Bab 13
Sang dewi malam sudah menghias ditengah cakrawala yang luas, dua ekor elang besar tampak ber-putar2 diangkasa karena melihat sesosok tubuh menggeletak ditanah salju, yaitu Tik Hun. Melihat Tik Hun menggeletak dan tak berkutik lagi, Cui Sing menyangka pemuda itu sudah ditusuk mampus oleh tumbak Hoa Tiat-kan itu, ia menjadi girang "Siau-ok-ceng" (paderi jahat kecil) yang ditakuti itu akhirnya telah mati, selanjutnya ia tidak perlu takut diganggu orang lagi. Tapi segera terpikir pula olehnya: "Hoa Tiat-kan bermaksud makan daging jenazah ayahku, syukur Siau-ok-ceng itu yang telah merintangi sepenuh tenaga, tapi ia berbalik terbunuh oleh Hoa Tiat-kan. Padahal dia toh tidak perlu merintangi perbuatan Hoa Tiat-kan itu. Apa barangkali dia sengaja hendak menipu supaya aku percaya padanya, tapi kemudian aku akan di..... hm, tidak nanti aku dapat tertipu. Akan tetapi sesudah dia mati, pabila ajahanam Hoa Tiat-kan itu hendak mengganggu jenazah ayah lagi, lantas bagaimana? Ai, sebaiknya Siau-ok-ceng itu jangan mati dulu." Begitulah pertentangan pikiran Cui Sing pada saat itu, sebentar ia bersyukur Siau-ok-ceng atau sipaderi jahat kecil yang ditakuti itu telah mati, tapi lain saat ia berharap Tik Hun jangan mati agar dirinya mempunyai sandaran untuk melawan Hoa Tiat-kan. Sambil memegangi golok merah, akhirnya ia mendekati Tik Hun, ia melihat pemuda itu menggeletak terlentang dan tidak bergerak sedikitpun, daging mukanya tampak ber-kerut2 pelahan, nyata orangnya belum mati. Cui Sing menjadi girang, cepat ia berjongkok untuk memeriksa napas Tik Hun. Tapi waktu tangannya menjulur sampai didepan hidung Tik Hun, ia merasa dua rangkum hawa panas dari lubang hidung itu menyembur ketangannya. Ia terkejut dan cepat menarik tangan. Semula ia menyangka napas Tik Hun tentu kempas-kempis andaikan orangnya belum mati, siapa duga napas yang keluar-masuk dihidung "Siau-ok-ceng" itu ternyata begitu keras lagi panas. Sebab apakah Tik Hun tidak mempan ditusuk tumbak? Kiranya Tik Hun mengenakan "Oh-jan-kah" pemberian Ting Tian dahulu, maka tumbak Hoa Tiat-kan itu tidak dapat menembus tubuhnya. Namun sebagai salah satu tokoh "Lam-su-lo" yang tersohor, ilmu silatnya dan tenaga dalamnya Hoa Tiat-kan dengan sendirinya luar biasa, meski tusukannya tidak mempan atas Tik Hun, tapi tusukan itu tepat menyodok didada pemuda itu hingga seketika Tik Hun lantas kelengar saking tak tahan. Untung sekarang ia sudah berhasil meyakinkan "Sin-ciau-kang" hingga jiwanya tidak sampai melayang oleh tusukan tumbak itu. Begitulah Cui Sing baru tahu bahwa pemuda itu cuma pingsan saja, ia merasa rikuh bila sebentar pemuda itu siuman kembali dan melihat dia berdiri disitu. Dan selagi ia hendak menjauhi Tik Hun, baru ia menoleh, ia melihat Hoa Tiat-kan juga berdiri tidak jauh dari situ dan sedang memperhatikan gerak-gerik mereka. Hendaklah diketahui bahwa Hoa Tiat-kan juga tidak kurang kagetnya ketika tumbaknya tidak mempan mengenai sasarannya, bahkan ia sendiri sampai terpental. Tapi demi dilihatnya Tik Hun menggeletak tak bangun lagi, dengan sendirinya cepat2 ia ingin mengetahui pemuda itu sudah mati atau masih hidup. Selang sebentar, ketika dilihatnya Tik Hun tetap tidak bergerak, ia menduga kalau tidak mati tentu pemuda itupun terluka parah. Maka tanpa takut2 lagi segera ia mendekati Tik Hun. Keruan yang ketakutan adalah Cui Sing, cepat ia membentak: "Pergi kau, pergi!"
"Kenapa aku mesti pergi?" sahut Hoa Tiat-kan dengan menyeringai. "Orang hidup tentu lebih lezat daripada orang mati. Kita sembelih dia dan memakannya bersama, bukankah sama2 baiknya?" ~Sembari berkata, ia terus melangkah maju. Cui Sing menjadi sibuk, sekuatnya ia meng-guncang2 Tik Hun sambil berteriak: "Bangunlah lekas, dia telah datang, dia telah datang!" Dan demi nampak Hoa Tiat-kan sudah angkat sebelah tangannya hendak menghantam ketubuh Tik Hun, tanpa pikir lagi Cui Sing putar goloknya, dengan jurus "Kim-ciam-toh-jiat" (jarum emas penolong maut), segera ia menusuk dulu keulu hati Hoa Tiat-kan. Senjata Hoa Tiat-kan, yaitu tumbak pendek, sudah dipatahkan oleh hantaman Tik Hun tadi, kini ia hanya bertangan kosong, walaupun kepandaian Cui Sing tak dipandang sebelah mata olehnya, tapi gadis itu bersenjatakan golok merah yang maha tajam itu, terpaksa ia tidak berani ayal, segera ia mengeluarkan kepandaian "Khong-jiu-jip-peh-yim" atau merebut senjata lawan dengan bertangan kosong. Ia pusatkan perhatian untuk menempur Cui Sing dengan tujuan merebut dulu senjata yang lihay itu. Dalam pingsannya itu, lapat2 Tik Hun mendengar teriakan Cui Sing tadi yang menyuruhnya bangun, sesaat itu ia masih samar2 belum sadar dan tidak tahu apa maksud gadis itu. Tapi menyusul ia lantas dengar suara bentakan2. Waktu ia membuka mata, dibawah sinar bulan ia melihat Cui Sing sedang putar goloknya menempur Hoa Tiat-kan dengan sengit. Meski gadis itu bersenjata, tapi pertama ia tidak biasa memakai golok, kedua, ilmu silatnya selisih terlalu jauh dibanding Hoa Tiat-kan, maka kelihatan gadis itu sudah payah dan terdesak mundur terus, sampai akhirnya, yang diharapkan gadis itu adalah goloknya tidak dirampas musuh, sedangkan untuk balas menyerang sudah tidak mampu lagi.
Dan setiap beberapa jurus, selalu Cui Sing menoleh dan berteriak pada Tik Hun: "Lekas bangun, dia hendak membunuh kau, lekas bangun!" Mendengar itu, hati Tik Hun terkesiap, pikirnya: "Wah, hampir saja aku mati! Jadi tadi dia telah menyelamatkan jiwaku. Bila dia tidak merintangi Hoa Tiat-kan, tentu aku sudah dibunuh oleh Hoa Tiat-kan." Dalam pada itu dilihatnya Cui Sing sedang terdesak dan terancam bahaya, tanpa pikir lagi Tik Hun lantas melompat bangun, kontan ia menghantam sekali kearah Hoa Tiat-kan. Ketika Hoa Tiat-kan memapak pukulan itu dengan telapak tangannya, "plak", dua arus tenaga pukulan saling beradu, "bluk", tahu2 kedua orang sama2 tergentak jatuh duduk. Kiranya tenaga dalam Tik Hun sudah sangat kuat, sebaliknya ilmu pukulan Hoa Tiat-kan lebih lihay, maka gebrakan itu menjadi sama kuatnya. Ilmu silat Hoa Tiat-kan lebih tinggi, gerak perubahannya menjadi lebih cepat. Begitu ia jatuh terpental, cepat ia melompat bangun lagi dan pukulan kedua segera dilontarkan pula. Tik Hun belum sempat berdiri kembali, terpaksa ia sambut pukulan itu dengan berduduk. Diluar dugaan, dalam keadaan berduduk itu tenaga Tik Hun ternyata tidak berkurang sedikitpun, maka "blang", kembali kedua pukulan saling bentur, Tik Hun terpental hingga berjumpalitan sekali, sebaliknya Hoa Tiat-kan juga ter-huyung2 dan hampir2 terjungkal lagi, darah dirongga dadanya juga bergolak hebat dan hampir2 muntah darah. Diam2 ia terkejut: "Tenaga dalam Siau-ok-ceng ini ternyata sedemikian hebatnya!" Tapi sesudah dua kali gebrak itu Hoa Tiat-kan tahu ilmu pukulan Tik Hun itu hanya biasa saja dan tak berarti, maka tanpa takut2 lagi kembali ia menerjang maju dari samping, pukulan ketiga segera dilontarkan pula. Terpaksa Tik Hun menyambut pula serangan itu. Tapi sekali ini ia kecele, ternyata Hoa Tiat-kan sangat licik, pukulan ketiga ini tidak dihantamkan dengan keras, tapi bergerak naik-turun dan menyambar lewat didepan muka Tik Hun, dengan sendirinya pukulan sambutan Tik Hun memapak angin, menyusul mana tahu2 "plak", dadanya telah kena digenjot sekali oleh Hoa Tiat-kan. Untung Tik Hun memakai baju Oh-jan-kah hingga tidak terluka apa2, tapi toh tidak tahan juga oleh tenaga pukulan yang hebat itu, maka baru saja ia berdiri, kembali ia jatuh terduduk pula. Sekali pukulannya mengenai sasaran, Hoa Tiat-kan mendapat hati, pukulan lain segera disusulkan lagi. Sebenarnya Hoa Tiat-kan disegani orang Bu-lim karena ilmu tumbaknya yang lihay, tapi dalam hal ilmu pukulan toh dia juga sangat hebat, kini ia telah mainkan "Gak-keh-san-jiu", ilmu pukulan warisan Gak Hui, kedua tangannya menyambar kian kemari, maka terdengarlah "plak-plok" ber-ulang2, Tik Hun kenyang digampar dan dihantam. Beberapa kali Tik Hun ingin balas menghantam juga, tapi setiap kali ia balas menyerang, selalu dapat dihindarkan Hoa Tiat-kan dengan mudah. Ya maklum, selisih ilmu silat mereka sesungguhnya terlalu jauh, Tik Hun hanya menang Lwekang saja sekarang, dalam hal ilmu silat dan taktik pukulan sama sekali ia tak berdaya. Sampai achirnya, sesudah kenyang dihajar tanpa mampu membalas apa2, terpaksa Tik Hun cuma dapat melindungi muka dan kepalanya dengan kedua tangan, sedang bagian badan membiarkan dihanjut musuh, sekali2 ia juga berdiri, tapi segera "knock-out" lagi kena pukulan Hoa Tiat-kan. Saat itu Hoa Tiat-kan sudah bertekad harus mampuskan pemuda itu agar tidak menimbulkan bahaya dibelakang hari, maka ia masih terus menghajar dengan kejam tanpa kenal ampun. Ber-ulang2 Tik Hun sudah muntah darah tiga kali, gerak-geriknya juga sudah susah. Dalam keadaan begitu, Cui Sing takbisa tinggal diam lagi, semula ia tidak berani sembarangan menyela dalam pertarungan kedua orang itu, kini melihat Tik Hun melulu terima digebuk belaka dan terancam bahaya, tanpa pikir lagi ia ayun goloknya terus membacok kepunggung Hoa Tiat-kan. Cepat Hoa Tiat-kan mengegos kesamping, berbareng tangannya meraup kebelakang untuk merebut senjata sigadis. Namun kesempatan itu segera digunakan Tik Hun untuk menghantam sekuatnya, seketika Hoa Tiat-kan terkurung ditengah pukulan pemuda itu. Karena takbisa berkelit lagi, terpaksa Hoa Tiat-kan memapak pukulan Tik Hun itu dengan pukulan juga. "Plak", seketika Hoa Tiat-kan kepala pusing dan mata ber-kunang2, sebagian tubuhnya serasa kaku. Nyata kalau bicara mengadu tenaga dalam, pasti Hoa Tiat-kan bukan tandingan Tik Hun sekarang. "Lekas lari, lekas lari!" demikian Cui Sing lantas berseru sambil menarik Tik Hun untuk berlari kedalam gua. Dengan cepat mereka mengangkat beberapa potong batu besar untuk ditumpuk dimulut gua, dengan golok terhunus Cui Sing berjaga disitu. Mulut gua itu agak sempit, meski beberapa potong batu besar itu tidak dapat menutup rapat mulut gua itu, tapi untuk bisa masuk kesitu terpaksa Hoa Tiat-kan harus membongkar dulu batu2 itu. Dan bila ia berani menjamah batu2 itu, segera Cui Sing akan menabas tangannya dengan golok. Selang sejenak, diluar gua ternyata tenang2 saja. "Siau......... bagaimana keadaan lukamu?" tanya Cui Sing tiba2. Sebenarnya ia hendak memanggil "Siau-ok-ceng" kepada Tik Hun seperti biasanya, tapi kini mereka sudah menjadi kawan dan bukan lawan lagi, ia merasa rikuh dan urung memanggil poyokan yang tidak sedap didengar itu. "Tidak berbahaya," demikian Tik Hun telah menyahut. Tiba2 terdengar Hoa Tiat-kan sedang bergelak ketawa diluar gua dan berteriak: "Ha-hahaha! Dua ekor binatang cilik itu main sembunyi2 didalam gua, apakah sedang berbuat sesuatu yang tidak boleh dilihat orang?" Keruan wajah Cui Sing merah padam, dalam hati ia menjadi rada takut juga. Ia telah pandang Tik Hun sebagai "In-ceng" (paderi cabul) yang tidak baik kelakuannya, kini dirinya malah berada bersama didalam gua, bukankah sangat berbahaya? Karena itu, tanpa merasa ia menggeser kesamping, ia merasa lebih jauh jaraknya dengan "paderi cabul" itu tentu akan lebih aman. Dalam pada itu terdengar Hoa Tiat-kan sedang mengoceh lagi diluar: "Hahaha, sepasang anjing laki2 dan perempuan itu enak2 bersembunyi disitu, ya? Tapi aku menjadi kedinginan diluar sini! Hahaha! Biarlah kumakan daging panggang saja!" Cui Sing kaget, keluhnya didalam hati: "Wah celaka! Dia hendak makan daging ayahku! Apa dayaku sekarang?" Sebaliknya darah Tik Hun juga sedang bergolak. Selama beberapa tahun ini ia telah kenyang dihina dan dianiaya orang, kini mendengar ocehan Hoa Tiat-kan yang menjijikan itu, keruan ia tidak bisa tahan lagi. Mendadak ia mendorong tumpukan batu yang menutupi mulut gua itu dan menerjang keluar bagaikan banteng ketaton, kedua tangannya menghantam ber-ulang2, sekuatnya ia serang Hoa Tiat-kan secara kalap. Tapi dengan gampang Hoa Tiat-kan dapat menghindarkan beberapa kali serangan Tik Hun itu, menyusul tangan kirinya berputar sebagai pancingan, sebaliknya tangan kanan tahu2 menghantam dari belakang, menghantam dari arah yang sama sekali tak terduga oleh Tik Hun. "Bluk", tanpa ampun lagi punggung Tik Hun kena digebuk sekali dengan keras. Kontan Tik Hun muntah darah lagi, kepala terasa pusing dan mata se-akan2 lamur, ia melihat Hoa Tiat-kan dihadapannya itu seperti telah berubah menjadi Ban Cin-san, Ban Ka, Leng Dwe-su, Po-siang dan orang2 jahat lain yang pernah menghina dan menganiaya dirinya itu. Mendadak ia pentang kedua tangan dan menyeruduk maju, tahu2 Hoa Tiat-kan didekapnya dengan kencang sekali. Dengan gugup Hoa Tiat-kan lantas menjotos hingga tepat mengenai batang hidung Tik Hun, "crot", kontan keras hidung pemuda itu bocor dan keluar kecapnya. Namun Tik Hun sudah tidak merasa sakit lagi, ia mendekap se-kencang2nya, makin lama makin kencang. Napas Hoa Tiat-kan menjadi sesak karena pinggangnya didekap sedemikian kuatnya oleh lawan yang kalap itu, mau-tak-mau ia rada kuatir juga. Malahan pada saat itu juga tertampak Cui Sing sedang memburu maju dengan golok terhunus. Keruan Hoa Tiat-kan ketakutan, tanpa pikir lagi kedua tinjunya menghantam perut Tik Hun sekuatnya. Karena kesakitan, lengan Tik Hun menjadi lemas, pelukannya menjadi kendur. Kesempatan itu segera digunakan Hoa Tiat-kan untuk meronta dan melepaskan diri, ia menjadi kapok dan tidak berani bertempur pula dengan orang kalap, beberapa kali lompatan cepat, ia meninggalkan Tik Hun hingga belasan meter jauhnya, disitulah baru ia berhenti dengan napas megap2. Melihat Tik Hun ter-huyung2 dengan muka penuh darah, ada maksud Cui Sing hendak memayang pemuda itu, tapi toh agak takut juga kalau2 mendadak "Siau-ok-ceng" itu mengamuk. Maka dengan rasa waswas ia melangkah maju. "Jangan mendekati aku!" se-konyong2 Tik Hun membentak. "Aku adalah Siau-ok-ceng, adalah paderi cabul, jangan kau mendekati aku, agar aku tidak menodai nama baik puteri seorang pendekar besar sebagai kau ini! Lekas enyah! Enyahlah!" Melihat sikap Tik Hun yang beringas dengan sinar matanya yang buas itu, Cui Sing menjadi ketakutan dan melangkah mundur. Dengan napas ter-sengal2 Tik Hun terus berjalan kearah Hoa Tiat-kan dengan sempoyongan, serunya: "Kalian manusia2 durjana ini! Ban Cin-san dan Ban Ka, kalian tidak berhasil membunuh aku, tidak dapat mematikan aku. Hayolah maju, marilah maju! Tikoan Tayjin, Tihu Tayjin, kalian hanya pintar menindas yang lemah dan merampas hak rakyat jelata, hayolah, jika berani, majulah, hayolah kita bertempur mati2an.........."
"Wah, orang ini sudah gila!" demikian Hoat Tiat-kan membatin. Maka ia melompat pergi lebih jauh lagi dan tidak berani mendekati Tik Hun. Tik Hun masih ber-teriak sambil mendongak: "Kalian manusia2 jahat semua! Hayolah boleh kalian maju semua padaku, aku Tik Hun tidak gentar! Kalian telah penjarakan aku, telah memotong jari tanganku, telah merebut Sumoayku, telah menginjak patah kakiku, tapi, semuanya itu aku tidak takut, hayolah maju, biarpun aku dicincang hancur luluh juga aku tidak gentar!" Mendengar teriakan dan gemboran Tik Hun itu, diantara rasa takutnya, mau-tak-mau timbul juga rasa kasihannya Cui Sing. Terutama demi mendengar seruan pemuda itu tentang: "telah merebut Sumoayku, telah menginjak patah kakiku", hati Cui Sing semakin terguncang, pikirnya: "Kiranya batin Siau-ok-ceng ini penuh siksa derita, sedangkan tulang kakinya itu justeru aku yang mengkeprak kudaku untuk menginjaknya hingga patah." Begitulah Tik Hun masih ber-teriak2 terus hingga suaranya menjadi serak, akhirnya ia terjungkal roboh ditanah salju dan tidak bergerak lagi.
Sudah tentu Hoa Tiat-kan tidak berani mendekati, begitu pula Cui Sing juga tidak berani mendekat.....
Bab 14
Melihat sesosok tubuh manusia yang menggeletak ditanah tanpa bergerak itu, elang yang terbang mengitar diangkasa itu mengira Tik Hun sudah mati. Se-konyong2 seekor elang itu menyambar kebawah dan mematuk jidat Tik Hun. Saat itu Tik Hun masih dalam keadaan tak sadar, karena patukan elang itu, seketika ia siuman kembali. Melihat badan mangsanya bergerak, elang itu menjadi ketakutan dan cepat terbang keatas. Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: "Kau binatang inipun berani padaku?" ~ Terus saja sebelah tangannya dipukulkan. Tenaga pukulan Tik Hun ini sangat lihay, jarak elang itu sudah ada tiga-empat meter dari dia, tapi kena tenaga pukulan itu, seketika bulu sayapnya rontok bertebaran, bahkan elang itu terus jatuh kebawah. Cepat Tik Hun sambar binatang itu, dengan ketawa ter-bahak2, segera ia gigit perut elang itu. Sudah tentu binatang itu kerupukan dan me-ronta2 berusaha melepaskan diri. Namun Tik Hun sudah kadung gemas, ia pencet elang itu se-keras2nya, ia merasa darah elang yang asin2 amis menetes terus kedalam mulutnya hingga dia mirip diberi tambah darah.
Sebentar kemudian, setelah kenyang menghirup darah elang, ia abat-abitkan binatang yang sudah tak bernyawa itu tinggi2 sambil berseru: "Nah, apa abamu sekarang? Hm, kau ingin makan aku? Tapi aku sudah makan kau lebih dulu!" Melihat cara bagaimana Tik Hun ganyang mentah2 elang yang ditangkapnya itu, Hoa Tiat-kan dan Cui Sing sampai ternganga kesima. Hoa Tiat-kan menjadi takut sigila itu sebentar akan mengamuk dan menerjang kearahnya, jalan paling selamat rasanya menghindar pergi saja sejauh mungkin. Maka cepat ia mengitar keujung timur lembah itu, ia pikir cara sigila itu menangkap elang sangat praktis juga, maka ia lantas menirukan, ia merebah ditanah, ia pura2 mati untuk menantikan sambaran elang. Memang ada juga elang yang tertipu olehnya dan menerjun kebawah hendak memaruhnya, tapi ketika Hoa Tiat-kan menghantam, hasilnya ternyata nihil, elang itu tidak kena dihantam. Kiranya tenaga dalamnya selisih terlalu jauh dibandingkan Tik Hun sekarang, benar ilmu pukulannya sangat bagus, tapi cara berkelit elang itupun sangat gesit dan cepat, andaikan kena tenaga pukulannya juga tidak jatuh kebawah, paling2 berkaok kesakitan terus terbang keangkasa lagi. Sementara itu setelah Tik Hun hirup darah elang, namun saking parahnya kena dihajar Hoa Tiat-kan tadi, akhirnya ia jatuh pingsan pula. Ketika mendusin, sementara itu hari sudah terang tanah. Ia merasa kelaparan, segera ia ambil elang mati yang berada disampingnya itu terus digeragoti. Tapi sekali menggeragot, ia tidak merasakan amisnya daging mentah lagi, sebaliknya daging elang itu terasa sangat lezat dan gurih. Waktu ia perhatikan daging elang itu, ia menjadi melongo. Kiranya elang itu sekarang sudah bukan elang kemarin lagi, bulu elang itu kini sudah terbubut bersih, bahkan sudah terpanggang mateng. Padahal masih jelas teringat olehnya elang itu cuma dihisap darahnya saja, lalu ia terpulas. Lantas siapakah gerangannya yang memanggang elang itu? Jika bukan Cui Sing, masakah mungkin adalah sijahanam Hoa Tiat-kan? Tapi ia yakin pasti sigadis itulah yang melakukannya. Sesudah ber-teriak2 seperti orang gila semalam, rasa sumpak dan kesalnya Tik Hun sudah banyak terlampias. Kini sesudah sadar, ia merasa dadanya lega, semangat penuh. Waktu ia memandang kedalam gua, ia melihat Cui Sing masih tidur sambil mendekap diatas batu. Pikirnya: "Gadis itupun sudah kelaparan selama beberapa hari, sesudah panggang elang ini, semuanya ia berikan padaku tanpa mengambil sedikitpun bagi dirinya sendiri, betapapun hal ini harus dipuji. Tapi, hm, ia anggap dirinya adalah puteri seorang pendekar besar dan pandang rendah padaku, sebaliknya aku juga pandang hina padamu? Apanya sih yang kuharapkan darimu?" Tapi selang tak lama, kembali terpikir pula olehnya: "Namun dia telah memanggangkan elang bagiku, suatu tanda dia toh tidak terlalu memandang rendah padaku. Maka tidak pantas jika dia dibiarkan mati kelaparan." Kira dua jam kemudian, kembali ia berhasil mendapatkan empat ekor elang dengan tenaga pukulannya. Sementara itu Cui Sing sudah mendusin, maka ia melemparkan dua ekor elang hasil buruannya itu kepada gadis itu. Tapi Cui Sing lantas mendekatinya dan mengambil sekalian kedua ekor elang yang lain, ia sembelih semua elang itu serta dipanggang pula. Lalu tanpa bicara apa2 kedua ekor elang panggang yang sudah masak itu dikembalikan kepada Tik Hun.
Dilembah pegunungan itu ternyata banyak juga burung elang, tapi binatang2 itu justeru sangat tolol. Biarpun banyak kawannya telah menjadi korban pukulan Tik Hun dan dijadikan isi perut, tapi burung2 itu masih terus-menerus menghantarkan diri sendiri untuk dijadikan makanan. Dalam pada itu tenaga dalam Tik Hun juga semakin tambah kuat, dengan sendirinya tenaga pukulannya juga makin hebat. Sampai akhirnya, ia tidak perlu pura2 mati untuk memancing elang lagi, tapi asal ada burung yang menghinggap dipohon atau terbang lewat disampingnya, sekali dia hantam, tentu dapatlah ditangkapnya. Dengan cepat sang waktu telah lalu tanpa terasa, sementara itu bulan ke-12 sudah habis. Cuaca sudah banyak berubah, salju yang turun dilembah pegunungan itu kini sudah sangat jarang, siang-malam hanya tiupan angin yang masih merasuk tulang dinginnya. Kecuali kalau mencari kayu bakar dan memanggang burung, selalu Cui Sing bernaung didalam gua. Selama itu Tik Hun tidak pernah mengajak bicara padanya dan tidak pernah masuk selangkahpun kedalam gua. Suatu malam, salju turun terus-menerus dengan bertebaran. Esok paginya waktu Tik Hun mendusin, ia merasa badannya hangat2 nyaman, waktu ia membuka mata, ia melihat tubuh sendiri tertutup oleh sesuatu benda yang coklat ke-hitam2an. Ia terkejut dan cepat memegangnya, tapi ia menjadi heran ketika diketahui barang itu adalah sepotong baju yang aneh. Baju itu seluruhnya terbuat dari bulu burung, hampir sebagian besar adalah bulu elang. Panjang baju itu sebatas lutut hingga lebih tepat dikatakan mantel. Baju buatan dari bulu itu entah memerlukan betapa banyak, mungkin berpuluh ribu helai bulu burung. Sambil memegangi baju bulu burung itu, mendadak wajahnya menjadi merah, ia tahu pasti baju itu adalah buah tangan Cui Sing. Untuk membuat baju itu, terang tidak sedikit jerih-payah yang telah dicurahkan sigadis. Apalagi dilembah pegunungan itu tiada peralatan menjahit seperti gunting, jarum, benang dan sebagainya, entah cara bagaimana gadis itu telah menyelesaikan baju bulu burung itu.
Waktu Tik Hun coba memeriksa baju itu, ia melihat pada pangkal tulang setiap helai bulu itu terdapat sebuah lubang kecil, tentu lubang itu ditusuk dengan tusuk-konde Cui Sing, lalu lubang itu ditembus dengan benang sutera warna kuning, terang benang itu diloloskan dari baju sutera kuning yang dipakai Cui Sing sendiri. Diam2 Tik Hun heran, pekerjaan yang sukar dan rumit itu mengapa justeru sangat disukai oleh kaum wanita? Tiba2 terkenang olehnya apa yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu ditempat tinggal Ban Cin-san dikota Heng-ciu dahulu. Pada malam itu, ia telah dikerubut oleh delapan murid orang she Ban itu, ia dihajar mereka hingga babak-belur, mata biru dan hidung bocor, bahkan sehelai baju baru yang sangat disayanginya itu juga menjadi korban dan te-robek2. Syukur waktu itu Jik-sumoay yang telah menambal dan menjahitkan baju baru yang sobek itu. Tanpa merasa terbayang olehnya keadaan pada waktu itu: Jik Hong menggelendot disampingnya untuk menambal bajunya. Rambut sigadis yang panjang itu meng-gosok2 pipinya hingga menimbulkan rasa geli, malahan ia mengendus bau harum anak perawan yang selama hidup baru pertama kali itu dialaminya, dengan perasaan terguncang ia telah memanggil: "Sumoay!" ~ Lalu Jik Hong telah menyahut: "Sssst, jangan bersuara, jangan2 kau akan dipitenah menjadi maling!" Terpikir sampai disini, tenggorokan Tik Hun serasa tersumbat sesuatu, air matanya ber-linang2 dikelopak matanya hingga segala apa yang berada didepannya menjadi samar2 kelihatannya. Pikirnya: "Benar juga. Kemudian aku telah dipitenah orang sebagai maling. Apa barangkali karena aku telah bersuara waktu Sumoay menambal bajuku seperti apa yang dikatakan Sumoay itu?" Tapi sesudah mengalami godokan dan gemblengan segala penderitaan selama beberapa tahun ini, ia sudah tidak percaya lagi kepada segala kiasan yang khayal itu. Pikirnya: "Hehe, bila orang memang bermaksud bikin celaka padaku, biarpun aku tidak bersuara atau gagu sekalipun juga tetap akan dicelekai mereka. Tatkala itu Sumoay benar2 sangat baik padaku, tapi wanita didunia ini semuanya memang takbisa dipercaya, habis manis sepah dibuang. Ketika melihat keluarga Ban yang kaya-raya itu, sijahanam Ban Ka itu muda lagi lebih ganteng daripadaku, mata Sumoay menjadi silau dan balik pikiran. Yang paling tidak pantas yalah aku telah ditipu agar sembunyi digudang kayu, tapi diam2 ia memberitahukan pada suaminya untuk menangkap aku. Hahaha! Haha-hahahaha!" Begitulah mendadak ia ter-bahak2 seperti orang gila. Sambil memegangi baju bulu itu ia menuju kedepan gua, ia lempar baju itu ketanah dan menginjaknya beberapa kali dengan berteriak: "Aku adalah paderi cabul dan Hwesio jahat, mana aku ada harganya memakai baju buatan puteri terhormat ini?" ~ dan sekali ia depak, baju bulu itu ditendangnya kedalam gua. Lalu ia putar tubuh dan tinggal pergi dengan ter-bahak2. Dengan susah payah dan memakan tempo lebih sebulan barulah Cui Sing selesai membuatkan baju bulu itu. Ia pikir "Siau-ok-ceng" telah berjasa menyelamatkan jenazah ayah, tapi sedikitpun jasa itu tidak di-tonjol2kan padanya. Selama ini hidupnya juga tergantung dari daging burung buruan "Siau-ok-ceng" itu. Sebaliknya tingkah-laku "Siau-ok-ceng" itu ternyata cukup "sopan", biarpun menderita kedinginan diluar gua toh tidak pernah melangkah kedalam gua setindakpun, maka sudah sepantasnya baju bulu yang kubikin ini kuhadiahkan dia sekadar membalas kebaikannya selama ini. Siapa duga maksud baiknya telah dibahas dengan jelek, baju bulu itu di-injak2 dan terus disepak kembali kedalam gua, bahkan dicaci maki dan dihina. Saking gusarnya, terus saja Cui Sing jemput kembali baju bulu itu dan di-betot2 dan di-puntir2, dan saking terguncang perasaannya, air matanya lantas bercucuran. Sama sekali tak tersangka olehnya bahwa diwaktu Tik Hun berputar pergi sambil terbahak2 tadi, baju didadanya itu juga sudah basah lepek oleh tetesan air mata..........
Bab 15
Menjelang lohor, kembali Tik Hun berhasil memburu empat ekor burung, seperti biasa, ia taruh hasil buruan itu di depan gua. Maka Cui Sing lantas menyembelih burung2 itu pula dan dipanggang, lalu membagi separoh pada Tik Hun seperti biasa.
Kedua orang sama sekali tidak bicara, bahkan sinar mata masing2 juga tidak berani kebentrok. Keduanya duduk ditempat masing2 dari jarak agak jauh, mereka makan daging burung panggang bagian sendiri2. Tiba2 dari arah timur laut sana terdengar suara tindakan orang. Waktu mereka memandang kearah suara itu, tertampaklah Hoa Tiat-kan sedang mendatangi dengan cengar-cengir. Kedua tangan manusia hina itu bersenjata semua, tangan yang satu membawa golok Kui-thau-to dan tangan lain sebatang pedang. Seketika Tik Hun dan Cui Sing sama melonjak bangun, cepat Cui Sing berlari masuk kedalam gua, waktu keluar lagi tangannya sudah memegangi golok merah tinggalan Hiat-to Loco itu. Setelah ragu2 sejenak, tiba2 ia lemparkan golok itu kearah Tik Hun sambil berseru: "Sambutlah ini!" Dengan sendirinya Tik Hun tangkap golok yang dilemparkan padanya itu. Ia terkesiap: "Mengapa ia dapat mempercayai aku dan menyerahkan golok mestika pelindung jiwanya ini padaku? Ehm, tentu maksudnya agar supaya aku menyabung jiwa baginya, yaitu dengan membantu dia melawan Hoa Tiat-kan. Hm, hm, aku toh bukan budakmu?!" Dan pada saat itulah dengan langkah lebar Hoa Tiat-kan sudah mendekat. Segera orang she Hoa itu bergelak ketawa dan berkata: "Kionghi! Kionghi!"
"Kionghi apa?" semprot Tik Hun dengan melotot. "Kionghi pada kalian berdua yang telah jadi suami-isteri," sahut Hoa Tiat-kan. "Habis, golok mestika pembela diri sepenting itu juga sudah diberikan padamu, apalagi barang2 lain yang dimiliki gadis itu, tentu saja tanpa tawar2 lagi dipersembahkan padamu. Betul tidak? Haha-haha!"
"Jahanam," damperat Tik Hun dengan gusar, "percuma kau mengaku sebagai pendekar besar dari Tionggoan, nyatanya adalah manusia rendah dan kotor!"
"Soal rendah dan kotor, rasanya orang dari Hiat-to-bun kalian takkan kalah daripada diriku," ujar Hoa Tiat-kan dengan cengar-cengir. Sambil bicara iapun melangkah maju lebih dekat. Tiba2 ia mengendus se-keras2nya dengan hidung hingga mengingatkan orang pada anjing waktu mengendus sesuatu, lalu katanya: "Ehmmm, alangkah wanginya, alangkah sedapnya! Bau apakah ini? Eh, kiranya burung panggang! Berikan seekor padaku, ya?" Jika dia meminta secara baik2, mungkin tanpa banyak bicara akan diberi oleh Tik Hun. Tapi kini pemuda itu sudah kadung geram terhadap sikap orang she Hoa yang menjijikkan itu, dengan sendirinya ia tidak sudi memberi makan padanya. Segera jawabnya: "Ilmu silatmu jauh lebih tinggi dariku, kau toh dapat mencari burung sendiri."
"Aku justeru lagi malas mengeluarkan tenaga," sahut Tiat-kan dengan menyengir. Tengah mereka bicara, sementara itu Cui Sing sudah berada dibelakang Tik Hun, mendadak ia berseru kaget: "He, Lau-pepek, Liok-pepek!" Kiranya ia telah melihat jelas senjata2 yang dibawa Hoa Tiat-kan itu tak-lain-tak-bukan adalah pedangnya Lau Seng-hong dan Kui-thau-to milik Liok Thian-ju. Pula waktu angin meniup hingga ujung baju Hoa Tiat-kan tersingkap, jelas Cui Sing melihat didalam baju Hoa Tiat-kan sendiri itu terangkap pula bajunya Liok Thian-ju dan jubahnya Lau Seng-hong. "Ada apa?" sahut Hoa Tiat-kan dengan menarik muka. "Jadi kau................. kau telah........... telah makan mereka?" seru Cui Sing pula dengan suara gemetar. Ia menduga Hoa Tiat-kan tentu sudah mendapatkan jenazah kedua paman angkat itu dan besar kemungkinan sudah dijadikan isi perut manusia binatang she Hoa itu. "Makan atau tidak, peduli apa dengan kau?" sahut Tiat-kan acuh-tak-acuh. "Lau-pepek dan Liok-pepek mereka kan sau.................... saudara angkatmu?" seru Cui Sing tergagap2.
Namun Hoa Tiat-kan tidak gubris padanya lagi, sebaliknya ia berpaling dan berkata pada Tik Hun: "Hwesio cilik, selama ini aku tidak mengutik-ngutik jenazah bapak mertuamu, itu berarti aku cukup menghargai kau. Tapi Hwesio tua itu telah kau bunuh sendiri, kini aku hendak menggunakannya, tentunya kau tiada perlu banyak bicara, bukan?" Tik Hun menjadi gusar, sahutnya: "Dilembah ini cukup banyak elang dan burung yang dapat kau jadikan sebagai makanan, mengapa kau.................. kau begini kejam dan mesti makan daging manusia?" Padahal kalau Hoa Tiat-kan mampu memburu burung, dengan sendirinya iapun tidak tega makan daging saudara angkat sendiri yang sudah mati itu. Ia sudah berusaha sebisa mungkin untuk menangkap burung sebagai makanan, semula dapat juga ditangkapnya satu-dua ekor, tapi kemudian burung2 itupun menjadi kapok dan tidak mau masuk perangkapnya lagi. Sedangkan Hoa Tiat-kan tidak memiliki tenaga pukulan sehebat Tik Hun yang sudah berhasil meyakinkan tenaga dalam Sin-ciau-kang yang hebat itu, dengan sendirinya ia tidak mampu menghantam burung terbang dari jarak jauh seperti Tik Hun itu. Kini ia membawa senjata golok dan pedang, ia sudah bertekad akan menempur Tik Hun dan Cui Sing, ia pikir kedua orang itu harus dibunuh semua, dengan demikian, ditambah lagi dengan mayat Cui Tay dan Hiat-to Loco yang terpendam dibawah salju itu tentu akan merupakan rangsum simpanan baginya untuk bertahan sampai musim panas yang akan datang, lalu dapatlah ia keluar dari lembah maut itu sesudah salju mencair.
Begitulah Hoa Tiat-kan menjadi ngiler demi mengendus bau daging burung panggang yang lezat itu. Se-konyong2 ia angkat Kui-thau-to terus membacok kearah Tik Hun sambil membentak. Cepat Tik Hun ayun golok merah yang diterimanya dari Cui Sing itu untuk menangkis. "Trang", Kui-thau-to yang dipakai Hoa Tiat-kan itu sampai mendal kembali, tapi tidak patah. Kiranya Kui-thau-to itupun merupakan sebuah senjata pusaka, walaupun tidak setajam Hiat-to yang digunakan Tik Hun itu, tapi badan golok itu cukup tebal, maka golok merah itu tidak dapat menabas kutung padanya. Tempo hari waktu Liok Thian-ju menggunakan golok tebal itu untuk menempur Hiat-to Loco, pernah juga Kui-thau-to itu tergempil beberapa tempat ketika mesti beradu dengan golok merah itu, maka kini setelah saling bentur lagi, paling2 Kui-thau-to itu bertambah suatu gempilan baru saja. Meski Hoa Tiat-kan tidak terlalu mahir menggunakan golok, tapi sebagai seorang tokoh persilatan, segala macam ilmu silat tentu diketahuinya, dengan dasar ilmu silat yang dimiliki, betapapun Tik Hun tidak sanggup melawan permainan goloknya itu. Maka hanya beberapa jurus saja Tik Hun sudah terdesak mundur. Sebaliknya Hoa Tiat-kan ternyata tidak mendesak lebih jauh, tiba2 ia berjongkok dan menjemput sepotong burung panggang sisa makanan Tik Hun tadi terus digeragotinya dengan lahap, lalu pujinya tak habis2: "Ehm, lezat benar burung panggang ini, sungguh lezat sekali!"
Tik Hun menoleh dan saling pandang sekejap dengan Cui Sing. Kedua orang sama2 merasa ngeri. Mereka insaf kedatangan Hoa Tiat-kan sekali ini dengan senjata lengkap, terang keadaannya tidak seperti tempo hari lagi yang bertempur dengan tangan kosong. Waktu bergebrak dengan tangan kosong, jika Tik Hun kena digebuk umpamanya, paling2 ia cuma muntah darah dan terluka dalam, untuk membinasakannya dengan pukulan atau tendangan sudah tentu tidak mudah. Tapi sekarang Tiat-kan bersenjata, bahkan dua senjata sekaligus, yaitu golok dan pedang, maka keadaan menjadi berbeda jauh, sebab, sedikit Tik Hun meleng saja, seketika jiwanya bisa melayang. Malahan tempo hari Tik Hun berkat bantuan Cui Sing yang meminjamkan golok merah itu padanya hingga dia masih sanggup bertahan sebisanya, tapi kini senjata Hoa Tiat-kan lebih banyak, dengan sendirinya Tik Hun tidak mungkin dapat melawannya. Begitulah, selesai makan setengah ekor burung panggang restan Tik Hun tadi, selera Hoa Tiat-kan ternyata belum terpenuhi, ketika dilihatnya didekat gua sana masih ada seekor lagi, segera ia mendekati dan dimakan pula. Habis melalap burung panggang itu, Hoa Tiat-kan meng-usap2 mulutnya yang berlepotan minyak itu, lalu katanya: "Ehm, sangat lezat, kepandaian sikoki yang memanggang burung ini harus diberi piala." Kemudian dengan ke-malas2an ia memutar tubuh. Mendadak ia melompat maju, tanpa bicara lagi goloknya membacok pula kearah Tik Hun.
Serangan itu dilakukan dengan sangat cepat dan diluar dugaan, karena tidak menyangka sama sekali, hampir2 kepala Tik Hun terbelah menjadi dua, untung ia cukup sigap, cepat ia menangkis dengan golok merah. Syukurlah Tiat-kan agak jeri pada tenaga dalam Tik Hun yang kuat, bila kedua senjata saling bentur, tentu lengannya terasa linu pegal, maka lebih baik ia menghindari beradunya kedua senjata. Segera ia miringkan goloknya kearah lain, menyusul ia membabat dan membacok pula secara ber-tubi2. Keruan Tik Hun kewalahan dan kelabakan. "Cret", tanpa ampun lagi lengan kiri kena tergurat oleh Kui-thau-to musuh hingga berwujut suatu luka panjang. "Sudahlah, jangan bertempur lagi! Hoa-pepek, jangan bertempur lagi, aku akan membagi daging burung padamu!" demikian Cui Sing ber-teriak2 dengan kuatir. Tapi Hoa Tiat-kan sedang mendapat angin, mana dia mau berhenti. Ia melihat ilmu silat Tik Hun paling2 cuma tergolong kelas tiga dalam dunia persilatan, kalau kesempatan baik ini tidak membunuhnya, kelak tentu akan menimbulkan bahaya besar. Dari itu, bukannya ia berhenti seperti seruan Cui Sing itu, sebaliknya ia menyerang lebih kencang, bahkan mulutnya ikut menggoda: "He, Cui-titli, kau sayang pada Siauw-ok-ceng ini ya? Apa kau sudah lupa pada Piaukomu yang pernah berpacaran dengan kau itu?" Sambil berkata, cepat goloknya menyerang pula tiga kali beruntun hingga pundak kanan Tik Hun kembali terbacok sekali. Untung tempat bacokan itu terlindung oleh Oh-jan-kah yang dipakainya, kalau tidak, tentu sebelah bahunya sudah tertabas kutung.
"Hoa-pepek, sudahlah, jangan bertempur lagi!" demikian Cui Sing ber-teriak2 pula. Tapi Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: "Apa yang kau gembar-gemborkan? Kalau aku takbisa menangkan dia, biarlah aku dibunuh olehnya!" Dalam murkanya, terus saja ia membacok dan menabas serabutan. Tiba2 golok yang dipegang tangan kanan itu dipindahkannya ketangan kiri, menyusul tangan kanan itu terus menampar hingga pipi Hoa Tiat-kan kena ditempeleng sekali dengan keras. Sudah tentu mimpipun Hoa Tiat-kan tidak menyangka pemuda yang ilmu silatnya rendah tak berarti itu masih mempunyai jurus "simpanan" yang bagus itu, ia menjadi tidak sempat menghindar dan kena digampar mentah2. Sebaliknya Tik Hun melengak juga oleh hasil pukulannya itu, pikirnya: "Ha, inilah 'Ni-kong-sik' (gaya menempeleng) ajaran pengemis tua tempo dulu itu!" Dan sekali ingat, be-runtun2 ia lantas mengeluarkan jurus2 lain ajaran sipengemis tua waktu ia bertamu dirumah Ban Cin-san dahulu. Kembali ia memainkan "Ji-koh-sik" (gaya menusuk pundak) dan "Gi-kiam-sik" (gaya mementalkan pedang). Keruan Hoa Tiat-kan kaget, ia ber-kaok2: "He, Soh-sim-kiam-hoat! Soh-sim-kiam-hoat!" Kembali Tik Hun melengak oleh teriakan Hoa Tiat-kan itu. Teringat olehnya tempo dulu waktu ia bertempur melawan Ban Ka dan kawan2nya dirumah keluarga Ban itu, ia telah mainkan ketiga jurus ajaran sipengemis tua untuk menghajar Ban Ka dan ketujuh saudara perguruannya, tatkala itu Ban Cin-san juga menyatakan jurus2 serangan itu adalah "Soh-sim-kiam-hoat". Tapi hal mana dianggapnya omong kosong dan ocehan Ban Cin-san belaka. Namun sekarang Hoa Tiat-kan juga menyatakan jurus2 serangannya itu adalah Soh-sim-kiam-hoat. Sebagai seorang tokoh terkemuka didunia persilatan Tionggoan, pengalaman dan pengetahuan Hoa Tiat-kan sudah tentu sangat luas, masakah iapun sembarangan mengoceh? Begitulah Tik Hun menjadi ragu2 apakah ketiga jurus ajaran pengemis tua itu jangan2 memang benar adalah Soh-sim-kiam-hoat? Ber-ulang2 Tik Hun memainkan ketiga jurus itu pula, ia gunakan golok sebagai gantinya pedang. Tapi ilmu silat Hoa Tiat-kan sudah tentu takdapat disamakan dengan Ban Ka dan kawan2nya itu. Ketiga jurus serangan itu sudah tentu tidak dapat diulangi atas diri Hoa Tiat-kan dan tidak manjur. Waktu Tik Hun hendak mengulangi jurus "Gi-kiam-sik", dengan golok merah ia mencungkit Kui-thau-to yang dipegang Hoa Tiat-kan itu, namun Hoa Tiat-kan sudah siap sebelumnya, mendadak sebelah kakinya melayang hingga urat nadi tangan Tik Hun tepat kena tertendang. Keruan cekalan Tik Hun menjadi kendur, golok merah terlepas dari tangan. Bahkan Hoa Tiat-kan terus menambahi pula dengan jurus "Sun-cui-tui-ciu" (mendorong perahu menurut arus), golok dan pedang yang dipegang kedua tangannya berbareng menusuk kedada Tik Hun sekaligus "Crat-cret", tanpa ampun lagi dada Tik Hun terkena tusukan golok dan pedang Hoa Tiat-kan itu, tapi ujung kedua senjata itu lantas tertahan semua oleh Oh-jan-kah hingga tidak dapat menembus. Saat itu Cui Sing juga sudah siap sedia disamping dengan sepotong batu, ia menunggu bila Tik Hun terancam bahaya, segera ia akan maju membantu. Kini melihat Hoa Tiat-kan telah menyerang dengan golok dan pedang sekaligus, tanpa pikir lagi ia angkat batunya terus mengepruk kebelakang kepala Hoa Tiat-kan. Dari pengalaman yang sudah lalu dimana tumbak Hoa Tiat-kan tidak mempan menembus dada Tik Hun, memangnya Hoa Tiat-kan sudah ter-heran2 dan tidak habis mengarti apa sebabnya? Ia menduga didalam baju pemuda itu mungkin terdapat sesuatu benda keras sebangsa tameng, dan ujung tumbaknya tepat menusuk diatas benda keras itu, makanya tidak mempan. Tapi sekali ini ia menusuk dengan golok dan pedang berbareng, rasanya tidak mungkin begitu kebetulan pula akan mengenai benda keras itu. Siapa duga hal yang tak diharapkan itu justeru berulang pula. Dan tengah ia tertegun bingung itu, tiba2 Tik Hun sudah balas menghantamnya sekali, bahkan dari belakang Cui Sing mengepruknya pula dengan batu. Tanpa pikir lagi segera ia berkelit, lalu melompat pergi hingga jauh sambil berseru: "Ada setan! Ada setan!" ~ Ia menjadi mengkirik sendiri demi terpikir olehnya mungkin arwah Liok-toako dan Lau-hiante yang penasaran itu hendak menuntut balas padanya karena ia telah makan mayat mereka. Tanpa terasa keringat dingin membasahi tubuhnya. Dalam pada itu kelonggaran itu lantas digunakan oleh Tik Hun dan Cui Sing untuk lari kedalam gua, lalu menyumbat pula mulut gua dengan batu2 besar. Kemudian terdengarlah Hoa Tiat-kan telah ber-kaok2 diluar gua: "Hai keluarlah anak kura2, apakah kalian mampu sembunyi selama hidup didalam gua? Dapatkan kalian menangkap burung didalam gua? Haha-hahaha!" Meski Hoa Tiat-kan bergelak ketawa dan mengejek dengan congkak, tapi sebenarnya hatinya juga sangat takut, maka tidak berani sembarangan membongkar mayat Cui Tay lagi untuk dimakan. Mendengar ejekan Hoa Tiat-kan itu, mau-tak-mau Tik Hun saling pandang sekejap dengan Cui Sing. Pikir mereka: "Benar juga apa yang dikatakan keparat itu. Selama sembunyi digua, apa yang harus kami makan? Tapi kalau keluar tentu akan dibunuh olehnya, lantas apa daya sekarang?" Padahal kalau benar2 Hoa Tiat-kan hendak menyerbu kedalam gua, betapapun Tik Hun berdua tidak mampu merintanginya. Cuma sesudah dua kali Tik Hun tidak mempan ditusuk olehnya, Tiat-kan menjadi jeri dan menyangka benar2 ada arwah halus yang diam2 lagi mempermainkannya, maka ia tidak berani sembarangan bertindak lagi. Sesudah berjaga sekian lamanya dipintu gua dan Hoa Tiat-kan tidak menyerbu, barulah Tik Hun dan Cui Sing agak lega. Waktu Tik Hun periksa luka lengan kiri, ia melihat darah masih mengucur terus. Segera Cui Sing sobek sepotong kain bajunya untuk membalut luka pemuda itu. Ketika Tik Hun mengeluarkan bungkusan abu tulang Ting Tian, tanpa sengaja dari bajunya itu ikut terjatuh sejilid buku kecil. Itulah "Hiat-to-keng" (kitab golok berdarah) yang diperolehnya dari Po-siang dahulu. Meski pertarungan Tik Hun melawan Hoa Tiat-kan tadi memakan waktu singkat saja, tenaga yang dikeluarkannya juga tidak banyak, tapi semangatnya ternyata masih tegang sekali. Kini sesudah mengaso, barulah ia merasa sangat lelah. Teringat olehnya tempo dulu waktu pertama kalinya membaca Hiat-to-keng itu, pernah ia bertingkah menurutkan gambar yang terlukis didalam kitab, lalu semangatnya lantas pulih dan tenaga bertambah. Segera ia membalik2 halaman kitab itu pula dengan tujuan akan menirukan gaya yang terlukis didalam kitab itu untuk memulihkan semangat agar sebentar dapat dipakai menghadapi musuh kuat yang masih mengintai diluar gua itu. Ketika ia membuka halaman pertama kitab itu, ia melihat gambar yang terlukis disitu adalah bentuk manusia yang berjungkir balik, kepala menahan ditanah, kaki terangkat keatas, sikap kedua tangannya juga sangat aneh. Tanpa pikir lagi segera Tik Hun menirukan gambar itu, iapun menjungkir dengan kepala bawah dan kaki diatas. Melihat pemuda itu mendadak bertingkah aneh. Cui Sing menyangka penyakit gila orang telah angot lagi. Diam2 ia mengeluh, diluar gua ada musuh, didalam gua ada orang gila pula, bagaimana dirinya harus bertindak? Dalam kuatirnya, kembali ia mewek2 ingin menangis. Dalam pada itu Tik Hun masih terus berlatih, tidak sampai setengah jam, antero tubuhnya terasa panas bagai dibakar. Tapi nikmat sekali rasanya. Melihat Tik Hun melatih ilmu dengan berdiri menjungkir, Cui Sing menjadi heran dan kaget terutama sesudah mengetahui yang ditiru Tik Hun adalah gambar didalam kitab Hiat-to-keng yang melukiskan seorang laki2 telanjang, jangan2 nanti pemuda itu juga akan menirukannya dengan telanjang ?.. Kemudian ia coba membalik halaman berikutnya, ia melihat gambar ini melukiskan seorang laki2 telanjang tengkurap ditanah, hanya tangan kirinya yang menahan ditanah, sedangkan kedua kakinya membalik keatas dan menggantol dibagian leher sendiri. Gaya menurut gambar itu sebenarnya sangat susah dilakukan. Tapi sejak Tik Hun berhasil meyakinkan Sin-ciau-kang, ia merasa antero tubuh dan segenap bagian badannya dapat digerakan dengan bebas, bagaimana keinginannya tentu dapat dilakukannya, sedikitpun tidak susah2. Maka ia lantas berlatih pula menurut petunjuk gambar dalam kitab itu, hawa dalam tubuh lantas ikut berjalan juga kian kemari antara urat-nadi satu keurat nadi yang lain sesuai dengan garis2 merah dan hijau yang terdapat dalam gambar. Kiranya "Hiat-to-keng" itu memuat ichtisar komplit dari ilmu Lwekang dan Gwakang ajaran Hiat-to-bun. Setiap gambar yang terlukis pada tiap2 halaman itu biasanya harus dilatih selama setahun atau setengah tahun baru dapat jadi. Tapi sekarang Tik Hun sudah lancarkan hubungan antara urat nadi Tok-meh dan Im-meh, ia mempunyai alas dasar Sin-ciau-kang yang tiada bandingannya dalam hal tenaga dalam. Maka ilmu yang betapapun sulitnya baginya boleh dikata tiada artinya lagi, dengan mudah tentu akan dapat dilatihnya dengan sempurna. Ibaratkan seorang belajar membaca, semula memang sulit mengapalkan setiap huruf, tapi bila antero huruf "Kamus besar" telah dibaca dan diapalkannya dengan baik, dengan sendirinya tiada sesuatu istilahpun yang sulit baginya untuk dipahaminya. Begitulah Tik Hun terus berlatih sejurus demi sejurus, makin melatih makin bersamangat. Semula Cui Sing sangat kuatir, sebab mengira penyakit gila pemuda itu kumat lagi, tapi kemudian demi mengetahui pemuda itu sedang melatih ilmu menurut gambar dalam kitab, barulah hilang rasa kuatir dan takutnya. Bahkan ketika melihat gaya latihan Tik Hun yang aneh dan lucu itu, Cui Sing menjadi geli dan heran pula. Pikirnya: "Masakah didunia ini ada orang melatih ilmu secara begini?" Akhirnya Cui Sing menjadi kepingin tahu juga, ia coba mendekati kitab yang terletak ditanah itu dan melongoknya, tapi sekali pandang saja ia menjadi merah jengah, hatinya ber-debar2. Kiranya gambar yang terlihat didalam kitab itu melukiskan seorang laki2 yang telanjang bulat. Keruan ia malu dan takut pula, pikirnya: "Jika cara begini Siau-ok-ceng itu berlatih terus menerus menurut gambar, jangan2 sampai achirnya nanti ia juga akan menanggalkan pakaiannya hingga telanjang bulat seperti gambar? Wah, kan celaka kalau begitu!" Syukurlah adegan yang dikuatirkan Cui Sing itu sebegitu jauh tidak muncul. Sesudah melatih Lwekang itu sebentar, ketika Tik Hun membalik halaman lain dari kitab itu, ia melihat gambarnya sekarang melukiskan laki2 itu memegangi sebatang golok melengkung sedang membacok miring dan menabas kesamping. Girang Tik Hun tidak kepalang, tak tertahan lagi ia berseru: "Hei, inilah Hiat-to-to-hoat (ilmu permainan golok berdarah)!" Segera ia menuju kedepan gua, ia menjemput sebatang ranting kayu sisa kayu bakar yang dipakai panggang burung itu. Ia menurutkan gaya gambar dalam kitab dan menirukan untuk melatih ilmu golok itu. Ilmu golok permainan Hiat-to itu benar2 sangat aneh juga, setiap jurus selalu membacok dari arah yang tidak mungkin terpikir menurut akal sehat. Hanya tiga jurus saja Tik Hun berlatih dan segera ia paham duduknya perkara. Kiranya setiap ilmu permainan golok itu adalah perubahan dari gaya aneh menurut gambar dihalaman depan tadi. Gambar dihalaman depan itu ada yang berjungkir balik, ada yang miring, ada yang menjulur kaki menggantol dileher, ada yang membalik tangan kebelakang untuk menjewer telinga sendiri dan macam2 gaya yang aneh dan lucu. Dan ilmu permainan Hiat-to itu juga mencakup gaya2 serangan yang aneh dan susah dibayangkan orang itu. Segera Tik Hun pilih empat jurus ilmu permainan golok itu dan melatihnya bolak-balik sampai beberapa kali, ia pikir harus cepat2 mengapalkan beberapa puluh jurus agar beberapa hari lagi dapat dipakai modal pertempuran mati2an dengan manusia she Hoa itu. Tak terduga olehnya bahwa setengah haripun Hoa Tiat-kan tidak memberi kelonggaran padanya. Baru Tik Hun tekun mempelajari jurus kelima, tiba2 Hoa Tiat-kan sudah berseru diluar gua: "Hai, Hwesio cilik, kau mau makan hati bapak-mertuamu atau tidak? Tentu sangat lezat rasanya!" Keruan Cui Sing terkejut. Tanpa pikir lagi ia dorong batu penutup gua terus menyerobot keluar. Ia melihat Hoa Tiat-kan sedang menggali kuburan sang ayah dengan Kui-thau-to, bukan mustahil sekejap lagi mayat sang ayah pasti akan dibongkar olehnya. "Hoa-pepek, apakah kau ti........ tidak ingat pada kebaikan sesama sau........ saudara angkat lagi?" demikian Cui Sing ber-teriak2 dengan kuatir sembari menerjang maju. Memangnya tujuan Hoa Tiat-kan justeru ingin memancing Cui Sing keluar lebih dulu, lalu ia akan robohkan gadis itu, kemudian barulah Tik Hun akan dibereskan olehnya agar gadis itu tidak mengganggu maksudnya. Maka demi melihat Cui Sing menyerbu kearahnya, ia pura2 tidak tahu dan tetap asyik menggali. Setelah Cui Sing mendekat dan hendak menghantam punggung, saat itulah Hoa Tiat-kan lantas membaliki tangannya, secepat kilat ia pegang sigadis. Menyusul sebelah tangan Cui Sing yang lain menghantam pula, tapi sedikit Hoat Tiat-kan miringkan tubuh, ia membiarkan bahunya kena digenjot sigadis, pada saat hampir berbareng itu tiba2 Cui Sing juga menjerit tertahan, ternyata pinggangnya telah kena ditutuk Hoa Tiat-kan hingga jatuh tersungkur dan tak terkutik lagi. Selesai merobohkan Cui Sing, sementara itu Tik Hun tertampak sedang menerjang pula kearahnya sambil membawa ranting kayu. Hoa Tiat-kan ter-bahak2, katanya: "Hahaha! Apa barangkali kau sudah bosan hidup? Masakan akan melawan aku dengan sebatang kayu? Baiklah, kau adalah paderi jahat dari Hiat-to-bun, aku akan menggunakan golok mestika dari Hiat-to-bun kalian ini untuk menghantar kau pulang keakhirat!" Habis berkata, mendadak ia lolos golok merah dari pinggang, ia simpan kembali Kui-thau-to, menyusul goloknya lantas membacok tiga kali kearah Tik Hun. Hiat-to itu sangat tipis lagi enteng, waktu membacok lantas mengeluarkan suara mendesing yang nyaring. Diam2 Hoa Tiat-kan memuji golok mestika yang bagus itu. Melihat serangan musuh yang cepat dan hebat itu, Tik Hun menjadi ngeri hingga cara berkelitnya menjadi kelabakan pula. Tapi ia menjadi nekat juga, pikirnya: "Biarlah aku gugur bersama dengan kau!" ~ Dan sekali ia balas menyerang, mendadak ia ayun ranting kayu yang dipegangnya itu dan menyabet dari belakang "plok", tahu2 tengkuk Hoa Tiat-kan tepat kena digebuk sekali olehnya. Tipu serangan ini benar2 aneh dan bagus sekali, pabila senjata yang dipakai Tik Hun itu bukan sebatang kayu, tapi adalah sebatang golok atau pedang, maka tidak perlu disangsikan lagi pasti kepala Hoa Tiat-kan sudah berpisah dengan tuannya. Padahal ilmu silat Hoa Tiat-kan tidak lebih rendah daripada Hiat-to Loco, andaikan Hiat-to Loco hidup kembali juga tidak mampu membunuhnya dengan sejurus saja. Soalnya tadi Hoa Tiat-kan terlalu memandang enteng pada Tik Hun yang dianggapnya cuma sebangsa keroco yang tiada artinya, dari itu ia telah kena batunya. Ia tertegun sejenak, lalu bermaksud ayun goloknya untuk membacok pula. Namun batang kayu Tik Hun itu sudah menyabet dan menghantam secara membadai kearahnya. "Plok", kembali Hoa Tiat-kan kena digebuk lagi, sekali ini kena dibatok kepala belakang. Keruan hampir2 Hoa Tiat-kan kelengar, untung ia masih dapat bertahan walaupun dengan kepala pusing tujuh keliling. Ia ber-teriak2: "Ada setan! Ada setan!" ~ Tanpa merasa ia menoleh kebelakang, saking ketakutan sampai tangannya menjadi lemas, cekalannya menjadi kendur, golok merah yang dipegang itu jatuh ketanah, tanpa memikir untuk menjemput kembali senjata itu terus saja ia lari pergi dengan ter-birit2. Kiranya setelah Hoa Tiat-kan memakan mayat kedua saudara angkat sendiri, betapapun perasaannya tidak tenteram dan menyesal, senantiasa ia kuatir kalau arwah halus Liok Thian-ju dan Lau Seng-hong menggoda padanya. Tadi waktu Tik Hun tidak mempan ditusuk olehnya, memangnya ia sudah sangsi jangan2 ada arwah halus yang telah membantu musuh itu, kini Tik Hun hanya melawannya dengan sebatang kayu, sudah terang gamblang lawan itu berdiri didepannya, pula Cui Sing sudah ditutuk roboh olehnya, tapi tahu2 tengkuk dan batok kepala belakang be-runtun2 telah kena dihanjut oleh sesuatu benda keras. Padahal dilembah itu selain mereka bertiga sudah tiada manusia lain lagi. Lalu mengapa ada yang mampu menyerangnya dari belakang tanpa kelihatan wujutnya, habis kalau bukan setan iblis lantas apa? Dan begitulah ia menjadi ketakutan setengah mati dan lari sipat-kuping. Sebaliknya Tik Hun meski berhasil menggebuk Hoa Tiat-kan dua kali, tapi musuh toh tidak terluka apa2, mengapa mendadak orang she Hoa itu lari pergi dengan ketakutan? Sungguh hal inipun diluar dugaannya dan membingungkan dia. Segera Tik Hun menjemput Hiat-to yang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu, ia melihat Cui Sing masih menggeletak ditanah takbisa berkutik, tanyanya: "Kenapa kau? Apa tertutuk oleh keparat itu?"
"Ya," sahut Cui Sing. "Sayang aku tidak paham ilmu Tiam-hiat dan cara membukanya, maka takbisa menolong kau," ujar Tik Hun. "Asal pinggang dan pahaku di..........." sebenarnya Cui Sing hendak memberitahukan Tik Hun tempat jalan darah yang harus dipijat untuk melancarkannya kembali, lalu ia akan dapat bergerak lagi. Tapi demi berkata tentang pinggang dan paha, ia lantas ingat jangan2 "Siau-ok-ceng" itu akan kumat penyakit buasnya dan mendadak memperlakukan dirinya secara tidak senonoh dikala dirinya takbisa bergerak, wah, kan bisa celaka? Ketika mendadak melihat sinar mata sigadis mengunjuk rasa ketakutan dan bicara setengah2, Tik Hun menjadi heran, pikirnya: "Hoa Tiat-kan toh sudah lari, apa yang kau takuti lagi?" ~ Tapi setelah dipikir pula, segera iapun mengarti dirinya sendirilah justeru yang ditakuti gadis itu. Sesaat itu ia menjadi gusar, teriaknya mendadak: "Jadi kau takut aku akan menodai kau? Hm, hm, biarlah sejak kini aku takkan melihat tampangmu lagi!" ~ Saking gusarnya ia lantas mengamuk, ia menendang dan menyepak tanah salju hingga bunga salju berhamburan bagai hujan. Ia kembali kedalam gua, sesudah mengambil kitab Hiat-to-keng, dengan langkah lebar ia tinggal pergi dan tidak memandang lagi pada Cui Sing, bahkan melirikpun tidak. Diam2 Cui Sing merasa malu sendiri, pikirnya: " Jangan2 aku yang suka curiga tak keruan dan telah salah sangka padanya?" Begitulah Cui Sing menggeletak tak berkutik disitu. Selang lebih satu jam, mendadak seekor elang menyambar kebawah dan mematuk kemukanya. Keruan Cui Sing menjerit kaget. Se-konyong2 tertampak sinar merah berkelebat, golok merah itu tahu2 menyambar tiba dari samping sana hingga elang itu terpapas menjadi dua dan jatuh dipinggir Cui Sing. Meski Tik Hun sangat gusar karena dirinya dicurigai gadis itu, tapi ia juga kuatir Hoa Tiat-kan akan datang kembali untuk membikin celaka mereka, maka ia tidak pergi jauh, tapi menjaga disekitar situ sambil meneruskan pelajaran ilmu golok menurut kitab pusaka Hiat-to-keng itu. Ia tidak menyangka sekali menimpukan golok merah itu, kontan elang itu tertabas menjadi dua belah, bahkan golok itu tidak terhalang oleh elang dan masih terus melayang kedepan hingga sejauh belasan meter baru jatuh ketanah. Dengan demikian Tik Hun telah berhasil pula meyakinkan satu jurus "Liu-sing-keng-thian" atau bintang kemukus melayang diudara. Mendadak Cui Sing ber-teriak2: "Tik-toako, Tik-toako! Ya, aku mengaku salah sudah, seribu kali aku minta maaf padamu!" Tapi Tik Hun berlagak tuli saja dan tidak gubris. Maka Cui Sing ber-teriak2 lagi: "Tik-toako, sudilah kau memaafkan kesemberonoanku. Sesudah ayahku meninggal, aku menjadi sebatangkara, cara berpikirku menjadi agak kurang sehat, harap engkau jangan marah lagi padaku, ya?" Namun Tik Hun masih tidak gubris padanya. Tapi pelahan2 rasa gusarnya menjadi lenyap juga. Dengan menggeletak ditanah, sampai besok paginya jalan darah Cui Sing baru lancar kembali dengan sendirinya dan dapat bergerak pula. Ia tahu meski Tik Hun sepatah-katapun tidak bicara, tapi sepanjang malam toh senantiasa menjaga disitu tanpa tidur, sungguh rasa terima kasihnya tak terhingga. Maka begitu badannya bisa bergerak, segera ia pergi memanggang elang lagi, ia membagi separoh kepada Tik Hun. Tapi ketika dia sudah mendekat, Tik Hun sengaja pejamkan mata untuk mentaati sesumbarnya sendiri bahwa selanjutnya ia tidak mau melihat tampang gadis itu lagi. Cui Sing juga tidak bicara padanya, ia taruh elang panggang itu didepan Tik Hun, lalu menyingkir pergi. Maksud Tik Hun akan menunggu sesudah gadis itu pergi agak jauh barulah ia akan membuka mata. Diluar dugaan, mendadak didengarnya Cui Sing menjerit kaget sekali, menyusul gadis itu mengaduh pula dan terguling ketanah. Tik Hun terperanjat, cepat ia melompat bangun dan memburu ketempat Cui Sing. Tapi tahu2 gadis itu telah berbangkit dengan tertawa, katanya: "Aku cuma menipu kau saja. Kau menyatakan selanjutnya takkan melihat aku, tapi sekarang kau sudah melihat lagi, bukan? Maka pernyataanmu itu sekarang sudah batal!" Tik Hun tidak menjawab, dengan mendongkol ia melotot sekali pada gadis itu. Pikirnya: "Wanita didunia ini memang licik semua. Kecuali nona Leng kekasih Ting-toako itu, selebihnya suka menipu orang saja. Sejak kini tidak nanti aku dapat kau tipu lagi."
Sebaliknya Cui Sing masih mengikik tawa, katanya: "Tik-toako, buru2 kau hendak menolong aku, bukan? Terima kasih, ya!"
Kembali Tik Hun melototi sigadis sekali, lalu memutar tubuh dan menyingkir........ Sementara itu rupanya Hoa Tiat-kan sudah ketakutan pada setan iblis, maka ia tidak berani mengacau lagi ketempat gua. Terpaksa ia mencari kulit pohon dan akar rumput sekadar mengisi perut agar tidak mati kelaparan. Sudah tentu penghidupan begitu sangat menderita baginya.
Dalam pada itu setiap hari Tik Hun asyik melatih sejurus-dua ilmu permainan golok, baik tenaga dalam, maupun tenaga luar, setiap hari ia mencapai kemajuan yang menonjol.
Bab 16
Sang tempo silih berganti dengan cepat, tanpa merasa musim dingin sudah lalu dan musim semi telah tiba. Hawa udara lambat-laun mulai menghangat, salju tidak turun lagi, sebaliknya timbunan salju mulai susut, yaitu mulai cair. Selama itu Tik Hun sudah lengkap mempelajari Lwekang dan ilmu golok yang terlukis didalam Hiat-to-keng itu. Kepandaiannya kini sudah mencakup dua aliran Cing dan Sia yang paling tinggi, meski pengalamannya cetek dan kurang pengetahuan, sedang diantara sari ilmu2 silat aliran Cing dan Sia itupun belum ada pembauran yang sempurna, tapi kalau melulu bicara tentang ilmu silat sejati, saat itu jangankan cuma Hoa Tiat-kan, bahkan kepandaian Tik Hun sekarangpun sudah lebih tinggi daripada Ting Tian dulu. Hal ini adalah berkat Sin-ciau-kang yang telah berhasil diyakinkan dengan baik serta terhubungnya urat2 nadi Tok-meh dan Im-meh. Selama itu, bila Cui Sing mengajak bicara padanya, selalu Tik Hun berlagak gagu tanpa menjawab sepatahpun. Kecuali waktu makan, terpaksa mereka berkumpul sebentar, habis itu, selalu Tik Hun menjauhi Cui Sing lagi dan tekun melatih diri. Pada benaknya cuma ada tiga harapan: Bila sudah keluar dari lebih salju ini, tugas pertama ialah mencari Suhu ketempat kediaman lama di Heng-ciu; Kedua, mengubur abu tulang Ting-toako bersama nona Leng sebagaimana ia sendiri telah janji pada Ting Tian dahulu dan ketiga ialah menuntut balas. Maka sangat dia harapkan agar salju dilembah itu dapat mencair selekas mungkin. Ia melihat air salju sudah meluber sebagai air kali dan mengalir terus keluar lembah, salju yang menutupi jalan keluar lembah itu makin hari makin susut. Ia tidak tahu masih kurang berapa hari lagi baru akan tiba hari Toan-ngo-ce, yang terang, hari keluarnya dari lembah itu sudah tidak terlalu lama lagi. Satu petang, ia menerima dua ekor burung panggang dari Cui Sing, selagi ia hendak putar tubuh dan menyingkir, tiba2 gadis itu berkata: "Tik-toako, lewat beberapa hari lagi kita sudah dapat keluar dari lembah ini, bukan?"
"Ehm," sahut Tik Hun tak acuh. "Terima kasih padamu yang telah menjaga keselamatanku selama ini, tanpa perlindunganmu, tentu sudah lama aku dibunuh oleh jahanam Hoa Tiat-kan itu."
"Tidak apa2," sahut Tik Hun sambil menggeleng. Lalu ia bertindak pergi. Tapi baru beberapa langkah, tiba2 didengarnya suara sesenggukan dibelakang, waktu menoleh, ia melihat Cui Sing mendekap diatas sebuah batu dan sedang menangis. Ia menjadi heran: "Sudah hampir bisa pulang, seharusnya merasa senang, mengapa malah menangis? Sungguh perasaan wanita memang aneh dan susah diraba." Malam itu, setelah melatih sebentar, Tik Hun merebah diatas batu besar yang biasanya dipakai sebagai balai2. Jarak batu itu tidak jauh dari gua untuk menjaga kalau2 tengah malam mereka disergap Hoa Tiat-kan. Tapi selama masa terakhir ini Hoa Tiat-kan ternyata tidak muncul lagi. Ia menduga takkan terjadi apa2 lagi, maka tidurnya menjadi sangat nyenyak. Tengah Tik Hun terpulas, tiba2 dari jauh samar2 seperti ada suara tindakan orang.
Lwekang Tik Hun sekarang sudah sangat tinggi, mata-telinganya juga sangat tajam, meski suara tindakan orang itu masih sangat jauh, tapi sudah membuatnya terjaga bangun. Cepat Tik Hun berduduk dan mendengarkan dengan cermat, ia merasa jumlah orang yang datang itu cukup banyak, paling sedikit ada 50-60 orang dan sedang menuju kearah lembah ini. Ia terkejut dan heran: "Mengapa mereka mampu masuk kelembah salju ini?" Ia tidak tahu bahwa ditengah lembah yang dikelilingi puncak2 gunung yang tinggi itu, cuaca disitu menjadi lebih dingin dan berbeda daripada diluar lembah sana. Timbunan salju diluar lembah sudah mulai lumer, tapi salju didalam lembah belum apa2 dan paling sedikit harus 13 hari atau setengah bulan lagi baru mencair. Segera terpikir pula oleh Tik Hun: "Orang2 itu pasti adalah jago2 silat Tionggoan yang dahulu ikut meng-uber2 itu, kini Hiat-to Loco sudah mati, segala permusuhan tentu akan berakhir juga. Dan, ya, Piaukonya nona Cui tentu juga ikut datang untuk membawanya pulang, itulah paling baik. Tapi mereka telah anggap aku sebagai paderi cabul dari Hiat-to-bun, untuk memberi penjelasan rasanya tidaklah mudah, maka lebih baik aku tidak bertemu dengan mereka, biarkan nona Cui dibawa mereka pergi mereka, lalu aku sendiri baru meninggalkan tempat ini." Segera ia mengitar kesamping gua sana dan mengumpet dibelakang sepotong batu karang, ia ingin tahu macam apakah orang2 yang datang itu. Suara tindakan orang banyak itu makin lama makin dekat. Tiba2 pandangan mata terbeliak, ternyata rombongan orang2 itu sudah muncul dari balik bukit sana. Tangan mereka membawa obor semua. Jumlah seluruhnya memang betul kurang lebih 50 orang, semuanya membawa obor dengan tangan kiri dan tangan kanan bersenjata. Orang yang mengepalai didepan itu tampak berjenggot putih, tangannya tidak membawa obor, sebaliknya bersenjata semua, tangan yang satu membawa golok dan tangan yang lain memegang pedang. Siapa lagi dia kalau bukan Hoa Tiat-kan adanya. Semula Tik Hun agak heran mengapa Hoa Tiat-kan bisa berada bersama dengan orang2 sebanyak itu. Tapi segera ia menjadi sadar: "Ah, orang2 itu adalah pengejar2 dari Ouw-pak dan Su-cwan yang pernah ikut meng-uber2 kami dahulu itu dan Hoa Tiat-kan adalah satu diantara pemimpin mereka, dengan sendirinya mereka lantas menggabungkan diri ketika saling bertemu kembali. Tapi entah hasutan apa saja yang telah Hoa Tiat-kan katakan kepada mereka itu?" Sementara itu rombongan Hoa Tiat-kan sudah masuk kedalam gua. Segera ia merayap maju lebih dekat, ia bertiarap di-semak2 rumput yang saljunya masih belum cair agar tak dipergoki pendatang2 itu. Meski jaraknya dengan rombongan Hoa Tiat-kan itu masih cukup jauh; tapi dengan kemajuan Lwekang yang dicapainya dengan pesat selama ini, kini mata-telinganya sudah sangat tajam, apa yang dipercakapkan orang2 didalam gua itu dapat didengarnya dengan jelas. Maka terdengar suara seorang yang kasar serak sedang berkata: "Hiat-to Loco itu terbinasa ditangan Hoa-heng sendiri, sungguh jasa ini harus dipuji dan dikagumi. Selanjutnya Hoa-heng adalah pemimpin dunia persilatan kita di Tionggoan, kami siap sedia dibawah pimpinan Hoa-heng."
"Sungguh sayang Liok-tayhiap, Lau-totiang dan Cui-tayhiap bertiga telah mengalami nasib malang, hal ini benar2 sangat menyedihkan," kata seorang lain. "Meski Ok-ceng tua itu sudah mampus, tapi Ok-ceng cilik itu masih hidup, kita harus segera mencarinya, membabat rumput harus sampai ke-akar2nya, agar kelak tidak menimbulkan bencana pula, betul tidak menurut pendapatmu, Hoa-tayhiap?" demikian sambung seorang lagi. "Benar," sahut Hoa Tiat-kan. "Siau-ok-ceng itu tinggi juga ilmu silatnya yang jahat, keganasannya tidak dibawah gurunya yang sudah mampus itu bahkan jauh melebihinya. Tadi demi melihat kedatangan kita, tentu cepat2 dia berusaha hendak meloloskan diri. Marilah saudara2, janganlah kenal lelah kita harus mencari dan binasakan pula Siau-ok-ceng itu." Diam2 Tik Hun terkesiap mendengar hasutan Hoa Tiat-kan itu, pikirnya: "Orang she Hoa ini benar2 manusia keji, untung tadi aku tidak sembarangan unjukkan diri, kalau tidak, pasti aku akan dikerubut dan susahlah untuk melawan mereka yang berjumlah sangat banyak itu." Dalam pada itu tiba2 terdengar suara seorang wanita telah menjawab" "Dia ?? dia bukan Siau-ok-ceng, tapi adalah seorang laki2 sejati, Hoa Tiat-kan sendirilah seorang yang maha jahat." Itulah suaranya Cui Sing. Sungguh hati Tik Hun sangat terhibur, untuk pertama kalinya inilah ia mendengar gadis itu menyatakan: "Dia bukan Siau-ok-ceng, tapi dia adalah seorang laki2 sejati," ~ Sungguh tak tersangka olehnya bahwa gadis yang selama ini bersikap takut dan dingin padanya ini, meski paling akhir ini tidak lagi mengunjuk sikap benci padanya, tapi berani terang2an membela kebaikannya dihadapan orang banyak, sungguh hal ini tak diduganya sama sekali. Saking terharunya sampai air mata meleleh, pelahan2 ia menggumam sendiri: "Dia mengatakan aku adalah laki2 sejati!" Setelah Cui Sing bicara tadi, keadaan didalam gua menjadi sepi, agaknya orang2 itu sedang saling pandang dengan bingung. Tik Hun coba mengintip, dibawah sinar obor yang terang Tik Hun melihat air muka orang2 itu penuh mengunjuk sikap jijik dan hina. Selang sejenak, lalu suara seorang tua berbicara lagi: "Cui-titli, aku adalah sobat lama ayahmu, mau-tidak-mau aku harus mengatai kau, Siau-ok-ceng itu telah membunuh ayahmu, tapi kau ??."
"Tidak, tidak ??." Seru Cui Sing tak lancar. "Apa kau maksudkan ayahmu tidak dibunuh oleh Siau-ok-ceng itu?" orang tua itu menyela. "Jika demikian, lalu ayahmu dibunuh oleh siapa?"
"Dia ??. dia??.." demikian Cui Sing ingin menjelaskan, tapi susah rasanya untuk mengucapkan. "Menurut cerita Hoa-tayhiap, katanya dalam pertempuran sengit dahulu ayahmu telah kehabisan tenaga hingga tertawan musuh, kemudian Siau-ok-ceng itu telah membunuhnya dengan mengepruk kepalanya dengan sepotong kayu, betul tidak?" tanya orang tua tadi. "Betul, tapi ?? tapi ??" sahut Cui Sing. "Tapi apa lagi?" potong orang tua itu. "Ayahku sendiri yang mohon dia suka membunuhnya!" sahut Cui Sing. Maka ramailah seketika suara gelak tertawa didalam gua. Ditengah suara ketawa itu terseling pula kata2 yang mengejek seperti: "Mohon dirinya dibunuh?" Hahahaha! Dusta ini benar2 terlalu menggelikan!" ~ "O, jadi Cui-tayhiap itu sudah bosan hidup, makanya minta calon menantunya itu membinasakan dia saja!" ~ "Calon menantu apa? Bahkan sebelum Cui-tayhiap meninggal, Siau-ok-ceng itu katanya sudah mengadakan hubungan dengan nona cilik ini, hahahaha!" Malahan diantara suara tertawa dan ejekan itu, banyak pula suara orang yang memaki kalang kabut kealamat Cui Sing yang dianggapnya perawan hina, gadis cabul dan macam-macam lagi. Orang itu adalah golongan orang Kangouw yang kasar, keruan segala kata2 kotor tidak segan2 mereka ucapkan. Kiranya sesudah mendengar hasutan Hoa Tiat-kan, orang2 itu telah dicekoki dengan cerita yang dikarang Hoa Tiat-kan sendiri, maka mereka telah yakin bahwa Cui Sing sudah menyerahkan diri kepada Tik Hun, kini mereka bertambah gemas melihat gadis itu malahan membela sang "gendak", dari itu segala caci-maki itu lantas dihamburkan kepada Cui Sing. Keruan muka Cui Sing merah padam, mendadak ia berteriak: "Diam! Kalian sem ??. sembarangan memaki orang? Apa kalian tidak kenal malu?"
"Hahahaha!" kembali pecah gelak tertawa orang banyak dengan macam2 ejekan: "Eh, kami tidak kenal malu? Dan cara kau main pat-pat-gulipat dengan Siau-ok-ceng didalam gua itu tanpa memikirkan sakit hati orang tua, apakah ini yang dikatakan kenal malu?" "Maknya!" mendadak suara seorang yang kasar memaki. "Jauh2 Loco ikut menguber kemari tanpa mengenal capek, maksudnya ingin menolong perempuan jalang seperti kau ini. Siapa duga kau sendiri sedemikian hina-dina tak punya malu, ini, biar kumampuskan kau dulu dengan golokku!"
"He, jangan, jangan!" cepat orang lain mencegahnya. "Tio-heng jangan semberono!"
"Sabar, sabar dulu, saudara!" demikian suara orang tua pertama tadi berbicara lagi. "Usia nona Cui masih terlalu muda dan kurang pengalaman. Cui-tayhiap telah mengalami nasib jelek hingga tertinggal nona Cui yang sebatangkara, maka janganlah saudara2 membikin susah padanya. Kukita selanjutnya dibawah asuhan Hoa-tayhiap, tentu nona Cui akan dapat dididik menuju kejalan yang benar dan itu berarti saudara2 sekalian ikut berbuat kebaikan bagi sesamanya. Tentang peristiwa dilembah pegunungan ini tidak perlu kita siarkan kedunia Kangouw demi nama baik Cui-tayhiap. Dimasa hidupnya Cui-tayhiap terkenal berbudi dan pengasih, kalau tidak, masakah saudara2 sudi ikut menguber kemari dari jauh guna menolong puterinya? Maka menurut pendapatku, marilah kita lekas mencari Siau-ok-ceng itu, kita tangkap dia dan menyembelihnya dihadapan kuburan Cui-tayhiap guna membalas sakit hati beliau." Agaknya orang tua yang bicara itu berkedudukan cukup tinggi dan disegani yang lain2, maka lantas terdengar suara dukungan dari beberapa orang diantaranya. Kata mereka: "Benar, benar! Apa yang dikatakan Thio-locianpwe itu cukup beralasan. Marilah kita lekas mencari Siau-ok-ceng itu, kita ringkus dia dan mencincangnya hingga hancur luluh!" Ditengah berisik suara orang banyak yang berlainan pendapat itu, Cui Sing mendadak menangis ter-gerung2. Pada saat itulah kira2 dari jauh terdengar suara seruan seorang: "Piauwmoay! Piauwmoay dimana kau berada? Piauwmoay! Cui-piauwmoay!" Itulah suara Ong Siau-hong. Mendengar suara sang Piauko yang sedang mencarinya, dalam keadaan sebatang kara dan ditengah sindir-ejek orang banyak itu, mendadak telah datang seorang yang sangat dirindukan itu, keruan Cui Sing kegirangan. Segera ia berhenti menangis dan berlari memapak keluar gua. "Ai, Ong Siau-hong yang sedang tenggelam dilautan asmara itu bila mengetahui apa yang diperbuat kekasihnya disini, entah bagaimana hatinya akan terluka!" demikian lantas ada yang memberi komentar. Segera siorang tua tadi berkata: "Jangan ribut dulu, saudara2, dengarkanlah usulku! ~ Hoa-tayhiap, pemuda she Ong itu sangat kesemsem kepada nona Cui ini, sebenarnya dia sudah dua hari lebih dulu mencari kemari tanpa menghiraukan salju yang masih belum cair. Mungkin ditengah jalan dia mendapat cidera apa2 atau kesasar, maka datangnya disini malah tertinggal dibelakang kami. Begini, saudara2 berbuatlah sedikit kebaikan, pemuda itu sedemikian kesemsemnya kepada nona Cui, maka kejadian tentang nona Cui dengan Siau-ok-ceng itu hendaklah jangan dikatakan pada Ong-siauhiap."
"Ya, setuju!" segera beberapa diantaranya yang berhati baik menyatakan akur. "Setiap orang dapat berbuat kesalahan, dan kita harus memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki, apalagi dalam keadaan seperti nona Cui itu sebenarnya juga sangat terpaksa, kalau tidak, masakah seorang gadis baik2 sudi main gila dengan seorang Hweshio kejam yang tak keruan macamnya itu?" Tapi ada juga yang menanggapi: "Sungguh sial Ong Siau-hong itu, seorang pemuda gagah ganteng mesti mencintai seorang gadis yang sebenarnya hina-dina, benar2 celaka. Hahaha!" Begitulah tengah mereka bicara, sementara itu suara teriakan Ong Siau-hong tadi kedengaran makin menjauh malah, agaknya dia tidak tahu letak gua itu, dimana kawan2nya berada, maka telah membiluk kejurusan lain. Cepat Cui Sing berlari kedepan dan berseru: "Piauko, Piauko! Aku berada disini, aku berada disini!" Sungguh girang Ong Siau-hong melebihi orang putus lotere 25 juta ketika mendadak mendengar suara jawaban sang Piauwmoay. "Piauwmoay, benar2 kau? Piauwmoay! Dimana kau? Piauwmoay!" serunya pula. "Aku berada disini, Piauko!" sahut Cui Sing. Maka tertampaklah dari arah timur-laut sana ada suatu orang sedang mendatangi secepat terbang. Sambil berlari orang itupun ber-teriak2: "Piaumoay! Piauwmoay!" Mendadak orang itu yang tiada lain adalah Ong Siau-hong ~ terpeleset hingga jatuh terbanting. Rupanya saking girang demi mendengar suara Cui Sing tadi, Siau-hong menjadi lupa daratan dan berlari terlalu napsu, maka sebelah kakinya telah kejeblos kedalam satu lubang hingga dia terjungkal. Tapi begitu jatuh, segera ia melompat bangun untuk kemudian lantas berlari pula. Melihat sang Piauko tiba2 jatuh, Cui Sing berteriak kaget dan kuatir, cepat iapun berlari memapak kedepan. Makin lama makin mendekat jarak kedua muda-mudi itu, sampai akhirnya keduanya lantas saling berpelukan dengan terharu. Sudah lama nama mereka terkenal sebagai "Leng-kiam-siang-hiap", sepasang pendekar muda yang tersohor, sejak kecil mereka berkumpul dan dibesarkan bersama, sudah tentu mereka menjadi girang tak terhingga dapat bertemu kembali sesudah mengalami marabahaya yang penuh gemblengan itu.
Dari jauh Tik Hun dapat menyaksikan juga pelukan mesra antara Cui Sing dan Ong Siau-hong itu. Aneh juga, entah mengapa timbul juga semacam perasaannya yang rada cemburu. Sebenarnya selamanya Tik Hun takkan melupakan Jik Hong, meski dia sudah tinggal selama setengah tahun dilembah bersalju ini bersama Cui Sing dan selama itu tidak pernah timbul sesuatu perasaaan antara pria dan wanita. Cuma sesudah tinggal bersama sekian lamanya dan kini mesti berpisah, mau-tak-mau lantas timbul semacam rasa berat. Pikirnya kemudian: "Ya, biarlah dia ikut pulang bersama Piauwkonya, itulah jalan paling baik, semoga 'Leng-kiam-siang-hiap' mereka hidup bahagia sampai hari tua." Mendadak didengarnya suara tangisan Ong Siau-hong, mungkin berduka ketika Cui Sing memberitahu tentang meninggalnya Cui Tay. Selang tak lama, tertampaklah Cui Sing putar balik ketempat gua sambil bergadengan tangan dengan Ong Siau-hong. Dengan suara sesenggukan pemuda itu sedang berkata: "Sejak kecil aku dibesarkan Kuku, sungguh aku sangat berduka atas wafatnya, terutama bila teringat kebaikan Kuku yang selama ini menganggap aku sebagai putera sendiri". Mendengar sang Piauko menyinggung sang ayah, Cui Sing menjadi ikut sedih dan mencucurkan air mata pula. "Piauwmoay," kata Siau-hong dengan suara pelahan, "selanjutnya kita berdua tidak boleh berpisah lagi, janganlah kau berduka, selama hidup ini aku pasti akan menjaga dirimu se-baik2nya." Sejak kecil Cui Sing memang sudah sangat mencintai sang Piauko, lebih2 sesudah berpisah sekian lamanya, sesungguhnya siang-malam ia sangat merindukan pemuda pujaannya itu. Kini mendengar janji sang Piauko pula, keruan alangkah bahagia rasa hatinya. Begitulah mereka berjalan berendeng kearah gua. Tapi setelah dekat, tiba2 Cui Sing berhenti dan berkata: "Piauko, marilah sekarang juga kita pergi saja dari sini, aku tidak ingin melihat orang2 itu."
"Sebab apa?" tanya Siau-hong dengan heran. "Para paman dan kawan2 yang ikut mencari kemari itu dengan tekad bulat bertujuan menyelamatkan dirimu, dengan tak kenal payah mereka rela menderita selama setengah tahun diluar lembah sana, sungguh rasa setia kawan mereka itu harus dipuji dan dikagumi, masakah kau tidak mengucapkan terima kasih apa2 dan lantas tinggal pergi begini saja?"
"Aku ??.. aku sudah berterima kasih kepada mereka," ujar Cui Sing dengan menunduk. "Mereka ber-sama2 datang kesini dari tempat jauh, kalau sekarang kitapun pulang secara be-ramai2, bukankah cara ini lebih baik?" kata Siau-hong. Pula jenazah Kuku harus diboyong kembali ketanah leluhur, andaikan dibiarkan bersemayam untuk selamanya disini juga kita mesti minta persetujuan dulu dari para Locianpwe yang ikut hadir itu. Dan bagaimanakah dengan Liok-pepek, Lau-totiang dan Hoa-pepek?"
"Marilah kita pergi dulu, nanti akan kujelaskan padamu." Ajak Cui Sing. "Hoa-pepek adalah manusia jahanam, jangan kau suka percaya kepada obrolannya yang ngaco!" Biasanya Ong Siau-hong tidak suka membangkang segala keinginan sang Piauwmoay, maka demi sigadis berkeras ajak pergi, sebenarnya Siauw-hong sudah menyerah dan bermaksud menuruti keinginan Cui Sing. Tapi sebelum dia menjawab, tiba2 dimulut gua sana seorang telah menegur padanya: "Ong-hiantit, baru sekarang kau tiba? Marilah kesini!" Itulah suara Hoa Tiat-kan. Maka cepat Siau-hong menjawab: "Baik, Hoa-pepek!" Keruan Cui Sing menjadi kuatir, dengan membanting kaki ia berkata: "Jadi kau tidak mau turut lagi pada omonganku?" Sejenak Siau-hong menjadi ragu2. Tapi segera terpikir olehnya: "Hoa-pepek adalah angkatan tua dari Bu-lim, perintah orang tua mana boleh dibangkang? Apalagi para kawan yang telah bantu mencarikan Piauwmoay tanpa kenal lelah itu masih belum ditemui barang sekejap lantas kutinggal pergi tanpa pamit, hal ini sesungguhnya tidak pantas. Piauwmoay masih bersifat kanak2, asal sebentar lagi aku menimangnya dan minta maaf padanya, tentu dia takkan marah padaku." ~ Maka tangan Cui Sing lantas digandengnya dan menuju kegua. Cui Sing tahu apa yang akan dibicarakan Hoa Tiat-kan nanti tentu takkan menguntungkan dirinya, tapi lantas terpikir olehnya: "Aku suci bersih dan tidak berdosa, biarpun mereka akan mempitenah dan menyangka jelek padaku, kenapa aku mesti takut?" ~ Maka iapun tidak membantah lagi dan ikut Ong Siau-hong menuju kegua, cuma wajahnya menjadi pucat pasi. Setiba didepan gua, berkatalah Hoa Tiat-kan. "Ong-hiantit, kebetulan kau sudah datang, Hiat-to-ok-ceng sudah kubunuh, tinggal seorang Siau-ok-ceng yang berhasil lolos, marilah kita harus menangkapnya lagi untuk dibinasakan. Siau-ok-ceng itu adalah pembunuh Kukumu."
"Sret", mendadak Siau-hong lolos pedangnya, sambil berteriak gusar. Sejak kecil ia dipelihara Cui Tay, budi kebaikan pendekar besar itu dirasakannya bagaikan orang tua sendiri, kini mendengar pembunuhnya belum tertangkap, keruan ia menjadi murka dan bertekad akan mencarinya. Dan begitu melolos pedang, segera ia berpaling kearah Cui Sing untuk melihat bagaimana sikap sang Piauwmoay. Dibawah sinar obor yang terang, terlihatlah air muka sang Piauwmoay yang sudah setengah tahun berpisah itu dalam keadaan pucat pasi, hati Siau-hong menjadi sedih dan kasihan. Tapi dilihatnya pula gadis itu sedang menggeleng kepala pelahan atas tindakannya melolos pedang itu. Cepat Siau-hong menanya: "Kenapa, Piauwmoay?"
"Ayahku bukan dibunuh oleh ??.. oleh orang itu," kata Cui Sing. Mendengar ucapan ini, seketika orang2 yang sudah berkerumun itu menjadi gusar. Kata mereka didalam hati. "Sungguh perempuan rendah! Kami telah ikut berkorban bagimu, bahkan demi nama baikmu dimasa hidup yang akan datang dan demi kehormatan Cui-tayhiap kami sengaja menutupi perbuatanmu yang tidak kenal malu dengan Siau-ok-ceng itu, tapi sampai sekarang kau masih membela paderi jahat ini, sungguh dosamu ini tak berampun!" Dilain pihak Ong Siau-hong menjadi heran demi melihat wajah semua orang mengunjuk rasa gusar. Dasarnya dia memang seorang pemuda cerdik dan pintar, segera terpikir olehnya mengapa Cui Sing tadi tidak mau bertemu dengan orang2 ini dan sekarang orang2 inipun bersikap memusuhi sang Piauwmoay, pasti dibalik kesemuanya ini terdapat rahasia apa2. Segera Siau-hong berkata: "Piaumoay, marilah kita menurut maksud Hoa-pepek, lebih dulu kita tangkap Siau-ok-ceng itu untuk mencacahnya hingga hancur lebur untuk menyembayangi arwah Kuku. Dan jika masih ada urusan lain lagi, biarlah kita kesampingkan untuk sementara ini."
"Dia ?? dia bukan Siau-ok-ceng," kata Cui Sing pula. Siau-hong melengak dan bingung. Dan ketika dilihatnya pula sikap semua orang mengunjuk jijik dan menghina pada sang Piauwmoay, kembali ia terkesiap, lapat2 ia merasa ada sesuatu yang tidak beres didalamnya. Tapi ia tidak ingin lantas mengusut rahasia apa yang disembunyikan itu, segera katanya pula dengan suara keras. "Para paman, para saudara dan sobat2 baik, marilah sekali lagi mohon kalian suka mencurahkan sedikit tenaga untuk menyelesaikan urusan ini. Habis Siau-ok-ceng itu tertangkap, satu-persatu pasti aku orang she Ong akan menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan kalian." ~ Habis berkata, lebih dulu ia lantas membungkuk untuk memberi hormat. "Ya, marilah kita mencari Siau-ok-ceng itu, kita harus bergerak secepatnya agar paderi jahanam itu tidak keburu melarikan diri lebih dulu!" seru semua orang be-ramai2. Berbareng mereka lantas menerjang keluar gua dengan ber-bondong2.
Maka hanya dalam sekejap saja didalam gua itu menjadi sepi tertinggal Cui Sing dan Ong Siau-hong berdua. Entah siapa yang membuang obornya didepan gua, sinar api obor yang sebentar terang sebentar gelap itu membikin suasana didalam gua itu jadi seram. Wajah "Leng-kiam-siang-hiap" juga sebentar terang sebentar gelap, kedua muda-mudi berhadapan sambil tangan bergandeng tangan, banyak sekali isi hati masing2, tapi entah cara bagaimana mereka harus mulai bicara. Diam2 Tik Hun membantin: "Kedua saudara misan telah bertemu kembali sesudah terpisah sekian lamanya, tentu banyak kata-kata mesra yang ingin mereka utarakan, kalau aku ikut mendengarkan disini rasanya tidaklah pantas." Dan selagi Tik Hun bermaksud merayap pergi, tiba2 didengarnya suara tindakan dan dua orang sedang menuju ketempat sembunyinya itu. Terdengar seorang diantaranya sedang berkata: "Coba kau mencari kearah sana, aku akan mencari dari sebelah sini, sesudah satu keliling, nanti kita bertemu kembali disini."
"Baik," sahut seorang lain "Eh, disekitar sini banyak bekas tapak kaki, mungkin Siau-ok-ceng itu bersembunyi disekitar sini, kita harus hati2 mencarinya!"
"He, Lau Song," tiba2 orang yang pertama berkata pula dengan menahan suara: "Nona Cui itu cantik molek, selama setengah tahun ini, sungguh rejeki Siau-ok-ceng itu bukan main besarnya setiap hari dilayani seorang gadis jelita seperti nona Cui!"
"Hahaha! Memang benar!" demikian sahut kawannya dengan ter-bahak2. "Pantas orang she Ong itu tidak pikirkan hal itu dan rela menerima 'barang bekas'. Habis susah sih mencari gadis secantik itu." Begitulah kedua orang itu sambil berkelakar dan ter-bahak2 lalu terpencar untuk mencari "Siau-ok-ceng" alias Tik Hun. Rupanya mereka tidak tahu bahwa Ong Siau-hong dan Cui Sing masih berada didalam gua, mereka mengira bahwa muda-mudi itu tentu sudah ikut keluar gua untuk mencari musuh, maka cara bicara mereka menjadi tidak tedeng aling2 hingga pembicaraan yang tidak sedap itu dapat didengar semua oleh Siau-hong dan Cui Sing. Sudah tentu Tik Hun ikut mendengar semua pembicaraan kedua orang tadi, diam2 ia merasa pedih bagi kedua muda-mudi yang dijadikan bulan2an itu, pikirnya: "Hoa Tiat-kan itu benar2 maha jahanam, dia sengaja mengarang cerita2 kotor yang tidak benar itu untuk merusak nama baik nona Cui, apa paedahnya sih baginya?" Ketika ia mengintip lagi kedalam gua, ia melihat Cui Sing sedang mundur2 kebelakang dengan wajah pucat dan badan gemetar, katanya dengan suara ter-putus2: "Piau ?? Piauko, jangan kau percaya pada ??pada omongan mereka yang ngaco-belo!" Siau-hong tidak menjawab, tapi mukanya tampak ber-kerut2 menahan perasaan. Terang ucapan kedua orang tadi se-akan2 ular berbisa yang telah memagut lubuk hatinya. Selama setengah tahun ini dia menanti diluar lembah bersalju itu, siang-malam selalu terpikir juga olehnya: "Piauwmoay berada dicengkeram kedua paderi cabul itu, rasanya sulitlah baginya untuk mempertahankan kesucian badannya. Asal jiwanya tidak terganggu, rasaku sudah puas dan berterima kasih kepada langit dan bumi." Akan tetapi tiada manusiapun yang mempunyai batas rasa puas. Jika dulu ia berpikir begitu, adalah sekarang sesudah bertemu kembali dengan Cui Sing, ia berharap pula agar gadis itu dapat menjaga diri tetap dalam keadaan suci bersih. Dan demi mendengar percakapan kedua orang tadi, diam2 ia memikir: "setiap orang Kangouw sudah mengetahui peristiwa ini, sebagai seorang laki2 sejati, aku Ong Siau-hong masakah terima dibuat tertawaan orang?" Tapi demi nampak keadaan Cui Sing yang harus dikasihani itu, kembali hatinya lemas lagi, ia menghela napas sambil menggeleng kepala, katanya kemudian: "Sudahlah, mari kita pergi, Piauwmoay!"
"Tapi kau percaya tidak kepada ucapan orang2 itu?" tanya Cui Sing. "Kata2 iseng orang luar yang tak keruan itu buat apa mesti digubris?" sahut Siau-hong. "Tapi, kau percaya tidak?" Cui Sing menegas pula sembari gigit bibir sendiri. Siau-hong ter-mangu2 sejenak, kemudian ia menyahut: "Baiklah, aku takkan percaya!"
"Tapi didalam hati kau masih ragu2, bukan? Kau percaya penuh omongan mereka, bukan?" kata Cui Sing. Dan sesudah merandek sejenak, kemudian sambungnya pula. "Sudahlah, selanjutnya kau tidak perlu bertemu dengan aku lagi, anggaplah aku sudah mati didalam lembah bersalju ini."
"Ai, Piauwmoay, kenapa kau berkata demikian," sahut Siau-hong. Sungguh pedih sekali rasa hati Cui Sing, air matanya lantas bercucuran. Yang dipikirnya sekarang hanya selekasnya dapat meninggalkan lembah salju itu dan meninggalkan orang banyak, ia ingin menyingkir kesuatu tempat yang tak dikenalnya, suatu tempat yang jauh dari manusia. Segera ia angkat kaki dan berlari keluar gua, tapi baru ia melangkah keluar gua, tanpa merasa ia menoleh kepojok dalam gua itu. Selama setengah tahun ini dipojok gua itu dia berteduh siang dan malam, meski tiada suatu alat perabot apa2, tapi dasarnya gadis itu memang rajin dan suka akan kebersihan, maka banyak juga barang kerajinan tangan yang telah dibuatnya dari bulu burung seperti tikar, kasur dan sebagainya. Kini mendekati detik akan berpisah dengan barang2 yang berdampingan selama setengah tahun dengan dirinya itu, betapapun ia merasa berat juga. Tiba2 terlihat olehnya mantel bulu yang pernah dihadiahkannya kepada Tik Hun dahulu itu. Hatinya tergerak segera dan teringat kepada pemuda itu: "Orang itu bergembar-gembor katanya dia adalah paderi cabul dan bertekad akan membunuhnya. Pabila dia diketemukan mereka, dalam keadaan satu lawan musuh sebanyak itu, apakah dia sanggup menyelamatkan diri?" Tanpa merasa ia putar balik ketempat tidurnya itu, ia ambil mantel bulu itu dan dipandangnya dengan ter-mangu2 hingga sekian lamanya. Melihat baju bulu itu terletak ditempat Ciu Sing, sedangkan baju itu tampak cukup longgar dan besar, bentuknya adalah mantel orang laki2, mau-tak-mau Siau-hong menjadi curiga. Segera ia menanya: "Baju apakah itu?"
"Baju bulu yang kubuat sendiri," sahut Cui Sing. "Apakah untuk kau pakai sendiri?" Siau-hong menegas. Hampir2 Cui Sing ketelanjur menjawab bukan, tapi segera ia merasa tidak tepat jawaban itu, ia menjadi ragu2 hingga tidak menyahut. "Bentuknya seperti baju lelaki?" tanya Siau-hong pula, suaranya bertambah kaku, suatu tanda hatinya dirangsang rasa gusar. Cui Sing mengangguk tanpa menjawab. "Kau yang bikin untuk dia?" tanya Siau-hong lagi. Kembali Cui Sing mengangguk.
Siau-hong mengambil baju bulu itu dan memeriksanya sejenak, lalu katanya: "Ehm, bagus sekali buatanmu ini."
"Piauko," tiba2 Cui Sing membuka suara, "janganlah kau memikir yang tidak2, dia dan aku tiada ??. tiada ???." ~ ia tidak melanjutkan ucapannya demi melihat sorot mata Siau-hong mengunjuk sesuatu sikap yang aneh. Mendadak Siau-hong membanting baju bulu itu ketempat tidur Cui Sing sambil berkata dengan nada mengejek: "Hm, bajunya mengapa berada ditempat tidurmu?" Seketika Cui Sing merasa hampa, sungguh tak tersangka olehnya sang Piauko yang biasanya menyanjung puja padanya itu kini mendadak bisa berubah begitu kasar dan menjemukan. Dalam dongkolnya iapun tidak sudi banyak memberi penjelasan lagi, pikirnya: "Ya, sudahlah, jika kau bercuriga dan menuduh aku berbuat serong, bolehlah kau bercuriga dan menuduh sesukamu, buat apa aku mesti memohon belas kasihanmu untuk memahami penasaranku?" Dari tempat sembunyinya Tik Hun dapat mengikuti keadaan didalam gua itu dengan jelas, ia melihat Cui Sing menanggung penasaran karena disangka menyeleweng dari garis2 kesusilaan, air muka gadis itu tampak sangat cemas dan sedih, diam2 Tik Hun ikut merasa tidak enak, pikirnya: "Aku Tik Hun sudah biasa didakwa dan dipitenah orang secara se-mena2, bagiku hal2 itu tidak menjadi soal. Tapi nona Cui, seorang lemah lembut yang tak berdosa, mana boleh dia dibiarkan menanggung tuduhan yang tak benar itu?"
Berpikir begitu, jiwa kesatria Tik Hun seketika terbangkit, meski dia cukup tahu dirinya sedang dicari ber-puluh2 jago silat Tionggoan diluar gua sana, kalau kepergok mereka, pasti jiwanya tak mungkin diampuni. Tapi ia tidak dapat berpikir panjang lagi, sekali lompat segera ia menyusup kedalam gua lagi dan berseru: "Ong Siau-hong, salah besar apa yang telah kau pikir itu!" Cui Sing dan Siau-hong terkejut semua ketika mendadak nampak seorang menerobos kedalam gua. Kini Tik Hun tidak gundul lagi seperti dulu, rambutnya sudah panyang kembali, sesudah memperhatikan sejenak barulah Ong Siau-hong dapat mengenalnya. Cepat ia lolos pedangnya, tangan lain lantas dorong mundur Cui Sing, dengan pedang siap melintang didepan dada, sedapat mungkin ia tenangkan diri untuk menghadapi musuh. "Kedatanganku ini bukan untuk mengajak berkelahi padamu," kata Tik Hun. "Aku ingin mengatakan padamu, nona Cui adalah seorang gadis yang suci bersih, seorang perawan 'ting-ting', jika kau memperisterikan dia, sungguh rejekimu tak terperikan besarnya. Maka jangan kau sembarangan berprasangka atas dirinya." Sungguh sama sekali Cui Sing tidak menyangka bahwa didalam saat demikian itu mendadak Tik Hun bisa tampil kemuka tanpa mengenal bahaya yang akan mengancam padanya, hanya demi untuk membuktikan kebersihan Cui Sing yang dituduh secara kotor oleh orang banyak itu. Sungguh rasa terima kasih Cui Sing tak terhingga dan berkuatir pula, maka segera katanya: "Lekas ??. lekas kau pergi saja dari sini, semua orang ingin membunuh kau, disini terlalu bahaya bagimu."
"Aku tahu, tapi aku harus menjelaskan urusan ini kepada Ong-siauhiap, percayalah padaku, nona Cui adalah seorang gadis suci bersih, jangan ??. jangan kau sembarangan mempitenah dia." Dasarnya Tik Hun memang tidak pandai bicara, biarpun sesuatu urusan biasa saja juga susah berbicara secara terang, apalagi urusan sekarang ini adalah sesuatu yang rumit dan penting hingga apa yang dikatakan itu ternyata belum melenyapkan rasa curiganya Ong Siau-hong. Sudahlah, lekas kau pergi saja! Terima kasih atas maksud baikmu, biarlah kubalas padamu dijelmaan hidup yang akan datang," demikian kata Cui Sing dengan terharu. "Nah, lekaslah kau pergi dari sini, mereka ingin membunuh kau ??.." Mendengar ucapan Cui Sing yang penuh memperhatikan keselamatan "Siau-ok-ceng" itu, rasa cemburu Siau-hong menjadi ber-kobar2. Bentaknya mendadak: "Rasakan pedangku!" ~ Berbareng itu pedangnya terus menusuk kedada Tik Hun. Meski serangan itu dilakukan dengan sangat cepat dan teramat lihay, tapi Tik Hun sekarang sudah bukan Tik Hun dulu lagi. Kini Tik Hun telah memiliki ilmu2 silat kelas wahid "Sin-ciau-kang" dan "Hiat-to-bun" sekaligus, dengan kedua macam ilmu sakti dari dua aliran yang berbeda itu, biarpun sekarang Ting Tian dan Hiat-to Loco hidup kembali juga belum tentu mampu menandinginya. Ketika melihat serangan Ong Siau-hong tiba, sedikit Tik Hun mengegos saja dapatlah ia menghindarkan tusukan itu. Katanya: "Aku tidak ingin bergebrak dengan kau. Tapi aku mengharap engkau suka mengambil nona Cui sebagai isteri, janganlah bercuriga sedikitpun atas kesuciannya, dia ?. dia adalah seorang nona yang baik." Diwaktu Tik Hun bicara, susul-menyusul Ong Siau-hong sudah melancarkan serangan2 pula secara gencar. Tapi seperti tidak terjadi apa2 saja Tik Hun dapat berkelit kian kemari dengan mudah. Diam2 Tik Hun heran: "Aneh, ilmu silat orang ini dahulu sangat bagus, mengapa selama setengah tahun ini dia tiada kemajuan, sebaliknya mundur malah?" Rupanya ia salah sangka, bukanlah ilmu pedang Ong Siau-hong tiada kemajuan, tapi dia sendirilah yang selama ini ilmu silatnya telah maju pesat. Padahal Ong Siau-hong cuma tergolong jago kelas dua atau tiga dikalangan Bu-lim, sebaliknya Tik Hun sekarang sudah memiliki dua macam ilmu silat dari dua aliran Cing dan Sia yang hebat, kecuali pengalaman kurang dan praktek menghadapi musuh masih harus ditambah, tapi dalam hal ilmu silat sejati kini dia boleh dikata sudah tergolong kelas tertinggi yang jarang ada tandingannya. Maka sia2 saja Ong Siau-hong menyerang ber-ulang2, setiap tusukannya selalu dapat dihindarkan Tik Hun seperti tiada terjadi apa2 saja. Keruan Siau-hong bertambah murka, ia menyerang makin gencar dan cepat. "Ong-siauhiap," kata Tik Hun, "asal kau berjanji takkan mencurigai nona Cui dan aku segera akan pergi dari sini. Kawan2mu itu akan membunuh diriku, aku tidak boleh tinggal terlalu lama disini." ~ Sembari bicara, tetap ia menghindarkan serangan2 Siau-hong dengan seenaknya saja. Dalam murkanya, permainan Kiam-hoat Ong Siau-hong semakin lama semakin cepat. Dalam hal Ginkang Tik Hun memang belum mencapai tingkatan yang sempurna, maka lambat-laun ia menjadi kewalahan juga menghadapi serangan pedang yang terlalu gencar itu. Mendadak ia incar batang pedang lawan, sekali jarinya menyentil, "trang", kontan Ong Siau-hong merasa genggamannya kesakitan, pegangannya menjadi kendur, pedang terlepas dari tangan dan jatuh ketanah. Segera Siau-hong bermaksud menjemput kembali senjatanya itu, diluar dugaan Tik Hun terus melangkah maju dan mendorong pundaknya. Dorongan itu sebenarnya tidak keras, tak terduga Siau-hong tak sanggup lagi bertahan ia terdorong jatuh hingga terguling2 kebelakang, "bluk", tubuhnya tertumbuk di dinding gua dengan keras. Dasar hati Cui Sing memang bajik, apalagi sejak kecil sudah bergaul dengan baik dengan sang Piauko, kini melihat Siau-hong terjungkal sedemikian berat, lekas2 ia memburu maju untuk membangunkannya.
Sebaliknya Tik Hun menjadi melongo dan terpatung ditempatnya, sungguh bukan maksudnya hendak mendorong jatuh Ong Siau-hong, sebenarnya ia cuma bertujuan mencegah agar pemuda itu tidak jemput kembali pedangnya, siapa duga begitu Ong Siau-hong terbentur oleh tenaganya, kontan saja terpental begitu berat seperti anak kecil bertabrakan dengan manusia raksasa. "Ma ?? maaf, aku tidak sengaja!" kata Tik Hun kemudian sambil melangkah maju. Sementara itu Cui Sing sedang menarik lengan kanan Siau-hong sambil bertanya: "Piauko, tidak apa2, bukan?" Gusar dan cemburu Ong Siau-hong tak tertahankan lagi, ia anggap Cui Sing telah condong kepihak Tik Hun, sesudah dirinya dihajar kini sengaja hendak menyindir padanya. Maka tanpa menjawab terus saja tangan kirinya menampar, "plok", tepat pipi Cui Sing kena digampar sekali. "Enyahlah!" bentak Siau-hong. Keruan Cui Sing terkejut, sungguh tak tersangka olehnya bahwa sang Piauko yang biasanya ramah-tamah dan suka merendah padanya itu kini bisa memukul padanya. Seketika Cui Sing menjadi ter-longong2 malah sambil me-raba2 pipi yang digampar itu. Sebaliknya Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: "Tanpa sebab apa2, mengapa kau memukul orang?" Pada saat itulah dari luar gua lantas terdengar suara orang ber-lari2 mendatangi dan beberapa diantaranya lantas ber-teriak2: "He, didalam gua ada suara orang bertengkar, lekas periksa kedalam situ, jangan2 Siau-ok-ceng itu bersembunyi didalam gua?" Cepat Cui Sing berkata kepada Tik Hun: "Lekas kau pergi saja, aku ? sangat berterima kasih kepada maksud baikmu." Untuk sejenak Tik Hun memandang Cui Sing, lalu pandang Ong Siau-hong pula, kemudian jawabnya: "Baiklah, aku akan pergi saja!" ~ segera ia putar tubuh dan bertindak keluar gua. Se-konyong2 Ong Siau-hong terus ber-teriak2" "Siau-ok-ceng itu berada disini! Paderi cabul itu berada disini! Lekas cegat pintu gua, jangan sampai dia lolos!"
"Piauko," seru Cui Sing dengan kuatir, "caramu ini bukankah akan bikin susah pada orang baik?" Tapi bukannya berhenti, sebaliknya Ong Siau-hong berteriak lebih keras lagi: "Lekas cegat pintu gua, lekas! Siau-ok-ceng akan lari!" Mendengar suara itu, segera beberapa orang diluar gua sana terus memburu maju untuk menghadang dimulut gua agar Tik Hun tidak dapat lolos. Dan begitu melihat Tik Hun sedang mendatangi dengan langkah lebar, salah seorang pencegat itu lantas menggertak: "Hendak lari kemana!" ~ berbareng goloknya terus membacok keatas kepala Tik Hun. Namun sedikit Tik Hun mengegos, luputlah serangan itu, bahkan ketika Tik Hun tolak kedada orang itu terus didorong pergi, kontan orang itu terpental keluar hingga tiga orang kawannya yang berdiri dibelakangnya ikut terseruduk, sekaligus empat orang itu terjungkal bersama dengan kepala dan muka benjut karena saling bentur. Dan ditengah bentakan dan makian orang2 itulah dengan cepat Tik Hun lantas menerobos keluar gua. Rupanya suara ribut2 itu telah didengar juga oleh jago2 Tionggoan yang lain hingga be-ramai2 mereka memburu datang dari berbagai jurusan. Namun Tik Hun sudah melarikan diri cukup jauh. Segera ada tujuh-delapan jago kelas tinggi menguber kearahnya. Tapi Tik Hun tidak ingin bertempur dengan mereka, ia pilih termpat semak2 rumput yang lebat untuk bersembunyi, ditengah malam buta, jejaknya takbisa diketemukan lagi oleh pengejar2 itu. Karena mengira Tik Hun telah lari keluar lembah salju itu, ber-bondong2 para jago Tionggoan itu lantas ikut mengejar keluar lembah. Dari tempat sembunyinya Tik Hun dapat menyaksikan kepergian orang2 itu, ia melihat Ong Siau-hong dan Cui Sing berjalan paling belakang, meski jarak kedua muda-mudi itu terpisah agak jauh, tapi arah yang mereka tuju adalah sama, makin jauh hingga akhirnya bayangan merekapun lenyap dibalik bukit. Hanya sebentar saja lembah salju yang tadinya riuh ramai oleh berisik manusia itu kini telah berubah menjadi sunyi senyap. Para jago Tionggoan itu sudah pergi semua, Hoa Tiat-kan juga tiada lagi, Cui Sing pun sudah berangkat, hanya tinggal Tik Hun seorang diri. Ia coba mendongak, sampai elang pemakan bangkai yang biasanya suka ber-putar2 diangkasa itupun sekarang tak tertampak lagi. Suasana benar-benar hening sepi, sekarang Tik Hun benar-benar merasakan keadaan yang sebatangkara ????............
Bab 17
Tik Hun tinggal pula setengah bulan dilembah salju itu. Lwekang dan To-hoat yang diperolehnya dari "Hiat-to-keng" itu telah dilatihnya hingga masak dan sempurna betul, rasanya sudah tak mungkin akan lupa, lalu ia membakar "Hiat-to-keng" itu, ia taburkan abu kitab pusaka Hiat-to-bun itu diatas kuburan Hiat-to Loco. "Sudah saatnya kini aku harus berangkat!" demikian pikirnya. "Ehm, baju bulu burung ini tidak perlu kubawa, biarlah kalau segala urusan sudah kubereskan, segera aku akan kembali kelembah bersalju yang selamanya tiada ditinggali manusia ini, selama hidupku biarlah kulewatkan disini. Hati manusia dijagat ini terlalu kejam dan culas, aku tidak sanggup menghadapinya!" Begitulah Tik Hun lantas meninggalkan lembah itu dan menuju kearah timur. Tujuannya yang pertama ialah pulang kekampung halaman sang guru ~ Jik Tiang-hoat ~ yang berada di Ouwlam itu. Ia ingin tahu bagaimana keadaan orang tua yang sudah berpisah sekian lamanya itu. Sejak kecil Tik Hun sudah yatim-piatu, ia dibesarkan oleh gurunya itu, maka melulu sang guru itulah merupakan pamili satu2nya didunia ini. Walaupun perasaannya kepada Suhunya sekarang sudah jauh berbeda daripada waktu dahulu, tapi ia harus mencari tahu dan menyelidikinya hingga jelas. Dari wilayah Tibet menuju ke Ouwlam harus melalui Sucwan. Tik Hun pikir bila ditengah jalan kepergok pula dengan jago2 Tionggoan itu, tentu tak terhindar dari suatu pertarungan sengit, padahal dirinya dengan mereka toh tiada punya permusuhan dan sakit hati apa2, kenapa mesti terjadi pula pertarungan yang tidak bermanfaat itu? Adapun sebab-musabab daripada apa yang terjadi dahulu hakikatnya cuma salah paham belaka, yaitu gara2 ia mebubut rambutnya sendiri hingga pelontos, lalu disangka sebagai Siau-ok-ceng dari Hiat-to-bun yang jahat itu. Karena itulah, untuk menghindari kesulitan2 ditengah jalan, ia lantas menyamar sedikit, ia gosok muka sendiri dengan hangus kuali hingga kelihatan kotor dan hitam mirip seorang pengemis dekil, lalu melanjutkan perjalanan ketimur. Benar juga ditengah jalan terkadang bertemu dengan jago2 yang pernah ikut menguber dirinya itu, tapi mereka tiada yang dapat mengenalnya, bahkan tidak memperhatikannya. Kira2 lebih 20 hari, akhirnya sampailah Tik Hun dikampung halamannya, yaitu di Moa-keh-po dipropinsi Ouwlam barat. Tatkala itu hawa udara sudah sangat panas, ia melihat tanaman sawah-ladang menghijau permai. Semakin dekat dengan kampung halamannya, semakin banyak perasaan2 yang berkecamuk dalam benaknya, pelahan2 mukanya terasa panas, debaran hatinya juga makin keras. Ia terus menyusuri jalan pegunungan yang sudah biasa dilaluinya diwaktu muda dahulu, akhirnya tibalah dia dirumah tinggalnya yang lama. Ketika ia memandang, mau-tak-mau ia menjadi kaget, hampir2 ia tidak percaya pada matanya sendiri. Ternyata ditepi kali dibawah pohon Liu yang rindang, dimana dulu berdiri tiga petak rumah kecil gurunya itu kini telah berubah menjadi sebuah gedung yang megah, gedung itu berdinding putih dan bergenting hitam mengkilap. Gedung itu sedikitnya tiga kali lebih besar daripada rumah2 kecil semula itu. Kalau dipandang lebih cermat, bangunan gedung itu walaupun tidak terlalu indah, bahkan seperti dibangun secara ter-gesa2, tapi kemegahannya sudah bolehlah. Sungguh kejut dan girang sekali Tik Hun, ia coba memeriksa sekeliling situ, ia memang tidak salah lagi, itulah kampung halamannya dimana ia telah dibesarkan. Pikirnya: "Sungguh sangat hebat, rupanya Suhu telah menjadi orang kaya mendadak, makanya pulang kampung dan bangun gedung." Saking girangnya, tanpa pikir lagi Tik Hun terus berteriak: "Suhu!" Tapi baru memanggil sekali, segera ia tutup mulut pula. Pikirnya: "Keadaanku yang mirip pengemis ini mungkin akan membikin Suhu kurang senang, biarlah aku tidak bersuara dulu untuk melihat gelagat saja." Tengah ia memikir, tertampaklah dari dalam gedung itu muncul seorang, dengan melirik orang itu mengamat-amati Tik Hun, sikapnya penuh menghina dan memandang jijik. Tegurnya kemudian: "Kau mau apa?" Tik Hun melihat orang itu memakai kopiah miring, badannya kotor penuh debu pasir, sangat tidak sesuai dengan gedung yang megah itu. Dari sikapnya yang garang itu, Tik Hun menduga orang mungkin adalah mandor tukang batu dan sebagainya. Maka jawabnya: "Tolong tanya, Pak Mandor, apakah Jik-suhu ada dirumah?"
"Jik-suhu atau Jak-suhu apa? Entah, tidak kenal!" sahut orang itu sambil melirik. Keruan Tik Hun melengak, tanyanya pula: "Bukankah tuan rumah disini she Jik?"
"Untuk apa kau tanya tuan rumah segala?" demikian orang itu berbalik menanya. "Apa kau ingin minta sedekah padanya? Kalau mau mengemis saja kau tidak perlu cari tahu siapa tuan rumah segala. Sekali kukatakan tidak ada ya tetap tidak ada. Hayo, pengemis bau, lekas enyah, lekas!" Jauh2 Tik Hun sengaja datang buat mencari Suhu yang sudah berpisah sekian lamanya itu, sudah tentu ia tidak rela pergi begitu saja hanya mendapat jawaban yang tidak memuaskan itu. Maka ia berkata pula: "Kedatanganku bukan untuk minta2, aku ingin mencari keterangan padamu, dahulu yang tinggal disini adalah orang she Jik, entah sekarang beliau apakah masih tinggal disini atau tidak!"
"Dasar pengemis yang cerewet, sudah kukatakan Tauke disini bukan orang she Jik atau she Jok segala, hayolah lekas pergi kelain tempat saja!" sahut orang itu dengan menjengek. Tengah mereka bicara, sementara itu keluar lagi seorang dari dalam gedung itu. Orang ini memakai kopiah tile, pakaiannya bersih dan rajin, dandanannya mirip seorang Koan-keh (pengurus rumah tangga) keluarga hartawan. Dengan lenggang kangkung Koan-keh itu berjalan keluar, segera ia menegur dengan tertawa: "He, Lau Peng, kau bergembar-gembor lagi ribut mutut dengan siapa?"
"Itu dia, pengemis dekil seperti itu sejak tadi cerewet saja disini, kalau mau minta sedekah mestinya bicara terus terang saja, tapi dia mencari tahu siapa nama Tauke kita segala," demikian simandor yang dipanggil Lau Peng itu menjawab.
Mendengar keterangan itu, air muka Koan-keh itu rada berubah, ia mengamat-amati Tik Hun sejenak, lalu berkata: "Eh, sobat, ada apakah kau mencari tahu nama Tauke disini?" Jika Tik Hun beberapa tahun yang lalu tentu akan terus terang menjawab maksud tujuannya. Akan tetapi lain-dulu-lain-sekarang, Tik Hun sekarang sudah bertambah cerdik, sudah kenyang pahit getir yang dialaminya didunia Kangouw, kepalsuan manusia umumnya sudah cukup dikenalnya. Kini melihat si Koan-keh itu bertanya dengan sorot mata yang penuh sangsi dan curiga, diam2 Tik Hun membatin: "Biarlah jangan kukatakan terus terang, aku harus mencari keterangan lebih jauh dengan sabar, bukan mustahil dibalik urusan ini ada sesuatu yang ganjil."
Karena pikiran itu, maka ia menjawab: "Ah, tiada apa2, aku ingin tahu she Tauke disini, perlunya agar aku dapat berseru memanggilnya agar sudi memberi sedekah padaku. Ap....... apakah engkau ini adalah Tauke sendiri?" Begitulah Tik Hun sengaja berlagak pilon dan pura2 bodoh supaya tidak menimbulkan curiga orang. Benar juga Koan-keh itu lantas ter-bahak2. Meski ia merasa Tik Hun itu terlalu tolol, tapi ia disangka sebagai Taukenya, mau-tak-mau ia merasa senang juga hingga timbul rasa sukanya kepada sibocah tolol itu. Segera katanya: "Aku bukan Tauke disini. He, bocah tolol, mengapa kau sangka aku sebagai Tauke?"
"Habis, engkau........ engkau sangat gagah dan berwibawa, engkau mempunyai potongan Tauke besar," sahut Tik Hun sengaja mengumpak. Keruan Koan-keh itu bertambah senang, katanya dengan tertawa: "Bocah tolol, jika kelak aku Lau Ko benar2 menjadi Tauke, pasti aku akan memberi persen padamu. He, anak tolol, kulihat badanmu kekar dan tenagamu kuat, mengapa tidak cari kerja yang benar, tapi malah menjadi pengemis."
"Habis tiada yang suka memberi pekerjaan padaku," sahut Tik Hun. "Eh, Tauke, sukalah kau memberi sedekah sesuap nasi padaku?" Koan-keh itu ter-pingkal2 saking geli, mendadak ia gablok pundak simandor Peng tadi dan berkata: "Coba kau dengar, ber-ulang2 ia memanggil aku sebagai Tauke. Kalau aku tidak memberi persen sesuap nasi juga tidak pantas rasanya. Lau Peng, bolehlah kau suruh dia ikut gali tanah dan memikul, berikan upah sekedar padanya."
"Baiklah, apa yang kau orang tua kehendaki tentu kulaksanakan," sahut simandor she Peng itu. Dari logat bicara mereka itu Tik Hun dapat mengenali mandor she Peng itu adalah penduduk setempat, sebaliknya Koan-keh she Ko itu berlogat orang utara. Tapi ia pura2 tidak tahu, dengan penuh hormat ia berkata: "Terima kasih, Tauke besar dan Tauke kecil!"
"Kurangajar, sembarangan omong!" maki simandor Peng dengan tertawa. Sedang si Koan-keh she Ko itu semakin ter-pingkal2. "Hahaha, aku dipanggil sebagai Tauke besar dan kau adalah Tauke kecil, bukankah......... bukankah kau disangka sebagai puteraku?" katanya dengan ter-engah2. Mandor Peng geli2 dongkol, segera ia jewer telinga Tik Hun, katanya dengan tertawa: "Sudahlah, masuk kesana! Makan dulu yang kenyang, nanti malam mulai melembur." Tanpa membangkang sedikit Tik Hun ikut masuk kedalam gedung itu, dalam hati ia merasa heran: "Aneh, mengapa kerja lembur diwaktu malam?" Sesudah masuk kedalam dan menyusur suatu serambi samping, tiba2 Tik Hun terkejut, hampir2 ia tidak percaya pada matanya sendiri. Ternyata ditengah gedung itu sedang digali suatu lubang yang sangat dalam dan lebar, begitu lebar lubang itu hingga pinggir lubang itu hampir mepet dengan dinding disekelilingnya, hanya tertinggal satu jalan yang sempit untuk orang berlalu. Didalam lubang tanah itu tertampak penuh menggeletak alat2 gali sebangsa pacul, sekop, keranjang, pikulan dan sebagainya. Terang bahwa lubang itu belum selesai digali dan masih dikerjakan. Kalau melihat gedung semegah itu dari luar, sungguh siapapuntiada yang menyangka bahwa didalam rumah terdapat suatu lubang galian yang begitu besar. "He, bocah tolol, apa yang kau lihat disini dilarang kau ceritakan pada orang luar, tahu?" kata simandor Peng tiba2. "Ya, ya! Aku tahu," demikian sahut Tik Hun cepat. "Tentu disini Hongsui-nya sangat bagus, tuan rumah ingin mengubur disini, maka orang luar tidak boleh mengetahuinya."
"Benar, ha, sitolol ternyata pintar juga," demikian kata simandor. "Marilah ikut aku kebelakang untuk makan." Sesudah makan se-kenyang2nya didapur, simandor suruh Tik Hun mengaso dan menunggu diserambi belakang itu dan dipesan jangan sembarangan keluyuran. Tik Hun mengiakan perintah itu, tapi didalam hati ia semakin curiga. Ia melihat didalam rumah itu tiada sesuatu perabotan yang baik, segala perlengkapan sangat sederhana, bahkan dapur itu tiada dibuat tungku permanen, tapi cuma sebuah tungku darurat yang ditumpuk dengan batu bata saja dan diatas tungku darurat itu tertaruh sebuah kuali besi. Meja kursi yang ada juga sangat kasar, sama sekali tidak sesuai dengan gedung yang megah itu. Waktu magrib, didapur umum itu penuh ber-jubel2 orang, semuanya adalah orang desa setempat yang masih muda dan kuat. Be-ramai2 mereka asyik makan-minum dengan gembira. Tanpa sungkan2 Tik Hun ikut makan bersama orang banyak itu, ia bicara dengan logat daerah setempat yang tulen, dengan sendirinya si Koan-keh she Ko dan mandor Peng tidak menaruh curiga apa2, mereka menyangka Tik Hun adalah satu pemuda gelandangan setempat yang tidak punya pekerjaan apa2. Selesai makan, mandor Peng lantas membawa orang2 itu keruangan tengah yang terdapat lubang galian itu, segera ia mengucapkan kata permbukaan: "Saudara2 sekalian, hendaklah kalian menggali sepenuh tenaga, mudah2an malam ini ada rejeki, pabila ada yang berhasil menggali sesuatu benda, baik berupa buku, kertas, maupun sebangsa mangkok-piring dan sebagainya, tentu kalian akan mendapat hadiah yang pantas."
Maka be-ramai2 para kuli itu telah mengiakan, segera terdengarlah suara riuh dari bekerjanya pacul dan sekop yang menggali tanah. "Huh, sudah menggali selama dua bulan, tapi ada benda mestika apa yang diketemukan? Benar2 orang yang menyuruh kita ini sudah gila harta dan lupa daratan," demikian seorang penggali yang tidak jauh disebelah Tik Hun itu mendadak menggerutu sendiri. Sudah tentu Tik Hun tertarik oleh gerundelan kuli kampung itu. "Mestika apakah yang hendak mereka gali? Masakah disini terdapat sesuatu harta apa segala?" demikian pikirnya. Ia menunggu simandor agak meleng, segera ia menggeser kedekat kuli yang mengomel tadi, dengan suara tertahan ia menanya: "Toacek, sebenarnya mereka ingin mencari benda mestika apakah?"
"O, benda mestika yang mereka cari ini benar2 sangat berharga," sahut orang itu dengan suara berbisik. "Katanya Tauke disini mahir ilmu gaib. Ia bukan orang daerah sini, tapi berasal dari lain tempat. Dari jauh katanya ia melihat ditempat penggalian ini ada cahaya mestika yang menyorong kelangit, ia tahu ditempat ini terdapat benda mestika, maka tanah ini telah dibelinya, agaknya kuatir kalau rahasianya bocor, maka lebih dulu gedung ini telah dibangun, lalu mengumpulkan orang, siang hari kami disuruh tidur dan malam hari disuruh kerja."
"O, kiranya begitu. Apakah Toacek tahu benda mestika apa yang dia cari?" tanya Tik Hun pula. "Sudah tentu aku tahu," sahut kuli itu dengan lagak sok tahu. "Menurut simandor, katanya yang dicari adalah sebuah 'Cip-po-bun' (baskom wasiat). Jika kau masukan satu mata uang kedalam baskom itu, maka lewat semalam, besok paginya mata uang itu akan berubah menjadi satu baskom penuh. Kalau dimasuki satu tahil emas, besoknya akan berubah menjadi satu baskom emas, pendek kata segala macam barang yang kau masukan kedalam baskom, maka dalam semalam saja barang sedikit ini akan melahirkan barang banyak. Wah, bukankah itu suatu benda mestika ajaib?"
"Wah, benar2 mestika ajaib!" puji Tik Hun sambil tiada ber-henti2 mulutnya ber-kecek2. Lalu orang itu mengoceh pula: "Mandor sengaja memesan kita agar cara kita memacul harus pelahan2, tidak boleh keras2, sebab kalau sampai baskom wasiat itu menjadi rusak kena pacul, wah, bisa runyam! Kata pak Mandor, bila baskom wasiat itu sudah dapat diketemukan, kita masing2 akan diberi pinjam pakai satu malam, apa yang kau ingin masukan didalam baskom itu boleh kau lakukan mana suka. Nah, anak tolol, mulai sekarang boleh kau coba2 rencanakan, barang apakah yang akan kau masukan didalam Cip-po-bun itu."
Tik Hun pura2 memikir sejenak, lalu menjawab: "Aku sering kelaparan, perutku selalu berkeroncongan, maka aku akan taruh sebutir beras didalam baskom itu dan besok paginya, wah, sudah menjadi satu baskom penuh beras putih, bagus bukan?"
"Hahaha! Memang bagus! Haha!" demikian orang itu menjadi lupa daratan dan bergelak tertawa. Keruan simandor lantas menoleh demi mendengar ada suara tertawa orang, lantas ia membentak: "Hus, jangan banyak omong doang! Hayo, lekas kerja! Lekas gali!" Orang itu menjadi ketakutan dan cepat bekerja pula dengan giat. Diam2 Tik Hun membatin: "Masakah didunia ini terdapat Cip-po-bun apa segala? Emangnya seperti cerita Aladin dalam 1001 malam saja? Ah, majikan rumah ini pasti bukan seorang tolol, dibalik kesemuanya ini pasti ada sesuatu tipu muslihat, tapi ia sengaja mengarang cerita tentang baskom wasiat segala untuk menipu orang." Maka sejenak kemudian, dengan suara tertahan kembali ia menanya orang tadi: "Siapakah nama Tauke disini? Engkau tadi mengatakan dia bukan orang daerah sini?"
"Itu dia, bukankah si Tauke sudah berada disitu?" sahut orang itu. Waktu Tik Hun memandang kearah yang dimaksudkan, ia melihat dari ruangan belakang sana telah muncul satu orang, perawakannya tinggi kurus, kedua matanya bersinar tajam, pakaiannya sangat perlente, usianya kira2 setengah abad. Hanya sekejap saja Tik Hun memandang orang itu, tapi kontan jantungnya ber-debar2, cepat ia berpaling dan tidak berani memandang pula. Didalam hati tiada hentinya ia bertanya2: "Orang ini sudah pernah kukenal, ya, sudah pernah kukenal. Dimanakah itu? Siapakah dia?" Begitulah ia merasa muka si Tauke sudah dikenalnya, cuma seketika tak teringat dimanakah dulu telah melihatnya. Dalam pada itu si Tauke sudah mulai berkata: "Malam ini harap kalian menggali lebih dalam lagi satu-dua meter, tidak peduli apakah diketemukan potongan kertas, remukan batu atau pecahan kayu, satu bendapun tidak boleh dianggap sepele, harus diperlihatkan padaku." Mendengar suara si Tauke, Tik Hun terkesiap, segera ia sadar: "Ya, ingatlah aku sekarang. Kiranya dia!" Kiranya Tauke pemilik gedung megah itu tak-lain-tak-bukan adalah sipengemis tua yang pernah mengajarkan tiga jurus ilmu pedang kepada Tik Hun ketika berada dirumah Ban Cin-san di Heng-ciu dahulu itu. Tatkala mana bajunya rombeng, rambutnya kusut-masai, sekujur badannya kotor dekil, seratus prosen adalah dandanan pengemis. Tapi kini telah berubah menjadi seorang hartawan, hampir semuanya telah berganti bulu, pantas saja Tik Hun takbisa lantas mengenalnya, dan sesudah mendengar suaranya barulah Tik Hun ingat siapa gerangannya. Dan begitu mengenali si Tauke, sebenarnya Tik Hun bermaksud lantas melompat keluar dari lubang galian untuk menyapanya. Tapi penderitaan dan pengalaman selama beberapa tahun ini telah menggembleng Tik Hun menjadi seorang pemuda yang bisa berpikir dan dapat bertindak hati2 dalam segala hal. Pikirnya: "Paman pengemis tua ini pernah berbudi padaku. Dahulu jika aku tak ditolong olehnya, mungkin aku sudah terbinasa ditangan bandit terkenal dari Thay-heng-san yang bernama Lu Thong itu. Kemudian ia telah mengajarkan tiga jurus Kiam-hoat lagi padaku hingga aku dapat menghajar anak murid Ban-supek. Kini kalau dipikir, sebenarnya ketiga jurus ilmu pedang yang dia ajarkan padaku itu toh sepele saja, tiada sesuatu yang luar biasa, tapi pada waktu itu telah menghindarkan diriku dari hinaan dan penganiayaan orang. Kini dapat berjumpa pula dengan dia, aku harus menyatakan terima kasihku selayaknya. Akan tetapi tempat ini adalah bekas kediaman Suhuku, mengapa dia menggali tanah disini? Dan untuk apa dia membangun gedung sebesar ini untuk menutupi pandangan orang luar? Dahulu dia adalah seorang pengemis, seorang kere, kenapa sekarang bisa kaya mendadak?" Begitulah diam2 Tik Hun me-nimang2 dan ambil keputusan akan diam saja dulu untuk melihat gelagat. Pikirnya pula: "Aku utang budi padanya, untuk mengucapkan terima kasih adalah soal gampang. Tapi mengapa dia tidak kuatir Suhuku akan pulang kesini? Jangan2 .......... jangan2 Suhu sudah meninggal?" Sejak kecil ia sudah ikut dan dibesarkan Jik Tiang-hoat, perasaannya kepada guru itu adalah mirip orang tua sendiri, kini demi terpikir gurunya mungkin sudah mati, seketika ia menjadi sedih. Tiba2 dipojok sana terdengar suara gemerinting sekali, pacul kuli penggali itu entah kena memacul sesuatu benda keras apa. Tapi demi mendengar suara nyaring itu, segera si Tauke melompat turun kedalam lubang galian itu, cepat ia jemput sepotong benda. Serentak kuli2 penggali itu berhenti kerja semua dan memandang kearah benda yang dipegang si Tauke. Maka tertampaklah Tauke lagi memegang sebuah....... paku, bolak-balik Tauke memeriksa paku itu dengan wajah agak kecewa. Achirnya ia lemparkan paku itu kepinggir lubang galian dan memerintah: "Hayo mulai lagi, lekas gali terus!" Tik Hun kerja keras semalam suntuk bersama para kuli kampung, selama itu si Tauke terus mengikuti kemajuan galian itu. Setelah fajar menyingsing dan tiada diketemukan sesuatu apa, barulah si Tauke memerintahkan istirahat. Sebagaian besar kuli2 kampung itu adalah penduduk sekitar situ, mereka pulang kerumah masing2. Tapi ada sebagian yang bertempat tinggal agak jauh, mereka lantas merebah dan tidur diserambi samping rumah gedung itu. Tik Hun juga ikut tidur diserambi samping itu. Sampai sore harinya barulah mereka bangun tidur untuk makan. Badan Tik Hun terlalu kotor, orang lain tidak suka berdekatan dengan dia, diwaktu tidur maupun makan, selalu orang2 itu menjauhi Tik Hun. Tapi hal ini malah kebetulan bagi Tik Hun, risiko dirinya akan dikenali orang menjadi lebih sedikit. Selesai makan, dalam isengnya Tik Hun lantas jalan2 kesuatu pedusunan kecil tidak jauh dari gedung besar itu untuk mencari tahu apakah sang guru pernah pulang kampung atau tidak. Ditengah jalan diketemukan juga beberapa teman memain diwaktu kecil, kini teman2 itu sudah tinggi besar dan asyik bercocok-tanam disawah-ladang. Ia tidak ingin dirinya diketahui orang, maka ia tidak menyapa teman lama itu, tapi sengaja mencari satu anak tanggung untuk ditanya tentang keadaan rumah gedung itu. Menurut keterangan bocah tanggung itu, katanya gedung itu dibangun pada musim rontok tahun yang lalu, pemiliknya sangat kaya dan datang kesini buat mencari Cip-po-bun, namun sudah sekian lamanya benda mestika yang dicari itu masih belum ketemu. Sembari berkata bocah itu sambil ketawa2, suatu tanda dongeng tentang Cip-po-bun atau baskom wasiat itu telah menjadi bahan obrolan iseng penduduk setempat. Ketika ditanya tentang rumah2 petak yang dulu, anak tanggung itu mengatakan sudah lama rumah2 kecil itu tidak ditinggali orang dan selamanya juga tidak pernah ditengok yang empunya. Maka waktu gedung besar itu dibangun, dengan sendirinya rumah2 petak itu dibongkar. Tik Hun mengucapkan terima kasih dan tinggalkan anak tanggung itu, hatinya menjadi masgul dan penuh curiga pula. Sungguh ia tidak tahu sebenarnya apakah maksud tujuan tindak-tanduk sipengemis tua yang penuh rahasia itu. Ia berjalan menyusur gili2 sawah dan ladang, ketika melewati sepetak ladang sayur, ia melihat tanaman ladang itu menghijau lebat, subur sekali tertanam sayur Khong-sim-jay. "Khong-sim-jay! Khong-sim-jay!" ~ tiba2 benak Tik Hun bergema suara panggilan yang nyaring merdu dan nakal itu. "Khong-sim-jay" adalah sayur yang sangat umum didaerah Ouwlam barat situ, sesuai dengan namanya, maka sayur itu kopong tengahnya tak bersumbu. Dari itu Sumoaynya Tik Hun, yaitu Jik Hong, telah memberi nama poyokan itu kepada Tik Hun sebagai olok2 bahwa pemuda itu berotak kopong, takbisa berpikir, polos dan jujur, takbisa ber-belit2. Sejak Tik Hun meninggalkan kampung halaman itu, selama itu dia mengeram didalam penjara di Hengciu, kemudian di-uber2 musuh dan achirnya terkurung ditengah lembah bersalju. Dan baru harini dia dapat melihat Khong-sim-jay pula. Tik Hun ter-mangu2 sejenak memandangi sayur yang bersejarah itu. Ia berjongkok dan memetik setangkai, lalu pelahan2 melanjutkan perjalanan kebarat. Disebelah barat adalah pegunungan sunyi yang tandus penuh batu karang, pepohonan susah tumbuh disitu. Ditengah bukit tandus itu terdapat sebuah gua yang tidak pernah didatangi manusia kecuali Tik Hun dan Jik Hong yang dulu sering memain kesitu. Karena terkenang pada masa lalu yang menggembirakan itu, tanpa merasa Tik Hun berjalan terus kearah gua. Sesudah melintasi tiga bukit lain dan menerobos dua terowongan besar, akhirnya sampailah dia digua yang terpencil dan sunyi senyap itu. Didepan gua itu ternyata sudah penuh tumbuh rumput alang2, hingga mulut gua tertutup rapat. Hati Tik Hun menjadi berduka terkenang teman main diwaktu kecil yang dicintainya itu kini telah berada dipangkuan orang lain. Ia coba menerobos kedalam gua itu, ia melihat barang2 yang terdapat digua itu masih tetap seperti dulu waktu ditinggal pergi bersama Jik Hong, sedikitpun tidak pernah dijamah atau pindah tempat. Barang2 seperti bandring yang dahulu sering digunakannya untuk menangkap burung, boneka tanah yang dibuat Jik Hong, alat perangkap kelinci, seruling milik Jik Hong diwaktu angon sapi. Semuanya itu masih terletak baik2 diatas meja batu didalam gua. Disebelah sana terdapat pula sebuah keranjang kecil. Dulu Jik Hong sering datang kegua ini dengan membawa keranjang jinjing yang berisi bahan2 dan alat menjahit. Tertampak gunting didalam keranjang itu sudah berkarat, Tik Hun coba ambil sejilid buku pola menyulam yang sudah kuning dari keranjang itu. Ia mem-balik2 halaman buku itu dan ter-kenanglah dimasa dahulu bila dia bersama Jik Hong 'pik-nik' kegua ini, sering ia mengayam keranjang disitu dan Jik Hong lantas menyulam, terkadang sigadis menyulam bunga atau burung2an diatas kain tebal guna bahan sepatunya. Ter-menung2 Tik Hun mengenangkan kejadian dimasa lampau: ketika satu pasang kupu2 besar warna hitam terbang kian kemari didepan gua, selalu sepasang kupu2 itu terbang berjajaran keatas dan kebawah bagaikan sepasang kekasih yang sedang bercumbu. Saat itu Jik Hong telah ber-teriak2: "Nio San-pek, Cio Eng-tay! Nio San-pek, Cio Eng-tay!" Kiranya penduduk didaerah Ouwlam barat itu menamakan kupu2 besar warna hitam itu sebagai Nio San-pek dan Cio Eng-tay, yaitu sepasang kekasih yang saling cinta-mencintai dan sehidup-semati dalam cerita roman klasik yang terkenal. Waktu itu Tik Hun sedang mengayam sepatu rumput, pasangan kupu2 itu telah terbang diatas kepalanya. Mendadak Tik Hun meneplok dengan sepatu rumputnya hingga seekor kupu2 diantaranya tergablok mati. Melihat itu, Jik Hong menjerit kaget dan menegur dengan marah: "Ken........ kenapa kau membunuhnya?" Tik Hun menjadi gugup karena sigadis mendadak marah, cepat sahutnya: "Karena kau suka kupu2, maka aku hendak menangkapnya untukmu." Kupu yang diteplok mati itu jatuh ditanah, sedang kupu yang lain masih terus terbang mengitar diatas kawannya yang sudah tak berkutik itu. Maka Jik Hong berkata: "Lihatlah, bukankah kau berdosa? Mereka adalah pasangan suami-isteri yang rukun, tapi sekarang kau telah membunuh satu diantaranya." Dan barulah Tik Hun merasa menyesal, sahutnya: "Ai, memang aku bersalah." Kemudian Jik Hong telah menirukan bentuk kupu2 yang mati itu dan dibuatnya sebuah pola atau patrun untuk disulam diatas sepatunya sendiri. Waktu tahun baru, kembali ia menyulam sebuah dompet kain dengan lukisan kupu2 yang sama untuk Tik Hun. Dompet kain itu selalu tersimpan didalam baju pemuda itu dan baru hilang ketika dia dimasukan penjara di Hengciu. Patrun itu masih terselip didalam buku pola itu. Ia mengambil patrun kupu2 itu, telinganya sayup2 seperti mendengar suara Jik Hong: "Lihatlah, bukankah kau berdosa? Mereka adalah pasangan suami-isteri yang rukun, tapi sekarang kau telah membunuh satu diantaranya." Tik Hun ter-menung2 agak lama, ketika ia membalik2 pula halaman buku pola itu, tiba2 didengarnya dari jauh ada suara berkeletakan batu paling bentur, terang itulah suara tindakan orang yang sedang mendatangi. Diam2 Tik Hun heran, pikirnya: "Jarang ada manusia yang datang dibukit tandus ini, jangan2 adalah sebangsa binatang buas?" Segera ia masukan buku pola itu kedalam bajunya, saat lain tiba2 didengarnya ada suara orang sedang berkata: "Sekitar tempat ini sunyi senyap dan bukit karang belaka, tidak mungkin terdapat disini."
"Semakin sepi semakin besar kemungkinanan orang menyimpan harta mestika disini," demikian suara seorang tua menjawab. "Maka kita harus mencarinya dengan cermat."
"Ha, mengapa ada orang mencari harta mestika lagi ketempat ini?" pikir Tik Hun. Cepat ia menyelinap keluar gua, ia bersembunyi dibalik satu pohon besar. Tidak lama kemudian lantas terdengar ada suara orang bertindak kearah gua. Dari suaranya dapat diduga sedikitnya adalah 7-8 orang. Waktu Tik Hun mengintip dari belakang pohon, ia melihat seorang yang jalan paling depan berpakaian perlente dan berdandan secara ber-lebih2an, mukanya seperti sudah dikenal Tik Hun. Menyusul seorang dibelakangnya membawa cangkul, orang kedua ini berbadan tegap gagah, mukanya cakap. Begitu melihat orang kedua ini, seketika darah Tik Hun tersirap, sungguh kalau bisa ia ingin lantas menerjang maju untuk menghajarnya, bahkan sekali cekik ia ingin mampuskan orang itu. Kiranya orang kedua itu tak-lain-tak-bukan adalah musuh besarnya yang telah membikin sengsara padanya, orang yang telah merebut Sumoaynya yang cantik serta menjebloskan Tik Hun kedalam penjara, yaitu si Ban Ka adanya. Sedang orang pertama yang lebih muda tadi ternyata adalah Sim Sia, anak murid Ban Cin-san yang buncitan. Dan dibelakang Ban Ka dan Sim Sia, lalu muncul pula anak murid Ban Cin-san yang lain, yaitu Loh Kun, Sun Kin, Bok Heng, Go Him dan Pang Tan. Murid Ban Cin-san seluruhnya ada delapan orang, tapi murid kedua, yaitu Ciu Kin, dahulu telah dibunuh oleh Tik Hun didalam taman bobrok dikota Hengciu waktu dia bersama Ting Tian di-uber2 oleh Ciu Kin dan kawan2nya. Maka kini murid Ban Cin-san hanya tinggal tujuh orang saja. Sudah tentu Tik Hun sangat heran: "Hendak mencari harta mestika apakah orang2 ini?" Pada lain saat tiba2 terdengar Sim Sia berseru: "Suhu, Suhu! Disini ada sebuah gua!"
"O, ya?" sahut suara orang tua tadi. Nadanya penuh rasa girang. Menyusul lantas muncul seorang yang tinggi besar, itulah dia Ngo-in-jiu Ban Cin-san adanya. Sudah beberapa tahun tak bertemu, Tik Hun melihat semangat orang tua itu masih segar dan kuat, sedikitpun tidak terlihat tanda2 loyo sebagaimana lazimnya orang tua. Hanya beberapa langkah lebar saja Ban Cin-san sudah masuk kedalam gua. Menyusul lantas terdengar suara2 orang banyak: "He, disini pernah ditinggali orang!" ~ "Debu kotorannya begini banyak, sudah lama tidak didatangi orang." ~ "Tidak, tidak! Lihatlah ini, disini terdapat tapak kaki baru." ~ "Ya, disini juga ada bekas jari tangan!" ~ "Benar, pasti Gian-susiok telah............. telah mendahului menggondol Soh-sim-kiam-boh itu." Terkejut dan geli pula Tik Hun mendengar pembicaraan orang2 itu. Pikirnya: "Apa barang yang hendak mereka cari adalah Soh-sim-kiam-boh? Mengapa sudah sekian lamanya mereka masih terus mencari? Menurut Suhu, katanya beliau mempunyai seorang Suheng kedua yang bernama Gian Tat-peng, tapi Gian-supek itu sudah lama menghilang tanpa ada kabar beritanya, mungkin sudah lama orangnya meninggal dunia, mengapa sekarang dapat muncul lagi untuk berebut Soh-sim-kiam-boh apa segala? Sudah terang bekas tapak kaki dan tangan itu adalah tinggalanku barusan, tapi mereka menerka secara ngawur, sungguh lucu!" Begitulah maka terdengar Ban Cin-san sedang berkata: "Diam, diam! Jangan ribut! Coba carilah sekitar sini dengan tenang." Lalu ada yang mengomel: "Jika Gian-susiok sudah mendahului datang kesini, mustahil barangnya tak digondol lari lebih dulu."
"Jik Tiang-hoat itu benar2 seorang yang licin dan pintar mengatur, ia sembunyikan Kiam-boh (kitab pelajaran pedang) itu disini, tentu saja orang lain sudah mencarinya," ujar yang lain. "Sudah tentu ia sangat licin dan pandai mengatur, kalau tidak masakah dia berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang'?" demikian kata seorang lagi. Begitulah sambil bicara mereka terus mengobrak-abrik gua itu. Memangnya didalam gua tidak terdapat benda apa2, maka sesudah dibongkar-bangkir orang2 itu, tetap tiada sesuatu yang mereka ketemukan. Menyusul lantas terdengar suara gemerantang yang nyaring, itulah suara cangkul. Tapi gua itu adalah batu karang, dengan sendirinya cangkul itu tidak mempan menggalinya. "Sudahlah, disini tiada terdapat apa2, marilah kita keluar, coba kita rundingkan lagi diluar sana," kata Ban Cin-san kemudian. Be-ramai2 ketujuh anak muridnya lantas ikut sang Suhu keluar gua, mereka mengambil tempat ditepi suatu sungai kecil, disanalah mereka berduduk diatas batu karang yang banyak terserak disitu. Tik Hun kuatir dipergoki mereka, maka tidak berani mendekat.
Sedangkan suara percakapan kedelapan orang itu sangat lirih, maka apa yang dirundingkan mereka itu takbisa didengar Tik Hun. Tidak lama kemudian, selesai berunding, kedelapan orang itu tampak berbangkit semua dan berangkat pergi. Diam2 Tik Hun memikir pula: "Katanya mereka ingin mencari Soh-sim-kiam-boh apa segala, tapi belum lagi ketemu sudah lantas curiga telah dicuri lebih dulu oleh Gian-supek. Sedangkan bekas tempat tinggal Suhu telah dirombak pula menjadi suatu gedung megah, katanya sipengemis tua itu ingin mencari Cip-po-bun apa segala............. Ah, benar, tahulah aku!" Begitulah se-konyong2 terkilas sesuatu pikiran pada benaknya, mendadak ia sadar akan duduknya perkara: "Terang sipengemis tua itu bukan bertujuan mencari Cip-po-bun segala, tapi iapun ingin mencari Soh-sim-kiam-boh. Ia yakin kitab pusaka itu berada ditangan Suhuku, maka sengaja mencari kemari, dan agar tidak menimbulkan rasa curiga orang lain, lebih dulu ia membangun gedung besar itu, kemudian menggali pekarangan didalam rumah itu untuk mencarinya, dan agar tidak membikin geger chalayak ramai, ia sengaja menyiapkan berita dongengan katanya ingin mencari Cip-po-bun, sudah tentu alasan itu cuma buat membohongi orang kampung yang bodoh saja." Lalu terpikir pula olehnya: "Tempo dulu waktu Ban-supek mengadakan perayaan hari ulang tahun di Hengciu, pengemis tua itu siang-malam selalu mengincar disekitar kediaman Ban-supek, suatu tanda dia mempunyai sesuatu maksud tujuan. Ya, sesudah tidak menemukan Soh-sim-kiam-boh yang dicari itu, masakah rombongan Ban Cin-san takkan mendatangi rumah gedung itu untuk menyelidiki lebih jauh? Mungkin kedatangan mereka kesini sudah lama, maka gedung itu sudah pernah mereka datangi. Namun urusan ini terang belum selesai, biarlah aku menanti dirumah gedung itu saja untuk menonton keramaian. Ya, dibalik semua kejadian ini pasti ada sesuatu rahasia lain."
"Tapi kemanakah perginya Suhu selama ini?" demikian pikirnya pula. "Bekas tempat tinggalnya telah dibongkar-bangkir orang sedemikian rupa, masakah beliau sama sekali tidak tahu? Apa benar beliau tidak pernah pulang kemari? Lalu bagaimana dengan Jik-sumoay? Ya, mungkin dia masih tinggal di Hengciu dan sedang menikmati kebahagiaan sebagai nyonya muda keluarga Ban yang kaya-raya. Sudah tentu orang2 keluarga Ban itu tidak memberitahukan pada Sumoay bahwa bekas tempat tinggalnya itu akan diobrak-abrik. Dan apakah yang sedang dikerjakan Sumoay saat ini?......"
Bab 18
Mendadak terdengar suara "blang" yang keras, pintu depan telah didobrak orang hingga terpentang, serempak anak-murid Ban Cin-san terus menyerbu kedalam dan mengepung Gian Tat-peng di-tengah2. Malamnya, kembali didalam rumah gedung itu terang-benderang dengan cahaya lilin, belasan kuli kampung asyik mengayun cangkul mereka untuk menggali tanah. Tik Hun juga berada diantara kuli2 penggali itu, ia tidak terlalu giat, tapi juga tidak malas, dengan demikian ia mengharap tidak menarik perhatian orang lain. Apalagi rambutnya kusut-masai, jenggot dan kumisnya tak tercukur hingga hampir seluruh mukanya tertutup oleh berewoknya yang tak terawat itu, ditambah lagi debu tanah yang berlepotan dimukanya, keruan muka aslinya menjadi lebih susah dikenali. Malam ini penggali2 itu menitik-beratkan pojok utara dari lubang tanah itu, sedang sipengemis tua sedang berjalan mondar-mandir ditepi lubang galian itu sambil menggendong tangan. Sudah tentu sekarang ia bukan lagi seorang pengemis yang dekil dan mesum, tapi adalah seorang Tauke besar yang hidup mewah, bajunya buatan dari bahan sutera satin, pada jari manis kiri memakai sebuah cincin permata jamrud, ikat pinggangnya juga terikal sepotong batu kemala yang susah dinilai harganya. Se-konyong2 Tik Hun mendengar diluar gedung itu ada suara orang merayap datang, dari kanan-kiri dan muka-belakang, semua jurusan ada suara merayap orang. Jarak pendatang2 itu masih sangat jauh, agaknya sipengemis tua masih belum mengetahui sedikitpun. Tik Hun coba miringkan tubuh untuk melirik sipengemis itu, tapi sang Tauke ternyata tenang2 saja seperti tidak merasakan apa2. Sementara itu Tik Hun mendengar suara tindakan orang2 dari berbagai jurusan itu sudah makin mendekat. Satu, dua, tiga........ enam, tujuh, delapan, ya, benarlah itu Ban Cin-san beserta ketujuh anak muridnya. Tapi sipengemis tua ternyata masih tidak mengetahui. Sungguh heran Tik Hun, baginya kedatangan rombongan Ban Cin-san itu dapat didengarnya dengan jelas, bahkan dapat dihitung jumlahnya. Tapi mengapa pengemis tua itu seperti orang tuli saja tanpa mendengar apa2? Lima tahun yang lampau, Tik Hun kagum dan memuja pengemis tua itu bagaikan malaikat dewata. Pengemis itu hanya mengajarkan tiga jurus ilmu pedang kepada Tik Hun dan pemuda itu sudah sanggup menghajar Ban-bun-pat-te-cu atau delapan murid keluarga Ban, hingga pontang-panting, sedikitpun kedelapan lawan itu tak mampu melawan. "Tapi kini, mengapa kepandaian pengemis tua ini telah berubah sejelek ini dan mundur malah? Jangan2 Tauke ini bukan pengemis tua yang dahulu itu? Barangkali aku salah mengenali dia? Tapi, tidak, tidak mungkin, tidak mungkin aku salah lihat!" demikian Tik Hun bertanya-jawab sendiri. Ternyata Tik Hun tidak memikir bahwa sebenarnya ilmu silatnya sendiri yang telah mencapai kemajuan pesat hingga sudah hampir mencapai tingkatan yang tiada taranya. Sesuatu yang dapat didengarnya dengan jelas bagi telinga orang lain sebaliknya sedikitpun tidak terdengar apa2. Dalam pada itu kedelapan orang itu makin lama sudah makin mendekat. Sungguh Tik Hun sangat heran: "Perbuatan kedelapan orang itu benar2 sangat lucu, memangnya mereka mengira tiada seorangpun yang mengetahui kedatangan mereka hingga mesti main germat-germet seperti maling kuatir kepergok?" Sementara itu kedelapan orang itu sudah lebih dekat lagi. Mendadak sipengemis tua tampak bergetar sambil miringkan kepalanya untuk mendengarkan. "Ha, dia sudah dengar sekarang barangkali? Kenapa baru dengar sekarang, apa tuli?" demikian Tik Hun membatin. Padahal sipengemis tua yang sudah menjadi Tauke itu sebenarnya tidak tuli. Soalnya jarak kedelapan orang itu memang masih jauh. Kalau Tik Hun dua-tiga tahun yang lalu pasti juga takkan mendengar suara rombongan Ban Cin-san, bahkan lebih dekat juga belum tentu dapat mendengarnya. Sementara itu kedelapan orang itu sudah dekat benar2, kini mereka melangkah setindak demi setindak dengan hati2, terkadang berhenti dulu, lalu melangkah maju pula, terang mereka juga kuatir diketahui oleh orang didalam rumah. Namun sekarang sipengemis tua sudah mengetahui kedatangan musuh. Dengan tenang ia mendekati pojok ruangan dan mengambil sebatang tongkat yang tertaruh disitu. Itulah sebatang "Liong-thau-bok-koay" atau tongkat kayu berukiran kepala naga. "Masakah tongkat begitu akan dipakai sebagai senjata?" demikian Tik Hun merasa heran. Se-konyong2, serempak kedelapan orang diluar rumah itu berlari maju dan mengepung dari empat jurusan kearah gedung. "Blang", mendadak pintu didobrak orang hingga terpentang, secepat kilat seorang telah mendahului menerjang masuk, itulah dia Ban Ka. Menyusul Sim Sia, Bok Heng dan lain2 juga lantas ikut menyerbu kedalam. Sesudah ketujuh Ban-keh-te-cu itu menyerbu masuk, serentak mereka mengepung sipengemis tua di-tengah2 sambil senjata siap ditangan. Namun pengemis tua itu ternyata tenang2 saja, bahkan ia ter-bahak2 dan berkata: "Hahahaha! Bagus, bagus! Apa anak2 sudah datang semua? Dan dimana Ban-suko, mengapa tidak nampak?" Maka terdengarlah suara tertawa lepas seorang diluar rumah, menyusul masuklah orang itu dengan langkah berlenggang, itulah dia "Ngo-in-jiu" Ban Cin-san. Sesudah berada didalam rumah, Ban Cin-san berdiri berhadapan dengan pemngemis itu terpisah oleh lubang galian, kedua orang sama2 mengamat-amati masing2, selang sebentar barulah Ban Cin-san membuka suara: "Gian-sute, wah, berpisah selama lima tahun, tahu2 engkau sudah menjadi OKB (orang kaya baru)." Begitu selesai mendengar ucapan Ban Cin-san itu, seketika kacau-balau pikiran Tik Hun oleh berkecamuknya macam2 pertanyaan. "Ha? Jadi......... jadi pengemis tua inilah tak-lain-tak-bukan adalah Jisupek Gian Tat-peng yang selama ini cuma dikenal namanya saja itu?" demikian ia tidak habis heran. Maka terdengar sipengemis tua itu sedang menjawab: "Suko, aku cuma mendapat sedikit rejeki yang tak berarti, tapi selama beberapa tahun ini usahamu tentu banyak kemajuan, bukan?"
"Terima kasih atas pujimu," sahut Ban Cin-san. "He, anak2, mengapa tidak lekas memberi hormat kepada Susiok?" Serentak Loh Kun dan lain2 lantas berlutut memberi hormat kepada pengemis tua itu dan berkata: "Terimalah hormat kami, Susiok!" "Sudahlah, sudahlah! Sambil memegang senjata, tentu tidak leluasa untuk menjura, maka boleh tak usahlah," seru pengemis tua itu dengan tertawa. Diam2 yakinlah Tik Hun: "Jika demikian, jadi pengemis ini memang betul Gian-supek adanya."
"Sute," demikian Ban Cin-san telah berkata pula, "ada apa kau menggali tanah didalam rumah sini? O, barangkali kau mengusahakan pertambangan, ya? Besar amat lubang yang kau gali ini?" Tapi sipengemis tua alias Gian Tat-peng itu tenang2 saja, ia tertawa dingin, lalu menjawab: "Dugaan Suheng salah semua. Soalnya musuh Siaute terlalu banyak, aku ingin bersembunyi disini, maka sengaja menggali lubang perlindungan ini. Tapi lubang inipun serta guna, jika musuh terbunuh oleh Siaute, maka sekalian aku lantas menguburnya disini dengan tidak perlu menggali liang kubur lain. Sebaliknya jika Siaute dibinasakan musuh, maka lubang inipun dapat dianggap sebagai tempat tidurku untuk se-lama2nya."
"Wah, bagus, bagus! Sute memang pintar berpikir!" demikian Ban Cin-san tertawa memuji. "Tapi badan Sute toh tidak terlalu gede, kulihat liang inipun sudah lebih dari cukup, rasanya tidak perlu menggali lebih dalam lagi."
"Benar, untuk mengubur seorang memang lebih dari cukup, tapi kalau untuk mengubur delapan orang mungkin masih kurang dalam," sahut Gian Tat-peng. Melihat kedua saudara perguruan itu begitu berhadapan sudah lantas perang mulut dengan kata2 tajam, tiba2 Tik Hun menjadi teringat kepada apa yang pernah diceritakan Ting Tian dahulu. Pikirnya: "Menurut cerita Ting-toako, katanya Suhu bersama Ban-supek dan Gian-supek bertiga telah mengeroyok dan membunuh guru mereka, Bwe Liam-seng. Sedangkan guru mereka sendiri saja dibunuh, apalagi diantara mereka masakah dapat diharapkan adanya hubungan persaudaraan yang baik? Menurut cerita Ting-toako (bacalah hal 38 jilid 2), katanya mereka bertiga telah berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh dari guru mereka, tapi tidak mendapatkan Kiam-koat yang merupakan inti rahasia dari pelajaran ilmu pedang itu. Padahal Kiam-koat itu melulu terdiri dari angka2 saja, katanya angka pertama adalah '4', angka kedua adalah '51', angka ketiga adalah '33', angka keempat adalah '53', angka kelima '18', angka keenam '7' dan .......... sampai ajalnya Ting-toako angka2 itupun belum selesai diucapkan. Bukankah Kiam-boh sudah mereka rebut dari guru mereka, mengapa sekarang mereka mencari lagi kesini?" Dalam pada itu Ban Cin-san telah berkata: "Sute yang baik, kita berdua adalah saudara seperguruan sejak kecil, kau cukup kenal pikiranku, akupun paham isi hatimu, buat apa mesti bicara secara ber-putar2! Mana, serahkan!" ~ Begitu kata2 terakhir itu dilontarkan, berbareng ia sodorkan tangannya kedepan. Namun Gian Tat-peng hanya geleng2 kepala, sahutnya: "Belum dapat kutemukan. Kelicinan Jik-losam memang harus diakui kita bukan tandingannya. Sampai sekarang aku masih belum dapat mengetahui dimanakah dia telah menyembunyikan Kiam-boh itu." Kembali Tik Hun terkesiap, pikirnya pula: "Agaknya sesudah mereka bertiga berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh dari guru mereka, kemudian Suhu berhasil pula mengangkangi sendiri kitab ilmu pedang itu. Tapi mengapa selama itu tiada terjadi apa2? Ya, tentu disebabkan Suhu dapat bertindak dengan sangat licin hingga selama itu perbuatannya tak diketahui oleh kedua Supek ini. Dan kalau Suhu tidak tinggal disini, dengan sendirinya Kiam-boh itu selalu dibawanya ke-mana2, masakah Kiam-boh itu dapat disembunyikan atau dipendam didalam rumah ini? Sekarang mereka membongkar-bangkir tempat ini, bukankah terlalu tolol perbuatan mereka itu?" Akan tetapi ia tahu sekali2 Ban Cin-san dan Gian Tat-peng itu bukan orang tolol, mungkin berpuluh kali, bahkan beratus kali lebih pintar dan cerdik daripada Tik Hun sendiri. Habis, rahasia dan muslihat apakah yang berselubung dibalik kesemuanya ini? Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san telah tertawa ter-bahak2. Katanya: "Sute, masakah kau perlu berlagak pilon lagi? Ha-ha, orang mengatakan Samsute kita adalah Tiat-soh-heng-kang, tipu-akalnya lihay, tapi menurut hematku, adalah Jisute kau yang lebih lihay. Mana serahkan!" Dan kembali ia menjulurkan kedua tangannya pula. Tapi Gian Tat-peng me-nepuk2 kantongnya yang kosong itu, sahutnya: "Jika sudah kudapatkan, masakah antara kita masih perlu di-beda2kan milikmu atau milikku? Jika barang itu dapat ketemukan, tentu akan kutunjukan secara terbuka, kita boleh melatihnya bersama dan kita dapat tukar pikiran pula, bukankah begini lebih baik. Bukan aku sengaja mem-besar2kan hal ini, tapi sesungguhnya Suheng, andaikan mestika itu kudapatkan, seorang diri saudaramu ini juga tak sanggup melatihnya, tapi mesti minta Suheng yang memegang pimpinan ini. Sebaliknya, hehe, seumpama Suheng yang menemukan mestika itu, biarpun anak muridmu cukup banyak, tapi kepandaian mereka masih hijau, maka perlu juga rasanya bantuan saudaramu ini untuk berkongsi."
"Kau sudah pernah mendatangi gua disana itu, apa yang telah kau ketemukan?" tanya Ban Cin-san. "Gua apa?" sahut Gian Tat-peng dengan heran. "Didekatan sini ada gua, maksudmu?"
"Sute," kata Cin-san, "kita adalah saudara seperguruan selama puluhan tahun, buat apa akhirnya mesti cekcok sendiri? Harap kau keluarkan saja, marilah kita mempelajari bersama, ada untung sama dirasakan, ada rugi sama dipikul."
"Sungguh aneh, mengapa kau yakin benar2 menuduh aku sudah memperolehnya?" tanya Tat-peng. "Jika betul aku sudah mendapatkan barangnya, buat apa aku masih susah-payah menggali disini?"
"Huh, banyak tipu akalmu yang licin, siapa tahu permainan apa yang sedang kau lakukan?" ujar Cin-san. "Suko, kau sendiri toh cukup kenal Samsute, masakah barangnya akan begini gampang kita ketemukan?" kata Tat-peng. "Menurut pendapatku, belum tentu pula disimpannya didalam rumah ini, bila menggali tiga hari masih belum kutemukan apa2, maka akupun tidak ingin meneruskan lagi penggalian ini."
"Haha, kukira lebih baik kau menggali sebulan atau dua bulan supaya permainan sandiwaramu ini bisa lebih hidup," jengek Ban Cin-san. Seketika air muka Gian Tat-peng berubah, segera ia bermaksud unjuk gigi, tapi sesudah dipikir pula, sedapat mungkin ia menahan gusarnya, sahutnya kemudian: "Suheng, cara bagaimana aku harus berbuat supaya kau mau percaya?" ~ Habis berkata, ia terus membuka jubahnya dan dibalik, ia kebas2 jubahnya itu, maka terdengarlah suara gemerincing yang nyaring, dari jubahnya itu jatuh beberapa tahil perak dan sebuah pipa tembakau, ia pun tidak menjemput kembali barang2 itu, tapi masih mengebas beberapa kali jubahnya itu. "Hm, memangnya kau begitu bodoh, masakah kau membawanya didalam bajumu?" kata Ban Cin-san. "Ya, andaikan kau bawa, tentu juga kau simpan dibagian dalam, tidak mungkin kau taruh disaku luar." Gian Tat-peng menghela napas, sahutnya: "Jikalau Suheng tetap tidak percaya, ya apa boleh buat, silakan menggeledah badan Siaute saja."
"Maafkan kalau begitu," kata Cin-san. Lalu ia memberi tanda kepada Ban Ka dan Sim Sia. Kedua pemuda itu mengangguk tanda tahu, lalu mereka memasukkan pedang mereka kesarungnya, dari kanan-kiri segera mereka mendekati Gian Tat-peng. Menyusul Ban Cin-san memberi isyarat pula kepada Bok Heng dan Loh Kun, kedua orang itu pelahan2 lantas menggeser kebelakang Gian Tat-peng dengan pedang tetap terhunus. Dalam pada itu Gian Tat-peng telah tepuk2 lagi saku baju dalam dan berkata: "Nah, silakan geledah!"
"Maaf, Susiok," kata Ban Ka, terus saja ia mengulur tangannya kedalam saku sang paman guru. Tapi mendadak ia menjerit tajam sekali, cepat ia menarik kembali tangannya, waktu diperiksa dibawah sinar obor yang terang itu, maka tertampaklah dipunggung tangannya terdapat seekor ketungging yang besar. Rupanya sangat kesakitan hingga Ban Ka ber-jingkrak2, "plok", cepat ia baliki tangan dan menggablok ketepi tanggul liang galian, seketika ketungging berbisa itu terpukul hingga hancur. Tapi punggung tangannya sudah terkena bisa binatang itu, kontan saja terus abuh. Ban Ka masih berlagak jagoan, sedikitpun ia tidak sudi merintih, tapi keringat dingin dijidatnya sudah lantas merembes keluar ber-butir2 sebesar kedelai. Kemudian terdengar Gian Tat-peng berseru kaget: "Ai, Ban-hiantit, darimanakah kau mendapatkan serangga berbisa seperti itu? Wah itu adalah ketungging loreng, lihaynya tidak kepalang. Suko, hayolah lekas, lekas, kau membawa obat penawar racun tidak? Kalau terlambat sebentar lagi, wah tentu celaka, tentu celaka!" Maka tertampak punggung tangan Ban Ka yang abuh itu dari warna merah berubah menjadi matang biru, lalu menjadi hitam, ada satu garis merah pelahan2 menaik kearah lengan. Namun Ban Cin-san insaf telah terjebak oleh tipu keji sang Sute, karena sudah kepepet, terpaksa ia menahan perasaannya dan berkata: "Sute, kakakmu ini terimalah menyerah padamu, aku mengaku kalah sudah, harap kau berikan obat penawarnya dan kami lantas pergi, untuk seterusnya kami takkan datang kembali untuk merusuhi kau lagi. "Tentang obat penawar, ya, dulu aku memang punya, tapi kemudian, lama kelamaan entah tertaruh dimana, biarlah lewat beberapa hari lagi akan kucarikan dan mungkin akan dapat diketemukan. Pabila tidak, nanti aku akan pulang ke Tay-beng-hu untuk mencari resep obat itu dan membelikannya diapotik. Ya, apa mau dikata, habis kita sesama saudara seperguruan sih." Mendengar jawaban itu, sungguh dada Ban Cin-san hampir2 meledak saking gusarnya. Luka terpagut ular atau diatup ketungging seperti itu dalam waktu singkat saja jiwa penderita mungkin akan melayang, asal garis merah yang mulai menaik ke lengan itu menembus sampai didada, maka kontan penderita itu akan terbinasa, tapi sang Sute enak2 bicara tentang "lewat beberapa hari lagi obat penawar itu akan dicari" dan katanya akan cari resepnya dulu ke Tay-beng-hu, padahal jarak Tay-beng-hu itu be-ribu2 li jauhnya, bahkan secara tidak kenal malu mengatakan pula tentang hubungan baik sesama saudara seperguruan apa segala.
Tapi apa daya, jiwa putera kesayangannya tergantung diujung rambut, terpaksa Ban Cin-san menahan perasaannya, seorang laki2 hendak membalas dendam masih belum terlambat untuk menunggu sepuluh tahun lagi. Maka katanya pula: "Sute, harini sudah terang aku terjungkal habis2an. Apa yang kau inginkan, hendaknya kau katakan terus terang saja." Gian Tat-peng benar2 seorang licik, biar orang kerupukan setengah mati, tapi ia justeru bersikap ngular kambang, dengan pe-lahan2 ia miring kepala untuk memikir, habis itu barulah ia menjawab: "Suko, apa sih keinginan yang kuharapkan dari kau? Sudahlah, kau suka bagaimana dan aku akan menurut saja." Diam2 Ban Cin-san gemas tidak kepalang, didalam hati ia bersumpah: "Baik, sedemikian kau mendesak diriku, sedikitpun tidak mau mengalah, pada suatu hari kelak pasti aku akan suruh kau kenal akan kelihayanku." ~ Dan lahirnya ia tenang2 saja dan menjawab: "Baiklah aku berjanji untuk selanjutnya takkan bertemu lagi dengan Sute, kalau aku meng-utik2 apa2 lagi kepada Sute anggaplah aku orang she Ban ini bukan manusia."
"Ai, mana aku berani terima sumpahmu seberat itu," ujar Gian Tat-peng dengan senyum culas. "Begini, aku hanya mohon Suko menyatakan bahwa 'Soh Sim Kiam-boh" itu diakui sebagai milik Gian Tat-peng. Kalau yang menemukan kelak adalah Gian Tat-peng sendiri itulah tidak perlu lagi dipersoalkan, tapi umpama Suko yang menemukan, maka juga harus diserahkan kepada Sutemu ini." Dalam pada itu separoh tubuh Ban Ka sudah kaku lumpuh, hawa racun pelahan2 mulai menyerang otaknya hingga kepalanya terasa pening, mata menjadi gelap, tubuhnya sempoyongan, tanpa kuasa lagi ia berkelejetan seperti orang kena penyakit ayan. "Sute, Sute!" seru Loh Kun dengan kuatir, cepat ia maju untuk memayang Ban Ka. Waktu di periksa lengannya, ternyata garis merah itu sudah lewat ketiak dan menjurus kedada. Cepat ia berpaling kepada Ban Cin-san dan berseru: "Suhu, segala permintaannya kita sanggupi saja!" Dibalik kata2nya itu se-olah2 menyatakan bahwa kita terpaksa menerima syaratnya, tapi kelak kita masih dapat ingkar janji dan membalas sakit hati. Ban Ka adalah putera tunggal kesayangan Ban Cin-san, dengan sendirinya jago "Ngo-in-jiu" itu tidak dapat menyaksikan puteranya itu mati konyol begitu saja, terpaksa ia lantas berseru: "Baiklah, 'Soh-sim-kiam-boh' itu anggaplah sebagai milik Sute. Kionghi. Kionghi!"
"Jika begitu, biarlah kucari dulu kedalam kamar sana, boleh jadi aku akan mendapatkan obat penawar apa yang berguna, hal ini tergantunglah nasib Ban-hiantit sendiri yang entah akan mujur atau malang." Habis berkata, tetap dengan caranya yang ngular kambang ia bertindak kedalam. Segera Ban Cin-san mengedipi Loh Kun dan Bok Heng dan segera kedua pemuda itupun ikut masuk kedalam. Selang agak lama, tunggu punya tunggu ketiga orang itu masih belum keluar, suara merekapun tidak kedengaran. Sebaliknya keadaan Ban Ka semakin payah, sudah dalam keadaan tak sadarkan diri dan tak berkutik lagi bersandar dalam pegangan Sim Sia. Keruan Ban Cin-san semakin kelabakan bagaikan orang kebakaran jenggot. Segera ia berkata kepada muridnya yang lain, yaitu Pang Tam: "Coba kau lihat kedalam sana!" Pang Tan mengiakan, tapi belum lagi ia bertindak, sementara itu tertampak Gian Tat-peng sudah berjalan keluar dengan muka ber-seri2 dan berkata: "Untung, untung! Ini, dapat kutemukan ~ sembari berkata ia lantas unjukan sebuah botol porselen kecil dan menyambung pula: "Ini adalah obat penawar racun, tentu akan manjur sekali untuk menyembuhkan racun antupan ketungging." Habis berkata, ia terus mendekati Ban Ka, ia membuka sumbat botol dan menuang keluar sedikit obat bubuk warna hitam, ia bubuhkan obat dipunggung tangan Ban Ka sambil berkata: "Ban-hiantit, agaknya nasibmu masih mujur!" Obat penawar itu ternyata sangat mustajab, hanya sekejap saja dari luka itu lantas merembes keluar air hitam dan menetes ketanah, makin lama makin banyak darah hitam yang menetes itu dan garis merah dilengan Ban Ka itupun pelahan2 menurun kembali kepergelangan tangan. Ban Cin-san menghela napas lega, tapi mendongkol pula. Jiwa puteranya memang telah dapat diselamatkan, tapi pamornya sekarang benar2 bangkrut habis2an. Bertempur saja belum dan dia mesti mengaku kalah, bukankah hal ini terlalu penasaran baginya? Selang tak lama pula, achirnya Ban Ka membuka mata dan memanggil: "Ayah!" Lalu Gian Tat-peng menutup kembali botolnya dan menyimpannya kedalam baju, katanya dengan tertawa: "Nah, selamat jalan, aku tidak menghantar, ya!"
"Panggil mereka keluar," kata Ban Cin-san kepada Sim Sia, maksudnya kedua muridnya yang menyusul Gian Tat-peng keruangan belakang tadi. Sim Sia mengiakan, lalu menuju keruangan belakang sambil berseru: "Loh-suko, Bok-suko, hayolah lekas keluar, kita akan berangkat!" Tapi ia tidak mendapat sahutan seorangpun, kembali ia menggembor lagi beberapa kali dan tetap sunyi senyap tiada suara apa2. Tanpa menunggu perintah sang Suhu lagi segera Sim Sia menerjang kebelakang. Namun sial benar2, sekali ia sudah masuk, untuk selanjutnya iapun tidak keluar lagi. Keruan Ban Cin-san curiga dan kuatir, tapi segera iapun sadar: "Didalam rumah keparat Gian Tat-peng ini kalau bukan ada jagoan silat lihay, tentu didalam situ dipasang perangkap rahasia apa2 hingga ketiga muridku sekali masuk lantas terjebak tipu muslihatnya. Dalam keadaan demikian biarpun aku memohon lagi dengan merendah diri juga tiada gunanya." Karena pikiran itu, tanpa bicara segera ia lolos pedang, sekali bergerak, kontan ia menusuk keleher Gian Tat-peng. Selamanya Tik Hun belum pernah melihat sang Toasupek Ban Cin-san mengunjukan ilmu silatnya, kini melihat tusukannya itu sangat kuat dan keji pula, diam2 ia memuji: "Ehm, bagus, serangannya ini sangat tepat." Hendaklah diketahui bahwa kepandaian Tik Hun sekarang sudah luar biasa, maka setiap permainan silat orang lain baginya boleh dikata seperti mengambil barang disaku sendiri gampangnya, apakah permainan silat orang itu salah atau benar dengan segera akan dapat diketahui olehnya. Ia melihat serangan pertama Ban Cing-san itu sedikitpun tiada tempat kelemahan, maka dapat diduga ilmu silat sang paman guru itu memang tidak rendah.
Begitulah maka Gian Tat-peng telah mengegos untuk hindarkan tusukan Ban Cin-san tadi, menyusul kedua tangannya yang memegangi tongkat tadi mendadak dipentang, tahu2 tongkat itu putus menjadi dua, "creng", tahu2 tangannya telah bertambah sebatang pedang yang gemilapan menyilaukan mata. Kiranya tongkat itu sebenarnya adalah senjata "dwi-guna", boleh dipakai sebagai tongkat dan dapat pula digunakan sebagai pedang bila ujung tongkat yang berukir kepala naga itu ditarik, maka kepala naga itu akan berubah tugasnya menjadi garan pedang dan bagian tongkat yang bawah sebenarnya adalah sarung pedang.
Maka begitu pedang sudah dilolos, segera Gian Tat-peng melancarkan serangan balasan hingga dalam sekejap saja terdengarlah suara "trang-tring" yang nyaring, kedua saudara seperguruan itu lantas saling labrak ditengah lubang galian luas itu. Sejak tadi para kuli kampung itu sudah kuatir menyaksikan pertengkaran mulut kedua orang itu, kini melihat mereka mulai saling tempur dengan senjata, keruan kuli2 kampung itu bertambah ketakutan hingga mereka sama menyingkir kepojok ruangan dan tiada seorangpun yang berani membuka suara. Tik Hun juga pura2 ketakutan, tapi diam2 iapun perhatikan pertarungan kedua paman guru itu. Sesudah mengikuti belasan jurus lagi, diam2 Tik Hun merasa gegetun, pikirnya: "Tenaga dalam kedua Supek ini mengapa begitu cetek? Meski tipu serangan mereka masing2 ada keunggulannya sendiri2, tapi kalau kebentur lawan yang punya Lwekang tinggi, sekali senjata beradu, sekali gebrak saja pasti senjata mereka akan mencelat keudara, jangan lagi hendak bicara serang-menyerang segala? Dan kalau kedua Supek ini ingin ilmu silat mereka tambah maju, mereka harus mulai dengan memupuk tenaga dalam, kalau tiada memiliki tenaga dalam yang kuat, sekalipun mendapatkan Soh-sim-kiam-boh juga tiada gunanya. Apalagi usia mereka sudah lanjut begini, untuk melatih Lwekang agaknya juga sudah susah." Dan setelah mengikuti beberapa jurus pula, kembali ia lebih gegetun lagi: "Nyata sekali ilmu silat Lau Seng-hong berempat pendekar yang bergelar "Lok-hoa-liu-ciu" adalah jauh lebih tinggi daripada kedua Supek ini. Kulihat ilmu silat kedua Supek ini memang sejak mula sudah sesat jalan, melulu mengutamakan perubahan2 tipu serangan yang indah dipandang, tapi sebenarnya tak berguna. Mereka tidak pikir cara bagaimana harus memupuk tenaga dalam yang merupakan landasan ilmu silat. Apakah sebabnya mereka bisa salah? Ya, aku menjadi ingat, dahulu waktu Suhu mengajarkan ilmu pedang padaku juga demikian caranya dia memberi petunjuk. Agaknya mereka, Ban-supek, Gian-supek dan Suhu bertiga saudara seperguruan memang
beginilah memperoleh didikan dari Suco (kakek guru). Pada hal ilmu silat kembangan begini kalau ketemukan lawan yang bertenaga dalam sedikit lebih kuat, maka silat kembangan mereka ini seketika tiada gunanya sama sekali. Ya, sungguh aneh, mengapa mereka belajar ilmu pedang cara begini?" Begitulah Tik Hun tidak habis mengerti oleh cara belajar silat Suhu dan kedua Supeknya itu. Dalam pada itu dilihatnya Sun Kin, Pang Tan dan Go Him bertiga juga sudah mulai mengerubut maju, mereka tidak pikirkan pula tentang peraturan Kangouw apa segala. Maka tertawalah Gian Tat-peng dengan ter-bahak2: "Bagus, bagus! Toasuko, makin lama makin jempol kau! Sekian banyak begundalmu yang kau bawa untuk mengeroyok Sutemu ini!" ~ Meski ia bersikap tenang2 saja seperti tak terjadi apa2, tapi permainan pedangnya sudah mulai kacau menghadapi empat lawan itu.
Pikir Tik Hun pula: "Ilmu pedang kedua Supek masing2 mempunyai keunggulannya sendiri2. Dahulu Gian-supek telah mengajarkan tiga jurus 'Ji-koh-sik', 'Ni-kong-sik' dan 'Gi-kiam-sik' padaku hingga aku dapat melabrak habis2an kedelapan Ban-bun-tecu, tapi kini ia sendiri menggunakan tipu2 serangan itu untuk menghadapi Ban-supek ternyata tiada sedikitpun gunanya. Ai, mengapa mereka tidak paham bahwa ilmu pedang yang indah2 permainannya kalau tidak dilandasi dengan tenaga dalam yang kuat, apa sih gunanya? Dan sungguh aneh, mengapa mereka tidak tahu hal ini?" Se-konyong2 dalam benaknya terkilas sesuatu kejadian dimasa lampau: "Menurut cerita Ting-toako mengenai asal-usul Sin-ciau-keng, nyata Suco Bwe Liam-sing pasti paham betapa pentingnya landasan Lwekang tapi mengapa beliau tidak mengatakan kepada ketiga muridnya? Jangan2 ?? jangan2 ?." ~ berpikir sampai disini, tanpa merasa ia menggigil dan keringat dingin merembes keluar dipunggungnya, badannya gemetar sedikit. Seorang kampung disebelahnya yang berusia sudah tua tiada hentinya menyebut Budha dan berdoa: "Omitohud, Omitohud! Semoga jangan terjadi pembunuhan disini. Adik cilik, jangan takut, jangan takut!"
Rupanya ia melihat Tik Hun gemetar, maka disangkanya pemuda itu ketakutan oleh pertarungan sengit itu, maka orang tua itu lantas menghiburnya. Padahal hatinya sendiri sebenarnya juga sangat ketakutan. Begitulah sekali Tik Hun sudah dapat menerka dimana letak keganjilan itu, cuma hal ini terlalu keji dan penuh kepalsuan hati manusia, maka ia tidak ingin banyak memikirkan pula, bahkan tidak ingin membentangkan satu jalan pikiran yang membenarkan pendapatnya itu. Namun Tik Hun tadi sudah berhasil memecahkan teka-teki yang ganjil itu, dengan sendirinya segala sesuatu hal yang paling kecil sekalipun juga akan dapat diarahkan kesitu. Dan setiap gerak serangan Ban Cin-san dan ketiga muridnya itu selalu menambah dan membuktikan kebenaran pendapat Tik Hun itu. "Ya, ya, tidak salah lagi, tentu beginilah halnya. Tetapi, ah apa mungkin? Sebagai guru masakah bisa berlaku sekeji ini? Tidak, tidak bisa ~ namun jika bukan begitu, mengapa bisa begini? Sungguh sangat aneh?" Akhirnya terbayanglah suatu adegan yang sangat jelas dalam benaknya. "Beberapa tahun yang lalu, itulah ditempat yang sama ini, aku dan Jik Hong sumoay sedang latihan dan Suhu berdiri disamping untuk memberi petunjuk. Suhu telah mengajarkan suatu jurus yang indah dan aku telah melatihnya dengan giat. Tapi ketika untuk kedua kalinya aku bertanya apa yang Suhu ajarkan lantas tidak sama lagi, gayanya sih tetap sangat bagus tapi sudah berbeda daripada yang pertama. Tatkala itu aku mengira ilmu pedang Suhu itu terlalu hebat dan banyak perubahannya, tapi kini demi dipikir sebab apakah satu jurus ilmu pedang bisa ber-beda2 cara mengajarkan, maka terang gamblang sekali dapat kuketahui sekarang. Mendadak ia merasa sangat berduka, sangat sedih, pikirnya pula: "Suhu telah sengaja menyesatkan aku, sengaja mengajarkan ilmu pedang yang tidak baik padaku. Sebenarnya kepandaiannya cukup tinggi, tapi ia sengaja mengajarkan padaku ilmu pedang yang cuma indah dipandang tapi tidak berguna dipakai ??.. dan Ban-supek juga begitu, kepandaiannya terang jauh berbeda daripada para anak muridnya ini ?." Dalam pada itu dilihatnya Gian Tat-peng sedang beraksi pula, tangan kiri bergaya, dan tangan kanan bergerak, ujung pedang disendal hingga ber-putar2 dalam bentuk lingkaran2, lalu dengan cepat luar biasa terus menusuk kedada lawan. Sebaliknya Ban Cin-san juga cepat menangkis, pedangnya menabas melintang ber-ulang2, lawannya tujuh kali memutar pedang, iapun menabas tujuh kali hingga lingkaran2 kecil pedang lawan dipecahkan semua olehnya. Menyaksikan itu, kembali Tik Hun berpikir pula: "Ketujuh lingkaran2 itu sebenarnya tidak perlu, sebab paling achir toh dia menusuk kedada Ban-supek, jika begitu, mengapa tidak terus langsung menusuk saja, bukankah lebih cepat dan lebih ganas? Sebaliknya Ban-supek juga menabas dan menangkis lingkaran2 kecil itu, nampaknya memang bagus, tapi sebenarnya gobloknya keliwat. Kalau dia balas menusuk keperut Gian-supek, bukankah sejak tadi dia sudah menang!" Mendadak benaknya terbayang pula suatu adegan dimasa dahulu. Waktu itu dia sedang berlatih bersama sang Sumoay Jik Hong. Banyak juga variasi ilmu pedang yang dimainkan Jik Hong, sebaliknya ia sendiri agak lupa kepada tipu jurus yang diajarkan oleh suhunya hingga dia terdesak kalang-kabut oleh serangan Jik Hong, ber-ulang2 terpaksa ia mundur. Dan selagi Jik Hong mencecar pula tiga kali hingga dia kelabakan takbisa menangkis, nampaknya pasti dia akan kalah, pada saat sudah kepepet inilah ia tidak memikirkan apa yang pernah dipesan sang guru lagi, tapi pedangnya diangkat untuk menangkis sekenanya, menyusul terus menusuk kedepan. Aneh juga, serangan Jik Hong itu tampaknya bergaya indah dan lihay, dan tangkisan Tik Hun tampaknya kaku ngawur, tapi malah serangan Jik Hong itu dapat dipatahkan, bahkan tusukan Tik Hun terus mengancam ke pundak Jik Hong. Sedang Tik Hun bingung karena tak sempat menarik kembali tusukannya itu, se-konyong2 Jik Tiang-hoat melompat maju dengan membawa sepotong kayu, cepat ia sampuk hingga pedang Tik Hun kena dihantam jatuh terpental. Dalam pada itu Jik Hong dan Tik Hun sudah kaget setengah mati. Maka Jik Tiang-hoat telah damperat Tik Hun mengapa tidak menurut petunjuk ajaran sang guru, tapi main ngawur. Tatkala itu Tik Hun juga pernah memikir: "Aku menyerang secara 'ngawur', tapi mengapa malah menang?" Tapi pikiran itu hanya sekilas saja lantas hilang. Segera terpikir olehnya: "Ya, mungkin ilmu pedang Sumoay sendiri pun kurang sempurna, bila betul2 ketemukan lawan tangguh, caraku ngawur tadi tentu akan bikin celaka diri sendiri." Begitulah sama sekali ia tidak pikirkan bahwa tipu serangan yang dilontarkan secara mendadak itu sebenarnya jauh lebih hebat dan lebih praktis daya gunanya. Dan kalau dipikir sekarang, terang berbeda sama sekali pendapatnya. Kini ilmu silat Tik Hun sudah sempurna, dengan terang gamblang ia dapat melihat dengan jelas bahwa diantara permainan silat Cin-san dan Gian Tat-peng itu hanya gerak kembangan yang tiada gunanya, sedangkan apa yang diajarkan Ban Cin-san kepada muridnya dan apa yang diajarkan Jik Tiang-hoat kepada Tik Hun, gerak tipu yang tak berguna itu lebih banyak pula. Nyata sekali bahwa Suco Bwe Liam-sing sebenarnya sudah tahu bahwa jiwa ketiga muridnya itu tidak jujur, maka diwaktu mengajar sengaja menyesatkan mereka kejalan yang tidak benar. Kemudian waktu Ban Cin-san dan Jik Tiang-hoat mengajar kepada muridnya, jalan sesat itu menjadi makin jauh lagi. Sungguh Tik Hun tidak habis mengarti, dengan tipu serangan yang tidak berguna itu kalau dipakai bertempur melawan musuh, itu berarti menyerahkan jiwa sendiri kepada musuh. Mengapa Suco, Supek dan Suhu begitu keji dan kejam? Mengapa mereka begitu culas. Sambil memandangi muka Gian Tat-peng, kemudian Tik Hun mendadak ingat sesuatu kejadian dimasa dahulu. Yaitu pada hari Bok Heng datang untuk mengundang gurunya menghadiri perayaan ulang tahun sang Supek. Tatkala itu ia sedang berlatih dengan Jik Hong, mendadak terdengar suara orang tertawa dibalik onggok jerami sana, waktu Suhunya memeriksa kesana, kiranya adalah seorang pengemis tua yang sedang menjemur diri dibawah sinar matahari sambil mencari tuma dibajunya yang rombeng itu. Tatkala itu Suhu tidak tahu, padahal sebenarnya pengemis tua itu adalah samaran Gian Tat-peng. Senantiasa Gian-supek itu mengintai disekitar rumah tinggal Suhunya itu untuk mencari sesuatu dan sudah tentu yang dicari adalah Soh-sim-kiam-boh, malahan sampai sekarang kedua Supek itu masih bertempur memperebutkan kitab pusaka itu. Begitulah jika disana Tik Hun sedang mengelamun mengenangkan kejadian2 dahulu, adalah ditengah kalangan pertempuran sana Ban Cin-san masih saling labrak dengan sengit bersama Gian Tat-peng. Tapi karena Ban Cin-san mengeroyok bersama ketiga muridnya, maka Gian Tat-peng makin lama makin terdesak. Se-konyong2 Sun Kin menusuk kepunggung Gian Tat-peng, tapi cepat Tat-peng sempat membaliki pedangnya untuk menangkis, berbareng pedangnya menyabat kebawah, maka menjeritlah Sun Kin, "trang" pedangnya jatuh ketanah, pergelangan tangannya juga luka terkena senjata lawan. Dan pada saat yang hampir sama itu, kesempatan itu telah digunakan dengan baik oleh Ban Cin-san, "cret" pedangnya juga kena menggores suatu luka panjang di lengan kanan Gian Tat-peng. Sambil mengikuti pertarungan Ban Cin-san melawan Gian Tat-peng itu. Tik Hun menjadi ter-heran2 mengapa tipu2 serangan mereka hanya indah dalam gaya permainan saja, tapi sama sekali tidak berlandaskan Lwekang? Karena kesakitan, cepat Tat-peng mengoperkan pedangnya ketangan kiri. Dan sudah tentu ia kurang biasa menggunakan pedang dengan tangan kiri, apalagi lukanya juga tidak ringan, darah mengucur membasahi tubuhnya, maka setelah beberapa jurus lagi, kembali bahu-kirinya tertusuk pula oleh pedang Ban Cin-san. Para kuli kampung yang menonton disamping itu menjadi pucat ketakutan, mereka saling berbisik menyatakan kekuatiran mereka akan kemungkinan terjadinya perkara jiwa, tapi tiada seorangpun diantara mereka yang berani bersuara keras. Sebaliknya Ban Cin-san sudah bertekad harus membunuh sang Sute, maka serangan2nya semakin gencar dan semakin keji. "Cret", kembali dada kanan Gian Tat-peng kena tertusuk lagi. Tampaknya dalam berapa jurus lagi jiwa Gian Tat-peng pasti akan melayang dibawah pedang sang Suheng, tapi toh dia masih melawan mati2an, sepatahkatapun dia takmau minta ampun. Rupanya ia cukup kenal watak sang Suheng yang culas, apalagi selama belasan tahun mereka telah "perang dingin" secara diam2, kalau dia minta ampun, itu berarti akan makin dihina dan tidak mungkin berguna. Dalam pada itu Tik Hun sedang memikir: "Dahulu waktu di Hengciu, Gian-supek pernah menolong aku dari labrakan sibandit besar Lu Thong, malahan iapun mengajarkan tiga jurus ilmu pedang padaku hingga aku terhindar dari aniaya dan hinaan murid2nya Ban-supek. Sebelum aku membalas budinya ini, mana boleh aku menyaksikan dia mati ditangan orang." Karena itu Tik Hun pura2 gemetar ketakutan, tapi cangkul yang dipegangnya itu telah siap mengeduk tanah. Pada saat lain dilihatnya pedang Ban Cin-san kembali menusuk lagi keperut Gian Tat-peng dan tampaknya Gian Tat-peng sudah tak sanggup menangkis lagi, pada detik itulah secepat kilat Tik Hun sendalkan cangkulnya, kontan segumpal tanah melayang kearah Ban Cin-san. Tenaga sambaran gumpalan tanah itu tak terkatakan kuatnya, karena tertumbuk oleh tenaga itu, seketika Ban Cin-san tak tahan, "bluk", kontan ia jatuh terjungkal. Oleh karena diluar dugaan, maka tiada seorangpun yang tahu darimana datangnya gumpalan tanah itu. Dan selagi suasana agak panik, tanah cangkul Tik Hun yang kedua kalinya telah menghambur lagi, tapi sekali ini yang diarah adalah lentera minyak dan lilin ditepi meja sana, maka dalam sekejap itu padamlah lilin dan lentera, dalam rumah menjadi gelap gelita disertai suara jerit kaget orang banyak. Dan pada saat lain Tik Hun lantas melompat maju, cepat ia kempit Gian Tat-peng terus menerjang keluar. Setiba diluar rumah, segera Tik Hun tutuk beberapa Hiat-to penting dipundak, dada dan lengan untuk menahan keluarnya darah dari luka Gian Tat-peng itu. Lalu ia panggul sang Supek, ia keluarkan Ginkangnya yang tinggi terus berlari secepat terbang kearah pegunungan dibelakang rumah. Karena Ginkangnya hebat, tempat disekitar situ juga sangat dikenalnya, maka Tik Hun terus berlari menuju kelereng gunung yang paling terjal dan susah ditempuh. Gian Tat-peng menggemblok diatas pundak pemuda itu merasa badannya se-akan2 me-layang2 di-awang2 dan mirip dialam mimpi saja. Sekalipun ia sudah kenyang asam-garam kalangan Kangouw, tapi susah disuruh percaya bahwa didunia ini ternyata ada tokoh silat setinggi ini. Begitulah jalan yang dituju oleh Tik Hun itu makin lama makin tinggi, kira2 lebih satu jam, akhirnya tibalah diatas puncak gunung yang paling tinggi disekitar situ. Puncak gunung itu menjulang tinggi menembus awan, jangankan orang lain susah mendaki kesitu, biarpun Tik Hun sendiri juga baru pertama kali ini datang kesitu. Dahulu ia dan Jik Hong sering memandangi puncak gunung ini dari jauh dan bersenda-gurau secara ke-kanak2an, siapa duga harini kebetulan dia menolong jiwa seorang, maka didatanginya puncak gunung ini. Kemudian ia letakan Gian Tat-peng ditepi sebuah batu cadas, lalu ia tanya: "Kau membawa obat luka atau tidak?" Tanpa menjawab, tapi Gian Tat-peng terus berlutut dan menyembah, katanya: "Siapakah nama Inkong (tuan penolong) yang mulia? Hari ini Gian Tat-peng selamat berkat pertolonganmu, sungguh budi setinggi langit ini entah cara bagaimana harus kubalas." Tik Hun adalah orang jujur tulus, meski ia tidak ingin memberitahukan siapa dirinya sendiri, tapi ia pun merasa tidak pantas menerima penghormatan sang Supek, maka cepat iapun berlutut dan balas menyembah, sahutnya: "Cian-pwe jangan banyak adat hingga membikin hati Cayhe merasa tidak enak. Cayhe adalah seorang 'Bu-beng-siau-cut' (perajurit tak bernama, keroco), namaku tiada harganya untuk dikenal, tentang sedikit urusan ini kenapa mesti bicara soal membalas budi segala." Tapi Gian Tat-peng masih berkeras ingin tahu. Sebaliknya Tik Hun tidak dapat membohong dengan nama palsu, hanya tetap ia takmau beritahukan namanya. Gian Tat-peng tahu bahwa banyak tokoh2 kosen dari dunia persilatan yang suka mengasingkan diri dan menghapuskan namanya dari pergaulan ramai, dari itu iapun tidak berani mendesak terus, kemudian ia mengeluarkan obat luka yang dibawanya dan membubuhkan dilukanya sendiri. Melihat luka2 diatas tubuh sendiri itu, mau-tak-mau Gian Tat-peng merasa ngeri dan bersyukur pula, pikirnya: "Untung ada tua penolong ini, kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah menjadi almarhum?" Lalu Tik Hun mulai membuka suara: "Cayhe ada beberapa persoalan yang susah dimengerti, maka ingin minta penjelasan pada Cianpwe."
"Janganlah Inkong menyebut diriku sebagai Cianpwe," kata Tat-peng dengan merendah. "Jika Inkong ada pertanyaan apa2, asalkan Tat-peng tahu, tentu akan kukatakan se-jujur2nya, sedikitpun tidak berani berdusta."
"Bagus sekali, inilah yang kuharapkan," kata Tik Hun. "Nah tolong tanya Cianpwe, apakah gedung itu adalah kau yang membangunnya?"
"Benar," sahut Tat-peng. "Cianpwe sengaja mengupahi orang buat menggali lubang besar itu, tentunya ingin mencari 'Soh-sim-kiam-boh' itu, dan apakah sudah diketemukannya?" tanya Tik Hun pula. Tat-peng terkesiap, pikirnya: "Ai, kukira dia menolong aku dengan maksud baik, tak tahunya juga seorang yang lagi mengincar 'Soh-sim-kiam-boh'." ~ Tapi mau-tak-mau iapun menjawab: "Sudah banyak jerih-payah yang kukorbankan, tapi sampai saat ini belum memperoleh sedikit tanda2 yang berguna. Harap Inkong maklum bahwa apa yang kukatakan ini adalah sesungguhnya. Pabila Tat-peng sudah memperoleh apa yang dicari itu, tentu akan kupersembahkan dengan kedua tangan. Sedangkan jiwaku juga Inkong yang menolong, masakah aku masih sayangkan benda yang toh takkan berguna jika jiwa sudah melayang."
"Eh, jangan kau salah sangka," kata Tik Hun sambil goyang2 tangannya. "Aku sendiri tidak inginkan Kiam-boh itu, untuk bicara terus terang, meski kepandaianku cuma biasa saja, tapi aku yakin kalau cuma kitab seperti 'Soh-sim-kiam-boh' apa itu, rasanya belum tentu akan berpaedah bagiku."
"Ya, ya, memang!" kata Tat-peng. "Ilmu silat Inkong sudah tiada taranya dan dijaman ini tiada tandingannya, sedangkan 'Soh-sim-kiam-boh' itu hanya sejilid kitab pelajaran ilmu pedang yang biasa saja. Kami bersaudara perguruan karena ingin memperoleh kitab pusaka perguruan sendiri, maka sangat menilai tinggi atas kitab itu, padahal dimata orang luar itu cuma kitab yang tiada artinya." Biarpun Tik Hun adalah seorang tulus dan tidak pandai ber-liku2, tapi ia dapat juga mendengar apa yang dikatakan Gian Tat-peng ada yang tidak jujur, namun iapun tidak membongkar kebohongan orang itu, tapi ia bertanya lagi. "Kabarnya tempat ini adalah kediaman lama Sutemu Jik Tiang-hoat. Katanya Jik Tiang-hoat itu berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang', apakah artinya julukan itu?" Sejak kecil Tik Hun dibesarkan oleh gurunya, apa yang dilihatnya selama itu adalah sang guru itu seorang tua pedusunan yang jujur dan lugu, tapi Ting Tian justeru mengatakan bahwa gurunya adalah seorang yang banyak tipu akalnya sebab itulah ia sengaja tanya Gian Tat-peng untuk mengecek kebenaran apa yang dikatakan Ting Tian itu. Maka terdengar Gian Tat-peng telah menjawab: "Suteku Jik Tiang-hoat memang berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang', yaitu orang memperumpamakan dia itu laksana seutas rantai besi besar yang melintang dipermukaan sungai hingga semua lalu-lintas air itu takbisa naik dan takdapat turun, artinya mengatakan Jik-sute itu seorang yang banyak tipu muslihatnya, caranya keji pula terhadap orang." Sungguh hati Tik Hun sangat menyesal, pikirnya: "Apa yang dikatakan Ting-toako itu ternyata sedikitpun tidak salah. Guruku ternyata benar seorang yang demikian, sejak kecil aku telah tertipu olehnya dan beliau selamanya juga tidak pernah mengunjukan watak aslinya padaku." ~ Namun demikian dalam hatinya tetap timbul sekelumit harapan, maka tanyanya pula: "Juluk orang Kangouw itu belum tentu dapat dipercaya penuh, boleh jadi musuhnya yang sengaja memberikannya julukan itu untuk meng-olok2nya. Sebagai sesama saudara perguruan, tentunya Gian-cianpwe cukup kenal bagaimana wataknya, nah, sebenarnya bagaimanakah wataknya itu?" Gian Tat-peng menghela napas, kemudian katanya: "Bukanlah aku sengaja hendak membicarakan kejelekan saudara perguruanku sendiri, tapi karena Inkong ingin tahu, Cayhe tidak berani berdusta sedikitpun, maka biarlah kukatakan terus terang. Jik-suteku itu lahirnya memang kelihatan seperti orang desa yang ke-tolol2an, tapi sebenarnya hatinya licin, pikirannya tajam. Kalau tidak, masakah 'Soh-sim-kiam-boh' itu dapat jatuh kedalam tangannya?" Tik Hun manggut2, selang sejenak barulah ia berkata pula: "Darimana kau tahu dengan pasti bahwa 'Soh-sim-kiam-boh' itu berada padanya? Apa kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri? Menurut kabar, katanya engkau suka menyamar sebagai seorang pengemis tua, apakah benar?" Diam2 Gian Tat-peng terkesiap lagi, ia heran orang begitu lihay dan serba tahu mengenal seluk-beluk dirinya. Maka jawabnya: "Wah, berita Inkong benar2 sangat tajam hingga setiap tindak-tanduk Cayhe dapat diketahui Inkong. Semula aku pikir, 'Soh-sim-kiam-boh' itu kalau bukan berada ditangan Ban-suko tentulah berada pada Jik-sute, maka diam2 aku menyamar sebagai pengemis tua untuk menyelidiki antara kedua tempat tinggal Suheng dan Sute itu. Tapi sesudah kuselidiki sekian lamanya, akhirnya aku menarik kesimpulan bahwa Kiam-boh itu tidak berada pada Ban-suko tapi pasti berada ditangan Jik-sute."
"Apa yang meyakinkan kesimpulanmu itu?" tanya Tik Hun. Jawab Gian Tat-peng: "Dahulu waktu guru kami akan wafat, beliau telah menyerahkan Kiam-boh itu kepada kami bertiga saudara seperguruan ??" Tik Hun jadi teringat kepada cerita Ting Tian tentang peristiwa berdarah pada suatu malam dipantai Tiangkang, dimana Ban Cin-san, Gian Tat-peng dan Jik Tiang-hoat bertiga telah mengeroyok guru mereka hingga mati. Maka ia lantas mendengus demi mendengar keterangan Gian Tat-peng itu, katanya: "Hm apa betul gurumu menyerahkan kitab itu kepada kalian secara baik2? Hm kukira belum ?. belum tentu benar, bukan? Apakah beliau meninggal secara wajar?" Keruan kejut Gian Tat-peng tak terhingga, mendadak ia melompat bangun, ia tuding Tik Hun dan berseru: "Apa kau ? kau adalah Ting ? Ting Tian ? Ting-toaya?" Hendaklah diketahui bahwa kejadian Ting Tian yang mengubur jenazah Bwe Liam-sing itu akhirnya tersiar dikalangan Kang-ouw, sebab itulah demi mendengar dosa sendiri yang membunuh guru dibongkar oleh Tik Hun seketika ia mencurigai pemuda itu adalah Ting Tian. Tapi dengan dingin Tik Hun berkata: "Aku bukan Ting Tian, Ting-toako adalah seorang pembenci kejahatan, dengan mata kepala sendiri ia telah menyaksikan kalian bertiga mengeroyok hingga tewasnya Suhu kalian, pabila aku adalah Ting-toako, tidak mungkin harini aku mau menolong jiwamu, tentu akan kubiarkan kau mati dibawah pedangnya Ban Cin-san."
"Habis siapa engkau?" tanya Gian Tat-peng dengan takut dan sangsi. "Kau tidak perlu urus siapa aku," sahut Tik Hun. "Jika ingin orang lain tidak tahu, kecuali kalau engkau sendiri tidak berbuat. Nah, katakan terus terang, setelah kalian menewaskan gurumu dan berhasil merebut 'Soh-sim-kiam-boh', kemudian bagaimana?"
"Jika ?. jika engkau toh sudah tahu semuanya, buat ?. buat apa tanya padaku lagi?" sahut Gian Tat-peng dengan suara gemetar. "Ada sebagian yang kuketahui, tapi ada sebagian aku tidak tahu. Maka kau harus mengaku dengan sejujurnya, jika bohong sedikit saja tentu akan kuketahui." Sungguh takut dan hormat pula Gian Tat-peng kepada Tik Hun, katanya kemudian: "Mana aku berani membohongi Inkong? Begini, sesudah kami mendapatkan 'Soh-sim-kiam-boh' itu, setelah kami periksa, ternyata yang ada cuma Kiam-boh (kitab pelajaran ilmu pedang) dan tiada terdapat Kiam-koat (kunci pelajaran ilmu pedang) yang penting itu, jadi percumalah kami mendapatkan Kiam-bohnya saja ??" Diam2 Tik Hun membatin: "Menurut Ting-toako, katanya Kiam-koat itu menyangkut rahasia suatu partai harta karun yang belum diketemukan sesudah Bwe Liam-sing, Leng-siocia dan Ting-toako wafat semua, maka didunia ini sudah tiada seorangpun yang tahu akan Kiam-koat itu, sebaiknya kalian jangan mengimpi pula akan memperolehnya." Dalam pada itu terdengar Gian Tat-peng sedang melanjutkan: "Sebab itulah, maka kami masih terus menyelidiki dimanakah beradanya Kiam-koat itu. Tapi kami bertiga saling curiga-mencurigai, masing2 sama kuatir kalau Kiam-boh itupun akan dikangkangi pihak lain, maka setiap malam diwaktu tidur, Kiam-boh itu lantas kami kunci didalam sebuah peti besi, kunci daripada peti itu kami buang ketengah sungai dan peti besi itu kami simpan dilaci meja yang kami kunci pula. Malahan peti besi itu kami gandeng pula dengan tiga buah rantai besi yang kecil dan masing2 terikat dipergelangan tangan kami, jadi asal ada seorang yang bergerak sedikit, segera dua orang yang lain akan lantas terjaga bangun." Penjagaan seperti itu sungguh sangat kuat," ujar Tik Hun. "Benar," sahut Gian Tat-peng. "Tapi toh masih terjadi juga keonaran."
"Terjadi keonaran apa?" tanya Tik Hun. "Malam itu kami tidur didalam suatu kamar, tapi esok paginya mendadak Ban-suheng ber-teriak2. "Dimana Kiam-boh itu? Dimana?" ~ Waktu aku terjaga bangun, kulihat laci meja yang tersimpan peti besi itu sudah terbuka, tutup peti besi juga melompong. Kiam-boh yang tersimpan didalam peti itu sudah terbang tanpa bekas. Keruan kami bertiga sangat kaget, cepat kami mencari kesana kemari dan sudah tentu hasilnya nihil. Kejadian itu benar2 sangat aneh sebab pintu dan jendela kamar itu masih tetap tertutup rapat dan terkunci dengan baik, maka daapt diduga pencuri Kiam-boh itu pasti bukan dilakukan orang dari luar, sebaliknya adalah orang yang berada didalam kamar, jadi kalau bukan Ban-suko tentu adalah Jik-sute, satu diantara mereka berdua itu pasti adalah malingnya."
"Jika begitu, mengapa dia tidak membuka jendela atau pintu agar disangka dicuri oleh orang luar?" tanya Tik Hun. "Tangan kami tergandeng oleh rantai besi, kalau diam2 bangun untuk membuka laci dan peti besi itu masih mungkin, tapi kalau berjalan agak jauh untuk membuka pintu atau jendela, maka rantai besi yang menggandengkan kami itu akan kurang panjang," kata Tat-peng. "O, kiranya begitu, lalu apa yang kalian lakukan lagi?" tanya Tik Hun pula. "Sudah tentu kami tidak tinggal diam mengingat Kiam-boh itu tidak mudah kami peroleh tapi direbut dengan mengadu jiwa," sahut Tat-peng. "Maka diantara kami bertiga telah saling menyalahkan dan terjadilah pertengkaran, bahkan saling tuduh menuduh pula, namun tiada seorangpun yang dapat membuktikan tuduhan masing2, akhirnya terpaksa masing2 menuju kearahnya sendiri-sendiri ??"
"Ada sesuatu yang aku merasa tidak paham, harap suka memberi penjelasan," kata Tik Hun. "Bahwasanya kalian bertiga adalah saudara perguruan, jikalau gurumu memiliki sejilid Kiam-boh pusaka, lambat atau cepat toh pasti akan diwariskan kepada kalian, apakah mungkin Kiam-boh ini akan dibawanya serta kedalam liang kubur? Dari itu, mengapa kalian turun tangan sekeji itu dan mengapa mesti membunuh guru kalian untuk mendapatkan Kiam-boh itu?"
"Ai, dasar guruku itu memang sudah pikun barangkali," sahut Tat-peng. "Coba, masakah kami bertiga dituduh berhati tidak jujur dan berjiwa jahat, maka beliau bertekad akan mengajarkan ilmu silatnya kepada orang luar. Oleh karena kami sudah tak tahan lagi, sudah terpaksa, maka berbuat seperti apa yang terjadi itu."
"O, kiranya begitu. Habis, darimana kemudian kau yakin bahwa Kiam-boh itu berada dalam tangan Jik-sutemu?" tanya Tik Hun. "Semula yang kucurigai adalah Ban Cin-san, sebab dia yang menggembor lebih dulu tentang kemalingan itu. Dan biasanya itu maling suka teriak maling, itulah siasat yang paling sering digunakan. Tapi sesudah diam2 aku menguntit dia, tidak lama kemudian aku lantas tahu dia bukan malingnya. Sebab dia sendiri juga sedang membayangi Samsute. Jikalau Kiam-boh itu berada ditangan Ban Cin-san, tidak mungkin dengan susah-payah ia malah menyelidiki orang lain, tapi ia tentu akan menghilang sejauh mungkin untuk meyakinkan ilmu pedang itu. Namun setiap kali aku melihat dia, selalu kulihat dia sedang mengertak gigi dengan gemas, sikapnya tidak sabar lagi dan dendamnya tidak kepalang. Karena itulah aku lantas ganti sasaran, yang kuincar sekarang adalah Jik Tiang-hoat."
"Lalu adakah sesuatu yang kau ketemukan?" tanya Tik Hun. "Tidak, Jik Tiang-hoat itu benar2 memang seorang yang licin, sedikitpun ia tidak menunjuk sesuatu tanda yang mencurigakan," sahut Tat-peng dengan menggeleng kepala. "Pernah aku mengintai waktu dia mengajar ilmu pedang kepada putri dan muridnya, tapi dia sengaja berlagak bodoh, ia sengaja mengubah nama2 jurusnya dengan istilah2 yang aneh dan menggelikan. Tapi semakin dia berlaga pilon, semakin menimbulkan curigaku. Selama tiga tahun aku terus mengintai gerak-geriknya, tapi tetap tiada sesuatu lubang kelemahan yang kudapatkan. Diwaktu dia tiada dirumah, pernah beberapa kali aku menggerayangi rumahnya, tapi hasilnya nihil, jangankan Soh-sim-kiam-boh apa segala, biarpun kitab belajar membaca juga tiada sedikitpun terdapat dirumahnya. Hehe, Suteku ini benar2 seorang maha licin, seorang cerdik, seorang pintar!"
"Kemudian bagaimana?" tanya Tik Hun lagi. "Kemudian, kemudian pihak Ban Cin-san akan merayakan ulang tahunnya. Ia telah mengirim seorang muridnya untuk mengundang Jik Tiang-hoat ke Heng-ciu untuk ikut merayakan Shejit sang Suko," tutur Tat-peng pula. "Sudah tentu, merayakan Shejit hanya siasat saja, yang benar Ban Cin-san ingin mencari tahu bagaimana keadaan Jik-sutenya. Begitulah Jik Tiang-hoat lantas berangkat ke Heng ciu dengan membawa serta seorang muridnya yang ke-tolol2an, kalau tidak salah bernama Tik Hun dan puterinya, Jik Hong juga ikut. Ditengah perayaan ulang tahun itu, entah mengapa mendadak si tolol Tik Hun itu telah berkelahi dengan kedelapan anak-murid Ban Cin-san, dalam keadaan dikerubut itu mendadak Tik Hun melontarkan tiga tipu serangan yang hebat hingga menimbulkan curiga Ban Cin-san. Segera ia mengundang Jik-sute kedalam kamarnya untuk bicara, tapi bicara punya bicara, akhirnya mereka sendiripun bertengkar, sekali tusuk Jik Tiang-hoat telah melukai Ban-suko, habis itu ia lantas kabur dan menghilang entah kemana lagi. Aneh, sungguh aneh, benar2 sangat aneh!"
"Aneh tentang apa?" tanya Tik Hun. "Tentang Jik Tiang-hoat yang menghilang itu, sejak itu tidak pernah kelihatan lagi batang-hidungnya, entah dia telah sembunyi dimana, bahkan kabar sedikitpun tiada lagi," kata Tat-peng. "Diwaktu Jik Tiang-hoat berangkat ke Hengciu, dengan sendirinya tidak mungkin ia membawa serta Kiam-boh yang dia serobot dari kedua Suhengnya itu, tapi pasti dia simpan kitab pusaka itu disuatu tempat rahasia dirumahnya itu. Semula aku menaksir sesudah dia melukai Ban Cin-san, tentu malam itu juga ia akan pulang kerumah untuk mengambil Kiam-boh, lalu merat sejauh mungkin. Selama itulah, begitu terjadi peristiwa itu di Heng-ciu, segera aku menggunakan kuda pilihan mendahului datang ke Wan-leng sini, aku sembunyi disekitar rumahnya untuk mengintai dimanakah dia menyimpan Kiam-boh curian itu, dengan begitu aku akan segera menyergapnya. Akan tetapi tunggu punya tunggu, tetap dia tidak muncul. Akhirnya aku menjadi tidak sabar lagi, dengan tidak sungkan2 lagi aku lantas bongkar rumahnya hingga murat-marit, aku lalu menggali kitab pusaka yang dia pendam dirumahnya itu. Namun sampai sekarang rupanya usahaku ini sia2 belaka, jerih payahku itu terbuang percuma. Coba kalau tidak ditolong oleh Inkong, bukan mustahil sekarang jiwaku sudah melayang disitu."
"Dan kalau menurut pendapatmu, kira2 saja Jik-sutemu itu sekarang berada dimana?" tanya Tik Hun. "Inilah aku benar2 tidak dapat menerkanya," sahut Tat-peng dengan menggeleng. "Besar kemungkinan dia sudah ketulah dan sudah mati menggeletak dimana atau jatuh sakit untuk tidak pernah sembuh lagi atau boleh jadi mengalami kecelakaan apa2 serta sudah menjadi mangsa harimau atau serigala." Melihat cara Gian Tat-peng omong itu penuh mengunjuk rasa senang pabila sang Sute itu benar2 sudah mati, diam2 Tik Hun menjadi muak terhadap manusia rendah itu. Tapi lantas terpikir olehnya bahwa selama ini memang tiada kabar berita tentang gurunya itu, besar kemungkinan memang sudah mengalami sesuatu halangan apa2. Maka ia lantas berbangkit dan berkata. "Terima kasih atas keteranganmu yang sebenarnya ini, sekarang Cayhe mohon diri lebih dulu." Dengan penuh hormat kembali Gian Tat-peng menjura tiga kali lagi, katanya. "Budi kebaikan Inkong yang tiada terhingga ini selama hidup Gian Tat-peng takkan melupakan."
"Hanya soal kecil ini mengapa mesti dipikirkan," sahut Tik Hun. "Kau boleh merawat lukamu disini, Ban Cin-san itu takkan dapat menemukan kau, maka tidak perlu kau kuatir."
"Saat ini besar kemungkinan dia lagi kelabakan seperti semut di minyak wajan panas, mana dia sempat untuk memikirkan mencari aku?" sahut Tat-peng dengan tersenyum. "Sebab apa?" tanya Tik Hun dengan heran. "Sebab saat ini dia tentu lagi kelabakan memikirkan keselamatan puteranya," tutur Tat-peng. "Tangan puteranya itu telah kena disengat oleh ketungging yang berbisa jahat itu, untuk bisa sembuh harus ber-turut2 dibubuhi obat sebanyak sepuluh kali, kalau cuma sekali dibubuhi obat, memang sakitnya akan hilang untuk sebentar, lalu tidak lama kemudian akan kambuh lagi lebih jahat."
"Wah jika begitu, apakah jiwa Ban Ka itu akan melayang?" kata Tik Hun agak kaget. Racun ketunggingku itu memang benar2 lain daripada yang lain," tutur Tat-peng dengan ber-seri2. "Yang hebat adalah Ban Ka itu takkan mati seketika, tapi dia akan merintih dan menderita selama sebulan suntuk, habis itu barulah jiwanya melayang. Hahaha, sungguh hebat, sungguh bagus!"
"Kalau sebulan kemudian baru dia akan mati, jika begitu tentu dia akan dapat menemukan tabib pandai untuk mengobati lukanya yang disengat ketungging itu," ujar Tik Hun. "Agaknya Inkong tidak tahu bahwa ketungging berbisa itu bukanlah sembarangan serangga yang dibesarkan oleh alam, tapi adalah piaraanku sendiri, sejak kecil aku telah melolohi dia dengan macam2 obat penawar agar mereka sudah biasa atau kebal oleh obat penawar itu, maka kalau tabib umumnya membubuhkan obat penawar ditempat yang disengat itu, sudah tentu takkan berguna sama sekali. Hahaha!" Dengan melirik hina Tik Hun mengikuti cerita manusia keji itu, diam2 ia membatin: "Hati orang ini benar2 terlalu kejam dan menakutkan. Bukan mustahil lain kali akupun akan kena disengat oleh ketungging yang ia piara itu. Menurut pesan Ting-toako, katanya kalau berkelana di Kangouw hendaklah jangan timbul maksud untuk membikin celaka orang, tapi juga jangan lengah untuk menjaga kemungkinan dicelakai orang. Maka lebih baik aku minta sedikit obat penawar dari dia sekedar untuk persediaan siapa tahu bila kelak ada gunanya." Maka ia lalu berkata: "Gian-cianpwee, obat penawar untuk racun ketunggingmu itu bolehlah serahkan padaku saja."
"Baik, baik," sahut Gian Tat-peng tanpa pikir. Tapi ia tidak lantas menyerahkan obat yang diminta, sebaliknya tanya dulu. "Inkong minta obat penawar itu, entah akan digunakan untuk apa?"
"Ketunggingmu itu sangat lihai, bisa jadi pada suatu saat aku kurang hati2 hingga tersengat, tapi kalau aku sudah punya obat penawarnya tentu takkan kuatir lagi," sahut Tik Hun. Wajah Gian Tat-peng mengunjuk rasa risi, sahutnya dengan tertawa: "Ah Inkong suka bergurau saja. Sedangkan buat pertolongan jiwa Inkong padaku belum kubalas, masakah aku mempunyai maksud untuk mencelakai Inkong."
"Ya, tapi ada baiknya juga aku menjaga segala kemungkinannya, sedia payung sebelum hujan, kan tiada jeleknya," kata Tik Hun sambil mengulurkan tangannya. "Ya, ya!" sahut Gian Tat-peng dan terpaksa ia mengeluarkan botol obat penawar itu dan diserahkan kepada tuan penolong jiwanya itu. Sesudah meninggalkan Gian Tat-peng dipuncak gunung itu, Tik Hun kembali pula kegedung itu untuk menyelidiki keadaannya. Tapi dilihatnya gedung itu sudah sepi senyap tiada seorangpun, para kuli kampung sudah bubar, simandor dan si Koankeh juga entah menghilang kemana lagi. "Suhu mungkin sudah meninggal, Sumoay kini sudah menjadi isteri orang, maka tempat ini untuk selanjutnya terang takkan kudatangi lagi," demikian pikir Tik Hun. Segera ia tinggalkan gedung itu dan berangkat menuju kebarat-daya dengan menyusur tepi sungai. Sementara itu fajar sudah menyingsing, sang surya mulai mengintip diufuk timur, beberapa puluh meter jauhnya, waktu Tik Hun menoleh, ia melihat sinar fajar cemerlang dipucuk pohon2. Yang didepan gedung itu, air sungai juga ber-kelip2 memancarkan cahaya ke-emas2sannya, pemandangan demikian ini sudah sejak kecil kenyang dilihat oleh Tik Hun, tanpa merasa ia menggumam lagi: "Untuk selanjutnya aku takkan kembali lagi ketempat ini." Setelah membetulkan rangselnya, ia pikir tugas yang masih harus dilaksanakannya hanya tinggal satu saja yaitu mengubur abu tulang Ting-toako bersama jenazah Leng-siocia. Maka tempat yang harus ditujunya sekarang adalah Heng-ciu. Pikirnya pula: "Sikeparat Ban Ka itu telah mengakibatkan hidupku merana seperti sekarang ini, syukur orang jahat tentu mendapat ganjaran yang setimpal, maka rasanya akupun tidak perlu membalas dendam dengan tanganku sendiri, menurut kata Gian Tat-peng katanya dia akan me-rintih2 dan sesambatan selama sebulan, habis itu baru akan mati, entah apa yang dikatakan itu benar atau tidak. Jika ternyata jiwanya masih belum melayang umpamanya, maka aku baru menambahi dia dengan tusukan pedangku biar bagaimanapun jiwa anjingnya harus kucabut." Begitulah ia lantas berangkat ke Heng-ciu yang tidak jauh dari barat Ouw-lam itu, maka tiada seberapa hari iapun sampailah disana. Sesudah mencari kabar, diketahuilah bahwa Leng Dwe-su masih tetap menjadi Tihu disitu. Maka ia tetap menyaru seorang gelandangan yang dekil agar tidak dikenal orang. Begitu masuk kota, pikiran pertama yang timbul padanya adalah: "Aku ingin menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri cara bagaimana Ban Ka tersiksa oleh racun ketungging itu. Entah apakah dia dapat disembuhkan dan entah apakah dia sudah pulang kesini atau belum, boleh jadi dia masih tinggal di Ouwlam untuk berobat." Maka pelahan2 ia menuju kerumah keluarga Ban itu, dari jauh lantas dilihatnya Sim Sia sedang keluar dari gedung megah itu secara ter-gesa2, agaknya sedang sibuk mengalami sesuatu masalah gawat. Pikir Tik Hun: "Jika Sim Sia berada disini, tentu Ban Ka juga sudah pulang. Maka malam nanti biarlah aku menyelidikinya kesitu." Segera ia kembali ketaman bobrok dahulu, taman itu tidak jauh dari rumah keluarga Ban itu. Ditaman itulah dahulu Ting Tian meninggal sesudah lebih dulu membunuh Ciu Kin, Kheng Thian-pa dan Tay-beng. Kini berkunjung lagi ketempat lama ia melihat taman itu semakin rusak, keadaan semakin tak keruan. Di-mana2 runtuhan puing dan tumbuh2an liar. Ia mendatangi pohon Bwe dahulu itu, ia me-raba2 lekak-lekuk pohon tua itu sambil memikir. "Waktu itu Ting-toako menghembuskan napasnya yang penghabisan dibawah pohon ini, tapi wujud pohon ini sampai sekarang masih tetap sama, sedikitpun tiada berubah, sebaliknya Ting-toako sekarang sudah menjadi abu." Begitulah ia lantas duduk ter-menung2 dibawah pohon Bwe itu, akhirnya ia terpulas juga. Kira2 dekat tengah malam, ia mendusin dan mengeluarkan rangsum kering untuk tangsal perut lalu keluar dari taman bobrok itu dan menuju kerumah keluarga Ban. Ia memutar kepintu belakang gedung besar itu, dari sini ia melompat pagar tembok dan masuk ketaman bunga. Menghadapi tempat bersejarah itu, tanpa merasa hati Tik Hun menjadi pedih, pikirnya: "Dahulu aku terluka parah dan sembunyi digudang kayu sana, tapi Sumoay tidak membantu dan menolong aku, ia benar2 tidak berbudi, bahkan ia malah memanggil suaminya untuk membunuh aku." Begitulah sambil membayangkan kejadian dahulu dan selagi ia mulai melangkah kedepan, tiba2 dilihatnya ditepi empang sana ada tiga titik sinar api yang ber-kelip2. Tik Hun menjadi curiga dan segera berhentikan langkahnya ia mengumpet dibelakang sebatang pohon, lalu mengintai ketempat sinar api itu. Sesudah diperhatikan, akhirnya dapat diketahuinya bahwa bintik2 sinar api itu tak-lain adalah tiga batang dupa yang tertancap disuatu Hiolo (tempat menancap dupa). Hiolo itu tertaruh diatas satu meja kecil dan didepan meja itu ada dua orang yang sedang berlutut dan menyembah kepada langit. Tidak lama kemudian kedua orang itu tampak berbangkit, maka jelaslah Tik Hun melihat satu diantaranya adalah Jik Hong, seorang lagi adalah satu dara cilik, terang itulah puteri sang Sumoay yang dipanggil "Kong-sim-jay" itu. Terdengar perlahan-lahan Jik Hong berdoa: "Dupa pertama ini memohon agar Tuhan Allah memberkahi keselamatan bagi suamiku, agar lukanya segera sembuh, abuhnya lekas kempis dan racunnya segera hilang, supaya tidak lama tersiksa oleh racun ketungging itu. Khong-sim-jay, hayolah berkata, bilang mohon Tuhan Allah memberkati penyakit ayah lekas sembuh". "Ya, ibu, mohon Tuhan Allah memberkati penyakit ayah lekas sembuh, supaya ayah tidak berteriak2 kesakitan lagi" demikian dara cilik itu menirukan nada sang ibu. Mendengar itu, diam-diam Tik Hun merasa senang dan syukur atas penderitaan Ban Ka. Tapi ia gemas pula atas perhatian Jik Hong terhadap suaminya itu. Kemudian terdengar Jik Hong berdoa lagi: "Dan dupa kedua ini mohon Tuhan Allah memberkati ayahku dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, semoga lekas2 pulang untuk berkumpul lagi. Khong-sim-jay, lekas bilang mohon Tuhan Allah memberkati Gwakong semoga berumur panyang". "Ya, ibu, Gwakong, hendaklah engkau lekas pulang, mengapa engkau tidak lekas pulang", demikian sidara cilik menirukan pula. "Katakan mohon Tuhan Allah memberkahi selamat", sang ibu mengajarkan. "Ya, ibu, mohon Tuhan Allah memberkahi selamat pada Gwakong, kepada ayah dan kepada kakek", kata dara cilik itu. Selamanya ia belum pernah melihat Jik Tiang Hoat yaitu Gwakong atau kakek luarnya, maka yang dipikirkan adalah ayahnya dan kakeknya sendiri, yaitu Ban Cin-san. Dan sesudah berhenti sejenak, kemudian Jik Hong berdoa lagi dengan suara agak lirih: Dan dupa yang ketiga ini memohon kepada Tuhan Allah agar memberkahi dia dalam keadaan sehat, semoga dia hidup senang dan mendapatkan isteri baik dan lekas mendapat anak?????????.". ~ berkata sampai disini, suaranya menyadi serak se-akan2 tersumbat tenggorokannya, lalu ia mengusap air matanya dengan lengan baju. "Kembali ibu terkenang kepada Kuku, ya" tanya si dara cilik. "Khong Sim-jay, bilang mohon kepada Tuhan Allah agar memberkahi keselamatan kepada Khong-sim-jay Kuku????.." kata Jik Hong pula. Memang Tik Hun sudah heran ketika Jik Hong berdoa untuk dupa yang ketiga. Ia tidak tahu siapakah yang dimintakan berkah. Dan demi mendadak mendengar bekas kekasih itu menyebut "Khong-sim-jay Kuku", seketika telinganya seperti mendengung, hatinya serasa berkata: "Ha, dia maksudkan aku, dia maksudkan aku?". Dalam pada itu si dara cilik telah menurut kata ibunya tadi dan sedang bersuyut:"Ya, Tuhan Allah, ibuku selalu terkenang kepada Khong-sim-jay Kuku, mohon diberkahi selamat dan rejeki besar agar kelak aku dibelikan sebuah boneka besar. Dia adalah Khong-sim-jay, akupun Khong-sim-jay, kami sama-sama Khong-sim-jay. Eh, ya, ibu kemanakah perginya Khong-sim-jay Kuku itu? Mengapa dia tidak pernah pulang?" Maka Jik Hong telah menyawab: "Khong-sim-jay Kuku itu telah pergi ke tempat yang jauh, jauh sekali. Kuku itu telah meninggalkan ibumu, tetapi ibumu senantiasa memikirkan dia???????". ~ berkata sampai disini tiba-tiba ia peluk anak perempuannya itu dan menyusupkan kepalanya di dada bocah itu, lalu masuk kerumah dengan langkah lebar. Pelahan2 Tik Hun keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati Hiolo yang ditinggalkan itu. Dengan ter-menung2 ia memandangi ketiga batang dupa itu semakin lama makin surut, sampai akhirnya menjadi abu semua, tapi ia masih ter-mangu2 di situ tanpa bergerak sedikitpun. Ia baru tersadar ketika burung berkicau dengan ramai dan fayar sudah menyingsing, maka cepat ia tinggalkan taman keluarga Ban itu. Ia berkeliaran kian kemari di dalam kota Heng-ciu tanpa arah tujuan. Tiba-tiba didengarnya suara "creng-creng" yang berisik, itulah bunyi kecer seorang tabib kelilingan yang sedang menawarkan obatnya sepanjang yalan. Mendadak hati Tik Hun tergerak. Bukankah ia ingin menyaksikan sendiri bagaimana keadaan Ban Ka yang sesambatan tersiksa oleh racun ketungging itu? Terus saya ia mendekati tabib kelilingan itu, ia keluarkan sepuluh tahil perak untuk membeli pakaian tabib itu beserta peti obat dan peralatan lainnya. Sudah tentu tabib kelilingan itu sangat heran ada orang mau memborong barang2nya yang rombeng itu, padahal nilainya tidak lebih dari lima tahil perak. Sudah tentu ia kegirangan setengah mati, bagai orang putus lotre. Tanpa tahan harga lagi ia terus lepaskan kepada Tik Hun. Sesudah memborong milik tabib kelilingan itu, lalu Tik Hun kembali ke taman bobrok itu, disitulah ia ganti pakaian, ia menyaru sebagai tabib. Lalu ia tumbuk sedikit rumput obat dan airnya ia gunakan untuk poles mukanya sendiri, malahan ia sengaya tambal sepotong koyok dimata kiri sendiri hingga muka aslinya susah dikenali lagi. Habis itu, segera ia menuju ke rumah keluarga Ban. Didepan gedung keluarga Ban itu ia sengaja bunyikan kecernya sekeras mungkin, sesudah dekat pintu ia terus ber-teriak2 malah: "Tabib sakti, spesial mengobati segala macam penyakit aneh, segala jenis keracunan, baik disengat kelabang maupun dipagut ular, tanggung ces-pleng, sekali minum obatku, seketika sembuh!". Begitulah sesudah ia ber-teriak2 beberapa kali, lantas tertampaklah dari dalam berlari keluar dengan buru2, setelah dekat orang itu lantas memanggilnya: "He, Sinshe, kemarilah sini". Tik Hun kenal orang itu adalah muridnya Ban Cin San yang bernama Go Him, yaitu orang yang dahulu telah menabas putus jarinya itu. Tapi kini Tik Hun dalam penyamaran, muka aslinya sudah berobah 180 derayat, dengan sendirinya Go Him tidak kenal dia lagi. Pelahan-lahan Tik Hun mendekati Go Him, karena kuatir suaranya dikenal orang, ia sengaja menekuk suara dan berkata: "Ada apakah Tuan? Apakah engkau menderita penyakit aneh, misalnya bisul jahat atau abuh bengkak yang tak dikenal namanya?"
"Hus, apakah kau kira aku ini mirip seorang penderita sakit?" Semprot Go Him, "He, aku ingin tanya padamu, kalau disengat ketungging, apakah kau dapat menyembuhkan?"
"Ha-ha, mengapa tidak bisa?" sahut Tik Hun sengaja bergelak tawa. "Sedangkan ular-ular berbisa seperti Jik-lian-coa (ular gelang rantai), Kim-kah-tay (ular bergelang kaki), Bak-kia-coa (ular kaca-mata, kobra) dan lain-lain ular berbisa paling jahat yuga ces-pleng bila makan obatku, apalagi cuma penyakit sepele kena disengat ketungging, he-he, itulah penyakit tak berarti".
"Ah, jangan kau omong besar dahulu", uyar Go Him. "Hendaklah engkau ketahui bahwa ketungging itu bukan sembarangan ketungging, sedangkan tabib terkemuka di kota Heng-ciu juga tak berdaya menyembuhkannya, masakah kau sanggup mengobati?"
"Ha, masakah ada ketungging selihay itu?" demikian Tik Hun pura-pura mengkerut kening. "Padahal ketungging didunia ini paling lihay cuma sebangsa Hwe-kat (ketungging kelabu), Kim-ci-kat (ketungging mata uang emas), Moa-tahu-kat (ketungging kepala burik), Ang-bwe-kat (ketungging ekor merah), Pek-kah-kat (ketungging kaki putih) dan?????????." Begitulah ia sengaja mencerocos dengan aneka macam-macam nama-nama ketungging sampai berpuluh-puluh jenis banyaknya. Habis itu baru ia berkata pula: "Setiap jenis ketungging itu memang ber-beda2 racunnya, cara pengobatannya juga berlainan, maka biarpun namanya saja tabib pandai, jikalau cuma nama kosong saya sudah tentu takkan becus menyembuhkan luka disengat ketungging".
Mendengar sekaligus tabib kelilingan itu mencerocos berpuluh nama jenis ketungging, mau tak mau Go Him merasa kagum dan tertarik, segera katanya: "Jika begitu, silakan Sinshe masuk ke dalam untuk mengobati suhengku, Jikalau dapat menyembuhkan, tentu suhuku akan memberi hadiah besar". Tik Hun mengangguk dan ikut masuk ke dalam gedung itu. Begitu melangkah masuk, seketika Tik Hun teringat kepada kejadian dulu, dimana ia dan sumoay mengikut sang suhu menghadiri perayaan ulang tahun sang Supek, tatkala itu ia masih seorang pemuda desa yang hijau, segala apa belum pernah dilihatnya dan semuanya serba baru baginya, maka sepanjang jalan ia asyik bicara dengan Sumoay tentang pemandangan yang mereka lihat itu. Kini berkunjung kembali kegedung yang sama, namun suasananya sudah berbeda. Ia ikut Go Him masuk keruangan dalam, setelah menyusur dua tempat Cimche, akhirnya sampai dibawah sebuah loteng. Segera Go Him menengadah keatas dan berseru: "Samsuso, ini adalah seorang tabib kelilingan, katanya mampu mengobati segala penyakit kena disengat ketungging, apakah perlu aku mengundang tabib ini untuk periksa penyakit Suko?" Lalu terdengar suara berkeriut, jendela loteng dibuka orang, tertampak Jik Hong melongok keluar dan berkata: "Baiklah, terima kasih Go-sute, malahan hari ini Suko-mu tambah kesakitan, lekas undang Sinshe naik ke sini". "Baiklah Suso", sahut Go Him. Lalu ia berpaling kepada Tik Hun: "Silakan, Sinshe". ~ Ia menyilakan sang "Sinshe" naik ke loteng, tapi ia sendiri tidak ikut mengantar. Maka Jik Hong berseru lagi: "Go-sute, silakan kaupun ikut kemari membantu". Go Him mengiakan, maka iapun ikut naik keatas loteng. Setiba diruangan loteng, Tik Hun melihat ditengah situ didekat jendela tertaruh sebuah meja tulis yang besar dengan penuh segala peralatannya dan banyak kitab-kitab pula, diatas meja terdapat pula sehelai baju anak kecil yang belum selesai dijahit.
Sementara itu tampak Jik Hong telah memapak keluar dari kamar sana, mukanya tidak berbedak dan bergincu, tapi tidak mengurangi cantiknya, hanya tampak agak kurus dan pucat sedikit, mungkin terlalu letih dan kurang tidur karena mesti merawat sang suami. Tik Hun hanya memandang sekejap saya kepada sang Sumoay itu lalu tidak berani memandang lagi sebab kuatir dikenali. Kemudian ia ikut masuk kedalam kamar, disitu kelihatan ada sebuah ranjang kayu yang besar, diatasnya merebah seseorang dengan menghadap kedalam sana sambil tiada hentinya me-rintih2. Itulah dia Ban Ka. Dan ditepi ranjang itu seorang dara cilik berduduk diatas dingklik cilik kecil sedang memijat pelahan-lahan kaki sang ayah. Tapi demi melihat wayah Tik Hun yang kotor dan aneh itu, ia menjerit takut dan mengumpet ke belakang sang ibu. Kemudian Go Him berkata: "Suko-ku ini kena disengat ketungging berbisa, racunnya masih belum hilang, harap Sinshe suka memeriksa dan kasih obat bila perlu". Tik Hun mengiakan. Kalau diluar tadi ia bisa mencerocos bagai air bah membanyir untuk bicara dengan Go Him, adalah sekarang sesudah melihat Jik Hong, seketika hatinya ber-debar2 dan mulut serasa terkancing, untuk bicarapun rasanya susah. Tapi iapun mendekati ranjang dan tepuk pelahan dipundak Ban Ka. Pe-lahan2 Ban Ka membalik tubuh, ketika ia membuka mata dan melihat macam Tik Hun yang luar biasa itu, mau tak mau ia terkesiap juga. Maka terdengar Jik Hong mendahului berkata: "Samko, ini adalah Sinshe yang diundang oleh Go Sute, katanya????..katanya ia pandai mengobati segala macam racun serangga dan ular, boleh jadi dia ada obat mujarab yang dapat menyembuhkan lukamu". ~ Nyata nadanya juga tidak menaruh kepercayaan bahwa tabib gelandangan seperti itu mampu mengobati penyakit sang suami. Tapi Tik Hun tidak bicara, ia periksa punggung tangan Ban Ka yang abuh itu. Ia melihat bagian tangan itu hitam hangus mengerikan. "Ini adalah sengatan ketungging berbisa keluaran Wan-leng di barat Ouw-lam, di Ouw-pak tiada terdapat ketungging sejenis itu". kata Tik Hun kemudian. "He, ia betul, memang betul disengat oleh ketungging di Wan-leng sana". seru Go Him dan Jik Hong berbareng. "Sesudah Sinshe dapat mengetahui asal-usul ketungging yang menyengat itu, tentu Sinshe dapat mengobatinya?" tanya Jik Hong pula dengan penuh harapan. Tik Hun sengaja menghitung dengan jari, lalu katanya pula: "Ehm, ketungging itu menyengatnya diwaktu malam, kalau tidak salah, ehm, sampai sekarang sudah lewat tujuh hari tujuh malam lamanya". Keruan Go Him saling pandang dengan Jik Hong, habis itu mereka berseru berbareng lagi: "Betul, betul, sungguh dugaan Sinshe sangat tepat, memang pada malam hari kena disengat oleh ketungging dan sampai sekarang sudah tujuh hari tujuh malam. Maka harap Sinshe lekas tolong memberi obat". Sudah tentu Tik Hun bukan dewa yang bisa meramalkan kejadian yang sudah lalu dan dapat menduga apa yang belum datang. Soalnya ia sendiri yang menyaksikan Ban Ka disengat oleh ketunggingnya Gian Tat-peng, dengan sendirinya ia dapat mengatakan dengan jitu. Begitulah maka ia menjadi senang dan kasihan pula melihat kelakuan Jik Hong dan Go Him yang kejut-kejut girang itu. Maka iapun sengaja jual mahal, segera katanya pula: "Apakah tuan ini telah menggecek mati ketungging itu dengan punggung tangannya? Kalau tidak berbuat demikian sebenarnya masih dapat tertolong, tapi kini ketungging itu dibunuh diatas punggung tangan, seketika racunnya lantas tersebar semua kedalam luka, untuk menolongnya sungguh maha sulit sekarang". "Memang jelas sekali uraian Sinshe, tapi apapun juga mohon Sinshe sudilah menolong jiwanya", pinta Jik Hong dengan kuatir dan gopoh. Kedatangan Tik Hun ke Heng-ciu ini sebenarnya ingin menyaksikan sendiri cara bagaimana Ban Ka menderita dan me-rintih2 mendekati ajalnya, yaitu untuk melampiaskan rasa dendamnya selama ini, maka sedikitpun tiada pikiran padanya untuk menolong jiwa musuh besarnya itu. Namun sejak semalam didengarnya doa restu Jik Hong yang ternyata masih tidak melupakan dirinya, bahkan memohon kepada Tuhan Allah agar memberkati selamat bahagia bagi dirinya, semoga lekas beristri dan beranak, malahan mengatakan bahwa dirinya yang telah meninggalkan Sang Sumoay itu, dari ucapan terakhir ini agaknya Sumoay masih yakin bahwa dia benar2 pada malam itu hendak kabur bersama gundiknya Ban Cin-san, yaitu si Mirah, oleh sebab itulah maka Sumoay menyesal dan putus asa lalu menikah pada Ban Ka. Diwaktu kecilnya Tik Hun sangat penurut kepada segala kehendak Jik Hong, tidak pernah ia membangkang atau membantah apa yang dikatakan sang Sumoay. Maka kini demi mendengar permohonan Jik Hong yang penuh kuatir itu, hati Tik Hun menjadi lemas, segera ia bermaksud mengeluarkan obat penawar yang diperolehnya dari Gian Tat-peng itu. Tapi mendadak ia mendapat pikiran lain: "Si keparat Ban Ka ini telah membuat aku menderita dan merana selama ini, dia merebut pula Sumoayku, kalau aku tidak membunuhnya dengan tanganku sendiri sebenarnya sudah dapat dikatakan aku cukup murah hati, mana boleh sekarang aku menolong jiwanya pula?". Karena pikiran itu ia segera menggeleng kepala dan menjawab: "Bukanlah aku tidak mau menolongnya, tapi sesungguhnya dia sudah terlalu mendalam keracunan, pula sudah tertunda sekian hari, racunnya sudah masuk otak, untuk menolongnya sudah sangat susah". Tiba2 Jik Hong meneteskan air mata, ia tarik si dara cilik tadi dan berkata padanya: "Kong-sim-jay mestikaku, lekaslah kau menjura kepada paman Sinshe ini, mohon beliau sukalah menolong jiwa ayahmu". "Jang??????jangan menjura apa segala??????.," cepat Tik Hun menggoyang-goyang tangannya. Tapi anak itu memang sangat penurut, rupanya tahu juga ayahnya sakit sangat payah, maka terus saya ia berlutut dan menyembah beberapa kali. Kelima jari kanan Tik Hun sudah terpapas kutung oleh Go Him dahulu dan sejak tadi ia masukkan saku, maka ia hanya gunakan tangan kiri untuk membangunkan anak dara itu. Waktu menarik bangun bocah itu, tiba-tiba dilihatnya dilehernya memakai sebuah kalung dengan mainan yang berukir empat huruf 'Tik-yong-siang-bo'. Melihat itu, Tik Hun menjadi tertegun, teringat olehnya tempo dulu waktu dia pingsan di dalam gudang kayu rumah keluarga Ban ini, ketika ia sadar kembali, ia dapatkan dirinya berada di dalam suatu sampan dan terombang-ambing di tengah sungai Tiang-kang, disampingnya terdapat beberapa tahil perak dan sedikit perhiasan, diantaranya juga terdapat sebuah mainan yang bertuliskan empat huruf seperti itu. Ia menjadi heran, jangan-jangan??. jangan-jangan????. Maka ia tidak berani memandang lagi, pikiran kusut akhirnya jernih kembali, terbayang pula keadaan waktu dahulu itu. "Ya,?.ketika aku jatuh pingsan digudang kayu itu, selain Jik-Sumoay yang menolong aku, terang tiada orang lain lagi. Dahulu aku mencurigai dia sengaja hendak membunuh aku, tapi semalam ia berdoa??.berdoa kepada Tuhan, ia telah mengutarakan isi hatinya terhadap diriku. Dan kalau dia begitu mencinta aku, tempo dulu itu sudah tentu tidak mungkin bermaksud membunuh aku. Masakah aku ditakdirkan bahwa sesudah mengalami derita sengsara selama ini, lalu aku akan dipersatukan lagi dengan Sumoay seperti sekarang ini". Teringat kemungkinan akan rujuk kembali dengan sang Sumoay tanpa merasa hati Tik Hun ber-debar2 pula, ketika ia melirik Jik Hong, dilihatnya wajahnya penuh merasa kuatir, dengan penuh perhatian Sumoay itu sedang memandangi Ban Ka yang menggeletak diranjang itu, sorot matanya mengunjuk rasa cinta kasih yang tak terhingga. Melihat sinar mata sang Sumoay itu, seketika hati Tik Hun mencelus lagi. Kembali terbayang lagi kejadian dahulu yang masih diingatnya dengan jelas. Hari itu ia bertempur melawan Ban-bun-pat-tecu, ia dikeroyok dan dihajar mereka hingga matang biru dan hidung bocor. Kemudian Sumoay telah menjahitkan bajunya yang terobek dalam perkelahian itu, sorot mata sang Sumoay pada saat mendampinginya itulah juga penuh rasa kasih sayang seperti sekarang sang Sumoay itu memandangi Ban Ka. Maka kini, teranglah sorot mata yang membahagiakan setiap lelaki itu oleh sang Sumoay telah diberikan kepada suaminya dan tiada mungkin ditujukan kepadanya lagi. "Pabila aku tidak memberi obat penawar padanya, siapakah yang dapat menyalahkan aku? Dan bila nanti Ban Ka sudah mampus, dimalam hari diam2 aku datang kesini untuk membawa kabur Sumoay, siapakah yang dapat merintangi aku? Dengan begitu aku dapat berkumpul pula dengan Sumoay sebagai suami isteri selama hidup. Tentang anak dara ini, ehm, biarlah akan kubawa serta dia??????Tetapi, ai, tak bisa, tak bisa! Sumoay sudah biasa menjadi nyonya muda dirumah keluarga Ban yang kaya ini, hidupnya senang serba cukup, masakah dia mau ikut pergi bersama aku untuk meluku sawah dan mengangon kerbau lagi? Apalagi wajahku jelek begini, tidak banyak 'makan' sekolah, lagi tanganku juga cacat, masakah aku sesuai menjadi jodohnya? Dan apakah dia sudi ikut kabur bersama aku?" Begitulah demi teringat dirinya sendiri yang serba kurang dan serba rendah itu, Tik Hun menjadi malu diri dan kecil hati, ia menunduk termangu-mangu. Sudah tentu Jik Hong tidak tahu bahwa pada saat sesingkat itu pikiran sang 'Sinshe' sedang melayang-layang sejauh itu. Maka dengan terkesima iapun memandangi Sinshe itu dengan harapan akan terdengar ucapan menggirangkan dari mulutnya bahwa suaminya dapat tertolong. Sementara itu Ban Ka masih terus me-rintih2 dan sesambatan, racun ketungging itu meresap sampai diruas tulang ketiaknya, keruan rasanya menjadi seperti lengannya itu terkutung sakitnya. Dan sesudah menunggu agak lama, sang Sinshe masih diam saja, Jik Hong tambah kuatir, kembali ia memohon pula: "Sinshe, tolong???? tolonglah engkau mencoba saja, asal??. asal dapat mengurangi sedikit penderitaannya juga????.juga mendingan baginya, andaikan? andaikan????, akhirnya dia????. Ya, juga tak bisa menyalahkan pada Sinshe". ~ Maksudnya akan mengatakan bila jiwa Ban Ka itu toh tak bisa diselamatkan lagi, asal penderitaannya dapat dikurangi, biarpun akhirnya mati juga tidak terlalu tersiksa lagi. Maka Tik Hun tersadar dari lamunannya tadi, seketika itu hatinya serasa hampa, segala harapannya musna sirna, ia benar-benar ingin mati pada saat itu juga. Dengan segenap hati ia mencintai sang Sumoay, tapi Sumoay itu telah dipersunting oleh musuhnya, bahkan kini orang yang dicintai itu memohon dengan sangat agar dia menolong musuh itu. Apa gunanya lagi menjadi manusia seperti itu? 'Aku lebih suka menjadi Ban Ka yang menderita dan tersiksa seperti sekarang ini, tapi didampingi Sumoay yang memandang padaku dengan penuh kasih sayang, biarpun akan mati dalam beberapa hari lagi juga tidak menjadi soal'. Demikian pikirnya. Begitulah tanpa merasa ia menghela napas dan mengeluarkan obat penawar yang diperolehnya dari Gian Tat-peng itu, ia tuang sedikit obat bubuk warna hitam dan dibubuhkan dipunggung tangan Ban Ka. "He, betul, memang betul itulah obat penawarnya, wah, ini???.. ini berarti akan tertolonglah!" Demikian mendadak Go Him berseru. Tik Hun menjadi heran mendengar seruan yang bernada aneh itu. Bahwasanya sang Suheng 'berarti akan tertolong' seharusnya ia ikut bergirang, akan tetapi nadanya itu, justeru merasa sangat kecewa malah, bahkan merasa menyesal dan dongkol pula. Tik Hun coba melirik ke arah Go Him, ia melihat sorot mata pemuda itu menyinarkan rasa benci dan keji. Keruan Tik Hun bertambah heran. Tapi demi teringat bahwa diantara kedelapan anak murid Ban Cin-san itu tiada seorangpun yang baik, sedangkan Ban Cin-san sendiri saling bunuh membunuh dengan guru dan saudara seperguruannya, maka tidaklah heran bila diantara anak2 muridnya itu juga saling cakar2an. Dan kalau begitu, tentunya hubungan antara Ban Ka dan Go Him tidak baik, tapi mengapa ia malah mengundang aku untuk mengobati Suhengnya itu? Dalam pada itu tangan Ban Ka yang abuh itu, begitu dibubuhi obat hitam tadi, hanya sebentar saja dari luka itu lantas mengeluarkan air hitam. Lambat-laun sakit Ban Ka juga berkurang, dengan suara lemah ia dapat berkata: "Terima kasih Sinshe, obat penawar ini benar-benar sangat bagus". Sungguh girang Jik Hong tidak kepalang, cepat ia membawakan tempolong untuk menadah darah hitam yang menetes terus dari luka sang suami itu sambil tiada henti-hentinya menyampaikan terima kasih kepada Sinshe sakti alias Tik Hun. "Suso, sekali ini Sinshe telah berjasa besar, bukan?" tiba-tiba Go Him berkata. "Benar, aku harus menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Go Sute", sahut Jik Hong. "Hanya omong di mulut saja percuma, tapi harus dengan kenyataan", ujar Go Him dengan tersenyum. Jik Hong tidak gubris padanya lagi, tapi berpaling dan berkata kepada Tik Hun: "Numpang tanya siapakah nama Sinshe yang mulia? Kami harus memberi penghargaan sepantasnya kepada Sinshe". Tapi Tik Hun goyang-goyang kepala, sahutnya: "Tidaklah perlu penghargaan apa segala. Tapi racun ketungging ini harus berturut-turut dibubuhi obat ini sepuluh kali baru bisa sembuh sama sekali" ~ dan dengan perasaan hampa dan pilu tak terucapkan, akhirnya ia berkata pula sambil mengangsurkan botol obat yang diperolehnya dari Gian Tat-peng itu: "Ini, terimalah semua obat penawar ini". Sebaliknya Jik Hong menjadi ragu2, sebab sama sekali tak tersangka olehnya bahwa urusan bisa terjadi sebegitu gampang, katanya kemudian: "Biarlah kami membeli saja kepada Sinshe, entah berapa harganya?"
"Tidak, tidak perlu beli, tapi kuberikan cuma-cuma padamu", kata Tik Hun. Sungguh girang Jik Hong tak terhingga, cepat ia terima botol obat itu, sambil memberi hormat, katanya: "Sinshe begini berbudi dan murah hati pula, betapapun kami harus menyuguhi engkau barang secawan arak. Go-sute, silakan engkau menemani Sinshe keruangan tamu untuk berduduk sebentar."
"Sudahlah, tidak perlu duduk lagi, aku akan mohon diri saya", ujar Tik Hun. "Tidak, jangan", seru Jik Hong, "Budi pertolongan Sinshe atas jiwa suamiku ini kami tidak dapat mendapat membalas apa-apa, maka hanya secawan arak saja harap engkau sudi menerima sekadar sebagai penghormatan kami. Sinshe, betapapun engkau janganlah pergi dahulu!."
"Betapapun, engkau jangan pergi dahulu!" kata-kata ini sekali menyusup kedalam telingan Tik Hun, betapapun keras hatinya juga lantas lemas seketika. Pikirnya: "Sakit hatiku ini sudah terang tak terbalas lagi, sesudah aku menguburkan Ting-toako, untuk seterusnya aku juga tidak mungkin kembali ke kota Heng-ciu lagi, selama hidup ini, aku takkan bertemu pula dengan Sumoay. Dan sekarang ia hendak menyuguhi aku secawan arak, ya, dengan demikian boleh juga aku akan dapat memandangnya lebih lama sedikit". Oleh karena itu, iapun memanggut sebagai tanda menerima undangan Jik Hong. Tidak lama kemudian, meja perjamuan sudah dipersiapkan, yaitu diruangan tamu di bawah loteng. Tik Hun diminta duduk ditempat yang paling terhormat, Go Him mengiringi disebelahnya. Karena merasa sangat berterima kasih kepada Sinshe yang berbudi itu, maka Jik Hong sendiri telah melayaninya minum arak dan menyuguhkan daharan. Agaknya Ban Cin-san dan anak muridnya yang lain waktu itu tiada dirumah, maka tiada orang lain lagi yang ikut hadir dalam peryamuan itu. Dengan penuh hormat Jik Hong menyuguhkan tiga cawan arak kepada Tik Hun dan diminum habis oleh 'Sinshe' itu. Tiba-tiba perasaannya pilu hingga matanya memberambang, ia tahu bila tinggal lebih lama disitu mungkin air matanya bisa lantas menetes, hal mana tentu akan mengakibatkan rahasianya terbongkar. Maka cepat ia berbangkit dan berkata: "Sudahlah cukup, terima kasih atas suguhanmu, sekarang aku permisi untuk pergi dan selanjutnya takkan datang lagi." Jik Hong agak heran oleh ucapan tabib kelilingan yang tidak genah itu. Tapi karena potongan sang tabib memang agak lucu, maka iapun tidak ambil perhatian, segera dijawabnya: "Ai, mengapa Sinshe ter-buru2 saja? Atas budi pertolonganmu itu, kami tidak dapat membalas apa-apa, di sini ada seratus tahil perak, harap Sinshe suka terima sekedar sangu dalam perjalanan. " ~ sembari berkata iapun mengangsurkan sebungkus uang perak dengan penuh hormat. Mendadak Tik Hun menengadah dan ter-bahak2 tawa, katanya: "Akulah yang telah menolong dia, akulah yang telah menghidupkan dia! Sungguh lucu, akulah yang telah menghidupkan dia! Apakah didunia ini ada orang yang lebih goblok dari diriku?" Dan meski dia bergelak tertawa dengan menengadah, tapi tanpa merasa air matanya juga berlinang-linang. Keruan Jik Hong dan Go Him saling pandang dengan bingung melihat kelakuan 'Sinshe' yang setengah sinting itu. Sebaliknya si dara cilik Khong-sim-jay lantas berteriak-teriak: "Heee, Sinshe menangis, Sinshe menangis!".
Tik Hun menjadi terkejut, ia tahu telah dicurigai orang, ia kuatir rahasianya akan ketahuan, maka ia tidak berani bicara lagi dengan Jik Hong, hanya dalam hati ia berkata: "Sejak ini aku takkan bertemu lagi dengan kau". Diam-diam ia mengeluarkan kitab kuna yang didalamnya terselip pola sulaman sepatu yang diketemukan di dalam gua dengan Wan-leng tempo hari, ketika orang tidak memperhatikan, pelahan2 ia taruh kitab itu diatas kursi, lalu tanpa memandang lagi kepada Jik Hong ia lantas mohon diri dan tinggal pergi. "Go-sute, harap engkau hantarkan Sinshe." Kata Jik Hong. Go Him mengiakan, lalu mengikut dibelakang Tik Hun. Sambil masih memegangi bungkusan uang perak tadi, hati Jik Hong ber-debar2 tak keruan. Pikirnya: "Siapakah sebenarnya Sinshe itu tadi? Mengapa suara tertawanya mirip benar dengan orang itu? Ai, entah mengapa, meski jiwa Ban-long dalam keadaan bahaya, tapi pikiranku selalu menyeleweng dan memikirkan dia saja, ai, dia??dia entah??" Begitulah ia menjadi ter-menung2 sendiri, ia taruh bungkusan uang perak itu di atas meja, dengan tumpang dagu ia berduduk pula di atas kursi. Kebetulan kursi yang didudukinya sekarang adalah kursi yang bekas diduduki Tik Hun tadi. Ketika mendadak merasa menduduki sesuatu benda, Jik Hong berbangkit lagi dan memeriksanya, maka lantas tertampaklah sejilid kitab kuna yang sudah ke-kuning2an. Se-konyong2 Jik Hong berseru tertahan sekali, cepat ia jemput kitab itu dan mem-balik2 halamannya, segera terjatuh keluar dari kitab itu sehelai pola sepatu, ia kenal itu adalah buah tangannya waktu masih tinggal dirumah dibarat Ouw-lam sana. Ia ternganga sambil memegang kitab dan pola itu, kedua tangannya gemetar. Ketika ia mem-balik2 lagi kitab itu, kembali diketemukannya sepasang kupu2 guntingan dari kertas, seketika terbayanglah waktu berduaan dengan Tik Hun duduk berjajar di dalam gua, dimana ia telah menggunting kupu2 kertas itu.
Tanpa terasa ia berseru tertahan pula, katanya didalam hati: "He, dari??? dari manakah kitab ini? Sia?..siapakah yang membawanya kesini? Jangan2 Sinshe itu tadi?". Melihat sikap ibunya agak aneh, si dara cilik Khong-sim-yay menjadi takut, ber-ulang2 ia memanggil: "Mak, mak, ken?kenapakah kau?" Jik Hong terkejut oleh seruan anaknya ini, tapi cepat ia masukkan kitab itu kedalam bajunya sambil berlari keluar rumah secepat terbang. Sejak ia menjadi anak menantu keluarga Ban, hidupnya selalu lemah-lembut halus sopan, tidak pernah ia berlari kesetanan seperti itu. Keruan kaum hamba dan dayang keluarga Ban menyadi ter-heran2 melihat nyonya muda mereka berlari cepat dengan Ginkang sekaligus dari ruangan dalam terus menyusul Cimche terus keluar rumah. Waktu sampai dipelataran depan, kebetulan Jik Hong melihat Go Him telah masuk kembali, maka cepat ia tanya: "Dimanakah Sinshe itu?"
"Orang itu sangat aneh, tanpa bicara apa-apa ia sudah pergi", sahut Go Him, "Suso, ada urusan apakah kau mencarinya lagi? Apakah keadaan Suko berubah buruk?"
"Tidak, tidak", sahut Jik Hong sambil memburu keluar pintu, ia menengok kesana dan mengintai kesitu, tapi bayangan tabib kelilingan itu sudah tak tertampak lagi. Jik Hong ter-longong2 sejenak diluar pintu, kembali ia mengeluarkan kitab kuna tadi, dan setiap kali melihat pola sepatu dan kupu2 kertas itu, seketika timbul pula pemandangan2 gembira ria dimasa mudanya. Bayangan2 itu bagaikan air bah membanjir kedalam benaknya hingga tanpa merasa air matanya bercucuran. Mendadak ia berubah pikiran: "Mengapa aku begitu bodoh? Bukankah barusan Ban-long ikut kong-kong dan lain2 pergi ke Wan-leng untuk mencari Gian-susiok, boleh jadi tanpa sengaja mereka telah masuk kedalam gua dan disanalah kita ini telah diketemukan, lalu sekalian ada yang membawa pulang kitab ini. Memangnya Sinshe yang tidak terkenal itu ada hubungan apa dengan kitab ini?". Tapi lantas datang pikiran lain pula: "Ah, tidak, tidak, tidak! Masakah mungkin terjadi secara begitu kebetulan? Gua itu letaknya sangat rahasia, sekalipun ayahku yuga tidak tahu, masakah Ban-long dan rombongannya dapat menemukannya? Tujuan mereka adalah mencari Gian-supek, manabisa mereka kesasar kedalam gua rahasia itu? Tadi waktu aku membersihkan meja kursi perjamuan, sudah terang keempat kursi itu aku melapnya hingga bersih, tidak mungkin ada sejilid kitab seperti ini. Dan kitab ini kalau bukan tabib itu yang membawanya, habis darimanakah datangnya?" Begitulah dengan penuh curiga dan sangsi pelahan2 ia kembali ke kamarnya. Dilihatnya sehabis dibubuhi obat tadi, semangat Ban Ka sudah banyak lebih baik, sakitnya juga mulai hilang. Sambil memegangi kitab itu, sebenarnya Jik Hong bermaksud menanya sang suami, tapi lantas terpikir olehnya: "Lebih baik aku jangan ter-buru2 cari keterangan dulu, jangan2 tabib itu??tabib itu adalah?????.."
Dalam pada itu terdengar Ban Ka sedang bicara padanya: "Hong-moay, Sinshe itu benar2 adalah tuan penolong jiwaku, kita harus memberi penghargaan se-tinggi2nya kepadanya"
"Ya, aku tadi telah menghadiahkan dia seratus tahil perak, tapi dia justru tidak mau terima meski kupaksa", tutur Jik Hong, "Ai, benar2 seorang kangouw yang aneh, seorang yang berbudi. Obat penawar itu???????? he, dimanakah botol obat itu tadi? Apakah kau simpan di dalam laci meja?" Tadi waktu Jik Hong mau keluar untuk melayani "Shinshe" yang akan dijamunya itu, ia ingat betul botol obat itu ditaruhnya di atas meja di depan ranjang Ban Ka, tapi kini sudah hilang. Maka Ban Ka telah menjawab: "Tidak, aku tidak menyimpannya, bukankah tadi kau taruh diatas meja?" Tapi meski Jik Hong sudah mencari kian kemari diseluruh kamar itu, tetap botol obat itu tidak kelihatan. Keruan ia sangat gelisah dan cemas, pikirnya: "Jangan2 karena pikiranku tadi lagi bingung, maka obat itu kubawa serta sambil lari keluar dan jatuh? Tapi, ah, tidak bisa, aku ingat betul2 botol obat itu kutaruh di atas meja, didekat mangkok obat itu". Ban Ka juga sangat gugup, katanya: "Le??lekas kau mencari lagi, masakah bisa hilang? Sungguh aneh. Tadi aku hanya terpulas sebentar dan masih ingat benar2 botol obat itu tertaruh di atas meja." Mendengar itu Jik Hong bertambah kuatir, segera ia keluar kamar, ia coba tarik puterinya dan tanya padanya: "Khong-sim-jay, tadi waktu ibu keluar, adakah siapa2 yang masuk ke kamar?"
"Ada, Go-sioksiok tadi datang, ketika melihat ayah tidur, ia lantas keluar lagi", tutur si dara cilik. Jik Hong menghela napas lega mendapat keterangan itu, lapat2 ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi Ban Ka sedang sakit, apapun yang terjadi tidak perlu dia ikut tahu hingga ikut menanggung kuatir. Maka katanya kepada Khong-sim-jay: "Anak baik, kau temani ayah di dalam kamar, ya, kalau ayah tanyakan ibu, bilanglah ibu lagi menyusul Sinshe untuk minta obat bagi ayah".
Sidara cilik memanggut dan menyahut: "Ya, mak, kau lekas pulang, ya!" Dan sesudah tenangkan diri, pelahan-lahan Jik Hong membuka laci meja Ban Ka, ia ambil sebilah belati dan diselipkan dipinggang dalam baju, kemudian ia turun ke bawah loteng. Pikirnya: "Keparat Go Him itu, bila bertemu aku ditempat sepi, selalu ia cengar-cengir padaku dengan maksud tidak baik. Tabib tadi itu adalah dia yang mengundang, jangan2 dia bersekongkol dengan tabib itu dan telah mengatur tipu muslihat keji apa2". Begitulah sambil memikir ia bertindak ketaman dibelakang rumah. Sampai diserambi samping, dilihatnya Go Him sedang ter-menung2 memandangi ikan mas di empang sambil bersandar lankan. "Go-sute", segera Jik Hong menegur, "lagi berbuat apa engkau di sini seorang diri". Ketika berpaling dan melihat penegur itu adalah Jik Hong, seketika muka Go Him berseri-seri, sahutnya: "Kukira siapa, tak tahunya adalah Suso. Engkau mengapa tidak menjaga Suko di atas loteng, tapi masih punya tempo luang untuk jalan2 kesini?"
"Ai, aku merasa sangat kesal," sahut Jik Hong sambil menghela napas, "Setiap hari selalu mendampingi orang sakit, dan semakin tangan Suko-mu kesakitan, perangainya juga bertambah kasar. Maka aku perlu keluar untuk jalan2 menghibur hati dan lara". Mendengar jawaban itu, sungguh girang Go Him melebihi orang dapat 'buntut', dengan cengar-cengir segera ia membumbui: "Ya, memang, engkau memang perlu istirahat dan menghibur diri. Sebenarnya Suko juga keterlaluan, punya isteri cantik sebagai engkau masih kurang terima, tapi malah suka mengamuk saja, sungguh keterlaluan". Jik Hong mendekati orang dan bersandar juga di atas lankan untuk memandangi ikan mas yang lagi berenang kian kemari dengan bebas ditengah empang itu, lalu sahutnya dengan tertawa: "Ah, Suso-mu ini sudah tua, masakan masih dikatakan cantik apa segala, bukankah akan dibuat tertawa orang?"
"He, mana bisa, mana bisa", cepat Go Him berkata, "Suso benar-benar sangat cantik. Diwaktu masih gadis engkau mempunyai kecantikan seorang gadis, sesudah menjadi Siaunaynay (nyonya muda) yuga tetap mempunyai kecantikan sebagai Siaunaynay. Tanyakan saja diseluruh kota Heng-ciu ini, siapa orangnya yang tidak mengatakan bahwa bunga tercantik adalah tertanam dikeluarga Ban". Sampai disini mendadak Jik Hong memutar tubuh dan mengangsurkan tangannya sambil berkata: "Mana, serahkan sini". "Serahkan apa?", tanya Go Him dengan tertawa. "Obat penawar itu", kata Jik Hong dengan muka membesi. "Obat penawar apa? Entah, aku tidak tahu, apakah kau maksudkan obat penawar untuk luka Ban-suko itu?," demikian Go Him berlaga pilon. "Benar!", sahut Jik Hong tegas. "Sudah terang kau yang mengambilnya". Go Him tertawa licik, sahutnya: "Tabib itu adalah aku yang mengundangkan, obat penawar adalah aku yang mengusahakan. Kini Ban-suko dibubuhi satu kali, paling tidak ia akan terhindar dari penderitaan untuk beberapa hari". "Tapi Sinshe itu bilang obat itu harus dibubuhkan ber-turut2 sepuluh kali", kata Jik Hong. "Ya, aku sungguh menyesal, sungguh aku menyesal", tiba-tiba Go Him goyang2 kepala. "Menyesal tentang apa?", tanya Jik Hong "Semula aku menyangka tabib kelilingan yang dekil seperti itu masakah mempunyai kepandaian apa2, maka aku mau mengundang dia ke atas loteng, tujuanku sebenarnya adalah ingin mencari kesempatan untuk melihat Suso, siapa duga, eh, keparat itu benar2 mempunyai obat mujarab untuk menyembuhkan racun disengat ketungging. Sudah tentu, sudah tentu, hal itu sangat bertentangan dengan maksud tujuanku", demikian tutur Go Him. Sungguh gusar Jik Hong tak terkatakan oleh cerita orang itu, tapi obat penawar yang dicarinya itu masih ditangan orang, ia harus bersabar untuk mendapatkan obatnya, habis itu baru akan membikin perhitungan dengan manusia rendah itu.
Maka dengan tertawa ia menjawab: "Habis kalau menurut kau, cara bagaimanakah kau mengharapkan balas jasa dari Sukomu agar engkau mau menyerahkan obat penawar itu?" Tiba2 Go Him menghela napas, sahutnya: Sam-suko sendiri sudah menikmati kebahagiaan selama beberapa tahun ini, kalau sekarang dia harus mati juga pantas rasanya". Air muka Jik Hong berubah seketika, tapi sedapat mungkin ia menahan perasaannya, dengan menggigit bibir ia diam saya. Maka Go Him berkata pula: "Waktu kau datang ke Heng-ciu untuk pertama kalinya, diantara kami berdelapan saudara seperguruan, siapakah orangnya yang tidak kesengsem padamu? Dan kami menjadi penasaran melihat sitolol Tik Hun itu siang malam senantiasa mendampingi engkau, maka kami be-ramai2 lantas berkomplot untuk menghajarnya hingga babak belur???????."
"He, kiranya kalian menghajar Sukoku itu malahan adalah disebabkan diriku?" kata Jik Hong. "Ya, memang", sahut Go Him, "Dan untuk menghajarnya sudah tentu harus dicari alasan. Maka kami sengaja menuduh dia suka menonjolkan diri buat bertempur dengan bandit Lu Thong hingga membikin malu kami yang menyadi anak murid keluarga Ban yang berkepentingan. Padahal tujuan kami adalah demi dirimu. Suso! Habis, kau menambalkan bajunya, mengajak bicara padanya dengan mesra, tentu saja kami 'minum cuka'!". Diam-diam Jik Hong terkesiap oleh cerita itu, pikirnya: "Apa benar peristiwa itu adalah gara2 diriku? Ai, Ban-long, mengapa selama ini kau tidak pernah mengatakan hal ini kepadaku?". Tapi ia masih pura2 tidak paham dan berkata pula dengan tertawa: "Ai, Go-sute, engkau ini memang pintar berkelakar. Padahal waktu itu aku aku adalah seorang gadis desa, seorang nona yang ke-tolol2an, dandananku juga mentertawakan orang, apanya sih yang menarik?"
"Tidak, tidak", uyar Go Him. "Orang cantik tulen justeru tidak perlu berdandan atau bersolek segala. Suso, bila bukan karena kesemsem padamu, tentu tidak sampai ????" ~ berkata sampai di sini mendadak ia berhenti dan tidak meneruskan lagi.
"Apa lagi", tanya Jik Hong "Setelah kami dapat menahan kau dirumah keluarga Ban ini, untuk mana aku orang she Go juga tidak sedikit mengeluarkan tenaga," kata Go Him pula, "akan tetapi, Suso, setiap kali kau bertemu muka dengan aku selalu bersikap dingin2 saya, tersenyum sekali saja padaku juga tidak pernah, coba, apakah hal itu tidak membikin hatiku menjadi panas". "Cis", semprot Jik Hong dengan tertawa, "Aku tinggal dirumah keluarga Ban, lalu aku menikah pada Suko-mu, semuanya itu adalah aku sendiri yang sukarela, tenaga apa yang pernah kau korbankan dalam urusan itu? Toh waktu itu kau tidak ikut membujuk padaku apa segala, ai, kenapa kau sembarangan omong saja?"
"Meng?????.. mengapa aku tidak korbankan tenaga?" bantah Go Him, "Cuma saja engkau sendiri yang tidak tahu." Jik Hong tambah curiga, segera katanya dengan membujuk: "Sute yang baik, coba katakanlah sebenarnya kau ikut mengorbankan tenaga apa, tentu Susomu ini takkan melupakan jasamu itu?" Go Him meng-goyang2 kepala, katanya kemudian: "Urusan itu sudah lama lalu, buat apa di-ungkat2 lagi? Andaikan kau mengetahui juga tiada gunanya". "Ya, sudahlah, jika kau tidak mau menerangkan, akupun tidak memaksa", kata Jik Hong. "Nah, Go-sute, lekaslah serahkan obat penawar itu padaku, kita berada berduaan disini jangan2 akan dipergoki orang dan akan menimbulkan sangkaan jelek". "Kalau siang hari memang kuatir dipergoki orang, tapi kalau malam hari tentu tidak kuatir lagi", uyar Go Him sambil tertawa. "Apa katamu", bentak Jik Hong tertahan dengan muka membeku sambil mundur setindak. Tapi dengan menyengir Go Him berkata pula: "Jika kau ingin menyembuhkan penyakit Ban-suko, hal ini tidak sulit asalkan nanti tengah malam kau datang ke gudang kayu sana, aku akan menunggu engkau di sana, Jika kau mau menurut pada keinginanku itu, aku lantas memberikan kadar obat yang cukup untuk dibubuhkan satu kali diluka Ban-suko". "Anjing keparat, kau berani omong begitu, apa kau tidak takut dicincang oleh Suhumu?" damperat Jik Hong dengan gemas. "Memangnya aku sudah siap untuk korbankan jiwaku ini, tegasnya aku sudah nekat," sahut Go Him. "Padahal Ban Ka sibocah apek itu apanya sih yang dapat menangkan aku? Soalnya ia adalah putera Suhu sendiri, hanya itu saja. Padahal semua orang toh ikut keluarkan tenaga, mengapa mesti dia sendiri yang menikmati wanita cantik sebagai engkau ini?" Jik Hong semakin curiga mendengar Go Him berulang-ulang mengatakan 'mengeluarkan tenaga'. Tapi karena Go Him lantas menghambur dengan kata2 makian kotor, ia benar2 tidak tahan lagi, maka katanya segera: "Kau mengaco-belo tak keruan, sebentar jika Kongkong pulang, biar akan kulaporkan padanya, lihat saja kalau dia tak membeset kulitmu". "Ha-ha, aku justeru ingin coba," sahut Go Him dengan menjengek. "Aku akan tunggu disini, asal Suhu memanggil aku, segera aku menuang isi botol ini untuk umpan ikan di dalam empang. Tadi aku sudah tanya tabib itu tentang obat penawar ini, dia bilang, obat ini hanya tinggal sebotol, untuk membuatnya lagi sedikitnya akan makan tempo setahun atau dua tahun." Sambil berkata ia terus mengeluarkan botol porselen itu, ia tarik sumbat botol dan dijulurkan keatas empang, asal tangannya sedikit miring, seketika obat penawar didalam botol itu akan tertuang kedalam empang, dan itu berarti jiwa Ban Ka takkan tertolong pula. Keruan Jik Hong menjadi kuatir, cepat serunya: "He, he! Jangan, jangan! Lekas kau simpan kembali obat itu, kita masih dapat berunding lagi". "Apa yang perlu dirundingkan lagi?", uyar Go Him dengan tersenyum iblis. "Jika kau ingin menolong jiwa suamimu, maka kau harus menurut apa yang kukatakan."
"Ya, pabila memang betul dahulu kau menaruh hati padaku dan pernah mengeluarkan tenaga demi diriku, maka?????. mungkin aku akan????. Tapi, ah, tidak bisa jadi, aku tidak percaya", demikian Jik Hong sengaja berkata. "He, hal itu sungguh2 seribu kali sungguh2, sedikitpun bukan omong kosong," cepat Go Him menegaskan. "Malahan itu adalah tipu-akalnya Samsute, dia suruh Ciu Kin dan Bok Heng menyamar sebagai Jay-hoa-cat untuk memancing sitolol Tik Hun kekamarnya si Mirah. Dan orang yang menaruhkan emas-intan dibawah ranjang Tik Hun itu tak lain tak bukan adalah aku Go Him sendiri. Coba, Suso, Jika kami tidak menggunakan akal itu, masakah kami dapat menahan engkau untuk tinggal dirumah keluarga Ban ini?"
Seketika Jik Hong merasa kepalanya pening dan pandangannya menjadi gelap. Ucapan Go Him itu mirip sebilah belati yang menikam ulu-hatinya. Tanpa merasa ia menjerit tertahan: "Oh, Allah! Jadi aku telah keliru mendakwa dia, aku salah menuduh dia yang sebenarnya tidak berdosa!". Sesaat itu Jik Hong agak sempoyongan, untung ia masih sempat memegangi lankan.
Sebaliknya Go Him sangat senang, katanya pula dengan suara lirih: "Suso, apa yang kukatakan ini sungguh2, lho! Dan jangan kau katakan kepada orang lain. Kami berdelapan saudara sudah bersumpah bahwa siapapun tidak boleh membocorkan rahasia ini kepada orang lain". Mendadak Jik Hong menjerit sekali, ia terus berlari pergi, ia mendorong pintu taman belakang terus berlari keluar dengan cepat. Dan Go Him masih berseru padanya: "He, kemanakah kau, Suso? Tengah malam nanti jangan lupa, ya!". Setelah keluar dari pintu belakang, Jik Hong terus menuju ketempat yang sepi dari orang, sesudah menyusur beberapa kebun sayur, akhirnya dilihatnya di arah barat sana ada sebuah Su-theng (rumah berhala pemujaan leluhur) kecil yang tak terawat, pintu rumah berhala itu setengah tertutup, segera ia mendorong pintu itu dan masuk kesitu. Maksud Jik Hong adalah ingin mencari suatu tempat yang sunyi agar dia dapat memikirkan secara tenang bahwasanya: "Tik Hun dipitenah orang atau bukan? Kitab kuna bekas miliknya itu darimanakah datangnya? Cara bagaimana menghadapi Go Him yang bermaksud jahat dengan memperalat obat penawar penyambung nyawa suaminya itu? Dan bagaimana sebenarnya dengan diri Ban-long sang suami? Begitulah Jik Hong bersandar disebatang pohon waru yang besar, sampai lama dan lama sekali tetap ia tak dapat menarik kesimpulan dan mengambil keputusan. Se-konyong2 terdengar suara kelotak-kelotek orang berjalan dari dalam Su-theng itu tahu2 muncul seseorang. Itulah seorang wanita setengah umur dengan rambutnya yang panjang kusut terurai tak keruan, bajunya rombeng dan dekil sekali. Melihat Jik Hong, wanita dekil itu tampak agak takut2, dengan menyisir pelahan2 ia menyelinap masuk kedalam rumah berhala itu. Dan baru ia melangkah masuk keruangan dalam, kembali ia menoleh memandang sekejap lagi pada Jik Hong, rupanya sekali ini ia dapat mengenali siapa Jik Hong, tanpa terasa ia menjerit kaget. Waktu Jik Hong memandangnya hingga sinar mata kedua orang kebentrok, tanpa kuasa lagi wanita itu mendadak berlutut serta memohon padanya: "Siau-naynay (nyonya muda), ha??..harap jangan kau ka??..katakan aku berada di??disini."
Keruan Jik Hong heran sebab ia merasa tidak kenal wanita dekil itu, ia tanya: "Siapakah kau? Untuk apa kau berada disini?"
"O, ti??tidak apa2, aku ??aku adalah seorang pengemis," sahut wanita itu dengan gelagapan, habis itu, ia lantas berbangkit dan masuk keruangan dalam dengan langkah cepat. Pikiran Jik Hong tergerak oleh tingkah-laku wanita kotor yang tidak dikenal itu, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres atas wanita itu. Tapi lantas berpikir pula olehnya: "Ah, aku sendiri sudah cukup kesal menghadapi macam2 urusan, buat apa ikut campur urusan orang lain lagi?" Lalu ia membatin. "Keparat Go Him itu mengatakan cara mereka mempitenah Tik-suko, hal itu pastilah betul dan bukan omong ksosong, lantas kitab itu ??kitab itu ??.." Berpikir sampai disini tanpa merasa ia pegang dahan pohon waru disampingnya dan digoyangkan pelahan hingga daun waru kering jatuh berserakan. Pada saat itulah ia dengar suara orang berlari, kiranya siwanita dekil tadi telah merat melalui pintu belakang Su-theng itu. Jik Hong semakin heran, pikirnya: "Entah mengapa wanita ini demikian takutnya padaku ???Ha, teringatlah aku, dia??.dia adalah Tho Ang, si Mirah ??.." Demi mengenali si Mirah itu, dengan cepat Jik Hong lantas memburu kepintu belakang sana, segera ia cabut belatinya sambil membentak: "Tho Ang, kau berbuat apa secara sembunyi2 disini?" Memang wanita dekil itu betul adalah Tho Ang alias si Mirah, itu gundiknya Ban Cin-san dahulu yang katanya bergendakan dengan Tik Hun dan tertangkap basah itu. Ketika namanya dipanggil Jik Hong, memangnya si Mirah sudah gugup, apalagi melihat nyonya muda itu menghunus belati lagi, keruan ia ketakutan setengah mati, dengan gemetar ia berlutut pula sambil memohon: "Siau??.Siau-naynay, am??.. ampunilah aku!" Jik Hong sangat heran oleh kelakuan wanita itu. Sejak dia tinggal didalam keluarga Ban, ia hanya bertemu beberapa kali dengan Tho Ang, tidak lama kemudian lantas tidak pernah bertemu pula. Apalagi setiap kali bila teringat kejadian Tik Hun hendak kabur bersama si Mirah itu, rasa hatinya menjadi seperti di-sayat2, lantaran itulah maka menghilangnya Tho Ang itupun tidak pernah digubrisnya. Siapa duga wanita bejat itu ternyata sembunyi didalam Su-theng atau rumah berhala bobrok ini. Su-theng ini jaraknya tidak jauh dari rumah keluarga Ban, tapi sejak Jik Hong menjadi nyonya mantu, penghidupan yang dia tuntut sudah berbeda daripada waktu perawan hidup dikampung halamannya sana, ia tidak pernah keluyuran diluaran lagi, walaupun sering juga keadaan Su-theng bobrok itu dilihat olehnya dari jauh, tapi belum pernah ia memasukinya. Keadaan Tho Ang sekarang juga tak keruan, rambutnya kusut masai, mukanya kurus pucat, hanya beberapa tahun tidak berjumpa tampaknya malah sudah lebih tua beberapa puluh tahun, makanya Jik Hong pangling. Cuma Tho Ang sendiri yang ketakutan hingga menimbulkan curiga Jik Hong dan sesudah di-pikir2, akhirnya teringat juga olehnya diri si Mirah itu. Coba kalau Tho Ang tinggal pergi pelahan2 seperti tidak terjadi apa2, sedang Jik Hong sendiri lagi kusut pikirannya tentu dia takkan diperhatikan.
Begitulah Jik Hong lantas geraki belatinya sambil mengancam: "Apa yang kau lakukan dengan sembunyi2 disini? Hayo lekas mengaku terus terang!"
"Aku ti??tidak berbuat apa2," sahut Thoa Ang dengan ketakutan. "Siaunaynay, aku ??aku telah diusir oleh Loya, beliau mengatakan bila kepergok aku masih berada di Hengciu sini, tentu aku ??.aku akan dibunuh olehnya, akan tetapi??akan tetapi aku tiada mempunyai tempat lain lagi, terpaksa??terpaksa sembunyi disini untuk cari hidup dengan minta2 sesuap nasi. Siau??..Siaunaynay, selain Hengciu, aku tidak tahu kemana aku harus pergi? Maka sukalah??sukalah Siaunaynay berbuat bajik, jangan??janganlah katakan pada Loya tentang diriku." Mendengar ratapan orang yang cukup kasihan itu, Jik Hong lantas simpan kembali belatinya. Katanya kemudian: "Sebab apa kau diusir Loya? Mengapa aku tidak tahu?"
"Akupun tidak??..tidak tahu sebab apa mendadak Loya tidak suka padaku lagi," tutur Tho Ang. "Padahal Tik??.urusan orang she Tik itu bukanlah salahku. Ai, tidak??..tidak seharusnya aku bercerita tentang ini."
"Kau tidak mau bercerita juga boleh, sekarang juga kuseret kau pergi menemui Loya," ancam Jik Hong sambil jambret lengan baju si Mirah. Keruan si Mirah ketakutan, dengan gemetar ia berkata: "Aku ??.aku akan bercerita! Siaunaynay, apa yang kau ingin tahu?"
"Ceritakan tentang orang??.orang she Tik itu, sebenarnya bagaimana duduknya perkara? Sebab apakah kau hendak kabur bersama dia?" demikian kata Jik Hong. Saking takut dan gugupnya hingga Tho Ang ternganga dan terbelalak tanpa bisa bicara. Dengan mata tak berkesip Jik Hong pandang lekat2 wanita itu, rasa takut dalam hatinya mungkin berpuluh kali lebih hebat daripada si Mirah. Yang ditakutkan adalah cerita si Mirah, jangan2 cerita itu akan menyatakan bahwa: Waktu itu memang benar Tik Hun telah memperkosanya. Tapi karena sesaat itu Tho Ang tidak dapat bicara, maka wajah Jik Hong menjadi pucat lesi, jantungnya se-akan2 berhenti berdenyut, saking tegangnya. Akhirnya, mengakulah Tho Ang: "Kejadian itu bukan??..bukan salahku, Siauya (tuan muda) yang suruh aku berbuat begitu, suruh aku peluk orang she Tik itu se-kencang2nya serta menuduh dia hendak memperkosa diriku dan membujuk aku agar kabur bersama. Hal ini telah kututurkan kepada Loya, sebenarnya Loya toh percaya juga, tapi??.tapi akhirnya tetap beliau mengusir aku." Sungguh Jik Hong merasa sangat terima kasih dan berduka, merasa penasaran dan merasa kasihan. Dalam hati ia meratap: "O, Suko, jadi akulah yang telah salah sangka jelek padamu, seharusnya aku mengetahui hatimu yang suci murni, tapi toh aku telah menyangka jelek dan membikin susah padamu!" Begitulah ia tidak dendam pada Tho Ang, sebaliknya ia malah agak berterima kasih, untunglah wanita itu yang telah membuka ikatan hatinya yang tertekan selama ini. Didalam rasa duka dan pedihnya itu tiba2 terasa pula semacam rasa manis diantara rasa pahit getir. Meski selama ini ia telah menjadi isterinya Ban Ka, tetapi orang yang benar2 dicintainya didalam lubuk hatinya selalu hanya seorang yaitu Tik Hun. Sekalipun sang Suko itu mendadak berubah pikiran, sekalipun jiwanya ternyata kotor dan rendah, biarpun seribu kali pemuda itu berbuat salah, seribu kali berhati palsu, tapi hanya dia, ya hanya dia, tetap dia seoranglah yang selalu dikenangkan dan dirindukan oleh Jik Hong. Mendadak segala rasa benci dan dendam telah berubah menjadi sesal dan duka pada diri sendiri, pikirnya: "Pabila sejak dulu aku tahu duduknya perkara, sekalipun menghadapi bahaya apapun juga pasti akan kutolong dia keluar dari penjara. Tapi dia telah menderita sehebat itu, entah cara bagaimana dia akan pikir atas ???atas diriku?" Melihat Jik Hong diam saja, Tho Ang coba melirik nyonya muda itu, lalu katanya dengan suara gemetar: "Siaunaynay, banyak terima kasih pabila sudi membiarkan aku pergi, aku akan ???.akan tinggalkan Hengciu ini dan takkan kembali kesini untuk selamanya." Jik Hong menghela napas, katanya kemudian: "Ah, sebab apakah Loya mengusir kau? Apa kuatir aku mengetahui duduknya perkara itu? Tetapi, hai mungkin sudah takdir ilahi, secara kebetulan harini aku telah pergoki kau disini." Habis berkata iapun lepaskan pegangannya pada lengan baju orang. Mestinya ia ingin memberikan persen sedikit uang perak, tapi ia keluar secara buru2 hingga pada sakunya tidak terdapat apa2. Melihat Jik Hong sudah melepaskan dirinya, kuatir akan terjadi apa2 lagi, buru2 Tho Ang melangkah pergi, tapi mulutnya masih menggumam: "Habis, di waktu malam Loya tentu ketemu setan, tentu memasang tembok, mengapa aku yang disalahkan? Toh bukan aku yang sembarangan omong." Mendengar itu, cepat Jik Hong memburu maju dan bertanya: "Kau omong apa? Melihat setan dan pasang tembok apa katamu?" Tho Ang sadar telah kelepasan mulut lagi, cepat ia menyahut: "O tidak ada apa2, tidak ada apa2. Aku bilang Loya sering melihat setan diwaktu malam, ditengah malam selalu bangun untuk memasang tembok." Melihat tingkah-laku orang yang angin2an itu, Jik Hong pikir mungkin sejak si Mirah itu diusir oleh Kongkong (bapak mertua) penghidupannya sangat susah, maka pikirannya menjadi kurang waras. Habis, masakah Kongkong dikatakan tengah malam bangun untuk pasang tembok? Padahal didalam rumah tidak pernah dilihatnya tembok yang dipasang Kongkong. Rupanya Tho Ang kuatir nyonya muda itu tidak percaya, maka ia mengulang lagi: "Ya, dia pasang tembok, tapi tembok ??.tembok palsu. Setiap tengah malam Loya suka??.suka menjadi tukang batu maka aku telah mengatai dia beberapa kata, dan dia lantas marah2, aku dihajar hingga babak-belur, kemudian aku diusirnya pula??.." ~ Begitulah sambil mengomel dan menggerundel tak habis2, ia terus mengeloyor pergi dengan beringsat-ingsut. Jik Hong menjadi terharu memandangi bayangan wanita celaka itu, pikirnya: "Paling banyak ia cuma lebih tua 10 tahun daripadaku, tapi ia telah berubah sedemikian jeleknya. Entah mengapa Kongkong telah mengusirnya? Mengapa dia mengatakan Kongkong melihat setan dan pasang tembok ditengah malam buta? Ah, mungkin pikiran wanita ini memang tidak waras lagi. Ai, disebabkan seorang wanita goblok seperti ini. Suko telah merana selama hidup dan akupun menderita selama ini!" ~ Berpikir sampai disini, bercucuran air matanya. Begitulah Jik Hong menangis hingga sekian lamanya sambil bersandar dibatang pohon waru itu, tapi sehabis menangis hatinya yang pepet tadi menjadi agak lega, perlahan2 barulah ia pulang kerumah. Ia tidak melalui taman belakang lagi, tapi masuk dari pintu samping terus kembali keatas loteng sendiri. Begitu mendengar suara tangga loteng itu, segera Ban Ka bertanya dengan tak sabar: "Hong-moay, obat penawarnya didapatkan tidak?" Jik Hong tidak menjawab, ia terus masuk kekamar, ia melihat Ban Ka duduk diatas ranjang dengan sikap yang tidak sabar menunggu lagi, tangannya yang terluka itu terletak ditepi ranjang, darah hitam setetes demi setetes merembes keluar dari punggung tangannya dan jatuh kedalam baskom yang menadah dibawah ranjang itu. Dara cilik Khong-sim-jay sudah lama tidur disebelah kaki ayahandanya. Tadi sesudah mendengar cerita Go Him hingga berlari keluar rumah, dalam hati Jik Hong sebenarnya penuh rasa murka terhadap Ban Ka. Ia benci kepada caranya yang keji dan kotor itu untuk mempitenah Tik Hun. Tapi kini demi melihat air muka sang suami yang tampan pucat itu, cinta kasih suami-isteri selama beberapa tahun ini kembali membuatnya lemah hati. Pikirnya: "Ya, betapapun adalah karena Ban-long cinta padaku, makanya dia berusaha menyingkirkan Tik-suko, caranya memang keji hingga membikin Suko kenyang menderita, tapi kesemuanya itu adalah demi diriku." Dan karena tiada mendapat jawaban, maka Ban Ka telah bertanya pula: "Obat penawarnya sudah dibeli lagi belum?" Karena bingung apakah mesti memberitahukan atau tidak kepada suami tentang kelakuan Go Him yang kurangajar itu, maka segera ia menjawab: "O, aku sudah ketemukan tabib itu, aku telah memberikan uang lagi dan minta dia segera meramukan obatnya." Mendengar itu, barulah Ban Ka merasa lega hatinya, katanya. "Hong-moay, jiwaku ini akhirnya engkaulah yang menyelamatkan." Jik Hong paksakan diri tertawa, ia merasa bau darah berbisa yang berada didalam baskom itu sangat menusuk hidung, segera ia membawakan sebuah tempolong ludah untuk menggantikan baskom itu, lalu baskom itu dibawanya keluar. Tapi baru beberapa langkah, bau darah berbisa itu menerjang hidungnya hingga kepalanya terasa pening, diam2 ia mengakui betapa lihaynya racun ketungging itu. Cepat ia keluar kamar, ia taruh baskom itu dilantai ditepi meja, lalu ia hendak mengambil saputangan dari bajunya untuk menutupi hidung, kemudian darah berbisa itu akan dibuangnya. Tapi begitu tangannya menjulur kedalam saku, segera ia memegang kitab kuno itu. Ia tertegun sejenak, kembali hatinya ber-debar2 lagi, ia mengeluarkan kitab itu, ia duduk ditepi meja, lalu satu halaman demi satu halaman dibaliknya. Ia masih ingat dengan jelas kitab itu diambilnya dari bawah sebuah kopor rusak milik sang ayah yang penuh tersimpan baju lama, waktu itu ia sedang mencari sesuatu baju lama dan tanpa sengaja telah diketemukan kitab itu. Padahal ia tahu ayahnya tidak banyak makan sekolah, biarpun huruf segede telur juga tiada dua keranjang yang dikenalnya, entah darimana sang ayah menemukan kitab seperti itu. Tatkala itu kebetulan ia baru selesai menggunting dua buah pola sulaman, maka ia lantas selipkan kertas pola kedalam buku itu. Dan ketika suatu hari ia bermain lagi kegua rahasia itu bersama Tik-suko, kitab itu sekalian lantas dibawanya kesana, sejak itu kitab itupun selalu tertinggal didalam gua, mengapa sekarang bisa diketemukannya disini? Apakah Tik-suko menyuruh tabib kelilingan tadi menghantarkannya padaku? Tabib itu??.. jangan2 ?? kelima jarinya terpapas putus semua oleh Go Him? Ya, tabib itu mengapa??. Mengapa selalu menyembunyikan tangan kanan didalam saku." Begitulah se-konyong2 Jik Hong teringat pada waktu itu. Di kala tabib keliling itu membubuhi obat pada Ban Ka tiada seorangpun yang memperhatikan tangan yang digunakan sitabib adalah tangan kiri dan tidak pernah memakai tangan kanan, kini demi teringat dahulu jari tangan kanan Tik Hun pernah terpapas putus oleh Go Him, seketika terbayanglah kembali adegan2 tadi waktu sitabib membuka peti obat, mengambil botol obat dan membuka sumbat botol serta menuang obat bubuk itu, ya, kesemuanya itu melulu dilakukan oleh tangan kiri sitabib. "Jangan2??. Jangan2 tabib itu adalah Tik-suko? Tapi mengapa mukanya sedikitpun tidak sama?" demikian pikir Jik Hong. Dan saking kusut dan kesalnya, ia menjadi berduka, air matanya bercucuran dan menetes diatas kitab yang dipegangnya itu. Air matanya menetes terus hingga membasahi kitab kuno dan hal mana belum disadari oleh Jik Hong, air matanya menetes diatas sepasang kupu2 guntingan kertas, yaitu kupu2 San Pek dan Eng Tay, nasib percintaan mereka baru akan terjalin sesudah keduanya mati semua ??? Dalam pada itu Ban Ka sedang berseru didalam kamar: "Hong-moay, aku merasa gerah sekali, aku ingin bangun untuk jalan2 sebentar." Tapi Jik Hong sendiri lagi tenggelam dalam lamunannya, maka tidak mendengar suara sang suami itu. Waktu itu ia sedang memikir: "Tempo hari dia (Tik Hun) telah mematikan seekor kupu2 hingga sepasang kekasih telah dicerai-beraikan olehnya. Apakah dia telah ketulah oleh perbuatannya itu dan hidupnya ini diharuskan merana dan menderita!??? Dan pada saat itulah mendadak dibelakangnya seorang telah berseru dengan suara kaget. "He, itulah ??..Soh ??? Soh-sim-kiam-boh!" Keruan Jik Hong juga berjingkrak kaget, cepat ia menoleh, ia melihat Ban Ka dengan wajah kegirangan dan penuh semangat sedang berkata: "He, Hong-moay, darimanakah kau memperoleh kitab itu? Lihatlah, aha, kiranya begitu, kiranya demikian!" Segera ia memburu maju, dengan kedua tangannya ia memegang kitab kuno ditangan isterinya. Ia balik sampul kitab itu, dengan jelas dibacanya judul kitab itu adalah "Tong-si-soan-cip" (pilihan2 syair jaman Tong). Kemudian ia melihat halaman yang ketetesan air mata Jik Hong itu adalah sebuah syair yang berkalimat "Seng-ko-si" dan disamping bawahnya timbul tiga huruf kecil ke-kuning2an, ketiga huruf itu adalah "tiga puluh tiga" atau dalam angka menjadi "33". Beberapa baris tulisan itu telah basah kena air mata Jik Hong. Saking girangnya Ban Ka sampai lupa daratan, ia ber-teriak2: "Aha, disinilah letak rahasianya, ya, kiranya harus dibasahi dahulu, lalu akan timbul hurufnya. Bagus! Bagus! Tentu adalah kitab ini. He, Khong-sim-jay, Khong-sim-jay, lekas pergi mengundang Engkong kemari, katakan ada urusan penting!" Begitulah ia lantas membangunkan sidara cilik yang lagi tidur nyenyak itu dan disuruhnya pergi mengundang sang Engkong (kakek), yaitu Ban Cin-san. Sambil memegangi kitab syair itu dengan erat2, Ban Ka menjadi lupa tangannya yang terluka dan kesakitan itu, sebaliknya ia terus bicara sendiri: "Ya, pasti inilah kitabnya, tentu tidak salah lagi. Ayah bilang Kiam-boh itu berwujut sejilid Tong-si-soan-cip, tentu tidak salah lagi, apakah perlu disangsikan lagi sekarang? Hahaha, pantas lebih dulu harus membikin basah kitab ini dan dengan sendirinya rahasianya akan timbul sendiri." Karena luapan rasa girang yang tak terkendalikan, maka Ban Ka telah mengoceh tak tertahan, hal mana telah membikin Jik Hong menjadi paham juga duduknya perkara. Pikirnya: "Apakah kitab ini adalah 'Soh-sim-kiam-boh' yang dibuat rebutan antara ayahku dan Kongkong itu? Jika begitu, sebenarnya kitab ini telah didapatkan oleh ayahku, tapi secara tak sadar aku telah mengambilnya untuk menjepit pola sepatu. Tapi waktu ayah kehilangan kitab pusaka ini, mengapa beliau tidak kelabakan dan mencarinya? Ah, tentu juga sudah dicarinya, cuma dicari kesana kesitu tidak ketemu, lalu disangkanya telah dicuri oleh Gian-supek dan diantepin saja. Mengapa dahulu ayah tidak tanya padaku tentang kitab yang hilang itu? Sungguh sangat aneh!" Jika Tik Hun, tentu sekarang ia takkan heran sedikitpun, sebab ia sudah tahu Jik Tiang-hoat itu adalah seorang yang licin, seorang yang banyak tipu akalnya, sekalipun didepan puterinya juga sedikitpun tidak mau mengunjukan sesuatu tentang kitab pusaka Soh-sim-kiam-boh itu. Waktu kitab itu hilang, tentu juga ia berusaha mencarinya ubek2an, tapi sesudah tidak diketemukan kembali, ia lantas pura2 tidak terjadi apa2, hanya diam2 ia menyelidiki dengan segala jalan untuk memperhatikan apakah kitab itu bukan dicuri oleh Tik Hun? Atau dicuri puterinya? Tapi disebabkan Jik Hong tidak merasa mencuri, ia tidak perlu takut sebagaimana seorang maling kuatir konangan, maka dengan sendirinya penyelidikan Jik Tiang-hoat menjadi sia2. Dalam pada itu Ban Cin-san baru saja pulang, ia sedang diruangan makan. Ketika ia dipanggil cucu perempuannya, ia sangka luka puteranya mungkin berubah buruk, maka belum lagi sarapannya dihabiskan dia sudah lantas buru2 kebelakang sambil membopong sidara-cilik. Dan begitu ia melangkah keatas loteng, dia lantas mendengar suara seruan Ban Ka yang kegirangan. "Haha, di-cari2 tidak ketemu, siapa duga diperoleh secara begini mudah. Eh, Hong-moay, mengapa engkau kebetulan membasahi kitab ini dengan air? Sungguh kebetulan, mungkin memang takdir ilahi!" Sudah tentu ia tidak tahu bahwa air yang membasahi kitab itu adalah air mata sang isteri yang barusan sedang merindukan seorang laki2 lain. Begitulah Ban Cin-san menjadi lega demi mendengar suara sang putera itu, segera iapun masuk kedalam kamar. "Tia, Tia! Lihatlah, apakah ini?" seru Ban Ka segera sambil mengunjukan kitab 'Pilihan2 syair jaman Tong' itu kepada sang ayah yang baru masuk itu. Hati Ban Cin-san tergetar demi nampak kitab ke-kuning2an yang tipis itu, cepat ia taruh Khong-sim-jay ketanah, lalu terima kitab yang diangsurkan Ban Ka itu dengan hati ber-debar2 hebat. Itulah dia "Soh-sim-kiam-boh" yang telah dicarinya mati2an selama belasan tahun kini telah kembali didepan matanya. Memang benar inilah kitabnya, kitab asli yang pernah dimilikinya bersama Jik Tiang-hoat dan Gian Tat-peng, yaitu hasil rampokan mereka bersama dengan menganiaya guru mereka. Dahulu mereka bertiga telah mem-balik2 dan mempelajari bersama isi kitab itu didalam hotel, akan tetapi kitab itu toh bukan "Kiam-boh" sebagaimana orang sangka, kitab itu tidak lebih hanya sejilid kitab syair kuno yang umum, kitab "Tong-si-soan-cip" yang juga dapat dibeli dengan mudah disetiap toko buku setiap tempat. Dengan macam2 jalan mereka bertiga saudara perguruan telah menyelidiki isi kitab itu. Pernah mereka menyorot setiap halaman kitab itu dibawah sinar matahari dengan harapan menemukan apa2 didalam lempitan kertas itu, pernah juga mereka membaca beberapa bait syair itu dijungkir balik, dibaca pula secara me-lompat2 dan macam2 cara lagi dengan tujuan mendapatkan sesuatu rahasia didalamnya, tapi semua usaha itu hanya sia2 belaka, hasilnya nihil. Mereka bertiga saling curiga mencurigai, kuatir kalau pihak lain menemukan rahasia didalam kitab itu dan dirinya sendiri tidak tahu. Maka setiap malam diwaktu tidur, mereka lantas mengunci kitab itu didalam sebuah peti besi, peti besi itu digandeng pula dengan tiga utas rantai besi serta masing2 diikat dipergelangan tangan mereka bertiga. Akan tetapi pada suatu pagi hari, tahu2 kitab itu sudah menghilang tanpa bekas. Akibat hilangnya kitab itu selama belasan tahun mereka bertiga saudara perguruan telah bertengkar tidak habis2, masing2 saling selidik menyelidiki. Dan mendadak kitab itu telah muncul didepan matanya sekarang. Ban Cin-san coba membalik halaman keempat dari kitab itu. Ya, memang betul, ujung kiri halaman itu tersobek sedikit, itulah kode rahasia yang sengaja dibuatnya tempo dulu, ia kuatir kedua Sutenya itu mungkin menukarnya dengan sejilid "Tong-si-soan-cip" yang serupa dan dirinya tertipu, maka ia sendiri harus menaruh sesuatu tanda dulu diatas kitab asli itu. Ketika ia membalik pula halaman ke-16, benar juga bekas goresan kuku yang ditaruhnya dahulu itu juga masih kelihatan. Ya, tidak salah lagi, memang betul kitab ini tulen adanya. Begitulah ia lantas manggut2, sedapat mungkin ia menahan rasa senangnya itu, katanya kemudian kepada sang putera: "Ya, memang betul adalah kitab ini, darimana kau memperolehnya?" Segera sorot mata Ban Ka beralih kepada Jik Hong dan bertanya: "Hong-moay, darimanakah kitab ini kau temukan?" Jik Hong sendiri sejak melihat sikap Ban Ka tadi, yang terpikir olehnya melulu diri ayahnya saja, ia pikir: "Kemanakah perginya ayah selama ini? Sesudah aku mengambil kitabnya ini dan kubawa kedalam gua itu, beliau mencari ubek2an. Padahal kitab ini yang selalu dibuat incaran dan menyebabkan pertengkaran mereka, dalam hati ayah tentu sangat luar biasa sayang kepada kitab ini. Entah kitab kuno seperti ini mempunyai manfaat apa hingga mesti mereka ributkan? Tapi dahulu aku telah mengambilnya dari kopor ayah, sekali2 tidak boleh kubiarkan kitab ini jatuh ditangan Kongkong." Apabila sehari dimuka, pada waktu itu Jik Hong masih belum tahu duduknya perkara tentang penderitaan Tik Hun yang dipitenah orang, tentu ia masih sangat cinta dan penuh kasih-sayang kepada suaminya, dan dalam penilaiannya mungkin sang suami akan lebih utama daripada ayahnya sendiri, apalagi sang ayah entah kemana perginya selama ini, entah akan pulang lagi atau tidak? Namun keadaan sekarang sudah berubah lain. "Sekali2 kitab ayahku itu tidak boleh kubiarkan jatuh ditangan mereka. Tentu Tik-suko yang telah mengambil kitab ini dari gua dan diserahkan padaku, dengan sendirinya tidak boleh kuberikan pada mereka, hal ini bukan saja demi ayah, tapi terutama demi Tik-suko!" demikian ia ambil keputusan. Begitulah maka waktu Ban Ka bertanya padanya darimana diperoleh kitab itu, Jik Hong sendiri lagi memikirkan cara bagaimana harus merebut kembali kitab yang telah dipegang oleh bapa mertuanya itu. Padahal ilmu silat Ban Cin-san sangat tinggi, sekali2 dirinya bukan tandingannya apalagi sang suami juga berada disitu, untuk merebutnya denggan kekerasan terang tidak mungkin. Mendadak tertampak olehnya baskom yang terletak didekat meja sana, didalam baskom masih terisi setengah baskom air darah, yaitu sebagian adalah air cuci muka Ban Ka dan darah berbisa yang menetes dari luka tangannya. Air didalam baskom itu berwarna merah hitam, kalau?? kalau diam2 kitab itu direndam didalam air baskom, tentu mereka takkan menemukannya kembali. Akan tetapi, cara bagaimana, harus dicari kesempatan untuk memasukkan kitab itu kedalam baskom? Demikian Jik Hong sedang putar otak, sebaliknya sorot mata Ba Cin-san dan Ban Ka juga sedang diarahkan padanya. Kembali Ban Ka mengulangi pertanyaannya: "Hong-moay, darimanakah kau memperoleh kitab ini?" Baru sekarang Jik Hong terkesiap, cepat ia menyahut: "Ah, entahlah, akupun tidak tahu, tadi aku keluar dari kamar dan tahu2 melihat kitab itu diatas meja. Apakah itu bukan milikmu?" Karena seketika itu tidak jelas duduknya perkara, maka sementara Ban Ka tidak mengusut lebih jauh, yang terpikir olehnya ialah ingin lekas memberitahukan kepada sang ayah tentang pengalamannya yang luar biasa tadi. Maka ia lantas berkata kepada Ban Cin-san: "Lihatlah, ayah! Asal halaman kitab ini dibasahi, lantas timbul hurufnya disitu." ~ Segera iapun menunjukkan angka "33" yang terdapat disebelah kalimat syair "Seng-ko-si" itu. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa air yang membasahi halaman kitab itu adalah air mata sang isteri, air mata rindu sang isteri kepada seorang laki2 lain yang bernama Tik Hun. Kalau dia tahu, entahlah bagaimana perasaannya, akan girang atau akan marah? Dalam pada itu Ban Cin-san sedang meneliti syair "Seng-ko-si" itu, ia lagi meng-hitung2 huruf syair satu demi satu, mulai dari suatu bait yang berbunyi: "Loh-cu-tiong-hong-siang??." hingga achirnya jatuh pada huruf "He-hong-seng??." Itu dia, huruf ke-33 jatuh pada huruf "Seng"! Ban Cin-san gablok pahanya sendiri sekali dan berseru: "Tepat! Memang beginilah caranya, ya beginilah caranya! Kiranya rahasianya terletak disini! Hai, Ka-ji, engkau benar2 sangat pintar, syukur dapatlah kau menemukan caranya ini. Memang harus memakai air, ya, harus pakai air! Sungguh tolol, dahulu kami justeru tiada seorangpun yang memikirkan tentang pemakaian air untuk menemukan rahasia didalam kitab ini!" Melihat kedua orang itu penuh semangat asyik mempelajari rahasia yang tersimpan didalam kitab itu, segera Jik Hong menarik puterinya kedalam kamar sana, ia pondong dara cilik itu didalam pangkuannya dan pelahan2 berkata padanya: "Khong-sim-jay, kau lihat baskom itu bukan?"
Dara cilik itu manggut2, sahutnya: "Ya, tahu!"
"Nah, sebentar kalau Engkong, ayah dan ibu berlari keluar semua, kau lantas melemparkan buku yang dipegang Engkong tadi kedalam baskom agar kerendam air kotor itu, jangan sampai diketahui oleh Engkong dan ayah, ya," demikian Jik Hong mengajarkan puterinya. Sidara cilik kegirangan, disangkanya sang ibu hendak mengajarkan suatu permainan yang menarik padanya, maka dengan tertawa ia bersorak: "Bagus, bagus!"
"Tapi jangan sekali2 diketahui oleh Engkong dan ayah, lho! Kemudian kaupun jangan katakan pada mereka, ya!" pesan Jik Hong pula. "Ya, Khong-sim-jay pasti takkan bilang pada mereka, pasti tidak!" seru sidara cilik. Lalu Jik Hong keluar kamar depan lagi, katanya kepada Ban Cin-san: "Kongkong, aku merasa didalam kitab itu ada sesuatu yang ganjil." Cin-san menoleh, tanyanya: "Ganjil apa sih?" ~ Memangnya ia sendiri juga merasa was-was karena munculnya kitab itu secara mendadak, datangnya terlalu mudah, hal mana bukanlah sesuatu alamat baik. Maka ia bertambah pikiran demi mendengar ucapan nyonya mantunya itu. "?ni, disini!" kata Jik Hong kemudian sambil mengulurkan tangannya. Ban Cin-san lantas serahkan kitab syair itu kepadanya. Sesudah Jik Hong mem-balik2 halaman kitab itu, kemudian dikeluarkannya sepasang pola kupu2 itu dan berkata: "Kongkong, didalam kitabnya dahulu apakah terdapat sepasang kupu2 kertas semacam ini?" Cin-san terima kupu2 kertas itu dan mengamat-amatinya, lalu sahutnya: "Ya, tidak ada!"
"Habis apa artinya kupu2 kertas didalam kitab ini?" ujar Jik Hong. "Apakah didalam Bu-lim terdapat seseorang tokoh yang berjuluk 'Hek-oh-tiap' (kupu2 hitam) dan sebagainya? Dengan meninggalkan kupu2 kertas ini didalam kitab, mungkin adalah tanda peringatan bahwa mereka akan datang menuntut balas?" Biasanya memang sering terjadi didalam Kangouw bahwa sebelum menuntut balas, seorang telah mengirimkan tanda peringatan lebih dulu kepada orang yang akan didatanginya. Dan selama hidup Ban Cin-san justeru tak terhitung banyaknya kejahatan yang pernah diperbuatnya, dengan sendirinya ia terkejut mendengar ucapan Jik Hong itu, apalagi kupu2 kertas memang nyata terselip didalam kitab itu. Ia coba meng-ingat2 apakah pernah memusuhi seorang tokoh yang berjuluk 'Hek-oh-tiap' dan sebagainya? Tapi seingat dia toh tidak ada. Selagi ia merenung, mendadak terdengar Jik Hong membentak: "Siapa itu? Ada apa main sembunyi2 disitu?" ~ Segera ia tuding keatas wuwungan rumah diluar jendela, maka berbareng Ban Cin-san dan Ban Ka memandang kearah sana, tapi toh tiada terdapat apa-apa. Cepat Jik Hong sambar sepasang pedang yang tergantung didinding, ia lemparkan sebatang kepada Ban Cin-san dan sebatang kepada Ban Ka, serunya pula. "Aku melihat tiga sosok bayangan orang berkelebat kesana!" Sementara Cin-san dan Ban Ka menyambuti pedang yang dilemparkan Jik Hong itu, segera Jik Hong lantas tarik laci meja dan masukan kitab syair itu kedalamnya dan sambil berbisik: "Jangan sampai dicuri musuh!" Ban Cin-san berdua percaya saja, mereka memanggut. Segera mereka bertiga melompat keluar jendela dan naik keatas rumah, waktu memandang sekeliling situ, namun tiada tertampak seorangpun. "Coba periksa kebelakang sana!" kata Cin-san. Bertiga orang terus menguber kerumah belakang sana. Tiba2 terlihat sesosok bayangan orang berkelebat dipengkolan sana, segera Cin-san membentak: "Siapa itu?" ~ Dan waktu ia melesat maju, kiranya orang itu bukan lain adalah muridnya nomor enam, yaitu Go Him adanya. "Kau melihat musuh tidak?" tanya Cin-san pula. Sebenarnya wajah Go Him sudah pucat seperti mayat, ia ketakutan setengah mati ketika mendadak melihat Suhu bertiga menguber kearahnya dengan senjata terhunus, ia mengira perbuatannya yang kotor itu telah dilaporkan oleh Jik Hong. Dan demi mendengar pertanyaan sang guru itu, barulah ia merasa lega. Cepat ia menayhut: "Ya, barusan seperti ada orang berlari lewat sini, makanya Tecu lantas memburu kemari untuk mencari tahu apa yang telah terjadi." Sebenarnya jawabannya itu adalah untuk menutupi sikapnya yang kikuk itu, sebaliknya menjadi kebetulan bagi Jik Hong yang membohong itu. Segera mereka berempat menguber pula kebelakang, ber-ulang2 Go Him bersuit memanggil Loh Kun, Bok Heng dan lain2, tapi meski seluruh isi rumah mereka kerahkan untuk mencari musuh, toh tiada suatu bayanganpun yang kelihatan. Karena kuatirkan kitab "Soh-sim-kiam-boh" yang masih tertinggal dikamar itu, segera Cin-san suruh Loh Kun dan para Sute-nya mencari lebih jauh jejak musuh. Ia sendiri bersama Ban Ka dan Jik Hong lantas kembali kekamar loteng. Segera pula ia membuka laci hendak mengambil kitab itu, tapi ??.. Sudah tentu laci itu sudah kosong melompong, kitab itu entah sudah terbang kemana? Keruan kejut Ban Cin-san dan Ban Ka tak terkatakan, mereka mencari ubek2an didalam kamar, dan sudah tentu nihil hasilnya. "Adakah seorang masuk kesini?" Ban Cin-san coba tanya Khong-sim-jay. "Tidak ada!" sahut sidara cilik. Kemudian ia berpaling dan main mata dengan sang ibu, hatinya sangat senang. Sudah terang gamblang Ban Cin-san berdua menyaksikan sendiri Jik Hong memasukan kitab itu kedalam laci, dikala menguber musuh juga selalu nyonya mantu itu berada bersama mereka, dengan sendirinya bukan Jik Hong yang main gila. Ia menduga pasti adalah tipu muslihat musuh yang "memancing harimau meninggalkan sarang", lalu mencuri kitab pusaka itu. Keruan Ban Cin-san dan Ban Ka merasa lemas, mereka saling pandang dengan lesu dan menyesal. Sebaliknya Jik Hong dan Khong-sim-jay sangat senang, mereka saling main mata, saling kedip penuh arti ??? Begitulah anak murid Ban Cin-san yang lain telah sibuk mencari jejak musuh disetiap polosok rumah dan sudah tentu tiada suatu bayanganpun yang diketemukan. Ban Cin-san pesan kepada Jik Hong agar jangan sekali2 bercerita kepada Loh Kun dan lain2 tentang diketemukannya Kiam-boh dan kemudian hilang lagi. Sudah tentu Jik Hong mengiakannya dengan baik. Selama ini Jik Hong sudah makin sadar akan hubungan guru dan murid keluarga Ban itu, begitu pula hubungan antara murid satu dengan murid lainnya selalu dilakukan dengan tidak jujur, masing2 hanya memikirkan kepentingan sendiri2, satu sama lain saling curiga-mencurigai. Dengan rasa menyesal dan penasaran kemudian Ban Cin-san kembali kekamarnya sendiri, yang terpikir olehnya adalah tanda kupu2 hitam kertas didalam kitab itu. Sebaliknya Ban Ka juga payah keadaannya, sesudah ber-lari2 menguber musuh, tekanan darahnya naik, luka ditangannya itu menjadi kesakitan lagi, maka ia telah merebah di ranjangnya untuk mengaso dan tidak lama iapun tertidur. Diam2 Jik Hong pikir kitab syair itu akan sangat berguna bagi ayahnya, kalau kerendam terlalu lama didalam air mungkin akan rusak. Segera ia masuk kekamar dan coba memanggil sang suami beberapa kali, tapi Ban Ka sudah tertidur nyenyak, segera ia keluar lagi dan bawa baskom itu kebawah, ia buang air darah didalam baskom itu hingga kelihatan dasar baskom. Ia puji si Khong-sim-jay sangat pintar dan penurut, tidak merasa wajahnya menampilkan senyuman puas. Sama sekali diluar dugaannya bahwa sebenarnya sudah sedari tadi Ban Ka telah curiga padanya. Tadi waktu sidara cilik main mata dengan sang ibu, kelakuan itu telah dapat diketahui oleh Ban Ka hingga timbul rasa curiganya. Maka ia sengaja pura2 tidur, dan begitu Jik Hong turun kebawah, segera iapun bangun dan dengan ber-jinjit2 seperti maling kuatir kepergok, ia mengawasi gerak-gerik sang isteri. Karena kitab itu berbau amis darah yang merendamnya tadi, Jik Hong merasa muak dan tidak sudi memegangnya, ia pikir:"Dimanakah kitab ini harus kusembunyikan?" Segera teringat olehnya ditaman belakang ada sebuah kamar pojok yang biasanya dibuat simpan barang rongsokan sebangsa pacul, tenggok, sapu dan sebagainya, pada waktu itu tentu tiada terdapat orang disitu. Segera ia petik daun bunga seruni hingga penuh satu baskom untuk menutupi kitab yang basah itu, lalu menuju ketaman. Sesudah masuk kedalam kamar dipojok taman itu, ia melihat kamar itu tidak terawat, temboknya banyak yang rontok, ujung dinding sana ada beberapa potong bata sudah mulai merenggang. Ia pikir: "Kalau kitab ini kusembunyikan disini tentu takkan dicurigai siapapun juga." ~ Segera ia mengorek keluar beberapa potong bata itu, ia masukkan kitab itu kedalam liang dinding itu, lalu bata2 itu dipasangnya kembali hingga rapat. Habis itu, dengan masih menjinjing baskom itu ia berjalan kembali sambil ber-nyanyi2 kecil seperti tiada pernah terjadi apa2. Waktu lewat diserambi, mendadak dari pengkolan sana menyelinap keluar seorang sambil membisikinya: "Suso, tengah malam nanti jangan lupa, ya! Aku tunggu kau didalam gudang kayu sana!" ~ Siapa lagi dia kalau bukan Go Him. Memangnya Jik Hong lagi menahan rasa kuatir kalau perbuatannya dipergoki orang, ketika mendadak muncul seorang dan berkata begitu padanya, keruan jantungnya se-akan2 copot saking kagetnya. Segera iapun mendamperatnya: "Cis, kau cari mampus, besar amat nyalimu, apa kau sudah bosan hidup?" Tapi dengan cengar-cengir Go Him menjawab: "Demi Suso, biarpun jiwaku akan melayang juga aku rela. Suso, engkau inginkan obat penawarnya atau tidak?"
Dengan gemes Jik Hong sudah meraba belati yang tersimpan didalam bajunya itu, sungguh ia ingin sekali tikam mampuskan manusia rendah itu dan merampas obat penawarnya. Tapi Go Him adalah seorang licin dan culas, sudah tentu ia cukup waspada terhadap segala kemungkinan. Dengan menyengir ia berkata pula dengan pelahan: "Suso, jangan kau coba2 menyerang, asal kau menyerang dengan tipu 'Wajah manusia muncul dari balik gunung' dan menikam kearahku, maka aku sudah siap akan menghindar dengan gerakan 'kepala kuda timbul disamping awan', dan sekali tanganku bergerak begini, seketika obat penawar ini kubuang kedalam empang." ~ Sembari berkata ia terus ulurkan tangannya dan apa yang digenggamnya memang betul adalah botol obat penawar itu. Ia kuatir Jik Hong menubruk untuk merebutnya, maka lebih dulu ia lantas mundur beberapa langkah kebelakang. Tahu kalau pakai kekerasan juga takkan berhasil merebut obat penawar itu, terpaksa Jik Hong batalkan niatnya, segera ia menyisir lewat dari samping orang. Dan dengan suara pelahan Go Him membisikinya lagi: "Ingat Suso, aku cuma sanggup menanti sampai tengah malam. Lewat tengah malam kau tidak datang, jam satu malam aku lantas tinggal pergi bersama obat penawar ini, aku akan kabur sejauh mungkin dan takkan kembali ke Hengciu lagi. Haha, andaikan mati juga orang she Go ini tidak sudi mati ditangan ayah dan anak she Ban." Waktu Jik Hong sampai dikamarnya, ia mendengar Ban Ka sedang me-rintih2, nyata racun ketungging telah kumat lagi dengan hebat. Ia duduk menyanding meja dengan bertopang dagu, pikirannya bergolak tak tertahankan. Ia pikir: "Caranya dia (Ban Ka) mempitenah Tik-suko sungguh sangat keji, tapi nasi sudah menjadi bubur, apa mau dikata lagi? Selama beberapa tahun ini sesungguhnya iapun sangat baik padaku, sebagai seorang wanita, menikah ayam ikut ayam, kawin dengan bebek turut bebek, selama hidupku sudah ditakdirkan akan menjadi suami-isteri dengan dia. Cuma Go Him itu benar2 keparat, cara bagaimana supaya aku dapat merebut obatnya?" ~ Ia melihat air muka Ban Ka pucat kurus, diam2 ia membatin pula: "Luka Ban-long sangat parah, jika kukatakan perbuatan Go Him itu padanya, dalam gusarnya tentu ia akan mengadu jiwa padanya dan tentu akan membuat keadaannya lebih payah." Begitulah pikirannya menjadi kusut. Sementara itu hari sudah gelap, sesudah makan malam, Jik Hong mengatur puterinya tidur, ia sendiri masih gelisah. Sesudah dipikir pulang-pergi, achirnya ia mengambil keputusan akan laporkan persoalan Go Him itu kepada Ban Cin-san, sebagai seorang tua yang berpengalaman tentu akan dapat mencari jalan keluar yang sempurna. Tapi urusan ini tidak boleh diketahui oleh Ban Ka, harus menunggu sesudah sang suami itu tidur nyenyak, barulah akan dilaporkan kepada bapa mertuanya ini. Selama beberapa hari ia benar2 terlalu capek merawat luka suaminya itu siang dan malam, namun ia tidak dapat tidur. Ia menunggu setelah terdengar suara mendengkurnya Ban Ka, lalu bangun dengan pelahan2, dengan hati2 ia turun kebawah loteng, ia menuju keluar kamarnya Ban Cin-san. Sinar bulan menembus kedalam kamar Ban Cin-san, melalui celah2 jendela dapat dilihatnya bahwa didalam kamar bapa mertua itu sudah gelap, pelita sudah dipadamkan, ia menduga orang tua itu sudah tidur. Diluar dugaan, sesudah ia mendekati jendela, tiba2 dari dalam kamar orang tua itu terdengar suara "he-he-he" yang aneh, yaitu suara orang yang bernapas dikala mengeluarkan tenaga besar untuk berbuat sesuatu. Jik Hong sangat heran, sebenarnya ia sudah akan memanggil, tapi segera diurungkan. Ia coba mengintip kedalam kamar melalui celah2 jendela, dibawah sinar bulan yang remang2 ia melihat Ban Cin-san sedang merebah diatas tempat tidurnya, kedua matanya terpejam, tapi kedua tangannya tampak men-dorong2 sekuatnya keatas. Sungguh heran Jik Hong tak terkatakan, pikirnya dengan menahan napas: "Pasti Kongkong sedang melatih sesuatu ilmu Lwekang yang hebat. Konon diwaktu orang melatih Lwekang, yang paling dipantang adalah gangguan yang mengagetkan, jika hal mana terjadi, seringkali orang yang sedang berlatih itu akan 'Cau-hwe-jip-mo' (sesat jalan dan kemasukan api) hingga membikin celaka diri sendiri. Sebaiknya aku menunggu dulu, biar beliau selesai latihan barulah akan kupanggilnya." Ia mengikuti terus tingkah-laku Ban Cin-san itu. Ia melihat sesudah men-dorong2 keatas sebentar, kemudian Ban Cin-san berbangkit dan turun dari tempat tidurnya serta melangkah beberapa tindak kedepan, lalu berjongkok dan menjulur tangannya keatas seperti sedang mencekeram sesuatu. Diam2 Jik Hong membatin: "Kiranya Kongkong sedang melatih Kim-na-jiu-hoat (ilmu memegang dan menangkap)!" Tapi sesudah diperhatikan sebentar lagi. Ia melihat gerak-gerik Ban Cin-san makin lama makin aneh, kedua tangannya ber-ulang2 mencengkeram entah apa yang hendak dipegangnya, habis itu lantas ditumpuknya kebawah satu persatu dengan rajin dan teratur, jadi mirip tukang batu sedang memasang bata. Namun dilantai situ toh kosong melompong tiada terdapat sesuatu benda apapun, jadi gerak-geriknya itu hanya perbuatan kosong belaka. Dan sesudah me-megang2 sebentar lagi keudara, kemudian tampak orang tua itu meng-ukur2 dengan kedua tangannya, mungkin merasa sudah cukup besar, lalu kedua tangannya bergaya seperti mengangkat sesuatu benda besar dari tanah dan dimasukkan kedepan. Jik Hong merasa bingung menyaksikan itu, dengan jelas dilihatnya kedua mata Ban Cin-san itu masih tertutup rapat, gerak-geriknya itu sekarang sudah terang bukan lagi melatih sesuatu ilmu silat apa segala, tapi lebih mirip sigagu sedang main sandiwara. Tiba2 teringat oleh Jik Hong ucapan si Mirah dirumah berhala siang tadi bahwa: "Ditengah malam Loya suka bangun untuk pasang tembok!" Tapi gerak-gerik Ban Cin-san sekarang toh bukan lagi pasang tembok, kalau dikatakan ada sangkut-pautnya dengan tembok, maka lebih mirip kalau dia sedang membongkar tembok. Lapat2 Jik Hong merasakan semacam firasat yang menakutkan. Pikirnya pula: "Ah, tentu Kongkong telah kena penyakit Li-hun-cing (sakit ngelindur). Kabarnya orang yang dihinggap penyakit tidur seperti itu, terkadang orangnya bisa bangun ditengah malam dan jalan2 atau bekerja tanpa disadari oleh orang yang bersangkutan sendiri. Bahkan ada yang telanjang bulat ber-jalan2 diatas rumah, ada pula yang membakar rumah dan membunuh orang dan macam2 perbuatan lain yang aneh2, tapi sesudah mendusin, sama sekali orang yang bersangkutan tidak tahu apa2." Begitulah Jik Hong melihat pula sesudah Ban Cin-san bergaya memasukan sesuatu benda besar kedalam lubang dinding yang sebenarnya tiada wujudnya itu, kemudian tampak orang tua itu men-dorong2 lagi beberapa kali dengan kuat keatas, habis itu ia menjemput bata dilantai yang tiada wujud itu lalu dipasangnya, sekali ini benar2 bergaya sedang pasang batu. Semula Jik Hong agak merinding menyaksikan perbuatan aneh yang menyeramkan itu kemudian sesudah melihat gayanya yang sedang pasang tembok, maka ia tidak begitu takut lagi sebab sebelumnya sudah diketahui akan hal itu. Katanya didalam hati: "Menurut Tho Ang, katanya Kongkong sering bangun ditengah malam untuk pasang tembok, suatu tanda penyakit tidurnya ini sudah lama dideritanya. Dan pada umumnya orang yang mempunyai sesuatu penyakit aneh tidaklah suka kalau diketahui orang lain. Tho Ang sekamar dan setempat-tidur dengan Kongkong dan tahu pula akan penyakitnya ini, dengan sendirinya Kongkong merasa kurang senang." Karena pikirannya itu, rasa ragu2nya tadi menjadi hilang. Yang terpikir olehnya sekarang hanya: "Dan entah berapa lamanya penyakit tidur Kongkong itu akan berlangsung. Kalau sampai lewat tengah malam hingga sikeparat Go Him merat dengan membawa obat penawar, wah tentu celaka." Sementara itu dilihatnya Ban Cin-san sedang bergaya mengambil bata yang dibongkarnya tadi dan dipasang kembali kelubang dinding tanpa wujud itu, kemudian lantas bergaya seperti tukang kapur yang sedang melabur dinding. Dan sesudah segala sesuatu itu selesai dilakukannya, lalu kelihatan orang tua itu ber-senyum2 dan naik pula keatas ranjang untuk tidur pula. Pikir Jik Hong: "Setelah sibuk sekian lamanya, mungkin pikiran Kongkong belum lagi tenang kembali, biarlah aku menunggu sebentar lagi untuk memanggilnya." Tapi pada saat itu juga, tiba2 terdengar pintu kamar bapa mertua itu diketok orang beberapa kali, menyusul ada orang memanggil dengan suara tertahan: "Tia-tia, Tia-tia!" ~ Itulah suara sang suami, Ban Ka. Jik Hong agak terkejut, ia heran pula: "Mengapa Ban-long juga kemari? Untuk apakah dia datang?" Ia lihat Ban Cin-san terus mendusin dan berbangkit, setelah tenangkan diri sejenak, lalu orang tua itu bertanya: "apakah Ka-ji disitu?" Sebagai seorang jago silat, rupanya Ban Cin-san sangat cepat terjaga bangun asal mendengar sesuatu suara pelahan saja. Malahan jika penyakit ngelindurnya sedang kumat, pada saat itulah malah susah kalau orang hendak menyadarkan dia. Maka terdengar Ban Ka telah mengiakan diluar kamar. Dan Cin-san lantas turun dari tempat tidurnya dengan enteng tanpa menerbitkan suara sedikitpun, biarpun usianya sudah lanjut, tapi gerak-geriknya ternyata masih gesit sekali, segera ia membukakan pintu dan membiarkan Ban Ka masuk sambil bertanya: "Apakah kau sudah memperoleh keterangan tentang Kiam-boh?" ~ Nyata yang selalu terpikir olehnya adalah kitab pusaka itu. "Tia!" terdengar Ban Ka memanggil pelahan sekali sambil melangkah masuk dengan sempoyongan, cepat ia berpegangan pada sandaran kursi yang berada disitu. Kuatir kalau bayangan sendiri yang tersorot cahaya rembulan itu akan dilihat oleh mereka, cepat Jik hong meringkuk kebawah jendela sambil mendengarkan dengan cermat, ia tidak berani mengintip gerak-gerik kedua orang itu lagi. Ia dengar Ban Ka merandek sejenak sesudah memanggil ayahnya tadi, lalu katanya dengan suara ter-putus2: "Tia, men?? menantumu itu bukan ??.bukan orang baik2." Jik Hong terkejut pula, ia heran mengapa sang suami berkata begitu? Maka terdengar Ban Cin-san sedang tanya: "Ada apa lagi? Suami-isteri bertengkar?"
"Kiam-boh sudah diketemukan. Tia, menantumu itulah yang mengambilnya," sahut Ban Ka. "Ha, sudah diketemukan? Itulah bagus, bagus!" seru Cin-san dengan girang. "Dimana kitabnya?" Jik Hong juga terkejut dan heran tak terkatakan. Ia pikir: "Mengapa dapat diketahui olehnya? Ah, tentu sibocah Khong-sim-jay itu yang telah berkata pada ayahnya." Tapi ucapan Ban Ka selanjutnya telah membantah sangkaannya itu. Ban Ka telah memberitahukan kepada ayahnya bahwa dia telah mengetahui gerak-gerik Jik Hong dan Khong-sim-jay yang mencurigakan, maka ia sengaja pura2 tidur, tapi diam2 mengawasi tingkah-laku Jik Hong, ia melihat isterinya itu membawa baskon ketaman belakang dan diam2 ia telah menguntitnya, ia menyaksikan Jik Hong menyembunyikan Kiam-boh kedalam lubang dinding didalam kamar pojok taman sana?.. Sungguh Jik Hong gegetun setengah mati: "O, ayah yang bernasib malang, kitabmu itu kembali jatuh lagi ditangan Kongkong dan Ban-long, untuk merebutnya kembali terang akan maha sulit. Baiklah, aku mengaku salah, memang Ban-long lebih lihay daripadaku." Kemudian terdengar Ban Cin-san sedang berkata: "Wah, bagus sekali jika begitu, lekaslah, lekas ambil kitab itu, dan kau boleh pura2 tidak tahu apa2 untuk melihat bagaimana kelakuan isterimu itu, jika dia tidak singgung2 lagi, maka kau juga tidak perlu katakan padanya. Aku justeru sangat curiga darimanakah datangnya kitab ini, jangan2??.jangan2???." ~ begitulah ia tidak melanjutkan jangan2 apa? Maka Ban Ka telah berkata: "Tia!" ~ suaranya kedengaran sangat menderita. "Ada apa?" sahut Cin-san. "Sebabnya menantumu mencuri Kiam-boh itu, kiranya ??.kiranya adalah untuk ??." berkata sampai disini suaranya menjadi gemetar dan se-akan2 tersumbat. "Untuk siapa?" Cin-san menegas. "Kiranya adalah untuk??untuk sianjing keparat Go Him itu!" sahut Ban Ka achirnya. Telinga Jik Hong serasa mendengung, hampir2 ia tidak percaya pada telinganya sendiri. Hanya dalam hati ia berkata: "Perbuatanku itu adalah demi ayahku, mengapa bilang untuk Go Him? Mengapa menuduh aku berbuat untuk Go Him?" Begitulah Jik Hong merasa penasaran oleh tuduhan Ban Ka itu. Ia dengar Ban Cin-san juga sangat heran dan kejut, orang tua itu telah tanya: "Untuk Go Him, katamu?"
"Ya," sahut Ban Ka. "Sesudah kulihat dia menyembunyikan Kiam-boh ditaman belakang sana, dari jauh aku menguntitnya pula, siapa duga ??.siapa duga setiba diserambi situ, ternyata ia telah main kasak-kusuk dengan keparat Go Him, perempuan ??.perempuan jalang itu benar2 tidak tahu malu lagi!"
"Tapi selama ini aku melihat tingkah-lakunya toh sangat baik dan sopan, tidak mirip seorang yang kotor seperti itu, apa kau tidak salah lihat? Dan apa yang dibicarakan oleh mereka?" demikian kata Ban Cin-san dengan ragu2. "Anak kuatir dipergoki mereka, maka tidak berani terlalu mendekat, pula diserambi sana tiada tempat sembunyi, terpaksa aku mengumpet diujung tembok untuk mendengarkan," tutur Ban Ka. "Tapi suara percakapan sepasang anjing laki-perempuan itu sangat lirih, aku tidak dapat mendengar seluruhnya, hanya sebagian saja dapat kudengar dengan jelas."
"O," Cin-san bersuara, katanya: "Sudahlah, Ka-ji sabarlah dulu. Seorang laki2 masakah kuatir tidak bisa mendapat isteri lagi? Sesudah Kiam-boh itu dapat kita temukan, pula bila rahasia didalam Kiam-boh sudah kita pecahkan, dalam sekejap saja kita akan menjadi kaya-raya sekaligus kau ingin membeli seratus orang isteri dan seribu selir juga sangat gampang. Nah, duduklah kau, bicaralah dengan pelahan2." Lalu terdengar suara "krak-krek" papan ranjang, Ban Ka telah duduk ditepi tempat tidur itu, kemudian berkata pula dengan napas ter-engah2. "Sesudah perempuan jalang itu selesai menyembunyikan kitab, rupanya ia sangat senang, bahkan ber-nyanyi2 kecil segala. Ketika ketemu gendaknya, yaitu sikeparat Go Him, segera binatang she Go itu cengar-cengir dan berkata padanya: 'Suso, tengah malam nanti jangan lupa, lho! Aku menanti engkau digudang kayu sana!" ~ ucapan ini dengan terang dapat kudengar dengan baik, sedikitpun tidak salah."
"Dan, bagaimana lagi jawab perempuan jalang itu?" tanya Cin-san. "Dia??.dia mendamperat: 'Kau cari mampus, besar amat nyalimu, apakah kau sudah bosan hidup!'" tutur Ban Ka. Sungguh hancur hati Jik hong mendengar cercaan pada dirinya itu, ia tidak tahu mengapa mereka mempitenah orang baik2? Padahal ia berbuat, demi kepentingan sang suami dan ingin merebut obat penawar untuk menyembuhkan lukanya, tapi sang suami malah menistanya secara begitu keji, sungguh lelaki yang tidak punya Liangsim, demikian pikir Jik Hong. Ia dengar Ban Ka sedang melanjutkan ceritanya lagi: "Sesudah kudengar percakapan mereka itu, sungguh hatiku sangat panas, kalau bisa sungguh aku ingin menubruk maju dan bunuh kedua anjing laki dan perempuan itu. Tapi aku tidak membawa senjata, apalagi dalam keadaan terluka, aku tidak dapat menempur mereka secara terang2an, segera aku lari kembali kekamar agar sesudah perempuan jalang itu pulang kekamar takkan mencurigai diriku. Dan apa yang dibicarakan sepasang anjing laki dan perempuan itu selanjutnya aku tidak tahu lagi."
"Hm, bapa anjing tidak nanti melahirkan puteri harimau, dasar sekeluarga she Jik mereka itu adalah manusia2 rendah semua," demikian Cin-san memaki. "Baiklah kita pergi mengambil dulu Kiam-boh itu, kemudian kita menjaga diluar gudang kayu untuk menangkap basah perbuatan hina sepasang anjing laki-perempuan itu, lalu habiskan jiwa mereka."
"Rupanya perempuan jalang itu sudah tidak seranti ditunggu oleh gendaknya, maka jauh sebelum tengah malam sudah keluar sejak tadi," kata Ban Ka. "Sementara ini mungkin??.mungkin sedang??" ~ saking geregetan barangkali hingga terdengar giginya berkrutukan. "Jika begitu, sekarang juga kitapun berangkat kesana," ujar Cin-san. "Bawalah senjata, tapi kau jangan turun tangan, biar aku mengutungi kaki dan tangan mereka dulu, kemudian kau sendiri menghabiskan nyawa sepasang anjing laki-perempuan itu." Lalu kelihatan pintu kamar dibuka, sambil memayang Ban Ka, Ban Cin-san membawa puteranya itu menuju ketaman belakang. Sembari bersandar ditembok, sungguh pedih sekali hati Jik Hong, air matanya bercucuran bagai hujan. Maksudnya ingin luka sang suami bisa lekas sembuh, siapa tahu sang suami berbalik mencurigai dirinya berbuat serong. Sedangkan ayahnya sejak menghilang tidak pernah kembali lagi. Tik Hun telah merana entah kemana dengan menanggung penasaran tanpa berdosa, dan kini??kini sang suami bersikap demikian pula padanya, penghidupan seperti ini entah bagaimana nasib selanjutnya? Begitulah ia merasakan kekosongan hati, sungguh ia tidak ingin hidup lagi, sama sekali tiada pikirannya buat memberi penjelasan pada sang suami atau minta dikonfrontir dengan Go Him sebagai saaksi, seketika ia cuma merasa badannya lemas dan bersandar didinding. Selang tidak lama, tiba2 terdengar suara tindakan orang, Ban Cin-san dan Ban Ka telah kembali diruangan duduk, mereka sedang berunding pula. "Tia," demikian Ban Ka lagi berkata, "kenapa kita tidak bunuh Go Him saja digudang kayu tadi?"
"Didalam gudang hanya terdapat Go Him sendiri," sahut Cin-san dengan suara rendah, mungkin perempuan jalang itu telah tahu gelagat jelek, maka sudah merat sendiri lebih dulu. Jika kita takbisa menangkap basah perbuatan kotor mereka, mana boleh kita sembarangan membunuh orang mengingat kita adalah keluarga terkemuka dikota Hengciu sini? Kau harus tahu sesudah kita mendapatkan Kiam-boh, masih banyak pekerjaan penting lain yang harus kita lakukan dikota ini, maka kita harus sabar, jangan terburu napsu hingga menggagalkan usaha besar kita!"
"Habis, apakah kita antepin saja urusan ini?" tanya Ban Ka. "Dan cara bagaimana dendam anak ini harus dilampiaskan?"
"Untuk melampiaskan dendam apa sih susahnya?" uyar Cin-san. "Kita dapat gunakan cara lama!"
"Cara lama?" Ban Ka menegas. "Ya, cara lama! Cara kita mengerjakan Jik Tiang-hoat dulu!" kata Cin-san. Ia merendek sejenak, lalu sambungnya pula: "Sementara ini kau kembali kekamar dulu, sebentar aku akan mengumpulkan para anak murid dan kau boleh datang bersama mereka keluar kamarku. Hati2lah, jangan sampai menimbulkan curiga orang." Sebenarnya pikiran Jik Hong sedang kusut tak keruan, ia sudah putus asa, yang masih terasa berat olehnya adalah puterinya yang masih kecil itu. Dan demi tiba2 mendengar Ban Cin-san menyatakan hendak "menggunakan cara lama dikala mereka mengerjakan Jik Tiang-hoat dahulu" terhadap Go Him, seketika otaknya seperti dikompres dengan es, dengan segera pikirannya jernih kembali, sekilas timbul suatu pertanyaan dalam benaknya: "Dengan cara apakah mereka telah mengerjakan ayahku dahulu?"
Ia pikir hal ini diselidikinya hingga terang. Dan sebentar Kongkongnya akan mengumpulkan para anak muridnya, kemanakah ia harus bersembunyi? Sementara itu terdengar Ban Ka sedang mengiakan perintah ayahnya, lalu melangkah pergi. Kemudian Ban Cin-san menuju keluar, ia berseru menyuruh pelayan menyalakan pelita dan mengundang para muridnya. Tidak lama kemudian dari sana-sini terdengarlah suara berisik para muridnya yang sedang mendatangi untuk berkumpul. Jik Hong tahu bila tinggal lebih lama disitu, tentu akan ada orang lalu diluar jendela dan mempergoki jejaknya. Sesudah ragu2 sejenak, terus saja ia menyelinap masuk kedalam kamarnya Ban Cin-san. Ia singkap seperei yang menutupi kolong ranjang, lalu menyusup kebawah. Dengan begitu, asal tiada orang menyingkap seperei yang menjulur hampir ketanah itu, tentu tiada seorangpun yang dapat mempergoki jejaknya. Ia bertiarap melintang dikolong ranjang, tidak lama kemudian tertampaklah ada sinar pelita merembes masuk melalui bawah seperai, ada orang masuk dengan membawa pelita. Ia melihat sepasang kaki yang bersepatu ikut melangkah masuk, itulah kakinya BanCin-san. Sesudah kaki itu melangkah disamping kursi, lalu terdengar suara berkeriut perlahan, Ban Cin-san telah duduk diatas kursi. Lalu terdengarlah ia memerintahkan pelayan keluar dan menutup pintu kamar. Tidak lama, terdengar suara Loh Kun berseru diluar kamar. "Suhu, kami sudah datang semua, silakan Suhu memberi perintah."
"Ehm, bagus! Nah, kau boleh masuk dulu," sahut Ban Cin-san. Segera Jik Hong melihat pintu kamar didorong, sepasang kakinya Loh Kun tampak melangkah masuk, kemudian pintu kamar dikancing lagi. "Ada musuh telah mendatangi rumah kita, apakah kau tak tahu?" demikian Cin-san mulai bertanya. "Siapakah musuh itu? Tecu tidak tahu," sahut Loh Kun. "Orang itu menyaru sebagai seorang tabib kelilingan, bahkan sudah pernah datang kemari," ujar Ban Cin-san. Diam2 Jik Hong terkejut: "Masakah dia mengenali siapakah gerangan sitabib itu?" Maka terdengar Loh Kun sedang menjawab: "Tecu telah mendengar juga hal itu dari Go-sute. Dan siapakah musuh itu sebenarnya?"
"Orang itu dalam keadaan menyamar, aku tidak melihat dengan sendiri, maka aku belum dapat meraba asal-usulnya," kata Cin-san. "Maka besok pagi2 hendaklah kau menyelidiki kesekitar utara kota, kemudian melapor padaku hasilnya. Sekarang kau keluar dulu, sebentar aku akan memberi tugas lain lagi." Loh Kun mengiakan, lalu keluar kamar. Ber-turut2 Ban Cin-san memanggil pula murid keempat Sun Kin dan murid kelima Bok Heng, apa yang dikatakan pada mereka pada garis besarnya serupa tadi. Hanya saja Sun Kin ditugaskan kesekitar selatan kota dan Bok Heng menyelidiki timur kota. Dikala memberi pesan pada Bok Heng sengaja ditambahkannya: "Go Him akan menyelidiki barat kota, Pang Tan dan Sim Sia akan memberi bantuan dimana perlu. Sedangkan Ban-suko kalian masih sakit, ia takbisa ikut keluar."
"Ya, Ban-suko memang perlu istirahat dulu," demikian sahut Bok Heng, lalu membuka pintu dan keluar kamar. Sudah tentu Jik Hong tahu apa yang dikatakan Ban Cin-san itu sengaja hendak diperdengarkan kepada Go Him agar pemuda itu tidak menaruh curiga apa-apa. Maka terdengarlah Ban Cin-san sedang memanggil pula: "Go Him masuk!" ~ suaranya tetap tenang dan ramah, sama seperti memanggil Loh Kun dan lain-lain. Jik Hong melihat pintu kamar terbuka lagi, kaki kanan Go Him melangkah masuk dulu, tampaknya agak ragu2 sedetik, tapi akhirnya masuk juga. Ia melangkah maju kedepan Ban Cin-san dan menunggu perintah. Dari tempat sembunyinya Jik Hong melihat jubah Go Him bagian bawah itu agak keder sedikit, suatu tanda dalam hati Go Him sangat ketakutan, maka tubuhnya agak gemetar. Maka terdengar Ban Cin-san sedang bertanya: "Kita kedatangan musuh, kau tahu tidak?"
"Tecu sudah mendengar uraian Suhu barusan diluar kamar, katanya adalah tabib kelilingan itu," sahut Go Him. "Orang itu adalah Tecu yang mengundangnya kemari untuk mengobati Ban-suko, sungguh tidak nyana bahwa dia adalah musuh kita, harap Suhu suka memberi maaf."
"Orang itu menyamar, pantas juga kalau kau tidak tahu," ujar Cin-san. "Nah, besok pagi kau pergi kesekitar barat kota untuk menyelidiki, jika ketemukan jejaknya, harus kau mengawasi gerak-geriknya."
"Ya, Suhu!" sahut Go Him. Se-konyong2 Jik Hong melihat kedua kaki Ban Cin-san bergerak, mendadak orangnya berdiri, tanpa merasa Jik Hong menyingkap sedikit seperai ranjang untuk mengintai keluar. Tapi sekali mengintip, seketika ia kaget setengah mati, hampir2 saja ia menjerit. Ternyata adegan didalam kamar itu membuatnya terbelalak kesima. Ia melihat kedua tangan Ban Cin-san lagi mencekik leher Go Him dengan keras dan Go Him baru saja ulur tangan sendiri hendak melawan, namun sudah keburu tidak berdaya karena kena dicekik. Ia melihat kedua mata Go Him itu mendelik, makin lama makin mencotot keluar hingga mirip mata ikan emas. Telapak tangan Ban Cin-san terluka kena cakaran kuku Go Him, tapi ia mencekik se-kuat2nya, betapapun ia tidak mau lepas tangan. Lambat-laun kedua tangan Go Him mulai terbuka dengan lemas, ia tak mampu berkutik lagi. Sampai akhirnya Jik Hong melihat lidah Go Him juga menjulur keluar, makin lama makin panjang, keadaannya sangat mengerikan, keruan hati Jik Hong ber-debar2 hebat. Selang sebentar lagi, pelahan2 Ban Cin-san mengendurkan cekikannya, ia sandarkan Go Him diatas kursi. Rupanya ia sudah sediakan apa yang perlu, maka ia telah ambil dua carik kertas kapas yang sudah dibasahi dulu dengan air, lalu ditutup diatas mulut dan hidung Go Him. Dengan demikian pemuda itu takkan dapat bernapas, dan dengan sendirinya juga takkan siuman untuk selamanya. Diam2 Jik Hong memikir: "Kongkong pernah berkata bahwa keluarga mereka adalah kaum terkemuka dikota Hengciu sini, tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan ayahnya Go Him kabarnya adalah hartawan disekitar kota, tentu urusan ini takkan selesai sampai disini saja, akibatnya tentu akan geger kelak." Dan pada saat itu juga, tiba2 terdengar suara bentakan Ban Cin-san: "Bagus sekali perbuatanmu, hayolah lekas kau mengaku terus terang, apakah perlu aku hajar kau dahulu?" Semula Jik Hong kaget sebab mengira jejaknya telah diketahui orang tua itu, tapi mendadak terdengar, suaranya Go Him lagi menjawab: "Suhu, engkau suruh aku meng??.mengaku apakah?" Sungguh kejut Jik Hong tak terkatakan, sudah jelas dilihatnya Go Him sudah menggeletak diatas kursi tanpa bernyawa lagi, masakah sekarang bisa bicara pula? Apakah pemuda itu telah hidup kembali? Tapi toh jelas kelihatan bukan begitu halnya, Go Him masih tetap bersandar dikursi tanpa bergerak sedikitpun. Waktu Jik Hong mengintip pula, ia melihat bibir Ban Cin-san sendiri yang sedang bergerak, ia menjadi heran. "Ha, jadi Kongkong yang lagi bicara? Tapi sudah terang tadi itu adalah suaranya Go Him." Maka didengarnya pula Ban Cin-san telah membentak lagi: "Mengaku apa? Hm, jangan kau berlaga pilon. Kau sekongkol dengan musuh dan bermaksud mengerjakan sesuatu kejahatan dikota Hengciu ini, apa kau masih berani mungkir?"
"Su??.Suhu, keja??kejahatan apakah?" demikian suaranya Go Him. Dan sekali ini Jik Hong dapat melihat dengan jelas dan nyata, memang betul Ban Cin-san sedang bicara sendiri dengan menirukan suaranya Go Him, pintar amat cara menirukannya itu hingga serupa benar. "Kiranya Kongkong masih mempunyai kepandaian simpanan dalam hal menirukan suara orang, mengapa selama ini aku tidak tahu. Apakah maksud tujuannya dengan menirukan suara ucapan Go Him ini?" demikian tanda2 tanya yang timbul dalam hati Jik Hong. Dalam lubuk hatinya yang dalam sana lapat2 teringatlah sesuatu olehnya, tapi itu hanya sesuatu yang samar2 yang belum dapat dipelajari dengan baik. Dalam hati kecilnya timbul semacam rasa kuatir yang susah dimengerti. Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang berkata pula dengan suara keras: "Hm, kau sangka aku tidak tahu, ya? Kau telah sekongkol dengan tabib kelilingan yang kau bawa kemari itu, orang itu adalah seorang penjahat besar, kau sekongkol dengan dia hendak menggerayangi ???"
"Menggerayangi apa, Suhu? Tecu benar2 tidak tahu?" demikian ia tirukan suaranya Go Him. Habis itu kembali dengan suara sendiri Cin-san membentak: "Kau hendak menggerayangi kantor Leng-tihu untuk mencuri sesuatu dokumen rahasia, betul tidak? Ha, masih kau berani mungkir?"
"Su??? Suhu, darimanakah engkau mendapat tahu? Suhu, sudilah meng?... mengingat hubungan baik kita selama ini, am??.ampunilah perbuatanku ini, lain?? kali Tecu tidak berani lagi."
"Hm, urusan sebesar ini, masakah begini gampang mengampuni kau?" Setelah diperhatikan, Jik Hong merasa suara Go Him yang ditirukan Ban Cin-san itu sebenarnya tidak terlalu mirip, cuma ia sengaja menahan suaranya hingga kedengarannya agak samar2, bahkan setiap kalimat selalu ditambahi panggilan "Suhu" dan ber-ulang2 menyebut "Tecu", maka bagi pendengaran orang diluar kantor dengan sendirinya menyangka memang betul adalah Go Him yang sedang bicara. Apalagi dengan nyata semua orang menyaksikan Go Him masuk kedalam kamar serta mendengar percakapan mereka, walaupun suara selanjutnya agak sedikit berlainan, namun selain Go Him masakah didalam kamar itu masih ada orang lain lagi?" Begitulah pelahan2 Ban Cin-san lantas mengangkat mayatnya Go Him, ia berjongkok untuk menyingkap seperai yang menutup kolong ranjang itu. Keruan Jik Hong ketakutan setengah mati bila kepergok oleh bapa mertuanya. Sambil menahan napas ia menantikan apa yang akan terjadi. Dibawah sinar pelita yang remang2 ia melihat sebuah kepala orang menyusup dulu kekolong ranjang, itulah kepalanya Go Him dengan matanya yang mendelik bagai mata ikan mas. Karena mayat Go Him itu terus dijejalkan kekolong ranjang oleh Cin-san, terpaksa Jik Hong menggeser sedapat mungkin, namun badannya toh saling dempel juga dengan mayat itu. Dalam pada itu sandiwara Ban Cin-san masih main terus, terdengar ia berkata: "Nah, Go Him, apakah kau tidak lekas berlutut? Segera akan kuringkus kau untuk diserahkan kepada Leng-tihu, apakah beliau akan mengampuni kau atau tidak, itulah aku tidak berani menjamin."
"Suhu, apakah engkau benar2 tidak dapat mengampuni Tecu?" demikian suara Go Him tiruan. Maka Cin-san menjawab: "Hm, mempunyai murid seperti kau, pamorku sudah kau bikin ludas, masakah masih ingin aku mengampuni kau?" Lalu Jik Hong melihat orang tua itu mengeluarkan sebilah belati dari bajunya, pelahan2 Cin-san menikam kedada sendiri. Tapi didalam baju dibagian dada itu entah sudah diganjal dengan gabus atau benda lain yang empuk maka begitu belati ia ditusukan, segera menancap tegak disitu. Dan baru saja Jik Hong tahu apa yang bakal terjadi, benar juga segera terdengar suara bentakan Ban Cin-san: "Masih kau tidak mau berlutut?" Menyusul ia menirukan suara Go Him: "Suhu, engkaulah yang terlalu mendesak padaku, kau tidak dapat menyalahkan aku lagi!" Dan mendadak Ban Cin-san berteriak: "Aduuuuh!" berbareng ia tendang daun jendela hingga terpentang sambil berteriak pula: "Bangsat kecil, kau??kau berani menyerang gurumu?" Segera terdengarlah suara gedubrakan, pintu kamar telah didobrak Loh Kun dan lain2 dari luar dan be-ramai2 mereka lantas menyerbu kedalam kamar. Mereka melihat sang guru lagi memegangi dada, dari celah2 jarinya merembes keluar air darah (besar kemungkinan adalah tinta merah yang sudah dipegangnya lebih dulu). "La??..lari kesana! Bangsat kecil itu sudah lari sesudah menikam aku satu kali!" demikian seru Ban Cin-san dengan suara ter-putus2 dan agak sempoyongan. Le??lekas kejar, ke?..kejar!" ~ dan habis itu, segera iapun jatuhkan dirinya diatas ranjang. Ban Ka pura2 kuatir, ia ber-teriak2: "Tia-tia! Tia-tia! Parah tidak lukamu?" Dalam pada itu Loh Kun, Sun Kin, Bok Heng, Pang Tam dan Sim Sia berlima sudah lantas melompat keluar jendela dan menguber sambil mem-bentak2. Seisi rumah sama terkejut juga hingga geger. Jik Hong yang sembunyi dikolong ranjang itu merasa mayat Go Him lambat-laun mulai dingin. Ia sangat takut, tapi sedikitpun tidak berani bergerak. Ia tahu Kongkong masih merebah diatas ranjang dan sang suami juga berdiri didepan ranjang situ. Maka terdengarlah Ban Cin-san sedang bertanya dengan suara rendah: "Ada orang menaruh curiga tidak, Ka-ji?"
"Tidak," sahut Ban Ka. "Sungguh mirip benar permainan ayah. Sama seperti waktu membunuh Jik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara."
"Sama seperti waktu membunuh Jik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara", kata2 ini seperti sebilah belati tajam yang menikam ulu hati Jik Hong. Memangnya lapat2 sudah timbul firasat tidak enak dalam hatinya, cuma saja ia masih tidak percaya akan kemungkinan itu. Ia pikir: "Selamanya Kongkong toh sangat ramah-tamah padaku, suami juga sangat baik dan mencintai aku, masakah mungkin mereka membunuh ayahku?" Dengan sembunyi dikolong ranjang, Jik Hong dapat mengikuti Ban Cin-san membunuh muridnya sendiri, yaitu Go Him, dengan secara licik. Ternyata bapa mertua itu pandai pula menirukan suara orang lain. Seketikan Jik Hong teringat kepada kejadian ayahnya dahulu, apa barangkali ayahnya juga telah menjadi korban kelicikan Ban Cin-san itu? Tapi sekarang ia telah mendengar dan melihat sendiri, dengan rapi mereka telah atur perangkap untuk membunuh Go Him. Pantas tempo dulu iapun mendengar suara ayahnya yang sedang bertengkar dengan Ban Cin-san didalam kamar, kemudian melihat Ban Cin-san terluka oleh tikaman ayahnya serta melihat daun jendela terbuka, ayahnya tentu sudah kabur melalui situ. Dan sekarang sudah jelas duduknya perkara, semuanya itu adalah sandiwara belaka yang sengaja diatur oleh Ban Cin-san. Pada waktu itu ayahnya tentu sudah dibunuh olehnya, lalu Ban Cin-san menirukan suara ayahnya, pantas waktu itu suara ayahnya kedengaran agak serak berbeda daripada biasanya. Dan rupanya memang sudah takdir ilahi bahwa kejahatan Ban Cin-san itu harus tamat riwayatnya, secara kebetulan sekarang ia sembunyi dikolong ranjang hingga dengan mata kepala sendiri menyaksikan adegan yang mengerikan itu. Coba kalau tidak melihat sendiri, siapa orangnya yang mau percaya? Begitulah maka terdengar Ban Ka lagi bicara: "Dan perempuan hina itu, bagaimana harus ditindak? Apakah kubiarkan begitu saja?"
"Sabar dulu, pelahan2 kita dapat bereskan dia," ujar Cin-san. "Harus kita lakukan dengan tak diketahui orang dan tak dilihat setan supaya tidak merusak nama baik keluarga Ban dan mencemarkan pamor kita berdua."
"Ya, memang cara berpikir ayah sangat rapi," sahut Ban Ka. Dan tiba2 ia menjerit: "Aduuuh??.."
"Ada apa?" tanya Cin-san cepat. "Luka ditangan anak ini kembali kesakitan lagi," kata Ban Ka. "O!" Cin-san bersuara. Dan dalam hal ini memang dia sama sekali tak berdaya. Bicara tentang luka Ban Ka itu, Jik Hong lantas ingat obat penawar yang berada pada Go Him itu. Pelahan2 ia ulur tangannya untuk menggerayangi bajunya Go Him, ia merasa botol porselin kecil itu masih berada didalam sakunya, segera ia mengambilnya dan dimasukan dalam baju sendiri. Dengan rasa pilu ia memikir: "Ban-long, o, Ban-long, hanya separoh pembicaraan keparat Go Him ini yang kau dengar dan kau sudah lantas mendakwa aku berbuat serong dan sebab itu juga kau tidak dengar bahwa obat penawar berada pada keparat ini. Sesudah dia dibunuh oleh ayahmu, sebenarnya dengan tanpa susah2 kau dapat mengambil obat penawar ini, tapi toh kalian tidak tahu. Sementara itu karena tidak menemukan bayangan Go Him, tidak lama kemudian Loh Kun dan lain2 telah pulang juga satu-persatu serta datang pada Ban Cin-san untuk tanya keadaan sang guru itu. Waktu itu Ban Cin-san sudah membuka baju hingga dadanya telanjang, tampak kain pembalut membelebat dari leher memutar kedada, melingkar kepunggung, lalu membalut kembali kedada dan naik lagi keleher. Sekali ini lukanya tidak begitu parah seperti dahulu. Habis, ilmu silat Go Him tidak mungkin lebih lihay daripada paman gurunya ~ Jik Tiang Hoat. Walaupun tikamannya itu cukup hebat, tapi tidak membahayakan. Demikian permainan sandiwara Ban Cin-san. Dan sudah tentu para muridnya sangat lega melihat sang guru tidak berbahaya lukanya, mereka sama mencaci-maki pada Go Him yang dikatakan manusia durhaka dan murtad, semuanya menyatakan besok akan pergi mencari orang-tuanya untuk diajak bikin perhitungan, mereka mengharap sang guru merawat diri baik2, lalu mengundurkan diri. Hanya tinggal Ban Ka yang masih duduk ditepi ranjang untuk menjaga ayahnya. Yang gelisah adalah Jik Hong, ia ingin mencari suatu kesempatan untuk lari keluar, ia meringkuk disebelah mayat Go Him, rasanya muak dan sebal, maka sedapat mungkin ingin lekas pergi, tapi kuatir pula kalau diketahui oleh Ban Cin-san berdua, sama sekali ia tiada akal untuk meloloskan diri. Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san lagi bicara: "Kita harus bereskan dulu mayatnya, jangan sampai rahasia kita diketahui orang."
"Apakah akan dibereskan seperti caranya Jik Tiang-hoat?" tanya Ban Ka. Cin-san memikir sejenak, lalu katanya: "Ya, lebih baik dengan cara lama itu." Jik Hong meneteskan air mata pedih, katanya didalam hati. "Dengan cara bagaimanakah mereka telah kerjakan ayahku?"
"Apakah akan dipasang disini? Ayah tidur disini, apakah tidak merasa risi?" tanya Ban Ka. Sementara boleh aku pindah kekamarmu," sahut Cin-san. "Yang kukuatirkan ialah mungkin masih akan timbul sesuatu yang sulit, masakah orang begitu baik hati menghantarkan kembali Kiam-boh ini kepada kita? Maka kita berdua harus bersatu-padu untuk melawan musuh. Kelak kalau kita sudah kaya-raya masak kuatir tidak punya gedung yang lebih mentereng daripada ini?" Ketika mendengar mayat Go Him akan "dipasang" disitu, seketika terkilas sesuatu dalam benak Jik Hong, segera iapun paham duduknya perkara: "Ya, dia ??.dia telah pasang mayat ayahku didalam tembok. Dengan licin ia telah musnakan mayat ayahku, pantas selama ini tiada kabar-berita tentang jejak ayahku. Pantas pula Kongkong?? tidak, tidak, ia bukan Kongkong lagi, tapi jahanam Ban Cin-san itu suka bangun ditengah malam untuk pasang tembok. Rupanya dia terlalu banyak berbuat kejahatan, pikirannya terganggu, maka telah kena penyakit tidur, dalam tidurnya ia suka bangun untuk pasang tembok??" Kemudian ia dengar Ban Ka sedang tanya: "Tia, sebenarnya apakah manfaat yang berada pada Kiam-boh itu? Engkau mengatakan kita akan mendapatkan harta karun hingga kaya-raya mendadak? Apa barangkali kitab ini bukan??bukan kitab ilmu silat segala, tapi adalah sesuatu rahasia mengenai suatu partai harta karun terpendam?"
"Ya, sudah tentu bukan kitab ilmu silat, tapi yang dikatakan didalam Kiam-boh itu adalah suatu tempat simpanan harta karun," sahut Cin-san. "Dahulu situa bangka Bwe Liam-sing hendak mewariskan kitab itu kepada orang luar, hehe, benar2 tua bangka, masakah murid sendiri juga tak dipercayai. Eh, Ka-ji, lekas, lekas kau ambil Kiam-boh itu." Setelah ragu2 sejenak, kemudian Ban Ka mengeluarkan sejilid buku dari bajunya. Kiranya sepeninggalnya Jik Hong dari kamar pojok taman itu, segera Ban Ka masuk kesitu dan mengeluarkan kitab itu dari lubang dinding. Kitab itu habis direndam oleh Jik Hong, maka sampulnya belum lagi kering. Ban Cin-san menerima kitab itu sambil melirik sekejap pada puteranya itu, pikirnya: "Barusan mengapa kau ragu2? Kenapa tak mau keluarkan kitab itu secara blak2an? Apa kau hendak membohongi aku untuk mengangkangi sendiri kitab ini?" Tapi sekarang ia tiada tempo buat menyelami pikiran sang putera itu, segera ia mem-balik2 kitab itu satu halaman demi satu halaman. Sesudah terendam sekian lamanya didalam air darah yang berbisa dibaskom itu, kedua halaman sampul berikut beberapa halaman muka dan belakang dari kitab itu sudah basah semua, tapi halaman2 bagian tengah masih tetap kering. Maka dengan suara rendah Ban Cin-san telah berkata: "Kitab ini apakah dapat kita pertahankan atau tidak sesungguhnya sulit dipastikan. Paling penting sekarang kita harus menyelidiki rahasia yang tertulis didalam kitab ini, dan bila kemudian kitab ini dirampas orang lagi, hal mana takkan menjadi soal bagi kita. Nah, pergilah ambil sebatang potlot dan kertas, kita harus mencatatnya dengan baik. Nah, kau juga harus apalkan jurus pertama dari Soh-sim-kiam-hoat berasal dari syair 'Jun-kui' (Musim semi tiba pula) ciptaan To Hu (Tu Fu, penyair tersohor dijaman dinasti Tong) ??" Sembari berkata ia terus gunakan jarinya untuk mengambil ludah, lalu digunakan membasahi halaman kitab yang tertulis syair To Hu itu, tiba2 ia berseru pelahan kegirangan, katanya: "Ha, angka 'empat'! Empat??.empat??.bagus! Huruf keempat adalah 'Kang', nah, catatlah yang betul. Dan jurus kedua berasal dari syair To Hu pula yang berjudul 'Tiong-kang-ciau-leng'." ~ Kembali ia membasahi jari dengan ludah dan lagi2 ia bersorak pelahan: "Ha, angka '51'. Nah, satu, dua, tiga, empat, lima???" ~ begitulah ia menghitung terus satu huruf demi satu huruf hingga huruf ke-51, dan ternyata jatuh pada huruf 'Leng'. "Ha, huruf 'Leng', jadi 'Kang-leng', bagus. 'Kang-leng', kiranya memang betul adalah di Hengciu sini."
"Tiatia, hendaklah pelahan sedikit suaramu," kata Ban Ka ketika melihat ayahnya menjadi lupa daratan saking girangnya.
Maka Ban Cin-san telah tersenyum, katanya: "Ya, benar, memang tidak boleh lupa daratan saking senangnya. Nah, Ka-ji, jerih-payah ayahmu ini achirnya tidaklah sia2, rahasia besar ini achirnya dapat kita ketemukan juga!" Dan se-konyong2 ia menutup kembali halaman kitab itu, katanya dengan suara tertahan: "Tapi, Ka-ji, sebab apakah musuh sengaja menghantarkan Kiam-boh ini kepada kita, sekarang aku sudah tahulah!"
"Sebab apakah?" Hal mana sampai sekarang aku masih tidak paham," ujar Ban Ka. "Ya, sebab setelah mendapatkan Kiam-hoat ini, tetap musuh tak dapat memecahkan rahasia didalam kitab, dan dengan sendirinya tiada berguna, bukan?" kata Ban Cin-san dengan ber-seri2. "Padahal Soh-sim-kiam-hoat kita setiap jurusnya memakai nama yang berasal dari syair jaman Tong, dengan sendirinya orang dari golongan lain takkan tahu hal ini. Didunia ini sekarang hanya aku dan Gian Tat-peng yang ingat dengan baik nama2 jurus ilmu pedang kita. Hanya aku dan dia yang tahu nama setiap jurus itu berasal dari syair yang mana. Seperti jurus pertama harus mencarinya pada syair 'Jin-kui' dan jurus kedua harus mencari pada syair 'Tiong-kang-ciau-leng' dan begitu seterusnya."
"Tia, kenapa kau tidak pernah mengajarkan padaku?" demikian Ban Ka bertanya. BanCin-san tampak agak kikuk oleh teguran itu, segera ia menjawab: "Habis aku mempunyai delapan anak murid, setiap hari kalian berada bersama, kalau melulu aku ajarkan padamu, tentu juga akan diketahui oleh mereka, dan itu berarti bikin urusan runyam."
"O, kiranya musuh mempunyai tipu muslihat tertentu, ia ingin kita menemukan rahasia didalam kitab ini dan membiarkan kita pergi mencari harta karun itu, kemudian ia akan menyergap kita, dengan demikian ia akan keduk keuntungannya tanpa susah payah," demikian kata Ban Ka. "Ya, memang betul terkaanmu," kata Cin-san. "Maka setiap tindakan kita harus waspada, jangan sampai usaha kita sia2 belaka, jangan2 harta karun belum diperoleh, tapi jiwa kita sudah melayang dulu ditangan musuh." Kemudian itu menggunakan ludah pula untuk membasahi syair ketiga, katanya: "Jurus ketiga dari Soh-sim-kiam-hoat kita berasal dari syair 'Song-ko-si' ciptaan Ju Bek, angka kuncinya adalah '33' seperti apa yang sudah kelihatan ini, nah, satu, dua, tiga, empat??.Ha, huruf tiga-puluh-tiga jatuh pada huruf 'Seng' (kota). Eh, jadi lengkapnya adalah 'Kang-leng-seng' (kota Kang-leng atau Hengciu). Aha, ini dia, memang benarlah, tidak salah lagi, apa yang mesti disangsikan pula? He, kenapa tanganku ini terasa sangat gatal?" Begitulah tiba2 ia merasa punggung tangan kirinya sangat gatal, segera ia kukur2 dengan tangan kanan. Tapi punggung tangan kanan ikut terasa gatal pula, cepat ia garuk2 lagi dengan tangan kiri dan begitulah secara ber-ulang2, ia kukur2 sini dan garuk sana. Sesudah kukur2 dan garuk2, sebenarnya Ban Cin-san tidak ambil perhatian, kembali ia membaca isi Kiam-boh pula dan berkata: "Dan jurus keempat ini???.he, gatal benar?" ~ dan kembali ia kukur2 tangan kiri. Tapi sekali ini ia coba periksa tangan itu, ia melihat punggung tangan disitu terdapat beberapa jalur bekas tinta hitam, keruan ia heran, ia merasa tidak pernah menulis, kenapa tangannya terpercik noda tinta? Sementara itu ia merasa tangannya semakin gatal, waktu ia periksa tangan kanan, disitu juga terdapat beberapa jalur bekas tinta bak yang silang melintang tak keruan. "Ha, ayah, dari??..darimanakah noda hitam diatas tanganmu itu?" demikian teriak Ban Ka tiba2. "Tampaknya tanda itu seperti terkena racun ketungging Gian Tat-peng itu?" Ban Cin-san tersadar oleh ucapan puteranya itu, ia merasa tangannya semangkin gatal, tanpa merasa ia garuk2 lagi kesana dan kesini. "Wah, jang??...jangan digaruk, racun itu berasal dari kukumu itu," seru Ban Ka. "Ai, memang benar!' segera Ban Cin-san juga berteriak. Iapun sadar seketika, katanya: "Ya, karena Kiam-boh ini direndam didalam air darah berbisa oleh siperempuan jalang itu, dengan sendirinya kitab inipun mengandung racun jahat itu. Ai, ku??. kurangajar sikeparat Go Him itu, mati saja tidak rela hingga tanganku kena dicakarnya sampai terluka, dan sekarang racun ketungging telah masuk melalui luka ini, rasaku menjadi risi, tapi agaknya tidak apa2??..Aduuuh, kenapa makin lama semakin sakit. Auuuuuh, aduuuuh!" ~ begitulah saking tak tahan achirnya ia me-rintih2 kesakitan. "Tia, agaknya racun ketungging yang masuk ditanganmu itu, tidak banyak, biarlah kuambilkan air untuk dicuci," ujar Ban Ka. "Ya, benar!" sahut Ban Cin-san. Dan mendadak ia berseru: "Tho Ang! Tho Ang! Ambilkan air!" Ban Ka mengkerut kening, ia pikir: "Ayah barangkali sudah pikun? Sudah lama Tho Ang telah diusir olehnya sendiri, kenapa sekarang me-manggil2?" Segera iapun mengambil sebuah baskom, dengan cepat ia menuju ketepi sumur, ia menimba air satu baskom penuh, lalu dibawa masuk kekamar dan ditaruh diatas meja. Terus saja Ban Cin-san masukan kedua tangannya untuk direndam didalam baskom, dan memang benar kerendam air dingin, rasa sakit dan gatalnya menjadi jauh berkurang. Diluar dugaan bahwa racun ketungging yang mengenai Ban Ka itu telah berubah sifatnya, sesudah dibubuhi obat penawar satu kali, darah hitam yang merembes keluar dari lukanya itu telah berubah sifatnya menjadi semacam racun lain jauh lebih jahat daripada racun semula, apalagi tangan Ban Cin-san itu bekas luka kena cakaran Go Him, luka cakaran itu tergurat cukup dalam hingga racun yang meresap kesitupun jauh lebih cepat dan lebih berat. Maka hanya sebentar saja ia merendam tangannya, segera air didalam baskom itu berubah menjadi hitam, bahkan lambat-laun air hitam itu berubah menjadi ketat hingga mirip tinta bak. Keruan Ban Cin-san saling pandang dengan Ban Ka, mereka sangat terkejut. Sejenak kemudian, waktu Ban Cin-san mengangkat tangannya, mendadak ia menjerit kaget. Ternyata kedua tangannya itu telah abuh se-akan2 menjadi dua bola, sekalipun luka tangan Ban Ka yang disengat ketungging tempo hari juga tidak sejahat sekarang ini."Ai, celaka! Mungkin tidak boleh direndam didalam air!" seru Ban Ka. Saking kesakitan Ban Cin-san menjadi mata gelap, "bluk", kontan ia tendang pinggang Ban Ka sambil memaki: "Binatang, jika tahu tidak boleh direndam dengan air, kenapa tadi kau mengambilkan air? Bukankah kau sengaja hendak bikin celaka padaku?"
Karena tendangan itu, saking kesakitan sampai Ban Ka menjengking meringis sambil pegang pinggangnya. Katanya dengan suara ter-putus2: "Ak??..akupun tidak tahu, mana mungkin sengaja hendak bikin celaka pada ayah?" Dengan jelas Jik Hong yang sembunyi dikolong ranjang itu dapat mengikuti percekcokan ayah dan anak itu, tapi perasaannya waktu itu tak keruan rasanya, entah merasa sedih atau girang, karena mengingat akan dapat menuntut balas. Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san lagi ber-jingkrak2 sambil ber-teriak2: "Wah bagaimana ini, bagaimana ini?"
"Dikamarku sana ada sedikit obat tahan sakit, meski takbisa memunahkan racun, tapi dapat menghilangkan rasa sakit sementara, apakah ayah mau memakainya?" kata Ban Ka. "Ya, ya! Lekas, lekas ambil sana!" sahut Cin-san. "Tapi apakah manjur atau tidak, anak tidak berani menjamin, lho!" kata Ban Ka. "Jangan2 tidak manjur, nanti ayah akan marah dan menendang aku lagi!"
"Maknya!" damperat Cin-san dengan gemas. "Bapakmu sudah hampir sekarat dan kau masih merasa penasaran karena tendangan tadi? Kau diberi gegares hingga sebesar cecongormu itu, hanya tendangan sekali saja apa salah? Bangsat, hayo lekas pergi ambil, lekas!" Terpaksa Ban Ka mengiakan, lalu putar tubuh dan keluar. Melihat diwaktu perginya sang putera masih mengunjuk sikap penasaran, diam2 Cin-san merasa was-was. Ia lihat kedua tangan sendiri bukan main besarnya, mirip pelembungan yang ditiup hingga penuh, kulit sebagian tangan itu sampai menitis, kerut kisutnya sampai tak kelihatan lagi, kalau abuh lagi sedikit, bukan mustahil bisa segera pecah. "Marilah kita pergi bersama!" serunya segera kepada sang putera. Dengan demikian ia pikir akan terhindar dari kemungkinan dipermainkan oleh puteranya sendiri. Maka lebih dulu ia masukan Soh-sim-kiam-boh kedalam baju, lalu menyusul kearah Ban Ka dengan langkah cepat. Mendengar kedua orang itu sudah pergi jauh, segera Jik Hong merangkak keluar dari kolong ranjang, pikirnya: "Kemana aku harus pergi sekarang?" ~ sesaat itu ia menjadi bingung, ia merasa dunia seluas itu baginya se-akan2 sebesar daun kelor dan tiada tempat berteduh baginya.
"Mereka telah membunuh ayahku, sakit hati ini masakah tak kubalas? Tapi dendam sedalam lautan ini cara bagaimana harus membalasnya? Bicara tentang ilmu silat, terang aku selisih sangat jauh dibandingkan Kongkong dan Ban-long, apalagi mereka percaya penuh bahwa aku telah bergendak dengan Go Him, bukan mustahil sekali bertemu dengan mereka pasti aku akan dibunuhnya, dan cara bagaimana aku harus melawan mereka? Jalan satu2nya sekarang yalah??..yalah pergilah mencari dulu Tik-suko, bila sudah ketemu, tentu akan dapat dicari jalan yang sempurna untuk menuntut balas. Dan bagaimana dengan Khong-sim-jay? Ai, mana boleh kutinggalkan dara cilik itu?" Begitulah demi teringat kepada puterinya yang masih kecil itu, ia menjadi tidak tega tinggal minggat. Segera ia berlari keloteng dibelakang sana, ia bertekad akan membawa puterinya itu untuk melarikan diri dan kelak baru akan dicari jalan membalas dendam. Dalam hati kecilnya iapun tidak berani percaya seratus prosen bahwa ayah dan anak she Ban itu benar2 adalah orang yang membunuh ayahnya. Memang Ban Cin-san dikenalnya sebagai seorang manusia keji dan kotor. Tapi Ban Ka? Suaminya selama ini sangat mencintainya, betapapun hubungan suami-isteri itu susah diakhiri begitu saja. Ketika ia ber-lari2 sampai dibawah loteng, ia mendengar suara Ban Cin-san yang serak sedang ber-teriak2 kalap. "Begitu berisik suaranya, tentu Khong-sim-jay akan terjaga bangun dengan kaget," demikian pikir Jik Hong. Cinta kasih ibu memang suci murni. Demi ingat kemungkinan puterinya akan terjaga bangun dan kaget, tanpa pikirkan bahaya atas diri sendiri, segera Jik Hong naik keatas loteng dengan pelahan2, dengan hati2 ia berusaha tidak mengeluarkan suara. Kamar tidur Khong-sim-jay terpisah dibelakang kamar tidur suami-isteri mereka, yaitu dipisah dengan selapis papan. Sesudah Jik Hong menyelinap kedalam kamar itu, dari sinar pelita yang tembus dari kamar tidurnya sendiri, ia melihat puterinya itu sudah lama terjaga bangun, dengan mata terbelalak dara cilik itu kelihatan sangat ketakutan, dan begitu melihat ibundanya sudah datang, segera bocah itu mewek2 hendak menangis. Cepat Jik Hong memburu maju terus memeluknya kencang2, ia memberi tanda agar bocah itu jangan bersuara. Anak dara itu memang pintar dan menurut pula, benar juga ia lantas diam saja. Maka ibu dan anak berdua lantas berkelonan diatas ranjang. Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang ber-teriak2: "Wah, celaka! Obat tahan sakit ini makin membikin sakit malah, bagaimana baiknya ini? Hayolah lekas cari tabib kampungan itu, harus memakai obat penawarnya itu baru dapat sembuh!"
"Ya, benar, harus memakai obatnya itu barulah racun itu bisa dipunahkan," Ban Ka ikut berseru. "Nanti kalau sudah terang tanah, segera suruh Loh-toako dan lain2 keluar serentak untuk mencari tabib kampungan itu."
"Masakah mesti menunggu sampai terang tanah?" semprot Cin-san dengan gusar. "Kenapa tidak??..Aduuuh???Aduuh???Aduuuuh! Aku tak tahan, aku tak tahan!" ~ dan mendadak ia terus terguling dilantai saking kesakitan sampai ia berkelojotan kian kemari seperti orang sekarat. Dan mendadak ia berteriak pula. "Lekas, lekas ambil pedang! Potong??potonglah kedua tanganku ini, lekas potong kedua tanganku!" Menyusul lantas terdengar suara gedubrakan dan gemerantang, suara jatuhnya meja kursi dan pecah hancurnya perkakas rumah tangga sebangsa mangkok-cangkir. Dengan ketakutan Khong-sim-jay peluk ibundanya dengan kencang, mukanya pucat. Tapi pelahan2 Jik Hong telah meng-elus2 dara cilik itu agar jangan takut, namun iapun tidak berani bersuara. Rupanya Ban Ka juga sangat gugup dan kuatir, terdengar ia sedang berkata: "Tia, harap kau bisa tahan sebentar saja, masakah tanganmu boleh dipotong? Lebih baik kita harus mencari obat penawarnya." Mungkin Ban Cin-san sudah tidak tahan lagi oleh siksaan luka yang berbisa itu, mendadak ia menjadi murka, bentaknya dengan mendelik: "Kenapa kau tidak mau memotong kedua tanganku untuk membebaskan aku dari siksaan kesakitan? Ha, tahulah aku, tentu kau??kau ingin aku lekas2 mati agar kau bisa ??bisa kangkangi sendiri Kiam-boh ini, kau ingin mendapatkan harta karun itu sendirian??." Ban Ka menjadi gusar juga karena dituduh secara tidak se-mena2, sahutnya: "Tia, saking kesakitan hingga pikiranmu agak linglung, lebih baik engkau tidurlah sebentar. Padahal bila engkau tidak memimpin dalam urusan ini, apa sih gunanya aku mendapat Kiam-boh itu?"
"Hm, pikiranku linglung? Tapi pikiranmu sendiri sudah tidak bermaksud baik," sahut Cin-san sambil tiada hentinya berkelojotan kian kemari dilantai. "Aduuuh, mati aku, sakitnya!??.Matilah aku??..Ya, toh aku akan mati, biarlah kita bubar pasar saja, kita semua takkan mendapatkan apa2!" Mendadak matanya merah membara, segera ia mengeluarkan Kiam-boh itu dari bajunya, lalu satu halaman demi satu halaman dirobeknya. Keruan Ban Ka terkejut dan merasa sayang, cepat ia berseru: "Hai, jangan, jangan disobek!" ~ Dan segera ia mencegahnya, terus saja ia pegang sebelah kitab itu, Tapi Ban Cin-san masih pegang erat2 bagian lain dari kitab itu dengan mati2an, betapapun ia tidak mau lepas. Kiam-boh itu habis direndam didalam air berdarah, sebegitu jauh masih belum kering, sekarang kena ditarik lagi oleh kedua orang, seketika kitab itu terobek menjadi dua bagian. Ban Cin-san pegang separoh jilid dan Ban Ka juga memegang setengah buku. Selagi Ban Ka tertegun oleh kejadian itu, kembali Ban Cin-san mulai me-robek2 lagi halaman kitab itu. Sudah tentu Ban Ka merasa berat kehilangan kitab itu, ia tidak rela harta karun yang diimpikan oleh setiap orang itu akan lenyap begitu saja, segera ia merangsang maju untuk merebut lagi bagian kitab ditangan ayahnya itu. Maka terjadilah betot-membetot, achirnya saling gumul, dan kitab itu menjadi makin kumal dan hancur ber-keping2. Se-konyong2 Ban Ka menjerit: "Aduuuh, sakitnya!"
Kiranya setelah terjadi tarik dan betot dan akhirnya saling gumul itu, tanpa sengaja luka ditangan Ban Ka itu kena pula racun yang meresap didalam kitab itu. Dan racun yang berada didalam kitab itu sungguh bukan main jahatnya, hanya sekejap saja kedua tangan Ban Ka kembali abuh lagi seperti pelembungan, rasa sakitnya yang menusuk ulu hati dan merasuk tulang itu benar2 susah ditahan. Apalagi dasar ilmu silatnya selisih jauh kalau dibandingkan ayahnya, sehabis sakit tentu tenaganya juga masih lemah. Sebab itulah, begitu racun itu masuk kedalam lukanya dan meresap mengikuti aliran darah, maka kumatnya menjadi cepat luar biasa. Jadi sekarang kedua orang ~ ayah dan anak ~ itu sama2 berkelojotan diatas lantai sambil men-jerit2 ngeri. Sesudah mendengarkan agak lama, akhirnya Jik Hong merasa tidak tega, betapapun hubungan suami-isteri selama itu telah mendorongnya bertindak, ia tidak dapat berpeluk tangan menonton saja. Segera ia berbangkit dari tempat tidur dan menuju kepintu kamar. Melihat Ban Cin-san berdua masih ber-gulung2 dilantai, segera ia menegur dengan dingin: "Ada apakah kalian? Kenapa bergulingan ditanah?" Melihat Jik Hong, tiada tempo buat marah lagi bagi Ban Cin-san berdua. Segera Ban Ka memohon: "Hong-moay, tolong, tolonglah lekas pergi mencari tabib kampungan itu, mohonlah dia suka lekas meracikan obat penawarnya, aduuuh??..sungguh sakit sekali, aku tidak tahan lagi, mo??.mohon bantuanmu??."
Melihat keringat memenuhi jidat sang suami dengan menahan sakit, hati Jik Hong semakin lemah lagi, tanpa pikir ia lantas mengeluarkan botol porselin kecil itu, katanya: "Obat penawarnya berada disini!"
"Wah, bagus, bagus!" serentak Ban Cin-san dan Ban Ka berteriak girang bagaikan orang tarik lotere 150 juta. Segera mereka me-ronta2 untuk merangkak bangun. Melihat sorot mata Ba Cin-san yang menampilkan sifat buasnya binatang, Jik Hong pikir kalau kesempatan ini tidak digunakan untuk memaksa pengakuannya, mungkin kelak akan susah meyelidiki duduknya perkara sebenarnya. Maka ia lantas membentak: "Tahan dulu, jangan bergerak! Asal kalian ada yang melangkah maju satu tindak saja, segera obat penawar ini akan kulemparkan kedalam empang dibawah sana, biar kita mati semuanya!" ~ Sembari berkata ia terus membuka daun jendela dan membuka sumbat botol pula, ia angsurkan botol porselin itu keluar jendela, asal dia lepas tangan, segera botol itu akan jatuh kedalam empang dan obatnya akan buyar terkena air serta takbisa dicari lagi. Ban Cin-san berdua menjadi mati kutu, benar juga mereka tidak berani sembarangan bergerak, mereka terpaku ditempatnya sambil saling pandang. "Eh, menantuku yang baik, asal kau memberikan obat penawar itu, aku berjanji akan meluluskan kau ikut pergi bersama Go Him, sedikitpun aku takkan merintangi kalian. Selain itu aku akan menghadiahkan pula seribu tahil sebagai modal untuk kalian??.aduuh, sakit??dan ??dan Ka-ji juga takdapat menahan kau bila engkau toh sudah ingin pergi, maka??maka kau boleh tak perlu kuatir." Jik Hong pikir orang ini benar2 licin dan rendah tak kenal malu, sudah terang Go Him telah dicekik mati olehnya sendiri, tapi masih digunakannya untuk menipu orang. Sementara itu terdengar Ban Ka juga berkata padanya: "Ya, Hong-moay, meski aku merasa berat, tapi jiwaku lebih penting, aku berjanji takkan membikin susah pada Go Him."
"Hm, hati kalian barangkali sudah beku, ya? Masakah masih mempunyai pikiran jijik seperti itu?" jengek Jik Hong. "Aku hanya ingin tanya sesuatu pada kalian, asal kalian mengaku dengan sejujurnya, segera aku akan memberikan obat penawar ini."
"Baik, baik! Lekas kau tanya, pasti akan kujawab. Aduuuuh, aduuuuuh!???" demikian sahut Ba Cin-san sambil merintih.
Pada saat itulah tiba2 angin meniup kencang masuk dari jendela hingga sobekan kertas yang berserakan dikantor itu bertebaran dan ada yang kabur keluar. Tiba2 sepasang kupu2 kertas itupun terbang keatas, itulah pola kupu2 guntingan Jik Hong tempo dulu yang diselipkannya ditengah kitab itu. Karena angin meniup terus, maka sepasang kupu2 kertas itupun se-akan2 terbang kian kemari dengan hidup didalam kamar, Jik Hong menjadi pedih dan duka, terbayang olehnya suasana gembira ria waktu dia bermain dengan Tik Hun didalam gua dimasa dahulu. Dalam pada itu Ban Ka juga telah mendesak: "Ya, apa yang kau ingin tahu, lekaslah tanya. Asal tahu tentu akan kukatakan terus terang." Dan karena itu barulah Jik Hong tersadar dari lamunannya, katanya kemudian: "Tentang ayahku. Dimanakah beliau? Apa yang telah kalian perbuat atas diri beliau?"
"Ayahmu, hehe, darimana aku tahu, bukankah dahulu ia telah melarikan diri?" ujar Ban Cin-san dengan tertawa yang di-buat2. "Tentang saudara-seperguruanku itu, aduuuh???.aku juga sangat terkenang padanya, auuh, ck-ck-ck??..Ai, toh kita sekarang juga sudah besanan, kan sangat baik toh?" Begitulah sambil menjawab Ban Cin-san sembari ber-teriak2 kesakitan.
Tapi Jik Hong tidak bisa tertipu lagi, dengan muka masam ia menyemprot: "Huh, masih berani kau berkata demikian? Ayahku sudah dibunuh oleh kau, betul tidak? Cara kau membunuh beliau adalah sama seperti kau membunuh Go Him, betul tidak? Dan kau telah masukan jenazahnya kedalam tembok, betul tidak?" Ber-ulang2 tiga kali pertanyaan: "Betul tidak?" telah membuat Ban Cin-san dan Ban Ka menjadi gelagapan dan terperanjat, sama sekali tak mereka duga bahwa Jik Hong dapat mengetahui terbunuhnya ayahnya, bahkan terbunuhnya Go Him juga tahu. Maka dengan suara tak lancar Ban Ka bertanya: "Da??..darimana kau tahu?" Dengan pertanyaan itu, sama saja Ban Ka telah mengakui segala kejadian itu memang betul adanya. Dalam pedih dan gusarnya segera Jik Hong bermaksud melepaskan botol porselin yang dipegangnya itu kedalam empang. Melihat gelagat jelek, segera Ban Ka bermaksud menubruk maju untuk merebut kalau Ban Cin-san tidak keburu membentak untuk mencegahnya. Dalam keadaan begitu, Cin-san tahu akan lebih runyam lagi bila memakai kekerasan. Dan pada saat itu juga tiba2 sidara cilik Khong-sim-jay berlari keluar dari kamarnya sambil berseru: "Ibu, ibu!" Segera dara cilik itu bermaksud memburu kepangkuan ibundanya. Sekilas Ban Ka mendapatkan akal, cepat ia sambar Khong-sim-jay sebelum dara cilik berlari lewat disisinya, ia angkat bocah itu dan segera mencabut belati mengancam diatas kepala puterinya sendiri itu sambil membentak: "Baiklah, kalau mau mati, biarlah kita tua-muda seisi rumah ini mati bersama saja, sekarang biarlah kubunuh Khong-sim-jay dulu!" Keruan Jik Hong kaget, puterinya itu merupakan mestika jiwanya, cepat ia berseru: "Jangan! Lekas lepaskan dia, apa sangkut-pautnya dengan bocah yang tak berdosa itu?"
"Ya, toh kita semua tak bakal hidup lagi, maka lebih dulu biar kubunuh Khong-sim-jay saja," ujar Ban Ka. Dan sekali tangannya terangkat, segera belatinya hendak menikam kedada si-bocah. "Jangan! Jangan!" saking kuatirnya Jik Hong terus memburu maju hendak menolong. Meski Ban Cin-san dalam keadaan tersiksa oleh karena serangan racun dalam tubuh, tapi ia sudah kenyang asam-garam, demi melihat Jik Hong kena dipancing oleh Ban Ka dan berlari maju, tanpa ayal lagi ia lantas menyikut hingga tepat pinggang Jik Hong kena ditutuk olehnya, menyusul ia terus rampas botol obat penawar ditangan menantu itu dan buru2 ia bubuhkan obat penawar itu dipunggung tangan sendiri. Cepat Ban Ka ikut memburu maju untuk minta dibubuhi obat pemunah racun itu. Sebaliknya Jik Hong masih sempat mencapai puterinya serta merangkulnya dengan erat2 tanpa menghiraukan orang lain. Segera Ban Cin-san ayun kakinya, Jik Hong didepaknya hingga terguling, menyusul ia lepaskan ikat pinggang sendiri untuk meringkus menantunya itu dengan menelikung kedua tangannya kebelakang, kemudian kedua kakinya diikat pula kencang-kencang. Sambil men-jerit2 memanggil ibu, Khong-sim-jay memburu kearah Jik Hong. Tapi sekali Ban Cin-san ayun tangannya, tepat dara cilik itu kena digampar hingga kelengar. Tapi gamparan itu memakai telapak tangannya yang abuh hingga Ban Cin-san meringis kesakitan sendiri sambil merintih tertahan. Obat penawar racun ketungging itu memang "ces-pleng", sesudah dibubuhi obat itu, hanya sebentar saja dari luka kedua orang itu lantas merembes keluar air berdarah, rasa sakit mulai hilang dan berubah menjadi rasa gatal, tak lama kemudian rasa gatal itupun berkurang dan akhirnya lenyap. Sungguh lega dan senang sekali Ban Cin-san dan Ban Ka karena jiwa mereka telah dapat dirampas kembali dari tangan raja akhirat. Dan sekali jiwa mereka sudah selamat, segera timbul lagi jiwa tamak mereka. Segera mereka teringat kepada kitab pusaka yang merupakan kunci bagi suatu partai harta karun itu. Untuk sejenak mereka celingukan kian kemari, mereka melihat didalam kamar masih banyak bertebaran sobekan2 kertas, banyak pula yang sedang kabur keluar jendela tertiup angin. "Wah, celaka!" demikian se-konyong2 kedua orang berteriak bersama. Segera mereka memburu maju hendak mencegah kaburnya sobekan2 kertas itu. Namun kertas kecil2 itu sudah tak keruan tempatnya, sebagian sudah jatuh kedalam empang diluar jendela sana, ada pula yang sedang me-layang2 di udara dan hampir masuk ke air. "Wah, cialat! Lekas buru, lekas!" teriak Ban Cin-san. Dan tanpa dikomando untuk kedua kali lagi, segera mereka berdua memburu kebawah loteng secepat terbang, saat itu mereka sudah lupa pada kelakuan mereka yang me-rengek2 secara menjijikan waktu sekarat tadi. Begitulah Ban Cin-san dan Ban Ka telah berlari ke taman, dengan napsu mereka ingin menangkap kembali potongan2 kertas yang bertebaran itu. Tetapi be-ratus2 potong kertas yang kecil-kecil itu sudah terpencar tak keruan, ada yang kecemplung ke dalam empang, ada yang jatuh keluar pagar tembok, ada yang me-layang2 keudara terbawa angin. Maka biarpun mereka berdua tubruk sini dan sambar sana sambil berjingkrakan seperti orang gila, hasilnya juga tidak seberapa, apalagi kertas yang sudah di-robek2 itu masakah dapat memulihkan kitab aseli Soh-sim-kiam-boh itu? Begitulah meski sakit ditangan Ban Cin-san sudah hilang, tapi sakit di dalam hatinya menjadi tambah hebat. Dalam dongkolnya yang tak terlampiaskan itu, segera ia mendamperat puteranya: "Semuanya gara2 kau bangsat kecil ini. Kalau kau tidak main tarik dan betot padaku, masakah Kiam-boh itu bisa hancur seperti sekarang?". Ban Ka menghela napas dan tidak mengubar lagi kertas2 yang sudah hancur itu. Sahutnya: "Tia, kalau tadi anak tidak mencegah, mungkin Kiam-boh itu sudah lebih hancur daripada sekarang". "Ah, kentut!" semprot Ban Cin-san, walaupun dalam hati ia harus mengakui kebenaran ucapan puteranya itu, tapi dimulut ia tidak mau kalah, masih 'kentat-kentut' terus. "Tia," kata Ban Ka kemudian, "baiknya kita sudah tahu bahwa tempat yang dimaksudkan itu adalah Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), mungkin dari sisa Kiam-boh yang masih ada itu dapat kita temukan sedikit petunjuk lain, dan mungkin kita masih dapat menemukan harta terpendam itu." Semangat Ban Cin-san terbangkit seketika demi mendengar peringatan puteranya itu, serunya cepat: "He, benar, memang tempat itu adalah 'Kang-leng-seng-lam'??.. Dan pada saat itu yuga, tiba2 diluar pagar tembok sana ada suara orang mengulangi kalimat itu dengan pelahan: "Kang-leng-seng-lam!". Keruan kejut Ban Cin-san berdua bukan kepalang demi mendengar suara itu. Seketika mereka memburu keluar sana. Mereka melihat dua sosok bayangan yang sedang menghilang dibalik tikungan jalan sana, cepat Ban Cin-san membentak: "Bok Heng, Sim Sia, berhenti!". Tapi jangankan berhenti, bahkan menolehpun tidak kedua orang itu lantas kabur dengan cepat. Dan selagi Ban Cin-san bermaksud mengejar, tiba2 Ban Ka berkata: "Tia, di atas loteng masih ada sisa Kiam-boh itu, pula masih ada????. masih ada perempuan jalang itu". Setelah memikir, Ban Cin-san merasa benar juga usul puteranya itu, ia mengangguk tanda setuju dan segera mereka kembali keatas loteng. Disana tertampak sidara cilik Khong-sim-jay sudah mendusin dan sedang menangis dalam pangkuan ibundanya. Jik Hong sendiri tak bisa berkutik karena anggota badannya terikat, namun ia coba menghibur dan membujuk puterinya yang kecil itu. Ketika melihat kakek dan ayahnya telah kembali, Khong-sim-jay menjadi lebih takut hingga tangisannya makin keras. Bukannya menimang, sebaliknya datang2 Ban Cin-san terus depak sekali dipantat dara cilik sambil memaki: "Kau anak sial ini, berani menangis lagi segera kutabas batang lehermu!" Khong-sim-jay semakin ketakutan hingga mukanya pucat sebagai kertas saking ketakutan hingga dia tidak berani menangis lagi. "Tia", kata Ban Ka dengan suara perlahan, "perempuan jalang ini telah mengetahui engkau adalah?????. adalah pembunuh ayahnya, pula dia telah menyaksikan kematian Go Him, untuk semuanya itu terang dia takkan bisa dibiarkan hidup terus. Lantas cara bagaimana kita harus membereskan dia?". Cin-san memikir seyenak, kemudian katanya: "Kedua orang diluar tadi sudah terang adalah Bok Heng dan Sim Sia, bukan?"
"Betul, memang mereka itu, pasti tidak salah lagi," sahut Ban Ka. "Mungkin rahasia Kiam-boh itu sudah bocor, mereka telah mengetahui Kang-leng-seng-lam adalah tempatnya."
"Ya, urusan tidak boleh di-tunda2 lagi, kita harus lekas2 mendahului turun tangan," uyar Cin-san. "Baiklah, tentang perempuan jalang ini, boleh kita bereskan seperti ayahnya saja." Sejak Jik Hong diringkus, ia sendiripun insaf pasti tiada harapan buat hidup lagi, terutama karena dia telah membongkar rahasia kekejaman mereka berdua. Kini mendengar ayah mertua itu mengatakan hendak membereskan dia seperti ayahnya, maka iapun tidak pikirkan mati hidup sendiri, yang dia beratkan adalah puterinya yang masih kecil itu. Segera ia berkata: "Ban?????. Ban-long, jelek-jelek kita telah bersuami-isteri sekian lamanya, tidaklah menjadi soal jiwaku melayang, tapi sesudah aku mati, hendaklah kau menjaga baik2 pada Khong-sim-jay!". Ban Ka hanya mendengus saya tanpa menjawab. Sebaliknya Ban Cin-san berkata: "Membabat rumput harus sampai akar-akarnya, mana boleh kita tinggalkan bibit bencana dikemudian hari? Bocah ini sangat pintar lagi cerdik, apa yang terjadi hari ini telah dilihatnya semua, siapa berani menjamin bahwa kelak takkan dibocorkan olehnya kepada orang luar?". Ban Ka mengangguk pelahan-lahan. Sebenarnya ia sangat sayang kepada puteri satu-satunya itu, betapapun dara cilik itu adalah darah dagingnya sendiri. Tapi apa yang dikatakan ayahnya itu juga ada benarnya, kalau meninggalkan bibit bencana ini, bukan mustahil kelak akan menimbulkan akibat yang susah dibayangkan. Air mata Jik Hong bercucuran melihat kekejaman kedua orang itu, katanya dengan suara ter-putus2: "Ka?..kalian keji sekali, masakah anak??..anak kecil begini juga tak dapat kalian ampuni?". "Sumbat saja mulutnya daripada dia cerewet tak habis2, jangan2 nanti dia berteriak hingga bikin geger tetangga malah." Kata Ban Cin-san. Mengingat jiwa puterinya juga akan amblas ditangan kakek dan ayahnya yang kejam itu, mendadak Jik Hong menggembor benar2: "Tolong! Tolong!". Ditengah malam sunyi kelam, suara teriakan 'tolong' yang memecah angkasa itu kedengarannya menjadi lebih seram. Cepat Ban Ka menubruk maju, dan tekap mulut Jik Hong. Tapi Jik Hong masih terus berteriak: "Tolong! Tolong!". ~ Cuma mulutnya ditekap tangan sang suami, maka suaranya menjadi serak dan tertahan. Segera Ban Cin-san menyobek sepotong kain baju dan diberikan kepada sang putera. Terus saja Ban Ka sumbat mulut Jik Hong hingga tak bisa bersuara lagi. "Pendam dia sekuburan dengan keparat Jik Tiang-hoat itu, sungguh bagus sekali mereka ayah dan anak bersatu liang kubur", kata Cin-san. Ban Ka mengangguk, segera ia kempit Khong-sim-jay, lalu mereka menggotong Jik Hong ke kamar baca dibawah loteng. Kamar baca itu teratur bersih, dindingnya juga terkapur putih. Diam-diam Jik Hong membatin: "Apakah ayahku telah dicepit oleh mereka ditengah dinding yang putih ini?". Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang berkata pula: "Biarlah aku yang membongkar dinding ini, kau boleh pergi menyeret kemari mayatnya Go Him itu! Hati2lah, jangan sampai diketahui oleh orang!". Ban Ka mengiyakan dan segera berlari ke kamar tidurnya Ban Cin-san. Lalu Cin-san membuka almari meya tulis, ia mengeluarkan alat2 pertukangan, ada pahat, ada palu, ada lingis dan macam2 lainnya, komplit. Ia pandang dinding yang putih itu, kedua tangannya ber-gosok2, ia berpaling memandang sekejap kepada Jik Hong dengan air muka yang sangat senang. Melihat sorot mata orang yang buas sebagai binatang itu, tanpa merasa Jik Hong mengkirik sendiri. Sementara itu Ban Cin-san telah memegang palu dan pahat, ia periksa dulu duduk tembok yang benar, lalu ia memahat diantara sela2 bata. Sesudah sela2 bata longgar, segera ia goyang2kan dengan tangan dan dikorek keluar sepotong bata itu, caranya ternyata sudah sangat apal seperti bekas tukang batu saja. Sesudah sepotong bata itu dilolos keluar, tertampak Ban Cin-san meng-endus2 bata itu. Mungkin ia ingin tahu apakah di dalam dinding itu masih berbau mayatnya Jik Tiang-hoat atau tidak. Melihat ketrampilan Ban Cin-san dalam hal membongkar bata itu, Jik Hong lantas ingat waktu penyakit tidur orang itu angot tadi, waktu itu bapa mertua itupun bergaya mengorek tembok, memasukkan mayat, memasang bata dan sebagainya. Memangnya Jik Hong sudah mengkirik, demi melihat Ban Cin-san meng-endus2 pula bau mayat ayahnya yang dicepit di dalam dinding itu, maka Jik Hong menjadi takut, gusar dan berduka pula. "Kau bangsat keparat yang terkutuk ini!", demikian ia memaki. Tapi karena mulutnya tersumbat, maka yang terdengar hanya suara 'ah-uh' yang tak jelas. Dan selagi Ban Cin-san hendak membongkar bata kedua, tiba-tiba terdengar suara orang berlari diluar, segera tertampak Ban Ka berlari masuk dengan langkah sempoyongan dan badan gemetar, katanya dengan suara ter-putus2: "Tia, ce????. celaka ! Go??.. Go Him?????.. Go Him?????..". "Go Him kenapa?", tanya Ban Cin-san sambil berpaling. "Hi?..hilang! Go?? Go Him menghilang", kata Ban Ka dengan ter-gagap2. "Kentut! Masakah orang mati bisa menghilang?", damperat Ban Cin-san. Tapi dari suaranya yang rada gemetar itu, terang iapun kaget dan kuatir. Bahkan 'plok', bata yang terpegang ditangannya itu tanpa merasa jatuh kelantai. "Aku???aku telah mengangsurkan tangan ke kolong ranjang ayah hen?..hendak menyeret mayat itu", demikian tutur Ban Ka dengan tak lancar, "Tetapi?.. tetapi tanganku tidak menyentuh apa-apa. Cepat kunyalakan pelita dan coba menerangi kolong ranjang, namun????..namun mayat itu sudah menghilang tanpa bekas. Aku mencari diseluruh pelosok didalam kamar ayah, tapi tiada??..tiada menemukan apa2". "Aa????..aneh, sungguh aneh!" kata Cin-san sambil merenung, "Apa barangkali Bok Heng dan Sim Sia yang main gila!". "Tia, jangan2?????.jangan2 jahanam Go Him itu belum?..belum putus napasnya, sesudah pingsan sebentar, lalu??..lalu hidup kembali!" ujar Ban Ka.
"Kentut! Mana bisa jadi!" seru Cin San dengan gusar. "Ayahmu ini berjuluk 'Ngo-in-jiu', dalam hal ilmu menggunakan tangan betapa lihaynya, masakah mencekik seorang saya takbisa membuatnya mampus?."
"Ya, seharusnya tidak bisa jadi", sahut Ban Ka. "Akan tetapi, sehabis Go Him itu dicekik mampus oleh ayah, entah mengapa???..entah mengapa mayatnya sekarang bisa menghilang? Jangan2???..jangan2??."
"Jangan2 apa?", tanya Cin-san. "Jangan2 di dunia ini benar2 ada?????..ada mayat hidup?"
"Hus! Ngaco-belo belaka!", bentak Cin-san. "Sudahlah, lekas kita bereskan perempuan jalang dan anak setan ini dan nanti boleh kita mencari mayatnya Go Him lagi. Mungkin urusan ini sudah ketelanjur diketahui orang luar, kitapun susah menetap lagi dikota Heng-ciu ini." Ban Ka mengiakan, segera ia berjongkok dan membantu membongkar tembok kamar. Batu bata sepotong demi sepotong dikorek keluar hingga dalam sekejap saya tertampaklah suatu lubang besar. "Tia, ti?????tidak beres ini!" tiba2 Ban Ka berseru dengan suara gemetar. "Apanya yang tidak beres?", tanya Cin-san "Di?????..dimanakah mayatnya Jik Tiang-hoat?", sahut Ban Ka. "Umpama mayatnya sudah??.sudah busuk dan lapuk, paling tidak?????.paling tidak pakaiannya dan????..dan tulangnya toh mesti ada disini?". Benar yuga, pikir Cin-san. Segera ia angkat pelita minyak untuk menerangi liang dinding itu. Tapi mendadak terdengar suara nyaring, hancurnya pelita minyak jatuh ke lantai, seketika keadaan menyadi gelap gulita. Hanya sinar bulan yang remang-remang menyorot masuk ke kamar melalui jendela itu hingga menambah seramnya susasana di dalam kamar. Kiranya Ban Cin-san sendiripun kaget demi melihat di dalam liang dinding itu tidak diketemukan mayatnya Jik Tiang Hoat. Dinding itu adalah dinding dua lapis, padahal mayat itu dia sendiri yang masukkan dahulu, masakah sekarang bisa menghilang?. Selang agak lama, barulah Ban Cin-san pulih dari kagetnya, katanya dengan rada gemetar: "Sungguh aneh, mengapa bisa hilang? Sudah terang aku sendiri yang memasukkan mayat itu kedalam dinding, masakah mayatnya bisa terbang sendiri?"
"Tia, jangan2??jangan2 dinding lapisan yang sebelah sana ada jalan tembusan lagi?" uyar Ban Ka. "Tidak, tidak ada!" kata Cin-san. "Dinding ini adalah buntu semua, mana mungkin ada jalan tembusan? Coba?coba kau ulurkan tanganmu untuk meraba, apa benar disitu tiada sisa2 mayat?". Ban Ka mengiakan walaupun didalam hati sebenarnya sangat ketakutan. Dengan sendirinya ia tidak berani meraba dengan tangannya, selang agak lama barulah ia berkata: "Ti?????.tidak ada apa2!". ~ padahal tangannya tidak pernah dimasukkan kedalam liang dinding itu. Ban Cin-san yuga dapat menduga puteranya tidak berani meraba liang dinding itu, katanya kemudian: "Coba nyalakan pelita lagi, kita harus periksa pula hingga tahu duduknya perkara". Ban Ka mengiakan pula, lalu tangannya me-raba2 dilantai dan diketemukan pelita tadi, tapi pelita minyak itu sudah hancur, juga ketikan api hanya diketemukan batunya, sedang ketikannya entah jatuh dimana. Begitulah kedua orang itu sibuk mencari kian kemari dan tetap tidak menemukan apa2. Akhirnya Ban Cin-san menjadi aseran, katanya: "Sudahlah, tak perlu menggubris lagi tentang mayat itu. Boleh kau turun tangan membunuh perempuan jalang itu dan pendam dia kedalam liang situ". Ban Ka mengiakan lagi. Segera ia mendekati Jik Hong dengan menghunus golok, katanya dengan suara gemetar: "Hong-moay, harap jangan kau sesalkan aku, tapi engkau sendirilah yang berdosa padaku!". Jik Hong tak bisa bersuara, tapi dalam hati ia sangat murka. Kalau dirinya sendiri hendak dibunuh adalah dapat dimengerti, tapi puterinya yang masih kecil dan tak berdosa itu juga hendak dibunuh mereka, sungguh kedua manusia she Ban itu lebih mirip dengan binatang buas. Mendadak ia menjadi nekat, sekuatnya ia menubruk maju hingga bahu Ban Ka kena disruduk. Ban Ka tergentak mundur dua tindak. Ia menjadi gusar, segera golok diangkatnya sambil memaki: "Perempuan jalang, ajalmu sudah tiba, masih kau berani main galak?" Dan selagi goloknya hendak diayunkan, tiba2 didengarnya suara 'krek-krek', suara pintu dibuka.
Keruan Ban Ka terperanjat, cepat ia menoleh. Dibawah sinar bulan yang remang2 dilihatnya pintu kamar baca itu sudah terpentang, tapi tiada tampak bayangan seorangpun. "Siapa?", segera Cin-san yuga membentak.Tapi tiada suara sahutan seorangpun. Sebaliknya pintu berbunyi 'krek-krek' pula. Didalam keadaan yang remang2 itu, tertampak suatu bayangan orang menggeser pelahan2 kedepan kamar. Bayangan orang itu kaku tegak sambil me-lompat2, anehnya lututnya tidak tertekuk dikala melompat, jadi baik diwaktu menggeser maupun diwaktu melompat, bayangan itu tetap tegak. Keruan kaget Ban Cin-san dan Ban Ka tak terhingga, ber-ulang2 mereka mundur2 dengan ketakutan. Dalam pada itu bayangan orang itu makin mendekat hingga kini mukanya tersorot oleh cahaya bulan yang remang2. "Haaaaaaa", berbareng Cin-san dan Ban Ka berteriak kaget. Ternyata kedua mata orang itu mendelik, lidahnya menjulur panjang keluar, lubang hidungnya, mulutnya dan telinganya mengucurkan darah. Siapa lagi dia kalau bukan Go Him yang telah mati dicekik oleh Ban Cin-san itu? Melihat keadaan yang menyeramkan itu, Jik Hong juga merinding dan hampir2 mati kaku ketakutan. Sesudah menggeser masuk ke dalam kamar, Go Him lantas berdiri tak bergerak lagi, kedua tangannya pelahan2 terangkat lurus kearah Ban Cin-san. Ban Cin-san menjadi nekat, ia kerahkan antero keberaniannya dan membentak: "Setan Go Him, masakah Locu takut kepada mayat hidup seperti kau?" ~ berbareng ia terus lolos golok dan membacok. Tapi baru setengah jalan serangannya dilancarkan, se-konyong2 pergelangan tangannya terasa kesemutan, cekalannya menjadi kendur, golok jatuh kelantai dan menerbitkan suara gemerantang. Menyusul mana pinggangnya juga terasa kaku pegal, lalu tubuhnya tak bisa berkutik lagi. Sebagai seorang kawakan Kang-ouw yang sudah banyak berpengalaman, segera Ban Cin-san sadar bahwa dibelakang mayatnya Go Him itu ada seorang kosen lagi yang sangat hebat ilmunya. Ia tidak tahu siapakah gerangannya, tapi ia menduga besar kemungkinan adalah musuh yang meninggalkan tanda kupu2 kertas hitam itu. Sebaliknya Ban Ka ternyata tidak paham duduknya perkara. Ketika dilihatnya lengan Go Him kemudian berganti arah dan menjulur kepadanya, ia menjadi ketakutan setengah mati, sungguh ia ingin menjerit: "Go-sute, ampunilah aku!" ~ tetapi suara jeritan itu se-akan2 tersumbat ditengah tenggorokan hingga susah dikeluarkan. Ber-ulang2 ia mundur lagi ke belakang, tapi mendadak kakinya terasa lemas, ia terbanting roboh terlentang. Ia melihat Go Him yang tegak kaku itu sudah berada didepannya, lengan kanan pelahan2 menjulur kebawah dan mulai meraba pipinya, tangan itu terasa dingin sebagai es. Keruan semangat Ban Ka se-akan2 terbang ke-awang2 saking takutnya, hampir2 saja ia jatuh kelengar. Se-konyong2 tubuh Go Him itupun ikut ambruk kedepan hingga menindih diatas badan Ban Ka untuk kemudian tidak bergerak lagi. Tapi dibelakang Go Him itu lantas bertambah seseorang. Orang itu mendekati Jik Hong dan mengeluarkan kain sumbat mulutnya. Ketika ia pegang tali pengikat kaki dan tangan Jik Hong, sedikit ia remas, tali pengikat itu segera putus. Waktu ia putar tubuh lagi, tiba2 ia depak dua kali dipinggang Ban Ka hingga Hiat-to pemuda itu tertutuk. Sesudah dapat bergerak, yang lebih dulu diperhatikan adalah puterinya, segera Jik Hong pondong Khong-sim-jay, lalu tanya dengan suara gemetar: "Siapakah??.siapakah In-kong (tuan penolong) yang telah menolong jiwa kami ini?" Namun orang itu tidak menjawab, dibawah sinar bulan yang remang2 tertampak kedua tangannya membawa sebuah pola kupu2 hitam, itulah kupu2 kertas yang terselip didalam kitab "Tong-si-soan-cip" dan telah dijemput olehnya karena tadi telah ikut 'terbang' ketepi empang ketika kitab itu dibuat rebutan antara Ban Cin-san dan Ban Ka. Sekilas pandang tiba2 Jik Hong melihat kelima jari kanan orang itu puntul terpotong, hatinya tergetar, tanpa merasa ia berteriak: "Tik-suko!" Ya, memang tidak salah, orang itu memang Tik Hun adanya!. Ketika mendadak mendengar seruan: "Tik-suko" itu, seketika dada Tik Hun berombak dan air mata ber-linang2, segera ia balas menyapa: "Sumoay, syukur kita dapat????. dapat berjumpa pula, kita harus berterima kasih kepada Thian yang maha murah!". Saat itu diri Jik Hong boleh diibaratkan sebuah sampan yang terombang-ambing ditengah samudera raya dan dibawah damparan gelombang ombak dan angin badai, tapi akhirnya dapatlah sampan itu meluncur masuk disebuah bandar dimana angin tenang dan ombak berdiam. Terus saya Jik Hong menubruk kedalam pelukan Tik Hun sambil berseru: "O, Tik-suko, apakah?..apakah ini bukan dialam mimpi?"
"Bukan, bukan mimpi, tapi adalah kenyataan", sahut Tik Hun. "Selama dua hari ini, senantiasa aku berada disini untuk mengintai dan mengawasi. Segala tindak-tanduk kejahatan ayah-anak she Ban itu sudah kulihat semua. Tentang mayatnya Go Him, ha, memang sengaja kugunakan untuk me-nakut2i mereka". "Ayah, ayah!" tiba2 Jik Hong berseru sambil ber-lari2 keliang dinding sana. Ia taruh Khong-sim-jay, lalu mengulur tangannya ke dalam liang itu untuk meraba, tapi tiada sesuatu yang didapatkannya. Sedari tadi Tik Hun yuga menguatirkan keselamatan gurunya itu, maka cepat iapun menyalakan api untuk menerangi liang dinding itu. Tapi tertampak didalam lapisan dinding rahasia itu keadaan kosong melompong tiada terdapat sesuatu, yang ada cuma sedikit pasir dan potongan bata belaka, mana ada jenazahnya Jik Tiang-hoat? Jik Hong masih tidak percaya, segera ia memeriksa lebih teliti lagi, tapi memang benar kosong liang di dalam lapisan dinding rahasia itu. Jangankan jenazah, sedangkan baju atau tulang belulang juga tidak diketemukan andaikan jenazah sang ayah sudah membusuk.
Ia terkejut, tapi bergirang pula, timbul sedikit harapannya: "Boleh jadi ayahku tidak terbunuh oleh mereka". ~ Maka ia lantas tegur suaminya: "Ban-long, sebenarnya?? sebenarnya bagaimana dengan ayahku?". Ban Cin-san dan Ban Ka tidak tahu bahwa Jik Hong tidak menemukan mayat ayahnya, mereka mengira sesudah memeriksa lebih teliti di dalam liang dinding itu, akhirnya terdapat bekas jenazahnya Jik Tiang-hoat itu dan Jik Hong kini bermaksud membalas dendam pada mereka. Maka dengan bersitegang, Ban Cin-san menjawab: "Seorang laki2 sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, Jik Tiang-hoat memang aku yang membunuhnya, jika mau menuntut balas boleh kau tujukan kepadaku saya". "Jadi, ayahku telah kau bunuh? Dan di??.dimanakah jenazahnya?" Jik Hong menegas. "Apa? Jenazah di dalam??di dalam liang dinding itu bukan ayahmu?", kata Cin-san. "Masakah disini ada orang mati?" Jik Hong menegas. Seketika Ban Cin-san saling pandang dengan Ban Ka, muka mereka pucat, betapapun mereka tidak percaya, masakah di dunia ini ada mayat hidup sungguh? Segera Tik Hun menyeret Ban Cin-san dan menjejalkan kepalanya kedalam liang dinding itu untuk melongok keadaan di dalam situ. Dan sudah tentu tiada sesuatu yang dapat dilihatnya. "Masakah mungkin? Sudah??sudah terang?..", baru sekian Cin-san berkata, tiba2 ia berganti nada, katanya: "Ai, anak menantu yang baik, semuanya ini aku hanya??.. hanya membohongi kau saya. Biarpun kami kakak-beradik seperguruan tidak akur satu sama lain juga tidak mungkin aku turun tangan sekeji ini untuk membunuhnya, masakah kau percaya saya? Haha, hahaha!". Biasanya Ban Cin-san sebenarnya sangat pintar berdusta dan jarang orang curiga kepada apa yang dia katakan, tapi kini dalam keadaan gugup dan bingung, cara bicaranya menjadi agak kaku dan gelagapan, mau tidak mau menimbulkan curiga orang lain. Kalau dia bungkam saja mungkin Jik Hong dan Tik Hun akan ragu2 dan mempunyai harapan kalau2 Jik Tiang-hoat memang betul masih hidup, tapi dengan ucapan Ban Cin-san yang di-buat2 itu, Jik Hong dan Tik Hun menjadi lebih yakin bahwa Jik Tiang-hoat sudah dibunuh oleh orang she Ban itu. Begitulah segera Tik Hun pegang pundak Ban Cin-san, katanya: "Ban-supek, tentang kau telah membikin aku hidup derita merana selama ini, bolehlah takkan kupersoalkan padamu lagi. Sekarang aku hanya ingin tanya suatu hal padamu: Sebenarnya kau telah membunuh Suhuku atau tidak?" Sembari bicara terus saya Tik Hun kerahkan Lweekang dari ilmu sakti 'Sin-ciau-kang' yang hebat, ber-angsur2 tenaga dalam itu menekan kedalam badan Ban Cin-san hingga sesaat itu Ban Cin-san merasa badannya seperti digodok di dalam anglo, bahkan darahnya juga terasa se-akan2 mendidih, saking tak tahan, akhirnya ia mengaku: "Ya, be?. benar! Memang akulah yang membunuh Jik Tiang-hoat!"
"Dan dimanakah jenazah guruku?" tanya Tik Hun pula. "Sebenarnya telah kau buang kemana jenazah beliau?"
"Aku???? aku telah memasukkan mayatnya kedalam liang sini, mungkin??.. mungkin benar2 ada mayat hidup lagi", sahut Cin-san. Dengan benci Tik Hun pandang manusia durhaka itu, teringat olehnya derita sengsara dirinya selama beberapa tahun ini, semuanya gara2 perbuatan kedua orang ayah dan anak she Ban dihadapannya ini, dan kini Ban Cin-san mengaku pula telah membunuh Jik Tiang-hoat, keruan rasa gusar Tik Hun seperti api disiram minyak. Syukur pertemuannya kembali dengan Jik Hong ini telah membuat hatinya lebih suka daripada dukanya, kalau tidak, sekali gablok tentu ia sudah hancurkan kepala Ban Cin-san itu. Tiba2 Tik Hun menggertak gigi dengan gemas, terus saja ia angkat tubuh Ban Cin-san dan dilemparkan 'blang', ia lempar orang she Ban itu kedalam liang dinding. Karena lubangnya agak sempit hingga beberapa potong bata ambrol tertumbuk oleh badan Ban Cin-san, habis itu barulah ia terguling masuk ke dalam liang dinding buatannya sendiri itu. Dan selagi Jik Hong menjerit kaget, Tik Hun sudah lantas seret Ban Ka pula dan dijejalkan kedalam liang dinding, katanya: "Ini namanya ada ubi ada talas, ada benci kudu membalas! Mereka berdua telah membunuh suhu secara keji, maka kitapun memperlakukan mereka dengan cara yang sama". Lalu ia gunakan bata yang terserak dilantai itu untuk merapatkan kembali dinding itu. Memangnya disitu sudah komplit tersedia peralatan tukang batu, maka hanya sebentar saya Tik Hun sudah selesai memasang tembok itu, bahkan ia kapur pula hingga putih bersih. "Su?.Suko", kata Jik Hong dengan suara ter-putus2, "akhirnya engkau telah dapat membalas sakit hati ayah. Dan tentang jenazah ini, bagaimana harus diselesaikan?" ~ dan mayat Go Him lantas dituding olehnya. "Sudahlah, kita tinggal pergi saya, peduli apa dengan dia", kata Tik Hun. Tapi Jik Hong berkata lagi: "Dan mereka berdua yang tertutup didalam dinding itu belum lagi mati, kalau ada orang datang menolong mereka??.". "Orang lain darimana bisa tahu kalau di dalam dinding situ terdapat dua orang?" ujar Tik Hun. "Andaikata melihat dinding itu baru saya dipasang dan dikapur yuga tentu orang akan menduga tembok ini habis diperbaiki, tidak nanti orang menyangka dibalik dinding ada rahasianya. Apalagi kalau kita pindahkan mayat Go Him, orang lain lebih2 takkan mencurigai kamar baca ini". Habis berkata, segera ia angkat mayatnya Go Him dan keluar kamar baca itu, katanya kepada Jik Hong: "Marilah kita pergi saja!". Segera mereka melompat keluar dari pagar tembok taman keluarga Ban itu, Tik Hun lemparkan mayat Go Him ketanah, katanya: "Sumoay, kini sebaiknya kita harus pergi kemana?". "Menurut pendapatmu, apakah ayahku benar2 telah dibunuh oleh mereka?", tanya Jik Hong. "Ya, kuharap semoga Suhu masih hidup sehat walafiat," ujar Tik Hun. "Tapi menurut ucapan Ban Cin-san tadi agaknya kemungkinan itu sangat tipis". "Aku harus kembali kerumah untuk mengambil sesuatu, harap kau menunggu aku di dalam Su-theng bobrok disana itu", kata Jik Hong. "Biarlah aku mengawani kau", uyar Tik Hun. "Tidak, jangan!", sahut Jik Hong. "Pabila kita dilihat orang tentu akan menimbulkan sangkaan jelek". "Tapi lebih baik aku mengawani kau saya, Ban Cin-san masih mempunyai murid2 yang lain dan tiada seorangpun diantara mereka adalah manusia baik2," kata Tik Hun. "Tidak, tidak apa, aku tidak takut pada mereka," kata Jik Hong. "Harap kau pondong Khong-sim-jay dan tunggu aku di sana". Karena mengalami kejadian2 yang menakutkan tadi, sementara itu Khong-sim-jay sudah bobok nyenyak didalam pangkuan sang ibu. Biasanya Tik Hun memang suka menuruti segala permintaan Jik Hong, maka kini iapun enggan membantah, terpaksa ia pondong sidara cilik Khong-sim-jay dari tangan Jik Hong. Kemudian sang Sumoay lantas melompat masuk lagi kerumah keluarga Ban itu, dan ia sendiri lantas menuju kerumah berhala yang ditunjuk itu, ia dorong pintunya yang sudah reyot itu dan masuk kedalam untuk menunggu datangnya Jik Hong.
Selang cukup lama, masih tidak kelihatan kembalinya sang Sumoay, Tik Hun mulai gopoh dan bermaksud menyusul kerumah Ban Cin-san. Tapi ia kuatir kalau nanti diomeli Jik Hong, maka ia menjadi bingung, ia pondong Khong-sim-jay dan berjalan mondar-mandir diserambi rumah berhala itu dengan rasa tak sabar. Se-konyong2 didengarnya didalam ruangan rumah berhala itu ada suara kelotakan dua kali, suara orang mengerjakan sesuatu. Cepat Tik Hun menyisir kepinggir dan berdiri disamping jendela dengan diam saya. Selang sebentar, terdengarlah pintu dalam sana dibuka, lalu muncul seseorang. Mata Tik Hun cukup tajam meski ditengah malam gelap, ia dapat melihat jelas bahwa orang itu adalah seorang pengemis wanita yang berambut kusut masai dan berbayu compang-camping. Semula Tik Hun agak was-was dan kuatir kedatangan musuh, tapi demi melihat orang adalah pengemis perempuan yang umum, iapun tidak menaruh perhatian lagi. Pikirnya: "Rumah berhala bobrok ini adalah tempat meneduh pengemis wanita ini, kedatanganku ini berarti telah mengganggu padanya. Ai, mengapa Jik-sumoay masih belum datang kembali?" Dalam pada itu, mendadak Khong-sim-jay menjerit tangis dalam mimpinya sambil me-manggil2: "Ibu, ibu!". Ketika mendadak mendengar suara lengking orang, semula pengemis wanita itu terperanjat hingga mengkeret ketakutan dipojok serambi sana sambil menangkup kepalanya sendiri. Kuatir kalau Khong-sim-jay mendusin, pelahan2 Tik Hun menepuk bahu dara cilik itu menimang: "Anak manis, jangan menangis! Segera ibu akan datang, jangan menangis, anak anis!".
Sesudah mengetahui bahwa yang berteriak tadi adalah seorang dara cilik, pula melihat Tik Hun tiada bermaksud jahat padanya, maka pengemis wanita itu menjadi tabah, bahkan ia lantas membantu menimang Khong-sim-jay, katanya: "O, anak manis, anak pintar! Janganlah menangis, segera ibu akan kembali!". Kemudian ia berkata pada Tik Hun dengan suara rendah: "Seorang dikala tidurnya memang sering melihat setan. Ada orang ditengah malam buta suka bangun untuk pasang tembok, o, jang????jangan kau tanya????jangan kau tanya padaku". ~ demikian ia takut2 pula dan me-nyisir2 hendak pergi. Mendengar ucapan orang aneh itu, segera Tik Hun bertanya: "Apa yang kau katakan?". "Ah, tidak???tidak apa2", kata pengemis wanita itu. "Loya telah mengusir aku, ia tidak sudi padaku lagi. Padahal, dahulu, diwaktu aku masih muda jelita, beliau sangat?.sangat suka padaku. Kata orang: "Menjadi suami-isteri semalam akan cinta seratus malam, menjadi suami-isteri seratus malam, cinta kasih semakin mendalam". Maka??maka aku tidak putus asa, pada suatu hari tentu??..tentu Loya akan mencari padaku lagi. Ya, memang, menjadi suami-isteri semalam akan timbul cinta seratus malam, menjadi suami-isteri seratus malam, cinta kasih keduanya semakin mendalam???". Mendengar sipengemis wanita itu ber-ulang2 menyebut 'menjadi suami-isteri semalam timbul cinta kasih seratus malam, menjadi suami-isteri seratus malam, cinta kasih keduanya akan makin mendalam', seketika hati Tik Hun tergetar, pikirnya mendadak: "Ai, jika begitu jangan2 cinta Hong-moay kepada suaminya juga takkan terputus begini saya?". Karena perasaan itu, segera ia pondong Khong-sim-jay dan berlari keluar dari rumah berhala itu. Sudah tentu sedikitpun tak terduga oleh Tik Hun bahwa pengemis wanita yang dekil itu tak lain tak bukan adalah Tho Ang atau si Mirah yang dahulu pernah mempitenahnya hingga membuatnya hidup merana itu. Begitulah Tik Hun berlari kembali kerumah Ban Cin-san, segera ia melompat pagar tembok dan memburu kekamar baca Ban Cin-san. Keruan kejut Tik Hun tak terkatakan, cepat ia menyalakan pelita diatas meya, dibawah sinar pelita itu dapat dilihatnya dengan jelas antero badan Jik Hong sudah mandi darah. Pada perutnya masih menancap sebilah belati. Waktu Tik Hun periksa sekitar kamar itu, dilihatnya lantai berserakan potongan2 bata dan kapur pasir, dinding yang baru dipasang itu telah terbongkar pula hingga berlubang dan Ban Cin-san serta Ban Ka sudah tak kelihatan batang hidungnya, entah sudah menghilang kemana. Sambil berjongkok Tik Hun berlutut disamping Jik Hong, seruanya: "Hong-moay! Hong-moay!". ~ tapi saking kagetnya hingga ia gemetar dan suaranya menjadi serak. Ia coba meraba mukanya Jik Hong, ia merasa masih hangat, hidungnya juga masih bernapas pelahan sekali. Tik Hun tenangkan diri sedapat mungkin, lalu berseru pula: "Hong-moay!". Pe-lahan2 tampak Jik Hong membuka mata, wajahnya sekilas menampilkan senyum getir, katanya lemah: "Su?..Suko, ma??maafkanlah aku!". sudahlah, kau jangan bicara, aku??aku akan menolong kau", kata Tik Hun. Segera ia letakkan Khong-sim-jay, dengan tangan kanan ia rangkul dan bangunkan tubuh Jik Hong, tangan kiri lantas memegang belati yang menancap diperut Jik Hong itu, ia bermaksud mencabut belati itu. Tapi ketika ditegaskan pula, ia melihat belati itu menancap hampir seluruhnya didalam tubuh Jik Hong, kalau belati dicabut, bukan mustahil nyawa Jik Hong seketika juga akan melayang. Maka ia menjadi ragu2 dan tidak berani mencabut belati itu, dalam gugupnya ia menjadi bingung. Ber-ulang2 ia hanya bertanya: "Bagaimana baiknya ini? Siapa?.. siapakah yang mencelakai kau?"
"Suko", kata Jik Hong dengan senyum pahit, "kata orang: menjadi suami-isteri semalam?? Ai, sudahlah, tak perlu dikatakan pula, harap?..harap kau maafkan aku, karena aku tidak??tidak tega, maka aku telah melepaskan suamiku, tapi dia?..dia??"
"Dia?..dia malah menusuk kau dengan belati ini, betul tidak?" Tik Hun menegas dengan mengertak gigi. Jik Hong tersenyum getir dan memanggut. Tik Hun pedih bagai di-sayat2 menyaksikan jiwa Jik Hong hanya tinggal dalam waktu singkat saja, tublesan belati Ban Ka itu sedemikian dalam dan lihay, terang jiwa sang Sumoay susah ditolong lagi. Dalam hati kecilnya Tik Hun merasa di-gigit2 oleh semacam rasa iri hati yang tak terhingga, diam2 ia menggerutu: "Ya, betapapun toh kau tetap cinta kepada????.kepada suamimu, dan???.dan kau lebih suka korbankan dirimu sendiri untuk menyelamatkan dia". "Suko", demikian terdengar Jik Hong berkata pula, "berjanjilah padaku bahwa engkau akan menjaga baik2 pada Khong-sim-jay dan akan menganggapnya sebagai?.. sebagai anakmu sendiri". Tik Hun tidak menjawab, dengan wajah pedih ia hanya mengangguk. Kemudian dengan mengertak gigi ia bertanya: "Dan bangsat itu telah????telah lari kemana?" Namun sinar mata Jik Hong sudah membuyar, suaranya menjadi kacau mengigau, terdengar ia berkata dengan lemah: "Di dalam gua itu ada dua ekor kupu2 hitam, itu?? San-pek dan Eng-tay! Suko, lihatlah?.lihatlah! Yang seekor itu adalah kau, dan yang seekor adalah diriku. Kita??kita akan terbang kian kemari dengan bebas dan selamanya tak terpisah. Kau setuju bukan? Makin lama makin lemah suara Jik Hong dan makin lemas pula napasnya hingga akhirnya mengembuskan napasnya yang penghabisan. Dengan air mata bercucuran Tik Hun mendekap diatas tubuh sang Sumoay, untuk sekian lamanya ia ter-menung2 disamping jenazah Jik Hong.
Akhirnya ia mengertak gigi, ia pondong Khong-sim-jay dan sebelah tangan lain mengempit jenazah Jik Hong, ia melompat keluar dari pagar tembok keluarga Ban itu. Sebenarnya ia bermaksud membakar habis rumah Ban Cin-san yang megah dan besar itu, tapi lantas terpikir olehnya: "Jika aku membakar habis rumah ini, tentu Ban-si-hucu (ayah dan anak she Ban) takkan pulang lagi kesini dan untuk mencarinya menjadi lebih susah. Kalau hendak membalas sakit hati Sumoay, rumah ini lebih baik dibiarkan begini saja". Begitulah ia lantas berlari ketaman bobrok yang luas, dimana Ting Tian telah meninggal itu. Ia menggali sebuah liang dan mengubur Jik Hong disitu. Ia simpan baik2 belati yang menghabiskan jiwa Jik Hong itu, ia bertekad akan mencabut nyawa Ban-si-hucu dengan belati itu pula. Saking berduka hingga air mata Tik Hun serasa sudah kering, sungguh ia menyesal sekali, ia memaki dirinya sendiri mengapa tadi tidak lantas membunuh saja Ban-si-hucu yang terkutuk itu, habis itu barulah dilemparkan kedalam liang dinding? Ya, mengapa begitu gegabah hingga kini terjadilah peristiwa yang menyesalkan selama hidup baginya? Dalam pada itu Khong-sim-jay telah ber-teriak2 menangis mencari ibunda, suara tangis dan jerit dara cilik itu membuat pikiran Tik Hun semakin gundah. Ia bermaksud mengintai disekitar rumah Ban Cin-san itu untuk menunggu kembalinya mereka, tapi dengan suara tangis Khong-sim-jay, terang mereka akan kabur lebih jauh pula. Maka ia pikir harus mengatur dulu diri dara cilik itu. Ia mendapatkan suatu keluarga petani diluar kota Heng-ciu, ia memberikan 20 tahil perak kepada wanita tani itu dan minta dia merawat Khong-sim-jay.
Bab 19
Sang tempo lewat dengan cepat, sudah sebulan lamanya siang-malam Tik Hun mengintai disekitar rumah Ban Cin-san itu. Tapi selama itu tidak nampak batang hidung Ban-si-hucu. Yang lebih aneh lagi, bahkan bayangan anak murid Ban Cin-san yang lain seperti Loh Kun, Pang Tan, Ciu Kin dan lain2 juga tidak kelihatan sama sekali. Sebaliknya selama itu didalam kota Heng-ciu (atau dengan nama lain kota Kang-leng) telah berkumpul tidak sedikit orang2 Bu-lim dari berbagai golongan dan aliran dengan aneka ragamnya pula, tua-muda, laki-perempuan, sedikitnya ada be-ratus2 jumlahnya. Pada suatu petang, disuatu rumah makan Tik Hun mendengar percakapan dua orang Kangouw yang menarik hati. Kata yang seorang: "Kiranya Soh-sim-kiam-boh itu terdapat didalam kitab: 'Tong-si-soan-cip', dan empat huruf kunci utama dari rahasia Kiam-boh itu berbunyi 'Kang-leng-seng-lam', apakah kau sudah tahu?"
"Ya, sudah tentu tahu," sahut kawannya. "Selama beberap hari ini entah betapa banyak tokoh Bu-lim telah berdatangan di kota Kang-leng ini. Tapi selama ini masih tiada seorangpun yang tahu bagaimana lanjutan tulisan2 dibelakang keempat huruf itu". "Ha, kalau menurut aku, peduli apa huruf dibelakang istana itu? Asalkan kita mencari saya di Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), kita tunggu di sana, bila melihat ada orang berhasil menemukan sesuatu harta karun apa, segera kita turun tangan merampasnya. Ini namanya maling ketemu perampok! Mereka malingnya, kita rampoknya. Hahahaha!". "Benar", sahut yang lain, "Andaikan kita tak mampu merampas dari mereka, paling tidak kita juga dapat minta bagiannya. Ini sudah merupakan undang2 golongan kita yang tak tertulis". "Hehe, kalau dibicarakan sungguh gila!" kata yang duluan tadi. "Apa kau tahu bahwa semua toko buku didalam kota selama beberapa hari ini telah ketomplok rejeki? Semua orang ingin mencari 'Tong-si-soan-cip'. Malahan pagi tadi, baru saya aku melangkah masuk ke toko buku, pegawai disitu sudah lantas menegur: Apakah tuan akan membeli 'Tong-si-soan-cip'? Kita itu baru saja kami datangkan lagi dari Han-kau, barangnya masih hangat2, kalau ingin beli hendaklah lekas, kalau tidak tentu sebentar akan kehabisan. Tentu saja aku heran, kutanya darimana dia tahu aku hendak mencari Tong-si-soan-cip. Dan tahukah kau apa katanya?"
"Entah, apa yang dia katakan?, sahut kawannya. "Kurang ajar! Pegawai itu bilang: Harap tuan maklum, karena selama beberapa hari ini toko kami telah banyak kedatangan tuan2 yang gagah perkasa dengan bersenjata, sebelas dari sepuluh orang yang datang tentu yang dicari adalah Tong-si-soan-cip. Oleh karena itu, kita itu benar2 seperti pisang goreng larisnya, jika tuan juga ingin membeli silahkan lekas saja, harganya lima tahil perak setiap buku". "Keparat, masakah ada kitab semahal itu?" maki kawannya tadi. "Apakah kau tahu harga buku? Apakah kau pernah beli buku? Darimana kau tahu harga itu terlalu mahal?"
"Hahaha! Darimana aku tahu! Huruf segede telur juga aku tidak kenal satu bakul banyaknya, selama hidup inipun tidak pernah masuk toko buku, buat apa aku membeli buku? Selama hidup Ingsun hanya suka berjudi, kalau beli kartu sih berani, beli buku mah terima kasih. Hehehehe!". Begitulah diam2 Tik Hun membatin: "Rupanya rahasia tentang Soh-sim-kiam-boh sudah tersebar hingga semua orang sudah tahu. Siapakah gerangan yang menyiarkan rahasia itu? Ah, tahulah aku, tentu Ban-si-hucu membicarakan rahasia itu dan telah didengar oleh Loh Kun dan lain-lain, ketika Ban Cin-san menguber mereka, anak muridnya lantas kabur dan dengan begitu berita tentang harta karun dalam Soh-sim-kiam-boh lantas tersiar". Teringat kepada Soh-sim-kiam-boh, segera iapun teringat pada waktu ia meringkuk didalam penjara bersama Ting Tian dahulu, dimana juga banyak orang2 Kang-ouw merecoki Ting Tian dengan tujuan hendak memperoleh rahasia Soh-sim-kiam-boh, tapi satu persatu orang2 Kang-ouw itu telah dibinasakan oleh Ting Tian. "Ai, kenapa aku menjadi lupa? Ting-toako telah pesan agar aku menguburkan abu tulangnya bersama jenazah Leng-siocia, maka tugas itu harus kulaksanakan dahulu", demikian ia lantas teringat kepada pesan tinggalan saudara angkat yang dicintainya itu. Segera ia mulai menyelidiki dimana letak kuburannya Leng-siocia. Sebagai puteri Tihu (bupati) dari kota Kang-leng, dengan sendirinya kuburan Leng-siocia itu mudah dicari. Tik Hun hanya mencari tahu kepada toko2 penjual peti mati yang besar dan tukang batu pembuat batu nisan yang terkenal didalam kota, maka dengan gampang ia sudah mendapat tahu letak tempat kuburan Leng-siocia itu. Tempat itu adalah diatas sebuah bukit kecil diluar pintu timur kota, jaraknya kira2 dua belas li. Setelah membeli dua buah cangkul, segera Tik Hun keluar timur kota dan tidak terlalu susah kuburan Leng-siocia itu telah dapat diketemukan. Ia lihat di atas batu nisan itu tertulis: "Kuburan puteri tercinta: Leng Siang-hoa". Sekitar kuburan itu tandus merata tiada sesuatu tanaman apa2, baik pohon maupun bunga2an. Padahal dimasa hidupnya Leng-siocia paling suka pada bunga, namun sesudah meninggal, satupun ayahnya tidak menanam bunga disekitar kuburannya itu. "Hehe, puteri tercinta? Apa betul2 kau cinta pada puterimu ini?" demikian Tik Hun mengejek Leng-tihu yang kejam itu. Dan bila teringat kepada Ting Tian dan Jik Hong, tak tertahan lagi air matanya bercucuran bak hujan. Memangnya bajunya sudah pernah lepek oleh air mata tangisannya kepada Jik Hong tempo hari, sekarang didepan kuburan Leng-siocia telah bertambah dibasahi air mata yang baru. Disekitar bukit itu tiada rumah penduduk, jauh terpencil pula dari jalan raya dan tiada orang berlalu disitu. Tapi tidaklah pantas menggali kuburan disiang hari. Maka terpaksa ia menunggu sesudah magrib barulah ia menggali. Setelah membongkar batu penutup liang kubur itu, maka tertampaklah peti matinya. Sesudah mengalami derita sengsara selama beberapa tahun ini, sebenarnya Tik Hun bukan lagi seorang yang mudah berduka dan gampang mengalirkan air mata. Tetapi dibawah sinar bulan yang remang2 itu demi melihat peti mati itu, ia lantas teringat kepada kematian Ting-toako yang justeru akibat peti mati itu, yaitu kena racun yang dipoles diatasnya, mau tak mau Tik Hun berduka pula dan tak bisa mencucurkan air mata lagi. Ia tahu Leng Dwe-su telah melumasi peti mati itu dengan racun 'Hud-co-kim-lian' yang maha jahat, meski sudah lewat sekian tahun lamanya, apalagi peti mati itu telah digotong dan dipendam disitu, besar kemungkinan racun diatasnya sudah dihapus lebih dulu. Namun begitu ia tetap was-was, ia tidak mau terima resiko untuk menyentuh tutup peti mati itu. Maka segera ia lolos Hiat-to (golok merah) milik Hiat-to Loco dahulu. Pe-lahan2 ia masukkan golok mestika itu kegaris tutup peti mati dan disayat keliling. Golok mestika itu dapat memotong besi sebagai merayang sayur, maka dengan gampang sekali semua paku dan pantek peti mati itu telah disayat putus. Ketika ia cungkel dengan golok itu, segera tutup peti mati bergeser dan mencelat jatuh keluar liang kubur. Se-konyong2 dilihatnya dibawah tutup peti mati itu dua buah tangan yang sudah berwujud tulang kering itu menegak ke atas, ketika tutup peti mati mencelat, kedua rangka tulang tangan itu lantas jatuh berantakan kedalam se-akan2 bisa bergerak sendiri. Keruan Tik Hun terkejut biarpun nyalinya cukup tabah. Pikirnya: "Diwaktu jenazah Leng-siocia dimasukkan peti mati, mengapa kedua tangannya bisa terangkat keatas? Aneh, sungguh aneh?" Ketika ia periksa isi peti mati itu, ia tidak melihat sebangsa bantal guling, mori belaco yang pada umumnya dipakai orang mati. Yang ada cuma pakaian tipis biasa dan serangka tulang-belulang. Diam2 Tik Hun mendoa: "Ting-toako, Leng-siocia, diwaktu hidupnya kalian tak dapat menjadi suami isteri, sesudah meninggal cita2 kalian agar terkubur bersama kini telah tercapai. Jika arwah kalian mengetahui hal ini di alam baka, dapatlah kiranya kalian merasa puas hendaknya". Lalu Tik Hun menanggalkan buntalan yang dibawanya, ia tebarkan abu jenazah Ting Tian diatas kerangka tulangnya Leng-siocia. Ia berlutut dan menjura empat kali dengan penuh hormat, lalu ia berdiri dan hendak mengangkat tutup peti mati untuk ditutup kembali seperti semula. Dibawah sinar bulan yang remang2 itu, tiba2 dilihatnya di bagian dalam tutup peti mati itu samar2 seperti penuh tulisan. Waktu Tik Hun mendekati dan memperhatikannya, ia lihat tulisan2 itu mencang-menceng tak teratur, diantaranya tertulis: "Ting-long, biarlah kita menjadi suami isteri pada penjelmaan yang datang!". Tik Hun terkesiap dan terduduk lemas ketanah. Beberapa huruf itu terang diukir dengan kuku jari. Sesudah dipikirnya sejenak, segera iapun paham duduknya perkara. Kiranya Leng-siocia itu sebenarnya belum meninggal waktu itu, tapi dia telah dipendam hidup2 oleh ayahnya sendiri dan dimasukkan kedalam peti mati secara paksa. Beberapa huruf itu terang diukirnya dengan kuku pada waktu ia belum meninggal. Sebab itulah, sampai saat matinya kedua tangannya masih terangkat keatas, yaitu karena dia lagi mengukir tulisan dibagian dalam tutup peti mati. Sungguh susah untuk dipercaya bahwa di dunia ini ternyata ada seorang ayah yang begitu kejam. Dengan segala tipu daya Leng Dwe-su telah berusaha mendapatkan Soh-sim-kiam-koat dari Ting Tian, tapi selama itu Ting-toakonya tidak mau tunduk, sedangkan Leng-siocia juga tidak mau mengingkari Ting-toako, dan karena sudah ditunggu dan tunggu lagi tetap tipu muslihat Leng Dwe-su tak berhasil, akhirnya ia menjadi gemas dan secara keji telah kubur puterinya sendiri dengan hidup2.
Ia coba meneliti tulisan2 diatas tutup peti itu, ia melihat dibawah pesan kepada Ting Tian tadi tertulis beberapa angka pula seperti: 4, 51, 33, 53, 18, 7, 34, 11, 28 dan banyak lagi. Tik Hun menarik napas dingin, katanya didalam hati: "Ah, tahulah aku. Ternyata sampai detik terakhir Leng-siocia masih ingat cita2nya yang ingin berkubur bersama dengan Ting-toako. Leng-siocia pernah berjanji kepada siapapun asal dapat menguburkan dia bersama Ting Tian, maka ia akan memberitahukan rahasia Soh-sim-kiam-boh kepadanya. Ting-toako juga pernah mengatakan kunci rahasia itu kepadaku, tapi belum lagi habis beliau sudah keburu meninggal. Sedangkan Kiam-boh yang diperoleh suhu dan terdapat kunci rahasianya justeru telah di-robek2 oleh Ban-si-hucu, tadinya kukira rahasia itu sudah tiada orang yang tahu lagi di dunia ini dan untuk seterusnya akan lenyap, siapa tahu Leng-siocia telah mencatat secara lengkap disini". Maka diam2 Tik Hun berdoa: "Leng-siocia, engkau benar2 seorang yang bisa pegang janji. Terima kasihlah atas maksud baikmu. Tetapi aku sendiri sekarangpun lagi putus asa, kalau bisa sungguh akupun ingin bisa menggali suatu liang kubur, lalu membunuh diri disini untuk menyusul kau dan Ting-toako. Cuma sampai sekarang sakit hatiku belum terbalas, aku harus membunuh dulu Ban-si-hucu serta ayahmu, habis itu barulah aku rela mati. Adapun tentang harta benda bagiku adalah mirip tanah dan sampah saja yang tiada artinya". Segera ia angkat tutup peti mati dan hendak ditutupkannya kembali. Tapi se-konyong2 timbul suatu akalnya: "He, bukankah aku sedang sulit mencari Ban-si-hucu? Dan kalau sekarang aku menuliskan kunci rahasia tentang dimana letak penyimpanan harta karun itu, kutuliskan huruf2 itu ditempat yang menyolok, dapat dipastikan Ban-si-hucu pasti akan mendengar serta datang melihatnya. Ya, benar, aku harus menggunakan kunci rahasia Soh-sim-kiam-boh ini sebagai umpan untuk memancing kedatangan Ban-Cin-san dan Ban Ka. Walaupun Ban-si-hucu tentu akan curiga juga, namun betapapun yuga mereka pasti ingin mengetahui rahasia Soh-sim-kiam-boh, tentu mereka akan menempuh bahaya dan datang kemari". Setelah ambil keputusan itu, ia taruh lagi tutup peti mati itu, ia apalkan dengan baik angka2 kunci Soh-sim-kiam-boh itu, bahkan ia ukir pula angka2 itu digagang cangkul dengan goloknya. Selesai mengukir, untuk selamatnya ia mencocokkan sekali pula, habis itu barulah ia tutup kembali peti mati itu serta menguruki lagi tanah pekuburan seperti semula. "Cita2ku yang terpenting ini kini sudah terlaksana, tugasku kepada Leng-siocia dan Ting-toako sudah kupenuhi. Nanti bila aku sudah membalas sakit hati, tentu aku akan datang lagi kesini untuk menanami beberapa ratus pohon bunga seruni disini. Memang bunga seruni adalah bunga kesayangan Ting-toako dan Leng-siocia dimasa hidup mereka", demikian Tik Hun berjanji pada diri sendiri. Besok paginya, diatas dinding benteng selatan kota Kang-leng tepat di atas pintu gerbang yang menyolok mata jelas tertampak beberapa angka yang tercoret dengan kapur. Huruf2 itu besar2 hingga dapat terlihat jelas dari jauh, angka2 itu antara lain dan didahului: 4, 51, 33, 53???????.. Anehnya huruf2 itu tertulis di atas tembok yang tingginya belasan meter, mungkin diseluruh kota Kang-leng tak terdapat tangga sepanjang itu untuk mencapai dinding dan menulisnya, kecuali orang dikerek dari atas benteng dan orang itu menulis di dinding benteng itu dengan tergantung. Jauh ditepi jalan raya yang menuju ke pintu gerbang kota itu tampak ada seorang pengemis sedang sibuk mencari tuma dibajunya yang rombeng dan berbau sambil menjemur diri dibawah sinar matahari. Orang itu adalah Tik Hun. Dan tulisan ditembok yang tinggi itu adalah perbuatannya. Pintu gerbang selatan itu sangat ramai dengan orang yang berlalu lalang, apalagi diwaktu pagi, banyak bakul2 dan tukang2 sayur dari desa sama menuju kepasar di dalam kota. Maka orang2 desa dan penduduk kota merasa heran juga ketika melihat tulisan diatas tembok yang sangat tinggi itu, hanya dalam waktu singkat saya gemparlah seantero kota Kang-leng, baik dirumah makan, baik diwarung kopi dan maupun dipasar, semua orang geger membicarakan kejadian yang aneh itu, bahkan banyak yang ber-bondong2 datang kepintu gerbang untuk melihat tulisan itu. Dan sudah tentu tulisan2 itu tiada yang luar biasa, kecuali letaknya yang sangat tinggi itu, tulisan2 itu pada hakekatnya tidak mengherankan dan menarik, maka banyak diantara penonton2 itu sesudah membaca sekadarnya, lalu menggerutu dan tinggal pergi. Sebaliknya banyak juga orang2 Kang-ouw dan tokoh2 Bu-lim yang tidak lantas tinggal pergi, mereka masing2 tampak membawa sejilid 'Tong-si-soan-cip', mereka mencatat semua angka2 yang tertulis didinding kota itu, lalu mengkerut kening memikirkan arti angka2 itu. Tik Hun sendiri masih asyik memitas tuma yang diketemukannya dari bajunya, tapi perhatiannya tidak pernah meninggalkan orang2 Bu-lim yang datang kesitu itu. Akhirnya dapatlah dilihat Sun Kin dan Sim Sia telah datang, kemudian Loh Kun tiba pula. Tapi mereka tidak tahu urutan2 jurus permainan Soh-sim-kiam-hoat, pula tidak tahu syair mana yang menjadi indeks daripada jurus ilmu pedang itu. Maka sekalipun mereka masing2 juga membawa sejilid 'Tong-si-soan-cip', walaupun mereka dapat membaca angka2 yang tertulis didinding kota dan tahu pula bahwa keempat angka pertama itu adalah kunci rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh itu, bahkan meski mereka sudah mendengar juga percakapan guru mereka dengan puteranya dikala memecahkan angka2 kunci itu, namun mereka tidak tahu setiap angka itu harus jatuh atau dicari di dalam syair yang mana. Maklum, untuk bisa mengetahui syair mana yang dimaksudkan dari jurus2 Soh-sim-kiam-hoat itu didunia ini hanya Ban Cin-san, Gan Tiat-peng, dan Jik Tiang-hoat bertiga yang tahu.Tertampak Loh Kun dan para sutenya itu sedang bicara, rupanya sedang saling tukar pikiran. Tapi sampai sekian lamanya tiada sesuatu kesimpulan yang dapat mereka tarik dari angka2 itu. Karena jaraknya agak jauh, Tik Hun tidak dapat mendengar apa yang dipercakapkan mereka. Ia lihat sesudah Loh Kun dan lain2 berunding lagi sebentar, kemudian mereka masuk kembali kota. Selang tidak lama, tertampak Loh Kun bertiga keluar lagi, tapi kini sudah menyamar semua. Yang satu menyamar sebagai tukang rujak dengan memakai memikul suatu dasaran yang banyak terdapat ketimun, nanas, jeruk, dan sebagainya. Seorang lagi menyaru sebagai tukang sayur, pikulannya penuh terisi sayur2an dan seorang lain pula menyamar sebagai petani yang habis pulang dari menjual hasil taninya di kota.
Setiba diluar pintu kota, mereka lantas pura2 mengaso disitu, tapi yang mereka perhatikan adalah orang2 yang berlalu-lalang. Tik Hun dapat meraba maksud tujuan mereka, tentu mereka ingin menunggu kedatangan Ban Cin-san. Mereka sendiri tak dapat memecahkan angka2 rahasia Soh-sim-kiam-boh itu, maka mereka hendak membonceng sang guru saja. Pabila Ban Cin-san berhasil menggali harta karun itu, biarpun mereka tak dapat mengangkangi, paling tidak juga akan kebagian rejeki. Beberapa angka kunci pertama dari 'Soh-sim-kiam-boh' itu adalah: 4, 51, 33 dan 53. Angka2 itu mempunyai arti sebagai 'Kang-leng-seng-lam' atau selatan kota Kang-leng, hal ini sudah tersiar luas di kalangan orang Kang-ouw melalui mulutnya Bok Heng dan Sim Sia yang dapat mendengar dari guru mereka itu. Dan kini angka2 itupun jelas tertulis diatas dinding kota itu, bahkan dibelakangnya ber-turut2 masih banyak angka2 yang lain lagi, melihat itu, biarpun orang yang paling goblok juga akan dapat menduga bahwa angka2 itu pasti adalah rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh yang dicari itu. Begitulah maka orang2 yang datang kepintu selatan kota itu, makin siang makin banyak. Ada yang menyamar, ada yang blak2an menurut muka asli mereka. Diam2 Tik Hun menghitung jumlahnya dan seluruhnya ada 78 orang. Selang tak lama lagi, ia lihat Bok Heng dan Pang Tan juga sudah datang. Bahkan diantara mereka entah sedang mempercekcokkan urusan apa, muka mereka tampak merah beringas, kaceknya mereka tidak sampai berkelahi. Tapi akhirnya mereka dapat sabar kembali dan duduk ditepi sungai yang mengelilingi benteng kota itu sambil merenungkan apa arti angka2 yang tertulis diatas dinding itu. Sampai sore hari, masih tetap Ban-si-hucu tidak kelihatan batang hidungnya. Bahkan sampai dekat magrib, masih juga Ban Cin-san dan Ban Ka tidak nampak muncul. Banyak diantara orang2 itu kedengaran mencaci-maki dengan kata2 kotor. Dan ketika hari sudah hampir gelap, tiba2 tertampak seorang yang berdandan sebagai guru sekolah telah datang dengan langkahnya mirip 'goyang sampan'. Guru sekolah itu membawa pensil dan secarik kertas pula. Setiba diluar pintu gerbang situ, ia lantas mencatat semua angka2 yang dapat dibacanya diatas dinding itu. Ada seorang laki2 berewok dan bermuka bengis memangnya lagi mendongkol tak terlampiaskan lantaran sudah sekian lamanya menunggu dan masih tidak melihat munculnya Ban Cin-san, terus saja ia gunakan guru sekolah itu sebagai alat pelampias marahnya, segera ia bekuk guru sekolah itu sambil membentak: "Buat apa kau menurun angka2 itu?". "E-eh, seorang laki2 sejati hanya boleh pakai mulut dan tidak boleh memakai tangan", demikian sahut guru sekolah itu sambil meringis karena tengkuknya dicengkeram laki2 kasar tadi. "Persetan kau laki2 atau perempuan," bentak orang itu, "Nah, jawablah, buat apa kau mencatat angka2 itu?"
"Sudah tentu ada gunanya bagiku, orang lain mana bisa tahu," sahut guru sekolah itu. "Keparat, makanya aku tanya!", teriak laki2 kasar itu dengan mendongkol, "Nah, kau mau mengaku tidak, kalau tidak, segera kutonjok kau. Nih!". ~ dan segera ia acungkan bogemnya ke depan hidung guru sekolah itu. Rupanya guru sekolah itu menjadi takut, katanya dengan gemetar: "Ya, ya, kan?.akan kukatakan. Aku cuma??cuma orang suruhan saja". "Siapa yang suruh kau?", bentak orang itu.
"Seorang??seorang tua. Ya, kukatakan terus terang saya, orang yang menyuruh aku itu adalah tokoh terkemuka didalam kota ini, beliau yalah????..yalah, eh, kalau kukatakan, jangan kau gemetar, lho! Beliau ialah??.ialah Ban Cin-san, Ban-loyacu!", demikian tutur guru sekolah itu. Demi mendengar nama 'Ban Cin-san' disebut, seketika gemparlah semua orang. Tik Hun pun ikut bergirang, tapi diantara rasa girang itu lebih besar rasa dendam kesumat dan rasa dukanya. Begitulah guru sekolah itu lantas digusur be-ramai2 oleh orang banyak kedalam kota, ia diharuskan menunjukkan dimana beradanya Ban Cin-san. Maka dalam sekejap saja ratusan orang telah pergi hingga jauh. Mereka ingin mencari Ban Cin-san untuk memaksanya memberitahu dimana tempat penyimpanan harta karun itu, mereka akan menggalinya untuk dibagi sama rata. Sudah tentu laki2 berewok itu mendapat banyak pujian dari para petualang yang lain, mereka memujinya: "Saudara ini sungguh sangat cerdik, kami sama sekali tidak menduga Ban Cin-san bisa menyuruh orang untuk menurun angka2 rahasia ini. Coba kalau tiada kau saudara, biarpun kita menunggu tiga hari tiga malam suntuk disini juga akan sia2 belaka, sebaliknya kesempatan itu sudah digunakan oleh sikeparat Ban Cin-san untuk menggali harta karun itu". Dengan sendirinya makin dipuji, makin berseri siorang berewok itu, katanya dengan bangga: "Memangnya sejak munculnya pelajar kecut ini aku sudah menduga pasti ada sesuatu yang tidak beres. Dan nyatanya memang benar!". Dalam suasana remang2nya magrib itu, rombongan orang2 itu telah pergi hingga jauh, maka diluar pintu gerbang kota itu kembali sunyi-senyap. Mestinya Tik Hun bermaksud ikut diantara orang banyak itu, tapi ia menjadi ragu2, ia merasa Ban Cin-san yang licik dan licin itu tidak mungkin berlaku begitu goblok menyuruh seorang guru sekolah yang begitu gampang lantas ditangkap dan mengaku terus terang dimana ia berada. Bukan mustahil dibalik itu ada sesuatu tipu muslihatnya. Karena itulah maka ia tidak jadi berbangkit untuk ikut diantara orang banyak itu. Dan selagi ia ragu2 apakah usahanya itu akan gagal begitu saja atau masih harus diteruskan lagi hingga besok, tiba2 dilihatnya ditepi sungai dekat pintu gerbang kota itu, berkelebat suatu bayangan orang. Dengan cepat bayangan orang itu terus lari kearah barat secepat terbang. Pikiran Tik Hun tergerak, segera iapun melesat kedepan, diam2 ia menguntit dibelakang bayangan orang itu dengan Ginkang yang tinggi hingga tak diketahui siapapun juga. Ternyata Ginkang orang itupun sangat hebat, namun Tik Hun sekarang bukan lagi Tik Hun dulu, betapapun kepandaian orang itu masih selisih jauh kalau dibandingkan pemuda itu. Maka sama sekali orang itu tidak merasa bahwa ada seorang lain lagi sedang menguntit dibelakangnya. Tik Hun terus menguntit hingga sampai didepan sebuah rumah kecil. Ia lihat orang itu masuk kedalam rumah. Segera Tik Hun menyisir maju, sampai disamping rumah, ia menjaga disitu jika orang itu keluar lagi. Tapi ternyata orang itu tidak keluar, sebaliknya didalam rumah lantas kelihatan sinar terang, orang itu telah menyalakan pelita. Tik Hun terus menggeser keluar jendela, ia mengintip dari sela2 jendela, maka dapat dilihatnya bahwa orang tadi adalah seorang tua, Cuma berdirinya membelakangi jendela, maka mukanya tidak kelihatan. Orang itu berduduk menghadap meja, diatas meja terletak sejilid buku. Begitu memandang segera Tik Hun tahu buku itu adalah 'Tong-si-soan-cip'. Buku berisi pilihan syair jaman Tong itu dalam beberapa hari terakhir ini telah merupakan barang paling laris di dalam kota Kang-leng, maka tidak mengherankan jika orang tua itupun memiliki suatu jilid. Dalam pada itu, terlihat orang tua itu lagi memegang sebatang pensil, lalu sedang menulis diatas sehelai kertas kuning, yang ditulis adalah empat huruf 'Kang-leng-seng-lam' atau selatan kota Kang-leng, kemudian terdengar dia menyebut sebuah judul syair dan menyebut suatu angka, habis itu ia lantas mem-balik2 halaman kitab syair kuno itu mulai menghitung huruf2 dari syairnya. Terdengar ia menyebut: "Satu, dua, tiga, empat???.., sebelas, dua belas??? lima belas, enam belas, tujuh belas, delapan belas." ~sampai disini ia lantas menulis satu huruf diatas kertasnya. Diam2 Tik Hun terkejut melihat gerak-gerik orang tua itu, ia heran mengapa orang juga paham Soh-sim-kiam-hoat? Kalau dilihat dari belakang, terang orang ini bukanlah Ban-Cin-san. Karena pakaian orang tua itu berwarna kelabu yang sangat umum, maka Tik Hun juga tidak dapat menyelami siapakah gerangan si kakek. Begitulah terlihat orang tua itu mem-balik2 terus halaman kita 'Tong-si-soan-cip', lalu meng-hitung2 dan mencatat sampai akhirnya keseluruhannya ia telah menulis 28 huruf diatas kertas. Ketika Tik Hun memperhatikan tulisan2 itu, syukur ia dapat membacanya. Ke-28 huruf itu maksudnya kira2 begini: "Diruangan belakang Se-cong-si diselatan kota, bersujudlah didepan patung Budha, panjatkanlah doa suci dan mohon Budha memberkahi agar dapat mencapai nirwana dengan selamat". Setelah mencatat ke-28 huruf itu dan habis membacanya, orang tua itu menjadi gusar, mendadak ia banting pensilnya kemeja sambil mengguman sendiri: "Huh, masakah suruh orang bersujut kepada patung kayu yang tak berjiwa, katanya agar diberkahi keselamatan, dan ada pula tentang 'mencapai nirwana' apa segala. Hahaha, kurangajar, masakah dapat 'mencapai nirwana', bukankah itu berarti menyuruh orang menghadap raja akhirat alias mati saja". Dari suara gerundel kakek itu, Tik Hun merasa suara orang seperti sudah dikenalnya. Tengah ia meng-ingat2, tiba2 orang itu miringkan mukanya. Cepat Tik Hun mendak kebawah jendela sambil membatin: "Ha, kiranya adalah Ji-supek Gian Tat-peng. Pantas dia paham jurus2 Soh-sim-kiam-hoat. Dan rahasia apakah didalam tulisan yang diperolehnya dari angka2 kunci rahasia itu? Bukankah cuma untuk mempermainkan orang belaka? ~ berpikir demikian mau tak mau ia menjadi geli: "Haha, jadi sudah sekian banyak pikiran dan tenaga yang dikeluarkan oleh orang banyak itu, mereka tidak segan2 membunuh guru, mencelakai sesama orang Bu-lim dan membinasakan kawan, tapi akhirnya yang diperoleh ternyata hanya suatu kalimat yang mempermainkan orang saja".
Begitulah Tik Hun tidak sampai ketawa, tapi didalam rumah Gian Tat-peng sudah ter-bahak2 dan berkata: "Hahahaha! Suruh aku menjura dan bersujud kepada patung, agar berdoa pada patung lempung atau kayu ini supaya memberkahi rejeki padaku? Hahaha, keparat, Locu disuruh menuju nirwana! Padahal kami bertiga saudara seperguruan sampai melakoni membunuh guru, kemudian kami bertiga saling rebut dan saling gasak, ternyata yang diperebutkan melulu untuk 'mencapai nirwana'. Dan beberapa ratus kesatria Bu-lim yang berkumpul dikota Kang-leng dan saling berebut itu, yang dituju juga demi untuk 'mencapai nirwana'. Hahahahahaha!" Suara tertawa Gian Tat-peng itu ternyata penuh rasa pilu, penuh rasa sesal, dan sembari tertawa seraya me-robek2 kertas yang dibuatnya menulis itu hingga hancur. Mendadak, ia berdiri tegak tanpa bergerak, kedua matanya memandang keluar jendela dengan terkesima. Lalu terdengar ia mengguman sendiri: "Keadaan sudah terlanjur begini, tiada jeleknya juga kalau aku coba memeriksa Se-cong-si itu. Memang disebelah barat dari pintu selatan kota itu terdapat sebuah kelenteng kuno seperti apa yang dimaksudkan itu". Segera ia padamkan pelita dan keluar dari rumah itu, dengan Ginkang yang tinggi ia lantas menuju kesebelah barat sana. Tik Hun menjadi ragu2, pikirnya: "Apakah aku harus mencari Ban Cin-san saya atau menguntit Gian-supek? Ah, Ban-supek toh sudah dirubung oleh serombongan orang, maka aku lebih baik mengawasi tindak-tanduk Gian-supek saya". Maka iapun cepat menyusul dibelakangnya Gian Tat-peng. Tik Hun sendiri tidak tahu Se-cong-si yang dimaksudkan itu terletak dimana, tapi Gian Tat-peng sudah beberapa tahun mencari dan menjelajahi kota Kang-leng, segala tempat yang mencurigakan telah diselidikinya semua, maka keadaan sekitar kota baginya boleh dikata seperti rumah sendiri saja. Maka tidak terlalu lama, sampailah ia diluar kelenteng itu. Gian Tat-peng memang seorang cerdik, ia tidak lantas masuk kelenteng itu, tapi ia celingukan kian kemari, lalu mendengarkan apakah didalam kelenteng ada sesuatu suara atau tidak, kemudian ia mengelilingi pula kelenteng itu, habis itu barulah ia mendorong pintu masuk kedalam. Letak Se-cong-si itu sangat terpencil, disekitar itu sunyi-senyap, pula kelenteng itu tidak terawat, tiada Hwesio dan penghuni lain. Waktu Gian Tat-peng sampai diruangan tengah, segera ia menyalakan geretan api dan hendak menyulut lilin diatas meja sembahyang. Se-konyong2 dibawah sinar api itu dilihatnya sumbu lilin itu masih basah2 dan diujung itu agak lumer. Hatinya tergerak, cepat ia coba memegang ujung lilin itu, benar juga terasa masih hangat dan lemas, terang tidak lama berselang baru saja ada orang menyalakan lilin itu. Ia menyadi curiga dan cepat memadamkan api. Dan selagi ia hendak melangkah keluar untuk memeriksa keadaan kelenteng itu. Tiba2 punggungnya terasa sakit sekali, sebilah belati telah menancap ditubuhnya, ia hanya sempat menjerit sekali terus roboh binasa. Sementara itu Tik Hun juga sudah melintasi pagar tembok kelenteng dan sembunyi dibelakang pintu depan sana. Ia lihat sinar api menyala, lalu sirap lagi dan disusul jeritan ngeri Gian Tat-peng. Dalam kagetnya segera Tik Hun tahu Gian-supek sudah kena disergap musuh. Kejadian itu berlangsung terlalu cepat hingga dia sama sekali tidak sempat bertindak dan menolong. Maka iapun tidak jadi bergerak, tapi terus sembunyi disitu untuk melihat siapakah gerangan yang menyergap Gian Tat-peng disitu. Di dalam keadaan gelap, maka terdengarlah suara seorang sedang tertawa dingin. Tik Hun merasa mengkirik oleh suara tawa orang yang menyeramkan itu, tapi ia merasa suara orang seperti sudah dikenalnya yuga. Se-konyong2 sinar api berkelebat, orang itu telah menyalakan lilin hingga tubuh orang kelihatan jelas. Pelahan2 orang itupun berpaling kearah sini. Dan??..hampir saya Tik Hun menjerit: "Suhu". Kiranya orang itu memang betul Jik Tiang-hoat adanya. Maka tertampak Jik Tiang-hoat telah mendepak sekali mayatnya Gian Tat-peng, bahkan ia melolos pedang dan menusuk beberapa kali pula dipunggung orang yang sudah mati itu. Melihat gurunya begitu keji dan kejam membunuh sesama saudara perguruan sendiri, maka jeritan "Suhu" yang hampir diteriakkan Tik Hun itu segera ia telan kembali mentah2. Terdengar Jik Tiang-hoat sedang tertawa dingin pula, katanya: "Ji-suko, jadi kau juga sudah dapat memecahkan rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh, ya? Haha, Ji-suko, kata kalimat didalam Kiam-boh itu bahwa: "Budha akan memberkahi kau hingga mencapai nirwana, dan sekarang bukankah kau benar2 sudah menuju nirwana? Bukankah Budha sudah memberkahi dan memberi rejeki padamu? Hahahahaha?". Kemudian ia berpaling pula, ia pandang patung Budha yang berwajah senyum simpul itu, dengan penuh mendongkol ia mendamperat: "Kau patung celaka ini, kau telah permainkan aku selama ini dan membikin aku menderita sengsara, akhirnya cuma begini saya jadinya". Dan segera ia melompat keatas altar patung itu dengan pedang terhunus, "trang-trang-trang", be-runtun2 ia membacok tiga kali diperut patung Budha yang gendut itu. Pada umumnya sesuatu patung terbuat dari tanah liat atau ukiran dari kayu, paling2 ukiran dari batu. Tapi ketiga kali bacokannya itu ternyata menimbulkan suara nyaring suara benturan logam. Untuk sejenak Jik Tiang-hoat tertegun, tapi ia segera membacok dua kali lagi, ia merasa tempat yang terkena pedang itu sangat keras. Segera ia ambil lilin untuk menerangi bekas bacokan diatas perut patung itu. Ia lihat dari guratan bekas bacokan itu mengeluarkan sinar kuning mengkilap. Ia terkesima sejenak. Ia coba mengkerik dengan kuku-jarinya ditempat bekas bacokan itu, ia lihat warna kuning mengkilap itu lebih nyata lagi, ternyata didalamnya adalah emas murni belaka. Seketika Jik Tiang-hoat menjerit tertahan: "Ha, ini adalah patung emas raksasa, seluruhnya terbuat dari emas, emas murni seluruhnya!".
Patung Budha itu tingginya 4-5 meter, lengannya besar dan perutnya gendut, jauh lebih besar daripada patung raksasa umumnya. Dan bila patung ini seluruhnya terbuat dari emas murni, maka dapat ditaksir paling sedikit ada 40-50 ribu kati beratnya. Dan emas sebanyak itu kalau bukan harta-karun namanya harus disebut apa lagi? Dan sesudah memikir sejenak, segera Jik Tiang-hoat mengitar pula kebelakang patung Budha itu, ia coba mengkerik pula dengan pedangnya, ia lihat dibagian pinggang patung itu seperti ada sesuatu pintu rahasia kecil. Ber-ulang2 ia mengkerik dan memotong pula hingga debu kotoran diatas patung itu tersapu bersih, bahkan bagian pinggang patung itupun tercacah beberapa goresan, sesudah itu barulah bagian itu tampak bersih dan kelihatan pintu rahasianya. Segera Jik Tiang-hoat masukkan pedangnya ke-sela2 pintu rahasia itu, ia cungkil beberapa kali, tapi pintu rahasia itu teramat kencang hingga sedikitpun tidak bergeming, ia coba menyongkel lebih keras, tapi sedikit kurang hati2, 'pletak', pedangnya patah malah. Namun ia tidak putus asa, dengan pedang patah itu ia mencungkil lagi sela2 pintu rahasia sisi lain. Dan sesudah berkutetan agak lama, lambat-laun pintu rahasia mulai longgar dan pelahan2 tercungkil keluar. Jik Tiang-hoat membuang pedangnya yang patah itu, segera ia pegang pintu rahasia itu dan pelahan2 ditarik hingga terbuka. Ketika ia menerangi dengan lilin, ia lihat didalam perut patung Budha itu penuh terisi emas-intan dan batu permata yang gemilapan menyilaukan mata. Melihat betapa besar perut patung itu, sungguh susah dinilai berapa banyak harta benda yang tersimpan didalam situ. Saking kesima Jik Tiang-hoat menelan ludah sendiri beberapa kali. Segera ia bermaksud meraup beberapa biji batu permata didalam perut patung itu untuk diperiksa, tapi mendadak ia merasa altar patung itu pelahan2 berguncang sedikit. Jik Tiang-hoat adalah seorang yang sangat cerdik dan waspada, segera ia tahu keadaan tidak beres, cepat ia meloncat turun dari altar patung itu. Tapi baru sebelah kakinya menginjak tanah, seketika perutnya terasa sakit, nyata ia telah kena disergap orang dan tertutuk. Tanpa ampun lagi ia roboh terguling dan takbisa berkutik. Maka tertampaklah seorang menerobos keluar dari bawah altar, dengan tertawa hina orang itu berkata: "Jik-sute, kiranya kau belum mati dan akhirnya sampai disini. Lo-ji (sinomor dua, maksudnya Gian Tat-peng) juga mencari kemari, tapi mengapa kalian tidak memikir bahwa Toa-suheng kalian juga pasti akan mencari kesini? Hahahaha!". Orang itu ternyata bukan lain daripada Ban Cin-san. Secara diam2 ia sudah sembunyi didalam kelenteng sebelum kedua Sutenya datang. Karena mendadak ketomplok rejeki hingga Jik Tiang-hoat yang biasanya sangat hati2 dan pandai berhitung itu menjadi lupa daratan dan sedikit lengah itu dia kena disergap oleh Ban Cin-san. Iapun cukup kenal kekejian sang Suheng itu, ia tahu tiada gunanya minta ampun segala, maka dengan gemas ia berkata: "Sudah pernah satu kali kau tak bisa membinasakan aku, tak tersangka akhirnya tetap mati juga ditanganmu". Ban Cin-san senang sekali, katanya: "Memangnya aku lagi heran atas dirimu. Eh, Jik-sute, bukankah kau sudah mati kucekik, dan kumasukkan kedalam liang dinding berlapis itu, mengapa kau bisa hidup kembali?" Namun Jik Tiang-hoat bungkam saya tidak menjawab, bahkan ia terus pejamkan mata sekalian dan tidak menggubris. "Ha, kau tidak mau menerangkan, apakah dikira aku tidak tahu?", ujar Cin-san dengan tertawa dingin. "Tentu waktu itu kau pura2 mati dengan menahan napasmu. Dan sesudah kumasukkan kau kedalam dinding berlapis itu, lalu kau membobol tembok dan melarikan diri, sebelumnya kau merapatkan kembali dinding itu lebih dulu. Hehe, kau benar2 lihay dan licik, dengan mata kepalamu sendiri kau menyaksikan puterimu telah menjadi anak menantuku, tapi selama itu kau tetap tidak unjuk diri. Nah, ingin kutanya padamu, sebab apakah kau menghilang? Sebab apa?". Se-konyong2 Jik Tiang-hoat meludahi sang Suheng dengan riaknya yang kental dan tidak menjawab. Namun Cin-san sempat berkelit, katanya dengan tertawa: "Lo-sam, bolehlah kau pilih sendiri, kau ingin mati dengan cepat dan enak atau ingin binasa pelahan2 dan menderita?" Bila teringat betapa keji dan kejamnya Suhengnya itu, mau-tak-mau air muka Jik Tiang-hoat menampilkan rasa seram juga. Katanya kemudian: "Baiklah, biar kukatakan padamu. Sebabnya aku tidak pedulikan puteriku itu justeru karena aku ingin menyelidiki duduknya perkara. Dan kini dapat diketahui bahwa puteriku itulah yang telah mencuri Kiam-boh yang kusimpan itu, nah, katakanlah apakah puteriku itu anak yang baik atau bukan? Pendek kata, orang she Ban, boleh kau bereskan aku dengan cepat saja". "Baik, akan kubereskan kau dengan cepat," kata Ban Cin-san dengan senyum iblis, "Menurut pantasnya, mestinya aku tidak mungkin memperlakukan kau semurah ini, tapi mengingat jelek2 kau adalah besanku, pula akupun tidak punya tempo terlalu banyak, aku masih harus menyelesaikan partai harta karun ini. Nah, baiklah Sute yang baik, kuhaturkan selamat jalan padamu". ~ habis berkata, terus saja ia ayun pedangnya hendak menusuk kedada Jik Tiang-hoat. Tapi se-konyong2 suatu bayangan merah mendahului berkelebat, tahu2 buah kepala Ban Cin-san sendiri sudah terbang, menyusul tubuhnya yang tak berkepala itu kena didepak orang hingga roboh terguling. Kiranya orang menyelamatkan jiwa Jik Tiang-hoat itu tak lain tak bukan adalah Tik Hun dengan golok merah secepat kilat ia telah tabas kepala Ban Cin-san. Kemudian ia lantas membuka Hiat-to sang guru yang tertutuk itu dan menyapa: "Suhu, baik2kah engkau?"
Perubahan itu sunggu terlalu cepat jadinya hingga Jik Tiang-hoat ter-mangu2 sampai sekian lamanya. Dan kemudian barulah ia dapat mengenal Tik Hun, dengan suara ter-putus2 entah girang entah sedih ia berseru: "Ha, kiranya???kiranya kau, Hun-ji". Tik Hun sudah berpisah sekian tahun dengan gurunya itu. Kini mendengar kembali panggilan 'Hun-ji' itu tak tertahan lagi rasa dukanya bergolak pula dalam hatinya. Sahutnya kemudian: "Ya, suhu, memang murid adanya!". "jadi, kau telah ikut menyaksikan semua kejadian barusan ini?" tanya Jik Tiang-hoat. "Ya, sejak tadi murid sudah berada disini", sahut Tik Hun tanpa pikir. "Adapun Sumoay?????..Sumoay?..dia??dia telah???", ~tapi ia tidak sanggup meneruskan lagi, air mata lantas bercucuran. Ternyata Jik Tiang-hoat sama sekali tidak tertarik oleh penuturan Tik Hun tentang puterinya itu, ia sedang memperhatikan mayat kedua Suhengnya yang menggeletak dilantai itu. "Hun-ji", katanya kemudian, "untunglah kau telah menolong aku tepat waktunya, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu. Eh, Hun-ji, apakah itu?". ~demikian tiba2 ia menuding kebelakang Tik Hun. Tanpa curiga apa2 Tik Hun lantas berpaling, tapi tiada sesuatu yang dilihatnya, dan selagi ia merasa heran, tiba2 punggung terasa agak sakit. Namun Tik Hun kini sudah bukan Tik Hun dahulu lagi, betapa cepat dan tangkas reaksinya, sekali tangannya meraup ke belakang seketika pergelangan tangan musuh yang membokong itu kena dipegangnya. Cepat ia lantas berpaling kembali, ia lihat tangan penyerang itu memegang sebilah belati, siapa lagi dia kalau bukan Jik Tiang-hoat, gurunya sendiri. Sesaat itu Tik Hun menjadi bingung, katanya: "Su????Suhu, apakah kesalahan?? kesalahan Tecu hingga Suhu hendak???hendak membunuh aku?" Baru sekarang Tik Hun ingat bahwa tusukan belati gurunya itu sebenarnya sudah tepat mengenai punggungnya, untung dia memakai Oh-jan-kah, dengan baju mestika yang tidak mempan senjata tajam itu, maka jiwanya sekali lagi telah lolos dari lubang jarum. "Bagus, bagus!. Sekarang kau sudah menjadi jagoan, ya? Ilmu silatmu sudah hebat sekali hingga gurumu tak terpandang sebelah mata lagi olehmu!" demikian Jik Tiang-hoat mengejek dengan dendam. "Nah, lekaslah kau membunuh aku saja, lekas, mengapa tidak lekas membunuh aku?" Tapi Tik Hun lantas melepaskan tangan sang guru, malah ia tetap tidak paham, sahutnya: "Mana murid berani membunuh suhu?".
"Huh, buat apa kau mesti pura2 dungu?", jengek Jik Tiang-hoat. "Kalau aku tidak dapat membunuh kau, maka akulah yang akan kau bunuh, kenapa mesti dibuat heran? Harta karunnya sudah jelas didepan matamu, patung Budha ini adalah emas murni tulen, didalam perutnya juga penuh terisi intan-permata yang tak ternilai. Nah, kenapa kau tidak lantas membunuh aku? Kenapa tidak lekas membunuh aku?". Demikian ia ber-teriak2 suaranya penuh mengandung sifat angkara-murka dan penuh penyesalan. Suaranya itu hakikatnya bukan suara manusia lagi, tapi lebih mirip suara lengking serigala yang terluka, dan mendekati ajalnya. Namun Tik Hun menggoyang kepala sambil mundur beberapa langkah, katanya: "Jadi sebabnya Suhu hendak membunuh aku adalah lantaran patung Budha raksasa buatan dari emas murni ini?" Begitulah sekilas Tik Hun menjadi paham seluruhnya, demi harta benda Jik Tiang-hoat tidak segan2 mencelakai gurunya sendiri, tidak segan membunuh Suhengnya, bahkan mencurigai puterinya sendiri, dan sudah tentu membunuh seorang murid lebih2 bukan menjadi soal baginya. Seketika dalam benak Tik Hun menggema kembali ucapan Ting Tian dahulu: "Gurumu berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang', urusan apa yang tak mungkin diperbuatnya?" Dan sesudah melangkah mundur dua tindak pula, Tik Hun berkata lagi: Suhu, aku tidak ingin membagi rejeki yang kau peroleh ini, boleh kau menjadi hartawan sendirian saja. Silahkan!". Hampir2 Jik Tiang-hoat tidak percaya pada telinganya sendiri, sungguh ia tidak percaya bahwa didunia ini ada manusia yang tidak kemaruk kepada harta. Ia menduga sibocah Tik Hun pasti mempunyai tipu muslihat apa lagi. Maka dengan tidak sabar lagi ia lantas membentak: "Tik Hun, kau hendak main gila apa? Bukankah ini adalah suatu patung emas, didalam perut patung penuh terisi harta mestika, kenapa kau tidak mau? Apakah kau masih mempunyai tipu muslihat lain lagi?" Tik Hun hanya goyang2 kepala saja dan selagi ia hendak tinggal pergi, tiba2 terdengar suara ramai orang banyak sedang mendatangi. Cepat ia melompat keatas rumah dan memandang keluar. Maka terlihatlah serombongan orang ada ratusan banyaknya dengan membawa obor sedang mendatangi dengan cepat. Terang itulah orang2 Kangouw dan tokoh2 Bu-lim yang berkumpul dikota Kang-leng selama hari2 terakhir ini. Bahkan terdengar ada diantaranya sedang membentak dan memaki: "Ban Ka, keparat kau, lekas jalan, lekas! Setan kau!" Sebenarnya Tik Hun berniat tinggal pergi, tapi demi mendengar nama 'Ban Ka' disebut, seketika ia urungkan maksudnya, ia masih harus membalas sakit hatinya Jik Hong. Begitulah rombongan orang itu kemudian telah membanjir masuk kedalam kelenteng. Jelas terlihat oleh Tik Hun bahwa Ban Ka kena dipegang oleh beberapa laki2 kekar serta di-dorong2. Ia lihat hidung Ban Ka bocor, mulut keluar kecapnya dan mata matang-biru, terang habis kenyang dihajar orang2 itu, tapi badannya masih memakai baju sebagai guru sekolah. Maka tahulah Tik Hun akan duduknya perkara. Jadi Ban Ka sengaja menyamar sebagai guru sekolah untuk memancing dan membilukkan perhatian orang2 Kangouw yang berkerumun diluar pintu gerbang selatan kota itu, dengan begitu agar Ban Cin-san sempat datang ke kelenteng bobrok ini untuk menggali harta karun. Tapi karena dibawah pengusutan orang banyak, akhirnya tipu muslihat Ban-si-hucu itu terbongkar. Sesudah dihajar hingga babak belur, orang2 Kang-ouw itu mengancam jiwa Ban Ka pula kecuali kalau ia menunjukkan tempat rahasia penyimpanan harta karun dan akhirnya mereka sampai juga ke Se-cong-si. Dalam pada itu, ketika mendengar suara orang banyak, segera Jik Tiang-hoat melompat keatas altar patung dengan maksud hendak menghilangkan bekas bacokan pedang diatas patung agar sinar emas tidak dilihat oleh orang2 itu. Namun sudah agak terlambat, beberapa orang diantaranya sudah keburu berlari masuk. Dan demi nampak perut patung Budha itu berwarna kuning kemilauan, terus saja mereka ber-teriak2 dan berlari kepatung itu, mereka membersihkan debu tanah diatas patung serta mem-bacok2 dan mengkerik pula dengan senyata mereka, maka dalam sekejap saja tubuh patung itu lantas bersih dan mengeluarkan cahaya emas yang gemilapan. Menyusul ada orang melihat pula pintu rahasia dipunggung patung itu, segera ada orang membuka pintunya terus meraup segenggam batu permata terus dimasukkan kantong sendiri.
Melihat kawannya kebanjiran rejeki, sudah tentu yang lain tidak mau ketinggalan, segera orang kedua menggentak minggir orang pertama dan dia sendiri lantas mencedok dengan kedua tangannya hingga setangkup emas-berlian dikantongi olehnya.
Keruan orang ketiga menjadi merah matanya segera ia dorong pergi kawannya itu dan dia juga menyerbu harta mestika itu. Bahkan ia lebih serakah lagi, be-runtun2 ia meraup dan mencomot dengan kedua tangannya secara bergiliran dan dimasukkan kedalam bajunya, dan sesudah kantong bajunya penuh segera ia gunakan ujung baju untuk mewadah batu permata itu. Begitulah suasana seketika menjadi kacau dan gempar, orang2 itu saling berebut mengambil harta mestika itu, mereka ber-jejal2 dandesak-mendesak, yang tidak sempat mendesak maju kepintu rahasia patung untuk mengambil sendiri, segera mereka merebut milik kawan, kalau kawan melawan, segera digenjot???.. Se-konyong2 diluar kelenteng terdengar suara tiupan terompet, pintu kelenteng lantas terpentang, berpuluh perajurit tampak menyerbu masuk, sambil berteriak: "Tihu-tayjin tiba, siapapun dilarang bergerak, diam semua!". Menyusul masuklah seorang dengan pakaian kebesaran dan bersikap angkuh, itulah dia Leng Dwe-su, Tihu dari kota Kang-leng, ayahnya Leng-siocia. Tapi demi melihat harta mestika yang menyilaukan mata itu, para orang Kang-ouw sudah lupa daratan, jangankan cuma seorang Tihu, biarpun raja yang datang juga tidak mereka gubris lagi. Mereka masih tetap saling berebut dengan mati2an. Maka seluruh ruangan kelenteng itu penuh terserak harta mestika yang kemilauan, ada mutiara mestika, ada emas-intan, ada batu permata, jamrud, merah delima, ada biru safir, ya, mungkin juga ada koh-i-noor??????.. Perajurit2 yang dibawa datang oleh Leng Dwe-su itu juga manusia, dan manusia mana yang tidak ngiler akan harta karun seperti itu? Keruan saya tanpa komando perajurit2 itu ikut berebut, bahkan perwiranya juga tidak mau ketinggalan. Keadaan menjadi makin kacau, Jik Tiang-hoat lagi berebut harta mestika itu, Ban Ka juga lagi berebut, malahan tuan besar Leng Dwe-su akhirnya juga tak tahan oleh rangsangan harta karun yang memangnya telah dicari sekian lamanya itu. Ia kuatir kehabisan, segera iapun ikut berebut. Tik Hun melihat diantara orang2 Kang-ouw yang berebut harta karun itu terdapat pula Ong Siau-hong dan Hoa Tiat-kan. Dan sekali sudah saling berebut, dengan sendirinya saling hantam dan sekali saling hantam sudah tentu ada yang terluka dan terbinasa. Anehnya, dalam pertarungan sengit itu, akhirnya mendadak ada orang menubruk keatas patung Budha emas itu, patung itu dirangkul terus di-gigit2 seperti anjing gila. Ada yang menggunakan kepalanya untuk membentur patung dan ada yang meng-gosok2kan mukanya. Tik Hun sangat heran, andaikan orang2 itu sudah buta pikiran oleh harta karun itu juga tidak perlu sampai gila sedemikian rupa. Dan memang betul, orang2 itu memang sudah gila, mata mereka merah membelalak, mereka saling genjot, saling gigit dan betot. Mereka telah berubah seperti segerombol binatang buas atau anjing gila. Tiba2 Tik Hun paham duduknya perkara: "Ya, tentu diatas harta mestika itu telah dilumasi racun yang sangat lihay oleh raya yang menyimpannya dahulu". Tik Hun tidak sudi menyaksikan lebih jauh kelakuan manusia gila yang memuakkan itu, segera ia tinggal pergi. Ia membawa Khong-sim-jay dengan menunggang kuda terus menuju jauh kearah barat sana. Ia hendak mencari suatu tempat yang sunyi untuk mendidik Khong-sim-jay agar kelak menjadi seorang manusia yang berguna, seorang manusia baru. Akhirnya ia sampai dilembah salju diperbatasan Tibet dahulu itu. Saat itu lagi hujan salju dengan lebatnya, tapi ia dapat mencapai gua yang dahulu.
Se-konyong2 dari jauh dilihatnya didepan gua itu telah berdiri seorang gadis jelita. Itulah Cui Sing adanya!. Dengan muka ber-seri2 Cui Sing berlari memapak sambil berseru: "Sudah sekian lamanya aku menunggumu Tik-toako! Aku yakin akhirnya engkau pasti akan kembali ke sini. Selama ini aku?? aku tidak pernah meninggalkan lembah ini!". Sesudah kedua muda-mudi itu saling berhadapan, Tik Hun pegang erat2 kedua tangan Cui Sing sambil memandang Khong-sim-jay dalam pangkuannya itu dengan tersenyum. Dan apa yang terjadi selanjutnya, tak perlu diceritakan juga, para pembaca akan tahu sendiri?????..
- TAMAT -