Bab 41. Ciok Boh-thian Mengalahkan Pek Ban-kiam, Su-popo Menjadi Ciangbunjin

Kiranya orang yang pura-pura sakit dan menyamar sebagai Pek Cu-cay sehingga tangan Ban-kiam mendadak diborgol itu tak-lain-tak-bukan adalah Liau Cu-le. Di antara anak murid Tiang-bun yang baru pulang dari Tionggoan itu hanya Pek Ban-kiam yang paling lihai, sekali kepalanya sudah tertangkap, seketika juga ekornya tidak dapat berkutik sehingga Kheng Ban-ciong dan lain-lain juga kena diringkus dengan mudah. Sekarang berhadapan dengan orang yang telah menangkapnya dengan cara pengecut itu, keruan Ban-kiam merasa dendam dan geregetan tak terkatakan. Maka dengan tertawa Liau Cu-le menjawab, "Jika kau tidak keok di bawah tanganku mengapa kedua tanganmu bisa terbelenggu? Aku toh tidak menggunakan senjata rahasia juga tidak memakai obat tidur!"

"Buat apa masih terus bertengkar tak habis-habis?" bentak Li Si mendadak. "Hayo, lekas membuka belenggunya, biarlah mereka berdua bertanding." Liau Cu-le masih ragu-ragu, Li Si menjadi tidak sabar, segera ia rampas pedang dari tangan Liau Cu-le, hanya dua kali bergerak saja, tahu-tahu borgol tangan dan kaki Pek Ban-kiam sudah terputus dan jatuh ke atas lantai. Padahal borgol-borgol itu terbuat dari baja, sekalipun pedang Liau Cu-le itu cukup tajam, tapi bukanlah pedang mestika yang dapat memotong besi sebagai potong sayur, namun dengan lwekang yang tinggi Li Si telah menebas borgol-borgol itu dengan mudah sekali, yang hebat adalah tangan dan kaki Pek Ban-kiam sedikit pun tidak ikut terluka. Keruan semua orang sangat kagum dan tanpa merasa sama bersorak memuji. Biasanya Pek Ban-kiam juga tinggi hati, tapi sekarang mau tak mau ia pun menyatakan kekagumannya. Dalam pada itu seorang murid Tiang-bun cepat-cepat menyampaikan sebatang pedang padanya. Tapi mendadak Ban-kiam meludahi muka murid Tiang-bun itu, menyusul kakinya lantas mendepak sehingga orang itu

terguling. "Huh, pengkhianat!" Ban-kiam memaki. Maklumlah bahwa anak murid Tiang-bun yang tinggal di Leng-siau-sia ternyata dalam keadaan selamat tanpa diganggu, maka terang adalah kaum pengkhianat yang telah ikut bersekongkol dengan anak murid cabang-cabang yang lain. "Ini, ayah!" seru A Siu sambil mengangsurkan pedangnya sendiri. Ban-kiam tersenyum senang, "Ehm, putriku yang baik!" katanya terhibur. Selama ini dia sudah cukup menderita, sekarang diketahui ibu dan putrinya dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, dengan sendirinya ia sangat gembira. Tapi ketika dia berpaling, wajahnya yang tersenyum simpul itu sekonyong-konyong berubah menjadi bengis dan penuh kebencian, sorot matanya berapi, bentaknya kepada Liau Cu-le, "Kau pengkhianat ini bukan lagi angkatan tua Swat-san-pay, marilah kita coba-coba lebih dulu. Ini, terimalah pedangku!"

"Sret", kontan ia mendahului menusuk. Pada saat yang hampir sama tiba-tiba Li Si menegakkan pedang rampasannya tadi sehingga serangan Ban-kiam itu tertangkis. Lalu ia sodorkan gagang pedang ke tangan Liau Cu-le. Maka mulailah pertarungan sengit, kedua orang sama-sama mengeluarkan segenap kepandaian masing-masing untuk mengadu jiwa, sama sekali berbeda daripada pertandingan antara Seng Cu-hak berempat tadi. Di antara angkatan tua Swat-san-pay, kecuali Pek Cu-cay, maka kepandaian Liau Cu-le terhitung yang paling tinggi. Ia pikir dirinya tadi sudah mengaku kalah pada Ciok Tiong-giok, asal sekarang dirinya mengalahkan Ban-kiam, maka dengan sendirinya Ciok Tiong-giok akan tetap diangkat sebagai pejabat ketua dan akan mengantarkan nyawa ke Liong-bok-to. Kepandaian Pek Ban-kiam memangnya tidak di bawah Liau Cu-le, dalam keadaan gawat begini terpaksa Cu-le mengerahkan segenap tenaganya, kalau ayal sedikit saja bukan mustahil dia sendiri yang akan celaka. Ia bertekad harus membinasakan Ban-kiam, dengan demikian barulah dia dapat menjagoi di Leng-siau-sia dan Ciok Tiong-giok hanya akan menjadi ciangbunjin dengan nama kosong saja. Asal Thio Sam dan Li Si sudah pergi, pemuda itu akan segera didesak agar lekas berangkat ke Liong-bok-to yang jauh itu daripada nanti terlambat. Begitulah diam-diam Liau Cu-le mempunyai perhitungan yang muluk-muluk, semangatnya lantas terbangkit, permainan pedangnya menjadi semakin lincah dan hidup, setiap serangannya bertambah ganas. Sebaliknya Ban-kiam buru-buru ingin membalas dendam sehingga terlalu nafsu dan sering menyerang secara berbahaya. Sesudah 30-an jurus, suatu ketika Ban-kiam menusuk ke depan, namun dengan cepat Cu-le sempat berkelit dan segera balas menebas, "bret", tahu-tahu ujung baju Ban-kiam terpapas sepotong. A Siu sampai menjerit khawatir. Sebaliknya Su-popo lantas memaki, "Dasar telur busuk kecil, serupa benar dengan bapaknya, anak ajaran telur busuk tua itu memangnya tidak banyak berguna!" Dalam gugupnya ditambah dicemoohkan pula, keruan permainan pedang Ban-kiam menjadi agak kacau. Diam-diam Cu-le bergirang, katanya, "Memangnya aku sudah mengatakan kau adalah jago yang sudah keok di tanganku, masakah aku hanya membual saja, buktinya sekarang bagaimana?" Dengan mengolok-olok begini maksud Cu-le ingin membikin marah lawannya sehingga perhatiannya semakin terpencar. Tak terduga perhitungannya ternyata meleset. Paling akhir ini Ban-kiam telah banyak kecundang di daerah Tionggoan sehingga perangainya telah banyak lebih sabar dan lebih ulet. Ia tidak murka atas olok-olok lawan itu, sebaliknya menjadi lebih prihatin dan menjaga diri dengan rapat. Pada lain kesempatan berulang-ulang ia berbalik balas menyerang tujuh kali. Serangan berantai ini seketika mengubah keadaan menjadi sama kuatnya, bahkan setiap serangan Ban-kiam selalu mengancam tanpa kenal ampun. Liau Cu-le ganti siasat, ia main putar di sekeliling Ban-kiam sambil mencaci maki. Mendadak sinar pedang berkelebat, Ban-kiam bersuit panjang, "sret-sret-sret", ia menyerang tiga kali secara berantai, ketika serangan keempat menyambar pula, "cret", tanpa ampun lagi kaki Liau Cu-le tertebas kutung sebatas dengkul. Ia menjerit ngeri tersungkur bermandikan darah. Dengan pedangnya yang masih berteteskan air darah Ban-kiam menuding Seng Cu-hak dan membentak, "Sekarang kau! Hayo maju!" Namun dengan muka pucat Cu-hak diam saja. Selang sejenak barulah menjawab, "Kau ingin menjadi ciangbunjin boleh silakan... silakan menjabatnya, aku... aku tidak perlu berebut dengan kau." Segera sinar mata Ban-kiam beralih kepada Ce Cu-bian dan Nio Cu-cin. Tapi kedua orang itu pun menggeleng-geleng tanda menyerah. "Huh, baru mengalahkan beberapa pengkhianat saja apa sih yang luar biasa?" tiba-tiba Su-popo menjengek. Lalu ia berkata kepada Ciok Boh-thian, "Muridku, coba kau bertanding dengan dia, biarkan orang lain menyaksikan apakah murid si telur busuk tua itu lebih lihai atau murid ajaranku lebih hebat." Semua orang menjadi heran mendengar ucapan si nenek. Sudah terang Ciok Tiong-giok adalah muridnya Hong Ban-li, mengapa nenek itu bilang muridnya sendiri? Sementara itu Su-popo telah membentak Ciok Boh-thian, "Ayo, lekas maju! Gunakan golok dan jangan memakai pedang. Ilmu pedang ajaran telur busuk tua itu hanya permainan anak kecil saja, tapi ilmu golok kita jauh lebih lihai!" Sesungguhnya Boh-thian tidak ingin bertanding dengan Pek Ban-kiam, apalagi kalau teringat beliau adalah ayahnya A Siu atau bakal mertuanya. Tapi kalau dia membuka suara untuk menolak tentu rahasia penyamarannya akan diketahui Thio Sam dan Li Si. Karena itulah dengan menjinjing golok dia menjadi serbasalah berdiri di samping Su-popo. Melihat pemuda itu masih diam saja, kembali si nenek membentak, "Apa yang telah kujanjikan tadi apakah kau sudah tidak mau lagi? Tadi aku hilang kau harus membuat suatu jasa besar barulah janjiku itu akan dipenuhi. Dan jasa besar itu sekarang harus kau lakukan, yakni murid telur busuk tua ini harus kau kalahkan. Jika kau kalah, maka kau pun harus lekas enyah dari sini dan jangan bertemu pula dengan aku, lebih-lebih jangan harap bisa bertemu dengan A Siu." Baru sekarang Boh-thian mengetahui bahwa jasa besar yang dimaksudkan sang guru kiranya adalah suruh mengalahkan putra kandung si nenek sendiri. Hal ini benar-benar membuatnya terheran-heran. Sebaliknya orang-orang lain yang hadir di situ berpendapat, "Kiranya Su-popo sengaja hendak menjadikan bocah dungu ini sebagai ketua Swat-san-pay agar dapat dijadikan korban ke Liong-bok-to untuk menggantikan nyawa suami atau putranya." Namun Pek Ban-kiam dan A Siu berdua cukup paham apa maksud tujuan Su-popo ini. Kiranya suami-istri Pek Cu-cay dan Su-popo sama-sama berwatak keras, biasanya si nenek masih suka mengalah sedikit kepada sang suami walaupun dengan menahan rasa mendongkol. Dalam persoalan Ciok Tiong-giok hendak memerkosa A Siu dan gagal itu, bukan saja Pek Cu-cay telah menebas sebelah lengan Hong Ban-li, bahkan suami-istri mereka telah cekcok, dalam marahnya Cu-cay telah menampar Su-popo sekali. Saking jengkelnya Su-popo lantas minggat dari

Leng-siau-sia. Walaupun sekarang dia sudah pulang, tapi kejadian ditampar sang suami itu masih terus teringat olehnya, makanya dia terus mencaci maki "telur busuk tua" tidak habis-habisnya. Watak Pek Cu-cay itu memang sangat sombong, ilmu silatnya memang juga merajai wilayah barat situ sehingga kepandaian sang istri dipandang sebelah mata olehnya. Saking dongkolnya Su-popo bertekad akan mendidik seorang murid yang pandai untuk mengalahkan putranya sendiri, dengan demikian akan berarti mengalahkan muridnya Pek Cu-cay sebagai tanda kemenangannya atas diri sang suami. Demikianlah apa yang diketahui oleh Pek Ban-kiam atas isi hati ibunya. Cuma dia belum tahu bahwa Ciok Boh-thian memang betul adalah murid ibunya, dalam hal ini adalah A Siu yang lebih jelas duduknya perkara. Begitulah Ban-kiam lantas melotot kepada Boh-thian dengan sikap yang menghina. "Bagaimana? Apakah kau memandang enteng padanya?" Su-popo menjengek. "Pemuda ini sudah mengangkat guru padaku dan telah kudidik seperlunya, kepandaiannya sekarang sudah berbeda daripada tadinya. Sekarang kau boleh coba-coba bertanding dengan dia, jika kau yang menang, ya, anggaplah telur busuk tua bangka itu lebih lihai, tapi kalau kau yang kalah, maka jadilah A Siu sebagai istrinya." Ban-kiam terkejut. "Wah, ini tidak boleh jadi, ibu! A Siu mana boleh diambil sebagai istri oleh bocah ini?" serunya. Su-popo terbahak-bahak, katanya, "Jika kau dapat mengalahkan dia, dengan sendirinya A Siu takkan menjadi istrinya. Kalau tidak, cara bagaimana kau bisa merintanginya?" Diam-diam Ban-kiam mendongkol, "Ibu marah pada ayah, sekarang aku ikut-ikut dimarahi. Jika putramu ini tidak mampu menangkan bocah ini bukankah percuma menjadi manusia di dunia ini?" Dalam pada itu Su-popo telah membentak pula, "Jika kau merasa penasaran boleh lekas melabraknya. Buat apa hanya melotot belaka?" Ban-kiam mengiakan. Segera ia berkata kepada Ciok Boh-thian, "Ayolah, kau boleh mulai menyerang!" Boh-thian memandang sekejap ke arah A Siu, nona itu tampak malu-malu dan menaruh perhatian padanya. Pikirnya, "Suhu mengatakan kalau aku kalah, selanjutnya tak dapat bertemu lagi dengan A Siu. Maka pertandingan ini mau tak mau harus menang." Segera ia mengangkat golok dan bergerak. "Sret", mendadak Ban-kiam lantas menusuk. Cepat Boh-thian menangkis dan balas membacok satu kali. Di Ci-yan-to dahulu Boh-thian sudah pernah bergebrak dengan Ban-kiam. Tapi waktu itu dia menggunakan Kim-oh-to-hoat murni, ketika Ban-kiam menggunakan jurus yang paling kasar dari ilmu pedang Swat-san-pay, maka Boh-thian berbalik tidak mampu menangkisnya sehingga baju di bagian dadanya tergores dan berlubang. Sejak itulah Boh-thian lantas terbuka otaknya dan memahami soal "perubahan" atau "variasi" dalam ilmu silat yang tinggi, diketahuinya bahwa di kala bertanding silat harus bisa melihat gelagat, berubah dan bertindak menurut keadaan. Kemudian ia mendapat petunjuk-petunjuk pula dari Ciok Jing dan Bin Ju sehingga ilmu silatnya banyak mendapat kemajuan. Sekarang kembali ia harus bergebrak pula dengan Pek Ban-kiam, ilmu goloknya tidak lagi terbatas atas ajaran Su-popo saja, tapi banyak jurus serangannya sudah lain daripada yang lain dan susah diduga. Keruan sesudah beberapa jurus saja Ban-kiam lantas terperanjat. Ia tidak mengerti dalam waktu singkat ini dari manakah bocah ini mendapat pelajaran ilmu golok sedemikian lihainya? Teringat olehnya waktu bertanding dengan pemuda yang mengaku pangcu dari Tiang-lok-pang di Ci-yan-to dahulu, pemuda itu juga mengaku sebagai murid pertama dari Kim-oh-pay segala, ilmu golok kedua orang tampaknya rada-rada mirip, cuma dalam hal variasi dan keganasan pemuda Ciok Tiong-giok di hadapannya ini terang jauh lebih lihai. Wajah kedua pemuda ini sangat mirip, jangan-jangan mereka berasal dari satu guru? Ibuku mengatakan telah memberi bimbingan seperlunya, jangan-jangan dia memang benar-benar adalah murid Ibu? Demikian Ban-kiam menimbang-nimbang sendiri. Sesudah beberapa jurus pula, ketika Ban-kiam menebas dari samping, cepat Boh-thian menangkis. "Trang", lelatu api bercipratan, Ban-kiam merasa lengannya tergetar oleh suatu tenaga yang mahakuat, dadanya sampai sakit. Keruan ia tambah kaget, tanpa merasa sampai mundur dua-tiga tindak. Boh-thian tidak mendesak lebih lanjut, ia berpaling kepada Su-popo. Maksudnya ingin bertanya, "Apakah aku dianggap menang belum?" Tak terduga Ban-kiam menjadi semakin bersemangat bila mana berhadapan dengan lawan tangguh, apalagi Ciok Tiong-giok hanya kaum keroco saja, kalau sampai kalah bukankah terlalu penasaran? Segera ia membentak, "Lihat pedangku, bocah!" Menyusul ia lantas menusuk pula.

Waktu Boh-thian hendak menangkis lagi, namun Ban-kiam tidak mau mengadu senjata pula, segera ia ganti siasat, ujung pedang berputar terus menjengkit ke atas untuk menusuk tenggorokan Boh-thian. Serangan ini sangat cepat lagi jitu dan memperlihatkan ilmu pedang Swat-san-pay yang indah. Thio Sam sampai memuji, "Ilmu pedang yang bagus!" Akan tetapi Ciok Boh-thian lantas mengayun goloknya untuk menebas lengan lawan, yang dia gunakan adalah Kim-oh-to-hoat, jurus ini tepat merupakan serangan yang antiserangan Ban-kiam itu. Maka Thio Sam kembali berseru memuji, "Ilmu golok yang bagus!" Begitulah pertarungan kedua orang makin lama makin cepat. Ban-kiam unggul dalam ilmu pedang yang sudah terlatih, sebaliknya Boh-thian menang dalam hal tenaga dalam. Ketika mencapai 30-an jurus, mendadak Boh-thian membacok ke depan. Dalam keadaan susah menghindar, terpaksa Ban-kiam menangkis dengan pedangnya. Maka terdengarlah suara "trang" yang nyaring, pedang Pek Ban-kiam tergetar patah menjadi dua. Segera Boh-thian menarik kembali goloknya dan melompat mundur. Sebaliknya muka Ban-kiam merah padam, dari seorang murid Swat-san-pay di sebelahnya segera disambarnya sebatang pedang dan kembali menusuk ke arah Boh-thian lagi. Setelah mengalami pertarungan seru ini, tenaga dalam yang terhimpun di tubuh Ciok Boh-thian sudah mulai bergerak, maka setiap jurus serangannya sekarang selalu membuat Pek Ban-kiam merasa kewalahan untuk menangkisnya. Lebih-lebih di atas senjatanya seakan-akan membawa kekuatan yang susah dilawan. Maka tidak sampai beberapa jurus pula, "krak", kembali pedang Ban-kiam tergetar patah. Cepat Ban-kiam berganti senjata, tapi baru dua jurus saja lagi-lagi pedangnya patah. Sambil memegang pedang patah Ban-kiam berseru, "Tenaga dalammu memang jauh melebihi aku, tapi dalam hal serang-menyerang aku belum lagi kalah!" Segera ia lemparkan pedang patah, kembali ia sambar sebatang pedang anak muridnya terus menerjang maju dan menusuk pula. Tapi Boh-thian sempat mengegos. Sekilas dilihatnya sorot mata A Siu menampilkan rasa sedih dan khawatir. Sekonyong-konyong hati Boh-thian tergerak. Teringat olehnya apa yang A Siu pernah pesan padanya di Ci-yan-to dahulu bahwa di kala bertanding dengan orang hendaklah selalu memberi jalan hidup bagi lawannya, kalau bisa mengampuni supaya mengampuni. Seorang tokoh Bu-lim takkan merasa malu bila dilukai olehmu, tapi dia akan lebih suka mati saja jika kau mengalahkan dia. Ia lihat air muka Ban-kiam sangat prihatin, pikirnya, "Dia adalah tokoh terhormat Swat-san-pay, kalau aku mengalahkan dia di hadapan orang sebanyak ini tentu dia akan malu. Sebaliknya kalau aku kalah tentu aku akan kehilangan A Siu. Wah, lantas bagaimana baiknya? Ya, biarkan aku menggunakan jurus Pang-kau-cik-kik ajaran A Siu tempo hari supaya pertandingan ini berakhir dengan seri saja." Berpikir demikian, mendadak dalam benaknya terkilas pula suatu kesimpulan, "Ya, di Ci-yan-to tempo hari aku telah berjanji kepada A Siu bahwa kelak aku akan berbuat menurut pesannya itu. Untuk mana dia saking terima kasihnya sampai menjura padaku. Pemberian hormat itu tentulah karena sudah diduganya akan adanya pertandingan seperti sekarang ini. Coba kalau bukan lantaran ayahnya, buat apa dia mesti menyembah padaku? Tentunya dia sudah tahu bahwa ayahnya takkan mampu melawan ilmu golokku ini, makanya dia memberi pesan demikian padaku." Segera ia membacok ke kanan satu kali dan ke kiri satu kali, karena itu dadanya menjadi terbuka, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Pek Ban-kiam, pedangnya lantas menusuk ke depan. Pada saat itulah cepat Boh-thian mundur tiga tindak, goloknya lantas menebas di depannya sendiri dari atas ke bawah. Waktu itu tusukan pedang Ban-kiam masih berjarak belasan senti dengan dada sasarannya dan segera sudah terasa akan tekanan tenaga dalam Ciok Boh-thian yang dahsyat sedang pedangnya sampai tergetar dan mendenging-denging. Akan tetapi pada saat yang sama kembali Ciok Boh-thian mundur dua tindak lagi. Pikirnya, "Aku sudah mematahkan tiga batang pedangnya, untuk bisa berakhir dengan seri tentunya dia juga harus mematahkan golokku ini." Maka diam-diam ia kerahkan tenaga ke tangan, "krak", goloknya mendadak juga patah menjadi dua seakan-akan patah tergetar oleh pedang Pek Ban-kiam. A Siu menghela napas lega setelah menyaksikan kejadian itu. Serunya cepat, "Ayah, Toako, kalian sama kuatnya, siapa pun tidak dikalahkan oleh siapa-siapa!"

Ia berpaling ke arah Boh-thian dan tersenyum simpul padanya, ia merasa syukur bahwa pemuda itu masih ingat kepada pesannya dahulu dan dapat memahami maksud tujuannya. Sebaliknya air muka Pek Ban-kiam tampak pucat lesi, mendadak ia menancapkan pedangnya ke atas tanah, katanya kepada Ciok Boh-thian, "Kau sengaja mengalah, masakah aku tidak tahu? Kau tidak membikin aku kehilangan muka di depan umum, sungguh aku merasa terima kasih." Su-popo sangat senang, katanya, "Anakku, kau pun jangan cemas, ilmu goloknya ini adalah ajaran ibu, lain hari aku pun akan mengajarkan padamu seperti dia. Kau dikalahkan dia kan sama saja seperti ibu yang mengalahkan kau. Masakah kita ibu dan anak masih membeda-bedakan antara kau dan aku?" Dalam marahnya tadi dia masih mencaci maki "telur busuk tua bangka" dan "telur busuk kecil" segala, tapi sekarang sesudah Ciok Boh-thian mengalahkan putranya itu dengan Kim-oh-to-hoat, hal ini berarti pada akhirnya dirinya lebih unggul daripada sang suami, saking senangnya ia lantas menghibur putranya yang keok itu. Keruan Ban-kiam merasa serbarunyam, terpaksa menjawab, "Ya, ilmu golok itu memang benar-benar sangat lihai, mungkin anak terlalu bodoh dan tak dapat mempelajarinya." Su-popo mendekati Ban-kiam, perlahan-lahan ia meraba dan membelai rambut putranya itu. Katanya dengan penuh kasih sayang seorang ibu, "Kau jauh lebih cerdas daripada bocah dungu ini, apa yang dapat dia pelajari masakah kau tidak dapat? He, anak dungu, kenapa tidak lekas menjura dan minta maaf kepada bapak mertuamu?" Untuk sejenak Boh-thian melengak. Tapi ia lantas paham juga. Dengan girang dan kejut cepat ia menjura kepada Pek Ban-kiam. Namun Ban-kiam lantas menyingkir ke samping, katanya dengan suara bengis, "Nanti dulu, urusan ini biarlah dibicarakan nanti saja." Lalu katanya kepada Su-popo, "Bu, meski ilmu silat bocah ini cukup tinggi, tapi tingkah lakunya bangor dan kotor, hari depan A Siu hendaklah kita pikirkan baik-baik."

"Sudahlah! Sudahlah!" demikian mendadak Li Si menyela. "Apakah kau akan mengambil dia sebagai mantu atau tidak, yang terang aku tidak ambil pusing. Kulihat di antara orang-orang Swat-san-pay tiada seorang pun yang dapat menangkan saudara cilik ini, apakah sudah terang dia akan menjadi ciangbunjin kalian? Kalian semua takluk atau tidak?" Pek Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan anak murid Swat-san-pay yang lain tiada seorang pun yang berani membuka suara. Mereka merasa kepandaian memang kalah tinggi, di samping itu mereka pun berharap sesudah Ciok Boh-thian menjadi ciangbunjin akan segera berangkat ke Liong-bok-to untuk mengantarkan nyawa, sebab itulah mereka tidak memberi bantahan apa-apa. Segera Thio Sam mengeluarkan dua potong medali tembaga, katanya dengan tertawa, "Selamat bahagia, saudara cilik kembali telah menjabat Ciangbunjin Swat-san-pay, maka kedua buah medali ini silakan diterima sekalian." Sambil bicara sebelah matanya berkedip-kedip pula beberapa kali. Boh-thian tercengang melihat permainan mata Thio Sam itu, ia heran apakah sang toako telah mengenali penyamarannya? Padahal sepatah kata pun dia tidak bicara, mengapa rahasianya bisa ketahuan? Ia tidak tahu bahwa bukan saja ilmu silat Thio Sam dan Li Si memang sangat tinggi, bahkan pengalamannya juga sangat luas, walaupun dia tidak pernah bersuara, tingkah lakunya juga tidak memperlihatkan sesuatu tanda-tanda yang mencurigakan, tapi tadi waktu dia bergebrak dengan Pek Ban-kiam, di mana dia telah mengeluarkan tenaga dalam yang mahakuat, hal inilah yang jarang terdapat di dunia Kangouw, sedangkan Thio Sam dan Li Si sudah cukup mengetahui betapa hebat lwekang Ciok Boh-thian pada waktu mereka berlomba minum arak berbisa dahulu, maka sekali lihat saja mereka lantas mengetahui rahasia penyamaran pemuda itu. Begitulah ketika melihat Thio Sam menyodorkan medali tembaga kepadanya, Boh-thian menjadi ragu-ragu dan berpikir, "Ya, sudahlah! Toh aku sudah pernah menerima medali undangan ini sebagai Pangcu Tiang-lok-pang, sekali terima akan mati, dua kali terima juga mati, apa sih halangannya kalau sekarang aku menerima pula medalinya?" Tapi baru saja ia angsurkan tangan hendak menerima pemberian medali-medali itu, mendadak Su-popo membentaknya, "Nanti dulu!" Terpaksa Boh-thian menarik kembali tangannya dan memandang si nenek dengan bingung. Terdengar nenek itu sedang berkata, "Tentang kedudukan Ciangbunjin Swat-san-pay ini tadi telah ditentukan dengan jelas, yaitu berdasarkan ilmu silat masing-masing dan sekarang memang kau telah keluar sebagai juara. Cuma aku pun merasa muak atas sikap congkak si telur busuk tua bangka yang sok aksi sebagai ciangbunjin dahulu. Sekarang aku kepingin menjadi ciangbunjin juga untuk mencicipi rasanya. Dari itu, muridku yang baik, silakan kau menyerahkan kedudukan ciangbunjin padaku saja."

"Menye... menyerahkan padamu?" Boh-thian menegas dengan heran. "Ya, mengapa?" sahut Su-popo dengan marah. "Apakah kau menolak? Jika demikian, hayolah kita boleh coba-coba bertanding berdasarkan ilmu silat masing-masing untuk merebut kedudukan ketua." Melihat si nenek marah-marah, Boh-thian menjadi takut. Cepat ia mengiakan, lalu mengundurkan diri. "Nah, sekarang akulah yang akan menjabat sebagai ciangbunjin, hayo, siapa lagi yang tidak mau takluk?" seru Su-popo dengan tertawa. Seketika semua orang hanya saling pandang saja, semua merasa perubahan ini terlalu cepat dan aneh, maka tiada seorang pun yang berani membuka suara. Su-popo lantas tampil ke muka dan menerima kedua buah medali dari tangan Thio Sam, katanya, "Ciangbunjin baru Swat-san-pay orang she Su dari keluarga Pek mengucapkan banyak terima kasih atas undangan kalian, pada waktunya kelak tentu akan hadir." Thio Sam dan Li Si saling pandang dengan tertawa, berbareng kedua orang lantas putar tubuh terus melangkah pergi, hanya dalam sekejap saja suara tertawa mereka sudah berada beberapa puluh meter untuk kemudian semakin jauh lagi dan akhirnya menghilang dengan cepat. Dengan duduk di atas kursi tengah, kemudian Su-popo berkata dengan pada dingin, "Lepaskan semua belenggu orang-orang itu!" Tapi mendadak Nio Cu-cin menegur, "Berdasarkan apa kau berani berlagak dan memerintah? Kedudukan Ciangbun Swat-san-pay yang mahapenting ini masakan boleh diserahterimakan seperti permainan begini saja?" Seng Cu-hak dan Ce Cu-bian juga lantas menyokong, "Benar, kau bersenjata golok dan tidak memakai pedang, memangnya bukan kepandaian Swat-san-pay, mana boleh kau menjadi ciangbunjin kita?" Tadi waktu Thio Sam dan Li Si masih berdiri di situ, yang dipikir semua orang adalah selekasnya kedua pentol pembawa maut itu bisa lekas-lekas pergi dan biar ada satu orang yang menerima undangannya untuk mengantar nyawa ke Liong-bok-to. Tapi begitu kedua pentol maut itu sudah pergi, segera teringat oleh mereka akan dosa pengkhianatan yang telah mereka lakukan, kalau sekarang Su-popo yang menjadi ciangbunjin mustahil dia takkan mengusut kesalahan mereka itu. Karena persoalan yang menyangkut mati hidup mereka ini, maka ramailah seketika dan sama menolak kedudukan Su-popo itu. "Baiklah, jika kalian tidak bisa menerima aku sebagai ciangbunjin, ya, apa boleh buat," kata Su-popo sambil memegangi kedua medali tembaga itu dan saling diketok-ketok sehingga mengeluarkan suara "ting-ting", lalu sambungnya, "Nah siapakah di antara kalian yang ingin menjadi ciangbun dan bersedia hadir ke Liong-bok-to? Hayo, silakan tampil kedepan!" Perlahan-lahan sorot matanya lantas menggeser dari Seng Cu-hak ke muka Ce Cu-bian dan Nio Cu-cin. Tapi semua orang sama berpaling, tak berani menatap sinar matanya yang tajam. "Lapor Sunio," kata Ban-li tiba-tiba, "kami semua telah berbuat durhaka dan mengkhianat Suhu, sungguh dosa kami tak terampunkan. Tapi dalam urusan ini sesungguhnya kami mempunyai alasan yang sangat terpaksa."

Sambil berkata ia terus berlutut dan berulang-ulang menjura. Lalu menyambung pula, "Sebenarnya Sunio yang menjabat

ciangbunjin kita adalah sangat baik sekali, biarpun Sunio akan membunuh Tecu juga Tecu tak berani mengelakkan diri. Cuma Tecu memohon agar Sunio suka mengampuni dosa yang lain-lain untuk menenteramkan perasaan mereka, supaya di dalam Swat-san-pay kita takkan timbul geger-geger dan bencana saling bunuh lagi."

"Bahwasanya watak suhumu memang kurang baik, hal ini masakah aku tidak tahu?" ujar Su-popo. "Sesungguhnya bagaimana awal mula kejadian ini, coba kau ceritakan yang jelas." Ban-li menjura beberapa kali pula, lalu berkata, "Sejak Sunio, Pek-suko, dan para sute turun gunung, setiap hari Suhu selalu marah-marah. Adalah soal kecil jika anak murid cabang utama kita didamprat atau dihajar oleh beliau, kita yang sudah menerima budi kebaikan Suhu mana berani merasa penasaran. Soalnya dimulai pada setengah bulan yang lalu, ketika kita kedatangan tiga orang tamu yang mengaku tiga saudara she Ting. Yang seorang katanya bernama Ting Put-ji, yang kedua Ting Put-sam dan yang lain Ting Put-si...."

"Ting Put-si... Ting Put-si itu mau apa datang ke sini?" Su-popo menegas dengan terkejut. "Begitu datang ketiga saudara she Ting itu, mereka lantas bicara secara rahasia dengan Suhu di dalam kamar," tutur Ban-li lebih lanjut. "Apa yang dibicarakan kami tidak tahu, yang terang ketiga tua bangka itu rupanya telah membikin marah kepada Suhu sehingga keempat orang telah bertengkar. Tecu sekalian khawatir kalau Suhu sendirian akan kewalahan dikerubut tiga orang lawan, maka beramai-ramai kami  Menjaga di luar kamar, asalkan mendengar perintah Suhu serentak kami pun akan menyerbu ke dalam untuk melabrak ketiga tua bangka itu. Terdengar Suhu sangat marah dan mencaci maki dengan Ting Put-si itu, disinggung-singgung juga nama `Pek-lwe-san' dan `Ci-yan-to' apa, terdengar disebut-sebut juga nama seorang wanita, kalau tidak salah seperti `Siau-jui'." Su-popo mendengus satu kali dengan muka cemberut. Tapi lantas teringat para anak muridnya belum kenal nama kecilnya itu, kalau diterangkan akan menjadi kurang baik malah. Maka ia hanya tanya saja, "Lalu bagaimana?"

"Lalu entah cara bagaimana mulailah bergebrak, yang terdengar hanya suara menderu-deru angin pukulan di dalam kamar Suhu," demikian tutur Ban-li. "Karena tidak menerima perintah Suhu, Tecu dan kawan-kawan tidak berani sembarangan masuk. Selang tak lama, tertampak dinding kamar itu sepotong demi sepotong tergetar ambrol, dari lubang dinding itulah baru kami dapat melihat jelas Suhu sedang bertanding dengan Ting Put-si. Ting Put-ji dan Ting Put-sam hanya menonton saja di samping. Karena guncangan angin pukulan kedua orang sehingga dinding tembok sama tergetar pecah dan ambrol. Tidak terlalu lama kemudian, tua bangka Ting Put-si itu akhirnya tidak mampu menandingi kesaktian Suhu, ia telah kalah satu jurus dan dadanya kena dihantam oleh Suhu sehingga muntah darah." Su-popo sampai bersuara kaget, air mukanya menampilkan rasa khawatir. Dalam pada itu Ban-li telah melanjutkan, "Rupanya Suhu sangat gusar, pukulan kedua segera dilontarkan pula. Tapi Ting Put-ji itu telah menangkisnya dan berkata, `Kalah atau menang sudah jelas, buat apa diteruskan lagi? Toh bukan permusuhan besar apa-apa, masakan perlu mengadu jiwa segala?' -- Lalu Ting Put-si dipayang dan pergilah ketiga orang she Ting itu meninggalkan Leng-siau-sia."

"Ketiga tua bangka itu tidak pernah datang lagi, tapi sejak itu pikiran Suhu lantas kurang normal, sepanjang hari beliau selalu terbahak-bahak, tertawa dan bicara sendiri, katanya, `Bangsat tua Ting Put-si itu memangnya adalah jago yang sudah keok dibawah tanganku, sekali ini dia tentu akan lebih kapok lagi mengakui kekalahannya. Dia... dia mengatakan Siau-jui telah ikut dia ke Pik-lwe-san....'."

Bab 42. Ciok Boh-thian Mengalahkan Wi-tek Siansing

"Ngaco-belo, mana bisa terjadi demikian?" mendadak Su-popo membentak dengan gusar. "Ya, memangnya Suhu juga bilang, `Ngaco-belo, mana bisa, terjadi demikian? Terang si bangsat tua Ting Put-si itu sengaja berdusta, berdasarkan apa sih Siau-jui sudi datang ke Pik-lwe-san? Tapi... tapi, jangan-jangan Siau-jui kena juga dibujuk dan dirayu dan... dan akhirnya tanpa sadar mau....'." Dengan muka merah padam kembali Su-popo membentak pula, "Telur busuk tua bangka itu sengaja mengaco-belo, masakan bisa terjadi tanpa sadar apa segala?" Karena tidak paham apa maksud ucapan si nenek, terpaksa Ban-li mengiakan saja. "Kemudian apa lagi yang dikatakan telur busuk tua bangka itu?" tanya Su-popo. "Yang dimaksudkan Sunio apakah Suhu?" Ban-li menegas. "Ya, siapa lagi kalau bukan tua bangka itu?" sahut Su-popo. "Sejak itu pikiran Suhu agaknya sangat tertekan, beliau selalu menggumam, `Apakah benar dia sudah pergi ke Pik-lwe-san? Tapi pasti tidak. Hanya saja seorang diri dia berkelana di Kangouw, tentu dia sangat kesunyian dan mungkin bisa terjadi lalu mampir ke sana untuk omong-omong.'."

"Kentut! Ngaco-belo!" kembali Su-popo mendamprat. Ban-li menjadi serbabingung dan serbarunyam, terpaksa hanya berlutut dan tak berani mengiakan. Sebab kalau mengiakan tentu akan berarti mengakui ucapan suhunya itu adalah "kentut" belaka. "Coba kau berdiri saja," kata Su-popo kemudian. "Kemudian bagaimana?" Ban-li mengucapkan terima kasih, lalu berbangkit dan menyambung ceritanya, "Dua hari kemudian, mendadak Suhu bergelak tertawa terus, setiap orang yang dijumpai tentu ditanya, `Coba katakan ilmu silat siapa yang paling tinggi didunia ini?' -- Semua orang selalu menjawab, `Sudah tentu

Ciangbunjin Swat-san-pay kita yang paling tinggi.' -- Tampaknya waktu itu perangai Suhu berbeda sekali daripada biasanya. Terkadang ia sudah bertanya tentang ilmu silat secara berbelit-belit sehingga sukar untuk menjawabnya. Suatu hari beliau kepergok Liok-sute di tengah pelataran, tiba-tiba beliau bertanya, `Ilmu silatku kalau dibandingkan Boh-hoat Taysu, ketua Siau-lim-si siapa yang lebih tinggi?' -- Entah cara bagaimana jawab Liok-sute, yang terang buah kepala Liok-sute kemudian diketemukan sudah remuk kena hantaman Suhu dan terbinasa di situ. Melihat kematian Liok-sute yang mengerikan itu, lekas-lekas kami melapor kepada Suhu...."

"A Liok biasanya memang ketolol-tololan dan tidak pandai bicara, entah cara bagaimana suhumu telah membinasakan dia?" ujar Su-popo. "Suhu bahkan terbahak-bahak ketika menerima laporan kami," demikian Ban-li menyambung. Katanya, `Biarkan dia mampus! Masakah aku tanya dia tentang ilmu pukulanku dibandingkan dengan ilmu pukulan Siau-lim-pay, dia secara ngawur telah menjawab bahwa susah dibedakan mana yang lebih unggul, katanya aku dan si gundul Boh-hoat Taysu dari Siau-lim-pay

sama-sama lihainya. Hahaha, benar-benar pantas mampus! Masakan Wi-tek Siansing Pek Cu-cay yang tiada bandingannya sejak dulu kala sehingga sekarang dianggap sama pandainya dengan kepala gundul dari Siau-lim-si.'

"Kami lihat pikiran Suhu waktu itu tampaknya agak abnormal, kami hanya saling pandang saja dan tidak berani menanggapi ucapan beliau. Ternyata Suhu menjadi gusar dan mendamprat kami, `Apakah kalian bisu semua? Mengapa tidak bicara? Ucapanku tadi benar atau tidak, tepat atau tidak?' -- Segera beliau tuding Soh-sute untuk menjawab, tapi rupanya jawaban Soh-sute tidak memuaskan Suhu, sekali gaplok kembali Soh-sute dihantam mati pula. Dan begitu pula Yan-sute disuruh menyebut bahwa Wi-tek Siansing dari Swat-san-pay adalah tokoh serbanomor satu di dunia ini baik ilmu pedang, ilmu lwekang maupun ilmu lain-lainnya. Tapi sekali salah omong, kembali Yan-sute kemudian juga dihantam pecah kepalanya dan binasa seketika. Melihat pikiran Suhu dalam keadaan kurang waras, terpaksa Tecu sekalian tak bisa berbuat apa-apa."

"Kenapa kalian tidak memanggil tabib untuk memeriksa penyakit gurumu?" omel Su-popo. "Sudah, kami sudah memanggil tabib Lam dan tabib Te yang paling pandai di Leng-siau-sia kita ini untuk memeriksa penyakit Suhu, tapi begitu bertemu dengan tabib-tabib itu Suhu lantas tanya mereka tentang ilmu silat lagi. Sudah tentu kedua tabib itu tidak dapat menjawab karena ilmu silat bukan bidang pekerjaan mereka. Karena itu Suhu menjadi marah dan lagi-lagi kedua tabib itu menjadi korban keganasan beliau. "Dalam keadaan demikian semua, orang hanya merasa takut dan penasaran, tapi tidak berani bicara. Besoknya kami hendak mengubur ketiga sute dan kedua tabib itu, tapi Suhu telah membikin kacau pula upacara sembahyangan itu. Waktu Tho-sute coba-coba melerai beliau, sebaliknya Suhu telah menyambar sebuah piring dan sebelah kaki Tho-sute telah tertebas putus mentah-mentah. "Melihat keganasan Suhu itu, malamnya lantas ada tujuh orang suheng dan sute yang kabur tanpa pamit. Semua orang merasa Swat-san-pay sedang menghadapi detik-detik keruntuhan, setiap orang merasa tidak aman dan terancam oleh kekejian Suhu itu. Karena sudah terpaksa barulah beramai-ramai kita berunding tindakan apa yang harus diambil. Akhirnya secara diam-diam kami telah menaruh obat tidur di dalam makanan Suhu sehingga beliau tak sadarkan diri dan kaki-tangannya dapat dibelenggu. Dosa atas perbuatan durhaka kami ini sesungguhnya terlalu berat, ganjaran apa yang akan dijatuhkan atas diri kami terserahlah kepada Sunio sekarang." Habis bicara Ban-li memberi hormat kepada su-popo, lalu mengundurkan diri dan berdiri bercampur dengan orang banyak. Untuk sejenak Su-popo termangu-mangu. Teringat olehnya keperkasaan sang suami selama ini, sampai hari tua ternyata menjadi linglung dan pikun, tanpa merasa air matanya hampir-hampir menetes. "Apa yang dituturkan Ban-li tadi adakah sesuatu yang tidak jujur dan terlalu dilebih-lebihkan?" tanyanya kemudian dengan sama rada gemetar. Semua orang diam saja. Selang agak lama barulah Seng Cu-hak membuka suara, "Suso, sesungguhnya memang begitulah kejadiannya, jika kami berdusta lagi padamu bukankah berarti bertambah besar pula dosa kami?"

"Ya, umpama memang suhengmu bersalah, mengapa Ban-kiam dan rombongannya yang baru pulang itu pun kalian jebak pula?" ujar Su-popo. "Dan mengapa para murid Tiang-bun hendak kalian tumpas, mengapa secara keji kalian hendak membabat rumput sampai ke akar-akarnya?"

"Siaute memangnya tidak setuju membikin susah Ciangbun Suheng dan para murid Tiang-bun, maka dari itu Siaute telah cekcok dengan Liau-sute, untuk ini Suso tentu sudah mendengar sendiri," kata Ce Cu-bian. Untuk sejenak Su-popo termenung-menung, akhirnya ia menghela napas dan berkata, "Ya, apa mau dikata lagi, urusan sudah telanjur dan tak bisa menyalahkan siapa-siapa." Sementara itu Liau Cu-le yang sebelah kakinya ditebas kutung oleh Pek Ban-kiam tadi ternyata cukup memiliki pambek kesatria, sama sekali ia tidak merintih walaupun darah bercucuran, ia menutuk hiat-to sendiri untuk menghentikan aliran darah, lalu membalut sendiri dengan sobekan baju. Tiada seorang pun muridnya yang mendekat untuk menolongnya. Semula Su-popo sangat benci kepada Liau Cu-le karena dia bersitegang hendak membinasakan Pek Cu-cay dan anak murid

Tiang-bun, tapi sesudah mengetahui duduknya perkara dan ternyata kesalahan terletak pada suaminya sendiri, maka hati Su-popo menjadi lemas. Segera ia membentak kepada anak murid cabang empat, yaitu murid-muridnya Liau Cu-le, "Binatang, menyaksikan guru kalian terluka parah, mengapa kalian hanya menonton saja? Apakah kalian ini manusia?" Karena dampratan itu barulah murid-murid cabang empat berebut lari ke depan untuk menolong Liau Cu-le. Yang lain-lain ikut merasa lega juga, kalau dosa Liau Cu-le yang besar juga diampuni, maka mereka yang cuma ikut-ikutan saja tentu takkan menjadi soal pula. Segera ada orang mengeluarkan kunci untuk membuka belenggu Kheng Ban-ciong, Ang Ban-ek, Hoa Ban-ci, dan lain-lain.

Kemudian Su-popo berkata, "Kalau pikiran Ciangbunjin seketika kurang waras, mestinya kalian harus berusaha menyadarkan dia. Tapi kalian telah berbuat durhaka, betapa pun kalian telah melanggar tata tertib perguruan. Cara bagaimana memutuskan urusan ini aku sendiri pun tidak tahu. Tindakan pertama sekarang kita harus melepaskan Ciangbunjin dulu untuk berunding dengan beliau." Air muka semua orang menjadi berubah dan ragu-ragu, mereka menjadi takut kalau Pek Cu-cay dilepaskan apakah tidak akan menimbulkan bencana pula bagi mereka? Su-popo menjadi gusar. Bentaknya, "Bagaimana? Apakah

kalian akan mengurung dia selama hidup ini, apakah dosa kalian masih belum cukup?" Terpaksa Seng Cu-hak menjawab, "Suso, kita sudah menyaksikan sendiri bahwa saat ini ciangbunjin kita adalah engkau dan bukan Pek-suko. Sudah tentu Pek-suko akan kita lepaskan, tapi kita harus berdaya menyembuhkan penyakitnya dahulu, kalau tidak...."

"Kalau tidak bagaimana?" bentak Su-popo dengan bengis. "Kalau tidak, Siaute merasa malu untuk bertemu pula dengan Pek-suko, maka biarlah sekarang juga Siaute mohon diri saja," sambung Cu-hak sambil memberi hormat. Segera Ce Cu-bian dan Nio Cu-cin juga berkata, "Ya, jika Suso cukup bijaksana mau mengampuni jiwa kita, maka biarlah kami segera akan pergi dari sini untuk selamanya tak berani menginjak Leng-siau-sia lagi." Diam-diam Su-popo juga dapat memahami perasaan para sute yang takut kepada kemungkinan balas dendam Pek Cu-cay bila nanti suheng itu dibebaskan. Jika mereka sampai bubar, maka Leng-siau-sia tentu takkan pantas sebagai tempat keramat Swat-san-pay lagi. Terpaksa ia ambil kebijaksanaan, katanya, "Baiklah, sementara ini kita tunda dulu mengenai persoalan ini. Biar kupergi menjenguknya, jika tiada sesuatu jalan yang baik, tentu aku pun takkan gampang melepaskan dia." Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, dan Nio Cu-cin saling pandang sekejap. Mereka pikir betapa pun kalian adalah suami-istri dan sudah tentu akan membelanya. Namun kami juga punya kaki, bila si gila itu kau bebaskan, segera juga kami akan angkat kaki dari sini. Maka Cu-hak lantas menjawab, "Silakan Ciangbunjin segera pergi menjenguk Suheng, biarlah kami menunggu kabar saja disini." Segera Su-popo memanggil Ban-kiam dan A Siu, lalu berpaling kepada Boh-thian, katanya, "Ek-to, coba kalian bertiga ikut padaku." Menyusul ia berkata pula kepada Seng Cu-hak bertiga, "Lebih baik silakan ketiga Sute mengantar kami ke sana untuk ikut mendengarkan pembicaraanku agar kalian tidak menjadi khawatir. Jangan-jangan kalian akan menyangka kami akan mengatur tipu muslihat apa-apa untuk menjebak kalian."

"Ah, mana kami berani berpikir demikian?" sahut Cu-hak. Walaupun begitu katanya, tapi untuk selamatnya mereka bersama Cu-bian dan Cu-cin lantas ikut masuk ke belakang juga. Liau Cu-le lantas memberi isyarat kepada seorang muridnya. Orang itu paham maksud sang guru, dari jauh ia lantas mengikut juga dari belakang. Sesudah menyusur serambi yang panjang, akhirnya rombongan mereka sampai di tempat di mana Ciok Boh-thian pernah dikurung. "Di sinilah!" kata Seng Cu-hak menunjukkan tempat tahanan tua yang pernah dilihat Boh-thian. Waktu Cu-hak mengeluarkan kunci hendak membuka pintu penjara itu, di luar dugaan gembok pintu itu ternyata sudah terbuka. Keruan ia bersuara heran dan ketakutan. Diam-diam ia mengeluh, "Wah, celaka! Si Gila itu sudah lolos!" Melihat tangan Seng Cu-hak agak gemetar dan tidak membuka pintu, segera Su-popo mendorong pintu batu itu dan dengan mudah saja sudah terpentang. Tanpa merasa Cu-hak, Cu-bian dan Cu-cin bertiga melangkah mundur beberapa tindak. Di dalam ruangan situ kosong melompong tiada seorang pun. Segera Seng Cu-hak berseru, "Wah, celaka! Dia sudah kabur!" Tapi lantas teringat olehnya bahwa tempat situ adalah ruangan luar, masih harus membuka sebuah pintu pula barulah akan mencapai kamar tahan Pek Cu-cay. Saking tegangnya sampai dia tidak berani membuka lagi pintu yang kedua itu. Mestinya Ciok Boh-thian hendak memberi tahu bahwa pintu itu sudah dibuka olehnya, tapi demi teringat dia sedang menyaru sebagai orang bisu, ada lebih baik jangan membuka suara dahulu. Su-popo menjadi tidak sabar, segera ia ambil kunci dari tangan Seng Cu-hak dan dimasukkan lubang kunci, tapi segera diketahuinya pintu itu sudah terbuka, ia sangka sang suami benar-benar sudah lolos, diam-diam menjadi khawatir kalau-kalau suaminya yang kurang waras itu akan menimbulkan bencana di luaran. Tak tersangka baru saja pintu itu didorong sedikit, segera terdengarlah suara tertawa seorang tua. Seketika semua orang merasa lega, itulah suaranya Pek Cu-cay. Setelah tertawa orang tua itu telah berseru, "Huh, apa-apaan ilmu silat dari Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan lain-lain itu? Sejak kini semua orang Bu-lim harus ganti belajar ilmu silat dari Swat-san-pay, segala ilmu silat dari golongan lain harus dihapus. Hai, dengar tidak kalian? Ini dia Pek Cu-cay adalah raja di atas raja segala tokoh persilatan. Siapa yang tidak tunduk padaku segera kupatahkan batang lehernya!" Waktu Su-popo melangkah masuk, remang-remang terlihat kaki-tangan sang suami terbelenggu semua dan terikat di tengah-tengah dua tiang batu dengan rantai besi, mau tak mau perasaan si nenek menjadi pedih. Pek Cu-cay juga tertegun ketika tiba-tiba tampak sang istri. Tapi ia lantas berkata dengan tertawa, "Bagus, bagus! Kau sudah pulang. Sekarang setiap orang Bu-lim telah mengangkat aku sebagai yang dipertuan agung, Swat-san-pay menjagoi seluruh dunia, golongan-golongan lain telah dipunahkan. Popo, bukankah hal ini sangat menggembirakan?"

"Ya, bagus, tapi entah mengapa aliran dan golongan lain harus dihapuskan?" sahut Su-popo dengan dingin saja. "Eh, mengapa kau bertanya demikian? Ilmu silat Swat-san-pay sudah terang paling tinggi, dengan sendirinya golongan dan aliran lain harus dibubarkan saja!"

"Coba lihat, siapa ini?" tiba-tiba Su-popo menarik A Siu ke depan. Ia tahu suaminya paling sayang kepada cucu perempuannya itu, sebabnya sang suami menjadi kurang waras pikiran justru timbul lantaran A Siu membunuh diri terjun ke dalam jurang. Ia berharap dengan melihat cucu perempuan kesayangannya mungkin pikiran sehatnya akan pulih kembali. Segera A Siu juga menyapa, "Yaya, aku sudah pulang, aku tidak mati, aku jatuh di atas salju yang belum beku, nenek yang telah menolong diriku." Pek Cu-cay pandang sekejap kepada A Siu. Katanya kemudian, "Bagus, kau adalah A Siu! O, mestikaku, apakah kau tahu didunia ini ilmu silat siapakah yang paling tinggi? Siapa yang dipertuan agung di dunia persilatan sekarang ini?" Dengan suara perlahan A Siu menjawab, "Yaya!" Pada saat itulah Pek Ban-kiam telah melangkah maju, katanya, "Ayah, anak telah pulang terlambat sehingga ayah menderita, biarlah anak membukakan belenggumu."

"Hus, pergi kau! Siapa yang minta kau membuka kunci belenggu?" bentak Cu-cay. "Besi karatan begini dalam pandangan ayahmu hanya seperti kayu lapuk saja, asal aku mau meronta sedikit tentu akan terlepas. Soalnya aku tidak mau dan lebih suka istirahat di sini. Huh, aku Pek Cu-cay selamanya malang melintang di dunia ini, biarpun seribu orang maju sekaligus juga tak bisa mengganggu seujung rambut ayahmu, siapa lagi yang mampu membelenggu diriku?"

"Ya, ayah memang tiada tandingannya di dunia ini," kata Ban-kiam. "Sekarang ibu dan A Siu sudah pulang, kita harus

bergembira, silakan ayah makan minum di ruangan depan untuk merayakan berkumpulnya kita sekeluarga." Sembari berkata ia terus pegang kunci hendak membuka belenggu tangan sang ayah. Tapi Cu-cay menjadi gusar. Teriaknya, "Aku suruh kau pergi, mengapa kau tidak pergi!" Tiba-tiba ia melihat Seng Cu-hak dan lain-lain sedang melongak-longok di luar pintu, segera ia membentak, "Kurang ajar! Melihat aku mengapa kalian tidak memberi hormat? Hayo, siapa di antara kalian sang mengaku sebagai kesatria dan jagoan?" Seng Cu-hak dan lain-lain menjadi serbasalah. Tapi mereka pikir kalau sang suheng nanti dilepaskan bukan mustahil mereka akan celaka, rasanya lebih baik sekarang juga merendah diri dan mengambil hatinya. Maka Cu-hak lantas menjawab, "Pek-loyacu adalah jago pedang nomor satu tiada taranya sejak dahulu kala hingga sekarang, bahkan ilmu pukulan juga nomor satu, ilmu lwekang juga nomor satu!"

"Ya, Pek-loyacu adalah mahakesatria, mahapendekar, mahaguru ilmu silat, dengan menonjolnya Swat-san-pay kita, dengan sendirinya Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan lain-lain harus dihapuskan, hanya Pek-loyacu kita yang harus dipertuanagungkan!" demikian Nio Cu-cin lantas ikut mengumpak. Begitu pula Ce Cu-bian dan lain-lain lekas-lekas ikut arah angin dan memberi puji sanjung setinggi langit sehingga Pek Cu-cay tampak manggut-manggut dan tertawa senang. Sebaliknya Su-popo merasa malu sekali. Pikirnya, "Tua bangka ini dikatakan gila toh juga tidak. Buktinya dia masih ingat pada diriku dan A Siu. Penyakitnya mungkin disebabkan karena terlalu sombong atau gila hormat." Mendadak Pek Cu-cay berkata kepada Su-popo, "Beberapa hari yang lalu Ting Put-si telah datang kemari, katanya kau telah menyambangi dia dan berdiam beberapa hari di Pik-lwe-to. Apakah benar hal ini?"

"Apakah kau benar-benar sudah gila? Masakah kau percaya saja segala ocehan demikian?" sahut Su-popo dengan gusar. "Yaya," tiba-tiba A Siu menyela, "Ting Put-si memang pernah memaksa aku dan nenek supaya mampir ke tempatnya Pik-lwe-to itu, dia memaksa orang di saat bahaya, tapi nenek lebih suka membunuh diri dengan terjun ke dalam sungai daripada ikut dia ke tempatnya itu."

"Bagus, bagus! Memangnya nyonya Pek Cu-cay masakah terima dihina begitu? Kemudian bagaimana?"

"Kemudian... kemudian beruntung kami telah ditolong oleh Toako ini, akhirnya Ting Put-si dapat digebah pergi," sahut A Siu. Untuk sejenak Pek Cu-cay mengamati Ciok Boh-thian, katanya, "Kepandaian bocah ini masih boleh juga, walaupun masih selisih beberapa pal dengan kepandaianku, tapi rasanya memang sudah cukup untuk mengenyahkan Ting Put-si."

"Huh, kau membual apa?" teriak Su-popo dengan mendongkol. "Kau mengaku tokoh nomor satu di dunia ini, kan benar-benar ngaco-belo belaka! Anak ini adalah muridku, aku sendiri yang telah mendidiknya. Kepandaian muridku ini saja sudah terang jauh lebih tinggi daripada kepandaian muridmu!"

"Hahaha! Omong kosong! Omong kosong!" seru Pek Cu-cay dengan terbahak-bahak. "Kepandaian apa yang kau miliki sehingga mampu menangkan kepandaianku?"

"Coba jawab, Kiam-ji adalah anak-didikmu, bukan?" tanya Su-popo. "Nah, coba katakan kepada gurumu, Anak Kiam, kesudahan pertandingan tadi antara kau dengan muridku berakhir dengan kemenangan di pihak siapa?"

"Ini... ini...." Ban-kiam tergagap-gagap tak bisa menjawab. Dihadapan ayahnya yang tinggi hati itu ia tidak berani mengemukakan hal-hal yang berlawanan dengan wataknya. Tapi Cu-cay sudah lantas berkata dengan tertawa kepada Su-popo, "Hah, muridmu masakah mampu melawan muridku?" Su-popo melotot sekali kepada sang putra dan mendengus. Ban-kiam menjadi kikuk. Sebagai seorang laki-laki yang jujur terpaksa ia mengaku. Katanya, "Ya, anak memang sudah coba-coba bergebrak dengan dia dan benar-benar telah kalah."

"Apa katamu?" teriak Pek Cu-cay sambil meloncat bangun sehingga rantai besi borgolnya bersuara gemerencing. "Kau kalah? Mana bisa jadi? Tidak, tidak boleh jadi!" Sebagai suami-istri selama puluhan tahun Su-popo cukup kenal watak dan perasaan sang suami. Pikirnya, "Tua bangka ini selamanya anggap dirinya tiada tandingannya di kolong langit, rupanya dia kena dibakar oleh ucapan Ting Put-si sehingga pikirannya menjadi kurang waras. Kata peribahasa, "Penyakit jiwa harus diobati dengan ilmu jiwa. Jika sekali-sekali dia dikalahkan oleh seseorang, boleh jadi penyakit gilanya ini akan dapat disembuhkan. Cuma sayang Thio Sam dan Li Si sudah pergi, kalau tidak mereka berdua cukup memenuhi syarat untuk mengobati penyakit tua bangka ini. Sekarang terpaksa harus dicari jalan lain, walaupun ilmu silat muridku ini tidak tinggi, tapi tenaga dalamnya terang lebih kuat, mengapa aku tidak mencobanya?" Maka ia lantas berkata, "Huh, selamanya kau cuma membual ilmu silatmu nomor satu di dunia ini dan tenaga dalam tiada bandingannya di kolong langit. Huh, benar-benar tidak tahu malu. Padahal melulu soal tenaga dalam saja, muridku ini sudah terang jauh di atasmu!" Pek Cu-cay bergelak tertawa sambil mendongak. Katanya kemudian, "Biarpun Tat-mo Cosu dari Siau-lim-si hidup kembali juga bukan tandingan orang she Pek ini, sekarang hanya seorang bocah hijau ingusan saja, kalau tenaga dalamnya ada satu pertiga tenagaku sudah cukup baginya untuk menjagoi dunia persilatan."

"Huh, benar-benar sombong dan tidak tahu malu," jengek Su-popo. "Kalau kau ingin tahu rasa, cobalah kau mengadu tenaga dulu dengan dia."

"Ha, masakah bocah ini ada harganya untuk bergebrak dengan aku?" ujar Cu-cay dengan tertawa. "Ya, baiklah, aku hanya menggunakan sebelah tangan saja sudah cukup membuatnya berjungkir balik tiga kali." Su-popo tahu tenaga dalam sang suami memang sangat lihai dan bukan mustahil Ciok-Boh-thian akan dilukai. Sekarang suaminya mengucapkan sendiri akan menggunakan sebelah tangan melulu, keruan kebetulan baginya. Segera ia menjawab, "Baik. Silakan kalian coba-coba bertanding. Pemuda ini adalah muridku juga calon suami A Siu, berarti juga calon cucu menantumu, maka kalian tidak boleh saling melukai."

"Kau bilang dia adalah calon cucu menantuku?" Pek Cu-cay menegas dengan tertawa. "Baiklah, akan kucoba dulu apakah dia memenuhi syarat untuk menjadi suami si A Siu atau tidak? Tentu aku takkan mencelakai jiwanya." Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berlari masuk ke dalam kamar tahanan itu dan berseru, "Lapor Ciangbunjin, pangcu dari Tiang-lok-pang Ciok Boh-thian bersama Mo-thian-kisu Cia Yan-khek telah menolong keluar Ciok Jing dan istrinya, sekarang mereka sedang menantang perang di ruang pendopo." Dari suaranya dapatlah dikenal adalah suaranya Kheng Ban-ciong. Seketika Pek Cu-cay dan Su-popo bersuara heran berbareng, "Mo-thian-kisu Cia Yan-khek?!" Sebaliknya Ciok Boh-thian terkejut dan bergirang. Ia merasa girang karena diketahui Ciok Jing dan istrinya sudah lolos dengan selamat. Terkejut karena Ciok Tiong-giok itu sekarang sudah berada di Leng-siau-sia, maka rahasia penyamarannya ini tentu akan segera terbongkar. Ia pun sudah lama tidak bertemu dengan Cia Yan-khek, sekarang dapat berjumpa pula, di samping girang ia pun rada-rada takut. "Selamanya kita tiada persengketaan apa-apa dengan Tiang-lok-pang dan Cia Yan-khek, untuk apa mereka mencari perkara ke sini?" demikian kata Su-popo kemudian. "Apakah mereka datang untuk membantu Ciok Jing?"

"Ciok Boh-thian dari Tiang-lok-pang itu sangat kurang ajar, katanya dia telah penujui Leng-siau-sia kita dan suruh kita harus... harus menyerah padanya," sahut Kheng Ban-ciong. "Kentut anjing!" teriak Pek Cu-cay dengan gusar, "Orang

Tiang-lok-pang seluruhnya datang berapa banyak?"

"Mereka hanya terdiri dari lima orang saja," sahut Ban-ciong. "Selain Cia Yan-khek, Ciok Boh-thian dan Ciok Jing suami-istri terdapat pula seorang nona jelita cucu perempuannya Ting Put-sam." Mendengar si Ting Tong juga ikut datang, mau tak mau Boh-thian lantas mengerut kening. Ia coba melirik si A Siu, ternyata nona itu pun sedang memandang padanya dengan matanya yang jeli. Dengan muka merah cepat Boh-thian berpaling ke arah lain. Pikirnya, "Mengapa Ciok Tiong-giok itu datang pula bersama Ting Tong? Apa mereka khawatir kalau-kalau aku mengalami cedera di sini, makanya mereka sengaja datang buat membantu bila perlu? Dan Cia-siansing itu tentu datang hendak menolong aku pula." Dasar watak Boh-thian memang polos dan jujur, maka disangkanya manusia di seluruh jagat ini juga semuanya berhati baik dan berbudi. Sebab itulah terhadap orang lain selalu yang dipikirkan adalah hal-hal yang baik saja. Dalam pada itu Pek Cu-cay telah berkata, "Huh, hanya lima orang saja apa artinya bagiku? Apakah tidak kau katakan bahwa Pek-loyacu dari Swat-san-pay adalah jago nomor satu didunia ini, mengapa mereka berani main gila ke sini? Ah, ya, ya! Tentu berita tentang tetirahku di dalam kamar sunyi ini telah tersiar, mereka sangka Pek-loyacu sudah cuci tangan dan tidak mau main silat lagi, maka berani mengacau ke sini. Coba lihat, baru saja guru kalian istirahat sebentar saja kalian sudah tak mampu menghadapi orang luar."

"Huh, masih membual apa lagi?" semprot Su-popo. "Hayo, semua orang ikut aku keluar untuk menandangi musuh." Segera ia mendahului melangkah keluar disusul dengan Pek Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan lain-lain. Baru saja Ciok Boh-thian juga hendak melangkah pergi, tiba-tiba didengarnya seruan Pak Cu-cay, "Kau bocah ini tinggal dulu di sini, biar kuberi sedikit hajaran." Terpaksa Boh-thian berhenti dan putar tubuh kembali. A Siu yang sudah jalan juga lantas berpaling dan kembali ke depan pintu. Ia tahu sang kakek kurang waras, jangan-jangan sekali hantam Boh-thian akan terbinasa. Maka cepat ia berseru, "Nenek, kakek benar-benar hendak... hendak bertanding dengan dia." Su-popo masih sempat berpaling dan berkata kepada Pek Cu-cay, "Jika kau berani melukai muridku, seketika juga aku akan pergi ke Pik-lwe-san untuk selamanya takkan pulang lagi." Cu-cay menjadi gusar. Teriaknya, "Kau... kau bilang apa?" Namun Su-popo tak menggubrisnya lagi, segera ia bertindak keluar sambil merapatkan pintu penjara. Seketika keadaan didalam menjadi gelap gulita. Segera A Siu mendekati sang kakek, ia gunakan kunci yang tertinggal di atas belenggu oleh Pek Ban-kiam tadi untuk membuka borgol kaki dan tangan Pek Cu-cay. Katanya kemudian, "Yaya, bolehlah kau mengajarkan beberapa jurus padanya. Tapi jangan keras-keras, dia belum lama belajar silat." Pek Cu-cay menjadi senang, katanya dengan tertawa, "Baik, aku akan ajarkan beberapa jurus padanya supaya berguna baginya kelak." Boh-thian merasa kebetulan malah. Tadi ia mendengar kakek itu mengaku sebagai jago nomor satu di dunia ini, ia merasa dirinya pasti bukan tandingannya. Sekarang orang tua itu hanya akan memberi ajaran saja, sudah tentu ini yang diharapkannya. Maka cepat ia mengucapkan terima kasih. A Siu lantas mengundurkan diri, ia membuka pintu penjara sehingga dalam kamar tahanan itu menjadi terang lagi. Setelah berdiri, ternyata perawakan Pek Cu-cay hampir-hampir lebih tinggi satu kepala daripada Ciok Boh-thian, tertampak gagah perkasa laksana malaikat. Keruan Boh-thian bertambah segan dan hormat padanya sehingga tanpa merasa dia mundur dua tindak. "Jangan takut, jangan takut!" kata Cu-cay dengan tertawa. "Yaya takkan melukai kau. Lihat ini, sekali tanganku menjulur dan memegang kudukmu segera kau akan kubanting terguling...." sambil bicara tangannya juga lantas meraih dan benar juga kuduk Ciok Boh-thian lantas kena dipegang olehnya. Saking cepat dan tepatnya Boh-thian sama sekali tak sempat menghindar. Terasa tangan si kakek sangat kuat, sekali kena dipegang tubuh serasa hendak terangkat ke atas. Lekas-lekas ia mengerahkan tenaga untuk bertahan, menyusul tangan kanan terus menangkis untuk melepaskan cengkeraman lawan. Seketika tangan Pek Cu-cay terasa kesemutan tertangkis oleh tangan Ciok Boh-thian, ia bersuara heran dan merasa tenaga dalam bocah ini benar-benar sangat hebat. Cepat tangan kirinya menyambar pula, kembali dada Boh-thian kena dijambretnya, menyusul terus mengentak ke samping, tapi

tubuh pemuda itu tetap tak bergerak. Mestinya Boh-thian sudah berjaga-jaga dan ingin berkelit, tapi toh tetap kena dijambret si kakek, diam-diam ia sangat kagum dan memuji, "Kepandaian Loyacu memang sangat lihai, hanya dua jurus ini saja sudah lebih lihai daripada Ting-siya!" Sebenarnya Pek Cu-cay sudah merasa malu karena dua kali angkat dan entak tak mampu merobohkan Boh-thian, sekarang pemuda itu memujinya lebih lihai daripada Ting-Put-si, maka ia menjadi senang pula. Katanya, "Memangnya Ting Put-si mana bisa menandingi aku?" Habis itu kaki kiri Pek Cu-cay terus menjegal. Akan tetapi Boh-thian sempat mengelak pula sehingga tidak jadi jatuh tersungkur. Serangan tiga serangkai; menarik, mencengkeram dan menjegal dari Pek Cu-cay itu selama ini sudah banyak menjatuhkan jago-jago silat ternama. Siapa duga sekarang dia

ketemu Ciok Boh-thian yang memiliki tenaga dalam yang mahakuat sehingga satu jurus pun tidak berhasil. Sebabnya pikiran Pek Cu-cay menjadi kurang waras adalah karena ucapan Ting Put-si tempo hari tentang Su-popo, dalam gusar dan cemburunya pikirannya menjadi linglung. Sekarang melihat sang istri sudah pulang dan diketahui pula kepergian Su-popo ke Pik-lwe-to sebagaimana dikatakan Ting Put-si itu cuma omong kosong belaka, saking girangnya penyakit gilanya sudah sembuh sebagian besar. Tapi tentang gila hormat "Jago nomor satu di dunia", ini masih tetap menjadi keyakinannya. Tak tersangka sekarang tiga jurus andalannya itu ternyata tidak mampu mengapa-apakan seorang pemuda sebagai Ciok Boh-thian, keruan ia menjadi murka sehingga pikirannya menjadi linglung lagi. Tanpa bicara lagi segera ia menghantam ke dada Ciok Boh-thian dengan tenaga sepenuhnya, sama sekali ia sudah lupa tentang pesan Su-popo agar memberi kelonggaran kepada Boh-thian. Melihat pukulan dahsyat itu, cepat Boh-thian menangkis, tapi menyusul kepalan kiri Pek Cu-cay lantas memukul pula. Segera

Boh-thian bermaksud mengegos, namun pukulan susulan Pek Cu-cay ini sangat lihai, "plak", tanpa ampun lagi bahu kanan Boh-thian kena digenjot. Saking khawatir dan kagetnya A Siu sampai menjerit. Tapi Boh-thian ternyata tidak bergerak, bahkan ia menghibur si nona, "Jangan khawatir, aku tidak sakit!"

"Anak kurang ajar! Kau tidak sakit? Ini, rasakan lagi bogem mentahku!" teriak Pek Cu-cay dengan gusar sambil melontarkan hantaman pula. Tapi kena ditangkis oleh Ciok Boh-thian. Melihat pertarungan kedua orang itu makin lama makin cepat dan berulang-ulang Boh-thian kena pukulan dan tendangan, semula A Siu sangat khawatir. Tapi demi melihat pemuda itu seperti tidak merasakan apa-apa, akhirnya ia pun merasa lega. Beruntun-runtun Pek Cu-cay telah hantam belasan kali di tubuh Ciok Boh-thian, semula dia memang cuma menggunakan dua-tiga bagian tenaganya menurut pesan sang istri agar Boh-thian tidak terluka. Tapi pemuda itu ternyata tidak kelihatan kalah, keruan Cu-cay terkejut dan gusar pula. Maka pukulan-pukulan selanjutnya juga semakin keras. Namun aneh juga, biarpun tenaga pukulannya sudah tambah kuat, pemuda itu tetap sukar dirobohkan. Sambil mengerang murka Pek Cu-cay telah mengerahkan segenap tenaganya untuk menyerang sehingga antero kamar penuh angin pukulan yang keras, sampai-sampai rantai besi yang bergantungan di tiang batu ikut gemerencing terguncang. A Siu merasa napasnya menjadi sesak, terpaksa ia membuka pintu kamar penjara itu dan berjalan keluar. Ia merasa tidak sampai hati menyaksikan tubuh Ciok Boh-thian dihujani pukulan sang kakek, segera ia merapatkan pintu dan diam-diam berdoa di luar semoga pertarungan kedua orang itu berakhir dengan seri dan keduanya tidak terkena cedera apa-apa. Ia mendengar suara daun pintu terguncang dan gemerencingnya rantai makin lama makin keras, sungguh ia menjadi cemas dan sangat khawatir. Entah berapa lamanya ketika mendadak keadaan menjadi sunyi, tak terdengar lagi suara gemerencingnya rantai dan terguncangnya daun pintu. Ia coba mendengarkan dengan cermat, ternyata di dalam kamar penjara itu sunyi senyap. Keadaan demikian membuatnya semakin cemas daripada tadi. Pikirnya, "Wah, celaka! Entah kakek atau dia yang menang? Kalau kakek yang menanti tentu sudah terbahak-bahak, sebaliknya kalau dia yang menang, tentu pula dia sudah keluar." Dengan gemetar kemudian A Siu mendorong pintu dengan perlahan-lahan, hatinya kebat-kebit khawatir kalau-kalau yang dilihatnya adalah mayat salah seorang yang menggeletak. Tapi ia lantas menghela napas lega ketika tertampak Pek Cu-cay sedang duduk bersila dengan kedua mata terpejam, sedangkan Ciok Boh-thian dengan tersenyum simpul memandang

padanya, sebelah tangan pemuda itu menahan di punggung sang kakek, rupanya sedang bantu menyalurkan tenaga dalam untuk menyembuhkan luka sang kakek. "Apakah... apakah Yaya terluka?" tanya A Siu dengan khawatir. "Tidak, hanya napasnya sesak seketika, sebentar saja sudah baik," sahut Boh-thian. Mendadak Pek Cu-cay melompat bangun sambil membentak, "Napas sesak apa? Bukankah aku sudah... sudah sembuh?" Berbareng sebelah tangannya terus menghantam pula ke batok kepala Ciok Boh-thian. Tapi mendadak kedua telapak tangannya terasa bengkak dan kesakitan, waktu diperiksa, ternyata kedua tangannya sudah merah biru dan melepuh, kalau hantaman itu mengenai Ciok Boh-thian, bukan mustahil tangannya sendiri yang akan pecah lebih dulu. Dalam pada itu kedua kakinya lantas terasa pula kesakitan seperti ditusuk jarum. Maka tahulah Pek Cu-cay bahwa tenaga dalam bocah yang disepelekannya itu ternyata mahakuat, berpuluh kali pukulannya tadi telah terpental kembali karena terbentur tenaga dalam pemuda itu sehingga tangan dan kakinya sendiri yang luka tergetar.

Bab 43. Mo-thian-kisu Cia Yan-khek Muncul di Leng-siau-sia

Untuk sejenak Pek Cu-cay termangu-mangu, akhirnya ia berkata, "Ya, sudahlah, habislah segalanya!" Seketika ia menjadi putus asa, segala bualan tentang "jago nomor satu di dunia ini" barulah diinsafinya terlalu menggelikan orang lain. Segera ia ambil borgol dan membelenggu pula kaki dan tangannya sendiri dan dikunci pula padu pilar. "Cring", ia banting kunci borgol ke dinding batu sehingga kunci-kunci itu rusak melengkung, maka untuk membuka borgolnya menjadi susah pula.

"He, Yaya, mengapakah kau?" seru A Siu kaget. Tapi Pek Cu-cay lantas berpaling menghadap tembok, katanya, "Aku... aku Pek Cu-cay sudah terlalu berdosa, biarlah sekarang tirakat di sini untuk menginsafkan diri. Lekas kalian keluar dari sini, sejak kini siapa pun takkan kutemui. Boleh suruh nenekmu pergi ke Pik-lwe-to saja dan selanjutnya jangan pulang ke Leng-siau-sia lagi." A Siu dan Boh-thian saling pandang dengan bingung. Selang sejenak barulah A Siu mengomeli Boh-thian, "Semuanya gara-garamu, mengapa kau mentang-mentang mesti mencari menang?"

"Aku... aku toh tidak menyerang sekalipun pada kakekmu?" sahut Boh-thian dengan melengak. "Apakah dia hanya kakekku saja? Apakah kau merasa terhina jika memanggil `kakek' juga kepada beliau?" semprot A Siu dengan melotot. "O, ya. Kakek!" cepat Boh-thian memanggil dengan rasa syur. Tapi Pek Cu-cay telah menggoyang-goyang tangannya dan berseru, "Lekas pergi, lekas pergi! Kau lebih kuat daripadaku, aku adalah cucumu, kaulah kakekku!"

"Wah, kakek telah marah, lekas kita beri tahukan pada nenek!" kata A Siu sambil menjulur lidah. Segera kedua orang keluar dari penjara itu dan menuju ke ruang pendopo. Kata Boh-thian kepada si nona, "A Siu, setiap orang menyangka aku sebagai pemuda Ciok Tiong-giok itu, sampai-sampai Ciok-cengcu dan Ciok-hujin juga tidak dapat membedakan. Tapi mengapa kau tidak sampai salah mengenal diriku?" Mendadak air muka A Siu berubah merah, lalu pucat pula dan jalannya menjadi agak sempoyongan. Cepat ia tenangkan diri, kemudian berkata, "Ciok Tiong-giok itu pernah hendak menodai diriku sehingga aku terjun ke jurang untuk membunuh diri. Toako, apakah kau suka membalaskan sakit hatiku dan membunuh dia?" Boh-thian menjadi ragu-ragu, jawabnya, "Dia adalah putra tunggal kesayangan Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, Ciok-cengcu berdua juga sangat baik padaku, sungguh aku... aku tidak boleh membunuh putranya, A Siu." Tiba-tiba A Siu menangis terguguk-guguk, katanya, "Untuk pertama kalinya aku memohon padamu dan sudah lantas kau tolak, maka untuk selanjutnya tentu kau pun akan... akan selalu main garang padaku seperti kakek terhadap nenek. Biar... biarlah kuberi tahukan pada nenek dan ibu saja." Habis berkata ia terus putar tubuh dan berlari pergi. "A Siu, A Siu! Dengarkanlah penjelasanku," seru Boh-thian. "Jika kau tidak membunuh dia, selamanya aku takkan menggubris kau lagi!" sahut A Siu sambil menutupi mukanya dan terus berlari ke depan, hanya sekejap saja ia sudah sampai di ruang pendopo. Ketika Boh-thian juga menyusul tiba, tertampaklah di ruangan situ sinar pedang berkilat-kilat, empat orang sedang bertempur dengan sengit. Mereka adalah Pek Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan Ce Cu-bian bertiga sedang mengerubut seorang tua berewok dan berjubah hijau. Melihat orang tua itu, tanpa merasa Boh-thian terus berseru, "He, Paman Cia, baik-baikkah kau? Sudah lama sekali kita tak bertemu!" Kiranya orang tua itu tak-lain-tak-bukan adalah Mo-thian-kisu Cia Yan-khek. Dikeroyok tiga tokoh terkemuka Swat-san-pay ternyata Cia Yan-khek masih tetap sangat tangkas, dengan bertangan kosong ia melawan tiga batang pedang sedikit pun tidak kelihatan asor, sebaliknya dia malah di atas angin, lebih banyak menyerang daripada diserang. Ketika tiba-tiba mendengar suara seruan Ciok Boh-thian ia terperanjat, waktu memandang ke arah pemuda itu, tanpa terasa ia berseru, "He, mengapa muncul satu pula?" Pertandingan tokoh-tokoh terkemuka biasanya tidak boleh lengah sedikit pun. Karena terkejutnya itu, sekaligus pedang-pedang Pek Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan Ce Cu-bian lantas menusuk ke perutnya. Serangan cepat lagi ganas itu tampaknya pasti akan menembus perut Cia Yan-khek, Boh-thian menjadi khawatir. Teriaknya, "Awas!" Cepat ia melompat maju, sekali jambret ia pegang punggung Pek Ban-kiam dan ditarik ke atas. Menyusul terdengarlah suara "krek-krek" dua kali, dalam keadaan berbahaya Cia Yan-khek telah keluarkan kepandaian andalannya "Pik-ciam-jing-ciang", tangan kiri mematahkan pedang Ce Cu-bian dan tangan kanan mematahkan pedang Seng Cu-hak. Walaupun demikian tidak urung jubahnya juga sudah tergores robek dua jalur panjang. Bahkan menyusul kedua tangannya terus menyodok pula ke depan, di mana tenaga dalamnya memancar, kontan Seng Cu-hak dan Ce Cu-bian terus mencelat dan menumbuk dinding. Dalam pada itu terdengar pula suara "plok" satu kali, kiranya Pek Ban-kiam telah putar tubuh dan persen Ciok Boh-thian dengan sekali tamparan. Cia Yan-khek memandang sekejap pula kepada Ciok Boh-thian, kemudian sorot matanya beralih kepada si pemuda Ciok Tiong-giok yang duduk di pojok sana. Dengan terheran-heran dan bingung ia bertanya, "Mengapa ka... kalian berdua sedemikian miripnya?" Sementara itu Boh-thian telah melepaskan Ban-kiam, dengan muka berseri-seri ia menjawab, "Paman Cia, apakah kau datang buat menolong aku? Aku baik-baik saja, terima kasih atas maksud baikmu. Eh, Ting-ting Tong-tong dan Ciok-toako, kalian juga datang semua? Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, syukurlah kalian tidak tercedera apa-apa. Suhu, Yaya telah memborgol dirinya sendiri pula dan tak mau keluar, katanya kau boleh pergi ke Pik-lwe-to saja." Begitulah sekaligus ia telah bicara terhadap Cia Yan-khek, Ting Tong, Ciok Tiong-giok, Ciok Jing suami-istri, dan Su-popo. Dia bicara dengan gembira ria, sebaliknya orang-orang yang mendengar ucapannya itu sama terkejut. Dahulu waktu di atas Mo-thian-kay, karena ingin mempermainkan Ciok Boh-thian, maka Cia Yan-khek telah mengerahkan tenaga dalamnya dari Pik-ciam-jing-ciang yang

dilatihnya itu. Kebetulan pada saat itulah Pwe Hay-ciok muncul bersama jago-jago Tiang-lok-pang, katanya hendak mencari pangcu mereka yang tinggal di atas Mo-thian-kay yaitu Ciok Boh-thian. Walaupun sekali gebrak saja Cia Yan-khek sudah berhasil membekuk Bi Heng-ya dari Tiang-lok-pang, tapi dikerubut Pwe Hay-ciok dan kawan-kawannya, kebetulan Yan-khek sendiri lagi kehabisan tenaga dalam, ia pikir kalau terus bertahan tentu akan celaka. Daripada dikalahkan ada lebih baik kabur saja sebelum terlambat. Sebagai pemilik Hian-tiat-leng, medali wasiat yang diperebutkan setiap orang Bu-lim sudah tentu Cia Yan-khek bukanlah tokoh sembarangan. Walaupun dia tidak dikalahkan, tapi ia pun merasa terhina dengan peristiwa itu. Ia pikir sebabnya dirinya sampai kabur adalah lantaran kehabisan tenaga sebelum musuh tiba, jika dalam keadaan normal Pwe Hay-ciok sekali-kali bukanlah tandingannya biarpun ditambah dengan beberapa orang begundalnya. Segera ia mencari suatu tempat terpencil untuk mengembalikan lwekangnya dan meyakinkan Pik-ciam-jing-ciang sehingga sempurna benar-benar, beberapa bulan kemudian barulah ia mendatangi Tiang-lok-pang di Yangciu untuk menuntut balas. Begitu masuk pintu kontan enam orang hiangcu sudah lantas dibinasakan olehnya. Keruan Tiang-lok-pang menjadi geger. Tatkala itu Ciok Boh-thian sudah ditipu oleh si Ting Tong untuk menggantikan Ciok Tiong-giok menuju ke Leng-siau-sia dan nona itu diam-diam sedang mencari kesempatan untuk kabur bersama Tiong-giok. Tak tersangka penjagaan Tiang-lok-pang sangat kuat, di mana-mana terdapat pos penjaga, betapa pun mereka hendak melarikan diri selalu kepergok. Tiada jalan lain terpaksa Ciok Tiong-giok juga lantas memalsukan Ciok Boh-thian untuk sementara. Sebaliknya Pwe Hay-ciok sesudah menyambut kembali Ciok Boh-thian dari Mo-thian-kay, diam-diam ia pun merasa telah mengikat permusuhan dengan seorang tokoh yang kelak tentu

akan mendatangkan kesukaran. Kemudian diketahui bahwa Ciok Boh-thian ternyata bukan Ciok Tiong-giok yang dicari mereka itu. Namun jarak waktu datangnya medali undangan dari Liong-bok-to sudah mendesak, terpaksa ia memalsukan tanda-tanda atau ciri-ciri yang berada di badan Ciok Boh-thian sebagai gantinya Ciok Tiong-giok. Kiranya dahulu setelah Ciok Tiong-giok disanjung-sanjung oleh Pwe Hay-ciok dan lain-lain dan diangkat sebagai pangcu, tapi beberapa hari kemudian pemuda yang bangor itu lantas hendak melarikan diri. Namun ia kena ditangkap kembali oleh Pwe Hay-ciok dan dibelejeti hingga telanjang bulat serta ditahan selama beberapa hari. Lantaran itulah ciri-ciri yang terdapat di badan Ciok Tiong-giok dapat dilihat oleh Pwe Hay-ciok. Siapa sangka kedua sucia dari Liong-bok-to ternyata lain daripada yang lain, rahasia pemalsuan Pwe Hay-ciok itu dengan mudah telah dibongkar oleh mereka, Ciok Tiong-giok yang asli telah mereka seret keluar. Walaupun kemudian Ciok Boh-thian dengan sukarela mau menjabat pangcu mereka untuk menghadiri pertemuan di Liong-bok-to kelak, tapi Pwe Hay-ciok merasa malu juga, sedapat mungkin ia menjauhi Boh-thian sehingga tentang pertukaran Boh-thian dan Tiong-giok yang mestinya tidak gampang mengelabui matanya sebegitu jauh belum diketahui. Hari itu Cia Yan-khek telah datang dan sekaligus membinasakan enam orang hiangcu mereka, terpaksa Pwe Hay-ciok tampil ke muka. Tapi ia pun insaf bukan tandingan Cia Yan-khek. Sambil melayani lawan segera ia memberi perintah agar sang pangcu dipanggil supaya lekas keluar. Sudah tentu Ciok Tiong-giok menjadi ketakutan, dengan macam-macam alasan ia menolak untuk keluar sehingga suruhan Pwe Hay-ciok berturut-turut datang pula dan memenuhi kamar sang pangcu. Karena sudah tak bisa mengelakkan diri pula, terpaksa Tiong-giok ikut keluar ke ruang pendopo dengan tekad bukanlah melawan, tapi akan menyerah dan minta maaf kepada Cia Yan-khek. Di luar dugaan ketika Cia Yan-khek melihat dia, seketika ia berseru terkejut, "He, Kau-cap-ceng, kiranya kau!" Dalam pada itu tertampak Pwe Hay-ciok sudah menggeletak di samping dalam keadaan payah, pakaiannya berlumuran darah. Kalau Pwe-tayhu saja kena dirobohkan Cia Yan-khek, apalagi dirinya sendiri, bahkan rahasia pemalsuannya tentu akan terbongkar pula, demikian pikir Tiong-giok. Maka ketika ditegur oleh Cia Yan-khek, terpaksa ia menjawab dengan tergagap-gagap, "Ya, ki... kiranya Cia-siansing." Ia tidak tahu bahwa "Kau-cap-ceng" adalah namanya Ciok Boh-thian dan begitu melihat Cia Yan-khek lantas mengira dia sebagai Ciok Boh-thian. "Hm, bagus, bagus! Ternyata kau ini adalah Pangcu Tiang-lok-pang!" jengek Cia Yan-khek pula. Tapi demi teringat kejadian-kejadian dahulu, mau tak mau ia menjadi mengkeret. Seperti diketahui dia telah menerima kembali medali wasiat dari Ciok Boh-thian yang dikenalnya sebagai pengemis cilik bernama Kau-cap-ceng. Dahulu Yan-khek sendiri telah bersumpah siapa-siapa yang menemukan medali wasiatnya boleh mengajukan sesuatu permintaan atau perintah dan tentu akan dilaksanakan olehnya. Maka sekarang ia menjadi khawatir, "Wah, celaka! Kiranya demikian licinnya Pwe-tayhu ini. Dia mengetahui aku telah menerima kembali Hian-tiat-leng dari Kau-cap-ceng, maka dengan segala usahanya dia sengaja datang ke Mo-thian-kay untuk membawa bocah itu ke sini dan diangkat menjadi pangcu boneka, sudah terang maksud tujuannya adalah supaya aku tunduk kepada perintah pangcu mereka. Wahai Cia Yan-khek, selamanya kau sangat pintar, mengapa hari ini kau masuk perangkap sendiri ke sini. Sejak kini kau tentu akan selalu dijadikan alat oleh mereka dan celakalah kau!" Begitulah, kalau seseorang sudah terikat kepada sesuatu hal, maka segala apa yang dialaminya tentu selalu dihubung-hubungkan dengan hal itu. Seorang pesakitan yang melarikan diri dari penjara tentu akan selalu menyangka semua opas di dunia ini sedang menguber-ubernya. Seorang penjahat tentu pula akan selalu menganggap setiap orang menaruh curiga padanya. Begitu pula dalam hubungan asmara muda-mudi, setiap gerak-gerik atau tutur kata sang kekasih tentu disangka sebagai ditujukan kepadanya. Dan demikian pula dengan perasaan Cia Yan-khek sekarang. Semakin dipikir semakin khawatir dia. Ia mengira Pwe Hay-ciok sudah merancangkan sesuatu tipu muslihat untuk menjebaknya. Dengan tak berkedip ia pandang Ciok Tiong-giok untuk menantikan perintah apa yang harus dilakukan olehnya. Ia pikir celakalah jika pemuda itu suruh dia mengutungi kedua tangannya sendiri sehingga cacat untuk selamanya. Mestinya ia dapat tinggal pergi saja dan untuk seterusnya tak perlu bertemu dengan Kau-cap-ceng, dengan demikian terhindarlah kesukarannya. Tapi dengan demikian di dunia Kangouw tentu akan lenyap pula nama seorang tokoh sebagai dia. Hal ini masih bukan soal, yang penting adalah sumpahnya itu, kalau sampai ketulah atau kualat atas sumpahnya sendiri kan bisa konyol. Begitulah ia terus pandang Ciok Tiong-giok untuk menantikan perintahnya. Tak tersangka Ciok Tiong-giok juga sangat takut padanya. Jadi kedua orang terus saling pandang sampai sekian lamanya. Akhirnya Cia Yan-khek membuka suara juga dengan bengis, "Baiklah, memang kau telah mengembalikan Hian-tiat-leng padaku, sekali orang she Cia sudah bicara tentu akan pegang janji, Sekarang silakan omong saja, apa yang kau minta kukerjakan segera akan kulaksanakan. Selamanya orang she Cia sudah malang melintang di Kangouw, biarpun menghadapi urusan sukar setinggi langit juga takkan mengerut kening." Mendengar itu, seketika Ciok Tiong-giok tertegun. Tentang sumpah Cia Yan-khek mengenai Hian-tiat-leng yang dia sebarkan pernah juga didengar olehnya. Sebagai pemuda yang cerdik segera ia paham duduknya perkara. Ia duga Cia Yan-khek tentu telah salah sangka dia sebagai Ciok Boh-thian, bahkan tokoh itu minta dia mengemukakan sesuatu soal dan tentu akan dilakukan olehnya biar betapa pun sukarnya soal itu. Keruan Ciok Tiong-giok kegirangan melebihi orang ketomplok rezeki dari langit. Ia pikir ilmu silat orang ini sangat tinggi, boleh dikata tiada sesuatu yang sukar baginya. Lantas soal apa yang paling tepat agar dapat dilaksanakan olehnya? Maka untuk sejenak Tiong-giok menjadi ragu-ragu dan termenung-menung. Rupanya Cia Yan-khek dapat melihat rasa kejut dan girang dan takut pula atas diri Ciok Tiong-giok, segera ia berkata, "Orang she Cia sudah pernah mengatakan, siapa saja yang mendapatkan medali wasiatku, tidak nanti aku mengganggu seujung rambutnya. Dan sebab apa kau merasa takut-takut? Kau-cap-ceng, pandai benar lagakmu ya waktu berada di Mo-thian-kay tempo hari. Ilmu `Yam-yam-kang' itu sudah berhasil kau latih belum?" Ciok Tiong-giok tidak tahu apa itu ilmu Yam-yam-kang yang ditanyakan, maka secara tak acuh ia hanya tersenyum saja. Diam-diam ia pun sudah ambil keputusan, "Bahaya yang sedang kuhadapi adalah dari Swat-san-pay. Sesudah si tolol itu (maksudnya Ciok Boh-thian) itu sampai di Leng-siau-sia tentu rahasia penyamarannya akan terbongkar dan jago-jago Swat-san-pay tentu akan mencari perkara padaku lagi. Sungguh sial, aku belum makan nangkanya sudah kena getahnya. Kalau urusan ini tidak beres-beres tentu hidupku akan selalu tak tenteram. Sekarang ada kesempatan baik, mengapa aku tidak minta dia menyelesaikan persoalan ini. Kalau seorang diri Cia Yan-khek ini mampu mengubrak-abrik Tiang-lok-pang, tentu pula dia sanggup menghancurkan Leng-siau-sia." Maka katanya kemudian, "Cia-siansing adalah seorang yang pegang janji, sungguh harus dipuji dan mengagumkan. Tentang urusan yang Cayhe minta dikerjakan Cia-siansing ini mungkin bagi orang lain akan terasa luar biasa dan sukar dilaksanakan, tapi dengan ilmu silat Cia-siansing yang tiada bandingannya di dunia ini rasanya hanya soal sepele saja." Mendengar ucapan pemuda itu rasanya bukan meminta dia membikin cacat dirinya sendiri, maka Cia Yan-khek menjadi girang. Segera ia bertanya, "Soal apa yang kau minta kukerjakan?"

"Dengan sembrono Cayhe mohon Cia-siansing suka pergi ke Leng-siau-sia, tumpas dan habiskan segenap anggota Swat-san-pay di sana," sahut Tiong-giok. Cia Yan-khek terkesiap. Ia pikir Swat-san-pay adalah suatu aliran besar dunia persilatan yang terkemuka, ketuanya Wi-tek Siansing Pek Cu-cay juga seorang tokoh ternama yang disegani, sekarang orang-orang swat-san-pay itu disuruh menumpas habis, sudah tentu bukanlah soal mudah. Tapi dasarnya Cia Yan-khek memang seorang iblis yang membunuh orang seperti membunuh ayam, orang jahat biasanya dibunuh olehnya, orang baik juga tidak kurang yang menjadi korban keganasannya, maka tanpa pikir lagi segera ia mengangguk dan mengiakan. Lalu putar tubuh hendak terus berangkat. "Eh, nanti dulu, Cia-siansing!" seru Ciok Tiong-giok. "Ada apa lagi?" tanya Yan-khek sambil berpaling. Menurut dugaannya sebabnya "Kau-cap-ceng" itu minta dia pergi membunuh habis orang-orang Swat-san-pay tentu adalah atas usul Pwe Hay-ciok dan jago-jago Tiang-lok-pang sehingga aku diminta menumpas lawannya itu. Dalam pada itu terdengar Ciok tiong-giok telah berkata, "Cia-siansing, aku ingin pergi bersama engkau untuk menyaksikan soal yang akan kau laksanakan itu!" Kiranya selama dalam pengawasan orang-orang Tiang-lok-pang, diam-diam Ciok Tiong-giok menjadi sedih. Dia telah berunding beberapa kali dengan si Ting Tong, kedua orang sudah ambil keputusan betapa pun takkan berangkat ke Liong-bok-to. Tapi untuk kabur dari markas Tiang-lok-pang yang diawasi secara ketat itu juga tidak gampang, kesempatan melarikan diri hanya ada pada waktu di tengah perjalanan ke Liong-bok-to nanti. Orang-orang Tiang-lok-pang sendiri walaupun mengadakan pengawasan keras kepada Ciok Tiong-giok, tapi lahirnya mereka sangat menurut dan tunduk kepada segala

perintahnya. Malahan keluar-masuk si Ting Tong di markas Tiang-lok-pang itu pun dapat dilakukan dengan bebas tanpa

rintangan. Dasar otak Ciok Tiong-giok memang encer, begitu mendengar Cia Yan-khek sudah mengiakan permintaannya dan akan terus berangkat ke Leng-siau-sia untuk menumpas orang-orang Swat-san-pay, segera Tiong-giok menganggap kesempatan ini

dapat pula digunakan untuk kabur dari markas Tiang-lok-pang, sebab itulah ia lantas menyatakan ingin ikut serta berangkat bersama Cia Yan-khek. Meski dahulu Cia Yan-khek bersumpah cuma akan melakukan suatu permintaan bagi orang yang menemukan medali wasiatnya, tapi permintaan Ciok Tiong-giok akan ikut ke Leng-siau-sia ini ada hubungannya dengan soal yang harus dilakukannya itu, maka terpaksa ia meluluskan permintaan pemuda itu. Keruan orang-orang Tiang-lok-pang menjadi gelisah, mereka sama memandang Pwe Hay-ciok yang terluka parah itu dan mengharapkan suaranya. Tapi Ciok Tiong-giok lantas berseru, "Sekali aku sudah berjanji akan menghadiri pertemuan di Liong-bok-to, biarpun apa yang akan terjadi tentu juga akan kutanggung sendiri. Jika tiba waktunya tidak nanti aku membikin kapiran kepada kalian." Dalam keadaan terluka parah sama sekali Pwe Hay-ciok tidak menduga bahwa Cia Yan-khek yang sudah menang itu berbalik mau tunduk kepada perintah Ciok Tiong-giok. Ia pikir toh dirinya dalam keadaan payah dan tak mampu merintangi, terpaksa ia pun menurutkan arah angin saja dan berkata dengan lemah, "sel... selamat jalan Pangcu, maafkan Siokhe ti... tidak dapat mengantar lagi!" Tiong-giok juga tidak banyak bicara, segera ia ikuti Cia Yan-khek keluar dari sarang Tiang-lok-pang itu. "Hm, Kau-cap-ceng, selama ini pintar benar kau berpura-pura ya?" jengek Cia Yan-khek di tengah jalan. "Mataku benar-benar sudah buta, kukira kau sengaja disuruh Ting Put-si untuk memata-matai diriku, tak terduga kau adalah Pangcu Tiang-lok-pang." Karena Ciok Tiong-giok sudah memberi suatu perintah untuk dilakukan Cia Yan-khek sesuai sumpahnya, maka sekarang Yan-khek tidak perlu sungkan-sungkan lagi padanya, kecuali membunuhnya, dalam hal ucapan ia tidak perlu merendah diri lagi kepada pemuda itu. Tiong-giok juga cukup tahu diri, ia tidak berani banyak bicara, ia hanya mengiakan dengan menyengir saja. Memangnya si Ting Tong selalu menunggu di sekitar Ciok Tiong-giok, dengan sendirinya ia lantas menggabungkan diri dengan mereka dan ikut ke Leng-siau-sia. Setiba di tempat tujuan walaupun Tiong-giok mendapat pelindung jago wahid sebagai Cia Yan-khek, tapi betapa pun ia jeri juga terhadap Pek Cu-cay. Maka diam-diam ia lantas mengusulkan kepada Cia Yan-khek agar melakukan penyergapan saja daripada menyerang secara terang-terangan. Yan-khek merasa cocok atas usul pemuda itu. Maka mereka

bertiga lantas menyusup ke Leng-siau-sia secara diam-diam. Memangnya Tiong-giok sangat hafal keadaan setempat, maka dengan mudah saja mereka dapat mencapai tempat yang dicari. Ketika sampai di ruang tengah mereka lantas mendengar bisak-bisik orang-orang Swat-san-pay tentang percekcokan di dalam Leng-siau-sia sendiri. Didengar pula oleh mereka bahwa Ciok Jing dan istrinya sudah tertawan. Betapa pun buruk perbuatan Ciok Tiong-giok, kasih sayang ayah dan anak tidaklah sampai lenyap. Maka diam-diam ia pancing Cia Yan-khek menuju ke tempat tahanan, di situ Cia Yan-khek membunuh penjaga-penjaganya, Ciok Jing dan Bin Ju ditolong keluar, lalu sama-sama datang ke ruang pendopo. Tatkala itu Su-popo. Pek Ban-kiam dan Ciok Boh-thian sedang bicara dengan Pek Cu-cay. Kalau menuruti jalan pikiran Cia Yan-khek, ia lebih suka membunuh siapa saja yang dipergokinya, ketemu satu bunuh satu, melihat dua bunuh sepasang, dengan demikian orang-orang Swat-san-pay akan ditumpas habis olehnya. Namun maksudnya ini dicegah oleh Ciok Jing dan Bin Ju. Ciok Jing telah berkata padanya, "Kalau memang seorang gagah, seorang kesatria sejati, hendaklah bertanding dahulu dengan ketua mereka, Wi-tek Siansing. Sekarang tokoh utamanya belum lagi muncul, kalau cuma pandai membunuh anak muridnya yang merupakan kaum keroco saja, bila tersiar di dunia Kangouw bukankah orang akan mengatakan Mo-thian-kisu hanya berani kepada kaum kecil dan takut kepada yang keras."

"Huh, apa yang kutakuti," jengek Cia Yan-khek, "Baiklah, kubunuh dulu yang tua baru nanti kuhabisi yang kecil." Begitulah, maka tidak lama kemudian Su-popo dan Pek Ban-kiam lantas keluar. Karena ucapan Cia Yan-khek yang mentang-mentang itu segera terjadilah pertarungan sengit. Biar ilmu silat Ban-kiam cukup tinggi toh dia bukan tandingan pemilik medali wasiat itu, maka hanya beberapa gebrakan saja ia sudah terdesak dan terancam bahaya. Karena mendengar Cia Yan-khek sumbar-sumbar akan menumpas habis seluruh orang Swat-san-pay, biarpun sedang cekcok dengan Ban-kiam juga Seng Cu-hak dan Ce Cu-bian serentak lantas menerjang maju untuk mengerubut. Namun dengan tiga lawan satu tetap tak mampu menahan tenaga pukulan "Pik-ciam-jing-ciang" yang dahsyat dari Cia Yan-khek. Pada waktu Ciok Boh-thian muncul, saat itu Su-popo dan Nio Cu-cin lagi bermaksud ikut mengerubut maju. Tak terduga Cia Yan-khek menjadi kaget ketika melihat Boh-thian sehingga keadaan mengalami perubahan mendadak. Munculnya Ciok Boh-thian juga sangat mengejutkan Ciok Tiong-giok dan si Ting Tong. Menurut perhitungan mereka semula, asalkan Ciok Boh-thian sampai di Leng-siau-sia, begitu dilihat Pek Cu-cay yang berwatak keras itu tentu Boh-thian akan terus dihantam mampus tanpa diberi kesempatan bicara lagi. Siapa duga sekarang pemuda itu malah tetap segar bugar, keruan mereka sangat kaget. Tapi Tiong-giok rada lega juga ketika diketahui bahwa A Siu ternyata juga berada di situ dalam keadaan baik-baik saja. Ting Tong sendiri walaupun jatuh hati kepada Ciok Tiong-giok yang pintar gelembuk dan pandai merayu, sebaliknya tidak suka kepada Ciok Boh-thian yang kaku dan tidak romantis. Namun betapa pun juga dia pernah hidup berdampingan sekian lamanya dengan pemuda polos itu. Demi melihat Boh-thian masih tetap sehat walafiat, mau tak mau ia merasa syukur juga. Dan baru sekarang juga Ciok Jing dan Bin Ju mengetahui bahwa pemuda yang ikut mereka ke Leng-siau-sia ini ternyata bukan putranya sendiri, tapi adalah si pemuda yang bernama Ciok Boh-thian itu. Di samping merasa rikuh mereka merasa geli pula. Kalau pertama kalinya mereka salah mengenali

putranya sendiri masih dapat dimengerti, siapa sangka untuk kedua kalinya mereka tetap tak bisa membedakannya. Dalam pada itu demi mendengar bahwa suaminya tidak mau keluar dari kamar penjara, sebaliknya menyuruh dirinya ke Pik-lwe-san, cepat Su-popo tanya kepada Boh-thian, "Pertandingan kalian itu dimenangkan oleh siapa? Mengapa aku disuruh pergi ke Pik-lwe-san?" Sedangkan Cia Yan-khek juga lantas tanya, "He, kalian berdua ini mengapa mirip satu sama lain, sesungguhnya yang mana adalah Kau-cap-ceng?"

"Boh-thian, mengapa kau pura-pura sakit gondok dan menggantikan anak Giok sehingga kami tertipu?" demikian Ciok Jing dan Bin Ju juga bertanya. "Kau tidak menurut pesanku sehingga penyamaranmu telah diketahui bukan?" tanya si Ting Tong. Begitulah beramai-ramai Boh-thian diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga dia bingung yang mana harus dijawabnya lebih dulu. Pada saat itu dari ruang belakang tampak muncul pula seorang wanita setengah umur, begitu tiba lantas tanya si A Siu, "Anak Siu, kedua pemuda yang serupa ini yang mana adalah yang baik dan mana yang berhati jahat?"

Kiranya wanita ini adalah istrinya Pek Ban-kiam, yakni ibunya A Siu. Sejak terjadi Ciok Tiong-giok hendak perkosa A Siu sehingga si nona terjun ke dalam jurang, saking dukanya nyonya Pek Ban-kiam itu sampai menjadi gila, Waktu Liau Cu-le, Seng Cu-hak, dan lain-lain mengadakan pengkhianatan, karena menganggap nyonya Ban-kiam itu sudah gila, maka tidak memerhatikannya. Tapi sesudah A Siu pulang bersama neneknya, orang yang pertama dijenguk adalah ibunya itu. Melihat putri kesayangannya ternyata tidak mati dan sudah pulang dalam keadaan baik-baik, seketika pikiran nyonya Ban-kiam lantas sadar sebagian besar. Maka sekarang ia pun keluar dan ikut-ikut mengajukan pertanyaan. Namun Su-popo menjadi aseran, segera ia membentak, "Diam, diam semua! Kalau ribut-ribut begini, cara bagaimana orang bisa bicara dengan jelas?" Terpaksa semua orang terdiam. Hanya Cia Yan-khek saja yang mendengus satu kali, tapi ia pun tidak membuka suara lagi. "Coba kau jawab dulu pertanyaanku, siapa yang telah menang antara kau dan Yaya?" Su-popo mendesak pula. Serentak perhatian semua orang Swat-san-pay dicurahkan kepada Ciok Boh-thian dengan rasa khawatir. Maklumlah, meski sangat tidak puas terhadap kesombongan dan keganasan Pek Cu-cay, tapi apa pun juga masih terhitung ciangbunjin mereka, kalau sampai dikalahkan oleh seorang pemuda yang masih pelonco tentu nama baik Swat-san-pay akan runtuh habis-habisan. Maka terdengar Boh-thian telah menjawab, "Sudah tentu Yaya yang menang, aku mana mampu menandingi beliau? Aku telah dihantam dan ditendang berpuluh-puluh kali, sebaliknya satu kali pun aku tidak mampu memukul beliau." Mendengar demikian barulah Pek Ban-kiam dan lain-lain menghela napas lega. Dengan melirik lalu Su-popo bertanya pula, "Dan mengapa sedikit pun kau tidak terluka apa-apa?"

"Ya, mungkin Yaya sengaja mengampuni diriku," sahut Boh-thian. "Akhirnya dia menjadi lelah dan duduk di atas tanah.

Kulihat napasnya agak sesak, segera kubantu beliau menyalurkan napas dan sekarang sudah baik."

"Hehe, kiranya demikian!" tiba-tiba Cia Yan-khek menjengek. Su-popo tak menggubrisnya, ia tanya pula, "Lalu apa yang dikatakan Yaya?"

"Beliau mengatakan tentang... tentang dosa apa dan ingin tetap tinggal di... di dalam kamar batu itu, aku dibentak

supaya pergi, katanya nenek boleh pergi ke... ke Pik-lwe-to saja dan jangan pulang ke Leng-siau-sia lagi."

"Tua bangka itu anggap aku ini manusia apa? Mengapa aku mesti pergi ke Pik-lwe-to sana?" teriak Su-popo dengan gusar. Kiranya Su-popo ini nama kecilnya adalah Siau-jui, di waktu mudanya kecantikannya telah menjatuhkan hati banyak pemuda-pemuda kalangan persilatan, di antaranya Pek Cu-cay dan Ting Put-si adalah tokoh-tokoh angkatan muda yang terkemuka pada zaman itu. Karena watak Pek Cu-cay memang sombong dan tinggi hati, mestinya Su Siau-jui tidak suka padanya. Tapi ayah-bundanya telah penujui ilmu silat dan nama kebesaran Swat-san-pay, maka pilihan akhirnya jatuh atas diri Pek Cu-cay. Pada permulaan sesudah mereka menikah Su Siau-jui sering bertengkar mulut dengan sang suami. Kalau bertengkar dia tentu menyesali kedua orang tua yang telat memilihkan suami yang tidak cocok baginya. Coba kalau jadi istri Ting Put-si tentu hidupnya akan bahagia. Padahal Ting Put-si itu juga sangat aneh wataknya, bahkan lebih buruk daripada Pek Cu-cay, namun pemandangan di seberang sungai memang tampaknya lebih indah daripada pemandangan di depan matanya. Apalagi Su Siau-jui sengaja hendak membikin marah sang suami, ia sengaja menambahi tentang rasa cintanya kepada Ting Put-si, sebenarnya cuma sepuluh persen, tapi sengaja bilang seratus persen. Sudah tentu Pek Cu-cay Berjingkrak-jingkrak murka, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Baiknya setahun kemudian mereka lantas mendapatkan anak laki-laki yaitu Pek Ban-kiam. Sejak perhatian Su Siau-jui dicurahkan dalam perawatan putranya, selama berpuluh tahun tidak pernah keluar dari Leng-siau-sia dan tak pernah berjumpa pula dengan Ting Put-si. Siapa duga sesudah sekian lamanya hidup tenteram, akhirnya terjadilah peristiwa Ciok Tiong-giok dan A Siu. Su Siau-jui telah ditampar oleh Pek Cu-cay, dengan marah dan dendam ia terus minggat dari rumah, di bawah jurang yang penuh salju beruntung dapat ditemukan A Siu yang belum lagi tewas. Dengan membawa cucu perempuannya itu Su-popo lantas berkelana ke daerah Tionggoan. Tapi dasar memang sudah suratan nasib, setiba di Kota Bu-jiang kembali Su-popo bertemu dengan Ting Put-si. Pertemuan ini sudah tentu sangat menggembirakan. Dalam pembicaraan mereka barulah diketahui bahwa Ting Put-si ternyata sangat setia, selama itu ternyata tidak menikah dengan gadis lain. Sebab itulah Ting Put-si dengan sangat minta Su-popo suka ikut padanya ke Pik-lwe-to untuk tinggal beberapa hari di sana. Usia mereka berdua sudah lebih dari 60 tahun, sudah tentu tiada persoalan hubungan kasih muda-mudi lagi. Sebabnya Ting Put-si berkeras mengundang Su-popo ke tempat tinggalnya adalah karena dia pernah mengeluarkan nazar apabila kaki sang kekasih mau menginjak tanah Pik-lwe-to saja, maka mati pun dia akan merasa puas. Undangan itu telah ditolak Su-popo dengan tegas. Tapi Ting Put-si masih terus memohon dan mendesak, sampai akhirnya terjadilah uber-uberan. Karena tidak tahan atas desakan dan usikan Ting Put-si itu, Su-popo menjadi marah, dan sekali sudah bertengkar mulut, segera terjadi juga pertarungan. Dalam pertempuran beberapa kali ternyata ilmu silat Su-popo tidak mampu menandingi Ting Put-si, untungnya Put-si tidakk bermaksud mencelakainya sehingga pada saat-saat berbahaya

selalu memberi kelonggaran. Su-popo menjadi gelisah dan gemas pula. Ketika di atas perahu di Sungai Tiangkang secara tergesa-gesa ia telah melatih lwekang dengan sistem cepat dengan maksud untuk menandingi Ting Put-si. Tapi saluran tenaga dalamnya telah sesat sehingga lumpuh. Dalam keadaan hampir disusul Ting Put-si itulah secara kebetulan Ciok Boh-thian dilempar ke dalam perahu Su-popo oleh si Ting Tong dan pemuda itu berhasil menyelamatkannya. Kemudian Su-popo lantas kabur pula ketika mengetahui Ting Put-sam dan Ting Put-si juga menyusul ke Ci-yan-to. Tak tersangka watak Ting Put-si itu memang aneh, sekali sudah melihat Su Siau-jui lagi lantas timbul pula pikirannya akan memaksa bekas kekasih itu ke Pik-lwe-san. Ia insaf bukan tandingan orang-orang Swat-san-pay, maka dengan rendah hati ia rela memohon bantuan kepada kedua saudaranya yang biasanya tidak akur satu sama lain, yaitu Ting Put-ji dan Ting Put-sam, bertiga mereka lantas datang ke Leng-siau-sia dengan tujuan hendak menculik Su-popo ke Pik-lwe-to, asalkan nenek itu sudah menginjak pulau itu, maka puaslah Ting Put-si dan akan membebaskannya pulang ke Leng-siau-sia lagi. Ketika Ting Put-si dan kedua saudaranya sampai di Leng-siau-sia, waktu itu Su-popo belum lagi pulang. Maka Put-si lantas membohong, katanya Su-popo telah berkunjung ke Pik-lwe-san dan bercengkerama dengan dia. Semula Pek Cu-cay tidak mau percaya, tapi Put-si lantas menguraikan tentang tingkatan ilmu silat Su-popo sekarang, yaitu menurut pengalaman dari pertarungan yang telah terjadi beberapa kali, karena uraiannya cukup tepat, mau tak mau Pek Cu-cay menjadi sangsi. Dari cekcok mulut akhirnya mereka lantas bergebrak. Akhirnya Ting Put-si kena dihantam sekali oleh Pek Cu-cay sehingga terluka dalam, untung kedua saudaranya lantas melindunginya dan meninggalkan Leng-siau-sia. Tapi dengan peristiwa itu Pek Cu-cay menjadi khawatir dan gusar tak terlampiaskan, akhirnya pikirannya menjadi sinting dan mengganas dengan membunuh secara semena-mena sehingga terjadilah huru-hara di dalam Leng-siau-sia sendiri. Setiba kembalinya Su-popo menjadi menyesal juga melihat keadaan sang suami itu. Maka setelah mendengar uraian Ciok Boh-thian ia sudah ambil keputusan untuk mendampingi sang suami sampai saat terakhir. Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Aku telah minta cucu menantuku menyerahkan kedudukan ciangbun padaku, maksudku ialah untuk mewakilkan dia pergi ke Liong-bok-to agar A Siu tidak sampai menjadi janda muda. Kalau aku jadi mendampingi tua bangka itu, kedua urusan ini dengan sendirinya tak bisa dilaksanakan sekaligus dan harus pilih satu di antara dua. Ai, biarlah, persoalan ini sementara tak perlu dipikirkan, yang penting si tua gila itu harus kujenguk lebih dulu."

Bab 44. Ciok Tiong-giok Dibawa Pergi Cia Yan-khek, Ciok Boh-thian Berangkat ke Liong-bok-to

Karena itu tanpa bicara lagi segera ia meninggalkan orang banyak dan masuk ke dalam. Mestinya Ban-kiam juga mengkhawatirkan keadaan sang ayah dan ingin ikut masuk ke dalam, tapi demi teringat sedang menghadapi musuh tangguh yang menyangkut mati atau hidup Swat-san-pay sendiri, betapa pun Cia Yan-khek harus dilayani lebih dulu. Dalam pada itu Cia Yan-khek telah memandang Ciok Tiong-giok, lalu pandang pula Ciok Boh-thian. Ia merasa ragu-ragu dan susah membedakan. Ditilik dari tutur kata dan tingkah lakunya terang Ciok Boh-thian lebih mirip Kau-cap-ceng, tapi betapa tinggi ilmu silatnya tadi jelas bukanlah pemuda dungu yang pernah tinggal bersamanya di Mo-thian-kay itu. Apalagi berpisah hanya beberapa bulan saja, masakah dalam waktu sesingkat itu kepandaiannya bisa maju sedemikian pesatnya? Mendadak air mukanya berubah bengis dan membentak, "Di antara kalian berdua ini, sebenarnya yang mana adalah Kau-cap-ceng?" Suara bentakan yang menggeledek itu membikin hati semua orang berdebar-debar, melihat gelagatnya agaknya gembong iblis itu akan segera membunuh orang. Ciok Tiong-giok tidak tahu bahwa "Kau-cap-ceng" atau anak campuran anjing adalah namanya Ciok Boh-thian semula, disangkanya saking gusarnya Cia Yan-khek telah memaki. Ia pikir toh tipu muslihatnya sudah ketahuan, terpaksa harus main akal bulus, sedapat mungkin harus mengulur tempo, kalau ada kesempatan lantas melarikan diri. Maka ia lantas menjawab, "Bukan aku, tapi dia, dialah Kau-cap-ceng!" Dengan mata melotot Cia Yan-khek tertawa dingin beberapa kali, katanya pula, "Jadi kau memang bukan Kau-cap-ceng?"

"Ya, bukan, bukan!" sahut Tiong-giok dengan mengirik karena sorot mata Cia Yan-khek yang tajam itu. "Jadi kau inilah Kau-cap-ceng?" tanya Yan-khek kepada Ciok Boh-thian. Boh-thian mengangguk, jawabnya, "Ya, Paman Cia. Tempo hari kau telah mengajarkan aku melatih sesuatu, mendadak sekujur badanku terasa demam, sebentar dingin sebentar panas, sakitnya tidak kepalang dan akhirnya aku tidak sadarkan diri. Waktu mendusin ternyata telah banyak terjadi hal-hal yang aneh susul-menyusul." Maka Yan-khek tidak sangsi lagi, segera ia berpaling kembali kepada Ciok Tiong-giok, katanya dengan menyeringai, "Hehe, kau berani menyamar sebagai dia untuk mempermainkan diriku, sungguh tidak kecil nyalimu, ya?" Melihat muka Cia Yan-khek dari merah padam berubah menjadi beringas, Ciok Jing dan Bin Ju tahu iblis itu sudah memuncak murkanya karena telah dibohongi oleh putra mereka. Asal sekali serang tentu putra mereka akan menggeletak dan jiwa melayang. Cepat mereka melompat maju dan mengadang didepan Tiong-giok. "Cia-siansing," kata Bin Ju dengan suara keder, "engkau adalah orang besar, sudilah kau memaafkan kecerobohan anak kecil yang kurang ajar ini, biarlah kami menjura dan minta ampun padamu!"

"Huh, orang she Cia kena dibohongi anak kecil, apakah persoalan ini hanya diselesaikan dengan menjura dan minta ampun saja? Minggir!" begitu ucapan terakhir itu tercetus dari mulutnya, kontan kedua lengan baju Cia Yan-khek terus mengebas ke depan dengan membawa tenaga yang mahadahsyat. Walaupun tenaga dalam Ciok Jing dan Bin Ju juga bukan kaum lemah, tapi mereka tak mampu bertahan, mereka sama tergetar sempoyongan ke belakang dan hampir-hampir jatuh terjungkal. Melihat Bin Ju sedemikian cemasnya, air matanya sudah berlinang-linang hampir menetes, cepat Boh-thian berseru, "Jangan, Paman Cia, jangan membunuh dia!" Mestinya sebelah tangan Cia Yan-khek sudah disiapkan untuk menghantam ke arah Ciok Tiong-giok, jika pukulannya sudah dilontarkan, biarpun belasan orang serentak maju untuk merintanginya juga belum tentu dapat menyelamatkan Ciok Tiong-giok. Tapi karena seruan Ciok Boh-thian itu, bagi Cia Yan-khek seakan-akan merupakan suatu perintah yang tak terbantahkan. Untuk sejenak Yan-khek tertegun, ia menoleh dan menegas, "Kau minta aku jangan membunuh dia?" Ia pikir kalau pemuda berjiwa kotor ini diberi ampun, maka ini berarti telah memenuhi permintaan Ciok Boh-thian dan telah menepati sumpahnya tentang medali wasiat itu. Karena permintaan yang terlalu mudah ini, tanpa merasa mukanya menampilkan rasa senang. Maka Boh-thian lantas menjawab, "Ya, sebab orang ini adalah putra kesayangan Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, si Ting-ting Tong-tong juga sangat suka padanya. Cuma... cuma kelakuannya memang tidak senonoh, dia pernah membikin susah A Siu, sering menipu orang pula, di waktu menjabat Pangcu Tiang-lok-pang juga banyak melakukan hal yang jelek."

"Jadi tegasnya kau minta aku jangan membunuh dia?" Yan-khek menandaskan pula, ia khawatir kalau-kalau Boh-thian

menarik kembali permintaannya itu. "Benar," jawab Boh-thian. "Aku minta janganlah engkau membunuh dia. Cuma orang ini selalu membikin celaka orang lain, paling baik kalau kau selalu mendampingi dia, ajarkan dia berbuat yang baik, nanti kalau dia sudah betul-betul menjadi orang baik barulah kau meninggalkan dia. Paman Cia, aku tahu hatimu sangat baik, kau telah mendidik aku selama beberapa tahun, mengajarkan kepandaian juga padaku. Sejak aku kehilangan ibu, engkaulah yang telah membesarkan aku. Kalau sekarang Ciok-toako ini ikut padamu tentu engkau akan mendidik dia pula dengan baik-baik dan dia tentu akan berubah menjadi orang baik."

"Berhati sangat baik", istilah ini ditujukan kepada Cia Yan-khek hakikatnya lebih mendekati sindiran daripada pujian, keruan iblis itu menjadi murka sehingga mukanya kembali berubah menjadi beringas. Tapi bila dipikir pula, ia menjadi serbarunyam. Ia lihat cara mengucapkan kata-kata itu tadi dilakukan oleh Ciok Boh-thian dengan hati yang tulus. Padahal selama beberapa tahun mereka tinggal bersama di atas Mo-thian-kay dirinya selalu mencari akal dan berusaha menyiksa pemuda itu, sebaliknya dia malah merasa berterima kasih, rupanya karena sudah kehilangan ibu, maka pemuda itu menganggapnya sebagai orang tua sendiri. Bahwasanya dirinya mengajarkan pemuda itu melatih "Yam-yam-kang" adalah untuk menjerumuskan dia ke jurang neraka, sebaliknya pemuda itu malah merasa utang budi dan sekarang bahkan minta dirinya "mendidik" pula seorang pemuda lain yang bernama Ciok Tiong-giok. Padahal dirinya sudah biasa hidup sendirian secara bebas, mana sudi dibebani lagi dengan seorang pemuda berengsek demikian ini? Maka Yan-khek lantas menjawab, "Tidak, aku hanya berjanji untuk melakukan sesuatu menurut permintaanmu. Kau telah minta aku jangan membunuh dia, maka aku pun sudah menurut. Sekarang biarlah kita berpisah saja dan tidak perlu bertemu pula untuk selanjutnya."

"Tidak, tidak!" cepat Boh-thian mencegah. "Paman Cia, jika kau tidak mendidiknya dengan baik-baik, kalau dia menipu dan mencelakai orang lain lagi, akhirnya pasti akan dibunuh juga oleh orang lain dan hal ini tentu akan membikin Ciok-hujin serta si Ting-tong Tong-tong sangat berduka. Paman Cia, aku mohon padamu agar sudilah mengawasi dia dan mendidik dia, sebelum dia berubah menjadi manusia baik-baik janganlah kau melepaskan dia." Yan-khek mengerut kening, ia merasa serbasulit untuk memenuhi permintaan itu. Dia sendiri memangnya bukan orang baik-baik, cara bagaimana dia dapat mengajarkan orang lain supaya berbuat baik? Apalagi pemuda Ciok Tiong-giok ini terang sangat licin dan bangor, biarpun nabi juga susah mendidiknya menjadi orang baik. Jika dia terima permintaan Boh-thian itu tentu selama hidupnya akan dibebani oleh suatu persoalan yang susah diselesaikan. Maka bergelenglah dia dan menjawab, "Tidak, urusan ini aku tidak sanggup melakukannya. Boleh kau memberi soal lain saja, betapa pun sulitnya tentu ikan kulakukan."

"Hahahaha!" mendadak Ciok Jing bergelak tertawa. "Mo-thian-kisu dikenal sebagai seorang yang dapat pegang janji, sebab

itulah medali wasiatnya sangat terkenal di dunia Kangouw. Jika tahu sekarang perintah medali wasiat itu takkan ditepati, maka kematian beberapa orang di Hau-kam-cip itu benar-benar korban yang tersia-sia." Seketika alis Cia Yan-khek menegak, dengan suara bengis ia tanya, "Apa arti ucapan Ciok-cengcu ini?" Ciok Jing menjawab, "Tentang permintaan saudara ini agar engkau suka memberi bimbingan kepada anakku yang tak becus itu, hal ini memang terlalu dipaksakan. Cuma mengenai Hian-tiat-leng tempo hari itu memang benar-benar saudara cilik ini yang menemukannya dan dia sendiri yang telah

menyerahkan kepada Cia-siansing, waktu itu kami suami-istri juga telah ikut menyaksikan. Begitu pula saudara-saudara Kheng, Ong, Kwa, dan Nona Hoa juga dapat menjadi saksi. Sudah lama Mo-thian-kisu terkenal paling memegang janji, mengapa hari ini Cia-siansing justru menolak dan mengelakkan permintaan saudara cilik itu?"

"Kau yang punya anak, mengapa kau sendiri tidak bisa mendidiknya?" sahut Cia Yan-khek dengan gusar. "Anak durhaka yang membikin malu orang tua saja kenapa tidak sekali digaplok biar mampus saja?"

"Ya, anak yang terlalu nakal itu, kalau tidak mendapatkan guru ahli tentu susah mengasuhnya menjadi barang baik!" kata Ciok Jing. "Mengasuh kentut!" semprot Yan-khek. "Jika bocah ini ikut padaku, tidak perlu lebih dari tiga hari tentu dia akan kuasuh menjadi tengkorak hidup!" Dalam pada itu berulang-ulang Bin Ju memberi isyarat kepada sang suami, maksudnya mencegah Ciok Jing jangan memaksakan keinginannya, sebab kalau putranya sampai dibawa pergi oleh Cia Yan-khek tentu akan lebih banyak celakanya daripada untungnya. Siapa duga Ciok Jing sengaja pura-pura tidak tahu, bahkan ia berkata pula dengan tertawa, "Tapi aku percaya Mo-thian-kisu yang termasyhur itu tentulah bukan manusia yang mau ingkar janji, apalagi mengingkari sumpahnya sendiri." Cia Yan-khek menjadi serbarunyam. Ia tahu adalah mudah untuk mengelakkan usikan Ciok Boh-thian yang hijau pelonco itu, tapi sukarlah untuk mengelakkan diri dari debatan Ciok Jing yang berpengalaman itu, terang jeratan itu sudah masuk ke dalam lehernya sendiri, mau-tak mau harus terima nasib saja. Maka jawabnya kemudian, "Ya, sudahlah, hidup orang she Cia selanjutnya terpaksa mesti dikorbankan untuk anak anjing ini!" Kedengarannya dia seperti memaki Ciok Boh-thian, tapi sebenarnya dia maksudkan Ciok Tiong-giok sehingga secara tidak langsung Ciok Jing suami-istri juga ikut terkena makiannya. Keruan muka Bin Ju menjadi merah seketika, lalu berubah menjadi pucat pula lantaran menahan gusar. Lalu Yan-khek berkata kepada Ciok Tiong-giok, "Ayolah, cah, ikutlah padaku! Jika kau tidak mau berubah menjadi orang baik-baik, biarlah setiap hari kau merasakan kepalanku, bila perlu akan kubeset sekalian kulitmu!"

Keruan Tiong-giok sangat takut, ia pandang sang ayah, lalu pandang pula ibunya, kemudian memandang lagi kepada Ciok Boh-thian dengan harapan dia akan mengubah permintaannya kepada Cia Yan-khek. Tapi Boh-thian malah berkata, "Ciok-toako, kau jangan takut, tampaknya saja Paman Cia memang galak, tapi sebenarnya dia adalah orang paling baik. Asal setiap hari kau menanak nasi dan membuatkan daharan baginya, mencucikan pakaian, tanam sayur dan menyiram bunga, tentu beliau takkan

mengganggu apa-apa padamu. Aku sudah pernah ikut beberapa tahun padanya, dia memperlakukan aku lebih baik daripada ibuku, bahkan mengajarkan kepandaian padaku." Mendengar dirinya dibanding-bandingkan dengan ibunya, Cia Yan-khek semakin merasa konyol. Pikirnya, "Ibumu adalah orang gila, masakah memberi nama pada anaknya sendiri sebagai anak anjing. Bocah ini pun makin lama makin tidak genah, masakah Mo-thian-kisu yang namanya mengguncangkan dunia Kangouw dipersamakan dengan seorang gila!" Dalam pada itu Ciok Tiong-giok diam-diam mengeluh, "Sungguh celaka. Biasanya aku yang dilayani, masakah

sekarang aku disuruh mencucikan pakaian, memasak, dan menanam sayur segala. Rasanya aku perlu kursus masuk dahulu untuk melayani iblis ini." Sebaliknya Ciok Boh-thian malah memberi pesan lagi, "Ciok-toako, jika baju Paman Cia menjadi robek maka kau harus lekas-lekas menambal dan menjahitkan baginya. Pula Paman Cia adalah orang yang bosanan, sebaiknya setiap hari kau ganti masakan yang berbeda-beda." Cia Yan-khek hanya tertawa dingin saja sambil melirik Ciok Tiong-giok, Katanya kemudian, "Ciok-cengcu, waktu di Hau-kam-cip tempo hari kalian juga telah menyaksikan medali wasiatku, apakah barangkali maksud tujuan kalian waktu itu bilamana dapat menemukan medali itu, lalu kalian akan mengundang aku sebagai guru untuk mendidik putra kalian yang bagus ini?" Karena dilirik oleh sorot mata Cia Yan-khek yang tajam itu, seketika Ciok Tiong-giok yang biasanya cerdik pandai itu menjadi lemas ketakutan seperti tikus ketemu kucing. Maka terdengar Ciok Jing telah menjawab, "Cia-siansing, untuk bicara secara terus terang, sesungguhnya kami suami-istri mempunyai seorang musuh besar yang pernah membunuh seorang putraku yang lain. Tapi musuh itu tidak pernah menampakkan diri lagi, selama belasan tahun kami telah mencarinya, namun tidak ketemu."

"Jadi kalian ikut berusaha menemukan medali wasiatku dengan maksud akan minta aku membalaskan sakit hati kematian putra kalian itu?" tanya Yan-khek. "Menyuruh membalaskan sakit hati sih tidak berani, cuma kami mengetahui kepandaian Cia-siansing mahasakti dan tentu mengetahui di mana beradanya musuh kami itu," kata Ciok Jing. "Ya, bilamana medaliku dahulu jatuh di tanganmu, tentu aku berbalik merasa terima kasih tak terhingga," ujar Yan-khek. Ciok Jing memberi hormat. Katanya, "Tapi sekarang Cia-siansing sudi membimbing putraku ini, sungguh kami suami-istri merasa utang budi dan takkan melupakannya." Yan-khek hanya mendengus satu kali. Mendadak ia membanting sebuah bungkusan yang tadinya menggandul dipunggungnya ke lantai sehingga mengeluarkan suara nyaring berat. Menyusul sebelah tangannya terus meraih sehingga tangan Ciok Tiong-giok terpegang, segera ia menyeret pemuda itu dan melompat keluar ruang pendopo itu. Di tengah suara jerit takut Ciok Tiong-giok itu hanya sekejap saja mereka sudah berada beberapa puluh meter jauhnya untuk selanjutnya lantas menghilang. Selagi semua orang tercengang dan kagum atas kecepatan Cia Yan-khek, mendadak terdengar suara, "plok" satu kali, tahu-tahu Boh-thian telah ditampar oleh si Ting Tong. Sambil berteriak-teriak memanggil Tiong-giok nona itu lantas berlari menyusul sang kekasih itu. Keruan Boh-thian menjadi kaget dan bingung. Sambil meraba pipinya yang tertampar itu ia menggumam sendiri, "Ting-ting Tong-tong, mengapa kau memukul aku?!" Ciok Jing lantas periksa bungkusan yang ditinggalkan Cia Yan-khek tadi, begitu pegang ia lantas tahu apa isi bungkusan itu. Kiranya adalah sepasang pedang hitam-putih milik mereka yang dahulu dirampas Cia Yan-khek itu. Namun Bin Ju tidak menjadi girang karena pedang kesayangannya itu telah pulang kandang, dengan air mata bercucuran ia berkata, "Engkoh Jing, mengapa... mengapa kau tega membiarkan anak Giok ikut pergi padanya?"

"Adik Ju," sahut Ciok Jing sambil menghela napas, "apakah kau belum sadar mengapa anak Giok bisa berubah menjadi

demikian?"

"Kau... kau menyalahkan aku terlalu memanjakan dia?" tanya Bin Ju dengan menangis. "Kau memang terlalu sayang kepada anak Giok, sesudah Anak Kian dibinasakan orang kau menjadi lebih-lebih memanjakan anak Giok," kata Ciok Jing. "Sebabnya aku tega mengirim dia ke Leng-siau-sia sini adalah karena melihat semuda dia itu sudah sedemikian buruk kelakuannya, siapa duga selama di sini dia tambah tidak genah sehingga membikin malu orang tua terhadap saudara-saudara dari Swat-san-pay. Kita cukup kenal kecerdikan Cia-siansing yang pasti melebihi anak Giok, kepandaiannya juga jauh di atas anak itu, sekarang kita sengaja mengobati dia dengan cerdik lawan cerdik, licin lawan licin, jahat dilawan dengan lebih jahat, dengan demikian besar kemungkinan dia akan menjadi baik malah, untuk ini kau boleh jangan khawatir. Biarpun tingkah laku Mo-thian-kisu agak aneh, tapi dia adalah orang yang paling bisa dipercaya. Kalau saudara cilik ini minta dia mendidik anak Giok, tentu dia akan dapat melaksanakannya dengan baik."

"Akan tetapi anak Giok sejak... sejak kecil sudah biasa hidup diladeni, cara bagaimana ia bisa mencuci dan memasak segala?" ujar Bin Ju sambil terguguk-guguk. "Justru semua penyakitnya yang buruk itu adalah lantaran hidupnya terlalu dimanjakan," kata Ciok Jing. Ketika dilihatnya Pek Ban-kiam dan lain-lain beramai-ramai lari ke ruangan  belakang, segera ia membisiki sang istri pula, "Jika Anak Giok tidak dibawa pergi Cia-siansing, apakah kau kira orang-orang Swat-san-pay mau mengampuni anak Giok mengingat perkara-perkara yang telah diperbuatnya itu?" Bin Ju pikir benar juga alasan sang suami, maka perlahan-lahan ia berhenti menangis. Katanya kepada Ciok Boh-thian, "Wajahmu benar-benar sangat mirip anak Giok, justru kau sedemikian baik dan dia begitu buruknya. Kalau aku mempunyai... mempunyai...." Mestinya ia ingin mengatakan "kalau aku mempunyai anak seperti kau tentu bahagialah-aku," tapi urung diucapkannya. Sebenarnya Ciok Boh-thian juga sangat iri karena melihat Ciok Tiong-giok sedemikian dikasihi oleh ayah-bundanya, malahan dirinya juga pernah menerima kasih sayang Bin Ju itu ketika dua kali dia salah mengira Boh-thian sebagai putranya. Diam-diam Boh-thian menghela napas mengingat kasih ibunya sendiri ternyata jauh berbeda daripada Bin Ju. "Adik cilik, cara bagaimana kau dapat menyamar sebagai anak Giok, sampai sepanjang jalan kami sama sekali tidak tahu?" demikian Bin Ju bertanya pula.

Muka Boh-thian menjadi merah, sahutnya, "Itulah gara-gara Ting-ting Tong-tong...." Baru sekian ucapannya, sekonyong-konyong tertampak Ong Ban-jim berlari masuk sambil berseru, "Ce... celaka! Suhu telah menghilang!" Semua orang terkejut dan cepat minta penjelasan. "Sunio telah ditutuk roboh oleh orang dan Suhu juga tak berada di tempatnya lagi," tutur Ban-jim. "Marilah kita lekas ke sana!" segera A Siu menarik Boh-thian dan cepat mereka lantas berlari ke tempat tahanan. Sampai disana ternyata keadaan agak panik dan anak murid Swat-san-pay penuh berkerumun. Waktu melihat kedatangan A Siu mereka lantas menyingkir untuk memberi jalan lewat. Setiba di dalam kamar tahanan, tertampak Pek Ban-kiam dan istrinya sedang memayang Su-popo dan berduduk di atas lantai. "Ayah, ibu, bagaimana keadaan nenek? Apakah... apakah terluka?" tanya A Siu khawatir. "Ada pengkhianat, pasti ada pengkhianat," kata Ban-kiam dengan muka beringas. "Ibu telah ditutuk oleh cara tiam-hiat perguruan kita sendiri. Ayah telah diculik orang, coba kau menjaga nenek, biar kupergi menolong kakek." Habis berkata terus saja Ban-kiam berlari keluar, saking tak sabarnya sampai dua orang murid cabang tiga yang berdiri di sebelah ditumbuk saja hingga terjungkal. "Toako, harap kau bantu menyalurkan tenagamu untuk membuka hiat-to nenek," pinta A Siu kepada Boh-thian. Cepat Boh-thian mengiakan. Segera ia melakukan cara pertolongan cepat sebagaimana ia pernah melakukannya terhadap Su-popo dan A Siu di atas perahu dahulu. Maka tidak antara lama hiat-to si nenek yang tertutuk sudah lantas lancar kembali. "Semua orang jangan ribut, Ciangbunjin sendiri yang telah menutuk roboh diriku, dia sendiri sudah pergi!" seru Su-popo segera. Melengaklah semua orang atas keterangan itu. Kata mereka, "Kiranya Wi-tek Siansing sendiri yang menutuk istrinya, pantas sampai Pek-suko juga tidak mampu menolong ibunya." Semula semua orang mengira telah terjadi pertengkaran dalam pula dan bukan mustahil akan terjadi bunuh-membunuh lagi, tapi demi mendengar urusan hanya menyangkut suami-istri Pek Cu-cay saja, perasaan semua orang menjadi lega dan berita itu segera diteruskan kepada anak murid Swat-san-pay yang lain. Waktu menerima berita itu, segera Ban-kiam berlari kembali. Katanya kepada Su-popo, "Bu, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Dari nadanya nyata ia merasa mendongkol. Maklumlah kejadian-kejadian paling akhir ini benar-benar telah membuat tokoh muda Swat-san-pay yang biasanya terkenal cerdik dan

pandai itu menjadi bingung, sekarang urusan ini adalah gara-gara ayah-bundanya pula, cara bagaimana ia dapat melampiaskan rasa dongkolnya itu? "Kau sendiri tidak mencari keterangan lebih dulu, apakah kau menyalahkan orang tua?" Su-popo menjadi gusar. "Anak tidak berani," cepat Ban-kiam menjawab. "Sesungguhnya ayahmu juga ingin berbuat demi kebaikan semua orang," tutur Su-popo. "Dia... dia sekarang sedang menuju ke Liong-bok-to."

"Hah, ayah berangkat ke Liong-bok-to? Sebab apa?" Ban-kiam menegas dengan terkejut. "Sebab apa? Bukankah ayahmu adalah ketua Swat-san-pay yang sesungguhnya? Kalau dia tidak pergi, habis siapa yang pergi?" sahut Su-popo. "Waktu aku sampai di sini, kukatakan pada ayahmu bahwa selama dia mengurung diri di dalam penjara sini, selama itu pula aku akan mendampingi dia. Cuma tentang undangan ke Liong-bok-to itu entah siapa yang harus pergi. Dia telah minta keterangan padaku tantang apa-apa yang sudah terjadi, akhirnya ia berkata, `Aku adalah ciangbunjin, sudah tentu akulah yang pergi ke sana.' -- Aku minta dia pertimbangkan niatnya itu untuk mencari suatu jalan yang sempurna, Tapi dia menjawab, `Aku telah berdosa kepada Swat-san-pay, aku harus mati demi kehormatan Swat-san-pay, dengan demikian barulah anak-istriku, cucu perempuan dan cucu menantuku tidak ikut malu terhadap orang luar.' -- Habis itu dia lantas menutuk roboh diriku, dua potong medali tembaga undangan Liong-bok-to itu telah diambil olehnya, saat ini tentu sudah jauh perginya."

"Ayah sudah lanjut usianya, kesehatannya juga belum pulih, mana boleh beliau pergi ke tempat sejauh itu, mestinya anak yang harus berangkat," ujar Ban-kiam. "Hm, sampai saat ini kau masih belum kenal perangai ayahmu sendiri?" jengek Su-popo sambil melangkah keluar. "Ibu... ibu hendak ke mana?" tanya Ban-kiam. "Aku adalah ketua Kim-oh-pay, dengan sendirinya aku pun memenuhi syarat untuk pergi ke Liong-bok-to," sahut si nenek. Pikiran Ban-kiam menjadi kacau. Akhirnya ia ambil keputusan, "Ya, urusan sudah kadung begini, biarlah beramai-ramai pergi semua untuk mengadu jiwa saja." Pada tanggal 5 bulan 12 rombongan Su-popo, Pek Ban-kiam, Ciok Jing, Bin Ju, Ciok Boh-thian, A Siu, Seng Cu-hak, dan lain-lain sudah sampai di suatu kampung nelayan di pantai selatan. Kiranya di balik medali tembaga yang diterima itu terukir tanggal dan tempat yang harus mereka datangi, di sanalah mereka harus menunggu penjemputan. Boleh jadi tempat dan waktunya bagi orang-orang yang menerima medali undangan itu berbeda-beda. Sebab itulah rombongan Su-popo tidak menemukan seorang pun di kampung yang ditunjuk itu, dengan sendirinya bayangan Pek Cu-cay juga kelihatan. Bahkan sebuah perahu pun tidak tampak di tepi pantai situ. Ketika meninggalkan Leng-siau-sia, Su-popo telah memerintahkan kepada Kheng Ban-ciong untuk bertindak sebagai pemimpin sementara dibantu oleh Ang Ban-ek dan Houyan Ban-siau untuk mengurus segala sesuatu di dalam benteng. Adapun dibawa sertanya Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, dan Nio Cu-cin adalah untuk menjaga kalau-kalau anak murid mereka saling bermusuhan dan terjadi pengkhianatan lagi. Liau Cu-le yang sudah cacat itu tentunya tidak menjadi soal lagi untuk ditinggalkan di Leng-siau-sia. Begitulah rombongan mereka lantas mengaso di dalam sebuah gubuk. Petangnya tiba-tiba datanglah seorang laki-laki berbaju kuning dengan membawa pengayuh. Sesampai di depan gubuk orang itu lantas berseru, "Utusan penyambut tamu dari Liong-bok-to atas perintah Tocu (pemilik pulau) dengan hormat menyilakan Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang untuk berangkat!" Mendengar suara itu Su-popo dan lain-lain lantas keluar. Tapi laki-laki itu langsung mendekati Ciok Boh-thian, sesudah memberi hormat lantas bertanya, "Tuan inilah tentunya Ciok-pangcu yang dimaksud?"

"Benar, siapakah saudara?" Boh-thian balas tanya. "Hamba she Liong," sahut orang itu. "Atas perintah Tocu, Ciok-pangcu disilakan berangkat!"

"Ada beberapa orang tua dan kawan Cayhe juga ingin ikut berkunjung ke pulau kalian, tentunya tidak menjadi soal, bukan?" kata Boh-thian. "Wah, ini adalah soal sulit," sahut orang itu. "Pertama, perahunya terlalu kecil. Pula Tocu telah memberi perintah tegas hanya untuk menyambut Ciok-pangcu seorang saja. Jika lebih dari seorang, andaikan perahunya tidak sampai terbalik, tentu juga hamba tak terhindar dari hukuman Tocu."

"Hm, urusan sudah begini, mungkin kau tidak berkuasa lagi," jengek Su-popo sambil menggeser ke belakang orang itu untuk menjaga kalau-kalau orang melarikan diri. Namun orang itu ternyata tidak gentar, ia hanya tersenyum saja dan tidak ambil pusing kepada kelakuan si nenek. Katanya kepada Ciok Boh-thian, "Marilah silakan Ciok-pangcu ikut pada hamba." Habis berkata ia lantas putar tubuh terus melangkah pergi. Terpaksa Ciok Boh-thian, Su-popo, Ciok Jing, dan lain-lain mengikut dari belakang. Mereka lantas jalan ke depan menyusur pantai. Sesudah mengitari dua lekukan karang akhirnya tertampak di pesisir sana berlabuh sebuah perahu kecil. Perahu itu benar-benar sangat kecil, lebarnya tidak lebih dari setengah meter, panjangnya paling-paling cuma dua meter, untuk memuat dua penumpang saja sudah menjadi pertanyaan, jangankan ditambah penumpang lain lagi. Sesudah mendekati perahu, orang itu berkata, "Memangnya tidaklah sukar bila kalian hendak membunuh diriku. Asalkan di antara kalian ada yang tahu jalan ke Liong-bok-to, maka boleh silakan mengiringi Ciok-pangcu ke sana." Su-popo saling pandang dengan Ciok Jing dan lain-lain. Sungguh tak terduga bahwa cara mengatur pihak Liong-bok-to ternyata sedemikian rapi, sampai-sampai orang yang diundang ke Liong-bok-to seorang pun tidak boleh lebih. Mereka hanya pernah mendengar nama Liong-bok-to, tapi di mana letaknya, di tengah samudra raya seluas itu cara bagaimana mereka dapat mencarinya? Apalagi sepanjang mata memandang lautan yang luas itu juga tidak tampak sebuah

kapal atau perahu, sehingga tidak dapat mengikutnya dari belakang. Su-popo menjadi gusar. Mendadak sebelah tangannya terangkat dan segera hendak menghantam ke batok kepala laki-laki baju kuning itu. Tapi sampai di tengah jalan tiba-tiba pukulannya tak jadi diteruskan. Katanya kepada Ciok Boh-thian, "Muridku, harap kau memberikan medali undangan itu

kepadaku, biarlah aku mewakilkan kau ke sana. Betapa pun juga biar perempuan tua ini mati bersama dengan si tua gila

(maksudnya Pek Cu-cay) itu." Namun laki-laki baju kuning lantas menanggapi, "Menurut perintah Tocu, jika sampai salah menyambut tamu yang diundang, bukan saja hamba akan celaka, bahkan segenap anggota keluargaku juga akan menjadi korban." Tiba-tiba Su-popo mendapat akal, katanya pula kepada Boh-thian, "Muridku, jika demikian boleh kau serahkan kedudukan Pangcu Tiang-lok-pang padaku saja, sebagai pangcu dengan sendirinya aku dapat hadir ke sana."

"Ini... ini agak...." Boh-thian menjadi ragu-ragu. Sedangkan laki-laki baju kuning juga lantas berkata, "Siang-sian dan Hwat-ok Sucia juga telah memberi petunjuk dengan jelas bahwa Tiang-lok-pang Pangcu adalah seorang kesatria muda dan bukan seorang nenek bijaksana yang berusia lanjut."

"Kentutmu, dari mana kau tahu aku bijaksana," semprot Su-popo. Orang itu hanya tersenyum saja, ia menuju ke tepi laut sendiri untuk melepaskan tali tambatan perahu. Akhirnya Su-popo menghela napas, katanya, "Baiklah, kau boleh berangkatlah, muridku. Hendaklah kau ingat suatu pesanku saja."

"Silakan Suhu mengatakan," sahut Boh-thian dengan hormat. "Setiba di sana, asalkan ada kesempatan hendaklah kau berusaha meloloskan diri saja dari sana, janganlah karena ingin menolong Yaya sehingga kau sendiri terjeblos di sana. Hanya inilah pesan gurumu, harap kau ingat betul-betul dan taati." Boh-thian menjadi bingung malah. Pikirnya, "Mengapa, Suhu melarang aku menolong suaminya? Apa barangkali dalam hati dia masih benci padanya?" Dalam pada itu terdengar Su-popo berkata pula, "Boleh kau katakan juga kepada si tua gila itu bahwa aku akan menunggunya sebulan di sini, sampai tanggal 8 bulan satu tahun depan, jika dia tidak kembali ke sini untuk menemui aku, maka aku akan segera membunuh diri terjun ke laut. Jika dia omong tentang Pik-lwe-san apa segala, jadi setan pun aku takkan mengampuni dia." Boh-thian mengiakan sambil mengangguk. A Siu juga lantas berkata, "Toako, aku... aku pun begitu, aku akan menanti engkau di sini sampai tanggal 8 bulan satu tahun depan." Bahagia sekali rasa hati Boh-thian tercampur pilu. Sahutnya, "Tidak perlu kau berbuat demikian."

"Aku justru akan berbuat demikian," kata A Siu dengan tegas. Suaranya perlahan, tapi penuh mengandung ketekadan yang tak tertahankan. "Nak, semoga, kau akan kembali dengan selamat, semua orang yang berada di sini akan berdoa bagimu," demikian Bin Ju ikut bicara. "Kedudukanku sebagai Pangcu Tiang-lok-pang adalah palsu belaka, boleh jadi mereka akan membebaskan aku pulang ke sini," kata Boh-thian. "Pula Thio Sam dan Li Si juga saudara angkatku, andaikan ada bahaya juga mereka takkan berpeluk tangan tanpa menolong padaku."

"Ya, semoga demikian adanya," ujar Bin Ju. Tapi diam-diam ia pikir pemuda yang hijau ini belum lagi kenal betapa keji dan palsunya hati manusia. Persaudaraan orang Bu-lim demikian itu mana boleh dipercaya dan dibuat sandaran? Dalam pada itu Ban-kiam juga lantas memegang tangan Ciok Boh-thian dan berkata, "Hiansay (menantuku yang baik), selanjutnya kita adalah orang sekeluarga, usia ayahku sudah lanjut, sedapat mungkin hendaklah kau menjaga beliau." Muka Boh-thian menjadi merah karena panggilan itu. Jawabnya cepat, "Ya, akan kulakukan sedapat mungkin." Hanya Ce Cu-bian, Seng Cu-hak, dan Nio Cu-cin bertiga yang anggap kepergian Ciok Boh-thian itu akan menguntungkan mereka malah, mereka yakin pemuda itu pasti bisa pergi tapi tak bisa kembali. Selama 30-an tahun ini sudah ada tiga rombongan tokoh-tokoh Bu-lim yang pergi ke Liong-bok-to, selama itu belum terdengar ada seorang pun di antara tokoh-tokoh persilatan itu yang pulang dengan selamat. Apalagi sekarang Ciok Boh-thian hanya seorang pemuda pelonco, apakah dia dapat terkecuali dari kematian? Begitulah Boh-thian lantas berpisah dengan semua orang dan menuju ke tepi laut. Semua orang ikut mengantar dari belakang, A Siu dan Bin Ju tampak sangat sedih. Sesudah memberi salam pula kepada semua orang, lalu Boh-thian melompat ke atas perahu kecil yang telah disiapkan orang tadi. Hanya beberapa kali dayung saja laki-laki itu sudah meluncurkan perahu kecil itu beberapa meter dari pantai. Sesudah arah perahu dibetulkan, lalu dia memasang layar, dengan mendapatkan angin sorong buritan, maka perahu itu lantas laju dengan pesatnya menuju ke arah selatan. Waktu Boh-thian menoleh ke belakang, tertampak Su-popo, A Siu dan lain-lain makin lama makin kecil, akhirnya hanya kelihatan sebagai titik-titik hitam saja untuk kemudian lantas tidak jelas lagi. Malamnya perahu itu berganti haluan menuju ke arah tenggara. Tiga hari lamanya perahu kecil itu berlayar, sampai tengah hari, hari keempat, hari itu tepat tanggal 8 bulan 12. Tiba-tiba laki-laki itu menuding ke depan dan berkata, "Di situlah Liong-bok-to!" Boh-thian melihat di depan sana hanya ada satu garis hitam saja, lebih dari itu tidak tampak apa-apa. Tapi hatinya lantas mulai berdebar-debar. Kira-kira satu jam kemudian, tertampaklah sebuah pulau terbentang di depan, sebuah gunung menjulang tinggi di tengah pulau dengan pepohonan yang rindang menghijau. Perahu itu menepi pada pantai selatan pulau, di situlah laki-laki itu menyilakan Boh-thian mendarat.

Tertampak di selatan pulau itu adalah pesisir yang cukup luas, di ujung timur sana, di bawah tebing karang berlabuh beberapa puluh perahu besar dan kecil. Hati Boh-thian tergerak. Diam-diam ia merancang bilamana dapat menyelamatkan jiwa, rasanya tidak sulit untuk merebut sebuah perahu ini untuk melarikan diri.

Bab 45. Bubur Lap-pat-cok = Racun Serbakomplet

Sesudah Boh-thian melompat ke daratan, laki-laki itu menambat perahunya pada sebuah batu karang. Kemudian ia mengeluarkan sebuah kulit keong, "Tut, tut, tuuuut!" ia meniup kulit keong itu beberapa kali. Tidak lama terlihatlah dari balik bukit sana berlari mendatangi empat orang laki-laki berseragam kuning. Sesudah berhadapan dengan Boh-thian mereka lantas memberi hormat dan menyapa, "Tocu sedang menantikan kedatangan para tamu agung, silakan Ciok-pangcu ikut kepada hamba!"

Mestinya Boh-thian ingin mencari tahu keadaan Pek Cu-cay, tapi orang-orang itu ternyata tidak dapat memberi keterangan apa-apa. Terpaksa Boh-thian mengikuti seorang laki-laki baju kuning itu ke depan, laki-laki yang lain lantas mengiringi dari belakang. Setelah mendaki bukit, ternyata kedua samping adalah hutan belukar, hanya sebuah jalanan yang menyusur rimba menembus ke sebelah sana. Diam-diam Boh-thian memerhatikan keadaan sekitarnya agar bila perlu melarikan diri tidak sampai tersesat jalan. Beberapa li kemudian, akhirnya mereka membelok ke suatu jalan pegunungan yang penuh batu-batu karang, di sebelah lain adalah sebuah kali kecil dengan arus air yang keras. Dengan menyusur tepi sungai kecil yang semakin menanjak ke atas, akhirnya tertampaklah sebuah air terjun yang berpuluh meter tingginya, air mencurah dari atas bagai dituang. Rupanya air terjun inilah mata air daripada sungai kecil itu. Laki-laki penunjuk jalan itu tiba-tiba mengambilkan sebuah jas hujan yang tergantung di atas pohon di tepi jalan situ, ia berikan jas hujan itu kepada Boh-thian dan berkata, "Gedung tamu agung yang merupakan tempat yang paling nyaman di pulau kami ini dibangun di dalam gua sini, silakan Ciok-pangcu memakai jas hujan ini supaya tidak terciprat air." Boh-thian juga tidak menolak, ia pakai jas hujan itu. Ia lihat laki-laki itu mendekati air terjun, sekali lompat terus menembus ke balik tirai air itu. Segera Boh-thian ikut melompat ke sebelah sana. Ternyata di balik tirai air terjun itu adalah sebuah gua, di dalamnya merupakan sebuah jalan lorong yang amat panjang, kedua tepi jalan terpasang pelita-pelita minyak, walaupun cahaya pelita agak guram, tapi cukup menerangi jalanan. Jalanan lorong itu adalah perubahan dari gua alam yang terdapat di perut gunung itu, tempat-tempat yang dibuat oleh manusia itu agak sempit, tapi terkadang sangat lebar. Makin lama jalanan itu makin menurun dan terdengar pula suara gemerciknya air sehingga menimbulkan suara nyaring merdu di dalam gua. Jalan-jalan cabang di dalam gua juga sangat banyak, tapi diam-diam Boh-thian telah mengingatnya dengan baik. Kira-kira lebih dari satu li jalan lorong di dalam gua itu, akhirnya pandangan Boh-thian terbeliak, di depannya terdapat sebuah pintu terbuat dari batu pualam. Di atas pintu terukir tiga huruf besar. Ia lantas tanya, "Apakah di sini inilah gedung tamu agung yang kalian maksudkan?" Laki-laki baju kuning itu mengiakan. Diam-diam ia pun heran, bukankah huruf-huruf di atas pintu itu sudah cukup menerangkan, mengapa masih tanya, apakah kau buta huruf? Ia tidak tahu bahwa Ciok Boh-thian justru memang buta huruf. Setelah memasuki pintu batu pualam itu, lantai jalan di dalam situ ternyata juga terbuat dari papan batu yang sangat rajin. Laki-laki itu membawa Boh-thian ke dalam sebuah kamar di sebelah kiri, katanya, "Silakan Ciok-pangcu mengaso dulu disini, sebentar lagi barulah Tocu akan menemui engkau dalam perjamuan nanti." Di dalam gua itu ternyata dilengkapi dengan meja kursi, tiga batang lilin besar cukup menerangi seluruh ruangan. Seorang kacung lantas mengaturkan teh dan empat macam penganan. Melihat makanan dan minuman itu, tiba-tiba Boh-thian teringat kepada cerita Ciok Jing tempo hari. Menurut pengiraan Ciok Jing, berbagai tokoh persilatan yang telah diundang ke Liong-bok-to dan tak pernah kembali itu rasanya tidak mudah dijaring sekaligus begitu saja, besar kemungkinan orang-orang Liong-bok-to telah menggunakan akal-akal licik misalnya memakai perangkap atau menaruh racun di dalam makanan. Secara terang-terangan pihak Liong-bok-to mengundang tamunya menghadiri perjamuan Lap-pat-cok, maka bubur atau jenang yang dimaksudkan ini boleh jadi malah tidak ada sesuatu yang luar biasa, sebaliknya makanan atau minuman biasa yang tampaknya sepele justru jangan sembarangan dimakan. Namun demikian tokoh-tokoh Bu-lim yang menghilang di Liong-bok-to itu toh bukan orang bodoh semua, masakan mereka kalah cerdik daripada kita, maka sesungguhnya masih merupakan suatu teka-teki besar keadaan di Liong-bok-to. Sebagai pemuda yang jujur dan polos mungkin akan mendapat berkah dan takkan mengalami cedera apa-apa, yang penting segala apa hendaklah waspada dan hati-hati. Begitulah dalam benak Boh-thian teringat kepada pesan Ciok Jing, tapi hidungnya tetap mengendus bau sedap penganan-penganan yang disuguhkan itu. Pikirnya, "Perutku sudah sangat lapar, masakah aku datang ke sini hanya untuk menderita lapar? Jika mereka ingin meracun diriku, di mana-mana juga mereka dapat melakukannya. Padahal kedua kakak angkat, Thio Sam dan Li Si, sudah pernah bersumpah setia dengan aku kalau ada rezeki dirasakan bersama, ada kesukaran di tanggung bersama. Bila mereka membikin celaka diriku bukankah berarti mencelakai mereka sendiri pula?" Karena pikiran demikian, ia tidak ambil pusing lagi, memangnya perutnya juga sudah keroncongan, segera ia comot lumpia, siobe, kue bolu, dan siopia yang disuguhkan itu. Dalam sekejap saja empat macam penganan itu sudah disapu bersih ke dalam perutnya. Bahkan satu kan air teh juga dihabiskan setengah. Kira-kira lebih satu jam ia menunggu di dalam gua itu. Tiba-tiba terdengar suara petasan mercon yang riuh ramai, si penunjuk jalan itu telah datang dan memberi tahu, "Tocu menyilakan Ciok-pangcu hadir ke dalam perjamuan." Boh-thian lantas berbangkit dan mengikutnya keluar. Terdengarlah bunyi petasan semakin ramai diseling dengan suara genderang dan genta. Setelah menembus beberapa tempat gua lagi, mendadak keadaan terang benderang. Tertampaklah sebuah gua besar penuh nyala lilin-lilin raksasa, di dalam gua sudah terpasang ratusan buah meja. Gua itu sangat luas, walaupun sudah dipasang ratusan buah meja toh masih ada tempat luang, Beberapa ratus orang laki-laki berseragam kuning kian-kemari mengantar tamu ke tempat duduk yang telah disediakan. Setiap tamu masing-masing menduduki sebuah meja, juga tidak diiringi orang dari pihak tuan rumah. Waktu Boh-thian memandang sekitarnya, sekali pandang saja lantas terlihat Pek Cu-cay berduduk dengan gagah dan kereng di sebelah sana. Karena badan Cu-cay memang tinggi besar, maka tampaknya menjadi mencolok sekali. Ketika berada di penjara Leng-siau-sia tempo hari, karena keadaan suram, maka Boh-thian belum jelas mengenali maka Pak Cu-cay, sekarang di bawah cahaya lilin yang terang dapat dilihatnya Wi-tek Siansing itu benar-benar angker seperti Toapekong yang dipuja di dalam kelenteng. Segera Boh-thian mendekati orang tua itu dan menyapa, "Yaya, aku sudah datang!" Suasana di dalam ruangan itu mestinya sunyi senyap sebab semua orang sedang merenungkan nasib masing-masing. Maka demi mendengar suara Ciok Boh-thian itu, tanpa merasa semua orang sama memandang ke arahnya. Terdengar Pek Cu-cay telah mendengus, "Hm, setan cilik yang tidak becus, kau telah membikin celaka padaku, sampai-sampai buyut luar juga hilang harapan sama sekali bagiku."

Boh-thian melengak karena tidak paham apa maksud dampratan kakek itu. Selang sejenak baru dia mengerti. Rupanya Pek Cu-cay mengatakan dia juga mengantarkan nyawa ke Liong-bok-to, ini berarti tak jadi kawin dengan A Siu dan tentu takkan melahirkan keturunan. Maka Boh-thian berkata pula, "Yaya, nenek sedang menunggu kau di kampung nelayan di pantai laut sana, kata beliau, jika sebulan kemudian, yakni sampai tanggal 8 bulan satu, bila engkau masih belum kembali, maka nenek akan... akan terjun ke laut untuk bunuh diri."

"Hah! Dia tidak pergi ke Pik-lwe-to?" seru Pek Cu-cay dengan alis menegak. "Nenek sangat gusar bila mendengar ucapanmu ini," sahut Boh-thian. "Beliau memaki engkau sebagai... sebagai...."

"Sebagai apa?" Pek Cu-cay menegas. "Beliau memaki engkau sebagai si tua gila," sahut Boh-thian. "Bila bertemu dengan Ting Put-si yang bermulut usil dan bergajul itu, tentu beliau akan mengorek-ngorek badannya dengan belati sehingga berlubang-lubang."

"Haha, betul, betul, tepat itu! Hahaha!" seru Cu-cay sambil bergelak tertawa. Pada saat itulah sekonyong-konyong di pojok ruangan sana ada seorang telah berkata sambil menangis terguguk-guguk, "O, mengapa dia memaki aku secara demikian? Bilakah aku pernah berbuat bergajul? Selama ini aku selalu setia padanya, tidak menikah sampai hari tua, tapi dia... dia sedemikian tega, sampai satu kali saja dia tidak mau menginjak Pik-lwe-to." Waktu Boh-thian memandang ke arah suara itu, terlihatlah Ting Put-si duduk di sebelah sana, kedua tangannya berpegangan meja, badannya rada gemetar dan air mata bercucuran. "Eh, kiranya dia juga datang. Sudah tua masih juga menangis di depan umum, masakah tidak malu?" demikian pikir Boh-thian. Ia tidak tahu bahwa sifat Ting Put-si itu memang aneh, kelakuannya angin-anginan, apa pun dapat dilakukannya tanpa rasa sirik atau malu. Apalagi kedatangannya ke Liong-bok-to ini baginya berarti akan tamatlah segala angan-angannya. Sekarang mendengar pula uraian Ciok Boh-thian tentang apa yang diucapkan Su-popo atas dirinya, keruan ia lantas menangis putus asa. Jika dalam keadaan biasa tentu para kesatria akan menertawakan kelakuan Ting Put-si itu. Tapi sekarang setiap orang sama-sama menghadapi petaka, bahkan kalau bisa mereka pun ingin menangis. Sebab itulah tiada seorang pun yang sempat menertawai Ting Put-si. Sekonyong-konyong, di pojok ruangan sebelah lain suara seorang wanita yang agak serak telah mengejek, "Hm, hm! Selalu setia, tidak menikah sampai tua! Huh, Ting Put-si, sungguh kau tidak tahu malu! Jika betul kau setia kepada Su Siau-jui, mengapa kau main cinta pula dengan Taciku sehingga melahirkan seorang anak perempuan?" Seketika air muka Ting Put-si merah jengah, sikapnya menjadi serbarunyam, malu tercampur heran. Ia berbangkit dan bertanya, "Da... dari mana kau mengetahui?"

"Aku adalah adiknya, sudah tentu aku tahu!" sahut wanita itu. "Di manakah anak perempuan itu? Sudah mati atau masih hidup?" Seketika Ting Put-si lemas terduduk pula di atas kursinya, "prak", keempat kaki kursinya sampai tertindih patah semua. "Di mana anak perempuan itu? Sudah mati atau masih hidup? Lekas katakan!" desak pula wanita itu dengan suara bengis. "Da... dari mana aku bisa tahu?" sahut Ting Put-si setengah menggumam. "Sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan, Cici telah pesan padaku agar mencari kau untuk menanyakan di mana beradanya anak perempuan itu, aku diminta merawat anaknya," kata wanita itu. "Dasar kau ini memang... memang bangsat keparat, kau telah membikin kapiran Ciciku, sekarang kau masih merecoki bini orang lain." Kedua kaki Ting Put-si tambah lemas, kursi yang dia duduki mestinya sudah patah kakinya, hanya tergantung pada kakinya saja yang menyangga, kini kursi itu lantas saja roboh ke bawah. Syukurlah kepandaian Ting Put-si cukup hebat, sedikit kakinya memancal sudah berdiri tegak lagi. Kalau orang lain bukan mustahil sudah jatuh terjengkang. "Sebenarnya anak perempuan itu masih hidup atau sudah mati?" kembali si wanita tadi bertanya dengan suara bengis. "Dua puluh tahun yang lalu dia masih... masih hidup, kemudian aku tidak tahu lagi," sahut Put-si.

"Mengapa kau tidak mencarinya?" desak si wanita. "Ini... ini memang su... sukar untuk mencarinya," sahut Ting Put-si dengan gelagapan. Boh-thian melihat perawakan wanita yang bicara itu pendek dan kecil, berbaju sutra ungu tua, mukanya tertutup oleh sehelai sutra hitam tipis, di bawah cahaya lilin wajahnya kelihatannya tiada sesuatu yang luar biasa. Tapi Ting Put-si ternyata sangat jeri padanya. Pada saat itulah mendadak suara tambur dan genta bergemuruh lagi, seorang laki-laki baju kuning telah berseru, "Liong-tocu dan Bok-tocu, kedua pemilik Liong-bok-to akan menjumpai para tamu agung!" Seketika tergetar hati semua orang. Baru sekarang mereka mengetahui bahwa Liong-bok-to ternyata ada dua orang penguasa she Liong dan she Bok. Jadi nama pulau itu adalah diambil dari she kedua penguasanya. Ketika pintu tengah terbuka, maka keluarlah dua baris pria dan wanita, yang sebelah kiri berseragam hijau, sedangkan sebelah kanan berseragam kuning. Pembawa acara tadi lantas berseru pula, "Para anak murid Liong-tocu dan Bok-tocu menyampaikan salam hormat kepada para tamu agung!" Kedua baris anak murid Liong-bok-to itu lantas berdiri di kanan-kiri, lalu bersama-sama memberi hormat kepada para hadirin. Tertampak Thio Sam dan Li Si, kedua Sucia pengganjar dan penghukum itu juga berada di antara kedua baris itu, Thio Sam memakai seragam kuning dan menduduki tempat ke-11 disebelah kanan menurut urut-urutan dari depan. Li Si memakai seragam hijau dan berbaris nomor 13 di sebelah kiri. Di belakang mereka itu masih terdapat belasan orang lagi. Padahal ilmu silat Thio Sam dan Li Si itu telah diketahui sangat lihai, siapa duga mereka masih mempunyai saudara seperguruan sebanyak itu dan tentu tidak rendah pula ilmu silatnya, paling tidak juga sembabat dengan kedua Sucia itu. Pantas selama ini setiap tokoh Bu-lim yang datang ke Liong-bok-to sini tiada satu pun yang mampu pulang dengan selamat, sebab di pulau ini ternyata ada sebanyak ini orang-orang pandai, belum lagi kedua tocu mereka yang pasti jauh lebih lihai pula daripada anak buahnya, demikian pikir semua orang dengan kebat-kebit. Jika di waktu mengantar medali undangan ke Tionggoan itu Thio Sam dan Li Si bersikap sangat angkuh dan keras, sedikit tidak cocok lantas membunuh orang. Tapi sekarang sesudah di kandang sendiri, sikapnya ternyata sangat prihatin, pandangannya lurus, melirik sedikit saja tidak berani. Maka di tengah suara alunan musik yang perlahan muncullah dua orang tua yang berbaju kuning dan hijau. "Kedua Tocu kami mengucapkan selamat datang kepada para tamu agung!" seru pula si pembawa acara. Serentak semua orang dan kedua tocu itu saling memberi hormat. Maka Liong-tocu yang berjubah kuning itu lantas tertawa, katanya, "Cayhe dan Bok-hiante sudah lama hidup terasing di pulau sunyi ini, hari ini dapat berjumpa dengan saudara-saudara, sungguh kami merasa sangat bahagia. Cuma saja dipulau terpencil ini tentu akan kurang sempurna dalam hal pelayanan, untuk ini diharap kalian suka memaafkan."

"Silakan duduk, saudara-saudara?" Segera Bok-tocu menyambung. Dari logat mereka, agaknya kedua tocu ini pun berasal dari daratan Tionggoan, kalau bukan Hokkian, tentunya orang Kwitang. Sesudah para tamu berduduk kembali, kedua tocu itu lantas menempati meja-kursi yang telah disediakan sebagai tuan rumah. Sedangkan anak muridnya tetap berdiri semua. Melihat sikap tuan rumah yang cukup ramah itu, diam-diam para kesatria berpikir, "Cara Liong-bok-to mengundang tamu sangatlah kasar, jika yang diundang tidak mau, tentu orangnya, bahkan segenap keluarganya akan dibunuh habis. Tapi sesudah berada di pulau mereka ternyata disambut dengan segala kehormatan, sedikit pun tidak tampak kekurangan adat. Entah apa langkah selanjutnya yang akan mereka ambil?" Waktu mereka memerhatikan kedua tocu itu, tertampak jenggot alis Liong-tocu itu sudah putih semua, tapi mukanya merah licin laksana anak kecil. Sebaliknya Bok-tocu itu berjenggot jarang-jarang, baru sedikit yang ubanan, tapi mukanya malah penuh keriput. Sebenarnya berapa usia kedua kakek itu menjadi sukar ditaksir. Cuma dapat diduga antara 60-90 tahun, tapi bukan mustahil juga sudah lebih dari 100 tahun. Setelah masing-masing mengambil tempat duduk kembali, segera petugas-petugas mendekati setiap orang untuk menuangkan arak, menyusul lantas disuguhkan masakan-masakan enak, setiap meja delapan macam, ada ayam, itik,ikan dan udang, semuanya menguarkan bau sedap dan tiada sesuatu yang mencurigakan. Di antara hadirin itu Boh-thian melihat pula keempat tokoh dari Kwantang, yaitu Hoan It-hui dan kawan-kawannya, ketua Siang-jing-koan dan lain-lain juga datang. Bila mereka bertemu pandang, maka hanya saling mengangguk saja. Rupanya perasaan mereka rada tegang. "Silakan minum!" segera Liong dan Bok-tocu mengangkat gelas, kedua orang lantas mendahului minum habis arak mereka. Melihat warna arak yang disuguhkan itu putih kehijau-hijauan, banyak di antara hadirin itu tidak berani minum, mereka hanya menempelkan cawan arak ke bibir saja dan tidak menghirup isinya. Sebaliknya ada sebagian hadirin yang merasa nasib mereka sudah berada di genggaman orang, biarpun mati juga

harus bersikap kesatria, maka tanpa ragu-ragu mereka lantas ikut menenggak arak masing-masing. Segera pelayan menuangkan lagi cawan mereka. Setelah tiga kali mengangkat gelas, kemudian Liong-tocu mengangkat tangannya memberi tanda, segera serombongan pelayan keluar dari ruangan belakang, masing-masing membawa sebuah nampan dengan semangkuk besar bubur

atau jenang dan diletakkan di depan setiap tamu. "Inilah tentunya Lap-pat-cok yang ditakuti orang Kangouw itu," demikian pikir semua orang. Bubur atau jenang itu berwarna hijau gelap, masih panas mengepul. Anehnya jenang ini bukan dibuat dari campuran angco (kurma merah), lianci (biji teratai), lengkeng, dan bahan-bahan lain, sebaliknya entah dicampur dengan pepesan apa, seperti sayur dan seperti rumput, mirip pula potongan akar-akaran, menusuk hidung pula bau obat-obatan. Pada umumnya kalau barang berbisa kebanyakan bersemu hijau, sekarang warna jenang ini sedemikian aneh, keruan semua orang menjadi jeri. Apalagi Ko Sam-niocu, mengirik demi mengendus bau obat-obatan itu. Ia pikir di dalam jenang itu entah dicampur betapa banyak ular, kelabang, kalajengking dan makhluk-makhluk berbisa lain, sungguh ia merasa muak dan ingin muntah-muntah. Cepat ia mendorong jenang itu ke tepi meja sambil menutupi hidungnya. Maka terdengar Liong-tocu berkata pula, "Sebagai penghormatan kepada para hadirin yang datang dari tempat jauh, maka sengaja kami suguhkan semangkuk Lap-pat-cok yang sukar dicari di luaran ini. Yang paling utama adalah sejenis bahan jenang ini, yaitu `Toan-jong-sit-kut-hu-sim-khau' (rumput perantas usus, pelapuk tulang dan pembusuk hati), rumput ini setiap delapan tahun baru berbunga satu kali, terkadang harus sebelas tahun baru berbunga satu kali. Biasanya sesudah rumput ini berbunga barulah kami mengundang para kawan Kangouw untuk datang ke sini bersama-sama menikmati ramuan obat mukjizat ini. Kalau

dihitung, pertemuan kali ini adalah pertemuan yang keempat. Nah, silakan mulai! Silakan, jangan sungkan-sungkan!" Habis berkata segera ia mendahului memegang sumpit, tangannya mengacung sekeliling sebagai tanda menyilakan para tamunya, lalu kedua tocu itu mendahului makan jenang yang tersedia bagi mereka itu. Demi mendengar nama rumput yang menyeramkan itu, seketika hati semua orang memukul keras. Sebenarnya mereka pun sudah insaf takkan bisa pulang dengan hidup, tapi secara blakblakan Liong-tocu itu memberitahukan racun apa yang tercampur di dalam jenang itu, hal ini benar-benar di luar dugaan dan membuat mereka melenggong seketika. Ketika melihat kedua tocu itu sudah mulai menikmati jenang sendiri dengan enaknya, diam-diam para kesatria membatin, "Didalam jenang kalian itu sudah tentu tidak dicampuri racun, sebaliknya pasti ditaruh obat-obat kuat sebangsa sarang burung, jinsom dan lain-lain." Selagi semua orang ragu-ragu apa mesti makan jenang yang disuguhkan itu atau tidak, sekonyong-konyong di sebelah kanan sana seorang laki-laki tegap telah berbangkit, sambil menuding kedua tocu, orang itu membentak, "Dengarkanlah orang she Liong dan she Bok, aku Kay Thian-pa dari Kwansay adalah seorang laki-laki tak takut mati, sebelum berangkat memangnya aku sudah mengatur pesan terakhir di rumah, sekarang jika mau bunuh boleh lekas silakan, tidak nanti orang she Kay mundur setapak pun. Tapi kalau aku disuruh makan barang kotor semacam ini, hm, tidak mau!" Liong-tocu tampak melengak sejenak, segera ia menjawab dengan tertawa, "O, jika Kay-enghiong tidak sudi makan jenang kami, masakah kami berani memaksa? Buat apa mesti marah lagi? Silakan duduk, silakan duduk!"

Namun Kay Thian-pa itu masih marah-marah dan membentak pula, "Orang she Kay sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, apakah akan mati sekarang atau mati nanti juga sama saja, tapi aku justru ingin mencari perkara kepada kalian kawanan anjing yang zalim dan membikin celaka manusia ini!" Sembari berkata, segera semangkuk jenang di depannya itu terus dilemparkan ke arah Liong-tocu. "Jangan kurang ajar, Kay-hiante!" cepat seorang tua di meja sebelahnya berbangkit dan membentak padanya sambil mengebaskan lengan bajunya, serangkum angin lantas menyambar ke depan sehingga mangkuk jenang itu tertahan diudara. Karena tidak dapat melayang ke depan, dengan sendirinya mangkuk itu lantas anjlok ke bawah. Tampaknya mangkuk besar berkembang warna-warni itu segera akan jatuh dan pecah berantakan, tiba-tiba seorang pelayan yang sedang menuangkan arak di meja sebelah lantas melompat maju, sekali sambar, dengan tepat mangkuk itu kena diraih oleh tangannya. Saat itu mangkuk itu tinggal beberapa senti saja di atas permukaan tanah, kalau telat sedetik saja tentu sudah hancur. Tanpa merasa para hadirin bersorak memuji kepandaian pelayan itu. Tapi segera mereka tambah sedih. Pikir mereka, "Seorang pelayan saja berkepandaian setinggi ini, terang kami tiada harapan buat pulang dengan hidup lagi." Dalam pada itu tertampak seorang Susing (terpelajar) setengah umur dan bertubuh kurus telah berdiri dan berseru dengan suara lantang, "Hanya para pesuruh Liong-bok-to saja sudah cukup menjagoi dunia persilatan Tionggoan, apalagi kalau kedua Tocu sendiri ingin diagungkan di dunia persilatan, tentu semudah membalikkan telapak tangan sendiri dan buat apa mesti membuang pikiran dan tenaga untuk mengundang kami ke pulau sini? Kematian Cayhe sih tidak perlu disayangkan, yang membikin penasaran adalah suatu pertanyaan besar di dalam hati kami yang masih belum terjawab, untuk mana sangat diharapkan kedua Tocu suka memberi penjelasan, habis itu Cayhe rela menerima kematian tanpa penasaran sedikit pun." Apa yang ditanyakan Susing setengah umur ini memang juga menjadi pertanyaan yang terkandung di dalam hati para hadirin, maka seketika perhatian lantas terpusat kepada Liong dan Bok-tocu untuk mengetahui bagaimana jawabnya. Maka Liong-tocu telah tertawa, jawabnya, "Ah, Sebun-siansing terlalu merendah hati, silakan duduk dulu! Dahulu Sebun-siansing terkenal seorang diri merobohkan Siampak-khit-pa (tujuh benggolan daerah utara Siamsay) dan menghancurkan Hopak-pek-ceh (delapan sarang bandit di Hopak), sudah selama 30 tahun ini Cayhe dan Bok-hiante sangat mengagumi nama Sebun-siansing, hari ini dapat berkenalan, masakah kami berani main kasar kepada Sebun-siansing?" Mendengar disebutnya nama keluarga Susing setengah umur itu, seketika pandangan para hadirin beralih kepadanya. Sungguh tak terduga oleh mereka bahwa Sebun Put-kun, itu pelajar yang namanya mengguncangkan Kangouw pada masa 30 tahun yang lalu karena seorang diri telah merobohkan Siampak-khit-pa dan menghancurkan Hopak-pek-ceh ternyata masih berusia begini muda, tampaknya baru 40-an tahun saja. Padahal waktu namanya tersohor kabarnya usianya sudah lebih 30 tahun, sejak itu orangnya lantas menghilang. Kalau dihitung usianya sekarang tentu juga sudah 60-an tahun, siapa nyana orangnya ternyata awet muda. Dalam pada itu terdengar Sebun Put-kun telah menjawab, "Ah, Liong-tocu terlalu memuji. Sedikit kepandaianku ini hanya boleh dibuat main gertak di daerah Tionggoan, tapi dalam pandangan kedua Tocu adalah mirip permainan anak kecil yang menertawakan saja."

"Ah, Sebun-siansing terlalu rendah hati," ujar Liong-tocu. "Tentang pertanyaan Sebun-siansing tadi, memangnya kami berdua juga akan memberi penjelasan kepada para hadirin. Cuma saja Lap-pat-cok ini harus dimakan selagi hangat-hangat supaya khasiatnya bisa bekerja dengan baik, sesudah para hadirin makan jenang ini barulah Cayhe memberi penjelasan." Karena kurang berpengalaman, maka Ciok Boh-thian boleh dikata setengah paham setengah tidak atas pembicaraan orang-orang itu. Sebaliknya perutnya sejak tadi sudah kelaparan. Maka demi mendengar ucapan Liong-tocu itu, terus saja ia angkat mangkuk terus diseruput hingga setengah mangkuk jenang itu masuk ke dalam perutnya. Terasa bau obat sangat menusuk hidung, tapi rasanya manis-manis asin, toh cukup enak. Maka sekaligus ia terus bikin bersih isi mangkuk itu. Melihat Ciok Boh-thian menghabiskan jenang itu dengan lahapnya, para hadirin sama membatin, "Bocah ini benar-benar tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, andaikan ingin lekas mampus juga tidak perlu berlomba duluan!" Tapi ada juga yang berpikir, "Ya, akhirnya toh mesti mati, cara pemuda ini memang lebih tegas dan lebih terhormat." Sedangkan Pek Cu-cay lantas menanggapi, "Bagus! Memang cucu menantu Swat-san-pay kami adalah lain daripada yang lain!" Nyata, dalam keadaan demikian dia masih anggap Swat-san-pay tetap lebih unggul setingkat daripada golongan dan aliran lain, Ciok Boh-thian dianggapnya telah menaikkan derajatnya. Sejak pertandingan di Leng-siau-sia tempo hari, sifat sombong Pek Cu-cay sudah banyak berkurang. Ia tidak berani berlagak lagi sebagai jago nomor satu, kesatria nomor wahid apa segala. Sekarang dilihatnya pula betapa tangkasnya kaum hamba Liong-bok-to seperti si pelayan menyambar mangkuk jenang tadi, mau tak mau ia harus mengakui dunia ini masih sangat luas, orang pandai benar-benar sukar dihitung betapa banyaknya. Ketika dilihatnya pula Ciok Boh-thian telah menyeruput jenang beracun secara tak ambil pusing apakah akan mati keracunan atau tidak, segera ia merasa bangga atas diri pemuda itu sebagai cucu menantu ketua Swat-san-pay. Tanpa pikir ia pun lantas mengangkat mangkuk dan menyeruput jenangnya sambil mengerling hina kepada para hadirin, pikirnya, "Lihatlah ini, hanya aku dan cucu menantuku saja yang berani makan jenang ini, orang lain adakah sedemikian gagah berani?" Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Namun aku adalah orang kedua yang makan jenang ini, andaikan dianggap gagah berani dan kesatria sejati toh juga sudah nomor dua. Tahu begini, toh akhirnya mesti mati, mengapa tadi aku tidak minum jenang ini sebagai orang pertama? Sekarang aku hanya dapat dianggap `nomor dua' saja, sungguh sangat mengecewakan." Begitulah selagi dia merenung dan menyesalkan diri sendiri, dengan sendirinya ucapan Liong-tocu selanjutnya tidak diperhatikan olehnya. Liong-tocu itu telah berkata, "Empat puluh tahun yang lalu aku telah bersaudara dengan Bok-hiante, kami sangat cocok satu dan lain, baik ilmu silat maupun cita-cita boleh dikata sepaham. Mestinya kami hendak mengembara bersama di dunia Kangouw untuk melakukan segala sesuatu yang bermanfaat bagi sesamanya, tak terduga baru saja kami mulai berkelana lantas menemukan sebuah peta pusaka, setelah mempelajari catatan-catatan yang terdapat di pinggir peta itu kami mengetahui peta itu melukiskan sebuah pulau karang yang tak bernama, di pulau itu tersimpan semacam bu-kang-pit-koat (rumus rahasia ilmu silat) yang mahahebat...."

"Sudah terang pulau itu adalah Liong-bok-to, mengapa bilang pulau karang tak bernama?" sela Kay Thian-pa. "Jangan memotong cerita Liong-tocu, Kay-hiante!" bentak si kakek yang mengebas mangkuk jenang tadi. "Hm, biarpun kau berusaha mengambil hatinya juga belum tentu jiwamu akan diampuni," sahut Kay Thian-pa dengan kurang puas. Si kakek menjadi gusar, kontan ia angkat mangkuk di depannya dan sekaligus menghirup habis jenang bagiannya itu, lalu katanya, "Kita sudah mengangkat saudara sekian lamanya, memangnya kau anggap aku The Kong-ci ini manusia apa?" Tiba-tiba Thian-pa merasa sangat menyesal, sahutnya, "Ya, Toako, akulah yang salah, biarlah Siaute minta maaf padamu!" Segera ia pun berlutut dan menjura tiga kali. Sekalian ia lantas angkat mangkuk jenang sendiri terus dihirup habis juga. Cepat The Kong-ci mendekati Kay Thian-pa, katanya, "O, saudaraku, dahulu waktu kita mengangkat saudara kita telah bersumpah setia akan mati-hidup bersama, hari ini cita-cita kita itu benar-benar terkabul, tidak percumalah persaudaraan kita itu." Begitulah kedua orang lantas saling rangkul dengan rasa girang dan pedih pula sehingga mencucurkan air mata. Mendengar kedua orang itu bicara tentang sumpah setia mengangkat saudara, tentang sehidup dan semati, tanpa merasa Ciok Boh-thian lantas memandang ke arah Thio Sam dan Li Si. Thio Sam dan Li Si tampak saling pandang dengan tersenyum, pandangan mereka tiba-tiba dialihkan kepada Liong dan Bok-tocu. Ketika Bok-tocu mengangguk perlahan, segera Thio Sam dan Li Si meninggalkan barisannya, masing-masing membawa semangkuk Lap-pat-cok dan mendekati Boh-thian, kata mereka, "Makanlah, Samte!" "Tidak, tidak, jangan!" cepat Boh-thian mencegah. "Kalian jangan menemani kematianku. Aku hanya memohon sukalah kalian kelak menjaga A Siu...."

"Samte," kata Thio Sam dengan tertawa, "pada waktu kiat-pay (angkat saudara) dahulu kita telah bersumpah baik ada rezeki maupun ada bencana akan kita rasakan bersama. Sekarang kau sudah minum semangkuk Lap-pat-cok, masakah kami boleh ketinggalan?" Habis berkata, bersama Li Si segera mereka menyeruput habis Lap-pat-cok yang mereka bawa tadi. Lalu berpaling dan memberi hormat kepada Liong dan Bok-tocu, "Terima kasih atas hadiah jenang Suhu!" Lalu kedua orang kembali ke tempatnya masing-masing. Sungguh kagum semua orang tak terkatakan melihat keluhuran budi Thio Sam dan Li Si yang rela mengiringi kematian Ciok Boh-thian untuk memenuhi janji setia sebagai saudara angkat. Cara mereka ini jauh lebih gemilang dan lebih kesatria kalau dibandingkan The Kong-ci dan Kay Thian-pa tadi.

Bab 46. Buku Ganjaran dan Hukuman

Dalam pada itu terdengar Thio Sam telah berkata pula kepada Boh-thian, "Samte, tampaknya para tamu agung tidak menyukai bau jenang Lap-pat-cok ini, jika kau suka boleh silakan tambah lagi beberapa mangkuk!" Sesungguhnya Ciok Boh-thian memang sudah kelaparan, hanya semangkuk jenang encer saja sudah tentu tidak cukup untuk menyamak perutnya. Ia pikir minum semangkuk atau dua mangkuk toh tiada bedanya andaikan kalau memang betul bubur itu beracun. Maka tanpa merasa ia lantas melirik meja di sebelahnya. Melihat pemuda itu mengincar jenang bagian mereka, segera beberapa orang di sebelah Boh-thian mengangkat mangkuk dan menawarkan padanya, "Ya, bau bubur ini terlalu keras, aku tidak berani makan. Jika Siauenghiong suka boleh silakan ambil saja, jangan sungkan-sungkan!" Bahkan khawatir kalau bagian mereka tidak diambil oleh Ciok Boh-thian, tanpa diminta lagi mereka terus membawa jenang mereka dan ditaruh ke atas meja Ciok Boh-thian. "Terima kasih! Terima kasih!" berulang-ulang Boh-thian menyambut "kebaikan hati" orang-orang itu dan sekaligus ia terus menghabiskan dua mangkuk Lap-pat-cok pula. Kedua tocu tampak tersenyum menyaksikan apa yang terjadi itu. Lalu Liong-tocu melanjutkan ucapannya tadi, "Apa yang dikatakan Kay-enghiong memang tidak salah, pulau karang tak bernama yang terlukis di dalam peta itu memang betul adalah Liong-bok-to yang dipijak para hadirin sekarang ini. Cuma saja nama Liong-bok-to baru dipakai setelah kami berdua datang ke sini. Kami telah mencari sampai belasan hari lamanya menurut petunjuk dalam peta, akhirnya dapatlah kami menemukan bu-kang-pit-koat yang dimaksudkan itu. Kiranya itu cuma sebuah lukisan bersyair kuno yang mengandung arti yang sangat dalam dan ruwet. Saking girangnya kami berdua lantas melatihnya menurut keterangan di dalam lukisan. "Akan tetapi, ai, untung atau malang sukar diramal! Dengan giat kami berdua berlatih sampai beberapa tahun, tiba-tiba timbul perselisihan pendapat kami terhadap ilmu silat menurut petunjuk lukisan itu. Aku bilang begini seharusnya cara melatih, tapi Bok-hiante bilang pendapatku itu salah dan harus cara begitu melatihnya. Sampai beberapa hari kami berdebat dan tetap tidak diperoleh suatu rumusan yang cocok. Akhirnya kami berjanji untuk melatih menurut caranya sendiri-sendiri, sesudah berhasil baru diadakan kompetisi lagi untuk melihat siapa yang betul melatihnya. "Dengan tekun kami melatih pula secara sendiri-sendiri. Kira-kira setengah tahun pula, kami berdua coba-coba saling bergebrak. Tapi hanya beberapa jurus saja kami menjadi terperanjat, kiranya... kiranya...." sampai di sini wajahnya menjadi muram dan terdiam. Bok-tocu juga kelihatan rada kikuk. Selang sejenak barulah Liong-tocu menyambung, "Kiranya kami berdua telah salah latih semua!" Mendengar itu, hati para hadirin tergetar semua. Hendaklah diketahui bahwa kepandaian Liong dan Bok-tocu bukan ilmu silat pasaran saja, yang dilatihnya tentu adalah lwekang yang paling tinggi, dan sekali salah melatih lwekang, biasanya kalau tidak lumpuh dan cacat untuk selamanya, lebih berat lagi adalah binasa. Soal ini tidak boleh dibuat gegabah. Maka terdengar Liong-tocu telah menyambung, "Begitu merasa tidak betul, seketika kami berdua berhenti dan saling berdebat untuk menganalisis pula di mana letaknya kesalahan. Mungkin karena bakat kami terlalu rendah, sebaliknya ilmu yang terdapat di lukisan itu teramat dalam sehingga kami tetap susah memecahkannya biarpun kami sudah mempelajari pula beberapa bulan lamanya. Kebetulan pada waktu itu ada sebuah kapal bajak laut yang terdampar ke pulau ini, kami telah membunuh gembong-gembong bajak itu serta memeriksa anak buahnya, yang terlalu banyak melakukan kejahatan lantas dihukum mati, sisanya yang hanya ikut-ikutan saja sesudah kami memberi peringatan dan ancaman, lalu ditahan di atas pulau ini. "Sesudah berunding pula, kami berdua menganggap sebabnya tidak dapat memecahkan rahasia lukisan dan syair kuno itu boleh jadi lantaran kami sudah lebih dulu melatih ilmu silat lainnya, jadi jalan permulaan sudah menyimpang sehingga sukar menyelami ilmu di dalam lukisan itu. Kami pikir lebih baik mengambil beberapa orang murid saja dan suruh mereka belajar dari permulaan. "Begitulah kami lantas memilih enam murid yang kami ambil dari kawanan bajak itu, tidak kami ajarkan dasar lwekang kepada mereka, hanya kami memberi petunjuk sedikit pengetahuan umum tentang ilmu pukulan dan ilmu pedang, lalu kami menyuruh mereka menyelami pelajaran di dalam lukisan itu. Siapa duga hasilnya ternyata sangat mengecewakan. Bukan saja ketiga muridku berlainan pendapat dengan ketiga murid Bok-hiante, bahkan di antara ketiga muridku sendiri juga mempunyai pikiran yang berbeda. Dan begitu pula dengan tiga murid Bok-hiante. "Setelah kami berunding pula, kami anggap lukisan yang bersyair kuno buah kalam Li Tay-pek itu mungkin terlalu dalam artinya, kami hanya jago silat kasaran, dalam hal kesusastraan tentu tidak lebih pandai dari kaum cendekia dan sastrawan, tampaknya kalau bukan orang yang serbapintar, baik ilmu silat maupun sastra, tentu sukar memahami rahasia lukisan itu. Maka aku dan Bok-hiante lantas kembali ke Tionggoan, kami mengembara dengan perjanjian dalam setahun masing-masing harus menerima empat orang murid yang pandai, terutama dalam hal kesusastraan kuno." Sampai di sini tiba-tiba ia menunjuk tujuh-delapan murid di sebelahnya yang berbaju kuning dan hijau, lalu sambungnya pula, "Terus terang saja beberapa murid ini bukan orang biasa, kepandaian mereka jika mau digunakan untuk menempuh ujian cinsu atau hanlim (nama pangkat kesusastraan) boleh dikata semudah membalik telapak tangan sendiri. Waktu mula-mula datang ke sini mereka pun ogah-ogahan, tapi sekali sudah kenal ilmu silat, pula setelah mempelajari lukisan aneh itu, mereka menjadi lupa daratan dan rela tinggal di sini, mereka merasa melatih ilmu silat jauh lebih menyenangkan daripada sekolah dan menjadi amtenar. Mereka benar-benar telah keranjingan ilmu silat. "Namun sesudah kedelapan murid cerdik pandai ini mempelajari isi lukisan kuno itu, akhirnya mereka berbeda pendapat pula. Bukan saja tidak memberi manfaat dan pemecahan yang kami harapkan, sebaliknya malah membikin kami berdua semakin bingung. Karena kehabisan akal, kami menjadi kesal dan penasaran. Jika dilupakan begitu saja, rasa kami tidak rela pula. "Pada suatu hari Bok-hiante telah mengusulkan sebaiknya kami mengundang Biau-ti Taysu saja dari Siau-lim-si mengingat padri tersebut boleh dikata adalah guru besar ilmu silat pada zaman ini. Aku mengatakan Biau-ti Taysu sudah berpuluh tahun mengasingkan diri, mungkin sukar mengundangnya turun gunung. Namun Bok-hiante mengusulkan pula agar

lukisan itu diturun dan diperlihatkan kepada Biau-ti Taysu, tentu beliau akan tertarik dan mau berkunjung kemari.

Bilamana beliau tidak tertarik pada lukisan itu, maka tentu lukisan ini pun tiada sesuatu yang berguna dan kami pun boleh tak usah memusingkan soal lukisan ini. Aku menyatakan akur atas usul Bok-hiante itu, bahkan aku menganjurkan turunan lukisan itu diperbanyak sehelai lagi untuk diperlihatkan kepada Gu-teh Totiang dari Bu-tong-pay. Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay adalah dua aliran terkemuka di dunia persilatan, kedua orang kosen itu pasti akan dapat memberi pandangan yang tajam. "Begitulah kami lantas berangkat ke Siau-lim-si. Setiba di sana kami lantas menyampaikan sampul yang berisi turunan lukisan itu kepada padri penyambut tamu agar diteruskan kepada Biau-ti Taysu. Akan tetapi padri penyambut tamu itu semula menolak, katanya Biau-ti Taysu sudah lama mengasingkan diri dan tiada berhubungan lagi dengan khalayak ramai. Kami juga tidak memaksa, tapi kami lantas duduk bersila di depan pintu gerbang Siau-lim-si sehingga merintangi jalan keluar-masuk mereka. Selama tujuh-hari-tujuh-malam kami duduk di situ. Akhirnya padri-padri Siau-lim-si itu merasa kewalahan sehingga mau menerima sampul surat kami untuk disampaikan kepada ketuanya." Diam-diam para hadirin dapat membayangkan walaupun cerita Liong-tocu itu seperti enteng saja, tapi sebenarnya selama mereka merintangi pintu gerbang Siau-lim-si sampai tujuh-hari-tujuh-malam, selama itu tentu sudah terjadi pertarungan sengit dan tentu pula padri-padri Siau-lim-si merasa kewalahan sehingga akhirnya mau terima sampul suratnya. Begitulah maka Liong-tocu telah melanjutkan, "Begitu sampul surat itu diterima padri penyambut tamu, segera juga kami berbangkit dan meninggalkan Siau-lim-si, kami menunggu di kaki gunung Siau-sit-san. Tidak sampai setengah jam, tertampaklah Biau-ti Taysu sudah menyusul tiba dan tanya

kepada kami, `Di mana tempatnya?' -- Bok-hiante telah menjawab, `Masih harus mengundang seorang lagi!' -- `Benar, Gu-teh harus diundang sekalian!' ujar Biau-ti. "Kami bertiga lantas menuju ke Bu-tong-san. Sebagai ketua Siau-lim-si yang tersohor, tanpa permisi lagi Biau-ti langsung terus masuk ke tempat semadi Gu-teh Totiang yang telah dikenalnya dengan baik, kami mengikutnya dari belakang, anak murid Bu-tong-pay juga tidak berani merintangi. Setiba di kamar semadi Gu-teh, tanpa bicara apa-apa lalu Biau-ti terus pasang kuda-kuda dan memainkan ilmu silat menurut gaya di dalam lukisan yang kami sampaikan padanya itu. Habis itu tanpa bicara pula ia terus putar tubuh dan tinggal pergi. Gu-teh terkejut dan bergirang pula, tanpa bertanya ia lantas berbangkit dan ikut ke Liong-bok-to sini. "Bahwasanya Biau-ti adalah tokoh utama Siau-lim-pay dan Gu-teh adalah jago nomor satu Bu-tong-pay, mereka telah diakui sebagai tokoh terkemuka dunia persilatan pada zaman ini. Begitu sampai di Liong-bok-to sini mereka lantas mulai menyelami rahasia ilmu silat di dalam lukisan itu. Bulan pertama pendapat mereka berdua boleh dikata hampir sama, bulan kedua sudah mulai timbul pendapat yang berbeda.

Sampai bulan ketiga, ternyata dua tokoh yang biasanya sudah tidak pikirkan soal-soal duniawi juga timbul percekcokan lantaran ketidakcocokan pandangan masing-masing atas keterangan lukisan itu. Bahkan... bahkan sampai-sampai kedua orang saling gebrak." Para kesatria menjadi heran dan tertarik, beramai-ramai mereka menegas, "Lalu bagaimana hasil pertandingan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah?"

"Kedua orang sama-sama tokoh terkemuka pada zaman ini, mereka telah saling ukur kepandaian berdasarkan paham yang mereka dapatkan dari lukisan itu. Sampai dengan jurus kelima mereka mempunyai persamaan paham, kedua orang sama-sama tersenyum puas dan berhenti bertanding. Tapi pada jurus keenam tiba-tiba timbul lagi perselisihan paham. Dengan demikian mereka sebentar bertanding dan sebentar berhenti, selama beberapa bulan keadaan itu terus berlangsung, sampai akhirnya apa yang dapat mereka selami tetap sama saja, tapi sebenarnya siapa yang lebih pandai juga sukar dikatakan. "Dalam perundinganku dengan Bok-hiante, kami merasa isi yang terkandung di dalam lukisan itu terlalu luas dan dalam sehingga sukar dijajaki, sampai-sampai tokoh-tokoh terkemuka sebagai Biau-ti dan Gu-teh juga cuma satu-dua bagian saja yang dapat dipahami, untuk bisa memperoleh saripati seluruh lukisan itu rasanya perlu menghimpun orang-orang cerdik pandai. Untuk ini kita dapat mengundang kaum cendekia di seluruh jagat untuk datang ke pulau ini dan bersama-sama mempelajarinya. "Kebetulan pada waktu itu `Toan-jong-sit-kut-hu-sim-khau' di pulau ini sedang berbunga, rumput ini bila dicampur dengan obat-obatan lain dan dibuat bubur, sesudah dimakan akan sangat bermanfaat bagi kaum kita yang belajar ilmu silat. Maka kami berdua lantas mengirimkan utusan-utusan untuk mengundang setiap tokoh yang terkenal di zaman ini, segenap ketua atau pemimpin dari berbagai golongan dan aliran persilatan telah kami undang ke pulau ini untuk mencicipi Lap-pat-cok, habis itu kami lantas minta mereka ikut mempelajari rahasia lukisan itu." Semua orang merasa setengah percaya dan setengah sangsi atas cerita Liong-tocu itu. Segera Ting Put-si berseru, "Jika demikian, jadi maksud kalian mengundang para tamu ke sini untuk makan Lap-pat-cok adalah karena bermaksud baik?"

"Maksud baik seluruhnya sih tidak," sahut Liong-tocu. "Sudah tentu aku dan Bok-tocu juga berkepentingan, yaitu dengan harapan dengan himpunan orang-orang pandai di sini akan dapat membantu kami memecahkan rahasia lukisan untuk selanjutnya mengembangkan ilmu silat pada umumnya. Sebaliknya jika kami dianggap bermaksud jahat kepada para tamu, hal ini pun bukan tujuan kami."

"Hm, ucapanmu ini apa bukan dusta belaka?" jengek Ting Put-si. "Jika betul kalian tidak bermaksud jelek, mengapa orang yang tidak mau terima undanganmu, lantas kalian main membunuh tanpa kenal ampun? Apakah di dunia ini ada cara mengundang tamu sekasar demikian?"

"Ya, beralasan juga teguranmu ini," sahut Liong-tocu sambil manggut-manggut. Mendadak ia tepuk tangan dan berseru, "Bawakan buku-buku ganjaran dan hukuman!" Segera delapan muridnya menuju ke belakang, sejenak kemudian lantas keluar kembali dengan membawa delapan tumpuk buku-buku, setiap tumpuknya ada belasan senti tingginya. "Pertunjukkan buku-buku itu kepada para hadirin," kata Liong-tocu. Berturut-turut anak muridnya itu lantas memperlihatkan buku-buku yang mereka bawa itu kepada masing-masing tamu. Ternyata di setiap jilid buku itu tertulis nama golongan atau aliran persilatan yang bersangkutan. Waktu Ting Put-si mendapat gilirannya, segera ia membaca buku yang diperlihatkan padanya itu. Ternyata kulit buku itu tertulis "Keluarga Ting di Liok-hap". Seketika Ting Put-si terkesiap, "Kami bersaudara memang betul adalah orang dari Liok-hap, hal ini jarang diketahui orang luar, sebaliknya Liong-bok-to yang terpencil di luar lautan sini

kok malah tahu? Sungguh tajam benar sumber berita mereka." Setelah halaman-halaman buku itu dibalik-balik, terbaca di situ tercatat tanggal kapan, bulan apa dan berapa, di mana Ting Put-sam telah berbuat apa, dan begitu pula Ting Put-si dan saudaranya yang lain, segala gerak-geriknya ternyata tercatat semua di situ. Walaupun tidak sangat lengkap, tapi pada garis besarnya apa yang telah diperbuatnya selama 20-an tahun ini boleh dikata tercatat cukup jelas di dalam buku itu.

Dahi Ting Put-si sampai berkeringat. Waktu ia melirik orang lain, ternyata semua juga mengunjuk rasa serbakikuk. Hanya Ciok Boh-thian saja yang masih enak-enak makan jenang sendiri tanpa peduli buku yang mencatat atas nama "Tiang-lok-pang" itu. Maklum dia memang buta huruf, apa yang tertulis di dalam buku itu hakikatnya dia tidak tahu. "Simpan kembali buku-buku ganjaran dan hukuman itu," perintah Liong-tocu kemudian. Sesudah itu, dengan tersenyum lalu ia menyambung, "Kami telah mengirimkan orang-orang untuk menyelidiki dan mencari berita dunia Kangouw, bukanlah maksud kami sengaja mencari-cari rahasia pribadi orang lain, hanya saja bila mendapat berita sesuatu, segera kami mencatatnya. Setiap golongan dan klik yang pernah ditumpas oleh Liong-bok-to semuanya adalah manusia-manusia terkutuk yang kejahatannya sudah tak terampunkan. Untuk mana boleh silakan para hadirin merenung sendiri, adakah sesuatu golongan atau aliran yang baik atau pendekar budiman siapa yang telah dicederai Liong-bok-to lantaran menolak untuk menerima medali undangan?" Ternyata tiada seorang pun yang dapat memberi bantahan pertanyaan itu. Maka sejenak kemudian Liong-tocu lantas menyambung pula, "Sebab itulah, sesungguhnya orang yang pernah kami bunuh itu boleh dikata adalah orang yang telah menerima ganjarannya yang setimpal...."

"Liap-lokunsu dari Thongciu, Hopak, toh tiada mempunyai sesuatu dosa, mengapa kalian telah membunuh seluruh keluarganya?" tiba-tiba Pek Cu-cay berseru. Liong-tocu tidak menjawab, mendadak ia melorot sejilid buku di antara tumpukan-tumpukan itu dan didorong perlahan kedepan sambil berkata, "Silakan Wi-tek Siansing membacanya sendiri." Aneh juga, buku itu perlahan-lahan lantas melayang sendiri ke depan. Segera Pek Cu-cay hendak memegangnya, tak terduga ketika buku itu sudah dekat mendadak merandek di tengah udara, lalu anjlok lurus ke bawah, ke atas meja Pek Cu-cay. Lekas-lekas Cu-cay meraup secepatnya, syukur buku itu masih keburu dipegang olehnya dan tidak sampai jatuh di atas mangkuk jenang. Ia merasa buku yang terpegang di tangannya itu masih membawa tenaga tekanan yang cukup berat, mau tak mau ia terkejut, "Tenaga dalam orang ini benar-benar luar biasa, sejilid buku yang enteng saja dapat didorong ke depan dengan membawa tenaga sekuat ini, apalagi kalau dia menyambitkan senjata rahasia, rasanya sukar untuk dihindari oleh siapa pun juga. Agaknya gelarku `Jago senjata rahasia nomor satu' harus dihapus menghadapi orang ini." Dilihatnya di muka buku itu tertulis "Liap-keh-kun, Thongciu, Hopak". Waktu ia membuka halaman pertama, baris pertama saja sudah tercatat hal-hal yang mengejutkan. Di situ tertulis hari apa, bulan dan tahun apa Liap Cong-tay telah memerkosa dan membunuh dua jiwa di Congciu, tapi memfitnah kawanan bandit Hok-hou-khe yang berbuat. Baris kedua juga tercatat kapan Liap Cong-hiap hanya dengan persoalan kecil telah melukai putra sulung Lau Bun-cit dari Celamhu, malamnya segenap keluarga sebanyak 13 jiwa telah dibunuh habis

olehnya. Liap Cong-tay dan Liap Cong-hiap itu adalah putranya Liap-lokunsu (jago silat tua she Liap), namanya cukup terkenal baik di dunia Kangouw, siapa duga diam-diam banyak melakukan kejahatan. Pek Cu-cay merasa ragu-ragu, katanya, "Kejadian-kejadian ini tiada bukti dan tanpa saksi, entah betul atau tidak. Walaupun Cayhe tidak berani menuduh kedua Tocu sengaja membunuh orang berdosa, tapi kesalahan info yang diterima utusan-utusan Liong-bok-to yang dikirim ke Tionggoan itu bukannya tidak mungkin terjadi." Mendadak Thio Sam menanggapi, "Jika Wi-tek Siansing tidak percaya, bolehlah coba melihat benda ini." Segera ia menuju ke ruangan belakang, waktu keluar kembali, sedikit tangannya bergerak, sejilid buku tipis perlahan-lahan melayang ke arah Pek Cu-cay. Setiba di depan Cu-cay buku itu pun mendadak anjlok ke bawah. Gerakan dan caranya ternyata serupa dengan Liong-tocu tadi. Sekali ini Pek Cu-cay sudah siap sedia, sekali sambar buku itu lantas kena ditangkapnya. Waktu ia membalik halaman buku itu, kiranya adalah sejilid buku kas keluarga Liap.

Karena sewaktu mudanya Pek Cu-cay pernah bergaul akrab sekali dengan Liap-lokunsu, maka Cu-cay kenal baik gaya tulisan jago tua itu. Ia lihat buku kas itu memang benar tulisan tangan Liap-lokunsu sendiri, seluruhnya berisi tentang masuk-keluarnya keuangan. Satu baris di antaranya tertulis: "Tanggal delapan, dibeli 83,2 bau sawah dari keluarga Ciu, harga 70

tahil perak". Lalu di atasnya diberi tanda tulisan tinta merah: "Patut dibunuh". Diam-diam Cu-cay membatin, "83,2 bau sawah dengan harga 70 tahil perak, sawah ini benar-benar teramat murah. Di dalam perkara ini tentu ada gejala-gejala paksaan." Pada rekening lain dilihatnya tertulis pula: "Tanggal 15, diterima dari paduka tuan bupati Thongciu sebanyak 2.500 tahil perak". Di atas rekening ini pun diberi catatan: "Patut dibunuh" dengan tinta merah. Pek Cu-cay menjadi heran, Liap Lip-jin, Liap-lokunsu itu adalah seorang pendekar berbudi luhur, mengapa dia terima uang dari kaum pembesar? Besar kemungkinan dia bersekongkol dengan pembesar-pembesar korup dan menindas rakyat jelata yang lemah. Ia coba membalik-balik terus halaman buku itu, tertampak rekening-rekening yang diberi catatan "patut dibunuh" itu tidak kurang dari 60-70 buah. Ia tahu yang memberi catatan itu tentu adalah Thio Sam dan Li Si. Tanpa merasa ia menghela napas gegetun, katanya, "Kenal orangnya dan kenal mukanya, tapi tidak tahu hatinya! Liap Lip-jin memang benar-benar patut dibunuh. Sesudah melihat catatan buku kas ini, andaikan Liong-bok-to mau mengampuni dia, orang she Pek juga pasti akan membunuh segenap keluarganya." Sembari berkata ia terus berbangkit dan mendekati Thio Sam, ia kembalikan buku kas itu dan berkata, "Kagum, kagum sekali!" Waktu berpaling, ia pandang Liong dan Bok-tocu dengan rasa penuh kekaguman yang tak terkatakan. Pikirnya, "Anak murid Liong-bok-to bukan saja tinggi ilmu silatnya, bahkan caranya bekerja sangat rapi, penegak keadilan dan kebenaran, aku tidak tahu cara bagaimana mereka memberi ganjaran pada yang bajik, tapi betapa adil caranya memberi hukuman kepada kaum jahat dapat pula mencerminkan tepatnya memberi ganjaran. Ya, `rasul pengganjar dan penghukum', benar-benar tidak bernama kosong. Betapa banyaknya anak muridku, tapi siapakah yang dapat menandingi Thio Sam dan Li Si ini? Ai, sungguh memalukan saja selama ini aku menganggap diriku sebagai `Jago nomor satu', `guru besar nomor satu' segala." Rupanya Liong-tocu dapat menerka perasaan Pek Cu-cay itu, dengan tersenyum ia berkata, "Silakan duduk, Wi-tek Siansing. Sudah lama Wi-tek Siansing hidup terpencil di wilayah barat, terhadap perbuatan-perbuatan kawanan binatang yang berbaju manusia di daerah Tionggoan sudah tentu kurang jelas sehingga tak dapat menyalahkan Wi-tek Siansing." Pek Cu-cay hanya geleng-geleng kepala saja, lalu kembali ke tempat duduknya. Sekonyong-konyong Ting Put-si berseru, "Jika demikian, jadi selama ini orang-orang yang dibunuh oleh Liong-bok-to itu adalah manusia-manusia yang patut menerima hukumannya yang setimpal? Dan tentang diundangnya para kawan Bu-lim ke sini adalah bermaksud saling belajar ilmu silat?"

"Benar!" sahut Liong dan Bok-tocu berbareng. "Jika begitu, mengapa para kawan Bu-lim yang pernah berkunjung kemari itu kok juga dibunuh semua, sampai-sampai mayat mereka pun tidak pernah pulang kampung?" seru Ting Put-si pula. "Ai, salahlah ucapan Ting-siansing ini!" sahut Liong-tocu sambil menggeleng. "Desas-desus demikian mana boleh dipercaya sepenuhnya?"

"Habis, kalau menurut Liong-tocu, jadi para kawan Bu-lim itu semuanya belum mati? Hahaha, menggelikan, sungguh menggelikan!"

"Haha! Menggelikan, sungguh menggelikan!" Liong-tocu juga ikut bergelak tawa. Ting Put-si berbalik melengak. "Apanya yang menggelikan?" tanyanya. "Ting-siansing adalah tamu agung kami, jikalau Ting-siansing bilang menggelikan, terpaksa Cayhe harus mengiringi menyatakan geli," sahut Liong-tocu dengan tertawa. "Selama 30-an tahun ini para kawan Bu-lim yang pernah diundang ke Liong-bok-to sini sedikitnya ada beberapa ratus orang andaikan tidak lebih dari seribu orang," ujar Ting Put-si. "Tapi Liong-tocu mengatakan mereka masih hidup dalam keadaan sehat walafiat, hal ini bukankah cukup menggelikan?"

"Usia manusia sudah ditakdirkan Ilahi, jika sudah sampai ajalnya, siapa yang mampu mengelakkannya?" sahut Liong-tocu. "Asalkan Liong-bok-to kami tidak merasa menewaskan mereka, rasanya cukuplah bagi hati nurani kami." Ting Put-si berpikir sejenak, tiba-tiba ia bertanya, "Jika demikian, Cayhe ingin mencari kabar seseorang kepada Liong-bok-to. Orang itu adalah wanita, namanya... namanya Hong-koh. Konon 19 tahun yang lalu telah berkunjung kemari, apakah orang ini sampai sekarang masih hidup sehat?"

"Siapakah she pendekar wanita itu, berapa umurnya dan pemimpin dari golongan mana?" tanya Liong-tocu. "She apa... ini agak kurang jelas, tapi... tapi seharusnya she Ting...." Sekonyong-konyong si wanita berkerudung muka tadi berseru melengking, "Wanita itu adalah putrinya yang diperoleh dari hubungan gelap. Nona itu tidak ikut she ayahnya, tapi pakai she ibunya, nama lengkapnya ialah Bwe Hong-koh." Muka Ting Put-si tampak berubah merah, katanya, "She Bwe juga boleh, buat apa mesti geger. Tentang umurnya tahun ini kurang lebih kurang lebih 40 tahun...."

"Kurang lebih 40 tahun apa? 39 tahun tepat!" teriak pula si wanita. "Baik, baik! Umurnya 39 tahun," sambung Ting Put-si. "Tapi dia bukan pemimpin dari sesuatu golongan persilatan apa, lebih-lebih bukan pangcu atau kaucu dari sesuatu perkumpulan. Cuma Bwe-hoa-kun yang dia yakinkan itu di dunia ini cuma keluarganya yang memiliki, besar kemungkinan dia pun telah diundang ke Liong-bok-to sini."

"Bwe-hoa-kun? Belum memenuhi syarat untuk diundang kemari," sahut Bok-tocu sambil geleng kepala. "Mengapa Bwe-hoa-kun belum memenuhi syarat?" teriak si wanita berkerudung. "Ini dia... bukankah aku juga sudah menerima medali undangan kalian?"

"Kami mengundang kau bukan lantaran Bwe-hoa-kun," sahut Bok-tocu. "Bwe-lihiap," cepat Liong-tocu menambahkan, "maksud Bok-hiante sebabnya kami mengundang kau ke sini bukanlah karena Bwe-hoa-kun dari keluarga Bwe kalian, tapi adalah

karena kiam-hoat (ilmu pedang) yang baru kau ciptakan dalam dua tahun terakhir ini."

"He, ilmu pedangku yang baru itu? Selamanya belum pernah kutunjukkan kepada orang lain, dari mana kalian mengetahui?" tanya wanita she Bwe itu dengan heran. Liong-tocu tidak menjawab, dengan tersenyum ia menuding kepada dua orang muridnya. Segera seorang murid berbaju kuning dan seorang berbaju hijau tampil ke muka sambil membungkuk untuk menerima perintah lebih lanjut. "Coba kalian pertunjukkan ilmu pedang aneh ciptaan Bwe-lihiap yang baru itu, jika ada bagian-bagian yang kurang sempurna biarlah nanti minta nasihat kepala Bwe-lihiap," kata Liong-tocu. Kedua murid itu mengiakan. Mereka lantas mendekati sebuah meja di pojok ruangan sana, masing-masing mengambil sebatang pedang kayu, lalu sama-sama memberi hormat kepada wanita she Bwe dan berkata, "Harap Bwe-lihiap suka memberi petunjuk seperlunya." Habis berkata, mereka lantas pasang kuda-kuda dan mulai bertanding sendiri. Para hadirin termasuk tokoh-tokoh persilatan kelas tinggi, mereka melihat ilmu pedang yang dimainkan itu memang benar luar biasa. Bahkan si wanita she Bwe tiada hentinya menggumam, "Aneh, sungguh aneh! Bilakah kalian telah mengintip ilmu pedangku ini?" Sesudah mengikuti beberapa jurus, hati Ciok Boh-thian juga tergerak, pikirnya, "Ilmu pedang yang dimainkan orang baju hijau itu bukankah Swat-san-kiam-hoat?" Beberapa jurus pula, tak tahan lagi Pek Cu-cay juga lantas berseru, "He, Bwe-lihiap, Swat-san-pay toh tiada permusuhan apa-apa dengan kau, mengapa kau menciptakan ilmu pedangmu ini yang khusus dipakai melawan Swat-san-kiam-hoat kami?" Kiranya ilmu pedang yang dimainkan orang baju hijau itu memang benar adalah Swat-san-kiam-hoat, tapi setiap gerakan dan setiap jurus selalu kena diatasi oleh ilmu pedang yang baru dan aneh yang dimainkan kawannya si baju kuning itu. Maka terdengar si wanita she Bwe hanya tertawa dingin saja tanpa menjawab. Pek Cu-cay menjadi gusar. Bentaknya, "Hm, hanya ilmu pedang begini saja hendak digunakan untuk melawan Swat-san-kiam-hoat kami? Rasanya masih jauh daripada cukup!" Tapi baru habis ucapannya, sekonyong-konyong serangan si baju kuning lantas berubah, setiap jurusnya sangat aneh dan keji, tapi juga kasar dan kurang sopan. "Gila, gila! Ilmu pedang macam apa itu?" omel Pek Cu-cay, Tapi diam-diam ia pun terkejut, pikirnya, "Jika benar-benar melawan dia, sekonyong-konyong aku diserang dengan cara-cara aneh dan kasar ini mungkin aku bisa termakan juga." Namun diam-diam ia pun merasa syukur telah dapat menyaksikan tipu-tipu serangan keji dan kotor itu, untuk selanjutnya tentu tidak sukar melawannya jika ketemukan ilmu pedang yang hanya cocok digunakan untuk menyergap secara

rendah itu. Sebelum si murid baju hijau menyelesaikan permainan Swat-san-kiam-hoat, mendadak ia menegakkan pedang kayu, lawannya si baju kuning juga lantas berhenti menyerang. Lalu si baju hijau mengganti pedang kayu dengan sebatang golok

kayu. Kemudian mereka mulai bertanding lagi. Setelah mengikuti belasan jurus lagi, Pek Cu-cay bertambah gusar. Teriaknya murka, "He, orang she Bwe, sebenarnya apa maksud tujuanmu terhadap kami suami-istri? Padahal kita tidak kenal-mengenal, sungguh aneh?" Kiranya yang dimainkan si murid baju hijau sekarang justru adalah ilmu golok keluarga Su-popo alias Su Siau-jui. Sedangkan si baju kuning tetap menggunakan cara-cara keji dan kasar untuk menyerang sehingga si baju hijau berulang-ulang terancam bahaya. Hanya saja pada detik-detik yang menentukan selalu si baju kuning menahan serangannya dan tidak diteruskan. Sesudah lebih 30 jurus, ketika Liong-tocu memberi tanda dengan tepukan tangan, kedua murid itu lantas berhenti bermain, mereka membungkuk tubuh ke arah Pek Cu-cay dan si wanita she Bwe serta berkata, "Harap Pek-locianpwe dan Bwe-lihiap membetulkan kesalahan kami." Lalu mereka pun memberi hormat kepada kedua tocu, habis itu barulah mereka kembali ke barisan masing-masing tadi. Si wanita she Bwe menjerit melengking lagi, "Jadi diam-diam kau mampu mempelajari tujuh bagian ilmu pedang ciptaanku itu, hebat juga ya kau!"

"Huh, kepandaian yang kasar dan rendah begitu, apanya yang sukar dipelajari?" jengek Pek Cu-cay dengan gusar. "Apanya yang kasar dan rendah?" sela Ting Put-si. "Jika kebentur dengan ilmu pedang itu, seketika kau tentu kelabakan dan bukan mustahil tubuhmu sudah ditembus beberapa lubang."

"Hayolah boleh kau coba," teriak Cu-cay dengan gusar. "Ah, pendek kata kau pasti bukan tandingan Bwe-lihiap," kata

Put-si. "Siapa yang sudi disanjung olehmu?" jerit si wanita she Bwe. "Jika aku bertanding dengan Su Siau-jui, lalu bagaimana?"

"Ini... ini...." Ting Put-si menjadi gelagapan. "Nyonyaku tiada berada di sini, tapi muridnya sebaliknya berada di sini," kata Cu-cay. "Nah, cucu menantuku, boleh coba kau bertandingan dengan dia."

"Kukira tak perlu bertanding lagi," sahut Boh-thian. "Kau ini muridnya Su Siau-jui?" si wanita she Bwe menegas. "Benar!" sahut Boh-thian. "Tapi mengapa kau adalah cucu menantunya pula? Huh, jungkir balik tak keruan, dasar sekeluarga adalah turunan anjing (Kau-cap-ceng) semua!" jengek si wanita she Bwe. "Ya, aku memang Kau-cap-ceng?" kata Boh-thian. Wanita itu sampai melengak. Ia menjadi geli dan tertawa terpingkal-pingkal dengan suaranya yang tajam melengking. "Sudahlah, cukup!" kata Bok-tocu. Meski singkat saja ucapannya, tapi suaranya keras berwibawa, si wanita she Bwe tertegun dan bungkam seketika. "Ilmu pedang ciptaan Bwe-lihiap secara jujur memang harus diakui masih kalah bagus daripada wat-san-kiam-hoat," kata Liong-tocu kemudian. "Cuma Bwe-lihiap dapat menciptakan ilmu pedang baru, bakat dan kecerdasan Bwe-lihiap tentunya

lain daripada yang lain pula. Sebab itulah kami telah mengundangnya datang kemari untuk ikut menyelami rahasia lukisan aneh itu."

"Jika demikian, jadi Bwe Hong-koh tidak pernah datang ke Liong-bok-to sini?" tanya pula si wanita she Bwe. "Ya, tidak," sahut Liong-tocu. Seketika Bwe-lihiap menjadi lesu, ia duduk kembali dengan lemas dan menggumam sendiri, "Cici... ciciku telah meninggalkan pesan agar... mencarikan putrinya itu."

"Coba kau selidiki untuknya," tiba-tiba Liong-tocu berkata kepada murid baju kuning nomor satu yang berdiri di barisan kanan. Murid itu mengiakan dan segera menuju ke belakang. Sebentar saja ia sudah keluar kembali dengan membawa beberapa jilid buku. Setelah membalik-balik beberapa halaman, tiba-tiba ia menunjuk suatu catatan dan membacanya, "Bwe Hong-koh, ciangbunjin dari Bwe-hoa-kun. Ayah she Ting, sejak kecil ikut ibu belajar ilmu silat akhirnya tinggal mengasingkan diri dibukit Koh-chau-nia, di Him-ni-san wilayah Provinsi Holam...."

"Hah! Jadi dia tinggal di Him-ni-san? Dari mana kau mendapat tahu?" tanya Ting Put-si dan si wanita she Bwe berbareng. "Aku sih tidak tahu, tapi beginilah apa yang tercatat di dalam buku ini," sahut murid baju kuning itu. "Sampai aku sendiri pun tidak tahu, mengapa buku ini dapat mencatat seluk-beluknya?" ujar Put-si dengan sangsi. "Liong-bok-to selamanya membela keadilan dan menegakkan kebenaran, menghukum dan mengganjar secara adil dan bijaksana," kata Liong-tocu, "Untuk mana setiap gerak-gerik kawan Bu-lim dengan sendirinya harus kami catat seperlunya dengan sejelas-jelasnya untuk diperiksa dan dibuat bukti bilamana perlu."

"O, kiranya demikian," ujar Bwe-lihiap. "Jadi sudah terang Bwe Hong-koh berdiam di... di bukit Koh-chau-nia di lereng Him-ni-san?"

"Ya, jika di antara para hadirin masih ada pertanyaan-pertanyaan boleh silakan lagi," sahut Liong-tocu. "Bicara ke sana kemari, tegasnya maksud undangan Liong-tocu kepada kami adalah untuk mempelajari lukisan bersyair kuno itu. Sebenarnya barang apakah itu? Bolehkah kita melihatnya?" kata Pek Cu-cay. Serentak Liong dan Bok-tocu berbangkit, sahut mereka, "Ya, justru kami ingin minta bagian para hadirin yang cerdik pandai." Segera empat murid Liong-bok-to menuju ke samping, mereka memegang tepi pintu angin dari kanan dan kiri, ketika mereka tarik perlahan, mendadak di belakang ruangan gua itu terlihat ada sebuah jalan lorong yang panjang. "Silakan semua!" kata Liong-tocu. Segera bersama Bok-tocu mereka mendahului jalan ke depan dengan diikuti oleh para kesatria. Setelah belasan meter jauhnya, sampailah mereka di depan sebuah pintu batu. Seorang murid baju kuning lantas mendorong buka pintu batu itu. Lalu Liong-tocu berkata, "Didalam gua ini ada 24 kamar batu, para hadirin boleh mengunjungi dan menelitinya secara bebas, jika merasa jemu boleh silakan jalan-jalan keluar gua. Tentang makanan dan minuman seluruhnya sudah tersedia lengkap di dalam kamar-kamar itu. Bila perlu silakan makan-minum sesukanya dan jangan sungkan?"

"Hm, segala apa boleh sesukanya dan bebas, sungguh sangat ramah sekali. Tapi hanya `tidak bebas untuk meninggalkan pulau ini' saja, bukan?" jengek Ting Put-si. "Hahahaha! Mengapa Ting-siansing bicara demikian?" sahut Liong-tocu dengan terbahak-bahak. "Kunjungan kalian ke sini adalah sukarela, jika mau pergi, siapa lagi yang berani menahan kalian? Di pantai sudah siap perahu kecil dan kapal besar, setiap saat bila dikehendaki kalian boleh berangkat dengan bebas."

Bab 47. Rahasia Lukisan Dinding di Liong-bok-to

Para kesatria melengak, sama sekali mereka tidak menduga pihak Liong-bok-to ternyata sedemikian baik hati. Segera ada beberapa orang mengajukan pertanyaan, "Dan kalau saat ini juga kami hendak berangkat, boleh atau tidak?"

"Tentu saja boleh!" sahut Liong-tocu. "Memangnya kalian anggap aku dan Bok-hiante orang macam apa? Pelayanan kami yang kurang sempurna ini sudah membikin kami malu, masakan sekarang kami berani menahan para tamu?" Perasaan semua orang menjadi lega. "Jika pihak Liong-bok-to sudah menyatakan demikian, rasanya tidak mungkin mereka menjilat ludahnya sendiri. Macam apakah lukisan kuno yang dimaksudkan itu agaknya tiada halangannya ikut melihatnya." Begitulah beramai-ramai mereka lantas memasuki ruangan gua itu. Pada kamar pertama mereka melihat dinding batu di sebelah timur tergosok dengan halus dan licin, di atas dinding itu ada ukiran lukisan dan tulisan. Di dalam kamar itu sudah ada belasan orang, ada yang sedang merenung, ada yang lagi semadi, ada pula yang memejamkan mata sambil komat-kamit entah apa yang sedang digumamkan sendiri. Malahan ada tiga-empat orang lagi yang sedang berdebat. Tiba-tiba Pek Cu-cay mengenali seorang di antaranya, serunya terkejut, "Un-samko, kiranya kau... kau berada di sini?" Yang ditegur itu adalah seorang kakek berbaju hitam yang

sedang mondar-mandir di depan lukisan dinding itu. Namanya Un Jin-ho, Ketua Pat-sian-kiam di Soatang. Dia adalah sahabat karib Pek Cu-cay. Dengan tersenyum ia hanya menjawab, "Ya, mengapa baru sekarang kau ia datang?"

"Belasan tahun yang lalu kudengar engkau telah diundang ke Liong-bok-to sini, kukira engkau sudah... sudah wafat, siapa duga...."

"Aku tetap sehat walafiat dan sedang meyakinkan ilmu silat tertinggi di sini, siapa bilang aku sudah mati?" sahut Un Jin-ho. "Sungguh sayang kau datang terlambat. Coba lihat, lukisan ini menurut keterangan yang tercatat di sini mengatakan...." Begitulah sambil bicara ia terus menunjukkan huruf-huruf kecil yang terukir di atas dinding itu kepada Pek Cu-cay. Namun Pek Cu-cay buru-buru ingin tanya keadaan sang sahabat yang berpisah sekian lamanya itu, maka kembali ia tanya, "Un-samko, bagaimana hidupmu di sini selama sepuluh tahun ini? Mengapa sama sekali kau tidak mengirim kabar ke rumah? Eh, Un-samko, ini adalah cucu menantuku. Coba lihat, lumayan bukan orangnya? Hayo, cah, lekas memberi hormat

kepada Un-samyaya." Ciok Boh-thian lantas melangkah maju dan menjura kepada Un Jin-ho sambil menyapa. Un Jin-ho hanya menjawab acuh tak acuh saja, memandang saja sungkan, dia masih terus sibuk merenungkan arti lukisan dinding sambil bergaya dengan tangannya. Mendadak ia memukul ke depan sambil berseru, "Pek-heng, mungkin beginilah caranya menurut lukisan ini...." Pek Cu-cay menjadi ikut-ikut memerhatikan lukisan dinding itu dengan catatan-catatan di pinggirnya. Setelah komat-kamit membaca sendiri, ia merenung sejenak, kemudian berkata, "Un-samko, menurut pendapatku seharusnya begini...."

"Tidak bisa," mendadak Un Jin-ho membantah, "di situ tertulis...." Begitulah Ciok Boh-thian menjadi kesal karena tidak paham apa yang didebatkan kedua orang tua itu, memangnya ia pun buta huruf sehingga tidak dapat membaca apa yang tertulis didinding. Saking isengnya ia coba mendatangi kamar batu kedua. Begitu masuk segera terasalah sambaran angin senjata yang tajam, ternyata ada tujuh pasang orang sedang bertanding pedang. Semuanya belum dikenalnya, terang bukan orang-orang yang ikut dalam perjamuan tadi, ia menduga tentu tokoh-tokoh persilatan yang diundang datang pada perjamuan yang lebih dahulu. Ilmu pedang yang dimainkan orang-orang itu tiada yang sama, tapi semuanya sangat bagus dan aneka macam perubahannya. Tertampak dua orang di antaranya telah bergebrak beberapa jurus pula, lalu berhenti. Seorang tua berjenggot putih lantas berkata, "Laute, jurus pemikiranmu tadi apa tidak keliru? Hendaklah ingat inti kekuatan ilmu pedang terletak pada...."

"Ah, rupanya Toako terlalu berat sebelah dan melupakan titik lain yang lebih penting," demikian bantah kakek lain yang berjenggot hitam. "Bukankah di situ tertulis...." Begitulah kembali Boh-thian mendengar perdebatan sengit karena selisih paham tentang arti lukisan di dinding. Ia coba mendekati dua orang yang lain. Tertampak kedua orang ini bertarung dengan cepat sekali, tapi sejenak kemudian mereka pun lantas berhenti dan mulai berbantahan seperti pasangan-pasangan tadi. Sesudah dekat dinding, Boh-thian melihat di atas dinding itu penuh terukir huruf-huruf kecil. Memangnya dia buta huruf, maka ia pun tidak ambil pusing huruf apakah itu. Hanya di antara huruf-huruf itu terukir pula beberapa puluh pedang. Bentuk pedang-pedang itu ada yang panjang, ada yang pendek, ada yang ujungnya mengacung ke atas dan ada yang mengarah ke bawah, ada yang miring seakan-akan sedang melayang, ada yang melintang seperti jatuh ke bawah. Untuk membaca dia tidak dapat, tapi melihat gambar tidaklah sukar bagi Ciok Boh-thian. Ia coba melihat terus sampai pedang ke-12,  sekonyong-konyong "ki-kut-hiat" di bahu kanan terasa "nyos" panas, suatu arus hawa panas seakan-akan bergolak. Waktu ia memerhatikan pedang ke-13, arus hawa panas itu lantas menyalur ke "ngo-li-hiat", ketika memandang pedang ke-14, arus panas itu terus menyusur ke "kiok-ti-hiat". Begitulah hawa panas itu makin lama makin bergolak dan terus membanjir dari dalam perut. Diam-diam Boh-thian merasa heran, "Sejak aku berlatih menurut garis urat nadi yang terlukis di boneka kayu itu, tenaga dalamku lantas tambah kuat, tapi selamanya tidak pernah bergolak seperti sekarang ini, entah apakah sebabnya?

Rasa perutku panas seperti dibakar, besar kemungkinan racun di dalam Lap-pat-cok itu telah mulai bekerja." Teringat akan racun di dalam jenang itu, mau tak mau ia menjadi khawatir. Tapi waktu dia pandang ukiran pedang diatas dinding pula, segera tenaga dalamnya lantas berjalan menurut urat nadinya, hawa panas dalam perutnya lambat laun tersebar merata di seluruh hiat-to tubuhnya. Segera ia mengulangi lagi mulai dari ukiran pedang yang pertama dan ternyata tenaga dalam itu lantas berjalan dengan lancar menurutkan garis hiat-to secara teratur dan berakhir sampai di siang-yang-hiat di bagian tangan. Ia pikir ukiran pedang itu kiranya ada hubungannya dengan cara menyalurkan tenaga dalam, cuma sayang aku tidak bisa baca, kalau tidak tentu aku akan dapat meyakinkan semacam ilmu pedang menurut keterangan di atas dinding ini. Ah, benar, Pek-yaya sedang berlatih di kamar pertama sana, biarlah kuminta penjelasan padanya. Berpikir begitu ia lantas datang kembali ke kamar batu pertama. Dilihatnya Pek Cu-cay dan Un Jin-ho masih asyik bergebrak dengan menggunakan pedang kayu, setiap berapa jurus lalu berhenti dan saling berdebat menurut pendapat masing-masing. Pada suatu kesempatan Ciok Boh-thian coba menarik-narik lengan baju Pek Cu-cay dan bertanya, "Yaya, apakah arti tulisan-tulisan itu?" Dengan acuh tak acuh Pek Cu-cay memberi penjelasan beberapa kalimat. Tapi Un Jin-ho lantas menyela, "Salah, salah! Pek-heng, meski ilmu silatmu cukup tinggi, tapi aku sudah tinggal belasan tahun di sini, masakah sia-sia saja latihanku selama ini? Beberapa bagian di antaranya pastilah kau belum bisa memahaminya. Coba lihat ini...." Boh-thian menjadi kesal lagi melihat mereka berdebat terus-menerus. Pikirnya, "Rupanya tulisan yang terukir di dinding ini sedemikian sukarnya untuk dipahami sehingga selama berpuluh tahun orang-orang kosen dan kaum cerdik pandai yang telah diundang kemari oleh Liong dan Bok-tocu toh masih belum dapat memecahkan arti yang sebenarnya. Aku sendiri buta huruf, buat apa aku mesti ikut pusing-pusing memikirkan seperti mereka?" Ia coba mengelilingi ruangan itu, dilihatnya orang-orang yang berada di situ semuanya lagi berbantahan dan saling mempertahankan pandangannya sendiri-sendiri. Karena iseng, ia coba melihat gambar yang terukir di atas dinding. Ternyata lukisan di kamar pertama ini bukan dalam bentuk pedang, tapi adalah seorang pelajar muda, lain tidak. Ia merasa gambar itu sangat indah sehingga tanpa merasa ia memandangnya beberapa kali. Tapi mendadak "yan-ek-hiat" di lambung kanan mendadak berdenyut, suatu arus hawa panas lantas timbul dari siau-yang-keng, urat nadi di bagian kaki, terus menyalur ke atas tubuh. Boh-thian menjadi girang. Ia coba meneliti pula lukisan dinding itu, ternyata setiap garis dan setiap gores lukisan itu satu sama lain berhubungan. Ia pikir goresan lukisan ini kiranya sesuai dengan jalan nadi di dalam tubuh manusia, biarlah aku melatihnya menurut garis-garis yang pernah aku hafalkan dari boneka kayu dahulu. Nanti kalau Pek-yaya sudah berhasil meyakinkan ilmu silat yang tinggi segera kami dapat pulang bersama. Begitulah ia lantas mengikuti goresan-goresan gambar itu, yang seluruhnya meliputi 9x9=81 garis. Tapi baru 30-an gores saja Boh-thian sudah merasa lapar. Ia istirahat sejenak, dilihatnya di atas meja di pojok kamar situ ada disediakan

penganan dan minuman, segera ia menggasaknya hingga kenyang. Kemudian meneruskan latihannya pula menurut garis-garis lukisan. Bila lelah ia lantas mengaso, kalau mengantuk lantas tidur, jika lapar sudah ada makanan, ia tidak tahu sudah lewat beberapa hari, namun akhirnya 81 garis lukisan itu benar-benar telah dilatihnya dengan masak. Waktu ia pergi mencari Pek Cu-cay, ternyata kakek itu sudah tiada di dalam kamar. Ia berlari ke kamar kedua, ternyata Pek Cu-cay sedang

bertanding pedang di situ dengan seorang tosu tua. Tampaknya ilmu pedang mereka sangat lamban dan jelek, tapi membawa suara angin yang mendesis-desis, nyata mereka telah mencurahkan lwekang ke batang pedang. Suatu ketika, terdengar suara "krek", pedang kayu di tangan Pek Cu-cay telah patah menjadi dua. "Bagaimana?" ujar si tosu tua dengan tersenyum. Namun Pek Cu-cay masih penasaran, jawabnya, "Gu-teh Totiang, ilmu pedangmu memang lebih mahir daripadaku, sungguh aku merasa kagum. Cuma jurus ini adalah ajaran asli Bu-tong-pay kalian dan bukan ilmu pedang yang dimaksudkan lukisan dinding ini."

"Habis bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Gu-teh Totiang. "Menurut kalimat syair itu...." begitulah Pek Cu-cay mulai membantah pula sehingga kembali terjadi perdebatan yang bertele-tele. Ciok Boh-thian merasa lega karena dapat menemukan sang kakek, ia coba menyela, "Yaya, marilah kita pulang saja?"

"Apa katamu?" tanya Pek Cu-cay dengan aseran. "Menurut Liong-tocu, katanya setiap saat bila mau kita boleh pergi dari sini," kata Boh-thian. "Di pantai sana sudah tersedia kapal, marilah kita berangkat saja."

"Ngaco-belo! Kenapa mesti buru-buru?" bentak Cu-cay dengan gusar. Boh-thian menjadi takut melihat sang kakek marah-marah. Tapi ia berkata pula, "Nenek sedang menunggu engkau, katanya akan menunggu sampai tanggal 8 bulan satu nanti. Jika sampai harinya Yaya belum pulang juga segera beliau akan membunuh diri dengan terjun ke dalam laut."

"Hah, tanggal delapan bulan satu?" Pek Cu-cay menegas dengan melenggong. Tapi ia lantas menyambung, "Ah, kita baru beberapa hari berada di sini, kita mempunyai waktu satu bulan lamanya, biarlah kita tinggal lagi beberapa hari, kenapa mesti khawatir?" Mestinya Boh-thian sudah rindu kepada A Siu, kalau bisa sungguh ia ingin terbang kembali ke tepi pantai sana. Tapi rupanya Pek Cu-cay benar-benar sudah tenggelam dalam ilmu silat dan ingin menyelami rahasia lukisan dinding itu, sebelum berhasil rasanya sukar disuruh berhenti. Terpaksa Boh-thian tidak berani bicara lagi, ia coba menuju ke kamar batu ketiga. Ternyata di situ sudah ada tiga orang tua dengan dandanan yang ringkas kencang dan lagi berlari-lari dengan menggunakan ginkang yang tinggi. Sambil berlari ketiga orang tiada hentinya berbicara pula, yang dibicarakan rupanya adalah pendapat masing-masing tentang lukisan dinding di situ. Tapi rupanya ketiga orang itu pun tiada mendapatkan kesatuan paham. Boh-thian coba melihat lukisan apa di dinding kamar itu. Kiranya adalah gambar seekor kuda bagus dengan gayanya yang gagah dan tangkas sedang berlari, di bawah telapak kaki terlukis pula garis-garis yang menandakan mega sehingga binatang itu seakan-akan sedang melayang di angkasa. Waktu dia mengamat-amati lebih lanjut goresan-goresan gambar kuda itu, sekonyong-konyong tenaga dalamnya bergolak lagi, tanpa kuasa ia lantas angkat kaki dan ikut berlari-lari. Begitulah berturut-turut Ciok Boh-thian lantas mendatangi kamar batu keempat, kelima, keenam dan seterusnya sehingga semua lukisan di dinding kamar-kamar itu dapat diselaminya semua. Kiranya lukisan-lukisan dinding dari 24 kamar batu itu masing-masing diberi penjelasan dengan 24 bait syair kuno. Tapi semuanya sebenarnya merupakan rumus-rumus ilmu pedang, ginkang, lwekang dan sebagainya yang sangat tinggi. Terkadang Ciok Boh-thian dapat memahami dengan sangat cepat, tapi sering juga macet dan makan waktu. Namun demikian tanpa merasa akhirnya lukisan dari 23 kamar batu itu sudah dapat dilatihnya dengan baik. Ia sendiri tidak ingat sudah lewat berapa hari, cuma setiap dua-tiga hari sekali tentu dia pergi mendesak Pek Cu-cay untuk pulang. Akan tetapi Pek Cu-cay merasa makin besar hasil pelajarannya terhadap rumus ilmu silat di dinding itu, maka makin lama makin keranjingan. Bila Ciok Boh-thian mengganggunya, sering kali ia lantas mendamprat, sampai akhirnya ia menjadi gemas, bila pemuda itu mendekat terus dihantam dan ditendangnya supaya enyah. Terpaksa Ciok Boh-thian pergi mencari Hoan It-hui, Ko Sam-niocu, dan lain-lain untuk berunding. Tak terduga orang-orang itu pun sudah keranjingan semua asyik menyelami ilmu silat menurut ukiran di dinding batu, bahkan mereka lantas minta penjelasan dan petunjuk kepada Ciok Boh-thian tentang di mana letak rahasia pelajaran yang belum juga diketemukan itu. Diam-diam Boh-thian terkesiap, pikirnya, "Meski Liong dan Bok-tocu telah mengundang tokoh-tokoh persilatan ke sini untuk menyelami ilmu silat lukisan dinding ini, ternyata selama puluhan tahun ini tiada seorang pun yang meninggalkan pulau ini dan pulang ke Tionggoan, hal ini menandakan ilmu silat di atas lukisan dinding ini benar-benar membikin setiap orang menjadi keranjingan dan lupa daratan. Untunglah kepandaianku rendah, pula buta huruf, tentu aku takkan keranjingan seperti mereka sehingga lupa untuk pulang."

Maka ketika ia, hendak diajak tukar pikiran oleh Hoan It-hui dan lain-lain, cepat saja ia meninggalkan mereka. Ia pikir sedikitnya sudah lebih 20 hari tinggal di Liong-bok-to, lewat beberapa hari lagi tidak boleh tidak harus lekas-lekas berangkat pulang. Dari 24 kamar batu itu sudah dikunjungi 23 kamar, hanya tinggal satu kamar terakhir saja belum didatangi, bila ukiran dinding kamar terakhir itu pun sudah dilihatnya dan jika Pek Cu-cay masih tetap tidak mau pulang, terpaksa ia sendiri akan berangkat lebih dulu supaya Su-popo dan lain-lain mendapat tahu apa yang terjadi di atas pulau.

Begitulah ia lantas menuju ke kamar ke-24. Begitu masuk ke situ lantas tertampak Liong-tocu dan Bok-tocu sedang duduk bersila di atas kasuran kecil dengan menghadap dinding dan lagi merenung dengan segenap pikiran. Boh-thian sangat menghormat kepada kedua tocu itu, ia berdiri saja dari jauh. Waktu ia pandang dinding kamar itu, ia menjadi kecewa. Jika dinding kamar-kamar yang lain di samping tulisan-tulisan tentu ada lukisan pula, ternyata dinding kamar terakhir ini tiada sesuatu lukisan apa-apa melainkan tulisan melulu. "Jika tiada sesuatu lukisan yang dapat dilihat, biarlah sekarang juga aku permisi kepada Pek-yaya dan segera berangkat pulang saja," demikian pikirnya. Teringat beberapa hari lagi sudah dapat bertemu kembali dengan Su-popo, Ciok Jing dan istrinya, terutama A Siu yang sudah dirindukannya itu, maka ia menjadi sangat senang. Segera ia memberi hormat kepada Liong dan Bok-tocu dan mohon diri, "Banyak terima kasih atas

pelayanan kedua Tocu selama ini, biarlah hari ini juga hamba ingin permisi untuk pulang." Namun Liong dan Bok-tocu tetap memusatkan perhatian mereka ke arah dinding dan seperti tidak mendengar ucapannya. Waktu Boh-thian ikut memandang ke arah dinding, sekonyong-konyong ia merasa huruf-huruf di atas dinding itu seperti berputar-putar sehingga kepalanya merasa pusing. Ia coba pejamkan mata dan tenangkan pikiran, lalu memandang lagi, tapi kembali kepala terasa pusing. Ia merasa heran, aneh benar huruf-huruf ini, bila dipandang lantas kepala terasa puyeng. Karena rasa ingin tahu, ia tidak kapok, kembali ia memandang pula. Ia lihat setiap garis, setiap gerakan huruf itu seakan-akan berubah semua menjadi beradu atau cebong dan sedang bergerak di atas dinding. Tapi bila cuma diperhatikan satu garis saja, maka cebong itu lantas tidak bergerak lagi. Di waktu kecilnya Ciok Boh-thian tinggal di atas gunung yang sunyi, di musim semi ia suka menangkap cebong di sungai pegunungan, lalu dipiara di empang kecil yang dibuatnya sendiri untuk melihat cara bagaimana cebong itu berubah menjadi katak. Sekarang dapat melihat lagi barang mainan di waktu kanak-kanak dulu, saking senangnya ia lantas

memerhatikan setiap gerak-gerik cebong itu. Setelah memerhatikan sejenak, mendadak "ci-yang-hiat" di bagian punggung terasa berdenyut. Ia sampai terkejut, "Eh, kiranya cebong-cebong di atas dinding ini sebenarnya ada hubungannya dengan saluran tenaga dalam." Waktu ia memandang cebong yang kedua, kembali "koan-ki-hiat" di bagian punggung berdenyut pula. Cuma saja tenaga dalam antara ci-yang-hiat dan koan-ki-hiat itu sukar dihubungkan. Ketika ia memerhatikan cebong ketiga, tapi sampai sekian lamanya hawa murni di dalam tubuh sama sekali tiada bergerak. "Ciok-pangcu memerhatikan `Thay-hian-keng' ini, kiranya adalah seorang ahli huruf cebong," demikian tiba-tiba tegur seorang dengan nada dingin. Waktu Boh-thian menoleh, kiranya adalah Bok-tocu yang sedang memandangnya dengan sorot mata yang tajam. Muka Boh-thian menjadi merah, jawabnya dengan tergagap, "O, ti... tidak, hamba sama sekali tidak bisa membaca. Cuma gambar cebong-cebong kecil ini tampaknya sangat menyenangkan, maka aku telah memandanginya."

"Ya, memangnya aku pun merasa heran masakah Ciok-pangcu yang masih begini muda dapat memahami huruf kuno yang amat sukar dipelajari ini," kata Bok-tocu. "Jika demikian biarlah aku takkan memandangnya lagi, supaya tidak mengganggu kedua Tocu," sahut Boh-thian. "Tidak, kau tidak perlu pergi, boleh kau melihat sesukamu di sini dan juga takkan mengganggu kami," ujar Bok-tocu. Lalu matanya terpejam pula. Mestinya Boh-thian hendak meninggalkan kamar batu itu, tapi khawatir Bok-tocu merasa kurang senang. Ia pikir biarlah kupandang sebentar lagi baru keluar dari sini. Tak terduga waktu dia memandang ukiran cebong lagi, mendadak "tiong-cu-hiat" di bagian perut berdenyut dengan keras seperti ada kodok melompat di dalam perut, Pikirnya, "Aneh, cebong-cebong kecil ini benar-benar aneh, belum menjadi katak sudah lantas melompat-lompat."

Karena tertarik, ia lantas memerhatikan lagi setiap cebong itu, berulang-ulang hiat-to di tubuhnya juga lantas bergerak-gerak dan melonjak-lonjak aneh, terkadang dua-tiga tempat hiat-to bisa bertembusan dan hawa murni lantas berjalan dengan lancar, rasa badan menjadi segar sekali. Saking kesengsemnya ia sampai lupa daratan, tak kenal lelah dan waktu. Asal merasa lapar ia lantas makan penganan yang tersedia di situ, habis itu lantas berlatih pula. Makin berlatih makin banyak hiat-to di dalam tubuhnya yang dapat dihubungkan. Ia merasa cebong-cebong kecil itu telah berpindah semua ke dalam urat nadinya dan seperti sudah berubah menjadi katak dan melompat-lompat di dalam tubuhnya. Untuk selanjutnya ia benar-benar seperti kesurupan setan, dia hanya memandangi huruf-huruf cebong di atas dinding. Jika lelah ia mengaso sebentar, lalu berlatih lagi. Ia benar-benar sudah keranjingan terhadap beribu-ribu dan berlaksa-laksa cebong kecil di atas dinding itu. Entah sudah lewat berapa hari lagi, sekonyong-konyong hawa murni di dalam tubuh terasa bergolak hebat dan berturut-turut telah menembus beberapa bagian yang tadinya macet. Habis itu lantas bergerak dengan dahsyatnya laksana air bah melanda, dari perut hawa murni itu lantas menerjang ke ubun-ubun kepala, lalu dari ubun-ubun turun kembali ke perut, makin mengalir makin cepat. Terkejut dan girang pula Ciok Boh-thian, seketika ia menjadi bingung pula cara bagaimana harus diperbuatnya. Ia merasa sekujur badannya penuh tenaga yang tak tersalurkan. Tanpa merasa kaki dan tangannya lantas bergerak-gerak, ia mainkan ilmu pukulan dari garis-garis lukisan yang dilihatnya di kamar batu pertama itu, lalu memainkan ilmu pedang menurut goresan gambar di kamar kedua dan begitu seterusnya, sekaligus ia telah keluarkan segenap ilmu yang telah dilihatnya, baik ilmu pedang, ilmu pukulan, ginkang, lwekang dan sebagainya. Habis itu bahkan tenaga dalamnya masih terus bergolak, tanpa merasa ia terus mainkan segenap kepandaian yang dipelajarinya sebelumnya, baik ilmu pukulan jahat ajaran ibunya, Yam-yam-kang ajaran Cia Yan-khek, lwekang yang diperolehnya dari boneka kayu, kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong, Swat-san-kiam-hoat, Kim-oh-to-hoat dan ilmu golok campur pedang ciptaannya sendiri, semuanya dikeluarkan. Di mana dia ingat, di situ juga lantas dimainkan, semuanya timbul sendiri tanpa banyak pikir dan dapat dilakukannya dengan bebas sesukanya. Makin main makin senang, sampai akhirnya Ciok Boh-thian terbahak-bahak sendiri dan berteriak, "Hahahaha! Bagus!"

"Ya, memang bagus!" tiba-tiba ada orang ikut menanggapi. Boh-thian terkejut dan cepat berhenti main. Dilihatnya Liong-

tocu dan Bok-tocu masing-masing sudah berdiri di pojok ruangan dan sedang memandangnya dengan rasa kejut dan girang. Cepat Boh-thian minta maaf, "Hamba telah berlaku sembrono, harap kedua Tocu jangan marah." Ternyata kedua tocu itu penuh air keringat, bajunya basah kuyup, tempat di mana mereka berdiri juga penuh tetesan air. Maka Liong-tocu telah berkata, "Bakat Ciok-pangcu yang aneh, sungguh harus dipuji. Terimalah ucapan selamat kami!" Habis berkata dia lantas menjura. Cepat Bok-tocu ikut memberi hormat. Keruan Ciok Boh-thian terkejut, lekas-lekas ia pun berlutut dan balas menjura. Katanya, "Mengapa kedua Tocu menjalankan penghormatan se... setinggi ini, mana hamba berani terima!"

"Ciok-pangcu sil... silakan bangun!" kata Liong-tocu. Boh-thian menurut dan merangkak bangun. Dilihatnya Liong-tocu juga hendak berbangkit kembali, tapi mendadak tergeliat dan jatuh terduduk di atas lantai. Begitu pula kedua tangan Bok-tocu tampak menahan tanah dan juga tidak kuat berbangkit. "He, kenapakah kalian?" seru Boh-thian dengan khawatir. Cepat ia memayang bangun Liong-tocu. Lalu membangunkan Bok-tocu pula. Liong-tocu tampak goyang-goyang kepala dan tersenyum. Lalu pejamkan mata dan mengumpulkan tenaga. Bok-tocu juga lantas semadi mengumpulkan semangat. Boh-thian tak berani mengganggunya. Selang agak lama barulah terdengar Bok-tocu menghela napas lega terus melompat bangun dan mendekati Liong-tocu serta merangkulnya. Liong-tocu juga lantas membuka mata, kedua orang lantas saling berpelukan sambil bergelak tertawa, tampaknya girang tak terhingga. Sudah tentu Boh-thian tidak tahu apa sebabnya kedua orang itu sedemikian riang gembira, dia hanya ikut menyengir saja. Perlahan-lahan Liong-tocu lalu berdiri, katanya, "Ciok-pangcu, sudah berpuluh tahun kami berdua dirundung oleh suatu pertanyaan besar, tapi hari ini engkau telah dapat memecahkannya, sungguh kami merasa sangat berterima kasih."

"Aku... aku memecahkan apa?" tanya Boh-thian dengan bingung. "Buat apa Ciok-pangcu mesti merendah hati?" ujar Liong-tocu dengan tersenyum. "Engkau sudah berhasil menyelami lukisan bersyair Hiap-khek-heng yang terukir di dinding batu ini, bukan saja engkau adalah orang pertama di dunia persilatan dewasa ini, bahkan selain orang kosen angkatan tua yang mengukirkan lukisan ini sendiri, mungkin sejak dulu kala hingga sekarang jarang ada orang lain yang mampu memadai Ciok-pangcu."

"Ah, mana hamba berani menerima pujian setinggi itu?" sahut Boh-thian dengan gugup. "Ucapan Liong-tocu ini bila didengar oleh Pek-yaya, tentu beliau akan sangat marah."

"Apakah sebabnya?" tanya Liong-tocu dengan tertawa. "Sebab Pek-yaya ingin disebut sebagai `jago pedang nomor satu, jago lwekang nomor satu, pendek kata serbanomor satu', sebaliknya hamba sedikit pun tidak becus apa-apa, mana dapat dibandingkan dengan Pek-yaya?"

"Haha, jadi `tokoh nomor satu' dunia persilatan selama ini adalah Pek Cu-cay dari Swat-san-pay? Hahahaha!" tukas Liong-tocu dengan tertawa. Dan sesudah saling pandang sekejap dengan Bok-tocu, lalu ia tanya kepada Boh-thian, "Tapi bagaimana menurut anggapan Ciok-pangcu sendiri?" Boh-thian merenung sejenak, kemudian menjawab, "Ilmu silat Pek-yaya sudah tentu sangat tinggi, tapi kalau mengaku sebagai jago nomor satu rasa rasanya sih belum dapat."

"Ya, memang," kata Liong-tocu. "Melulu bicara tentang ilmu pedang, ilmu pukulan dan lwekang saja Ciok-pangcu sendiri sudah sepuluh kali lebih tinggi daripada Pek-yayamu. Tentang huruf cebong di atas dinding ini, apa yang kami ketahui boleh dikata belum ada satu bagian daripada seluruhnya, entah Ciok-pangcu sudi memberi petunjuk atau tidak?" Untuk sejenak Ciok Boh-thian memandangi Liong-tocu, lalu memandang Bok-tocu pula. Wajah kedua orang itu tampak sangat serius, sangat sungguh-sungguh, tapi mengandung rasa khawatir-khawatir cemas pula seakan-akan takut kalau dirinya tak mau menerangkan rahasia rumusan lukisan itu. Maka ia lantas menjawab, "Tentu saja akan kuterangkan seluruhnya kepada kalian. Mula-mula aku memerhatikan cebong ini, seketika `tiong-cu-hiat' lantas berdenyut, waktu kupandang pula cebong yang itu, kontan `ci-yang-hiat' lantas melonjak...." Begitulah ia terus memberi penjelasan sambil menunjuk gambar-gambar berudu itu. Keruan Liong dan Bok-tocu merasa bingung dan tidak mengerti. Melihat kedua orang tua itu mengunjuk rasa heran, segera Boh-thian bertanya, "Bagaimana, apakah uraianku salah?"

"Kiranya apa yang dilihat oleh Ciok-pangcu adalah... adalah gambar-gambar cebong belaka, jadi engkau tidak membaca tulisannya? Tapi mengapa Ciok-pangcu dapat pula mengerjakan seluruh `Thay-hian-keng' ini?" tanya Liong-tocu. "Tidak, hamba tidak membacanya, sejak kecil hamba tidak sekolah, sampai sekarang masih buta huruf, sungguh sangat memalukan," sahut Boh-thian dengan wajah merah jengah. "Hahh, kau... kau buta huruf?" tanya Liong-tocu dan Bok-tocu sambil melonjak berbareng. "Ya, aku tidak dapat membaca," jawab Boh-thian. "Tapi sesudah pulang nanti tentu aku akan... akan minta A Siu mengajar membaca padaku. Kalau tidak tentu aku akan selalu ditertawai orang." Melihat sikap pemuda itu sangat jujur dan tulus, sedikit pun tiada tanda-tanda membohong mau tak mau kedua tocu itu harus percaya juga. Sungguh mereka tidak habis mengerti mengapa bisa terjadi demikian. Segera Liong-tocu bertanya pula, "Jika kau buta huruf, mengapa kau dapat menyelami catatan-catatan di dalam ke-23 kamar batu sana, siapakah yang menjelaskan artinya kepadamu?"

"Tiada orang yang menjelaskan padaku," sahut Boh-thian. "Kudengar Pek-yaya membaca beberapa kalimat dan Hoan-toaya dari Kwantang itu pun mengucapkan beberapa kalimat, begitu pula paman-paman dan mamak-mamak yang lain, tapi semuanya aku tidak paham, maka aku tidak menaruh perhatian. Aku... aku hanya melihat gambarnya saja, dalam keadaan ruwet mendadak hawa murni dalam tubuhku lantas bergolak dan berjalan menurut setiap goresan gambar yang kuperhatikan."

"Kau buta huruf, tapi dapat membaca rumusan dalam lukisan itu, ini mana... mana bisa?" ujar Bok-tocu. "Ya, jangan-jangan sudah suratan takdir atau Ciok-pangcu ini memiliki pembawaan yang genius?" kata Liong-tocu. Sejenak kemudian mendadak Bok-tocu membanting kaki sambil berseru, "Aha, tahulah aku, pahamlah aku! Toako, kiranya demikianlah halnya!" Untuk sejenak Liong-tocu tertegun. Tapi segera ia pun paham duduknya perkara. Seketika mereka berdua saling rangkul lagi, air muka mereka tampak cemas-cemas girang tercampur gegetun. Liong-tocu lantas menoleh dan tanya Ciok Boh-thian pula,

"Ciok-pangcu, untunglah engkau tidak bisa membaca, maka dapatlah memecahkan persoalan yang penuh teka-teki ini. Sekarang mati pun kami dapat tenteram dan takkan menyesal di alam baka."

"Mati pun dapat ten... tenteram apa maksud kedua Tocu?" tanya Boh-thian dengan bingung. Liong-tocu menghela napas perlahan, katanya, "Kiranya tulisan-tulisan yang begitu banyak sesungguhnya tiada gunanya semua, setiap kalimatnya sengaja menyesatkan bagi siapa pun yang membacanya. Akan tetapi setiap orang yang ingin memahami arti lukisan-lukisan itu sudah tentu ingin mempelajari arti daripada keterangan-keterangan yang tercatat di situ."

"Jadi engkau maksudkan tulisan-tulisan itu sebenarnya tiada gunanya?" Boh-thian menegas dengan heran. "Ya, bukan saja tak berguna, bahkan bisa bikin celaka," sahut Liong-tocu. "Jika tidak demikian, tentu tidak percumalah jerih payah selama ini."

"Ternyata tulisan yang kita anggap sebagai kitab `Thay-hian-keng' ini sebenarnya bukan huruf cebong, tapi hanya... hanya garis-garis yang menunjukkan tempat hiat-to yang bersangkutan," kata Bok-tocu. "Ai, empat puluh tahun, empat puluh tahun telah lalu dengan percuma." Begitulah kedua tocu itu saling pandang dengan penuh penyesalan, lesu sekali semangat mereka, sedikit pun tiada sikap kereng dan berwibawa seperti waktu perjamuan Lap-pat-cok tempo hari. Sebaliknya Ciok Boh-thian masih merasa bingung, ia tanya pula, "Orang itu sengaja menulis sebanyak ini di atas dinding untuk menyesatkan orang, entah apa tujuannya?"

"Apa maksud tujuannya memang sukar dikatakan," ujar Liong-tocu. "Boleh jadi Locianpwe itu tidak ingin angkatan muda dapat mempelajari ilmu tinggalannya secara mudah, atau catatan-catatan itu sengaja ditambahkan lagi oleh seorang lain, mungkin juga Locianpwe itu tidak suka orang sekolahan, maka sengaja memasang perangkap demikian supaya orang yang

jujur dan polos sebagai Ciok-pangcu mendapatkan pusaka tinggalannya ini."

"Ya, maksud tujuan Locianpwe itu benar-benar sangat mendalam dan sukar diterka," tukas Bok-tocu. Melihat kedua tocu itu sangat lesu dan gegetun, Boh-thian menjadi rikuh, katanya segera, "Kedua Tocu, jika ilmu yang kuperoleh ini memang berguna, biarlah seluruhnya akan aku uraikan kepada kalian. Marilah kita kembali ke kamar batu pertama, tentu akan kujelaskan tanpa merahasiakannya sedikit pun."

"Maksud baik Ciok-pangcu kami terima di dalam hati saja," sahut Liong-tocu dengan tersenyum getir. "Seorang muda yang berjiwa tulus sebagai saudara cilik memang sudah sepantasnya mendapatkan ganjaran baik pula, perkembangan dunia persilatan di kemudian hari tentu pula akan banyak diharapkan tenagamu. Dengan demikian jerih payah kami selama ini tidaklah menjadi sia-sia."

"Benar, teka-teki rumusan lukisan dinding ini sekarang sudah terpecahkan, cita-cita kami sudah terkabul. Baik saudara cilik yang berhasil meyakinkan atau kami adalah sama saja," demikian Bok-tocu menambahkan. "Jika begitu, apakah seluk-beluk gambar-gambar cebong ini saja yang kuterangkan pada kalian?" kata Boh-thian dengan sungguh-sungguh.

"Ilmu sakti ini toh sudah mendapatkan ahli warisnya yang sejati, gambar-gambar itu sudah waktunya untuk berakhir," kata Liong-tocu dengan tersenyum haru. "Saudara cilik, cobalah lihat lagi." Waktu Boh-thian berpaling dan memandang ke dinding, seketika ia terperanjat. Ternyata bubuk batu tampak rontok sedikit demi sedikit dari dinding batu itu, huruf-huruf cebong yang memenuhi dinding itu sekarang sudah tak keruan jadinya dan hanya tinggal sebagian kecil saja yang masih jelas. "He, meng... mengapa bisa demikian?" serunya kaget. "Soal ini biarlah kita bicarakan nanti," ujar Bok-tocu. "Sekarang marilah kita menemui dulu para kesatria untuk mengumumkan kejadian ini." Segera mereka bertiga keluar dari kamar batu itu dan menuju ke ruangan depan. Liong-tocu lantas memerintahkan para muridnya berkumpul dan mengundang para kesatria yang tersebar di berbagai kamar batu itu. Kiranya tadi sesudah Ciok Boh-thian berhasil memecahkan rumus ilmu sakti menurut lukisan dinding, tanpa merasa ia lantas mulai main. Liong dan Bok-tocu menjadi terkejut dan heran, segera Liong-tocu maju mencobanya. Tapi saat itu Boh-thian sudah seperti keranjingan setan, begitu merasa diserang orang secara otomatis ia lantas melayani. Hanya beberapa jurus saja Liong-tocu sudah merasa kewalahan, cepat Bok-tocu ikut maju mengerubut. Namun dengan ilmu silat kedua orang yang sudah tiada bandingannya di dunia persilatan itu ternyata masih tidak mampu melawan ilmu sakti yang baru saja dipahami Ciok Boh-thian. Semakin dahsyat mereka menyerang, semakin hebat pula perlawanan Ciok Boh-thian. Angin dan tenaga pukulan mereka bertiga semuanya tersampuk ke atas dinding kamar sehingga permukaan dinding yang berukiran itu tergetar sehingga ambrol. Begitulah sesudah mereka bertiga sampai di ruangan depan dan ambil tempat duduk masing-masing, para tamu dan muridnya berturut-turut juga sudah kumpul, Sekarang di ruangan besar itu telah berjubel-jubel dengan tokoh-tokoh Bu-lim yang pernah mengunjungi Liong-bok-to selama 30-an tahun ini, selain sebagian kecil yang telah wafat karena usia lanjut, sisanya kini sudah ikut hadir di situ.

Bab 48. Ciok Boh-thian Anak Anjing atau Anak Manusia? [TAMAT]

Setelah para hadirin sudah datang semua, Liong-tocu lantas bisik-bisik memberi pesan kepada murid pertamanya, begitu pula Bok-tocu. Kedua murid pertama mereka tampak tercengang sambil mendengarkan perintah sang guru. Dan sesudah minta penjelasan pula seperlunya, kemudian kedua murid pertama itu lantas menuju ke belakang bersama belasan orang sute mereka.

Liong-tocu lantas mendekati Ciok Boh-thian, katanya dengan suara tertahan, "Adik cilik, tentang kejadian di kamar batu terakhir tadi janganlah sekali-kali kau katakan kepada orang lain. Kalau tidak, sepanjang hidupmu tentu akan timbul macam-macam kesukaran dan macam-macam bahaya." Ciok Boh-thian mengiakan saja walaupun tidak mengerti sebab musababnya. Namun Liong-tocu lantas menerangkan, "Kau telah memiliki ilmu sakti yang tiada taranya di dunia ini, orang Bu-lim tentu ada yang kagum dan ada yang iri, dari iri menjadi benci, atau ada pula yang datang minta belajar padamu, mungkin pula dengan macam-macam akal kau akan dipaksa mengaku rahasia kepandaianmu, pendek kata macam-macam kesukaran akan menimpa dirimu. Sebab itulah pengalamanmu tadi jangan sekali-kali diketahui oleh orang luar."

"Ya, banyak terima kasih atas petunjuk Tocu ini," sahut Boh-thian. Selesai memberi pesan seperlunya, kemudian Liong-tocu kembali ke tempat duduknya semula. Lalu berkata kepada para kesatria, "Sobat-obat sekalian, kita dapat berkumpul di pulau ini, betapa pun dapatlah dianggap kita ini ada jodoh. Tapi sampai sekarang masa berkumpul kita sudah berakhir dan

terpaksalah kita harus berpisah." Para kesatria tercengang heran, beramai-ramai mereka bertanya, "He, ada apakah?" -- "Telah terjadi apakah, Tocu?" Di tengah suara berisik itu, sekonyong-konyong dari ruangan belakang sana terdengarlah suara letusan yang gemuruh. Seketika para kesatria terdiam, mereka melenggong karena tidak tahu apa yang terjadi. "Para sobat, kalian berkumpul di sini adalah dengan harapan dapat memecahkan rahasia ilmu sakti lukisan dinding itu, namun sayang waktunya sudah tidak mengizinkan lagi, Liong-bok-to ini dalam waktu singkat sudah akan tenggelam," kata Liong-tocu pula. "Hah, sebab apa? Apakah gempa bumi? Atau ada gunung berapi akan meletus? Dari mana Tocu mendapat tahu?" demikian beramai-ramai para kesatria menjadi ribut. "Ya, tadi aku dan Bok-hiante telah melihat pusar pulau ini mulai bergolak dan segera akan terjadi letusan gunung berapi, bila meletus tentulah pulau ini akan menjadi lautan api. Sekarang suara gemuruh sudah mulai dahsyat, para sobat silakan lekas pergi dari sini." Namun para kesatria itu masih ragu-ragu. Ada yang sudah terlalu keranjingan ilmu silat yang terukir di dinding itu, maka mereka lebih suka menghadapi bahaya daripada tinggal pergi begitu saja. "Jika kalian tidak percaya, boleh silakan kalian periksa lagi kamar-kamar batu yang sudah retak dan runtuh itu, andaikan gunung berapi tidak jadi meletus juga tiada gunanya lagi kalian tinggal di sini," ujar Liong-tocu. Mendengar itu, para kesatria benar-benar terkejut, beramai-ramai mereka berlari ke kamar batu masing-masing, begitu pula Boh-thian ikut lari ke belakang. Benar juga kamar-kamar batu itu sudah retak, ukiran di dinding itu sudah ambrol semua. Boh-thian tahu ukiran dinding itu tentu dirusak atas perintah kedua tocu, diam-diam ia merasa dirinya yang bersalah sehingga menimbulkan gara-gara ini. Para kesatria itu pun menganggap rusaknya kamar-kamar batu itu tidak wajar, terang dilakukan oleh manusia dan bukan lantaran gempa bumi. Beramai-ramai mereka lantas berlari kembali ke ruangan depan dengan maksud menegur kedua tocu. Tapi baru saja sampai di ambang pintu lantas terdengar suara tangis orang yang ramai dan sedih. Keruan para kesatria tambah kaget, Tertampak Liong-tocu dan Bok-tocu berduduk di tempatnya dengan mata terkatup. Para muridnya berlutut di sekelilingnya sambil menangis. Seketika jantung Ciok Boh-thian seakan-akan terbetot keluar. Cepat ia menyusup maju di antara orang banyak sambil berseru, "Liong-tocu, Bok-tocu, ken... kenapakah kalian?" Tapi air muka kedua orang tua itu tampak sudah pucat kaku, nyata sudah meninggal dunia. Boh-thian menoleh dan coba tanya Thio Sam dan Li Si, "Kedua Tocu baru saja masih baik-baik, mengapa dalam sekejap saja sudah wafat?"

"Waktu wafat, kedua Suhu menyatakan cita-cita beliau sudah terkabul, walaupun meninggalkan dunia fana ini, namun tenanglah ha... hati beliau-beliau itu," sahut Thio Sam sambil terguguk-guguk. Karena terharu, Boh-thian sampai ikut menangis. Ia tidak tahu bahwa sesudah pertarungan di dalam kamar batu tadi kedua tocu itu sudah kehabisan tenaga seperti pelita kehabisan minyak. Ditambah lagi usia mereka memang sudah lanjut, sekarang cita-cita sudah terkabul, maka mereka lantas mangkat dengan tenang. Si murid utama baju kuning segera berseru, "Para tamu yang mulia, menurut pesan Suhu, kalian disilakan lekas meninggalkan pulau ini. Tentang medali wasiat yang pernah diterima kalian itu boleh disimpan baik-baik, boleh jadi kelak masih ada gunanya. Bila di kemudian hari kalian ada sesuatu kesukaran, silakan datang ke kampung nelayan di pantai selatan itu dengan membawa medali wasiat, mungkin kami akan dapat memberi bantuan seperlunya. Sekarang kapal-kapal sudah siap di tepi pantai, silakan kalian lantas berangkat saja." Mendengar itu para kesatria yang merasa kecewa itu menjadi terhibur. Beramai-ramai mereka lantas memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Liong dan Bok-tocu. "Selamat jalan, Samte," kata Thio Sam dan Li Si kepada Boh-thian. "Semoga kita akan berjumpa pula."  Setelah mengucapkan selamat tinggal, dengan rasa berat Boh-thian lantas mohon diri dan beramai-ramai ikut Pek Cu-cay, Hoan It-hui, dan lain-lain menuju ke pantai. Pulangnya sekarang mereka menggunakan kapal layar yang besar, sebuah kapal dapat memuat ratusan orang. Maka hanya lima-enam buah kapal saja para kesatria itu sudah terangkut semua. Segera mereka mengangkat sauh dan berlayar meninggalkan Liong-bok-to. Makin lama pulau itu makin kecil kelihatannya. Sekonyong-konyong Ciok Boh-thian teringat sesuatu sehingga berkeringat dingin. Teriaknya sambil membanting-banting kaki, "Wah, celaka, celaka! He, Yaya, hari ini tang... tanggal berapakah?" Pek Cu-cay juga lantas terkejut. Ia pun berteriak, "Wah, celaka! Aku ti... tidak tahu hari ini tanggal be... berapa?" Sekilas Ciok Boh-thian melihat Ting Put-si lagi tertawa mengejek di sebelah sana, cepat ia tanya, "Ting-siyaya, apakah engkau ingat sudah berapa lama kita datang ke Liong-bok-to sini?" "Mungkin 70 hari, mungkin 99 hari, siapa ambil pusing?" sahut Put-si. Boh-thian menjadi kelabakan dan hampir-hampir menangis. Ia coba tanya Ko Sam-niocu, "Kita sampai di sini pada tanggal 8 bulan 12, hari ini tentunya baru tanggal muda bulan satu bukan!" Ko Sam-niocu lantas menekuk jari dan berhitung, "Kita sudah tinggal 57 hari di pulau ini. Hari ini kalau bukan tanggal 6 tentulah tanggal 7 bulan dua." "Hahhhh, bulan dua?" jerit Pek Cu-cay dan Ciok Boh-thian

berbareng. "Ya, terang sudah bulan dua," sahut Ko Sam-niocu. "Wah, celaka, celaka!" teriak Pek Cu-cay sambil memukul-mukul dadanya sendiri. "Wah, untung, untung!" timbrung Ting Put-si dengan bergelak tertawa malah. "Ting-siyaya, mengapa engkau malah tertawa," omel Boh-thian. "Kata nenek, jika sampai tanggal 8 bulan satu Yaya belum pulang, maka beliau akan bunuh diri dengan terjun ke laut. Ya, malahan A Siu... A Siu juga akan terjun ke laut."

"Dia akan terjun ke laut?" Ting Put-si melengak. "Dia akan tunggu sampai tinggal 8 bulan satu? Tapi... tapi sekarang sudah bulan dua...."

"Ya, makanya... bagaimana baiknya ini?" kata Boh-thian sambil menangis. "Watak Siau-jui sangat keras, jika dia bilang menunggu sampai tinggal 8 bulan satu, maka pasti dilakukannya pada hari itu, padahal sekarang sudah lewat lebih 20 hari, tentu sudah lama dia membunuh diri," kata Put-si dengan gusar. "Dasar kau, Pek Cu-cay, kau bangsat keparat piaraan biang anjing kau... kau kenapa tidak pulang sejak dulu-dulu? Bangsat!"

"Ya, benar, aku memang bangsat keparat!" teriak Pek Cu-cay sambil tiada hentinya menghantam dada sendiri. "Su Siau-jui adalah istri orang, apakah dia masih hidup atau sudah mampus peduli apa dengan kau, mengapa kau ikut ribut dan memaki orang?" tiba-tiba suara seorang wanita yang tajam melengking mendamprat Ting Put-si. Itulah suara si wanita she Bwe.

Mendengar itu seketika Ting Put-si menjadi bungkam. Sebaliknya Pek Cu-cay lantas menyalahkan Ciok Boh-thian, "Jika sudah tahu nenekmu akan terjun ke laut pada tanggal 8 bulan satu, mengapa tidak kau beri tahukan padaku sejak dulu?" Karena hatinya sedih, Boh-thian tidak ingin membantahnya, ia biarkan orang tua itu mengomel sesukanya. Dalam pada itu kapal mereka telah laju dengan pesatnya karena mendapat angin buritan, Pek Cu-cay masih terus mencaci maki Ciok Boh-thian, sedangkan Ting Put-si suka mengolok-oloknya, beberapa kali mereka hampir-hampir berkelahi, tapi dapatlah dilerai oleh kawan-kawan sekapal. Sampai petang hari ketiga, dari jauh tertampaklah daratan pantai selatan, seketika bersoraklah semua orang. Namun Pek Cu-cay masih terus melotot memandangi ombak laut yang mendebur-debur seakan-akan mencari jenazah Su-popo dan A Siu. Makin lama makin dekatlah, Boh-thian melihat pemandangan pantai itu masih tetap sama seperti waktu dia berangkat. Di tepi pantai berderet-deret pohon nyiur. Pada puncak tebing karang yang menonjol di sebelah kiri sana tumbuh tiga batang pohon kenapa. Ia masih ingat waktu itu Su-popo, A Siu dan lain-lain mengantar kepergiannya dengan berdiri di tepi pantai, sekarang dirinya pulang dengan selamat, namun gurunya dan A Siu itu sudah menjadi isi perut ikan laut, sampai jenazah pun tak tertinggal lagi. Teringat demikian, tanpa merasa air matanya lantas meleleh. Kapal mereka masih terus laju menuju ke tepi pantai. Pada waktu sudah dekat, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan orang, dari atas tebing karang itu tampak melayang ke dalam laut dua sosok tubuh orang. Mata Ciok Boh-thian cukup jeli, sekilas dikenalnya orang-orang yang terjun ke laut itu tak-lain-tak-bukan adalah Su-popo dan A Siu. Kecut dan girang Ciok Boh-thian sungguh tak terhingga. Pada saat demikian sudah tentu tak terpikir olehnya mengapa kedua orang itu belum mati. Segera ia angkat sepotong papan terus dilemparkan sekuatnya ke arah tempat jatuhnya kedua orang, menyusul ia kumpulkan segenap tenaga ke ujung kaki, sekali loncat, seketika tubuhnya melayang ke depan secepat anak panah. Di sinilah dia telah perlihatkan manfaat ilmu sakti yang diperolehnya dari lukisan dinding batu di Liong-bok-to itu. Ketika melayang turun, sebelah kakinya tepat menginjak di atas papan yang terapung di permukaan air sehingga meluncur ke depan dengan lebih cepat. Pada saat itu dengan cepat sekali tubuh A Siu sedang terjun ke bawah dan tepat berada di sampingnya. Tanpa pikir lagi tangan kiri Ciok Boh-thian lantas menjulur, pinggang nona itu tepat kena dirangkul olehnya. Karena bobot kedua orang ditambah daya terjun si A Siu, seketika papan yang diinjak Boh-thian itu tertekan ke bawah. Pada waktu itu juga Su-popo tampak jatuh ke bawah tepat di sebelah kanannya, untuk menyambar tubuh nenek itu terang tidak dapat, terpaksa tangan kanan Boh-thian meraih punggung Su-popo dan sekalian didorong ke atas, kembali ia keluarkan ilmu sakti lukisan dinding Liong-bok-to, segera tubuh Su-popo melayang ke arah kapal. Orang-orang di atas kapal sama berteriak-teriak. Pek Cu-cay

dan Ting Put-si lantas memburu ke haluan kapal, melihat Su-popo melayang tiba, berbareng kedua orang menjulurkan tangan hendak menangkapnya. "Enyah kau!" bentak Pek Cu-cay sambil memukulkan sebelah tangan kepada Ting Put-si. Mestinya Ting Put-si hendak menangkis, tak terduga si wanita she Bwe mendadak mendorongnya dari belakang, tanpa ampun lagi ia lantas kecebur ke dalam laut. Pada saat itu juga Pek Cu-cay sudah dapat menangkap badan Su-popo. Namun melayang datangnya itu membawa tenaga dorongan Ciok Boh-thian yang mahakuat, Cu-cay tidak dapat berdiri tegak, ia terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh terduduk dengan masih tetap memeluk Su-popo sekencang-kencangnya. Dalam pada itu Ciok Boh-thian sambil memondong A Siu dengan pinjam daya luncur papan juga sudah mendekati kapal, sekali lompat ia sudah berada kembali di atas kapal. Untung juga Ting Put-si mahir berenang sehingga tidak sampai mati tenggelam. Segera kelasi-kelasi kapal melemparkan tambang ke bawah untuk mengereknya naik ke atas. Disebelah sana orang ribut membicarakan kejadian-kejadian

yang mendadak itu, di sebelah sini dengan basah kuyup Ting Put-si sedang memandangi si wanita berkerudung she Bwe dengan kesima, tiba-tiba ia berseru, "Kau... kau bukan adik perempuannya, tapi kau adalah dia, adalah dia sendiri!" Wanita itu tertawa dingin dan menjawab, "Hm, asal kau tahu saja. Sungguh besar amat nyalimu, di hadapanku kau masih berani memeluk Su Siau-jui?" Ketika mendadak ia menyingkap kerudungnya, maka tertampaklah mukanya yang penuh keriput dan amat pucat, mungkin lantaran terlalu lama diberi kurudung dan tidak pernah terkena cahaya matahari. "O, Bun-sing, ternyata memang betul adalah kau," kata Ting Put-si dengan terharu. "Mengapa kau mem... membohongi aku bahwa kau sudah meninggal dunia?" Kiranya wanita berkerudung muka itu bernama Bwe Bun-sing, bekas kekasih Ting Put-si di masa mudanya. Namun Ting Put-si tergila-gila kepada Su Siau-jui dan meninggalkan dia, tak terduga sesudah beberapa puluh tahun kemudian bisa berjumpa pula. Sekonyong-konyong tangan kiri Bwe Bun-sing menyambar ke depan, seketika telinga Ting Put-si kena dijewer olehnya, jeritnya melengking, "Kurang ajar! Jadi kau berharap-harap agar aku lekas mati saja supaya kau bisa bebas dan senang, ya?" Karena merasa berdosa, Ting Put-si tidak berani melawan, jawabnya dengan meringis kesakitan, "E-e-eh, lekas lepas tangan! Kan malu dilihat para kesatria itu!?"

"Biarkan kau tahu rasa!" sahut Bun-sing dengan menjewer semakin keras. "Di manakah Hong-koh, hayo kembalikan dia!"

"Lekas, lekas lepaskan tanganmu!" seru Ting Put-si. "Liong-tocu mengatakan dia tinggal di Koh-chau-nia di lereng

Him-ni-san, marilah sekarang juga kita pergi mencarinya."

"Ya, marilah kita pergi mencarinya, jika tidak ketemu biar kujewer putus kedua kupingmu!" omel Bwe Bun-sing. Di tengah ribut-ribut itu kapal pun sudah menepi. Ciok Jing dan istrinya, Pek Ban-kiam dan orang-orang Swat-san-pay sama menyambut kedatangan mereka dengan girang. Hanya Seng Cu-hak, Ce Cu-le, dan Nio Cu-cin bertiga yang merasa kecewa, tapi terpaksa mereka harus mengucapkan selamat juga atas pulangnya ciangbunjin. "Ayah, seperti sudah dinyatakan oleh ibu, hari ini adalah Cia-gwe Je-pek (bulan satu tanggal    , karena ayah belum kelihatan pulang, pada waktu anak sedikit lena, kesempatan itu lantas digunakan oleh ibu dan A Siu untuk terjun ke laut. Tapi syukurlah akhirnya mereka telah dapat diselamatkan, coba kalau ayah datang terlambat sedikit saja tentu takkan berjumpa lagi dengan ibu untuk selamanya," demikian tutur Pek Ban-kiam. "Apa katamu? Kau bilang hari ini adalah Cia-gwe Je-pek?" Cu-cay menegas. "Benar, hari ini memang Je-pek," sahut Ban-kiam. Cu-cay menggaruk-garuk kepala dengan bingung. Ia menggumam sendiri, "Pada Cap-ji-gwe Je-pek (bulan 12 tanggal    kami sampai di Liong-bok-to. Kami tinggal lebih 50 hari di sana, mengapa hari ini baru Cia-gwe Je-pek?" "Aha, agaknya ayah sudah lupa bahwa tahun yang lalu adalah Lun-cap-ji-gwe, bulan panjang, bulan kabisat ke-12," kata Ban- kiam. Mendengar itu barulah Pek Cu-cay sadar. Segera ia rangkul Ciok Boh-thian dan berseru, "Hahaha, mengapa tidak kau katakan sejak dulu-dulu, cah? Hahahaha, Lun-cap-ji-gwe ini benar-benar sangat bagus!"

"Apakah Lun-cap-ji-gwe itu?" tanya Boh-thian. "Lun-cap-ji-gwe artinya dalam setahun ada dua bulan ke-12," sahut Pek Cu-cay dengan tertawa. "Tapi peduli apa dengan lun segala, asal bini tidak mati sudahlah cukup!" Maka bergelak tertawalah semua orang. Waktu Cu-cay menoleh, mendadak ia berseru pula, "He, di manakah tua bangka Ting Put-si itu, mengapa menghilang?"

"Kau peduli apa dengan dia?" semprot Su-popo. "Dia telah dijewer Bwe Bun-sing dan diajak pergi mencari putrinya yang bernama Bwe Hong-koh!"

"Hahhh, kau bilang Bwe Hong-koh?" demikian Ciok Jing Bin Ju menegas berbareng dengan terkejut. "Ke manakah mereka hendak mencarinya?"

"Waktu di atas kapal tadi kudengar wanita she Bwe itu bilang akan mencari putri mereka ke Koh-chau-nia di lereng Him-ni-san," jawab Su-popo. "O, Thian, akhirnya dapatlah kami mengetahui jejak orang itu, Engkoh Jing," kata Bin Ju dengan suara gemetar. "Ma... marilah sekarang juga kita susul ke sana."

"Baik," sahut Ciok Jing dan segera mereka berdua mohon diri kepada Pek Cu-cay dan lain-lain. "Kita sedang ramai-ramai bergembira ria, sedikitnya kita harus merayakannya barang beberapa hari, kalian jangan pergi dulu," ujar Pek Cu-cay. "Agaknya Pek-supek tidak tahu bahwa Bwe Hong-koh itu adalah musuh pembunuh anak kami yang telah lama kami cari itu," tutur Ciok Jing. "Syukurlah sekarang kami telah mengetahui tempat sembunyinya, kami harus lekas-lekas menyusul ke sana. Jika terlambat bukan mustahil dia akan melarikan diri dan sembunyi pula di lain tempat."

"Kau bilang wanita itu telah membunuh putramu?" Cu-cay menegas. "Hah, kurang ajar! Ya, dia harus dicincang untuk menebus dosanya. Urusanmu adalah urusanku, hayo berangkat, kita semua ikut berangkat. Tentu tua bangka Ting-Put-si dan Bwe Bun-sing itu akan membantu putri mereka, kalian juga harus membawa bala bantuan supaya dapat menuntut balas." Karena dapat bertemu dan kumpul kembali dengan Su-popo dan A Siu sesudah mengalami macam-macam rintangan, maka perasaannya menjadi amat gembira. Dalam keadaan demikian apa pun yang orang minta padanya tentu akan diluluskan olehnya. Maka tanpa diminta juga secara sukarela dia menyatakan ingin membantu Ciok Jing. Mengingat Bwe Hong-koh tentu akan dibela oleh Ting Put-si, sakit hatinya memang sukar dibalas, maka Ciok Jing dan Bin Ju merasa kebetulan juga jika Pek Cu-cay suka membantunya. Segera mereka mengucapkan terima kasih. Ketua Siang-jing-koan sebenarnya belum tiba karena rombongan mereka berada di kapal yang lain, namun Ciok Jing dan istrinya buru-buru ingin menuntut balas, maka tanpa menunggu lagi segera mereka berangkat lebih dulu. Ciok Boh-thian dengan sendirinya juga ikut bersama mereka. Sepanjang jalan tiada mengalami aral rintangan, akhirnya sampailah mereka di lereng Him-ni-san. Pegunungan itu seluas beberapa ratus li sehingga sukar dicari di manakah letak Koh-chau-nia, bukit rumput kering. Sampai beberapa hari lamanya mereka mencari kian-kemari di lereng-gunung itu, lama-lama Pek Cu-cay menjadi kesal, ia mengomeli Ciok Jing, "Ciok-laute, kalian Hian-soh-siang-kiam

kan bukan kaum keroco biarpun bukan tandinganku, masakah putranya sendiri juga tidak mampu menjaga sehingga kena

dibunuh oleh bangsat perempuan itu? Ada permusuhan apakah antara bangsat wanita itu dengan kau, sampai-sampai anakmu

juga dibunuh olehnya?"

"Ai, urusan ini mungkin sudah suratan nasib sehingga sukar diterangkan," sahut Ciok Jing sambil menghela napas. "Engkoh Jing, jangan-jangan kau seng... sengaja menyesatkan kita supaya tidak menemukan dia untuk membalas sakit hati Anak Kian?" tiba-tiba Bin Ju berkata dengan air mata berlinang-linang. "Aneh, mengapa suamimu sengaja menyesatkan kita supaya tidak menemukan musuh kalian?" Cu-cay menegas dengan heran. Tapi ia lantas berseru, "Ah, tahulah aku! He, Ciok-laute, tentunya bangsat wanita itu sangat cantik dan dahulu pernah... pernah main gila dengan kau, betul tidak?" Ciok Jing menjadi kemalu-maluan, sahutnya, "Pek-supek suka berkelakar ini!"

"Tapi tentu begitulah halnya," kata Cu-cay pula sambil menatap Ciok Jing. "Tentu disebabkan bangsat wanita itu cemburu padamu, maka sengaja membunuh putra dari perkawinanmu dengan Bin-lihiap." Jika mengenai urusannya sendiri Pek Cu-cay suka angin-anginan dan linglung, tapi kalau mengulas urusan orang lain ternyata sangat jitu, sekali tebak lantas kena. Maka Ciok Jing menjadi bungkam. Namun Bin Ju lantas menyela, "Pek-supek, bukanlah Engkoh Jing mempunyai hubungan gelap dengan dia, tapi... tapi perempuan she Bwe itulah yang rindu sepihak dan tergila-gila kepada Engkoh Jing, dari cinta timbul cemburu dan menjadi dendam pula, akhirnya putra kami menjadi korban keganasannya."

"Hehhh!" pada saat itulah mendadak Ciok Boh-thian berteriak heran. Lalu katanya, "Aneh, mengapa... mengapa kita bisa sampai di sini?" Habis berkata ia terus angkat kaki dan berlari-lari ke atas bukit yang berada di sebelah kiri sana. Kiranya mendadak dia merasa pemandangan di sekitar bukit situ sudah sangat hafal baginya, ternyata bukan lain adalah tempat kediamannya sejak kecil. Cuma dahulu dia turun dari balik bukit sebelah sana, maka dia tidak bisa lantas mengenal keadaan bukit itu. Dengan ginkangnya yang mahahebat sekarang, dalam sekejap saja ia sudah sampai di atas bukit itu. Sesudah memutar kesebelah hutan sana, sampailah dia di depan sebuah rumah gubuk. Segera terdengar suara anjing menyalak, seekor anjing kuning telah berlari keluar dari rumah gubuk itu terus menubruk padanya. Cepat Boh-thian merangkul anjing itu sambil berteriak girang, "Kuning, si Kuning! Kiranya kau sudah pulang lebih dulu! Di manakah ibuku? He, ibu, ibu!"

Maka tertampaklah dari dalam rumah gubuk itu muncul tiga orang. Seorang yang berdiri di tengah itu berwajah sangat buruk dan aneh, siapa lagi dia kalau bukan ibunya Ciok Boh-thian. Sedangkan kedua orang yang berdiri di kanan-kirinya adalah Ting Put-si serta Bwe Bun-sing. "Ibu!" sapa Boh-thian dengan girang sambil mendekatinya dengan memondong si Kuning. "Ke mana perginya kau, sampai sekarang baru pulang?" semprot wanita jelek itu. Baru saja Boh-thian hendak menjawab, sekonyong-konyong suara Bin Ju telah menyela di belakangnya, "Bwe Hong-koh, biarpun kau menyamar dan ganti rupa juga takkan dapat mengelabui mataku! Sekalipun kau lari sampai di ujung langit juga akan... akan...." Boh-thian terperanjat, cepat ia berpaling dan berseru, "He, Ciok-hujin, ke... kelirulah kau! Dia adalah ibuku dan bukan musuh pembunuh putramu itu." Ciok Jing dan Bin Ju juga terperanjat sekali demi mendengar Ciok Boh-thian mengatakan wanita jelek itu adalah ibunya, "Wanita ini benar-benar ibumu?" Ciok Jing menegas. "Ya," sahut Boh-thian tegas, "Sejak kecil aku hidup bersama ibu. Mendadak pada hari itu ibu telah hilang, aku lantas pergi mencarinya bersama si Kuning, tapi akhirnya aku kesasar dan si Kuning juga hilang. Coba lihat, bukankah si Kuning itu berada di sini!" Segera ia angkat anjing kuning itu ke atas dengan gembira. Namun Ciok Jing lantas berkata kepada wanita bermuka jelek itu, "Hong-koh, jika kau sendiri juga punya anak, mengapa dahulu kau tega membunuh putraku?" Wanita bermuka jelek itu memang betul Bwe Hong-koh adanya. Dia tertawa-tawa dingin. Sebelum menjawab, tiba-tiba Boh-thian menyela, "Ibu, apakah betul putranya Ciok-cengcu dan Ciok-hujin telah... telah kau bunuh? Apa... apa sih sebabnya?"

"Hm, aku suka membunuh siapa segera kubunuh, peduli sebab apa segala?" jawab Hong-koh dengan mendengus. Perlahan-lahan Bin Ju lantas melolos pedang, katanya kepada sang suami, "Engkoh Jing, aku tidak ingin mempersulit dirimu, silakan kau berdiri di samping saja. Jika aku tidak mampu membunuh dia, hendaklah kau pun tidak perlu membantu padaku." Ciok Jing mengerut kening, ia merasa serbasusah dan runyam. "Ting-losi," tiba-tiba Pek Cu-cay menimbrung, "biarlah kita bicara di muka dulu. Jika kalian suami-istri diam-diam menonton saja di samping, maka kita semua pun akan menonton saja. Tapi kalau kalian akan membantu putri mestikamu itu, maka biarlah kalian mengetahui bahwa kedatangan kami ke sini ini tidak cuma untuk melancong saja." Melihat jumlah pihak lawan sangat banyak, mendadak Ting Put-si mendapat akal, jawabnya, "Baik, kita boleh berjanji untuk tidak saling membantu. Biarlah kedua pihak sama-sama terdiri dari satu lelaki dan satu perempuan untuk menentukan kalah atau menang. Di pihak kalian adalah suami-istri Ciok-cengcu, di sebelah sini biar mereka ibu dan anak yang maju." Sudah beberapa kali ia bergebrak dengar Ciok Boh-thian, ia tahu ilmu silat pemuda ini jauh lebih tinggi daripada Ciok Jing berdua, dengan bantuan Ciok Boh-thian pastilah Bwe Hong-koh akan dapat mengalahkan lawannya. Bin Ju memandang sekejap kepada Boh-thian, tanyanya, "Adik cilik, apakah kau tidak mengizinkan aku menuntut balas?"

"Ciok-hujin, aku... aku...." kata Boh-thian dengan tergagap-gagap. Mendadak ia berlutut dan menjura kepada nyonya Ciok sambil berkata, "Biarlah aku meminta maaf padamu, hendaklah kau jangan mencelakai ibuku."

"Berdiri, Kau-cap-ceng! Siapa yang suruh kau mintakan ampun kepada perempuan hina itu?" bentak Bwe Hong-koh dengan bengis. Mendadak hati Bin Ju tergerak. Ia tanya, "Mengapa kau memanggil demikian kepadanya? Kan dia adalah putra kandungmu? Jangan-jangan... jangan-jangan...." Ia menoleh kepada sang suami dan berkata, "Engkoh Jing, adik cilik ini mirip benar dengan anak Giok, jangan-jangan dia adalah putramu dari hubungan gelap dengan Bwe-siocia?" Dasarnya dia memang ramah tamah dan halus budi, walaupun menghadapi perkara besar demikian bicaranya tetap sopan santun. Maka cepat Ciok Jing menjawab, "Tidak, tidak! Mana bisa terjadi demikian?" Namun Pek Cu-cay sudah lantas terbahak-bahak, katanya, "Hahaha, kau tidak perlu mungkir lagi. Sudah tentu dia adalah putra haram kalian berdua ini, kalau tidak masakah ada seorang ibu tega menyebut putranya sendiri sebagai `Kau-cap-ceng'? Rupanya Nona Bwe ini teramat benci padamu!" Mendadak Bin Ju menaruh pedangnya ke atas tanah, lalu berkata, "Baiklah, silakan kalian bertiga berkumpul kembali. Aku... aku akan pergi saja." Habis berkata ia terus putar tubuh hendak berangkat. Cepat Ciok Jing menarik tangannya, serunya cemas, "Adik Ju, jika kau juga menyangsikan diriku, biarlah kubunuh dulu perempuan hina ini untuk membuktikan kemurnian hatiku."

"Tapi... tapi anak ini memang sangat mirip dengan anak Giok, bahkan juga sangat mirip engkau," sahut Bin Ju dengan suara lembut. Tanpa bicara lagi pedang Ciok Jing terus menusuk ke arah Bwe Hong-koh. Tak tersangka Bwe Hong-koh itu sama sekali tidak berkelit, bahkan membusungkan dada menerima ajal. Tampaknya tusukan itu segera akan menembus dadanya, mendadak jari Ciok Boh-thian menyelentik, "cring", pedang Ciok Jing tergetar patah menjadi dua. "Bagus, Ciok Jing, kau sengaja hendak membunuh aku, ya?" tanya Bwe Hong-koh dengan tersenyum pedih. "Benar, Hong-koh," kata Ciok Jing tegas. "Biarlah kukatakan sekali lagi secara blakblakan bahwa di dunia ini hatiku hanya terisi Bin Ju seorang. Selama hidupku ini tiada pernah

mempunyai perempuan yang kedua. Jika kau suka padaku, itu berarti pula kau membikin susah diriku. Ucapanku ini sudah kukatakan pada 22 tahun yang lalu, hari ini tetap demikian ucapanku." Sampai di sini mendadak suaranya berubah menjadi ramah, katanya, "Hong-koh, putramu sendiri pun sudah begini besarnya. Adik cilik ini adalah seorang baik, seorang jujur, ilmu silatnya tiada bandingannya, dalam waktu beberapa tahun namanya tentu akan mengguncangkan Kangouw dan menjagoi

Bu-lim. Sebenarnya siapakah ayahnya, mengapa tidak kau terangkan padanya?"

"Ya, ibu, sebenarnya siapakah ayahku?" segera Boh-thian menyela. "Aku she apa? Ka... katakanlah padaku. Mengapa engkau selalu memanggil aku sebagai `Kau-cap-ceng'?"

"Siapakah ayahmu, di dunia ini hanya akulah yang tahu," sahut Hong-koh dengan tersenyum pilu. Lalu ia berpaling kepada Ciok Jing, "Ya, sudah lama aku pun tahu bahwa di dalam hatimu hanya terdapat Bin Ju seorang. Maka dari itu dahulu aku telah merusak wajahku sendiri."

"Kau... kau merusak wajah sendiri, buat apa sih?" Ciok Jing menggumam haru. "Buat apa? Buat apa? Wajahku dahulu dengan wajah Bin Ju sebenarnya siapa lebih cantik?" tanya Bwe Hong-koh. Untuk sejenak Ciok Jing menjadi ragu-ragu sambil memegangi tangan sang istri, akhirnya ia menjawab, "Pada 20 tahun yang lalu engkau adalah wanita cantik yang termasyhur di dunia persilatan. Meski wajah istriku tidaklah jelek, tapi tak dapat menandingi kau." Bwe Hong-koh tersenyum dan mendengus satu kali. Sebaliknya Ting Put-si lantas berteriak, "Itu dia, dasar kau Ciok Jing ini memang anak bergajul, sudah tahu wajah Hong-koh kami sangat cantik dan jarang ada bandingannya, mengapa kau tidak suka padanya?" Ciok Jing tidak menjawab, ia pegang tangan Bin Ju dengan lebih kencang seakan-akan khawatir sang istri menjadi marah dan hendak tinggal pergi lagi. "Lalu tentang ilmu silatku dahulu kalau dibandingkan Bin Ju siapa yang lebih tinggi?" tanya Hong-koh pula. "Bwe-hoa-kun keluargamu ditambah dengan macam-macam ilmu silat aneh dari keluarga Ting sudah tentu kepandaian

istriku yang belum sempurna waktu itu tak dapat menandingi engkau," sahut Ciok Jing. "Dan tentang ilmu kesusastraan siapa lagi yang lebih pandai?" tanya Hong-koh lagi. "Engkau pandai mengarang dan mahir bersyair, kami suami-istri mana dapat menandingi kau," sahut Ciok Jing. Diam-diam Boh-thian sangat heran. Jika sang ibu sedemikian serbapandai, mengapa sedikit pun tidak pernah mengajarkan padanya? Dalam pada itu dengan tertawa dingin Bwe Hong-koh telah berkata, "Jika begitu, mungkin pekerjaan tangan dan kepandaian di dapur adik Bin ini lebih mahir daripada diriku."

"Tidak, memegang jarum saja istriku tak bisa, menggoreng telur saja dia juga tidak mahir, mana dia dapat menandingi

keterampilanmu," sahut Ciok Jing sambil menggeleng. "Habis apa sebabnya bila bertemu dengan aku sedikit pun kau tidak memperlihatkan sikap yang ramah, sebaliknya jika berada bersama Bin-sumoaymu lantas banyak omong banyak tertawa? Sebab apa... sebab apa...?" sampai di sini suara Hong-koh sampai gemetar. "Aku sendiri pun tidak tahu, Nona Bwe," sahut Ciok Jing perlahan. "Segala apa engkau melebihi Bin-sumoay, bahkan melebihi aku. Bila berada bersama kau aku merasa rendah dan

merasa tidak sesuai mempersunting dikau." Untuk sekian lamanya Bwe Hong-koh termangu-mangu, mendadak ia menjerit terus berlari ke dalam rumah gubuk. Cepat Bwe Bun-sing dan Ting Put-si menyusul ke dalam. "Engkoh Jing," kata Bin Ju sambil menggelendot di tubuh sang suami. "Nona Bwe seorang yang bernasib malang, biar dia sudah membunuh anakku, namun aku masih lebih bahagia daripada dia. Aku tahu di dalam hatimu selalu hanya terisi diriku seorang. Marilah kita pergi saja, sakit hati ini tak perlu dibalas lagi."

"Kita tidak menuntut balas?" Ciok Jing menegas. "Ya, sekalipun kita membunuh dia juga Anak Kian tak dapat hidup kembali," kata Bin Ju. Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar teriakan Ting Put-si, "Anak Hong, mengapa kau membunuh diri? Biar kulabrak keparat she Ciok itu!" Ciok Jing dan lain-lain sama terkejut. Tertampaklah Bwe Bun-sing berjalan keluar dengan memondong tubuh Bwe Hong-koh. Lengan baju kiri Hong-koh tampak tersingsing tinggi sehingga kelihatan kulit badannya yang putih halus. Di atas lengan terdapat setitik andeng-andeng merah. Itulah "siu-kiong-seh" (merah cecak) pertanda masih perawan (menurut cerita kuno,cecak diberi makan obat-obat tertentu sehingga sekujur badan berubah menjadi merah, diambil darahnya dan dicocokkan di atas badan anak gadis dan jadilah setitik andeng-andeng merah. Jika hilang kesucian perawannya, lenyap pula andeng-andeng merah itu). "Ini bukti Hong-koh masih suci bersih, sampai sekarang masih tetap perawan, dengan sendirinya Kau-cap-ceng ini bukanlah anaknya," demikian Bwe Bun-sing berteriak. Serentak sorot mata semua orang beralih ke arah Ciok Boh-thian, pikir mereka, "Ya, jika Bwe Hong-koh masih perawan suci, dengan sendirinya bukan ibu pemuda ini. Lalu siapakah ibunya dan siapa pula ayahnya? Mengapa Bwe Hong-koh mau mengaku sebagai ibunya?" Ciok Jing dan Bin Ju sama berpikir, "Jangan-jangan mayat Anak Kian yang dikirim kepada kami oleh Hong-koh itu bukanlah Anak Kian yang sesungguhnya, tapi adalah mayat anak orang lain, sebaliknya Anak Kian telah dibesarkan oleh Hong-koh dan jadilah pemuda ini? Kalau tidak, buat apa Hong-koh memanggilnya sebagai `Kau-cap-ceng', apalagi mukanya juga sangat mirip sekali dengan anak Giok?" Ciok Boh-thian sendiri pun merasa bingung dan penuh pertanyaan, "Siapakah ayahku? Siapakah ibuku? Siapa pula diriku sendiri?" Tapi karena Bwe Hong-koh sudah mati membunuh diri, dengan sendirinya pertanyaan-pertanyaan itu tiada seorang pun dapat memberi jawaban. Hanya para pembaca yang cerdik kami yakin telah dapat menduga dan memberi jawaban yang tepat.....

.: TAMAT :.