnya yang ugal-ugalan, Sambil tersenyum mengejek ia berkata.
"Wah, kalian ini sekumpulan monyet tua tidak tahu malu, berhati palsu, curang dan selayaknya dihajar! Melihat pakaian kalian, jelas bukan orang miskin, akan tetapi sengaja ditembel-tembel biar dianggap pengemis. Ini tandanya kalian bukan pengemis karena keadaan melainkan orang-orang berjiwa pengemis! Lalu mengandalkan jumlah banyak mengeroyok orang malah menghina wanita, ini tandanya kalian berwatak rendah, hina, dan curang! Paling akhir, pandang mata kalian dan ucapan-ucapan tadi menandakan bahwa kalian bersifat kurang ajar, tak tahu sopan santun, maka kalian sudah sepatutnya diberi hajaran biar kapok!"
"Mengapa melayani mulut seorang anak nakal? Tangkap dulu dia, kita bawa pulang!" teriak Si Muka Bopeng yang tertarik melihat kelucuan dan kecantikan Kwi Lan, juga berbareng mendongkol karena enam orang anak buahnya dijadikan bahan mainan gadis cilik itu. Serentak enam orang pengemis tinggi besar itu menerjang Kwi Lan. Mereka seperti berlumba, hampir berbareng tangan mereka diulur dan menubruk untuk menangkap Kwi Lan. Karena perintah kepala mereka bukan membunuh melainkan menangkap, pula karena mereka sendiri pun tidak ingin membunuh gadis cilik yang cantik ini, maka mereka tidak menggunakan tongkat untuk menerjang. Hal ini amatlah menguntungkan, bukan bagi Kwi Lan melainkan bagi enam orang pengemis itu sendiri! Karena sedangkan penyerangan sendiri! Karena sedangkan penyerangan dengan tangan kosong mereka itu saja sudah mendatangkan akibat yang hebat, apalagi kalau mereka menggunakan senjata, tak terbayangkan betapa hebat akibatnya.
Penyerangan itu bertubi-tubi datangnya, saling susul. Akan tetapi, begitu ada tangan menjangkau ke arahnya, Kwi Lan hanya bergerak sedikit, menyambut dengan tangannya sendiri yang kecil dan.... "plaakk!" tangan yang besar ini membalik dan menghantam muka Si Penyerang sendiri. Suara "plakk" disusul "aduhh!" terdengar susul-menyusul dan enam orang itu sudah terhuyung-huyung, ada yang roboh dan mereka semua mengerang kesakitan karena yang paling ringan di antara mereka sudah remuk hidungnya, terkena hantaman tangan sendiri yang secara aneh telah membalik. Lebih hebat adalah Si Muka Hitam, karena tangannya tadi terbuka jari-jarinya hendak mencengkeram dada Si Gadis Cilik, ketika membalik masih dalam keadaan mencengkeram dan tak dapat dicegah lagi, mata kirinya tertusuk jari tangannya sehingga biji matanya tercokel keluar! Adapun Si Kepala Gundul, tepat kena hantaman kepalanya oleh tangannya sendiri sehingga di kepalanya tumbuh tanduk dan ia roboh pingsan, agaknya mengalami gegar otak! Yang lain-lain, sebagian besar kehilangan hidung, atau setidaknya yang hidungnya agak mancung menjadi pesek karena ujungnya telah remuk berikut tulang muda batang hidung!
Semua pengemis baju bersih tertegun, apalagi ketika mendengar gadis cilik itu berkata mengejek, "Baru bisa mainkan sedikit ilmu silat Khong-thong-pai yang digerakkan secara ngawur saja kalian sudah sombong! Benar-benar tak tahu malu!"
Si Muka Bopeng cepat melompat maju dengan tongkat melintang. Wajahnya yang bopeng menjadi merah sekali, dan diam-diam ia pun merasa heran. Tidak dapat disangkal lagi, ilmu silat yang dipelajari anak buahnya memang ilmu silat Kong-thong-pai, karena dia adalah seorang murid pelarian dari Kong-thong-pai. Akan tetapi, ilmu tongkat dan ilmu silatnya sudah terkenal, sukar dicari bandingnya dan karena itu pula ia dipercaya oleh para pimpinan pengemis baju bersih untuk memimpin pasukan pengemis di daerah itu, mengepalai pasukan pengemis lima puluh orang banyaknya. Sekarang, bocah ini telah mengenal ilmu silat anak buahnya, tidak hanya mengenal, malah mengejek!
"Eh, bocah bermulut lancang dan sombong! Kau tahu apa tentang Ilmu silat Kong-thong-pai?"
"Mengapa tidak tahu? Apa kaukira ilmu silat Kong-thong-pai yang paling hebat di muka bumi ini? Huh, ilmu silat Kong-thong-pai tidak banyak ragamnya, tidak menang banyak dengan jumlah bopeng di mukamu."
Saking marahnya, Si Muka Bopeng mencak-mencak dan membanting tongkatnya sampai menancap setengahnya di atas tanah. "Keparat aku murid Kong-thong-pai yang jagoan, tahu?"
Kwi Lan memang nakal. Ia membusungkan dada dan menghampiri tongkat itu. "Membanting tongkat seperti itu apa susahnya? Aku pun bisa. Lihat!" Ia menggunakan tangan kanan menangkap sisa tongkat yang tampak di atas tanah, diam-diam mengerahkan tenaga sakti lalu mengangkat terus membanting.
"Krakk.... cappp!" Tongkat itu ketika ia cabut telah patah di tengah-tengahnya, tepat di permukaan tanah, kemudian ketika tongkat sepotong itu ia tancapkan, benda itu amblas ke dalam tanah tak tampak lagi!
Si Muka Bopeng melongo, juga anak buahnya berseru kaget. Hal ini membuat Si Muka Bopeng marah sekali. Sambil berseru keras ia menerjang dengan pukulan Serbu Masuk Guha Harimau. Pukulan ini keras sekali dan mengarah dada Kwi Lan. Sebuah serangan keterlaluan bagi seorang laki-laki berusia empat puluh tahun terhadap seorang gadis berusia empat belas tahun. Selain serangan maut, juga tidak sopan. Akan tetapi Kwi Lan berseru sambil mengejek.
"Wah, Cim-jip-houw-hiat (Serbu Masuk Guha Harimau) yang buruk sekali!" Ia pun cepat melakukan gerakan yang sama. Akan tetapi jurus yang sama ini ia lakukan dengan cara yang jauh berlainan, hanya gayanya saja yang sama akan tetapi dasar dan isinya sudah berbeda jauh. Akan tetapi hebat akibatnya, karena ketika kepalan tangan Si Muka Bopeng itu bertemu dengan telapak tangan Kwi Lan, mendadak Si Muka Bopeng itu merasa betapa tangannya membalik tenaganya dan kepala tangannya seakan-akan sudah tak dapat ia kuasai lagi dan menyambar ke arah dadanya sendiri! Persis seperti yang dialami oleh enam orang anak buahnya tadi. Akan tetapi ia cukup lihai dan secepat kilat ia menggunakan tangan kirinya menangkis tangan kanannya sendiri sampai terdengar suara "dukkk!" karena beradunya kedua lengan. Ia meringis kesakitan, wajahnya makin merah. Jelas tadi ia melihat gadis cilik itu bergerak dalam jurus yang sama, akan tetapi mengapa amat berbeda? Memang tidak aneh sebetulnya. Seperti kita ketahui dari cerita SULING EMAS, mendiang Tok-siaw-kwi Liu Lu Sian telah berhasil mencuri banyak sekali kitab-kitab ilmu silat dari pelbagai perguruan silat dan partai-partai besar. Di antaranya, ia telah mencuri pusaka Kong-thong-pai. Kemudian semua kitab pusakanya terjatuh ke tangan Kam Sian Eng, maka tentu saja sebagai muridnya yang amat rajin, Kwi Lan telah mempelajari pula ilmu silat dari kitab Kong-thong-pai ini. Seperti juga dengan ilmu-ilmu silat lain, penjelasan Sian Eng menyeleweng daripada ilmunya yang benar, maka menjadi berbeda, bahkan ada yang terbalik sama se kali!
Mengapa ilmu yang dipelajari terbalik dan menyeleweng ini malah mengatasi ilmu yang aseli, yang telah dipelajari oleh Si
Muka Bopeng? Hal itu pun tidak aneh. Biarpun telah mewarisi ilmu bermacam-macam yang dipelajari secara menyeleweng, namun Sian Eng telah berhasil memiliki dan mencipta ilmu-ilmu yang tinggi dan aneh, sehingga menyerupai ilmu ciptaan iblis sendiri. Muridnya Kwi Lan, memperoleh kepandaiannya dari Sian Eng, tentu saja juga mendapatkan pelajaran ilmu menghimpun hawa sakti yang mujijat. Hanya ketika sudah membaca kitab dan belajar sendiri kitab-kitab itu, penafsirannya berbeda dengan penafsiran gurunya sehingga dalam ilmu-ilmu yang tinggi, terdapat perbedaan aneh di antara Kwi Lan, Suma Kiat, dan Sian Eng sendiri. Akan tetapi karena dasar-dasar pelajaran lwee-kang, khi-kang dan sin-kang diperoleh dari Sian Eng, maka dalam hal ini mereka bertiga memiliki dasar yang sama. Dibandingkan dengan Si Muka Bopeng, Kwi Lan jauh lebih menang tenaga dalamnya
maka biarpun jurus yang ia mainkan itu tidak aseli, namun jauh lebih ampuh!
Si Muka Bopeng telah menerjang lagi kini dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya, karena ia bermaksud menangkap gadis cilik ini untuk ditawan dan kelak dipaksa mengaku darimana mempelajari ilmu silat Kong-thong-pai yang berubah aneh itu dan pula, biarpun gadis itu masih terlalu muda setengah kanak-kanak, namun sudah kelihatan cantik manis sehingga hati Si Muka Bopeng tertarik. Bagi Kwi Lan, serangan lawan yang kasar ini bukan apa-apa dan sama sekali ia tidak menjadi gentar, malah tertawa mengejek, "Hi-hik, kaugunakan jurus Hekhouw-phok-sai (Macan Hitam Menubruk Tahi)? Busuk dan bau sekali!" Gadis
cilik yang nakal ini sengaja merobah nama jurus itu yang sebetulnya adalah Hekhouw-phok-thouw (Macan Hitam Menubruk Kelinci). Si Muka Bopeng mengeluarkan gerengan marah sambil menubruk, seperti seekor harimau tulen. Kwi Lan sama sekali
tidak mengelak, malah membarengi gerakan lawan dengan jurus yang sama akan tetapi diam-diam ia menyalurkan hawa sakti kearah kedua telapak tangannya dan terciumlah ganda wangi karena gadis cilik ini telah mempergunakan Ilmu Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi). Ilmu ini adalah ciptaan Sian Eng sendiri yang mempergunakan sari kembang beracun yang amat wangi dan ketika berlatih ilmu ini, kedua telapak tangan digosok-gosok racun kembang ini sehingga hawa beracun yang berbau harum masuk ke dalam kedua telapak tangan. Jika dalam keadaan biasa, kedua telapak tangan tidak berbau harum dan racunnya juga tidak keluar, akan tetapi apabila dipakai untuk bertanding dan dari dalam dikerahkan lwee-kang ke arah kedua tangan, maka hawa yang wangi beracun itu akan keluar dari telapak tangan.
Si Muka Bopeng menjadi girang melihat gadis cilik itu menyambut seranganya dengan jurus yang sama dan memapaki kedua tangannya yang menubruk. Diam-diam ia mengerahkan tenaganya dan mukanya menyeringai. Gadis cilik sombong ini tentu akan mudah ditawan kalau kedua tangannya dapat ia tangkap. Bau wangi yang menyambar hidungnya tidak membuat Si Muka Bopeng sadar, bahkan makin girang mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu demikian wangi!
"Plak-plak!" Kedua pasang tangan bertemu dan beradu telapak tangan. Si Muka Bopeng mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting roboh telentang dan tidak bergerak lagi. Kedua lengannya masih berkembang seperti akan menubruk, akan tetapi lengan itu kaku dan telapak tangannya terdapat warna merah dan kebiruan, matanya mendelik napasnya putus!
Sisa para pengemis baju bersih menjadi kaget dan jerih. Wanita setengah tua yang kini menangisi pengemis baju butut tadi sudah hebat, kiranya gadis cilik ini lebih hebat lagi, dalam segebrakan mampu menewaskan pimpinan rombongan mereka! Dengan ketakutan, sembilan orang pengemis itu cepat menyeret teman-teman mereka yang luka dan mengangkut mayat Si Muka Bopeng, lalu melarikan diri dari tempat itu sambil sebentar-sebentar menoleh ketakutan melihat ke arah Kwi Lan yang tertawa-tawa sambil bertolak pinggang!
Setelah semua pengemis pergi, Kwi Lan baru sadar akan suara Bi Li yang menangis terisak-isak. Ia cepat membalikkan tubuh dan melihat Bi Li berlutut di depan pengemis baju butut yang dikeroyok tadi, ia cepat menghampiri. Kini pengemis itu sudah bangkit duduk, bersandar pada batang pohon, napasnya terengah-engah, kedua lengannya memeluk pundak Bi Li yang berlutut di depannya. Melihat keadaan mereka, Kwi Lan menjadi heran bukan main, akan tetapi ia tidak mau bertanya karena merasa jengah. Kenapa Bibi Bi Li mau dipeluk laki-laki jembel itu? Sebagai seorang gadis cilik yang belum pernah menyaksikan orang berpelukan, Ia tidak tahan untuk melihat lebih lama lagi, maka ia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi mereka. Akan tetapi ia mendengar suara mereka ketika mereka bicara.
"Suamiku.... mana dia? Mana Hauw Lam anak kita....?" terdengar Bi Li berkata menahan isak. Mendengar ini, Kwi Lan makin kaget. Suami? Jembel itu suami Bibi Bi Li? Rasa heran dan kaget membuat ia kembali membalik dan memandang pengemis itu lebih teliti. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, pakaiannya lapuk dan kotor, pakaian seorang jembel. Akan tetapi mukanya bersih terpelihara, muka yang pucat karena menderita luka parah, namun masih membayangkan ketampanan laki-laki. "Bi Li.... isteriku, kenapa engkau meninggalkan aku? Kenapa engkau tega pergi meninggalkan kami, suamimu dan
anak kita? Apakah kesalahanku kepadamu sehingga engkau begitu kejam?" Suaranya ini penuh pertanyaan, penuh tuntutan dan tangis Bi Li makin tersedu-sedu. Di antara isak tangis, istri yang malang ini lalu bercerita dengan singkat betapa ia diculik dan dipaksa pergi oleh Kam Sian Eng untuk menyusui dan merawat anaknya yang baru terlahir, menceritakan betapa Kam Sian Eng adalah seorang yang berilmu tinggi dan betapa dia tidak berdaya. "Demikianlah, Suamiku. Kuharap engkau suka
mengampunkan aku, akan tetapi.... sungguh aku tidak berdaya.... sampai sekarang pun aku tidak mungkin bisa pergi meninggalkan Sian-kouwnio...."
Laki-laki itu makin pucat jelas ia menahan sakit sambil menggigit bibir. "Ah, engkau terluka hebat.... mari kubawa ke
pondok kami, biar kuminta Kouwnio memberi obat kepadamu...."
"Tidak perlu lagi!" Laki-laki itu yang bernama Tang Sun, suami dari Phang Bi Li, mencegah sambil mengangkat tangan, kemudian karena tidak tahan bersandar dan duduk, ia lalu merebahkan diri lagi, dibantu isterinya. "Lukaku amat parah, kurasa ada perdarahan di dalam dadaku, sakit sekali.... ougghh.... tak mungkin dapat diobati. Akan tetapi, terima kasih kepada Thian.... matipun aku tidak penasaran, sudah dapat bertemu denganmu.... tapi sayang.... Hauw Lam.... dimana engkau, Anakku....?"
Mendengar disebutnya nama anaknya, Bi Li lupa akan penderitaan suaminya yang sudah menghadapi maut. Sambil memegang lengan suaminya ia berseru keras, "Dimana Hauw Lam? Dimana dia?"
Suara Tang Sun makin lemah, bahkan agak menggigil dan pelo, akan tetapi lancar dan tidak terputus-putus lagi. Perubahan ini tidak diketahui Bi Li yang amat ingin mendengar cerita tentang puteranya.
"Sepeninggalmu, kubawa dia pergi mencarimu dan hidup menderita. Ketika dia berusia lima tahun. kuserahkan dia kepada ketua kelenteng di puncak Gunung Kim-liong-san yang kutahu seorang berilmu tinggi. Aku sendiri lalu melanjutkan perjalanan mencarimu, Bi Li, menempuh seribu satu macam kesukaran!"
Cerita ini terputus sebentar oleh tangis Bi Li penuh keharuan sambil memeluk leher suaminya. Kwi Lan yang berdiri tak jauh dari situ, merasa betapa jantungnya seperti disayat-sayat saking terharu, namun ia dapat menekannya dan tidak sebutirpun air mata menetes turun. Di dalam hatinya, ia makin menyesalkan perbuatan Kam Sian Eng yang telah memisahkan suami isteri ini dan menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan dua orang, bahkan mungkin tiga orang dengan anak mereka yang agaknya tidak diketahui pula di mana adanya.
"Akan tetapi sekarang aku tidak menyalahkan engkau, isteriku, setelah aku tahu betapa engkau pun menderita dan tidak berdaya. Aku lalu hidup sebagai pengemis dan akhirnya aku tertarik akan sepak terjang Khong-sim Kai-pang yang adil dan gagah, maka aku masuk menjadi anggauta Khong-sim Kai-pang. Khong-sim Kai-pang termasuk perkumpulan pengemis golongan bersih yang ditandai dengan pakaian kotor, dan pada waktu ini golongan bersih sedang berusaha membasmi pengemis-pengemis golongan kotor yang ditandai dengan pakaian bersih. Setelah menjadi anggauta Khong-sim Kaipang, banyak teman-temanku membantuku mencarimu. Dan beberapa hari yang lalu, seorang temanku melihat engkau di depan pondok. Karena dia tidak mengenalmu akan
tetapi merasa heran melihat seorang wanita dan dua orang anak tanggung tinggal bersunyi diri didalam hutan, ia lalu
menceritakannya kepadaku. Nah, hari ini aku datang ke sini menyelidik, siapa kira, di sini aku bertemu dengan belasan
orang pengemis golongan hitam yang mengeroyokku...."
"Dan Hauw Lam, Anakku.... dia bagaimana.... ?" Bi Li mendesak, tidak sadar bahwa kini wajah suaminya yang pucat itu sudah mulai agak kebiruan.
"Dia.... dia...." Kini napas Tang Sun mulai tersendat-sendat, "Dia, kini tentu sudah dewasa.... hampir lima belas tahun....
akan tetapi ketika aku datang menjenguk ke sana.... hwesio tua itu telah meninggal dunia dan.... dan Hauw Lam.... dia...."
Sukar sekali ia melanjutkan kata-katanya. Barulah Bi Li sadar akan keadaan suaminya. Ia menjerit dan memeluk, melihat suaminya meramkan matanya, ia menciuminya dan memanggil-manggil namanya, kini tidak peduli lagi akan anaknya. Kwi Lan yang berdiri termangu-mangu cepat menggunakan punggung tangan kirinya menghapus dua butir air mata yang tak tertahankan lagi
menetes turun ke atas pipinya.
Tang Sun membuka matanya, lalu tersenyum dan membelai rambut isterinya. Wajahnya membayangkan kepuasan, akan tetapi kembali keningnya berkerut ketika ia berkata, "....Hauw Lam.... dia.... pergi dari sana.... tak seorang pun tahu kemana. Isteriku, kau.... kaucarilah dia...." Tangan yang membelai rambut itu lemas dan terkulai. Bi Li menjerit dan roboh pingsan sambil memeluk mayat Tang Sun yang masih hangat!
"Bibi Bi Li....! Bibi Bi Li....!" Kwi Lan memanggil-manggil sambil mengguncang-guncang tubuh Bi Li. Wanita itu akhirnya
siuman dan dengan muka merah mata berapi-api ia meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Bi Li memang memiliki kepandaian yang khusus ia pelajari dari Sian Eng, yaitu bermain pedang, bahkan ia menerima hadiah sebatang pedang indah dari Sian Eng. Kini dengan pedang di tangan, matanya terbelalak memandang kanan kiri, mulutnya menantang-nantang.
"Pengemis-pengemis busuk, jembel-jembel terkutuk! Hayo majulah semua, akan kubunuh kalian sampai habis!" Kwi Lan maklum bahwa bibinya ini amat marah dan sakit hati karena kematian suaminya. Suami yang terpisah darinya, selama belasan tahun, dan yang kini begitu berjumpa terus meninggal dunia!
"Perempuan setan, berani kau membunuh saudara kami?" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah tiga orang kakek berpakaian pengemis. Mereka adalah tiga orang kakek tinggi kurus yang memegang tongkat butut, sebutut pakaian mereka.
Begitu melihat tiga orang kakek pengemis ini, sambil berseru marah Bi Li maju menerjang dengan pedangnya. Gerakannya secepat kilat, pedangnya berkelebat seperti halilintar menyambar.
"Tranggg....!" Pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Bi Li ketika tertangkis sebatang tongkat butut yang
dipegang oleh kakek pengemis yang bertahi lalat besar di bawah hidungnya.
Bi Li makin marah. Kakek pengemis ini kiranya lihai sekali, tidak boleh disamakan dengan para pengemis yang tadi mengeroyok suaminya. Maka ia lalu mengeluarkan seruan keras sambil memutar pedangnya dan mengerahkan tenaga, menerjang dengan cepat sekali. Menghadapi serangan yang begitu dahsyat, kakek pengemis itu terkejut dan cepat memutar tongkat melindungi tubuhnya. Kemudian terjadilah pertandingan hebat di antara Bi Li dan kakek pengemis.
Dua orang kakek pengemis lain segera melangkah maju mendekati mayat Tang Sun. Melihat ini, Kwi Lan menjadi curiga dan membentak, "Jembel-jembel busuk, mundurlah kalian!" Gadis cilik ini menerjang maju dengan pukulan kedua tangannya yang mendorong.
Karena melihat bahwa yang menerjang mereka hanyalah seorang gadis cilik berusia empat belas tahun, dua orang kakek jembel itu tersenyum tenang, bahkan mengulur tangan untuk menangkap pundak Kwi Lan. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tangan mereka bertemu dengan tangan Kwi Lan, tubuh mereka terdorong mundur dan hampir saja mereka terbanting roboh! Baiknya keduanya adalah tokoh-tokoh lihai, cepat dapat menekan tanah dengan ujung tongkat sehingga dapat menguasai keseimbangan tubuh lagi. Sejenak mereka saling pandang dengan muka merah, lalu menatap wajah Kwi Lan dengan sikap terheran-heran. Namun
mereka merasa penasaran. Mungkinkah bocah perempuan ini memiliki tenaga yang sedemikian dahsyatnya? Karena merasa malu untuk menghadapi seorang anak-anak dengan senjata tongkat mereka, keduanya lalu menyelipkan tongkat di ikat pinggang lalu melangkah maju mengulur tangan.
"Bocah setan, mau lari kemana kau?" Melihat dirinya diserang dengan jangkauan tangan hendak menangkap, Kwi Lan tertawa mengejek, "Lari kemana? Untuk apa lari menghadapi dua ekor babi tua macam kalian?" Dan dengan gerakan yang indah namun gesit bukan main, Kwi Lan sudah dapat mengelak, lolos dari tubrukan mereka, kemudian cepat ia membalik dan mengirim pukulan ke arah punggung mereka!
"Wuuuttt!" Dua orang pengemis tua itu berseru kaget dan cepat melompat jauh ke depan sehingga terhindar daripada pukulan maut tadi. Wajah mereka menjadi pucat dan keringat dingin memenuhi jidat. Sebagai orang-orang yang ahli, mereka cukup maklum betapa pukulan kedua tangan bocah ini tadi mengandung tenaga Iweekang yang hebat dan dapat mematikan! Berubahlah pandangan mereka. Kiranya bocah ini gerakannya jauh lebih hebat daripada wanita yang bertanding melawan saudara mereka. Tanpa malu-malu lagi keduanya lalu mencabut tongkat.
"Hi-hik, kalian mau lari kemana?" Kwi Lan mengejek. Akan tetapi cepat gadis cilik ini menggerakkan kaki untuk berkelit
karena melihat dua sinar tongkat sudah meluncur dengan hebat. Selanjutnya, Kwi Lan harus mempergunakan kelincahannya untuk menghindarkan diri daripada kurungan sinar kedua tongkat itu.
Diam-diam anak ini kaget juga. Kiranya dua orang pengeroyoknya ini benar-benar amat tangguh sehingga tekanan kedua tongkat itu mengurung dirinya, membuat ia tidak mampu balas menyerang. Dia tidak tahu bahwa dua orang kakek itu jauh lebih kaget dan heran daripadanya. Selama mereka hidup, sudah hampir enam puluh tahun, baru kali ini mereka menghadapi peristiwa yang begini aneh dan memalukan. Mereka terkenal sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi, hanya orang-orang pilihan saja di dunia kang-ouw yang setanding dengan mereka. Akan tetapi kini, dengan maju berdua dan memegang tongkat pula, mereka tidak mampu
mengalahkan seorang gadis cilik yang bertangan kosong! Sebetulnya tingkat ilmu silat anak itu belumlah matang dan tidaklah seberapa tinggi, akan tetapi gerakannya amat aneh luar biasa sekali dan sukar diduga karena jauh berbeda dengan dasar-dasar ilmu silat yang lazim!
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring sekali, datangnya dari jauh akan tetapi amat jelas seakan-akan yang berkata berada di belakang mereka, "Enci Bi Li! Kwi Lan! Mundur.... !"
Tentu saja Bi Li dan Kwi Lan mengenal baik suara ini dan mereka cepat meloncat mundur tanpa menoleh. Tiga orang pengemis yang tidak mendengar seruan tadi, mendesak maju. Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan.... tiga orang kakek itu berhenti bergerak dan telah menjadi kaku seolah-olah mereka berubah menjadi arca batu!Tanpa dapat mereka lihat, jalan darah mereka telah ditotok oleh ujung lengan baju Sian Eng yang kini sudah berdiri didepan mereka dengan sikap bengis!
Pada saat itu, terdengar bunyi angin menyambar. Belasan buah senjata rahasia berbentuk piauw (pisau) dan besi bintang menyambar ke arah Bi Li, Kwi Lan, Sian Eng, dan juga ke arah tiga orang pengemis yang berdiri kaku. Bi Li dan Kwi Lan melihat datangnya senjata rahasia yang membawa angin ini, maklum bahwa senjata itu digerakkan oleh tangan yang lihai, maka tidak berani menyambut dan cepat mengelak. Akan tetapi Sian Englalu mengebutkan kedua tangannya kedepan dan....belasan batang senjata rahasia yang menyambar ke arahnya dan ke arah tiga orang pengemis tua runtuh terpukul oleh hawa pukulan kedua tangannya!
Dari balik pohon meloncat keluar lima orang kakek pengemis pula, akan tetapi mereka ini berbeda dengan yang tiga tadi. Kalau tiga orang kakek pertama berpakaian butut kotor, adalah lima orang ini berpakaian bersih, sungguhpun bertambal-tambalan seperti halnya para pengemis yang mengeroyok Tang Sun.
"Wanita iblis, berani kau...." Hanya sampai sekian saja bentakan seorang diantara mereka karena tiba-tiba tubuh Sian Eng lenyap berkelebat ke depan dan lima orang itu menggerakkan kaki tangan hendak melawan bayangan yang tiba-tiba menyambar, namun sia-sia belaka karena tahu-tahu mereka inipun sudah berdiri kaku seperti patung, persis seperti keadaan tiga orang kakek baju butut!
Melihat munculnya lima orang pengemis baju bersih ini, baru Bi Li sadar akan perbedaan antara lima orang pengemis ini dan tiga orang pengemis yang tadi datang lebih dulu. Pakaian mereka! Pakaian lima orang pengemis yang datang belakangan ini serupa dengan pakaian para pengemis yang mengeroyoknya, yang membunuh suaminya. Adapun pakaian tiga orang pengemis yang mengeroyoknya, sama butut dengan pakaian suaminya. Teringatlah ia akan cerita suaminya tentang golongan putih yang berpakaian butut dan golongan hitam yang berpakaian bersih. Kini melihat Kam Sian Eng memandang kepada tiga orang pengemis baju butut dengan mata beringas, ia cepat meloncat maju dan berkata.
"Sian-kouwnio....! Jangan....jangan bunuh mereka ini...." Kam Sian Eng tanpa menoleh bertanya, suaranya dingin dan ketus, "Apa yang terjadi disini?"
Bi Li yang teringat kembali kepada suaminya, tidak menjawab melainkan berlutut lagi didepan mayat suaminya sambil menangis. Kwi Lan maklum bahwa bibinya dan juga gurunya itu sedang marah, maka ia cepat maju mewakili Bi Li dan bercerita singkat.
"Bibi Bi Li dan aku sedang memetik bunga ketika kami mendengar suara orang bertempur disini. Ternyata yang bertempur adalah....suami Bibi Bi Li dikeroyok pengemis-pengemis baju bersih sampai terluka dan tewas. Bibi Bi Li dan aku berhasil mengusir dan membunuh beberapa orang pengemis baju bersih, dan sebelum mati suami Bibi Bi Li sempat bercerita bahwa dia adalah anggauta pengemis baju butut. Kemudian muncul tiga orang kakek pengemis baju butut ini yang lancang menyerang Bibi Bi Li dan aku. Agaknya mereka bertiga ini masih segolongan dengan suami Bibi Bi Li. Dan lima orang kakek yang datang belakangan ini agaknya hendak membalaskan kematian anak buah mereka."
Sian Eng mendengar ini, melirik kearah Bi Li dengan wajah yang tertutup tirai sutera itu sedikitpun tidak berubah, tetap
dingin dan keras. Tiba-tiba tangannya bergerak kepunggung, sinar terang berkelebatan disusul jerit-jerit kesakitan
dan....delapan orang pengemis yang masih berdiri kaku itu kini telah buntung semua tangan kanannya! Entah kapan Sian Eng
menggunakan pedang, entah kapan mencabutnya, dan menyarungkannya kembali, tak dapat diikuti pandang mata para pengemis itu sehingga biarpun mereka menanggung luka hebat dan nyeri, mereka masih terbelalak kaget dan gentar. Tiga orang pengemis tua baju butut itu adalah tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang sedangkan lima orang pengemis baju bersih itu adalah tokoh- tokoh terkemuka pula dari perkumpulan golongan hitam. Didalam dunia kang-ouw, terutama dunia para pengemis kang-ouw, mereka delapan orang ini merupakan orang-orang terkenal dengan ilmu silat mereka yang tinggi. Akan tetapi kini, dalam tangan wanita berkerudung yang cantik dan aneh itu, mereka sama sekali tidak berdaya, dipermainkan seperti tikus-tikus dipermainkan kucing!
"Ohh, Kouwnio, jangan....!" Bi Li yang mendengar jerit mereka dan mengangkat muka, segera meloncat bangun. "Tiga orang Lo-kai ini adalah orang-orang segolongan mendiang suami saya...."
Sian Eng mendenguskan suara dari hidung. "Hemmm....!"
Kwi Lan segera berkata, "Bibi Bi Li, tiga orang jembel tua ini biarpun segolongan dengan suamimu, namun mereka datang-datang menyerang kita. Pasti bukan orang baik-baik! Sudah sepatutnya Bibi Sian memberi hukuman."
Kakek pengemis baju butut yang bertahi lalat di bawah hidungnya, terdengar menarik napas panjang. Delapan orang ini biarpun tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi yang kaku hanyalah kaki tangan, sedangkan anggauta tubuh yang lain tidak, sehingga mereka masih mampu bicara.
"Kami tiga orang tua bangka memang telah berlaku ceroboh, tidak mengenal orang dan tidak dapat membedakan mana kawan mana lawan. Kehilangan tangan ini sudah sepantasnya....!"
"Kouwnio, harap sudi mengampuni mereka. Tentu tadi mereka menyangka bahwa sayalah yang membunuh saudara mereka ini, padahal dia.... dia ini...., Tang Sun, suamiku...."
"Hemmm....! Kwi Lan bebaskan mereka!" Sian Eng menggerakkan kepalanya kearah tiga orang pengemis baju butut. Sebagai seorang murid yang amat tekun dan amat cerdik, tentu saja Kwi Lan sudah pula membaca dan mempelajari isi kitab Im-yang-tiam-hoat, sebuah kitab pusaka dari Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh Tok-siauw-kwi dan terjatuh ketangan Sian Eng. Dan tentu saja ia dapat pula membebaskan pengaruh totokan ilmu menotok jalan darah ini. Dihampirinya tiga orang kakek itu dan dengan sebuah jari telunjuk kanan, ditotoknya punggung belakang pusar mereka sambil tangan kirinya tidak lupa menampar belakang kepala. Sebetulnya tamparan belakang kepala ini tidak ada hubungannya dengan pembebasan totokan, akan tetapi dasar anak nakal, ia hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya kepada tiga orang kakek pengemis itu dalam
kesempatan ini!
Kembali tiga orang kakek ini terkejut sekali. Mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi dan tahu banyak tentang seluk-beluk Ilmu Tiam-hiat-hoat (Menotok Jalan Darah). Akan tetapi selama hidup mereka, baru sekali ini mereka tahu ada ilmu menotok jalan darah yang pembebasannya diharuskan menempiling kepala segala! Makin gentarlah mereka terhadap Sian Eng, dan cepat-cepat mereka menggunakan tangan kiri untuk menotok lengan kanan, menghentikan jalan darah agar darah yang mengalir keluar dari pergelangan tangan yang buntung itu berhenti. Kemudian, sejenak mereka memandang kepada Sian Eng, dan pengemis tua bertahi lalat segera menjura, diturut dua orang temannya dan bertanya, "Kami bertiga dari Khong-sim Kai-pang telah menerima petunjuk Kouwnio (Nona), semoga lain kali kami akan dapat membalas kebaikan ini. Sudilah Kouwnio memberitahukan nama yang mulia dan tempat tinggal."
Sian Eng tersenyum, senyum yang dingin dan mendirikan bulu roma. Suaranya halus merdu akan tetapi juga mengandung hawa dingin yang menyeramkan ketika ia berkata, "Aku Kam Sian Eng dan tinggal di hutan ini. Kalau belum puas, boleh suruh ketua Khong-sim Kai-pang datang! Pergilah!"
Tiga orang pengemis tua itu menjura lalu menghampiri mayat Tang Sun, akan diambilnya. Bi Li maju hendak mencegah akan tetapi Sian Eng menghardiknya, "Enci Bi Li, mundur kau!" Bi Li terkejut sekali dan segera meloncat mundur, wajahnya pucat dan air matanya bercucuran ketika ia melihat mayat suaminya dibawa pergi oleh tiga orang kakek pengemis itu. Tiga orang ini memandang sebentar kepada Bi Li dengan pandang mata kasihan, lalu menghela napas dan pergi dari tempat itu dengan langkah lebar sambil membawa mayat Tang Sun.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu tadinya terkejut dan khawatir sekali mendengar bahwa anggauta Khong-sim Kai-pang yang terbunuh adalah suami wanita yang tak tertutup mukanya. Akan tetapi, melihat sikap Bi Li dan mendengar bentakan wanita yang berkerudung dan mengaku bernama Kam Sian Eng itu, mereka menjadi lega hati. Jelas bahwa biarpun wanita yang kedua itu mempunyai suami anggauta Khong-sim Kai-pang, namun siwanita aneh yang sakti itu sama sekali tidak bersahabat dengan Khong-sim Kai-pang. Biarpun tubuh mereka masih kaku dan tak mampu bergerak, namun pengemis yang tertua di antara mereka,
yang hidungnya bengkok seperti hidung kukuk beluk berkata merendah, "Mohon maaf sebanyaknya kepada Cianpwe yang mulia.
Karena tidak tahu dan belum mengenal, boanpwe berlima berani mati lancang memasuki wilayah Cianpwe. Hendaknya Ciancwe memaklumi bahwa boanpwe berlima adalah pimpinan perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Garuda Hitam) yang masih berada dibawah lindungan yang mulia Bu-tek Siu-lam! Maka boanpwe berlima mengharap sudilah kiranya Cianpwe melihat muka Ciangbujin (Pemimpin Besar) Bu-tek Siu-lam untuk mengampuni dan membebaskan boanpwe berlima!"
Sian Eng mengerutkan keningnya. Diam-diam ia merasa geli mendengar betapa lima orang kakek itu menyebutnya cianpwe, sebutan bagi tokoh-tokoh tinggi dunia persilatan dan menyebut diri boanpwe, sikap yang amat merendahkan sekali. Akan tetapi ia heran mendengar nama Bu-tek Siu-lam (Laki-laki Tampan Tanpa Tanding). Siapakah itu? Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri sehingga tidak melihat perubahan didalam dunia kang-ouw, tidak mengenal tokoh-tokoh barunya.
"Siapakah dia yang berjuluk Bu-tek Siu-lam itu?" tanyanya tanpa disengaja karena pertanyaan dalam hati ini terlontar keluar melalui bibirnya.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu saling pandang dengan heran dan juga kecewa. Benarkah ada orang didunia kang-ouw ini yang belum mengenal nama Bu-tek Siu-lam? Dan wanita aneh ini demikian sakti! Tapi mungkin belum memasuki dunia kang-ouw. Karena ini, Si Hidung Bengkok segera berkata, sengaja mengangkat-angkat nama besar Bu-tek Siu-lam untuk menimbulkan kesan mendalam.
"Beliau adalah tokoh tertinggi di dunia kang-ouw yang datang dari dunia barat. Semua perkumpulan pengemis baju bersih berada dibawah perlindungan beliau, dan boanpwe yakin bahwa kelak beliaulah yang akan menjadi pemimpin besar semua kai-pang! Juga dalam pemilihan tokoh-tokoh terbesar untuk memilih jagoan yang Thian-he-te-it (di Seluruh Dunia Nomor Satu) yang akan diadakan di puncak Cheng-liong-san pada malam tahun baru nanti, sudah dapat dipastikan bahwa Ciangbujin Bu-tek Siu-lam yang akan keluar sebagai juara, jagoan di antara segala datuk! Tapi....eh, kecuali....kalau Cianpwe ikut pula dalam kejuaraan itu, keadaan akan makin ramai." Demikian tambah Si Hidung Bengkok ketika melihat wajah di balik kerudung itu kelihatan tak senang.
"Aku tidak peduli segala macam Bu-tek Siu-lam! Kalian berlima sudah lancang berani menyerangku, berani memandang sebelah mata. Karena itu, kalian baru boleh pergi kalau kalian suka mencongkel keluar sebuah biji mata kalian!"
Lima orang pengemis itu terbelalak, dan muka mereka pucat. Keringat dingin mengalir keluar membasahi jidat dan leher. Sebuah biji mata disuruh cokel keluar? Siapa yang sudi? Sebelah tangan sudah dibuntungkan, kini sebelah mata diminta lagi! Mana ada aturan begini bocengli (kurang ajar)? Wanita aneh ini tidak takut kepada Bu-tek Siu-lam, berarti belum mengenal. Kalau belum kenal, belum tentu wanita ini benar-benar sakti. Agaknya hanya memiliki Ilmu Tiam-hiat-hoat yang aneh sehingga mereka tadi menjadi korban totokan sebelum dapat bergerak banyak dan sebelum melihat sampai di mana tingkat ilmu kepandaian wanita berkerudung itu. Karena tidak terdapat jalan lain untuk menghindarkan diri daripada ancaman cokel mata, Si Hidung Bengkok lalu berkata, nadanya sengaja dikeluarkan untuk mengejek. "Sebagai orang-orang kang-ouw kami tahu bahwa hukumnya adalah siapa kuat dia menang dan siapa kalah harus tunduk. Sayang sekali bahwa kami belum merasa dikalahkan, hanya dibuat tidak berdaya oleh serangang elap. Sebagai tokoh-tokoh Hek-peng Kai-pang, kami mengandalkan keselamatan nyawa kami diujung pedang. Siapa tahu, sebelum kami sempat mencabut pedang, kami mengalami penghinaan. Kalau sudah tertotok seperti ini, bicarapun kami tak berhak. Seorang kanak-kanak yang masih ingusan sekalipun dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya
terhadap kami!"
Akal Si Hidung Bengkok ini berhasil baik sekali. Sian Eng menjadi merah mukanya dan sekali tubuhnya bergerak, tampak bayangan putih berkelebat. Ujung lengan bajunya menyambar dan lima orang kakek itu merasa betapa punggung belakang pusar mereka tertotok yang membuat tubuh mereka pulih seperti biasa. Serentak mereka berlima mencabut pedang dan membuat gerakan keliling, mengurung wanita berkerudung itu.
Sian Eng yang berdiri di tengah-tengah dalam keadaan terkurung, hanya memandang tanpa mengubah kedudukan badan dan tanpa menoleh. Hanya sepasang matanya di balik kerudung hitam itu yang melirik ke kanan kiri, kemudian tampak giginya berkilat putih ketika ia berkata, "Kalian telah bebas. Pedang telah dicabut. Tidak lekas mencokel mata kanan kalian. Tunggu apa lagi?"
Ucapan yang menyakitkan hati ini merupakan komando bagi lima orang kakek pengemis itu untuk menerjang dengan hebat. Sian Eng dalam keadaan terkepung dan lima orang itu melakukan serangan berbareng. Lima buah pedang dengan tusukan dan bacokan kilat mengarah tubuhnya. Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh dan lima orang pengemis terkejut ketika melihat bayangan putih melesat cepat dari tengah kepungan dan benar saja, ketika mereka melihat, ujung pedang mereka hanya mengenai tempat kosong dan lima buah pedang mereka hampir beradu sendiri dengan kawan. Cepat mereka menengok dan kiranya Sian Eng telah berdiri sambil bertolak pinggang disebelah kiri sambil tersenyum mengejek.
Pengemis hidung bengkok yang berdiri paling dekat, cepat menerjangnya dengan pedang, diikuti oleh teman-temannya yang kini tidak mengurung lagi. Inilah yang dikehendaki Sian Eng, yaitu agar lima orang pengeroyoknya itu menyerangnya dengan susul menyusul, tidak berbareng seperti tadi. Begitu pedang Si Hidung Bengkok menyambar, ia menggerakkan lengannya secara aneh. Pedang menusuk datang dan terdengarlah jerit mengerikan disusul robohnya tubuh pengemis hidung bengkok. Sian Eng tidak berhenti sampai disitu saja. Tubuhnya terus bergerak kedepan dan jerit kesakitan susul menyusul sehingga akhirnya empat orang pengemis yang lain juga roboh .Hanya beberapa puluh detik saja terjadinya. Lima orang pengemis itu sendiri tidak tahu
benar apa yang terjadi. Ketika mereka menyerang secara mendadak pedang mereka membalik dan mencokel mata mereka sendiri, mata kanan!
Kini Sian Eng berdiri tegak, memandang lima orang pengemis itu yang merangkak bangun sambil merintih-rintih. Tangan kanan mereka sebatas pergelangan telah buntung. Tadi mereka menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang, siapa kira, secara aneh sekali wanita sakti itu telah membuat pedang mereka membalik dan mencokel kelua rbiji mata kanan mereka dengan pedang mereka sendiri. Setelah mereka mampu berdiri, lima orang pengemis tua yang terluka parah itu, berdiri memandang Sian Eng dengan mata sebelah mereka, memandang penuh kemarahan dan kebencian.
"Pergilah kalau tidak ingin mampus!" Sian Eng berkata dingin. Lima orang pengemis itu ingin sekali menerjang mengadu
nyawa. Akan tetapi kini maklumlah mereka bahwa terhadap wanita aneh ini mereka tidak berdaya sama sekali. Si Hidung
Bengkok sambil meringis menahan sakit berkata, "Akan kami laporkan bahwa engkau menantang ciangbujin kami Bu-tek Siu-lam!"
"Boleh! Suruh dia datang kesini, akan kubuntungi kedua tangannya dan kucokel keluar kedua biji matanya!"bentak Sian Eng.
Lima orang itu terkejut. Benar-benar wanita ini sudah gila, berani mengeluarkan kata-kata seperti itu terhadap Bu-tek
Siu-lam yang sakti seperti dewa. "Tunggulah dan kalau memang berani, datanglah kelak dipuncak Cheng-liong-san!" Sian Eng hanya tersenyum dan memandang lima orang itu yang pergi sambil meringis kesakitan. Setelah keadaan menjadi sunyi, barulah Sian Eng menoleh kepada Bi Li dan membentak, "Apakah engkau hendak pergi pula meninggalkan aku?" Didalam suaranya terkandung ancaman maut. Bi Li menggeleng kepala, menyusut airmatanya. "Pergi kemana? Suamiku telah mati....! Tidak, aku tidak akan pergi dari sini, kecuali pergi keakhirat. Tidak adalagi yang kuharapkan."
Mendengar jawaban ini, Sian Eng mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh mendirikan bulu roma. Kwi Lan mengerutkan keningnya, akan tetapi ketika melirik kearah Bi Li, ia melihat wanita itu memandang kepadanya dan tahulah ia bahwa Bi Li diam-diam amat mengharapkan agar kelak dapat bertemu dengan puteranya yang bernama Hauw Lam. Dan gadis ini, biarpun tidak mendengar kata-kata keluar dari mulut Bi Li, dapat menduga, bahkan berjanji dalam hatinya bahwa kelak ia akan bantu mencari putera yang hilang itu. Semenjak terjadi peristiwa itu, Kwi Lan belajar makin tekun dan giat karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian tinggi merupakan modal terutama baginya untuk kelak mencari orangtuanya dan untuk membantu Bi Li mencari puteranya yang bernama Tang Hauw Lam. Dan semenjak terjadinya peristiwa itulah nama Kam Sian Eng dikenal didunia kang-ouw
sebagai seorang tokoh yang aneh dan luar biasa, serta memiliki ilmu kesaktian yang dahsyat pula. Hal ini menyebabkan semua orang menjauhkan diri dari hutan itu, yang dianggap sebagai hutan iblis dan tak seorangpun berani memasukinya.
***
Lima tahun kemudian, seorang gadis berusia sembilan belas tahun berjalan seorang diri dikaki Gunung Lu-liang-san, disebelah barat kota Tai-goan. Gadis remaja ini cantik sekali dan amat manis. Bentuk mukanya lonjong, dagunya meruncing, dengan kulit muka yang halus dan putih seperti susu, dihias warna merah jambu dikedua pipinya, warna merah karena sehat. Mulutnya kecil dengan bibir selalu tersenyum, bibir merah membasah dan segar. Rambutnya agak awut-awutan, tidak disisir rapi, namun menambah keluwesan dan keayuannya. Tubuhnya sedang dan ramping, agak kurus akan tetapi dengan lekuk-lengkung tubuh yang
menonjolkan kewanitaannya. Pakaiannya berwarna merah muda, dengan ikat pinggang merah tua. Sebatang pedang tergantung dipinggangnya dan gagang pedang ini dihias sebuah mutiara yang besar,mutiara berwarna hitam berkilauan.
Gadis jelita ini bukan lain adalah Kam Kwi Lan! Sudah setengah tahun ia merantau meninggalkan hutan iblis. Setengah tahun yang lalu, bibinya, juga gurunya, Kam Sian Eng telah pergi bersama Suma Kiat. "Aku pergi bersama Suhengmu. Kau tidak boleh ikut, Kwi Lan. Akan tetapi kalau engkau mau pergi merantau, terserah. Engkau sudah cukup dewasa dan kuat untuk menjaga diri. "Demikian pesan Sian Eng secara singkat. Adapun Suma Kiat tersenyum-senyum, agaknya hendak menggoda sumoinya itu
yang tidak boleh ikut pergi! Memang, biarpun usianya sudah dua puluh tahun, Suma Kiat yang kini juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu kadang-kadang sikapnya seperti kanak-kanak saja!
"Bibi, saya hanya minta agar sebelum Bibi pergi, Bibi suka memberi sedikit keterangan kepadaku." Sian Eng tersenyum di balik kerudung hitamnya. "Keterangan tentang Ayah bundamu, bukan?"
Kwi Lan terkejut dan melirik ke arah Bi Li yang juga berdiri di situ dan yang menjadi kaget pula. "Hemm, jangan kira bahwa aku tidak tahu akan persekutuan kalian beberapa tahun yang lalu! Enci Bi Li, suamimu telah mati, anakmu hilang. Kalau dia memang anak berbakti, tentu dia akan datang mencarimu kelak. Kwi Lan, kalau kau hendak mencari Ibumu, pergilah ke Khitan. Ibumu adalah adik angkatku, yaitu Ratu Yalina di Khitan. Tentang Ayahmu....hi-hik, kau tanya saja kepada Ibumu yang manis itu!"
Demikianlah, setelah Sian Eng bersama Suma Kiat pergi, Kwi Lan lalu pergi pula meninggalkan hutan di mana ia hidup selama delapan belas tahun. Ia menasihati Bi Li agar tinggal di dalam istana bawah tanah saja, menanti kembalinya mereka dari perantauan. Ia berjanji akan mencari keterangan di dunia luar tentang Tang Hauw Lam.
Dengan kawan pedang pusaka pemberian bibinya, Kwi Lan melakukan perjalanan seorang diri. Tujuan perjalanannya tentu saja di Khitan di sebelah utara. Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa, melakukan perjalanan seenaknya. Hal ini bukan saja karena ia memang hendak menikmati keadaan kota dan dusun yang dilaluinya, juga terutama sekali karena hatinya merasa amat kecewa ketika mendengar keterangan gurunya bahwa dia sebetulnya anak Ratu Khitan! Anak ratu! Akan tetapi ratunya bangsa Khitan yang dianggap sebagai bangsa yang setengah liar di utara. Dan kalau dia benar anak ratu, mengapa sampai diberikan kepada gurunya? Kalau benar ibunya itu, Ratu Khitan, adalah adik angkat gurunya, tentu dia telah diberikan kepada bibi itu untuk dilatih ilmu silat. Alangkah tega hati ibu kandungnya itu! Berarti tidak sayang kepadanya! Karena pikiran inilah maka Kwi Lan tidak sangat bernafsu untuk bertemu dengan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan.
Pada pagi hari yang cerah itu, Kwi Lan berjalan dikaki Bukit Lu-liang-san, menikmati keindahan alam yang mandi cahaya
matahari pagi. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara orang bertanding disebelah depan. Hatinya tertarik dan ia mempercepat langkahnya. Ketika tiba disebuah belokan, ia melihat dua orang tengah bertanding hebat. Yang seorang bersenjata pedang, yang kedua bersenjata tongkat butut. Disekeliling tempat pertandingan itu, berdiri pula beberapa orang dengan tegak dan penuh perhatian menonton jalannya pertandingan. Melihat betapa dua orang yang bertanding, juga mereka yang berdiri menonton, semua berpakaian pengemis, teringatlah Kwi Lan akan peristiwa dihutan iblis pada lima tahun yang lalu. Yang bersenjata tongkat butut adalah seorang kakek pengemis berpakaian butut dan disitu masih ada tiga orang temannya yang kurus-kurus dan tua berdiri menonton. Adapun lawannya, yang berpedang, adalah seorang pengemis pakaian bersih, sedangkan agaknya empat orang yang berdiri menonton disebelah kiri adalah teman-temannya, sungguhpun hanya dua diantara mereka yang berpakaian pengemis baju bersih. Pertandingan itu cukup seru dan dari gerakan mereka tahulah Kwi Lan bahwa mereka yang bertanding itu memiliki kepandaian cukup tinggi dan tentu bukan anggauta biasa dari perkumpulan mereka, melainkan tokoh-tokoh yang berkedudukan cukup tinggi. Maka ia memandang penuh perhatian sambil mendekati dengan langkah perlahan.
"Ssssttt....!" Kwi Lan terkejut dan berdongak. Ternyata yang berdesis itu adalah seorang pemuda yang duduk ongkang-ongkang diatas dahan pohon sambil menghadap ke arah pertandingan. Pemuda itu kini menoleh kepadanya dan menaruh telunjuk kedepan mulut. Melihat wajah pemuda itu yang berseri, tidak hanya mulutnya, bahkan hidung dan matanya ikut tersenyum ramah, sekaligus timbul rasa suka dihati Kwi Lan. Mata pemuda itu bersinar terang dan gembira, jelas tampak bahwa dia seorang periang yang lucu dan juga nakal. "Kalau mau nonton, disini paling enak, jelas aman dan tidak usah bayar!" bisik pemuda itu dan terkejutlah Kwi Lan. Pemuda itu hanyab berbisik-bisik, akan tetapi suaranya jelas sekali terdengar olehnya, seperti didekat telinganya. Tahulah ia bahwa pemuda yang periang ini buka hanya seorang pemuda berandalan biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah menguasai Ilmu Coan-im-pekli (Mengirim Suara Seratus Mil). Kalau saja pemuda itu tidak memiliki wajah tampan yang begitu jenaka seperti wajah seorang anak kecil yang nakal, tentu Kwi Lan akan ragu-ragu bahkan marah. Namun jelas baginya bahwa pemuda itu nakal dan polos, tidak bermaksud kurang ajar. Hal ini dapat ia lihat dari sinar matanya. Selama setengah tahun merantau dan bertemu banyak laki-laki, Kwi Lan sudah dapat membedakan
pandang mata laki-laki yang tertarik akan kecantikan wajah dan bentuk tubuhnya, pandang mata mengandung birahi yang kurang ajar. Sengaja Kwi Lan mengerahkan ginkangnya sehingga ketika ujung kedua kakinya menggenjot tanah, tubuhnya melayang naik seperti seekor burung kenari terbang melayang dan hinggap di atas cabang di dekat pemuda itu, duduk ongkang-ongkang seperti si pemuda tanpa sedikit pun membuat cabang itu bergoyang. Akan tetapi Kwi Lan kecelik kalau ia memancing kekaguman pemuda itu, karena si pemuda menoleh kepadanya seperti tidak ada apa-apa saja, seakan-akan gerakannya yang indah dan ringan itu tadi sudah sewajarnya!
Setelah menoleh dan memandang wajah Kwi Lan sejenak, pemuda itu tersenyum lebar, merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan itu, menyodorkannya kepada Kwi Lan. Kiranya tanpa bicara pemuda itu telah menawarkan kacang garing kepada Kwi Lan!
"Enak nonton di sini sambil makan kacang," katanya dengan mata bersinar-sinar. "Gerakan mereka dapat nampak jelas. Hayo bertaruh, siapa yang akan menang antara pengemis bertongkat kurus kering dan pengemis botak berpedang itu? Aku berpegang kepada Si Botak!"
Kwi Lan makin suka kepada pemuda yang sebaya dengannya ini, atau mungkin lebih muda melihat sikapnya yang kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil segenggam kacang, membuka kulit dan memakannya sambil menonton ke arah pertandingan.
"Aku bertaruh pengemis baju butut yang menang," Kwi Lan berkata setelah menonton sebentar. Kacang garing itu enak sekali, selain gurih dan wangi tanda kacang tua dan baik, juga agaknya diberi bumbu dan asinnya cukup.
"Belum tentu!" kata Si Pemuda gembira dan kedua kakinya yang ongkang-ongkang itu digerak-gerakkan menendang.
"Memang Si Kurus Kering itu lebih lihai ginkangnya, lebih cekatan. Akan tetapi kulihat Si Botak ini banyak tipu muslihatnya. Di gagang pedangnya terdapat alat untuk melepas jarum beracun."
"Ihhh....! Memang pengemis baju bersih itu golongan hitam dan curang!" Kwi Lan berseru.
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu?"
"Tahu saja! Kaukira engkau saja yang tahu kelicikan mereka?" Mereka saling pandang, cemberut karena dengan pertaruhan itu mereka seperti hendak saling memihak. Akan tetapi pemuda itu tersenyum, menyodorkan lagi bungkusan kacangnya. "Enak kacang ini, bukan? Tentu enak, kacang ini khusus dibuat untuk istana kerajaan!" ia tertawa ha-ha-he-he, lalu melanjutkan, "Akan tetapi, Raja dan para Pangeran belum tentu mempunyai mulut seperti mulutku, maka aku merasa bahwa mulutku tidak terlalu rendah untuk mencicipi kacang untuk istana ini dan kucuri sebagian. He-he-heh!"
Kwi Lan juga tersenyum lebar dan mengambil lagi segenggam. Keduanya kini tidak berkata-kata lagi karena ikut merasa tegang dengan pertandingan yang makin seru itu. Mereka seperti lupa diri, makan kacang sambil menonton ke bawah, persis seperti lagak para penonton permainan sepak bola yang ramai. Mereka seperti dua orang anak nakal yang sudah sejak kecil menjadi kawan bermain.
Memang pertandingan itu makin seru. Tepat seperti yang dikatakan pemuda itu, gerakan pengemis baju butut yang memegang tongkat amat lincah, tubuhnya seringkali mencelat ke atas dan menyambar-nyambar dengan tongkatnya. Pengemis botak yang berbaju bersih, agaknya kewalahan dan terdesak sehingga ia hanya mampu mengelak dan menangkis, sukar untuk dapat membalas. Namun harus diakui bahwa pertahanan pedangnya cukup kuat sehingga semua terjangan Si Pengemis kurus kering selalu tidak mengenai sasaran. Tiba-tiba pengemis baju kotor itu mengeluarkan seruan keras dan ilmu tongkatnya berubah, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin sempit sehingga mengurung tubuh lawannya.
"Hah, mampus sekarang jagomu!" kata Kwi Lan.
"Heh,belum tentu! Lihat saja....jawab Si Pemuda.
"Lihat, nah....kena!" Berbareng dengan ucapan Kwi Lan yang tentu saja dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas dan bahkan dapat menduga pula perkembangan setiap gerakan, benar saja tongkat pengemis pakaian kotor itu dapat menusuk leher pengemis botak. Akan tetapi, ketika pengemis botak itu berusaha menangkis dengan sia-sia, tiba-tiba dari gagang pedangnya meluncur sinar hitam dan kakek pengemis kurus kering itupun berseru kesakitan dan roboh bersama-sama lawannya. Kalau lawannya dapat ia tusuk dengan tongkat, tepat mengenai leher, adalah dia sendiri menjadi korban tiga batang jarum beracun yang menyambar keluar dari gagang pedang ketika lawannya menekan alat rahasia digagang pedang itu. Tiga batang jarum berbisa memasuki perutnya!
Tiga orang pengemis baju kotor yang bertubuh kurus-kurus itu menjadi marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, empat orang lawannya yang tadinya juga menonton, dengan bersorak telah menyerbu dan menerjang mereka bertiga. Tiga orang pengemis ini cepat menggerakkan tongkat melawan pengeroyokan empat orang lawan itu. Akan tetapi ternyata kepandaian empat orang lawan, terutama yang berpakaian seperti jago silat, bermuka penuh brewok dengan alis tebal, tubuhnya tinggi besar, amatlah lihai. Si Brewok tinggi besar ini menggunakan sepasang pedang dan gerakannya laksana harimau mengamuk. Tiga orang pengemis baju kotor itu amat kewalahan dan terdesak sambil mundur. Namun mereka melawan terus dengan nekad sambil memaki-maki. Tidak lama
pertandingan itu karena tiba-tiba tiga orang pengemis kurus itu berteriak keras dan terjungkal roboh. Kiranya diam-diam
empat orang lawannya itu telah mempergunakan senjata rahasia dan memukul roboh lawannya dengan senjata rahasia ini. Dan agaknya senjata rahasia mereka itu semua memakai racun, buktinya begitu roboh, seperti halnya pengemis pertama, tiga orang kakek baju kotor inipun tak bergerak lagi, mati seketika!
"Hah-ha-ha, kau kalah bertaruh! Bukankah jembel-jembel busuk pesolek yang menang?" Pemuda di samping Kwi Lan bersorak. Kwi Lan cemberut, lalu berseru keras ke bawah, "Jembel-jembel pesolek dan kaki tangannya memang curang! Anak buah Bu-tek Siu-lam mana ada yang tidak curang dan pengecut?" Teringat peristiwa lima tahun yang lalu, sengaja Kwi Lan menyebut nama itu. Siapa kira, mendengar disebutnya nama ini, Si Pemuda di sampingnya terkejut dan berteriak keras lalu terjungkal ke bawah pohon! Kwi Lan terkejut dan baru ia tahu bahwa pada saat pemuda itu terjungkal, dari bawah menyambar beberapa macam senjata rahasia itu. Cepat ia menggunakan ujung lengan bajunya mengebut dan.... runtuhlah semua senjata rahasia itu. Dengan
muka merah Kwi Lan meloncat berdiri di atas cabang pohon. Ia melihat empat orang itu terbelalak kaget, akan tetapi seorang
diantara dua pengemis baju bersih, yang bertubuh pendek dan bermuka bengis, telah mencabut pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kembali menyambitkan senjata rahasia gelang besi yang melayang dan terputar-putar menyambar ke arah perut Kwi Lan.
Gadis ini memuncak kemarahannya. Ia meloncat turun sambil menyampok senjata gelang besi itu ke bawah dan setengah disengaja ia menyampok gelang besi itu ke arah Si Pemuda yang sudah bangun.
"Aduhh!" teriak Si Pemuda sambil berloncatan bangun dan mengelus-elus kepalanya, seakan-akan kepalanya terkena hantaman senjata rahasia itu. Akan tetapi jidatnya yang lebar dan kelimis itu tidak terluka, lecetpun tidak. Kwi Lan tidak pedulikan pemuda itu, lalu melayang ke arah pengemis baju bersih yang menyambut kedatangannya dengan sebuah tusukan pedang! Tampaknya serangan ini tak mungkin dielakkan lagi oleh Kwi Lan yang tubuhnya sedang melayang di udara dan memang gadis inipun tidak berusaha untuk mengelak. Tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka melakukan gerakan mendorong dan....pedang itu terkena dorongan hawa pukulan ini membalik kemudian secepat kilat Kwi Lan menyentil dengan telunjuknya ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang dan....pedang itu mencelat sambil membalik sehingga menusuk pangkal lengan pengemis pendek itu sendiri sehingga kulit dagingnya terbelah dan tampak tulang lengannya! Sementara itu, entah bagaimana pedangnya telah berpindah ke tangan Kwi Lan yang mempergunakan pedang rampasan untuk menodong!
"Ha-ha-ha-heh-heh!" Si Pemuda itu bersorak sambil mempermain-mainkan gelang besi yang tadi menyambarnya dengan tangan kanan. "Jembel tua bangka pesolek sekarang kehilangan aksinya. Makanya jangan sok aksi. Sudah tua bangka begitu, pura-pura jadi pengemis tapi pakaiannya bersih dan baru, biar kelihatan aksi dan tampan. Wah, ini namanya tua-tua keladi!"
Tentu saja pengemis pendek yang dirobohkan Kwi Lan itu melotot ke arah Si Pemuda dengan kemarahan meluap-luap, akan tetapi juga terheran-heran mengapa senjata rahasianya yang biasanya ampuh bahkan mengandung racun itu kini dipakai main-main oleh Si Pemuda ini. Pada saat itu, pengemis kedua yang tubuhnya kurus kecil seperti kucing kelaparan itu menudingkan telunjuknya kepada Kwi Lan sambil membentak, suaranya besar dan parau sungguh berlawanan dengan tubuhnya yang serba kecil kurus.
"Eh, iblis betina darimana berani menentang Hek-coa Kai-pang dan mengeluarkan ucapan menghina ciangbujin Bu-tek Siu-lam? Apakah sudah bosan hidup?"
Kwi Lan membalikkan tubuhnya, membelakangi pengemis pendek yang terluka untuk menghadapi lawan baru ini. Ia tersenyum manis ketika berkata, "Kalian ini jembel-jembel busuk, biarpun tidak sama dengan Hek-peng Kai-pang, kiranya sama busuknya, apalagi sama-sama di bawah pimpinan Bu-tek Siu-lam yang biarpun belum pernah kujumpai, tentu busuk pula!"
"Eh, perempuan keparat! Selama hidup kami tidak pernah bertemu denganmu dan tidak pernah bertentangan, mengapa hari ini kau datang-datang menghina dan memusuhi kami? Apakah kau berpihak kepada jembel-jembel butut itu?" bentak pula pengemis kurus kecil sambil menuding ke arah mayat empat orang pengemis baju butut. Kumis kecil di kanan kiri hidung itu bergerak-gerak akan tetapi tidak sama sehingga kelihatannya seperti sepasang sayap kupu-kupu yang hinggap di situ membuat Kwi Lan menjadi geli dan memperlebar senyumnya.
"Urusan kalian dengan jembel-jembel berpakaian butut sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Akan tetapi kebetulan sekali aku adalah orang yang paling tidak suka melihat perbuatan-perbuatan curang dan pengecut. Dalam pertandingan tadi, kalian merobohkan lawan mengandalkan senjata rahasia secara curang sekali. Kemudian kalian juga menyerangku dengan senjata rahasia. Apakah kau masih mau bilang di antara kita tidak ada pertentangan?" Berkata demikian, Kwi Lan melirik kepada dua orang lain yang tidak berpakaian pengemis, yaitu yang bermuka brewok dan seorang temannya lagi. Jelas mereka itu tidak segolongan dengan dua orang pengemis baju bersih ini dan merekapun tidak mencampuri perdebatan, hanya memandang dengan mata terbelalak heran dan kening berkerut.
"Bocah sombong! Merampas pedang dan melukai saudaraku masih belum merupakan dosa besar, akan tetapi menyebut dan menghina nama ciangbujin kami...."
Kwi Lan memegang ujung pedang dengan tangan kirinya dan sekali tekuk, pedang rampasan itu patah menjadi dua dan ia buang keatas tanah. "Pedang sudah kupatahkan, kalau aku bunuh saudaramu itu dan kumaki Si Kepala Penjahat busuk Bu-tek Siu-lam, kau mau apa?"
"Iblis betina, rasakan tanganku!" Tiba-tiba pengemis kecil kurus itu sudah mencabut pedang dan menggerakkan pedangnya membacok, gerakannya selain cepat juga kuat sekali, jauh lebih kuat daripada gerakan pengemis yang sudah terluka tadi. Pada saat yang sama, ketika Kwi Lan memutar tubuhnya untuk menghadapi serangan pengemis kecil kurus, pengemis kedua yang sudah terluka lengannya itu kini menggerakkan tangan kirinya menyambitkan sebuah gelang besi ke arah punggung gadis itu.
Apa yang terjadi selanjutnya sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata, akan tetapi tahu-tahu dua orang pengemis itu menjerit dan roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi dan hebatnya, tepat di dahi mereka tampak luka berlubang ditembusi gelang besi beracun! Kiranya ketika tadi diserang pedang pengemis kurus, Kwi Lan juga tahu bahwa dari belakang ia diserang dengan senjata rahasia maka secepat kilat ia Berkelebat kedepan, menangkap tangan yang berpedang dari samping lalu membetot tubuh itu dipakai menangkis gelang besi yang menyambar punggungnya sehingga senjata rahasia itu tepat menyambar dahi pengemis kurus. Adapun Si Pengemis pendek yang melepas senjata rahasia secara curang itu, sebelum sempat mengelak, telah "dimakan" senjata rahasianya sendiri yang dilemparkan oleh pemuda teman Kwi Lan dengan gerakan sembarangan namun yang membuat senjata itu menyambar cepat sekali dan masuk ke dalam dahi pemiliknya.
Kini tinggal dua orang yang bukan pengemis, teman-teman dari pengemis baju bersih, berdiri memandang dengan mata terbelalak kaget. Mereka berdua mengerti bahwa dua orang muda itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Orang pertama yang mukanya penuh brewok segera melangkah maju dan menjura sambil mengangkat kedua tangan kedada dan berkata, "Kepandaian Ji-wi (Tuan Berdua) sungguh hebat dan membuat kami merasa kagum sekali!"
Kwi Lan hanya tersenyum mengejek, akan tetapi pemuda itu tertawa-tawa tanpa membalas penghormatan orang."Heh-heh, kulihat kalian berdua bukan pengemis. Tapi tadi membantu dalam pertandingan antar pengemis! Apakah sekarang hendak menuntut bela atas kematian dua orang sahabatmu ini?"
Si Brewok menggeleng-geleng kepalanya. "Kami tidak tersangkut dalam urusan antara mereka dan Ji-wi, dan telah saya lihat betapa mereka itu mencari mati sendiri dengan keberanian mereka melawan dan memandang rendah Ji-wi. Sungguhpun menghadapi empat orang anggauta Khong-sim Kai-pang pengemis baju butut tadi kami merupakan sekutu mereka, namun urusan terhadap Ji-wi kami tidak ikut campur."
"Menggerakkan lidah memang amat mudah!" Kwi Lan berkata mengejek."Kau bilang tidak ikut campur, akan tetapi siapa tadi yang ikut menyerangku dengan senjata rahasia ketika aku berada di atas pohon itu?"
Wajah Si Brewok menjadi merah. Memang tadi dia ikut menyerang Kwi Lan dengan senjata rahasianya yang berbentuk peluru bintang. Ia menjura kepada gadis itu dan berkata, "Harap Nona maafkan, tadi saya menyangka Nona adalah kawan pengemis Khong-sim Kai-pang."
"Tidak peduli apa yang kau sangka. Hayo serang aku lagi dengan senjata rahasiamu!" bentak Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Berubah muka Si Brewok. "Saya....saya mana berani?"
"Berani atau tidak masa bodoh, kauharus! Kalau membangkang, jangan bilang aku keterlaluan!" Suara ini mengandung penuh ancaman sehingga muka yang penuh brewok itu menjadi pucat. Ia berdiri saling pandang dengan kawannya. Kawannya itu agaknya lebih berani daripada Si Brewok, matanya yang agak menjuling itu dipelototkan ke arah Kwi Lan dan ia berseru, "Nona, engkau sungguh keterlaluan! Kami adalah orang-orang Thian-liong-pang, bukan orang-orang sembarangan! Kalau Suhengku ini berlaku mengalah kepadamu, adalah karena melihat engkau masih muda, masih setengah kanak-kanak. Setelah Ouw-suheng mengalah, mengapa engkau malah mendesaknya? Sekali dia turun tangan, engkau akan celaka, dan hal itu akan sayang sekali, melihat engkau begini muda dan cantik!"
"Sute,diam....!"Si Brewok menegur adik seperguruannya. Kwi Lan marah sekali, akan tetapi tak seorangpun tahu akan hal ini karena senyumnya makin manis. "Ah, begitukah? Jadi kalian ini orang-orang Thian-liong-pang yang lihai? Kebetulan sekali, lekas kalian berdua menyerangku dengan senjata-senjata rahasia kalian!"
Si Brewok ragu-ragu, akan tetapi Si Mata Juling berkata, "suheng, dia yang minta dihajar, tunggu apa lagi?" Sambil berkata demikian Si Juling mengeluarkan dua buah senjata rahasianya, yaitu peluru bintang. Senjata rahasia ini terbuat daripada baja, ujungnya runcing-runcing dan karena bentuknya bulat seperti peluru, maka dapat disambitkan dengan keras. Melihat ini, Si Brewok yang didesak-desak juga mengeluarkan senjata rahasia yang sama, akan tetapi hanya sebuah.
"Hayo lekas serang, tunggu apa lagi?"Kwi Lan berseru, berdiri dengan sikap seenaknya, bahkan sengaja ia miringkan tubuh dan menoleh membelakangi dua orang itu. Selagi Si Brewok ragu-ragu dan adik seperguruannya yang marah itu menanti gerakan kakaknya, terdengar pemuda itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Aku mendengar nama besar Thian-liong-pang sebagai perkumpulan yang disegani dan ditakuti, yang mempunyai cabang di seluruh negeri, yang dipimpin oleh orang-orang sakti. Akan tetapi ternyata kini orang-orangnya hanya pengecut-pengecut yang suka menyerang seorang gadis dengan curang...."
"Eh, manusia berandalan! Diam kau! Ini bukan urusanmu!" Kwi Lan membentak dan melotot kepada pemuda itu. Si Pemuda masih tertawa-tawa, akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak dan wajahnya memperlihatkan sikap kaget ketika pemuda itu melihat betapa dua orang itu menggunakan kesempatan selagi Kwi Lan menoleh dan bicara kepadanya untuk menyerang dengan senjata rahasia mereka. Pemuda itu menjadi pucat karena maklum betapa hebatnya serangan itu dan betapa ia sendiri yang berdiri jauh tidak sempat mencegah serangan ini. Akan tetapi wajah yang kaget itu berubah girang dan sinar matanya menyorotkan kekaguman
ketika ia mendengar pekik kesakitan kedua orang anggauta Thian-liong-pang itu. Si Mata Juling roboh dan tewas seketika karena pelipis dan dadanya dihantam senjata rahasianya sendiri, sedangkan Si Brewok roboh kesakitan akan tetapi segera melompat bangun kembali karena hanya pahanya yang terluka oleh senjata rahasianya sendiri pula. Ia berdiri dengan mata terbelalak kagum dan heran. Memang luar biasa sekali caranya gadis itu menghadapi serangan senjata rahasia tadi. Biarpun sedang menengok kebelakang, namun Kwi Lan tahu akan serangan senjata rahasia. Bahkan tanpa menoleh lagi ia menggerakkan kedua tangannya, menyambar senjata rahasia Si Juling yang datang lebih dulu kearah pelipis dan dada, kemudian secepat kilat ia mengembalikan dua senjata itu ke arah pemiliknya, tepat mengenai pelipis dan dada! Adapun peluru bintang yang dilepas Si Brewok hanya mengarah pahanya, itupun tidak tepat di tengah-tengah, maka Kwi Lan juga me"retour" senjata rahasia itu tepat mengenai pinggir paha Si Brewok yang mendatangkan luka daging!
Sambil meringis menahan sakit, Si Brewok menjura kepada Kwi Lan. "Benar hebat dan mengagumkan. Saya mengaku kalah dan kematian Suteku adalah karena tidak hati-hatinya. Mohon tanya, siapakah nama Nona yang gagah?"
Kwi Lan sudah menggerakkan bibir hendak mengaku, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu berkata, "Eh, apakah matamu sudah buta? Terang Nona ini menggunakan nama Mutiara Hitam, engkau masih bertanya-tanya lagi?" Sambil berkata demikian, pemuda itu sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang dan hinggap didekat Kwi Lan seperti gerakan seekor burung ringannya. Si Brewok memandang kagum dan tersenyum mendengar kata-kata itu. Ia menduga bahwa gadis ini memakai nama julukan Mutiara Hitam karena gagang pedangnya terhias sebutir mutiara hitam yang besar. Ia lalu menjura kepada pemuda itu dan bertanya, "Terima kasih atas penjelasan Tuan Muda. Bolehkah saya mengetahui nama Kongcu?"
"Namanya Si Berandal, apa kalian belum tahu?" Suara ini keluar dari mulut Kwi Lan yang hendak membalas pemuda itu. Akan tetapi Si Berandal hanya tertawa, lalu berkata kepada anggauta Thian-liong-pang itu.
"Kau ini manusia tidak tahu diri berani main-main di depan Mutiara Hitam dan Berandal, sungguh sudah bosan hidup!"
"Mohon Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memaafkan, karena tidak mengenal maka kami telah berlaku kurang hormat. Harap Ji-wi suka memandang perkumpulan dan ketua kami memberi maaf kepada saya."
"Kalau kami tidak memaafkan, apa kau kira akan masih tinggal hidup?" Si Berandal bersombong. "Hayo ceritakan siapa engkau dan apa urusan Thian-liong-pang dengan pengemis-pengemis itu serta mengapa pula terjadi pertandingan dengan pengemis-pengemis Khong-sim Kaipang? Dan mengapa pula nama Bu-tek Siu-lam tadi kudengar disebut Ciangbujin oleh pengemis pendek itu?"
"Saya bernama Ouw Kiu seperti semua pimpinan dan petugas Thian-liong-pang saya taat dan tunduk kepada perintah atasan. Saya dan Sute Ouw Lun itu mendapat tugas untuk menyampaikan undangan kepada para pimpinan Hek-coa Kai-pang, untuk menghadiri pengangkatan ketua baru Thian-liong-pang pertengahan bulan depan. Ketika hendak kembali ke Yen-an, di sini kami bertemu dengan tiga orang anggauta Hek-coa Kai-pang yang berhadapan dengan empat orang Khong-sim Kai-pang. Tentu saja kami membantu Hek-coa Kai-pang dan salah mengira bahwa Ji-wi adalah teman-teman anggauta Khong-sim Kai-pang."
"Dan tentang Bu-tek Siu-lam?" pemuda itu mendesak. Ouw Kiu tidak menjawab, wajahnya pucat. "Ah, urusan begitu saja mengapa mesti banyak tanya lagi?" Kwi Lan mencela. "Si badut Bu-tek Siu-la m itu sudah jelas menjadi cukong dunia pengemis golongan hitam! Ingin aku bertemu dengan badut itu untuk memberi hajaran agar ia kapok dan tidak membiarkan anak buahnya bermain curang!"
Ouw Kiu makin pucat. "Saya....saya tidak mempunyai cukup harga untuk menyebut-nyebut nama besar Beliau, hanya saya mengerti bahwa Beliau merupakan seorang tokoh besar yang amat dihormati Thian-liong-pang. Suaranya agak gemetar dan matanya lirak-lirik ke kanan kiri penuh kekhawatiran.
"Sudah, pergilah dan bawa mayat temanmu. Mengingat Thian-liong-pang kami memaafkanmu dan bulan depan kalau tiada halangan, kami akan datang menonton keramaian di Yen-an."
Ouw Kiu menjura mengucapkan terima kasih, kemudian menyambar mayat sutenya dan pergi dari situ dengan langkah terpincang-pincang. Kwi Lan membalikkan tubuh terus lari pergi pula dari tempat itu. Akan tetapi belum jauh ia pergi, ia
mendengar suara orang berlari di belakangnya. Ketika melirik dan melihat bahwa yang mengikutinya adalah pemuda itu, Kwi
Lan lalu mengerahkan ginkangnya dan berlari makin cepat. Setelah lari agak jauh, ia melirik kebelakang. Kiranya pemuda
itu masih saja mengikuti di belakangnya, hanya terpisah tiga meter! Kwi Lan penasaran dan mengerahkan seluruh tenaganya, lari secepat terbang. Pemuda itupun mengerahkan tenaganya. Beberapa lama mereka berlari-larian cepat sampai puluhan li jauhnya. Akhirnya terdengar pemuda itu berkata dengan napas memburu.
"Waduh....,berat nih! Eh, Mutiara Hitam, apakah engkau takut padaku maka melarikan diri?" Kalau pemuda itu mengeluarkan ucapan lain, agaknya Kwi Lan tidak akan mempedulikannya dan akan berlari terus. Akan tetapi dikatakan takut merupakan pantangan besar baginya, maka cepat ia mengerem larinya, berhenti dengan tiba-tiba sehingga pemuda yang membalap dibelakangnya itu hampir saja menubruknya kalau tidak cepat-cepat membuang diri ke samping dan berjungkir balik dua kali. Gerakan pemuda ini amat lucu, akan tetapi juga indah dan membuktikan kegesitannya yang luar biasa. "Takut? Siapa bilang aku takut padamu?" Kwi Lan bertanya, memandang tajam dan mengangkat muka membusungkan dada, sikapnya menantang.
"Tentu saja aku yang bilang....!" Pemuda itu berhenti dan mengatur napasnya yang agak terengah-engah. "Wah,bisa putus napasku kalau diajak balapan lari gila-gilaan seperti tadi! Aku tidak bilang kau takut, aku tadi bertanya apakah engkau
takut kepadaku."
"Aku tidak takut! Apamu yang kutakuti?" Kwi Lan membentak.
"Kalau tidak takut mengapa lari seperti dikejar setan? Aku....aku mau bicara denganmu, aku ingin jalan bersama, kenapa kau melarikan diri?"
"Aku lari, atau jalan, atau tidur, bukan urusanmu. Aku tidak ada urusan denganmu, aku tidak ingin berjalan bersama, tidak
ingin bicara denganmu."
"Wah-wah-wah, kenapa begini galak? Sungguh tidak berbudi...."
"Aku tidak berhutang budi kepadamu! Kau mau apa?" Pemuda itu menyeringai dan senyumnya yang lebar itu lucu sekali, seperti senyum orang mengunyah garam, sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi geli.
"Kau memang tidak berhutang budi kepadaku. Akan tetapi engkau hutang kacang! Hayo menyangkallah kalau mampu! Bukankah kau berhutang kacang asin garing yang gurih dan wangi, tidak satu, tidak pula dua atau tiga, melainkan tiga genggam yang isinya banyak!"
"Hanya dua genggam!" bentak Kwi Lan.
"Dua genggam banyak juga namanya. Lebih dua puluh! Hayo kau bayar kembali hutangmu itu, baru diantara kita tidak ada sangkut paut lagi!"
Kwi Lan tertegun dan melengak. Ia menoleh kekanan kekiri, tak berdaya. Darimana ia bisa mendapatkan kacang asin di dalam hutan itu? Dan yang sudah masuk perutnya pun tidak mungkin dikeluarkan lagi. Betapapun juga, ia kalah benar.
Memang tak dapat ia menyangkal bahwa ia tadi telah makan dua genggam kacang asin pemuda itu. Baru sekarang Kwi Lan merasa kalah debat. Biasanya, menghadapi suhengnya, Suma Kiat ia selalu menang berdebat sampai suhengnya kewalahan. Akan tetapi sekarang ia benar-benar bingung, tak tahu harus melawan secara bagaimana. Akhirnya Kwi Lan menggerakkan kepala keras-keras untuk menyingkap gumpalan rambut yang jatuh kemukanya, sebuah kebiasaan atau gerakan yang biasa ia lakukan tanpa sadar apabila ia merasa malu, bingung atau marah.
"Kau memang manusia berandalan, ugal-ugalan, tidak tahu malu menyebut-nyebut urusan dua genggam kacang asin yang tidak ada harganya! Cih!"
"Kau yang sombong, galak, tidak menghargai orang. Diajak jalan bersama dan bicara saja tidak sudi, seperti tidak ingat saja betapa tadi di atas pohon ikut duduk dan makan kacang...." Pemuda itu merengut.
"Sudahlah! Betul aku telah berhutang dua genggam kacang padamu. Nah, sekarang apa yang hendak kau bicarakan." Wajah pemuda itu sekaligus berseri kembali seperti biasa, sepasang matanya bersinar-sinar penuh keriangan. Memang wajah yang amat tampan dan melihat wajah ini, sukarlah bagi Kwi Lan untuk mempertahankan kemendongkolan hatinya. Wajah itu amat segar dan riang, tidak hanya mata dan bibir yang selalu membayangkan senyum gembira, bahkan alis yang tebal itu bergerak-gerak lucu, bulu mata ikut bergetar seperti menari-nari. Wajah yang tampan, wajah yang lucu dan gembira! Seperti awan tipis disapu angin, lenyaplah rasa panas di hati Kwi Lan dan gadis ini lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol, membereskan rambutnya dan mengusap peluh di leher dengan ujung lengan baju.
"Gerah, ya? Memang hawanya panas, apalagi kalau dipakai lari-lari cepat, bisa mandi keringat kita." Tangannya merogoh dalam baju dan ketika ditarik keluar, ternyata ia telah memegang sebuah guci panjang berisi air jernih dan dingin. Gerakannya cepat dan kelihatannya seperti seorang pelawak main sulap saja. Dibukanya tutup guci dan dengan tersenyum ia berkata,
"Isinya air, jernih dan bersih. Guci ini bukan sembarang guci, melainkan guci wasiat dan air yang disimpan di sini, makin lama tidak makin kotor malah makin jernih, berbau harum dan timbul rasa manis, juga menjadi dingin segar. Minumlah, Nona." Ia menyodorkan guci itu kepada Kwi Lan. Air yang tampak jernih berkilau, muka yang tampak riang dan menawarkan dengan penuh kejujuran, hawa yang panas, semua ini membuat Kwi Lan bernafsu sekali untuk meneguk air segar itu. Tanpa berkata apa-apa ia menerima guci, mendekatkan bibir guci yang halus kepada bibirnya sendiri yang lebih halus lagi, akan tetapi pada saat itu pandang mata mereka bentrok dan cepat-cepat Kwi Lan menurunkan lagi guci air itu kebawah, tidak jadi minum.
"Kenapa....?" Kwi Lan mengerling dengan pandang mata tajam. "Apakah air ini juga akan dianggap hutang? Lebih baik mati kehausan daripada minum air hutangan!" Ia menyerahkan kembali guci itu kepada pemiliknya. Pemuda itu tertawa bergelak, memperlihatkan deretan gigi yang terpelihara rapi dan putih. "Apakah benar-benar engkau begini pemarah dan galak? Ah, aku tidak percaya, kau hanya pura-pura bersikap galak saja!"
"Siapa tidak akan marah kalau kau begini ugal-ugalan? Dua genggam kacang asin saja digugat-gugat, dijadikan alasan...."
Pemuda itu tiba-tiba berdiri dan menjura sampai jidatnya hampir menyentuh tanah, seperti seorang melakukan penghormatan kepada ratu. "Hamba mohon beribu ampun atas segala kesalahan hamba terhadap tuan putri yang mulia...."
"Heiii! Bagaimana engkau tahu bahwa....?" Kwi Lan tiba-tiba menghentikan kata-katanya. Sikap pemuda ugal-ugalan yang melawak itu sejenak mengingatkan ia akan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan sehingga timbul dugaan dan kecurigaannya bahwa pemuda aneh ini tahu bahwa dia anak ratu. Akan tetapi melihat wajah pemuda itu berbalik menjadi kaget dan heran, ia menahan kata-katanya, kemudian melanjutkan.
"Sudahlah! Jangan kau main-main seperti badut. Sebetulnya engkau mau apakah? Mengapa mengejarku dan hendak bicara apa dengan aku?"
Pemuda itu menarik muka sungguh-sungguh, akan tetapi tetap saja mukanya yang kekanak-kanakan itu berseri ketika ia
menyodorkan guci airnya. "Harap nona suka minum dulu air ini agar percaya bahwa Nona tidak lagi marah kepadaku." Kwi Lan menerima guci itu dan meneguk isinya. Memang air yang amat dingin dan segar sehingga hilanglah hausnya, terasa amat puas dan nikmat. "Enak benar air ini," katanya memuji sambil mengembalikan guci. Pemuda itupun meneguk air, kemudian menutup guci dan menyimpannya kembali ke balik bajunya.
"Nona, terus terang saja, begitu bertemu denganmu, aku sudah menjadi sangat tertarik dan kagum. Gerakanmu jelas menunjukkan bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sikapmu terbuka dan tegas. Benar-benar hebat sekali. Setelah bertemu dengan seorang seperti Nona, bagaimana aku dapat berpisah begitu saja tanpa lebih dahulu bicara dan mengikat persahabatan? Apalagi melihat sikap Nona yang sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-liong-pang dan terutama sekali berani memaki seorang tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, benar-benar hebat sekali dan tentulah Nona seorang yang memiliki kedudukan sejajar dengan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw pada waktu ini."
"Ngawur dan ngaco! Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan macamnya Bu-tek Siu-lam dan aku merasa heran sekali mengapa Ouw Kiu si Brewok tadi kelihatan begitu ketakutan ketika nama Bu-tek Siu-lam disebut-sebut."
"Apalagi dia, aku sendiripun hampir terjengkang karena kaget mendengar engkau berani memaki-maki Bu-tek Siu-lam!"
"Huh, orang macam apakah Bu-tek Siu-lam itu? Aku hanya pernah mendengar dari mulut pengemis-pengemis Hek-peng Kai-pang bahwa dia yang melindungi semua pengemis golongan hitam yang katanya datang dari dunia barat. Perlu apa takut terhadap badut macam dia?"
"Aihh....aihh...., agaknya Nona belum banyak tahu akan tokoh-tokoh dunia kang-ouw pada waktu ini! Sehingga nama besar Bu-tek Siu-lam pun belum dikenalnya betul. Nona, agaknya engkau merupakan seorang perantau yang baru, belum lama turun gunung...."
Kwi Lan merasa betapa pipinya panas. Hatinya juga panas karena rahasianya diketahui. Dengan lain kata-kata pemuda ini
hendak mengejeknya, mengatakan bahwa ia masih hijau, masih belum berpengalaman sehingga tidak mengenal tokoh-tokoh besar!
"Hemm, kalau engkau...., sudah banyak pengalaman, ya? Sudah puluhan tahun merantau?" Kwi Lan sengaja mengatakan puluhan tahun padahal usia pemuda itu paling banyak sama dengan usianya sendiri, sembilan belas tahun!
Akan tetapi pemuda itu tidak merasakan ejekan ini agaknya. Wajahnya serius ketika ia menjawab, "Semenjak lahir aku sudah merantau, Nona."
"Dan aku...., sebelum lahir sudah merantau!" potong Kwi Lan, matanya menyinarkan kemarahan, bibirnya tersenyum manis, senyum marah. Memang ciri khas gadis ini, makin marah ia, makin manis senyumnya!
Pemuda ini menatap wajahnya penuh selidik, tiba-tiba wajahnya yang serius itu kembali berseri seperti biasa. "Aih, kiranya Nona juga suka berkelakar. Mana bisa sebelum lahir sudah merantau!"
"Mengapa tidak bisa kalau kau pun sudah merantau sejak lahir? Tentu kau akan mendongeng bahwa begitu lahir engkau sudah pandai tertawa, pandai berlari cepat, dan pandai.... membual?"
"Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali!" Pemuda itu terpingkal-pingkal dan mau tak mau Kwi Lan tertawa juga membayangkan betapa begitu lahir pemuda itu pandai membual.
"Aku tidak membohong, Nona. Tentu saja bukan aku yang melakukan perantauan seorang diri, melainkan Ayahku. Aku dibawa merantau dan sejak itu tak pernah berhenti merantau. Akan tetapi sudahlah, tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Lebih baik kuceritakan kepadamu tentang tokoh itu. Bu-tek Siu-lam adalah seorang tokoh besar yang benar-benar sakti. Tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak ngeri mendengar nama ini sungguhpun baru beberapa tahun saja ia datang dari sebelah barat Pegunungan Himalaya. Selain sakti, dia pun amat aneh sehingga tak seorang pun dapat menduga apakah dia itu laki-laki tulen ataukah perempuan."
"Hee....? Mengapa begitu?" Kwi Lan mulai tertarik. Karena semenjak kecil ia terkurung di istana bawah tanah kemudian di dalam hutan yang tak pernah ada yang berani memasukinya, tentu saja pengetahuannya tentang dunia kang-ouw amat sempit. Apalagi tentang tokoh-tokoh yang demikian anehnya. Adapun pemuda itu ketika melihat sikap Kwi Lan mulai tertarik, menjadi gembira untuk bercerita.
"Dia berperawakan laki-laki tinggi tegap dan gagah, wajahnya tampan sekali, rambutnya terurai dan berombak indah. Akan tetapi lagak dan bicaranya seperti seorang perempuan yang amat genit, dan senjatanya adalah sebuah gunting besar yang amat mengerikan. Melihat gerak-gerik dan lagaknya, dia itu seratus prosen wanita, akan tetapi melihat bentuk tubuh dan wajahnya, dia adalah laki-laki. Hal ini saja sudah menyeramkan, apalagi menyaksikan kekejamannya, membikin bulu roma berdiri. Ia pernah membasmi pengemis golongan putih dalam sebuah rapat besar sebanyak dua ratus orang lebih yang digunting-gunting dan dipotong-potong tubuhnya! Sejak itu ia menjadi datuknya pengemis golongan hitam. Banyak sudah tokoh golongan putih dan para pendekar hendak membasminya, namun mereka itu malah menjadi korban. Karena kesaktiannya inilah maka tak seorangpun berani lagi mengganggunya dan ia merupakan tokoh besar yang dicalonkan menjadi pemimpin dunia hitam jika ada pemilihan lagi di samping tokoh-tokoh yang lain."
Kwi Lan, mengerutkan keningnya. Tak pernah disangkanya ada seorang yang sedemikian hebatnya. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini hanya bibinya, Kam Sian Eng, saja yang paling lihai. Siapa tahu, pemuda ini sendiri sudah lihai sungguhpun ia belum mencobanya, akan tetapi pemuda ini amat jerih ketika menceritakan kesaktian Bu-tek Siu-lam!
"Hemm, betapapun juga, aku tidak takut kepadanya!" kata Kwi Lan. "Bagaimana dengan Thian-liong-pang? Apakah ketuanya juga sehebat laki-laki genit itu?"
Pemuda itu tertawa.
"Ihh, mengapa kau tertawa?"
"Mendengar kau menyebut Bu-tek Siu-lam laki-laki genit!"
"Kau sendiri yang bilang dia genit."
"Mana bisa laki-laki genit? Laki-laki tidak ada yang genit, yang genit hanyalah perempuan."
"Belum tentu semua perempuan genit! Laki-laki yang genit banyak, di antaranya.... engkau inilah!"
"Wah, wah, menyerang lagi. Kau benar-benar pemarah, Nona. Maaflah. Yang kumaksudkan adalah bahwa Bu-tek Siulam itu bersikap genit seperti wanita, jadi dia itu laki-laki bukan wanita bukan. Dia seorang banci."
"Banci? Apa banci....?"
"Banci itu wadam!"
"Wadam? Apa itu?"
"Wadam itu wandu."
"Wandu? Aku tidak mengerti."
Pemuda itu menarik napas panjang, lalu menggeleng kepala. "Tidak banyak pengertianmu, Nona. Banci, wadam, atau wandu itu adalah orang yang bukan laki-laki bukan pula wanita, akan tetapi juga bisa laki-laki bisa disebut wanita."
Pusing kepala Kwi Lan mendengar ini. Keningnya berkerut, matanya bersinar marah. "Berandal, kalau kau mempermainkan aku, hemm.... aku takkan sudi mendengarmu lag!"
"Eh, eh, nanti dulu! Aku tidak main-main, Nona. Banci adalah seorang yang bertubuh laki-laki akan tetapi berwatak perempuan, atau sebaliknya. Memang sukar untuk menerangkan, karena aku sendiri tidak tahu persis mengapa bisa begitu, akan tetapi memang kenyataannya demikian. Kau tadi bertanya tentang Thian-liong-pang? Ketuanya juga seorang yang terkenal memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan itu saja yang membuat Thian-liong-pang disegani, melainkan banyaknya anggauta dan banyaknya para pimpinan yang tinggi-tinggi ilmunya. Kabarnya tidak kurang dari dua belas orang murid kepala Thian-liong-pang amat lihai dan jika tenaga mereka digabungkan menjadi satu, agaknya Bu-tek Siu-lam sendiri tidak berani main-main dengan mereka. Pusatnya di Yen-an dan entah apa yang dimaksudkan Si Brewok tadi dengan upacara pengangkatan ketua baru. Mungkin ketua lama mengundurkan diri, diganti muridnya yang paling besar. Peristiwa itu tentu amat menarik dan
dikunjungi semua tokoh dunia hitam, karena itu aku ingin sekali mengunjungi ke Yen-an bersama...., Nona, kalau Nona.... berani!"
"Tentu saja aku berani!" Kwi Lan meloncat sambil meraba gagang pedangnya.
"Jadi Nona mau....?" Pemuda itu tersenyum lebar dan menjadi girang sekali. Kwi Lan sadar lalu duduk kembali, "Soal mau atau tidak, nanti, dulu! Akan tetapi pokoknya aku berani! Sekarang ceritakan, selain laki-laki genit...." Ia berhenti dan melotot, akan tetapi pemuda itu tidak tertawa sekarang, "selain dia, siapa lagi tokoh besar di dunia ini sekarang?"
"Tokoh-tokoh dunia hitam banyak sekali, akan tetapi mereka itu adalah tokoh-tokoh yang dahulu berada di bawah Thian-te Liok-koai yang sekarang sudah lenyap dari permukaan bumi. Adapun tokoh-tokoh yang sekiranya dapat disejajarkan Bu-tek Siu-lam, sedikit sekali. Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh iblis yang berjuluk Thai-lek Kauw-ong, seorang hwesio tua yang kabarnya memiliki kesaktian seperti iblis. Ada pula yang berjuluk Sin-cam Khoa-ong yang suka membunuh orang tanpa sebab dan tanpa berkedip. Orang keempat adalah Siauw-bin Lo-mo. Kabarnya empat tokoh itulah yang kini merajai empat penjuru dunia hitam. Akan tetapi aku sendiri belum pernah bertemu dengan seorang di antara mereka."
"Hemm, kalau mereka itu jahat, perlu apa memiliki kepandaian hebat? Apakah tidak ada yang menentang dan mengalahkan mereka?"
"Aku tidak tahu jelas, hanya kabarnya sudah terlalu banyak orang gagah dan pendekar yang roboh di tangan mereka."
"Orang gagah? Pendekar? Orang macam apa mereka ini?" Pemuda itu membelalakkan matanya. Kalau tadi mendengar gadis ini tidak tahu apa-apa tentang dunia hitam, ia menyangka gadis ini tentu murid tokoh sakti dunia putih yang baru saja turun gunung. Akan tetapi mendengar pertanyaan ini ia benar-benar heran sekali. Kalau tidak mengerti tentang dunia hitam dan dunia putih, habis gadis ini termasuk golongon apa?
"Bagaimana Nona tidak mengerti akan hal ini? Pendekar adalah orang-orang yang menentang kejahatan, orang-orang dari dunia putih yang selalu berusaha menumpas dunia hitam. Aku percaya bahwa guru Nona sendiri tentu seorang tokoh besar, seorang locianpwe dari dunia putih yang amat mulia."
Kwi Lan menggeleng kepala. "Guruku bukan dari dunia putih, bukan pula dunia hitam. Entah dunia apa aku tidak tahu! Coba katakan, siapa tokoh-tokoh paling hebat di dunia putih?"
Pemuda itu masih belum hilang keheranannya, akan tetapi ia menahan perasaan ini dan menjawab, "Juga di antara pendekar-pendekar sakti banyak sekali yang merupakan tokoh puncak, akan tetapi aku yang muda hanya pernah mendengar beberapa orang saja. Pertama-tama adalah Suling Emas...."
"Suling Emas? Aku tanya nama orangnya, bukan sulingnya. Dari emas, perak, atau kuningan siapa peduli?"
"Suling Emas adalah nama julukannya. Nama aslinya, seperti tokoh-tokoh besar kang-ouw lainnya, siapa yang tahu?"
"Siapakah Suling Emas itu? Orang macam apa dan bagaimana kelihaiannya?"
Pemuda itu mengangkat jempol tangannya ke atas. "Aku sendiri belum mempunyai keberuntungan berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi namanya sudah seringkali kudengar dari para Locianpwe. Ilmu kepandaiannya setinggi langit, bahkan kabarnya Thian Te Liok-koai, enam datuk persilatan, musnah oleh sepak terjang Suling Emas. Sulingnya yang terbuat dari emas itu mengalahkan segala macam senjata yang ada di dunia ini."
"Dimana dia tinggal?"
"Tak seorang pun tahu. Seperti juga empat tokoh dunia hitam, banyak tokoh dunia putih terdiri dari orang-orang aneh yang sukar diketahui tempatnya, akan tetapi yang sewaktu-waktu dapat muncul di tempat-tempat yang sekali tidak terduga-duga. Aku tidak akan merasa heran kalau saat ini di sekeliling kita terdapat tokoh dunia hitam maupun dunia putih. Sepak terjang mereka penuh rahasia."
Mendengar ini, tanpa disadarinya lagi, Kwi Lan melirik kekanan-kiri, akan tetapi keadaan di sekeliling tempat itu sunyi.
"Lalu siapa lagi selain Suling Emas?"
"Di antara para pengemis golongan putih menyebut-nyebut nama Yu Kang Tianglo adalah seorang tokoh pengemis yang amat lihai ilmu silatnya, senjatanya hanya sebatang tongkat rotan kecil namun keampuhannya tidak kalah oleh pedang pusaka yang manapun juga. Tentu saja dua orang itu hanya dua diantara banyak lagi. Apalagi kalau kita ingat kepada partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai yang tentu mempunyai banyak orang pandai. Belum lagi di selatan kabarnya Agama Beng-kauw di Negara Nan-co dipimpin oleh orang-orang yang amat sakti. Akan tetapi di antara segala orang sakti, baik di dunia putih maupun hitam, agaknya tidak akan dapat menyamai tingkat kakek yang mulia dan terhormat Bu Kek Siansu...."
Berkata sampai di sini, pemuda itu membungkukkan tubuhnya seakan-akan hendak memberi hormat kepada nama yang disebutnya tadi.
"Bu Kek Siansu? Siapa dia....?" Kwi Lan makin tertarik. Kalau di antara semua tokoh yang hebat-hebat tadi tidak dapat menyamai tingkat kakek ini, tentu kakek ini benar-benar seorang manusia yang amat luar biasa.
"Maaf, Nona. Aku tidak berani sembarangan menyebut-nyebut namanya yang terhormat. Akan tetapi aku mempunyai lagu yang menurut Suhu adalah ciptaan Beliau. Kau suka mendengar lagu tiupan suling?" Sambil berkata demikian, pemuda itu merogoh ke belakang baju dan kembali seperti orang main sulap, ia telah mengeluarkan sebatang suling bambu. Diam-diam Kwi Lan terheran dan menduga-duga, apa saja kiranya isi dalam baju pemuda tukang sulap ini. Kemudian melihat suling itu, ia bertanya,
"Jangan-jangan engkau sendiri yang berjuluk Suling Emas!" Pemuda itu tertawa. "Ah, Nona jangan main-main. Apakah aku pantas menjadi seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih? Dan pula, sulingku ini bambu biasa, bambu kuning, sama sekali bukan emas, biarpun sama kuningnya. Kaudengarlah baik-baik, karena lagu ini bukan lagu sembarangan lagu melainkan lagu agung ciptaan manusia dewa."
Pemuda itu lalu meniup sulingnya dan terdengar lengking suara suling yang halus merdu, kemudian suara itu membentuk irama lagu yang amat aneh. Mula-mula amat sukar ditangkap iramanya, sukar dirasakan kenikmatannya, akan tetapi makin lama suara suling itu makin menggulung semua pikiran dan perasaan Kwi Lan sehingga gadis ini duduk termenung seperti orang tak sadar, terbuai suara itu yang mendatangkan rasa tenang dan damai dalam hatinya. Lenyaplah segala kehendak, segala keinginan, segala perasaan, seperti keadaan orang tidur dalam sadar! Setelah pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya, gema suara tadi
masih berdengung dan mempesona jiwa Kwi Lan sehingga ia masih diam terlongong. Akhirnya ia sadar dan menarik napas panjang, kemudian memandang dengan kagum kepada pemuda itu.
"Aiih, kiranya engkau amat pandai meniup suling. Hebat!" Wajah pemuda itu makin berseri gembira. Ia menjura dan berkata, "Bukan karena aku pandai meniup suling Nona, melainkan karena lagu itu memang hebat, sekaligus menembus jantung menguasai jiwa. Dibandingkan dengan Suling Emas, kepandaianku meniup suling tidak ada sepersepuluhnya dan lagi.... kabarnya Suling Emas memang menerima ilmu-ilmunya dari Bu Kek Siansu yang terhormat."
Kwi Lan makin kagum dan terheran-heran. Timbul keinginan hatinya untuk bertemu dengan Suling Emas, walaupun hanya untuk mendengar tiupan sulingnya yang sepuluh kali lebih hebat daripada tiupan suling pemuda ini. "Wah, alangkah goblok!" Pemuda itu yang sudah menyimpan sulingnya kembali, meloncat bangun sambil menampar kepalanya. Kwi Lan ikut terkejut dan ikut meloncat bangun.
"Ada apa lagi?"
Pemuda itu tertawa. "Alangkah goblok aku. Lihat, kita bicara sudah setengah hari, banyak nama tokoh-tokoh dunia hitam dan putih sudah kuperkenalkan, malah aku sudah meniup suling untukmu dan kau sudah menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Akan tetapi, kita masih belum saling mengenal nama! Padahal aku merasa seakan-akan sudah mengenal Nona selama bertahun-tahun, seolah-olah kita sudah saling bersahabat lama sekali. Bolehkah aku mengetahui nama besar Nona yang mulia?"
Kwi Lan tersenyum. Terhadap seorang pemuda seperti ini, tak mungkin ia dapat membencinya. Pemuda ini berandalan memang, aneh pula, akan tetapi tidak terbayang watak kurang ajar baik dalam kata-kata maupun dalam pandang mata kepadanya. Ilmu silatnya agaknya tinggi, banyak pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, budinya baik dan masih ditambah pandai bersuling lagi!
"Mengapa masih bertanya lagi? Bukankah namaku Mutiara Hitam dan engkau Setan Berandalan?" Pemuda itu tertawa geli kemudian berkata sungguh-sungguh, "Biarpun kita bukan orang lemah, namun kita belumlah seperti kakek-kakek dan nenek-nenek yang suka
memakai nama julukan dan menyembunyikan nama sendiri! Nona yang baik, sudilah memperkenalkan nama besar dan she (nama keturunan) yang terhormat."
"Kau sendiri siapa? Kau yang ingin berkenalan, seharusnya kau yang lebih dulu memperkenalkan nama." Pemuda itu mengangguk-angguk. "Nona benar. Maafkan aku yang pelupa. Nah, namaku Hauw Lam, she Tang. Tang Hauw Lam, nama yang bagus, sesuai dengan orangnya, bukan?" Sambil berkata demikian, sengaja pemuda itu pasang aksi menggoyang-goyangkan kedua pundak. Segala hal dilakukan sambil melucu. Akan tetapi kali ini Kwi Lan tidak merasa lucu, melainkan kaget bukan main. Kalau saja ia tidak memiliki batin yang kuat, tentu ia akan kelihatan kaget sekali pada mukanya. Namun muka yang cantik jelita itu tenang saja, hanya jantungnya yang berdebar-debar keras. Jadi inikah putera Bi Li? Putera Tang Sun dan Phang Bi Li yang disangka lenyap setelah gurunya, ketua kelenteng di Kim-liong-san, meninggal dunia? Inikah yang dicari-cari oleh Bi Li, bahkan yang telah ia janjikan kepada Bibi Bi Li untuk bantu mencari? Sungguh tidak disangka-sangka! Akan tetapi, betapapun juga ia merasa girang bahwa putera Bibi Bi Li yang amat sayang kepadanya itu ternyata adalah seorang yang berilmu tinggi,
yang berbudi baik seperti Ibunya, dan yang lucu seperti.... entah siapa yang menurunkan sifat lucu kepada pemuda ini. Akan tetapi, untuk sementara Kwi Lan tidak akan membuka rahasia ini.
"Aku sebatang kara," Hauw Lam melanjutkan, "dan Guruku yang terakhir adalah seorang kakek yang sakti dan aneh yang dahulu merupakan orang kedua setelah Bu Kek Siansu, seorang kakek yang hidup di dalam kuburan, tidak pernah keluar dari kuburan itu! Kakek itu sudah sangat tua, sukar ditaksir lagi berapa usianya, akan tetapi sifatnya ugal-ugalan dan seenaknya sendiri...."
"Seperti engkau!" Kwi Lan memotong. Hauw Lam tertawa dan mengangguk. "Ya, aku banyak meniru sifat-sifatnya itu, sifat yang amat baik. Manusia hidup satu kali di dunia, kalau tidak bergembira mau apa lagi? Keadaan baik diterima dengan gembira, akan menjadi lebih menyenangkan, sebaliknya keadaan buruk kalau diterima dengan gembira, akan terasa ringan! Aku hanya menerima petunjuk Beliau selama seratus hari, akan tetapi gemblengan selama tiga bulan itu begitu jauh lebih berharga daripada ajaran kuterima belasan tahun dari guru-guru yang lain."
"Siapa nama Gurumu yang aneh. itu?"
"Julukan Beliau adalah Bu-tek Lo-jin. Menurut Beliau memang aku berjodoh menjadi muridnya." Hauw Lam kemudian menuturkan pengalamannya menjadi murid kakek sakti itu yang didengarkan Kwi Lan penuh perhatian. Ketika Hauw Lam berusia lima tahun, setelah selama itu ia diajak merantau oleh Tang Sun, ayahnya, yang mencari ibunya, ia dititipkan oleh ayahnya kepada Gwat Kim Hosiang ketua kelenteng di Bukit Kim-liong-san. Karena ketika berpisah dari ayahnya ia baru berusia lima tahun, maka wajah ayahnya pun tidak begitu teringat olehnya. Apalagi ibunya meninggalkannya ketika ia berusia tiga bulan! Sepuluh tahun
lamanya ia tinggal di kelenteng Bukit Kim-liong-san, menjadi kacung kelenteng membantu pekerjaan para hwesio dan karena bakatnya memang baik sekali, ketua kelenteng itu, Gwat Kim Hosiang murid Go-bi-pai, telah menurunkan semua ilmunya kepada Hauw Lam. Ketika ia berusia lima belas tahun dan telah mewarisi ilmu kepandaian suhunya, ketua kelenteng itu meninggal dunia. Hauw Lam lalu meninggalkan kelenteng dan dan pergi merantau. Anak muda ini suka akan ilmu silat, maka dengan bekal pelajaran dari Gwat Kim Hosiang yang membuat ia mencapai dasar-dasar ilmu silat tinggi, ia dapat memperdalam ilmunya, Hauw Lam pandai merendah sehingga pandai ia mengambil hati beberapa tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga banyak pula ia menerima petunjuk. Pada suatu hari, perantauannya membawanya ke selatan. Ia telah berusia tujuh belas tahun dan ketika ia melewati sebuah hutan, keadaan yang sunyi membuatnya menjadi keisengan dan dikeluarkanlah sulingnya. Memang semenjak kecil ketika ia tinggal di kelenteng Kim-liong-san, seorang hwesio yang pandai menyuling mengajarnya menyuling dan Hauw Lam amat suka meniup suling. Kini ia berjalan perlahan sambil meniup sulingnya. Tiba-tiba, ketika melewati segundukan tanah ia roboh terguling! Hauw Lam kaget sekali, kedua kakinya adalah anggauta badan yang terlatih. Diserang lawan saja tidak mudah
terguling bagaimana sekarang bisa terguling tanpa sebab? Ia tadi merasa kakinya ada yang tarik dengan tenaga luar biasa.
Sambil meloncat bangun, ia memutar tubuh mempersiapkan kedua tangan untuk menangkis atau memukul dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak ada apa-apa di sekeliling tempat itu. Ia memandang ke bawah. Tanah di bawah kakinya menonjol, merupakan gundukan tanah seperti tempat kuburan orang. Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang. Setankah yang menggodanya tadi? Setan dalam kuburan yang marah karena kuburan itu tanpa sengaja terinjak olehnya? Hauw Lam boleh jadi gagah perkasa dan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang tangguh. Akan tetapi sekali ini, biarpun belum gelap, baru menjelang senja, berada seorang diri di hutan sunyi dan merasa diserang dari dalam kuburan, ia merasa ngeri karena seram dan takut.
Tanpa berpikir panjang lagi Hauw Lam menggerakkan kedua kaki hendak lari dari tempat yang menyeramkan itu, akan tetapi baru selangkah ia lari, kembali tubuhnya roboh terguling! Timbul kemarahan hatinya yang amat sangat, melebihi ketakutannya. Belum pernah selamanya ia diperhina seperti ini. Kali ini ia melompat bangun berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, memasang kuda-kuda, membusungkan dada melebarkan mata mengatasi rasa seram sambil memaki-maki.
"Setan atau iblis atau siluman dari mana berani mengganggu Siauw-ya (Tuan Muda) yang sedang lewat? Kalau manusia, jawablah, kalau siluman muncullah dan mari kita bertanding sepuluh ribu jurus melawan Tang Hauw Lam!"
Ia petentang-petenteng, memaki-maki sambil menantang-nantang sampai beberapa lama. Namun sunyi tiada jawaban, juga tiada suara maupun sesuatu. Hanya angin yang lewat menggerakkan daun-daun pohon menimbulkan suara bisik-bisik seperti banyak mahluk tak tampak bersendau gurau. Rasa seram kembali menyelubungi hati Hauw Lam, mengatasi kemarahannya dan semua bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tak salah lagi tentu setan, pikirnya. Ketika ia roboh yang kedua kalinya tadi terasa benar betapa ada hawa pukulan yang mengait kakinya. Kini ia memaki-maki lagi, akan tetapi diam-diam ia mengerahkan kedua kakinya. Ia ingin mengikat perhatian "siluman" yang mengganggunya dengan makiannya kemudian menggunakan saat "siluman" itu lengah, sekali meloncat jauh pergi dari situ. Setelah siap, sambil memaki-maki, mendadak ia menggerakkan kakinya meloncat jauh. Girang hatinya karena akalnya ini berhasil, buktinya ketika ia meloncat, tidak ada yang menjegal kakinya lagi. Akan tetapi, selagi ia merasa girang dan tubuhnya masih melayang di atas, tiba-tiba tubuhnya itu tanpa dapat Ia kuasai lagi, tertarik ke bawah dan terbanting di atas tanah! Ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia terbanting kembali di atas gundukan tanah, ia makin kaget dan berseru, "Celaka.... mati aku di tangan siluman....!"
"Heh-heh, siapa bilang mati itu celaka? Hidup sekedar hidup itulah yang celaka, apalagi hidup menghamba nafsu, lebih-lebih celaka!"
Hauw Lam terkejut sekali. Karena suara itu terdengar dari bawah, ia lalu memandang ke bawah dan.... hampir ia terjengkang roboh kembali ketika melihat sebuah kepala di atas tanah! Kepala yang berdiri sebatas leher di atas tanah yang rambutnya riap-riapan, mukanya penuh cambang bauk, matanya melotot. Dengan muka pucat Hauw Lam memandang kepala itu, mengucek-ucek kedua matanya, memandang lagi dan bergidik. Kedua kakinya terasa lemas dan lumpuh, seluruh tubuhnya menggigil.
Sambil menahan kedua kakinya agar tidak roboh saking lemas, Hauw Lam menghadap ke arah kepala di atas tanah lalu menjura dan berkata, suaranya gemetar, "Saya...., Tang Hauw Lam.... selamanya ingin menjadi orang baik-baik...., harap anda jangan mengganggu saya...."
Kepala itu bergerak, menengadah dan matanya yang melotot itu menatap tajam, kemudian terdengar suara dari balik kumis tebal yang menyembunyikan mulut, "Tidak mengganggu, hah? Kau menginjak-injak dan melangkahi kepalaku, masih bisa bilang tindak mengganggu?"
Melihat kepala itu bergerak-gerak dan mendengar mulut di balik kumis dapat bicara seperti manusia, mulai berangsur hilanglah rasa ngeri dan takut dari hati Hauw Lam. Ia memandang lebih teliti lagi. Kepala itu di atas tanah dan lehernya tersembul keluar dari tanah, agaknya tubuhnya terpendam. Kakek tua renta ini tadi bicara tentang "kepalaku", hal ini hanya berarti bahwa kakek itu masih mempunyai bagian tubuh yang lain. Andai kata ia seorang siluman dan tubuhnya hanya kepala itu saja, tentu tidak akan menyebut kepalaku. Pula, setelah kini ia memandang penuh perhatian, biarpun muka itu buruk penuh cambang bauk dan tertutup rambut yang riap-riapan, namun jelas bahwa itu kepala manusia, hanya entah bagaimana tubuh kakek itu terpendam ke dalam tanah kuburan dan entah bagaimana pula kepala itu tiba-tiba muncul sedangkan tadinya tidak ada apa-apa di situ. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu dan berkata. "Locianpwe (Orang Tua Gagah), mohon maaf sebanyaknya apabila boanpwe (saya yang bodoh) telah melakukan kesalahan terhadap Locianpwe karena sesungguhnya boanpwe tidak tahu bahwa Locianpwe berada di sini dan tidak sengaja...."
"Wah-wah, membekuk-bekuk lidahpun tidak ada gunanya! Masa begini caranya orang minta maaf? Mulutnya bilang minta maaf akan tetapi berlutut di sebelah atas kepalaku? Terlalu.... terlalu....!" Kepala itu mengomel panjang pendek.
Hauw Lam membelalakkan matanya. Kakek ini terlalu aneh dan agaknya seorang yang suka berkelakar. Ia sendiri adalah seorang pemuda yang jenaka dan selalu riang gembira maka biarpun ia merasa mendongkol atas sikap kakek yang tidak puas dengan permintaan maafnya itu, ia memutar otak mencari akal.
"Baiklah, Locianpwe. Saya akan mohon maaf dan memberi hormat sepatutnya. Setelah berkata demikian Hauw Lam lalu mencabut goloknya dan dengan senjata ini ia menggali tanah di depan kepala itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, cepat ia dapat menggali sampai dalam, dan ia lalu masuk ke dalam lubang itu sehingga kini yang tampak di luar tanah hanyalah kepalanya saja yang ia angguk-anggukkan sambil mengulangi permintaan maafnya.
Mulut kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bagus sekali. Kau cocok untuk menjadi muridku. Kau banyak akal, tidak mudah putus asa dan menghadapi segala rintangan hidup dengan wajah gembira. Hayo naik!" Begitu kakek ini mengeluarkan kata-kata tubuh Hauw Lam mencelat ke atas. Pemuda ini kaget sekali dan menggerakkan tenaga untuk mengatur keseimbangan tubuh. Ketika ia berhasil turun dengan berdiri di atas tanah, ternyata kakek itu sudah keluar dari dalam tanah, kini duduk bersila di atas tanah. Sekilas pandang, ia kaget dan heran. Kakek itu kepalanya besar dan seperti kepala orang dewasa, akan tetapi tubuhnya kecil pendek seperti tubuh seorang anak berusia belasan tahun! Maklum bahwa kakek yang tubuhnya aneh ini seorang sakti, ia lalu menjatuhkan diri kembali, berlutut di depan kakek itu.
"Demikianlah, Mutiara Hitam. Semenjak saat itu aku menjadi murid Bu-tek Lo-jin selama seratus hari. Aku tidak menerima ilmu silat baru dari Guruku yang aneh itu, akan tetapi semua ilmu silat yang pernah kupelajari ia lihat dan ia beri petunjuk. Semenjak itu, baru terbuka mataku akan ilmu yang sebenarnya." Hauw Lam mengakhiri ceritanya.
Kwi Lan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali akan semua pengalaman Hauw Lam dan diam-diam ia merasa girang bahwa putera bibinya ini benar-benar seorang pemuda yang perkasa dan juga kalau ia tak salah duga, berbudi baik. Perasaan hangat memenuhi dadanya ketika ia menatap wajah yang tampan dan jenaka itu. Ia sudah merasa tertarik sekali, seakan-akan ia berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri. Perasaan ini mungkin timbul karena semenjak kecilnya ia sudah menganggap Bibi Bi Li seperti ibu kandungnya. Betapa tidak? Bibi Bi Li yang memeliharanya semenjak ia belum mengerti apa-apa, yang menghiburnya kalau ia menangis, yang memberinya makan kalau ia lapar dan memberinya minum kalau ia haus. Dan pemuda ini adalah anak kandung Bibi Bi Li! Apa bedanya dengan kakaknya sendiri?
"Wah, kau melamunkan apa?" Tiba-tiba Kwi Lan terkejut oleh seruan ini, sampai ia tersentak kaget. Ia mendongkol juga akan watak pemuda ini yang ugal-ugalan dan kadang-kadang kasar. "Kenapa kau membentak-bentak orang?" Hauw Lam tertawa. "Siapa membentak-bentak? Aku hanya bertanya. Mengapa engkau melamun sedangkan aku sudah menanti sejak tadi memasang telinga setajam-tajamnya!"
"Menanti apa? Memasang telinga untuk apa?"
"Waduh, bagaimana ini? Sejak tadi sampai letih mulutku bercerita tentang riwayatku, tentang nama dan pengalamanku. Setelah aku selesai, kini kau bertanya aku menanti apa dan memasang telinga untuk apa? Tentu saja untuk mendengarkan ceritamu, tentang nama dan keadaanmu, tentang riwayat hidupmu!" jawab Hauw Lam, penasaran.
Mendengar ini, Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak ingin menyebut-nyebut tentang Bibi Kam Sian Eng, tidak mau pula bercerita tentang ibu kandungnya, Ratu Khitan yang belum pernah dilihatnya itu. Ia mau bercerita tentang Bi Li, akan tetapi merasa belum tiba saatnya. Maka ia lalu berkata, "Perlu apa banyak cerita? Namaku, engkau sudah tahu."
"Siapa?"
"Mutiara Hitam."
"Wah, kenapa kau suka sekali mempermainkan aku? Aku sudah menceritakan namaku sendiri, Tang Hauw Lam...."
"Tapi aku mengenalmu sebagal Berandal saja, cukup. Dan kau mengenalku sebagai Mutiara Hitam. Apa artinya nama? Nama apapun, juga apa bedanya? Yang penting mengenal orangnya dan melihat wataknya. Nama hanya kosong belaka!"
Hauw Lam menggaruk-garuk belakang telinganya dan mulutnya menggumam lirih, "Nama itu kosong belaka....! Eh, Mutiara Hitam, semuda ini kau sudah sepandai itu berfilsafat? Ataukah.... kau pernah patah hati?"
"Patah hati? Bagaimana hati bisa patah? Apakah hati itu seperti kayu kering.... macam ini?" Kwi Lan mematahkan sebatang ranting kayu. Melihat wajah gadis itu bersungguh-sungguh, mau tidak mau Hauw Lam tertawa.
"Sudahlah, tidak gampang mengajak kau bicara. Tidak mau menceritakan nama ya sudah, sedikitnya kau tuturkan riwayatmu yang tentu menarik sekali."
"Aku tidak punya riwayat. Lebih baik kaulanjutkan ceritamu. Kau tadi bilang bahwa kau sebatang kara. Mana Ayah dan Ibumu?"
Untuk sesaat wajah yang jenaka dan lucu itu diselimuti awan kedukaan. Akan tetapi hanya sebentar saja karena kembali wajah yang tampan itu menjadi cerah ketika menjawab, "Ibuku telah meninggal dunia dan...."
"Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?"
"Lho! Kenapa marah?" Hauw Lam bertanya mendengar suara pertanyaan yang membentak itu dan melihat wajah yang masam.
"Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?" Kwi Lan mengulang. Pemuda itu melongo. Dara yang cantik jelita seperti bidadari, yang gagah perkasa, akan tetapi yang anehnya bukan main, memiliki watak yang sukar sekali dijajaki, sukar diduga. "Yang bilang? Tentu saja Ayahku. Ayahku yang bilang bahwa Ibu telah meninggal dunia."
Sudah berada di ujung lidah Kwi Lan untuk menyangkal, untuk menyatakan bahwa ayah pemuda itu bohong akan tetapi dapat ditahannya.
"Dan Ayahmu dimana dia?"
"Ayah? Ayah tidak sayang kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, Ayah meninggalkan aku di kelenteng Bukit Kim-liong-san dan semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Nah, sudah lengkap kini riwayatku, sekarang ganti engkau...."
Ucapan Hauw Lam terhenti karena tiba-tiba terdengar derap suara kaki kuda, disusul suara orang. Tak lama kemudian muncullah tujuh orang penunggang kuda. Pakaian, topi, dan bahasa mereka membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang asing. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda besar dan baik. Akan tetapi tujuh ekor kuda tunggang mereka itu seperti tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan seekor kuda yang dituntun oleh seorang di antara mereka. Kuda yang dituntun ini lebih tinggi, tubuhnya ramping dilingkari otot-otot yang kuat. Keempat kakinya merit kecil dan bulunya hitam mulus dan mengkilap. Sepasang matanya lebar dan bercahaya.
"Kuda betina yang hebat!" Hauw Lam terdengar memuji dengan suara lantang, matanya memandang ke arah kuda hitam itu penuh kekaguman. Akan tetapi Kwi Lan yang tidak mengerti tentang kuda, tidak tahu apanya yang hebat pada kuda hitam itu, maka ia tidak memperhatikannya. Sebaliknya, ia tertarik kepada tujuh orang laki-laki yang menunggang kuda. Mereka itu rata-rata berusia sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tegap dan tinggi, membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajah mereka gagah dan agak hitam oleh sinar matahari.
Sementara itu, tujuh orang inipun menahan kendali kuda ketika mereka melihat Hauw Lam dan Kwi Lan. Akan tetapi pandang mata semua orang ini ditujukan kepada Kwi Lan, dan agaknya tidak ada perbedaan antara pandang mata mereka terhadap Kwi Lan dengan pandang mata Hauw Lam terhadap kuda hitam. Penuh kekaguman! Pandang mata mereka yang penuh getaran nafsu itu agaknya terasa pula oleh Kwi Lan, membuat dara ini menjadi jengah dan marah di dalam hati. Akan tetapi karena mereka itu tidak mengeluarkan kata-kata, Kwi Lan menahan kemarahannya dan mencabuti beberapa helai rumput hijau sambil menundukkan muka, kadang-kadang saja melirik kearah mereka. Ia masih tetap duduk di atas akar pohon.
Akan tetapi Hauw Lam sudah meloncat berdiri. Pemuda ini banyak sudah merantau dan banyak pula pengalamannya. Melihat sikap dan pandang mata tujuh orang itu kepada temannya, ia merasa mendongkol pula. Akan tetapi wajahnya berseri dan ia tersenyum lebar ketika berkata, "Salam, sobat-sobat yang bersua di jalan!"
"Salam!" Tujuh orang itu menjawab, suara mereka rata-rata besar parau. Senyum di mulut Hauw Lam melebar dan ia melangkah
mendekati kuda hitam. Setelah kini dekat dan memandang penuh perhatian, ia menjadi makin kagum. Benar-benar seekor kuda yang hebat, pikirnya. Ketika ia mencoba untuk menepuk-nepuk leher kuda hitam itu, si Kuda hitam meringkik dan hampir saja tangan Hauw Lam digigitnya kalau pemuda ini tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.
"Kuda hebat....!" ia memuji pula. "Sobat, apakah kuda hitam ini hendak dijual? Kalau hendak dijual, berapakah harganya?"
Orang yang menuntun kuda membelalakkan matanya kepada Hauw Lam, kemudian ia tertawa sehingga tampak betapa dua buah gigi atasnya ompong. Enam orang temannya hanya berdiri memandang. Kemudian Si Ompong berpaling dan menterjemahkan ucapan Hauw Lam tadi dalam bahasa mereka. Seketika meledaklah ketawa enam orang itu sehingga keadaan hutan yang tadinya sunyi kini menjadi riuh dengan suara ketawa mereka. Lalu disusul mereka bertujuh saling bicara riuh rendah sambil tertawa-tawa.
"Orang muda, tahukah engkau kuda apakah ini, darimana dan hendak dibawa kemana?" Akhirnya Si Ompong yang menjadi juru bicara berkata dengan suara pelo dan kaku. "Kuda ini adalah kuda keturunan langsung dari Hek-liong-ma milik pribadi Ratu kami!"
"Siapakah Ratu kalian yang mulia?" Hauw Lam bertanya, tertarik karena ia tidak mengerti bahasa mereka. "Ratu kami adalah Sang Ratu di Khitan."
"Ohhh....!" Suara seruan kaget ini keluar dari mulut Kwi Lan. Akan tetapi ketika Hauw Lam menengok, gadis ini sudah dapat menekan perasaannya kembali dan hanya memandang penuh perhatian.
"Dan tahukah engkau kuda ini hendak kami bawa ke mana? Akan kami antarkan ke Yen-an sebagai barang sumbangan kepada ketua baru dari Thian-liong-pang!"
Diam-diam Hauw Lam terkejut juga. Kiranya bukan kuda sembarangan dan ia maklum bahwa tujuh orang ini sengaja menyebut nama Thian-liong-pang untuk membuat ia kaget dan jerih. Akan tetapi ia berpura-pura tidak mengenal Thian liong-pang bahkan ia lalu berkata, "Wah, barang sumbangan saja mengapa kuda yang begini bagus? Yang kalian tunggangi itu semua juga sudah lebih dari cukup untuk sumbangan. Yang hitam ini kalau boleh, harap jual kepadaku."
Tiba-tiba seorang di antara mereka berbicara dengan bahasa mereka, suaranya lantang dan telunjuknya menuding nuding ke arah Kwi Lan yang masih duduk di atas akar pohon. Begitu selesai ia berbicara, tujuh orang itu tertawa bergelak-gelak. Semua kuda mereka kaget dan meringkik-ringkik sambil berdiri di atas kedua kaki belakang sehingga hampir saja dua orang di antara mereka terlempar ke bawah. Hal ini membuat mereka tertawa makin riuh rendah.
"Orang muda, mengertikah engkau apa yang dimaksudkan teman-temanku? Ha-ha-ha! Engkau sendiri sudah memiliki seekor kuda betina yang demikian cantik jelita, mengapa masih ingin membeli kuda hitam ini? Apakah artinya kuda hitam ini kalau dibandingkan dengan kudamu yang putih kuning dan cantik molek itu? Ha-ha-ha!" Kembali tujuh orang itu tertawa-tawa karena mereka tahu bahwa temannya Si Ompong sudah menterjemahkan ucapan mereka.
Tentu saja Hauw Lam menjadi marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Kwi Lan lebih marah lagi. Tadinya ia tidak mengerti apa artinya ucapan mereka, akan tetapi karena mereka bertujuh semua memandang kepadanya dan menuding-nudingkan telunjuk ke arahnya, tahulah ia bahwa dia sesungguhnya yang disebut kuda betina putih kuning! Ia disamakan dengan kuda! Keparat! Bagaikan seekor harimau ia meloncat bangun, kedua tangannya bergerak dan melesatlah sinar hijau dari kedua tangannya menyambar ke arah muka tujuh orang itu.
Seketika lenyap suara ketawa mereka, terganti suara jeritan dan mereka bertujuh terguling roboh dari atas kuda! Namun dengan gerakan yang amat cekatan mereka bertujuh sudah meloncat bangun lagi dan ramailah mereka berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti Hauw Lam maupun Kwi Lan. Kini Hauw Lam yang melongo dan memandang mereka dengan muka terheran-heran. Kiranya sinar kehijauan yang melesat dari kedua tangan Mutiara Hitam tadi adalah rumput-rumput yang tadi dicabutinya sambil duduk di atas akar pohon. Dalam kemarahannya gadis itu telah menyerang tujuh orang Khitan dengan rumput-rumput itu. Biarpun hanya rumput hijau, namun di tangan dara perkasa ini berubah menjadi senjata rahasia yang amat ampuh dan menggiriskan hati. Batang-batang rumput itu meluncur melebihi anak panah cepatnya dan tak terhindarkan lagi oleh tujuh orang Khitan itu. Tahu-tahu muka mereka telah terkena rumput yang menempel pada kulit muka mereka, menimbulkan rasa perih dan pedas, sedangkan tadi ketika rumput-rumput itu menyerang, mereka terdorong oleh angin pukulan yang membuat mereka terjungkal dari atas kuda. Kini mereka berdiri dan berusaha melepaskan rumput-rumput yang menempel muka mereka.
Aneh bin ajaib! Sampai meringis-ringis mereka berusaha mengambil rumput yang menempel di kulit muka. Sia-sia belaka! Rumput-rumput itu menempel seakan-akan diberi lem perekat ajaib, seakan-akan telah tumbuh menjadi satu dengan kulit. Seorang di antara mereka agak menggunakan kekerasan untuk mengupas rumput, akan tetapi kulit pipinya ikut terkelupas, nyeri dan perih bukan main dan darah menetes-netes! Mereka terheran-heran dan juga kesakitan, terutama sekali rasa jerih membuat wajah mereka pucat. Bagi Hauw Lam, penglihatan itu amatlah lucu. Melihat mereka berusaha mengupas rumput dari muka meringis-ringis kesakitan, melihat betapa rumput itu merupakan pleister-pleister hijau "menghias" muka, apalagi orang yang tadi menghina Mutiara Hitam, rumput melintang di atas kulit hidungnya sehingga wajahnya tampak lucu sekali, membuat Hauw Lam tak dapat menahan ketawanya.
"Hua-ha-ha-ha! Lucu sekali....! Lucu sekali....! Muka kalian bertujuh ditambal-tambal seperti badut dan delapan ekor kuda
ini begini bagus. Tentu kalian hendak main komidi kuda, ya? Bagus...., bagus....!" Hauw Lam bertepuk-tepuk tangan dan
berjingkrak-jingkrak, membuat tujuh orang itu mendongkol bukan main. Akan tetapi karena mereka dapat menduga
bahwa dua orang muda-mudi itu tentu bukan orang sembarangan, mereka tidak mau lagi meladeni dengan kata-kata. Serentak tangan mereka bergerak dan tujuh orang itu sudah mencabut golok masing-masing lalu mengurung dengan sikap mengancam.
"Aih.... aih.... kalian masih belum kapok? Kalau tadi Nona muda kalian ini menghendaki nyawa kalian, apakah kalian tidak menjadi bangkai?" Hauw Lam berseru sambil melangkah maju, kemudian menoleh kepada Kwi Lan. "Biarlah aku yang kini menikmati permainan dengan mereka!"
Kwi Lan diam saja, sikapnya tidak acuh. Ia tidak memandang mata kepada tujuh orang itu, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah orang-orang Khitan, rakyat dari ibu kandungnya, ia tadi tidak mau membunuh mereka. Kini ia hendak menyaksikan sampai dimana kepandaian Berandal, karena dari gerak-gerik tujuh orang itu ia dapat menduga bahwa mereka memiliki ilmu silat yang tinggi juga.
"Mengalahkan mereka tanpa membunuh barulah hebat," Kwi Lan sengaja berkata, nada suaranya mengejek, padahal di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda berandalan itu membunuh rakyat ibu kandungnya.
"Oho, mudah saja, kaulihat!" Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian membusungkan perutnya ke depan, menantang.
"Hayo kalian maju, tunggu apalagi? Bukankah golok kalian sudah terhunus? Di sini tidak ada babi untuk ditusuk perutnya,
tidak ada kambing untuk disembelih lehernya. Nih perutku, boleh kalian tusuk, atau leher nih, boleh pilih!" Ia menantang
dengan cara mengejek sekali, meramkan kedua mata, mengulur leher membusungkan perut dan menaruh kedua tangan di punggung! Diam-diam Kwi Lan geli menyaksikan sikap ini, juga merasa betapa sikap ini keterlaluan dan berbahaya. Coba dia yang ditantang secara itu, tentu sekali bergerak akan dapat merobohkan pemuda ugal-ugalan itu.
Agaknya tujuh orang yang sudah amat marah itupun berpikir demikian. Mereka tadi sudah marah dan penasaran sekali, merasa mengalami penghinaan yang luar biasa maka kini menyaksikan sikap dan tantangan Hauw Lam, mereka sampai tak dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya. Tujuh orang Ini bukan orang sembarangan, merupakan jagoan-jagoan yang berkepandaian tinggi, bagaimana sekarang menghadapi dua orang bocah saja mereka tidak berdaya dan sampai mengalami hinaan? Kini melihat sikap Hauw Lam, mereka serentak menerjang untuk membalas penghinaan yang mereka alami.
"Cring-cring-trang-traaanggg....!" Tujuh batang golok yang menerjang dalam detik bersamaan dengan sebuah saja sasaran, tentu saja tak dapat terhindar lagi saling beradu ketika sasarannya tiba-tiba lenyap dari tempatnya. Cepat mereka meloncat dan membalikkan tubuh. Kiranya pemuda ugal-ugalan itu sudah berada di belakang mereka dan kembali pemuda itu mengulur leher membusungkan perut, akan tetapi sekarang tangannya memegang sebatang golok pula, golok yang pendek dan lebar seperti golok tukang babi! Akan tetapi melihat sinar putih bersinar dari mata golok, dapat diduga bahwa golok buruk bentuknya itu ternyata terbuat daripada logam yang ampuh dan terpilih.
"Hayo tusuk lagi, bacok lagi, kenapa ragu-ragu? Perut dan leherku sudah gatal-gatal nih!" Hauw Lam mengejek, menggoyang-goyangkan perutnya yang sengaja ia busungkan ke depan.
Kemarahan tujuh orang Khitan itu memuncak. Sambil memaki-maki dalam bahasa sendiri kembali mereka menerjang maju, melakukan serangan dahsyat penuh kemarahan. Kali ini tampak sinar putih yang amat lebar menyilaukan mata bergulung-gulung menyambut mereka. Terdengar suara nyaring beradunya senjata diikuti tujuh batang golok terlempar dalam keadaan patah menjadi dua,
disusul pekik tujuh orang itu dan memberebetnya kain robek. Dalam sekejap mata saja tujuh orang itu tidak hanya kehilangan golok, akan tetapi juga baju mereka robek dari leher sampai ke perut! Wajah mereka kini menjadi pucat sekali karena mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam segebrakan saja tadi tentu mereka akan terobek perut mereka!
Si Gigi Ompong lalu menjura dan berkata, "Kami telah kesalahan terhadap Taihiap, mohon maaf, mengingat bahwa kami jauh dari utara hendak mengunjungi Thian-liong-pang."
Hauw Lam tertawa akan tetapi sebelum ia menjawab, Kwi Lan melompat maju dan menghardik, "Masih banyak cakap lagi? Kalian ini orang-orang Khitan yang tidak baik! Lekas pergi dan tinggalkan kuda hitam!"
Si Gigi Ompong kaget bukan main dan dengan suara gemetar ia menterjemahkan ucapan ini. Kawan-kawannya juga nampak kaget dan memprotes. Si Gigi Ompong kini menghadapi Kwi Lan dan berkata, "Tidak mungkin, Nona! Kuda hitam ini adalah persembahan kepada kami untuk dihadiahkan kepada ketua Thian-liong-pang sebagai tanda persahabatan. Bagaimana kami berani meninggalkannya disini? Hal ini berarti akan hilangnya nyawa kami sebagai penggantinya!"
"Huh! Siapa peduli nyawa anjing kalian? Katakan saja kepada Ratumu bahwa yang mengambil kuda hitam adalah Mutiara Hitam. Habis perkara!"
Kini Hauw Lam mendengarkan dengan mulut ternganga. Dara itu terlalu lancang, terlalu berani. Tadi berani menghina dan memandang rendah Bu-tek Siu-lam, kini malah berani menantang Ratu Khitan yang selain terkenal sebagai ratu, juga terkenal memiliki ilmu kesaktian hebat dan mempunyai banyak anak buah yang berilmu tinggi! Apakah yang diandalkan dara ini maka bersikap sedemikian angkuh dan berani menghina orang-orang golongan atas? Kepandaiannya memang hebat dan melihat cara melempar rumput yang sampai kini menempel di muka ketujuh orang Khitan itu, terbukti akan kelihaiannya. Akan tetapi belum tampak ilmu silatnya dan ia merasa ragu-ragu apakah dara semuda ini akan mampu menandingi tokoh-tokoh besar itu?
Akan tetapi mendengar ucapan gadis yang memandang rendah Ratu Khitan, tujuh orang itu tidak menjadi marah setelah Si Ompbng menterjemahkannya, bahkan nampak heran dan girang. Si Ompong lalu berkata sambil menjura, "Aha, kiranya masih sepaham! Nona yang gagah perkasa, ketahuilah bahwa kami adalah anak buah Pak-sin-ong...."
"Tidak peduli siapa itu Pak-sin-ong!" bentak Kwi Lan tidak sabar lagi. Akan tetapi Hauw Lam sudah menjadi kaget sekali dan bertanya, "Apa? Kalian ini anak buah Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) yang juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari
Utara)?"
Si Ompong berseri wajahnya, akan tetapi jadi menyeringai buruk karena wajahnya masih pucat dan masih tertempel rumput. "Betul...., betul....! Nona, agaknya Nona belum mengenal nama besar Tai-ong kami yang juga memusuhi Ratu Khitan dan...."
"Bedebah....!" Bentakan ini keluar dari mulut Kwi Lan, disusul berkelebatnya sinar kehijauan dan terciumlah bau yang harum. Akan tetapi tujuh orang Khitan itu menjerit, darah muncrat dan di lain saat Kwi Lan sudah berdiri tegak kembali, sikapnya keren dan mulutnya membentak, "Lekas pergi dari sini!" Hauw Lam melongo. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja ia dapat melihat gerakan gadis itu yang luar biasa cepatnya. Ia melihat betapa gadis itu mencabut sebatang pedang yang sinarnya kehijauan dan mengeluarkan ganda harum semerbak, melihat pula betapa dengan gerakan yang amat aneh, dahsyat dan secepat kilat pedang di tangan gadis berkelebat dan dengan persis membabat putus telinga kanan ketujuh orang Khitan itu sebelum mereka mampu mengelak atau melawan! Melihat pula betapa dengan gerakan yang masih sama cepatnya gadis itu telah menyimpan kembali pedangnya sebelum darah yang muncrat dari pinggir kepala tujuh orang itu menyentuh tanah.
Sebuah gerakan yang luar biasa sekali, yang aneh, dahsyat akan tetapi juga ganas dan kejam!
Tujuh orang Khitan yang tadinya kegirangan karena mengira bahwa mereka itu sefihak dengan nona ini dalam hal memusuhi Ratu Khitan, tentu saja menjadi kaget dan kesakitan. Sambil menutupi telinga kanan yang sudah tak berdaun lagi, mereka memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak, sejenak lupa akan rasa perih dan nyeri pada telinganya.
"Kami telah menerima pengajaran," kata Si Ompong sambil meringis, "harap Nona suka memberitahukan nama agar tidak mudah kami melupakannya...."
"Eh-eh, masih banyak tingkah lagi?" Hauw Lam yang khawatir kalau-kalau nona itu makin marah dan membunuh mereka, memotong. "Dia ini bernama Mutiara Hitam, apakah kalian buta? Dan aku adalah Berandal. Hayo pergi dan jangan membuka mulut busuk lagi!"
Tujuh orang Khitan itu melompat ke atas kuda, sekali lagi mereka menoleh dengan pandang mata penuh kebencian dan sakit hati, kemudian membalapkan kuda mereka pergi dari tempat itu. Kuda hitam ditinggalkan begitu saja dan kuda ini kelihatan tenang makan rumput, kendalinya terlepas dan terseret di atas tanah.
Hauw Lam cepat mengambil kendali itu dan kini kuda itu diam saja ketika ditepuk-tepuk lehernya. Agaknya kuda itu tahu bahwa siapa yang memegang kendali adalah majikannya. "Kuda bagus, kuda hebat....!" Hauw Lam menepuk-nepuknya dan membawanya dekat kepada Kwi Lan.
"Pilihanmu tepat, Mutiara Hitam. Julukanmu Hitam maka tepatlah kalau kau menunggang kuda hitam ini."
"Siapa yang menginginkan kuda? Aku hanya minta kuda ini agar ada alasan mengunjungi Thian-liong-pang.
"Apa? Bagaimana maksudmu?" Kwi Lan tersenyum mengejek. "Bodoh! Kalau kita datang kesana dan membawa kuda ini sebagai barang sumbangan, bukankah namanya sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat? Maksud Si Raja Algojo yang kau sebut-sebut itu mempersembahkan kuda kepada Thian-liong-pang tak berhasil, berarti dia sudah kalah satu nol melawan kita. Kedua, dengan hadiah ini, masa kita tidak akan diterima sebagai tamu agung oleh Thian-liong-pang?"
Hauw Lam membelalakkan matanya kemudian berjingkrak dan bertepuk tangan, "Wah, bagus! Kau ternyata pintar sekali. Tapi sesungguhnya sayang kalau kuda sebaik ini dilepaskan kembali kepada orang lain."
"Hal ini dapat diputuskan nanti. Kalau kulihat Thian-liong-pang tidak berharga memiliki kuda ini!, bisa saja kita ambil
kembali."
Diam-diam Hauw Lam merasa khawatir. Gadis ini memang harus diakui memiliki ilmu kepandaian hebat. Akan tetapi terlalu ceroboh, terlalu sembrono dan terlalu memandang rendah orang lain.
"Ahh, Mutiara Hitam. Engkau benar-benar belum banyak mengenal orang! Engkau tidak tahu siapa dia. Jin-cam Khoa-ong."
"Siapa sih Algojo itu?"
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan tokoh menyeramkan itu, akan tetapi sepanjang pendengaranku, dia tidak kalah terkenalnya daripada, Bu-tek Siu-lam sendiri! Kabarnya dia datang dari daerah Mongol, paling suka membunuh orang. Semua orang yang pernah bentrok dengan dia tidak akan dapat keluar hidup-hidup, semua itu, betapapun gagahnya, tewas di bawah senjatanya yang mengerikan, yaitu berbentuk gergaji berkait. Dia mengangkat diri dengan sebutan Pak-sin-ong untuk memperkenalkan asalnya dari utara, akan tetapi karena kekejamannya yang melewati batas, di dunia kangouw dia dijuluki orang Jin-cam Khoa-ong si Raja Algojo Manusia!"
"Huh, makin besar julukannya, makin kosong melompong! Aku tidak takut!"
"Dan Thian-liong-pang sungguh tidak boleh dibuat permainan! Bahkan kini merupakan perkumpulan yang paling besar, paling berpengaruh dan paling banyak anggautanya untuk golongan hitam. Karena itulah, para tokoh golongan hitam yang tidak mempunyai perkumpulan besar, masih memandang kepada Thian-liongpang...."
"Sudahlah! Kalau engkau takut, tidak perlu kau banyak mengoceh lagi. Akupun tidak mengajak engkau. Kaukira aku takut untuk pergi sendiri? Sambil berkata demikian, Kwi Lan menyambar kendali kuda dari tangan Hauw Lam, lalu pergi menuntun kuda hitam itu meninggalkan Hauw Lam yang berdiri melongo. Akan tetapi karena selama hidupnya Kwi Lan belum pernah mempunyai kuda, apalagi menunggang kuda, ia canggung sekali dan kuda hitam itu agaknya juga dapat merasakan hal ini. Kuda itu mulai meronta dan mogok jalan. Kwi Lan menarik-narik kendali kuda sambil membentak, "Kau juga hendak mogok? Kuda sialan! Kupenggal lehermu nanti, kubawa bangkaimu ke Thian-liong-pang, hendak kulihat apakah kau berani mogok lagi!"
"Wah-wah-wah...., kenapa kau begini galak, Mutiara Hitam? Apa kau marah kepadaku? Aku sama sekali tidak takut, hanya aku heran menyaksikan keberanianmu menentang semua tokoh-tokoh besar. Mari, biarlah kita pergi bersama. Dan kuda itu.... kenapa repot-repot amat? Lebih baik kautunggangi dia, kan enak?" Watak Kwi Lan memang aneh, agaknya ia tiru dari Sian Eng. Ia keras sekali kalau perlu, akan tetapi bisa juga menjadi lunak, bisa gembira dan jenaka, akan tetapi tidak pernah mengenal duka maupun takut. Melihat pemuda itu menghampiri dan wajahnya sungguh-sungguh, ia tersenyum. "Aku belum pernah menunggang kuda!" katanya. Kembali Hauw Lam terheran. Seorang gadis yang begini tinggi ilmunya, belum pernah menunggang kuda? Benar-benar luar biasa sekali ini. "Belum pernah? Kalau begitu berbahaya, dong. Kau harus belajar dulu. Seekor kuda yang baik selalu akan memberontak kalau ditunggangi orang yang takut-takut menunggang kuda."
"Aku memang belum pernah menunggang kuda, akan tetapi siapa bilang aku takut? Kaulihat saja!" Sekali menggerakkan tubuhnya, Kwi Lan sudah meloncat dan duduk di atas punggung kuda, dengan kedua kaki di samping kiri perut kuda itu. Canggung dan kaku sekali. Benar saja, kuda hitam itu tidak memberontak, karena kuda itu hanya memberontak apabila yang menunggangnya takut-takut, sedangkan Kwi Lan tidak takut.
"Ah, keliru kalau begitu menunggangnya. Mana bisa tahan lama kalau kuda itu membalap?"
"Siapa bilang tidak bisa? Kaulihat!" Kwi Lan menarik kendali kuda dan kuda hitam itu meloncat ke depan lalu lari cepat.
Kwi Lan terangkat-angkat dari atas punggung kuda dan karena duduknya miring, maka hampir saja ia jatuh. Cepat ia berseru keras dan tubuhnya sudah meloncat ke atas kemudian turun di atas punggung kuda dalam keadaan berdiri!
Hauw Lam sudah mengejar dan memegang kendali kuda, mengeluarkan suara menyuruh berhenti. Setelah kuda berhenti, ia menggeleng-geleng kepala. "Wah-wah, memang kau hebat sekali, Mutiara Hitam. Akan tetapi mana ada di dunia ini orang naik kuda dengan berdiri di atas punggungnya? Engkau akan menjadi tontonan orang di sepanjang jalan, dan juga keadaan itu amat melelahkan. Beginilah cara menunggang kuda. Lihat, kuberi contohnya!"
Karena memang Kwi Lan seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka pelajaran menunggang kuda ini dapat ia kuasai sebentar saja. Berangkatlah kedua orang muda itu melakukan perjalanan menuju Yen-an. Kwi Lan menunggang kuda sedangkan Hauw Lam berjalan kaki sambil meniup sulingnya. Kadang-kadang Kwi Lan yang meloncat turun dan berjalan kaki, menyuruh pemuda itu berganti menunggang kuda. Kalau Hauw Lam menolak, ia tentu akan marah. Begitu pula, kadang-kadang gadis yang berhati polos itu menyuruh Hauw Lam duduk di belakangnya di atas punggung kuda. Hauw Lam juga menuruti kehendaknya
sehingga dalam waktu beberapa hari saja melakukan perjalanan, keduanya telah menjadi sahabat yang amat akrab dan diam diam Kwi Lan makin merasa cocok dan suka kepada putera bibi pengasuhnya ini.
***
Kota Yen-an terletak di kaki Pegunungan Lu-liang-san sebelah barat, di Propinsi Shen-si. Kota ini cukup besar dan ramai dan dahulu merupakan daerah Kerajaan Hou-han yang kini sudah ditaklukkan oleh Kerajaan Sung dan menjadi wilayah Kerajaan Sung.
Kerajaan Hou-han dahulu terkenal sebagai kerajaan yang kecil tapi amat kuat. Terutama sekali ketika seorang di antara
panglima perangnya adalah mendiang Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai mengatur siasat perang. Setelah jenderal ini mengundurkan diri keadaan kerajaan mengalami kemunduran pula. Akan tetapi keadaannya masih amat kuat karena beberapa tahun kemudian di dalam istana kerajaan terdapat Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, seorang wanita sakti yang menjadi "tante girang" di dalam istana mengumbar nafsu dengan para pangeran dan para panglima muda yang tampan, Di samping Tok-siauw-kwi (ibu kandung Suling Emas) ini terdapat pula selir raja yang juga amat lihai, yang kemudian berjuluk, Siang-mou Sin-ni Coa Kim Bwee. Akan tetapi semenjak kedua orang wanita sakti ini tidak ada kerajaan makin mundur dan akhirnya penyerbuan bala tentara Kerajaan
Sung menjatuhkan kerajaan kecil ini.
Tokoh-tokoh yang dikalahkan biasanya kalau tidak dipakai lagi tenaganya lalu berkumpul dan merupakan kelompok yang menentang si Pemenang secara diam-diam. Demiklan pula keadaan di bekas Kerajaan Hou-han ini. Orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian lalu mengadakan persatuan dan bersembunyi di balik papan nama perkumpulan menjadi golongan dunia hitam yang diam-diam mencari kesempatan untuk melawan atau setidaknya merongrong pemerintahan yang tak disukainya. Di antara perkumpulan-perkumpulan semacam itu, Thian-liong-pang merupakan perkumpulan terbesar, bahkan boleh dibilang menjadi semacam induk perkumpulan. Hal ini adalah karena bekas para panglima dan tokoh Kerajaan Hou-han banyak yang menggabungkan diri dalam perkumpulan ini. Namun karena kesempatan untuk melawan pemerintahan Sung tidak ada, apalagi setelah para panglima yang benar-benar berjiwa patriotik meninggal dunia, jiwa perkumpulan Thian-liong-pang mengalami perubahan hebat. Dasar yang semula patriotik tadinya terdorong setia kepada kerajaan berubah, berubah menjadi dasar dunia hitam, dan tujuan yang menyeleweng jauh terdorong oleh nafsu angkara murka untuk menguasai dunia, harta benda, nama besar dan kemenangan mengandalkan kekuatan.
Sisa para panglima Hou-han melihat ini sebanyak yang mengundurkan diri dan hidup bersunyi di dusun-dusun dan pegunungan menanti maut datang menjemput. Semenjak Thian-liong-pang seluruhnya dikuasai oleh tokoh-tokoh dunia hitam. Yang menjadi Ketua Thian-liong-pang adalah seorang bekas pendeta yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti). Pendeta yang berasal dari barat ini selain sakti, juga amat terkenal di dunia hitam dan biarpun jahat, namun ternyata ia pandai memimpin sehingga di bawah asuhannya, Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang amat kuat. Semua anggauta Thian-liong-pang rata-rata di gembleng ilmu silat tinggi. Apalagi murid kakek itu sendiri, benar-benar terdiri dari orang-orang yang gagah perkasa. Murid-murid kepala sebanyak dua belas orang sedemikian terkenalnya di dunia kang-ouw sehingga tokoh-tokoh yang besar sekalipun tidak akan berani memandang rendah Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) dari Thian-liong-pang! Dua belas orang murid kepala yang menjadi murid kesayangan Kakek Sin-seng Losu ini telah mewarisi kepandaian kakek itu menurut bakat masing-masing. Dan yang menambah ketenaran mereka adalah senjata rahasia Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti).
Oleh karena Kakek Sin-seng Losu sudah terlalu tua dan pikun, juga sudah mulai lemah karena tuanya, maka sebagai penggantinya ditunjuk muridnya yang paling tua, seorang laki-laki tinggi besar bercambang bauk yang bertenaga besar seperti gajah, dan sesuai dengan tenaganya, ia berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Tenaga Besar) bernama Ma Kiu. Ma Kiu ini dulunya seorang jagal babi, kemudian pernah tinggal di selatan dan menjadi anggauta Beng-kauw. Semenjak muda suka belajar ilmu silat, maka ketika menjadi anggauta Beng-kauw ia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Karena penyelewengan peraturan, ia takut akan bayangan sendiri dan takut pula akan hukuman dari para pimpinan Beng-kauw yang terkenal keras, maka ia melarikan diri ke utara. Di Yen-an ia memasuki Thian-liong-pang, berhasil menarik hati ketuanya dan menjadi muridnya. Karena memang tingkatnya sudah tinggi, maka ia segera menduduki seorang diantara murid kepala yang lihai, bahkan kemudian terpilih menjadi murid nomor satu dan kemudian malah ditunjuk sebagai pengganti gurunya yang sudah tua, yaitu menjadi ketua baru Thian-liong-pang!
Gedung besar yang menjadi markas Thian-liong-pang terletak megah di ujung kota Yen-an. Agak janggal nampaknya bahwa jalan besar dimana gedung ini berdiri kelihatan sunyi, bahkan gedung itu jauh dari tetangga. Namun orang tidak akan merasa heran kalau mendengar bahwa para tetangga yang tadinya tinggal dekat gedung itu berangsur-angsur diri sehingga rumah-rumah kosong di sekitar jalan itu merupakan daerah yang dianggap tidak aman bagi penduduk Yen-an. Hal ini dipergunakan oleh Thian-liong-pang untuk memperluas markas mereka dengan membeli murah secara paksa rumah-rumah dan pekarangan yang ditinggalkan.
Pada hari pengangkatan ketua baru Thian-liong-pang, keadaan di situ lebih ramai diripada biasanya. Banyak tamu hilir mudik mengunjungi Thian-liong-pang dan para penduduk Yen-an hari itu merasa ketakutan selalu karena di kota Yen-an berkeliaran banyak orang-orang aneh dan sikapnya menyeramkan. Karena itu biarpun tidak tahu pasti, namun sudah dapat menduga bahwa para tamu luar kota yang hari itu mengunjungi Yen-an, tentulah tamu dari Thian-liong-pang dan tentulah terdiri dari bukan orang baik-baik. Memang dugaan ini tepat. Sebagian besar yang datang mengunjungi Thian-liong-pang adalah orang-orang dari dunia hitam, golongan liok-lin dan kang-ouw (hutan lebat dan sungai telaga), yaitu para perampok, bajak, gerombolan-gerombolan
yang mengabdi kepada hukum rimba mengandalkan kekuatan untuk melakukan perbuatan apa saja yang mereka kehendaki.
Hari itu semenjak pagi sekali telah banyak orang-orang yang dandanannya aneh-aneh memasuki kota Yen-an. Menjelang siang hari, orang-orang yang dengan hati berdebar tidak enak menonton keramaian dan iring-iringan tamu ini, tertarik sekali melihat dua orang muda yang keadaannya tidak kalah anehnya daripada orang-orang yang menyeramkan lainnya, akan tetapi dua orang muda ini sama sekali tidak kelihatan menyeramkan. Bahkan sebaliknya, dara remaja yang menunggang kuda hitam itu, biarpun pinggangnya digantungi pedang dan gagang pedang indah, namun harus diakui cantik jelita, menarik hati dan sama sekali tidak menyeramkan, melainkan amat mengagumkan hati setiap orang pria yang memandangnya. Adapun temannya, seorang pemuda remaja pula, juga berwajah tampan dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri, mulutnya tersenyum-senyum. Bahkan ketika memasuki kota Yen-an, pemuda ini dengan wajah berseri lalu meniup suling sambil berjalan di samping kuda hitam! Sebatang golok besar dengan sarung pedang aneh, tidak kelihatan menyeramkan sebaliknya malah tampak lucu, seakan-akan, pemuda itu sengaja membadut dan menggantungkan golok untuk main-main saja.
Wajah Kwi Lan, dara yang menunggang kuda hitam, kelihatan gembira pula. Setelah beberapa pekan lamanya melakukan perjalanan bersama Hauw Lam, ia benar-benar mengenal watak pemuda ini sebagai seorang pemuda yang selalu gembira, jenaka, ugal-ugalan namun pada dasarnya gagah perkasa, tak kenal takut, berbudi dan.... selalu mengalah kepadanya. Harus dimengerti bahwa sejak kecil Kwi Lan jarang bergaul dengan orang lain, apalagi dengan orang mudanya. Teman satu-satunya hanyalah Suma Kiat, dan ia
tidak suka kepada suheng ini, yang kadang-kadang memperlihatkan sikap terlalu manis berlebih-lebihan kepadanya akan tetapi kadang-kadang juga pemarah dan tak acuh. Tidak mengherankan apabila Kwi Lan merasa suka sekali kepada Hauw Lam dan dalam waktu yang tidak lama itu mereka telah menjadi sahabat yang akrab. Sukar bagi seseorang untuk tidak ikut bergembira apabila melakukan perjalanan dengan Hauw Lam. Apalagi seorang seperti Kwi Lan yang pada dasarnya memang lincah, jenaka dan suka
bergembira.
Melihat betapa temannya memasuki kota Yen-an sambil meniup suling dan dengan lenggang dibuat-buat seperti seorang penari atau seperti orang berbaris, Kwi Lan tersenyum geli. Ia maklum bahwa kedatangan mereka ke Yen-an bukanlah sekedar pelesir, melainkan untuk mencari pengalaman dan lebih mendekati petualangan karena yang akan mereka masuki adalah sarang penjahat atau dunia hitam yang amat berbahaya! Akan tetapi melihat pemuda itu sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut, ia menjadi kagum dan juga menjadi gembira. Banyak penduduk Yen-an, terutama orang-orang mudanya yang tertarik melihat sepasang muda-mudi yang elok ini, mengikuti dari belakang sambil memandang kagum dan tersenyum-senyum. Akan tetapi melihat bahwa dua orang itu menuju ke markas Thian-liong-pang di pinggir kota, sebelum dekat mereka yang mengikuti sudah berhenti dan membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu.
Setelah tiba di depan rumah gedung besar yang dihias arca singa batu dan papan nama perkumpulan itu, Kwi Lan menghentikan kudanya dan Hauw Lam menghentikan tiupan sulingnya. Dari luar gedung saja sudah terdengar suara banyak orang di sebelah dalam. Beberapa orang penjaga menyambut mereka dengan menjura dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki yang mukanya penuh cambang bauk dan yang kelihatan terkejut sekali melihat dua orang muda itu. Akan tetapi wajahnya yang tadinya terkejut itu berubah merah dan ia segera menjura dan berkata. "Ah, kiranya Nona Mutiara Hitam dan Tuan.... Berandal yang datang berkunjung! Silakan masuk....!" Melihat sikap Si Brewok ini, teman-temannya juga cepat memberi hormat kepada Kwi Lan dan Hauw Lam, dan mendengar nama julukan pemuda tampan itu, diam-diam mereka merasa geli.
"Ha-ha-ha!" Kiranya Si Ouw Kiu! Engkau masih hidup? Syukurlah kalau panjang umur. Kami datang memenuhi janji hendak menonton keramaian sekalian menyampaikan sumbangan kepada ketua baru Thian-liong-pang!" Teman-teman Ouw Kiu tercengang mendengar ucapan dan menyaksikan sikap pemuda ini. Bicaranya begitu seenaknya seperti kepada seorang sahabat baik saja. Mereka makin heran melihat betapa Ouw Kiu yang terkenal jagoan di antara mereka, begitu menaruh hormat yang berlebihan terhadap seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang masih amat muda. Kalau semua temannya terheran, adalah Ouw Kiu yang
menjadi merah mukanya. Peristiwa di dalam hutan dua pekan yang lalu hanya ia ceritakan kepada para pimpinan Thian-liong-pang dan para anak buah tidak ada yang boleh mendengar karena hal itu merendahkan nama besar perkumpulan. Oleh karena itulah maka ketika tadi ia menyebut nama Mutiara Hitam dan Berandal, teman-temannya tidak tahu bahwa dua orang inilah yang membunuh seorang anak murid Thian-liong-pang. Dengan menahan kemarahan Ouw Kiu lalu berkata lagi.
"Ah, Ji-wi ternyata memegang janji. Silakan masuk! Nona, biarlah orang-orang kami merawat kuda Nona itu. Silakan turun dan masuk ke dalam!"
"Mana bisa barang sumbangan ditinggalkan diluar?" Kwi Lan berkata.
"Barang sumbangan....? Apakah maksud Nona....?" Kwi Lan tersenyum. "Justeru kuda inilah barang sumbangannya untuk disampaikan kepada Ketua Thian-liong-pang!"
"Ah.... kuda bagus.... kuda hebat....!" Ouw Kiu tiba-tiba memuji setelah tahu bahwa kuda yang besar dan memang hebat ini akan dipersembahkan kepada ketuanya. Kiranya dua orang muda yang lihai ini telah merendahkan diri dan hendak menyenangkan hati ketuanya dengan hadiah seekor kuda pilihan, pikirnya. Akan tetapi jangan kira bahwa kalian akan dapat lolos dari sini, biarpun telah menyogok dengan seekor kuda.
Melihat Ouw Kiu memuji-muji sambil menjura.... seorang lain memberi isyarat dengan kedua tangan mempersilakan mereka dan yang lain-lain juga menjura. Kwi Lan lalu berkata, "Hayo, Berandal kita masuk saja. Hek-ma (Kuda Hitam) ini pun tentu suka mencicip arak wangi Thian-liong-pang!"
"Hayo, tunggu apa lagi?" Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian ia menempelkan suling pada mulutnya dan melangkah maju sambil meniup suling. Adapun Kwi Lan tanpa mempedulikan gerak protes mulut, mata, dan tangan para penjaga sudah menarik kendali dan memaksa kuda hitamnya untuk menaiki anak tangga, terus menjalankan kudanya memasuki ruangan depan menuju ke dalam! Tentu saja para penjaga kaget dan bergerak hendak mencegah, akan tetapi Ouw Kiu berbisik kepada teman-temannya dan kagetlah mereka, berdiri dengan wajah sebentar pucat karena gentar dan sebentar merah karena marah. Baru sekarang mereka tahu bahwa dua orang itulah yang membunuh seorang kawan mereka.
"Jangan sembarangan bergerak, mereka lihai sekali!" bisik Ouw Kiu. "Biarkan Pangcu yang membereskan mereka!" Setelah berkata demikian, melalui pintu samping Ouw Kiu mendahului masuk dan diam-diam melaporkan kepada pimpinan Thian-liong-pang.
Pada waktu itu, Kakek Sin-seng Losu masih duduk di kursi ketua sambil melenggut mengantuk. Akhir-akhir ini, kakek yang sudah tua renta dan pikun ini sering kali melenggut dan banyak mengantuk. Kini ia telah mengenakan pakaian khusus untuk upacara. Jubahnya baru dan indah di bagian dadanya terdapat gambar sebuah timbangan. Inilah tanda bahwa dia sudah meninggalkan kedudukan ketua dan kini menjadi penasihat yang mempertimbangkan dan memutuskan segala macam perkara yang tak dapat diputuskan oleh ketua baru. Di sebelah kanannya duduk Thai-lek-kwi Ma Kiu, murid kepala bekas tukang jagal babi itu. Wajah murid kepala yang usianya sudah lima puluh tahun ini keren, apalagi jenggot dan kumisnya kaku seperti kawat, matanya melotot lebar seakan-akan selalu mengeluarkan sinar mengancam. Di sebelah kanan Thai-lek-kwi Ma Kiu calon ketua baru ini duduk atau berdiri sebelas orang adik-adik seperguruannya yang terdiri dari bermacam-macam orang. Ada Hwesio gundul, ada tosu, ada yang seperti petani, ada yang tua dan ada yang muda. Di belakang kursi kakek Sin-seng Losu berdiri seorang petugas yang membawa bendera Thian-liong-pang, bergambar naga terbang.
Para tamu yang lebih lima puluh itu semuanya sudah memenuhi ruangan, duduk di bangku-bangku memutari meja bundar yang sudah disediakan. Pelayan-pelayan sibuk melayani mereka dengan minuman dan makanan. Saat itu, upacara sudah hendak dilakukan, akan tetapi Thai-lek-kwi Ma Kiu mencari-cari dengan pandang matanya, kelihatan tak senang hatinya. Kemudian ia berbisik kepada suhunya yang masih melenggut, setengah tidur setengah bersamadhi.
"Suhu, tamu sudah lengkap, Apakah tidak lebih baik dilakukan sekarang upacaranya?"
"Hemmm....?" kakek itu membuka mata malas-malasan, kemudian menoleh ke arah kirinya, di mana terdapat sebuah bangku yang kosong. "Dia belum datang?" Ma Kiu mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya. "Suhu, sudah sejam lebih kita menanti, akan tetapi Siauw-te (Adik Seperguruan Kecil) masih juga belum muncul. Dia, suka pergi berburu binatang, suka pergi bermain-main, siapa tahu dia tidak akan datang karena lupa akan urusan hari ini."
"Kita tunggu sebentar lagi." bantah Si Kakek. "Betapapun juga, Siangkoan Li adalah anak tunggal mendiang puteraku, dia cucuku satu-satunya. Sebagai wakil ayahnya yang sudah tidak ada, sepatutnya dia menyaksikan upacara penting hari ini."
Biarpun di dalam hatinya merasa mendongkol sekali terhadap Siangkoan Li yang memperlambat upacara pengangkatannya menjadi Ketua Thian-liong-pang namun Ma Kiu tidak berani membantah kehendak gurunya. Siangkoan Li adalah cucu Sin-seng Losu, semenjak kecil anak ini sudah ditinggal mati ayah bundanya yang tewas dalam pertandingan. Kemudian ia dididik oleh kakeknya dan biarpun ia cucu kakek ini, namun ia juga murid, maka dua belas orang murid kepala atau lebih terkenal Dua Belas Naga Thian-liong-pang itu memanggil dia sute (adik seperguruan). Padahal Siangkoan Li masih amat muda, baru dua puluh tahun usianya.
Pada saat itulah Ouw Kiu si Brewok datang melapor. Karena Sin-seng Losu sudah melenggut lagi di atas kursinya, Ouw Kiu lalu melapor kepada Thai-lek-kwi Ma Kiu tentang kedatangan dua orang muda tadi. Tentu saja Thai-lek-kwi Ma Kiu marah sekali, mendengar bahwa dua orang muda yang mengaku berjuluk Mutiara Hitam dan Berandal dan telah membunuh seorang anggauta Thian-liong-pang berani muncul. Akan tetapi oleh karena saat pengangkatannya sebagai ketua sudah tiba, ia tidak ingin urusan yang amat penting artinya bagi dirinya itu terganggu atau terkacau keributan, maka ia menyabarkan hatinya yang panas. Apalagi ketika mendengar laporan Ouw Kiu bahwa dua orang itu datang untuk menonton upacara dan membawa hadiah seekor
kuda yang bagus. Maka dia segera berdiri dan menyambut. Melihat kakak tertua ini bangkit, otomatis sebelas orang adik seperguruan itu bergerak pula dan mengikutinya menyambut.
Terdengar suara nyaring kaki kuda menginjak-injak lantai dan para tamu serentak menengok, disusul suara mereka riuh membicarakan tamu yang baru muncul. Tentu saja cara Kwi Lan me masuki ruangan sambil menunggang seekor kuda yang tinggi besar berbulu hitam, amat menarik perhatian dan selain mendatangkan kaget, juga heran. Akan tetapi disamping ini, sebagian besar mata para tamu terbelalak kagum karena tidak saja kuda itu amat indah dan gagah, namun penunggangnya lebih menarik lagi, cantik jelita dengan mata bersinar-sinar dan pipi kemerahan, bibir manis tersenyum simpul. Hauw Lam menghentikan tiupan sulingnya, lalu menjura ke arah tuan rumah, diam-diam ia memperhatikan Ma Kiu dan sebelas orang adik seperguruannya. Biarpun belum pernah bertemu dengan mereka, namun jumlah ini menimbulkan dugaan di hati bahwa tentu inilah yang disebut Cap-ji-liong yang ditakuti orang itu. Ia tersenyum dan berseru dengan suara nyaring. "Kami, Dewi Mutiara Hitam dan Dewa Berandal...." Sampai di sini Hauw Lam menoleh kepada Kwi Lan yang tersenyum pula lalu melirik kepada semua tamu yang mengeluarkan seruan heran mendengar sebutan dewa dan dewi tadi, kemudian melanjutkan setelah keadaan menjadi sunyi senyap
karena semua orang memasang telinga penuh perhatian untuk mendengarkan apa yang ia katakan selanjutnya, "..... secara kebetulan lewat di Yen-an dan mendengar nama besar Thian-liong-pang yang katanya hendak mengadakan upacara pengangkatan ketua baru. Maka kami ingin sekali menonton keramaian dan Sang Dewi Mutiara Hitam ini berkenan memberi hadiah kuda hitamnya untuk Thian-liong-pang!"
Mendengar dirinya disebut-sebut sebagai Sang Dewi Kwi Lan mengerutkan alisnya dan cemberut, melompat turun dari kuda dan berkata, "Harap jangan dengarkan obrolan Berandal ini! Kuda ini memang hendak kusampaikan kepada Thian-liong-pang, akan tetapi bukan hadiah dariku, melainkan hadiah dari Khitan untuk Thian-liong-pang!"
Mendengar ucapan Kwi Lan berubah air muka dua belas orang "naga" dari Thian-liong-pang itu. Ma Kiu segera berkata, suaranya berubah ramah, "Ah, kiranya Ji-wi adalah utusan dari Pak-sin-ong? Sungguh merupakan penghormatan besar sekali terhadap Thian-liong-pang dan salah paham yang terjadi beberapa pekan yang lalu adalah kesalahan anak buah kami, mohon Ji-wi sudi memaafkan."
"Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan." kata Kwi Lan setelah bertukar pandang dengan Hauw Lam. "Akan tetapi yang jelas, kuda ini bukan sembarangan kuda, melainkan kuda keturunan kuda pribadi Ratu Khitan. Harap Thian-liong-pang suka menerima. anugerah dari Ratu Khitan ini."
Kwi Lan bicara sejujurnya, karena di dalam hati ia tetap condong untuk membela Ratu Khitan yang menurut penuturan guru dan bibinya adalah ibu kandungnya sendiri. Akan tetapi Ma Kiu mendengar ini, mengangguk-angguk dan bertukar pandang dengan sebelas orang saudaranya.
"Kami mengerti.... kami mengerti dan terima kasih banyak.... katanya. Tentu saja Kwi Lan tidak mengerti apa yang ia maksudkan, akan tetapi melihat Hauw Lam berkedip kepadanya, ia pun diam saja. Ia lalu melompat turun dari kudanya dan memberikan kendali kuda kepada Ma Kiu. Calon ketua itu menggapai seorang anggauta Thian-liong-pang yang tinggi besar.
"Bawa kuda ini ke kandang dan pelihara baik-baik beri makan minum secukupnya!" Orang tinggi besar itu memberi hormat dan menerima kendali. Akan tetapi begitu ia menarik kendali, kuda hitam itu yang mencium bau orang baru dan merasai tarikan keras, segera meringkik, membuka mulut dan menerjang orang tinggi besar itu! Si Tinggi Besar terkejut dan berusaha mengelak, namun terlambat, pundaknya kena digigit sehingga ia berkaok-kaok kesakitan dan ketika kuda itu melepaskan
gigitannya, daging pundak berikut baju sudah robek dan darah membasahi semua bajunya! Tentu saja anggauta ini menjadi kaget dan melepaskan kendali kudanya. Hauw Lam tertawa bergelak. "Sudah kuberitahu, kuda ini bukan kuda sembarangan!"
"Hemm, memang kuda pilihan. Twa-suheng, biarlah aku yang membawanya ke kandang." Seorang laki-laki berusia hampir empat puluh tahun, bertubuh kecil kurus, melangkah maju, Dia ini adalah seorang di antara Cap-ji-liong dan begitu Ma Kiu menganggukkan kepala, Si Kurus sudah menyambar kendali kuda, lalu tubuhnya melayang naik ke punggung kuda hitam. Kuda itu meringkik-ringkik dan meronta-ronta, namun dengan menjepitkan kedua kaki ke perut kuda, Si Kecil Kurus tetap duduk dengan tenang, bahkan lalu membetot-betot kendali kuda. Kuda hitam makin marah, melonjak-lonjak dan meloncat-loncat tinggi menggerak-gerakkan punggungnya. Kalau orang biasa tentu akan terlempar dari punggung kuda, akan tetapi ternyata Si Kecil Kurus itu lihai sekali. Tubuhnya mendoyong kesana kemari, namun ia dapat duduk tegak dan tetap. Akhirnya, setelah hidung dan bibir kuda mengeluarkan darah karena tertarik kendali, baru kuda hitam itu kelelahan dan menurut saja disuruh berjalan keluar dari dalam ruangan tamu!
Ma Kiu lalu mempersilakan dua orang tamu mudanya untuk duduk di bagian depan. Hauw Lam berbisik. "Mereka mengira bahwa kita ini tokoh-tokoh kepercayaan Jin-cam Khoa-ong dan memang biasanya orang-orang Pak-sin-ong ini melakukan perjalanan sambil menyamar dan merahasiakan diri, karena selalu menjadi incaran orang pemerintahan Khitan. Tentu Si Brewok tadi mengira kita berpura-pura menghadapi banyak tamu, maka ia bilang mengerti!" Pemuda itu tertawa dan Kwi Lan juga tertawa geli. Pelayan datang dengan cepat membawa minuman arak wangi dan masakan-masakan lezat dan mahal. Karena memang sudah lapar dan sudah lama tidak bertemu makanan lezat, Hauw Lam dan Kwi Lan tidak sungkan-sungkan lagi. Kiranya pemuda jenaka itu adalah
seorang ahli makanan. Sambil mencoba dan mencicipi belasan macam masakan yang datang membanjir! meja mereka Hauw Lam tiada hentinya mengoceh untuk memperkenalkan tiap masakan kepada Kwi Lan.
"Ini kodok goreng istimewa. Kodok macam ini hanya terdapat dalam rawa-rawa dan daerah selatan saja, dagingnya empuk, gurih dan harum sedap. Maka harganyapun amat mahal. Sayang ini yang jantan, kalau yang betina lebih lezat. Akan tetapi kodok betina jarang disembelih orang karena dibutuhkan telurnya. Hanya Kaisar yang suka menyuruh buatkan kodok betina goreng!" Memang luar biasa masakan kodok goreng itu. Berbeda dengan swike biasa, kodok ini digoreng berikut kulitnya yang loreng-loreng, akan tetapi justeru kulitnya itu yang enak, kemripik seperti krupuk udang. Juga berbeda dengan swike biasa, tulangnya enak pula dimakan, tidak keras. "Wah, ini sop buntut menjangan namanya! Dimasak sop dengan campuran kacang polong dan jamur kuning. Hebat! Tapi kalau terlalu banyak membuat badan panas dan darah mengalir cepat. Sedikit cukup untuk menghangatkan tubuh. Dan ini masak tim kaki burung raja air! Kau tahu apa itu burung raja air? Bebek! Ini tim kaki bebek. Enak kenyilkenyil dan gurih. Wah, yang di sana itu panggang ayam angkasa. Sedap!"
"Apa itu ayam angkasa?" Kwi Lan bertanya, gembira oleh penjelasan yang lucu ini.
"Ayam angkasa? Masa tidak tahu? Burung dara! Enak juga, cobalah." Sampa i kenyang sekali perut Kwi Lan karena pandainya
Hauw Lam memperkenalkan setiap masakan sehingga tak dapat ia bertahan untuk tidak mencicipinya.
"Eh, ini masakan apa? Mengapa dagingnya bundar-bundar tapi bukan bakso? Licin....!" Hauw Lam mengulur leher menjenguk, lalu mengorek dengan sumpit untuk memeriksa. "Ini....? Waaahh.... gila amat! Ini.... ini bukan makanan wanita! Celaka! yang begini dikeluarkan. Sialan benar!" Ia mengomel panjang pendek tanpa menjawab pertanyaan Kwi Lan. Gadis itu tentu saja menjadi tertarik sekali, "Masakan apa sih? Kenapa bukan makanan wanita?" Heran sekali. Tiba-tiba muka Hauw Lam menjadi merah dan ia tampak gagap-gugup dalam menjawab. Padahal biasanya pemuda ini paling pandai bicara. "Masakan.... waaahhh,
bagaimana ini....? Ini masakan.... masakan....hemmmm....!" Karena mereka berdua tadi bicara keras tanpa mempedulikan orang lain, tentu saja percakapan terakhir ini pun terdengar pula oleh para tamu yang duduk berdekatan. Mereka mulai tertawa-tawa geli menyaksikan sikap Hauw Lam ini. "Ih, kenapa kau? Sudah mabokkah? Masa menjawab masakan saja begitu sukar? Kalau tidak mengenal, bilang saja terus terang, mengapa susah-susah amat?" Kwi Lan menegur. "Siapa bilang aku tidak mengenal masakan ini? Semua masakan di dunia pernah kumakan. Aku pernah memasuki dapur kaisar, pernah ikut dalam perjamuan Beng-kauw di
selatan! Ini masakan.... daging kambing saus tomat!"
"Uhh, hanya daging kambing saja kenapa tidak dari tadi menyebutnya? Kau bohong agaknya! Kalau benar hanya daging kambing, mengapa bentuknya bulat seperti ini? Dan mengapa pula tadi kau hilang ini bukan makanan wanita?"
"Ha-ha-ha-ha! Itu bukan daging kambing, melainkan.... peluru kambing. Ha-ha-ha!" Riuh rendah suara ketawa itu. Hauw Lam dan Kwi Lan menengok. Sejak tadi mereka sudah tahu bahwa tidak jauh dari meja mereka, dalam jarak lima meter, terdapat enam orang anggauta pengemis baju bersih yang duduk mengelilingi meja dan sejak tadi memperhatikan mereka berdua. Enam orang pengemis itu rata-rata sudah berusia enam puluh tahun lebih, hanya yang dua inilah mereka masih muda dan kini dua orang inilah yang tertawa-tawa oleh ucapan seorang di antara mereka tadi. Pada saat itu, Kwi Lan dengan sumpitnya telah menusuk dua potong daging kambing itu yang memang berbentuk bundar telur sebesar telur ayam.
"Hanya kambing jantan yang memiliki peluru itu, kambing betina tentu saja tidak punya. Akan tetapi keliru kalau orang bilang wanita tidak boleh memakannya, malah sebetulnya itu makanan wanita, apalagi wanita cantik....! Ha-ha-ha-ha!" komentar pengemis muda yang kedua dan kembali dua orang yang duduknya menghadap kepada meja Kwi Lan tertawa-tawa sambil terang-terangan memandang kepada gadis itu.
Akan tetapi, mendadak dua orang pengemis muda yang sedang tertawa berkakakan itu terhenti ketawanya setelah mengeluarkan suara "ha-haaauupp!" dan mata mereka mendelik, tangan kiri mencekik leher dan tangan kanan menunjuk-nunjuk kebingungan ke arah mulut mereka yang ternganga. Tanpa diketahui orang lain saking cepatnya gerakan tangan Kwi Lan, dua buah daging bulat yang tadi berada di ujung sepasang sumpitnya kini telah menyusup masuk ke tenggorokan dua orang itu melalui mulut yang tadi
terbuka lebar-lebar.
Empat orang pengemis lain yang mengira bahwa dua orang temannya ini, tersedak makanan sibuk menolong, menepuk-nepuk punggung mereka dengan keras sambil bertanya-tanya. Akan tetapi dua orang itu hanya dapat mengeluarkan suara seperti orang gagu karena kerongkongannya tersumbat. Akhirnya seorang di antara mereka terbatuk dan meloncat keluarlah daging bulat seperti telur ayam itu, sedangkan seorang lagi, karena daging itu belum keluar dan ia merasa napasnya hampir putus, dengan nekat lalu memasukkan sumpit ke mulutnya dan mendorong daging dikerongkongannya itu terus masuk! Akal ini menolong juga dan
terhindarlah ia daripada bahaya maut tercekik. Kwi Lan yang telah memberi hukuman kepada dua orang pengemis muda yang berani mentertawakannya itu, kedua pipinya menjadi merah. Tidak hanya karena marah, juga karena jengah setelah ia mendengar apa sebetulnya daging bulat-bulat itu. Diam-diam ia memaki tuan rumah yang mengeluarkan hidangan macam itu. Gadis ini memang masih asing dengan segala masakan-masakan kota, apalagi masakan-masakan yang begitu mewah. Semenjak kecil ia hanya makan masakan sederhana yang dibuat Bibi Bi Li. Kini untuk mengalihkan perhatian dari masakan yang dianggapnya tidak pantas itu, lalu bertanya kepada Hauw Lam yang masih tertawa-tawa, mentertawakan keadaan dua orang pengemis tadi.
"Dan ini, apakah ini? Untuk apa? Kelihatannya seperti darah."
"Bukan darah. Itu namanya kecap, untuk bumbu menambah asin atau manis masakan." Sementara itu, dua orang pengemis muda yang sudah bebas daripada daging-daging bulat, kelihatan marah-marah, berdiri dan memandang ke arah meja Kwi Lan sambil melotot.
Empat orang kawannya yang lebih tua juga sudah menengok semua dan mereka bicara berbisik-bisik satu kepada yang lain, wajah mereka mengancam. Agaknya mereka sedang mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan terhadap dua orang muda itu tanpa mengganggu jalannya pesta. Mereka berenam hanyalah tokoh-tokoh biasa saja yang datang mewakili pengemis golongan hitam, maka tentu saja mereka segan untuk membuat gaduh dan kacau dalam pesta perayaan pengangkatan Ketua Thian-liong-pang. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk menanti sampai upacara berakhir, barulah akan memberi hajaran kepada dua orang
muda kurang ajar itu. Pada saat itu terdengar ribut-ribut di luar, bentakan suara laki-laki mengiringi tangis wanita. Semua tamu menengok dan muncullah seorang laki-laki tinggi besar berjubah seperti pendeta, akan tetapi rambutnya panjang riap-riapan dan mukanya seperti seekor singa, matanya lebar dan bersinar liar. Laki-laki berusia lima puluhan tahun ini memegang sebatang cambuk panjang dan dengan cambuk ini ia menggiring dua belas orang wanita muda-muda dan cantik-cantik seperti seorang penggembala menggiring ternak saja. Beberapa orang di antara wanita inilah yang mengeluarkan suara tangisan, dan yang lain berjalan dengan muka pucat dan mata penuh kecemasan.
Begitu memasuki ruangan itu, kakek ini tertawa dan wajahnya menjadi makin menyeramkan. Rambutnya yang riap-riapan dan terhias bunga-bunga cilan, semacam bunga yang wangi, bergerak-gerak ketika ia tertawa. Melihat tamu ini, Thai-lek-kwi Ma Kiu berubah air mukanya, menjadi girang dan segera turun sendiri menyambut dan menjura.
"Wah, kiranya sahabat Ci-lan Saikong yang datang berkunjung. Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami."
"Huah-ha-ha-ha! Thian-liong-pang terkenal dengan Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) yang sungguh gagah perkasa. Kini yang tertua di antaranya akan menjadi ketua, benar-benar menambah keangkeran Thian-liong-pang. Pinceng (aku) datang. untuk memberi hormat kepada Sin-seng Losuhu, dan memberi selamat kepada Thian-liong-pang dengan ketua barunya, dan karena pinceng seorang miskin yang hanya suka mengumpulkan bunga-bunga harum maka pinceng hanya dapat memberi sumbangan dua belas tangkai bunga harum ini untuk hiasan kamar Dua Belas Naga dari Thian-liong-pang sehingga kamar mereka menjadi harum dan membuat mereka enak tidur. Ha-ha-ha!" Kemudian kakek itu membunyikan cambuknya di atas kepala dua belas orang gadis tawanannya
sambil membentak, "Hayo kalian lekas berlutut di depan majikan-majikan baru kalian!" Karena agaknya sudah tahu akan kekejaman kakek itu, dua belas orang gadis ini lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan muka. Para tamu yang hadir terdiri dari orang-orang golongan hitam, maka peristiwa ini tidaklah mengherankan hati mereka, malah banyak di antara mereka. tertawa-tawa dan terdengar komentar di sana-sini memuji dua belas orang gadis itu dan menyatakan betapa senangnya menerima sumbangan benda hidup seperti itu. Juga Thai-lek-kwi Ma Kiu dan adik-adik seperguruannya serta para anggauta Thian-liong-pang menganggap hal ini biasa dan sewajarnya saja. Akan tetapi karena saat itu adalah saat yang penting dan di situ terdapat banyak tamu, Ma Kiu merasa malu dan jengah juga. Ia kembali menjura dan berkata.
"Ah, Saudara Ci-lan Sai-kong mengapa begitu sungkan? Kami tidak mengharapkan sumbangan. Kedatanganmu saja sudah cukup menggirangkan hati kami!" Sungguhpun tidak menolak secara berterang, namun kata-kata ini menyatakan ketidaksenangan hati dengan sumbangan itu, karena diberikan bukan pada saatnya yang tepat.
"Ha-ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa sambil mengelus jenggotnya yang kaku. "Sudah kukatakan tadi, pinceng orang miskin dan hanya suka mengumpulkan cilan. Karena mendengar bahwa para pimpinan Thian-liong-pang mempunyai kesukaan yang sama dengan pinceng maka pinceng membawa dua belas tangkai kembang ini. Jangan Sicu (Tuan yang Gagah) khawatir, bunga-bunga ini masih
murni, datang dari keluarga baik-baik dan sengaja kupilih untuk Sicu sekalian!"
Pada saat itu, Si Tua Renta Sin-seng Losu yang tadinya duduk melenggut mengantuk di atas kursi, kini tiba-tiba nampak segar, dan tidak mengantuk lagi. Ia duduk tegak di kursinya, matanya yang setengah lamur itu dilebar-lebarkan untuk memandangi dua belas orang gadis yang berlutut di atas lantai. Kemudian seperti seorang mimpi ia berkata, "Sumbangan paling berharga diberikan orang, kenapa banyak rewel? Kalau tidak suka, boleh giring semua ke kamarku!"
"Huah-ha-ha-ha!" Ci-lan Sai-kong tertawa bergelak sambil berdongak sehingga perutnya yang besar bergerak-gerak turun naik, "Sin-seng Losu benar-benar mengagumkan sekali. Orang boleh tua tapi hati harus tetap muda! Kalau Losuhu menghendaki, lain kali boleh pinceng kirim beberapa tangkai bunga yang lebih muda, lebih cantik dan lebih harum!"
"Heh-heh, terima kasih.... ini sudah cukup.... banyak ...." Biarpun dia sendiri seorang yang tidak pantang melakukan segala macam maksiat, namun sebagai calon ketua perkumpulan besar, Ma Kiu merasa malu juga mendengar percakapan kasar ini. Maka untuk mencegah agar suhunya yang sudah pikun dan jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) Ci-lan Sai-kong itu tidak mengeluarkan omongan-omongan yang tidak patut lagi, ia segera menjura. "Banyak terima kasih atas sumbanganmu, kami persilakan duduk dan menikmati hidangan sekadarnya!" sambil menyuruh adik-adik seperguruannya membawa para gadis itu ke belakang, ia sendiri lalu mengantar tamu ini ke tempat duduknya.
Hauw Lam mengerutkan alisnya, mukanya yang tampan dan biasa bergembira itu berubah sama sekali, sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan Kwi Lan melihat hal ini dan merasa heran. Mengapa pemuda, ini marah-marah? "Kau kenapa?" Ia bertanya lirih. "Kenapa? Hemm, tidakkah kau lihat mereka tadi....?" Hauw Lam menjawab dengan pertanyaan pula. "Ci-lan Sai-kong itu, jai-hwa-cat terkutuk...."
"Apa itu jai-hwa-cat?"
Dalam kemarahannya, Hauw Lam berubah gemas dan mengomel. "Kau ini benar-benar tidak tahu apa-apa! Tidak mengenal masakan masih tidak aneh, akan tetapi seorang dara dengan kepandaian seperti kau ini yang patut menjagoi dunia kang-ouw, tidak tahu apa itu jai-hwa-cat benar-benar bikin hati mendongkol. Sekan-akan kau mempermainkan aku dan pura-pura tidak tahu!"
Kwi Lan makin heran melihat pemuda ini bertambah kemarahannya. "Eh, kau kenapa sih? Mabok agaknya, ya? Aku benar-benar tidak tahu, kau marah-marah. Hayo jelaskan, apa sih yang dinamakan jai-hwa-cat itu? Kakek itu menjemukan, buruk kasar dan menjijikkan, tapi ia seperti seorang pendeta. Apakah jai-hwa-cat itu seorang pendeta? Setahuku, pendeta suka memetik daun-daun dan menggali, akar-akar untuk obat. Memetik bunga (jai-hwa) untuk apa?"
"Kau benar bodoh, Mutiara Hitam! Pendeta itu hanya berkedok pendeta, akan tetapi di balik kedoknya, ia penjahat yang sejahat-jahatnya. Yang dimaksudkan bunga adalah seorang gadis atau seorang wanita muda. Dia bukan me etik bunga biasa, melainkan tukang culik dan ganggu gadis-gadis muda, Kaulihat dua belas gadis itu...."
"Hemm, mereka itu orang-orang tidak punya guna. Mereka mau saja dijadikan barang sumbangan. Perlu apa dipikirkan boneka-boneka hidup itu?"
"Mereka dipaksa!"
"Ih, aku tidak melihat mereka dipaksa. Mereka berjalan dengan sukarela sama sekali tidak melawan."
"Mereka orang-orang lemah, bagaimana berani melawan?" Kwi Lan mengangkat kedua pundak. Ia tetap tidak mengerti dan tidak mempedulikan nasib dua belas orang wanita tadi. Hauw Lam makin mendongkol. Gadis aneh yang telah merampas hatinya ini agaknya selain berwatak luar biasa, juga, hatinya keras dan tidak mempedulikan nasib orang lain.
Tiba-tiba terjadi keributan kembali dan masuklah dari ruangan depan seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih tinggi kurus dan wajahnya tampang sikapnya agung dan pakaiannya biarpun tidak baru, namun bersih dengan potongan pakaian pelajar. Di pinggang orang ini tergantung sebatang pedang. Begitu masuk, semua orang tahu bahwa pelajar tua ini sedang marah, sepasang matanya yang tajam mengeluarkan sinar. Ia langsung melangkah lebar ke dalam ruangan tamu, berhenti di depan Sin-seng Losu lalu menudingkan telunjuknya dan berteriak. "Sin-eng Losu! Bagaimana pertanggunganjawabmu terhadap Thian-liong-pang? Kulihat betapa Thlan-liong-pang berubah menjadi perkumpulan iblis yang jahat dan yang mengotorkan nama kami para patriot Hou-han! Tadinya melihat muka mantumu, Siangkoan Bu yang gagah perkasa dan dapat membawa Thian-liong-pang ke jalan benar, aku masih bersabar menyaksikan sepak terjangmu. Akan tetapi setelah Siangkoan Bu meninggal, kau dan murid-muridmu makin merajalela melakukan kejahatan-kejahatan yang keji, menyeret nama bersih Thian-liong-pang sebagai tempat perkumpulan para patriot Hou-han menjadi perkumpulan bangsat-bangsat dan penjahat-penjahat!"
Mendengar ucapan ini Ma Kiu melompat bangun diturut sebelas orang adik seperguruannya. "Heh, orang she Ciam! Engkau dahulu memang tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi dengan kehendakmu sendiri kau pergi mengundurkan diri sehingga kalau tidak ada Suhu kami, tentu Thian-liong-pang sudah bubar dan hancur diperhina orang lain. Kini Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang besar, dihormati orang di dunia kangouw, dan kau berani datang bersikap kurang ajar terhadap Suhu? Apakah kau sudah bosan hidup?"
"Ciam-sicu, mengingat engkau masih bekas pemimpin Thian-liong-pang dan mengingat akan hubungan kita yang lalu, biarlah kumaafkan kata-katamu yang kasar tadi." Terdengar Sin-seng Losu berkata tenang. "Akan tetapi katakanlah mengapa datang-datang kau memaki dan marah-marah? Bukankah anak buahku sudah pula memberi kabar kepadamu dan memberi undangan?"
"Aku tidak peduli akan upacara pengangkatan ketua baru, asal saja Thian-liong-pang dibawa ke jalan benar. Akan tetapi, aku sedang mengejar Ci-lan Sai-kong Si Penjahat Pemetik Bunga yang terkutuk, yang telah menculik belasan orang gadis. Siapa kira, dua belas orang gadis itu diculiknya untuk diantarkan ke sini! Hayo menyangkallah kalau bisa! Bukankah Sai-kong keparat itu mengantarkan mereka ke sini sebagai sumbangan? Beginikah wataknya para pimpinan Thian-liong-pang sekarang? Begini rendah dan bejat?"
"He-heh, Ciam-sicu. Apapun yang dipersembahkan orang, kalau itu merupakan sumbangan, tidak baik untuk ditolak. Menolaknya berarti menghina dan tidak menghargai maksud baik orang lain. Memang kami telah menerima sumbangan Ci-lan Sai-kong. Akan tetapi kalau kau menghendaki mereka, biarlah kuberikan mereka kepadamu," Kembali Ketua Thian-liong-pang itu berkata penuh kesabaran. Ia sebetulnya tidak takut terhadap orang she Ciam itu, akan tetapi mengalah karena mengingat akan perhubungan mereka yang lalu. Ciam Goan ini dahulu adalah seorang di antara pimpinan Thian-liong-pang dan terkenal aktif serta setia terhadap perkumpulan. Baru sepuluh tahun yang lalu, karena makin tidak suka akan sepak terjang pimpinan baru ia mengundurkan diri dan tidak pernah mencampuri Thian-liong-pang. Baru sekarang ia tiba-tiba muncul dan marah-marah karena melihat betapa penjahat pemetik bunga yang dikejar-kejarnya itu memberikan gadis-gadis culikannya sebagai sumbangan kepada pimpinan Thian-liong-pang!
"Sin-seng Losu! Kau masih mempunyai rasa malu, itu bagus. Lekas bebaskan dua belas orang gadis itu dan selanjutnya aku tidak akan mencampuri urusan Thian-liong-pang lagi karena semenjak saat ini, aku bersumpah takkan sudi lagi menginjak lantai ini!"
Mendengar kata-kata ini, Sin-seng Losu menoleh ke arah dua belas orang muridnya. Sikapnya jelas hendak mengalah dan gerakan mukanya merupakan perintah agar murid-muridnya membebaskan dua belas orang gadis sumbangan Ci-lan Sai-kong. Di dalam hatinya Ma Kiu dan adik-adiknya merasa mendongkol dan marah sekali. Mereka memang suka dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi bagi mereka amat mudah mendapatkan wanita cantik, baik dengan mengandalkan uang, kedudukan, maupun kepandaian dan
tentu saja mereka tidak begitu kukuh, untuk menahan dua belas orang gadis tadi. Akan tetapi, sikap Ciam Goan amat
merendahkan mereka dan kalau mereka mengalah, mereka merasa malu kepada para tamu. Selain itu, mereka pun tahu bahwa gurunya mengalah hanya karena mengingat bahwa Ciam Goan ini dahulu bekas pemimpin Thian-liong-pang. Soal kepandaian, sungguhpun Ciam Goan cukup lihai, namun mereka tidak gentar menghadapinya. Karena inilah, Ma Kiu menjadi ragu-ragu untuk menyetujui sikap gurunya yang mengalah.
Pada saat itu, terdengar suara ketawa keras dan Ci-lan Sai-kong sudah melompat bangun menghadapi Ciam Goan. Sambil bertolak pinggang orang tinggi besar itu tertawa dan berkata. "Huah-ha-ha-ha! Cacing kurus yang bicara besar dan sombong! Engkau bilang mengejar dan mencari pinceng? Dua belas tangkai bunga itu adalah pinceng yang menyumbangkan kepada dua belas orang gagah Thian-liong-pang, dan karena pinceng masih berada di tempat ini, masih menjadi tanggung jawab pinceng!"
"Bagus! Memang aku akan membunuhmu, jai-hwa-cat!" bentak Ciam Goan dengan marah. Bekas tokoh Hou-han ini tidak peduli akan semua tamu lain karena kemarahannya sudah meluap-luap. Yang membuat marah sekali bukan hanya melihat penjahat cabul penculik gadis-gadis remaja itu, melainkan terutama sekali karena melihat betapa Thian-liong-pang yang tadinya menjadi harapan para patriot Hou-han untuk membangun kembali kerajaan yang sudah runtuh, kini ternyata menyeleweng menjadi sarang penjahat kejam terkutuk. Maka kini dengan kemarahan meluap ia mencabut pedangnya dan langsung menerjang Sai-kong itu dengan
tusukan kilat ke arah dada, Harus diketahui bahwa Ciam Goan ini adalah putera tunggal mendiang Ciam-ciangkun seorang panglima Kerajaan Hou-han dan dalam hal ilmu pedang, ia telah digembleng oleh seorang pamannya, adik ibunya, juga seorang panglima, yaitu Panglima Giam Siong yang terkenal jagoan. Ilmu pedangnya bersumber kepada ilmu pedang Kun-lun-pai, maka mengutamakan kecepatan gerak dan perubahan.
Mendengar suara angin pedang berdesing dan melihat serangan yang cepat ini, Ci-lan Sai-kong tidak berani memandang rendah. Sambil berseru keras ia sudah meloncat mundur sambil mengibaskan lengan bajunya yang lebar dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah menghunus keluar sebatang golok tipis yang mengkilap saking tajamnya.
Ujung pedang di tangan Ciam Goan sudah datang lagi dengan tusukan kearah leher. Kini Ci-lan Sai-kong menggerakkan goloknya menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Sai-kong ini adalah seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) sehingga tenaganya amat besar. Terdengar bunyi nyaring ketika dua senjata beradu. Diam-diam Ciam Goan terkejut sekali. Untung tadi sudah menduga akan besarnya tenaga lawan, sehingga ia telah mengerahkan Iwee-kang dan ketika pedangnya ditangkis, ia dapat menghadapi tenaga keras dengan tenaga lemas. Dengan cara ini, walaupun tertangkis keras, pedangnya tidak terpental melainkan menempel pada golok sehingga tidak ada bahaya terlepas atau rusak.
Selagi Sai-kong itu terkejut karena tangkisannya yang keras tidak berhasil membuat pedang lawan terpukul jatuh, Ciam Goan sudah membuat pedangnya meleset dan langsung dengan gerakan nyerong pedangnya itu menyambar ke arah lengan kanan lawan. Inilah jurus ilmu pedang Kun-lun yang bernama Hunin-toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung), amat berbahaya karena yang diserang bukan bagian tubuh lain melainkan lengan kanan yang memegang golok! Hebatnya jurus ini adalah karena pedang itu akan terus mengulang gerakannya membabat dari kanan ke kiri dan sebaliknya tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Kecepatannya mengandalkan kepada gerak pergelangan tangan, maka cepatnya bukan main dan lawan yang diserang tentu akan menjadi bingung.
Demikian pula dengan Ci-lan Sai-kong. Melihat pedang lawannya membabat ke arah lengan kanannya, ia kaget sekali dan cepat ia menarik lengan kanannya sambil memutar golok, siap membalas. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedang yang lewat kesebelah kirinya itu kini membalik dengan kecepatan kilat dan telah membabat lagi ke arah pinggangnya! Tak disangkanya lawan akan dapat mengulangi serangan sedemikian cepatnya, maka ia pun menggerakkan golok menangkis. Namun tetap saja Ciam Goan dapat terus menyambung serangannya, begitu tertangkis, pedangnya membalik dan meluncur dengan babatan dari samping,
demikian pula kalau dielakkan sehingga Sai-kong itu mengalami penyerangan berantai yang membuat dia repot menyelamatkan diri.
Akan tetapi, Ci-lan Sai-kong juga bukan seorang lemah. Selain memiliki dasar ilmu silat tinggi, juga ia sudah kenyang akan pengalaman bertanding. Inilah sebabnya maka menghadapi serangan Hun-in-toan-san yang amat lihai ini ia pun tidak kekurangan akal. Melihat betapa pedang lawan selalu membabat dari kanan ke kiri dan sebaliknya, sedangkan yang diserang adalah pinggang ke atas, tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan keras dan tubuhnya lalu rebah dan menggelinding ke atas tanah. Ia tidak hanya menggelinding untuk menyelamatkan diri, melainkan juga berguling untuk mendekati lawan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah, membabat kaki lawan dan juga ada kalanya menusuk ke arah perut. Inilah Tee-tong-to (Ilmu Golok Bergulingan) yang amat berbahaya. Segera keadaan menjadi berubah. Kalau tadi Ciam Goan berada di pihak penyerang dan
pendesak dengan jurus Hun-in-toan-san, kini Si Penjahat Pemetik Bunga itu yang mendesak dengan Tee-tong-to. Ciam Goan menjadi repot sekali, harus meloncat kesana kemari dan pedangnya melindungi tubuh bagian bawah, bagian yang amat sulit dilindungi dengan pedang. "Wah, ramai betul!" Hauw Lam berkata dengan wajah gembira. "Kalau tidak hati-hati orang she Ciam itu tentu akan celaka."
"Tidak mungkin!" bantah Kwi Lan. "Biarpun ilmu pedangnya hanya permainan kanak-kanak, sedikitnya ia lebih baik daripada brewok itu."
"Hauw Lam melirik ke arah gadis ini. Terlalu sombongkah gadis ini, atau memang betul-betul berkepandaian begitu tinggi sehingga menganggap ilmu pedang Ciam Goan yang jelas bersumber ilmu pedang Kun-lun itu dianggap permainan kanak-kanak.
"Kumaksudkan bukan dalam pertandingan melawan Sai-kong itu. Melawan dia, kiranya takkan kalah karena kulihat Sai-kong itu hanya luarnya saja kelihatan kuat, akan tetapi dalamnya sudah lapok seperti pohon tua, napasnya sudah hampir putus. Yang kukhawatirkan adalah orang-orang Thian-liong-pang. Lihat saja sikap Dua Belas Naga itu dan kurasa Ciam Goan belum tentu akan dapat meninggalkan tempat ini dengan selamat."
Kini Kwi Lan yang merasa heran. Ia tidak berkata apa-apa, akan tetapi hatinya penasaran. Ia belum berpengalaman seperti Hauw Lam, tidak mengenal watak orang-orang kang-ouw.
Sementara itu, pertandingan antara dua orang itu makin seru. Kini Ci-lan Sai-kong tidak lagi menggunakan Tee-tong-to karena setelah puluhan jurus ia lakukan tanpa hasil, ia menjadi kelelahan sendiri. Memang Tee-tong-to sungguhpun lihai dan berbahaya bagi lawan, namun untuk memainkannya membutuhkan tenaga dan napas panjang. Adapun Ci-lan Sai-kong, sungguhpun terlatih baik dan banyak pengalaman, namun tepat seperti dikatakan Hauw Lam tadi di sebelah dalam tubuhnya ia sudah lemah. Sai-kong ini adalah seorang abdi nafsu, seorang yang selalu mengumbar nafsu sehingga tentu saja kekuatan-kekuatan sebelah dalam tubuhnya menjadi lemah dan mana ia mampu bertahan melawan seorang yang ulet dan kuat seperti Ciam Goan? Kini
keringatnya sudah membasahi muka dan leher, napasnya mulai terengah-engah seperti orang dikejar setan. Melihat keadaan lawan ini, Ciam Goan lalu mendesak dan menerjang dengan jurus Seng-siok-hut-si (Musim Panas Kebut Kipas). Jurus ini amat gencar seperti gerakan kipas di tangan, bahkan lebih gencar serangannya daripada jurus Hun-in-toan-san tadi. Tiga kali Sai-kong itu mengelak dan menangkis, keempat kalinya ketika ujung pedang menotok iga kiri, ia cepat melakukan jurus Hwai-tiong-po-gwat (Peluk Bulan Depan Dada) untuk melindungi iganya dengan golok sambil tangan kirinya bergerak memukul dada lawan. Namun siapa kira, Ciam Goan sudah merobah gerakan pedangnya, ia tidak jadi menotok iga, melainkan memutar pedangnya ke kanan dan.... "crakkkk!" lengan kiri Sai-kong itu terbabat putus sebatas siku!
"Aduhh....!" Sai-kong itu terhuyung dan Ciam Goan sudah menerjang maju untuk mengirim tusukan terakhir. Akan tetapi pada saat itu tampak sinar putih meluncur cepat dan "traanggg....!" pedang di tangan Ciam Goan terpental dan lepas dari pegangannya. Sebatang sumpit gading yang tadi menghantam pedang itu jatuh ke atas lantai di depannya. Pucat wajah Ciam Goan. Kiranya Ma Kiu yang menyambitkan sumpit itu untuk menangkis pedangnya dan menyelamatkan nyawa Ci-lan Sai-kong. Lemparan sumpit saja sudah dapat meruntuhkan pedangnya. Baru lemparan sumpit begitu hebat, apalagi kalau orangnya maju! Ciam Goan menghela napas dan berkata, "Kepandaian Thai-lek-kwi memang hebat. Seorang saja sudah sehebat itu, apalagi kalau Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang maju bersama. Akan tetapi aku Ciam Goan seorang laki-laki yang tidak takut mati. Majulah kalian semua dan mari kita mengadu nyawa di sini!" Sikap Ciam Goan benar-benar amat gagah sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi kagum sekali. Diam-diam gadis ini sudah siap-siap untuk membela orang gagah itu. Ia mendengar kawannya berbisik, "Kalau dia. dikeroyok, hemmm.... akan kucabuti semua rambut dari muka Ma Kiu berikut bulu-bulu hidungnya!" Mau tidak mau Kwi Lan tertawa geli mendengar ucapan ini. Karena gadis wajar dan polos, maka suara ketawanya tidak ia tahan-tahan. Padahal
waktu itu, keadaan sudah amat tegang dan amat sunyi. Tidak ada suara keluar dari para tamu yang menanti perkembangan
selanjutnya yang menegangkan. Tentu saja suara ketawa gadis ini terdengar jelas.
Sin-seng Losu lalu bangkit berdiri. Suara ketawa Kwi Lan tadi seakan-akan menampar mukanya dan ia berkata, "Sudahlah kami sedang hendak melakukan upacara penting tidak perlu pertandingan dilanjutkan berlarut-larut. Apalagi, kami tidaklah serendah itu untuk melakukan pengeroyokan terhadap seorang yang tidak berapa pandai seperti Ciam-sicu, kau sudah berhasil mengalahkan Ci-lan Sai-kong, nah, tidak lekas pergi dari sini mau tunggu apa lagi?"
Ciam Goan menghela napas dan berkata, "Aku harus tahu diri, tak mungkin dapat melawan kalian. Biarlah dua belas orang gadis ini tersiksa di sini, aku tidak berdaya menolong. Akan tetapi ingat, Ciam Goan bukan seorang yang mudah melupakan kejahatan macam ini. Lain kali kita bertemu pula!" Setelah berkata demikian, Ciam Goan memungut pedangnya lalu pergi meninggalkan tempat itu. Ci-lan Sai-kong sudah ditolong dan diobati lengannya yang buntung, tempat itu sudah dibersihkan oleh pelayan dan Ci-lan Sai-kong sudah disuruh mengaso di kamar belakang.
"Cu-wi sekalian dipersilakan berdiri, upacara akan dilakukan sekarang juga!" Sin-seng Losu berseru keras dan semua tamu
bangkit berdiri dari tempat duduk masing-masing. Biarpun merasa tak senang, Kwi Lan yang melihat Hauw Lam berdiri dengan muka melucu, terpaksa bangkit juga. Suasana kembali menjadi sunyi sehingga langkah seorang murid kepala Thian-liong-pang yang membawa panci, diikuti saudara-saudaranya, terdengar nyata. Sambil berlutut murid itu memberikan panci kepada Sin-seng Losu yang sudah bangkit berdiri dari kursinya. Dengan kedua tangan ia memegang panci itu dan pada saat itu Thai-lek-kwi Ma Kiu maju dan berlutut menghadap para tamu. Seorang murid lain datang pula dari belakang dan terdengarlah hiruk-pikuk suara anjing menggonggong. Kiranya murid ini datang menyeret seekor anjing hitam ke depan gurunya. Tanpa berkata sesuatu Sin-seng Losu menggerakkan tangan kiri dengan dua jari terbuka, menusuk leher anjing hitam itu. Terdengar anjing itu menguik keras akan tetapi oleh murid tadi ekornya dipegang dan tubuhnya diangkat ke atas. Dari lehernya yang berlubang bercucuran darah yang ditampung oleh Sin-seng Losu ke dalam panci tadi. Anjing tadi meronta-ronta dan menguik-nguik, akhirnya darahnya habis dan ia berhenti berkelojotan. Bangkainya lalu dilemparkan ke sudut oleh Si Murid yang lalu mengundurkan diri. Beberapa orang pelayan lalu mengangkat bangkai itu ke belakang dan Kwi Lan mendengar suara Hauw Lam berbisik di belakangnya, "Hemm,
tentu dimasak daging anjing itu."
"Ihhh....!" Kwi Lan berseru kaget, akan tetapi mereka lalu mengalihkan perhatian lagi ke tengah ruangan di mana Sin-seng Losu memegang panci berisi darah anjing hitam. Kakek ini lalu mengangkat panci tinggi-tinggi dan berkata. "Dengan disaksikan oleh Cu-wi sekalian, dan dengan syarat sudah ditentukan dalam perkumpulan Thian-liong-pang kami, saat ini aku menyerahkan kedudukan Pangcu (Ketua) kepada muridku yang pertama, Ma Kiu. Nyawa anjing hitam itu menjadi saksi dan darahnya menghalau semua iblis yang hendak mengganggu tugasnya!" Setelah berkata demikian, Sinseng Losu menyiramkan darah anjing hitam itu ke atas kepala Ma Kiu yang botak!
"Ihhh....!" kembali Kwi Lan berseru dan seperti terpesona ia pun menuangkan kecap dari botol ke dalam cangkirnya sampai penuh! Kecap itu kental dan merah seperti darah. "Hemmm, benar-benar keji dan kotor." bisik Hauw Lam di belakangnya. "Mutiara Hitam, aku sudah muak dan gatal-gatal tanganku diam saja sejak tadi di sini. Apakah menyaksikan lagak badut-badut ini kita harus diam saja? Hayo kau ramaikan tontonan di sini, kautarik perhatian mereka dan aku akan masuk menolong gadis-gadis tadi. Atau aku yang memancing keributan sedangkan kau yang menolong ....?"
"Ah, peduli amat dengan mereka. Kalau kau mau menolong, pergilah. Aku.... aku ingin mencoba sampai di mana kelihaian mereka ini!"
Hauw Lam mengangguk lalu diam-diam ia menyelinap pergi menggunakan kesempatan selagi semua orang mencurahkan perhatian kepada upacara pengangkatan ketua baru. Kwi Lan yang memang sejak tadi mendongkol dan tidak senang, mendengar niat Hauw Lam hendak menolong dua belas orang gadis-gadis itu, entah mengapa hatinya makin tidak senang lagi. Dan kini ia ingin menumpahkan kemarahan hatinya kepada orang-orang Thian-liong-pang. Ia membawa cangkir kecap itu menuju ke depan, lalu berkata. "Pangcu yang baru diangkat dengan siraman darah anjing. Kalau dia suka darah biarlah aku mengucapkan selamat
dengan darah naga ini!" Kwi Lan tersenyum manis dan begitu ia menggerakkan tangan kanan, "darah" dalam cangkirnya menyiram keluar dan dengan kecepatan luar biasa menyambar kepala dan muka Ma Kiu yang masih berlepotan darah akan tetapi sudah duduk di kursi ketua yang tadi diduduki suhunya!
Namun Ma Kiu memang lihai. Tanpa turun dari kursinya, ia mengerahkan tenaga dan.... berikut kursi yang didudukinya ia telah meloncat kursinya itu telah pindah ke kiri sejauh satu meter! Akan tetapi karena sambaran kecap itu luar biasa cepatnya, ia tidak dapat menghindarkan lagi sebagian kecap menyiram pipinya dan memasuki mulutnya. Ketika ia tahu bahwa yang menyiram mukanya adalah kecap, mengertilah Ma Kiu bahwa gadis itu sengaja mencari gara-gara. Akan tetapi karena tadi mengira bahwa gadis itu adalah utusan Jin-cam Khoa-ong, Ma Kiu masih menahan kemarahannya, lalu berseru dengan nada marah.
"Nona sebagai tamu yang kami hormati, sebagai utusan Pak-sin-ong yang kami muliakan, apakah arti perbuatanmu ini?" Kwi Lan tersenyum mengejek. Sejak tadi ia sudah tidak senang kepada mereka, terutama Ma Kiu. Ia memang tidak peduli akan nasib dua belas orang wanita muda tadi, akan tetapi mereka itu ia anggap terlalu sombong, tidak memandang mata kepadanya sehingga melakukan apa saja di depannya seakan-akan ia tidak akan bisa berbuat sesuatu! Memang watak Kwi Lan aneh sekali dan ia hanya selalu menurutkan perasaan hatinya. Kalau perasaan hatinya suka, seperti terhadap Hauw Lam, ia pun akan bersikap baik.
"Artinya, Brewok, bahwa aku setuju dengan ucapan orang she Ciam tadi, bahwa Thian-liong-pang dipimpin oleh orang-orang yang busuk! Bahwa kuanggap engkau seorang yang suka mandi darah anjing hitam, tak patut menjadi Ketua Thian-liong-pang, patutnya menjadi tukang jagal anjing!"
Semua orang terbelalak kaget mendengar ini dan semua tamu menahan napas. Omongan itu merupakan penghinaan yang tiada taranya! Apalagi bagi mereka yang mengenal bahwa dahulunya Ma Kiu adalah seorang tukang jagal, maka omongan gadis itu yang entah disengaja atau tidak mereka tidak tahu tentu amat menyakitkan hati ketua baru Thian-liong-pang ini. Dan memang sesungguhnyalah, setelah sesaat terbelalak seperti arca saking kaget dan herannya, wajah Ma Kiu perlahan-lahan menjadi merah sekali sampai ketelinganya. Kedua tangannya mencengkeram lengan kursinya dan kalau ia tidak ingat bahwa kursi itu adalah kursi ketua tentu telah diterkamnya hancur lengan kursi itu untuk melampiaskan kemarahannya.
"Bocah kurang ajar!" bentaknya, Suaranya menggetar saking marahnya. "Biarpun engkau utusan dari utara, apa kaukira kau boleh bersembunyi di balik nama Jin-Cam Khoa-ong untuk menghinaku?"
Kwi Lan tertawa, menggunakan tangan kanannya secara main-main meremas cangkir bekas kecap tadi sehingga cangkir itu hancur lebur menjadi tepung dalam genggaman tangannya yang berkulit halus lalu berkata.
"Siapa bilang aku kaki tangan Jin-cam Khoa-ong? Biar dia algojo manusia maupun algojo anjing seperti engkau, aku sama sekali tidak mengenalnya. Siapa kesudian bersembunyi di belakang namanya?"
Mendengar ini, kembali semua orang melengak kaget. Kalau dara remaja itu tadi bersikap ugal-ugalan dan kurang ajar, mereka semua mengira bahwa gadis itu adalah kepercayaan Jin-cam Khoa-ong dan hal itu tidaklah begitu aneh. Akah tetapi setelah kini gadis itu sendiri menyangkal menjadi orang Pak-sin-ong dan berani menghina tokoh besar itu pula di depan orang banyak, benar-benar mereka menjadi kaget dan heran sekali. Gilakah dara remaja ini? Kalau gila, alangkah sayangnya, dara remaja begitu cantik jelita!
Lebih-lebih lagi Ma Kiu sendiri. Kemarahannya meluap-luap dan diam-diam ia pun lega bahwa dara ini bukan utusan Jin-cam Khoa-ong, karena dengan kenyataan ini ia boleh berbuat sesuka hatinya, terhadap gadis ini. "Bagus!" teriaknya sambil bangkit berdiri. "Kalau begitu, biarlah kau menjadi tawanan kami dan akan kaurasakan penderitaan yang akan membuat kau merindukan kematian!" Dalam suara ini terkandung ancaman yang hebat dan mengerikan. Akan tetapi Kwi Lan tidak mengenal apa itu artinya takut dan ngeri. Ia malah tertawa.
"Sudah, jangan me mbadut lagi. Sudah sejak tadi aku muak mendengar dan melihat segala yang terjadi di sini. Lekas keluarkan kuda hitamku, Nonamu hendak pergi!" Sambil berkata demikian Kwi Lan menggunakan tangan kiri untuk mengebut-ngebutkan bajunya. Karena ia baru saja melakukan perjalanan jauh bersama Hauw Lam dengan naik kuda, tentu saja pakaiannya banyak debunya dan begitu ia kebut-kebutkan, debu mengepul ke sekelilingnya dan mengotori meja-meja tamu lainnya.
"Wanita keparat! Kau belum tahu lihainya tuan besarmu!" Thai-lek-kwi Ma Kiu sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan kini hendak melangkah maju. Akan tetapi terdengar suara Sin-seng Losu di belakangnya.
"Seorang ketua tidak sepatutnya melayani segala anak kecil. Apakah Thian-liong-pang sudah tidak ada orang lain untuk membereskan kuda betina liar ini? Hayo, siapa berani maju menangkapnya? Tangkap dan bawa ke kamarku, aku butuh yang liar macam ini untuk menambah semangatku!"
Untung bahwa Kwi Lan masih hijau dan tidak tahu apa yang dimaksudkan kakek ini. Kalau ia tahu tentu ia takkan dapat menahan kemarahannya lagi. Tiba-tiba dari golongan tamu melompat keluar seorang laki-laki muda yang berpakaian tambal-tambalan namun bersih. Pengemis muda ini menjura ke arah kursi ketua dan berkata. "Betul apa yang dikatakan Losuhu tadi. Thian-liong-pang tidak perlu repot-repot, di antara tamu-tamu yang hadir masih banyak yang sanggup menangkap bocah ini. Biarlah saya menangkap siluman cantik ini untuk Thian-liong-pang!"
"Ha-ha-ha, sahabat-sahabat dari Hek-coa Kai-pang memang selalu merupakan sahabat-sahabat baik kami. Tidak percuma bersahabat dengan Hek-coa Kai-pang. Silakan Siauw-sicu" kata Sin-seng Losu.
Pengemis muda itu dengan lagak sombong, mengangkat muka dan membusungkan dadanya, melangkah maju menghampiri Kwi Lan. Dia adalah seorang di antara dua pengemis muda yang tadi dipaksa menelan daging kambing oleh Kwi Lan, maka tentu saja ia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membalas penghinaan tadi. Akan tetapi karena wataknya memang mata keranjang, begitu melihat wajah jelita, hatinya sudah berdebar-debar dan timbul niat hatinya untuk mempermainkan Kwi Lan. Ia tersenyum dibuat-buat, matanya memandang kurang ajar, dan berkata, "Nona kecil bermulut besar! Kau tidak tahu tingginya langit lebarnya bumi! Berani mengacau Thian-liong-pang dan tidak memandang sebelah mata kepada para tamunya. Dosamu besar sekali dan sudah sepatutnya kau dihukum mati. Akan tetapi tuan mudamu yang melihat bahwa kau masih muda remaja dan cantik jelita, bersedia memberi ampun asal saja kau suka berlutut dan menganggukkan kepala delapan kali lalu berjanji akan melayani dengan manis segala kehendak Sin-seng Losuhu dan.... aduuuhhh...." Pengemis muda itu tidak melanjutkan kata-katanya karena ia keburu mati dengan gosong dan tulang-tulangnya remuk.
Pukulan Kwi Lan yang disertai kemarahan hebat itu membuat ia terlempar sampai menimpa meja di depan Ma Kiu si ketua baru!
Kagetlah semua yang hadir di situ. Terutama sekali lima orang pengemis anggauta Hek-coa Kai-pang yang melihat seorang saudaranya dalam segebrakan saja terpukul tewas, segera melompat bangun dari tempat duduk masing-masing. Saudara muda mereka tadi, biarpun bukan anggauta pimpinan teratas dari Hek-coa Kai-pang, namun merupakan seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga. Bagaimanakah dapat roboh binasa hanya sekali pukul oleh gadis remaja itu? Sekali melompat mereka tiba di dekat meja Ketua Thian-liong-pang yang tertimpa tubuh saudara muda mereka dan begitu melihat dada dan muka pengemis muda itu biru menghitam, mereka mengeluarkan seruan kaget dan marah. Hek-coa Kai-pang adalah perkumpulan pengemis dunia hitam yang terkenal akan kelihaian mereka bermain racun. Kini seorang anggauta mereka tewas oleh pukulan yang
mengandung racun hebat!
"Thian-liong-pangcu, maafkan kami yang terpaksa harus turun tangan terhadap siluman betina ini!" berkata seorang di antara lima orang pengemis itu kepada Ma Kiu. Setelah berkata demikian lima orang pengemis ini sudah meloncat dan mengurung Kwi Lan yang berdiri dengan sikap tenang. Di tangan mereka tampak pedang yang sudah siap untuk menerjang dan mengeroyok. Akan tetapi melihat pukulan beracun yang hebat itu, pula mendengar bahwa gadis itu tadi menyangkal sebagai utusan Pak-sin-ong, pengemis tertua berlaku hati-hati dan berkata. "Nona muda, engkau sudah berani lancang tangan membunuh seorang di antara saudara kami. Hayo mengaku, siapakah engkau dan dari partai mana agar kami dapat mempertimbangkan tindakan kami selanjutnya terhadap dirimu." Kata-kata ini mengangkat kedudukan para pengemis itu ke tempat atas dan memang inilah yang dimaksudkan oleh pengemis itu untuk menutup rasa malu karena mereka berlima mengurung seorang nona muda.
"Apakah kau tuli? Tadi sudah diperkenalkan namaku Mutiara Hitam, bukan dari partai manapun juga. Saudaramu mampus oleh tingkahnya sendiri. Apakah masih ada lagi yang sudah ingin mampus? Kalau ada, boleh maju biar aku membantunya pergi ke neraka agar dunia ini tidak terlalu kotor. Kalau tidak ada, hayo keluarkan kuda hitam, Nonamu sudah jemu dan ingin pergi dari sini."
Pengemis tua itu tak dapat menahan kemarahannya dan berseru. "Saudara-saudara, kalau kita tidak dapat membalas ke atian saudara muda kita, percuma saja menjadi anggauta Hek-coa Kai-pang!" Seruan ini merupakan komando bagi teman-temannya dan serentak mereka menggerakkan pedang mengirim serangan. Akan tetapi lima orang pengemis ini hanya melihat Si Nona tidak berpindah tempat melainkan menggerakkan kedua tangannya dan.... pedang mereka membalik dan menghantam diri mereka sendiri. Benar-benar amat luar biasa gerakan kedua tangan Kwi Lan ini. Setiap sambaran pedang ia sambut dengan tangan terbuka dan
dengan gerakan aneh yang mengeluarkan hawa pukulan amat kuatnya, pedang yang menyambar dadanya membalik ke dada Si Pemegang Pedang, yang menyambar pundak membalik ke pundak Si Penyerang dan demikian seterusnya sehingga terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika lima orang pengemis ini roboh berturut-turut oleh bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan mereka sendiri!
Melihat gerakan luar biasa yang mendatangkan akibat aneh itu, Ma Kiu yang berkepandaian tinggi maklum bahwa biarpun masih amat muda, gadis itu benar-benar lihai sekali. Kalau tidak lekas turun tangan membekuk atau membinasakan gadis yang mengacau perkumpulannya ini tentu setidaknya akan mengurangi keangkeran Thian-liong-pang, demikian pikirnya. Maka ia lalu berseru. "Tangkap siluman ini!" Ia memberi isyarat dan sebelas orang adik seperguruannya mengikuti gerakannya menghampiri Kwi Lan. Gadis ini teringat akan cerita Hauw Lam akan kehebatan Cap-ji-liong yang katanya disegani oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka ia bersikap hati-hati namun wajahnya tetap berseri dan bibirnya tersenyum mengejek.
"Inikah yang disebut Dua Belas Ekor Naga dari Thian-liong-pang? Hemm, Sungguh gagah!" kata Kwi Lan sambil tersenyum.
Merah muka Ma Kiu. Sebagai ketua baru Thian-liong-pang, sungguh amat memalukan kalau ia harus maju bersama sebelas orang sutenya untuk mengeroyok seorang gadis remaja. Nama Cap-ji-liong sudah tersohor. Masa kini menghadapi seorang gadis remaja mereka harus maju bersama? Akan tetapi gadis ini aneh ilmu silatnya, dan kalau sekali turun tangan Cap-ji-liong tidak mampu merobohkannya, hal itu akan lebih memalukan lagi.
"Bocah, kalau kau sudah mendengar tentang Cap-ji-liong, mengapa banyak tingkah? Cap-ji-liong selamanya maju bersama. Karena kau menjadi tamu, berarti kami kurang sopan kalau turun tangan di sini. Jika engkau benar-benar berani kami menantangmu untuk mengadu kepandaian di ruangan silat!"
Ucapan ini sedikit banyak menghapus rasa malu pihak Thian-liong-pang karena berarti bahwa dua belas orang tokohnya bukan sekali-kali hendak mengeroyok begitu saja, melainkan telah melakukan tantangan secara berterang. Kalau gadis ini tahu diri dan menolak tantangan lalu pergi meninggalkan tempat itu tentu Cap-ji-liong tidak akan menghalanginya. Semua tamu menduga bahwa, tentu gadis itu akan mempergunakan kesempatan ini untuk pergi menyelamatkan diri, karena melawan Cap-ji-liong berarti mencari mati. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika melihat gadis itu tersenyum lebar dan menjawab,
"Kalian menantangku? Boleh, siapa takut akan pengeroyokan kalian? Hayo, hendak kulihat seperti apa kepandaian Cap-ji-liong!" Kwi Lan yang tidak mengenal apa artinya takut, tentu saja tidak dapat menolak tantangan ini, yang diucapkan dengan kata-kata "kalau ia berani!" Ia seorang gadis remaja yang baru saja turun ke dunia ramai sama sekali belum berpengalaman hanya mengandalkan kepandaian luar biasa dan keberanian saja. Kalau ia berpengalaman, tentu ia akan menaruh curiga mengapa Cap-ji-liong menantangnya dengan memilih tempat. "Bagus!" seru Ma Kiu. "Mari ke lian-bu-thia (ruangan silat), biarlah para tamu yang terhormat menjadi saksi bahwa kau menerima tantangan Cap-ji-liong untuk bertanding di lian-bu-thia!"
Sambil membusungkan dada, sedikit pun tidak gentar, Kwi Lan berjalan mengikuti Ma Kiu ke ruangan belakang di mana terdapat ruangan silat yang luas dan berbentuk bundar. Sebelas orang adik seperguruan Ma Kiu berjalan di belakangnya, kemudian berbondong-bondong para tamu yang ingin menyaksikan pertandingan itu membanjiri ruangan silat pula.
Kini mereka telah berhadapan. Kwi Lan memperhatikan mereka. Ma Kiu yang menjadi pimpinan berdiri di tengah sedangkan sebelas orang lain berdiri di kanan kirinya. Mereka tampak gagah dan keren dan melihat gerak-gerik mereka, memang dapat dibayangkan bahwa Cap-ji-liong rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Juga usia dan pakaian mereka bermacam-macam. Ada yang sudah tua, ada yang masih amat muda. Ada yang berpakaian seperti tosu, ada yang gundul seperti hwesio, dan ada yang berpakaian seperti pelajar. Anehnya, kini mereka telah memakai sebuah tali yang mengikat kepala mereka, tali yang dipasangi sebuah batu permata kuning dan terpasang di atas dahi mereka. Juga Ma Kiu kini memakai tali semacam itu. Ia tidak tahu bahwa itulah tanda khas tokoh Thian-liong-pang dan batu kuning itu diberi nama mustika naga.
"Majulah!" Kwi Lan menantang, sikapnya acuh tak acuh. Terdengar suara "set-set-set!" teratur ketika kaki dua belas orang itu mulai bergeser dengan cepat mengatur barisan mengurung. Mereka tidak melangkah, tidak mengangkat kaki melainkan bergeser sehingga sepatu mereka menimbulkan suara di atas lantai. Keadaan menjadi hening dan tegang semua tamu memandang ke arah Kwi Lan yang menjadi pusat perhatian karena nona ini sudah terkurung di tengah-tengah! Dua belas orang itu masih terus bergerak menggeser kaki sehingga tubuh mereka bergerak mengitari Kwi Lan, suara geseran kaki mereka kini berbunyi susul-menyusul seperti desis ular, Kwi Lan masih berdiri diam tak bergerak, hanya biji matanya yang bergerak-gerak, mengerling dan mengikuti gerakan mereka di sebelah depan. Kedua telinganya memperhatikan gerakan di belakangnya dengan seksama, setiap urat syaraf di tubuhnya menegang, siap sedia, akan tetapi wajahnya masih tenang dengan senyumnya mengejek
Tiba-tiba saat yang dinanti-nantikan oleh semua orang tiba. Dengan teriakan nyaring seorang anggauta Cap-ji-liong yang muda, bertubuh tinggi kurus bermuka seperti tikus, menerjang Kwi Lan dari sebelah belakang. Agaknya laki-laki muda ini
tertarik oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh Kwi Lan sehingga ia menyerang bukan memukul, melainkan memeluk ke arah pinggang dengan kedua lengannya. Namun gerakannya ini mendatangkan angin hebat dan tak boleh dipandang ringan. Pada detik berikutnya, anggauta lain, seorang tosu, mengulur tangan dari sebelah kiri untuk mencengkeram pundak, disusul serangan saudaranya dari depan, kanan, dan kemudian dua belas orang itu sudah bergerak serentak susul-menyusul dengan teratur baik sekali. Gerakan mereka yang teratur itu lebih merupakan gerakan dalam sebuah barisan dan sekaligus mereka telah menutup semua jalan keluar bagi Kwi Lan! Kiranya Ma Kiu dan adik-adiknya tidak mau menyia-nyiakan waktu dan sekali turun tangan mereka tidak main-main lagi.
Pendengaran Kwi Lan yang tajam mewakili matanya. Ia tahu bahwa penyerang pertama datang dari belakang. Dengan mudah ia mendoyongkan tubuh mengelak, kemudian secara tiba-tiba kaki kanannya menendang ke arah tangan tosu yang mencengkeram pundak kirinya, disambut dengan gerakan meloncat ke atas dan melihat betapa para pengeroyoknya turun tangan secara bergiliran, tubuhnya yang meloncat ke atas itu tiba-tiba melakukan gerak berputaran secara cepat sekali. Hebat bukan main gerakan gadis ini, cepat dan aneh. Karena gerakan memutar di udara ini sukar diikuti gerakan tangan dan kakinya, akan tetapi tahu-tahu ia telah menangkis semua serangan lawan dengan tangan atau dengan kaki, bahkan masih berkesempatan membagi pukulan dan
tendangan yang mengenai empat orang lawannya. Mereka mengaduh dan berseru kaget, tak menyangka bahwa selain dapat bergerak cepat itu, bekas tangan atau kaki gadis itu amat berat menimpa pundak dan dada. Sesaat barisan itu kacau, akan tetapi Ma Kiu berseru keras dan barisan menjadi rapi kembali pada saat gadis itu sudah menurunkan tubuhnya dan berdiri di tengah kurungan. Ia tersenyum-senyum karena dalam gebrakan pertama ini ia berhasil memperlihatkan kelihaiannya!
Kini para tamu menjadi berisik sekali. Mereka kagum dan kaget bukan main. Ketika tadi dua belas orang itu menyerang secara bertubi-tubi dan setiap serangan merupakan pukulan dan cengkeraman yang lihai, diam-diam mereka menduga bahwa gadis ini mencari mati. Akan tetapi siapa kira, gadis itu dapat bergerak seperti kilat cepatnya dan hampir sukar dipercaya betapa gadis itu bukan hanya dapat menangkis semua serangan, juga dapat memukul dan menendang empat orang pengeroyoknya, biarpun hal itu dilakukan cepat-cepat dan tergesa-gesa sehingga tidak tepat kenanya. Gerakan pertama ini membuka mata Ma Kiu. Ia maklum bahwa biarpun dalam hal tenaga, mereka semua tidak akan kalah oleh lawan. Akan tetapi dalam hal kecepatan gerak
maupun dalam hal ilmu silat yang luar biasa, gadis itu benar-benar merupakan lawan tangguh. Dia tadi berlaku sungkan
sehingga mengeluarkan komando untuk bergerak satu-satu secara bergiliran, siapa tahu, karena ia sungkan empat orang adiknya mengalami pukulan dan tendangan. Sekali lagi ia berseru keras dan kali ini dua belas orang itu menerjang maju secara berbareng! Hanya lima orang yang menyerang langsung ke arah tubuh Kwi Lan. Sedangkan yang tujuh orang menghantam ke tengah, ke atas, ke bawah dan sekitar tempat Kwi Lan berdiri sehingga mereka telah menutup semua jalan keluar. Ke mana pun gadis ini hendak bergerak, ia akan disambut hantaman yang dilakukan dengan pengerahan Iwee-kang!
Hal ini sama sekali tak diduga oleh Kwi Lan. Gadis ini terkejut juga, maklum bahwa keadaannya berbahaya. Baru ia tahu bahwa Cap-ji-liong benar-benar hebat dan tangguh. Biarpun kalau melawan mereka satu-satu, ia sanggup merobohkan mereka itu dalam waktu singkat, akan tetapi kalau mereka maju berbareng amatlah sukar dilawan. Ia berseru keras, tidak bergerak dari tempatnya, melainkan menggunakan kaki tangan menangkis dan jari tangannya menotok ke arah pergelangan tangan lima orang
yang menyerangnya secara berturut-turut. Akan tetapi tiba-tiba lima orang penyerang itu menarik kembali penyerangan mereka dan barisan bergeser terus, disusul lima orang lain yang menyerang secara tiba-tiba, dibantu tujuh orang yang mencegat jalan keluar! Setiap menyerang, lima orang itu mengambil kedudukan ngo-heng, dan setiap kali melihat bahwa serangan itu akan gagal, barisan yang terus bergeser itu menarik kembali serangan untuk di ulang dengan perubahan-perubahan mendadak yang sukar untuk diduga sebelumnya.
Kwi Lan merasa kewalahan. Dahinya yang putih halus itu mulai berkeringat. Ia takut, akan tetapi jengkel dan penasaran
sekali! Ketika untuk kesekian kalinya lima orang lawan menyerangnya dan kepalanya sudah mulai pening karena mencurahkan perhatian dan menduga-duga perubahan, ia berseru keras, mencabut pedangnya dan memutar pedang itu ke sekelilingnya.
Tidak tampak gerakannya ini saking cepatnya. Tahu-tahu dua belas orang itu mencium bau yang wangi dan tampak oleh mereka sinar hijau bergulung-gulung seperti naga sakti bermain di angkasa, seperti hawa yang dingin sekali. "Awas.... mundur dan siapkan senjata....!" Ma Kiu berseru keras. Barisannya melebar dengan cepat, namun masih saja ada dua orang yang terkena serempetan ujung pedang Siang-bhok-kiam sehingga pangkal lengan mereka terluka mengeluarkan darah. Lagi-lagi kurang tepat kenanya karena Kwi Lan tidak menggunakan pencurahan perhatian sepenuhnya dan tadi hasilnya inipun hanya kebetulan saja.
Bagaimana ia dapat mencurahkan perhatiannya dalam sebuah serangan kalau lawannya yang dua belas orang banyaknya itu selalu bergerak secara membingungkan? Kini terdengar suara nyaring dan semua anggauta Cap-ji-liong sudah memegang senjata masing-masing. Ada yang memegang toya, ada yang membawa pedang, golok, thi-pian (pecut besi), siang-kek (sepasang tombak cagak), poan-koan-pit (senjata penotok jalan darah seperti pena bulu), tombak tiat-kauw (gaetan besi) dan lain-lain. Ma Kiu sendiri bersenjatakan sepasang pedang panjang yang kelihatan berat.
Para tamu makin tegang. Setelah kini kedua pihak menggunakan senjata, tak dapat disangsikan lagi gadis itu tentu akan mati dalam keadaan tubuh tidak utuh. Setiap anggauta Cap-ji-liong memiliki ilmu kepandaian khusus, bahkan sebelum menjadi murid Sin-seng Losu mereka itu adalah ahli-ahli silat kelas satu. Kini mereka maju bersama, dapat dibayangkan betapa hebatnya.
"Ha-ha-ha-ha! Sayang sekali kau akan tercincang mati.... bunga liar seperti engkau sukar dicari....!" Tiba-tiba terdengar
suara Sin-seng Losu yang tadi kelihatan bersungut-sungut ketika beberapa orang di antara murid-muridnya ada yang terluka. Kakek ini sejak tadi melenggut di atas kursi, menonton pertandingan sambil merem-melek. Kelihatannya saja ia melenggut dan mengantuk tak acuh, padahal sebenarnya ia menonton dengan hati penuh penasaran karena semenjak tadi, belum juga ia dapat mengetahui dari aliran mana ilmu silat gadis ini! Hal ini benar-benar membuat ia kaget dan heran. Biarpun ia sudah terlalu tua sehingga tenaga dan napasnya sudah berkurang banyak dan kalau bertanding, dia sendiri tidak akan dapat mengatasi keampuhan Cap-ji-liong, akan tetapi pengetahuannya dalam ilmu silat sudah amat dalam. Hampir semua aliran ilmu silat di dunia ini! Ia kenal baik akan tetapi mengapa sekali ini, setelah melihat gadis itu bersilat sampai puluhan jurus, ia sama sekali tidak mengenal aliran ilmu silat yang dimainkan? Ia anggap luar biasa sekali ilmu silat gadis itu. Mirip-mirip ilmu silat Kun-lun-pai, gerakan pedang seperti Kong-thong-pai, akan tetapi ketika menotok hampir sama dengan ilmu totok Im-yang-tiam-hoat yang lihai dari Siauw-lim-pai. Akan tetapi semua itu hanya mirip saja, dan sama sekali bukan aselinya, bahkan kadang-kadang berlawanan dengan aselinya!
Hal ini memang tidak mengherankan kalau orang mengenal dari mana Kwi Lan mendapatkan semua ilmu yang aneh itu. Gurunya adalah seorang wanita yang luar biasa, yang puluhan tahun menyembunyikan diri dan menelan segala macam ilmu tanpa ada yang menuntun. Dalam istana bawah tanah terdapat banyak sekali kitab pelajaran ilmu silat peninggalan mendiang Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian yang mencuri kitab-kitab itu dari partai-partai besar. Karena jiwa Kam Sian Eng, guru Kwi Lan, memang tidak sehat alias tidak normal, maka ketika mempelajari semua ilmu itu ia telah menyeleweng dan ilmu yang aseli berubah, menjadi ilmu aneh dan ganas. Kwi Lan juga mempelajari kitab-kitab itu sendirian saja, hanya menerima petunjuk-petunjuk dari gurunya, justeru sedikit petunjuk itu menyeleweng daripada aselinya, maka dapat dibayangkan betapa hasil ilmu yang ia kuasai tentu saja lebih aneh dan lebih menyimpang dari aselinya! Jangankan Sinseng Losu, biar tokoh-tokoh dari partai yang memiliki kitab yang tercuri itu sendiri melihat cara Kwi Lan bersilat tentu takkan mampu mengenal ilmunya sendiri.
Ucapan mengejek dari Sin-seng Losu tidaklah berlebihan. Memang ilmu pedang Kwi Lan hebat dan luar biasa. Baru pedangnya, sebatang pedang kayu wangi, sudah membuktikan bahwa gadis ini biarpun masih remaja, namun sudah mencapai tingkat yang dinamakan tingkat "yang lunak mengalahkan yang keras" yaitu tingkat ahli pedang yang sudah pandai mengatur, tenaga yang dikendalikan hawa sakti sehingga setiap benda lemas dapat dipergunakan untuk melawan senjata keras. Akan tetapi, menghadapi
pengurungan dua belas Cap-Ji-liong yang mempergunakan dua belas macam senjata ini, Kwi Lan benar-benar terdesak hebat. Senjata lawan menyambarnya seperti hujan dan hanya dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya dan ilmu pedangnya yang aneh maka sementara itu ia masih mampu bertahan. Seperti juga tadi, dua belas orang pengeroyoknya itu tidak mengeroyok, secara serampangan saja, melainkan mengurungnya dengan membentuk barisan yang kokoh kuat. Perlahan akan tetapi tentu mereka mulai menekan dan mendesak.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari sebelah dalam. Teriak-teriakan orang terdengar.
"Kebakaran....! Kebakaran....!"
"Tangkap bocah setan....!"
"Celaka, tawanan gadis-gadis itu dilarikan....!"
Semua tamu terkejut dan dua belas orang Cap-ji-liong yang sudah mulai mengurung dan mendesak Kwi Lan, terpengaruh oleh teriakan-teriakan ini sehingga tekanan kepada gadis itu agak mengendur. Pada saat itu, berkelebat bayangan yang tertawa-tawa, "Ha-ha-ha, sungguh memalukan. Dua belas ekor monyet tua mengeroyok seorang gadis jelita! Dua belas ekor naga kini menjadi dua belas ekor monyet buntung!"
Kiranya bayangan ini bukan lain adalah Hauw Lam yang dengan gerakan cepat sudah meloncat dan memutar goloknya menerjang barisan pengepung sehingga terbukalah barisan itu. Melihat ini, Ma Kiu mengeluarkan aba-aba. Barisan yang diterjang Hauw Lam sengaja membuka "pintu" dan pemuda ini pun sekarang masuk ke dalam pengurungan dua belas orang tangguh itu.
"Eh, Mutiara Hitam. Kita datang bersama, mana bisa sekarang engkau berpesta-pora sendiri saja melabrak dua belas ekor monyet tua ini? Aku ikut. Hayo kita sekarang berlumba. Kita beradu punggung dan lihat pedangmu, atau golokku yang lebih dulu membabat mampus mereka ini!"
Kwi Lan tersenyum. Ia tadi sudah tertekan dan terdesak hebat. Namun seujung rambut ia tidak merasa gentar. Ia tadi sudah siap-siap, kalau sampai ia kalah dan harus roboh di tangan dua belas orang pengeroyoknya, ia tentu akan menyeret beberapa orang di antaranya terutama sekali Ma Kiu, untuk tewas bersamanya! Untuk niat ini ia sudah menggenggam tujuh jarum hijau di tangan kirinya! Sekarang melihat munculnya Hauw Lam yang mengajak ia berlumba, timbul kegembiraannya dan ia berseru.
"Berandal cilik! Kaulihat betapa aku merobohkan mereka!" Setelah berkata demikian, Kwi Lan mainkan pedangnya menerjang maju. Empat orang di depannya cepat mengangkat senjata untuk menangkis dan balas menyerang, akan tetapi pada saat itu tangan kiri Kwi Lan bergerak dan sinar hijau menyambar ke depan.
"Awas....!" Ma Kiu berseru memperingatkan adik-adiknya. Namun, jarum-jarum hijau yang halus itu disambitkan dari jarak dekat sehingga biarpun empat orang itu berusaha mengelak, dua orang di antara mereka kurang cepat dan robohlah mereka sambil mengeluarkan jeritan kesakitan. Murid-murid Thian-liong-pang segera menolong mereka ini dan kini sepuluh orang pengeroyok menerjang dengan marah sekali. Hauw Lam tertawa-tawa dan sambil berdiri saling membelakangi, dia dan Kwi Lan memutar senjata menghadapi para pengeroyok. Lega hati Kwi Lan setelah kini ia dibantu Hauw Lam. Tadi yang membuat ia amat repot adalah penyerangan lawan yang berada di belakangnya. Akan tetapi kini ia tidak usah lagi memperhatikan bagian belakang, maka ia kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Setiap ada serangan datang ia tidak mengelak, akan tetapi langsung menyambut serangan ini dengan tusukan atau totokan yang mendahului sehingga Si Penyerang terpaksa menarik kembali serangannya.
"Semua mundur....!" tiba-tiba Ma Kiu berteriak keras memberi perintah kepada adik-adiknya Sepuluh orang itu serentak melompat mundur sambil menggerakkan tangan kiri. Maka berhamburanlah senjata-senjata rahasia yang berbentuk peluru bintang, bagaikan hujan menyerang Hauw Lam dan Kwi Lan. Dua orang muda itu cepat memutar golok dan pedang, memukul runtuh semua
senjata rahasia.
"Wah, kau yang mengajar monyet-monyet itu. Sekarang mereka membalas. Lebih baik kita lekas pergi dari sini!" Hauw Lam mengomel. Kwi Lan yang maklum betapa besar bahayanya kalau pihak lawan mulai menyerang dari jauh dengan senjata rahasia, setuju akan usul ini. Akan tetapi sebelum mereka sempat mendapatkan jalan keluar untuk melarikan diri, tiba-tiba lantai yang mereka injak tergetar dan dengan suara keras lantai itu terbuka, nyeplos ke bawah. "Celaka....!" Hauw Lam berseru dan bersama Kwi Lan tubuhnya terjeblos ke bawah tanpa dapat dicegah lagi!
"Cari pegangan....!" Hauw Lam berseru pula dan merentangkan kedua tangannya. Goloknya ia tusuk-tusukkan ke samping dan akhirnya tangan kirinya berhasil meraba dinding. Ia menggerakkan tubuh sehingga tubuhnya yang meluncur itu terbanting ke kiri, menubruk dinding dan di lain saat tubuhnya tergantung pada gagang golok yang dipegangnya erat-erat.
Akan tetapi Kwi Lan yang memiliki gin-kang luar biasa itu, dengan menggerak-gerakkan kaki tangannya dapat memperlambat luncuran tubuhnya, bahkan ketika kedua kakinya menyentuh dasar sumur, tubuhnya membalik lagi ke atas sampai dua meter lebih, seakan-akan di kedua kakinya dipasangi per yang lemas sekali.
"Mutiara Hitam.... kau dimana....?" Terdengar suara Hauw Lam di atas.
Kwi Lan sudah duduk di atas tanah berbatu dan menjawab, "Di bawah sini. Turunlah. Mau apa kau bergantungan disitu?"
Hauw Lam menengok ke bawah. Sinar yang masuk dari atas memberi penerangan suram, akan tetapi ia dapat melihat betapa gadis itu sudah duduk enak-enakan di sebelah bawah, kira-kira tiga meter dari tempat ia bergantung. Ia mengerahkan tenaga, mencabut goloknya dan meloncat turun di dekat gadis itu. Pada saat itu, terdengar suara berderit keras dan lobang di sebelah atas itu tertutup rapat kembali. Keadaan menjadi gelap gulita, melihat tangan sendiripun tak tampak!
"Wah, kita seperti dua ekor tikus masuk perangkap!" Hauw Lam berkata berusaha untuk tertawa, akan tetapi menahannya karena khawatir kalau-kalau membuat gadis itu tak senang.
"Kau kenapa? Mau tertawa, tertawalah. Mengapa memandang kepadaku seperti orang ragu-ragu? Kaukira aku takut? Huh, enak di sini!" kata Kwi Lan yang segera duduk melonjorkan kedua kakinya. Hauw Lam terkejut. "Apa kaubilang....? Bagaimana kau bisa
tahu bahwa aku.... eh, Mutiara Hitam, apakah engkau mempunyai nama seperti kucing?"
"Hemm, kalau aku kucing, engkau tikus! Sudahlah, jangan rewel dan lebih balk kau ceritakan apa yang kaulakukan tadi." Tentu saja Hauw Lam tidak tahu bahwa gadis ini semenjak kecil tinggal di bawah tanah, di dalam istana bawah tanah sehingga ia merasa enak berada di bawah tanah! Karena semenjak kecil biasa hidup di tempat gelap Kwi Lan memiliki mata yang sudah biasa dengan kegelapan dan dapat melihat benda di dalam gelap, setidaknya lebih awas daripada orang biasa. Mendengar suara gadis itu tidak dibuat-buat, diam-diam ia merasa semakin kagum dan suka. Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya. Selain cantik jelita seperti dewi, juga wajar dan polos, ditambah kepandaian yang amat tinggi. Tadi ketika dikeroyok Cap-ji-liong, gadis ini sudah memperlihatkan bahwa ia memiliki kepandaian yang benar luar biasa. Jarang ada tokoh yang mampu mempertahankan diri dari pengeroyokan Cap-ji-liong, apalagi melukai dua orang di antara mereka dalam pengeroyokan. Dan sekarang, biarpun telah terjebak masuk ke dalam sumur, gadis ini masih bersikap tenang dan enak saja, sama sekali tidak membayangkan sikap takut-takut.
"Nanti dulu, paling penting aku harus menyelidiki keadaan tempat ini, mencari jalan keluar." kata Hauw Lam sambil mengulur kedua lengan ke depan, meraba-raba. "Tak usah kauselidiki lagi. Percuma, sumur ini sengaja dibuat untuk menjebak musuh. Dindingnya terbuat dari batu tebal, tingginya lima tombak lebih dan di atas ditutup lembaran besi yang atasnya dipasangi tegel, dan dapat terbuka atau tertutup sendiri dengan alat rahasia."
Kembali Hauw Lam menjadi heran. Gadis ini bicara seakan-akan tidak berada di dalam gelap, seperti menceritakan keadaan yang dilihatnya dengan nyata. Ia tidak percaya lalu kedua tangannya meraba-raba dinding. Dan memang betul apa yang dikatakan gadis itu. Dinding sumur itu segi empat, lebarnya tiga meter tiap segi, dan terbuat daripada batu tebal. Karena bagi Hauw Lam tempat itu amat gelap, ia tidak dapat melihat apa-apa ketika meraba-raba sehingga tiba-tiba ia meraba kepala gadis itu!
"Eh-eh, mau apa kau? Seperti orang buta saja!" Gadis itu membentak.
"Wah, maaf.... aku.... aku memang seperti buta di sini...."
"Duduklah dan jangan berkeliaran." Hauw Lam lalu duduk di atas lantai sumur. Tanah padas berbatu itu agak basah. Betapapun juga, ia tidak dapat bersikap masa bodoh seperti gadis ini. Masa mereka harus menerima kematian seperti dua ekor tikus dalam sumur? Ia harus berdaya untuk keluar dari dalam sumur ini. "Mutiara, aku tidak mengerti bagaimana kau dapat mengetahui keadaan sumur ini. Akan tetapi kalau dalamnya benar lima tombak, tak mungkin kita meloncat keluar dari sini. Biarpun begitu, dengan bantuan golok dan pedangmu, aku dapat meloncat-loncat sambil menancapkan golok dan pedang bergantian pada dinding, terus sampai keluar. Setelah itu, aku akan mencari tambang untuk menarikmu ke luar pula."
"Eh, takutkah engkau di sini?"
"Bukan takut! Akan tetapi kita harus mencari jalan keluar."
"Hemm, bagaimana kau akan membuka penutup besi diatas itu? Pula, siapa tahu begitu kau keluar, hujan senjata akan menyambut mu?"
Hauw Lam terkejut. Beralasan juga kata-kata gadis ini. "Habis.... bagaimana."
"Kita menanti kesempatan dan sementara itu, duduk mengaso di sini dan kauceritakan apa yang terjadi tadi." Malu juga rasa hati Hauw Lam mendengar suara gadis itu yang amat tenang. Ia lalu bercerita. Ketika tadi melihat datangnya Ci-lan Sai-kong yang menggiring dua belas orang gadis-gadis muda yang diculik, Hauw Lam marah bukan main. Akan tetapi ia menahan-nahan perasaan hatinya dan setelah mendapat kesempatan ia lalu menyelinap ke dalam pada saat perhatian semua orang tertarik oleh perbuatan Kwi Lan yang amat berani. Setelah tiba di ruangan belakang, ia menyergap dan menotok seorang anggauta Thian-liong-pang. Dari orang inilah ia mendapat keterangan tentang dua belas orang gadis itu yang ditahan di kamar belakang, dijaga oleh empat orang anggauta Thian-liong-pang. Ia menotok lumpuh orang itu kemudian melanjutkan penyelidikannya. Tekad hatinya akan menolong dan membebaskan dua belas orang gadis itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, secara mudah ia merobohkan empat orang penjaga dan pada saat itulah dari atas genteng melayang turun seorang laki-laki yang ternyata adalah Ciam Goan, bekas tokoh Thian-liong-pang yang tadi diusir oleh Ma Kiu.
Girang hati Hauw Lam dan diam-diam ia kagum menyaksikan keberanian Ciam Goan. Biarpun sudah jelas bahwa orang gagah itu tak mungkin dapat melawan para pimpinan Thian-liong-pang dan tadi pun sudah dikalahkan, namun orang she Ciam itu masih berani dan berusaha menolong dua belas orang gadis tawanan. Tanpa banyak cakap mereka lalu memasuki kamar, membebaskan dua belas
orang gadis itu. Hauw Lam menyerahkan dua belas orang gadis itu kepada Ciam Goan untuk diajak melarikan diri, sedangkan dia sendiri memancing perhatian orang dengan jalan membakar bangunan samping bagian belakang. Akalnya berhasil baik. Semua orang lari ke tempat kebakaran dan mengeroyoknya, sehingga Ciam Goam dan dua belas orang gadis tawanan itu dapat pergi dengan aman. Hauw Lam sendiri lalu memancing mereka yang mengeroyoknya ke sebelah dalam gedung, bahkan ia lalu menggabung dengan Kwi Lan yang sudah terdesak oleh Cap-ji-liong sehingga akhirnya mereka berdua terjeblos ke dalam sumur perangkap.
"Begitulah." Hauw Lam mengakhiri ceritanya. "Kuharap saja orang she Ciam itu berhasil melarikan dan menyelamatkan dua belas orang gadis itu. Dan kau sendiri, apa yang kaulakukan tadi? Wah, kepandaianmu hebat bukan main, Mutiara Hitam. Aku takluk setelah menyaksikan betapa kau melawan pengeroyokan Cap-ji-liong!"
"Hemm, mereka memang kuat sekali kalau maju bersama. Sebelum kau datang membantu, hampir aku roboh." Mutiara Hitam atau Kwi Lan lalu menceritakan pengalamannya. Hauw Lam kagum sekali dan diam-diam di lubuk hatinya ia merasa puas dan tidak akan penasaran kalau mengalami kematian bersama nona ini di dalam sumur!
"Sekarang bagaimana? Aku bukannya takut terkurung seperti ini, akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus keluar dari sini, terutama sekali engkau...." katanya.
"Mengapa aku? Kalau kau bagaimana?"
"Aku juga harus dapat ke luar, akan tetapi yang paling penting engkau, Nona. Kau seorang wanita, karena itu harus didahulukan keselamatanmu...."
"Huh, laki-laki dan wanita apa bedanya?" Hauw Lam tidak mau membantah tentang itu. "Biar kucoba untuk merayap atau meloncat naik."
"Percuma, kita tunggu kesempatan. Kalau ada yang membuka penutup besi di atas itu, sudah kupersiapkan jarum-jarumku. Begitu ada orang di atas, kuserang dengan jarum dan kau boleh melompat dengan bantuan golokmu ditancapkan pada dinding."
"Bagaimana kalau tidak ada yang membuka penutup besi di atas?"
"Kalau begitu, hemm.... kita tinggal di sini selamanya sampai mati" Mendengar kata-kata yang dikeluarkan seenaknya dan
tenang-tenang saja itu, Hauw Lam bergidik. Akan tetapi hatinya menjadi hangat ketika ia ingat betapa gadis itu agaknya senang saja tinggal berdua dengan dia di situ selamanya sampal mati! Ia menjadi terharu dan baru sekali ini selama hidupnya Hauw Lam merasa hatinya terharu sekali dan juga bahagia! Suaranya menjadi gemetar ketika ia berkata, lenyap nadanya yang suka bergurau, suaranya kini bersungguh-sungguh.
"Nona.... aku...., aku pun rela mati di sini, rela tinggal di sini selama hidupku, bahkan aku akan berbahagia sekali....
berdua di sampingmu selamanya...."
"Ihhh! apa maksud kata-katamu yang aneh ini?" Kwi Lan yang tentu saja masih bodoh dalam hal asmara, bertanya heran. Nada suara gadis ini menyadarkan Hauw Lam, membuat mukanya merah sekali, membuat ia merasa malu sekali. Untung bahwa tempat itu gelap sehingga ia tidak usah menentang pandang mata Kwi Lan, dan kegelapan ini sesungguhnya yang membuat ia berani melanjutkan kata-katanya yang membisikkan suara hatinya.
"Mutiara.... biarpun belum lama aku mengenalmu, bahkan namamu yang sesungguhnyapun aku belum tahu.... akan tetapi.... aku tidak merasa begitu. Bagiku engkau sudah kukenal selama hidupku. Tadinya aku sebatang kara di dunia ini... setelah bertemu denganmu, aku merasa tidak sebatang kara lagi. Mutiara.... ah, aku harus berterus terang.... aku.... aku cinta padamu...."
Saking kaget dan herannya mendengar ucapan yang lama sekali belum pernah didengarnya dan yang baru ia raba-raba maksud sebenarnya ini, Kwi Lan duduk termenung dan menggigit jarum yang dipegangnya. Ia seperti orang terpesona, tidak peduli bahwa pada saat itu, sinar terang menerobos masuk dari atas dan penutup lubang sumur itu dibuka orang! Hauw Lam melihat ini dan cepat melompat, siap untuk menerjang ke atas dan berseru.
"Mutiara.... lekas serang dia...." Akan tetapi Kwi Lan hanya memandangnya dan berkata bingung, "Ada apa....?"
"Ssstt.... naiklah....!" Tiba-tiba orang yang membuka penutup sumur itu berkata, kemudian seutas tambang meluncur turun dari atas. Hauw Lam dan Kwi Lan melihat bahwa yang muncul dan melemparkan tambang itu adalah seorang yang berkerudung kain hitam, akan tetapi dari suaranya dapat diketahui bahwa dia seorang laki-laki. Begitu melempar tambang, bayangan itu lenyap kembali. "Mari kita naik!" Hauw Lam berkata dan cepat-cepat pemuda ini merayap naik melalui tambang seperti seekor kera
cepatnya, Kwi Lan juga sudah merayap baik dan sebentar saja keduanya sudah melompat keluar dari sumur. Sejenak mata Hauw Lam menjadi silau karena tiba-tiba dari tempat gelap berada diterang. Ia mengejap-ngejapkan matanya, kemudian ketika matanya bertemu dengan Kwi Lan, tiba-tiba pemuda ini menjadi merah seluruh mukanya!
"Pergi dari sini cepat!" Hauw Lam berkata dan mereka lalu melompat keluar dari ruangan silat yang kini sudah sunyi. Akan tetapi begitu mereka keluar dari ruangan silat dan berada di ruangan tengah, dari kanan kiri berlompatan keluar beberapa orang anggauta Cap-jiliong! "Celaka! Mereka lolos! Kepung.... tangkap....!" Mereka berteriak-teriak dan empat orang sudah menerjang Hauw Lam dan Kwi Lan.
Akan tetapi, keampuhan Cap-ji-liong adalah kalau mereka maju bersama. Kini hanya ada empat orang di antara mereka, tentu saja bukan tandingan Hauw Lam dan Kwi Lan. Begitu sepasang orang muda ini menggerakkan senjata empat orang itu sudah melompat mundur untuk menghindarkan bahaya maut. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hauw Lam dan Kwi Lan untuk berlari terus. Karena dari depan berbondong datang para anggauta Thian-liong-pang, Hauw Lam lalu menarik tangan Kwi Lan, diajak lari melalui ruangan belakang. Mereka lari masuk ke ruangan dalam, terus ke belakang. Beberapa orang anggauta Thian-liong-pang yang bertemu dengan mereka dan berusaha menghalangi, mereka robohkan dengan tendangan atau pukulan tangan kiri.
Untung bagi mereka bahwa para pimpinan Thian-liong-pang pada saat itu sedang sibuk membuat persiapan untuk mengunjungi pertemuan antara tokoh-tokoh dunia hitam yang akan diadakan di Puncak Cheng-liong-san untuk memilih jagoan nomor satu di dunia. Ma Kiu ketua baru, juga Sin-seng Losu sendiri bersama murid-muridnya bersama beberapa orang tamu penting sudah meninggalkan gedung untuk mengunjungi kota Tai-goan untuk ikut menyambut datangnya seorang tokoh besar yang terkenal dengan julukan Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa). Karena tokoh besar ini masih terhitung paman guru Sin-song Losu, tentu saja oleh Thian-liong-pang dianggap sebagai kakek guru dan mereka mengharapkan kakek guru ini akan menjadi jagoan nomor satu sehingga nama Thian-liong-pang akan ikut terangkat tinggi. Karena kesibukan ini mereka hanya meninggalkan empat orang murid kepala bersama murid-murid bawahan untuk menjaga gedung. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa dua orang muda tawanan mereka akan dapat meloloskan diri dan menganggap mereka itu tentu akan tewas kelaparan di dalam sumur. Hauw Lam dan Kwi Lan maklum bahwa kalau para pimpinan Thian-liong-pang keburu datang mengeroyok, keadaan mereka akan berbahaya. Karena mereka datang ke tempat itu hanya untuk "main-main" dan tidak mempunyai urusan tertentu dengan perkumpulan ini, merekapun tidak ada niat untuk melanjutkan pengacauan. Dihadang oleh murid-murid bawahan Thian-liong-pang tentu saja mereka dengan enak
merobohkan semua penghadang, terus lari ke belakang, mencari kandang kuda dan setelah dapat menemukan kuda hitam yang mereka "sumbangkan" tadi, mereka lalu menunggang kuda berdua dan membalapkan kuda itu keluar dari Yen-an. Terdengar derap kaki kuda yang ditungganggi para anak buah Thian-liong-pang mengejar, namun tak seekor pun kuda mampu menandingi larinya kuda hitam dari Khitan itu.
Setelah kota Yen-an jauh ditinggalkan dan tak tampak adanya pengejar lagi, Kwi Lan yang duduk di depan tiba-tiba menahan kudanya. Mereka berhenti di jalan simpang empat. "Di sini kita berpisah. Kau turunlah." Hauw Lam meloncat turun dan memandang gadis itu dengan muka terkejut. Tak disangkanya bahwa secara tiba-tiba gadis itu mengajak mereka saling berpisah. Namun nona itu menundukkan muka, tidak membalas pandang matanya. "Mutiara Hitam.... Nona...., mengapa kita harus berpisah?"
Suara Hauw Lam gemetar, tidak seperti biasa. Jantung Kwi Lan berdebar aneh. Ia marah dan juga bingung. "Nona, apakah engkau marah karena pengakuanku di dalam sumur tadi? Maafkanlah, aku bukan bermaksud menyinggung perasaanmu atau menghinamu, aku hanya mengeluarkan isi hatiku sejujurnya. Biarpun kau akan menjadi marah dan membunuhku, aku tak dapat menyangkal bahwa
aku.... cinta padamu, Mutiara Hitam."
Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak bisa marah kepada pemuda ini, dan sebetulnya ia senang mendengar pengakuan itu. Akan tetapi ia tidak ingin selamanya berada di samping Hauw Lam. Ia ingin menyendiri. "Hauw Lam, ada hal yang lebih penting bagimu. Engkau harus pergi kepada Ibu kandungmu." Terbelalak mata Hauw Lam memandang. "Apa....? Apa yang kau maksudkan....?"
"Bukankah Ayahmu bernama Tang Sun dan Ibumu bernama Phang Bi Li?" Hauw Lam melangkah maju dan memegang tangan Kwi Lan. "Mutiara! Bicaralah yang jujur! Bagaimana kau tahu akan nama Ayahku? Memang Ayahku bernama Tang Sun. Nama Ibu aku tidak pernah dengar, akan tetapi engkau.... bagaimana bisa tahu?" Kwi Lan yang kini melihat betapa wajah Hauw Lam menjadi pucat dan agaknya amat tertarik tersenyum. "Kau pantas menjadi kakakku. Ibumu adalah Bibi Bi Li yang menganggap aku anak sendiri. Ayahmu.... Ayahmu telah tewas, aku melihat sendiri. Ibumu masih hidup, namanya Phang Bi Li dan kini tinggal di Hutan Iblis."
Makin pucat wajah Hauw Lam. "Di Hutan Iblis....? Ayahku mati....?" Ia merasa mimpi mendengar keterangan ini dan tentu ia tidak akan percaya kalau saja ia tidak yakin bahwa gadis yang baru dikenalnya beberapa hari ini tak pernah membohong seperti juga tak pernah merasa takut.
"Pergilah, carilah Ibumu dan kau akan mendengar semua. Ibumu hanya tahu bahwa puteranya bernama Tang Hauw Lam. Kau pergilah ke Lembah Air Hijau, di kaki Pegunungan Pek-liu-san sebelah utara, di sana terdapat hutan yang oleh orang-orang disebut Hutan Iblis. Nah, Ibumu tinggal seorang diri di dalam pondok di hutan itu, menanti-nanti kedatanganmu. Selamat tinggal, kelak kita berjumpa pula." Setelah berkata demikian, Kwi Lan membalapkan kudanya pergi dari tempat itu, meninggalkan Hauw Lam yang masih berdiri seperti arca dengan muka pucat.
"Ibuku.... Ibu kandungku.... Ibuku...." Pemuda yang biasanya periang itu kini hanya berbisik-bisik dengan sepasang mata basah. Pandang matanya mengikuti bayangan Kwi Lan di atas kudanya. dan semangatnya serasa terbawa terbang pergi.
***
Kwi Lan menjalankan kudanya sambil melamun. Begitu berpisah dari Hauw Lam ia merasa betapa ia kehilangan seorang teman seperjalanan yang selalu mendatangkan suasana gembira. Akan tetapi kalau ia teringat akan pernyataan cinta kasih Hauw Lam, ia menjadi kecewa. Hal ini melenyapkan rasa gembiranya dan membuatnya menjadi tak enak, hatinya berdebaran dan ia menjadi malu, tak ingin bertemu kembali dengan pemuda itu. Ada hal lain yang sejak tadi ia pikirkan. Siapakah orang yang menolongnya ketika ia bersama Hauw Lam berada dalam sumur jebakan? Apakah orang gagah she Ciam yang telah menolong dua belas orang gadis tawanan? Rasanya tidak mungkin karena biarpun gagah berani, orang she Ciam itu tidak begitu tinggi kepandaiannya. Penolong tadi tentu orang yang sudah kenal akan keadaan dan rahasia Thian-liong-pang.
Kwi Lan yang tidak mengenal jalan, tidak tahu bahwa kudanya itu berlari menuju ke arah Sungai Kuning yang mengalir di sebelah timur Yen-an. Ia juga tidak tahu bahwa jalan ini pula yang diambil oleh rombongan Sin-seng Losu pagi tadi, menuju ke Tai-goan!
Hari telah menjelang senja. Ia segera membalapkan kudanya ketika melihat sebuah dusun jauh di depan. Perkampungan ini cukup besar dan Kwi Lan bermalam di rumah penginapan dusun itu. Semua orang kagum melihat gadis yang cantik jelita dan yang menunggang seekor kuda hitam yang indah ini, namun Kwi Lan tidak ambil peduli. Setelah pengalamannya di Thian-liong-pang, Kwi Lan bersikap hati-hati dan tidak mau mencari perkara. Mulailah ia tahu bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang yang berilmutinggi. Ia ingin bertemu dengan ibu kandungnya dan menurut penuturan Hauw Lam, di Khitan banyak terdapat orang-orang pandai sehingga seorang tokoh hitam seperti Jin-cam Khoa-ong itu pun menjadi buronan Khitan. Ia akan
menemui Ibu kandungnya dan kalau mungkin, memperdalam kepandaiannya.
Pada keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan dan hari telah lewat senja ketika ia menghentikan kudanya di tepi Sungai Kuning yang airnya melimpah-limpah dan amatlebar. Ia duduk di atas kudanya sambil termenung. Bagaimana ia dapat melanjutkan perjalanan? Tidak ada jembatan, tidak ada perahu, dan tempat itu amat sunyi, tak tampak seorang pun manusia. Hanya dapat dilihat dari situ perahu-perahu nelayan jauh sekali dan ada di antara mereka yang sudah menyalakan lampu penerangan. Ia lalu menjalankan kudanya menyusuri sungai menuju ke kiri untuk mencari perahu yang kiranya akan dapat menyeberangkannya atau kalau tidak, ia akan mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam dan besok baru berusaha menyeberang.
Tiba-tiba dari jauh ia melihat sebuah perahu kecil meluncur cepat ke pantai. Itu tentu seorang nelayan, pikirnya. Mungkin
dia bisa menolongku mencarikan sebuah perahu besar untuk menyeberang. Perahu kecil macam itu mana dapat menyeberangkan kudanya? Kwi Lan mempercepat larinya kuda ke arah pantai. Akan tetapi ia terlambat karena dari dalam perahu itu meloncat keluar bayangan hitam yang kemudian berlari amat cepatnya ke darat. Kwi Lan terkejut. Terang itu bukan nelayan biasa, pikirnya. Nelayan biasa mana bisa memiliki gin-kang yang sedemikian baiknya. Iapun cepat membelokkan kudanya, mengikuti arah larinya orang itu. Cuaca sudah mulai gelap dan Kwi Lan yang merasa tertarik, melanjutkan kudanya ke depan sambil mencari-cari dengan pandang matanya.
Bayangan itu lenyap sudah. Gerakannya terlalu cepat dan melakukan pengejaran sambil menunggang kuda amat sukar. Selain itu, juga Kwi Lan meragu untuk mengejar secara sungguh-sungguh. Ia tidak tahu siapa orang itu dan mengapa berlari-lari dengan cepatnya. Terang bukan nelayan dan ia tidak mempunyai keperluan sesuatu dengan orang itu. Hanya ia tadi ingin bertanya kalau-kalau orang itu dapat menunjukkan di mana ia dapat menyewa perahu untuk menyeberang bersama kudanya.
Sinar terang yang keluar dari kumpulan batu-batu gunung di pantai sebelah depan menarik perhatiannya. Sinar yang bergerak-gerak besar kecil itu tentulah sinar api unggun yang dinyalakan orang. Ada api unggun tentu ada orang dan kalau
ada orang berarti ia akan bisa mendapatkan keterangan dan petunjuk yang diharapkan. Kini kuda hitam yang ditungganginya sudah mendekati deretan batu-batu padas yang tinggi dan dijalankan perlahan.
Ternyata api unggun itu dinyalakan orang di dalam sebuah guha batu yang amat lebar. Ketika Kwi Lan yang masih duduk di atas kudanya tiba di depan mulut guha, ia melihat lima orang laki-laki di dalam guha. Kedatangannya agaknya sudah dinanti mereka karena mereka sudah berdiri dan tangan kanan mereka sudah meraba gagang senjata masing-masing. Yang paling depan adalah seorang pemuda yang berambut panjang, berpakaian hitam dan berwajah tampan sekali. Kepalanya diikat tali dan di dahinya besinar sebuah batu permata kuning, Tiga orang yang lain juga sudah siap dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak kaget dan marah. Adapun orang kelima adalah seorang pendeta yang jenggotnya kasar dan jarang seperti kawat, tubuhnya tinggi besar dan di belakang punggungnya tampak gagang sebatang pedang. "Siauw-ya (Tuan Muda), dia adalah Mutiara Hitam yang
mengacau di Thian-liong-pang....!" Seorang di antara tiga orang di belakang pemuda tampan itu berseru.
Pemuda itu memandang dengan mata bersinar tajam, lalu membentak ke arah Kwi Lan, suaranya nyaring. "Mau apa engkau datang ke sini?"
Kwi Lan tersenyum. Ia tidak memandang mata kepada orang-orang Thian-liong-pang ini dan melihat batu permata di dahi Si Pemuda Tampan, Ia dapat menduga bahwa pemuda itu tentu seorang tokoh pula. Akan tetapi ia sedikitpun tidak takut dan karena ia kemarin tidak melihat pemuda ini di antara yang mengeroyoknya, ia pun tiada nafsu untuk melayani mereka.
"Aku tidak butuh kalian, aku hanya perlu seorang nelayan yang dapat menyeberangkan aku dan kudaku." jawabnya, suaranya dingin. Biarpun ia tidak mengharapkan bantuan mereka ini, namun siapa tahu mereka dapat memberi keterangan tentang nelayan yang ia butuhkan.
Sebelum pemuda dan tiga orang anggauta Thian-liong-pang itu menjawab, pendeta sai-kong yang berdiri paling belakang itu mengangkat tangan kiri ke atas, dan berkata. "Siangkoan-kongcu, biarkan lohu menghadapinya!" Dengan langkah lebar pendeta ini maju. Setelah berhadapan dengan Kwi Lan, ia menjura dengan hormat, tersenyum-senyum dan jenggotnya yang kaku bergerak-gerak, matanya berkejap-kejap.
"Nona, sungguh Nona yang masih begini muda amat mengagumkan. Tadi lohu sudah mendengar penuturan saudara-saudara Thian-liong-pang akan sepak terjang Nona yang berani menghadapi Cap-ji-liong. Ha-ha-ha, sungguh gagah! Seorang muda segagah Nona ini patut dikagumi dan sama sekali tidak pantas dimusuhi. Orang gagah mengutamakan persahabatan sesama orang gagah, maka terimalah rasa kagum lohu!"
Kwi Lan yang melihat kakek ini merangkapkan kedua tangan, membawa kedua tangan ke depan dada sambil bergerak memberi hormat, tersenyum mengejek. Dengan gerakan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat turun dari atas punggung kudanya, menghadapi kakek itu dan menjura sambil berkata.
"Kau orang tua terlalu merendah!" Biarpun kelihatannya seperti orang menjura dan memberi hormat, namun kedua tangan sai-kong itu bergerak ke depan dan menyambarlah angin pukulan dahsyat ke arah dada Kwi Lan. Gadis itu hanya menjura dengan bibir tersenyum, agaknya seperti tidak tahu akan penyerangan orang, akan tetapi kakek itu merasa betapa tenaga dorongan kedua tangannya tadi seakan-akan membentur api dan membalik, menimbulkan rasa panas pada dadanya. Ia kaget sekali, akan
tetapi masih merasa penasaran dan sambil tertawa dan berkata, "Nona benar-benar hebat....!" Kedua tangannya membuka jari-jari tangan dan bergerak ke depan, yang kiri menotok ke arah pundak dan yang kanan menotok ke arah pergelangan tangan! Hebat serangan ini, namun masih saja tampak seakan-akan orang yang memuji dan menyentuh karena sayang dan kagum, sama sekali tidak kelihatan seperti orang menyerang. Padahal serangan itu kalau tepat mengenai sasaran, akan membuat tubuh Kwi Lan seketika lumpuh dan lemas.
"Totiang (panggilan pendeta) mengapa sungkan-sungkan!" kata Kwi Lan dan kedua tangannya bergerak ke depan pula seperti orang mencegah. Hanya tampaknya saja seperti mencegah, akan tetapi sebenarnya dengan cepat seperti kilat menyambar, jari tangan Kwi Lan sudah siap menerima kedua tangan kakek itu. Kalau kakek itu melanjutkan serangannya, maka kedua telapak tangannya tentu akan bertemu dengan jari tangan Kwi Lan sehingga sebelum dapat menotok orang, Ia sendiri sudah akan terkena totokan lawan! "Ahhh....!" Sai-kong itu menarik kembali kedua tangannya dan melangkah mundur kemudian ia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, semuda ini sudah memiliki kepandaian hebat, benar-benar membuat lohu kagum dan takluk, Nona ingin menyeberang? Biarlah lohu antarkan!"
Girang hati Kwi Lan mendengar ini. "Kau mempunyai perahu, Totiang?"
"Ha-ha, tentu saja ada, harap Nona jangan khawatir. Marilah!" Kakek itu dengan langkah lebar keluar dari dalam guha, diikuti oleh Kwi Lan. "Tahan! Mutiara Hitam, engkau sudah mengacau Thian-liong-pang, bagaimana kami dapat membiarkan kau pergi begitu saja?" teriak seorang di antara anggauta-anggauta Thian-liong-pang sambil melompat maju dan mencabut pedang. Akan tetapi pemuda tampan tadi mencegah dan menghardik.
"Nona sudah ikut bersama Huang-ho Tai-ong (Raja Sungai Huang-ho), mau apa kau ribut-ribut?" Kalau saja Kwi Lan sudah banyak pengalaman merantau, tentu ia akan terkejut sekali mendengar nama ini. Huang-ho Tai-ong adalah nama julukan kepala bajak Sungai Huang-ho yang terkenal sekali. Akan tetapi gadis ini selain kurang pengalaman, juga tidak mengenal takut, maka ucapan Si Pemuda ini sama sekali tidak ada artinya. Ia mengikuti sai-kong itu yang terus berjalan mendekati pantai, kemudian kakek itu mengeluarkan teriakan melengking nyaring tinggi sambil menengadahkan kepalanya. Terdengar suitan balasan
dari arah kiri dan tidak lama kemudian, muncullah sebuah perahu dalam sinar bintang-bintang di langit yang suram muram. Kiranya perahu itu bercat hitam, cukup besar dan didayung oleh empat orang tinggi besar. "Silakan, Nona. Lohu sendiri akan menemanimu menyeberang." kata saikong tadi sambil tersenyum. "Terima kasih. Kau baik sekali, Totiang." jawab Kwi Lan yang menuntun kuda hitamnya ke atas papan perahu, Kakek itupun melompat naik, memberi aba-aba dan empat orang anak buahnya kembali mendayung perahu ke tengah. Ketika Kwi Lan menengok, ia melihat pemuda tampan tadi bersama teman-temannya berdiri di pinggir sungai dan memandang. Karena tidak mengerti, Kwi Lan sama sekali tidak merasa heran mengapa layar perahu itu tidak dipasang. Untuk menyeberangi sungai sebesar Sungai Kuning ini, tentu dibutuhkan layar agar penyeberangan dapat berjalan cepat. Akan tetapi empat orang itu hanya mendayung saja sehingga perahu bergerak lambat, malah hanyut oleh air. Kuda hitam yang tinggi besar dan gagah itu pun mendengus-dengus dan meringkik, keempat kakinya menggigil ketika melihat air yang hitam berombak. Akan tetapi, Kwi Lan berdiri tegak memegangi kendali, sedikit pun tidak merasa takut!
"Nona, orang-orang Thian-liong-pang tadi menceritakan tentang sepak terjang Nona di Thian-liong-pang dan menyebut Nona Mutiara Hitam. Bolehkah lohu tahu, siapa sesungguhnya namamu dan dari perguruan manakah? Lohu sendiri disebut orang Huang-ho Tai-ong, bernama Ma Hoan." Kwi Lan tidak menaruh curiga kepada kakek ini, juga tidak memperhatikan nama maupun julukannya, akan tetapi karena kakek ini menolongnya menyeberang, ia menganggapnya orang baik. Dengan acuh ia menjawab, "Si Berandal sudah menjuluki aku Mutiara Hitam, biarlah selanjutnya orang mengenalku dengan nama itu juga. Aku tidak terikat dengan perguruan manapun."
Kakek ini mengerut kan alisnya. Gadis yang cantik jelita, akan tetapi sombong sekali, pikirnya. "Mutiara Hitam, julukan
yang bagus. Nona, kenapa engkau mengacau Thian-liong-pang? Mengapa memusuhinya?"
"Aku tidak memusuhi Thian-liong-pang dan tidak ada urusan apa-apa antara mereka dan aku. Hanya aku tahu bahwa orang-orang Thian-liong-pang bukan manusia baik-baik, pula pengecut. Beraninya hanya melakukan pengeroyokan dan menggunakan perangkap!"
Pada saat itu, Ma Hoan tertawa bergelak dan terdengarlah bunyi banyak dayung memukul air. Ketika Kwi Lan melihat ke
kanan kiri, ia mengerutkan alisnya. Kiranya tanpa ia ketahui, telah muncul empat buah perahu kecil yang mengurung perahu yang ditumpanginya. Perahu-perahu kecil itu juga bercat hitam dan setiap buah perahu ditumpangi enam orang bersenjata golok. "Ha-ha-ha, Mutiara Hitam, engkau terlalu cantik jelita, akan tetapi terlalu sombong! Engkau sudah berada dalam
cengkeramanku, masih bermulut besar mencaci maki Thian-liong-pang? Ketua Thian-liong-pang adalah Kakakku, tahukah kau?"
Kwi Lan memandang tajam dan teringatlah ia sekarang. Orang ini bernama Ma Hoan, kiranya adik Ma Kiu Ketua Thian-liong-pang. Julukannya Tai-ong dan kini tampak banyak anak buahnya, tentu kepala bajak sungai dan dia berada dalam bahaya!
"Bagus, kalau begitu kau sudah bosan hidup!" kata Kwi Lan dan sekali tangan kanannya bergerak, Siang-bhok-kiam telah tercabut dan menerjang, merupakan sinar kehijauan menyambar ke arah Huang-ho Tai-ong Ma Hoan dan empat orang pendayung perahu. Kuda hitam meringkik ketakutan, empat orang itu berteriak keras dan terjungkal keluar dari perahu, akan tetapi dengan gerakan cepat sekali Ma Hoan sudah meloncat dan tubuhnya melayang ke atas sebuah diantara perahu-perahu kecil yang mengurung perahu besar. "Tangkap dia, gulingkan perahu!" Ma Hoan berseru, memberi komando kepada anak buahnya. Kwi Lan mendengar ini menjadi kaget juga. Kalau lawan menggunakan akal menggullngkan perahu, dia dan kudanya celaka! Karena itu,
sebelum mereka turun tangan, tubuhnya sudah lebih dulu mencelat ke atas sebuah perahu kecil terdekat. Sambil meloncat, ia memutar pedangnya. Enam orang dengan golok di tangan menyambutnya. Terdengar suara keras dan enam buah golok itu terlempar ke dalam air dan seorang di antara mereka malah roboh dengan lengan kanan terbabat putus! Lima orang lainnya cepat-cepat meloncat ke dalam air dengan panik.
Begitu perahu kecil yang diinjaknya itu terus bergoyang-goyang dan miring Kwi Lan sudah mengenjot tubuhnya lagi, kini meloncat ke arah perahu yang ditumpangi Ma Hoan. Ia maklum bahwa kalau ia tidak cepat menawan Ma Hoan. Ia tentu akan celaka. Di darat, ia tidak akan peduli akan pengeroyokan tiga puluh orang itu, akan tetapi di air! Melawan seorang di antara mereka saja belum tentu ia menang. Ma Hoan tidak akan berjuluk Raja Sungai Kuning dan tidak akan menjadi kepala bajak kalau ia tidak lihai ilmu silatnya dan pandai bermain di air. Melihat tubuh gadis, perkasa itu berkelebat meloncat ke arah perahunya, ia mengenal bahaya dan.... cepat-cepat ia melempar diri ke dalam air! Dua orang anak buahnya di perahu itu yang tidak keburu terjun, menjadi korban babatan pedang Kwi Lan dan terjungkal di air.
Keadaan menjadi kacau-balau. Dalam cuaca suram gelap Kwi Lan mengamuk, meloncat dari perahu ke perahu. Namun para bajak itu sudah lebih dahulu terjun ke air dan mulailah mereka berusaha menggulingkan perahu dimana Kwi Lan berdiri. Gadis ini tentu saja tidak mau digulingkan ke dalam air. Ia bermain loncat-loncatan dari perahu ke perahu. Akan tetapi karena perahu-perahu yang tidak dikemudikan itu berputaran dan hanyut, apalagi karena bajak-bajak menggulingkan semua perahu, akhirnya Kwi Lan yang sudah berdiri di atas perahu yang terbalik, tidak mempunyai tempat lagi untuk meloncat. Kuda hitam besar sudah terjungkal ke dalam air ketika perahu besar digulingkan. Ketika perahu terbalik yang ia injak itu tiba-tiba menyelam, ia masih dapat meloncat ke atas dan.... tak dapat dicegahnya lagi tubuhnya jatuh terbanting ke dalam air yang bergelombang!
Kwi Lan pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah ia terbanting ke air. Ketika ia siuman kembali, ia mendapatkan dirinya lemas dan lumpuh kaki tangannya! Tahulah Kwi Lan bahwa ia telah tertotok lumpuh. Tubuhnya terasa dingin dan basah. Ketika ia membuka mata, ia melihat api unggun dan ternyata ia telah berada di dalam guha besar tadi, menggeletak di atas rumput kering dan tubuhnya tidak tertutup pakaian sama sekali! Kenyataan ini membuat Kwi Lan merasa kaget setengah mati dan cepat-cepat ia menutupkan kedua matanya lagi, pura-pura pingsan atau hampir pingsan lagi saking kagetnya. Ia tahu bahwa ia telah tertawan, dan bahwa orang telah menanggalkan semua pakaian dari tubuhnya. Kemudian ia mendengar betapa di situ terdapat banyak orang, bahkan ada suara orang berbantahan. Dengan jantung berdebar ketakutan, baru sekali ini Kwi Lan
mengenal rasa takut, ia mendengarkan, tanpa membuka matanya. "Ma-totiang, aku tahu bahwa urusan ini adalah urusan pribadimu dan sekali lagi kunyatakan bahwa antara Nona itu dan aku tidak ada sangkut-paut apa-apa! Akan tetapi kedua hal itu bukan menjadi halangan bagiku untuk mencegah terjadinya hal yang memalukan ini. Betapapun juga, Kakakmu, Ma Kiu Suheng adalah ketua kami, kalau sekarang engkau melakukdn perbuatan hina dan rendah, bukankah hal itu berarti akan menodai nama besar Thian-liong-pang?"
"Eh, Siangkoan-kongcu! Sejak kapan Thian-liong-pang melarang seorang laki-laki mengambil seorang wanita yang disukanya? Engkau hendak menghalangiku, berarti engkau iri hati dan engkau sendiri suka kepada wanita pengacau itu. Betulkah?"
"Tidak, Ma-totiang. Laki-laki boleh mengambil wanita mana saja yang disukainya, akan tetapi kalau wanita itu mau. Engkau merobohkannya dengan akal curang, dan hendak memaksanya secara keji. Mendiang Ayahku, seorang Ketua Thian-liong-pang tidak pantang melakukan apa saja kecuali sikap curang dan pengecut. Kalau kau mengalahkan dia dengan kepandaianmu, maka menjadi hakmulah untuk memperlakukan orang yang kaukalahkan sesuka hatimu. Akan tetapi melihat betapa tadi dia dilawan secara licik dan sekarang hendak diperlakukan keji, sungguh sebagai seorang gagah aku tidak akan mendiamkan saja. Ma-totiang, agar jangan kita menjadi bahan ejekan di dunia kang-ouw, kaubebaskan dia!"
"Bocah, berani engkau membuka mulut besar? Siangkoan Li! Kau menganggap kau ini siapa dan aku ini orang macam apa, bisa kauperintah sesukamu? Biarpun mendiang Ayahmu pernah menjadi ketua Thian-liong-pang, akan tetapi Ayahmu bukanlah sahabatku! Hanya mengingat engkau masih cucu luar Sin-seng Losu dan masih adik seperguruan Twako (Kakak) Ma Kiu, aku masih menganggapmu orang sendiri! Akan tetapi jangan kau keterlaluan karena menjadi cucu Sin-seng Losu, karena semua saudara Cap-ji-liong juga tidak suka akan sepak terjangmu yang menyimpang dengan jalan mereka!"
Hening sejenak. Kwi Lan memandang dari balik bulu matanya dan melihat bahwa yang bertengkar adalah pemuda tampan berambut panjang dan sai-kong yang menawan dirinya. Tiga orang anggauta Thian-liong-pang berdiri di sudut, memandang dan melihat pandang mata mereka terhadap pemuda itu, agaknya mereka ini tidak berpihak kepada Si Pemuda. Kwi Lan lalu menutupkan matanya kembali, menekan perasaannya yang seperti akan melesak itu, kemudian ia diam-diam mengerahkan tenaganya untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi kaki tangannya tetap lumpuh dan karena dadanya penuh hawa amarah yang hebat, sukar baginya untuk mengumpulkan hawa murni. "Ma-totiang, bicara tentang sepak terjang, bukan aku yang menyimpang, melainkan orang lain yang menyeleweng! Akan tetapi cukuplah tentang Thian-liong-pang. Kita bicara tentang perbuatanmu sekarang. Ma-totiang, engkau adalah seorang bekas pendeta, sedikit banyak pernah belajar tentang kebajikan. Engkau adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedikit banyak mengerti tentang kegagahan. Engkau adalah seorang yang sudah tua, mengapa masih menuruti nafsu binatang hendak memperkosa seorang gadis....?"
"Huh, bocah bermulut lancang! Siapa hendak memperkosa? Lancang kau menuduh orang...."
"Engkau masih berani menyangkal? Melihat keadaan Nona ini...."
"Ha-ha-ha! Memang, dia kutelanjangi, akan tetapi aku tidak berniat memperkosanya. Mungkin anak buah Thian-liong-pang itu mempunyai niat demikian, melihat pandang mata mereka! Ha-ha, aku sama sekali bukan hendak memperkosa, melainkan ingin menggunakan dia membantu menyempurnakan ilmu silat yang sedang kucipta! Dia seorang gadis yang memiliki Iwee-kang tinggi, memiliki hawa sakti yang kuat dan darah yang sehat. Dia juga telah mengacau Thian-liong-pang, maka baik sekali kuambil semua kekuatan Im-kang dari tubuhnya...."
"Keji! Aku tahu, Ma-totiang, orang mengabarkan bahwa engkau sedang mencipta dan melatih Ilmu Bi-ciong-kun (Ilmu Silat Menyesatkan) yang kaulengkapi dengan pukulan Tok-hiat-ciang (Pukulan Darah Beracun)...., akan tetapi mengapa menggunakan Im-kang seorang gadis....?"
"Ha-ha-ha, Siangkoan Li! Kaukira akan mudah saja mencari rahasia ilmuku itu? Tidak perlu, hanya perlu kauketahui bahwa
aku perlu hawa murni dan darah gadis ini untuk I-kin Swe-jwe (Ganti Obat Cuci Sumsum). Sudahlah, kau pergi dan jangan
menggangguku lagi."
"Tidak! Kalau engkau lebih dulu membebaskan Nona ini, kemudian bertanding dengannya secara jantan, biar dia kalah dan mati di tanganmu, aku Siangkoan Li bersumpah tidak akan turut campur. Akan tetapi melihat dia ditawan dengan akal keji dan kini akan menjadi korban ilmu iblismu, aku tidak akan tinggal diam saja!"
"Bagus! Memang anak tidak akan berbeda dengan ayahnya! Ayahmu penyeleweng dari Thian-liong-pang, engkaupun...."
"Tutup mulut, jangan membawa-bawa nama Ayah!" bentak Siangkoan Li yang sudah mencabut pedangnya. Huang-to Tai-ong Ma Hoan berteriak keras seperti seekor harimau terluka, mencabut pedangnya dan menyerang pemuda itu. Karena guha itu kurang luas untuk bertanding, sedangkan ia maklum akan kelihaian lawannya, pemuda yang bernama Siangkoan Li itu lalu meloncat keluar guha dikejar oleh Ma Hoan. Segera terjadi pertandingan hebat di luar guha, di bawah sinar bintang-bintang di langit. Suara senjata mereka saling beradu, terdengar nyaring oleh Kwi Lan yang masih berusaha menekan kemarahannya dan membebaskan diri
daripada totokan.
"Sam-sute, bagaimana baiknya sekarang?" Terdengar seorang di antara tiga anggauta Thian-liong-pang berkata. Mereka bertiga masih berada di dalam guha itu, kini memandang ke arah Kwi Lan dengan mata terbelalak penuh kagum dan gairah.
"Biarkan saja mereka bertempur." kata suara lain yang parau. "Ma-totiang adalah adik kandung Pangcu (Ketua), dan Siangkoan-kongcu adalah cucu luar Lo-pangcu, bagaimana kita boleh campur tangan? Lihat alangkah hebatnya Nona ini, hemm.... selagi mereka bertanding, mengapa kita sia-siakan kesempatan bagus ini?"
"Sam-suheng benar!" kata suara ketiga. Aku pun selama hidupku belum pernah melihat yang seindah ini. Aku rela nanti
dimarahi Ma-totiang atau Siangkoan-kongcu...."
Tiga orang anggauta Thian-liong-pang itu menghampiri Kwi Lan dengan wajah menyeringai penuh nafsu. Sebetulnya mereka itu bukanlah kaum jai-hwa-cat macam Ci-lan Sai-kong, bukan pula orang-orang mata keranjang, sungguhpun mereka juga tak dapat disebut orang baik-baik. Akan tetapi melihat keadaan Kwi Lan, menyaksikan kecantikan wajah yang memang jarang bandingannya, melihat bentuk tubuh yang demikian menggairahkan, mereka tak dapat lagi menguasai hati dan menyerah kepada bujukan iblis nafsunya. Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Kwi Lan ketika melihat tiga wajah yang berkeringat dengan mata berkilat-kilat seperti mata binatang kelaparan itu makin mendekatinya. Ia tidak pernah mengenal takut menghadapi ancaman maut sekalipun, akan tetapi hati kecilnya membisikkan bahwa kini ia terancam malapetaka yang jauh lebih mengerikan daripada
maut sendiri! Ia sudah mengerahkan tenaga, namun perhatiannya tak dapat terkumpul bulat-bulat sehingga belum juga ia berhasil. Kedua tangan dan kakinya masih lemas, lumpuh tak bertenaga.
"Sam-sute, Hok-sute, kalian mundurlah. Aku sebagai Suheng kalian, paling tua dan biarkan aku mendekati dia lebih dulu."
"Ah, tidak, Suheng! Aku yang mengusulkan lebih dulu!"
"Sam-suheng, aku yang paling muda lebih cocok dengan dia!" Tiga orang murid Thian-liong-pang yang hati serta pikirannya sudah hitam dan gelap kotor oleh nafsu iblis itu kini saling berebut! Dari pertengkaran mulut, mereka kini saling betot dan agaknya mereka akan saling jotos karena sudah mulai memaki. Melihat ini, Kwi Lan maklum betapa dirinya diperebutkan oleh tiga orang manusia yang seperti anjing-anjing kelaparan itu, maka ia merasa hatinya makin berdebar gelisah, perasaannya seperti ditusuk-tusuk. Makin rusaklah pengerahan tenaga dan hawa murni di tubuhnya sehingga akhirnya ia menghela napas dan mengeluarkan suara rintihan karena putus harapan. Tiba-tiba dari luar guha menyambar dua sinar hitam yang tepat sekali mengenai jalan darah di leher dan pinggang Kwi Lan. Kiranya dua sinar itu adalah dua buah batu kecil yang tepat telah menotok jalan darahnya dan.... seketika Kwi Lan merasa betapa jalan darahnya pulih kembali! Kaki tangannya dapat ia gerakkan dan biarpun masih kesemutan, namun ia segera melompat bangun, bagaikan kilat cepatnya ia sudah menyambar pakaiannya yang tadi ia lihat bertumpuk di sudut guha. Dengan jarijari tangan gemetar saking lega dan girang hatinya tertolong pada detik-detik berbahaya itu, namun dengan amat cepat Kwi Lan mengenakan pakaiannya dan tubuhnya yang kini sudah berpakaian itu berkelebat cepat ke arah pintu guha ketika ia melihat tiga orang Thian-liong-pang berusaha lari ke luar. Kejadian ini amat cepatnya. Ketika tiga orang Thian-liong-pang tadi bertengkar untuk memperebutkan Kwi Lan, mereka tidak tahu bahwa calon korban mereka itu sudah melompat bangun dan berpakaian. Setelah akhirnya seorang di antara mereka melihat Kwi Lan dan berteriak kaget, mereka semua menoleh dan serentak mereka kini berlumba lari ke arah pintu guha untuk menjauhkan diri dari gadis yang mereka tahu amat lihai itu. Namun tiba-tiba di depan mata mereka berkelebat bayangan orang dan tercium bau harum, tahu-tahu mereka sudah melihat Kwi Lan menghadang di depan pintu guha dengan pedang Siang-bhok-kiam yang harum di tangan! Wajah yang cantik jelita itu tersenyum, senyum manis sekali, akan tetapi sinar matanya tajam bagaikan pedang dan dingin seperti salju! Tiga orang anggauta Thian-liong-pang itu melangkah mundur dengan muka pucat dan bergidik ngeri. Jalan mundur tidak ada lagi. Satu-satunya jalan keluar untuk lari telah dihadang oleh Mutiara Hitam.
Gadis itu melihat tiga orang lawannya mundur-mundur ketakutan, kini melangkah maju pula perlahan-lahan. Ia sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata, namun pandang matanya dan senyumnya telah membayangkan ancaman yang menyeramkan, dan tiada caci maki dari mulut lebih jelas membayangkan kemarahan yang meluap-luap itu. Tiga orang yang mundur terus akhirnya sampai mepet di dinding batu guha. Terpaksa mereka berhenti, saling pandang dengan muka pucat, mata terbelalak dan tubuh menggigil. Mereka tersudut seperti tiga ekor tikus menghadapi seekor kucing yang hendak mempermainkan mereka lebih dahulu sebelum menjatuhkan terkaman maut.
Tiga orang itu saking takutnya menjadi nekat. Mereka merogoh saku dan mengeluarkan senjata rahasia mereka, yaitu perluru-peluru bintang Sin-seng-piauw yang menjadi senjata utama para anak buah Thian-liong-pang. Tidak semua anggauta Thian-liong-pang mewarisi ilmu silat Sin-seng Losu, akan tetapi mereka semua diharuskan melatih penggunaan senjata rahasia Sin-seng-piauw ini. Senjata rahasia ini bentuknya seperti bintang, kecil namun berat dan pada ujungnya yang runcing diberi racun.
Seperti mendapat aba-aba saja, tiga orang itu menggerakkan tangan menyambit dengan Sin-seng-piauw. Belasan buah peluru bintang ini menyambar ke arah Kwi Lan. Namun sekali memutar Siang-bhok-kiam, semua senjata itu runtuh, menancap di atas lantai atau dinding kanan kiri gadis itu. Tiga orang anak buah Thian-liong-pang itu adalah anggauta-anggauta tingkat rendah kepandaian mereka masih terlalu rendah bagi Kwi Lan. Mereka menjadi makin ketakutan dan menghamburkan senjata-senjata rahasia mereka sampai habis. Sebuahpun tidak ada yang menyentuh pakaian Kwi Lan. Gadis ini memperlebar senyumnya Sambil berteriak-teriak seperti orang gila saking takut dan nekat, tiga orang itu lalu menerjang maju, memutar golok dan membacok sejadinya asal cepat dan kuat. Kwi Lan menggerakkan pedangnya yang berkelebatan seperti kilat menyambar. "Trangg.... tranggg.... tranggg....!"
Tiga batang golok itu patah-patah dan yang berada di tangan mereka hanya tinggal gagangnya saja! Kembali mereka mundur-mundur sampai mepet dinding dan rasa takut mereka ini memuncak. Melihat betapa gadis itu sambil tersenyum-senyum melangkah maju dengan pedang di tangan, mereka bertiga hampir menjadi gila. Lutut mereka menggigil dan akhirnya mereka tak dapat menahan diri lagi, jatuh berlutut sambil memohon-mohon ampun dan menangis!
"Menjijikkan!" Kwi Lan berkata perlahan akan tetapi pedangnya bergerak cepat sekali sampai lenyap berubah gulungan sinar hijau menyambar-nyambar. Terdengar jeritan-jeritan menyayat hati dan ketika gadis itu melangkah keluar dari dalam guha, di bawah penerangan api unggun tampak tiga tubuh manusia bergelimpangan di atas lantai guha itu, tanpa tangan dan kaki lagi! Darah membanjir merah. Mengerikan sekali tubuh yang hanya tinggal kepala dan badan itu, kaki tangan mereka buntung dari pangkalnya! Kini tiga orang itu hanya bisa menggerak-gerakkan kepala dengan mulut mengerang kesakitan dan mata terbelalak, masih ketakutan. Namun satu-satunya bagian tubuh yang masih dapat bergerak, kepala itu, tentu takkan lama bergerak karena
mereka tak mungkin dapat hidup lagi dengan darah mengalir keluar seperti pancuran itu.
Kwi Lan mendengar betapa di luar masih terjadi pertarungan hebat. Kini terdengar suara bersuitan keras dan ketika ia meloncat keluar dari dalam guha, ia melihat betapa pemuda tampan yang menolongnya tadi dikeroyok oleh banyak orang yang membantu Huang-ho Tai-ong Ma Hoan! Pemuda itu hebat sekali permainan pedangnya dan biarpun Ma Hoan mengeroyoknya dengan bantuan tujuh orang anak buahnya, namun pemuda itu masih saja menekan mereka dengan gerakan-gerakan pedang yang amat kuat. Belasan orang anak buah bajak bersuwitan dan mengurung. Biarpun ilmu pedangnya hebat, pemuda itu terkurung oleh banyak sekali bajak yang rata-rata memiliki kepandaian lumayan. Kwi Lan melompat, pedang Siang-bhok-kiam berkelebat dan terdengarlah jerit susul menyusul di antara anak buah bajak yang mengurung. Keadaan menjadi kacau-balau dan Kwi Lan yang merasa benci sekali kepada Ma Hoa, berhasil membuka jalan darah mendekati Ma Hoan dan langsung mengirim tikaman berantai ke arah dua puluh tujuh jalan darah lawan.
"Hayaaaa....!" Ma Hoan terkejut sekali seperti disambar petir. Repot ia menggerakkan pedang untuk menangkis dan mengelak. Setiap tangkisan membuat pundak kanannya tergetar dan dadanya panas, sedangkan setiap elakannya hanya berselisih sedikit sekali dari sambaran pedang lawan sehingga berkali-kali ia berteriak kaget dan mencium bau harum pedang lawan yang menyeramkan hatinya. Betapapun lihainya Ma Hoan, namun me nghadapi ilmu pedang Kwi Lan yang amat aneh, ia hanya mampu mempertahankan diri dan terhuyung-huyung mundur sambil berteriak-teriak memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk maju mengeroyok. Adapun pemuda itu sekarang juga sudah dikeroyok banyak bajak sungai, namun mereka ini bukanlah lawan Si Pemuda
yang gagah perkasa. Sebentar saja mereka berseru kesakitan dan banyak di antara mereka yang mundur. Namun tak seorang pun terluka berat karena pemuda ini sengaja tidak mau menurunkan tangan maut.
Biarpun dikeroyok banyak orang, Kwi Lan menggmuk dan sudah lima orang anak buah bajak roboh tewas oleh pedangnya. Ketika ada empat orang bajak menubruknya dengan golok dari depan sedangkan Ma Hoan meloncat mundur bersembunyi di belakang empat orang ini, agaknya hendak lari, Kwi Lan mengeluarkan suara melengking nyaring. Seketika empat orang di depannya itu menjadi lemas dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Lan untuk meloncati kepala mereka mengejar Ma Hoan! Sebelum tubuhnya turun,
pedangnya sudah menyambar ke arah leher lawan yang amat dibencinya ini.
Ma Hoan terkejut sekali dan mengerahkan tenaga menangkis dengan pedangnya. "Tranggg....!"
"Celaka....!" seru Ma Hoan ketika pedangnya menjadi patah oleh pedang gadis itu dan pundaknya terasa sakit karena tertusuk pedang. Ia cepat menggulingkan tubuhnya ke bawah dan terus bergulingan, sedangkan para anak buahnya kembali maju menyerbu Kwi Lan. Dengan demikian, kepala bajak itu tertolong dan sekali tubuhnya meloncat, ia lenyap dalam gelap. Dengan pundak berdarah, Ma Hoan berlari cepat menuju kesungai. Ia pikir kalau ia bisa sampai ke sungai, berarti nyawanya selamat karena sekali terjun ke air, gadis itu tentu takkan dapat mengejarnya lagi. Ia bergidik kalau mengingat betapa hebat ilmu kepandaian gadis itu dan juga menyesal mengapa ia gagal mendapatkan hawa murni Im-kang dari gadis yang sehebat itu. Diam-diam ia marah dan gemas kepada Siangkoan Li. Hatinya girang setelah ia mendengar suara air. Sungai Kuning terbentang di depan dan ia mempercepat larinya menghampiri pantai. Ia melihat di dalam gelap sesosok bayangan hitam di pantai dan dikiranya bayangan itu seorang di antara anak buahnya, maka ia menghampiri sambil berteriak, "Lekas sediakan perahu....!"
Akan tetapi kata-katanya terhenti dan ia berdiri melongo, tengkuknya terasa dingin dan rambutnya berdiri satu-satu. Bayangan itu kini melangkah maju dan bukan lain adalah Kwi Lan, Si Mutiara Hitam! Gadis ini tersenyum manis dan pedang di tangannya tergetar.
Huang-ho Ta i-ong Ma Hoan bukanlah seorang penakut. Sebagai kepala bajak yang sudah belasan tahun merajalela disepanjang Sungai Kuning, entah sudah berapa banyaknya manusia tewas di tangannya dan ia dapat membunuh orang tanpa berkedip mata. Akan tetapi sekarang menghadapi seorang gadis yang tersenyum-senyum manis di depannya, ia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali! Baru sekarang ia merasa apa yang dirasakan oleh para korbannya, rasa takut dan ngeri menghadapi bahaya maut. Akan tetapi sebagai seorang jagoan, ia segera dapat mengubah rasa takut ini menjadi ke marahan dan kenekatan.
Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti suara srigala marah, ia menerjang maju dan kedua telapak tangannya memukul berbareng dari kanan kiri lambung. Inilah sebuah jurus Bi-ciong-kun dan dari kedua telapak tangannya keluar tenaga Tok-hiat-ciang. Biarpun ilmu yang ganas ini belum terlatih sempurna, apalagi tenaga beracun Tok-hiat-ciang belum jadi sepenuhnya, namun sudah hebat bukan main. Seorang lawan yang tanggung-tanggung saja kepandaiannya, mungkin masih dapat menangkis atau mengelak dari pukulan, namun sukar untuk menyelamatkan diri daripada hawa pukulan yang beracun itu.
Kwi Lan menghadapi pukulan ini dengan tenang. Melihat lawannya tidak bersenjata lagi, ia pun tidak menggunakan Siang-bhok-kiam di tangannya. Dengan pengerahan tenaga dalam, tangan kirinya menyampok dan hawa pukulannya menyambut serangan lawan, kemudian kakinya menendang. Tubuh Huang-ho Tai-ong terlempar ke belakang! Kaget bukan main kepala bajak ini. Bukan hanya gadis itu dapat menahan pukulannya, bahkan secara aneh sekali kakinya sudah menendangnya sampai terjengkang beberapa meter jauhnya. Ia makin panik dan takut, lalu melompat bangun dan.... membalikkan tubuhnya lari kembali ke tempat tadi. Setidaknya di tempat pertempuran tadi, ia masih dapat mengharapkan anak buahnya untuk membantunya, daripada menghadapi gadis setan ini sendirian saja di pinggir sungai dan jalan untuk menyelamatkan diri terjun ke air sudah ditutup oleh Mutiara Hitam!
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan bingung hati kepala bajak ini ketika ia tiba di depan guha tadi, di situ
telah sunyi, tidak ada lagi pertempuran dan tidak tampak seorang pun anggauta bajak sungai! Selagi ia hendak lari lagi
ke kiri, tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan.... lagi-lagi Si Gadis jelita telah berada di depannya. "Perempuan siluman!" Ia membentak dan dengan nekat menubruk maju dengan kedua lengan terpentang, untuk memeluk dan kalau perlu mengajak mati bersama. Tampak sinar hijau berkelebat, disusul pekik mengerikan dari kepala bajak itu dan darah menyambur keluar dari dadanya ketika Huang-ho Tai-ong Ma Hoan roboh tersungkur, mendekap dada dengan kedua tangan, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian. Kwi Lan berdiri memandang korbannya. Baru lenyap sekarang sinar matanya yang berkilat-kilat dan senyumnya yang dingin. Sambil menarik napas panjang, ia memasukkan Siang-bhok-kiam ke dalam sarungnya.
"Mereka memang jahat, Huang-ho Tai-ong memang layak mati, akan tetapi kau terlalu ganas, Nona." Kwi Lan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat pemuda tampan yang rambutnya dibiarkan terurai di atas punggung itu, pemuda yang bernama Siangkoan Li, yang tadi telah menolongnya dari bahaya yang lebih hebat daripada maut. Pemuda itu berdiri di mulut guha dan tampak gagah
membelakangi sinar api unggun yang agaknya masih menyala di dalam guha itu. Teguran ini seketika mendatangkan rasa marah di hati Kwi Lan, akan tetapi mengingat bahwa pemuda ini sudah menolongnya, ia menekan perasaan marahnya dan bertanya, suaranya ketus. "Aku membunuh dia dengan sebuah tusukan, mengapa kaubilang ganas? Apa yang kaumaksudkan?"
Pemuda itu mengerutkan keningnya dan wajahnya yang tampan itu tampak makin sungguh-sungguh. "Huang-ho Tai-ong sudah layak mati dan tusukan pada jantungnya sudah tepat. Yang kumaksudkan adalah pembunuhan yang kaulakukan kepada tiga orang anggauta Thian-liong-pang. Mengapa kau begitu ganas membuntungkan kaki tangan mereka, membiarkan mereka menderita hebat sebelum mati?"
Pertanyaan yang penuh teguran ini bagi Kwi Lan dirasakan seperti tantangan. Ia segera membusungkan dada, menegangkan leher dan memandang tajam. "Hemm, kulihat engkau memakai pengikat kepala dan permata kuning seperti yang dipakai Cap-ji-liong. Engkau seorang tokoh Thian-liong-pang. Apakah engkau kini hendak membalas atas kematian tiga ekor anjing di dalam guha itu?"
Pemuda itu memandang marah. Dua pasang mata saling pandang dan saling tentang, akan tetapi pemuda itu lebih dahulu menurunkan pandang matanya, menghela napas dan berkata, nada suaranya penuh penyesalan. "Engkau membunuh Huang-ho Tai-ong memang sudah sepatutnya karena dia mempunyai niat buruk terhadap dirimu. Akan tetapi tiga orang Thian-liong-pang di dalam guha itu, mengapa kau menyiksa mereka? Dan mengapa pula engkau dan temanmu membikin kacau di Thian-liong-pang ketika
diadakan upacara pengangkatan ketua baru?"
"Huh! Orang sendiri biar kotor dianggap bersih selalu! Tiga orang itu bukan manusia, mereka hanya tiga ekor anjing busuk yang patut dibunuh seratus kali! Mereka itu hendak.... hendak.... berbuat kurang ajar, mereka seperti anjing-anjing
yang kotor....!"
Pemuda itu menghela napas. "Ah, sudah kusangka demikian....! Makin lama makin rusaklah nama Thian-liong-pang bersama rusaknya watak mereka....! Ah, Nona, sekarang aku tahu mengapa kau membunuh mereka, akan tetapi tetap saja kau terlalu ganas. Membunuh dengan dorongan kebencian dan kemarahan bukanlah sikap seorang gagah."
Kwi Lan makin marah dan penasaran. Ia membanting kaki kanannya dan menghardik. "Kau ini seorang tokoh Thian-liong-pang, apa kaukira seorang gagah? Apakah Thian-liong-pang perkumpulan orang gagah? Huh! Kulihat dengan mata sendiri bahwa Thian-liong-pang hanyalah perkumpulan orang-orang jahat. Dalam pesta perayaan untuk mengangkat ketua baru, yang datang adalah orang-orang dari golongan hitam. Bahkan ada yang menyumbangkan dua belas orang gadis culikan! Dan ketuanya diangkat dengan upacara penyembelihan dan penyiraman darah anjing. Perkumpulan apa ini? Dan kau yang menjadi tokohnya masih berani bicara tentang sikap seorang gagah?"
Aneh sekali. Pemuda yang tadinya bersikap marah dan penuh teguran kepada Kwi Lan, setelah menghadapi kata-kata yang pedas ini tiba-tiba saja berubah air mukanya. Ia mengerutkan keningnya, wajahnya yang tampan menjadi gelap, kemudian ia menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menarik napas panjang berkali-kali dan mengeluh. "Disa lahgunakan.... disalahgunakan....!" Dan ia pun menangis! Kwi Lan tercengang menyaksikan perubahan ini. Dia sendiri memang keras hati, mau membawa kehendak sendiri dan berwatak aneh, namun dia bukan seorang yang tidak mengenal budi. Melihat keadaan pemuda ini, hatinya pun menjadi lunak, dan tanpa disadarinya, ia sudah duduk pula di atas sebuah batu, di depan pemuda itu lalu berkata. "Aku tidak bermaksud memaki dan menyinggungmu. Aku hanya memaki Thian-liong-pang. Biarpun kau seorang tokoh Thian-liong-pang, kulihat engkau lain daripada mereka. Engkau sudah menolongku tadi dan budimu itu sungguh amat besar, membuat aku bersyukur dan berterima kasih sekali. Engkau sudah menentang Huang-ho Tai-ong, dan dalam keadaan terancam bahaya hebat, engkau sudah memulihkan totokan pada tubuhku dengan sambitan batu kerikil."
Pemuda itu menyusut air matanya dan mengangkat muka memandang Kwi Lan. Kemudian berkata dengan suara berduka. "Aku tidak peduli andaikata kau mencaci maki diriku. Dan aku tentu akan menyerangmu andaikata makianmu terhadap Thian-liong-pang tidak benar. Akan tetapi apa yang kaukatakan adalah benar dan keadaan Thian-liong-pang seperti itulah yang menghancurkan hatiku. Aku rela mati untuk Thian-liong-pang, akan tetapi dengan keadaan Thian-liong-pang seperti sekarang ini.... bagaimana mungkin aku membelanya? Aku malu sekali, sedih, tapi.... tidak berdaya....!"
Timbul rasa suka di hati Kwi Lan terhadap pemuda ini. Ternyata pemuda ini selain memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti telah dibuktikannya tadi dengan sambitan kerikil dan dengan sepak terjangnya dikeroyok oleh Huang-ho Tai-ong dan anak buahnya, juga memiliki kesetiaan namun tidak ikut menyeleweng seperti tokoh-tokoh lain dari perkumpulannya itu. Dengan suara halus ia berkata. "Dari percakapan tiga ekor anjing tadi aku mendengar bahwa kau bernama Siangkoan Li dan menjadi cucu luar Si Kakek Sin-seng Losu. Seorang seperti kau ini bagaimanakah bisa berada di tengah-tengah mereka yang kotor seperti mereka itu?"
Siangkoan Li menundukkan mukanya. "Nona, bagaimana aku dapat bercerita tentang keadaanku sebagai seorang di antara tokoh-tokoh dunia hitam kepada seorang gadis gagah perkasa, seorang pendekar seperti engkau ini?"
"Pendekar? Siapa bilang aku pendekar?"
"Ah, tidak perlu kau merendahkan diri. Kau tentulah seorang Lihiap (Pendekar Wanita) dari perguruan tinggi yang terkenal maka kau berani menentang Thian-liong-pang. Kau hidup di dunia yang bersih, yang menjujung tinggi kegagahan, yang selalu bertindak membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Sebaliknya aku, aku hidup bergelimang dosa dan kejahatan, hidup di dunia kotor dan hitam...."
"Ihhh, kau ngaco tidak karuan. Siapa bilang aku pendekar? Aku sama sekali bukan seorang lihiap. Aku seorang perantau,
tidak datang dari perguruan manapun juga. Guruku bukan orang terkenal, dan andaikata kuberitahukan juga engkau pasti tak pernah mendengar namanya.
Aku sama sekali bukan penegak kebenaran dan keadilan, bukan pendekar dan aku hanya bertindak menurut suara hatiku saja. Yang memusuhi aku, tentu akan kumusuhi kembali, yang baik kepadaku, tentu akan kubaiki kembali. Engkau baik kepadaku, telah menolongku, tentu saja tidak mungkin kau kuanggap musuh. Siangkoan Li, aku ingin sekali mendengar bagaimana kau bisa terlibat dalam Thian liong-pang."
Mula-mula pemuda itu memandang Kwi Lan dengan sinar mata heran dan tidak percaya, kemudian berkata perlahan. "Ah, kalau begitu ada persamaan antara kita. Hanya bedanya, engkau bebas dan aku terikat...." Ia meraba permata kuning yang menghias dahinya. Kemudian ia melonjorkan kakinya, duduk dengan enak dan mulai bercerita. Thian-liong-pang tadinya merupakan perkumpulan orang-orang gagah, sisa dari Kerajaan Hou-han yang telah ditaklukkan oleh Kerajaan Sung. Orang-orang gagah yang
berjiwa patriot membentuk perkumpulan Thian-liong-pang dengan cita-cita merebut kembali wilayah Hou-han yang sudah tertumpas musuh. Perkumpulan ini dipimpin oleh seorang muda yang gagah perkasa, yang bernama Siangkoan Bu, putera seorang bekas panglima Kerajaan Hou-han. Di bawah pimpinan Siangkoan Bu inilah para orang gagah di Hou-han mengadakan pertempuran gerilya dan sering kali melakukan pengrongrongan terhadap Kerajaan Sung. Karena perkumpullan ini membutuhkan banyak tenaga orang-orang gagah, tentu saja sukar untuk mengadakan penyaringan sehingga banyak pula orang-orang dari dunia hitam yang
memiliki kepandaian, masuk pula menjadi anggauta. Di antara mereka ini terdapat seorang pelarian dari barat, bekas seorang pendeta yang bukan lain adalah Sin-seng Losu bersama puterinya yang cantik dan berkepandaian tinggi pula. Hal yang lumrah terjadilah, Siangkoan Bu jatuh cinta kepada puteri Sinseng Losu dan kemudian mereka menikah. Dari pernikahan ini lahirlah Siangkoan Li.
Sin-seng Losu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga Ketua Thian-liong-pang yaitu mantunya sendiri, mengangkatnya sebagai guru untuk para anggauta Thian-liong-pang. Dengan kedudukan ini, ditambah kenyataan bahwa dia adalah ayah mertua Siangkoan Bu, maka Sin-seng Losu merupakan orang kedua setelah mantunya di dalam perkumpulan. Kekuasaannya tinggi dan mulailah timbul penjilat-penjilat, yaitu orang-orang dari dunia hitam yang menyelundup masuk ke dalam Thian-liong-pang. Mulailah Sin-seng Losu menyimpang daripada jalan bersih menjadi hamba nafsu dan makin tua menjadi makin gila.
Orang-orang gagah yang melihat gejala-gejala busuk mulai tumbuh dalam Thian-liong-pang, menjadi marah dan tidak senang sekali. Akan tetapi oleh karena segan terhadap Siangkoan Bu, seorang patriot sejati yang dihormat dan disegani, mereka masih dapat menahan sabar. Tentu saja, sebagai seorang yang bijaksana, Siangkoan Bu maklum pula akan keadaan ayah mertuanya yang menyeleweng dan didukung oleh banyak anggauta yang berasal dari dunia hitam. Orang gagah ini menjadi serba susah. Mau ditindak, kakek itu adalah ayah mertuanya. Tidak ditindak, dapat merusak nama baik perkumpulan. Akhirnya, Siangkoan Bu
yang pada suatu hari berhasil merampas tiga belas butir permata kuning milik pembesar tinggi yang berkuasa di Hou-han dan yang menjadi boneka Kerajaan Sung, lalu menggunakan permata-permata kuning itu sebagai tanda kekuasan. Ia memilih tiga belas orang tokoh pimpinan Thian-liong-pang, di antaranya dia sendiri dan ayah mertuanya di tambah sebelas orang tokoh lain yang ia tahu adalah orang-orang gagah dan patriot-patriot sejati, sebagai dewan pimpinan yang memakai hiasan dari permata kuning dan mereka yang memakai tanda ini berhak untuk mengambil keputusan demi kebaikan Thian-liong-pang, di antaranya
berhak menghukum para anggauta yang menyeleweng!
Dengan adanya peraturan ini, Sin-seng Losu merasa tersudut dan tidak berani lagi melakukan penyelewengan-penyelewengan secara berterang. Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga Siangkoan Bu dan Thian-liong-pang pada umumnya. Ketika terjadi bentrokan dengan jagoan-jagoan Kerajaan Sung, Siangkoan Bu dan isterinya tewas dalam pertempuran hebat. Semenjak itulah, kekuasaan tertinggi jatuh ke tangan Sin-seng Losu. Dan karena ilmu kepandaiannya paling tinggi ditambah dua belas orang muridnya yang paling ia sayang, yaitu para penjilat terdiri dari Thai-lek-kwi Ma Kiu dan yang lain-lain, tidak ada tokoh lain yang berani menentangnya. Bahkan satu demi satu para patriot mengundurkan diri sehingga tiga belas buah permata kuning terjatuh ke tangan Sin-seng Losu yang mengangkat diri menjadi Ketua Thian-liong-pang.
"Demikianlah, Nona. Sebuah permata, yaitu bekas milik Ayah, oleh Gwa-kong (Kakek Luar) diberikan kepadaku untuk kupakai, sedangkan yang dua belas diberikan kepada para suheng, murid Gwakong."
"Cap-ji-liong itu?"
"Benar, kami diharuskan sumpah setia sebelum menerima permata ini, dan hal itu memang menjadi peraturan perkumpulan kami."
Hening sejenak setelah pemuda itu selesai bercerita. Diam-diam Kwi Lan merasa kasihan kepada Siangkoan Li. Pemuda ini yatim piatu dan terpaksa hidup di antara orang-orang jahat dan merasa tidak berdaya karena yang mengepalai orang-orang jahat itu adalah kakek luarnya sendiri! Di samping kenyataan ini, juga ia telah bersumpah setia sebagai pemakai permata kuning, setia terhadap Thian-liong-pang yang kini berubah menjadi dunia hitam! Pantas saja pemuda ini selalu bersedih, wajahnya tak pernah berseri karena batinnya tertekan selalu.
"Aku seorang anggauta dunia hitam, Nona. Bahkan seorang tokohnya karena aku masih cucu luar orang pertama Thian-liong-pang. Sebetulnya tidak patut bagi seorang macam aku untuk menceritakan semua ini kepada seorang seperti Nona. Akan tetapi.... aku tidak bisa diam saja melihat kau dirobohkan orang dengan cara pengecut, karena itu.... biarpun merupakan penghinaan terhadap perkumpulan, aku.... aku nekat turun tangan...."
Kwi Lan memegang kedua tangan pemuda itu. "Siangkoan Li, kalau begitu.... yang menolong aku dan Berandal keluar dari sumur itu.... engkaulah orangnya?"
Siangkoan Li menundukkan mukanya yang menjadi merah. "Aku seorang pengkhianat kotor.... aku.... aku akan menebus dosa, akan menanti sampai Gwa-kong kembali....! Hidup bagiku sudah memuakkan, lebih baik menyusul Ayah Ibu...."
"Siangkoan Li, mengapa seorang gagah seperti kau ini bisa mengucapkan kata-kata pengecut seperti itu? Orang yang bosan hidup, yang mengharapkan kematian, adalah seorang pengecut yang tidak berani menentang kesulitan hidup, demikian kata Guruku. Biarpun semua orang menganggapmu sebagai seorang tokoh dunia hitam, akan tetapi aku, Kam Kwi Lan, menganggapmu seorang sahabat yang baik dan gagah!"
"Kam Kwi Lan? Itukah namamu, Nona....?" Kwi Lan terkejut. Karena merasa kasihan, ia sampai memperkenalkan namanya secara tak sadar. Karena sudah terlanjur, ia lalu berkata, "Benar, itulah namaku. Nama julukan Mutiara Hitam adalah pemberian Si Berandal."
"Si Berandal? Pemuda tampan yang datang bersamamu? Dia tampan dan lihai sekali. Di mana dia sekarang?"
"Dia pergi mencari Ibu kandungnya. Siangkoan Li, kau tadi mengatakan bahwa kau akan menebus dosa menanti kembalinya Sin-seng Losu. Apa yang hendak kaulakukan?" Dalam percakapan tadi ketika Si Nona memperkenalkan nama, pada wajah yang tampan itu tampak sedikit cahaya gembira, akan tetapi mendengar pertanyaan itu, kembali wajahnya menjadi muram. Sejenak ia tidak menjawab, melainkan memandang ke arah pohon-pohon yang mulai tampak karena tanpa mereka sadari, sang malam telah mulai diusir oleh sinar matahari pagi. Kicau burung menyambut datangnya fajar.
"Aku harus mengakui perbuatanku di depan mereka, harus berani menebus dosaku dan menerima hukuman."
"Ah, mengapa begitu? Tinggalkan saja Thian-liong-pang dan mereka yang hidup bergelimang kejahatan!" teriak Kwi Lan penasaran.
Tiba-tiba Siangkoan Li melompat bangun. "Tidak! Tak mungkin Thian-liong-pang adalah perkumpulan yang didirikan oleh mendiang Ayahku. Ayah Ibuku telah menyerahkan nyawa mereka untuk Thian-liong-pang. Masa aku harus melarikan diri? Meninggalkan Thian-liong-pang? Tidak, Kwi Lan. Aku takkan mundur biarpun harus menghadapi kematian."
"Tapi, orang tuamu mati untuk Thian-liong-pang dalam membela Hou-han, mereka mati sebagai pahlawan-pahlawan utama. Akan tetapi kau...., kau hendak menyerahkan nyawa sebagai seorang pengkhianat Thian-liong-pang? Selagi Thian-liong-pang dikuasai orang-orang jahat?"
Siangkoan Li menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Betapapun juga, masih ada Sin-seng Losu di situ dan kau harus ingat, dia adalah Gwa kong (Kakek Luar) bagiku. Andaikata tidak ada dia, tentu aku sudah akan mengadu nyawa dengan Cap-ji-liong untuk membasmi mereka dari Thian-liong-pang!"
"Marilah kita berdua sekarang juga menghadapi mereka. Siangkoan Li, kau percayalah, kita berdua akan dapat menghancurkan mereka! Kulihat kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada Cap-ji-liong...."
Siangkoan Li mengangguk. "Memang, terhadap Cap-ji-liong aku tidak takut. Biarpun mereka itu terhitung Suheng-suhengku sendiri karena akupun mendapat pelajaran ilmu silat dari Gwakong, akan tetapi aku masih mempunyai dua orang Guru yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaian Gwakong."
"Siapakah mereka itu?" Kwi Lan bertanya kagum. Siangkoan Li menggeleng kepala. "Tidak boleh kusebut, sungguhpun andaikata kukatakan juga, kau takkan mengenalnya. Agaknya antara gurumu dan guruku ada persamaan keanehan dalam hal nama ini. Kau bilang gurumu tidak terkenal sama sekali. Akan tetapi kurasa gurumu masih jauh lebih terkenal daripada guruku yang benar-benar tak ada seorang pun mengenalnya." Tiba-tiba Siangkoan Li memandang ke depan dan wajahnya menegang. Kemudian ia
memegang tangan Kwi Lan, menggenggam tangan yang kecil halus itu sejenak sambil berkata, "Sudahlah, Kwi Lan. Mereka sudah datang. Selamat berpisah. Kau percayalah, pertemuan ini merupakan satu-satunya hal yang paling menyenangkan hatiku selama hidupku dan sampai matipun aku tidak akan melupakan kebaikanmu."
Setelah berkata demikian, Siangkoan Li melepaskan pegangan tangannya dan dengan langkah lebar ia pergi meninggalkan Kwi Lan. Kwi Lan berdiri di depan guha dengan hati bimbang. Biarpun pemuda itu sudah dua kali menolongnya, akan tetapi pemuda itu bukan apa-apanya. Orang lain yang kebetulan bertemu di situ. Urusan pribadi pemuda itu tiada sangkut-pautnya dengan dirinya. Kalau pemuda itu begitu setia kepada Thian-liong-pang dan begitu bodoh untuk menyerahkan diri minta dihukum, peduli apakah dengan dia? Berpikir demikian, Kwi Lan juga mulai berjalan meninggalkan tempatitu. Ia masih gemas kala mengingat kuda hitamnya yang hilang. Matikah kuda itu? Hanyut dan tenggelam? Ataukah terampas para bajak?
Pemuda yang aneh, kembali ia berpikir tentang diri Siangkoan Li. Tidak mudah baginya untuk melupakan pemuda itu begitu saja. Masih terngiang di telinganya ucapan pemuda itu ketika hendak berpisah, ucapan yang agak gemetar. Pertemuan yang paling menyenangkan hatinya selama hidupnya! Sampai matipun pemuda itu takkan melupakannya! Hemmm, Kwi Lan merasa betapa mukanya menjadi padas. Jantungnya berdebar aneh, seperti ketika Hauw Lam si Berandal menyatakan cinta kasihnya kepadanya di dalam sumur. Siangkoan Li merupakan pemuda yang aneh. Akan tetapi ada perbedaan mencolok dalam sikap mereka. Hauw Lam
selalu gembira dan jenaka, nakal dan lucu. Sebaliknya, Siangkoan Li selalu muram dan sedih. Mengenangkan Hauw Lam menimbulkan kegembiraan. Mengenangkan Siangkoan Li menimbulkan keharuan. Akan tetapi keduanya sama baiknya. Sama tampan, sama lihai dan keduanya sama amat baik kepadanya! Hauw Lam sedang pergi mencari ibu kandungnya, dan Siangkoan Li.... pergi mencari maut! Ah, tidak boleh begini! Ia harus melarangnya, harus mencegahnya! Kwi Lan lalu pergi mengejar. Siangkoan Li sudah tak tampak lagi bayangannya akan tetapi karena waktu itu matahari telah mulai muncul mengusir kegelapan, ia dapat
lebih mudah mencari pemuda itu. Ia mendapatkan pemuda itu di tepi Sungai Huang-ho dalam keadaan.... terbelenggu kedua
tangannya dan sedang dimaki-maki oleh Sin-seng Losu, disaksikan oleh seorang di antara Cap-ji-liong dan seorang kakek kurus berjenggot lebat. Siangkoan Li hanya menundukkan mukanya dengan kening berkerut, kelihatan berduka sekali. Melihat keadaan pemuda ini, darah Kwi Lan sudah bergolak saking marahnya. Di situ hanya terdapat tiga orang Thian-liong-pang, biarpun yang
seorang adalah tokoh terbesar, Sin-seng Losu. Andaikata Cap-ji-liong lengkap berada di situ sekalipun, ia tidak akan gentar
menghadapi mereka untuk menolong Siangkoan Li. Pemuda itu telah dua tiga kali menolongnya, tidak hanya menolongnya daripada bahaya maut, bahkan dari bahaya yang lebih hebat dari pada maut!
"Sin-seng Losu tua bangka jahat! Hayo bebaskan Siangkoan Li!" bentaknya sambil muncul dari belakang batang pohon dengan pedang di tangan.
Seorang di antara Cap-ji-liong yang memakai mutiara kuning di dahi seperti Siangkoan Li, menoleh dan mukanya menjadi marah sekali ketika ia mengenal Kwi Lan. Bagaikan kilat cepatnya, tangan kirinya bergerak dan pada saat itu Siangkoan Li berseru,
"Thio-suheng.... jangan....! Nona Kam, jangan turut campur....! Namun terlambat. Tiga buah Sin-seng-piauw sudah menyambar ke arah tubuh Kwi Lan, akan tetapi gadis ini menggerakkan pedang menyampok runtuh tiga batang Sin-seng-piauw sedangkan tangan kirinya sudah menyebar jarumnya ke arah anggauta Cap-ji-liong itu. Orang she Thio ini cepat meloncat untuk mengelak, namun kurang cepat karena Kwi Lan melepas jarum secara luar biasa sekali. Ia melepas dengan gerakan sekaligus, namun ternyata jarum-jarum di tangannya telah terpecah menjadi dua rombongan. Rombongan pertama menyerang cepat sekali sedangkan
rombongan kedua, biarpun disambitkan dalam waktu yang sama, lebih lambat dan merupakan jarum penutup jalan keluar sehingga kemanapun juga lawan mengelak, tentu akan disambut oleh jarum-jarum rombongan kedua ini. Anggauta Cap-ji-liong itu kaget namun terlambat. Pahanya tertusuk sebatang jarum yang amblas sampai tidak tampak menembus celana, kulit dan dagingnya. Seketika tubuhnya menjadi kaku dan ia roboh pingsan!
"Wuuuttt.... singgg....!" Masih untung bahwa Kwi Lan mempunyai kegesitan yang mengagumkan dan gerakan yang aneh. Otomatis tubuhnya mencelat ke kiri sampai hampir menyentuh tanah untuk mengelak sambaran pedang yang amat luar biasa itu. Ketika
ia berjungkir balik memandang, kiranya yang menyerangnya adalah orang kurus berjenggot lebat. Diam-diam Kwi Lan terkejut juga. Gerakan pedang orang ini hebat sekali, jauh lebih hebat daripada orang-orang Cap-ji-liong! Padahal Cap-ji-liong adalah orang-orang Thian-liong-pang yang menduduki tingkat satu. Kalau begitu orang itu tentu bukan orang Thian-liong-pang.
Ia memandang penuh perhatian. Orang itu tinggi kurus mukanya pucat kehijauan, tanda bahwa dia telah melatih semacam ilmu Iweekang yang aneh dan dalam. Rambut dan jenggotnya awut-awutan tak terpelihara, juga kotor seperti seorang pengemis terlantar. Namun pakaiannya bukan seperti pakaian pengemis. Agaknya seorang pertapa yang sudah tidak peduli akan kebersihan dirinya lagi. Mukanya kurus tak berdaging, hanya kulit pembungkus tengkorak. Tentu usianya sudah tua sekali. Orang ini berdiri memandangnya dengan muka seperti kedok, sedikit pun tidak membayangkan perasaan sesuatu, juga mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata.
"Susiok, harap jangan layani dia! Nona Kam, kau pergilah....!" Kalimat terakhir itu ditujukan kepada Kwi Lan dengan pandang mata penuh kedukaan. Makin tidak tega hati Kwi Lan, maka ia menghadapi kakek berpedang itu sambil mengejek,
"Kalian bebaskan dia atau.... pedangku harus bicara?"
"Sute (Adik Seperguruan), kau wakili aku hajar siluman ini!" Sin-seng Losu berkata. Kini tahulah Kwi Lan bahwa kakek kotor ini adalah adik seperguruan Sinseng Losu, pantas saja Siangkoan Li menyebutnya paman guru. Ia melihat betapa orang itu
menggetarkan pedangnya di tangan kanan sedangkan tangan kirinya tergetar hebat lalu menjadi kaku dengan jari-jari membentuk cakar garuda. Kemudian tubuh orang itu menubruk ke depan, pedangnya membabat ke arah pinggang sedangkan tangan kirinya mencakar ke arah mukanya. Sukar dikatakan mana yang lebih berbahaya, pedang itu ataukah jari-jari tangan kiri itu. Keduanya mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan amat kuatnya. Sambutan Kwi Lan atas serangan dahsyat dan aneh ini tidak kalah luar biasanya. Gerakan Kwi Lan memang aneh dan tidak terduga-duga. Bahkan sudah menjadi inti daripada ilmu silat Kam Sian Eng bahwa setiap serangan lawan merupakan pintu yang terbuka dan merupakan kesempatan untuk dibalas serangan yang mematikan! Tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, Kwi Lan sudah meloncat tinggi ke atas sehingga pedang lawan lewat di bawah kedua kakinya dan berbareng pedang Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak menyambar ke bawah membabat tangan kiri lawan yang mencakarnya tadi. Kakek itu membelalakkan mata dan agaknya hanya gerakan mata ini sajalah yang menyatakan bahwa ia merasa kaget sekali karena bagian muka yang lain tetap seperti kedok. Namun ternyata ia lihai sekali. Karena tidak keburu menarik kembali lengan kirinya yang kini menjadi sasaran pedang lawan, ia segera membuang diri ke belakang sehingga
roboh terlentang sambil memutar pedang di depan dada dan bergulingan. Secepat kilat ia sudah bangun kembali dan kini mereka sudah berhadapan lagi. Keduanya sama maklum bahwa lawan adalah seorang yang lihai. Namun Kwi Lan tetap tersenyum mengejek, menanti serangan lawan.
Kakek itu kini menerjang kembali sambil memutar pedang dengan gerakan dahsyat sekali. Pedangnya membacok-bacok secara bertubi, kiri kanan atas bawah, diselang-seling namun tak pernah berhenti, mengikuti bayangan dan gerakan lawan. Kwi Lan memperlihatkan kegesitannya, terus mengelak dengan sedikit miringkan tubuh sehingga pedang lawan menyambar-nyambar di samping tubuhnya, bahkan kadang-kadang kelihatan seperti sudah menyerempetnya! Makin lama makin gencar serangan aneh dan hebat ini. Pedang itu seakan-akan digerakkan oleh mesin, tak pernah berhenti menyerang dan setiap bacokan disertai tenaga dahsyat.
Setelah dua puluh jurus lewat Kwi Lan hanya menghadapinya dengan elakan-elakan segesit burung walet, gadis ini lalu berseru nyaring dan pedang Siang-bhok-kiam berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung yang makin lama makin luas lingkarannya dan betapa pun lawannya memutar pedang setelah lewat lima puluh jurus, sinar hijau mulai menggulung dan melibat sinar pedang kakek itu.
Kakek ini sebenarnya bukan orang sembarangan. Dia bernama Yo Cat, murid dari tokoh besar Siauw-bin Lo-mo paman guru Sin-seng Losu. Di dalam dunia hitam, ia sudah menduduki tingkat tinggi, sejajar dengan Sin-seng Losu.
Karenanya jarang ia bertemu tanding. Siapa kira, hari ini, selagi ia ikut dengan suhengnya itu untuk mempersiapkan tempat istirahat bagi gurunya yang akan datang berkunjung ke Yen-an, ia bertemu seorang gadis muda belia yang tidak hanya mampu menandinginya, bahkan kini mendesaknya dengan ilmu pedang yang hebat dan luar biasa, dimainkan dengan sebatang pedang kayu pula!
"Auuuggghhhh....!" Hebat sekali pekik yang keluar dari dalam perut melalui kerongkongan Yo Cat ini, bukan seperti suara manusia lagi, dahsyat dan liar, lebih mirip suara binatang buas atau suara iblis. Kwi Lan adalah seorang gadis gemblengan yang telah mempelajari pelbagai ilmu yang aneh-aneh dengan cara yang aneh pula. Namun menghadapi Yo Cat yang terlatih puluhan tahun lamanya dan sudah menjadi ahli sebelum gadis ini terlahir, apalagi menghadapi ilmu hitam Koai-houw Ho-kang (Auman Harimau Iblis) ini, jantungnya tergetar dan tubuhnya menggigil. Gerakan pedangnya kacau dan ia terhuyung-huyung ke belakang. Lebih hebat lagi, setelah mengeluarkan ilmu menggereng yang dahsyat itu, Yo Cat terus menerjang maju dan melakukan tekanan-tekanan berat!
Ada satu hal yang menguntungkan Kwi Lan, yaitu wataknya yang tabah dan hatinya yang tidak pernah mau kenal apa artinya takut. Kalau ia merasa takut, celakalah ia karena kelemahan orang menghadapi ilmu semacam Koai-houw Ho-kang itu adalah perasaan takut. Kalau hati merasa gentar, makin hebat pengaruh ilmu itu sehingga mungkin tanpa bertanding lagi orang sudah bertekuk lutut. Karena hatinya sama sekali tidak gentar, pengaruh gerengan dahsyat itu sebentar saja dan Kwi Lan sudah dapat menetapkan perasaannya lagi. Pedangnya mulai memperhebat lagi gerakannya dan dalam waktu singkat saja kembali ia telah mengurung dan mendesak. Yo Cat boleh jadi lihai dan banyak pengalamannya, namun menghadapi ilmu pedang tingkat
tinggi yang dilatih di bawah bimbingan seorang jago wanita gila, tentu saja ia menjadi bingung sekali, tak dapat menduga-duga bagaimana perubahan pedang itu sehingga menjadi mati kutu!
"Eh, budak cilik, kau kurang ajar sekali!" Seruan ini keluar dari mulut Sin-seng Losu yang sudah melompat ke depan dan sekali tangan kirinya bergerak, tampak sinar berkilauan menyambar ke arah Kwi Lan. Sinar ini adalah senjata rahasia Sin-seng-piauw, namun jauh bedanya dengan piauw yang dilepas oleh semua anak murid Thian-liong-pang. Piauw ini memang bentuknya seperti bintang, akan tetapi terbuat daripada perak berkilauan dan karena kakek ini yang menciptakan senjata rahasia itu, tentu saja cara menggunakannya pun hebat luar biasa!
"Gwakong (Kakek Luar), jangan....!" Terdengar Siangkoan Li berseru kaget. Kwi Lan maklum bahwa ia diserang dengan senjata rahasia. Karena ia masih menghadapi pedang Yo Cat yang tak boleh dipandang ringan, maka perhatiannya kurang sepenuhnya
terhadap datangnya serangan Sin-eng-piauw. Ketika ia melirik, ia kaget sekali melihat sinar-sinar berkeredepan menyambarnya dari kanan kiri bawah dan atas, sinar-sinar yang menyambar tanpa mengeluarkan bunyi akan tetapi yang kecepatannya menyilaukan mata.
Celaka, Kwi Lan berseru kaget dalam hati. Ia cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya, namun bagaikan ada matanya, piauw-piauw perak itu melejit dan menyambar seperti gila. Ketika ia berseru keras dan meloncat tinggi, semua piauw lewat di bawah kakinya kecuali sebuah yang secara aneh telah menancap betis kaki kirinya. Untung baginya bahwa tadi Kwi Lan sudah bersiap-siap dan begitu merasa kakinya disambar ia telah menutup jalan darah dan mengerahkan Iwee-kang sehingga senjata rahasia itu hanya separuhnya saja menancap di daging betisnya. Pada saat tubuhnya masih di udara, Yo Cat menerjang maju dengan tusukan pedangnya, dan lebih hebat lagi, Sin-seng Losu sudah mengerahkan sin-kang di lengan kanannya dan mengirim pukulan jarak jauh yang amat hebat dan sukar ditangkis!
"Auhhhh.... hehhh.... kau berani.... berani....?" Terdengar Sin-seng Losu terengah-engah dan tubuhnya terdorong mundur dan terhuyung-huyung. Kiranya pukulannya telah ditangkis oleh kedua tangan Siangkoan Li yang terbelenggu! Melihat ini, Kwi Lan yang tubuhnya masih di udara dan menghadapi terjangan Yo Cat, mengeluarkan lengking tinggi dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor ular raja menggeliat aneh di udara namun pedang lawan menyelinap di bawah ketiak kirinya, langsung ia kempit dan pedangnya sendiri menyambar ke lengan kanan lawan. "Iihhh....!" Suara ini keluar dari mulut Yo Cat yang cepat melepaskan pedangnya dan menarik lengannya, namun kurang cepat sehingga lengannya dekat siku terkena serempetan pedang, terluka dan darahnya bercucuran Si Muka Mayat ini meloncat ke belakang dan memegangi lengan kanan, agaknya khawatir kalau-kalau gadis yang perkasa itu mendesaknya dengan serangan maut.
Akan tetapi Kwi Lan menengok ke arah Siangkoan Li yang sudah menjatuhkan diri berlutut sambil menangis! "Gwakong.... kau tak boleh membunuhnya.... tak boleh....!" Pemuda itu mengeluh berkali-kali.
"Anak keparat, cucu durhaka.... hehhehhh.... berani kau.... huh-huhh.... kubunuh kau....!" Sekali meloncat, tubuh Kwi Lan berkelebat dan ia sudah berdiri menghadang di depan Siangkoan Li, mulutnya tersenyum dan matanya memandang kakek itu dengan penuh ancaman. Akan tetapi kekhawatirannya hilang ketika ia melihat betapa kakek itu berdiri dengan muka pucat, dengan
napas senin kamis dan di ujung mulutnya menetes-netes darah segar! Diam-diam Kwi Lan terkejut sekali dan kagum. Jelas bahwa Sin-seng Losu bukan seorang lemah. Sambitannya Peluru Bintang Sakti tadi sudah amat berbahaya, kemudian pukulannya jarak jauh juga hebat. Mengapa sekali ditangkis oleh Siangkoan Li, kakek itu menderita luka dalam yang tidak ringan? Sampai di manakah tingkat kepandaian pemuda yang berkali-kali menolongnya ini?
"Kalian ini dua orang tua bangka yang bosan hidup! Hari ini nonamu akan mengantar kalian ke neraka!" Kwi Lan menyerbu dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba lengan kirinya dipegang orang dari belakang. Ternyata Siangkoan Li yang memegangnya dan pemuda itu berkata dengan nada sedih. "Jangan, Kwi Lan. Dan lekas kaukeluarkan obat pemunah jarummu untuk Suhengku. Lekaslah, harap, kau sudi melihat mukaku dan menolongnya."
Kwi Lan melongo. Pemuda aneh sekali! Jelas bahwa ia diperlakukan tidak baik, mengapa masih nekad hendak menolong mereka? Akan tetapi mengingat bahwa sudah berkali-kali ia ditolong, tidak enaklah hatinya untuk menolak permintaan itu. Dengan bersungut-sungut tak puas ia mengeluarkan sebungkus kecil obat bubuk dan berkata, "Robek kulitnya, keluarkan jarum dan pakai obat ini pada lukanya."
Siangkoan Li menerima bungkusan itu, memberikan kepada suhengnya. "Thio-suheng, kau pakailah ini!" Akan tetapi suhengnya membuang muka dan menghardik. "Tutup mulutmu, pengkhianat!"
Siangkoan Li mengerutkan keningnya lalu meletakkan bungkusan di dekat kaki suhengnya yang masih rebah tak dapat bangun. Kemudian ia menghampiri Kwi Lan dan berkata. "Nona Kam, harap engkau sekarang segera pergi dari sini. Kalau sampai para suhengku datang, engkau tentu akan celaka dan aku tidak akan mampu menolongmu lagi." Kwi Lan mengeluarkan suara mendengus di hidungnya. "Huh, kau tidak takut mati, apa kau kira aku pun takut mati? Biarlah mereka membunuhku kalau mereka mampu."
"Nona...., Kwi Lan...., aku tidak ingin melihat kau mati karena aku!"
"Aku pun tidak ingin melihat kau mati. Aku mau pergi kalau engkau pun mau pergi bersama meninggalkan tempat ini!"
"Jahanam besar kau, Siangkoan Li! Kau membikin mayat Ayahmu membalik di dalam kuburnya! Berani main cinta-cintaan dengan seorang musuh perkumpulan. Hah, bocah macam apa ini!" Sin-seng Losu sudah memaki-maki lagi.
"Kwi Lan, aku seorang anak Thian-liong-pang, harus tunduk dan setia. Aku sudah berdosa, biarlah aku menerima hukuman. Akan tetapi kau orang luar, kau pergilah dan jangan membikin aku mati penasaran karena kau menderita celaka."
Kini Kwi Lan menjadi marah. Dengan pedang di tangan ia membentak, "Siangkoan Li! Engkau ini pemuda macam apa begini lemah dan buta? Memang benar kau adalah orang Thian-liong-pang, akan tetapi Ayahmu dahulu adalah seorang patriot sejati, seorang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan bukan golongan orang jahat. Terhadap perkumpulan seperti ketika dipimpin Ayahmu itu, aku tidak akan merasa heran apabila engkau mengambil sikap seperti ini, bersetia sampai mati. Siangkoan Li, engkau melihat sikap Ciam Goan? Nah, dialah orang gagah sejati, yang melihat betapa Thian-liong-pang menjadi busuk di bawah pimpinan Gwakongmu yang berjiwa kotor ini rela meninggalkan Thian-liong-pang dan kalau perlu memusuhinya. Bukan memusuhi
perkumpulannya, melainkan orang orangnya yang menyeleweng daripada kegagahan. Siangkoan Li, aku tidak bisa bicara banyak dan pengetahuanku pun sedikit. Akan tetapi karena kau seorang yang sudah melepas budi berkali-kali kepadaku, aku harus membelamu dengan taruhan nyawaku. Pernah Guruku bilang bahwa orang hidup tentu akhirnya mati. Akan tetapi kematian yang paling memalukan adalah kematian seorang pengecut yang tidak berani menentang kelaliman! Demi untuk kebenaran, jangankan
hanya perkumpulan atau teman-teman, biar orang tua sendiri kalau perlu boleh saja dilawan!"
Hebat kata-kata ini, apalagi kalimat yang terakhir. Pada jaman itu, kebaktian merupakan kebajikan mutlak dan nomor satu. Tidak ada kejahatan yang buruk daripada kemurtadan anak terhadap orang tua demi membela kebenaran! Ini hanya dapat diucapkan oleh seorang yang otaknya tidak waras!
"Dengar....! Dengar itu omongan iblis betina! Omongan perempuan gila! Siangkoan Li, kau berani murtad terhadap Kakekmu?"
Sambil berlutut Siangkoan Li berkata, "Tidak, Gwakong, aku tidak berani....! Kemudian ia menoleh ke arah Kwi Lan. "Kwi
Lan, kau pergilah. Lekas mereka telah datang....!"
"Biarkan mereka datang. Biar aku mati aku tidak mau pergi tanpa kau ikut pergi. Kau sudah menolong nyawaku, aku harus membalasnya sedikitnya satu kali!" kata Kwi Lan dengan suara tetap.
"Celaka....! Kwi Lan, kau tahu, siapa kakek itu?" Ia menuding ke arah kakek yang terluka lengan kanannya. "Dia itu susiok Yo Cat, dia itu murid sucouw yang akan datang pula bersama Cap-ji-liong! Biar ada lima orang engkau dan aku belum tentu akan dapat melawannya."
Akan tetapi Kwi Lan hanya tersenyum saja. Makin lama Siangkoan Li makin bingung dan kini dari jauh tampak layar beberapa buah perahu. Siangkoan Li meloncat bangun, menghampiri Kwi Lan, memegang lengannya dan berseru. "Kalau begitu, demi keselamatanmu, kita pergi....!" Kwi Lan ikut berlari, membiarkan dirinya ditarik. Siangkoan Li. Tak lama kemudian ia berseru, "Eh, eh, kenapa lari ketakutan? Mari kita lawan bersama."
"Hushhh.... diamlah. Aku tahu jalan rahasia yang tak mungkin dapat mereka kejar dan cari. Mari....!" Mereka lari memasuki sebuah hutan yang gelap dan memang pemuda itu tidak bohong. Ia melalui jalan menyusup-nyusup yang amat sukar, bukan jalan manusia lagi dan kalau bukan orang yang sudah mengenal jalan tentu amat sukar memasuki hutan melalui jalan ini.
Akhirnya setelah lari setengah hari lamanya Siangkoan Li nampak tenang dan mengajak gadis itu duduk di pinggir sebuah sungai kecil dalam hutan. Keadaan di situ teduh dan sejuk sekali. Sinar matahari yang amat terik ditangkis oleh daun-daun pohon yang lebat.
"Mari kuputuskan belenggu." kata Kwi Lan sambil menarik tangan Siangkoan Li. Akan tetapi pemuda itu merenggut kembali tangannya. "Untuk apa? Setelah menyelamatkan engkau, aku akan kembali menyerahkan diri." Kwi Lan marah sekali. Ia meloncat bangun dari tempat duduknya dan menudingkan telunjuknya kepada Siangkoan Li. "Engkau boleh berkepala batu, aku pun berhati baja! Akan tetapi engkau berkeras secara ngawur. Siangkoan Li, engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa begini lemah? Kalau kau memang amat mencinta Thian-liong-pang, mengapa kau tidak mengumpulkan orang-orang seperti
Ciam Goan untuk membersihkan Thian-liongpang dari oknum-oknum macam Ma Kiu dan lain-lain? Kalau kaulakukan itu dan Thian-liong-pang menjadi perkumpulan orang gagah kembali, barulah kau seorang yang berbakti kepada mendiang Ayahmu, menjujung tinggi nama baik orang tua dan perkumpulan. Yang kaulakukan sekarang ini hanya membuktikan bahwa kau pengecut dan picik. Baiklah, kalau kau berkukuh hendak menyerahkan diri, aku pun berkukuh hendak membasmi Thian-liong-pang sendirian saja. Kita akan sama-sama mati, akan tetapi matiku seribu kali lebih berharga daripada matimu yang seperti kematian seekor kacoa!"
Pucat wajah Siangkoan Li mendengar ini. Ia meloncat bangun, sejenak ia memandang dengan mata melotot. Kedua orang muda itu saling pandang untuk beberapa lama. Kemudian Siangkoan Li menarik napas panjang. "Aku bingung dan ragu-ragu.... agaknya engkau benar.... biarlah akan kutemui kedua orang Suhuku dan minta nasihat mereka....! Thian-liong-pang, untuk sementara ini aku Siangkoan Li menjadi pengkhianat!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga menggerakkan kedua tangannya. Terdengar suara keras dan.... belenggu besi itu rontok semua dan putus-putus!
Kwi Lan tersenyum girang dan kagum. Tak salah dugaannya, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, yang jelas adalah tenaganya yang istimewa. Pantas saja kakeknya yang sudah tua itu sekali ditangkis terluka.
"Bagus Siangkoan Li. Begitu barulah seorang gagah sejati! Akan tetapi aku masih belum percaya betul. Bagaimana kalau kaulakukan ini hanya untuk mengelabuhi aku? Sebelum aku yakin akan keputusan hatimu, aku hendak mengikuti sepak terjangmu beberapa lama. Sekarang engkau hendak ke mana?"
"Ucapan-ucapanmu mulai membekas di hatiku, Kwi Lan. Akan tetapi aku masih bimbang ragu. Karena itu, jalan satu-satunya adalah bertanya kepada kedua orang Guruku. Aku hendak mengunjungi mereka."
"Kedua orang Gurumu tentu orang-orang luar biasa. Akupun ingin bertemu dengan mereka. Aku ikut!"
"Eh, tidak bisa, Kwi Lan. Mereka itu orang-orang luar biasa sekali dan tidak suka bertemu dengan orang lain. Kecuali itu,
juga tempatnya amat sukar didatangi orang, bagaimana aku bisa mengajakmu ke sana?"
Kwi Lan tersenyum. "Kata-katamu makin membuat aku curiga. Siangkoan Li, sudah kukatakan tadi. Engkau telah berkali-kali menolongku, maka aku sudah mengambil keputusan, sebelum kau yakin akan kekeliruanmu mengenai sikapmu terhadap Thian-liong-pang, aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau kau bisa mengunjungi mereka, mengapa aku tidak? Marilah kita berangkat!"
Siangkoan Li mengerutkan keningnya. Gadis ini amat keras hati dan ia tahu bahwa Kwi Lan tentu akan melakukan apa yang diucapkannya.
"Baiklah, Kwi Lan. Akan tetapi kau sudah kuperingatkan. Jangan persalahkan padaku kalau kau terbawa-bawa ke dalam lembah hitam karena kau pergi bersama aku yang sejak kecil bergelimang dalam dunia yang kotor."
Berangkatlah dua orang itu melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan bersama Siangkoan Li bedanya sejauh bumi dengan langit kalau dibandingkan dengan perjalanan bersama Hauw Lam. Perjalanan di samping Hauw Lam merupakan perjalanan yang penuh tawa dan gurau, gembira karena pemuda itu memandang dunia dari sudut yang terang dan lucu. Akan tetapi sebaliknya, Siangkoan Li adalah seorang pemuda yang pendiam dan wajah yang tampan itu hampir selalu muram diselimuti awan kedukaan. Di sepanjang jalan, dua orang yang melakukan perjalanan cepat ini jarang sekali bicara. Kalau tidak diajak bicara, Siangkoan Li tak pernah membuka mulut! Akan tetapi Kwi Lan tidak merasa kecewa. Ia maklum akan isi hati pemuda ini dan sinar mata pemuda itu di waktu memandangnya, penuh perasaan, sudah cukup baginya. Sinar mata pemuda ini tiada bedanya dengan sinar
mata Hauw Lam di waktu menatapnya. Ada sesuatu dalam sinar mata kedua pemuda itu yang mendatangkan kehangatan di hatinya.
Sebelas hari lamanya mereka berdua melakukan perjalanan yang sukar, naik turun Pegunungan Lu-liang-san, masuk keluar hutan-hutan lebat. Pada hari kedua belas, setelah selama itu tak pernah bertemu dengan manusia karena agaknya Siangkoan Li memang memakai jalan yang liar dan tak pernah diinjak orang, sampailah mereka di sebuah dusun kecil di lereng bukit. Dusun ini hanya ditinggali beberapa puluh keluarga petani, akan tetapi di ujung dusun itu berdiri sebuah rumah makan yang kecil dan sederhana sekali. "Kita sudah sampai." Kata Siangkoan Li.
"Apa? Di dusun ini?"
Siangkoan Li menggeleng kepala dan menudingkan telunjuknya ke depan. "Di puncak sana itu." Kwi Lan memandang dan benar saja. Tak jauh dari dusun itu menjulang tinggi puncak bukit dan samar-samar tampak tembok putih panjang melingkari bangunan-bangunan kuno. "Bangunan apakah itu?" tanya Kwi Lan. "Itulah kuil dan markas Lu-liang-pai. Di sana tinggal para
hwesio Lu-liang-pai yang merupakan partai persilatan besar di daerah ini."
"Ahhh, kedua orang Gurumu itu hwesio-hwesio yang tinggal di sana?" Siangkoan Li menggeleng kepala dan keningnya berkerut,
agaknya pertanyaan ini menimbulkan kekesalan hatinya. "Apakah dugaanku keliru?"
Pemuda itu mengangguk dan menghela napas panjang. "Kedua orang Guruku adalah.... orang-orang hukuman di kuil itu....!"
"Apa....?" Kwi Lan benar-benar kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah diduganya. "Kenapa mereka dihukum? Apakah mereka itu anggauta-anggauta Lu-liang-pai yang menyeleweng?"
"Bukan. Mereka bukan hwesio, tapi.... entah mengapa mereka menjadi orang-orang hukuman di sana, tak pernah mereka mau katakan kepadaku. Akan tetapi, Kwi Lan. Tidak mudah menemui mereka di sana, kalau, ketahuan para hwesio, tentu aku akan ditangkap. Karena itu, kuharap kau suka menanti di dusun ini dan biarlah aku seorang diri pergi menghadap kedua orang Guruku."
Kwi Lan mengajak pemuda itu duduk di tepi jalan, di atas akar pohon yang menonjol keluar, "Siangkoan Li, keadaan Gurumu itu aneh sekali. Bagaimana kau dapat menjadi muridnya kalau mereka itu orang-orang hukuman di Kuil Lu-liang-pai?"
Setelah berulang-ulang menghela napas, pemuda berwajah muram ini lalu bercerita. Ia tidak pandai bicara, ceritanya singkat namun menarik perhatian Kwi Lan karena cerita itu amat aneh.
"Terjadinya ketika ayahnya masih hidup. Ayah adalah Ketua Thian-liong-pang yang pada waktu itu masih bernama harum sebagai perkumpulan kaum patriot Hou-han. Ayah mengenal baik dengan para pimpinan hwesio Lu-liang-pai dan pada suatu hari Ayah datang ke Lu-liang-pai mengunjungi mereka. Aku baru berusia tiga belas tahun dan diajak oleh Ayah."
Siangkoan, Li mulai ceritanya yang didengarkan oleh Kwi Lan dengan tertarik. Kemudian ia melanjutkan. Sebagai seorang anak kecil berusia tiga belas tahun, Siangkoan Li menjadi bosan mendengar percakapan antara ayahnya dan para pimpinan Lu-liang-pai, maka diam-diam ia menyelinap pergi dan bermain-main di kebun belakang. Para hwesio dan ayahnya tidak melarangnya karena di kebun belakang memang terdapat taman bunga yang amat indah. Hawa pegunungan yang sejuk memungkinkan segala macam kembang hidup subur di situ. Akan tetapi Siangkoan Li ternyata bukan hanya bermain-main di taman bunga,
melainkan bermain terus lebih jauh lagi ke sebelah belakang bangunan Kuil Lu-liang-pai. Dilihatnya sebatang kali kecil di
belakang taman, kali yang lebarnya empat meter lebih. Di seberang kali terdapat tanaman liar dan kali itu tidak dipasangi
jembatan. Dasar Siangkoan Li seorang anak yang ingin sekali mengetahui segalanya dan ia selalu merasa penasaran kalau belum terpenuhi keinginannya, maka biarpun sungai itu terlalu lebar untuk ia lompati, ia segera mendapatkan akal. Ia tak pandai renang, melompati tak mungkin, akan tetapi ia ingin sekali menyeberang. Dicarinya sebatang bambu dan dengan bantuan bambu panjang ini yang ia pakai sebagai gala loncatan, sampai jugalah ia di seberang dengan kaki dan pakaian berlepotan lumpur.
Ia berjalan terus ke atas pegunungan kecil dan setelah tiba di puncak, tiba-tiba tubuhnya menginjak lubang yang tertutup
rumput alang-alang. Tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah! Dia seorang anak pemberani dan karena ketika terbanting di dasar lubang ia tidak mengalami cedera, juga tidak terlalu nyeri karena dasar lubang juga berlumpur, ia tidak berteriak minta tolong. Malah di dalam gelap, ia meraba-raba dan terus berjalan maju ketika mendapatkan bahwa lubang itu mempunyai terowongan. Akhirnya setelah melalui terowongan yang berliku-liku, tibalah ia di ruangan bawah tanah dan melihat dua orang kakek di balik kerangkeng besi. Dua orang kakek yang bukan seperti manusia lagi. Mereka itu sudah tua dan pakaian mereka compang-camping penuh tambalan. Yang seorang berwajah seperti seekor harimau, rambutnya kasar riap-riapan, demikian pula cambang dan kumisnya. Orang ke dua kurus sekali sehingga kaki dan tangan yang tak terbungkus pakaian itu merupakan tulang
tulang terbungkus kulit belaka. Kepalanya botak, hanya bagian atas telinga dan atas tengkuk saja ditumbuhi rambut panjang.
Akan tetapi jenggotnya, lebat dan panjang. Keduanya sama tua dan sama liar, dan perbedaan yang mencolok di antara mereka selain rambut itu, juga pada muka mereka. Si Wajah Harimau itu mukanya merah sekali sedangkan yang botak itu wajahnya pucat seputih tembok!
"Heh-heh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih), kau bilanglah. Apakah kita sekarang sudah mampus dan berada di neraka berjumpa seorang iblis cilik?" Si Muka Merah berkata sambil terkekeh-kekeh.
"Huh, sebelum lewat tujuh tahun lagi mana aku mau mati?" kata Si Muka Putih dengan nada dingin dan mengejek. Melihat keadaan mereka dan mendengar kata-kata itu, biarpun Siangkoan Li seorang anak yang pemberani, ia merasa serem juga. Akan tetapi di balik rasa takutnya terselip rasa kasihan melihat dua orang kakek dikurung macam binatang-binatang buas saja, maka ia memberanikan hati dan menghampiri kerangkeng. Setelah memandang penuh perhatian dan jelas bahwa dua orang itu benar-benar manusia yang sangat tua, ia lalu bertanya. "Kakek berdua, siapakah dan mengapa dikerangkeng di sini?"
Dua orang- kakek itu saling pandang, yang muka merah tertawa ha-hah-he-heh sedangkan yang muka putih bersungut-sungut. "Kau bocah dari mana? Mengapa berani masuk ke sini? Apakah kau kacung Lu-liang-pai?" tanya yang muka putih.
Siangkoan Li terkejut. Suara itu seakan-akan menyusup ke dalam dadanya dan membuat jantungnya berhenti berdetik dan terasa dingin sekali sampai-sampai ia menggigil dan mukanya pucat. Cepat ia menggeleng kepala.
"Bukan. Aku bernama Siangkoan Li dan bersama Ayahku berkunjung kepada para Losuhu di Lu-Lang-pai. Aku berjalan-jalan sampai ke sini dan terjeblos ke lubang." Kemudian ia menceritakan siapa ayahnya dan bagaimana ia sampai ketempat itu.
"Ayahmu Siangkoan Bu Ketua Thian-liong-pang? Ha-ha-ha!" Kakek muka merah itu tiba-tiba bergerak maju dan.... menyusup keluar dari kerangkeng! Juga kakek muka putih berjalan maju dan tubuhnya menyusup keluar dari kerangkeng dengan amat mudahnya, seakan-akan kerangkeng itu merupakan pintu lebar. Padahal besi-besi kerangkeng itu amat sempit. Seorang anak seperti Siangkoan Li saja tak mungkin dapat lolos keluar. Bagaimana dua orang kakek itu dapat meloloskan diri tanpa banyak susah?
Siangkoan Li adalah putera seorang pangcu (ketua) dan tentu saja sejak kecil ia sudah dilatih silat. Melihat keadaan ini,
sungguhpun ia tidak mengerti dan terheran-heran, namun ia kini sudah tahu bahwa dua orang kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Maka serta-merta ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Harap suka memaafkan teecu yang berani bersikap kurang ajar. Kiranya Jiwi Locianpwe adalah orang-orang sakti. Teecu masuk tidak sengaja, mohon maaf!"
Si Muka Merah tertawa tergelak. "Ha-ha-ha! Apa artinya Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Lepas Tulang Lemaskan Tubuh) seperti itu? Kau putera Siangkoan Bu? Bagus! Eh, bocah, maukah engkau menjadi murid kami?"
Siangkoan Li kaget, dan juga girang sekali. Sudah seringkali ia mendengar dari ayahnya tentang orang-orang sakti di dunia
persilatan dan seringkali mimpi betapa akan senangnya kalau dapat menjadi murid orang-orang sakti. Kini tanpa disengaja
ia berhadapan dengan dua orang sakti yang ingin mengangkatnya menjadi murid! Ia menjadi girang sekali dan tentu ayahnya juga akan girang kalau mendengar akan hal ini. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengangguk-anggukkan kepala, "Teecu akan merasa girang dan bahagia sekali, Ji-wi Suhu (Guru Berdua)!"
"Ang-bin Siauwte ( Adik Muka Merah), mudah saja engkau menetapkan dia sebagai murid kita, bagaimana kalau kelak ternyata salah pilih?" tegur Si Muka Putih.
"Heh-heh-heh! Dia ini keturunan seorang patriot dan ketua perkumpulan besar. Mana bisa salah pilih? Kalau kelak ternyata dia menyeleweng, apa susahnya kita mengambil nyawanya? Eh, Siangkoan Li, kau sendiri sudah menetapkan menjadi murid kami. Seorang murid tak boleh membantah perintah guru. Mulai detik ini, kau tinggal di sini menemani kami sambil belajar!"
Siangkoan Li terkejut sekali. "Tapi.... tapi.... teecu belum memberitahukan hal ini kepada Ayah....!" bantahnya dengan
muka pucat. Si Muka Putih mengeluarkan suara mendengus di hidungnya. Si Muka Merah tersenyum lebar. "Hah, boleh kaucoba pergi dari sini. Sebelum keluar dari lubang, nyawamu akan lebih dulu melayang!"
Siangkoan Li takut sekali akan tetapi akhirnya ia mengambil keputusan untuk mati hidup mentaati kedua orang gurunya. Mulai saat itu dia digembleng oleh kedua orang gurunya yang aneh. Setiap hari dari lubang itu turun makanan yang ternyata dikirim oleh hwesio-hwesio Lu-liang-pai. "Demikianlah, Kwi Lan. Sampai empat tahun aku dilatih ilmu oleh kedua orang Guruku itu." Siangkoan Li melanjutkan penuturannya kepada Kwi Lan yang mendengarkan dengan muka amat tertarik. "Selama itu belum pernah kedua orang, suhu itu memberitahukan nama mereka. Dan ketika aku diperkenankan keluar, yaitu dua tahun yang lalu, aku segera pulang ke Yen-an akan tetapi ternyata Ayah telah meninggal dunia dan Thian-liong-pang telah dipegang oleh Gwa kong.
Karena aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, Gwakong menjadi pengganti orang tuaku dan aku harus tunduk dan berbakti kepadanya, juga kepada Thian-liong-pang di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Bagaimana aku dapat mengkhianati Thian-liong-pang dan bagaimana aku berani melawan Gwakong?"
Kini Kwi Lan mulai mengerti akan keadaan hati Siangkoan Li. Ia menjadi kasihan dan berkata, "Memang sudah paling tepat kalau engkau menemui kedua orang Gurumu itu untuk minta pertimbangan dan nasihat mereka. Aku berani bertaruh bahwa mereka tentu lebih cocok dengan pendapatku, yakni bahwa kau harus mengumpulkan orang-orang gagah yang telah mengundurkan diri dari Thian-liong-pang, kemudian melakukan pembersihan di perkumpulan itu dan mendirikan kembali Thian-liong-pang yang sudah runtuh nama baiknya itu, Cap-ji-liong harus dibasmi. Kakekmu harus diinsyafkan. Dan selain itu, aku ingin sekali bertemu dengan kedua orang aneh yang menjadi gurumu. Maka aku akan ikut denganmu, Siankoan Li."
"Eh, jangan....! Berbahaya sekali....!" Kwi Lan mencibirkan bibirnya. "Berbahaya? Kalau kau bisa, kenapa aku tidak mampu? Kita boleh lihat saja!"
"Bukan, bukan itu maksudku. Kepandaianmu hebat, tentu saja kau dapat sampai ke tempat itu tanpa diketahui para hwesio Lu-liang-pai. Akan tetapi.... kedua orang Guruku itu wataknya aneh sekali. Siapa tahu mereka akan marah kalau melihatmu."
"Betapa pun anehnya mereka, belum tentu seaneh Guruku. Dan aku tidak takut. Kalau mereka itu begitu gila untuk marah-marah kepadaku tanpa sebab, biarkan mereka marah, aku tidak takut!" Siangkoan Li habis daya. Berbantahan dengan gadis ini ia
merasa tak sanggup menang. Pula dia telah melakukan hal yang amat hebat, telah berkhianat terhadap Thian-liong-pang, semua gara-gara gadis ini. Sekarang, kalau mereka berdua akan mengalami malapetaka bersama sekalipun, apalagi yang disesalkan? Tidak ada paksaan dalam hal ini, semua dilakukan oleh mereka dengan sukarela. Diam-diam ia malah merasa jantungnya berdebar girang. Tak salah dugaannya bahwa gadis jelita ini pun suka kepadanya seperti rasa suka di hatinya? Mencintanya seperti rasa cinta di hatinya?
Dengan ilmu kepandaian mereka, dengan mudah sekali Siangkoan Li dan Kwi Lan melompati tembok yang mengurung Lu-lian-pai dan memasuki daerah mereka itu dari tembok belakang. Menurut keterangan Siangkoan Li, jalan satu-satunya menuju ke tempat tahanan di bawah tanah itu harus melalui kebun bunga di belakang Kuil Lu-liang-pai. Berindap-indap mereka berjalan sambil menyusup-nyusup dan bersembunyi di balik pepohonan.
"Siangkoan Li, apakah para hwesio Lu-liang-pai yang menghukum kedua orang gurumu?" tanya Kwi Lan ketika mereka menyusup-nyusup di taman bunga. "Entah, kedua orang Guruku tak pernah mau bercerita tentang diri mereka."
"Kalau benar demikian, tentu hwesio-hwesio Lu-liang-pai lihai luar biasa."
"Memang aku masih ingat cerita Ayah bahwa pimpinan Lu-liang-pai memiliki ilmu tinggi, akan tetapi aku tidak percaya mereka mampu mengalahkan kedua orang Guruku. Buktinya, kalau kedua orang Guruku menghendaki, apa susahnya bagi mereka untuk ke luar dari kerangkeng? Agaknya memang sengaja kedua orang Guruku tidak mau keluar."
"Aneh sekali! Benar-benar aneh dan lucu! "
iba-tiba terdengar desir angin. Mereka cepat menyelinap di balik serumpun pohon kembang. Dua batang piauw (senjata rahasia) menyambar di atas kepala mereka. Dua orang hwesio muda muncul di dekat tempat mereka bersembunyi. Mereka memandang kesekeliling dengan pedang siap di tangan. "Aneh sekali. Bukankah tadi jelas bayangan dua orang itu di tempat ini?" kata seorang di antara mereka. "Benar sekali, Sute (Adik Seperguruan). Agaknya orang-orang jahat yang datang menyelundup. Kau ingat pesan Suhu (Guru)? Tahun ini hukuman dua orang musuh besar kita telah habis, maka Suhu berpesan agar kita semua menjaga dengan hati-hati. Siapa tahu kakek jahat itu masih belum kehilangan kebuasannya dan menjelang habisnya hukuman, teman-temannya yang jahat datang untuk menimbulkan kekacauan. di sini."
"Kau benar, Suheng (Kakak Seperguruan). Kata Suhu mereka itu lihai bukan main. Gerakan dua bayangan tadi pun amat lihai. Jelas piauw kita mengenai sasaran, mengapa mereka tidak roboh malah lenyap seperti setan? Lebih baik kita lekas-lekas melaporkan kepada Suhu agar dapat dikerahkan tenaga untuk mengepung dan mencari mereka!"
Mendadak saja kedua orang hwesio itu roboh terguling. Pedang mereka terlempar dan tubuh mereka lemas dan lumpuh karena jalan darah mereka telah tertotok oleh sambaran dua butir kerikil! Siapa lagi kalau bukan Siangkoan Li yang melakukan hal ini. Memang pemuda ini memiliki keahlian menyambit dengan kerikil menotok jalan darah, seperti pernah ia pergunakan untuk membebaskan dan menolong Kwi Lan di dalam guha yang terancam kehormatannya oleh tiga orang anak buah Thian-liong-pang.
Setelah merobohkan dua orang hwesio itu, Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan dan cepat-cepat mengajaknya berlari keluar dari taman itu menuju ke sungai yang melintang di belakang.
"Terpaksa kutotok mereka agar jangan melapor sehingga usahaku menemui kedua Suhuku terhalang." kata Siangkoan Li. Berbeda dengan enam tahun yang lalu ketika Siangkoan Li melompati sungai itu harus dibantu sepotong bambu panjang, kini dengan amat mudahnya ia bersama Kwi Lan melompati sungai yang melintang. Dengan cepat Siangkoan Li mengajak gadis itu mendaki bukit kecil yang penuh dengan rumpun alang-alang. Ia khawatir kalau-kalau kedua orang suhunya sudah pergi. Bukankah dua orang hwesio tadi mengatakan bahwa sekarang ini sudah tiba saatnya, kedua orang suhunya bebas? Entah hari apa, akan tetapi tentu
sekitar hari ini. Dengan mudah Siangkoan Li mendapatkan sumur yang tertutup alang-alang itu. Ia memberi isyarat kepada Kwi Lan untuk mengikutinya kemudian ia melompat masuk. Dengan ilmu meringankan tubuh seperti yang ia kuasai sekarang ini, tentu saja tidak sukar baginya untuk melompat masuk ke dalam sumur itu. Demikian pula Kwi Lan. Setelah gadis itu mengikutinya dengan lompatan ringan dan keduanya tiba di dasar sumur, Siangkoan Li lalu menggandeng tangan Kwi Lan dan sambil meraba-raba ke depan ia memasuki terowongan di bawah tanah.
Ketika mereka tiba di sebuah tikungan terowongan dan dari jauh sudah tampak kerangkeng besi itu, tiba-tiba mereka merasai sambaran angin dahsyat dari depan disertai suara maki-makian keras. Cepat Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan ke bawah dan keduanya lalu bertiarap di atas tanah sambil memandang ke depan. Kiranya dua orang kakek yang seperti orang tak waras
ingatannya itu sudah keluar dari kerangkeng dan kini mereka mencak-mencak seperti dua orang menari-nari. Akan tetapi
luar biasa hebatnya sambaran tangan mereka. Dinding batu pecah-pecah dan hawa pukulan yang meluncur lewat memasuki terowongan menimbulkan angin hebat! Tampak kakek muka putih hanya bersungut-sungut dan melotot sambil memukul-mukulkan kedua tangan, akan tetapi kakek muka merah sambil memukul-mukul juga memaki-maki. Dan mereka berdua itu menujukan pandang mata ke arah Siangkoan Li dan Kwi Lan! Akan tetapi ternyata maki-makiannya bukan ditujukan kepada dua orang muda ini.
"Heh, Bu Kek Siansu, tua bangka menjemukan! Apakah engkau sudah mampus? Kalau sudah mampus kami tantang rohmu agar datang ke sini dan memenuhi janji! Hayo, biar engkau masih hidup ataupun sudah mampus, engkau harus datang menemui kami. Kami Pak-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Utara) dan Lam-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Selatan) bukanlah orang-orang yang tidak pegang janji dan takut padamu! Lima belas tahun sudah menebus kekalahan dengan berdiam di neraka ini, hanya untuk menunggu
kedatanganmu. Hari ini tepat lima belas tahun. Hayo muncullah orangnya atau rohnya untuk mengadu kepandaian. Apakah engkau takut, Bu Kek Siansu?"
Suara kakek yang bernama Lam-kek Sian-ong ini hebat sekali, membuat seluruh terowongan tergetar, bahkan Kwi Lan dan Siangkoan Li yang bertiarap di lantai terowongan itu merasa betapa lantai tergetar hebat. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang kakek itu bukan marah-marah kepada mereka berdua, dan mungkin tidak melihat kedatangan mereka karena mereka berdua datang dari tempat gelap sedangkan tempat kedua orang kakek itu terang, menerima cahaya matahari yang menerobos masuk dari lubang dan celah-celah di atas. Kehebatan gerakan dan suara kedua orang kakek sakti itu benar-benar mengejutkan mereka dan
membuat mereka tak berani sembarangan bergerak-gerak. Bahkan Kwi Lan yang tak kenal takut juga kini maklum betapa saktinya dua orang guru Siangkoan Li ini. Akan tetapi mereka bingung tidak mengerti mengapa kedua orang kakek itu menantang seorang lawan yang tidak tampak? Siapakah itu Bu Kek Siansu yang mereka tantang?
Nama Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, pada puluhan tahun yang lalu adalah nama-nama yang amat terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang luar biasa. Kedua orang kakek ini memang aneh sepak terjangnya. Bahkan dengan dua orang saja mereka pernah membikin geger Kerajaan Khitan dengan membunuh Raja Khitan, yaitu Raja Kubakan dengan niat merampas kerajaan! Akan tetapi maksud hati mereka itu gagal karena mereka dihalangi oleh Suling Emas, kam Lin atau Yalina yang kini menjadi Ratu di Khitan, dan banyak orang gagah. Kalau tidak di keroyok, agaknya dua orang kakek ini akan tercapai niat hatinya menjadi sepasang raja di Khitan! Tidak ada orang di dunia ini yang mereka takuti kecuali seorang, yaitu Bu Kek Siansu!
Siapakah Bu Kek Siansu? Jarang ada orang pernah bertemu dengan manusia setengah dewa ini, walaupun namanya menjadi kembang bibir semua tokoh dunia kang-ouw. Diantara para pendekar terdapat kepercayaan bahwa siapa yang dapat bertemu dengan Bu Kek Siansu adalah orang yang bernasib baik sekali karena kabarnya kakek setengah dewa itu amat murah hati dan tak pernah menolak permintaan seorang untuk minta petunjuk dalam ilmu silat. Akan tetapi juga menjadi kepercayaan semua tokoh dunia hitam bahwa bertemu Bu Kek Siansu merupakan hal yang mencelakakan, karena kakek sakti itu tidak terlawan oleh siapapun juga! Bu Kek Siansu tidak mempunyai tempat tinggal tertentu atau lebih tepat, tak seorangpun tahu dimana adanya kakek
setengah dewa ini yang sewaktu-waktu muncul pada saat yang tak disangka-sangka.
Lima belas tahun yang lalu, setelah Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong terusir dari Khitan oleh Suling Emas dan kawan-kawannya (baca cerita CINTA BERNODA DARAH ). sepasang kakek sakti ini tiba di Luliang-san. Melihat keadaan bukit ini, mereka suka sekali dan timbul keinginan hati mereka untuk merampas kuil dan mengangkat diri mereka sendiri menjadi pemimpin Lu-liang-pai. Tentu saja niat buruk ini ditentang oleh para hwesio Luliang-san dan akibatnya, ketua Lu-liang-pai berikut beberapa tokohnya tewas di tangan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Dua orang kakek ini tentu akan menyebar maut lebih banyak lagi kalau tidak secara tiba-tiba muncul Bu Kek Siansu. Sekali menggerakkan tangan, kakek setengah dewa ini membuat mereka berdua lumpuh tak dapat berdiri. Kemudian setelah memberi wejangan, Bu Kek Siansu membuat mereka berjanji untuk
menjalani hukuman di dalam kerangkeng di bawah tanah dibelakang Lu-liang-pai untuk menebus dosa. Hari itu tepat sekali lima belas tahun telah lewat, yaitu masa hukuman mereka seperti yang ditentukan dalam janji mereka dengan Bu Kek Siansu. Maka itu mereka lalu memanggil-manggil dan memaki-maki karena menganggap Bu Kek Siansu tidak memegang janji.
"Hayo, Bu Kek Siansu, benarkah kau tidak berani muncul? Apakah Bu Kek Siansu seorang pengecut?" kini terdengar Pak-kek Sian-ong berseru, dan berbeda dengan suara Lam-kek Sian-ong yang nyaring keras menimbulkan hawa panas, adalah suara kakek ini dalam namun menimbulkan hawa dingin yang mengerikan.
Tiba-tiba terdengar suara yang-khim (kecapi) yang merdu sekali. Suara ini memasuki terowongan itu di luar, suaranya halus dan merdu perlahan-lahan namun amat jelas terdengar. Kwi Lan dan Siangkoan Li yang masih bertiarap mendengar suara ini menjadi tenang hatinya. Rasa ngeri dan takut terusir lenyap, namun mereka masih bersikap hati-hati, tidak berani bangkit dan masih bertiarap sambil menanti perkembangan keadaan yang menenangkan itu.
"Heh-heh-heh, engkau benar datang, Bu Kek Siansu?" kata Lam-kek Sian-ong.
"Hoh, kesinilah biar kami dapat menebus penderitaan lima belas tahun dengan kematianmu, tua bangka!" kata pula Pak-kek Sian-ong.
Tidak ada jawaban. Hanya suara yang-khim makin jelas dan pengaruhnya juga makin besar, mendatangkan rasa tenang dan damai sehingga maki-makian kedua orang kakek itu makin lama makin mereda dan akhirnya merekapun seperti Siangkoan Li dan Kwi Lan mendengarkan suara yang-khim penuh perhatian dan seakan-akan juga menikmati suara yang-khim itu yang berlagu merdu. Kini suara yang-khim makin lama makin lambat dan lirih sampai akhirnya berhenti sama sekali. Namun, seakan-akan oleh mereka terdengar gema suaranya memenuhi telinga, dan suasana tenang damai dan tenteram masih terasa menyelubungi hati.
"Siancai, siancai (damai, damai)....! Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, aku girang sekali melihat Ji-wi (Kalian) memegang teguh perjanjian! Kerbau diikat hidungnya, manusia diikat janjinya. Itulah yang membedakan manusia daripada kerbau....!" Suara ini halus lembut, ramah dan menyenangkan. Seperti juga suara yang-khim tadi, suara orang ini memasuki terowongan dan terdengar di mana-mana.
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang masih tiarap, tiba-tiba mendengar desir angin lewat di atas kepala mereka. Maklumlah mereka berdua bahwa seorang yang luar biasa saktinya lewat di atas mereka memasuki terowongan itu. Benar saja dugaan mereka karena tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tua sekali rambut dan jenggotnya sudah putih semua, halus seperti benang sutera, pakaiannya juga putih dan sebuah yang-khim berada di punggungnya.
Melihat datangnya kakek ini, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah memasang kuda-kuda dan bersikap menyerang. Akan tetapi kakek yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bu Kek Siansu sendiri mengangkat kedua tangannya ke atas dan aneh sekali, sikap hendak menyerang itu urung dengan sendirinya!
"Dengarlah, sahabat berdua. Kita ini, kakek-kakek yang sudah amat tua, mengapa harus bertanding menjadi tontonan dan bahan tertawaan? Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, Ji-wi tinggal sampai lima belas tahun di tempat ini, sungguh merupakan kenyataan yang mengagumkan, tanda bahwa Ji-wi benar-benar tahan uji. Lima belas tahun bukan hukuman, melainkan tempaan dan gemblengan sehingga aku percaya bahwa kini Ji-wi telah memperoleh hasil yang amat berharga."
"Bu Kek Siansu, sejak dahulu engkau pandai bicara manis. Lima belas tahun yang lalu kami kalah olehmu dan kami menyiksa diri selama itu di sini. Boleh jadi kami tidak peduli tentang baik dan jahat, akan tetapi kami bukan pengecut yang bisa pegang janji. Kami sengaja berlatih lima belas tahun untuk menanti hari ini, saatnya kami bertemu denganmu untuk mengulang lagi pertandingan lima belas tahun yang lalu!" kata Lam-kek Sian-ong dengan mata mendelik.
"Tidak peduli baik atau jahat, tak perlu banyak cakap lagi. Bu Kek Siansu, hayo lawan kami!" kata pula Pak-kek Sian-ong
yang sudah merendahkan tubuh dan menekuk kedua lututnya memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu.
Bu Kek Siansu mengelus-elus jenggot dan tersenyum ramah. "Orang-orang yang berlepotan lumpur kotor akan tetapi menyadari akan kekotorannya lalu mandi dan tidak bermain lumpur lagi, bukankah hal itu amat menyenangkan? Orang-orang yang bermain lumpur akan tetapi tidak sadar akan kekotorannya akan tetapi tidak mau membersihkan diri dan menginsyafi kekeliruannya, bukankah hal itu amat bodoh dan patut disesalkan?"
Pak-kek Sian-ong bertukar pandang dengan Lam-kek Sian-ong, kemudian Si Muka Merah itu tertawa. "Ha-ha, Bu Kek Siansu. kami sudah kapok berkecimpung di dunia ramai melakukan kejahatan. Akan tetapi kami belum kapok untuk mencoba kepandaian, tidak takut untuk mengulangi kekalahan lima belas tahun yang lalu!"
"Hendak kami lihat apakah benar-benar Bu Kek Siansu seorang manusia tanpa tanding di jagad ini!" kata Pak-kek Sian-ong penasaran.
"Siancai.... Siancai.... mengapa Ji-wi tidak melihat bahwa hal itu sama sekali tidak ada gunanya? Apakah untungnya dunia kalau kakek-kakek macam kita ini bertanding? Harap Ji-wi ketahui, semenjak Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) tidak ada lagi, dunia bukan makin aman, bahkan kini muncul tokoh-tokoh baru menggantikan kedudukan mereka. Tokoh-tokoh hitam akan mengadakan pertemuan dan sekali mereka itu bersatu padu, bukankah perikemanusiaan terancam bahaya hebat? Ji-wi, segala apa di dunia ini diciptakan demi kebaikan. Semua ada kegunaannya. Matahari memberi cahaya kehidupan. Tanah memberi kesuburan. Air memberi zat kehidupan. Tetanaman memberi zat makanan. Ji-wi yang telah dikurniai kepandaian tinggi, layaknya kalau tidak digunakan untuk sesuatu kebaikan? Kalau begitu, apa artinya Ji-wi hidup dan lebih-lebih lagi, apa gunanya Ji-wi puluhan tahun mempelajari ilmu kalau hanya untuk main-main dengan aku seorang tua bangka? Harap Ji-wi suka insyaf."
"Heh, Bu Kek Siansu. Manusia tidak lepas dari pada nafsu dan pada saat sekarang ini, nafsu kami satu-satunya mendorong kami untuk mencari kepuasan membalas kekalahan kami lima belas tahun yang lalu."
"Benar kata-kata Ang-bin Siauwte." kata Si Muka Putih. "Yang lain-lain perkara kecil, kami akan menurut selanjutnya kalau kami kalah lagi."
Bu Kek Siansu menarik napas panjang. "Aku sudah terlalu lama membuang nafsu mencari menang. Sekarang begini saja, Ji-wi boleh memukulku sesuka hati. Kalau tewas oleh pukulan Ji-wi, berarti aku kalah dan terserah kepada Ji-wi apa yang selanjutnya akan Ji-wi lakukan. Akan tetapi kalau pukulan-pukulan Ji-wi tidak membuat aku mati karena maut masih segan-segan menjemput tua bangka macam aku, harap Ji-wi menerima kalah dan sukalah melakukan usaha menentang munculnya tokoh-tokoh iblis yang kumaksudkan tadi."
Kembali dua orang kakek itu saling pandang. Betapapun juga, mereka masih merasa gentar menghadapi manusia setengah dewa itu. Biarpun mereka selama lima belas tahun ini menggembleng diri di dalam kurungan, namun mereka maklum bahwa Bu Kek Siansu memiliki kesaktian yang sukar diukur bagaimana tingginya. Kini mendengar usul Bu Kek Siansu, mereka menjadi lega dan tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Mereka sekali-kali bukan membenci Bu Kek Siansu dan ingin membunuhnya. Melainkan mereka haus akan kemenangan. Apapun juga caranya, kalau mereka sudah dianggap menang, akan puaslah hatinya. Apalagi kalau kemenangan ini disahkan dengan terjatuhnya Bu Kek Siansu,, si manusia dewa di bawah tangan mereka!
"Baik, aku akan memukulmu tiga kali Bu Kek Siansu!" kata Si Muka Merah.
"Akupun memukul tiga kali!" kata pula Pak-kek Sian-ong. "Terserah, tiga kali juga baik." kata Bu Kek Siansu tenang.
"Kau tidak boleh menangkis!" kata pula Lam-kek Sian-ong. "Dan tidak boleh mengelak!" sambung Pek-kek Sian-ong.
"Baik, aku tidak akan menangkis dan mengelak. Akan kuterima masing-masing tiga kali pukulan Ji-wi."
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang semenjak tadi bertiarap dan menyaksikan serta mendengar semua ini, menjadi kaget sekali. Dua orang kakek itu luar biasa lihainya. Baru angin pukulan mereka saja tadi sudah menghancurkan batu. Bagaimana sekarang kakek yang sudah amat tua itu dapat tahan menerima tiga kali pukulan dari masing-masing kakek itu, jadi enam kali pukulan tanpa mengelak maupun menangkis? Kwi Lan bangkit duduk saking tertarik menyaksikan keanehan ini. Juga Siangkoan Li sudah duduk di
dekatnya sambil memandang ke dalam dengan kening berkerut. Di dalam hatinya ia merasa menyesal sekali mengapa kedua orang gurunya yang dianggap orang-orang sakti itu kini hendak berlaku demikian licik dan curang terhadap seorang kakek yang kelihatan halus dan lemah itu. Ia sangat kagum ketika mendengar ucapan Bu Kek Siansu, bahkan ucapan-ucapan itu secara tidak langsung menikam hatinya karena amat cocok dengan keadaan dirinya sendiri. Mendengar ucapan kakek itu tadi, mulailah ia dapat melihat anjuran Kwi Lan. Ia semenjak kecil hidup di lingkungan kotor dan hitam bergelimang di dunia kejahatan. Setelah ia sadar akan hal ini, mengapa ia tidak mau mencuci diri membersihkan dari kotoran, kemudian melakukan kebajikan-kebajikan yang berlawanan dengan kejahatan? Mengenai Thian-liong-pang yang sudah terlanjur kotor, tepat seperti
yang dianjurkan Kwi Lan, sebaiknya ia turun tangan membersihkannya. Dengan begini barulah ia menebus dosa kakeknya dan dengan begini barulah ia berbakti kepada almarhum ayahnya.
Lam-kek Sian-ong sudah menghampiri Bu Kek Siansu, mengambil napas dalam, mengerahkan tenaga lalu memukul ke arah dada Bu Kek Siansu yang berdiri tenang-tenang saja. Angin pukulan dahsyat menyambar. "Desss....!" Tubuh Bu Kek Siansu bergoyang-goyang ke belakang depan dan benar-benar kakek ini telah menerima pukulan tanpa menangkis maupun mengelak. Pukulan yang amat keras dan menggeledek. "Ang-bin Siauwte, bergantian!" teriak Pak-kek Sian-ong sambil melompat maju. Lam-kek Sian-ong mengangguk sambil meramkan mata dan mengatur pernapasan. Ia tahu akan akal saudaranya. Jika ia harus memukul terus sampai tiga kali, karena setiap pukulan memakan tenaga dalamnya, makin lama pukulannya makin lemah, juga ada kemungkinan ia sendiri menderita luka dalam. Dengan bergantian, ia mendapat kesempatan memulihkan tenaga. Diam-diam ia
kagum sekali. Setelah lima belas tahun, pukulannya amat hebat karena setiap hari ia latih. Akan tetapi tadi mengenai dada Bu Kek Siansu, ia merasa seperti memukul sekarung kapas, tenaganya amblas kemudian membalik. Sungguh hebat!
Dengan tubuh agak direndahkan, Pak-kek Sian-ong kini melancarkan pukulan pertama. Berbeda dengan Lam-kek Sianong yang memukul dengan menggunakan kekerasan dan tenaga Yang-kang, kakek bermuka pucat ini memukul dengan jarijari terbuka dan mengerahkan tenaga Imkang.
"Cesss....!" Kembali tubuh Bu Kek Siansu tergetar bahkan terhuyung tiga langkah ke belakang. Muka kakek ini pucat sekali, namun matanya masih bersinar tenang dan penuh damai sedangkan mulutnya tersenyum ramah. Betapapun juga, jelas tampak oleh Kwi Lan dan Siangkoan Li betapa dua kali pukulan itu luar biasa hebatnya dan mungkin sekali kakek tua renta itu sudah menderita luka dalam yang hebat. Seperti juga Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu kagum bukan main. Ia telah mengerahkan seluruh tenaganya dalam pukulan pertama ini, akan tetapi pukulannya yang tepat mengenai ulu hati Bu Kek Siansu tadi seperti bertemu dengan segumpal baja yang amat keras. Cepat-cepat ia pun mejamkan mata mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasannya.
Ketika Lam-kek Sian-ong melangkah maju hendak melakukan pukulan kedua, tiba-tiba lengannya ditarik Pak-kek Sian-ong yang memberi tanda kedipan dengan mata. Lam-kek Sian-ong maklum dan kini majulah mereka berdua, menghampiri Bu Kek Siansu. Tanpa mengeluarkan kata-kata, dua orang kakek ini telah bersepakat untuk melakukan pemukulan kedua secara berbareng dan dapat dibayangkan betapa berbahaya pukulan kedua orang ini jika dilakukan berbareng! Lam-kek Sian-ong adalah seorang ahli dalam
penggunaan tenaga panas, sedangkan sebaliknya Pak-kek Sian-ong adalah ahli mempergunakan tenaga dingin. Jika sekaligus menghadapi dua pukulan yang berlawanan sifatnya, bagaimana tubuh dapat mengatur dua macam tenaga sakti yang saling berlawanan untuk menghadapi dua pukulan itu? Mustahil kalau seorang sakti seperti Bu Kek Siansu tidak mengerti soal itu. Akan tetapi buktinya, kakek itu hanya tersenyum saja dan masih tenang, sedikit pun tidak menegur ketika dua orang itu menghampirinya untuk melakukan pemukulan kedua secara berbareng. Kwi Lan dan Siangkoan Li memandang dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Dua orang muda ini merasa pasti bahwa kali ini kakek tua renta itu tentu akan terpukul mati.
"Bresss....!"
Hebat bukan main pukulan yang dilakukan berbareng itu. Kepalan tangan Lam-kek Sian-ong menghantam dada sedangkan jari-jari tangan Pak-kek Sianong menampar lambung dalam saat berbareng. Tubuh Bu Kek Siansu terlempar kebelakang seperti daun kering tertiup angin, lalu punggungnya menubruk dinding batu. Terdengar suara keras dan yang-khim di punggungnya ternyata telah remuk! Akan tetapi kakek ini tidak roboh binasa, melainkan maju lagi dengan agak terhuyung-huyung. Setelah ia maju, baru tampak yang-khimnya jatuh dalam keadaan hancur sedangkan dinding batu di mana ia terbanting tadi kini kelihatan amblas ke dalam dan tercetaklah bentuk tubuh kakek itu pada dinding batu! Senyum itu masih belum meninggalkan bibir, akan tetapi
matanya dipejamkan dan dari kedua bibirnya mengalir darah yang menetes-netes melalui jenggot putih yang panjang!
Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali. Dari ubun-ubun kepala mereka tampak keluar uap putih yang tebal. Ini tandanya bahwa mereka telah mempergunakan tenaga dalam yang amat kuat. Dada mereka terasa sakit dan tahulah mereka bahwa pukulan ke dua tadi telah melukai mereka sendiri. Akan tetapi melihat keadaan Bu Kek Siansu, mereka menduga bahwa lawannya itu pun telah terluka. Pukulan terakhir tentu akan merobohkan Bu Kek Siansu dan.... mungkin juga menyeret mereka berdua ke lubang kuburan! Betapapun juga, mereka merasa penasaran sekali dan hendak berlaku nekat.
Pukulan ke tiga sudah siap mereka lakukan dan mereka sudah menghampiri Bu Kek Siansu yang berdiri dengan tubuh menggetar akan tetapi mulut tersenyum dan muka tenang.
Akan tetapi tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat. Mereka ini adalah Kwi Lan dan Siangkoan Li. Pemuda itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kedua gurunya sambil berseru.
"Harap Suhu berdua jangan melakukan pemukulan lagi....!" Akan tetapi Kwi Lan sudah berdiri di depan dua orang kakek itu sambil menudingkan telunjuknya dan berkata, "Kalian ini dua orang tua benar-benar tidak mengenal malu sama sekali! Mana ada aturan memukul seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melawan? Coba kalian yang tidak melawan kupukuli apakah kalian juga mau? Kegagahan macam apa yang kalian perlihatkan ini?"
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-Ong terkejut. Mereka tidak mengira bahwa semua yang terjadi itu telah disaksikan orang lain. Marahlah mereka ketika melihat bahwa murid mereka berani mencampuri urusan ini bahkan berani pula mengajak datang seorang gadis yang begitu galak dan berani memaki-maki mereka. Pada saat itu mereka berdua sudah bergandeng tangan. Tangan kiri Lam-kek Sian-ong berpegang pada tangan kanan Pak-kek Sian-ong. Mereka berniat untuk melakukan pukulan terakhir dengan menggabungkan tenaga, maka tadi mereka saling berpegang telapak tangan. Kini melihat munculnya Kwi Lan dan Siangkoan Li, dalam kemarahan mereka itu mereka lalu menggerakkan tangan memukul ke depan, ke arah dua orang muda yang menghalang di jalan. "Pergilah kalian!" bentak Lam-kek Sian-ong. Kwi Lan dan Siangkoan Li terkejut sekali ketika merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar. Mereka dapat mengerahkan tenaga hendak menangkis atau mengelak, akan tetapi aneh luar biasa. Angin pukulan dari depan itu seakan-akan mengunci jalan keluar, bahkan ketika mereka mengerahkan tenaga, mereka mendapat kenyataan bahwa tenaga itu tak dapat mereka salurkan! Ternyata bahwa pukulan itu sebelum tiba di tubuh lebih dulu pengaruhnya telah membuat mereka seperti dalam keadaan tertotok! Benar-benar, pukulan yang amat aneh dan lihai. Dengan mata
terbelalak mereka menanti datangnya maut, karena sekali pukulan kedua orang kakek itu menyentuh tubuh mereka, tentu maut akan datang merenggut nyawa! Akan tetapi, tiba-tiba mereka merasa ada tangan menyentuh punggung mereka. Tangan yang halus dan hangat, merapat di punggung mereka pada saat pukulan tiba. Dan, sebelum tangan kedua orang kakek itu menyentuh kulit tubuh mereka, hawa pukulan itu membalik dan kedua kakek itu berseru keras lalu roboh terjengkang!
"Minggirlah, anak-anak!" terdengar bisikan dari belakang dan Kwi Lan berdua Siangkoan Li merasa betapa tubuh mereka terdorong ke pinggir tanpa dapat mereka lawan. Tahulah mereka bahwa nyawa mereka telah ditolong Bu Kek Siansu dan diam-diam mereka kagum bukan main. Kini karena yakin akan kelihaian dua orang kakek itu. Kwi Lan tak berani berlagak lagi, hanya memandang ke depan.
Kedua orang kakek itu sudah meloncat bangun lagi dan memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata terbelalak heran dan kagum. Gebrakan tadi jelas membuktikan bahwa mereka berdua, sampai sekarang pun sama sekali bukan tandingan kakek setengah dewa ini. Mulailah terbuka mata mereka dan mulailah mereka menyesal mengapa sejak dahulu mereka terlalu mengagungkan dan mengandalkan kepandaian sendiri! Sinar mata mereka mulai melunak, tidak seliar biasanya dan hal ini tidak terluput dari pandangan mata Bu Kek Siansu yang amat waspada. Sambil melangkah maju dan tersenyum, kakek sakti ini berkata.
"Perjanjian harus dipegang teguh. Kalian berdua baru memukul dua kali, masih ada satu kali lagi."
Dua orang kakek itu makin pucat. Mereka maklum bahwa dua kali pukulan mereka tadi sama sekali tidak melukai kakek sakti itu, sungguhpun pengerahan tenaga dalam yang luar biasa membuat darah bertitik keluar dari mulutnya. Kalau sekali lagi memukul, mungkin mereka sendiri yang akan tewas!
Menyaksikan keraguan mereka, Bu kek Siansu berkata lagi, "Mengapa Ji-wi ragu-ragu? Adakah Ji-wi merasa menyesal? Baru saja ada orang-orang muda yang memberi contoh kepada Ji-wi. Biarpun kepandaian mereka jauh di bawah tingkat Ji-wi, namun tanpa merasa takut mereka berusaha membelaku. Melepas budi kebajikan tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, alangkah besar jasa yang diperbuat selagi hidup. Hayolah, aku masih hutang sebuah pukulan dari kalian berdua."
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong masih saling bergandengan tangan. Mereka kini melangkah maju dan Lamkek Sian-ong berkata, "Masih sekali pukulan lagi, Bu Kek Siansu, dan kalau engkau dapat bertahan serta aku tidak mampus, biarlah aku bersumpah akan mentaati semua pesanmu!"
"Benar, sudah sepatutnya dan sudah tiba saatnya kami melihat kebodohan sendiri!" kata pula Pak-kek Sian-ong. Kemudian sambil bergandeng tangan kedua orang itu menghantamkan tangan mereka ke arah dada Bu Kek Siansu. Mereka maklum bahwa kalau kakek sakti ini menggunakan tenaga untuk memukul kembali pukulan mereka, tentu mereka takkan kuat bertahan, terpukul oleh hawa pukulan sendiri dan isi dada mereka yang sudah terluka akan terguncang merenggut nyawa.
"Dukkk....!"
Dua orang itu mengeluarkan pekik kaget. Ternyata kali ini Bu Kek Siansu menerima pukulan hebat itu dengan tubuhnya tanpa pengerahan tenaga sama sekali! Kakek itu telah mengorbankan diri demi keselamatan mereka berdua. Mereka melihat betapa tubuh Bu Kek Siansu mencelat ke belakang lalu jatuh terduduk, bersila dan tubuhnya masih bergoyang-goyang. Dari mata, hidung, mulut, dan telinga mengalir darah segar! Dua orang kakek itu menjerit dan menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu. Baru sekarang mereka mengenal rasa terharu. Kakek ini yang mereka pukul tanpa melawan, begitu saja membiarkan dirinya terluka hebat untuk menyelamatkan mereka berdua. Di mana ada budi kebajikan yang sebesar ini?
Bu Kek Siansu membuka matanya, tersenyum ketika melihat wajah mereka berdua.
"Siancai.... siancai.... legalah hatiku sekarang.... kejahatan yang merajalela di dunia akan menghadapi lawan berat...."
"Siansu, mengapa mengorbankan diri untuk kami?" Lam-kek Sian-ong yang masih terheran itu bertanya.
"Siansu, kami bersumpah akan mentaati pesanmu sampai mati!" kata pula Pak-kek Sian-ong.
"Anak-anak yang baik," kata Bu Kek Siansu, seakan-akan dua orang kakek itu adalah dua orang anak-anak kecil saja.
"Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali kejalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi. Selamat berpisah." Setelah berkata demikian, ia bangkit berdiri lalu berjalan terhuyung-huyung keluar dari dalam terowongan itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum! Sungguh aneh bin ajaib. Dua orang kakek yang biasanya liar itu kini menangis terisak-isak. Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah itu menangis sesenggukan sambil duduk dan menyembunyikan mukanya di antara kedua paha yang diangkat naik. Adapun Pak-kek Sian-ong yang bermuka pucat itu berdiri memegangi kerangkeng dan terisak-isak tanpa mengeluarkan air mata. Kalau saja Kwi Lan tidak menyaksikan semua peristiwa tadi, tentu ia akan tertawa bergelak saking geli hatinya. Namun peristiwa tadi sungguh menenangkan hatinya dan kini ia hanya memandang dengan penuh keheranan.
Siangkoan Li segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu. "Ji-wi Suhu, teecu Siangkoan Li datang menghadap Suhu...."
Mendadak Pak-kek Sian-ong membalikkan tubuh menoleh lalu membentak, "Aku tidak mempunyai murid macam engkau." Kaget sekali hati Siangkoan Li, juga ia menjadi berduka. "Suhu, harap maafkan teecu. Teecu datang menghadap mohon nasihat Ji-wi Suhu. Ayah dan Ibu telah meninggal. Thian-liong-pang menjadi perkumpulan jahat akan tetapi disana ada Gwakong. Apakah yang teecu harus lakukan....?"
Kini Lam-kek Sian-ong yang membalikkan tubuh dan menoleh. Ia masih duduk di atas lantai dan mukanya makin merah ketika ia membelalakkan mata menghardik, "Engkau orang jahat! Engkau tokoh Thian-liong-pang yang menjemukan! Pergi.... dan bawa pergi perempuan liar ini keluar dari sini!"
"Suhu....!" Siangkoan Li merintih.
"Cukup! Engkau me mbiarkan bangunan yang dengan susah payah didirikan Ayahmu menjadi runtuh berantakan. Kaukira kami tidak mengetahui sepak terjangmu? Kami tidak sudi mempunyai murid macam engkau!" kata Pak-kek Sian-ong.
"Heh-heh, barangkali orang muda ini datang untuk memamerkan kekasihnya itu, dan minta persetujuan kita untuk menikah dengannya. Ha-ha, Pek-bin Twa ko, kaubikin dua orang muda ini kecewa saja!" Si Muka Merah mengejek. Sambutan dan sikap kedua orang gurunya ini merupakan pukulan hebat bagi Siangkoan Li. Tadinya ia menggantungkan harapannya kepada dua orang tua itu. Siapa kira, dia sendiri menjadi saksi betapa kedua orang suhunya ini dahulu ternyata juga bukan orang baik-baik sehingga ditundukkan dan dihukum Bu Kek Siansu. Kemudian ditambah lagi sikap mereka yang tidak mengakuinya sebagai murid, lebih dari itu lagi, mengejek dan menghina Kwi Lan. Wajah pe muda ini menjadi pucat, layu dan sinar matanya sayu seperti orang kehilangan semangat. Ia masih berlutut dan mengangkat mukanya yang pucat memandang kepada dua orang kakek itu mohon dikasihani. Akan tetapi kedua orang gurunya sama sekali tidak menaruh kasihan. Si Muka Pucat berdiri dengan muka merah. Si Muka Merah duduk dengan mulut menyeringai dan mengejek.
Kwi Lan memang sejak tadi sudah merasa tidak suka kepada dua orang kakek jembel itu. Ketika mereka melakukan pemukulan-pemukulan kepada Bu Kek Siansu, ia telah merasa kecewa dan tidak suka kepada dua orang guru Siangkoan Li. Akan tetapi di samping perasaan ini ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang kakek itu benar hebat luar biasa. Karena itu ia menjadi segan juga dan tidak berani menyatakan perasaannya ketika ia tadi terlempar oleh hawa pukulan mereka. Kini, melihat betapa Siangkoan Li dihina sehingga pemuda ini kelihatan begitu kecewa dan bersedih bukan main, kemarahannya tak tertahankanlagi. Ia melompat maju dan memaki.
"Kalian ini tua bangka benar-benar menjemukan sekali! Dahulu Siangkoan Li menjadi murid kalian adalah atas kehendak kalian sendiri, bukan dia yang minta-minta mengemis kepada kalian! Sekarang, jauh-jauh Siangkoan Li dengan hati berat datang menghadap minta nasihat, akan tetapi kalian malah memaki-maki dan tidak mengakuinya. Manusia-manusia macam apa kalian ini?" Ia lalu memegang lengan Siangkoan Li, ditariknya pemuda itu bangun dari berlutut, digandengnya dan ditarik-tariknya agar pergi dari situ sambil membujuk.
"Sudahlah, Siangkoan Li. Mulai saat ini jangan kau mengandalkan dan menyandarkan pendirianmu kepada orang orang lain. Belajarlah dewasa dan hidup mengandalkan diri sendiri. Untuk apa minta-minta kepada mereka yang tidak punya apa-apa ini? Untuk apa minta penerangan kepada orang yang berada dalam kegelapan? Salah benar diputuskan sendiri, akibatnya susah senang pun ditanggung sendiri. Itu baru laki-laki namanya!"
"Hi-hi-hik....!" Pak-kek Sian-ong mengeluarkan suara ketawa tanpa membuka mulutnya.
"Ha-ha-ha-ha!" Lam-kek Sian-ong juga tertawa. Dengan hati hancur Siangkoan Li yang merasa lemas tubuhnya itu membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh Kwi Lan. Beberapa kali ia menoleh memandang kepada gurunya itu dengan harapan kalau-kalau kedua orang gurunya tadi hanya mencobanya saja dan sekarang sudah berubah sikap. Akan tetapi dua orang kakek itu tetap menyeringai seperti tadi.
Mereka berdua kini duduk di dalam rumah makan kecil sederhana di ujung dusun tak jauh dari markas Lu-liang-pai itu. Wajah Siangkoan Li masih pucat dan muram. Kwi Lan membujuk dan menghiburnya dan atas bujukan Kwi Lan yang berkali-kali itu akhirnya Siangkoan Li mau juga makan nasi. Hari telah siang, akan tetapi warung yang sederhana itu masih kosong, tidak ada tamunya kecuali seorang pengemis yang duduk melenggut di sudut sebelah depan. Biarpun pakaiannya pengemis, namun berani duduk di situ menghadapi meja, tentu juga seorang tamu yang datang berbelanja.
Kini di atas meja di depannya tidak ada lagi mangkok piring, akan tetapi sisa-sisa di atas meja itu membuktikan bahwa pengemis ini tadi telah makan. Beberapa ekor lalat merubungi sisa makanan di atas meja, akan tetapi pengemis itu tidak peduli dan duduk melenggut, agaknya tertidur setelah kekenyangan makan. Kedua tangannya diletakkan di atas meja dan kalau orang memperhatikannya, tentu akan menjadi heran melihat kedua tangan ini berkulit putih dan halus, sedangkan kuku-kukunya pun terpelihara baik-baik. Akan tetapi sukar untuk melihat mukanya karena sebuah topi butut yang lebar menutupi kepala berikut mukanya. Topi lebar itu pun aneh, berhiaskan setangkai bunga mawar merah!
Kwi Lan dan Siangkoan Li tadi hanya melempar pandang satu kali ke arah pengemis ini, sungguhpun merasa heran namun tidak bercuriga. Terlalu banyak perkumpulan pengemis dan terlalu banyak pengemis-pengemis yang berlagak aneh mereka jumpai. Agaknya pengemis ini pun hanya seorang di antara anggauta perkumpulan-perkumpulan itu yang sengaja berlagak aneh untuk menarik perhatian orang. Selain itu, juga Siangkoan Li terlalu sibuk dengan kemurungan pikirannya dan Kwi Lan terlalu sibuk dengan usahanya menghibur Siangkoan Li sehingga keduanya selanjutnya lupa lagi kepada Si Pengemis yang masih duduk melenggut di atas kursinya.
"Sudahlah, tak perlu kau bermuram durja lagi. Bukankah sudah jelas bahwa kedua orang gurumu itu, betapapun lihainya, tak lain hanya orang-orang yang pernah juga menyeleweng daripada jalan benar? Untuk apa memikirkan mereka? Yang paling perlu, percaya kepada diri sendiri untuk memperbaiki hidup, menghapus semua yang kotor dan mulai dengan lembaran baru yang bersih. Siangkoan Li, mana sifat jantanmu? Bangkitlah, jangan terbawa hanyut duka nestapa yang tiada gunanya." Berkali-kali Kwi Lan menghibur.
"Aihhh...., bukan main....!" Tiba-tiba terdengar suara pujian perlahan sekali, akan tetapi cukup jelas. Kwi Lan cepat menoleh keluar, akan tetapi tidak tampak ada orang diluar. Suara tadi datang dari luar, ataukah.... dari pengemis yang
tertidur tadi? Akan tetapi bukan, karena telinganya yang tajam dapat menangkap suara pernapasan pengemis itu yang halus
dan panjang, napas orang sedang tidur! Ia menoleh ke arah dalam di mana kakek yang mengurus warung itu sibuk membersihkan dapur. Tidak ada orang lain kecuali kakek itu yang mengurus warung ini. Kwi Lan tidak pedulikan lagi. Mungkin suara orang diluar warung dan ucapan tadi tidak ada hubungannya dengan dia.
Siangkoan Li menghela napas panjang. "Kwi Lan, setelah menyaksikan segala yang terjadi tadi, mendengar semua ucapan kakek ajaib yang bernama Bu Kek Siansu itu, aku menjadi insyaf akan kebodohanku selama ini. Aku terlalu lemah dan menyerah kepada keadaan. Tidak, Kwi Lan, aku tidak lagi sudi menyerah dan tunduk kepada Gwakong yang ternyata telah menyelewengkan Thian-liong-pang. Aku akan berusaha mengangkat kembali nama baik Thian-liong-pang seperti yang telah kuusulkan. Akan tetapi...." Ia menundukkan muka dengan sedih.
"Mengapa lagi? Apa yang menjadi halangan?"
"Selama dua tahun aku setia kepada Thian-liong-pang yang menyeleweng. Dengan sendirinya aku telah menjadi seorang tokoh dunia hitam, tokoh jahat! Lebih dari itu, kedua orang Guruku pun ternyata bukan orang baik-baik. Mana mungkin ada pendekar yang mau percaya kepadaku? Kurasa usahaku untuk menghimpun tenaga para patriot Hou-han takkan berhasil."
Kwi Lan mengerutkan keningnya. Biarpun ia kurang pengalaman, namun ia seorang gadis yang cerdik. Ia dapat mengerti keadaan Siangkoan Li dan melihat kebenaran pendapat itu. Selagi ia hendak menjawab dan menghibur, tiba-tiba terdengar suara halus namun keren dan penuh teguran.
"Huh, bagus sekali, Siangkoan Li. Lekas menyerah sebelum pinceng (aku) terpaksa turun tangan menggunakan kekerasan!"
Kwi Lan cepat menoleh dan tampaklah lima orang hwesio muncul di depan warung itu. Lima orang hwesio yang kelihatannya bersikap agung, alim, akan tetapi juga berwibawa. Apalagi yang memimpinnya. Dia seorang hwesio tua yang berjenggot panjang dan putih, matanya bersinar halus namun amat tajam. Empat orang hwesio lainnya yang belum tua benar, berdiri di belakangnya dan sikap mereka hormat, menanti perintah. Mereka berlima semua membawa pedang.
"Celaka, mereka adalah hwesio-hwesio Lu-liang-pai...." bisik Siangkoan Li yang segera bangkit berdiri dan melangkah maju, terus memberi hormat kepada hwesio tua yang berdiri paling depan.
"Teecu Siangkoan Li telah melanggar wilayah Lu-liang-pai dan karena diserang terpaksa menotok roboh dua orang suhu dari Lu-liang-pai. Harap Thaisu sudi memaafkan karena hal itu teecu lakukan secara terpaksa ketika teecu ingin berjumpa dengan kedua orang Suhu teecu di dalam sumur di belakang kuil Lu-liang-pai." Siangkoan Li yang mengenal kesalahannya dan kini sedang dalam usaha "memperbaiki jalan hidup" mendahului mereka minta maaf. Sikapnya merendah sekali sehingga diam-diam Kwi Lan mendongkol.
"Omitohud.... baik sekali kalau kau menyesali perbuatanmu yang sesat. Siangkoan-kongcu. Sayang, bukan hanya itu saja
kesalahanmu. Kau telah berdosa besar sekali kepada kami. Beberapa tahun yang lalu, selagi masih kecil, kau telah melanggar daerah larangan, lebih dari itu, malah tanpa ada yang mengetahui kau telah menjadi murid dua orang musuh besar kami yang sedang dihukum. Hal itu berarti kau telah melakukan dua dosa. Kemudian, setelah keluar, kau menjadi orang sesat dalam Thian-liong-pang yang menjadi perkumpulan jahat semenjak Ayahmu mati. Dosa ketiga ini dosa yang paling besar dan untuk itu pinceng dan para anggauta Lu-liang-pai sudah cukup untuk menghukummu. Sekarang, semua dosa ini ditambah dengan pelanggaran ke dalam kuil dan merobohkan dua orang murid kami. Siangkoan Li, hayo lekas berlutut dan menerima hukuman di kuil kami."
Siangkoan Li menjadi bingung dan melihat ini Kwi Lan sudah melompat ke depan dan mencabut pedang Siang-bhok kiam! Gadis ini berdiri dengan tegak, pedang di tangan kanan, sarung pedang di tangan kiri dan telunjuk tangan kirinya menuding ke arah hwesio-hwesio itu. "Hwesio-hwesio gundul sombong! Siangkoan Li dengan kalian tidak ada hubungan sesuatu, kalian berhak apakah mengadilinya dan bicara tentang dosa-dosanya? Apakah kalian ini hakim? Ataukah dewa-dewa yang menentukan dosa tidaknya manusia?"
Para hwesio itu nampak kaget, bahkan ada di antara mereka mencabut pedang siap menanti komando. Akan tetapi hwesio tua itu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata.
"Omitohud...... Nona muda siapakah? Kalau tidak salah, pinceng Cin Kok Hwesio Ketua Lu-liang-pai sama sekali belum pernah bertemu dengan Nona. Nona murid siapakah?"
"Hwesio tua, tak perlu aku memperkenalkan diri! Ketahuilah bahwa aku adalah sahabat Siangkoan Li yang tidak rela melihat kau bersikap begini sombong hendak mengadili dia. Kau tidak berhak!"
"Ah, mengapa semuda ini Nona juga tersesat ke dalam jalan gelap? Omitohud, semoga Hudya (Buddha) membimbing Nona ke jalan benar. Ketahuilah Nona, kami bersikap begini adalah karena kami mengingat akan Siangkoan-pangcu yang menjadi sahabat kami. Karena ingat Siangkoan-pangcu, maka kami menganggap Siangkoan-kongcu ini orang sendiri sehingga kami hendak membawanya ke kuil dan memberi hukuman yang layak. Kalau kami tidak melihat muka mendiang Siangkoan-pangcu, hemm.... agaknya pinceng tidak akan berlaku selunak ini."
Siangkoan Li membuang muka dan mengerutkan keningnya. Ia menjadi makin berduka, diingatkan betapa ayahnya seorang yang dihormati dan dijunjung tinggi dunia kang-ouw, sebaliknya dia, putera tunggalnya, hanya mencemarkan nama orang tuanya saja.
"Tua bangka gundul! Kau bicara seolah-olah engkau dan orang-orangmulah manusia paling suci di dunia ini! Hemm, sekarang mengerti aku mengapa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong membunuh ketua kalian dan membikin kacau Lu-liang-pai. Kiranya kalian adalah orang-orang yang merasa diri paling suci, paling bersih dan karenanya memandang rendah orang lain yang kalian pandang orang-orang berdosa! Kiranya kalian ini hendak mengangkat diri sendiri menjadi wakil Thian (Tuhan) dan mewakili para dewa untuk menentukan nasib manusia lain, menghukum dan menganggap mereka berdosa! Pantas kalian hendak dibasmi dua orang kakek itu, dan sekiranya tidak ada Bu Kek Siansu yang benar-benar suci dan mulia, tentu kalian sudah mampus semua dan aku percaya, orang-orang seperti kalian ini malah akan mati dengan tersiksa hebat. Mau masuk sorga tak diterima karena hanya suci anggapan sendiri, mau masuk neraka tak diterima pula karena pada lahirnya kalian selalu menentang kejahatan. Huh, tak tahu malu!"
"Kwi Lan, jangan....!" Tiba-tiba Siangkoan Li berseru keras dan meloncat ke depan gadis itu, mencegah gadis itu menggerakkan pedang. Kemudian Siangkoan Li membalikkan tubuh menghadapi para hwesio dan berkata.
"Thaisu, dan para Suhu semua, dengarlah! Kuharap kalian tidak membawa-bawa nama Ayahku yang sudah tidak ada. Semua perbuatanku adalah tanggung jawabku sendiri! Aku tidak merasa berdosa terhadap Lu-liang-pai, setelah kini kupikir baik-baik. Pelanggaran itu bukanlah dosa. Kalau menurut pendapat kalian aku berdosa dan perlu dihukum, boleh. Aku bersedia melayani kalian, akan tetapi aku tidak mau dihukum! Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan, juga boleh! Biarlah aku melakukan apa yang dahulu kedua orang Suhuku Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah gagal melakukannya, yaitu memberi hajaran kepada kalian orang-orang Lu-liang-pai yang pura-pura suci! Nah, silakan!"
Muka Cin Kok Thaisu yang kelihatan alim itu kini terkejut dan pucat. Tak disangkanya pemuda ini akan berani melawan dan mengingat bahwa pemuda ini adalah murid dua orang kakek yang hebat itu, ia meragu. Apalagi di situ terdapat nona muda yang galak ini, yang tentu bukan orang sembarangan pula maka berani bersikap sekeras itu. Andaikata dia mampu mengalahkan dan menangkap Siangkoan Li, kemudian hal ini terdengar oleh dua orang kakek yang terhukum di belakang kuil, bukankah kemarahan mereka akan bangkit dan jangan-jangan mereka itu melakukan pembalasan dengan membasmi Lu-liang-pai? Bantuan Bu Kek Siansu manusia dewa itu sukar diharapkan karena di mana adanya kakek itu tak seorangpun manusia mengetahuinya.
"Omitohud....! Maksud pinceng hanya untuk menghukum dan melempangkan yang bengkok, berarti kami menolong jiwa Siangkoan-kongcu dan berarti pula kami tidak melupakan persahabatan kami dengan Siangkoan-pangcu. Kalau Kongcu hendak mengambil jalan sesat terus, kamipun tidak bisa berbuat sesuatu, akan tetapi kelak akan tiba masanya terpaksa kami menghadapi Kongcu sebagai musuh, bukan sebagai putera sahabat lagi." Ia menoleh kepada murid-muridnya dan mendengus, "Mari kita pergi."
Hwesio tua itu mengebutkan lengan bajunya yang lebar, lalu melangkah keluar sambil berliam-keng (membaca doa), diikuti oleh empat orang muridnya. Kwi Lan dan Siangkoan Li mengikuti mereka dengan pandang mata sampai mereka itu mulai mendaki bukit menuju ke markas Lu-liang-pai.
"Engkau benar, Kwi Lan. Orang harus dapat menentukan langkah sendiri, mempertimbangkan perbuatan sendiri kemudian mempertanggungjawabkannya sendiri pula. Terima kasih atas segala bantuanmu, Kwi Lan. Sekarang terbukalah mataku. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk membangun kembali Thian-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan orang-orang gagah sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat, terjunjung tinggi namanya di dunia kang-ouw. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk
memperlihatkan kepada dunia bahwa tidak sia-sia Ayah mempunyai seorang anak seperti aku." Ucapan ini bersemangat sekali dan pemuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan terkepal dan mukanya yang tampan kehilangan kemuramannya, kini tampak berseri dan bercahaya.
Kwi Lan tersenyum lebar, menghampiri dan memegang tangan pemuda itu. "Bagus! Sekarang aku dapat dengan hati ikhlas dan dada lapang melepasmu pergi, Siangkoan Li. Kelak aku pasti akan datang mengunjungi Thian-liong-pang di bawah pimpinanmu."
Pemuda itu memandangnya tajam. "Apa? Kau.... kau tidak ikut bersamaku?"
Kwi Lan menggeleng kepala. "Sungguh lucu, bukan? Tadinya engkau yang selalu menyuruh aku pergi akan tetapi aku tidak mau meninggalkanmu. Sekarang aku yang hendak meninggalkanmu akan tetapi engkau yang sebaliknya menghendaki aku membantumu. Sekarang engkau dapat berdiri sendiri, Siangkoan Li, dan urusan Thian-liong-pang bukanlah urusanku, melainkan urusan pribadimu. Betapapun juga, aku girang sekali telah dapat bersahabat denganmu. Engkau seorang pemuda yang amat hebat!"
"Kwi Lan.... ahhh...."
"Ada apa? Kenapa kau meragu lagi?"
"Kwi Lan...., terus terang saja... hemm, sekarang ini.... terasa amat berat bagiku untuk berpisah darimu. Tidak.... tidak dapatkah kita.... eh, bersama selalu....?"
"Ehm.... ehm....!"
Untung pengemis yang terlupa dan masih tidur di sudut depan itu terbatuk-batuk sambil menggaruk-garuk pundak yang agaknya digigit kutu bajunya sehingga suasana tak enak dan mencekam setelah kata-kata Siangkoan Li itu menjadi buyar seketika. Siangkoan Li ingat bahwa dia berada dalam warung dimana terdapat pengemis itu dan juga pengurus warung yang berada di dalam, maka ia pun lalu tersenyum dan berkata.
"Maaf, Kwi Lan. Kembali aku terseret dalam kelemahan. Engkau benar. Kita harus mengambil jalan kita masing-masing dan kelak bertemu kembali dalam suasana yang lebih baik, setelah tugas kita masing-masing selesai. Nah, selamat tinggal dan selamat berpisah, Kwi Lan!" Jari tangan yang menggenggam tangan Kwi Lan itu seakan-akan memancarkan hawa hangat yang menjalar dari tangan Kwi Lan terus ke dalam hatinya. Ia memandang mesra kemudian menarik kembali tangannya.
"Selamat jalan, Siangkoan Li. Engkau orang baik, tentu kau akan berhasil dalam tugasmu. Sampai berjumpa pula kelak...."
Dengan wajah berseri dan langkah lebar, Siangkoan Li meninggalkan warung itu dan tak lama kemudian ia telah berlari-lari cepat dan lenyap dari pandang mata Kwi Lan yang mengikutinya. Gadis itu termenung sejenak, lalu menghela napas panjang dan memanggil pemilik warung. Setelah membayar harga makanan, ia pun lalu membawa bungkusan pakaiannya dan meninggalkan warung itu.
***
Bersambung ke bagian 2 ...