Jilid 16. Misteri Kapal Layar Pancawarna.

 

Teringat kepada peristiwa masa lampau, seketika Siaukongcu bergemetar.

Tanpa terasa Po-giok merangkulnya dan berkata, "Bicaralah perlahan, jangan takut. Aku kan berada di sampingmu, selanjutnya, menghadapi urusan apa pun pasti akan kutanggung bersamamu."

Siaukongcu memandangnya sekejap, pandangan yang lembut dan penuh kasih mesra, pandangan yang cukup membetot sukma.

Tiba-tiba Po-giok melihat di tengah kecantikan si nona yang memang sudah ada itu bertambah lagi semacam gaya genit yang sukar dilukiskan, kegenitan ini meski rada dibuat-buat, tapi membuat kecantikannya terlebih merangsang, membuat setiap gerak-gerik dan setiap kata tawanya membuat perasaan orang terguncang.

Siaukongcu berkata perlahan, "Pengalaman selama sekian tahun sukar kujelaskan dalam waktu singkat. Pendek kata, selama ini sehari pun aku tidak pernah bebas, juga sehari pun tidak pernah gembira. Sampai akhirnya ketika kudengar kabar tentang dirimu, maka tanpa menghiraukan akibatnya aku mencari segala macam akal untuk keluar dan menemuimu, kemudian ...."

"Kemudian bagaimana?" tukas Po-giok.

Siaukongcu tersenyum pedih, "Ketika kawanan orang jahat itu mengetahui maksudku akan lari, tentu saja mereka takkan tinggal diam."

"Dan mengapa kau mau pulang lagi ke sana?" tanya Po-giok.

"Jika aku tidak pulang, mereka terlebih takkan membiarkan diriku, mereka pasti akan mencari jalan untuk membikin susah padaku," tutur Siaukongcu. "Aku tidak ingin bicara urusan ini sebab kukhawatir akan ... akan merembet dirimu. Hari depanmu masih panjang, mana boleh ... mana boleh kubikin celaka padamu ...."

Ia bicara dengan air mata berlinang, sedangkan darah panas bergolak dalam rongga dada Pogiok, ia pegang erat bahu si nona seakan-akan meremasnya.

"Hari depanku kan juga hari depanmu," seru Po-giok parau. "Jika setiap hari kau menderita, biarpun aku menjadi raja juga tidak bahagia. Hanya kalau dapat kuselamatkan dirimu dari cengkeraman kawanan iblis itulah, biarpun mati juga kurela."

Siaukongcu menjatuhkan diri dalam pelukan Po-giok, ucapnya, "Asal dapat kudengar ucapanmu ini, betapa deritaku juga tidak kupikirkan lagi .... Lekas rangkul diriku seeratnya, jangan ... jangan sampai terlepas ...."

"Selamanya takkan kulepaskan kau pergi," teriak Po-giok. "Aku ingin ...."

"Kau ingin apa?" mendadak suara dingin seram seorang memotong.

Waktu Po-giok dan Siaukongcu menengadah, tahu-tahu belasan orang berjubah putih dan berkerudung putih serupa hantu saja mengelilingi mereka dengan ketat.

Serentak Po-giok memisahkan diri dari Siaukongcu.

"Ini ... inilah anak muridnya!" seru Siaukongcu dengan suara gemetar.

Padahal tanpa penjelasannya pun Po-giok dapat menerka kawanan berjubah putih ini pasti anak murid iblis Ngo-hing-kiong.

Segera Po-giok bersikap tenang kembali. Berbagai perasaan yang meliputi benaknya tadi lenyap seketika begitu berhadapan dengan musuh. Dengan gagah ia siap membela Siaukongcu, ia pandang sekeliling kawanan berjubah putih itu.

Belasan orang berjubah putih itu sama pula senjatanya, semuanya senjata aneh yang jarang terlihat di dunia Kangouw, antara lain seperti tombak berantai, ada yang bersenjata mirip sekop dengan kepala runcing seperti tombak dan bentuk lain lagi, ada yang bersenjata serupa potlot, akan tetapi kalau diperhatikan serupa bumbung pula .... Pendek kata semuanya senjata khas berbentuk aneh.

Sorot mata belasan orang itu pun berkelip-kelip aneh, jelas kejam dan juga rakus, malah serupa binatang buas.

Salah seorang berjubah putih yang berdiri sendirian di bawah pohon sana berkata, "Lepaskan dia, dan kau dapat diampuni!"

Sekilas pandang saja segera Po-giok tahu kawanan berjubah putih itu tiada seorang pun berpikiran normal, ia pun sungkan menjawab, ia tarik tangan Siaukongcu, katanya perlahan, "Ikut padaku, terjang keluar!"

"Tinggalkan aku saja dan lekas kau pergi!" jawab Siaukongcu dengan suara gemetar. "Kita takkan mampu menerjang keluar, jangan kau pikirkan diriku, anggap saja aku sudah ... sudah mati!"

"Betul, lepaskan dia saja dan kau boleh pergi," kata si baju putih tadi dengan tertawa seram.

"Kau takkan mampu menerjang keluar."

Belum lengkap suaranya mendadak Po-giok meloncat ke atas, Siaukongcu ditariknya terus menerjang ke sebelah kiri.

Akan tetapi di situ sudah menunggu tiga jenis senjata aneh, yang satu berbentuk kelopak bunga teratai, yang kedua serupa ranting kayu tanpa daun, satu lagi bercahaya gemerlapan dan tidak jelas bagaimana bentuknya.

Baru saja Po-giok bergerak, serentak ketiga macam senjata itu memapaknya dengan sinar gemerlap menyilaukan mata.

Selain aneh bentuknya, gerak serangan ketiga macam senjata itu juga sangat aneh dan sukar dimengerti, bahkan dapat bekerja sama dengan sangat rapat serupa dimainkan satu orang saja.

Ketika Po-giok terkesiap dan merandek sejenak, serentak ketiga macam senjata itu membura tiba dari atas. Sekonyong-konyong sebelah tangan Po-giok diangkat ke atas, langsung menerobos cahaya senjata musuh. Tampaknya tangan Po-giok pasti akan hancur lebur digilas oleh ketiga macam senjata aneh itu. Keruan Siaukongcu menjerit khawatir. Siapa duga pada saat dia menjerit tahu-tahu tangan Po-giok berhasil mencengkeram bayangan hitam di tengah gemerlap menyilaukan itu, nyata secara menakjubkan dia mampu menerobos setitik peluang yang berada dalam serangan lawan yang ketat itu dan berhasil menangkap senjata lawan yang serupa ranting kering itu, dan senjata lawan yang lain ternyata tidak mampu melukainya sama sekali.

Si baju putih yang memegang ranting kering itu merasa suatu arus tenaga mahadahsyat mendadak tersalur ke telapak tangannya, meski halus tenaga itu, namun dahsyatnya sukar dilawan. Begitu tangan tergetar, segera jantung pun berdetak keras, darah dalam tubuh seakan bergolak, ia terhuyung mundur beberapa langkah dan ranting kayu sudah berpindah ke tangan Po-giok.

Begitu memegang senjata rampasan, langsung Po-giok mengangkatnya dan diputar perlahan, seketika timbul daya tolak yang kuat membuyarkan serangan kedua lawan yang lain.

Bagi pandangan orang lain, gerak tangan Po-giok itu dilakukan dengan sepele, namun ketiga lawan sekaligus dapat dipaksa mundur, tanpa terasa Siaukongcu berseru, "Bagus ...."

Tapi baru saja ia bersuara, serentak tiga macam senjata juga menyambar ke arahnya, senjata berbentuk serupa tombak, perisai dan ada seperti bola api.

Akan tetapi Po-giok hanya menggeser sedikit, segera tempat berpijaknya dengan Siaukongcu berganti tempat dan terlepas dari lingkup serangan senjata musuh. Hampir pada saat yang sama ranting kayu Po-giok lantas berputar juga sehingga ketiga macam senjata lawan terkurung oleh lingkaran yang diterbitkan ranting itu dan ketiga lawan pun sukar memainkan senjata masing-masing.

Waktu Po-giok putar lagi ranting kering, seketika ketiga lawan merasa seperti terbelenggu oleh suatu kekuatan tidak kelihatan. Dan ketika ranting kering Po-giok berputar ketiga kalinya, terdengarlah suara nyaring jatuhnya tiga macam senjata. Semua itu terjadi dalam sekejap saja.

Kecuali ketiga orang yang bersangkutan, kawanan berjubah putih yang lain sama sekali tidak tahu di mana kedahsyatan kekuatan tiga lingkaran ranting Po-giok itu.

Setelah merasakan kelihaian Po-giok, sorot mata kawanan jubah putih yang pongah tadi seketika berubah menjadi kejut dan jeri.

Sementara itu lowongan ketiga orang itu sudah diisi lagi oleh tiga orang lain sehingga Po-giok dan Siaukongcu tetap terkurung di tengah. Mendadak Po-giok putar lagi ranting kayu yang dipegangnya dan sekali sabet, tahu-tahu segumpal daun yang terlempar dari sana tersampuk berhamburan menghujani muka dan dada kawanan berjubah putih.

Meski cuma daun biasa, tapi tertolak oleh tenaga sampukan Po-giok berubah menjadi kuat dan serupa pisau tajamnya.

Orang yang paling depan tidak berani menghadapi sambaran daun tajam itu, cepat ia melompat ke samping sehingga terbuka sebuah jalan. Tentu saja Po-giok tidak buang waktu lagi untuk menerjang keluar.

Tapi baru saja ia bergerak, "blang", mendadak menyambar tiba segumpal api hijau, daun yang terjilat api seketika terbakar menjadi abu dan lenyap.

"Celaka, api iblis!" seru Siaukongcu.

Sementara itu hawa panas api yang berkobar membuat mereka serupa terpanggang dan api hampir menjilat bajunya.

Tanpa pikir Siaukongcu menarik Po-giok dan melompat mundur, ternyata kawanan baju putih tidak ada yang mengejar lagi.

"Sayang, mestinya hendak kutawan salah seorang musuh untuk dimintai keterangan, sekarang mereka tidak ada yang mengejar, tentu sudah kabur semua," ujar Po-giok.

"Jangan khawatir, biarpun tidak kau cari mereka, tentu mereka akan mencarimu lagi," ujar Siaukongcu. Tiba-tiba air mukanya berubah sedih, ucapnya pula, "Dan selanjutnya hidupmu pasti takkan pernah tenteram lagi. Setiap saat dan di mana pun jiwamu tentu akan diintai maut, sampai tokoh semacam ayahku dan suhengku juga pusing kepala sekali mengikat permusuhan dengan Kim-ho-ong, sebab mereka tahu, bilamana orang Ngo-hing-kiong sudah bermusuhan denganmu, maka mereka akan serupa lintah yang hinggap pada tubuhmu, takkan lepas sebelum mati."

Mendadak ia cengkeram lengan baju Po-giok dan berkata dengan parau, "Maka akan lebih baik biarkan kupergi saja. Jika aku tetap berada bersamamu, tentu banyak ... banyak membikin susah padamu ...."

"Aku sudah siap mengorbankan segalanya," sahut Po-giok tanpa pikir.

*****

Dalam pertarungan tadi, meski cuma terjadi beberapa gebrak saja, namun bahaya yang dialami dan tenaga yang terbuang tidaklah sedikit.

"Anak murid istana iblis itu ternyata tidak ada seorang pun yang lemah," ujar Po-giok dengan gegetun. "Belasan orang tadi hampir semuanya tergolong jago kelas satu dan jarang ada tandingannya di dunia Kangouw, terutama senjata aneh mereka, tampaknya pasti ada cara penggunaan lain yang lebih hebat, cuma tadi dapat kuatasi mereka lebih dulu sehingga mereka sama sekali tidak sempat menyerang."

Siaukongcu memandangnya dengan penuh rasa mesra, katanya lirih, "Siapa pun tak dapat dibandingkan engkau."

Po-giok tersenyum, tiba-tiba ia berkata pula dengan kening bekernyit, "Kabarnya di antara orang Ngo-hing-kiong satu sana lain juga saling bertentangan, meski belum pernah terjadi pertengkaran secara terbuka, namun sudah sering bertarung secara diam. Belasan orang tadi jelas meliputi kelima unsur istana iblis itu, apakah mungkin antara mereka sekarang sudah ada kerja sama dengan baik?"

Mendadak Siaukongcu berteriak tertahan, "Hah, mereka datang lagi!"

Cepat ia tarik Po-giok dan diajak lari secepatnya.

Setelah beberapa puluh tombak jauhnya, ternyata tiada seorang pun yang mengejar mereka, perlahan ia berkata, "Kasihan, tampaknya kau sudah ketakutan oleh mereka, serupa burung yang sudah kapok terhadap anak nakal, begitu mendengar suara pelinteng lantas menyangka hendak dibidik."

"Tapi ... tapi aku memang takut," ucap Siaukongcu sambil menggelendot di dada anak muda itu.

"Marilah kita pergi," kata Po-giok.

"Pergi? .... Pergi ke mana?" tanya si nona.

"Ya, ke mana saja, yang jelas kita tidak dapat tinggal di sini, kita harus mencari para pamanku untuk berunding dengan mereka cara bagaimana menghadapi anak murid istana iblis. Dengan bantuan mereka tentu kita tidak perlu takut lagi."

Mendadak Siaukongcu mendorongnya dan berkata, "Apakah engkau tidak sudi lagi berada sendirian denganku? Apakah engkau sengaja hendak membuat orang lain menyelinap di antara kita? Mereka tidak pernah kukenal, mengapa harus kuminta pertolongan mereka? Tadi baru saja kau katakan siap mengorbankan segalanya bagiku, rupanya itu cuma basa-basi belaka dan kau pun seorang penakut."

Sambil berteriak ia terus berlari ke tepi jalan menuju ke suatu tanah pekuburan, di situ ada batu nisan dan tampaknya si nona hendaknya menumbukkan kepalanya pada batu nisan.

Keruan Po-giok berteriak khawatir. Syukurlah pada saat itulah dari balik kuburan muncul sesosok bayangan sehingga Siaukongcu menubruk ke tubuh orang ini.

Sementara itu jarak antara Po-giok dan Siaukongcu sedikitnya dua tombak jauhnya sehingga untuk mencegah tindakan si nona jelas tidak keburu lagi.

Terdengar Siaukongcu menjerit kaget dan orang itu pun membentak, "Berdiri!"

Po-giok merasa seperti dikemplang orang, ia berdiri terpaku dan tidak berani bergerak lagi, sebab saat itu Siaukongcu telah berada dalam cengkeraman orang.

Di bawah cuaca malam yang remang-remang masih dapat membedakan bayangan orang ini dari kepala sampai kaki terbungkus oleh warna kuning kelabu, dengan sendirinya karena dia berbaju yang sangat ketat dan pakai topeng sehingga tampaknya sekujur badan seperti dipoles dengan warna kuning kelabu. Dan Siaukongcu tergeletak di depannya, hanya sebelah tangannya dipegang olehnya. Nyata nona itu tertutuk hiat-to kelumpuhannya sehingga meronta pun tidak mampu.

"Kau siapa? Lepaskan dia!" bentak Po-giok.

"Hm, jika kau minta jiwanya diampuni, hendaknya mundur dulu agak jauh dan turut kepada perintahku," kata si baju kuning dengan terkekeh.

Merah mata Po-giok seakan-akan hendak menyemburkan api, tapi apa daya, terpaksa ia menyurut mundur. Dan baru saja ia mundur beberapa langkah, kawanan orang berbaju putih tahu-tahu muncul kembali dari kegelapan malam. Keruan hal ini membuat Po-giok bertambah khawatir.

Ngeri juga Po-giok oleh kemunculan musuh yang gentayangan seperti badan halus itu. Kalau dia mau kabur sendiri jelas tidaklah sulit, tapi Siaukongcu ... betapa pun dia tidak boleh meninggalkan nona itu. Tapi cara bagaimana pula ia harus menyelamatkan dia?

Mendadak bayangan kuning tadi melemparkan Siaukongcu ke balik makam, lalu mendekati Pogiok selangkah demi selangkah. Perawakan orang ini agak gendut, namun langkahnya enteng dan gesit, bahkan daun rontok yang memenuhi tanah pun tidak menerbitkan sesuatu suara ketika dilangkahi orang itu. Segera Po-giok menyadari sedang berhadapan dengan lawan tangguh yang jarang ditemuinya.

Mendadak si baju kuning meraung terus menubruk maju.

Semangat Po-giok terbangkit, sambil menggeser ke samping ia pikir inilah pertarungan yang menentukan, kalah-menang pertarungan ini tidak cuma menyangkut diri pribadinya, tapi juga menyangkut nasib Siaukongcu.

Begitulah segera terjadi pertarungan sengit. Lihai sekali jurus serangan si baju kuning, keji tanpa kenal ampun, seperti tidak puas bila kedua anak muda itu tidak dibinasakan olehnya.

Kawanan baju putih sama berdiri di sekeliling tanpa bergerak, agaknya mereka pun tahu sekali si baju kuning sudah turun tangan, maka orang lain tidak boleh ikut campur.

Di bawah remang malam terlihat gerak serangan si baju kuning serupa serigala dan harimau, selain gerak-geriknya menyerupai binatang buas, juga jurus serangannya menirukan gerak gerik binatang. Rupanya ilmu pukulannya terkenal sebagai Jim-kim-ciang, ilmu pukulan tujuh jenis binatang, selain gerak-geriknya menirukan binatang, banyak lagi ditambah dengan gerak perubahan yang bersifat gerak-gerik manusia.

Mendadak menghadapi lawan aneh seperti ini, tentu saja Po-giok agak kebingungan dan tidak berani sembarangan turun tangan. Ia lihat gaya ilmu silat lawan serupa dengan Toh-liong-cu pembawaan bisu dan tuli, sedangkan orang berbaju kuning ini jelas tadi bersuara. Lantas siapakah orang ini?

Apakah mungkin di istana iblis itu masih banyak jago yang berwatak sama kejamnya seperti Toh-liong-cu itu? Dapatkah dirinya menghadapi lawan sebanyak itu dari Ngo-hing-mo-kiong yang lihai itu?

Selagi tertegun, serentak si baju kuning telah menubruk ke arahnya. Tubrukan ini pun sama dengan gerak-gerik binatang buas. Cepat Po-giok mengelak, akan tetapi sukar terhindar seluruhnya, kedua kakinya sempat dirangkul oleh si baju kuning.

Segera Po-giok bermaksud menghantam, tapi baru saja tangan terangkat, tahu-tahu si baju kuning yang serupa Toh-liong-cu itu telah menggigit kakinya, orang yang sudah gila serupa binatang itu tanpa peduli apa pun terus mengisap darah yang mengucur dari kaki Po-giok.

Keruan Po-giok terkejut dan ketakutan, sedikit terpencar perhatiannya, segera ia jatuh terduduk.

Serentak kawanan baju putih sama terkekeh-kekeh, suara tertawa aneh itu berbaur dengan bau amis darah. Hampir sukar dibayangkan adegan yang gila dan menyeramkan ini.

Po-giok seperti sudah kehilangan daya perlawanan. Kecerdasan dan sifat kemanusiaan terkadang juga bisa ditaklukkan oleh sifat kebinatangan yang gila.

Si jubah putih tadi terkekeh dan berkata, "Nah, menyerah saja kawan, di dunia ini tiada seorang pun dapat menolongmu lagi. Tadi sudah kusuruh kau lepaskan dia dan kau tidak mau, sekarang jiwamu terpaksa harus ikut amblas."

Po-giok merasakan kehampaan dan juga seperti kehilangan, pikirnya, "Adakah benar aku sudah tamat segalanya? Begitu juga dia? Jiwanya ternyata berbalik amblas karena tindakanku, jadi akulah yang membikin susah dia malah ...."

Hancur luluh perasaannya, ketika ia membuka mata, sekilas terlihat bayangan seekor burung terbang lewat di atas pohon. Bayangan burung yang terbang tenang bebas di tengah bayangan pepohonan yang bergerak-gerak, hal ini mendatangkan ilham yang sukar dilukiskan dalam benak Po-giok, mendadak semangat melepaskan diri dari cengkeraman binatang buas meledak, tanpa terasa sebelah tangannya menyampuk perlahan ke depan mengikuti garis terbang bayangan burung tadi.

Gerak pukulan ini tidak ada sasaran, juga tidak jelas arahnya, namun si baju kuning mendadak menjerit dan meloncat setingginya dengan berlumuran darah, ini bukan darah dari luka kaki Pogiok melainkan darah yang mengucur dari muka si baju kuning sendiri. Ternyata gerak tangan Po-giok yang perlahan itu telah tepat mengena bagian lemah pada batang hidungnya.

Suara tertawa kawanan baju putih seketika lenyap, mereka heran dan terkejut, belum lagi mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba si baju kuning sudah jatuh dan Po-giok melompat ke sana, menuju batu nisan. Tapi si jubah putih di bawah pohon tadi segera merintanginya.

Si jubah putih ini tadi sudah dikalahkan oleh Po-giok, biarpun dia dikerubut kawanan baju putih ini juga tidak gentar, langsung ia menerjang maju, dengan gerak cepat ia rampas semacam senjata lawan, sekali putar, belasan senjata lawan yang lain sama rontok tersampuk.

Ketika kawanan baju putih itu terperanjat, secepat terbang Po-giok sudah menerjang lewat ke sana, langsung menuju ke belakang batu nisan sambil berseru, "Inilah kudatang kemari!"

Akan tetapi apa yang terlihat membuat rasa girangnya seketika buyar, ternyata di situ tiada orang pun, mana ada bayangan Siaukongcu lagi?

Ke mana perginya nona itu? Jelas dia telah diculik pula oleh kawanan iblis dan Po-giok tetap tidak dapat menyelamatkannya. Ternyata sia-sia belaka perjuangan mati-matian yang telah dilakukannya tadi. Dengan lemas Po-giok duduk bersandar nisan.

Bilamana kawanan berbaju putih tadi menyusul tiba sekarang pasti Po-giok tidak bersemangat untuk bertempur lagi dan dia pasti akan dibinasakan oleh mereka. Akan tetapi di depan makam sana suasana sunyi senyap, belasan orang berbaju putih itu ternyata tiada seorang pun yang mengejar kemari, memangnya mereka telah lari ketakutan oleh kesaktian Po-giok tadi? Kalau tidak, sebab apa pula mereka tinggal pergi begitu saja?

Sekonyong-konyong dalam kegelapan berkumandang suara orang yang ketus dan dingin, "Dia berada di sini!"

Suara itu mengambang jauh, seperti ada serupa tidak ada, sukar bagi Po-giok untuk membedakan arah datangnya suara. Cepat ia melompat bangun dan lari ke depan makam, ia coba memandang sekelilingnya, tiada seorang pun terlihat, si baju kuning dan begundalnya yang misterius itu sudah lenyap pula secara aneh dan tanpa meninggalkan sesuatu bekas pertarungan sengit tadi.

Po-giok merasa seperti habis mimpi buruk saja dan Siaukongcu telah hilang dalam mimpi buruk ini.

"Di mana? Dia berada di mana?" teriak Po-giok sambil berpaling kian kemari.

"Di sini!" jawab suara yang mengambang hampa itu.

Sekali ini Po-giok dapat mendengar dengan jelas, suara itu ternyata tersiar dari atas makam. Po-giok menyurut mundur dua tindak dan coba mengamat-amatinya.

Kiranya di atas makam duduk bersila sesosok bayangan orang, juga berjubah putih dan berkerudung kepala putih sehingga tidak terlihat jelas wajahnya, hanya tangan kanan memegang setangkai bunga teratai berkelopak emas.

Pada lutut kirinya telentang seorang berbaju putih, jelas itulah Siaukongcu. Darah panas Pogiok bergolak, tanpa pikir ia terus menerjang ke sana.

Akan tetapi belum lagi ia mencapai makam, orang di atas makam lantas membentak, "Turun!"

Waktu ia ayun tangannya, serentak terjadi hujan emas, kiranya kelopak bunga teratai emas yang dipegangnya itu mempunyai daya guna khas, kelopak bunga ternyata dapat digunakan sebagai senjata.

Belasan daun kelopak bunga itu tipis dan tajam menyambar ke depan serupa pisau, dari berbagai arah menghambur ke tubuh Po-giok. Dalam keadaan demikian sungguh sulit bagi Pogiok untuk menghindar. Sedapatnya ia melompat mundur.

Terdengar suara "sret" sekali, sehelai daun emas itu menyerempet lewat dadanya dan hampir merobek kulit dadanya. Cahaya emas itu seperti benda hidup saja, setelah menyambar kian kemari akhirnya putar kembali lagi ke depan si baju putih yang duduk bersila itu dan ditangkapnya kembali.

"Hm, biar kukatakan padamu," jengek si baju putih, "biarpun kepandaianmu sepuluh kali lipat sekarang juga jangan harap akan dapat menolongnya."

"Berani kau ganggu seujung rambutnya, tentu kucabut nyawamu," ucap Po-giok dengan suara gemetar.

"Hehe, jika kumau ganggu dia masakah perlu tunggu sampai sekarang?" jengek orang itu.

"Habis apa kehendakmu?" tanya Po-giok.

"Aku ...."

Belum lanjut ucapan orang, diam-diam Po-giok telah mengerahkan segenap tenaga untuk taruhan terakhir, secepat kilat ia menubruk lagi ke sana. Ia tidak menggunakan sesuatu senjata, namun gerak cepatnya melebihi senjata, belum tiba orangnya lebih dulu jarinya menutuk dan memancarkan angin tajam ke arah muka si baju putih.

Karena tidak menduga akan diterjang orang secara nekat, si baju putih agak kelabakan dan cepat menjatuhkan diri ke belakang. Tempat duduknya terletak di atas makam, maka tubuhnya lantas terguling ke bawah sehingga Siaukongcu tidak sempat dibawanya.

Tanpa hiraukan musuh lagi segera Po-giok menubruk maju dan merangkul erat tubuh Siaukongcu yang lemas itu. Akhirnya orang yang paling dikasihinya kembali lagi dalam pangkuannya, tanpa terasa ia mencucurkan air mata terharu.

Siapa duga si baju putih yang terguling ke bawah makam itu lantas terbahak-bahak dan berseru, "Hehe, jangan gembira dulu, boleh kau periksa apa yang terdapat dalam bajunya!"

Bersama dengan suara tertawanya, dalam sekejap saja orangnya sudah menghilang di kejauhan, suasana kembali sunyi diliputi kegelapan.

Kejut dan sangsi Po-giok, dengan agak gemetar ia coba memeriksa Siaukongcu yang dipeluknya itu, terlihat pada dada bajunya terselip sebuah sampul surat aneh berwarna-warni.

Dengan ragu ia coba periksa surat itu, ternyata isi surat berbunyi:

"Dia sudah minum air suci, air racun buatan khusus Istana Boh dan Toh, di dunia ini hanya obat penawar perguruan kita sendiri tidak dapat ditolong dengan obat lain. Jika ingin menyelamatkan jiwanya harus menuju ke Thian-hiang-teh-lim yang terletak ratusan li dari sini dan harus sampai di sana sebelum petang esok, dengan sampul pancawarna inilah untuk mohon bertemu dengan Tonghong-tiocu, kalau terlambat tentu tak tertolong lagi."

Meski surat yang singkat, namun sehabis membaca surat ini tangan Po-giok pun berkeringat dingin dan membasahi kertas surat. Ia menengadah dan bergumam, "Apakah mereka sudah memperhitungkan aku pasti akan menolong dia, maka lebih dulu mereka mengatur rencana ini. Mereka seperti sudah dapat meramalkan segala apa yang bakal terjadi, kalau tidak, mengapa semua usahaku selalu gagal dan tetap masuk jebakan mereka?"

Perlahan Siaukongcu dapat membuka matanya, dilihatnya sinar mata Po-giok yang berkelip laksana bintang di langit.

Ia bersuara gembira dan pentang tangan merangkul Po-giok, katanya dengan suara gemetar, "Tak terduga aku dapat kembali di sampingmu ... di mana mereka?"

"Sudah pergi semua," ucap Po-giok.

Siaukongcu menghela napas perlahan sambil meraba muka Po-giok, ucapnya lirih, "Kau tahu, sejak kecil engkau sudah merupakan pahlawanku ... dan engkau ternyata tidak ... tidak mengecewakan harapanku ...."

"Tapi ... tapi mungkin aku akan membuatmu kecewa," kata Po-giok tiba-tiba sambil memandangnya lekat-lekat.

"Apa ... apa katamu?" Siaukongcu tampak melengak.

Po-giok berpaling dan tidak ingin si nona melihat air matanya. Gumamnya sambil menengadah, "Sebentar lagi hari akan terang, esok sudah hampir tiba dan segera akan datang petangnya. Sebelum petang esok ...."

"Ada apa sebelum petang esok?" tanya Siaukongcu.

Dengan menahan perasaannya Po-giok berseru, "Sebelum petang besok harus kuantar dirimu kembali kepada mereka."

Tergetar Siaukongcu, ia lepaskan rangkulannya pada Po-giok dengan air mata bercucuran, katanya dengan gemetar, "Jadi hendak kau antar aku pulang ke sana? Engkau tidak ... tidak menghendaki diriku lagi?"

Po-giok berpaling dan diam saja.

Dengan gemas Siaukongcu menampar muka anak muda itu, dampratnya sambil menangis, "Dasar pengecut, bangsat yang tidak berguna, orang yang tidak punya perasaan, kiranya kau begini takut kepada mereka? Percuma kau mengaku sebagai pahlawan, ternyata melindungi seorang perempuan saja tidak mampu."

Seraya mendamprat ia pun terus memukul.

Po-giok hanya menggigit bibir dengan erat dan menahan air matanya supaya tidak menetes, ia diam saja dan tidak bergerak.

"Baik, jika demikian, tidak perlu kau antar diriku, aku sendiri dapat pergi," seru Siaukongcu parau. "Sungguh kubenci pada diriku sendiri, mengapa kutemui dirimu ...." Ia meronta bangun dan berlari dengan sempoyongan.

Dengan tangan gemetar Po-giok bermaksud menariknya, tapi urung. Akan tetapi mendadak Siaukongcu merandek dan membalik tubuh, dengan sorot matanya yang bening ia pandang Po-giok, katanya dengan suara gemetar, "Ya, kutahu sekarang, kutahu ...."

"Kau tahu apa?" tanya Po-giok dengan merunduk.

"Kutahu, tentu aku telah diracun mereka, maka jalan satu-satunya harus kau antarku pulang ke sana baru jiwaku dapat diselamatkan. Tapi ... tapi agar tidak membuatku sedih, engkau rela menderita batin, rela kupukuli dan tetap tidak mau memberitahukan padaku duduk perkara yang sebenarnya ...."

Mendadak ia menubruk lagi ke dalam pangkuan Po-giok.

Po-giok sendiri tidak tahu apa yang harus dikatakannya, sebab dalam keadaan demikian kata apa pun hanya berlebihan belaka, sebab keduanya telah tenggelam dalam buaian kasih mesra. Bintang mulai jarang, langit mulai remang-remang, malam sudah digantikan fajar.

Akhirnya Po-giok berkata, "Marilah berangkat, kalau tertunda lagi mungkin akan terlambat."

"Pergi? ...." Siaukongcu menegas. "Tidak, aku tidak mau pergi. Aku lebih suka mati di sampingmu daripada berpisah denganmu .... Rangkul diriku lebih erat, biarlah kumati saja dalam pelukanmu."

"Engkau tidak boleh mati ... betapa pun tidak boleh mati ...." kata Po-giok dengan menahan air mata, akan tetapi air mata tetap menitik dengan derasnya.

"Kau minta aku jangan mati, apakah kau kira aku tega meninggalkanmu?" seru Siaukongcu parau.

Po-giok menarik napas dalam-dalam, ucapnya, "Asalkan kau tidak mati, pada suatu hari akhirnya pasti dapat kuselamatkan dirimu. Tatkala itu kita akan selalu berada bersama dan tiada seorang lagi yang dapat merampasmu dariku. Aku berjanji!"

Meski perlahan suaranya, namun tegas, pasti, dan penuh kepercayaan akan diri sendiri.

Akhirnya Siaukongcu menunduk, ucapnya dengan suara seperti orang mengigau, "Ya, kupercaya padamu."

*****

Thian-hiang-teh-lim, perkebunan teh harum langit. Sebuah perkebunan yang luas, pohon teh tumbuh memenuhi lereng bukit.

Dipandang dari kaki bukit, banyak terlihat anak gadis yang ramping dan penuh gairah dengan baju kembang dan memakai caping sibuk memetik daun teh di tengah pepohonan teh yang lebat itu.

Sementara itu sang surya sudah condong barat, cahaya senja menghias langit ufuk barat dan membuat pegunungan yang penuh pohon teh ini bertambah indah permai, kawanan gadis pemetik daun teh pun kelihatan cantik.

Pada saat itulah Po-giok telah membawa Siaukongcu sampai di kaki bukit perkebunan teh itu. Terlihat di antara dua pohon benar tergantung sebuah papan dengan empat huruf besar "Thianhiang-teh-lim", agaknya ini dianggap sebagai pintu gerbang perkebunan.

Akan tetapi di sekeliling tiada bayangan seorang pun. Po-giok agak ragu, akhirnya langsung ia terjang ke dalam perkebunan sambil berteriak, "Adakah orang di situ?"

Dari balik pepohonan teh sana mendadak muncul tiga gadis berbaju ungu, muka mereka tampak kemerah-merahan, tawa mereka tampak merah serupa bunga yang baru mekar.

Salah seorang gadis yang berdiri di tengah memandang Po-giok sekejap, tiba-tiba ia berdendang, "Wahai pemuda cakap, engkau datang dari mana? Berapa usiamu tahun ini? Apakah kau sudah beristri?!"

Ia menyanyi dengan lirik yang berpantun, suaranya merdu enak didengar.

Kedua gadis di kanan-kirinya ikut bertepuk tangan mengikuti irama lagu kawannya.

Po-giok melenggong, ia berdehem, lalu berkata, "Kami datang mencari Tonghong-tiocu, entah di mana ...."

Gadis tadi tertawa dan menyanyi lagi, "Kau datang ke perkebunan teh kami, untuk itu kau harus menyanyi. Kalau kau tidak dapat menyanyi, itu berarti kau si Dungu!"

"Ya, si Dungu ... si Dungu ...." sambung kedua gadis lain mengikuti irama kawannya.

Muka Po-giok menjadi merah, sebaliknya Siaukongcu lantas mendengus perlahan, "Itu dia, orang telah penujuimu, seharusnya kau pun berpantun, kenapa diam saja?!"

Diam-diam Po-giok mengomel, dalam keadaan begini toh si nona masih juga cemburu. Ia tidak tahu bahwa bilamana kaum gadis sudah cemburu maka tidak ada soal kapan dan di mana pun.

Semula Po-giok mengira setiba di Thian-hiang-teh-lim ini tentu akan dihadapinya macam-macam rintangan dan jebakan, yang akan ditemui tentu juga kawanan orang jahat, untuk itu ia sudah siap menghadapinya dengan cara apa pun. Siapa tahu di tengah perkebunan teh ini justru penuh suasana riang gembira, yang ditemuinya juga tiga orang anak gadis yang lincah dan banyak tawa, tanpa menggunakan senjata, tapi menggodanya dengan nyanyi dan berpantun.

Dalam keadaan demikian, Po-giok berbalik melenggong dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Kembali Siaukongcu mendengus, katanya, "Coba, melihat anak perempuan, seketika kau terkesima. Pantasan orang menyebutmu si Dungu."

Habis berkata, mendadak ia bertolak pinggang dan juga berdendang dengan lantang, "Wahai kawanan gadis kebun teh yang tidak tahu malu, bila bertemu lelaki lantas main pantun. Kedatangan kami adalah untuk memenuhi janji Tiocu (kepala kebun) kalian, harap lekas pulang memberi lapor kepada juragan kalian ...."

Kawanan gadis baju ungu itu saling pandang sekejap, lalu seorang menanggapi, "Wah, nona ini cantik lagi genit, mulut pun tajam sukar dilawan. Jika kalian datang atas undangan Tiocu, adakah kau bawa kartu undangan?"

Supaya uraian tidak bertele-tele, Po-giok lantas menyerahkan sampul pancawarna dan berseru, "Ini kartu undangannya."

Melihat sampul berwarna-warni itu, kawanan gadis tadi tidak menyanyi lagi, serentak mereka menghilang lagi ke balik pepohonan.

"Huh, tidak tahu malu!" jengek Siaukongcu.

Po-giok menghela napas, katanya, "Tempat ini tampaknya aman, namun bahaya yang tersembunyi mungkin sukar dibayangkan. Bilamana kita tertipu oleh nyanyian kawanan gadis tadi sehingga kurang waspada, maka segalanya bisa runyam."

"Asal kau tahu saja," kata Siaukongcu.

Pada saat itulah tiba-tiba tujuh-delapan gadis berbaju ungu muncul lagi mengiringi seorang nyonya cantik setengah umur dengan dandanan perlente.

Belum mendekat bau harum mereka sudah menusuk hidung disusul suara tertawa merdu mereka.

Nyonya cantik itu melangkah dengan pinggul yang meliuk-liuk sehingga menimbulkan bunyi nyaring perhiasan yang dipakainya, katanya dengan tertawa, "Atas kunjungan Pui-siauhiap sungguh suatu kehormatan besar bagi perkebunan teh ini, bilamana tidak ada sambutan yang layak, harap Pui-siauhiap suka memaafkan."

Po-giok tidak berani mengadu pandang dengan nyonya yang genit dan menggiurkan itu, katanya dengan menunduk, "Kumohon bertemu dengan Tonghong-tiocu ...."

"Aku Tonghong Giok-koan, akulah tiocu perkebunan teh yang kecil ini," tukas si nyonya cantik dengan tertawa.

Po-giok melengak, sebelumnya ia membayangkan bilamana Tonghong-tiocu ini kalau bukan manusia berwajah bengis tentu juga orang yang penuh kelicikan. Siapa tahu "Tonghong-tiocu" ini justru sedemikian cantik, genit, seorang perempuan yang pasti akan menjadi sasaran perebutan kaum lelaki.

Akhirnya Po-giok dipersilakan masuk ke kompleks perumahan yang dibangun di lereng bukit dengan indahnya. Di situ sudah disiapkan perjamuan seperti sebelumnya memang sudah diperhitungkan akan kedatangan Po-giok pada waktu yang tepat. Siaukongcu tampak mendongkol dan diam saja.

Po-giok berdehem, lalu berkata, "Kudatang sesuai kartu undangan, entah ...."

Tiba-tiba Tonghong Giok-koan memotong, "Pui-siauhiap muda dan cakap, entah mengapa kaum gadis mau membiarkanmu datang kemari begitu saja, apa barangkali anak gadis zaman ini telah berubah menjadi bodoh semua?"

Muka Po-giok berubah merah, katanya pula, "Tentang Ngo-hing-mo-kiong itu ...."

Dengan tertawa Tonghong Giok-koan memotong pula, "Pui-siauhiap sedemikian menarik, pantas kawanan gadis sama berebut sesuatu tanda mata darimu. Jika aku masih muda, pasti aku juga akan tergila-gila padamu."

Sembari bicara ia pun menuangkan arak dan menyilakan Po-giok bersantap, nyata ia sama sekali tidak memberi kesempatan bicara kepada anak muda itu, terutama tentang Ngo-hingmo-kiong segala.

Po-giok tidak tahan lagi, dengan suara lantang ia berteriak, "Dia keracunan dan cara bagaimana harus menyelamatkannya? Aku diharuskan datang ke sini, lantas apa kehendakmu?"

Tonghong Giok-koan tersenyum, jawabnya, "Dari mana kau tahu dia keracunan?"

"Aku ... aku ...." Po-giok gelagapan.

"Seharusnya kau bawa dia ke tempat lain dulu, buktikan apakah dia benar keracunan tidak?" ujar Tonghong Giok-koan dengan kerlingan. "Bukan mustahil di tempat lain akan dapat ditemukan cara menolongnya, mana boleh langsung kau bawa dia ke sini?"

Butiran keringat menghias kening Po-giok, jawabnya, "Kukhawatir terlambat memberi pertolongan padanya dan akan menyesal selamanya, maka aku tidak ... tidak berani bertindak lain."

"Hihi, orang pintar seperti dirimu, mungkin karena kau terlampau memerhatikan dia, maka berubah menjadi linglung," ujar Tonghong Giok-koan dengan tertawa.

Mendadak Po-giok berdiri dan berteriak, "Melihat caramu bicara, jangan-jangan dia tidak ... tidak pernah keracunan, sampul surat itu hanya tipuan belaka untuk memancingku membawanya kemari? Bukankah ini sama dengan kumasukkan dia ke mulut harimau? Akulah yang membikin celaka dia ...."

Sampai akhirnya suaranya menjadi gemetar dan hampir sukar diucapkan.

Tonghong Giok-koan meliriknya tanpa menjawab melainkan tertawa terkial-kial bagai tangkai bunga tertiup angin.

Sebaliknya Po-giok mandi keringat dan berteriak parau, "Dia ... dia sesungguhnya keracunan tidak?"

"Dia? .... Dia siapa?" tanya Tonghong Giok-koan mendadak dan berhenti tertawa.

"Dia adalah ...." serentak Po-giok putar tubuh dan menuding ke belakang, tapi suaranya lantas terputus dan darah serasa membeku, sebab di belakangnya ternyata kosong melompong, mana ada bayangan orang?

Ternyata Siaukongcu yang berada di belakangnya tadi kini telah lenyap secara misterius. Sungguh serupa mimpi buruk saja, mimpi buruk yang menakutkan.

"Ke mana perginya?" bentak Po-giok. "Kalian menculiknya ke mana lagi?"

Tonghong Giok-koan menjawab dengan bingung, "Siapa yang kau maksudkan? Di sini kecuali kau dan aku, mana ada orang ketiga?"

Po-giok memandang sekelilingnya, di dalam ruangan memang tidak ada orang lain, yang ada cuma asap dupa wangi yang masih mengepul dan menyebarkan bau harum yang aneh dan penuh misteri.

"Tapi ... tapi baru saja ...." suara Po-giok gemetar.

"Jelas tadi kau datang sendirian," ujar Tonghong Giok-koan. "Coba kau lihat, di atas meja hanya ada dua buah cangkir, apakah baru saja kau mimpi bertemu dengan siapa?"

Waktu Po-giok memeriksa ruang ini, di sini hanya ada sebuah pintu dan jelas tidak pernah ada orang keluar-masuk, sama sekali ia pun tidak mendengar sesuatu suara.

Seketika benaknya serasa kosong, "bluk", ia menjatuhkan diri di atas kursi dan bergumam, "Jika ia pergi sendiri, mengapa aku tidak diberi tahu? Jika ia diculik orang, mengapa tidak terbit sesuatu suara? .... Mengapa dia ...."

Begitulah ia berpikir pergi-datang, makin dipikir makin kacau, sampai akhirnya dalam benak seperti ada sesuatu berputar dengan cepat dan akhirnya ia mendekap kepalanya di atas meja.

Tangan Tonghong Giok-koan yang halus perlahan memegang pundak anak muda itu dan dibelai dan dihibur dengan kata mesra merayu. Akan tetapi sorot matanya justru berubah dingin dan mengawasi ujung jari sendiri.

Apakah kiranya yang dipikirkan perempuan ini, apakah ia sedang berpikir asalkan ujung jari sendiri menusuk sedikit saja akan menamatkan nyawa Po-giok? Dan mengapa dia tidak segera turun tangan?

Ia tidak tahu bahwa anak muda yang tidak bergerak itu sebenarnya penuh diliputi kekuatan tak kelihatan yang tergembleng sehingga sedikit diserang dari luar segera akan memancarkan daya serang balasan yang dahsyat.

Cuma mungkin Tonghong Giok-koan memang tidak bermaksud membikin celaka Po-giok, dengan sendirinya tidak turun tangan.

Di tengah bau harum yang memenuhi seluruh ruangan itu mendadak Po-giok mendongak dan menampilkan senyuman hambar, katanya, "Ya, betul, memang kudatang sendirian."

"Eh, rupanya baru sekarang kau ingat," ujar Tonghong Giok-koan dengan tersenyum.

"Tapi aku tidak ingat urusan lain lagi, mengapa aku bisa datang kemari? Dalam hal ini tentu ... tentu ada sebabnya kan?"

"Kulihat keadaanmu agak gawat, lelah lahir batin, tampaknya kau perlu istirahat dengan baik-baik supaya rasa tegangmu dapat dikendurkan dan segala urusan tentu akan kau ingat kembali."

Ucapannya lembut, penuh perhatian dan menghibur serupa seorang kekasih yang halus budi dan seperti kasih sayang seorang ibu.

Po-giok mengolet kemalasan dan berkata, "Ya, memang aku perlu istirahat sekarang."

Mendadak Tonghong Giok-koan menepuk tangan, segera serombongan pelayan cilik berlari masuk, semuanya nona manis, jumlah dua-tiga puluh orang. Mereka lantas menyanyi dan menari dengan berbagai gaya yang indah.

Dengan tertawa Tonghong Giok-koan berkata, "Semua ini gadis pemetik teh, mereka pandai memberi atraksi yang menarik, dengan begitu rasa tegangmu pun akan mengendur." Ternyata ia tidak melakukan sesuatu tindakan jahat terhadap Po-giok, sebaliknya malah memberi pelayan dan hiburan yang menarik. Memangnya apa sebabnya?

Akan tetapi Po-giok tidak sangsi sedikit pun, ia tertawa dan mengucapkan terima kasih.

Sementara itu kawanan gadis sudah mulai menari dan menyanyikan lagu yang merdu. Setiap gadis itu sama cantiknya. Po-giok tampak terhibur dan senang, sering ia bertepuk tangan mengikuti irama nyanyi kawanan gadis itu dan terkadang pun bersorak.

Entah sejak kapan baju kawanan gadis itu mulai ditanggalkan sepotong demi sepotong dan akhirnya telanjang bulat, semuanya bertubuh putih bersih, montok menggiurkan menyambarkan gerak-gerik yang memikat dan penuh daya tarik yang sukar dilawan.

Sampai puncaknya, satu per satu kawanan gadis cantik itu bergiliran menjatuhkan diri dalam pangkuan Po-giok, ada yang menyuguhkan arak, ada yang menyuapi makanan, ada yang menciumnya. Semua itu diterima Po-giok tanpa gugup.

Akan tetapi di tengah keasyikan nyanyi dan tari itu, diam-diam Tonghong Giok-koan mengeluyur keluar, seringan burung terbang ia melompat ke atas loteng kecil yang terletak di samping kebun teh sana.

Tiada orang di situ, perlahan ia meraba dinding, mendadak bagian tengah ruangan muncul sebuah lorong panjang dan gelap. Giok-koan berseru, "Ini Giok-koan sudah datang."

Dari lorong berkumandang suara orang yang kaku dan dingin, "Bagaimana keadaannya?"

"Semuanya berjalan lancar," tutur Tonghong Giok-koan. "Tapi kemudian Pui Po-giok itu seperti berlagak bodoh dan juga seperti benar-benar bingung."

"Hm, apakah pernah kau katakan apa-apa padanya?" jengek suara itu.

Tonghong Giok-koan menunduk, jawabnya, "Pui Po-giok itu masih muda belia, akan tetapi ternyata sukar dihadapi. Dia bisa mendadak pintar dan tiba-tiba berlagak bodoh. Terpaksa Tecu pura-pura tidak tahu .... Dan yang paling sukar diraba adalah saat ini dia tidak bicara sesuatu apa pun, seperti benar-benar terjebak oleh Bi-hun-tin (barisan penyesat sukma) kita."

Ia menghela napas perlahan, lalu menyambung, "Betapa tinggi ilmu silat Pui Po-giok belum jelas diketahui, hanya caranya sebentar bodoh sebentar pintar ini sudah terang jarang ditiru orang biasa."

"Jika dia orang biasa, buat apa kita bersusah payah mencari akal untuk menghadapi dia?" jengek orang itu. "Sekarang lekas kau kembali ke sana untuk mengerjai dia."

Tonghong Giok-koan mengiakan dengan hormat, segera ia melompat mundur. Dinding itu merapat dan lukisan pemandangan yang besar yang tergulung ke atas menurun lagi, hanya sekejap saja ruangan itu telah pulih kembali seperti semula tanpa menerbitkan suara, jelas ruang yang penuh pesawat rahasia ini dirancang oleh seorang ahli yang sukar dicari.

Sementara itu baju Po-giok hampir terbuka seluruhnya, rambut juga terlepas, wajah kawanan gadis sama merah dan tertawa cekikak-cekikik, di lantai penuh berserakan baju.

Tonghong Giok-koan menyelinap masuk di luar tahu orang, serunya, "Wah, anak-anak suka bikin kacau, hendaknya Pui-siauhiap jangan marah."

"Marah?" Po-giok tertawa. "Berada di tengah gadis-gadis cantik begini, masakah aku sampai hati marah? Terus terang, aku justru merasa sangat senang dan bahagia."

Tonghong Giok-koan mengerling genit, ucapnya dengan tertawa, "Tampaknya anak-anak ini sudah menyukai Pui-siauhiap, sekiranya Pui-siauhiap menghendaki dilayani siapa saja di antara mereka, cukup memberi pesan ...."

Po-giok menatap Tonghong Giok-koan dengan terkesima, katanya, "Kecantikan anak gadis ini mana dapat dibandingkan gaya Hujin (nyonya) yang masak, kukira hanya Hujin ...."

Ia tersenyum dan tidak melanjutkan, muka Tonghong Giok-koan menjadi merah, sedangkan kawanan gadis sambil tertawa, ada yang berkata, "Aha, kiranya Pui-siauhiap penujui Hujin sendiri."

Mendadak dua gadis mendorong Tonghong Giok-koan ke arah Po-giok, dan anak muda itu terus saja merangkulnya dengan erat.

Entah malu atau memang hatinya juga tergelitik, mendadak wajah Tonghong Giok-koan merah jengah, ingin menolak, tapi urung ....

Sekonyong-konyong air mukanya berubah pucat, belum lagi sempat bersuara, tahu-tahu ia jatuh terkulai dan Po-giok pun lepaskan tangannya.

Keruan kawanan gadis sama kaget dan berteriak, "Hai, Hujin di ... diapakan olehmu?"

"Tidak apa-apa, agaknya kalian juga perlu tidur saja," ujar Po-giok dengan tersenyum sambil berdiri.

Baru selesai ucapannya, benar juga kawanan gadis itu satu per satu juga roboh terkapar, robohnya susul-menyusul dan hampir berbarengan.

Apakah mereka terbius? Memangnya orang macam apa Pui Po-giok, masa dia juga pakai obat bius segala? Tapi kalau bukan obat bius, apakah dia mahir ilmu sihir?

Pada detik terakhir ketika akan roboh, setiap gadis itu menampilkan rasa kejut dan bingung serta tidak percaya kepada apa yang terjadi, siapa pun tidak tahu mengapa mendadak bisa roboh.

Mereka tidak tahu bahwa tadi di luar tahu mereka diam-diam Po-giok telah meremas hiat-to tidur mereka. Kepandaian "meremas hiat-to" ini serupa dengan ilmu menutuk, mengebut hiatto dan sebagainya. Bila kungfu meremas hiat-to sudah mencapai puncaknya, waktu robohnya sasaran dapat ditentukan menurut keras-perlahan remasannya. Dengan sendirinya untuk menguasai kungfu meremas hiat-to dengan baik diperlukan lwekang yang tinggi dan perhitungan yang tepat.

Dalam hal ini Po-giok memang sudah menguasai dengan baik, ia dapat mengerahkan tenaga menurut kehendaknya. Tadi ia telah meremas hiat-to setiap gadis itu dengan tenaga yang sedikit dengan perhitungan waktu roboh mereka yang hampir berbareng setelah lewat sekian lama.

Begitulah dalam ruangan indah ini sekarang menggeletak berpuluh sosok tubuh yang menggiurkan, kulit badan putih halus, bagian dada yang montok, siapa pasti akan tertarik. Akan tetapi Po-giok justru tidak memandang mereka lagi, cepat ia mendekati dinding.

Perlahan ia meraba dinding itu, dengan cermat ia menjajaki rahasia yang terdapat pada dinding itu.

Dengan mata telanjang sukar menemukan rahasia pada dinding itu, akan tetapi perasaan Po-giok ternyata dalam menyentuh kunci rahasia dinding. Di mana jarinya berhenti dan menekan perlahan, dinding yang semula halus licin itu mendadak merekah tanpa menerbitkan suara.

Namun Po-giok tidak heran oleh apa yang terjadi, sebab hal ini memang sudah berada dalam dugaannya. Tanpa gentar ia terus masuk ke balik dinding sana yang pasti penuh rahasia dan bahaya.

Ruangan ini ternyata jauh lebih indah dan mewah daripada ruang di depan, di mana-mana terdapat benda antik, seluruh ruangan hampir dihias dengan batu permata. Lantainya beralas permadani dari kulit binatang.

Silau juga pandangan Po-giok melihat kemewahan ruangan ini seakan-akan berada di surgaloka. Akan tetapi penghuni di sini pasti bukan malaikat dewata melainkan setan iblis.

Po-giok menarik napas panjang dan melangkah maju. Langkah yang mantap tanpa gentar. Ia maju terus menyusur lorong yang panjang itu. Pada ujung lorong itu ternyata tidak ada pintu. Baru saja Po-giok hendak meraba lagi di mana letak pesawat rahasianya, tahu-tahu pintu sudah muncul sebelum tangannya bergerak.

Lalu berdering suara nyaring serupa bunyi kelening, dinding batu telah terbentang lagi dan terlihat tirai mutiara.

Pada saat itulah terdengar suara merdu menggetar sukma menyapanya, "Kau sudah datang? Silakan masuk!"

Po-giok terkejut dan heran, ia pikir apakah orang sudah tahu akan kedatangannya. Lalu apa yang akan diperbuat mereka terhadapku?

Tanpa pikir ia menyingkap tirai dan masuk ke sana. Ruangan di balik tirai tentu saja terlebih indah, namun tetap tidak terlihat bayangan orang.

Di dalam ruangan itu ada sebuah meja, di atas meja ada sebuah pot kemala dengan hiasan beberapa tangkai bunga. Begitu melihat bunga, pandangan Po-giok tidak berpindah lagi ke arah lain.

Meski bunga kamelia yang menghias pot itu cuma terdiri dari beberapa tangkai, namun sudah cukup membuat ruangan batu bertambah indah dan menarik. Tanpa terasa ia bergumam, "Di dunia ini, selain dia, siapa lagi yang sanggup merangkai bunga sebagus ini?"

Belum lagi lenyap suaranya, sekonyong-konyong lantai di mana ia berpijak terbuka, tanpa kuasa Po-giok terjeblos ke bawah.

Jika pada hari-hari biasa, asal terjadi sedikit kelainan pada lantai, seketika pasti akan diketahui oleh Po-giok dan segera akan dapat dihindari tempat bahaya itu.

Tapi sekarang Po-giok sedang memandang bunga dan lagi terkenang kepada si perangkai bunga, hatinya terguncang dan pikiran melayang sehingga sama sekali tidak dirasakan adanya kelainan lantai yang diinjaknya itu.

Mungkin kawanan iblis yang misterius ini memang sudah memperhitungkan kemungkinan Po-giok akan termenung bilamana melihat bunga kamelia itu, maka tipu muslihat ini sengaja diaturnya dengan baik.

Tapi apakah benar karangan bunga ini adalah buah tangan Siaukongcu? Jika benar, apakah dirangkai olehnya secara sukarela dan karena dipaksa?

Jika sukarela, pada waktu merangkai bunga ini apakah Siaukongcu tidak tahu tujuannya adalah untuk menjebak Po-giok? Bila dipaksa, tampaknya karangan bunga itu dirangkai oleh orang yang berpikiran tenang dan santai. Kalau tidak, mana mungkin menghasilkan karangan bunga yang memesona itu.

Dalam keadaan biasa, sebenarnya perangkap begitu juga belum pasti dapat mengurung Pogiok, mestinya dia mampu melejit dan melepaskan diri dari jebakan itu. Tapi sekarang lubang jebakan itu ternyata mengandung semacam daya isap yang amat kuat sehingga Po-giok tertarik ke bawah tanpa mampu melawan.

Pada saat itu juga didengarnya suara gemerciknya air, pada detik lain tubuhnya lantas tenggelam ke bawah dan daya isap yang aneh itu pun lantas lenyap. Lubang lantai di atas juga sudah merapat kembali sehingga keadaan gelap gulita dan sunyi senyap serupa kuburan. Genangan air di lubang ini ternyata hampir tiga kaki dalamnya.

Setengah badan Po-giok seluruhnya terendam air, ia coba menarik napas panjang, segera pula ia dapat menerka rahasia timbulnya daya isap yang kuat itu.

Rupanya air dalam sumur ini semula lebih banyak daripada sekarang ini, di dasar sumur tentu ada lubang buangan dan air genangan merembes keluar melalui lubang itu.

Pada waktu air mengucur keluar tentu akan menimbulkan semacam daya isap. Tapi ketika Po-giok jatuh ke dalam sumur ini, diam-diam lubang buangan air itu segera ditutup orang, kalau tidak Po-giok tentu akan hanyut terbawa arus.

Dari sini dapat diduga musuh yang tidak kelihatan itu tidak berniat menghabisi jiwa Po-giok. Ia biarkan anak muda itu tetap hidup, tentu karena dia masih mempunyai rencana yang lebih mendalam dan lebih keji. Tapi sesungguhnya apa tujuannya?

Kembali Po-giok menarik napas panjang-panjang, ia coba memeriksa dinding sekeliling, ternyata semuanya buatan baja dan tidak mungkin dapat dibobol dengan tenaga manusia, sedangkan bagian atas berjarak lebih 20 tombak tingginya dari permukaan air.

Tiba-tiba terdengar suara misterius berkumandang dari atas, "Pui Po-giok, kau memang manusia luar biasa, tapi akhirnya kau pun terjebak oleh perangkapku yang luar biasa ini."

"Siapa itu? Sesungguhnya apa yang kau inginkan? Mengapa tidak langsung bicara terus terang saja padaku?" sahut Po-giok. "Apakah boleh per ... perlihatkan wajahmu padaku?"

"Tidaklah sulit jika kau ingin bertemu dengan aku," kata orang itu. "Cuma ...."

Ia sengaja berhenti bicara. Siapa tahu Po-giok berdiri dengan tenang dan menunggu dengan sabar tanpa menegas.

Terpaksa suara itu menyambung sendiri, "Cuma sekarang kau sudah merupakan tawananku, tentunya kau tidak bebas untuk menemuiku begitu saja terkecuali kau mampu meloloskan diri dari perangkap ini, kalau tidak, boleh kau tunggu dulu beberapa hari lagi."

Ia tertawa terkekeh-kekeh, lalu berkata pula, "Biarpun kepandaianmu setinggi langit, namun kelaparan dan kehausan selama beberapa hari tentu akan membuatmu kehabisan tenaga, tatkala mana baru akan kukeluarkan dirimu dan akan kujelaskan duduknya perkara, dan apa yang kusuruh dikerjakan olehmu terpaksa harus kau turut."

Habis berkata, ia tertawa senang, namun sama sekali tidak ada reaksi lagi dari dalam sumur perangkap itu.

"Apa yang kukatakan sudah kau dengar tidak?" tanya orang itu, "apakah kau ...."

Mendadak ia merasa ada bunyi air lagi di dalam sumur itu, menyusul ada cahaya yang amat kuat menyorot ke dalam sumur. Ternyata air dalam sumur lantas menyurut lagi dengan cepat dan Po-giok yang terendam dalam air sudah tak terlihat lagi bayangannya. Nyata anak muda itu telah berhasil membuka lubang buangan air di dasar sumur dan ia ikut terhanyut oleh arus yang kuat.

Meski ia tidak tahu dirinya akan terhanyut ke mana, tapi demi mendapatkan kebebasan, ia tidak sayang bertaruh dengan nyawa sendiri.

Menghadapi keadaan demikian, biarpun terkejut dan mendongkol, mau tak mau iblis di atas sumur itu harus kagum juga, gerutunya, "Kurang ajar! Hebat juga. Rasanya jauh lebih sulit daripada apa yang kita bayangkan bilamana kita hendak menundukkan orang seperti ini. Kukira lebih baik habisi dia saja."

Segera suara seorang yang merdu menjawab, "Orang yang sukar dicari seperti dia mana boleh dibiarkan mati begitu saja. Jika menghendaki kematiannya tentu tidak perlu kutunggu sampai sekarang ...."

Ia tersenyum, lalu menyambung, "Biar, akan tetap kubiarkan dia hidup. Sekalipun tubuhnya terdiri dari besi juga akan kubikin dia lemas seperti kawat."

*****

Po-giok melingkarkan tubuhnya dan membiarkan hanyut dibawa arus yang kuat, sungguh amat tersiksa tubuh yang diterjang arus dan terbentur kian kemari.

Biarpun badan menderita, namun batinnya seteguh baja, ia yakin arus yang dahsyat itu pasti takkan merenggut nyawanya.

Untung sungai buangan itu sudah licin karena setiap saat digerojok air yang keras, akhirnya semua siksa derita dapat dilalui Po-giok. Terdengar suara mendebur, arus yang kuat itu mendadak lenyap, tahu-tahu tubuhnya tercebur ke suatu kolam yang tenang. Waktu kepalanya menongol ke permukaan air, segera ia menarik napas panjang-panjang.

Ia coba memandang sekelilingnya, terlihat di sekitar situ banyak pagar bambu yang terawat dengan tetumbuhan yang permai menghiasi deretan gunung-gunungan palsu, beberapa bangunan tampak berdiri megah di sana. Jelas inilah sebuah perumahan yang indah.

Di dalam taman tidak ada orang, kolam ini terletak di tengah taman. Perlahan Po-giok berenang ke tepi kolam dan merambat ke tepian. Setelah mengaso sejenak, segera ia lompat ke atas gunung-gunungan. Dari sini ia mengintip ke sana.

Dilihatnya di sebelah barat sana ada beberapa paviliun indah, terdengar suara orang perempuan yang sedang bicara dan tertawa.

Dengan ringan Po-giok melayang ke depan rumah dan mendadak ia mendorong pintu terus menerobos ke dalam. Ia tahu jejak sendiri pasti akan ketahuan, lalu buat apa main sembunyi, kan lebih baik masuk saja terang-terangan.

Ruangan yang indah dengan meja hias itu dikerumuni beberapa gadis jelita, mereka asyik menyisir rambut dan bersolek. Mereka seperti kawanan gadis pemetik teh yang pernah dirobohkan Po-giok dengan meremas hiat-to mereka itu.

Ketika mendadak melihat Po-giok menerobos masuk dalam keadaan basah kuyup, mereka menjerit kaget dan berlari serabutan, hanya sekejap saja mereka sudah menghilang di balik tabir sana. Hanya tertinggal seorang gadis jelita berbaju putih yang masih duduk menghadapi sebuah cermin perunggu yang paling besar di sebelah kiri sana, seorang nyonya setengah baya dan berbaju mentereng sedang menyisir rambutnya. Perunggu yang mengilap itu memantulkan bayangan wajahnya yang cantik. Siapa lagi dia kalau bukan Siaukongcu.

Hanya setengah badan nyonya berbaju mentereng itu terbayang dalam cermin, wajahnya tidak kelihatan. Ketika diketahui ada lelaki timbul dalam bayangan cermin, mendadak sisir kayu yang dipegangnya terjatuh, cepat ia pun lari masuk ke balik tabir.

Dari perawakan dan sedikit raut wajah yang sekilas terbayang dalam cermin, Po-giok merasa seperti sudah mengenalnya. Memangnya siapa dia?

Po-giok berdiri termangu di dekat pintu tanpa bergerak. Perlahan Siaukongcu membalik tubuh dan memandangnya dengan tenang. Sejenak kemudian, air mukanya yang cantik dan tenang itu mendadak timbul semacam perasaan heran dan kejut, serunya, "Hah, Po-ji ... kau Po-ji!"

"Betul, apakah tidak kau kenal diriku lagi?" ujar Po-giok.

"Sudah lebih enam tahun kita berpisah, engkau sudah ... sudah bertambah besar, aku hampir tidak ... tidak kenal lagi padamu."

Suara Siaukongcu terasa gemetar, ia berdiri, tubuh juga tampak gemetar sehingga rambutnya yang panjang indah ikut bergetar.

"Kau bilang sudah lebih enam tahun tidak bertemu denganku?" Po-giok menegas.

"Ya, sudah lebih enam tahun," jawab Siaukongcu.

"Semalam juga engkau tidak bertemu denganku?"

Siaukongcu menunduk, tiba-tiba ia tersenyum pedih dan menjawab lirih, "Ya, semalam memang kulihat dirimu ... kulihat dalam mimpi. Hampir setiap malam aku mimpi bertemu denganmu."

Mendadak ia berlari ke depan Po-giok dengan napas memburu, dada naik-turun, seperti menahan perasaannya yang terguncang, akhirnya ia merangkul anak muda itu dan menangis tersedu sedan.

Po-giok hanya berdiri diam saja seperti patung.

"Mengapa engkau bisa datang ke sini?" tanya Siaukongcu. "Ayolah katakan, mengapa diam saja?"

Tangan Po-giok tampak bergerak, seperti hendak membelai rambut si nona, tapi baru terangkat lantas diturunkan kembali, ucapnya perlahan, "Apa yang dapat kukatakan?"

"Ceritakan pengalamanmu selama ini?" ujar Siaukongcu. "Katakan ... apakah pernah kau pikirkan diriku."

"Aku baik-baik saja, selalu kupikirkan dirimu, semalam dalam mimpi juga kulihat dirimu, aku ... aku ...."

Tiba-tiba di luar ada suara langkah orang.

"Celaka!" keluh Siaukongcu. "Ada orang datang, di sini bukan tempat yang aman ...."

Cepat ia tarik Po-giok dan berlari ke balik tabir sembari berkata dengan khawatir, "Lekas ikut kemari, jangan sampai mereka membikin susah padamu."

Dengan kaku Po-giok ikut masuk ke sana, setelah menerobos dua ruangan barulah Siaukongcu berhenti, lalu membalik dan merapatkan pintu kamar. Keindahan kamar ini jauh melebihi ruang yang lain, bau harum tersebar memenuhi ruangan.

Kelambu warna jambon, begitu pula sarung bantalnya dan selimutnya, semuanya serbajambon. Po-giok memandang sekeliling ruangan dengan melongo.

"Inilah kamarku," bisik Siaukongcu dengan muka merah, ia menuangkan secangkir teh dan disodorkan kepada Po-giok.

Perlahan Po-giok menerima cangkir teh itu dan memandang Siaukongcu lekat-lekat sampai lama sekali, sorot matanya yang tajam seakan-akan ingin menembus hati si nona. Siaukongcu juga memandangnya dengan tenang, kerlingan matanya yang hampa dan sesal seakan-akan hendak berkata, "Mengapa tidak kau minum teh yang kusuguh? Jika kubawa dirimu ke kamarku, masakah engkau tidak lagi paham perasaanku?"

Akhirnya Po-giok minum habis juga teh diberikan Siaukongcu itu. Si nona mendekapnya hingga lama, kemudian menyurut mundur perlahan namun pandangan Siaukongcu masih melekat pada wajah Po-giok, kerlingan yang penuh arti.

Po-giok juga menatapnya dengan termangu, sorot matanya serasa agak kabur, perlahan ia pun menyurut mundur, satu langkah, dua langkah, tiga langkah ... dan akhirnya ia jatuh duduk di tempat tidur.

"Apakah engkau lelah? Ingin istirahat dulu?" kata Siaukongcu dengan berkedip.

Tersembul senyuman Po-giok, senyuman yang penuh pedih, duka, dan juga mengejek terhadap sikap manusia yang sukar diduga, katanya perlahan, "Ya, aku ingin istirahat, tapi ... tapi bukan lantaran lelah melainkan karena ... karena ...."

Ia tidak melanjutkan, pandangannya beralih kepada cangkir teh yang kosong itu.

"Apa maksudmu, sungguh aku tidak paham?" ujar Siaukongcu.

"Benar tidak paham? ...." Po-giok tertawa terlebih pedih, sikapnya juga tambah letih, tambah kabur sinar matanya, ia meronta dan membusungkan dada, sambungnya muram, "Di dalam teh ini ada obat tidur, memangnya kau kira aku tidak tahu?"

Siaukongcu seperti terperanjat dan juga mendongkol, teriaknya, "Ada obat tidur dalam teh? ....

Jika kau tahu di dalam teh ada racun, mengapa tetap kau minum?"

"Biarpun jelas kutahu kau bicara bohong tetap akan kupercaya," kata Po-giok. "Sekalipun kutahu kau dusta padaku juga aku tidak menyesal padamu. Karena kau minta kuminum, biarpun dalam teh ditaruh racun paling jahat pun tetap kuminum."

"Ai, apa yang kau katakan, sama sekali aku tidak mengerti," kata Siaukongcu.

"Tidak mengerti, katamu?" Po-giok menegas. "Siapa yang menyisir rambutmu tadi juga sudah kulihat."

"Dia siapa? Coba katakan, siapa dia?"

"Dia kan Cu-ji, yaitu Auyang Cu yang telah membikin susah padaku itu."

Siaukongcu membetulkan rambutnya dan tidak bersuara.

"Sebenarnya aku merasa heran, Cu-ji, paman Li dan lain-lain mana bisa menipuku? Siapa di dunia ini yang dapat menyuruh mereka menipuku? Baru sekarang kutahu, di dunia ini memang ada orang yang dapat memerintah mereka menipuku, apa pun yang dikatakan orang itu sukar dilawan oleh mereka. Dan orang itu tak-lain-tak-bukan ialah ... ialah dirimu!"

Siaukongcu seperti mau bicara apa-apa, tapi urung.

Maka Po-giok menyambung, "Sebenarnya aku pun heran, mengapa ke mana pun kupergi selalu orang dari istana iblis itu selalu dapat menguntit jejakku? Mengapa setiap gerak-gerik kita seperti dapat diketahui lebih dulu oleh mereka .... Baru sekarang kutahu bahwa mereka memang sudah lebih dulu sembunyi di situ, aku sendirilah yang datang ke sana dan bukannya dikuntit mereka. Dan tempat-tempat itu justru kudatangi atas ajakanmu. Setiba di makam itu juga kau sendiri yang lari ke atas makam untuk ditawan orang itu. Kalau tidak, dengan kungfumu saat ini, siapa di dunia ini yang mampu mengatasimu?"

Makin bicara makin lemah, habis bicara, napas pun menggeh-menggeh serupa habis bertempur sengit.

Siaukongcu masih membetulkan rambutnya yang indah itu dengan tenang. Akhirnya ia bicara dengan lirih, "Apa yang kau katakan itu apakah benar timbul dari lubuk hatimu?"

"Ya, setiap kataku semuanya timbul dari lubuk hatiku sendiri."

"Dan hatimu sendiri percaya kepada apa yang kau katakan?"

"Aku lebih suka tidak percaya, tapi juga tidak dapat tidak percaya."

Mendadak Siaukongcu tertawa dingin, tertawa ejek, namun juga rada pedih. "Hm, alangkah pintarnya. Alangkah percaya pada diri sendiri. Tapi ... tapi cara bagaimana kau berani memastikan apa yang kau pikir itu adalah kejadian yang sebenarnya?"

Po-giok menghela napas panjang, meski tidak bicara, namun sudah merupakan jawaban yang positif.

"Mengapa tidak kau pikirkan, apa yang terjadi itu apakah tidak ada kemungkinan lain?"

"Kemungkinan lain apa?" tanya Po-giok.

Sorot mata Siaukongcu berubah tajam, katanya, "Apakah tidak mungkin orang lain menyamar sebagai diriku? Bukankah orang lain pun dapat memalsukan diriku untuk melakukan sesuatu .... Kenapa hal-hal ini tidak kau pikirkan, tapi aku lantas kau salahkan ...."

"Aku tidak menyalahkanmu, kutahu sesuatu perbuatanmu pasti dilakukan karena terpaksa, aku bersimpati padamu dan tidak menyesalimu."

"Bicara sekian lamanya, ternyata kau tetap tidak percaya padaku, sungguh aku ... aku benci padamu ...." mendadak Siaukongcu melangkah maju dan menggampar muka Po-giok sekerasnya.

"Kau ...." Po-giok berdiri sambil memegang mukanya.

"Kubenci padamu," teriak Siaukongcu sambil mengentak kaki. "Seterusnya tak mau lagi kulihat dirimu."

Air matanya bercucuran dan segera ia mendekap mukanya terus berlari pergi.

Po-giok memandangi bayangan orang dengan termangu-mangu. Setiap gerak-gerik nona itu, tutur katanya, seperti sungguh seperti pura-pura, begitu pula cintanya kepada Po-giok juga sukar dibedakan serius atau palsu? Apakah benar semua ini bukan sengaja dilakukan oleh kehendak Siaukongcu sendiri?

Memangnya Siaukongcu yang membawa Po-giok ke makam kuno itu benar samaran orang lain?

"Ai, jika benar demikian, kan kusalah paham padanya?" gumam Po-giok. "Tapi kuyakin tidak salah lihat ...."

Begitulah makin dipikir makin bingung. Ia merasa kaki dan tangan tak bertenaga lagi, kepala pun pening. Akhirnya ia jatuh terduduk.

*****

Menghilangnya Pui Po-giok sudah berlangsung beberapa hari. Kejadian ini paling banyak menimbulkan pertengkaran di dunia Kangouw. Nama baik In-bong-tayhiap Ban Cu-liang, Kim Co-lim, dan ketujuh murid utama dari ketujuh aliran besar juga banyak terpengaruh.

Kawanan gadis yang dulu sama tergila-gila kepada Po-giok sekarang justru paling keras mencaci maki anak muda itu. Bilamana pemuda pujaan kaum gadis mendadak berubah menjadi orang yang rendah, rasa kecewa mereka dengan sendirinya sangat mudah berubah menjadi gusar dan benci.

Jilid 17. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Meski Ban-Cu-liang dan lain-lain sama yakin Po-giok pasti bukan pengecut, juga pasti bukan pendusta, namun dari berbagai gejala yang terlihat sama menandakan Po-giok seakan-akan sengaja menghilang tanpa pamit. Mereka tidak habis mengerti mengapa Po-giok menghilang begitu saja tanpa memberi kabar. Meski mereka yakin perbuatan Po-giok tentu ada alasan yang sukar dijelaskan, tapi tidak ada seorang pun menyangka anak muda itu telah terjeblos ke dalam jaringan tipu muslihat musuh yang rapi dan ruwet seperti jaring labah-labah dan anak muda itu sendiri tersiksa lahir batin.

Sebab itulah, sedikit banyak timbul juga rasa tidak puas mereka terhadap Po-giok karena anak muda itu telah mengecewakan harapan mereka.

Hanya Bwe-Kiam saja yang bersikap diam, sama sekali ia tidak memberi komentar, juga tidak mengeluh.

Setelah kejadian itu, pertemuan Thay-san semakin ditingkatkan, para jago muda yang ingin ambil bagian dalam pertandingan itu juga tambah semangat setelah menghilangnya Pui-Pogiok.

Terutama gelar "jago nomor satu di dunia" tentu merupakan daya tarik besar bagi mereka.

Tampaknya pertarungan sengit dan banjir darah pasti sukar dihindarkan lagi. Dan orang yang berhasil memperoleh kemenangan tampaknya juga belum tentu dapat mencapai puncaknya dengan melangkahi mayat-mayat lawannya, sebab orang yang menang nanti masih harus menghadapi si jago pedang baju putih dari lautan timur itu, imbalan yang akan diperolehnya bukan lagi ketenaran yang memuncak melainkan ujung pedang si baju putih yang tajam. Siapa kiranya yang akan keluar sebagai juara nanti?

*****

"Bencana! ... Petaka! ... Bencana!" demikian berulang-ulang Ban-Cu-liang yang duduk tepekur itu bergumam dengan menghela napas panjang.

"Ya, harus aku pergi mencari mereka," teriak Kim-Put-we mendadak sambil menggebrak meja.

Kong-sun-Put-ti memandangnya sekejap dan menegas," Maksudmu hendak mencari Lu-In, IngThi-ih dan lain-lain."

"Betul ingin kutanya mereka sesungguhnya Pui-Po-giok pendusta atau bukan? Sesungguhnya ilmu silat Po-giok itu sejati atau palsu? Jika Po-giok penipu, pengecut, mengapa mereka dikalahkan penipu dan pengecut itu?"

"Betul, harus kita minta kesaksian mereka!" tukas Nyo-Put-loh. "Ayo, pergi, sekarang juga kita pergi."

Mereka tidak tahu bahwa Lu In, Ing-Thi-ih, Hi-Toan-kah dan lain-lain yang pernah bertanding dengan Po-giok itu kini sudah sekian hari meninggalkan rumah masing-masing.

Ke mana perginya mereka, anggota keluarga mereka sendiri tidak ada yang tahu, sebab keberangkatan mereka sangat tergesa-gesa, juga sangat misterius. Tempat tujuan mereka belum tentu sama, hari keberangkatan mereka juga berbeda. Tapi satu hal ada persamaan di antara mereka, yaitu mereka tergesa-gesa berangkat setelah menerima sepucuk surat.

Tidak ada yang tahu apa isi surat misterius itu, juga tidak ada yang tahu siapa pengirim surat itu. Sebab itulah rombongan Ban-Cu-liang hanya berlari kian kemari sia-sia tanpa bertemu dengan orang yang mereka cari.

Saat itu Po-giok lagi duduk di tempat tidur tubuhnya belum lagi rebah. Sedapatnya ia melawan rasa gelap matanya yang ingin terkatup itu dengan keteguhan iman dan kepercayaan diri. Ia menggertak gigi dan bertahan agar kelopak mata tidak terkatup meski rasanya kelopak mata sangat berat.

Ia tahu bilamana kelopak mata merapat, seketika juga ia akan ditelan oleh kegelapan yang tidak ada batasnya dan akan tenggelam selamanya.

Tiba-tiba sesosok bayangan muncul di depannya, meski ia pentang matanya lebar-lebar namun rasanya seperti memandang tapi tidak melihat. Hanya remang-remang diketahui bayangan orang ini mendekatinya dan duduk di depannya, apakah orang perempuan atau lelaki, bajunya berwarna hitam atau putih, bagaimana pula bentuk wajahnya, semuanya tidak jelas baginya.

Terdengar orang itu berkata perlahan, "kamu sudah lelah, perlu mengaso dengan tenang. Maka lebih baik tidur saja ... ayolah tidur saja ... "

Kedengarannya seperti suara orang lelaki. Namun suaranya terasa begitu manis, begitu lembut, sama sekali tidak terpikir oleh Po-giok bahwa di dunia ini ada suara orang lelaki selembut ini.

Suara lembut itu seperti mempunyai kekuatan sihir, biarpun orang sehat pun sukar melawan kekuatan sihir yang aneh ini. Tanpa terasa kelopak mata Po-giok mulai merapat.

Sesungguhnya ini bukan soal tidur dan tidak tidur melainkan pertarungan sengit dari dua kekuatan batin. Musuh Po-giok sekarang bukan hendak mengincar nyawa anak muda itu melainkan cuma ingin meruntuhkan imannya. Pertarungan ini jelas sama sekali berbeda daripada pengalaman Po-giok yang telah lalu.

Kulit mata Po-giok serasa diganduli benda yang berat dan ingin merapat, namun sedapatnya Po-giok mengumpulkan semangat dan tenaga untuk bertahan agar mata tidak terkatup.

Kekuatan batin lawan ternyata sangat hebat, lama-lama Po-giok merasa tenaga habis dan semangat runtuh, tubuh pun mulai gemetar.

"Tidak ... tidurlah, jangan melawan, semakin melawan semakin susah bagimu, jalan terbaik bagimu adalah tidurlah!" ucap orang itu dengan suara terlebih lembut dan tubuh Po-giok pun berguncang terlebih hebat.

"Tidurlah ..." orang itu berkata pula, "sukar bagimu untuk melawan kekuatan obat itu, asalkan tidur, sesudah mendusin segera akan kau rasakan dirimu seperti sudah berubah seorang lain dan menyenangkan sekali ..."

Berdetak jantung Po-Giok, tubuh seperti kena dicambuk sekali, pikirnya, "Berubah menjadi seorang lain? Mana mungkin ... tapi bukankah Siau-kong-cu sudah berubah lain ... Ah, tidak ... aku tidak boleh tidur ..."

Sekuatnya ia menghimpun semangat dan mengingatkan sendiri jangan tidur, betapapun jangan tidur, aku tidak pernah minum obat apa pun, aku harus tetap sadar ... sadar ...

Kelopak matanya yang hampir rapat itu kini terpentang lebar pula, tubuhnya yang gemetar pun berhenti. Inilah semacam pemusatan kekuatan batin sendiri yang aneh, tekad dan semangatnya adalah kekuatan maha besar dan mengalahkan sihir lawan.

Akhirnya dapatlah ia lihat jelas musuhnya. Orang yang duduk di depannya seluruh tubuh memancarkan hawa seram menakutkan. Ia berjubah merah, sinar matanya dingin tajam, bola matanya berwarna ungu tua mendekati merah bara, waktu ia menatap orang, rasanya seperti ada semacam kekuatan gaib yang panas terpancar dari bola matanya. Bola mata yang membakar orang yang dipandangnya dan membuat orang tidak tahan.

Yang terlebih membuat orang tidak tahan adalah wajahnya. Seluruh kepalanya seakan pernah terbakar hangus, mukanya buruk memualkan, penuh bekas luka yang mengerikan.

Namun kedua telapak tangannya justru tampak halus licin, kesepuluh jarinya kelihatan halus lentik, kuku jari terawat baik, kedua tangannya sama sekali tiada cacat, putih mulus bagai batu kemala.

Dengan ujung jari ia raba bekas luka wajah sendiri, wajah yang buruk dengan tangan yang indah, sungguh teramat kontras dan menambah kekuatan gaib yang menggetar sukma.

Waktu Po-giok memandang lebih banyak beberapa kejap, terasa seram dan mengkirik, sungguh sukar dimengerti, makhluk aneh yang serupa iblis ini justru bersuara lembut dan merdu.

Sorot matanya menampilkan rasa kejut dan heran, dengan sendirinya karena Po-giok tidak roboh tertidur sebaliknya pikirannya tetap sadar dan jernih.

Perlahan ia berkata, "Terima kasih atas berkah Thian, engkau ternyata mempunyai ketahanan serupa unta, setangkas elang, secerdik rase, engkau ternyata tetap sadar."

Sedapatnya Po-giok barsikap tenang, katanya "Sedemikian kau puji musuhmu, sungguh aku tidak mengerti. Seharusnya kau benci pada musuhmu mengapa engkau malah memberkati musuhmu?"

"Musuh? Musuhku? Siapa itu?" tanya orang itu, mendadak ia tertawa, sambungnya pula "Musuhku sudah lama mati semua, bila kuanggap dirimu sebagai musuh, masakah kamu dapat hidup sampai sekarang?"

"Jika aku tidak dipandang sebagai musuh mengapa aku dibikin susah seperti ini? Hwe-mo-sin (malaikat iblis api) dari Ngo-heng-kiong memang biasa memperlakukan kawan dengan cara begini?"

"Aha, ternyata dapat kau terka siapa diriku." seru si jubah merah dengan tertawa.

"Betul, bukan saja dapat kuterka siapa dirimu, juga dapat kuterka jalan pikiranmu, sudah dapat kuraba apa maksud tujuanmu caramu memperlakukan diriku ini."

"Oo, apa maksud tujuanku? Coba katakan," kata si jubah merah alias Hwe-mo-sin.

"Pertama, kamu tidak suka usahaku merintangi pertandingan di Thay-san, sebab memang itulah rencanamu untuk membangkitkan banjir darah di dunia kang-ouw, setelah para jago kelas tinggi sama gugur dan habis, lalu kamu dapat mengeduk keuntungan dan menjagoi dunia persilatan."

"Aha, bagus, dugaan yang bagus! Lalu apa lagi?"

"Dengan berbagai tipu akal kau coba menjatuhkan diriku agar aku tidak dapat berpijak di dunia kang-ouw, sebab kamu tidak ingin kuhadapi tokoh baju putih dari lautan timur itu, supaya si baju putih tetap dapat menjadi raja dunia persilatan dengan membunuh setiap penantangnya, dengan begitu akan lebih mudah bagimu untuk maksud tujuanmu."

"Hehe, untuk ini ada sedikit salah terka," kata Hwe-mo-sin.

"Dengan sendirinya, tindakanku ini masih ada maksud sampingan lain, yaitu bilamana aku sudah malu untuk bertemu dengan para ksatria dunia persilatan, maka tiada jalan lain bagiku kecuali menggabungkan diri ke Ngo-hing-mo-kiong"

Ia berhenti sejenak, sekali ini Hwe-mo-sin tidak menyangkal lagi, diam berarti membenarkan.

"Tapi kamu tetap belum tahu jelas betapa kemampuanku yang sesungguhnya, maka sengaja kau gunakan berbagai cara untuk menguji kungfu, kecerdasan dan keteguhan imanku. Jika aku tidak tahan ujianmu dan mati di tangan anak buahmu, bagimu tidak ada ruginya, sebab kalau aku tidak tahan uji berarti juga tidak ada harganya untuk kau peralat."

"Bagus, uraian yang bagus!" kata Hwe-mo-sin dengan tertawa.

"Dan kalau ujianmu dapat menjatuhkan aku, itu berarti aku telah menerima semua persyaratanmu dan pasti akan meminta diriku mengerjakan sesuatu."

"Memangnya urusan apa yang perlu kuminta kau kerjakan?"

"Urusan yang kau minta kukerjakan itu tentu sangat sulit dan bahaya," tutur Po-giok. "Bahkan selain aku mungkin tidak dapat dikerjakan orang lain, sebab itulah dengan segala daya upaya kau jebak diriku."

Tiba-tiba Hwe-mo-sin mengalihkan pandangannya ke tempat lain dan termenung sejenak lalu berkata, "Ya, memang betul, melihat keadaannya sekarang, urusan ini memang cuma dirimu saja yang dapat mengerjakannya."

"Dan dari mana pula kau tahu aku mau bekerja bagimu?" jengek Po-giok.

Mendadak Hwe-mo-sin menatap tajam Po-giok pula, katanya, "Meski kamu mempunyai kekuatan batin yang teguh, tapi kekuatan batin hanya dapat menguasai pikiranmu dan tidak dapat menguasai fisikmu meski saat ini pikiranmu belum lagi runtuh, namun anggota badanmu tetap belum mampu bergerak dan setiap saat dapat kucabut nyawamu."

Po-giok bergumam katanya, "Apakah kau lihat aku ini orang yang mudah manyerah kepada ancaman? Soal mati dan hidup bukan apa-apa bagiku, tentu kau pun tahu tekadku ini."

Hwe-mo-sin terdiam sejenak, tiba-tiba ia tanya, "Berapa umurmu tahun ini?"

Seketika Po-giok tidak tahu apa maksud orang tanya usianya, ia pun terdiam sejenak, akhirnya menjawab, "Sekitar dua puluhan."

"Bagi pandangan orang berumur 20-an, kematian memang sesuatu yang mudah, sebab orang muda kebanyakan tidak tahu betapa berharganya hidup dan betapa dukanya kematian. Bilamana usiamu sudah sebayaku, tentu kamu akan tahu satu-satunya yang paling berharga di dunia ini adalah hidup, di tengah kehidupan masih banyak hal-hal yang indah yang belum pernah kau nikmati, jika sekarang kamu harus mati, apakah kamu tidak berdosa terhadap diri sendiri?"

"Huh, jangan kau coba memancing dan menggoda diriku," ujar Po-giok dengan tersenyum.

"Tidak, tidak ada maksudku hendak memancing dirimu. Tapi ingin kukatakan padamu, asalkan kau mau bekerja bagiku, maka segala kenikmatan dunia yang tidak pernah diperoleh orang lain pasti akan dapat kuberikan padamu, apakah itu kedudukan, nama, perempuan cantik, harta benda ... asalkan kau mau, segala apa pun dapat kau peroleh. Bilamana pada waktu anak-anak pernah kau mimpikan sesuatu, kujamin impianmu itu pasti akan terkabul menjadi kenyataan."

"Maksudku, apa pun yang kuminta pasti dipenuhi? ..."

"Betul."

"Wah, segala apa yang pernah aku dengar selama hidup ini memang tidak ada yang lebih memikat daripada janjimu ini, tapi ..." mendadak Po-giok tertawa, katanya pula, "Tapi, apakah aku ini orang yang mudah kau pancing?"

Kembali Hwe-mo-sin terdiam, katanya kemudian, "Tapi jangan kau lupa, saat ini kamu tidak punya apa-apa lagi. Di dunia kang-ouw tiada seorang pun yang menghargaimu pula. Kamu sudah diludahi dan dibuang oleh orang di dunia. Lalu apa pula yang menjadi kebanggaanmu, apa yang akan kau bela? Mengapa tidak kau turut saja kepada perintahku."

"Biarpun aku tidak punya apa-apa lagi, tapi aku masih mempunyai hak untuk menentukan mati dan hidup! Inilah yang harus kuhargai dan kuhormati serta pantas kubela mati-matian .... "

"Hendaknya kau tahu bunuh diri bukanlah perbuatan seorang jantan melainkan tindakan pengecut," kata Hwe-mo-sin. "Bilamana kamu memang seorang lelaki sejati, kamu harus berani berjuang untuk hidup menghadapi kesulitan apa pun."

"Huh, pandai benar caramu membakar semangatku," Po-giok tertawa pula. "Cuma sayang betapapun pendirianku sukar digoyahkan ..."

Sampai lama Hwe-mo-sin memandang anak muda itu, seakan-akan menjajaki jalan pikirannya yang teguh itu.

Katanya kemudian, "Lalu cara bagaimana supaya aku dapat mengambil hatimu?"

"Siapa pun bila menghendaki aku berbuat sesuatu baginya, untuk itu dia harus memohon padaku," kata Po-giok dengan tersenyum.

Sorot mata Hwe-mo-sin yang merah bertambah membara, namun suaranya tetap tenang dan lembut, "Memohon padamu? Memangnya aku juga orang yang memohon kepada orang lain?"

"Ya, engkau memang tidak perlu memohon kepada orang lain, tapi sekarang dari sorot matamu sudah dapat aku lihat rasa cemas dan gelisahmu, sudah dapat kuterka, asalkan aku mau mengerjakan urusan ini bagimu, maka tanpa sayang segala pengorbanan, bahkan tidak sayang mengerjakan sesuatu yang belum pernah kau lakukan, termasuk tidak sayang untuk memohon padaku ... betul tidak?"

Hwe-mo-sin duduk terdiam hingga lama.

Pembicaraan kedua orang sama tajamnya, juga sama indahnya. Keduanya sama-sama menguji keteguhan hati sendiri, sekaligus juga menjajaki keteguhan lawan.

Dalam pertarungan in, akhirnya Hwe-mo-sin jatuh di pihak asor pula.

Sorot matanya menampilkan rasa pedih, rasa pertentangan batin. Kata-kata yang tajam sukar dikeluarkan lagi. Medan perang lidah tadi kini berubah menjadi sunyi senyap.

Entah berselang berapa lama, mendadak ia berdiri, tanpa bicara lagi ia terus melompat pergi, hanya sekejap saja lantas menghilang.

Dia pergi secara mendadak, agaknya hendak melancarkan tipu muslihat lagi.

Namun Po-giok tidak gentar, sebab ia yakin dirinya telah dapat memegang titik lemah Hwe-mosin, ia percaya apa yang Hwe-mo-sin minta di kerjakannya itu selain sangat erat hubungannya dengan Hwe-mo-sin sendiri, tentu juga sangat besar sangkut pautnya dengan orang Ngo-hingmo-kiong, maka cepat atau lambat Hwe-mo-sin pasti akan memohon padanya.

Po-giok sudah memegang kunci kemenangan, seterusnya sama sekali ia sudah berada di pihak yang memegang kendali, ia tidak perlu gentar lagi.

*****

Di ruangan lain, seorang tua rebah di pembaringan. Ia memakai selimut, muka menghadap dinding sehingga tidak kelihatan wajahnya. Yang tertampak cuma rambutnya yang ubanan dan semrawut.

Siau-kong-cu duduk menunduk di tepi tempat tidur tanpa bergerak, namun bola matanya selalu berputar, air muka pun berubah-ubah sehingga apa yang sedang dipikirnya sukar diduga.

Tiba-tiba Hwe-mo-sin melayang masuk duduk di kursi dekat ujung tempat tidur, menghela napas panjang dan berkata, "Tak terduga di dunia ini ada orang berhati sekeras baja seperti dia ..."

"Sudahlah, tidak perlu kau katakan lagi," seru si orang tua yang berbaring itu. "Apa yang kalian percakapkan di ruang sebelah sudah aku dengar dengan jelas, bahkan kurasakan sangat menarik."

"Menarik?" Hwe-mo-sin menegas. "Pui-Po-giok itu serupa orang tolol pada waktu berlagak pilon, selicin ular pada waktu main licik. kau menghadapi lawan begini dan kau bilang menarik.?"

"Jika bukan orang seperti itu, cara bagaimana dia mampu menyelesaikan urusan itu?" ucap kakek dengan tersenyum.

"Memang betul juga, tapi ... tapi segala usaha kita sudah dilaksanakan dan dia tetap tidak mau tunduk. Meski sudah membunuhnya menyuruh dia menurut kehendak kita terlebih sulit. Celakanya kita tidak dapat membunuh dia, lalu apakah benar aku harus memohon padanya?"

Dia bicara dengan nada gemas, namun si kakek tetapi tidak menoleh, perlahan ia berkata pula "Siapa yang menyuruhmu memohon padanya?"

Gemerdep sinar mata Hwe-mo-sin, "Habis apakah ada akal lain?"

"Gampang saja, bebaskan dia," kata si kakek.

Hwe-mo-sin melengak, "Hah, kau bilang bebaskan dia?"

"Betul, hanya membebaskan dia saja merupakan jalan yang terbaik."

"Tapi kita sudah banyak membuang waktu dan tenaga baru dapat kita kerjai dia seperti sekarang ini, jika bebaskan dia, bukankah berarti melepas harimau ke gunung dan kita akan dianggap sebagai orang sinting?"

"Untuk bertempur dengan orang seperti dia justru diperlukan orang sinting, sebab hanya orang sinting saja sukar diduga segala tindak-tanduknya. Bilamana kita bekerja menurut peraturan biasa setiap urusan tentu akan terduga sebelumnya, dan sekali dia sudah mendahului kita, tentu kita akan mati kutu tanpa daya."

"Tapi ... tapi kalau bebaskan dia, lalu bagaimana?" Hwe-mo-sin.

"Urusan ini ibaratnya banyak sekali tali panjang, saat ini dia sudah dapat memegang ujung tali yang banyak itu, ia merasa senang dan puas, semakin erat kita menarik tali, semakin mudah baginya untuk mencari arah tali itu. Tapi bila mendadak kita bebaskan dia, apa yang dipegangnya akan menjadi hampa, tatkala mana dia tentu akan bingung dan sangsi, dalam waktu setengah bulan atau sebulan dia pasti akan datang untuk mencari kita lagi."

Tiba-tiba Siau-kong-cu tertawa dan berkata "Ini namanya tipu ingin menangkap sengaja dilepaskan dulu. Jika terhadap sikapku kepadanya apakah serius atau pura-pura saja dia tidak tahu saat ini mungkin dia mengira orang yang menjebaknya semalam adalah seorang lain yang menyamar sebagai diriku. Kalian sama memuji dia setinggi langit, tapi bagi pandanganku dia tidak lebih cuma seorang tolol."

"Seorang lelaki kalau sudah jatuh hati terhadap seorang perempuan, tentu dia akan berubah menjadi tolol", ujar si kakek dengan tertawa. "Melulu berdasar ini saja, apa pun juga dia pasti akan kembali lagi ke sini"

Hwe-mo-sin termenung sejenak. katanya kemudian. "Tapi biarpun dia kembali lagi ke sini juga belum tentu akan ..."

"Asalkan dia kembali lagi ke sini, maka kita sudah berada di pihak pengambil inisiatif," sela si kakek. "Apalagi mustahil dia tidak ingin tahu urusan apa yang kita minta dikerjakannya? Tanpa kau minta tentu dia malah akan mohon penjelasan padamu tentang urusan yang harus dikerjakannya. Tatkala itu tentu jauh lebih mudah jika kau pancing dia masuk perangkap kita."

"Betul juga." ujar Hwe-mo-sin dengan tertawa cerah. "Daripada kumohon dia, kan lebih baik menunggu dia saja yang memohon padaku. Terhadap kelemahan jiwa manusia tampaknya engkau jauh lebih mengerti daripadaku."

Setelah terdiam sejenak, kemudian si kakek berkata pula, "Lu-In, Hi-Toan-kah dan lain-lain sudah kita pancing kemari, di dunia kang-ouw tidak ada yang dapat menjadi pembelanya lagi. Jalan keluarnya juga sudah kita tutup buntu. akhirnya mustahil dia takkan kembali ke sini."

*****

Yang mengejutkan adalah isi setiap kereta itu adalah dua buah peti mati bercat hitam sehingga kelihatan agak seram di senja yang remang-remang, ketambahan lagi kereta papan yang jelek, baju berkabung kawanan kusir dan peti mati hitam, suasana tampak misterius.

Meski para jago kang-ouw yang sedang menempuh perjalanan sudah cukup berpengalaman, mau-tak-mau mereka pun sama melengong menyaksikan barisan kereta yang luar biasa itu.

Waktu itu Poa-Ce-sia dari Soa-tang juga sedang dalam perjalanan bersama beberapa orang kawannya, karena herannya, ia coba tanya salah seorang kusir kereta, "Numpang tanya, rombongan kereta ini hendak menuju ke mana?"

"Thay-san," jawab si kusir singkat.

Poa-Ce-sia tambah heran, ia coba tanya pula "Untuk apa mengangkut peti mati sebanyak ini ke Thay-san? Memangnya di sana mendadak mati orang sebanyak ini?"

"Entah," si kusir menjawab dengan singkat dan dingin pula, tanpa menghiraukan orang, lalu lagi ia cambuk kudanya dan dilarikan terlebih cepat.

Sekali rasa ingin tahu Poa-Ce-sia sudah timbul tentu saja ia tidak mau berhenti begitu saja. Tapi berturut-turut ia tanya lagi beberapa kusir yang berbaju belacu, jawaban yang diperoleh tetap cekak-aos alias singkat pendek seperti kusir yang pertama.

Diam-diam Poa-Ce-sia sangat gusar, cuma sedapatnya ia tahan perasaannya itu.

Ia coba memberi isyarat kepada kawannya, mereka berhenti di tepi jalan, setelah ke 30 kereta itu lalu seluruhnya, mendadak Poa-Ce-sia melompat turun dari kudanya, sekali lompat, ia seret kusir kereta yang terakhir itu ke tepi jalan. Ia ancam kusir itu agar jangan bersuara, bila bersuara segera akan dihabisi.

Meski terkejut, kusir itu sama sekali tidak bermaksud berteriak, maka tiada seorang pun kawannya yang mengetahui kejadian itu.

"Tarik kereta itu ke pinggir jalan, coba periksa apa isi peti mati yang diangkutnya," kata PoaCe-sia.

Sementara itu tokoh kang-ouw terkemuka pada umumnya sama menerima sepucuk surat aneh, isinya memberitahukan bahwa pertandingan di puncak Thay-san dipercepat pada pertengah bulan ini pada malam bulan purnama.

Tulisan surat itu indah, kertasnya bagus kalimatnya lancar, cuma aneh, tidak dibubuhi siapa penulis surat itu. Kebanyakan tokoh kang-ouw itu menerima surat pada tengah malam sehingga tidak jelas siapa pengantar surat itu.

Walaupun aneh surat itu, namun maksudnya justru cocok dengan kehendak para jago muda yang sudah tidak sabar menunggu lagi. Tanpa mengusut dari mana asal usul surat itu, berbondong-bondong mereka terus berangkat menuju ke Thay-san, malahan saling berebut datang lebih dulu agar dapat melihat gelagat dan mencari posisi yang menguntungkan.

Maka dalam beberapa hari saja, jalan yang menuju Thay-san menjadi sangat ramai, orang berlalu lalang tidak terputus.

Suatu senja, di jalan raya itu tiba-tiba muncul satu barisan aneh. Barisan ini sepanjang berpuluh tombak, terdiri dari 30 buah kereta. Setiap kereta tertutup rapat dengan papan kayu kasar. Ke-30 kusir kereta itu sama memakai kopiah putih dan baju belacu, serupa orang yang sedang berkabung.

Siapa tahu, ketika tutup peti mati dibuka kedua peti mati ternyata kosong belaka. Keruan semua orang melongo kecewa.

Mendadak seorang berseru, "Ini ada ..."

Sekali tangan meraba, dijemputnya sehelai kertas dari dalam salah satu peti mati itu. Hanya sekejap saja ia baca tulisan ringkas pada kertas itu, seketika air mukanya berubah aneh, seperti heran, kejut dan juga geli.

Kiranya kertas itu tertulis "Peti baru ini dipersembahkan kepada Biau-Pek-jiang, supaya mayatnya tidak tersia-sia, diharap sobat-handainya suka menerima dan mengebumikannya dengan baik. Dari orang baik hati di dunia kang-ouw"

Biau-Pak-jiang berjuluk Tai-Jik-sin atau si malaikat bertenaga raksasa, terhitung salah seorang di antara ke-40 tokoh yang akan berebut gelar jago nomor satu di Thay-san ini, dengan sendirinya namanya cukup terkenal.

Melihat tulisan itu, semua orang saling pandang dengan serba runyam. Seorang berkata dengan menyengir, "Ai, sesungguhnya apa maksud orang yang mengaku berhati baik ini? Memangnya ia yakin Tai-Jik-sin pasti akan gugur di Thay-san nanti?"

Seorang menukas, "Wah, melihat gelagatnya mungkin ke-40 tokoh yang ambil bagian dalam pertemuan di Thay-san nanti setiap orangnya telah disediakan sebuah peti ...."

Ia pandang Poa-Ce-sia sekejap dan berdehem lalu diam. Maklum, Poa-Ce-sia juga termasuk satu di antara ke 40 jago yang akan ikut bertanding.

Tentu saja Poa-Ce-sia mendongkol, ia cengkeram si kusir dan menghardik, "Sebenarnya siapa majikanmu? Apa maksudnya dengan perbuatan demikian?"

"Aku tidak ... tidak tahu ..." jawab si kusir dengan ketakutan.

Poa-Ce-sia menggamparnya sekali dan membentak pula, "Kamu mau mengaku tidak?"

Tiba-tiba seorang kakek berbaju coklat dan berbaju kain putih dengan rambut ubanan serta bertongkat entah sejak kapan sudah berada di situ dengan tertawa ia menukas, "Percuma kau tanya dia, sebab dia memang tidak tahu seluk-beluknya dan bukan sengaja tidak mau mengaku."

Sebagian wajah si kakek tertutup oleh rambutnya yang kusut sehingga tidak jelas bagaimana raut mukanya, hanya kelihatan bagian kening penuh keriput dan sorot matanya yang mengandung rasa ejekan.

Semua orang sama berpaling, dengan suara geram Poa-Ce-sia pun berkata, "Hm, caramu bicara ini, jangan-jangan kau tahu seluk-beluknya atau kau sendiri adalah majikan mereka?"

"Haha," si kakek terbahak, "bilamana kumau beli peti mati, tentu hanya untuk persediaan diriku sendiri, masakah perlu susah payah kusuruh antar untuk orang lain seperti majikannya yang baik hati itu.

"Mengirim peti mati sama dengan memujikan orang lain lekas mati, masakah ini terhitung baik hati?" jengek Poa-Ce-sia.

Si kakek menggeleng dan berkata dengan gegetun,."Coba kau pikir sendiri, biasanya orang yang ikut dalam pertarungan demikian ada berapa orang yang bisa pulang dengan hidup? Kan lebih banyak yang terkapar di pegunungan sunyi sebagai mayat? Mungkin sampai mayat membusuk tinggal tulang belulang saja tidak ada orang yang mau mengurusnya. Jika dalam pertarungan di Thay-san nanti ada orang menaruh perhatian dengan mengirimkan peti mati, ini kan untung bagi kalian?"

"Pertemuan di Thay-san nanti hanya pertandingan antara sahabat, mana boleh kau bandingkan dengan pertempuran sengit tanpa kenal ampun, caramu bicara ini kan sengaja mengaco belaka."

"Huh, cuaca bertanding antara sahabat katamu?" jengek si kakek. "Coba jawab, anak muda bilamana kamu bertanding dengan orang, bilakah pernah kau pikirkan memberi ampun kepada lawan dan membiarkan lawan pulang dengan hidup?"

"Aku ... aku ... " Poa-Ce-sia jadi gelagapan.

"Nah, kalau kau sendiri tidak kenal ampun apakah orang lain pernah pakai memberi ampun segala? Orang yang berani naik ke Thay-san. siapa pula yang berani menjamin dirinya bakal pulang lagi dengan hidup? Ai, dasar anak muda, terlampau lugas jalan pikiranmu ...." habis bicara kakek mengetuk tongkatnya ke tanah, lalu tinggal pergi.

Kembali semua orang saling pandang dengan melongo.

Setelah tertegun sejenak, mendadak Poa-Ce-sia berteriak, "Hai, tunggu dulu, Lo-tiang (pak tua) Numpang tanya siapa nama anda, bolehkah memberi tahu?"

Si kakek tetap melangkah ke depan tanpa menoleh, jawabnya setengah berdendang, "kaum kelana yang terlunta-lunta, sudah lama melupakan nama sendiri."

Poa-Ce-sia mengejar ke sana dan berteriak, "Lo-tiang hendak ke mana?"

Belum lagi si kakek menjawab, mendadak sesosok bayangan orang melayang tiba dari samping sana, begitu cepat bayangan itu seperti burung terbang, melayang ke depan si kakek seperti hendak memotong jalan perginya.

Akan tetapi dengan cepat si kakek membelok ke hutan yang berada di samping jalan, hanya kelihatan bayangannya berkelebat, dalam sekejap saja sudah menghilang.

Bayangan yang muncul itu memburu ke sana tapi setiba di depan hutan lantas berhenti. "Jangan masuk hutan bila mengejar musuh," itulah pandangan orang kang-ouw yang berlaku sejak dulu kala. Hal ini dipatuhi orang ini dengan baik, sebab orang ini selamanya tidak mau ditipu orang.

Ternyata orang ini bertubuh gemuk, seorang perempuan tua dengan rambut putih seperti perak dan sebagian sudah botak, berbaju belacu yang longgar, saku bajunya sedikitnya ada belasan buah, tongkat yang dipegangnya hampir setombak panjangnya, hampir satu kali lebih tinggi daripada tubuhnya.

Setiap orang kang-ouw yang berpengalaman bllamana bertemu dengan nenek ini tentu akan kuncup dan merasa sial kepergok olehnya.

Poa-Ce-sia juga kenal nenek ini, dengan sendirinya kalau bisa ia pun menghindarinya, cuma sekarang ia sudah terlanjur mengejar ke sana. Ingin putar balik sudah terlambat, terpaksa ia memberi hormat dan menyapa, "Baik-baik, Ban-lo-hu-jin!"

Nenek ini memang Ban-lo-hu-jin adanya, meski dia sudah berhenti di situ, napasnya kelihatan masih terengah-engah, sembari menghela napas ia menjawab, "Baik apa? Sudah tua, tidak berguna lagi. Hanya lari beberapa langkah sudah menggeh-menggeh ... Sebaliknya kamu yang kelihatan berwajah merah cerah, tentu banyak rejeki bukan? Poa-Ce-sia tidak berani menanggapi pertanyaannya, ia bicara hal lain, "Sudah sekian tahu Lohu-jin tidak pernah berkelana di dunia kang-ouw sungguh Siau-tit agak kangen. Ternyata badan Lo-hu-jin tetap sehat dan kuat, sungguh sangat menggembirakan."

Ban-lo-hu-jin menggerogoti sebuah belimbing yang banyak airnya, lalu berkata dengan tertawa, "Huh, di mulut kau bilang kangen padaku, dalam hatimu sebenarnya berdoa semoga aku selamanya tidak muncul lagi di kang-ouw. Biarpun kamu mengaku gembira bertemu dengan aku, dalam hatimu tentu menyesal dan menganggap sial kepergok olehku. Ai, masih muda, buat apa bohong di depan orang tua."

Apa yang diucapkan itu kena betul pada isi hati Poa-Ce-sia, tapi dengan sendirinya Poa-Ce-sia tidak berani mengaku, ia coba menyimpangnya bicaranya lagi dan bertanya, "Eh, tentu Lo-hujin kenal pada Lo-tiang tadi, kalau tidak kan tidak perlu mengejar dia."

"Tidak, aku tidak kenal dia, cuma kutahu siapa dia" sahut Ban-lo-hu-jin.

Terbeliak mata Poa-Ce-sia, cepat ia menegas, "Ah, lo-hu-jin tahu siapa dia? Dapatkah Siau-tit beri tahu siapa Lo-tiang itu?"

"kau tahu Ci-ih-hou mempunyai seorang suheng, dia adalah kakek yang membawa pergi Pui Po-giok enam tahun yang lalu itu, kakek tadi adalah dia!"

"Maksud Lo-hu-jin dia itu Ciu-lo-ya-cu?"

"Anak baik, memang tepat dugaanmu, ujar Ban-lo-hu-jin dengan tertawa. "Yang aku maksudkan memang betul Ciu-Hong. Cuma setan yang tahu apakah rase tua ini aslinya bernama Ciu-Hong atau bukan."

"Apakah dahulu Lo-hu-jin pernah bertemu dengan Ciu-lo-ya-cu?"

"Untung juga bagiku, baru tadi aku lihat dia," sahut si nenek dengan tertawa.

"Tapi enam tahun yang lalu Siau-tit pernah melihat Ciu-lo-ya-cu di Wi-ho-lau, rasanya suara dan wajah Ciu-lo-ya-cu sampai kini masih aku ingat dengan baik ..."

"Memangnya orang tadi bukan Ciu-Hong maksudmu?" potong Ban-lo-hu-jin.

"Meski Lo-tiang tadi juga seorang seorang kosen dunia kang-ouw yang bijaksana, tapi dapat aku pastikan bahwa dia sama sekali bukan Ciu-lo-ya-cu."

Ban-lo-hu-jin tercengang, gumamnya, "Dan bukan Ciu-Hong? ... Habis siapa? Mengapa selama ini tidak pernah aku dengar bahwa di dunia kang-ouw muncul pula seorang makhluk tua aneh seperti dia."

Tiba-tiba dua penunggang kuda membedal datang, tampaknya perjalanan mereka sangat tergesa-gesa sehingga tidak memperhatikan orang di tepi jalan melainkan langsung lewat begitu saja.

Terdengar kedua penunggang kuda itu sedang bicara, sayup-sayup terdengar seperti berkata, "Jit-tai-te-cu (ketujuh murid utama) ... Ban-Cu-liang ... Ya, mereka itulah ... Cuma sayang ... "

Meski semua orang yang berada di situ sama bermata jeli dan bertelinga tajam, namun derap kaki kuda terlampau cepat sehingga suara mereka cuma terdengar samar-samar begitu saja.

Tampaknya kedua penunggang kuda itu sudah menjauh, mendadak Ban-lo-hu-jin mendengus angkat tongkatnya yang panjang itu, dari ujung tongkat segera melayang keluar seutas tali panjang serupa pelangi dan menyambar kepala kedua penunggang kuda itu.

Derap kaki kuda lari menutupi suara sambaran tali panjang itu, ditambah lagi kedua orang itu tidak menyangka akan diserang dari belakang. Ketika salah seorang itu menjerit kaget, tahu-tahu lehernya sudah terjerat tali, kuda berjingkrak menegak sambil meringkik, penunggang kuda itu menarik erat tali kendali. Tapi sekali Ban-lo-hu-jin menyendal talinya, kontan orang itu terbanting dari kudanya.

"Hehe, sungguh anak yang tidak tahu aturan melihat orang tua masakah tidak mau turun." ucap Ban-lo-hu-jin dengan terkekeh.

Penunggang kuda yang lain seperti tidak menyadari apa yang terjadi, kudanya membedal sekian jauh, tahu-tahu penunggang kuda itu meloncat dan tangan pun menghunus suatu senjata mengkilat.

Sekali loncat dari kudanya, dalam sekejap sudah hinggap di depan Ban-lo-hu-jin, dan sebelum menegak, langsung senjata menikam dada nenek itu.

Akan tetapi Ban-lo-hu-jin bukan lawan empuk, sedikit mendak, dapat ia menerobos ke samping dari sambaran senjata musuh.

Ketika berhadapan, terlihat orang ini bertubuh ramping, baju hitam ketat, senjata yang dipegangnya serupa clurit dan mirip pedang, ternyata sejenis senjata yang jarang dikenal.

Meski tidak banyak orang yang melihat senjata seperti ini, namun sudah sering orang mendengar kisahnya dan betapa lihai pemakainya. Maka lamat-lamat sebagian hadirin dapat menduga senjata inilah satu di antara ke-13 senjata khas, yaitu Boh-in-cin-thian-pit, potlot penggetar langit. Dan pendatang yang bertubuh ramping dan berbaju hitam ini tentulah LingPeng-hi yang berjuluk Thian-siang-hui-hoa atau bunga bertebaran di langit.

Sementara itu Ban-lo-hu-jin sudah melompat ke samping penunggang kuda yang terbanting oleh jeratan talinya itu, ia cengkeram kuduk orang itu dan dijadikan tameng di depan sendiri.

Ling-Peng-hi terkesiap, bentaknya, "Lepaskan dia!"

Ban-lo-hu-jin berlagak tidak dengar, katanya jangan terkekeh, "Hehe, kukira siapa, rupanya Ling-siau-ceng-cu adanya. Malam bulan purnama belum lagi tiba, ternyata Ling-siau-ceng-cu sudah terburu-buru kemari, memangnya apa tujuanmu?"

Ling-Peng-hi berwajah kaku dingin, mata cekung dan alis tebal, ucapnya dengan sorot mata tajam, "Lepaskan atau binasa!"

Ban-lo-hu-jin tetap tidak gentar juga tidak marah, wajahnya yang welas-asih tetap tersenyum, orang itu tetap dicengkeramnya, sahutnya, "Ai, kenapa Ling-siau-ceng-cu marah, biarpun ada kesalahanku, sepantasnya Ling-siau-ceng-cu kasihan kepada nenek reyot macam diriku yang kesepian ini. Soalnya aku dengar putraku yang tidak becus ini berada di sekitar sini, karena ingin lekas menemuinya, maka melupakan segalanya ..."

Ia bicara dengan nada memohon dan sikap memelas. Akan tetapi Ling-Peng-hi tetap tidak peduli, jengeknya malah, "Yang kau pegang itu cuma seorang centingku, apa gunanya kau jadikan dia sebagai sandera?"

Sambil bicara, langsung ia menyongsong ke depan.

Ban-lo-hu-jin tampak celingukan kian kemari mendadak ia berteriak, "Ya ampun, kalian kaum lelaki sebanyak ini masakah cuma berpeluk tangan menonton doang dan tiada seorang pun sudi menolong jiwaku? Jika kalian tidak menghargai diriku, kan sepantasnya mengingat kepada putraku itu ..."

Akhirnya Poa-Ce-sia tidak tahan, ia melompat maju ke depan Ling-Peng-hi dan menyapa "Lingsiau-ceng-cu, Ban-lo-hu-jin ini adalah ibu In-bong-tay-hiap Ban-Cu-liang yang terkenal berbudi di dunia kang-ouw, mohon Siau-ceng-cu sudi mengingat kebaikan Ban-tay-hiap dan jangan mengganggunya."

"Siapa kamu ini?" jengek Ling-Peng-hi.

"Poa-Ce-sia, itulah namaku."

"O, Poa-Ce-sia baik juga, aku dengar engkau ini pun seorang gagah, tapi biarlah kukatakan terus terang, kedatanganku ini selain untuk menghadiri pertemuan di Thay-san, yang lebih utama adalah ingin menentukan kalah-menang dengan Ban-Cu-liang yang munafik dan bernama palsu itu. Sekarang ibu orang she Ban itu mengganggu lagi anak buahku, apakah hal ini dapat aku tinggal diam? Maka janganlah kamu ikut campur agar tidak terjadi sengketa di antara kita."

Poa-Ce-sia heran, "Selama hidup Ban-Cu-liang terkenal jujur dan tulus, Lian-thian-san-ceng kalian juga jauh di sana dan tidak pernah bersengketa dengan orang, entah mengapa Ling-siauceng-cu jadi bermusuhan dengan Ban-tay-hiap?"

"Jujur dan tulus? Hmk!" jengek Ling-Peng-hi. Coba katakan, saudara angkatku. Hi-Toan-kah selama hidup terkenal gagah ksatria, tapi orang she Ban itu justru menyiarkan desas-desus, katanya dia pernah dikalahkan si pendusta besar Pui-Po-giok sehingga nama baik saudaraku itu runtuh habis-habisan, apakah caranya ini terhitung jujur dan tulus?"

"Oo, ini ..." Poa-Ce-sia jadi gelagapan.

Urusan Pui-Po-giok memang sudah tersiar sebagai perkara yang sukar dimengerti di dunia kang-ouw, Poa-Ce-sia sendiri tidak tahu seluk-beluk urusan itu sehingga tidak dapat memberi penjelasan, apalagi membela nama Ban-Cu-liang.

Mendadak Ban-lo-hu-jin berteriak, "Ai, anak yang tidak berbakti memang sudah lama melukai hatiku, jika kau tahu di mana ia berada, harap aku dibawa ke sana, akan aku hajar dia supaya selanjutnya dia menghargai orang tua."

Centing yang dicengkeram oleh Ban-lo-hu-jin itu tidak gentar meski tidak dapat berkutik, mendadak ia berteriak, "Kabarnya Ban-Cu-liang berada tidak jauh dari sini, kalau tidak masakah cu-kong muda kami terburu-buru menyusul kemari?"

Mendadak Ban-lo-hu-jin melepaskan centing itu, dengan langkah limbung dan tongkat agak gemetar ia mendekati Ling-Peng-hi, ucapnya dengan tersenyum dengan napas agak tersengal, "Ayo kita berangkat bersama, kebetulan aku pun ingin bikin perhitungan dengan binatang kecil itu dan sekalian untuk melampiaskan rasa gemasmu."

Ucapan ini membuat Ling-Peng-hi tercengang malah, menghadapi nenek yang bicara dengan tertawa, dengan napas tersengal, dengan langkah reyot, dengan kata-kata yang memelas, tentu saja ia tidak sampai hati untuk bersikap kasar padanya.

Centing itu membawakan kuda, setelah termenung sejenak, mendadak Ling-Peng-hi mengentak kaki terus mencemplak ke atas kuda. Pada saat yang hampir sama Ban-lo-hu-jin juga melompat ke atas kuda tunggangan si centing tadi dan berkata, "Biarlah orang muda saja yang berjalan kaki, kuda ini dipinjamkan kepada nenek."

Habis berkata, ia tepuk pantat kuda dan dilarikan secepat terbang. Segera Ling-Peng-hi ikut ke sana.

"Kabarnya Ban-Cu-liang tinggal di Koai-cip-wan, jangan Siau-ceng-cu salah alamat!" seru si centing.

Sementara itu kusir kereta yang mengangkut peti mati tadi entah telah lari ke mana, kereta kuda ditinggal begitu saja. Poa-Ce-sia menyuruh si centing menggunakan kuda kereta itu, lalu ia pun menyusul ke sana dengan cepat.

Meski arah Koai-cip-wan terletak di jurusan yang berlawanan dengan Thay-san dan para ksatria itu juga terburu-buru hendak pergi ke Thay-san tapi ada tontonan menarik, semuanya ingin melihatnya. Maka beramai-ramai mereka pun ikut menuju ke Koai-cip-wan yang terkenal dan terletak di tepi selatan Tiang-kang.

Taman hiburan itu memang indah permai, pepohonan tumbuh rindang, bunga mekar semarak, banyak gunung-gunungan palsu dengan gardu pemandangan yang cantik, kolam dengan sungai kecil yang menyusuri petamanan itu menambahi keindahan tempat tamasya ini.

Banyak orang yang berkumpul di taman hiburan ini sesuai namanya, Koai-cip-wan artinya taman ria tempat berkumpul. Di berbagai rumah hiburan yang terdapat di dalam taman ramai dengan suara orang gelak tawa, suasana terasa meriah.

Pada saat itu, di samping gunung-gunungan yang terletak di tengah rumpun bambu saja seorang sedang berjalan mondar-mandir dengan menggendong tangan, namun sorot matanya tampak mencorong aneh.

Di sekeliling orang ini yang berjarak belasan tombak jauhnya, di tempat yang agak gelap dan tidak tercapai oleh cahaya lampu, di bawah pohon atau di samping gunung palsu terdapat pula satu atau dua sosok bayangan orang, semua seperti sedang mengintai orang yang mondar-mandir sendirian ini.

Lebih jauh di semak-semak pohon sana terdapat lagi seorang yang berkopiah semangka dan berbaju hijau sedang memandang serumpun bunga yang hampir layu, hanya terkadang ia pun menoleh dan memandang satu dua kejap ke tengah rumpun bambu. Namun orang yang mondar-mandir di hutan bambu itu seperti tenggelam sama sekali dalam lamunannya, terhadap apa yang terjadi di sekitarnya seakan-akan tidak ambil pusing.

Sekonyong-konyong seorang berlari datang dengan tergesa-gesa, menyusur jalan kecil berbatu, melintas jembatan papan, menuju ke sebuah sampan yang diterangi oleh cahaya lampu dan berlabuh di tepi sungai kecil sana.

Suara langkah yang tergesa-gesa itu mengejutkan orang yang sedang melamun dan mondar-mandir di tengah hutan bambu itu, juga mengacaukan suasana riang orang yang berkumpul di sampan hias.

Pemilik taman hiburan, Ce-Sing-siu, berdiri dengan kening berkerenyit, ia melongok keluar sampan dan menegur, "Ada urusan apa pakai lari-lari seperti diuber setan?"

Pemuda yang lari kesetanan itu berhenti di dekat sampan dengan napas terengah-engah, katanya sambil menuding ke arah datangnya tadi, "Ada ... ada seorang ksatria besar ... "

"Setiap hari juga datang banyak ksatria dari berbagai penjuru, memangnya ksatria siapa pun yang datang sehingga membuatmu sedemikian gugup?" tanya Ce-Sing-siu dengan kurang senang.

"Tapi orang ini tidak ... tidak sama ..."

"Tidak sama apa? Siapa orang yang kau maksudkan?"

"Dia ... dia adalah ksatria yang sering disinggung oleh Suhu, yaitu Siau-ceng-cu Lian-thian-sanceng Ling-Peng-hi."

Belum habis penuturannya, serentak Ce-Sing-siu meraba bekas luka pada wajahnya, bekas luka yang ditinggalkan Thian-siang-hui-hoa Ling-Peng-hi tahun yang lalu. Selain meninggalkan bekas luka pada mukanya, juga Ling-Peng-hi meninggalkan jiwa Ce-Sing-siu.

Sampai sekarang Ce-Sing-siu sendiri belum lagi tahu apakah dia harus berterima kasih kepada Ling-Peng-hi atau harus benci padanya. Ia termenung sejenak dengan menunduk, lalu berucap dengan menghela napas, "Ya, sudahlah. Silakan dia kemari."

Waktu ia mendongak, ternyata Ling-Peng-hi sudah berada di depannya.

Cepat Ce-Sing-siu melompat keluar dari sampan dan menyapa, "Maaf tidak dilakukan sambutan yang layak atas kunjungan Ling-heng ..."

"Antara kita tidak perlu sungkan," jengek Ling-Peng-hi, "Aku cuma ingin tanya padamu, saat ini Ban-Cu-liang dan ketujuh murid utama ketujuh aliran itu berada di mana?"

"Ban-tai-hiap maksudmu? Bilakah dia datang kemari?" jawab Ce-Sing-siu dengan melengak, "Ah, kabar yang tersiar sering tidak benar, mungkin Ling-heng salah informasi."

"Memangnya untuk apa orang membohongi itu?" kata Ling-Peng-hi dengan ketus.

Tiba-tiba dari tempat tersembunyi seorang berteriak, "Meski Ban-Cu-liang tidak pernah datang kemari, tapi di antara Jit-tai-tecu (ketujuh murid utama) jelas ada yang hadir di sini. Hendaknya Ling-siau-ceng-cu jangan sampai ditipu Ce-Sing-siu."

Ling-Peng-hi tertawa dingin, dengan sorot mata tajam ia tatap Ce-Sing-siu, katanya, "Jangan-jangan ketujuh murid utama itu pun serupa Pui-Po-giok, hanya kaum pembual belaka dan tidak berani menemuiku setelah mengetahui orang she Ling lagi mencarinya?"

"Ah, masa ..."

Belum lanjut ucapan Ce Sing-siu, mendadak seorang melompat keluar dan berteriak, "Di antara Jit-tai-tecu memang ada yang hadir di sini, lantas kamu mau apa?"

Orang ini beralis panjang tebal, air mukanya angker, siapa lagi selain Nyo-Put-loh. Sepintas pandang dia kelihatan sehat, tapi bila diamati, air mukanya tampak pucat, semangat lesu, sorot matanya juga agak buram, jelas orang yang menanggung rasa sedih kalau bukan habis sakit berat.

Orang yang berada di tengah hutan bambu tadi tampak emosi demi melihat kemunculan NyoPut-loh, segera ia bermaksud menerjang ke luar, tapi urung, sorot matanya yang emosional penuh rasa pedih pula.

Terdengar Ling-Peng-hi lagi berkata, "Di antara Jit-tai-tecu hanya kamu seorang saja yang di sini?"

"Melulu orang she Nyo seorang saja sudah cukup menghadapi manusia latah semacam dirimu." jawab Nyo-Put-loh dengan bengis.

"Bagus!" sahut Ling-Peng-hi. "Biarlah orang she Ling belajar kenal dengan kungfu Wi-yang-pai."

Sekali putar, tahu-tahu senjata khas Cin-thian-pit sudah dilolos keluar.

Ce-Sing-siu melompat maju dan menghadang di depan Nyo-Put-loh, katanya dengan kuatir, "Bok-tai-hiap dan lain-lain tidak berada di sini, mana Nyo-tai-hiap boleh turun tangan sendiri?"

"Justru karena mereka tidak berada di sini, kalau aku tidak turun tangan lantas siapa lagi yang akan maju?" ujar Nyo-Put-loh, lalu ia tampak lebih dekat ke arah Ling-Peng-hi.

Keadaan Nyo-Put-loh sekarang serupa Pui-Po-giok menghadapi Au-yang-thian-kiau tempo hari, walaupun tahu pasti akan kalah terpaksa harus bertempur juga demi nama dan kehormatan.

"Keluarkan senjatamu!" teriak Ling-Peng-hi.

"Eng-jiau-lik (tenaga cakar elang) Wi-yang-tai tidak tertahankan oleh kekuatan apa pun, biarpun senjata paling tajam di dunia ini juga tidak dapat menandingi cakar elang orang she Nyo, apalagi cuma potlot bajamu," jengek Nyo-Put-loh.

Ling-Peng-hi tertegun sejenak, mendadak ia terbahak-bahak, katanya, "Haha, setelah bertemu sekarang baru kutahu Nyo-Put-loh ternyata juga orang yang sok berlagak."

"Sok berlagak apa maksudmu?" teriak Nyo-Put-loh dengan gusar.

"Sudah jelas kau tahu senjataku Cin-thian-pit ini serba guna dan sukar dilawan, kau tahu kalau tidak menggunakan senjata tentu aku pun tidak enak untuk menempurmu dengan senjata, lantaran kamu tidak berani menghadapi potlot bajaku ini dengan sendirinya kamu berlagak hendak melawan senjataku dengan bertangan kosong."

Mendadak Nyo-Put-loh memang gusar, sekali putar ke sana, secepat kilat ia lolos sebilah golok dari pinggang seorang penonton, bentaknya kemudian, "Nah, senjata apa pun yang kau gunakan boleh maju saja sekarang."

"Haha, bagus! Dalam sepuluh jurus jika orang she Liang tidak dapat menjatuhkanmu, biarlah seterusnya aku lantas pulang ke kampung dan takkan berkecimpung di dunia kang-ouw lagi. Nah, silakan mulai!"

Tanpa bicara lagi golok Nyo-Put-loh lantas membacok. Padahal permainan golok bukan kungfu andalan Wi-yang-pai, namun bacokangolok Nyo-P ut-loh ini ternyata sangat dahsyat dan membuat pemilik golok semula merasa kagum, sebab merasa kepandaian orang lebih lihai daripadanya.

Poa-Ce-sia, Ce-Sing-sia dan lain-lain tampak merasa sedih. Sementara itu para ksatria juga sudah berkerumun. Ban-lo-hu-jin sembunyi di tengah orang banyak, sebelum ada kesempatan baik baginya tidak nanti dia mau memperlihatkan diri.

Ketika golok Nyo-Put-loh membacok, Ling-Peng-hi tetap diam saja tanpa bergerak, tampaknya golok sudah hampir membelah batok kepalanya, pada detik terakhir barulah ia menggeser sedikit, cukup bergeser sedikit saja sudah bebas dari rengutan maut.

Betapa tenang dan betapa jitu caranya menghadap serangan maut itu sungguh membuat orang sangat kagum.

Sementara itu Cin-thian-pit Ling-Peng-hi tahu-tahu juga sudah balas menyerang, jurus serangannya seperti biasa saja, namun cepatnya dan arahnya yang tepat sukar untuk dilukiskan. Tahu-tahu beberapa hiat-to penting di dada Nyo-Put-loh sama terancam.

Cepat Nyo-Put-loh berputar, golok berkepala setan segera menebas lagi secepat kilat.

Diam-diam Poa-Ce-sia menghela napas gegetun, katanya perlahan, "Keadaan Nyo-Ji-thiap sendiri kurang sehat, senjata juga tidak biasa digunakan, sekarang dia menyerang secara nekat, mungkin dalam sepuluh jurus ia benar-benar akan kecundang."

"Ya, apalagi cundrik andalan Ling-Peng-hi itu selama ini menggetar dunia kang-ouw, sekali serang sudah mendahului pihak lawan, jangan-jangan tokoh Wi-yang-pai kita ini akan runtuh di tangannya hari ini."

"Semoga sekarang ada orang yang berani menggantikan Nyo-ji-thiap, kalau tidak ..."

"Siapakah yang hadir di sini sekarang mampu menandingi Ling-Peng-hi?" ujar Ce-Sing-siu dengan tersenyum getir.

"Jurus keempat ... jurus kelima! Aha, tampaknya tidak sampai sepuluh jurus orang she Nyo itu pasti akan dijatuhkan!" tiba-tiba seorang berteriak dari tempat gelap.

Memang benar, dalam lima jurus saja Nyo-Put-loh tampak sudah berkeringat, urat hijau sama menonjol di keningnya, gerakan goloknya juga mulai lamban ... Pada saat yang sama orang yang mondar-mandir di hutan bambu itu juga penuh rasa pedih, penuh pertentangan batin. Dalam kegelapan tidak kelihatan air mukanya, tapi dapat terlihat jari tangan rada gemetar.

"Agaknya ia tidak tahan berpeluk tangan membiarkan Nyo-Put-loh menghadapi maut dan sebentar nama baiknya akan tamat selamanya. Tapi dia justru tidak dapat tampil, sebab kalau dia tampil selain akan menghancurkan Nyo-Put-loh juga akan menghancurkan dirinya sendiri.

Sementara itu jurus serangan keenam Ling-Peng-hi sudah dilontarkan, cahaya perak sudah mengurung rapat seluruh tubuh Nyo-Put-loh, siapa pun dapat melihat dalam waktu sekejap lagi Nyo-Put-loh pasti akan dirobohkan.

Selagi pikirannya penuh diliputi pertentangan batin, bertindak atau tidak?

Tiba-tiba dari balik gunung-gunungan sana orang berseru, "Pui-Po-giok ... "

Kata-kata itu serupa anak panah yang menembus hulu hatinya. Tubuh orang ini tergetar dan tidak berpaling. Tapi tidak perlu dijelasksn lagi dia memang benar Pui-Po-giok yang baru lolos dari sarang iblis itu.

Suara tadi bergema pula, "Pui-Po-giok, lantaran membelamu Nyo-Put-loh sedang bertempur mati-matian, tampaknya segera akan kecundang dan kau sendiri malah sembunyi di sini apakah kamu tidak punya perasaan?"

"Siapa kau?" tanya Po-giok tanpa menoleh.

"Tidak perlu tanya seharusnya dapat kau terka," sahut orang itu.

Dalam waktu singkat, pembicaraan mereka itu, sementara Ling-Peng-hi sudah melancarkan serangan jurus kedelapan. Sinar perak berkelebat dan Nyo-Put-loh mengangkat golok menyongsong cahaya perak.

Meski ia menyadari goloknya sukar menangkis tenaga serangan cundrik Ling-Peng-hi, namun selain menangkis memang tiada jalan lain, juga tidak sempat lagi baginya untuk mengelak. Jadi tidak ada pilihan lain baginya. Ketika cahaya perak kontak dengan sinar golok, cahaya perak mendadak berhenti, ujung Cinthian-pit beradu dengan mata golok. Bilamana cahaya perak itu bekerja lebih keras, kontak golok Nyo-Put-loh pasti akan terlepas. Keadaan Nyo-Put-loh sekarang serupa cacing terhimpit batu dan hanya bisa pasrah nasib belaka.

Melihat keadaan yang menentukan itu, semua orang ikut tegang dan menahan napas. Namun Ling-Peng-hi tidak segera menekan lebih lanjut. Air mukanya yang dingin kaku itu menampilkan sikap mengejek, dengusnya kemudian, "Nyo-Put-loh, jika kamu tidak menghendaki gempuranku lebih lanjut, asalkan kamu mengakui Pui-Po-giok adalah pendusta dan Ban-Cu-liang memang manusia pembual dan penipu, maka segera kutarik kembali senjataku."

Meski Nyo-Put-loh menggertak gigi sekuatnya, tak urung tubuh pun gemetar saking menahan rasa gusar.

Di sebelah sana Pui-Po-giok juga sedang berkata dengan suara gemetar, "Kamu orang Ngohing-mo-kiong, kalian melepaskan diriku, tapi memusnahkan ilmu silatku, tujuan kalian adalah supaya aku menghadapi penderitaan seperti sekarang ini bukan?"

Orang tidak kelihatan itu tertawa, jawabnya "Betul, saat ini seharusnya kau tahu, dunia kangouw sudah buntu bagimu, maka lebih baik kembali saja kepada kami, dunia seluas ini hanya Ngo-hing-mo-kiong saja yang masih dapat menerimamu. Tentunya kau pun tahu, di dunia ini tiada seorang pun yang percaya padamu kecuali Ngo-hing-mo-kiong kami."

Gemeretuk gigi Po-giok dan tangan terkepal erat, namun tidak sanggup menjawab.

Terdengar di sana Ling-Peng-hi sedang berkata, "Nyo-Put-loh, sekarang seharusnya kau tahu bahwa nama dan jiwamu sudah tergenggam di tanganku, setiap saat dapat aku hancurkan dirimu. Maka hendaknya kau pikirkan lagi, kamu mau bicara atau tidak?"

Nyo-Put-loh juga menggertak gigi sekuatnya sehingga urat hijau pada keningnya menonjol terlebih besar.

Melihat wajah Nyo-Put-loh yang penuh derita dan menahan murka itu, mendadak Po-giok membuka tangan yang terkepal, rupanya ia sudah mengambil suatu keputusan. Ia tahu meski kungfu sendiri sudah musnah dan sukar bertempur lagi, tapi bila dia maju keluar, maka LingPeng-hi akan segera berhenti menyerang dan Nyo-Put-loh dapat diselamatkan.

Ia sudah mengambil keputusan demi orang lain terpaksa harus mengorbankan diri sendiri. Dengan langkah lebar segera ia keluar dari hutan bambu, serunya, "Inilah Pui-Po-giok berada di sini, harap Ling-siau-ceng-cu berhenti!"

Seketika kawanan ksatria yang berkerumun itu sama melengak, habis itu suasana berubah menjadi gempar. Beramai-ramai mereka lantas memberi jalan lewat.

Seorang pemuda cakap tampak muncul menerobos kerumunan orang banyak. Di bawah pandangan orang banyak yang heran, hina dan curiga, langkah si pemuda mantap tanpa terpengaruh. Entah siapa yang berseru di tengah orang banyak, "Aha, memang betul dia PuiPo-giok!"

Mendadak Ling-Peng-hi melompat mundur seringan burung terbang. Menyusul terdengar suara "trang", golok Nyo-Put-loh jatuh ke tanah, tubuh pun jatuh terduduk sambil menatap Po-giok dengan sorot mata yang aneh entah girang entah marah.

Ketika cahaya perak berkelebat, tahu-tahu Ling-Peng-hi sudah berada di depan Pui-Po-giok, keduanya saling tatap sampai sekian lama tanpa bicara.

"Hm, kiranya beginilah bentuk Pui-Po-giok!" jengek Ling-Peng-hi kemudian, "Tadinya kukira seorang penipu tentu berbentuk agak berbeda daripada orang lain."

"Karena itu anda merasa kecewa, begitu bukan?" tanya Po-giok dengan tersenyum.

Ling-Peng-hi tertawa latah, katanya, "Ya, memang betul, orang she Ling memang kecewa ..."

"TapI rasa kecewaku jauh melebihimu," ujar Po-giok tertawa. "Semula kukira Ling-siau-ceng-cu dari Lian-thian-san-ceng tentulah seorang ksatria gagah perkasa, siapa tahu dia cuma pandai mengambil kesempatan pada saat orang lain terancam bahaya, lalu menarik keuntungan tatkala orang kepepet."

Tertawa Ling-Peng-hi berhenti seketika, katanya dengan gusar "Huh, kamu penipu, berdasarkan apa kau bicara begitu padaku? Jika aku tidak bertindak demikian, memangnya penipu licik semacam dirimu dapat dipancing keluar?"

"Sekarang aku sudah berada di sini, kau mau apa?" tanya Po-giok.

"Aku mau apa, tanpa kukatakan tentu kau pun tahu," sahut Ling-Peng-hi ketus.

"Hah, jika begitu, ayo silakan!" habis berkata, segera Po-giok menyurut mundur satu langkah dengan sikap tegak. Ia sudah bertekad mengorbankan diri, dengan sendirinya ia sangat tenang. Suasana sekeliling seketika berubah sunyi, semua orang menahan napas dan ingin tahu kejadian selanjutnya.

Cundrik Ling-Peng-hi sudah terangkat, namun sekian lama serangannya tidak dilancarkan.

Kembali terjadi kegaduhan di tengah orang banyak. Jika Ling-Peng-hi sudah tahu Pui-Po-giok cuma seorang pendusta, mengapa dia masih berlaku hati-hati dan tidak berani menyerang?

Padahal Pui-Po-giok berdiri tegak begitu saja, tanpa pasang kuda-kuda, tiada kelihatan siap tempur, malahan sekujur badan tidak terjaga. Bilamana cundrik, Ling-Peng-hi menyerang dari arah mana pun sekaligus pasti dapat merobohkan anak muda itu. Namun ketenangan luar biasa Pui-Po-giok itu berbalik membuat lawan ragu dan sangsi.

Tiba-tiba Poa-Ce-sia berteriak, "Pertemuan Thai-san sudah tinggal satu-dua hari lagi, bilamana Ling-siau-ceng-cu harus duel dengan buat apa mesti terburu-buru dilakukan sekarang?"

Meski tidak menjawab, namun sorot mata Ling-Peng-hi sudah menampilkan rasa setuju. Selama hidupnya entah berapa kali bertempur dengan orang, namun tidak pernah menghadapi lawan setenang ini. Tidak mudah ia memupuk namanya dengan sendirinya ia pun tidak mau menyerempet bahaya yang mungkin menjatuhkan namanya.

Segera Ce-Sing-siu menukas, "Memang betul ucapan Poa-tai-hiap. Para kawan datang dari jauh semuanya terhitung tamuku, jika persengketaan ini sementara disudahi, marilah kuhormati kalian barang beberapa cawan, sungguh peristiwa yang menyenangkan."

Meski pertarungan seru ini sangat dinanti-nantikan para ksatria dan ingin menyaksikan kekalahan Pui-Po-giok, tapi Poa-Ce-sia dan Ce-Sing-siu sudah bicara demikian. Ling-Peng-hi juga kelihatan ada maksud menyudahi persoalan ini siapa pula yang berani menentang? perlahan cundrik yang dipegang Ling-Peng-hi mulai diturunkan. Sambil menatap senjata lawan yang menurun itu, diam-diam Po-giok menarik napas lega. Meski ia tidak takut mati, tapi kalau boleh tidak mati, tentu saja itulah yang diharapkan.

Siapa tahu pada saat itu juga mendadak seorang tertawa dingin, sesosok bayangan orang melayang tiba dan hinggap di tengah kalangan, siapa lagi dia kalau bukan Ban-lo-hu-jin.

Melihat nenek ini, kening Poa-Ce-sia lantas berkerenyit. Ia tahu orang tua ini paling suka dunia ini kacau, paling senang bila orang lain sama berkelahi.

Terdengar nenek itu mengejek, "Ai musik sudah berbunyi, lagu pengantar sudah bergema mengapa sandiwaranya belum main? Wah rasanya Ling-siau-ceng-cu agak mengecewakan para penonton hari ini.

Dengan gusar Ling-Peng-hi mengacungkan cundriknya dan membentak, "Apakah kamu saja yang bergerak denganku?"

"Ai selamanya aku tidak ada permusuhan dengan Siau-ceng-cu, buat apa kita harus berkelahi?" ujar Ban-lo-hu-jin dengan terkekeh. "Tapi kalau hari ini Siau-ceng-cu sudah lelah, boleh juga kuwakilkanmu untuk menghajar pendusta dunia kang-ouw ini."

Rupanya ia yakin Ling-Peng-hi pasti takkan tahan oleh kata-katanya yang provokatif dan tidak nanti membiarkan seorang tua mewakili dia.

Siapa duga, setelah memandangnya sekejap, tiba tiba Ling-Peng-hi mendengus, "Hm, jika benar kau ingin turun tangan, baik, aku serahkan padamu."

Lalu ia menyingkir ke samping. Meski dia angkuh dan latah tapi bukanlah orang dungu. Sekarang Ban-lo-hu-jin sengaja digunakannya sebagai batu ujian. Bilamana nenek itu kalah sedikit banyak akan dapat diketahuinya betapa tinggi ilmu silat Pui-Po-giok. Sebaliknya kalau Ban-lo-hu-jin menang, kemudian baru ia turun tangan merobohkan nenek itu, dengan demikian kemenangannya akan tambah gemilang.

Merasa salah hitung, berubah air muka Ban-lo-hu-jin, katanya gugup. "Wah, Siau-ceng-cu kan ..."

Tapi Ling-Peng-hi mendengus lagi, "Jika kamu sudah menyatakan ingin turun tangan, maka lekas maju. Bila sengaja kau main gila denganku, sedikit banyak akan kuminta pertanggungan jawabmu."

Keruan Ban-lo-hu-jin melengong, jawabnya kemudian sambil menyengir, "Ai, masakah aku jeri terhadap anak ingusan seperti itu. Nah, Po-ji cilik, kau minta aku hajar adat padamu."

Po-giok hanya menghela napas tanpa menjawab.

Ban-lo-hu-jin terkekeh, katanya, "Po-ji, sejak kecil aku lihat kamu dewasa, mana dapat kau tandingi diriku. Lebih baik menyerah saja dan tidak perlu ... "

Sembari bicara ia terus melangkah ke depan, tapi baru beberapa langkah, mendadak ia pegang perutnya dengan setengah menungging sembari mengeluh, "Wah, sialan, perutku terasa mules ..."

"Tidak peduli perut mules atau tidak, tetap harus aku labrak dia," kata Ling-Peng-hi.

"Sudah tentu, cuma aku harus kuras perut dulu. Hendaknya kaum lelaki kalian jangan mengintip ..." sambil bicara ia terus lari ke tengah kerumunan orang banyak dengan sebelah tangan memegangi celana.

Para ksatria sama tertawa geli dan banyak yang menggeleng kepala, tapi beramai memberi jalan padanya.

Bentak Ling-Peng-hi dengan gusar, "Hm, jika kamu bermaksud lari, naik ke langit pun akan kususul."

"Lari? Siapa mau lari? Oya, Po-ji cilik, kamu jangan lari, sebentar kudatang lagi untuk hajar adat padamu," sembari berseru Ban-lo-hu-jin melangkah terlebih cepat dan sekejap kemudian lantas menghilang.

Ling-Peng-hi tahu sekali nenek itu merat jelas takkan kembali lagi kebelet, terpaksa ia menggerutu, "Sialan, sungguh tua bangka yang tidak tahu malu. Hehe, ibunya begitu, bagaimana kadar anaknya dapatlah dibayangkan."

Kembali Po-giok menghela napas dan semua orang pun merasa kecewa, mereka tahu hari ini tidak mungkin menyaksikan pertarungan menarik lagi, maka sebagian orang lantas mulai bubar.

Sementara itu Ban-lo-hu-jin telah lari masuk ke hutan bambu sana, setiba di balik gunung-gunungan yang gelap, segera ia berjongkok sambil celingukan kian kemari. Setelah yakin tidak ada yang menyusulnya, ia tertawa senang dan bergumam, "Huh betapapun kecerdikanmu juga dapat aku kibuli. Memangnya begitu gampang aku akan kau tipu untuk turun tangan?"

Mendadak dari tempat gelap seorang tertawa dan menanggapi, "Hah, jahe memang pedas yang tua."

Ban-lo-hu-jin terperanjat, segera ia bermaksud berdiri, tapi cepat berjongkok pula sembari memaki, "Kurang ajar, bangsat cilik dari mana, berani mengintip nenekmu yang lagi buang hajat?"

"Eh, masakah ada orang berak tanpa membuka celana, sungguh lelucon yang tidak lucu!" seru orang itu dalam kegelapan dengan tertawa. "Apalagi, aku kan juga orang perempuan, umpama mengintip juga tidak menjadi soal."

Suara nyaring, tertawanya genit, ternyata suara orang perempuan.

Ban-lo-hu-jin berjongkok lebih ke bawah, tanyanya dengan terbelalak, "Kamu siapa? kau mau apa?"

"Coba kau lihat siapa aku ini?" menyusul suara tertawanya seorang berbaju hijau dan berkopiah semangka muncul dari kegelapan tanpa menimbulkan suara ketika bertindak.

"Sesungguhnya kamu lelaki atau perempuan?" tanya si nenek.

Orang itu tertawa nyaring seperti dering kelening, ia tanggalkan kopiahnya sehingga rambutnya yang hitam panjang terurai, ucapnya dengan tertawa, "Masih kenal padaku?"

Akhirnya Ban-lo-hu-jin berdiri dan menatap orang itu, terlihat wajah yang cantik, alis lentik dan bibir tipis, mata besar jernih. Meski Ban-lo-hu-jin sendiri juga orang perempuan, tidak urung ia terkesima juga melihat gadis semolek ini.

"Ya, pernah aku lihat dirimu, tapi di ... di mana, tidak teringat lagi," gumam Ban-lo-hu-jin.

"Sungguh aneh, gadis secantik ini masakah dapat aku lupakan bila sudah aku lihat satu kali saja."

"Coba ingat-ingat lagi," kata si gadis baju hijau. "Enam tahun yang lalu ... kapal layar pancawarna ... Tatkala itu aku masih anak ingusan, biarpun tidak pernah berhadapan pasti juga pernah kau lihat dari jauh."

"Aha, betul Siau-kong-cu, betul tidak?" seru Ban-lo-hu-jin.

"Betul, memang kutahu kamu pasti kenal diriku," ujar Siau-kong-cu dengan tertawa.

"Ai, Siau-kong-cu, antara kita tidak ada permusuhan apa pun, janganlah kau bikin susah padaku, kasihan ... kasihanilah kepada nenek reyot ini, selamanya takkan aku lupakan budi kebaikanmu."

Tiba-tiba Siau-kong-cu menghela napas, "Jika kau mau pergi, dengan sendirinya takkan aku rintangimu. Cuma... ai, kalau ada kesempatan baik di depan mata, kan sayang jika kau tinggal pergi begitu saja?"

"Kesempatan baik?" Ban-lo-hu-jin menegas dengan mata terbelalak. "Kesempatan baik apa maksudmu?"

Siau-kong-cu berkedip-kedip, "Apakah kau ingin mengalahkan Pui-Po-giok?"

"Hah, perbuatan yang membanggakan begitu masakah tidak mau. Cuma ... cuma untuk mengalahkan rase cilik itu masakah begitu gampang?"

"Asalkan aku beritahukan suatu rahasia padamu, tentu kamu akan tahu bukan pekerjaan sulit untuk mengalahkan rase cilik itu dan dapat dilaksanakan siapa pun."

"Hah, rahasia apa?" seru Ban-lo-hu-jin kegirangan. "Lekas katakan, rahasia apa? Wah, Tuan Putri yang baik, lekas katakan padaku, memang sudah lama aku benci rase cilik itu."

"Betul, dia memang rase cilik yang maha licin. Sebab itulah meski sekarang dia kelihatan gagah perkasa, padahal segenap kungfunya sudah punah ..."

"Oo, apa betul?"

"tentu saja betul. Buat apa aku bohongimu?"

Sekaligus Ban-lo-hu-jin menjejalkan empat potong manisan ke mulut sehingga tidak sempat tertawa, gumamnya, "Aha, bagus, lihat saja cara bagaimana aku bereskanmu sekali ini."

"Tapi ingat, kamu hanya boleh mengalahkan dia dan dilarang mengganggu seujung rambutnya, kalau tidak ... " mendadak lenyap tertawa Siau-kong-cu dan menepuk sekenanya gunung gunungan disampingnya.

Ban-lo-hu-jin tidak mendengar sesuatu suara tapi sebagian gunung-gunungan itu mendadak rontok, sungguh tenaga pukulan lunak yang maha sakti. Keruan air muka Ban-lo-hu-jin berubah pucat tanyanya dengan suara gemetar, "Kenapa tidak boleh mengganggu dia?"

"Tentu saja ada alasannya, tapi kau pun tidak perlu tahu, terlebih jangan membocorkan rahasia ini. Kalau tidak, hendaknya kamu jangan menyesal nanti."

Siau-kong-cu tidak mengucapkan kata-kata keras, namun ucapannya cukup berwibawa dan membuat ngeri orang, nenek licin dan licik semacam Ban-lo-hu-jin juga mengkirik dibuatnya.

"Ai, Siau-kong-cu jangan kuatir, tidak nanti nenek berbuat yang tidak-tidak," kata Ban-lo-hujin.

Jilid 18. Misteri Kapal Layar Pancawarna

"Itu paling baik," ucap Siau-kong-cu, dengan tertawa, "Asalkan kau lakukan sesuai dengan perkataanku kelak tentu mendatangkan manfaat bagimu. Nah, boleh kau pergi saja sekarang."

Ban-lo-hu-jin, mengiakan dengan menunduk, waktu ia menengadah, ternyata si nona entah sudah menghilang ke mana.

******

Dalam pada itu kebanyakan di antara para ksatria yang berkerumun itu telah menemukan sesuatu yang mengherankan. Yaitu Nyo-Put-loh yang berhubungan erat dengan Pui-Po-giok dan tidak sayang bertempur mati-matian bagi anak muda itu kini ternyata sama sekali tidak memandang sekejap pun terhadap Po-giok, biarpun anak muda itu memanggilnya tetapi tidak digubrisnya, malahan terus menyingkir ke sana.

Ling-Peng-hi sendiri berdiri tegak dengan angkuhnya di sebelah sana dengan senyuman mengejek.

Dalam keadaan demikian Ce-Sing-siu yang menjadi tuan rumah merasa serba susah, ia berdiri tercengang tanpa berdaya.

Selagi Po-giok hendak menyusul Nyo-Put-loh yang hampir menyelinap ke dalam hutan sana, mendadak seorang berteriak "Hai, Po cilik apakah kamu hendak kabur? Ini nenek datang untuk menghajarmu!"

Seorang lantas muncul bersama lenyapnya suara. Dia ternyata Ban-lo-hu-jin adanya, dia benar-benar telah datang lagi, hal ini sungguh di luar dugaan orang banyak. Seketika Nyo-Put-loh membalik tubuh dan Pui-Po-Giok berhenti di tempatnya. Ling-Peng-hi juga terbelalak dan CeSing-siu berkerut kening. Para ksatria yang mulai bubar juga banyak yang putar balik.

Sementara itu Ban-lo-hu-jin sudah berdiri di depan Po-giok.

"Kamu benar-benar hendak bergebrak denganku?" tanya Po-giok sambil menarik napas.

"Dengan sendirinya benar," sahut Ban-lo-hu-jin dengan tertawa. "Orang lain takut padamu, tidak mungkin nenek juga takut padamu. Dalam sepuluh jurus pasti akan aku hajar kamu sehingga merangkak-rangkak minta ampun, kau percaya tidak?"

Diam-diam Po-giok mengeluh jawabnya dengan tersenyum pedih, "Boleh silakan!"

Tanpa terasa ia pandang Nyo-Put-loh sekejap, akan tetapi tokoh Wi-yang-pai itu justru melengos ke sana.

Po-giok tahu dirinya menjadi sasaran penyesalan orang banyak, diam-diam ia putus asa, terasa tiada arti lagi hidup baginya. Rasanya cuma "kematian" saja yang dapat digunakan untuk minta ampun kepada orang lain.

"Eh, anak baik, jangan menghindar, biar sekali kemplang nenek pecahkan kepalamu!" seru Ban-lo-hu-jin sambil mengayun tongkatnya.

Po-giok menggertak gigi, ia menjadi nekat, sama sekali tidak menghindar, sebaliknya malah menyongsong kemplangan tongkat lawan.

Semua orang sama bersuara tertahan, tampaknya kepala Po-giok pasti akan hancur dan darah berhamburan.

Siapa tahu ketika tongkat sampai setengah jalan mendadak berganti arah, dari kemplangan mendadak meleset ke samping menyerempet lengan baju Pui-Po-giok. Keruan Po-giok terkejut dan heran, semua orang juga melongo bingung.

"Cepat amat!" bentak Ban-lo-hu-jin. Segera ia putar tongkatnya, dalam sekejap ia serang lagi empat kali.

Diam-diam para penonton terkesiap, meski nenek ini terkenal licik dan licin, ternyata kungfunya juga tidak rendah, jarang orang kang-ouw yang mampu menandingi tongkatnya ini. Beberapa kali serangan Ban-lo-hu-jin itu sungguh sangat lihai dan berbahaya, hampir setiap kali selalu menyerempet lewat tubuh Pui-Po-giok. Anak muda ini juga melengong dan tidak habis mengerti sebab apa si nenek menyerangnya seperti orang gila.

Tapi dalam pandangan orang banyak, semua mengira kungfu Pui-Po-giok yang telah mencapai puncaknya sehingga apa pun juga serangan tongkat Ban-lo-hu-jin sukar mengenai sasarannya dan setiap kali selalu melesot dengan selisih setitik saja.

Akhirnya para penonton sama bersorak memuji Pui-Po-giok, Ce-Sing-siu dan Poa-Ce-sia juga berseri-seri, hanya Ling-Peng-hi saja yang tampak cemberut.

Dalam pada itu Ban-lo-hu-jin telah menyerang lagi tiga empat kali dan tetap tidak dapat merobohkan Po-giok.

"Aha, sepuluh jurus sudah penuh ... sepuluh jurus sudah lewat ..." banyak orang mulai berteriak-teriak membela Po-giok.

Mendadak Ban-lo-hu-jin membentak, tongkat mengemplang lagi dengan dahsyat. Akan tetapi bagi pandangan Po-giok, serangan si nenek jelas banyak memberi peluang baginya.

Terdengar Ban-lo-hu-jin berbisik perlahan, "Kenapa tidak lekas turun tangan, tolol!"

Po-giok melengong, tanpa terasa sebelah tangannya lantas menghantam.

Ia tahu kekuatan sendiri sudah lenyap, pukulan ini pada hakikatnya sukar merobohkan seorang biasa, apalagi tokoh serupa si nenek.

Siapa tahu, baru saja tangan bergerak, kontan Ban-lo-hu-jin meloncat ke atas sambil mengeluarkan suara jeritan ngeri, berturut-turut ia berjumpalitan dua tiga kali, lalu terbanting ke tanah dengan keras.

Tubuhnya yang gemuk itu terguling-guling beberapa kali dan menggelinding ke tengah kegelapan, lalu merangkak bangun terus kabur secepat terbang, kendali begitu ia masih sempat mencaci-maki, "Baik, Po cilik, ingat utangmu ini, tidak nanti kuampunimu."

Po-giok sendiri terkesima dan membatin "Sesungguhnya apa yang terjadi? Mengapa nenek yang licin ini berbuat demikian, untuk apa sebenarnya? Memangnya ada tipu muslihat keji di balik perbuatannya ini?"

Namun jelas orang telah mengorbankan diri sendiri untuk menyelamatkan jiwa dan namanya betapapun harus dipandang dari maksud yang baik, masakah ada muslihat keji segala.

*****

Saat itu Siau-kong-cu yang berbaju hijau dan berkopiah sembunyi di balik gunung-gunungan dan menyaksikan pertarungan itu dari jauh, melihat akhir dari pertarungan itu, ia pun heran dan juga gelisah.

"Apakah mungkin kungfu Po-ji sudah pulih kembali?" demikian ia tidak habis mengerti. "Tapi ... ah, tidak mungkin! Pasti tua bangka Ban-lo-hu-jin itu sengaja mengacau. Namun, apakah rase tua itu sudah gila? Memangnya apa manfaatnya dengan bertindak demikian?"

Meski biasanya ia sangat cerdik dan pandai berpikir, tidak urung sekarang ia merasa bingung. Sementara itu kawanan ksatria yang hadir itu sudah berubah sikap lagi, semuanya memberi penilaian lain pula terhadap Pui-Po-giok.

Siau-kong-cu menggigit bibir dan mengentak kaki omelnya perlahan, "Setan cilik boleh lihat, nanti baru kau tahu rasa!"

Sekali loncat, dengan ringan ia menghilang dalam kegelapan.

Sementara itu Po-giok masih berdiri termenung di sana dan bergumam, "Kenapa bisa begini? Sementara orang yang tidak perlu membikin susah aku justru mencelakai aku, orang yang pasti mencelakai aku berbalik tidak berbuat demikian ..."

Waktu ia memandang ke sana, terlihat Ling-Peng-hi berdiri di depan dan sedang menatapnya dengan tajam, sampai sekian lama, mendadak tangan terjulur hendak mencengkeramnya.

Keruan Po-giok terkejut, siapa tahu orang sama memegang pergelangan tangannya dan tidak ada maksud untuk perang tanding lagi, meski wajahnya tetap kaku dingin, namun di mulut ia berkata, "Sungguh kungfu yang hebat, tadi aku salah menilai dirimu."

"Tapi ... tapi ini ... " Po-giok gelagapan dan tidak dapat menjelaskan.

"Di antara kita memang masih harus perang tanding lagi, biarlah kita bertemu pula di puncak Thai-san pada malam bulan purnama nanti," kata Ling-Peng-hi pula, ia memberi salam dan tinggal pergi.

Poa-Ce-sia juga sudah mendekati Po-giok katanya, "Meski angkuh orang she Ling ini, namun jiwa ksatrianya harus dipuji juga. Berani bicara berani berbuat, memang seorang lelaki sejati Po-giok mengangguk dan mengiakan.

"Tapi bila dibandingkan anda, jelas bedanya sukar diukur," sambung Poa-Ce-sia dengan tertawa. "Apa yang telah anda perlihatkan tadi sudah cukup membuat orang tunduk benar-benar."

Po-giok menyengir, katanya, "Tapi ... tadi ... tadi ... "

"Apa pun kungfu Pui-siau-hiap memang sukar diukur dalamnya," tukas Ce-Sing-siu. "Sudah berpuluh tahun aku berkecimpung di dunia kang-ouw tidak sedikit jago kelas tinggi yang kutemui, tapi sekarang ... ai, bicara terus terang, sampai di mana letak kehebatan kungfu Puisiau-hiap saja tidak dapat kuraba."

Po-giok tersenyum getir, ia membatin di mana terdapat kehebatan kungfuku pun aku sendiri tidak tahu.

Dalam pada itu para ksatria telah berkerumun di sekitarnya, dengan gelisah Po-giok coba melongok ke sana, terlihat Nyo-Put-loh berdiri di kejauhan dan juga sedang memandang ke arahnya.

"Nyo-jit-cek ... aku ... " Po-giok coba berteriak.

Mendingan ia tidak bersuara, sekali ia berteriak. Nyo-Put-loh berbalik lantas melangkah ke sana malah. Keruan Po-giok tambah gugup.

Bilamana tenaganya belum lenyap, tentu dia akan mengejar ke sana menyisihkan orang yang mengerumuni dia. Sayangnya ia tidak bertenaga lagi, terpaksa ia saksikan Nyo-Put-loh menyingkir semakin jauh.

Kerumunan orang semakin ketat, banyak yang berceloteh membicarakan kemenangan Po-giok atas Ban-lo-hu-jin dan membuat Ling-Peng-hi ngacir ketakutan. Beramai-ramai para ksatria lantas menyongsong Po-giok ke tempat minum, ada yang memberi selamat, ada yang menyuguh arak...

Sementara itu Po-giok mendapat tahu dari Ce-Sing-siu bahwa Ban-Cu-liang, Thi-wah, Bok-Putkut dan lain-lain sedang sibuk mencari jejak Lu-In, Hi-Toan-kah dan lain-lain di samping juga mencari kabar tentang Po-giok. Akan tetapi dalam waktu singkat mereka juga akan berkumpul lagi di sini, sebab itulah Nyo-Put-loh menunggu di situ. Terpaksa Po-giok harus menunggu juga dan tinggal di rumah Ce-Sing-siu.

Namun Nyo-Put-loh ternyata tidak kembali ke kamarnya dan entah ke mana perginya. Sing-siu coba menghibur Po-giok, "Jangan kuatir Nyo-jit-hiap pasti akan pulang kemari."

Namun Po-giok tetap kuatir. Yang membuatnya tidak mengerti adalah Ban-lo-hu-jin. entah mengapa nenek itu bertindak begitu? Sesungguhnya apa maksudnya? Apakah di balik urusan ini ada biang keladinya?

Sudah jauh malam, suasana sunyi senyap, namun Po-giok tetap tidak dapat pulas.

Sekonyong-konyong daun jendela berdetak perlahan. Cepat Po-giok bangun dan membentak perlahan, "Siapa itu?"

"Sssst!" terdengar suara orang mendesis perlahan di luar jendela.

Cepat Po-giok membuka jendela, terlihat seorang menggelantung dengan kaki menggantol emperan dan kepala di bawah tepat di depan jendela. Siapa lagi dia kalau bukan Ban-lo-hu-jin.

Di bawah kegelapan malam yang remang-remang terlihat wajah si nenek menampilkan senyuman misterius, katanya lirih, "Po-ji cilik, nenek penolongmu datang menjengukmu, kenapa kamu tidak keluar bicara dengan dia?"

Po-giok terkejut dan bergirang, katanya dengan suara tertahan, "Memang hendak kucari dirimu untuk minta keterangan padamu mengapa engkau bertindak demikian?"

"Tidak perlu banyak omong kosong, lekas keluar saja." kata Ban-lo-hu-jin sambil menjulurkan sebelah tangannya untuk menarik Po-giok keluar.

Po-giok tidak bersuara, juga tidak meronta, membiarkan dirinya dibawa lari oleh si nenek ke tempat gelap sana. Setiba di tengah pepohonan yang rindang, cahaya lampu tampaknya cukup jauh, hanya terdengar kesiur angin dan gemercik air, jelas mereka sudah berada di suatu tempat pojok taman yang sepi.

Di situlah Ban-lo-hu-jin berhenti, lalu berkata dengan tertawa, "Po-ji cilik, apakah kau tahu sebab apa tadi nenek menolongmu? Padahal cukup aku menyerang sekali saja dengan sungguh-sungguh tentu nyawamu sudah amblas."

"Ya, aku sendiri tidak mengerti sebenarnya apa maksudmu berbuat begitu?"

"Hehe, kalau tidak kukatakan, selama hidupmu juga tak dapat menerka," ujar Ban-lo-hu-jin dengan tertawa sambil menjejalkan sepotong manisan ke mulut. "Saat ini kamu sama sekali tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya."

Po-giok memang merasa bingung bila teringat Siau-kong-cu sebentar baik dan sebentar jahat, ia pun tidak mengerti mengapa Hwe-mo-sin dapat membebaskan dia, dan sekarang Ban-lo-hujin juga bersikap sebaik ini kepadanya.

Katanya kemudian, "Ya, aku memang merasa bingung dan tidak tahu apa-apa. Mungkin engkau mengetahui rahasia urusan ini."

Ban-lo-hu-jin tidak menjawab melainkan bicara sendiri dengan tertawa, "Apakah kau tahu setiap tindak-tandukmu sekarang senantiasa berada di bawah pengawasan orang. Ke mana pun kau pergi dan apa pun yang kau lakukan tetap sukar lolos dari mata-telinga orang."

"Ini ... ini memang sudah dapat aku duga," ujar Po-giok dengan menyesal.

"Dan apakah kau tahu siapa yang sedang mengawasi dirimu?"

"Kutahu pasti orang Ngo-hing-mo-kiong, tidak jelas siapa dia."

"Hehe, padahal orang yang mengawasimu sebenarnya adalah kenalanku ... "

"Hah, maksudmu Siau-kong-cu?" potong Po-giok.

"Ehm, pintar juga kamu. Ya, memang dia."

"Bahwa aku telah kehilangan tenaga, jangan-jangan dia yang memberitahukan padamu?"

"Betul, kalau bukan diberi tahu oleh dia, mana aku berani bergebrak denganmu."

Sorot mata Po-giok menampilkan rasa senang, "Aha, kutahu, tentu dia yang minta padamu agar sengaja mengalah padaku."

"Hehe, sekali ini kamu salah terka. Meski minta jangan aku ganggu jiwamu, tapi mengharuskan aku merobohkanmu untuk membuat malu dirimu di depan umum. Dengan begitu terpaksa kamu akan mengesot kembali di bawah telapak kakinya. Ia membiarkan hidup padamu, sebab kamu masih berguna bagi Ngo-hing-mo-kiong."

Po-giok merasa mukanya di gampar orang, ia termenung seperti patung, sampai lama baru berkata dengan tersenyum pedih, "Dia juga tidak dapat disalahkan. Selama lima-enam tahun dia terpengaruh di tengah Ngo-hing-mo-kiong, tadinya dia seorang anak yang tidak tahu apa pun. Serupa sehelai kertas putih, setelah bergaul dengan kawanan iblis itu, dengan sendirinya putih berubah menjadi hitam."

"Sampai sekarang kamu tetap berpikir baik baginya?" tanya Ban-lo-hu-jin.

"Dengan sendirinya aku pikirkan dia, sebab pada dasarnya dia memang anak perempuan yang baik dan menyenangkan, meski sekarang dia belepotan warna kotor, namun aku bersumpah pada suatu hari pasti akan ... akan kucuci bersih dia."

"Hihi, kamu ternyata pemuda yang romantis juga."

"Dan siapa pula yang menyuruhmu agar mengalah padaku?"

Sembari makan manisan Ban-lo-hu-jin menjawab, "Ilmu silat orang ini sangat tinggi, kecerdasannya juga serupa malaikat dewata, biarpun tokoh-tokoh semacam Hwe-mo-sin, Boklong-kun, Toh-sin-kun, Kim-ho-ong dan lain-lain digabung menjadi satu juga tidak dapat membandingi satu jarinya."

"Wah, jika di belakangnya saja engkau tidak berani mengakali dia, tentu orang ini sangat luar biasa. Memangnya siapa dia?"

"Li kiong cu dari Pek cui-kiong, Cui-sian-nio-nio."

"Oo, bukankah dia ibu ... ibu Cui-Thian-ki?"

"Betul," jawab Ban-lo-hu-jin.

Kejut dan heran pula Po-giok, "Dia kan juga orang Ngo-hing-mo-kiong, mengapa dia bermurah hati padaku? Jangan-jangan lantaran Cui-Thian-ki."

"Cukup panjang jika urusan ini harus diceritakan dan tidak sederhana."

"Tapi kan dapat kau ceritakan dengan agak ringkas."

"Begini," tutur Ban-lo-hu-jin, "setelah Cui-Thian-ki menghilang, karena sedih memikirkan putri kesayangan, rasa gusar Cui-sian-nio-nio menimpa diri Bok-long-kun, Kim-ho-ong, Toh-liong-cu dan lain-lain, selama lima tahun ini, dengan kelihaian kungfu dan kecerdasannya ia telah memaksa keluar keempat majikan istana Kim, Bok, Hwe dan Toh, bahkan putra beberapa orang itu ditawannya pula sebagai sandera, lantaran itulah, biarpun majikan keempat istana itu sangat marah tidak berani sembarangan bertindak."

"Masakah dengan tenaga seorang saja ia sampai memaksa pergi majikan keempat istana yang lain?"

"Ya, dengan sendirinya ada yang membantunya, yaitu nenekmu ini," ujar Ban-lo-hu-jin dengan tertawa.

"Engkau membantu dia?" Po-giok menegas.

"Betul, aku yang mendampingi dia mendatangi setiap istana itu untuk mengadakan pertarungan dengan majikan keempat istana itu, berbareng itu diam-diam kami pun bertindak secepat kilat menawan putra mereka. Ketika majikan keempat istana itu kalah taruhan dan mengetahui anak mereka berada dalam cengkeraman kami, mau tak mau mereka harus angkat kaki dari istana masing-masing sesuai janji yang telah mengikat mereka. Yang aneh adalah Hwe-mo-sin, anaknya tidak tertangkap oleh kami, tapi dia juga menurut saja pergi dari istananya. Hehe, biarpun anak Hwe-mo-sin itu tiada sesuatu yang dapat dipilih, namun Hwe-mo-sin memandang anaknya melebihi nyawa sendiri."

Diam-diam Po-giok memahami duduknya perkara, "Tampaknya Hwe-mo-sin sama sekali tidak tahu menahu tentang persekongkolan putranya dengan Ong-Poan-hiap, ditambah lagi waktunya juga kebetulan sehingga Hwe-mo-sin mengira putranya juga ditawan oleh Cui-sian-nio-nio. Pantas juga selama ini dia tidak pernah minta keterangan padaku tentang jejak anaknya?"

Meski begitu pikirnya, di mulut ia berkata, "Jika, demikian Cui-sian-nio-nio tidak mau membebaskan sanderanya, kan majikan keempat istana yang lain juga tidak berani bertindak padanya?"

"Ya, terkecuali ada salah seorang dari keempat istana itu berani masuk ke Pek-cui-kiong mengalahkan Pek-cui Ho-jin dengan pertaruhan yang sama, kalau tidak, jelas Cui-sian-nio-nio takkan membebaskan sanderanya. Dan selamanya keempat istana yang lain juga jangan harap akan dapat mengalahkan Cui-sian-nio-nio."

"Oo, kiranya begitu ..." gumam Po-giok. Sekarang dapatlah ia menerka apa yang diminta Hwemo-sin adalah supaya dia masuk sendiri ke Pek-cui-kiong untuk menempur Pek-cui Ho-jin alias Cui-sian-nio-nio. Hal ini memang hanya dapat dilakukan olehnya, sebab di kolong langit ini hanya dia saja yang ada harapan akan mengalahkan Cui-sian-nio-nio.

Po-giok termenung sejenak, tiba-tiba ia tanya pula, "Jika Siau-kong-cu sudah tahu engkau juga orang Pek-cui-kiong, mengapa tetap .... "

"Orang semacam diriku, apa pun yang kulakukan tentu sudah aku rancang dulu secara diam-diam," sela Ban-lo-hu-jin. "Lalu dari mana orang lain bisa tahu?"

"Jika dirancang secara diam-diam, mengapa sekarang kau muncul juga."

"Kemunculanku ini adalah untuk mencari tahu gerak-gerik keempat istana yang lain, tanpa sengaja aku dapat tahu bahwa majikan keempat istana itu hendak menggunakan dirimu untuk menghadapi Cui-sian-nio-nio."

"Oo, jadi kau pun tahu hal ini?"

"Jika dia menyuruhku menjatuhkan namamu sebaliknya melarang aku ganggu seujung rambut dirimu, dengan sendirinya dia mengharapkan kamu bekerja bagi mereka. Bilamana keadaanmu kurang sehat, lalu cara bagaimana akan dapat mengalahkan Cui-sian-nio-nio? Dan bilamana kamu tidak menghadapi jalan buntu, masakah kau mau bekerja bagi mereka? Dalil ini kan sangat sederhana."

"Ya, rasanya memang begitulah," ucap Po-giok dengan menyesal.

"Dengan sendirinya memang begitu. Memangnya kau kira sebabnya Siau-kong-cu bersikap baik padamu, makanya tidak tega mencelakaimu? Ai, kamu memang pemuda yang romantis dan juga si tolol yang perlu dikasihani."

"Jika begitu, mengapa tidak kau bunuh diriku saja? Bila aku mati di bawah tongkatmu, bukankah akan selesai segalanya dan aku pun tidak dapat bekerja bagi keempat istana itu."

Ban-lo-hu-jin tertawa, katanya, "Jika kubunuh kamu dan diketahui Bok-Put-kut dan lain-lain, kan mereka akan membikin perhitungan denganku. Memangnya aku orang macam apa dan mau berbuat sebodoh itu? Apalagi, waktu itu Siau-kong-cu pasti mengawasi tindakanku di sekitar situ, belum tentu aku dibiarkan mancederaimu."

Ia merandek, wajah yang tersenyum welas asih itu mendadak berubah beringas. Sekilas pandang, tanpa terasa Po-giok menyurut mundur satu tindak.

Dengan suara parau nenek itu berkata pula "Jika sekarang kubunuh dirimu, maka setan pun takkan tahu. Padahal tadi semua orang menyaksikan aku dikalahkan olehmu, mimpi pun tiada orang menyangka tidak lama kemudian dapat kubunuh dirimu. Andaikan Bok-Put-kut dan lain-lain ingin menuntut balas juga takkan terpikir atas dirimu. Di tempat sepi ini, tidak nanti ada yang merintangi tindakanku. Jika sekarang kubunuhmu, kan sangat leluasa bagiku."

Wajah Po-giok tampak pucat pasi, ucapnya dengan menggertak gigi, "Sungguh perempuan keji ... "

"Hehe, boleh kau lihat dulu apa itu yang berada di semak-semak bunga sana?" kata Ban-lo-hujin dengan terkekeh sambil menuding ke sana, rupanya yang dimaksud adalah sebuah liang yang baru digali.

"Apakah ... apakah liang ini yang kau siapkan untuk mengubur diriku?" tanya Po-giok.

"Betul, setelah kubunuh dan mengubur mayatmu, biarkan para ksatria dunia kang-ouw mengira kamu sengaja menghilang lagi. Coba, baik tidak cara ini?"

"Hm, tadi kamu sengaja mengalah padaku dan mempertahankan nama baikku sekarang kau ancam pula diriku, cara demikian, jangan-jangan kau pun menghendaki sesuatu dariku?"

"Haha, memang betul, kamu ini memang pintar," sahut Ban-lo-hu-jin dengan tertawa. "Apabila kau mau menurut padaku, maka akan kuampuni jiwamu, kalau tidak ... "

"Yuh, tokoh semacam Hwe-mo-sin saja tidak mampu memeras diriku, apalagi cuma tua bangka dirimu ini ... " belum habis ucapan mendadak ia memegang perut dan menungging.

"Eh, ada apa?" tanya Ban-lo-hu-jin dengan heran.

Hanya dalam sekejap itu, dahi Po-giok tampak dihias butiran keringat sebesar kedelai, tubuh meringkuk dan gemetar serta kejang, jelas dia menahan rasa derita yang amat luar biasa, bibir tampak gemetar dan sukar bicara.

Sejenak Ban-lo-hu-jin mengamati anak muda itu, katanya kemudian, "Kamu keracunan atau terluka.

"Aku ... aku ..." Po-giok tidak sanggup meneruskan.

Ban-lo-hu-jin menaruh tongkatnya dan menegakkan tubuh Po-giok, dengan tangan kiri ia urut beberapa hiat-to di sekitar perut anak muda itu, setiap kali jari si nenek menggunakan tenaga, setiap kali Po-giok mengeluh perlahan. Kalau tidak terlampau sakit, tak nanti anak muda itu mengeluh.

"Sudah ada berapa lama kau derita penyakit seperti ini?" tanya Ban-lo-hu-jin.

"Selama dua hari ini, selang tidak lama tentu kumat satu kali, setiap kali tambah keras ... "

Betapapun tangkas seorang, bilamana sedang menderita tentu juga akan berubah menjadi lemah, maka terhadap pertanyaan orang lain seringkali tanpa terasa menjawab terus terang.

"Tak tersangka penyakitmu ternyata segawat ini," gumam Ban-lo-hu-jin, "Agaknya selain obat penawar dari perguruan mereka sendiri, orang lain sangat sulit untuk memulihkan tanagamu."

"Boleh kau ... kau pergi saja ... " kata Po-giok dengan lemah.

"Dengan sendirinya aku mau pergi," jengek Ban-lo-hu-jin. Ia jemput kembali tongkatnya dan menatap Po-giok sekian lama, lalu berkata pula, "Sebenarnya hendak kuampuni jiwamu agar kamu dapat bekerja bagiku. Siapa tahu kamu sudah berubah menjadi sampah yang tak berguna lagi."

Baru habis ucapannya, serentak tongkatnya bekerja, berturut-turut tiga hiat-to penting di tubuh Po-giok ditutuknya.

Po-giok menjerit tertahan, mendadak tubuh terpental dan tepat jatuh ke dalam liang yang baru digali itu. Liang itu sebenarnya digunakan oleh Ban-lo-hu-jin untuk menggertak Po-giok, siapa duga sekarang benar-benar dijadikan untuk liang kuburnya.

Akan tetapi setelah tongkatnya menutuk, tahu-tahu tubuh Ban-lo-hu-jin juga tergetar hingga terhuyung-huyung mundur beberapa langkah dan akhirnya "bruk", jatuh terduduk.

Air muka nenek itu berubah hebat, tangan pun tergetar berdarah, ia pandang Pui-Po-giok yang terperosot ke dalam liang itu dengan termangu-mangu, sorot matanya menampilkan rasa kejut dan heran.

Kiranya tadi ketika tongkatnya menutuk Po-giok tahu-tahu dari tubuh anak muda itu memantulkan semacam tenaga tolakan yang dahsyat sehingga Ban-lo-hu-jin pun tidak sanggup menahannya.

Ia jatuh terduduk dan termangu sejenak, akhirnya berkata dengan suara gemetar, "Jadi ... jadi tenagamu belum hilang melainkan cuma untuk membohongiku saja ... Aku kan tidak jelek padamu, hendaknya jangan ... jangan kau bikin susah padaku."

Ia sangsi dan curiga serta bicara sendiri, namun Po-giok yang terperosot ke dalam liang tidak memberi reaksi apa-apa, ia coba melemparkan sepotong tanah, anak muda itu tetap diam saja.

Akhirnya ia tabahkan hati dan merangkak ke sana, dilihatnya wajah Po-giok tetapi pucat gigi gemeretuk menahan sakit, waktu diraba, kaki dan tangannya sedingin es.

Maka legalah hati Ban-lo-hu-jin, ia berdiri bergumam, "Sungguh aneh, siluman cilik ini sudah sekarat masih juga menakuti orang."

Sampai di sini, rasanya ia pun mengkirik, cepat ia menggunakan tongak untuk menguruk tanah galiannya. Tampaknya Po-giok sudah terkubur dan tertinggal kepala saja yang masih menonjol ke permukaan tanah, sekonyong-konyong dari kejauhan seperti ada suara langkah orang ke sini.

Begitu mendengar suara, seketika Ban-lo-hu-jin menggunakan tongkat untuk menolak tanah sehingga tubuh melayang jauh ke sana terus menghilang dalam kegelapan.

Ketika tertutuk oleh tongkat, Po-giok merasa dari perut memancar hawa yang sukar ditahan dan tubuh terpental jatuh ke dalam liang. Walau sakit seluruhnya, rasa sakit dalam perut kontan sudah hilang, namun kaki dan tangan terasa lemas lunglai tanpa tenaga sedikit pun sampai jari pun sukar bergerak.

Perubahan yang aneh ini sampai ia sendiri tidak sanggup mengatakan apa sebabnya? Ia cuma mendengar Ban-lo-hu-jin bergumam sendiri di tepi liang dan nenek itu mulai menguruk tubuhnya dengan tanah dan dirinya tidak sanggup melawan sama sekali. Terpaksa ia pejamkan mata dan menggertak gigi serta mandeh diperlakukan sesuka orang, dalam gugupnya tadi Ban-lo-hu-jin ternyata tidak mengetahui anak muda itu masih bernapas dengan aneh. Juga masih punya daya rasa.

Po-giok merasakan tanah yang dingin lembab mulai membenam kakinya, perut dan dadanya, dan lambat laun mencapai lehernya. Karena dada teruruk tanah, napasnya semakin sesak, pikiran pun terlantur, entah takut, bingung atau apa?

Rasanya orang ditanam hidup-hidup memang sukar untuk dilukiskan.

Sampai akhirnya tanah mulai menaburi mukanya, rasa sesak napas sudah sukar ditembus, rasanya untuk selamanya sukar mengembuskan napas lagi. Siapa tahu pada saat terakhir itulah, mendadak Ban-lo-hu-jin lantas kabur.

Dengan sendirinya Po-giok tahu hiat-to yang tertutuk tongkat Ban-lo-hu-jin itu adalah bagian mematikan di tubuh manusia. Tapi mengapa sekarang dia tidak cedera apa pun juga, hal ini sungguh membuatnya tidak mengerti.

Pada saat itulah ia pun mendengar langkah orang yang semakin mendekat dan menuju ke semak bunga yang sepi ini, terdengar suara seorang berkata, "Di tempat ini pasti takkan terganggu dan boleh kita bicara dengan bebas."

Begitu mendengar suara orang ini, seketika hati Po-giok tergetar. Dirasakan suara orang ini sudah sangat dikenalnya. Sedapatnya ia meronta dan bermaksud melihatnya, bila dikenalnya, tentu orang akan dapat menolongnya.

Namun apa daya, ia tidak dapat bergerak juga tidak bisa bicara, muka pun tertutup tanah mana ia dapat memandang.

Terdengar seorang lagi berkata, "Jika ada urusan rahasia yang hendak kau rundingkan denganku, sepantasnya kau temui aku secara jujur dan terus terang, mengapa mesti main sembunyi kepala kelihatan ekor, pakai tutup kepala segala?"

Po-giok dapat mengenali suara orang yang dingin ini adalah Ling-Peng-hi, siapa lawan bicaranya belum diketahui.

Terdengar orang itu menjawab dengan tertawa, "Jika benar kau percaya padaku, tanpa melihat wajahku kan juga tidak menjadi soal. Jika pada dasarnya engkau memang tidak percaya padaku, kan juga tidak ada gunanya biarpun aku perlihatkan wajahku."

Ling-Peng-hi seperti berpikir sebentar, katanya kemudian, "Baik, ada urusan apa, silakan kau bicara saja."

Orang itu tidak menanggapi, tapi terus berlari sekeliling tempat ini, nyata cara bekerjanya sangat rapi dan cermat, meski jelas di sini tidak kelihatan orang lain toh masih juga diperiksanya dengan jelas.

Namun meski cermat tindak-tanduknya, mimpi pun dia tidak menyangka ada seorang Pui-Pogiok tertanam di situ dan sedang mendengarkan percakapan mereka.

Po-giok mendengar kesiur angin yang diterbitkan oleh kibaran kain baju, sejenak kemudian, rupanya orang itu telah berada di tempat semula, lalu berkata, "Dalam pertemuan di Thai-san ini, bila kepandaianmu dapat mengungguli para ksatria, maka dapatlah kau duduki singgasana Bu-lim-beng-cu (ketua perserikatan dunia persilatan), entah adakah maksudmu untuk ..."

"Dengan sendirinya kutahu hal ini, untuk apa kau singgung urusan ini?" jengek Ling-Peng-hi.

Perlahan orang itu berkata, "Tentu saja ada gunanya. Coba jawab, dalam pertemuan Thai-san nanti, lawan yang benar-benar merupakan seterumu yang paling tangguh, kecuali Pui-Po-giok dan Jit-tai-te-cu masih ada siapa lagi?"

"Hm, memangnya Jit-tai-te-cu pasti dapat menandingiku?" jengek Ling-Peng-hi. "Selain mereka orang lain juga tidak terpandang olehku."

Orang itu tersenyum, "Itu dia, bilamana dapat kusuruh orang-orang ini tak berdaya bertarung denganmu di Thai-san, kan dapatlah kau naik singgasana Bu-lim-beng-cu dengan mantap?"

Bergetar hati Po-giok, ia heran siapakah orang ini sehingga mempunyai kekuatan akan dapat membuat aku dan rombongan paman Bok tak berdaya bertempur dengan Ling-Peng-hi?"

Makin mendengarkan, dirasakan suara orang ini memang sangat dikenalnya, cuma sejauh ini tidak teringat siapa dia. Ia yakin daya ingat dan pendengaran sendiri cukup kuat, suara siapa pun asalkan pernah didengarnya satu kali pasti takkan dilupakan. Tapi sekali ini mengapa justru tidak ingat, ia pikir di dalam hal ini tentu ada sesuatu yang ganjil, tapi sebenarnya apa sebabnya? inilah yang ingin dipecahkannya. Namun makin dipikir justru semakin kacau.

Terdengar napas Ling-Peng-hi juga agak berat jelas pikirannya juga mulai goyah. Selang sejenak, akhirnya ia berkata, "Selamanya kita tidak saling kenal, untuk apa kau mau membantuku? Sebenarnya apa tujuanmu?"

"Jika tidak aku bantu, jelas maha sulit bagimu untuk merebut gelar Bu-lim-beng-cu," ujar orang itu dengan tertawa. "Untuk itu tentu kau sendiri cukup mengerti. Dan bila kamu sudah menduduki singgasana Beng-cu, tentu tidak boleh kau lupakan bantuanku, sedang aku pun tidak perlu ikut berebut kedudukan Beng-cu lagi. Jadi, bila ada kerja sama antara kita akan sama menguntungkan, kalau berlawanan akan sama rugi."

"Lantas apa yang kau harapkan dariku?" tanya Ling-Peng-hi.

"Asalkan kau tulis suatu perjanjian denganku, anggap aku sebagai saudara tua, selama hidup takkan membangkang, maka pasti dapat aku dukung dirimu menjadi Bu-lim-beng-cu."

"Tapi ... tapi dengan dasar apa harus aku percaya padamu?"

"Segera kamu akan menaruh kepercayaan penuh padaku," ujar orang itu.

Belum habis ucapannya, tiba-tiba dari kejauhan terdengar pula suara langkah orang.

"Lekas sembunyi, cepat ..." seru orang itu dengan suara tertahan.

Maka terdengarlah suara kesiur angin yang diterbitkan kain baju, menyusul suara langkah orang dari sana juga semakin mendekat dan ternyata juga masuk ke semak bunga ini.

Terdengar seorang di antaranya berkata, "kau bilang hendak mendamprat Po-ji, tapi mengapa kau bawa ke sini?"

Meski cemas suaranya, namun suaranya lemah kurang tenaga, kiranya dia Nyo-Put-loh adanya.

Lalu seorang menjawab dengan suara halus, "Betapapun harus kutanya padamu, sebab apa kamu marah-marah terhadap Po-ji?"

Dari suaranya dapat dikenali dia ini Gui-Put-tam.

Bahwa Gui-Put-tam dan Nyo-Put-loh mendadak juga datang kemari, keruan Po-giok terlebih terkejut. Ia kuatir Ling-Peng-hi dan tokoh misterius yang sembunyi di sekitar situ akan mendadak menyergap kedua paman guru itu, padahal luka Nyo-Put-loh belum lagi sembuh, betapa tinggi ilmu silat Gui-Put-tam bila disergap secara mendadak pasti juga akan celaka. Dan bila mereka berdua mati di sini, dengan sendirinya tak dapat lagi menuju Thai-san untuk bertanding dengan Ling-Peng-hi.

Makin dipikir makin kuatir, namun apa daya untuk bernapas saja sulit, dengan sendirinya juga tidak dapat bersuara, sekujur badannya teruruk tanah, jari saja tidak sanggup bergerak, apalagi ingin memberi tanda.

Terdengar Nyo-Put-loh sedang berkata dengan suara gemas, "Bocah Po-ji ini akhir-akhir ini memang rada menjengkelkan, tindak tanduknya sukar dimengerti. Misalnya tadi, jelas-jelas ia sudah berada di sini, tapi baru muncul setelah aku dibikin malu di depan umum. Memangnya apa sebabnya betapapun harus kutanya dia hingga jelas."

"Kenapa tadi tidak kau tanya dia?" kata Gui-Put-tam.

"Setelah menang tanding, pada hakikatnya dia tidak memandang sebelah mata lagi padaku, mana dia sudi menemuiku," kata Nyo-Put-loh dengan gemas. "Memang betul, waktu itu dia dikerumuni orang banyak, tapi kalau mau kan dia dapat menerobos keluar untuk menemui aku. Karena mendongkol, sengaja aku tinggal pergi saja."

Diam-diam Po-giok berduka dan geleng kepala karena disalah-pahami sang paman.

"Dan sekarang apa kehendakmu?" tanya Gui-Put-tam kepada Nyo-Put-loh.

"Akan kutanya dia sebab apa dia bersikap demikian terhadapku dan selama beberapa hari ini dia pergi ke mana? Sesungguhnya dia sedang main gila apa?"

Gui-Put-tam berpikir sejenak, katanya kemudian, "Rahasia urusan ini mungkin selamanya takkan kau ketahui."

"Mengapa selamanya takkan kuketahui?" tanya Nyo-Put-loh.

"Sebab ..." mendadak Gui-Put-tam menuding ke belakang Nyo-Put-loh dan membentak "Siapa itu?"

Waktu Nyo-Put-loh berpaling, ternyata tiada seorang pun yang terlihat, ucapnya heran, "Mana ada orang ...."

Belum lanjut ucapannya, mendadak Gui-Put-tam bekerja secepat kilat, punggung Nyo-Put-loh dengan tepat kena dihantam. Kontan Put-loh menjerit dan menyemburkan darah segar, tubuh pun mencelat.

Kejadian ini sungguh, mimpi pun tak terduga oleh Po-giok, sama sekali ia tidak mengerti GuiPut-tam dapat turun tangan keji terhadap saudara angkat sendiri. Apa tujuannya? Apakah pengaruh jiwanya yang tamak?

Perlahan Gui-Put-tam mendekati Nyo-Put-loh, terlihat mata Nyo-Put-loh melotot, gigi terkatup rapat, ujung mulut mencucurkan darah, dua titik air mata meleleh. Darah itu melukiskan rasa dendam dan gusarnya, air mata menunjukkan duka dan kecewa sebelum ajalnya. Nyata mati pun ia penasaran.

Tanpa terasa Gui-Put-tam bergidik, gumamnya, "Lo-jit, jangan kau salahkan diriku, terpaksa aku bertindak demikian, jika kau rasakan kesepian menuju ke akhirat, biarlah segera aku carikan teman perjalanan bagimu."

Nadanya semula kedengaran merasa menyesal, tapi akhirnya tersembul senyuman licik, suara pun berubah dingin dan keji. Mendengar suaranya, tanpa terasa Po-giok pun bergidik, pikirnya, "Siapa lagi yang akan dicelakai olehnya? .... Siapa .... "

Pada saat itulah tiba-tiba dalam kegelapan ada orang berkata, "Bagus sekali caramu bekerja, Gui-lo-ngo!"

Dari suaranya yang aneh dapat diketahui dia itulah si orang yang misterius tadi.

Gui-Put-tam tertawa dan menjawab," Ah, hanya urusan kecil ini kan belum apa-apa."

"Asalkan bekerja terus begini, segala sesuatu yang kau harapkan pasti akan terkabul, kujamin harta benda yang tak terkira besarnya di dunia ini pasti akan kau peroleh."

"Aku pun dapat menjamin padamu beberapa jiwa orang itu pasti akan aku bereskan," sahut Gui-Put-tam dengan tertawa.

"Bagus, bekerja terus!" kata suara misterius itu.

Ngeri Po-giok mendengar percakapan singkat itu dan mandi keringat dingin. Sekarang diketahuinya bahwa antara Gui-Put-tam dan tamu misterius itu ada persekongkolan, dan tamu misterius ini jelas orang Ngo-hing-mo-kiong.

Dari percakapan mereka itu dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Ngo-hing-mo-kiong telah dapat membeli Gui-Put-tam yang berjiwa serakah dan Gui-Put-tam akan diperalat untuk menumpas ketujuh murid utama, lalu Pui-Po-giok yang dijadikan sasaran fitnah. Jika ketujuh perguruan besar dunia persilatan sudah memusuhi Pui-Po-giok, maka tiada tempat berpijak lagi dunia kang-ouw, bagi anak muda itu.

Begitulah Po-giok terkejut dan gusar pula, tapi juga bersyukur semua itu dapat didengarnya langsung tanpa sengaja, kalau tidak, siapakah yang menyangka Gui-Put-tam ternyata berjiwa sekotor ini. Tapi ... dapatkah kukeluar dari kuburan ini?

Terdengar suara langkah orang dalam kegelapan, suara misterius tadi bergema pula, "Lingsiau-ceng-cu, urusan tadi telah kau saksikan sendiri, bagaimana pendapatmu?"

"Aku ... aku .... " terdengar suara Ling-Peng-hi tergagap. Agaknya dia terkesiap oleh kejadian tadi dan seketika tidak sanggup bicara.

"Sekarang kau percaya keteranganku atau tidak?" tanya suara misterius itu.

"Ya, percaya." terdengar Ling-Peng-hi menjawab dengan suara lemah. Lalu terdengar suara kresek-kresek, suara misterius tadi berkata pula, "Di sini tersedia tiga helai surat perjanjian, asalkan kau tulis namamu dan menanda tangani, maka terjadilah kerja sama kita, mati-hidup bersama, kaya miskin ditanggung bersama."

"Tapi ...."

"Kesempatan sukar dicari lagi, apa yang kau ragukan pula?"

Agaknya pikiran Ling-Peng-hi tergerak akhirnya ia berseru, "Baik, kuterima dengan baik ..." Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba terdengar pula suara ramai orang berlari kemari, jumlahnya ternyata tidak sedikit.

Baru saja Ling-Peng-hi dan si tamu misterius sembunyi, rombongan orang itu pun mendekat, Gui-Put-tam tampak di depan diiringi Ce-Sing-siu, Poa-Ce-sia dan belasan jago kang-ouw yang lain.

"Dari mana Gui-heng tahu Nyo-jit-hiap datang kemari?" terdengar Ce Sing-siu bertanya.

"Tadi Lo-jit sudah bertemu denganku, katanya Po-ji akan dibawa kemari untuk diberi hajar adat ... Ai, tambah tua perangai Lo-jit semakin keras, sebaliknya Po-ji ... ai, maklum juga, masih muda sudah termashur, kaum tua seperti kita ini tidak terpandang lagi olehnya. Aku jadi kuatir terjadi sengketa antara mereka, sebab itulah kuajak kalian ke sini untuk mendamaikan mereka."

"Menjadi juru damai mereka merupakan tugas kami," kata Ce-Sing-siu.

"Tadi di sini suasana sunyi senyap, mana ada orang?" ujar Poa-Ce-sia.

"Coba kita cari ... Lo-jit ... Po-ji, di mana kalian? .... " seru Gui-Put-tam. Lalu terdengar suara langkah orang terpencar, agaknya sedang mencari kian kemari. Tiba-tiba seorang menjerit, "Wah, celaka, ini ... ini Nyo ..."

Karena kagetnya, suaranya menjadi gemetar dan terputus. Orang lain tidak tahu jelas apa yang dikatakan, namun sama memburu ke sana, dan segera melihat jenazah Nyo-Put-loh sudah menggeletak kaku di situ dengan wajah beringas.

Ce-Sing-siu sama berteriak, "Ai, apa ... apa yang terjadi ini? Siapa yang turun keji terhadap Nyo-jit-hiap? Ke mana perginya Pui-siau-hiap?"

Di tengah kepanikan itu, Gui-Put-tam berlagak mendekap mayat Nyo-Put-loh dan menangis sedih.

Menyusul ada orang menemukan huruf goresan jari Nyo-Put-loh sebelum ajalnya dan berteriak "Hei, di sini ada tulisan!"

Segera ada orang menyalakan obor, lalu seorang berteriak, "Hei, sebuah huruf Po, sebelum menemui ajalnya untuk apa Nyo-Jit-hiap menulis huruf ini?"

"Wah, jangan-jangan maksudnya ... maksudnya Pui-siau-hiap ... "

Gui-Put-tam berlagak menjerit sedih, "O, Po-ji, Pui-Po-giok, pasti dia yang turun tangan keji, kalau tidak masakah Lo-jit sama sekali tidak berjaga, siapa pula di dunia ini mampu membinasakan Lo-jit dengan sekali pukul?"

Serentak orang banyak sama mencaci maki, "Ya, pasti perbuatan Pui-Po-giok, sungguh tidak tersangka begini keji caranya"

Dengan berlagak menangis sedih Gui-Put-tam berseru, "Makanya kalian harus membantuku membekuk keparat yang kotor ini."

Berbareng orang banyak berteriak menyatakan setuju.

Pedih dan penasaran Po-giok, ia tahu bilamana sekarang dirinya ditemukan, tentu Gui-Put-tam takkan memberi kesempatan bicara padanya dan langsung akan membunuhnya.

Walaupun mati-hidup baginya sudah tak terpikir lagi, tapi bila intrik keji Gui-Put-tam itu tidak dibongkarnya, sungguh mati pun ia tidak tentram. Maka apa pun jadinya dia harus hidup terus.

Terdengar orang banyak sama lari pergi, banyak yang menginjak lewat di atas tubuhnya, tapi tiada yang menyangka anak muda yang hendak mereka cari itu tertanam di bawah tanah yang baru mereka langkahi, dalam keadaan ramai juga tiada seorang pun yang menemukan kelainan beda tanah yang mereka injak.

Po-giok merasa jantung sendiri berdebur keras dan tambah berat, gendang telinga pun seakan pecah tergetar.

Pada saat itulah tubuhnya yang dingin itu tiba-tiba timbul semacam rasa panas, seperti api mendadak membakar dalam tubuhnya. Dalam sekejap seluruh anggota badan dan isi perut terasa sakit terbakar dan hampir tak tertahankan.

Akan tetapi pada saat yang sama anggota badan yang semula lemah dan tak dapat bergerak itu mendadak bertenaga lagi berikut rasa sakit terbakar itu. Kerongkongan seperti dapat mengeluarkan suara lagi.

Ia ingin meronta dan berusaha berteriak. Akan tetapi bila ia bersuara dan sedikit bergerak segera jejaknya akan ketahuan.

Jika dalam keadaan biasa, betapa siksa derita juga dapat ditahannya, tapi sekarang mental maupun fisiknya dalam keadaan lemah sehingga rasanya tidak tahan derita seakan dibakar itu. Meski ia menggertak gigi dan bertahan sekuatnya tetapi sukar mengendalikan hasrat akan meronta dan berteriak itu.

Selagi dia hampir gila harus melawan pertentangan batin itu, sekonyong-konyong guntur berbunyi, hujan lebat pun turun bagai dituang. Air hujan menyiram tanah dan merembes ke baju Po-giok, tubuh Po-giok yang panas bagai dibakar itu menjadi agak segar, rasa sakit banyak berkurang, pikiran pun segera jernih kembali.

Lapisan tanah yang menutup muka Po-giok memang tidak terlalu tebal, setelah diguyur air hujan, dapatlah Po-giok membuka mata sehingga terlihat air hujan yang lebat itu. Api sudah padam di tengah hujan terdengar suara bentakan berkumandang dari jauh. Suara langkah orang banyak pun menjauh dan suasana kembali sepi.

Hujan semakin lebat, rasa sakit serupa dibakar sudah lenyap dari tubuh Po-giok, ia merasa lelah lahir batin, kelopak mata terasa sangat berat. Segala apa terasa pula berjarak sangat jauh, akhirnya ia terpulas.

*****

Tanggal 13 bulan delapan, bulan sudah mendekati bulat.

Pertemuan kaum ksatria di puncak Thai-san sudah tinggal dua hari lagi.

Sinar bulan terang benderang, bintang sangat terang, malam sudah larut.

Ban-tiok-san-ceng yang terletak di kaki Thai-san itu merupakan tempat berkumpul kaum ksatria, namun suasana dalam perkampungan sekarang sudah sunyi senyap, agaknya untuk dapat mengikuti pertandingan di puncak gunung esok paginya para ksatria sengaja mengaso lebih dini daripada biasanya.

Suasana sangat hening, hanya pada sebuah kamar yang terletak di sudut barat taman terlihat ada cahaya lampu.

Di bawah cahaya lampu yang redup duduk berhadapan Bok-Put-kut, Kong-sun Put-ti dan CiokPut-wi. Ketiganya sama diam dengan kening berkerenyit murung.

Akhirnya Bok-Put-kut menghela napas panjang, ucapnya sedih, "Lebih dulu Nyo-jit-te meninggal dengan terluka parah, lalu Kim-lo-ji tewas minum arak beracun, semalam Se-bunlak-te juga disergap orang dan sekaligus terkena tiga macam senjata rahasia berbisa, tampaknya juga sukar tertolong lagi. Teringat waktu kita berdelapan sama masuk perguruan, kita telah bersumpah akan sehidup dan semati, tapi sekarang, ai ..."

Setelah menghela napas panjang, lalu ia menunduk.

"Selama aku masih dapat bernapas, aku bersumpah pasti akan menuntut balas," ucap Ciok-Put-Wi dengan air mata bercucuran.

"Ya, harus menuntut balas," tukas Kong-sun-Put-ti. "Tapi biarpun benar Nyo-jit-te tewas di tangan Po-giok, masakah Lo-ji dan Lo-liok juga terbunuh oleh anak muda itu? Jika pembunuh yang sebenarnya saja kita tidak tahu, cara bagaimana kita dapat menuntut balas?"

"Dari ucapanmu ini, apakah kau maksudkan kematian Lo-ji dan Lo-liok tidak ada sangkut pautnya dengan Pui-po-giok?" tanya Bok Put-kut.

"Ehm, begitulah," Kong-sun Put-ti mengangguk.

"Tapi, selain Pui-Po-giok, siapa pula yang dapat dan mampu menyergap mereka?"

"Hendaknya kau perhatikan hal-hal ini. Kematian mereka itu sama sekali tidak ada tanda ada perlawanan, ini menunjukkan sebelumnya mereka tidak berjaga-jaga, dari sini dapat ditarik kesimpulan orang yang mencelakai mereka pasti sudah dikenal baik ... "

"Ya, makanya aku yakin pembunuhnya pasti Pui-Po-giok," tukas Bok-Put-kut.

"Tapi setelah Jit-te dicelakai po-giok, tentu Lo-ji dan Lo-liok memandangnya serupa binatang berbisa, begitu bertemu pasti akan melabraknya, mana mungkin mereka menghadapinya dengan tenang?" kata Kong-sun Put-ti.

Bok-Put-kut melengong dan tidak dapat menjawab.

"Tepat!" seru Ciok-Put-wi.

Agak lama Bok-Put-kut terdiam, katanya kemudian, "Jika orang ini bukan Po-ji, namun juga seorang yang sudah sangat kita kenal, lantas siapa ... siapa dia? Apakah mungkin ..."

Sungguh ia tidak tahu siapakah di antara orang yang sangat dikenalnya bisa berbuat sekeji itu. Biasanya dia tidak berani sembarangan menduga jelek terhadap siapa pun, maka ia hanya menghela napas menyesal saja.

Perlahan Kong-sun Put-ti berkata pula, "Harap Toa-ko berpikir lagi, di antara saudara kita, siapakah kiranya yang paling gampang dipancing dengan keuntungan. Sesudah Lo-ji dan Lo-jit mati, siapa pula yang paling dahulu menemukan mereka?"

Tubuh Bok-Put-kut tergetar, mendadak bentaknya dengan mata mendelik, "Jangan-jangan kau maksudkan Gui-lo-ngo? Mana boleh kau curigai dia? Jangan ... jangan kau lupa, antara kita dan dia sebaik saudara sekandung."

"Urusan sudah sejauh ini, kita harus menaruh curiga terhadap setiap orang yang pantas dicurigai lebih baik salah duga daripada urusan bertambah parah ..."

"Betul, biar aku pergi melihatnya," kata Ciok-Put-wi.

Selagi Bok-Put-kut hendak mencegahnya, cepat Kong-sun-Put-ti menariknya, katanya, "Cara bekerja Si-te biasanya sangat cermat, jika dia mau pergi, urusan pasti beres.

Sejenak kemudian Ciok-Put-wi sudah lari kembali dan berkata singkat kepada mereka, "Ikut kemari!"

Bok-Put-kut dan Kong-sun-Put-ti tidak tahu apa maksudnya, terpaksa mereka ikuti kehendaknya.

Ciok-Put-wi dan Bok-Put-kut bertiga tinggal sekamar, sedang Gui-Put-tam sekamar dengan GuThi-wah dan Kim-Co-lim. Waktu Bok-Put-kut bertiga mendorong pintu kamar Gui-Put-tam dan melihat keadaannya, seketika air muka mereka berubah.

Dalam kamar yang agak gelap terlihat Thi-wah tidur mendengkur, Kim-Co-lim mabuk serupa orang mati, sedang Gui-Put-tam menggeletak kaku di lantas dengan mulut berbusa, sebuah cangkir di sampingnya terjatuh hancur.

"Celaka, jangan-jangan Gui-go-te keracunan!" seru Bok-Put-kut.

Kong-sun-Put-ti memburu maju dan mengangkat tubuh Gui-Put-tam dan memeriksa kelopak matanya serta memegang nadinya, lalu secepat kilat ia tutuk beberapa hiat-to di sekitar dada Gui-Put-tam.

Ciok-Put-wi telah menyalakan lampu dan memeriksa poci teh dengan teliti, katanya kemudian, "Dalam teh ada racun!"

Air mata Bok-Put-kut bercucuran, ia raba kepala Gui-Put-tam dan berkata dengan sedih, "O, Go-te, hampir saja kami salah sangka padamu ..."

"Betul, tadi aku memang salah menuduhnya," ucap Kong-sun-Put-ti.

Ia merasa menyesal, sebab kalau benar Gui-Put-tam pelaku jahat, mana mungkin ia sendiri pun keracunan.

"Apakah dia juga ... juga tak tertolong lagi?" tanya Bok-Put-kut.

"Untung kita keburu datang, racun belum menyerang jantungnya, bila terlambat setengah jam saja, tentu jiwa Go-te akan melayang," ujar Kong-sun-Put-ti.

Lalu ia mengeluarkan sebuah kotak kecil yang berisi beberapa botol kecil, dari salah satu isi botol kecil itu dituangkan ke mulut Gui-Put-tam. Itulah obat penawar Bu-tong-pai yang terkenal mujarab.

Tidak lama, tubuh Gui-Put-tam dapat bergerak, mulut pun mengeluarkan suara keluhan, menyusul dan mulut pun merembes keluar air warna hijau gelap.

Kong-sun-Put-ti mengusap keringat pada dahinya dua berucap lega, "Dia tidak berhalangan lagi."

Bok-Put-kut juga menghela napas lega dan duduk terkulai.

"Go-te sudah lolos dari bahaya. cukuplah kujaga dia di sini, silakan Si-te dan Toa-ko pergi mengaso dulu, menghadapi pertarungan yang sudah dekat, Toa-ko perlu istirahat secukupnya," kata Kong-sun-Put-ti.

Akhirnya Bok-Put-kut dapat dibujuk Ciok-Put-wi dan pergi mengaso. Thi-wah masih tidur lelap. Kim-Co-lim juga belum sadar dari mabuknya. Semua kejadian di dalam kamar sama sekali tidak dirasakan oleh mereka.

Kong-sun-Put-ti tersenyum memandangi mereka, gumamnya, "Sungguh beruntung mereka ..."

Pada saat itulah tiba-tiba di luar jendela ada orang bertepuk tangan sekali.

"Siapa itu?" bentak Kong-sun Put-ti cepat.

Tak terduga, belum lagi lenyap suaranya, sekonyong-konyong Gui-Put-tam yang rebah di tempat tidur itu melompat tangan, berbareng beberapa titik perak menyambar punggung Kong-sun Put-ti secepat kilat.

Betapa cerdik pandai Kong-sun-Put-ti juga tidak menyangka akan diserang dari belakang, apalagi suara ngorok Thi-wah sekeras bunyi guntur sehingga suara sambaran senjata gelap tidak terdengar.

Maka begitu titik perak berkelebat, menyusul Kong-sun-Put-ti pun menjerit dan tergelepar ke depan dan terhuyung-huyung, ia sempat melompat keluar jendela dan lari dengan cepat.

Gui-Put-tam angkat kepalanya dan memandang keluar jendela sekejap, tersembul senyumannya yang licik. Setelah terkena senjata rahasia berbisa, ditambah lagi lari cepat tentu racun akan bekerja terlebih keras, mungkin tidak sampai beberapa tombak jauhnya akan menggeletak dan tidak dapat bangun lagi. Lalu siapa di dunia ini akan menduga semua ini adalah perbuatan Gui-Put-tam?

Kiranya Gui-Put-tam yang kelihatan keracunan itu tidak lebih cuma pura-pura sengaja dan sengaja diaturnya agar orang lain tidak mencurigai dia, untuk itu dia sudah minum obat penawar lebih dulu sebelum minum teh beracun. Jadi keadaannya yang tidak sadar itu hanya pura-pura saja, biarpun tidak diberi obat oleh Kong-sun-Put-ti juga dia takkan mati.

Ketika pintu kamar berbunyi, kembali Bok-Put-kut dan Ciok-Put-wi menerjang masuk. Tapi GuiPut-tam keburu rebah lagi dan berlagak tidak sadar.

Bok-Put-kut memandang kian kemari, katanya dengan heran dan kuatir, "Siapa tadi yang menjerit? Wah, ke mana perginya Kong-sun jit-te?"

Cepat mereka berusaha membangunkan Kim-Co-lim dan Gu-Thi-wah serta ditanya, "Sesungguhnya apa yang terjadi di dalam kamar barusan, kalian tahu tidak?"

Dengan sendirinya Kim-Co-lim dan Thi-wah merasa bingung, mereka balas tanya malah, "Memangnya apa yang terjadi?"

Selagi Bok-Put-kut hendak mengomel, mendadak Ciok-Put-wi berseru, "Lihat apa Itu?"

Waktu semua orang memandang ke arah yang ditunjuk, terlihat di dekat jendela sana ada beberapa titik bekas darah, sebagian daun jendela juga sudah rusak terjebol.

"Hah, apakah Kong-sun-jit-te juga disergap musuh? Apakah dia terluka dan mengejar musuh?" seru Bok-Put-kut. "Tapi mengapa dia tidak ... tidak memberi tanda kepada kita, mana boleh dia mengejar musuh sendirian?"

"Cepat susul!" seru Ciok-Put-wi dan mendahului melompat keluar jendela.

Akan tetapi meski seluruh perkampungan itu sudah mereka cari ubek-ubekan tetap tidak menemukan jejak Kong-sun-Put-ti. Ternyata Kong-sun-Put-ti telah menghilang.

Di antara ketujuh murid utama sekarang tiga orang terluka parah atau mati, seorang keracunan dan seorang menghilang, tentu saja berita ini sangat menggemparkan dunia kang-ouw. Kejadian ini membuat sebagian besar orang kang-ouw merasa senang dan ada yang ikut berduka cita. Nyata pertarungan di Thai-san nanti telah berkurang beberapa lawan kuat.

Padahal pertemuan di Thai-san akan berlangsung besok, tentu saja Bok-Put-kut dan Ciok-Put-wi tidak berdaya dan kelabakan, hanya dalam semalam saja wajah mereka sudah berubah pucat karena kurang makan dan tidak tidur.

Meski waktu pertandingan ditentukan pada malam bulan purnama, tapi pada pagi hari tanggal 15 di puncak Thai-san sudah berjubel-jubel orang yang berkumpul.

Pada setiap tempat yang agak teraling, di balik batu karang, di tengah semak, di mana saja asal ada tempat luang tentu terdapat sebuah peti mati baru.

Sebelumnya memang sudah timbul macam-macam dugaan ketika melihat peti mati itu, maka sekarang kebanyakan orang tidak heran lagi. Malahan banyak orang yang menggunakan peti mati itu sebagai tempat duduk atau tempat berbaring untuk menanti datangnya malam dan terbitnya bulan purnama.

Lewat lohor kebanyakan tokoh utama yang akan ikut pertandingan ini sudah hadir. Dengan sendirinya beberapa tokoh terkenal menjadi buah tutur orang.

Poa-Ce-sia adalah pendekar ternama, dia paling dini sampai di tempat. Menyusul tokoh terkemuka lain seperti Go-Tong-lin dari Tiang-pek-san, Be-Siok-coan yang berjuluk si tombak sakti Ciang-Siau-bin yang berjuluk Bu-ceng-kong-cu atau pemuda tidak kenal kasihan, dan jago-jago muda lain lagi.

Akan tetapi tokoh yang paling dinanti-nantikan akan kahadirannya dalam pertarungan ini sampai sang surya sudah terbenam masih juga belum tampak muncul, hal ini segera menimbulkan pembicaraan orang banyak lagi.

"Kabarnya Thian-to Bwe-Kiam sudah lebih dulu sampai di kaki gunung bersama Ban-Cu-liang dan Jit-toa-te-cu, mengapa rombongan mereka belum tampak muncul?" demikian seorang mengomel.

Lalu yang lain menanggapi, "Mungkin disebabkan urusan yang menyangkut Jit-toa-te-cu sehingga dia datang terlambat. Jit-toa-te-cu sekarang tinggal dua orang saja, apalagi sampai kini juga tidak kelihatan bayangan Bok-Put-kut, sekali ini jelas mereka tidak sanggup ikut bertanding, andaikan ikut juga takkan tahan sekali hantam oleh musuh."

"Sungguh aneh dan sukar dimengerti bahwa Jit-toa-te-cu yang termashur itu bisa jatuh habis-habisan seperti sekarang."

Kukira yang paling aneh adalah orang yang dipandang paling besar harapannya akan keluar sebagai juara nanti, ternyata sampai sekarang juga belum kelihatan."

"Siapa yang kau maksudkan?"

"Thian-siang-hui-hoa Ling-Peng-hi."

"Oo, dia? Mengapa bisa dia?"

"Hehe, berita yang aku peroleh ini datang dari sumber yang sangat dirahasiakan, maka sementara ini tidak dapat aku jelaskan. Namun hal ini sudah dapat dipastikan, jika tidak percaya boleh kalian tunggu dan lihat nanti."

"Lantas bagaimana dengan Pui-Po-giok?"

"Pui-Po-giok? Huh, mungkin selamanya dia takkan muncul lagi di depan umum ..."

*****

Selain peti mati yang disembunyikan di sana sini, ternyata di samping puncak gunung yang rimbun oleh pepohonan dan di celah-celah batu padat sana masih ada sebuah peti mati.

Tampak dua lelaki, seorang berjubah satin dan yang lain berbaju biru, dengan susah payah akhirnya dapat mencapai samping gunung itu, si lelaki baju biru menarik napas lega, katanya dengan tertawa, "Walaupun sukar mencapai tempat ini, tapi sekali sudah berada di sini, dapatlah kita menyaksikan pertandingan dengan tentram, peti mati bukan lambang yang baik, namun enak juga duduk di atasnya seperti berada di panggung kehormatan."

Lelaki berjubah satin mengebut debu pada bajunya, ucapnya dengan tertawa, "Betul, menonton keramaian dari sini sungguh seperti beli karcis kelas utama."

Dan baru saja kedua orang duduk di atas peti mati itu, tiba-tiba terdengat suara "ciiat" sekali, suara tajam melengking yang mengejutkan, apalagi timbul dari dalam peti mati. Keruan kedua orang sama melonjak kaget setengah mati.

Tanpa pikir si baju satin segera angkat kaki hendak kabur, namun kawannya si baju biru sempat menariknya, lalu membentak, "Sia ... siapa itu yang berada di dalam peti?"

Terdengar suara terkekeh aneh di dalam peti mati, "Hehehe, orang mati di dalam peti, orang hidup, lekas menjauh!"

"Sesungguhnya kamu manusia atau setan?" bentak si baju biru.

"Tidak perlu urus aku manusia atau setan?" ujar suara aneh itu. "Jika kalian berani lagi duduk di atas peti, maka jangan harap kalian dapat pergi dengan hidup. Kalau tidak percaya, silakan saja coba."

Meski tubuh kedua orang itu cukup gede, namun nyali mereka ternyata kecil. Mereka saling pandang sekejap, lalu lari sipat kuping dan terguling-guling ke bawah gunung.

Kembali terdengar suara terkekeh-kekeh di dalam peti, tutup peti pun tersembul ke atas dengan perlahan, lalu menongol sebuah kepala dengan rambut beruban, ucapnya dengan tertawa, "Hehe, enak-enak aku rebah di sini untuk menonton keramaian, kalian justru duduk di atas kepalaku kan mencari penyakit? Bilamana bukan lantaran aku tidak ingin menampakkan diri sekarang, saat ini jiwa kalian pasti sudah melayang."

Sembari bicara ia terus meraba sepotong manisan ceremai dan dijejalkan ke mulut serta dimakan dengan nikmatnya.

Siapa lagi dia kalau bukan Ban-lo-hu-jin.

Pada saat itu juga, sekonyong-konyong setangkai ranting secepat kilat menyambar masuk celah-celah tutup peti.

Keruan Ban-lo-hu-jin terkejut, sekuatnya ia hendak merapatkan tutup peti, namun ranting kayu yang lemas itu seperti mengandung tenaga maha kuat, bukannya merapat, sebaliknya tutup peti sedikit demi sedikit malah merenggang ke atas.

Muka Ban-lo-hu-jin berubah pucat, ia coba memandang ke sana mengikuti ranting kayu. Terlihat sebuah tangan seputih kemala, tiga jari lentik memegang ranting, waktu memandang lebih ke atas, itulah lengan baju berwarna hijau pupus.

Sampai di sini Ban-lo-hu-jin tidak mau memandang lebih ke atas lagi, kepalanya terus mengeret ke dalam, seluruh badan meringkuk masuk lagi ke dalam peti mati.

Terdengar seorang berucap dengan tertawa lirih, "Hihi, sudah aku duga kau pasti akan datang ke sini, tapi sejauh ini tidak aku lihat dirimu, selagi heran, baru sekarang kutahu engkau sembunyi di dalam peti mati."

Suaranya merdu dan lembut, selain Siau-kong-cu siapa lagi. Ia bicara sambil mencungkit perlahan dengan ranting kayu sehingga tutup peti itu terpentang, terlihat Ban-lo-hu-jin meringkuk di dalam peti dan tidak berani mengangkat kepala.

"Sembunyi apa lagi, kenapa tidak lekas keluar?" ucap Siau-kong-cu.

"Nona ... nona mencari nenek, apakah ada sesuatu urusan?" kata Ban-lo-hu-jin dengan lagak seperti tidak terjadi sesuatu, tapi suaranya tidak urung rada gemetar.

"Kucari dirimu hanya ingin tanya padamu ke mana perginya Pui-Po-giok?"

Ban-lo-hu-jin terkekeh-kekeh, "Pui ... Pui-Po-giok? Nona maksudkan Pui-Po-giok? Hehe, tindak tanduk tuan muda ini biasanya sukar diraba, mana perempuan tua tahu dia berada di mana?"

"Benar kamu tidak tahu?" Siau-kong-cu menegas dengan tertawa.

Ia bicara dengan halus dan lembut serta tersenyum manis, akan tetapi bagi pandangan Ban-lohu-jin justru membuatnya merinding, cepat ia menjawab, "Ben ... benar!"

"Jika benar kamu tidak tahu, mengapa kamu mesti ketakutan padaku? Maka dapat diduga dalam hal ini tentu kau sembunyikan sesuatu, karena berdosa, maka takut. Betul tidak?"

"Oo, aku ... aku ..." si nenek gelagapan.

"Kutahu engkau ini orang cerdik, selama hidup tidak mau dirugikan orang tapi mengapa sekarang kau paksa aku turun tangan? Maka lebih baik bicara terus terang saja dan kujamin pasti takkan membikin susah padamu."

"Artinya, asalkan kukatakan di mana jejak Pui-Po-giok dan engkau pun takkan membikin susah padaku? Tidak peduli dia berada di mana engkau tetap takkan ... "

"Betul!" potong Siau-kong-cu.

"Berdasarkan apa supaya aku dapat mempercayaimu?" tanya si nenek.

"Tidak perlu pakai dasar apa pun, keadaan sekarang sudah cukup menjadi dasar agar kau percaya padaku."

Ban-lo-hu-jin termenung sejenak, katanya kemudian sambil menyengir, "Ya, betul. saat ini memang mau-tidak-mau harus aku percayaimu. Baiklah, biar kukatakan padamu."

"Berurusan dengan orang pintar memang menyenangkan. Nah, katakan sekarang, Pui-Po-giok berada di mana?"

Bola mata Ban-lo-hu-jin berputar-putar, mendadak ia berteriak, "Pui-Po-giok sudah mati!"

Tergetar tubuh Siau-kong-cu. Serentak Ban-lo-hu-jin juga meloncat ke atas, ia berjumpalitan dua kali di udara, lalu kabur secepat terbang. Ia sempat melirik Siau-kong-cu dan terlihat si nona berdiri melengong di samping peti mati dan tidak ada maksud buat mengejarnya.

Dari jauh Ban-lo-hu-jin berseru, "Jenazah Pui-Po-giok aku lihat sendiri dan pasti tidak bohong padamu ...."

Suaranya berkumandang di lembah pegunungan, dalam sekejap bayangan si nenek pun menghilang.

Siau-kong-cu berdiri terkesima di situ dengan wajah kaku, siapa pun tidak dapat meraba apakah dia lagi gembira atau berduka, hanya terdengar bergumam perlahan, "Mungkinkah dia dusta padaku? ... Ah, tidak bisa, jika dia mau dusta tentu takkan dusta hal ini, sebab perbuatan demikian kan tidak berfaedah baginya, sedang urusan yang tidak mendatangkan manfaat biasanya tidak nanti dilakukannya ... "

Sementara itu di tengah kerumunan orang banyak sana terdengar ramai orang berteriak, "Itu dia Ling-Peng-hi ... Ya, Ling-Peng-hi sudah datang ..."

Walaupun di sana suara orang banyak bergemuruh, namun Siau-kong-cu masih berdiri terpaku di tempatnya dan masih bergumam, "Po-ji, apakah benar engkau sudah mati?!"

Berita kematian Pui-Po-giok dengan sendirinya membuat siasat Ngo-hing-mo-kiong harus banyak diadakan perubahan. Namun pertandingan di puncak Thai-san tetap berlangsung. Sampai sekarang tiada seorang pun dan sesuatu kejadian yang dapat menundanya lagi.

Menjelang petang, panitya pertandingan yang berkumpul di Ban-tiok-san-ceng mengeluarkan maklumat tentang peraturan pertandingan yang dilangsungkan dengan sistem seleksi, dan diawasi suatu dewan juri yang terdiri dari tujuh tokoh pilihan seperti It-bok Tai-su, Ting-lo-hujin, Ban-Cu-liang dan lain-lain.

Sementara itu di suatu tanah lapang di puncak Thai-san itu sudah dipasang sebuah panggung pertandingan. Ketujuh anggota juri, kecuali Ban-Cu-liang yang belum muncul, sudah sama mengambil tempat duduk yang tersedia di samping panggung.

Jago-jago muda yang akan ikut bertanding juga sama berkerumun di tempat panitya untuk mengambil nomor undian urutan bertanding.

Malam sudah mulai gelap, bulan belum lagi terbit, namun kawanan centing Ban-tiok-san-ceng sudah sibuk memasang obor hingga puncak gunung terang-benderang bagai siang hari.

Suasana mulai tegang, semua jago yang akan ikut bertanding sama prihatin. Terdengar panitya memberi pengumuman bahwa pasangan pertama yang akan bertanding adalah Go-Tong-lin dari Tiang-pek-san melawan Poa-Ce-sia...

Tampaknya pertarungan sengit segera akan dimulai. Dalam pada itu tiada seorang pun yang teringat lagi kepada Pui-Po-giok, siapa pun tidak menyangka pada saat itu juga Pui-Po-giok juga sudah berada di kaki gunung.

Anak muda itu mondar-mandir di kaki gunung, beberapa kali sudah akan beranjak ke atas, tapi urung. Ia ternyata tidak berani naik ke atas gunung, seperti sudah kehilangan keberanian.

Bajunya kelihatan compang-camping, rambut kusut dan muka pucat dekil, bahkan kedua matanya yang besar itu pun tidak bercahaya lagi. Namun dia belum lagi mati, dia benar-benar masih hidup di dunia ini. Mengapa bisa begini? Untuk ini harus diceritakan sejak dia minum teh beracun dan kemudian ditanam oleh Ban-lo-hu-jin, di situlah tanpa sengaja ia dapat mendengar rahasia kelicikan Gui-Put-tam.

Selagi Po-giok tersiksa oleh rasa panas bagai dibakar ketika itu, kebetulan hujan lebat dan tanah yang menutupi tubuhnya terguyur buyar oleh air hujan, secara kebetulan pula hawa panas racun dalam tubuh Po-giok juga dipunahkan oleh air hujan.

Semua itu dengan sendirinya terjadi secara kebetulan, tapi kalau bukan pemuda luar biasa seperti Pui-Po-giok masakah dapat mengalami penemuan yang aneh dan luar biasa pula.

Sampai sekarang bilamana Po-giok teringat pada siksaan yang dialami ketika ditanam di bawah tanah itu, sungguh ia pun mengkirik sendiri, sedapatnya ia ingin melupakan peristiwa yang mengerikan itu.

Beberapa hari kemudian kadar racun dalam tubuh pun hilang, namun keadaannya pun kurus kering. Untung orang-orang di taman itu sudah sama berangkat ke Thai-san, maka dapatlah ia kabur dengan selamat.

Sekarang bulan sudah hampir purnama, tanpa terasa Po-giok pun berlari ke arah Thai-san, lambat-laun pulih juga kesehatannya. Dan kini ia pun sudah berada di kaki gunung Thai-san itu, namun dia tidak ada keberanian untuk naik ke atas gunung.

Selagi perasaannya diliputi rasa bimbang, sekonyong-konyong dari semak rumput yang gelap di samping sana terdengar suara rintihan orang. Po-giok terkesiap, ia coba mengawasi tempat itu terlihat di tengah semak rumput sana memang benar ada sesosok bayangan orang sedang meronta dan bersuara merintih, "Air ... air ... tolong ... air ..."

Bab 19. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Karena menahan sakit dan derita yang sangat, suara gemetar itu berubah parau, tapi Po-giok masih kenal siapa orang yang sedang sekarat itu. Jantung Po-giok bergetar mata melotot gusar, desisnya geram, "kau Gui ..."

Bayangan orang itu angkat kepala dan terbelalak kaget, di bawah cahaya rembulan yang redup, dilihatnya pemuda berbaju kumal di depannya ternyata adalah Pui-Po-giok yang lelah lama menghilang itu.

Wajah yang berkerut-kerut, menahan sakit itu, kini tampak gemetar menahan gejolak perasaannya, entah kaget atau senang.

"Po-ji," teriaknya sambil meronta, "kau kah....lekas, lekas tolong aku. Lekas ...."

"Menolongmu?" bentak Po-giok murka, "kau tega berbuat sekeji itu terhadap Nyo-jit-siok, kau pun membunuh para paman yang lain, kau ... kau ... ingin aku cincang dan mencacah tubuh kau ..."

Belum habis Po-giok bicara Gui-Put-tam sudah meringkal ketakutan. Ia kira rahasia perbuatannya tidak mungkin diketahui orang, siapa tahu kini Po-giok menelanjangi perbuatannya, betapa kaget, ngeri dan takut hatinya saat itu. "kau ... dari mana kau tahu?" mendadak ia sadar kelepasan omong, dengan suara gemetar lekas ia menambahkan, "Tidak, aku tidak ..."

Sekali raih Po-giok rengut baju dadanya dan menjinjingnya dengan kasar, bentaknya beringas, "Kamu masih ingin menipuku? Ketahuilah, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.

Waktu kau turun tangan, aku berada dalam tanah di bawah kakimu."

"Setan .... " mendadak Gui-Put-tam menjerit kaget dan takut, "apakah kamu setan?"

"Betul," desis Po-giok dengan tawa pedih. "aku setan. Aku inilah setan yang disuruh Nyo-jit-siok untuk merengut sukmamu."

"Ampun ... ampunilah aku," ratap Gui-Put-tam dengan suara memilukan, "aku juga ditipu orang. Coba lihat, aku .. sekarang keadaanku juga amat menyedihkan."

"Ya, memang ingin kutanya padamu, mengapa kamu mendadak berubah menjadi kejam dan tega melakukan perbuatan terkutuk membunuh Nyo-jit-siok? Kenapa pula keadaanmu sekarang jadi begini?"

Sekilas tampak senyum memilukan di ujung bibir Gui-Put-tam, mata tampak berkaca-kaca, tubuh gemetar makin keras, Pandangannya makin buram, mulut mengigau, "Aku... aku sudah menunaikan tugas, kini tenagaku tidak diperlukan lagi, mereka ... tentu mereka tidak mau mengampuni jiwaku. Meski kutahu akan akhir nasibku ini dan sudah berjaga-jaga, tapi...tetap tak luput dari kekejian mereka."

"Sudah menunaikan tugas?" Po-giok kaget, "apakah ... apakah para paman itu benar dibunuh olehmu?"

"Aku memang harus mati.... Dosaku tidak .. terampun... menyesal pun sudah terlambat," demikian ratap Gui-Put-tam dengan sedih.

Bercucuran air mata Po-giok, bentaknya gusar, "kau ...bayarlah jiwa mereka."

Tangan sudah terangkat, tapi melihat sorot mata Gui-Put-tam yang penuh derita dan sesal wajah pucat dan basah oleh air mata, tak tega ia memukulnya.

"Bunuhlah aku ... bunuhlah aku," Gui-Put-tam sesambatan dengan tangis yang memilukan, "dengan membunuhku akan mengurangi dosa dan deritaku, aku ... jiwaku takkan tahan lama lagi ...."

Po-giok mengepal tinju, bentaknya dengan serak, "Kenapa semua itu kau lakukan?"

"Karena tamak! Loba dan tamak telah menjerumuskan diriku," ucap Gui-Put-tam dengan air mata meleleh, "aku ... mengingkari sumpah terhadap guru yang memberi nama 'Put-tam' (tidak boleh tamak) terhadapku, biar mati aku malu menemui beliau di alam baka."

Agaknya rasa sakit tak tertahan lagi, saking menderita, jari-jari tangannya mencengkeram tanah tubuh pun mengejang.

Mendadak teringat oleh Po-giok suara yang amat dikenal dari tokoh misterius itu, serunya, "Setelah kau bunuh Nyo-jit-siok di Kwi-kik-wan tempo hari, siapakah orang yang bicara denganmu?"

Rintihan Gui-Put-tam makin lirih, napasnya justru memburu lebih keras, mulutnya megap-megap tak mampu mengeluarkan suara lagi.

Po-giok mencengkeram pundaknya. "Siapa dia? Siapa?"

Mata Gui-Put-tam terpejam, bibirnya kering keadaannya sudah sekarat, tidak sadarkan diri.

Menjelang ajal, harta benda masih terbayang juga dalam benaknya, setelah Po-giok mengguncang-guncang tubuhnya, akhirnya mulutnya mengigau, "Mutiara, emas, mutu manikam ... air...air..."

Saking gugup Po-giok tampar pipi orang seraya berteriak, "He, bangun, bangun! Katakan siapa dia sebenarnya?"

Perlahan Gui-Put-tam membuka mata, dengan hambar dia menatap Po-giok, "Dia ... dia .... "

Mendadak dia menarik napas, tubuh yang meringkal karena menahan rasa sakit lebih mengkeret, akhirnya kaku tak bergerak lagi.

Malam terasa makin dingin. Perlahan Po-giok berdiri, sekian lama dia termangu di depan jenazah Gui-Put-tam, waktu angin mengembus lalu, tanpa terasa dia bergidik kedinginan.

Mata yang semula buram tak bersemangat itu kini menyala seperti bara. Sambil mengertak gigi, dia jinjing jenazah Gui-Put-tam lalu turun gunung.

Langkahnya lebar, tanpa menoleh lagi. Meski jalan pegunungan jelek dan sukar, tiada aral rintang di dunia ini dapat membendung tekad Po-giok. Di bawah gunung dia mencari suatu tempat yang cukup tersembunyi, di sana dia akan mengebumikan jenazah Gui-Put-tam.

Malam hening, mendadak terdengar suara manusia. Po-giok baru saja membaringkan jenazah Gui-Put-tam dalam sebuah gua. Mendadak ada cahaya api di luar gua. Dari suara dan derap langkahnya, Po-giok menduga yang datang cukup banyak jumlahnya.

Suara makin jelas, cahaya api juga tambah terang, jelas tujuan mereka menuju ke gua ini. Sekilas Po-giok bimbang, namun sigap sekali ia sembunyikan mayat Gui-Put-tam di tempat gelap, sementara dirinya menyelinap ke belakang batu.

Cahaya api sudah menyorot ke dalam gua, dua laki-laki mengangkat tinggi obor di atas kepala, dengan langkah lebar mereka masuk, sekilas mereka celingukan lalu berseru bersama, "Betul, memang di sini tempatnya, gotong masuk."

Suara orang banyak mengiakan di luar, belasan laki-laki menggotong sebuah peti mati masuk ke dalam gua, peti mati itu masih baru, peliturnya mengkilap di bawah cahaya obor.

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam ... tidak salah, memang enam," demikian kata salah seorang pemikul peti mati itu, "syukur semua sudah kita angkut kemari. Mereka sudah mampus seluruhnya, sebaliknya kita harus menderita karenanya."

"Ah, kenapa kau bilang begitu," seorang temannya menanggapi, "dalam keadaan biasa, memangnya kamu setimpal memikul peti jenazah mereka."

"Betul," jengek laki-laki yang paling depan, "siang tadi orang-orang itu masih disanjung puji bagai pendekar atau ksatria, tapi sekarang semua sudah mampus. Orang hidup punya derajat tinggi dan rendah, setelah mati sama rata, meski waktu hidupnya dia seorang pendekar besar, setelah mati dia juga dikubur dalam liang lahat yang sama."

"Sudahlah, kenapa ribut," sela orang ketiga, "tugas kita masih banyak, mungkin masih belasan korban lagi yang harus kita gotong kemari.

Mendengar percakapan mereka, darah seperti mendidih di rongga dada Po-giok, ia maklum bahwa pertemuan di puncak Thai-san sudah mencapai taraf yang mencegangkan, terbukti dengan jatuhnya korban yang dikubur dalam gua ini. Diam-diam Po-giok amat menyesal bahwa orang banyak sudah pertaruhkan jiwa raga untuk memperebutkan "nomor wahid", sementara dirinya masih sembunyi dalam gua yang gelap ini.

Seorang laki-laki yang membawa obor mendadak tertawa lebar, katanya, "Tugas kita memang melelahkan, tapi banyak orang merasa iri terhadap kita."

"Apa yang mereka irikan?" tanya seorang lain, "kurasa hanya orang gila yang iri terhadap kerja berat ini."

"Coba dengar dan buka lebar matamu," kata laki-laki kekar pembawa obor itu, "betapa banyak orang kini berkumpul di puncak Thai-san, mereka berjejal di luar kalangan, paling hanya mendengar denting senjata beradu atau berkelebatnya sinar pedang dan golok, siapa bisa menonton dengan jelas seperti kita yang boleh hilir-mudik, keluar-masuk dengan bebas, meski dia seorang pendekar besar juga harus menyingkir memberi jalan kepada kita. Memangnya apa pula yang harus kita sesalkan dengan tugas yang membanggakan ini. Ayolah kawan-kawan, lekas selesaikan, pertandingan masih berlangsung dengan seru, sayang kalau tidak bisa

menonton pertarungan sengit itu."

Beramai-ramai rombongan pemikul peti mati beranjak keluar.

Dengan enteng, mendadak Po-giok melompat keluar dari tempat gelap, sekali tangan kiri mengebas, pemikul yang berjalan di belakang tertutuk tiga hiat-to di tubuhnya, tanpa mengeluarkan suara laki-laki ini roboh, sigap sekali Po-giok meraih tubuhnya terus diseret mundur cepat ia belejeti bajunya dan dipakainya.

Betapa cekatan gerak-gerik Po-giok, tiada satu pun rombongan pemikul itu tahu bahwa seorang temannya dikerjai oleh Po-giok, bergegas mereka beranjak pergi sambil bersenda gurau.

Po-giok seret tubuh orang itu ke samping batu, tak jauh dari mayat Gui-Put-tam, sejenak dia memanjatkan doa, tanpa terasa air mata meleleh di pipi, bergegas ia beranjak keluar menyusul rombongan pemikul tadi.

Kira-kira seminuman teh perjalanan, dari kejauhan terdengar suara riuh rendah, sorak-sorai bercampur tepuk tangan, entah pendekar ternama dari mana yang telah mengalahkan lawannya.

Makin dekat ke tempat tujuan, perasaan Po-giok seperti makin ciut, darah panasnya justru makin mendidih, kedua tangan mengepal lebih keras.

Ketika rombongan para pemikul ini tiba di atas gunung. Bulan purnama pun menghias cakrawala, sinar lampu dan obor terang benderang di tanah lapang yang berumput hijau seperti permadani.

Semangat Po-giok menyala, tapi kepala tunduk lebih rendah, meski mencampurkan diri dalam rombongan para pemikul itu, tapi dia tidak berani celingukan. Mereka turun dari punggung gunung, penonton di sebelah sini juga berjubel-jubel, melihat rombongan mereka, tanpa diminta mereka menyingkir memberi jalan.

Para pemikul itu saling memegang pundak, seperti barisan ular saja mereka menyelinap ke depan di tengah kerumunan orang banyak.

Po-giok ikut berdesakan di tengah rombongan itu dan terus maju ke depan. Hidungnya mengendus bau arak, bau keringat dan bau tembakau, sementara telinga mendengar pembicaraan orang banyak.

"Nah, lihat, Thian-siang-hwi-hoa (bunga berterbangan di angkasa) memang luar biasa, beruntun dia menang dua babak, padahal keringatnya belum keluar."

"Memangnya kenapa kalau sudah menang dua babak? Bukankah Thian-to Bwe-Kiam, Poa-Cesia, Siau-hoa-jio Be Cek-coan, Ciang-Jio-bin, Au-yang-thian-kiau dan lain-lain juga sudah menang dua babak."

"Ya, memang nasib mereka lagi baik, padahal Lu-Hun, Hi-Thoan-kah, Ing-Thi-ih kan belum unjuk diri, kalau mereka melawan beberapa orang ini, apa mereka mampu merebut kemenangan?"

"Bicara tentang orang-orang itu, aku jadi teringat kepada Pui-Po-giok ... He, saudara, pasanglah mata dan kupingmu kalau berjalan, jangan main desak saja. Hm, kalau tenaga kalian tidak diperlukan untuk menggotong mayat,umpama yang datang raja juga jangan harap kuberi jalan."

Di mana barisan ular rombongan pemikul itu lewat, penonton yang berdesakan itu menjadi ribut sama memaki dan berseloroh, suasana tambah ramai saja.

Sementara itu, beberapa laki-laki membawa ember, sedang mencuci noda darah di atas panggung, entah darah siapa yang berceceran di sana.

Tak jauh di pinggir kiri hui-tai (panggung pertandingan), terdapat sebuah meja bulat, enam atau tujuh orang duduk di belakang meja, rambut yang sudah ubanan, dengan wajah yang welas asih dan serius, siapa lagi dia kalau bukan Ting-lo-hu-jin.

Wajah nan merah bercahaya, dengan rambut putih tergelung rapi, di atas kepala, dia bukan lain adalah Bu-sia To-tiang. Bertubuh kurus kering seperti kayu hangus, tapi berwajah tenang seperti air bening, itulah It-bok Tai-su, sedang yang duduk di pinggir dengan berkerut alis seperti dirundung susah, jelas dia Ban Cu-liang.

Hanya sekilas Po-giok melirik ke situ lalu menoleh ke kanan. Di sebelah kanan hui-tai ternyata juga duduk beberapa orang.

Poa-Ce-sia yang bersikap wajar, selalu tertawa dan banyak omong. Au-yang-thian-kiau membusung dada dengan sikap yang kereng. Siau-hoa-jio Be Cek-coan bertubuh sedang kelihatan tangkas wajah pun berseri-seri. Bu-ceng Kong-cu Ciang-Jio-bin berpakaian necis, wajah putih bersih, alis tegak dan mata memandang ke atas, sikapnya congkak menyebalkan.

Sementara Thian-to (golok langit) Bwe-Kiam duduk menunduk, sibuk membersihkan golok sabitnya yang mengkilap itu, seolah-olah tidak ambil perhatian terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya.

Sementara Thian-siang-hui-hoa Ling-Peng-hi yang digembar-gemborkan bakal menduduki tempat pertama, kelihatan duduk prihatin, bukan saja tidak bersikap angkuh, bangga atau puas sebaliknya sinar matanya menunjuk perasaan yang resah.

Beberapa orang yang lain kelihatan bersemangat, sorot mata mereka tetap menyala, jelas mereka orang gagah yang terkenal dan menjagoi daerah masing-masing, sayang Po-giok tidak kenal mereka.

Setelah berada di belakang panggung, mereka mulai sibuk kerja lagi. Dari celah-celah tonggak panggung yang gede-gede itu, Po-giok lihat di depan panggung paling dekat juga duduk berkerumun banyak orang. Orang-orang ini tidak ikut bertanding, namun mereka adalah para pendekar dan orang gagah yang sudah ternama di kang-ouw, adalah logis kalau kehadiran mereka di sini memperoleh prioritas yang tidak mungkin diperoleh orang lain.

Majikan Kwi-kik-wan Ce Sing-siu, Ban-tiok-san-ceng Ceng-cu, istri Au-yang-thian-kiau, putri kesayangan Ting-lo-hu-jin Ting-si-siang-kiat juga berada dalam rombongan ini.

Bila Po-giok lanjutkan pandangannya ke arah kiri, ia lihat beberapa orang yang selama ini sudah amat dirindukan.

Perawakan Thi-wah yang tinggi besar dan kekar, seperti burung bangau berdiri di tengah kerumunan ayam, kehadirannya paling menyolok di antara orang banyak, tapi pada wajahnya tidak kelihatan sikap jenaka, riang dan kocak seperti biasanya, kedua alis yang tebal itu malah berkerut erat. Betapa rindunya terhadap sang "toa-ko" sedetik pun tidak terlupakan. Kim Co-lim masih terus minum, tampaknya sudah beberapa hari dia tidak sadar, sikapnya loyo dan mukanya juga kurus. Kecuali mabuk dan mabuk, entah dengan cara apa supaya dapat melupakan musibah dan deritanya selama ini.

Melihat kedua orang ini, jantung Po-giok seperti hendak melompat ke luar, tanpa terasa mata berkaca-kaca.

Lebih jauh dia juga menemukan Bok Put-kut dan Ciok-Put-wi. Semula dia kira kedua orang ini sudah celaka, kini mendadak melihat mereka, betapa senang dan lega hatinya.

Namun wajah Bok Put-kut yang kelihatan kurus pucat dan lelah membuatnya terharu. Untung masih ada Ciok-Put-wi yang kukuh dan tenang selalu mendampinginya, kalau tidak, ingin rasanya dia lari ke sana dan memeluk Toa-su-pek yang baik dan welas asih ini serta menangis sepuas-puasnya dalam pelukannya.

Pada saat Po-giok terlongong itulah, suara Ting-lo-hu-jin yang berwibawa berkumandang di atas panggung. Hadirin seketika diam dan tenang.

"Sudah dua puluhan babak pertandingan diselesaikan, dalam sepuluh jurus sudah menentukan kalah menang, sungguh di luar dugaan, dari sini dapat kita simpulkan. bahwa kungfu para pemenang itu memang jauh lebih tinggi tarafnya. Bahwa dalam kang-ouw bermunculan jago-jago kosen yang masih muda usia, sungguh aku

sangat senang."

Kata-katanya berat dan jelas, lahirnya dia bilang senang, padahal perasaannya amat berat dan prihatin.

Setelah menghela napas, ia lanjutkan, "Kini sudah memasuki babak kedua, kuyakin pesertanya adalah pilihan dari sekian banyak jago yang paling kosen, pihak mana pun yang terluka atau gugur merupakan kehilangan kaum Bu-lim umumnya. Oleh karena itu kami anjurkan, pada waktu tanding nanti, masing-masing pihak harap dapat membatasi diri, cukup menentukan kalah menang saja, hal ini akan merupakan keuntungan kaum Bu-lim seluruhnya."

Komentar itu dilontarkan dengan suara lantang, dengan tulus dan luhur, namun jago-jago yang siap bertanding tetap sibuk membersihkan senjata masing-masing, yang termenung tetap termenung, yang tertunduk juga tidak mengangkat kepala, seolah-olah tiada seorang pun peduli nasihat itu.

Sekilas Ting-lo-hu-jin memandang sekeliling, lalu menghela napas panjang, "Baiklah, untuk menyingkat waktu, babak kedua kita lanjutkan. Untuk ronde pertama, yang akan tampil adalah Tin-thian-pi-lik Kho Tiu melawan Giok-bin-kiam-khek Sun Cau."

Tin-thian-pi-lik Kho-Tiu berperawakan tegap dan besar, sikapnya yang kereng menciutkan nyali orang, berpakaian ketat terbuat dari sutera, golok berpunggung tebal yang berat dan panjang seperti mainan kanak-kanak saja baginya.

Giok-bin-kiam-khek Sun-Cau berwajah putih kepucat-pucatan, kaki tangannya kelihatan halus, alisnya lentik matanya jeli, meski sikap dan wajahnya tampak gagah tapi tindak-tanduknya yang lembut lebih mirip orang perempuan.

Seolah-olah kedua orang itu sudah ditakdirkan untuk bermusuhan, yang satu keras dan yang lain lemas. Tapi kaum Bu-lim sama tahu bahwa kedua orang ini adalah sahabat kental.

Namun nasib mempertemukan mereka di atas hun-tai, hadirin tertarik, semua ingin tahu, apakah dua sahabat karib ini akan saling bunuh atau mau mengalah?

"Sun-heng, silakan memberi petunjuk." Kho Tiu buka suara dengan lantang.

Sun Cau tersenyum, "Kho-heng, mohon belas kasihanmu."

Belum habis bicara. Kaki kiri mendadak menyilang ke pinggir, pedang yang terangkat lurus di depan dada mendadak terayun ke depan.

Kelihatan jurus pedang ini ganas lagi cepat, padahal gerakan itu hanya merupakan pemberian hormat kepada Kho Tiu.

Kho Tiu menekan telapak tangan kiri ke bawah, begitu lengan bergerak golok pun terayun, gaya ini pun merupakan tanda hormat.

Mereka saling pandang sekejap lalu mengangguk bersama pula, setelah itu keduanya bergerak dengan lincah dan tangkas, sinar golok dan cahaya pedang berseliweran, turun-naik berputar memenuhi panggung.

Belasan jurus kemudian, hadirin sudah tahu bahwa kedua orang yang bertanding ini tiada maksud berebut kemenangan, gerak pedang dan serangan golok memang kelihaian keras dan lihai, tapi keduanya tidak sepenuh tenaga melontarkan serangan. Siapa bakal kalah dan menang pada ronde pertama di babak kedua ini seolah-olah sudah ada perjanjian. Bahwa mereka bertarung di atas lui-tai tidak lebih hanya untuk pamer kepandaian belaka.

Ilmu pedang Sun Can memang lihai, permainan golok Kho Tiu juga hebat. Tapi hadirin menjadi sebal menonton pertandingan yang tidak sungguh-sungguh ini, lama kelamaan penonton menjadi ribut, ada yang melengos dan bicara sendiri dengan kawan-kawan. Hanya Ting-lo-hujin saja yang tampak manggut-manggut dengan tersenyum puas.

Sekonyong-konyong sinar pedang lembayung menggubat sinar golok. "Trang" pedang dan golok beradu dengan keras. Di tengah benturan keras itu pedang di tangan Sun Cau tampak mencelat ke udara.

Hadirin melengong, Kho Tiu sendiri juga kaget, sinar matanya tampak menyesal dan minta maaf, jelas dia tidak sengaja membuat malu Sun Cau di depan umum. Tapi gerak-gerik Sun Cau cukup cekatan, reaksinya juga cepat, baru saja pedangnya terlepas, tiba-tiba tubuhnya melayang tinggi mengejar pedang, "crap," baru saja pedang menancap di belandar panggung, sekali raih lantas dicabutnya.

Tampak mukanya merah padam, bola matanya juga merah membara saking murka, karena malu ia menjadi gusar. Begitu pedang berada di tangan, di tengah udara ia jungkir balik, menukik turun dan menerjang ke arah Kho Tiu. Saking gusar Sun Cau melancarkan jurus paling ganas dari Loh-ing-kiam-hoat.

Kecuali menyesal Kho Tiu juga kaget menghadapi reaksi kawannya, maka ia berdiri kaku seperti tidak mampu bergerak.

Di tengah jeritan kaget para penonton, sinar pedang pun berkelebat, menyusul terdengar jeritan Kho Tiu yang mengerikan, darah pun berhamburan, Kho Tiu roboh mandi darah.

Pedang Sun Can menusuk leher kiri, tembus di ketiak kanan, sekali tusuk menamatkan jiwanya.

Penonton hanya melongo mengawasi musibah yang tidak terduga ini mereka yang duduk berjingkrak berdiri, yang berdiri ingin menyerbu ke atas panggung. Pedang masih menancap di tubuh Kho Tiu.

Giok-bin-kiam-khek Sun Cau berdiri kaku di tempatnya, wajah yang pucat menjadi lebih putih, darah sahabatnya muncrat membasahi pakaian dan selebar mukanya. Suasana hening lelap.

Terdengar Kho Tiu merintih perlahan, napas berat dan makin lemah. Sekuatnya ia meronta, "Aku ... tidak sengaja ...." suara yang gemetar mendadak putus. Riwayat hidupnya yang cemerlang selama ini berakhir begitu saja.

Mendadak Sun Cau mendongak sambil berloroh-loroh, "Bagus ... matilah semuanya..."

Di tengah loroh tawanya yang serak, mendadak pedang dicabutnya, sekali putar ujung pedang, sekuatnya ia tusuk tenggorokan sendiri.

Di belakang panggung, Po-giok angkat jenazah kedua orang ini ke dalam peti mati. Betapa duka dan haru hatinya saat itu, rasanya tidak tega menyaksikan lebih lanjut.

Tapi pertandingan tidak berhenti karena jatuhnya korban, darah masih terus mengalir. "Ronde kedua!" teriak Ting-lo-hu-jin dengan suara parau menahan sedih, "Kiu-lian-hoan Ci Gai melawan juragan peternakan. Thian-kiau Au-yang-tai-hiap."

Sebagai ketua sebuah aliran yang disegani, Au-yang-thian-kiau memang memiliki wibawa yang tidak dimiliki orang lain, dengan langkah tegap dan mantap dia beranjak ke atas panggung.

Sementara Kiu-lian-hoan Ci Gai sudah mendahului melompat tinggi hinggap di atas panggung gin-kang nya memang sudah lama terkenal, gerak-geriknya enteng dan cekatan, penonton menyambutnya dengan tepuk sorak riuh rendah.

Ci Gai sudah berdiri di atas panggung, menginjak noda darah di antara celah-celah panggung, mengawasi Au-yang-thian-kiau yang sedang berjalan ke atas panggung. Entah kenapa perasaannya mendadak mendelu, setiap langkah Au-yang-thian-kiau yang mantap itu ternyata menjadikan nyalinya menjadi ciut dan gentar.

"Ci-tai-hiap," sapa Au-yang-thian-kiau sambil menjura, "silakan mulai!"

Kebetulan Ci Gai berdiri menghadap rembulan yang memancarkan cahayanya, pandangannya kelihatan hampa, apa yang diucapkan Au-yang-thian-kiau seperti tidak terdengar olehnya.

Berkerut alis Au-yang-thian-kiau, katanya bersungut, "Ci-tai-hiap, apalagi yang kau tunggu, silakan menyerang lebih dulu."

Mendadak Ci Gai bergelak tawa, "Bergebrak maksudmu? Kenapa aku harus menyerangmu? Apa yang harus aku rebutkan denganmu? Memangnya kenapa kalau kalah? Bagaimana pula kalau menang ... "

Di tengah gelak tawanya, ia melangkah lebar dan turun panggung, melirik pun tidak kepada Auyang-thian-kiau.

Kaget lagi heran, Au-yang-thian-kiau melengong mengawasi punggung orang, perlahan Ting-lo-hu-jin berdiri, dengan suara berat dia berseru, "Ronde kedua dimenangkan oleh Au-yang-tai-hiap."

Au-yang-thian-kiau berputar lalu melangkah turun, sikapnya tidak berubah, langkahnya tetap mantap, tapi entah perasaannya?

Suara Ting-lo-hu-jin yang bernada berat mencekam perasaan seluruh hadirin. "Ronde ketiga, Ce-sia melawan Ong-Liat-hwe!"

Cepat sekali Poa-Ce-sia dan Ong-Liat-hwe sudah berhadapan di atas panggung. Poa-Ce-sia sudah menang dua ronde, namun sikap dan semangatnya masih menyala, tangannya menggenggam Go-kau -kiam, cahaya pedang cemerlang seperti sinar matanya yang binar.

Hwe-lui-cu Ong-Liat-hwe tidak sesuai namanya yang "Liat-hwe" (bara api), wajahnya putih kaku seperti mayat, sikapnya dingin tidak mirip api yang membara. Senjatanya adalah sebatang ruyung lemas panjang dan hitam gelap. Ruyung itu dinamakan Lui-cu-sin-hwe-pia.

Ruyung lemas milik Ong-Liat-hwe ini adalah salah satu dari ke-13 jenis senjata yang terkenal di dunia, konon ruyung panjang itu tersusun sebanyak tiga belas ruas yang mirip bambu, setiap ruas ruyung mempunyai keistimewaan luar biasa untuk merengut sukma dan mencopot jiwa musuh.

Dalam pertandingan ini, kecuali mengandalkan permainan Hwe-hun-cap-sah-pian yang lihai lagi aneh untuk merebut kemenangan, tidak mungkin ia mengembangkan keistimewaan Lui-cu-sinhwe-pian andalannya itu.

Dalam pertemuan besar di puncak Thai-san ini sudah berulang kali diperingatkan oleh penyelenggara, semua peserta dilarang menggunakan senjata rahasia. Kehadiran Ting-lo-hujin, Ban Cu-liang dan para pendekar ternama lainnya adalah sebagai pengawas dan penegak keadilan, memberi keputusan akhir hasil pertandingan yang berlangsung.

Poa-Ce-sia tersenyum ramah, katanya sambil soja, "Sejak berpisah di Ce-sia, tanpa terasa tiga tahun sudah lalu. Apakah selama ini Ong-heng baik-baik saja?"

Membesi kaku muka Ong-Liat-hwe, katanya dingin, "Lui-tai ini dibuka untuk merebut kalah dan menang. Di sini bukan tempat mengobrol silakan memberi petunjuk."

Poa-Ce-sia tetap tersenyum. "Baiklah, boleh Ong-heng mulai lebih dulu."

Lalu ia mundur dua langkah, pedang terangkat di depan dada, tiga jari tangan kiri menekan ujung pedang, sebelum mulai gebrak dia unjuk hormat lebih dulu.

Tanpa bicara Ong-Liat-hwe mengayun miring ruyung panjangnya menyerang tenggorokan lawan.

Sikapnya sombong dan pongah, ternyata permainan ruyungnya memang lihai, jurus ini dinamakan Lui-hwe-jut-tang, gerakannya kelihatan biasa, namun sedahsyat geledek menggelegar. Tampak sinar hitam berkelebat disertai deru angin yang keras, ruyung panjang itu tahu-tahu sudah tiga senti di depan leher Poa-Ce-sia.

Poa-Ce-sia tidak bergeming, tanpa menggeser kaki, pedang mendadak menyendal ke depan, dengan menyerang dia mempertahankan diri. Di mana sinar hijau berkelebat, bahu Ong-Liathwe menjadi sasaran ujung pedang.

"Serangan bagus!" bentak Ong-Liat-hwe.

Bayangan gelap ruyung itu sesuai namanya, yaitu mega api yang mengurung bayangan tubuh Poa-Ce-sia, panggung pertandingan itu pun seperti terbungkus oleh bayang-bayang gelap yang membawa deru angin tajam. Penonton yang berada paling depan tersampuk angin keras menyayat.

Poa-Ce-sia tetap bersikap tenang dan mantap pedang bergerak lincah dan tangkas, menebas menusuk, menutuk atau menyolok, di mana sinar hijau bergerak, selincah ular sakti membendung rangsakan ruyung lawan.

Penonton bertepuk dan bersorak memberi semangat, begitu tegang pertarungan sengit ini sehingga seluruh perhatian tumplek ke arah panggung.

It-bok Tai-su bergumam, "Omitohud! Sian cai Go-kau -kiam yang bagus, Sejak Peng-si-heng-te meninggal beberapa tahun yang lalu, sudah lama aku tidak menyaksikan permainan Go-kau kiam-hoat selihai ini."

Ban Cu-liang ikut memberi komentar, "Yang lebih hebat adalah dengan sebatang pedang ganco itu dia mampu melancarkan serangan yang dilandasi tenaga murni, sungguh kepandaian yang harus dipuji."

Ting-lo-hu-jin juga menghela napas gegetun. "Kalau dia tidak menaruh belas kasihan, sejak tadi Ong-tai-hiap tentu sudah dikalahkan. Bukan saja kaum Bu-lim terlalu rendah menilai kekuatannya, dahulu aku pun teramat meremehkan dia. Kini baru kita melihat secara nyata, kalau dinilai permainan kungfu sejati, taraf kepandaian Poa-Ce-sia mungkin tidak lebih rendah dibanding Ling-Peng-hi, Bwe-Kiam dan lain-lain. Bila beberapa orang ini nanti turun ke gelanggang, betapa tegang pertarungan mereka tentu jauh di luar perkiraan orang banyak."

"Pertemuan di puncak Thai-san ini adalah pertandingan antara singa dan harimau." demikian gumam It-bok Tai-su, "Menurut pendapatku, dari sekian hadirin yang ada di sini, bukan cuma beberapa orang itu saja yang belum menunjukkan kemampuannya yang hebat."

Sementara itu, muka Ong-Liat-hwe yang pucat dan kaku itu kini sudah bermandi keringat. Walau permainan ruyungnya masih gencar dan dahsyat, tapi para ahli sudah melihat, dia hampir kehabisan tenaga, berapa lama dia kuat bertahan lagi?

"Ong-heng," ucap Poa-Ce-sia perlahan, "kalau setuju, bagaimana kalau kita akhiri pertarungan ini, supaya .... "

"Kentut!" hardik Ong-Liat-hwe gusar. Mendadak ia melompat tinggi ke udara, pergelangan tangan bergetar keras, di tengah bayangan ruyung hitamnya, tiga butir mutiara hitam mendadak melesat keluar.

"Awas, Hwe-lai-cu!" penonton yang bermata jeli berteriak kaget dan kuatir.

"Ong-tai-hiap," bentak Ting-lo-hu-jin, "dilarang menggunakan senjata rahasia."

Sayang peringatan itu terlambat. Mutiara hitam itu sudah berada di depan Poa-Ce-sia.

Poa-Ce-sia juga berjingkat kaget, secara refleks pedang bergerak hendak menyampuk mutiara itu.

"He, jangan disentuh!" Ban Cu-liang ikut berteriak memperingatkan.

Tapi tiga kali ledakan keras disertai percikan api sudah melanda panggung pertandingan. Api seketika menjilat tubuh Poa-Ce-sia. Saking kaget Poa-Ce-sia langsung menjatuhkan diri berguling di atas panggung.

"Lari ke mana?" bentak Ong-Liat-hwe memburu maju, berbaring ruyung terayun pula, mukanya beringas, matanya melotot, hasratnya ingin membunuh Poa-Ce-sia.

"Berhenti!" Ting-lo-hu-jin dan Ban Cu-liang berseru, serempak mereka melompat ke arah luitai. Sayang jarak mereka agak jauh, meski cepat gerakan mereka, jelas tak keburu mencegah perbuatan Ong-Liat-hwe yang melanggar peraturan.

Pada saat genting itulah, mendadak sesosok bayangan menerobos maju, hanya satu langkah ia bergerak, tahu-tahu sudah berada di depan panggung, sekali ulur tangan Poa-Ce-sia berhasil diraihnya dan luput dari hajaran ruyung musuh. Terlambat sedetik saja jiwa Poa-Ce-sia tentu sudah melayang.

Agaknya kepandaian laki-laki gede ini amat lihai, bukan hanya gin-kang nya tinggi, begitu telapak tangan menekan panggung, tubuhnya yang besar mendadak jumpalitan ke atas, "blang", tahu-tahu seorang laki-laki besar sudah berdiri di atas panggung.

Di tengah jeritan kaget hadirin, Ong-Liat-hwe menyurut mundur dua langkah dengan kaget dan gusar.

Tinggi laki-laki ini delapan kaki, mukanya hitam legam. Ong-Liat-hwe hanya tahu laki-laki dogol ini datang bersama Ban Cu-liang dan Bok-Put-kut.

"Kerbau dungu," dampratnya gusar, "kamu juga ingin mampus di sini.

Gu-Thi-wah balas membentak, "He, bocah cilik, seorang eng-hiong pantang bermain licik. Ayolah, boleh kau gunakan pecutmu menghajar tuan besarmu ini."

"Keparat," Ong-Liat-hwe mengumpat gusar, "kamu ingin mampus!"

Ruyung berputar tiga kali dan menyabet dengan dahsyat.

Gu Thi-wah berdiri tenang, tidak menyingkir atau berkelit, begitu ruyung datang ia ulur tangan menangkap ujungnya, sekali sendal ia rebut senjata lawan.

Mimpi pun Ong-Liat-hwe tidak menyangka ada orang mampu dan tahan menghadapi serangan ruyungnya dengan tangan kosong. Tidak terbayang pula olehnya bahwa orang ini memiliki tenaga besar, sekuatnya ia bertahan dan menarik ruyungnya, bukannya ruyung lepas, telapak tangan sendiri malah tergetar pecah berdarah.

Gu Thi-wah terbahak-bahak. Ingin aku lihat permainan setan apa yang ada di dalam ruyung keparat ini."

Hanya beberapa kali gulung dengan telapak tangan, ruyung besi beruas itu telah dibuatnya menjadi bundaran seperti gelang. Sudah tentu belasan butir Hwe-lui-cu yang ada di dalamnya berjatuhan.

Dalam pada itu, Ting-lo-hu-jin, Ban Cu-liang dan It-bok Tai-su sudah berada di atas panggung.

Menyaksikan betapa hebat kekuatan Gu Thi-wah, mereka tertegun.

"Wah, celaka!" Ban Cu-liang mendahului berteriak, sigap sekali dia sobek lengan baju terus mengebas ke sana. Dengan enteng sobekan lengan baju itu menggulung Hwe-lui-cu terus melayang ke sana meninggalkan panggung.

Bu-ceng-kong-cu Ciang-Jio-bin melompat maju, lengan bajunya yang panjang juga dikebaskan perlahan, sobekan lengan baju yang menggulung Hwe-lui-ciu seperti di dorong ke depan, terbang ke bawah jurang. Beberapa kejap kemudian berkumandanglah ledakan keras di bawah sana.

Melihat betapa hebat kekuatan telapak tangan Thi-wah, pucat dan ciut nyali Ong-Liat-hwe, saking takut cepat ia putar tubuh hendak melarikan diri. Tahu-tahu sebuah telapak tangan segede kipas mencengkeram pundaknya, sudah tentu ia tidak berani menangkis, sambil mendak kedua tangan berputar setengah lingkar terus menyodok ke lambung lawan. Dengan kelincahan gerak tubuh dia berusaha mengalahkan lawan yang dibekali kekuatan raksasa ini.

Di luar dugaan, cengkeraman Thi-wah itu hanya gertak sambel, sigap sekali ia melejit ke sana, tahu-tahu ia sudah berada di sebelah kiri Ong-Liat-hwe. Tangan kanan menyapu miring menyerang kedua lutut Ong-Liat-hwe.

Beberapa tahun ia ikut si orang tua Ciu Hong, meski hanya beberapa jurus saja ia belajar, tapi beberapa jurus pelajaran kungfu itu sudah apal dan mahir sekali, sudah tentu permainannya cukup hebat.

Tidak terbayang oleh Ong-Liat-hwe bahwa laki-laki segede Thi-wah ternyata dapat bergerak selincah kelinci, apalagi gerak tangan dan langkahnya pun luar biasa. Melihat tangan lawan menyapu tiba, lekas dia menahan tangan segede gada itu berbareng melompat mundur untuk lari.

Siapa tahu tangan kiri Thi-wah sudah siap menunggu, begitu ia mundur, Thi-wah membentak sekali, sekali raih ia tarik tubuh orang terus dikempit di bawah ketiak.

Sambil mengempit Ong-Liat-hwe, Gu Thi-wah melangkah turun ke bawah panggung. Sorak-sorai penonton seperti tidak didengar, perhatiannya tertuju kepada lawannya, "Bocah keparat, dengan akal licik kau celakai orang she Poa, lekas mohon ampun padanya."

Ting-lo-hu-jin saling pandang dengan It-bok Tai-su. Ban Cu-liang mengawasi perawakan Thiwah yang tinggi besar itu, hatinya diliputi rasa senang dan haru.

Yang paling senang dan haru sudah tentu Pui-Po-giok, diam-diam ia saksikan saudara yang dicintainya ini telah memperlihatkan kemahirannya di depan umum. Mendengar sorak-sorai penonton, hatinya lebih senang dan lega daripada diri sendiri yang memperoleh pujian itu. Tanpa terasa air mata berkaca-kaca di kelopak matanya.

Ketika suasana tenang kembali, sementara itu Siau-hoa-jio Be Cek-coan dan Bu-ceng Kong-cu Ciang-Jio-bin sudah berhadapan di atas panggung.

Be Cek-coan berbaju sutera dengan rambut digelung di atas kepala, wajahnya yang putih halus mirip batu jade yang indah. Ciang-Jio-bin juga berpakaian perlente, sikapnya gagah. Kedua orang ini lebih mirip peragawan yang lagi pamer pakaian dibanding tokoh silat yang siap berlaga di arena pertandingan.

"Apa betul kamu ingin bergebrak dengan aku?" mendadak Ciang-Jio-bin tanya dengan perlahan.

"Sudah tentu betul!" sahut Be Cek-coan pendek.

Senyum ejek berkelebat sekilas di ujung mulut Ciang-Jio-bin, "Mana mungkin kamu bisa bergebrak denganku? Kamu tidak takut ..."

Merah muka Be Cek-coan, tukasnya kasar, "Di atas lui-tai tidak perlu cerewet. Lihat serangan!"

Padahal waktu mulutnya mengucap "cerewet" tombak perak di tangannya sudah menyerang lebih dulu. Begitu ilmu tombak perak dilancarkan, bunga perak segera bertaburan di atas panggung.

Ciang-Jio-bin bersenjata kipas lempit tulang besi. Pendekar muda yang terkenal di daerahnya ini ternyata mampu memainkan kipasnya dengan tangkas banyak variasi. Kipas lempit itu bisa digunakan sebagai Boan-koan-pit untuk menutuk Hiat-to, juga dapat digunakan sebagai golok atau pedang. Sekaligus Ciang-Jio-bin memperlihatkan aneka ragam permainan kipasnya secara mahir, keji dan ganas.

Dengan tombak perak kemilau, Siau-hoa-jio putar senjatanya membentuk lingkaran sinar yang kukuh, lawan tidak diberi kesempatan untuk mendesak maju lebih dekat.

Sebaliknya dengan mengembangkan ketangkasan langkah dan permainan kipas, Ciang-Jio-bin terus merangsek dengan sengit. Ia tahu bila dirinya tidak mampu menyelinap ke tengah pertahanan lawan, bagaimana dirinya mampu mengalahkan lawan.

Perlu diketahui, dalam hal senjata, lebih panjang lebih kuat, lebih pendek lebih berbahaya.

Sejak jaman dahulu tombak dianggap sebagai kakek moyang berbagai macam senjata, merupakan senjata yang paling kuat dan tangguh dari segala jenisnya.

Sedang kipas lempit bertulang besi yang dimainkan Ciang-Jio-bin merupakan senjata terpendek yang paling berbahaya dengan jurus serangan lihai yang bervariasi. Betapa hebat kipas besi itu di tangannya, penonton menjadi tegang dan mengikuti pertempuran sengit ini dengan pesona.

Mendadak Be Cek-coan menghardik sekali, ujung tombak bergetar dengan tusukan berantun, ronce merah juga tampak bergoyang, bayangan berkembang beberapa kaki di seputar gelanggang, padahal sasarannya adalah tenggorokan Ciang-Jio-bin.

Jurus "bunga langit bertaburan" ini adalah serangan terlihai dari Be-keh-jio-hoat yang terkenal itu.

Melihat ujung tombak menusuk tiba, Ciang-Jio-bin ternyata tidak berkelit atau menyingkir, matanya menatap ujung tombak, sementara kipas lempit di tangan ikut bergetar mengikuti gerakan ujung tombak lawan.

"Ting", mendadak ujung kipas menutul ujung tombak, dari sini terbukti perbedaan kekuatan pergelangan tangan kedua orang yang bertanding ini. Begitu tombak dan kipas beradu, meski tidak sampai terlepas, tapi tombak terpental ke atas.

Sejurus memperoleh angin Bu-ceng-kong-cu yang tidak kenal kasihan ini tidak memberi kesempatan lagi kepada lawan, tangan putar kipas hingga berkembang laksana segumpal mega mendadak menebas ke arah Be Cek-coan.

Be Cek-coan kaget, lekas dia mendak ke bawah sambil mengeret kepala, berusaha menyelamatkan diri. Tapi Ciang-Jio-bin sudah mendesak maju mana mungkin dapat menyelamatkan diri? "Ting", terdengar sekali lagi benturan, tusuk kundai yang menggelung rambut di atas kepalanya tergetar hancur.

Hadirin terbeliak kaget, semua menyangka Ciang-Jio-bin telah turun tangan keji. Bukan hanya merobohkan lawan, tapi sekaligus menebas putus lehernya.

Di luar dugaan. setelah berhasil membuat lawan mundur gelagapan, ia pun mundur beberapa kaki, kipas di tangan bergoyang perlahan, wajah seperti tertawa tidak tidak tertawa, dengan tajam ia mengawasi Be Cek-coan.

Rambut Be Cek-coan terlepas dan terurai. Saking kaget ia berdiri termangu, wajah sebentar pucat sebentar merah.

Seorang penonton mendadak berteriak, "Haya, Siau-hoa-jio ternyata betina!"

Baru sadar para hadirin, "O, kiranya itulah rahasianya." demikian batin mereka.

Be Cek-coan malu lagi gusar, air mata berlinang-linang. Dengan ujung tombak ia tuding CiangJio-bin, serunya gemas. "Bagus kau , sungguh tak nyana kau berani menghinaku, aku ... aku ... benci..."

Ciang-Jio-bin tertawa kalem, "Apa yang sudah aku lakukan terhadapmu? Kenapa kamu benci padaku. Aku hanya ingin supaya para kawan tahu, Siau-hoa-jio Be-tai-hiap sebetulnya seorang perempuan."

Be Cek-coan mengentak kaki, "Memangnya kenapa kalau perempuan? Memangnya perempuan bukan manusia? Laki perempuan kan sama saja, apa yang bisa dilakukan laki-laki, juga bisa dilakukan perempuan."

Ciang-Jio-bin menjengek. "Laki-laki boleh berkelana di kang-ouw. Apa perempuan bisa?"

"Kenapa tidak bisa? Siapa bilang tidak bisa?" bantah Be Cek-coan bertolak pinggang.

"Dalam hotel yang penuh sesak, lelaki boleh tidur campur dan berdesakan, apakah perempuan mau? Di daerah gersang yang tiada airnya, laki-laki bisa mandi bersama orang banyak, apakah perempuan ...."

"Kentut, kentut! Semua itu bukan alasan."

"Kalau itu bukan alasan, kalau laki dan perempuan sama, kenapa pula kau pinjam nama engkohmu, menyamar jadi lelaki terjun di gelanggang untuk berebut pahala?"

Be Cek-coan melengong, "Ini ... ini ..."

Karena kalah berdebat, air mata bercucuran kembali Be Cek-coan mengentak kaki. "Baiklah, kamu keparat busuk ini, aku ... akan ke rumahmu, menyampaikan hal ini kepada ibumu."

Habis bicara ia lompat mundur lalu lari meninggalkan gelanggang.

Di samping heran, hadirin juga geli mendengar percakapan mereka. Maka pecahlah gelak tawa orang banyak.

Ting-lo-hu-jin terbatuk-batuk, katanya sambil menahan geli, "Ronde keempat dimenangkan oleh Ciang-Jio-bin Ciang-tai-hiap. Ronde kelima akan berhadap Thian-to Bwe-Kiam dengan Kiling-tiap Pui Tiang-tang. Pui-tai-hiap."

Mendengar nama Thian-to Bwe-Kiam disebut, hadirin seketika menjadi hening. Nama besar dan disegani ini seolah-olah mengandung kekuatan iblis, seperti melambangkan golok kilat, membacok, darah muncrat dan jiwa melayang.

Kalau golok itu berkilauan, cepat, tegas dan tajam. Kampak itu justru berat, kuat dan kelihatan lambat serta kaku. Tapi sinar golok hanya berkelebat sekali, dua kali dan tiga kali. Lawan yang bersenjata kampak itu seketika roboh.

Tiada jeritan kaget, tanpa sorak pujian. Seluruh penonton terpesona oleh permainan golok Bwe-Kiam yang hebat, tidak kenal kasihan. Mereka lupa memberi tepuk sorak.

Dari kantung bajunya Bwe-Kiam mengeluarkan sapu tangan sutera, dengan kalem ia membersihkan darah ujung pedangnya. Sikapnya kaku, tenang dan wajar, tidak ada perubahan sedikit pun.

"Tiga jurus, hanya tiga jurus!" It-bok Tai-su bergumam. "Tiada satu jurus serangan disia-siakan. Pada saat menyerang dan membunuh musuh, dia tidak pernah membuang tenaga secara percuma."

"Ya, ilmu goloknya jelas bukan ajaran murni dari Tiong-goan." Ting-lo-hu-jin menanggapi.

"Ya. ilmu golok itu mungkin dari aliran Tang-ing (negeri Jepang sekarang). Di antara ilmu golok yang tersebar luas di negeri kita, umpama ada yang mengandung gerakan ganas dan kaku, sedikit banyak masih mengandung seni dan kenal kasihan. Ilmu goloknya justru lepas dari unsur seni, ilmu golok itu diciptakan khusus untuk membunuh orang. Walau ilmu golok itu amat hebat, tepat dan ganas, tapi hanya orang rendah saja yang mempelajarinya. Ilmu golok itu mengutamakan kekuatan dan manfaat, berguna untuk orang yang meyakinkan, umpama berhasil mencapai puncaknya, aku tetap memandangnya rendah."

"Em, permainan golok Bwe-tai-hiap itu mengingatkan aku akan seseorang," Ban Cu-liang menimbrung bicara.

"Siapa?" tanya Ting-lo-hu-jin.

Kalem suara Ban Cu-liang, "Tang-hai Pek-ih-jin (si baju putih dari lautan timur)."

Diam sebentar, akhirnya Ting-lo-hu-jin berkata, "Betul! Sepak terjang Bwe-tai-hiap memang agak mirip Tang-hai Pek-ih-jin. Mungkin karena kedua orang ini berasal dari Tang-ing."

"kaum pesilat di Tang-ing mempunyai semangat baja untuk berkorban demi menegakkan kejayaan ilmu yang diyakinkan. Sebelum belajar ilmu, dia harus siap untuk mati, oleh karena itu membunuh orang dianggap sebagai hal yang layak."

Sementara itu jenazah sudah digotong turun, noda darah juga sudah dibersihkan.

"Ronde kelima dimenangkan oleh Bwe-tai-hiap," demikian Ting-lo-hu-jin tarik suara pula.

"Ronde keenam, inilah ronde terakhir babak kedua. Thian-siang-hwi-hoa Ling-Peng-hi ... " sampai di sini berhenti, sikapnya rikuh dan serba salah.

Sambil tertawa dingin Ling-Peng-hi berdiri, dengan kalem ia melangkah ke depan panggung katanya dengan suara dingin, "Menurut hitungan peserta yang harus bertanding di babak kedua ini tinggal sebelas orang saja. Maka dalam ronde ketiga ini sebetulnya aku tidak memperoleh lawan, dan ini adalah keputusan hasil undian. Bukan aku sengaja ingin menarik keuntungan ... tapi Hu-jin tadi bilang, aku harus turun gelanggang dengan seorang lawan. Mohon tanya siapakah lawanku? Dan dari mana?"

Ting-lo-hu-jin bimbang sejenak. lalu berkata dengan perlahan, "Apa yang diucapkan Ling-taihiap memang betul. Lawan Ling-tai-hiap pada ronde ini memang datang terlambat, tapi dia adalah seorang pendekar ternama. Karena suatu persoalan penting terpaksa dia terlambat tiba di sini."

Thian-siang-hwi-hoa Ling-Peng-hi tertawa dingin, "Aku tidak mengerti apa maksud perkataan Hu-jin ..." pandangannya menyapu ke arah hadirin, lalu melanjutkan. "Umpama betul lawanku seorang pendekar besar ternama, umpama karena suatu hal yang mendesak ia datang terlambat lalu bolehkah ia ikut bertanding tanpa mengikuti babak penyisihan. Yang pasti aku sudah dua kali bertanding, calon penantangku itu masih segar bugar. Kalau pertandingan harus diteruskan, bukankah melanggar aturan dan tata tertib pertandingan. Hu-jin sebagai ketua pelaksana yang mengatur dan menentukan aturan pertandingan itu, kenapa sekarang justru

melanggarnya!"

Ting-Hu-jin menghela napas, "Memang hari aku akui bahwa hal ini melanggar aturan. Tapi aturan pertandingan itu sendiri kadang kala bisa diubah mengikuti perubahan keadaan, jadi bukan sengaja dilanggar."

"Nah, untuk itulah aku mohon petunjuk. Kenapa aturan pertandingan justru diubah karena orang itu? Apa yang diandalkan? Mohon Hu-jin menjelaskan."

"Karena apa yang dilakukan orang itu adalah untuk kepentingan seluruh kaum persilatan. Apalagi tenaga yang telah ia keluarkan, pertempuran yang sudah dilakukan, pasti tidak lebih ringan dari pertandingan dua babak yang telah Ling-tai-hiap lakukan. Oleh karena itu, setelah kami rundingkan bersama It-bok Tai-su dan lain-lain kami memutuskan untuk melanggar aturan pertandingan," demikian penjelasan Ting-lo-hu-jin.

Ban Cu-liang. It-bok Tai-su dan lain-lain segera berdiri.

It-bok Tai-su berkata, "Dengan nama kebesaran kedudukan kita berenam, berani kami bertanggung jawab bahwa apa yang dikatakan Ting-lo-hu-jin barusan memang benar dan nanti boleh dibuktikan."

Betapa besar wibawa keenam pendekar ini, betapa besar pula bobot ucapan mereka. Hadirin yang tadi mulai ribut karena panitia pertandingan melanggar aturan sendiri, kini mulai tenang kembali.

Ling-Peng-hi menyapu pandang ke empat penjuru, dukungan penonton tidak sesuai yang diharapkan, terpaksa ia berkata dengan suara berat "Kalau demikian, aku mohon keterangan, siapakah orang ini? Apa pula yang telah dilakukan demi kepentingan Bu-lim?"

"Dia terlambat datang karena berada jauh. Tang-ing, mengejar dan menyelidiki kungfu riwayat hidup Tang-hai Pek-ih-jin. Setiba di bawah gunung, seorang diri ia mengganyang belasan orang jahat yang berkomplot hendak menghancurkan seluruh kaum persilatan yang hadir di puncak Thai-san ini. Selama satu jam lebih ia bertempur."

Belum habis Ting-lo-hu-jin menjelaskan, hadirin menjadi gempar dan berteriak-teriak.

"Apakah rahasia Pek-ih-jin berhasil diselidiki?"

"Siapakah komplotan orang jahat itu? Untuk apa mereka hendak menghancurkan kita semua?"

"Siapakah dia sebenarnya?"

Ting-lo-hu-jin tersenyum, setelah menentramkan suasana, ia melanjutkan, "Menyinggung nama orang ini, aku yakin hadirin banyak yang sudah tahu. Pertanyaan yang kalian ajukan, biarlah dia saja yang menjawabnya. Dia bukan lain adalah ..."

Ia sengaja merandek, setelah suara orang banyak mulai reda baru melanjutkan dengan perlahan, "Dia adalah Kong-sun Ang, Kong-sun-tai-hiap."

"Kong-sun Ang?" hadirin melengak, "Apakah Kong-sun-tai-hiap yang berjuluk Loan-si-jin-liong? Senjata Thian-liong-gun-nya yang nomor satu dari seluruh jenis senjata luar biasa?"

Ting-lo-hu-jin menatap wajah Ling-Peng-hi, "Betul, kurasa Ling-tai-hiap juga sudah kenal namanya?"

Membesi wajah Ling-Peng-hi, jengeknya. "Kukira ia pun tahu siapa diriku."

Dengan tersenyum Ting-lo-hu-jin mengangguk, "Kalau demikian, entah Ling-tai-hiap mau bertanding dengannya?"

Mendadak Ling-Peng-hi mendongak dan terbahak-bahak. "Kenapa aku tidak mau bertanding dengannya? Memangnya aku takut padanya?"

Mendadak ia berhenti tertawa, suaranya berubah bengis, "Aku justru ingin membuat perhitungan dengan dia, biar nanti dibuktikan, Hong-hun-thian-liong-gun miliknya lebih lihai atau Boh-hun-thian-pit milikku lebih hebat?"

"Baiklah," Ting-lo-hu-jin manggut-manggut, "kami persilakan Kong-sun-tai-hiap ..."

Dari tengah penonton di sebelah kiri, mendadak melejit sesosok bayangan ke udara, bagai segumpal mega merah membara meluncur empat tombak jauhnya, langsung hinggap di atas panggung.

Betapa cepat gerak tubuh orang ini, penonton belum melihat jelas orangnya, tahu-tahu ia sudah berdiri di atas panggung. Rambutnya awut-awutan jambangnya kaku, seluruhnya berwarna merah api kecuali kedua biji matanya, seluruh kepalanya mirip segumpal api yang menyala. Hadirin menjadi silau rasanya.

Baju di depan dadanya terbuka lebar, celana panjang dilempit tinggi, pakaiannya yang juga berwarna merah menjadi gelap karena keringat, lumpur dan minyak. Sepatu rumputnya juga berlepotan lumpur.

Walau pakaiannya tidak keruan, tapi sikap dan wibawa orang ini kelihatan garang. Tatapan matanya tajam berwibawa, seperti raja yang agung dan mulia.

Tangan kirinya memegang sebatang pentung panjang tiga kaki, agaknya tongkat yang biasa dibawa ke mana-mana, maka tongkat itu kelihatan mengkilat karena selalu di pegang.

Tangan kanannya menjinjing karung yang cukup besar dan berat, entah apa isinya, hadirin tiada yang bisa menebaknya. Dari karung besar itu meneteskan air di atas panggung yang sudah dibersihkan. Jelas itulah darah segar...

Kong-sun Ang angkat karung itu ke atas, serunya lantang, "Apakah hadirin ingin melihat apa yang aku bawa dalam karung ini?"

Sebelum hadirin memberi reaksi, Ling-Peng-hi sudah lompat ke atas panggung, "Tidak perlu kau pamer apa isi karung itu. Keluarkanlah Thian-liong-gun, hadapilah Tin-thian-pit-ku."

Kong-sun Ang meliriknya, "Agaknya tuan sudah tidak sabar lagi?"

"Betul" bengis suara Ling-Peng-hi. "sudah lama aku ingin menghajarmu"

"Baiklah." ucap Kong-sun Ang bergelak tawa. Karung ia taruh di pinggir panggung, pentung melintang di depan dada, bentaknya, "Ayolah mulai."

Ling ping-hi menatap pentung di tangan orang "kau berani melawan senjataku, mana senjatamu?"

"Inilah senjataku," sahut Kong-sun Ang mengangkat pentung di tangannya.

Ling-Peng-hi terkejut, hadirin melengak. Siapa pun tidak menyangka Thian-liong-gun yang diagulkan nomor satu dari berbagai jenis senjata di seluruh dunia itu ternyata hanya sebatang tongkat saja.

Ling-Peng-hi menatap tajam pentung di tangan Kong-sun Ang, berubah rona mukanya, dari kaget heran menjadi kecewa, akhirnya ia mendongak dan bergelak tawa.

"Menghadapi pertarungan di medan laga, apa pula yang kau tertawakan?" jengek Kong-sun Ang.

"Thian-liong-gun yang menggetarkan dunia ternyata hanya sebatang pentung pendek. Pentung pendek begitu ternyata diagulkan lebih tinggi dari Boh-hun-tin-thian-pit. Betapa aku orang she Ling tidak akan geli dan kecewa?"

Sesaat lamanya Kong-sun Ang diam, matanya menatap wajah orang. mendadak ia pun mendongak dan bergelak juga.

"Hm, apa yang kau tertawakan?" jengek Ling-Peng-hi.

"Ling-siau-ceng-cu terkenal di dunia sebagai pemuda serba bisa, ahli sastra pandai silat, berpengetahuan luas, ternyata punya mata tapi tidak bisa membedakan benda. Betapa hatiku takkan geli dan tertawa."

"Kenapa kamu berkata demikian?" semprot Ling-Peng-hi.

"Tuan berpengetahuan luas, tapi meremehkan pentung pendekku ini. Bukankah pengetahuanmu amat sempit dan picik?" demikian ejek Kong-sun Ang.

Ling-Peng-hi naik pitam, "Baiklah, ingin aku buktikan, apakah Thian-liong-gun mempunyai kehebatan seperti yang diagulkan orang."

Sengaja ia bicara dengan suara lambat sebelum selesai bicara Boh-hun-tin-thian-pit di tangannya sudah bergerak menaburkan cahaya perak.

Melihat gerak permulaan senjata Ling-Peng-hi, banyak penonton menarik napas, banyak orang maklum, biarpun Ling-Peng-hi bilang kecewa dan meremehkan pentung pendek itu, namun sebenarnya ia tidak berani memandang rendah senjata lawan.

Lima jurus kemudian, penonton justru amat kecewa melihat penampilan Kong-sun Ang, baru lima jurus bergebrak, kelihatan ia sudah terdesak di bawah angin. Thian-liong-gun sejurus pun belum mampu balas menyerang.

Begitu pertarungan dimulai, gerak-geriknya seperti terkekang oleh cahaya perak senjata lawan. Apalagi permainannya jauh berbeda dengan perawakan dan sikapnya yang menakutkan orang.

Tapi sejauh mana penonton masih menunggu perkembangan lebih lanjut, sebab jurus apa yang dilancarkan oleh Kong-sun Ang, banyak penonton yang tidak tahu atau melihat jelas. Gerakannya mirip ilmu pedang, tapi juga mirip ilmu golok. Seperti cangkokan dari ilmu ruyung, waktu menyerang jelas ia menggunakan jurus pedang, tapi di tengah jalan tiba-tiba berubah jurus golok, bila ia menarik senjatanya gayanya seperti permainan ruyung.

Serangan Ling-Peng-hi secepat kilat, di tengah taburan cahaya perak, penonton sukar menyaksikan perubahan senjatanya. Sebaliknya gerak-gerik Kong-sun Ang kaku dan lambat, jurus demi juru seperti berat dilancarkan. Penonton dapat mengikuti gerak-geriknya dengan jelas. Tapi tiada satu pun yang dapat meraba gerak perubahan permainannya.

Jurus-jurus yang dilancarkan Ling-Peng-hi mirip bunga di tengah kabut. Pantas juga kalau orang tidak mampu mengikuti permainannya. Lama kelamaan permainan potlot Ling-Peng-hi makin gencar dan sengit. Sebaliknya gerak pentung Kong-sun An makin lamban dan damai. Ling-Peng-hi bergerak lincah dan tangkas, seluruh gelanggang seperti ingin dijelajahinya, segesit ikan berenang dalam air, hilir mudik kian kemari. Semula Kong-sun Ang masih ikut bergerak, kemudian ia malah diam tidak bergerak lagi.

Lama kelamaan penonton yang berkepandaian lebih tinggi dan berpandangan lebih tajam dapat melihat betapapun gencar dan sengit gempuran Ling-Peng-hi bila Kong-sun Ang melancarkan jurus yang lamban dan mantap itu, rangsakan Ling-Peng-hi yang gencar itu lantas dipatahkan. Hebatnya, sejurus serangan balasan saja dapat memunahkan enam-tujuh jurus serangan lawan.

It-bok Tai-su menghela napas gegetun, kata-kata "Kungfu Ling-si-cu memang cukup mengejutkan, tapi mirip orang minum arak yang dicampur air makin diminum makin tidak ada rasanya. Sebaliknya kungfu Kong-sun-si-cu ..."

Ting-lo-hu-jin tersenyum, "Selintas pandang kungfu Kong-sun-si-cu terasa berat dan getir, tapi seperti kita mengunyah kemari, makin lama rasanya makin gurih."

It-bok Tai-su tertawa lebar. "Ya, memang demikian. Dalam lima puluh jurus, Ling-si-cu pasti kewalahan."

Lima puluh jurus hampir tiba.

Mendadak Kong-sun Ang bergelak tawa, "Ling-Peng-hi, lemparkan senjatamu!"

Di tengah gelak panjangnya, Thian-liong-gun terayun balik.

Sementara itu, cahaya perak memenuhi angkasa sederas hujan lebat berhamburan turun. Jelas dua senjata itu akan beradu dengan keras, penonton menduga akan terdengar benturan yang memekak telinga, di luar dugaan tiada suara apa-apa, tapi cahaya perak yang bertaburan itu mendadak kuncup dan sirna.

Penonton terbelalak, ternyata Boh-hun-tin-thian-pit yang lincah dan bergerak penuh variasi itu, kini tertindih di bawah Thian-liong-gun. Mirip ular tertindih batu.

Ular, dapat bergerak tangkas dan lincah. Batu meski berat dan sederhana, tapi kalau ular ditindih batu, betapa pun ia meronta, jangan harap dapat membebaskan diri.

Air muka Ling-Peng-hi yang mandi keringat kelihatan serba runyam. Bola matanya merah darah, napasnya menderu berat.

Ting-lo-hu-jin segera berdiri, "Kalah-menang sudah ditentukan, harap Ling-tai-hiap berhenti."

Ling-Peng-hi menggeram gusar. "Siapa bilang sudah ada kalah dan menang ... Kena!"

Bertepatan dengan kata "kena", Boh-hun-tin-thian-pit di tangannya mendadak putus menjadi tujuh potong, dari setiap potongan potlot itu menghambur keluar cahaya menyilaukan.

Hamburan cahaya itu berbeda warna satu dengan yang lain, yaitu merah, kuning, hijau, coklat, biru, ungu dan jingga. Bukan saja warnanya menyolok, cahayanya juga menyilaukan mata.

Begitu tujuh macam warna cahaya itu berhamburan di atas panggung, penonton merasa silau seperti di tusuk jarum.

Dalam sedetik itu penonton menduga tamatlah riwayat Kong-sun Ang. penonton yang bermata tajam menyaksikan, begitu potlot Ling-Peng-hi putus dan menghamburkan cahaya, tubuh Kong-sun Ang yang tegap itu malah tersungkur ke depan.

Maklum seluruh kekuatannya ia salurkan di ujung pentung, pentung menindih ke bawah. Bila tenaga perlawanan di bawah mendadak lenyap, adalah logis kalau ia kehilangan keseimbangan badan. Dalam keadaan seperti itu, ia harus menghadapi hamburan cahaya lebat bagaimana ia dapat menyelamatkan diri.

Maka terdengarlah jeritan dari atas panggung. Sesosok bayangan orang terlempar dan jatuh ke tanah. Tapi bukan Kong-sun Ang yang menjerit, bukan ia yang ambruk.

Ternyata pada saat cahaya menyilaukan itu berhamburan, bukan mundur tapi Kong-sun Ang malah memapak ke depan dan menubruk ke bawah terus menerobos lewat selangkangan LingPeng-hi. Walau gerakannya itu merupakan aksi yang mudah dilakukan, tapi dalam keadaan bahaya dan mendesak seperti itu, kalau tidak punya keteguhan hati dan reaksinya kurang cepat, siapa berani menggunakan cara seperti itu untuk menyerempet bahaya.

Belum lenyap senyum puas di wajah Ling-Peng-hi, Kong-sun Ang sudah berada di bawah selangkangan. Itulah tempat kosong yang paling lemah di tubuh manusia. Musuh berhasil merebut posisi yang menguntungkan, betapa dirinya takkan kalah?

Betapa kejut Ling-Peng-hi, serasa terlipat sukmanya. Untuk berkelit atau menyingkir jelas tidak mungkin karena Thian-liong-gun di tangan Kong-sun Ang sudah terayun.

Tubuh Ling-Peng-hi terpukul mabur ke udara jatuh di bawah panggung. Kebetulan ia jatuh di depan Bok Put-kut dan Ciok-Put-wi.

Sigap sekali Kong-sun Ang melompat berdiri, bentaknya murka, "Ling-Peng-hi, kau sendiri cari mampus, jangan salahkan aku."

Bentakan itu menyadarkan penonton dan maklum apa yang telah terjadi. Padahal umum menganggap Ling-Peng-hi adalah calon "jago nomor satu" dalam pertandingan besar ini, ternyata dalam babak semi final akhirnya ia gugur. Maka gegerlah para hadirin, pandangan mereka tertuju ke arah Kong-sun Ang yang bertolak pinggang di atas panggung.

Hanya Po-giok saja yang mengawasi Ling-Peng-hi dari tempatnya. Sesaat kemudian ia mulai bergerak, lalu meronta dan merangkak ke depan Ciok-Put-wi. Rona wajahnya tampak kaget dan menderita, tapi juga kecewa, diliputi dendam dan benci.

Sorot matanya yang penuh kebencian melotot ke arah Ciok-Put-wi, bibirnya gemetar seperti ingin bicara, namun suara tidak keluar dari mulutnya. Mendadak tubuh mengejang lalu ambruk mencium tanah. Apa yang ingin ia ucapkan, selamanya akan menjadi rahasia dalam liang kubur.

Ciok-Put-wi juga terus menatapnya, air mukanya tidak berubah, tapi sorot matanya dingin tajam.

Dari bawah panggung Po-giok memandang ke sana, sikap kedua orang ini ia saksikan dengan jelas. Mendadak kedua alisnya terangkat, air muka juga menampilkan cahaya yang aneh.

Sementara itu suara Kong-sun Ang sedang berkumandang di puncak gunung.

"Tiga tahun yang lalu, untuk menyelidiki rahasia Tang-hai Pek-ih-jin, sengaja aku beli kapal dan berlayar ke lautan timur menuju ke Tang-ing-sam-to, tiga pulau di lautan timur yang sejak dahulu dinamakan pulau dewata."

"Menurut hikayat lama, Tang-ing-sam-to ditempati oleh keturunan bangsa Han kita yang sejak jaman Cin-si-ong berlayar ke sana untuk mencari obat dewa yang dapat memperpanjang usia manusia. Maka adat istiadat, tulisan dan bahasa penduduk kepulauan itu banyak mirip dengan Han kita. Sikap mereka juga hormat dan sopan terhadap bangsa kita yang berlayar ke sana."

"Hanya sifat dan perangai penduduk kepulauan itu jauh lebih keras kejam dan kasar dibanding kita. Sedikit tidak cocok omong, tidak segan-segan mereka berkelahi dengan mempertaruhkan jiwa."

"Kungfu yang berkembang di pulau itu, asalnya juga dari bangsa kita, tapi setelah mengalami berbagai perubahan, kini sudah jauh berubah menjadi ganas. Ini jelas berhubungan dengan adat istiadat dan watak penduduk pulau itu."

"Senjata yang digunakan penduduk pulau itu adalah golok panjang melengkung (samurai), batang golok itu lurus tipis dan sempit, tajamnya luar biasa, seluruhnya terbuat dari baja murni. Kekuatannya tidak di bawah golok bangsa kita."

"Ilmu golok yang digunakan di pulau itu sederhana dan tidak banyak variasi. Tapi aliran persilatan yang berkembang di pulau itu cukup banyak cukup dengan tiga-empat jurus ilmu golok yang lihai dan siapa pun boleh mendirikan aliran atau perguruan."

"Menurut apa yang aku ketahui, ada dua puluhan jenis aliran kungfu di sana, di antaranya hanya tiga atau empat yang paling menonjol dan disegani. Umpama Siau-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain di sini."

Meski Kong-sun Ang sedang mengobrol dan belum membicarakan pokok persoalannya, tapi apa yang dia kisahkan memang belum pernah diketahui orang. maka penonton menaruh perhatian.

Dengan suaranya yang lantang Kong-sun Ang, melanjutkan, "Waktu aku mendarat di pulau itu, keadaan serba asing bagiku, apalagi bahasa mereka tidak aku ketahui sama sekali. Dalam tahun permulaan, boleh dikatakan aku tidak memperoleh hasil apa-apa."

"Setahun setelah aku menjadi gelandangan, sedikit banyak aku sudah dapat berkomunikasi dengan penduduk. Aku mulai kenal aliran dan perguruan silat yang ada di sana."

"Lambat laun, penduduk pulau itu juga mulai tahu bahwa aku adalah pesilat yang datang dari Tiongkok. Mulailah mereka menaruh perhatian terhadap jurus permainan senjata yang aku gunakan."

"Maka cikal-bakal guru atau murid dari berbagai perguruan silat di sana banyak yang datang minta bertanding denganku. Betapa serius sikap mereka terhadap 'ilmu silat' kurasa cukup untuk kita jadikan cermin."

"Kedatanganku bukan untuk mencari musuh atau mengukur kepandaian, kalau tidak dipaksa dan terpaksa, aku tidak mau bergebrak, umpama harus bergebrak juga cukup mengukur kepandaian saja."

"Selama itu dapat aku selami ilmu silat mereka memang kalah jauh dibanding kemurnian kungfu yang berkembang luas di negeri kita. Tapi ketegasan dan kekejaman ilmu goloknya, bangsa kita jelas tidak dapat menandingi.

"Terutama ilmu golok Liu-sing-eng-hiong-tiang yang mengutamakan 'tenang mengatasi aksi, gerakan kemudian mendahului musuh'. Dalam hal ini kurasa amat serasi dengan aliran murni golongan lwe-keh bangsa kita.

Akhirnya aku ketahui, bahwa kungfu Tang-hai Pek-ih-jin ternyata tidak jauh berbeda dengan Liusing-eng-hiong-tiang. mungkin satu dengan yang lain berasal dari satu sumber. Maka aku mulai penyelidikanku dari sini, aku mencari tahu tentang asal usul dan riwayat Pek-ih-jin itu."

Sampai di sini Po-giok menaruh sepenuh perhatian, mendengarkan dengan seksama. Kong-sun Ang bercerita lebih lanjut, "Dalam suatu kesempatan aku berhasil menemui tiga tokoh besar yang paling disegani kalangan persilatan Tang-ing. Sejak pembicaraan panjang lebar itu, tidak sedikit manfaat yang aku peroleh di bidang ilmu silat. Dari mulut mereka pula berhasil aku korek keterangan tentang riwayat Tang-hai Pek-ih-jin."

Sampai di sini Kong-sun Ang berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Puluhan tahun yang lalu, di kalangan Bu-lim Tiong-goan pernah muncul seorang jenius, pengetahuannya amat luas. Tapi sebagai manusia biasa, betapapun pintar dan luas pengetahuannya, tetap ada batasnya. Walaupun orang ini mahir mempelajari berbagai jenis ilmu, namun hasil yang dipelajari tiada satu pun yang mencapai taraf tinggi, ilmu yang diyakinkan tiada yang sempurna. Terutama dalam hal ilmu silat, walau ia mahir berbagai ilmu silat dari beberapa cabang, namun tiada satu pun yang berhasil diyakinkan sampai puncaknya.

"Kalau orang lain, dengan bekal yang dimilikinya itu, tentu sudah berkelana di kang-ouw. Tapi orang ini berambisi besar, cita-citanya setinggi langit kaum persilatan umumnya tidak terpandang olehnya, maka ia hanya mencari tokoh-tokoh kosen persilatan untuk diajak bertanding. Dengan bekal yang dimilikinya, sudah tentu setiap kali bertempur selalu kalah."

Kong-sun Ang menghela napas gegetun, air mukanya seperti merasa kasihan. "Setengah hidup orang ini hanya berkelana di kang-ouw, setelah usianya hampir setengah abad baru ia peroleh seorang keturunan. Orang ini sadar pengalaman hidupnya yang serba gagal itu amat mengecewakan, sudah tentu ia tidak berharap putranya kelak mengikuti jejaknya, maka ia bertekad mumpung dirinya masih mampu mendidik dan merawat putra tunggalnya, ia harus menggemblengnya menjadi seorang tunas muda yang luar biasa di Bu-lim.

"Padahal di Tiong-goan sudah tiada tempat berpijak baginya, maka ia membawa putranya yang masih kecil berlayar menuju ke Tang-ing. Sejak kecil putra kesayangannya itu digembleng dengan berbagai macam ramuan obat. Sejak anaknya mulai belajar jalan sudah harus belajar kungfu. Sedetik pun anaknya tidak boleh menghamburkan waktu. Jiwa raga dan semangat putranya harus dicurahkan untuk belajar dan dipersembahkan untuk ilmu silat.

"Maklum, orang ini serba bisa, menguasai intisari berbagai ilmu silat, hanya sayang ia tidak bisa tekun mempelajarinya satu per satu. Oleh karena itu meski taraf kemampuannya tidak berhasil mengangkat dirinya menjadi tokoh kosen, tapi pasti dia merupakan seorang guru teladan yang tiada bandingannya.

"Belum genap 10 tahun, di bawah gemblengannya, putra kesayangannya itu sudah memiliki lwe-kang yang sejajar dengan tokoh kelas wahid di Tang-ing. Pada usia 11 ia sudah mengembara kang-ouw. Dalam jangka 10 tahun ia sudah menghadapi seluruh jago silat berbagai aliran yang ada di kepulauan itu.

Jilid-20 cersil Misteri Kapal Layar Pancawarna.

"Betapapun tinggi kepandaian yang dibekalnya, karena usianya masih kecil, bila berhadapan dengan jago yang benar-benar kosen, sudah tentu ia tetap dikalahkan, kaum pesilat di sana meski berwatak kejam dan suka bunuh, namun terhadap bocah yang lihai ini mereka tidak tega membunuhnya. Oleh karena itu, meski anak ini sering menderita kalah, namun belum menemui ajalnya.

"Dari setiap pengalaman tempur, dari kekalahan demi kekalahan yang dialaminya, bocah ini justru tergembleng lebih matang, lebih peka dan tajam. Masa anak yang indah bagi bocah lain justru ia lewatkan dalam kehidupan yang serba sengsara, boleh dikatakan setiap hari ia harus dihajar dan dihajar. Namun demikian, pengorbanannya itu berhasil memperoleh sukses yang besar, imbalan itu cukup setimpal dibanding seluruh pengorbanannya. Waktu ia berusia delapan belas, seluruh jago silat di Tang-ing sudah disapunya bersih, meski jago angkatan tua juga dikalahkan dalam beberapa gebrak saja.

"Tubuhnya sudah tergembleng laksana otot kawat tulang besi apalagi lwe-kang nya sudah punya dasar yang kuat, setelah latihan praktek selama belasan tahun, bekal kungfunya boleh dikata sudah merupakan kombinasi antara ilmu silat Tiong-kok dengan berbagai aliran ilmu silat yang ada di Jepang. Tiga tokoh utama yang berkuasa di sana seluruhnya sudah empat kali bertanding dengan dia mereka bilang setelah empat kali bertanding tingkat kepandaiannya sudah sukar diukur lagi."

Kong-sun Ang menelan ludah, lalu menarik napas panjang, "Dalam jangka sepuluh tahun itu, ayahnya meninggal. Kecuali 'kungfu' ia tidak punya apa-apa lagi, ayahnya mati, tapi ia tidak peduli dan tiada perhatian sama sekali. Bukan saja tubuhnya sudah tergembleng bagai baja, hati pun jadi dingin dan kaku bagai besi, tanpa perasaan dan tidak kenal kasihan atau duka lara.

"Setelah ia berusia dua puluh, sudah tiada tokoh silat di kepulauan itu yang mampu menandingi dia. Ia maklum bila dirinya menetap di sini, masa depannya akan makin suram kungfunya juga takkan memperoleh kemajuan...."

"Dan karena itu ia berlayar ke negeri kita?" hadirin bertanya.

Kong-sun Ang geleng kepala dengan tertawa getir, "Kalau mau ia dapat datang waktu itu, tapi orang ini bukan anak sombong yang tidak tahu diri, ia tahu kungfunya sudah menyapu seluruh jago silat di Tang-ing, namun kemampuannya belum memadai untuk menjadi jago di negeri kita ini. Maka ia berlayar seorang diri ke arah timur menetap di sebuah pulau kecil yang kosong."

"Pulau kecil itu masih liar dan belum dijamah manusia. Di pulau itu terdapat sebuah empang, dalam empang itu terdapat banyak batu kecil berwarna hitam dan putih, bundar dan mengkilap mirip biji catur. Di pulau itu Pek-ih-jin menetap sepuluh tahun lamanya."

"Apa kerjanya sepuluh tahun di pulau itu?" hadirin bertanya pula.

"Tiada orang tahu apa kerjanya di sana. Tapi kaum Bu-lim umumnya suka usil, diam-diam ada yang mengintip gerak-geriknya. Ternyata di pulau itu ia mengabaikan kungfu yang diyakinkan selama ini. Dari pagi hingga petang duduk termenung menghadapi problem catur di depannya."

Hadirin heran dan bingung. Hanya Pui-Po-giok dan It-bok Tai-su berkerut kening, setelah terbatuk-batuk It-bok Tai-su berkata, "Kelihatannya ia mengabaikan latihan silat, padahal selama sepuluh tahun taraf kepandaiannya meningkat jauh lebih tinggi."

"Ya, memang demikian kenyataannya," ucap Kong-sun Ang menghela napas. "Menurut salah satu tokoh terkemuka di negeri itu, semula kungfunya memang tinggi, namun masih bisa dijajaki. Tapi setelah ia pulang dari pulau terpencil itu, betapa tinggi bekal kungfunya, orang sudah mampu mengukurnya. Tiga tokoh besar di itu, pernah mengajaknya bertanding, tapi sebelum melancarkan serangan mereka sudah mengaku kalah."

Hal ini disebabkan semangat, nalar dan keteguhan hatinya sudah bersatu-padu, senyawa dengan pedang di tangannya, sekujur badan seolah-olah terbungkus oleh hawa pedang, tiada lubang kelemahan untuk digempur. Hasigawa adalah cikal bakal ilmu pedang yang terkemuka dan disegani di sana. Tujuh jam lamanya mereka berhadapan saling tatap, namun tidak menemukan kelemahannya, maka ia tidak berani turun tangan.

"Akhirnya Hasigawa sendiri luluh semangat dan tekadnya. Sementara Pek-ih-jin masih berdiri tegak sekukuh gunung, tidak bergeming juga tidak terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Tanpa bertempur Hasigawa mengaku kalah ...." Kecuali kaget dan heran, hadirin merasa kagum juga.

"Setelah yakin akan bekal ilmunya yang tangguh Pek-ih-jin berkeputusan untuk hijrah ke Tionggoan. Ia pikir dengan kungfunya sekarang cukup untuk melampiaskan penasaran ayahnya dahulu. Ia yakin kemampuannya sudah tiada bandingan di dunia.

"Di luar dugaan, di Tiong-goan ada seorang Ci-ih-hou. Betapa kuat tulang dan otot Ci-ih-hou, betapa berat dan gigih latihannya, mungkin tidak seberat dan setangguh Pek-ih-jin. Tapi jiwanya yang besar, dadanya yang lapang dan kebaikannya, Pek-ih-jin jelas bukan apa-apanya.

Padahal beberapa unsur penting ini juga merupakan syarat utama bagi seseorang jago silat untuk meyakinkan ilmu mencapai puncak yang paling tinggi. Oleh karena itu, meski dalam duel yang menentukan itu akhirnya Ci-ih-hou meninggal dunia, namun Pek-ih-jin harus mengaku kalah juga."

"Betul," It-bok Tai-su manggut-manggut, "kalau bukan karena kebesaran jiwanya, kebaikannya, ditambah pengetahuannya yang luas, umpama seseorang selama hidup meyakinkan ilmu juga tidak akan mencapai taraf ilmu pedang yang paling top. Karena bila ia tidak mampu melebur ilmu pedang ke dalam jiwanya, paling tinggi ia hanya mencapai taraf 'ahli pedang' saja. Padahal betapa besar perbedaan antara kedua pengertian ini."

Orang lain mungkin sulit mencerna makna uraian yang mendalam dari Kong-sun Ang ini. Tapi Po-giok mendengarkan dengan jelas dan seksama hati-hati dan penuh pengertian, ia mencerna dan merasakan betapa tinggi makna yang terkandung dalam uraian itu.

Kong-sun Ang berkata lebih lanjut. "Pek-ih-jin pulang dengan kekalahan, berita ini segera tersiar luas di Tang-ing. Mendengar berita ini, Hasigawa menjadi panik, takut dan bingung. Maklum, ia sudah menyelami watak dan jiwa Pek-ih-jin. Dengan kekalahannya itu, maka sepak terjangnya jadi eksentrik, padahal tiada kaum silat di Tang-ing yang mampu mengendalikannya. Sebagai cikal bakal suatu aliran yang disegani, Hasigawa mengumpulkan tujuh belas ahli pedang dan membentuk satu barisan, bila Pek-ih-jin menunjukkan aksinya,

maka barisan ini akan bertindak dengan segala akibatnya.

"Hasigawa berpendapat usahanya ini merupakan aturan dan semangat 'persilatan', Pek-ih-jin tergembleng dan 'jadi' pesilat di Tang-ing, adalah menjadi kewajiban kaum persilatan di Tanging untuk melenyapkan bila dirasa kehadirannya membahayakan jiwa orang lain.

"Di luar dugaan, setiba di Tang-ing, Pek-ih-jin yang dahulu pendiam dan menyendiri, kini berubah ramah, dan senang berkumpul dengan orang banyak. Bukan lagi menyembunyikan diri untuk meyakinkan ilmu silat, tapi ia malah membuka dasar dan berjualan di pasar. Kalau ada orang tanya tentang perjanjiannya dengan kaum Bu-lim di Tiong-goan tujuh tahun lagi, ia hanya geleng kepala dengan tersenyum ramah."

Riwayat hidup Pek-ih-jin merupakan legenda yang diliputi misteri, perubahan jiwa dan watak hidupnya justru lebih membuat orang heran, bingung dan tidak habis mengerti. Berbeda-beda tanggapan hadirin setelah mendengar kisah Kong-sun Ang, ada yang geleng kepala, menghela napas panjang, ada juga yang bersorak gembira dan keplok kegirangan.

Namun It-bok Tai-su berkerut kening, gumam nya dengan nada rendah, "Menakutkan ... sungguh menakutkan ...."

Dari samping Ban Cu-liang bertanya. "Dalam hal apa ia menakutkan?"

Tertekan suara It-bok Tai-su, "Kurasa Pek-ih-jin kini sudah setingkat lebih tinggi lagi daripada apa yang dicapainya dulu. Bukan lagi 'lahirnya' belajar dan memperdalam ilmu pedang, tapi kini lebih tepat dikatakan sudah menjadi jiwanya. Kurasa makna tertinggi bagi seorang ahli pedang tidak jauh bedanya dengan seorang murid Budha yang belajar mencapai kesempurnaan."

Ting-lo-hu-jin menghela napas, "Kalau benar demikian, setelah ia lulus dengan kemanunggalannya itu tentu kepandaiannya naik setingkat lebih tinggi lagi."

"Setahun yang lalu," demikian Kong-sun Ang melanjutkan kisahnya, "aku tidak berhasil menemukan jejak Pek-ih-in di pasar atau di mana pun. Ternyata jejaknya menghilang entah ke mana, baju yang biasa dipakainya masih tetap di tempatnya, seolah-olah ia minggat tanpa mengenakan pakaian secuilpun.

"Dari para pelaut dan pedagang yang pulang dari Tiongkok aku dengar adanya pertandingan besar yang diadakan di puncak Thai-san ini, Kurasa aku sudah cukup mencari tahu riwayat hidup Pek ih-jin, maka bergegas aku berlayar pulang. Setiba di sini, baru kutahu bahwa pertemuan dibuka lebih dini daripada waktu yang sudah ditentukan.

"Di luar dugaan, ketika aku memburu datang ke Thai-san, di hutan di kaki gunung aku temukan segerombolan orang asing yang mencurigakan, maka diam-diam aku intip gerak-gerik mereka, ternyata mereka sedang memasang sumbu peledak dengan tujuan mencelakai kaum persilatan yang hadir di puncak ini."

"Hah, lalu bagaimana akhirnya? Apa yang sudah kau lakukan?" hadirin berteriak-teriak.

Kong-sun Ang bergelak tawa. "Sudah tentu aku tidak berpeluk tangan. Nah ini buktinya boleh hadirin periksa," lalu ia raih karung yang tadi ia taruh di pinggir panggung serta menuang isinya, ternyata isi karung itu adalah belasan batok kepala manusia, seluruhnya orang-orang asing yang sudah pernah dilihat Po-giok beberapa tahun yang lalu.

*****

Peserta pertandingan yang masuk babak berikutnya, kini tinggal Kong-sun Ang, Bwe-Kiam, Ciang-Jio-bin, Au-yang-thian-kiau dan Poa-Ce-sia yang luka terbakar.

Kini perhatian hadirin tertuju ke arah panggung lagi. Mereka sudah tidak peduli apakah dinamit yang terpendam itu nanti bakal meledak atau tidak, yang pasti pertandingan ini tidak boleh diabaikan.

Dengan memegang daftar peserta, sesaat Ting-lo-hu-jin berdiri bimbang. Ia bingung bagaimana mengatur kelima peserta yang harus bertanding di "semi final" ini.

Tiba-tiba Poa-Ce-sia menghampiri dan bicara bisik-bisik. Semula Ting-lo-hu-jin tampak kaget dan heran, akhirnya ia tersenyum penuh pengertian, lalu mengangguk.

Maka terdengar suara Ting-lo-hu-jin lantang "Barusan Poa-Ce-sia Poa-tai-hiap menyatakan mengundurkan diri dari pertandingan selanjutnya...Oleh karena itu, kini tinggal empat orang yang memasuki babak semi final. Semoga ..."

Belum habis Ting-lo-hu-jin bicara, di tengah penonton mendadak berkumandang gelak tertawa aneh yang menusuk telinga, Terpaksa Ting-lo-hu-jin menahan sabar, menunggu gelak tawa itu berhenti. Tapi berhenti gelak tawa itu melainkan makin keras dan memekak telinga.

Dingin muka Ting-lo-hu-jin, bentaknya, "Siapa itu yang tertawa seperti itu, memangnya tidak puas dengan keputusan kami?"

Orang di tengah penonton itu masih bergelak tawa. "Pertemuan besar Thai-san apa, sungguh lucu dan menggelikan, kenapa aku tidak boleh tertawa."

Suaranya melengking tajam seperti jarum menusuk genderang telinga.

Ting-lo-hu-jin naik pitam, serunya, "Di kolong langit ini siapa berani bilang pertemuan Thai-san lucu dan menggelikan? Harap jelaskan, dalam hal apa pertemuan besar ini lucu dan menggelikan?"

Orang di tengah penonton itu berkata dengan, tertawa "Dengan kemampuan lima orang tadi akan memperebutkan 'jago nomor satu di dunia'? Haha, menurut pendapatku, kelima orang ini hanya setimpal merebut gelar 'badut nomor satu di dunia'."

Suasana yang semula sudah reda dan tentram mendadak menjadi ribut dan gempar oleh hasutan orang ini.

Au-yang-thian-kiau, Kong-sun Ang berempat menjadi gusar. Mereka merasa diremehkan dan dihina di muka umum. Siapa berani bicara begitu? Sungguh besar nyalinya!

Kong-sun Ang bertolak pinggang sambil membentak, "Tuan berani membual di depan umum, tentu mempunyai kepandaian yang luar biasa. Kenapa tidak keluar saja bertanding dengan kami para badut ini?"

"Ya, memang harus demikian!" terdengar sahutan suara melengking itu di tengah penonton.

Tak perlu mendesak orang, penonton sudah minggir dengan sendirinya memberi jalan, ribuan mata penonton tertuju ke sana, semua ingin tahu dan melihat siapa orang gila yang berani bermulut besar. Atau dia memang seorang gagah sejati!

Tampak seorang berjalan santai di tengah penonton, perawakannya sedang berbaju hijau dengan topi kecil, wajahnya putih halus, alis lentik mata bening, tingkah dan tindak tanduknya lebih mirip orang perempuan.

Banyak hadirin yang bersorak dan bersiul, "Haya, orang sekecil ini, cukup satu jari saja Kong-sun Ang mampu mendorongnya jatuh. Ternyata mulutnya sok usil, kurasa dia memang orang gila."

Dengan penuh perhatian Ting-lo-hu-jin mengawasi perawakan, langkah dan sikap orang ini, memperhatikan seluruh gerak-geriknya. Mendadak ia berkerut alis, katanya dengan nada rendah, "Orang ini pasti seorang perempuan."

It-bok Tai-su mengangguk, "Hu-jin bilang ia seorang perempuan, aku yakin tidak salah lagi. Tapi belum pernah aku dengar, di Bu-lim ada perempuan yang punya nyali besar seperti dia."

"Tunas muda selalu muncul di kalangan kang-ouw," demikian ucap Ting-lo-hu-jin menghela napas "tidak perlu heran kalau kami tidak tahu asal-usulnya. Yang aku herankan, apakah ia tidak tahu asal-usul Bwe-tai-hiap dan Ciang-tai-hiap berempat? Memangnya ia tidak tahu betapa tinggi taraf kungfu mereka? Apakah mereka rela diam dan berpeluk tangan dihina di depan umum?"

"Perempuan ini tentu putri keluarga persilatan yang ternama dan sengaja mencari gara-gara untuk mengagulkan nama besar keluarganya. Di luar tahunya bahwa empat tokoh finalis itu semuanya berwatak keras, angkuh dan tidak mau mengalah kepada siapa pun."

Mendadak Ban Cu-liang menimbrung, "Bukan mustahil ia sudah tahu asal-usul dan taraf kepandaian keempat tokoh finalis itu. Mungkin juga ia tidak jeri menghadapi kungfu keempat orang ini. Lalu...lalu bagaimana baiknya?"

Mendadak Ting-lo-hu-jin membalik badan, katanya, "Apakah Ban-tai-hiap sudah tahu siapa dia sebetulnya?"

Ban Cu-liang geleng kepala sambil menghela napas, "Rasanya aku tahu siapa dia sebetulnya. namun sukar aku jelaskan siapa dia sebenarnya."

Ting-lo-hu-jin dan It-bok Tai-su saling pandang tanpa bicara.

Dari sekian banyak hadirin yang paling kaget dan berubah air mukanya hanya Pui-Po-giok seorang. Ia sembunyi di belakang seorang lelaki yang bertubuh lebih besar dan tinggi, supaya orang berbaju hijau dengan topi kecil itu tidak melihat wajahnya.

Sementara itu, pemuda baju hijau dengan topi kecil itu sudah sampai di depan panggung.

Cahaya rembulan menyinari wajahnya yang pucat, bola matanya yang bening tajam laksana mata pisau. Sepintas orang banyak merasa orang ini misterius, dingin tapi cantik.

Kong-sun Ang, Au-yang-thian-kiau. Bwe-Kiam dan Ciang-Jio-bin seperti terkesima oleh wajah pucat dingin dan misterius ini.

Ting-lo-hu-jin merendahkan suara, katanya lembut, "Di panggung pertandingan yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa sendiri, lebih baik nona jangan ikut campur."

Sikap pemuda baju hijau tenang dan wajar meski dipanggil "nona" oleh Ting-lo-hu-jin.

Malah dengan suara dingin ia berkata, "Kungfu Ciang-Jio-bin bergaya tapi tidak berisi, permainan Au-yang-thian-kiau juga hanya untuk menggertak orang, Thian-to Bwe-Kiam memang ganas, tapi kurang gesit dan tidak serasi. Dengan golok lengkungnya itu untuk membabat padi atau membabat rumput kurasa lebih tepat. Sementara Kong-sun Ang...hehe, walau kungfunya satu sumber dengan Pui-Po-giok, tapi berlatih sepuluh tahun lagi, taraf yang dapat dicapainya paling banyak cuma sepersepuluh dari yang dicapai Pui-Po-giok. Dengan

kemampuan begini siapa setimpal menjadi nomor satu di Bu-lim."

Mendadak Kong-sun Ang membentak "He, apa kamu ini Pui-Po-giok?"

"Pui-Po-giok? .... " pemuda baju hijau menyeringai, "sebagai penggosok sepatuku pun ia tidak setimpal. Tapi kalau kalian berempat ingin menjadi penggosok sepatu Pui-Po-giok, aku yakin dia pun tidak mau."

"Hm, siapa kau sebenarnya?" hardik Kong-sun Ang menahan amarah.

"Aku? ... aku bukan siapa siapa, aku kemari hanya untuk memberi hajaran kepada kalian. Jangan menutup pintu dan mengangkat diri menjadi raja, mengagulkan diri sebagai jago kosen nomor satu. Orang bisa rontok giginya karena geli"

Ciang-Jio-bin ikut membentak gusar, "Kalau tidak mengingat kamu ini betina, saat ini sudah...."

"Kalau betina memangnya kenapa?" pemuda baju hijau bertolak pinggang, "kau kira perempuan di dunia ini seperti Be-Cek-coan yang boleh dihina dan dipermainkan begitu."

Satu per satu ia tatap wajah empat orang di depannya, sikapnya makin pongah dan memandang rendah mereka, "Kalau saat ini aku menantang kalian satu per satu, kalian tentu akan bilang tadi aku belum mengeluarkan tenaga dan sengaja cari keuntungan."

Sampai di sini ia berhenti bicara, lengan bajunya mengebas perlahan, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas panggung, katanya sambil menggerakkan tangan, "Ayolah, kalian berempat maju bersama saja supaya menyingkat waktu dan menghemat tenagaku."

Bwe-Kiam, Au-yang Thian-kiau berempat menggerung gusar, serempak mereka memburu ke atas panggung. Tapi mereka adalah tokoh-tokoh besar yang disegani, di hadapan sekian banyak orang gagah, meski sedang marah, jelas mereka tidak akan turun tangan bersama. Sekilas mereka saling pandang, tanpa berjanji semuanya merandek dan segan turun tangan.

Kong-sun Ang buka suara lebih dulu, "Mohon kalian sudi mengalah, biar aku yang turun gelanggang lebih dulu."

"Biar Siau-te saja yang memberi hajaran kepadanya," Ciang-Jio-bin menimbrung.

"Aku juga tidak sabar lagi," Bwe-Kiam tidak mau mengalah, "kurasa ..."

Pada saat tiga orang ini bersitegang, Au-yang-thian-kiau bertindak lebih dulu, langsung ia melompat ke depan pemuda baju hijau, sepuluh jarinya terpentang bagai cakar dan mencengkeram ke dua pundak pemuda baju hijau.

Jurus silat yang dilancarkan Au-yang-thian-kiau tanpa kembangan juga tidak mengandung tipu keji, tapi lwe-kang nya memang hebat, dasarnya amat kuat dan sempurna latihannya, jarang ada tokoh silat yang dapat menandinginya.

Banyak anak murid keluarga persilatan yang mengirim putra-putrinya belajar di perguruan Thian-kiau di bawah bimbingannya. kaum persilatan sama tahu, murid didik Au-yang-thian-kiau pasti mempunyai pupuk dasar yang luar biasa. Adalah jamak kalau peternakan Thian-kiau amat terkenal, muridnya pun tersebar luas di berbagai pelosok dunia.

Sejurus demi sejurus Au-yang-thian-kiau melancarkan serangan secara teliti dan mantap. Setiap jurus mengandung bobot yang berbeda, jelas dan bersih, tidak mengandung unsur-unsur jahat, juga tidak gegabah.

Sebaliknya permainan silat pemuda baju hijau ini jauh berbeda kalau tidak mau dikata berlawanan dengan kungfu Au-yang-thian-kiau. Apa yang ditunjukkan pemuda baju hijau ini lebih tepat dilukiskan dengan "tinju kembang dan tendangan sulam"

Langkahnya ringan, gerak-geriknya tangkas lagi gesit, seluruh panggung hanya tampak bayangan kaki dan tinjunya. Betapa gemulai dan liuk tubuhnya seperti bidadari yang sedang menari saja. Hakikatnya pemuda ini seperti tidak bertanding silat, tapi lebih tepat sedang menari, penonton menjadi bingung dan melongo, lupa bersorak dan keplok.

Yang menakjubkan adalah antara ribuan penonton yang menyaksikan permainan si pemuda, termasuk It-bok Tai-su, Ting-lo-hu-jin dan para pendekar yang lain, tiada satu pun di antara mereka yang tahu dan membedakan jurus silat dari aliran mana.

Bayangan tinju dan tendangan kaki si pemuda memang bertaburan seperti bunga rontok dari pucuk pohon. Karena terselubung oleh bayangan inilah, penonton sukar mengikuti gerak geriknya.

It-bok Tai-su menghela napas, "Sudah lima puluh tahun aku berkelana di kang-ouw, belum aku lihat ilmu pukulan selincah dan seindah ini. Belum pernah aku bertemu dengan gadis secerdik ini."

"Dari mana Tai-su tahu gadis ini cerdik? Mohon dijelaskan," demikian kata Ting-lo-hu-jin.

"Coba Hu-jin perhatikan, pukulannya seperti hanya menari tanpa isi, namun kalau mau diperhatikan, pemainannya sedikit pun tidak kalut, itu karena gerak perubahannya yang bervariasi tanpa batas. Untuk memainkan pukulan yang mengandung perubahan sebanyak itu, kalau ia tidak cerdik pandai, menyaksikan saja sudah pusing, apalagi mempelajarinya."

"Ai, semoga ia tidak tersesat oleh kepintarannya," Ting-lo-hu-jin menghela napas.

Pui-Po-giok mendengar jelas pembicaraan kedua orang ini. Ia merasa lega juga kuatir, maklum hanya ia yang tahu paling jelas tentang kepintaran Siau-kong-cu.

Pemuda baju hijau bertopi kecil itu memang samaran Siau-kong-cu.

Bahwa Siau-kong-cu mendadak muncul, turun gelanggang dan bertanding, Pui-Po-giok betul-betul kaget, heran dan bingung. Biasanya Ngo-hing-mo-kiong bertindak secara gelap dan licik, kenapa sekarang ia berani tampil di depan umum? Tapi hanya beberapa kejap saja Po-giok menelaah persoalan ini dan segera ia paham dan mengerti.

Dahulu Ngo-hing-mo-kiong selalu mengacau secara diam-diam, maksudnya supaya kaum persilatan berteka-teki, saling curiga dan bunuh membunuh. Tujuan utama sudah tentu supaya Pui-Po-giok menghadapi jalan buntu.

Dan yang pasti, mereka masih takut pihaknya akan menonjol dan menjadi paling besar di depan umum. Bila Pek-ih-jin datang lagi, maka pihak Ngo-hing-mo-kiong yang pertama harus menghadapinya.

Kalangan kang-ouw sudah kacau, korban sudah berjatuhan, tujuh murid besar sudah ada yang gugur dan terluka. Apakah Pek-ih-jin akan muncul kembali, masih merupakan tanda tanya. Dan yang paling penting adalah, mereka mengira Pui-Po-giok sudah tewas.

Pada saat dan situasi seperti sekarang, segala kekuatiran sudah tidak perlu ada. Lalu tunggu kapan lagi kalau sekarang mereka masih tidak menampakkan diri. Dalam situasi yang kalut ini, mereka akan mudah menguasai keadaan, kesempatan sebaik ini memangnya harus disia-siakan?

Pandangan Po-giok berputar. Setelah terjadi keributan tadi, keadaan di sekeliling panggung sudah banyak berubah, kedudukan orang-orang yang tadi menonton paling depan juga banyak berubah dan tergeser.

Penonton yang terdepan tadi sama berpakaian ketat, baju mereka dari sutera dan perlente. Tapi penonton terdepan sekarang adalah orang-orang berbaju hitam dengan caping yang lebar dan ditarik rendah.

Terutama orang yang paling depan, meski caping bambu rendah menutup mukanya, tapi bola matanya yang bersinar merah seperti api membara, selalu melirik ke arah panggung. Po-giok melihat jelas bahwa orang ini bukan lain adalah Hwe-mo-sin. Sorot matanya yang mirip bara iblis itu, selama hidup tidak akan dilupakan oleh Po-giok.

Orang-orang Ngo-hing-mo-kiong akhirnya menyelundup juga ke Thai-san. Dengan munculnya orang-orang ini, apa yang bakal terjadi selanjutnya memang sukar diramalkan oleh Po-giok.

Tapi darah seperti bergolak di rongga dada, makin lama makin mendidih ...

Sampai sejauh ini Po-giok masih belum berani turun tangan. Soalnya ia tahu kaum silat di dunia sudah menganggap dirinya sebagai momok jahat yang tidak berperikemanusiaan. Jika dirinya menampakkan diri, hadirin tentu gempar, pada saat hati sedang gusar dan penasaran, dihasut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab lagi, bukan mustahil dirinya bisa hancur lebur oleh amukan orang banyak. Umpama dirinya memiliki kungfu setinggi langit juga tidak mungkin melawan keroyokan orang banyak, dirinya akan mati konyol, mati penasaran.

Oleh karena itu, meski darah mendidih di dada, terpaksa ia harus sabar dan sabar.

Dalam sekejap dilihatnya Siau-kong-cu telah melancarkan belasan jurus serangan.

Betapa rumit gerak perubahan serangannya, Au-yang-thian-kiau melayaninya dengan mantap, reaksinya selalu memunahkan aksi Siau-kong-cu yang bervariasi itu. Setiap jurus setiap tipu dipunahkan dengan jelas, bersih dan tegas.

Kedua mata Au-yang-thian-kiau setengah terpejam, sikap dan mimiknya mirip seorang hwesio yang lagi semedi, namun gerak tubuhnya tidak berhenti. Seluruh serangan telapak tangan maupun tendangan kaki yang membingungkan segencar bunga jatuh berhamburan itu seperti tidak dilihatnya sama sekali. Hanya telinga mendengar menentukan arah dan kedudukan, memunahkan serangan dan mematahkan jurus.

Jago kosen yang terkenal di Bu-lim ini bukan saja memiliki lwe-kang tangguh, pengalaman, pengetahuan dan bekal ilmu silatnya juga sudah mencapai taraf yang tinggi. Ia maklum bila dirinya melihat atau mengikuti permainan silat lawan yang mengaburkan pandangan, dirinya akan pusing dan dengan sendirinya, gerak-gerik sendiri akan terpengaruh dan kalut karenanya.

It-bok Tai-su manggut-manggut, katanya setelah menghela napas, "Sian cai, Sian cai! Au-yangsi-cu memang bukan tokoh yang mudah disesatkan. Betapapun lihai dan aneh permainan gadis pandai itu, kalau ingin mengalahkan dia kurasa amat sukar."

Penonton mulai bersorak pula mengikuti permainan Au-yang-thian-kiau, mereka berpihak dan memberi aplaus kepada jago tua yang kosen ini. Dari sorak-sorai dan tepuk tangan itu dapat disimpulkan bahwa murid didiknya yang sudah tersebar luas di Bu-lim itu tidak sedikit yang hadir di puncak Thai-san ini.

Po-giok menonton penuh perhatian, makin menyaksikan makin heran dan kaget.

Bukan kaget atau heran karena kungfu Au-yang-thian-kiau tangguh dan kuat. Tapi heran menyaksikan permainan Siau-kong-cu. Dalam hati ia membatin, "Mendadak Siau-kong-cu muncul di sini dan berani menantang empat finalis, kalau tidak membekal kepandaian khusus, mana berani ia bertingkah di sini? Padahal melawan Au-yang-thian-kiau seorang saja ia tidak mampu mengalahkan, dengan bekal kemampuannya yang tidak becus ini, mana mungkin pihak Ngo-hing-mo-kiong membiarkan dia berbuat onar? Bukan mustahil secara diam ia menyiapkan

tipu muslihat untuk menjebak lawan?"

Maka dengan seksama ia perhatikan setiap gerak-gerik Siau-kong-cu.

Dirasakan sambil bergebrak badan Siau-kong-cu sengaja bergeser mundur ke tengah belakang panggung, tidak lagi mau berputar ke bagian depan. Sementara Au-yang-thian-kiau mendesak dengan ketat.

Maka ruang lingkup gerak-gerik kedua orang yang berhantam ini menjadi makin ciut. Lambatlaun jarak mereka lebih dekat dari tempat Po-giok sekarang berdiri. Maka setiap tipu dan setiap serangan kedua orang yang lagi bertarung ini dapat disaksikan lebih jelas oleh Po-giok.

Mendadak kaki Siau-kong-cu seperti terpeleset sehingga badan doyong dan langkah menjadi kacau, dengan sendirinya gerak tangan pun merandek, meski gangguan hanya sekejap dan Siau-kong-cu dapat memperbaiki posisi dalam sekejap. Tapi Au-yang-thian-kiau bukan jago silat biasa, meski kesempatan hanya sekejap saja tak disia-siakan. Dalam detik yang hampir sama, telapak tangan besi Au-yang-thian-kiau mendadak menyusup ke tengah bayangan tangan lawan yang merandek sekejap itu. Jelas pukulan itu tidak mungkin luput.

Penonton yang berada di bawah panggung pasti tidak melihat jelas detik-detik berbahaya ini. Tapi dari sudut tempat Po-giok berdiri justru dapat menyaksikan dengan gamblang. Saking kaget, belum lagi ia menjerit "celaka". Siapa tahu mendadak tubuh Siau-kong-cu yang kecil itu mendadak menyelinap selincah ikan selicin belut ke belakang Au-yang-thian-kiau.

Meski menakjubkan gerakan gemulai tubuh Siau-kong-cu, tapi terasa agak dipaksakan juga. Maklum, pada posisi yang tidak menguntungkan begitu, siapa pun sukar menghindar dan turun tangan.

Sudah tentu hal ini juga sudah diperhitungkan oleh Au-yang-thian-kiau, maka ia tidak terkejut atau heran. Di mana pinggang berputar dan lengan terayun ke belakang serta menepuk, namun serangan utama bukan pada telapak tangan melainkan adalah kebasan lengan bajunya yang membawa deru angin kencang.

Dalam keadaan kepepet seperti posisi Siau-kong-cu sekarang, meski tidak mungkin balas menyerang, siapa tahu dari lengan bajunya mendadak melesat keluar selarik benang perak, secara tepat dan telak menyelinap masuk ke dalam lengan baju Au-yang-thian-kiau yang mengebas ke depan.

Tubuh Au-yang-thian-kiau bergetar air mukanya berubah hebat, telapak tangan besinya tak mungkin ditepukkan lagi.

Pada kesempatan baik sedetik ini, badan Siau-kong-cu meliuk dan menghardik, "Pergilah!"

Sekali tangan yang putih halus menampar, sambil meraung keras Au-yang-thian-kiau terlempar jatuh.

Waktu benang perak tadi melesat keluar dari lengan baju Siau-kong-cu, perawakan Au-yangthian-kiau yang tinggi besar, kebetulan menghalangi pandangan penonton. Apalagi sinar perak itu hanya berkelebat terus lenyap, maka para pendekar yang hadir juga tidak ada yang melihat.

Seolah-olah dalam posisi yang tidak mungkin melancarkan serangan, Siau-kong-cu balas menyerang. Betapa aneh dan hebat gerak tubuhnya, penonton yang tidak tahu adanya muslihat dalam pertarungan ini sudah tentu merasa kaget dan heran.

Apalagi senjata rahasia yang melesat keluar dari lengan baju Siau-kong-cu hanya merupakan selarik air, begitu semprotan air itu masuk ke dalam lengan baju Au-yang-thian-kiau segera lenyap, bukan saja tangan tidak terluka, lengan baju pun tidak kurang suatu apa, umpama ada orang curiga juga tidak menduga bahwa Au-yang-thian-kiau terluka lebih dulu oleh senjata rahasia musuh. Kalau demikian halnya, memangnya siapa berani menuduh Siau-kong-cu berbuat curang?

Perbuatan jahat dan curang ini terjadi secara cepat dan direncanakan secara cermat sehingga tidak ada orang tahu akan akal busuk yang dilakukan Siau-kong-cu. Di luar dugaan, Pui-Po-giok yang tertimpa musibah itu kebetulan berada di belakang panggung dan menyaksikan seluruh kejadian ini dengan jelas, dengan sendirinya ia tahu dan maklum apa tujuan muslihat musuh.

Hadirin menjadi gempar, di tengah keributan tampak air muka Bwe-Kiam dan lain-lain menampilkan rasa kaget dan tidak percaya.

It-bok Tai-su bergumam, "Jurus bagus, tipu lihai. Mungkin mata tuaku ini sudah hampir buta, cara bagaimana gadis cilik itu melancarkan serangan kejinya tidak aku lihat dengan jelas."

Ting-lo-hu-jin menghela napas, "Aku merasakan jurus yang dilancarkan tadi seperti mengandung hawa iblis."

"Betul," It-bok Tai-su mengangguk, "Jurus seperti itu rasanya tidak mungkin dilancarkan manusia biasa."

Po-giok berdiri diam di tempatnya, hati kacau dan pikiran butek.

Di kolong langit ini, hanya dirinya saja yang tahu dan dapat membongkar muslihat Siau-kongcu tadi, apakah perlu dirinya tampil ke atas panggung menelanjangi kedoknya?

Dalam keadaan dan kondisi seperti ini, apakah dirinya boleh menampilkan diri? Apakah tega dirinya membongkar perbuatan keji gadis yang selama ini menjadi pujaan hatinya!

Sementara itu, beberapa orang telah menggotong pergi jenazah Au-yang-thian-kiau ke belakang.

Seorang yang berdiri tak jauh di samping Po-giok berkata sambil geleng kepala. "Sungguh lihai aku lihat dia hanya mengulap tangan sekali, Au-yang Thian-kiau yang gede dan gagah itu ternyata mampus seketika."

Maklum meski orang-orang ini juga berdiri di belakang panggung, tapi pandangan mereka teraling oleh tubuh Siau-kong-cu. Hanya posisi Po-giok yang kebetulan berada di sudut yang menguntungkan dapat melihat adanya sinar perak yang berkelebat tadi.

Siau-kong-cu tertawa puas dan bangga di atas panggung. "Tadi sudah kubilang, kalian maju bersama saja, kenapa harus menyerahkan jiwa satu per satu? Kong-sun Ang, Bwe-Kiam dan Ciang-Jio-bin ayolah kalian maju, tunggu apa lagi?"

Meski Siau-kong-cu bersikap takabur, namun tidak ada orang berani meremehkannya, Kong-sun Ang, Bwe-Kiam dan Ciang-Jio-bin tidak berani berebut menampilkan diri.

"Lho, bagaimana?" ejek Siau-kong-cu. "apa kalian tidak berani maju?"

Ciang-Jio-bin dan Bwe-Kiam naik pitam, berbareng mereka melangkah maju. tapi seorang mendadak menarik lengan mereka.

Bwe-Kiam berkata dengan suara kaku, "Siapa pun di antara kita yang maju dulu kan sama saja."

"Ya, betul." ucap Ciang-Jio-bin. "biar aku dulu yang turun tangan."

Kong-sun Ang tersenyum ramah, "Permainan silat orang ini aneh dan mengandung rahasia, banyak muslihatnya lagi. Di antara kita bertiga, pengalamanku paling luas dan aneka ragam pula permainanku, adalah pantas kalau kalian mengalah padaku."

Sekejap Bwe-Kiam saling pandang dengan Ciang-Jio-bin, mereka mundur menyingkir.

Kong-sun Ang lompat dari tengah kedua orang langsung menubruk ke depan Siau-kong-cu. Thian-liong-gun di pinggangnya sudah dilolos, katanya dengan suara berat. "Tuan tidak keluarkan senjata?"

Siau-kong-cu tersenyum ejek, "Gebrak dengan orang seperti kalian, memangnya perlu pakai senjata?"

Perlahan Kong-sun Ang menarik napas, "Kalau demikian ...."

"Ya. memang demikian." tukas Siau-kong-cu, "silakan serang, buat apa cerewet."

Sekali tubuh berkelebat, tahu-tahu ia sudah berada di belakang Kong-sun Ang. Sepuluh jari tangan mencengkeram hiat-to penting di punggungnya. Betapa cepat gerak tubuhnya memang mirip setan atau dedemit.

Kong-sun Ang tidak putar badan, bila serangan tangan lawan sudah mengancam punggungnya, mendadak kaki melangkah lebar maju ke depan. Langkah ini sungguh tepat dan pas, cengkeraman Siau-kong-cu dengan sendirinya mengenai tempat kosong.

"Bagus," bentak Siau-kong-cu nyaring, "coba buktikan, kamu membalik badan tidak."

Tubuh mendesak maju ia tampar dengan dua tangan sekaligus.

Kong-sun Ang tetap tidak berpaling, kaki menginjak lagi setapak ke depan, serangan lawan luput lagi. Saat mana tubuhnya sudah berada di tepi panggung, maju lagi sudah tiada tempat berpijak untuknya.

Siau-kong-cu membentak. "Tidak mau berpaling, nah, serahkan jiwamu!"

Sambil membentak kesepuluh jarinya terangkap, dengan kekuatan kedua telapak tangan serempak ia menepuk ke depan.

Kong-sun Ang tetap tidak berpaling, ia maju lagi setapak lebih lebar. Keruan hadirin menjerit kaget dan kuatir, jelas Kong-sun Ang akan terjerumus jatuh ke bawah. Tak terduga pada saat gawat itu, dengan Thian-liong-gun pada tangannya menolak pinggir panggung. "tek", perawakan tubuhnya yang gede itu mendadak mencelat ke udara bersalto lewat kepala Siaukong-cu dan hinggap di belakangnya. Thian-liong-gun menciptakan deru angin kencang mengepruk kepala Siau-kong-cu.

Jeritan kaget dan kuatir para penonton mendadak berubah menjadi sorak gembira dan pujian.

Jalan mundur ke kanan-kiri dan belakang Siau-kong-cu sudah terhalang atau terkunci oleh bayangan pentung lawan, untuk menyelamatkan diri harus berkelit ke depan. Tampak tubuhnya memang menerobos ke depan, jelas ia akan jatuh ke bawah panggung.

Di luar dugaan, meski tubuh bagian atas sudah doyong ke depan, tapi kedua kaki seperti terpaku di panggung, tubuh kaku seperti menancap di pinggir panggung. Sudah tentu bayangan pentung Kong-sun Ang jadinya menyerang tempat kosong.

Sedikit meliuk pinggang lalu menarik tubuh mendadak Siau-kong-cu berbalik di udara dan menerobos lewat bayangan pentung lawan yang menindih turun. Betapa lincah dan tangkas gerak tubuhnya, sungguh amat menakjubkan, lebih mempesona lagi adalah keindahan gerak tubuhnya sungguh amat menakjubkan semua penonton. Kalau tidak memiliki gin-kang yang sempurna, seorang tidak mungkin menunjukkan gerak tubuh seindah itu.

Sorak-sorai dan tepuk tangan hadirin tidak berhenti malah tambah gegap, bukan lagi menyoraki Kong-sun Ang, tapi memberi pujian kepada Siau-kong-cu yang memperlihatkan gin-kang yang hebat.

Kini kedua orang mengembangkan kegesitan tubuh dan ketangkasan gerak kaki, selincah kelinci segesit kijang, makin gerak makin cepat. Serang menyerang silih berganti, bentuk pertarungan mereka kini jelas berbeda lagi dibanding pertarungan Siau-kong-cu melawan Au-yang-thiankiau tadi.

Tepuk sorak penonton terus berlangsung tanpa berhenti. Dari sekian babak pertarungan yang sudah berlangsung di puncak Thai-san ini, ronde yang ini boleh dikatakan yang paling seru, sengit dan menegangkan, paling mempesona dan menakjubkan pula.

Ting-lo-hu-jin menghela napas, "Aku kira kungfu yang diyakinkan Kong-sun-tai-hiap mengutamakan kekerasan, sungguh di luar dugaan bahwa Nuikang (tenaga lunak) yang dia yakinkan juga sudah mencapai taraf sehebat ini."

Apa yang dipujikan Ting-lo-hu-jin adalah yang dikagumi juga oleh penonton. Hadirin tidak menduga, perawakan Kong-sun Ang yang kekar dan kasar itu ternyata mampu melakukan gerak tubuh selincah dan seindah itu.

Deru angin Thian-liong-gun di tangan Kong-sun Ang makin kencang dan terasa mengiris kulit muka. Tekanan makin berat membuat gerak-gerik Siau-kong-cu tidak selincah dan segesit tadi.

Ting-lo-hu-jin menarik napas panjang, "Aku yakin Kong-sun-tai-hiap dapat mengalahkan lawannya."

"Kukira belum tentu," ujar It-bok Tai-su dengan muka serius.

Sesaat lamanya Ting-lo-hu-jin bungkam, akhirnya ia mengangguk, "Betul, memang belum tentu. Permainan nona ini kadang-kadang lihai seperti setan iblis, lawan sukar menduga dan tidak bisa meraba permainannya."

Dalam pada itu, Siau-kong-cu sudah mundur dan mundur lagi. Seolah-olah ia terdesak di bawah angin oleh rangsakan pentung Kong-sun Ang, terpaksa ia mundur ke satu sudut untuk mempertahankan diri.

Sinar mata Kong-sun Ang bagai kilat, wajahnya merah bersemangat, bertempur penuh gairah. Kekuatan terpendam di tubuhnya sedang berkobar dan dikembangkan seluruhnya. Tampak setiap jurus permainannya amat rapi, mundur maju menyerang atau bertahan secara ketat. Bukan saja serangan deras dan lihai, bertahan juga kukuh lawan jelas tidak mungkin balas menyerang, apa lagi menjatuhkan dirinya.

Kematian Au-yang-thian-kiau menjadi pelajaran dan cermin baginya. maka sedikit pun ia tidak berani lena atau gegabah. Tekadnya besar untuk mengalahkan pemuda baju hijau lawannya ini, ia pantang mundur atau kalah.

Ciang-Jio-bin menarik napas, "Kurasa tidak sampai sepuluh jurus lagi."

"Ya, paling banyak sepuluh jurus," tukas Bwe-Kiam.

Ting-lo-hu-jin dan It-bok Tai-su juga yakin bahwa pandangan mereka tidak keliru lagi. Maklum mereka tidak habis pikir dengan cara dan akal apa Siau-kong-cu mampu mengalahkan Kong-sun Ang dalam satu gebrak saja.

Dalam posisi dan keadaan Siau-kong-cu sekarang, untuk mencapai kemenangan memang tidak mungkin dicapai dengan kepandaian ilmu silat yang wajar.

Berbeda dengan perasaan Pui-Po-giok, saat mana jantungnya seperti hendak meloncat keluar rongga dadanya saking tegang. Ia tahu senjata rahasia yang disembunyikan dalam lengan baju Siau-kong-cu bukan hanya sejenis, malah setiap jenis senjata rahasia yang dibawanya itu amat jahat dan khusus diciptakan untuk berbuat curang pada saat genting seperti ini.

Po-giok tahu, Siau-kong-cu sukar mengalahkan Kong-sun Ang, namun gadis ini cerdik pandai banyak muslihatnya lagi, ada golongan jahat mengendalikan dia. Betapapun ketat dan waspada Kong-sun Ang mempertahankan diri, kalau diserang secara gelap dengan senjata rahasia keji, pasti celaka jiwanya. Sebentar lagi jiwa Kong-sun Ang akan terengut oleh serangan ganasnya.

Tegakah Po-giok menyaksikan para ksatria yang berjiwa gagah perwira ini gugur oleh perbuatan jahat yang licik? Tegakah dia menyaksikan musibah ini terus berlangsung tanpa ada akhirnya?

Tapi dia sendiri sedang dalam kesulitan, dapatkah dia bertindak dan mencegah kejahatan ini? Po-giok kuatir, bila dirinya turun tangan. Paling hanya mengorbankan jiwa sendiri. Perang batin bergolak dalam benaknya, hatinya menderita. Po-giok tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

Bulan purnama sudah doyong ke barat, tak lama lagi fajar akan menyingsing.

Cahaya rembulan kebetulan menyinari wajah Siau-kong-cu, mendadak Po-giok melihat sinar matanya mengandung kelicikan dan kekejaman. Ini pertanda bahwa ia sudah bertekad turun tangan keji. Mendadak telapak tangan kanan terayun keluar, jari-jari yang runcing panjang tertekuk mirip cakar. Seolah-olah ia sudah terdesak, maka dengan nekat ia berusaha merebut Thian-liong-gun yang mampu mengepruk hancur batu gunung dengan jari tangan yang halus.

Kong-sun Ang menghardik sekali, Thian-liong-gun terayun ke depan memapak tangan lawan, dengan memutar pergelangan tangan, Thian-liong-gun seperti sengaja diserahkan untuk dipegang oleh Siau-kong-cu.

Tangan Siau-kong-cu seperti terkena listrik, menjerit kaget ia tarik tangan ke dalam lengan baju.

Penonton terbelalak, tidak sedikit pula yang bersorak. Tangan Siau-kong-cu terluka oleh Thianliong-gun, mana mungkin bisa menang? Bukankah tangan kanan merupakan kekuatan utama untuk bertempur!

Tapi Po-giok melihat dengan jelas tangan Siau-kong-cu tidak tersentuh oleh Thian-liong-gun, ia sengaja menjerit kaget untuk menarik tangan ke dalam lengan baju, supaya Kong-sun Ang tidak waspada dan tidak memperhatikan tangan kanannya lagi. Sementara senjata rahasia yang pencabut nyawa sudah siap disambitkan dengan tangan kanan dari balik lengan bajunya.

Cahaya rembulan seperti sengaja menyorot ke atas panggung.

Cepat Siau-kong-cu menyelinap ke belakang Kong-sun Ang. Dalam sekejap ini mendadak Pogiok lihat sinar perak berkelebat dalam lengan baju Siau-kong-cu. Senjata rahasia sudah siap disambitkan. Tangan Siau-kong-cu sudah terangkat ke atas.

Pada saat itulah, mendadak Pui-Po-giok menerobos ke atas panggung, gerakannya secepat panah. Begitu cepat ia bergerak, tahu-tahu sudah berdiri di tengah antara Siau-kong-cu dan Kong-sun Ang, kedua telapak tangannya bergerak ke kanan kiri.

Kong-sun Ang baru ganti gerakan, entah kenapa pentung di tangannya mendadak ditangkap orang, menyusul dirasakan segulung tenaga lunak yang dahsyat dan tidak terbendung tersalur lewat pentungnya. Karena diterjang tenaga lunak yang hebat ini, tanpa kuasa tubuhnya gentayangan dan jatuh terduduk di panggung.

Siau-kong-cu yakin serangannya dapat merobohkan lawan. Mendadak ia rasakan lengan kirinya kaku kesemutan, lalu menjuntai lemas dan tak mampu bergerak. Menyusul tangan yang menggenggam lengan kirinya berkelebat di depan dada, hampir pada waktu yang sama, sikut kanan pun tercengkram sehingga lengan kanan juga lemas lunglai.

Dari lengan bajunya seperti ada suara mendesis yang perlahan, terasa pula semburan hawa panas yang keluar dari lengan bajunya. Semburan hawa panas itu tidak berbentuk, namun setelah suara mendesis tadi lenyap, papan panggung yang tebal di bawah kaki Siau-kong-cu terjilat api dan mengeluarkan asap biru. Betapa hebat daya bakar rahasia itu, jiwa sang korban tentu sukar diselamatkan bila tersambit.

Yang disemburkan dari lengan baju Siau-kong-cu adalah segulung bara asap. Umumnya bara asap berwarna merah, bila suhu panasnya sudah tinggi berubah menjadi hijau, namun bila nyala api sudah mencapai daya panas yang paling tinggi, warnanya tidak akan kelihatan lagi.

Bara asap yang panas dan tidak berwarna disemburkan ke muka Kong-sun Ang, umpama hanya terserempet saja, kedua mata Kong-sun Ang akan buta seketika.

Pada saat itulah tangan Siau-kong-cu akan menyerang telak di mukanya. Jangan kira jari tangan halus putih, namun bila mengenai muka orang, wajah sang korban akan hancur dan jiwa melayang.

Ting-lo-hu-jin, It-bok Tai-su, Bwe-Kiam dan Ciang-Jio-bin tertegun, tak tahu bagaimana harus bertindak.

Kejadian tak terduga amat mengejutkan, tapi kepandaian Pui-Po-giok lebih mengejutkan lagi.

Maklum, Thian-liong-gun milik Kong-sun Ang diagulkan sebagai nomor satu dari tiga belas senjata aneh di dunia, namun dengan mudah terampas hanya sekali gebrak saja.

Tidak ada orang membayangkan di antara kuli panggul mayat di belakang panggung itu, ternyata bersembunyi seorang jago kosen yang lihai.

Bahwa muslihatnya digagalkan, kecuali kaget dan gusar, Siau-kong-cu mengumbar adat sebagai gadis yang dimanjakan. Tidak peduli lawan berkepandaian lebih tinggi, tidak pikirkan jiwa sendiri tercengkram di tangan orang, kontan ia mengumpat, "kau ini apa, berani ..."

Baru memaki berapa kata mendadak ia lihat wajah Po-giok, saking kaget ia menjerit takut, "He, kiranya kau!"

Sementara itu, Hwe-mo-sin dan murid-muridnya sudah siap menerjang ke atas panggung. Mendengar jeritan Siau-kong-cu, dari bawah ia membentak, "Siapa dia?"

Gemetar suara Siau-kong-cu, "Dia .. belum mati! Dia adalah .... "

Secepat kilat Po-giok mendekap mulutnya.

Namun Poa-Ce-sia, Ciok-Put-wi, Bok Put-kut, Hwe-mo-sin, Ting-lo-hu-jin, Bau Cu-liang Kim Colim dan Gu Thi-wah .. Orang-orang yang kenal baik dengan Po-giok sudah dapat menebak kata-kata Siau-kong-cu, serempak mereka berteriak, "Pui-Po-giok! Pui-Po-giok!"

Nama Pui-Po-giok ternyata lebih mengejutkan hadirin daripada mendengar nama setan iblis yang jahat. Tiga huruf nama itu seolah-olah melambangkan dosa, misterius, banjir darah, haru, senang dan lega, nama yang legendaris. Seolah-olah tiga huruf itu mempunyai kekuatan iblis yang menciutkan nyali manusia.

Mendadak Ciok-Put-wi berjingkrak sambil membentak, "Bangsat keparat! Secara keji kau bunuh para paman yang luhur budi, berani kau unjuk diri di sini? Memangnya kau kira tidak ada orang di dunia ini dapat membekuk dirimu?"

Mungkin terlalu emosi, Ciok-Put-wi yang biasanya jarang bicara ini, sekaligus mencaci maki dengan sengit, kata-katanya mengandung hasutan memancing amarah hadirin.

"Betul!" hadirin berkaok-kaok gusar, "jangan kita biarkan bangsat ini hidup ... Ayolah kawan-kawan! Serbu! Kita ganyang Pui-Po-giok di atas panggung!"

Di tengah keributan, beberapa orang sudah menyerbu ke atas panggung.

Mendadak beberapa jeritan terdengar dari depan. Beberapa orang yang menyerbu paling depan terlempar ke udara. Bukan mabur sendiri, tapi dicengkeram dan dilempar seseorang.

Gu Thi-wah dengan tubuhnya segede menara berdiri di depan panggung. Hardiknya murka, "Siapa berani mengusik Toa-ko ku, Thi-wah akan membantingnya menjadi perkedel!"

Sembari membentak kedua tangannya bekerja secepat angin, dua orang terlempar pula ke tengah pononton.

"Thi-wah," Ciok-Put-wi membentak gusar, "Kenapa kau bantu bangsat itu malah?"

"Siapa bilang Toa-ko ku bangsat?" Thi-wah meraung, "kau ! kau sendiri .... " betapapun ia tidak berani balas memaki. Di tengah bentakannya kembali ia cengkeram dua orang dan mengadu batok kepala mereka hingga kelenger.

Ciok-Put-wi membentak, "Thi-wah! Gila kau? kau lupa apa yang pernah ia lakukan?"

"Tidak peduli! Dia adalah Toa-ko ku, dia .. dia bukan orang jahat!" Thi-wah membantah dengan gusar pula.

Thi-wah mengerahkan tenaga sakti beberapa orang yang menerjang paling depan terdorong jatuh sungsang sumbel. Dua korban yang diadu kepalanya oleh Thi-wah berhasil di selamatkan jiwanya dari injakan orang banyak.

Pada saat terjadi keributan di bawah panggung, Po-giok menutuk hiat-to kanan kiri lengan Siau-kong-cu.

Siau-kong-cu memaki sambil mengentak kaki, "Bangsat kecil, tidak membantu aku malah kau bantu orang lain? kau lupa bagaimana ayahku menanam budi padamu?"

Tiba-tiba kakinya terayun menendang ke arah Po-giok.

Tapi baru saja kakinya bergerak, hiat-to di pahanya kembali tertutuk oleh Po-giok.

Kong-sun Ang sudah berdiri sejak tadi dan mengawasi penonton yang ribut, memandang PuiPo-giok pula, agaknya ia serba salah, tidak tahu pihak mana harus dibelanya.

Sementara itu Hwe-mo-sin sudah memimpin anak buahnya yang berseragam hitam menerjang ke atas panggung. Kalau mereka tidak kuatir melukai Siau-kong-cu, senjata rahasia api mereka tentu sudah menyerang Po-giok.

Ternyata Thi-wah kewalahan membendung orang banyak yang menyerbu ke atas panggung. Belasan orang menerobos lewat dari kanan kirinya. Begini berada di atas panggung, mereka melolos senjata mendesak ke arah Pui-Po-giok.

Walau Hwe-mo-sin dan anak buahnya bermusuhan dengan orang banyak, namun menghadapi Pui-Po-giok, mereka sehaluan, sama-sama ingin membunuh Pui-Po-giok. Umpama Po-giok memiliki kepandaian setinggi langit juga tak mungkin melawan senjata musuh sebanyak itu.

Dalam keadaan genting ini, pemuda genius yang luar biasa ini menghadapi bahaya jiwa terancam, rasanya pasti tak mampu meloloskan diri.

Bok Put-kut menarik lengan Ciok-Put-wi, dengan haru dan sedih ia berseru, "Celaka, tamatlah Po-ji, dia .. dia .... "

"Keparat jahat itu, siapa pun patut mengganyangnya. Kenapa Toa-ko masih menyayanginya demikian jengek Ciok-Put-wi dingin.

"Tapi..." Bok Put-kut gelagapan, "sebentar lagi ia akan binasa, aku tidak tega, kita .. kita harus memberi kesempatan padanya untuk bicara."

Dari bawah Ciok-Put-wi melotot ke arah Pui-Po-giok, "Kesempatan untuk bicara justru tidak boleh diberikan kepadanya."

"Hah, ken ... kenapa?" tanya Bok Put-kut.

Ciok-Put-wi geleng kepala, tidak bisa menjawab.

Mereka juga terdorong oleh arus orang banyak ke tepi panggung. Meski banyak orang berkaok-kaok, tapi yang benar-benar menyerbu ke atas panggung jumlahnya tidak banyak.

"Ayolah tunggu apa lagi?" demikian teriak Put-wi sambil angkat kedua tangan, "Serbu! Ganyang dia!"

Ciok-Put-wi yang biasanya pendiam, kaku dan sedikit bicara serta tegas ini, bukan saja hari ini banyak bicara, juga terlalu emosi. Hal ini belum pernah terjadi selama ini. Padahal hasutannya itu sudah tidak berguna lagi. Lima orang tampak melompat ke atas panggung. Kui-thao-to. Ceng-kong-kiam, Lian-cu-jio, Siang-hoa-to ... empat-lima macam senjata menghujani Po-giok. Saking bernafsu mereka menyerang tidak jarang senjata mereka beradu sendiri, mengeluarkan suara keras yang memekak telinga.

Kong-sun Ang sudah beranjak maju hendak menghadang di depan Po-giok, namun setelah ragu akhirnya ia batalkan niatnya. Sambil menghela napas ia malah menyingkir mundur.

Melihat berbagai macam senjata menyerang tiba, Po-giok sadar bila dirinya balas menyerang, pihak lawan tentu ada yang dirobohkan. Orang banyak sedang diburu emosi, bila melihat jatuh korban, serupa api disiram minyak, lebih banyak senjata akan menyerangnya lagi.

Tapi Po-giok juga tahu bila dirinya tidak balas menyerang, kalau hanya berkelit dan menghindar, padahal sekian banyak senjata bertaburan dari berbagai penjuru, di atas panggung seluas ini, ke mana dirinya akan menyingkir, sampai kapan dirinya bisa bertahan?

Pendek kata, Po-giok balas menyerang atau hanya bertahan saja. Bila ia tetap berada di atas panggung, cepat atau lambat dirinya pasti akan menjadi korban secara konyol.

Di belakang panggung masih ada tanah kosong di tanah kosong itu ada beberapa peti kosong. Kuli-kuli gotong itu berdiri gemetar di pinggir peti. Di belakang mereka adalah jurang yang tidak terukur dalamnya.

Dalam keadaan kepepet itu, seolah-olah ada suara halus bergema dalam hati Po-giok, "Larilah Pui-Po-giok! Lompatlah ke jurang, bukan mustahil masih ada harapan hidup bagimu...Kesempatan untuk bicara tidak ada, kalau tidak lekas lari, memangnya menunggu ajalmu di sini?"

Namun gema suara lain juga mendengung dalam benaknya, "Pui-Po-giok, jadilah laki-laki sejati. Busungkan dada dan hadapilah kenyataan. Kalau hari ini kau lari, umpama tidak mampus, nasibmu lebih celaka lagi, kamu tidak punya peluang untuk berpijak di dunia. Daripada tamak hidup, lebih baik mati saja."

"Pui-Po-giok, hadapilah segala kesulitan dan ujian hidup ini dengan lapang dada. Tidak ada persoalan di dunia ini yang tidak bisa dibereskan, hadapilah bahaya dengan tabah. Tuhan akan selalu besertamu."

Namun dalam keadaan gawat dan menghadapi bahaya yang mengancam jiwa ini, memangnya siapa bisa menghadapinya dengan tabah dan tenang?

Sinar golok mendesing tajam membacok turun.

Po-giok meraih lengan Siau-kong-cu, sebat sekali ia lompat mundur.

Kui-thau-to, Siang-hoa-to, Ceng-kong-kiam dan Lian-cu-jio memang menyerang tempat kosong. Tapi Cu-coat-pian, Gan-san-to, Hou-sing-kiam. Sian-hoa-tiap dan banyak lagi jenis senjata lain menyambar bergantian pula.

Terpaksa Po-giok mengayun tangan kanan, segulung tenaga mendorong ke arah bayangan ruyung dan sinar golok.

"Crang, creng", berbagai jenis senjata yang menyerang bersama menjadi kacau dan saling bentur diterpa tenaga dorongan Po-giok. Terutama kapak besar seberat tiga puluh kali itu membentur pedang Hou-sing-kiam yang ringan, pedang patah dan melukai kawan sendiri malah.

Di tengah jerit kaget orang banyak, sebat sekali Po-giok melejit ke pinggir.

Mendadak seorang mendengus dingin, "Binatang, sudah terkurung masih berani melawan, sampai kapan kamu kuat bertahan? Nah, mau lari ke mana?"

Sambil memberi komando, Hwe-mo-sin pimpin anak buahnya mendesak maju.

Di bawah aba-aba Hwe-mo-sin, anak buahnya menyerang bergantian secara rapi dan teratur. Hanya sayang mereka harus merahasiakan diri, maka senjata khas Ngo-hing-mo-kiong tidak berani digunakan di depan umum. Kini mereka memakai senjata yang tidak leluasa, sedikit banyak permainan mereka tidak selihai biasanya. Namun demikian Po-giok kerepotan juga dibuatnya.

Sementara itu, orang yang berada di atas panggung makin banyak, ruang gerak Po-giok dengan sendirinya makin sempit, apalagi ia harus mengempit Siau-kong-cu yang dijadikan sandera. Kalau mau menurunkan Siau-kong-cu tentu Po-giok bisa bergerak lebih bebas, mungkin masih kuat bertahan agak lama. Tapi menghadapi bahaya lebih besar. Po-giok malah memeluk Siaukong-cu lebih erat.

Pada saat genting dan sibuk menghadapi serangan musuh, mendadak Siau-kong-cu berbisik di pinggir telinganya, "Tidak kau lepas aku, memangnya aku harus mati bersamamu?"

Po-giok menarik napas, sebetulnya banyak yang ingin ia bicarakan, namun rasa gusar dan penasaran membuat lidahnya kelu, saking gugup sepatah kata pun tak mampu bicara.

Siau-kong-cu berkata pula, "Kalau kamu tidak mau membebaskan aku, carilah akal untuk menyelamatkan diri. Ingat aku tidak ingin mampus di sini."

Sambil berkelit Po-giok bertanya, "Cari akal apa?"

"Kamu merasa difitnah, kenapa kamu tidak bicara?" kata Siau-kong-cu.

"Dalam keadaan seperti ini, siapa mau memberi kesempatan padaku untuk bicara? Apakah mereka mau percaya keteranganku?"

Karena harus bicara, gerak-geriknya agak lamban sehingga ujung bajunya tergores sobek oleh pedang yang menusuk dari samping.

"Kamu tidak bisa memaksa orang mendengar penjelasanmu. Tapi ada orang bisa membantumu," Siau-kong-cu bicara dengan suara cukup keras.

Tapi para pengerubut itu juga membentak-bentak, tiada yang peduli akan percakapan mereka, "Siapa maksudmu?" tanya Po-giok.

"Memangnya kamu tidak bisa menebaknya?" Siau-kong-cu balas bertanya.

"Ya, aku tahu," Po-giok menghela napas, "tapi ...."

Mendadak ia kertak gigi, cepat sekali ia menyelinap ke tengah lingkaran sinar golok dan menerobos lewat cahaya tombak. Entah bagaimana sinar golok dan cahaya pedang yang berputar gencar itu ternyata tidak ada yang mampu melukainya. Cepat sekali Po-giok menyelinap ke depan Hwe-mo-sin, lalu berkata keras, "Lekas suruh mereka berhenti menyerang."

Hwe-mo-sin menyeringai, "Kenapa harus kusuruh mereka berhenti?"

"Karena kamu tidak ingin aku mati konyol di sini!" sahut Po-giok tegas.

Berkilat sinar mata Hwe-mo-sin, "Lebih baik kamu mampus, kenapa aku harus membelamu hidup?"

"Jangan lupa, aku sudah berjanji akan pergi ke Pek-cui-kiong," seru Po-giok pula. Sesaat Hwe-mo-sin tertegun, akhirnya ia bergelak tertawa, "Anak bagus, sungguh hebat. Dalam keadaan seperti ini, pikiranmu tidak kalut, berani mengambil keputusan lagi .... Baik, karena kamu berjanji kepadaku, maka kuterima permintaanmu."

Di mana tangannya terayun, setitik hitam melesat ke udara lalu meledak menaburkan kembang api berasap hijau, bentuknya laksana sebuah pohon perak. Betapa indah bentuk dan warnanya, tampak jelas dan menyolok di langit yang gelap.

Begitu kembang api meledak di udara, di sudut puncak sana mendadak diguncang oleh ledakan yang cukup dahsyat. Semburan api dan asap hitam tampak menjulang ke angkasa. "He, apa itu?" ada orang berteriak kaget di tengah hadirin.

"Itulah dinamit ... dinamit!" seorang lain menanggapi. Orang-orang yang berdesakan maju ke arah panggung menjadi takut dan berhenti. Nyali mereka pecah dan sama berusaha menyelamatkan diri, sudah tentu mereka tidak menghiraukan Po-giok lagi.

Penonton yang ada di belakang berteriak-teriak "Di mana dinamit itu ... masih ada tidak? ... Siapa yang meledakkan?"

Sambil menyeringai seram Hwe-mo-sin memberi tanda. Ledakan keras disertai semburan api dan asap menjulang ke angkasa. Hadirin tambah panik.

Dalam suasana kalut itu, Hwe-mo-sin berseru lantang, "Di mana dinamit itu terpendam, hanya aku yang tahu."

"Di mana ... di mana ... " hadirin menjadi ribut lagi.

Namun mereka tidak berani banyak tingkah, semua mengawasi Hwe-mo-sin dengan melongo.

Dengan suara lantang Hwe-mo-sin mulai berpidato, "Setelah bersusah payah setahun lamanya baru aku berhasil mengumpulkan bahan peledak yang dimiliki keluarga Tang di Su-wan, keluarga Liu di San-sai, keluarga Pek di Hun-lam, Pit-lik-tong di Tiong-goan dan Hwe-to-ceng di Kang-lam, seluruhnya aku kirim ke puncak Thai-san ini. Betapa berat obat peledak bikinan beberapa keluarga yang terkenal di Bu-lim itu, silakan kalian bayangkan."

Hadirin saling pandang. Tidak ada yang berani bicara.

Hwe-mo-sin mendapat angin, suaranya lebih pongah, "Bahan-bahan peledak itu kini terpendam di empat penjuru, semua terjaga oleh anak buahku, begitu aku memberi aba-aba, dalam sekejap mereka bisa meledakkan puncak gunung ini."

"Apa tujuanmu dengan rencana busukmu itu?" tanya Ting-lo-hu-jin.

"Betul, apa kehendakmu?" It-bok Tai-su ikut bertanya.

"Kalian harus berdiri diam, tutup mulut. Tanpa izinku siapa pun tidak boleh bergerak, tidak boleh bicara. Kalau membangkang biarlah puncak gunung ini rata dengan tanah."

Kong-sun Ang tidak tahan lagi, serunya "Orang-orang asing itu, apakah ...."

"Orang-orang asing itu sudah aku sogok dan bekerja untukku," tukas Hwe-mo-sin sambil membusung dada, "tujuh tahun yang lalu mereka sudah berada di negeri kita, membawa banyak harta benda, maksud semula hendak mohon bantuan Ci-ih-hou, tapi Ci-ih-hou bertindak tegas menolak permintaan mereka. Celakanya harta benda yang mereka bawa terjatuh ke tangan orang lain."

"Jatuh ke tangan siapa?" tanya Ting-lo-hu-jin, "ke tanganmu bukan?"

Hwe-mo-sin terbahak-bahak tanpa menanggapi pertanyaan ini ia melanjutkan, "Keruan tugas tidak tercapai, harta benda lenyap pula, sudah tentu mereka tidak berani pulang ke negerinya. Akhirnya mereka menjadi gelandangan di sini, mereka melakukan kejahatan, dengan tampang yang jelek dan menyolok itu, lama kelamaan operasi mereka makin susut sehingga kehidupan pun sengsara. Lebih celaka adalah kepandaian mereka tidak tinggi tidak jarang mereka harus lari sana sembunyi sini baru bisa menyelamatkan diri. Kelemahan mereka justru menjadi keuntungan bagiku, dengan mudah aku himpun mereka menjadi kaki tanganku."

"Ya, benar," Kong-sun Ang mengangguk, "kalau kungfu mereka tinggi, mana mungkin aku dapat mengganyang mereka seluruhnya? Jelas mereka hanya kawanan kroco, kenapa kau mau menggunakan tenaga mereka?"

"Kungfu mereka memang rendah, tapi di negeri mereka, cara menggunakan bahan peledak sudah umum, pengetahuan mereka tentang membuat dinamit juga cukup luas. Lalu apa salahnya kalau memperalat mereka."

"Ya, aku mengerti." Kong-sun Ang manggut-manggut, "jadi kau peralat mereka untuk membuat dinamit."

"Betul, aku memperalat mereka untuk kepentinganku. Setelah dinamit dipendam di tempat yang sudah aku rencanakan, mereka sudah tidak berguna lagi bagiku. Memangnya aku sedang bingung cara bagaimana menyingkirkan mereka, eh, kebetulan kau datang, sengaja aku bicara di tempat persembunyian mereka untuk memancing perhatianmu. Sesuai rencanaku, mereka kau bunuh seluruhnya."

Sambil mendongak ia tertawa keras, lalu melanjutkan, "Entah kamu ini bodoh atau keblinger. Mereka itu orang asing, rahasia apa yang mereka bicarakan mana mungkin kau tahu kalau tidak disengaja. Persoalan sepele begini. kenapa tidak dapat kau pecahkan?"

Kong-sun Ang tertegun diam, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, hatinya malu tapi juga dongkol. Meski ia sudah tahu dirinya diperalat orang, namun tak mungkin ia mengumbar penasaran.

Ting-lo-hu-jin menghela napas panjang, "Sekarang apa pula kehendakmu?"

"Jerih payahku berhasil, sebetulnya aku ingin mengganyang kalian yang suka tepuk dada mengagulkan diri sebagai pendekar. Tapi belakangan terpaksa aku ubah lagi rencanaku."

"Rencana apa?" desak Ting-lo-hu-jin.

"Belakangan kupikir. kalau secara diam-diam kubunuh kalian dengan ledakan itu, umpama aku berhasil menguasai dunia, tapi kalian mampus semua, bukan saja tidak bisa menyaksikan aku berkuasa, kalian juga tidak akan hormat kepadaku. Lalu apa bedanya dengan seorang pengarang yang memeras keringat menciptakan karyanya tapi tidak ada orang yang membacanya?"

"Betul," seru It-bok Tai-su, "hanya orang mati saja yang dapat dianggap ksatria atau pendekar. Menghadapi persoalan apa saja, ia tidak kenal rasa takut lagi..."

"Karena itu kupikir," demikian ujar Hwe-mo-sin lebih jauh. "daripada kubunuh orang-orang itu kan lebih baik membiarkan mereka hidup menyaksikan aku berkuasa dan tunduk di bawah kakiku."

Pandangannya menyapu empat penjuru, lalu berseru lebih lantang. "Aku tahu di antara kalian tidak sedikit laki-laki sejati, ksatria gagah yang berhati baja, tapi tidak sedikit pula yang bernyali kecil dan lemah, patuh dan menyembah padaku. Apa yang dapat dilakukan seorang hidup, jelas lebih banyak dan lebih menguntungkan daripada dia mati. Aku yakin orang-orang yang bertekuk lutut di depanku pasti tidak sedikit jumlahnya."

Hadirin bungkam, mereka malu diri, tidak sedikit yang menunduk kepala.

Mendadak Hwe-mo-sin berseru pula lebih keras. "Tapi perkembangan terakhir ini membuatku mengubah rencana lagi."

Lega hati Ting-lo-hu-jin, "Berubah bagaimana?"

"Kini aku tidak akan memaksa kalian melakukan sesuatu untukku. Demi 'seorang' terpaksa aku ubah rencanaku itu, karena seorang diri dia bisa melakukan lebih banyak, lebih berguna dibanding apa yang bisa dilakukan orang banyak. Kini dia sudah berjanji untuk melaksanakan permintaanku. Maka apa pun permintaannya kepadaku supaya bertindak terhadap kalian, aku tidak akan ragu-ragu."

"Siapa yang kau maksud?" tanya Ting-lo-hu-jin melotot.

Hwe-mo-sin tersenyum kalem, katanya tegas, "Siapa lagi kalau bukan Pui-Po-giok!"

Penonton tidak berani lagi berkaok-kaok, namun suara desis ratusan orang berpadu tetap seolah-olah angin puyuh melanda puncak itu.

Perlahan Hwe-mo-sin membalik tubuh mengawasi Pui-Po-giok, "Kalau kau ingin bicara sekaranglah saatnya. Aku yakin tidak ada yang berani mengganggu atau menukas perkataanmu, tidak ada orang berani melukai dirimu meski hanya satu ujung rambut saja."

Kalau keadaan Pui-Po-giok saat itu dilukiskan sebagai patung batu adalah tepat sekali, karena kulit mukanya kelihatan hitam kelabu, kaku dan lembut, hanya matanya saja yang masih memancarkan cahaya. Ia seperti tidak mendengar anjuran Hwe-mo-sin, matanya yang bercahaya penuh dendam itu sedang menatap seseorang di bawah panggung.

Hwe-mo-sin menghampiri dan menepuk pundaknya, "Lekaslah bicara!"

Pui-Po-giok seperti tersentak dari lamunan. "Ya, aku ingin bicara, banyak yang akan aku bicarakan."

Sorot matanya bergerak, suaranya perlahan tertekan, "Yang berdiri di depanku sekarang ada para Su-siok yang berbudi luhur, ada saudara sehidup semati, juga para Cian-pwe yang memandangku sebagai murid keponakan, tidak sedikit pula para kawan yang sudi bersahabat denganku..."

Waktu bicara sorot matanya beralih dari wajah Bok Put-kut, Gu Thi-wah, Kim Co-lim, Ban Culiang dan lain-lain, air mukanya yang hitam kelabu bagai batu dingin itu kelihatan mulai mencair.

Tapi kecuali Thi-wah yang balas memandangnya dengan mata berkaca-kaca, orang lain hakikatnya tidak ada yang sudi menatap dirinya. Tidak sudi melihatnya, bahkan merasa hina melihatnya.

Po-giok menarik napas sambil mengertak gigi. "Melihat para paman dan saudaraku yang tercinta dan berbudi, diperas dan diancam oleh seorang yang amat kita benci, hatiku seperti disayat sembilu, dan aku...aku hanya menonton dari samping, aku ... aku terpaksa hanya bisa berbuat demikian, karena ... karena aku .... "

Tinju Po-giok terkepal, suaranya serak tersendat karena emosi.

"Kalau aku tidak berbuat demikian, aku tidak bisa membela diri. Hanya dia ..." jarinya menuding Hwe-mo-sin dengan gemetar, "hanya dia yang bisa memberi waktu untukku bicara. Orang sama memfitnah dan salah paham terhadapku. Kalau aku tidak bicara penasaranku tidak terlampias, mati pun ...mati pun aku tidak meram!"

Segala perasaan yang terpendam selama ini meledak lewat kata-katanya. Walau sekuatnya Pogiok menahan diri, namun air mata tak terbendung lagi. Banyak penonton ikut merasa haru dan terketuk sanubarinya.

Terutama Thi-wah, air matanya meleleh membasahi pipi, lalu menangis tergerung-gerung. Orang berhati baja juga ikut merasa sedih.

Sambil menangis Thi-wah berteriak, "Toa-ko, lekas ... lekas beri tahu padaku, biar Thi-wah adu jiwa dengan dia. Siapa dia?"

Po-giok mengawasinya. "Siau-te, kau ...kau sungguh baik!"

Jilid 21. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Sambil mengusap air mata mendadak Po-giok berteriak dan menuding Hwe-mo-sin. kau ingin tahu kenapa dan karena apa Toa-ko difitnah, boleh kau tanya padanya!"

Dengan sendirinya pandangan orang banyak juga tertuju ke arah Hwe-mo-sin.

Thi-wah berjingkrak gusar, teriaknya, "Hah, jadi kera merah ini yang memfitnah Toa-ko? Lekas katakan! Lekas katakan!"

Thi-wah tidak peduli apakah Hwe-mo-sin akan mengamuk dan meledakkan dinamit. Tapi orang banyak jadi ketakutan karena menganggap Thi-wah kurang ajar terhadap orang yang sewaktu-waktu dapat mencomot jiwa mereka dengan ledakan dinamit.

Di luar dugaan Hwe-mo-sin tidak marah juga tidak berbuat apa-apa. Sikapnya wajar dan tenang katanya dengan tersenyum, "Betul! Supaya Po-giok tunduk dan patuh terhadapku, sengaja aku atur siasat untuk menyesatkan hidupnya di kang-ouw. Untuk itu terpaksa aku pakai akal adu domba, biar kaum persilatan salah paham kepadanya. Yang penting dia mau bekerja untukku, peduli dia membenci, memakiku juga tidak jadi soal."

Pengakuan Hwe-mo-sin laksana gelegar guntur yang mengejutkan seluruh hadirin, banyak yang berdiri melongo dan tertegun "kau ... apa saja yang telah kau lakukan?" tanya Thi-wah.

"Tidak banyak yang kulakukan," ucap Hwe-mo-sin kalem, "aku hanya suruh orang menyamar bini Au-yang-thian-kiau, mencekok dia dengan arak obat, karena mabuk esoknya dia tidak bisa bertanding dengan Au-yang-thian-kiau..." Hadirin mulai tidak tenang.

Lebih lanjut Hwe-mo-sin berkata, "Seorang kusuruh pura-pura terluka dan minta tolong padanya. Untuk mengobati orang itu ia harus menguras tenaga, dengan sendirinya dia batal berduel dengan Bwe-Kiam. Maksudku supaya orang banyak menghina dan memandang rendah dia."

Makin banyak hadirin merasa kurang enak hatinya, tidak sedikit pula yang memperlihatkan rasa menyesal pada air mukanya. Orang-orang itu adalah mereka yang tempo hari paling gencar menuduh dan paling bernafsu mengumpat Po-giok.

Pucat dan menyesal terbayang di muka Thian-to Bwe-Kiam, mulutnya bergumam, "Kiranya begitu duduknya perkara."

"Bukan hanya itu saja," Hwe-mo-sin berkata pula, "aku juga suruh orang menyaru persis PuiPo-giok, mengirim surat untuk Bwe-Kiam dan menyatakan bahwa dirinya akan mengundurkan diri dari kalangan persilatan. Maksudku supaya orang mengira dia lari ketakutan."

Gemetar sekujur badan Bok Put-kut, "Jadi surat itu memang palsu ... memang palsu ... " lalu ia menoleh ke arah Ciok-Put-wi, tertampak air muka Ciok-Put-wi juga berubah pucat.

Gemeretuk gigi Thi-wah menahan geram, "Bangsat keparat! Binatang rendah! ..." demikian umpatnya dengan sengit.

Ciok-Put-wi melotot penuh kebencian ke arah Hwe-Mo-sin, diam-diam ia menggeser ke belakang Thi-wah katanya dengan nada tertekan, "Binatang itu membuat Toa-ko mu celaka, kenapa kamu berkaok-kaok saja di sini?"

Thi-wah berjingkrak gusar, "Kamu monyet merah ini, jadi kamu yang membuat Toa-ko celaka. Biar aku adu jiwa denganmu."

Sambil bicara tangannya menyibak orang banyak di depannya terus menerjang ke arah Hwemo-sin. Penonton yang ada di depannya menjadi morat-marit dan jatuh saling tindih.

Begitu Thi-wah lompat ke atas panggung, mendadak Po-giok membentak, "Berhenti!"

Perintah Pui-giok amat manjur. Orang lain tidak ada yang bisa mengekang dan mengendalikan Thi-wah, namun terhadap Po-giok ia amat menurut. Sambil mundur ke pinggir panggung, mulut Thi-wah mengomel, "Toa-ko, kenapa engkau melarangku?"

"Apa kau ingin mencelakai aku?" desak Po-giok.

Thi-wah gelagapan, "Siau ... Siau-te mana berani mencelakai Toa-ko, ini ... "

"Dia belum selesai bicara, berarti fitnah terhadap diriku belum terbongkar. Kalau kau labrak dia, kan berarti mencelakai aku?" Po-giok merandek Sejenak lalu melanjutkan, "Jangan gegabah. Kalau dia memberi tanda dan dinamit meledak, bagaimana akibatnya? Bukan hanya aku yang celaka orang banyak juga ikut jadi korban."

Thi-wah tepekur, badan basah oleh keringat yang mengucur, mulut bergumam, "Thi-wah memang tidak berani, tapi ... tapi Ciok-si-siok menyuruh. Thi-wah pikir kalau Ciok-si-siok yang suruh tentu tidak salah lagi. Siapa tahu ... siapa tahu..."

Orang banyak tahu bahwa Ciok-Put-wi seorang pendiam, kukuh, tidak senang urusan, adil dan bijaksana. Sungguh tak nyana bahwa diam-diam ia menghasut Thi-wah untuk bertindak dalam suasana yang keruh ini. Di samping kaget, hadirin banyak yang heran dan gusar. Keringat juga bercucuran di muka Ciok-Put-wi.

Diam-diam orang ini menggeremet mundur hendak menyelinap ke belakang orang banyak. Tapi penonton sudah jengkel bukan memberi jalan malah mendorong ke depan dan menghimpitnya di tengah sehingga tidak leluasa bergerak.

Penonton pasti tidak akan membantu Hwe-mo-sin, namun jiwa raga sendiri jelas lebih penting dari segala persoalan apa pun. Banyak orang menyaksikan sudah beberapa kali Ciok-put-wi menghasut dan melakukan perbuatan yang mengundang bahaya bagi keselamatan orang banyak, adalah logis kalau mereka marah padanya. Hanya Bok Put-kut saja yang masih memperhatikan dia, hiburnya, "Lo-si, sabarlah ... "

Pandangan Po-giok menembus kerumunan orang banyak, dengan melotot ia mengawasi CiokPut-wi. Mendadak ia berseru lantang, "Thi-wah, tahukah kamu kenapa Ciok-si-siok menyuruhmu bertindak demikian?"

"Entah!" sahut Thi-wah sambil menggeleng, "aku tidak tahu."

Dengan suara serak Bok Put-kut berkata, "Apa pun yang pernah kau lakukan, kita tetap masih sayang terhadapmu. Demikianlah Ciok-si-siok mu, demi mendengar orang tega mencelakai dirimu, wajar kalau dia marah dan bertindak salah."

Berlinang air mata Po-giok, katanya terharu, "Maksud baik Toa-siok kuterima dengan baik. Kebijaksanaan Toa-siok membuatku terharu. tapi ... tapi Toa-siok tidak mengerti."

"Soal apa aku tidak mengerti?" tanya Bok Pot-kut.

"Ciok-si-siok berbuat demikian karena ingin membunuhku."

Bok Put-kut tertegun, lalu berpaling ke arah Ciok-Put-wi.

"Binatang! Kamu kentut apa ..... " Ciok-Put-wi berjingkrak gusar, "Untuk apa aku mencelakaimu?"

Senyum pahit dan pedih, menghias ujung bibir Po-giok, katanya tandas, "Karena kau takut Hwe-mo-sin membongkar rahasiamu. Maka aku harus dibunuh dan Hwe-mo-sin juga harus disumbat mulutnya."

"Kentut busuk!" Ciok-Put-wi mencak-mencak seperti kebakaran jenggot, "siapa percaya obrolanmu!"

"Rahasiamu sudah di tanganku ...." dingin suara Pui-Po-giok.

Ciok-Put-wi berteriak serak, "Betul! Aku memang ingin membunuhmu! Karena kamu membunuh Kong-sun-ji-ko Kim Put-wi, Se-bun-lo-liok, Nyo-Put-loh ... mereka yang berbudi dan kasih terhadapmu telah kau bunuh."

Sebelum orang lain sempat menimbrung, ia berteriak lagi sambil angkat kedua tinjunya, "He, anak murid Siau-lim, Bu-tong, Go-bi, Khong-tong, Hwai-lam dan Tiam-jong-pai. Saudara seperguruan dibunuh binatang cilik ini, sebagai musuh perguruan kalian wajib mengganyangnya."

Akhir-akhir ini nama besar murid-murid Jit-toa-bun-pai (ketujuh perguruan besar) sudah tidak jaya seperti dulu, namun mereka masih disegani di kang-ouw. Murid-murid ketujuh perguruan besar itu tersebar luas di setiap pelosok dunia.

Dari sekian banyak penonton yang hadir di puncak Thai-san sedikitnya ada tiga atau empat puluh persen adalah murid Jit-toa-bun-pai atau sedikit banyak punya hubungan erat. Sejak kecil mereka sudah dididik dan digembleng secara tradisional, ada yang sudah lulus dan meninggalkan perguruan dan berkelana kang-ouw. Namun nama baik wibawa dan aturan perguruan masih mereka junjung tinggi.

Hasutan Ciok-Put-wi memang berhasil menggugah loyalitas mereka terhadap perguruan. Kewajiban berjuang demi membela perguruan sejak lama sudah terbenam dalam sanubari mereka, kalau tadi mereka hanya menonton dan apatis terhadap kejadian di depan mata. Kini mereka mengepal tinju, bisik-bisik dan berjingkrak. Sayang terlalu banyak orang bicara, berbeda-beda pula reaksinya atas hasutan itu, sehingga keadaan menjadi kacau-balau. Ciok-Put-wi amat licik dan licin, diam-diam ia pasang kuping dan mata, melihat reaksi orang banyak, hatinya senang bukan main.

Po-giok tidak mau memberi kesempatan lagi bentaknya, "Kalian jangan terhasut oleh obrolannya. Pembunuh para paman itu sebetulnya orang lain. Bukan aku yang melakukan."

Penonton yang takut ancaman dinamit tadi mulai bangkit keberaniannya. Seorang bertanya, "Kalau bukan kamu, memangnya siapa pembunuhnya?"

"Pembunuh itu memang pandai menyembunyikan identitasnya, tapi aku pernah mendengar suaranya. Aku merasa kenal suaranya, namun waktu itu aku sukar mengingat siapa dia."

Seorang penonton yang lain berteriak juga, "kau bilang kenal suaranya. kenapa tidak tahu siapa dia?"

"Biasanya orang ini jarang bicara. kalau bicara hanya tiga-lima patah kata saja. Maka mudah mengelabui orang."

Mendengar penjelasan Po-giok, tidak sedikit orang yang dapat menebak siapa gerangan orang yang dimaksud.

Tapi ada pula orang yang bertanya, "Siapa? Siapa orang itu?"

Lantang suara Po-giok, "Itulah dia Ciok-Put-wi!"

Walau tidak sedikit yang sudah menduga-duga sebelumnya, tapi lebih banyak yang terkejut dan melongo. Sorot mata orang banyak tertuju ke arah Ciok-Put-wi, sorot mata yang penuh selidik dan curiga.

"Ya, mungkin benar," seorang berbisik, "tadi dia juga masih menghasut orang, mungkin takut membongkar kedoknya."

Orang yang sedang emosi paling mudah percaya hasutan dan berubah tujuan semula. Siapa pun yang bicara, secara membabi buta orang banyak akan mendukungnya.

Merah padam muka Bok-Put-kut, bentaknya dengan mendelik, "Po-ji, sudah gila kamu? Berani menuduh tidak semena-mena?"

"Kejadian ini nyata dan gamblang, di hadapan sekian banyak orang gagah, Po-ji tidak berani membual. Sudah aku pertimbangkan baru berani bicara."

Kaget lagi gusar, Bok Put-kut menoleh ke arah Ciok-Put-wi. Ciok-Put-wi yang tadi amat emosi kini kelihatan tenang dan tabah.

"Lo-si," desis Bok Put-kut, "Ken ... kenapa kamu tidak membela diri? Apa kamu tidak bisa membantah?"

"Tuduhannya tidak semena-mena dan tanpa dasar, anggaplah anjing gila menggigit orang. Kalau aku bantah bukankah aku juga mirip anjing gila?"

Ini bukan bantahan, tapi lebih manjur dari bantahan. Penonton yang tadi menduga-duga dan menaruh curiga, kini bertepuk tangan malah.

"Po-ji," seru Bok Put-kut, "kau berani bicara demikian, apa kau punya bukti?"

"Nih, bukti ada di sini," sahut Po-ji sambil menuding Hwe-mo-sin. Hadirin menjadi gempar, ada yang membentak, "Itu buktinya? Bukti apa itu?"

Hadirin tadi sudah pecah nyalinya karena takut kena ledakan dinamit, kini mereka termakan oleh hasutan Ciok-Put-wi dan berani bersuara, Hwe-mo-sin naik pitam, bentaknya, "Betul, buktinya. Secara diam-diam Ciok-Put-wi telah aku sogok dan aku perintah melakukan semua kejahatan itu."

Sungguh kejut orang banyak tidak kepalang.

Dada Bok Put-kut seperti ditusuk sembilu, wajah pucat pias, katanya gemetar, "Apa betul? ... Betulkah demikian?"

"Setelah aku bongkar rahasia ini, murid-murid Jit-toa-bun-pai akan menuntut balas. Betapa besar risikonya, masa aku membual?"

Bok Put-kut mengeluh sedih, tubuh menjadi lemas dan roboh hampir semaput. Untung orang-orang di sebelahnya memapahnya. Dalam sekejap ini keadaan menjadi kacau lagi.

"Ciok-Put-wi!" hardik Pui-Po-giok lantang "apa kamu masih mungkir? Lekas mengaku saja!"

Waktu mendengar ucapan Hwe-mo-sin tadi, air muka Ciok-Put-wi agak berubah. Mendadak ia mendongak lalu terloroh-loroh.

"kau ... kau masih bisa tertawa?" Bok-Put-kut mendesis geram.

"Obrolan itu hanya untuk menipu anak kecil ternyata Toa-ko juga percaya. Kenapa Siau-te tidak boleh tertawa? Hahaha, kenapa tidak tertawa!"

"Urusan sudah berkembang sejauh ini, mau tidak mau ... aku harus percaya."

"Selama ini aku mendampingi Toa-ko, umpama berpisah juga hanya sebentar saja. Mungkinkah dalam waktu beberapa kejap aku bisa disogok orang?"

"Ya ..." Bok Put-kut menghela napas panjang sambil mengentak kaki. Pikiran kacau dan tidak tahu pihak mana harus dipercaya.

Ciok-Put-wi berkata pula, "Andai kata Ciok-Put-wi benar disogok orang, toh harus di nilai siapa penyogok itu, pantaskah Ciok-Put-wi disogok kaum keroco yang berhati kejam itu? Betulkah Ciok-Put-wi mau diperalat dan menjual jiwa baginya?"

Bok-Put-kut tergagap, "Ini ... ai, Lo-si, selanjutnya kamu akan menjadi orang baik atau orang jahat, aku sendiri tidak tahu ... tapi aku tahu kamu bukan orang bodoh. Terus terang aku tidak percaya orang macam dirimu mau dibeli orang."

"Soalnya kan sudah gamblang, memangnya kalian tidak bisa membedakan dengan jelas!" CiokPut-wi mendapat angin. "Dua orang ini berkomplot hendak menjebak dan menjatuhkan martabatku. Jangan kalian tertipu oleh mereka."

"Betul! Jangan kita tertipu!" hadirin menjadi panas.

"Kalau orang sejahat ini dibiarkan hidup, bukan saja mengancam jiwa orang banyak, juga bikin malu kaum Bu-lim .... Hai, murid-murid Jit-toa-bun-pai, apa kalian bisa menerima perbuatannya?"

"Tidak! Jangan diberi ampun!" hadirin berteriak-teriak.

Hwe-mo-sin tidak menduga bahwa urusan berkembang seburuk ini, betapapun tabah hatinya, menghadapi massa yang sudah marah keder juga hatinya. Namun ia masih berusaha menguasai keadaan dengan gertakannya, "Dinamit! Dinamit! He ... hei, apa kalian ingin mampus!"

Ciok-Put-wi bergelak tawa, serunya, "Kalau kamu bisa menggunakan dinamit. kenapa tunggu sampai sekarang?"

"kau .... " Hwe-mo-sin berjingkrak gusar. "kau tidak percaya?"

"Dinamit memang ada," teriak Ciok-Put-wi, "tapi kalau dinamit itu meledak, jiwamu juga ikut melayang. Ayolah kawan-kawan, ganyang dia!"

"Serbu ... ganyang!" massa mulai bergerak lagi.

Seolah-olah mereka berlomba, takut ketinggalan. Sayang jumlah mereka amat banyak, tak teratur dan tanpa komando. Sasaran terlalu kecil untuk orang sebanyak itu, masing-masing ingin dahulu mendahului, maka terjadilah saling dorong, saling tarik dan saling pukul. Yang berhasil menyerbu ke atas panggung hanya beberapa orang saja, yang roboh dan jatuh saling tindih justru lebih banyak.

Di tengah keributan itulah, mendadak orang banyak merasa diterjang segulung tenaga dahsyat dari belakang. Betapa hebat tenaga yang menerjang ini, orang banyak tak kuasa membendungnya.

Karena dorongan dahsyat ini, orang-orang yang bergumul dan berjubel itu tersibak minggir ke kanan kiri. Di samping kaget dan gusar mereka juga penasaran, semua berpaling ke belakang.

Tertampak tujuh atau delapan orang muncul di jalan yang tersibak dari kerumunan orang banyak. Warna pakaian orang-orang ini beraneka ragam, bahannya juga berbeda-beda, ada yang sederhana tapi ada yang perlente dari sutera dan katun halus. Meski bahan pakaian berbeda, namun model dan cara mereka berdandan ternyata mirip satu dengan yang lain.

Semua mengenakan jubah panjang yang menyentuh tanah dan menutup kaki. Memakai topi rumput tinggi mirip sangkar burung sehingga sebagian besar wajah mereka tertutup.

Tujuh atau delapan orang terbagi dua baris setiap dua orang berjalan sejajar, yang di belakang memegang pundak orang yang di depan. Pundak, tidak bergerak, kaki juga tidak kelihatan terangkat, jubah melambai-lambai, dengan enteng barisan ini maju ke depan. Kalau ada orang menghalang, dua orang terdepan menggerakkan sebelah tangan, maka penghalang itu kontan mencelat ke pinggir.

Massa yang mengamuk menjadi kaget dan kesima, melihat lwe-kang yang hebat.

Sebagai jago silat, mereka maklum dengan tangan memegang pundak, orang yang di belakang menyalurkan tenaga pada orang di depan demikian seterusnya. Jadi tenaga delapan orang berpusat di tubuh dua orang yang paling depan, maka betapa dahsyat kekuatannya dapatlah dibayangkan.

Dari gerak tubuh dan langkah mereka menandakan bahwa gin-kang orang-orang ini sudah mencapai taraf yang paling tinggi. Diam-diam Kong-sun Ang, Ban Cu-liang, Bwe-Kiam, CiangJio-bin dan Poa-Ce-sia serta jago-jago lainnya sama membatin bahwa lwe-kang dan gin-kang setinggi orang ini jelas tidak di bawah mereka.

Secara tidak langsung pertemuan besar di Thai-san merupakan reuni tokoh-tokoh Bu-lim yang paling top masa kini, orang-orang gagah yang punya nama dan kedudukan boleh dikata sudah tumplek di sini. Lalu dari manakah kedelapan orang ini?

Umpama salah satu di antara kedelapan orang ini saja yang muncul, dengan bekal kepandaian yang hebat itu, orang sudah heran dibuatnya. Apalagi sekaligus muncul delapan orang, sudah tentu orang banyak kaget dibuatnya.

Tabir malam hampir terusir dengan datangnya fajar.

Hadirin melongo, heran dan takjub. Semua bertanya-tanya, "Siapakah orang-orang ini? Untuk muncul pada saat genting ini?"

Sebetulnya delapan orang ini sudah berada di tengah orang banyak, namun tiada orang memperhatikan mereka, apalagi orang banyak lebih tertarik pertarungan di panggung, maka tiada orang peduli akan kehadirannya.

Orang-orang ini tampil pada saat gawat, sukar diduga pihak mana yang akan dibela, Sukar diramalkan perubahan apa akan terjadi setelah mereka muncul. Hwe-mo-sin dan Pui-Po-giok menunggu dengan menahan napas, menunggu tamu-tamu misterius ini beraksi membuka kedok sendiri.

Lekas sekali mereka mendekati panggung, kedelapan orang melangkah bersama, sekali melesat ke atas panggung, langkah kaki dan gerak tubuh sama beraksi.

Dengan sendirinya orang-orang yang berjubel di atas panggung juga menyingkir memberi jalan. Sehingga mereka berhadapan langsung dengan Hwe-mo-sin dan Pui-Po-giok.

Jantung Hwe-mo-sin. berdebar-debar, lututnya goyah, diam-diam ia menarik tangan ke dalam lengan baju, siap bertindak bila perlu.

Kalau delapan orang ini cari perkara padanya, dengan bekal kepandaian yang dimiliki, dalam sepuluh jurus tentu dirinya kalah dan tertawan hidup, daripada tertawan kan lebih baik turun tangan lebih dulu. Hwe-mo-sin menunggu dengan tegang, bila delapan orang ini maju lagi dua langkah, ia siap menyambitkan mercon kembang api yang disimpan dalam lengan bajunya.

Tanpa berkedip Ciok-Put-wi juga mengawasi tamu-tamu misterius ini. Syukur mereka bertindak pada Hwe-mo-sin, berarti harapannya akan terkabul.

Di luar dugaan, setelah berada di atas panggung, delapan orang itu lantas berhenti, tidak menunjuk sikap memusuhi Hwe-mo-sin. Jelalatan mata Ciok-Put-wi, mendadak ia angkat tangan seraya berteriak, "Ayolah tunggu apa lagi? Memangnya menunggu delapan orang komplotannya ini menolong mereka ... Jangan buang waktu. Serbu! Terjang!"

Orang banyak bimbang, kuatir dan ragu-ragu namun pelan-pelan mereka bergerak. Begitu duatiga orang jadi pelopor, orang banyak serempak bergerak.

Pada saat itulah kedelapan orang itu membentak bersama, "Murid-murid tujuh perguruan dilarang bergerak!"

Betapa tangguh lwe-kang kedelapan orang ini, maka suara mereka mirip guntur yang menggelegar, pekak telinga seluruh hadirin, keributan pun berhenti seketika.

Ciok-Put-wi berjingkrak gusar, bentaknya, "Kalian orang apa, berani memerintah murid-murid perguruan besar?"

Orang yang berada di depan barisan bertanya, "Apa kau tahu siapa kami bertujuh?"

Suara orang ini memang tidak sekeras paduan suara ketujuh orang, namun nada suaranya punya wibawa yang menciutkan nyali orang.

Bergetar hati Ciok-Put-wi, sekilas ia berdiri tertegun, timbul firasat tidak enak. Setelah mundur ke tengah kerumunan orang banyak, ia balas bertanya, "Memang aku ingin tahu siapa kau?"

Orang itu mendongak sambil bergelak tawa, "kau ingin tahu siapa aku? Bagus? ..."

Mendadak tawanya terputus, perlahan ia menanggalkan topi yang menutup mukanya, lain membuangnya ke bawah, bentaknya lantang, "Nah, lihat siapa aku!"

Di bawah sinar obor yang mulai guram dan cahaya fajar yang makin benderang, tampak rambut uban orang ini digelung tinggi dengan tusuk kundai batu jade, alisnya tegak dan kereng, hidungnya besar dan merah, jenggot putih berjuntai panjang menyentuh dada, bola matanya memancarkan cahaya terang pandangannya membuat hati orang.

Gemetar tubuh Ciok-Put-wi, air muka juga menjadi pucat pias, katanya gelagapan, "Kira ... Kiranya engkau orang tua ..."

Hadirin ada yang kenal orang tua ini, mendadak seorang berteriak kaget, "Hah, Thi-jan To-tiang ... Ternyata Thi-jan To-tiang."

Banyak hadirin bertekuk-lutut dan menyembah, "Tecu menyampaikan sembah hormat kepada Ciang-bun Su-co."

To-jin ini adalah Ciang-bun-jin Bu-tong-pai, terkenal sebagai jago pedang nomor satu di Bu-lim.

Setelah suasana reda, perhatian hadirin tertuju pada ketujuh orang yang lain. Kalau salah seorang pemimpin barisan itu adalah Bu-tong Ciang-bun maka dapat dibayangkan orang seperjalanan dengan dia tentu punya kedudukan yang luar biasa.

Sorot mata Ciok-Put-wi yang panik menatap seorang di samping Thi-jan To-tiang, katanya gelagapan, "Apa .,. apakah engkau orang tua adalah ... adalah .... "

Perlahan orang itu menurunkan topi, katanya dengan nada berat, "Ya, aku Bu-siang!"

Tampang orang ini jelek, tulang pipinya menonjol namun perawakannya kekar berwibawa, sikapnya kereng namun kelihatan welas asih.

Hadirin lebih terkejut, banyak yang menjerit kaget, "Ciang-bun-jin Siau-lim juga datang .... "

Maka puluhan orang bertekuk lutut pula. Demikian pula Bok Put-kut tersipu-sipu menjatuhkan diri, serunya, "Tecu menyampaikan sembah hormat kepada Ciang-bun Tai-su."

Kedua lutut Ciok-Put-wi mulai goyah, tubuh lemas dan berkeringat dingin, kini pandangannya tertuju kepada orang ketiga.

Sebelum ditanya orang ini sudah menanggalkan topinya dan dibanting di tanah, bentaknya, "Binatang! Masih kenal diriku?!"

Belum habis orang ini bicara, Ciok-Put-wi sudah menyembah, "Tecu tidak tahu engkau orang tua yang berbudi juga datang, Tecu ... Tecu ..."

Mendadak orang keempat bergelak tawa, "Bukan dia saja yang datang, aku juga ikut datang!"

Kini tujuh orang sudah menanggalkan topi bersusun tinggi itu. Mereka adalah Ciang-bun-jin ke tujuh perguruan besar yang amat disegani Bu-lim. Bahwa tujuh Ciang-bun-jin sekaligus datang bersama, sudah tentu merupakan peristiwa yang luar biasa.

Maklum walau kungfu ketujuh Ciang-bun-jin itu belum tentu lebih unggul di banding Kong-sun Ang, Ling-Peng-hi dan lain-lain, namun tujuh perguruan besar masih punya kekuatan, wibawa dan tetap disegani, betapa tinggi dan agung kedudukan ketujuh Ciang-bun-jin, dari sekian banyak hadirin tiada seorang pun bisa menandinginya.

Selepas mata memandang, tampak hampir separo orang-orang gagah yang hadir di puncak Thaisan itu sama berlutut. Ting-lo-hu-jin, It-bok Tai-su dan para juri yang lain sudah merubung maju dengan sikap hormat, wajah mereka tampak cerah, lega dan gembira.

Seluruhnya ada 8 orang-yang datang menggunakan topi tinggi menutup muka, kini masih ada satu belum menanggalkan topinya, siapakah dia? Sorot mata orang banyak sering melirik ke arah orang terakhir ini, dalam hati sama bertanya-tanya.

Orang kedelapan ini, berdiri tenang sambil menggendong lengan, topi juga tidak mau diturunkan.

Thi-jan To-tiang mengangkat kedua tangan membentak lantang, "Murid-murid kita tidak perlu banyak adat ...."

Ratusan orang mengiakan bersama, suaranya sungguh menggetarkan.

Pandangan Thi-jan To-tiang berputar, bentaknya pula lebih nyaring, "Murid Siau-lim, Go-bi, Kun-lun, Tiam-jong, Khong-tong dan Hwai-yang silakan berdiri. Memangnya kalian ingin berlutut sampai mati?"

Ribuan orang mengiakan bersama pula, suaranya lebih keras laksana guntur menggelegar. Namun banyak di antara mereka yang membatin, "Agama To mengutamakan sabar dan welas asih, kenapa Bu-tong Ciang-bun ini justru kasar dan pemarah?"

Memang banyak orang tidak tahu bahwa sebelum Thi-jan To-tiang menjadi murid Bu-tong asalnya bernama Thio-cin-seng, seorang pentolan begal yang suka mengganas di Tai-heng-san, suaranya kasar dan lantang, tabiatnya berangasan, meski sudah ada umur namun wataknya tidak bisa berubah. Setelah tua ia sadar dan bertobat, kejahatan memang tidak pernah dilakukan lagi, tapi tabiatnya yang berangasan itu sering terpancing bila menghadapi masalah pelik.

Orang banyak sudah berdiri, demikian pula Bok-Put-kut dan Ciok-put-wi juga berdiri.

Mendadak Thi-jan To-tiang membentak pula, "Ciok-Put-wi, siapa suruh kau berdiri. Ayo berlutut!"

Ciok-Put-wi bukan murid Bu-tong, namun berhadapan dengan Thi-jan To-tiang yang berangasan ini, rasa takut dan hormatnya seperti menghadapi guru sendiri. Belum hilang bentakan Thi-jan To-tiang ia sudah bertekuk lutut lagi.

Bu-siang Tai-su dari Siau-lim berkata dengan nada serius, "Thi-jan To-tiang menyuruh orang banyak berdiri dan hanya menyuruhmu tetap berlutut bukankah dalam hatimu merasa penasaran?"

"Tecu tidak berani," Ciok-Put-wi menunduk kepala.

"kau tahu, sebab apa?" kata Bu-siang Tai-su.

"Tecu tidak tahu" sahut Ciok-Put-wi.

"Kamu tidak tahu?" damprat Thi-jan To-tiang, "di hadapan Bu-siang Tai-su kamu berani membual?"

"Tecu betul betul tidak tahu..." sahut Ciok-Put-wi gemetar.

Mendadak Thi-jan To-tiang lompat turun ke bawah panggung dan menerjang ke arah Ciok-Put-wi.

Orang banyak menyingkir memberi jalan, Thi-jan To-tiang rengut baju Ciok-Put-wi serta menyeretnya ke atas panggung.

Berubah air muka Ciok-Put-wi, tapi ia tidak berani melawan, diam saja diseret ke atas. Hadirin lebih kaget dan curiga, semua menebak-nebak dalam hati.

"Kalau Ciok-Put-wi tidak melanggar aturan perguruan, mana mungkin Thi-jan To-tiang bertindak sekasar itu! Pelanggaran apa yang telah ia lakukan? Apakah ada intrik di balik kematian Kim-Put-wi? Tapi ... umpama betul demikian, Thi-jan To-tiang berada jauh ribuan li, demikian juga Bu-siang Tai-su, dari mana mereka tahu rahasia ini?

Thi-jan To-tiang cengkeram kuduk Ciok-Put-wi, bentaknya gusar, "Tujuh tahun gurumu mendidik dan menggemblengmu, syukur kamu berhasil diangkat menjadi seorang tokoh silat yang dapat berdiri di kalangan kang-ouw, namun kau berani melakukan perbuatan terkutuk seperti itu, apa kamu tidak merasa berdosa?"

Ciok-Put-wi menjawab sambil menunduk, "Tecu berbuat ... Tecu melanggar dosa apa? Tecu betul-betul tidak tahu, harap ..."

"Tutup mulutmu!" bentak Thi-jan To-tiang beringas, "dosamu tidak terampunkan, sepantasnya kamu menyesal dan bertobat, mengaku salah dan minta ampun, Hm, ternyata kamu masih mungkin"

"Jadi engkau orang tua juga percaya fitnah orang lain atas diri Tecu, apakah ... apakah para Supek dan Su-siok tidak percaya kepada Tecu dan malah percaya orang lain?" demikian bantah Ciok-Put-wi.

Suaranya mengandung makna penasaran, sorot matanya juga tampak gugup dan kuatir, dengan pandangan mohon belas kasihan dan menuntut keadilan satu per satu ia tatap wajah ketujuh Ciang-bun-jin itu.

Tapi ketujuh tokoh Bu-lim ini sedikit pun tidak terpengaruh oleh pandangannya, sikap mereka tetap dingin dan kereng. Tujuh pasang mata mereka justru terasa lebih tajam daripada ujung pisau.

Gemetar suara Ciok-Put-wi, "Bwe-Su-pek ... Ong-Su-siok ... selama ini kalian paling sayang pada Tecu, kini Tecu difitnah orang, apakah kalian tidak sudi membelaku?"

Membesi hijau wajah Ji-gi Lo-jin Bwe Au-thiam, Ciang-bun-jin Khong-tong-pai ini membungkam sambil mengelus jenggot. Ban-hong-sin-eng Ong-Tham-Kang dari Hwai-yang malah mendengus hina sambil melengos, melirik pun rasanya tidak sudi.

Sambil berlutut Ciok-Put-wi merangkak ke depan gurunya, It-bing-tin-kiu-ciu Thi Sin-liong, dengan kedua tangan ia memeluk kakinya, ratapnya dengan pilu, "Suhu engkau orang tua apakah tidak bisa bicara? Selama tujuh tahun Tecu tidak pernah berpisah barang sekejap pun dengan suhu, apakah engkau orang tua tidak tahu bagaimana martabat Tecu ... Biasanya meski Tecu bersikap kaku dingin, tapi ... tapi betapapun aku tidak mungkin mencelakai jiwa orang, engkau tentu percaya ... "

Thi Sin-liong tertunduk mengawasinya, sikap dan air mukanya amat gusar, namun juga merasa duka dan haru, merasa sayang dan tidak tega, akhirnya ia menghela napas panjang, katanya, "Betul, selama tujuh tahun kamu pandai membawa diri, bukan hanya aku, termasuk ibu gurumu juga memujimu pendiam, baik dan ... siapa tahu ..."

Mendadak ia angkat sebelah kakinya, Put-wi ditendangnya mencelat, katanya pula dengan suara serak, "Hari ini terbukalah kedokmu ter ... ternyata kau pandai bicara dan pandai berdebat, manusia yang suka bermuka-muka, .... tujuh.... tujuh tahun lamanya kau tipu kami suami istri!"

Ciok-Put-wi menjatuhkan diri di tanah, dengan kedua tinjunya ia memukul bumi dan meratap sedih, "O, Tuhan, kenapa kau buat nasibku seperti Put-wi, Put-ti dan lain-lain dibunuh oleh bangsat itu! Kini aku harus menghadapi fitnah dan penasaran betapa tersiksa hatiku ... O, Tuhan, betapa tega hatiku mencelakai para saudara yang tumbuh bersama sejak kecil, bukankah mereka saudara kandungku sendiri?"

Mendadak Bu-siang Tai-su berkata kereng, "Kapan aku dan Suhu serta para Su-siok mu mengatakan kau bunuh mereka? kau sendiri bilang demikian karena melakukan sesuatu yang tidak bisa disembunyikan lagi."

Bergetar tubuh Ciok-Put-wi, sesaat ia melengong, kepalanya sedikit terangkat. Sorot mata Busiang Tai-su yang tajam penuh selidik tengah menatapnya.

Lekas ia menunduk lagi, katanya, "Dosa yang ditimpakan kepadaku tanpa dasar tiada bukti, bahwa engkau orang tua juga bilang demikian, sungguh Tecu amat penasaran."

"Betul," ucap Bu-siang Tai-su, "kasus ini tiada bukti tanpa saksi, kalau kamu tidak mengaku siapa pun tidak dapat menuduh dan menjatuhkan vonis terhadapmu."

"Memangnya mereka sengaja mengada-ada, memfitnah dan menjatuhkan martabatku, sudah tentu mereka tidak punya bukti," demikian bantah Ciok-Put-wi.

"Binatang!" hardik Thi-jan To-tiang, "kau kira perbuatanmu cukup rapi dan tiada kesalahan sedikit pun?"

Agak berubah air muka Ciok-Put-wi namun ia masih berani membantah, "Hakikatnya Tecu ..."

"Agaknya sebelum kedokmu ditelanjangi belum mau menyerah, baiklah! Coba kau lihat siapa dia... " mendadak tangannya menuding ke arah orang kedelapan itu, lalu katanya pula dengan gelak tertawa, "coba kau lihat siapa dia!"

Orang kedelapan yang misterius itu mulai bergerak, perlahan ia angkat tangan menurunkan topinya. Dia ternyata Kong-sun-Put-ti adanya.

Walau Ciok-Put-wi amat kaget dan takut waktu melihat ketujuh Ciang-bun-jin mendadak menampilkan diri, hatinya masih tabah dan bandel. Kini demi melihat Kong-sun Put-ti, sikapnya seperti melihat setan, tubuh yang sudah setengah berdiri seperti kena kemplang di kepalanya, seketika ia jatuh lemas dan berlutut lagi, teriaknya dengan kaget dan serak, "Engkau ... belum mati!"

"Betul, aku belum mati," dingin suara Kong-sun Put-ti, "tenaga pukulan Lo-ngo itu mana mungkin dapat menewaskan diriku?"

Ciok-Put-wi berkata. "Tapi dia melukaimu bukan dengan tenaga pukulan melainkan dengan..." saking kaget ia tidak sadar telah kelepasan omong.

Kong-sun Put-ti bergelak tawa, "Betul, Lo-ngo bukan melukai aku dengan tenaga pukulan, tapi memakai senjata rahasia beracun yang amat jahat. Lalu dari mana kau tahu kejadian ini, apa kau saksikan kejadian itu?"

Hanya dalam sekejap sekujur badan Ciok-Put-wi basah kuyup oleh keringat, rasa penasaran, sedih dan gusar yang tadi menghias wajahnya kini berubah menjadi rasa ngeri, takut dan pucat, suaranya juga gemetar, "Aku ... aku hanya menduga saja..."

Bengis suara Kong-sun Put-ti, "Urusan sudah sejauh ini, kau masih tidak mengaku?"

"kau jebak orang dan membuat dosa, apa yang harus kukatakan?" demikian bantah Ciok-Putwi.

Kong-sun Put-ti menyeringai. "Baik, biar aku jelaskan padamu. Sejak Lo-jit. Lo-ji dan Lo-liok terbunuh. aku lantas mengenakan Kim-si-be-kak di tubuhku, senjata rahasia yang ditimpuk Longo itu memang jahat dan berbisa, tapi hanya menembus baju luarku saja, sedikit pun tidak melukai kulit badanku."

Tanpa sadar Ciok-Put-wi berkata, "Tapi aku juga ..." mendadak ia mendekap mulut dengan tubuh gemetar dan muka pucat.

Kong-sun Put-ti terloroh-loroh, "Lo-si, kamu kelepasan omong lagi. Waktu aku melesat keluar jendela kau sudah mendekam di bawah jendela kau tambahi pukulan pula di tubuhku. Bahwa aku tidak terluka oleh senjata rahasia berbisa itu, pukulanmu hanya menimbulkan lecet saja di tubuhku, kalau kau ingin membunuhku dengan tenaga pukulan, kukira kau perlu latihan sepuluh tahun lagi!"

"Tapi ..." Ciok-Put-wi tergagap, "kenapa ..."

"Aku tahu watak Lo-ngo," tukas Kong-sun Put-ti. "dia seorang tamak, namun bernyali kecil dan rendah diri, untuk melakukan perbuatan keji, apalagi berbuat kejam terhadap para saudara sendiri, aku yakin dia tidak berani kalau tiada seseorang yang mendukung dan menjadi dalang di belakang layar. Untuk menyelidiki orang di belakang layar ini, walau aku terluka oleh senjata rahasia berbisa itu, tapi aku bersandiwara, pura -pura terluka parah!"

Sampai di sini ia menghela napas panjang lalu melanjutkan, "Terus terang aku tidak menduga orang yang mendekam di bawah jendela dan membokongku dengan pukulan tangan itu adalah dirimu. Mungkin kamu masih ingat, aku pernah bilang di antara kami bertujuh saudara, pikiranmu paling mendalam, juga paling sukar dilayani ... kalau orang lain, aku berani membongkar kedoknya saat itu juga, tapi bagimu aku tidak berani bertindak gegabah."

Bahwasanya kasus ini merupakan permusuhan mereka bertujuh, tapi dalam saat seperti ini? kalau persoalan ini tidak diselesaikan secara tuntas, akibatnya bisa menimbulkan situasi genting seluruh Bu-lim, maka hadirin mengikuti perkembangan kasus ini dengan menahan napas, tiada yang turut campur sepatah kata pun.

Lebih lanjut Kong-sun Put-ti berkata, "Aku maklum bila saat itu aku mengadakan reaksi hanya akan mengundang kekejianmu, aku tahu posisiku dengan Toa-ko waktu itu sudah terjepit, sementara entah berapa banyak begundalmu di sekeliling kami, umpama aku mendapat bantuan orang-orang Bu-lim, dalam keadaan seperti itu mungkin juga bukan tandinganmu, apalagi belum tentu ada orang mau membantu dan percaya padaku."

Sejenak ia berhenti, lalu meneruskan, "Dalam hati sudah aku duga suatu ketika Lo-ngo pasti akan kau bunuh juga untuk menutup rahasia, untuk itu terpaksa kamu membiarkan Toa-ko hidup, supaya orang lain tidak curiga terhadapmu. Bahwa jiwa Toa-ko tidak berbahaya, maka aku bersandiwara dan pura-pura terluka parah lalu melarikan diri.

Pucat seperti kapur wajah Ciok-Put-wi, tubuhnya lemas lunglai, kini ia tak tahan lagi untuk berbicara, "Apakah ... jenazah itu juga ... juga kau ... kau yang .... "

"Betul," kata Kong-sun Put-ti kalem, "dengan jenazah itu aku mengelabuimu."

Bok Put-kut yang berlutut di bawah panggung mendengarkan dengan air mata bercucuran, dengan suara gemetar mendadak ia menyeletuk, "Jenazah? ...Jenazah apa?"

"Setelah aku melarikan diri," Kong-sun Put-ti menjelaskan lebih lanjut, "sudah aku perhitungkan jeritanku pasti mengejutkan Toa-ko maka Ciok-Put-wi tidak akan segera mengejar keluar. Waktu itu orang banyak berkumpul di Ban-tiok-San-ceng, ada yang jahat ada juga orang baik, aku pilih seorang yang paling jahat dan banyak dosanya, aku pancing dia keluar, lalu kututuk hiat-to nya. aku tukar pakaian dengan dia, lalu aku sambitkan senjata rahasia beracun di punggungnya..."

Tak tahan Bok Put-kut bertanya pula, "Tapi wajah dan perawakannya kan tidak sama dengan dirimu."

"Sebetulnya aku akan melukai atau merusak wajahnya lalu aku gosok dengan lumpur di luar dugaan senjata rahasia beracun itu kelewat jahat, setelah terkena senjata rahasia, kaki tangan dan kelima indranya mendadak membengkak, kulit badannya juga berubah hitam legam, darah hitam meleleh dari tujuh lubang indranya, bentuk wajah dan tubuhnya berubah, maka aku tidak perlu merusak wajahnya lagi."

"Sungguh lihai ... sungguh kejam," demikian desis Bok Put-kut geram, "Ciok-Put-wi, wahai Ciok-Put-wi, tega betul kamu berbuat sekejam itu!"

"Baru selesai aku mengatur rencanaku, mendadak aku dengar langkah orang," demikian tutur Kong-sun Put-ti lebih jauh, "untuk menyingkir sudah tidak keburu lagi, terpaksa aku mendekam di tempat gelap. Aku lihat yang datang adalah Ciok-Put-wi"

Setelah menghela napas, ia melanjutkan, "Waktu itu aku masih belum yakin bahwa dia lah biang keladi seluruh kejahatan ini, maka aku menahan napas dan ingin membuktikan sendiri. Tapi setelah ... setelah ia lihat jenazah itu, wajahnya memang memperlihatkan rasa senang, malah .. malah dengan sengit ia menusuk lagi dua kali pada jenazah itu."

Sampai di sini nada suaranya mulai haru dan serak, "Waktu itu aku sudah yakin seratus persen, namun susah aku tebak kenapa dia begitu benci terhadapku. Tampak pedangnya berubah hitam setelah menusuk jenazah yang keracunan itu. Waktu itu keadaan sepi dan tiada orang lain, segera ia bungkus jenazah dan pedang itu dengan jubah luarnya, lalu diangkat pergi secara diam-diam, entah dibuang ke kali atau dipendam di mana. Dan aku .... ai malam itu juga langsung aku pulang ke Bu-tong. Sungguh di luar dugaan, para Su-pek dan Su-siok kebetulan berkumpul di sana..."

Setelah menghela napas Bu-siang Tai-su menimbrung, "Sudah cukup, kejadian selanjutnya tidak perlu kau katakan lagi. Mungkin perbuatan jahat keparat ini sudah kelewat takaran, maka Tuhan mengatur kita yang sudah sekian tahun tak keluar rumah ini berkumpul di Bu-tong .... "

Thi Sin-liong membentak. "Binatang! Apa pula yang ingin kau katakan?"

Tak nyana mendadak Ciok-Put-wi melompat berdiri lalu melompat dan terbahak-bahak, serunya, "Bagus, bagus! Dahulu Pek Sam-khong pernah bilang, di antara kita beberapa muridnya ini, bicara tentang cerdik pandai tiada yang lebih unggul dari Kong-sun Put-ti, secara diam-diam aku tidak terima, sampai sekarang aku baru takluk lahir-batin... Aku yakin rencanaku amat rapi, aku bekerja dengan cermat, hari ini baru aku sadari, aku terjungkal di tangan rase kecil ini."

"Binatang!" Thi Sim-liong menghardik gusar, "kedokmu sudah terbongkar, tidak lekas berlutut minta ampun? Masih berani kurang ajar?"

Ciok-Put-wi masih terbahak-bahak, serunya, "Ya, urusan sudah selarut ini, apa gunanya aku berlutut minta ampun segala? Memangnya kalian mau mengampuni aku? Betul, akulah yang membunuh mereka kalian mau apa, silakan saja."

Thi Sim-liong mengerang murka, dengan sengit ia hendak menubruk maju, tapi Bu-siang Tai-su menahannya, Ji-gi Lo-jin juga memeluk tubuhnya. Dengan serak Thi Sin-liong berteriak. "Kenapa kalian melarang aku membunuhnya?"

Perlahan Ji-gi Lo-jin berkata, "Di tempat dan keadaan seperti itu, memangnya kita takut ia melarikan diri? Apa salahnya kita kompres dulu keterangannya, apa alasannya melakukan kejahatan itu, baru nanti kita jatuhkan hukuman padanya.

Ciok-Put-wi membentak, "Aku sudah mengakui segala perbuatanku, apa pula yang ingin kau tanya padaku?"

"Aku sudah menyelami jiwamu," demikian kata Ji-gi Lo-jin kalem, "kalau hanya harta benda pasti tak mungkin meluluhkan imanmu. Lalu lantaran apa kamu melakukan kejahatan?"

Dalam keadaan segenting ini, orang tua ini masih bicara dengan kalem, sabar dan lembut, seolah-olah tiada urusan apa pun di dunia ini dapat membuatnya gugup.

Sesaat lamanya Ciok-Put-wi berdiri diam, mendadak ia tertawa keras, "Pertanyaan bagus ... pertanyaan tepat ... Akhirnya ada juga orang di dunia ini percaya bahwa aku Ciok-Put-wi bukan manusia yang gampang diperas dan diancam dengan cara apa pun."

Thi Sin-liong berteriak, "Lalu karena apa kamu berbuat jahat? .. Katakan, lekas katakan!"

Mendadak Ciok-Put-wi berhenti tertawa, perlahan ia putar badan ke arah timur, menghadap sang surya yang baru terbit di ufuk timur dan berdiri termangu-mangu. Bentakan dan caci-maki orang lain seperti tidak di dengarnya lagi. Melihat sikap dan keadaannya, orang banyak melengong.

Seperti orang mengigau ia berkata perlahan, "Toa-ko ... Toa-ci, tugas yang harus kulakukan sudah kulakukan, hanya sayang tidak bisa aku selesaikan secara tuntas. Tugas yang belum aku laksanakan, musuh yang belum kubunuh terpaksa aku serahkan kepada kalian untuk membunuhnya. Di alam baka Siau-te akan menjadi setan dan secara diam-diam akan aku bantu kalian."

Nada suaranya mengandung makna dendam dan benci. Orang banyak kaget lagi ngeri.

"Siapa Toa-ko dan Toa-ci mu itu?" bentak Thi Sin-liong, "siapa pula musuhmu? Kamu adalah anak yatim-piatu. dari mana datangnya dendam kesumat? Apa ... apa tujuanmu sebenarnya?"

Menyala sorot mata Ciok-Put-wi, perlahan ia menyapu pandang wajah hadirin. Setiap orang yang dipandangnya seperti dirayapi ular di tubuhnya, semua merasa ngeri dan merinding.

Mendadak Ciok-Put-wi bergelak tawa pula, katanya mirip orang gila, "Siapakah musuhku? Apakah tujuanku? Sampai mati tidak akan aku jelaskan ... akan kubuat kalian menduga-duga dan saling curiga. Bila tiba saatnya pedang Toa-ko atau Toa-ci ku menusuk dada kalian baru kalian akan mengerti, tapi saat itu ... hahaha, kalian sadar pun sudah terlambat."

Berubah air muka semua hadirin, tidak sedikit yang membentak, "Siapa Toa-ko mu .. "

"Siapa Toa-ko ku? ..." Ciok-Put-wi terloroh-loroh sampai menungging, "mungkin kau! Juga mungkin dia! Mungkin kalian yang ada di atas lui-tai, silakan tebak sendiri! Bila kalian saling curiga, Toa-ko ku lebih mudah turun tangan, lebih banyak kesempatan, mungkinkah kalian tidak akan mencurigai orang .. haha ... haha ... "

Gelak tawa yang menggila mendadak putus dan berhenti. Sambil menjerit Ciok-Put-wi roboh terjengkang, sejenak ia kelejetan, kaki tangan dan kelima indranya mendadak membengkak lalu darah mengucur keluar mengotori panggung.

Ciok-Put-wi bunuh diri dengan menelan racun jahat, cukup lama setelah jiwanya melayang hadirin masih merasa merinding, gelak tawanya seperti masih bergema di puncak gunung yang sepi berkumandang pula kutukannya ....

Cuaca terang benderang, namun suasana masih terasa dilingkupi firasat jelek. Cukup lama tiada orang bergerak, tiada orang bicara.

Dalam suasana hening itu, yang bergerak lebih dulu ternyata Thi-Sim-liong, guru Ciok-Put-wi yang mendidiknya menjadi pesilat, perlahan ia hampiri jenazah Ciok-Put-wi.

Langkahnya terseret seperti kakinya diganduli benda ribuan kali. Setiba di depan jenazah CiokPut-wi, mendadak ia mencabut pedang di punggungnya.

"Sret", pedang panjang itu mengeluarkan suara nyaring, tapi hadirin masih diam.

Thi-Sim-liong menuding pedang ke langit, kepala juga mendongak sesaat lamanya seperti sedang berdoa. Lalu sepatah demi sepatah ia berkata, "Ciang-bun Thi Sin-liong, murid generasi ketujuh menyampaikan sembah hormat kepada arwah para Co-su di alam baka, murid tak becus tidak berhasil mendidik murid sehingga murid generasi ke delapan Ciok-Put-wi menjadi anak durhaka yang mengkhianati perguruan, melakukan kejahatan pula di kang-ouw, lebih celaka lagi, waktu mangkat ke alam baka anak ini masih terhitung sebagai murid perguruan

kita, belum sempat dipecat dari perguruan .... "

Suaranya makin serak dan tersendat, namun ia meneruskan, "Sayang sekali Tecu tidak sempat mencuci bersih nama baik perguruan pada saat dia masih hidup. Setelah dia mati terpaksa aku bertindak untuk menegakkan aturan perguruan."

Pedang yang terangkat tinggi di atas bergerak turun lalu menusuk jenazah Ciok-Put-wi.

Dalam suasana yang hening, hadirin mendengar jelas waktu ujung pedang menusuk dada CiokPut-wi. Meski hanya sekejap dan perlahan, tapi suara itu membuat orang banyak bergidik dan merinding.

Pui-Po-giok melengos ke arah lain, tidak tega menyaksikan. Orang banyak juga menunduk kepala. Meski Bok-Put-kut berusaha menahan diri, akhirnya pecah juga tangisnya.

Air mata berkaca-kaca di pelupuk mata Thi Sin-liong, lebih lanjut ia berkata dengan serak, "Sebagai Ciang-bun Tecu ikut bertanggung jawab atas kejadian ini, maka Tecu .... "

Mendadak pedang ia putar balik terus menusuk tenggorokan sendiri. Meledaklah jerit kaget orang banyak.

Secepat kilat Ti-jan To-tiang dan Bu-siang Tai-su melompat maju memeluk lengan Thi Sin-liong, sementara Thi-jan To-tiang merebut pedang panjang. serunya. "Ken ... kenapa kamu berbuat sebodoh ini!"

Sambil mendongak Thi Sin-liong mengeluh panjang, "Aku gagal mendidik murid, bukan saja durhaka terhadap para Co-su, aku juga berdosa terhadap kalian, kalau aku tidak mati, apa ... apakah aku bisa tenang? Betapa aku bisa menebus dosa?"

"Omong kosong!" bentak Thi-jan To-tiang, "kamu tidak dapat disalahkan. Siapa di kolong langit ini yang menyalahkanmu! Dalam suasana tegang dan ricuh di Bu-lim sekarang, tenaga dan pikiranmu amat dibutuhkan, tidak .. tidak berarti kematianmu ini"

"Aku ... aku ... " Thi Sin-liong meratap sedih.

Mendadak Bu-siang Tai-su ulur tangannya menepuk perlahan pinggangnya. Belum habis Thi Sin liong bicara, tubuhnya menjadi lemas, kepala bersandar di pundak Thi-jan To-tiang.

Kata Bu-siang Tai-su setelah menghela napas, "Dia terlalu emosi. biarlah dia istirahat saja .."

Beberapa kejap keadaan tetap hening, kemudian hadirin mulai bergerak dan ribut.

Ada yang menghela napas, ada yang bisik-bisik, tidak sedikit yang berebut maju ingin memberi hormat kepada guru dan Ciang-bun-jin mereka.

Pertemuan besar di puncak Thai-san yang cukup menggemparkan ini, gelagatnya akan berakhir dalam suasana yang merawankan, berakhir secara tawar dan melempem.

Tidak sedikit di antaranya yang siap-siap akan bubar, yang suka usil ada juga yang diam-diam mencari-cari di mana dinamit itu disembunyikan. Seolah-olah tiada orang yang memperhatikan gerak-gerik Hwe-mo-sin lagi.

Padahal, meski sedang berbincang-bincang, Ting-lo-hu-jin, Ban Cu-liang, It-bok Tai-su ketujuh Ciang-bun-jin dan Pui-Po-giok, tiada satu pun yang lena, tiada satu pun yang tidak memperhatikan gerak-gerik Hwe-mo-sin.

Hwe-mo-sin juga tahu bahwa dirinya masih diawasi dan menjadi pusat perhatian orang banyak, maka tidak berani banyak tingkah, lama-kelamaan karena merasa risi, meledaklah rasa kekinya, bentaknya, "Tentunya kalian tahu bahwa kematian Ciok-Put-wi dan lain-lain bukan perbuatanku. Kenapa kalian masih mengawasi diriku?"

Ini-jan To-tiang melotot gusar, semprotnya, "Bukan kamu biang-keladinya. kenapa tadi kamu mengaku?"

Hwe-mo-sin tertawa keras, katanya, "kalau tadi aku tidak mengaku, bukankah Pui-Po-giok kini sudah celaka? Urusan harus dibedakan mana lebih penting dan mana harus didahulukan, memangnya kalian sudah melupakan nasihat orang kuno?"

Sudah tentu orang banyak tahu apa makna perkataan Hwe-mo-sin, semua diam dan saling pandang tanpa bicara.

Hwe-mo-sin berhenti tertawa, suaranya menjadi beringas, "Tidak perlu aku banyak bicara. Apa kehendak kalian terhadap diriku katakan saja."

Hadirin beradu pandang, sukar mengambil keputusan. Akhirnya pandangan orang banyak tertuju ke arah Ting-lo-hu-jin, Thi-jan To-tiang dan Bu-siang Tai-su. Agaknya mereka mempercayakan keputusan ini kepada mereka bertiga.

Bu-siang Tai-su menjura hormat, katanya, "Entah bagaimana pendapat Hu-jin?"

"Terserah pada putusan Tai-su." sahut Ting-lo-hu-jin.

Berkatalah Bu-siang Tai-su sambil mengelus jenggot. "Bagaimana pendapat Pui-siau-hiap?"

Bahwa guru besar suatu aliran ternama seperti Bu-liang Tai-su dari Siau-lim juga menghargai pendapat seorang pemuda seperti Pui-Po-giok, jelas bobot dan kedudukan Pui-Po-giok sekarang di kalangan kang-ouw sudah cukup berat lagi tinggi.

Perasaan Ban Cu-liang, Bok Put-kut dan beberapa orang lagi tampak lega dan senang. Sikap Pui-Po-giok justru prihatin, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa bangga atau congkak, dengan serius ia menjawab, "Tai-su cukup bijaksana, Tecu tidak berani banyak bicara."

Bu-siang Tai-su manggut-manggut katanya pelan, "Bagus, jiwa pendekar, laku ksatria, mengutarakan welas asih .. " mendadak ia mengulap tangan, serunya. "Enyahlah. lekas enyah dari sini!"

Bibir Pui-Po-giok tampak bergerak, seperti mengucap terima kasih.

Diam-diam Ting-lo-hu-jin, It-bok Tai-su, Ji-gi Lo-jin, Ban Cu-liang dan lain-lain mengangguk.

Hanya Thi-jan To-tiang yang berubah air mukanya, seperti ingin protes, namun ditelan lagi niatnya.

Bahwa Ciang-bun Bu-tong-pai tidak memprotes, orang lain mana berani banyak mulut.

Hwe-mo-sin celingukan, lalu tertawa, katanya, "Kalau demikian, baiklah aku mohon diri."

"Tunggu sebentar!" mendadak Thi-jan To-tiang membentak.

Berdiri alis Hwe-mo-sin, "Ada apa?"

Melotot mata Thi-jan To-tiang, "Dengan hati yang baik hari ini Bu-siang Tai-su mengampuni dirimu, bukan saja kamu tidak mengucap terima kasih. masih berani bertingkah dan .... "

"Kenapa aku harus berterima kasih?" tukas Hwe-mo-sin dengan sikap sombong, "bahwa kalian tidak berani menahan dan merintangi aku, karena takut aku meledakkan dinamit yang bisa menghancurkan semua orang di sini berani kau ..."

Belum habis Hwe-mo-sin bicara, mendadak berkumandang gelak tawa nyaring disusul perkataan lantang seorang dari kejauhan, "Dinamitnya disembunyikan dalam peti mati, di suatu tempat dalam hutan, semuanya sudah aku rusak dan murid-murid Mo-kiong juga seluruhnya aku bekuk. Jangan kuatir lagi datangnya bencana."

Suara lantang itu seperti mengambang di udara, makin jauh dan lirih. Tokoh-tokoh silat yang berdiri di atas panggung banyak yang melihat berkelebatnya bayangan orang di lereng gunung sana, berpakaian kasar dan memegang tongkat panjang, jenggot dan rambutnya sudah ubanan, karena jarak cukup jauh, sukar terlihat jelas wajahnya.

Hanya Poa-Ce-sia yang melihat jelas dan kenal orang itu. Orang tua ini pernah muncul sebelum pertemuan besar di Thai-san ini dibuka, ia muncul sambil berdendang dan pergi seperti naga yang kelihatan kepala tanpa kelihatan ekornya.

Kecuali kagum dan kaget, timbul juga rasa curiga Poa-Ce-sia, "Siapakah orang tua itu?"

Hadirin terkejut tapi juga girang, perhatian orang banyak kembali tertuju ke arah Hwe-mo-sin.

Thi-jan To-tiang tertawa. "Nah, bagaimana sekarang?"

"Apa kehendakmu?" bentak Hwe-mo-sin naik darah.

Memang tidak malu ia dikenal sebagai gembong penjahat, dalam keadaan seperti ini, dikepung sekian banyak orang gagah, walau sorot matanya tampak jeri dan gugup, namun masih berdiri tegap, seperti tidak mau takluk atau menyerah.

Mendelik Thi-jan To-tiang, baru mulutnya terbuka, Bu-siang Tai-su sudah mendahului bicara. "Hwe-si-cu, tadi kulepas pergi, kau kira karena takut terhadapmu? Kamu salah ... salah! Sekarang kalau kami mau mencabut nyawamu, semudah menginjak semut, umpama dinamitmu masih ada, tak mungkin kau beri perintah kepada anak buahmu, memangnya kamu belum percaya?"

Hwe-mo-sin menunduk dan tidak berani bicara lagi.

"Nah, pergilah," ujar Bu-siang Tai-su, "Kuharap dalam sisa hidupmu dapat berlaku baik dan melakukan pekerjaan mulia bagi masyarakat umumnya. Mau tidak kau dengar wejanganku, terserah padamu."

Naik turun dada Hwe-mo-sin, entah merasa malu atau menyesal, mungkin juga gusar. Sesaat kemudian mendadak ia menoleh mengawasi Pui-Po-giok.

Pui-Po-giok tersenyum, katanya, "Janji yang pernah kukatakan, tidak akan aku jilat kembali. Tidak usah kuatir."

Wajah Hwe-mo-sin yang serba runyam mengulum senyum kecut, katanya, "Baiklah, tiga hari lagi aku akan menemuimu."

Sejenak ia menyapu pandang sekelilingnya, tanpa bicara lagi lalu membawa orang-orangnya pergi.

Thi-jan To-tiang mengentak kaki, katanya gegetun, "Melepas harimau pulang ke gunung, kelak pasti mengundang bencana."

Bu-siang Tai-su tersenyum, "Membunuhnya kita kehilangan cinta kasih melepas dia kita memperoleh kesetiaan."

Thi-jan To-tiang tertawa, katanya, "Tai-su benar, akulah yang salah."

Hadirin merasa kagum, hormat dan malu diri melihat betapa besar jiwa mereka, dengan cinta kasih mengikat kesetiaan, bersalah berani mengaku salah, itulah teladan yang patut dipuji dan ditiru.

Bergegas Po-giok menjatuhkan diri, serunya, "Terima kasih atas bantuan para Cian-pwe."

Belum habis Po-giok bicara, Bu-siang dan Thi-jan memapahnya bangun. Dengan senyum lebar Bu-siang berkata, "Hari ini dapat berhadapan ksatria gagah seperti Pui-si-cu, sungguh merupakan kebanggaan kaum Bu-lim umumnya ... Omitohud sang Budha memang bijaksana, fitnah atas dirinya kini sudah tercuci bersih, ibarat mutiara dapat memancarkan cahaya kembali."

Sambil mengelus jenggot Thi-jan To-tiang juga berkata. "Ucapan Tai-su betul Pui-Po-giok, jangan kau lupakan petuah Tai-su. Kini tiba saatnya bagimu menegakkan kembali peraturan Bu-lim."

Po-giok menyembah pula menerima petuah itu katanya, "Terima kasih ..

Sementara itu Ting-lo-hu-jin, Ban Cu-liang, It bok Tai-su, para Ciang-bun dari Kun-lun, Khongtong dan lain-lain sama merubung maju, wajah mereka cerah dan gembira, semua memberi selamat bahagia.

Siau-kong-cu berdiri di samping, diam dan terlongong mengawasinya, mendadak air mata meleleh membasahi pipi.

Penonton yang sudah mulai bubar mendadak merubung lagi di sekeliling panggung. Mereka maklum betapa berat perjuangan Pui-Po-giok untuk, memperoleh kepercayaan kembali dari para Cian-pwe dan orang banyak yang salah paham terhadapnya. Kini ia boleh merasa bangga dan tentram, namun tidak kecil pengorbanan yang harus dipertaruhkan. Penonton yang merasa kagum lantas bersorak sorai, "Hidup Pui-Po-giok ... Hidup Pui-Po-giok ..."

Tak kuasa Bok Put-kut membendung air matanya, ia tidak tahu kenapa dirinya menangis, entah merasa senang atau berduka?

Thi-wah malah berjingkrak dan menari-nari, serunya sambil keplok, "Toa-ko memang baik, aku senang punya Toa-ko sebaik ini!"

Dasar lugu, dalam keadaan seperti ini ia tidak tahu apa yang harus dikatakan untuk menyatakan kegembiraan hatinya, maka ia menari dan berkeplok sendiri.

Sebagian pcnonton yang berada di sebelah timur agaknya sudah berunding, kini serempak mereka berteriak, "Mohon Pui-siau-hiap mendemonstrasikan kepandaiannya, supaya terbuka mata kami!"

Seruan ini mendapat sambutan seluruh hadirin, teriakan demi teriakan berkumandang dari berbagai sudut, "Ya, benar, mohon Pui-siau-hiap unjuk beberapa jurus kepandaiannya. silakan Pui-siau-hiap. Silakan .... "

Saking harus lidah Pui-Po-giok menjadi kelu matanya pun berlinang-linang, sesaat kemudian ini ia dapat bersuara. "Hadirin ... hadirin .... aku ...."

Umpama Po-giok dapat bicara lancar. suaranya juga tenggelam oleh sorak-sorai orang banyak apalagi hatinya lagi amat senang hingga tidak mampu bicara.

Dengan tersenyum Ji-gi Lo-jin menghampiri katanya, "Ya, kalau hari ini Po-giok tidak memperlihatkan satu-dua jurus kepandaiannya, sorak-sorai orang banyak mungkin tidak akan berhenti."

Po-giok menunduk rikuh, katanya, "Tapi .. Tecu ... mana Tecu berani ...."

"Pamer kepandaian di depan orang memang pantangan kaum pesilat," demikian kata Thi-jan To-tiang. "Tapi harapan orang banyak tidak boleh ditampik, kan mereka yang minta. kenapa kamu tidak berani."

Getir tawa Po-giok, "Tapi Tecu ... apa yang harus Tecu lakukan."

Ji-gi Lo-jin tertawa, "Seorang diri mana bisa dia memperlihatkan kepandaian sejati. Memangnya harus diiringi seorang untuk saling tanding? Menurut apa yang kutahu, kungfu yang dipelajari Po-giok mengutamakan makna baru kemudian bentuk, kungfu tingkat tinggi yang dimilikinya kalau dipamerkan tanpa ada orang yang mengiringi sudah jelas tidak akan tampak nilainya yang murni."

Bahwa sebentar lagi hadirin akan menyaksikan pertunjukan silat dari orang-orang kosen, berarti harapan mereka akan terkabul, maka mulai sirap sorak-sorai orang banyak, kini berganti tepuk tangan yang riuh.

Thi-jan To-tiang menentramkan suasana, lalu berkata lantang, "Kalau demikian, biarlah aku memulainya bergebrak beberapa jurus!"

Keruan Po-giok menjadi gugup, cepat ia berlutut, katanya gelisah, "Umpama Tecu punya nyali besar juga tidak berani bergebrak dengan Cian-pwe."

Thi-jan To-tiang tertawa, katanya, "Orang belajar tidak perlu membedakan dahulu dan belakang, yang pandai adalah teladan. Kenapa kamu tidak berani bergebrak dengan aku, apalagi kamu adalah ahli waris Suheng Ci-ih-hou, soal kedudukan jelas kamu tidak lebih rendah di banding aku."

Po-giok tidak tahu bagaimana harus membantah, terpaksa ia geleng kepala, "Tecu tidak berani."

Namun Thi-jan To-tiang tetap memaksanya, hadirin juga mendesak, saking gugup badan Pogiok basah kuyup oleh keringat.

Siau-kong-cu yang berada di sampingnya mengerling, mendadak ia berkata dengan tertawa, "Thi-jan To-tiang. Po-giok takut wibawamu tersapu dalam sekejap mata, maka betapapun ia tidak berani bergebrak denganmu. Kukira lebih baik urungkan saja."

Ucapan Siau-kong-cu umpama minyak menyiram api, Thi-jan To-tiang merasa panas, serunya dengan tertawa, "Pui-Po-giok, memangnya kau takut aku bakal kalah? Kalah-menang soal biasa dalam pertandingan, masa aku tidak berani menghadapi kenyataan? Ayolah maju ...."

Sembari bicara ia menyingsing lengan baju dan hendak mencabut pedang.

Tapi sempat ditahan oleh Bu-siang Tai-su, "Walau To-beng masih gagah dan gembira, namun menurut adat dan aturan, apa pun Pui-si-cu tidak boleh bergebrak dengan To-heng. Menurut pendapatku ...."

Pada saat padri agung ini tepekur memikirkan cara pemecahannya. Kong-sun Put-ti yang sejak tadi berdiri diam mendadak menjatuhkan diri, katanya sambil berlutut. "Sudilah Tai-su memberi ampun, Tecu ada pendapat."

"Hm, kau tahu apa, berani banyak mulut?" demikian jengek Thi-jan To-tiang.

Kong-sun Put-ti mendekam di tanah dan tidak berani bicara.

"Biarlah dia bicara." ujar Bu-siang Tai-su.

"Tecu ... Tecu .... " Kong-sun Put-ti gelagapan.

"Bu-siang Su-pek suruh kau bicara, maka lekas bicara, kenapa plintat-plintut?"

Diam-diam orang banyak tertawa geli, dalam hati mereka membatin, "Guru yang satu ini sungguh sukar dilayani."

Kong-sun Put-ti menghela napas lega, katanya menurut pendapat Tecu. Lebih baik Suhu dan kelima Su-pek yang lain membentuk sebuah barisan pedang, Po-giok dikepung di tengah barisan, biar membuktikan apakah mampu menerobos ke luar."

"Betul." seru Ji-gi Lo-jin sambil keplok, "dengan cara ini, di samping kita bisa menyaksikan kelihaian kungfu Pui-siau-hiap, kedua pihak juga akan cedera. Thi-jan To-heng tentu setuju bukan?"

"Ji-gi-heng bilang demikian, apa pula yang harus kulakukan ... Pui-Po-giok ....."

"Tecu menurut perintah," Pui-Po-giok mengiakan sambil menyembah.

Asal dirinya tidak bergebrak melawan Thi-jan To-tiang, dengan cara apa pun dia akan menurut saja.

Di bawah pimpinan Bu-siang Tai-su, enam orang Ciang-bun perguruan besar itu membentuk sebuah barisan pedang, meski barisan ini dibentuk secara mendadak tanpa persiapan, namun menilai tingkat kepandaian keenam tokoh silat ini, maka dapat dibayangkan betapa besar wibawa permainan mereka, gabungan kekuatan mereka berarti tenaga dalam yang diyakinkan selama tiga ratus tahun.

Hawa pedang yang dihimpun dari landasan kekuatan tiga ratus tahun, jangankan manusia biarpun kumbang, burung walet atau camar juga jangan harap lolos dari lingkaran hawa pedang.

Hadirin menjadi tegang dan ingin menyaksikan Pui-Po-giok yang secara langsung diagulkan sebagai jago nomor satu di seluruh dunia, apakah mampu menerjang keluar barisan pedang itu? Dengan cara apa dia akan menerobos keluar?

Rasa tegang hadirin memuncak lagi. Sementara sang surya memancarkan cahayanya yang benderang, cahaya cemerlang itu seperti terpusat pada enam pedang yang seolah-olah dapat merebut berbagai jenis sinar cahaya yang ada di mayapada ini.

Po-giok tidak bergerak, enam pedang itu juga tidak bergeming. Po-giok memejamkan mata, seperti tenggelam dalam pikiran, berdaya untuk menjebol kepungan. Para Ciang-bun itu juga setengah memejamkan mata, seakan-akan tiada yang memperhatikan gerak-gerik Po-giok.

Padahal umpama ujung jari Po-giok bergerak juga akan diketahui oleh keenam Ciang-bun ini, namun kenyataan Po-giok tidak bergeming sedikit pun, berdiri tegak seperti patung.

Seluruh perhatian hadirin tumplek pada ke tujuh orang yang akan bertanding di atas panggung.

Hanya Thi-wah saja yang mengawasi gerak-gerik Siau-kong-cu.

"Kerbau dogol, kenapa kamu mengawasiku saja?" damprat Siau-kong-cu.

"Hihi," Thi-wah tertawa tanpa bicara.

"Laki-laki segede ini mengawasi anak perempuan, memangnya tidak tahu malu." Siau-kong-cu berolok-olok.

Thi-wah hanya tertawa dan tetap tutup mulut.

"Eh, apa lantaran aku cantik, kamu terpesona?" goda Siau-kong-cu genit.

"Apa engkau ini cantik?" Thi-wah balas bertanya, "aku kok tidak tahu."

"Tidak tahu apa tidak bisa melihat?" jengek Siau-kong-cu.

"Tidak bisa melihat juga harus melihat." ucap Thi-wah tertawa.

Berputar bola mata Siau-kong-cu, mengawasi belakang Thi-wah mendadak ia tertawa senang,

"He, sungguh tak nyana, kamu juga di sini. Coba lihat Thi-wah ini selalu mengawasi aku. He, apa kamu tidak cemburu?"

Thi-wah tertawa bodoh. "Peduli siapa yang datang, aku tidak akan berpaling. Aku mewakili Toako mengawasimu, umpama kamu ingin kabur juga jangan harap."

Siau-kong-cu mendongkol, sesaat ia menggigit bibir, mendadak tertawa lagi, "Aku tahu ada satu tempat, di sepanjang jalan banyak orang jualan daging sapi, kalau mau ikut, aku tanggung akan makan kenyang."

"Daging sapi, ah. Thi-wah tidak suka," Thi-wah tertawa bandel.

"Tapi daging sapi yang dimasak di sana rasanya lezat dan sedap, aku tanggung selama hidup belum pernah kau rasakan daging seenak itu. Cukup mencium baunya saja, kamu sudah mengiler."

"Ehm, apa benar?" mata Thi-wah berkedip-kedip.

Melihat orang seperti terpengaruh oleh bualannya. Siau-kong-cu menjadi girang. "Sudah tentu benar, kalau tidak percaya, ayolah ikut aku ke sana?"

"Boleh!" sahut Thi-wah.

Siau-kong-cu berjingkrak senang, "Ayolah ... kita berangkat diam-diam."

"Baik, tunggu Toa-ko dulu, nanti kita berangkat bersama," Thi-wah membanyol.

Siau-kong-cu melengong, lalu mengentak kaki dampratnya. "Dasar kerbau dogol, kerbau mampus!"

Walau Siau-kong-cu banyak akalnya, pintar bicara dan pandai mengatur siasat, namun menghadapi Thi-wah yang sederhana seperti batu ini, betapapun pintar dan lihai muslihatnya, sama sekali tidak dapat menjebaknya.

Padahal perhatian hadirin tertuju ke atas panggung, di mana Po-giok lagi bertanding dengan Ciang-bun, kesempatan baik untuk melarikan namun di bawah pengawasan Gu Thi-wah, dia benar-benar mati kutu.

Diam-diam ia perhatikan keadaan sekeliling, ternyata tiada orang memperhatikan pembicaraannya dengan Thi-wah, waktu ia melirik ke arah Pui-Po-giok, pemuda ini masih berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun. Poa-Ce-sia berdiri sejajar dengan Ban Cu-liang. Tiba-tiba Poa-Ce-sia berkata lirih "Kong-sun Put-ti ternyata cerdik pandai, saran yang dia ajukan, lahirnya membantu Po-giok, sebenarnya menyudutkan Po-giok agar mengalami kekalahan"

"Lho, kenapa begitu?" tanya Ban Cu-liang.

"Bicara soal kungfu, meski kedudukan para Ciang-bun cukup agung, kalau bertanding satu per satu mereka bukan tandingan Po-giok. Tapi barisan pedang keenam orang ini ibarat dinding baja jangankan Pui-Po-giok, umpama Ci-ih-hou hidup kembali atau Ciu-lo-cian-pwe yang terjun di arena juga takkan mampu menerobos keluar."

Jilid 22. Misteri Kapal Layar Pancawarna

"Kurasa ... kurasa belum tentu," Ban Cu-liang tidak sependapat.

"Melihat keadaan Po-giok, rasanya dia ingin menyerah kalah, tapi namanya baru saja direhabilitir kalau pertandingan ini dia kalah, mungkin sulit dia pertahankan diri."

Ban Cu-liang tertawa getir, "Ya, kalau aku, mungkin juga hanya begitu saja."

Pui-Po-giok memang berdiri kaku seperti patung, seperti tidak punya keinginan untuk merebut kemenangan.

Sementara, itu sang surya sudah makin tinggi dan memancarkan sinar yang panas.

Penonton mulai resah dan tidak sabar lagi.

Ciang-Jio-bin juga sedang berbincang-bincang dengan Thian-to Bwe-Kiam, katanya, "Melihat gelagatnya Pui-siau-hiap hendak mengalahkan lawan-lawannya dengan ketenangan. Bila para Ciang-bun itu mulai resah, kesempatan akan digunakan untuk menerjang keluar."

Bwe-Kiam geleng kepala, "Jangan lupa para Ciang-bun itu sudah berlatih puluhan tahun, Karena bakat berbeda mungkin kungfu mereka tidak setaraf Pui-Po-giok, tapi ketenangan mereka pasti tidak kalah dibanding Pui-Po-giok."

"Kalau Pui-siau-hiap tidak berusaha merebut kemenangan, bila batas waktu yang ditentukan tiba dia kan harus mengaku kalah? Apa tidak ..."

"Pui-Po-giok mana mau mengaku kalah?" demikian tukas Bwe-Kiam dengan tertawa.

Melihat orang bicara penuh keyakinan, Ciang-Jio-bin bertanya, "Kenapa engkau berpendapat demikian?"

"Karena keadaan sekarang sudah berbeda," Bwe-Kiam menjelaskan, "Kalau Pui-Po-giok berhasil menerjang keluar, para Ciang-bun tidak perlu malu dan nama baik mereka tidak bakal luntur karenanya. Sebaliknya kalau Po-giok tidak mampu menerjang keluar, bukan saja hal ini menurunkan derajat dan nama baiknya, Ciu-lo-cian-pwe juga ikut mendapat malu. Pui-Po-giok adalah pemuda pintar mana mungkin berbuat sebodoh itu?"

"Ucapanmu memang betul. Tapi menurut pendapatku, bahwasanya Pui-Po-giok tiada kesempatan untuk merebut kemenangan, mungkin dia menyadari hal ini, maka sampai sekarang belum berani turun tangan."

"Tadi hanya rekaanku saja," demikian Bwe-Kiam menghela napas. "sebetulnya sulit menyelami apa yang akan dilakukan Pui-Po-giok. Umpama dia ingin menerjang keluar, mestinya sudah beraksi sejak tadi memancing reaksi dan mencari kelemahan lawan. Kalau hanya berdiri diam, mana bisa menerjang keluar."

Di sebelah sana It-bok-Tai-su dan Ting-lo-hu-jin juga sedang bercakap-cakap, "Tai-su, apakah tidak merasa ada sesuatu yang tidak beres pada diri Pui-Po-giok?"

"Ya, memang agak mengherankan, namun kurasa ada satu penjelasan, yaitu diam-diam ia punya perhitungan, tidak bergerak tidak apa-apa, sekali bergerak pasti dapat menerjang keluar, tapi ... "

"Di kolong langit, siapa orangnya yang mampu menerjang keluar dari barisan enam pedang itu? Kalau benar bocah ini punya maksud demikian kurasa dia terlalu tinggi hati," demikian komentar Ting-lo-hu-jin, lalu menghela napas.

Orang banyak berbisik-bisik, saling debat dan mereka-reka maksud Pui-Po-giok, akhirnya semua berkesimpulan bahwa Pui-Po-giok akan menderita kalah.

Sang waktu berjalan, matahari merayap lebih tinggi, batas waktu yang ditentukan makin dekat.

Beberapa orang yang semula mendukung Pui-Po-giok, kini mulai kecewa, mereka menyangsikan kemampuan Po-giok.

Di luar dugaan, pada saat orang banyak menunggu dengan cemas, mendadak Po-giok bergerak.

Kakinya berkisar melintang, tubuh ikut berputar dengan enteng, kedua telapak tangan menggaris sebuah lingkaran, keenam pedang panjang itu ikut bergerak menutup seluruh jalan mundurnya.

Karena gaya putaran itu bergerak lurus, maka keenam pedang itu tertarik menjadi satu garis melintang, terdengarlah suara gemerincing, keenam ujung pedang beradu dan mengeluarkan suara ramai.

Sang surya menyorot miring dari timur dan kebetulan menyinari ujung keenam pedang yang menjadi satu garis itu, ujung pedang memancarkan sinar pantulan yang berkilauan, berkelebat mengikuti gaya putaran itu.

Sinar yang terpantul dari ujung pedang itu membuat para Ciang-bun silau, dengan sendirinya mereka mengedip mata. Kejadian justru berlangsung dalam sekejap kedipan mata itu, tiada rangkaian kata yang tepat untuk melukiskan kecepatan peristiwa ini. Padahal sinar refleksi itu hanya berkelebat sekilas saja.

Tapi Pui-Po-giok telah memanfaatkan kesempatan sekilas itu, secara gaib tahu-tahu ia lolos keluar barisan. Bila para Ciang-bun itu membuka mata bayangan Po-giok sudah tidak kelihatan lagi.

Hadirin menonton dengan terkesima dan takjub. Mereka menonton dengan melotot, namun tiada yang tahu apa yang terjadi.

Ting-lo-hu-jin menarik napas panjang, "Wah, sesuai apa yang Tai-su lukiskan tadi, tidak bergerak belum apa-apa, sekali bergerak dapat menerjang keluar, tapi ... cara bagaimana ia menerjang keluar, dapatkah Tai-su menjelaskan?"

Beberapa saat lamanya It-bok Tai-su tepekur "Kepandaian Pui-si-cu memang amat menakjubkan betapa cepat gerak tubuhnya, lebih mengejutkan lagi ia dapat memanfaatkan refleksi sinar matahari yang terpantul dari ujung pedang dan menyilaukan mata para Ciang-bun Tai-su. Sinar refleksi itu membuat para Ciang-bun lena, dan gangguan yang sekejap ini dimanfaatkan oleh Pui-siau-hiap, dengan tangkas ia melejit keluar kepungan berantai itu."

Hadirin banyak yang pasang kuping mendengarkan analisa It-bok Tai-su, semua melongo dan tak habis herannya. Kungfu sehebat itu, perhitungan dan ketegasan bertindak, mimpi pun tidak pernah terbayang dalam benak mereka.

Setelah menghela napas It-bok Tai-su berkata pula, "Omitohud! Sian cai! Sian cai! Sungguh tak nyana bahwa Bu-kang-sim-hoat Pui-si-cu sudah mencapai taraf takdir ilahi dan manunggal dengan kekuatan alam. Pada hari tua dapat aku saksikan tunas harapan kaum Bu-lim sehebat ini, betapa senang dan lega hatiku."

Sementara itu, Pui-Po-giok sudah menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan para Ciang-bun, "Tecu telah berlaku kurang ajar, mohon ampun!"

Keenam Ciang-bun itu saling pandang sekejap, kejut-kejut girang hati mereka. Thi-jan To-tiang mengelus jenggot, katanya dengan tertawa lebar, "Bagus! Bagus! Bocah ini dapat memanfaatkan sinar matahari sebagai senjata untuk mencapai kemenangan, siapa lagi manusia di dunia ini yang dapat menandingi dirimu. Meski kalah kami tidak merasa penasaran."

Baru sekarang pecah, sorak-sorai dan tepuk tangan penonton. Hampir setengah jam suara memekak telinga dari penonton itu baru mereda.

Tiba-tiba terasa oleh para penonton yang berada di dekat panggung tepuk sorak penonton di belakang berhenti secara mendadak. Beramai mereka menoleh, tertampak bukan saja penonton di belakang menghentikan tepuk soraknya, mereka juga menyingkir ke pinggir memberi sebuah jalan. Delapan orang bertubuh kekar menyibak orang banyak dan melangkah lebar menuju ke panggung.

Delapan laki-laki ini semua bertampang buas, bertubuh kekar tegap, pakaian juga aneh, mengenakan sepatu kulit kerbau yang membungkus setinggi lutut, sementara celana sutera mereka yang longgar lengan corak yang menyolok terikat kencang dalam sepatu bagian bawah, semua bertelanjang dada sabuk tebal dan lebar yang melilit pinggang dihiasi paku-paku tembaga yang mengkilat, menambah gagah langkah mereka yang rapi dan penuh wibawa, di tengah sekian banyak hadirin, rombongan laki-laki ini seumpama burung bangau di tengah

gerombolan ayam.

Terutama orang yang berjalan paling depan tampangnya dipenuhi jambang-bauk yang kaku hitam, berjalan sambil membusung dada, sorot matanya tajam bercahaya, gerak-geriknya mirip seekor macan jantan yang jual lagak di antara kawanan hewan liar dalam hutan. Orang-orang gagah yang hadir di puncak Thai-san ini, seolah-olah tidak terpandang olehnya.

Bagi orang yang tajam pandangan akan merasa heran, bahwa kawanan orang gagah yang buas lagi kasar ini, kelihatan mengerut alis dan menggertak gigi, air muka cemberut seperti dirundung susah atau tertimpa musibah yang tidak teratasi oleh mereka.

Bila angin menghembus, orang banyak lantas mencium bau amis dan asin seperti air laut dari badan kedelapan orang ini. Orang banyak mulai kasak-kusuk lagi.

"Perompak, mereka kawanan perompak."

"Ya, betul. Bukankah pemimpinnya itu Jik-jan-liong Siu-Thian-ce yang menjadi penguasa besar di lautan. Melihat jambang-bauknya yang hitam-hitam ungu itu, aku lantas menduga akan dirinya."

"Sudah ratusan tahun kaum persilatan sepakat menegakkan peraturan bahwa gerombolan perompak di lautan dilarang beroperasi sejauh seratus li di pedalaman. Kawanan perompak itu juga selalu patuh dan menepati janji, entah kenapa hari ini mereka melanggar aturan, jauh-jauh meluruk ke sini. Memangnya usaha mereka di lautan belakangan ini makin sulit. Maka Jikjan-liong ingin melebarkan sayap dan mengadu nasib di daratan."

"Ah, tidak mungkin. Jik-jan-liong bukan orang bodoh, umpama dia ingin cari setori juga harus pilih waktu dan tempat, hanya dengan delapan orang, memangnya mereka mampu melawan jago-jago kita yang ada di atas panggung itu."

"Lha, untuk apa mereka kemari?"

Di tengah bisik-bisik orang banyak, dengan langkah lebar Jik-jan-liong sudah berada di depan panggung, sekilas memandang sekitarnya lalu berkata dengan ramah, "Bagus!Bagus! Orang-orang kosen seluruh Bu-lim ternyata semua berada di sini."

Sambil menjura ia berkata lebih lantang, "Siu-Thian-ce dari lautan, unjuk hormat pada hadirin."

Thi-jan To-tiang dari Bu-tong tampil ke depan serunya, "Orang-orang gagah dari lautan, biasanya jarang datang di Tiong-goan, hari ini jauh-jauh datang kemari, entah ada keperluan apa."

Siu-Thian-ce berkata, "Sengaja kami kemari untuk menyampaikan kabar."

"Kabar apa sampai menyusahkan kalian datang kemari?" demikian tanya Thi-jan To-tiang.

Siu-Thian-ce berseru lantang, "Burung gagak terbang seratus li membawa berita duka bukan kabar gembira."

Bahwa orang paling gagah dan paling disegani di lautan jauh-jauh datang di sini, kejadian ini sudah dianggap luar biasa, kini dia menyatakan membawa kabar duka, maka orang banyak merasakan bahwa berita duka ini cukup penting dan besar artinya.

Thi-jan To-tiang berkata, "Hewan setia menyampaikan berita duka, kawan baik memberi peringatan. Tuan adalah orang simpatik lebih dulu terimalah ucapan terima kasihku, mohon penjelasan lebih lanjut."

Jik-jan-liong balas menjura, matanya menjelajah hadirin, lalu berkata lantang, "Di hadapan orang-orang baik tidak boleh berbohong. Apa profesi Siu Thian-ce selama ini, kukira hadirin sudah lama tahu."

Thi-jan To-tiang bicara lagi, "Tuan merampok yang kaya dan menolong golongan miskin, sebagai pendekar lautan ternama, kaum Bu-lim di kolong langit pernah mendengarnya."

Dua orang ini bicara dengan suara lantang, gema suaranya mirip genta raksasa yang bertalu-talu, nada bicara mereka seperti dua orang yang saling mengagumi dan saling menghargai. Maklum waktu mudanya dulu Thi-jan To-tiang juga seorang rampok budiman, maka sikapnya tidak menganggap remeh atau memandang rendah benggolan yang ditakuti di lautan ini.

Jik-jan-liong terbahak-bahak, serunya, "Orang she Siu sejak lama menjelajah lautan, tidak jarang berlayar jauh ke negeri orang. Belakangan ini kawanan bajak dari Tang-ing sering beroperasi di sepanjang pantai timur, maka orang she Siu menggunakan cara yang mereka gunakan meluruk ke Tang-ing di laut utara. Percayalah bahwa kehidupan orang-orang mereka juga tidak aman dan tentram seperti bangsa kita yang menetap di pantai timur."

"Bagus!" Thi-jan To-tiang memuji sambil keplok sekali.

Ciang-bun dan perguruan besar yang dijunjung tinggi ini agaknya melupakan kedudukan dan kepribadiannya, wataknya yang berangasan dulu mudah sekali terpancing oleh keadaan sekelilingnya.

Bu-siang Tai-su, Ciang-bun Siau-lim-pai diam-diam mengerut alis, tapi lahirnya dia ikut tersenyum geli.

"Pertengahan bulan tujuh yang lalu, orang she Siu berkunjung ke Kiu-ciu satu minggu lamanya, hasilnya memang cukup untuk membayar ganti rugi penduduk kita yang berada di pantai timur itu. Malam itu kami berpesta-pora untuk menghibur anak-anak yang berjerih payah seminggu lamanya. Di luar dugaan malam itu terjadilah peristiwa aneh di atas kapal kita."

"Peristiwa aneh apa?" tanya Thi-jan To-tiang kaget.

"Malam itu kita makan minum dan berpesta sampai larut malam, orang she Siu juga mabuk. Kapal kita cukup jauh dari pantai, umpama terjadi penyerbuan musuh, untuk menyingkir pun tidak bakal terlambat, maka penjagaan kita jauh lebih longgar dari biasanya. Pesta-pora terus berlangsung, jelas malam yang aman tentram, siapa nyana menjelang fajar ..."

"Menjelang fajar adalah saat paling gelap, banyak peristiwa terjadi pada saat begitu," tukas Thijan To-tiang.

"Ya, memang demikian," ujar Jik-jan-liong menghela napas, "malam itu sebelum fajar, aku terjaga bangun oleh tusukan yang menyakitkan, begitu aku membuka mata, aku lihat cahaya pedang berputar menari-nari ..."

Bercerita sampai di sini, tanpa terasa air mukanya sudah berubah, betapa kaget dan ngeri peristiwa yang dialaminya malam itu, sampai sekarang rasanya masih membuatnya merinding.

Thi-jan To-tiang mendelik, serunya, "Sinar pedang berputar menari? ... Lalu orangnya?"

"Malam itu aku hanya melihat cahaya perak berputar naik-turun laksana naga yang menari di angkasa, bervariasi dan banyak perubahannya, namun tidak nampak olehku orang yang memegang pedang itu."

"Betapa cepat gerak pedang itu..." Thi-jan To-tiang mendesis kagum, "Akhirnya bagaimana?"

"Kemudian aku dengar jeritan demi jeritan anak buahku yang susul menyusul berkepanjangan, jeritan yang satu dengan jeritan yang lain seolah-olah tidak terputus sehingga puluhan jeritan orang itu kedengaran seperti dikeluarkan bersama!" demikian tutur Jik-jan-liong.

"Lalu apa yang kau lakukan waktu itu?" tanya Thi-jan To-tiang.

"Saking kaget aku berdiri kesima dan lemas. Bila aku sadar dan membentak gusar sambil menubruk maju, cahaya pedang itu sudah menerobos jendela, hanya berkelebat sekali dua lantas lenyap tak keruan parannya, "Jik-jan-liong menjelaskan dengan nada ngeri.

"kau ... " Thi-jan To-Tiang mendesak, "apa kamu tidak mengejar keluar."

"Sudah tentu ..."

"Lalu apa yang kamu saksikan?" tukas Thi-jan To-tiang.

Jik-jan-liong menarik napas, "Waktu itu cuaca gelap gulita, bintang kelap kelip di angkasa, menampilkan secercah cahaya redup di permukaan laut, samar-samar aku hanya melihat sesosok bayangan kelabu, laksana malaikat atau dewa lautan yang beranjak di atas gelombang dan lenyap dalam sekejap mata. Aku mengedip dan mengucek mata, waktu aku menegas lagi, hanya sekejap itu bayangan kelabu itu sudah lenyap ditelan halimun ... "

Hadirin terpesona dan saling pandang, semua takjub dan heran.

Jelalatan bola mata Po-giok, hatinya seperti memahami sesuatu, namun tidak diutarakan di depan orang banyak.

Jik-jan-liong bercerita lebih jauh, "Waktu aku membalik badan, di bawah cahaya sinar lilin yang benderang, aku dapati puluhan orang anak buahku yang ada di kabin itu semua tergores luka tepat di tengah kedua alisnya, darah segar masih mengalir keluar."

Tujuh laki-laki pengikutnya itu serempak angkat tangan meraba bekas luka di tengah kedua alis mereka. Baru sekarang hadirin memperhatikan di tengah kedua alis mereka memang terdapat sebuah codet bekas goresan pedang sepanjang empat senti.

It-bok Tai-su yang mendengarkan sejak tadi mendadak menyeletuk, "Berapa banyak anak buahmu yang berkumpul di kabin waktu itu?"

"Termasuk diriku seluruhnya ada sembilan puluh tujuh orang," demikian sahut Jik-jan-liong.

Tersirap darah Bu-siang Tai-su, serunya, "Dalam waktu sekejap orang ini mampu melukai sembilan puluh tujuh orang, betapa cepat gerak pedang yang dimainkan, terus terang belum pernah aku dengar atau menyaksikan ..."

Thi-jan To-tiang menghela napas panjang suaranya berat, "Untuk membunuh sembilan puluh tujuh orang dalam sekejap kurasa tidak sukar, yang sukar justru dia hanya melukai tengah alis mereka dengan goresan ringan saja. Bahwa letak goresan luka sebanyak sembilan puluh tujuh orang itu semuanya sama, itu menandakan bahwa tenaga yang dikerahkannya seimbang. Jadi ilmu pedang orang ini bukan hanya cepat dan lincah lebih tepat kalau dinilai sudah sempurna dan luar biasa."

Jik-jan-liong menghela napas pula, "Waktu itu kita berkumpul dalam kabin, ada yang duduk, berdiri, berjongkok dan berbagai gaya yang tidak sama. Tapi ujung pedang orang itu seperti punya mata, hanya sekali berkelebat meninggalkan goresan luka ringan tepat di tengah alis setiap orang, sungguh sukar aku bayangkan cara bagaimana orang memainkan pedangnya.

Baru sekarang Pui-Po-giok tampil bicara "Menurut apa yang Tecu ketahui, hanya seorang di dunia ini yang mempunyai ilmu pedang secepat, secermat dan setepat itu. Dan hanya dia satu-satunya orang yang mampu mengendalikan tenaganya di ujung pedang untuk melukai musuh yang diincarnya.

"Siapa dia?" tanya Thi-jan To-tiang. Tapi sebelum Po-giok menjawab, dia sudah berseru lagi, "Ya, betul hanya dia saja. Siapa lagi kalau bukan Pek-ih-jin dari Tang-ing"

Hadirin menjadi gempar.

Berkerut alis Bu-siang Tai-su, "Untuk apa dia berbuat demikian? Apakah dia sakit hati pada Siusi-cu?"

Jik-jan-liong tertawa pahit, "Memangnya Cai-he setimpal bermusuhan dengan dia? Umpama betul Cai-he bermusuhan dengan dia, jiwaku tentu sudah amblas sejak malam itu."

"Tanpa dendam tiada sakit hati, memangnya lantaran apa?" tanya Thi-jan To-tiang.

Jik-jan-liong menjelaskan, "Jiwa kita diampuni untuk menyampaikan berita bagi kalian."

Berkerut kenIng-Thi-jan To-tiang, "Apa maksudmu?"

Jik-jan-liong menarik napas, "Setelah rasa kejut dan takut kita hilang, akhirnya kita menemukan sepucuk surat di atas meja. Di pinggir surat terdapat pula sebuah kartu undangan bertuliskan delapan huruf."

"Bagaimana bunyi surat itu?" tanya Thi-jan To-tiang.

"Pada sampul surat bertuliskan 'Disampaikan kepada kaum Bu-lim di Tiong-toh'. Tidak dijelaskan kepada siapa surat itu harus diserahkan, namun aku duga surat ini tentu ada sangkut-pautnya dengan perjanjian tujuh tahun Pek-ih-jin itu. Bahwa kami dilukai dengan pedang hanya untuk peringatan saja, maka malam itu juga kami berlayar pulang. Kami bimbang kepada siapa surat itu diserahkan, syukur kami dengar adanya pertemuan besar orang gagah di puncak Thai-san, kurasa tepat kalau surat ini kubawa kemari."

"Di mana surat itu?" tanya Bu-siang Tai-su penuh perhatian.

Jik-jan-liong lantas mengeluarkan sepucuk surat dengan dua tangan ia serahkan kepada Busiang Tai-su.

Kertas surat yang putih bersih itu ditulis dengan tinta merah yang menyolok, bunyinya, "Dengan hormat, Ternyata Ci-ih-hou sudah mati, aku ikut sedih dan duka. Dunia memang besar, lawan setanding sukar dicari, setelah orang ini mati, aku jadi lebih kesepian. Baru sekarang aku tahu, ingin menang sukar, mau kalah juga tidak mudah. Namun perjanjian tujuh tahun, tidak boleh tidak harus ditepati, musim bunga tahun depan aku

akan berangkat ke Tiong-toh. Semoga di pesisir Tang-hai, dengan sebilah pedang ada orang dapat memberi kekalahan padaku. Tertanda, Pek-ih dari Tang-ing."

Gaya tulisan yang kasar dengan rangkaian kata yang sederhana, namun makna dari tulisan yang cekak itu mengandung sifat gagah, berwibawa dan kebesaran jiwa yang mengetuk sanubari orang.

Pui-Po-giok, Ban-Cu-liang, Thi-jan To-tiang dan lain-lain, dengan cermat menelaah kata-kata 'memberi kekalahan padaku', terasa betapa berat bobot ketiga huruf itu, darah seperti mendidih di rongga dada, sekian lama sukar mereka menahan gejolak perasaan hati.

Hanya Tiga patah kata yang cekak dan sederhana, namun sudah melimpahkan kebesaran jiwa dan pamor jago pedang tiada bandingan itu, melimpahkan perasaan betapa sepi dan merana hidupnya selama ini.

Po-giok berdiri menjublek, kemudian bergumam, "Kecuali Pek-ih-jin dari Tang-ing, siapa di kolong langit ini yang bisa berkata demikian? ... Siapa setimpal berkata demikian?"

Melotot mata Thi-jan To-tiang, jenggotnya bergetar, bentaknya lantang, "kau !"

Betul, hanya Po-giok seorang. Po-giok adalah tumpuan harapan seluruh kaum persilatan, hanya Po-giok seorang di dunia ini yang setimpal menghadapi dan menandingi Pek-ih-jin itu.

*****

Pertemuan besar di puncak Thai-san yang menggemparkan itu sudah usai. Namun tidak sedikit tokoh besar persilatan masih kumpul di Ban-tiok-san-ceng. Mereka masih harus menyelesaikan persoalan pelik yang sukar dibereskan dan menekan perasaan orang banyak.

Bu-siang Tai-su berkata, "Apakah Pui-siau-si-cu sudah mengambil keputusan untuk menepati perjanjianmu dengan Hwe-mo-sin?"

Po-giok menjawab dengan hormat, "Tecu sudah berjanji, mana boleh ingkar janji."

"Oo .... " Bu-siang Tai-su tidak bisa banyak bicara, padahal banyak persoalan ingin dia kemukakan terpaksa pandangannya beralih pada Ji-gi Lo-jin.

Ji-gi Lo-jin terbatuk-batuk, katanya tergegap, "Ini ... ini .... "

"Kalau ada petunjuk silakan para Cian-pwe katakan saja, Tecu ..." kata Po-giok rikuh.

"Bu-siang To-heng," ujar Thi-jan To-tiang dengan suara berat, "apa yang ingin dikatakan Ji-gi Suheng adalah isi hatiku pula, hanya saja ... soal ini sukar dibicarakan."

Sesaat Po-giok tepekur, lalu katanya dengan menunduk, "Maksud Cian-pwe supaya Tecu tidak memenuhi janji itu?"

Ji-gi Lo-jin menghela napas, katanya, "kaum pendekar paling mengutamakan janji dan nama baik. Kalau orang tua seperti kita, menganjurkan kamu untuk ingkar janji, memangnya kita sudah pikun dan ... "

Sambil tertawa getir ia menghela napas, lalu melanjutkan, "Tapi persoalan ini menyangkut urusan besar, kita tidak dapat memaksamu ingkar janji, namun kita perlu mendesakmu untuk berpikir dua kali baru mengambil keputusanmu yang terakhir."

"Tecu sudah pikir bolak-balik, tapi ..." Po-giok ragu-ragu.

"Terhadap orang lain, sekali janji harus ditepati," demikian tukas Ji-gi Lo-jin, "tapi kau ... keadaanmu sekarang sudah jauh berbeda dengan orang biasa. Harapan seluruh kaum persilatan seluruhnya berada di atas pundakmu, kita mempertaruhkan dirimu untuk berduel dengan Pek-ih-jin dari Tang-ing ..."

"Kalau benar kamu harus menepati janjimu terhadap Hwe-mo-sin," demikian sambung Thi-jan To-tiang, "bila terjadi sesuatu hingga tak mungkin duel dengan Pek-ih-jin, lalu ... lalu bagaimana baiknya?"

"Ini ... Te-cu ... " Po-giok gelagapan.

"Setelah pertemuan Thai-san bubar kemarin, banyak orang merasa berat meninggalkan tempat ini, tujuan mereka hanya ingin melihatmu, syukur dapat berjabatan tangan dan bicara sepatah dua denganmu. Rlbuan pasang mata yang hadir semua mengawasimu ... Bila kau lihat sorot mata mereka, kan tahu, betapa besar dan luhur harapan yang mereka berikan padamu."

Po-giok menjawab, "Hal ini ... Tecu tahu."

"Nah, setelah kau tahu harus dapat mempertimbangkan berat-entengnya persoalan ini. Kalau menepati janjimu dengan Hwe-mo-sin lalu mengecewakan harapan seluruh kaum persilatan, bagaimana perasaanmu? Apakah setimpal?" demikian bujuk Thi-jan To-tiang.

Ji-gi Lo-jin menyambung lagi, "Dan jangan kau lupa, Hwe-mo-sin adalah manusia licik yang tidak boleh dipercaya. Umpama kamu mengingkari janjinya, aku berani menjamin tiada orang di kolong langit ini akan mencerca dirimu."

Po-giok menunduk diam, hatinya resah, bingung dan gugup.

Bu-siang Tai-su berkata, "Bukan Lo-ceng dan kawan-kawan kuatir kamu bakal mengalami musibah. Akan tetapi, menjelang musim bunga tahun depan, kamu harus mempersiapkan diri entah memupuk kekuatan fisik atau memperkukuh ketahanan batin, yang pasti bila tiba saatnya, kau pasti menang ... Bahwa Hwe-mo-sin mengikatmu dengan perjanjian itu, jelas Pekcui-kiong bukan suatu tempat yang baik, umpama kepergianmu tidak bakal cedera, namun semangat dan kekuatan fisikmu pasti tidak sebagaimana yang kita harapkan untuk menghadapi

Pek-ih-jin, dari sini dapat aku simpulkan betapa besar pengaruh langsung dari kepergianmu ini terhadap duelmu dengan Pek-ih-jin tahun depan. Celakalah bila kepergianmu itu mengakibatkan ... kekalahan fatal, bukan saja amat mengecewakan juga memalukan kaum persilatan di negeri kita."

Po-giok tetap menunduk, diam tanpa bicara.

Sesaat kemudian, Thi-jan To-tiang tidak sabar menunggu, tanyanya, "Bagaimana sudah kau rubah keputusan?"

Pelan suara Po-giok "Belum ... belum ada keputusan."

"Boleh kau pikir lagi lebih seksama," demikian ujar Bu-siang Tai-su kalem, "Kita sudah mengutarakan pendapat, tapi keputusan pergi atau batal bergantung pada keputusanmu sendiri ... "

Lalu ia pandang sekelilingnya serta melanjutkan dengan tersenyum. "Kelihatannya malam ini kita terpaksa harus mengganggu Ban-ceng-cu lagi. Besok pagi-pagi setelah memperoleh jawaban Pui-siau-si-cu belum terlambat untuk berangkat pulang."

Sembari bicara ia mendahului berdiri lalu meninggalkan tempat duduknya.

"Ya, besok pagi, Tecu pasti memberi jawaban," demikian sahut Po-giok sambil membungkuk badan.

Malam makin larut, Po-giok mondar-mandir dalam kamarnya sambil menggendong tangan, pikirannya masih kalut dan susah mengambil keputusan.

Siau-kong-cu duduk bertopang dagu mengawasi pelita dengan pandangan lebar, mendadak ia cekikik geli dan berkata, "Selangkah pun kamu tidak meninggalkan diriku, memangnya kamu takut aku melarikan diri?"

"Ehm," Po-giok bersuara dalam mulut.

Siau-kong-cu tertawa, "kau kuatir aku lari, aku justru takut kamu yang minggat. Bahwa aku masih ada di sini lantaran ingin mengawasimu, supaya kamu menepati janji itu, kalau tidak memangnya dengan kemampuanmu kau bisa menahan diriku di sini?"

Po-giok tersenyum lebar, "O, apa ya?"

"Akan tetapi," ucap Siau-kong-cu, "umpama kamu menepati janji, umpama berhasil dan sukses, aku ... aku tidak akan pergi, seumur hidupku akan selalu ikut padamu."

"Hah, benar?" seru Po-giok gembira.

Senyum menghias ujung mulut Siau-kong-cu, "Selanjutnya aku akan mengganggumu, apa pun yang kau kerjakan aku akan mengacau, supaya gagal ... dari pagi hingga malam aku akan menyiksamu. Biar kepalamu pusing, selama hidup tidak akan pernah merasa tentram dan damai, mau lari pun ... jangan harap."

"kau ... kenapa engkau berbuat demikian?" tanya Po-giok.

Lembut dan aleman suara Siau-kong-cu, karena aku membencimu ... aku membencimu! Membencimu sampai mati ... tiada orang bisa menjelaskan betapa benciku terhadapmu?"

Po-giok gelagapan, "kau ... ken ... kenapa engkau membenciku?"

Siau-kong-cu melengos, tidak peduli lagi padanya.

Po-giok berkata perlahan. "Walau engkau membenciku, aku sendiri tidak membencimu. Walau engkau akan mencelakai aku, justru aku ingin menolongmu ..."

Senyum menghias bibir Po-giok, katanya pula "Tidak ada salahnya aku bertaruh denganmu, mari buktikan engkau dapat mencelakai aku atau sebaliknya aku yang berhasil menolongmu!"

Dengan tertawa lebar Siau-kong-cu berkata tandas, "Kamu pasti kalah, dan aku yakin dapat mencelakaimu. Dari kecil sampai yang paling besar, bertaruh apa pun kamu pasti kalah bertaruh denganku ..."

Po-giok juga tertawa lebar, "Tapi kali ini aku bersumpah untuk mengalahkanmu!"

Mendadak Siau-kong-cu menoleh dan menatapnya tajam. "Baik, kita tunggu saja, akan datang suatu hari, kamu akan menyesal."

Wajahnya yang jelita bersemu merah, senyumnya yang manis berselubung maksud jahat dan keji.

Tanpa terasa dingin hati Po-giok. Mendadak ia sadar bahwa dosa telah bersemi dalam sanubarinya. Hanya pada waktu orang lain sengsara, pada saat membuat orang lain celaka, wajah nona cantik ini akan bercahaya dan bersemu merah. Namun lahirnya Po-giok berlaku tenang dan wajar katanya dengan tertawa "Setelah aku mengambil keputusan, tiada sesuatu yang aku sesalkan lagi."

Berkedip-kedip mata Siau-kong-cu, "Eh, kau mau menepati janji itu atau tidak? Sudah kau ambil keputusan?"

"Ya, sekarang aku sudah mengambil keputusan ..."

"Po-ji!" mendadak seorang memanggil lirih di luar jendela.

Po-giok mengiakan dan bertanya, "Apakah Kong-sun-ji-siok?"

Sesaat kemudian seorang mendorong pintu lalu melangkah masuk? Siapa lagi kalau bukan Kong-sun Put-ti.

Siau-kong-cu menjengek, "Tengah malam buta mengganggu orang tidur, beginikah teladan seorang yang lebih tua? Apalagi kau tahu di kamar ini ada seorang perempuan."

"kau ..." berkerut alis Po-giok.

"Aku kenapa?" semprot Siau-kong-cu, "Memangnya aku salah? Hm, kalau kalian tidak suka dengar aku bicara, lekas enyah dari sini, aku ingin tidur."

Dengan gemulai ia berdiri lalu melangkah ke ranjang sambil mencopot pakaian. Baru saja pundaknya tersingkap, saking kaget Po-giok dan Kong-sun Put-ti cepat lari keluar.

Siau-kong-cu terpingkal-pingkal di kamar, "Pui-Po-giok, wahai Pui-Po-giok, sudah kubilang takkan mampu kau jaga terus menerus, kini terbukti bukan? Kalau aku mau pergi, bukankah dengan mudah aku dapat kabur? Kalian berani menahanku?"

Kong-sun Put-ti geleng-geleng kepala, katanya sambil menghela napas, "Dasar nona binal."

"Terus terang saja Ji-siok," ucap Po-giok dengan tertawa getir, "ada kalanya Siau-tit kewalahan menghadapi ulahnya. Tapi apa pun yang terjadi Siau-tit tidak boleh berpeluk tangan dan membiarkan dia begitu saja."

"Aku melihatmu tumbuh dewasa sedari kecil memangnya aku tidak tahu isi hatimu," demikian ujar Kong-sun Put-ti, "bahwa kamu berani memikul tanggung jawab ini, beban yang harus kau pikul di atas pundakmu akan bertambah berat."

Po-giok tersenyum, katanya. "Kedatangan Ji-siok apakah ingin ..."

"Aku tidak perlu tanya juga tahu bahwa kamu akan pergi memenuhi janji itu," Po-giok menunduk, "Ji-siok maklum akan diriku, mohon dimaafkan."

Kong-sun Put-ti menghela napas, "Kepergianmu ini memang makan banyak tenaga dan menghadapi kesukaran, namun bermanfaat juga untuk menggembleng diri dan menambah pengalaman, keuntungan ini juga pasti bermanfaat sebagai bekalmu untuk duel kelak. Apalagi kalau kamu ingkar janji, Hwe-mo-sin tentu tidak terima dan akan selalu cari perkara padamu, akibatnya akan lebih fatal lagi. Maka menurut pendapatku lebih baik kau penuhi janji itu daripada ingkar janji."

"Ji-siok maklum, syukurlah, tapi..."

"Untung rugi persoalan ini tentu akan aku jelaskan kepada guruku dan para Cian-pwe yang lain, umpama malam ini juga kamu harus berangkat, aku tidak akan menahanmu."

Po-giok tertawa canggung, "Persoalan apa pun ternyata tidak bisa mengelabui Ji-siok, memang ada maksud Siau-tit untuk berangkat malam ini juga, cuma tidak berani berpamitan. Syukur Jisiok sudi membantu menjelaskan persoalannya, lega lah hati Siau-tit."

Kong-sun Put-ti manggut-manggut, cukup lama ia mendongak mengawasi bintang-bintang, lalu berkata pelan, "Perkataan Gui ... Gui-lo-ngo menjelang ajalnya, apakah sudah kau lupakan?"'

"Mana berani Siau-tit melupakannya," sahut Po-giok.

Apa yang dikatakan itu, sungguh mengetuk sanubari orang. Setiap kaum Bu-lim selanjutnya akan saling awas mengawasi dan curiga mencurigai, mustahil lantaran benih-benih ini akan terjadi pertarungan dan jatuh korban."

"Ya, memang itulah tujuan yang terselubung di balik perkataannya itu," demikian sahut Po-giok, "tapi menurut pendapat Siau-tit, bukan mustahil dia sengaja mengada-ada, tujuannya jelas hanya mengadu domba dan mencelakai orang lain."

"Analisamu memang cocok dengan dugaanku. Tapi persoalan ini menyangkut kepentingan orang banyak, pengaruhnya amat besar, lebih baik kita percaya daripada meremehkannya ... Oleh karena itu, ada beberapa persoalan perlu aku pesan padamu."

"Harap Ji-siok memberi petunjuk."

Kong-sun Put-ti mengeluarkan sepucuk sampul surat, katanya dengan nada prihatin. "Nama orang yang tercatat dalam surat ini adalah hasil pemikiranku secara ketat dan selektif, kuanggap mungkin ada sangkut-pautnya dengan persoalan yang dikatakan Gui-lo-ngo itu. Bila di tengah jalan bertemu dengan orang-orang ini, kamu harus lebih waspada dan memperhatikan, syukur kau dapat menyelidiki asal-usul dan riwayat hidupnya, kalau terasa gerak-geriknya mencurigakan, aku anjurkan untuk membunuhnya saja."

Mencelos hati Po-giok, namun ia mengiakan. Baru saja ia terima surat itu, mendadak ia membentak perlahan, "Siapa di sana?"

Sejak tadi ia menghadap ke pintu kamar tidak menoleh atau membalik tubuh, namun belakang kepalanya seperti tumbuh mata. Seseorang memang muncul dari hutan bambu tak jauh di belakangnya.

"O, Thi-wah," kata Kong-sun Put-ti.

Gu Thi-wah menyengir, "Kecuali Thi-wah siapa lagi yang berperawakan segede ini."

Kong-sun Put-ti menarik muka, "Untuk apa kamu longak-longok dan bersembunyi dalam hutan?"

Thi-wah mengedip mata dengan kikuk, katanya, "Thi-wah kuatir Toa-ko kabur tanpa mengajak Thi-wah, biar semalam suntuk tidak tidur akan aku tunggu di sini. Apakah itu yang dinamakan longak-longok?"

Kong-sun Put-ti merasa haru katanya tertawa geli, "Anak bodoh ... tapi kamu juga anak baik. Aku senang Po-giok punya saudara seperti dirimu .... "

Terbayang pada beberapa saudara seperguruan mendahului itu, perasaannya terguncang, lidahnya menjadi kelu.

Thi-wah menarik tangan Po-giok, katanya, "Toa-ko, ke mana pun kau pergi, jangan meninggalkan Thi-wah."

"Kamu ... kamu tidak ingin pulang menengok keluargamu?"

Lahirnya ia tertawa, padahal hatinya terharu, hangat oleh persahabatan yang murni.

Thi-wah terlongong sejenak, katanya, "Terus terang saja Toa-ko, sudah lama Thi-wah ingin pulang, kangen pada keluarga, hanya ... hanya sekarang, apa pun Thi-wah belum mau pulang."

"Lho, kenapa?" tanya Po-giok.

Keras suara Thi-wah, "Ayah bunda dan saudaraku tentu hidup aman dan tentram. Sebaliknya Toa-ko ... sehari pun Toa-ko tidak bisa hidup tenang, mana tega Thi-wah pulang meninggalkan Toa-ko? Toa-ko sebatang kara, kalau ada Thi-wah sebagai teman seperjalanan, entah baik atau buruk, kan bisa saling tolong."

Perkataan jujur dan terus terang, seperti dikorek dari sanubarinya yang paling dalam, tiba-tiba Po-giok merasa pandangannya menjadi buram tenggorokan tersumbat.

Mengawasi wajah anak muda itu Thi-wah menjadi kuatir malah, "Toa-ko, apakah Thi-wah, ... Thi-wah salah omong?"

"Ah, ti ... tidak.," Po-giok meneteskan air mata.

"Kalau Thi-wah tidak salah omong, kenapa Toa-ko begini, apakah ... apakah Toa-ko ingin pergi sendiri, tidak mau membawa Thi-wah?"

Po-giok mendongak sambil menarik napas, "Mana bisa Toa-ko tidak mengajakmu ... ada saudara seperti dirimu di sampingku, aku lebih senang dibanding mendapat hadiah apa pun ... aku lebih senang."

"Betul?" teriak Thi-wah berjingkrak, "legalah Thi-wah kalau begitu."

Mendadak Siau-kong-cu memanggil dari dalam "Po-giok, kemari."

"Ada apa?" tanya Po-giok.

"Suruh kau masuk ya masuk, tanya apa lagi?" Siau-kong-cu mendamprat dengan galak.

Po-giok tertawa sambil mengawasi Kong-sun Put-ti.

Kata Kong-sun Put-ti, "Biarlah aku tunggu di sini saja, masuklah!"

Po-giok mendorong pintu dan melangkah masuk, tampak jendela di belakang sana terbuka, Siau-kong-cu menghadap keluar jendela seperti termenung entah memikirkan apa, menoleh pun tidak.

Setelah menunggu sejenak, terpaksa Po-giok bertanya, "Ada apa?"

"Hm, kusuruh masuk, agaknya kamu keberatan, tapi disuruh orang lain kau lantas masuk ... penurut benar terhadapnya."

"Lha, dia kan pamanku, sedang engkau ?"

"Aku? Aku adalah nenek-moyangmu!" semprot Siau-kong-cu, mendadak ia cekikikan geli sendiri, begitu membalik tubuh matanya mengerling tajam, senyumnya bak kembang baru mekar.

Po-giok kehabisan akal, entah harus marah atau harus tertawa?

"Eh, anak pikun, kemarilah!" kata Siau-kong-cu dengan tertawa.

Tangannya melambai, di antara jari-jarinya yang runcing dan halus terjepit sepucuk surat. Tergerak hati Po-giok, sekilas ia lirik ke arah jendela yang terbuka, batinnya, "Mungkin Hwemo-sin suruh orang memberi kabar?"

"Dikatakan pikun, sebetulnya kau pintar..." demikian Siau-kong-cu berolok-olok, "Nah, ada sepucuk surat untukmu, kalau mau membacanya lekas kemari."

Terpaksa Po-giok mendekati, "Berikan padaku!"

Mendadak Siau-kong-cu menyembunyikan kedua tangannya ke belakang, katanya dengan tertawa, "Eh, sekarang kamu jadi penurut memangnya ingin lekas membaca surat ini?"

"Lekas serahkan!" seru Po-giok gugup.

kau minta aku menyerahkan, memangnya harus aku serahkan? Kenapa aku harus menuruti kemauanmu .... " Perlahan ia menyingkap rambutnya ke belakang, tersenyum sambil memicingkan mata, "kau ingin membaca surat ini, aku justru tidak akan berikan padamu."

Sembari bicara kedua tangannya bekerja di belakang tubuhnya, menyobek hancur sampul surat itu.

Begitu tangannya terayun, sobekan kertas ia lempar keluar jendela dan berhamburan tertiup angin.

Po-giok tertegun mendengar suara sobekan kertas, sesaat lamanya ia tak mampu bicara, Siau kong-cu mengawasinya dengan mengangguk-angguk kepala.

"Bagaimana?" tanyanya dengan senyum lebar, senyum yang mengandung arti jahat.

"kau ..." Po-giok mengentak kaki, "Apa-apaan perbuatanmu ini?"

"Tadi kan sudah, kukatakan, untuk membuatmu celaka, perbuatan apa pun akan kulakukan."

"Tapi perbuatanmu ini bukankah juga mencelakakan Hwe-mo-sin."

"Peduli amat! Asal bisa membuatmu celaka peduli orang lain mati atau hidup, aku tidak urus. Untuk membuatmu celaka umpama aku ikut menderita juga tidak jadi soal."

Po-giok menghela napas panjang, "Bagus ... bagus ..."

Mendadak Siau-kong-cu terpingkel-pingkel, saking geli air matanya sampai meleleh. Sambil menjengking dan memeluk perut ia berkata, "Ketahuilah hei orang pikun. Aku sengaja ingin menggodamu saja, padahal surat itu juga amat berarti bagiku, mana aku sampai hati merobeknya."

Lalu ia angkat sebelah tangan, dengan masih memegang secarik kertas.

Katanya dengan tertawa bangga, "Inilah suratnya, yang aku sobek tadi hanya sampulnya .... nah, ambillah. Setelah sekian tahun masih seperti bocah cilik yang mudah ditipu."

Lalu ia sisipkan surat itu ke tangan Po-giok sambil tertawa ia merebahkan diri.

Mendadak didengarnya Po-giok berkata, "Sekarang kau berikan padaku, aku pun tidak perlu membacanya."

Dengan gregetan ia sobek kertas surat itu dibuang keluar jendela.

Siau-kong-cu melompat bangun teriaknya, "kau ... apa yang kau lakukan?"

Po-giok tersenyum, "Bahwasanya aku tidak akan memenuhi janji itu, kan lebih baik aku sobek saja suratnya. Kelak bila Hwe-mo-sin tanya padaku kenapa aku ingkar janji, akan kukatakan suratnya telah kau robek."

Saking gugup Siau-kong-cu mengentak kaki, serunya, "Kalau ... kalau begini, kau bikin celaka aku juga."

"Haha, sama-sama!" sahut Po-giok tertawa.

Sambil mengertak gigi Siau-kong-cu menjambak rambut sendiri, desisnya geram, "Bagus ... bagus ... kamu memang bagus ..."

"Eh memangnya siapa bilang aku ini jelek," Po-giok berolok-olok.

Siau-kong-cu menjatuhkan diri di ranjang, kaki lengan mencak-mencak seraya berteriak, "Lalu bagaimana ... lalu bagaimana baiknya?"

"Melihat lagakmu begini, aku jadi curiga, apa belum kau baca surat tadi?" tanya Po-giok.

"Keparat, kau kira aku sudah membaca surat itu? ... Bedebah, membukanya pun tidak, mana kutahu apa yang tertulis dalam surat itu, aku...."

Mendadak Po-giok bergelak, serunya senang, "Apa yang tertulis pada surat itu sudah kubaca."

Siau-kong-cu melengong, mendadak ia membalik tubuh dan duduk di pinggir ranjang, matanya melotot mengawasi Po-giok, katanya tergegap, "kau ... kau ..."

"Ketahuilah, setelah beberapa tahun ini, kini aku sudah tumbuh besar, aku sudah belajar menipu orang, sudah belajar cara bagaimana membuat orang lain gugup. Dengan demikian, bila aku berada bersamamu aku tidak akan selalu dirugikan."

Siau-kong-cu berjingkrak, dari ranjang langsung menjatuhkan diri dalam pelukan Po-giok, sekuatnya memukul dadanya, menggigit bibir dan membanting kaki, lalu katanya, "Keparat, aku benci padamu ... aku membencimu ... membencimu sampai mati!"

Isi surat itu amat pendek, hanya beberapa huruf saja, sekali pandang Po-giok dapat membacanya secara lengkap.

Bunyinya begini: "Ke barat kota Ping-im menginap di hotel Ping-an."

Maka sebelum fajar Po-giok sudah meninggalkan Ban-tiok-san-ceng, langsung berangkat ke barat menuju ke kota Ping-im.

Percakapannya dengan Kong-sun Put-ti sebelum berpisah hanya beberapa kejap saja, jadi tidak menunda perjalanannya. Maklum kedua orang ini sama-sama cerdik pandai, saling menyelami isi hati masing-masing, banyak persoalan hakikatnya tidak perlu dibicarakan, namun satu sama lain sudah sama memakluminya.

Paling akhir Po-giok berkata begini, "Kali ini Siau-tit sengaja tidak pamit pada paman Bok dan para Cian-pwe yang lain, karena Siau-tit bersumpah akan pulang dalam keadaan sehat dan segar bugar."

Kalau perpisahan ini tidak akan lama dan selekasnya akan bertemu lagi, lalu buat apa banyak bicara dan bertangisan.

Perasaan Po-giok agak hambar, sebaliknya Thi-wah amat gairah, Siau-kong-cu menggigit bibir entah senang atau risau. Di tengah kegelapan ketiga orang ini menempuh perjalanan dengan jalan pikiran yang berbeda-beda.

Tiada kereta, tanpa menunggang kuda. Tapi menjelang lohor mereka sudah berada di jalan raya yang menjurus langsung ke kota Ping-im.

Musim rontok, angin menghembus kencang membawa pasir dan daun pohon yang rontok, tidak jarang debu beterbangan di udara.

Siau-kong-cu mengeluarkan sapu tangan sutera untuk mengikat rambutnya, katanya dengan berkerut alis, "Angin menghembus sekencang ini, apa kita harus melanjutkan perjalanan. Kuda dan keledai yang ada di dunia kan belum mampus semua."

Po-giok tertawa, "Naik kereta terasa gerah dan sebal, menunggang kuda perut seperti di kocok. Jalan kaki justru nyaman dan bebas, mau berhenti boleh berhenti, ingin cepat jalan silakan percepat langkah, mata pun bisa bebas memandang."

Siau-kong-cu mengertak gigi, omelnya, "Dasar pelit."

"Biar pelit asal tidak mencuri, bukan perampok. Pelit juga ada untungnya."

Siau-kong-cu mencibir lalu melengos tidak menghiraukannya lagi.

Tengah hari, matahari amat terik, badan juga sudah kotor oleh debu, mereka memang perlu istirahat.

Di pinggir jalan Po-giok cari sebuah warung kecil, minta tiga mangkuk mi, tiga puluh bakpao ... dua puluh sembilan di antaranya untuk Thi-wah.

Siau-kong-cu sudah angkat sumpit tapi ditaruh lagi, katanya dengan kening berkerenyit, "PuiPo-giok, sejak kapan kamu jadi hwesio, kalau makan vegetaris? Memangnya kau kira aku ingin jadi ni-koh?"

Po-giok tertawa, katanya, "Baik buruk rasa makanan bergantung selera atau keinginan, kalau perut sudah lapar, makanan tidak enak pun menjadi enak dan dapat mengenyangkan perut. Bila pikiranmu membayangkan makanan enak, rasa mi kuah ini tanggung tidak kalah dibanding sarang burung.

Siau-kong-cu jadi gregetan, "Aku tidak pandai memuas diri seperti caramu."

Thi-wah menjejal bakpao ke mulutnya, dengan menyengir ia berkata, "Toa-ko tidak punya duit, Thi-wah juga orang miskin, kau mau seperjalanan dengan kami maka jangan suka merengek seperti anak hartawan, apa pun harus pasrah pada nasib."

"Hm, anggaplah aku yang sial! Sarang burungmu ini aku tak sudi mencicipinya," sembari bicara ia angkat mangkuk dan membuang mi kuah yang masih mengepul itu di tanah.

Po-giok dan Thi-wah sibuk dengan hidangan masing-masing, makan dengan lahap, tidak peduli tingkah lakunya yang kasar.

Tengah mereka makan, terdengar pemilik warung sedang mengomel, "He, he, warungku ini bukan panggung pertunjukan, untuk apa kalian berkerumun di depan warungku ... wah, susah!"

Po-giok berpaling keluar, hatinya menjadi geli. Ternyata di luar warung memang banyak berkerumun orang yang berdesakan di pinggir jalan.

Mereka adalah orang bertubuh tegap dan gagah. Sekali pandang Po-giok lantas tahu bahwa orang-orang ini adalah kaum Bu-lim yang pulang dari Thai-san setelah menghadiri pertemuan besar itu.

Dalam perjalanan pulang mereka lewat kota ini, mungkin akan cari warung atau penginapan entah kenapa berkerumun di pinggir jalan, tiada satu pun yang mau masuk.

Tengah Po-giok terheran-heran dilihatnya orang banyak bersoja dan menjura kepada dirinya sambil tertawa ramah. Ketika Po-giok berdiri dan balas memberi hormat, orang-orang itu segera mundur lebih jauh lagi.

"Nah, lihat," ucap Thi-wah bangga, "betapa hormat dan segan orang-orang itu terhadap Toako."

Siau-kong-cu tertawa dingin, "Yang terang orang-orang itu memandang Toa-ko mu seperti momok iblis yang membawa penyakit menular, maka mereka menghormat tapi tidak berani mendekat. Kalau tidak, kenapa mereka menonton di luar, tidak mau masuk."

"Kukira ... mungkin mereka tidak punya duit untuk makan di sini," sahut Thi-wah.

"kau kira orang lain juga rudin seperti dirimu?" jengek Siau-kong-cu.

"Ah, siapa tahu," sahut Thi-wah, mendadak ia berdiri dan berseru, "Bakmi pangsit yang dihidangkan di sini enak, silakan tuan-tuan masuk ke mari, biarlah aku Gu Thi-wah yang mentraktir kalian."

Orang-orang itu manggut-manggut seraya mengucap terima kasih, bukan maju mereka malah mundur lebih jauh. Lalu secara berkelompok kasak-kusuk entah apa yang dibicarakan. Thi-wah coba pasang kuping, tapi tidak mendengar jelas apa yang mereka bicarakan.

Thi-wah mengerut kening, omelnya, "Pergi tidak, masuk juga tidak mau, memangnya apa kehendak mereka?"

Siau-kong-cu mengejek, "Kalau semua masuk kemari, memangnya kau mampu bayar rekening mereka. Makan tanpa bayar, kamu bisa dilaporkan dan masuk penjara, pantatmu akan dihajar sampai pecah."

Thi-wah garuk-garuk kepala tanpa bisa bicara.

Mendadak dua orang laki-laki melangkah masuk ke dalam warung, yang di sebelah kiri berjubah sutera, yang di kanan bermuka burik, tangan membawa sebuah buntalan kain kuning.

Thi-wah kegirangan, serunya, "Wah, untung hanya dua orang saja .... "

Kedua orang itu langsung menghampiri Po-giok dan menjura. Laki-laki burik itu berbicara "Tuan ini tentu Pui-tai-hiap adanya."

Po-giok berdiri dan balas menjura, "Ya betul. Entah siapa kalian?"

Laki-laki burik menjura pula, sahutnya,"Cai-he Sun Ce, dia bernama Kim Siong, kami hanya Bubeng-siau-cut (kaum kroco) kalangan kang-ouw bahwa kami berdua memberanikan diri tampil ke depan, lantaran saudara-saudara di luar itu mengutus kami berdua untuk menyampaikan barang ini kepada Pui-tai-hiap, sudilah Pui-tai-hiap menerimanya."

Sembari bicara ia sodorkan buntalan kain kuning itu dan taruh di meja.

"Ah, mana berani kuterima. Kenapa kawan-kawan di luar itu tidak masuk?" tanya Po-giok.

"Kawan-kawan kang-ouw merasa banyak berbuat kesalahan terhadap Pui-tai-hiap. Untuk mempersiapkan diri berduel dengan Pek-ih-jin kelak, tentu Pui-tai-hiap harus berjerih payah. Maka kawan-kawan kang-ouw mengharapkan selama beberapa waktu ini Pui-tai-hiap dapat hidup tentram dan sejahtera, semua ini pertanda kami merasa bersalah dan mohon maaf. Karena itu tidak berani kami mengganggu lagi."

Sebelum Po-giok bicara, kedua orang ini menjura bersama lalu pamit dan keluar. Orang banyak di luar juga serempak menjura lalu mundur tiga tindak, setelah itu mereka naik kuda serta membedalnya pergi, hanya sekejap keadaan di luar menjadi sepi. Tapi masih ada tiga ekor kuda ditambat di luar pintu.

Sesaat lamanya Po-giok berdiri melengong lalu ia buka buntalan kain kuning itu, isinya ternyata sebungkus kepingan emas dan perak. Keruan Po-giok terkesima dan bingung, gumamnya, "Apa maksudnya ini?"

Siau-kong-cu berkata, "Mereka tahu kalian miskin, tidak mampu beli makanan yang lebih enak, maka uang ini diberikan kepadamu sebagai ongkos jalan. Bila kalian selalu makan enak dan kenyang, tahun depan tentu kamu berani mengadu jiwa."

"Mereka juga meninggalkan tiga ekor kuda ..." Thi-wah berkata.

Siau-kong-cu menukas, "Tiga ekor kuda itu .. jelas mereka kuatir setelah makan kenyang kalian tidak bisa jalan, maka mereka memberi kuda itu. Agaknya mereka amat baik terhadap kalian."

Walau pedas omongannya, tapi Po-giok seperti tidak mendengar apa yang dikatakan. Mimpi pun Po-giok tidak menduga bahwa kawan-kawan kang-ouw begitu sayang dan besar perhatiannya terhadap dirinya, begitu mendalam harapan yang mereka tumplek padanya.

Saking haru dan terima kasih, perasaan Po-giok bertambah berat dan tertekan.

"Nah, sekarang kamu sudah kaya, ayolah cari makan yang lebih enak," Siau-kong-cu berolokolok.

Po-giok diam saja, kemudian ia keluarkan pecahan uang perak, setelah membayar rekening, ia bungkus lagi uang emas dan perak itu, sepeser pun tidak dijamahnya.

"Setan kikir!" omel Siau-kong-cu, mendadak ia lompat keluar dan mencemplak ke punggung kuda, serunya, "aku tidak mampu jalan lagi, terserah pada kalian."

Lalu ia membedal kuda itu pergi. Terpaksa Po-giok ikut naik kuda dan mengikutinya dari jarak tertentu.

Kasihan Thi-wah, badannya yang gede seperti menara kelihatan lucu bercokol di punggung kuda doyong ke kanan dan miring ke kiri, beberapa kali hampir jatuh, lebih kasihan lagi kuda yang ia tunggangi, punggung tertekan hingga napasnya ngos-ngosan.

Rambut Siau-kong-cu yang panjang hitam terurai lepas, berkibar bersama bajunya, betapa indah dan molek bentuk tubuhnya, sejak kecil ia sudah mahir naik kuda.

Po-giok membedal kencang kudanya, tapi tidak berhasil menyusulnya. Tidak jarang Siau-kong-cu berpaling, serunya dengan tertawa menggoda, "Lekas ... hayo lekas!"

"He, hati-hati," seru Po-giok dengan tertawa kecut, "jangan ...."

Mendadak dilihatnya orang-orang di pinggir jalan berseru kaget dan tertawa geli memandang ke belakang. Siau-kong-cu juga keplok dan tertawa "Hihi, coba lihat, coba aku lihat apa itu? ... Aneh tapi nyata, biasanya orang naik kuda, tapi sekarang kuda naik orang ... "

Belum habis bicara, saking geli dia terpingkel-pingkel di atas kuda.

Po-giok berpaling ke belakang, tampak Gu Thi-wah sedang lari marathon, mengejar dengan kencang, tapi bukan naik kuda melainkan memanggul kuda.

Kuda itu meringkik, tapi Thi-wah pegang kaki kuda, sambil mengejar mulutnya berkaok-kaok, "Jangan cepat-cepat ... tunggu aku!"

Po-giok kaget tapi juga geli, serunya. "Thi-wah, apa-apaan ini."

"Selama hidup Thi-wah belum pernah naik kuda, seumur hidup mungkin kuda ini belum pernah dinaiki orang segede Thi-wah ... Dia tidak kuat membawa diriku, terpaksa Thi-wah memanggulnya."

Siau-kong-cu masih geli, serunya, "Betul, betul ... kamu kan ... "

Mendadak ia menjerit, tubuhnya mencelat. Kiranya kuda yang dinaikinya kesandung batu dan jatuh terguling di pinggir jalan. Saking kaget ada maksud Po-giok akan memberi pertolongan, namun jarak cukup jauh, betapapun cepat gerak tubuhnya pasti tidak keburu lagi. Untunglah pada saat genting itu dari pinggir jalan melesat sesosok bayangan orang, dengan enteng menangkap tubuh Siau-kong-cu seraya melompat ke pinggir, dengan lompat ke pinggir ia memunahkan daya terjang tubuh Siau-kong-cu, maka dengan enteng ia berdiri tegak.

Tampak orang ini berpakaian perlente, tubuh tinggi kekar, wajah cakap, sikapnya pongah, siapa lagi kalau bukan Bu-ceng Kong-cu Ciang-Jio-bin.

Po-giok sudah lompat turun dari punggung kuda, langsung ia mendekati seraya menjura, katanya, "Terima kasih atas bantuan saudara, untung saudara kebetulan ada di sini, kalau tidak ...."

Ciang-Jio-bin tersenyum, katanya, "Bukan kebetulan aku ada di sini, tapi sudah cukup lama menunggu di sini. Nona ini jatuh dari punggung kuda, kejadian ini memang di luar dugaanku."

"Sesungguhnya juga tidak aku duga ... ai, kalau orang sedang gembira seharusnya tidak lupa hati-hati, pelajaran ini ...."

"Plak" mendadak Siau-kong-cu mengayun tangannya, menampar muka Ciang-Jio-bin.

Keruan Ciang-Jio-bin kaget dan mundur selangkah. Siau-kong-cu meronta dan lompat berdiri.

Berubah air muka Po-giok, bentaknya, "kau .... sudah gila! Mana boleh ... "

"Siapa suruh dia memelukku?" semprot Siau-kong-cu marah.

"Tapi ... saudara ini hendak menolongmu."

"Siapa minta dia menolongku?" bantah Siau-kong-cu.

Sambil melengos segera ia membalik tubuh terus beranjak pergi.

Po-giok berdiri melongo, kehabisan akal menghadapi nona binal ini. Waktu ia berpaling lagi Ciang-Jio-bin berdiri menggendong tangan bersikap wajar dan tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

Po-giok tertawa getir, "Saudara .... "

"Tidak perlu saudara bicarakan soal ini. Yang penting aku sudah bertemu denganmu."

Po-giok menghela napas, "Tadi saudara bilang sudah lama menungguku di sini."

"Ya, betul," sahut Ciang-Jio-bin.

"Entah ada keperluan apa?" tanya Po-giok.

Berkilat mata Ciang-Jio-bin, "Apakah saudara sudi bicara sebentar denganku?"

"Boleh saja," sahut Po-giok.

Dilihatnya Thi-wah tetap memanggul kuda dan berdiri diam di tepi jalan. Siau-kong-cu sedang menarik kudanya yang jatuh di selokan.

"Thi-wah," seru Po-giok, "tunggulah aku di sini .... "

"Thi-wah akan menunggu," sahut Thi-wah lantang, "Tapi dia? Thi-wah tidak mampu mengawasi dia lho."

Tanpa menoleh Siau-kong-cu berkata dingin, "Jangan kuatir, kalau mau, sejak tadi aku sudah pergi."

Po-giok membalik lagi, "Silakan."

Ciang-Jio-bin mendahului melangkah ke dalam hutan. Dengan langkah lebar Po-giok mengikutinya, puluhan tombak kemudian, Ciang-Jio-bin tetap tidak berpaling juga tidak bersuara. Beberapa kali Po-giok ingin bertanya, namun mendengar langkah Ciang-Jio-bin yang berat dan mantap, Po-giok batalkan niatnya.

Makin jauh langkah Ciang-Jio-bin makin lambat, katanya kalem, "Sekarang saudara sudah menjadi orang nomor satu di Bu-lim, sungguh menggirangkan dan harus dipuji."

"Sebetulnya aku tidak setimpal," ujar Po-giok.

"Untuk apa aku tunggu di sini, apakah saudara tahu?" tanya Ciang-Jio-bin.

"Mohon dijelaskan," kata Po-giok.

"Hanya untuk ....

"Sret", di tengah suara lirih tapi nyaring, selarik sinar pedang mendadak bergerak bagai lembayung melesat miring dari pinggir dan langsung menusuk muka Po-giok. Betapa cepat serangan pedang, betapa tepat sasaran yang diincar, dan betapa keji tusukannya kalau tidak menyaksikan sendiri sukar untuk percaya dan dibayangkan.

Begitu melihat sinar pedang berkelebat, secara refleks Po-giok berjungkir ke belakang, betapa cepat dan tangkas gerak tubuhnya hampir sama cepatnya dengan kedipan mata. Namun demikian lengan bajunya toh tergores sobek oleh ujung pedang.

Sejak Po-giok berkecimpung di kang-ouw, baru pertama kali ini dia menghadapi ilmu pedang seganas dan secepat ini, saking kaget ia berseru memuji, "Ilmu pedang bagus!"

Ciang-Jio-bin bergerak setengah lingkar, gaya pedangnya teracung miring ke atas, tusukan pedangnya tadi dilancarkan lewat bawah ketiak. Kini gaya pedang dan posisi badannya belum berubah ia mengejek, "Nui-coan-kian-kun-sat-jiu-kiam (pedang pembunuh memutar balik mayapada), pernah mendengarnya?"

Tersirap darah Po-giok, serunya, "Sudah lama aku dengar bahwa Hai-lam-kiam-hoat ada jurus serangan terbalik yang mematikan, betapa ganasnya tiada bandingan di dunia. Sungguh tak nyana hari ini aku menghadapinya di sini."

"Orang she Ciang menunggumu di sini untuk mencabut nyawamu dengan jurus pedang ini, tahu?" sambil mendongak, ia menghela napas panjang, lalu menambahkan, "sungguh tak nyana, serangan pedangku juga berhasil kau gagalkan."

"Aku tidak bermusuhan dan tiada dendam denganmu, kenapa menyerangku sekeji ini?" tanya Po-giok tegas.

Ciang-Jio-bin menatap Pui-Po-giok, katanya "Setiap perguruan atau aliran pedang yang ada di dunia ini pasti memiliki jurus serangan yang ganas dan mematikan. Jurus mematikan itu sering kali dilancarkan dalam keadaan khusus dan baru akan memperlihatkan wibawanya yang ampuh. Dalam duel di atas panggung umpamanya juga takkan sembarang dilancarkan bila tidak benar-benar perlu. Oleh karena itu, meski sudah lama kaum persilatan mendengar namanya, namun hanya sedikit jumlah orang yang pernah menyaksikan ... "

Sambil tertawa dingin. ia melanjutkan dengan suara kalem, "orang yang bisa melihat jurus serangan ganas dan mematikan ini, umumnya takkan bisa hidup lama di dunia."

Po-giok menghela napas, "Ya, di bawah serangan terbalik seperti yang kau lancarkan tadi, memang jarang ada orang bisa tahan hidup."

Ciang-Jio-bin tertawa, "Jurus pedang terbalik yang aku lancarkan tadi, meski cukup bagus, namun di kolong langit entah masih berapa banyak ilmu pedang yang lebih ganas dan lebih lihai dibanding ilmu pedangku tadi."

Po-giok mengangguk, "Ya, betul."

Mendadak sirna tawa Ciang-Jio-bin, bentaknya beringas, "Jago-jago pedang paling kosen seluruh dunia, dengan bekal jurus pedang yang mematikan di sepanjang jalan ini tengah menunggu dirimu. Kalau kau mampu menyelamatkan diri dari serangan ganas ini, selanjutnya kau pun akan dapat memecahkan serangan lain, kejadian ini amat bermanfaat bagimu bila kelak kamu berduel dengan Pek-ih-jin dari Tang-ing itu."

Berubah air muka Po-giok, "Dan kalau tidak mampu menyelamatkan diri, lalu bagaimana?"

"Seperti pohon ini," mendadak Ciang-Jio-bin membentak. Badan membalik dan pedang menebas, di mana sinar pedang berkelebat, sebatang pohon tahu-tahu putus menjadi dua.

Melotot beringas mata Ciang-Jio-bin, "Kalau kamu tidak mampu mengatasi serangan-serangan mematikan itu, tentu kalah bila berduel dengan Pek-ih-jin. Lalu apa gunanya kehadiran Pui-Pogiok di dunia?"

Sesaat lamanya Pui-Po-giok terlongong diam, katanya kemudian, "Jago-jago pedang itu tiada yang bermusuhan denganku, mungkin mereka mengharapkan aku dapat mengalahkan Pek-ihjin, maka tidak segan-segan menumbuhkan pengalaman memupuk dasar ilmu silatku dengan jurus serangan mematikan simpanan mereka."

"Ya, memang demikian," sahut Ciang-Jio-bin.

"Lalu kenapa mereka juga ingin membunuh aku."

Ciang-Jio-bin terloroh-loroh, serunya, "Pui-Po-giok sekarang kamu adalah jago pedang nomor satu, orang yang membunuhmu akan menggantikan kedudukanmu, namanya akan segera terkenal di dunia. Memangnya siapa jago pedang di dunia ini yang tidak suka terkenal di dunia ... Setiap insan persilatan yang meyakinkan ilmu pedang, siapa yang tidak ingin membunuhmu?"

Dingin perasaan Pui-Po-giok, katanya gelisah, Tapi ... tapi ... "

"Tapi apa? Benda antik mana di dunia ini yang bisa diperoleh dengan mudah. Orang lain mempertaruhkan jiwa raga untuk merebut kesempatan mengagulkan diri sebagai jago pedang nomor satu, sementara kamu memperoleh jurus pedang rahasia yang tidak diturunkan kepada sembarang orang, apakah barter ini tidak adil. Bagi kaum persilatan seperti kita, mati hidup terhitung apa."

Lama Po-giok tepekur, akhirnya menghela napas panjang, "Ya, tapi taruhannya terlalu besar."

"Pui-Po-giok," bentak Ciang-Jio-bin, "cukup sekian saja omonganku. Duel antara hidup dan mati harus adil. Sejurus seranganku tidak berhasil melukai dirimu, adalah pantas kalau aku mampus di tanganmu. Orang she Ciang juga tidak akan lari dari tanggung jawab."

Sembari membentak, pedang panjang di tangannya bergerak pula laksana bianglala menerjang ke arah Pui-Po-giok.

"Tahan," bentak Pui-Po-giok, "kenapa engkau senekat ini?"

Ciang-Jio-bin tidak hiraukan seruannya, sinar pedang memantul seperti ceplok-ceplok bunga terus merangsek dengan ketat. Ilmu pedangnya bukan ilmu yang paling bagus dan terlihai, tapi seperti nama dan pribadinya, pedangnya tidak kenal kasihan.

Setiap jurus pedang yang dilancarkan merupakan serangan mematikan, setiap jurus ganas itu membuat lawan sukar balas menyerang, kecuali lawan juga berusaha membunuhnya.

Sudah tentu Po-giok tidak ingin menamatkan jiwa lawan, terpaksa ia tidak balas menyerang. Maka ia mengembangkan kelincahan gerak tubuhnya berputar dan menari di tengah sambaran sinar pedang, beruntun ia berkelit.

Ilmu pedang Bu-ceng Kong-cu memang Bu-ceng (tidak kenal kasihan), namun jangankan membunuh Po-giok, menyentuh ujung bajunya pun tidak mampu.

Mendadak Ciang-Jio-bin terbahak-bahak, serunya, "Baiklah, Pui-Po-giok, kamu tidak mau membunuhku, lalu apa keinginanmu?"

"kau ... pulang saja!" sahut Po-giok kesal.

Ciang-Jio-bin terloroh-loroh, "Pulang? ... Memangnya mudah seorang pesilat pulang setelah terlibat dalam pertikaian! Tapi untuk mati tentu amat gampang!" Sekali pedang terayun, maka darah pun muncrat.

Ternyata Ciang-Jio-bin memutar balik pedang dan menusuk dada sendiri.

"Ciang-heng ... ken ... kenapa ..." Po-giok memekik gugup.

Gagang pedang bergetar di dada Ciang-Jio-bin, ronce pedang yang merah berkibar tertiup angin. Tapi badannya tetap berdiri tegak tanpa bergeming.

Darah segar membasahi pakaian, namun kematian justru menghias rona wajahnya yang pucat. Sepatah demi sepatah ia berkata lirih, "Duel antara hidup dan mati harus adil. Mati atau hidup tidak dapat dipilih lagi .... "

Mendadak ia kertak gigi, sekuat tenaga ia cabut pedangnya.

Darah segar menyembur, berhamburan di tanah. Badan pun ambruk, tapi kedua matanya tidak terpejam, masih menatap Pui-Po-giok, katanya gemetar, "Pui-Po-giok ... kamu pesilat, maka hargailah diriku, ada ... ada sebuah permintaanku padamu, benda dalam lengan baju ... jangan dilupakan .... "

Suaranya makin lemah, makin lirih dan samar-samar, akhirnya berhenti.

Hembusan angin merontokan daun pohon, pakaian Po-giok melambai-lambai. Tapi Po-giok berdiri kaku di tempatnya seperti tidak mampu bergerak lagi.

Sebelum ini ia masih beranggapan kawan-kawan Bu-lim mencurahkan seluruh harapan dan kasih sayangnya terhadap dirinya. Kini baru ia sadar bahwa ada sementara kaum persilatan yang menginginkan jiwanya, mau membunuhnya.

Kini ia tahu pula adanya unsur pertentangan pada setiap persoalan kang-ouw, dan pertentangan itu justru begitu gawat dan meruncing. Faktor utama pertentangan yang meruncing ini adalah perbedaan antara mati dan hidup.

Sambil menunduk Po-giok mengawasi jenazah Ciang-Jio-bin, air mata berlinang, mulut bergumam, "kau mati begini saja, apakah pengorbananmu setimpal? ... Kecuali mati apa benar tiada jalan lain yang bisa kau tempuh? .... Kenapa begitu aneh pandanganmu terhadap hidup dan mati? .... Apakah setiap insan persilatan punya pandangan yang sama terhadap mati-hidup seperti dirimu? Ada ... ada persoalan apa yang ingin kau mohon bantuanku? ..."

Tiba-tiba pandangannya tertuju ke lengan baju Ciang-Jio-bin, di mana tampak sebagian dari ujung kertas gulungan.

Yang tersimpan di lengan baju Ciang-Jio-bin, kecuali sebuah pesan pendek, masih terdapat sepucuk surat.

Pesan tulisan itu ditujukan kepada Pui-Po-giok.

"Peduli mati atau hidup, aku ingin berduel denganmu. Hidup aku akan ternama, mati tidak perlu menyesal, kalau tidak ternama berarti gugur. Waktu meninggalkan rumah memang tiada harapan untuk hidup dan kembali. Mengejar baik memperoleh kasih sayang, walau mati hatiku senang. Selama belasan tahun ini berlalu sekejap mata, selendang sutera merah, tiada yang perlu dirindukan. Hanya kekasih sayang masih menanti di atas loteng, hidup merana seorang diri, semoga tuan dapat menyampaikan berita duka ini padanya."

Bab 23. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Pesan yang tidak begitu panjang, walau mengandung perasaan tawar dan hambar terhadap kehidupan nan fana ini. Tapi dari rangkaian kita itu justru terlukis ikatan asmara nan murni, dambaan terhadap kekasih.

Pui-Po-giok menghela napas panjang, "Ciang-Jio-bin, wahai Ciang-Jio-bin, begitu besar kasih sayang dan perhatianmu terhadap kekasih yang menantimu kembali, kenapa begitu tega kau permainkan jiwa sendiri. kau mati dengan tekad yang besar, mati tanpa menyesal, tapi pujaan hati yang menanti di atas loteng, betapa merana dia akan menghabiskan masa remajanya nanti."

Kalau sudah begini, sukar dibedakan apa artinya cinta. Ia yakin Ciang-Jio-bin sendiri pun tidak bisa membedakan.

Sampul surat itu tertutup rapat, di mana tertulis, "Harap disampaikan langsung kepada majikan pondok bintang kecil di Jin-hong-san-ceng"

Po-giok menggumam lagi, "Di manakah Jin-hong-san-ceng" itu? Siapa pula pemilik pondok bintang kecil itu? .... Tapi legakanlah hatimu Ciang-Jio-bin, apa pun yang akan terjadi pada diriku aku berjanji akan menyampaikan surat ini kepada orang yang harus menerimanya."

Secara sederhana di tempat itu juga dia mengubur jenazah Ciang-Jio-bin, sudah tentu pedang panjang itu juga disertakan masuk liang kubur, supaya menemani majikannya berangkat ke alam baka.

Mentari mulai doyong ke barat. Meski tahu di depan masih banyak aral merintang tengah menantinya, tapi Po-giok melangkah dengan membusungkan dada.

Di tepi jalan di luar hutan berkerumun banyak orang persilatan. Thi-wah tengah bicara dengan cengar-cengir. Kuda yang tadi kesandung jatuh kini sudah menggeletak tak bernyawa lagi di pinggir jalan.

Kuda itu mati dipukul oleh Siau-kong-cu, saat itu ia tengah duduk menggelendot di samping mayat kuda, rona merah menghias wajahnya, ujung mulutnya masih mengulum senyum, seperti bilang, "Sekarang kamu takkan bisa membantingku jatuh lagi."

Melihat kuda kekar yang mati di pinggir jalan itu, mendadak terbayang oleh Po-giok kejadian tujuh tahun yang lalu. sekuntum bunga segar yang diinjak hancur oleh Siau-kong-cu di kapal layar pancawarna itu.

Tiba-tiba rasa dingin merambati sanubarinya, gumamnya dalam hati, "Nona ini masih membawa adatnya yang nyentrik, sesuatu yang sudah tidak disenangi harus dimusnahkan, entah senang atau benci, seolah-olah tiada garis pemisah dalam benaknya. Bukankah watak dan jiwanya mirip pandangan hidup Ciang-Jio-bin? Dan terhadapku ... mungkin juga demikian? ...."

Melihat Po-giok keluar dari hutan, Thi-wah segera menyongsong dengan langkah lebar.

"Toa-ko," serunya gembira, "coba lihat, orang-orang ini begitu kagum dan segan terhadapmu, sepanjang jalan mungkin Toa-ko tidak akan kekurangan apa pun."

Po-giok tertawa kaku, " Ah, ... semoga demikian!"

******

Ping-im adalah sebuah kota yang ramai, pusat penyebrangan di hulu sungai Kuning, ramai dan makmur, padat penduduknya. Hotel "Ping-an" didirikan di tepi sungai, bila berada di loteng, membuka jendela, orang akan melihat pemandangan permai, gelombang sungai tampak mengalun lembut, mengalir jauh ribuan li.

Malam ini keadaan amat ramai di luar kota Ping-an, warung makan atau restoran menambah persediaan untuk melayani para pengunjung. Sebagian besar tamu yang hadir adalah orang-orang gagah yang baru pulang dari Thai-san.

Berbeda dengan hotel atau restoran yang lain, hotel Ping-an justru sepi dan tentram, soalnya orang-orang gagah itu sudah tahu Po-giok menginap di hotel ini, siapa pun tiada yang berani mengganggu ketenangannya.

Malam sudah larut, bulan purnama, cahayanya yang memutih perak menerangi jagat raya.

Seorang diri Po-giok berdiri di ambang jendela, matanya lepas memandang ke arah sungai, hati pepat, pikiran timbul tenggelam seperti gelombang sungai yang bergulung-gulung tidak pernah tenang.

Sekonyong-konyong dilihatnya sebuah sampan melaju memotong gelombang ombak, meluncur secepat panah, pengendali sampan ini jelas seorang ahli yang sudah lama hidup di perairan, dan tenaga kedua lengannya itu justru luar biasa sekali.

Padahal tidak sedikit jumlah kapal atau perahu yang berlayar di tengah sungai, tapi sampan yang satu ini memang amat menyolok. Pui-Po-giok yang lagi melamun juga tertarik oleh ulah sampan yang luar biasa ini.

Di luar hotel, di pinggir kali terdapat sebuah panggung pendaratan yang menjorok cukup panjang ke tengah sungai, di mana dibuatkan undakan batu yang tidak banyak jumlahnya dan dianggap sebagai dermaga kecilan untuk pendaratan perahu atau kapal. Sampan kecil yang laju melawan ombak itu ternyata langsung menuju ke dermaga kecil ini.

Tengah Po-giok merasa heran, tertampak sebuah tali laso dilemparkan dari sampan itu dan persis menjerat sebuah tonggak di tepi sungai, cepat sekali sampan itu menepi dan melompatlah ke daratan seorang laki-laki besar.

Sinar bulan cukup benderang, gerak-gerik laki-laki ini cukup gesit dan cekatan, matanya bercahaya, sekilas ia memandang sekitarnya lalu mendongak ke atas, melihat cahaya lampu di kamar Po-giok, segera ia lari menghampiri.

Kini Po-giok yakin kedatangan laki-laki ini tentu ada hubungan dengan dirinya, namun ia berlaku sabar dan menahan gejolak perasaannya, menunggu dengan tenang apa maksud tujuan laki-laki ini.

Laki-laki itu lari ke dekat jendela, melihat Po-giok segera menghentikan langkah, sesaat ia mengawasi, lalu dari jauh menjura dan membungkuk, katanya dengan suara tertahan, "Apakah tuan Pui-tai-hiap?"

"Ya, benar, ada keperluan apa?" tanya Po-giok.

Laki-laki itu tidak menjawab tapi menghampiri jendela, ia mengeluarkan sepucuk surat, sedikit menekuk lutut ia lompat masuk ke kamar Po-giok, katanya sambil membungkuk hormat, "Hamba disuruh menyampaikan surat ini."

Po-giok terima surat itu dan sekilas membaca tulisan pada sampul surat. Laki-laki itu membungkuk tubuh pula dan berkata, "Hamba mohon diri."

Lalu mundur tiga langkah dan hendak membalik badan.

"Tunggu sebentar," kata Po-giok.

"Entah Pui-tai-hiap ada pesan apa?" tanya laki-laki itu.

Berpikir sebentar Po-giok berkata, 'Tunggulah sebentar, mungkin perlu kuberi jawaban."

Sembari bicara ia menyobek sampul dan mengeluarkan surat lalu dibaca.

Surat itu pendek saja dan berbunyi, "Kentongan keempat menyeberang sungai kuning, kapal lampu merah datang menyambut."

Po-giok berkerut kening, katanya, "Kenapa majikanmu tidak menunjuk alamatnya supaya aku langsung pergi ke mana. Dengan cara begini apa tidak repot?"

Lelaki itu menjura, sahutnya, "Hamba hanya disuruh menyampaikan surat, urusan lain tidak tahu apa-apa."

"Dia berbuat demikian, apakah di balik persoalan ini ada sesuatu yang perlu dirahasiakan?" tanya Po-giok.

"Hamba tidak tahu," sahut orang itu.

Po-giok menghela napas, "Baiklah ... kamu boleh pergi."

Laki-laki itu mengiakan, lalu melompat turun dan lari ke dermaga, setelah melepas tali, ia lompat ke atas sampan, sekali tangannya menggerakkan pengayuh, sampan itu meluncur dengan pesat menerjang gelombang.

Po-giok mengawasi sampan itu meluncur makin jauh, sambil berpikir ia berkata sendiri "Kenapa sepak terjang Hwe-mo-sin begini misterius? Di balik kejadian ini adakah muslihat nya?..."

Di tengah sungai besar itu mendadak muncul sebuah kapal layar yang melaju dihembus angin buritan, betapa pesat dan kencang laju kapal layar ini sungguh mengejutkan.

Di atas kapal layar itu tampak berdiri berjajar tiga orang, walau cahaya rembulan juga menerangi, tapi jarak cukup jauh, sukar terlihat tampang ketiga orang ini.

Laju kapal layar ini laksana anak panah langsung menerjang ke arah sampan itu.

Kelihatannya laki-laki di atas sampan itu kaget dan gugup, sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan luncuran sampannya supaya tidak ditabrak, mulut pun membentak gusar, "Hei, gila kalian lekas putar haluan .... "

Belum selesai laki-laki itu membentak, dari kapal layar itu mendadak menjulur keluar dua batang galah panjang, ujung kedua galah itu dipasang cantolan besi, dengan cepat sampan itu terkait.

Laki-laki itu membuang pengayuh dan siap terjun ke dalam air, siapa tahu ketiga orang yang berdiri berjajar di atas kapal itu mendadak melemparkan tiga utas tambang dan menjerat tubuhnya.

Laki-laki itu sempat menjerit minta tolong, "Pui-tai-hiap ... tolong!"

Sebelum laki-laki itu berteriak, sebenarnya Po-giok sudah melesat keluar. Tapi laki-laki itu sudah terjerat dan tertarik ke atas kapal layar itu, sementara layar berkembang dan angin mengembus kencang, kapal itu terus laju mengikuti arus, hanya sekejap sudah meluncur jauh.

Dua galah panjang itu masih tertinggal di tengah sungai menahan sampan yang berputar dimainkan ombak, tapi tak lama kemudian galah dan sampan itu juga hanyut terbawa arus.

Perubahan kejadian ini hanya berlangsung sekejap saja.

Po-giok berdiri di tepi sungai, betapa kaget, heran dan ngeri hatinya, sungguh sukar dilukiskan.

Siapakah ketiga laki-laki di atas kapal layar itu? Mereka menculik laki-laki pengirim surat ini apa maksud tujuannya?

Sepak terjang Hwe-mo-sin begitu misterius apakah untuk menghindari pengintaian orang-orang itu? Kalau betul demikian, kenapa tidak langsung menjelaskan alamat sebenarnya, bukankah menghemat tenaga dan bebas dari banyak kesulitan.

Yang mudah tidak ditempuh, yang sukar malah dilakukan, apa pula tujuannya? Berbagai pertanyaan berputar dalam benak Po-giok, namun sukar memperoleh jawaban.

Mendadak ia menoleh, dilihatnya Siau-kong-cu sudah berdiri di belakangnya, berdiri di tengah halimun.

Angin malam mengembus, pakaiannya melambai laksana gelombang ombak dipermukaan sungai yang timbul tenggelam. Rambutnya yang terurai mayang juga tertiup kabur dan semrawut menutupi wajahnya nan cantik.

Siau-kong-cu berdiri tanpa aksi, tidak berbicara hanya cahaya matanya berkilauan, seperti kaget dan ngeri, tapi juga seperti menghina dan mencemooh.

"Sejak kapan engkau berada di sini?" akhirnya Po-giok menegurnya.

"Baru saja," sahut Siau-kong-cu.

"Sudah kau saksikan?" tanya Po-giok pula.

"Ehm," Siau-kong-cu bersuara dalam mulut.

"Jadi engkau sudah tahu?" desak Po-giok.

Baru sekarang Siau-kong-cu mengerling sekejap arah Po-giok, katanya perlahan, "Tahu apa?"

"Kenapa Hwe-mo-sin berbuat demikian? Siapa ketiga orang itu? Apakah mereka musuh Hwe mo-sin? Untuk apa mereka mencegat dan menculik laki-laki pengirim surat itu?"

Siau-kong-cu tertawa tawar, perlahan ia menoleh ke sana, tidak menghiraukan pertanyaannya.

Po-giok memburu ke depannya, serunya keras., "Kurasa kau tahu semua persoalan ini, kenapa tidak kau jelaskan padaku? ... kau ... kenapa tidak bicara?"

Walau keras suaranya, tapi Siau-kong-cu seperti tidak mendengar, pandangannya lengang mengawasi alunan ombak yang kemilau di tengah cahaya bulan.

Seolah-olah banyak yang ia ketahui, tapi juga seperti tidak tahu apa-apa.

Po-giok menatapnya lekat, lama kelamaan ia menunduk kepala, katanya dengan menghela napas, "Kita harus berangkat pada kentongan keempat nanti, pergilah bebenah."

Siau-kong-cu berkata hambar, "Kentongan keempat ... kentongan keempat .... "

Ia menoleh. sambil tersenyum ia memandang Po-giok, lalu berputar masuk rumah.

Po-giok, Siau-kong-cu dan Thi-wah sudah tidak sabar lagi menunggu di tepi sungai.

Rembulan masih memancarkan cahayanya nan cemerlang. Tak jauh di tepi sungai sana berlabuh beberapa perahu, tidak tampak kapal berlayar lagi di tengah sungai, alam semesta terasa hening.

Mata Thi-wah merem melek, masih ngantuk, maka ia mengomel panjang pendek, "Keparat Hwe-mo-sin itu memang pandai menyiksa orang, pada kentongan keempat sudah suruh kami menempuh perjalanan, kalau begini terus, sebelum tiba di tempat tujuan kita sudah mati kelelahan."

Omongan Thi-wah membuat perasaan Po-giok tertusuk, "Ah, benar! Apakah Hwe-mo-sin sengaja hendak mempersulit diriku? Supaya tenaga dan pikiranku habis terkuras sehingga tidak mampu berduel dengan Pek-ih-jin?"

Di samping merasa heran dan takut, timbul kewaspadaan Po-giok.

Di tengah Hembusan angin sayup-sayup terdengar suara kentongan empat kali di kejauhan.

"Ah, sudah kentongan keempat," ucap Siau-kong-cu resah. Keadaan tetap sepi, tiada kapal tak ada lampu merah di sungai. Po-giok berkerut alis, katanya, "Aneh benar, kenapa..."

"He, apa itu?" mendadak Thi-wah berteriak.

Po-giok segera berpaling, tertampak dari tepi sungai yang belukar sana, perlahan bergerak dua bayangan orang mendatangi, orang di kanan menjinjing sebuah keranjang rotan, yang di kiri membawa sebuah lampion warna merah.

Lampion merah itu kontal-kantil ditiup angin malam, sinarnya yang redup cukup menyolok di

antara pakaian kedua orang itu yang serba hitam. Terbayang wajah nan kaku dan sorot mata jelalatan seperti maling yang takut konangan orang. Gerak-gerik mereka menunjukan bahwa mereka takut dan ngeri seolah-olah mendapat firasat bahwa elmaut tengah mengancam jiwa mereka.

"Eh, apakah mereka?" tanya Thi-wah.

"Lampu merah memang benar, tapi tiada kapal .... " Po-giok ragu-ragu.

Kedua orang itu langsung menghampiri, mereka berhenti sekejap mengawasi dengan kaku, tanpa bicara langsung menuju ke tepi sungai. Di mana tertambat beberapa perahu, tanpa menoleh mereka lompat ke atas perahu yang terdekat, langsung masuk ke dalam kabin, sesaat kemudian seorang tampak keluar menggantung lampion di atas kabin.

"Ya, betul mereka." Po-giok berkata tegas. Serempak mereka memburu ke arah perahu.

Orang itu bersuara, "Apakah Pui-tai-hiap adanya?"

"Ya, benar." sahut Po-giok.

"Silakan naik kemari!" kata orang itu. Sembari bicara lampion merah diturunkan serta meniupnya padam.

Kabin perahu cukup bersih dan rapi. Tapi di pojok sana menggeletak tiga laki-laki telanjang dada dan telanjang kaki, berpakaian tukang perahu, jelas hiat-to mereka tertutuk. Orang yang di luar segera bekerja dengan galah panjang sedang yang berada dalam kabin menyalakan lampu minyak.

Melihat keadaan ketiga orang di pojok itu, Po-giok berkata, "Kalian yang mengerjai mereka?"

"Benar," sahut orang itu.

"Perahu ini milik mereka?" desak Po-giok pula.

"Betul," orang itu mengiakan pula.

Po-giok menghela napas, "Kalian tidak mempersiapkan perahu, tapi meminjam perahu orang secara paksa, kutahu supaya perbuatan kalian terasa misterius dan orang tidak mudah mengejar jejak kalian."

"Ya, memang demikian," orang itu mengangguk.

"Untuk apa kalian berbuat demikian, menghindari siapa?" desak Po-giok.

Orang itu tidak menjawab, tapi mengangkat keranjang rotan dan menghampiri Siau-kong-cu serta menaruh di hadapannya.

"Ini apa?" tanya Siau-kong-cu.

Dengan laku hormat orang itu menjawab "Dalam keranjang ini ada makanan kesukaan nona." Siau-kong-cu berseri girang, "Ah, apa benar?"

Langsung ia menyingkap tutup keranjang, tertampak di dalamnya berisi tiga mangkuk porselin warna hijau pupus, sepasang sumpit yang terbuat dari gading. Baru tutupnya tersingkap, bau harum sedap makanan merangsang hidung.

Saking senang Siau-kong-cu berkeplok, "Wah, bagus sekali, memang benar kesukaanku ...

syukur kalian masih memikirkan diriku. Terus terang selama ini aku hampir mati kelaparan."

Sekilas ia melirik Po-giok, lalu berkata pula, "Coba lihat betapa baik orang lain terhadapku. Dan kau, hanya suruh aku makan mi kuah saja, bosan!"

Habis bicara ia jemput sumpit lain menyikat hidangan dalam keranjang itu tanpa peduli pada Po-giok.

Po-giok sedang membatin, "Kiriman hidangan Hwe-mo-sin jelas untuk pamer padanya, tapi secara langsung juga ingin pamer padaku, supaya aku tahu bahwa segala gerak-gerikku tidak lepas dari pengintaiannya ... Ai, sungguh tidak nyana, demikian teliti dan cermat cara kerja orang ini."

Melihat Siau-kong-cu makan dengan lahap, tak tertahan Thi-wah melongok keranjang rotan itu.

Akhirnya ia menelan ludah dan mengomel, "Hm, makanan begitu apanya yang enak!"

Siau-kong-cu tertawa cekikikan, katanya, "Makanan tidak termakan tentu tidak enak. Tapi kalau tahu rasanya kamu takkan bilang hidangan ini tidak enak."

Bersinar mata Thi-wah, katanya tertawa, "Baiklah, biar kurasakan satu senduk, nanti akan aku nilai enak tidak hidangan ini."

Siau-kong-cu tertawa geli, "Kukira kamu ini orang dogol, ternyata pandai juga memancing hidanganku dengan obrolanmu itu. Baiklah, kalau ingin mencicipi, akan kuberi sesuap saja."

Merah juga muka Thi-wah, sekilas ia lirik Po-giok, melihat Po-giok tidak memperhatikan dirinya, ia menjilat bibir, lalu berkata dengan muka merah, "Hanya memberi sesuap saja."

Siau-kong-cu angsurkan sumpitnya, tapi mendadak ditarik lagi, "Ah jangan, mi kuah kan lebih enak. Hidangan yang tidak enak ini lebih baik jangan kau cicipi."

Merah muka Thi-wah. Siau-kong-cu terpingkal-pingkal.

Setelah puas tertawa ia ulurkan lagi sumpitnya, katanya sambil menahan geli, "Silakan, ini kamu boleh mencicipinya," Thi-wah melengos, katanya keki, "Aku tidak mau."

Tapi segera ia menoleh dan menambahkan, "Ini .... masakan apakah?"

"Bicara tentang masakan ini, jangankan pernah makan, namanya saja belum pernah kau dengar. Baiklah aku jelaskan, yang satu ini adalah goreng jamur dengan lidah betet, yang satu lagi adalah tahu yang dibuat dari otak ikan ..."

"Wah, untuk menggoreng masakan seperti itu diperlukan berapa ekor burung betet?"

"Kurang lebih seratus ekor," sahut Siau-kong-cu.

Berubah air muka Thi-wah, gumamnya, "kau ... kenapa kau suka makan ..."

"Lidah burung betet amat lincah, maka dagingnya juga enak sekali," demikian ujar Siau-kongcu tertawa, "tidak percaya, boleh kau cicipinya, tanggung seumur hidup takkan kau lupakan."

Mendadak Thi-wah berjingkrak gusar, "Sungguh kejam kau! Untuk menikmati hidangan harus memotong lidah seratus ekor burung betet, lalu bagaimana kalau lidahmu dipotong? Hidangan menjijikan begini, mati pun Thi-wah emoh makan."

Siau-kong-cu tertawa, "Orang segede dirimu, hatinya ternyata sekecil kelinci. Burung betet itu sudah mati, apa salahnya dipotong lidahnya?"

"Sudah ... mati? Dari mana dapat burung betet sebanyak itu?"

"Yang pasti koki yang menggorok leher burung-burung itu."

Thi-wah melengong, "Kamu ... kamu iblis betina."

"Ah, anak bodoh! Memangnya baru sekarang kau tahu?"

Sikapnya wajar dan gembira, dengan berseri ia menyumpit beberapa kerat lidah betet lalu dikunyah dengan nikmat. Hampir saja Thi-wah lari keluar dan muntah.

Untung perahu itu sudah menepi, lekas Thi-wah mendahului lompat ke darat. Setelah menarik napas ia mendongak melihat cuaca, rembulan sudah turun ke barat, tak lama lagi fajar akan menyingsing.

Po-giok dan Siau-kong-cu beruntun naik ke darat. Kedua orang itu juga mendarat. Dengan galah panjang mereka dorong perahu ke tengah sungai, membiarkan hanyut di bawa arus.

Berkerut alis Po-giok, tanyanya, "Sudah kau buka tutukan hiat-to mereka?"

Orang itu menjawab, "Pui-tai-hiap tidak usah kuatir, mereka tidak bakal mati."

Po-giok mendengus, dilihatnya orang itu mengeluarkan sepucuk surat dan dipersembahkan kepadanya. Tanpa bicara kedua orang ini lantas lari kencang seperti dikejar setan. Po-giok menghela napas, ujarnya, "Mereka ketakutan, entah apa yang membuat mereka begitu takut."

Po-giok tahu omongannya takkan ada menjawab maka ia buka sampul surat.

Isi surat itu merupakan pesan yang pendek, "Tang-yang di luar kota barat ada lampu merah di hutan jati."

Sesaat Po-giok terpukau mengawasi kertas di tangannya, akhirnya ia menghela napas, "Ayo berangkat."

Belum jauh mereka berjalan, mendadak terdengar jeritan kaget di kejauhan.

Po-giok berhenti, air muka Siau-kong-cu juga berubah.

Sayup-sayup jeritan orang itu terbawa angin "tai-hiap ... tolong .... "

Tersirap darah Po-giok, katanya, "Akhirnya kedua orang itu tidak dapat lolos juga."

Thi-wah berkata, "Kenapa mereka lari? Siapa yang mengejar mereka?"

Belum habis bicara, Po-giok dan Siau-kong-cu sudah melesat ke arah suara, hanya sekejap bayangan mereka sudah meluncur puluhan tombak jauhnya.

Thi-wah mengomel, "Toa-ko ini bagaimana, tahu aku tidak mahir gin-kang, justru aku ditinggalkan .... "

Walau mulut mengomel terpaksa kaki melangkah lebar mengejar dengan kencang. Walau langkahnya lebar dan cepat, mana bisa mengejar Po-giok, hanya sebentar, bayangan Po giok dan Siau-kong-cu tidak terlihat lagi.

Cuaca masih gelap, ke mana harus mengejar hakikatnya ia tidak tahu, setelah lari sana dan putar sini sekian lamanya, terpaksa ia pentang mulut hendak berteriak, "Toa .... "

Sebelum ia mengucap "ko", mendadak didengarnya seorang memanggilnya di belakang, "Gui Thi-wah!"

Suaranya perlahan, kedengarannya tidak bermaksud jahat.

Tapi Thi-wah benar-benar terkejut dibuatnya sigap sekali ia membalik tubuh, keadaan belakang kosong, bayangan setan pun tidak terlihat, thi-wah membesarkan nyali, serunya, "Siapa ... siapa yang memanggil aku?"

"Aku!" suara itu menyahut.

Thi-wah mengepal tinju, "Kamu siapa? Di mana kamu?"

"Aku ada di sini!" suara itu menjawab pula.

Setelah mendengarkan dengan cermat baru Thi-wah tahu suara itu berkumandang dari belakang rumpun bambu yang gelap sana, matanya terbelalak, tinju terkepal, selangkah demi selangkah ia menghampiri.

"Gu Thi-wah," mendadak suara itu membentak, "jangan kau maju selangkah lagi."

"Kenapa aku harus turut perintahmu? Aku justru ingin maju."

"Tadi aku lihat kamu kesepian dan kebingungan di sini, maka ingin kuajak kamu mengobrol, kalau kamu mendekat lagi, segera aku pergi dan tak mau bicara, bukankah berarti kamu menolak maksud baikku?"

Gu Thi-wah benar-benar menghentikan langkah katanya dengan tertawa lebar, "O, jadi kamu ingin mengobrol denganku, kamu bermaksud baik terhadapku, baiklah aku menurut saja."

"Nah, kan begitu!" suara itu kedengarannya juga tertawa.

Terbelalak mata Thi-wah, serunya, "He, siapa kamu sebenarnya? Dari mana kau tahu namaku?"

"Bukan saja kutahu namamu, aku juga tahu banyak urusan yang lain. Di kolong langit ini jarang ada urusan yang tidak kuketahui."

"O, apa benar? Betul kau tahu segalanya?"

"Sudah tentu betul, boleh coba kau tanya padaku."

"Baik, ingin kutanya ... siapakah Toa-ko ku?"

"Pui-Po-giok."

"Wah, tepat tebakanmu. Baiklah, akan kutanya lagi ..." dengan miring kepala ia berpikir sesaat, lalu bersuara pula, "Siapakah guruku?"

"Gurumu Ciu Hong."

"Aku ... siapakah orang yang paling aku rindukan?"

"Sudah tentu adikmu Gu-Thi-lan? atau Kiau-hong"

Membulat bola mata Thi-wah, sekian lama berdiri tertegun. Dasar orang jujur dan polos selamanya tidak pernah menyimpan rahasia dalam hati. Rahasia terbesar dalam hatinya hanya beberapa pertanyaan yang diajukan itu. Kini rahasia sudah dibongkar orang, betapa hatinya takkan kaget? Setelah melengong sekian saat baru menghela napas panjang, "Anak bagus, ternyata memang pintar, segala urusan kamu tahu."

Suara itu tertawa bingar, "Lalu siapa aku, apa kau tahu?"

"Tidak tahu," sahut Thi-wah geleng kepala.

"Siapa Toa-ko dan guruku?"

"Aku tidak tahu."

"Siapakah orang yang paling aku rindukan?"

"Mana kutahu?"

"Haha, serba tidak tahu. Agaknya kamu ini kerbau dungu."

Merah muka Thi-wah, "Tapi aku ... aku tahu beberapa persoalan yang lain."

"Bah, kamu ini tahu apa. Umpama saja surat yang tadi dibaca Toa-ko mu, apa isi surat itu, tentu tidak kamu baca."

Thi-wah tertawa senang, "Salah, salah, kali ini dugaanmu salah. Surat yang dibaca Toa-ko ku tadi juga kubaca, hanya beberapa suku kata saja."

"Ah, tidak percaya."

"Tidak percaya? Baiklah aku jelaskan, isi surat itu begini bunyinya: Di luar kota Tang-yang sebelah barat, ada lampu merah di .... di hutan bambu."

"Bagus, kiranya tidak bodoh. Tapi kamu telah mengobrol denganku di sini, kalau persoalan sepele begini juga kau ceritakan kepada Toa-ko mu, tentu Toa-ko mu akan bilang kamu ini kerbau dogol."

"Aku tahu. Tapi umpama Toa-ko mengatakan aku bodoh juga tidak jadi soal, hanya ... hanya Siau-kong-cu itu, aku tidak mau dikata-katai olehnya."

Tiada suara sahutan dari tempat gelap.

Sesaat lagi Thi-wah tidak tahan, "Hei, kamu dengar suaraku? ... Hei, katamu ingin mengobrol, kenapa diam saja, memangnya kamu menjadi bisu?"

Keadaan hening, tiada jawaban dari rumpun gelap sana.

"Kalau tidak mau bicara, aku mau pergi saja."

Setelah ditunggu beberapa kejap lagi, Thi-wah habis sabar, segera ia terjang ke rumpun gelap itu, kedua tinjunya laksana godam menyibak rumpun pohon di depannya, mana ada bayangan orang di situ?

Thi-wah mengomel, "Anak keparat, bicara belum selesai sudah sembunyi, memangnya kau kira aku tidak bisa menemukanmu .... "

Sambil menggerutu dengan langkah lebar ia mengobrak-abrik tempat itu.

Setelah ubek-ubekan sekian lama, dilihatnya di bawah pohon sana duduk satu orang.

Thi-wah tertawa, "Nah, ketemu sekarang, mau sembunyi ke mana lagi?"

Dengan langkah lebar ia memburu ke sana. Tapi setelah dekat mendadak ia menjerit kaget sambil menyurut mundur tiga langkah, lalu berdiri menjublek.

Cuaca masih gelap, namun cahaya bulan menjelang terbenam masih cukup jelas menyinari wajah orang ini. Kulit mukanya berkerut merut, panca indranya berubah bentuk, bola matanya hampir mencolot keluar.

Walau Thi-wah bernyali besar, tapi di semak belukar yang gelap lagi sepi ini, mendadak melihat tampang yang begitu mengerikan, pecah juga nyalinya.

Sesaat kemudian, setelah hatinya tenang baru dapat bersuara lagi. Katanya keras, "He, kamu siapa? Setan atau manusia? Masih hidup atau sudah mati?"

Tampang yang mengerikan itu diam kaku, tidak menjawab.

Tiba-tiba seorang menjawab di belakang Thi-wah, "Thi-wah, dengan siapa kau bicara?"

Seperti burung yang takut melihat ketapel, sambil menjerit Thi-wah melompat ke sana dan segera membalik. Tampak dua orang berdiri berjajar di belakangnya, siapa lagi kalau bukan Po giok dan Siau-kong-cu.

"Toa-ko," teriaknya girang, "kiranya engkau , syukur engkau kembali, kalau tidak Thi-wah bisa gila."

"Apa kau lihat sesuatu?" tanya Po-giok heran.

"Coba Toa-ko lihat apa yang ada di bawah pohon itu."

Begitu Po-giok menoleh ia pun terkejut, namun hatinya tabah, perlahan ia menghampiri, Thi wah mendampinginya, tanyanya, "Orang ini sudah mati atau masih hidup? Siau-kong-cu berkata, "Mungkin sudah mampus!"

Mendadak Po-giok berkata dengan suara tertahan, "Coba lihat siapa orang ini?"

"Apa Toa-ko mengenalnya?"

Siau-kong-cu menjerit kaget, "He, mereka di sini, kita mencarinya ubek-ubekan, ternyata sudah ... siapakah yang membunuh mereka?

Thi-wah mendekat serta memperhatikan, akhirnya ia pun berseru kaget, "O, mereka adalah laki-laki yang membawa lampu merah tadi."

Po-giok dan Siau-kong-cu dengan seksama memeriksa keadaan kedua mayat itu. Bukan saja raut mukanya sudah berubah bentuk, kaki tangan patah tulangnya.

Siau-kong-cu mendesis geram, "Kejam benar cara yang digunakan."

Po-giok masih berjongkok dan memeriksa lebih teliti, gumamnya, "Aneh, aneh sekali. Bukankah yang digunakan ini Hun-kin-joh-kut-jiu?"

Siau-kong-cu menyeringai, "Hm, baru sekarang kau tahu bahwa yang digunakan itu Hun-kin joh-kut-jiu?"

"Sejak mula sudah kuketahui, tapi aku tidak percaya. Hun-kin-joh-kut-jiu adalah ajaran tingkat tinggi aliran baik, menurut apa yang kuketahui, di dunia kang-ouw sekarang hanya Bu-tong, Siau-lim dan Go-bi serta beberapa orang dari aliran lwe-keh yang masih meyakinkan kungfu ini, lalu siapa yang turun tangan sekeji ini? Kenyataan ini sukar dipercaya kebenarannya."

Siau-kong-cu menjengek, "Memangnya anak murid aliran lwe-keh tiada yang berhati kejam? Semoga mereka belum mati, kita harus tanya siapakah pembunuh kejam ini?"

Perlahan Siau-kong-cu menegakkan badan laki-laki itu, secepat kilat jarinya bekerja menutuk puluhan hiat-to di tubuhnya, seketika tubuh laki-laki itu gemetar, kaki tangan mendadak kejang. Di tengah rintih kesakitan, orang ini tersadar dari pingsannya. Sadar karena dirangsang oleh rasa sakit luar biasa.

Thi-wah merinding melihat keadaan orang ini Po-giok juga merasa tidak tega, namun sikap dan tindakan Siau-kong-cu tidak berubah, ia cengkeram dada orang itu serta menatapnya tajam, "Bangun buka matamu!"

Begitu membuka mata dan melihat Siau-kong-cu, bukan merasa senang laki-laki itu malah gugur dan takut desisnya gemetar, "Aku tidak bilang apa pun aku tidak bilang ....

Tergerak hati Po-giok tanyanya, "Orang itu suruh kau bilang apa?"

"Aku tidak bilang ... aku tidak mau bicara orang itu mengigau. Po-giok belum putus asa, tanyanya, "Siapa yang melukaimu?"

"Aku tidak tahu, apa pun aku tidak tahu," serak suara orang itu.

Siau-kong-cu tersenyum lebar, ujarnya, "Baiklah boleh kau berangkat saja."

Telapak tangannya bergerak perlahan menepuk batok kepalanya.

"Terima .... " belum sempat orang itu mengucap "kasih", mendadak tubuhnya mengejang, napas pun putus.

"Hei. kau ... kau ..." Thi-wah membentak gusar.

Lembut suara Siau-kong-cu, "Jiwanya tidak tertolong lagi daripada menderita, lebih baik biar mangkat lebih cepat. Aku kan membantu dia, memangnya kamu tidak tahu."

Thi-wah melongo, saking gusar ia gelagapan bisa bicara.

"Seharusnya sudah aku duga, sebagai tokoh kosen aliran lwe-keh, tapi tidak segan menggunakan cara sekeji ini, mungkin dia ingin mengorek keterangan yang amat penting artinya," kata Po-giok.

"Kalau demikian, lalu kenapa?" tanya Siau-kong-cu.

"Kini aku yakin bukan saja kau tahu urusan apa yang ingin ditanya orang itu, siapa pembunuh itu mungkin kau pun tahu."

"Ah, apa ya?" ucap Siau-kong-cu.

"Siapa dia?" hardik Po-giok beringas, "soal apa yang ingin dia ketahui?"

Siau-kong-cu menjengek, "Huh, main bentak segala, memangnya kalau kau bentak lantas aku jelaskan?"

Po-giok mencengkeram pergelangan tangannya, "Katakan tidak?"

"Aku justru tidak mau menjelaskan, kau mau apa?" bantah Siau-kong-cu.

Po-giok mendelik, Siau-kong-cu juga melotot mereka saling tatap, sesaat kemudian akhirnya Po-giok menarik napas serta melepas tangan, "Meski tidak kau jelaskan, suatu hari aku akan tahu sendiri."

"Boleh kamu menunggunya dengan sabar."

Mendadak Thi-wah menjerit di sana, "He, cepat kemari, ada seorang lagi di sini."

Secepat terbang Po-giok melesat ke sana, di tengah semak rumput dilihatnya seorang laki-laki yang lain kaki tangan sudah kaku dingin, pun sudah putus cukup lama.

Thi-wah membalik jenazah itu, seketika menjerit kaget. Darah hitam meleleh dari tujuh lubang panca indra orang ini, Mungkin sebelum dikompes dan disiksa, ia bunuh diri dengan menelan racun.

Po-giok membatin, "Murid didik Hwe-mo-sin memang patuh pada aturan perguruan yang keras, mati pun orang ini tetap mempertahankan rahasia. Maka dapat dibayangkan bahwa besar sekali arti rahasia itu."

Sambil mengawasi mayat itu, mulut Thi-wah mengoceh, "Kalian memang sial, setelah bertemu dengan kami, jiwa lantas melayang."

Tersirap darah Po-giok, serunya, "Aha, betul!"

Thi-wah berjingkrak kaget, "Toa-ko, apa yang betul"

"Sebelum bertemu dengan kita kedua orang ini tidak begitu ketakutan. Tapi setelah berpisah dengan kita mereka lantas lari lintang pukang, seperti tahu bahwa jiwa mereka terancam bahaya."

"Betul, tapi ... kenapa begitu?" Thi-wah garuk-garuk kepala.

"Karena musuh mereka tidak tahu siapa adalah murid Hwe-mo-sin, padahal mereka tahu bahwa murid Hwe-mo-sin akan mengadakan kontak dengan aku, maka secara diam-diam mengawasi kita, begitu mereka bertemu denganku lantas ketahuan siapa dia sebenarnya, hanya beberapa kejap saja mereka mengalami musibah."

Lalu siapa ... siapa orang yang bekerja di belakang layar ini?" tanya Thi-wah.

"Terhadap mereka aku tidak tahu apa-apa, tapi orang-orang itu tentu tahu banyak tentang diriku, kalau tidak mana mungkin mereka tahu bahwa orang yang mengadakan kontak dengan aku adalah murid Hwe-mo-sin."

"Ya, tapi ..."

Po-giok menukas, "Masih ada satu hal, orang-orang itu baru turun tangan setelah murid Hwemo-sin bertemu dan berpisah denganku, dari sini dapat disimpulkan bahwa orang-orang itu sedikit banyak merasa segan terhadapku."

"Aku tahu, orang-orang itu tentu takut menghadapi kungfu Toa-ko."

Po-giok tertawa getir, "Urusan tidak semudah itu ..."

Akhirnya Po-giok menarik kesimpulan, bukan saja orang-orang yang bergerak di belakang layar ini ada sangkut paut dengan dirinya, malah keterangan yang ingin mereka ketahui juga erat hubungannya dengan dirinya.

Tapi sampai sejauh ini, juga hanya sebanyak itu yang mereka ketahui. Siapa orang-orang itu, rahasia apa yang mereka kejar dan ingin membongkarnya, Po-giok belum mendapat jawabnya.

Sesaat lamanya Po-giok tepekur memikirkan soal ini, katanya kemudian setelah menghela napas, "Di luar kota Tang-yang sebelah barat, ada lampu merah dalam hutan jati. Dalam perjalanan ke Tang-yang selanjutnya kita harus lebih waspada, kita harus berusaha mencari tahu siapa yang menguntit kita."

Namun sudah terlambat kalau sekarang Po-giok menarik kesimpulan itu, karena Thi-wah telah membocorkan rahasia itu, dan orang itu tidak perlu menguntit lagi, mereka boleh langsung datang ke alamat yang mereka tuju. Celakanya orang itu sudah menunggu kedatangan mereka di sana.

Magrib di kota Tang-yang. Dari pintu timur Po-giok masuk kota dan langsung keluar kota melalui pintu barat.

Setelah menyebrangi sungai Kuning, mereka sudah lepas dari penguntitan orang-orang kangouw yang mengagumi dia, sepanjang jalan ini Po-giok tidak menemukan orang yang mencurigakan gerak-geriknya.

Tapi Po-giok tidak berani gegabah setelah berada di luar kota, setiap langkah ditempuhnya dengan hati-hati, Kira-kira sepeminum teh kemudian, di bawah cahaya mentari yang hampir terbenam, jauh di depan memang kelihatan adanya sebuah hutan jati.

Po-giok melepas pandang ke empat ...penjuru, di tanah tegalan yang luas ini, dalam cuaca mulai remang-remang ia yakin dengan ketajaman matanya tidak melihat seseorang, orang lain juga takkan bisa melihat dirinya. Diam-diam lega hatinya, langsung ia lari ke dalam hutan jati. Tampak asap cerobong mengepul di dalam hutan, suara kokok ayam dan gonggong anjing sayup-sayup terdengar.

Betapa lega hati Po-giok, rasa tegang pun mulai berkurang setelah mendengar kokok ayam dan salak anjing. Hampir Po-giok melupakan dalam hutan jati itulah dirinya ada janji dengan Hwemo-sin.

Pada saat itulah ia lihat lampu merah di dalam hutan jati.

"Nah itu dia," Thi-wah berjingkrak senang, "lampu merah ada di sana."

Po-giok geleng kepala, "Sungguh aku tidak mengerti kenapa Hwe-mo-sin memilih tempat ini, kenapa merusak kehidupan tentram dan damai dalam hutan jati ini, kenapa orang tidak diberi kesempatan untuk hidup sejahtera."

Siau-kong-cu berkata pelan, "Ya, kehidupan yang terlalu damai, akan berubah menjadi tawar dan tiada artinya ... bukan mustahil kaum tani yang hidup dalam hutan jati itu ingin mencari kejutan dalam perjalanan hidup mereka yang akan datang ..."

Dengan tertawa getir Po-giok melangkah masuk hutan, di balik bayang-bayang rimbunnya pohon, tak jauh di depan tampak sebuah pagar bambu mengelilingi tiga buah petak rumah gubuk yang sederhana. Di depan sebuah pintu yang setengah terbuka bergantung sebuah lampu merah.

Seekor anjing berbulu belang menyalak di belakang pagar bambu, tujuh-delapan ekor ayam mondar-mandir di halaman sedang mencari makan.

Asap mengepul dari cerobong yang membumbung tinggi di atas rumah, bau nasi yang wangi teruar dari dalam rumah. Kalau tiada lampu merah yang bergantung di depan pintu hampir Pogiok tidak percaya Hwe-mo-sin menjanjikan dirinya bertemu di tempat ini.

Langkahnya diperlambat, seperti tidak berani mengganggu ketentraman dan kedamaian kehidupan di sini. Dalam hati ia bertekad untuk melestarikan kehidupan damai di hutan jati ini.

Ketika mereka sudah berada di depan pintu anjing belang itu malah tidak berani menyalak lagi dengan mencawat ekor mundur ketakutan ke pojok sana.

Po-giok batuk dua kali, lalu berseru, "Ada orang di dalam?"

Beruntun empat kali Po-giok bertanya tanpa mendapat jawaban, juga tiada reaksi dari dalam rumah.

"Apa mungkin salah alamat?" tanya Thi-wah bimbang.

"Ya, mungkin kebetulan di sini ada sebuah lampu merah," ucap Po-giok hambar.

"Mana mungkin ada kejadian yang begini kebetulan," bantah Siau-kong-cu.

Sembari bicara ia dorong pintu yang setengah terbuka itu, lalu melangkah masuk.

Tiga petak gubuk itu yang terdekat adalah sebuah ruang kecilan saja, di tengah aula terdapat sebuah meja pemujaan yang memuja Kwan Im Pou Sat, di pinggir kiri juga ada gambar Koan Kong."

Di depan altar terdapat sebuah meja segi delapan, di atas meja tertaruh tiga mangkok dan tiga pasang sumpit terdapat pula sebuah keranjang bundar anyaman bambu, di dalamnya tersimpan beberapa cangkir teh.

Pintu yang ada di sebelah kiri menuju ke kamar tidur. Di atas ranjang kayu yang besar dan berat, secara rapi bertumpuk tiga kemul kembang.

Bau nasi liwet teruar dari balik pintu sebelah dalam, bara menyala cukup besar, kayu bakar memercikan lelatu, hawa terasa hangat dalam rumah.

Inilah sekedar gambaran kehidupan keluarga petani yang siap makan malam, siapa pun takkan menemukan sesuatu yang ganjil di rumah ini, namun ke mana keluarga petani ini? Dari depan sampai belakang, tidak kelihatan bayangan orang.

Siau-kong-cu yang biasanya bandel dan banyak ulahnya, kali ini ikut merasa heran dan bingung, Sudah tentu sukar Po-giok membayangkan apa sebetulnya yang di atur Hwe-mo-sin dengan rumah ini. Setelah berputar dua kali memeriksa seluruh pelosok rumah ini, Siau-kongcu menggumam sendiri, "Mungkinkah mereka belum datang?"

Hanya Thi-wah yang melirik dan memperhatikan mangkok dan keranjang makanan di atas meja itu, apalagi bau nasi yang harum itu membuat perutnya lapar sekali. Akhirnya ia tidak sabar lagi, sekali raih ia buka tutup keranjang bundar itu, mendadak ia menjerit kaget dan menyurut mundur, keranjang bundar itu tersampuk jatuh ke lantai.

"Ada apa?" tanya Po-giok.

"Coba kau periksa, itu-itu lagi," sahut Thi-wah.

Isi keranjang itu ternyata masakan jamur dan lidah burung betet, hanya kali ini ditambah semacam menu yang lebih besar porsinya, yaitu panggang daging sapi dan dua ekor ayam besar.

Sambil mengawasi Siau-kong-cu Po-giok berkata, "Mereka sudah ke sini."

"Kalau sudah datang, tentu belum pergi jauh," kata Siau-kong-cu.

"Api dalam tungku masih menyala, nasi juga belum hangus, mereka pasti belum lama pergi dengan tergesa-gesa, kenapa mereka menyingkir dari sini? Pergi ke mana?"

"Kalau tidak bisa memperoleh jawabnya, boleh tunggu saja di sini dan nanti langsung tanya padanya kalau kembali," demikian kata Siau-kong-cu.

"Apa, mereka akan kembali?" ujar Po-giok.

Siau-kong-cu tertawa, "Melihat sayur mayur ini perutku menjadi keroncongan, ayolah kita makan dulu ... Mereka belum bertemu denganmu. memangnya kau takut mereka tidak akan kembali?"

"Betul," seru Thi-wah, "makan lebih utama, usulmu memang baik.

Sehabis makan, malam pun tiba.

Po-giok menarik sebuah kursi keluar pintu dan duduk di sana mencari angin, pandangannya jauh menatap bintang-bintang di langit entah soal apa yang sedang direnungkan. Pikirannya memang ruwet, setelah sampai di sini ia tidak tahu bagaimana selanjutnya dirinya harus bergerak.

Siau-kong-cu berdiri di depan altar pemujaan, sambil bertopang dagu melamun mengawasi patung Koan Im, entah apa pula yang sedang dipikirkan.

Thi-wah lagi sibuk mengisi mangkuk dengan nasi dan sisa masakan untuk makan anjing belang itu.

Gonggong anjing yang galak menyentak Po-giok dari lamunannya.

"Si belang yang manis," terdengar Thi-wah berkata, "nasi daging seenak ini, kenapa tidak mau makan?"

Anjing yang kecil itu sedang mendongak menyalak dengan buas, sikapnya garang seperti ingin menggigit.

Siau-kong-cu menoleh dengan berkerut kening, katanya, "Orang-orang itu barangkali mampus semuanya? Kenapa belum juga kembali, kami sudah menunggu hampir tiga jam."

"Ya, sudah tiga jam kami menunggu," ucap Po-giok kesal.

"Kalau tiga jam lagi mereka belum pulang bagaimana selanjutnya?" tanya Siau-kong-cu.

"Sepatutnya aku yang bertanya demikian padamu."

"Bedebah!" seru Siau-kong-cu sambil mengentak kaki, "memangnya ke mana orang-orang mampus itu?"

Mendadak Thi-wah mengomel dengan tertawa "Hei, si belang, nasi daging tidak kau makan, untuk apa gigit celana bututku, sungguh goblok .... "

Sembari memaki ia menurut saja ditarik ke dalam kamar oleh si belang. Siau-kong-cu mengomel, "Orang lain gelisah, anak dungu ini masih enak-enak bermain anjing."

Po-giok tidak menghiraukan ocehannya, ia berdiri dan mondar mandir di pekarangan, katanya kemudian, "Kurasa ada sesuatu yang tidak beres dalam urusan ini."

"Ada perubahan maksudmu? Kecuali kau dan aku memangnya siapa yang tahu gubuk petani ini adalah tempat pertemuan kita? Aku kira justru orang-orang mampus itu ..."

Tiba-tiba Thi-wah menjerit kaget di dalam kamar, "Haya, mayat! Mayat! Ada orang mati di sini."

Tanpa janji serentak Po-giok dan Siau-kong-cu memburu ke dalam kamar.

Anjing belang itu tampak berjongkok di pinggir ranjang. Thi-wah berdiri setengah membungkuk, sebelah tangannya menyingkap kelambu, seperti patung ia berdiri tidak bergerak.

"Gembar-gembor mengejutkan orang, apa kerjamu di sini?" demikian omel Siau-kong-cu.

"Di bawah ranjang ... bawah ranjang .... " Thi-wah tergegap sambil menuding kolong ranjang. Mendadak ia mengangkat tangan, ranjang besar dan berat itu ia angkat dan digeser ke pinggir, di bawah ranjang memang benar ada dua mayat orang yang telentang.

Po-giok mengira mayat kedua orang ini adalah pemilik gubuk, tapi setelah diperhatikan, kedua orang ini berpakaian hitam, alis tebal mulut lebar, walau sudah mati beberapa jam yang lalu, namun masih terbayang pada wajah mereka waktu hidupnya adalah orang-orang kasar dan kuat, tidak mirip petani yang hidup bersahaja, dari sini dapat disimpulkan bahwa kedua orang ini adalah orang-orang Hwe-mo-sin yang ditugaskan di sini. Kaki tangan kedua orang ini sudah kaku dingin namun tidak ada luka pada tubuhnya, juga tiada bekas pukulan berat atau getaran tenaga dalam, jelas bukan mati lantaran keracunan. Po-giok berjongkok dan memeriksa lebih teliti, akhirnya ia temukan satu butir batu sebesar telur ayam menempel di dada, tepat di bawah jantung, batu bulat itu menutup luka-luka tusukan pedang yang mematikan.

Sekali pandang Po-giok lantas tahu bahwa kedua orang ini mati karena dadanya ditembus pedang, tapi sebelum darah keluar, pembunuhnya sudah menyumbat bekas tusukan pedang itu dengan sebutir batu.

Tersirap darah Po-giok, katanya memuji, "Hebat sekali ilmu pedangnya, lihai benar kepandaiannya."

Siau-kong-cu berkata, "Aku heran, tempat ini begitu rahasia, kenapa diketahui orang, musuh mendahului kita dan turun tangan keji di sini. Cara bagaimana mereka bisa menemukan tempat ini?"

"Aku yakin ada orang yang membocorkan rahasianya," ujar Po-giok gegetun.

Siau-kong-cu menyeringai, "Mati pun orang-orang Ngo-hing-mo-kiong takkan berani membocorkan rahasia. Apalagi umpama mereka ada maksud membocorkan rahasia ini, tak mungkin bisa tahu alamat yang dijanjikan dalam surat itu."

Po-giok maklum betapa licin dan misterius cara Hwe-mo-sin bekerja, ia yakin Siau-kong-cu tidak membual.

Mendadak Siau-kong-cu bertanya, "Di mana surat itu?"

"Masih aku simpan ..." sahut Po-giok, "setelah kubaca lalu aku simpan dengan baik, tidak mungkin dicuri orang lain."

"Pernah kau beri tahu isi surat itu kepada orang lain?" tanya Siau-kong-cu.

Po-giok tertawa getir, "kau kira aku....."

"Lalu apa yang terjadi," seru Siau-kong-cu mengentak kaki, "tak habis heranku."

Sejak tadi Thi-wah menunduk, wajahnya merah jengah, dengan suara lirih akhirnya ia mengaku, "Apa yang tertulis dalam surat itu, pernah kukatakan kepada seseorang."

"kau?" bentak Siau-kong-cu dengan beringas, "kau bilang ... bilang pada siapa?"

"Aku tidak tahu siapa dia." sahut Thi-wah gugup, "aku ..."

Dengan tergagap ia ceritakan kejadian yang dialaminya di hutan gelap itu.

Tangan kiri Siau-kong-cu mengelus rambut, tangan kanan mengusap pipi, dengan terlongong ia awasi Thi-wah, wajahnya tidak menunjukan mimik apa-apa, akhirnya ia menghela napas perlahan "Kamu memang pintar."

Thi-wah mengira nona ini akan mencaci dirinya, siapa tahu gadis ceriwis ini malah memujinya keruan Thi-wah melengong, serunya, "Ken .. napa engkau tidak mencaciku?"

"Kenapa aku harus memakimu?" Siau-kong-cu balas bertanya.

"Aku ... bukankah aku telah berbuat salah?"

Siau-kong-cu tertawa tawar, "Aku hanya memaki orang yang setimpal aku maki, orang seperti dirimu ..." perlahan ia geleng kepala lalu melengos ke arah lain.

"O, orang seperti diriku tidak setimpal kau maki, begitu? ... Ai, tapi kalau kamu tidak memakiku, hatiku menjadi sedih, tolonglah memaki aku barang dua-tiga patah kata."

Meski gusar, menghadapi kepolosan Thi-wah, tak kuat Siau-kong-cu menahan geli, sambil tertawa akhirnya ia memaki, "Kerbau dungu .... "

Po-giok tampak serius, katanya prihatin. "Orang ini adalah jago Hua-kin-joh-kut-jiu yang lihai, ilmu pedangnya juga hebat, namun berbuat licik dan rendah terhadap Thi-wah, apakah orang ini .... "

Sebelum habis Po-giok bicara, Siau-kong-cu membelalakkan mata dan bertanya, "Siapa yang kau maksud?"

Sambil tersenyum getir Po-giok geleng kepala tanpa bicara.

Dalam keadaan seperti ini pantasnya orang merasa kecewa dan gregetan, tapi ia malah tersenyum dan berdiri. Senyumnya jelas mengandung arti yang dalam, ada sesuatu rahasia di balik senyumannya itu.

Sudah tentu Siau-kong-cu merasa heran, namun ia tahu kalau Po-giok tidak mau menjelaskan, biar ditanya juga takkan memperoleh jawaban yang memuaskan, dengan bersungut ia melengos tidak menghiraukannya lagi.

Bola mata Thi-wah jelalatan, mendadak ia berkata keras, "Aku tidak peduli siapa orang itu, tidak peduli untuk urusan apa dia berbuat demikian, aku hanya ingin tanya pada Toa-ko, sekarang apa yang harus kita lakukan? Ke mana harus pergi?"

"Terpaksa kita harus menunggu di sini," sahut Po-giok.

"Menunggu? Menunggu sampai kapan?" desak Thi-wah.

"Kenapa gugup?" tanya Po-giok tersenyum, "orang lain yang harus gugup, orang itu yang ingin memperoleh sesuatu dari kita, jadi bukan kita yang ingin menarik keuntungan dari dia. Yang terang kita pergi ke Pek-cui-kiong atau tidak sekarang tidak menjadi soal lagi."

Mulutnya bicara dengan Thi-wah, namun matanya mengawasi Siau-kong-cu.

Siau-kong-cu seperti tidak melihatnya mulutnya saja yang bicara, "Untuk apa kamu mengawasiku? Mengawasiku juga tidak berguna."

"Aneh engkau tidak melihatku, dari mana kau tahu aku mengawasimu?"

Siau-kong-cu termenung sebentar, mendadak ia mengentak kaki, katanya manja sambil menoleh, "Gerak-gerikmu selalu aku awasi, jangan kira aku melengos dan sengaja tidak menghiraukan dirimu, padahal tingkah lakumu selalu aku perhatikan, aku suka mengawasi pemuda setampan dan segagah dirimu."

"Terima kasih, engkau terlalu memuji diriku."

"Tapi jangan kamu takabur. Bila kau kira aku tahu bagaimana harus bertindak, kau bakal kecelik, terus terang ke mana selanjutnya kita harus pergi aku pun tidak tahu."

"Apa betul kamu tidak tahu?"

"Di mana letak Ngo-hing-mo-kiong masih merupakan rahasia besar kaum persilatan, hampir tiada kaum Bu-lim tahu di mana letak sebenarnya Ngo-hing-mo-kiong itu. Lalu berapa orang pernah pergi ke Ngo-hing-mo-kiong?"

"Ya ... belum pernah aku dengar."

"Bahwa Hwe-mo-sin tidak tunjuk langsung tujuan yang harus kau capai, bukan dia sengaja main petak dan mencari kesulitan untuk dirinya sendiri, tapi ia kuatir setelah kau tahu tempat ini tanpa sengaja akan membocorkan rahasianya."

"Betul, hal ini sudah aku duga sejak mula."

"Tapi kepergianmu ke Ngo-hing-mo-kiong sudah bukan rahasia lagi, kaum Bu-lim sudah memperhitungkan bahwa Hwe-mo-sin akan memberi petunjuk kepadamu cara bagaimana pergi ke Ngo-hing-mo-kiong, maka dengan berbagai daya upaya mereka berusaha mencegah dan menggagalkan kontak kalian. Tujuannya tidak lain adalah memaksa mereka untuk membocorkan letak sebenarnya Ngo-hing-mo-kiong, jadi mungkin juga usaha mereka bukan

untuk menghalangi kepergianmu ke sana."

"Ya, betul."

"Nah, coba pikir, kenapa orang-orang itu menghalangi mu?"

"Betul ... kalau hanya ingin tahu alamat Ngo-hing-mo-kiong, cukup orang itu menguntit jejakku, kenapa harus menguras tenaga dan pikiran kenapa harus mendahului aku mencapai tempat aku mengadakan kontak dengan Hwe-mo-sin."

Siau-kong-cu mengerling tajam, perlahan ia mengangguk, "Analisamu memang benar ... "

"Aneh, aneh!" mendadak Thi-wah berteriak.

"He, dogol, apanya yang aneh?" bentak Siau-kong-cu.

"Kalian sudah bicara panjang lebar, seolah-olah banyak orang ingin pergi ke Ngo-hing-mokiong, apakah Ngo-hing-mo-kiong tempat pesiar atau istana bidadari, kenapa orang ini pergi ke sana?"

Siau-kong-cu menjelaskan, "Ngo-hing-mo-kiong bukan tempat untuk tamasya, umpama ada orang bisa pergi ke sana jangan harap dia akan kembali lagi. Tapi kenyataan orang masih ingin ke sana, apakah ..."

Kembali matanya mengerling ke arah Po-giok lalu menambahkan, "Untuk apa sebenarnya? Apa kamu tahu?"

"Pemilik Ceng-bok-kiong di antara Ngo-hing-mo-kiong itu dahulu adalah Beng-cu kaum Lok-lim, harta benda yang menjadi koleksinya selama bertahun-tahun, nilainya tentu amat mengejutkan..."

"Betul, manusia mati karena harta, burung mati karena makanan, apa yang kamu kemukakan tadi memang salah satu sebab, tapi ... kecuali itu masih ada sebab lain, kau tahu tidak?"

Po-giok berpikir sebentar, "Aku ingat pernah aku dengar orang bilang, Ui-kim-mo-li anak buah Kim-ho-ong, semuanya gadis-gadis cantik jelita, malah .... "

Malah apa Po-giok tidak meneruskan. Soalnya bukan saja cantik jelita, para Ui-kim-mo-li itu pun genit dan jalang, menguasai ilmu sihir lagi, korban yang jatuh di tangan mereka akan tersiksa dibuai kesenangan surga dunia sampai mampus.

Di hadapan Siau-kong-cu, Po-giok rikuh menjelaskan soal-soal porno ini.

Walau Po-giok tidak menjelaskan, namun muka Siau-kong-cu sudah merah jengah, "Belum lama kamu berkecimpung di kang-ouw, tidak sedikit seluk-beluk kaum Bu-lim kau pelajari, kiranya kau ... kau pun bukan orang baik."

"Ah, aku ... aku hanya dengar orang bilang dan kau pun bertanya ..."

"Sudah, sudah, anggap saja kamu yang benar. Memang ada kaum Bu-lim yang bernyali kecil dalam menghadapi persoalan lain, tapi bicara tentang perempuan nyali mereka menjadi besar, apa masih ada yang lain?"

"Punya harta dan punya bini cantik, memangnya masih kurang?" tanya Po-giok."

"Biasanya kamu serba tahu, kenapa tidak tahu bahwa 'harta dan kecantikan' itu hanya dapat memancing orang-orang kroco kaum Bu-lim, bagi tokoh yang sedikit punya nama dan kedudukan, mana mau memperebutkan harta benda dan tubuh mulus atau surga dunia."

"Habis apa tujuan mereka?" tanya Po-giok.

Siau-kong-cu menyeringai, "Masa tidak pernah aku dengar, bahwa pemilik Bu-tho-kiong dahulu adalah seorang seniman yang romantis, koleksi gambar lukisan dan benda antik yang tersimpan di Bu-tho-kiong, nilainya tidak bisa diukur dengan uang. Sementara Hwe-mo-sin adalah ahli pembuat bahan peledak, keahliannya di bidang ini tiada bandingan di seluruh dunia. Kedua benda ini membuat orang mengiler, baginda raja pun ingin memilikinya. Sayangnya kawanan bayangkari yang bertugas di istana raja juga pusing tujuh keliling bila bicara tentang Bu-thokiong, mana berani mereka mengusik tempat itu."

Po-giok tertawa, katanya, "Betul, harta dan gadis cantik adalah benda yang mudah diperoleh di dunia fana ini, dibanding koleksi Bu-tho-kiong jelas bukan apa-apa, apalagi dibanding kemahiran Hwe-mo-sin."

"Tapi tokoh- yang betul-betul kosen di Bu-lim bukan cuma mengincar itu saja."

"Mengincar apa lagi?"

"Yang mereka incar, adalah ibu mertuamu."

Po-giok tertegun heran, "Ibu mertuaku ... O, maksudmu Cui ... Cui ..."

Siau-kong-cu tertawa dingin, "Kamu adalah suami cilik Cui-Thian-ki, masa sudah lupa?"

"Aku ... aku .... " Po-giok menyengir.

Thi-wah tertawa lebar, "Betul, betul. Kalau tidak kau katakan hampir saja aku lupa, waktu aku bertemu dengan Toa-ko pertama kali, kalau tidak salah pernah menyinggung soal ini."

Po-giok mendelik padanya, tapi Thi-wah malah ngakak.

"Agaknya tidak bisa kau lupakan Cu-Thian-ki adalah binimu, pemilik Pek-cui-kiong dengan sendirinya adalah ibu mertuamu," kata Siau-kong-cu.

"Kalau benar memangnya kenapa?" tanya Po-giok dengan tertawa getir.

"Agaknya kamu ini serupa katak dalam sumur, seluk-beluk ibu mertuanya sendiri pun tidak tahu. Baiklah biar aku jelaskan, ibu mertuamu itu dahulu adalah seorang perempuan tercantik di dunia, entah berapa banyak laki-laki di Bu-lim yang tergila-gila dan bertekuk lutut di depannya, hanya melihat senyum tawanya saja banyak laki-laki yang rela mengorbankan jiwanya."

"Tapi... tapi sekarang ..."

"Maksudmu sekarang dia sudah tua, begitu?" sebelum Po-giok menjawab Siau-kong-cu meneruskan, "kamu keliru, sekarang dia belum kelihatan tua, malah lebih menggiurkan, dibanding sepuluh tahun yang lalu. Apalagi selama belasan tahun ini dia tak pernah muncul di Bu-lim maka orang-orang persilatan menganggap tindak-tanduknya amat misterius tambah kuat daya tariknya ....Entah berapa banyak kaum persilatan yang rela mengadu jiwa hanya untuk bisa bertemu dengan dia."

Po-giok menghela napas tanpa bicara.

Mendadak Thi-wah menyeletuk, "Baiklah, anggaplah letak Ngo-hing-mo-kiong itu amat tersembunyi, orang lain tiada yang bisa menemukan tempat itu, tapi ... apa kau pun tidak tahu?"

"Aku pun tidak tahu," sahut Siau-kong-cu geleng kepala.

"Ah tidak percaya," kata Thi-wah, "kamu pernah tinggal di Ngo-hing-mo-kiong, masa tidak tahu?"

Siau-kong-cu diam sejenak, lalu berkata dengan lesu, "Naik kereta empat kuda, kerai rapat berlapis, tertutup tidak melihat jalan."

Terbelalak mata Thi-wah, "Coba ulangi sekali lagi, aku tidak jelas."

Po-giok menghela napas, "Dia bilang waktu keluar dari Ngo-hing-mo-kiong sepanjang jalan naik kereta yang tertutup rapat, hakikatnya ia tidak melihat jalan, maka juga tidak tahu di mana sebetulnya letak Ngo-hing-mo-kiong."

"O ... jadi mereka juga merahasiakan terhadapmu," Thi-wah manggut-manggut.

"Bukan mereka menyimpan rahasia terhadapku, tapi karena kuatir aku lelah, sengaja menyiapkan sebuah kereta besar dan nyaman untukku ... kereta semacam itu, ehm ... seumur hidupmu pun takkan pernah naik."

Thi-wah tertawa lebar. "Mulutmu memang bawel, tapi hatimu tahu sendiri. Lahirnya orang bersikap baik terhadapmu, padahal engkau tetap dianggap orang luar, untuk keluar masuk jalannya juga dirahasiakan, lalu untuk apa kau bekerja dan menjual jiwa bagi mereka."

Apa yang diucapkan Thi-wah biasa saja, perkataan sederhana, perkataan biasa yang mudah dimengerti, namun perkataan pedas dan menusuk perasaan.

Beberapa patah kata yang diucapkan laki-laki gede ini ternyata membuat Siau-kong-cu yang binal, banyak akal dan lincah ini berdiri tertegun dan terkancing mulutnya, ia bingung, entah Thi-wah ini memang bodoh atau pura-pura bodoh?

Thi-wah bergumam, "Kalau benar demikian terpaksa kita harus menunggu di sini, tapi sampai kapan kita harus menunggu? Toa-ko, coba pikirkan, jalan pemecahannya."

"Wah, susah ..." Po-giok kehabisan akal.

Sekonyong-konyong entah dari mana datangnya suara batuk perlahan, tapi Po-giok, Thi-wah dan Siau-kong-cu mendengarnya dengan jelas.

Sebetulnya suara batuk itu biasa saja, seperti suara batuk manusia umumnya, tapi entah kenapa suara batuk lirih biasa ini ternyata mengandung makna yang tidak biasa, seperti memberi peringatan, atau mungkin juga isyarat tantangan.

Po-giok berhenti bicara, mata Siau-kong-cu juga bercahaya.

"Siapa itu yang batuk?" tanya Thi-wah.

Di luar pintu, agak jauh di sana ada orang bertanya, "Apakah Pui-siau-hiap ada di sini?"

"Nah, sudah datang!" seru Thi-wah, "sudah datang, tidak perlu tunggu lagi."

Lalu ia mendahului memburu keluar. Agak jauh di bawah bayang-bayang pohon di luar pintu pagar sana berdiri sesosok bayangan orang. Bayangan orang itu berdiri tegak kaku seperti tertanam di bumi, dari kepala sampai kaki tidak bergeming, bayang-bayang pohon seperti membungkus sekujur badannya, tidak kelihatan wajahnya, juga tidak tampak mimik sikapnya. Tapi siapa saja melihat bayangan orang ini entah mengapa terasakan bayangan samar-samar tidak bergerak itu seperti menyebarkan hawa membunuh.

Thi-wah adalah orang polos melihat bayangan orang ini seketika ia berhenti di ambang pintu napas pun terasa berat.

"Siapa kau?" Po-giok menegur dengan suara berat.

Terpancar secercah cahaya pada wajah orang itu, cahaya mata. Ternyata baru sekarang ia membuka kedua matanya, tapi badan tidak bergeming, tanpa bicara. Ternyata si belang yang tadi sembunyi di kamar entah sejak kapan juga memburu keluar. Melihat bayangan orang dan merasakan suasana yang menegangkan ini, mendadak telinganya berdiri, ekornya juga menegak. Sambil mengerang matanya menatap buas, sambil

menggonggong mendadak si belang menerjang.

"Hei, belang!" bentak Po-giok kaget, "berhenti .... "

Tapi belum habis Po-giok bicara, mendadak dilihatnya selarik sinar berkelebat, tahu-tahu si belang roboh binasa dengan tubuh terbelah dua.

Thi-wah berdiri kaku, walau ada maksud mencaci orang, tapi lidahnya terasa kelu, sepatah kata pun tak kuasa diucapkan.

Bayangan orang yang serba hitam itu kini memegang sebatang golok panjang.

Daripada disebut golok panjang lebih tepat gaman orang ini disebut pedang. Dari gagang pedang hingga ujungnya lurus seperti panah, tiada lengkung atau bengkok sedikitpun. Tapi kenyataan senjata itu adalah golok. Golok bermata satu, hanya pedang yang bermata dua.

Po-giok menatap bulat golok panjang itu, lama-lama sorot matanya juga memancarkan cahaya.

Setelah lama mengawasi akhirnya ia berseru memuji, "Golok bagus!"

"Ya, golok bagus" orang itu pun bersuara.

Berat suara Po-giok, "Peng-keh-to dari Ngo-hou-toan-bun-to, goloknya agak lebar, Kwi-to-ting dari Thai-hang di San he, badan goloknya agak pendek, kecuali itu badan goloknya sedikit bengkok."

"Betul," bayangan itu bersuara pendek.

"Tapi golok ini bukan buatan Tiong-toh," ucap Po-giok tegas.

"Golok ini memang tidak ada di Tiong-toh," ujar orang itu.

Berkerut alis Po-giok, hardiknya dengan beringas, "Golok ini dari Tang-ing!"

"Golok ini datang dari Tang-ing," ucap orang itu tegas.

"Engkau siapa kawan?" tanya Po-giok.

Orang itu terbahak sambil melangkah maju. Di bawah sinar bintang tertampak orang ini berpakaian ketat serba hitam, kepala mengenakan kerudung hitam pula, yang kelihaian hanya kedua biji matanya bola matanya berkilauan padahal matanya belum terbuka lebar.

Po-giok membentak pula, "Siapa kamu sebenarnya?"

Orang itu tertawa panjang, "Bukan teman baru juga bukan kawan lama. Umpama aku jelaskan siapa diriku kau pun tidak akan mengenalku."

"Lalu untuk keperluan apa kamu kemari?" tanya Po-giok.

Mendadak orang itu berhenti tertawa, katanya tandas, "Seorang sahabat dari Tang-ing titip sebatang golok padaku untuk diserahkan kepadamu.

"Pek-ih-jin maksudmu?" seru Po-giok kaget.

"Betul, memang dia!" sahut si baju hitam.

Menghadapi utusan Pek-ih-jin dengan golok yang mengandung hawa membunuh, sikap Po-giok sedikit pun tidak menampilkan rasa gugup, takut atau ngeri, sorot matanya malah berubah tajam dan jernih, sikap juga kelihatan tenang dan wajar. Matanya menatap golok panjang itu, Thi-wah dan Siau-kong-cu mengawasi dia.

Setelah sekian saat mengawasi Pui-Po-giok, lambat-laun berubah air muka Siau-kong-cu, sikap biasanya yang selalu mencemooh dan meremehkan sinar matanya yang cerdik tapi pongah, kini berubah prihatin, perasaannya seperti tertekan. Prihatin yang mengandung rasa takut tapi hormat, kagum namun juga iri.

Sebetulnya yang dipandang adalah kekasihnya laki-laki pujaan hatinya, tapi ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa pujaannya lebih kuat, lebih unggul dan lebih pintar dari dia.

Dilihatnya Po-giok tertawa tawar. "Bahwa Pek-ih-jin dari Tang-ing menyerahkan sebatang golok kepada tuan, tentu golok itu amat berharga. Namun bagaimana Pek-ih-jin bisa tahu bahwa di dunia ini ada seorang bernama Pui-Po-giok?"

"Pek-ih-jin tidak menunjuk bahwa golok ini harus kubawa untukmu," demikian kata si baju hitam.

Po-giok tersenyum, "O, jadi tuan sendiri yang bermaksud menghadapiku?"

Bab 24. Misteri Kapal Layar Pancawarna

Golok ini memang pemberian Pek-ih-jin, dengan harapan supaya aku dapat menghadapi tokoh paling kosen di Bu-lim. Setahun sudah aku berkelana di kang-ouw, tidak sedikit kaum Bu-lim yang sudah kuhadapi, namun belum seorang pun yang setimpal menyambut golok ini, maka golok ini masih berada di tanganku sampai sekarang.

Po-giok manggut-manggut, "Jadi belum ada tokoh kang-ouw yang pernah menyaksikan jurus golok ini?"

"Bukan hanya kaum Bu-lim di Tiong-toh saja yang belum pernah lihat, di kolong langit ini orang yang mengenal jurus golok ini mungkin aku yakin belum dan tidak akan ada orang ketiga."

"Jurus golok ciptaan Pek-ih-jin sendiri?" tanya Po-giok.

"Betul," sahut si baju hitam.

Mendadak berubah serius air muka Po-giok, dengan hormat ia menjura.

Si baju hitam tertawa dingin, "Kenapa tuan mendadak pakai peradatan? Apa ingin kau bawa pulang golok ini?"

Po-giok tertawa lebar, "Dari ribuan li tuan datang kemari, tidak pantas aku membuat tuan bercapek lelah. Hormatku aku tunjukan kepada tuan sebagai seorang ksatria yang tiada bandingan di dunia ini."

Sampai di sini ia merandek, sebelum orang bicara ia meneruskan lagi, "Bahwa Pek-ih-jin telah menurunkan jurus rahasia yang lihai itu kepada tuan, tentu dia yakin dan percaya penuh kepada tuan, kalau Pek-ih-jin memberi penghargaan setinggi itu kepada tuan, mana berani Po-giok berlaku kasar dan memandang rendah."

"Bagus orang bilang pupur dihadiahkan pada gadis jelita, pedang sakti diberikan pada ksatria sejati. Bahwa golokku ini dapat aku serahkan kepada tokoh seperti engkau , tidak sia-sia lah perjalananku ini."

"Terima kasih. Tuan terlalu memuji."

"Aku juga menghargaimu sebagai ksatria, maka perlu aku beri tahu beberapa patah kata padamu."

"Silakan bicara!"

"Golok ini tajam tiada bandingan, tapi Pek-ih-jin sendiri juga merasakan jurus ciptaannya ini masih dapat dipecahkan ..."

"O, demikian ...."

"Tapi jangan kamu terburu senang, kelemahan jurus ilmu golok ini amat sulit dijajaki, kecepatan permainan golok ini laksana kilat menyambar, begitu sinar golok berkelebat, serangan pun tiba, meski kamu seorang cerdik pandai, belum tentu dapat menyelamatkan diri apalagi memecahkan kelemahan jurus ilmu golok ini dalam waktu secepat samberan kilat itu."

Dari samping Thi-wah mendadak membantah, "Dari mana kau tahu Toa-ko ku tidak mampu?"

Si baju hitam anggap tidak mendengar ocehannya. "Dan lagi, bila jurus ini dilancarkan, begitu darah muncrat jiwa pasti melayang. Kalau kamu tidak ingin menghadapi jurus golok ini, katakan terus terang sekarang sebelum terlambat"

Po-giok tersenyum ramah, "Aku justru ingin menjajalnya."

"Bagus!" seru si baju hitam.

"Silakan!" ucap Po-giok dengan hormat.

Tangan Po-giok yang terangkap di depan dada sampai diturunkan, tangan kiri masih berada di bawah Yo-coan-hiat sebelah kiri, sementara tangan kanan terhenti di pinggir Khi-yang-hiat, perlahan gerak tangan Po-giok, tapi pada posisinya itu mendadak berhenti tanpa bergerak lagi, soalnya jurus golok lawan sudah siap dilancarkan, bila dirinya menunjuk sedikit gerakan, akibatnya ia bisa melayang dengan percuma.

Kini jarak antara kedua tangannya kira-kira satu kaki, bagi seorang jago silat yang sudah punya dasar yang kuat, sekali pandang orang akan tahu gaya Po-giok sekarang memperlihatkan banyak segi kelemahan.

Cemas hati Siau-kong-cu, diam-diam ia menghela napas, batinnya, "Pui-Po-giok, wahai Pui-Pogiok, kamu berani gegabah dan takabur. Dengan gayamu sekarang dari atas sampai ke bawah segi kelemahanmu sedikitnya ada tiga-empat puluh tempat, cukup sejurus serangan yang paling awam pun pasti dapat merobohkan dirimu, apalagi.. apalagi jurus golok yang luar biasa ini, agaknya jiwamu sudah ajal hari ini."

Di samping gemas dan ingin supaya Po-giok segera mampus di bawah serangan golok si baju hitam, namun lubuk hatinya yang paling dalam amat berharap Po-giok menang dan menguatirkan keselamatannya. Ke manakah kiblat isi hati Siau-kong-cu sebenarnya? Dia sendiri pun tidak tahu.

Thi-wah sebaliknya sangat senang dalam hati membatin, "Toa-ko memang tidak malu sebagai Toa-ko ku, hanya dia saja yang dapat menunjukkan gaya yang begitu menakjubkan, dan hanya dia saja yang berani mengunjuk gaya serba aneh, kuyakin di kolong langit tiada orang lain dapat bergaya dengan segi kelemahan sebanyak itu, padahal makin banyak segi kelemahan, lawan menjadi bingung dan tidak tahu dari arah mana serangan harus dilancarkan, bukankah gaya pertahanannya itu berarti amat rapat seolah-olah tiada segi kelemahan malah. Ha, tidak, lebih tepat dikatakan gayanya itu tiada segi kelemahannya, gaya yang sempurna. Hihi, gaya yang paling rapat dan kukuh, haha, sungguh aneh, sungguh bagus sekali."

Keheningan mencekam perasaan terus berlangsung kira-kira setengah jam lamanya.

Thi-wah merasa kaki tangan linu kesemutan, namun ia tidak berani bergerak. Kalau penonton saja ikut tegang dan tidak berani bergeming, apa lagi Pui-Po-giok.

"Aneh," demikian batin Siau-kong-cu, "kenapa orang ini belum juga turun tangan! Apa sengaja ingin menyiksa batin Po-giok? Setelah Po-giok menderita lahir batin ... atau dia maklum serangan goloknya akan menamatkan jiwa Po-giok sehingga tak tega turun tangan?"

Makin dipikir makin ruwet, padahal persoalan mudah dan sederhana, tapi dalam pemikirannya justru menjadi rumit dan sukar dipecahkan. Itulah buktinya bahwa Siau-kong-cu memang setaraf lebih tinggi dibanding orang lain.

Dari segala keruwetan itu akhirnya lahirlah buah pikirannya.

"O, ya, gaya yang diperlihatkan Po-giok terlalu banyak segi kelemahannya, sehingga lawan kebingungan tak tahu dari posisi mana harus turun tangan, oleh karena itu ia bimbang dan tidak berani bertindak. Hah, jadi yang tersiksa dan menderita justru dirinya sendiri dan bukan Po-giok. Bagus! Sungguh menyenangkan!"

Mendadak sinar golok mulai bergerak. Si baju hitam memegang golok dengan kedua tangan, tubuhnya berputar perlahan, dengan kaki kiri sebagai poros, tubuh mendadak berputar secara aneh dan lamban.

Seiring dengan gerak tubuh yang berputar, golok panjang itu juga menggaris menjadi lingkaran. Begitu indah gerakan berputar, begitu mempesona lingkaran itu, sehingga Thi-wah dan Siau-kong-cu melongo takjub.

Setelah berputar satu lingkar, tubuh si baju hitam dan golok panjang itu seolah-olah manunggal, berubah menjadi kesatuan yang tidak dapat dipisahkan lagi.

Menyusul secara tiba-tiba sinar golok bergetar entah bagaimana sinar golok itu akhirnya berubah menjadi tabir kemilau, laksana kilat menyerang ke arah Po-giok. Sasaran mana yang diserang pada tubuh Po-giok?

Siapa pun tidak tahu dan tidak bisa melihat. Karena samberan tabir kemilau itu berlangsung dalam waktu sekejap. Tapi sekejap yang hanya sekejap itu justru dapat menentukan mati hidup manusia.

Siau-kong-cu dan Thi-wah hanya melihat bayangan orang sekali berkelebat angin samberan golok, bayangan cahaya, lalu secara ajaib seluruhnya berhenti mendadak.

Kalau tadi berhadapan, kini Po-giok dan si baju hitam pindah tempat, saling membelakangi. Golok panjang di tangan si baju hitam terangkat tinggi di atas, sementara tangan kiri Po-giok melindungi dada, sedang tangan kanan laksana sayap terpentang ke belakang. Seperti dua patung bergaya berdiri mungkur tanpa bergerak.

Siapa yang menang? Mana yang kalah?

Keheningan mencekam terasa mencurigakan, membuat orang tegang menahan napas. Entah beberapa kejap kemudian, seperti singkat tapi juga terasa amat lama.

Akhirnya si baju hitam membuka suara, "Jurus bagus!"

Belum habis mengucap dua patah kata, mendadak tubuhnya ambruk tersungkur.

Po-giok yang menang.

"Toa-ko menang ... Toa-ko menang .... " Thi-wah bersorak kegirangan.

Mendadak Po-giok membalik tubuh melompat ke samping si baju hitam yang rebah di tanah, serunya gugup dan kuatir, "Bagaimana keadaan anda?!"

Si baju hitam tertawa pedih. "Bagaimana?" desisnya lirih, "Sudah kalah ... sudah kalah"

Beruntun ia mengucap empat kali "sudah kalah", suaranya makin lemah dan lirih, makin sedih memilukan, akhirnya pun berhenti.

Sambil mengertak gigi mendadak Po-giok menyobek baju di depan dada si baju hitam, di bawah sinar bintang, tampak oleh Po-giok dada si baju hitam ternyata hitam memar.

Ternyata sejurus waktu kedua orang saling bentrok barusan, Po-giok mengayun balik telapak tangan, kanan dan secara telak menghajar dada si baju hitam, walau pukulan telapak tangan itu tidak meninggalkan bekas telapak tangan di dadanya, tapi seluruh tulang dada si baju hitam terpukul patah dan hancur.

Betapa dahsyat tenaga pukulan yang dilancarkan Po-giok?

Po-giok menunduk sedih, katanya, "Cai-he salah tangan ... pukulan ini ... terlalu berat ... terlalu berat..."

Po-giok bilang "terlalu berat" karena ia maklum dengan luka separah itu si baju hitam tidak mungkin tertolong jiwanya.

"Kejadian ini ... tidak boleh menyalahkan engkau ," desis si baju hitam.

"Akulah yang salah ... aku yang harus disalahkan. Aku tidak bermusuhan dan tiada dendam denganmu, tidak pantas ... "

"Ah," desis si baju hitam, "mana boleh menyalahkanmu, akulah yang memaksamu turun tangan, terpaksa kamu harus membela diri ... akulah yang memaksamu melancarkan jurus mematikan ini .... "

Suara si baju hitam makin lemah, mendadak ia tertawa pedih lagi, "Sebenarnya, bukan aku yang memaksamu, jurus ilmu golok itulah yang memaksamu. Bukankah tadi sudah kubilang, bila jurus itu dilancarkan harus melihat darah dan jiwa pasti melayang!"

Merinding Po-giok, "Jadi ... kau tahu jurus itu ..."

"Betul." tukas si baju hitam, "aku sudah tahu sejak mula bila jurus ilmu golok itu aku lancarkan, kalau bukan engkau yang mampus, tentu akulah yang gugur. Dalam hal ini hakikatnya engkau tidak diberi kesempatan untuk memilih."

"Tapi ... kenapa untuk urusan orang lain kau rela mempertaruhkan jiwa sendiri?"

Memilukan tawa si baju hitam, napasnya mulai memburu, "Sebelum Pek-ih-jin menurunkan jurus golok ini padaku dia sudah menjelaskan bahwa di dunia ini tiada orang mampu memecahkan jurus ciptaannya ini, aku akan malang melintang di dunia kang-ouw, sebaliknya bila ada orang tahu dan mampu memecahkan jurus ini, jiwaku yang akan melayang. Cukup lama aku mempertimbangkan hal ini baru menerima ajarannya. Itu berarti aku rela

melakukannya, kenapa harus menyalahkan orang lain?"

"Betapa besar arti jiwa raga ini, tapi kau pertaruhkan untuk sejurus pelajaran ilmu golok, apakah ... apakah setimpal?"

"kau bilang apa setimpal?" si baju hitam bertanya.

"Betul," sahut Po-giok setelah menghela napas panjang. "jurus itu memang dapat mengejutkan bumi dan memecahkan nyali setan dan malaikat. Sayangnya hawa membunuh yang terkandung pada jurus itu teramat tebal. Kalau bukan karena hawa membunuhnya teramat tebal, aku takkan dapat memecahkannya."

Agak lama si baju hitam menelaah dan meresapi kata-kata Po-giok, akhirnya ia mengangguk perlahan, "Tidak salah, tidak salah .... Karena hawa membunuh terlalu tebal, menjadi kehilangan keuletan, meski tajam golok luar biasa, akhirnya terpecahkan juga .... "

Mendadak ia menarik napas lalu meninggikan suara, "Tapi kecuali engkau Pui-Po-giok, siapa manusia di dunia ini yang dapat memecahkan jurus ini."

"Kukira tidak demikian." tiba-tiba Siau-kong-cu menjengek.

"Tidak demikian? kau tahu asal-usul jurus itu?" bentak si baju hitam bengis.

Siau-kong-cu mendongak mengawasi langit, katanya, "Apa kau tahu?"

"Pernahkah kau dengar jurus It-nu-sat-liong-jiu dari ilmu Sam-coat-jiu Siau-lim-pai? Pernah kau dengar jurus Ban-koh-it-ki-kai-thian-te yang oleh Liu-tai-hiap dulu digunakan malang melintang di dunia kang-ouw?"

"Ya, pernah aku dengar bahwa kedua jurus ilmu silat itu merupakan dua jurus yang paling ampuh di Bu-lim masa itu, tapi ... apa sangkut-pautnya kedua jurus itu dengan jurus yang kau lancarkan tadi?"

Si baju hitam tidak menghiraukan pertanyaan Siau-kong-cu, tapi berkata sendiri, "Apa kau juga pernah dengar bahwa tiga aliran besar kaum persilatan di Tang-ing, ada satu jurus yang dinamakan Ni-hong-it-to-jan dari It-liu-thai-to?

"Walau aku belum pernah dengar, tapi jurus yang satu ini pasti merupakan jurus yang paling hebat di kalangan Bu-lim di Tang-ing sana, betul tidak?"

"Betul!" desis si baju hitam, "jurus yang aku lancarkan tadi memang salah satu jurus yang diciptakan oleh Pek-ih-jin, jurus itu merupakan kemanunggalan ketiga jurus ilmu silat yang aku sebutkan tadi, maka dapat kau bayangkan betapa hebat wibawa jurus ciptaannya itu."

Setelah menahan diri untuk bicara sebanyak itu, tenaga terpendam yang masih tersisa di badan si baju hitam agaknya sudah terkuras habis, kini ia harus berhenti dan mengatur napasnya yang empas-empis.

Karena si baju hitam tidak bicara, Po-giok dan Siau-kong-cu juga tidak bicara. Apalagi Thi-wah jelas ia pun tidak punya omongan, tiga orang pentang mata mengawasinya dengan terbelalak.

Po-giok mengawasi dada orang yang ringsek karena pukulannya, sikapnya kelihatan menyesal dan sedih. Siau-kong-cu mengawasinya seperti merasa curiga, seolah-olah ingin menyelidiki sesuatu yang ingin diketahui.

Thi-wah ternyata mengawasi satu benda yang terikat di pinggang orang, sudah sejak tadi ia mengawasi buntalan ini, wajahnya tampak tertarik dan ingin memilikinya.

Bentuk benda itu memang agak aneh, selintas pandang mirip kantung air, tapi kalau kantung air kenapa banyak lubang kecil seperti sarang tawon.

Suasana kebetulan amat hening, dan dalam benda yang bentuknya seperti kantung air itu terdengar suara lirih yang aneh. Benda apa yang berbunyi dalam kantung air yang bolong-bolong ini? Thi-wah menerka-nerka, tapi tidak memperoleh jawabnya.

Mendadak didengarnya Siau-kong-cu menjerit perlahan, katanya, "Ah, betul, pasti dia adanya."

Po-giok bertanya. "Apa kau bilang? Dia siapa?"

Siau-kong-cu tidak menjawab, mendadak ia meraih tutup kepala si baju hitam, maka tampaklah seraut wajah yang pucat pasi.

"He, engkau ... bagaimana bisa kamu?" teriak Po-giok kaget.

Si baju hitam ternyata Thi-kim-to adanya yang sudah berpisah sekian tahun dan tidak pernah terdengar kabar beritanya.

Po-giok memang sudah merasa bentuk dan perawakan si baju hitam mirip seseorang yang sudah dikenalnya, tapi sejak berpisah di Gak-yang-lau dahulu hingga sekarang belum pernah bertemu lagi dengan orang ini, sudah tentu sukar mengingatnya kembali.

Kejadian di Gak-yang-lau dulu sudah berselang tujuh tahun. Terbayang oleh Po-giok waktu itu dirinya bersama Siau-kong-cu mencuri lihat di belakang kerai dalam kapal layar pancawarna waktu Ci-ih-hou menerima Boan-jiu-hu-hou-to ini untuk mohon belajar ilmu silat padanya.

Siau-kong-cu berkata sambil mengawasi Thi-kim-to, "Aneh bukan? Bagaimana aku bisa mengenal dirimu?"

Thi-kim-to tertawa kaku, "Ya, aku pun heran ... walau kutahu nona adalah putri kesayangan Ciih-hou-ya, tapi tidak Aku ingat kapan nona pernah bertemu dengan aku."

"Biar aku beri tahu padamu," ucap Siau-kong-cu tertawa, "waktu kak Ling-ji mengajarkan Kiankun-boh-thian-sek untuk mematahkan Poan-liong-kau itu, aku dan ... dia, sudah melihatmu dari balik kerai."

Thi-kim-to menghela napas, "Sungguh mengagumkan, berselang sekian tahun nona masih mengenal diriku."

"Sudah tentu masih Aku ingat," ucap Siau-kong-cu bangga, "setiap orang yang pernah aku lihat sekali saja, meski dia menjadi abu juga masih dapat aku kenali ..."

Sengaja ia melirik ke arah Po-giok, lalu melanjutkan dengan suara dingin, "jangankan hanya manusia, sepatah kata yang pernah diucapkan orang pun akan selalu Aku ingat."

"Sepatah kata apa?" tanya Po-giok tertarik.

Siau-kong-cu mendongak ke atas tidak menghiraukannya, namun dalam hati ia berkata, "Orang bilang aku takkan bisa menandingi dirimu, apa benar hal itu? Cepat atau lambat kau pasti mati di tanganku."

Karena rasa ingin menang itulah segala sesuatunya selalu berjalan saling bertentangan. Umpama benar dia berhasil membunuh Po-giok, dia juga tidak ingin hidup sendiri, tapi itu urusan lain urusan nanti.

Po-giok menghela napas panjang, matanya masih mengawasi Thi-kim-to, orang yang sudah sekarat ini akan mati di tangannya, perkara lama dan urusan di depan mata, sekaligus bergejolak dalam sanubarinya.

Sekian lama ia kehabisan kata, entah apa yang harus diucapkan, namun akhirnya ia tertawa getir "Selamanya tidak akan aku lupakan. Thi ... Thi-tai-hiap dan Poan-liong ..."

Thi-kim-to tertawa ewa, katanya lirih, "Perlu Pui-siau-hiap ketahui, persoalanku dengan Poanliong-kau itu sudah tidak perlu diperpanjang lagi."

"Oo, kenapa? Permusuhan kalian sudah didamaikan?"

"Bukan," sahut Thi-kim-to "akhirnya Poan-liong-kau gugur di tanganku."

"kau ... kau ..." tergetar perasaan Po-giok.

Thi-kim-to memejamkan mata, sejenak kemudian ia berkata pula, "Dengan jurus tadi aku berhasil membunuhnya. Sungguh tak nyana akhirnya aku juga gugur karena jurus itu, aku memperoleh pelajaran ... bukankah ini sangat aneh? Kalau di dunia ini tiada jurus ini, dia tidak akan mati, aku pun tidak mati."

"Lantaran ... ingin mengalahkan Poan-liong-kau , baru kau terima jurus ciptaan Pek-ih-jin ini," demikian kata Po-giok sedih, perasaannya menjadi dingin.

"Ci-ih-hou sudah wafat, tiada guru yang baik di kang-ouw," demikian ucap Thi-kim-to, "maka aku berlayar jauh ke Tang-ing, setengah tahun lamanya aku mencari dia, syukur akhirnya aku bertemu dengan Pek-ih-jin, kumohon padanya pelajaran supaya aku bisa menang."

"Bahwa dia menerima permohonanmu, sungguh di luar dugaan."

"Semula ia bersikap tak acuh dan sama sekali tiada hasrat menerima diriku, malah tidak jarang aku dihina dan dicaci maki, tapi entah kenapa dalam pertemuan lain mendadak ia berubah pikiran."

"Mendadak berubah pikiran? Soal apa membuatnya berubah pikiran?" ucap Po-giok sambil tepekur.

Sesaat lamanya keadaan menjadi hening. Sejak tadi perhatian Thi-wah tertuju pada benda di pinggang Thi-kim-to, tanpa peduli orang lain mendadak ia menghampirinya lalu meraih kantung itu.

Berubah hebat air muka Thi-kim-to, teriaknya dengan serak. "Lepas ... lepaskan ... kembalikan ... "

Thi-wah malah menyingkir jauh, katanya, "Jangan pelit, aku hanya ingin tahu apa isinya, nanti aku kembalikan."

"Jangan, jangan kau lihat ... kantung itu ... jangan dibuka!" Thi-kim-to tampak gugup.

"Hanya melihat sebentar, kenapa sih, isinya kan tidak bakal terbang dan hilang?" sembari bicara Thi-wah membuka mulut kantung.

Belum habis ia bicara kantung itu sudah membuka dan "berrr", isi kantung benar-benar terbang keluar.

Kali ini Thi-wah yang tertegun, ia mendongak mengawasi udara, setitik putih laksana panah melesat tinggi ke angkasa, hanya sekejap lenyap entah ke mana.

Akhirnya Thi-wah menjerit kaget dan heran, "He, burung, seekor burung. Orang ini membawa burung."

Wajah Thi-kim-to tampak gugup, kuatir dan menyesal, suaranya lirih gemetar, "Itu bukan burung biasa, tapi burung dara."

"Burung dara sudah terbang tidak perlu dibuat perkara, paling banyak ... nanti kuganti seekor yang lebih bagus." demikian ucap Thi-wah!

Melihat Thi-kim-to gugup dan kuatir hanya lantaran seekor burung dara, Po-giok dan Siaukong-cu merasa heran. Siau-kong-cu bertanya, "Apakah burung dara itu burung sakti?"

"Tidak ... ai, bukan!" kata Thi-kim-to.

"Burung dara itu membawa sesuatu pusaka?" tanya Siau-kong-cu pula.

"Tidak ... juga bukan." serak suara Thi-kim-to.

"Ini tidak, itu bukan, kenapa begini tegang?" tanya Siau-kong-cu.

Mata Thi-kim-to melotot mengawasi arah burung dara, wajah tampak sedih, kuatir dan tobat, gumamnya, "Kalau burung dara itu kembali ... Pek-ih-jin akan segera datang."

"Huh, ucapan apa itu?" jengek Siau-kong-cu.

Meski ia tidak paham apa makna perkataan Thi-kim-to, tapi dari sorot matanya, Siau-kong-cu mendapat firasat adanya sesuatu yang tidak beres, mau tidak mau air mukanya ikut berubah.

"Sebelum aku berangkat pulang," demikian tutur Thi-kim-to, "Pek-ih-jin menyerahkan burung itu kepadaku, dia berpesan bila ada orang dapat mematahkan jurus ciptaannya itu, burung dara harus kulepas biar pulang, dan bila burung dara itu tiba di tempatnya, ia segera berangkat kemari."

"Kalau burung dara itu tidak kembali?".

"Burung dara tidak kembali berarti jurus ciptaannya itu tiada bandingan di Tiong-toh, hanya sejurus ciptaannya yang dia turunkan kepadaku, sudah malang melintang di dunia tanpa tandingan lalu buat apa dia meluruk kemari? Kalau dia tidak datang, bukankah tiada bencana lagi di Bu-lim?"

Tergetar hati Po-giok Siau-kong-cu malah berkata, "Untuk menghindarkan bencana di Bu-lim, meski sudah berjanji dengan Pek-ih-jin, kau putuskan untuk tidak melepaskan burung itu, begitu?"

Thi-kim-to menghela napas panjang, "Dengan berbuat begitu meski ingkar janji terhadap Pekih-jin, namun secara langsung aku sudah menolong banyak jiwa kaum persilatan di sini, kurasa cukup setimpal apa yang kulakukan."

Siau-kong-cu menyeringai, "Kalau benar kamu bermaksud baik, kenapa burung dara itu selalu kau bawa? Seharusnya disembelih dan digoreng saja kan enak."

"Semula kupikir kalau aku mati, mati-hidup orang lain peduli amat dengan diriku? Biar Pek-ihjin mencuci Tiong-goan dengan banjir darah, tapi sekarang aku sudah dekat ajal, entah kenapa menjelang ajal pikiranku mendadak berubah.

Siau-kong-cu menatapnya tajam, kemudian ia menghela napas, sambil manggut ia berkata lirih.

"Betul, seseorang bisa berubah pikiran menjelang ajalnya, umpama dia seorang durjana yang jahat dan kejam, pada saat mendekati ajalnya, dia pun ingin melakukan sesuatu yang baik untuk bekal perjalanan ke alam baka."

Sejak tadi Thi-wah berdiri melongo, mendadak ia tampar muka sendiri, air mata pun bercucuran, katanya keras, "Akulah yang salah ... aku harus mampus ... "

Mendadak ia berlutut di depan Po-giok serta meratap dengan pilu, "Toa-ko, Thi-wah pantas dihukum mampus, pukul lah aku sampai mampus!"

Po-giok malah geleng kepala, katanya sambil menghela napas. "Dalam hal ini kau tidak dapat disalahkan."

"Oo, kenapa aku tidak disalahkan?... Kalau burung dara tidak aku lepaskan, Pek ih-jin tidak ...."

"Umpama kau tidak melepas burung dara itu kembali, cepat atau lambat Pek-ih-jin juga akan datang," demikian tukas Po-giok.

"Agaknya Pui-siau-hiap masih belum percaya padaku?" ujar Thi-kim-to.

Po-giok menghela napas pula. "Bukan aku tidak mempercayaimu, soalnya aku sudah tahu dan membongkar maksud tujuan Pek-ih-jin dengan muslihatnya ini."

"Apa maksud tindakanmu ini?" tanya Thi kim-to.

Po-giok termenung mengawasi mega, perlahan berkata, "Setelah dia menciptakan jurus sendiri belum tahu apakah ada kelemahan jurus ciptaannya, juga belum tahu pasti di mana letak kelemahannya, kebetulan engkau mohon belajar padanya, maka kamu dijadikan kelinci percobaan. Di situlah maksud tujuannya menurunkan jurus ciptaannya kepadamu, padahal betapa nyentrik watak dan perbuatannya, mana mungkin mau menurunkan sejurus ciptaannya yang memeras tenaga dan keringatnya itu kepadamu?"

"Betul ... memang betul .... " Thi-kim-to menjadi lunglai, mendadak matanya mendelik serta berteriak, "Ya, tidak salah! Tidak salah!"

"kau ingat apa lagi?" tanya Po-giok.

"Waktu menyerahkan burung dara itu padaku lebih dulu mengikat benang sutera pada kaki burung itu, secara tidak sengaja aku melirik kebetulan dapat aku lihat secarik kertas tipis yang dia gulung dan diikat di kaki burung dara itu bertuliskan dua huruf."

"Dua huruf apa?" tanya Po-giok.

Thi-kim-to menghela napas, katanya, "Bawah ketiak. Yang ditulis itu adalah 'bawah ketiak'."

Lama Po-giok tepekur, lalu menarik napas sambil mendongak, "Ya, memang demikian halnya. Orang ini memang seorang jenius dalam kalangan persilatan, waktu menciptakan jurus ilmu goloknya dia sudah memperhitungkan lubang kelemahan jurus ciptaannya itu ada di bawah ketiak, namun ia sendiri tidak berani memastikan kebenaran dugaannya itu."

"Ya, setelah burung dara itu kembali, ia yakin bahwa perhitungannya tepat."

Po-giok tertawa getir, "Betul, itulah tujuannya kenapa dia minta kau lepas burung dara itu pulang setelah kamu gugur. Padahal dia sudah mengirim berita bahwa musim bunga tahun depan akan datang ke Tiong-goan, mana mungkin dia ingkar janji. Umpama burung dara itu kau bunuh juga dia akan meluruk ke Tiong-goan."

Mendadak Thi-wah tertawa riang, air mata meleleh di pipinya, katanya riang, "Kalau demikian, Thi-wah tidak salah lagi bukan?"

Napas Thi-kim-to tambah berat dan makin sesak, katanya serak, "Kalau dia sudah tahu kelemahan jurus ciptaannya itu ada di bawah ketiak dengan kecerdasannya sebetulnya ia dapat mencari jalan pemecahannya, dan sia-sia aku menjadi umpan percobaannya, aku bukan saja mencelakai awak sendiri, aku juga membunuh orang lain, aku .... kenapa aku berbuat sebodoh ini, mencelakai orang lain juga membunuh diri sendiri ... "

Suaranya makin serak dan lirih, sikapnya juga amat menderita dan duka.

Mendadak kedua tangannya memukul dada seraya berteriak, "Aku mati penasaran ... penasaran ... "

"Bluk", dengan sisa tenaga yang ada ia pukul dada sendiri yang ringsek, seiring dengan bunyi "bluk" itu, jiwanya pun melayang.

Siau-kong-cu mengawasi Po-giok, mendadak ia tanya, "Apa betul hanya di tempat itu saja lubang kelemahan jurus itu?"

Po-giok mengangguk, "Ya, titik kelemahan jurus itu memang di bawah ketiak. Sebetulnya aku tidak mampu memecahkan jurus itu, setelah sinar golok menyamber tiba di depan mata, kutahu jiwaku tak bisa diselamatkan lagi ... "

Setelah tertawa getir, Po-giok melanjutkan. Dalam waktu sekejap itu, aku lihat tabir sinar golok yang putih kelabu, cahaya golok seolah-olah, membalut sekujur tubuhku."

"Lalu cara bagaimana kamu berhasil memecahkannya?" tanya Siau-kong-cu.

"Dalam sekejap itulah, mendadak kudapatkan di tengah lingkaran cahaya golok yang paling tebal ternyata bercampur dengan warna hijau dan coklat yang samar-samar. Hal ini dapat aku simpulkan bahwa di tengah lingkaran sinar golok yang paling tebal justru ada lubang kelemahannya, lubang itulah yang menimbulkan gambaran samar-samar dari warna hijau dan coklat dari pepohonan di belakangnya. Bahwa titik kelemahan justru berada di tengah lingkaran sinar golok yang tebal, hal ini sebetulnya membuat hatiku bimbang dan heran, namun dalam saat genting itu mana dapat aku pikirkan persoalan ini, terpaksa aku bertindak dengan

menyerempet bahaya."

"Sekali dicoba ternyata berhasil," sorak Siau-kong-cu senang.

Po-giok menghela napas, "Waktu itu aku betul-betul tidak menduga bahwa percobaanku bakal berhasil. Seperti memejamkan mata saja langsung aku terjang ke tengah lingkaran sinar golok yang paling tebal. Dalam keadaan seperti itu, tindakanku itu, ibarat laron menerjang api."

"Jurus laron menerjang api yang bagus sekali!" Siau-kong-cu berkeplok memuji. "jurus itu dapat dijajarkan dengan jurus Ju-cian-ci-pok (membikin sawang membelenggu sendiri) ciptaan Jit-biat Su-thai itu cikal bakal Hoa-san-pai yang hebat itu."

Mendengar dirinya dipuji gadis binal ini, Po-giok tertawa riang, "Waktu itu kurasakan sekujur badanku menjadi dingin, seolah-olah mendadak kejeblos ke dalam air dingin disusul timbul pula perasaan lain yang aneh!"

"Perasaan apa?" tanya Siau-kong-cu.

Po-giok tidak langsung menjawab, setelah menghela napas baru bicara, "Kalau bukan lantaran perasaan aneh itu, umpama aku dapat menyelamatkan diri dari serangan jurus ganas itu tetap tak dapat memecahkannya."

"Perasaan aneh apa sih?" desak Siau-kong-cu, "coba jelaskan."

"Dalam keadaan kepepet aku terdesak oleh angin samberan golok yang diliputi hawa membunuh, sekujur badan hampir beku tapi ada satu bagian terasa masih ada hawa hangat. Di tengah lingkaran sinar golok yang dingin itu, dari mana datangnya hawa hangat itu?"

"Aneh, di tengah lingkaran sinar golok yang dingin, dari mana datangnya hawa hangat?" Siaukong-cu juga bertanya-tanya.

"Hawa hangat itu merembes dari suhu badan Thi-kim-to. Cukup lama dia mengerahkan tenaga dan siap menyerang, dalam keadaan tegang lagi, dengan sendirinya suhu badannya menjadi lebih panas."

"Ya, benar, mungkin demikian," ucap Siau-kong-cu.

"Dalam keadaan biasa suhu badan itu jelas takkan terasakan, tapi pada saat sinar golok yang dingin hampir membeku badan, hawa hangat ini justru terasa amat ganjil. Bahwa di tengah lingkaran sinar golok yang dingin merembes hawa hangat, segera kutahu bahwa di tengah lingkaran sinar golok itu pasti ada lubang kelemahannya, dan lubang kelemahan itu pasti berada di arah datangnya hawa hangat itu."

Bercahaya mata Siau-kong-cu, memantulkan rasa kagum dan memuji, "Ya, pasti demikian."

Mendadak ia tertawa, "Kalau pukulan telapak tanganmu kau lontarkan ke arah datangnya hawa hangat itu, namakan saja jurus Hwi-ngo-hoa-hwe (laron terbang menubruk api)."

Po-giok mengangguk, katanya, "Maka aku tidak sangsi lagi, tangan kontan membalik dan memukul ... ai, dalam keadaan seperti itu, walau aku tiada maksud melukai orang, mau tidak mau aku harus mengerahkan tenaga untuk melancarkan pukulan itu."

"Oleh karena itu, meski kematian Thi-kim-to tidak dapat menyalahkanmu, malah dia bilang kamu terpaksa melukainya karena dipaksa oleh hawa membunuh yang terlalu tebal pada jurus itu ...."

"Kalau jurus itu tidak mengandung hawa membunuh yang tebal, mana mungkin aku merasakan adanya hawa hangat yang merembes ke dalam lingkaran sinar golok yang dingin itu. Kalau aku tidak merasakan adanya hawa hangat itu, mana mungkin aku berhasil menghancurkan jurus itu."

Lama Siau-kong-cu termenung, lalu berkata perlahan, "Dan hanya engkau saja yang dapat mematahkan jurus itu. Kecuali dirimu siapa bisa menemukan bayangan hijau samar-samar di tengah lingkaran cahaya golok itu."

"Menurut apa yang kuketahui, di antara ahli senjata rahasia yang tidak kalah dibanding diriku. aku yakin mereka juga bisa melihat apa yang aku lihat tadi."

"Ya, umpamakan saja mereka dapat melihat bayangan hijau dan coklat yang samar-samar di tengah cahaya golok tebal itu, tapi kecuali dirimu siapa memiliki nyali sebesar itu, dalam keadaan terdesak berani menerjang ke dalam lingkaran sinar golok yang dahsyat itu."

"Kurasa tidak demikian halnya. Orang lain aku tidak tahu, katakan saja Kim Put-wi Kim-ji-siok dan adikku Thi-wah dalam keadaan tertentu keberanian mereka juga sukar aku tandingi."

"Ya, umpama orang lain ada yang punya keberanian seperti dirimu, tapi kecuali dirimu siapa memiliki indra setajam itu, dalam waktu sekejap itu merasakan adanya hawa hangat yang merembes masuk dalam lingkaran yang dingin itu."

Po-giok tertawa, katanya "Bicara tentang kepekaan perasaan, mana aku mampu menandingi dirimu?"

"Umpama benar ada orang yang memiliki ketajaman melebihi dirimu, tapi kecuali dirimu, siapa dapat memanfaat kesempatan secara tepat, menentukan posisi dengan baik, sekali turun tangan langsung menggempur titik kelemahan itu secara telak."

"Seorang yang memiliki ketajaman indra, tidak sukar untuk memegang waktu dan menentukan posisi secara tepat, aku pernah menyaksikan kamu bergebrak dengan orang, untuk ini kurasa kamu tidak perlu merendahkan diri."

Siau-kong-cu tertawa manis, "Baiklah, anggaplah ada orang memiliki ketajaman mata melebihi dirimu, ada pula yang bernyali lebih besar dan berani darimu, dan seorang memiliki ketajaman lebih tinggi dibanding engkau , katakan apa ada orang memiliki kekuatan dalam yang lebih dahsyat dibanding dirimu, tapi kecuali engkau , siapa dapat mencakup semua kelebihan itu pada diri sendiri seperti kamu? Padahal untuk memecahkan jurus itu, tidak boleh kurang dari salah satu kelebihan itu."

"Betul," seru Thi-wah, "kecuali Toa-ko orang lain jelas tidak mampu."

"Tepat, siapa pula orangnya kecuali dirimu?" Po-giok mengawasi Siau-kong-cu dengan tertawa.

"Mendadak engkau memujiku setinggi langit, apa maksudmu sebenarnya?" Siau-kong-cu tertawa. "Hah, agaknya kamu kegirangan."

"Betul, di samping kaget aku memang senang." ujar Po-giok tertawa.

Lebih manis tawa Siau-kong-cu, "Aku ingin memujimu karena kutahu kamu tidak akan hidup lebih lama lagi. Mumpung ada kesempatan, kalau tidak sekarang aku puji kamu, kelak mungkin tiada kesempatan lagi."

"Omong apa kau !" bentak Thi-wah gusar, "omong lagi akan ku ... "

"Biarkan dia bicara," sela Po-giok tertawa, "aku sudah tahu kalau dia meraba seseorang, maksudnya hanya ingin membersihkan tempat itu, lalu dengan gregetan ia menggigitnya."

"Betul sekali," seru Siau-kong-cu cekikikan, "hanya kamu yang tahu tentang diriku. Permen yang kuberikan kepada orang lain, tentu sudah aku campur racun."

Amarah Thi-wah belum reda, serunya lantang, "kau bilang Toa-ko ku tidak panjang umur, apa alasanmu, coba jelaskan."

"Jurus ciptaan Pek-ih-jin itu, lubang kelemahannya hanya satu yaitu di bawah ketiak bukan?"

"Betul."

"Setelah burung dara itu dilepaskan, membuktikan bahwa kelemahan itu sesuai dugaan sebelumnya, maka dia pasti akan berusaha menutup lubang itu, dengan bekal dan kecerdikan otaknya, tidak sulit baginya untuk menanggulangi kesulitan ini bukan?"

"Ya, tidak salah."

"Kalau dia berhasil menutup lubang kelemahan jurus itu, berarti jurus itu tiada kelemahan lagi betul tidak?"

"Ya," Po-giok menghela napas, "kalau dia berhasil menutup lubang kelemahan itu, maka tiada orang di dunia ini yang dapat mengalahkan jurus itu."

"Engkau pun tidak dapat menandinginya?"

"Sudah tentu termasuk aku juga."

"Makanya, cepat atau lambat kamu akan duel dengan Pek-ih-jin, bila musim bunga tahun depan tiba, engkau akan binasa di tangannya, betul tidak?"

Lama Po-giok terlongong, akhirnya ia menarik napas panjang dan menjawab, "Ya, betul."

Siau-kong-cu cekikikan, "Musim bunga tahun depan sudah dekat, umpama kau pulang segar bugar dari perjalananmu ke Pek-cui-kiong kali ini, jiwamu pun takkan hidup lebih lama lagi."

"Toa-ko akan mati, kenapa kau senang malah?" tiba-tiba Thi-wah menghardik gusar.

Siau-kong-cu tidak peduli padanya, matanya masih mengawasi Po-giok dan akan bicara. Siapa tahu mendadak Po-giok meloncat bagai burung terbang meluncur ke pinggir sana. Begitu tubuhnya terapung di udara, mulutnya membentak. "Saudara tunggu sebentar!"

Hanya bicara beberapa patah kata, langsung ia melesat masuk hutan.

Sudah tentu Siau-kong-cu dan Thi-wah mengejar ke dalam hutan.

Dalam hutan memang tampak seorang lagi lari lintang pukang, betapapun lincah dan enteng gerak tubuhnya, mana dapat lolos dari kejaran Pui-Po-giok.

Baru belasan langkah ia lari, baju kuduknya sudah dicengkeram oleh Po-giok, katanya sambil menoleh, "Hampir setengah hari orang ini sembunyi di sini, sungguh menggelikan kita tidak mengetahuinya .... Saudara sudah setengah hari mencuri dengar pembicaraan kami, nah, perlihatkanlah wajah aslimu."

Po-giok tidak memakai tenaga, tapi orang itu menjatuhkan diri serta menyembah ketakutan, tatapnya gemetar, "Aku tidak mencuri dengar, tidak melihat apa-apa. Toa-ya, ampun, biarlah aku pergi."

"Siapa she dan namamu? Untuk apa berada di sini?" tanya Po-giok.

Mendadak Siau-kong-cu menyela dengan suara dingin, "Tentu kau tahu jatuh di tangan pendekar kita Pui-Po-giok. Ada persoalan apa, katakan terus terang, jangan pura-pura dan mencari penyakit sendiri."

"Hamba tidak pura-pura dan tidak berani cari penyakit, hamba adalah pencari kayu bakar .... Toa-ya, Pui-Toa-ya, ampunilah jiwa hamba!"

Dandanan orang ini memang mirip pencari kayu bakar maka Po-giok mengendurkan pegangannya, katanya dengan alis berkerenyit "Apa betul kamu penduduk setempat?"

Sesaat Siau-kong-cu tepekur, mendadak ia tertawa sambil menghampiri, tanpa bicara ia tepuk pundak orang, lain berkata, "Coba berpaling ke mari."

Orang itu menjawab, "Hamba tidak ... tidak berani berpaling."

"Ayo berpaling," teriak Thi-wah, "Memangnya dia bakal menelanmu, takut apa?"

Mati pun orang itu tidak mau berpaling, dengan gemetar ia berkata, "Hamba tidak berani, hamba tidak berani ... "

Siau-kong-cu tertawa geli, "Baiklah, jika tidak mau berpaling, biar aku lihat tampangmu dari depan."

Belum habis Siau-kong-cu bicara, orang itu sudah menutup muka dengan kedua telapak tangannya"

"Oo, seperti gadis yang malu-malu segala, turunkan tanganmu, kalau tidak kau turunkan, biar kutarik tanganmu."

Begitu Siau-kong-cu mengulur tangan, orang itu menjerit kaget, lalu mendekam di tanah, selebar mukanya didekap kedua tangan mati pun tidak mau angkat kepala.

Melihat orang ini takut berhadapan dengan dirinya, mau tidak mau timbul rasa curiga Po-giok Thi-wah yang jengkel segera mencengkeram kuduk orang terus dijinjingnya ke atas, bentaknya, "Seorang laki-laki kenapa bertingkah serupa perempuan tidak malu!"

Orang itu menjerit kaget lekas ia tutup muka dengan kedua tangan pula, tapi begitu jari Siaukong-cu menjentik perlahan, orang itu merasakan siku kesemutan dan lunglai seluruh lengannya, kedua tangan tidak mampu bergerak lagi.

Walau tangan tidak bisa bergerak, tapi badan meronta-ronta, Thi-wah menjinjingnya seperti elang mencengkeram anak ayam dan sukar ia melepaskan diri.

Tangan Thi-wah yang lain segera angkat dagu orang katanya dengan tertawa, "Toa-ko, tengoklah dia, mukanya burikan, pantas malu dilihat orang."

Dua kali Po-giok memperhatikan wajah orang walau cuaca dalam hutan agak gelap, muka orang itu berlepotan pasir dan debu, tapi Po-giok masih mengenalinya, tak urung ia tertawa geli, katanya, "Li-ciang-kun, kenapa berada di sini?"

Laki-laki yang berdandan sebagai pencari kayu bakar ini ternyata bukan lain daripada Pek-maciang-kun Li Bin-sing.

Thi-wah tertegun sebentar lalu menurunkan tubuh orang katanya bergelak, "Li-ciang-kun, Li Bin-sing, kiranya engkau .. Hahaha, kiranya engkau? Di mana kuda putihmu itu? Kenapa tidak naik kuda supaya dilihat orang banyak?"

Walau Pek-ma-ciang-kun ini setiap waktu berusaha menipu orang, tapi Po-giok dan Thi-wah tidak pernah menaruh dendam atau benci padanya, setiap bertemu mereka selalu geli dan suka menggodanya malah.

Cemberut muka Li Bin-sing, katanya sedih. "Sudah lama kuda putih itu aku jual, nama Pek-maciang-kun juga sudah lama aku buang ... Pui-tai-ya, Gu-tai-ya, anggap saja kalian tidak pernah melihat orang seperti diriku ini."

Po-giok tertawa, "Lho, kenapa kuda putih kau jual? Apa usahamu belakangan ini makin mundur?"

"Usaha menipu orang sudah lama tidak pernah kulakukan lagi, sekarang aku sudah tobat, aku terima menjadi tukang pencari kayu bakar ... Pui-tai-ya, Gu-tai-ya, selamat bertemu lain waktu."

Belum habis bicara, serentak ia hendak lari pergi.

Tapi Thi-wah menariknya, katanya tertawa, "Mau ke mana? Ngobrol dulu di sini."

"Kalian adalah pangeran di antara jago pedang, seorang lagi adalah tuan putri dalam Bu-lim, aku ini hanya tukang cari kayu belaka, soal apa yang dapat kita bicarakan"

"Eh, dari mana kau tahu tentang diriku?" tanya Siau-kong-cu tiba-tiba.

Li Bin-sing tertegun, air muka pun berubah, "Aku ... aku tidak tahu, aku hanya menebak sembarangan."

Siau-kong-cu mendengus, "Kamu kan sahabat lama mereka, bahwa mereka tidak bermaksud jahat terhadapmu, dan engkau tidak punya dendam dan sakit hati dengan mereka, tapi begitu melihat mereka, kenapa kau lari lintang pukang, apa sebabnya?"

Basah keringat Li Bin-sing, sahutnya gugup, "Aku ... aku tidak .... "

"Tidak apa," bentak Siau-kong-cu, "soalnya kau dengar sesuatu rahasia dan melihat suatu kejadian, tapi tidak mau menerangkan kepada mereka, karena takut dan bermaksud jahat maka kamu ... "

"O, tidak, tidak ..." teriak Li Bin-sing, "aku tidak melihat apa-apa, aku tidak tahu apa-apa."

Mendadak Siau-kong-cu angkat tangan, beruntun delapan kali ia gampar muka orang, bentaknya, "kau tahu tidak?"

"Aku tidak tahu, aku ..." Li Bin-sing membandel.

Sekali jotos Siau-kong-cu menggenjot hidung Li Bin-sing, katanya dengan tertawa, "Apa benar kamu tidak tahu?"

Merah bengkak muka Li Bin-sing, hidungnya juga melepuh seperti terong, air mata dan air liur bercucuran, setelah gentayangan akhirnya ia jatuh terduduk di tanah, tangan mendekap muka seraya berteriak, "Aku sudah tahu."

Siau-kong-cu tertawa lebar, "Nah, kan begitu kalau sejak mula kau bicara tentu aku tidak akan menghajarmu .. Aduh, sakitkah mukamu?"

"Tidak sakit, tidak sakit ..." Li Bin-sing menyengir.

Siau-kong-cu tertawa, "Kalau tidak sakit, biar aku gampar lagi dua kali."

"Wah, sakit, sakit, kini terasa sakit ... ah, malah sakit sekali."

Po-giok merasa geli, padahal ia tahu Li-Bin-sing memang menyimpan rahasia, bahwa dia hanya berpeluk tangan dan menonton saja, karena ia tahu watak orang she Li ini memang takut digertak, Siau-kong-cu sendiri cukup mengompes keterangan dari mulutnya. Malah Po-giok yakin hanya gadis macam Siau-kong-cu saja yang dapat menundukkan orang seperti Li-Binsing.

Thi-wah sebaliknya merasa penasaran akan nasib Li Bin-sing, tapi karena sang Toa-ko tidak memberi komentar, sudah tentu ia tidak berani bicara. Dilihatnya Siau-kong-cu mendadak menarik muka, katanya, "Beberapa tahun ini, apa benar kau jadi tukang pencari kayu bakar di sini?"

"Betul," sahut Li Bin-sing, "mana berani aku dusta"

"Bohong!" bentak Siau-kong-cu, "hutan ini hutan jati, kayu apa yang bisa kau tebang untuk bahan bakar."

"Aku ... menebang kayu di tempat lain, tapi aku tinggal di sekitar sini," sahut Li Bin-sing gelagapan.

"Baiklah, kalau benar kamu tinggal di hutan ini, apa yang terjadi dua hari di sini tentu kau tahu, betul tidak?"

"Tidak ... oh, ya, semua aku tahu," ingin dia menyangkal tapi begitu Siau-kong-cu melotot nyalinya menjadi ciut.

Siau-kong-cu tertawa lebar, katanya senang, "Nah, kalau tahu, lekas jelaskan ... jelaskan seluruhnya, tidak boleh ada yang ketinggalan."

Li Bin-sing mengelus hidung dan menyeka air mata, dengan muka cemberut terpaksa ia bicara.

"Aku .. kalau aku ceritakan, kelak mungkin ... mungkin aku bisa mampus."

Siau-kong-cu menyeringai, "Sebaliknya kalau tidak kau jelaskan, sekarang juga jiwamu melayang, tahu!"

Bercucuran keringat Li Bin sing, suaranya gemetar, "Aku ... aku ..." akhirnya ia menarik napas.

"Baiklah aku bicara."

Wajah Siau-kong-cu yang semula dingin, seketika berseri senang seperti bunga mekar, katanya "Kamu memang pintar, nah katakan."

"Rumah di luar hutan itu, sebetulnya temanku si hidung merah Lo-tan. Malam hari kalau sedang senggang aku sering ke rumahnya untuk mengobrol dan minum barang dua cangkir arak."

Berkerut alis Po-giok, tanyanya, "Apakah Lo-tan punya anak istri?"

"Seorang istri dua anak perempuan ..." sahut Li-Bin-sing. Sekilas ia lirik Po-giok, lalu menambahkan, "tapi yang kucari adalah Lo-tan, bukan anak perempuannya."

"Sikapmu ini justru seperti maling yang takut konangan, kurasa kamu ke rumah Lo-tan tentu bermaksud tidak baik. Tapi itu aku tidak peduli, lanjutkan keteranganmu," demikian semprot Siau-kong-cu.

"Kemarin sore," demikian tutur Li-Bin-sing, "aku berniat makan malam di rumah Lo-tan, siapa tahu sebelum aku tiba di depan rumah, dari dalam rumah aku dengar teriakan orang minta tolong."

Setelah menghela napas ia melanjutkan, "Kukenal suara itu adalah jeritan Lo-tan, cepat aku sembunyi di belakang pohon, diam-diam aku intip apa yang terjadi di sana?"

Thi-wah gusar, semprotnya, "Temanmu minta tolong, kamu tidak membantu, kenapa sembunyi malah?"

"Aku ... mana aku mampu menolongnya, aku ... " Li Bin-sing gelagapan.

"Dasar bedebah!" maki Thi-wah murka, "Baiklah, katakan apa yang kau lihat?"

Setelah menghela napas Li Bin-sing berkata "Jeritan minta tolong itu hanya terdengar sekali lalu berhenti, kejap lain aku lihat Lo-tan dan bininya beserta kedua putrinya digusur keluar oleh beberapa orang."

"Beberapa orang macam apa?" tanya Po-giok.

"Beberapa orang itu berhidung besar, bermata sipit, wajahnya beringas penuh nafsu membunuh, semua berpakaian seragam hitam, dandanan dan bentuk mereka seperti barang asal satu cetakan."

Po-giok saling pandang sekejap dengan Siau-kong-cu.

Li Bin-sing bertanya, "Apa kalian kenal mereka?"

"Tugasmu sekarang bercerita, jangan campur urusan kami," bentak Siau-kong-cu.

"Meski Lo-tan sekeluarga digiring ketakutan, anak bininya menangis kuatir, tapi aku lihat mereka tidak terluka atau disakiti, juga tidak diikat atau dibelenggu, maka legalah hatiku."

"Ke mana orang-orang seragam hitam ini membawa Lo-tan dan keluarganya?" tanya Po-giok.

"Aku juga tidak tahu. Yang pasti tiga orang laki-laki seragam hitam menggiring mereka pergi. Tapi dua kawan mereka tertinggal dan berjaga di rumah Lo-tan."

Thi-wah menghela napas, gumamnya, "Sial bagi kedua orang itu ... lalu bagaimana?"

"Aku bersembunyi di tempat jauh, bernapas pun aku tahan, hatiku takut tapi juga heran, Lo-tan bukan keluarga kaya, kenapa orang-orang itu menculiknya?"

Setelah menghela napas Li Bin-sing melanjutkan, "Karena heran aku jadi tertarik dan ingin tahu lebih lanjut, maka aku tetap sembunyi di tempatku. Tampak kedua orang baju hitam itu tidak mengerjakan lain kecuali membersihkan meja dan menata mangkuk dan sumpit, ternyata mereka membawa sebuah keranjang besar berisi masakan dan perabot makan. Lebih aneh lagi setelah menata meja makan, mereka sendiri tidak lantas makan seorang mengeluarkan sebuah lampion merah lalu digantung di depan rumah, seorang lagi longak-longok ke arah jauh entah apa yang dilihat atau ditunggunya, tidak jarang kedua orang ini kasak-kusuk, entah apa yang dibicarakan."

"Apa betul kamu tidak dengar pembicaraan mereka?" tanya Po-giok.

"Mereka bicara lirih aku tidak dengar Aku tidak habis mengerti kenapa mereka bersusah payah meminjam rumah Lo-tan hanya untuk menjamu orang di sana," demikian tutur Li Bin-sing. "Ya, mana kau dapat menebaknya, lanjutkan ceritamu," desak Siau-kong-cu.

"Mereka berdiri di luar pintu menunggu tamu, di luar tahunya sang tamu justru datang dari belakang. Aku lihat dengan jelas, ada empat atau lima orang keluar dari dalam, langsung mendekati kedua orang itu, setiba di belakangnya kedua orang itu belum lagi menyadari sama sekali. Jantungku jadi berdebar-debar dibuatnya."

"Macam apa pula kelima orang ini?" tanya Po-giok.

"Beberapa orang ini juga berseragam hitam, kepalanya juga berkerudung, semula aku kira mereka satu rombongan, tapi aku lihat beberapa orang yang datang belakangan ini semua membawa senjata, sorot matanya bengis penuh nafsu membunuh, satu di antaranya membentak, 'Menoleh!' Kedua orang itu terjingkat sambil membalik badan, baru saja tubuh berputar, aku hanya melihat sinar pedang berkelebat sekali, tahu-tahu kedua orang itu sudah terkapar mampus."

Po-giok berkerut alis, "Mereka tidak mengompes keterangan dari kedua orang itu?"

"Pertanyaan apa pun tidak diajukan, hanya mengangkat tangan sedikit saja ... ai, tusukan pedang itu sungguh telak dan secepat kilat."

Po-giok termenung sejenak, tanyanya, "Menurut pendapatmu ilmu pedangnya itu dari aliran mana?"

Li Bin-sing geleng kepala, "Aku tidak tahu!"

Po-giok termenung lagi, katanya "Menurut penilaianmu, berapa tahun kira-kira latihan ilmu pedang orang itu?"

Li Bin-sing tepekur sesaat lamanya, "Menurut pendapatku, kalau tidak ada latihan selama tiga lima puluh tahun, jangan harap mampu melancarkan permainan pedang seindah itu ... dan yang paling aneh adalah ilmu pedang kedua orang itu satu sama lain tidak lebih unggul atau asor. Dalam keadaan biasa jarang bisa kita temui dua orang memiliki ilmu pedang semahir itu, tapi kenyataan hari itu berbareng muncul dua orang."

Berkerenyit alis Po-giok, gumamnya, "Tiga-lima puluh tahun? ... "

Thi-wah ikut hanyut oleh cerita itu, tanyanya tidak sabar, "Selanjutnya bagaimana?"

"Setelah membunuh orang, kedua orang itu segera menggeledah badan sang korban," demikian tutur Li Bin-sing lebih jauh, "diam-diam aku merasa heran pula, memangnya jago sekosen mereka juga menjadi perampok? Tiba-tiba aku dengar seorang di antaranya berteriak, 'Nah, ada di sini!'."

Setelah menghela napas Li Bin-sing melanjutkan, "Ternyata mereka membunuh dua orang itu hanya untuk memperoleh secarik kertas saja."

"Apa yang mereka bicarakan setelah membaca tulisan di kertas itu?" tanya Po-giok cepat.

"aku dengar seorang bertanya, 'Berapa lama perjalanan ke Tai-bing-hu dari sini?' Seorang lain menjawab, 'Tidak jauh lagi.' Orang itu lantas berkata, 'Ayo berangkat!'."

"Tai-bing-hu ... " bergetar hati Po-giok "ternyata ada di Tai-bing-hu!"

"Apakah sehabis bicara mereka lantas berangkat?" tanya Siau-kong-cu.

"Mendingan kalau segera berangkat" ucap Li Bin-sing sambil menghela napas panjang.

"Apakah mereka masih berbincang-bincang?" tanya Po-giok.

Li Bin-sing menjelaskan, "Orang pertama yang turun tangan tadi semula tidak bicara, kini mendadak bicara. 'Kalian tunggu sebentar, aku akan kencing dulu ke dalam hutan sana'."

Thi-wah tertawa geli, "Kurasa tidak tepat saatnya dia ingin kencing"

Li Bin-sing tertawa kecut, "Sekarang kau geli, waktu itu hatiku justru gugup setengah mati. Dia beranjak ke arah diriku, jantungku rasanya seperti mau copot, diam-diam aku berdoa semoga dia lekas kencing dan lekas berangkat. Di luar tahuku begitu tiba di depan hutan mendadak ia bergerak selincah kelinci, secepat panah ia menubruk ke tempat sembunyiku."

"Lantaran ingin kencing orang itu membuatmu susah ya?" demikian olok Thi-wah.

"Kencing apa. Yang benar dia tahu kehadiranku di belakang pohon, katanya saja kencing, maksudnya supaya aku tidak curiga dan melarikan diri aku memang tidak menduga akan disergap."

"Bukan saja mata dan kupingnya tajam, gerak-gerik orang ini amat lincah, otaknya juga cerdik, banyak perhitungan, siapakah dia? Sukar ditebak asal-usulnya,"

Thi-wah bertanya, "Apa kamu ditangkap olehnya?"

"Sudah tentu kena diringkus," sahut Li Bin-sing.

"Tapi mereka tidak membunuhmu?" tanya Thi-wah pula.

"Begitu diseret keluar, aku menduga jiwaku takkan selamat lagi, untung mereka tiada yang kenal diriku, aku dianggap orang desa yang tidak tahu urusan."

Siau-kong-cu tertawa, "Kamu memang pintar main sandiwara."

"Waktu itu aku berlutut dan meratap mohon ampun, rasanya leherku ini sudah berada di ujung senjata mereka, sekali tusuk saja jiwaku bakal melayang, aku dengar orang bicara, 'Kelihatannya orang ini bukan kaum persilatan, orang desa yang tidak tahu apa-apa, lepaskan saja!' Baru saja hatiku merasa senang, aku dengar pula seorang lain berkata, 'Jangan dilepaskan, terlalu banyak yang ia lihat dan dengar di sini.' .... "

Siau-kong-cu tertawa geli, katanya, "Maka kau tuding langit dan tunjuk bumi bersumpah dan mohon ampun kepada mereka, bahwa selama hidup tidak akan membocorkan kejadian ini, mungkin kau pun bilang ibumu sudah berumur 80 dan punya anak yang baru lahir."

Li Bin-sing tertawa malu, "Dalam keadaan seperti itu, demi cari selamat cara apa pun dapat kulakukan. Tapi orang-orang itu bimbang. yang mengusulkan menutup mulutku, ada yang ingin membebaskan aku ... ai, waktu itu rasanya susah aku ceritakan."

Siau-kong-cu mendengus, "Hm, kurasa mereka terlalu mengagulkan diri sebagai orang kosen dari aliran lurus yang ternama, maka tidak mau main bunuh sembarangan. Kalau aku jadi mereka, memangnya jiwamu bisa tahan sampai sekarang? Pantasnya mereka tahu manusia seperti dirimu tidak dapat dipercaya akan tutup mulut serapat mulut botol."

Pucat muka Li Bin-sing, tubuhnya juga gemetar dan berkeringat dingin, "Tapi urusan nona sendiri aku bersumpah akan tutup mulut serapat-rapatnya, kalau aku buka mulut biar di ... "

"Sudah," tukas Siau-kong-cu, "tidak perlu sumpah, lanjutkan keteranganmu."

Li Bin-sing menghela napas lega, lalu melanjutkan, "Pada saat mereka sukar mengambil keputusan, mendadak dari luar berlari masuk pula seorang berbaju hitam, dengan napas tersengal-sengal ia berkata, 'Pui-Po-giok dan Siau-kong-cu sudah datang'!"

"Kiranya ada orang mereka yang berjaga di luar," kata Siau-kong-cu.

"Begitu mendengar nama kalian berdua, bukan kepalang kaget hatiku," demikian tutur Li Bin-sing, "ternyata mereka lebih gugup lagi, cepat mereka menggotong kedua mayat itu ke dalam kamar."

"Keadaan memang mendesak sehingga mereka tidak sempat mengebumikan mayat itu," demikian kata Po-giok.

"Melihat sikap gugup mereka, hatiku amat kuatir, tapi juga senang," demikian tutur Li Bin-sing lagi, "kecuali kuatir mereka menggorok leherku dalam keadaan mendesak itu, aku mengharap pula mereka tidak sempat membereskan diriku."

Setelah menyeka keringat di kening, lain melanjutkan, "Maka aku lebih keras meratap dan mohon belas kasihan, syukur jerih payahku tidak sia-sia, seorang di antara mereka akhirnya berkata 'Lekas enyah! Dan pergi sejauh-jauhnya, selama hidup jangan kembali ke mari lagi.'

Seorang lagi juga berkata, 'Kejadian hari ini jangan kau ceritakan kepada orang lain ... ' Aku memperoleh pengampunan, sudah tentu tidak kepalang senang hatiku, tak sempat aku dengar pembicaraan mereka segera aku angkat langkah seribu."

"Anggaplah belum tiba ajalmu," jengek Siau-kong-cu.

"Lha, setelah selamat dan lari, kenapa kembali lagi?" tanya Thi-wah.

"Aku ... aku kembali untuk menengok keadaan saja," sahut Li Bin-sing takut-takut.

"Rase tua memang licin dan licik, kembali kamu bohong ..." demikian tegur Siau-kong-cu, "Apa benar kau pulang hanya untuk melihat-lihat? Hm, bukankah kamu membawa Thi-kim-to ke sini? Kalau tidak dari mana ia tahu Pui-Po-giok berada di sini?"

Mendadak Li Bin-sing berdiri kaku, mulut melongo dan mata terbelalak, sesaat lamanya baru menarik napas panjang, dan bergumam, "Segala persoalan agaknya tidak bisa mengelabui dirimu ... segala persoalan tidak bisa bohong ..."

"Sudah tentu tidak bisa," jengek Siau-kong-cu, "Nah, bicaralah sejujurnya."

"Aku lari tanpa menentukan arah, entah berapa lama dan berapa jauh aku lari, mendadak aku menabrak tubuh seorang. Ternyata tanpa bersuara orang ini sengaja menghadang di depanku."

"Wah, kebetulan sekali," ujar Siau-kong-cu.

"Memang kebetulan begitu melihat dia berpakaian hitam, nyaliku menjadi ciut begitu putar tubuh aku ingin lari lagi, tak nyana sekali raih aku dibekuknya, tanyanya padaku, 'Tengah malam buta kenapa kau lari lintang pukang?' Sudah tentu aku tergagap tidak bisa memberi keterangan. Tak tahunya mendadak orang itu berseru kaget. 'He. kiranya engkau!'"

Siau-kong-cu bertanya, "Thi-Kim-to mengenalmu?"

"Ya, sejak dua puluh tahun yang lalu, kami sudah kenal satu sama lain."

"O, kiranya kalian sudah bersahabat sejak lama," jengek Siau-kong-cu.

"Setelah tahu siapa dia lega juga hatiku, kutanya kenapa ia berada di situ. Dia bilang menguntit Pui-Po-giok dan setiba di daerah ini ia kehilangan jejaknya."

"Lalu kau bawa dia ke sini?" tanya Po-giok.

"Kupikir dia tidak bermaksud jahat terhadapmu, mengingat sudah lama kami bersahabat, terpaksa aku membawanya ke sini. Tak nyana dia suruh aku menunggu di luar hutan, setelah aku lihat ia bergebrak denganmu, hatiku menjadi gugup dan takut, akhirnya aku lihat dia terbunuh olehmu sudah tentu aku tidak berani unjuk diri, ingin lari, tapi ... ai, ternyata ketajaman mata kupingmu tidak di bawah orang-orang berbaju hitam itu."

"Kalau benar demikian, semua persoalan ini tiada sangkut-pautnya denganmu, kenapa tadi kamu tidak mau bicara?" demikian desak Siau-kong-cu.

Li Bin-sing menghela napas, "Aku sudah mengundurkan diri dari kang-ouw, aku emoh berkecimpung dalam Bu-lim, aku mendambakan kehidupan damai dan cari makan dengan halal."

Habis Li Bin-sing bicara, Po-giok tertunduk diam, Thi-wah hanya manggut-manggut, bola mata Siau-kong-cu yang bening dan jeli justru berputar dan mengerling kian kemari. Akhirnya matanya menatap Thi-wah dan bertanya, "kau percaya apa yang diceritakannya?"

"Dia bercerita sejujurnya, kenapa aku tidak percaya?" ucap Thi-wah.

"Dan kau?" tanya Siau-kong-cu terhadap Po-giok.

Po-giok tersenyum, "Percaya tapi juga tidak percaya, setengah-setengah."

"Aku bercerita menurut kejadian sebenarnya, sepatah kata pun tidak bohong," seru Li Bin-sing.

"Apa yang kau kisahkan, walau dia kurang percaya, aku justru percaya penuh," kata Siau-kong cu

Li Bin-sing terbelalak girang, "Kalau begitu, biarlah aku pergi saja."

"Soal ini ... perlu dirundingkan dulu dengan Pui-Po-giok. Thi-wah, jagalah dia di sini," demikian kata Siau-kong-cu. Lalu menarik tangan Po-giok, dengan tertawa ia seret pemuda ini keluar hutan.

Setiba di luar hutan Siau-kong-cu melepas gandengannya. Po-giok mengawasi wajahnya yang mempesona.

Siau-kong-cu tertawa manis, katanya, "Apa yang kau lihat? Dan apa yang kau pikir?"

Po-giok menghela napas, "Apa yang kupikir, masa tidak tahu?"

Mendadak Siau-kong-cu menunduk, ketika ia angkat kepala lagi, senyum manis yang menghias wajahnya telah sirna, mukanya kaku dingin, suaranya lebih dingin, "Aku tak peduli apa yang pikir. Aku hanya ingin tanya, dari cerita Li Bin-sing tadi, bagian mana kau percaya dan bagian mana yang tidak kau percaya?"

"Kejadian yang dia saksikan kurasa benar. Dia diringkus orang lain dilepas lagi, itu juga benar, dua hal ini kukira dia bicara sejujurnya."

"Ehm, lalu dalam hal apa dia bohong?"

"Pertama, Li Bin-sing bukan manusia yang sudi merendahkan diri dan mau hidup bersahaja, aku tidak percaya dia mau mengundurkan diri dari kalangan kang-ouw dan mengasingkan diri di hutan."

"Itu yang pertama, masih ada yang kedua?"

"Kedua, jago kosen seperti Thi-kim-to, tidak mungkin mau bersahabat dengan manusia seperti dia. Dia bilang mengingat persahabatan lama maka dia mau mengantar Thi-kim-to mencari aku, aku tidak percaya."

"Masih ada yang ketiga?"

"Ada yang kedua, apa mesti harus ada yang ketiga?"

"Baiklah, sekarang kutanya, kenapa dia bohong? Kejadian atau persoalan apa yang dia sembunyikan? Kenapa ia harus merahasiakan duduk persoalan sebenarnya, apa keuntungannya bagi dia?"

"Wah, serumit itu ... aku tidak tahu."

"Orang sepintar engkau, masa ada persoalan yang tidak kau ketahui?"

"Memangnya kau tahu?"

"Kapan kubilang aku ini pintar, orang juga tidak bilang aku pintar, tidak seperti engkau ..."

"Apa yang akan kau lakukan terhadapnya?" tukas Po-giok.

Berkedip mata Siau-kong-cu, "Coba tebak apa yang akan kulakukan atas dirinya?"

Dalam hati Po-giok membatin, "Akan kau bebaskan dia lalu menguntitnya secara diam-diam."

Tapi dengan tertawa ia berkata, "Mana aku bisa menebak isi hatimu."

Siau-kong-cu berkata, "Akan aku bebaskan lalu aku kuntit dia, aku ingin tahu ke mana dia pergi? Aku ingin tahu lakon apa yang dia perankan dalam sandiwara ini?"

"Bagus, bagus!" puji Po-giok seraya berkeplok, "akal sebagus ini kenapa tidak aku pikirkan."

Siau-kong-cu tertawa riang, inilah tertawa lebar yang pertama, tertawa riang yang sesungguhnya, katanya, "Buah pikiran seorang linglung, ada kalanya hasilnya lebih bagus dari pemikiran seorang cerdik."

Mengawasi gadis binal di depannya, Po-giok juga tertawa, tapi tertawa yang aneh.

"Apa yang kau tertawakan?" tanya Siau-kong-cu.

Apakah tertawa pun tidak boleh?" Po-giok balas bertanya.

"Tapi tertawamu aneh, tawa yang menyebalkan."

"Aku tertawa aneh, aku merasa engkau seorang aneh, maka aku tertawa dengan aneh."

Siau-kong-cu menarik muka, "Dalam hal apa aku aneh?"

"Bila di hadapan orang lain, ada kalanya engkau bersikap mesra dan aleman terhadapku, tapi bila orang tidak melihat dirimu, maka engkau lantas berubah, mulut cemberut, muka membesi.

Dan lagi kamu selalu mempersulit diriku, mencari onar dan mengadu otak denganku. Tapi bila menghadapi persoalan yang menyangkut orang lain, kamu selalu membela dan sepihak denganku ... "

Siau-kong-cu mengentak kaki, serunya keki, "Siapa memihak denganmu. Tak usah ya."

Habis bicara ia putar tubuh terus lari secepat terbang.

*****

Dengan melotot Thi-wah mengawasi Li Bin-sing tanpa berkedip.

Li Bin-sing tertawa, katanya, "Sekian tahun tidak bertemu, kamu kelihatan tambah gede."

"Sejak mula aku memang bukan orang kerdil," sahut Thi-wah.

"Sejak perkenalan pertama dulu, aku sudah tahu kamu orang baik."

"Betapapun baiknya diriku ini, jangan harap aku mau melepasmu pergi."

Li Bin-sing menyengir sesaat lamanya ia menjublek, lalu mendadak ia menjerit sambil memeluk perut, "Wah, celaka, perutku mules, aku mau ... "

Thi-wah tertawa, katanya, "Kalau orang lain yang menipu aku, mungkin aku bisa tertipu, tapi engkau ... hehe, sebelum Toa-ko kembali, berani kamu bergerak bisa aku gecek batok kepalamu."

Perut Li Bin-sing tidak sakit lagi, dengan kaku mengawasi orang gede di depannya, sesaat kemudian ia menghela napas, katanya, "Beberapa tahun tidak bertemu, ternyata kamu sudah pintar."

Tiba-tiba seorang menyeletuk dengan tertawa, "Siapa bilang dia pintar, aku justru bilang dia dungu. Tapi seorang dungu belum tentu setiap orang dapat menipunya, makin pintar seorang makin sukar menipu seorang dungu."

Di tengah suara tawa riang, tampak Siau-kong-cu datang dengan lincah. Sekilas ia mengerling lalu meneruskan dengan berseri, "Soalnya orang yang pintar selalu curiga dan banyak akalnya, sebaliknya orang dungu berpikir sederhana, kalau kau anggap dirimu pandai menipu orang, umpama kau bicara dengan jujur, orang pun takkan percaya padamu."

Li Bin-sing tertawa getir, "Ya, memang demikian. Sebenarnya aku sudah bicara apa adanya tapi dia justru tidak percaya, bukankah membuatku repot sendiri."

Siau-kong-cu menepuk pundaknya. "Tidak perlu penasaran, biarpun dia tidak percaya, tapi penjelasanmu tadi dapat kuterima, aku percaya sepenuhnya."

"kau ..." Li Bin-sing kegirangan, "kalian setuju membebaskan aku?"

"Betul," ucap Siau-kong-cu, "kalau kau ingin pergi, boleh silakan pergi."

Bersambung ke jilid 25 ...