Bagian 2
Ketika Suma Han meloncat turun dari burung garudanya di depan Istana Pulau Es, tiga orang pembantu utamanya yang menyambutnya memandang dengan penuh perhatian. Terutama sekali Phoa Ciok Lin yang menjadi kepala pengurus bagian dalam, seorang wanita muda yang cantik jelita, memandang wajah Suma Han dengan mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang. Dia melihat sesuatu pada wajah yang menjadi pujaan hatinya.
Dia tahu bahwa pendekar yang dikaguminya itu menderita tekanan batin yang hebat sekali. Biarpun pendekar itu dapat menutupinya dengan hati sehingga tidak tampak sedikitpun ketegangan urat syarafnya, namun wajah yang tampan itu terselubung kemurungan yang amat mendalam.
Yap Sun, wakil bagian luar Pulau Es yang bertubuh gemuk berusia lima puluh tahun itu pun mengerti bahwa majikannya sedang berduka, demikian pula Thung Sik Lun, sutenya yang kurus. Namun pandangan mereka tidak setajam Phoa Ciok Lin yang lebih menggunakan perasaan hatinya.
"Kami mohon maaf kepada To-cu bahwa kami tidak berhasil mencari Siocia. Apakah To-cu juga tidak berhasil?" Yap Sun melapor dan sekaligus bertanya sungguhpun dia sudah menduga bahwa kemurungan wajah majikannya itu tentu karena Kwi Hong tak berhasil ditemukan.
Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam ia terkejut melihat pandang mata Phoa Ciok Lin yang tajam menyelidik. Tentu wajahnya telah membayangkan perasaan hatinya yang terhimpit, pikirnya. "Bocah itu benar-benar membikin repot banyak orang. Aku tidak berhasil menemukannya, Paman Yap. Sampai jauh aku menjelajah tanpa hasil. Biarlah kita menunggu saja di pulau, kalau dia sudah bosan merantau tentu akan pulang juga." Sambil berkata demikian, Suma Han lalu melangkah masuk ke dalam Istana Pulau Es yang kuno namun kini bersih itu, diikuti oleh Phoa Ciok Lin yang sejak tadi hanya menyambut kedatangan Suma Han dengan pandang matanya yang bening.
"Kusediakan makan, Taihiap?" Suma Han menggeleng. "Aku tidak lapar."
"Ingin beristirahat? Kamar Taihiap sudah kusuruh bersihkan setiap hari. Atau perlu disediakan minum? Minum apakah?"
"Tidak usah repot Ciok Lin dan terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin.... menyendiri." Suma Han menjatuhkan diri di atas sebuah kursi dan menyandarkan tongkatnya di meja.
Ciok Lin tetap berdiri memandang, kedua tangan tergantung seperti orang lemas, wajahnya penuh kekhawatiran. Karena sampai lama wanita itu masih berdiri tanpa bergerak, Suma Han mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu dan Suma Han menunduk kembali.
"Ciok Lin, maaf. Kautinggalkan aku, aku ingin menyendiri." katanya. Gadis yang usianya sebaya, hanya lebih muda setahun dari
Majikan Pulau Es itu, menahan napas menekan hati yang perih. "Baiklah, Taihiap....." Ia membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan muka menunduk.
"Ciok Lin...." Suma Han menyadari akan sikapnya. Dia tahu betapa pembantunya ini selain amat setia, juga memujanya seperti dewa, bahkan kadang-kadang ada sinar mata memancar keluar dari sepasang mata yang membuat dia khawatir karena sinar mata itu jelas membayangkan sinar kasih sayang amat mendalam! Ia menyesal telah bersikap sedingin itu setelah orang menyambutnya demikian ramah dan penuh perhatian.
Dengan gerakan cepat, gadis itu memutar tubuh. "Ada apakah, Taihiap?"
Suma Han tersenyum minta maaf, dan mulutnya terkata. "Aku memang tidak lapar, akan tetapi akan segarlah kalau kau suka mengambilkan secawan air dingin dari sumber." Wajah yang manis itu berseri gembira. "Baik, Taihiap, segera kuambilkan!" Dan kini tubuh gadis itu tidak melangkah perlahan dengan muka menunduk lagi, melainkan berkelebat dan lenyap laksana menghilang saja. Suma Han tersenyum seorang diri. Perempuan! Sungguh lebih mudah mengukur dalamnya lautan daripada mengukur dalamnya hati perempuan. Semenjak kecil ia hidup bersama Lulu adiknya, mengira bahwa dia sudah mengenal adik angkatnya itu lahir batin. Siapa kira kenyataan menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak mengenal isi hatinya sehingga segala jerih payah yang ia lakukan untuk adik angkatnya itu malah berakibat sebaliknya seperti yang ia harapkan. Dia berhasil mengawinkan adiknya dengan Wan Sin Kiat, seorang pemuda pilihan, tampan dan gagah perkasa, berbudi mulia dan berjiwa pendekar. Akan tetapi, siapa kira, pernikahan itu malah merupakan kesengsaraan bagi Lulu yang kemudian nekat meninggalkan suaminya bersama anaknya sehingga Wan Sin Kiat membunuh diri dengan cara berjuang sampai mati! Semua itu karena Lulu mencinta dia? Benarkah seperti yang dikatakan Im-yang Seng-cu? Dan dia.... sudah lama namun dianggapnya terlambat ketika ia merasa yakin bahwa satu-satunya cinta kasih murni yang berada di hatinya adalah untuk Lulu seorang!
Semenjak pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu dan mendengar berita tentang Lulu, Suma Han mengalami pukulan batin yang amat hebat, lebih hebat daripada kekhawatirannya tentang kepergian Kwi Hong. Semenjak itu, dia tidak pernah makan, minum atau tidur sehingga ketika ia tiba di istana Pulau Es, tubuhnya menjadi kurus, mukanya sayu dan agak pucat. Kini menghadapi sikap Phoa Ciok Lin, pembantunya yang setia, hatinya terasa makin perih. Kalau mungkin, dia minta dijauhkan daripada kaitan kasih sayang dengan wanita! Betapa banyaknya penderitaan batin yang ia alami karena hubungan kasih sayang ini yang hanya tampaknya saja manis, namun sesungguhnya mengandung kepahitan yang sampai lama terasa di hati.
Berkelebatnya bayangan menyadarkannya dari lamunan dan Ciok Lin telah berdiri di depannya, membawa sebuah cawan kosong dan seguci air segar yang baru diambilnya dari sumber air di atas pegunungan pulau itu. Diam-diam Suma Han memuji. Ilmu kepandaian Ciok Lin telah meningkat dengan hebat dan kini dapat dipercaya menjadi orang kedua di Pulau Es jauh melampaui kepandaian Yap Sun sendiri! Ia memandang wajah itu dan diam-diam tersenyum di hatinya. Gadis itu telah mengambil air dari gunung yang cukup jauh, bahkan telah mencuci muka, bersisir, dalam waktu yang amat cepat!
Suma Han menerima air di cawan yang dituangkan oleh Ciok Lin, lalu meminumnya. Segar dingin terasa sampai ke perutnya.
"Terima kasih, Ciok Lin."
"Tambah lagi, Ta ihiap?"
"Cukup, letakkan saja di meja, nanti kuambil sendiri."
Sejenak Ciok Lin meragu, kemudian ia memberanikan diri, mengangkat muka memandang wajah yang bayangannya sudah terukir di hatinya itu. "Taihiap, dalam kepergian Taihiap mencari Kwi Hong, apakah Taihiap berjumpa dengan kenalan lama?"
Suma Han membalas pandangan itu dengan sinar mata penuh selidik, "Ciok Lin, mengapa kau menduga demikian?"
Ciok Lin menarik napas panjang lalu berkata, "Semenjak saya berada di sini, saya melihat Taihiap hidup tenang dan tenteram seperti permukaan laut yang tidak tersentuh angin. Akan tetapi sekarang laut itu bergelombang dan digelapkan awan. Apa lagi yang menimbulkan kecuali pertemuan dengan kenalan lama dan dipaksa mengenang peristiwa-peristiwa lalu?"
Suma Han menghela napas, "Aihhh, dugaanmu memang benar, Ciok Lin. Sekali berkunjung ke dunia ramai, banyak persoalan tidak menyenangkan hati terdengar. Akan tetapi sudahlah, aku akan beristirahat dan akan mencoba melupakan semua itu. Yang terpenting adalah soal perginya Kwi Hong. Harap engkau suka meninggalkan aku sendiri."
"Baiklah, Taihiap." Sekali ini Ciok Lin pergi dan Suma Han duduk termenung mengenangkan kata-katanya sendiri. Melupakan? Urusan dengan Im-yang Seng-cu, urusan dendam Tan-siucai bekas tunangan Lu Soan Li yang katanya mendendam kepadanya, urusan perebutan pusaka-pusaka yang lenyap. Semua itu dapat dengan mudah ia lupakan karena memang tidak dipikirkannya lagi. Akan tetapi Lulu....! Dapatkah ia melupakan Lulu? Kalau adik angkatnya itu hidup bahagia di samping suami dan anaknya, tentu dia akan dapat melupakannya, atau bahkan ikut merasa berbahagia karena adik yang dicintanya itu hidup bahagia. Akan tetapi sekarang? Kebahagiaan itu berantakan dan betapa mungkin ia dapat melupakannya? Apalagi karena perginya Lulu meninggalkan suaminya itu menimbulkan dugaan di hatinya bahwa tentu Lulu yang telah melakukan hal yang menghebohkan dan menggegerkan dunia kang-ouw. Siapa lagi yang dapat membongkar kuburan dan membawa pergi Sepasang Pedang Iblis? Hanya dia dan Lulu yang mengetahui di mana adanya sepasang pedang itu dikubur. Di mana sekarang adanya Lulu dan anaknya? Jangan-jangan...., ah, dia teringat akan ketua Thian-liong-pang, wanita yang mukanya diselubungi kain itu. Bentuk tubuhnya, suaranya, dan sinar mata dari balik selubung itu! Mengapa dia begitu bodoh? Tentu Lulu orangnya! Akan tetapi kalau benar Lulu, mengapa menantangnya? Dan ilmu kepandaiannya pun hebat sekali. Orang seperti Lulu memungkinkan terjadinya segala hal aneh. Dia tidak akan merasa heran kalau tiba-tiba Lulu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya sendiri! Yang amat mengherankan hatinya, kalau benar ketua Thian-liong-pang itu Lulu adanya, mengapa menantang dia? Mengapa seperti hendak memusuhinya?
Sampai tiga hari lamanya pertanyaan ini mengganggu hati Suma Han. Ketika pada pagi hari itu ia mengambil keputusan untuk pergi lagi meninggalkan Pulau Es, pertama untuk mencari Kwi Hong lagi dan kedua untuk menyelidiki Thian-liong-pang karena ia merasa penasaran kalau belum membuka selubung muka Ketua itu untuk melihat apakah dugaannya tidak salah, tiba-tiba terdengar seruan-seruan di luar istana.
"Garuda betina datang....!"
"Nona Kwi Hong tidak bersama dia....!"
Seruan-seruan itu cukup menyatakan bahwa garuda betina pulang tanpa Kwi Hong, berarti bahwa telah terjadi sesuatu dengan diri murid atau keponakannya itu! Akan tetapi Suma Han tidak menjadi gugup. Dengan tenang ia berloncatan keluar dan garuda betina sudah berada di pekarangan bersama garuda jantan yang agaknya sudah lebih dulu menyambut. Melihat Suma Han, garuda betina itu lalu mendekam dan mengeluarkan suara seperti rintihan, kemudian meloncat ke atas terbang dan turun lagi mendekam, terbang lagi dan mendekam lagi.
Suma Han menghampiri, "Apakah Nona ditawan orang?"
Garuda itu mengeluarkan suara dan mengangguk-angguk, lalu terbang dan mendekam lagi. Suma Han menoleh kepada pembantu-pembantunya dan berkata, "Agaknya Kwi Hong ditawan orang, biar aku sendiri yang menyusul dan menolongnya. Jaga pulau baik-baik, aku pergi takkan lama."
Setelah berkata demikian ia menggapai dengan tangan kirinya. Garuda jantan meloncat datang dan sekali menggerakkan tubuhnya, Suma Han telah mencelat ke atas punggung garuda jantan yang terbang tinggi mengejar garuda betina yang telah mendahuluinya.
Garuda betina yang menjadi penunjuk jalan terbang tinggi di atas lautan kemudian mengelilingi sekumpulan pulau-pulau kecil. Di tengah kumpulan pulau itu tampak sebuah pulau hitam.
"Hemm, agaknya penghuni Pulau Neraka yang menawan Kwi Hong. Betapa lancang dan beraninya mereka!" Suma Han menjadi gemas dan menyuruh garudanya menukik ke bawah. Adapun garuda betina yang kelihatannya jerih, hanya mengikuti dari belakang.
Suma Han adalah seorang pendekar yang selain sakti, juga amat cerdik. Kalau penghuni Pulau Neraka sudah berani menculik muridnya, tentu mereka itu kini telah siap untuk menyambut kedatangannya, karena sudah tentu mereka ini tahu bahwa dia akan menolong muridnya. Kenyataan bahwa garuda betina pulang tanpa menderita luka merupakan bukti bahwa penghuni Pulau Neraka sengaja memancingnya datang dan harus berlaku hati-hati sekali. Dari atas dia melihat pulau yang belum pernah dikunjungi, hanya didengarnya saja dongengnya itu. Pendaratan ke pulau itu hanya mungkin dilakukan dari angkasa, karena pulau itu dikurung lautan yang bergelombang dahsyat, yang akan menghempaskan setiap perahu yang mencoba untuk mendarat. Tentu kini penjagaan ketat dilakukan untuk menyambut kedatangannya lewat angkasa menunggang burung, pikirnya. Justru tempat yang berbahaya, yang tidak mungkin didarati, yaitu melalui lautan, merupakan tempat yang terbebas daripada penjagaan. Karena pikiran ini, dia lalu menyuruh garudanya terbang rendah di atas laut dekat tebing karang yang airnya berombak besar.
Setelah burung itu terbang rendah, Suma Han meloncat dari atas punggung burung, melemparkan tongkatnya ke bawah. Tongkat kayu itu disambar ombak dan mengambang. Bagaikan seekor burung, tubuh Suma Han menyusul tongkatnya dan kaki tunggalnya sudah hinggap di atas tongkat yang terombang-ambing ombak. Dengan menekuk lutut ia menggunakan kedua tangannya sebagai dayung sehingga tongkatnya meluncur ke pinggir mendekat karang. Pada saat itu, ombak dari belakangnya mendorong pula sehingga tubuhnya meluncur ke depan, ke arah tebing batu karang yang agaknya akan menerima dan menghancurkan tubuh Pendekar Super Sakti ini. Namun Suma Han telah memperhitungkan dan ia sudah mendahului meloncat dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun sambil menyambar tongkatnya. Ketika tubuhnya meluncur dekat tebing karang, tongkatnya menotok ke depan, ke arah batu karang dan menggunakan tenaganya untuk mencelat ke atas, menotok lagi dan meloncat lagi sehingga dengan lima kali loncatan ia telah dapat sampai di puncak tebing dengan selamat. Ia menoleh dan melihat bahwa dua ekor burung garuda peliharaannya itu telah hinggap dengan selamat di sebuah batu karang yang menonjol, tidak tampak dari darat. Ia girang akan kecerdikan dua ekor burung itu yang mengerti akan siasatnya yang menyuruh mereka bersembunyi dan menanti isyaratnya.
Dari atas tebing yang tinggi ini, Pendekar Super Sakti memeriksa keadaan pulau. Hemm, benar-benar tempat yang berbahaya, pikirnya. Berbahaya dan teratur oleh tangan ahli karena keadaannya mencurigakan sekali. Dari tempat dia mendarat, kalau hendak memasuki pulau harus melalui hutan-hutan yang gelap dan pohon-pohonnya diatur mencurigakan, seperti lorong menyesatkan dan banyak bagian yang serupa sehingga memasuki hutan itu tentu akan membingungkan orang dan akan menyesatkan. Pula, mungkin di dalam hutan itu bersembunyi binatang-binatang jahat yang berbisa. Dari sebelah kiri melewati daerah yang seperti rawa, amat luas dan penuh alang-alang tinggi. Daerah itu amat berbahaya karena melalui rawa yang tertutup oleh alang-alang orang tak mampu menjaga diri sebaiknya, apalagi kalau sampai terjeblos ke dalam lumpur dan diserang banyak binatang buas. Dari sebelah kanan melalui pegunungan karang yang ditumbuhi tanaman-tanaman yang aneh bentuknya, kelihatan sunyi namun malah mencurigakan sekali karena biasa nya, di tempat-tempat yang diatur orang-orang pandai seperti pulau itu, tempat yang kelihatan paling aman biasanya justru merupakan tempat yang paling berbahaya. Adapun pendaratan dari seberang sana, berlawanan dengan tempat ia mendarat, orang harus melalui daerah yang penuh pasir, kelihatan bersih sunyi dan aman, namun ia merasa yakin bahwa tempat itu pun amat berbahaya karena selain pendatang tidak akan dapat bersembunyi dan nampak dari jauh, juga dia sudah mendengar tentang pasir bergerak yang dapat menyedot benda bergerak ke dalamnya. Dia mendarat tanpa perhitungan karena memang belum mengenal keadaan. Nasib saja yang menentukan dan setelah ia mendarat di situ, biarlah ia memasuki pulau itu dari situ pula, melalui hutan-hutan gelap yang kelihatan paling berbahaya itu. Sampai beberapa lama dia memeriksa seluruh hutan itu dari atas, menghafal letak-letak kelompok pohon yang beraneka macam dan memperhatikan mata angin dengan melihat letak matahari. Melihat arah matahari, dia tahu bahwa dia telah mendarat di bagian selatan dan untuk menuju ke tengah hutan yang ia yakin tentu menjadi markas atau sarang penghuni Pulau Neraka, dia harus menuju ke utara. Tiba-tiba Suma Han menggerakkan tubuh menyelinap ke balik batu karang menonjol, menyembunyikan diri dan mengintai. Tidak salah lagi, yang terbang di atas itu adalah seekor burung rajawali yang besarnya menandingi garudanya dan di punggung rajawali itu duduk seorang manusia. Burung itu terbang berputaran di atas pulau, maka tahulah dia bahwa orang yang menunggang rajawali itu, yang terlalu jauh untuk dapat dilihat besar kecilnya atau laki-laki perempuannya, tentu sedang melakukan pengintaian atau pemeriksaan. Setelah burung itu menukik turun dan lenyap di balik pohon-pohon, ia lalu ke luar dari tempat sembunyinya. Sekali lagi ia memandang keadaan hutan yang akan dilaluinya, kemudian tubuhnya bergerak ke depan cepat sekali, dengan loncatan-loncatan jauh. Akan tetapi, dalam kecepatannya yang luar biasa, Suma Han selalu tetap waspada dan hati-hati karena dia maklum betapa berbahaya daerah yang tak dikenalnya itu. Dia kini sudah memasuki hutan yang gelap. Bagian atas hutan itu tertutup rapat oleh daun-daun lebat sehingga sukar untuk melihat di mana adanya matahari. Namun, dari sinar matahari yang menerobos ke bawah ia dapat memperhitungkan dan dia terus maju menuju ke arah utara. Dia tidak mau membelok melainkan lurus bergerak ke depan. Kalau keadaan sedemikian gelapnya dan ia merasa kehilangan arah, Suma Han mencelat ke atas pohon besar dan melihat letak matahari, lalu turun lagi dan melanjutkan perjalanannya.
Tiba-tiba ia berhenti bergerak. "Ular...." bisiknya dan ia sudah siap. Penciumannya yang tajam dapat menangkap bau amis ular-ular itu, juga pendengarannya dapat menangkap suara mendesis-desis dari depan. Namun dia tidak gentar dan melanjutkan perjalanan ke depan. Hutan yang gelap dan mudah menyesatkan orang itu kini terganti dengan bagian yang terbuka, ada seratus meter luasnya dan di tempat inilah berkumpulnya ular-ular itu, kemudian di seberang sana disambung pula dengan hutan lain.
Suma Han berdiri dan memperhatikan ular-ular itu. Diam-diam ia kagum sekali. Dari mana saja penghuni pulau ini mengumpulkan ular-ular yang selain amat banyak jumlahnya, ada ribuan ekor, juga amat banyak macamnya, semua terdiri dari ular-ular berbisa! Dia mengenal beberapa ekor ular yang gigitannya amat berbahaya, sekali gigit tentu merenggut nyawa. Dan melihat ular-ular yang beraneka macam itu, dengan warna yang bermacam-macam pula, timbul rasa sayang di hati Suma Han. Sayang kalau kumpulan ular berbisa yang begitu lengkap di bumi! Pula, dia tidak mempunyai niat sedikitpun juga untuk melakukan pembunuhan dan pengrusakan di pulau ini. Pertama, dia belum melihat bukti bahwa Kwi Hong di tahan di Pulau ini. Ke dua, andaikata benar demikian, penghuni Pulau Neraka hanya melakukan hal itu untuk memancing dia datang, tentu Kwi Hong tidak diganggu karena buktinya, burung garuda betina pun tidak dilukai. Kalau orang tidak berniat buruk, mengapa dia harus melakukan pembunuhan dan pengrusakan.
Kini ular-ular itu telah mengetahui kedatangannya, binatang-binatang ini mendesis-desis dan bergerak maju seperti barisan, siap untuk mengeroyok manusia yang berani datang ke tempat itu. Suma Han mengukur dengan pandang matanya. Kalau bukan dia yang datang ke tempat itu, agaknya sukar untuk melewati ular-ular yang memenuhi daerah sepanjang seratus meter itu, kecuali dengan membunuh mereka semua. Untuk meloncati jarak yang sekian jauhnya, biar dia seorang ahli ilmu Soan-hong-lui-kun sekalipun, tentu tidak mungkin. Akan tetapi dengan tongkatnya, ditambah ilmunya dia tidak merasa menghadapi kesukaran. Dia tersenyum, dapat menduga bahwa tentu ada mata manusia yang mengintai gerak-geriknya dan ingin melihat bagaimana dia akan melalui barisan ular itu. Maka dia lalu meloncat ke depan beberapa meter jauhnya dan kalau dia tidak bertongkat, tentu terpaksa kakinya akan menyentuh tanah dan ada bahaya di sambar ular-ular itu. Akan tetapi dengan cekatan dan mudah ia menotolkan tongkatnya ke atas tanah diantara ular-ular yang menjadi kalang kabut berusaha menyerang tongkatnya. Dengan kekuatan tangannya yang memegang tongkat, begitu tongkat menotol tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan. Beberapa ekor ular yang mati-matian menggigit ujung tongkat itu terpelanting dan kembali Suma Han menggunakan tongkatnya menotol tanah dan
tubuhnya mencelat lagi. Demikianlah, dengan akal ini, dalam beberapa loncatan saja Suma Han telah tiba di seberang daerah ular dengan selamat tanpa membunuh seekor ular pun! Ia berdiri dan membalikkan tubuh sambil tersenyum memandangi ular-ular yang menjadi kacau dan membalik, mencari lawan.
"Begini sajakah halangan memasuki pulau?" kata Suma Han sambil melanjutkan perjalanan, ke utara menuju ke tengah pulau dan melalui hutan di depan yang tidak begitu gelap seperti hutan pertama. Tiba-tiba seperti jawaban ucapannya tadi terdengar suara gerengan keras dan dari dalam semak-semak meloncat keluar puluhan anjing serigala yang mengeluarkan bau harum dan amis! Suma Han mengelak dengan loncatan cepat sambil memperhatikan. Kembali ia merasa kagum. Srigala-srigala hitam ini benar-benar merupakan sekumpulan binatang yang aneh. Bulunya hitam mengkilap dan indah, moncongnva panjang dan mengingat akan bau yang keluar dari moncong mereka, menandakan bahwa binatang buas ini pun berbisa.
"Bukan main! Benar-benar segala macam binatang berbisa bersarang di pulau ini." pikir Suma Han. Melihat betapa kawanan srigala itu banyak sekali, gerakan mereka gesit, maka agaknya akan melelahkan kalau harus berlari-lari dan mengelak menghindari mereka yang tentu akan terus mengejar-ngejarnya. Dengan demikian maka perjalanannya akan kacau dan banyak bahayanya dia akan tersesat. Maka cepat ia mencelat ke atas pohon, berjongkok dengan kaki tunggalnya di atas dahan pohon, sejenak memandang srigala-srigala yang berusaha meloncat-loncat untuk mencapainya. Pemandangan ini lucu bagi Suma Han, maka
tanpa terasa lagi ia tertawa, kemudian melanjutkan perjalanannya melalui pohon-pohon. Karena pohon-pohon itu tumbuh berdekatan, amat mudah bagi seorang yang berilmu tinggi seperti dia untuk berloncatan dari dahan ke dahan dan dari pohon ke pohon, selalu mengambil arah ke utara atau menganankan matahari pagi.
Akan tetapi baru saja terbebas dari serangan gerombolan srigala hitam, datanglah serombongan lebah hitam yang terbang berbondong-bondong dan mengeroyoknya! Suma Han terkejut, dapat menduga bahwa sengatan lebah ini pun tentu berbisa. Dia memutar lengan kiri, sehingga timbul angin yang digerakkan hawa sin-kangnya sehingga lebah-lebah yang mendekatinya terbawa hanyut oleh angin itu. Akan tetapi karena dahan-dahan, ranting-ranting dan daun-daun menghalanginya, dia tidak dapat bergerak dengan leluasa. Melawan gerombolan lebah di pohon amatlah berbahaya, kalau meloncat turun, gerombolan sriga ia hitam tentu akan menerkamnya. Maka Suma Han cepat meloncat dengan pengerahan ilmu Soan-hong-lui-kun. Karena dia meloncat-loncat dengan selalu dikejar lebah-lebah yang terbang cepat, tentu saja dia tidak dapat memperhatikan arah lagi dan dia hanya berloncatan cepat dengan niat keluar dari hutan dan mencari tempat terbuka di mana dia akan dapat menghalau lebah-lebah itu dengan mudah. Sambil berloncatan dan kadang-kadang memutar lengan kiri untuk meruntuhkan lebah-lebah itu, diam-diam ia memuji dan mulailah dia tidak berani memandang rendah para penghuni Pulau Neraka! Akhirnya dia berhasil juga keluar dari hutan itu, di tempat terbuka dan dengan hati lega ia mendapat kenyataan bahwa gerombolan anjing sriga la sudah tak tampak lagi, tentu tidak sanggup mengejar dia yang berloncatan dari pohon ke pohon sedemikian cepatnya dan kehilangan jejak penciuman. Akan tetapi, kawanan lebah itu masih terus mengejarnya. Suma Han meloncat turun dari pohon terakhir dan sudah siap. Ketika lebah-lebah itu terbang datang, dia lalu menanggalkan jubahnya dan memutar jubah dengan tangan kanannya sedangkan tangan kiri tetap memegangi tongkatnya. Kalau dengan tangan saja gerakan Suma Han sudah mampu mendatangkan angin yang menyambar dahsyat apalagi kini menggunakan jubah. Angin bertiup keras dan lebah-lebah itu terbawa angin yang digerakkan oleh jubah di tangan Suma Han, sama sekali tidak mampu mendekati pendekar itu, bahkan ketika Suma Han membuat gerakan memutar dengan tangannya, jubahnya menimbulkan angin berpusing yang membuat lebah-lebah itu terseret angin yang berputaran ke atas sampai tinggi!
Tiba-tiba terdengar bunyi lengking tinggi nyaring dan halus, bunyi suling ditiup secara istimewa dan menyusul suara ini, datanglah berbondong-bondong lebah-lebah hitam dari segenap penjuru mengeroyok dan mengurung Suma Han!
"Setan....!" Suma Han mengomel, maklum bahwa suara suling itu dapat mengemudi perasaan lebah-lebah ini dan hal itu amat berbahaya karena kalau lebah-lebah itu datang makin banyak, mana mungkin dia dapat menghindarkan diri tanpa membasmi mereka, hal yang tak diinginkannya. Dengan hati mengkal Suma Han lalu mengerahkan khi-kangnya dan keluarlah lengkingan yang tinggi dan lebih nyaring daripada suara suling itu sambil jubah di tangannya masih terus diputarnya. Usahanya berhasil baik sekali karena lebah-lebah itu menjadi kacau-balau. Makin nyaring lengking yang keluar dari dalam dada Suma Han, makin kacaulah mereka tidak tentu lagi arah terbangnya. Ada yang terbang ke atas, ada yang ke bawah, ke kanan kiri depan belakang, bahkan ada yang terbang membalik dari arah mereka datang! Adapun lebah-lebah yang terlalu dekat dengan Suma Han, membubung tinggi dan menjadi pening sehingga lebah-lebah itu berjatuhan, bergerak-gerak dan merayap-rayap di atas tanah karena untuk sementara mereka tidak kuasa terbang, bahkan merayappun berputaran seperti anak-anak yang mabok setelah bermain putar-putaran!
Suara suling terhenti dan melihat bahwa lebah-lebah itu kini sudah pergi dalam keadaan kacau, Suma Han menghentikan lengkingannya dan putaran jubahnya, lalu tubuhnya mencelat lagi ke depan. Melihat hutan yang ditinggalkan dan letak matahari, hatinya mendongkol karena ternyata dalam melarikan diri tadi, dia tidak lari ke utara melainkan tersesat lari ke barat!
Karena tidak ingin tersesat lagi dan ingin melihat keadaan, ia melompat ke atas pohon di pinggir hutan yang baru ditinggalkan. Ketika ia memandang ke utara, hatinya girang karena dari tempat itu dia sudah dapat melihat sekelompok bangunan berwarna hitam. Akan tetapi, dari tempat itu menuju ke bangunan terdapat pasukan-pasukan menghadang jalan.
"Hemm, kini kalian tidak mengandalkan binatang-binatang lagi, melainkan maju sendiri menyambutku. Bagus!" Dia lalu melayang turun dan mempergunakan ilmunya berloncatan cepat menuju ke utara. Ternyata di sepanjang jalan tidak ada lagi rintangan dan akhirnya ia tiba di lapangan luas dan berhadapan dengan dua puluh tujuh orang yang mukanya berwarna biru muda. Mereka berpakaian seragam dan membentuk barisan sembilan kali tiga, bersenjatakan tombak panjang yang ada rantainya di ujung.
Suma Han sudah mendengar bahwa kedudukan dan tingkat kepandaian para anak buah Pulau Neraka ditentukan oleh warna muka mereka, makin terang warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Kini menghadapi dua puluh tujuh orang bermuka biru muda, Suma Han mengomel di dalam hatinya. "Orang-orang Pulau Neraka sungguh memandang rendah kepadaku!"
Sebagai To-cu dari Pulau Es, tentu saja dia merasa terhina kalau kedatangannya hanya disambut oleh pasukan bermuka biru muda, warna yang tentu hanya menduduki tingkat ke empat atau ke lima. Maka diapun tidak mau bicara melayani mereka, melainkan terus saja melangkah dengan kaki tunggalnya ke depan seolah-olah dua puluh tujuh orang itu hanya arca-arca yang tidak bernyawa dan tidak ada artinya!
Melihat sikap pendatang yang ditakuti ini, terdengar seorang di antara mereka berseru aneh memberi aba-aba dan tiga pasukan dari sembilan orang berjumlah dua puluh tujuh orang itu menggerakkan senjata, ada yang menyerang dengan tombak, ada pula yang membalikkan tombak dan menyabat dengan rantai baja di ujung gagang tombak. Serangan mereka amat cepat dan kuat sehingga terdengar angin bersuitan menyambar ke arah Suma Han yang menjadi sasaran dari tombak-tombak runcing dan rantai-rantai berat itu.
Namun, Suma Han masih berloncatan terus ke depan seolah-olah tidak peduli akan serangan mereka, akan tetapi setelah senjata-senjata itu datang dekat, dia memutar tongkatnya. Terdengarlah suara hiruk pikuk ketika semua senjata itu bertemu tongkat, bertemu dan terus melekat, rantai membelit-belit tongkat dan ujung tombak tak dapat ditarik kembali, bahkan kini mereka berteriak kesakitan dan terpaksa melepaskan senjata karena telapak tangan mereka terasa dingin membeku. Yang bersikeras mempertahankan senjatanya, menjerit dan memegangi tangan yang terpaksa melepaskan tombak karena kulit telapak tangan mereka berdarah! Dengan tenang Suma Han melangkah terus, menggerakkan tongkatnya dan belasan batang tombak terpelanting ke kanan kiri, terpelanting keras sekali, ada yang meluncur seperti anak panah dan hilang di antara pohon-pohon, ada pula yang menancap di atas tanah sampai setengahnya lebih!
Mereka yang telah menyerang, belasan orang itu, merintih-rintih, dan mereka yang belum menyerang berdiri bengong menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. Karena maklum bahwa menyerang seperti kawan-kawannya tadi tidak akan berhasil sedangkan lawan telah melewati hadangan pasukan mereka, belasan orang sisa yang kehilangan tombak lalu menggerakkan tombak mereka, melontarkan kuat-kuat sehingga kini ada belasan yang meluncur ke depan, mengeluarkan suara berdesing menyerang ke arah tubuh belakang Suma Han!
Seperti tadi, Suma Han tenang-tenang saja, tidak menengok sama sekali sehingga seolah-olah sekali ini dia akan celaka oleh belasan batang tombak yang meluncur secara kuat, cepat dan tepat ke arah punggungnya. Akan tetapi setelah ujung tombak-tombak itu tinggal beberapa senti lagi dari punggungnya, tubuhnya membalik, tangan kanannya mengibas ke depan dan.... belasan batang tombak itu runtuh dan semua menancap ke atas tanah di depan kakinya, berjajar-jajar rapi seperti diatur. Kemudian ia membalikkan tubuh lagi dan berjalan maju terpincang-pincang dibantu tongkatnya, tenang seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
"Pendekar Siluman.... kepandaiannya seperti iblis...." Pasukan muka biru muda itu berbisik dan saling pandang dengan mata terbelalak.
Kini pada sebuah tikungan, Suma Han melihat sebuah pasukan lain lagi, pasukan yang terdiri dari dua kali sembilan orang bermuka hijau pupus. Hemm, pikirnya, setingkat lebih tinggi, akan tetapi tetap saja dia tidak puas dan merasa dipandang rendah. Dia dapat menduga bahwa tingkat tertinggi tentu berwarna putih, dan warna yang mendekati putih adalah warna kuning. Kalau Si Ketua merasa terlalu tinggi untuk menghadang sendiri, sedikitnya dia harus mengutus tokoh-tokoh bermuka kuning untuk menghadapinya. Akan tetapi muka hijau pupus? Hemmm, kalian terlalu memandang rendah To-cu Pulau Es, padahal orang-orang Pulau Neraka dahulunya hanyalah orang-orang buangan dari Pulau Es!
"Haiii! Berhenti! Apakah yang datang ini Pendekar Siluman dari Pulau Es?" Seorang di antara mereka bertanya. Akan tetapi, seperti juga tadi, Suma Han tidak mau melayani mereka bicara melainkan melangkah maju terpincang-pincang ke depan, tidak mempedulikan delapan belas orang yang bersenjata masing-masing sebatang golok besar itu, sedangkan tangan kiri mereka siap mendekati kantung di pinggang yang ia duga tentu berisi senjata rahasia berbisa!
Melihat sikap Suma Han, delapan belas orang itu lalu membuka barisan dan mengurung. Akan tetapi sikap tidak peduli dari Pendekar Super Sakti itu membuat mereka hati-hati sekali sehingga kurungan itu mengikuti gerakan Suma Han yang melangkah maju. Tiba-tiba seorang diantara mereka berseru keras dan terdengar goloknya berdesing menyambar, diikuti oleh golok-golok lain yang menyambar secara berturut-turut. Hemm, kepandaian mereka ini sedikitnya tiga kali lipat daripada tingkat pasukan pertama yang bermuka biru muda tadi, pikir Suma Han. Ketika semua golok menyerangnya, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga delapan belas orang yang tiba-tiba kehilangan lawan itu mengira dia pandai menghilang! Akan tetapi mereka segera melihat ke atas dan delapan belas buah tangan kiri bergerak.
"Ciat-ciat-ciatt!" Belasan batang pisau hitam mencuat gemerlapan melayang ke arah seluruh bagian tubuh Suma Han.
"Trang-cring-cring-trang....!" Semua pisau itu terpental dan melayang jauh ke segenap penjuru karena ditangkis oleh segulung sinar dari tongkat yang diputar sedangkan tubuh Suma Han sudah melayang turun lagi. Delapan belas orang itu kembali menerjang, sinar golok mereka berkeredepan menyilaukan mata. Suma Han memutar tongkatnya sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara hiruk pikuk dan setelah suara itu lenyap, delapan belas orang itu berdiri bengong memandangi gagang golok di tangan yang sudah tidak ada goloknya lagi karena senjata mereka telah patah semua!
Ketika mereka memandang ke depan, mereka melihat pendekar kaki buntung itu sudah berloncatan ke depan. Mereka tidak berani mengejar karena selain mereka maklum bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan pendekar itu, juga di depan terdapat pasukan penjaga lain yang lebih tinggi tingkatnya.
Kini Suma Han melihat pasukan terdiri dari sembilan orang yang bermuka merah muda, yaitu tiga wanita dan enam pria, masing-masing memegang senjata Siang-kiam (Sepasang Pedang).
"To-cu dari Pulau Es, perlahan dulu!" seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan berambut panjang riap-riapan sampai ke pundak, menegurnya.
"Kalian ini anak buah Pulau Neraka tingkat berapakah?" Suma Han bertanya, sikapnya tenang dan dingin dengan suara yang dikeluarkan sambil mengerahkan Im-kang sehingga sembilan orang yang mendengar suara ini, tergetar jantungnya dan menggigil kedinginan. Akan tetapi dengan pengerahan sin-kang, mereka dapat mengusir rasa dingin itu dan kini pasukan itu terpecah menjadi tiga, masing-masing tiga orang, seorang wanita dan dua orang pria, lalu tiga rombongan kecil ini mengurung Suma Han dari depan, kanan dan kiri.
"Kami adalah murid-murid tingkat dua!" jawab kakek itu. "Hemm, Ketua kalian membuang-buang waktu saja. Mengapa tidak dia sendiri saja yang maju untuk melawan aku agar lebih cepat dibuktikan siapa yang lebih kuat?"
"Orang muda yang sombong!" Seorang wanita di rombongan sebelah kirinya menudingkan pedang. Wanita itu usianya sekitar empat puluh tahun, cantik akan tetapi sinar matanya liar dan ganas. "Biarpun engkau To-cu Pulau Es, akan tetapi engkau masih muda, kakimu buntung, tidak selayaknya bersikap sombong seperti itu. Lihat pedang!" Wanita itu sudah menyerang, disusul dua orang temannya.
Melihat gerakan mereka, Suma Han terheran. Itulah jurus ilmu pedang dari kitab-kitab peninggalan Koai-Lojin atau Kam Han Ki di Pulau Es! Jurus yang ampuh akan tetapi sayang bahwa gerakan mereka kurang sempurna.
"Hemmm, mengapa begitu melakukan jurus Siang-liong-jio-seng (Sepasang Naga Berebut Bintang)?" Dengan tongkatnya ia menangkis enam batang pedang itu, tangan kanannya meraih dan secara aneh sekali sepasang pedang di tangan wanita galak itu telah pindah ke tangan Suma Han! Pendekar ini menancapkan tongkatnya dan memutar sepasang pedang dengan kedua tangan. "Beginilah mestinya! Dalam perebutan antara sepasang naga, yang kanan harus mengalah karena biasanya lawan memperhatikan tangan kanan sehingga yang kiri dapat melakukan serangan tiba-tiba yang mengacaukan lawan. Jangan menitik beratkan gerakan pedang kanan!"
Sementara itu, delapan orang yang melihat betapa senjata seorang kawan mereka terampas dan yang dua orang lagi terpental ketika ditangkis kini cepat menerjang dengan pedang mereka. Suma Han masih terus menggerakkan sepasang pedang dengan jurus Siang-liong-jio-seng yang amat dikenal oleh mereka itu dan anehnya, biarpun mereka mengenal baik jurus ini, berturut-turut mereka berseru kaget karena terdengar kain robek dan tiba-tiba tubuh lawan yang dikepung itu berkelebat lenyap, yang tinggal hanya sepasang pedang rampasan itu menancap di tanah, dan ketika mereka saling pandang, tampaklah betapa pakaian mereka telah robek dan berlubang di dua tempat, yaitu di ulu hati dan perut! Sebagai ahli-ahli pedang yang sudah tinggi tingkatnya, sembilan orang bermuka merah muda ini maklum bahwa kalau Pendekar Siluman menghendaki, mereka tentu telah roboh dengan jantung tertembus pedang dan sudah tewas semua! Maka mereka hanya dapat menghela napas dan memandang pendekar kaki buntung yang kini telah berjalan terpincang-pincang menuju ke penjagaan terakhir, yaitu empat orang kakek bermuka kuning.
Empat orang kakek itu usianya rata-rata sudah lima puluh tahun lebih, sikapnya gagah dan angker, pakaiannya sederhana, dengan jubah panjang dan rambut serta jenggot mereka panjang, kaki mereka telanjang tak bersepatu dan tangan mereka hanya bersenjatakan sebatang tongkat kecil yang panjangnya satu setengah meter, terbuat dari kayu hitam atau ranting yang lemas. Melihat keadaan ini, Suma Han bersikap hati-hati karena dia dapat menduga bahwa tentu empat orang kakek ini adalah tokoh-tokoh tingkat satu, hanya di bawah Sang Ketua dan telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia merasa heran mengapa jumlah mereka ada empat orang, tidak enam atau tiga karena semenjak pasukan pertama, penghuni Pulau Neraka itu
menggunakan bentuk barisan tiga bintang yang dapat diluaskan menjadi masing-masing pasukan sembilan orang namun pada dasarnya masih mempergunakan bentuk barisan tiga bintang dengan gerakan segi tiga. Dia tidak tahu bahwa sebetulnya jumlah tokoh tingkat satu bermuka kuning itu ada enam orang, yang seorang telah meninggal dunia sedangkan yang seorang lagi kini sedang merantau atas perintah Ketua mereka untuk menyelidiki keadaan kang-ouw yang geger karena hilangnya pusaka-pusaka yang diperebutkan setelah pasukan Pulau Neraka mengalami kegagalan di muara Sungai Huang-ho dahulu. Oleh karena itu, kini hanya tinggal empat orang saja yang menghadapinya sebagai penjagaan terakhir dan mereka pun kini menjaga di depan bangunan besar yang menjadi istana dari majikan Pulau Neraka.
Setelah melayangkan pandang ke arah istana hitam yang angker itu, Suma Han lalu menghadapi empat orang itu dan berkata, "Melalui garuda betina peliharaanku, Pulau Neraka telah mengundang aku datang, dan sekarang aku datang untuk menjemput muridku. Harap Su-wi Locianpwe suka menyampaikan kepada To-cu Pulau Neraka agar mengembalikan muridku kepadaku."
Empat orang kakek itu memandang dengan penuh perhatian, memandang pendekar buntung itu dari kaki sampai ke kepala dengan penuh takjub karena baru sekarang mereka melihat pendekar yang terkenal di seluruh dunia itu, yang ternyata tidak kelihatan luar biasa, bahkan hanya merupakan seorang pemuda yang cacad! Betapapun juga, melihat sikap dan sinar matanya, mereka bergidik dan maklum bahwa pemuda di depan mereka ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Seorang di antara mereka yang rambutnya sudah hampir putih semua, segera mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata, "To-cu dari Pulau Es sudah dapat tiba di sini membuktikan bahwa nama besarnya bukan omong kosong belaka. Akan tetapi, sudah menjadi tugas kami untuk menjaga di sini dan kalau To-cu hendak menjemput murid dan bertemu dengan To-cu kami, harus melalui tongkat kecil kami."
Suma Han mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. "Hemm.... agaknya To-cu Pulau Neraka terlalu memandang rendah orang! Kalian hendak menguji kepandaianku? Nah, lihat baik-baik, biarpun kalian berempat, apakah aku kalah banyak?" Suara Suma Han mengandung getaran yang dahsyat dan berpengaruh. Tiba-tiba empat orang kakek itu memandang terbelalak dan bingung karena di depan mereka kini bukan hanya ada seorang pemuda kaki buntung, melainkan pemuda itu telah berubah menjadi delapan orang kembar! Tentu saja mereka terkejut sekali dan betapa pun mereka mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh mujijat itu, tetap saja pandangan mereka tidak berubah, lawan telah menjadi dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah mereka! Karena bingung, empat orang kakek itu lalu menggerakkan ranting di tangan mereka, menghantam Suma Han yang terdekat. Akan tetapi, biarpun ranting mereka mengenai tepat tubuh lawan, mereka seolah-olah menghantam bayangan saja dan ranting itu "lewat" menembus tubuh orang yang diserang. Hal ini memang tidak mengherankan karena yang mereka serang itu bukanlah tubuh Suma Han yang aseli, melainkan bayangan yang timbul karena pengaruh kekuatan ilmu merampas semangat dan pikiran orang yang dilakukan Suma Han. Selagi mereka terheran-heran, Suma Han yang aseli telah menggerakkan tongkatnya, empat kali menotok dan empat orang kakek itu mengeluh dan jatuh terduduk di atas tanah dalam keadaan lumpuh!
"Sudah kalian lihat kepandaian To-cu dari Pulau Es?" Suma Han berkata dan kini empat orang kakek melihat bahwa lawannya hanya seorang saja, berdiri di depan mereka, bersandar pada tongkat dan tangan kanan bertolak pinggang! Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam istana hitam yang daun pintunya tertutup itu, "Kalau To-cu Pulau Es memang gagah perkasa dan super sakti, jangan mengandalkan ilmu siluman!"
Suma Han memandang ke arah pintu istana hitam itu dengan mata terbelalak saking herannya. Tadinya ia mengira bahwa melihat keadaan empat orang kakek tingkat satu ini, tentu To-cu dari Pulau Neraka merupakan seorang kakek yang menyeramkan dan lebih mendekati iblis daripada manusia. Akan tetapi suara yang keluar dari istana hitam itu, yang ia duga tentulah seorang To-cu pulau itu, adalah suara seorang wanita, suara yang nyaring dan merdu! Bukan suara seorang kakek kasar, juga pasti bukan suara seorang nenek-nenek karena suara seperti itu tentu hanya dimiliki seorang wanita yang masih muda. Mungkinkah ini? Mungkinkah Ketua atau Majikan Pulau Neraka seorang wanita muda? Suma Han tidak akan percaya kalau saja dia tidak teringat akan Ketua Thion-liong-pang. Bukankah Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu pun wanita muda dan yang dia kini yakin tentu Lulu, adik angkatnya? Kalau benar demikian, maka dua perkumpulan yang paling terkenal dan kuat kini dipimpin oleh wanita-wanita muda! Benar-benar merupakan hal yang sukar dipercaya. Betapapun juga, mendengar ucapan itu wajahnya menjadi merah. Dia tadi memang mempergunakan kekuatan batinnya yang menguasai empat orang lawan melalui sinar mata dan suaranya dan hal itu dia lakukan hanya karena dia enggan bertanding melawan mereka. Menghadapi pasukan-pasukan tingkat rendahan tadi, dia masih dapat melalui mereka tanpa melukai seorang pun. Akan tetapi, dari gerakan empat orang kakek ini dia maklum bahwa dia menghadapi empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan untuk mengalahkan empat orang ini tanpa melukainya merupakan hal yang tidak mudah ia lakukan. Maka ia mengambil cara paling mudah, yaitu mengalahkan mereka dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya yang mujijat, yang kini telah mencapai tingkat amat tinggi setelah ia menerima gemblengan dan petunjuk terakhir dari manusia dewa Koai Lojin. Sekarang To-cu Pulau Neraka mencela dan mengejeknya, kalau dia tidak memperlihatkan kepandaiannya, tentu saja dia akan merasa malu sekali.
"Begitukah yang kalian kehendaki? Nah, Su-wi Locianpwe, bangunlah!" Tongkatnya bergerak dan empat orang kakek muka kuning itu dapat bergerak kembali dan mereka melompat bangun. Kini mereka bersikap hati-hati sekali. To-cu Pulau Es ini benar-benar hebat. Sebagai To-cu Pulau Es yang kenamaan, menyebut mereka "locianpwe " ini saja sudah membuktikan bahwa To-cu Pulau Es ini adalah seorang yang rendah hati dan karenanya dapat dibayangkan betapa tinggi ilmunya.
"Maaf, kami hanya pelaksana tugas!" Kakek beruban berkata sebagai pernyataan kesungkanan hati mereka, juga ucapan ini merupakan pembuka serangan karena secepat kilat empat orang itu sudah menyerang Suma Han dari empat penjuru!
Suma Han cepat menggerakkan tubuhnya, menggunakan Soan-hong-lui-kun untuk mengelak, akan tetapi tiga orang di antara mereka mengayun tongkat ke atas dan menghujankan serangan ke atas tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk turun! Sedangkan yang seorang tetap "menutup" bagian bawah dengan serangan cepat, rantingnya diputar seperti kitiran sehingga berubah menjadi gulungan sinar. Suma Han terkejut bukan main. Teringat ia akan gaya serangan bibi gurunya, Maya, ketika menghadapi ibu gurunya, Khu Siauw Bwee. Mungkinkah tiga orang kakek ini telah mempelajari ilmu yang khusus dicipta oleh Maya untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun? Namun dia tidak diberi kesempatan untuk banyak berheran, terpaksa ia menggerakkan tongkatnya menotok ranting yang terdekat dan menggunakan tenaga pertemuan senjata itu untuk mencelat lagi ke samping, kemudian sambil memutar tongkat menangkis keempat senjata lawan ia turun lagi ke atas tanah. Segera ia dikurung dan diserang lagi. Suma Han memutar tongkat melindungi tubuh sambil memperhatikan gaya permainan para pengeroyoknya dan mengukur tingkat kepandaian mereka.
Dia kagum sekali. Ranting di tangan mereka itu kadang-kadang berubah menegang keras seperti baja, kadang-kadang lemas seperti cambuk dan gerakan mereka amat ringan dan cepat, tenaga sin-kang mereka pun amat kuat. Dibandingkan dengan pembantunya, Yap Sun, agaknya tingkat setiap orang kakek muka kuning ini lebih tinggi, akan tetapi dibandingkan dengan Phoa Chok Lin yang dia gembleng sendiri, pembantu utamanya itu lebih menang setingkat. Betapapun juga, kalau Ciok Lin yang menghadapi pengeroyokan ini, tentu pembantunya itu akan kalah!
Yang amat membikin dia penasaran dan kewalahan adalah ilmu silat mereka yang istimewa digerakkan untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun. Biasanya, dengan ilmu gerak kilatnya ini, dengan mudah dia akan dapat menguasai lawan-lawan yang mengeroyoknya. Akan tetapi sekarang, biarpun dia memiliki gerakan kilat yang jauh lebih cepat daripada gerakan mereka, namun keempat orang itu selalu mendahuluinya, menutup lubang-lubang ke mana dia dapat mencelat sehingga Soan-hong-lui-kun tak dapat ia mainkan dengan leluasa, bahkan seringkali macet dan tertutup di tengah jalan. Terpaksa Suma Han mengeluarkan kepandaiannya, memutar tongkatnya melindungi tubuh sehingga beberapa kali terdengar suara keras bertemunya tongkat dengan empat batang ranting itu.
Kalau begini keadaannya, aku hanya akan dapat menang dengan merobohkan mereka, dan hal ini berarti bahwa empat orang itu akan terluka. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, maka sambil mengeluarkan lengking panjang, tiba-tiba tubuh Suma Han mencelat ke belakang, membiarkan empat orang itu mengejarnya dan dengan gerakan cepat ia menancapkan tongkat di tanah kemudian kedua lengannya ia lonjorkan dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan lalu membuat gerakan mendorong.
"Aihhh....!" Empat orang yang sedang menerjang maju itu terhenti gerakannya dan terpental mundur sampai dua langkah. Tubuh mereka menggigil karena ada hawa dingin menyambar mereka. Cepat mereka pun berdiri melonjorkan kedua lengan sambil mengerahkan sin-kang. Dengan mempersatukan tenaga, mereka mampu mengusir hawa dingin yang menyerang, bahkan berusaha membalas dengan pukulan sin-kang jarak jauh. Akan tetapi, tiba-tiba mereka terkejut sekali karena dorongan hawa dingin yang menekan dan yang berhasil mereka lawan itu tiba-tiba berubah menjadi hawa yang amat panas seperti ada api menerjang mereka.
Cepat mereka menyesuaikan diri dengan pengerahan sin-kang mencipta tenaga dingin. Namun kembali serangan hawa sin-kang dari majikan Pulau Es itu berubah dingin, dan sebelum mereka berempat menyesuaikan diri kembali berubah dan terus berubah-ubah sehingga keempat orang itu akhirnya menjadi kacau pengerahan sin-kangnya, mempengaruhi jalan darah dan mereka terhuyung-huyung lalu roboh pingsan! Suma Han menghentikan pengerahan sin-kangnya dan tiba-tiba dari dalam istana itu menyambar sesosok tubuh manusia berpakaian hitam dengan kecepatan yang luar biasa. Menduga bahwa orang yang gerakannya secepat kilat ini tentu Ketua Pulau Neraka, maka melihat tubuh itu meluncur dan mengirim pukulan ke arah dadanya, Suma Han tidak berani memandang rendah dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis.
"Dukkk! " Ia terkejut karena orang itu pun mempergunakan Im-kang yang amat kuat sehingga terasa olehnya hawa dingin menyerangnya. Pertemuan dua lengan yang sama-sama mempergunakan Im-kang itu hebat sekali, membuat Suma Han terpental selangkah ke belakang akan tetapi lawannya juga terpental tiga langkah! Sebelum Suma Han dapat melihat jelas, orang itu telah menubruk lagi dengan pukulan kedua tangan terbuka. Dia cepat mengangkat kedua tangannya menerima telapak tangan lawan.
"Plakkk!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat, dua muka berhadapan dan dua pasang mata bertemu pandang.
Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Suma Han akan sekaget ketika ia melihat wajah yang putih itu. Ia menarik kembali kedua tangannya, meloncat mundur dengan kaki tunggalnya, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan bibirnya bergerak memanggil.
"Lulu....!" Kaki tunggalnya menggigil sehingga ia jatuh berlutut memegang tongkatnya.
"Han-koko....!" Wanita bermuka putih yang bukan lain adalah Lulu itu menubruk maju dan berlutut pula.
"Lulu.... Moi-moi....!" Suma Han memandang wajah cantik yang kini menjadi putih warnanya, memandang sepasang mata bintang yang bercucuran air mata. "Lulu Adikku...."
"Aku bukan adikmu Han-koko!"
"Ohhh...." Suma Han mengeluh, mereka saling pandang kemudian saling memeluk, berdekapan seolah-olah hendak menumpahkan semua rasa rindu yang selama ini menyesak dada. Akan tetapi Suma Han segera dapat menguasai hatinya dan melepaskan pelukan, memegang kedua pundak Lulu dan memandang wajah itu.
"Lulu-moi-moi.... jadi engkaukah To-cu Pulau Neraka? Ahhh.... Moi-moi, mengapa begini....?"
"Karena engkau, Koko! Karena engkau kejam, engkau tega kepadaku!"
"Lulu, jangan berkata demikian. Engkau satu-satunya orang yang kusayang di dunia ini, sejak dahulu sampai sekarang. Mengapa engkau melarikan diri meninggalkan suamimu? Tahukah engkau bahwa dia menjadi sengsara dan membunuh diri dengan berjuang sampai mati? Ahhh, Lulu....!"
"Aku tahu! Dan semua itu terjadi karena engkau, Koko. Engkau kejam dan tega kepadaku, meninggalkan aku! Kita sama dibesarkan di Pulau Es, akan tetapi engkau tinggal di sana melupakan aku, padahal seharusnya kita berdua yang tinggal di sana. Engkau memaksa aku menikah dengan orang yang tidak kucinta, engkau meninggalkan aku dengan hati remuk, juga membuat hatiku hancur, kebahagiaanku musnah. Butakah engkau, atau pura-pura tidak tahu bahwa semenjak dahulu, hanya engkau satu-satunya pria yang kucinta?"
"Ahh.... Lulu....!"
"Dan perasaanku meyakinkan bahwa engkau pun cinta kepadaku.... Tidak! Jangan katakan bahwa cintamu adalah cinta saudara! Engkau menipu hati sendiri dan sebaliknya daripada menyambung cinta kasih antara kita menjadi perjodohan engkau malah memaksa aku berjodoh dengan orang lain, sedangkan engkau sendiri rela pergi dengan hati hancur! Engkau menghancurkan kebahagiaan hati kita berdua! Pura-pura tidak tahukah engkau bahwa semenjak dahulu, sampai sekarang, ya, sampai saat ini, aku hanya akan bahagia kalau menjadi isterimu! Koko Han Han, jawablah, engkau tentu ingin menerima aku sebagai isterimu, bukan?"
Suma Han, Pendekar Super Sakti yang telah memiliki kekuatan batin luar biasa itu, kini hampir pingsan. Cinta merupakan kekuatan yang maha hebat, yang mengalahkan segala kekuatan di dunia ini. Jantungnya seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil dan kedua matanya basah.
"Lulu.... aku.... aku telah dijodohkan oleh Subo dengan Nirahai.... dan dia.... diapun meninggalkan aku...."
Lulu meloncat berdiri dan melangkah mundur, sejenak dadanya berombak menahan kemarahan yang timbul karena cemburu. "Hemmm.... dan engkau lebih mencinta Suci Nirahai daripada aku?"
Suma Han juga bangkit berdiri dengan kaki lemas. Dia memandang wajah Lulu kemudian menghela napas dan menunduk, "Lulu.... aku.... aku...., ahh, bagaimana aku harus menjawab? Semenjak dahulu aku cinta padamu, cinta lahir batin, dengan seluruh jiwa ragaku. Akan tetapi engkau adikku, maka aku mengalah. Kemudian, Subo menjodohkan aku dengan Nirahai, dan dia.... dia mirip denganmu. Karena sudah menjadi isteriku, bagaimana aku tidak mencinta dia? Akan tetapi engkau.... ahhhh, aku mencinta kalian berdua, Lulu.... sungguhpun cintaku terhadapmu tiada bandingnya di dunia ini.... akan tetapi engkau.... ah, engkau adalah isteri Sin Kiat dan...."
"Han-koko! Engkau masih lemah seperti dulu! Ahhhh, pria mulia yang bodoh! Pria gagah perkasa yang lemah! Selalu mengalah, membiarkan diri sendiri merana, berniat membahagiakan orang dengan pengorbanan diri akan tetapi malah menimbulkan kesengsaraan kepada semua orang! Aku mencintamu, Koko, akan tetapi aku adalah seorang wanita! Aku tidak sudi lagi bertekuk lutut dan meminta-minta! Tidak, lebih baik mati! Aku sudah bersumpah untuk memilih dua kenyataan dalam hidupku. Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu! Tidak ada pilihan lain!"
"Lulu.... Lulu....!" Suma Han mengeluh, hatinya bingung bukan main.
"Ibu....!"
"Paman....!"
Keng In dan Kwi Hong berlari-lari keluar dari istana hitam. Keng In menghampiri ibunya dan Kwi Hong menghampiri pamannya. Kehadiran kedua orang anak ini mengembalikan kesadaran dan ketenangan Suma Han dan Lulu. Suma Han memandang keponakan atau muridnya itu, menegur,
"Bagus sekali perbuatanmu, ya!" Kwi Hong berlutut di depan pamannya dan berkata penuh rasa takut, "Paman.... aku tadinya sudah akan pulang, akan tetapi ditangkap Bibi ini. Harap Paman maafkan aku dan memberi hajaran kepadanya!"
"Ibu, apakah dia ini To-cu Pulau Es, Pendekar Siluman? Mengapa Ibu tidak menghajarnya?" Keng In bertanya kepada ibunya.
Lulu tidak menjawab, hanya meraba kepala anaknya dan pandang matanya tidak pernah lepas dari wajah Suma Han. Suma Han menghela napas dan berkata kepada Kwi Hong. "Berdirilah, mari kita pulang." Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi memanggil burung garuda. Tak lama kemudian, tampaklah dua ekor burung itu terbang dengan cepat ke tempat itu lalu meluncur turun di depan Suma Han. "Lulu, aku pergi...."
Lulu tidak menjawab, hanya mengangguk, sinar matanya membuat Suma Han tidak kuat memandang lebih lama lagi. Ia menghela napas lagi, meloncat ke punggung garuda jantan sedangkan Kwi Hong meloncat ke punggung garuda betina, kemudian dua ekor burung itu terbang cepat meninggalkan pulau, diikuti pandang mata Lulu dan Keng In.
"Ibu, mengapa membiarkan mereka pergi?" Lulu menunduk, tidak menjawab, hatinya tertusuk oleh pertanyaan itu. Mengapa dia membiarkan Suma Han pergi? Membiarkan harapan dan kebahagiaannya terbawa pergi bersama orang yang dicintanya itu?
"Toanio, mengapa Pendekar Siluman dibiarkan pergi?" Tiba-tiba seorang di antara empat kakek bermuka kuning bertanya. Kiranya empat orang itu kini telah siuman dari pingsannya dan melihat Suma Han bersama Kwi Hong naik dua ekor burung garuda yang terbang pergi dari tempat itu.
Lulu memandang mereka. "Dia datang seorang diri, apa baiknya kalau kita mengalahkan dia dengan pengeroyokan di tempat kita sendiri? Alangkah rendah dan memalukan. Lain kali masih banyak waktu untuk kuhancurkan dia. Dia itu musuhku! Musuhku....!" Akan tetapi Lulu cepat membalikkan tubuh, menggandeng tangan Keng In dan berjalan memasuki istananya. Setelah ia berada seorang diri kamarnya, Ketua Pulau Neraka ini melempar diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan mukanya yang menangis itu di atas bantal.
"Koko.... ahhhh, Han-koko.... engkau masih lemah seperti dulu....! Kalau engkau tidak mau berkeras memperisteri aku, biarlah aku mati di tanganmu.... kau tunggu saja....!"
Mengapa Lulu tiba-tiba menjadi majikan Pulau Neraka? Agar tidak membingungkan, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya semenjak dia lari pergi meninggalkan suaminya, Wan Sin Kiat atau yang terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap (Pendekar Budiman dari Hoasan). Semenjak Lulu melangsungkan pernikahannya dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat, kemudian ditinggal pergi oleh Suma Han, dia mengantar kepergian Suma Han dengan ratap tangis dan merasa betapa semangatnya dan seluruh kebahagiaan hatinya terbawa pergi oleh kakak angkatnya itu (baca cerita Pendekar Super Sakti). Semenjak itu, dia hidup menderita kesengsaraan batin dan barulah ia sadar bahwa sesungguhnya hanya kakak angkatnya itu pria yang dicintanya dan betapa dia telah melakukan kesalahan yang besar dalam hidupnya dengan menerima dijodohkan dengan Wan Sin Kiat. Dia suka kepada Sin Kiat dan kagum akan kegagahan pemuda yang menjadi suaminya ini, akan tetapi dia tidak dapat mencintanya sebagai seorang isteri mencinta suami karena kini dia merasa yakin bahwa dia hanya dapat mencinta Suma Han seorang yang tak mungkin diganti dengan pria lain. Akan tetapi, karena dia sudah dinikahkan dengan Sin Kiat, sudah bersumpah di depan meja sembahyang, Lulu memaksa hatinya mempergunakan kebijaksanaan dan berusaha untuk mencinta suaminya, melayaninya sebagaimana kewajiban seorang isteri yang baik. Namun, sampai dia melahirkan seorang anak, tetap saja dia tidak dapat mencinta Sin Kiat,
tidak dapat melupakan Suma Han, bahkan makin berat penderitaan batinnya yang menjerit-jerit ingin dekat dengan pria yang dicintanya itu. Suaminya juga maklum dan merasa akan keadaan isterinya itu, dan akhirnya, karena tidak kuat lagi, Lulu membawa anaknya pergi meninggalkan suaminya. Dengan niat hati hendak mencari Suma Han yang dia duga tentu kembali ke Pulau Es, dia melakukan perjalanan yang jauh dan sukar ke utara. Akan tetapi Lulu sekarang tidak seperti dahulu ketika masih kanak-kanak bersama Han Han (Suma Han) melakukan perjalanan, kini setelah menjadi murid Maya, ilmu kepandaiannya hebat dan dia dapat melakukan perjalanan cepat.
Betapapun juga, tidak ada orang lain yang tahu di mana letaknya Pulau Es. Maka Lulu yang tidak bertanya kepada orang lain, hanya melanjutkan perjalanannya dengan mengira-ira saja, sambil mengingat-ingat perjalanannya dahulu ketika meninggalkan Pulau Es bersama Suma Han. Banyak daerah yang sudah ia lupakan, maka di luar tahunya, dia tersesat sampai memasuki daerah Khitan! Pada suatu pagi, dia melihat sebuah tanah kuburan yang luas, tanah kuburan yang megah dan terawat baik. Dia tidak tahu bahwa tanah kuburan itu adalah tanah kuburan keluarga Suling Emas! Baru dia tahu ketika melihat seorang kakek bongkok yang lihai bertanding melawan seorang tinggi besar kurus berkulit hitam memakai sorban. Ia teringat akan penuturan sucinya, Puteri Nirahai, tentang penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang lihai dan bongkok bernama Gu Toan. Kini melihat kakek bongkok itu dan keadaan tanah kuburan, ia segera menduga bahwa tentu inilah kuburan keluarga Suling Emas yang terkenal. Ia segera merasa berpihak kepada kakek bongkok. Setelah menggendong Keng In erat-erat di punggungnya, Lulu mencabut pedangnya dan meloncat ke gelanggang pertempuran sambil berseru, "Apakah Locianpwe yang bernama Gu Toan?"
Kakek bongkok itu sedang didesak hebat oleh orang India tinggi kurus yang amat lihai, namun dia masih sempat bertanya tanpa menoleh. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Suci Nirahai yang menceritakan. Aku adalah sumoinya, murid Subo Maya."
"Ahhh.... kebetulan sekali! Cepat kau pergi menyelamatkan pusaka-pusaka dan pergi dari sini. Bawa pusaka-pusaka itu." Lulu tertegun dan bingung. "Pusaka apa....?"
"Dessss!" Tubuh Gu Toan terguling-guling karena dia terkena pukulan di pundaknya oleh tangan kakek India yang lihai. Akan tetapi ia meloncat bangun lagi dan mulutnya menyemburkan darah segar. Melihat ini, Lulu menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi orang India itu mendorongkan tangan kiri ke depan dan Lulu terhuyung-huyung!
"Jangan bantu aku! Lekas kaubuka batu di belakang kuburan Suling Emas, ambil semua pusaka dan bawa pergi. Cepat....!" Kakek Gu Toan kembali berkata dan menerjang orang India itu dengan nekat. Kakek itu mempergunakan bahasa selatan yang dimengerti oleh Lulu, akan tetapi agaknya tidak dimengerti oleh kakek India itu yang menjadi marah dan mengamuk dengan kaki tangannya yang panjang-panjang.
Maklum bahwa menyelamatkan pusaka agaknya lebih penting daripada nyawa kakek bongkok itu, apalagi teringat bahwa pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas adalah pusaka yang diperebutkan semua orang kang-ouw, Lulu cepat meloncat dan meneliti batu nisan kuburan satu demi satu. Akan tetapi tidak sukar dan tidak lama dia mencari karena batu nisan kuburan Suling Emas adalah yang terbesar dan berada di tengah-tengah. Cepat dia menyelinap di belakang nisan atau gundukan tanah kuburan dan dengan tenaga sin-kang dia mendorong batu besar yang berada di situ. Batu tergeser dan di bawahnya terdapat sebuah lubang. Cepat diraihnya sebuah peti kuning yang berada di situ dan dikempitnya. Ketika ia meloncat bangun, ia melihat Si Bongkok kembali terhuyung-huyung terkena pukulan lawannya yang lihai. Dia ingin membantu akan tetapi Si Bongkok berseru.
"Lekas pergi! Lekas lari.... pusaka itu menjadi milikmu....!" Mendengar ini dan karena kalau dia melawan dia mengkhawatirkan keselamatan anak di gendongannya, Lulu lalu meloncat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Beberapa hari kemudian ketika ia membuka peti kuning, ia mendapatkan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi, yaitu ilmu-ilmu yang dipelajari Suling Emas dari Bu Kek Siansu dan telah ditulis sebagai kitab oleh Suling Emas. Ilmu silat Kim-kong-sin-hoat, Hong-in-bun-hoat, Pat-sian-kiam-hoat dan Lo-hai-san-hoat. Selain empat buah kitab ilmu silat tinggi ini, terdapat pula sebuah kipas, kipas pusaka milik mendiang Suling Emas! Lulu teringat bahwa pusaka Suling Emas dahulu dipinjam oleh Nirahai. Dia menjadi girang sekali dan sambil melanjutkan perjalanannya mencari Pulau Es yang ternyata tersesat ke Khitan, mulailah ia mempelajari ilmu-ilmu itu. Karena dia telah menerima gemblengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pada dasarnya dia memiliki sin-kang luar biasa dari latihan-latihan di Pulau Es, maka ilmu-ilmu itu cepat dapat dikuasainya.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan menempuh segala macam kesukaran, tibalah dia di tepi laut yang ia ingat menjadi tempat dia dan Suma Han mendarat dahulu ketika mereka meninggalkan Pulau Es (Baca cerita Pendekar Super Sakti). Tempat itu sunyi sekali, tidak ada manusia dan tentu saja tidak tampak nelayan, maka dengan tekun dan sabar Lulu membuat sebuah perahu dari batang pohon. Biarpun dia memiliki tenaga yang hebat, namun sebagai seorang wanita yang tidak pernah melakukan pekerjaan berat, tentu saja pembuatan perahu ini memakan waktu berbulan-bulan. Dengan nekat ia lalu meluncurkan perahunya ke tengah lautan dan hanya mengandalkan dayung dan kedua tangannya untuk mendayung perahu, pergi mencari Pulau Es, atau lebih tepat lagi, pergi mencari Suma Han, laki-laki yang dicintanya. Tekadnya, kalau tidak dapat mencari Suma Han dan hidup di samping pria ini, lebih baik mati saja!
Dalam pelayaran dengan perahu yang tidak memenuhi syarat ini, ditambah ketidakmampuan mengemudikan perahu, pelayaran ini merupakan penderitaan hebat bagi Lulu dan anaknya, jauh lebih hebat daripada ketika dia melakukan perjalanan darat. Beberapa kali badai dan taufan mengancam nyawa, mengombang-ambingkan perahu hampir tenggelam. Dalam keadaan seperti itu, Lulu hanya dapat menangis, mendekap puteranya dan menyebut-nyebut nama Suma Han, seolah-olah dia minta pertolongan dari orang yang dicintanya itu. Sungguh ajaib sekali, kalau Tuhan belum menghendaki dia mati, biarpun badai seperti itu, Lulu dan puteranya tetap selamat!
Karena serangan badai dan ombak Lulu menjadi bingung, tidak tahu di mana arah tujuannya, dan tidak tahu di mana adanya Pulau Es! Jangankan itu, bahkan dia tidak tahu lagi di mana letaknya daratan yang sudah tidak tampak lagi dari tengah lautan. Dia tidak takut kelaparan karena dengan kepandaiannya, mudah saja baginya untuk menangkap ikan dan memanggang dagingnya, minuman pun tidak kurang karena kini selain air hujan, ia dapat pula minum dari gumpalan es yang kadang-kadang terdapat di atas permukaan air laut. Hanya menghadapi amukan badai, dia benar-benar tidak berdaya dan hanya mampu menangis, menyebut-nyebut nama Suma Han.
Pada suatu pagi, tiba-tiba dia mendengar suara melengking di atas perahu dan betapa kagetnya ketika ia melihat seekor burung rajawali yang besar sekali beterbangan di atas perahu sambil mengeluarkan suara melengking-lengking panjang. Tiba-tiba burung itu menyambar ke bawah, agaknya hendak menerkam Keng In yang berada di atas papan perahu.
"Prakkk!" Dayung di tangan Lulu hancur, akan tetapi burung itu pun terpental dan terbang ke atas sambil memekik marah.
"Keparat jahanam! Burung sialan! Kupatahkan batang lehermu. Hayo turun kalau kau berani!" Lulu marah sekali dan menantang-nantang sambil memaki-maki. Dia menyambar Keng In, teringat akan peti terisi pusaka-pusaka, maka anak dan peti itu dia ikat kuat-kuat di punggungnya, tangannya mencabut pedang, siap menghadapi burung rajawali yang agaknya masih penasaran dan beterbangan mengelilingi atas perahu kecil. Burung rajawali itu kembali menyambar, kini menyerang Lulu yang telah menyakitinya. Lulu mengayun pedangnya membabat ke arah kaki burung itu. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya bahwa burung itu ternyata kuat dan juga pandai sekali bertempur, karena kuku-kuku jari kakinya diulur seperti pisau-pisau runcing menangkis sambil mencengkeram.
"Crakkkk.... aihhh!" Lulu menjerit dan meloncat ke belakang. Kuku jari kaki kiri burung itu patah terbabat pedang, akan tetapi cengkeraman kaki kanannya berhasil merampas pedang dan melukai sedikit lengan tangan Lulu! Sambil terbang berputaran, burung itu memekik-mekik kesakitan dan juga saking marahnya pedang rampasan dilepaskan dan jatuh ke dalam laut, kemudian ia siap untuk menyerang lagi.
Biarpun marah sekali, Lulu tidak kehilangan ketenangannya dan ia berlaku cerdik. Dilolosnya sabuk sutera dari pinggang dan begitu burung itu menyambar turun, Lulu menggerakkan sabuknya yang meluncur ke atas merupakan sinar putih, ujung sabuk dengan tepat melibat leher burung dan ia meloncat ke atas mengayun dirinya dengan sabuk itu. Di lain saat, Lulu telah duduk di atas punggung rajawali, menarik sabuknya kuat-kuat sehingga leher burung itu tercekik!
"Menyerahlah! Kalau tidak, biar kita mati bersama. Kucekik lehermu sampai patah!" Lulu membentak keras, tangan kirinya mencengkeram bulu leher, sedangkan tangan kanannya menarik ujung sabuk yang telah melibat leher burung. Burung itu meronta-ronta, berusaha memutar kepala untuk mematuk orang yang menduduki punggungnya, namun Lulu lebih cepat lagi menghantam kepala burung itu dengan telapak tangan kiri. Setelah burung itu megap-megap hampir kehabisan napas, Lulu mengendurkan cekikannya dan kembali membentak.
"Hayo terbang baik-baik kalau tidak ingin mampus!" Setelah beberapa kali dicekik dan dipukul kepalanya, binatang itu agaknya merasa bahwa dia telah bertemu mahluk yang lebih kuat, maka sambil mengeluh panjang ia tidak meronta lagi, melainkan terbang dengan lurus dan cepat menuju ke utara. Lulu girang bukan main. Kalau burung ini sudah menyerah, tentu saja lebih mudah mencari Pulau Es dengan menunggang burung raksasa ini daripada naik perahu kecil yang selalu dilanda ombak!
"Eh, Tiauw-ko (Kakak Rajawali) yang baik! Kita sekarang bersahabat. Tolonglah terbangkan aku ke Pulau Es. Pulau Es,
kau tahu?"
Akan tetapi burung bukan manusia, mana dapat diajak bicara? Kalau dia mengalami kesukaran dan kekagetan, tempat pertama yang akan didatangi adalah sarangnya, maka biarpun kini dia tidak berani lagi membantah atau melawan penunggangnya, otomatis dia terbang secepatnya menuju ke sarangnya, yaitu di Pulau Neraka!
Pada waktu itu, Pulau Neraka merupakan tempat yang asing dan tidak dikenal orang. Para penghuninya, biarpun memiliki ilmu kepandaian yang lihai namun merupakan keturunan orang-orang buangan yang selamanya mengasingkan diri di tempat ini. Pemimpin mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian paling tinggi, dan pada waktu itu, yang menjadi pimpinan adalah enam orang bermuka kuning yang ilmunya tinggi sekali. Seorang di antara mereka yang paling tua menjadi pemimpin pertama sedangkan lima orang lain menjadi pembantu-pembantunya. Karena hidup terasing, keadaan mereka lebih menyerupai kehidupan orang-orang yang masih biadab, pakaian yang menutupi tubuh hanya terbuat daripada kulit-kulit binatang atau kulit pohon. Namun mereka rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, bahkan banyak di antara mereka yang turun-temurun mempelajari huruf-huruf sehingga pada waktu itu mereka mengenal huruf-huruf yang kuno yang dipergunakan ratusan tahun yang lalu dan yang sekarang mengalami banyak perubahan.
Ketika Lulu melihat burung yang ditungganginya itu terbang di atas sebuah pulau hitam yang kelihatan dari atas mengerikan, dia berkata, "Tiauw-ko, itu bukan Pulau Es! Pulau Es kelihatan putih bersih, tidak seperti ini. Kau keliru memilih tempat!"
Akan tetapi rajawali yang tidak mengerti kata-kata ini, tetap saja terbang merendah dan tiba-tiba Lulu melihat gerakan orang-orang di atas pulau, juga dia melihat bangunan-bangunan aneh. Melihat di bawah ada orang, dia girang sekali. Mungkin sekali penghuni pulau di bawah ini akan dapat memberi keterangan tentang Pulau Es, dan siapa tahu kalau-kalau Pulau Es sudah dekat dan dia dapat minta mereka mengantar dengan perahu. Menunggang rajawali yang tidak mengerti perintahnya ini pun amat berbahaya!
"Turunlah! Turun ke tempat orang-orang itu!" Lulu menepuk-nepuk leher rajawali dan burung itu menukik turun dengan amat cepatnya sehingga Lulu cepat merangkul lehernya. Anaknya mulai menangis.
"Diamlah, Nak. Diamlah, kita turun dan bertemu dengan orang-orang...." Lulu menghibur dan menepuk-nepuk paha anaknya yang ia gendong di punggung. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika burung rajawali sudah terbang rendah, ia melihat betapa kulit tubuh dan muka orang-orang di bawah itu bermacam-macam warnanya, tidak lumrah manusia karena ada yang hitam, merah, hijau, biru dan kuning! Akan tetapi karena burung itu sudah hinggap di atas tanah, ia lalu melompat turun dengan gerakan ringan dan dalam keadaan siap waspada. Burung rajawali yang merasa punggungnya tidak ditunggangi lagi, memekik girang lalu terbang ke atas membubung tinggi, masih memekik-mekik.
Orang-orang yang aneh itu menghadapi Lulu dan memandang penuh perhatian. Enam orang kakek yang bermuka kuning melangkah maju dan seorang di antara mereka yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih berkata, suaranya kaku dan aneh, akan tetapi Lulu masih dapat menangkap artinya.
"Toanio siapakah? Apakah seorang buangan baru dari Pulau Es?" Kini Lulu yang terbelalak keheranan. "Orang buangan dari Pulau Es? Apa maksudmu? Aku justeru mencari Pulau Es. Tahukah kalian di mana pulau itu?"
"Kami tidak tahu dan mau apa engkau mencari Pulau Es?"
"Aku mau mencari sahabatku di sana!"
"Sahabatnya di Pulau Es!" Orang-orang itu berteriak dan sikap mereka berubah, kini memandang Lulu dengan geram. Hal ini mengejutkan hati Lulu. Celaka, agaknya mereka ini adalah orang-orang yang membenci Pulau Es, entah apa sebabnya. Melihat mereka sudah siap-siap dengan mencabut bermacam senjata, Lulu cepat bertanya, "Kalian siapa kah? Dan pulau apakah ini?"
Kakek itu menjawab, "Kami adalah keturunan orang-orang buangan dari Pulau Es. Pulau ini adalah Pulau Neraka. Kami mendendam kepada Pulau Es, dan sekali waktu, pasti kami akan menyerbu dan membasmi musuh-musuh kami di Pulau Es!"
Hati Lulu makin terkejut, akan tetapi dia mempunyai pikiran yang baik. Han Han (Suma Han) telah bersikap kejam dan tega kepadanya. Biarpun dia merasa yakin bahwa kakak angkatnya itu pun mencintainya, namun telah tega mengawinkan dia dengan orang lain! Sekarang setelah ia melarikan diri dari suaminya, mengingat akan watak kakak angkatnya itu, tentu dia akan dimarahi dan belum tentu kakak angkat itu mau menerimanya. Akan tetapi kalau dia dapat menguasai orang-orang ini! Dia kelak akan dapat memperlihatkan bahwa dia pun bukan orang sembarangan, dan dia akan menginsafkan kakak angkatnya itu! Apalagi karena sekarang dia telah menjadi pewaris pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas.
"Bagus!" tiba-tiba Lulu berkata kepada kakek itu. "Kalau begitu, biarlah aku akan memimpin kalian untuk menyerbu Pulau Es!"
Terdengar suara ketawa di sana-sini, dan kakek itu berkata, "Engkau katakan tadi bahwa engkau hendak mencari sahabatmu di Pulau Es?"
"Benar, akan tetapi dia telah menyakiti hatiku. Bagaimana pendapat kalian? Aku akan memimpin kalian, mengajari ilmu dan mengatur agar kalian menjadi orang pandai dan beradab, tidak seperti sekarang ini!"
"Perempuan muda, bicaramu takebur sekali! Engkau anggap kami ini orang apa mudah saja mengangkat seorang pemimpin seperti engkau? Biarpun engkau datang secara aneh menunggang rajawali liar, akan tetapi tentang kepandaian, hemm.... agaknya melawan orang tingkat terendah dari kami saja belum tentu engkau menang!"
Semenjak gadis muda, Lulu memiliki watak keras, berani dan tinggi hati. Kini mendengar kata-kata itu, naik darahnya. "Siapa yang paling tinggi tingkatnya di sini?"
Kakek bermuka kuning itu tertawa. "Aku!"
"Baik. Kalau begitu aku akan mengalahkan engkau, dan kalau kau kalah, apakah aku cukup berharga menjadi ketua di sini?"
Kembali terdengar suara ketawa di sana sini yang memanaskan perut Lulu. Kakek itu mengelus jenggotnya dan berkata, "Perempuan muda, engkau sungguh lancang. Akan tetapi begitulah, siapa yang paling pandai di sini dia diangkat menjadi pemimpin. Aku orang pertama di sini, kalau engkau bisa mengalahkan aku, tentu saja engkau patut menjadi pemimpin."
"Bagus! Kalau begitu, kautunggu sebentar!" Lulu lalu menurunkan peti dan anaknya. Keng In, anaknya yang baru berusia setahun lebih itu menangis karena lapar, maka dia lalu menyusui anaknya, ditonton oleh semua orang yang berada di situ dengan heran. Kebiasaan di situ, tidak ada anak yang disusui karena Sang Ibu yang sudah berubah warna kulitnya berarti telah mempunyai darah yang beracun sehingga anak-anak diberi makanan buah-buahan sejak kecil, dan diberi bahan makanan lain.
Setelah menyusui anaknya yang lantas tertidur saking lelahnya, Lulu meloncat bangun dan menggulung lengan bajunya, menghadapi kakek itu. Dia teringat pedangnya yang sudah jatuh kelaut, maka dia bertanya, "Engkau hendak bertanding dengan senjata apa?"
"Perempuan muda, senjataku adalah ranting ini, akan tetapi karena engkau tidak bersenjata, biarlah kuhadapi engkau dengan tangan kosong pula. Bahkan kalau engkau bersenjata pun, aku sanggup menghadapimu dengan tangan kosong!" Setelah berkata demikian, kakek muka kuning itu lalu menancapkan rantingnya di atas tanah, kemudian kakinya yang telanjang itu melangkah maju menghampiri Lulu.
"Bagus, kiranya engkau masih memiliki sikap gagah. Nah, maju dan seranglah!" Biarpun Lulu mempergunakan kata-kata dan sikap sombong, namun sebenarnya dia cerdik dan diam-diam dia waspada karena dia dapat menduga bahwa orang-orang aneh ini tentu memiliki kepandaian yang aneh pula.
"Perempuan muda, jaga seranganku!" Kakek itu lalu melangkah maju, tangan kirinya menyambar. "Wuuuuttt!" Angin keras menyambar ke arah kepala Lulu sehingga dia kaget karena tepat seperti telah diduganya, orang ini memiliki tenaga sin-kang yang hebat. Namun dia tidak gentar dan dengan mudah ia mengelak dengan loncatan ringan kemudian dari samping kakinya menendang ke arah lambung lawan. "Plakk!" Kakek itu menangkis dan dia berseru kaget. Sama sekali tidak disangkanya bahwa perempuan muda itu memiliki tendangan yang demikian hebat sehingga tangkisannya yang dapat mematahkan balok itu ketika mengenai kaki, terasa nyeri sedangkan wanita itu terhuyung pun tidak! Tahulah dia bahwa wanita itu tidak bersombong kosong, maka mulai dia menerjang bagaikan angin ribut, cepat dan kuat setiap pukulannya. Lulu merasa girang. Tangkisan tadi sengaja dia terima dengan kaki untuk mengukur tenaga dan biarpun kakinya juga terasa nyeri, namun dia tahu bahwa sin-kangnya yang dilatih di Pulau Es dahulu tidak takut menandingi tenaga kakek ini. Maka dia pun kini melawan dengan pengerahan tenaga, bahkan dia mulai mainkan ilmu-ilmu silat baru yang ia pelajari dari kitab peninggalan Suling Emas. Berkali-kali kakek itu berseru kaget dan heran ketika mengenal ilmu silat yang dasarnya sama dengan ilmunya sendiri, hanya dia tidak mengenal perubahan-perubahannya yang jauh lebih hebat daripada kepandaiannya. Ketika Lulu mencoba untuk mainkan Kim-kong Sin-kun, dia
masih mampu menahan, akan tetapi ketika Lulu merobah ilmunya dan mencoba mainkan Hong-in-bun-hoat, kakek itu berseru kaget dan terdesak hebat.
Dia hanya melihat wanita muda itu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang menulis huruf-huruf indah di udara, akan tetapi daya serangan kedua tangan itu luar biasa sekali, dan kuatnya bukan main sehingga angin pukulannya saja membuat dia tergetar. Memang demikianlah sifat Hong-in-bun-hoat (Silat Sastera Angin dan Awan), yang dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan pedang. Ilmu ini mendasarkan pergerakan dengan menulis huruf-huruf dan seperti menjadi sifat huruf-huruf itu, coretannya sesuai dengan makna hurufnya seperti lukisan, akan tetapi kalau coretan-coretan itu dilakukan sebagai gerakan menyerang, hebatnya bukan main!
Setelah mempertahankan diri sampai seratus jurus, sebuah "coretan" tak tersangka-sangka dengan jari tangan kiri Lulu berhasil memasuki pertahanan Si Kakek dan jari-jari yang lembut itu mengenai pangkal lengan. "Cusss!"
"Aduhhh....!" Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang dan dari pangkal lengannya keluar darah. Baju kulit harimau beserta kulit dan daging pangkal lengan itu terkuak oleh jari tangan Lulu!
"Toanio, tidak kusangka ilmu kepandaianmu hebat bukan main! Akan tetapi aku belum kalah! Hadapi rantingku ini!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan gesit sekali kakek yang sudah terluka itu menyambar rantingnya lalu menerjang maju.
"Cuittt.... tar-tar-tar....!" Senjata yang hanya merupakan ranting kayu itu ternyata lemas sekali seperti ujung pecut yang dapat meledak-ledak dan mengancam kepala Lulu dari empat penjuru!
Kalau saja Lulu tahu bahwa sekali terkena ujung ranting itu dia akan menderita luka berbisa yang berbahaya, tentu dia akan menjadi gugup dan mendatangkan bahaya. Untung dia tidak tahu sehingga dia dapat bersikap tenang, mengelak ke sana sini sambil berusaha merampas ranting!
Akan tetapi tiba-tiba ranting itu menjadi kaku seperti baja dan langsung dipergunakan untuk menusuk perutnya. Lulu mengelak dengan loncatan ke kiri, dan ranting itu sudah meledak lagi berubah lemas menyambarnya seperti lecutan cambuk. Diserang secara aneh oleh senjata yang dapat lemas dan berubah kaku ini, Lulu menjadi sibuk sekali. Untung bahwa dia pernah digembleng oleh Maya dalam hal ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sehingga kini tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata istimewa lawan itu.
Para penghuni Pulau Neraka yang tadinya memandang rendah kepada Lulu, kini menjadi bengong dan terbelalak kagum. Biarpun wanita itu terdesak, namun jelas tampak oleh mereka betapa wanita itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan lebih tinggi tingkatnya daripada kakek yang menjadi ketua mereka!
Payah juga Lulu menghindarkan diri dari desakan kakek itu. Ia menjadi penasaran dan marah karena sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Tubuhnya terus dikejar ujung ranting yang menghalangi dia melakukan serangan. Sayang dia tidak mempunyai senjata. Tiba-tiba ia teringat. Di dalam peti kuning terdapat sebuah senjata kipas peninggalan Suling Emas! Dan dia pun sudah mempelajari ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) dari sebuah di antara kitab-kitab dan sudah pula berlatih mainkan kipas itu, Teringat akan ini, dia berseru. "Tahan senjata!"
Kakek itu berhenti, napasnya empas-empis. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, namun belum pernah ujung rantingnya menyentuh tubuh lawan! Karena dia menyerang terus menerus dan belum pernah ia melakukan pertandingan selama itu, napasnya memburu dan hampir putus, mukanya sebentar merah sebentar pucat, membuat muka yang berwarna kuning itu sebentar tua sebentar muda warnanya. "Apakah engkau menyerah kalah?" kakek itu menegur.
Lulu meloncat mendekati petinya, membuka dan mengambil kipas, lalu berdiri lagi menghadapi lawannya. "Belum ada setitik darahku keluar, bagaimana aku menyerah kalah? Tidak, engkaulah yang sebaiknya menyerah dan menjadi pembantuku, karena kalau aku menggunakan senjataku ini, engkau pasti akan kalah."
"Senjata.... kipas....?" Kakek itu mengerti kipas dari dongeng nenek moyang dan sebagian besar penghuni di pulau itu belum pernah melihat kipas selamanya, juga mendengar pun belum, maka mereka memandang terheran-heran.
"Benar, inilah senjataku saat ini!"
"Toanio, engkau lihai, akan tetapi jangan main-main. Menurut dongeng nenek moyang, kipas hanyalah dipergunakan oleh para siucai (mahasiswa) dan wanita cantik untuk menyilirkan badan dan menuliskan sajak serta gambar. Bagaimana kini akan kaupergunakan sebagai senjata?"
"Lopek, engkau lupa bahwa engkau sendiri mempergunakan senjata yang tidak semestinya, hanya sebatang ranting. Karena itu tentu engkau mengerti bahwa makin sederhana senjatanya, makin berbahaya. Awaslah terhadap kipas pusakaku ini. Ingat, Kwan Im Pouwsat dengan kipasnya sanggup menundukkan seribu satu macam siluman!"
Kakek itu melotot marah dan sambil mengeluarkan suara melengking-lengking dia menerjang maju. Jantung Lulu tergetar hebat oleh suara lengkingan itu, maka tahulah dia bahwa kakek itu mempergunakan khi-kang untuk mempengaruhinya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja yang mampu mengeluarkan suara seperti itu, suara yang dimiliki binatang-binatang besar tanpa latihan, seperti yang dimiliki singa atau harimau sehingga sekali menggereng, jantung calon korbannya tergetar dan kakinya lemas tak mampu lari lagi. Lulu juga mengeluarkan suara teriakan melengking yang tinggi mengatasi suara kakek itu dan dia cepat menggerakkan kipasnya ketika ranting itu menerjangnya. Dan ternyatalah bahwa senjata kipas ini amat tepat untuk menghadapi senjata ranting yang kadang-kadang menjadi pecut kadang-kadang menjadi tombak baja itu! Dengan ilmu sakti Lo-hai-san-hoat, kipasnya dapat dikembangkan dan dikebutkan menghalau ujung ranting, kemudian disusul dengan totokan-totokan
mengunakan ujung gagang kipas.
Kakek yang sudah hampir kehabisan napas itu menjadi makin repot. Kini dialah yang terdesak karena rantingnya kalau dibuat lemas, selalu terdorong angin kebutan kipas sehingga gerakannya kacau bahkan tak dapat ia kuasai lagi, sedangkan kalau dibikin kaku, tangkisan gagang kipas membuat kedua telapak tangannya panas dan perih.
Dengan gerengan marah kakek itu menusukkan rantingnya yang menjadi kaku. Lulu sudah mendengar anaknya menangis lagi, agaknya sadar dari tidurnya, maka dia ingin mempercepat kemenangannya. Melihat ujung ranting datang, dia cepat menggerakkan kipasnya dengan kedua gagang menggunting dengan jurus ilmu kipas yang disebut Siang-in-toan-san (Sepasang Awan Me motong Gunung). Ujung ranting itu terjepit dan tidak dapat dicabut kembali! Kakek itu terkejut, menggereng dan hanya menggunakan tangan kiri memegang ranting sedangkan tangan kanannya melayang ke depan dibarengi langkah kakinya, langsung mengirim pukulan ke arah dada Lulu. Pukulan yang antep sekali karena kakek itu mengerahkan sin-kangnya!
"Hemmm!" Lulu mendengus, tangan kirinya didorongkan ke depan, telapak tangannya menerima kepalan lawan sambil mengerahkan sin-kang yang dilatih di Pulau Es dan yang ini telah mencapai tingkat tinggi.
"Desss!" Kepalan tangan kakek itu menempel di telapak tangan Lulu. Lulu mengerahkan napas memperkuat Im-kang. Tiba-tiba kakek itu menggigil tubuhnya, menarik tangannya, terhuyung ke belakang dan "uaaakkk!" dia muntah darah dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!
Keadaan menjadi sunyi sekali. Tak seorang pun bergerak, hanya memandang penuh takjub seolah-olah belum dapat percaya bahwa pemimpin mereka dikalahkan wanita muda itu! Yang terdengar hanya tangis Keng In. Lulu berdiri tegak. Kipas terkembang di depan dada, tangan kiri terbuka jarinya di atas kepala, sikapnya gagah dan menyeramkan.
"Masih adakah yang tidak mau menerima aku menjadi Ketua Pulau Neraka?" Suaranya dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang sehingga menggetarkan jantung semua orang.
Para penghuni Pulau Neraka itu tidak ada yang bergerak, semua memandang kepada lima orang kakek bermuka kuning yang menjadi pemimpin mereka. Akan tetapi lima orang kakek ini juga tidak bergerak melainkan memandang kepada yang roboh pingsan. Perlahan-lahan kakek tua itu siuman, membuka mata, bangkit duduk dan memandang kepada Lulu, kemudian ia berlutut dan berkata, "Mulai saat ini, Toanio adalah pemimpin kami!"
Mendengar ini, lima orang kakek muka kuning lalu menjatuhkan diri berlutut diikuti semua penghuni Pulau Neraka dan terdengarlah seruan-seruan mereka.
"Toanio....!"
"To-cu....!"
Lulu tersenyum. "Baiklah, aku girang sekali bahwa kalian suka mengangkat aku menjadi ketua. Aku berjanji akan memimpin kalian dan menurunkan ilmu sehingga tidak saja kalian akan memperoleh kemajuan, juga akan menjadi penghuni Pulau Neraka yang akan menggemparkan dunia! Sekarang, lebih dulu aku minta makanan untuk aku dan anakku."
Demikianlah, mulai saat itu Lulu menjadi ketua mereka. Dia menjalankan peraturan baru, menghapuskan pantangan keluar pulau, bahkan dia menyebarkan pembantu-pembantunya yang pandai untuk keluar pulau dan mencari bahan pakaian untuk mereka semua, mencari kebutuhan-kebutuhan hidup sebagaimana layaknya manusia-manusia beradab.
Dia menurunkan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu-ilmu dari keempat kitab dia simpan sebagai kepandaian pribadinya. Bahkan dia melatih diri dan mempelajari ilmu keturunan penghuni Pulau Neraka sehingga dia melatih sin-kang dengan minum racun-racun tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang di pulau itu sehingga setelah mencapai tingkat tertinggi, dalam beberapa tahun saja wajahnya berwarna putih kapur! Juga dia mendidik Keng In dengan penuh kasih sayang sehingga bocah ini menjadi manja. Burung-burung rajawali juga ia taklukkan sehingga dapat dipergunakan untuk binatang tunggangannya.
Kemajuan yang dicapai oleh Pulau Neraka amat hebat. Karena Lulu mengutus pasukan-pasukannya keluar pulau, sebentar saja mereka terlibat dengan orang-orang kang-ouw dan mulailah nama Pulau Neraka terkenal sebagai kekuatan yang menakutkan.
Ketika puteranya yang bertugas mengumpulkan akar dan daun obat untuk keperluan penghuni menolak bahaya dari keracunan datang melapor akan munculnya seorang anak perempuan murid Majikan Pulau Es, Lulu cepat berangkat sendiri dan menangkap Kwi Hong. Sudah lama ia berkeinginan mengunjungi Pulau Es, akan tetapi karena merasa belum cukup kuat, ia selalu menunda. Dari penyelidikan orang-orangnya, ia mendengar bahwa Suma Han telah menjadi majikan Pulau Es dan bahwa di sana terdapat banyak anak buahnya, banyak pula terdapat wanita-wanita cantik yang gagah perkasa dan betapa Pulau Es seolah-olah merupakan sebuah kerajaan kecil. Mendengar ini, makin sakit rasa hati Lulu karena dia menganggap bahwa Han Han (Suma Han) kejam dan lupa kepadanya. Bukankah sepantasnya kalau Suma Han mencari dan mengajak dia hidup bahagia di Pulau Es? Dialah yang berhak tinggal di Pulau Es, di samping Suma Han!
Ketika ia memancing Suma Han sehingga Pendekar Super Sakti itu datang berkunjung ke Pulau Neraka, mengalahkan semua orangnya, dia melihat betapa Suma Han masih selemah dahulu. Jelas bahwa pria itu mencintanya, akan tetapi pria itu tidak memperlihatkan kejantanan, tidak memperlihatkan kekuasaannya untuk menundukkannya, bahkan seperti juga dulu, rela pergi dengan hati menderita!
Herankah kita apabila Lulu menangis terisak-isak semalam itu dan di dalam hatinya berjanji untuk memusuhi Suma Han yang telah merampas hatinya, kemudian mengecewakan hatinya dan menghancurkan harapan serta kebahagiaannya? Apalagi ketika dia mendengar bahwa pria idaman hatinya itu telah dijodohkan dengan Nirahai, sucinya. Dia akan memusuhi Suma Han, dan akan mencari Nirahai. Dia tidak takut sekarang terhadap sucinya yang lihai itu, bahkan dia pun tidak takut terhadap Suma Han yang belum sempat diujinya itu. Setelah dia mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, dia tidak takut terhadap siapapun juga! Rasa kemarahan yang bangkit karena cemburu ini akhirnya mengalahkan kesedihannya dan membuat majikan Pulau Neraka yang digambarkan seperti iblis itu dapat tidur pulas dengan bantal masih basah air mata!
******
"Siuuuutttt.... byurrrr!"
"Lihat, Paman Pangeran, apa yang jatuh dari langit itu?" Seorang gadis cilik yang berpakaian serba merah, berusia kurang lebih sembilan tahun, berseru sambil menunjuk ke arah benda yang jatuh dari langit dan tampak mengapung di atas lautan.
"Hemmm, manakah? Ahhh, kau benar. Benda apakah itu? Hiiii, Ciangkun, suruh dekatkan perahu dan coba kau ambil benda itu!" kata laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang berpakaian mewah dan berwajah tampan itu. Mereka berada di atas sebuah perahu yang mewah dan indah, dengan hiasan bendera sebagai tanda bahwa penumpangnya adalah seorang bangsawan.
Memang demikianlah kenyataannya. Laki-laki tampan berpakaian mewah itu adalah seorang pangeran Mongol yang bernama Pangeran Jenghan yang pada waktu itu sedang berpesiar di lautan utara di atas perahunya, dikawal oleh pasukan Mongol yang menumpangi tiga buah perahu lain. Adapun gadis cilik berpakaian merah yang berwajah cantik jelita berusia sembilan tahun itu adalah keponakannya yang bernama Milana.
Atas perintah kepala pengawal, seorang kakek yang memakai topi caping lebar seperti para pengawal lain yang berada di perahu besar, perahu yang ditumpangi pangeran itu didayung mendekati benda yang terapung di laut. Setelah agak dekat, Milana berseru, "Sebuah keranjang! Dan ada orangnya di dalam!"
"Hemmm, agaknya dia sudah mati....!" Pangeran Jenghan berseru melihat seorang anak laki-laki rebah meringkuk di keranjang tak bergerak-gerak seperti tak bernyawa lagi. Memang itulah keranjang berisi Bun Beng yang jatuh dari angkasa ketika keranjangnya dilepas oleh cengkeraman burung rajawali. Ketika keranjang meluncur dengan cepatnya, Bun Beng pingsan. Keranjang itu jatuh ke laut dan mengapung sehingga menyelamatkan nyawa Bun Beng. Namun kalau saja ada kebetulan kedua, yang pertama jatuhnya keranjang ke laut, yaitu kalau tidak kebetulan lagi dia jatuh tidak di dekat perahu itu, tentu keranjangnya sebentar lagi akan tenggelam dan dia tidak akan tertolong.
Kepala pengawal segera menggerakkan tangan kanannya dan tampaklah sehelai tali meluncur seperti seekor ular panjang, menuju ke arah keranjang. Dengan tepat sekali ujung tali itu membelit keranjang pada saat Bun Beng siuman dari pingsannya. Anak ini terkejut ketika membuka matanya melihat bahwa dia berada di tengah laut. Lebih lagi kagetnya ketika tiba-tiba keranjang yang didudukinya itu terangkat ke atas seperti ada yang menerbangkan. Celaka, pikirnya, agaknya dia telah disambar lagi oleh burung rajawali!
"Brukkkk!" Keranjang yang diterbangkan oleh tali yang dilepas secara lihai oleh kepala pengawal Mongol itu terbanting ke atas papan dan tubuh Bun Beng terlempar keluar, bergulingan di atas papan. Ia merangkak bangun dengan kepala pening, bangkit berdiri terhuyung-huyung. Karena pandang matanya berkunang, dia cepat berlutut dan memegangi kepala dengan kedua tangan, menutupi mukanya dan memejamkan matanya.
"Sungguh ajaib! Eh, anak, engkau siapakah dan mengapa bisa jatuh dari langit dalam sebuah keranjang?" Suara yang terdengar asing dan kaku mempergunakan bahasa pedalaman ini membuat Bun Beng menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka dan membuka mata memandang. Dilihatnya seorang laki-laki berpakaian indah berdiri di depannya, dan di samping laki-laki itu berdiri seorang anak perempuan yang cantik jelita berpakaian merah. Ia memandang ke sekeliling. Kiranya dia berada di atas sebuah perahu besar dan tak jauh dari situ kelihatan tiga buah perahu lain. Mengertilah dia bahwa keranjangnya jatuh ke laut dan bahwa dia telah ditolong oleh orang-orang ini. Maka perlahan dia bangkit berdiri, kemudian membungkuk dan menjawab.
"Namaku Gak Bun Beng. Tadinya aku digondol burung rajawali dan dilepaskan dari atas. Aku pingsan dan tidak tahu apa-apa, baru siuman ketika keranjang dinaikkan ke sini. Aku telah menerima budi pertolongan kalian, sudilah menerima ucapan terima kasihku."
Sejenak semua orang yang berada di situ tertegun dan keadaan menjadi sunyi. Cerita anak ini terlalu aneh, apalagi melihat anak yang berwajah tampan, bersikap sederhana dan halus akan tetapi menggunakan bahasa yang sederhana pula, sama sekali tidak bersikap hormat kepada Pangeran Jenghan! Para pengawal sudah mengerutkan alis hendak marah karena dianggapnya sikap anak ini kurang ajar dan tidak menghormat kepada junjungannya. Akan tetapi Pangeran itu tersenyum dan mengangkat kedua lengan ke atas.
"Ajaib....! Ajaib....! Seolah-olah engkau dijatuhkan dari langit oleh para dewa untuk bertemu dengan aku! Eh, Gak Bun Beng, bagaimana engkau sampai bisa terbawa terbang dalam keranjang oleh seekor burung raksasa? Amat aneh ceritamu, sukar dipercaya!"
Bun Beng berpikir. Memang pengalamannya amat aneh dan sukar dipercaya. Orang ini telah menyelamatkan nyawanya. Kalau dia menceritakan semua pengalamannya, semenjak terlempar ke air berpusing sampai hidup di antara kawanan kera kemudian bertemu dengan para pemuja Sun Go Kong dan bertemu dengan murid Pendekar Siluman yang bertanding sambil menunggang garuda melawan anak iblis dari Pulau Neraka, agaknya ceritanya akan lebih tidak dipercaya lagi. Dia tidak suka bercerita banyak tentang dirinya karena hal itu hanya akan menimbulkan kesulitan saja, maka ia lalu mengarang cerita yang lebih masuk akal.
"Saya sedang mencari rumput untuk makanan kuda dan di dalam hutan saya tertidur dalam keranjang ini. Tiba-tiba saya terkejut dan ternyata bahwa keranjang yang saya tiduri telah berada di angkasa, dicengkeram oleh seekor burung besar. Karena ketakutan, saya meronta-ronta dan akhirnya keranjang itu dilepaskan dan saya jatuh ke sini."
Pangeran Jenghan mengangguk-angguk, akan tetapi melihat pandang matanya yang penuh selidik dan kerutan alisnya, ternyata bahwa di dalam hatinya Pangeran ini masih kurang percaya. Akan tetapi dia berkata, "Hemm, engkau tentu kaget dan lelah, juga lapar. Pakaianmu robek-robek. Ciangkun, beri dia makan dan suruh istirahat di bagian belakang kapal."
Bun Beng lalu mengikuti pengawal itu. Dia disuruh makan hidangan yang amat lengkap dan serba mahal. Kemudian dia diperbolehkan mengaso. Karena memang merasa lelah sekali, tak lama kemudian Bun Beng tertidur di atas papan perahu di bagian belakang. Bun Beng terbangun oleh suara nyanyian merdu. Ia membuka mata dan menoleh. Kiranya yang sedang bernyanyi adalah anak perempuan berpakaian merah yang dilihatnya tadi. Anak itu berdiri di atas papan, di pinggir perahu, memandang ke angkasa yang biru indah, dan suaranya amat merdu ketika bernyanyi. Akan tetapi, bagi Bun Beng, yang amat mengherankan adalah nyanyian itu. Kata-kata dalam nyanyian itu bukanlah nyanyian kanak-kanak bahkan mengandung makna dalam seperti sajak dalam kitab-kitab kuno. Ia mendengarkan penuh perhatian tanpa menggerakkan tubuhnya yang masih terlentang.
"Betapa ajaib alam dunia segala sesuatu bergerak sewajarnya menuju ke arah titik sempurna matahari memindahkan air samudra memenuhi segala kebutuhan di darat dibantu hembusan angin yang kuat setelah melaksanakan tugas mulia air kembali keasalnya semua itu digerakkan oleh cinta apa akan jadinya dengan alam se mesta tanpa cinta?"
Bun Beng mengerutkan alisnya. Anak ini masih terlalu kecil untuk menyanyikan kata-kata seperti itu! Mungkin hanya seperti burung saja yang meniru kata-kata tanpa tahu artinya. "Gak Bun Beng, engkau sudah sadar dari tadi, mengapa pura-pura masih tidur?"
Bun Beng terkejut dan bangkit duduk, matanya terbelalak. Bagaimana anak perempuan itu bisa tahu bahwa dia sudah terbangun? Padahal dia tidak mengeluarkan suara dan anak itu tidak pernah menengok bahkan ketika menegurnya pun tidak membalikkan tubuh.
"Eh, apa engkau mempunyai mata di belakang kepalamu?" Bun Beng melompat berdiri dan bertanya. Anak perempuan itu kini membalikkan tubuhnya, memandang dengan sepasang mata yang mengingatkan Bun Beng akan sepasang mata burung garuda tunggangan murid Pendekar Siluman. Anak itu tersenyum dan Bun Beng terseret dalam senyum itu, tanpa disadari ia pun meringis tersenyum.
"Apa kaukira aku ini siluman yang mempunyai mata di belakang kepala?"
"Kalau tidak mempunyai mata di belakang, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku telah bangun dari tidur?"
"Bunyi pernapasan orang tidur dan orang sadar jauh bedanya, dan biarpun sedikit, gerakan tubuhmu terdengar olehku."
Bun Beng bengong. Wah, kiranya anak perempuan yang kelihatan lemah lembut dan pandai bernyanyi dengan suara merdu ini memiliki pendengaran yang tajam luar biasa. Ah, ini hanya menandakan bahwa anak ini telah berlatih sin-kang! Teringatlah ia akan cara pengawal menaikkan keranjangnya. Tak salah lagi, tentu penumpang perahu ini merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan anak ini bukan anak sembarangan, dapat dibandingkan dengan murid Pendekar Siluman, atau anak laki-laki Pulau Neraka itu! Akan tetapi, karena dia sendiri pun sejak kecil telah digembleng orang-orang pandai, Bun Beng memandang rendah dan tidak memperlihatkan kekagumannya, bahkan pura-pura tidak tahu bahwa anak perempuan ini memiliki kepandaian.
"Nyanyianmu tadi sungguh ngawur!" Karena tidak tahan melihat betapa sinar mata anak perempuan itu memandangnya seperti orang mentertawakan, Bun Beng lalu mengambil sikap menyerang dengan mencela untuk memancing perdebatan agar dia dapat dikenal sebagai seorang yang lebih pandai daripada anak itu!
Bun Beng merasa kecelik kalau dia memancing kemarahan anak itu, karena anak itu sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali dan bertanya. "Bagian manakah yang kau katakan ngawur?"
"Semuanya! Maksudku, engkau bernyanyi seperti burung, tanpa mengerti artinya! Misalnya kalimat yang mengatakan bahwa semua itu digerakkan oleh cinta, aku tanggung engkau tidak mengerti apa artinya. Bocah sebesar engkau ini mana tahu tentang cinta?"
Mata itu bersinar lembut ketika menjawab, "Gak Bun Beng, ketika aku diajar menyanyikan kata-kata itu, aku telah diberi penjelasan. Tentu saja aku tahu dan aku heran sekali kalau engkau tidak tahu arti cinta. Cinta adalah kasih sayang murni yang menguasai seluruh alam. Tanpa cinta atau kasih sayang ini, kehidupan akan tiada! Segala macam benda dan mahluk, baik yang bergerak maupun yang tidak, seluruhnya dapat hidup oleh kasih sayang ini. Cinta adalah sifat daripada Tuhan yang menguasai seluruh alam!"
Kembali Bun Beng menjadi bengong. Tidak salahkah pendengarannya? Ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang masih.... ingusan! Ia penasaran dan menyerang lagi.
"Engkau hanya meniru-niru, belum tentu engkau mengerti betul tentang cinta. Kalau benar mengerti, coba kau beri penjelasan dan contoh-contoh!"
Kini anak itu memandang wajah Bun Beng dan kelihatan sinar mata membayangkan perasaan kasihan! "Bun Beng, benarkah engkau tidak mengenal arti cinta itu? Aih, sungguh patut dikasihani! Sinar matahari yang memberi kehidupan itu adalah kuasa cinta! Air laut yang mengandung garam, yang menjadi awan dan hujan mengaliri segala yang membutuhkan air di darat, angin yang bertiup, hawa udara yang kita hisap, tanah yang kita injak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, semua itu adalah kuasa cinta! Darahmu yang mengalir di seluruh tubuhmu tanpa kau sengaja, pernapasanmu yang terus bekerja tanpa kausadari dalam tidurpun, semua itu digerakkan oleh apa kalau tidak oleh kekuasaan yang penuh kasih sayang? Bibit bertunas menjadi pohon tanpa bergerak, tanah dan air menghidupkannya, angin dan hawa menyegarkannya, sampai berdaun dan berbunga. Bunga tanpa bergerak menciptakan buah, dan buahpun akan jatuh sendiri dan bersemi menjadi bibit, demikian seterusnya. Benda-benda itu tanpa bergerak telah teratur sendiri, bukankah itu bukti nyata betapa maha besarnya cinta kasih yang dimiliki Tuhan? Dan engkau masih bertanya akan bukti?"
Kini Bun Beng terbelalak memandang wajah yang semringah kemerahan itu. Bukan main!
"Eh.... oh.... maafkan, kiranya engkau benar-benar hebat! Siapakah yang mengajarkan kepadamu akan semua pengetahuan itu?" Ia berhenti sebentar lalu menengok ke arah bilik perahu besar. "Tentu.... laki-laki yang berpakaian mewah tadi, ya?"
Akan tetapi anak perempuan itu menggeleng kepala. "Bukan dia. Yang mengajarkan semua itu adalah Ibuku sendiri. Banyak hal lain yang diajarkan Ibu kepadaku, akan tetapi tentang cinta ini, ada sebuah nyanyian yang kudengar seringkali dinyanyikan Ibu, yang aku tidak mengerti artinya. Kalau kutanyakan, Ibu selalu menggeleng kepala tanpa menjawab. Dan kau tahu.... Ibu selalu mengucurkan air matanya kalau menyanyikan itu."
Bun Beng tertarik sekali. Anak ini mempunyai sikap yang amat menarik dan watak yang begitu halus! Tentu ibunya orang luar biasa pula. "Benarkah? Bagaimana nyanyian itu?"
"Sebetulnya tidak boleh aku beritahukan orang lain. Akan tetapi engkau seorang anak yang aneh, yang datang tiba-tiba saja dari langit, dikirim oleh Tuhan sendiri melalui kekuasaan cinta kasihnya."
"Aihh, mengapa begitu? Sudah kuceritakan bahwa aku diterkam...."
"Burung rajawali yang menerbangkanmu ke atas, bukan? Engkau lupa! Kekuasaan apa yang membuat burung itu mampu terbang? Kemudian, kekuasaan apa yang membuat engkau kebetulan dijatuhkan di atas laut, dekat dengan perahu Paman sehingga engkau tertolong? Tanpa kekuasaan cinta kasih itu, kita dapat berbuat apakah?"
Bun Beng terdesak. "Baiklah.... baiklah...., engkau benar. Akan tetapi, orang sepandai engkau masih tidak mengerti arti nyanyian yang dinyanyikan Ibumu sambil menangis. Coba perdengarkan nyanyian itu, kalau engkau tidak mengerti artinya, tentu aku mengerti," Bun Beng membusungkan dadanya karena kini timbul kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa dia lebih pandai. Kalau gadis cilik yang aneh ini tidak tahu artinya kemudian dia bisa mengartikannya, berarti dia menang!
Anak perempuan itu ragu-ragu sejenak, memandang wajah Bun Beng penuh selidik. Kemudian dia menghela napas dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa engkau seorang anak luar biasa dan aku percaya kepadamu. Akan tetapi, berjanjilah bahwa engkau takkan menceritakan kepada siapapun juga tentang nyanyian Ibu ini, karena kalau Ibu mengetahui, tentu Ibu akan menyesal sekali kepadaku."
"Engkau takut dimarahi?"
"Tida k. Kalau Ibuku memarahiku, hal itu biasa saja. Akan tetapi kalau sampai Ibu menyesal dan berduka karena perbuatanku, hal ini amat menyedihkan hatiku."
Keharuan meliputi hati Bun Beng. Ah, kalau saja dia mempunyai ibu, dia akan mencontoh anak ini! Rasa takut dalam hati seorang anak melihat ibunya marah, bukanlah cinta kasih. Namun rasa sedih dalam hati seorang anak melihat ibunya berduka dan menyesal, barulah timbul dari cinta kasih yang murni!
Dia menelan ludah, "Engkau.... engkau seorang anak yang baik sekali! Aku berjanji, aku bersumpah tidak akan menceritakan kepada lain orang."
Anak perempuan itu tersenyum. "Aku percaya kepadamu dan kepercayaanku tidak akan sia-sia. Nah, dengarlah nyanyian istimewa Ibuku!"
"Cinta kasih menguasai alam semesta suci murni dan penuh mesra namun mengapa.... hatiku merana.... jiwaku dahaga akan cinta....? aihhh.... haruskah aku menjadi ikan dalam air mati kehausan? cinta.... cintaku.... mengapa engkau begitu tega....?"
Bun Beng berdiri bengong dan dua titik air mata turun membasahi pipinya ketika ia melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata anak perempuan itu yang kini terisak-isak.
"Engkau.... engkau menangis....?" tanyanya, suaranya serak. Anak perempuan itu menoleh, mengusap air matanya dan mengangguk, "Aku.... aku teringat kepada Ibu. Aku kasihan mengingat dia berduka dan aku sedih karena tidak mengerti mengapa dia menangis dan apa artinya nyanyiannya itu."
Bun Beng mengerutkan alisnya, berpikir. Kemudian ia berkata, "Ahh, aku mengerti! Ibumu tentu mencinta seseorang! Tentu saja seorang pria! Ehhh.... maaf, tentu mencinta Ayahmu. Di mana Ayahmu?"
Anak perempuan itu bengong dan mengangguk-angguk. "Aihhh.... agaknya engkau benar, Bun Beng. Terima kasih! Kalau aku menanyakan Ayahku. Ibu selalu kelihatan berduka dan hanya mengatakan bahwa Ayah pergi amat jauh, bahwa Ayah adalah seorang pendekar besar. Akan tetapi Ibu tidak pernah mau mengatakan dimana adanya Ayah dan siapa namanya, hanya menyuruh aku bersabar karena kelak tentu akan bertemu dengan Ayah."
"Nah, benar kalau begitu! Ibumu mencinta Ayahmu, merindukan Ayahmu yang lama pergi! Eh, siapakah namamu?"
"Namaku Milana."
"Bagus sekali!"
"Apakah yang bagus?"
"Namamu itu. Tentu engkau puteri bangsawan, bukan?"
Milana menggeleng kepala, "Ibu melarang aku menganggap diriku keturunan bangsawan, biarpun Paman Jenghan adalah seorang pangeran Mongol. Aku disuruh ikut di Kerajaan Mongol untuk mempelajari ilmu. Ibu sendiri entah pergi kemana akan tetapi sering kali, sedikitnya sebulan sekali, Ibu tentu datang menjengukku dan menurunkan pelajaran-pelajaran kepadaku. Kini, Paman Pangeran Jenghan berpesiar ke laut ini dan mengajakku, tidak kusangka akan bertemu dengan engkau, Bun Beng."
"Ibumu tentu seorang yang hebat! Dan engkau di samping pandai bernyanyi dan mempelajari kesusasteraan, tentu engkau belajar ilmu silat pula."
"Benar, keluarga istana Mongol penuh dengan orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi menurut Paman Pangeran, tidak ada yang melebihi ilmu kepandaian Ibu yang amat tinggi. Hanya aku belum pernah menyaksikan sendiri kepandaian Ibu, kecuali kalau dia datang dan pergi lagi dari kamarku dengan kecepatan seperti menghilang. Kadang-kadang aku bahkan menduga apakah Ibu itu sebangsa dewi, bukan manusia biasa...."
"Milana....!"
Mereka terkejut dan menengok. "Paman memanggilku." Anak perempuan itu berlari menuju ke bilik perahu besar, diikuti oleh Bun Beng. Mereka melihat kesibukan di perahu itu dan semua pengawal memegang senjata. Juga para pengawal di tiga buah perahu kecil siap dengan senjata mereka. Pangeran Jenghan menyongsong keponakannya. "Lekas kau sembunyi di bilik kapal. Engkau juga, Bun Beng. Jangan sekali-kali keluar dari bilik kalau belum aman."
"Apakah yang terjadi, Paman?" Milana bertanya.
"Kita akan diserang sekawanan bajak! Perahu-perahu mereka sudah tampak datang. Cepat sembunyi!" Pangeran itu memegang lengan Milana dan ditariknya keponakan itu memasuki bilik kapal, diikuti oleh Bun Beng. Kemudian pintu bilik ditutup dan Pangeran itu meloncat keluar.
"Mau apakah bajak-bajak laut itu?" Di dalam bilik, Milana bertanya kepada Bun Beng.
"Hemm, namanya juga bajak, tentu mau membajak, merampas kapal atau membakarnya, dan membunuh kita." Mata yang bening itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi agak pucat.
"Mengapa? Bukankah mereka itu juga manusia?" Bun Beng tersenyum pahit. "Pujianmu tentang cinta kasih itu akan hancur kalau jatuh ke tangan manusia, Milana. Tidak ada mahluk di dunia ini yang sejahat, sekejam, dan seganas manusia."
"Ohhh....! Akan tetapi.... aku tidak pernah menyaksikan kekejaman manusia."
"Kalau begitu engkau belum berpengalaman, Milana. Berhati-hatilah kalau engkau berhadapan dengan sesama manusia dan simpan saja kepercayaanmu tentang cinta kasih itu di dalam hati. Tuhan memang bersifat Maha Kasih, kasih sayangnya melimpah, akan tetapi manusia hanya menghancurkan kasih sayang murni itu. Mengapa Pamanmu menyembunyikan kita? Kalau memang ada serbuan bajak, aku lebih suka berada di luar dan membantu menghadapi mereka. Seribu kali lebih baik mati sebagai seekor harimau yang melakukan perlawanan mati-matian di luar sana daripada mati sebagai tikus-tikus terjepit di tempat ini!"
"Aku.... aku tidak pernah bertempur!"
"Kulihat kepandaianmu sudah baik, dan kau belum pernah bertempur?" Milana menggeleng kepala. "Aku.... aku tidak mau bertempur, tidak mau menggunakan ilmu silat yang kupelajari untuk melukai dan membunuh manusia lain!"
"Dan kalau mereka menerjang ke sini dan membunuhmu?"
"Lebih baik dibunuh daripada membunuh." Bun Beng membelalakkan mata dan menggeleng-geleng kepalanya. "Wah-wah-wah, bagaimana ini? Habis, untuk apa Ibumu mengajar ilmu silat tinggi kepadamu?"
"Kata Ibu untuk menjaga diri dari marabahaya."
"Nah, sekarang marabahaya tiba. Mari kita pergunakan untuk menjaga diri!"
"Tapi dengan membunuh bajak? Aku tidak mau!"
"Mari kita keluar, Milana. Akulah yang akan menjaga dan melindungimu. Biarlah aku yang akan membunuh mereka kalau mereka berani mengganggu kita."
"Kau.... kau berani membunuh orang?"
"Tentu saja kalau orang itu juga mau membunuhku. Membela diri, bukan?"
"Bun Beng, pernahkah ada orang yang hendak membunuhmu?" Bun Beng tertawa. "Tak terhitung banyaknya! Engkau belum mengenal kekejaman manusia. Mari kita keluar. Dengar, sudah ada suara pertempuran!" Dan memang pada saat itu sudah terdengar teriakan-teriakan di antara berdencingnya senjata-senjata yang beradu. Ketika kedua orang anak itu tiba di luar, Milana mengeluarkan jerit tertahan melihat betapa empat buah perahu mereka telah dikurung dan tampak banyak sekali anak buah bajak menyerang. Pamannya dan para pengawal melakukan perlawanan dengan gigih dan karena kepandaian Pangeran Jenghan dan para pengawalnya memang tinggi, banyak anak buah bajak yang menyerbu itu roboh dan jatuh ke laut dalam keadaan terluka atau tewas. Akan tetapi, jumlah anak buah bajak itu banyak sekali dan mereka mulai menggunakan api untuk membakar empat buah perahu itu! Keadaan menjadi kacau balau dan para pengawal kewalahan karena selain menghadapi serbuan bajak yang amat banyak, juga mereka harus memadamkan api yang mulai membakar di sana-sini sambil merobohkan para bajak yang membakari perahu.
"Paman Pangeran....!" Milana menjerit melihat pamannya dikeroyok enam orang bajak laut. Melihat seorang bajak laut dengan tombak di tangan lari menyerbu dari belakang Pangeran itu, Bun Beng meloncat dan tanpa disadarinya dia menghantam dengan jurus dari ilmu silat yang dipelajari dari tiga buah kitab rahasia Sam-po-cin-keng. Kebetulan sekali jurusnya ini adalah jurus pukulan yang menggunakan tenaga sin-kang yang dipusatkan pada telapak tangan.
"Bukkk!" Tangannya yang kecil itu tepat sekali menghantam punggung bajak selagi tubuh Bun Beng masih meloncat. Bajak itu memekik, tombaknya terlepas dan mulutnya muntahkan darah segar, lalu tubuhnya terguling roboh berkelojotan!
Melihat ini, Pangeran Jenghan terkejut dan kagum, lalu berteriak, "Lekas kauselamatkan Milana dengan perahu darurat di pinggir kiri itu!" Sambil berteriak begini, Pangeran itu memutar pedangnya menangkis hujan senjata para bajak. Bun Beng mengerti bahwa melihat keadaannya, perahu itu akan terbakar dan akan cela kalah mereka semua. Memang sebaiknya menyelamatkan Milana lebih dulu. Cepat ia menyambar lengan Milana, diajaknya lari ke pinggir kiri. Di situ memang terdapat sebuah perahu kecil yang biasanya dipergunakan untuk para pengawal mencari ikan, atau memang disediakan kalau sewaktu-waktu keadaan membutuhkan. Bun Beng melepaskan ikatan perahu itu, menyeretnya ke pinggir, lalu ia melempar perahu ke bawah. Tanpa menghiraukan jeritan Milana yang merasa ngeri, ia menyambar tangan anak perempuan itu dan dibawanya meloncat ke bawah menyusul perahu kecil. Untung bahwa Bun Beng bersikap tenang sehingga loncatannya tepat jatuh di tengah perahu kecil. Dilepaskannya dua batang dayung yang terikat di pinggir perahu dan ia mulai mendayung perahu itu melawan ombak menjauhi perahu besar yang mulai terbakar. "Paman....! Paman Pangeran....!" Milana berteriak dan menangis.
"Milana, dalam keadaan seperti ini kita harus masing-masing mencari keselamatan sendiri."
"Tapi.... tapi Paman Pengeran...."
"Dia seorang berilmu t inggi, tentu akan dapat menyelamatkan diri. Andaikata kita menolong pun tiada gunanya. Duduklah yang tenang, akan kucoba melarikan perahu sebelum terlihat oleh bajak-bajak itu."
Dengan sepenuh tenaganya Bun Beng mendayung perahu, sedangkan Milana memandang ke arah asap-asap mengepul hitam yang menutupi perahu-perahu besar pamannya sambil menangis. Mereka sudah berada agak jauh dari perahu-perahu yang kebakaran ketika tiba-tiba Milana menjerit. Bun Beng memandang dan ia pun terkejut melihat dua buah tangan manusia muncul dan air dan memegang pinggiran perahu kecil. Ketika kepala orang itu muncul, tahulah dia bahwa orang itu adalah seorang di antara para anak buah bajak laut yang jatuh ke laut. Orang itu tidak terluka dan pandang matanya beringas menyeramkan.
"Lepas!" Bun Beng membentak, menggunakan dayungnya menghantam ke arah tangan terdekat!
"Aughhh....!" Orang itu berteriak kesakitan dan melepaskan tangan kirinya yang kena pukul dan dari bibir perahu Bun Beng mengayun dayungnya lagi, memukul ke arah tangan kanan yang masih memegangi pinggiran perahu. Gerakan-gerakan ini membuat perahu kecil menjadi oleng. Akan tetapi sekali ini, bukan tangan itu yang terkena hantaman dayung bahkan dayungnya tertangkap oleh tangan kanan bajak itu, terus ditarik kuat-kuat sehingga tubuh Bun Beng terseret dan jatuh ke air!
"Bun Beng....!" Milana menjerit. Bun Beng marah sekali. Biarpun bukan ahli, namun dia pandai berenang, maka ia menggerakkan kedua kakinya dan mengayun dayung yang masih dipegangnya. "Plakkk!" Dayungnya menghantam muka orang itu sehingga kembali bajak itu memekik dan terdorong mundur. Matanya melotot marah penuh dengan sinar kebencian dan kalau anak itu dapat diterkamnya, tentu akan dibunuhnya. Bun Beng sudah dapat menangkap pinggiran perahu lagi. Karena gugup dan hendak cepat-cepat naik ke perahu, dayungnya terlepas dan hanyut, sedangkan bajak itu sambil memaki-maki berenang cepat sekali mengejarnya. Dalam hal ilmu renang tentu saja Bun Beng tidak dapat melawan kepandaian seorang bajak laut! Maka ia bergegas hendak naik ke perahu agar dari dalam perahu dia dapat melawan orang yang masih berada di air itu.
"Heh-heh-heh!" Tiba-tiba, entah darimana datangnya, seorang kakek yang tertawa-tawa meloncat ke ujung perahu. Begitu tubuhnya tiba di ujung perahu, ujung yang lain di mana Bun Beng dan Milana berada, terangkat tinggi ke atas seolah-olah kakek itu beratnya melebihi berat seekor gajah bengkak! Bun Beng cepat memegang lengan Milana yang hampir terlempar keluar, sambil dengan sebelah tangan memegangi pinggiran perahu erat-erat dan matanya memandang kakek aneh itu dengan terbelalak.
"Heh-heh-heh!" Tiba-tiba ujung di mana Bun Beng dan Milana duduk, meluncur lagi ke bawah dengan cepat sekali. "Prakkk!" Ujung perahu ini turun tepat menghantam kepala anak buah bajak sehingga pecah berantakan dan mayatnya terapung, kepalanya sudah tidak merupakan kepala lagi melainkan berubah seonggok benda putih berlepotan darah. "Ihhhh....!" Milana yang melihat mayat itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis.
"He-he-he, takut? He-he-he!" Kakek itu tertawa-tawa seolah-olah merasa senang sekali melihat Milana ketakutan. "Aku akan membikin kalian lebih takut lagi, ha-ha-ha!" Dan dengan sebatang ranting yang berada di tangan kirinya, kakek itu mendayung perahu dan.... perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa!
Bun Beng memandang penuh perhatian. Kakek itu pakaiannya sederhana dan longgar, kedua kakinya telanjang. Usianya tentu sudah tujuh puluh lebih, dengan rambut dan jenggot putih riap-riapan, matanya melotot lebar dan selalu tertawa-tawa. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah kulit tubuhnya! Dari muka, tangan dan kakinya, semua berkulit kuning sekali! Bukan kuning seperti kulit orang biasa, melainkan kuning yang aneh, seperti dicat, kuning sampai ke kukunya dan warna matanya! Maka teringatlah Bun Beng akan keanehan warna kulit orang-orang Pulau Neraka dan ia menduga bahwa kakek ini tentulah seorang tokoh Pulau Neraka.
Dugaan Bun Beng memang tepat. Kakek ini adalah seorang di antara lima orang kakek kulit kuning yang merupakan tokoh-tokoh tingkat tertinggi di Pulau Neraka, di bawah ketuanya. Dan memang dia adalah seorang tokoh sakti yang diutus oleh Majikan Pulau Neraka untuk mengadakan penyelidikan di luar pulau. Kakek ini selain sakti, juga memiliki watak yang amat aneh, mendekati gila sehingga sering kali melakukan hal-hal yang menggegerkan dunia kang-ouw. Kini melihat dua orang anak dalam perahu, timbul keanehan wataknya dan dia seolah-olah hendak menakut-nakuti ke dua orang bocah itu.
Perahu itu meluncur cepat mendekati tempat pertempuran! Bukan hanya cepat, malah sengaja dibikin oleng ke kanan-kiri, ada kalanya ujungnya seperti akan tenggelam, ada kalanya ujung yang diduduki dua orang anak-anak itu terangkat tinggi kemudian dihempaskan ke bawah seperti akan tenggelam! Milana menjerit-jerit dan memeluk Bun Beng yang berpegang kuat-kuat pada pinggiran perahu.
"Heh-heh-heh, pemandangan indah....! Indah....!" Kakek itu terkekeh-kekeh ketika perahunya meluncur cepat mengelilingi tempat pertempuran. Biarpun keadaannya sendiri berbahaya dan perahu itu sewaktu-waktu dapat membuat mereka terlempar keluar, Bun Beng masih sempat memperhatikan keadaan pertempuran dan melihat betapa pangeran dan para pengawal masih melakukan perlawanan mati-matian namun perahu mereka telah terbakar sebagian.
"Kakek, apakah engkau tidak kenal takut?" Bun Beng tiba-tiba bertanya.
"Aku? Takut? Ha-ha-ha-ha! Heh-heh-heh!" Sambil berkata demikian, perahu meluncur cepat sekali menuju ke sebuah yang terbakar! Milana menjerit melihat betapa perahu kecil itu akan menubruk perahu yang bernyala-nyala, bahkan Bun Beng sendiri yang berusaha sekuat tenaga untuk bersikap tenang, menjadi pucat dan memandang terbelalak ke depan, melihat betapa perahu terbakar itu seolah-olah mulut seekor naga mengeluarkan api hendak menelan perahu mereka.
"Celaka....!" teriak Bun Beng.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan tiba-tiba perahu itu membelok dengan kecepatan luar biasa sehingga miring dan hampir terguling, akan tetapi dapat menghindari tabrakan dengan perahu terbakar.
"Ha-ha-ha! Aku takut?"
"Memang beranimu hanya menakut-nakuti anak kecil, Kakek yang nakal! Aku tidak percaya bahwa engkau tidak kenal takut. Misalnya terhadap bajak-bajak laut yang demikian ganas, kejam dan jumlahnya amat banyak. Aku berani memastikan bahwa engkau tentu takut mengganggu mereka dan kalau engkau yang melawan mereka di atas perahu yang terbakar itu, tentu engkau akan terkencing-kencing di celanamu, kencing kuning pula!"
Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri dan mencak-mencak. "Memang kencingku kuning! Kau bilang aku takut kepada segala bajak cacing tanah itu? Kau tunggu dan lihat saja betapa mudah aku membasmi mereka!" Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan kaki dan tubuhnya sudah melesat ke arah perahu besar yang terbakar, dimana Pangeran Jenghan bersama pengawalnya masih mati-matian melawan serbuan para bajak.
Tentu saja hati Bun Beng menjadi girang bukan main. Cepat ia menyambar sepotong dayung dari banyak kayu-kayu pecahan perahu yang terapung di dekat perahunya, kemudian secepat mungkin dia mendayung perahu kecil menjauhi pertempuran. Tanpa menghiraukan kedua tangannya yang menjadi lelah sekali, Bun Beng mendayung terus dan tiba-tiba datang ombak-ombak besar yang menghanyutkan perahunya. Mendayung lagi tidak mungkin dan apa yang ia lakukan hanya menggunakan dayung untuk mencegah perahunya terguling. Milana tidak menangis lagi, bahkan anak ini pun sudah menyambar sebatang dayung dan ia membantu Bun Beng mendayung. Kini melihat perahu diombang-ambingkan ombak, dia membantu Bun Beng menahan agar perahu tidak terguling. Akan tetapi dia tidak kelihatan takut, padahal keadaan mereka waktu itu tidaklah kalah berbahaya daripada tadi. Hal ini mengherankan hati Bun Beng dan ia bertanya dengan suara keras untuk mengatasi suara angin ribut. "Milana, engkau tidak takut?" Milana memandangnya, tersenyum dan menggeleng kepala. Bun Beng menjadi heran. "Kalau tadi, kenapa ketakutan dan menangis?"
Milana membuka mulut menjawab, akan tetapi suaranya lenyap ditelan angin sehingga Bun Beng berteriak, "Bicara yang keras, aku tidak dengar!" Milana tertawa, "Ribut-ribut begini kau mengajak orang mengobrol!" Bun Beng mendongkol akan tetapi juga geli hatinya. Anak ini benar-benar amat luar biasa, "Katakanlah mengapa sekarang engkau menjadi begini tabah?"
"Tadi bukan penakut sekarang pun bukan tabah. Aku ngeri menyaksikan kekejaman manusia saling bunuh. Aku percaya kepada alam yang maha kasih, andaikata ombak-ombak ini menelan kita pun sama sekali tidak mengandung hati benci atau marah!"
Bun Beng bengong sehingga lupa mengerjakan dayungnya. Perahu terputar, hampir terguling dan mendengar Milana malah tertawa-tawa. Cepat ia menggerakkan dayung dan mengomel.
"Bocah ajaib dia ini!" Setelah ombak mereda, perahu itu tiba di dekat daratan. Bun Beng menjadi girang dan bersama Milana dia lalu mendayung perahu ke darat. Mereka berdua melompat turun dan lari ke darat, meninggalkan perahu kecil itu dan keduanya duduk di atas pasir.
"Di mana kita ini?" Bun Beng bertanya. "Aku pun tidak tahu. Akan tetapi mari kita berjalan. Kalau bertemu orang tentu akan dapat menceritakan dimana letaknya Kerajaan Mongol. Ahhh, semoga Paman Pangeran dan para pengawal selamat."
"Jangan khawatir. Mereka itu lihai dan dengan bantuan kakek gila itu, tentu para bajak akan terbasmi dan mereka selamat."
Tiba-tiba Milana tertawa geli. "Eh, kenapa tertawa?"
"Kakek itu tidak gila, akan tetapi lucu sekali dan kepandaiannya hebat. Ibu tentu akan tertarik sekali kalau kelak kuceritakan."
"Tentu saja dia lihai karena dia adalah seorang tokoh Pulau Neraka."
"Ihhh....! Pulau Neraka? Aku sudah mendengar itu, penghuninya adalah manusia-manusia aneh seperti iblis. Bagaimana kau bisa tahu dia dari Pulau Neraka?"
"Kulit tubuhnya yang berwarna itu! Aku sudah bertemu dengan orang-orang Pulau Neraka."
"Eh, betulkah? Engkau benar luar biasa, Bun Beng."
"Tidak, biasa saja. Mari kita pergi."
"Engkau hendak ke mana?"
"Eh, bagaimana lagi? Mengantar engkau sampai engkau dapat pulang, kemudian.... kemudian.... hem.... aku tidak tahu kemana nanti."
"Eh, bagaimana ini? Apakah engkau tidak hendak pulang?"
"Pulang kemana?"
"Kemana lagi? Ke rumahmu tentu!"
"Aku tidak punya rumah."
Milana menghentikan langkahnya dan memandang wajah Bun Beng. "Tidak punya rumah? Dan Ayah Bundamu....?"
"Aku tidak punya, Ayah Bundaku sudah mati semua."
"Aihhh....!" Milana memegang kedua tangan Bun Beng, wajahnya membayangkan perasaan iba yang mendalam. "Kasihan engkau, Bun Beng. Dan tidak mempunyai saudara?"
Bun Beng merasa panas dadanya. Dia tidak ingin dikasihani orang, bahkan dia tidak merasa kasihan kepada dirinya sendiri! "Aku tidak punya siapa-siapa, apa salahnya dengan itu?" Dia menunjuk ke arah seekor burung camar yang terbang. "Dia itu pun tidak punya siapa-siapa, toh dapat hidup. Dan pohon itu tidak punya siapa-siapa, tetap tumbuh segar."
"Ahhhh, burung itu tentu punya sarang dan pohon itu banyak saudara-saudaranya di sekelilingnya. Engkau menjadi pahit karena tidak mempunyai siapa-siapa. Bun Beng, aku mau menjadi saudaramu, dan biarlah Ibuku juga menjadi Ibumu, Pamanku menjadi Pamanmu...."
"Sudahlah, Milana. Aku tidak ingin apa-apa. Engkau anak yang amat baik hati. Mari kita lanjutkan perjalanan. Di sebelah kanan itu ada pegunungan, tentu di sana ada penghuninya yang dapat memberi keterangan kepada kita dan menunjukkan jalan."
Mereka berjalan lagi dan Milana menggandeng tangannya. Bun Beng tidak menolak dan diam-diam dia merasa suka sekali kepada anak yang amat baik hati ini. Akan tetapi setelah mereka mendaki pegunungan itu, ternyata gunung itu penuh dengan batu-batu besar dan tidak nampak dusun di situ.
"Begini sunyi.... tidak ada tampak rumah orang...." kata Milana, kecewa.
"Nanti dulu! Lihat di sana itu. Ada orang.... eh, malah ada orang menunggang binatang yang besar luar biasa!" Milana menengok dan ia pun berseru girang, "Benar! Ada orang dan dia menunggang seekor gajah! Sunguh luar biasa!"
"Gajah? Aku sudah pernah mendengar namanya. Gajahkah binatang itu?"
"Benar. Raja Mongol memelihara dua ekor, akan tetapi tidak sebesar yang ditunggangi orang itu."
"Hebat! Binatang raksasa itu memiliki tenaga melebihi seratus ekor kuda. Mari kita lihat!" Mereka berlari menuruni puncak pegunungan batu kapur itu. Ketika merea sudah tiba dekat, tiba-tiba Bun Beng berhenti dan Milana juga berhenti. Keduanya terkejut bukan main menyaksikan pemandangan di depan itu sehingga sampai lama mereka tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya Milana berbisik dengan napas tertahan, "Lihat...., dia.... kakek Pulau Neraka itu...."
"Sssttt....!" Bun Beng berbisik pula menyentuh pinggang Milana dari belakang. "Jangan ribut..... orang berkaki tunggal itu.... dia Pendekar Siluman To-cu Pulau Es.... dan itu muridnya....."
Memang amat mengherankan kedua orang anak itu apa yang tampak oleh mereka. Kakek bermuka kuning yang mereka temui di tengah lautan itu kini berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang bersorban dan berjenggot panjang, tangan kiri memegang sebuah senjata yang aneh, gagangnya berduri dan ujungnya merupakan bulan sabit, menunggang seekor gajah yang amat besar. Akan tetapi kakek muka kuning tidak kalah anehnya. Agaknya untuk mengimbangi kedudukan kakek bersorban yang tinggi di atas punggung gajah, dia kini menggunakan jangkungan atau egrang. Yaitu dua batang bambu panjang yang di tengahnya diberi cabang untuk injakan kaki. Dengan berdiri di cabang itu dan menggunakan dua batang bambu sebagai pengganti kedua kaki, dia kini sama tingginya dengan Si Kakek Bersorban! Mereka agaknya sedang bertengkar sedangkan di atas sebuah batu berdiri Pendekar Siluman dengan sikap tenang sebagai penonton, menggandeng tangan seorang anak perempuan yang dikenal Bun Beng sebagai anak perempuan penunggang garuda yang berkelahi dengan anak Pulau Neraka dahulu!
Kwi Hong, murid Suma Han menoleh dan melihat kedatangan Bun Beng dan Milana, akan tetapi karena kini kedua orang kakek aneh yang berhadapan itu sudah saling serang, dia tertarik dan menengok lagi menonton pertandingan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Han menyusul ke Pulau Neraka dan berhasil membawa muridnya itu. Mereka meninggalkan Pulau Neraka menunggang dua ekor burung garuda dan ketika dari atas Suma Han melihat orang menunggang gajah, hatinya tertarik maka dia lalu turun di pegunungan itu, dan bersama Kwi-Hong diam-diam menghampiri dan menonton pertandingan yang amat menarik hatinya antara kakek penunggang gajah dan kakek muka kuning yang gerak-geriknya lucu dan lihai! "Heh-heh-heh!" Kakek muka kuning tertawa sambil menggerak-gerakkan ke dua bambu yang telah menyambung kakinya. "Kita sudah sama tinggi sekarang. Hayo, kau mau apa? Lekas turun dan berikan gajah itu kepadaku, baru kau benar-benar seorang sahabat dan aku akan mengampunimu!"
"Sadhu-sadhu-sadhu!" Kakek bersorban itu berkata lirih. "Berbulan-bulan dari negara barat sejauh itu, belum pernah bertemu orang yang begini nekad. Sahabat, gajah tunggangan ini adalah sahabatku yang telah berjasa besar, mati hidup dia bersamaku, tidak mungkin kuberikan kepadamu. Pergilah, sahabat, dan jangan pergunakan kepandaian yang kaupelajari puluhan tahun itu untuk melakukan hal yang tidak baik."
"Heh-heh-heh! Apa tidak baik? Apa baik? Yang menguntungkan dan menyenangkan, itu baik! Yang merugikan dan menyusahkan itu tidak baik! Kalau engkau berikan gajah itu kepadaku, engkau baik. Kalau tidak kauberikan, engkau tidak baik dan terpaksa kurampas, heh-heh-heh-heh!"
"Aahh, betapa dangkal dan sesat pandangan itu, sahabat. Pandanganmu terbalik sama sekali. Justeru yang menguntungkan dan menyenangkan diri pribadi itulah sumber segala ketidakbaikan."
"Waaaah, cerewet! Aku tidak butuh engkau kuliahi dengan wejangan-wejanganmu. Hayo turun!" Kakek muka kuning menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba bambu panjang yang kanan menyambar ke arah kepala kakek bersorban itu. Akan tetapi, kakek itu menekuk tubuh ke depan sehingga sambaran bambu itu luput dan lewat di atas kepalanya.
"Sadhu-sadhu-sadhu, terpaksa aku membela diri!" Kakek bersorban menggerakkan tangan kanan, dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan biarpun kakek muka kuning sudah menggerakkan bambu memutar tubuh ke kanan, tetap saja terdorong dan terhuyung-huyung, kedua bambunya bergoyang-goyang.
Karena ia memutar tubuh ke kanan inilah maka tiba-tiba dia melihat Suma Han yang berdiri menonton dengan tenang. Setelah mendapat kanyataan bahwa orang Pulau Neraka itu hendak merampas binatang tunggangan orang, Suma Han merasa tidak senang. Apalagi kalau mengingat bahwa orang itu adalah pembantu Lulu, dia makin penasaran. Masa Lulu dibantu oleh orang yang berwatak perampok hina, mau merampas binatang tunggangan seorang kakek yang datang dari jauh? Tongkatnya bergerak mencongkel batu dua kali. "Trak! Trak!"
Kakek muka kuning berseru kaget ketika tiba-tiba bambu yang menyambung kedua kakinya itu patah disambar dua buah kerikil, dan seruannya ini pun sebagian karena dia mengenal Pendekar Siluman yang biarpun belum pernah dijumpainya, akan tetapi sudah banyak didengarnya. Ia cepat meloncat turun sebelum terbanting jatuh karena kedua bambunya patah, kemudian dia meloncat-loncat jauh melarikan diri tanpa menengok lagi.
Melihat itu, Kwi Hong tertawa dan bersorak. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti bersorak ketika melihat gajah besar itu terhuyung dan roboh ke depan, membawa tubuh kakek bersorban ikut roboh! Tubuh Suma Han melesat ke depan bagaikan seekor burung garuda dan dia sudah berhasil menyambar tubuh kakek bersorban itu dari bahaya terbanting dan tertindih tubuh gajah yang kini berkelojotan lalu diam, tak bernyawa lagi. Dan dengan kaget Suma Han mendapat kenyataan bahwa kakek bersorban itu ternyata lumpuh kedua kakinya!
"Ah, gajahku yang baik, engkau mendahuluiku?" Kakek itu mengeluh, kemudian berkata kepada Suma Han. "Orang muda yang gagah perkasa, turunkanlah aku."
Suma Han menurunkan ka kek itu yang kedua kakinya amat kecil dan selalu bersilang. Kakek itu duduk di atas tanah, wajahnya pucat dan napasnya terengah, "Gajah itu.... dia memang sudah sakit.... dia menderita karena lelah.... melakukan tugasnya sampai mati. Akan tetapi aku.... ah, aku pun hampir mati akan tetapi tugasku jauh daripada selesai....! Aku hampir kehabisan tenaga saking lelah, perjalanan ini terlalu jauh untuk orang setua aku, dan tadi.... terpaksa aku mengerahkan tenaga dalam yang amat kuperlukan untuk kesehatanku. Aihhh, orang muda perkasa, sinar matamu membuktikan bahwa engkau bukan manusia biasa. Siapakah engkau yang begini lihai?"
"Kakek yang baik, aku adalah penghuni Pulau Es...."
"Hah? Pendekar Super Sakti? Pendekar Siluman To-cu dari Pulau Es? Ya Tuhan, kalau engkau mempertemukan hamba dengan dia ini untuk melanjutkan tugas hamba, hamba akan mati tenteram!"
Suma Han mengerutkan alisnya, "Kakek, siapakah engkau dan urusan apa yang membuatmu susah payah melakukan perjalanan begitu jauh?"
"Aku Nayakavhira.... aku keturunan dari Mahendra pembuat Sepasang Pedang Iblis.... adikku, Maharya telah mendahuluiku untuk mencari sepasang pedang itu. Kalau terjatuh ke tangannya, akan gegerlah dunia dan terancamlah banyak nyawa manusia! Aku.... aku berkewajiban untuk merampas dan memusnahkan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi.... aku tidak sanggup lagi.... ahh, Pendekar Super Sakti, engkau tolonglah aku...."
Kembali Suma Han mengerutkan alisnya, "Bagaimana aku harus menolongmu, Nayakayhira?"
"Senjataku ini.... terbuat dari logam yang akan menandingi dan mengalahkan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi karena bentuknya seperti ini, tidak akan ada orang di sini yang dapat memainkannya. Akan kubuat menjadi pedang.... biarlah kelak kauberikan kepada siapa yang berjodoh untuk menindih dan menaklukkan Sepasang Pedang Iblis.... kaubantulah aku.... buatkan pondok, perapian.... aku tidak kuat lagi, engkau tolonglah aku, buatlah sebatang pedang dari senjataku ini...."
Suma Han mengangguk-angguk. Tidak disangkanya bahwa sepasang pedang yang dahulu dia tanam bersama jenazah kakek dan nenek yang saling bunuh, akan mendatangkan urusan begini hebat! "Aku suka menolongmu, akan tetapi aku tidak bisa membuat pedang."
"Aku adalah ahli membuat pedang.... seperti nenek moyangku.... aku yang akan memberi petunjuk, engkau yang membuat. Tolonglah.... Taihiap.... demi.... demi perikemanusian!"
"Kakek yang baik, biarlah aku membantumu!" Tiba-tiba Bun Beng meloncat maju mendekati kakek itu. Kakek bersorban itu membelalakkan mata memandang Bun Beng dengan heran, Suma Han menengok. Dia sudah tahu akan kehadiran kedua orang anak itu akan tetapi karena terjadi perkara besar, dia lebih mementingkan kakek itu dan belum menanya dua orang anak yang datang di tempat itu secara aneh. Kini melihat sikap anak laki-laki itu, diam-diam ia memperhatikan dan menjadi kagum. Di lain pihak, ketika melihat sinar mata Pendekar Siluman itu ditujukan kepadanya dan mereka bertemu pandang, kuncuplah hati Bun Beng dan otomatis dia menjatuhkan diri berlutut.
"Siapakah engkau?"
"Paman, dia adalah anak laki-laki yang telah menolongku ketika aku dikeroyok rajawali. Bocah dalam keranjang!" Suma Han makin tertarik. Kwi Hong sudah menceritakan betapa ketika Kwi Hong diserang putera Lulu dengan rajawali dan dikeroyok muncul seekor burung rajawali yang mencengkeram keranjang berisi seorang anak laki-laki yang membantunya dengan memukul rajawali itu sehingga cengkeraman rajawali terlepas dan keranjang bersama anak itu jatuh ke laut! Kini tiba-tiba anak itu muncul dan dengan suara yang mengandung kesungguhan menawarkan jasa baiknya hendak membantu Si Kakek India membuat pedang. Bukan main!
"Siapa namamu?" Tanyanya, dalam suaranya terkandung rasa sayang karena dia melihat suatu yang luar biasa pada diri anak laki-laki ini. "Saya adalah anak yang dahulu ditolong oleh Taihiap dari dalam kuil tua tepi Sungai Fen-ho di lembah Pegunungan Tai-hang-san dan Lu-liang-san...."
Suma Han benar-benar terkejut sehingga ia bangkit berdiri. "Kau....?"
"Benar, Taihiap. Saya adalah Gak Bun Beng."
Suma Han menarik napas panjang dan menengadah ke langit. Benar-benar amat luar biasa pertemuan ini!" Dimana suhumu Siauw Lam Hwesio?"
"Suhu.... telah meninggal dunia, terbunuh oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, dan Bhe Ti Kong panglima Mancu!" Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sengit oleh Bun Beng.
"Sadhu-sadhu-sadhu...." Tiba-tiba kakek itu berkata, "Bhong Ji Kun adalah Koksu Pemerintah Mancu.... dia.... dia itu adalah muridku...."
"Kau....!" Bun Beng meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
"Bun Beng, jangan lancang!" Tiba-tiba Suma Han membentak dan Bun Beng menjatuhkan diri berlutut lagi. "Tai-hiap.... teecu harus membalas kematian Suhu!"
"Hemmm, sungguh tidak baik masih kanak-kanak sudah mendendam. Dendam menimbulkan watak kejam sehingga sembarangan saja engkau akan mencelakakan orang tanpa pertimbangan lagi."
Sementara itu, kakek tua itu menarik napas panjang. Sungguh ajaib, dapat bertemu dengan anak ini! Muridku itu memang telah menyeleweng dan perjalananku ini di samping hendak mencari Sepasang Pedang Iblis juga tadinya akan kupergunakan untuk mengingatkan dia, kalau perlu menghukumnya. Bagaimana, Taihiap, sukakah engkau menolongku?"
Suma Han tidak menjawab, melainkan bertanya kepada Bun Beng, "Bagaimana dengan engkau, Bun Beng? Apakah engkau masih suka menolong Kakek ini sekarang?"
"Teecu sudah berjanji, tentu teecu penuhi!" Suma Han tersenyum. "Baiklah. Nayakavhira, kami akan membantumu. Siapakah anak perempuan itu, Bun Beng?"
Milana yang sejak tadi mendengarkan menjadi tertarik sekali akan kata-kata Suma Han. Dia sudah menghampiri dan memandang Suma Han penuh perhatian. Tadi dia mendengar dari Bun Beng bahwa laki-laki gagah perkasa berkaki satu yang rambutnya putih semua dan wajahnya muram menimbulkan iba itu adalah Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang amat terkenal!
"Apakah engkau yang berjuluk Pendekar Siluman yang hebat itu?" Tanyanya, suaranya halus dan wajahnya berseri. Suma Han tersenyum, sekaligus tertarik rasa sukanya kepada bocah yang cantik jelita itu.
"Benar, anak manis. Engkau siapakah?"
"Namaku Milana, aku keponakan Pangeran Jenghan dari Kerajaan Mongol. Kami sedang berpesiar di kapal, diserbu bajak laut dan aku diselamatkan oleh Bun Beng."
Hati Suma makin kagum kepada Bun Beng. Hemm, biarpun putera seorang datuk kaum sesat seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan dilahirkan karena datuk itu memperkosa Bhok Kim, namun ternyata bocah ini mempunyai bakat lahir batin yang baik. Tentu menuruni watak ibunya, seorang di antara Kang-lam Sam-eng tokoh Siauw-lim-pai yang perkasa itu (baca cerita Pendekar Super Sakti).
"Marilah kalian ikut bersamaku membantu Nayakavhira. Kwi Hong, kau ajaklah dua orang anak ini." Suma Han memondong tubuh kakek bersorban dan mencari tempat yang ada pohonnya. Di situ dia lalu membangun sebuah pondok, mempersiapkan landasan dan keperluan pembuatan pedang. Bun Beng yang sudah berjanji membantu itu ditugaskan mengumpulkan kayu bakar karena menurut Nayakavhira pembuatan pedang itu membutuhkan banyak sekali kayu bakar untuk membuat api yang sepanas-panasnya.
Berhari-hari lamanya Suma Han sibuk di dalam pondok membuat pedang di bawah petunjuk kakek Nayakavhira yang lumpuh. Tiga orang anak itu sama sekali tidak boleh memasuki pondok yang panasnya luar biasa karena api besar dinyalakan siang malam tak pernah berhenti. Bun Beng juga bekerja setiap hari mencari kayu bakar, sedangkan Kwi Hong bermain-main dengan Milana yang berwatak halus dan sebentar saja sudah dapat menarik rasa sayang di hati Kwi Hong yang wataknya kasar. Kedua orang anak perempuan ini jauh berbeda wataknya. Kwi Hong yang lebih tua beberapa tahun, berwatak jenaka, riang gembira, galak dan pandai bicara. Sebaliknya Milana berwatak halus, lemah lembut dan pendiam, hati-hati dalam bicara agar jangan sampai menyingung perasaan orang lain. Namun, berkat kehalusan budi Milana yang pandai mengalah, mereka berdua dapat bersahabat dengan rukun.
Di dalam pondok itu terjadi hal yang tentu akan amat mengherankan tiga orang anak itu kalau saja mereka dapat melihatnya. Kakek Nakavhira duduk bersila di atas tanah, seperti arca tidak bergerak dan hawa panas di dalam pondok itu tak mungkin akan dapat tertahan oleh manusia biasa. Suma Han menanggalkan baju atasnya dan sibuk membakar senjata yang bentuknya seperti bulan sabit itu di dalam api. Sudah tiga hari tiga malam logam itu dibakar, tetap saja masih utuh, tidak dapat membara. Kakek itu berkali-kali minta ditambah api karena kurang besar sehingga setiap tumpukan kayu bakar yang dikumpulkan Bun Beng, selalu habis sehingga tidak ada cadangan sama sekali, membuat anak itu tidak berani berhenti karena khawatir kehabisan kayu bakar!
Kakek Nayakavhira mengeluarkan beberapa macam obat yang dioleskan pada logam putih itu, namun setelah lewat lima hari tetap juga logam itu belum membara. Kakek itu menjadi bingung dan prihatin sekali.
"Ya Tuhan, akan gagalkah usaha hamba?" Keluhnya berkali-kali sehingga Suma Han menjadi kasihan. Juga pendekar ini merasa penasaran sekali. Sedangkan batu bintang saja dapat dibakar sampai mencair, yaitu ketika dia masih kecil dan menjadi pelayan Kang-thouw-kwi Gak Liat (baca cerita Pendekar Super Sakti), masa logam ini dibakar dalam api sampai lima hari lima malam belum juga membara? Teringat akan masa kecilnya, ia teringat kepada Bun Beng yang sibuk mengumpulkan kayu di luar pondok. Dahulu dia menjadi pelayan Gak Liat, dan sekarang, secara kebetulan, putera Gak Liat itu bekerja keras melayaninya! Demikianlah nasib mempermainkan manusia!
Ia teringat akan batu bintang, teringat akan latihan Hwi-yang Sin-ciang. Hwi-yang Sin-ciang! Bukankah sin-kang yang mujijat dan yang sudah dikuasainya dengan sempurna itu mengandung hawa panas yang mujijat? Mengapa tidak ia pergunakan untuk coba-coba? Dia memegang gagang senjata kakek yang aneh itu. Senjata itu terbuat daripada baja yang aneh sebagai gagang berduri, adapun ujungnya yang berbentuk bulan sabit berwarna putih itulah yang akan diolah menjadi pedang. Suma Han mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang sehingga wajahnya yang selama lima hari lima malam berdekatan dengan api tidak berubah apa-apa, kini setelah mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya, muka itu berubah merah. Dan perlahan-lahan, logam putih berbentuk bulan sabit itu menjadi merah membara!
"Kakek Nayakavhira, aku berhasil!" Teriaknya girang. Kakek yang sudah kehabisan semangat itu membuka matanya dan seketika wajahnya berseri! "Hebat....! Biarkan sampai merah tua seluruhnya, baru digembleng!" Teriaknya dan semangatnya kembali. Matanya bersinar-sinar. Suma Han tidak mau bicara tentang penggunaan Hwi-yang Sin-ciang dan kini setelah logam itu dapat membara, panasnya api sudah cukup untuk membikin bara menjadi tua. Tak lama kemudian logam itu sudah menjadi merah sekali.
"Cepat letakkan di landasan dan gembleng sampai bentuknya menjadi panjang membungkus gagang senjataku."
"Membungkus gagang?" Suma Han bertanya.
"Benar. Logam putih itu hanya merupakan lapisan luar saja. Gembleng sampai lebar dan tipis sepanjang setengah kaki. Cepat!" Suara kakek itu gemetar penuh gairah. Otomatis Suma Han mematuhi perintah ini karena dia sendiri sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang pembuatan pedang. Biarpun dia bukan seorang pandai besi, bahkan memegang martil dan menggembleng logam membara pun baru sekali itu selama hidupnya, namun pendekar ini memiliki tenaga yang melebihi tenaga seratus orang dengan sin-kangnya yang hebat, maka tentu saja gemblengannya juga amat kuat sehingga tak lama kemudian logam yang membara itu sudah menjadi lebar tipis sepanjang tiga setengah kaki. "Bagus! Hebat....! Untuk menggembleng itu biarpun dalam keadaan sehat, tentu baru dapat kuselesaikan dalam waktu tiga hari. Akan tetapi engkau hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja. Benar-benar sukar dicari pendekar sakti seperti engkau, Suma-taihiap. Logam itu telah mendingin, bakar lagi sampai membara dan akulah yang akan menggemblengnya membungkus gagang."
Kembali Suma Han menurut dan sekali ini, karena logam itu sudah pernah membara, panasnya api cukup membuat logam itu menjadi merah lagi. Akan tetapi kakek itu mengatakan belum cukup. "Dia harus dibakar selama satu malam sampai melunak agar mudah digembleng membungkus gagang, apalagi tenagaku sekarang banyak berkurang."
Pada keesokan harinya, ketika terdengar bunyi martil menghimpit logam di atas besi landasan sampai berdentang-dentang, dikerjakan sendiri oleh Kakek Nayakavhira yang dibuatkan tempat duduk tinggi oleh Suma Han dan ditonton oleh pendekar sakti itu. Selama menyaksikan kakek itu bekerja, diam-diam Suma Han merasa kagum dan barulah dia tahu betapa sulitnya membuat sebatang pedang pusaka! Dalam menempa dan menggembleng ini, kakek itu bekerja seperti dalam samadhi sehingga setiap tempaan merupakan gerakan suci seperti seorang bersembahyang. Maka Suma Han menonton penuh perhatian dan penuh hormat. "Bun Beng, mengasolah. Lihat, tumpukan kayu di belakang pondok sudah cukup banyak. Dan mendengar suara berdentang itu, agaknya mereka tidak membutuhkan terlalu banyak kayu lagi. Lihat sepagi ini tubuhmu sudah berkeringat!" Kwi Hong menegur Bun Beng yang bertelanjang baju dan sejak pagi buta telah menebangi kayu.
"Benarkah? Ah, kalau begitu aku mau beristirahat sebentar!" Bun Beng lalu duduk di atas batu dan menyusuti peluhnya.
"Aku akan masak air, tunggu saja. Aku akan membuatkan minuman untukmu!" Kwi Hong lalu berlari-lari kecil meninggalkan Bun Beng. Setelah bekerja keras sejak pagi, tubuhnya lelah dan kini duduk bersandar batu disiliri angin pagi, Bun Beng merasa nyaman sekali sehingga tak terasa lagi ia memejamkan matanya. Sudah hampir setengah bulan dia berada di situ sejak pertemuannya dengan Pendekar Siluman dan Kakek Nayakavhira, dan selama itu setiap hari dia bekerja keras dalam usahanya membantu kakek itu membuat pedang pusaka. Kini ia merasa lelah sekali dan mengantuk. Entah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba ia merasa pundaknya diguncang tangan halus dan terdengar suara Kwi Hong. "Ihhh, pemalas. Berhenti sebentar saja sudah tertidur pulas! Bun Beng, minumlah ini. Bukan air teh akan tetapi daun ini lebih sedap dan kata Paman dapat memulihkan tenaga. Minumlah!"
Bun Beng merasa malas untuk bangun, akan tetapi pundaknya ditarik sehingga ia terduduk dan ketika ia membuka sedikit matanya, ia melihat Kwi Hong yang membangunkannya bahkan kini anak perempuan itu menempelkan secawan minuman ke bibirnya!
"Bun Beng, lihat betapa indahnya bunga ini.... indah harum kupetik untukmu...." Tiba-tiba Milana menghentikan kata-kata dan langkah kakinya ketika melihat Kwi Hong sedang memberi minum Bun Beng dengan sikap mesra. Milana memandang sejenak, kemudian memejamkan mata, membuang muka, melempar kembang di tangannya kemudian membalikkan tubuh dan pergi dari situ tanpa berkata-kata. Sambil melangkah pergi dia cepat-cepat menghapus dua butir air mata yang bergantung di bulu matanya. Anak perempuan ini sama sekali tidak mengerti mengapa dia menjadi berduka, dan dia tidak tahu sama sekali bahwa setan cemburu yang selalu siap menggoda hati manusia, terutama sekali hati wanita, telah mulai menyentuh hatinya. Dia hanya merasa kecewa karena pagi itu dia sengaja mencari bunga yang paling indah di dalam hutan untuk dipetiknya dan diberikan kepada Bun Beng yang ia tahu tentu sedang bekerja keras. Dengan hati penuh kegembiraan dia membawa bunga itu dan berlari-lari mencari Bun Beng, membayangkan betapa girangnya Bun Beng menerima pemberiannya, betapa anak laki-laki itu akan tersenyum kepadanya, memandang dengan matanya yang tajam dan tentu akan terpancing kata-kata pujian dari Bun Beng kepadanya. Dia tidak pernah merasa bosan mendengar pujian-pujian dari mulut Bun Beng. "Milana, engkau baik sekali! Milana engkau manis sekali!" dan sebagainya. Akan tetapi kegembiraannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika tiba di tempat itu, dia melihat Kwi Hong dengan sikap mesra memberi minum Bun Beng!
Milana sendiri tidak mengerti mengapa dia harus kecewa. Dia bersahabat baik dengan Kwi Hong yang dianggapnya seperti encinya sendiri, yang dianggapnya sebagai seorang saudara yang lebih tua darinya, lebih pandai dan dia pun tahu bahwa sebagai murid Pendekar Siluman, Kwi Hong memiliki kepandaian silat jauh lebih tinggi dari padanya, bahkan menurut pengakuan Bun Beng, jauh lebih tinggi daripada kepandaian Bun Beng! Mengapa kini hatinya menjadi kecewa dan demikian tidak enak menyaksikan sikap mesra Kwi Hong kepada Bun Beng?
Bun Beng yang masih setengah mengantuk dan tadi menurut saja diberi minum, dengan mata setengah terpejam, dapat melihat bayangan Milana yang pergi lagi sambil membuang bunga setangkai di atas tanah. Matanya terbuka lebar memandang bunga itu dan dia lalu sadar akan keadaan dirinya yang seperti anak kecil diberi minum. "Terima kasih, Kwi Hong, biar kuminum sendiri," katanya sambil menerima cawan minuman itu. Kwi Hong memberikan cawannya dan memandang dengan wajah berseri ketika Bun Beng minum dan kelihatan nikmat. Tentu saja nikmat minum-minuman sedap hangat itu di pagi hari.
"Eh, mana dia tadi?" Kwi Hong bertanya sambil menengok. "Siapa?" Bun Beng pura-pura bertanya. "Milana! Aku mendengar dia datang tadi. Mana dia?"
"Ah, aku tidak melihat dia," kata Bun Beng sambil menutupi muka dengan cawan, meneguk habis minumannya sedangkan matanya melirik ke arah setangkai bunga yang terletak sunyi di atas tanah.
"Terima kasih, Kwi Hong. Engkau baik sekali." Bun Beng mengembalikan cawan kosong yang diterima Kwi Hong dengan wajah girang. Memang itulah yang dinanti-nantinya. Untuk menerima pujian Bun Beng itu, dia mau melakukan pekerjaan yang lebih berat daripada membuatkan secawan minuman!
"Bun Beng, mulai sekarang, engkau tidak perlu mencari kayu bakar lagi."
"Ahh, mengapa?"
"Pedang pusaka itu sudah selesai! Paman tadi berpesan agar engkau tidak perlu mengumpulkan kayu bakar lagi, akan tetapi pedang itu akan ditapai oleh Kakek Nayakavhira beberapa hari lamanya. Paman telah pergi karena Kakek itu tidak mau diganggu, dan Paman pergi mencari sepasang garuda kami karena dipanggil-panggil tak kunjung datang."
"Dan kita....?"
"Kita harus menunggu di sini sampai Paman kembali. Eh, Bun Beng, setelah pedang selesai, engkau tentu akan ikut Paman ke Pulau Es, bukan?"
Bun Beng berpikir sejenak. Alangkah akan senang hatinya kalau dapat pergi ke tempat Pendekar Siluman dan menjadi muridnya. Akan tetapi ia teringat kepada Milana. Mana mungkin dia meninggalkan Milana di tempat itu begitu saja? Dia ingin sekali pergi bersama Pendekar Siluman, akan tetapi dia tidak boleh meninggalkan anak perempuan itu. Lebih dulu dia harus mengantarkan Milana sampai dapat pulang ke tempat tinggalnya, yaitu di Kerajaan Mongol.
"Aku harus mengantar Milana lebih dulu pulang ke Mongol," katanya. Kwi Hong tertawa. "Apa sukarnya? Dengan adanya Paman dan dengan menunggang garuda, sebentar saja kita akan dapat mengantar Milana. Eh, dimana anak, itu? Milana....! Milana....!"
"Aku di sini....! Aku datang....!" terdengar jawaban Milana dan tampaklah anak itu datang berlari menghampiri mereka. Wajahnya sudah cerah kembali karena panggilan suara Kwi Hong sudah mengusir rasa kecewa hatinya. "Milana, pedang telah selesai dibuat dan sekarang Bun Beng tidak perlu mencari kayu bakar lagi. Kita dapat bermain-main sambil menanti sampai Kakek itu selesai menapai pedang pusaka. Biar kusimpan dulu cawan ini!" Kwi Hong berlari pergi membawa cawan kosong. Bun Beng memakai bajunya, lalu mengambil setangkai bunga dari atas tanah, mencium bunga yang indah itu sambil berkata, "Milana, terima kasih atas pemberian bunga ini. Engkau sungguh seorang anak yang baik hati...."
Wajah Milana berseri kemudian berubah merah ketika Bun Beng mendekatinya.
"Kalau sudah selesai, tentu engkau akan diajak pergi oleh Suma-taihiap." kata Milana perlahan. "Engkau akan sekaligus mendapatkan seorang sahabat yang manis seperti Kwi Hong."
"Ah, mana mungkin! Aku harus mengantarmu lebih dulu pulang ke Mongol," jawab Bun Beng tiba-tiba merasa kasihan kepada anak itu dan mendekati.
"Biarkanlah, aku dapat mencari jalan pulang sendiri."
"Tidak Milana. Sebelum mengantar engkau pulang, aku tidak mau pergi meninggalkanmu di sini. Pula, kurasa Suma-taihiap akan suka mengantarmu pulang dengan naik burung garudanya. Setelah kau tiba dengan selamat di sana, barulah aku akan suka ikut dan belajar ilmu kepadanya."
"Bun Beng, mengapa engkau begini baik kepadaku?" Milana bertanya, mengangkat muka memandang dengan hati terharu. Bun Beng tersenyum. "Apa kaukira engkau kalah baik? Engkaulah yang bersikap amat baik terhadap aku. Engkau keluarga istana raja, dan aku hanya seorang anak sebatangkara yang miskin, namun sikapmu baik sekali. Bagaimana aku tidak akan bersikap baik kepadamu? Lupakah kau akan pelajaran tentang cinta kasih? Kalau engkau menganjurkan cinta kasih antara manusia, agaknya manusia seperti inilah yang paling pantas dicinta."
Percakapan mereka adalah percakapan kanak-kanak yang meniru-niru pelajaran filsafat, maka tentu saja "cinta" yang mereka sebut-sebut tidak ada hubungannya dengan cinta antara laki-laki dan perempuan dewasa. Betapapun juga, ada sesuatu yang aneh terasa di hati mereka. "Mengapa begitu, Bun Beng? Apa bedanya aku dengan orang lain?"
"Hemm, entahlah. Mungkin karena engkau.... manis sekali." Milana makin girang dan ia tersenyum tidak tahu betapa Kwi Hong telah da tang dan melihat mereka berdiri berhadapan demikian akrab dan melihat Bun Beng memegangi setangkai bunga indah dan mereka tidak tahu betapa Kwi Hong yang keras hati itu memandang dengan mata bersinar-sinar penuh iri dan cemburu! Kwi Hong sendiri belum tahu tentang arti cinta antara pria dan wanita, namun tanpa disengaja dia merasa amat tidak senang menyaksikan keakraban antara Bun Beng dan Milana!
Akan tetapi Kwi Hong menyembunyikan rasa tidak senangnya ketika ia berlari menghampiri mereka dan berkata. "Nah, sekarang tiba waktunya kita bermain-main dan marilah kita memperlihatkan ilmu yang kita pelajari. Aku ingin sekali melihat ilmu silatmu, Milana. Agaknya engkau tentu telah mempelajari ilmu silat yang tinggi. Gerakan kakimu amat ringan dan tanganmu cekatan. Marilah kita main-main dan mengukur kepandaian masing-masing untuk menambah pengalaman dan pengetahuan."
"Ah, mana mungkin aku dapat menandingimu, Kwi Hong? Engkau adalah murid To-cu dari Pulau Es yang terkenal, Pendekar Super sakti, sedangkan aku hanya seorang yang sebulan sekali saja menerima latihan dari Ibu. Dalam satu dua jurus saja aku tentu akan roboh!"
"Aihhh, mengapa kau merendahkan diri, Milana? Aku yakin kepandaianmu tentu sudah cukup tinggi. Pula, kita hanya main-main dan hitung-hitung berlatih, tidak bertanding sungguh-sungguh, mana perlu saling merobohkan?"
"Kwi Hong, ilmu silat adalah ilmu untuk menjaga diri, ada unsur bertahan akan tetapi juga selalu mengandung unsur menyerang. Kalau dipergunakan dalam pertandingan, mana bisa main-main lagi? Kepalan tangan dan tendangan kaki tidak mempunyai mata. Pula, selama hidupku, belum pernah aku menggunakan ilmu yang kupelajari untuk bertanding. Tidak, aku mengaku kalah!"
Kwi Hong menjadi kecewa sekali. Tidak ada seujung rambut dalam hatinya ingin merobohkan atau melukai Milana, hanya memang dia ingin mengalahkan anak itu di depan Bun Beng untuk mendapat pujian! "Milana, untuk apa engkau mempelajari ilmu kalau kau takut mempergunakan?" Ia mendesak.
Bun Beng yang sudah mengenal watak halus Milana, merasa kasihan. Dia tidak menyalahkan Kwi Hong, karena ia maklum bahwa orang yang mempelajari ilmu silat tentu senang bertanding silat dan ia pun tahu bahwa bukan niat Kwi Hong untuk melukai Milana. Tentu saja Kwi Hong belum mengenal watak Milana yang sama sekali berlawanan dengan ilmu silat itu maka ia melangkah maju dan berkata, "Kwi Hong, Milana tidak mau bertanding mengadu ilmu. Wataknya terlalu halus untuk bertanding. Kalau engkau ingin berlatih, marilah kulayani, biar terbuka mataku dan bertambah pengetahuanku menerima pelajaran dari murid Suma-taihiap
yang sakti."
Dalam ucapan ini, Bun Beng sama sekali tidak menyalahkan Kwi Hong, hanya ingin menolong Milana yang kelihatan terpojok. Akan tetapi, hati Kwi Hong tersinggung dengan kata-kata bahwa watak Milana terlalu halus, sama dengan mengatakan bahwa wataknya adalah kasar! Dengan kedua pipi merah ia lalu menjawab singkat. "Baiklah. Mari!" Setelah berkata demikian ia lalu menerjang
maju dengan serangan ke arah dada Bun Beng!
Bun Beng cepat mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi gerakan Kwi Hong amat cepatnya dan anak ini sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan lain yang amat cepat. Bun Beng terkejut, tak sempat mengelak lagi maka ia lalu menggerakkan tangan menangkis.
"Dukk!" Kwi Hong merasa lengannya agak nyeri, akan tetapi Bun Beng terhuyung ke belakang. Dalam hal tenaga sin-kang dia kalah kuat oleh Kwi Hong yang menerima latihan sin-kang istimewa dari Suma Han di Pulau Es! Dan Kwi Hong yang merasa lengannya nyeri itu menjadi penasaran mengira bahwa Bun Beng agaknya memiliki kepandaian tinggi maka dia lalu menyerang terus dengan gencar. Bun Beng menggerakkan kaki tangan, mempertahankan diri dengan ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang ia pelajari dari mendiang suhunya, Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi lewat belasan jurus, dia terdesak hebat dan setiap kali terpaksa menangkis, dia terpental atau terhuyung. "Wah, Kwi Hong.... aku menyerah kalah!" Bun Beng berseru sambil menangkis lagi. "Dukk!" Kembali Kwi Hong merasa lengannya nyeri. Biarpun sin-kangnya lebih kuat, namun kulit lengannya tidak sekeras
dan sekuat Bun Beng yang selama setengah tahun hidup seperti kera liar dalam keadaan telanjang bulat. Ia makin penasaran. "Mengadu ilmu tidak perlu mengalah. Bun Beng, keluarkan kepandaianmu, balaslah menyerang, jangan mempertahankan saja!" Kwi Hong melanjutkan serangannya lebih cepat lagi sehingga Bun Beng menjadi repot sekali. Karena serangan bertubi-tubi itu amat cepat dan dahsyat, terpaksa ia dalam keadaan setengah sadar, telah menggerakkan kaki tangannya menurutkan ilmu dalam tiga kitab Sam-po-cin-keng. Dia menangkis dengan gerakan membentuk lingkaran dengan kaki tangannya dan dari samping ia mengirim pukulan balasan, hanya mendorong ke arah pundak Kwi Hong dan dia berhasil! Pundak Kwi Hong terkena dorongannya sehingga anak perempuan itu terhuyung.
"Kau hebat juga!" Biarpun mulutnya memuji, namun hati Kwi Hong menjadi panas. Dia menerjang lagi lebih hebat. Memang watak Kwi Hong keras dan tidak mau kalah. Dia merasa bahwa sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti dia tidak akan terkalahkan oleh anak-anak lain!
Bun Beng menjadi sibuk sekali. Biarpun dia mainkan ilmu silat yang dipelajari dari kitab orang sakti yang ia temukan di dalam sumber air panas di guha rahasia, namun isi kitab itu lebih ia kuasai teorinya saja, sedangkan isinya belum ia mengerti benar. Apalagi kini Kwi Hong benar-benar mengeluarkan kepandaiannya. Ilmu silat yang dia pelajari dari Suma Han adalah ilmu silat tingkat tinggi dan anak ini setiap hari berlatih dengan para penghuni Pulau Es maka tentu saja serangan-serangannya amat hebat!
"Plakkk!" Punggung Bun Beng kena ditampar. Dia terhuyung akan tetapi berkat semua penderitaan tubuhnya yang membuat tubuhnya kuat, dia tidak roboh dan dapat menangkis pukulan susulan. Kembali dia didesak hebat sampai mundur-mundur dan hanya mampu mengelak menangkis, sedangkan Kwi Hong seperti seekor harimau betina mempunyai keinginan untuk merobohkan Bun Beng. Kalau sudah kalah, tentu Bun Beng tidak berani merendahkannya dan akan menghargainya seperti yang ia inginkan!
"Kwi Hong, sudahlah....!" berkali-kali Milana menjerit ketika melihat betapa Bun Beng mulai terkena pukulan beberapa kali.
Biarpun bukan pukulan yang membahayakan, namun cukup membuat Bun Beng beberapa kali terhuyung dan mengaduh. Tiba-tiba Bun Beng menerjang dengan nekat! Sudah menjadi watak Bun Beng sebagai seorang anak yang tidak mengenal takut dan pantang menyerah! Apa lagi baru menerima pukulan-pukulan seperti itu, biarpun diancam maut sekalipun dia pantang menyerah dan akan melakukan perlawanan. Dia sudah mengalah, akan tetapi karena Kwi Hong agaknya bersikeras untuk merobohkannya, dia menjadi naik darah dan kini Bun Beng menerjang hebat dengan ilmu barunya secara sedapat-dapatnya. Biarpun gerakannya seperti ngawur,
namun kakinya berhasil mengenai lutut Kwi Hong sehingga gadis cilik yang merasa kaki kirinya tiba-tiba lemas itu hampir jatuh! Dia meloncat tinggi kemudian menukik turun dan menyerang Bun Beng dari atas dengan kedua tangan. Bun Beng terkejut, berusaha menangkis, namun hanya berhasil menangkis serangan tangan kanan sedangkan tangan kirinya dapat menotok pundak Bun Beng, membuat pemuda cilik itu terguling.
"Kwi Hong, jangan lukai Bun Beng!" Tiba-tiba Milana yang sejak tadi berteriak-teriak mencegah pertandingan, sudah menerjang maju.
"Wuuuut....! Plakkk!" Terjangan Milana cepat sekali, akan tetapi Kwi Hong masih sempat menangkis sehingga keduanya terhuyung mundur.
"Hemm, kiranya engkau boleh juga!" Kwi Hong yang sudah menjadi marah karena menyesal bahwa dia telah merobohkan Bun Beng dan tentu Bun Beng akan marah kepadanya, sebaliknya suka kepada Milana yang membelanya, kini menyerang Milana yang cepat mengelak dan balas menyerang! Kiranya anak yang berwatak halus ini memiliki gerakan yang indah dan ringan sekali sehingga pukulan-pukulan Kwi Hong dapat ia elakkan semua. Betapapun juga, dia segera terdesak hebat karena agaknya dalam keringanan tubuh saja dia dapat menandingi, sedangkan dalam ilmu silat dan tenaga, dia kalah banyak.
Biarpun Milana bergerak dengan gesit, tidak urung dia terkena dorongan tangan Kwi Hong yang mengenai pinggangnya sehingga ia terpelanting jatuh.
"Kwi Hong, kau terlalu!" Bun Beng menubruk Kwi Hong, akan tetapi cepat Kwi Hong mengelak menjatuhkan diri sambil menendang.
"Bukk!" Paha Bun Beng terkena tendangan dan untuk kedua kalinya dia jatuh tersungkur.
"Kwi Hong! Apa yang kaulakukan ini?" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Suma Han telah berada di situ. Melihat pamannya, seketika lenyap kemarahan dari hati Kwi Hong, terganti rasa takut. "Paman, kami hanya main-main...."
"Main-main?" Suma Han memandang Bun Beng yang telah bangun dan mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor. Juga Milana telah bangun dan memandang dengan wajah tenang.
"Karena menganggur, kami berlatih silat." kata pula Kwi Hong.
"Hemm...." Suma Han tetap memandang Bun Beng dan Milana penuh selidik. Melihat sikap pendekar itu dan melihat betapa Kwi Hong ketakutan, Bun Beng lalu cepat berkata. "Kami hanya berlatih." Milana juga berkata, "Kwi Hong hanya melatih saya, Suma-taihiap."Suma Han mengerutkan keningnya, wajahnya yang biasanya sudah muram itu kini tampak seolah-olah ada sesuatu yang mengesalkan hatinya. Tanpa menjawab ia lalu meloncat dan tubuhnya berkelebat memasuki pondok. Kwi Hong memandang kepada Bun Beng dan Milana, kemudian dengan suara penuh penyesalan berkata, "Maafkan aku, kalian baik sekali."
Tiba-tiba terdengar bunyi lengking keras dari dalam pondok dan tubuh Suma Han meloncat keluar, tahu-tahu sudah tiba di dekat mereka bertiga, matanya mengeluarkan sinar marah ketika ia menegur.
"Kalian tidak melihat orang datang ke pondok?" Tiga orang anak itu memandang Suma Han dengan heran, kemudian menggeleng kepala, Suma Han menghela napas panjung. "Kalian hanya bermain-main saja, sedangkan sepasang garuda dibunuh orang dan pedang pusaka lenyap dari pondok."
Tiga orang anak itu terkejut bukan main, "Pek-eng dibunuh....?" Kwi Hong bertanya dan suaranya terdengar bahwa dia menahan tangisnya. "Mati terpanah. Tidak mudah kedua burung itu dipanah, tentu pemanahnya seorang yang berilmu tinggi. Dan selagi kalian main-main, pedang pusaka dicuri orang."
"Kakek Nayakavhira....?" Tanya Milana.
"Dia telah meninggal dunia."
"Ohh! Dia dibunuh?" Bun Beng berteriak kaget. Suma Han menggeleng kepala. "Dia mati selagi bersamadhi. Sungguh celaka, ada orang berani mempermainkan aku secara keterlaluan. Kalian di sini saja, jangan main-main, bantu aku pasang mata, lihat-lihat kalau ada orang. Aku akan memperabukan jenazah Nayakavhira." Suma Han lalu membakar pondok itu setelah menumpuk sisa kayu bakar ke dalam pondok dan meletakkan jenazah kakek yang masih bersila itu di atasnya.
Pondok terbakar oleh api yang bernyala-nyala besar. Suma Han berdiri tegak memandang, dan tiga orang itu juga memandang dengan hati kecut. Sungguh tidak mereka sangka terjadi hal-hal yang demikian hebat. Selain dua ekor burung garuda terbunuh orang, juga pedang pusaka yang dibuat sedemikian susah payah itu dicuri orang dari pondok tanpa mereka ketahui sama sekali. Timbul penyesalan besar di dalam hati Kwi Hong karena andaikata dia tidak memaksa Bun Beng dan Milana bertempur, tentu mereka lebih waspada dan dapat melihat orang yang memasuki pondok dan mencuri pedang pusaka. Andaikata mereka bertiga tidak dapat mencegah pencuri itu melarikan pedang, sedikitnya mereka akan dapat menceritakan pamannya bagaimana macamnya orang yang mencuri pedang. Sekarang pedang tercuri tanpa diketahui siapa pencurinya!
Keadaan di situ menjadi sunyi sekali karena Suma Han dan tiga orang anak itu tidak bergerak, memandang pondok yang dibakar. Hanya suara api membakar kayu terdengar jelas mengantar asap yang membubung tinggi ke atas. Tiba-tiba tiga orang anak terkejut ketika mendengar suara ketawa melengking yang menggetarkan isi dada mereka. Pantasnya iblis sendiri yang mengeluarkan suara seperti itu, yang datang dari timur seperti terbawa angin, bergema di sekitar daerah itu. Lebih kaget lagi hati mereka bertiga ketika melihat tubuh Suma Han berkelebat cepat dan lenyap dari situ, meninggalkan suara perlahan namun jelas terdengar oleh mereka. "Kalian tinggal di sini, jangan pergi!"
Selagi tiga orang itu bengong saling pandang dengan muka khawatir, tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dan berkelebat bayangan orang. Tahu-tahu di situ muncul seorang laki-laki yang berwajah tampan, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian seperti siucai dan di punggungnya tampak sebatang pedang. Melihat munculnya orang yang tertawa-tawa ini, Bun Beng memandang penuh perhatian dan dia melihat sebatang pedang bersinar putih tanpa gagang terselip di ikat pinggang orang itu. Anak yang cerdik ini segera dapat menduga bahwa tentu orang ini mencuri pedang, dan pedang bersinar putih yang terselip dan ditutupi jubah namun masih tampak sedikit itu adalah pedang pusaka yang dicurinya.
"Engkau pencuri pedang!" Bentaknya marah dan tanpa mempedulikan sesuatu, Bun Beng sudah menubruk ke depan. Akan tetapi sebuah tendangan tepat mendorong dadanya dan ia roboh terjengkang. "Ha-ha-ha! Memang aku yang mengambil pedang pusaka. Dan siapa di antara kalian berdua yang menjadi murid perempuan Pendekar Siluman?"
Kwi Hong yang mendengar pengakuan itu sudah menjadi marah sekali. Inilah orangnya yang membikin kacau dan membikin marah gurunya atau pamannya, pikirnya. Ia bergerak maju sambil membentak, "Aku adalah murid Pendekar Super Sakti! Maling hina, kembalikan pedang!"
Akan tetapi sambil tertawa-tawa, laki-laki tampan itu membiarkan Kwi Hong memukulnya dan ketika kepalan tangan gadis cilik itu mengenai perutnya, Kwi Hong merasa seperti memukul kapas saja. Ia terkejut, akan tetapi tiba-tiba lengannya sudah ditangkap, tubuhnya dikempit dan sambil tertawa laki-laki itu sudah meloncat dan lari pergi. "Tahan....!" Milana berseru dan meloncat ke depan, akan tetapi sekali orang itu mengibaskan lengan kirinya, tubuh Milana terpelanting dan roboh terguling. Bun Beng sudah bangkit lagi, tidak peduli akan kepeningan kepalanya dan dia mengejar secepat mungkin. Namun, laki-laki itu berloncatan cepat sekali dan sudah menghilang. Bun Beng teringat akan suara ketawa dari arah timur tadi, maka dia lalu mengejar ke timur.
Milana merangkak bangun, menggoyang-goyang kepalanya yang pening. Ia mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak tampak lagi laki-laki yang menculik Kwi Hong, juga tidak tampak bayangan Bun Beng. Dia menduga tentu Bun Beng melakukan pengejaran, maka dia pun meloncat bangun dan mengejar ke timur karena seperti Bun Beng, dia tadi mendengar suara ketawa dari timur.
Tentu saja baik Bun Beng maupun Milana tertinggal jauh sekali oleh laki-laki yang menculik Kwi Hong karena orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga kedua orang anak itu selain tertinggal juga masing-masing melakukan pengejaran secara ngawur tanpa mengetahui kemana larinya si penculik dan pencuri pedang itu.
Penculik berpakaian sasterawan itu bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang sudah miring otaknya! Setelah berhasil membunuh Im-yang Seng-cu yang dipersalahkan karena Im-yang Seng-cu tidak membalas dendam dan membunuh Pendekar Siluman, Tan-siucai bersama gurunya yang aneh dan amat lihai itu lalu melanjutkan perjalanan mencari Pendekar Siluman yang kabarnya menjadi To-cu Pulau Es. Secara kebetulan sekali, ketika mereka berjalan di sepanjang pesisir lautan utara untuk menyelidiki di mana adanya Pulau Es, pada suatu hari mereka melihat dua ekor burung garuda putih beterbangan.
"Guru, bukankah burung-burung itu adalah garuda putih yang amat besar-besar. Seperti kita dengar, tunggangan Suma Han juga burung garuda putih. Siapa tahu burung-burung itu adalah tunggangannya?" Kata Tan-siucai.
"He mm, burung yang indah dan hebat. Sebaiknya ditangkap!" Kata Maharya memandang kagum, kemudian ia mengambil sebuah batu sebesar genggaman tangan dan melontarkan batu itu ke arah seekor daripada dua burung garuda putih yang terbang rendah. Dua ekor burung itu memang benar burung-burung peliharaan Suma Han yang ditinggalkan di tempat itu ketika Kwi Hong hendak menonton kakek menunggang gajah. Karena lama majikan mereka tidak memanggil, kedua burung garuda itu menjadi kesal dan beterbangan sambil menyambari ikan yang berani mengambang di permukaan laut, juga mencari binatang-binatang kecil yang dapat mereka jadikan mangsa.
Lontaran batu dari tangan Maharya amat kuatnya sehingga batu itu meluncur seperti peluru ke arah burung garuda betina. Burung ini sudah terlatih, melibat ada sinar menyambar ke arahnya, ia lalu menangkis dengan cakarnya. Akan tetapi, biarpun batu itu hancur oleh cakarnya, burung itu memekik kesakitan karena tenaga lontaran yang kuat itu membuat kakinya terluka. Dia menjadi marah sekali, mengeluarkan lengking panjang sebagai tanda marah dan menyambar turun ke bawah dengan kecepatan kilat, mencengkeram kepala Maharya yang berani mengganggunya! "Eh, burung jahanam! " Maharya menyumpah ketika terjangan itu membuat ia terkejut dan hampir jatuh, sungguhpun dia dapat mengelak dengan loncatan ke kiri.
"Tidak salah lagi, tentu tunggangan Pendekar Siluman!" Kata Tan-siucai. "Kalau burung liar mana mungkin begitu lihai? Guru, kita bunuh saja burung-burung ini!" Setelah berkata demikian, Tan Ki mengeluarkan sebatang panah, memasang pada sebuah gendewa kecil. Menjepretlah tali gendewa dan sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan kilat menyambar burung garuda betina yang masih terbang rendah. Burung itu berusaha mengelak dan menangkis dengan sayapnya, namun anak panah itu dilepas oleh tangan yang kuat sekali, menembus sayap dan menancap dada! Burung itu memekik dan melayang jatuh, terbanting di atas tanah, berkelojotan dan mati!
Burung garuda jantan menjadi marah sekali, mengeluarkan pekik nyaring dan menyambar ke bawah hendak menyerang Tan-siucai. Namun sambil tertawa, Tan Ki sudah melepas sebatang anak panah lagi. Garuda ini pun mencengkeram, namun anak panah itu tetap saja menembus dadanya dan burung ini pun roboh tewas! Dua ekor burung garuda yang terjatuh kini tewas di tangan seorang berotak miring yang lihai sekali.
Tan-siucai dan gurunya kini merasa yakin bahwa tentu kedua ekor burung garuda itu adalah binatang tunggangan Pendekar Siluman seperti yang mereka dengar diceritakan orang-orang kang-ouw. Maka mereka berlaku hati-hati, menyelidiki daerah itu dan akhirnya dari jauh mereka melihat pondok di mana mengepul asap dan terdengar bunyi martil berdencing. Mereka tidak berlaku sembrono, hanya mengintip dengan sabar dan dapat menduga bahwa Pendekar Siluman tentu berada di pondok itu, sedangkan seorang di antara dua orang anak perempuan yang bermain-main di luar dengan seorang anak laki-laki tentulah muridnya seperti yang dikabarkan orang.
Tadinya Tan-siucai hendak mengajak gurunya menyerbu dan membunuh musuh yang dibencinya itu, yang dianggap telah merampas tunangannya. Akan tetapi ketika Maharya mendapatkan bangkai gajah besar tak jauh dari tempat itu, dia menahan niat ini.
"Kalau tidak salah, gajah ini adalah binatang tunggangan kakakku Nayakavhira! Jangan-jangan tua bangka itu pun berada di dalam pondok bersama Pendekar Siluman. Aahhh, tidak salah lagi, tentu dia. Dan suara berdencing itu. Tentu Si Tua Bangka membuatkan pedang pusaka untuk Pendekar Siluman! Huh, dia selalu menentangku! Kalau aku tidak bisa membunuhnya, tentu dia akan mendahului aku merampas Sepasang Pedang Iblis! Kita harus berhati-hati. Aku tidak takut menghadapi Pendekar Siluman kaki buntung yang disohorkan orang itu. Akan tetapi tua bangka Nayakavhira itu lihai sekali dan terhadap dia kita tidak dapat menggunakan ilmu sihir. Kita menanti saja dan kalau ada kesempatan baik, baru kita menyerbu."
Ketika melihat Suma Han ke luar dari pondok dan meninggalkan tiga orang anak, Maharya lalu mengajak muridnya diam-diam, menggunakan kesempatan selagi tiga orang anak itu bertempur untuk menyelundup ke dalam pondok. "Dia tentu sedang samadhi menapai pedang, inilah kesempatan baik karena Pendekar Siluman sedang keluar. Kau ambil pedangnya, biar aku yang menghadapi Nayakavhira!"
Akan tetapi, ketika mereka memasuki pondok, mereka melihat bahwa Nayakavhira telah mati dalam keadaan masih duduk bersila di pondok, di depannya menggeletak sebatang pedang bersinar putih yang belum ada gagangnya. Tentu saja Maharya menjadi girang sekali dan Tan-siucai mengambil pedang pusaka itu. Diam-diam mereka keluar dari pondok dan mengintai dari tempat persembunyian mereka. Mereka melihat Suma Han datang lagi kemudian melihat Suma Han membakar pondok untuk memperabukan jenazah Nayakavhira. "Bagus! Sekarang biar aku memancing dia pergi, hendak kucoba sampai di mana kepandaiannya. Kau menjaga di sini, kalau dia sudah pergi, kauculik muridnya. Dengan demikian, akan lebih mudah engkau membalas dendam."
Demikianlah, dari tempat jauh di sebelah timur Maharya mengeluarkan suara ketawa sehingga memancing datangnya Suma Han, sedangkan Tan-siucai berhasil menculik Kwi Hong! Pada hakekatnya, Tan-siucai bukanlah seorang yang jahat atau kejam. Akan tetapi pada waktu itu, otaknya sudah miring karena dendamnya dan karena dia memaksa diri mempelajari ilmu sihir dari Maharya. Maka dia pun tidak membunuh Bun Beng dan Milana, hal yang akan mudah dan dapat ia lakukan kalau dia berhati kejam. Dia mengempit tubuh Kwi Hong sambil lari menyusul gurunya dan terkekeh mengerikan.
"Lepaskan aku! Keparat, lepaskan aku! Kalau tidak, Pamanku akan menghancurkan kepalamu!"
"Heh-heh-heh, Pamanmu? Gurumu sekalipun, Si Pendekar Buntung kakinya itu, tidak akan mampu membunuhku, bahkan dia yang kini akan mampus di tangan Guruku. Siapa Pamanmu, heh?"
"Tolol! Pamanku ialah guruku Suma Han Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es! Lepaskan aku!" Saking herannya bahwa anak perempuan itu bukan hanya murid, akan tetapi juga keponakan musuh besarnya, Tan-siucai melepaskan Kwi Hong dan memandang dengan mata terbelalak. "Engkau keponakannya? Keponakan dari mana, heh?"
Kwi Hong mengira bahwa orang gila ini takut mendengar bahwa dia keponakan gurunya, maka dia berkata, "Guruku adalah adik kandung mendiang Ibuku."
Tan-siucai tertawa. "Ha-ha-ha-ha! Kebetulan sekali! Dia telah membunuh kekasihku, tunanganku, calon isteriku. Biar dia lihat bagaimana rasanya melihat keponakannya kubunuh di depan matanya. Heh-heh-heh!"
Kwi Hong memandang marah. "Setan keparat! Engkau gila! Diriku tidak membunuh siapa-siapa dan jangan kira engkau akan dapat terlepas dari tangannya kalau kau berani menggangguku!"
"Engkau mau lari? Heh-heh-heh, larilah kalau mampu. Lihat, api dari tanganku sudah mengurungmu, bagaimana kau bisa lari?" Kwi Hong memandang dan ia terpekik kaget melihat betapa kedua tangan yang dikembangkan itu benar-benar mengeluarkan api yang menyala-nyala dan mengurung di sekelilingnya! "Setan.... engkau setan....!" Ia memaki akan tetapi hatinya merasa takut dan ngeri. "Ha-ha-ha, hayo ikut bersamaku. Aku tidak mau terlambat melihat musuh besarku mati di tangan Guruku!"
Tan-siucai menubruk hendak menangkap Kwi Hong. Anak ini menjerit dan tanpa mempedulikan api yang bernyala-nyala di sekelilingnya, ia meloncat menerjang api. Dan terjadilah hal yang mengherankan hatinya. Ketika menerjang, api itu tidak membakarnya, bahkan tidak ada lagi! Seolah-olah melihat api tadi hanya terjadi dalam mimpi! Maka ia berbesar hati lari terus.
"Hei-hei.... mau lari ke mana, heh?" Tan-siucai mengejar dan agaknya dalam kegilaannya ia merasa senang mempermainkan Kwi Hong, mengejar sambil menggertak menakut-nakuti, tidak segera menangkapnya, padahal kalau dia mau, tentu saja dia dapat menangkap dengan mudah dan cepat. Lagaknya seperti seekor kucing yang hendak mempermainkan seekor tikus. Membiarkannya lari dulu untuk kemudian ditangkap dan diganyangnya. Tan-siucai hanya hendak menakut-nakuti saja karena anak itu adalah keponakan dan murid musuh besarnya, tidak mempunyai maksud sedikit pun juga di hatinya untuk melakukan sesuatu yang tidak baik. Mungkin dia akan benar-benar membunuh Kwi Hong di depan Suma Han, namun hal itu pun akan dilakukan semata-mata untuk menyakiti hati musuh besar yang telah merampas dan dianggap membunuh kekasihnya!
"Heh-heh-heh, mau lari ke mana kau?" Sekali meloncat, tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan dan sambil tertawa-tawa ia telah tiba menghadang di depan Kwi Hong!
"Ihhhhh!" Kwi Hong menjerit kaget penuh kengerian, akan tetapi dia tidak takut dan menghantam perut orang itu. "Cessss!" Tangannya mengenai perut yang lunak seolah-olah tenaganya amblas ke dalam air, maka Kwi Hong lalu membalikkan tubuh dan melarikan diri ke lain jurusan. "Heh-heh-heh, larilah yang cepat, larilah kuda cilik, lari! Ha-ha-ha!" Tan-siucai tertawa-tawa dan mengejar lagi dari belakang. Berkali-kali ia mempermainkan Kwi Hong dengan loncat menghadang di depan anak itu. Ketika ia sudah merasa puas mempermainkan sehingga Kwi Hong mulai terengah-engah kelelahan, tiba-tiba Tan-siucai tersentak kaget karena tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang wanita yang mukanya berkerudung menyeramkan!
Biarpun Tan-siucai kini telah menjadi seorang yang berkepandaian tinggi, namun kemiringan otaknya membuat dia kadang-kadang seperti kanak-kanak. Begitu melihat munculnya seorang wanita berkerudung, agaknya ia teringat akan cerita-cerita yang dibacanya tentang setan-setan dan iblis, maka mukanya berubah pucat dan ia membalikkan tubuhnya melarikan diri sambil menjerit, "Ada setan....!"
"Aduhhh....!" Ia menjerit dan tubuhnya terpental karena pinggulnya telah ditendang dari belakang. Kini wanita berkerudung itulah yang keheranan. Tendangannya tadi disertai sin-kang yang kuat, yang akan meremukkan batu karang dan orang di dunia kang-ouw jarang ada yang sanggup menerima tendangannya itu tanpa menderita luka berat atau bahkan mati. Akan tetapi orang gila itu hanya menjerit tanpa menderita luka sedikit pun. Bahkan kakinya merasakan pinggul yang lunak seperti karet busa!
"Eh, kau.... kau bukan setan? Kakimu menginjak tanah, terang bukan setan! Keparat, kau berani menendang aku? Tunggu ya, aku akan menangkap dulu anak itu!" Tan-siucai melangkah hendak menangkap lengan Kwi Hong yang masih berdiri terengah-engah dan juga memandang wanita berkerudung itu dengan mata terbelalak.
"Jangan ganggu dia!" Tiba-tiba wanita itu membentak, suaranya merdu namun dingin dan mengandung getaran kuat. Tan-siucai sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak menentangnya maka ia membusungkan dada dan menudingkan telunjuknya. "Aihh, kiranya engkau hendak menentangku, ya? Sungguh berani mati. Engkau tidak tahu aku siapa? Awas, kalau aku sudah marah, tidak peduli lagi apakah engkau wanita atau pria, berkerudung atau tidak, sekali bergerak aku akan mencabut nyawamu!"
Wanita berkerudung itu mendengus penuh hinaan, "Siapa takut padamu? Tentu saja aku tahu engkau siapa. Engkau adalah seorang yang tidak waras, berotak miring yang menakut-nakuti seorang anak perempuan. Kalau aku tidak ingat bahwa engkau adalah seorang gila, apakah kaukira tidak sudah tadi-tadi kupukul kau sampai mampus? Nah, pergilah. Aku memaafkanmu karena engkau gila dan tinggalkan anak ini."
Tan-siucai sudah lenyap kegilaannya dan ia marah sekali. "Engkau yang gila! Engkau perempuan lancang, hendak mencampuri urusan orang lain dan engkau memakai kerudung penutup muka. Hayo buka kerudungmu dan lekas minta ampun kepadaku!"
"Agaknya selain gila, engkau pun sudah bosan hidup. Nah, mampuslah!" Tiba-tiba wanita berkerudung itu menerjang maju dengan cepat sekali, tahu-tahu tangannya sudah mengirim totokan maut ke arah ulu hati Tan-siucai. Tan-siucai telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dia terkejut sekali karena maklum bahwa totokan itu dapat membunuhnya dan bahwa gerakan wanita itu selain cepat seperti kilat juga mengandung sin-kang yang luar biasa! Dia tidak berani main-main lagi, tahu bahwa lawannya adalah seorang pandai, maka cepat ia menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga.
"Desss!" Tubuh Tan-siucai terguling saking hebatnya benturan tenaga itu dan ia cepat meloncat bangun sambil mengirim serangan balasan penuh marah. "Hemm, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian!" Wanita berkerudung itu berseru dan menyambut pukulan Tan-siucai dengan sambaran tangan ke arah pergelangan lawan. Tan-siucai tidak mau lengannya ditangkap maka ia menghentikan pukulannya dan tiba-tiba kakinya menendang, sebuah tendangan yang mendatangkan angin keras mengarah pusar lawan.
"Wuuuttt!" Wanita itu miringkan tubuh membiarkan tendangan lewat dan secepat kilat kakinya mendorong belakang kaki yang sedang menendang itu. Gerakan ini amat aneh dan Tan-siucai tak dapat mengelak lagi. Kakinya yang luput menendang itu terdorong ke atas, membawa tubuhnya sehingga ia terlempar ke atas seperti dilontarkan. "Aiiihhh....!" Tan-siucai berteriak akan tetapi wanita itu kagum juga menyaksikan betapa lawannya yang gila itu ternyata memiliki gin-kang yang tinggi sehingga mampu berjungkir balik di udara dan turun ke tanah dengan keadaan kakinya tegak berdiri.
Adapun Tan-siucai yang makin kaget dan heran menyaksikan gerakan wanita berkerudung itu, teringat akan sesuatu dan membentak, "Aku mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah...."
"Akulah Ketua Thian-liong-pang!" Wanita itu memotong dan menerjang lagi, gerakannya cepat sekali sehingga sukar diikuti pandang mata dan Tan-siucai terpaksa meloncat mundur dengan kaget.
"Singggg....!" Tampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu tangan Tan-siucai telah mencabut pedang hitamnya, tampak sinar hitam bergulung-gulung dengan dahsyatnya. Diam-diam Ketua Thian-liong-pang itu kaget dan heran. Bagaimana tiba-tiba muncul seorang siucai gila seperti ini padahal di dunia kang-ouw tidak pernah terdengar namanya. Namun dia tidak gentar sedikitpun juga. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian siucai tampan yang gila ini amat tinggi, akan tetapi tidak terlampau tinggi. Maka ia pun menghadapinya dengan kedua tangan kosong saja. Tubuhnya berkelebatan menyelinap di antara sinar pedang hitam dan mengirim pukulan sin-kang bertubi-tubi sehingga hawa pukulan itu saja cukup membuat Tan-siucai terhuyung mundur dan kacau permainan pedangnya! Ketika dengan rasa penasaran ia membabat kedua kaki wanita itu, Ketua Thian-liong-pang mencelat ke atas, ujung kakinya menendang tenggorokan lawan, Tan-siucai miringkan kepala dengan kaget sekali.
"Aduhhh....!" Ia menjerit dan roboh terguling-guling, tulang pundaknya yang tersentuh ujung sepatu wanita terasa hendak copot, nyeri sampai menusuk ke jantung rasanya.
"Pangcu dari Thian-liong-pang, lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut dan lemas, berlututlah!" tiba-tiba Tan-siucai menuding dengan pedangnya, melakukan ilmu hitamnya, untuk menguasai semangat dan pikiran lawannya melalui gerakan, suara dan pandang matanya. Namun, Ketua Thian-liodg-pang itu memakai kerudung di depan mukanya sehingga tidak dapat dikuasai oleh pandang matanya, adapun suaranya yang mengandung getaran khi-kang hebat itu masih kalah kuat oleh sin-kang lawan. Kini wanita itu tertawa merdu, ketawa yang bukan sembarang ketawa karena suara ketawanya digerakkan dengan sin-kang dari pusar sehingga membawa getaran yang amat kuat. Gelombang getaran ini menyentuh hati Tan-siucai sehingga dia ikut pula tertawa bergelak diluar kemauannya. Mendengar suara ketawanya sendiri, Tan-siucai terkejut dan cepat ia menindas rasa ingin ketawa itu, pedangnya membacok dari atas!
"Manusia berbahaya perlu dibasmi!" Tiba-tiba Ketua Thian-liorg-pang itu berkata dan tangan kirinya bergerak dari atas, ketika pedang itu tiba ia menjepit pedang dari atas dengan jari tangannya yang ditekuk! Bukan main hebatnya ilmu ini yang tentu saja hanya mampu dilakukan oleh orang yang kepandaiannya sudah tinggi sekali dan sin-kangnya sudah amat kuat. Tan-siucai terkejut, berusaha menarik pedang namun pedang itu seperti dijepit oleh tang baja dan sama sekali tidak mampu ia gerakkan. Saat itu Ketua Thian-liong-pang sudah menyodokkan jari-jari tangan kanannya ke arah perut Tan-siucai yang kalau mengenai sasaran tentu akan mengoyak kulit perut!
"Aiihhhh....!" Tiba-tiba Ketua Thian-liong-pang itu memekik, pekik seorang wanita yang terkejut dan ngeri, kemudian tubuhnya meloncat jauh ke belakang, sepasang mata di balik kerudung itu terbelalak.
Tan-siucai yang tadinya sudah hilang harapan dan maklum bahwa dia terancam bahaya maut, menjadi kaget dan girang sekali melihat wanita sakti itu meloncat mundur, tidak jadi membunuhnya. Saking girangnya, gilanya kumat dan ia meloncat pergi sambil tertawa-tawa, "Ha-ha-ha, engkau tidak tega membunuhku, ha-ha-ha!"
Ketua itu masih bengong dan membiarkan Si Gila pergi. Tentu saja dia tadi meloncat ke belakang bukan karena tidak tega membunuh Tan-siucai, melainkan ketika tangannya hampir mengenai perut lawan, tiba-tiba ada sinar putih yang luar biasa keluar dari balik jubah bagian perut. Sinar putih ini mengandung hawa mujijat sehingga mengagetkan Ketua Thian-liong-pang yang maklum bahwa sinar yang mengandung hawa seperti itu hanyalah dimiliki sebuah pusaka yang maha ampuh!
"Sayang engkau melepaskan Si Gila itu," Kwi Hong berkata ketika melihat Tan-siucai menghilang. Ketua Thian-liong-pang itu agaknya baru sadar akan kehadiran Kwi Hong. Dia menoleh dan memandang anak itu, di dalam hatinya merasa suka dan kagum. Anak yang bertulang baik, berhati keras dan penuh keberanian. "Sudah cukup kalau engkau terbebas darinya," ia berkata. "Anak, engkau siapakah dan mengapa engkau ditangkap Si Gila?"
"Aku tidak tahu dengan orang apa aku bicara. Apakah engkau tidak mau membuka kerudungmu sehingga aku dapat memanggilmu dengan tepat?" Kwi Hong bertanya, memandang muka berkerudung itu dan diam-diam ia kagum karena dia sudah mendengar akan nama besar Thian-liong-pang dan tadi pun sudah menyaksikan sendiri kelihatan wanita ini sehingga timbul keinginan untuk melihat bagaimana kalau wanita ini bertanding melawan pamannya!
Wanita itu menggeleng kepala. "Tidak seorang pun boleh melihat mukaku, kecuali.... kecuali.... yah, tak perlu kau tahu. Sebut saja aku Bibi. Engkau siapakah?"
"Bibi yang perkasa, aku adalah Giam Kwi Hong, murid dan juga keponakan dari To-cu Pulau Es."
"Pendekar Siluman....!" Wanita berkerudung itu bertanya, jelas kelihatan terkejut bukan main. Besar rasa hati Kwi Hong. Semua orang mengenal pamannya, mengenal dan takut. Agaknya wanita perkasa ini tidak terkecuali, maka ia menjadi bangga, tersenyum dan mengangguk. "Benar, dan Si Gila itu tadi sengaja menculikku karena dia memusuhi Paman Suma Han. Katanya Pamanku membunuh
kekasihnya, tunangannya. Kurasa dia bohong karena dia gila. Kalau saja Paman tidak dipancing pergi, mana dia mampu menculikku?"
"Di mana Pamanmu sekarang? Apa yang terjadi?"
"Paman sedang membuat pedang pusaka bersama kakek yang bernama Nayakavhira. Pedang sudah jadi dan karena Kakek itu hendak menapai pedang, Paman pergi untuk mencari garuda kami. Paman datang dan mengatakan bahwa sepasang garuda dibunuh orang, kemudian ternyata bahwa pedang pusaka itu lenyap. Baru tadi kuketahui bahwa pedang yang baru jadi diambil oleh Si Gila. Maka sayang tadi kaulepaskan dia, seharusnya pedang itu dirampas dulu, Bibi."
"Ahhhh....!" Ketua Thian-liong-pang itu kagum bukan main. Kiranya benar dugaannya. Si Gila itu menyelipkan sebatang pedang pusaka yang amat ampuh di pinggangnya. Dia menyesal mengapa tadi tidak mengejar dan merampas pedang itu.
"Ketika Paman membakar pondok untuk memperabukan jenazah Nayakavhira yang kedapatan sudah mati tua di pondok, ada suara ketawa. Paman cepat pergi mencari dan tiba-tiba muncul Si Gila itu, dan aku diculik....."
"Hemm.... kalau begitu Pamanmu tidak jauh dari sini. Mari kuantar engkau menyusulnya." Tanpa menanti jawaban, wanita itu memegang lengan Kwi Hong dan anak ini kagum bukan main. Kembali dia membandingkan wanita ini dengan pamannya, karena digandeng dan dibawa lari seperti terbang seperti sekarang ini hanya pernah ia alami ketika dia dibawa lari pamannya.
Tiba-tiba wanita itu berhenti dan menuding ke depan. Kwi Hong memandang dan terbelalak heran menyaksikan pamannya itu sedang duduk bersila di atas tanah, tongkatnya melintang di atas kaki tunggal, kedua tangannya dengan tangan terbuka dilonjorkan, matanya terpejam dan dari kepalanya keluar uap putih yang tebal! Adapun kira-kira sepuluh meter di depannya tampak seorang kakek bersorban seperti Nayakavhira, hanya bedanya kalau Kakek Nayakavhira berkulit putih, orang ini berkulit hitam arang, memakai anting-anting di telinga, hidungnya seperti paruh kakatua, jenggotnya panjang dan dia pun bersila seperti Suma Han dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada dan matanya melotot lebar, juga dari kepalanya keluar uap tebal. Baik Suma Han
maupun kakek hitam itu sama sekali tidak bergerak seolah-olah mereka telah menjadi dua buah arca batu!
"Paman....!" Tiba-tiba mulut Kwi Hong didekap tangan Ketua Thian-liong-pang yang berbisik.
"Anak bodoh, tidak tahukah engkau bahwa Pamanmu sedang bertempur mati-matian melawan kakek sakti itu? Mereka mengadu sihir dan kalau engkau mengganggu Pamanmu, dia bisa celaka. Kau tunggu saja di sini sampai pertempuran selesai, baru boleh mendekati Pamanmu. Aku mau pergi!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, Ketua Thian-liong-pang itu lenyap dari belakang Kwi Hong yang tidak mempedulikannya lagi karena perhatiannya tertumpah kepada pamannya.
Kwi Hong sama sekali tidak tahu bahwa sebelum dia tiba di tempat itu, Bun Beng telah lebih dulu melihat pertandingan yang amat luar biasa itu, bersembunyi di tempat lain dan memandang dengan napas tertahan dan mata terbelalak. Dibandingkan dengan Kwi Hong, dia jauh lebih terheran karena apa yang dilihatnya tidaklah sama dengan apa yang dilihat Kwi Hong! Kalau Kwi Hong hanya melihat pamannya duduk bersila melonjorkan kedua lengan ke depan menghadapi kakek hitam yang bersila dan merangkapkan tangan depan dada, Bun Beng melihat betapa di antara kedua orang sakti yang duduk bersila tak bergerak seperti arca itu terdapat seorang Suma Han ke dua yang sedang bertanding dengan hebatnya melawan seorang kakek hitam ke dua pula, seolah-olah bayangan mereka yang sedang bertanding! Mengapa bisa begitu? Mengapa kalau Kwi Hong tidak melihat ada yang bertanding? Karena dia baru saja tiba sehingga dia tidak dikuasai pengaruh mujijat seperti yang dialami Bun Beng. Ketika Bun Beng berlari secepatnya mengejar Tan-siucai yang menculik Kwi Hong secara ngawur ke timur karena dia sudah tertinggal jauh sehingga penculik itu tidak tampak bayangannya lagi dan napasnya mulai memburu, dia melihat Suma Han sedang bertanding melawan seorang kakek hitam. Pertandingan yang amat hebat dan cepat sekali sehingga pandang mata Bun Beng menjadi kabur dan kepalanya pening. Dia melihat betapa tubuh Pendekar Siluman itu mencelat ke sana kemari sedangkan tubuh kakek hitam itu berputaran seperti sebuah gasing. Begitu cepat pertandingan itu sehingga dia tidak dapat mengikuti dengan pandang matanya. Dia tidak berani memperlihatkan diri biarpun ketika melihat Suma Han dia menjadi girang sekali dan ingin menceritakan tentang Kwi Hong yang diculik orang. Menyaksikan pertandingan yang hebat itu dia lupa segala, lupa akan Kwi Hong yang diculik orang dan ia menonton sambil bersembunyi dengan mata terbelalak.
Tiba-tiba kakek itu terlempar sampai sepuluh meter jauhnya dan terdengar kakek itu berkata, "Pendekar Siluman, engkau hebat sekali. Tetapi aku masih belum kalah. Lihat ini!" Kakek itu lalu duduk bersila, merangkapkan kedua tangan depan dada sambil mengeluarkan bunyi menggereng hebat sekali dan.... hampir Bun Beng berseru kaget ketika melihat betapa dari kepala kakek itu mengepul uap kehitaman tebal dan muncul seorang kakekke dua, persis seperti seorang kakek itu sendiri!
"Maharya, engkau hendak mengadu kekuatan batin? Baik, aku sanggup melayanimu!" Kata Suma Han yang segera duduk bersila dan juga dari kepalanya mengepul uap putih yang tebal dan dari uap ini terbentuklah seorang Suma Han kedua yang bergerak maju menghadapi "bayangan" kakek hitam, kemudian kedua bayangan itu bertanding dengan hebat! Suma Han melonjorkan kedua tangan ke depan dan gerakan bayangannya menjadi makin cepat dan kuat! Bun Beng yang terkena getaran pengaruh mujijat, dapat melihat kedua bayangan yang bertanding itu, yang tidak dapat tampak oleh Kwi Hong yang baru tiba.
Bun Beng yang dapat menyaksikan pertandingan aneh itu, dengan mata terbelalak dan muka pucat menonton. Ia melihat gerakan bayangan kakek itu aneh, berloncatan menyerang bayangan Suma Han dengan jari-jari tangannya. Kedua tangan hanya menggunakan dua buah jari, telunjuk dan tengah, untuk menusuk-nusuk dengan cepat sekali, sedangkan kedua kakinya berloncatan seperti gerakan kaki katak. Terdengar bunyi angin bercuitan ketika kedua tangannya menusuk-nusuk. Namun gerakan bayangan Suma Han yang tidak bertongkat itu tetap tenang biarpun cepatnya membuat mata Bun Beng sukar mengikutinya. Bayangan Pendekar Super Sakti ini mencelat ke sana-sini menghindarkan semua tusukan jari tangan lawan, bahkan membalas dengan pukulan kedua tangan yang mendatangkan angin sehingga kain panjang lebar yang menjadi pakaian kakek hitam, hanya dibelitkan, berkibar oleh angin pukulan itu. Tubuh kedua bayangan itu seolah-olah tidak menginjak tanah, kadang-kadang keduanya membubung tinggi dan bertanding di udara, kemudian turun lagi ke atas tanah. Bun Beng yang menonton pertandingan itu menjadi bingung, sukar mengikuti gerakan kedua bayangan itu sehingga dia tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa yang terdesak. Hanya dia melihat Suma Han yang bersila itu masih duduk tenang tak bergerak sedikit juga, kedua mata dipejamkan. Sedangkan kakek hitam yang bersila itu matanya makin melotot mukanya mulai berpeluh dan kedua tangan yang dirangkapkan di depan dada itu bergoyang menggigil sedikit. Dan biarpun ada pertempuran yang demikian hebatnya, tidak terdengar suara sedikit pun juga. Keadaan sunyi sekali, sama sunyinya seperti yang dirasakan Kwi Hong yang hanya melihat dua orang sakti itu duduk bersila berhadapan tanpa bergerak. Baik Kwi Hong maupun Bun Beng yang masing-masing bersembunyi di tempat terpisah dan tidak saling melihat, merasa khawatir karena saking sunyinya, mereka itu hanya mendengar suara pernapasan mereka sendiri yang tertahan-tahan!
Sementara itu, mereka yang saling bertanding mengadu kesaktian mengerahkan seluruh kekuatan batin untuk menghimpit lawan. Diam-diam Maharya terkejut bukan main. Kalau tadi, ketika ia memancing Pendekar Siluman ke tempat itu kemudian ia tantang dan serang, dalam pertandingan silat dia terdesak bahkan sampai terdorong dan terlempar jauh, dia tidak menjadi penasaran karena memang dia sudah mendengar berita bahwa Pendekar Siluman memiliki ilmu silat yang luar biasa dan tenaga sin-kang yang dahsyat. Maka dia lalu mengambil cara lain, yaitu menghadapi lawannya dengan ilmu sihir dan ia merasa yakin pasti akan dapat menang. Dia terkenal di negaranya sebagai seorang ahli sihir yang tangguh. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat Pendekar Siluman menandinginya dengan ilmu yang sama, bahkan kini ia merasa betapa kekuatan batinnya terdesak hebat!
Kakek ini merasa penasaran sekali. Dalam hal mengadu kekuatan raga, dia tidak pernah menemui tanding, apalagi dalam mengadu kekuatan batin. Kini, berhadapan dengan seorang lawan muda yang patut menjadi cucunya, dia selalu tertindih kalah lahir batin! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan itu dan dengan geram ia menggerakkan mulut yang tertutup kumis itu berkemak-kemik, mengerahkan segala kekuatannya dan pandang mata yang melotot itu seolah-olah mengeluarkan api!
Bun Beng yang kebetulan memandang kakek yang duduk bersila itu hampir berteriak kaget melihat betapa sepasang mata kakek itu seperti mengeluarkan api! Dia cepat menengok ke arah Suma Han dan melihat betapa pendekar itu kelihatan mengerutkan alis, tidak tenang seperti tadi, dan kedua lengannya yang dilonjorkan itu tergetar seolah-olah hendak menambah tenaga yang keluar dari sepasang telapak tangannya.
Memang Suma Han juga terkejut sekali ketika tiba-tiba ia merasa betapa kekuatan kakek lawannya itu menjadi berlipat! Hawa panas menyerangnya sehingga ia cepat mengerahkan inti sari dari Swat-im Sin-kang. Setelah kedua tenaga panas dan dingin itu saling dorong-mendorong, akhirnya dia merasa betapa hawa panas berkurang. Keningnya tidak berkerut lagi, akan tetapi tampak beberapa tetes keringat membasahi dahi Suma Han. Benar-benar hebat lawannya itu, pikirnya. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan seorang lawan sehebat Kakek Maharya ini! Kalau dalam hal ilmu silat dia hanya memang sedikit saja, dalam hal ilmu yang didasari kekuatan batin, dia tidak berani mengatakan lebih kuat! Hanya yang menguntungkan dirinya, kekuatan batin yang dimilikinya adalah pembawaan dirinya, dibentuk oleh kekuatan alam dan dimatangkan dengan ilmu sin-kang dan pelajaran yang ia terima menurut petunjuk Koai-lojin. Sedangkan kekuatan batin kakek lawannya itu dikuasainya oleh latihan-latihan yang puluhan tahun lamanya. Betapapun hebat usaha manusia, mana mampu menandingi kekuatan dan kekuasaan alam? Maka dalam pertandingan ini, Suma Han yang mengandalkan tenaga batin dari kekuasaan alam, sukar untuk dikalahkan oleh kakek yang telah menjadi datuk dalam ilmu sihir itu. Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tampak tiga sinar putih yang menyilaukan mata menyambar ke arah tubuh kakek hitam itu, menyambar muka di antara mata, ulu hati dan pusar!
"Eigghhhh....!" Kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau, tangannya yang tadinya dirangkap di depan dada bergerak dan mulutnya terbuka. Bun Beng terbelalak menyaksikan betapa kakek itu telah menangkap tiga sinar itu yang ternyata adalah tiga batang pisau, ditangkap dengan kedua tangan, sedangkan yang menyambar muka telah digigitnya! Bayangan kakek yang bertanding melawan bayangan Suma Han telah lenyap masuk kembali ke kepala kakek itu, demikian pula bayangan Suma Han telah lenyap. Sekali menggerakkan tubuh, kakek itu sudah meloncat berdiri dan tampak tiga sinar menyambar ke arah kirinya ketika ia
melontarkan tiga batang pisau itu ke arah dari mana datangnya pisau-pisau tadi. Kemudian ia meloncat jauh dan lenyap, hanya terdengar suaranya. "Pendekar Siluman! Lain kali kita lanjutkan!"
Sunyi keadaan di situ setelah kakek itu menghilang. Suma Han bangkit berdiri bersandar kepada tongkatnya, menoleh ke arah dari mana datangnya pisau-pisau tadi dan berkata, suaranya dingin dan penuh wibawa seperti orang marah. "Siapa yang telah berani lancang turun tangan tanpa diminta?"
Daun bunga bergerak dan muncullah seorang wanita amat cantik jelita dari balik rumpun, berdiri di depan Suma Han tanpa berkata-kata. Keduanya saling pandang dan berseru, suaranya menggetar penuh perasaan, "Nirahai....!"
"Han Han....!"
Keduanya berdiri saling pandang dan sungguhpun dalam suara mereka terkandung kerinduan yang mendalam, namun keduanya hanya saling pandang dan dari kedua mata wanita cantik itu menetes air mata berlinang-linang. "Han Han, bertahun-tahun aku menanti akan tetapi engkau tidak kunjung datang menyusulku. Sampai kapankah aku harus menanti? Sampai dunia kiamat? Han Han, aku isterimu!"
"Nirahai, engkau.... telah pergi meninggalkan aku, membuat hatiku merana...."
"Memang aku pergi, akan tetapi engkau tidak melarang!"
"Aku.... ah, aku tidak ingin memaksamu.... aku.... ahh...."
"Han Han, engkau laki-laki lemah! Engkau suami yang hanya tunduk dan mengekor kepada isteri, engkau pria yang tidak tahu isi hati wanita. Engkau.... ahh, sakit hatiku melihatmu....!"
"Nirahai....!" Suma Han melangkah maju dan merangkul wanita itu. Nirahai tersedu dan menyembunyikan muka di dada suaminya, membiarkan Suma Han mengelus rambutnya, "Nirahai, aku cinta padamu. Demi Tuhan, aku cinta padamu.... akan tetapi karena engkau mempunyai cita-cita, aku merelakan engkau pergi...."
"Ibuuuu....!" Terdengar teriakan girang dan muncullah Milana berlarian. Mendengar teriakan ini, Nirahai melepaskan pelukan Suma Han dan menyambut Milana dengan tangan terbuka, lalu memondong anak itu dan menciuminya penuh kegirangan, "Milana....! Anakku....! Ahhh, sukur engkau selamat. Betapa gelisah hatiku mendengar laporan Pamanmu tentang malapetaka di laut itu!"
Suma Han memandang dengan wajah pucat sekali. "Milana!" Dia membentak, suaranya mengguntur, mengagetkan Kwi Hong dan Bun Beng di tempat persembunyian masing-masing dimana kedua orang anak ini tertegun menyaksikan adegan pertemuan antara Suma Han dan isterinya yang tidak mereka sangka-sangka itu. "Engkau perempuan rendah, isteri tidak setia! Engkau meninggalkan aku dan tahu-tahu telah mempunyai seorang anak! Ahhh, betapa menyesal hatiku telah mentaati perintah mendiang Subo....!" Setelah berkata demikian dengan pandang mata penuh jijik dan kebencian, Suma Han membalikkan tubuhnya dan pergi berjalan terpincang-pincang meninggalkan Nirahai. Nirahai menjadi pucat, terbelalak dan menurunkan Milana yang berdiri memeluk pinggang ibunya dan bertanya.
"Ibu....! Dia siapa....? Mengapa To-cu Pulau Es itu marah-marah kepadamu?" Nirahai menangis mengguguk. "Dia.... dia Ayahmu...." Suaranya gemetar dan ia menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis tersedu-sedu. Milana cepat menoleh, kemudian lari meninggalkan ibunya, mengejar Suma Han sambil menjerit. "Ayaaahhh....! Ayah....!"
Mendengar jeritan anak itu, cepat Suma Han membalik, mengira bahwa dia tentu akan melihat munculnya laki-laki yang menjadi ayah dari anak Nirahai itu. Akan tetapi, ia menjadi bingung dan terheran-heran ketika melihat anak itu mengejarnya, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan memeluk kakinya sambil menangis dan memanggil-manggil.
"Ayaahh.... ayaahku....!" Suma Han terbelalak me mandang bocah yang menangis memeluki kaki tunggalnya, kemudian mengangkat muka memandang Nirahai yang masih menangis tersedu-sedu menutupi muka dengan ke dua tangan sambil berlutut di atas tanah.
"Heh....! Apa....! Bagaimana....? Engkau.... anak siapa....?"
"Ayah.... engkau Ayahku.... aku anak Ayah dan Ibu....." Milana mengangkat muka. Tubuh Suma Han menggigil dan ia menyambar tubuh Milana, diangkat dan dipondongnya. "Anakku? Engkau.... anakku....?" Ia menciumi muka bocah itu. Milana tertawa dengan air mata bercucuran, merangkul leher pendekar yang dikagumi dan yang dirindukan itu. Suma Han berpincang melangkah ke depan Nirahai. "Nirahai.... benarkah ini? Dia.... dia ini.... anakku....?"
Nirahai me ngangguk, mengusap air matanya. "Ketika kita saling berpisah.... aku mengandung dan.... terlahirlah Milana.... anak kita...."
"Nirahai, engkau kejam, engkau tidak adil. Diam-diam saja engkau memelihara anak kita sampai begini besar. Tidak memberitahukan kepadaku, tidak menyusulku. Betapa kejam engkau."
Nirahai meloncat bangun, pandang matanya penuh penasaran. "Siapa yang kejam? Engkaulah yang kejam, lemah dan canggung! Engkau tidak pernah mencariku, tidak pernah menyusulku ke Mongol!"
Melihat ayah bundanya cekcok, Milana yang berada di pondongan ayahnya itu berkata. "Ayah, marilah engkau ikut bersama kami...."
"Dan menjadi seorang Pangeran Mongol? Ha-ha, nanti dulu! Aku tidak sudi! Semestinya ibumu yang ikut bersamaku ke Pulau Es. Nirahai, maukah engkau?"
Akan tetapi Nirahai memandang dengan muka merah dan berapi. "Tidak sudi! Kini aku tidak mau menyembah-nyembah minta kaubawa. Dan hanya dengan paksaan saja engkau akan dapat membawaku ke sana. Dengan paksaan, kau dengar? Aku sudah cukup menderita dan sakit hati karena kaubiarkan, seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki lemah! Milana, mari kita pergi!"
"Tidak boleh, Nirahai. Milana ini anakku. Sudah terlalu lama dia kaupelihara sendiri, terlalu lama kaupisahkan dari Ayahnya. Aku akan membawa dia, tak peduli engkau suka ikut atau tidak!"
"Ayah....! Aku tidak mau meninggalkan Ibu!" Milana merosot turun dari pondongan dan hendak lari kepada ibunya. Akan tetapi Suma Han mendengus marah, lengan kanannya menyambar tubuh Milana, dikempitnya dan dia lalu pergi dengan cepat meninggalkan Nirahai.
"Han Han....!" Nirahai menjerit dan mengejar. Namun Suma Han tidak peduli, wajahnya keruh, matanya hampir terpejam, kaki tunggalnya melangkah terus ke depan.
"Lepaskan aku! Ayahhhh.... aku tidak mau meninggalkan Ibu....!" Milana menjerit-jerit. Akan tetapi Suma Han terus saja melangkah tanpa mempedulikan jerit anaknya. Tiba-tiba Bun Beng meloncat dan menghadang di depan Suma Han, berdiri tegak dan suaranya nyaring penuh rasa penasaran, "Suma-taihiap! Seorang pendekar seperti Taihiap tidak boleh berlaku begini! Memisahkan anak dari ibunya adalah perbuatan jahat! Kalau Taihiap berkepandaian, mengapa tidak membawa Ibunya sekalian?"
Suma Han terbelalak, mukanya berubah merah saking marahnya. "Gak Bun Beng! Engkau anak tidak syah dari datuk kaum sesat Kang-touw-kwi Gak Liat, berani engkau bersikap seperti ini kepadaku! Sebelum menutup mata, Ibumu berpesan kepadaku untuk menyelamatkanmu, dan sekarang engkau mengatakan aku jahat?"
Jantung Bun Beng seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan ini. Ayahnya seorang datuk kaum sesat? Dia anak tidak syah? Tidak ada ucapan yang lebih menyakiti hatinya dari pada ini dan tidak ada kenyataan yang akan lebih menghancurkan hatinya. Namun kekerasan hati Bun Beng membuat ia tetap berdiri tegak dan berkata, "Keturunan orang macam apa adanya aku, Suma-taihiap, tetap saja aku melarang engkau memisahkan Milana dari Ibunya! Biar akan kaubunuh aku siap!" Sikap Bun Beng gagah sekali biarpun kedua matanya kini mengalirkan butiran-butiran air mata.
"Han Han....! Kaubunuh aku dulu sebelum melarikan anakku!" Nirahai telah meloncat menghadang pula di depan Suma Han, mencabut sebatang pedang siap untuk mengadu nyawa! Juga kedua mata wanita cantik ini bercucuran air mata.
"Paman....!" Kwi Hong yang sejak tadi memandang dengan tubuh gemetar saking tegang hatinya, kini berani meloncat keluar dan menghampiri Suma Han, berlutut sambil menangis. "Ayah.... aku tidak mau berpisah dari Ibu....!" Milana yang masih dikempit oleh lengan ayahnya itu pun meratap sambil menangis.
Suma Han berdiri seperti berubah menjadi arca. Suara isak tangis menusuk-nusuk telinganya terus ke hati, linangan air mata seperti butiran-butiran mutiara itu mempesonanya. Kekuatan batin dan kekerasan hatinya mencair, seperti salju tertimpa sinar matahari. Tidak ada suara bagi manusia di dunia ini melebihi kekuasaan suara tangis! Tangis adalah suara jeritan hati dan jiwa. Tangis adalah suara pertama yang dikenal dan suara pertama yang keluar dari mulut manusia. Tangis merupakan suara pertama dari manusia tanpa dipelajarinya. Begitu terlahir, suara pertama dari manusia adalah tangis. Tangis merupakan suara langsung dari dalam sehingga setiap orang anak yang terlahir di segenap penjuru dunia mempunyai suara tangis yang sama. Tangis adalah satu-satunya suara yang mampu menembus jantung dan menyentuh batin manusia, juga dengan ratap tangis orang berusaha menghubungkan diri dengan Tuhan!
Lemas seluruh urat syaraf di tubuh Suma Han mendengar isak tangis empat orang manusia itu. Tubuh Milana dilepaskan dan anak ini berlari kepada ibunya, merangkul dan menangis. Nirahai lalu memondong puterinya, memandang kepada Suma Han dan berkata,
"Selama engkau masih menjadi seorang laki-laki yang berwatak lemah, aku tidak akan sudi turut bersamamu bahkan aku akan mengimbangi kerajaanmu di Pulau Es!" Setelah berkata demikian, Nirahai meloncat dan berlari cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.
Suma Han menundukkan mukanya. Untuk ke dua kalinya dia terpukul. Pertama kali ketika bertemu dengan Lulu yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka. Dia dicela dan dimarahi. Kini, bertemu dengan isterinya, Nirahai, kembali dia dicela dan dimusuhi. Benar-benar dia tidak mengerti isi hati wanita!
"Kwi Hong, kita pulang!" Dia berkata, menggandeng tangan Kwi Hong dan berlari pergi cepat. Bun Beng menjadi bengong. Dia tidak menyesal ditinggal seorang diri, akan tetapi dia masih merasa sakit hatinya mendengar ucapan Suma Han tadi. Masih terngiang di telinga kata-kata pendekar yang tadinya amat dikaguminya itu, "Engkau anak tidak syah dari datuk kaum sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat!"
Bun Beng menunduk, mencari-cari jawaban ke bawah akan tetapi rumput dan tanah yang diinjaknya tidak dapat memberi jawaban. Ayahnya seorang datuk kaum sesat? Dan dia anak tidak syah? Apa artinya ini?
"Ah, mengapa aku menjadi lemah begini? Apa peduliku tentang asal-usulku? Aku adalah seorang manusia, dan aku menjadi mausia bukan atas kehendakku! Aku sudah ada dan aku harus bangga dengan keadaanku, harus berjuang mempertahankan keadaanku dan menyempurnakan keadaanku! Mereka itu pun hanya manusia-manusia yang ternyata bukan terbebas daripada derita, bukan bersih daripada cacad! Kekalahanku dari orang-orang sakti seperti Pendekar Siluman, isterinya, pencuri pedang, dan kakek-kakek sakti seperti mendiang Nayakavhira dan Maharya tadi hanyalah kalah pandai dalam penguasaan ilmu! Akan tetapi ilmu dapat dipelajari! Mereka semua itu, dahulu sebelum mempelajari ilmu pun tidak bisa apa-apa seperti dia! Dan dia masih muda, apalagi sedikit-sedikit pernah mempelajari ilmu, dan ada kitab yang telah dihafal namun belum dilatihnya dengan sempurna, ada sepasang pedang yang disembunyikan di puncak tebing. Sepasang pedang pusaka! Pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, seperti pedang yang dibuat oleh Suma Han. Jangan-jangan itu adalah Sepasang Pedang Iblis yang mereka cari-cari bahkan yang khusus dibuatkan pedang lawannya oleh Nayakavhira. Biarlah. Biar, andaikata sepasang pedang itu adalah Sepasang Pedang Iblis, kelak dia akan memperlihatkan kepada dunia bahwa di tangannya, sepasang pedang itu tidak akan menjadi senjata yang dipakai melakukan perbuatan jahat!
Bangkit semangat Bun Beng dan mulailah dia meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Siauw-lim-pai. Dia harus melapor akan kematian suhunya kepada pimpinan Siauw-lim-si dan mempelajari ilmu dengan tekun karena menurut penuturan mendiang suhunya, kalau mempelajari benar-benar secara sempurna dan memang ada jodoh ilmu silat dari Siauw-lim-pai tidak kalah oleh ilmu silat lain di dunia ini. Pernah gurunya bercerita tentang tokoh Siauw-lim-pai bernama Kian Ti Hosiang yang memiliki tingkat kepandaian luar biasa tingginya sehingga saking tinggi ilmu kepandaiannya, sampai tidak mau lagi melayani orang bertanding, bahkan tidak mau membalas andaikata dia dilukai atau dibunuh sekalipun! Pernah pula gurunya bercerita tentang manusia dewa Bu Kek Siansu yang selain tidak mau bertempur melukai apalagi membunuh orang lain, bahkan sering kali menurunkan ilmunya kepada siapa saja yang kebetulan bertemu dengannya, yang dianggap sudah jodoh, tanpa memandang apakah orang itu termasuk golongan baik ataupun jahat, bersih ataupun kotor! Sikap manusia dewa ini seperti sikap kasih sayang alam, dimana sinar matahari tidak menyembunyikan sinarnya dari atas kepada orang jahat maupun orang baik, di mana pohon-pohon tidak menyembunyikan bunga dan buahnya dari uluran tangan orang jahat maupun orang baik! Kemudian gurunya bercerita pula tentang manusia aneh Koai-lojin yang kabarnya malah masih suka muncul biarpun belum tentu ada seorang di antara sepuluh ribu tokoh kang-ouw yang dijumpai manusia aneh ini, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang seperti dewa pula namun tidak mau bertempur, melukai, apalagi
membunuh orang.
Dia masih muda. Dunia masih lebar. Masa depannya masih terbentang luas. Mengapa langkah hidupnya harus terhalang oleh masa lalu mengenai diri orang tuanya! Baik maupun jahat orang tuanya, biarlah. Hal itu sudah lalu dan yang ia hadapi adalah masa depan. Masa lalu penuh kejahatan akan tetapi masa depan penuh kebaikan, bukankah hal itu jauh lebih menang daripada masa lalu penuh kebaikan namun masa depan penuh kejahatan? Apa arti bersih masa lalu akan tetapi amat kotor di masa depan, dan biarlah dia menganggap masa lalu sebagai alam mimpi, sungguhpun dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di masa lalu, yang terjadi dengan ayah bundanya.
Makin dijalankan pikirannya, makin lapanglah dadanya dan langkahnya pun tegap, wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar. Setelah dia berhasil tiba di kuil Siauw-lim-si dan menceritakan tentang kematian suhunya, berita ini diterima dingin oleh para hwesio pimpinan Siauw-lim-pai yang menganggap bahwa kakek itu sudah bukan seorang anggauta Siauw-lim-pai lagi. Akan tetapi mengingat bahwa Gak Bun Beng adalah putera seorang tokoh wanita Siauw-lim-pai, dan betapapun juga Siauw Lam Hwesio adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak berkeberatan menerima Bun Beng. Pemuda cilik itu mulai berlatih dengan giat disamping bekerja keras seperti yang pernah dilakukan gurunya, yaitu menjadi pelayan, tukang kebun, dan pekerjaan apa saja untuk melayani keperluan kuil dan membantu para hwesio.
Nirahai, bekas puteri Raja Mancu yang berwatak keras dan berilmu tinggi itu kini sudah berhenti menangis. Kekerasan hatinya dapat menindih kedukaan dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menghadapi orang yang dicintanya namun yang selalu mengalah dan berwatak lemah itu dengan kekerasan. Di tengah jalan, dia menurunkan puterinya untuk memakai sebuah kerudung menutupi kepalanya. Melihat ini, Milana terkejut dan heran. "Ibu, mengapa Ibu memakai itu?"
Dari dalam kerudung itu terdengar jawaban suara dingin seolah-olah ibunya telah berubah tiba-tiba setelah berkerudung, "Milana, mulai saat ini engkau akan turut bersamaku, tidak akan kembali ke Mongol lagi. Ketahuilah, ibumu adalah Ketua Thian-liong-pang dan tidak seorang pun boleh melihat mukaku kecuali engkau."
Milana memandang kepala berkerudung itu dengan mata terbelalak, "Ibu....! Engkau Ketua Thian-liong-pang yang terkenal itu....? Akan tetapi mengapa....?" Hati anak ini ngeri karena Thian-liong-pang disohorkan sebagai perkumpulan yang tidak segan-segan melakukan segala macam kekejaman sehingga ditakuti dunia kang-ouw.
"Diamlah. Kalau kita tidak kuat, orang tidak akan memandang kepada kita! Engkau ikut bersamaku dan belajar ilmu sampai melebihi Ibumu. Hayo!" Dia menggandeng tangan Milana dan lari cepat sekali.
Adapun Suma Han yang membawa lari murid atau keponakannya, di sepanjang jalan tidak pernah bicara. Wajahnya muram dan dalam beberapa pekan saja bertambah garis-garis derita pada wajahnya. Karena sepasang burung garuda sudah tewas, mereka melakukan perjalanan darat dan setelah tiba di pantai, Suma Han mencari sebuah perahu yag dibelinya dari nelayan, kemudian memperkuat perahu dan mulailah dia berlayar bersama Kwi Hong menuju ke pulau tempat tinggalnya, yaitu Pulau Es.
Dalam pelayaran ini, barulah Suma Han mengajak bicara keponakannya. Dia mendengarkan cerita Kwi Hong tentang peristiwa yang terjadi di hutan, betapa pencuri pedang pusaka adalah seorang siucai gila yang lihai sekali, bahkan siucai itu tadinya menculiknya yang kemudian dikalahkan oleh Nirahai dan melarikan diri membawa pedang pusaka. "Aihhhh.... kiranya dia....!" Suma Han menghela napas penuh penyesalan karena segala yang dialaminya di masa dahulu agaknya hanya menimbulkan bencana saja bagi dirinya sendiri dan orang lain. Apakah dia yang harus menebus dosa yang dilakukan nenek moyangnya, keluarga Suma yang luar biasa jahatnya?
"Apakah Paman mengenal Siucai gila itu?"
"Banyak yang sudah kauketahui, Kwi Hong. Engkau tentu mengenal siapa Pamanmu sekarang, seorang yang penuh noda dalam hidupnya. Orang gila itu agaknya tidak salah lagi tentu yang disebut Tan-siucai dan menjadi murid Maharya. Aku belum pernah melihat orangnya, akan tetapi namanya sudah kudengar."
"Paman, dia bilang bahwa Paman telah membunuh kekasihnya, tunangan atau calon isterinya. Tentu Si Gila itu bohong!" Suma Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Terbayang di depan matanya seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, yang dalam keadaan hampir tewas karena tubuhnya penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh tubuh, berbisik dalam pelukannya bahwa gadis itu rela mati untuknya karena gadis itu mencintanya. Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu yang perkasa, yang telah berkorban untuk dia, dan sebelum menghembuskan napas terakhir mengaku cinta. Gadis itu adalah tunangan Tan-siucai! Dia sudah diberi tahu oleh Im-yang Seng-cu, akan tetapi tadinya dia tidak peduli. Siapa mengira, begitu muncul Tan-siucai telah mencuri pedang pusaka, hampir berhasil menculik Kwi Hong, dan gurunya demikian saktinya sehingga kalau dia tidak memiliki kekuatan batin yang kuat, agaknya dia akan tewas di tangan Maharya!
"Dia tidak membohong, Kwi Hong. Biarpun aku tidak membunuh tunangannya, akan tetapi dapat dikatakan bahwa tunangannya itu tewas karena membela aku. Ahh, sungguh aku menyesal sekali. Akan tetapi, kalau Tan-siucai sudah menjadi gila, dia telah merampas pedang pusaka, dia berbahaya sekali. Pedang itu sengaja dibuat untuk menundukkan Sepasang Pedang Iblis."
"Kenapa Paman hendak pulang? Bukankah lebih baik mengejar dia sampai berhasil merampas kembali pedang itu?" Kembali Suma Han menggeleng kepala. "Semangatku lemah, aku tidak mempunyai nafsu untuk berbuat apa-apa, kecuali pulang dan beristirahat. Kwi Hong, mulai sekarang engkau harus berlatih diri dengan tekun dan rajin. Tugasmu di masa mendatang amat berat dengan munculnya banyak orang pandai. Jangan sekali-kali kau melarikan diri dari pulau lagi karena aku tidak akan mengampunkanmu lagi."
Demikianlah, dengan semangat lemah dan hati remuk akibat pertemuan-pertemuannya dengan Lulu dan Nirahai, dua orang wanita yang dicintanya, yang pertama karena dicintanya semenjak kecil, yang ke dua karena telah menjadi isterinya, bahkan menjadi ibu dari anaknya, Suma Han mengajak keponakannya pulang ke Pulau Es. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk tidak mencampuri urusan luar, hanya melatih diri dan memperkuat penjagaan di pulau sendiri. Kemudian, mulai hari itu dia melatih ilmu kepada Kwi Hong dengan penuh ketekunan sehingga anak perempuan ini memperolah kemajuan yang pesat sekali.
******
Semenjak jatuhnya pertahanan terakhir dari Bu Sam Kwi di Se-cuan sebagai sisa kekuatan dari Kerajaan Beng-tiauw yang jatuh beberapa tahun setelah Bu Sam Kwi tewas, yaitu pada tahun 1681, terjadilah perubahan besar di daratan Tiongkok yang kini dikuasai seluruhnya oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang dipimpin oleh Bangsa Mancu. Sebentar saja kekuatan bangsa Mancu makin berakar dan lambat laun makin berkuranglah rasa kebencian dan permusuhan dari rakyat terhadap pemerintah penjajah ini. Hal ini adalah terutama sekali disebabkan bangsa Mancu amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebudayaan di Tiongkok. Mereka itu biarpun menjadi penjajah menyaksikan kenyataan betapa besar dan hebat kebudayaan daratan yang dijajahnya, menerima kebudayaan itu bahkan melebur diri mereka seperti keadaan para pribumi. Mereka mempelajari bahasa pribumi, bahkan anak isterinya mempergunakan bahasa ini sehingga dalam satu keturunan saja anak-anak mereka sudah tidak pandai lagi berbahasa Mancu dan menganggap bahasa Han sebagai bahasa mereka sendiri!
Kerajaan Ceng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa Mancu ini makin berkembang dan mencapai puncak kecemerlangannya di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi yang memerintah dari tahun 1663 sa mpai 1722. Kaisar ini adalah seorang ahli negara yang cakap, pandai dan bijaksana. Di samping ini dia pun seorang ahli perang yang mengagumkan sehingga semua operasinya berhasil dengan baik, juga tidak terdapat rasa tidak puas di antara petugas-petugas bawahannya. Di samping ini, dia pun penggemar kebudayaan sehingga berhasil menarik pula hati para sasterawan pribumi yang mendapat penghargaan dalam bidangnya.
Di bawah pimpinan Kaisar ini, Tiongkok mencapai kekuasaan yang amat besar, jauh lebih besar daripada kerajaan-kerajaan sebelumnya dan kiranya malah lebih besar daripada keadaan Tiongkok di waktu Kerajaan Tang. Pertama-tama Kaisar Kang Hsi mengerahkan perhatian untuk membasmi gerombolan-gerombolan dan pemberontak-pemberotak, menghabiskan semua perlawanan sehingga perang dihentikan dan keamanan dapat dikembalikan. Dalam keadaan aman, rakyat dapat bekerja dengan tenang dan pembangunan dapat dilaksanakan sebaiknya. Namun, setelah gerombolan-gerombolan di dalam negeri dapat ditumpas semua, Kaisar Kang Hsi harus menghadapi perlawanan dari negara-negara tetangga yang tidak mengakui kedaulatan kerajaan baru ini. Maka dikirimnyalah tentara besar sampai jauh ke selatan dan barat daya sehingga banyak negara di selatan dan barat daya ditundukkan dan terpaksa mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng, bahkan mengaku takluk dan setiap tahun membayar atau mengirim upeti sebagai tanda takluk. Di antara negara-negara ini termasuk Afganistan, Kasmir, Birma, Muangthai, Vietnam, Ka mboja, bahkan termasuk pula Malaysia!
Akan tetapi, selagi Kaisar Kang Hsi sibuk mengatur kesejahteraan dalam negeri untuk memakmurkan kehidupan rakyat yang baru saja dilanda perang itu, meningkatkan dan memperkembangkan kesenian melukis, sastera, dan lain-lain di samping mempergiat pembangunan, datang lagi gangguan yang memaksa Kaisar ini menggerakkan bala tentara dan mencurahkan sebagian perhatiannya ke utara, di mana bangsa Mongol mulai bergerak dan memberontak terhadap pemerintah Mancu. Seperti telah diceritakan dan menjadi catatan sejarah, ketika bangsa Mancu mulai bergerak ke selatan, mereka dibantu dengan gigih oleh bangsa Mongol sebagai bangsa yang pernah lama menjajah Tiongkok dan masih ingin menguasai kembali bekas tanah jajahan itu. Karena kekuatannya sendiri sudah hancur, bangsa Mongol tahu diri dan membonceng bangsa Mancu, namun harus diakui bahwa kekuatan bala tentara menjadi amat besar dan hebat berkat bantuan pasukan-pasukan Mongol ini. Akan tetapi, setelah bangsa Mancu berkuasa dan membangun Kerajaan Ceng, dengan tidak melupakan dan memberi kedudukan istimewa kepada bangsa Mongol sebagai bangsa serumpun dan setingkat, mulailah bangsa Mongol merasa kecewa. Bangsa Mongol melihat kecenderungan bangsa Mancu yang melebur diri dengan kebiasaan orang-orang Han sehingga makin lama mereka itu menjadi makin erat hubungannya dengan rakyat, sedangkan rakyat masih tidak dapat melupakan penjajahan bangsa Mongol yang banyak menyengsarakan rakyat dahulu. Maka bangsa Mongol merasa makin lama makin tersudut, maka mulailah pemberontakan bangsa ini terhadap bangsa Mancu.
Pemberontakan meletus pada tahun 1680 pada saat Se-cuan sudah tiba di ambang kekalahannya. Sehingga begitu Se-cuan sudah dijatuhkan, kembali pemerintah Mancu yang dipimpin oleh Kaisar Kang Hsi itu harus menghadapi pemberontakan yang besar dan gigih yang dipimpin oleh seorang pangeran Mongol yang bernama Galdan.
Sepuluh tahun lewat dengan cepatnya semenjak peristiwa pertemuan antara Pendekar Super Sakti Suma Han dan Nirahai isterinya, pertemuan yang amat menyedihkan dan mengharukan. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek, namun juga tak dapat dikatakan waktu yang lama, tergantung dari pendapat masing-masing bertalian dengan keadaan dan pengalaman. Dalam waktu selama itu, banyak memang yang telah terjadi di dunia, khususnya di dunia kang-ouw yang kembali menjadi kacau dan geger berhubung dengan adanya perang antara pemerintah melawan bangsa Mongol. Kembali dunia kang-ouw terpecah belah, ada yang membela Pemerintah Ceng, ada pula yang membantu pemberontak, bukan karena suka kepada bangsa Mongol, melainkan kesempatan itu mereka pergunakan untuk melawan penjajah. Akan tetapi karena tidak ada peristiwa penting terjadi atas diri para tokoh penting cerita ini yang berdiam di tempat masing-masing menggembleng murid atau anak masing-masing, maka biarlah waktu sepuluh tahun itu kita lewati saja. Pemberontakan bangsa Mongol sudah berjalan belasan tahun. Perang menjadi berlarut-larut karena selain bangsa Mongol memang memiliki bala tentara yang terlatih dan kuat, mereka dibantu banyak orang pandai dari dunia kang-ouw. Bahkan banyak pula orang sakti dari negara-negara tetangga yang dipaksa mengirim upeti kepada Pemerintah Ceng, diam-diam membantu bangsa Mongol dalam usaha mereka membalas dendam atas kekalahan negaranya. Di dunia persilatan memang terjadi perubahan akan kekacauan seperti telah diceritakan tadi. Diam-diam di antara mereka pun mengadakan "perang" sendiri, menggunakan kesempatan selagi pemerintah kurang memperhatikan keadaan mereka karena pemerintah sendiri sedang sibuk menghadapi musuh kuatnya, yaitu pasukan-pasukan Mongol. Pula, pemerintah juga mempunyai banyak kaki tangan di antara golongan kang-ouw ini sehingga mereka menyerahkan penguasaan keadaan kepada kaki tangan mereka yang dalam hal ini diwakili dan dipimpin oleh Koksu sendiri dengan para pembantunya yang lain!
Namun yang lebih menonjol dan yang menggegerkan dunia persilatan adalah nama besar Thian-liong-pang yang kabarnya makin kuat saja sehingga tidak ada pihak yang berani main-main kalau bertemu dengan orang Thian-liong-pang. Bahkan banyak yang sudah menjadi jerih kalau mendengar nama Thian-liong-pang yang diketuai seorang wanita aneh berkerudung yang memiliki ilmu silat dahsyat. Banyak sudah ketua-ketua partai persilatan merasai kelihaian Thian-liong-pang. Banyak yang dikalahkan oleh tokoh-tokoh Thian-liong-pang, padahal ketuanya sendiri belum pernah maju, juga wakilnya dan para pelayan wanita yang kabarnya memiliki ilmu yang sukar dicari bandingnya! Terdengar berita bahwa Thian-liong-pang mempunyai niat menggabungkan partai-partai persilatan di bawah naungan Thian-liong-pang, seolah-olah perkumpulan ini hendak menyaingi gerakan Pemerintah Ceng yang menaklukkan negara-negara tetangga yang takluk dan mengakui kedaulatannya serta berlindung di bawah naungannya dengan membayar upeti setiap tahun! Tentu saja niat ini menemukan banyak tentangan. Terutama partai-partai besar yang sudah berdiri ratusan tahun seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan besar, tentu saja mereka ini tidak sudi menjadi "anak buah" Thian-liong-pang!
Selagi dunia kang-ouw geger karena sepak terjang Thian-liong-pang, tersiar lagi berita yang menimbulkan heboh dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah muncul lagi. Orang-orang Pulau Neraka dengan warna-warni muka mereka yang aneh menimbulkan kegoncangan di mana-mana karena mereka itu memang sengaja mendarat untuk menguji ilmu-ilmu mereka dengan tokoh-tokoh kang-ouw!
Yang tetap tidak terdengar hanya Pulau Es. Tidak ada lagi orang kang-ouw melihat munculnya orang dari Pulau Es bahkan mendengar berita pun tidak, karena Pulau Es agaknya sudah mutuskan hubungan mereka dengan dunia luar pulau mereka bertahun-tahun.
Di antara partai-partai persilatan besar yang heboh oleh berita-berita itu, Siauw-lim-pai sendiri tetap tenang-tenang saja. Memang Siauw-lim-pai adalah sebuah partai persilatan yang amat besar, paling banyak cabang-cabangnya, paling banyak kuil-kuilnya, tersebar di mana-mana dan memiliki jumlah anak murid yang amat banyak pula. Belum pernah ada partai lain berani mengganggu Siauw-lim-pai. Bahkan orang-orang Thianliong-pang agaknya juga tidak berani sembarangan main gila terhadap Siauw-lim-pai! Kalau toh terjadi bentrokan, hal itu hanya terjadi antara anak murid saja dan pihak Siauw-lim-pai yang memegang keras disiplin di antara anak muridnya, dengan bijaksana dapat memadamkan bentrokan-bentrokan kecil itu dengan menghukum anak murid sendiri yang melakukan pelanggaran.
Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tinggi besar berusia lima puluh lima tahun lebih berjuluk Ceng Jin Hosiang. Biarpun tubuhnya tinggi besar menyeramkan, namun wataknya halus dan hwesio tua ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kitab-kitab rahasia Siauw-lim-pai banyak sekali, dan kitab-kitab kuno yang mengandung pelajaran ilmu-ilmu amat tinggi, sukar sekali dipelajari sehingga hanya sedikit saja yang mampu menguasai isinya. Ketika Kian Ti Hosiang masih hidup, dialah satu-satunya hwesio di Siauw-lim-pai yang benar-benar telah menguasai sebagian besar ilmu yang tinggi-tinggi dan sukar dipelajari itu. Kini, karena bakatnya dan menurut kepercayaan lingkungan Siauw-lim-pai, karena jodoh, ketua inilah yang dapat menguasai sebagian dari isi kitab-kitab suci dan rahasia itu. Sungguhpun belum dapat dibandingkan dengan Kian Ti
Hosiang, namun setidaknya tingkat kepandaian Ceng Jin Hosiang jauh melampaui saudara-saudaranya, bahkan dia memiliki tingkat lebih tinggi daripada mendiang Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang lalu. Selain lihai ilmu silatnya dan tinggi ilmu batinnya, Ceng Jin Hosiang memiliki kewaspadaan. Pada suatu hari dia datang ke kuil cabang Siauw-lim-pai di mana Bun Beng bekerja sebagai pelayan. Melihat Bun Beng dia tertarik sekali, apalagi ketika mendengar bahwa anak itu adalah putera mendiang Siauw-lim Bi-kiam Bhok- Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng segera Ketua Siauw-lim-pai ini menyuruh Bun Beng untuk ikut bersamanya ke kuil pusat Siauw-lim-pai. Ceng Jin Hosiang melihat bakat yang baik sekali, juga hati nuraninya membisikkan bahwa anak ini "berjodoh" dengannya, maka dia lalu mengambil Bun Beng sebagai murid. Selama delapan tahun dia menggembleng Bun Beng yang sebelumnya sudah menerima gemblengan dasar dari Siauw Lam Hwesio, maka tentu saja anak ini memperoleh kemajuan yang luar biasa.
"Bun Beng, kini tiba saatnya yang telah lama kaunanti-nanti dan baru sekarang pinceng ijinkan, yaitu engkau boleh keluar dari kuil untuk meluaskan pengetahuan dan mengambil jalanmu sendiri tanpa kekangan dari peraturan di sini yang pinceng adakan," kata Ketua Siauw-lim-pai yang duduk bersila dihadap muridnya yang ia panggil menghadap.
Dapat dibayangkan betapa girang hati Bun Beng mendengar ini. Sudah lama sekali ia ingin untuk diperbolehkan keluar dari kuil, namun gurunya selalu melarang dan mengatakan belum tiba saatnya. Padahal semua ilmu yang diajarkan gurunya telah dipelajarinya semua.
"Terima kasih, Suhu. Sesungguhnya teecu merasa ge mbira sekali."
Hwesio tua itu mengangguk dan tertawa. "Pinceng tahu dan tidak menyalahkan engkau. Usiamu sudah dua puluh dua tahun dan sebagai seorang pemuda, engkau yang tidak berbakat sebagai pendeta tentu bernafsu sekali untuk berkelana di dunia ramai. Kepandaianmu sudah mencapai tingkat lumayan, bahkan tidak ada ilmu yang kuketahui belum kuajarkan kepadamu. Engkau hanya kurang pengalaman dan kurang matang latihan, akan tetapi kalau engkau rajin, dalam beberapa tahun lagi engkau sudah akan melampaui aku."
"Teecu berhutang budi kepada Suhu, semua kemajuan teecu adalah berkat bimbingan Suhu."
"Sudahlah, tidak perlu semua pujian itu. Sekarang kita bicara tentang hal yang amat penting. Setelah engkau berhasil mempelajari ilmu dari pinceng, sudah menguasai ilmu-ilmu itu, lalu setelah engkau meninggalkan ini, semua ilmu yang kaukuasai itu hendak kaupergunakan apakah?"
Ditanya secara mendadak seperti itu, Bun Beng gelagapan! Yah, untuk apakah dia mempelajari semua ilmu itu dengan susah payah selama bertahun-tahun? Tiba-tiba teringat akan kematian Siauw Lam Hwesio, gurunya yang pertama, yang juga terhitung supek dari Ceng Jin Hosiang, maka dengan hati tetap ia menjawab,
"Ilmu yang teecu kuasai berkat bimbingan Suhu akan teecu pergunakan untuk mencari musuh-musuh mendiang Suhu Siauw Lam Hwesio dan membalas dendam kematiannya di tangan mereka!"
"Omitohud...., sudah kuduga engkau akan menjawab seperti itu. Akan tetapi engkau keliru kalau memiliki niat seperti itu, Bun Beng. Dan pinceng akan melarangmu meninggalkan kuil kalau seperti itu pendapat dan cita-citamu."
Bun Beng terkejut bukan main, cepat ia membungkuk sampai dahinya menyentuh lantai sambil berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Suhu. Teecu bodoh dan mohon petunjuk Suhu bagaimana baiknya."
Hwesio itu tertawa. "Kalau pinceng tahu bahwa kepandaian yang pinceng ajarkan kepadamu itu hanya akan kau-pergunakan untuk membunuh orang, hanya untuk membalas dendam, sudah pasti pinceng tidak akan suka mengajarkannya. Tidak, Bun Beng. Menaruh dendam menimbulkan kebencian, dan kebencian melahirkan perbuatan-perbuatan kejam dan jahat! Orang gagah tidak boleh dipermainkan oleh perasaan pribadi, tidak boleh menjadi mata gelap karena dendam. Kalau kau bicara tentang dendam, mengapa kau tidak mendendam atas kematian Ayahmu dan Ibumu?"
Bun Beng tertegun. Tak pernah terpikirkan hal ini olehnya, apalagi setelah ia mendengar kata-kata Pendekar Siluman bahwa ayahnya adalah seorang datuk kaum sesat! "Karena teecu tidak tahu bagaimana Ayah Bunda teecu tewas dan mengapa."
"Kalau kau tahu bahwa ayahmu dan ibumu mati terbunuh orang, apakah engkau juga akan mendendam dan akan mencari pembunuh mereka untuk kaubalas dan bunuh pula?"
Bun Beng terkejut dan karena kini menyangkut kematian orang tuanya, tanpa ragu-ragu ia menjawab, "Agaknya begitulah!"
"Baik, sekarang kaubalaslah. Pinceng beri tahu siapa pembunuhnya. Ayahmu telah tewas dibunuh Ibumu, dan Ibumu juga tewas di tangan Ayahmu. Nah, bagaimana?"
Biarpun Bun Beng sudah menerima gemblengan lahir batin dan hatinya sudah kuat sekali, tidak urung mukanya berubah sedikit mendengar keterangan ini. Dia tidak mampu menjawab dan hanya menunduk, penuh pemasrahan kepada suhunya.
"Omitohud....! Seorang gagah tidak boleh menurutkan nafsu hati, melainkan harus selalu tenang seperti air telaga yang dalam. Jika pikiran tenang, maka nafsu tidak akan mudah mengganggu dan segala tindakan kita dapat dilakukan dengan tepat, menurutkan hasil pertimbangan pikiran dan akal budi. Sekarang kau melihat contoh tidak baiknya orang mendendam karena kematian orang tua atau pun guru. Orang tua maupun guru hanyalah manusia-manusia biasa. Bagaimana kalau kematian mereka itu dikarenakan perbuatan mereka yang jahat? Andaikata orang tua mu menjadi penjahat besar yang terbunuh oleh pendekar budiman, apakah engkau
juga lalu mencari untuk membalas dendam kepada pendekar itu? Kalau demikian, engkau sama sekali bukan anak berbakti, melainkan sebaliknya karena engkau makin mencemarkan nama orang tua yang sudah cemar. Dan engkau bukan orang gagah karena engkau telah menyimpang dari hukum tak tertulis dalam jiwa orang gagah yaitu membela kebenaran! Karena itu, hapuskan dendam dari hatimu, sedikitpun tidak boleh ada sisanya. Kalau kelak engkau terpaksa membunuh orang-orang yang dahulu membunuh Supek Siauw Lam Hwesio karena engkau membela kebenaran dan karena mereka orang-orang jahat, hal itu lain lagi, bukan membunuh karena balas dendam."
Bun Beng cepat memeluk kaki gurunya. "Ah, ampunkan teecu. Teecu jadi seperti buta, tidak melihat kenyataan itu, Suhu. Teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah Suhu."
"Aahhh, pinceng sebetulnya merasa perih di hati kalau bicara tentang bunuh-membunuh. Akan tetapi, kehidupan seorang gagah di dunia kang-ouw dimana terdapat kekacauan yang disebabkan orang-orang sesat, agaknya hal itu tidak dapat dicegah lagi. Kalau mungkin, Bun Beng, jauhilah perbuatan membunuh. Engkau akan lebih berjasa mengingatkan seorang sesat kembali ke jalan benar daripada membunuhnya. Nah, kiranya cukup. Hanya satu lagi pesan pinceng. Jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dalam perang, karena Siauw-lim-pai menentang perang. Dan jangan sekali-kali engkau melibatkan nama Siauw-lim-pai dengan permusuhan dengan pihak lain. Mengerti?"
"Baik Suhu, teecu akan mentaati perintah Suhu."
"Hemm...., kalau sampai kaulanggar, agaknya pinceng sendiri yang akan turun tangan menghukummu, Bun Beng. Nah, berangkatlah dan hati-hatilah."
Bun Beng minta diri kepada semua hwesio di kuil, kemudian dia berangkat membawa bungkusan pakaian dan bekal sedikit perak, tanpa membawa senjata. Dengan memiliki kepandaian seperti tingkatnya sekarang, dia tidak membutuhkan senjata lagi.
Setelah jauh meninggalkan kuil, Bun Beng teringat akan sepasang pedang yang disimpannya di puncak tebing tempat tinggal para bekas pejuang penyembah Sun Go Kong. Juga kitab-kitab pelajaran Sam-po-cin-keng yang sudah dihafalnya dan yang sekarang secara diam-diam telah dilatihnya sampai mahir. Setelah dia menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dari Ceng Jin Hosiang, tidak sukar baginya untuk menyelami Sam-po-cin-keng dan dia tidak berani berterus terang kepada suhunya karena ilmu silat itu amat ganas dan pantasnya hanya dipelajari kaum sesat! Akan tetapi, hebat bukan main ilmu itu sehingga di luar pengetahuannya sendiri, kalau dia mempergunakan iimu itu, agaknya Ceng Jin Hosiang sendiri belum tentu akan dapat menandinginya!
Di dalam perantauannya ini, Bun Beng membuka telinga dan tiada bosannya dia bertanya-tanya tentang keadaan dunia kang-ouw. Dia terkejut sekali ketika mendengar akan sepak terjang kaum Thian-liong-pang yang katanya mulai menculik tokoh-tokoh penting dari partai-partai persilatan! Juga dia mendengar akan munculnya tokoh-tokoh aneh dari Pulau Neraka yang sudah beberapa kali dahulu ia jumpai, maka diam-diam ia mengambil keputusan bahwa kalau dia bertemu dengan kaum Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, dia akan menentang mereka! Hatinya bersyukur ketika ia mendengar keterangan bahwa kini tidak ada terdengar pergerakan dari Pulau Es, tanda bahwa Pendekar Siluman benar-benar tidak mau mencampuri segala keributan itu. Juga heboh tentang Pedang Iblis dan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang lenyap, yang dahulu diperebutkan, kini tidak terdengar lagi.
Yang amat menarik hatinya adalah perbuatan kaum Thian-liong-pang. Mengapa mereka itu menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua partai untuk beberapa hari lamanya kemudian mereka itu dibebaskan kembali? Apa yang tersembunyi di balik perbuatan aneh ini? Untuk mengambil sepasang pedangnya terlampau jauh, maka dia akan lebih dulu menyelidiki keadaan Thian-liong-pang dan kalau memang mereka itu melakukan penculikan-penculikan, hal ini akan ditentangnya. Inilah kewajiban pertama dalam perjalanannya sebagai seorang pendekar!
Dalam perjalanannya menuju ke Thian-liong-pang dia bermalam dalam sebuah rumah penginapan di kota kecil Teng-li-bun. Dia telah melakukan perjalanan jauh dan perlu beristirahat. Niatnya akan bermalam di situ semalam, baru besok pagi akan melanjutkan perjalanan karena malam itu hujan membuat dia segan untuk bermalam di luar seperti biasanya dia bermalam di hutan atau di gubuk-gubuk sawah. Dia ingin makan kenyang dan minum sedikit arak, kemudian tidur nyenyak dalam sebuah bilik tanpa gangguan.
Akan tetapi menjelang tengah malam, telinganya yang amat terlatih mendengar suara isak tangis tertahan. Dia terbangun, memasang telinga dan mendapat kenyataan bahwa tangis itu adalah tangis seorang wanita yang ditahan-tahan, suaranya seperti tertutup bantal. Dia menjadi bingung. Tentu telah terjadi sesuatu yang membutuhkan pertolongannya. Akan tetapi yang perlu ditolong adalah seorang wanita, dan hari telah tengah malam, bagaimana mungkin dia boleh memasuki kamar seorang wanita? Dia
sudah memasang telinga baik-baik dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lain dalam kamar sebelah itu, hanya si wanita yang menangis. Karena suara isak tertahan itu seperti menggelitik hatinya, Bun Beng tak dapat menahan lagi lalu membuka jendela kamar dan tubuhnya melesat keluar jendela terus melayang ke atas genteng. Dia berniat untuk mengintai dari atas dan melihat apakah yang terjadi dan mengapa wanita itu menangis.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak ada suara terdengar ketika ia melayang ke atas genteng sehingga tidak mengganggu para tamu rumah penginapan. Dia membuka genteng di atas kamar sebelah dengan hati-hati sekali. Akan tetapi baru saja dia menjenguk ke dalam dan melihat seorang wanita muda rebah di atas pembaringan, tiba-tiba lilin di kamar itu padam dan dia mendengar bersiutnya angin senjata rahasia dengan cepat dan kuat serta tepat sekali menyambar ke arah lubang genteng!
"Ciut-ciut-ciuutt!" Tiga batang piauw menyambar dan berturut-turut Bun Beng menangkap tiga batang piauw itu dengan tangan kirinya.
"Bangsat Thian-liong-pang, aku akan mengadu nyawa denganmu!" terdengar suara wanita memaki disusul menyambarnya sesosok tubuh ke atas dan lubang itu jebol ditabrak seorang gadis yang berpakaian serba kuning. Gerakan gadis itu cepat dan ringan sekali, kini sudah berdiri di depan Bun Beng dengan pedang di tangan dan langsung mengirim tusukan ke arah dada Bun Beng.
"Wuuuttt.... plakkk!" Dengan tangan kanannya Bun Beng menampar pedang itu dari samping dan telapak tangannya kini tepat mengenai pedang yang menempel pada telapak tangannya! Gadis itu berseru kaget, berusaha menarik kembali pedangnya namun sia-sia. Pedangnya melekat di telapak tangan pemuda tampan yang berdiri tenang memandangnya itu. Juga di bawah sinar bulan yang muncul setelah hujan berhenti tadi, gadis itu melihat tiga batang piauwnya berada di tangan kiri pemuda itu. Celaka, pikirnya! Yang datang adalah seorang tokoh Thian-liong pang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
"Mau apa lagi? Bunuhlah aku!" tiba-tiba gadis itu berkata penuh kebencian.
"Tenang dan sabarlah, Nona. Aku bukan orang Thian-liong-pang, sama sekali bukan!" Nona yang usianya kurang lebih delapan belas tahun itu memandang penuh perhatian lalu membentak, "Siapa mau percaya?"
Bun Beng tersenyum dan menghela napas, melepaskan pedang dan menyerahkan tiga batang piauw yang diterima oleh gadis itu dengan sambaran cepat seolah-olah ia khawatir kalau-kalau itu hanya siasat. Bun Beng menggulung lengan bajunya, dan berkata, "Periksalah! Adakah gambar naga di lengan kananku? Bukankah kata orang, semua anggauta Thian-liong-pang dicacah lengan kanannya dengan gambar naga kecil?"
"Huh!" Gadis itu mendengus setelah dia melirik juga ke arah kulit yang halus itu sehingga ia terheran mengapa pemuda halus itu dapat memiliki sin-kang yang demikian hebat, "Kalau bukan anggauta Thian-liong-pang, agaknya engkau seorang yang lebih hina lagi, seorang jai-hwa-cat!"
Bun Beng mengangkat kedua alisnya dan dia memandangi pakaiannya. "Aihhh! Jai-hwa-cat? Adakah tampangku seperti penjahat cabul? Dan pakaianku? Aih, engkau terlalu sekali, Nona. Ataukah engkau hanya main-main?"
"Kalau bukan jai-hwa-cat atau penjahat, mau apa tengah malam buta membuka genteng kamar orang dan mengintai ke dalam?" Gadis itu menyerang dengan kata-kata sungguhpun dia sendiri mulai ragu-ragu apakah orang muda yang bersikap wajar dan halus ini seorang penjahat. Bun Beng tertawa. "Salahku...., salahku....! Puas kau sekarang!" Dia menunjuk hidung sendiri. "Inilah upahnya kalau terlalu ingin memperhatikan orang lain! Terus terang saja, Nona, aku tadi sedang tidur nyenyak ketika terganggu.... eh, maaf, memang telingaku terlalu perasa, terlalu peka sehingga aku terbangun oleh tangismu. Aku menjadi curiga dan ingin sekali tahu mengapa di tengah malam buta ada wanita menangis. Aku hendak mengintai untuk melihat apa yang terjadi, sama sekali bukan berniat jahat, bolehkah aku mengetahui, mengapa kau menangis? Ahh, tentu ada hubungannya dengan Thian-liong-pang. Buktinya, engkau menyangka aku orang Thian-liong-pang...."
Bun Bang menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak! "Eh, eh, bagaimana ini....? Salahkah omonganku sehingga menyinggung perasaanmu?"
Gadis itu masih menangis lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bun Beng. Tentu saja Bun Beng menjadi bingung sekali, hendak mengangkat bangun, merasa tidak pantas menyentuh tubuh seorang gadis. "Eh, eh...., Nona. Bangkitlah, jangan begitu....!"
"Mohon maaf atas kesalahanku tadi.... dan mohon pertolongan Taihiap yang berkepandaian tinggi untuk menyelamatkan Ayahku....."
"Aku bukan seorang taihiap (pendekar besar), Nona. Akan tetapi aku berjanji akan menolong. Ayahmu mengapakah? Harap kau suka berdiri agar enak kita bicara."
Gadis itu bangkit berdiri sambil mengusap air matanya. "Nah, ceritakanlah apa yang terjadi," kata pula Bun Beng. Kini sinar bulan makin terang dan tampak oleh pemuda ini betapa gadis itu amat manis wajahnya, wajah manis yang membayangkan kegagahan yang agak pudar oleh tangis tadi. "Namaku adalah Ang Siok Bi...."
"Nama yang bagus...." Tiba-tiba Bun Beng melihat sinar mata nona itu memandangnya tajam penuh kecurigaan dan alis yang hitam itu berkerut, maka teringatlah ia betapa tidak tepatnya ucapan yang tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya itu karena ia kagum memandang wajah yang manis. "Eh, maksudku.... teruskan ceritamu, Nona Ang...." Sambungnya cepat-cepat dan gugup.
"Ayahku adalah Ang Thian Pa yang lebih dikenal dengan sebutan Ang Lojin, Ketua Bu-tong-pai...."
"Aihh! Kiranya Nona adalah puteri ketua partai besar, maaf kalau aku berlaku kurang hormat...." Bun Beng memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada sambil membungkuk.
Siok Bi, gadis itu biarpun baru berusia delapan belas tahun, namun dia sudah banyak merantau dan sebagai seorang pendekar wanita yang muda dan cantik, tentu dia banyak mengalami gangguan dan banyak mengenal sikap laki-laki. Maka kini alisnya berkerut ketika ia menyaksikan sikap Bun Beng yang agaknya sama sekali tidak mempedulikan ceritanya, melainkan tertarik dan kagum kepadanya! Tadi telah ia saksikan kelihaian pemuda itu dan timbul harapannya untuk minta pertolongannya, akan tetapi kini melihat sikap Bun Beng, dia mulai ragu-ragu jangan-jangan pemuda ini adalah seorang jai-hwa-cat yang bersikap halus dan yang sedang mempermainkannya!
"Taihiap, harap berterus terang saja. Engkau ini seorang pendekar yang suka mengulur tangan menolong orang yang sedang tertimpa malapetaka ataukah seorang dari kaum sesat?"
Bun Beng yang tadinya tersenyum dengan hati tertarik memperhatikan gerak-gerik dan terutama sekali gerakan bibir yang membuat wajah itu kelihatan amat manis, menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia tentu saja tidak sadar akan sikapnya sendiri karena memang tidak dibuat-buat. Selama bertahun-tahun dia berada di dalam kuil mempelajari ilmu, tiap hari hanya bergaul dan bertemu dengan para hwesio. Yang dilihatnya hanyalah muka para hwesio dengan kepala gundul, sama sekali tidak indah dalam pandangannya. Kini, sekali keluar mengembara bertemu dengan wajah begini manis, hati siapa tidak akan terpikat?
"Ang-siocia, ada apakah? Mengapa engkau kelihatan marah kepadaku?"
"Pandang matamu itulah!" Mau tidak mau Siok Bi membuang muka dan kedua pipinya menjadi merah. Betapapun gagah wataknya sebagai pendekar wanita, namun dia masih seorang gadis remaja sehingga dia pun tidak terbebas daripada sifat wanita yang ingin dipuji dan dikagumi, apalagi oleh seorang pemuda setampan dan segagah Bun Beng!
"Pandang mataku? Aihhh.... apakah aku tidak boleh memandang? Kenapakah? Engkau aneh sekali, Nona. Baiklah aku akan memejamkan mata. Nah, teruskan ceritamu!" Dan Bun Beng benar-benar memejamkan kedua matanya.
"Ketika ayahku dan aku melakukan perjalanan menuju ke Siang-tan, sampai di dalam hutan di luar kota ini kami berhenti dan beristirahat, yaitu pagi hari tadi." Gadis itu berhenti bercerita. Bun Beng yang masih memejamkan matanya itu menanti sebentar, lalu sebagai komentar dia hanya bisa mengeluarkan suara, "Hemmm....!" Lalu menanti lagi, akan tetapi lanjutan ceritanya tak kunjung datang.
"Mengapa diam?"
"Agaknya Taihiap tidak menaruh perhatian, perlu apa kulanjutkan? Kalau Taihiap tidak sudi menolong, aku.... aku pun tidak mau memaksa." Suara itu terdengar menjauh dan ketika Bun Beng membuka matanya, nona itu sudah berlari pergi!
Sekali menggerakkan tubuhnya, Bun Beng sudah menyusul dan menghadang di depan Siok Bi. "Eh-eh, bagaimana ini? Kau aneh sekali, Nona! Aku cukup memperhatikan ceritamu dan ingin menolong Ayahmu."
Diam-diam Siok Bi terkejut dan kagum. Dia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di depannya! Akan tetapi ia cemberut dan berkata, "Aku bicara kepada orang yang memejamkan mata seolah-olah tidak peduli, mana.... enak hatiku?"
Tiba-tiba Bun Beng tertawa saking geli hatinya. Memang pemuda ini memiliki watak periang. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya dan berkata, "Wah, benar-benar aku tidak mengerti, Nona! Kalau aku memperhatikan ceritamu dengan membuka mata, pandang mataku mengganggumu. Kalau aku memejamkan mata, kauanggap aku tidak peduli, habis bagaimana? Harap kau lanjutkan. Percayalah, aku tidak mempunyai niat hati yang tidak baik terhadapmu! Ayahmu dan engkau pagi tadi beristirahat dalam hutan di luar kota ini. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?"
Kini sinar bulan sepenuhnya menimpa wajah Bun Beng sehingga Siok Bi dapat memandang jelas. Wajah yang tampan dan mulutnya seperti selalu tersenyum. Pada saat itu, Bun Beng bicara sungguh-sungguh, akan tetapi matanya bersinar-sinar gembira dan bibirnya seperti orang tersenyum. Kini mengertilah Siok Bi bahwa memang pemuda ini memiliki mata dan bibir yang seolah-olah selalu gembira dan tersenyum, sehingga tadi ia mengira bahwa mata pemuda itu "nakal" dan bibirnya tersenyum kurang ajar. Maka hatinya pun lega dan ia melanjutkan. "Selagi kami beristirahat dan makan di bawah pohon, datang rombongan Thian-liong-pang. Ketika mereka mengenal ayah sebagai Ketua Bu-tong-pai, mereka lalu memaksa Ayah ikut dengan mereka untuk menghadap Ketua Thian-liong-pang!"
"Hemm, sungguh kurang ajar!" Bun Beng membentak dan gadis itu mendapat kenyataan betapa dalam keadaan marah pun pemuda itu seperti orang tersenyum. "Tentu engkau dan Ayahmu menghajar mereka!"
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Taihiap. Mereka lihai sekali. Ayah dikeroyok dan dirobohkan, lalu ditangkap dan dimasukkan ke kerangkeng."
"Apa? Dikerangkeng dan kau diam saja?" Kalau belum mulai mengenal cara bicara Bun Beng seperti orang main-main, tentu gadis itu sudah marah lagi. "Tentu saja aku melawan mati-matian, akan tetapi mereka amat lihai. Aku roboh tertotok, tak mampu berkutik. Setelah mereka pergi lama sekali, baru aku dapat bergerak. Mengejar sampai sore namun tak berhasil dan akhirnya aku sampai di sini dengan maksud besok akan melanjutkan perjalanan, mengumpulkan semua anggota Bu-tong-pai untuk menyerbu ke Thian-liong-pang membebaskan Ayah. Akan tetapi. ... ah, akan makan waktu lama, mungkin terlambat.... dan aku sangsi apakah aku dapat melawan Thian-liong-pang yang amat kuat itu?"
"Kemana Ayahmu dibawa lari? Ke jurusan mana?"
"Di luar kota ini di sebelah utara terdapat hutan, dan mereka membawa Ayah terus ke utara...."
"Aku akan mengejar mereka!" Bun Beng berkelebat dan pergi dari depan gadis itu. Siok Bi bingung dan terkejut, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang. Ia berteriak, "Tunggu, Taihiap! Aku belum tahu namamu dan aku ikut....!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Bun Beng dari bawah karena pemuda ini memasuki kamar mengambil bungkusan pakaian dan bekalnya. "Jangan ikut, kau tunggu saja di sini, Nona. Namaku Gak Bun Beng!"
Mendengar suara dari dalam kamar di sebelah kamarnya, Siok Bi meloncat ke bawah dan memasuki kamar Bun Beng, akan tetapi pemuda itu sudah tidak ada dan ketika ia melompat lagi ke atas genteng, dia tidak melihat bayangan pemuda itu! Ia menarik napas panjang. "Hebat dia....!" Kemudian ia pun mengambil pakaian dari kamarnya dan malam itu juga ia meninggalkan penginapan untuk mengejar ke utara. Benar juga pemuda itu, pikirnya. Kalau aku ikut, tentu perjalanannya tidak dapat dilakukan secepat kalau pemuda itu mengejar sendiri. Hatinya menjadi besar dan ia membayangkan wajah tampan yang selalu tersenyum bibirnya dan berseri wajah dan matanya itu. Kekhawatirannya tentang diri ayahnya agak berkurang karena ia percaya bahwa pemuda itu amat lihai dan tentu akan dapat menolong ayahnya. Gak Bun Beng! Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah merasa mendengar nama ini di dunia kang-ouw. Benar kata ayahnya bahwa sekarang banyak bermunculan orang-orang aneh yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, tentu termasuk pemuda itu.
Bun Beng merasa penasaran dan marah sekali. Kiranya benar seperti berita yang didengarnya. Thian-liong-pang mengacau dunia kang-ouw, secara kurang ajar berani menculik seorang Ketua Bu-tong-pai di siang hari. Benar-benar keterlaluan, seolah-olah di dunia ini sudah tidak ada hukum dan seolah-olah hanya Thian-liong-pang yang paling kuat. Dia harus menentangnya dan menolong Ketua Bu-tong-pai, ayah dari gadis yang amat manis wajahnya itu.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Bun Beng melakukan pengejaran. Dia mempergunakan ilmu lari cepat Cio-siang-hui yang dipelajarinya dari Ceng Jin Hosiang sehingga tubuhnya seperti terbang di atas rumput seolah-olah tidak menginjak tanah dan tubuhnya lenyap, yang tampak hanya berkelebatnya bayangannya yang meluncur cepat menuju ke utara!
Akan tetapi karena ia ketinggalan waktu selama sehari, pada keesokan harinya menjelang senja, barulah ia dapat menyusul rombongan orang Thian-liong-pang yang menawan Ketua Bu-tong-pai. Dari jauh ia sudah melihat serombongan orang, sebanyak empat orang mendorong sebuah kereta kecil berbentuk kerangkeng di mana yang tampak hanya sebuah kepala yang bertudung lebar dan kedua tangan yang terbelenggu. Hanya kepala dan kedua tangan yang tampak keluar dari dalam kerangkeng yang terbuat daripada papan tebal dan beroda dua.
Bun Beng mempercepat larinya, sebentar saja dia telah melewati rombongan empat orang itu, membalikkan tubuh dan menghadang, berdiri dengan tegak dan bertolak pinggang. Melihat sikap pemuda yang datang dengan cepat sekali itu, rombongan itu berhenti dan empat orang itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga orang tua bermuka gagah yang berada dalam kerangkeng memandang kepada Bun Beng.
Ketika Bun Beng memperhatikan empat orang itu diam-diam terkejut. Memang benarlah berita yang ia dengar. Orang-orang Thian-liong-pang amat aneh dan sikapnya menyeramkan. Empat orang ini saja sudah menunjukkan bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi, dan sikap mereka itu rata-rata angkuh. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang mukanya pucat seolah-olah tidak berdarah, seperti muka mayat yang amat kurus sehingga mukanya itu mirip tengkorak, namun sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar tajam, dan di punggungnya tampak tergantung sebatang pedang. Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun usianya, tampan dan gagah, rambutnya terurai di atas kedua pundak dan punggungnya, kepalanya diikat sehelai tali yang mengkilap seperti sutera, alisnya selalu berkerut dan sinar matanya membayangkan keangkuhan dan kekejaman, juga dipunggungnya tampak terselip sebatang pedang. Biarpun kedua orang ini tidak banyak bergerak, namun dapat diduga bahwa tentu ilmunya tinggi, dan membuat hati mereka tinggi pula.
Akan tetapi dua orang yang lain benar-benar menimbulkan ngeri kepada Bun Beng. Sukar membedakan kedua orang itu karena baik pakaian, bentuk tubuh dan muka mereka kembar! Dan keduanya pun memegang sepasang senjata gelang yang dipasangi lima duri meruncing dan mengkilap. Berbeda dengan sikap kedua orang yang pendiam dan angkuh itu, dua orang kembar yang tinggi besar ini sikapnya kasar, seperti binatang buas dan merekalah yang langsung meloncat maju menghadapi Bun Beng. Seorang di antara mereka membentak, "Bocah sinting, siapa kau berani bersikap kurang ajar?"
"Minggir kau sebelum kupatahkan ke dua kakimu!" Orang ke dua membentak pula. Bun Beng memperlebar senyumnya dan tetap bertolak pinggang. Sambil melirik ke arah kerangkeng, dia bertanya, "Apakah kalian ini penculik-penculik dari Thian-liong-pang? Dan apakah Locianpwe yang tertawan itu Ang Lojin Ketua Bu-tong-pai?"
"Benar orang muda. Aku adalah Ang Lojin. Hati-hatilah, jangan mencampuri urusan ini. Lebih baik pergilah karena aku sudah merasa kalah dan ingin menghadap Ketua Thian-liong-pang!" Kakek di kerangkeng itu berkata.
"Bocah tak tahu diri! Ketahuilah bahwa kami benar dari Thian-liong-pang. Nah, setelah mendengar nama perkumpulan kami, engkau tidak lekas menggelinding pergi?"
Bun Beng dengan sikap tenang menggerakkan pundaknya, memandang kepada kedua orang kakek kembar yang mukanya bengis mengerikan itu sambil berkata, "Sebenarnya aku mau pergi, akan tetapi sayang, empat orang sahabatku yang berada di sini tidak membolehkan aku pergi sebelum kalian membebaskan Ang Lojin!"
Mendengar ini, empat orang Thian-liong-pang itu cepat memandang ke sekeliling mereka. Mereka terkejut sekali mendengar bahwa pemuda kurang ajar ini mempunyai empat orang sahabat. Kalau empat orang itu hadir di sekitar mereka tanpa mereka ketahui, dapat dibayangkan betapa lihai empat orang itu. Apalagi setelah mereka memandang ke sekeliling tidak dapat melihat gerak-gerik orang di situ, mereka menjadi makin hati-hati karena hal itu hanya menandakan bahwa empat orang sahabat pemuda ini benar-benar lihai.
"Orang muda, lekas suruh empat orang sahabatmu keluar agar kami dapat bicara dengan mereka!" Seorang di antara kakek kembar berkata, sedangkan tokoh Thian-liong-pang muda sudah menggeser kaki mendekati kerangkeng sedangkan kakek bermuka tengkorak, sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang ke atas tempat yang agak tinggi, di atas batu-batu. Agaknya seorang muda menjaga kerangkeng itu dan si kakek bermuka tengkorak menjadi penjaga di tempat tinggi. Sikap mereka yang tenang dan muka yang angkuh itu menimbulkan dugaan di hati Bun Beng bahwa tingkat mereka berdua itulah yang sesungguhnya tinggi, lebih tinggi daripada tingkat sepasang kakek kembar yang menghadapinya. Hal ini pun menjadi tanda bahwa mereka memandang rendah kepadanya sehingga untuk menghadapinya cukup oleh kedua kakek kembar yang rendah tingkatnya!
Bun Beng tertawa dan berkata, "Mau berkenalan dengan empat orang sahabatku? Awas, mereka lihai sekali, kalau kalian berkenalan dengan mereka, tentu kalian akan mereka robohkan dengan mudah!"
"Tak perla banyak menggertak!" Bentak kakek kembar kedua, akan tetapi tidak urung dia dan saudara kembarnya diam-diam melirik ke kanan kiri dengan sikap agak gentar. "Lekas suruh mereka keluar!"
"Mereka sudah berada di sini, di depanmu, apakah kalian buta?"
Kini kedua kakek kembar itu terbelalak, dan benar-benar menjadi jerih. Kalau ada empat orang berada di depan mereka tanpa mereka dapat melihatnya, hal itu hanya berarti bahwa empat orang itu bukanlah manusia, melainkan iblis-iblis. Teringatlah mereka akan orang-orang Pulau Neraka, musuh utama mereka yang mereka takuti, akan tetapi pemuda ini kulit mukanya biasa saja, tentu bukan anggauta Pulau Neraka. Ah, tentu hanya gertakan saja, akal bulus, akal kanak-kanak untuk menakut-nakuti mereka!
"Bocah, jangan main-main engkau!" Seorang di antara mereka membentak.
"Inilah mereka!" Bun Beng melonjorkan kaki tangannya bergantian ke depan. Muka kedua kakek kembar itu menjadi merah, mata mereka melotot dan karena kepala mereka botak, Bun Beng teringat akan kera-kera baboon yang pernah menjadi kawan-kawannya. Muka kedua orang kakek kembar ini mirip kera-kera itu!
Akan tetapi sebagai anggauta-anggauta Thian-liong-pang yang banyak pengalaman, menyaksikan sikap pemuda yang berani mempermainkan mereka dan yang amat tenang itu, dua orang kakek kembar tidak mau sembrono. Seorang di antara mereka melangkah maju dan menegur.
"Orang muda, engkau siapakah berani mati mempermainkan kami dari Thian-liong-pang? Apa yang kauperbuat ini hanya dapat dicuci dengan darahmu dan ditebus dengan nyawamu. Maka sebelum mampus, mengakulah siapa engkau!"
Bun Beng menggelengkan kepala. "Terlalu enak untuk kalian! Sudah terang kalian yang akan kalah, dan andaikata aku sampai mati pun, biarlah namaku menjadi rahasia dan setan penasaran, rohku akan mengejar-ngejar Thian-liong-pang!"
"Keparat!" Kakek yang berada di depannya sudah menerjang dengan senjatanya yang aneh dan kiranya senjata gelang berduri itu digenggam dengan duri-durinya di depan, digerakkan secara cepat dan kuat sekali menghantam ke arah muka Bun Beng yang masih bertolak pinggang.
"Heeitt! Memang orang-orang Thian-liong-pang berhati kejam," kata Bun Beng, dengan mudah ia mengelak ke kanan dan biarpun matanya melirik ke arah orang di depannya sambil tersenyum mengejek, namun telinganya dicurahkan untuk mengikuti gerakan kakek kedua yang telah melompat ke belakangnya.
Ketua Bu-tong-pai yang sudah merasai kelihaian orang-orang itu, menjadi gelisah sekali. Ia berterima kasih dan kagum akan munculnya pemuda tak terkenal yang jelas hendak menolongnya itu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan celaka. Pemuda itu akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia saja dan hal inilah yang menggelisahkan hatinya, sama sekali bukan dia tidak mempunyai harapan tertolong. Sudah banyak tokoh kang-ouw yang ditawan secara paksa oleh orang-orang Thian-liong-pang untuk dihadapkan Ketua mereka. Belum pernah ada tokoh yang dibunuh, maka dia tidak merasa khawatir akan keselamatan dirinya sungguhpun ada hal yang lebih hebat lagi dalam peristiwa ini, lebih hebat dan penting daripada keselamatan dirinya, yaitu keselamatan nama besar Bu-tong-pai yang terancam dan dihina! Kini pemuda yang hendak menolong dirinya itu terlalu sembrono dan berani mati mempermainkan orang-orang Thian-liong-pang, maka dia tidak akan merasa heran kalau nanti melihat pemuda itu roboh dan tewas di depan matanya.
"Orang muda, awas senjata itu beracun dan berbahaya! Larilah!" teriaknya ketika melihat betapa pemuda itu diserang dari depan dan belakang dengan dahsyat. "Jangan khawatir, Locianpwe. Dua ekor kera ini hanya pandai menakut-nakuti anak kecil saja!" Jawab Bun Beng sambil menggunakan gin-kangnya untuk melesat ke sana ke mari mengelak sambil tersenyum. Dia sudah melihat bahwa biarpun ilmu silat kedua kakek itu aneh sekali, gerakannya cepat dan bertenaga, namun tidak terlalu cepat dan kuat baginya dan dia yakin akan dapat mengatasi mereka dengan mudah walaupun dia bertangan kosong.
Ketua Bu-tong-pai menjadi bengong. Sungguh kagum dia karena pemuda itu benar-benar bukan hanya pandai mempermainkan orang, melainkan juga memiliki gerakan yang amat kuat dan cepat, dua kakinya dapat melangkah dengan baik sekali sehingga semua serangan kedua orang itu selalu mengenai angin kosong.
"Wuuuttt! Wah, galak amat!" Bun Beng miringkan kepala untuk menghindarkan hantaman gelang berduri dari belakang, berbareng ia mengirim tendangan ke depan mengarah sambungan lutut lawan di depan jari tangannya menyentil senjata yang melayang di depan hidungnya, menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah sebuah di antara lima dari duri-duri gelang sambil mengerahkan sin-kang sekuatnya.
"Cringgg!" Dan kakek itu memekik kaget. Ternyata duri yang disentil jari itu telah patah dan telapak tangannya terasa panas dan perih sekali. Hampir saja ia melepaskan sebuah gelangnya dan ia melompat ke belakang. Juga kakek di depan Bun Beng yang diserang tendangan tadi cepat melompat ke belakang. Mereka menjadi marah dan penasaran. Kakek yang di belakangnya lalu mengeluarkan gerengan marah, tangan kirinya bergerak dan gelang berduri yang kehilangan sebuah durinya itu tiba-tiba meluncur ke arah Bun Beng, berputaran dan mengeluarkan suara bercuitan.
"Bagus....!" Bun Beng diam-diam kagum juga. Kiranya, senjata ini bukan hanya dipergunakan untuk menyerang dengan dipegangi, melainkan juga dapat menjadi senjata rahasia yang dilontarkan. Dia mengelak dan lebih kagum lagi hatinya melihat betapa gelang yang berputaran menyambar kepalanya itu setelah luput dari sasarannya, kini dapat membalik dan kembali ke tangan pemiliknya!
Dia cepat membalik dan pada saat kakek itu menerima kembali senjatanya, Bun Beng sudah memukul dengan telapak tangannya, pukulan jarak jauh dengan pengerahan sin-kangnya.
"Wuuuttt!" Angin pukulan yang kuat membuat kakek itu terhuyung-huyung mundur. Akan tetapi kakek kedua yang kini berada di belakang Bun Beng sudah melontarkan gelang kanan ke arah punggung pemuda itu.
"Awasss....!" Ketua Bu-tong-pai berteriak kaget. Namun tanpa memutar tubuhnya, Bun Beng mengulur tangan dan berhasil menangkap senjata itu, seolah-olah di belakang tubuhnya terdapat mata ke tiga!
"Senjata yang buruk!" Bun Beng kini memutar senjata itu dengan gerakan yang mahir seolah-olah sejak kecil dia memang sudah biasa menggunakan senjata itu! Tentu saja bukan demikian kenyataannya. Hanya karena dia telah digembleng oleh Ketua Siauw-lim-pai dan telah mempelajari delapan belas macam senjata, dan pernah pula diajar cara mempergunakan senjata gelang yang jarang dipakai di dunia kang-ouw, maka dia tidak asing dengan senjata ini, pula karena memang bakat yang dimiliki pemuda itu luar biasa sekali.
"Trang-cring-tranggg....!" Tiga kali gelang berduri di tangan kedua orang kakek itu bertemu dan gelang kiri kakek yang di
belakangnya patah menjadi tiga bertemu dengan gelang di tangan Bun Beng.
"Heh-heh-heh, sekarang kita masing-masing mempunyai sebuah gelang, jadi adil namanya, seorang satu! Masih mau dilanjutkan?" Dia menantang dan mengejek.
"Tahan dulu! " Tiba-tiba kakek tua yang bermuka tengkorak melayang datang dan gerakannya membuat Bun Beng bersikap hati-hati karena melihat cara meloncatnya saja tingkat kepandaian kakek muka tengkorak ini sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan sepasang kakek kembar yang kasar.
Akan tetapi dasar watak Bun Beng suka main-main, dia menyambut kakek itu dengan tertawa, "Apakah engkau mau mengeroyok pula? Marilah, biar lebih ramai!"
Kakek muka tengkorak itu tidak marah, hanya tetap tenang dan dingin ketika berkata, "Thian-liong-pang tidak pernah memusuhi Siauw-lim-pai, apakah kini Siauw-lim-pai mendahului langkah mengumumkan perang terhadap Thian-liong-pang?"
Mendengar ini Bun Beng terkejut. Ah, kiranya kakek ini demikian tajam pandang matanya sehingga mengenal bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Juga kakek Ketua Bu-tong-pai terkejut dan cepat berkata, "Orang muda yang gagah. Kalau engkau seorang murid Siuw-lim-pai, harap menyingkir. Aku tidak mau membawa-bawa Siauw-lim-pai terlibat dalam urusan ini."
Bun Beng merasa penasaran. Dia sendiri sudah dipesan oleh gurunya agar jangan melibatkan Siauw-lim-pai dengan permusuhan. Akan tetapi haruskah ia mundur dan membiarkan Kakek Bu-tong-pai itu tertawan dan yang terutama sekali, haruskah dia mengecewakan Siok Bi yang berwajah manis itu? Membayangkan betapa sinar mata yang indah itu menjadi kecewa, murung dan bahkan mungkin menangis lagi, dia tidak tahan dan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, siapa membawa-bawa Siauw-lim-pai? Ilmu silat di dunia ini tidak terhitung banyaknya, akan tetapi sumbernya hanya satu, yaitu mendasar segala gerakan pada pembelaan diri dan penyerangan. Kalau ada gerakan yang mirip dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, apa anehnya?"
Akan tetapi kakek bermuka tengkorak itu tidak puas. "Orang muda, apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Aku tidak menyangkal apa-apa."
"Kalau begitu mengakulah, engkau murid partai mana?"
"Aku pun tidak mengaku apa-apa. Guruku banyak sekali, tak terhitung banyaknya sehingga aku lupa satu-satunya. Akan tetapi lihat, apakah ini ilmu silat Siauw-lim-pai?" Setelah berkata demikian, Bun Beng menggerakkan gelang berduri di tangannya, sekali memutar lengan dia telah menyerang dua orang kakek kembar sekaligus.
"Trang-cring....!" Dua kakek kembar itu menangkis kaget dan.... kedua senjata mereka patah-patah. "Ah.... ini adalah jurus ilmu silat kami....!" Kakek kembar berseru dan cepat menerjang marah dengan gelang mereka yang tinggal sepotong di tangan.
Bun Beng tersenyum dan menghadapi mereka dengan gerakan-gerakan aneh seperti yang dilakukan dua orang kakek itu. Benarkah bahwa Bun Beng pernah mempelajari ilmu silat gelang berduri dua orang kakek kembar itu? Tentu saja tidak. Melihat pun baru sekali itu. Akan tetapi Bun Beng memiliki daya ingatan yang kuat sekali sehingga sekali melihat dia sudah mengerti dan dapat mengingat serta menirunya! Dia tadi ketika menghadapi pengeroyokan kedua orang kakek yang tingkatnya masih jauh lebih rendah darinya, mendapat banyak kesempatan untuk memperhatikan gerakan mereka sehingga kini ia dapat menirunya dengan baik, sungguhpun tentu saja hanya kelihatannya saja sama, padahal dasar yang menjadi landasan jurus-jurus itu lain sama sekali!
Kalau dua orang kakek kembar menjadi terkejut dan marah karena pemuda itu selain merampas senjata mereka, juga memukul mereka dengan ilmu mereka sendiri, adalah kakek muka tengkorak menjadi heran sekali. Kalau murid Siauw-lim-pai, yang rata-rata angkuh dan mengandalkan ilmu sendiri, tidak mungkin mau melakukan jurus-jurus ilmu silat dua orang kakek kembar itu. Dia pun mendapat kenyataan bahwa kakek kembar bukan lawan pemuda ini, maka dia lalu memberi tanda dengan mata kepada kawan-kawannya. Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tubuh tokoh Thian-liong-pang muda itu sudah menyambar, didahului sinar hijau pedangnya, bagaikan bintang jatuh, sinar ini menyerbu ke arah Bun Beng.
"Bagus!" Bun Beng memuji, benar-benar memuji karena gerakan orang yang tampan itu tangkas sekali. Namun dengan mudah ia dapat mengelak. Kakek muka tengkorak juga menggerakkan pedangnya yang bersinar kuning sehingga dalam sekejap mata Bun Beng sudah harus melesat ke sana-sini menghindarkan dirinya ditembus dua sinar pedang yang amat dahsyat. Dia masih sempat memperhatikan dengan hati cemas ketika melihat bahwa kakek kembar sudah meninggalkannya dan mendorong pergi kerangkeng di mana Ketua Bu-tong-pai tertawan.
"Berhenti!" Bun Beng berteriak dan gelang berduri di tangannya meluncur cepat, berputaran mengeluarkan suara berdesing menyambar ke arah kerangkeng. "Krakkkk!" Roda itu patah sehingga kerangkeng tak dapat didorong lagi. Akan tetapi, dua orang kakek kembar itu tidak kehilangan akal, mereka lalu mengangkat kerangkeng, menggotongnya dan berlari pergi secepatnya. Bun Beng tak dapat mengejar karena dia didesak oleh dua sinar pedang yang amat cepat dan berbahaya sehingga dia harus mencurahkan perhatiannya untuk melawan dua orang pengeroyok baru yang lihai ini.
Dua orang itu menjadi heran dan kagum bukan main. Mereka telah mengerahkan kepandaiannya, dengan pedangnya mengeroyok pemuda yang bertangan kosong ini, namun tetap saja pemuda itu tidak dapat didesak karena selalu dapat mengelak cepat, bahkan balas menyerang mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Mereka makin memperketat pengepungan dan mempercepat serangan dengan niat agar pemuda itu mengeluarkan ilmu silat Siauw-lim-pai. Namun Bun Beng tidak mau dipancing dan tiba-tiba ia berseru keras, tubuhnya berkelebatan di antara sinar-sinar itu dan ia menyerang dengan ilmu silat yang ganasnya seperti ilmu setan! Dua orang itu terdesak mundur dan makin terheran. Pemuda ini memiliki ilmu silat yang aneh, pikir mereka. Biarpun agak "berbau" dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, namun jelas bukan ilmu silat Siauw-lim-pai karena melihat keganasannya lebih mirip ilmu silat golongan sesat! Tentu dia seorang tokoh yang amat lihai dan tinggi kedudukannya, pikir mereka.
Memang Bun Beng telah mempergunakan jurus-jurus ilmu silat dari Sam-po-cin-keng yang bernama Kong-jiu-jib-tin (Dengan Tangan Kosong Menyerbu Barisan) sehingga kedua orang itu tentu saja tidak mengenal ilmu ciptaan pendiri Beng-kauw ini! Dua orang itu memberi isyarat lalu Si Kakek berkata. "Kami tidak ingin bermusuhan dengan Siauw-lim-pai!" Setelah berkata demikian, mereka melesat jauh dan lari pergi. Bun Beng penasaran. Dia tidak bernafsu untuk mengalahkan dua orang itu, apalagi membunuhnya, akan tetapi dia harus menolong Ketua Bu-tong-pai. Maka dia pun lalu melompat dan mengejar, akan tetapi sengaja tidak menyusul mereka, hanya membayangi dari jauh. Agaknya kedua orang itu juga sengaja memancing Bun Beng karena mereka itu berlari tidak secepat yang mereka dapat lakukan. Hal ini pertama untuk memberi kesempatan kepada kakek kembar untuk lebih dulu sampai ke sarang mereka, ke dua kalinya karena memancing pemuda lihai itu yang tentu akan menarik perhatian Ketua mereka!
Bun Beng bukan seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan dapat memperhitungkan keadaan, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu dua orang itu sengaja memancingnya. Namun dia tidak takut. Malah kebetulan, pikirnya. Aku tidak perlu susah payah mencari sarang mereka. Akan kutemui Ketua mereka, kupaksa agar membebaskan Ang Lojin dan lain-lain tawanan, dan kalau ada, dan memaksanya berjanji agar menghentikan perbuatan-perbuatan menculik orang-orang penting itu!
Sebetulnya apakah yang terjadi dengan Thian-liong-pang sehingga kini perkumpulan besar itu melakukan perbuatan aneh itu, menculiki tokoh-tokoh kang-ouw dan ketua partai persilatan? Sesungguhnya, tidaklah terjadi perubahan di Thian-liong-pang. Ketuanya masih tetap Si Wanita berkerudung yang makin lama makin hebat ilmu kepandaiannya itu. Seperti kita ketahui, wanita berkerudung yang aneh dan penuh rahasia ini, yang mukanya tidak pernah kelihatan oleh siapa pun juga, bahkan para pembantunya yang bertingkat paling tinggi pun tidak ada yang pernah melihatnya, bukan lain adalah Nirahai, puteri Kaisar Kang Hsi sendiri yang terlahir dari selir berdarah Khitan campuran Mongol!
Ketika ia dijodohkan oleh kedua orang nenek sakti yang menjadi gurunya dan bibi gurunya, yaitu Nenek Maya dan Khu Siauw Bwee, menjadi isteri Suma Han, hatinya girang bukan main. Diam-diam ia telah jatuh cinta kepada Pendekar Super Sakti yang berkaki tunggal itu. Namun betapa kecewanya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suami yang dicintainya itu tidak menyetujui cita-citanya pergi ke Mongol sehingga mereka berpisah dengan hati hancur (baca cerita Pendekar Super Sakti). Dengan rasa hati berat karena sesungguhnya wanita ini amat mencinta suaminya, Nirahai berangkat ke Mongol. Terlambat ia mengetahui bahwa ia telah mengandung! Ingin ia kembali ke selatan mencari suaminya untuk memberi tahu hal ini, namun keangkuhannya sebagai bekas puteri kaisar mencegahnya. Dia amat mencinta Suma Han, bahkan telah berkorban dengan kehilangan haknya sebagai puteri kaisar. Dia telah kecewa karena setelah berjuang untuk kerajaan ayahnya, akhirnya dia menjadi seorang buruan! Pukulan batin ke dua yang lebih kecewa lagi bahwa suami yang dibelanya itu ternyata tidak ikut bersama dia! Namun masih timbul harapan di hatinya bahwa cinta kasih dalam hati Suma Han akan membuat suaminya itu kelak menyusulnya ke Mongol.
Namun harapannya ini buyar. Sampai dia melahirkan anak perempuan, sampai bertahun-tahun ia menanti dan tinggal di istana Kerajaan Mongol, tetap saja tidak ada kabar berita dari suaminya! Betapapun juga, wanita yang keras hati ini tetap tidak mau pergi mencari suaminya. Kalau memang suaminya tidak mencintainya, dengan bukti tidak pernah menyusulnya, biarlah dia akan memperlihatkan bahwa dia tidak kalah keras hati! Maka dia lalu meninggalkan puterinya kepada Pangeran Jenghan yaitu keponakan yang berkekuasaan besar dari Pangeran Galdan, dan dia sendiri merantau ke selatan. Karena dia mendengar bahwa suaminya telah menjadi Majikan Pulau Es, maka dia lalu membuat perkumpulan yang kelak dapat ia pergunakan untuk menandingi nama besar Pulau Es, dan dipilihlah Perkumpulan Thian-liong-pang.
Di dalam cerita "Pendekar Super Sakti" telah diceritakan tentang watak dan sifat Puteri Nirahai yang gagah perkasa, angkuh dan tidak pernah mau kalah, di samping kecantikannya yang luar biasa dan ilmu kepandaiannya yang amat tinggi. Mati-matian ia membela Suma Han yang dicintainya, bahkan ia telah mengorbankan nama, kedudukan dan kehormatannya untuk pendekar kaki tunggal yang dikaguminya itu. Sebesar itu cintanya, sebesar itu pula sakit hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suaminya itu tidak mempedulikannya, tidak menyusulnya, bahkan tak pernah mencarinya sampai dia melahirkan seorang puteri!
Rasa sakit hati membuat Nirahai ingin memperlihatkan bahwa dalam hal kepandaian dan kebesaran, dia tidak mau kalah oleh suaminya! Pergilah wanita sakti ini meninggalkan Mongol, merantau ke selatan dan ia menjatuhkan pilihannya kepada Perkumpulan Thian-liong-pang!
Perkumpulan Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang pernah mengalami jatuh bangun seperti juga perkumpulan-perkumpulan lain dan merupakan sebuah perkumpulan yang cukup tua usianya. Usianya sudah lebih dari seratus tahun dan pendirinya dahulu adalah seorang kakek yang berjuluk Sin Seng Losu (Kakek Bintang Sakti) yang berilmu tinggi karena dia adalah murid keponakan dari Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara datuk kaum sesat yang amat sakti. Ketika perkumpulan ini terjatuh ke tangan mantu Sin Seng Losu yang bernama Siangkoan Bu, perkumpulan itu kembali ke jalan lurus dan tergolong perkumpulan bersih yang mengutamakan kegagahan dan berjiwa pendekar. Akan tetapi, setelah Siangkoan Bu tewas dan perkumpulan itu dipimpin oleh murid Sin Seng Losu yang bernama Ma Kiu berjuluk Thai-lek-kwi dan dibantu oleh sebelas orang sutenya maka kembali Thian-liong-pang menjadi sebuah partai persilatan yang amat ditakuti karena tidak segan melakukan kejahatan mengandalkan kekuasaan mereka. Terutama sekali Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) amat terkenal. Mereka adalah Ma Kiu dan sute-sutenya yang merajalela di dunia kang-ouw. Dalam keadaan seperti itu muncullah Siangkoan Li, putera mendiang Siangkoan Bu atau cucu dari Sin Seng Losu yang dengan bantuan Mutiara Hitam menentang para paman gurunya (baca cerita Mutiara Hitam). Siangkoan Li ini lihai bukan main karena dia telah diterima menjadi murid dua orang kakek sakti yang setengah gila, yang berjuluk Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hanya sayang sekali, Siangkoan Li yang tadinya merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa, bahkan menjadi sahabat baik Mutiara Hitam dan jatuh cinta kepada pendekar wanita perkasa itu, tidak hanya mewarisi kesaktian kedua orang gurunya, akan tetapi juga mewarisi keganasan dan kegilaannya!
Siangkoan Li mengamuk dan berhasil merampas Thian-liong-pang dimana dia menjadi ketuanya dan semenjak itu Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang penuh rahasia. Perkumpulan ini tidak pernah menonjol di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak ada yang berani lancang tangan mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang hidupnya aneh dan penuh rahasia. Ilmu silat para anggauta Thian-liong-pang rata-rata amat tinggi dan dasar ilmu kepandaian mereka bersumber ilmu-ilmu yang aneh dan luar biasa dari Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, atau lebih tepat dari Siangkoan Li yang menyebarkan kepandaian itu kepada para anak buah dan murid-muridnya. Setelah Siangkoan Li meninggal dunia dalam keadaan menderita batin karena cintanya yang gagal terhadap Mutiara Hitam dan selamanya tidak mau menikah, dalam puluhan tahun terjadilah pergantian ketua baru beberapa kali dan mulailah terjadi kekacauan di dalam perkumpulan ini karena perebutan kursi ketua! Dan semenjak itu, selalu ada ketegangan di antara para murid-murid kepala atau dewan pimpinan mereka yang selalu berusaha memperkuat diri untuk merampas kedudukan ketua. Keadaan ini menimbulkan peraturan baru yang dipegang teguh oleh mereka, yaitu setiap tahun diadakan pemilihan ketua baru dengan jalan berpibu, mengadu kepandaian dan siapa yang paling pandai di antara mereka, tidak peduli wanita atau pria, tidak peduli saudara tua atau saudara muda dalam perguruan, dia yang berhak menjadi ketua sampai lain tahun diadakan pibu lagi dimana dia harus mempertahankan kedudukannya dengan taruhan nyawa! Ya, dalam pibu antara orang-orang liar ini sering kali terjadi pembunuhan. Mereka tidak segan saling membunuh di antara saudara sendiri untuk memperebutkan kursi ketua yang amat mereka rindukan karena kursi itu berarti kemuliaan, kemewahan, kehormatan dan nama besar!
Ketika Nirahai mendatangi perkumpulan yang hendak dipilihnya sebagai syarat untuk menandingi kebesaran Pulau Es yang dipimpin oleh Suma Han, suaminya yang dianggapnya menyia-nyiakan dan menyakitkan hatinya itu tepat terjadi di waktu Thian-liong-pang sedang mengadakan pibu tahunan yang selalu terjadi di ruangan belakang gedung perkumpulan yang amat luas dan terkurung pagar tembok yang tinggi dan atasnya dipasangi tombak-tombak runcing sehingga orang yang berkepandaian tinggi sekalipun jarang ada yang dapat melompat pagar tembok itu. Seperti biasa, pibu diadakan di pekarangan luas yang dikurung oleh anak buah Thian-liong-pang yang menonton dengan penuh perhatian, ketegangan dan juga kegembiraan karena mereka itu tentu saja mempunyai pilihan calon ketua masing-masing sehingga keadaan hampir sama dengan orang-orang yang menonton adu jago. Bahkan di antara anak buah itu ada yang bertaruh, bukan hanya bertaruh uang dan barang berharga, bahkan ada yang mempertaruhkan isterinya!
Pada waktu itu, Thian-liong-pang yang tidak hanya berganti-ganti ketua akan tetapi juga berpindah-pindah tempat itu berpusat di kota kecil Cin-bun yang letaknya di lembah Sungai Huang-ho, di sebelah utara kota Cin-bun di Propinsi Shantung. Para penduduk Cin-bun mendengar akan pemilihan ketua, akan tetapi tidak ada yang berani mencampuri, bahkan mendekati kelompok bangunan besar yang dilingkungi pagar tembok bertombak itu pun merupakan hal yang berbahaya bagi mereka. Para pembesar pemerintah Mancu pun tidak ada yang berani mencampuri, dan mereka ini sudah menerima perintah dari atasan bahwa pemerintah tidak ingin menciptakan permusuhan dengan perkumpulan yang kuat ini, maka pemerintah daerah yang mengawasi gerak-gerik mereka dan selama perkumpulan itu tidak melakukan perbuatan yang menentang pemerintah, pemerintah pun lebih suka untuk berbaik dengan mereka. Menentang pun berarti tentu akan menimbulkan pemberontakan baru dan pemerintah tidak menghendaki hal ini karena setiap pemberontakan merupakan bahaya besar, dapat merupakan api yang membakar semangat perlawanan rakyat yang dijajah.
Pada waktu itu, Thian-liong-pang mempunyai anak buah yang jumlahnya dua ratus orang lebih, sebagian besar tinggal di Cin-bun, akan tetapi ada pula yang tinggal di dusun-dusun sekitar Propinsi Shantung dan membuka cabang-cabang Thian-liong-pang. Akan tetapi pada waktu itu, semua pimpinan cabang berkumpul pula di pusat untuk menyaksikan pemilihan ketua baru melalui pibu, bahkan di antara mereka ada yang ingin melihat-lihat barangkali tingkat kepandaian mereka sudah cukup untuk dicoba mengadu untung ikut dalam pibu.
Dua ratus orang lebih anggauta Thian-liong-pang sudah berkumpul dan suasana menjadi riang gembira karena para anggauta itu sibuk saling bertaruh memilih jago masing-masing. Para pimpinan rendahan yang mendapat tempat di bangku rendah yang berjajar di depan anak buah itu hanya mendengarkan tingkah anak buah mereka sambil tersenyum-senyum. Mereka ini tentu saja tidak berani bertaruh seperti yang dilakukan anak buah mereka, hanya diam-diam mereka pun mempunyai pilihan masing-masing karena mereka sendiri masih merasa terlalu rendah tingkat kepandaiannya untuk coba-coba berpibu yang berarti mempertaruhkan nyawa.
Adapun pimpinan yang tingkatnya tinggi sudah pula berkumpul di atas kursi-kursi di tingkat atas ruangan yang dipisahkan dari pekarangan tempat pibu itu oleh lima buah anak tangga di mana ditaruh kursi gading untuk Sang Ketua, diapit-apit beberapa buah kursi untuk para pimpinan yang tinggi tingkatnya dan mereka inilah yang menjadi calon-calon penantang ketua lama. Pada waktu itu tampak lima orang pemimpin tinggi yang telah duduk dengan tubuh tegak dan sikap angkuh, sinar mata mereka berseri seolah-olah mereka itu masing-masing telah merasa yakin akan memperoleh kemenangan dalam pibu yang hendak diadakan. Kursi gading untuk Ketua masih kosong karena Ketuanya belum keluar, sedangkan seperangkat alat tetabuhan yang dipukul perlahan
menyemarakkan suasana seperti dalam pesta.
Orang pertama dari para pimpinan tinggi adalah seorang kakek yang menyeramkan. Mukanya seperti muka singa karena rambut di kedua pelipisnya disambung dengan jenggot yang melingkari wajahnya, kumisnya juga tipis seperti kumis singa. Tubuhnya kekar penuh membayangkan tenaga yang amat kuat biarpun kakek ini usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Rambut dan cambang bauknya sudah berwarna putih, namun warna ini menambah keangkerannya karena membuat mukanya lebih mirip muka singa. Sepasang matenya yang lebar menyinarkan cahaya kilat menyeramkan, namun sikapnya pendiam, pakaiannya sederhana dan dia duduk seperti seekor singa kekenyangan yang mengantuk! Kakek ini sebenarnya merupakan saudara seperguruan tertua dan bahkan menjadi suheng dari Ketua yang sekarang, namun karena dia seorang berjiwa perantau dan petualang, maka dia tidak mempunyai nafsu untuk merebut kedudukan ketua, sungguhpun dalam hal kepandaian, masih sukar ditentukan siapa yang lebih unggul antara dia dan Sang Ketua. Kakek ini sudah tidak dikenal lagi nama aselinya, lebih dikenal julukannya yang menyeramkan, yaitu Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Singa)!
Orang kedua juga seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, kepalanya gundul akan tetapi dia bukanlah seorang hwesio karena dia berjenggot dan berkumis dan berpakaian seperti seorang pelajar, bersikap halus namun matanya liar seperti mata orang yang tidak waras pikirannya. Kelihatannya kakek gundul ini lemah, duduk memegangi lengan kursi dan kadang-kadang kedua tangannya bergerak menggigil seperti orang buyuten, kepalanya bergerak-gerak sendiri tanpa disadari mengangguk-angguk dan mulutnya kadang-kadang tersenyum geli seolah-olah ada setan tak tampak membadut di depannya. Namun jangan dianggap remeh kakek ini karena dia pun merupakan suheng dari Sang Ketua, dan sute dari Sai-cu Lo-mo. Namanya Chie Kang dan julukannya tidak kalah menyeramkan dari suhengnya karena di dunia kang-ouw dia dikenal sebagai Lui-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin dan Kilat)!
Orang ke tiga adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tinggi besar tubuhnya, wajahnya merah seperti orang sakit darah tinggi, matanya melotot jarang berkedip, hidungnya besar merah tanda sifat gila perempuan, pakaiannya seperti seorang jago silat dan di punggungnya tampak gagang sebatang golok besar. Inilah Twa-to Sin-seng (Bintang Sakti Golok Besar) Ma Chun yang amat disegani dan ditakuti karena wataknya yang kasar, terbuka, dan kurang ajar terhadap wanita tanpa tedeng aling-aling lagi!
Orang ke empat adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, wajahya tampan sekali, bahkan begitu halus gerak-geriknya, begitu merah bibirnya dan begitu tajam memikat kerling matanya sehingga dia lebih mirip seorang wanita! Sepasang pedang tergantung di pinggangnya, pakaiannya biru, dari bahan sutera halus dan laki-laki tampan ini termasuk seorang yang pesolek. Sayangnya, sinar matanya yang bagus itu mengandung kekejaman dan juga kesombongan yang memandang rendah semua orang! Dia ini pun bukan orang biasa dan merupakan di antara para pemimpin tinggi yang telah membuat nama Thian-liong-pang menjadi nama besar dan tenar.
Pedangnya amat ditakuti orang dan dia dijuluki Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Arwah), namanya Liauw It Ban. Kalau suhengnya, Ma Chun, terkenal sebagai seorang laki-laki gila perempuan dan suka mempermainkan wanita, Liauw It Ban ini lebih hebat lagi karena dia seorang mata keranjang yang berwatak sadis, senang sekali menyiksa wanita yang menjadi korbannya! Betapapun juga, dia dan suhengnya tidak pernah mengumbar hawa nafsu iblis itu di daerah sendiri karena mereka tunduk akan perintah ketua mereka agar tidak mengotorkan nama Thian-liong-pang di daerah sendiri sehingga tidak mendapat kesan buruk terhadap pemerintah. Karena itu, namanya lebih tersohor di daerah lain di luar propinsi.
Orang ke lima akan mendatangkan rasa heran bagi orang luar Thian-liong-pang karena dia paling tidak patut menjadi anggauta dewan pimpinan perkumpulan besar itu. Dia adalah seorang wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh tujuh tahun usianya, cantik manis dengan pakaian sederhana namun tidak dapat menyembunyikan lekuk lengkung tubuhnya yang sudah matang. Wanita ini merupakan saudara seperguruan termuda, namun dia memiliki ilmu kepandaian di luar ilmu keturunan ilmu para Pimpinan Thian-liong-pang karena dia telah menerima ilmu-ilmu dari mendiang suaminya, seorang murid dari Bu-tong-pai yang lihai. Suaminya tewas setahun yang lalu ketika berusaha memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua sehingga wanita ini yang bernama Tang Wi Siang, adalah seorang janda kembang yang harum dan membuat banyak pria tertarik dan ingin sekali memetiknya. Terutama sekali kedua orang suhengnya sendiri, Ma Chun dan Liauw It Ban yang pada waktu itu pun seringkali melayangkan sinar mata ke arahnya. Bahkan beberapa kali Ma Chun menelan ludah kalau pandang matanya menyapu tubuh sumoinya yang penuh gairah. Liauw It Ban juga memandang dengan sinar mata penuh gairah, akan tetapi ia tersenyum-senyum dan memasang aksi setampan mungkin untuk menundukkan hati sumoinya yang sudah menjadi janda itu. Namun, Tang Wi Siang duduk dengan tenang dan sikapnya dingin sekali, seperti sebongkah es membeku. Namun, di luar tahu lain orang, diam-diam ia menyapukan pandang matanya yang tajam itu ke arah Liauw It Ban, suhengnya yang tampan. Dahulu sebelum suaminya tewas, dia tidak mempedulikan suhengnya yang tampan ini, bahkan sebelum ia menikah, ia tidak pernah melayani rayuan suhengnya. Akan tetapi sekarang, setelah setahun lamanya dia menjanda, setelah merasa tersiksa hatinya karena kehilangan rayuan dan cinta kasih seorang pria yang pernah dinikmatinya hanya beberapa tahun lamanya, diam-diam sering jantungnya berdebar kalau membayangkan suhengnya yang tampan itu
menggantikan mendiang suaminya! Lima orang inilah, bersama Sang Ketua sendiri, yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Thian-liong-pang dan memang mereka berenam memiliki kepandaian yang tinggi, memiliki keistimewaan masing-masing sehingga sukar untuk dikatakan siapa di antara mereka yang paling lihai. Dan kini, sudah dapat dibayangkan bahwa dalam pibu perebutan
kedudukan ketua, lima orang inilah yang akan berani maju untuk berpibu melawan Sang Ketua, karena selain mereka, siapa lagi yang akan berani maju?
Tiba-tiba tetabuhan dipukul keras dan terdengar aba-aba dari komandan upacara, yaitu seorang pemimpin rendahan yang memberi tahu akan munculnya Sang Ketua. Semua anggauta Thian-liong-pang serentak bangkit memberi hormat, dan lima orang itulah yang berdiri dengan tenang dan biasa menyambut munculnya Si Ketua yang ditunggu-tunggu sejak tadi. Orang takkan merasa heran setelah melihat munculnya Ketua Thian-liong-pang karena memang patutlah orang ini menjadi ketua. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa sehingga Ma Chun yang tinggi besar itu hanya setinggi pundaknya! Ketua Thian-liong-pang ini tingginya seimbang dengan besar tubuhnya. Langkahnya lebar dan berat seperti langkah seekor gajah, lantai sampai tergetar dibuatnya.
Pakaiannya mentereng akan tetapi ketat dan membayangkan tonjolan otot-otot yang besar. Kedua lengannya sampai ke jari tangannya penuh bulu hitam kasar, kepalanya yang besar juga berambut hitam kasar seperti kawat-kawat baja. Alisnya tebal hampir persegi, matanya bulat dengan manik mata hitam amat kecil sehingga kelihatannnya mata itu putih semua, hidungnya kecil akan tetapi mulutnya besar seperti terobek kedua ujungnya. Jenggot dan kumisnya dipotong pendek, kaku seperti sikat kawat! Kulitnya yang kelihatannya tebal seperti kulit badak itu berkerut-kerut, agak hitam mengingatkan orang akan kulit buaya yang tebal, keras, dan lebat! Inilah dia Phang Kok Sek, Ketua Thian-liong-pang yang telah mewarisi Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dari leluhur Thian-liong-pang, yaitu Lam-kek Sian-ong! Tahun yang lalu, dalam pibu dia telah menewaskan ketua lama yang menjadi paman gurunya sendiri, menewaskan pula suami Tan Wi Siang dan beberapa orang lain lagi, bahkan melukai Ma Chun yang menjadi sutenya.
Dengan gerakan kedua tangannya yang kaku Ketua ini mempersilakan saudara-saudara seperguruannya untuk duduk kembali. Dia sendiri menduduki kursi gading, dan semua anak buah lalu duduk pula, para pemimpin rendah duduk di bangku dan para anggauta duduk di atas lantai yang terbuat dan batu persegi yang lebar, keras dan berwarna hitam. Seperti biasa, mereka itu merupakan setengah lingkaran menghadap ke arah tempat para pimpinan duduk, yaitu di atas anak tangga dan di depan atau sebelah bawah anak tangga itu merupakan ruangan yang sengaja dikosongkan karena di situlah biasanya diadakan pibu antara pimpinan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ketua baru karena memiliki ilmu kepandaian tertinggi. Tempat pibu yang berbahaya karena lantai ubin batu itu amat keras sehingga sekali terbanting, tulang bisa patah, apalagi kalau kepala yang terbanting bisa pecah!
Seperti sudah menjadi kebiasaan setiap diadakan pibu pemilihan ketua baru, Thian-liong-pangcu yang bertubuh seperti raksasa memberi isyarat dengan kedua tangan ke atas, menyuruh semua orang tidak mengeluarkan suara berisik. Setelah keadaan menjadi hening, dia bangkit berdiri dan mengucapkan kata-kata yang sudah dikenal baik oleh semua anggauta.
"Saudara sekalian, hari ini kita berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru seperti yang tiap kali diadakan sesuai dengan kehendak dewan pimpinan. Aku sendiri sebagai ketua, kedua orang Suheng, dua orang Sute, dan Sumoiku sebagai anggauta dewan pimpinan telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan ketua baru pada hari ini sesuai dengan kebiasaan dan peraturan perkumpulan kita. Seperti telah menjadi kebiasaan Thian-liong-pang pula, aku sebagai ketua harus mempertahankan kedudukanku sebagai ketua dan dia yang dapat mengalahkan aku dan kemudian keluar sebagai orang terkuat, dialah yang berhak menjadi ketua baru tanpa ada tantangan dari siapapun juga dan memiliki hak mutlak untuk menjadi Ketua Thian-liong-pang. Luka atau mati dalam pibu tidak boleh mengakibatkan dendam dan kebencian di antara saudara seperkumpulan, karena pibu ini diadakan bukan karena urusan pribadi, melainkan untuk pemilihan ketua dan demi kepentingan dan nama besar Thian-liong-pang. Aku sudah selesai bicara dan di antara para anggauta biasa dan pimpinan yang ingin memasuki pibu, harap berdiri dan menyatakan pendapatnya." Setelah berkata demikian, Ketua yang bertubuh seperti raksasa itu duduk kembali, kedua lengannya yang besar ditaruh di atas lengan kursi gading, tubuhnya memenuhi kursi itu dan pandang matanya menyapu semua orang yang hadir penuh tantangan. Namun diam-diam ia melirik ke arah dua orang suhengnya, yaitu Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang. Ketua ini tidak gentar menghadapi dua orang sutenya dan seorang sumoinya karena merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan mereka. Namun dia mengerti bahwa kalau dua orang suhengnya itu memasuki pibu, dia harus berhati-hati karena akan bertemu lawan yang berat.
Sai-cu Lo-mo yang sudah berusia enam puluh tahun itu adalah seorang perantau dan sejak dahulu tidak pernah memasuki pibu perebutan kursi ketua karena baginya, menjadi ketua berarti harus selalu berada di Thian-liong-pang dan agaknya dia tidak mau mengorbankan kesukaannya merantau dengan menjadi ketua. Adapun Lui-hong Sin-ciang Chie Kang adalah seorang yang sama sekali tidak mempunyai ambisi, belum pernah mengikuti pibu pemilihan ketua, lebih senang duduk termenung, atau bersamadhi atau diam-diam melatih ilmu silatnya, kalau tidak tentu dia tenggelam dalam kitab-kitab kuno karena dia adalah seorang kutu buku yang karena terlalu suka membaca tanpa mempedulikan waktu, sampai kadang-kadang matanya basah dan merah, sedangkan kedua tangannya menggigil buyuten! Betapapun juga, Phang Kok Sek maklum bahwa suhengnya yang kedua ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia masih belum berani memastikan apakah dia akan menang melawan Ji-suhengnya ini.
Karena ada kekhawatiran ini, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat twa-suhengnya, Sai-cu Lo-mo sebagai orang pertama yang bangkit berdiri dari kursi di ujung sebelah kanannya. Juga para anggauta menjadi heran dan tegang karena maklum bahwa kalau yang tua-tua ini sudah ikut pibu, tentu akan ramai sekali pertandingan antara saudara-saudara seperguruan itu.
Sai-cu Lo-mo mengelus brewoknya yang putih sambil tersenyum sebelum bicara, kemudian ia berkata, "Harap semua saudara jangan salah menduga. Aku lebih suka merantau di alam bebas daripada harus terikat di atas kursi gading sebagai ketua! Sekarang pun aku masih belum mengubah kesenanganku dan aku tidak akan mengikuti pibu pemilihan ketua, hanya ada sedikit hal yang perlu kukemukakan. Siapa pun yang akan menjadi ketua baru, mulai sekarang harus dapat mengendalikan Thian-liong-pang dengan baik, mencegah penyelewengan para anggauta yang hanya akan merusak nama besar Thiang-liong-pang. Hentikan perbuatan-perbuatan maksiat yang rendah dan yang menyeret Thian-liong-pang kelembah kehinaan, karena kita bukanlah angauta-anggauta perkumpulan rendah, bukan segerombolan penjahat-penjahat kecil yang mengandalkan nama perkumpulan untuk melakukan perbuatan menjijikkan seperti yang sering kudengar yaitu berlaku sewenang-wenang, memperkosa wanita, dan sebagainya. Kalau perbuatan-perbuatan ini tidak dihentikan, kalau Ketua baru tidak mampu mengendalikan, hemmm.... aku tidak mengancam, akan tetapi terpaksa aku akan turun tangan menantangnya dan mungkin akan timbul hasratku untuk menjadi ketua!" Setelah berkata demikian, kakek muka singa itu duduk kembali dan melenggut seperti orang hendak tidur!
Keadaan menjadi sunyi, kemudian terdengar bisik-bisik di antara para anggauta yang sebagian besar merasa tersinggung dan tidak senang dengan ucapan itu. Adapun Phang Kok Sek, Sang Ketua, menjadi merah mukanya, terasa panas seperti baru saja menerima tamparan.
"Cocok sekali!" Tiba-tiba Lui-hong Sin-ciang Chie Kang berseru dan bangkit dari kursinya, suaranya tinggi nyaring sungguh tidak sesuai dengan sikapnya yang tenang dan kelihatan lemah. "Jangan membikin malu nenek moyang kita yang gagah perkasa, Siangkoan Li Su-couw yang pernah menjadi sahabat baik pendekar wanita sakti Mutiara Hitam!"
Setelah berkata demikian, Lui-hong Sinciang Chie Kang duduk kembali.
Biarpun ucapan kedua orang suhengnya itu merupakan tamparan dan teguran tersembunyi, yang ditujukan kepadanya, namun hati Phang Kok Sek menjadi lega karena jelas bahwa kedua orang suhengnya itu tidak mau memasuki pibu memperebutkan kursi ketua! Kini tinggal dua orang sutenya dan seorang sumoinya, karena selain mereka bertiga, siapa lagi yang berani memasuki pibu? Dia melirik ke arah kedua orang sutenya dan sumoinya.
Hampir berbareng, Twa-to Sin-seng Ma Chun dan Cui-beng-kiam Liauw It Ban bangkit berdiri memandang ketua mereka juga suheng mereka sambil berkata, "Aku hendak memasuki pibu!" kata Ma Chun. "Dan aku juga ingin mencoba-coba, memasuki pibu pemilihan ketua baru!" kata Liauw It Ban.
Setelah kedua orang itu duduk kembali, Tang Wi Siang bangkit berdiri. Janda muda yang cantik jelita ini berkata tenang, "Aku ingin memasuki pibu, akan tetapi hendaknya Pangcu dan sekalian Suheng dan saudara sekalian maklum bahwa aku merasa tidak cukup untuk menjadi ketua...."
"Sumoi, aku bersedia membantumu mengatur pekerjaan ketua!" Tiba-tiba Liauw It Ban berseru dan matanya memandang dengan sinar penuh arti. Kedua pipi wanita itu berubah merah, jantungnya berdebar karena maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu, apalagi ketika ia melihat banyak mulut tersenyum-senyum maklum, membuat dia merasa lebih jengah lagi.
"Terima kasih, Liauw-suheng. Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi ketua, juga jangan disalah artikan bahwa aku memasuki pibu karena mendendam atas kematian mendiang suamiku. Sama sekali tidak, aku memasuki pibu setelah selama ini aku melatih diri memperdalam ilmu silat dan semata-mata hanya untuk mempertebal keyakinan bahwa orang yang menjadi ketua perkumpulan kita memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku sehingga boleh dipercaya dan diandaikan utuk menjunjung nama dan kehormatan Thian-liong-pang!"
Girang sekali hati Phang Kok Sek mendengar ini dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk memaafkan sumoinya yang cantik itu dan tidak membunuhnya. Akan tetapi kedua orang sutenya Ma Chun dan Liauw It Ban harus ia tewaskan dalam pibu itu karena kalau sekali ini mereka gagal, pada lain kesempatan tentu mereka itu akan mencoba lagi dan hal ini merupakan bahaya terus-menerus bagi kedudukannya. Ia segera bangkit berdiri dan berkata, "Terima kasih atas wejangan kedua Suheng dan tentu saya akan berusaha memperbaiki keadaan perkumpulan kita. Seperti saudara sekalian telah mendengar, yang memasuki pibu untuk kedudukan ketua baru hanyalah Ma-sute dan Liauw-sute, sedangkan Sumoi hanya akan menguji kepandaian Ketua baru yang berhasil keluar sebagai pemenang dalam pibu ini. Kurasa tidak ada orang lain lagi yang akan memasuki pibu hari ini!"
"Ada!" Tiba-tiba terdengar suara yang bening merdu, suara wanita! "Akulah yang akan memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua Thian-liong-pang!"
Semua orang menengok dan memandang dengan penuh keheranan kepada seorang wanita yang kepalanya berkerudung sutera putih dan tahu-tahu telah berdiri di dalam ruangan itu. Bagaimana mungkin orang ini masuk? Semua pintu masih tertutup, dan tempat itu dikelilingi tembok yang tinggi dan atasnva dipasangi tombak-tombak runcing mengandung racun!
"Engkau siapa?" Phang Kok Sek membentak dengan suara menggeledek karena marah.
Terdengar suara ketawa kecil di balik kerudung sutera itu dan dengan langkah tenang wanita berkerudung itu memasuki ruangan sampai di bagian tengah yang kosong, di bawah anak tangga kemudian berkata, "Pangcu, siapa aku bukanlah hal penting. Akan tetapi kalau kalian semua ingin tahu juga, akulah calon Ketua baru dari Thian-liong-pang, calon Ketua kalian. Aku memasuki pibu untuk mendapatkan kedudukkan Ketua Thian-liong-pang."
Phang Kok Sek bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah wanita berkerudung itu. "Tidak mungkin! Engkau telah melakukan dua pelanggaran. Pertama, engkau sebagai orang luar berani memasuki tempat ini tanpa ijin, kesalahan ini saja sudah patut dihukum dengan kematian. Ke dua, pibu kedudukan Ketua Thian-liong-pang hanya dilakukan di antara anggauta sendiri, tidak boleh dicampuri orang dari luar! Hayo, buka kedokmu dan perkenalkan dirimu. Karena engkau seorang wanita, mungkin sekali kami dapat memberi ampun."
Kembali wanita itu tertawa, halus merdu dan penuh ejekan namun cukup membuat tulang punggung yang mendengarnya terasa dingin. "Phang Kok Sek, biarpun engkau telah menjadi Ketua Thian-liong-pang, ternyata engkau agaknya tidak tahu atau lupa akan sejarah Thian-liong-pang dan riwayat tokoh-tokoh besarnya di waktu dahulu. Dahulu, pendekar besar Siongkoan Li telah diusir dari Thian-liong-pang, dan dianggap sebagai orang luar karena perbuatan-perbuatannya yang menentang Thian-liong-pang dan karena menjadi murid dari kedua Sian-ong Kutub Utara dan Selatan. Akan tetapi kemudian dia kembali dan merampas Thian-liong-pang menjadi ketuanya! Bukankah itu berarti seorang luar dapat menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan lupakah engkau kepada Gurumu sendiri, Guru semua anggauta dewan pimpinan Thian-liong-pang ini? Siapakah Guru kalian? Bukankah guru kalian mendiang Kim-sin-to Sai-kong adalah seorang pertapa dari Kun-lun-san yang sama sekali bukan anggauta Thian-liong-pang tadinya?"
Keenam pimpinan Thian-liong-pang terkejut sekali. Bagaimana orang ini dapat mengetahui semua rahasia itu yang menjadi rahasia moyang para pimpinan Thian-liong-pang?
"Siapakah engkau?" Kembali Phang Kok Sek bertanya. "Aku adalah calon Thian-liong-pangcu," wanita berkerudung menjawab.
Tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata setelah menatap sepasang mata di balik kerudung itu dengan tajam. "Toanio, siapa pun adanya engkau, caramu masuk dan sikapmu menunjukkan bahwa engkau seorang pemberani. Akan tetapi ketahuilah bahwa seorang yang ingin menjadi Ketua Thian-liong-pang bukanlah melalui pibu, melainkan merupakan perampas perkumpulan yang harus lebih dahulu mengalahkan seluruh pimpinan...."
"Memang aku datang untuk mengalahkan kalian semua atau siapa saja yang menentangku menjadi Ketua Thian-liong-pang!" Wanita itu menjawab seenaknya. "Nah, aku menyatakan diriku sebagai Ketua Thian-liong-pang yang baru! Siapa yang akan menentang? Boleh maju!"
Para anggauta Thian-liong-pang memandang dengan hati tegang dan juga gembira karena mereka merasa yakin bahwa munculnya wanita aneh ini akan mengakibatkan pertandingan yang amat menarik. Tadinya mereka sudah merasa kecewa ketika mendengar ucapan Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang karena maklum bahwa dua orang tua itu tidak memasuki pibu sehingga pertandingan yang akan terjadi di antara Ketua dan dua orang sutenya dan seorang sumoinya tidak akan menarik hati.
Sementara itu, melihat sikap wanita berkerudung, enam orang pimpinan Thian-liong-pang menjadi marah dan diam-diam Phang Kok Sek memberi tanda dengan matanya kepada Cui-beng-kiam Liauw It Ban. Mereka berenam adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi pula, maka biarpun mereka ditantang, mereka merasa malu untuk maju mengeroyok. Pula, Phang Kok Sek yang cerdik sengaja menyuruh sutenya maju, selain untuk menyaksikan dan mengukur kepandaian wanita berkerudung juga andaikata terjadi sesuatu dengan diri Liauw It Ban hanya berarti bahwa dia kehilangan seorang di antara saingan-saingannya! Akan tetapi betapa kaget hatinya, dan juga para pimpinan lain ketika wanita itu mendahului Liauw It Ban yang hendak bangun menghadapi Si Pedang Pengejar Roh itu sambil berkata, "Nah, engkau sudah menerima perintah Suhengmu untuk melawan aku. Majulah!"
Bukan main tajamnya pandang mata di balik kerudung sutera itu sehingga isyarat Sang Ketua dengan matanya dapat ia tangkap! Liauw It Ban meloncat bangun dan ketika tangan kanannya bergerak, tampak sinar berkelebat, pedangnya telah berada di tangan kanan. Ia tersenyum mengejek, melintangkan pedang depan dada dan menggunakan telunjuk kirinya menuding ke arah muka berkerudung itu. "Perempuan sombong! Agaknya engkau belum mengenal aku, maka engkau berani membuka mulut besar! Lebih selamat bagimu kalau engkau membuka kerudungmu agar dapat kulihat wajahmu. Kalau wajahmu sehebat tubuhmu, hemm.... agaknya aku masih dapat mengampunimu asal engkau tahu bagaimana harus membalas budi, ha-ha!"
Betapa kagetnya ketika laki-laki berusia tiga puluh tahun yang tampan dan pesolek ini mendengar suara dari balik kerudung, suara yang merdu namun mengandung ejekan, "Cui-beng-kiam Liauw It Ban, siapa tidak mengenal orang rendah seperti engkau ini? Engkau orang kelima dari enam Pimpinan Thian-liong-pang, dan sudah cukup engkau mengotorkan Thian-liong-pang dengan perbuatan-perbuatanmu yang kotor, memperkosa wanita-wanita baik-baik, menyiksa orang. Engkau seorang penjahat cabul yang berhati keji dan sesungguhnya engkau tidak patut menjadi tokoh Thian-liong-pang. Kedatanganku memang untuk menjadi Ketua Thian-liong-pang dan sekaligus membersihkan Thian-liong-pang dari monyet-monyet kotor macam engkau!"
"Singggg....!" Tampak sinar kilat ketika pedang di tangan Liauw It Ban menyambar ke arah leher wanita berkerudung. Namun, dengan gerakan mudah sekali wanita itu mengelak, bahkan terdengar tertawa mengejek. Tidak percuma Liauw It Ban mendapat julukan Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) karena begitu pedangnya luput, sudah membalik lagi dengan serangan ke dua yang merupakan sebuah tusukan ke arah dada wanita berkerudung itu.
Semua pimpinan Thian-liong-pang terbelalak kaget ketika menyaksikan gerakan wanita berkerudung itu. Wanita itu mengangkat tangan kirinya dan dua buah jari tangannya, telunjuk dan ibu jari, menjepit ujung pedang yang menusuknya dengan mudah sekali dan.... betapa pun Liauw It Ban menarik, pedangnya tidak dapat terlepas dari jepitan dua buah jari itu!
"Begini sajakah Pedang Pengejar Roh? Tentu roh tikus saja yang dapat dikejarnya. Hi-hik!" Wanita berkerudung itu mengejek.
"Perempuan siluman!" Liauw It Ban membentak, tangan kanannya menyambar ke depan, menghantam ke arah muka wanita yang tertutup kerudung sutera itu. "Plakk! Krekkk.... aduuuhhhh!" Liauw It Ban menjerit kesakitan ketika tangan kanan wanita itu menyambut pukulannya dengen telapak tangan, terus mencengkeram sehingga tulang-tulang jari tangan Liauw It Ban yang terkepal
itu patah-patah dan remuk! "Krak.... cepppp! Auggghhh...." Wanita itu tidak berhenti sampai di situ saja, tangan kirinya yang menjepit ujung pedang membuat gerakan, pedang patah ujungnya dan sekali mengibaskan tangan kiri, ujung pedang itu meluncur dan amblas memasuki dada Liauw It Ban sampai tembus ke punggung. Liauw It Ban melepaskan pedang mendekap dadanya dan roboh terjengkang, tewas di saat itu juga. Wanita berkerudung menendang dan mayat itu melayang ke atas anak tangga, ke arah Ketua Thian-liong-pang! Phang Kok Sek menyambut mayat itu, memeriksa sebentar dan mukanya menjadi merah saking marahnya. Kalau saja Liauw It Ban tewas dalam sebuah pertandingan yang dapat membuka rahasia gerakan wanita itu dan yang kiranya dapat ia tandingi tentu ia akan merasa girang kehilangan seorang saingan. Akan tetapi kematian sutenya itu demikian aneh, hanya dalam dua gebrakan saja sehingga dia sama sekali tidak dapat mengukur sampai di mana tingginya kepandaian wanita itu, dan hal ini merupakan penghinaan bagi Thian-liong-pang yang ditakuti oleh semua tokoh kang-ouw. Biarpun dia belum dapat mengukur dan mengenal ilmu wanita berkerudung, namun ia tahu bahwa wanita itu amat sakti, kalau tidak tak mungkin sutenya yang ilmu kepandaiannya tidak kalah jauh olehnya itu dapat tewas semudah itu. Maka ia cepat memberi isyarat dan berseru.
"Serbu....!"
Dua ratus orang anak buah Thian-liong-pang dipimpin oleh komandan masing-masing, serentak bangkit. Tiba-tiba terdengar suara lengking panjang yang menulikan telinga, disusul oleh berkelebatnya bayangan yang berputar ke arah mereka yang mengurungnya dan.... semua orang terbelalak memandang dua belas orang yang roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi! Kiranya wanita itu sudah bergerak cepat dan merobohkan setiap orang yang berada paling depan dari para pengurung, entah bagaimana caranya karena dua belas orang yang roboh dan tewas itu tidak terluka sama sekali.
"Para anggauta Thian-liong-pang, dengarlah! Aku datang bukan untuk membunuh kalian, melainkan untuk memimpin kalian. Kalau aku datang akan membasmi, betapa mudahnya! Aku akan menjadikan Thian-liong-pang sebuah perkumpulan terbesar dan terkuat di seluruh dunia, sekuat Pulau Es dengan penghuni-penghuninya!"
Mendengar ini, terutama melihat cara wanita itu merobohkan dua belas orang teman mereka, para anggauta itu serentak mundur dan menjadi ragu-ragu. Hal ini menimbulkan kemarahan besar di hati para pimpinan. "Perempuan rendah, berani engkau membunuh Suteku?" Twa-to Sin-seng Ma Chun berteriak dan tangan kirinya bergerak.
"Cuit-cuit-cuit.... cap-cap-cappp!" Tiga batang senjata rahasia berbentuk bintang menyambar ke arah tubuh wanita berkerudung, namun semua dapat ditangkap oleh wanita itu dengan jepitan jari-jari tangannya. Wanita itu terkekeh, mengumpulkan tiga buah senjata rahasia itu di tangan kirinya, mengepal dan terdengar suara keras. Ketika ia membuka tangannya, tiga buah senjata rahasia bintang yang terbuat dari baja dan diberi racun itu telah hancur berkeping-keping dan dibuang ke atas lantai!
Twa-to Sin-seng Ma Chun marah sekali, mencabut golok besarnya dan menerjang maju. Tang Wi Siang yang melihat Liauw It Ban, suheng yang menggerakkan gairahnya itu terbunuh, menjadi marah dan ia pun sudah mencabut pedang dan membantu Ma Chun mengeroyok wanita itu. Sinar golok dan pedang menyambar-nyambar seperti kilat, mengurung tubuh wanita berkerudung, akan tetapi anehnya, tak pernah kedua senjata ini menyentuh ujung baju Si Wanita yang bergerak dengan mudah dan ringan seolah-olah tubuhnya berubah menjadi uap. Dikeroyok oleh dua orang yang lihai itu wanita ini malah terkekeh-kekeh dan masih dapat berkata-kata sambil mengelak ke sana ke mari. "Twa-to Sin-ceng Ma Chun, engkau pun bukan manusia baik-baik. Engkau mata keranjang, sombong, kasar dan mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa...."
"Perempuan rendah! Kalau aku dapat menangkapmu, aku bersumpah akan menelanjangimu dan memperkosamu di depan mata seluruh anggauta Thian-liong-pang.... aughhh....!" Tubuh yang tinggi besar itu terlempar, goloknya terpental dan ketika semua orang memandang, tampak tanda tiga buah jari membiru di dahi Ma Chun yang sudah tewas itu!
"Engkau.... manusia kejam....!" Tang Wi Siang menjerit dan pedangnya menerjang dengan hebatnya. Tingkat kepandaian Tang Wi Siang kalau dibandingkan tingkat Ma Chun dan Liauw It Ban, dapat dikatakan sama, akan tetapi setelah ia mempelajari ilmu pedang dari suaminya yang telah tiada, ia dapat memperhebat ilmu pedangnya dengan gerakan dasar dari Bu-tong-pai. Maka sekali ini dalam keadaan marah, pedangnya mengeluarkan bunyi berdesing-desing dan menyerang wanita berkerudung itu secara bertubi-tubi. "Tang Wi Siang, bagus sekali engkau telah mempelajari ilmu dasar dari Bu-tong-pai. Aku tidak akan membunuhmu karena aku memilih engkau menjadi wakilku dalam memimpin Thian-liong-pang!"
"Tutup mulut mu! Aku baru mengakui orang kalau sudah dapat mengalahkan aku!"
"Wanita bodoh, tak tahukah engkau, betapa mudahnya itu? Kau tadi mengatakan bahwa engkau akan menguji kepandaian setiap Ketua Thian-liong-pang, nah, sekarang boleh menguji aku yang akan menjadi junjunganmu dan juga gurumu. Lihat baik-baik, dalam tiga jurus aku akan mengalahkanmu!"
Biarpun pada saat itu juga dia sudah yakin betapa saktinya wanita berkerudung itu, namun di dalam hatinya Tang Wi Siang menjadi penasaran. Wanita aneh itu telah mengenal baik-baik keadaan Thian-liong-pang, mengenal riwayat perkumpulan ini, bahkan mengenal semua nama dan julukan para pimpinan Thian-liong-pang berikut watak mereka. Dan kini menantangnya akan mengalahkan dalam tiga jurus! Apakah dia dianggap seorang anak kecil yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa? Rasa penasaran membuat dia marah dan merasa dianggap rendah dan hina, maka ia berteriak keras, "Manusia yang bersembunyi di belakang kerudung seperti siluman! Kalau kau dapat mengalahkan aku dalam tiga jurus, aku tidak patut menjadi wakilmu, lebih patut mampus atau menjadi pelayanmu!"
"Bagus! Engkau sendiri yang memilih menjadi pelayan!" Wanita aneh itu tidak menjawab akan tetapi pada saat itu Tang Wi Siang sudah menerjang dengan pedangnya, menggunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Terjun Terbang Bianglala Melengkung). Jurus ini adalah jurus ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat indah dan berbahaya, menjadi aneh dan lebih berbahaya lagi karena gerakannya telah dicampur dengan gerakan ilmu aseli dari Thian-liong-pang, yaitu ketika pedang menyambar membacok ke arah muka lawan dilanjutkan dengan gerakan membabat leher dari kanan ke kiri dengan gerakan melengkung, tangan kiri Tang Wi Siang menyusul dengan pukulan sakti yang disebut Touw-sim-ciang (Pukulan Menembus Jantung), semacam pukulan yang digerakkan dengan tenaga sin-kang dan dapat menggetarkan isi dada menghancurkan jantung dan paru-paru!
"Siuuuttt.... wirr-wirrr-wirrrr....!" Wi Siang hanya melihat berkelebatnya bayangan wanita berkerudung itu ke kanan, kiri dan serangannya luput! Dengan kaget dan penasaran ia melanjutkan serangannya secara beruntun, yaitu dengan jurus Sian-li-touw-so (Sang Dewi Menenun) dan terakhir dengan jurus Sian-li-sia-kwi (Sang Dewi Memanah Setan). Mula-mula pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar-lingkar mengurung tubuh wanita berkerudung dan menyerangnya dari arah yang mengelilingi lawan itu. Wi Siang maklum bahwa lawannya memiliki gin-kang yang luar biasa, dapat bergerak cepat seperti terbang, maka ia berusaha mengurungnya dengan sinar pedang. Seperti yang telah diduganya, wanita itu tiba-tiba mencelat ke atas untuk menghindarkan diri dari lingkaran sinar pedang. Saat ini sudah dinanti-nanti oleh Wi Siang maka ia lalu menyerang dengan jurus ke tiga, jurus terakhir jurus Sian-li-sia-kwi ini hebat sekali, dilakukan dengan melontarkan pedang ke arah bayangan lawan yang mencelat ke atas, Wi Siang amat cerdik. Dia dibatasi hanya sampai tiga jurus. Kalau dalam tiga jurus wanita berkerudung itu tidak mampu mengalahkannya, berarti dia dianggap menang! Inilah yang menyebabkan dia mengambil keputusan untuk menggunakan jurus Sian-li-sia-kwi dalam jurus terakhir karena selagi mencelat di udara dan diserang oleh pedangnya yang meluncur seperti anak panah, bagaimana wanita itu dapat merobohkannya?
Betapa kaget, heran dan juga girangnya ketika ia melihat lawannya itu, agaknya berkeinginan keras untuk mengalahkannya dalam jurus ini malah meluncur turun dan menyambut pedang yang menyambar itu! Makin girang lagi hati Wi Siang melihat pedangnya tepat mengenai dada Si Wanita berkerudung sehingga ia tertawa girang penuh kemenangan.
Tiba-tiba suara ketawanya terhenti dan tubuhnya terguling ke atas lantai tanpa dapat bangun lagi karena seluruh kaki tangannya lemas setelah jalan darah di pundak terkena totokan wanita itu! Ketika pedangnya tadi mengenai dada Si Wanita berkerudung, terdengar bunyi keras dan pedangnya telah patah, kemudian sebelum ia dapat memulihkan kekagetan hatinya, tahu-tahu tangan wanita berkerudung telah menotok pundaknya dengan tubuh masih meluncur dari atas. Tang Wi Siang bukanlah seorang bodoh. Kini dia merasa yakin bahwa wanita berkerudung itu benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa, bahkan ia dapat menduga bahwa biarpun seluruh anggauta dan pimpinan Thian-liong-pang maju mengeroyok sekali pun, mereka tidak akan dapat mengalahkan wanita ini.
"Bangkitlah, Wi Siang!" Wanita berkerudung yang sudah mengenalnya itu menggerakkan tangan dan tiba-tiba Wi Siang merasa tenaganya sudah pulih kembali. Dia tidak meloncat bangun, melainkan bangkit berlutut di depan wanita itu sambil berkata.
"Saya menyatakan takluk dan siap memenuhi semua perintah Pangcu!" Tiba-tiba terdengar suara bercuitan keras dibarengi
menyambarnya benda-benda yang mengeluarkan sinar ke arah Si Wanita berkerudung. Itulah senjata rahasia yang dilepas oleh kedua tangan Phang Kok Sek, Ketua Thian-liong-pang yang sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Sekaligus dia telah menyerang dengan senjata rahasia berbentuk bintang, senjata rahasia yang khas dari Thian-liong-Pang dan tentu saja dalam mempergunakan senjata rahasia bintang ini, Phang Kok Sek merupakan seorang ahli yang pandai. Tujuh belas buah senjata rahasia terbang menyambar seperti berlumba menuju ke sasaran masing-masing yaitu tujuh belas jalan darah terpenting di bagian tubuh depan dari Si Wanita berkerudung. Namun wanita berkerudung itu memiliki kecepatan yang amat hebat. Betapapun cepat datangnya senjata-senjata rahasia yang menyerangnya, gerakannya mengelak lebih cepat lagi. Hanya tampak tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu ia telah lenyap. Ketika orang memandang ke atas, tubuhnya telah menempel di langit-langit ruangan itu seperti kelelawar besar bergantungan pada pohon. Phang Kok Sek yang selain marah sekali juga maklum bahwa kalau tidak dapat segera melenyapkan wanita berkerudung ini kedudukannya terancam, sudah meloncat ke atas dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan terbuka, didorongkan ke arah tubuh lawan yang masih menempel di langit-langit.
"Braakkk!" Hebat bukan main pukulan itu, pukulan Hwi-tok-ciang selain amat dahsyat juga mengandung hawa panas membakar dan berbisa pula. Langit-langit ruangan itu jebol dilanda hawa pukulan dahsyat ini. Akan tetapi, bagaikan seekor capung ringannya, tubuh wanita berkerudung sudah mengelak dan melayang turun. Ketika tubuhnya lewat dekat tubuh Phang Kok Sek, wanita itu mengirim sebuah tendangan ke arah dada Phang Kok Sek.
Tingkat kepandaian Pang Kok Sek jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian dua orang sutenya yang tewas dan seorang sumoinya yang telah dikalahkan lawan. Tendangan itu cepat dan tidak terduga-duga, dilepas selagi tubuh mereka berada di tengah udara, akan tetapi dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, Phang Kok Sek berhasil menyelamatkan nyawanya dan hanya ujung bajunya saja yang robek kena diserempet ujung kaki lawan. Hal ini membuktikan betapa lihai wanita itu dan Phang Kok Sek sudah meloncat ke bawah dengan muka berubah. "Ji-wi Suheng! Siluman ini telah membunuh Ma-sute dan Liauw-sute, dan beberapa orang anak buah, apakah kalian masih tinggal diam saja?" Sambil menegur kedua orang suhengnya, Phang Kok Sek sudah menyambar senjatanya yang hebat, yaitu sebatang tombak cagak bergagang baja yang besar dan berat dari sudut belakang tempat duduknya. Karena wanita berkerudung itu adalah orang luar dan yang terang-terangan hendak merampas Thian-liong-pang, semenjak tadi memang Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang menganggapnya sebagai musuh. Akan tetapi, mengingat akan kedudukan dan tingkat mereka yang sudah tinggi di dunia kang-ouw, mereka masih merasa ragu-ragu dan malu untuk mengeroyok seorang wanita. Kini menyaksikan kelihaian wanita itu yang benar-benar amat luar biasa dan mendengar teguran Sang Ketua, kedua orang kakek ini sudah bangkit dan meloncat ke depan. Mereka tidak memegang senjata dan memang kedua orang kakek ini lebih mengandalkan kepada kaki tangannya daripada senjata. Biarpun bertangan kosong, namun kepandaian mereka hebat dan kaki tangan mereka ini jauh lebih berbahaya daripada segala macam senjata yang tajam runcing.
Sai-cu Lo-mo yang tertua di antara mereka bertiga dan juga sudah berpengalaman dan memiliki tingkat yang paling tinggi, kini berhadapan dengan wanita berkerudung, memandang tajam seperti hendak menembus kerudung itu dengan pandang matanya, lalu berkata, "Nona, engkau masih begini muda telah memiliki kepandaian yang hebat dan sikap yang aneh sekali. Bukalah kerudungmu, perkenalkan dirimu dan jelaskan apa sebabnya engkau mengacau di Thian-liong-pang dan membunuh orang-orang yang sama sekali tidak ada permusuhan denganmu?"
Sepasang mata di belakang dua lubang di kerudung itu bersinar-sinar dan biarpun mulutnya tidak tampak, jelas dapat diduga bahwa wanita itu tersenyum. Mata itu memandang kepada Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang bergantian, kemudian berkata, "Sai-cu Lo-mo, dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, aku mengenal siapa kalian berdua dan tadi aku sudah mendengar kalian mengeluarkan isi hati kalian! Hanya kalian berdualah yang patut menjadi Ketua dan Pimpinan Thian-liong-pang, akan tetapi mengapa kalian tidak pernah mau menjadi Ketua? Aku tahu, karena kalian merasa enggan menjadi Ketua dari perkumpulan yang makin rusak oleh sepak terjang anak buahnya! Thian-liong-pang makin bobrok dan kalian tidak mau nama kalian kelak terseret ke dalam lumpur kehinaan karena menjadi Ketuanya! Betapa pengecut! Betapapun juga, aku suka kalian membantuku kelak, maka aku tidak akan membunuh kalian berdua. Tak perlu aku memperkenalkan diri, cukup kalau kalian ketahui bahwa akulah Ketua kalian yang baru, karena aku hendak memimpin Thian-liong-pang menjadi sebuah perkumpulan yang besar dan kuat, lebih besar dan lebih kuat daripada para penghuni Pulau Es. Adapun Phang Kok Sek Si Raksasa tolol yang tidak segan-segan mengorbankan saudara-saudaranya untuk memperebutkan kursi ketua ini, dia tidak berguna dan akan kulenyapkan...."
"Siluman betina!" Phang Kok Sek sudah menerjang maju, menusukkan tombak cagaknya yang panjang, besar dan berat ke arah perut wanita berkerudung itu. "Takkk!" Wanita itu tidak mengelak, tidak berkisar dari tempat dia berdiri hanya mengangkat kaki kirinya dan ujung kakinya itu menendang ke arah tombak, tepat mengenai belakang mata tombak sehingga tusukan itu menyeleweng dan Phang Kok Seng merasa tangannya bergetar hebat.
Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menjadi merah mukanya mendengar ucapan wanita berkerudung itu sudah menerjang maju pula. Mereka merasa berkewajiban untuk menentang wanita ini, bukan sekali-kali untuk membantu demi keselamatan pribadi Phang Kok Sek, namun demi menjaga nama Thian-liong-pang dan sebagai tokoh-tokoh Thian-liong-pang melihat orang luar mengacau perkumpulan itu.
"Wussss.... ciattt!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang kepalanya gundul dan kelihatan lemah sekali seperti seorang sasterawan yang menjadi botak karena terlalu banyak berpikir dan menjadi buyuten tangannya karena terlalu banyak menulis, begitu menyerang telah memperlihatkan kedahsyatannya. Kedua tangannya bergerak dengan mantep dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali sehingga serangannya itu membuat kedua tangannya seolah-olah berubah menjadi baja tajam yang membelah udara mengeluarkan suara mengerikan. Melihat kelihaian kakek gundul ini, diam-diam wanita berkerudung menjadi kagum karena ia maklum bahwa orang ini kalau menjadi pembantunya akan merupakan seorang pembantu yang boleh diandalkan! Biarpun keadaan wanita berkerudung ini merupakan rahasia bagi semua orang Thian-liong-pang, namun kita tahu bahwa dia itu bukan lain adalah Nirahai. Nirahai, puteri Kaisar ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, apalagi setelah digembleng oleh mendiang Nenek Maya (baca cerita Pendekar Super Sakti), tingkat kepandaiannya sudah hebat sekali. Tentu saja serangan Chie Kang itu baginya bukan apa-apa dan dengan mudah ia dapat mengelak ke kiri dimana dia tahu Sai-cu Lo-mo sudah siap dengan serangannya yang ia duga tentu tidak kalah hebatnya dengan Si Kakek gundul.
"Wirrr-wirrr-wirrr.... plak-plak-plak!" Nirahai makin girang hatinya. Tiga serangan berantai yang diluncurkan Sai-cu Lo-mo dengan ujung lengan bajunya itu hebat bukan main. Ujung lengan bajunya itu mengandung tenaga yang lebih kuat daripada kedua tangan Chie Kang dan dia maklum bahwa ujung lengan baju itu cukup dahsyat untuk menghancurkan batu karang ydng keras! Akan tetapi, Sai-cu Lo-mo lebih kaget lagi karena tiga kali ujung lengan bajunya ditangkis oleh ujung jari-jari tangan wanita itu dengan kibasan yang membuat dia merasa seluruh lengannya tergetar. Tahulah dia bahwa dia telah bertemu dengan lawan yang jauh lebih kuat daripada dia dan para sutenya!
"Syuuutt.... serrr-serrr-serrr!" Tombak panjang menyambar dari belakang, menusuk lambung Nirahai disusul meluncurnya tiga buah senjata rahasia bintang. Cara Phan Kok Sek menyerang ini saja sudah membuktikan akan kelicikan wataknya, menggunakan kesempatan selagi Nirahai menghadapi dua orang suhengnya yang lihai, menyerang dari belakang, bukan hanya dengan tombaknya yang dahsyat, juga dengan pelepasan am-gi (senjata rahasia). Nirahai menjadi marah. Kedua tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu tiga buah senjata rahasia itu telah ia tangkap dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyambar dan berhasil menangkap leher tombak ketika ia miring ke kiri dan tombak itu meluncur dekat lambungnya. Tangan kirinya diayun dan tiga buah senjata rahasia itu menyambar ke arah pemiliknya!
Sebagai seorang ahli melepas senjata rahasia Sin-seng-ci tentu saja Phang Kok Sek dapat menghindarkan diri dan cepat meloncat ke atas dengan kedua kaki di atas dan kepala di bawah, kedua tangan masih memegangi gagang tombaknya. Gerakannya ini cepat dan indah sekali sehingga tiga batang Sin-seng-ci menyambar lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi dia tidak tahu akan kelihaian lawan. Begitu tubuhnya meloncat, Nirahai mengerahkan tenaga pada tangan kanannya yang memegang gagang tombak itu ke atas. Phang Kok Sek terkejut dan berusaha menahan dengan kedua tangan, namun dia kalah kuat dan terdengar teriakan mengerikan ketika gagang tombak itu menerobos dan menusuk perut Phang Kok Sek sampai tembus ke punggungnya. Sekali menggerakkan tangan, Nirahai melemparkan tombak bersama tubuh Ketua Thian-liong-pang yang tak bernyawa lagi itu ke samping dan otomatis kedua tangannya sudah menangkis dua serangan dari kanan kiri yang dilakukan Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang.
Dalam melakukan tangkisan ini, Nirahai sudah mengerahkan tenaga pada telapak tangannya, maka begitu telapak tangannya bertemu dengan tangan kedua lawan, dua orang itu berseru kaget karena tangan mereka melekat pada telapak tangan yang berkulit halus itu, tak dapat ditarik kembali. Mereka maklum bahwa wanita berkerudung ini sengaja menantang mereka mengadu sin-kang maka kedua kakek itu dengan kedua kaki terpentang lebar cepat mengerahkan sin-kang melalui tangan mereka untuk merobohkan lawan. Terjadilah adu tenaga sin-kang yang hebat. Kedua kakek itu berdiri dengan kaki terpentang tubuh agak membungkuk, sedangkan Nirahai yang berdiri di tengah, kedua tangannya terkembang ke kanan kiri menahan tangan kedua lawan, kakinya terpentang sedikit dan tubuhnya tegak. Semua orang menonton dengan hati tegang, mengira bahwa wanita berkerudung itu tentu akan terhimpit di tengah-tengah oleh dua kekuatan raksasa yang amat dahsyat!
Namun, Nirahai yang memiliki tingkatan lebih tinggi, bersikap tenang-tenang saja, dari kedua tangan lawan di kanan kirinya, menerobos tenaga sin-kang yang kuat sekali melalui kedua lengannya yang terkembang. Wanita cerdik ini tidak melawan sehingga kedua lawannya terkejut dan heran, tiba-tiba mereka tersentak kaget ketika ada tenaga amat kuat menahan dorongan sin-kang mereka, Sejenak kedua orang itu mengerahkan semangat dan tenaga dalam dan ketika mereka melihat betapa wanita itu kelihatannya enak-enak saja tanpa mengerahkan tenaga, barulah mereka sadar bahwa mereka kena diakali! Kiranya lawan mereka itu sengaja mempertemukan kedua tenaga sakti dari kanan kiri sehingga Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang bertanding sendiri, saling dorong dengan tenaga sin-kang melalui tubuh Si Wanita berkerudung yang seolah-olah hanya menyediakan dirinya menjadi arena
pertandingan sambil menonton seenaknya! Mereka sadar dan cepat hendak menarik tenaga sakti mereka, namun terlambat karena pada saat itu, Nirahai sudah menggunakan tenaganya sendiri, menggunakan kesempatan selagi kedua orang saling dorong sehingga tenaga sin-kang mereka terpusat kemudian mereka menarik kembali tenaga ketika sadar bahwa sesungguhnya mereka itu saling gempur antara saudara sendiri. Ketika kedua orang kakek itu menarik kembali tenaga sin-kang, saat itulah Nirahai menyerang mereka dengan tenaga sakti yang amat dahsyat. "Cukup, rebahlah!"
Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang tak dapat mempertahankan diri lagi, begitu Nirahai menarik kedua lengannya mereka roboh dan biarpun mereka sudah berusaha sekuatnya untuk tidak terguling, tetap saja mereka jatuh berlutut dan cepat memejamkan mata sambil mengatur pernapasan. Tenaga sin-kang mereka sendiri yang tadi mereka tarik telah menghantam dada mereka karena didorong oleh tenaga wanita berkerudung itu, membuat dada terasa sakit dan pernapasan menjadi sesak. Yang membuat mereka heran dan bingung adalah keadaan lengan kanan mereka yang menjadi lumpuh seolah-olah tulang pundak lengan dalam keadaan terkunci, sama sekali tidak dapat digerakkan!
"Wi Siang, bantulah kedua orang Suhengmu itu. Kautotok jalan darah Hong-hu-hiat di pundak kanan mereka masing-masing dua kali." Nirahai berkata kepada Tang Wi Siang yang berdiri menonton pertandingan tadi penuh kagum. Ia mengangguk, menghampiri kedua orang suhengnya dan tanpa ragu-ragu menotok belakang pundak kanan mereka dua kali seperti yang diperintahkan wanita berkerudung itu.
Begitu terkena totokan dua kali, jalan darah mereka normal kembali dan lengan kanan dapat digerakkan. Kini, kedua orang kakek itu benar-benar tunduk dan merasa yakin bahwa wanita berkerudung itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Timbul rasa kagum dan suka di hati mereka untuk mengangkatnya menjadi ketua, karena dengan ketua sehebat ini, Thian-liong-pang pasti akan menjadi sebuah perkumpulan yang kuat dan terpandang. Maka mereka lalu berlutut di depan Nirahai sambil berkata, "Pangcu!"
Terdengar sorak sorai dari para anggauta yang kini sudah pula berlutut menghadap Si Wanita berkerudung yang tersenyum di balik kerudungnya, Nirahai mengangkat, kedua lengan ke atas dan suara sorakan itu terhenti. Keadaan menjadi sunyi dan semua orang mendengarkan ucapan dari balik kerudung, ucapan yang halus merdu namun berwibawa, "Mulai saat ini Thian-liong-pang di bawah pimpinanku harus menjadi sebuah perkumpulan yang kuat, dihormati dan disegani di seluruh dunia kang-ouw. Untuk dapat menjadi kuat, kalian semua harus menggembleng diri dan mempertinggi tingkat ilmu silat yang akan kuajarkan kepada kalian semua, sesuai dengan tingkat masing-masing. Untuk menjadi perkumpulan yang disegani, Thian-liong-pang harus menunjukkan kegagahan dan kekuatannya menundukkan semua pihak yang menentang kita, dan untuk dapat dihormat, Thian-liong-pang harus bersih daripada segala perbuatan yang jahat. Tidak boleh ada penyelewengan lagi, tidak boleh ada perampokan, penindasan dan lain perbuatan jahat lagi. Semua perbuatan yang dilakukan oleh anggauta, harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang akan kuadakan. Setiap pelanggar akan menerima hukuman berat!"
Mendengar perintah pertama yang keluar dari mulut wanita berkerudung itu, diam-diam Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang menjadi girang sekali. Sai-cu Lo-mo demikian kagum dan gembiranya sehingga ia mengangkat tangan kanan ke atas sambil berteriak, "Hidup Pangcu kita!"
Semua anggauta juga tertegun mendengar perintah tadi, tentu saja yang biasanya mengumbar nafsu, diam-diam menjadi gentar dan khawatir kalau-kalau dia akan mangalami nasib sial dan dihukum seperti para pimpinan mereka yang kini masih menggeletak di situ menjadi mayat. Maka, mendengar seruan Sai-cu Lo-mo, serentak semua anggauta berteriak, "Hidup pangcu....!" Bahkan mereka yang tadinya suka mengandalkan nama besar Thian-liong-pang untuk melakukan penindasan dan perbuatan-perbuatan jahat,
berteriak paling keras! "Sekarang singkirkan dan urus jenazah mereka ini baik-baik, kuburkan sebagaimana mestinya. Sai-cu Lo-mo, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, kalian berdua kuangkat menjadi pembantu-pembantuku, sedangkan Tang Wi Siang, sesuai dengan kehendaknya sendiri menjadi pelayanku yang paling kupercaya. Mari kita masuk dan merundingkan segala urusan mengenai Thian-liong-pang. Aku ingin mendengar, hal apa saja yang dihadapi Thian-liong-pang saat ini."
Nirahai diiringkan oleh tiga orang pembantunya memasuki gedung menuju keruangan dalam. Tak seorang pun pelayan diijinkan masuk ketika empat orang ini mengadakan perundingan, sedangkan para anak buah Thian-liong-pang sibuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan di ruangan tadi. Mereka, juga para pelayan, saling berbisik membicarakan Ketua partai yang penuh rahasia itu. Nirahai dengan tenang mendengarkan pelaporan tiga orang pembantunya mengenai keadaan Thian-liong-pang. Segala macam urusan mengenai perkumpulan ini diceritakan oleh Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, sedangkan Tang Wi Siang yang duduk di dekat Nirahai hanya mendengarkan dan bersikap sebagai seorang pelayan. "Tiga buah perkumpulan yang menentang kita, mudah dibereskan. Aku akan mendatangi mereka dan menundukkan mereka. Hal-hal lain dijalankan seperti biasa, akan tetapi harus disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang akan kuadakan. Hanya satu hal yang mengherankan hatiku. Kau tadi menceritakan tentang usaha Thian-liong-pang yang gagal dalam memperebutkan seorang anak bernama Gak Bun Beng. Benarkah utusan kita itu dikalahkan oleh Pendekar Siluman dan anak itu akhirnya dibawa oleh Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai?"
"Benar, Pangcu," jawab Sai-cu Lo-mo. Nirahai mengerutkan keningnya. "Anak ini.... Gak Bun Beng, ada hubungan apakah dengan Thian-liong-pang sehingga perkumpulan kita harus berusaha merebutnya?"
Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang seperti jenggot singa itu. "Maaf, Pangcu. Sesungguhnya, dengan perkumpulan kita tidak ada hubungan apa-apa dan mendiang Ketua kami hanya memenuhi permintaan saya, karena sesungguhnya sayalah yang mempunyai hubungan dengan anak itu. Anak itu masih cucu keponakan saya sendiri."
"Hemmm..... begitukah? Coba jelaskan, siapa sebenarnya anak itu, dia anak siapa dan bagaimana hubugannya denganmu, Lo-mo? Kalau kuanggap penting, percayalah, aku yang akan mendapatkannya untukmu. Tentang Pendekar Siluman, jangan khawatir, aku akan dapat menghadapinya!"
Bahkan Wi Siang sendiri diam-diam menjadi kaget mendengarkan ini. Berani menentang Pendekar Siluman? Benarkah Ketuanya yang baru ini memiliki kesaktian yang demikian hebat sehingga berani menentang Pendekar Siluman? Baru mendengar cerita para anggauta Thian-liong-pang tentang Pendekar Siluman yang bisa pian-hoa (merobah diri) menjadi raksasa dan menjadi setan tanpa
kepala saja sudah membuat semua orang gagah di Thian-liong-pang ngeri dan serem!
Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang juga kaget dan sambil memandang wajah yang tertutup kerudung itu, Sai-cu Lo-mo menjawab, "Dia adalah putera dari keponakan saya yang bernama Bhok Khim, murid Siauw-lim-pai."
"Hemmm.... Bhok Kim yang berjuluk Bi-kiam, seorang di antara Kang-lam Sam-eng?"
"Betul, Pangcu," jawab Sai-cu Lo-mo makin kagum dan terheran bagaimana wanita berkerudung ini agaknya tahu akan segala hal dan mengenal semua orang. Maka dia tidak menyembunyikan dirinya lagi dan menyambung, "Saya dahulu bernama Bhok Toan Kok, Bhok Kim adalah anak tunggal adikku...."
Akan tetapi agaknya Nirahai tidak mempedulikannya dan seperti orang melamun karena mengingat, berkata, "Dan bocah itu she Gak? Hem.... tentu anak dari Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak...."
Tiga orang tokoh Thian-liong-pang itu terbelalak, makin heran dan kagum. Sai-cu Lo-mo berteriak, "Bagaimana Pangcu dapat mengetahuinya....?"
Nirahai memandangnya. "Aku tahu, dan Gak Liat yang memperkosa Bhok Kim sehingga wanita itu dihukum di Siauw-lim-pai, kemudian melahirkan anak dan.... mereka berdua kemudian saling bunuh. Hemm.... jadi engkau ingin mengambil cucu keponakanmu itu, Sai-cu Lo-mo? Apa perlunya? Anak itu adalah keturunan Gak Liat, datuk kaum sesat!"
Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang. "Betapapun juga, dia adalah cucu keponakan saya, Pangcu." Nirahai mengangguk, "Baiklah, urusan anak itu kita tunda dulu saja. Aku tidak ingin melibatkan Thian-liong-pang hanya karena urusan keturunan Gak Liat. Betapapun juga, kalau engkau mendengar dimana adanya bocah itu sekarang, dan ada kemungkinan merebutnya, aku suka membantumu. Tahukah engkau dimana dia itu sekarang?"
"Dia menjadi murid di Siauw-lim-si." Nirahai menggeleng kepala. "Kalau Siauw-lim-si kita tidak dapat berbuat sesuatu, Lo-mo. Ibu anak itu adalah murid Siauw-lim-pai, sudah semestinya kalau anaknya menjadi murid Siauw-lim-pai pula. Jangan mengira bahwa aku takut menghadapi Siauw-lim-pai, akan tetapi apa perlunya kita menyeret perkumpulan menjadi musuh Siauw-lim-pai yang amat kuat hanya karena memperebutkan seorang anak, apalagi anak keturunan seorang seperti Gak Liat?"
Diam-diam Sai-cu Lo-mo harus membenarkan pendapat pangcunya ini. Tiba-tiba ia mengangkat kepala dan berkata, "Pangcu.... maaf.... hati saya akan selalu gelisah kalau tidak menyatakannya sekarang. Kalau saya tidak keliru menduga.... saya dapat mengenal siapa kiranya Pangcu!"
Nirahai menoleh ke arah Chie Kang dan bertanya, "Bagaimana dengan engkau, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang? Apakah engkau pun dapat menduga siapa aku?"
Chie Kang terkejut. Dia pun sedang berpikir-pikir. Kalau wanita berkerudung itu tidak memperlihatkan sikap mengenal semua orang, bahkan mengetahui segala hal yang bagi banyak tokoh kang-ouw merupakan rahasia, maka di dunia ini kiranya hanya ada seorang saja wanita seperti itu, akan tetapi diam-diam dia terkejut dan tidak percaya bahwa pangcunya yang baru adalah orang itu! Kini dia makin gugup mendengar pertanyaan itu dan menjawab, "Saya.... saya hanya menduga-duga akan tetapi tidak berani memastikannya. Pribadi Pangcu penuh rahasia, sukar untuk diduga...." Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Sai-cu Lo-mo,
aku dapat menjenguk isi hatimu. Dugaanmu itu agaknya tidak keliru. Engkau dan Chie Kang telah kuangkat menjadi pembantu-pembantuku yang setia dan boleh dipercaya, sedangkan Wi Siang menjadi pelayan dan pengawalku. Hanya kalian bertiga sajalah yang boleh mengetahui siapa sebenarnya aku. Akan tetapi, kalau sampai seorang di antara kalian berani membocorkan rahasiaku, tanganku sendiri yang akan membunuhnya! Nah, agar hati kalian tidak ragu-ragu lagi, kalian boleh mengenalku." Berkata demikian, wanita berkerudung itu membuka kerudungnya, dan tampaklah wajahnya yang cantik jelita, wajah puteri Kaisar Mancu. Puteri Nirahai yang pernah menggemparkan seluruh dunia kang-ouw sebagai pemimpin pasukan-pasukan pemerintah yang membasmi para pemberontak! Tiga orang tokoh Thian-liong-pang itu belum pernah bertemu muka sendiri dengan Nirahai, akan tetapi nama besar puteri ini sudah lama mereka dengar. Kini mendapat kenyataan bahwa yang menjadi Ketua mereka adalah puteri yang terkenal itu, yang berdiri dengan cantik dan agungnya, dengan sepasang mata yang amat berwibawa memandang kepada mereka dengan mulut yang berbentuk indah itu tersenyum halus, mereka serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Nirahai.
"Harap Paduka suka mengampunkan hamba sekalian yang tidak mengenal Puteri yang mulia," kata Sai-cu Lo-mo mewakili saudara-saudaranya.
"Bangunlah kalian!" Tiba-tiba Nirahai membentak dan ketika mereka dengan kaget bangkit berdiri memandang, Nirahai telah memakai lagi kerudungnya, menutupi mukanya yang cantik, dan kini dari sepasang lubang di depan kerudung, matanya memandang marah. "Mulai saat ini, kalian tidak boleh sekali-kali menyebutku Puteri, dan jangan membocorkan rahasia ini! Aku adalah Pangcu (Ketua) Thian-liong-pang dan kalian sebut saja aku Pangcu. Nah, mari kita duduk dan melanjutkan perundingan demi kemajuan perkumpulan kita."
Demikianlah, semenjak hari itu, Nirahai menjadi Ketua Thian-liong-pang. Kecuali tiga orang pembantunya itu, tak seorang pun di antara para anggauta Thian-liong-pang mengetahui bahwa Ketua mereka yang diliputi penuh rahasia, yang selalu menyembunyikan muka di belakang kerudung, yang memiliki ilmu kepandaian hebat seperti iblis, sebenarnya adalah Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu. Nirahai menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada tiga orang pembantunya sehingga dalam waktu dua tahun saja, Sai-cu Lo-mo, Luihong Sin-ciang Chie Kang, dan Tang Wi Siang telah memperoleh kemajuan yang amat hebat, tingkat mereka naik jauh lebih tinggi daripada sebelumnya, akan tetapi watak mereka pun berubah, penuh rahasia seperti watak Ketua mereka. Para anak buah Thian-liong-pang juga dilatih ilmu silat oleh tiga orang tokoh ini sehingga pasukan Thian-liong-pang kini menjadi pasukan yang hebat, setiap orang anggautanya memiliki kepandaian tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan tadinya Nirahai menitipkan puterinya, Milana, kepada Pangeran Jenghan di Kerajaan Mongol. Selama membangun dan memperkuat Thian-liong-pang beberapa tahun, dia meninggalkan puterinya itu dan hanya kira-kira sebulan sekali dia pergi ke Mongol mengunjungi puterinya. Milana sama sekali tidak tahu bahwa ibunya adalah Ketua Thian-liong-pang yang amat terkenal itu. Baru setelah Nirahai mengajaknya ke Thian-liong-pang anak perempuan ini tahu bahwa ibunya adalah wanita berkerudung, Ketua Thian-liong-pang yang menggemparkan dunia kang-ouw. Juga kini Milana tahu, dengan hati penuh kebanggaan namun juga kedukaan, bahwa ayahnya adalah Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang agaknya berselisih paham dengan ibunya sehingga ayah bundanya itu saling berpisah, bahkan timbul gejala saling bertentangan!
Pertemuannya dengan suaminya, Suma Han, mendatangkan rasa duka yang hebat di hati Nirahai. Dia adalah seorang puteri kaisar, seorang wanita yang mempunyai harga diri tinggi sekali. Betapapun besar cinta kasihnya kepada Suma Han, namun sikap suaminya itu membuatnya berduka. Dia tidak mau menyembah-nyembah minta dibawa, sungguh rasa rindunya kadang-kadang menyesak di dada. Dia ingin memperlihatkan bahwa kalau Suma Han tidak membutuhkan dia, dia pun tidak akan merangkak-rangkak mengejar suaminya! Keangkuhan ini membuat dia amat menderita, membuat cintanya kadang-kadang berubah menjadi kebencian, membuat dia ingin menandingi kebesaran suaminya, menandingi kepandaiannya. Dalam pertemuannya dua kali dengan Suma Han, pertama ketika tokoh-tokoh kang-ouw memperebutkan rahasia pusaka di Sungai Huang-ho, ke dua baru-baru ini, Nirahai maklum bahwa dalam ilmu kesaktian dia masih belum mampu menandingi Suma Han. Biarpun Perkumpulan Thian-liong-pang kini menjadi amat kuat dan agaknya para pembantu dan anak buahnya tidak kalah hebat oleh anak buah Pulau Es, namun kalau dia sendiri tidak mampu menandingi Suma Han, semua akan sia-sia belaka. Tidak ada seorang pun di Thian-liong-pang yang akan kuat bertanding dengan Suma Han. Maka dia harus mempertinggi ilmu-ilmunya. Terutama sekali Nirahai ingin melihat puterinya, Milana menjadi seorang yang lebih pandai daripadanya. Keinginan untuk menjadi seorang yang lebih sakti dari Suma Han inilah yang membuat Nirahai melakukan hal-hal yang amat berani, di antaranya ialah menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua perkumpulan silat yang diundang atau kalau tidak mau dipaksa mengunjungi Thian-liong-pang! Untuk apa? Sebaiknya kita sekarang mengikuti perjalanan Gak Bun Beng yang sedang mengunjungi Thian-liong-pang dengan mengikuti bayangan dua orang tokoh Thian-liong-pang dengan hati-hati karena dia maklum bahwa ke dua orang itu sedang memancingnya untuk memasuki markas besar perkumpulan yang terkenal itu.
Markas Thian-liong-pang yang menjadi pusat perkumpulan itu merupakan sekumpulan bangunan besar, dikelilingi oleh dinding batu yang tingginya dua kali tinggi manusia. Di tempat ujung dinding temboknya terdapat tempat dimana tampak penjaga yang melakukan penjagaan siang malam sehingga sarang perkumpulan itu seperti benteng tentara saja. Pintu gerbang yang lebar terbuat dari kayu tebal berlapis besi, dijaga pula oleh selosin orang. Pintu gerbang terbuka ketika dua orang tokoh Thian-liong-pang tiba di situ, akan tetapi begitu kedua orang itu masuk melalui pintu gerbang, daun pintu tertutup kembali dari dalam. Bun Beng memeriksa keadaan pintu gerbang yang amat kuat dan dinding tembok yang tinggi. Ia tersenyum. Agaknya, orang-orang Thian-liong-pang itu terlalu memandang rendah kepadanya. Apa artinya dinding tembok setinggi itu baginya? Lebih tinggi lagi pun dia akan mampu melompatinya. Dia maklum bahwa mereka tentu sudah menantinya, akan tetapi dia tidak takut. Dia harus memasuki sarang Thian-liong-pang, menolong Ketua Bu-tong-pai, mungkin menolong banyak orang lagi yang terculik dan menjadi tawanan di tempat itu. Pula, dia sudah mengambil keputusan bulat untuk menemui Ketua Thian-liong-pang dan menegurnya agar tidak melakukan penculikan-penculikan. Dia maklum bahwa orang-orang Thian-liong-pang amat lihai, apalagi ketuanya yang pernah ia lihat di pulau Sungai Huang-ho beberapa tahun yang lalu. Ia masih bergidik kalau teringat akan wanita berkerudung yang amat lihai itu. Akan tetapi, kepandaiannya sekarang tidak seperti dahulu, kini dia telah dewasa dan berilmu tinggi, kalau dia tidak menentang perbuatan sewenang-wenang ini, untuk apa dia mempelajari ilmu sampai bertahun-tahun? Pula, dia teringat betapa tokoh wanita Thian-liong-pang dahulu bersikap baik kepadanya, dan rata-rata orang Thian-liong-pang tidaklah seganas orang Pulau Neraka. Selain kenyataan itu, juga dalam perjalanannya dia tidak pernah mendengar Thian-liong-pang sebagai perkumpulan orang jahat, tidak pernah melakukan kejahatan. Kalau sekarang mereka menculik ketua-ketua perkumpulan dan tokoh-tokoh kang-ouw tentu ada rahasia di balik perbuatan mereka itu dan dia harus membongkar rahasia itu dan berusaha menghentikan perbuatan mereka.
Akan tetapi Bun Beng bukan seorang yang sembrono. Dia maklum bahwa meloncat begitu saja pada siang hari itu merupakan perbuatan yang amat berbahaya. Tidak, dia tidak berani bersikap sembarangan. Maka dia mundur kembali dan mengintai dari jauh, menanti sampai malam tiba karena dia mengambil keputusan untuk memasuki sarang naga itu setelah hari menjadi gelap.
Setelah hari berganti malam, Bun Beng berindap-indap mendekati dinding yang mengurung sarang Thian-liong-pang. Ia sudah memilih bagian kiri di ujung, sebelah kiri pintu gerbang, untuk meloncat masuk. Tiba-tiba ia mendengar suara tambur dan gembreng di sebelah dalam. Ia berhenti di bawah dinding dan mendengarkan penuh perhatian. Apakah Thian-liong-pang mengadakan pesta? Hemm, bukan, bantah hatinya. Tambur dan gembreng itu dipukul seperti kalau dipergunakan untuk mengiringi orang bermain silat! Agaknya mereka sedang berlatih silat. Dia tidak akan merasa heran kalau mereka telah siap menantinya, bahkan dia menduga bahwa tentu gerak-geriknya sejak tadi telah diintai. Namun dia tidak peduli. Sekarang atau dia akan terlambat.
Dengan gerakan indah Bun Beng meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan kedua kakinya hinggap di atas dua ujung tombak, gerakannya amat ringan seolah-olah seekor burung garuda yang besar. Ia merasa heran sekali karena tidak ada anak panah atau senjata orang menyambutnya. Di bawah tidak tampak orang menjaga, hanya tampak genteng bangunan-bangunan dan tampak sinar penerangan yang besar, terutama di depan sebuah bangunan terbesar di situ. Tampak pula orang-orang hilir mudik, akan tetapi tidak ada yang menengok, seakan-akan mereka itu hanya orang-orang dusun yang tidak paham ilmu silat dan tidak tahu akan kedatangannya. Bun Beng merasa penasaran. Apakah pihak Thian-liong-pang menganggap dia begitu rendah sehingga tidak pantas untuk menjaga dan menghebohkan kedatangannya? Ia melayang turun dari tembok, hinggap di atas genteng, kemudian melayang turun pula kebagian samping bangunan besar yang agaknya saat itu menjadi pusat keramaian.
Akan tetapi begitu kakinya menginjak tanah, tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang kakek yang berkata tenang. "Selamat datang, Siauw-hiap dari Siauw-lim-pai. Biarpun caramu masuk tidak selayaknya, namun mengingat bahwa Siauw-hiap adalah seorang murid Siauw-lim-pai, Pangcu kami mempersilakan Siauw-hiap untuk duduk sebagai tamu menonton pertunjukan kami. Kami menerima Siauw-hiap sebagai seorang tamu yang terhormat, ataukah.... Siauw-hiap lebih suka dianggap sebagai seorang pencuri yang rendah?"
Bun Beng memandang orang itu yang ternyata adalah seorang kakek berkepala gundul, berjenggot dan berkumis, pakaiannya seperti seorang sasterawan, usianya kurang lebih enam puluh tahun, suaranya tinggi nyaring akan tetapi sikapnya halus dan seperti orang lemah. Mendengar ucapan itu, Bun Beng tersenyum.
"Terserah kepada Thian-liong-pang akan menganggap aku sebagai apa. Akan tetapi karena aku ingin bertemu dengan Pangcu kalian, dan melihat betapa aku disambut sebagai tamu, biarlah aku menerima sambutan ini."
"Kalau begitu, silakan Siauw-hiap!" kata kakek itu. Bun Beng berjalan dengan sikap tenang menuju ke ruangan depan bangunan besar diiringkan oleh kakek gundul. Kini mengertilah dia mengapa dia tidak disambut sebagai musuh dan tidak diserang. Kiranya Thian-liong-pang agaknya merasa enggan bermusuhan dengan Siauw-lim-pai, dan hanya karena memandang Siauw-lim-pai maka dia disambut dengan manis budi. Dia mengerti bahwa andaikata kedua orang tokoh yang menawan Ke tua Bu-tong-pai tadi tidak mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang ia miliki dan tidak melaporkan bahwa dia seorang murid Siauw-lim-pai, tentu penyambutan mereka akan lain sekali.
Ketika kakek gundul itu mengajaknya memasuki ruangan depan yang luas dan diterangi banyak lampu gantung besar, dia cepat melayangkan pandang matanya menyapu keadaan di situ. Ruangan itu luas sekali dan terdapat anak tangga di sebelah dalam. Di atas anak tangga itu terdapat ruangan lain dan tampaklah seorang wanita berkerudung duduk di atas sebuah kursi besar yang lantainya ditilami kulit seekor biruang. Wanita berkerudung yang dikenalnya sebagai Ketua Thian-liong-pang yang dahulu pernah datang ke Sungai Huang-ho itu duduk dengan sikap tenang, kedua kakinya menginjak kepala biruang yang berada di bawah kursinya, di sebelah kanan wanita ini duduk seorang kakek yang mukanya seperti seekor singa, kursinya agak kecil dibandingkan dengan kursi Si Wanita berkerudung. Di sebelah kanan agak belakang Ketua Thian-liong-pang ini berdiri seorang wanita cantik yang dikenal pula oleh Bun Beng sebagai wanita yang dahulu mewakili Thian-liong-pang di Sungai Huang-ho. Sedangkan di belakang, agak mundur, berdiri seorang wanita lain yang juga cantik, pakaiannya seperti wanita lihai yang berdiri di sebelah kanan Ketua itu.
"Silakan duduk di sini, Siauw-hiap," kata kakek gundul sambil mempersilakan Bun Beng duduk di atas kursi dekat anak tangga. Akan tetapi Bun Beng tidak segera duduk, hanya berdiri dengan terheran-heran memandang ke arah para tamu yang duduk menghadap ke arah Ketua, dengan kursi-kursi yang diatur setengah lingkaran mengurung ruangan di bawah anak tangga, sedangkan para penabuh tambur dan gembreng berdiri paling ujung. Dia tidak peduli dan tidak melihat betapa Ketua Thian-lipng-pang sama sekali tidak mengacuhkannya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat Ang-lojin, Ketua Bu-tong-pai yang akan ditolongnya itu, duduk pula di antara para tamu dengan sikap tenang dan sama sekali tidak menoleh kepadanya! Mengapa orang itu seperti tidak mengenalinya? Mustahil kalau tidak mengenal atau tidak tahu bahwa kedatangannya untuk menolong ketua itu! Atau pura-pura tidak kenal? Ah, ini pun tidak mungkin. Bukankah dua orang tokoh Thian-liong-pang sudah tahu betapa di tengah jalan dia berusaha menolong Ketua Bu-tong-pai itu? Tentu hal ini sudah dilaporkannya pula kepada Ketua Thian-liong-pang. Apa perlunya lagi Ketua Bu-tong-pai berpura-pura? Dia pun tidak mau berpura-pura karena hal ini berarti bahwa dia takut, maka dia lalu menghampiri Ketua Bu-tong-pai dan menegur.
"Ang-locianpwe, engkau baik-baik sajakah?" Kakek itu memandangnya akan tetapi sinar matanya seperti tidak mengenalnya sama sekali. Dia hanya mengangguk tanpa menjawab! Bun Beng menjadi penasaran sekali. Mengapa Ketua Bu-tong-pai bersikap seperti ini? Padahal susah payah ia berusaha menolongnya dan di jalan tadi sikapnya tidak sedingin ini!
"Locianpwe, apakah kau lupa kepadaku?" Ia menegur lagi. Kakek itu kembali memandangnya dengan sikap tidak acuh, lalu menjawab dengan suara ragu-ragu, "Siapakah? Maaf, aku tidak mengenalmu." Setelah berkata demikian kakek ini kembali membuang muka menonton dua orang yang sedang bertanding di bawah anak tangga, memandang penuh perhatian seperti yang dilakukan oleh semua orang yang duduk di situ. Makin heran Bun Beng ketika melihat betapa para tamu yang sebagian besar terdiri dari kakek-kakek yang kelihatannya berilmu tinggi itu sama sekali tidak menoleh kepadanya, seolah-olah dia hanya seekor lalat saja! Dengan hati mengkal Bun Beng lalu duduk di atas kursi yang ditunjuk oleh kakek gundul. Kakek ini pun duduk di atas sebuah kursi di sebelah kanan Bun Beng. Seorang pelayan datang menyuguhkan arak kepada Bun Beng, akan tetapi pemuda ini menolak dan menyuruh taruh arak dengan guci dan cawannya di atas meja. Pelayan itu lalu memenuhi meja di depan kakek gundul dan Bun Beng dengan hidangan-hidangan seperti yang memenuhi meja-meja lain pula.
Kini Bun Beng memperhatikan para tamu yang duduk di situ. Ada belasan orang, tepatnya empat belas orang tamu yang melihat sikapnya adalah orang-orang berkepandaian tinggi, akan tetapi sikap mereka dingin dan tak acuh seperti sikap Ketua Bu-tong-pai. Di depan mereka ini pun terdapat meja penuh makanan dan mereka semua menonton pertandingan sambil makan minum. Di belakang para tamu duduk pula banyak orang dan di antara mereka Bun Beng mengenal dua orang tokoh yang pernah dilawannya siang tadi, yaitu mereka yang menculik Ketua Bu-tong-pai. Sedangkan di belakang rombongan yang duduk ini, yang jumlahnya juga belasan orang, nampak puluhan orang berdiri menonton. Sepasang kakek kembar yang lihai dan yang menggotong kerangkeng Ketua Bu-tong-pai tampak di antara mereka yang berdiri. Diam-diam Bun Beng menduga-duga dan dia terkejut. Agaknya sepasang kakek kembar itu adalah anggauta-anggauta rendahan saja, sedangkan kakek muka tengkorak dan pemuda tampan adalah anggauta yang lebih tinggi. Kakek gundul yang duduk di sebelahnya yang tadi menyambutnya, tentu lebih tinggi kedudukannya, apalagi kakek muka singa dan wanita cantik yang duduk dan berdiri di dekat Ketua Thian-liong-pang. Kalau sepasang kakek kembar yang demikian lihai itu saja menjadi anggauta rendahan, dapat dibayangkan betapa lihai kakek gundul di sebelahnya ini, apalagi kakek muka singa, dan lebih-lebih ketuanya! Bun Beng bersikap hati-hati dan tidak mau bergerak, hendak melihat perkembangannya karena dia sungguh-sungguh bingung dan terheran-heran mengapa Ang-lojin yang tadinya diculik sekarang menjadi tamu dan bersikap tidak mengenalnya? Kini Bun Beng mulai memperhatikan dua orang yang bertanding dan kembali dia tercengang. Yang bertanding dengan golok dan pedang itu bukanlah orang-orang sembarangan! Laki-laki berusia empat puluh tahun yang berkepala besar dan bersenjata golok itu memiliki ilmu golok yang amat hebat, sedangkan kakek kurus yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu memiliki ilmu pedang yang amat tinggi pula. Diam-diam ia menonton dan mencurahkan perhatiannya. Bun Beng banyak mengenal ilmu silat, bahkan dahulu gurunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, telah membuka rahasia tentang dasar-dasar gerakan ilmu silat-ilmu silat tinggi yang dimiliki oleh partai-partai besar. Maka setelah menonton belasan jurus, Bun Beng mengenal bahwa Si Pemain golok itu tentulah seorang tokoh Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti) yang amat terkenal karena kehebatan ilmu golok mereka, sedangkan Si Pemain pedang itu tidak salah lagi tentulah seorang tokoh besar dari Hoa-san-pai karena ilmu pedang yang dimainkannya tidak salah lagi adalah Hoa-san Kiam-sut! Dia menjadi heran buka main. Mengapa dua orang tokoh dari Sin-to-pang dan Hoa-san-pai bertanding di tempat ini? Dan selain ditonton oleh banyak tamu dan orang-orang Thian-liong-pang sambil maka minum, juga diiringi tambur dan gembreng!
Pertandingan itu berjalan dengan seru dan jelas tampak betapa tokoh Sin-to-pang mulai terdesak, bahkan pundaknya telah terluka goresan pedang. Kalau semua tamu memandang dengan sikap dingin, demikian pula para tokoh Thian-liong-pang, hanya Bun Heng seoranglah yang menonton dengan hati tegang.
"Cukup....!" Tiba-tiba terdengar suara merdu dan halus, namun penuh wibawa keluar dari balik kerudung yang menyembunyikan kepala Ketua Thian-liong-pang. Seketika tambur dan gembreng berhenti dan kedua orang yang bertanding itu pun meloncat mundur menghentikan gerakan masing-masing! Bahkan kini seorang kakek yang agaknya merupakan ahli pengobatan Thian-liong-pang, menghampiri tokoh Sin-to-pang yang seperti bekas lawannya telah duduk kembali di kursi masing-masing, kemudian mengobati luka di pundak tokoh ini.
Bun Beng memandang bengong. Hampir dia tidak dapat percaya akan dugaannya yang agaknya tidak dapat salah lagi. Kedua orang tokoh itu diadu! Seperti dua ekor jangkrik diadu! Betapa mungkin ini? Mengapa mereka sudi? Dan agaknya mereka berdua tadi bukanlah pasangan pertama yang diadu. Selagi ia menduga-duga dengan bingung, terdengar suara merdu dari balik kerudung.
"Ang-lojin dari Bu-tong-pai dan Tok-ciang Siucai dari Lam-hai-pang, harap suka maju dan memperlihatkan kepandaian!" Jantung Bun Beng berdebar tegang.
"Siauw-hiap, silakan mencoba hidangan!" Tiba-tiba kakek gundul berkata.
"Terima kasih, aku tidak lapar," jawab Bun Beng tanpa mengalihkan pandang matanya dari Ketua Bu-tong-pai yang kini telah bangkit berdiri dari kursinya dan melangkah maju ke tempat pertandingan dengan sikap tanpa ragu-ragu dan wajah tidak membayangkan sesuatu. "Kalau begitu, silakan minum secawan arak sebagai penyambutan dari Pangcu kami," kata pula kakek itu yang sudah bangkit dan menyodorkan secawan arak penuh kepada Bun Beng.
Mendengar ini, Bun Beng menoleh ke kiri, ke arah Ketua Thian-liong-pang dan ia melihat betapa sepasang mata di balik lubang kerudung itu tertuju kepadanya dengan sinar tajam. Tanpa menjawab ia menerima cawan arak dan minum arak itu habis sekali teguk. Hampir ia tersedak, tubuhnya terasa nyaman hangat setelah ia minum arak tadi. Kepalanya menjadi agak pening sehingga diam-diam ia terkejut sekali. Tak mungkin secawan arak membuat ia mabok!
"Harap Siauw-hiap minum secawan lagi sebagai penyuguhan dari Thian-liong-pang," kata pula kakek gundul.
"Cukup, aku tidak ingin minum lagi, ingin menonton pertandingan!" kata Bun Beng dengan hati-hati, dan biarpun ia menjadi curiga sekali, pikirannya diputar untuk menduga apa yang terdapat di dalam arak yang diminumnya tadi, namun ia menujukan pandang matanya ke depan, ke arah Ketua Bu-tong-pai yang kini telah berhadapan dengan seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, tinggi kurus tampan dengan pakaian seperti seorang siucai (gelar sasterawan).
"Harap Ji-wi suka mulai pertandingan tangan kosong! Awas, Ang-lojin, lawanmu adalah seorang yang memiliki Tok-ciang (Tangan Beracun), harus dilawan dengan jurus-jurus simpananmu!" Terdengar pula suara halus dingin Ketua Thian-liong-pang.
Betapa heran hati Bun Beng ketika ia melihat dua orang itu, seperti dua ekor jangkerik atau ayam aduan, telah mulai saling serang tanpa banyak cakap lagi! Pemuda yang dipanggil julukannya sebagai Tok-ciang Siucai (Sasterawan Tangan Beracun) telah membuka serangan setelah menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan tangan terbuka dan telapak tangannya berwarna kemerahan! Serangan pertama ini merupakan tamparan dengan tangan kiri ke arah muka lawan disusul dorongan telapak tangan kanan ke arah dada! Cepat sekali gerakannya dan kalau diingat bahwa kedua telapak tangannya mengandung hawa beracun, dapat dibayangkan betapa dahsyat dan berbahaya serangan ini.
Namun Ang-lojin adalah Ketua Bu-tong-pai yang tentu saja memiliki tingkat ilmu silat yang sudah amat tinggi. Dengan tenang namun tidak kalah cepatnya, ia mengelak dengan geseran kaki ke kiri sambil mengibaskan tangan kanan ke kanan menangkis dan dari samping, tiba-tiba kaki kanannya melakukan tendangan menyerong ke arah perut siucai itu.
"Bagus sekali!" tiba-tiba kakek muka singa memuji tendangan itu dan memang Bun Beng juga dapat melihat betapa indah dan berbahayanya serangan balasan Ketua Bu-tong-pai yang dilakukan dengan cekatan. Tok-siang Siucai ternyata juga lihai karena sambil merobah kaki melangkah mundur tangan kirinya dapat menangkis serangan itu dengan melemparkan ke kanan. Namun, tiba-tiba tendangan kaki kanan dari Ketua Bu-tong-pai itu telah disusul dengan tendangan kaki kiri yang digerakkan dengan memutar dari belakang, kembali tendangan ini menyerong dan yang diarah adalah lutut kanan lawan! Si Pemuda kaget, mundur selangkah menyelamatkan lututnya, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai terus melakukan tendangan kedua kakinya, cepat dan kuat sekali sehingga kedua kakinya yang kelihatan banyak saking cepatnya itu menimbulkan suara angin.
"He mmmm.... Soan-hong-twi.... seperti itukah?" Ucapan Ketua Thian-liong-pang ini lirih sekali dan agaknya tidak terdengar oleh orang lain, akan tetapi Bui Beng yang sejak tadi memperhatikannya, biarpun hanya dengan pendengaran karena matanya ditujukan untuk mengikuti pertandingan, dapat menangkap kata-katanya. Jantung Bun Beng makin berdebar. Para tokoh kang-ouw itu, termasuk Ketua Bu-tong-pai yang baru saja ditawan, semua menjadi begitu jinak dan penurut dan.... arak yang secawan saja sudah membuat dia mabok.... bukan tidak mungkin ada hubungannya! Dia baru minum secawan saja sudah pening dan seolah-olah semangatnya mengendor, dan kakek gundul itu tadi berusaha membuat dia minum lebih banyak! Kemudian, para tokoh yang saling bertanding mati-matian dan dengan bersungguh hati, Ketua Thian-liong-pang yang menonton dan memberi komentar! Hemm, seolah-olah ada sinar terang memasuki kepala Bun Beng, namun pengaruh arak membuat keningnya berdenyut-denyut sehingga sukar bagi dia untuk memutar otaknya, tidak seperti biasa. Betapapun juga, Bun Beng mengerahkan seluruh pikirannya untuk melakukan penyelidikan, mengambil kesimpulan-kesimpulan dan mengumpulkan dugaan-dugaan.
Pertandingan antara Ketua Bu-tong-pai dan tokoh-tokoh Lam-hai-pang berlangsung makin seru. Akan tetapi Bun Beng mendapat kenyataan yang menyenangkan hatinya. Ternyata ayah Ang Siok Bi, yaitu Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, biarpun kini mau saja diadu seperti jangkerik, tetap memiliki watak yang baik, sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang ketua partai persilatan besar. Pemuda bertangan ganas itu jelas melakukan serangan-serangan berbahaya dan mematikan, namun Ketua Bu-tong-pai itu banyak mengalah dan biarpun terpaksa mengeluarkan jurus-jurus simpanan dari Bu-tong-pai untuk menyelamatkan diri, namun serangan balasannya tidak bersungguh-sungguh seolah-olah dia enggan untuk mencelakai lawan, tidak mau melukai hebat, apalagi membunuh. Hal ini tentu saja dapat ia lihat karena banyak lowongan baik tidak dipergunakan oleh kakek itu. Kalau Ang-lojin menghendaki, tentu tidak sampai tiga puluh jurus lawannya dapat dirobohkan dengan pukulan-pukulan istimewanya.
Betapapun juga, tingkat pemuda itu kalah tinggi dan kini dia selalu terdesak mundur. Ketika sebuah tendangan kilat menyerempat pinggang pemuda itu dan membuatnya terhuyung miring, kalau Ang-lojin mau tentu mudah baginya menyerang dengan pukulan maut. Namun kakek ini hanya mendorong pundak pemuda itu dan membuatnya roboh terjengkang.
"Cukup!" teriak Ketua Thian-liong-pang. "Tok-ciang Siucai, harap mundur dan Pek-eng Sai-kong harap maju untuk melayani Ang-lojin dengan senjata. Ang-lojin, ilmu silat tangan kosong Bu-tong-pai hebat, harap perlihatkan ilmu silatmu dengan senjata. Bukankah Siang-kiam (Sepasang Pedang) menjadi keistimewaan Bu-tong-pai? Silakan!"
Berkata demikian, Ketua Thian-liong-pang ini menggerakkan tangan kirinya dan sepasang pedang melayang ke arah Ang-lojin. Ketua Bu-tong-pai ini tidak menjawab melaInkan menerima sepasang pedang itu dengan gerakan indah. Bun Beng melihat munculnya seorang pendeta berpakaian lebar dan bermuka penuh brewok telah menerima sebatang toya dari tangan kakek muka singa yang duduk di sebelah kanan Ketua Thian-liong-pang. "Pek-eng Sai-kong, kami telah menyaksikan dan mengagami ilmu toyamu. Harap jangan sungkan-sungkan, pergunakan jurus-jurus yang paling hebat, terutama jurus kedua puluh tujuh Pek-eng-coan-ci (Garuda Putih Menyabetkan Ekor). Hati-hati, ilmu siang-kiam Bu-tong-pai amat lihai!" Dalam suara dari balik kerudung itu terkandung kegembiraan besar. Bun Beng makin berdebar karena di dalam otaknya yang kacau oleh pengaruh arak memabokkan, ia kini mulai dapat menyingkap tabir yang merahasiakan semua peristiwa yang aneh yang dihadapinya. Kembali terjadi pertandingan dan sekali ini lebih hebat menegangkan daripada tadi. Sai-kong itu amat kuat, toyanya benar-benar berbahaya dan teringatlah Bun Beng akan sebuah aliran yang menamakan dirinya Pek-eng-pang (Toya Garuda Putih) yang merupakan sekelompok orang gagah yang sesungguhnya memiliki dasar ilmu toya Siauw-lim-pai namun telah dicampur-aduk dengan ilmu silat golongan hitam! Jadi saikong ini adalah seorang tokoh Pek-eng-pang! Ia memandang penuh perhatian karena dia pun ingin sekali menyaksikan bagaimana ilmu toya Siauw-lim-pai yang telah dirobah itu!
Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika toya bertemu dengan pedang, dan tampaklah sinar toya yang kuning bergulung-gulung menjadi satu dengan sinar pedang yang putih. Sekali ini, Ketua Bu-tong-pai harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena yang menjadi lawannya adalah orang terpandai dari Pek-eng-pang! Biarpun Ketua Bu-tong-pai ini tidak mempunyai hati yang kejam tidak ingin melukai apalagi membunuh lawan, namun sekali ini mau tidak mau dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, karena kalau tidak, dia sendiri yang akan menjadi korban toya yang ganas.
Bun Beng mengepal ujung lengan kursinya. Diam-diam ia telah siap sedia untuk menolong kalau Ketua Bu-tong-pai terancam bahaya. Biarpun dia kini dapat menduga bahwa saikong itu, seperti juga Ketua Bu-tong-pai, hanya berperan seperti dua ekor jangkerik aduan, namun tetap saja hatinya berpihak kepada Ang-lojin. Bukan semata-mata karena kakek itu adalah ayah Ang Siok Bi yang cantik, biarpun hal ini sedikit banyak menjadi sebab juga, akan tetapi terutama sekali karena ilmu toya Siauw-lim-pai yang telah berubah itu menurut keterangan suhunya dibawa lari oleh seorang murid Siauw-lim-pai yang murtad!
"Hyaaatttt....!" Tiba-tiba saikong itu membentak keras dan Bun Beng diam-diam terkejut sekali sehingga tanpa disadarinya ia telah meremas patah ujung lengan kursinya, siap untuk disambitkan kalau Ang-lojin terancam bahaya! Dan memang hebat sekali jurus yang kini dipergunakan oleh Sai-kong itu dalam penyerangannya. Itulah jurus dari ilmu toya Siauw-lim-pai, hal ini diketahui jelas oleh Bun Beng, akan tetapi jurus itu telah dirobah sedemikian rupa sehingga selain lihai juga menjadi ganas dan licik sekali. Toya itu menyodok ke arah pusar lawan dengan cepatnya, dan begitu Ang-lojin menangkis dengan pedang kiri, tiba-tiba tubuh saikong itu terguling ke depan, lalu tubuhnya menggelinding ke arah lawan, tongkat atau toya itu diputar menyerampang kaki lawan dilanjutkan dengan sodokan ke atas, mengarah mata dibarengi dengan tendangan ke arah anggauta tubuh di bawah pusar. Serangan yang mematikan!
Namun Ang-lojin tidak menjadi gugup menghadapi jurus yang oleh Ketua Thian-liong-pang disebut Pek-eng-coan-ci tadi dan terpaksa dia pun mengeluarkan jurus simpanannya. Kedua pedangnya mela kukan gerakan menggunting dan begitu berhasil menjepit toya, tubuhnya terangkat ke atas dengan kaki ke atas, kemudian ia berjungkir balik, melepaskan jepitan toya dan sambil menukik turun, sepasang pedangnya melakukan gerakan menyerang dari kanan kiri, lagi-lagi menggunting bagian leher dan pinggang lawan denngan sepasang pedang!
"Heh, itukah Siang-in-toan-san (Sepasang Awan Memutuskan Gunung)?" terdengar Ketua Thian-liong-pang berseru lirih namun dapat terdengar cukup jelas oleh Bun Beng.
Saikong itu kaget sekali dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang sambil memutar toya membentuk lingkaran melindungi tubuh ia dapat menyelamatkan diri, akan tetapi ia terkejut dan sampai terhuyung-huyung. Kini ia berteriak lagi dan tiba-tiba tubuhnya membalik, sikapnya seperti hendak menyerang, akan tetapi tiba-tiba sambil membalik ini toyanya meluncur terlepas dari tangan, merupakan anak panah raksasa yang menyambar ke arah tubuh Ang-lojin. "Trakkk!" Toya itu menyeleweng dan menancap di atas lantai di depan Ang-lojin yang tadi saking tak menyangka hampir saja menjadi korban toya.
"Cukup! Harap Ji-wi kembali ke kursi masing-masing!" Terdengar Ketua Thian-liong-pang berkata sambil memandang ke arah Bun Beng yang sudah bangkit berdiri. Semua orang Thian-liong-pang kini menoleh ke arah Bun Beng, maklum bahwa Ketua mereka marah sekali kepada tamu muda yang dengan lancang telah menimpuk toya dengan ujung lengan kursi yang dipatahkan.
"Chie Kang, berapa cawankah tamu Siauw-lim-pai itu minum arak?" terdengar wanita berkerudung bertanya kepada kakek gundul. Bagi orang yang tidak tahu, tentu Ketua itu apakah tamu mudanya terlalu banyak minum arak sehingga mabok dan melakukan kelancangan itu. Akan tetapi Bun Beng yang sudah dapat menduga, hanya tersenyum, apalagi ketika mendengar kakek gundul menjawab, "Dia hanya minum secawan, menolak untuk minum lagi, Pangcu."
"Dan untung bahwa aku hanya minum secawan, kalau tidak tentu aku pun akan kaujadikan jangkerik aduan, bukan begitu, Thian-liong-pangcu?" Bun Beng kini menghadapi Ketua itu dengan sikap tenang, sedikitpun tidak gentar, mulutnya tersenyum mengejek. Biarpun wajah itu tidak tampak, namun sepasang muta yang tampak dari kedua lubang itu mengeluarkan sinar berapi,
tanda bahwa Ketua ini marah sekali. Sejenak hening di situ, hening yang penuh ketegangan, dirasakan benar oleh semua anggauta Thian-liong-pang. Kalau Ketua mereka sudah marah, tentu akan terjadi hal yang mengerikan.
"Orang muda, karena engkau adalah seorang murid Siauw-lim-pai dan kami tidak mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai, maka perbuatanmu menyerang dua pembantu kami, kami maafkan. Bahkan kami menerimamu sebagai seorang tamu terhormat, biarpun engkau masuk seperti seorang pencuri. Akan tetapi jangan mengira bahwa karena engkau seorang murid Siauw-lim-pai lalu boleh berbuat sesuka hatimu dan lancang!"
Bun Beng mengangkat dadanya dan memandang Ketua itu dengan sikap menantang. "Thian-liong-pangcu! Aku datang bukan sebagai utusan Siauw-lim-pai, memelainkan atas nama pribadi yang ingin mengingatkanmu bahwa perbuatanmu tidak baik dan kuminta engkau segera menghentikan perbuatanmu itu!"
"Eh, bocah sombong. Perbuatan apa yang kau maksudkan?" Suara Ketua Thian-liong-pang mengandung keheranan karena dia benar-benar merasa bahwa di dunia ini terdapat seorang pemuda yang begini tidak tahu diri berapi menentangnya secara terang-terangan, bahkan menegurnya seperti seorang dewasa menegur seorang kanak-kanak!
"Hemmm, perlukah dijelaskan lagi? Baiklah agar jangan aku dikatakan bicara mengawur dan menuduh kosong, baik kukatakan bahwa aku sudah mengetahui rahasia semua penculikan yang dilakukan Thian-liong-pang terhadap para tokoh kang-ouw. Engkau menculik mereka, termasuk Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, kemudian kauberi mereka minuman arak yang mengandung racun perampas ingatan, mungkin yang pengaruhnya hanya untuk sementara saja. Kemudian, selagi para Locianpwe yang bernasib malang ini kehilangan ingatan mereka, kaujadikan mereka jangkerik-jangkerik aduan karena engkau ingin mengetahui rahasia ilmu silat simpanan mereka yang terpaksa harus mereka pergunakan dalam pertandingan untuk menyelamatkan diri. Bukankah begitu?"
Keadaan makin tegang dan semua anggauta Thian-liong-pang menganggap pemuda lancang itu menjadi calon mayat, karena mana mungkin Ketua mereka membiarkan saja kekurangajaran seperti itu? Akan tetapi, sikap dan ucapan Bun Beng menimbulkan kekaguman di hati Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu. Memang wanita ini sebagai seorang sakti, akan selalu kagum terhadap orang yang gagah berani, yang menganggap nyawa sebagai hal yang ringan, menganggap kematian sebagai hal sepele, menganggap bahaya bukan apa-apa dalam membela kebenaran yang dipercayanya. Hanya ada keraguan di hatinya apakah pemuda ini bersikap sedemikian berani terdorong sifat gagah yang aseli, ataukah hanya untuk bersombong saja terdorong oleh nama besar Siauw-lim-pai.
"Bocah sombong! Kalau benar begitu, mengapa? Apa kehendakmu?"
"Pangcu, aku hanya memperingatkan bahwa engkau main-main dengan api! Engkau menanam permusuhan dengan seluruh dunia kang-ouw dengan perbuatanmu ini. Aku minta agar engkau menghentikan perbuatan ini dan membebaskan semua tawanan."
"Hemm, tanpa kauminta, semua sahabat yang menjadi tamuku akan kubebaskan. Kau memperingatkan agar kami menghentikan perbuatan kami. Kalau aku menolak peringatanmu ini, habis kau mau apa?"
"Terpaksa aku akan menantangmu bertanding! Aku tahu bahwa engkau sakti, Thian-liong-pangcu, akan tetapi demi membela kebenaran, demi keselamatan seluruh tokoh kang-ouw, aku siap mengorbankan nyawa!"
"Keparat cilik! Engkau sombong sekali! Pangcu, ijinkan saya membasmi bocah sombong ini!" Tan Wi Siang sudah meloncat maju dengan marah sekali.
"Wi Siang, mundurlah!" Ketua Thian-liong-pang membentak, "Bocah ini mempunyai ketabahan besar, atau memang hanya seorang bocah sombong yang mengandalkan nama Siauw-lim-pai. Biar Paman Chie Kang saja yang melayaninya!"
"Baik, Pangcu!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang sudah meloncat maju. Kakek gudul ini sudah sejak tadi merasa marah menyaksikan sikap Bun Beng, "Eh, orang muda yang tidak mengenal kebaikan orang! Majulah, ingin kulihat sampai dimana kepandaianmu!" katanya dengan suara yang tinggi nyaring.
"Chie Kang, jangan bunuh dia, kau tahu apa yang harus kaulakukan!"
"Hemmm," Bun Beng mengejek. "Aku pun tahu, Pangcu! Tentu engkau hendak mempelajari pula jurus-jurus simpanan dari Siauw-lim-pai, bukan? Ha, sekali ini engkau akan kecelik!"
Kembali Nirahai tertegun. Bocah ini selain memiliki keberanian yang luar biasa, juga amat cerdik seolah-olah mengetahui semua isi hatinya. Terhadap bocah seperti ini, dia harus berlaku hati-hati. Diam-diam ia menduga-duga siapakah gerangan bocah ini. Apakah Ketua Siauw-lim-pai yang mendengar akan penculikan-penculikan yang dilakukannya, sengaja mengirim seorang muridnya yang dapat dipercaya untuk melakukan penyelidikan? Dia maklum bahwa di Siauw-lim-pai terdapat banyak orang pandai, maka dia tidak pernah berurusan dengan Siauw-lim-pai, bahkan memesan kepada para anak buah untuk menjauhkan diri dari permusuhan dengan partai itu. Akan tetapi Ketua Siauw-lim-pai yang mengambil langkah pertama memusuhi Thian-liong-pang, hemmm, dia pun tidak takut!
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang maklum akan maksud Ketuanya dan kata-kata Bun Beng yang dengan tepat membongkar niat Ketuanya membuat ia makin marah. Sambil menggereng ia telah menerjang maju, sengaja mengeluarkan jurus berbahaya untuk memaksa lawan muda itu mengeluarkan jurus simpanan dari Siauw-lim-pai agar dapat dilihat oleh Ketuanya.
Memang apa yang dilontarkan oleh Bun Beng sebagai tuduhan tadi tepat sekali. Nirahai sengaja menculik tokoh-tokow kang-ouw, kemudian membius mereka dengan arak beracun, mengadu mereka untuk dapat mempelajari gerakan yang aseli dari jurus-jurus terlihai semua partai yang hanya dikenalnya bagian teorinya saja. Dia ingin memperdalam ilmu silatnya sedemikian rupa dalam persiapannya menghadapi suaminya, Suma Han atau Pendekar Siluman, juga Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es!
Menghadapi terjangan kakek gundul, Bun Beng terkejut. Hebat bukan main serangan lawannya yang menubruk dengan kedua tangan terbuka jarinya, mencengkeram dari atas dan bawah dengan getaran hawa yang membuktikan tenaga sin-kang kuat. Untuk menggunakan ilmu silat Siauw-lim-pai dia tidak mau, karena dia tidak ingin kalau Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu "mencuri" jurus-jurus pilihan dengan melihat dia mainkan jurus itu. Akan tetapi terjangan kakek gundul yang menjadi lawannya benar-benar amat berbahaya. Maka ia cepat mengerahkan gin-kangnya dan hanya mengelak ke sana ke mari tanpa mainkan jurus pilihan Siauw-lim-pai! Untung bahwa dalam hal gin-kang, dia dapat mengatasi gerakan kakek itu sehingga sampai belasan jurus ia mampu menghindarkan semua terjangan kakek itu dengan hanya mengandalkan illmunya meringankan tubuh!
"Heh, kau masih keras kepala, ya?" Chie Kang mendengus marah menyaksikan lawannya itu benar-benar tidak mengeluarkan jurus Siauw-lim-pai dan hanya mengelak ke sana-sini. Ia merobah serangannya, kini dia mengerahkan sin-kang dan menyerang dengan gerakan lambat, namun kedua tangannya mendatangkan angin yang bergulung-gulung menghadang semua jalan keluar Bun Beng! Pemuda itu terkejut, maklum bahwa menghadapi penyerangan seperti itu tidak mungkin baginya untuk hanya mengandalkan gin-kang saja. Maka ia berseru keras, tubuhnya melakukan gerakan aneh sekali, tubuhnya menyeruduk ke depan, kedua tangannya membentuk lingkaran-lingkaran aneh sekaligus menghalau semua serangan lawan dan berbalik kedua tangannya yang seolah-olah berubah menjadi banyak sekali itu mengirim pukulan dari semua penjuru!
"Aihhhh....!" Chie Kang berteriak, berusaha mengelak namun tetap saja pundaknya terkena tangan Bun Beng sehingga ia terhuyung ke belakang, Bun Beng mendesak ke depan untuk mengirim pukulan yang akan merobohkan lawan. Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat, kedua tangan Bun Beng tertolak ke samping, dan sebelum Bun Beng sempat menjaga diri, tahu-tahu ia telah terguling roboh. Tubuhnya jatuh terlentang dan tahu-tahu kaki kiri Ketua Thian-liong-pang telah menginjak dadanya! Bun Beng merasa betapa kaki yang kecil itu seperti gunung beratnya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi, dan maklumlah pemuda ini bahwa sekali wanita itu mengerahkan tenaga, dadanya akan pecah! Namun dia tidak takut dan memandang dengan mata melotot.
"Bocah sombong! Dari mana engkau mempelajari ilmu tadi?" Biarpun dia sudah tidak berdaya dan hanya menanti maut yang berada di telapak kaki wanita itu, namun Bun Beng merasakan kegirangan dan kepuasan besar karena ia mendapat kenyataan bahwa wanita sakti ini tidak mengerti jurusnya tadi!
"Ha-ha-ha-ha! Thian-liong-pangcu, mau bunuh, lekas bunuhlah. Siapa takut mati dan siapa takut padamu? Engkau memang pandai seperti iblis, akan tetapi juga menyeleweng dan jahat seperti iblis. Memang engkau iblis, kalau tidak, tentu engkau tidak akan menyembunyikan mukamu di belakang kerudung! Akan tetapi, biarpun engkau iblis sendiri yang masih belum puas dan ingin mencuri ilmu silat seluruh orang kang-ouw, tetap saja engkau tidak menang melawan Pendekar Siluman dari Pulau Es! Ha-ha-ha, engkau akan dipermainkan lagi seperti dulu di Sungai Fen-ho, seperti yang telah kusaksikan sendiri. Ha-ha-ha!"
Bun Beng merasa betapa kaki itu makin berat menindih dadanya. Ia memejamkan mata, menanti datangnya maut, akan tetapi kaki itu tidak menginjak terus, bahkan turun dari dadanya dan tiba-tiba rambutnya yang dikuncir itu terjambak, tubuhnya terangkat dan dipaksa bangkit. Ia kini berdiri di depan wanita itu, melihat sepasang mata di balik kerudung yang seolah-olah hendak membakarnya. "Siapa engkau? Siapa....?" Wanita itu membentak, kini suaranya tidak halus merdu lagi, melainkan melengking nyaring penuh kemarahan.
"Aku akan mati, perlu apa menyembuyikan nama? Aku Gak Bun Beng...."
"Ya Tuhan....!" Bun Beng mendengar suara ini dari atas anak tangga, akan tetapi dia tidak tahu siapa yang berseru kaget itu karena Ketua Thian-liong-pang di depannya tiba-tiba tertawa menghina.
"Hi-hik, kiranya anak haram, keturunan Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak datuk kaum sesat? Pantas.... pantas....! Engkau jahat, melebihi Ayahmu yang tidak sah. Manusia macammu ini tidak layak hidup!"
Nirahai mengangkat tangan kanannya, siap menghantam kepala Bun Beng. Sekali ini, karena Bun Beng sudah berdiri dan tidak seperti tadi, diinjak tak mampu berkutik, tentu saja tidak sudi mampus begitu saja tanpa melawan. "Plakkk!" Hantaman dengan telapak wanita itu berhasil dia tangkis dengan jurus Sam-po-cin-keng dan biarpun tubuhnya terlempar sampai lima meter jauhnya, ia berhasil menangkis dan tidak terluka. Dia sudah meloncat bangun lagi, siap melawan mati-matian.
"Pangcu....!" Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan berkelebatlah tubuh kakek bermuka singa menghadang tubuh Nirahai yang sudah berjalan menghampiri Bun Beng dengan mata berkilat penuh penasaran.
"Sai-cu Lo-mo, minggirlah engkau! Bocah ini harus kubunuh!" bentak ketuanya.
"Pangcu, ampunkanlah.... dia cucu keponakan saya, satu-satunya keturunan saya, bagaimana Pangcu tega untuk membasmi keturunan saya? Ampunkanlah, atau Pangcu bunuh saya sekalian!"
Mendengar ini, tiba-tiba lemaslah tubuh Nirahai dan ia memandang wajah pembantunya yang berlutut di depan kakinya. Bu Beng berdiri memandang dengan mata terbelalak! Dia cucu keponakan kakek bermuka singa itu?
"Sudahlah! Tidak dibunuh pun tidak mengapa, akan tetapi harus suka menjadi anggauta kita."
"Apa? Aku menjadi anggauta Thian-liong-pang, membantu kalian menculiki orang-orang gagah untuk dicuri kepandaiannya? Terima kasih, lebih baik mati!" Bun Beng membentak sambil membanting kakinya penuh kemarahan.
Sai-cu Lo-mo cepat meloncat ke depan Bun Beng sambil membentak penuh teguran, "Gak Bun Beng, engkau tidak boleh berkata begitu! Engkau adalah cucu keponakanku sendiri, harus mentaati kata-kataku."
Bun Beng memandang kakek itu penuh perhatian. "Locianpwe, sejak kapankah aku menjadi cucu keponakanmu dan siapakah Locianpwe?"
"Aku adalah Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, mendiang Ibumu Bhok Khim, adalah keponakanku." Diam-diam Bun Beng merasa terharu. Baru sekali ini dia bertemu dengan orang yang ada hubungan keluarga dengannya, akan tetapi dia bertanya penuh rasa penasaran.
"Kalau benar demikian mengapa baru sekarang Locianpwe Mengaku sebagai Paman Kakekku?" Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu, Bun Beng. Aku telah berusaha merampasmu dengan mengirim anak buah Thian-liong-pang dahulu ke kuil tua, dekat Sungai Fen-ho, akan tetapi usahaku gagal, engkau dirampas oleh Pendekar Siluman dan diberikan kepada orang Siauw-lim-pai. Sekarang kebetulan sekali kita dapat berkumpul, engkau menurutlah, tinggal di sini menjadi anggauta kami,
mempelajari ilmu dari Pangcu dan membuat jasa."
"Maaf, Kakek, hal ini tidak dapat kulakukan. Bukan sekali-kali aku tidak memandang perhubungan keluarga antara kita. Aku tahu engkau seorang yang baik dan telah berusaha menyelamatkan aku, akan tetapi untuk menjadi anggauta Thian-liong-pang aku tidak sudi. Terserah kepada Thian-liong-pangcu, hendak membebaskan aku bersama para tokoh kang-ouw di sini atau hendak membunuhku!"
"Sai-cu Lo-mo, mengingat dia cucu keponakanmu, aku tidak membunuhnya. Akan tetapi dia harus menjadi anggauta kita atau mati! "terdengar Nirahai berkata, suaranya dingin dan mengandung keputusan yang tidak dapat dibantah lagi. Sai-cu Lo-mo menjadi bingung sekali. Dia ingin menyelamatkan keturunannya ini, akan tetapi maklum bahwa pemuda ini memiliki keberanian dan kenekatan yang sukar ditundukkan dan ia maklum pula bahwa kalau Pangcunya marah, tidak ada seorang pun berani membantahnya. Lalu ia mendapatkan akal dan berkata. "Pangcu, ampunkan saya dan ampunkan dia yang masih muda. Kalau dia tidak mau, biar dia kita tawan dan perlahan-lahan saya akan membujuknya."
Terdengar jawaban dengan suara kesal, "Sesukamulah....."
Sai-cu Lo-mo menjadi girang sekali. "Bun Beng, dengarlah betapa baiknya Ketua kita. Engkau menurutlah, Cucuku!"
"Maaf, aku tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang! Biarpun Ayahku yang tidak pernah kukenal itu disebut seorang datuk kaum sesat, namun aku bukanlah orang sesat!"
"Bocah bandel, kalau begitu aku akan menawanmu!" Sai-cu Lo-mo membentak dan menubruk ke depan hendak menangkap Bun Beng. Akan tetapi, Bun Beng sudah mengelak cepat dan ketika kakek itu menyusul dengan serangan totokan untuk merobohkannya, dia cepat menangkis.
"Plak-plak!" Bun Beng terpental ke belakang dan Sai-cu Lo-mo terhuyung. Diam-diam Bun Beng terkejut, maklum bahwa orang yang mengaku kakeknya ini memang memiliki kepandaian dan tenaga lebih hebat daripada kakek gundul yang berhasil ia kalahkan tadi.
Di lain pihak, Sai-cu Lo-mo juga kagum. Kiranya cucu keponakannya ini benar tangguh, pantas saja sutenya kalah. "Gak Bun Beng, berani engkau melawan kakekmu sendiri?"
"Aku tidak melawan seorang kakekku, melainkan melawan orang-orang Thian-liog-pang." jawab Bun Beng tegas. "Engkau benar tak tahu diri dan sombong!" Sai-cu Lo-mo kini menerjang dengan hebatnya. Bun Beng terpaksa menggerakkan kaki tangan melawan dan kembali dia menggunakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng. Begitu ia mainkan jurus-jurus aneh ilmu silat ini, Sai-cu Lo-mo mengeluarkan seruan kaget dan kakek ini terdesak hebat! Melihat gerakan pemuda itu Nirahai menjadi kagum dan tertarik sekali. Dia telah melihat dan mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan ilmu silat tangan kosong seperti yang dimainkan pemuda itu. Sungguhpun gerak kaki pemuda itu mempunyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang sudah matang, namun jurus itu bukanlah jurus ilmu silat Siauw-lim-pai.
"Wi Siang kaubantulah Lo-mo menangkap bocah itu, pancing sedapatmu agar dia mengeluarkan seluruh ilmunya," bisiknya dengan tertarik sekali sambil duduk kembali ke atas kursinya untuk menonton dan me mpelajari jurus-jurus yang dimainkan Bun Beng.
Tang Wi Siang kini sudah mengenal Bun Beng sebagai anak yang dahulu pernah menolongnya ketika ia bertanding melawan Thai Li Lama di pulau Sungai Huang-ho dan hampir celaka oleh ilmu sihir Lama itu. Dia meloncat dan menyerang Bun Beng dengan gerakan lincah sekali. Bun Beng terkejut. Dia maklum bahwa wanita ini memiliki gerakan yang cepat luar biasa dan mungkin lebih lihai
daripada Sai-cu Lo-mo. Dan memang dugaannya benar, Tang Wi Siang menjadi orang yang paling disayang dan dipercaya oleh Nirahai di antara para pembantunya, maka wanita itu dia beri pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi daripada pembantu-pembantu lain, bahkan Tang Wi Siang telah dia beri Ilmu Silat Yancu-sinkun (Ilmu Silat Burung Walet) yang mengandalkan gerakan gin-kang tinggi sekali. Menghadapi Sai-cu Lo-mo saja dia sudah merasa berat, bukan hanya karena kakek itu lihai sekali, juga ia merasa enggan untuk melukai orang tua paman ibunya ini. Sekarang ditambah lagi dengan Tang Wi Siang, dia benar-benar menjadi terancam hebat. Gerakan penyerangan Wi Siang demikian cepatnya seolah-olah ke dua lengan wanita itu berubah menjadi enam dan karena Bun Beng harus menjaga jangan sampai ia tertawan oleh kakek itu, sebuah totokan tangan kiri wanita itu ke arah lehernya tak dapat ia elakkan lagi. Akan tetapi, ternyata tangan itu tidak dilanjutkan menotok, hanya mendorong pundaknya sehingga ia terpental dekat anak tangga. Ia meloncat lagi dan sekilas pandang ia melihat muka berkerudung Ketua Thian-liong-pang yang sedang memandangnya penuh perhatian, ia menjadi terkejut sekali dan sadar bahwa Tang Wi Siang yang turun membantu Sai-cu Lo-mo tentu hanya mendesaknya agar dia mengeluarkan semua jurus ilmunya, yaitu Sam-po-cin-keng dan Si Ketua itu hendak menyaksikan dan mencuri ilmu itu dengan jalan melihat gerakan-gerakannya!
Bun Beng adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa betapapun juga, dia takkan mampu menang karena kalau Si Ketua sendiri turun tangan, betapapun dia melawan akan percuma saja, maka dia mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan ilmunya agar tidak dicuri oleh Ketua itu. Tak mungkin engkau akan dapat mencuri jurus-jurus sim-panan Siauw-lim-pai dan Sam-po-cin-keng, pikirnya dan kini ia melawan dengan gerakan sederhana sehingga dalam belasan jurus saja ia telah roboh tertotok oleh Sai-cu Lo-mo. Nirahai menjadi terkejut, penasaran, dan marah. Dia pun mengerti bahwa pemuda bandel itu sengaja tidak memperlihatkan jurus-jurus aneh itu, dan sengaja membiarkan dirinya tertangkap!
"Lempar dia ke dalam penjara di bawah tanah!" bentak Ketua Thian-liong-pang. "Jangan keluarkan sebelum dia mentaati perintah!"
Sai-cu Lo-mo terkejut dan memandang Ketuanya. Akan tetapi sinar mata ketuanya jelas menyatakan tidak mau dibantah. Terpaksa Sai-cu Lo-mo diam saja melihat tubuh pemuda itu diseret oleh dua orang petugas yang membawa ke tempat tahanan di bawah tanah yang letaknya di sebelah belakang kompleks bangunan-bangunan sarang Thian-liong-pang.
Biarpun tubuhnya sudah lemas tertotok, ketika ia diseret pergi, Bun Beng masih mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang, "Lanjutkan pesta dan pertandingan!" Dia merasa puas dapat menangkap kemarahan dan kejengkelan dalam suara itu. Dia telah kalah, dia telah gagal menolong para tokoh kang-ouw, namun sedikitnya dia telah berhasil membuat Ketua Thian-liong-pang kecewa, terhina dan marah-marah! Tahanan di bawah tanah itu amat menyeramkan. Dua orang petugas yang kini menggotong tubuh Bun Beng, membawa pemuda itu memasuki lorong bawah tanah yang menurun melalui anak tanga batu. Lorong yang gelap dan di tiap tikungan terdapat pintu besi yang terjaga oleh dua orang anggauta Thian-liong-pang. Setelah melalui tujuh pintu, sampailah mereka di sebuah kamar tahanan dan tubuh Bun Beng dilempar ke dalam kamar ini.
Bun Beng tidak memperhatikan tempat itu, juga tidak peduli ketika pintu kamar itu ditutup dari luar. Dia sibuk mengatur pernapasan, dan berusaha membebaskan totokan agar jalan darahnya mengalir normal kembali. Dia maklum bahwa tanpa usaha ini pun, akhirnya totokan itu akan punah, akan tetapi, hal itu akan makan waktu beberapa jam lamanya. Akhirnya dia berhasil memulihkan kembali jalan darahnya dan ia bangkit duduk, bersila dan menghimpun tenaga karena mulai saat itu dia harus berlaku hati-hati dan tenaganya harus pulih untuk meghadapi segala kemungkinan. KUrang lebih sejam lamanya dia ber-siulian, tidak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Setelah tenaganya pulih dan batinnya tenang kembali, barulah Bun Beng menghentikan samadhinya dan membuka mata. Mula-mula yang ia dapati adalah bahwa kamar itu agak gelap, remang-remang dan lembab. Kemudian setelah membiasakan matanya dalam cuaca yang remang-remang itu, ia bangkit berdiri dan mulai menyelidiki kamar tahanan.
Sebuah kamar berdinding batu yang lebarnya tiga meter persegi, langit-langitnya juga batu, tingginya dari lantai ada empat meter. Tidak ada jendelanya, hanya terdapat sebuah pintu dari mana dia dilempar masuk. Pintu ini kecil hanya cukup dimasuki satu orang, dan terbuat dari baja tebal yang masuk ke dalam dinding batu. Kokoh kuat pintu itu, tak mungkin dibongkar. Bun Beng menarik napas panjang karena sekali pandang saja dia maklum bahwa tidak mungkin lolos dari tempat ini menggunakan tenaga membongkar pintu atau menjebol dinding. Harus mencari akal. Namun, andaikata dia dapat keluar, bagaimana ia dapat lolos dari Thian-liong-pang? Lorong itu saja mempunyai tujuh buah pintu yang terjaga, belum lagi diingat bahwa kalau dapat keluar dari lorong bawah tanah, di atas sana masih ada tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang lihai, terutama sekali Ketuanya!
"Aku harus bersabar dan melihat perkembangan selanjutnya," akhirnya ia menghibur diri sendiri. Betapapun juga dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh, karena selain Sai-cu Lo-mo mengaku sebagai kakeknya itu tidak suka melihat keturunannya terbunuh, juga Ketua Thian-liong-pang agaknya ingin sekali mendapatkan ilmu silatnya, terutama sekali Sam-po-cin-keng! Betapapun, dia masih memiliki ilmu sebagai "modal" untuk hidup! Dengan pikiran ini, hatinya menjadi lebih tenang dan Bun Beng lalu mencari tempat duduk di lantai yang enak. Akan tetapi, mana ada tempat duduk yang enak? Lantai itu terbuat dari batu pula, kasar dan agak basah karena selalu ada air menitik turun dan di atas lantai tampak rangka-rangka manusia berserakan! Bun Beng mengerutkan keningnya. Ada tujuh buah tengkorak manusia di dalam kamar mereka itu. Siapa tahu mungkin lebih banyak lagi, tersembunyi di balik batu-batu berlumut. Dia tidak peduli, akan tetapi, rangka-rangka manusia di situ memperingatkannya bahwa kalau dia tidak mentaati perintah Ketua Thian-liong-pang dan tidak mau menjadi anggautanya, tanpa dibunuh pun dia akan mati di tempat ini, seperti rangka-rangka itu! Akan tetapi, mungkinkah kakek muka singa yang telah berani mati membelanya itu akan membiarkan dia mati? Tidak! Dia tidak boleh mati kelaparan di tempat ini. Dia harus berusaha untuk keluar dari neraka ini. Mulailah Bun Beng melakukan penyelidikan. Mula-mula dia memeriksa pintu itu dan mencoba tenaganya. Namun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin ia menjebol pintu yang amat kuat itu. Dia lalu memeriksa dinding batu. Dinding yang amat kokoh, batu bertumpuk dengan tanah yang keras. Kokoh kuat tak mungkin dibongkar dengan tangan kosong.
Siapa tahu, akan ada penjaga datang menyerahkan makanan, pikirnya. Kalau mereka, terutama kakek muka singa, tidak menghendaki dia mati, tentu mereka akan mengirim makanan dan minuman. Dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibiarkan mati begitu saja sebelum dibujuk. Maka ia menghentikan pemeriksaannya dan kembali duduk di sudut kamar itu, bersila dan bersamadhi. Teringat ia akan semua pengalamannya di waktu kecil. Sudah berkali-kali, semenjak terseret oleh pusaran maut air Surgai Huang-ho, dia terancam bahaya maut, bahkan terpaksa harus hidup di antara sekumpulan monyet, dibawa terbang burung raksasa dan jatuh terlepas ke atas laut, namun selalu dia tertolong! Kalau Thian menghendaki, sekali ini pun dia tentu akan
selamat. Teringat akan kekuasaan Tuhan, Bun Beng menjadi tenang. Manusia hidup tergantung dari kekuasaan Tuhan, mutlak dan seluruhnya! Tanpa kekuasaan Tuhan, manusia tak mungkin dapat hidup. Detik jantung yang memompa darah ke seluruh bagian tubuh, pernapasan yang memberi makan darah, semua berjalan otomatis tanpa dikuasai manusia. Dalam tidur sekalipun, detik jantung dan pompa paru-paru tetap bekerja, siapa yang mengerjakannya kalau bukan kekuasaan Tuhan?
Dalam keadaan sunyi gelap menghadapi ancaman maut ini, perasaan Bun Beng makin dekat dengan kekuasaan Tuhan. Teringatlah ia akan wejangan-wejangan gurunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, akan kekuasaan Tuhan dan betapa lemahnya manusia, betapa tidak ada artinya. Ingin ia tertawa karena geli hatinya kalau teringat akan wejangan suhunya dahulu. Bagaimana pula yang dikatakan gurunya itu akan kelemahan manusia?
Orang yang merasa dirinya pandai dan berkuasa adalah sebodoh-bodoh orang, demikian antara lain gurunya pernah berkata. Manusia memiliki puluhan ribu rambut dan bulu di tubuhhya, namun mengatur pertumbuhan sehelai rambut atau bulunya saja dia tidak mampu! Jangankan mengatur pertumbuhan kuku, mengatur detik jantung, menentukan mati hidupnya! Hanya oleh kehendak dan kekuasaan Tuhan sajalah manusia dapat hidup dan mati!
Pelajaran seperti ini memperkuat batin Bun Beng, memperbesar kepercayaannya kepada Tuhan sehingga dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya maut, karena ia sudah merasa yakin sepenuhnya, bahkan sudah berkali-kali mengalaminya dalam hidup, bahwa apa pun yang terjadi, baru dapat terjadi apabila Tuhan menghendaki. Kalau Tuhan menghendaki dia mati, tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menghindarkannya dari kematian. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki dia hidup, juga tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membuat dia mati! Apalagi hanya kekuasaan manusia, biar dia sesakti Ketua Thian-liong-pang sekalipun. Teringat akan semua ini Bun Beng tertawa. Ingin dia bertanya kepada Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu apakah dia mampu mengatur pertumbuhan rambut-rambutnya, tidak usah semua, sehelai saja!
Betapapun juga, Tuhan takkan menolong manusia yang tidak berusaha menolong dirinya sendiri. Usaha atau ikhtiar merupakan kewajiban manusia yang sekali-kali tidak boleh dihentikan selama dia hidup. Adapun akan jadinya, terserah kepada kekuasaan Tuhan, akan tetapi dia harus berusaha menyelamatkan diri. Kalau Tuhan menghendaki dia mati akan matilah dia. Mati dibunuh Ketua Thian-liong-pang, atau mati kelaparan di situ, atau mati dalam usahanya menyelamatkan diri, semua itu hanya dijadikan lantaran atau jalan, dipilih oleh Tuhan sebagai penyebab kematiannya.
Pikiran ini membuat Bun Beng menjadi tenang sekali, sedikit pun dia tidak merasa khawatir karena hatinya telah bebas daripada keinginan hidup atau mati, sudah ia serahkan seluruhnya kepada keputusan Thian. Ia hanya memutar otaknya mencari jalan keluar, bagaimana harus menggunakan akal.
Setelah keadaan di dalam kamar tahanan itu gelap pekat, tanda tentu di luar ada api penerangan yang dipadamkan, Bun Beng merebahkan dirinya, terlentang di atas lantai batu yang lembab dan tertidurlah dia karena hatinya tenang. Sinar yang membuat keadaan gelap pekat itu menjadi remang-remang membangunkannya. Ia menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena cahaya yang kini sedikit menerangi kamar itu berbeda dengan cahaya semalam, cahaya matahari yang putih dengan cahaya lampu kemerahan. Sebuah kepala nampak di balik jeruji baja di bagian atas pintu. Kepala Sai-cu Lo-mo! Kemudian, tangan kakek itu diulurkan di antara jeruji, membawa dua potong roti kering yang panjang dan seguci air.
Bun Beng dapat menangkap getaran suara penuh haru dan harap dalam kata-kata kakek itu. Ia menahan kilas pikiran untuk menangkap kedua lengan kakek yang diulur masuk melalui jeruji besi. Apa gunanya? Dia tidak akan dapat memaksa kakek ini, dan tidak dapat pula mencelakakannya. Ia menerima roti dan guci air.
"Terima kasih." Tanpa berkata-kata lagi pemuda ini makan roti kering. Dua potong roti itu cukup baginya untuk mengenyangkan perutnya, kemudian ia minum air jernih yang menyegarkan tubuhnya. Selesai makan dan minum, Bun Beng yang melihat kakek itu masih berdiri di luar pintu dan sejak tadi memandangnya bertanya. "Sampai berapa lama aku akan ditahan di sini? Apakah makanan dan minuman diberi racun perampas ingatan agar aku suka membuka rahasia ilmu silat untuk dipelajari Pangcumu?"
Sai-cu Lo-mo menggeleng kepalanya. "Tidak, Bun Beng. Engkau adalah cucuku, engkau dianggap sebagai orang sendiri, tidak perlu Pangcu mempelajari ilmumu yang kelak akan ditukar dengan ilmu yang lebih tinggi oleh Pangcu sendiri. Bun Beng, tidak tahukah engkau bahwa kami bermaksud baik kepadamu? Engkau cucuku, hanya satu-satunya, maka engkau tidak akan dibunuh. Kalau engkau suka menjadi anggauta Thian-liong-pang, engkau malah akan memperoleh kedudukan tinggi, sesuai dengan kepandaianmu."
Bun Beng menggeleng kepala. Biarpun dia harus berusaha meloloskan diri, akan tetapi tak pernah terpikir olehnya menukar keselamatannya dengan merendahkan diri menjadi anggauta Thian-liong-pang yang ia anggap amat jahat dan keji!
"Percuma saja engkau membujuk. Aku tidak akan suka menjadi angauta Thian-liong-pang, hanya untuk menyelamatkan nyawaku. Kalau aku berhasil keluar dari sini, aku tetap akan menentang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw."
"Ahhh, engkau tidak tahu, Bun Beng. Pangcu adalah seorang yang bijaksana, sama sekali bukan orang jahat. Bahkan dia telah merobah Thian-liong-pang dari kesesatannya, kembali ke jalan benar. Kalau dia melakukan penculikan atas diri tokoh-tokoh kang-ouw itu sekali-kali bukan dengan niat mencelakakan mereka, melainkan hendak mempelajari dan menyaksikan jurus-jurus rahasia mereka yang telah diketahui Pangcu bagian teorinya saja. Kemudian mereka dibebaskan kembali. Pangcu adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat!"
"Hemmm, kalau memang sakti, mengapa masih ingin mencuri ilmu orang-orang lain?"
"Pangcu tidak akan menggunakan ilmu-ilmu itu, hanya ingin menghimpun, kemudian menciptakan ilmu baru untuk menandingi kehebatan To-cu Pulau Es."
Bun Beng mengerutkan keningnya. "Justeru itulah yang aku tidak suka! Aku kagum dan suka kepada Pendekar Siluman yang aku yakin adalah seorang yang selain sakti, juga amat bijaksana. Kalau Pangcumu memusuhi Pendekar Siluman, sudah pasti sekali aku berpihak kepada Majikan Pulau Es itu!"
Sai-cu Lo-mo kelihatan berduka. "Aihh, Bun Beng. Mengapa engkau menyusahkan hati seorang tua seperti aku? Apa perlunya engkau mencampuri segala urusan yang tiada sangkut-pautnya denganmu? Engkau menyerah dan taatlah, dan aku bersumpah bahwa kelak engkau tidak akan menyesal. Akan kau lihat sendiri kebaikan Thian-liong-pang!"
"Maaf, aku tetap tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang."
"Bun Beng, engkau tidak akan dapat keluar dari sini. Jalan satu-satunya adalah mentaati Pangcu dan aku hanya diperbolehkan membujukmu selama tiga hari. Kalau selama itu engkau belum menurut, engkau akan menjadi tahanan di sini selamanya! Dan engkau.... engkau akan mati dengan sia-sia...."
"Menyesal sekali. Aku lebih memilih bahaya mati daripada harus menuruti ke hendak Pangcumu yang seperti iblis itu!" Kakek itu menghela napas panjang, kemudian pergi dengan muka berduka. Selama tiga hari terus-menerus datang dan membujuk, namun tetap saja Bun Beng tidak mau menuruti bujukannya. Bahkan pemuda itu kini tekun dengan penyelidikannya. Dibongkarnya batu-batu di lantai di antara tulang-tulang rangka manusia dan ia menemukan sebuah kapak bergagang panjang. Tentu ini merupakan senjata dari seorang di antara mereka yang telah menjadi rangka itu. Kemudian ia memeriksa dinding, dinding di sebelah kanan pintu lebih berlumut dan dingin sekali. Kalau ia menempelkan telinganya di situ, mendengar bunyi air berkerosok. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa tentu dinding ini yang paling tipis sehingga dia dapat mendengar bunyi air bergerak. Akan tetapi mengapa ada air di balik dinding ini?
Setelah hari ke tiga dan kakek muka singa menghabiskan bujukannya dengan sia-sia, kakek itu tidak muncul lagi. Setiap malam ada seorang penjaga melemparkan roti kering dan guci air ke dalam kamar tahanan. Dan mulailah Bun Beng bekerja. Dengan kapak gagang panjang itu dimulai membongkar batu dinding kanan sekuat tenaga. Dia bekerja setelah penjaga melemparkan makanan. Setelah menghabiskan roti dan air, mulailah dia menghantami dinding batu dengan kapaknya. Dia mempunyai waktu sehari semalam lamanya. Besok malam, barulah ada penjaga datang untuk memberi makanan dan minuman. Dia harus berhasil selama sehari semalam ini, karena kalau tidak, tentu penjaga akan melihatnya dan dia akan ketahuan, yang berarti gagal!
Bun Beng bekerja dengan semangat menyala-nyala. Tak pernah sedetikpun ia berhenti dan dia tidak mempedulikan kedua telapak tangannya yang sudah lecet-lecet dan otot-otot lengannya yang menggelepar-gelepar di dalam daging. Ia terus menghantamkan kapaknya dan satu demi satu batu dinding dapat ia bongkar, batu itu keras sekali dan semalam suntuk dia hanya dapat membongkar sedalam satu meter. Namun belum tampak tanda-tanda bahwa dinding itu telah menipis! Pada keesokan harinya Bun Beng masih terus bekerja, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, seluruh pikiran, perhatian, dan tenaga dikerahkan untuk menghantami batu-batu dengan kapaknya. Dia tidak tahu berapa lama dia bekerja, hanya bahwa dia harus berlomba dengan waktu.
Betapapun juga, hatinya mulai risau ketika dinding yang tadinya jelas itu mulai tampak suram tanda bahwa hari telah mulai sore dan sebentar lagi malam akan tiba dan berarti Si Penjaga akan datang mengantar roti dan air. Dia akan ketahuan dan akan gagal! Teringat akan ini, Bun Beng memperhebat ayunan kapaknya, menghantam dinding batu yang kini sudah ia gali sedalam dua meter lebih, tingginya seukuran tubuhnya. Batu-batu berserakan di dalam kamar itu, ia tendang-tendangi sehingga bertumpuk di kanan kiri dan belakangnya.
Malam tiba. Kegelapan cuaca kini diterangi seberkas cahaya kemerahan, sinar lampu penerangan seperti biasa. Tak lama lagi penjaga tentu muncul. Bun Beng menghentikan kapaknya yang menjadi panas karena terus menerus menghantam batu keras. Dia terduduk, terengah-engah dan menghapus peluh sambil mengasah otak. Bagaimana sekarang? Dinding terkutuk itu tidak juga dapat ia tembus, agaknya setebal perut gunung! Dan Si Penjaga sebentar lagi datang! Akan terbuang sia-sialah usahanya yang mati-matian selama sehari semalam! Tubuhnya penat sekali, perutnya lapar dan kerongkongannya kering, haus. Lapar dan haus! Teringat akan ini, Bun Beng meloncat bangun dan lari ke pintu, menempelkan tubuhnya ke pintu yang lebarnya hanya sebesar orang. Kedua lengannya ia keluarkan dari celah-celah jeruji baja, mukanya ia tempelkan pada jeruji dan matanya mengerling ke arah datangnya penjaga. Ketika ia melihat penjaga datang membawa roti dan guci air, Bun Beng berteriak-teriak memaki, "Penjaga keparat! Mengapa begitu lama? Aku sudah kelaparan dan hampir mati kehausan! Hayo cepat bawa roti dan air itu ke sini! Keparat jahanam engkau!"
Penjaga itu berhenti dan tertawa. "Ha-ha-ha, orang muda. Jangan kira aku tidak tahu akan akal bulusmu!" Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bun Beng mendengar ini. Ia makin merapat pada jeruji pintu, menutupi seluruh celah jeruji dengan kedua lengan di kanan kiri mukanya. "Apa.... apa maksudmu?"
Kembali penjaga itu tertawa dan berdiri agak jauh sehingga Bun Beng tidak akan mampu menjangkau dengan tangannya. "Ha-ha-ha, apa kaukira aku bodoh? Engkau tentu ingin agar aku mendekat sehingga engkau dapat menangkapku dan membunuhku, bukan?"
Rasa lega menyelubungi hati Bun Beng. Ia membentak, "Memang aku ingin sekali mencekik lehermu dan mematahkan tulang punggungmu!"
"Jangan mimpi, aku lebih cerdik darimu. Begitu melihat engkau di pintu, aku sudah curiga karena biasanya engkau tidak mengacuhkan roti dan air yang kubawa untukmu. Tentu engkau hendak menggunakan akal, pikirku, maka aku tidak mau mendekat. Nah, nih, kau tangkap roti dan airmu. Ha-ha-ha!" Penjaga itu melemparkan roti dan guci air ke arah kedua tangan Bun Beng. Dengan sengaja Bun Beng bergerak lambat. Roti dapat ditangkapnya, akan tetapi guci air itu luput dan jatuh ke atas lantai di luar pintu, airnya tumpah. "Jahanam, lekas ambilkan air untukku. Aku haus sekali!" Bun Beng berteriak-teriak akan tetapi penjaga itu tertawa. "Rasakan kau!" katanya sambil berjalan pergi! Bun Beng cepat mengambil kapaknya dan lupa makan. Dia mulai lagi bekerja, hatinya lega. Dia telah dapat memperpanjang waktu usahanya sehari semalam lagi! Batu-batu itu mulai mudah dibongkar karena tanahnya lembek dan basah, bahkan kini ada air menetes-netes memasuki kamar. Dia menggali terus penuh semangat. Pada keesokan harinya lewat pagi, air yang menetes makin banyak, bahkan kini jelas terdengar bunyi riak air. Bun Beng mengapak terus, tampak ada batu bergerak, kapaknya terayun ke arah batu itu dan.... "krasak-krasak byuuuurrrr."
Bun Beng cepat meloncat ke samping, melempar kapaknya dan mepet pada dinding dekat lubang yang kini tiba-tiba pecah menjadi lebar terdorong oleh masuknya air seperti dituang. Bun Beng berdiri mepet dinding dengan muka pucat. Bahaya yang datang mengancamnya ini tidak kalah mengerikan. Memang benar dia telah berhasil membobol dinding, akan tetapi ternyata di belakang dinding itu adalah air yang entah berapa banyaknya, yang kini membanjiri kamar tahanan. Bun Beng tidak mau panik, dan otak otaknya bekerja cepat. Kalau dia menerobos lubang itu, tidak mungkin dia kuat menghadapi tenaga air yang menerjang masuk, maka ia hanya mepet dinding dekat lubang sambil mencengkeram dinding batu dengan kedua tangannya. Dia maklum bahwa kalau kamar itu telah penuh, air akan terus menerobos keluar melalui ce lah-celah jeruji pintu. Akan tetapi, mengingat bahwa lubang itu tidak begitu besar dan air yang menerobos tidak banyak, maka tekanan air dari luar lubang dinding tentu tidak begitu besar. Maka dengan kenekatan luar biasa, Bun Beng menanti sampai kamar itu penuh, air naik dengan cepatnya sampai ke leher, dia memejamkan mata dan mengumpulkan napas sepenuh paru-parunya sambil menanti. Bun Beng memang cerdik. Kalau dia panik dan berusaha keluar dari lubang dinding selain air menerjang masuk, tentu dia akan terseret dan terbanting kembali sehingga membahayakan keselamatannya. Sebentar saja air menjadi penuh dan Bun Beng yang telah tenggelam di dalam air itu
merasa betapa dorongan air dari lubang dinding yang jebol itu tidak begitu kuat lagi. Cepat ia melepaskan cengkeraman tangannya pada dinding, berenang ke arah lubang dengan tangan meraba-raba karena ketika ia membuka matanya, dia tidak dapat melihat apa-apa, air itu keruh dan akhirnya ia dapat meraba dinding yang jebol. Ia merangkak, berpegangan pada pinggiran lubang, terus merayap keluar lubang itu. Ketika ia meluncur ke depan, tubuhnya terdorong ke atas dan tahulah dia bahwa dia berada di air yang dalam, entah telaga, sungai atau laut! Tak mungkin lautan, pikirnya, karena air tidak asin. Dia membiarkan dirinya meluncur ke atas, bahkan membantu dengan kaki tangannya karena dia harus dapat tiba di permukaan air. Dadanya seperti akan meledak karena sudah terlalu lama dia menahan napas! Betapa girang hati Bun Beng ketika akhirnya kepalanya tersembul di permukaan air. Ia membuka mulut dan menghisap napas banyak-banyak sampai dada nya terasa nyeri. Ia
terengah-engah, berganti napas dan membuka kedua matanya. Kiranya ia telah tiba di permukaan sebuah sungai yang amat lebar, sungai yang selain lebar juga dalam, dan airnya keruh. Demikian lebarnya sungai itu sehingga dari tempat ia muncul, yaitu di tengah-tengah, ia melihat kedua tepinya jauh sekali.
"Aduhh....!" Tiba-tiba secara otomatis Bun Beng mengerahkan sin-kang membuat kakinya keras karena kakinya terasa digigit sesuatu dari bawah. Ia dapat menahan gigitan itu dengan sin-kangnya yang membuat kaki kirinya kebal, akan tetapi kini mahluk yang mengigitnya itu meronta dan hendak menyeretnya ke bawah.
Bun Beng menjadi marah. Cepat ia menarik kakinya dan tampaklah seekor ikan menggigit kakinya itu. Ikan yang besar sekali, sebantal besarnya.
"Ikan keparat!" Bun Beng membentak dan menendangkan kakinya. Ikan itu mencelat karena gigitannya terlepas dan karena dia tidak dapat tahan lama di atas permukaan air. Akan tetapi kini Bun Beng melihat suara hiruk pikuk di kanan kirinya, air berguncang dan suaranya berkecipak, tampaklah kepala-kepala dan ekor-ekor banyak ikan besar mengurungnya dan menyerangnya dari depan, kanan kiri dan belakang! Bun Beng makin mendongkol. Dia mengenal ikan-ikan ini, semacam ikan lele yang tidak bersisik, kulitnya licin halus, kepalanya bulat mengkilap dan matanya seperti mata orang yang licik, gerakannya cepat sekali. Biasanya ikan macam ini merupakan bahan hidangan yang lezat, baik dipanggang maupun dimasak atau digoreng sekalipun. Biasanya melihat seekor ikan seperti ini di darat menimbulkan selera. Akan tetapi pada saat itu, agaknya selera ikan-ikan itulah yang timbul melihat tubuh Bun Beng! Dan ikan-ikan ini, berbeda dengan yang biasanya dilihat Bun Beng, amatlah besarnya. Belum pernah ia melihat ikan lele sedemikian besarnya, biasanya hanya sebesar betis. Mungkin bukan ikan-ikan lele,
karena tidak mempunyai kumis! Bun Beng tidak memusingkan ikan apa-apa yang mengeroyoknya dan dia mulai mengamuk. Dengan tangan kanan, ia memukul seekor ikan yang menyerangnya dari depan sehingga tubuh ikan itu terlempar jauh di atas air, kemudian kaki tangannya bekerja memukul dan menendang ikan-ikan itu. "Aupp....!" Karena lupa bahwa dia bukan sedang berada di darat, maka begitu dia main silat di air, tubuhnya tenggelam dan dia gelagapan. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya dan kini setelah tubuh atasnya timbul, ia hanya menggunakan kedua tangan saja untuk memukul dan mendorong ikan-ikan itu, sedangkan kedua kakinya dia pergunakan untuk menahan tubuhnya agar tidak tenggelam.
Bun Beng adalah seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, dan kalau hanya dikeroyok oleh ikan-ikan seperti itu saja, agaknya dia akan dapat mengalahkan para pengeroyoknya dengan mudah. Akan tetapi itu kalau di darat. Kalau di air, dialah yang repot sekali. Kepandaiannya berenang di air amat terbatas, bukan termasuk ahli, tentu saja dibandingkan dengan ikan-ikan yang memang hidupnya di air dia kalah jauh dan sebentar saja Bun Beng menjadi gelagapan dan sudah beberapa kali tubuhnya terkena gigitan ikan-ikan kelaparan itu.
Celaka, keluhnya. Baru saja terbebas dari kamar neraka, dia sudah diancam bahaya air, dan baru saja dia terbebas dari ancaman itu, kini dia kembali menghadapi maut di mulut ikan lele! Benar-benar menyebalkan bahaya yang sekali ini mengancamnya. Betapa tidak menyebalkan kalau dia harus mati di mulut ikan-ikan lele! Padahal, semestinya ikan-ikan lele itulah yang mati di mulut manusia. Betapa memalukan, seorang pendekar mati dikeroyok ikan lele! Tidak, dia tidak mau mati begitu remeh! Bun Beng melawan sedapatnya sambil berusaha berenang ke tepi sungai itu. Tiba-tiba terdengar lengking nyaring disusul suara berkelepaknya sayap. Bun Beng mendengar ini, akan tetapi dia tidak dapat mengalihkan perhatiannya terhadap pengeroyokan ikan-ikan itu. Sekali ia memutar tubuh menghantam seekor ikan dengan tangan kanannya, membuat ikan itu terlempar dalam keadaan mati karena kepalanya pecah.
Tiba-tiba saja, seperti munculnya tadi, ikan-ikan itu menyelam dan lenyap, kecuali beberapa ekor yang telah menjadi bangkai. Dan sebelum Bun Beng sempat sadar akan datangnva bahaya lain, tahu-tahu pundaknya terasa nyeri dan tubuhnya melayang ke atas!
Bun Beng terkejut sekali. Tubuhnya melayang tinggi dan di atas terdengar kelepak sayap burung! Ia memandang ke atas dan tepat seperti yang ia duga dan khawatirkan, pundaknya telah dicengkeram oleh kaki seekor burung rajawali yang besar dan ia dibawa terbang tinggi sekali!
"Sialan!" Bun Beng menyumpahi dirinya. Terlepas dari mulut ikan lele, kini masuk ke dalam cengkeraman rajawali raksasa yang buas! Mengapa dirinya selalu ditimpa kemalangan dan diancam bahaya maut yang mengerikan? Teringat ia akan pengalamannya dahulu ketika ia diterbangkan seekor burung dan dia bersembunyi di dalam keranjang. Dia memandang penuh perhatian dan keningnya berkerut. Celaka! Burungnya yang itu, itu juga! Burung rajawali milik Pulau Neraka! Tak salah lagi, dia mengenal modelnya. Wah, wah, kalau burungnya ada, tentu pemiliknya ada. Bocah laki-laki menjemukan itu, bocah iblis yang keji dan sadis! Sekarang tentu sudah menjadi seorang pemuda, dan tentu lebih kejam daripada dahulu.
Hampir saja Bun Beng memukul kalau saja dia tidak ingat bahwa dia bukan di atas tanah. Ia melirik ke bawah dan menjadi ngeri. Burung itu terbang tinggi sekali sehingga sungai yang besar itu kini tampak jelas seperti seekor naga jauh di bawah. Dan burung itu tidak lagi berada di atas sungai. Kalau dia memukul dan terlepas dari cengkeraman, tentu dia akan jatuh terbanting ke atas tanah dan remuk semua tulangnya! Maka ia lalu meraih ke atas dan tangannya memegang kaki burung erat-erat sambil melepaskan cengkeraman kaki burung yang masih mencengkeram pundaknya. Kini dialah yang memegang kaki burung, tidak berani melepaskan karena hal itu akan berarti kematian yang mengerikan baginya.
Tiba-tiba ia melihat seekor burung lain, juga amat besar, terbang cepat datang dari jauh. Sudah terdengar suara pekik burung itu melengking keras. Celaka, pikirnya, tak salah lagi tentulah bocah setan itu yang datang menunggang burungnya. Masih terlalu jauh untuk dapat dilihat apakah burung yang terbang datang itu ada penunggangnya atau tidak. Dia memutar otaknya, mencari akal apa yang harus dilakukannya kalau sampai pemuda setan itu betul-betul datang. Kalau saja dia bisa naik ke atas punggung burung ini, dia akan mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan. Sama-sama menunggang burung, barulah ramai dan sebanding kalau bertempur. Kalau dia bergantung pada kaki burung, tentu saja dia tidak dapat melakukan perlawanan dengan baik, paling-paling dia hanya bisa melindungi tubuhnya dengan sebelah tangan yang sebelah lagi harus ia pergunakan untuk bergantungan pada kaki burung. Tiba-tiba burung yang membawanya itu pun melengking keras, lengking tanda kemarahan dan ketika burung yang terbang datang itu sudah tampak dekat, hati Bun Beng agak lega karena tidak tampak ada penunggangnya. Akan tetapi, kelegaan hatinya itu menjadi berubah seketika ketika kedua ekor burung itu sudah saling serang dengan hebatnya. Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung yang baru datang adalah seekor burung garuda putih. Dia mengenal burung itu.
Burung tunggangan Pendekar Siluman. Burung garuda dari Pulau Es! Tentu saja dua ekor burung yang menjadi musuh lama itu kini saling terjang mati-matian, saling cakar, saling patuk, saling kabruk sambil mengeluarkan suara melengking menulikan telinga.
Bun Beng yang celaka dalam pertarungan antar dua ekor burung raksasa itu. Betapa tidak? Tubuhnya tergantung di kaki burung rajawali dan di dalam pertandingan itu, kedua ekor burung saling terjang sehingga tubuh Bun Beng terbawa, terguncang, bahkan dia menjadi korban terkaman burung garuda yang tentu saja tidak dapat membedakan dia dari kaki burung lawan.
Bun Beng yang masih bergantung pada kaki rajawali menjadi serba salah. Mau membantu garuda putih dengan memukul tubuh rajawali, berarti dia seperti memukul diri sendiri. Kalau rajawali itu jatuh, bukankah berarti dia sendiri pun jatuh ke bawah? Mau membantu burung rajawali, dapat ia lakukan dengan jalan memukul garuda putih di waktu dua ekor burung itu saling kabruk, hatinya tidak mengijinkan karena dalam pertandingan antara kedua ekor burung itu otomatis dia berpihak kepada garuda putih yang menjadi peliharaan Pendekar Siluman yang ia kagumi. Membantu rajawali salah, membantu garuda pun tidak mungkin. Diam saja juga tidak baik karena dialah yang paling payah dalam pertandingan angkasa itu.
Bun Beng benar-benar merasa tersiksa sekali, tersiksa lahir batin. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan, montang-manting terdorong ke sana sini, kena patuk, kena cakar sehingga ia luka-luka dan tubuhnya terasa sakit-sakit, pakaiannya banyak yang terkoyak. Ini benar-benar menyiksa hatinya. Dalam pertadingan biasa, biarpun melawan musuh yang jauh lebih pandai, sedikitnya dia bisa melawan, balas menyerang, atau kalau sudah merasa kalah, dapat melarikan diri. Akan tetapi sekarang ini sama sekali dia tidak berdaya. Membalas tidak bisa, melindungi tubuh sendiri pun tidak sempurna, melarikan diri pun.... mana mungkin? Habislah ikhtiar sebagai manusia dan dalam keadaan seperti itu, tidak lain jalan lagi kecuali menyerahkan nasib ke tangan Tuhan! Dia hanya dapat menggunakan sebelah tangan untuk menangkis setiap ada bahaya patukan, cengkeraman atau kabrukan sayap yang mempunyai tenaga kwintalan!
Dalam pertandingan angkasa yang ramai itu, Si rajawali raksasa akhirnya terdesak hebat. Banyak bulu sayapnya membodol dan kepalanya berdarah. Hal ini tidak mengherankan. Dalam keadaan biasa saja, garuda putih dari Pulau Es yang terlatih itu merupakan lawan berat baginya, apalagi sekarang sebelah kakinya diganduli orang, tentu saja hal ini membuat gerakannya kurang leluasa sehingga dia lebih banyak menerima patukan dan cengkeraman. Karena itu, sambil mengeluarkan suara melengking bingung, seperti seekor ayam dikejar-kejar anak kecil, rajawali raksasa itu mulai menggerak-gerakkan kakinya yang diganduli Bun Beng, berusaha melepaskan orang yang menjadi pengganggu gerakannya. Bun Beng maklum akan niat rajawali itu dan tentu saja dia tidak sudi disuruh turun begitu saja. Terlepas berarti melayang turun dari tempat yang tingginya ribuan kaki! Maka ia malah menggunakan tenaganya untuk memegang kaki rajawali itu sekuat mungkin sehingga biarpun rajawali itu berusaha untuk menendangkan kakinya tubuh Bun Beng tetap saja tidak terlepas dari kakinya. Namun, kini keadaan Bun Beng makin payah. Kalau tadinya dia hanya menjaga diri dari serangan garuda putih yang sebetulnya menyerang Si rajawali dan tanpa disengaja menyerang Bun Beng pula, setelah rajawali itu kini berusaha melepaskannya, Bun Beng harus menghadapi dua serangan, yaitu dari garuda yang masih menyerang secara ngawur sehingga dirinya ikut diserang, dan dari raja wali yang hendak menendang dirinya supaya terlepas. Tubuh Bun Beng terayun-ayun dan beberapa kali hampir saja pegangannya terlepas. Betapapun juga, dia tidak berani memegang kaki rajawali itu dengan dua tangannya, karena tangan yang kanan ia perlukan untuk menjaga diri, menangkis terjangan garuda. Kepalanya menjadi pening dan tangan kirinya terasa penat sekali. Kalau sudah tidak kuat, dia mengganti tangan kiri dengan tangan kanan yang menggandul, sedangkan tangan kirinya yang penat itu ia pergunakan untuk melindungi tubuhnya dari terjangan garuda putih.
Ketika burung garuda menyambar lagi, kini dari bawah, agaknya garuda yang cerdik itu melihat betapa lawannya sibuk dengan kakinya, paruh dan cakar garuda yang menerjang perut rajawali itu otomatis mengabruk pula tubuh Bun Beng yang tergantung.
"Celaka....!" Pemuda itu berseru keras dan betapapun ia hendak mempertahankan, tak mungkin ia menangkis serangan garuda sehebat itu hanya dengan tangan yang sudah penat. Gerakan menyelamatkan dirinya secara otomatis membuat ia menggunakan pula tangan kanan, lupa bahwa tangan kanannya tak boleh dilepaskan dari kaki rajawali. Begitu ia menggerakkan tangan kanan melepaskan kaki rajawali, tentu saja tubuhnya terlepas dan melayang ke bawah. "Mampus aku sekarang....!" Ia mengomel karena jengkel akan kebodohannya sendiri, akan tetapi ia segera teringat dan disambungnya tenang, "....kalau Tuhan menghendaki....!"
Akan tetapi betapa mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dengan tubuh meluncur ke bawah sedemikian cepatnya, menuju ke arah tanah di bawah yang berbatu? Betapapun lihainya, tidak mungkin ia dapat menguasai tubuhnya yang meluncur turun cepat sekali, seperti batu disambitkan. Bukan main herannya rasa hati Bun Beng. Di saat kematian berada di depan mata ini seperti dalam mimpi ia melihat wajah yang berubah-ubah. Pertama wajah Milana, kemudian berubah menjadi wajah Kwi Hong, dan berubah lagi menjadi wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai. Gila, ia menyumpah. Mengapa dalam menghadapi maut yang agaknya sekali ini tidak mungkin dapat ia elakkan lagi, pikirannya jadi kacau-balau dan ia teringat akan gadis-gadis itu? Inikah yang disebut watak mata keranjang seorang pria? Ayahnya memperkosa ibunya! Ayahnya dan ibunya saling bunuh! Anak haram, kata Ketua Thian-liong-pang. Anak seorang datuk kaum sesat, seringkali ia mendengarnya. Dan dia masih cucu keponakan seorang tokoh Thian-liong-pang yang mukanya seperti singa. Orang macam apakah dia? Mati pun tidak ada yang kehilangan. Pikiran ini membuat dia makin tenang, karena ia berpendapat bahwa orang seperti dia ini kalau terus hidup pun hanya akan mengalami kesengsaraan dan penghinaan, mengalami tekanan batin dan tidak dihargai orang. Satu-satunya orang yang paling baik terhadapnya adalah suhunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi suhunya itu telah dibunuh secara mengerikan oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun koksu (guru negara) yang tinggi kurus itu bersama pembantu-pembantunya. Tidak, dia tidak boleh mati! Biarpun kalau hidup ia mengalami kesengsaraan batin, akan tetapi dia harus hidup untuk menuntut balas atas kematian Siauw Lam Hwesio yang demikian menyedihkan! Dan dia masih meninggalkan sepasang pedang pusaka yang belum diambilnya. Sayang kalau pedang itu tersia-sia hilang di tempat rahasia itu. Kini timbul keinginan hatinya untuk menyerahkan pedang itu kepada Pendekar Siluman, satu-satunya orang yang dikaguminya di antara seluruh tokoh sakti di dunia ini.
"Aku tidak mau mati dulu!" Bun Beng berteriak diluar kesadarannya dan tiba-tiba ia melihat seekor burung raksasa lain di bawahnya. Celaka, apakah ia dikejar dua ekor burung tadi? Ah, tidak, burung ini berada di bawahnya, bergerak-gerak terbang menyongsongnya, tentu akan menyerangnya pula. Dalam keadaan melayang dan meluncur turun ini, sedangkan menjaga jatuhnya saja dia tidak mampu, bagaimana ia akan dapat mempertahankan diri kalau burung raksasa ini menyerangnya? Ah, dia akan tertolong kalau dapat menangkap burung itu. Asal dapat menangkapnya, entah merangkul lehernya atau merangkul kakinya, pendeknya dia harus dapat mengunakan burung itu sebagai penyelamatnya dari kejatuhan yang tak dapat disangsikan lagi akan kehancuran tubuhnya. Kalau tadi timbul kengerian karena takut diserang burung baru ini, sekarang dia malah mengharap agar burung itu benar-benar menyerangnya. Karena kalau dia yang harus menuju ke burung itu, tentu saja tidak mungkin. Tanpa sayap mana mungkin dia bisa mengatur meluncurnya itu?
Makin dekat.... dan Bun Beng kembali menyumpah, "Dasar awak sialan!" Yang disangkanya burung raksasa itu ternyata hanyalah sebuah layangan besar sekali. Memang bentuknya seperti burung, bahkan dilukis seperti burung, akan tetapi tetap saja benda itu hanya sebuah layang-layang yang biasa menjadi permainan seorang kanak-kanak! Apa artinya sebuah layang-layang baginya dalam keadaan terancam bahaya maut seperti itu? Seakan-akan malah mengejeknya, bergerak-gerak ke kanan kiri dipermainkan angin. Melihat betapa layang-layang itu bergerak-gerak seperti seekor burung yang menari-nari mengejeknya, timbul rasa
panas di hati Bun Beng. Memang dia terancam bahaya maut, akan tetapi sedikit pun dia tidak takut. Mengapa harus diejek? Karena dia tidak berdaya membalas, kalau dia dapat tentu akan ditangkapnya layang-layang itu dan dicabik-cabiknya, maka Bun Beng hanya memejamkan matanya dan membiarkan tubuhnya meluncur terus ke bawah. Teringat ia ketika dahulu ia jatuh pula dari kaki burung rajawali terbang dan berada di dalam keranjang, akan tetapi di bawahnya adalah laut luas sehingga dia terjatuh dengan empuk. Hanya satu perbedaannya, kalau dahulu di waktu dia masih kecil dia menjadi pingsan ketika meluncur turun, kini dia dapat mempertahankan diri dan tidak menjadi pingsan. Hal ini karena sin-kangnya sudah bertambah jauh lebih kuat, maka ia merasa dadanya sesak dan sukar bernapas namun ia masih dapat menahannya dan masih dalam keadaan sadar sepenuh-nya, merasakan betapa tubuhnya melayang turun dengan kecepatan yang mengerikan.
Tiba-tiba ia merasa kakinya nyeri dan luncuran tubuhnya tertahan, bahkan kini tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Ketika ia membuka mata, ia melihat bahwa kedua kakinya terlibat oleh sehelai tali yang cukup besar, sebesar kelingking. Tubuhnya yang bergantung itu bergoyang ke kanan kiri, akan tetapi tidak melucur ke bawah lagi. Ia melihat ke atas, di atas kepalanya, tidak begitu tinggi, hanya sejauh lima enam meter, tampak layang-layang raksasa tadi bergerak-gerak.
"Setan! Iblis! Siluman angkasa laknat! Engkau mengacau layang-layangku, si keparat!" Tiba-tiba Bun Beng mendengar suara makian dari atas dan dengan mata terbelalak ia melihat bahwa di bawah layang-layang itu tampak seorang kakek berdiri di tali-temali layang-layang, seorang kakek yang bertubuh pendek, berjenggot panjang dengan rambut terurai lepas, melambai tertiup angin. Yang membuat ia terkejut adalah wajahnya berwarna kekuningan mendekati putih, hanya karena jenggot dan rambutnya sudah berwarna putih perak maka wajahnya tampak menguning! Seorang tokoh Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Orang dari mana lagi kalau bukan dari Pulau Neraka yang memiliki kulit kuning seperti dicat itu?
Timbul harapannya di hati Bun Beng. Kalau kakek itu dapat hidup di tali layang-layang, tentu ia pun dapat. Harapan untuk hidup membuat Bun Beng sadar dan cepat-cepat ia menggunakan kedua tangannya memegang tali layang-layang dengan erat, kemudian melepaskan kakinya dari belitan dan membalikkan tubuh sehingga kini dia bergantung pada tali layang-layang itu, kedua tangannya memegang erat dan kedua kakinya ia libatkan. Gerakan-gerakannya ini membuat layang-layang itu makin kacau gerakannya, bergoyang ke kanan kiri, kadang-kadang menukik turun dengan kecepatan mengerikan dan mengeluarkan bunyi angin bercuitan. "Setan! Bodoh! Kiranya engkau hanya seorang pemuda tolol. Dari mana kau datang mengacau layang-layangku, heh?
Lekas.... wah celaka, pindahkan berat tubuhmu ke kanan, injakkan kakimu pada tali dan enjot tubuhmu ke atas. Wah-wah.... celaka, bisa terus layang-layang ini. Sialan, kau merampas kegembiraanku!"
Tidak usah dimaki dan diperingatkan pun, Bun Beng sudah maklum betapa bahayanya "menunggang" layang-layang dengan bergantungan pada talinya. Ketika layang-layang itu menukik turun, dia menjadi ngeri sekali. Mengertilah dia bahwa kakek Pulau Neraka yang aneh itu tadi "mengemudikan" layang-layang secara aneh dan biarpun di dalam hatinya dia tidak suka kepada tokoh Pulau Neraka yang dianggapnya jahat, namun mendengar perintah itu, otomatis dia mentaatinya. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada kawan atau lawan, yang ada hanyalah orang senasib sependeritaan, kalau gagal sama-sama mati kalau berhasil sama-sama selamat. Dia mengerahkan tenaganya ke kanan menginjak tali layang-layang dan mengenjot tubuh ke atas. Benar saja, layang-layang yang kehilangan gandulan dan bobot di bawah itu segera menghentikan gerakan menukik ke bawah, kepalanya kembali ke atas dan kini layang-layang itu menjadi "odek" (bergoyang-goyang ke kanan kiri cepat sekali) membuat tubuh Bun Beng terbawa goyang-goyang membuat kepalanya pening karena tubuhnya seperti dikocok ke kanan kiri.
"Setan udara! Apakah engkau sudah bosan hidup? Jangan pegang erat-erat, layang-layang menjadi odek tidak karuan, sialan!"
Biarpun dimaki-maki, Bun Beng yang maklum bahwa keselamatan mereka berdua tergantung dengan keahlian kakek itu, tidak menjadi marah dan bertanya. "Habis bagaimana, Kakek yang baik?"
"Wah-wah, kau mulai menjilat-jilat, ya? Heiii, bukankah aku pernah melihat tampangmu?" Bun Beng menjadi bengong. Setelah kini layang-layang itu tidak menukik ke bawah, dia mendapat kesempatan untuk memandang wajah kakek itu penuh perhatian dan.... teringatlah ia bersama Milana ditolong oleh kakek muka kuning yang aneh. Kiranya inilah orangnya! Tak salah lagi.
Biarpun kini kelihatan lebih tua dan memakai sepatu pula, tidak bertelanjang kaki macam dulu, namun sikap aneh kakek itu malah bertambah dan sikap inilah yang mengingatkan dia. Akan tetapi dia pun teringat betapa dalam pertemuan-pertemuan pertama itu dia telah mengakali kakek ini untuk dapat melarikan diri bersama Milana, maka ia menganggap bahwa tidaklah cerdik untuk mengakuinya. "Aku tidak pernah berjumpa dengan Locianpwe."
"Ahhh, bohong! Aku pernah melihat mukamu, hemm.... kalau saja engkau sudah tua dan kepalamu botak.... heiii, kau mau kemana?"
Bun Beng tidak mau melayani kakek gila itu lebih lama lagi. Dia melihat ke bawah dan maklum bahwa kalau dia merosot turun melalui tali layang-layang itu, dia akan dapat sampai kebumi dan dapat membebaskan diri. Maka kini dia mulai melorot turun sambil berkata, "Locianpwe, aku mau turun, tidak kerasan di sini!"
"Eh, eh, enak saja! Mana bisa?" Kakek itu tertawa bergelak dan tiba-tiba layang-layang itu menukik ke kiri, kemudian membuat gerakan melingkar sehingga tali itu pun menggantung dan ikut pula berputar.
"Wuuuttt!"
"Aihhh....!" Bun Beng cepat mengelak dengan memindahkan tangan, bergantung pada tali agar jangan sampai terkena patukan layang-layang yang menyambar ke arah tubuhnya! Serangan aneh layang-layang itu luput, akan tetapi Bun Beng maklum bahwa dengan kepandaiannya yang dahsyat, tentu kakek itu akhirnya akan dapat memaksa ia meloncat turun dan akan hancurlah tubuhnya. Ia lalu menggerak-gerakkan tubuhnya, menarik-narik tali layang-layang itu sehingga kembali layang-layang itu menjadi kacau balau gerakannya.
"Eh.... Ohh.... setan cilik! Jangan kacau layanganku!" Kakek itu terkejut dan memaki-maki. Bun Beng tersenyum. "Kalau Locianpwe tetap menyerangku, aku pun akan tetap menarik-narik tali layangan sampai putus, biar kita berdua mampus!"
"Eh, jangan, eh.... nanti dulu. Kalau talinya putus, aku bagaimana?"
"Masa bodoh. Aku akan jatuh dan mati seketika, tidak menderita. Akan tetapi Locianpwe akan terbawa terbang layang-layang putus, mungkin dibawa ke neraka!"
"Hahh-ho kalau neraka memang tempatku. Akan tetapi jangan.... biarlah kita berjanji, aku tidak akan menyerangmu akan tetapi kau jangan menarik-narik talinya."
"Aku berjanji tak akan menarik-narik talinya, akan tetapi Locianpwe jangan menghalangi aku turun."
"Wah, perjanjian kentut! Mana bisa begitu? Aku tidak menyerangmu dan kau tidak menarik-narik tali, itu sudah satu lawan satu. Kalau ditambah lagi kau kubiarkan turun berarti kau minta dua memberi satu. Mana adil?"
"Kalau aku tidak boleh turun, apa artinya perjanjian ini? Locianpwe mau menang sendiri saja. Aku hendak turun, Lo-cianpwe menghalang, maka aku menarik tali. Kalau Locianpwe tidak melayani aku turun, aku tidak akan menarik talinya, itu baru adil namanya."
"Wah, monyet cilik. Engkau benar pokrol bambu kering busuk! Ha-ha-ha, nah, kau turunlah, hendak kulihat bagaimana!" Tiba-tiba angin bertiup keras sekali membuat layang-layang itu terbang miring ke kiri.
"Wuuuutttt....!"
"Aihhh, celaka. Jangan erat-erat memegang talinya, longgar-longgar saja, kau mengganggu kendaliku!" Kakek itu memindahkan berat tubuhnya dan meloncat ke pinggir kanan layang-layang itu.
"Siuuuttt....!" Kini layang-layang miring ke kanan dengan cepatnya sehingga tubuh Bun Beng terbawa melayang ke kiri kemudian ke kanan, membuat kepalanya pening dan jantungnya berdebar penuh kengerian.
"Aku mau turun, Locianpwe. Akan tetapi Locianpwe harus bersumpah tidak akan menyerangku!" Di dalam hatinya, pemuda ini masih curiga kepada kakek yang ia tahu amat cerdik dan curang itu.
"Apa? Bersumpah?" Kakek itu tertawa-tawa dan kini layang-layang kembali telah lurus dan tenang. "Boleh saja. Sudah sepuluh kali aku bersumpah dan lima puluh kali melanggarnya, kini ditambah satu kali sumpah untuk dilanggar lima kali, tidak mengapalah!"
Bersambung ke bagian 3 ...