Jilid 17

ORANG TUANYA bukanlah seseorang yang luar biasa. Teman-temannya juga tak pernah menanyakan soal keluarganya dan soal orang tuanya, mereka hanya berkata: "Darimana kau latih ilmu silatmu itu?" Ilmu silatnya ia latih sewaktu masih kecil dulu.... seorang kakek yang amat misterius tiap hari menunggu kedatangannya dalam hutan dan memaksanya untuk berlatih tekun. Sampai sekarang dia tak tahu siapakah kakek itu, juga tidak tahu seberapa tinggi ilmu silat yang dia wariskan kepadanya. Sampai dia berkelahi untuk pertama kalinya, dia baru tahu dengan pasti. Itulah pengalaman aneh baginya. Yaa aneh, yaa misterius. Maka dia tak pernah membicarakan persoalan ini di depan orang lain, sebab walaupun dia katakan orang lain belum tentu akan mempercayainya.... Bahkan kadangkala dia sendiripun tidak terlalu percaya. Setiap orang tentu mempunyai masa lalu. Setiap orang tak bisa dihindari pasti pernah membicarakan masa lalunya di depan teman akrabnya. Ada kalanya keadaan tersebut bagaikan sedang mengisahkan suatu cerita saja. Kisah cerita semacam ini sering kali tidak menarik perhatian orang lain.... dari pada mendengarkan orang lain mengibul, lebih baik dirinya sendiri yang mengibul.   Tapi entah persoalan apa, saja tentu ada pengecualiannya. Ketika Ong Tiong sedang berbicara, setiap orang mendengarkan dengan mata terbelalak, bahkan menukaspun tidak. Orang pertama yang menimbrung cerita itu tentu saja Kwik Tay-lok. Dalam kenyataan sudah lama dia menahan diri, setelah mendengarkan sampai di situ dia baru tak tahan untuk menimbrung. Dia menghembuskan napas panjang lebih dulu, kemudian baru bertanya: "Apakah tiap hari orang tua itu pasti menunggumu?"

"Yaa, setiap hari pasti menungguku dalam hutan belakang dekat tanah pekuburan itu" sahut Ong Tiong. "Dan setiap hari kau pasti pergi!"

"Baik hujan deras, atau hujan badai, tak seharipun aku absen...."

"Jadi seluruhnya kau telah pergi berapa lama?"

"Jumlah seluruhnya tiga tahun empat bulan...." Kwik Tay-lok segera menghembuskan napas panjang, gumamnya: "Waaah.... bukankah jumlahnya menjadi seribu kali lebih?" Ong Tiong manggut-manggut. "Aku dengar, bila belajarmu agak lamban maka kau akan menerima gebukan, bahkan tidak enteng gebuknya?" kata Kwik Tay-Iok. "Sejak tahun itu, aku hampir jarang sekali tidak kena digebuk!"

"Kalau toh setiap hari kena digebuk, kenapa kau masih tetap pergi....?"

"Sebab waktu itu aku merasa perbuatan bukan cuma misterius saja, lagi pula segar dan merangsang." Kwik Tay-lok berpikir sebentar, kemudian katanya sambil tertawa: "Seandainya berganti aku, akupun tetap akan datang!" Lim Tay-peng juga tak kuasa menahan diri, dia lantas bertanya: "Apakah kau belum pernah menanyakan nama dari orang tua itu?"

"Aku sudah bertanya berapa ratus kali!"

"Tahukah kau dia berasal dari mana?" Ong Tiong menggeleng. "Setiap kali aku datang kesana, dia selalu sampai duluan."

"Kenapa kau tidak mendahuluinya?"

"Bagaimanapun awalnya aku datang, dia selalu sampai duluan ditempat itu."

"Kenapa tidak kau kuntil dirinya, coba lihat dia pulang ke mana?" tanya Kwik Tay-lok dengan kening berkerut. Ong Tiong tertawa getir. "Tentu saja sudah kucoba!" sahutnya. "Bagaimana hasilnya?"

"Hasilnya tiap kali pasti kena digebuk setengah mati, kemudian pulang seorang diri tanpa banyak membantah!" Kening Kwik Tay-lok berkerut makin kencang, lalu gumamnya: "Setiap kali dia menunggu kedatanganmu di sana, setiap kali memaksa kau untuk berlatih silat, tapi ia enggan membiarkan kau tahu siapakah dia yang sebenarnya, betul-betul mengherankan!"

"Masih ada yang lebih mengherankan lagi yakni diapun tak pernah bertanya siapakah aku?" Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang. "Kejadian aneh semacam ini memang jarang terjadi di dunia ini, tampaknya hanya manusia aneh semacam kau saja yang bisa bertemu dengan kejadian aneh seperti itu." Tiba-tiba Yan Jit turut bertanya: "Ketika kau bersiap-siap hendak meninggalkan rekan-rekanmu, apakah Ang Nio-cu pun tidak tahu?"

"Aku tak pernah membicarakan hal ini di hadapan siapa saja."

"Tapi Ang Nio-cu.... bukankah ia sangat baik kepadamu?" Paras muka Ong Tiong berubah semakin tak sedap dipandang, lewat lama sekali dia baru berkata dengan dingin: "Kepada banyak orang pun dia selalu baik!" Agaknya Yan Jit baru merasa kalau dia telah salah berbicara, segera dia mengalihkan pokok pembicaraannya ke soal lain, ujarnya kemudian: "Selanjutnya dengan cara apakah kau melarikan diri?"

"Suatu ketika mereka sedang bersiap-siap untuk mencuri kitab didalam kuil Siau-lim-si, mereka suruh aku mencari info terlebih dahulu maka aku pun manfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri." Yan Jit segera menghembuskan napas panjang katanya: "Beberapa orang itu berani juga membuat keonaran didalam kuil Siau-lim-si, nyatanya nyali mereka tidak kecil!"

"Setelah kau melarikan diri, apakah mereka tak pernah menemukan dirimu?"

"Tak pernah!" Mendadak dia bangkit berdiri dan menghampiri jendela. Malam itu sangat gelap, lagi pula dingin sekali. Dia berdiri kaku di depan jendela, berdiri termangu-mangu sampai lama sekali, kemudian baru pelan-pelan melanjutkan:   "Sekembalinya ke rumah, aku jarang keluar."

"Apakah secara tiba-tiba kau telah berubah menjadi tak ingin bergerak lagi?"

"Aku memang telah berubah, berubah sangat cepat, berubah sangat banyak...." Suaranya menjadi parau dan sedih sekali, lanjutnya: "Karena sekembalinya kemari, aku baru tahu bahwa tahun kedua setelah kepergianku, ibuku telah...." Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Sepasang kepalannya telah di genggam kencang-kencang, sekujur badannya gemetar dan ia tak mampu untuk melanjutkan kembali kata-katanya. Kali ini, bahkan Kwik Tay-lok pun tidak bertanya lagi, ia tak tega untuk  bertanya, juga tak perlu bertanya. Semua orang sudah mengetahui musibah yang menimpa Ong Tiong, juga memahami perasaannya. Menanti dia pulang untuk membalas budi kebaikan ayah ibunya, keadaan sudah terlambat. Kenapa setiap orang baru memahami perasaan orang tuanya dikala keadaan sudah terlambat? Lim Tay-peng menundukkan kepalanya, sepasang matanya seperti basah oleh air mata. Kwik Tay-lok merasakan pula hatinya menjadi kecut, sepasang matanya berubah menjadi merah membara. Sekarang dia baru tahu, mengapa Ong Tiong bisa berubah menjadi begini miskin, begitu malas dan begitu aneh.    Sebab dia merasa amat sedih dan menyesal. Dia sedang menghukum dirinya sendiri. Seandainya kau hendak mengatakan bahwa dia sedang berusaha menghindarkan diri, maka yang dihindari bukanlah Ang Nio-cu, juga bukan ular bergaris merah, lebih-lebih bukan yang lainnya. Yang dihindari sesungguhnya adalah diri sendiri. Membayangkan kembali ketika untuk pertama kalinya dia menyaksikan orang itu berbaring seorang diri dalam kegelapan, membiarkan tubuhnya dibuat bermainnya tikus, tanpa terasa Kwik Tay-lok menghela napas panjang... Seandainya seseorang tidak kehilangan semangatnya, sekalipun bisa menahan lapar, dia tak akan tahan membiarkan tikus bermain di atas badannya. Malam itu, seandainya Kwik Tay-lok tidak menyerbu ke sana dan tanpa sengaja bersahabat dengannya, entah dia masih bisa hidup sampai hari ini atau tidak? Pertanyaan semacam ini bahkan dipikirkan pun Kwik Tay lok tidak berani. Akhirnya Ong Tiong berpaling, kemudian katanya:

"Aku sudah pulang tiga tahun, selama tiga tahun ini mereka pasti tiada hentinya mencari aku." Kwik Tay lok tertawa paksa, katanya: "Tentu saja mereka agak susah menemukan dirimu, siapakah yang akan menyangka kalau siraja elang It hui ciong thian Eng-tiong-ong bisa berdiam ditempat semacam ini dan melewati penghidupan seperti ini?"

"Tapi aku sudah tahu, cepat atau lambat suatu hari mereka pasti akan berhasil menemukan diriku." Yan Jit segera mengerdipkan matanya berulang kali, lalu katanya: "Sudah lewat sekian lama, kenapa mereka masih belum mau juga lepas tangan?"

"Karena perhitungan hutang piutang antara mereka denganku masih belum diselesaikan."

"Sudahkah kau perhitungkan sendiri? Adalah kau yang berhutang kepada mereka ataukah mereka yang berhutang kepadamu?" Ong Tiong termenung agak lama, kemudian baru sahutnya: "Ada sementara hutang piutang yang siapapun tak dapat memperhitungkannya sampai beres."

"Kenapa?".

"Sebab setiap orang tentu mempunyai cara perhitungan setiap orang selalu tidak sama." Paras mukanya segera berubah makin serius dan berat, pelan-pelan sambungnya: "Didalam pandangan mereka, hutang piutang ini hanya bisa diselesaikan dengan suatu cara."

"Cara yang mana?"

"Kau harus mengerti cara yang manakah itu" Yan Jit berbicara lagi, tapi dia mengetahui dengan jelas. Ada sementara hutang yang cuma bisa di perhitungkan dengan darah, sebab hanya darahlah yang bisa menyelesaikannya. Setetes darah masih tidak cukup, yang diperlukan adalah sejumlah darah yang cukup banyak. Kalau darah satu orang saja tidak cukup yang dibutuhkan adalah darah banyak. Yan Jit memandang sekejap mulut luka di tubuh Kwik Tay-lok, lewat lama dia baru berkata sambil menghela napas: "Tampaknya hutang piutang ini makin lama semakin sukar untuk diperhitungkan, entah sampai kapankah perhitungan ini baru bisa diselesaikan?"

"Jangan kuatir," sahut Ong Tiong sambil menghela napas, "sudah pasti kita tak usah menunggu terlalu lama lagi sebab...."

Mendadak ia menutup mulutnya rapat- rapat. Setiap orang menutup mulut, bahkan napaspun seakan-akan ikut berhenti. Sebab setiap orang seperti mendengar suara langkah kaki. Suara langkah kaki itu sangat enteng, sedang berjalan menembusi halaman yang bersalju dengan langkah yang sangat lamban. "Siapa yang telah datang?"

"Apakah saat ini sudah tiba pada saatnya untuk membuat perhitungan...?" Lim Tay-peng ingin meronta sambil menerjang keluar dari pintu, namun niat itu kembali diurungkan. Kwik Tay-lok menunjuk keluar jendela, sedang Yan Jit menggelengkan kepalanya berulang kali. Hanya sebuah langkah kaki.... Orang itu sedang menaiki anak tangga dan berjalan menuju ke pintu sebelah luar. Mendadak terdengar orang itu mengetuk pintu. Ternyata orang tersebut datang sambil mengetuk, datang secara terang-terangan, kejadian ini benar-benar sama sekali di luar dugaan mereka. Akhirnya Ong Tiong menegur: "Siapa?"

"Aku!" jawab orang diluar itu pelan. "Siapakah kau?" Tiba-tiba orang di luar itu tertawa, suara tertawanya merdu seperti keliningan, malah jauh lebih merdu dan menarik hati. "Masa suaraku saja tidak kau kenali, kau benar-benar seorang bocah yang tak punya liang sim!" Ternyata orang yang munculkan diri itu adalah seorang perempuan. Seorang perempuan yang merdu suaranya dan tampaknya masih sangat muda lagi. Menyaksikan mimik muka Ong Tiong, setiap orang sudah dapat menduga siapa gerangan perempuan itu.. Paras muka Ong Tiong lebih pucat dari pada mayat. Yan Jit segera menepuk bahunya, kemudian setelah menuding pintu depan, dia menuding pula pintu belakang. "Maksudnya... Bila kau tak ingin berjumpa dengannya, lebih baik menghindarlah lewat pintu belakang, aku akan menghadapinya untuk merintangi kedatangannya." Tentu saja Ong Tiong memahami pula ucapannya itu, hanya dia menggelengkan kepalanya berulang kali. Dia jauh lebih memahami keadaan diri sendiri daripada orang lain. Dia telah mundur sampai langkah yang terakhir. Artinya dia sudah tak dapat mundur lagi, lagi pula diapun tak ingin mundur kembali. "Mengapa kau belum keluar untuk membuka pintu?" Siapapun belum pernah bertemu dengan perempuan yang bernama Ang Nio cu itu, tapi kalau di dengar dari suaranya, entah siapa saja pasti akan membayangkan bahwa dia adalah seorang perempuan yang sedemikian cantik serta mempesonakan hati. "Apakah didalam rumahmu masih ada perempuan lain, maka kau takut bertemu denganku? Kau harus tahu, aku tidak seperti kau yang begitu pencemburu"

Mendadak Ong Tiong maju ke muka dengan langkah lebar, tapi kemudian berhenti lagi, serunya dengan suara dalam: "Pintu itu tidak terkunci!" Hanya didorong pelan saja, pintu itu segera terbuka. Seseorang berdiri di depan pintu, lagi pula menyongsong sorotan cahaya lampu yang memancar keluar dari dalam ruangan. Segenap sinar lentera seakan telah terpusatkan di atas tubuhnya seorang, sinar mata setiap orang tentu terpusatkan pula di atas tubuhnya. Dari atas badannya seakan-akan memancarkan pula serentetan cahaya. Semacam cahaya merah yang menyilaukan mata dan membuat jantung orang serasa berdebar.

"Pakaian yang dikenakan Ang-Nio-cu sudah barang tentu berwarna merah, tapi sinar tersebut bukan memancar keluar dari bajunya itu. Dalam kenyataan, selain pakaiannya, dari setiap bagian tubuhnya itu seakan-akan terpancar keluar cahaya yang menyilaukan mata. Terutama sekali sepasang matanya dan senyumannya. Setiap orang merasa bahwa sorot matanya itu seakan-akan sedang memandang ke arahnya merasa seakan-akan dia sedang tertawa kepadanya. Andaikata orang bilang dibalik senyuman terdapat daya tarik yang membetot sukma, maka sudah pasti senyuman yang dimaksudkan semacam inilah. Yan Jit menggeserkan sedikit tubuhnya, seperti sengaja tak sengaja dia menghalangi pandangan Kwik Tay-lok. Entah bagiamanapun juga, dia tak akan membiarkan temannya itu menyaksikan senyuman maut dari perempuan semacam itu, maka daripada membiarkan dia melihatnya, lebih baik tidak membiarkan dia menyaksikannya. Bukankah setiap orang selalu berusaha untuk membawa temannya menjauhi segala dosa? Ang Nio-cu memutar sepasang biji matanya yang jeli, tiba-tiba dia berkata: "Kalian orang lelaki, mengapa selalu bersikap macam maknya...." Itulah kata-katanya yang pertama. Ketika berbicara sampai di situ, mendadak dia berhenti sebentar, seakan-akan sengaja hendak membuat kata "Maknya" nya itu berkesan sekali didalam benak lelaki-lelaki itu.... Seakan-akan dia tahu kalau setiap lelaki yang berada dalam ruangan itu senang sekali mendengarkan kata-katanya itu, juga senang mendengarkan kata-kata semacam itu muncul dari balik bibirnya. Sebab kata semacam itu memang mendatangkan suatu perasaan yang lain dari pada yang lain bila muncul dari mulutnya. Pada saat dia sedang berhenti sejenak inilah, terdengar seorang tak tahan sedang bertanya. "Kau bilang, kami lelaki adalah manusia maknya macam apa?"

Suara itu muncul dari belakang tubuh Yan Jit. Dia bisa saja menghalangi pandangan mata Kwik Tay-lok, namun tak akan dapat menghalangi telinganya, juga tak dapat menghalangi mulutnya untuk berbicara. Ang Nio-cu segera berkata: "Kenapa sikap kalian macam bertemu dengan setan saja bila bertemu dengan perempuan yang menarik hati? Bahkan sampai berkentut pun tidak dapat?" Dia mengerutkan hidungnya, lalu memperlihatkan kembali sekulum senyuman yang Yan Jit tak ingin membiarkan Kwik Tay-lok sampai melihatnya itu, kemudian baru sahutnya dengan pelan: "Diantara kalian semua, paling tidak harus ada satu orang yang mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam lebih dahulu" Dalam kenyataannya, sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, dia sudah melangkah kedalam ruangan. Setelah orang di dalam ruangan itu mengetahui siapakah dia, juga tahu mau apa dia datang kesitu, ketika menyaksikan perempuan itu benar-benar masuk ke dalam, semua orang seharusnya merasa sangat gusar dan merasa sangat tegang. Tapi, secara tiba-tiba Yan Jit menemukan bahwa dibalik sorot mata Kwik Tay-lok serta Lim Tay-peng bukan saja sama sekali tiada rasa dendam atau tegang, malahan sebaliknya tampak sekulum senyuman.

Bahkan Yan Jit sendiripun sudah mulai tergoda pikirannya dan mulai curiga. Didalam anggapannya semula, Ang Nio-cu tidak seharusnya adalah manusia semacam itu. Sejak dia mengucapkan kata "Mak-nya" tadi, suasana didalam ruangan itu seakan-akan sama sekali telah berubah, kesan orang lain terhadapnya pun sama sekali berubah juga. Seorang perempuan siluman yang berhati keji seperti ular, tidak seharusnya mengucapkan kata-katanya dengan perkataan semacam itu.... Sampai detik itulah, Yan Jit baru menemukan bahwa di tangannya masih membawa sebuah keranjang sayur yang besar sekali. Dia meletakkan keranjang sayur itu ke atas meja, kemudian meluruskan tangannya dan menghela napas panjang, katanya: "Seorang perempuan, hanya demi membawakan sedikit makanan buat kalian, bukan saja harus membawa keranjang yang berat, lagi pula harus menempuh perjalanan selama setengah jam lebih, sampai lengan seperti hampir putus rasanya, apakah kalian sama sekali tidak merasa berterima kasih barang sedikit pun jua kepadaku". Mendadak Ong Tiong berkata dengan suara dingin: "Tak ada orang yang menyuruh kau mengirim makanan kemari, pada hakekatnya tak seorang manusiapun yang menyuruh kau datang kemari!"

 Hingga kini, Ang Nio-cu baru mengerling sekejap ke arahnya dengan ujung matanya, lalu dengan marah tak marah, tertawa tak tertawa sambil menggigit bibirnya dia berkata: "Aku ingin bertanya kepadamu, apakah orang-orang ini semua adalah sahabatmu?"

"Benar!" Ang Nio-cu segera menghela napas panjang, katanya lagi: "Dapatkah kau menyaksikan teman-temanmu kelaparan? Kau bisa tapi aku tak dapat."

"Apakah mereka sedang kelaparan atau tidak, denganmu sama sekali tak ada sangkut pautnya."

"Mengapa tak ada sangkut pautnya? Temanmu adalah temanku juga, seperti seorang enso, mana tega menyaksikan saudara-saudaranya menderita kelaparan?" kata Ang Nio-cu. "Siapa sih enso itu?" tanya Yan Jit tak tahan. Ang Nio-cu segera tertawa. "Kalian adalah teman baiknya Ong lotoa, mengapa dengan enso Ong pun tidak kenal?" Dia lantas menyingkap kain yang menutupi keranjang besarnya itu, kemudian berkata lagi sambil tertawa: "Hari ini ensomu akan menjamu kalian, dan aku minta kalianpun tak usah sungkan-sungkan, tidak di makanpun sia-sia saja tak dimakan....."

"Setelah dimakan?"

"Setelah di makanpun kalian akan makan dengan gratis!" Yan Jit segera tertawa dingin, serunya: "Orang yang makan gratis, biasanya tak akan berumur panjang!" Ang Nio-cu melotot ke arahnya, kalau dilihat tampangnya itu seakan-akan baru saja dia kena ditempeleng orang. Lewat lama kemudian, dia baru berpaling ke arah Ong Tiong sembari katanya lagi: "Apakah kalian beranggapan bahwa makanan yang ku bawa itu semuanya beracun?"

"Benar!"

"Kau mengira kedatangan kami ini adalah bertujuan untuk meracuni kalian semua?"

"Benar!"

"Bukan saja meracuni orang lain, juga meracuni pula dirimu?"

"Benar!" Sepasang mata Ang Nio-cu seakan-akan berubah menjadi merah, mendadak dia berpaling ke arah lain dan mengeluarkan sepotong paha ayam dari dalam keranjangnya, lalu serunya lagi: "Kalau begitu kau mengatakan dalam paha ayam inipun tentunya ada racunnya juga bukan?"

"Kemungkinan besar!"

"Baik, baik....." Dia menggigit paha ayam itu dan ditelannya, kemudian mengambil sebotol arak dan berkata lagi: "Apa didalam arakpun ada racunnya juga?"

"Besar kemungkinannya.!"

"Baik!" Kembali perempuan itu meneguk arak tersebut dari dalam botol araknya.... Pokoknya perempuan itu telah makan setiap hidangan yang berada di keranjangnya itu satu demi satu, kemudian baru mendongakkan kepalanya dan melotot ke arah Ong Tiong, tanyanya: "Sekarang, bagaimana pendapatmu?" Tanpa berpikir lagi, Ong Tiong segera menjawab: "Seperti dengan jawabanku tadi."

"Kau masih menganggapnya beracun?"

"Benar!" Air mata telah jatuh bercucuran membasahi wajah Ang Nio-cu, tapi dia berusaha menahan diri, lewat lama kemudian dia baru pelan-pelan mengangguk, katanya dengan sedih: "Aku sudah memahami sekarang dengan jalan pemikiranmu itu."

"Seharusnya kau dapat memahaminya semenjak dulu!"

"Kau menganggap sebelumnya aku telah makan obat penawarnya dulu baru datang kemari?"

"Hmmm!" Dengan sedih kembali Ang Nio-cu berkata: "Kau selalu menganggap aku sebagai seorang perempuan yang berhati keji bagaikan racun kala, selalu menganggap aku hanya berbaik kepadamu karena ingin memperalat dirimu?" Ketika berbicara sampai di situ, tidak tahan lagi air matanya jatuh bercucuran membasahi pipinya. Ketika mendengar sampai di situ, baik Kwik Tay-lok maupun Lim Tay-peng sudah merasakan hatinya bertambah lunak, meski dimulut dia tidak berkata apa-apa, namun dalam hati kecilnya mulai berpikir kenapa sikap Ong Tiong kepadanya bisa begitu keras? Tidakkah tindakan tersebut kelewat batas? Bagaimanapun juga, dahulu mereka toh pernah terikat dalam suatu hubungan percintaan yang cukup mesra. Andaikata berganti dengan Kwik Tay-lok mungkin sekali dia sudah memeluk perempuan itu kedalam pelukannya. Tapi wajah Ong Tiong masih belum menunjukkan perubahan apa-apa. Perasaan orang ini seakan-akan terbuat dari baja asli. Tampak Ang Nio-cu memasukkan kembali hidangan yang telah dikeluarkannya itu ke dalam keranjang, kemudian sambil menggigit bibir dia berkata: "Baik, kalau toh kau beranggapan bahwa makanan itu beracun semua, aku akan membawanya pergi."

"Memang paling baik kalau kau cepat-cepat kau bawa pergi." Sekujur badan Ang Nio-cu telah gemetar keras, sambil menggigil serunya lagi. "Bila kau menganggap aku tak pernah berpikiran baik kepadamu, selanjutnya akupun dapat menghindari dirimu sedapatnya."

"Kau sudah seharusnya tidak datang kemari dan berjumpa dengan diriku...."

"Aku.... aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu...." Mendadak ia menerjang kehadapan Ong Tiong, lalu teriaknya keras-keras: "Aku ingin bertanya kepadamu, sejak kau berkenalan denganku, pernahkah aku melakukan suatu perbuatan yang menyalahi dirimu atau merugikan dirimu?" Tiba-tiba Ong Tiong tak dapat berbicara. Ang Nio-cu mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, masih dengan sekujur badan yang gemetar keras, teriaknya lagi. "Betul aku memang bukan seorang perempuan baik-baik, aku memang sudah pernah mencelakai banyak sekali lelaki yang lain, tapi sikapku kepadamu.... kapan aku pernah mencelakai? Katakan! Hayo cepat katakan!"

"Sekarang, diantara kita sudah tiada perkataan lain yang bisa dibicarakan Lagi !" ujar Ong Tiong dingin. Ang Nio-cu menjadi tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan mengangguk, katanya dengan sedih: "Baik, aku akan pergi, aku akan pergi.... tak usah kuatir, kali ini aku akan pergi, selama hidup aku tak akan datang mencari dirimu lagi...." Pelan-pelan dia membalikkan badannya, mengambil keranjang dan pelan-pelan berjalan keluar dari situ. Memandang bayangan punggungnya yang kesepian, kurus dan mengenaskan itu menuju kehalaman yang dingin dan gelap, Kwik Tay-lok merasakan hatinya turut menjadi duka..... Angin di halaman luar berhembus kencang, bunga salju berterbangan dan menyebar kemana-mana, suasana terasa amat mengenaskan sekali. Bukankah perasaan manusia pun seperti keadaan tersebut? Cinta kasih yang telah terjalin selama banyak tahun, kadangkala seperti juga tumpukan salju diatas pohon, bila angin berhembus lewat, maka salju itu akan berguguran dan tersebar entah kemana. Kwik Tay-lok merasakan hatinya menjadi pilu dan kecut, dia cuma berharap perasaan Ong Tiong bisa turut menjadi lembek dan bisa menahan perempuan yang mengenaskan itu agar jangan pergi.

Tapi hati Ong Tiong tampak lebih keras daripada baja, dia hanya menyaksikan kepergian perempuan tersebut dengan begitu saja, matanya melotot besar dan sama sekali tidak menunjukkan perubahan sikap apapun juga...Menyaksikan Ang Nio-cu sudah melangkah keluar dari pintu, hampir saja Kwik Tay-lok tidak tahan untuk mewakili Ong Tiong menahannya di situ....   Mendadak, sekujur badan Ang Nio-cu mengejang keras, seakan-akan seseorang yang kena dicambuk secara tiba-tiba. Kemudian tubuhnya roboh terjengkang ke atas tanah. Begitu mencium tanah, ke empat anggota badannya segera mengejang lagi dengan kerasnya, paras mukanya yang putih bersihpun berubah menjadi hitam pekat, sepasang matanya melotot keatas, buih putih tiada hentinya keluar dari ujung bibirnya. Dibalik buih putih itu masih terlihat noda darah. Dengan paras muka berubah Yan Jit segera berseru: "Aaaah.... rupanya makanan yang dia bawa itu benar-benar ada racunnya...!"

"Tapi dia sendiri pasti tidak tahu" sambung Kwik Tay-lok dengan cepat, "kalau tidak, mengapa dia sendiri bisa keracunan?"

Ong Tiong masih berdiri di situ bagaikan sebuah patung arca, bergerak sedikitpun tidak, seakan-akan dia sama sekali tidak menyaksikan peristiwa itu. Bahkan Yan Jit sendiripun merasa agak gelisah, tak tahan dia lantas berseru: "Ong lotoa, bagaimanapun juga seharusnya pergi menengok keadaannya..."

"Melihat apa?"

"Periksalah dulu apakah dia keracunan atau tidak? Apakah masih bisa tertolong atau tidak?"

"Tiada sesuatu yang perlu dilihat lagi." jawab Ong Tiong dengan suara dingin. Kwik Tay-lok yang mendengar jawaban tersebut, tak tahan lagi segera berteriak: "Bagaimana sih kamu ini? Mengapa kau sama sekali tidak berperikemanusiaan?"

Seandainya Yan Jit tidak menekan tubuhnya, mungkin dia sudah meronta dan merangkak bangun. Tampak Ang Nio-cu tiada hentinya mengejang keras, terengah-engah dan berseru tiada hentinya: "Ong Tiong.... Ong Tiong...." Akhirnya Ong Tiong tak tahan juga untuk menghela napas panjang, katanya lirih: "Aku berada di sini" Ang Nio-cu segera meronta dan mengulurkan tangannya seraya berseru kembali: "Kau... kau kemarilah.... aku mohon kepadamu datanglah menjumpai aku...." Ong Tiong menggigit bibirnya kencang-kencang, lalu berkata: "Jika kau ingin mengucapkan sesuatu, sekarang katakan saja, aku dapat mendengarnya dari sini."

"Aku tidak tahu.... benar-benar tidak tahu kalau makanan tersebut ada racunnya, aku benar-benar bukan datang kemari untuk mencelakai dirimu, kau.... kau seharusnya percaya kepadaku." Ong Tiong belum juga menjawab. Tapi Kwik Tay-lok sudah tak kuasa menahan diri lagi, dia segera berteriak-keras: "Aku percaya kepadamu, kami semua percaya kepadamu." Ang Nio-cu tertawa sedih, katanya lagi: "Walaupun ular bergaris merah sekalian beranggapan bahwa kau telah berbuat sesuatu yang

menyalahi mereka, meski mereka ingin membinasakan dirimu, tapi aku... aku sama sekali tidak bermaksud demikian." Kembali dia mengejang keras, peluh dingin telah membasahi sekujur badannya sambil meronta, kembali katanya: "Walaupun aku bukan seorang perempuan baik-baik, tapi sikapku kepadamu selalu bersungguh hati. Asal kau dapat memahami perasaanku, aku.... sekalipun aku harus mati juga rela, aku rela berkorban demi dirimu...." Ketika habis mengucapkan perkataan itu, tampaknya dia telah mempergunakan segenap tenaga yang dimilikinya, sehingga tenaga untuk merontapun sudah tidak dimilikinya lagi.

Kwik Tay-lok yang menyaksikan keadaan tersebut, tanpa terasa matanya ikut menjadi basah, sambil menggigit bibir katanya:

"Ong lotoa, sudah kau dengarkah perkataannya?" Ong Tiong manggut-manggut. Kembali Kwik Tay-lak berseru sambil menggigit bibir: "Kalau sudah kau dengar, mengapa masih berdiri tak berkutik ditempat itu?"

"Gerakan apa yang harus kulakukan?"

"Demi kau, dia telah berubah menjadi begitu, apakah kau tak bisa mencarikan akal untuk menyelamatkan jiwanya?"

"Kau suruh aku menolongnya dengan cara apa?" Tiba-tiba Lim Tay-peng berkata: "Kalau toh kau bisa memunahkan racun senjata rahasia yang bersarang di tubuh Siau Kwik, seharusnya kaupun bisa memunahkan racun yang mengeram didalam tubuhnya sekarang." Ong Tiong segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Itu mah berbeda, sama sekali berbeda!" katanya. "Apa perbedaannya?" seru Kwik Tay-lok. Tiba-tiba Ong Tiong tidak berbicara lagi. Walaupun dia masih berusaha keras untuk mengendalikan diri, tapi dibalik sorot matanya itu seakan terpancar sinar air mata, bukan air mata kesedihan, melainkan rasa gusar yang tampaknya sudah mulai meluap... Jari tangannyapun turut gemetar keras. Yan Jit termenung sebentar, lalu ujarnya. "Andaikata Ong lotoa tak dapat memunahkan racun didalam tubuhnya, maka di dunia ini hanya ada satu orang yang bisa memunahkan racunnya itu..."

"Siapa?"

"Si ular bergaris merah!"

"Betul!" teriak Kwik Tay-lok, "kita harus minta si ular bergaris merah itu menyerahkan obat pemunahnya."

"Aku kuatir inipun sulit" kata Yan Jit sambil menghela napas panjang. "Ingin meminta obat penawar dari ular bergaris merah, hakekatnya keadaan tersebut sama sulitnya dengan meminta harimau untuk menguliti kulitnya sendiri."  Tentu saja Kwik Tay-lok juga menyadari akan teori tersebut. Sementara itu dengusan napas Ang Niocu makin lama semakin lemah, tapi dia masih tiada hentinya memanggil nama Ong Tiong. "Ong Tiong.... Ong Tiong..." Suara panggilannya makin lama semakin lemah, Kwik Tay-lok yang mendengarkan suara tersebut merasakan hatinya seperti hancur lebur tak tahan dia berteriak keras: "Kalau memang kalian tak bisa menolongnya dan tak mau memintanya obat penawar dari si ular bergaris merah, apakah kalian akan menyaksikan orang itu mati di hadapan kalian? Sebetulnya kalian ini manusia atau bukan?" Yan Jit menghela napas pula, sahutnya: "Menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan?"

"Sekalipun si ular bergaris merah sendiri, diapun tidak akan membiarkan ia mati karena keracunan, kalian...." Selama ini Lim Tay-peng hanya duduk di situ sambil termangu-mangu, pada saat itulah mendadak ia menukas perkataannya sambil berteriak keras: "Benar, ular bergaris merah juga tak akan membiarkan dia mati dengan begitu saja, oleh sebab itu kita harus menghantarnya pulang." Walaupun cara ini kurang baik, tapi tak bisa dianggap sebagai suatu cara yang jelek.    Dengan kening berkerut Yan Jit lantas berkata. "Persoalannya sekarang, siapa yang menghantarnya pulang kesana?"

"Hmm ..... !" Kwik Tay-lok mendengus. Walaupun dia tidak mengatakan apa-apa, namun ujung matanya sedang melihat Ong Tiong. Tentu saja dia merasa Ong Tiong yang berkewajiban untuk menghantarnya pulang. Asal orang ini masih memiliki sedikit liang-sim, dia tak akan membiarkan perempuan itu mati disana... Siapa tahu Ong Tiong tidak menunjukkan reaksi apa-apa, bahkan sepasang matanyapun tidak berkedip, seakan-akan ia tidak mendengar apa-apa, atau sekalipun mendengar seolah-olah tidak memahami apa artinya, dia mirip sekali dengan seseorang yang lemah ingatan.. Tentu saja Ong Tiong bukan seseorang yang lemah ingatan. Dia tak lebih cuma berlagak seolah-olah bodoh. Tak tahan Kwik Tay-lok segera berteriak keras: "Baik, kalian tak mau menghantarnya pulang, biar aku saja yang menghantarnya!" Dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya, dia melompat bangun. Dengan cepat Yan Jit memeluknya kencang-kencang. Ong Tiong berpaling memandang sekejap ke arah mereka, sorot matanya memancarkan rasa sedih dan kasihan. Siapapun tak ada yang tahu, sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan... Lewat lama kemudian, akhirnya dia mendepak-depakkan kakinya ke atas tanah seraya berseru: "Baik, aku akan menghantarkanmu pulang!" Dia membalikkan badan dan maju ke depan baru saja akan membopong tubuh Ang Nio cu....

Mendadak Lim Tay-peng melompat maju ke depan, sekuat tenaga dia menumbuknya sehingga orang itu mundur tujuh-delapan depa dan jatuh di sudut dinding sana. Pada saat itulah Lim Tay-peng telah membopong tubuh Ang Nio-cu dari atas tanah.   Mendadak paras muka Ong Tiong berubah hebat, teriaknya keras-keras: "Hei, apa yang hendak kau lakukan?" Lim Tay-peng segera menukas perkataannya itu. "Hanya aku seorang yang dapat mengantarnya pulang, Yan Jit harus merawat siau Kwik, kau

adalah duri dalam mata baginya, bila kau yang pergi maka mereka tak akan melepaskan dirimu." Sambil berkata dia sudah melayang keluar dari situ. Ong Tiong segera melompat bangun dan menerjang ke depan kecepatan luar biasa, bentaknya keras-keras: "Cepat lepaskan dia, cepat...." Di tengah bentakan keras, mendadak terdengar Lim Tay-peng menjerit kaget.

Ang Nio-cu yang sudah kempas-kempis napasnya itu mendadak melompat bangun dari bopongannya seperti seekor ular berbisa, kemudian melambung tiga kaki ke tengah udara, berjumpalitan beberapa kali dan sekejap mata kemudian lenyap dibalik kegelapan sana. Terdengar suara tertawa merdu seperti keleningan bergema dari kejauhan sana: "Telur busuk she Ong, kau melihat orang yang mau mati tak sudi menolong, kau betul-betul seorang manusia yang tak punya liangsim, kau betul-betul seorang makhluk yang tak punya perasaan." Ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir, orangnya sudah pergi jauh sekali. Yang tersisa hanyalah suara tertawanya yang merdu dan lengking seperti suara kehilangan itu menggema dari kejauhan sana.

Itulah suara tertawa yang merdu seperti keleningan perenggut nyawa. Lim Tay-peng sudah tergeletak di atas permukaan salju di atas dadanya telah bertambah dengan setitik bekas merah yang berwarna ke hitam-hitaman.... Tak ada orang yang bergerak. Tak ada orang yang berbicara. Bahkan sekulum senyuman manisnya yang terakhirpun akhirnya terbuyar oleh hembusan

angin dingin. Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Ong Tiong berjalan keluar dengan langkah pelan. kemudian membopong tubuh Lim Tay-peng dan dibawa kembali. Wajahnya jauh lebih dingin daripada hembusan angin, lebih gelap dari cahaya malam.

Air mata Kwik Tay-lok telah jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya. Yan Jit sedang memandang ke arahnya, air mata pun telah membasahi seluruh wajahnya dengan lembut dia berkata: "Kau tak usah berkecil hati, soal inipun tak dapat menyalahkan dirimu!" Seandainya dia tidak mengucapkan perkataan itu, keadaannya masih mendingan, begitu ucapan tersebut diutarakan, Kwik Tay-lok tak dapat menahan rasa sedihnya lagi. Mendadak seperti seorang anak kecil saja, dia menangis tersedu-sedu.... Entah berapa lama sudah lewat, pelan-pelan Ong Tiong baru mendongakkan kepalanya seraya berkata: "Dia belum mati!" Kejut dan girang Yan Jit setelah mendengar perkataan itu, serunya tertahan: "Apakah dia masih bisa tertolong?" Ong Tiong manggut-manggut. "Apa yang harus dilakukan sehingga dia baru bisa tertolong ?" tanya Yan Jit lagi.

Begitu ucapan itu diutarakan, sekali paras mukanya berubah hebat. Karena dia telah menduga apa yang bakal terjadi, sebab di dunia ini hanya ada satu cara yang bisa menolong jiwa Lim Tay-peng. Itulah suatu cara yang benar-benar menakutkan sekali. Dia memandang ke arah Ong Tiong, sorot matanya pun tanpa terasa memancarkan rasa takut yang luar biasa, sebab dia sudah tahu apa yang sedang dipikirkan Ong Tiong. Tentu saja Ong Tiong juga tahu apa yang sedang dia pikirkan, paras mukanya justru kelihatan sangat tenang sekali, katanya dengan suara hambar: "Kau harus tahu apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan jiwanya..." Cepat-cepat Yan Jit menggelengkan kepalanya berulang kali, serunya: "Cara ini tak bisa kau lakukan."

"Tidak bisa !" teriak Yan Jit dengan suara lantang. "Tidak bisa juga harus bisa, sebab kita sudah tidak memiliki pilihan yang lain." Mendadak Yan Jit roboh ke bawah, roboh di atas kursi dan duduk lemas, seolah-olah dia sudah tak sanggup lagi untuk mempertahankan diri. Kwik Tay-lok sedang mengawasi mereka dengan mata melotot besar, noda air mata masih membasahi wajahnya, tak tahan diapun bertanya: "Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan?" Tiada orang yang menjawab, tiada orang yang buka suara. Dengan gelisah Kwik Tay-lok berseru kembali: "Mengapa kalian tak mau memberitahukan kepadaku?" Yan Jit menghela napas pelan, sahutnya: "Sekalipun kau tahu juga sama sekali tak ada gunanya!"

"Kenapa tak ada gunanya? Kalau bukan aku yang mengajukan usul tersebut, Lim Tay-peng tak akan berubah menjadi begitu rupa, aku lebih sedih dari pada siapapun, lebih gelisah dan ingin menolong dirinya daripada siapa pun."

"Sekarang kau hanya bisa menolong seseorang." kata Ong Tiong dengan suara dingin. "Siapa?"

"Kau sendiri!"

"Luka yang kau derita tidak ringan, bila pikiran sampai melayang kemana-mana, mungkin nyawamu sendiripun tak bisa dipertahankan." bujuk Yan Jit dengan lembut. Kwik Tay-lok melototi sekejap ke arah arang-orang itu, mendadak katanya:

"Senjata rahasia yang terkena di tubuhku apakah juga beracun?"

"Benar!"

"Siapa yang telah menolongku?"

"Ong lotoa!"

"Kalau toh Ong lotoa bisa memunahkan racun yang bersarang di tubuhku, mengapa dia tak dapat memunahkan racun di tubuh Lim Tay peng?" Yan Jit tidak menjawab. Kembali Kwik Tay-lok berkata: "Racun yang mereka poleskan di ujung senjata rahasia mereka seharusnya berasal dari satu aliran, bukankah begitu?" Yan Jit termenung lagi sampai lama sekali, kemudian baru menghela napas panjang. "Kenapa kau harus menanyakan kesemuanya itu sampai sedemikian jelasnya?"

"Kenapa aku tak boleh bertanya sejelas-jelasnya?" seru Kwik Tay-lok dengan suara keras, "bila kalian tidak memberitahukan lagi kepadaku, aku akan.... aku akan..." Sekuat tenaga dia memukul-mukul pinggiran pembaringan, saking mendongkolnya dia sampai tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Sambil menggigit bibir, Yan Jit segera berseru: "Baik aku akan memberitahukan kepadamu, racun yang bersarang di tubuhmu serta racun yang bersarang di tubuh Lim Tay-peng, kedua-duanya adalah racun khusus dari si ular garis merah, oleh sebab itu hanya obat penawar khusus darinya yang bisa menolong jiwamu."

"Tapi Ong lotoa...."

"Ketika Ong lotoa bersiap-siap hendak meninggalkan mereka, secara diam-diam dia telah mencuri sedikit obat pemunah khusus dari ular garis merah dan menyembunyikannya, maksudnya adalah sebagai persediaan untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan".

"Lantas dimana obat penawarnya?"

"Telah dipakai sampai habis sewaktu menolongmu!" jawab Yan Jit sepatah demi sepatah. "Sudah dipakai sampai habis?" Kwik Tay lok berseru tertahan. "Yaa, sedikitpun sudah tak ada sisanya lagi." Sambil menggigit bibir, pelan-pelan katanya lagi.

"Sebetulnya obat penawar itu dipersiapkan untuk menolong dirinya sendiri, tapi sekarang telah digunakan semua untuk menolongmu. Sebetulnya aku mengira dia masih meninggalkannya sedikit, siapa tahu karena dia takut kau keracunan hebat dan takut kadar obat pemunahnya kurang, maka...." Berbicara sampai di situ, sepasang matanya menjadi merah dan ia tak sanggup melanjutkan kembali, sebetulnya persoalan ini hanya dia seorang yang tahu, sebab waktu itu Lim Tay-peng sedang berjaga ditempat luaran.. Kwik Tay-lok mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, peluh dingin membasahi sekujur badannya, lewat lama sekali dia baru bergumam: "Akulah yang telah mencelakai Lim Tay-peng, obat pemunah yang bisa menyelamatkan diapun telah kupergunakan sampai habis, aku betul-betul hebat, betul-betul luar biasa...."

"Kejadian ini sesungguhnya merupakan suatu kejadian yang sama sekali tak terduga oleh siapapun, kau sama sekali tidak..."

"Betul, aku sama sekali tidak meminta kepada kalian untuk menolongku." seru Kwik Tay-lok "kalian sendiri yang harus berbuat demikian untuk menolongku, tapi mengapa kalian tidak pikirkan, dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin bisa membuat aku hidup dengan hati yang lega dan tenteram....?"

"Kau harus hidup terus," ujar Ong Tiong dengan wajah membesi, "setelah aku menolongmu, sekalipun kau ingin mati juga tak bisa."

"Tapi Lim Tay-peng...."

"Kau tak perlu menguatirkan dirinya,"" ujar Ong Tiong dengan suara dalam, "kalau toh aku bisa menolongmu, tentu saja akupun mempunyai akal untuk menolong dirinya."

"Sekarang aku telah mengerti cara apakah yang hendak kau pergunakan itu." ujar Kwik Tay-lok sambil menggigit bibirnya.   "Kau hendak meminta obat penawar kepada ular garis merah, bukankah begitu?" Setelah menggertak bibir, kembali serunya:

"Tadi kau tak mau pergi, lantaran kau terlalu memahami watak Ang Nio-cu, tapi sekarang, demi Lim Tay-peng, sekalipun harus mengorbankan jiwa untuk memperoleh obat penawar itu, mau tak mau kau harus pergi juga." Ong Tiong tertawa hambar.

"Kau anggap It-hui-ciong-thian eng-tiong ong adalah seorang manusia baik-baik?"

"Aku tidak kenal siapa itu eng-tiong-ong, aku hanya kenal dengan Ong Tiong, akupun memahami manusia macam apakah Ong Tiong itu."

"Ooooohhh....?" Sepasang mata Kwik Tay-lok kembali berkaca-kaca, katanya: "Manusia yang bernama Ong Tiong itu meski dingin dan kaku mukanya, padahal dia berhati lebih lunak daripada tahu, lebih panas daripada kobaran api." Ong Tiong termenung beberapa saat lamanya, kemudian diapun berkata: "Kalau toh kau sangat memahami diriku, tentunya kau juga harus tahu, apabila aku sudah ingin melakukan sesuatu, maka siapa saja tak akan sanggup untuk menghalangi niatku itu."

"Kau juga harus memahami diriku" kata Kwik Tay-lok pula, "bila aku ingin melakukan suatu pekerjaan, tak seorangpun yang dapat menghalangi diriku !"

"Kau ingin melakukan apa?"

"Pergi mencari si ular garis merah untuk meminta obat penawar darinya...."

"Kau mana boleh pergi?" seru Yan Jit berubah. "Kenapa aku tak boleh pergi? Pokoknya aku akan pergi, lagi pula hanya aku seorang yang dapat pergi."

"Tapi lukamu...."

"Justru karena aku terluka, maka kalian lebih-lebih harus membiarkan aku pergi." Tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara, dia melanjutkan kembali: "Sekarang kita sudah tinggal dua orang, bila dua orang harus menghadapi tiga orang, maka jelas hal ini parah keadaannya, oleh sebab itu kalian tak boleh terluka lagi, kalau tidak kita semua

hanya akan menemukan jalan kematian belaka."

"Walaupun perkataanmu ada benarnya juga. tapi....." Kwik Tay-lok segera menukas kata-katanya itu: "Tapi kami pun tak dapat membiarkan Lim Tay-peng mati keracunan, oleh sebab itu hanya aku seorang yang boleh pergi, bagaimanapun juga aku toh sudah terluka, dan tak mampu menyumbang tenaga lagi, apa lagi..." Setelah tertawa: "Paling tidak si ular garis merah sekalian juga masih terhitung manusia, bagaimanapun juga mereka tak akan turun tangan keji terhadap seseorang yang sudah tidak memiliki kemampuan untuk melawan bukan?" Ong Tiong segera tertawa dingin. "Kau anggap mereka tak dapat membunuhmu?" jengeknya. "Aku rasa tidak"

"Kau yang lebih memahami mereka? Atau aku?"

"Kalau begitu aku dapat memberitahukan kepadamu, mereka hanya tidak membunuh semacam manusia"

"Manusia macam apa ?"

"Orang yang sudah mati!" Mendadak serentetan suara tertawa yang merdu bagaikan keleningan berkumandang datang terbawa angin. Yan Jit menerjang ke muka, diapun menyaksikan sebuah layang-layang berwarna kuning sedang melayang turun dengan amat pelannya ditengah kegelapan malam. Layang-layang itu berbentuk segi empat diatasnya tertera pula lukisan yang me-liuk-liuk seperti cacing. Sekarang Yan Jit sudah tahu, layang-layang tersebut bukan suatu layang-layang biasa,

melainkan sebuah tanda pembetot nyawa yang mematikan bagi siapapun yang melihatnya. Tulisan apakah yang tertera di atas tanda pembetot nyawa itu? Siapapun tidak memahaminya. Hanya manusia yang pernah mendatangi neraka saja yang dapat memahami tulisan tersebut. Ong Tiong juga memahaminya. Di atas layang-layang berwarna kuning itu penuh berisikan gambaran Hu yang berwarna merah, merahnya seperti darah, seperti pula kobaran api dari neraka. Ong Tiong mengawasinya lekat-lekat, dari balik sorot matanya yang dingin terpancar keluar cahaya ngeri dan ketakutan yang luar biasa. Yan Jit tidak memperhatikan layang-layang tersebut, dia hanya memperhatikan sepasang mata Ong Tiong.... walaupun ia tidak mengerti makna dari gambaran Hu di atas layang-layang tersebut, namun dia memahami apa arti dari sorot mata Ong Tiong tersebut.   Tak tahan lagi dia bertanya: "Tulisan apakah yang tertera di atas layang-layang tersebut?" Ong Tiong termenung sampai lama sekali tanpa menjawab, dia malah membuka jendela dan memandang kegelapan malam yang mencekam. Bintang makin redup, malampun sudah mendekati akhir. Ditengah kegelapan malam, kembali tampak sebuah layang-layang dinaikkan ke tengah udara.

Ong Tiong menghela napas panjang, gumamnya: "Fajar kembali sudah menyingsing!"

"Langit tentu akan menjadi, terang!" sambung Yan Jit. "Akupun tentu akan pergi!" Ong Tiong menambahkan.

Jilid 18

KENAPA? Tanya Yan Jit dengan paras muka berubah menjadi pucat pias seperti mayat. "Sebab sebelum fajar menyingsing nanti, bila aku masih belum sampai di bawah Layang-layang tersebut, maka Lim Tay-peng akan mati!" Sewaktu mengucapkan perkataan itu, wajahnya tampak murung dan sedih sekali. Yan Jit juga tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya membungkam seribu bahasa. Dia tahu, apabila Ong Tiong telah berkata demikian, maka yang diucapkan itu sudah pasti tak bakal salah lagi.

Sebab bagaimanapun juga Ong Tiong jauh lebih memahami keadaan dari pada dirinya. Langit sudah hampir terang tanah.Datangnya fajar selalu membawa kecemerlangan, kegembiraan serta harapan bagi siapapun juga. Tapi sekarang, yang diberikan untuk Ong Tiong sekalian hanyalah kematian. Sebelum fajar menyingsing, bila Ong Tiong tidak berdiri di bawah layang-layang tersebut, Lim Tay-peng akan mati! Itulah arti dari pada tulisan yang tertera diatas, layang-layang tersebut.... Artinya, bagaimanapun juga Ong Tiong harus ke situ, dia harus mengorbankan jiwanya. Dengan suara lantang Kwik Tay-lok berseru: "Aku toh sedari dulu sudah bilang, hanya aku seorang yang dapat ke situ, siapa saja jangan harap bisa menghalangi diriku!"

"Baik, kau boleh pergi" kata Ong Tiong dengan hambar, "tapi perduli kau akan pergi atau tidak, aku tetap akan pergi juga."

"Kalau aku toh sudah pergi, kenapa kau musti pergi juga?"

"Sebab yang mereka cari bukan kau, melainkan aku!"

"Sekalipun kau pergi kesana, belum tentu mereka akan berikan obat penawar itu kepadamu, tentunya dalam hal ini kau lebih jelas daripada diriku bukan?" seru Yan Jit. "Yaa aku mengerti."

"Apa yang mereka lakukan tidak lebih hanya merupakan siasat untuk memancing kedatanganmu, cuma satu perangkap yang menanti kau masuk jebakan, sudah pasti mereka telah mempersiapkan diri di sana dan menunggu kau masuk perangkap."

"Soal ini aku jauh lebih mengerti daripada dirimu."

"Tapi kau masih bersikeras hendak pergi juga kesana?"

"Apakah kau harus membiarkan aku menyaksikan kematian Lim Tay-peng...?" Napas Lim Tay-peng sudah makin lemah, sepasang giginya saling menggertak keras, wajahnya juga menunjukkan warna abu-abu, itulah suatu warna kematian. Entah siapapun juga, setiap orang dapat melihat bahwa jaraknya dengan kematian sudah tidak jauh lagi. Dengan sedih Yan Jit berkata:   "Kami tak dapat menyaksikan dia mati, tapi juga tak dapat membiarkan kau pergi mati!" Ong Tiong segera tertawa-tawa ujarnya: "Dari mana kau bisa tahu kalau kepergianku kali ini adalah menghantar kematian?"

"Siapa tahu kalau dengan cepat aku telah kembali lagi sambil membawa obat penawar!" Yan Jit, segera melompat sekejap ke arahnya, kemudian berkata: "Sebetulnya kau lagi menipu kami? ataukah sedang membohongi dirimu sendiri?" Akhirnya Ong Tiong menghela napas panjang. "Aku sendiripun tahu kalau harapanku untuk kembali dengan selamat tidak besar, tapi asal

masih ada setitik harapan, aku tetap akan mencobanya...."

"Seandainya setitik harapanpun tak ada?"

"Aku masih tetap akan mendatanginya juga." Perkataan itu diucapkan dengan kata-kata yang tegas dan bersungguh-sungguh.   Tiba-tiba Yan-Jit bangkit berdiri, kemudian berseru dengan suara lantang: "Baik, kalau kau ingin pergi, akupun akan menemani dirimu." Pelan-pelan Ong Tiong mengangguk. "Ai, kau boleh pergi, siapa saja yang bisa pergi boleh pergi! Biarkan mereka yang tak bisa pergi tetap tinggal di sini, menunggu orang lain datang untuk menjaganya." Yan Jit tak mampu berbicara lagi. "Hei, sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan?" tiba-tiba Kwik Tay-lok berseru tak tahan, "kenapa tidak diucapkan saja secara berterus terang?"

"Aku akan pergi seorang diri," kata Ong Tiong, "sedang kalian dengan membawa Lim Tay-peng menunggu aku di bawah bukit sana."

"Kemudian?"

"Kemudian kalian usahakan sebuah kereta untuk menunggu di situ, entah mencuri atau merampas, aku pasti akan berusaha untuk mendapatkan obat pemunah itu."

"Kemudian?"

"Kemudian kalian duduk dalam kereta dan menunggu kedatanganku, sebelum matahari terbenam nanti, bila aku belum datang juga mencari kalian, maka tinggalkanlah tempat ini."

"Setelah meninggalkan tempat ini, kami harus pergi kemana?" tanya Kwik Tay-lok pula. Ong Tiong segera tertawa, meski suara tertawanya agak menyedihkan. "Dunia ini sangat luas, masa kalian tak tahu kemana harus pergi?" Kwik Tay lok juga pelan-pelan mengangguk, katanya: "Bagus, suatu ide yang sangat bagus, ide semacam ini tak nyana bisa juga kau dapatkan."

"Walaupun ide ini tidak terhitung suatu ide yang bagus, tapi inilah merupakan satu-satunya ide yang baik."

"Bagus sekali, kau demi Lim Tay-peng pergi beradu jiwa, sedang kami harus sembunyikan ekor macam anjing untuk melarikan diri, kau adalah seorang teman baik, tapi kami harus menjadi binatang."

"Apakah kau masih mempunyai cara lain yang lebih baik lagi?" serunya dengan lantang. "Aku hanya punya satu akal."

"Katakan!"

"Jika ingin hidup, kita harus hidup bersama dengan riang gembira, kalau ingin mati maka kita pun harus mati bersama dengan riang gembira...." Kwik Tay-lok tetap adalah Kwik Tay-lok, dia bukan Ong Tiong, juga bukan Yan Jit. Mungkin dia tidak memiliki ketenangan Ong Tiong, mungkin tidak memiliki kecerdasan Yan Jit. Tapi orang ini justru selalu berpikir menurut perasaan, apa yang diucapkanpun selalu berbobot.

Ketika angin berhembus lewat, kabut yang kelabu baru saja muncul dari tanah pekuburan. Api setan juga lenyap dibalik kabut. Siapa bilang di dunia ini tiada setan, Siapa yang bilang? Yang sedang melayang dibalik kabut sekarang, bukankah merupakan sukma gentayangan yang tak diterima dalam neraka? Siapapun tak dapat melihat jelas paras mukanya. Karena paras mukanya berwarna kelabu, seakan-akan telah melebur menjadi satu dengan kabut dingin yang tebal, hidungnya sudah melebur dengan kabut, mulutnya juga telah melebur dengan kabut. Yang tersisa tinggal sepasang mata setannya yang berwarna merah seperti api. Dibalik mata tiada sinar, juga tak bisa mana yang hitam mana yang putih, tapi penuh berisikan sinar kebengisan seakan-akan sedang menyumpahi seluruh orang dan seluruh kejadian yang berada di dunia ini.... Entah tempat manapun yang dipandang oleh sorot mata tersebut, di tempat itu segera akan muncul suatu alamat yang tidak menguntungkan.

Ang Nio-cu segera mengerlingkan matanya yang jeli, kemudian berkata lagi: "Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang?"

"Menurut kau?" sukma gentayangan itu balik bertanya. "Kenapa harus aku yang menjawab?"

"Sebab kau toh lebih memahami tentang dirinya daripada kami!" Dengan lemah gemulai Ang Nio-cu maju menghampirinya, kemudian mengerling sekejap kearahnya sembari berkata: "Sekarang kau masih cemburu?"

"Hmmm!" sukma gentayangan itu mendengus: "Kau anggap aku benar-benar menaruh perhatian kepadanya." Sorot mata dari sukma gentayangan itu memancarkan rasa benci yang jauh lebih dalam, katanya: "Selama ada dia, belum pernah kau menemani aku barang seharipun juga...." Sekarang, sorot mata itu sedang mengawasi daerah di sebelah barat, setiap kuburan setiap

tumpukan salju, tak ada yang tertinggal olehnya. Kemudian sorot mata itu baru memperlihatkan sinar yang penuh dengan senyuman. Siapa saja tak dapat menduga betapa keji dan menakutkannya senyuman semacam itu. Pada saat itulah, dari balik kabut yang tebal kembali berkumandang suara tertawa yang merdu seperti keleningan. Bukan keliningan yang merdu, melainkan suara keleningan yang mengandung hawa pembetot sukma. Bagaikan bayangan sukma saja Ang Niocu muncul dari balik kabut tebal, sambil tertawa katanya: "Segala sesuatunya telah dipersiapkan?" Sukma gentayangan itu pelan-pelan mengangguk.      "Kecuali orang itu tidak datang, kalau tidak jangan harap dia bisa pulang dalam keadaan hidup!"

"Apakah kau sudah lupa siapa yang suruh aku berbuat demikian?" Sukma gentayangan itu tidak berbicara lagi. Ang Nio-cu tertawa dingin, kembali katanya: "Untuk berhasil merangkulnya agar berpihak kepada kita, kau suruh aku pergi menemaninya

tidur, sekarang kau malahan menyalahkan aku, sebenarnya kau punya liangsim tidak?"

"Tidak!" Kembali Ang Nio-cu tertawa, katanya: "Sungguh tak kusangka kaupun bisa mengucapkan sepatah kata yang jujur...."

"Dan kau?"

"Selama berada di hadapanmu, aku selalu berbicara dengan sejujurnya...." sahut perempuan itu. "Bila aku tidak menyuruhmu menemaninya tidur, apakah kau tak akan pergi?"

"Aku tetap akan pergi."

"Kenapa?" Ang Nio-cu tersenyum. "Karena aku suka menemani orang lelaki tidur." Sukma gentayangan itu segera menggertak giginya kencang-kencang, serunya lagi: "Menemani tidur lelaki macam apa?"

"Kecuali kau, lelaki macam apapun aku suka!" Sorot mata sukma gentayangan yang penuh rasa benci itu telah berubah menjadi surut penderitaan, tapi sinar matanya justru berubah menjadi terang. Ang Nio-cu mengawasi matanya itu, lalu katanya:

"Sudah habiskah pertanyaanmu itu?" Mendadak sukma gentayangan itu menjambak rambutnya kemudian menempeleng wajahnya

keras-keras, teriaknya: "Kau perempuan rendah!" Ang Nio-cu tidak merasa terkejut atau takut, juga tidak merasa gusar, malah senyumannya bertambah manis. "Sebenarnya aku memang seorang perempuan rendah, tapi kau lebih rendah daripadaku."

Kembali sukma gentayangan itu menempeleng wajahnya keras-keras. Ang Nio-cu masih saja tertawa, katanya: "Bukan saja kau suka kalau melihat aku pergi menemani lelaki lain tidur, suka pula bertanya kepadaku, tiap hari bertanya kepadaku, pertanyaan seperti ini entah sudah betapa kali kau tanyakan kepadaku!" Tidak membiarkan si sukma gentayangan itu membuka suara, kembali dia berkata lagi: "Karena kau suka mendengarkan perkataan semacam ini, suka menyiksa aku, hanya dikala

aku sedang tersiksa, kau baru menjadi orang, kau baru merasa bahagia." Sukma gentayangan itu mendesis lirih, sekuat tenaga menariknya keras-keras. Ang Nio-cu segera tertawa cekikikan. "Apakah kau ingin..." Mendadak terdengar seseorang berkata dengan suara dingin: "Sekarang bukan saatnya buat kalian untuk berpacaran!" Suara itu lebih dingin daripada es.

Karena suara tersebut memang datangnya dari bawah lapisan salju yang amat tebal. Ang Nio-cu segera tertawa, serunya:

"Rupanya kau telah menyusup ke dalam lapisan salju!" Selembar wajah tiba-tiba muncul dari balik tumpukan salju yang tebal di atas permukaan tanah. Itulah selembar wajah yang lebih menakutkan daripada wajah orang mati... "Bagaimana keadaan di bawah?" Ang Nio-cu bertanya. "Nyaman sekali" sahut ular garis merah. Kembali Ang Nio-cu tertawa. "Di dunia ini memang sulit untuk mencari tempat kedua yang jauh lebih segar dari pada tempat kau berada sekarang."

"Apakah kaupun ingin menerobos masuk kemari untuk menemani aku tidur....?"

"Asal kau punya kesabaran untuk menungguku di bawah, cepat atau lambat aku pasti akan menembus ke bawah."

"Cuma sayang dia tak punya napsu terhadap dirimu" dengus si sukma gentayangan sambil tertawa dingin. Si ular garis merah memandang sekejap keadaan cuaca, tiba-tiba dia berkata: "Waktu sudah tidak pagi, lebih baik kau pergi mampus saja."

"Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang?"

"Pasti akan datang" sahut Ang Nio cu dengan cepat. "Kenapa?"

"Sebab kecuali terhadap kita, terhadap sahabatnya selalu baik dan bersedia berkorban" Sukma gentayangan itu mendongakkan kepalanya dan memandang pula keadaan cuaca. Fajar sudah mulai menyingsing. Sukma gentayangan atau setan penasaran kebanyakan akan pulang ke rumahnya jika fajar telah menyingsing. "Aku akan pergi mati !" kata sukma gentayangan itu kemudian. "Kalau begitu cepatlah pergi mati!" kata Ang Nio-cu. Pelan-pelan sukma gentayangan itu berjalan ke samping sebuah kuburan, mengeluarkan sebuah botol porselen dan meletakkannya ke atas kuburan tersebut. Kemudian diapun secara tiba-tiba lenyap didalam kuburan tadi. Ang Nio cu menghembuskan napas panjang, lalu bergumam: "Seandainya dia tak akan muncul untuk selamanya, betapa indahnya waktu itu."

"Bagaimana indahnya?" tanya si ular garis merah. Sambil menundukkan kepala, Ang Nio-cu memandang sekejap ke arahnya, sepasang matanya yang jeli dan bening itu menatapnya lekat-lekat, kemudian berkata dengan lembut. "Kalau tinggal kita berdua, bukankah keadaan tersebut lebih baik lagi...?"

"Kalau ingin begitu, paling tidak kita harus menunggu sampai semua perempuan yang ada didunia ini sudah pada mampus semua." kata si ular garis merah dingin. Ang Nio-cu segera menerjang ke muka dan meludah di atas wajahnya, dengan gemas dia berteriak: "Sebetulnya kau ini manusia atau bukan?"

"Bukan !" jawab si ular bergaris merah sambil tertawa seram. Belum habis dia berkata, wajahnya itu sudah lenyap kembali dibalik lapisan salju. Ang Nio-cu menjadi tertegun untuk beberapa saat lamanya, mendadak saja dia seperti mempunyai banyak pikiran. Lewat lama kemudian, tubuhnya baru berkelebat ke depan.. Dengan cepat bayangan tubuhnya lenyap pula dibalik kabut yang teramat tebal itu. Layang-layang itu sudah diturunkan. Langit hanya berwarna putih kelabu, kecuali itu tiada sesuatu yang tampak. Ong Tiong sedang berjalan dengan sangat lamban, wajahnya masih tetap dingin tanpa emosi. Sekalipun dalam hatinya merasa takut, perasaan tersebut tak akan dia perlihatkan di atas wajahnya. Entah siapa saja yang pernah merasakan penderitaan dan siksaan, dia seharusnya dapat menyembunyikan perasaan tersebut didalam hatinya. Pelbagai perasaan harus disembunyikan didalam hati. Tapi perasaan ibaratnya arak. Semakin dalam kau simpan, semakin lama kau simpan, justru akan semakin tebal dan keras. Sekarang dia cuma seorang diri. Teman-temannya tiada seorangpun yang datang.

Apakah mereka telah menghianatinya, ataukah dia telah berhasil menundukkan perasaan mereka? Siapa saja tidak tahu. Siapapun tak dapat membaca kesemuanya itu dari perubahan mimik wajahnya. Tapi semua orang tahu, di dunia ini tiada perjamuan yang tak bubar, bagaimanapun akrabnya suatu persahabatan, cepat atau lambat akhirnya pasti akan berpisah juga.

Kehidupan manusia memang serba tak menentu, kadangkala berkumpul kadang kala berpisah, tapi berkumpul juga baik, mengapa harus terlampau serius. Langit masih remang-remang, tapi untung saja masih ada setitik cahaya terang. Walaupun langkahnya sangat lamban, tapi akhirnya sampai juga ditempat tujuan. Manusia hidup memang demikian, banyak urusan memang selalu begitu, kenapa pula harus terlampau tergesa-gesa? Angin masih terasa sangat dingin, dingin bagaikan sebilah pisau, pisau yang menyayat wajahnya. Pelan-pelan dia berjalan menembusi tanah pekuburan, diam-diam menghitung jumlah batu nisan yang berserakan di situ. Batu nisan itu ada yang tumbang ada yang sudah lapuk dimakan cuaca, bahkan tulisannya pun sukar dibaca. Siapakah yang beristirahat didalam kuburan itu? Tiada orang yang memperhatikan lagi. Dikala mereka masih hidup, bukankah merekapun mempunyai kebanggaan, kenis-taan, gembira dan sedih? Tapi sekarang, mereka tidak memiliki apa-apa.

Kalau toh sudah tahu begini, mengapa pula kau selalu memikirkan kebanggaan maupun kenistaan dirimu didalam hati? Ong Tiong menghela napas panjang, mendadak ia berhenti berjalan. Sebab dia telah mendengar suara tertawa dari Ang Nio-cu.

Ang Nio-cu sedang tertawa cekikikan dengan suaranya yang merdu bagaikan keleningan. "Aku sudah tahu bahwa kau pasti datang, ternyata kau benar-benar telah datang."

"Yaa, aku telah datang." Dia telah melihatnya, perempuan itu telah berdiri di bawah sebatang pohon yang gundul diatas permukaan salju, pakaiannya masih berwarna merah darah, seakan-akan masih tetap seperti ketika mereka bersua untuk pertama kalinya dulu. Tapi waktu yang sudah lewat tak pernah akan kembali lagi, kegembiraan dan kesedihan yang sudah lewat pun akan segera terlupakan. Sekalipun sekarang belum terlupakan, cepat atau lambat akhirnya pasti akan terlupakan juga. Ang Nio-cu sedang berdiri di sana sambil mengawasi dirinya, dibalik sinar matanya itu entah terpancar rasa-marah atau murung? Cinta atau benci? Dia mau cinta juga boleh, benci juga boleh, sebab kesemuanya itu tak menjadi soal.  Akhirnya Ang Nio-cu tertawa. "Betulkah kau datang untuk mengambil obat penawar bagi Lim Tay-peng?" tanyanya. "Benar!"

"Kalau demi aku, kau tak akan sudi kemari?" kata Ang Nio-cu sambil menggigit bibir. "Yaa, tak sudi." Ang-Nio-cu tertawa amat sedih. "Mengapa sikapmu terhadap teman selalu lebih baik daripada sikap kepadaku?"

"Sebab kau bukan temanku."

"Aku bukan temanmu? Apakah kau sudah lupa ketika kami sedang berkumpul dulu, betapa besarnya perhatianku kepadamu?"

"Aku sudah melupakannya." Ang Nio-cu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Bagaimanapun kerasnya ucapanmu itu, aku tahu dalam hati kecilmu, kau tak pernah akan melupakannya." Sinar matanya bagaikan kabut, dengan sedih lanjutnya: "Masih ingatkah kau, suatu ketika sewaktu kita sedang berbaring di puncak bukit Hoa-san, menggunakan awan putih sebagai selimut, menggunakan bumi sebagai ranjang, di dunia ini, seolah-olah tinggal kita berdua saja." Suaranya makin lama makin rendah, semakin lembut, kemudian lanjutnya lebih jauh: "Suatu ketika, kita berbaring ditengah gurun pasir yang tiada tepian, waktu itu kita menghitung jumlah bintang yang ada diangkasa sampai sekujur tubuh kita berdua terbenam di tengah pasir....

semua kejadian itu masih ingatkah kau ?" Ong Tiong tidak berbicara. Kejadian semacam itu memang tak akan dilupakan oleh siapapun juga. Benarkah dia dapat melupakannya? Berhadapan muka dengan orang pertama yang dicintainya, benarkah perasaan hatinya bisa dingin dan tenang? Ang Nio-cu menatapnya lekat-lekat, dari balik matanya nampak air mata berkaca kaca,

lanjutnya: "Semua kejadian seperti itu tak akan kulupakan untuk selamanya, oleh karena itu aku baru membencimu, membenci diriku karena kau pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun kepadaku, membenci dirimu sehingga menginginkan kematianmu, tapi.." Dia menundukkan kepalanya rendah-rendah. "Asal kau bersedia untuk balik kembali seperti sedia kala, asal kau bersedia mengucapkan sepatah kata saja, sekarang juga aku bersedia pergi mengikuti dirimu, entah ke ujung langit sekalipun, aku akan selalu mengikuti dirimu."

"Ke manapun aku tak akan pergi!" tiba-tiba Ong Tiong berteriak sekeras-kerasnya. Suaranya sangat keras, seakan-akan hendak menyadarkan kembali dirinya dari impian. Sambil menggigit bibir Ang Nio cu berkata: "Kalau tempat manapun tak akan kau datangi, mengapa pula kau datang kemari?"

"Aku datang untuk mengambil obat penawar!" sahut Ong Tiong dingin dan ketus. "Selain itu, tiada alasan lainnya?"

"Tidak ada!"

"Kau tak ingin datang untuk menengokku."

"Tidak!" Mendadak paras muka Ang Nio-cu berubah menjadi hijau membesi, hijau seperti kalajengking. Sorot matanya yang lemah lembut dan penuh kemesraan seketika lenyap tak berbekas, dia mendepak-depakkan kakinya berulang kali seraya berseru keras: "Baik, obat penawar itu berada di belakang sana, pergilah untuk mengambilnya sendiri." Ong Tiong berpaling, dia menyaksikan botol porselen di atas tanah kuburan itu. "Kali ini kami bersedia memberikan obat penawar itu kepadamu karena kami masih menganggap dirimu sebagai teman. Setelah mendapatkannya, lebih baik cepat-cepat kau tinggalkan tempat ini."

Paras muka Ong Tiong masih kaku tanpa emosi. Apapun yang dikatakan perempuan itu, tak sepatah katapun yang dipercayai olehnya. Dia tahu, tak mungkin obat penawar tersebut akan diserahkan kepadanya dengan begitu gampang. Tapi dia toh maju pula ke depan. Bagaimanapun juga, apapun yang bakal terjadi, dia harus mendapatkan obat penawar tersebut. Seandainya obat penawar itu berada didalam air keras, dia akan terjun ke dalam air keras, seandainya obat penawar itu berada di tengah kobaran api, dia akan terjun ke dalam kobaran api. Lapisan salju terasa dingin tapi lembut. Ong Tiong hanya cukup maju enam-tujuh langkah saja dengan cepat akan berhasil meraih obat penawar itu. Dia sudah mengulurkan tangannya. Botol itu sangat dingin, dingin seperti tangannya mayat. Dia telah mengambil botol tersebut, tangannya jauh lebih dingin daripada botol porselen tersebut. Sebab pada saat itulah dia sudah merasakan hawa kematian yang sangat tebal menyelimuti sekeliling tempat itu. Mendadak dari dalam kuburan itu muncul sepasang tangan yang segera menotok jalan darah Huan-tiam-hiat di atas lututnya. Sementara itu sepasang tangan yang lainpun pada saat yang bersamaan muncul dari bawah

lapisan salju dan secepat kilat melepaskan dua titik bintang yang langsung menyerang kakinya. Dia segera terjatuh dan berlutut di atas tanah, berlutut di depan kuburan itu.. Kemudian dia baru menyaksikan, di bawah kuburan itu muncul sebuah liang gua. Ternyata kuburan itu hanya sebuah kuburan palsu, didalamnya kosong melompong. Suara tertawa Ang Nio-cu yang merdu merayu kembali berkumandang datang, katanya sambil tersenyum manis. "Sekarang, kau benar-benar tak usah pergi ke mana-mana lagi...." Ong Tiong berlutut di depan kuburan, wajahnya masih tanpa emosi, tapi muka itu pucat pasi dan nampak menakutkan sekali. Dia sangat memahami orang-orang itu, sangat memahami cara kerja dan kekejian orang ini. Dia sedang menunggu, menunggu mereka lakukan tindakan yang lebih keji lagi. Akhirnya dari dalam kuburan itu berkumandang suara keras: "Kau kalah!" Dia tahu, itulah suara Cui-mia-hu. Dimana pun juga, suara pembicaraan dari Cui-mia-hu selalu dingin seakan-akan ucapan yang keluar dari dalam kuburan. "Yaa aku kalah!" Terpaksa dia harus mengakui kenyataan. "Kali ini kau tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meraih kembali modalmu !" kembali Cui-mia-hu berkata. "Yaa memang aku tak punya."

"Tahukah kau, apa yang telah kau kalahkan dalam pertaruhkan?"

"Aku hanya mempunyai selembar nyawa yang kalah dipertaruhkan."

"Kau masih memiliki yang lain."

"Apa pula yang kau inginkan?"

"Kau seharusnya tahu, apa yang bakal di minta sebuah tangan yang dijulurkan dari peti mati?"

"Minta uang?"

"Betul, minta uang!"

"Bila kau minta uang, maka kau telah salah sasaran."

"Aku tak pernah salah mencari orang."

"Yang membutuhkan uang seharusnya aku, dalam harta kekayaan yang kita miliki aku berhak satu bagian, tapi tidak seharusnya kalau kau telan empat bagian yang lainnya sekaligus" Ong Tiong tidak berbicara, tiba-tiba saja mimik wajahnya berubah menjadi aneh sekali. "Penghasilan yang kita peroleh beberapa tahun itu lumayan sekali" kata Cui-mia-hu. "Yaa, memang lumayan."

"Apakah cuma kita berlima yang tahu, berapa besar penghasilan kita semua...?"

"Benar!"

"Apakah hanya kita berlima juga yang tahu sebenarnya berapa banyak penghasilan yang kita simpan dan disembunyikan dimana?"

"Benar!"

"Adakah orang ke enam yang mengetahuinya."

"Tidak ada!"

"Entah siapapun orangnya, bila uang tersebut berhasil diambilnya, sudah cukup baginya untuk menikmati penghidupan yang cukup dan berlebihan?"

"Sekalipun seorang yang pemborospun masih lebih dari cukup."

"Tapi ketika kau telah pergi kami baru tahu, rupanya hanya kau seorang yang dapat menikmati uang tersebut!"

"Kau mengira aku telah melarikan uang tersebut?" seru Ong Tiong. "Harta tersebut sudah ludas hingga sepeser uangpun tak ada yang tersisa, kau mengira siapa yang telah membawanya lari?" Ong Tiong menghembuskan napas panjang, katanya:  "Sekarang aku baru tahu, karena apakah kalian datang kemari." Cui-mia-hu juga tertawa dingin. "Semenjak dulu aku sudah tahu karena apakah kau pergi, harta kekayaan itu sudah cukup membuat siapa saja mengkhianati temannya." Tiba-tiba Ong Tiong tertawa. Kembali Cui-mia-hu, berkata: "Kau menganggap kami menggelikan. Mengira kami adalah telur busuk yang bodoh?"

"Aku baru seorang telur busuk yang bodoh, seandainya aku memiliki sejumlah uang seperti yang kalian maksudkan, tak akan kulewati penghidupan semacam ini, kecuali kalau dia itu seorang tolol."

"Penghidupan macam apakah yang kau maksudkan?"

"Penghidupan yang miskin!" Tiba-tiba Ang Nio-cu melayang ke depan dan tertawa merdu seperti bunyi keliningan: "Berapa besar kemiskinanmu itu?"

"Miskin sekali!" Ang Nio-cu segera mengedipkan matanya berulang kali, katanya: "Konon ada seseorang yang dalam semalaman saja telah kalah beberapa puluh laksa tahil perak dalam rumah makan Gui-goan-koan di kata Sian-sia, siapakah orang itu ?"

"Aku!"

"Konon, ada seseorang membeli arak sebanyak beberapa ratus tahil perak selama satu bulan di toko Yan-biau-gwan di bawah gunung sana. Siapa pula orang itu?"

"Aku!"

"Ada pula satu keluarga yang belakangan ini baru saja mengganti semua perabot rumahnya, bukankah kursi yang ada di ruang kecil di halaman belakangpun, terbuat dari kayu jati, yang harganya paling tidak tujuh tahil perak sebuahnya. Siapa pula orang itu?"

"Aku!" Ang Nio-cu segera tertawa, katanya sambil tersenyum: "Bila seseorang dapat melakukan penghidupan semacam ini, dapatkah orang itu dianggap miskin?"

"Tidak dapat!"

"Kami sudah mencari kabar, meski tempat ini bernama Hok-kui-san-ceng, namun sejak generasi yang pertama kecuali namanya saja, tidak dijumpai segala sesuatu yang berbau kaya atau mewah."

"Betul!"

"Selama beberapa tahun ini, kau juga tak pernah keluar rumah untuk berdagang?"

"Bila seseorang bisa hidup bahagia di dalam rumah, mengapa harus keluar rumah untuk bersusah payah?"

"Memangnya uang bisa terbang datang dari atas langit?"

"Tapi bisa digali dari dalam tanah!" Sekali lagi Ang-Nio-cu tertawa. "Tak kusangka begitu cepat kau telah mengakuinya!"

"Tidak mengaku pun tak bisa!"

"Yaa, memang tak bisa!"

"Kalau toh tidak bisa, mengapa aku tidak mengakuinya saja?" Setelah tertawa, tertawa yang sangat dipaksakan, dia berkata lebih lanjut: "Bila kalian hendak menyelidiki asal-usul seseorang sejelasnya, tulang belakang dari kakek moyang tiga generasi pun akan digali keluar. Bila kau menginginkan seseorang berbicara sejujurnya, bahkan si bisu pun mau tak mau harus buka suara, hal ini aku mengetahui jauh lebih jelas lagi daripada orang lain."

"Oleh sebab itu kau tidak seharusnya pergi." sambung Cui-mia-hu dengan dingin. "Aaai.... sayang, ada banyak orang yang seringkali dapat melakukan perbuatan yang tidak seharusnya dia lakukan", gumam Ong Tiong sambil menghela napas. "Baik, sekarang kita berangkat."

"Berangkat? Ke mana?"

"Pergi mengambil kembali tiga bagian yang menjadi hak kami".

"Baik, kalian boleh pergi mengambilnya!"

"Mengambilnya di mana?"

"Kalau kau tidak berbicara, dari mana kami bisa tahu uang tersebut disembunyikan di mana?"

"Kenapa aku harus berbicara? Aku tidak berbicara apa-apa."

"Kau masih belum mau mengaku?" bentak Cui-mia-hu dengan suara keras bagaikan geledek. "Sekalipun uang itu aku yang mengambil, tapi mengaku mengambil uang adalah satu urusan, menyanggupi untuk mengambil uang adalah urusan lain."

"Kau menginginkan uang? Atau menginginkan nyawa?" ancam Cui-mia-hu sambil tertawa dingin... "Bila masih hidup, tentu saja menginginkan nyawa, bila sudah tak bisa hidup terus terpaksa minta uang."

"Kau menginginkan yang bagaimana baru bersedia meluluskan permintaan kami?"

"Jikalau kalian bersedia mengembalikan nyawaku, akupun bersedia pula mengembalikan uang kalian." Cui-mia-hu termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba dia berkata keras: "Baik, kembalikan nyawamu."

"Selembar nyawa dengan sebagian uang."

"Kau mempunyai beberapa lembar nyawa?"

"Aku mempunyai selembar, Kwik Tay-lok selembar, Lim Tay-peng selembar, Yan Jit selembar, total jendral empat lembar nyawa dengan empat bagian harta."

"Selembar nyawa dengan empat bagian harta!"

"Tidak bisa."

"Tidak bisa juga harus bisa, kau ini hidup sedang uang itu mati, kalau toh kami bisa menemukan dirimu, memang tak bisa menemukan uang itu...?" Ong Tiong juga termenung sampai lama sekali pelan-pelan dia baru menjawab: "Baiklah, kembali dulu nyawanya"

"Nyawa siapa?"

"Kau mengharapkan siapa yang akan mengembalikan uang kepadamu?" Ang Nio-cu kembali tertawa, sambil cekikikan katanya: "Sudah sejak lama aku tahu kalau dia masih terhitung seseorang yang pintar, akhirnya dia tahu juga nyawa siapa pun masih berharga nyawa sendiri."

"Bebaskan dulu racun yang mengeram dalam tubuhku, kemudian bebaskan jalan darah ditubuhku kemudian aku akan mengajak kalian pergi mengambil uang."

"Racun boleh kupunahkan, tapi jalan darah tak bisa kubebaskan" ucap Cui-mia-hu. "Bila jalan darahku tidak dibebaskan, setiap saat kalian masih bisa merenggut nyawaku."

"Aku toh sudah bersedia untuk mengampuni selembar nyawamu."

"Kecuali nyawa?"

"Asal masih punya nyawa, seharusnya kau sudah merasa puas sekali." Ang Nio-cu tertawa dan menambahkan pula: "Betul daripada mati kan lebih baik hidup kau masih bisa memikirkan nyawa bukan?" Ong Tiong kembali termenung beberapa saat lamanya kemudian dia pun menghela napas panjang. "Aaaai... tampaknya aku sudah tiada jalan lain lagi."

"Semenjak kau membawa kabur harta kekayaan tersebut, sesungguhnya kau telah melangkah ke sebuah jalan buntu" sambung Cui-mia-hu dengan nada menyeramkan. "Bila jalan darah Huan tiau hiat di tubuh seseorang tertotok, mau ke manapun dia pasti tak bisa berjalan sendiri," ucap Ong Tiong. Ang Nio-cu segera tertawa genit. "Kau tak bisa jalan, biar aku saja yang menggendongmu. Jangan lupa dulu kau sering kali menunggangi tubuhku."

"Kau mengikuti aku saja!" tukas Cui mia hu dengan dingin. "Lantas siapa yang akan membopongnya?"

"Aku!" tiba-tiba dari atas lapisan salju muncul seseorang bagaikan seekor alas... Ong Tiong pun berada di atas punggung si ular bergaris merah. Tubuh si ular bergaris merah lembut, empuk, basah dan dingin. Kabut telah buyar. Tapi udara masih mendung dan berawan tebal, tiada sinar cahaya matahari, tiada sinar keemas-emasan. Tiba-tiba si ular bergaris merah berkata: "Jalan ini menuju ke rumahmu"

"Aku hanya berharap jalan ini bukan menuju ke rumah nenek moyangku!" sambung Ong Tiong. "Kau sembunyikan uang itu di dalam rumahmu?"

"Seandainya berganti kau, uang itu akan kau sembunyikan dimana?"

"Tentu saja di suatu tempat yang setiap saat bisa kucomot. Uang itu bagaikan perempuan, lebih baik disimpan pada tempat yang setiap saat bisa diraba."

"Tak kusangka kau pun mengerti soal perempuan." ujar Ong Tiong sambil tertawa. "Justru karena aku mengerti, maka aku baru menghendaki."

"Kau hanya menginginkan uang?"

"Uang lebih baik daripada perempuan, uang tak dapat menipu dirimu, di dunia ini tiada benda lain yang lebih jujur daripada uang"

"Oleh karena itu, uang bisa disimpan dalam ruang tamu, tapi perempuan tak dapat."

"Uang itu berada di ruang tamu?" seru si ular bergaris merah. "Dalam sebuah rumah, masih ada tempat mana lagi yang jauh lebih luas dan menyolok daripada ruang tamu?" Si ular bergaris merah segera manggut- manggut. "Benar, semakin menyolok tempat itu, semakin tak akan diperhatikan oleh orang lain." Cui-mia-hu selamanya enggan berjalan di depan siapa saja..

Di dunia ini ternyata terdapat juga manusia seperti itu, sebab sudah tak terhitung jumlahnya ketika dia menyergap dan membunuh orang dari arah belakang pula. Oleh karena itu, selamanya dia enggan berjalan di belakang orang lain.... Dengan ketat dia mengikuti di belakang Ang Nio-cu, seakan-akan selembar bayangan tubuh siperempuan itu. Bahkan Ang Nio-cu masih sempat merasakan pula dengusan napasnya yang dingin, dengusan napas yang membawa hawa mayat. Paras mukanya waktu itu sudah berubah menjadi amat tak sedap dipandang..... Cui-mia-hu tak dapat menyaksikan paras mukanya, dia hanya dapat melihat tengkuknya. Dia sedang memperhatikan tengkuknva dengan wajah penuh kenikmatan, sebab di atas kulit tengkuknya yang putih halus itu, bulu kuduknya pada berdiri semua karena terkena dengusan napasnya. Ang Nio-cu sebaliknya sedang memperhatikan Ong Tiong yang berada di hadapannya tiba-tiba ia berkata: "Kau mengira dia benar-benar akan membawa kita untuk pergi mengambil uang tersebut?"

"Dia sudah tiada pilihan lain" jawab Cui-mia-hu. "Aku selalu merasakan gelagat kurang benar!"

"Bagian mana yang tidak benar?"

"Dia bukan seorang manusia yang gampang dihadapi, diapun tidak semestinya begini takut mati." Cui-mia-hu segera tertawa dingin, katanya: "Perduli dia itu manusia macam apa, sekarang sudah tidak menjadi soal lagi."

"Kenapa?"

"Sebab sekarang dia sudah merupakan seseorang yang telah mati."

"Orang mati?"

"Kau mengira aku sungguh-sungguh akan mengampuni selembar jiwanya....." Ang Nio-cu tersenyum. "Tentu saja aku tahu kalau kau tak akan berbuat demikian, tapi sekarang dia toh belum mati!"

"Walaupun belum mati seluruhnya, tapi sudah mati separuh bagian."

"Dia masih mempunyai teman."

"Seorang adalah teman yang sudah hampir mati, sedang dua orang lainnya tak ubahnya seperti menanti saat kematiannya saja. Kami bertiga, entah siapa saja sudah cukup untuk menghadapi mereka, apa pula yang kau kuatirkan?" Tiba-tiba Ang Nio cu tertawa, katanya: "Aku bukan merasa kuatir, tapi cuma merasa agak sayang."

"Apanya yang sayang!" Ang Nio-cu tertawa cekikikan. "Sayang aku belum sempat tidur bersama ketiga orang bocah itu."    Mendadak Cui-mia-hu menggigit tengkuknya. Seakan-akan seekor anjing gila yang tiba-tiba berhasil menggigit seekor anjing betina. Langit masih gelap, oleh sebab itu suasana di ruang tamu pun masih amat gelap. Daun jendela terbuka lebar, dari luar lamat-lamat masih kelihatan ada dua sosok bayangan manusia. "Siapa yang berada di dalam?" si ular bergaris merah segera menegur. "Sungguh tak kusangka matamu makin lama semakin melamur" kata Ong Tiong hambar. Sesungguhnya mata si ular bergaris merah memang tidak begitu bagus. Andaikata seseorang hidupnya sepanjang tahun hanya bergelimpangan diantara obat-obatan beracun, ketajaman matanya pasti akan berkurang. Tapi sekalipun seseorang yang ketajaman matanya lebih cetekpun, asal memandang beberapa kejap saja sudah pasti dapat melihat bahwa kedua sosok bayangan itu tak lebih cuma dua buah orang-orangan dari rumput kering. Dua buah orang-orangan yang baju belaco. Tiba-tiba Ong Tiong tertawa, katanya: "Bila kau masih belum melihat jelas, tak ada halangannya kuberitahukan kepadamu, bila aku sudah mati, mereka adalah orang yang akan menjadi anak baktiku, jika kau mati, mungkin kaupun terpaksa harus mempergunakan mereka menjadi anak baktimu."

"Anak bakti semacam ini paling tidak jauh lebih baik daripada sama sekali tak ada."

"Oleh karena itu kau lebih suka tak punya anak tak punya cucu?"

"Lebih baik lagi kalau temanpun tak punya." Mendadak Ang Nio-cu memburu ke depan, lalu serunya: "Kemana perginya teman-temanmu?" Yang ditanyanya adalah Ong Thong, sebab diantara beberapa orang itu hanya Ong Tiong yang mempunyai teman.

"Mereka menunggu aku di bawah bukit" jawab Ong Tiong. "Mengapa harus menunggu di bawah bukit?"

"Seandainya kau menjadi mereka, dalam keadaan seperti ini kalian akan menantiku dimana?"

"Dia tak nanti akan menunggumu!" sela si ular garis merah. Ang Nio-cu segera mengerdipkan matanya berulang kali, katanya:

"Selama ini aku selalu merasa kaulah orang yang paling kupahami, tahukah kau apa sebabnya?"

"Hmm!"

"Karena cuma perempuan yang bisa memahami perempuan, teori ini diketahui oleh siapapun."

"Dia adalah perempuan?" tanya Ong Tiong. "Memangnya kau mengira dia itu lelaki?"

"Tampaknya sih seperti lelaki."

"Sekalipun dia memang berwujud lelaki, tapi setelah merendam diri selama puluhan tahun didalam obat beracun, sudah sedari dulu ia telah berubah menjadi perempuan" Paras muka si ular bergaris merah berubah menjadi kaku, seakan-akan seekor ular yang kena dicekal bagian mematikannya. Ang Nio-cu tertawa cekikikan kembali ujarnya: "Kesemuanya ini sebenarnya adalah rahasianya yang terbesar, sebenarnya tidak seharusnya kuucapkan, untung saja kaupun bukan orang luar, oleh karena itu...." Sengaja dia merendahkan suaranya, kemudian berbisik: "Aku dapat memberitahukan lagi suatu rahasia besar kepadamu."

"Rahasia apa?"

"Coba tebak, setelah si kelabang besar mati, siapakah yang merasa paling sedih?"

"Aku tahu dia adalah sahabat yang paling akrab dengan si kelabang besar itu."

"Kau keliru besar" seru Ang Nio-cu sambil tertawa, "mereka bukan cuma berteman saja, mereka sudah...." Si ular bergaris merah melototkan matanya bulat-bulat sambil mengawasi perempuan itu tak berkedip, sepasang matanya yang dingin telah berubah menjadi kehijau-hijauan, tiba-tiba saja ia mengarah wajahnya dan meniup satu kali. Dia tak lebih cuma meniup pelan, tapi Ang Nio-cu harus berkelit dengan tergopoh-gopoh bagaikan sedang menghindari senjata rahasia paling beracun di dunia ini, belum sempat ucapannya di selesaikan, tubuhnya sudah melompat dan berjumpalitan di udara lalu menyusup kebalik rumah. Cui-mia-hu yang berada di belakangnya sudah turut lenyap tak berbekas. Tiba-tiba Ong Tiong berseru. "Apa yang dia katakan, tak sepatah katapun yang kupercayai."

"Kau memang sesungguhnya tidak bodoh" jawab si ular bergaris merah cepat. "Tapi kali ini aku telah mempercayainya".

"Kenapa?"

"Sebab bila apa yang dia katakan bukan ucapan yang sesungguhnya, mengapa pula kau hendak merenggut nyawanya?" kata Ong Tiong sambil tertawa lebar. "Apakah kau juga menghendaki agar kurenggut pula jiwamu?" kata si ular bergaris merah dingin.

"Selembar nyawaku ini sudah tidak she Ong lagi, siapa yang menghendaki toh tiada bedanya, tapi kau?"

"Kenapa dengan aku?"

"Bila kau mati, siapa yang akan paling sedih?"

"Tiada orang yang akan sedih."

"Adakah orang yang merasa gembira?"

"Ada."

"Kau juga tahu kalau dia ( perempuan ) membencimu?"

"Hmmm!" si ular mendengus. "Mengapa, dia selalu tidak merenggut nyawamu"

"Sebab dia tahu, aku lebih berguna selagi masih hidup daripada setelah mati."

"Selanjutnya?"

"Yaa, selanjutnya dikala hendak membagi uang tersebut?" Mendadak paras muka si ular bergaris merah itu berubah menjadi kaku seperti mayat. Ong Tiong segera berkata lebih lanjut: "Si kelabang besar telah mati, apakah mereka pun merasa amat sedih sekali?"

"Hmm!" kembali si ular bergaris merah mendengus. "Mengapa, mereka tidak merasa sedih ?"

"Karena lebih enak uang itu dibagi tiga orang dari pada dibagi untuk empat orang."

"Seandainya uang itu hanya dibagi untuk dua orang?" Si ular bergaris merah segera berpaling dan menatapnya lekat-lekat, kemudian sepatah demi sepatah katanya: "Sebenarnya kau ingin berbicara apa?"

"Apa yang ingin kukatakan, tentunya kau sudah memahaminya sedari tadi...." Sepasang mata si ular bergaris merah yang hijau menyeramkan itu mendadak berubah menjadi keabu-abuan, wajahnya dingin kaku tanpa emosi. Ong Tiong berkata lebih jauh: "Jika sebiji bakpao dimakan dua orang, tentu lebih enak daripada dimakan bertiga, teori semacam ini dipahami oleh siapapun. Persoalannya sekarang adalah kedua orang itu dapatkah merasakan bakpao tersebut?"

"Menurut pendapatmu?"

"Aku cukup mengetahui sampai dimanakah kehebatan ilmu silatmu, tentu saja kau tak akan takut terhadap Ang Nio-cu?"

"Hmmm ....."

"Tapi apakah hubungannya dengan Cui lotoa? Dan apa pula hubunganmu dengan Cui lotoa? Dapatkah kau menandingi dirinya?"

Si ular bergaris merah tertawa dingin. Bila seseorang hanya tertawa dingin belaka dalam suatu keadaan, itu berarti dia sudah tak mampu berbicara lagi, ini menandakan kalau perasaan hatinya sudah mulai tidak tenang. Bagi seseorang yang sama sekali yakin terhadap setiap persoalan yang sedang dihadapinya, dia akan jarang sekali memperdengarkan suara tertawa dingin semacam itu. Maka Ong Tiong segera berkata lebih lanjut: "Oleh karena itu, jika kaupun ingin merasakan bakpao itu, lebih baik cepatlah mencari akal lain." Si ular bergaris merah memikir sejenak, akhirnya tak tahan diapun bertanya: "Apa caranya?"

"Mencari orang yang lain untuk membantu kau merampas kembali bakpao tersebut."

"Siapa yang harus kucari?" sekali lagi si ular bergaris merah itu tertawa dingin. "Pertama orang itu jangan terlalu serakah"

"Adakah manusia semacam itu dalam dunia?"

"Aku adalah seseorang yang tidak terlalu serakah"

"Dulu mungkin aku manusia macam begitu, tapi sekarang aku sudah mengerti, lebih baik bakpao itu dimakan berdua daripada sama sekali tidak merasakannya"

"Kedua?" si ular bergaris merah itu kembali menatap tajam-tajam. "Kedua, Orang itu harus tidak melebihi dirimu."

"Kenapa, harus tidak melebihi diriku?"

"Sebab bila dia tidak melebihi dirimu, dia tak akan berani bermain gila di hadapanmu."

"Kau tidak melebihi diriku?" Ong Tiong tertawa. "Seandainya aku lebih tangguh daripada dirimu, mengapa aku harus minta kau gendong sekarang?" Dari balik mata si ular bergaris merah yang berwarna kelabu, mendadak terpancar setitik sinar terang. "Kau benar-benar akan berdiri dipihakku?" dia bertanya. "Mau tak mau aku harus berdiri dipihakmu."

"Kenapa!"

"Sebab dipihak mereka sana sudah terlampau sesak." Sorot mata si ular bergaris merah kembali memancarkan sinar tajam, katanya kemudian: "Apa saja yang bisa kau lakukan buatku?"

"Aku masih punya tangan."

"Tanganmu itu bisa melakukan apa?"

"Paling tidak masih bisa menahan seseorang yang lain." Si ular bergaris merah tidak tertawa dingin lagi. Sebab lambat laun dia mulai merasa mantap dan rencana itupun semakin diyakininya. "Sekarang tinggal satu persoalan saja yang harus diselesaikan," kata Ong Tiong lagi. "Katakanlah!"

"Sanggupkah kau menghadapi Cui lotoa?"

"Menurut pandanganmu?"

"Bila sungguh sampai bertarung, aku tak tahu. Tapi jika dilakukan secara mendadak di luar dugaan, maka..." Mendadak dia menutup mulutnya rapat-rapat. Si ular bergaris merah juga menutup mulutnya rapat-rapat, setelah itu pelan-pelan dia baru

masuk ke dalam rumah. Cui-mia-hu serta Ang Nio cu sudah menunggu didalam ruangan. Suasana didalam ruangan itu terang benderang. Di bawah sorotan cahaya lampu, paras muka Cui-mia-hu kelihatan pucat seperti selembar kertas putih. Selembar kertas putih yang kering dan berkeriput. Ada sementara orang yang tampaknya sepanjang masa tak dapat terkena sinar, jelas dia adalah manusia semacam itu. Si ular bergaris merah telah meletakkan Ong Tiong di atas bangku, kemudian ujarnya:  "Sudah kalian periksa?"

"Setiap bagian dan setiap sudut tempat ini sudah kami periksa." sahut Cui-mia-hu. "Bahkan kakus pun sudah kami periksa," sambung Ang Nio-cu sambil tersenyum, "heran, ternyata tempat itu tidak berbau busuk." Dia mengerling sekejap ke arah Ong Tiong kemudian katanya lagi. "Oleh sebab itu aku tahu teman-temanmu itu sudah pasti adalah orang yang suka dengan

kebersihan."

"Apa pula yang kau ketahui?" dengus Ong Tiong ketus. Ang Nio-cu tertawa. "Aku masih tau kalau orang itu sudah pasti bukan kau."

"Ke mana perginya teman-temannya itu?" tanya si ular bergaris merah tiba-tiba. "Sudah pergi semua!" sahut Cui-mia-hu.    Sekali lagi Ang Nio-cu mengerling sekejap ke arah Ong Tiong, kemudian sambil tertawa genit katanya: "Tampaknya teman-teman yang kau dapatkan belakangan ini bukanlah teman-teman yang baik."

"Di dunia ini memang tiada teman yang benar-benar bersedia menemani sampai mati" kata Ong Tiong hambar. Ang Nio-cu tersenyum. "Suami istri macam begini saja sudah tak ada, apalagi cuma sahabat...." Kali ini biji matanya mengerling ke arah si ular bergaris merah. Tapi si ular bergaris merah seakan-akan tidak mendengar perkataan itu, diapun tidak

memandang ke arahnya, cuma ujarnya: "Apakah didalam rumah ini sudah tiada orang lain?"

"Cuma ada dua buah orang-orangan!" sahut Cui-mia-hu. "Orang-orangan bukan termasuk orang!" kata Ong Tiong. Mendadak Cui-mia-hu tertawa seram. "Heeehhh... heeehhh... heeehhh.... jangan lupa, ada kalanya orang-oranganpun dapat membunuh orang." Paras muka Ong Tiong yang baru saja membaik tiba-tiba sedikit agak berubah. Cui-mia-hu mengawasi terus raut wajahnya pada saat paras mukanya agak berubah itulah, Cui-mia-hu telah turun tangan. Jarang sekali ada yang tahu benda apakah yang dipergunakan Cui-mia-hu untuk membunuh orang. Karena sewaktu membunuh orang dia selalu membunuh sungguhan, sekali turun tangan, pihak lawan tak pernah diberi kesempatan untuk hidup lebih jauh. Kalau tidak ada keyakinan tersebut, dia tak akan turun tangan. Hanya orang yang tak pernah menyaksikan dia membunuh orang saja yang tahu senjata apakah yang digunakan untuk membunuh orang. Hanya empat orang yang pernah menyaksikan dia membunuh orang. Ong Tiong juga pernah

menyaksikan. Senjata yang dipergunakan olehnya untuk membunuh orang adalah dua batang duri. Dua batang duri yang bertali serat baja, selain dapat merenggut nyawamu, dapat pula membelenggu senjatamu dan mencekik tengkukmu kemudian sekaligus menusuk ke dalam jantungmu. Itulah sepasang duri pembetot sukmanya yang tiada taranya di kolong langit. Dalam dunia persilatan terdapat banyak orang yang menjadi tenar karena mengandalkan senjata tunggalnya.

Jilid 19

KARENA bila kau mempergunakan senjata khusus yang aneh, seringkali kali akan berhasil meraih banyak keuntungan dari musuhmu. Suatu keberuntungan yang seringkali di luar dugaan. Oleh sebab itu, bila kau dapat menciptakan semacam senjata khusus yang bisa membuat orang lain di luar dugaan, kau pasti dapat mencari nama yang tenar dalam dunia persilatan....

menggunakan darah orang lain untuk mencetak namamu. Walaupun di kemudian hari kaupun bisa jadi mati pula di ujung senjata khusus lain yang sama sekali di luar dugaanmu. Tubuh orang-orangan itu kelihatan terlalu gemuk. Jauh lebih gemuk daripada sewaktu dipakai untuk menaikkan layang-layang. Dalam, soal ini mungkin orang lain tak dapat melihatnya, tapi Cui-mia-hu sudah pasti dapat melihatnya, sebab orang-orangan itu adalah hasil karyanya. Walaupun dia memiliki selembar wajah yang bodoh, namun memiliki sepasang tangan yang cekatan... orang yang benar-benar pintar, tak akan selalu menunjukkan kepintaran-nya di atas wajah. Orang-orangan itu tidak makan daging, juga tidak minum arak, mengapa dalam semalaman saja bisa berubah menjadi begitu gemuk? Mungkinkah ada orang yang bersembunyi dibalik orang-orangan itu serta bersiap sedia

melancarkan sergapan?.... Mungkinkah hal ini merupakan pukulan terakhir yang telah dipersiapkan oleh Ong Tiong dan Yan Jit sekalian? Paras muka Ong Tiong berubah hebat. Karena pada saat itulah sepasang duri pencabut nyawa dari Cui-mia-hu telah menusuk ulu hati orang-orangan itu dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Senjata itu menusuk sangat dalam, dalam sekali. Di dunia ini memang jarang terdapat seorang teman yang benar-benar mau sehidup semati denganmu. Bahkan suami isteri saja amat jarang, apa lagi cuma teman. Tapi teman semacam ini, bukannya sama sekali tak ada. Paling tidak Kwik Tay-lok sekalian adalah teman-teman semacam itu. Mereka tahu nyawa Ong Tiong sudah berada di ujung tanduk, siapakah yang merasa tega untuk membiarkan dia pergi menempuh mara bahaya seorang diri? Mana mungkin mereka akan pergi?    Orang-orangan itu memang gemuk, biasanya orang yang gemuk tentu mempunyai darah yang banyak. Sepasang duri pencabut nyawa dari Cui-mia-hu telah menembusi ulu hatinya. Tapi tak ada darah yang keluar, setetespun tak ada. Kali ini paras muka yang berubah bukan muka Ong Tiong, melainkan Cui-mia-hu. Pada saat paras muka Cui-mia-hu berubah itulah, mencorong sinar tajam dari mata si ular bergaris merah. Dan pada saat yang bersamaan pula, Ong Tiong menarik tangan Ang Nio-cu. Sengatan lebah beracun. Sengatan dari Cui-mia-hu lebih beracun. Jika lebah sudah menyengat orang, maka dia akan mati dan tak beracun lagi. Tapi sekarang sengatan dari Cui-mia-hu telah menancap di atas jantung orang-orangan itu. Kesempatan sebaik ini tentu saja tak akan disia-siakan oleh si ular bergaris merah. Tiba-tiba dia mengarah wajah Cui-mia-hu, kemudian meniupnya dengan sekuat tenaga. Cahaya yang menyorot masuk lewat jendela dapat menerangi hawa hijau yang terhembus keluar dari tiupannya itu. Cui-mia-hu seakan akan sedang tertegun, tapi pada saat hembusan itu menyambar datang inilah, ujung baju Cui-mia-hu mendadak berubah menjadi tali penyeret yang segera menyeret tengkuk Si ular bergaris merah kencang-kencang.

Diapun menahan napasnya dengan sepenuh tenaga. Si Ular bergaris merah segera menjerit ngeri dengan suaranya yang memilukan hati. Dengusan napasnya makin tajam, dan makin pendek. Cui-mia-hu telah melompat naik ke atas rumah, tangannya memegang wuwungan rumah dan bergelantungan sambil mengawasi lawannya. Sepasang mata si ular bergaris marah seakan-akan sudah menjadi buta, apapun tidak terlihat olehnya, bagaikan seekor anjing buta yang menerkam ke depan dengan sempoyongan.

Dia menerjang maju selangkah, dua langkah, tiga langkah..... Wajahnya segera berubah menjadi hijau kebiru-biruan. Dia baru maju dua langkah, tubuhnya sudah roboh terjengkang ke atas tanah. Barang siapa terkena racun dari Si ular bergaris merah, tak akan bisa maju sampai tujuh langkah. Bahkan si ular bergaris merah sendiripun tidak terkecuali. Ong Tiong telah melepaskan tangan Ang Nio-cu. Wajah masih sama sekali tidak menunjukkan perubahan, tapi kelopak matanya sudah mulai

bergerak. Lambat laun dia sudah memahami apa gerangan yang telah terjadi, peristiwa semacam ini sedikitpun tidak menarik.

Tapi Ang Nio-cu seakan-akan merasa kejadian ini menarik sekali, dia sudah tertawa terpingkal-pingkal tiada hentinya. Suara tertawanya masih kedengaran merdu seperti bunyi keleningan. Sejak pertama kali berjumpa dengannya dulu, Ong Tiong sudah terpikat oleh suara tertawanya itu. Hingga dia sudah bertemu beberapa ratus kali dengannya, ia masih menganggap suara tertawanya begitu menarik. begitu merdu, seakan-akan di dunia ini tiada keduanya lagi. Tapi sekarang, dia mulai merasa muak, mulai merasa seakan-akan hendak tumpah. Bagaimanapun juga si ular bergaris merah adalah temannya yang sudah hidup bersama selama banyak tahun. Barang siapa dapat tertawa terpingkal-pingkal disamping jenasah rekannya, maka kejadian tersebut pasti akan memuakkan orang lain. Ang Nio-cu memutar sepasang matanya yang jeli, kemudian ujarnya dengan lembut: "Apakah kau sedang keheranan, mengapa aku harus tertawa terpingkal-pingkal?"

"Sedikitpun tidak heran!"

"Kenapa?"

"Sebab kau sama sekali bukan manusia." Itulah kesimpulan dari Ong Tiong. Cui mia-hu masih mengawasi mayat si ular bergaris merah dengan terpesona, seakan-akan dia takut kalau itu belum mati secara sungguhan.... Padahal si ular bergaris merah benar-benar sudah mati secara seratus persen. Padahal selama dia masih hidup, apa yang tak lebih hanyalah mempersembahkan kehidupannya untuk obat-obatan racun. Dia tidak mempunyai teman lain, bahkan boleh dibilang dia tidak mempunyai apa-apa. Obat beracun adalah seluruh hidupnya. Lewat lama kemudian, Cui-mia-hu baru pelan-pelan membalikkan badannya seraya berkata: "Inilah seorang yang jujur dan setia!"

"Kau maksudkan dia jujur dan setia?" tanya Ang Nio-cu. Cui-mia-hu mengangguk. "Paling tidak terhadap perbuatan yang hendak dilakukannya dia amat setia, obat beracunnya memang tak pernah meleset walau hanya satu kali saja." Sekali lagi Ang Nio-cu tertawa terkekeh-kekeh. "Oleh sebab itu kau harus lebih-lebih berterima kasih kepadaku, seandainya tiada aku, yang mati sekarang adalah kau."

"Aku memang sama sekali tidak menyangka kalau diapun bakal menghianati diriku." Ang Nio-cu tertawa. "Seandainya kau tak pernah menyangka, mengapa bisa mempersiapkan cara yang begitu baik untuk menghadapinya?"

"Karena akupun seseorang yang jujur."

"Kau jujur terhadap siapa?"

"Terhadap diriku sendiri." Ang Nio-cu segera menghela napas panjang: "Mengapa kau tak pernah mengatakan kalau akupun sangat jujur?" keluhnya. "Karena kau terhadap dirimu sendiri saja tidak jujur, apalagi terhadap orang lain" kata Cui-mia-

hu dengan ketus, "kau sering kali menghianati diri sendiri, kau sendiri menjual dirimu sendiri."

"Tapi aku belum pernah menghianati dirimu, akupun tak pernah membohongi kau."

"Karena kau tahu tiada orang yang bisa membohongi diriku" suara Cui-mia-hu masih tetap sedingin es. Tiba-tiba dia berpaling ke arah Ong Tiong, kemudian melanjutkan: "Oleh karena itu aku selama berada di hadapanku pun seseorang yang amat jujur." Ong Tiong tidak menunjukkan reaksi apa-apa.. "Kau bilang teman-temanmu sudah pergi semua, ternyata mereka memang tidak berada disini" ujar Cui-mia-hu. Ong Tiong masih belum menunjukkan reaksi apa-apa. "Sekarang aku hanya ingin tahu, kau lebih setia kepada uang ataukah terhadap diriku?" kata Cui-mia-hu lebih jauh. "Itu mah tergantung keadaan."

"Tergantung bagaimana?"

"Biasa aku selalu setia kepada uang, tapi sekarang terhadap dirimu...." kata Ong Tiong hambar."Bagus sekali, bawa kemari."

"Apanya yang bawa kemari?"

"Apa yang kau miliki?" Ong Tiong ragu-ragu sejenak, akhirnya dia bulatkan tekad, katanya: "Di bawah meja sana terdapat beberapa lembar ubin batu yang bisa di geser, di bawah lapisan batu itu terdapat sebuah gudang di bawah tanah... "Kau mengira aku tak dapat melihatnya?" seru Cui-mia-hu sambil tertawa dingin. "Kalau kau sudah melihatnya, mengapa tidak pergi mengambilnya? Barang itu berada di situ."

"Biar aku yang mengambilnya." seru Ang Nio-cu cepat. "Tidak, biar aku saja!" seru Cui-mia-hu. Badannya berkelebat lewat dan mendahului Ang Nio-cu. Inilah untuk pertama kalinya dia berjalan di depan orang lain... merupakan terakhir kalinya.

Serentetan cahaya perak pelan-pelan meluncur keluar dari balik ujung baju Ang Niocu dan tepat menghajar jalan darah Giok-seng hiat di atas benaknya. Serangan mematikan ini bukan saja tidak cepat, bahkan sangat lamban, tapi dia justru tak

sanggup menghindarkan diri. Dia segera roboh terkapar ke atas tanah. Tidak melawan, juga tidak merasakan penderitaan apa-apa. Bahkan tiada suara apapun yang terpancar keluar, seorang yang hidup tiba-tiba saja berubah menjadi sesosok mayat. Siapapun tak akan menyangka kalau dia akan mati dengan begitu gampangnya. Tentu saja dia sendiripun lebih-lebih tak menyangka, orang yang membunuh dirinya ternyata tak lain adalah Ang Nio cu. Suara tertawa merdu bagaikan suara keleningan kembali berkumandang memecahkan keheningan. Ang Nio cu tertawa, ujarnya: "Kali ini tentunya kau mengerti bukan, mengapa aku tertawa tergelak-gelak?"

"Tidak mengerti."

"Tahukah kau apa yang kugunakan untuk membinasakan dirimu?" Ong Tiong tidak menjawab. Ang Nio-cu segera tertawa, kembali ujarnya: "Tentunya kau tahu, darimanakah kupelajari ilmu melepaskan duri pencabut nyawa itu?" Sesudah tertawa cekikikan, kembali sambungnya: "Barusan, dia telah mempergunakan racunnya si ular bergaris merah untuk membunuh si ular bergaris merah, maka sekarang akupun menggunakan duri pencabut nyawa untuk menusuk dia sampai mati, menghadapi kejadian yang begini menariknya ini, masa aku tak boleh tertawa senang?"

"Aku hanya merasa heran, mengapa dia mengajarkan kepandaiannya itu kepadamu?"

"Karena dia sama sekali tidak mewariskannya semua rahasia kepandaiannya kepadaku, dia tahu selamanya aku tak akan bisa mempergunakannya secara baik."

"Kau memang tak bisa melebihi kecepatannya."

"Yaa, selisihnya memang jauh sekali, oleh sebab itu walaupun aku mempelajarinya tapi tetap tak ada gunanya, hakekatnya tak mungkin bisa dipergunakan untuk menghadapi orang lain. Duri pengejar nyawa masih tetap merupakan senjata khasnya."

"Kalau toh tak berguna, mengapa kau mempelajarinya?"

"Bukannya sama sekali tak ada gunanya, cuma ada semacam kegunaan yang sebenarnya amat fatal, yakni apabila kugunakan untuk menghadapi seseorang."

"Siapa?"

"Dia sendiri!"

"Kau tak bisa menggunakannya untuk menghadapi orang lain, tapi bisa dipakai untuk menghadapi dirinya?" tanya Ong Tiong dengan wajah keheranan. Ang Nio cu tertawa. "Di dunia ini memang banyak terdapat kejadian yang begitu anehnya...."

"Aku tidak mengerti!" Ang Nio-cu segera tertawa terkekeh-kekeh. "Hal-hal yang tidak kau pahami masih banyak sekali!"

"O, ya?"

"Aku sengaja membiarkan kau berada bersama si ular bergaris merah, tujuannya tak lain adalah untuk kesempatan kepada kalian untuk berbincang-bincang."

"Mula-mula kuucapkan dulu kata-kata yang dia paling tak senang diketahui orang lain kemudian baru menyingkir pergi, dalam keadaan yang gusarnya setengah mati itu, sudah pasti kau tak akan melepaskan kesempatan tersebut dengan begitu saja."

"Kau telah menduga kalau aku bakal menggunakan akal untuk menggerakkan hatinya dan menyuruh dia menghianati diri kalian?"

"Bukan berarti kau yang menggerakkan hatinya, adalah dia sendiri yang mempunyai maksud begitu, Cuma saja selama ini belum ada kesempatan baik untuk melakukannya."

"Ooooh.... jadi kau sengaja memberi kesempatan kepadanya, kemudian baru memberi tahukan kepada Cui lotoa untuk bersiap-siap?"

"Aku juga tahu kalau Cui lotoa telah menemukan cara yang baik untuk menghadapi dirinya, asal dia berani turun tangan, maka sudah pasti dia akan mampus!"

"Tepat sekali perhitunganmu itu."

"Dalam hal ini, aku rasanya tak usah terlampau membanggakan diri" kata Ang Nio cu sambil tersenyum. Ong Tiong menghela napas panjang. "Aaai, akhirnya aku memahami juga persoalan ini, masih ada yang lain?" Ang Nio-cu mengerdipkan matanya berulang kali, lalu katanya: "Tahukah kau rahasia paling besar apakah yang dimiliki Cui lotoa....?"

"Telinganya tidak begitu tajam, hakekatnya tak jauh berbeda dengan orang tuli."

"Tapi nada ucapanku sewaktu bercakap-cakap dengan tidak terlalu besar, dia toh bisa mendengarnya dengan jelas?"

"Itulah dikarenakan dia memperhatikan gerakan bibirmu, dengan melihat gerakan bibir tersebut, dia dapat mengetahui apa yang sedang kau ucapkan."

"Aaaai... hal ini benar-benar merupakan suatu rahasia yang sangat besar," kata Ong Tiong sambil menghela napas. "Kecuali aku seorang, tiada orang lain yang mengetahui rahasianya tersebut. Oleh karena telinganya tidak tajam, maka dia selamanya enggan berjalan di depan orang lain, dia kuatir orang lain akan menyergapnya dari belakang." Setelah tertawa, kembali ujarnya: "Hal ini bukan disebabkan karena dia lebih berhati-hati daripada orang lain, tapi disebabkan lantaran ia tak bisa mendengar suara desingan senjata rahasia, seandainya ada orang yang menyergapnya dari belakang, maka ia sama sekali tak mampu untuk menghindarkan diri."

"Andaikata desingan angin serangan itu sangat tajam, tentu saja dia masih dapat mendengarnya, tapi bila ada orang yang menyerangnya secara pelan-pelan, maka dia sudah pasti akan mampus." Ang Nio-cu segera tertawa. "Yaa, sedikitpun tak salah," katanya, "itulah sebabnya serangan yang kugunakan adalah dari pengejar nyawa ajarannya yang tak pernah bisa kupelajari secara sempurna itu, dan kepandaian itu justru merupakan suatu kepandaian yang tiada keduanya di dunia ini."

"Apakah kaupun sudah memperhitungkan, begitu ia mendengar benda itu berada dimana, maka dia tak akan tahan untuk memburu ke sana dan menengoknya lebih dulu?"

"Yaa, seandainya berada di depan orang lain, mungkin dia masih dapat menahan diri atau mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, tapi bila sedang berada bersamaku, dia selalu akan lebih teledor daripada biasanya..."

"Kenapa?"

"Sebab dia selalu mengira bahwa aku sedang menggantungkan diri kepadanya, dia selalu menganggap bila dia sampai mati, maka akupun tak bisa hidup lagi." Ong Tiong menghela napas. "Diapun menganggap tak ada orang yang bisa membohongi dirinya....."

"Yaa, memang tiada orang yang bisa membohonginya, yang ada hanya dirinya membohongi diri sendiri."

"Kau bilang dia pernah membohongi diri sendiri?" Ang Nio cu tertawa genit: "Berapa orang lelakikah di dunia ini yang tidak gampang membanggakan diri sendiri? Seandainya lelaki tidak terlalu gampang menjadi mabuk diri, perempuan manakah yang bisa menyusupkan diri dalam lingkungannya?" Ong Tiong termenung, sampai beberapa saat lamanya, kemudian ujarnya dengan hambar: "Kau selalu memperhitungkan dengan tepat, juga melihatnya secara tepat."

"Tapi aku telah salah menilai dirimu."

"O ya?"

"Aku mengira kau tak akan pernah bicara bohong" kata Ang Nio cu sambil tertawa, "tak disangka kau telah berbohong, bahkan pada hakekatnya bisa membohongi orang sampai mati tanpa mengganti nyawa!"

"Kapan aku pernah berbohong?"

"Kau bilang barang itu berada di bawah kolong meja, bukankah kau sedang berbohong?"

"Yaa, benar!" Ang Nio cu tertawa, kembali ujarnya: "Tapi cuma aku seorang yang tahu kalau kau sedang berbohong, sebab di dunia ini hanya aku seorang yang tahu dengan persis sesungguhnya benda tersebut disimpan dimana."

"Yaa, kau memang seharusnya tahu!" Ang Nio cu mengerling sekejap ke arahnya dengan genit, lalu katanya lagi: "Berbicara terus terang saja, tadi sebetulnya sudah kau duga atau tidak kalau barang itu sesungguhnya akulah yang mengambil pergi?"

"Aku tidak menyangka!" Setelah termenung beberapa saat lamanya, kembali dia berkata: "Aku sama sekali tidak menyangka, akupun tidak tahu apa-apa, aku hanya mengetahui satu hal."

"Soal apa?"

"Menjadi orang tidak seharusnya terlampau gegabah, barang siapa menganggap tiada orang yang bisa membohongi dirinya, maka hal itu sama artinya dengan dirinya membohongi diri sendiri." Senyuman manis dari Ang Nio-cu seperti agak berubah, tak tahan dia lantas berseru: "Apa maksudmu?"

"Maksudnya, jika kau dapat mempersiapkan sebuah jerat untuk menjerat orang lain, maka orang lainpun dapat mempersiapkan sebuah jerat untuk menjerat dirimu sendiri." Inipun merupakan suatu kesimpulan. Biasanya kesimpulan jarang sekali keliru. Yang keliru biasanya bukan suatu kesimpulan. Hari sudah terang benderang. Perempuan tampak selalu lebih tua, lebih berkisut di tengah hari yang terang benderang. Dalam keadaan begini, Ang Nio-cu tak dapat tertawa lagi. Jika seorang perempuan yang biasa tertawa mendadak tidak tertawa, seringkali diapun tampak lebih tua dan berkeriput. Oleh sebab itu, paras muka Ang Nio-cu pada saat itu hampir boleh dibilang sudah mendekati taraf "si nenek berbaju merah". Di bawah kolong meja tiada harta karun, satu peser uangpun tidak ada. Tapi di situ ada orangnya, dua orang manusia. Sekalipun Ong Tiong tak dapat bergerak, namun kedua orang itu dapat bergerak. Yang seorang bisa bergerak cepat, yang seorang lagi agak lamban. Yang cepat adalah Yan Jit, yang lamban adalah Kwik Tay-lok. Manusia semacam Kwik Tay-lok tak nanti akan pergi jika temannya sedang menghadapi mara bahaya, sekalipun kau mengusirnya dengan cambukan, atau memalangkan golok di atas tengkuknya, dia juga tak akan angkat kaki.. Hingga sekarang, Ang Nio-cu baru menyadari bahwa dirinya benar-benar sudah masuk perangkap. Tapi bagaimana mungkin ia bisa terjatuh dalam perangkap.? Dia sama sekali tidak tahu, bahkan perangkap macam apakah itu, dia sendiripun tidak sempat melihatnya. Di dalam ruangan rumah, selalu ada salah satu sudut yang remang-remang, di sudut semacam ini biasanya selalu tersedia kursi. Pelan-pelan Ang Nio cu berjalan ke sana dan pelan-pelan duduk di atas kursi. Tiada orang yang menghalangi kepergiannya, sebab hal ini tak ada perlunya. Lewat beberapa saat kemudian, tiba-tiba Ang Nio-cu berkata: "Ong Tiong, aku tahu kau selalu merupakan seseorang yang amat adil dan bijaksana."

"Dia memang selalu begitu!" sela Kwik-Tay-lok. Bila Kwik Tay-lok hadir dalam suatu pertemuan, maka kesempatan berbicara bagi Ong Tiong tak pernah banyak. "Oleh karena itu, terhadap diriku pun dia harus bertindak amat bijaksana."

"Bagaimana baru dianggap bijaksana?"

"Barusan, aku telah membeberkan semua perangkap yang kupersiapkan, sekarang kau harus membeberkannya pula!" Sasaran pembicaraannya masih tetap Ong Tiong, kecuali Ong Tiong, dia tak pernah memandang ke arah orang lain. Sepasang mata Yan Jit sedang melotot, Kwik Tay-lok pun terpaksa harus membungkam dalam seribu bahasa. Lewat lama sekali, Ong Tiong baru berkata: "Tadi, kau berbicara mulai dari mana?"

"Dari aku memberi kesempatan kepadamu untuk berbincang-bincang dengan si ular bergaris merah."

"Tahukah kau mengapa aku mengajaknya memperbin-cangkan persoalan semacam itu?"

"Aku tidak tahu!"

"Tapi paling tidak seharusnya kau tahu akan satu hal, barang itu toh bukan aku yang mengambil."

"Aku tahu!"

"Oleh karena itu aku harus mencari tahu, siapakah diantara kalian bertiga yang telah mengambil barang-barang tersebut?" kata Ong Tiong. "Oooh.... jadi kau mengucapkan beberapa patah kata itu kepada si ular bergaris merah tujuannya tak lain adalah untuk menyelidiki dirinya...?"

"Benar, andaikata dia yang mengambil barang-barang itu, maka dia tak akan berbuat demikian"

"Dari mana kau bisa tahu kalau orang itu bukan si kelabang besar?"

"Seandainya dia yang mengambil, tak nanti si kelabang besar itu akan menyerempet bahaya... orang yang memiliki harta sebesar beberapa ribu laksa tahil perak, biasanya takut mati sekali, bahkan atap rumah yang terjatuhpun kuatir kalau bakal menimpa atas kepala sendiri" Ang Nio-cu tertawa paksa, lalu berkata: "Kenapa tidak kau katakan saja dengan kata yang lebih sederhana? Harta lebih berharga dari emas? Aku pasti mengerti jika kau bilang begitu."

"Orang yang mengetahui tempat penyimpanan harta karun itu hanya lima orang, bila tiga orang lainnya tak tahu, itu berarti tinggal kau dan Cui lotoa."

"Tapi, kau toh belum bisa memastikan di antara aku dan Cui lotoa, sebenarnya siapakah yang sebenarnya telah melarikan harta kekayaan tersebut?"

"Waktu itu aku masih belum berani memastikan, tapi aku sudah mempunyai pegangan, cepat atau lambat orang itu sudah pasti akan dapat kutemukan."

"Kau benar-benar memiliki keyakinan tersebut?"

"Yaa, pertama, aku tahu si ular bergaris merah bukan tandingan dari Cui lotoa, andaikata dia berani melakukan suatu tindakan, maka orang itu akan mampus."

"Ternyata penglihatanmu memang tepat sekali!"

"Kedua, aku tahu diantara kau dan Cui-lotoa, sudah pasti ada satu orang diantaranya yang bakal mati."

"Kenapa?"

"Sebab entah siapa pun yang telah mengambil barang-barang tersebut, sudah pasti dia tak akan membiarkan orang yang lain tetap hidup segar bugar."

"Kenapa?"

"Karena seandainya diantara kami berlima masih ada seorang saja yang masih hidup, maka pasti dia tak akan bisa menikmati harta kekayaan yang besar jumlahnya itu dengan tenang, sekarang dari lima orang berarti tinggal satu orang, inilah suatu kesempatan yang sangat baik sekali baginya." Ang Nio-cu menghela papas panjang, gumamnya: "Yaa, kesempatan semacam itu memang terlampau baik."

"Dia sudah menunggu sangat lama, dengan susah payah baru dijumpainya kesempatan seperti ini, tentu saja dia tak akan melepaskannya begitu saja."

"Seandainya berganti dengan kau, sama juga kesempatan baik itupun tak akan kau lepaskan."

"Yaa, apalagi dulu dia telah melimpahkan semua tanggung jawab tersebut di atas tubuhku, sekarang setelah menemukan diriku kembali, cepat atau lambat rahasianya itu tentu akan terbongkar juga, sekalipun dia tak ingin membunuh orang lain, orang lain juga pasti akan membunuhnya."

"Sebenarnya aku memang tak ingin menyaksikan mereka berhasil menemukan dirimu, tapi...." Dia tertawa, suara tertawanya kedengaran amat memedihkan hati, kemudian melanjutkan: "Tapi dalam hati kecilku, akupun berharap sekali bahwa mereka bisa menemukan kau, agar akupun bisa melihat selama beberapa tahun ini, kau telah berubah menjadi seperti apa? Baikkah

penghidupanmu selama ini?" Akhirnya Kwik Tay-lok tidak tahan juga, mendadak ia menimbrung: "Penghidupannya selama ini sangat bagus, sekalipun agak miskin, namun penghidupannya masih tetap riang gembira." Pelan-pelan Ang Nio-cu mengangguk, gumamnya: "Kalian semua memang sahabat karibnya, kalian memang sahabat-sahabat yang lebih sejati kalau dibandingkan dengan sahabat-sahabatnya dulu." Setelah termenung sampai lama sekali, dia baru melanjutkan: "Kalau hitung pulang pergi, tampaknya sejak tadi kau sudah menghitung bahwa pada akhirnya pasti tinggal satu orang saja, juga telah menghitung dengan tepat kalau dia sudah pasti orang yang telah mengambil harta kekayaan tersebut."

"Tentu saja, sebab perhitungan semacam ini pada hakekatnya sama sederhananya dengan hitungan satu tambah satu sama dengan dua."

"Apakah kau sudah memperhitungkan sampai di situ ketika akan datang memenuhi janji?"

"Kalau tidak begitu, mana mungkin kami melepaskannya pergi dengan perasaan lega?" sela Kwik Tay-lok. Ang Nio-cu menghela napas panjang. "Aaaai.... seharusnya akupun bisa berpikir sampai ke situ! Seharusnya aku bisa melihat kalau kalian bukanlah semacam teman yang diam-diam ngeloyor pergi ketika melihat sahabatnya terancam bahaya."

"Mereka memang bukan!" Ong Tiong mengangguk. "Tapi ada beberapa hal yang tidak kupahami."

"Kau boleh bertanya!"

"Kau masuk perangkap dan tertawan, apakah tindakan inipun merupakan suatu kesengajaan?"

"Aku cuma tahu kalau di tempat itu tak mungkin akan muncul sebuah kuburan secara tiba-tiba."

"Jadi kau sengaja membiarkan dirimu tertawan? Apakah kau tidak kuatir bila kami bunuh dirimu pada saat itu juga?"

"Takutnya sih tetap rada takut."

"Tapi, mengapa kau tetap melakukannya?"

"Sebab telah kuduga, kalian tak nanti akan membunuhku dengan begitu saja, kalian sudah pasti mempunyai tujuan lain."

"Sudah dapat kau tebak apakah tujuannya?"

"Sekalipun belum begitu pasti, tapi aku tahu asal kalian punya tujuan maka aku tak akan dibunuh pada detik itu juga."

"Karena itu pula kau menyuruh mereka menantimu di sini?"

"Benar!"

"Kau mempunyai keyakinan untuk memancing kami datang kemari?"

"Hanya ada sedikit, tidak terlampau banyak."

"Tapi kau tetap melakukannya juga?"

"Bila seseorang hanya mau melakukan pekerjaan yang meyakinkan saja, maka tak sepotong pekerjaanpun yang berhasil dia lakukan."

"Sebab di dunia ini memang tiada pekerjaan yang meyakinkan."

"Kau menyuruh mereka menyembunyikan diri di sini, apakah tidak kuatir kalau belum apa-apa jejak mereka sudah kami ketahui?"

"Kesempatan semacam itu tipis sekali."

"Kenapa?"

"Hal ini harus dibagikan dalam beberapa macam keadaan."

"Katakan!"

"Keadaan yang pertama adalah tiga orang berada bersama ditempat ini...."

"Ehmm . . . . . . !"

"Waktu itu dari tiga orang tersebut, paling tidak ada dua orang diantaranya yang mengira harta karun itu kusembunyikan dikolong meja, tentu saja mereka tak akan membiarkan orang lain turun tangan mendahuluinya. Sekalipun ada orang hendak menengoknya, sudah pasti ada orang yang lainnya mencegah perbuatannya itu. Maka dalam keadaan seperti ini, mereka sudah pasti akan sangat aman."

"Bagaimana pula keadaan ke dua?"

"Waktu itu sudah tinggal dua orang, misalnya saja kau dan Cui lotoa."

"Tak usah dimisalkan lagi, kenyataan memang tinggal kami berdua."

"Waktu itu, sudah pasti kau tak akan membiarkan Cui lotoa hidup terus. Sekalipun dia ingin pergi memeriksanya, kau pasti akan turun tangan lebih dahulu, maka dalam keadaan beginipun mereka juga aman dan tidak terancam."

"Kemungkinan ketiga sudah tentu ketika tinggal aku seorang bukan?"

"Benar!"

"Jalan darahmu yang tertotok itu masih tertotok bukan?"

"Betul!"

"Seandainya kutemukan kalau mereka bersembunyi di situ, bukankah akupun masih sanggup untuk menyumbat mati mereka didalam sana?"

"Tapi kau toh sudah tahu kalau harta karun itu tidak disembunyikan di situ, mana mungkin tempat tersebut akan kau periksa? Pada hakekatnya kau menaruh perhatian saja tidak, maka dalam keadaan begini, merekapun sangat aman."

"Benarkah segala sesuatunya telah kau perhitungkan dengan begitu cermat dan tepat?"

"Tidak!" Setelah tertawa, lanjutnya: "Manusia punya kemauan Thian punya kuasa, siapa pun tak akan dapat memperhitungkan

segala sesuatunya tanpa meleset barang sedikitpun jua...."

"Tapi kau toh tetap menyerempet bahaya itu ?"

"Ya, sebab itulah satu-satunya jalan yang kumiliki, satu-satunya serangan terakhir yang bisa kulakukan." Ang Nio-cu menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir: "Nyali kalian benar-benar terlampau besar"

"Nyali kami tidak terlalu besar, rencana kami juga tidak seteliti dan secermat kalian, bahkan tenaga yang kami milikipun sangat lemah."

"Kalau dibandingkan dengan kalian, dalam pertarungan ini seharusnya kami berada dipihak yang kalah."

"Tapi dalam kenyataannya kalian menang".

"Hal ini disebabkan karena kami memiliki semacam benda yang tidak kalian miliki."

"Kalian punya apa?"

"Hubungan persahabatan yang sejati!"

"Walaupun wujudnya tak bisa dilihat, tak bisa diraba, tapi kekuatan besar yang dimilikinya tak akan pernah kalian bayangkan selamanya...." Ang Nio-cu sedang mendengarkan. Dia tak bisa tidak harus mendengarkan, sebab ucapan semacam itu belum pernah dia dengar sebelumnya. "Kami beradu jiwa, berani menyerempet bahaya, karena kami tahu bahwa diri sendiri bukanlah berdiri seorang diri." Sorot matanya dialihkan ke wajah Yan Jit dan Kwik Tay-lok, kemudian melanjutkan: "Bila seseorang walau berada dalam keadaan seperti apapun, bila dia tahu kalau disampingnya berdiri sahabat yang sejati, yang bersedia hidup bersama, mati bersama dengan dirinya, maka dengan segera dia akan berubah menjadi lebih berani dan lebih percaya pada diri sendiri." Ang Nio-cu menundukkan kepalanya, dia seakan-akan berubah menjadi jauh lebih tua. "Sebenarnya akupun menginginkan kepergian mereka" kata Ong Tiong kembali, "tapi mereka cuma mengucapkan sepatah kata, maka akupun mengurungkan niatku itu!"

"Apa yang mereka katakan?" tak tahan Ang Nio-cu segera bertanya. "Mereka hanya memberitahukan kepadaku: bila kami ingin hidup, kami harus hidup bersama dengan riang gembira, bila ingin mati, maka kami harus mati bersama dengan riang gembira,

entah mati entah hidup, sesungguhnya bukan sesuatu yang luar biasa!" Ucapan semacam itupun belum pernah di dengar oleh Ang Nio-cu. Hampir saja dia tak mau mempercayainya. Tapi sekarang mau tak mau dia harus mempercayainya juga. Dia telah menjumpai tiga orang yang berada di hadapannya.... Seorang manusia yang penuh luka di tubuhnya, sampai untuk berdiripun sudah payah. Seorang manusia yang kurus kecil dan lemah yang kelaparan juga keletihan. Sekalipun Ong Tiong sendiripun sama saja. Kalau dibilang cuma mengandalkan ketiga orang itu saja, maka si ular bergaris merah, Cui-mia-hu dan Ang Nio-cu bisa dibikin mati, peristiwa tersebut pada hakekatnya tak bisa di terima dengan akal sehat. Tapi kejadian yang tak bisa diterima dengan akal sehat itu justru telah berubah menjadi suatu kenyataan sekarang. Apa yang sebenarnya mereka andalkan? Ang Nio-cu mendadak dia merasakan darah di dalam dadanya mendidih, hampir saja air matanya jatuh bercucuran.

Entah sudah berapa lama dia tak pernah melelehkan air mata, hampir saja lupa bagaimanakah rasanya melelehkan air mata. Yan Jit mengawasi terus wajahnya tanpa berkedip, lambat laun sorot matanya menunjukkan perasaan simpatik, tiba-tiba dia bertanya: "Apakah kau belum pernah punya teman?" Ang Nio-cu menggeleng."Sudah pasti bukan karena sahabat tidak menghendaki dirimu, adalah kau sendiri yang tidak menghendaki teman." Yan Jit menambahkan. "Tapi aku...."

"Jika kau menginginkan orang lain bersungguh hati kepadamu, hanya ada satu hal yang bisa kau gantikan kepadanya."

"Meng.... menggantikannya dengan apa?"

"Dengan ketulusan hati serta kesungguhan hatimu sendiri." Kwik Tay lok tidak tahan segera menimbrung pula: "Diantara kalian bertiga, asal ada sedikit saja ketulusan serta kesungguhan hati, maka hari ini kalian masih bisa hidup senang dengan riang gembira." Sesat tak akan menangkan kelurusan. Keadilan pasti dapat merontokkan kekerasan. Kekuatan yang terjalin karena persahabatan dan kesetiaan, sudah pasti dapat menangkan pula kekuatan buas yang terhimpun karena persekongkolan dan kedengkian. Keadilan dan persahabatan sudah pasti akan selalu tertanam didalam hati manusia, tinggal

manusia itu sendiri, dapatkah dia menggali serta memanfaatkannya. Kesemuanya itu bukan suatu perlambang atau suatu ibarat, semuanya bukan. Jika kalian sudah mendengarkan kisah dari Kwik Tay-lok dan Ong Tiong, segera akan kalian ketahui bahwa kata-kata bukan suatu ibarat atau perlambang saja. Sekalipun kalian tidak mendengarkan juga tak menjadi soal. Sebab di dunia yang luas ini setiap saat di setiap tempat akan dijumpai manusia-manusia seperti Kwik Tay-lok dan Ong Tiong.   Asal kau bersedia untuk mencarinya dengan hati yang tulus serta kemauan yang jujur, maka sudah pasti kau akan temukan juga teman semacam mereka itu. Musim semi telah tiba, fajarpun belum lama menyingsing. Lim Tay-peng berbaring di bawah jendela, jendela itu terbuka lebar, ketika ada angin berhembus lewat maka lama-lama terendus bau harum semerbak yang dibawa datang dari kejauhan sana. Di tengah memegang sejilid buku, tapi matanya sedang mengamati daun-daun hijau yang mulai bersemi kembali di atas dahan pohon. Sudah cukup lama dia berbaring di situ. Luka yang dia derita tidak separah Kwik Tay-lok, racun yang mengeram di tubuhnya juga tidak sedalam Kwik Tay-lok. Tapi Kwik Tay-lok sudah dapat membeli arak di kota, sedang dia masih harus berbaring di atas ranjang. Karena obat penawar datangnya terlalu lambat... Racun sudah menyerang sampai di dalam isi perutnya, merusak kondisi badannya. "Yaa, memang begitulah penghidupan manusia, adakalanya beruntung ada kalanya pula tidak beruntung. Tapi dia tidak menggerutu. Dia telah memahami apa arti dari keberuntungan serta ketidak beruntungan tersebut. Walaupun dia sedang sakit namun justru karena itu dia dapat merasakan pula suasana yang santai dan sepi dari sakitnya itu. Apalagi masih ada perawatan dan perhatian dari teman-temannya..... Ia menghela napas dan memejamkan mata. Pintu pelan-pelan dibuka orang, seseorang muncul dengan langkah yang amat pelan. Dia adalah seorang perempuan yang berpakaian sederhana, tidak berbedak atau bergincu dan kelihatan bersih sekali. Di tangannya ia membawa sebuah baki, di atas baki tampak semangkuk bubur serta dua macam sayur. Tampaknya Lim Tay-peng sudah tertidur, la pelan-pelan masuk ke dalam, meletakkan baki itu dengan berhati-hati di meja, seperti kuatir kalau membangunkan Lim Tay-peng, kemudian pelan-pelan pula mengundurkan diri dari situ. Tapi setelah berpikir sebentar, dia masuk kembali dan mengangkat baki itu kembali, karena dia takut bubur yang dingin tak baik untuk orang yang sedang sakit. Siapakah perempuan itu? Cara kerjanya sungguh amat teliti dan sangat berhati-hati. Lapisan salju mencair, sinar matahari yang menyoroti seantero jagad terasa makin hangat dan kering... Di tengah halaman depan tampak tiga lembar kursi rotan dan seperangkat alat bermain catur. Ong Tiong dan Yan Jit sedang bermain. Kwik Tay-lok duduk disampingnya sambil menonton, sebentar-sebentar ia nampak beranjak sambil berjalan bolak-balik tanpa tujuan, sebentar pula melongok keluar dinding pagar dan mengawasi pegunungan nun jauh di depan sana. Pokoknya dia tak pernah bisa duduk tenang. Bila menginginkan dia duduk tenang di situ, sambil bermain catur, kecuali kalau kakinya dipenggal sampai kutung, bila suruh dia duduk dengan tenang menyaksikan orang lain bermain catur, maka hakekatnya seperti menggorok lehernya. Sekarang biji catur Ong Tiong yang berwarna putih itu menyumbat mati jalan keluar biji catur hitam, Yan Jit sambil menimang-nimang biji caturnya sedang merasa pusing kepala, dia tak tahu bagaimana harus bertindak untuk menolong permainannya. Ketika dilihatnya Kwik Tay-lok hanya berjalan hilir mudik tiada hentinya, dengan mata melotot Yan Jit segera menegur: "Hei, dapatkah kau duduk sebentar dengan tenang?"

"Tidak dapat!"

"Kau ribut melulu di tempat ini, bikin pikiran orang merasa kacau saja, bagaimana mungkin aku bisa bermain catur dengan tenang?" keluh Yan Jit dengan gemas. "Sepotong katapun tidak kuucapkan, kapan sih aku bikin ribut?"

"Memangnya caramu sekarang bukan lagi bikin ribut?"

"Sekalipun cara ini bikin ribut, mengapa Ong lotoa tidak menegur diriku?"

"Karena aku yang hampir menangkan permainan catur ini." ucap Ong Tiong hambar. "Sekarang permainan belum selesai, siapa menang siapa kalah masih belum pasti." seru Yan Jit. "Sudah pasti!" Kwik Tay-lok menimbrung. Kontan saja Yan Jit melotot.

"Aaaah, kau ini tahu apa?" Kwik Tay-lok tertawa. "Sekalipun aku tidak mengerti soal bermain catur, tapi aku cukup mengerti orang yang kalah bermain selalu mempunyai penyakit yang kelewat banyak."

"Penyakit siapa yang banyak?"

"Kau! Maka orang yang bakal kalah bermain catur nanti juga kau...."

"Tepat sekali!" sahut Ong Tong sambil tertawa. Senyuman yang baru saja menghiasi ujung bibirnya itu mendadak berubah menjadi kaku. Seorang perempuan sedang berjalan menelusuri sebuah jalan kecil yang berlapiskan batu, ditangannya membawa sebuah baki yang berisikan tiga mangkuk teh panas. Ong Tiong segera melengos ke arah lain dan tak sudi memperhatikan dirinya. Mangkuk teh pertama disodorkan perempuan berbaju hijau itu kepadanya, dengan lembut dia berkata: "Inilah air teh Hiang-pian yang paling kau sukai baru saja dibikin...." Ong Tiong berlagak tidak mendengar. "Bila kau ingin minum air teh Liong-cing akan kugantikan sepoci untukmu" ucap perempuan berbaju hijau itu lagi. Ong Tiong masih juga tidak menggubris.

Maka perempuan berbaju hijau itupun meletakkan cawan teh tadi di hadapannya kemudian bertanya lagi: "Tengah hari nanti kau ingin makan apa?" Tiba-tiba Ong Tong bangkit berdiri lalu berjalan menjauhi dirinya.... Memperhatikan bayangan punggungnya yang menjauh, perempuan berbaju hijau itu termangu-mangu, dia seperti merasa amat murung dan sedih sekali. Kwik Tay-lok tidak tega, dia lantas berseru: "Bikin pangsit paling enak, cuma terlalu repot!" Saat itulah si perempuan berbaju hijau itu baru berpaling dan ketawa paksa. "Aaah..... tidak repot, tidak repot, sedikitpun tidak repot." Setelah meletakkan mangkuk air teh, pelan-pelan dia membalikkan badan dan pelan-pelan beranjak pergi, baru dua langkah dia sudah tak tahan untuk berpaling dan memperhatikan lagi diri Ong Tiong. Ong Tiong tetap berdiri di tempat kejauhan, seakan-akan dia tidak merasakan kehadiran perempuan itu. Perempuan berbaju hijau itu menundukkan kepalanya dan pergi, meski dia merasa amat sedih, namun sama sekali tidak menunjukkan wajah menggerutu. Bagaimanapun sikap Ong Tiong terhadap dirinya, dia tetap halus, lembut dan pasrah. Apa pula yang sebenarnya sedang dia rencanakan. Kwik Tay-lok memperhatikan bayangan punggungnya sampai lenyap dibalik rumah, kemudian ia baru menghela napas panjang seraya bergumam: "Cepat benar perubahan dari orang ini!"

"Ehmm!" Yan Jit mendesis.

"Orang lain bilang, alam dunia bisa dirubah, watak manusia sukar dirubah, aku lihat ucapan tersebut kurang begitu cocok. Bukankah orang itu sama sekali telah terjadi perubahan besar?"

"Karena dia adalah seorang perempuan!"

"Perempuan juga orang, bukankah perkataan tersebut seringkali kau katakan?" Yan Jit menghela napas panjang. "Bagaimana juga, perempuan selamanya berbeda dengan kaum lelaki...." katanya. "Oooooh.....?"

"Demi seorang lelaki yang disukainya, seorang perempuan bisa merubah sama sekali dirinya. Sedangkan lelaki bila mencintai seorang perempuan, sekalipun bisa terjadi perubahan, perubahan tersebut paling-paling hanya terjadi diluarannya saja."

Kwik Tay-lok berpikir sebenar, lalu ujarnya: "Ucapan itu kedengarannya sedikit masuk diakal."

"Tentu saja masuk akal.... apa yang kukatakan memang selalu masuk di akal." Kwik Tay-lok segera tertawa. Yan Jit segera melotot besar, serunya: "Apakah yang kau tertawakan? Kau tidak mengaku?"

"Aku mengaku, apapun yang kau katakan, aku tak pernah mengatakan tidak setuju." Inilah yang dinamakan benda yang satu lebih tinggi daripada benda yang lain, tahu hanya pantas mendampingi sayur. Kwik Tay-lok, lelaki yang tidak takut langit tidak takut bumi, tapi begitu melihat Yan Jit, dia benar-benar kehabisan akal. Saat itulah Ong Tiong telah berjalan balik dan duduk. Mukanya masih hijau membesi. Kwik Tay-lok segera berseru: "Orang lain toh bermaksud baik untuk memberi air teh untukmu, dapatkah kau bersikap lebih baik sedikit kepadanya?"

"Tidak dapat!"

"Apakah kau benar-benar marah setiap kali bertemu dengannya?"

"Hmm!"

"Kenapa?"

"Hmm!"

"Sekalipun dulu Ang Nio-cu tidak baik, tapi sekarang dia sudah bukan merupakan Ang Nio-cu lagi, apakah tidak kau lihat bahwa dia sama sekali telah berubah?"

"Benar!" sambung Yan Jit, "sekarang orang yang bertemu dengannya, siapa pula yang bisa menduga dia adalah Ang Nio-cu yang suka menolong orang dalam kesusahan?" Yaa, memang tak akan ada yang menyangka. Dia begitu berhati-hati, begitu cermat, lembut dan penuh kasih sayang, siapa yang akan menyangka kalau perempuan baju hijau yang begitu sederhana tersebut tak lain adalah Ang Nio-cu? "Bila ada yang bisa menduganya, aku rela merangkak satu lingkaran di atas tanah." seru Kwik

Tay-lok. "Aku juga bersedia merangkak!" Yan Jit menambahkan. Ong Tiong masih menarik muka dan berwajah kecut, ujarnya dingin: "Bila kalian ingin merangkak di tanah, urusan tersebut adalah urusan pribadimu sendiri, aku tak mau tahu."

"Tapi kau..." seru Yan Jit. "Hai, kau sudah mengaku kalah belum dalam permainan catur ini?" tukas Ong Tiong. "Tentu saja tidak mengaku!"

"Baik, kalau begitu tak usah banyak berbicara lagi, hayo cepat lanjutkan." Kwik Tay-lok menghela napas panjang, gumamnya:

"Kulihat orang ini berpenyakit lebih besar daripada Yan Jit, kalau dia tidak kalah dalam permainan catur itu, urusan baru dibilang aneh sekali." Ternyata dalam permainan tersebut memang Ong Tiong yang menderita kekalahan. Sebenarnya dia sudah menutup buntu semua jalan lewat biji catur Yan Jit, tapi entah mengapa, ternyata dia telah dikalahkan secara tragis.

Menyaksikan catur di hadapannya, Ong Tiong tertegun untuk beberapa saat lamanya, tiba-tiba dia berseru: "Mari kita bermain satu babak lagi!"

"Aaah..... tidak!"

"Kau harus main, aku tidak puas kenapa aku kalah dalam permainan babak ini?"

"Sekalian bermain sepuluh kali lagi, kau tetap yang kalah."

"Siapa yang bilang?"

"Aku yang bilang." sahut Kwik Tay-lok cepat, "karena bukan saja kau punya penyakit, bahkan penyakit itu tidak kecil." Ong Tiong segera beranjak dan siap pergi. Kwik Tay-lok segera menarik tangannya sambil berteriak: "Setiap kali kami menyinggung soal ini, mengapa kau selalu berusaha untuk melarikan diri?"

"Kenapa aku harus kabur?"

"Itu harap ditanyakan kepadamu sendiri"

"Benar!" sambung Yan Jit, "bila seseorang tak pernah melakukan kesalahan, entah apapun yang diucapkan orang lain, dia tak perlu untuk melarikan diri!" Ong Tiong melotot sekejap ke arahnya, tiba-tiba ia menjatuhkan diri keras-keras, serunya:

"Baik, kalian kalau ingin berbicara, mari kita bicarakan sejelas-jelasnya, lihat saja nanti perbuatan salah apakah yang telah kulakukan..."

"Aku ingin bertanya lebih dulu kepadamu, siapa yang menahan dia di sini...?"

"Aku tidak perduli siapakah orang itu, pokoknya bukan aku."

"Tentu saja bukan kau, juga bukan aku, bukan juga Yan Jit." Tiada orang yang menahan Ang Nio-cu, adalah dia sendiri yang rela untuk tinggal di situ. Sebenarnya dia bisa saja pergi meninggalkan tempat itu. Seandainya berganti dengan orang lain, berada dalam keadaan seperti ini mungkin dia akan memaksanya untuk mengatakan dimana harta karun itu disimpan, kemudian besar kemungkinannya dia akan dibunuh. Tapi Kwik Tay-lok sekalian bukan manusia semacam itu. Mereka tak sudi membunuh seseorang yang sudah tidak memiliki kemampuan untuk memberikan perlawanan, mereka lebih-lebih tak ingin membunuh seorang perempuan. Terutama sekali membunuh seorang perempuan yang bukan saja tidak memiliki kemampuan untuk melawan, diapun sudah menyesali perbuatan-perbuatannya dimasa lalu. Setiap orang dapat melihat bahwa Ang Nio cu sudah tersentuh hatinya, tersentuh oleh perasaan persahabatan mereka yang tulus dan bersungguh-sungguh. Diapun mengerti peristiwa paling tragis dan paling menyiksa yang ada di dunia ini bukan tak punya uang, melainkan tak punya teman. Mendadak dia merasakan bahwa apa yang telah dilakukannya selama ini tak lebih hanya mendatangkan kesepian dan kesendirian yang tiada taranya....

Karena sekarang, dia sudah merupakan seorang perempuan yang telah berusia tiga puluh tahunan. Ia sudah dapat meresapi betapa tersiksa dan menakutkannya hidup seorang diri dan hidup kesepian. Diapun mengerti segenap harta kekayaan yang ada di dunia ini, tak nanti bisa memenuhi kekosongan pikiran dan perasaan dari seseorang. Teori semacam itu mungkin tak bisa dipahami oleh seorang gadis yang baru berusia delapan-sembilan belas tahunan, tapi cukup jelas bagi seorang perempuan macam dia. Itulah sebabnya Ang Nio-cu tidak pergi. "Kau pernah bilang, penghasilan yang berhasil kalian peroleh selama banyak tahun itu tak sedikit jumlahnya." demikian Kwik Tay-lok berkata. "Ehmmm!" Ong Tiong mendehem. "Kalian juga pernah bilang, barang siapa memiliki kekayaan sebanyak itu, maka dia dapat merasakan suatu kehidupan yang mewah dan menyenangkan bagaikan penghidupan dalam istana kaisar."

"Hmmm....."

"Tapi dia lebih suka meninggalkan penghidupan yang serba mewah bagaikan kehidupan seorang kaisar, untuk tetap tinggal di sini melayani dirimu. Gilakah dia?"

"Tentu saja dia belum gila, apalagi sekalipun gila, juga tak bisa melakukan perbuatan semacam ini." sambung Yan Jit.

"Oleh sebab itu sekalipun seorang yang bodoh juga seharusnya memahami maksud hatinya, seharusnya bersikap lebih baik kepadanya." Ang Nio-cu bukannya tak pernah pergi dari rumah itu. Dia pernah pergi selama lima-enam hari lamanya. Ketika balik kembali ke sana, dia hanya membawa sebuah bungkusan kecil. Didalam bungkusan tersebut hanya ada beberapa stel pakaian berwarna hijau dan beberapa macam benda lainnya. Itulah satu-satunya harta kekayaan yang masih tersisa. Bagaimana dengan lainnya? Ternyata harta karun yang berhasil diperolehnya dengan pertaruhan nyawa itu telah didermakan untuk menolong para rakyat di sepanjang tepi sungai Huang-ho yang sedang tertimpa bencana alam. Tindakan yang diambilnya itu benar-benar di luar dugaan dan sukar dipercaya oleh siapapun... Paras muka Ong Tiong masih berwarna membesi. Kembali Kwik Tay-lok berkata: "Apakah sekarang kau masih belum mau mempercayai dirinya?"

"Bahkan secara khusus kami telah pergi menceritakan kabar tentang dirinya, apakah kau mengira kami sedang membantunya untuk, membohongi dirimu!" seru Yan Jit pula. "Apakah sekarang kau belum melihat apa sebabnya dia sampai berbuat kesemuanya itu?"

"Yaa, tentu saja dia sedang menebus dosa, Tapi yang paling penting lagi adalah karena dia ingin membuatmu terharu, agar kau mau berpaling kembali kepadanya"

"Seandainya ada orang bersikap demikian kepadaku, bagaimanapun besarnya kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu, aku pasti akan memaafkan dirinya." Ong Tiong hanya membungkam, selama ini dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Lewat lama kemudian, dia baru mendongakkan kepalanya seraya mendesis: "Sudah selesaikah pembicaraan kalian?"

"Semua yang harus diucapkan telah selesai kami katakan!" Kwik Tay-lok mengangguk. "Bahkan perkataan yang tidak seharusnya kami katakanpun sudah kami katakan, sekarang tergantung pada dirimu sendiri, apa yang hendak kau lakukan."

"Kalian menyuruh aku berbuat apa? Berlutut dan memohon kepadanya agar mau kawin dengan diriku.?"

"Itu mah tak perlu, cuma saja.... cuma saja...."

"Cuma saja sikapmu kepadanya tolong sedikitlah lebih baikan." lanjut Yan Jit. Ong Tiong memandang sekejap ke arah Kwik Tay-lok, kemudian memandang pula kearah Yan Jit, tiba-tiba dia menghela napas panjang sembari bergumam: "Kalian sangat baik, sangat baik..." Belum selesai ucapan tersebut diutarakan, dia sudah bangkit berdiri dan berjalan pergi. Kali ini dia pergi dengan sangat lambat, tapi Kwik Tay-lok malahan tidak mencegahnya, sebab Ong Tiong jarang sekali menghela napas panjang....

Jilid 20

SANG SURYA lambat laun makin meninggi dan meninggalkan bayangan tubuh yang memanjang di atas tanah. Punggungnya tampak sedikit membungkuk, seolah-olah di atas pundaknya telah diberi beban yang berat sekali. Kwik Tay-lok serta Yan Jit belum pernah menyaksikan keadaannya semacam itu, mendadak merekapun merasakan hati sendiri turut menjadi berat dan gundah.  Entah berapa lama sudah lewat, mendadak mereka mendengar suara langkah kaki yang sangat ringan berkumandang datang ketika mendongakkan kepala, tampak Ang Nio-cu sudah berdiri tepat di hadapan mereka. Sambil tertawa paksa Kwik Tay-lok segera berkata: "Duduk, duduk, silahkan duduk!" Ang Nio-cu segera duduk, diangkatnya cawan teh yang diberikan kepada Ong Tiong tadi dan meneguknya setegukan, kemudian pelan-pelan meletakkannya kembali ke meja, setelah itu, ujarnya: "Apa yang barusan kalian bicarakan, telah kudengar semua dengan sejelas-jelasnya."

"Oooh......" Kecuali berkata "Oooh" Kwik Tay-lok tak tahu apa yang harus dibicarakan lagi.... Dengan suara pelan kembali Ang Nio cu. "Aku merasa berterima kasih sekali atas kebaikan kalian terhadap diriku, akan tetapi...." Kwik Tay lok dan Yan Jit sedang menunggu dia berkata lebih lanjut: Lewat lama sekali, Ang Nio-cu baru melanjutkan: "Tapi hubunganku dengannya, tak nanti akan kalian pahami." Baik Kwik Tay-lok maupun Yan Jit, kedua-duanya tidak menunjukkan pendapat apa-apa. Tentu saja mereka tak bisa mengatakan kalau dirinya mengetahui jelas urusan orang lain, siapapun tak akan berkata demikian. Ang Nio-cu menundukkan kepalanya, kemudian meneruskan: "Dulu, sebenarnya.... sebenarnya kami sangat baik sekali, yaa sangat baik sekali..." Suaranya kedengaran agak sesenggukan, setelah menghembuskan napas panjang, lanjutnya: "Kali ini aku tetap tinggal di sini, seperti juga apa yang kalian katakan, aku berharap dia bisa berubah pikiran dan melangsungkan penghidupan seperti dulu lagi."

"Benarkah kau sangat merindukan kembalinya penghidupan seperti sedia kala?" tak tahan Kwik Tay lok bertanya. Ang Nio cu mengangguk, jawabnya dengan sedih: "Tapi sekarang aku baru tahu, kejadian yang sudah lewat telah lewat, seperti masa remaja seseorang, setelah pergi dia tak akan kembali lagi untuk selamanya." Berbicara sampai di situ, tak tahan air matanya seperti hendak meleleh keluar. Tiba-tiba Kwik Tay-lokpun merasakan hatinya menjadi kecut bercampur sedih, dia seperti hendak berbicara tak tahu apa yang musti diucapkan. Ditatapnya wajah Yan Jit, ia saksikan mata Yan Jit pun sudah berubah menjadi merah. Dulu, walaupun Ang Nio-cu pernah mencelakai mereka, menyergap mereka, tapi sekarang mereka telah melupakannya, mereka hanya tahu bahwa Ang Nio-cu adalah seorang perempuan bernasib malang yang selalu ingin berjalan kembali ke jalan yang benar. Dalam hati mereka hanya ada perasaan simpatik, tiada perasaan dendam ataupun sakit hati. Tiada orang lain yang begitu gampang melupakan dendam sakit hati orang lain seperti Kwik Tay-lok sekalian. Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Ang Nio-cu berhasil juga menahan lelehan air matanya, dengan suara pelan dia berkata: "Tapi seandainya kalian menganggap dia berhati keras seperti baja, maka anggapan kalian itu keliru besar. Semakin kasar dia bersikap begitu kepadaku, hal ini berarti pula dia tak bisa melupakan perasaan kita dimasa lalu." Tiba-tiba Yan Jit mengangguk. "Aku mengerti!" katanya. Dia benar-benar mengerti. Hubungan antara manusia dengan manusia kadangkala memang

begitu sensitip. Semakin mendalam umat manusia saling mencelakai, kadang kala cinta kasih yang tertanam dihati mereka justru makin mendalam. Dengan suara lembut Ang Nio-cu berkata lebih lanjut: "Bila dia bersikap baik, bersikap sungkan kepadaku justru hatiku malah merasa sedih sekali."

"Aku mengerti !" kata Yan Jit dengan lembut. "Justru karena dahulu ia terlalu baik kepadaku, terlalu bersungguh hati, maka dia baru merasa amat sakit hati karena menganggap aku sudah membuatnya sangat menderita, itulah sebabnya dia merasa begitu mendendamnya kepadaku."

"Mana mungkin dia bisa membencimu?" Ang Nio-cu tertawa sedih, ujarnya: "Semakin besar bencinya kepadaku, aku malahan semakin gembira, sebab andaikata dulu ia tidak sungguh-sungguh baik kepadaku?" Akhirnya Kwik Tay-lok manggut-manggut.

"Aku mengerti" katanya. "Seperti misalnya kau mengorek muka seseorang dengan pisau, semakin dalam kau menggoresnya muka codet yang membekas di atas wajah pasti semakin dalam pula bahkan mungkin tak akan pulih kembali seperti sedia kala."

Setelah berhenti sebentar dengan sedih dia melanjutkan: "Bekas pisau yang berada dihati seseorang pun sama saja, oleh karena itu aku tahu bahwa hubungan kami selamanya tak bisa pulih kembali seperti sedia kala, semakin secara dipaksakan

kami dapat berkumpul kembali, dalam hati masing-masing pasti terdapat selapis penyekat yang memisahkan kami berdua."

"Tapi.... paling tidak kalian toh masih bisa menjadi teman."

"Teman...?" Suara tertawanya makin mengenaskan, lanjutnya: "Siapapun itu orangnya, asal terdiri dari dua orang maka mereka kemungkinan besar dapat berteman, tapi bila dulunya mereka pernah saling mencinta, maka jangan harap mereka dapat

menjadi teman lagi. Bukankah begitu?" Terpaksa Kwik Tay-lok hanya mengakuinya. Mendadak Ang Nio-cu bangkit berdiri, lalu katanya lagi: "Tapi bagaimanapun juga, kalian adalah teman-temanku, selama hidup aku tak akan melupakan kalian."  Sekarang Kwik Tay-lok baru melihat kalau di tangannya menenteng sebuah bungkusan kecil, dengan wajah berubah serunya: "Kau hendak pergi?"

"Bila kupaksakan diri untuk tinggal di sini, bukan saja dia akan merasa sedih sekali, akupun akan sangat menderita, maka setelah kupikirkan kembali, maka kuputuskan lebih baik pergi saja."

"Tapi, apakah kau.... kau sudah mempunyai rencana pergi ke mana?"

"Aku belum mempunyai rencana." Tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara, dengan cepatnya dia menyambung lebih lanjut: "Tapi kau tak usah kuatir, bagi orang semacam diriku ini masih banyak tempat yang bisa kukunjungi, oleh sebab itu demi aku, juga demi dia, lebih baik jangan menghalangi kepergianku." Kwik Tay-lok memandang ke arah Yan Jit. Sedang Yan Jit sedang berdiri termangu-mangu... Ang Nio-cu memandang sekejap ke arah mereka, sinar matanya penuh memancarkan rasa kagum, ujarnya dengan lembut: "Seandainya kalian benar-benar menganggap diriku sebagai teman, kuharap kalian bersedia untuk mengingat-ingat perkataan ini."

"Katakanlah!" Ang Nio-cu memandang ke tempat kejauhan, kemudian pelan-pelan berkata: "Yang paling sulit di dunia ini bukan soal nama juga bukan soal harta kekayaan, tapi hubungan perasaan antara manusia dengan manusia. Bila kau berhasil mendapatkannya, maka harus kau sayangi hubungan tersebut dengan sebaik-baiknya, jangan sampai merugikan orang lain, jangan pula merugikan diri sendiri..." Suaranya makin lama semakin rendah, semakin lirih lanjutnya: "Sebab hanya seseorang yang pernah merasakan kehilangan rasa cinta yang akan memahami betapa berharganya rasa cinta tersebut, dia baru bisa memahami kesepian serta penderitaan seseorang yang kehilangan rasa cinta.... Sepasang mata Yan Jit berubah menjadi merah, tiba-tiba dia berkata: "Bagaimana dengan kau? Dulu, apakah kaupun melayaninya dengan cinta kasih yang setia?" Ang Nio-cu termenung sampai lama sekali, kemudian baru ujarnya: "Aku sendiripun tak bisa mengatakannya secara jelas."

"Dan sekarang?"

"Aku hanya tahu, sejak dia meninggalkan aku, setiap saat aku selalu teringat akan dirinya, aku.... sudah mencari banyak orang, tapi tak seorangpun yang bisa menggantikan kedudukannya dalam hatiku." Belum habis perkataan itu diucapkan, mendadak ia menutupi wajahnya dengan tangan sendiri lalu lari meninggalkan tempat itu. Kwik Tay-lok ingin maju ke depan untuk menghalanginya. Tapi Yan Jit segera mencegahnya, dia berkata dengan sedih: "Biarkan saja dia pergi!"

"Biarkan dia pergi dengan begitu saja?"

"Yaa, kalau dibiarkan pergi mungkin keadaan lebih baik, jika tidak pergi mungkin kedua belah pihak malah akan merasa lebih menderita dan tersiksa."

"Aku kuatir dia bisa.... bisa..."

"Jangan kuatir, dia tak akan melakukan sesuatu perbuatan yang mengambil keputusan pendek."

"Darimana kau bisa tahu?"

"Sebab dia sudah tahu sekarang bahwa Ong lotoa menaruh perasaan serius kepadanya, hal ini sudah lebih dari cukup...."

"Sudah lebih dari cukup?"

"Paling tidak sudah cukup buat seorang perempuan untuk melanjutkan hidupnya." Sepasang matanya telah berkaca-kaca, dengan pelan katanya lebih lanjut: "Dalam kehidupan seorang perempuan, asal ada seorang lelaki yang benar-benar mencintainya, maka penghidupannya di dunia ini boleh dianggap sebagai suatu penghidupan yang tidak sia-sia." Kwik Tay-lok menatapnya lekat-lekat, lama, lama kemudian dia baru berkata: "Tampaknya kau cukup banyak memahami perasaan perempuan!" Yan Jit segera melengos ke arah lain dan mengalihkan sorot matanya memandang jauh kedepan sana. Langit biru, sang surya memancarkan cahaya keemas-emasannya ke seluruh permukaan tanah. Di bawah cahaya sang surya yang indah, mendadak tampak serentetan cahaya api berwarna merah tua meluncur ke tengah udara dan memancar ke empat penjuru... Dengan kening berkerut Yan Jit segera bergumam: "Heran, dalam keadaan seperti ini, mengapa ada yang bermain kembang api?" Ketika Yan Jit berpaling, maka terlihatlah Ong Tiong sedang berdiri di bawah wuwungan rumah sambil memperhatikan kembang api itu. Ketika angin berhembus lewat, kembang api yang berwarna merah darah itupun segera menyebar ke empat penjuru. "Pokoknya kalau orang lagi gembira, setiap saat dia bisa melepaskan kembang api, sedikitpun tak ada yang perlu diherankan." ucap Kwik Tay-lok cepat. Yan Jit seperti lagi termenung, kemudian gumamnya pula: "Apakah seperti juga seseorang yang setiap saat setiap waktu dapat menaikkan layang-layang?" Kwik Tay-lok tidak mendengar dengan jelas, baru saja dia bermaksud hendak bertanya apa yang dia katakan.... Mendadak Ong Tiong telah menyerbu ke hadapan mereka sambil berseru: "Dimana dia?"

Yang dimaksudkan "dia" sudah barang tentu Ang Nio cu. "Dia sudah pergi." jawab Kwik Tay-lok. "Karena dia merasa bahwa kau..."

"Kapan perginya?" tukas Ong Tiong. "Barusan...." Baru mendengar kata itu, Ong Tiong sudah melompat ke udara dan sekali berkelebat melewati dinding pekarangan. Melihat itu, Kwik Tay-lok segera tertawa. "Ternyata dia masih begitu baik kepadanya, sesungguh-nya ia tak perlu pergi dari sini." Sambil menggelengkan kepalanya dan tertawa, lanjutnya: "Heran, mengapa perempuan selalu suka banyak curiga?" Paras muka Yan Jit sedikitpun tidak dihiasi senyuman, malah ujarnya dengan suara dalam: "Kau mengira kembang api itu cuma dipasang sebagai mainan?"

"Memangnya bukan?" Yan Jit menghela napas panjang, sahutnya: "Tampaknya kau benar-benar tidak mengerti urusan tentang segala permainan busuk yang ada didalam dunia persilatan."

"Aku memang bukan seorang jago kawakan."

"Seandainya kita hendak menghadapi seseorang, kau berada di sini menunggu dia, sedang aku berada di bawah bukit, jika kau sudah memperoleh berita, dengan cara apakah kau memberi kabar kepadaku?"

"Tidak mungkin!"

"Tidak mungkin? Apa maksudmu?"

"Maksudnya, keadaan semacam ini, tak mungkin bisa terjadi."

"Kenapa?"

"Sebab bila kau berjaga-jaga di bawah bukit, maka aku pasti berada di bawah bukit juga" Dari balik mata Yan Jit segera terpancar keluar sinar mata yang amat lembut, tapi mukanya dengan membesi berseru: "Sekarang kita sedang berbicara serius, dapatkah kau berbicara agak serius sedikit?"

"Dapat!" Setelah berpikir sebentar, dia baru melanjutkan: "Jarak dari atas gunung dengan bawah gunung tidak dekat, sekalipun aku berteriak-teriak, belum tentu kau akan mendengarnya."

"Pintar, pintar, kau memang benar-benar sangat pintar" kata Yan Jit dingin. Kwik Tay-lok tertawa lebar, setelah berpikir sebentar, dia baru berkata: "Aku toh bisa menyuruh orang untuk memberi kabar kepadamu."

"Andaikata tiada orang lain?"

"Aku sendiri yang akan turun gunung." Yan Jit mendelik besar, sambil cemberut serunya: "Aku heran, sebetulnya isi benakmu itu apa? Rumput atau kayu?"

"Kecuali rumput dan kayu, aku masih memiliki akal muslihat yang bisa membangkitkan kemarahanmu" kata Kwik Tay-lok sambil tertawa, "sebab aku selalu merasa, bila kau lagi marah maka tampangmu persis seperti seorang nona cilik yang berusia tujuh-delapan belas tahunan." Ia tidak membiarkan Yan Jit buka suara, kembali ucapnya: "Padahal aku sudah memahami maksudmu, kau menganggap kembang api itupun persis seperti layang-layang, yakni tanda rahasia yang dipakai orang persilatan untuk menyampaikan kabar." Yan Jit masih melotot besar, lewat lama kemudian dia baru menghembuskan napas panjang. "Aaaai suatu ketika, aku benar-benar bakal mati karena mendongkol." Pada saat itulah tiba-tiba meluncur kembali kembang api dari bawah bukit sana. Dengan wajah berubah menjadi amat serius, Kwik Tay-lok berkata: "Menurut pendapatmu, ada jago persilatan yang telah berkunjung kemari?"

"Bahkan bukan cuma satu orang" Yan Jit menambahkan. "Kau menganggap mereka datang untuk menghadapi Ang Nio cu?"

"Aku tidak tahu, tapi Ong lotoa sudah pasti berpendapat demikian, sebab itu dia memburu kesana." Paras muka Kwik Tay-lok agak berubah, katanya kemudian: "Kalau memang begitu, apa pula yang sedang kita tunggu di sini?"

"Aku masih harus merundingkan satu hal denganmu."

"Soal apa ?"

"Kali ini, dapatkah kau berdiam di sini saja, tak usah turut aku, biarkan aku pergi seorang diri...." Belum habis dia berkata, Kwik Tay-lok. sudah menggelengkan kepalanya berulang tali. "Tidak bisa!"

"Bila kita pergi semua, siapa yang akan berada di sini menemani siau-Lim ?" seru Yan Jit dengan kening berkerut. Tentu saja mereka tak dapat meninggalkan Lim Tay-peng seorang diri. Setelah memperoleh pelajaran yang cukup lumayan dimasa lalu, sekarang mereka selalu bertindak sangat berhati-hati, entah dalam menghadapi persoalan apapun. Kwik Tay-lok termenung sejenak, kemudian berkata: "Kali ini, dapatkah kau tinggal di sini, biar aku saja yang pergi?"

"Tidak bisa!" Yan Jit segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Kenapa?" Tiba-tiba suara Yan Jit berubah menjadi lembut sekali, sahutnya: "Lukamu belum sembuh betul, apalagi kaupun orangnya nekad setengah mati, belum sampai lukanya sembuh, diam-diam sudah ngeloyor turun gunung minum arak..."

"Siapa yang bilang aku ngeloyor pergi secara diam-diam. Memangnya sewaktu pulang aku tidak membawa arak....."

"Perduli bagaimanapun juga, pokoknya sekarang kau masih belum boleh bertarung dengan orang lain." kata Yan Jit sambil menarik muka. "Siapa yang bilang?"

"Aku yang bilang tidak puas!." seru Yan Jit. "Aku.... aku...."

"Kalau kau tidak puas, bagaimana kalau berkelahi dulu denganku?" Kwik Tay-lok segera merentangkan tangannya sambil tertawa getir. "Siapa bilang aku tidak puas? Aku puasnya setengah mati." Sambil merentangkan kembali papan catur gumamnya: "Cepatlah pergi, aku akan mencari siau-Lim untuk diajak bermain catur, kebetulan sekali permainan catur kencing anjingnya masih agak seimbang dengan kepandaianku." Yan Jit memperhatikan dia berjalan lewat, sorot matanya kembali berubah menjadi lembut sekali, selembut angin musim semi yang mencairkan lapisan salju. Sekarang adalah musim semi. Musim semi adalah musim yang paling indah untuk muda mudi. Musim semi bukan musimnya orang membunuh orang. Musim semi lebih cocok untuk mendengarkan kicauan burung dan bisikan syahdu, bukan mendengar cerita jeritan ngeri yang memilukan hati. Tapi pada saat itulah mendengar suara jeritan ngeri. Suara jeritan seseorang yang hampir mendekati ajalnya. Di ujung golok selamanya tak pernah ada musim semi. Di tengah genangan darah juga tidak ada. Seseorang tergeletak di tengah genangan darah, napasnya telah berhenti, jeritan ngeri menjelang saat kematiannya juga telah putus. Golok masih digenggamnya erat-erat. Sebilah golok kepala setan yang amat tajam, buas dan berat. Sembilan orang dengan sembilan bilah golok. Sembilan orang manusia, sambil menggenggam goloknya sedang mengerubuti Ang Nio-cu. Sembilan orang manusia baju hitam yang kekar, gesit dan bersinar mata buas... seseorang diantaranya terkapar di atas genangan darah. Ang Nio-cu sedang memperhatikan mereka, wajahnya kembali menunjukkan senyuman genitnya yang khas, jari tangannya yang lentik sedang menuding ke tengah genangan darah, lalu tegurnya sambil tertawa: "Dia adalah saudara ke berapa?" Tujuh orang itu menggertak giginya kencang, hanya seorang lelaki baju hitam yang paling kurus yang menjawab: "Lo-pat!"

"Bagus sekali, orang pertama yang mampus duluan adalah lo-liok, kemudian loji, lo-kiu, lo sip, ditambah lo-pat.... aaaai, tiga belas jago golok besar, kini tinggal delapan orang"

"Betul, tiga belas saudara kami sudah ada lima orang yang tewas di tangan kalian." Dari tenggorokannya segera berkumandang suara raungan seperti suara binatang, kemudian bentaknya: "Tapi delapan orangpun masih lebih dari cukup untuk mencincang tubuhmu sehingga hancur berkeping keping!" Ang Nio-cu segera tertawa, suara tertawanya merdu bagaikan suara keleningan. Dari antara delapan orang itu, ada tiga orang diantaranya yang tanpa sadar mundur setengah langkah ke belakang. Kembali Ang Nio-cu tertawa merdu, katanya: "Perempuan cantik baru kelihatan keindahannya bila masih segar bugar, apakah tidak terlampau sayang bila perempuan secantik dan sesegar aku ini dicincang sehingga hancur berkeping-keping?" Dengan biji matanya yang jeli dia mengerling sekejap ketiga orang yang mundur ketakutan itu, kemudian dengan genit katanya. "Tentunya kalian juga tahu apakah kegunaanku, kenapa tidak diberitahukan kepada saudara saudaramu? Kalian benar-benar egois... kalau orang mati tak dapat berbicara, memangnya kalian juga tak bisa?" Paras muka ke tiga orang itu berubah hebat, mendadak mereka ayunkan goloknya sambil menubruk ke depan. "Tahan!" tiba-tiba lelaki kurus itu menghardik. Jelas dia adalah pemimpin atau lotoa dari ketiga belas jago tersebut, begitu bentakan berkumandang, serentak ketiga orang itu menghentikan serangannya di tengah jalan. "Coba kalian lihat" kata Ang Nio-cu lagi sambil tertawa, "aku sudah tahu kalau Tio lotoa kalian itu tak lega untuk membunuh diriku, walaupun dia bukan seorang lelaki yang menyayangi

perempuan, tapi baik buruknya perempuan paling tidak masih dipahami olehnya" Tio lotoa menarik mukanya sambil mendengus dingin. "Kau memang betul sekali, aku pun tak lega membunuhmu, sebab aku tak ingin membiarkan kau mampus terlampau cepat!" Ang Nio-cu memutar biji matanya dan tertawa makin genit, katanya dengan lembut: "Kau menginginkan aku mati kapan, aku pun akan mati kapan, kau menginginkan aku mati dengan cara apa, akupun akan mati dengan cara apa, tahukah kau, persoalan apapun aku bersedia melakukannya bagimu."

"Bagus, bagus sekali!" Sebagaimana seorang lotoa, memang tidak seharusnya terlalu banyak berbicara. Karena semakin sedikit seseorang berbicara, kata-kata yang diucapkan baru semakin berharga. Tio lotoa juga bukan seseorang yang suka banyak berbicara, apa yang diucapkan selalu berharga. "Kau telah membunuh lima orang saudara kami, kamipun akan membacok lima kali di atas tubuhmu, dengan begitu hutang piutang diantara kitapun dianggap impas."

"Hanya lima bacokan?" Ang Nio cu mengerdipkan matanya. "Ehmmm...."

"Kalian tak akan mengambil sekalian bunganya?"

"Ehmmm..." Ang Nio cu segera menghela napas panjang. "Aaaai.... kalau dibilang sesungguhnya tak bisa dibilang kurang adil, aku pun amat ingin meluluskannya, apalagi sekarang kalian sembilan orang menghadapi aku seorang, sekalipun aku

tak ingin meluluskan pun juga tak bisa."

"Jika kau sudah mengerti, itu lebih baik."

"Walaupun aku telah memahaminya, sayang masih ada satu hal."

"Soal apa ?"

"Aku takut sakit!" Setelah memperhatikan golok ditangan mereka wajahnya segera menunjukkan perasaan patut dikasihani, katanya lebih lanjut: "Golok itu begitu besar, jika kena dibacok, sudah pasti sakit sekali rasanya!"

"Tidak sakit!"

"Betul tidak sakit?"

"Paling tidak pada bacokan yang kedua tak akan terasa sakit lagi" Ang Nio-cu seperti tidak memahami ucapan tersebut, kembali dia berseru menegaskan: "Kau jamin?"

"Yaaa, aku jamin!"

"Asal kau bersedia menjamin, tentu saja akupun merasa lega, tapi akupun ada syarat"

"Katakan!"

"Bacokan yang pertama ini harus kau sendiri yang melakukannya" Dengan sepasang matanya yang jeli dia awasi Tio lotoa, kemudian melanjutkan: "Sebab aku tidak percaya kepada orang lain, aku hanya percaya kepada dirimu saja!"

"Baik!" Pelan-pelan ia berjalan ke depan, langkahnya amat berat, hampir terdengar suara langkah kakinya yang menginjak di atas permukaan tanah. Golok itu masih dihadapkan ke bawah. Tangannya lebar tapi kurus, otot-otot hijau pada punggung telapak tangannya pada menongol keluar semua. Tampaknya dia mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya.... "Bacokan yang kedua pasti tak akan sakit!" Bila bacokan tersebut terayun ke bawah, siapapun tak akan merasakan kesakitan lagi... tak mungkin akan merasakan suatu siksaan atau penderitaan apapun. Ternyata Ang Nio-cu memejamkan matanya, malah sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya. "Marilah, hayo cepat!" demikian dia berseru. Cahaya golok berkelebat lewat, angin bacokan yang tajam serasa memekakkan telinga. Mendadak Ang Nio cu menerobos dari bawah cahaya golok itu, diantara kilatan sinar terang, rambut yang hitam berterbangan kemana-mana. Sebagian besar rambutnya telah terpapas putus dan tersebar di seluruh tempat. Tapi tangannya justru menyungging sikut Tio lotoa, sedangkan tangannya yang lain menekan di atas jalan darah di bawah iganya. Tak ada yang tahu jalan darah apakah itu tapi setiap orang tahu, jalan darah tersebut sudah pasti adalah jalan darah kematian. Paras muka setiap orang berubah hebat, keadaan mereka bagaikan seseorang yang perutnya kena ditendang keras-keras. Ang Nio-cu masih saja tertawa, semacam tertawa yang merenggut sukma... Sambil tertawa merdu katanya: "Sekarang tentunya kau mengerti bukan, mengapa aku menginginkan kau yang turun tangan, sebab sedari tadi aku sudah tahu kalau kau tak akan tega, aku tahu kalau kau sudah tertarik kepadaku." Tio lotoa tentu saja bukan merasa tak tega, tangannya juga tidak lemas tak bertenaga, bahkan bacokan itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa dan kebuasan yang mengerikan. Cuma saja, ketika golok itu dibacokkan ke bawah, dia telah melupakan titik kelemahan dibawah goloknya berada di hadapan seorang perempuan yang memejamkan mata sambil menanti saat kematiannya, siapapun pasti akan berubah menjadi teledor dan gegabah. Kembali dia memperoleh suatu pelajaran. "Bila kau ingin membunuh orang, maka setiap detik setiap saat kau harus berjaga pula orang lain datang membunuhmu." Tentu saja keadaan semacam ini bukanlah suatu keadaan yang terlampau menggembirakan. "Bila kau hendak membunuh orang, maka persiapkan dulu suatu penghidupan sepanjang masa yang penuh ketegangan." Tio lotoa menghela napas panjang, katanya kemudian: "Kau ingin apa?" Ang Nio-cu tertawa. "Aku tak ingin apa-apa, aku hanya ingin mengajak kau untuk membicarakan suatu transaksi."

"Transaksi apa?"

"Mempergunakan selembar nyawamu ditukar dengan selembar nyawaku...."

"Bagaimana cara menukarnya?"

"Sederhana sekali." jawab Ang Nio-cu sambil tertawa, "bila aku mati, kaupun jangan harap bisa hidup."

"Bila aku telah mati?" Ang Nio-cu segera tertawa manis. "Bila kau telah mati, tentu saja akupun tak bisa hidup lebih lanjut, tapi bagaimana mungkin aku akan membiarkan kau mati?" Tio lotoa berpikir sebentar, lalu katanya: "Baik!"     Siapapun tak dapat memahami apa artinya dari kata "baik" itu, mereka hanya menyaksikan golok di tangannya mendadak dibacokkan ke bawah. Bacokan golok itu mengarah batok kepala sendiri. Ang Nio cu adalah seorang jago kawakan. Bila seorang jago kawakan memegangi tangan seseorang, tentu saja dia telah memperhitungkan kalau golok yang berada ditangannya itu tak mungkin bisa melukai orang. Perhitungan dari Ang Nio-cu itu memang sangat tepat, cuma saja dia melupakan satu hal. Walaupun golok yang berada ditangan Tio Lo-toa tak bisa membacok ke arahnya, tapi masih bisa dibengkokkan untuk membacok diri sendiri. Dia hanya memikirkan untuk melindungi diri sendiri, tapi lupa untuk melindungi nyawa orang lain. Dia mengira orang lain pun sama seperti dia, lebih mementingkan keselamatan diri sendiri dari pada keselamatan orang lain. Tapi dia lupa, kadangkala ada sementara orang yang demi cinta atau dendam kesumat, seringkali melupakan keselamatan diri sendiri. Kekuatan yang timbul karena cinta atau dendam kesumat, seringkali jauh lebih besar dari pada segalanya. Sedemikian besarnya sehingga tak akan bisa dibayangkan perkataan apapun. Darah segar berhamburan kemana-mana. Cairan darah yang berwarna merah gelap diantara titik cahaya putih susu memancar ke luar keempat penjuru, dan seperti hujan gerimis menodai wajah Ang Nio cu. Sepasang mata Ang Nio cu tertutup oleh cahaya darah.... Dia hanya menyaksikan sepasang

mata Tio lotoa yang memancarkan rasa dendam, benci dan marah itu tiba-tiba melotot keluar seperti mata ikan, kemudian iapun tertutup sama sekali oleh cahaya darah. Seketika itu juga ia mendengar suara auman kaget, marah dan benci seakan-akan ada sekelompok binatang buas terjerumus ke dalam perangkap. Angin sambaran golok yang tajam berhamburan tiba dari empat arah delapan penjuru, bersama-sama membacok ke arah tubuhnya. Apa yang terpikirkan oleh seseorang saat kematiannya. Pertanyaan ini mungkin tak akan terjawab oleh siapa saja. Karena dalam keadaan demikian, apa yang terbayang oleh setiap orang selalu berbeda. Yang dia pikirkan sekarang adalah Ong Tiong, teringat akan paras muka Ong Tiong yang

dingin seperti es, juga teringat akan perasaan Ong Tiong yang membara seperti api. Pada saat itulah, mendadak ia mendengar suara pekikan panjang yang sangat nyaring. Tiba-tiba sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya, dia seperti merasa, asal bisa mendengar pekikan tersebut, soal mati atau hidup sudah tidak menjadi persoalan lagi. Pekikan itu sangat nyaring, seperti seekor burung elang yang berpekik di angkasa dan menyambar ke bawah. Seluruh tubuh Ang Nio-cu telah tenggelam ke bawah. Dia melompat bangun, berusaha menghindar dan memaksakan diri untuk membuka sepasang matanya.

Tapi, jangankan manusia, bahkan cahaya golokpun tidak nampak, dia hanya bisa melihat selapis cahaya darah yang berwarna merah. Dia melompat bangun lagi terasa kakinya menjadi dingin, sepertinya tidak terlalu sakit, akan tetapi kekuatan di atas paha itu tiba-tiba saja lenyap tak berbekas. Seketika itu juga badannya terjerumus ke bawah. Dia tahu, bila badannya terjerumus ke bawah, maka dia akan segera tenggelam ke kegelapan yang tiada taranya. Anehnya, dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri, hanya merasakan semacam kepedihan yang aneh dan sukar dilukiskan dengan kata-kata. Mendadak ia teringat kembali akan diri Ong Tiong. Mendadak ia merasa suatu perasaan yang sangat lega, ia merasa dirinya sudah terlepas dari segala-galanya, karena segala persoalan sudah tidak menjadi masalah baginya sekarang. Diapun tenggelam dengan begitu saja, roboh terkapar di atas tanah, bahkan sepasang matanya pun enggan dipentangkan. Andaikata ia menyaksikan keadaan yang dihadapinya sekarang, bukan cuma hatinya akan hancur lebur, mungkin ususnya akan putus dan nyalinya akan pecah. Cahaya golok yang berkilauan berkumpul menjadi satu titik dan membacok ke atas badan Ang Nio-cu.    Mendadak, seseorang membawa pekikan yang nyaring menerjang datang dari balik hutan, langsung menyerbu ke dalam lingkaran cahaya golok. Agaknya dia sudah lupa kalau dirinya adalah seorang manusia yang terdiri dari darah dan daging, juga lupa kalau golok itu bisa dipakai untuk membunuh orang. Dia menerjang masuk ke balik lingkaran cahaya golok dengan begitu saja.... Diantara kelihatan cahaya golok, kembali tampak percikan darah berhamburan ke empat penjuru, kemudian, terdengar ada orang menjerit kaget: "Eng-tiong-ong....!"

"Eng-tiong-ong belum mampus!"

"Sekarang juga kita akan membuatnya mampus!" ada orang memaki dengan gusar. Tentu saja Ong Tiong tak akan mati, soal ini dia cukup mengerti. Tapi dia tahu, asal dia hidup tak akan ada orang bisa membunuh Ang Nio cu lagi dihadapannya. Dengan badannya sendiri ia telah menahan golok pembunuh lawan yang sedang diayunkan kebawah, menahan di hadapan Ang Nio-cu.    Sekalipun golok itu tajam dan berat, namun dia tak mundur barang selangkahpun. Keberanian semacam ini bukan saja patut dihormati, lagi pula menakutkan, sangat menakutkan sekali. Ketika Yan Jit tiba di sana, tubuhnya telah bertambah dengan tujuh-delapan buah bacokan golok, dari setiap mulut lukanya itu darah sedang mengucur keluar dengan derasnya. Keberanian, siapapun kadangkala turut meluntur bersama mengalirnya darah dari badan. Tapi ia tidak! Ketika Yan Jit menyaksikan keadaannya, itu, meski hati tidak hancur, usus tidak putus, namun darah segar telah menerjang sampai di atas batok kepala, menerjang tenggorokan. Dalam detik itu, mendadak dia seperti melupakan pula akan mati hidup dirinya. Darimana datangnya keberanian. Ada kalanya lantaran kebanggaan, ada kalanya lantaran dendam kesumat, ada kalanya lantaran cinta, adakalanya lantaran teman. Entah dari manapun datangnya keberanian tersebut, semuanya pantas untuk dihormati, pantas untuk dihargai! Kwik Tay-lok juga telah datang. Entah karena apapun, entah betapa dalam keadaan apapun, dia tidak akan membiarkan temannya pergi beradu jiwa, sedang dia sendiri bermain catur didalam rumah. Cuma sayang, ketika ia sampai ditempat tujuan, pertarungan berdarah telah berakhir. Di atas tanah cuma menggeletak sembilan bilah golok. Ada yang menancap ditengah genangan darah, ada yang menancap di atas pohon, ada yang mata goloknya sudah melengkung, ada pula goloknya yang sudah patah. Ong Tiong sedang memeriksa mulut luka di atas paha Ang Nio-cu, dia seolah-olah sudah

melupakan luka yang berada di atas tubuh sendiri. Yan Jit hanya memperhatikan mereka dengan tenang, sinar matanya entah memancarkan cahaya gembira, ataukah kesedihan. Pelan-pelan Kwik Tay-lok menghampirinya, kemudian berbisik: "Mana orangnya?"

"Orangnya?" Yan Jit turut bergumam. "Siapa yang kau tanyakan?"

"Siau-lim!"

"Tentu saja aku tak akan membiarkan Siau-lim berada didalam rumah seorang diri."

"Kau telah membawanya datang kemari?"

Kwik Tay-lok mengangguk, sahutnya: "Itu dia, dia sedang duduk di atas pohon besar itu." Dari atas pohon besar itu, orang dapat menyaksikan semua gerak gerik ditempat ini dengan jelas, sebaliknya orang yang berada di sini tak dapat melihat ke sana. Bersembunyi bukan saja harus mempunyai tehnik yang jitu, juga harus pandai memanfaatkan keadaan yang berada disekitar sana. "Pada saat yang tepat, mencari tempat yang tepat!" itulah merupakan teori penting bagi ilmu "menyembunyikan diri".

"Yang kutanyakan adalah orang-orang yang membawa golok itu" kata Kwik Tay-lok. "Mereka telah pergi semua." Kwik Tay-lok membungkukkan badannya dan memungut sebilah golok, menimangnya sebentar, lalu katanya sambil tertawa: "Tak heran kalau mereka tinggalkan semua golok tersebut di sini, dengan membawa golok seberat ini, memang larinya tak akan bisa terlampau cepat...."

"Betul, karena mereka sebetulnya memang tidak sering melarikan diri."

"Kau kenal dengan mereka!"

"Tidak kenal, tapi aku tahu tiga belas bilah golok sakti merupakan orang-orang yang termasyhur namanya baik di luar perbatasan maupun didalam garis perbatasan."

"Perampok-perampok kenamaan?"

"Juga merupakan lelaki-lelaki keras yang tersohor."

"Tapi laki-laki keras yang kabur kali ini..."

"Kau anggap mereka takut mampus?"

"Kalau tidak takut mampus, kenapa harus melarikan diri?" Yan Jit memandang sekejap ke arah Ong Tiong, kemudian sahutnya:

"Yang mereka takuti bukanlah kematian, melainkan semacam keberanian yang dimiliki sementara orang sehingga mau tak mau menimbulkan perasaan ngeri didalam hatinya." Pelan-pelan dia melanjutkan: "Mungkin mereka sama sekali tidak takut melainkan terharu..... mereka juga orang, setiap orang kemungkinan besar akan dibikin terharu oleh orang lain." Kwik Tay-lok termenung beberapa saat lamanya, mendadak dia bertanya lagi: "Dari mana mereka bisa tahu kalau Ang Nio-cu berada di sini?"

"Berita tentang matinya Cui-mia-hu sekalian ditempat ini sudah diketahui banyak jago persilatan." Mendengar itu Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang. "Aaai... kabar berita yang tersiar dalam dunia persilatan betul-betul cepat sekali"

"Ketajaman pendengaran dari orang persilatan memang selalu mengagumkan, apalagi bagi orang yang mempunyai dendam, seringkali ketajaman pendengaran mereka jauh melebihi siapapun."

"Begitu dalamkah rasa dendam mereka terhadapnya?"

"Tiga belas bilah golok sakti dengan Cui-mia-hu sebetulnya boleh dibilang termasuk dalam satu kelompok, tapi Ang Nio-cu telah menghianati mereka. Suatu ketika, sewaktu mereka sedang dikepung orang, ternyata Ang Nio-cu...." Maka Kwik Tay-lok menukas pembicaraannya yang belum selesai itu: "Soal anjing menggigit anjing semacam itu, segan aku untuk mndengarkannya."

"Lantas kau ingin mendengarkan soal apa?" Kwik Tay-lok memandang sekejap ke arah Ong Tiong dan Ang Nio-cu, sorot matanya lambat laun berubah lembut kembali, katanya: "Sekarang, aku hanya ingin mendengarkan sedikit kejadian yang dapat menimbulkan kegembiraan dihati orang, seperti misalnya...." Yan Jit turut memandang ke arahnya, sorot mata yang terpancar keluar lambat laun menjadi lembut, katanya: "Misalnya apa?"

"Misalnya, berita tentang datangnya musim semi."

"Kau tak usah menanyakan tentang berita datangnya musim semi lagi." kata Yan Jit. "Kenapa?"

"Sebab musim semi telah tiba."

"Sudah tiba? Dimana? Kenapa aku tidak melihatnya?" Yan Jit mengalihkan pandangan matanya ke arah Ong Tiong dan Ang Nio-cu, lalu sahutnya lembut: "Kau seharusnya sudah melihatnya, karena dia berada di sini."

"Yaa, benar, mereka memang berada di sini." bisik Kwik Tay-lok makin lembut. Dia memandang ke arah Yan Jit. Tiba-tiba ia menemukan mata Yan Jit seakan-akan berubah bagaikan di musim semi. Manusia macam apakah yang dinamakan orang berpenyakit?

Pertanyaan ini mungkin seperti juga pertanyaan lainnya, mempunyai penjelasan yang beraneka ragam. Ada yang menjelaskan:

Orang sakit adalah seseorang menderita suatu penyakit. Tentu saja penjelasan seperti ini bisa diterima dengan akal sehat, akan tetapi belum bisa dianggap sangat tepat. Ada kalanya, orang yang menderita suatu penyakit pun disebut orang sakit.

Misalnya, orang yang terluka, atau orang yang keracunan, dapatkah kau anggap mereka sebagai orang yang menderita suatu penyakit? Tentu saja tidak.

***

Bulan ketiga, musim semi, rumput tumbuh amat subur, burung beterbangan dengan riang gembira. Salju telah mencair, seluruh permukaan bumi berubah menjadi hijau, di atas bukitpun semuanya nampak hijau. Kwik Tay-lok sedang duduk di bawah rimbunnya pohon sambil termangu-mangu... Ia betul-betul lagi termangu, karena kedatangan Yan Jit pun tidak diperhatikan olehnya. Sebenarnya Yan Jit dapat mengejutkannya, sebetulnya ingin membuat pemuda itu terkejut. Tapi setelah menyaksikan keadaannya, Yan Jit menjadi tak tega untuk mengejutkan dirinya. Bagaimanakah tampangnya itu? Wajahnya kurus seperti kurang makan, letih seperti kurang tidur, lagi pula badannya lebih bertambah ceking. Yan Jit menghela napas panjang, pelan-pelan menghampirinya, berjalan ke hadapannya dan sekulum senyum segera menghiasi ujung bibirnya, ia bertanya: "Hei, kenapa kau duduk termangu?" Kwik Tay-lok mendongakkan kepalanya, memandang wajahnya sampai lama, tiba-tiba ia berkata:

"Tahukah kau, manusia macam apakah yang dinamakan orang sakit itu?"

"Tentu saja orang yang berpenyakit." Kwik Tay-lok menggelengkan kepalanya. "Tidak betul?" tanya Yan Jit. "Paling tidak belum seluruhnya betul."

"Apa yang harus kukatakan baru bisa di katakan benar keseluruhannya....?" Kwik Tay-lok berpikir sebentar, lalu sahutnya:

"Dalam pandangan seorang bocah, asal seseorang yang berbaring di atas pembaringan dan tak bisa berkutik, orang itu disebut sakit, padahal manusia macam begini belum tentu mengidap suatu penyakit."

"Lagi pula kau bukan seorang bocah" sela Yan Jit. Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang. "Didalam pandanganku, orang sakit tak lebih hanyalah sejenis manusia yang luar biasa pandainya menghambur-hamburkan uang."

"Apa maksudmu?"

"Itulah kata-kataku yang sesungguhnya." Ia memang berbicara sesungguhnya. Walaupun orang sakit tak bisa minum arak, tapi dia harus minum obat. Bukan cuma harus minum obat saja, lagi pula harus makan segala macam obat penambah tenaga, "biasanya barang-barang semacam itu harganya lebih tinggi dari pada arak. Tentu saja Yan Jit juga tahu kalau ucapan semacam itu adalah kata-kata yang sejujurnya, sebab di sana sekarang ada tiga orang sedang menderita sakit. Luka yang diderita Lim Tay-peng belum lagi sembuh, sekarang bertambah lagi dengan Ang Nio-cu serta Ong Tiong. Sambil menarik muka, Yan Jit berseru: "Sekalipun perkataanmu adalah perkataan yang sejujurnya, tidak seharusnya kau berkata demikian."

"Yaa, aku memang tidak seharusnya berkata demikian, tapi mau tak mau aku harus mengutarakannya juga!" kata Kwik Tay-lok.

"Kenapa?"

"Sebab sekarang, aku sudah hampir berubah menjadi orang mati."

"Orang mati?" Kwik Tay-lok memperhatikan sekejap setumpuk barang di hadapannya, lalu berkata sambil tertawa getir: "Kalau keadaan begini dibiarkan berlangsung terus, tak sampai dua hari lagi, sekalipun aku tidak melompat ke dalam sungai juga tak dapat..." Yang tertumpuk di hadapannya tak lain adalah tumpukan bon berhutang. Bon hutang artinya secarik kertas yang biasanya dipakai orang untuk menagih hutang. Kwik Tay lok mencabut selembar diantara bon-bon tersebut, kemudian membacakannya. "Yan-oh paling baik lima tahil, harga dua belas tahil perak." Dengan gemas dia membanting bon tersebut ke atas tanah, kemudian gumamnya sambil menghela napas panjang. "Tahu kalau sarang burungpun bisa dijual dengan harga semahal ini, lebih enakan kita jadi burung saja, dari pada didesak-desak orang terus untuk membayar hutang." Yan Jit segera tertawa. "Siapa bilang kalau kau bukan seekor burung, kau memang seekor burung tolol." Helaan napas Kwik Tay-lok semakin memanjang. "Aaaai.... aku percaya, sekalipun aku benar-benar adalah seekor burung tolol, juga tak akan mengurusi hutang-hutang ini."

"Siapa yang suruh kau mengurusi hutang?" Kwik Tay-lok segera menuding ke hidung sendiri sambil menjawab: "Aku.... aku si burung tolol." Memang kenyataannya dia sendiri yang berebut untuk mengurusi hutang-hutang tersebut. Lim Tay-peng, Ang Nio-cu serta Ong Tiong sudah tak dapat berkutik tanpa dia dan Yan Jit berdua, pekerjaan yang harus mereka lakukan otomatis juga bertambah banyak. Yan Jit kembali bertanya kepadanya: "Sebetulnya kau hendak mengurusi rumah atau mengurusi hutang?" Tanpa berpikir panjang, Kwik Tay-lok segera menjawab: "Mengurusi hutang." Dalam anggapannya, mengurusi hutang jauh lebih gampang dan gembira dari pada mengurusi orang sakit, seperti memasak bubur, memasak obat dan lain sebagainya.

Sekarang dia baru tahu kalau dirinya keliru, malah merupakan suatu kekeliruan yang amat besar. Sambil tertawa getir Kwik Tay-lok lantas berkata: "Sebenarnya aku mengira di dunia ini sudah tiada persoalan lain yang jauh lebih gampang dari

pada mengurusi hutang-hutang."

"Ooooohhh....."

"Karena dulu selama beberapa bulan, kita sama sekali tak pernah mengurusi soal hutang."

"Sekalipun ada hutang, juga hutang yang tak jelas asal-usulnya." sambung Yan Jit sambit tertawa. "Yaa, betul, tepat sekali." Sesudah menghela napas panjang, sambungnya lebih jauh: "Waktu itu kita punya uang, makan agak baikan, minum agak baikan, kalau tak punya uang, seharian tidak makan tidak minum juga tidak menjadi soal."

"Paling tidak, waktu itu kita bisa keluar bersama untuk mencari uang, atau mencari akal bersama untuk memperoleh uang."

"Yaa, tapi sekarang keadaan berbeda." Pelan-pelan Yan Jit turut mengangguk, tanpa terasa dia turut menghela napas. "Yaa, sekarang keadaannya memang jauh berbeda." Orang sakit selain tak boleh kelaparan, lebih-lebih tak boleh tak minum obat.

Oleh sebab itu, entah mereka mempunyai uang atau tak punya uang, setiap hari sudah ada target pengeluaran tetap yang tak bisa dihindari lagi. Pengeluaran tersebut memang tidak kecil jumlahnya. Sebaliknya orang yang mengeluarkan ide untuk mencari uang, justru seorangpun tak ada. Yan Jit repot untuk mengurusi orang-orang yang sakit, sedangkan Kwik Tay-lok harus memeras otak untuk mengurusi hutang-hutangnya. "Aku hanya mengherankan sesuatu." kata Kwik Tay-lok sambil menghela napas panjang. "Soal apa?"

"Sekalipun aku belum bergerak dalam dunia persilatan, tapi seringkali mendengar cerita tentang orang-orang gagah di dalam dunia persilatan, tapi herannya belum pernah kudengar kalau orang-orang itu pernah menjumpai kesulitan uang?" Sesudah tertawa getir lanjutnya: "Orang-orang itu sepertinya setiap saat bisa memperoleh uang yang banyak dan menghambur-hamburkan seenak hatinya sendiri, padahal mereka tidak bekerja apa-apa, memangnya uang itu bisa jatuh dari atas langit?" Yan Jit berpikir sebentar, lalu sahutnya: "Di kemudian hari, bila ada orang yang menceritakan kisah kita, sudah barang tentu merekapun tak akan menceritakan kalau kita tak pernah murung karena kesulitan uang."

"Kenapa?"

"Sebab si pengarang cerita biasanya mengira orang lain tak suka mendengarkan cerita semacam ini."

"Tapi ini toh suatu kenyataan."

"Sekalipun kejadian ini merupakan suatu kenyataan, tapi orang yang berani berbicara jujur didunia ini tidak banyak jumlahnya."

"Kenapa tak berani mengatakannya? Apa yang mesti ditakuti?"

"Takut kalau orang lain tidak mendengarnya."

"Memangnya orang-orang yang mengarang cerita semuanya goblok? Apakah mereka tidak tahu kalau ada sementara orang lebih suka mendengarkan cerita yang menyinggung suatu kenyataan?" Sesudah berpikir sebentar, dia melanjutkan: "Mungkin cerita yang berbau dongeng jauh lebih mantap kedengarannya daripada suatu kenyataan, tapi kenyataan sudah pasti akan lebih mengharukan hati orang, hanya cerita yang dapat mengharukan hati orang saja yang akan selalu berada dihati orang." Yan Jit segera tertawa, serunya: "Kata-katamu itu lebih baik disampaikan kepada si empunya cerita saja...."

"Kaupun enggan untuk mendengarkannya"

"Betul."

"Lantas apa yang ingin kau dengar: "Aku hanya ingin mendengar, sebetulnya sekarang kita sudah berhutang berapa?"

"Tidak banyak...." sahut Kwik Tay-lok sambil menghela napas, panjang, "belum sampai selaksa tahil." Dalam pandangan sementara orang, selaksa tahil perak memang tak bisa dianggap amat banyak, tapi buat pandangan Kwik Tay-lok yang sepeser uangpun tak punya, hutang tersebut sudah mencapai setinggi langit. Persoalannya sekarang sudah bukan berapa yang kau hutang, melainkan berapa yang kau miliki. "Apakah nota hutang sebesar selaksa tahil perak ini harus dibayar semua secepatnya?" tanya Yan Jit. "Para penagih hutang sudah mendesakku sampai menceburkan diri ke sungai, bayangkan sendiri hutang itu musti dibayar secepatnya atau tidak?"

"Lantas, beberapa yang masih kita punyai sekarang?" Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang. "Tidak banyak, kalau ditambah tiga mata uang lagi, maka sudah cukup menjadi satu tahil perak" Yan Jit mulai tertegun. Satu tahil perak bila dibandingkan dengan selaksa tahil perak, maka terasa besar sekali selisihnya, sebab kekurangannya berarti mencapai sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan tahil perak. Nota hutang semacam ini sudah pasti tak akan dilepaskan oleh para penagihnya. Maka Yan Jit hanya bisa berdiri tertegun. Setelah tertegun beberapa saat lamanya, dia baru menghela napas panjang, katanya: "Sekarang aku.... aku baru dapat memahami apa artinya kemiskinan."

"Sampai sekarangkah kau baru mengerti?" Yan Jit mengangguk. "Karena dulu, meski kita tak punya uang, kitapun tak pernah berhutang kepada orang lain, maka saat itu kita masih belum bisa dianggap benar-benar miskin."

"Aaaai..... sekarang aku hanya berharap jangan berhutang kepada orang lain, aku lebih suka merangkak selama tiga hari tiga malam daripada harus berhutang kepada orang."

"Sayang, sekalipun kau merangkak selama tiga tahunpun, tak akan muncul selaksa tahil perak di hadapanmu."

"Tak perlu selaksa tahil perak, asal ada sembilan ribu sembilan ratus tahil perakpun sudah cukup."

"Persoalannya sekarang, dari mana kau bisa dapatkan ke sembilan ribu sembilan ratus tahil perak tersebut?"

"Aku tak punya akal." Kwik Tay-lok tertawa getir. "Aku juga tak punya."

"Kenapa kita tak bisa menjadi perampok?"

"Karena kita bukan perampok."

"Manusia macam apakah baru bisa menjadi perampok?"

"Manusia yang bukan termasuk seorang manusia."

"Dapatkah kita mencuri yang kaya untuk menolong fakir miskin?"

"Tidak dapat!"

"Mengapa tidak dapat? Mencuri yang kaya untuk menolong fakir miskin toh bukan perbuatan seorang perampok, kalau akan dianggap sebagai perampok maka perampok macam itu disebut perampok budiman, seorang enghiong."

"Kau hendak mencuri barang milik siapa?"

"Tentu saja para saudagar yang berhati licik, pembesar korup yang memeras rakyat."

"Setelah mendapat hasil curian, harta itu akan kau bagikan kepada siapa saja?"

"Tentu saja untuk menolong kebutuhan kita yang mendesak, menolong kita sebagai fakirmiskin."

"Itu bukan enghiong namanya, tapi anjing beruang!" Sesudah berhenti sebentar, dia melanjutkan: "Justru karena di dunia ini banyak terdapat manusia yang mempunyai cara berpikir macam anjing beruang, maka jadinya banyak sekali perampok dan pencoleng yang meraja lela di dalam dunia ini." Mungkin kebanyakan orang yang menjadi perampok atau pencoleng, mulai berkarir dengan cara menipu diri sendiri, lagaknya saja untuk menolong orang, padahal di dalam kenyataannya kantung sendiri yang ditolong paling dulu. Kwik Tay-lok berpikir sejenak, lalu tertawa getir. "Lantas kalau menurut pembicaraanmu itu tampaknya kita hanya bisa menempuh dengan sebuah jalan saja."

"Jalan yang bagaimana?"

"Tidak membayar hutang!"

"Tahukah kau manusia macam apakah baru tak mau membayar hutangnya...." Tentu saja Kwik Tay-lok tahu dengan pasti, maka dia menghela napas panjang. "Tentu saja manusia yang tak tahu malu!" sahutnya lirih. "Dapatkah kau menunggak hutang dan tidak membayarnya?"

"Tidak dapat!" Apalagi sekalipun dia tak ingin membayar hutang juga tak mungkin dilaksanakan. Luka yang diderita Ong Tiong, Ang Nio-cu serta Lim Tay-peng belum sembuh seratus persen, mereka masih membutuhkan obat untuk diminum, masih membutuhkan obat penambah darah, obat kuat penambah tenaga serta bahan makanan untuk melanjutkan hidupnya. Betul kali ini kau bisa menunggak hutang itu dan tak mau membayarnya, tapi bagaimana selanjutnya? Siapa lagi yang bersedia memberi hutang kepadamu kemudian hari? Kalau sampai demikian, lantas bagaimana dengan Ong Tiong, Ang Nio-cu serta Lim Tay-peng

yang belum sembuh dari lukanya? Betul- betul suatu masalah yang pelik.

Jilid 21

KEMBALI Kwik Tay-lok menghela napas panjang katanya: "Kalau begitu, bukankah kita betul-betul sudah menemui jalan buntu?"

"Siapa bilang kalau kita sudah menemui jalan buntu? Jalan itu kegunaannya untuk membawa orang keluar dari kesulitan, asal kau punya tekad yang besar, asal kau bersedia melakukannya sudah pasti akan kau jumpai jalanan tersebut."

"Aku mengerti akan teori tersebut, lagi pula pernah pula kukatakan kepada orang lain, tapi sekarang..."

"Sekarang, apakah kepada dirimu sendiripun kau tidak percaya?"

"Sekarang aku hanya mempercayai satu hal."

"Soal apa?"

"Seandainya kita tidak membayar hutang tersebut pada hari ini, maka mulai hari ini juga kita tak bisa makan." Memang banyak terdapat teori bagus di dunia ini.. Cuma sayangnya, bagaimanapun baiknya teori tersebut, tak akan bisa memperoleh uang sebesar sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan tahil perak. Bahkan setahil perakpun tidak laku. Kalau tadi cuma seorang yang tertegun, maka sekarang berubah menjadi dua orang. Kalau sampai ada dua orang yang tertegun, maka keadaannya pasti jauh lebih menderita dari pada hanya seorang saja. Pada hakekatnya Kwik Tay-lok sudah tak kuasa menahan diri, dia bangkit berdiri dan berputar-putar sampai tujuh-delapan belas kali, mendadak teriaknya: "Aku jadi teringat akan sepatah kata!"

"Sepatah kata yang mana?" tanya Yan Jit sambil mengerling sekejap ke arahnya. "Sepatah kata yang amat berguna."

"Apa gunanya?"

"Paling tidak bisa dipakai untuk menolong keadaan yang amat mendesak ini."

"Kalau memang begitu, aku bersedia untuk mendengarnya."

"Sahabat mempunyai kegunaan sebagai pelancar harta, tentunya kau pernah mendengar tentang perkataan ini bukan?"

"Maksudmu, kau hendak mencari orang lain untuk meminjam uang?"

"Bukan mencari orang lain, tapi mencari teman."

"Di dunia ini hanya ada semacam manusia yang paling sedikit berteman, tahukah kau manusia semacam apakah itu?"

"Manusia macam apa?"

"Yakni orang yang ingin mencari teman untuk meminjam uang."

"Akupun tak akan pergi mencari teman yang terlalu banyak, aku hanya akan pergi mencari seorang saja."

"Menanti kau berhasil menemukan temanmu itu dan mengemukakan maksudmu untuk meminjam uang, mungkin kau akan segera menemukan bahwa seorang temanpun sesungguhnya tidak kau miliki."

"Tapi seperti teman macam kita...."

"Kalau teman semacam kita ini, pada hakekatnya tak usah kau buka suara, ia sudah tahu sendiri."

"Maka kau lantas beranggapan bahwa di dunia ini tiada seorang temanpun yang ada, jika kau sudah membuka mulut untuk meminjam uang ?"

"Yaa, seorangpun tak ada."

"Tapi aku justru kenal seseorang."

"Siapa?"

"Swan Bwe-thong!" Yan Jit segera menarik muka, sepatah katapun tak diucapkan. "Aku toh bukan menyuruh kau yang buka suara, aku boleh pergi sendiri, toh bagaimana pun juga aku pernah membantunya." kata Kwik Tay-lok lebih lanjut.   Tiba-tiba Yan Jit tertawa dingin. "Di dunia inipun hanya ada sejenis manusia yang bisa mencari orang perempuan untuk

meminjam uang."

"Kau maksudkan manusia macam apa?"

"Orang bodoh!" sahut Yan Jit dingin, "hanya seorang bodoh yang akan percaya bila ada seorang perempuan bersedia meminjamkan selaksa tahil perak kepadanya."

"Akupun tahu kalau jalan pikiran seorang perempuan jauh lebih sempit ketimbang seorang lelaki, tapi dalam pandangannya, selaksa tahil perak seharusnya bukan suatu jumlah yang sangat besar."

"Yaa, memang bukan termasuk jumlah yang luar biasa, cuma paling banter selaksa tahil perak belaka"

"Tapi dia toh bukan seorang yang sempit jalan pikirannya."

"Sesupel-supelnya seorang perempuan, tak nanti dia akan meminjamkan uangnya kepada orang lelaki."

"Kenapa?"

"Sebab jalan pemikiran orang perempuan berbeda."

"Bagaimana bedanya?"

"Mereka selalu beranggapan hanya lelaki tak becus saja yang bersedia membuka mulut untuk meminjam uang kepada orang perempuan! Sedangkan perempuan yang bersedia meminjamkan uang kepada lelaki juga sama-sama tak becusnya" Kwik Tay-lok tertegun beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia tertawa dan berkata: "Padahal bagaimanakah jalan pemikiran seorang perempuan, hanya kaum wanita saja yang tahu, kau toh bukan seorang wanita."

"Tentu saja aku bukan" sahut Yan Jit sambil menarik muka. Kwik Tay-lok segera tertawa. "Oleh karena itu kaupun tidak tahu, maka akupun masih tetap akan mencobanya."

"Seandainya kau sampai kebentur pada batunya?" Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang. "Sekalipun bakal terbentur batunya, yang terbentur paling-paling cuma batu, daripada terbentur besi atau paku, kan mendingan cuma batu." Tiba-tiba dia tertawa, lalu gumamnya: "Seandainya di dunia ini terdapat paku emas atau paku perak, aku mah bersedia untuk

membenturnya beberapa kali." Mendadak mencorong sinar tajam dari balik mata Yan Jit, sambil melompat bangun teriak

keras-keras: "Aaaah.... akhirnya dia mengucapkan juga sepatah kata yang ada gunanya...!" Sikap rekannya ini malah membuat Kwik Tay-lok tertegun, serunya kemudian agak tergagap: "Apa yang telah kukatakan. Apa gunanya?"

"Bukan saja ucapanmu sangat berguna, lagi pula benar-benar ada nilainya." Kwik Tay-lok semakin dibuat tak habis mengerti.

Tiba-tiba Yan Jit mengambil tujuh delapan biji batu dari atas tanah, lalu katanya lagi: "Tahukah kau bagaimana dengan ilmu menyambit senjata rahasia yang kumiliki?" Kwik Tay-lok menggeleng. "Tidak tahu, kau toh belum pernah menggunakan senjata rahasia untuk menghadapi aku."

"Bila kuhadapi kau dengan senjata rahasia, sanggupkah kau untuk menerimanya?"

"Belum tentu."

"Kau ingin mencobanya?"

"Tidak ingin."

"Tidak inginpun harus ingin, pokoknya kau harus mencobanya." Tiba-tiba, batu yang berada di tangannya itu disambit ke arah Kwik Tay-lok dengan gerakan Boan-thian-hoa-yu (bunga hujan memenuhi langit). Dari sekian banyak ilmu melepaskan senjata rahasia, terdapat semacam cara yang dinamakan Boan-thian-hoa yu, hampir setiap orang dalam dunia persilatan tahu akan hal ini dan pernah mendengar tentang persoalan ini... Tapi orang yang benar-benar pernah menyaksikan kepandaian semacam itu, tidak banyak jumlahnya, tentu saja orang yang bisa mempergunakan kepandaian semacam itu, jauh lebih sedikit lagi. Sekarang, Kwik Tay-lok telah dapat melihatnya. Bukan saja Yan Jit bisa menggunakan kepandaian tersebut, lagi pula penggunaannya sangat indah. Tujuh delapan biji batu bagaikan hujan badai bersama-sama dilontarkan ke tubuh Kwik Tay-lok.

Dengan cepat Kwik Tay-lok membalikkan badan, menggeser langkah dan menghindari tiga biji batu yang menyambar datang, lalu menggeliatkan tangannya menangkap tiga empat biji lainnya, tapi masih ada satu dua biji yang menghajar di atas tubuhnya, membuat pemuda itu menjerit kesakitan. Sambil mendelik ke arah Yan Jit, segera teriaknya keras-keras: "Hei, apa maksudmu yang sesungguhnya?"

"Sebetulnya tiada maksud lain." Jawab Yan Jit sambil tertawa, "aku tak lebih hanya berharap agar kau bisa mencari untung berapa ribu tahil perak dan membawanya pulang."

"Mendapatkannya dengan cara apa?" sekali lagi Kwik Tay-lok bertanya dengan wajah tertegun. "Menggunakan tanganmu!"   Setelah tertawa, lanjutnya: "Tanganmu sudah cukup cekatan, tidak banyak orang yang sanggup menerima empat batang senjata rahasiaku, asal berlatih beberapa kali lagi, untuk mencari untung berapa ribu tahil perak sudah lebih gampang daripada membalikkan telapak tangan sendiri." Kwik Tay-lok memperhatikan tangan sendiri, makin dilihat dia merasa semakin tercengang. Ia tak bisa melihat dengan mengandalkan apakah sepasang tangannya itu bisa mendapat untung berapa ribu tahil perak.... seandainya tangan ini hendak dipakai untuk mengalahkan berapa ribu tahil perak, maka hal ini bisa dilakukannya dengan gampang, sekali bagaikan membalikkan telapak tangan sendiri saja. Hanya di dalam sekali lemparan gundu saja dia bisa mengalahkan berapa ribu tahil perak. Sementara itu, Yan Jit telah mengambil batu lagi dari atas tanah. Tak tahan Kwik Tay-lok segera bertanya: "Sebenarnya kau menyuruh aku melakukan apa? Melempar dadu untuk membohongi uang orang?"

"Kalau hanya melempar dadu, memangnya kau bisa membohongi uang siapa? Kau sudah pasti akan menjadi raja diraja dari kekalahan."

"Kecuali melempar dadu, masih ada cara apa lagi yang lebih cepat?"

"Cara untuk kalah lebih cepat memang tidak ada, kali ini aku minta kau pergi untuk menang!"

"Aaaah.... seorang raja diraja dari kekalahan mana mungkin bisa merajai kemenangan?"

"Asal kau sanggup untuk menyambut senjata rahasiaku sekaligus, maka aku tanggung kau pasti akan memperoleh kemenangan"

"Seandainya aku kalah? Apa yang harus kupakai untuk menebus kekalahan itu?" Yan Jit segera menghela napas panjang. "Aaai... jika kali ini kau masih kalah, mungkin selembar jiwamu pun akan turut di gadaikan"

"Tampaknya aku cuma mempunyai selembar nyawa saja yang bisa digadaikan..." kata Kwik Tay-lok sambil tertawa getir. "Itulah sebabnya, kau harus mencari akal untuk menyambut semua senjata rahasia ini, bila tanganmu tak sanggup untuk menerimanya semua, gunakan mulutmu untuk menggigit...." Untuk menyambut senjata rahasia yang dipancarkan menggunakan ilmu Boan thian-hoa yu, memang bukan merupakan suatu pekerjaan yang sangat gampang. Kwik Tay-lok sudah tiga kali menyambutnya, alhasil tujuh tempat di atas tubuhnya kena terhajar, betul tidak terlalu berat, namun cukup membuat tulang belulangnya lamat-lamat terasa sakit. Kali ini Yan Jit tidak menaruh belas kasihan barang sedikitpun jua, kembali dia mengambil batu

untuk melancarkan serangan. Kwik Tay-lok hanya bisa memandang kesemuanya itu dengan wajah tertegun.... Sampai sekarang, dia masih belum mengerti dengan pasti, obat koyo apakah yang sebenarnya sedang dijual Yan Jit, seandainya berganti orang lain, mungkin sedari tadi dia sudah tak mau melakukannya. Tapi dia percaya kepada Yan Jit. Dia percaya sekalipun semua orang yang berada di dunia ini berniat untuk mempermainkan dirinya, sudah pasti Yan Jit tak akan membantu orang lain. Batu yang berada dalam halaman itu tidak banyak, walaupun Yan Jit membawa setumpuk juga masih belum cukup, maka dia lari ke sudut tembok pekarangan sana untuk mengumpulkan kembali. Sedang Kwik Tay-lok meraba bahunya yang linu dan sakit itu sambil tak tahan menghela napas panjang. Seandainya dia harus menyambut begitu banyak senjata rahasia, ia benar-benar merasa tak yakin lagi. Angin berhembus lewat membawa harumnya bunga, bunga Tho di depan sana telah mulai mekar. Kwik Tay-lok mendongakkan kepalanya, mendadak ia melihat Ong Tiong duduk di depan jendela sambil menggapai ke arahnya. Menanti Yan Jit telah mengumpulkan batu dan berjalan kembali, dia telah menghampiri Ong Tiong, dua orang itu seorang di dalam jendela, seorang lagi di luar jendela, mereka berdua menuding kesana kemari sambil berbicara tiada hentinya entah ada saja yang sedang dibicarakan. Terpaksa Yan Jit harus menunggu. Sudah setengah harian lamanya ia menunggu, ketika Kwik Tay-lok muncul kembali sambil bergendong tangan, wajahnya kelihatan seperti merasa bangga sekali. Ong Tiong masih duduk di depan jendela sambil mengawasi ke arah mereka, wajahnya juga dihiasi senyuman, sekulum yang amat misterius sekali.

Tak tahan lagi Yan Jit segera bertanya: "Sebetulnya permainan setan apakah yang kalian berdua lakukan...?"

"Siapa yang kau maksudkan sebagai berdua?" tanya Kwik Tay-lok sambil mengerdipkan matanya. "Kau dan Ong Tiong"

"Ooooh.... kau maksudkan Ong Tiong? Dia hanya memberitahukan kepadaku agar disampaikan kepadamu bahwa malam ini dia ingin makan tulang bay-kut masak lobak" Setiap orang dapat melihat kalau ia sedang berbohong. Bila Kwik Tay-lok sedang berbohong, maka di atas wajahnya seakan-akan memasang merek. Yan Jit segera mendelik sekejap ke arahnya, lalu berkata dengan dingin: "Orang yang berbohong hati-hati dengan giginya, takut kalau sampai kena disambit rontok orang lain."

"Silahkan dicoba," kata Kwik Tay-lok sambil tertawa cekikikan. "Baik!" Kali ini, bukan saja batu yang dipergunakan jauh lebih banyak, lagi pula tenaga yang dipergunakan juga jauh lebih besar. Dengan tenaga yang lebih besar, otomatis batu yang meluncur datangpun jauh lebih cepat dan tajam. Kwik Tay-lok segera memutar badannya, tahu-tahu dalam genggamannya telah bertambah dengan dua macam benda yang memancarkan sinar keperak-perakan, bentuknya persis seperti jala kecil yang dipakai anak kecil untuk menangkap kecubong. Belasan biji batu yang meluncur datang dengan cepatnya itu, bagaikan kecubong saja, hampir semuanya kena disambar masuk ke dalam jala tersebut. Yang terlepas dari sambaran jaring itu paling banter cuma dua tiga biji, itupun bisa dihindari Kwik Tay-lok dengan gampang. Kali ini Yan Jit membelalakkan matanya lebar-lebar, dengan setengah melotot serunya: "Permainan apakah itu?" Kwik Tay-lok tertawa cekikikan. "Coba kau lihat permainan macam apakah ini? Kagum tidak?"

"Apakah Ong lotoa yang barusan mengajarkan kepadamu?"

"Sekalipun dia yang mengajarkan kepadaku, hanya orang pintar seperti aku pula yang dapat menguasainya dengan cepat," sahut Kwik Tay-lok dengan bangga. Yan Jit segera mencibirkan bibirnya. "Sedari kapan sih kau menjadi pintar?"

"Sebetulnya aku memang tak boleh, asal ada permainan bagus, sebentar saja aku telah bisa menguasainya."

"Bawa kemari!" seru Yan Jit sambil mengulurkan tangannya ke muka. "Tidak boleh!" cepat-cepat menyembunyikan tangannya ke belakang. "Kenapa tidak boleh?"

"Sebab Ong lotoa bilang, rahasia langit tak boleh bocor."

"Baik, kalau begitu cobalah sekali lagi" Kali ini senjata rahasia itu dilepaskan dengan kecepatan yang lebih hebat dan ancaman yang lebih mengerikan. Belasan buah batu kecil seakan-akan berubah menjadi hidup semua, seperti tumbuh sayapnya

dan punya mata, justru ancamannya mengarah bagian yang paling lemah di tubuh Kwik Tay-lok. Siapa tahu dua lembar jaring yang berada ditangan Kwik Tay-lok seakan-akan sudah menunggu di situ. Belasan buah batu itu sudah termakan semua ke dalam jaring, malah yang terlepas hanya ada sebiji saja. Sambil tertawa terbahak-bahak Kwik Tay-lok segera berseru: "Sekarang, tentunya kau sudah mengagumi diriku bukan?" Yan Jit melotot besar, tapi akhirnya dia tersenyum juga. "Kelihatannya kau memang tidak bodoh!" Kwik Tay lok semakin bangga lagi, katanya: "Terus terang saja, ilmu menyambut senjata rahasia memang tak pernah kupelajari secara baik dulunya, hal ini dikarenakan.... dikarenakan apa? Coba kau terka?"

"Aku tak bisa menerkanya."

"Karena tanganku sesungguhnya jauh lebih cepat, mataku juga jauh lebih tajam daripada orang lain, maka hakekatnya tak perlu di latih lagi....!"

"Maka kaupun baru terkena pagutan kelabang besar itu," sambut Yan Jit dengan hambar. Ternyata paras muka Kwik Tay-lok sedikitpun tidak menjadi merah, malahan ujarnya sambil tertawa: "Kalau kejadian itu sih tidak masuk hitungan, sekarang cobalah sekali lagi!" Seraya memutar biji matanya dia berkata lagi sambil tertawa: "Konon setiap jagoan yang berada didalam dunia persilatan selalu mempunyai julukan yang mentereng, maka sekarang akupun ingin mencari sebuah julukan yang cocok untuk kugunakan."

"Apakah julukanmu itu?"

"Jian pit-ji-lay, Kui-im cu-mo put-cok, Kuay-jiu-tay-ciu-hiap (Ji-lay bertangan seribu, bayangan setan yang tak teraba, pendekar pemabuk bertangan kilat)!" Yan Jit tak dapat menahan diri dan segera tertawa tergelak, katanya kemudian: "Aku juga mempunyai suatu julukan yang rasanya jauh lebih tepat untuk kau gunakan."

"Coba katakan."

"Pun-jiu-pun-ciok, Cin-liau-boan-tee-pa, Sut-ong-ci-ong-toa-po-nio (Otak bebal tangan lamban, merangkak setelah mabuk, burung dogol si raja di raja kekalahan), coba kau katakan, cocok tidak julukan ini untuk kau gunakan?"

***

Pintu gerbang bangunan rumah itu menghadap ke selatan, sepasang gelang pintunya memancarkan cahaya keemas-emasan di bawah sorot cahaya matahari. Baru saja masuk ke dalam lorong tersebut, Kwik Tay-lok sudah menyaksikan sepasang gelang pintu itu. Lewat lama kemudian, sepasang matanya masih menatap pintu itu tak berkedip, seakan-akan selama hidup belum pernah menyaksikan gelang pintu. Dalam kenyataannya, sepanjang hidupnya dia memang jarang sekali mendapat kesempatan untuk menyaksikan kejadian aneh semacam itu. Setiap bangunan rumah pasti ada pintu gerbangnya, di atas pintu gerbang pasti ada gelang pintunya. Hal itu sedikitpun tidak aneh atau mengherankan. Yang mengherankan adalah gelang pintu rumah ini ternyata ini terbuat dari emas murni. Ketika Kwik Tay-lok sedang memperhatikan gelang pintu itu, Yan Jit sedang memandang kearahnya. Belakangan ini, di atas tubuh mereka berdua seakan-akan terdapat seutas tali yang telah membelenggu mereka menjadi satu, dimana Kwik Tay-lok berada, di situ Yan Jit turut hadir. Lewat lama kemudian, Kwik Tay-lok baru menghela napas sambil bergumam: "Orang ini, pasti orang kaya mendadak"

"Orang kaya mendadak?"

"Yaa, hanya orang kaya mendadak baru akan melakukan perbuatan semacam ini"

"Perbuatan macam apa?"

"Perbuatan yang hakekatnya bisa membikin gigi orang pada copot saking gelinya"

"Kau keliru"

"Bagian mana yang keliru?"

"Keluarga ini bukan saja tidak kaya mendadak, bahkan dia masih termasuk salah satu dari beberapa keluarga persilatan kenamaan yang berada dalam dunia persilatan" Meskipun membuat gelang pintu dari emas merupakan suatu perbuatan yang tak biasa dan menggelikan, tapi perbuatannya ini tak pernah menimbulkan perasaan geli dihati orang"

"Tapi aku merasa geli sekali."

"Hal ini dikarenakan kau belum tahu siapakah dia."

"Aku tahu."

"Kau benar-benar tahu?"

"Dia adalah seorang manusia, seorang manusia yang penuh dengan perak bau, kekayaan yang melimpah dan kuatir orang lain tak tahu kalau dia adalah seorang kaya."

"Manusia macam ini bukan saja aku tak ingin kenal dengannya akupun tak ingin berteman dengannya. Apapun yang dilakukan orang ini, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan diriku." Yan Jit segera tertawa. "Cuma sayang orang semacam itu justru sekarang ada sedikit hubungannya dengan dirimu."

"Tentunya kau bukan menyuruh aku untuk datang merampas gelang pintunya bukan?" kata Kwik Tay-lok sambil memandang ke arahnya. Yan Jit tertawa. "Itu sih tidak, kita masih belum sampai semiskin itu." Kwik Tay-lok segera menghembuskan napas lega. "Kalau begitu, setelah kau suruh aku menempuh perjalanan setengah harian lebih dan sampai kemari, apa tujuannya hanya untuk melihat gelang pintu ini?"

"Juga bukan!" Kwik Tay-lok kelihatan merasa agak kuatir, ditatapnya Yan Jit sekejap kemudian: "Aku tahu kau pasti tidak mempunyai suatu ide bagus, maka selama ini tak pernah mau berbicara terus terang kepadaku."

"Jangan kuatir." sahut Yan Jit sambil tertawa, "paling tidak, aku tak akan menjual kau kepada orang lain, aku masih merasa berat hati untuk melakukannya." Setelah menjawab perkataan tersebut, wajahnya kelihatan berubah agak memerah. Kwik Tay-lok kelihatan makin bertambah kuatir, kembali katanya: "Jika seseorang tidak melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar suara hati sendiri, kenapa mukanya berubah menjadi merah?"

"Muka siapa yang menjadi merah?"

"Kau" Yan Jit segera berpaling ke arah lain, kemudian katanya: "Aku lihat matamu betul-betul sudah melamur!" Tiba-tiba Kwik Tay-lok memutar biji matanya, lalu berkata: "Aku mengerti sekarang"

"Kau mengerti soal apa?"

"Sudah pasti ada seorang perawan tua yang tidak laku kawin ingin mencari jodoh, maka kau menggunakan siasat lelaki tampan untuk makankan aku kepadanya" Mendengar perkataan itu, tak tahan lagi Yan Jit tertawa cekikikan. "Apakah kau merasa dirimu sangat tampan?"

"Sekalipun tidak terlalu tampan, paling tidak aku adalah type lelaki yang disukai setiap orang perempuan" Yan Jit menghela napas panjang, katanya: "Kau betul-betul tak tahu diri, tampang macam begitupun dikatakan sebagai tampang yang

menarik." Kwik Tay-lok juga menghela napas panjang. "Sayang kau bukan perempuan, kalau tidak, sudah pasti kau akan tertarik kepadaku!" Paras muka Yan Jit kelihatan agak memerah lagi tapi sengaja dia menarik muka sambil berseru:

"Andaikata aku adalah seorang perempuan, sekarang juga aku sudah menendangmu hingga tercebur ke dalam pecomberan!"

"Perduli apapun yang kau katakan, pokoknya kali ini aku tak mau termakan oleh perangkapmu."

"Siapa yang menipumu?"

"Nona perawan tua itu pasti jelek dan kukoay, siapa tahu mukanya penuh dengan burik, maka dia baru tak laku kawin, sekalipun ada mas kawin delapan ratus laksa tahil perak juga jangan harap menyuruhku kawin dengannya." Yan Jit mengerling sekejap ke arahnya, kemudian berkata dengan suara dingin: "Seandainya dia masih muda dan cakap?"

"Itu mah bisa dirundingkan lagi," sahut Kwik Tay-lok sambil tertawa, "siapa suruh kalian adalah sobat-sobatku? Demi sahabat, perbuatan apapun bersedia kulakukan."

"Sekarang aku hanya ingin kau melakukan sesuatu, entah bersediakah kau untuk melakukannya?"

"Coba katakan."

"Aku hanya berharap kau suka menuju ke depan pecomberan sana dan bercermin, kemudian belilah tahu yang sudah membusuk dan hantamkan ke atas kepalamu biar mampus." Lorong itu sangat lebar, mendadak muncul sebuah kereta kuda besar yang ditarik empat ekor kuda, dengan cepatnya kereta itu menyerbu masuk ke dalam lorong tersebut. Walaupun lorong itu sangat lebar, tapi seandainya Kwik Tay-lok dan Yan Jit tidak menghindar dengan cepat, tak urung mereka akan tertumbuk juga. Sambil melotot ke arah kereta yang sudah menyambar lewat itu, Kwik Tay-lok berseru dengan gemas: "Jalanan ini toh bukan miliknya seorang, atas dasar apa dia berani mengambil tindakan yang semena-mena?"

"Hanya mengandalkan satu hal."

"Hal yang mana?"

"Cukup mengandalkan kalau lorong ini adalah miliknya seorang". Kwik Tay-lok menjadi tertegun, sekarang dia baru menemukan kalau lorong tersebut memang cuma ada dia sekeluarga. Kereta itu sudah berhenti di depan pintu gerbang, pintu yang semula sunyi senyap kini sudah bermunculan belasan orang dengan langkah cepat, malah ada berapa orang diantaranya dengan

menggunakan kecepatan yang luar biasa menahan larinya kuda sementara beberapa orang lainnya mendorong kereta itu naik ke atas tangga, dan mendorongnya masuk ke dalam gedung. Dari balik jendela seperti kelihatan ada orang melongok ke luar jendela kereta dan memandang Kwik Tay-lok sekejap. Kwik Tay-lok tidak melihat jelas paras muka orang itu, dia hanya merasa bahwa matanya jauh lebih tajam daripada mata orang biasa. "Tampaknya Kim Toa-say telah kembali."

"Siapa Kim Toay-say tersebut?"

"Dialah orang yang kau katakan sebagai orang kaya mendadak itu."

"Nah, itulah dia, coba kau lihat, tidak salah bukan perkataanku tadi?" Setelah tertawa dingin kembali katanya: "Kim Toa-say, hemmm. Cukup didengar dari namanya saja semestinya sudah dapat diketahui manusia macam apakah dirinya itu."

"Orang yang punya uang belum tentu semuanya orang jahat."

"Tapi atas dasar apa dia menyebut dirinya sebagai Toa-say (jendral)....?"

"Pertama karena dia memang mempunyai kewibawaan sebagai seorang jendral, kedua karena orang lain suka memanggilnya sebagai Toa-say"

"Tampaknya kau seperti merasa kagum sekali kepadanya?"

"Dapatkah aku mengaguminya?"

"Dapat, tentu saja dapat.... tapi bolehkah aku tidak mengaguminya....?"

"Tidak dapat."

"Mengapa tidak dapat?"

"Bukankah kau selalu mengagumi dirimu sendiri?"

"Hehhmm.... heehhmm...."

"Maka kaupun seharusnya mengagumi dia, sebab dia persis seperti dirimu, juga gagah, sosial dan sangat Tay-lok (lapang dada maksudnya)...."

"Ehmm... ehmm..."

"Apa artinya ehmm... ehmm....?"

"Ehmm ehmm artinya aku tidak percaya."

"Bila kau telah bertemu dengannya, kau pasti akan percaya dengan sendirinya."

"Aku tak akan menjumpai dirinya."

"Tapi kau harus pergi menjumpainya.".

"Kenapa?"

"Sebab bila kita kau tidak pergi menjumpainya, maka kau terpaksa harus berhadapan dengan tampang-tampang si penagih hutang itu." Ya, di dunia ini ada tampang manusia macam apa lagi yang tak lebih sedap dilihat daripada tampang seorang penagih hutang? Begitu teringat orang-orang itu, sepasang alis mata Kwik Tay-lok segera berkenyit, katanya tergagap:

"Apakah kau..... kau suruh meminjam uang kepada seseorang yang sama sekali tidak kukenal?"

"Aku tahu kulit mukamu masih belum setebal kulit badak"

"Lantas kau suruh aku pergi ke sana untuk berbuat apa?" Yan Jit termenung sebentar, lalu bertanya: "Didalam dunia persilatan terdapat banyak sekali orang aneh, misalkan saja ayah dari Swan Bwe-thong tersebut."

"Kau maksudkan locianpwe yang bernama Sik-sin (dewa batu) itu?" Yan Jit mengangguk. "Tahukah kau, dari mana datangnya nama Sik-sin tersebut?"

"Karena dia hanya menggunakan senjata tajam terbuat dari batu, lagi pula bisa mempergunakannya secara sangat baik-baik."

"Tepat sekali jawabanmu itu!" Setelah berhenti sebentar, kembalikan dia melanjutkan: "Tapi senjata batu sebetulnya merupakan senjata yang paling kuno, sebab pada waktu itu orang masih belum mengerti cara menggunakan besi, sekarang saja senjata tajam apapun ada, tapi dia justru lebih suka menggunakan senjata batu yang berat dan tak leluasa digunakan, coba

katakanlah dia adalah seorang manusia aneh?"

"Benar. Cuma.... apa pula bedanya dengan Kim Toa-say?"

"Kim Toa-say pun sama seperti dia, ia juga seorang manusia aneh, senjata yang dipergunakan juga sangat aneh."

"Senjata apa yang dia pergunakan?"

"Dia hanya menggunakan senjata yang terbuat dari emas, lagi pula semuanya terbuat dari emas murni." Kwik Tay-lok mengerdipkan matanya berulang kali, agaknya sudah mulai memahami maksudnya. Terdengar Yan Jit berkata lebih jauh:

"Senjata tajam yang paling diandalkan olehnya adalah Kim-kiong-sin-tan (gendewa emas peluru sakti), secara beruntun dia bisa melepaskan dua puluh satu biji peluru, jarang sekali ada orang dalam dunia persilatan yang sanggup menghindari serangannya itu."

"Apakah pelurunya tersebut dari emas?"

"Yaa, emas murni."

"Oooh, jadi kau suruh aku bertarung melawannya, menyambut serangan peluru emasnya dan kemudian membawanya pulang untuk membayar hutang?" Yan Jit tertawa. "Konon peluru emas yang dipergunakan olehnya, setiap butirnya paling tidak mencapai

beberapa tahil beratnya, lagi pula sekaligus dua puluh satu biji, asal kau dapat menerima tiga empat biji saja, kau tak usah kuatir bertemu dengan tampang-tampang si penagih hutang lagi."

"Aku tak mau melakukannya, perbuatan semacam ini aku tak mau melakukannya!"

"Kenapa?"

"Tidak kenapa-napa, pokoknya tidak mau yaa tidak mau." Yan Jit memutar biji matanya berulang kali, kemudian sambil tertawa hambar katanya: "Oooohh.... aku mengerti sekarang, rupanya kau takut...."

"Aku takut apa?" Kwik Tay-lok segera berteriak keras. "Tentu saja kau tidak takut kepadanya, kau tak-lebih hanya takut menjadi gemuk."

"Takut menjadi gemuk?" seru Kwik Tay-lok tertegun. "Sekalipun emas lebih lunak daripada besi, tapi jika sebutir peluru emas yang lima-enam tahil beratnya sampai bersarang dibadan, toh akan menimbulkan sakit juga."

"Hmm!"

"Setelah sakit badan pasti akan menjadi bengkak, kalau sudah membengkak, kau sudah pasti jelek sekali tampangnya." Kembali dia tertawa hambar, kemudian melanjutkan: "Oleh sebab itu, kendatipun kau tak mau pergi, aku juga-tak akan menyalahkan dirimu, seandainya kau gemuk secara mendadak, siapa kalau orang lain mengira kau telah makan obat penggemuk babi?" Kwik Tay-lok melotot sekejap ke arahnya, lalu sambil menarik muka, dia berseru: "Lucu, lucu, betul-betul lucunya setengah mati."

"Bila seseorang mendadak menjadi gemuk itu baru lucu namanya." Sekali lagi Kwik Tay-lok melotot sekejap ke arahnya, lalu tanpa banyak berbicara lagi dia membalikkan badan dan berlalu. "Hei, mau kemana kau?" tegur Yan Jit. "Belakangan ini aku sangat kelaparan sampai badanku terlampau kurus, aku memang sedang mencari akal bagaimana caranya untuk menggemukkan sedikit badanku." Yan Jit tersenyum. "Apakah kau akan menyerbu ke dalam dengan begitu saja, lantas mencari orang dan

menantangnya untuk berkelahi?"

"Cara apa pula yang bisa kugunakan untuk berkelahi dengan orang? Apakah kau menyuruh aku berlutut dan memohon kepadanya?"

Kembali Yan Jit tertawa. "Sekalipun kau sungguh-sungguh berlutut dan memohon kepadanya, belum tentu dia mau turun tangan." Katanya. "Oooh....?"

"Dua puluh satu biji peluru emas mempunyai suatu nilai yang cukup besar, dia toh belum edan, kenapa harus menggunakan peluru-peluru emasnya untuk sembarangan memukul orang? Lagi pula, seandainya sampai memukul mati orang, toh bukan suatu kejadian yang bagus" Hampir berteriak Kwik Tay lok saking penasarannya, segera serunya keras-keras: "Barusan, kau yang memaksaku untuk pergi, sekarang kau pula yang menghalangi aku pergi, sebetulnya permainan setan apakah yang sedang kau rencanakan?"

"Aku bukannya menyuruh kau jangan pergi, cuma untuk mencari Kim Toa-say serta menantangnya bertarung, kau musti menggunakan akal."

"Akal apa?"

"Coba bayangkan sendiri, manusia macam apa saja yang bisa memaksa Kim Toa say untuk turun tangan?"

"Aku tak bisa melihatnya, juga ogah untuk memikirkannya."

"Hanya ada dua macam manusia!" Yan Jit menerangkan. "Dua macam yang mana?"

"Macam yang pertama tentu saja musuh besarnya, andai kata musuh besarnya datang mencari gara-gara, tentu saja dia akan segera turun tangan, cuma sayang... kau sama sekali tiada ikatan dendam atau sakit hati dengannya" Dia menghela napas panjang, seakan-akan menganggap kejadian itu sebagai suatu kejadian yang amat menyesalkan. "Apakah hendak kau menyuruh aku untuk merampas bininya lebih dulu, agar mengikat tali permusuhan dengannya" seru Kwik Taylok sambil menarik muka.

Yan Jit segera tertawa cikikikan. "Konon bininya mana gembrot seperti babi, jelek lagi tampangnya malah kata orang galaknya bagaikan harimau betina, seandainya kau benar-benar melarikannya, siapa tahu Kim Toa-say malahan akan sangat berterima kasih kepadamu"

"Hmm, hmm, lucu. . . benar-benar sangat lucu."

"Untung saja selain cara itu, masih ada sebuah cara lagi."

"Hmmmm!"

"Setiap orang persilatan paling enggan untuk takluk ataupun menunjukkan kelemahannya kepada orang lain, maka dari itu, seandainya ada orang yang datang ke rumahnya secara terang-terangan dan menantangnya untuk beradu kepandaian, maka ia tak akan mampu untuk menampik lagi." Tiba-tiba ia merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna merah, kemudian katanya lagi sambil tertawa: "Tapi orang itu tentu saja harus punya nama yang besar dan mentereng juga, misalnya seperti julukanmu Pun-jiu-pun-ciok Cui-liau-hoan-tee-pa Sut-ong-ciong Toa-po- nio (Otak bebal tangan lamban, merangkak setelah mabuk, burung dogol si raja di raja kekalahan) betul bukan?" Kartu nama yang berwarna merah jambu itu sungguh indah dan anggun bentuknya. Di atas kartu nama itu tercantumkan beberapa huruf yang mentereng berbunyi:    "Jian-pit-ji-lay, Kui-im-cu-mo-put-cok, Kuoy-jiu-tay-cui-hiap (Jilay bertangan seribu, bayangan setan tak teraba, pendekar pemabuk bertangan kilat) Kwik Tay-lok." Pengurus gedung keluarga Kim sudah berusia lanjut, mukanya licik sekali, setelah menerima kartu nama itu, dibacanya sekejap lebih dulu, wajahnya sedikitpun tidak nampak terkejut, dengan hambar dia bertanya?".

"Dimanakah Kwik Tayhiap itu sekarang?"

"Disini!" jawab Kwik Tay-lok cepat. Pengurus gedung keluarga Kim itu baru mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap

ke arahnya, kemudian sambil tertawa kering berseru: "Oaah. rupanya kau adalah Kwik Tayhiap, maaf, maaf!"

"Hmm!" Dengan senyum tak senyum, pengurus itu memandang lagi ke arahnya, kemudian berkata lebih jauh: "Kwik tayhiap, apakah kau datang kemari untuk mengajak loya kami beradu senjata rahasia?"

"Dari mana kau bisa tahu?" Suara tertawa pengurus itu persis seperti seekor rase tua, katanya lagi sambil tersenyum:

"Tiap bulan pasti ada beberapa orang tayhiap yang datang kemari, bila aku tak dapat menebak maksud kedatanganmu, baru aneh namanya."

"Kalau memang sudah tahu akan maksud tujuanku, kenapa tidak lekas-lekas masuk untuk memberi laporan?" seru Kwik Tay-lok lagi sambil menarik muka. Pengurus itu memperhatikan tamunya dari atas sampai ke bawah beberapa kali, kemudian baru katanya: "Tampaknya hari ini Kwik tayhiap belum mabuk?"

"Sekalipun namanya pendekar pemabuk, toh bukan berarti setiap hari harus mabuk," seru Kwik Tay-lok dingin. "Kalau begitu, kuanjurkan kepada Kwik tayhiap lebih baik cepat-cepat pulang saja."

"Kenapa....?" Suara tertawa pengurus gedung keluarga Kim itu semakin menggemaskan hati, sahutnya hambar: "Sebab tayhiap yang datang kemari sungguh sudah terlampau banyak, loya kami bilang, asal bertemu dengan tayhiap kepalanya lantas pusing, maka ia telah berpesan kepadaku, manusia macam apapun tak akan dijumpai, bahkan cucu kura-kura atau pencolengpun boleh masuk kedalam, tapi asal tayhiap... heeehhh.... heeehhh.... heeehhh.... dia sih tak sudi untuk menjumpai lagi." Kartu nama itu telah terjatuh kembali ke tangan Yan Jit. Dengan wajah membesi karena gemas, Kwik Tay-lok mengomel: "Semuanya ini adalah gara-gara ide bagusmu itu, selama hidup belum pernah aku mendapat malu seperti hari ini, terutama sekali menghadapi rase tua tersebut, lagaknya saja seakan-akan menganggap aku ini pencoleng atau pembohong besar, terutama senyum tak senyum yang menggemaskan itu, sungguh bikin hati mendongkolnya setengah mati."

"Mengapa kau tidak memberi dua tamparan yang keras kepadanya?" tanya Yan Jit sambil mengerdipkan matanya. "Sebab aku memang sebenarnya seorang pencoleng, aku mempunyai tujuan yang tak benar, orang tidak menggaplok aku saja sudah terhitung sungkan, mana aku bisa menggaplok orang?" Yan Jit segera tertawa. Tentu saja senyumannya jauh lebih manis dan sedap dipandang daripada senyum tak senyum dari pengurus keluarga Kim itu. Menyaksikan senyumannya, kobaran api amarah Kwik Tay-lok segera menjadi mereda. Kata Yan Jit sambil tertawa: "Rupanya kulit mukamu tidak terlampau tebal, kalau dibandingkan dengan dinding tembok yaa lebih tipis sedikit" Kwik Tay-lok menghela napas panjang katanya sambil tertawa getir. "Oleh sebab itu sekarang, aku hanya pergi dari sini, makin cepat semakin baik." Tapi Yan Jit segera menarik tangannya sembari berseru: "Kenapa kau mesti terburu napsu? Aku masih mempunyai sebuah jalan lain." Kwik Tay-lok seperti terperanjat mendengar perkataan itu, dengan wajah meringis dia berseru: "Dapatkah kau tak usah mencari akal lain?"

"Tidak dapat!" Kwik Tay-lok segera menutup telinganya dengan kedua belah tangannya. "Dapatkah aku tidak mendengarkan?" kembali serunya. "Tidak dapat!" Dia menarik tangan Kwik Tay-lok dan melepaskannya dari atas telinga, kemudian sambil

tertawa cekikikan katanya lagi: "Idemu yang tidak terlalu baik saja sudah hampir menjual segenap harga diriku, apa lagi ide bagusmu, aku bisa habis."

"Betulkah kau menganggap perbuatan semacam ini adalah suatu perbuatan yang memalukan?" Kwik Tay-lok cuma menghela napas.

Kembali Yan Jit berkata: "Aku ingin bertanya kepadamu, ketika si kelabang besar menyambitmu dengan senjata rahasia, andaikata kau sanggup untuk menerimanya, mungkinkah kau akan mengembalikannya lagi kepadanya?"

"Aku belum gila, mengapa harus kukembalikan kepadanya? Apakah ingin menyuruh dia menghajar tubuhku lagi?"

"Nah, kalau begitu benar sudah."

"Benar bagaimana?"

"Bila seseorang suka menggunakan emas sebagai senjata rahasianya, asal dia senang, siapa yang akan mengurusnya, betul bukan?"

"Betul!"

"Bila dia menggunakan senjata rahasia untuk menghajar kita, asal kita mampu untuk menyambut senjata rahasia, hal ini merupakan kepandaian kita sendiri, betul bukan?"

"Betul!"

"Bila seseorang mencari uang dengan mengandalkan kepandaiannya sendiri, maka hal ini bukan merupakan suatu perbuatan yang memalukan, betul bukan?"

"Betul!"

"Sampai sekarang, sudah ada berapa hal yang kau katakan sebagai sesuatu yang benar?"

"Tiga!"

"Lantas, apa pula yang hendak kau katakan lagi kepadaku tentang soal ini?"

"Tidak ada lagi!"

"Masih inginkah kau untuk mendengarkan pendapatku yang lain?" Sekali lagi Kwik Tay-lok menghela napas panjang, sahutnya sambil tertawa getir: "Bukan cuma ingin saja, pada hakekatnya inginku setengah mati... kau tahu apa artinya setengah mati?" Padahal dia juga tahu, menunggak hutang padahal tak punya uang untuk membayarnya adalah suatu perbuatan yang sangat memalukan sekali. Tapi Kwik Tay-lok mau tak mau harus pergi berhutang dan berhutang terus, meski tunggakan hutangnya makin menumpuk. Sebenarnya dia adalah seorang yang amat menjaga gengsi, tapi mengapa ia sampai melakukan perbuatan semacam ini? Tentu saja demi sahabat. Siapa saja, bila dalam hidupnya bisa berteman dengan seorang sahabat yang bersedia berkorban baginya, maka sekalipun sampai mati, diapun tak merasa penasaran. Kwik Tay-lok bukan seorang yang suka memaki orang, juga tidak terlalu pandai memaki orang, tapi begitu ia mulai mencaci maki, suaranya menjadi keras sekali seperti geledek. Dia berdiri di depan pintu gerbang keluarga Kim sambil mencaci maki orang, bahkan Yan Jit yang berada di luar lorongpun dapat mendengarkan suara makiannya dengan jelas. Dimulut gang ada sebuah pohon pek-yang besar, di bawah pohon terdapat sebuah gundukan tanah yang tinggi. Yan Jit duduk di atas gundukan tanah itu sambil mendengarkan Kwik Tay-lok memaki orang, mukanya menunjukkan suatu mimik wajah yang puas, seakan-akan sedang menikmati seorang penyanyi sedang mengalunkan lagu yang merdu. Sebab yang menjadi sasaran makian Kwik Tay-lok bukan dia. Yang dicaci maki Kwik Tay-lok adalah Kim Toa-say. "Orang she Kim, sudah terang kau seorang manusia, mengapa selalu menyembunyikan diri dalam rumah macam cucu kura-kura? Apa yang kau takuti, apakah hidupmu sudah hancur karena dijotos orang makanya kamu tidak berani keluar untuk bertemu orang?" Makin didengar Yan Jit semakin bangga, sebab semua kata-kata makian itu adalah ajarannya dia kepada Kwik Tay-lok. "Kalau toh Kim Toa-say enggan bertemu denganmu, berdiri saja di depan pintu rumahnya dan memaki dia sampai keluar rumah." Cara semacam ini dinamakan taktik memaki, sebenarnya suatu taktik bertempur yang kuno sekali, lagi pula biasanya manjur sekali. Bila ada dua pasukan sedang berhadapan asal salah satu pihak bertahan dan tidak keluar maka pihak yang lain pasti akan mengirim orang untuk mencaci maki, memaki sampai lawannya tidak tahan dan keluar dari benteng untuk menerima tantangan mereka. Konon Cu-kat Liang atau Khong Beng pernah menggunakan taktik seperti ini untuk mencaci maki Cho Cho. Sebenarnya Kwik Tay-lok enggan berbuat demikian, tapi sepatah kata dari Yan Jit telah

menggerakkan hatinya. "Bahkan Cu-kat Liang yang begitu tersohor namanya pun menggunakan siasat tersebut, mengapa kau tak mau menggunakannya?" Kalau toh sebagai sebuah taktik untuk bertarung, itu berarti cara itu halal dan bukan sesuatu yang tak boleh dicoba, maka Kwik Tay lok pun pergi mencaci maki, lagi pula makian-makiannya mantap dan tepat. Asal Kim Toa-say dapat mendengar makian itu, kalau dia tak sampai keluar dari rumahnya, itu baru aneh namanya. Kejadian aneh tiap tahun selalu ada. Suara makian Kwik Tay-lok begitu kerasnya, sampai semua orang yang berada di sekeliling tempat itu dapat mendengarnya semua. Tapi dari balik pintu terbang keluarga Kim justru sama sekali tak ada sesuatu gerakan apapun, bahkan reaksimu tak ada. Jangan-jangan Kim Toa-say adalah seorang yang tuli? Belum lagi orang yang dimaki menampakkan diri, Kwik Tay-lok sendiri malah dibikin habis kesabarannya lebih dahulu. Semua kata makian yang diajarkan Yan Jit kepadanya telah diulangi sampai beberapa kali, orang lain belum jemu mendengarnya, dia sudah jemu memakinya lebih dulu, dia ingin mencari

beberapa patah kata lain yang lebih sedap untuk melanjutkan makiannya, apa mau dikata justru tiada kata-kata yang tepat yang teringat olehnya. Pada saat itulah, si pengurus rumah gedung Kim telah menampakkan diri dari balik pintu, ditangannya masih menggotong sebuah kursi. Sebuah kursi yang nyaman sekali tampaknya. Rase tua itu membawa kursi tadi ke hadapan Kwik Tay-lok, meletakkannya ke lantai dan wajahnya tetap menunjukkan sikap senyum tak senyumnya yang khas, sedikitpun tidak nampak menjadi marah atau mendongkol. Kwik Tay-lok agak tertegun sejenak, kemudian tak tahan tegurnya dengan nada tercengang: "Hei, mau apa kau?" Sambil tertawa terkekeh-kekeh sahut pengurus tua itu: "Kursi ini adalah suruhan khusus dari loya kami untukmu!"

"Sebetulnya ia sudah mendengar caci makiku atau tidak?"

"Sekalipun loya kami sudah banyak umur namun sepasang telinganya belum tuli."

"Dia suruh kau menghantar kursi ini untuk apa?"

"Dia kuatir Kwik Tayhiap kecapaian kalau memaki sambil berdiri, maka dipersilahkan kepada Kwik tayhiap untuk memaki sambil duduk, malah pesannya, jika Kwik Tayhiap merasa haus nanti, mau minta air teh atau arak silahkan di utarakan, aku akan segera menghantarnya buat Kwik tayhiap." Sesudah tertawa, dia melanjutkan: "Walaupun tayhiap yang datang kemari sangat banyak, tapi belum ada seorang manusia pun yang bisa memaki lebih bagus dan lebih seru dari pada makian-makian Kwik tayhiap, oleh sebab itu loya kami berharap agar Kwik-tayhiap bisa memaki lebih lama lagi, kalau kau bisa memaki lebih keras pula, hal ini alangkah baiknya." Kwik Tay-lok memperhatikan kursi itu sambil termangu-mangu, setengah harian kemudian, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia membalikkan badan dan berlalu dari situ. Suara si pengurus tua itu masih kedengaran bersama dari belakang diiringi gelak tertawa yang keras: "Apakah Kwik tayhiap hendak pergi? Tidak dihantar, tidak dihantar, bila lain kali ada waktu, silahkan Kwik tayhiap datang setiap waktu, di sini selalu ada air teh juga ada arak, khusus sebagai obat penyembuh sakit tenggorokan." Hampir meledak dada Kwik Tay-lok saking mendongkolnya. Sambil memandang ke arahnya, Yan Jit menggelengkan kepalanya berulang kali katanya: "Aku menyuruh kau pergi membuat orang gemas, kau sendiri malah menjadi gemas setengah mati, apakah gunanya?"

"Bila kau menyaksikan tampang dari rase tua itu, aneh bila kau tak sampai mampus karena kegusaran," seru Kwik Tay-lok dengan gemas. "Apapun yang dia katakan, kau harus menganggapnya sebagai kentut, dengan begitu bukankah kau tak akan menjadi kheki?"

"Kau keliru, dia yang telah menganggap setiap perkataanku sebagai kentut bau!"

"Ia benar-benar memakimu sedang berkentut?" seru Yan Jit sambil mengerdipkan matanya. "Walaupun tidak ia katakan, tapi tampangnya lebih jauh menggemaskan dari pada mengatakannya keluar!"

"Dan kau ternyata tidak tahu, tak tahupun harus ditahan."

"Kenapa?"

"Karena akupun memangnya lagi berkentut." Yan Jit segera tertawa. Tentu saja tertawanya jauh lebih sedap di pandang daripada senyuman pengurus tua itu, cuma saja sudah tidak sebagus dahulu lagi. "Kwik Tay-lok menatap wajahnya, lalu sambil menarik muka berkata: "Sebetulnya kau masih mempunyai berapa banyak idea lagi? Lebih baik sekaligus kau katakan semuanya."

"Kau masih ingin mendengarkan?"

"Dengarkan sampai mampus lebih bagus lagi, mati satu berkurang satu...." Tiba-tiba Yan Jit terus menghela napas, katanya sambil tertawa getir: "Cuma sayang aku sudah tak punya idea lagi."

"Aaah, masa manusia yang mempunyai bakat bagus semacam kaupun berubah menjadi tak punya ide lagi?" kata Kwik Tay-lok dengan suara dingin. Yan Jit menghela napas panjang. "Aaai.... kau bilang pengurus tua itu seorang rase tua, menurut pendapatku, justru Kim Toa say lah baru benar-benar seorang rase tua."

"Bukankah kau selalu bilang dia seorang yang supel, mana terbuka lagi orangnya?" ejek Kwik Tay-lok dingin. "Seandainya dia sampai benar-benar bertarung melawanmu, bila tak berhasil mengenai badanmu, berarti dia bakal rugi beberapa ratus tahil emas, seandainya kalau sampai melukai dirimu, diapun harus memberi beberapa ratus tahil perak sebagai ongkos pengobatanmu." Setelah menghela napas panjang, katanya lebih jauh: "Aku lihat, belakangan ini Kim Toa-say tentu sudah tertipu berulang kali, maka lama-kelamaan ia menjadi semakin berpengalaman, oleh sebab itu sudah barang tentu dia tak akan sudi tertipu lagi."

"Yaa, dia memang tidak tertipu, tapi aku yang tertipu." Yan Jit segera tersenyum. "Padahal kau pun tak bisa dikatakan tertipu, bagaimanapun juga kau toh sudah berhasil memaki seseorang habis-habisan."

"Dapatkah aku memaki orang sekali lagi?"

"Siapa yang hendak kau maki kali ini?"

"Kau!?" Tiba-tiba dari kejauhan sana muncul seekor kuda yang dilarikan kencang-kencang. Waktu itu, Kwik Tay-lok sudah sedemikian khekinya sampai persoalan apapun segan diurusi, diapun enggan untuk berpaling walau pun memandang sekejappun.

Yan Jit yang berada di hadapannya menunduk rendah-rendah, seakan-akan segan diketahui penunggang kuda itu. Siapa tahu justru penunggang kuda itu bermata tajam. Baru saja kuda itu menerjang masuk ke dalam lorong, tiba-tiba binatang itu meringkik panjang sambil mengangkat kaki depannya ke atas. Hebat sekali kepandaian menunggang kuda yang dimiliki orang itu, sambil menarik tali les kuda, ia berjumpalitan dan melayang turun tepat di hadapan Kwik Tay-lok, bajunya lebih merah

dari bunga bwe, merahnya amat menyolok mata. Swan Bwe-thong. Bwe Ji-lam. Kwik Tay lok segera merasakan matanya mencorong sinar terang, serunya tertahan: "Hei kau, kenapa kau sampai di sini?"

"Aku lagi ingin bertanya kepada kalian, kenapa kamu berdua datang ke sini?" sahut Bwe Ji-lam sambil tertawa. "Kau bisa datang, mengapa kami tak bisa datang?" sela Yan Jit. "Mau apa kalian datang ke sini? Kenapa kamu berdiri tertegun saja di sini?"

"Kami sedang menunggu kau."

"Darimana kau bisa tahu kalau aku akan kemari?"

"Aku bisa meramal" Bwe Ji-lam tertawa cekikikan, sambil memukulnya pelan, katanya sambil tertawa cekikikan: "Aaah kau ini, tak sepotong katapun yang akan kupercayai, karena kau adalah....." Mendadak Yan Jit mendekap mulutnya, agak memerah paras mukanya itu, lalu berseru dengan gelisah: "Bila kau berani bicara sembarangan, lihatlah, akan kurobek mulutmu itu!"

Kwik Tay-lok yang menyaksikan dengan tersebut menjadi tertegun. Sudah terang Yan Jit telah menolak pinangan dari Swan Bwe-thong, sepantasnya kalau Swan Bwe-thong membencinya setengah mati. Tapi..... kenapa dia orang tampak begitu mesrah setelah saling jumpa muka? Bwe Ji-lam tampak-sedang memutar biji matanya, sebentar memandang ke arahnya, sebentar

memandang pula ke arah Yan Jit, lalu sambil menutup bibirnya dan tertawa dia berkata: "Baik, aku tidak akan bicara, tapi akupun tak akan mendengarkan perkataanmu, ucapan siau-Kwik, pasti akan lebih jauh lebih dipercaya daripada perkataanmu."

Dengan cepat dia bertanya lagi: "Siau-kwik, aku ingin bertanya kepadamu ada urusan apa kalian datang kemari?" Kwik Tay lok mendehem berulang kali, kemudian sambil tertawa paksa sahutnya: "Kami tidak berbuat apa-apa, cuma saja..... cuma datang bermain saja, bermain ke tempat ini kan tidak melanggar hukum bukan?" Bwee Ji-lam memandang sekejap ke arah Yan Jit, kemudian sambil tertawa katanya: "Dengarlah, walaupun Siau Kwik juga lagi mengibul, tapi cara membawakan kata-katanya tidak sewajar dan seleluasa dirimu!" Ia menjotos lagi badan Yan Jit pelan, kemudian melanjutkan: "Padahal, sekalipun tidak kalian katakan aku juga tahu ada urusan apa kalian datang kemari."

"Oooh...." Bwe Ji-lam kembali memutar biji matanya ke sana ke mari, lalu katanya sambil tertawa: "Belakangan ini, sudah pasti kalian menderita kekalahan lagi, maka kamu berdua berniat datang ke rumah Kim toa-siok untuk mendapatkan beberapa puluh biji peluru emas untuk membayar hutang, bukankah begitu?" Kwik Tay lok memandang ke arahnya, lalu berdiri tertegun.. Kalau dilihat kemampuan budak tersebut, agaknya kecuali mencari suami, pekerjaan apa pun yang lain sangat dikuasai olehnya. Senyuman Bwe Ji-lam masih menghiasi di ujung bibirnya, tapi dia menghela napas panjang, katanya: "Cuma sayang kedatangan kalian kali ini mungkin cuma sia-sia belaka...."

"Kenapa?" tak tahan Kwik Tay- lok segera bertanya.

Jilid 22

"BILA USIA seseorang semakin menanjak tua, seringkali jalan pikirannya menjadi bertambah sempit, tahun ini Kim toa-siok telah berusia lima puluh tahunan lebih, maka dari itu . . . ."

"Maka dari itu kenapa?"

"Sekarang dia sudah menemukan bahwa mempermainkan berkantung-kantung peluru emasnya didalam rumah, ternyata jauh lebih menyenangkan daripada mempergunakannya untuk menimpuk orang"

"Tadi kau menyebutnya sebagai paman Kim?" tiba-tiba Yan Jit menyela dari samping. Bwe Ji-lam mengangguk. "Kalau begitu Kim toa-say adalah pamanmu?" seru Yan Jit lebih jauh. "Bukan paman sungguhan, cuma sedari kecil kami memang sudah terbiasa memanggilnya, sebagai toa-siok."

"Kalau begitu sejak kecil kau telah mengenali dirinya?" Bwe Ji-lam segera tertawa. "Selagi masih berada dalam perut ibuku pun, aku sudah seringkali bermain kemari." Yan Jit memandang ke arah Kwik Tay-lok, seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi kemudian diurungkan. "Hei, sebetulnya apa tujuan kalian? Betul tidak dugaanku tadi?" kembali Bwe Ji-lam menegur.

"Tidak betul!"

"Aaai.... kalau begitu, usul baikku pun tak perlu kukatakan lagi!" Kwik Tay-lok berusaha untuk menahan diri, tapi akhirnya toh tidak tahan juga, tanpa terasa dia berseru: "Usul apa?"

"Kalau toh kedatangan kalian bukan lantaran soal itu, sekalipun telah kukatakan juga percuma saja."

"Seandainya kedatangan kami memang lantaran soal itu?"

"Kalau memang begitu, mungkin saja aku bisa mencarikan akal bagus untuk kalian, atau paling tidak memberi bantuan kepada kalian."

"Kalau memang begitu, akupun dapat memberitahukan kepadamu, dugaanmu memang tepat sekali, pada hakekatnya kau memang tak lebih adalah seorang Cu-kat Liang hidup." Bwe Ji-lam segera tertawa cekikikan. "Aku tahu, memang kau lebih jujur dari pada dirinya."

"Tapi mana akal bagusmu? Bagaimanapun juga harus kau katakan kepada kami." Sambil bergendong tangan, pelan-pelan Bwe Ji-lam berjalan hilir mudik di tempat itu, lagaknya saja seakan-akan menganggap dirinya memang benar-benar seorang Cu-kat Liang. "Aku memang sudah tahu kalau kau tak pernah jujur selamanya." tegur Yan Jit pula dingin. Bwe Ji-lam tertawa.   "Terserah apapun yang hendak kau katakan, semuanya tak berguna, kalau aku tak mau berbicara, tetap tak akan berbicara."

"Lantas apa yang kau inginkan sebelum berbicara?"

"Harus ada syaratnya."

"Apa syaratnya?" Bwe Ji-lam mengerdipkan matanya, lalu menjawab: "Bila barangnya sudah didapatkan, maka kau musti membagi separuh bagian untukku, paling tidak ucapan semacam ini sepantasnya kalau kalian katakan."

"Aaah.... rupanya kau ingin hitam makan hitam" seru Kwik Tay-lok sambil tertawa tergelak. "Padahal hatiku tidak terlalu hitam, aku pun tidak ingin kebagian setengahnya, asal ada tiga banding tujuh pun aku sudah merasa cukup"

"Bila akalmu tidak manjur?"

"Manjur atau tidak, bisa kita buktikan dengan segera!"

"Waaah.... tampaknya kau harus berganti pekerjaan saja, aku lebih cocok sebagai seorang penjual jamu" seru Kwik Tay-lok sambil tertawa. Yang penting jamu yang kujual sekarang mau kalian beli atau tidak?"

"Tidak ingin membelipun terpaksa harus membeli"

"Aku tidak ingin menjualpun terpaksa harus menjual kepada kalian" sambung Bwe Ji-lam sambil tertawa. Dinding pekarangan sangat tinggi. Bwe Ji-lam membawa Yan Jit dan Kwik Tay-lok masuk ke dalam lorong gelap di belakang gedung. Tentu saja lorong ini jauh lebih sempit, di ujung sana pun terdapat sebuah pintu gerbang hitam yang sempit. "Di sinikah letaknya pintu belakang keluarga Kim?" tanya Yan Jit kemudian. Bwe Ji-lam mengangguk. "Yaa, di balik dinding pekarangan sana merupakan kebun belakang keluarga Kim, bila musim semi telah tiba seringkali Kim-toa-siok akan pindah dari ruang depan menuju ke kebun belakang." Kwik Tay lok hanya mendengarkannya dengan seksama. "Sekarang aku akan melompat masuk lewat dinding pekarangan itu, tapi kau harus mengejar diriku dengan kencang." kata Bwe Ji-lam kemudian. "Kemudian?"

"Kemudian aku akan mencari Kim toa-siok dan memberitahukan kepadanya kau menggoda dan mempermain-kan aku, suruh dia untuk membalaskan sakit hatiku?"

"Kemudian?"

"Kim toa-siok selalu menyayangi aku, bila ia melihat kau datang mengejar, sudah pasti peluru emasnya akan dibidikkan kepadamu."

"Kemudian?"

"Tak ada kemudian lagi, asal kau mampu menerima berondongan peluru emasnya, maka dengan cepat kau akan menjadi seorang kaya baru".

"Kalau tak mampu untuk menerimanya?" Bwe Ji-lam segera tertawa. "Kemungkinan besar kau akan berubah menjadi seorang mati!"

"Orang mati?" Bwe Ji-lam manggut-manggut. "Bila dia tahu kalau kau mau sedang menganiaya aku, sudah barang tentu serangannya terhadap dirimu pun tidak akan sungkan-sungkan."

"Bagaimana dengan kau?"

"Aku? Tentu saja aku hanya bisa menyaksikan dari samping."

"Bila aku kaya, kau datang minta bagian, bila aku mati, tentunya kau juga akan membelikan sebuah peti mati untukku bukan?"

"Itu mah tak perlu aku yang mesti membelikan, baik buruk Kim toa-siok pasti akan membelikan sebuah peti mati berkayu tipis untuk temanmu beristirahat."

"Oleh sebab itu, entah bagaimanapun juga kau tak akan merasakan ruginya sama sekali."

"Tentu saja tidak ada." Jawab Bwe Ji-lam sambil tertawa, "kalau tidak, kenapa aku harus mencarikan akal bagimu?" Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, gumamnya: "Memang suatu akal yang sangat bagus, tak kusangka kau bisa mendapatkan akal sebagus ini."

"Pada dasarnya orang perempuan memang enggan melakukan suatu transaksi yang merugikan."

"Perempuan, aaai.... perempuan."

"Sebetulnya kau bersedia untuk melakukannya atau tidak?"

"Tidak mau melakukan pun terpaksa dilakukan."

"Tapi ingat, kalau kau mati, jangan salah kan diriku."

"Bila aku bisa mati benar-benar, untuk berterima kasih kepadamu saja tak sempat, masa akan marah kepadamu?"

"Berterima kasih kepadaku?"

"Orang mati tak usah menyaksikan tampang-tampang tengik dari para penagih hutang juga tak usah mendengarkan celoteh kaum perempuan, bukankah hal ini, jauh lebih enakan daripada hidup terus?"

"Sungguh?"

"Tidak, cuma bohong-bohongan?" Belum Kwik Tay-lok merasakan hidupnya tersiksa. Dia selalu hidup dengan riang gembira.   Entah berada dalam keadaan seperti apapun, dia dapat menemukan arti atau makna dari perbuatan yang dilakukannya, entah apapun yang sedang dilakukan, ia selalu melakukannya dengan bersungguh-sungguh, oleh sebab itu dia selalu merasa amat gembira. Seandainya dia benar-benar sampai teringat untuk mati, maka kendatipun orang yang ada didunia ini belum mati semua, sisanya sudah pasti tinggal beberapa orang saja. Bila dinding pekarangan rumah orang biasa, satu kaki empat depa pun sudah dianggap terlalu tinggi, maka tembok pekarangan rumah ini paling tidak mencapai dua kaki delapan depa. Bwe Ji-lam mendongakkan kepalanya memperhatikan sebentar keadaan di sekeliling tempat itu, lalu katanya: "Sanggupkah kau untuk merangkak naik ke atas dinding pekarangan itu?"

"Yaa mungkin saja"

"Mungkin bagaimana?"

"Mungkin saja aku sampai di atas, mungkin juga tidak, karena walaupun aku punya keberanian namun tidak memiliki keyakinan"

"Didalam ilmu meringankan tubuh, tak pernah tercantum kata berani dan yakin"

"Tapi kata-kata itu ada di dalam kamusku!" Ucapnya memang bukan mengibul. Walau apapun yang sedang dilakukan Kwik Tay-lok, maka modalnya yang terutama adalah "keberanian". Bwe Ji-lam memperhatikannya, kemudian menghela napas panjang.

"Aku hanya berharap, kepalamu jangan sampai tertumbuk bocor" Sekalipun kepalaku sampai bocor, aku tetap akan naik keatas"

"Baik", kata Bwe Ji-lam kemudian sambil tertawa, "aku akan naik duluan, setelah memberi tanda nanti, kau harus menyusul dari belakang, mengerti?"

"Kau yakin bisa naik ke atas?"

"Tidak!" Tapi setelah tertawa, sambungnya: "Sekalipun aku tidak yakin, juga tidak memiliki keberanian, tapi aku punya akal."

"Apa akalmu?" Tiba-tiba ia melompat naik ke atas bahu Kwik Tay-lok, kemudian dari atas bahu pemuda itu, dia melompat naik lagi ke atas dinding pekarangan rumah. Sekali lagi Kwik Tay-lok menghela napas gumamnya: "Cara yang dipergunakan kaum perempuan, mengapa selalu merugikan kaum lelaki? Heran, sungguh amat mengherankan."

"Itulah dikarenakan kebanyakan orang lelaki terlalu bodoh" kata Yan Jit hambar. "Memangnya kau sendiri bukan lelaki?" Yan Jit tertawa. "Aku adalah seorang lelaki, tapi aku tidak bodoh." Sementara itu, Bwe Ji-lam sudah menggape ke arahnya dari atas dinding pekarangan. Kwik Tay-lok siap melompat ke atas, tiba-tiba ia berhenti dan berpaling ke arah Yan Jit. "Apa lagi yang kau nantikan?" Yan Jit segera menegur. "Kepergianku kali ini, mungkin juga bisa berakibat kematian bagiku, maka...."

"Maka kenapa?"

"Maka, sekarang kau harus memberitahukan rahasia tersebut kepadaku....!"

"Tidak bisa."

"Kenapa tidak bisa?"

"Sebab kau dasarnya memang bodoh"

"Dalam hal mana aku bodoh?"

"Karena kali ini kau tidak bakal mati"

"Kau yakin?"

"Aaai.... kalau dibilang kau bodoh, ternyata kau memang benar-benar bodoh" kata Yan Jit sambil menghela napas panjang.

Setelah menatap wajah Kwik Tay-lok, tiba-tiba sorot matanya berubah menjadi sangat lembut katanya pelan. "Seandainya aku tidak miskin, masa aku tega membiarkan kau pergi seorang diri?"

"Kau sungguh amat bodoh!" Bwe Ji-lam memandang wajah Kwik Tay lok dan menggelengkan kepalanya berulang kali: "Kau betul-betul bodohnya setengah mati!" ia melanjutkan. "Atas dasar apakah kau menuduhku bodoh?" seru Kwik Tay-lok dengan mata melotot. "Semua hal bodoh, kenapa kau tak bisa berubah menjadi sedikit lebih pandai?"

"Bolehkah aku tidak pintar? Bolehkah aku bodoh sedikit?"

"Tentu saja boleh!" Ditepuknya bahu Kwik Tay-lok pelan, kemudian katanya lebih lanjut sambil tersenyum: "Sebab ada banyak orang perempuan yang suka lelaki yang agak bodoh, maka teruskan saja kebodohanmu itu."

"Apakah kau adalah salah satu diantara sekian banyak gadis-gadis itu....?"

"Aku tidak dan lagi aku tak berani." jawab Bwe Ji-lam sambil tertawa mengikik. Seraya berkata dia melirik sekejap Yan Jit yang berada di bawah dinding situ, lalu sambil tertawa cekikikan berkelebat ke muka seperti seekor burung walet. Tentu saja dia tak bisa terbang, tapi gerakan tubuhnya memang lebih indah dan menawan daripada seekor burung walet. Kwik Tay-Iok berdiri di ujung tembok sambil termangu, agaknya ia sudah dibikin terpesona oleh keindahan orang. Sambil menggigit bibirnya dan mendepakkan kaki ke tanah, Yan Jit kembali berseru: "Telur busuk, kenapa kau tidak segera melakukan pengejaran?" Kwik Tay-lok memperhatikannya, seakan-akan telah menemukan sesuatu, tapi seakan-akan pula tidak berhasil menyaksikan sesuatu, dia seperti mau berbicara tapi seperti juga tidak akan berbicara apa. "Kau tak usah kuatir, aku pasti dapat menyusulnya, aku tak bakal salah mengejar orang." Yan Jit berdiri di dinding pekarangan, agaknya diapun dibikin agak terperana. Mungkin bukan terperana, melainkan dibikin mabuk kepayang. Sepasang matanya yang jeli tampak bertambah sipit dan mengecil, mukanya berubah menjadi merah membara karena jengah, bukankah ini semua pertanda dari seseorang yang lagi dibuat mabuk kepayang... Tapi mengapa dia mabuk kepayang? Sampai akhirnya, dia baru bertanya: "Kau akan menunggu aku atau tidak?"

"Telur busuk, tentu saja aku akan menunggumu." katanya. "Berapa lama?"

"Berapa lama pun akan kutunggu." Waktu itulah Kwik Tay-lok baru tertawa, apa yang membuatnya menjadi mabuk kepayang.    Tiada orang yang bisa menjawab, mungkin selain orang yang bersangkutan tak nanti orang lain bisa memberikan jawaban yang tepat.

***

Kim Toa-say.

Bila seseorang menamakan dirinya sebagai Toa-say, maka entah dia benar-benar seorang jendral atau bukan, paling tidak tampang maupun dandanannya pasti mirip Toa-say. Kim Toa-say memang memiliki gaya dan dandanan yang luar biasa sekali....

Dia sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kebanyakan orang yang ada di dunia ini. Bukan cuma tinggi, badannya pun besar, kekar dan sangat berotot. Orang yang berperawakan tinggi besar, selalu mendatangkan suatu kewibawaan yang besar

dan menggetarkan perasaan orang. Kendatipun usianya telah mencapai lima puluh tahunan, namun berdiri di sana, tampak

punggungnya tegak lurus seperti pena, sinar matanya tajam bagaikan sembilu, walaupun jenggotnya tidak terlampau panjang, namun amat lebat dan hitam. Pakaian yang dikenakan sudah barang tentu sebuah pakaian yang amat serasi dengan potongan badannya, bahan dari bahan yang mahal, sekalipun kau tidak tahu Kim Toa-say paling tidak juga tahu kalau dia bukan seorang prajurit tanpa nama. Dalam sekilas pandangan saja, Kwik Tay-lok sudah tahu kalau dia adalah Kim Toa-say. Sewaktu Bwe Ji-lam kabur ke situ, ia sedang berdiri di bawah pohon Tho di depan rumah serta menikmati bunga-bunga tho yang baru mekar, sementara mulutnya membawakan sebait syair. Tampaknya sang Jendral ini adalah seorang yang cukup tahu akan arti seni. Begitu bertemu dengannya, dalam kelopak mata Bwe Ji-lam seakan akan sudah mengembeng air mata, hampir saja ia menubruk ke dalam rangkulannya sambil entah apa saja yang dikatakan. Kwik Tay lok tidak mendengar apa yang dikatakan, tapi menyaksikan hawa amarah yang menghiasi wajah Kim Toa-say, lalu terdengar orang itu membentak keras: "Diakah orangnya?" Bwe Ji-lam mengangguk tiada hentinya, sementara air matanya jatuh bercucuran membasahi wajahnya. Kwik Tay-lok yang menyaksikan semua kejadian tersebut menjadi geli bercampur kagum, pikirnya: "Aaai.... tidak kusangka semua perempuan yang ada di dunia ini berbakat semua untuk bermain sandiwara." Sementara itu wajah Kim Toa-say telah diliputi hawa amarah yang makin meluap, sambil melotot ke arah Kwik Tay-lok, bentaknya: "Kau ingin kabur?"

"Aku sama sekali tidak kabur, bukankah aku masih berdiri di sini dengan baik-baik?"

"Bagus, bagus.... kau amat bagus!" Agaknya ia tak mampu berkata-kata lagi saking gusarnya. "Kali ini ucapanmu sangat tepat, sebetulnya aku memang baik-baik sekali," jawab Kwik Tay-lok. Kim Toa-say meraung keras. "Betul-betul menggemaskan hati lohu!"

"Kalau gemas, lebih baik mampus saja!" Sepasang mata Kim Toa-say berubah menjadi merah mengerikan, seakan-akan tiap saat ia bisa jatuh pingsan karena mendongkolnya. Untung saja Bwe Ji-lam telah datang tepat pada waktunya untuk memayang dirinya. Entah sedari kapan, dia sudah mengeluarkan sebuah gendewa raksasa berwarna kuning emas serta kantung kulit menjangan yang kelihatannya berat sekali. Begitu menerima busur raksasa itu, seluruh tubuh Kim Toa-say seakan-akan segera berubah, berubah menjadi segar bersemangat, berubah menjadi keren dan seperti lebih muda kembali. Sebenarnya Kwik Tay-lok ingin membuatnya menjadi kheki, tapi sekarang ia tak berani gegabah lagi. Bila seorang jago kenamaan telah membawa senjata andalannya, maka andaikata kau berani gegabah, sudah pasti jiwanya akan melayangnya.... Tiba-tiba terdengar Kim Toa-say membentak keras: "Kena!" Bersamaan dengan menggemanya suara bentakan itu seluruh angkasa penuh dengan cahaya

keemas-emasan yang tinggi di angkasa, bagaikan hujan badai saja berbareng ke tubuh Kwik Tay-lok. Ternyata bidikan sakti dari Kim Toa-say memang bukan suatu ancaman yang bisa di anggap sebagai barang mainan. Untung saja Kwik Tay-lok telah mempunyai persiapan yang cukup matang.... Sekalipun bidikan dari peluru-peluru sakti Kim Toa say dilancarkan dengan kecepatan luar biasa, namun diapun sanggup untuk menyambutnya dengan tak kalah cepatnya. Seandainya dari langit ada emas yang jatuh, maka setiap orang pasti akan menyambutnya dengan cepat, apalagi dia pada dasarnya memang mempunyai kepandaian sesungguhnya. Bwe Ji-lam yang menonton dari samping tiba-tiba berteriak keras: "Babi yang tamak dan rakus itu perlu di jagal lebih dahulu!" Entah Kwik Tay-lok tidak mendengar, atau tidak mengerti teriakan tersebut, ia tidak menggubris. Kedua belah sakunya sudah penuh dengan peluru, begitu peluru tadi disambut dengan jaring kemudian dimasukkan ke dalam saku. Secara beruntun Kim Toa say telah membidikkan dua puluh satu biji peluru, setiap kali sudah melepaskan bidikan, ia selalu berhenti untuk menghembuskan napas, inilah kesempatan yang baik bagi anak muda itu untuk masukkan peluru emas  tersebut dari jaring ke dalam saku. Bagaimanapun besarnya kantung, tak akan seperti napsu serakah orang yang tak pernah

habis, akhirnya toh kantung itu penuh juga. Ketika Kwik Tay-lok pergi dari sana, sakunya sudah penuh dengan peluru emas.

Menanti kantung itu sudah penuh, ia baru manfaatkan kesempatan dikala Kim Toa-say sedang mengatur napas untuk kabur.  Tentu saja dia ingin meninggalkan tempat itu dengan kecepatan paling tinggi, tapi entah mengapa ternyata gerakan tubuhnya tidak bisa secepat tadi lagi. Untung saja perawakan tubuh Kim Toa-say terlampau besar, usianya juga sudah lanjut, sekalipun melakukan pengejaran, belum tentu bisa menyusulnya. Sewaktu melompat turun tadi, Kwik Tay-lok masih ingat di sudut dinding pekarangan itu terdengar sebuah sumur. Ternyata daya ingatannya cukup baik, dan rupanya belum dibikin silau oleh gemerlapnya cahaya emas, maka dengan cepat ia berhasil menemukan sumur tersebut. Tentu saja Yan Jit masih menunggu kedatangannya di luar sana. "Tak ada selanjutnya, asal kau dapat menyambut serangan peluru beruntunnya, maka dengan

cepat kau akan berubah menjadi seorang kaya baru." Setelah menjadi orang kaya, berarti tak usah melihat tampang dari para penagih hutang lagi. Kwik Tay-lok meraba isi kantungnya yang penuh berisi peluru emas, tak tahan lagi dia tersenyum sendiri, diawasinya ujung dinding pekarangan, kemudian setelah mundur dua langkah untuk mengambil ancang-ancang, dia lantas merentangkan lengannya dan melompat sekuat tenaga ke atas dengan jurus Yancu-cuan ini (burung walet menembusi awan). Tadi, dia melompat naik ke atas dinding pekarangan tersebut dengan gerakan tersebut, sekarang tentu saja dia mempunyai keyakinan. Siapa tahu, keadaan yang dihadapinya sekarang jauh berbeda. Tenaga lompatan yang dipergunakannya sekali ini jauh lebih besar dari pada tadi, namun sewaktu hampir mencapai puncak dinding, ketika berada enam tujuh depa dari tempat semula, mendadak kepalanya hampir saja menumbuk di atas dinding tersebut, hampir saja kepalanya berlubang.

Walaupun tak sampai berlubang, namun akibatnya ia jatuh terlentang ke atas tanah. "Apa yang telah terjadi?" Masa ilmu meringankan tubuhnya secara tiba-tiba menjadi mundur sejauh ini? Sambil memegangi kepalanya Kwik Tay-lok merasa kejadian ini sedikit agak aneh, ia benar-benar tidak habis mengerti. Kalau tidak habis mengerti, berarti dia harus mencoba lagi.

Tapi hasil tetap sama saja, bukan cuma kepalanya saja yang hampir berlubang, badannya turut jatuh terlentang keatas tanah. Mendadak ia merasa bahwa sewaktu melompat naik tadi, pada pinggangnya seakan-akan terdapat sepasang tangan yang menariknya ke bawah. Tentu saja di atas pinggangnya itu tiada tangan, yang ada hanyalah peluru emas. Akhirnya Kwik Tay-lok menjadi paham sendiri, apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi. Seandainya tiap butir peluru emas, itu ibaratnya mencapai empat tahil, itu berarti empat puluh biji peluru emas mempunyai berat mencapai sepuluh kati lebih.

Siapa saja itu orangnya, bila didalam sakunya tahu-tahu diberi beban seberat dua tiga puluh kati, sudah barang tentu ilmu meringankan tubuhnya akan jauh mengalami kemunduran. Tadi, andaikata ia menerima dua kati lebih kurang dari jumlah yang diterimanya sekarang, mungkin sekarang ia sudah melompati dinding pekarangan itu dan bertemu dengan Yan Jit. Tapi itu pun tidak menjadi soal, toh pasti ada akal untuk mengatasinya....  Di sudut dinding sana, rerumputan tumbuh amat lebat dan tinggi. "Seandainya kusembunyikan peluru emas itu ke balik semak, sudah pasti tak akan ada orang yang menduganya" Siapa yang akan mengira kalau ada orang bakal membuang emas ke balik semak? Kwik Tay-lok kembali tertawa, dia segera melepaskan kedua buah kantung itu dan menyembunyikannya ke balik semak belukar. Setelah itu dia baru melompat naik ke atas dinding.

Ia sangat mengagumi kemampuan sendiri. Ia merasa semua perbuatannya amat bagus, amat berakal dan amat berkekuatan.    Andaikata berganti dengan orang lain, sudah pasti dia akan putar otak di bawah dinding situ, malah siapa tahu sudah kena dikejar oleh Kim Toa-say. Kalau orang yang begitu berotak dan berpikiran semacam dia tak bisa kaya di kemudian hari,

kejadian seperti ini baru aneh namanya. Betul juga, Yan Jit mash menunggunya di luar. Dalam waktu singkat Kwik Tay-lok telah mengisahkan semua pengalamannya itu kepada nya, kemudian tak tahan lagi dia berkata sambil tertawa: "Bukankah, kaupun amat mengagumiku?"

"Sekarang masih terlampau awal untuk mengagumi dirimu."

"Masih terlampau awal?"

"Sekarang, peluru emas itukan masih berada dirumah orang lain."

"Aaah, soal itu mah gampang sekali..." seru Kwik Tay-lok sambil tertawa, "bukankah di atas pelana Swan Bwe thong juga terdapat segulung tali panjang. Yan Jit mengangguk, tadi iapun sempat melihatnya. "Sekarang, aku akan masuk lagi dan mengikat kedua kantung itu dengan tali, kemudian kau, menariknya dari luar dinding.... coba bayangkan gampang bukan"

"Yaa, memang gampang!" Kwik Tay-lok segera tertawa, lanjutnya: "Asal kita punya otak, maka bagaimanapun sulitnya suatu pekerjaan, niscaya akan berubah menjadi gampang dengan sendirinya." Tak tahan Yan Jit tertawa, katanya pula: "Karena itu, kau selalu mengagumi dirimu sendiri?"

"Yaa, apa boleh buat, kalau aku tidak mengagumi diriku sendiri, siapa pula yang akan mengagumi diriku?" Kuda Bwe Ji-lam di parkir di bawah pohon sana di atas pelananya memang tergantung sesuatu tali. Agak lama Kwik Tay-lok menunggu di luar dinding, setelah merasa bahwa dibalik dalam sudah tiada bersuara lagi, ia baru melompat masuk ke dalam. Ternyata kedua buah kantong itu masih berada ditempat semula. Kwik Tay-lok merasa puas terhadap ketepatan dugaannya. Ia menyaksikan Yan Jit menarik kedua buah kantung itu dari luar dinding pekarangan, kemudian menariknya keluar. Kemudian iapun mendengar suara Yan Jit berbisik dari luar. "Aku telah menerimanya, hayo keluarlah dari sana"

"Sekarang Kwik Tay-lok baru bisa menghembuskan napas lega, akhirnya sukses juga usahanya ter sayang kembali bagaimana sikap para penagih hutang yang gelagapan sewaktu melihat tumpukan emas sebanyak itu, hampir saja ia tertawa tergelak-gelak. Maka dia lantas melompat ke atas dan dengan enteng dia telah berada di luar pekarangan. Waktu itu, Yan Jit telah berada di bawah pohon di luar lorong sana, berdiri disamping kuda sambil menantikan kedatangannya. Sewaktu ia sampai di situ, Swan Bwe-tong juga sedang munculkan diri lewat pintu depan. "Bagaimana dengan Kim Toa-say?" tak tahan Kwik Tay-lok segera bertanya cepat. Sambil menutupi bibirnya menahan rasa geli, sahut Bwe Ji-lam: "Hampir saja dia mati karena mendongkol, sekarang telah kembali ke kamarnya untuk berbaring".

"Sekarang kau sudah ngeloyor keluar, tidak kuatir jika ia sampai menaruh curiga?"

"Tidak menjadi soal, selesai membagi harta, untuk kembali lagi ke sanapun masih sempat." Setelah tersenyum, lanjutnya:

"Untung saja uangnya tak pernah dihamburkan sampai habis, sekalipun kita mendapat sedikit bagiannya, aku rasa juga tak menjadi soal." Tiba-tiba saja Yan Jit berkata: "Bukankah kita telah berjanji, bagian yang kita peroleh akan dibagi menjadi tiga dan tujuh ?"

"Benar!" Bwe Ji-lam mengangguk. "Baik, kau boleh mendapat tujuh bagian, kami hanya akan mengambil tiga bagian saja." Bwe Ji-lam tertegun. Kwik Tay-lok juga hampir saja melompat bangun, teriaknya tertahan:  "Apa? Kau akan membagikan tujuh bagian kepadanya?"

"Seandainya dia menginginkan semuanyapun akan kuberikan!"

"Kau..... apakah kau sudah kena ditenung? Atau kepalamu mungkin rada pusing?"

"Yang lagi pusing adalah kau, bukan aku" Tiba-tiba ia melemparkan kedua buah kantung itu ke arah Kwik Tay-lok.... Karena tidak menaruh perhatian, Kwik Tay-lok tidak berhasil untuk menerimanya, kantung berisi peluru itu segera terjatuh ketanah. Yang berserakan bukan peluru dari emas, melainkan peluru dari besi semua.... Memandang peluru-peluru besi yang berwarna hitam dan bergelindingan di atas tanah itu, Kwik Tay-lok berdiri tertegun, hampir saja biji matanya melompat keluar. "Coba katakan sekarang, siapa yang sebetulnya lagi pusing, kau atau aku?" seru Yan Jit lagi sambil tertawa hambar. "Tapi aku..... jelas melihat kalau yang dibidikkan ke arahku adalah peluru emas" Yan Jit menghela napas panjang.

"Aai.... tampaknya orang ini selain pusing, matanya juga sudah kabur...." Kwik Tay-lok tertegun beberapa saat lamanya, mendadak ia menuang isi kantung itu keluar, mendadak dijumpainyai ada sebutir peluru berwarna emas yang menggelinding keluar. Hanya ada sebutir yang benar-benar merupakan peluru emas. Bwe Ji-lam memungutnya dan diperhatikan sekejap, tiba-tiba ia berkata: "Coba kalian lihat, di atas peluru ini berukirkan beberapa huruf."

"Apa yang tertulis di situ?" Ketika Bwe Ji-lam membaca tulisan di atas peluru tersebut, mimik wajahnya kelihatan agak

aneh, sampai lama kemudian ia baru menghela napas seraya tertawa getir, katanya: "Lebih baik kau melihat sendiri saja."

Di atas peluru emas itu tertera sebaris tulisan yang berbunyi. "Jika seseorang terlalu tamak, emas yang sudah ditanganpun akan berubah menjadi besi rongsok!"

"Babi yang tamak dan rakus harus dijual lebih dahulu" Teringat akan ucapan dari Bwe Ji-lam tersebut, kemudian membaca pula serangkaian tulisan di atas peluru emas tersebut, mimik wajah Kwik Tay-lok ibaratnya orang yang baru saja makan

empedu yang pahit. Yan Jit memperhatikan wajahnya, kemudian memperhatikan pula Bwe Ji-lam, setelah itu katanya sambil tertawa getir. "Sudah pasti Kim Toa-say telah mengetahui maksud kedatangan kita"

"Ehmm!"

"Dan lagi diapun tahu kalau kau sedang membantu untuk membohonginya!"

"Ehmm!"

"Tapi dia masih sengaja berlagak pilon, karena..."

"Karena pada dasarnya dia memang seorang yang supel dan berjiwa besar...." sambung Bwe Ji-lam, "sekalipun dia tahu kalau kami menipunya, ia tak ambil perduli, cuma sayang...." Ia memandang sekejap ke arah Kwik Tay-lok dan tidak berbicara lagi. Kwik Tay-lok justru yang menyambung ucapannya itu: "Cuma sayang aku terlampau tamak, seakan-akan kalau kita hendak membawa kabur segenap peluru emas yang dimilikinya saja."

"Tapi hal inipun tak bisa menyalahkan dirimu."

"Kalau tidak menyalahkan aku harus menyalahkan siapa?"

"Setiap orang tentu mempunyai titik kelemahan, entah siapapun itu orangnya, suatu ketika toh akan menjadi tamak juga."

"Apalagi kau tamak bukan demi kepentingan dirimu sendiri." lanjut Yan Jit, "kau berbuat demikian demi teman, mana mungkin kau seorang bisa mempunyai hutang sebesar itu" Tiba-tiba Kwik Tay-lok tertawa, lalu berkata: "Padahal kalian tak perlu menghibur hatiku, sesungguhnya aku sama sekali tidak merasa sedih."

"Oooooh ..."

"Walaupun emas-emas itu berubah menjadi besi rongsokan, tapi kedatanganku kali ini bukannya sama sekali tak ada hasilnya."

"Betul, paling tidak kau masih memperoleh sebutir peluru emas." sahut Bwe Ji-lam sambil tertawa paksa. "Yang kumaksudkan sebagai hasil bukanlah peluru emas tersebut."

"Lantas apa?"

"Sebuah pelajaran yang sangat baik." Ditatapnya tulisan di atas emas itu, kemudian pelan-pelan melanjutkan: "Bagiku, pelajaran yang berhasil kuraih ini paling tidak jauh lebih berharga daripada seluruh emas yang berada di dunia ini." Bwe Ji lam memandang ke arahnya, sampai lama kemudian ia baru tersenyum, katanya. "Sekarang aku baru mengerti, kenapa ada orang yang begitu menyukai dirimu, ternyata kau memang seorang yang benar-benar menarik hati."

"Sekarang kau baru tahu?"

"Ehmm...."

"Aku sudah tahu lama sekali." kata Kwik Tay-lok tertawa. Tiba-tiba Yan Jit menimbrung... "Cuma sayang ada satu hal lain tidak kau ketahui."

"Soal apa?"

"Didalam pandangan penagih-penagih hutang tersebut, yang paling menarik atas dirimu adalah dikala kau punya uang, bila kau tak punya uang untuk membayar hutang, tahukah kau apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirimu?" Senyuman Kwik Tay-lok segera lenyap tak membekas, sambil bermasam muka dia menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tidak tahu!" katanya. Ia tahu, bagaimanapun baiknya suatu pelajaran, tak mungkin bisa dipakai untuk membayar hutang. Bwe Ji-lam mengerdipkan matanya, kemudian bertanya: "Banyakkah hutang kalian kepada orang lain?"

"Ehmmm ..."

"Hutang berapa?"

"Aaai sebetulnya tidak terlalu banyak." ujar Yan Jit sambil menghela napas. "cuma selaksa tahil perak." Bwe Ji-lam seperti menarik napas dingin, untuk beberapa saat lamanya ia berdiri tertegun disitu, tiba-tiba katanya: "Aaah, Kim tao-siok pasti sedang menunggu aku, maaf, aku tak bisa berdiam terlalu lama lagi di sini, selamat tinggal." Belum selesai dia berkata, tubuhnya sudah melompat naik ke atas kudanya.... Memperhatikan gadis itu melarikan kudanya meninggalkan tempat itu, tak tahan Kwik Tay-lok menghela napas panjang, gumamnya: "Mengapa orang lain pada melarikan diri terbirit-birit setelah mendengar kita punya hutang yang banyak?" Yan Jit termenung dan berpikir sejenak, kemudian sahutnya: "Karena diapun ingin memberi suatu pelajaran yang sangat baik kepadamu...!"

"Pelajaran apa?"

"Jika seseorang ingin hidup dengan bebas merdeka dan riang gembira, lebih baik kalau jangan sampai berhutang kepada orang lain." Pelan-pelan Kwik Tay-lok mengangguk. "Yaa, bila seseorang menginginkan dirinya disukai teman, lebih baik memang jangan berhutang". Hal mana memang merupakan sebuah pelajaran yang sangat baik, yang berharga untuk diingat oleh setiap orang. Tapi bagaimana kalau kau berhutang demi teman? Tiba-tiba Yan Jit berkata: "Aku lihat, lebih baik kau menyingkir dulu dan bermainlah selama beberapa hari di tempat lain!"

"Kau suruh aku kabur?" seru Kwik Tay-lok dengan mata melotot. "Kau toh sudah berjanji kepada orang lain untuk membayar semua hutangmu dalam dua hari ini? Mana boleh kau pulang dengan tangan hampa?"

"Kau kira aku bisa melakukan perbuatan yang begitu memalukan?"

"Tapi kau telah menunggak hutang."

"Menunggak hutang adalah satu persoalan, kabur adalah persoalan lain, jika hanya menunggak hutang, suatu ketika masih bisa dibayar, tapi kabur setelah menunggak hutang, maka dia tidak terhitung seseorang manusia lagi." Yan Jit memandang ke arahnya, kemudian tersenyum, katanya: "Kau memang seorang manusia!"

"Lagi pula seorang yang menarik, cuma sayang rada miskin." sambung Kwik Tay-lok sambil tertawa pula. Keadaan dari perkampungan Hok-kui-san-ceng masih seperti sedia kala, walau bagaimana pun kau memandang, sedikitpun tidak mirip sebagai suatu perkampungan yang kaya dan terhormat. Tapi pagi ini, keadaannya rada sedikit berbeda. Di luar pintu gerbang perkampungan Hok-kui-san-ceng yang selamanya sepi dan lenggang tiba-tiba muncul beberapa ekor kuda. Selain itu tampak pula beberapa orang berbaju keren dan necis berdiri di bawah pohon yang rindang di luar perkampungan itu. Ketika Yan Jit menyaksikan kehadiran mereka dari kejauhan, tanpa terasa ia menghela napas panjang, katanya sambil tertawa: "Tampaknya para penagih hutangmu telah pada menanti di luar sana!"

"Ehmmm!"

"Kau bermaksud hendak menghadapi mereka dengan cara apa?"

"Aku hanya mempunyai satu cara!"

"Apa caramu itu?"

"Berbicara dengan sejujurnya!" Sinar matahari yang baru terbit menyinari raut wajahnya, muka itu tampak cerah dan jujur,

seakan-akan sedang berkilat. Menyusul kemudian, ia berkata lebih lanjut: "Aku bersiap sedia untuk memberitahukan kepada

mereka dengan sejujurnya, walaupun sekarang aku tak punya uang untuk membayar namun dikemudian hari pasti akan berusaha untuk mengembalikan kepada mereka.... mungkin cara ini kurang baik, tapi aku sudah tidak berhasil menemukan cara yang lain lagi." Yan Jit memandang ke arahnya lalu tersenyum. "Tentu saja kau tak akan menemukan cara yang lain, sebab sesungguhnya cara tersebut merupakan cara yang terbaik, di dunia ini tiada cara lain yang lebih baik daripada cara itu."

Penagih hutangnya berjumlah enam orang. Ke enam orang penagih hutang itu berdiri semua di luar halaman, menanti dengan tenang. Begitu melangkah keluar, Kwik Tay-lok segera berseru dengan lantang, "Saudara sekalian, maaf seribu kali maaf, sekarang meski aku belum punya uang untuk mengembalikan kepada kalian, tapi..." Perkataan itu belum sempat diselesaikan, tatkala seseorang menukas pembicaraannya itu. Seorang tauke she Chee segera berebut berkata: "Apakah Kwik toaya mengira kami untuk menagih hutang?"

"Memangnya bukan?" seru Kwik Tay-lok tertegun. Cho tauke segera tertawa lebar. "Kami kuatir kalau barang kebutuhan kalian masih belum cukup, maka sengaja menghantarnya kemari untuk toaya pakai."

"Tapi.... tapi.... aku sudah banyak berhutang kepada kalian" seru Kwik Tay-lok tergagap. Seorang tauke she thio cepat-cepat menimbrung: "Hutang-hutang tersebut sudah dilunasi orang."

"Yaa, hutang Toaya toh hanya suatu jumlah yang kecil saja" sambung Tauke Chee sambil tertawa paksa, "sekalipun Kwik toaya seorang kekurangan uang, masa kami akan mendesakmu terus menerus?" Kwik Tay-lok menjadi tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian tak tahan ia lantas bertanya: "Sebetulnya siapa yang telah melunasi hutang-hutangku itu?"

"Terus terang saja, kami sendiripun tak tahu siapa yang telah melunasi hutang hutang tersebut" sahut Thio tauke sambil tertawa. Kwik Tay-lok makin tercengang. "Masa kalian sendiripun tidak tahu?" dia berseru: "Sewaktu aku bangun tidur pagi tadi, di atas meja di luar kamarku telah kebayar beberapa tumpuk uang perak..."

"Beberapa tumpuk? Masa uang perak juga dihitung dengan tumpukan?" tak tahan Kwik Tay-lok kembali berseru. "Sebab segel di atas uang perak itu berbeda, ada yang berasal dari kota Ki-lam, ada pula yang berasal dari ibu kota, setumpuk demi setumpuk dipisahkan satu sama lainnya, tapi di bawah tumpukan uang perak itu kedapatan secarik kertas yang menerangkan kalau uang tersebut dipakai untuk membayar hutang-hutang Kwik toaya." kata Chee tauke menerangkan. "Sudah tentu teman Kwik toaya mengetahui kalau belakangan ini Kwik toaya sedang kesulitan, maka sengaja mengirim uang kemari tapi kuatir Kwik toaya enggan menerimanya, oleh sebab itu sengaja dikirim ke toko kami..." Thio tauke menambahkan. Sambil tertawa paksa Chee tauke kembali berkata: "Teman-teman Kwik toaya pasti adalah sahabat-sahabat persilatan yang setia kawan,

walaupun kami berdagang kecil-kecilan, juga bukan orang yang terlalu kemaruk dengan harta." Sambil tertawa paksa pula Thio tauke meneruskan: "Oleh sebab itu, pagi-pagi sekali kami datang kemari." Tentu saja mereka datang pagi sekali.  Setelah bertemu dengan jago-jago persilatan yang di tengah malam buta bisa masuk ke rumah mereka dengan leluasa, mana mereka berani bertindak seenaknya sendiri Apalagi masih ada uang dalam jumlah besar yang bisa didapatkan, Kwik Tay-lok tertegun beberapa saat lamanya, pada hakekatnya ia sudah dibikin pusing tujuh keliling dan tak tahu apa gerangan yang telah terjadi. "Berapa tumpuk uang yang telah kalian terima?" tiba-tiba Yan Jit bertanya. "Semuanya tiga tumpuk, bukan saja cukup untuk melunasi hutang, malahan masih ada sisanya." jawab Chee tauke. "Oleh sebab itu semua keperluan Kwik toaya selama dua bulan mendatang, entah apa pun yang dilakukan. silahkan memesannya kepada toko kami...." Thio tauke menambahkan. "Dan sekarang, kami tak berani mengganggu terlalu lama lagi, maaf kami ingin mohon diri lebih dahulu" Maka seorang demi seorang mereka menjura, kemudian mengundurkan diri dari situ. Setibanya di pintu luar, masih kedengaran suara helaan napas mereka diiringi suara bisik-bisik: "Sungguh tak kusangka, Kwik toaya ternyata mempunyai teman baik sebanyak itu."

"Yaa, tentu saja hal ini, disebabkan Kwik toaya selalu berjiwa gagah dan cukup bijaksana dalam menghadapi orang lain"

"Yang penting didalam berteman adalah bersetia kawan kalau bisa mempunyai teman seperti Kwik toaya, aku pasti akan merasa puas sekali." Menunggu semua orang telah pergi, Kwik Tay-lok baru menghembuskan napas panjang sambil bergumam: "Benarkah aku sangat bersetia kawan?"

"Agaknya memang begitu," sahut Yan Jit sambil tersenyum, "kalau tidak, masa ada orang yang bersedia membayar semua hutangmu?"

"Ternyata tidak semua orang kabur terbirit-birit setelah mengetahui kalau kita punya hutang banyak."

"Ya, rupanya memang tidak begitu."

"Aaai.... tapi, sebetulnya darimanakah munculnya sahabat-sahabat yang amat setia kawan itu?" kata Kwik Tay-lok sambil menghela napas panjang.. "Kau tak berhasil untuk menemukannya?"

"Sampai pecah kepalaku juga tak akan kutemukan."

"Kalau begitu, tak usah kau pikirkan lagi."

"Kenapa?"

"Sebab perkataan orang-orang itu sangat cengli dan masuk diakal, untuk mencari teman maka hakekatnya sama dengan suatu kesetiaan kawan dibayar dengan kesetiaan kawan, hari ini dia telah datang melunasi hutangmu, tentu saja dibandingkan dahulu kaupun pernah melakukan suatu perbuatan yang setia kawan kepada dirinya." Kwik Tay-lok segera tertawa getir.

"Tapi aku masih saja tak berhasil menemukan siapa orangnya?"

"Banyak orang mempunyai kemungkinan tersebut, misalkan saja si semut merah, Lim hujin, Bwe Ji ka, masih ada lagi pencoleng-pencoleng yang pernah menipumu, andaikata mereka tahu kalau kau sedang didesak oleh hutang sehingga siap sedia terjun ke sungai, besar kemungkinan secara diam-diam mereka akan melunasi hutang-hutangmu itu." Setelah terhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya lebih jauh: "Bahkan Kim Toa-say maupun Swan Bwee thong juga ada kemungkinannya...."   "Kenapa?" Yan Jit tersenyum. "Sebab bukan saja kau adalah seorang sahabat yang sangat baik, dan lagi kau memang benar-benar seorang yang sangat menarik hati." Kwik Tay-lok segera tertawa. "Yaaa... mungkin saja memang benar-benar mereka" gumamnya seorang diri, "sungguh tidak kusangka kalau mereka masih bisa teringat akan diriku..." Dibalik senyuman tersebut, terselip luapan perasaan gembira dan terharunya yang amat sangat... Yang membuatnya berterima kasih dan terharu bukannya mereka telah melunasi hutang-hutangnya yang menumpuk setinggi bukit.... ia terharu dan berterima kasih atas persahabatan mereka yang begitu hangat dan meluap. Di dalam dunia ini hanya ada persahabatan yang selalu utuh dan langgeng sepanjang masa, selama persahabatan tetap ada, maka berarti pula selamanya ada cahaya yang menyinari seluruh

jagad. Coba lihatlah, saat itu sinar sang surya memancar ke empat penjuru dan menyinari seluruh permukaan tanah, dimana-mana tampak cahaya keemasan yang bergemerlapan, seakan-akan Thian secara khusus menyebarkan emas-emas murninya dari langit untuk orang-orang, di dunia ini yang mengerti soal arti dari suatu persahabatan. Sesungguhnya dunia ini memang merupakan suatu dunia yang gemerlapan dengan emas, hanya persoalannya sekarang adalah mengertikah kau untuk membedakan mana yang emas asli dan mana yang bukan serta benda apakah yang sesungguhnya merupakan suatu benda yang

seharusnya dihargai dan disayangi. Yaa, bila tak mampu melakukan hal tersebut, maka apa pula arti dari kehidupan tersebut? Hidup tanpa suatu persahabatan, ibaratnya hidup di tengah kuburan! Ada semacam orang yang tampaknya memang sudah ditakdirkan untuk hidup lebih riang, lebih gembira dari pada orang lain, sekalipun sedang menghadapi masalah yang bagaimanapun besarnya, diapun bisa setiap saat mengesampingkan masalah itu ke samping. Kwik Tay-lok adalah manusia semacam itu. Siapa yang telah melunasi hutan-hutangnya? Di dalam pandangannya, persoalan-persoalan semacam itu pada hakekatnya sudah bukan merupakan suatu persoalan lagi. Maka begitu berbaring di atas ranjang, ia lantas tertidur nyenyak, tertidur sampai sore, sampai Ong Tiong masuk ke dalam kamarnya, ia baru mendusin. Gerak gerik Ong Tiong masih tidak begitu leluasa, maka setibanya di dalam kamar, dia lantas mencari tempat yang paling enak untuk duduk. Sekalipun dulu sewaktu gerak-geriknya masih leluasa, entah ke manapun dia pergi, ia pun selalu mencari tempat yang paling enak dan nyaman untuk duduk. Entah dalam kamar siapapun, rasanya jarang ada tempat yang lebih nyaman daripada diatas ranjang.

Maka Ong Tiong segera menitahkan Kwik Tay-lok untuk menarik kakinya, kemudian ia naik keranjang dan bersandar pada tepiannya. Kwik Tay-lok segera melemparkan sebuah bantal untuk mengganjal punggung rekannya, setelah itu sambil mengucak matanya ia baru bertanya: "Sekarang sudah jam berapa?"

"Aaah, masih pagi, jaraknya dengan saat untuk bersantap malam masih ada setengah jam lebih." Kwik Tay-lok kembali menghela napas, gumamnya: "Seharusnya kau mesti membiarkan aku untuk tidur barang setengah jam lagi." Ong Tiong pun menghela napas panjang. "Aku hanya merasa heran, kenapa kau bisa tidur senyenyak itu?"

"Kenapa aku tak dapat tidur?" sahut Kwik Tay-lok seperti keheranan, sepasang matanya terbelalak lebar. "Andaikata kau bersedia menggunakan otakmu untuk berpikir, mungkin kau tak akan dapat tertidur lagi."

"Apa yang perlu dipikirkan?"

"Tidak ada?"

"Agaknya tidak ada" sahut Kwik Tay-lok sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. "Sudah tahukah kau, siapa yang telah melunasi hutang-hutangmu itu....?"

"Perduli siapa yang telah melunasi hutangku, yang penting hutang itu telah beres, kalau toh mereka enggan memperlihatkan asal usulnya, kenapa pula aku harus memikirkannya terus menerus?"

"Dapatkah kau sedikit mempergunakan otakmu untuk berpikir?"

"Dapat, tentu saja dapat!" Kwik Tay-lok tertawa. Benar juga dia lantas berpikir sejenak. "Kemungkinan terbesar bagiku adalah Lim hujin!" Pengalaman mereka ketika berjumpa dengan Lim hujin tempo hari, pada akhirnya telah diceritakan pula kepada Ong Tiong. Maka Ong Tiongpun bertanya: "Yang kau maksudkan sebagai Lim hujin apakah Lim hujin yang pernah kau bicarakan tempo hari itu?" Kwik Tay-Iok mengangguk. "Setelah diketahui olehnya bahwa Lim Tay-peng berada di sini, tentu saja dia akan mengutus orangnya untuk setiap saat mencari berita tentang kita, setelah mengetahui kalau kita punya hutang yang menumpuk, tentu saja dia akan mengirim orang untuk melunasinya. Setelah berhenti sejenak, sambungnya lebih jauh:

"Akan tetapi ia enggan membiarkan Lim Tay-peng mengetahui kalau dia berhasil menemuinya sampai ke situ, oleh sebab itu diapun berusaha untuk mengelabui kita."

"Ehmm, suatu uraian yang masuk diakal." Kwik Tay-lok tertawa. "Tentu saja uraianku sangat masuk di akal!"

"Sekalipun aku terhitung malas untuk mempergunakan otakku, bukan berarti otakku jauh lebih bodoh dari pada orang lain."

"Kecuali Lim hujin, siapakah orang kedua yang kemungkinan besar telah melunasi hutang-hutangmu itu?"

"Delapan puluh persen adalah Swan Bwe- thong!"

"Mengapa bisa dia?"

"Ketika kusaksikan ia segera minta diri dan berlalu dengan tergesa-gesa setelah mendengar kalau kami punya hutang yang menumpuk, timbul perasaan heran di dalam hatiku, sebab dia bukanlah seorang manusia macam begitu"

"Oleh sebab itu, kau menganggap dia pasti telah kembali ke gedung keluarga Kim dan meminjam uang kepada Kim Toa-say, kemudian menyusul pula kemari serta melunasi hutang-hutangmu?"

"Benar, karena dia sebenarnya suka dengan Yan Jit, tapi kuatir kalau Yan Jit menampik pemberiannya itu oleh sebab itulah sengaja dia membuat demikian."

"Tapi, darimana dia bisa tahu kau telah berhutang kepada toko yang mana?"

"Itu mah gampang sekali untuk diketahui, tentunya kau sendiri juga tahu bukan, Swan Bwe-thong adalah seorang anak gadis yang amat cerdik sekali." Pelan-pelan Ong Tiong mengangguk lagi. "Emm..... inipun masuk diakal."

"Coba kau lihat" seru Kwik Tay-lok sambil tertawa," persoalan tersebut bukankah amat sederhana sekali? Dengan mudah dan tanpa bersusah payah, setiap saat aku berhasil menemukan dua orang diantaranya."

"Tapi, jangan kau lupa masih ada orang yang ketiga."

"Orang itu sudah pasti adalah...." Berbicara sampai di sini, tiba-tiba dia berhenti dan tak sanggup untuk melanjutkan kembali kata-katanya. Sebetulnya banyak orang-orang sudah yang dipikirkan dan terasa ada kemungkinannya, akan tetapi setelah dipikirkan lebih seksama, terasa olehnya bahwa orang-orang itu kecil sekali kemungkinannya. Terdengar Ong Tiong berkata: "Para pencoleng yang pernah menipumu itu meski tidak menganggap kau sebagai telur busuk yang bodoh, sekalipun dalam hati mereka merasa amat berterima kasih kepadamu, mustahil mereka memiliki begitu banyak uang untuk melunasi hutang-hutangmu itu."

"Orang-orang itu sedemikian miskinnya sampai celanapun tak punya, kalau bukan begitu, masa aku akan berbelas kasihan kepada mereka?"

Jilid 23

"ORANG itupun mustahil adalah Bwe Ji-ka, perutnya telah kau tonjok keras-keras, tidak balas menjotos perutmu sudah terhitung amat sungkan sekali." Kwik Tay-lok tertawa getir. "Itulah sebabnya, meskipun aku kena didesak sampai mampus oleh para penagih hutang tersebut, tak nanti dia akan melelehkan setitik air matapun untuk diriku."

"Melelehkan air mata selain lebih leluasa juga lebih gampang untuk dilakukan daripada melunasi hutang orang."

"Itulah sebabnya, orang ketiga sudah pasti bukan dirinya." kata Kwik Tay-lok kemudian. "Bukan saja tak mungkin adalah dirinya juga tak mungkin orang lain."

"Kenapa?"

"Sebab orang lain meski tahu kalau kau berada disini, belum tentu mereka tahu kalau kau sedang didesak hutang yang menumpuk."

"Andaikata ada orang, mendengar kalau kita telah melangsungkan pertarungan melawan Cui-mia-hu dan Cap-sah-toa-to di tempat ini, tahu kalau orang kita ada yang terluka, mungkin tidak mereka akan memburu ke sini?"

"Mau apa datang kemari?"

"Mungkin datang kemari untuk menonton keramaian, mungkin datang untuk membantu kita, membalas budi kepada kita."

"Membalas budi?"

"Misalnya saja si semut merah, si semut putih, mungkin saja mereka akan datang kemari untuk membalas budi kepada kita karena tidak membinasakan diri mereka." Akhirnya Ong Tiong mengangguk juga. "Ehmm, memang masuk diakal!" katanya. "Kalau toh memang masuk diakal, bukankah sekarang menjadi tiada persoalan lagi?"

"Persoalan yang sesungguhnya justru berada di sini." Wajahnya keren, serius dan kelihatan berat sekali. Tak tahan Kwik Tay-lok segera bertanya: "Persoalan yang sesungguhnya? Persoalan apakah itu?"

"Kalau toh ada kemungkinan orang datang kemari untuk melihat keramaian, membalas budi itu berarti ada kemungkinan juga orang datang kemari untuk membuat kesulitan atau mencari balas kepada kita."

"Mencari balas?"

"Kau menganggap kita telah melepaskan budi kepada kawanan semut tersebut karena kita tidak membunuhnya, siapa tahu kalau mereka justru telah menganggap kita sebagai musuh besar? Kau hanya membayangkan ketika kita melepaskan dirinya pergi, kenapa tidak kau bayangkan waktu kita menghajar mereka sampai kocar-kacir tak karuan?" Kwik Tay-lok menjadi tertegun.

"Apalagi Cui-mia-hu dan tiga belas golok besar bukannya tidak mempunyai teman-teman yang cukup setia kawan" ujar Ong Tiong lebih jauh, "bila mereka tahu kalau rekan-rekannya telah dipecundangi di sini, kemungkinan besar dia akan menyusul kemari dan membalas dendam terhadap diri kita" Kwik Tay lok segera menghela napas panjang. "Ucapan itu memang masuk diakal" katanya. "Walaupun kau belum pernah berkecimpungan di dalam dunia persilatan, namun berbeda dengan kita, entah siapa saja orangnya yang sedang berkecimpungan dalam dunia persilatan, maka sengaja atau tidak sudah pasti kita pernah membuat salah, terhadap orang-orang itu mengetahui jejak kita, besar kemungkinannya merekapun akan berbondong-bondong datang kemari untuk membuat perhitungan dengan kita." Sekali lagi Kwik Tay-lok menghela napas, katanya sambil tertawa getir: "Aaaai.... tampaknya, otakku belum bisa dianggap sebagai otak yang terlalu cerdik."

"Tapi orang-orang semacam itu masih belum bisa dianggap sebagai suatu masalah yang besar."

"Masih belum bisa dianggap?" Kwik Tay-lok menjadi amat terperanjat. "Masalah yang paling besar adalah dengan banyaknya orang yang mengetahui akan gerak gerik kita, berarti pula tanpa disadari kita sudah menjadi ternama." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya: "Bila seseorang telah menjadi termasyhur, besar atau kecil sudah pasti ada kesulitan yang

berbondong-bondong berdatangan kemari."

"Kesulitan apa?"

"Pelbagai kesulitan, kesulitan yang mungkin tak pernah kau sangka sama sekali."

"Coba katakanlah beberapa macam di antaranya?"

"Misalnya saja ada orang mendengar kalau ilmu silatmu sangat tinggi, maka dia datang untuk mengajakmu beradu kepandaian, sekalipun kau enggan turun tangan, mereka pasti akan mempergunakan pelbagai macam daya untuk memaksamu sampai kau bersedia untuk turun tangan."

"Soal itu mah aku cukup mengerti." kata Kwik Tay-lok. "Kau mengerti!" Kwik Tay-lok menghela napas. "Keadaan tersebut persis seperti keadaanku sewaktu memaksa Kim Toa-say untuk turun tangan, cuma aku tidak menyangka kalau pembalasannya bisa datang dengan sedemikian cepatnya."

"Kecuali orang-orang yang datang mencarimu untuk menantang kau beradu kepandaian, pasti pula ada yang datang mencarimu untuk meminta bantuan, mencarimu untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan, atau bahkan ada pula yang datang untuk meminta ongkos jalan, orang-orang semacam itu akan berdatangan kemari setiap saat dan pada hakekatnya kau tak akan tahu

kapan mereka mau datang." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya: "Bila seseorang telah ternama didalam dunia persilatan, jangan harap ia bisa melewati kehidupan sehari-harinya dengan tenang." Kwik Tay-lok turut menghela napas panjang, gumamnya: "Ternyata menjadi orang ternama pun bukan suatu peristiwa yang menggembirakan."

"Mungkin.... hanya semacam manusia yang merasa ternama itu merupakan suatu keadaan yang menggembirakan"

"Manusia macam apa?"

"Orang yang belum menjadi tenar!" Tiba-tiba dia menghela napas lagi, kemudian menyambung lebih jauh: "Padahal orang yang benar-benar akan menjumpai kesulitan mungkin bukan kau dan aku."

"Kau maksudkan Yan Jit dan Lim Tay-peng?"

"Benar."

"Kenapa kesulitan mereka jauh lebih banyak dari pada kita?"

"Sebab mereka mempunyai rahasia yang tidak bisa diketahui orang lain." Tiba-tiba Kwik Tay-lok melompat bangun dari atas ranjang dan berseru dengan lantang. "Benar, Yan Jit memang mempunyai rahasia yang sangat besar, dia selalu tidak bersedia

untuk memberitahukan kepadaku"

"Apakah sampai sekarangpun kau belum dapat menebaknya?"

"Apakah kau telah berhasil menebaknya?" Tiba-tiba Ong Tiong tertawa, katanya: "Tampak bukan cuma otakmu saja kurang cerdas matapun juga...." Mendadak ia membungkam, rupanya ada orang datang. Kwik Tay-lok segera mendengar ada suara orang berjalan masuk ke dalam halaman luar, tampaknya bukan hanya seorang saja. Pelan-pelan dia merosot turun dari atas ranjang, kemudian pelan-pelan berkata: "Apa yang kau katakan memang benar, ternyata ada orang yang telah datang berkunjung." Ong Tiong cuma tertawa getir. Karena dia sendiripun sama sekali tidak mengira kalau ada orang yang begitu cepat telah datang ke situ. Siapakah yang telah datang? Mungkinkah mereka akan datang sambil membawa kesulitan. Yang datang semuanya berjumlah lima orang. Empat orang yang berada di belakang, semuanya berperawakan tinggi kekar dengan pakaian yang amat perlente, tampaknya sangat keren dan gagah sekali. Tapi bila dibandingkan dengan orang yang berada di depannya, maka ke empat orang itu pada hakekatnya telah berubah seperti empat ekor anak ayam. Padahal orang yang berjalan di depan itu tidak jauh lebih tinggi dari pada mereka, tapi ia justru memiliki suatu kewibawaan yang sangat besar, kendatipun ia sedang berdiri diantara selaksa orang, dalam sekilas pandangan kau masih tetap akan mengenalinya. Orang itu berperawakan tinggi besar dan berwajah gagah, begitu sampai di situ, pintupun tidak diketuk langsung masuk ke dalam halaman dengan langkah lebar, seakan-akan seorang panglima perang yang baru menang dalam medan laga dan kembali ke rumahnya sendiri. Sudah barang tentu Ong Tiong tahu kalau tempat itu bukan rumahnya, Kwik Tay-lok juga tahu. Sebenarnya ia sudah bersiap-siap untuk menerjang keluar... andaikata, ada kesulitan muncul diambang pintu, dia selalu menerjang keluar paling duluan. Tapi kali ini, begitu melihat kemunculan orang tersebut, cepat-cepat ia menarik dirinya kembali

dan mundur ke belakang. "Kau kenal dengan orang itu?" Ong Tiong segera menegur dengan sepasang alis dan berkernyit. Kwik Tay-lok mengangguk. "Orang inikah yang bernama Kim Toa-say?" kembali Ong Tiong bertanya dengan lirih. "Kau juga kenal dengannya?"

"Tidak, aku tidak kenal."

"Kau tidak kenal, dari mana kau bisa tahu kalau dia adalah Kim Toa-say....?"

"Kalau orang ini bukan Kim Toa-say, lantas siapa pula yang bernama Kim Toa-say?" Kwik Tay-lok tertawa getir. "Benar, dia memang mempunyai tampang dan gaya sebagai seorang jendral besar." Kim Toa-say berdiri di tengah halaman, sambil bergendong tangan ia memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, tiba-tiba katanya. "Halaman ini perlu disapu sampai bersih!"

"Baik!" orang-orang yang mengikuti di belakangnya segera membungkukkan badan sambil mengiakan. "Bunga Gwat-ci dan Bo-tan yang tumbuh di situ perlu disirami air, rumput liar perlu di babat sampai bersih."

"Beberapa buah kursi di bawah pohon sana harus diganti dengan tempat duduk baru, sekalian akar pepohonan di sekitarnya"

"Baik!" Ong Tiong yang menyaksikan kejadian itu dari dalam jendela, tiba-tiba bertanya: "Aku menjadi bingung sendiri, sebetulnya rumah ini rumah siapa sih.....?"

"Rumahmu!" Ong Tiong menghela napas panjang. "Aaaai...! Sebenarnya aku juga aku tahu kalau rumah ini rumahku, tapi sekarang aku sendiripun dibikin kebingungan sendiri" Kwik Tay-lok menjadi tak tahan dan tertawa geli, tapi sesaat kemudian dengan kening berkerut katanya: "Heran, kenapa Yan Jit belum juga menampakkan diri?"

"Mungkin dia seperti juga dirimu, begitu melihat Kim Toa-say, perasaannya menjadi keder"

"Kim Toa-say toh tidak kenal dengannya, mengapa dia mesti merasa keder...?" Mencorong sinar tajam dari balik mata Ong Tiong, tiba-tiba ia bertanya pelan: "Pernahkah kau memikirkan tentang satu persoalan?"

"Persoalan apa?"

"Cara Yan Jit melepaskan senjata rahasia boleh dibilang nomor wahid dan tentunya kepandaiannya untuk menerima senjata rahasia pun lumayan juga"

"Yaa, sudah pasti lumayan sekali."

"Lantas, kenapa ia tidak pergi mencari Kim Toa-say dan turun tangan sendiri? Kenapa kau yang diminta untuk pergi menghadapinya?" Kwik Tay-lok menjadi tertegun. "Soal ini.... soal ini belum pernah kupikirkan."

"Kenapa tidak kau pikirkan!" Kwik Tay-Iok tertawa getir. "Karena.... karena.... asal dia suruh aku melakukan suatu perbuatan, maka aku merasa bahwa hal itu amat cengli dan semestinya kulakukan untuknya." Ong Tiong memandang wajahnya dan menggeleng, seakan-akan seorang kakak sedang memperhatikan adiknya. Seorang adik yang kena dibohongi orang setelah diberi gula-gula. Kwik Tay-lok berpikir sebentar, kemudian berkata lagi: "Jadi maksudmu, ia tak berani mencari Kim Toa-say sendiri karena ia takut Kim Toa say berhasil mengenali dirinya?"

"Menurut pendapatmu?" Belum sempat Kwik Tay-lok mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar Kim Toa-say membentak dengan suara dalam: "Siapa yang sedang kasak-kusuk di dalam rumah? Hayo cepat keluar!" Sekali lagi Ong Tiong memandang sekejap ke arah Kwik Tay-lok, akhirnya pelan-pelan dia mendorong pintu dan keluar dari ruangan. Kalau toh Kwik Tay-lok enggan bergerak, terpaksa dia yang harus bergerak. Kim Toa-say mendelik ke arahnya bulat-bulat, kemudian menegur: "Apa yang sedang kau kasak-kusukkan dibalik ruangan?"

"Aku tak perlu bersembunyi, kaupun tak usah mencampuri urusanku, mau berkasak-kusuk atau tidak, itu urusanku pribadi!"

"Siapakah kau?" bentak Kim Toa-say. "Aku adalah tuan rumah tempat ini, aku senang duduk dimana, aku bisa duduk dimana, suka membicarakan soal apa, akupun akan membicarakan soal apa." Setelah tertawa, lanjutnya dengan hambar: "Bila seseorang sedang berada dirumah sendiri, sekalipun dia senang melepaskan celana untuk berkentutpun, orang lain tak akan mencampurinya...." Sebenarnya ia tidak terbiasa mengucapkan kata-kata kasar seperti itu, sekarang dia seakan-akan sengaja hendak merobohkan kewibawaan dari Kim Toa-say. Siapa tahu Kim Toa say malahan tertawa, diawasinya pemuda itu dari atas sampai ke bawah beberapa, lalu katanya sambil tertawa: "Orang ini memang mirip orang she Ong!"

"Aku bukan mirip orang she Ong, aku memang sesungguhnya she Ong!"

"Tampaknya kaulah putera dari Ong-lotoa?"

"Ong lotoa?"

"Ong lotoa adalah Ong Cian-sik, yaitu bapakmu!" Ong Tiong malah menjadi tertegun dibuatnya sehabis mendengar perkataan itu. Ong Cian-siak memang ayahnya, tentu saja dia mengetahui akan nama ayahnya. Tapi orang lain yang mengetahui nama Ong Cian-sik tersebut justru amat jarang. Sebagian besar orang hanya tahu kalau nama dari Ong lo-sianseng adalah Ong Ik-cay.

Orang yang mengetahui nama Ong Cian-sik tersebut, sudah barang tentu adalah sahabat-sahabat karib Ong Cian-sik di masa lalu. Sikap Ong Tiong pun segera berubah, berubah menjadi lebih sungkan, dengan nada menyelidik ia lantas bertanya: "Kau kenal dengan ayahku?" Kim Toa-say tidak segera menjawab pertanyaan itu, dengan langkah lebar ia masuk ke dalam ruangan.

Pintu kamar Kwik Tay-lok berada dalam keadaan terbuka lebar. Dengan langkah tegap Kim Toa-say maju ke depan dan masuk ke dalam kamar, kemudian langsung duduk di hadapan Kwik Tay-lok. Terpaksa Kwik Tay-lok tertawa getir dan menyapa:  "Baik-baikkah kau?"

"Ehmm, masih agak baikan, untung saja belum sampai dibikin mampus karena mendongkol." Kwik Tay-lok mendehem berulang kali, kemudian tanyanya: "Kau sedang mencariku?"

"Mengapa aku harus datang mencarimu?" Kwik Tay-lok menjadi tertegun. "Kalau begitu, ada urusan apa Toa-say datang kemari?"

"Apakah aku tak boleh datang?"

"Boleh, tentu saja boleh," sahut Kwik Tay-lok cepat-cepat sambil tertawa. "Terus terang kuberitahukan kepadamu, sewaktu aku datang kemari, mungkin kau masih belum dilahirkan." seru Kim Toa-say ketus. Dalam perut orang ini, seakan-akan penuh berisi mesiu yang setiap saat bisa meledak, Kwik Tay-lok tidak jeri kepadanya, cuma dia merasa agak rikuh dan keder saja.

Bagaimanapun juga, tindakan yang dilakukan oleh orang itu cukup mengagumkan, pelajaran yang diberikan pun tidak keliru. Setelah tidak memiliki cara lain yang lebih baik untuk menghadapinya, terpaksa Kwik Tay-lok harus angkat kaki. Siapa tahu sepasang mata Kim Toa-say justru setajam sembilu, baru saja kakinya bergerak, Kim Toa-say telah membentak keras: "Berhenti!" Terpaksa Kwik Tay-lok mush tertawa paksa, katanya: "Kalau toh kedatangan bukan untuk mencariku, buat apa aku mesti tetap berada di sini?"

"Aku hendak menanyai dirimu" Kwik Tay-lok menghela napas panjang. "Aaai.... baiklah kau boleh bertanya!"

"Malam ini kalian makan apa?" Ternyata pertanyaan semacam itulah yang diajukan olehnya. Tak tahan Kwik Tay-lok tertawa geli, sahutnya. "Barusan aku mengendus bau Ang-sio-bak, mungkin kita akan makan daging babi masak rebung!"

"Baik hidangkan segera, aku sudah lapar!" Sekali lagi Kwik Tay-lok merasa tertegun. Sekarang dia sendiripun turut menjadi bingung dan tidak habis mengerti sesungguhnya siapakah tuan rumah tempat itu. Terdengar Kim Toa-say membentak lagi: "Hei, aku suruh kau menghidangkan nasi, mengapa masih berdiri termangu-mangu disitu?" Kwik Tay-lok segera berpaling ke arah Ong Tiong. Ong Tiong berlagak tidak melihat apa-apa, seakan-akan apapun tidak terdengar olehnya. Terpaksa Kwik Tay-lok harus menghela napas panjang seraya bergumam: "Ya, memang waktunya untuk bersantap aku sendiri pun merasa laparnya setengah mati". Hidangan telah dikeluarkan, memang tak salah, sayur utamanya hari itu adalah daging babi masak bung. Kim Toa-say juga tidak sungkan-sungkan begitu hidangan disajikan, ia lantas menempati kursi utama. Ong Tiong dan Kwik Tay-lok terpaksa harus mendampinginya di kedua belah samping. Baru saja Kim Toa-say mengangkat sumpitnya, tiba-tiba ia bertanya lagi: "Mana lagi orang-orang lainnya? Kenapa tidak turut datang untuk bersantap?"

"Ada dua orang lagi sakit, mereka hanya bisa minum bubur."

"Bukankah masih ada yang tidak sakit?" Tampaknya dia mengetahui semua persoalan di situ dengan teramat jelasnya. Kwik Tay-lok menjadi sangsi sejenak, kemudian katanya sambil tertawa getir: "Agaknya berada di dapur." Yan Jit memang berada di dalam dapur. Ia tak mau keluar, karena terlalu dekil, maka enggan bertemu orang. Sekalipun ia berkata demikian, terpaksa Kwik Tay-lok hanya bisa mendengarkan saja, sebab bila ia bertanya lebih lanjut, Yan Jit segera akan mendelik.

Bila Yan Jit sudah mendelik, Kwik Tay-lok segera merasakan badannya menjadi lemas tak bertenaga. Terdengar Kim Toa-say berseru kembali: "Dia kan bukan seorang koki, kenapa harus bersembunyi didalam dapur....?" Kwik Tay-lok menghela napas panjang. "Baik, aku akan pergi memanggilnya" Siapa tahu, baru saja ia bangkit berdiri, Yan Jit dengan kepala tertunduk telah menghampirinya, rupanya ia sudah menyadap pembicaraan tersebut dari belakang pintu. Kim Toa say memperhatikannya dari atas sampai ke bawah lalu serunya dengan lantang: "Duduk!" Ternyata Yan Jit benar-benar duduk dengan kepala tertunduk.... hari ini telah berubah menjadi alim sekali. "Baik, hayo makan!" seru Kim Toa-say lagi. Dengan lahapnya dia bersantap lebih dahulu, dalam waktu singkat semua hidangan di meja telah disapu sampai habis. Kwik Tay-lok sekalian hampir tiada kesempatan sama sekali untuk menggerakkan sumpitnya... Setelah semua hidangannya ludas, Kim Toa-say baru meletakkan sumpit dan mengawasi orang-orang yang berada di sana dengan sorot mata tajam. Mula-mula dia mengawasi Ong Tiong, kemudian memandang Kwik Tay-lok, setelah itu dari wajah Kwik Tay-lok dialihkan ke wajah Yan Jit. Tiba-tiba ia berseru: "Ketika kalian mencari gara-gara kepadaku, ide ini timbul dari benak siapa?"

"Aku !" jawab Yan Jit dengan kepala tertunduk.. "Hmm, aku sudah tahu kalau kau." Yan Jit menundukkan kepalanya semakin rendah. Kim Toa-say segera mengalihkan sorot matanya ke wajah Kwik Tay-lok, kemudian ujarnya: "Kau mampu menyambut lima bidikan peluru saktiku sekaligus, kepandaian macam begitu amat jarang bisa dijumpai dalam dunia persilatan."

"Yaa, masih lumayan." tak tahan Kwik Tay-lok tertawa terbahak-bahak. "Siapa yang mengajarkan kepandaian tersebut kepadamu?"

"Aku!"

"Hmm, aku sudah tahu kalau kau!"

"Darimana kau bisa tahu?" tak tahan Ong Tiong bertanya. "Bukan saja aku tahu kalau kau yang mengajarkan kepadanya, juga tahu siapa yang telah mengajarkan kepadamu."

"Oooh...?" Tiba-tiba Kim Toa-say menarik wajahnya, kemudian berseru: "Ketika ayahmu mewariskan kepandaian tersebut kepadamu, apa yang dia katakan kepadamu?"

"Apapun tidak ia katakan."

"Apapun tidak ia katakan?"

"Yaa, karena kepandaian tersebut bukan dia orang tua yang mewariskan kepadaku."

"Kau bohong!" hardik Kim Toa-say. Ong Tiong turut menarik muka, sahutnya dengan dingin: "Kau boleh mendengarkan aku membicarakan berbagai persoalan, tapi tak akan pernah mendengar aku berbohong." Kim Toa-say menatapnya lekat-lekat, lewat lama kemudian ia baru bertanya: "Kalau bukan ayahmu yang mengajarkan kepadamu? Lantas siapa?"

"Aku sendiripun tidak tahu siapa."

"Masa kau tidak tahu?"

"Tidak tahu yaa tidak tahu!" Kim Toa-say mulai menatapnya lekat-lekat lewat lama kemudian ia baru bangkit berdiri sembari berkata: "Ikuti aku keluar dari sini!" Dengan langkah lebar dia berjalan menuju keluar halaman, pelan-pelan Ong Tiong mengikuti di belakangnya hari ini, dia kelihatan seperti berubah rada aneh. Kwik Tay-lok menghela napas panjang, diam-diam bisiknya: "Sekarang aku baru tahu, karena soal apakah Toa-say tersebut datang kemari"

"Oooh?"

"Aku telah mematahkan serangan peluru berantainya, dia pasti merasa sangat tidak puas, maka dia ingin mencari orang yang mengajarkan ilmu itu kepadaku untuk mengajaknya beradu kepandaian!" Sementara di bibirnya ia berkata demikian orang juga turut bangkit berdiri. "Mau apa kau?" Yan Jit segera menegur. "Paha Ong lotoa masih belum sembuh, aku tak dapat menyaksikan dirinya....."

"Lebih baik kau duduk saja dengan tenang" tukas Yan Jit dengan suara dingin. "Kenapa?"

"Apakah kau tak bisa melihat bahwa Ong Tiong yang sedang dicari, bukan kau?"

"Tapi kaki Ong Tiong....."

"Yang digunakan untuk menyambut serangan peluru itu toh bukan kakinya....!" Cahaya dimalam hari itu cukup terang. Ketika Kim Toa-say menyaksikan Ong Tiong berjalan dekat, tiba-tiba dengan kening berkerut tegurnya: "Kakimu....?"

"Aku jarang menggunakan kakiku untuk menerima senjata rahasia, aku masih mempunyai tangan," ujar Ong Tiong dingin. "Bagus!" Tiba-tiba dia menggerakkan tangannya, dengan cepat sebuah busur emas telah siap di atas tangan. Dengan suatu gerakan cepat Kim Toa-say menarik busurnya dan menyerang. Dalam waktu singkat, seluruh angkasa telah dipenuhi oleh cahaya emas yang berkilauan. Siapapun tidak melihat jelas bagaimana caranya melancarkan serangan tersebut. Kwik Tay-lok diam-diam menarik napas dingin, katanya: "Serangannya kali ini mengapa jauh lebih cepat daripada serangannya tempo hari?". "Mungkin dia tak ingin membelikan peti mati untukmu." sahut Yan Jit dengan hambar. "Kalau toh ia enggan menggunakan serangan mematikan untuk menghadapi diriku, kenapa menggunakan serangan yang mematikan untuk menghadapi Ong Tiong? Apakah dia mempunyai dendam dengan Ong Tiong?" Pertanyaan ini tak mampu dijawab, meski oleh Yan Jit pun.   Walaupun ia telah melihat kalau kedatangan Kim Toa-say kali ini pasti mempunyai suatu tujuan, namun ia tak bisa menebak tujuan apakah itu....? Sementara Kwik Tay-lok sedang merasa kuatir buat keselamatan Ong Tiong, mendadak cahaya emas yang memenuhi seluruh angkasa itu lenyap tak berbekas. Ong Tiong masih tetap berdiri tenang di tempat semula, tapi ditangannya memegang dua buah jaring yang sudah penuh berisikan peluru emas. Siapapun tidak melihat jelas cara apa yang dipergunakan olehnya, bahkan pada hakekatnya tidak terlihat jelas bagaimana caranya dia turun tangan. Sekali lagi Kwik Tay lok menghela napas panjang, gumamnya: "Ternyata caranya melancarkan serangan tersebut jauh lebih hebat daripada diriku."

"Kepandaian semacam itu tak mungkin bisa dilatih hanya di dalam satu hari saja, apa yang kau andalkan sehingga ingin mempelajari seluruh kepandaian tersebut di dalam satu hari saja? Memangnya kau anggap bakatmu benar-benar hebat?"

"Bagaimanapun juga, teori serta rahasia dari kepandaian tersebut telah berhasil kupahami."

"Itulah dikarenakan suhu yang memberi pelajaran tersebut cukup hebat...!"

"Tentu saja suhunya hebat." kata Kwik Tay-lok sambil tertawa, "tapi muridnya pun terhitung cukup hebat, kalau tidak, bukan sedari dulu-dulu sudah masuk liang kubur?" Yan Jit menatapnya lekat-lekat, mendadak diapun turut menghela napas panjang. "Aai.... bila suatu ketika kau dapat merubah penyakit membualmu itu, maka aku...."

"Kau mau apa...? Apakah hendak memberitahukan rahasiamu itu kepadaku?" Tiba-tiba Yan Jit tidak berbicara lagi. Mereka sudah bercakap-cakap belasan patah kata banyaknya, namun Kim Toa-say masih berdiri tegak di tengah halaman. Ong Tiong juga berdiri tidak berkutik. Kedua orang itu saling berhadapan mata, aku memandang dirimu dan kaupun memandang aku.    Kembali beberapa waktu sudah lewat, tiba-tiba Kim Toa-say membanting busur emas itu keatas tanah, kemudian berlalu dari situ dengan langkah lebar dan duduk kembali ke atas kursi. Yan Jit dan Kwik Tay-lok juga duduk di situ, duduk sambil memandang ke wajahnya. Lewat lama kemudian, tiba-tiba Kim Toa-say baru berteriak keras: "Mana araknya? Apakah kalian tak pernah minum arak?" Kwik Tay-lok segera tertawa. "Kadangkala minum, cuma jarang sekali, setiap hari paling banter hanya minum empat lima kali. Yang diminumpun tidak terlalu banyak, setiap kali paling banter hanya minum tujuh delapan kati saja." Guci arak sudah tersedia di atas meja. Pagi ini, tentu saja ada orang yang datang mengirim arak, mereka tidak minum karena mereka masih belum terhitung benar-benar seorang setan arak. Sebelum mengetahui jelas maksud kedatangan Kim Toa-say, siapapun enggan minum sampai mabuk. Tapi Kim Toa-say minum lebih dulu. Caranya minum arak juga bergaya seorang jendral, sekali teguk semangkuk penuh arak sudah diteguk sampai habis. Setelah dia mulai minum, Kwik Tay-lok tentu saja tak mau ketinggalan.... Kalau dilihat dari gayanya sewaktu minum arak, tampaknya cepat atau lambat suatu ketika diapun akan dipanggil orang sebagai seorang jendral...." Kim Toa-say mengawasinya sampai pemuda itu menghabiskan tujuh delapan mangkuk arak. Tiba-tiba katanya sambil tertawa. "Kelihatannya sekaligus kau dapat meneguk habis arak sebanyak tujuh delapan kati."

"Memangnya kau anggap aku sedang membual?" seru Kwik Tay-lok sambil mengerling kearahnya. "Kau memang tidak mirip seseorang yang jujur."

"Aku mungkin tak mirip orang jujur, tapi sesungguhnya aku adalah seseorang yang jujur."

"Bagaimana dengan teman-temanmu?"

"Mereka jauh lebih jujur ketimbang aku."

"Kau tak pernah mendengar mereka berbohong?"

"Selamanya tak pernah"  Kim Toa-say mendelik sekejap ke arahnya, tiba-tiba berpaling ke arah Ong Tiong sambil menegur:

"Benarkah kepandaian tersebut bukan ajaran bapakmu?"

"Bukan!"

"Siapa yang mengajarkan?"

"Sudah kukatakan aku sendiripun tidak tahu."

"Masa tidak tahu?"

"Dia belum memberitahukan soal ini kepadaku."

"Tapi paling tidak kau toh pernah berjumpa muka dengan dirinya?"

"Juga tidak, karena sewaktu memberi pelajaran kepadaku, dia selalu memilih waktu malam dan lagi wajahnya selalu mengenakan kain cadar hitam...." Berkilat sepasang mata Kin Toa-say, katanya: "Maksudmu, ada seorang manusia berkerudung yang misterius mencarimu setiap malam."

"Bukan datang mencariku, tapi setiap malam dia selalu menantikan kedatanganku di dalam hutan di pinggir kuburan sana."

"Sekalipun selagi hujan deras angin badai ia juga menunggu?"

"Kecuali beberapa hari menjelang tahun baru, sekalipun malam itu dinginnya membekukan badan, dia tetap menantikan kedatanganku di situ."

"Dia tidak kenal dirimu, kaupun tidak tahu siapakah dia, tapi setiap hari dia selalu menantikan dirimu, tujuannya tak lebih hanya ingin mewariskan kepandaian silatnya kepadamu, bahkan dia sama sekali tidak mengharapkan balas jasa, bukan begitu?"

"Benar!" Kim Toa say segera tertawa dingin. "Percayakah kau bahwa di kolong langit terdapat kejadian yang begini menguntungkannya?"

"Seandainya orang lain menceritakannya kepadaku, mungkin aku tak akan percaya, tapi didunia ini justru terdapat kejadian semacam itu, sekalipun aku tak mau percayapun tak bisa." Sekali lagi Kim Toa-say mendelik ke wajahnya lekat-lekat, lama kemudian ia baru berkata: "Pernahkah kau menguntil di belakangnya? Untuk melihat ia berdiam di mana?"

"Aku pernah mencobanya, namun tidak berhasil."

"Kalau toh setiap hari dia pasti datang, sudah pasti tempat tinggalnya tak akan terlalu jauh dari sana."

"Apakah di sekitar tempat itu tiada rumah penduduk yang lain?"

"Tidak ada, di atas bukit hanya ada kami sekeluarga."

"Kenapa, kalian bisa tinggal ditempat itu?"

"Karena ayahku suka akan ketenangan."

"Kalau toh di sekitar tempat itu tiada rumah penduduk lain, apakah orang berkerudung itu merangkak keluar dari dalam peti mati?"

"Mungkin saja dia berdiam di bawah bukit!"

"Pernahkah kau pergi mencarinya?"

"Tentu saja pernah."

"Tapi kau tidak berhasil menemukan seseorang yang memiliki kepandaian silat selihai itu?"

"Jago lihay yang sesungguhnya memang tak pernah memamerkan kepandaian silatnya di atas wajah!"

"Orang yang berdiam di bawah bukitpun tidak banyak jumlahnya, seandainya benar-benar terdapat seorang jago lihay seperti dia, paling tidak kau pasti akan mengetahui jejaknya, bukan begitu?"

"Ehmm!"

"Kau bilang setiap malam dia pasti datang untuk memberi pelajaran ilmu silat kepadamu, berarti kalau siang hari tentu tidur, bila ada seseorang yang selalu tidur siang hari, apakah orang dalam kota kecil itu tak akan menaruh perhatian? Bukankah begitu?"

"Ehmm!"

"Kalau memang demikian, mengapa kau tidak berhasil menemukannya?"

"Mungkin saja ia memang tidak berdiam didalam kota itu"

"Kalau memang tidak berdiam di atas bukit, juga di dalam kota, dia masih bisa berdiam dimana?"

"Seorang jago lihay yang sesungguhnya berada ditempat manapun ia dapat tidur"

"Sekalipun dia dapat tidur di dalam gua, tapi bagaimana dengan makannya? Bagaimana pun lihaynya seorang jago, toh dia butuh untuk makan?"

"Dia toh bisa saja masuk ke kota untuk bersantap?"

"Bila seseorang yang tiap hari selalu makan di luar, tapi tak ada orang yang tahu dimanakah dia berdiam, apakah hal ini tidak menarik perhatian orang?" Ong Tiong segera melotot besar ke arahnya, setengah harian kemudian dia baru berkata

dengan dingin: "Tahukah kau sejak masuk ke dalam pintu gerbang sampai sekarang, seluruhnya kau sudah mengajukan berapa banyak pertanyaan?"

"Apakah kau menganggap pertanyaan yang kuajukan terlampau banyak?"

"Aku cuma merasa heran, mengapa kau harus menanyakan persoalan-persoalan yang sesungguhnya sama sekali tiada hubungannya dengan dirimu!" Tiba-tiba Kim Toa-say tertawa, ia berubah menjadi lebih misterius, setelah sekaligus meneguk tiga mangkuk arak, pelan-pelan dia baru berkata: "Ingin tahukah kau siapa gerangan manusia berkerudung itu?"

"Tentu saja ingin sekali."

"Kalau memang ingin, kenapa kau tidak menanyakannya?"

"Karena sekalipun aku menanyakannya, belum tentu bisa menjawab pertanyaanku ini." Pelan-pelan Kim Toa-say mengangguk, katanya: "Benar, di dunia ini memang jarang ada orang yang mengetahui siapa gerangan dirinya itu."

"Kecuali dia sendiri, tak mungkin orang lain bisa mengetahuinya, bahkan seorangpun tak ada."

"Masih ada seorang."

"Siapa?"

"Aku!" Ketika mendengar jawaban tersebut, termasuk Yan Jit pun turut menjadi tertegun. Setelah tertegun beberapa saat lamanya, Ong Tiong bertanya: "Tahukah kau kalau kejadian ini telah berlangsung lama sekali?"

"Aku tahu!"

"Tapi kau tetap mengetahui siapakah orang itu?"

"Benar."

"Kalau toh kau tak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak mengetahui dengan pasti kapankah peristiwa itu terjadinya, darimana kau bisa tahu siapakah orang itu?"

"Yaa, aku memang tahu dengan jelas." Ong Tiong segera tertawa dingin. "Percayakah kau kalau di dunia ini bisa terjadi kejadian semacam itu....?"

"Aku tak ingin percayapun tak bisa."

"Atas dasar apa kau berani mengucapkannya dengan begitu saja ?" Kim Toa-say tidak menjawab pertanyaan itu, dia meneguk dulu tiga mangkuk arak, kemudian pelan-pelan baru bertanya: "Tahukah kau sekaligus aku bisa membidikkan berapa banyak peluru emas...?"

"Dua puluh satu biji!"

"Tahukah kau, diantara kedua puluh satu biji peluru yang kulepaskan itu, peluru nomor berapa yang cepat dan peluru nomor berapa yang lambat, peluru nomor berapa merupakan gerak perputaran dan peluru nomor berapa saling berbenturan?"

"Aku tidak tahu."

"Kalau hanya soal ini saja tidak kau ketahui, darimana kau bisa menahan serangan peluru berantaiku?" Sekali lagi Ong Tiong menjadi tertegun. "Aku menjadi tenar dengan peluru emas, hingga kini sudah hampir tiga puluh tahun lamanya" kata Kim Toa-say lebih jauh, "tidak banyak jago persilatan di dunia ini yang sanggup menghindarkan diri atau menangkis seranganku tersebut, tapi secara mudah kau berhasil mengatasinya" Setelah menghela napas, katanya lebih jauh: "Bukan saja kau mampu untuk menerimanya, bahkan orang yang kau ajarkan pun mampu untuk menyambut serangan tersebut, pada hakekatnya kalian telah menganggap serangan peluruku itu bagaikan permainan anak kecil saja, andaikata kau yang menghadapi keadaan seperti ini, tidakkah kau merasa keheranan?" Kembali Ong Tiong tertegun beberapa saat lamanya, sesudah termenung sejenak, ia menyahut: "Mungkin cara yang dipergunakan kurang betul, maka ancamanmu menjadi punah tak berguna" Tiba-tiba Kim Toa-say menggebrak meja sambil berseru: "Tepat sekali, bukan saja caramu itu merupakan semacam cara yang paling tepat, juga terhitung sebuah cara yang paling jitu, cara semacam ini bukan hanya bisa mengatasi serangan peluru berantaiku saja, bahkan boleh dibilang merupakan tandingan dari semua serangan senjata rahasia yang ada dalam kolong langit dewasa ini."

Ong Tiong hanya mendengarkan saja, karena dia sendiripun tidak tahu sampai dimanakah kelihaian dari ilmu kepandaiannya itu. Kim Toa-say menatapnya lekat-lekat, kemudian ia bertanya lagi: "Tahukah kau, berapa orang yang mampu menggunakan kepandaian semacam itu dalam dunia persilatan selama ini?" Ong Tiong segera menggeleng. "Hanya ada seorang!" seru Kim Toa-say lebih jauh. Setelah menghela napas panjang, pelan-pelan lanjutnya: "Sudah belasan tahun lamanya aku mencari orang ini."

"Mengapa kau . . . . kau mencari dirinya?"

"Karena selama hidup bertarung dengan orang, baru kali itu saja aku dikalahkan secara mengenaskan di tangannya!"

"Kau ingin membalas dendam?"

"Soal ini bukan terhitung suatu pembalasan dendam."

"Lantas karena apa?"

"Ilmu sambitan peluru biasa dipatahkan orang, itu berarti terdapat kekurangan dalam permainanku itu, tapi aku sudah memikirkannya selama belasan tahun, akan tetapi tak pernah berhasil untuk menemukan titik kelemahanku itu."

"Kalau dilihat dari kemampuannya untuk mematahkan serangan peluru emas berantaimu, aku rasa dia pasti mengetahui dimanakah terletak titik kelemahanmu itu."

"Benar."

"Kau menganggap orang berkerudung itu sudah pasti dia?"

"Seratus persen sudah pasti dia, tak mungkin ada orang yang kedua lagi, sedang kepandaianmu dalam menyambut serangan peluru berantaiku tadi, hampir boleh dibilang persis sama sekali dengan kepandaian itu." Sinar berharap dan perasaan gelisah segera memancar keluar dari balik mata Ong Tiong. Tapi Kwik Tay-lok jauh lebih gelisah lagi, dengan cepat dia berseru: "Kau telah berbicara pulang pergi, sesungguhnya siapakah orang itu...?" Kim Toa-say menatap wajah Ong Tiong lekat-lekat, kemudian sepatah demi sepatah dia berkata: "Orang itu adalah Ong Cian-sik, yaitu ayahmu sendiri!"    Sekalipun sewaktu Cui-mia-hu mengulurkan tangannya dari dalam kuburan untuk menangkap dirinya, paras muka Ong Tiong tak sampai menunjukkan perasaan kaget dan tercengangnya seperti itu. Tapi Kwik Tay-lok justru jauh lebih tercengang daripada dirinya, kembali dia berseru: "Kau maksudkan orang berkerudung itu adalah ayahnya?"

"Tak bakal salah lagi."

"Kau bilang ayahnya bukan mengajar ilmu silat kepadanya di rumah, sebaliknya dengan mengerudungkan wajahnya menunggu kedatangannya didalam hutan dekat kuburan?"

"Benar." Kwik Tay-lok ingin tertawa, namun tak ada suara yang keluar, akhirnya sambil menghela napas dia berkata:

"Percayakah kau kalau di dunia ini terdapat kejadian aneh seperti itu....?"

"Peristiwa semacam ini tak bisa terhitung sebagai sesuatu kejadian yang aneh, belum bisa dianggap aneh?"

"Semua persoalan yang masih bisa dijelaskan dengan kata-kata tak bisa dianggap sebagai suatu kejadian yang aneh."

"Bagaimana alasannya?"

"Sebenarnya akupun tidak habis mengerti." kata Kim Toa-say hambar, "tapi setelah kusaksikan tempat tinggalnya ini, aku menjadi teringat akan hal ini, apalagi menyaksikan teman-temanmu itu, membuat aku makin terpikirkan lebih jauh"

"Kalau begitu, coba kau terangkan alasanmu yang pertama."

"Ketika Ong Cian-sik masih muda dulu, ia masih mempunyai sebuah nama lain yaitu Ong Hui-lui, artinya sekalipun sambaran petir yang datang dari langitpun ia masih sanggup untuk menaklukkannya." Setelah meneguk habis secawan arak, dia berkata lebih jauh: "Sekalipun nama tersebut agak terlalu sesumbar, tapi pada usia dua puluh tiga tahun dia telah dianggap sebagai jago lihay nomor wahid dari dunia persilatan yang sanggup menghadapi ancaman senjata rahasia macam apa pun juga, kendatipun julukan itu terlampau takabur, akan tetapi orang lain tak berani berkata apa-apa." Semua orang mendengarkan cerita itu dengan seksama, bahkan Kwik Tay-lok sendiripun tidak turut menimbrung. Kembali Kim Toa-say melanjutkan: "Menanti usianya sudah agak menanjak, tenaganya makin matang, diapun merubah namanya menjadi Ong Cian-sik, pada waktu itu dia sudah jarang sekali melakukan perjalanan di dalam dunia persilatan, lewat dua tahun kemudian, tiba-tiba ia lenyap dari keramaian dunia persilatan." Sampai di situ, Kwik Tay lok baru tak tahan untuk menimbrung: "Mungkin hal ini disebabkan karena ia sudah jemu dengan kehidupan dunia persilatan yang penuh dengan bunuh membunuh itu, maka ia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari keramaian dunia. Kejadian semacam ini banyak terjadi di dunia sedari dulu, rasanya hal mana bukan suatu kejadian yang aneh." Kim Toa-say menggelengkan kepalanya berulang kali. "Hal mana bukan merupakan alasannya yang terutama" katanya. "Ooooh....."

"Yang terutama adalah dia telah mengikat tali permusuhan dengan seorang musuh besar yang lihay sekali, dia tahu kalau kepandaiannya masih bukan tandingan orang, maka dia ambil keputusan untuk mengundurkan diri dari keramaian dunia dan hidup terpencil."

"Siapakah musuh besarnya itu ?" tiba-tiba Ong Tiong bertanya. "Justru karena dia enggan untuk memberitahukan siapa nama musuh besarnya itu kepadamu, maka dia baru tidak bersedia untuk mengajarkan ilmu silat kepadamu secara terang-terangan."

"Kenapa?"

"Sebab bila kau tahu akan masa lalunya, cepat atau lambat pasti akan mengetahui soal permusuhannya itu, jika kau tahu siapakah musuh besarnya itu, sebagai pemuda yang berdarah panas, tak bisa disangkal lagi kau pasti akan pergi mencarinya untuk membuat perhitungan." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya. "Tapi berbicara sesungguhnya, musuh besarnya memang menakutkan sekali, bukan saja kau tak akan sanggup untuk menghadapinya, mungkin tiada seorang manusiapun dalam dunia persilatan dewasa ini yang sanggup menyambut lima puluh jurus serangannya." Paras muka Ong Tiong sama sekali tidak berperasaan, katanya: "Aku hanya ingin tahu siapakah sebenarnya orang itu?"

"Tahu pada saat inipun percuma."

"Kenapa?"

"Karena kendatipun dia sudah tiada tandingannya di dunia ini, akan tetapi masih belum mampu untuk menghadapi beberapa hal."

"Soal apa saja?"

"Tua, sakit dan mati!"

"Ia sudah mati?" paras muka Ong Tiong agak berubah. Kim Toa-say segera menghela napas panjang. "Aaai.... dari dulu sampai sekarang, ada jago gagah darimanakah di dunia ini yang bisa menghindarkan diri dari hal tersebut."

"Tapi ia sebelumnya..."

"Setelah orangnya mati, namanya juga turut terkubur sepanjang masa di dalam tanah" tukas Kim Toa-say dengan cepat, "buat apa kau mesti menanyakan lagi akan persoalan ini!" ia tidak membiarkan Ong Tiong buka suara dengan cepatnya menyambung lebih jauh, "Semenjak sampai di tempat ini, orang yang bernama Ong Hui-liu pun praktis seperti orang mati, maka sekalipun berada di depan putranya sendiri, dia tak akan membicarakan soal ilmu silat"

"Ini merupakan alasan yang pertama" kata Kwik Tay-lok. "Kalau dilihat dari sahabatmu dari jenis yang begini, bisa diduga kalau dikala masih kecilnya dulu Ong Tiong sudah pasti adalah seorang anak yang sangat nakal" Walaupun Kwik Tay-lok tidak berbicara apa-apa, namun mimik wajahnya telah mewakili Ong Tiong untuk mengakui akan kebenaran dari ucapan tersebut.    "Bocah yang nakal biasanya selalu menimbulkan bencana atau kesulitan buat orang tuanya," kata Kim Toa-say lebih lanjut, "Ong Cian-sik kuatir putranya bakal menderita kerugian, diapun tak tega untuk tidak mengajarkan kepandaian silat pelindung badan kepadanya." Ia tertawa sejenak, kemudian melanjutkan: "Tapi bila menginginkan seorang anak yang nakal untuk baik-baik berlatih ilmu silat di rumah, hakekatnya perbuatan ini jauh lebih sulit daripada menjinakkan seekor kuda liar, maka dari itu Ong Cian-sik lantas memperagakan cara seperti itu, selain dapat merahasiakan indentitasnya di

hadapan orang, diapun dapat merangsang gairah Ong Tiong untuk belajar silat.... biasanya anak-anak semakin terangsang gairahnya apabila menghadap hal-hal yang di anggapnya aneh dan misterius."

"Jangankan anak-anak, sekalipun orang dewasa juga sama saja," sambung Kwik Tay-lok sambil tertawa. "Di tengah kegelapan malam yang buta, dalam hutan di tepi kuburan, berhadapan dengan seorang jago lihay dunia persilatan yang berkerudung...."

Peristiwa yang begini rahasia dan misteriusnya ini, mungkin seorang kakekpun akan turut terangsang gairah belajar silat serta rasa ingin tahunya. "Sekarang, tentunya kau sudah mengerti bukan akan persoalan ini?" kata Kim Toa-say

kemudian. "Masih ada satu hal yang tidak kupahami," kata Kwik Tay-lok. "Oooh...?"

"Darimana kau bisa tahu akan maksud hati dari empek Ong?"

"Sebab akupun seorang manusia yang pernah menjadi ayah." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya: "Kasih sayang dan penderitaan seorang ayah terhadap putranya, hanya orang yang menjadi ayah saja yang dapat merasakannya." Tiba-tiba Ong Tiong bangkit berdiri, kemudian menerjang keluar dari tempat itu. Apakah dia ingin mencari suatu tempat yang tak ada orangnya dan menangis tersedu-sedu? Yan Jit memang sudah menundukkan kepalanya sedari tadi, sekarang Kwik Tay-lok ikut

menundukkan pula kepalanya. "Orang yang menjadi anak, kenapa tak dapat memahami perasaan kasih sayang serta pengharapan dari ayahnya setelah keadaan terlambat dan dikala menyesalpun percuma?" Kim Toa-say memperhatikan mereka lekat-lekat, mendadak sambil mengangkat cawan arak dia berseru: "Apakah kalian tak pernah minum arak?" Di dunia ini memang terdapat banyak sekali kejadian aneh dan misterius yang tampaknya sukar untuk dijelaskan selamanya. Padahal bagaimanapun misterius dan peliknya suatu persoalan, sudah pasti ada jawabannya, seperti pula di bawah tanah pasti ada sumber air dan emas, di duniapun pasti ada keadilan dan kebenaran, diantara hubungan manusiapun pasti terdapat persahabatan dan kehangatan.

Sekalipun kau tak bisa melihatnya, tak bisa mendengarnya dan tak bisa menemukannya, tak akan kau sangkal kehadiran mereka di dunia ini! Asal kau mau untuk mempercayainya, suatu ketika kau pasti akan berhasil untuk menjumpainya."Adakah manusia di dunia ini yang tak pernah mabuk?" Jawab yang paling tepat dari pertanyaan ini adalah: "Ada!" Orang yang tak pernah minum arak adalah orang yang tak pernah mabuk.. Asal kau minum, kau akan mabuk, bila kau minum terus tiada hentinya, tak bisa disangkal lagi kau pasti akan mabuk, itulah sebabnya Kwik Tay-lok juga menjadi mabuk. Kepala Kim Toa-say kelihatan seperti bergoyang-goyang terus tiada hentinya. Mendadak ia merasakan kalau Kim Toa-say sedikitpun tidak mirip seorang Toa-say, mendadak ia merasa dirinya barulah seorang jendral yang sesungguhnya, lagi pula jendral besar diantara

jendral-jendral lainnya.... Kim Toa-say juga lagi memandang ke arahnya, tiba-tiba ia menegur sambil tertawa: "Kenapa sih kepalamu bergoyang terus tiada hentinya?" Kwik Tay-lok segera tertawa terbahak-bahak. "Haahhh... haahh... heran amat kau ini, sudah jelas kepalamu sendiri yang sedang bergoyang tiada hentinya, masih menuduh kepala orang yang sedang bergoyang"

"Siapakah orang yang kau maksudkan?"

"Yang dimaksudkan orang adalah aku."

"Kalau sudah jelas dirimu, mengapa pula kau katakan orang?" Kwik Tay-lok berpikir sebentar, kemudian menghela napas panjang, katanya: "Tahukah kau apakah yang menjadi penyakitmu terbesar?" Kim Toa-say turut berpikir sebentar, kemudian balik bertanya: "Apakah aku minum arak terlalu banyak?"

"Bukan minum arak terlalu banyak, adalah pertanyaanmu yang terlalu banyak, sehingga membuat orang hampir saja tak tahan."

Mendengar itu, Kim Toa-say segera tertawa terbahak-bahak.

Jilid 24

"HAAAHHH.... haaahhh.... haaahhh.... bagus, aku tak akan bertanya, aku bilang tak akan bertanya tak akan bertanya... tapi, bolehkah kuajukan pertanyaan yang paling akhir?"

"Tanyalah!"

"Tahukah kau, apa sebabnya aku sampai datang kemari sekarang?" Kwik Tay-lok berpikir sebentar kemudian tertawa tergelak:

"Aku lihat kau ini benar-benar sangat aneh, masa mau apa dirinya datang kemaripun tidak diketahui oleh dirinya sendiri dan sebaliknya malah di tanyakan kepadaku, aku toh bukan ular dalam perutmu, mana aku bisa tahu?" Kim Toa-say seakan-akan tidak mendengar sama sekali terhadap apa yang dikatakannya itu, sinar matanya tertuju pada mangkok kosong yang berada di tangannya, sedang mukanya menunjukkan mimik wajah seperti setiap saat sudah siap akan menangis saja. Lewat lama kemudian, pelan-pelan dia baru berkata: "Selama berada di rumah aku telah melatih ilmu peluru berantaiku selama belasan tahun,

dalam anggapanku kepandaian tersebut pasti bisa kugunakan untuk menghadapi Ong Hu-lui, siapa tahu jangankan orangnya, hanya anaknya saja tak mampu kuhadapi, aku..... aku...." Mendadak dia melompat bangun, seolah-olah juga ingin turut menerjang keluar, mencari tempat yang tak ada orangnya dan menangis tersedu-sedu.... "Tunggu sebentar!" tiba-tiba Kwik Tay-lok berpekik keras. "Apa lagi yang harus kutunggu?" seru Kim Toa-say dengan mata melotot besar. "Apakah harus menunggu sampai kehilangan, muka untuk kesekian kalinya?" Sambil menuding ke arah peluru emas yang berada di dalam mangkuk di atas meja, Kwik Tay-lok berseru: "Kalau kau ingin pergi, maka lebih baik bawa serta barang-barangmu itu..."

Isi mangkuk tersebut sebenarnya adalah Ang-sio-bak, tapi sekarang dia telah mempergunakannya sebagai tempat peluru emasnya. "Mengapa aku harus membawanya pergi?" seru Kim Toa say. "Bukankah barang-barang tersebut milikmu?"

"Siapa bilang milikku? Kenapa tidak kau tanyakan kepada benda-benda tersebut, apakah dia she Kim?" Kwik Tay-lok menjadi tertegun. Tiba-tiba Kim Toa-say tertawa tergelak lagi, katanya lebih jauh: "Benda-benda itu bukan Ang-sio-bak, juga bukan bakso, mau dimakan tak bisa, mau di gigit tak kuat, siapa yang menyukai benda semacam ini, dialah si cucu kura-kura?"

"Apakah selanjutnya kau tak akan menggunakan peluru berantai lagi untuk menghadapi orang?"

"Siapa yang memakai peluru berantai di kemudian hari, siapa pula cucu kura-kura!" Setelah tertawa tergelak, dengan sempoyongan dia menerjang keluar dari situ, ketika tiba didepan pintu, mendadak dia berpaling sambil berseru lagi:  "Tahukah kau, apa sebabnya dahulu aku suka menggunakan peluru emas untuk menghajar orang?"

"Tidak tahu."

"Karena emas adalah benda yang paling disukai setiap orang, bila menggunakan emas untuk memukul orang, orang lain pasti ingin menyambutnya untuk dilihat, dengan demikian mereka akan lupa untuk menghindarkan diri, untuk menyambut benda itu sudah barang tentu akan jauh lebih sulit daripada untuk menghindarinya, apalagi emas dapat membuat pandangan mata orang

menjadi silau, oleh sebab itu barang siapa menggunakan emas sebagai senjata rahasianya, dia akan memperoleh keuntungan yang cukup besar didalam hal ini."

"Sekarang, mengapa kau tak akan mempergunakannya lagi?" Kim Toay-say berpikir sebentar, kemudian sahutnya: "Sebab siapa ingin mencari keuntungan, dia akan rugi, sedang rugilah baru merupakan suatu keberuntungan."

"Tampaknya kau belum lagi mabuk, ucapanmu masih terdengar jelas sekali." kata Kwik Tay-lok sambil tertawa. Kontan saja Kim Toa-say melotot besar. "Tentu saja aku belum mabuk, siapa bilang aku sudah mabuk, siapa pula si cucu kura-kura."

Akhirnya Kim Toa-say telah pergi. Dia memang tampak sedikitpun tidak mabuk, cuma mabuknya sudah mencapai delapan sembilan bagian saja. Bagaimana dengan Kwik Tay-lok! Dia sedang mengawasi peluru emas di mangkuk dengan tertegun, lama kemudian dia baru menghela napas sambil bergumam: "Benda-benda yang berada di dunia ini memang aneh sekali, dikala kau sedang

membutuhkannya, dia tak mau datang, namun dikala kau sudah tidak membutuhkannya, ia justru datang setumpuk, bayangkan saja tobat tidak?" Seandainya kau berdiam di suatu tempat yang terpencil. Seandainya ditengah malam buta ada orang datang mengetuk pintumu dan berkata dengan sungkan: "Aku lelah haus, dan lagi sudah jauh dari tempat penginapan, aku ingin menginap semalam saja di sini dan minta air minum." Maka asal kau masih terhitung manusia, tentu kau akan berkata:

"Silahkan masuk!" Kwik Tay-lok juga terhitung seorang manusia. Biasanya dia memang periang, suka menerima tamu, apalagi bila sedang minum arak, maka keriangannya sepuluh kali lipat lebih besar dari pada dihari-hari biasa. Sekarang dia sedang minum arak, tidak sedikit arak yang sedang diteguknya. Tak lama setelah Kim Toa-say pergi, dia mendengar ada orang mengetuk pintu, maka diapun berebut keluar untuk membukakan pintu. Orang yang mengetuk pintu itu sedang berkata kepadanya dengan amat sopan: "Aku lelah lagi haus dan lagi jauh dari rumah penginapan, bolehkah aku menginap semalam disini dan minta air seteguk?" Semestinya Kwik Tay-lok akan mengucapkan: "Silahkan masuk". Tapi justru kedua patah kata tersebut tak sanggup diutarakan keluar. Setelah berjumpa dengan orang itu, tenggorokannya seakan-akan tersumbat secara tiba-tiba,

pada hakekatnya tak sepatah katapun yang sanggup diucapkan. Orang yang datang mengetuk pintu adalah seorang manusia berbaju hitam.... Orang itu memakai baju serba hitam, celana hitam sepatu hitam, wajahnya juga ditutup dengan secarik kain berwarna hitam, hanya sepasang matanya yang kelihatan bersinar terang, dibelakang tubuhnya juga tersoren sebilah pedang panjang. Sebilah pedang panjang yang mencapai lima depa lebih. Di depan pintu tiada cahaya lentera. Dengan tenangnya orang itu berdiri di sana seakan-akan ciptaan dari kegelapan saja. Begitu berjumpa dengan orang itu, pengaruh arak di tubuh Kwik Tay-lok segera menjadi terang tiga bagian. Apalagi setelah menyaksikan pedang yang tersoren di punggung orang itu, pengaruh arak nya semakin hilang. Hampir saja dia tak tahan untuk menjerit tertahan. "Lamkiong Cho!"

Sesungguhnya macam apakah manusia yang bernama Lamkiong Cho tersebut, ia sama sekali belum pernah melihatnya. Tapi orang ini sudah pasti bukan penyaruan dari Bwee Ji-ka. Walaupun dandanannya bahkan sampai pedang yang digembolnya persis seperti dandanan Bwee Ji-ka ketika sedang munculkan diri bersama si tongkat di depan warung makannya Moay Lo-kong tempo hari. Akan tetapi Kwik Tay-lok tahu dengan pasti bahwa orang ini bukan Bwee Ji-ka. Hal ini bukannya dikarenakan dia lebih tinggi sedikit atau lebih kurus sedikit daripada Bwee Ji-ka.... sebetulnya karena apa, Kwik Tay-lok sendiripun merasa tidak begitu jelas. Ketika Bwee Ji-ka mengenakan baju berwarna hitam tersebut, seakan-akan membawa semacam hawa pembunuhan yang mengerikan dan mendirikan bulu roma orang. Sebaliknya orang ini tidak memilikinya. Dia tidak memiliki hawa pembunuhan, juga tidak memiliki hawa kehidupan, bahkan hawa apapun tidak dimilikinya, sepertinya kendatipun kau tendang tubuhnya, dia tak akan memperlihatkan reaksi apa-apa. Tapi Kwik Tay-lok berani menjamin, entah siapa saja itu orangnya tak akan berani menyentuh seujung jari tangannyapun. Biji matanya hitam dan jeli, tiada perbedaan khusus bila dibandingkan dengan orang-orang yang belajar ilmu silat pada umumnya. Tapi entah apa sebabnya asal dia memandangmu sekejap maka kau akan segera merasakan sekujur badannya menjadi tak sedap. Waktu itu dia sedang memperhatikan Kwik Tay-lok. Kwik Tay-lokpun segera merasakan sekujur badannya menjadi tak sedap, seperti orang yang baru mendusin dari pengaruh araknya setelah mabuk kepayang sehari semalam lamanya, peluh dingin membasahi telapak tangannya kepala seperti pusing tujuh keliling sehingga kalau bisa dia ingin memenggalnya dengan pisau. Orang berbaju hitam itu sedang memandang ke arahnya, jelas masih menantikan jawabannya, jelas masih menantikan jawabannya. Kwik Tay-lok sendiri seakan-akan sudah menjawab pertanyaan itu. Orang berbaju hitam itu tidak berkata apa-apa lagi, mendadak dia membalikan badan dan pelan-pelan berjalan. Langkah kakinya persis seperti pula orang yang lain, hanya saja dia berjalan dengan luar biasa

lambannya, setiap maju melangkah, dia selalu memperhatikan ujung kakinya lebih dahulu, seakan-akan kuatir kalau langkah kakinya menginjak di tempat yang kosong dan terjungkal kedalam percobaan, tapi lagaknya mirip pula seseorang yang takut menginjak mati seekor semut. Kalau dilihat dari caranya berjalan, mungkin sampai besok sorepun tak nanti bisa menuruni

bukit tersebut. Tiba-tiba Kwik Tay-lok tak kuat menahan diri lagi, dia lantas berseru lantang: "Tunggu sebentar!"

"Tak usah di tunggu lagi" jawab orang berbaju hitam itu tanpa berpaling lagi. "Kenapa?"

"Kalau toh tempat ini kurang leluasa, aku pun tak berani memaksanya lebih lanjut." Selesai mengucapkan perkataan itu, dia tak lebih baru berjalan dua langkah saja. Sambil tertawa Kwik Tay-lok lantas berkata. "Siapa bilang kalau tempat ini kurang leluasa? Delapan ratus li disekitar tempat ini tak akan ada tempat yang suka menerima tamu seperti tempat ini, silahkan masuk, silahkan masuk!" Orang berbaju hitam itu masih ragu-ragu, lewat lama kemudian pelan-pelan dia baru berpaling. Kwik Tay-lok kembali menunggu cukup lama, setelah itu dia baru balik kembali ke depan pintu gerbang, katanya:

"Kau menyuruh aku masuk ke dalam?" Diapun berbicara dengan suara yang sangat lamban, penggunaan kata-katapun amat sedikit, kalau orang lain harus membutuhkan sepuluh patah kata untuk menyelesaikan serangkai perkataan, maka dia paling banter hanya menggunakan enam tujuh patah kata saja. "Betul, silahkan masuk " kata Kwik Tay lok. "Tidak menyesal?" Kwik Tay-lok segera tertawa: "Mengapa aku harus menyesal? jangankan kau hanya menginap semalam saja di sini, sekalipun ingin berdiam selama tiga atau lima bulanpun, kami tetap akan menyambutmu dengan segala senang hati." Kembali keriangan dan kehangatannya muncul kembali di wajah pemuda ini. "Terima kasih." Akhirnya dia masuk ke dalam halaman dengan langkah pelan, sorot matanya hanya memperhatikan jalanan yang terbentang di hadapannya, tempat yang lain hampir tidak

diperhatikannya sama sekali. Yan Jit dan Ong Tiong sedang mengawasi orang itu dari balik jendela, mimik wajah kedua orang inipun sama-sama memperlihatkan rasa kaget bercampur tercengang. Orang berbaju hitam itu berjalan menelusuri serambi panjang dan berhenti. "Silahkan masuk untuk minum arak barang dua cawan!" kata Kwik Tay-lok sambil tertawa. "Tidak!"

"Kau tak pernah minum arak?"

"Kadangkala minum."

"Kapan baru minum?"

"Sehabis membunuh orang."

Kwik Tay-lok menjadi tertegun, segera gumamnya: "Kalau begitu, lebih baik kau tak usah minum arak saja." Kemudian dia sendiripun merasa geli sekali setelah membayangkan kembali perkataannya itu. Kwik sianseng ternyata menganjurkan orang jangan minum arak, baru pertama kali ini dia berbuat demikian. Orang berbaju hitam itu berdiri didalam serambi dan tidak bergerak lagi. "Dibagian belakang sana terdapat kamar tamu, kalau memang tak ingin minum arak, silahkan masuk ke dalam." kata Kwik Tay-lok. "Tidak usah."

"Tidak usah?" seru Kwik Tay-lok lagi agak tertegun, "tak usah apa maksudmu?"

"Tak usah menuju ke kamar tamu."

"Masa kau ingin tidur di sini?"

"Benar!" Agaknya dia merasa segan untuk mengajak Kwik Tay-lok berbicara lagi, pelan-pelan dia memejamkan matanya dan bersandar di atas sebuah tiang di depan ruang serambi. Tak tahan Kwik Tay-bok berseru lagi: "Kalau memang kau ingin tidur di sini, kenapa tidak berbaring di lantai....?"

"Tidak usah."

"Tidak usah berbaring?"

"Benar."

"Apakah kau..... kau hendak tidur sambil berdiri?"

"Benar." Kwik Tay-lok tak bisa berbicara lagi, kalau dilihat dari perubahan mimik wajahnya itu maka seakan-akan dia sedang menyaksikan seekor kuda yang pandai berbicara.... "Kuda tak bisa berbicara!"

"Tapi hanya kuda yang tidur berdiri."

"Apakah dia seekor kuda?"

"Bukan."

"Menurut pendapatmu siapakah orang itu."

"Lamkiong Cho!" Yan Jit manggut-manggut, baru pertama kali ini dia menyetujui dengan pendapat dari Kwik Tay-lok. Orang berbaju hitam itu bersandar di atas tiang penyanggah ditengah serambi, dia seakan-akan betul-betul sudah tertidur, tubuhnya seakan-akan pula tonggak kayu penyanggah tersebut, mana lurus, tegak, dingin, kaku, tanpa reaksi dan tanpa perasaan. Kwik Tay-Iok menghela napas, katanya: "Andaikata orang ini bukan Lamkiong Cho, di dunia ini mungkin tiada orang lain lagi yang dinamakan Lamkiong Cho." Tiba-tiba Ong Tiong berkata: "Entah dia itu kuda juga boleh, Lamkiong Cho juga boleh, kedua-duanya tiada sangkut paut apapun dengan kita."

"Ada !" kata Kwik Tay-lok. "Hubungan apa?"

"Manusia seperti Lamkiong Cho, tak mungkin dia akan kemari, jika tanpa suatu tujuan."

"Kenapa dia tak boleh kemari?"

"Kenapa pula dia harus kemari?"

"Setiap macam manusia, bila malam sudah tiba, ia pasti akan mencari tempat untuk tidur."

"Jadi kau menganggap dia datang untuk tidur?"

"Sekarangpun dia sedang tidur."

"Tidur macam begini bisa dilakukannya di tempat manapun juga, mengapa ia justru datang kemari dan tidur di sini?"

"Terlepas apakah tujuan kedatangannya, tapi yang jelas pada saat ini ia sedang tidur, maka dari itu...."

"Maka dari itu kenapa?"

"Maka dari itu kitapun harus pergi tidur." Inilah keputusan yang diambilnya. Maka dari itu diapun pergi tidur. Bila Ong Tiong sudah mengatakan akan pergi tidur, maka apapun yang kau suruh dia lakukan, tak mungkin akan dia lakukan dengan begitu saja.... Namun Kwik Tay-lok masih berdiri di depan jendela dan mengawasi orang baju hitam. "Mengapa kau tidak pergi tidur?" Yan Jit segera menegur. "Aku ingin tahu, apakah dia benar-benar bisa tidur, bisa tidur berapa lama?" Sambil menggigit bibir Yan Jit berseru: "Tapi kamar ini toh kamarku, aku hendak tidur."

"Tidur saja di situ, aku toh tak akan membangunkan dirimu."

"Tidak bisa."

"Kenapa tidak bisa?"

"Bila ada orang lain didalam kamarku, aku tidak bisa tidur." Kwik Tay-lok segera tertawa. "Bila kau mempunyai bini di kemudian hari, apakah kau juga akan mempersilahkan dirinya untuk tidur didalam kamar lain?" Paras muka Yan Jit kelihatan agak memerah, dengan mata mendelik dia membentak: "Dari mana kau bisa tahu kalau aku pasti akan mempunyai bini?"

"Sebab di dunia ini hanya terdapat dua macam manusia yang tak akan mempunyai bini."

"Dua macam manusia apa saja?"

"Pertama adalah hwesio dan kedua adalah seorang banci yang laki tidak laki, perempuan tidak perempuan, tentunya kau tidak termasuk kedua macam jenis manusia itu bukan?" Yan Jit kelihatan agak merah, lalu serunya: "Sekalipun aku akan mencari bini, juga tak akan mencari seorang lelaki busuk macam kau." Sebenarnya dia merasa agak marah, tapi entah mengapa, sebelum ucapan itu selesai diucapkan, paras mukanya malah sudah berubah menjadi memerah lebih dulu. Mendadak Kwik Tay-lok menarik tangannya sambil berbisik: "Coba kau lihat, apakah yang berada di atas dinding itu?" Baru saja Yan Jit akan melepaskan diri dari cekalannya, ia telah menyaksikan ada sebuah batok kepala yang menongol keluar dari balik dinding di seberang sana. Malam sudah semakin kelam. Iapun tidak sempat melihat jelas bagaimanakah tampang wajah orang itu, hanya terasa olehnya ada sepasang mata yang tajam dan bersinar terang sedang celingukan kesana kemari. Untung saja di dalam ruangan tak ada lampunya, maka orang itupun tidak sempat melihat mereka. Sesudah celingukan sekejap di sekeliling tempat itu, mendadak dia menarik kembali kepalanya. Kwik Tay-lok segera tertawa dingin bisiknya: "Coba kau lihat, dugaanku tak salah bukan, selain orang ini tidak mengandung maksud baik, lagi pula bukan hanya dia seorang yang datang kemari."

"Kau anggap dia datang lebih dulu ke tempat ini sebagai seorang mata-mata?"

"Sudah pasti begitu." Meskipun orang berbaju hitam itu masih berdiri di sana, namun tubuhnya sama sekali tak berkutik, namun Yan Jit pun tanpa terasa di bikin terpesona untuk mengawasinya. Belum juga ada suatu gerakan apapun. Semakin tiada suatu pergerakan, kadangkala hal mana justru merupakan suatu ancaman yang mengerikan. Sekalipun Yan Jit benar-benar ingin tidur mungkin dia akan melupakan keinginannya itu sekarang. Entah berapa saat kemudian, mendadak terdengar Kwik Tay-lok bergumam seorang diri: "Heran, heran, sungguh mengherankan."

"Apanya yang mengherankan?"

"Kenapa badanmu sama sekali tidak bau busuk?" Sekarang Yan Jit baru merasa kalau dia berdiri begitu dekatnya dengan Kwik Tay-lok sehingga hampir saja bersandar di dalam rangkulan Kwik Tay-lok. Untung saja didalam kamar tiada cahaya lampu, sehingga tak terlihat bagaimanakah mimik wajahnya ketika itu. Dengan cepat dia mundur dua langkah, kemudian katanya sambil menggigit bibir: "Dapatkah aku tidak bau busuk?"

"Tidak dapat"

"Kenapa?"

"Sebab aku tidak pernah melihat kau mandi, juga tak pernah menyaksikan kau berganti pakaian, semestinya badanmu baunya busuk setengah mati"

"Takut?"

"Kentut lebih busuk lagi baunya" serta Kwik Tay-lok sambil tertawa. Dengan gemas Yan Jit melotot sekejap ke arahnya, dia seperti ingin sekali menampar wajahnya, untung saja pada saat itu terlihat ada sesosok bayangan manusia yang berke-lebat

lewat di luar dinding pekarangan de-ngan suatu gerakan yang enteng dan cepat. Tentu saja orang itu tidak bisa melayang sedemikian cepatnya, tapi kenyataannya dia sangat enteng, sekali melompat tiga kaki bisa dilampaui, sewaktu mencapai di atas tanah, juga tidak menimbulkan suara barang sedikitpun juga. Bukan saja badannya sangat enteng, diapun luar biasa kurus kecilnya, sehingga pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan perawakan tubuh seorang bocah. Namun di atas wajahnya telah tumbuh jenggot yang cukup panjang, bahkan hampir bersatu dengan rambutnya yang awut-awutan tak karuan, sebagian besar wajahnya tertutup semua sehingga hanya kelihatan sepasang matanya yang jauh lebih licik dari pada sepasang mata rase tua. Dia celingukan kembali di sekeliling tempat itu, akhirnya sorot mata tersebut terhenti di atas wajah manusia berbaju hitam itu. Si orang berbaju hitam itu masih juga belum bergerak, sepasang matanya juga sama sekali tidak dipentangkan. Mendadak kakek ceking tadi menggerakkan tangannya memberi tanda, dari luar dinding pekarangan segera melayang masuk kembali tiga sosok bayangan manusia. Ketiga orang ini mempunyai perawakan badan yang tinggi besar, namun ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya tidak lemah, ketiga orang itu semuanya mengenakan pakaian ringkas berwarna hitam gelap, ditangan masing-masingpun menggembol senjata tajam. Orang pertama menggunakan senjata Poan-koan-pit, orang kedua menggunakan pedang berbentuk busur, sedang orang ketiga menggunakan tombak berantai panjang, sebaliknya sikakek ceking itu menggunakan sepasang senjata gelang.. Ke empat macam senjata itu merupakan senjata-senjata luar biasa yang tajam dan sukar untuk digunakan. Biasanya orang yang bisa menggunakan senjata rahasia aneh semacam itu pasti memiliki ilmu silat yang luar biasa.. Namun orang berbaju hitam itu masih berdiri tak berkutik di situ, bahkan sedikit reaksi pun tak ada.

Sikap ke empat orang itu menjadi tegang sekali, sepasang matanya mengawasi tubuh orang berbaju hitam itu tanpa berkedip, kemudian selangkah demi selangkah dia maju mendekatinya, jelas setiap saat mereka mungkin akan melancarkan serangan mematikan yang akan merenggut selembar jiwanya. Kwik Tay-lok memandang sekejap ke arah Yan Jit, katanya: "Ternyata mereka tidak berasal dari satu aliran yang sama" Yan Jit segera manggut-manggut. Kedua orang itu sama-sama tak berkutik ditempat persembunyiannya, sementara dalam hatinya mempunyai tekad yang sama, mereka ingin tahu bagaimana caranya ke empat orang

pencoleng tersebut menghadapi si orang berbaju hitam yang misterius tersebut. Siapa tahu pada saat itulah pintu gerbang dibuka orang. Sebetulnya Kwik Tay-lok masih ingat dengan jelas kalau pintu gerbang itu sudah dikunci dari dalam, sekarang entah apa sebabnya ternyata bisa membuka sendiri tanpa menimbulkan sedikit suarapun. Seseorang yang menggunakan jubah panjang berwarna hijau, sambil menggoyangkan kipasnya sambil berjalan masuk ke dalam. Ia mengenakan baju yang amat mewah dan perlente, sikapnya amat santai, sikapnya persis seperti seorang kongcu yang gemar pelesiran. Akan tetapi, ketika Kwik Tay-lok memperhatikan raut wajahnya itu, dia menjadi terperanjat sekali. Pada hakekatnya raut wajah kongcu tersebut bukan raut wajah seorang manusia, bahkan topeng setan yang berada dalam kuil kaum Lhama di wilayah Tibet pun tak akan menakutkan seperti wajah orang ini. Sebab raut wajah tersebut benar-benar merupakan selembar wajah yang hidup, lagi pula muka itu sama sekali tidak berperasaan. Semacam raut wajah yang membikin orang menjadi terkesiap dan ngeri setelah melihatnya apalagi berada di tengah kegelapan malam seperti sekarang ini. Andaikata Kwik Tay-lok tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ia tak akan percaya kalau di dunia ini terdapat seorang manusia yang memiliki raut wajah sedemikian buruk dan menakutkannya. Sampai detik itu, ternyata ke empat orang manusia bersenjata aneh itu masih belum merasakan kehadiran seorang manusia lagi ditempat itu. Langkah kaki dari orang berbaju hijau itu enteng sekali sehingga seakan-akan tidak menempel di atas permukaan tanah, dengan enteng sekali dia melayang ke belakang punggung orang yang bersenjata poan-koan-pit itu, lalu menjawil bahu orang itu dengan kipasnya. Seperti seekor kelinci yang kena di panah, dengan terperanjat orang itu melejit ke udara karena kaget, kemudian berjumpalitan beberapa kali dan melayang turun disamping kakek ceking tersebut. Sekarang mereka baru tahu kalau ada seorang manusia berbaju hijau telah muncul di tempat itu, rasa kaget bercampur ngeri dengan cepat menghiasi raut wajah mereka. Kwik Tay-lok dan Yan Jit kembali saling berpandangan mata. "Ternyata orang-orang itu bukan berasal dari satu aliran yang sama" Orang-orang itu seperti lagi memerankan suatu sandiwara bisu saja, tiada seorang manusiapun yang bersuara, tapi segala sesuatunya berlangsung amat misterius dan merangsang perasaan. Orang berbaju hijau itu masih menggoyangkan kipasnya, sedang sikap yang amat santai. Sedang ke empat orang manusia bersenjata aneh itu kelihatan semakin menegang, senjata tajam yang mereka pegangpun digenggam semakin kencang. Tiba-tiba orang berbaju hijau itu menggunakan kipasnya kemudian ke arah mereka lalu, menuding pula keluar pintu.

Artinya mereka dipersilahkan untuk meninggalkan tempat itu. Ke empat orang manusia yang bersenjata aneh itu saling berpandangan sekejap, kakek itu menggertak bibirnya lalu menggelengkan kepalanya, sedangkan gelangnya dipakai untuk

menuding ke arah gedung tersebut, lalu menuding pula ke arah diri sendiri. Artinya: "Tempat ini merupakan wilayah operasi kami, kami tak akan keluar dari sini." Tiba-tiba manusia berbaju hijau itu tertawa. Siapa saja tak mungkin akan bisa menyaksikan senyuman semacam ini.. Siapa saja yang menyaksikan senyuman semacam itu, maka bulu kuduknya pasti berdiri

semua. Ke empat orang bersenjata aneh itu mulai menggerakkan langkah kakinya dan berdiri menjadi satu, peluh dingin membasahi seluruh tubuh mereka.... Sekali lagi orang berbaju hijau itu menuding ke arah senjata mereka seakan-akan sedang

berkata: "Lebih baik kalian maju bersama saja!" Ke empat orang itu saling berpandangan sekali lagi seperti telah bersiap sedia untuk turun tangan, tapi pada saat itulah si orang berbaju hijau itu tahu-tahu sudah berada di hadapan mereka.   Dengan mempergunakan kipasnya dia mengetuk kepala orang yang bersenjata tombak berantai itu dengan pelan. Ketukan tersebut kelihatannya tidak terlalu keras. Akan tetapi orang itu segera roboh terkapar di atas tanah dengan tubuh yang lemas sekali, sebuah batok kepalanya yang besar dan keras kini sudah hancur berantakan, darah dan isi benak berhamburan kemana-mana tampak mengerikan sekali dalam kegelapan malam yang mencekam. Ketika orang itu roboh terkapar, si orang yang bersenjata pedang berbentuk busur telah melepaskan sebuah tusukan kilat ke arah dada orang berbaju hijau itu. Serangan pedangnya itu enteng, gesit, licin, buas dan cepat. Tapi sayang orang berbaju hijau itu bergerak jauh lebih cepat lagi.

Tahu-tahu tangannya digerakkan ke depan, kemudian terdengar "Kreek!" dan selanjutnya terdengar suara "Kreek!" sekali lagi. "Triiing...!" Pedang berbentuk busur itu sudah patah dan terjatuh ke tanah, sedangkan tulang pergelangan tangannya juga kena diremuk sehingga tinggal selapis kulit saja. Sebenarnya dia masih berdiri tegak ditempat itu, akan tetapi setelah menyaksikan keadaan dari tangannya itu, mendadak ia jatuh tak sadarkan diri. Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata. Dalam pada itu kedua orang itu lainnya sudah dibikin ketakutan setengah mati sehingga paras mukanya berubah menjadi pucat pias seperti mayat, sepasang kaki menggigil keras tiada hentinya. Untung saja kakek itu masih sanggup untuk menahan diri, mendadak dia membungkukkan badannya di hadapan orang berbaju hijau itu, kemudian menuding ke luar pintu dengan senjata gelangnya. Siapapun dapat melihat kalau dia sudah menyerah kalah dan bersiap-siap untuk meninggalkan

tempat itu. Orang berbaju hijau itu segera tertawa, kemudian manggut-manggut berulang kali.  Kedua orang itu segera menggotong mayat kedua orang rekannya dan buru-buru keluar dari situ dengan langkah lebar. Siapa tahu, baru saja mereka tiba di luar pintu, orang berbaju hijau itu sudah berkelebat kedepan dan tahu-tahu telah tiba di luar pintu. Apa yang kemudian terjadi di luar pintu tidak sempat dilihat oleh Kwik Tay-lok, dia hanya mendengar dua kali jeritan ngeri yang menyayat hati bergema memecahkan keheningan. Menyusul kemudian ada dua macam benda yang di lempar masuk dari luar pintu, itulah sepasang senjata poan-koan-pit serta sepasang senjata gelang baja. Tapi senjata poan-koan-pit tersebut telah patah menjadi empat bagian, sedangkan gelang baja itupun sudah melengkung tak karuan bentuknya, sehingga sama sekali tidak berbentuk gelang lagi. Kwik Tay-Iok segera menghembuskan napas dingin, ia lantas berpaling memandang Yan Jit. Yan Jit sendiripun menunjukkan perasaan kaget bercampur ngeri yang amat tebal. Bukan saja orang berbaju hijau itu memiliki ilmu silat yang luar biasa lihaynya, diapun seorang gembong iblis berhati sesat yang buas keji dan tidak berperi-kemanusiaan.

Yang paling menakutkan adalah caranya membunuh orang, pada hakekatnya seperti orang lagi memotong sayur saja. Setiap orang yang sempat menyaksikan caranya membunuh orang, tak ingin mengucurkan keringat dinginpun tak bisa. Tapi orang berbaju hitam itu masih tetap berdiri tak berkutik ditempat semula, sekalipun pembunuhan kejam sedang berlangsung di depan matanya, namun sama sekali tiada reaksi apapun darinya. Seakan-akan kendatipun semua orang yang ada di dunia ini mati semua pun, dia tak akan memperlihatkan reaksi apapun. Sementara itu, si orang berbaju hijau itu sudah berjalan masuk kembali ke dalam halaman dalam dengan langkah yang santai, kipasnya digoyangkan pelan-pelan, sikapnya yang begitu tenang seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun di sana. Bila orang yang bisa melihat kalau barusan saja dia habis membunuh empat orang sekaligus maka hal ini merupakan suatu kejadian yang aneh sekali. Dengan sengaja tak sengaja dia melirik sekejap ke arah daun jendela dimana Kwik Tay-lok sekalian berada, namun langkahnya masih dilanjutkan langsung menuju ke hadapan orang berbaju hitam itu. Di depan beranda terdapat beberapa sap undak-undakan batu. Ia naik sampai undak-undakan tingkat ke dua, lalu berhenti dan mengawasi orang berbaju hitam itu tanpa berkedip. Mendadak Kwik Tay-lok menyaksikan orang berbaju hitam itu entah sedari kapan telah membuka sepasang matanya, waktu itu diapun sedang mengawasi wajahnya:

Kedua orang itupun saling berpandangan tanpa berkedip, tampaknya memang agak aneh dan menggelikan. Akan tetapi Kwik Tay-lok sama sekali tidak merasa geli, malahan telapak tangannya sudah basah oleh keringat. Bukan telapak tangan saja, bahkan sekujur badannya telah bermandikan keringat dingin. Kembali lewat beberapa saat lamanya mendadak orang berbaju hijau itu berkata: "Barusan si burung jahat Khong Tong telah membawa saudara-saudaranya berkunjung kemari" Inilah untuk pertama kalinya dia berbicara, ternyata bukan saja sikapnya amat santai dan romantis, nada suaranya juga kedengaran enak didengar.... Asal tidak memperhatikan raut wajahnya, tapi hanya mendengar suaranya dan melihat gayanya, dia benar-benar seorang kongcu yang amat menarik hati. "Hm!" orang berbaju hitam itu mendengus. "Aku kuatir mereka telah mengganggu impianmu yang indah, maka dari itu telah ku usir orang-orang itu."

"Hmm!"

"Apakah kau sudah tahu kalau mereka akan datang kemari, maka sengaja mendahuluinya untuk menunggu kedatangan mereka di sini?"

"Mereka masih belum pantas!"

"Benar, orang-orang itu memang belum pantas untuk menyuruhmu turun tangan sendiri, tapi siapa yang sedang kau nantikan?"

"Kui kongcu!" Orang berbaju hijau itu segera tertawa. "Aaah.... tak kusangka kau begitu memandang tinggi diriku, hal ini benar-benar merupakan suatu kebanggaan bagi kami." Ternyata orang ini bernama Kongcu setan. Kwik Tay-lok merasa nama tersebut memang cocok sekali dengan kenyataannya. Tapi siapa pula orang berbaju hitam ini? Apakah dia adalah Lamkiong Cho? Kenapa dia harus menantikan kedatangan Kui-kongcu tersebut di tempat ini? Terdengar si Kongcu setan berkata lagi:

"Kalau toh kau bisa menantikan kedatanganku di sini, apakah kau sudah mengetahui pula maksud kedatanganku?"

"Hm!"

"Dulu kita pernah saling bersua, kedua belah pihak selalu teramat sungkan."

"Kau memang sungkan."

"Benar, aku tentu saja bersikap sungkan kepadamu." kata kongcu setan sambil tertawa. "Tapi kau justru pernah memberi kesulitan bagiku."

"Hmm!"

"Kali ini aku berharap kita bisa berjumpa dengan sungkan dan berpisah lagi dengan sungkan."

"Hmm!"

"Aku hanya ingin mengajukan beberapa buah pertanyaan saja kepada tuan rumah di sini, kemudian segera pergi."

"Tidak boleh!"

"Hanya menanyakan dua patah kata?"

"Tidak boleh?" Ternyata sikap Kui kongcu masih juga amat sungkan, katanya kemudian sambil tersenyum: "Kenapa tidak boleh, apakah kau adalah sahabatnya tuan rumah gedung ini?"

"Bukan."

"Tentu saja bukan." seru Kui-kongcu sambil tertawa, "kau seperti juga aku, selamanya tak pernah mempunyai teman."

"Hmm!"

"Kalau toh mereka bukan temanmu, kenapa kau harus mencampuri urusan ini?"

"Sebab aku telah mengurusinya!" Mencorong sinar tajam dari balik mata Kui kongcu, serunya kembali: "Apakah kaupun mempunyai tujuan yang sama dengan diriku."

"Hmm!"

"Uang milik Cui-mia-hu apakah berada di sini atau tidak masih merupakan suatu tanda tanya besar, mengapa belum apa-apa kita harus ribut lebih dahulu?"

"Enyah kau dari sini!"

"Aku tak akan enyah dari sini." Kui kongcu masih juga tertawa. "Kalau tidak enyah berarti mampus!"

"Siapa hidup siapa mati masih suatu tanda tanya besar, kenapa pula kau mesti turun tangan?" Tampaknya dia sama sekali tidak mempunyai kobaran api amarah dalam hatinya, selalu bersikap acuh tak acuh dan seenaknya sendiri. Entah siapa pun yang memandang sikapnya itu, tak akan dijumpai sikap seorang yang siap melancarkan serangan. Tapi Kwik Tay-lok serta Yan Jit yang berada di balik jendela sebelah sana mendadak berseru hampir bersama: "Coba lihat, orang itu hendak turun tangan." Betul juga, belum habis perkataan itu diucapkan, Kui-kongcu benar-benar telah melancarkan serangan. Tapi pada saat yang bersamaan pula, orang berbaju hitam itu sudah mengangkat tangannya dan menggenggam gagang pedang di atas bahunya. Kedua belah tangannya yang terangkat ke atas menyebabkan pertahanan tubuh bagian depannya menjadi sama sekali terbuka lebar, seperti sebuah kota benteng tanpa penjagaan yang siap menantikan serbuan pasukan musuh. Senjata kipas milik Kui kongcu itu sebenarnya menggunakan jurus Poan-koan-pit untuk menotok jalan darah Hian-ki-hiat di atas dada lawan, tapi pada saat itulah mendadak kipas tersebut direntangkan, kemudian dengan menggeser ke samping, langsung menusuk tenggorokan dari arah bawah perut. Perubahan semacam itu tampaknya saja seperti tiada sesuatu keistimewaan apapun, padahal diantara gerakan tersebut justru terjadi perubahan yang drastis sekali, selain arah sasaran, jurus serangan mengalami perubahan besar, malah senjata kipas yang digunakanpun seakan-akan telah berubah menjadi sejenis senjata yang lain. Tindakan tersebut membuat serangan yang semula berupa totokan menjadi suatu sapuan kilat, serangan yang mengarah suatu tempatpun berubah menjadi suatu sapuan. Sedemikian sempurna dan luar biasanya perubahan itu membuat pihak lawan sama sekali tidak menduganya. Waktu itu si orang berbaju hitam itu masih bersandar di atas tonggak penyanggah, tempat itu

pada dasarnya merupakan suatu sudut mati yang tak mungkin bisa dipakai untuk berkelit. Apalagi sepasang tangannya terangkat ke atas semua sehingga pertahanan bagian depannya sama sekali terbuka, asal orang yang mengerti akan ilmu silat, sudah pasti tak akan memilih posisi seperti itu, apalagi memilih gaya pertahanan semacam itu. Pedangnya enam depa panjangnya, dalam keadaan demikian mustahil ia sanggup untuk mencabut keseluruhannya. Bagi orang lain, mungkin hal mana sulit untuk dilakukan sebagaimana mestinya. Namun orang berbaju hitam itu benar-benar memiliki kelebihan yang luar biasa.

Bila seseorang sampai memilih suatu posisi yang begitu jelek serta suatu gaya serangan yang begitu jelek untuk bertarung melawan orang, bila ia bukan seorang manusia tolol, itu berarti dia mempunyai suatu cara istimewa untuk menghadapinya. Sewaktu kipas Kui kongcu menyambar ke depan, tiba-tiba orang berbaju hitam itu memutar badannya dengan merubah posisinya berhadapan dengan tonggak penyanggah, seakan-akan dia hendak berpelukan dengan tonggak tersebut. Walaupun serangan pertama yang amat dahsyat tersebut berhasil dihindari, tapi sekarang justru punggungnya malah sama sekali terbuka. Cara semacam ini boleh dibilang luar biasa bodohnya. Jangankan orang lain, bahkan Kui kongcu sendiripun dibikin tertegun oleh sikap musuhnya itu. Sejak terjun ke arena dunia persilatan sampai sekarang, paling tidak sudah dua tiga ratus kali dia bertarung melawan orang, tentu saja diantara kawanan jago yang pernah dihadapinya terdiri dari beraneka ragam manusia, ada yang lihay, ada pula yang tidak lihay. Tapi manusia bodoh semacam itu, boleh dibilang baru dijumpai untuk pertama kalinya. Siapa tahu, pada saat itulah mendadak orang berbaju hitam itu mendorong tonggak kayu itu sekuat tenaga, sepasang kakinya pun bersamaan waktunya di jejakkan ke atas tonggak kayu, bagian perutnya ditarik ke belakang sementara pinggulnya menonjol ke belakang. Secepat sambaran kilat orang itu menyusup ke belakang, seluruh badannya tiba-tiba terpatah menjadi dua bagian sehingga bagian kaki dan tangannya menjadi menempel satu sama lainnya. Pada saat itulah cahaya pedang berkelebat lewat. Sebilah pedang yang enam depa panjangnya itu tahu-tahu sudah diloloskan dari dalam sarungnya. Cara meloloskan pedang semacam itu bukan cuma aneh saja, bahkan terasa luar biasa sekali. Ketika Kui kongcu berputar badan siap melancarkan sergapan, mendadak ia menemukan ujung pedang lawan telah tertujukan di atas dadanya. Sekujur badan orang berbaju hitam itu hampir semuanya berada di belakang pedang itu, bahkan setitik tempat kosongpun tidak ditemukan.. Suatu cara yang terbodoh secara tiba-tiba saja berubah menjadi suatu cara yang jitu dan mematikan. Secara tiba-tiba pula Kui Kongcu menemukan bahwa ia sama sekali tidak memiliki kesempatan lagi untuk melancarkan serangan balasan. Terpaksa dia harus mundur, badannya berkelebat dan mundur ke belakang tonggak kayu itu. Tonggak kayu itu berbentuk bulat, sedang pedang si orang berbaju hitam itu amat panjang, tak mungkin ia akan mengitari tonggak kayu tersebut untuk mengejar dirinya. Asal dia menempelkan badannya di belakang tonggak kayu itu, maka tak mungkin pedang si orang berbaju hitam itu dapat menusuk tubuhnya. Dengan demikian diapun bisa menunggu kesempatan kedua untuk melancarkan serangan yang mematikan.

Itulah taktik mencari kemenangan ditengah kekalahan, suatu taktik mencari hidup di tengah kematian, biasanya taktik semacam itu luar biasa sekali hasilnya. Kui Kongcu menempelkan badannya di atas tonggak kayu sambil menunggu orang berbaju hitam itu memutar ke hadapannya. Akan tetapi orang berbaju hitam yang berada di ujung tonggak lain sama sekali tidak memberikan reaksi apapun juga. Apakah dia pun sedang menunggu kesempatan? Diam-diam Kui kongcu menghembuskan napas lega, ia tidak takut menunggu, tidak takut mengulur waktu, pokoknya sekarang dia sudah berada pada posisi yang tak terkalahkan. Bila orang berbaju hitam itu ingin melancarkan serangan, maka dia harus memutar satu lingkaran besar, sedangkan ia sendiri asal menempel di atas tonggak kayu dengan membuat suatu geseran kecil saja maka serangan akan bisa dihindari. Lagi pula dalam penggunaan tenaga, selisih diantara mereka hampir mencapai tiga empat kali lipat. Maka tak akan menunggu terlampau lama lagi, kekuatan tubuh orang berbaju hitam itu pasti akan bertambah lemah, itu berarti kesempatan baginya telah tiba. Perhitungan tersebut sudah dia susun dengan rapi dan sangat jelas, maka dari itu dia pun

merasa lega sekali. Mendadak ia mendengar suara ketukan pelan di belakang tonggak kayu itu, seperti ada burung sedang mematuk dahan kayu. Ia sama sekali tidak memperhatikannya dengan serius... Tapi, pada saat itulah mendadak dia merasakan punggungnya menjadi dingin sekali. Menanti dia merasakan keadaan yang tidak menguntungkan, tahu-tahu sebuah benda yang

keras, dingin, dan kaku telah menembusi punggungnya. Menyusul kemudian dia menyaksikan ada semacam benda yang menembusi ke luar dari depan dadanya. Itulah ujung pedang yang bersinar hitam. Darah segar meleleh keluar dari ujung pedang tersebut dan membasahi seluruh permukaan tanah. Bila secara tiba-tiba kau menyaksikan ada sebuah ujung pedang menembus keluar dari dadamu, bagaimanakah perasaanmu ketika itu? Perasaan tersebut jarang sekali ada yang bisa ikut merasakannya.

Ketika menyaksikan ujung pedang tersebut, mimik wajah Kui kongcu seakan-akan menjadi kaget bercampur tercengang, tapi seperti pula sedang menyaksikan suatu kejadian yang sangat aneh dan menarik hati. Dengan termangu-mangu ditatapnya benda itu tak berkedip, kemudian secara tiba-tiba wajahnya berubah menjadi kaku, mengejang keras dan diliputi perasaan ngeri, mulutnya terbuka lebar seperti hendak berteriak dengan sepenuh tenaga. Namun tiada suara yang bisa keluar lagi, secara tiba-tiba sekujur badannya menjadi dingin dan kaku. Hampir seluruhnya menjadi beku. Dilihat dari kejauhan sana, seperti lagi termenung sambil mengawasi ujung pedang yang menembusi dadanya. Darah kental masih meleleh keluar tiada hentinya dari ujung pedang tersebut. Menetesnya makin lambat, makin lama semakin lambat. Orangnya masih tetap mempertahankan posisi semula semacam posisi yang tak dapat dilukiskan keseraman serta kengeriannya. Yan Jit melengos ke arah lain, ia tak tega untuk memandangnya lebih jauh. Kwik Tay-lok sendiri, walaupun sepasang matanya terbelalak lebar-lebar, padahal dia sendiripun tidak menyaksikan apa-apa. Adegan seram yang terjadi barusan telah membuatnya menjadi tertegun dan seperti

kehilangan sukma. Dengan jelas sekali dia menyaksikan orang berbaju hitam itu menghimpun tenaganya lalu menusuk tonggak kayu itu dengan pedangnya. Diapun menyaksikan dengan amat jelas, ujung pedang itu menembusi tonggak kayu dan tiba-tiba tembus sampai di depan dada Kui kongcu. Ia benar-benar tidak percaya kalau apa yang disaksikannya itu merupakan suatu kenyataan. Kedengarannya mungkin susah untuk dipercaya, tapi bila kau menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, maka hal mana justru sukar untuk dipercayai. Pedang apakah itu? Dan ilmu pedang apa pula yang dipergunakannya? Kwik Tay-lok menghela napas panjang. Menanti matanya dapat melihat benda lagi, ia saksikan entah sedari kapan orang berbaju hitam itu telah mencabut keluar pedangnya. Tapi tubuh Kui kongcu masih berada di ujung pedangnya. Waktu itu orang berbaju hitam tersebut sedang menggunakan ujung pedangnya untuk menahan mayat Kui kongcu dan pelan-pelan berjalan keluar dari sana.  Seorang manusia berbaju hitam yang tidak terlihat raut wajahnya menggembol sebilah pedang yang panjangnya enam depa.  Mata pedang tersebut bersinar hitam dan membawa sesosok mayat manusia berbaju hijau yang telah menjadi kaku. Udara malam amat bersih, suasana dalam ruangan amat hening. Seandainya apa yang tertera di depan mata hanya suatu lukisan belaka, maka siapa saja yang menyaksikan lukisan tersebut sudah pasti akan merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri. Apalagi semua peristiwa tersebut bukan hanya suatu lukisan belaka. Tiba-tiba Kwik Tay-lok merasa kedinginan, ia ingin mencari sebuah mantel untuk menutupi badannya. Dia hanya berharap apa yang terjadi pada malam ini tak lebih hanya suatu impian buruk belaka. Sekarang, ia telah mendusin dari impian tersebut. Orang berbaju hitam itu telah pergi, di dalam halaman tiada seorang manusiapun. Masih tetap di dalam halaman yang sama dan malam yang sama pula. Kwik Tay-lok menghela napas panjang, gumamnya: "Bila orang-orang yang datang berkunjung sekarang bisa mengetahui apa yang baru terjadi ditempat ini, aku akan memujinya setinggi langit...." Tiba-tiba Ong Tiong bertanya: "Apa sih yang telah terjadi di sini?"

"Masa kau tidak tahu?"

"Tidak tahu."

"Apakah tadi tak pernah terjadi sesuatu peristiwa ditempat ini....?"

"Tidak ada." Kwik Tay-lok segera tertawa, serunya: "Benar, apa yang sudah lewat biarkan lewat, memang tak ada bedanya antara apa yang telah terjadi dan apa yang belum terjadi"

"Tepat sekali jawabanmu itu."

"Oleh karena itu, lebih baik kau tak usah banyak memikirkannya, banyak memikirkannya malah justru akan mendatangkan banyak kesulitan buat diri sendiri"

"Lagi-lagi jawabanmu tepat sekali"

"Kali ini tidak benar!" tiba-tiba Yan Jit menyela. "Karena bagaimanapun kau berusaha untuk tidak memikirkan persoalan itu, dalam hatimu pasti akan terjadi rasa masgul"

"Kemasgulan apa?" Yan Jit menghela napas panjang. "Aaaai.... sekarang aku belum dapat melihatnya, juga belum bisa menemukan, oleh karena itu baru tahu kalau hal ini sudah pasti merupakan suatu kemasgulan yang teramat besar. Tiba-tiba mereka serentak menutup mulutnya rapat-rapat. Karena pada waktu itu, si orang berbaju hitam itu sudah masuk kembali ke dalam halaman, menaiki undak-undakan batu dan berdiri kembali di depan tonggak kayu. Pedang yang berada dipunggungnya telah di sorenkan kembali. Tak tahan Kwik Tay-lok segera berseru: "Aku akan pergi bertanya kepadanya!" Tidak menanti orang lain buka suara, dia telah melompat keluar dari jendela dan menerjang kemuka... Orang berbaju hitam itu sudah bersandar kembali di atas tonggak kayu, memejamkan matanya seperti telah tertidur kembali. Sengaja Kwik Tay-Iok mendehem keras, mendehem sedemikian kerasnya sehingga tenggorokan tersebut benar-benar terasa agak gatal. Saat itulah si orang berbaju hitam itu baru membuka matanya dan memandang ke arahnya dengan pandangan dingin. "Tampaknya kau harus cepat-cepat pergi mencari seorang tabib untuk menyembuhkan batukmu itu" katanya dingin. Kwik Tay-lok tertawa paksa, katanya: "Aku tak usah mencari tabib, sebab aku sendiripun mempunyai obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit batuk."

"Oooh....."

Bersambung ke Jilid 25 ...