Bab I
Dengan bersuara berketoprakan dalam maka dua ekor kuda telah dikaburkan di antara tanah yang berpasir kuning di gurun dari wilayah Hweekiang, hingga di belakangnya menaik mengutaklah debu tinggi sekira dua tombak. Dua ekor kuda itu kabur bagaikan berkejar-kejaran, karena yang seekor di depan, yang lainnya di- sebelah belakang.
Kuda yang di sebelah depan itu, yang tinggi, berbulu putih dan tinggi besar badannya. Penunggangnya adalah seorang nyonya muda di dalam tangan siapa ada terangkul seorang nona umur tujuh atau delapan tahun. Kuda yang di belakang, yang berbulu merah marong, penunggangnya adalah seorang pria yang tubuhnya jangkung kurus. Hanya di punggung kiri dia ini ada menancap sebatang anak panah, terus mengeluarkan darah, hingga darahnya itu mengalir kekudanya, terus menetes jatuh ke pasir, terus meresap kedalam tanah...
Tidak berani pria itu mencabut anak panah yang mencelakainya itu. Ia jeri. Ia menginsafinya, asal ia mencabut- nya, pasti ia bakal roboh dari kudanya itu. Ia tidak takut mati apabila itu perlu, hanya... Siapa nanti mengurus isterinya yang cantik itu, serta anaknya yang manis, yang tengah kabur di sebelah depannya itu? Sedang di belakang mereka ada lagi mengejar musuh-musuh mereka yang telengas...
Kuda merah itu sudah lari beberapa puluh li, hampir habis tenaganya, bekas dicambuki dan didupaki, atau di- jepit perutnya, dia sampai susah bernapas, badannya bermandikan keringat, mulutnya mengeluarkan busa putih. Toh dia masih dipaksa lari keras. Maka akhir-akhirnya, kaki depannya lemas dan tertekuk, menyebabkan badannya roboh ngusruk!
Si pria mempertahankan diri, ia tidak kurang suatu apa, akan tetapi kudanya itu, setelah meringkik menyayatkan satu kali, rebah tanpa berkutik lagi... "Engko!..." ia memanggil. "Engko, kau... kau... bagaimana?"
Pria yang dipanggil engko itu mengerutkan kening dan menggelengkan kepala. Di belakang mereka, jauhnya masih beberapa lie, terlihat debu mengepul tinggi. Itulah tanda dari rombongan sipengejar...
Nyonya muda itu memutar balik kudanya, untuk menghampirkan suaminya. Ia sekarang melihat anak panah dipunggung suami itu, melihat darah hidupnya bercucuran. Sang suami hampir pingsan. Ia menjadi sangat kaget.
"Ayah!... ayah!" si anak berkata kaget. "Punggungmu ada anak panahnya..."
“Tidak apa!" berkata si pria, menyeringai, lantas tubuhnya mencelat, berlompat naik ke punggung kuda di belakang isterinya. Dia telah terluka tetapi gerakannya masih gesit dan lincah. Sang isteri menoleh, mengawasi dengan mata menyayang. "Engko, kau..." katanya halus. Sang engko tidak menyahuti, hanya kedua kakinya menjepit perut kuda mereka, atas mana si kuda putih berjingkrak dan lari kabur pula.
Kuda ini kuda jempolan, dia telah lari pesat berpuluh-puluh lie, dia masih terus dapat lari keras, hanya kali ini, larinya menjadi berkurang kecepatannya. Semenjak tadi dia belum dapat mengaso sedikit juga, sekarang penunggangnya bertambah, tidak heran apabila sangat sulit untuknya dapat mempertahankan kekuatannya terus menerus, tetapi dia tetap kabur, dia seperti mengerti yang majikannya itu tengah menghadapi ancaman mara bahaya...
Di sebelah belakang, rombongan pengejar mendatangi semakin dekat, setindak demi setindak. Sama sekali mereka itu berjumlah enam puluh tiga orang, mereka pun membekal seratus sembilan puluh ekor kuda, dengan begitu setiap ada kuda yang letih, kuda itu lantas ditukar. Benar semua kuda itu sama-sama lari tetapi tanpa penunggangnya, letihnya kurang banyak. Dari caranya mereka itu mengejar, terang sudah, mereka bertekad bulat untuk mendapatkan orang-orang yang dikejar itu, ialah si suami isteri serta anak daranya yang masih kecil itu.
Selagi mengaburkan kudanya, si pria jangkung kurus itu berpaling ke belakang. Ia mengawasi. Dengan datang- nya orang semakin dekat, ia bisa melihat kepada mereka itu, makin lama makin tegas.
"Adik Hong, aku hendak mohon sesuatu dari kau!" katanya kemudian. Sebelumnya membuka mulut, ia menggigit dulu kedua giginya erat-erat. "Sudikah kau meluluskannya?..."
Si nyonya muda, sang isteri, menoleh. Ia tertawa manis. "Selama hidup kita bersama, pernahkah sekali jua aku menampik keinginanmu?" ia balas menanya, suaranya halus.
"Bagus!" berkata suami itu. "Hong, sekarang kau bawa kabur si Siu, anak kita ini. Biarlah dia dapat melindungi darah daging kita berdua! Biarlah dia pun dapat menyelamatkan peta Istana Rahasia Kobu!..."
Isteri itu menyahuti, suaranya bergemetar. "Engko," katanya, "apa tidak baik peta ini kita serahkan pada mereka dan kita menyerah kalah? Dirimu... dirimu lebih penting..."
Mendadak sang suami mencium pipi kiri isterinya itu. "Hong...," katanya, suaranya lembut, "kita berdua sudah mengalami banyak sekali bahaya, selamanya kita dapat lolos, maka mungkin kali ini kita bakal lolos juga... Kau harus ketahui, Luliang Samkiat bukan melainkan mengarah peta ini, mereka... mereka juga menghendaki parasmu yang cantik!"
"Justeru karena itu, mungkin aku dapat minta mereka..."
"Tapi!" memotong suami itu, "apakah kita menunduki kepala untuk memohon sesuatu dari lain orang? Kuda ini tidak kuat membawa kita bertiga, maka itu lekaslah kau pergi!..."
Sekonyong-konyong ia mencelat, kedua tangannya dilepaskan, tubuhnya terangkat dari punggung kuda, maka jatuhlah ia ke tanah, terdengar jeritannya: "Aduh!..." Nyonya itu terkejut. Segera ia menahan kudanya, untuk dikasih balik, guna menghampirkan suaminya. Ia mengulurkan sebelah tangannya, dengan niatan menarik suami itu untuk naik pula atas kudanya. Tapi sang suami menolak, matanya bersorot gusar, dia mengawasi bengis! Adalah biasanya, ia senantiasa menurut kepada suaminya itu, maka juga kali ini, dengan merasa sangat tertindih hatinya, ia memutar pula kudanya, untuk dikasih lari pergi, meninggalkan suami itu bercokol seorang diri di tanah pasir dengan lukanya yang parah itu...
Rombongan pengejar yang terdiri dan enam puluh tiga orang itu melihat orang jatuh dari kudanya dan ditinggal pergi isterinya, mereka itu bersorak-sorai, di antaranya ada yang berteriak-teriak: "Pekma Lie Sam roboh! Pekma Lie Sam roboh!" Mereka lantas terpecah menjadi dua rombongan, yang belasan menghampirkan langsung Pekma Lie Sam itu, yang empat puluh lebih mengejar terus si nyonya dan puteri ciliknya.
Laki-laki itu rebah meringkuk di atas pasir, tubuhnya tidak bergerak, seperti dia telah putus jiwanya. Salah satu pengejar, yang memegang tombak, sudah lantas menombak pundak orang yang kanan. Mangsa itu tidak
bersuara, juga tidak bergerak, dan tempo tombak dicabut, dia tetap berdiam saja. "Dia sudah mampus!" berkata seorang, yang berewokan. Rupanya dialah si pemimpin. "Jangan takut! Geledah tubuhnya! Lekas!"
Dua orang lompat turun dari masing-masing kudanya, guna menghampiri tubuhnya Pekma Lie Sam, si Kuda Putih itu. Dengan lantas mereka membalik tubuh orang, untuk digeledah seperti dititahkan pemimpin mereka.
Sekonyong-konyong saja sebatang golok putih mengkilap berkelebat, terus dua orang itu menjerit tertahan dan roboh terguling. Itulah goloknya Pekma Lie Sam, yang meminta kurban!
Semua orang kaget sekali. Tidak satu di antaranya menyangka, Lie Sam dapat berpura-pura mati demikian sempurna, sampai dia tidak menghiraukan tombakan kepada pundaknya. Dengan sendirinya semua orang mengasih mundur kuda mereka. Si pemimpin yang berewokan itu memutar goloknya, golok Ganleng to. "Lie Sam, kau benar-benar tangguh!" serunya. Lantas goloknya menyambar, ke arah kepala orang. Lie Sam menangkis. Tapi ia telah terluka, tenaganya berkurang banyak, ketika ia mundur hingga tiga tindak, ia lantas muntah darah. Justeru itu, semua musuhnya merangsak, semua menurunkan senjatanya masing-masing. Benar-benar Lie Sam tangguh, dia gagah sekali, dia melakukan perlawanan. Masih dua orang kena dirobohkan, setelah mana, arwahnya berangkat pulang ke alam baka, tubuhnya terlukakan tidak keruan...
Si nyonya muda belum lari jauh, maka itu ia telah mendengar seman nyaring dari suaminya itu, hatinya bagaikan diiris-iris.
"Dia telah mati, buat apa aku hidup terus?" pikirnya. Ia menjadi nekat. Dari sakunya, ia menarik keluar sehelai peta yang terbuat dari kulit kambing, ia belesaki itu ke dalam saku puterinya yang masih kecil itu. Ia kata: "Anak Siu, kau uruslah dirimu!" Habis berkata, ia menepuk kudanya, untuk membikin binatang itu lompat berjingkrak, ia sendiri membarengi mencelat dari punggung kuda. Maka juga, selagi ia jatuh turun, kudanya itu terus kabur bagaikan melesatnya anak panah. Agaknya ia puas, karena ia melegakan hatinya: "Kuda itu kuat lari tak tandingan, anak Siu pun bertubuh enteng sekali, pastilah mereka ini tidak bakal dapat menyandak!"
Lantas ia memuji: "Thian, oh Thian, tolonglah lindungi anak Siu, semoga dia menjadi besar dan dapat menikah suami seperti suamiku yang baik ini, biarnya hidup merantau tetapi kita berbahagia!"
Segera setelah memuji itu, nyonya ini merapikan rambutnya dan pakaiannya juga, terus ia memutar tubuhnya, untuk menghadap rombongan pengejarnya yang dengan cepat telah tiba di hadapannya.
Tentu sekali yang sampai terdepan ialah Luliang Samkiat, tiga jago dari Luliang. Merekalah tiga saudara angkat. Yang tertua yaitu Sinto Cin Kwansee Hok Goan Liong, jago Kwansee Golok Sakti. Dialah si berewokan yang bertubuh besar, yang telah membinasakan Pekma Lie Sam barusan. Yang kedua, Bweehoa Chio Su Tiong Cun, si Tombak Bunga Bwee. Dia bertubuh kurus kering. Yang ketiga, yang termuda, Cheebong Kiam Tan Tat Hian si Pedang Ular Naga Hijau, tubuhnya kate dan kecil. Dia asal begal kuda di Shoatang, belakangan dia tinggal menetap di Shoasay, bersahabat erat dengan llok Goan Liong dan Su Tiong Cun, bersama-sama mereka mengusahakan perusahaan piauwkiok di kecamatan Thaykok, Shoasay, dengan memakai merek chin Wie Piauwkiok.
Ada hubungannya di antara Su liong Cun dan isterinya Pekma Lie Sam itu. Nyonya Lie asalnya ialah Nona Siangkoan Hong dan dengan Tiong Cun pernah su-heng dengan sumoay, kakak dan adik seperguruan. Semenjak masih kecil mereka belajar silat bersama tidak heran kalau Tiong Cun kemudian mencintai sumoay- nya yang cantik dan lemah-lembut itu. Mereka memang setimpal. Sampai dengan kebetulan Siangkoan Hong bertemu sama Pekma Lie Sam, keduanya lantas saling mencinta, hanya sayang, pihak orang tua tidak menyetujui perjodohan mereka itu, lantaran mana terpaksa mereka minggat. Tiong Cun jadi sangat berduka, ia mendapat sakit, setelah sembuh, tabiatnya menjadi berubah. Sepuluh tahun sudah berlalu semenjak lelakon asmara mereka itu atau dengan cara kebetulan, Luliang Samkiat bertemu sama Pekma Lie Sam suami isteri serta anak daranya yang masih kecil itu di jalan Kamliang, rombongan sembilan kecamatan di propinsi Kamsiok, bahkan karena perebutan sehelai peta, kedua pihak menjadi benterok dan bertempur.
Su Tiong Cun tetap tidak bisa melupai adik seperguruannya itu, karena cintanya itu yang gagal, dia terus tidak menikah, maka sekarang, justeru ada benterokan ini, dia jadi sangat membenci Lie Sam, hingga dialah jadi lawan yang paling bengis.
Dikepung enam puluh orang lebih, Lie Sam dan isterinya tidak berdaya, dari itu, mereka melawan sambil melarikan diri. Dari jalan Kamliang itu mereka dikejar terus-terusan sampai di wilayah Hweekiang ini. Anak panah di punggung Lie Sam ialah anak panah yang dilepaskan Su Tiong Cun secara membokong. Akhirnya Lie Sam menemui ajalnya secara menyedihkan itu. Kapan Tiong Cun memandang Siangkoan Hong, hatinya tergerak, maka ia pikir: "Aku telah membinasakan suaminya, maka selanjutnya aku harus merawati dia baik- baik..."
Nyonya Lie Sam berdiri di atas pasir, pakaiannya berkibar di antara desiran angin gurun. Dia masih sama cantiknya seperti masa mudanya sepuluh tahun yang lampau, semasa mereka masih sama-sama belajar silat. Dia bersenjatakan sepasang pedang yang luar biasa, sebab yang satu bergagang emas, yang lain bergagang perak, maka juga ia dijuluki Kimgin Siauwkiam Sam Niocu," si Nona Pedang Emas Perak. Nyonya muda ini mengasih lihat senyuman tawar.
Mendadak Su Tiong Cun mendapat harapan, dadanya dirasakan panas, mukanya merah sendirinya. Ia menancap tombaknya di samping pelananya, lantas ia lompat turun dari kudanya, guna menghampirkan si nyonya.
"Sumoay!" ia memanggil, seperti biasanya.
"Lie Sam telah mati," berkata si nyonya, tenang. Tiong Cun mengangguk.
"Sumoay," katanya, "sepuluh tahun kita telah berpisah, aku... setiap hari aku memikirkan kau..."
"Benarkah itu?" si nyonya muda tertawa. "Kau tentu lagi memperdayakan orang..."
Hatinya Tiong Cun goncang. Siangkoan Hong tetap manis seperti pada sepuluh tahun yang telah berlalu itu, dia mirip sebagai masa gadisnya.
"Sumoay," katanya, perlahan, "kalau selanjutnya kau turut aku, aku tanggung kau tidak bakal ngalami penderitaan, tidak sedikit juga..."
Matanya Siangkoan Hong mendadak bercahaya. "Suko, kau baik sekali!" ujarnya. Mendadak ia mementang kedua tangannya, untuk menjatuhkan diri di dada si bekas kekasih.
Bukan main girangnya Tiong Cun, ia lantas membalas merangkul.
Hok Goan Liong, yang telah menyusul, tertawa saling mengawasi dengan Tan Tat Hian. Di dalam hatinya, mereka kata: "Dua puluh tahun mereka saling mencintai, baru sekarang harapan mereka terkabul, cita-cita mereka tercapai..."
Pikirannya Tiong Cun melayang-layang. Hidungnya telah mencium bau yang harum, yang menggiurkan hatinya. Ia sampai beragu-ragu yang Siangkoan Hong pun merangkul ia demikian erat. Hanya tengah ia kelelap itu, atau tak sadarkan diri, tiba-tiba ia merasakan sakit pada perutnya, sakit sekali, seperti tertubles sesuatu. Ia kaget hingga ia menjerit, kedua tangannya menolak tubuh si kekasih. Akan tetapi Siangkoan Hong memeluk sangat keras, tubuhnya itu tidak dapat ditolak terlepas. Karena jago Luliang mencoba berontak, keduanya terguling bersama.
Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian kaget bukan main. Keduanya lompat turun dari kuda mereka, guna meng- hampirkan saudara angkatnya itu. Yang lainnya semua tidak kurang kagetnya, mereka heran sekali.
Ketika tubuhnya Siangkoan liong diangkat untuk dipisahkan dari tubuh Su Tiong Cun, kelihatan dadanya mengalirkan darah, yang disebabkan nancapnya sebuah pisau belati kecil bergagang emas, sedang pada perutnya Tiong Cun nancap sebuah pisau belati lain, yang bergagang perak. Maka teranglah sekarang, karena Sam Niocu hendak bersetia kepada suaminya, ia mengurbankan dirinya sambil membalas sakit hati. Ia mencari mati karena pun sudah putus asa. Hebat tikaman pisau belati itu, keduanya nancap dalam sekali. Si nyonya mati seketika, si pria terlukakan hebat.
"Shatee, lekas bantui aku, supaya aku tidak menderita lebih lama," Tiong Cun minta pada Tat Hian.
Adik itu mengawasi Goan Liong, kakaknya, untuk mohon keputusan. Kakak itu mengawasi adiknya yang terluka parah itu, ia mengangguk. Atas itu, dengan mengertak gigi, Tat Hian menikam uluhati kakaknya yang kedua itu, maka Tiong Ijun meram matanya, napasnya berhenti berjalan, la mati dalam kesedihan, karena menjadi kurban sumoay-nya.
"Aku tidak sangka Kimgin Siauwkiam Sam Niocu begini keras hatinya," kata Goan Liong berduka. Ketika itu salah satu tauvvbak datang melaporkan pada Goan Liong bahwa tubuhnya Lie Sam sudah diperiksa terliti tetapi peta tak kedapatan. "Kalau begitu, tentu ada di tubuhnya," kata Goan Liong menunjuk tubuh Sam Niocu. Pengggeledahan dilakukan atas tubuh si nyonya, hasilnya sia-sia belaka, peta tidak ada, yang kedapatan hanya perak hancur serta beberapa potong pakaian. Goan Liong dan Tat Hian saling mengawasi, mereka putus asa, mereka heran. Heran sebab tidak nanti peta itu disingkirkan Lie Sam, baik dengan dipendam maupun dengan diserahkan kepada lain orang. Mereka menguntit terus hingga pasti tidak ada kesempatan suami isteri itu menyingkirkannya.
Tan Tat Hian penasaran, ia periksa pula bungkusan si nyonya. Ketika ia mendapatkan beberapa potong pakaian anak kecil, ia ingat anak orang. "Toako, mari kita lekas kejar si bocah!" katanya berseru. Ia baru ingat anaknya Lie Sam. Hok Goan Liong pun mendusin. "Jangan bingung," katanya. "Di gurun ini ke mana bocah itu bisa pergi? Dua orang berdiam di sini, untuk mengurus jenazah Su jieya, yang lainnya semua turut aku."
Ia lantas melarikan kudanya, diikuti orang-orangnya kecuali yang dua itu. Si nona telah dibawa lari kabur si kuda putih, jauhnya sudah dua puluh lie lebih. Di gurun pasir tidak ada pepohonan, orang bisa memandang jauh sekali, maka itu, sembari mengejar, Goan Liong semua memandang jauh ke depan. Mereka mengaburkan kuda mereka. Mendekati magrib, mendadak Tan Tat Hian berseru: "Lihat! Itulah dia di depan!"
Jauh di empat seperti bertemunya langit dan bumi, di sana ada sebuah titik. Itulah si kuda putih, yang dari jauh-jauh toh nampaknya hitam. Kuda itu letih sekali meskipun dia dapat lari keras dan sekarang penunggang- nya seorang bocah yang tubuhnya enteng. Di lain pihak, Goan Liong semua terus main tukar kuda. Bocah itu-ialah Lie Bun Siu-duduk mendekam di atas kudanya, la pun sangat lelah, hingga tanpa merasa, ia kepulasan di atas kudanya itu. Pula itu antero hari ia tidak dahar dan minum, sedang matahari panas terik, dari itu mulut dan lidahnya kering semua. Kuda putih itu seperti dapat perasaan, dia kabur ke arah timur di mana matahari yang bersinar merah marong menggenclang. Tiba di suatu tempat, mendadak dia mengangkat kedua kaki depannya, mulutnya meringkik keras, hidungnya pun mengendus-endus. Dia membaui sesuatu. Suara meringkiknya itu seperti menunjuk dia mengetahui apa-apa.
Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian yang tenaga dalamnya lihai pun merasakan sesuatu, yaitu napas mereka rasanya sesak. "Shatee, rasanya tak beres ini!" kata kakak itu. Sebelum menyahuti, Tat Hian melihat ke sekitarnya. Di barat daya, di antara sinar layung Batara Surya, nampak mega kuning bergelempang bagaikan kabut, di antara itu ada sinar ungu yang berkilauan. Pemandangan itu luar biasa sekali. "Mari, toako, kita melihat ke sana!" katanya seraya ia melarikan kudanya. Tidak antara lama, mega kuning itu telah meluas seperti sudah menutupi separuh langit. Ketika itu pun orang telah bermandikan keringat dan napas mereka mendesak.
"Toako, mungkin badai bakal datang...," akhirnya kata Tat Hian.
"Benar!" Goan Liong insaf. "Mari lekas, kita bekuk dulu bocah itu, baru kita mencari perlindungan!..."
Belum berhenti suara si berewokan ini, angin telah meniup keras, pasir, terbang berhamburan, menyampok muka mereka, sampai mereka tidak dapat membuka mulut. Lebih celaka ketika tujuh atau delapan orang roboh dari atas kudanya tertiup angin itu. "Semua turun dari kuda, berkumpul menjadi satu!" Goan Liong paksakan berbicara. Dengan serentak orang bekerja. Kuda mereka ditarik, dikumpulkan menjadi satu dipaksa rebah, mereka sendiri turut rebah juga, mcnyelindung di perut kuda. Sebisa-bisa mereka saling berpegangan tangan. Mereka merasa- kan sakit pada muka mereka, yang tersampok pasir, muka itu baret juga lengan mereka. Semua ketakutan. Sebab angin makin besar, tubuh mereka teruruk pasir...
Goan Liong dan Tat Hian pun berkuatir, hingga mereka pikir: "Tidak keruan-keruan kita mencari Istana Rahasia Kobu, dari Shoasay kita sampai di gurun ini... Mungkin di sini kita terpendam di dalam pasir..."
Bab II
Dari magrib itu, badai bekerja terus Seantero malam, besoknya pagi baru reda. Kembali sang gurun menjadi tenang. Goan Liong beramai merangkak bangun. Syukur mereka tidak menampak kerugian besar. Dua orang- nya mati disebabkan napas sesak dan lima ekor kuda menjadi bangkai. Tinggal semua letih dan lemas. Dengan mengimbangi penderitaan mereka, mereka menduga si bocah dan kuda putihnya tentulah, dalam sepuluh, sembilan bagian telah mati menjadi kurban badai itu. Bukankah mereka semua bertubuh tangguh tetapi mereka hampir tak kuat bertahan?
Mereka lantas menyalakan api untuk memasak nasi, guna menangsel perut. Mereka tidak putus asa. Hok Goan Liong telah menyerukan: "Siapa yang mendapatkan bekas-bekasnya si bocah dan kuda putihnya, dia bakal dapat upah uang emas lima puluh tail!"
Inilah hadiah besar, janji itu disambut dengan tempik sorak. Bagaikan payung yang dibuka lebar, lima puluh lebih orang itu lantas pergi berpencaran, untuk mencari di sekitar gurun itu. Di setiap otak mereka terbentang: "Kuda putih... bocah wanita... lima puluh tail emas..."
Lebih dulu daripada itu mereka telah berjanji, di waktu magrib mereka harus berkumpul di barat enam puluh lie dari tempat bermalam ini.
Liangtauw Coa Tang Yong, si Ular Kepala Dua, dengan seekor kuda pilihan, menuju ke barat daya Ialah piauwsu yang telah berpengalaman belasan tahun, meski dalam ilmu silat ia bukan tergolong kelas satu, ia cerdik sekali, untuk Luliang Samkiat, ialah pembantu yang berharga. Sebentar saja ia telah pergi dua puluh lie lebih, hingga ia mencil sendirian. Setelah itu baru ia merasa jeri juga. Sunyi di sekitarnya. Ia mendaki sebuah bukit pasir, untuk melihat kelilingan. Maka ia girang sekali kapan matanya melihat ke ujung barat daya itu, di sana nampak cahaya hijau dari tujuh atau delapan buah pohon kayu. Heran ia di gurun pasir ada tumbuh-tumbuhan. "Mungkin di situ tidak ada rumah orang, dengan ada pepohonan, di situ tentu ada air," ia berpikir. "Itulah tempat bagus untuk rombonganku beristirahat."
Maka ia naik pula kudanya, ia kabur ke ujung barat daya itu. Itulah seperjalanan sepuluh lie lebih. Dari jauh-jauh telah terlihat banyak kerbau dan kambing di daerah pegunungan yang tumbuh pepohonan dan rumput itu. Bahkan di baratnya terdapat banyak sekali tenda gurun, mungkin dua sampai tiga ribu buah. Ia menjadi heran, ia terkejut. Yang ia pernah lihat, paling banyak gundukan tenda dari tiga atau empat puluh buah. Dan ini ribuan. Inilah gundukan suku bangsa gurun pasir paling besar yang ia pernah ketemukan. Dilihat dari macamnya tenda, itu pasti kepunyaan suku Kazakh. Untuk wilayah Hweekiang, suku Kazakh adalah suku paling gagah. Anak-anaknya, lelaki atau perempuan, semenjak umur enam atau tujuh tahun, sudah belajar menunggang kuda, sesuatunya membawa golok, pandai main panah, alat-alat untuk membela diri dan menyerang. Di antara mereka ada tersebar peribahasa: "Satu orang Kazakh dapat melawan seratus orang. Seratus orang Kazakh dapat malang melintang di Hweekiang."
Tang Yong ketahui peribahasa itu, maka ia kata di dalam hatinya: "Aku berada di wilayah orang Kazakh ini, aku harus berlaku hati-hati."
Di timur laut, di kakinya sebuah bukit, ada sebuah rumah mencil sendirian, yang terbuat tembok tanah dan mirip sama rumah-rumah di Tionggoan. Itulah beda sekali dari tenda-tenda orang Kazakh.
"Baiklah aku pergi ke sana, untuk melihat," pikir Liangtauw Coa. Ia menduga- duga apa mungkin itu rumahnya orang Hai. Ia mengeprak kudanya, untuk dikasih lari ke arah rumah itu. Tapi kudanya melihat rumput di sepanjang jalan, dia repot gegares, jalannya menjadi perlahan. Ia menjadi sengit, ia mendupak. Dengan begitu barulah kuda itu lari ke arah rumah kecil itu.
Dengan matanya yang tajam, Tang Yong dapat melihat seekor kuda putih tertambat di belakang rumah, kuda mana tinggi dan besar dan surinya panjang. Ia segera mengenali kudanya Pekma Lie Sam. Tanpa dapat mengendalikan diri, ia berseru sendirinya: "Kuda putih! Kuda putih di sini!" Lantas ia mendapat akal. Maka ia lompat turun dari kudanya. Dari kaos kakinya, ia mencabut goloknya yang pendek dan tajam, ia sembunyikan itu di tangan kirinya, tergubat ujung bajunya. Setelah itu dengan berindap-indap, ia pergi ke belakang rumah itu. la tengah mengintai di jendela ketika mendadak kuda putih itu meringkik, sebagai juga tanda peringatan kepada tuan rumah bahwa ada orang datang...
"Binatang!" Tang Yong mencaci di dalam hatinya. Ia menciutkan diri sebentar ia mengintai pula. Justeru itu ada kepala orang nongol di jendela, hingga hidung mereka hampir beradu. Ia terkejut. Ia menampak sebuah muka yang keriputan, yang matanya bercahaya tajam. Ia lantas lompat bangun. "Siapa?" ia menegur. "Kau siapa?" balik tanya orang itu, suaranya dingin. "Apa perlunya kau datang kemari?"
Orang itu bicara dalam bahasa Tionghoa. Untuk sejenak, Tang Yong terdiam. Selekasnya ia dapat menenang- kan diri, ia lantas bersenyum.
"Aku Tang Yong," sahutnya. "Dengan kebetulan saja aku tiba di sini dan mengganggu lootiang. Bolehkah aku mendapat ketahui lootiang she dan nama apa?" "Aku she Kee," menyahut orang itu.
"Oh, Kee Lootiang," kata Tang Yong pula. la tertawa. "Aku girang sekali dapat bertemu orang bangsa sendiri di sini. Kalau sudi, aku mohon seceglukan teh."
"Kau ada bersama siapa-siapa lagi?" si orang tua tanya. "Aku bersendirian saja."
"Apakah tuan dari perusahaan piauwkiok?" si orang tua menanya pula. Tang Yong terkejut. "Tajam matanya orang tua ini," pikirnya. "Di jidatku toh tidak ada mereknya piauwkiokku..." Ia memikir untuk mendusta tetapi sebab si orang tua telah mengatakannya, ia membatalkan itu. Ia menjawab: "Benar.
Bagaimana lootiang mengetahuinya?"
"Kebanyakan piauwsu bermacam bangsat," kata si orang tua tawar, sedang matanya yang bersinar dingin menyapu beberapa kali ke muka orang.
Mukanya Tang Yong menjadi merah, tetapi ia berpikir: "Biarlah, akan aku cari tahu dulu tentang dia..." Karena itu, ia hanya menyeringai.
"Kalau mau minum, ambillah jalan pintu depan, jangan merayap di jendela!" berkata pula si empee.
"Ya, ya," sahut si piauwsu, yang terpaksa merendahkan diri. Ia jalan mutar ke depan, untuk terus masuk ke dalam, hingga ia melihat perlengkapan miskin dari rumah itu, hanya semua ada bersih. Setelah duduk, ia mengawasi ke sekitarnya. Tidak lama muncul seorang nona kecil, yang membawa secangkir teh. Ketika sinar mata mereka bentrok, nona itu kaget, cawannya terlepas, jatuh ke tanah hingga pecah hancur!
Bocah itu pun berdiri melongo. Tang Yong lantas mengasih lihat senyumannya. Ia girang bukan main. Inilah bocah yang dicari mereka, untuk siapa Hok Goan Liong menjanjikan upah lima puluh tail uang emas. Dengan melihat kuda putih tadi. ia sudah menduga-duga, sekarang dugaannya itu merupakan kenyataan.
Lie Bun Siu telah dibawa kabur kudanya, hingga dia tak ingat suatu apa. Kuda putih dapat membaui bau rumput dan air, dia kabur menerjang badai, sampai di tempat yang banyak pepohonannya ini. Segera dia bertemu sama orang tua she Kee itu, yang menolonginya.
Tengah malam Bun Siu sadar, ia tidak melihat ayah dan ibunya, lantas ia menangis, hingga Kee Loojin membujukinya. Orang tua itu lantas merasa suka, ia mengasihaninya. Di dalam usianya itu, Bun Siu belum mengerti banyak. Ditanya ayahnya, ia menyebut Pekma Lie Sam. Ditanya tentang ibunya, ia cuma dapat menyebut "ibu", atau "Sam Niocu", seperti disebut berulang-ulang oleh "orang jahat" yang mengejar mereka. Tentu sekali, ia pun tidak tahu apa perlunya mereka bertiga datang ke wilayah Hweckiang ini.
"Pekma Lie Sam, Pekma Lie Sam..." Kee Loojin menyebut berulang-ulang. "Ya, aku ingat dia... Pada sepuluh tahun yang lampau, dialah bandit haguna yang malang melintang di Kanglam. Kenapa dia datang kemari?"
Orang tua ini mengasih si nona minum susu, ia membujukinya hingga nona itu tidur pulas di pembaringannya.
Ia sendiri, sebaliknya, menjadi tidak dapat tidur, la memikiri segala kejadian pada sepuluh tahun yang lampau itu. Besoknya pagi, Bun Siu mendusin dari tidurnya. Segera ia minta si orang tua mengajak ia pergi mencari ayah dan ibunya. Tepat selagi Kee Loojin membujuki, dia mempergoki lagak bangsat dari Liangtauw Coa Tang Yong si Ular Kepala Dua itu.
Dengan jatuh pecahnya cangkir, Kee Loojin muncul dengan segera. Melihat orang tua itu, Bun Siu lari untuk menubruk sambil berkata: "Yaya, yaya, dialah si orang jahat yang mengejar-ngejar aku!..."
Orang tua itu mengusap-usap rambut si anak, sikapnya lembut.
"Jangan takut, jangan takut," membujuknya. "Dia bukan orang jahat..."
"Benar, dia si jahat!" kata nona itu. "Dia bersama puluhan orang lain mengejar ayah dan ibu, mereka menyerangnya..."
Kee Loojin sementara itu berpikir: "Yang satu bandit haguna, yang lainnya piauwsu, tentulah karena urusan piauw, mereka benterok, mereka menyusul sampai di sini... Tidak dapat aku mencampuri urusan mereka itu."
Tang Yong mengawasi si orang tua, yang rambutnya ubanan, tubuhnya bongkok melengkung, tubuh itu besar melebihkan ia. Ia pikir: "Orang tua ini, kalau dia belum berumur seratus tahun, sembilan puluh tentunya ada. Di sini tidak ada lain orang, kalau aku hajar dia pingsan, dapat aku bawah kabur bocah ini serta kuda putihnya. Aku mesti bekerja cepat, supaya tak menanti terjadinya perubahan..."
"Apakah kamu kehilangan piauw?" si orang tua tanya.
"Berapa harganya itu?"
"Harganya tidak seberapa, hanya namanya Chin Wie Piauwkiok menjadi runtuh. Syukur jumlah itu telah didapat pulang seluruhnya," sahut orang yang ditanya. Orang tua itu mengangguk. "Chin Wie Piauwkiok?" katanya.
"Jadi Luliang Samkiat pun datang semuanya?"
Hebat suara badai itu, seperti itu suaranya kawanan hantu...
Tang Yong heran. Kenapa orang tua ini ketahui piauwkioknya dan ketiga majikannya itu? Bukankah orang ini tua dan wilayah Hweekiang ini jauh dari Tionggoan? Apa benar nama Luliang Samkiat demikian tersohor, sampai di tanah perbatasan? Mungkinkah ini orang tua asal piauwsu juga?
"Ya," ia menyahuti. Terus ia memasang kuping, kakinya pun bertindak ke jendela. "Nah, lihatlah! Bukankah mereka disana tengah mendatangi?"
Kee Loojin tidak mendengar tindakan kaki kuda, akan tetapi mendengar perkataan Tang Yong itu, ia bertindak ke jendela, untuk melihat. Ia tidak menampak siapa juga di sekitarnya, hanya kerbau dan kambing lagi memakani rumput di tegalan.
"Mana ada orang?" kata ia pada tetamunya seraya ia menoleh. Justeru itu Tang Yong mengasih dengar tertawanya yang seram, yang disusuli angin serangannya. Sebab tengah si aki melongok keluar, dia mem- bokong.
Orang tua itu bongkok, agaknya dia bercacad, akan tetapi dia berkuping terang, matanya celi, gerakannya sebat. Ketika tinju hampir tiba di kepalanya, ia berkelit, sebelah tangannya diangkat, untuk dipakai menangkis sambil membangkol. Ia nyata menggunai jurus Kimnahoat, "Tangkapan", maka tangan kanan si piauwsu lantas kena dicekal. Tang Yong terkejut, tetapi kepalang tanggung, ia beraksi terus. Ia mengelit tangan kanannya itu, untuk dilepaskan dari cekalan orang, ia gagal, atas mana, tangan kirinya meluncur.
Di tangan kiri ini tersembunyi golok pendeknya, maka golok itu mengasih lihat sinar berkelebat, menyambar ke punggung yang naik tinggi seperti punggung unta dari si empee, tepat kenanya.
Lie Bun Siu kaget hingga dia menjerit, lantas dia lompat, untuk dengan kedua tangannya menghajar punggung si piauwsu di betulan pinggang. Selama dua tahun, dia telah mulai belajar silat dari ayah dan ibunya. Hanyalah, dua kepalannya masih kecil, seperti tenaganya pun belum besar. Kee Loojin juga tidak berdiam saja. Ia menyikut dengan tangan kirinya, mengenai uluhati dari Tang Yong, hingga piauwsu ini menjerit tertahan, tubuhnya membungkuk, terus roboh terkulai di lantai.
“Yaya..." kata si nona, yang kaget dan ngeri melihat golok nancap di punggung si orang tua, "golok di punggungmu itu..."
Kee Loojin berpaling, ia melihat roman si nona. "Anak ini berhati baik," pikirnya.
"Yaya, lukamu..." kata pula Bun Siu. "Nanti aku cabut golok itu..." Ia mengulur tangannya, niat mencabut senjata tajam itu.
"Jangan pedulikan aku!" kata si orang tua. Mendadak dia beroman gusar, suaranya pun keras. Dia memegangi meja, tubuhnya terhuyung. Dengan limbung ia berjalan masuk ke dalam, di sana terdengar suara berisik dari pintu yang ditutup menggabruk. Bun Siu heran dan takut melihat air mukanya orang tua itu.
la pun ngeri melihat Tang Yong rebah melingkar, ia takut orang nanti bangun pula. Bagaimana kalau piauwsu ini bangun dan menerjang padanya? Saking takutnya ia memikir untuk lari ke luar. Tapi, ketika ia ingat si orang tua, yang terluka dan bersendirian saja, ia batalkan niatnya itu. Setelah ragu-ragu sebentar, ia menghampirkan pintu dalam. Ia mengetuk perlahan, beberapa kali, kupingnya dipasang. Tidak ada jawaban. "Yaya," ia memanggil. "Yaya, apakah kau sakit?"
Baru sekarang terdengar suara kasar dari dalam: "Pergi!
Pergi! Jangan gerecoki aku!"
Bun Siu heran dan kaget. Suara itu beda sekali daripada semula. Ia lantas berduduk diam di lanah, saking bingung, ia menangis. Tiba-tiba pintu berbunyi, lalu terbuka. Lantas si nona merasai rambutnya dielus-elus perlahan, kupingnya pun mendengar bujukan halus: "Jangan nangis, jangan nangis. Luka yaya-mu tidak berbahaya..."
Si nona mengangkat kepalanya. Ia melihat si empee bersenyum. Dasar anak kecil, mendadak ia menjadi girang sekali, hingga dari menangis, ia menjadi tertawa. "Kau menangis, lalu tertawa, apa kau tidak malu?" kata Kee Loojin tertawa juga. Bun Siu menusupkan kepalanya di dada aki-aki itu untuk sekejap itu, ia merasai kehanga- tannya orang tuanya Kee Loojin sendiri mengerutkan kening. Matanya mengawasi ke mayatnya Tang Yong. Hebat sikutnya, yang telah mengenai uluhati orang, hingga piauwsu itu mati seketika. Ia memikir: "Dia dan aku tidak bermusuh hebat, kenapa aku menurunkan tangan jahat terhadapnya?" Ia seperti lupa bahwa justeru ia yang disateroni dan ditikam terlebih dulu.
"Yaya, apa lukamu sudah baik?" kemudian si nona cilik menanya pula. Ia ingat lukanya si aki. Ketika itu Kee Loojin telah menukar bajunya, entah bagaimana lukanya, tapi ketika ditanya, mendadak ia menjadi gusar kembali. Mungkin ia merasai tikamannya Tang Yong suatu penghinaan untuknya.
"Mau apa kau rewel?" dia membentak. Bun Siu kaget, ia menjadi ketakutan pula. Justeru itu, di luar terdengar suara meringkiknya si kuda putih. Si aki sadar secara tiba-tiba. Maka ia pikir: "Orang-orang Chin Wie Piauwkiok mencari bocah ini, maka itu Tang Yong menurunkan tangan jahat atas diriku." Lalu ia berpikir pula, habis mana dia lantas pergi ke dapur. Di sana ada tahang dengan air berwarna kuning, ialah air sepuhan peranti penggembala kambing memberi warna tanda kepada ternaknya, la bawa itu keluar, ia menuntun si kuda putih, lantas bulu kuda yang bagus itu ia poles kuning, dari kepala sampai di ekornya, hingga menjadi kuning seluruhnya. Kemudian lekas-lekas ia pergi ke tendanya seorang Kazakh, untuk minta seperangkat pakaian bocah laki-laki, dengan itu ia menyuruh Lie Bun Siu menyalin pakaian, hingga si nona menjadi bersalin rupa.. Bun Siu cerdas. "Yaya," katanya, "kau hendak membikin si orang jahat tidak mengenali aku?"
Empee itu mengangguk, terus ia menghela napas. "Aku sudah tua, kalau tidak, biarnya si jahat besar jumlahnya, aku tidak takut," ujarnya. "Lihat saja barusan, dia toh berhasil membacok aku..."
Bun Siu berdiam. Walaupun si empee yang mulai bicara, ia tidak berani menyambuti. Habis itu, Kee Loojin bekerja pula, secara kesusu. Ialah ia menggali tanah untuk memendam mayatnya Tang Yong, sedang kuda orang, ia sembelih. Ia menyingkirkan segala apa, yang dapat menjadi tanda. Akhirnya ia duduk bercokol di depan pintu, duduk seraya menggosok sebilah golok panjang... Tidaklah sia-sia siasat orang tua ini. Sore itu Hok Goan Liong bersama Tan Tat Hian serta rombongannya tiba di tanah datar berumput itu. Mereka melakukan perampasan atas beberapa ratus ekor kerbau dan kambing yang gemuk-gemuk. Orang-orang Kazakh seperti kena dibokong. Wilayah mereka aman, tidak biasanya datang penyamun. Mereka melakukan perlawan- an secara sia-sia, kecuali rugi ternak, tujuh orang pria terbinasakan dan lima orang wanita kena diculik. Rombongan itu juga menyateroni Kee Loojin, hanya mereka tidak menyangka jelek kepada orang tua itu, yang rumahnya buruk. Mereka juga tidak bercuriga terhadap Bun Siu, yang mirip anak Kazakh, yang sembunyi di pojokan rumah, mukanya dekil. Pula tidak ada seorang juga, yang melihat matanya yang tajam. Ia sebaliknya melihat tegas, golok ayahnya tergantung di pinggangnya Tan Tat Hian dan pedang ibunya berada di pinggangnya Hok Goan Liong. Ia mengenali baik senjata orang tuanya itu, yang tak pernah terpisah dari tubuh mereka, maka tahulah ia, pasti ayah dan ibunya telah bercelaka...
Besoknya, orang-orang Kazakh itu dapat menggabung diri, mereka lantas mencari kawanan penyamun, untuk menuntut balas, tetapi rombongan Chin Wie Piauwkiok telah pergi kemana tahu di gurun yang luas itu. Yang dapat diketemukan ialah mayatnya ke lima wanita bangsanya, yang menggeletak di tempat terbuka dengan tubuh telanjang bulat, keadaannya sangat menyedih- kan. Kemudian mereka menemukan juga mayatnya Lie Sam dan isterinya. Lie Bun Siu ada bersama, ia menubruk dan memeluki mayat ayah ibunya itu, ia menangis sedih sekali, sekalipun begitu, ia toh dirangket seorang Kazakh, yang terus mendupak padanya sambil mulutnya mengutuk: "Tuhan tidak memberkahi kamu penyamun llan!"
Kee Loojin memondong tubuh bocah itu, ia tidak mau melayani orang Kazakh yang lagi seperti kalap itu. Bun Siu sendiri bersedih dan bingung, hingga ia kata di dalam hatinya: "Kenapa ada begini banyak orang jahat? Kenapa siapa pun menghina aku?..."
Bab III
Lie Bun Siu mendusin pada waktu tengah malam, ia mendusin untuk lantas menangis. Rupanya ia bermimpi hebat. Ketika ia membuka matanya, ia kaget hingga ia berteriak. Diatas pembaringannya itu ada berduduk seorang lain. la pun bangun untuk berduduk. Hanya sebentai ia terkejut. Kee Loojin mengawasi dengan romannya sabar, tangannya pun mengelus-ngelus rambut perlahan sekali.
"Jangan takut, jangan lakui inilah yaya-mu..." kata ia. Ia menyebut dirinya yaya, ia pun dipanggil yaya. Yaya itu kakek. Memang tepat ia menjadi kakek mengingat perbedaan usia mereka berdua.
Bun Siu menangis, air matanya bercucuran deras, ia nelusup di dada aki itu, hinga tangan baju si orang tua basah "Anak," kata si aki perlahan, "kau sudah tidak punya ayah dan ibu, kau anggaplah aku sebagai kakekmu tulen. Mari kita tinggal bersama, kakekmu sanggup merawati kau..."
Bun Siu mengangguk. "Kenapa semua orang menghina aku? Aku toh tidak berbuat jahat?" ia bertanya, la ingat bagaimana ia dan orang tuanya dimusuh- kan orang, ia sendiri pun dibenci dan dianiaya si orang Kazakh yang kasar itu. Ia tahu ia tidak bersalah. Orang tua itu menghela napas. "Di dalam dunia ini, mereka yang suka menderita justerulah mereka yang belum pernah melaku- kan kejahatan..." katanya. Ia menuang susu hangatnya, untuk diminum. Ia pun membagi si bocah. Sembari merapikan tempat tidur bocah itu, ia menambah- kan pula "Anak Siu, orang Kazakh yang menendangmu itu bernama Suruke, sebenarnya dia seorang baik..."
Bun Siu heran, ia mementang kedua matanya. "Dia... dia orang baik?" ia menegaskan. "Benar, dia orang baik," si kakek menyahuti, "dia sama baiknya seperti kau. Di dalam satu hari, dia kematian dua orang yang ia paling mencintakannya... Yang satu isterinya, yang lain putera sulungnya... dan mereka semua terbinasa ditangannya rombongan penyamun jahat dan kejam itu. Dia menyangka orang Han orang jahat semua, maka juga didalam bahasanya, dia mengutuk kau sebagai orang Han jahat yang tidak diberkahi Tuhan. Kau jangan membenci dia, dia lagi sakit hatinya, seperti sekarang hatimu pun sakit. Dia sudah berusia lanjut, bisalah dimengerti kalau dia jadi terlebih sakit hatinya..."
Bun Siu mendelong mendengar si orang tua. Sebenarnya dia pun tidak membenci orang Kazakh berewokan itu, hanya dia jeri melihat roman orang yang bengis. Sekarang dia ingat, di matanya orang Kazakh itu pun ada mengembeng air mata. Tentu sekali dia tidak mengerti perkataan yaya-nya, kenapa orang tua itu lebih menderita daripadanya. Sekarang dia berkesan baik terhadap orang tua itu... Tidak antara lama, dari luar jendela terdengar suara burung, halus dan menggiurkan hati. Suara itu agak jauh tetapi tedas. Ia memasang kupingnya. Ia merasakan suara itu manis. Itulah mirip nyanyiannya seorang nona... Ia memasang kuping terus. Nyanyian burung itu terdengar jauh, lalu lenyap. Ia menjadi masgul, hingga ia terus berdiam saja Lama ia tidak bersuara, lalu: "Yaya, suara burung itu enak didengarnya," katanya.
"Memang, merdu nyanyiannya burung itu," menyahuti si empee. "Itulah burung nilam malam di padang rumput ini. Orang Kazakh membilang burung itu penitisan seorang nona paling cantik dan yang paling pandai ber- nyanyi. Katanya dia tidak disukai kekasihnya, dia mati mereras..." Bun Siu heran. "Dia paling cantik, dia juga paling pandai bernyanyi, kenapa dia tidak dicintai?" ia tanya. Ditanya begitu, orang tua itu agak kaget, bahkan air mukanya segera berubah. "Ya, dia demikian cantik, kenapa dia tidak dicintai?" katanya keras.
Bun Siu kaget, dia mengawasi, matanya mendelong. Hanya sejenak, si empee menghela napas. Ia jadi sabar pula. "Di dalam dunia ini, ada banyak sekali hal yang kau tidak mengerti, anak," katanya kemudian. Kembali Bun Siu mendengar burung tadi bernyanyi, suaranya semakin menggiurkan hatinya, manis tetapi sedih. Ia sampai melupakan sikap aneh dari si orang tua...
***
Demikian Lie Bun Siu tinggal di rumah Kee Loojin, si orang tua yang hidup menyendiri di wilayah orang Kazakh itu. Ia membantu menanak nasi dan menggembala kambing. Mereka hidup sebagai kakek dan cucu. Hanya kalau malam, suka-suka si nona mendusin dengan kaget, akan mendengar suara si burung malam dari padang rumput itu, yang nyanyiannya mengagumkan dia, yang membuatnya merasa tergiur dan berduka. Kalau dia bermimpi, maka dia memimpikan keindahan wilayah Kanglam di mana dia berada dalam rangkulan ayah atau ibunya... Musim rontok lewat, musim dingin pun lewat, selama itu, tenteram hidupnya puteri dari Pekma Lie Sam atau Siangkoan Hong, selama itu, ia telah dapat bicara dalam bahasa Kazakh, ia mulai mengerti banyak perihal segala apa di dataran rumput itu. Pada suatu malam, kembali Nona Lie mendengar nyanyian si burung malam. Jauh suara burung itu, terbawa sang angin, sebentar terdengar, sebentar lenyap Ia bangun untuk mengenakan bajunya, diam-diam ia pergi keluar di mana ia tuntun kudanya, si kuda putih, ia berlaku hati-hati untuk tidak membikin Kee Loojin kaget dan mendusin. Setelah berada jauh dari rumah, baru ia naik atas kudanya, untuk sambil menunggang kuda mengikuti suara burung itu. Sang malam di dataran rumput, langit rasanya tinggi sekali, warnanya biru, bintang-bintang terang berkilau. Rumput segar dan bunga-bunga menyiarkan bau yang harum. Suara nyanyian terdengar tegas sekarang, benar-benar menggiurkan. Di dalam hatinya, Bun Siu mengikuti bernyanyi. Ia men- jadi girang sekali. Ia lompat turun dari kudanya, membiarkan kuda itu mencari makan, ia sendiri rebah telentang di atas rumput, matanya memandangi langit. Ia terbenam dalam nyanyian sang burung... Selang sekian lama, burung itu berpindah tempat, suaranya terdengar jauh. Maka si nona merayap bangun, ia bertindak menyusul, mengikuti, hingga sekarang ia menampak romannya burung itu, yang bulunya kuning muda. Burung itu beterbangan di tanah, mematuk sesuatu, lalu terbang, lalu mematuk pula, saban-saban dia bernyanyi... Mendadak terdengar satu suara keras, serupa barang hitam menyambar kepada burung malam itu. Si nona kaget hingga ia berseru, bercampur seruannya seorang lain. Kalau Bun Siu kaget maka orang itu kegirangan. Dia muncul dari gegombolan pohon. Nyata dialah seorang anak laki-laki Kazakh, yang berseru: "Kena! Kena!"
Dengan baju luarnya, dia menungkrap burung itu, yang kena ditangkap. Burung itu lantas berbunyi berisik sekali, kaget dan ketakutan. "He, kau bikin apa?" Bun Siu menegur, gusar. "Aku menangkap burung ini," menjawab orang yang ditegur. "Apakah kau juga menangkap burung?"
"Kenapa kau menangkap dia?" Bun Siu menegur pula.
"Bukankah lebih baik membiarkan dia merdeka dan bernyanyi?"
"Dengan ditangkap, dia dapat dibuat main," menyahut anak Kazakh itu. Dengan tangan kanannya merogoh ke dalam bajunya, ia memegang burung kuning dan kecil itu, yang sia-sia saja berontak untuk mencoba terbang pergi.
"Kau lepaslah!" kata Bun Siu kemudian. "Lihat, dia harus dikasihani..."
"Di sepanjang jalan aku menyebar gandum, memancing dia makan hingga di sini," kata anak Kazakh itu. "Siapa suruh dia makani gandumku? Haha!"
Bun Siu terbengong. Inilah yang pertama kali ia mengenal perangkap. Burung itu diberi umpan, dia memakan- nya, dia mengantarkan diri, lalu tertangkap artinya, dia mencari matinya sendiri. Ia masih terlalu muda dan mendapat tahu bunyinya pepatah: "Jin wie cay su, niauw wie sit bong", ialah "Orang mati karena harta, burung mampus karena makanan."
Bocah Kazakh itu membuat main burungnya, hingga burung ini berbunyi tak hentinya. "Maukah kau kasihkan burung ini padaku?" akhirnya Bun Siu minta. Ia merasa kasihan. "Habis kau memberikan apa padaku?" tanya si anak Kazakh. Dia minta penggantian atau penukaran. Bun Siu meraba sakunya, ia tidak mempunyai apa-apa. Ia menjadi berdiam untuk berpikir. Kemudian ia menyahuti: "Besok aku nanti menjahit, membikin kantung, untuk kau pakai..."
"Aku tidak mau diakali. Besok kau menyangkal..."
Mukanya si nona menjadi merah. "Aku telah berjanji, tentu aku akan memberikan," ia mengasih kepastian. "Kenapa aku mesti menyangkal?"
“Ah, aku tidak percaya!" bocah ini menggeleng kepala. Tapi di terangnya rembulan, ia melihat gelang kumala, yang bersinar di lengan kiri orang, maka ia menambahkan: "Kecuali kau berikan gelangmu itu!"
Itulah gelang yang Bun Siu il.ipat dari ibunya, kecuali itu, ia udak punya tanda mata apa jua dari ibunya. Berat ia menyerahkan itu, akan tetapi, kalau ia melihat burung itu, ia berkasihan. "Baiklah, ini aku kasihkan kau," katanya akhirnya. Ia meloloskan gelangnya dan menyerahkannya. Bocah itu agaknya heran, ia menyambuti. "Apakah kau tidak bakal memintanya pulang?" ia menegasi.
"Tidak!"
"Baik!" Dan ia menyerahkan burungnya.
Dengan kedua tangannya, Bun Siu menyambuti burung itu.
Ketika tangan mereka beradu, si bocah Kazakh merasakan sebuah tangan yang halus dan hangat, hingga ia seperti merasakan guncangnya hati si nona.
Nona itu mengusap-usap sayap burung dengan tiga buah jari tangannya, perlahan-lahan, kemudian ia melepaskan tangannya seraya ia berkata: "Kau pergilah! Lain kali kau mesti berhati-hati supaya orang tidak kena tangkap pula!"
Burung itu terbang, menghilang di gombolan rumput. Si bocah Kazakh heran.
"Kenapa kau lepas burung itu?" ia tanya. "Bukankah kau telah tukar itu dengan gelang kumala?" Dia memegang erat-erat gelangnya, kuatir si nona meminta pulang.
"Dia dapat terbang pula," menyahut Bun Siu, "dia bakal bernyanyi kembali! Tidakkah itu senang untuknya?"
Bocah itu heran dan kagum. Ia mengimplang.
"Kau siapa?" ia tanya kemudian. "Aku Lie Bun Siu. Kau sendiri?"
"Aku Supu." Habis menyahuti, dia berjingkrak dan berseru nyaring.
Supu lebih tua dua tahun, tubuhnya jangkung, kalau dia berdiri, nampaknya dia gagah.
"Tenagamu besar, bukankah?" Bun Siu tanya.
Supu tengah kegirangan, pertanyaan si nona membangkitkan keangkuhannya. Dari pinggangnya, ia menarik keluar sebuah golok pendek. Ia berkata: "Baru bulan yang sudah aku membunuh seekor serigala!"
"Kau begitu kosen?" tanya Bun Siu heran.
Supu jadi bangga sekali. Ia kata pula: "Sebenarnya dua ekor serigala yang datang menyerbu kambing kami. Ayahku kebetulan tidak ada di rumah, jadi aku yang keluar membawa golok mengejarnya. Serigala yang besaran melihat api, dia kabur, aku bunuh yang satunya."
"Jadi kau membunuh yang kecilan?'"
Supu likat, ia mengangguk, tetapi ia menambahkan: "Jikalau serigala yang besar itu tidak kabur, tentu aku bunuh juga padanya!"
Dari suaranya, ia agak ragu-ragu. Bun Siu percaya keterangan itu. Ia kata: "Serigala yang jahat makan kambing, dia memang harus dibunuh. Kalau nanti kau membunuh serigala pula, maukah kau memanggil aku untuk aku melihatnya?" Supu girang.
“Baik! Lain kali aku akan mengeset kulitnya, untuk dihaturkan padamu!"
"Terima kasih!" Bun Siu pun girang. "Nanti aku membikin alas kulit serigala peranti yaya duduk, kepunyaannya telah diberikan padaku."
"Dengan begitu. Aku berikan itu pada kau, itu artinya untukmu sendiri. Kepunyaan yaya-mu kau kembalikan saja."
"Begitu pun baik," si nona mengangguk. Kedua bocah ini lantas menjadi sahabat satu dengan lain.
Erat pergaulan mereka, meski yang satu ada anak Kazakh yang sikap dedaknya kasar, dan yang lain seorang nona Han yang halus. Lewat beberapa hari, Lie Bun Siu menganggap bocah itu sahabat, buat sebuah kantung kecil, yang ia isikan kembang gula dan menghadiahkannya kepada Supu. Bocah ini heran. Untuknya sudah cukup burungnya ditukar dengan gelang kumala. Karena dia jujur, dia hendak membalas budi. Maka malamnya, satu malam suntuk dia tidak tidur, dia menunggui burung, hasilnya, dia dapat menjebak dua ekor burung nilam. Besoknya pagi, dia serahkan burungnya itu pada sahabatnya. Melihat perbuatan Supu, Bun Siu menganggap bocah itu salah mengerti, maka dengan banyak kata-kata ia menjelaskan, ia menyukai burung bukan untuk dipiara, ia hanya menyukai kemerdekaannya burung itu, sedang kalau dipiara, burung itu jadi tersiksa. Supu dapat dikasih mengerti tetapi toh ia tetap heran untuk sikap nona, yang ia kata aneh...
Dengan lewatnya banyak hari, mimpinya Bun Siu, mimpi ayah dan ibunya, menjadi berkurang. Itu berarti, basahnya bantalnya karena air matanya pun jadi berkurang |uga. Di lain pihak, pada parasnya lebih sering tertampak senyuman, ia jadi lebih gemar bernyanyi. Demikian, kalau dia dan Supu menggembala kambing, sering lei dengar nyanyian mereka, nyanyian yang mengandung asmara. Sering mereka bernyanyi saling sahutan. Tapi Bun Siu bernyanyi karena kegemarannya, artinya nyanyian belum masuk di olaknya. Ia bahkan heran kenapa muda-mudi gemar bernyanyi berdua-duaan, mereka tertarik satu kepada lain. Ia tidak mengerti kenapa hatinya memukul kalau ia mendengar tindakannya sibocah Kazakh. Tapi yang benar, suara nyanyiannya memang merdu, siapa yang mendengarnya memuji: "Merdu suaranya bocah itu, mirip dengan suaranya si burung nilam dataran rumput..."
Kapan telah datang musim dingin, burung nilam terbang pindah ke Selatan, yang hawanya hangat, akan tetapi dipadang rumput itu, ada pengganti suaranya, sebab ada nyanyiannya Bun Siu yang merdu itu: "Gembala muda yang manis, Aku tanya kau, tahun ini usiamu berapa?
Kalau di tengah malam kau bersendirian di gurun, Maukah kau ditemani olehku? "
Biasanya nyanyian berhenti sampai di situ, sesaat kemudian barulah disambungi: "Ah, kekasihku, jangan gusar. Siapa baik siapa buruk, sukar dibilang, Kalau gurun hendak dijadikan teman. Maka mestilah sepasang orang baik kumpul bersama..."
Supu adalah orang yang paling sering mendengar nyanyian itu. Dia juga tidak memahami artinya nyanyian asmara itu, sampai pada suatu hari di atas salju mereka bersomplokan sama seekor ajag.
Sangat mendadak munculnya binatang alas yang jahat itu. Supu dan Bun Siu tengah duduk berendeng di atas sebuah tanjakan, mata mereka memandang rombongan kambing mereka yang lagi mencari makan di padang rumput. Seperti biasanya, si nona mendongeng, tiga bagian menurut cerita ibunya, tiga bagian menurut cerita Kee Loojin, yang lainnya karangannya sendiri. Supu paling suka mendengar ceritanya Kee Loojin, sebab itu ada mengenai peristiwa-peristiwa hebat. Yang ia paling tidak sukai ialah cerita karangannya si nona sendiri, karena itulah semua cerita kekanak-kanakan. Mendadak Bun Siu menjerit, tubuhnya roboh ke belakang, sebab seekor serigala menerkam dengan tiba-tiba. Binatang jahat itu datang dengan perlahan-lahan dari arah belakang, kedua bocah masing-masing sedang asyik bercerita dan mendengari, mereka tidak mendengar apa-apa sampai terkaman datang. Si nona berkelit, karenanya dia roboh. Supu kaget. Serigala itu besar sekali. Tapi melihat si nona didalam bahaya, ia menghunus golok pendeknya, terus ia membacok. Binatang itu berkelit, punggungnya tergores kulitnya. Karena itu dia menjadi gusar, sambil mementang mulutnya yang lebar, memperlihatkan giginya yang tajam, dia menubruk bocah itu, dia hendak menggigit muka orang!
Saking kaget, Supu roboh. Ia tentu telah kena digigit kalau tidak Bun Siu lompat maju, untuk menangkap ekor binatang itu, untuk ditarik, hingga si serigala mundur setindak. Tapi binatang ini kuat, dia berontak, dia menerkam pula. Kali ini giginya nempel pada pundak kiri si bocah pria. Dalam kaget dan takut, si nona menarik sekuatnya. Tidak urung, pundak Supu telah mengucurkan darah. Dalam keadaan seperti itu, Supu melupakan segala apa, ia menikam. Tepat ia menikam perut, di bagian yang berbahaya. Serigala itu berlompat, terus roboh. Supu masih hendak menikam, ketika tubuh binatang itu terus berdiam.
Bun Siu pun jatuh terguling. Ia bertahan, si serigala menarik keras. Meskipun begitu, ia tidak melepaskan cekalannya sampai binatang itu rebah tak berkutik lagi. "Aku membunuh serigala!" seru Supu kemudian. "Aku membunuh serigala!" Ia lantas mengasih bangun pada si nona, seraya ia berkata: "Lihat, Siu, aku telah bunuh mati seekor serigala!". Ia gembira hingga ia melupakan pundaknya yang borboran darah. "Aku tidak takut sakit!" kata Supu sambil menggeleng kepala, sikapnya gagah. Sekonyong-konyong terdengar teguran di belakang mereka: "Eh, Pu kau lagi bikin apa?"
Keduanya terkejut, sama-sama mereka berpaling. Bun Siu melihat seorang yang mukanya berewokan, yang tubuhnya besar bercokol di atas kuda. Supu sendiri segera berkata: "Ayah, lihat! Aku telah bunuh seekor serigala!" Nampaknya orang itu girang. Ia lompat turun dari kudanya. Ia memandangi anaknya, Bun Siu dan bangkai serigala. "Kau kena digigit serigala?" ia menanya. "Ya," si anak mengangguk. "Kita lagi duduk di sini, aku mendengari dia mendongeng mendadak serigala itu muncul dan menerkam dia..."
Si berewokan itu mengawasi pula Bun Siu, mendadak di menegur: "Kau toh si anak perempuan Han yang tidak diberkahi Tuhan?" tegurnya.
Bun Siu terkejut. Ia sekarang mengenali si berewokan ini adalah mang yang telah menendang ia it-lagi ia memeluki mayat ayah dan ibunya. Dialah Suruke yang menurut Kee Loojin, isteri dan anaknya telah dibinasa- kan penyamun didalam satu malaman. Ia mengangguk, ingin ia mengatakan: "Ayah dan ibuku juga telah dibunuh oleh kawanan penyamun itu..." atau mendadak ia menjadi kaget. Tahu-tahu Supu telah dicambuk ayahnya, hingga mukanya balan, sedang ayah itu berseru: "Aku telah menyuruh kau turun-temurun membenci orang Han, mengapa kau melupai pesanku? Kenapa kau justeru bermain-main sama anak Han ini dan mengadu jiwa untuknya hingga kau mengucurkan darah?" Lalu cambuknya menyambar pula secara membabi buta! Supu berdiam saja, bahkan dia memandang Bun Siu dan bertanya: "Apakah dia si wanita Han yang tidak diberkahi Tuhan?"
"Mustahil bukan?" bentak si ayah, yang tangannya diayun ke samping, maka menjeritlah si nona yang kaget dan kesakitan, sebab cambuk menyambar mukanya! Justeru itu, Supu roboh, sebab tak tahan ia akan sabatan ayahnya itu. Ia telah terluka diterkam serigala, ia pun dirangket berulang-ulang, selagi ia telah mengeluarkan banyak darah dan lelah, ia pun melihat si nona dicambuk, maka ia sakit, lelah dan menceios hatinya berbareng. Suruke kaget. Ia lompat kepada anaknya, ia pondong tubuhnya, buat diajak naik ke atas kudanya, kemudian ia kabur dengan mengalak bangkai serigala, maka ketika ia melarikan kudanya itu, bangkai binatang itu terseret- seret pergi. Ia masih menoleh kepada Bun Siu, yang berdiri tercengang, di dalam hatinya ia kata: "Kalau lain kali kau bertemu pula dengan aku, lihat apabila aku tidak menghajar pula padamu!"
Bun Siu tidak takut lagi si berewokan itu, hanya hatinya kosong. Ia merasa bahwa selanjutnya ia bakal tidak bertemu pula sama Supu, kawan satu- satunya dengan siapa ia dapat bermain-main dengan gembira, kawan yang suka mendengari nyanyiannya. Setelah itu, ia merasai mukanya sakit. Tidak lama ia berdiam di situ, dengan tidak keruan rasa ia menggiring kambingnya pulang. Kee Loojin heran melihat tubuh si nona kecipratan darah dan mukanya balan, bertanda bekas sabatan cambuk.
"Apakah sudah terjadi?" tanyanya lekas.
"Aku terjatuh..." Bun Siu mendusta, suaranya tawar.
Orang tua itu tidak mau percaya tetapi setelah ditegasi, si nona tetap sama jawabannya itu, bahkan dia lantas menangis, hingga ia menjadi kewalahan dan bingung.
Malam itu tubuh Bun Siu panas sekali, mukanya menjadi merah, berulangkah dia mengaco: "Serigala! Serigala! Supu! Supu! Tolong! ....Orang Han yang tidak diberkahi Tuhan!"
Bukan main bingungnya orang tua ini. Maka syukur, mendekati pagi, hawa panasnya si nona berkurang banyak, lantas dia dapat tidur pulas. Dengan sakitnya ini, satu bulan terus Bun Siu mesti rebah di pembaringan, ketika kemudian ia sembuh, musim dingin sudah lewat, di tanah datar rumput telah mengeluarkan semi baru yang halus...
Lewat beberapa hari, nona Lie merasa tubuhnya sehat betul, maka itu ingin ia pergi menggembala seperti biasa. Ketika ia heran akan mendapatkan ada sehelai kulit serigala terletak di depan pintunya, kulit itu sudah dijadikan alas duduk, lebih heran pula apabila ia periksa, di betulan perut kulit itu ada pecahan bekas tusukan senjata tajam. Ia lantas mengenali itulah serigala yang menerkam ia, yang dibinasakan Supu. Hatinya berdeba- ran kalau ia ingat Supu tidak menyalahi janji, hanya bocah itu datangnya secara diam-diam. Ia angkat kulit itu, untuk disimpan di dalam kamarnya. Ia tidak mau memberitahu- kan pada Kee Loojin. Habis itu pergilah ia menggembala kambingnya, di tempat yang biasa. Sampai magrib, Supu tidak muncul, ada juga kambingnya,
yang sekarang diangon oleh seorang muda lain umur tujuh atau delapan belas tahun, la menjadi berpikir. Mungkinkah lukanya Supu belum sembuh? Kalau begitu, bagaimana dia dapat mengantarkan kulit serigalanya itu? Ingin ia pergi melongok ke tenda kawan itu tetapi ia batal sendirinya kapan ia ingat si berewokan yang bengis. Maka ia sudi bersangsi. Malam itu sampai tengah malam Bun Siu tidak dapat pulas. Akhirnya ia meng- ambil keputusannya juga. Diam-diam ia pergi ke tendanya Supu, ke sebelah belakangnya. Ia tidak tahu pasti apa perlunya ia menjenguk sahabatnya itu. Untuk hanya menghaturkan terima kasih untuk kulit serigala itu? Untuk menanyakan lukanya bekas digigit serigala? Ia berdiam di belakang tenda, seperti Menyembunyikan diri. Tidak berani ia memanggil-manggil kawannya ini Sampai ia disamperi anjingnya Supu, yang mencium-cium Hibahnya. Anjing itu tidak mengasih dengar suara apa-apa. Di dalam tenda, lilin dipasang terang-terang. Di situ terdengar suara keras dari Suruke. Kaget Bun Siu, setiap kali mendengar suara orang, hatinya berdenyutan. Sebab orang Kazakh itu lagi murka. "Kulit serigalamu kau kasihkan pada perempuan itu?" demikian suara si ayah. "Binatang, kecil-kecil kau sudah mengerti menyerahkan hasil pemburuanmu yang pertama kepada nona kecintaanmu!"
Bun Siu ingat ceritanya Supu hal kebiasaannya bangsa Kazakh, bahwa pemuda bangsa itu paling menghargai hasil pemburuannya yang pertama kali, bahwa itu selalu diberikan kepada kekasihnya, untuk mengutarakan cintanya. Maka mukanya menjadi merah sendirinya. Maka terbangunlah keangkuhannya. Ia, seperti Supu juga, masih terlalu muda, melainkan samar-samar mereka mengenal asmara. "Bukankah kau memberikannya kepada itu nona Han yang tidak diberkahi Tuhan, itu anak hina-dina?" terdengar pula suaranya Suruke. "Kau tidak mau bicara? Baik! Kau lihat, kau yang tangguh atau cambuk ayahmu!"
Lantas Bun Siu mendengar rangketan beberapa kali, suara cambuk mengenai tubuh. Seperti kebanyakan orang Kazakh, demikian Suruke. Ia percaya cambuk akan menciptakan orang bangsanya yang gagah. Jadi untuk mendidik anak, tidak dapat kelunakan dipakai. Dulu kakeknya telah menghajar dia, maka sekarang dia menghajar anaknya. Itulah pengajaran, itu tidak melenyapkan kasih sayang orang tua pada anaknya. Terhadap sahabat, kepalan dan cambuk yang dipakai. Menghadapi lawan, ialah golok pendek dan pedang panjang. Hanyalah, mendengar rangketan itu, Bun Siu merasai ialah yang tersiksa itu...
"Kau masih tidak mau menjawab? Kau masih tidak mau menjawab? Baik! Aku merasa pasti kau menyerahkan kulit serigala itu kepada perempuan Han itu! Kau rasai!"
Lalu hujan cambuk, terdengar nyata. Akhir-akhirnya Supu menangis. Tak dapat ia menahan sakit hanya dengan mengertak gigi saja.
"Sudah, ayah, jangan pukul, jangan pukul," katanya. "Aduh... aduh..."
"Nah, bilanglah, bukankah kau menyerahkan kulit itu pada perempuan Han itu? Ibumu mati di tangan penyamun Han! Kakakmu terbinasa di tangan penyamun Han! Apakah kau tidak ketahui itu? Orang menyebutnya aku orang kosen nomor satu dari bangsa Kazakh tetapi isteri dan anakku dibunuh penyamun bangsa Han! Apakah itu bukannya suatu kehinaan? Sayang hari itu aku justeru tidak ada di rumah! Aku menyesal tidak dapat aku cari penyamun itu untuk membalaskan sakit hatinya ibu dan kakakmu itu!"
Bab IV
Cambuknya Suruke bukan lagi dipakai untuk mengajar anak hanya guna melampiaskan kebenciannya, dia mencambuk bukan lagi anaknya sendiri hanya musuh, la kata sengit: "Kenapa kawanan anjing itu bukan menempur aku terang-terangan? Kau bilang, bilanglah! Apakah aku tidak sanggup melawan beberapa bangsat anjing Han itu?"
Anak yang dibinasakan rombongan Hok Goan Liong ada anaknya Suruke yang paling disayang, dan isterinya yang terbinasa itu adalah isteri yang mencintainya semenjak mereka masih kecil dan biasa bermain-main bersama, sedang ialah orang Kazakh tergagah, maka itu, bisa dimengerti kemurkaannya itu.
Bun Siu berduka, la merasa sangat kasihan terhadap Supu. Tidak dapat ia mendengar tangisan kawannya itu. Dengan merasa berat, dengan tindakan perlahan, ia berjalan pulang. Ia menarik keluar kulit serigala dari bawah kasurnya, ia memandangi itu sekian lama. Dalam kesunyian itu, ia seperti mendengar samar-samar tangisan- nya Supu, meski terpisahnya tenda Supu dan rumah Kee Loojin ada sekira dua lie. Ia seperti mendengar juga cambukannya Suruke, si orang tua berewokan yang romannya bengis itu. la sangat menyukai kulit itu tetapi ia telah mengambil keputusan untuk mengurbankannya
***
Besoknya pagi Suruke keluar dari tendanya, kedua matanya merah. Segera telinganya mendengar nyanyiannya Cherku, yang sembari bernyanyi mengawasi kepadanya dengan kepala dimiringkan, mukanya tersungging senyuman persahabatan. Cherku pun seorang Kazakh termasuk jago. Orang tahu dia pandai sekali membikin jinak kuda dan larinya sangat keras, hingga orang mengatakannya, di dalam satu lie, tidak ada kuda pilihan yang dapat menyandak padanya, atau sedikitnya, dia cuma kalah sejarak Indung, sebab hidungnya yang mancung...
Sebenarnya di antara Suruke dan Cherku tidak ada persahabatan erat, bahkan kesan mereka satu dengan lain tidak baik. Inilah sebab kegagahannya Suruke membuatnya Cherku iri. Cherku lebih muda sepuluh tahun, akan tetapi ketika satu kali mereka mengadu golok, pundaknya kena dihampiri goloknya Suruke. Atas itu ia kata: "Sekarang aku kalah, tapi lain kali, lagi lima tahun, atau lagi sepuluh tahun, kita nanti bertanding pula!" Dan Suruke menyahuti: "Lagi dua puluh tahun, kalau kita bertanding pula, tanganku tak ada seenteng kali ini!"
Akan tetapi hari ini, sikapnya Cherku tidak bermusuhan. Hanya kesan buruk dari Suruke belum lenyap, dia balik mengawasi dengan mata mendelik. Cherku tertawa dan berkata: "Sahabatku Su, anakmu lihai matanya!"
"Kau maksudkan Supu?" Suruke tanya. Dia meraba gagang goloknya, matanya bersinar bengis. Di dalam hatinya ia kata: "Kau hendak menyindir aku karena anakku telah memberikan kulit serigala kepada itu perempuan Han?"
Cherku mau menyahuti: "Kalau bukan Supu, mungkinkah kau mempunyai anak yang lain?" tapi batal, sembari bersenyum ia menjawab: "Memang Supu! Anak itu baik romannya, dia pandai bekerja, aku senang dengannya."
Seorang tua pastilah senang anaknya dipuji orang tetapi ia tak akur dengan Cherku maka Suruke kata: "Apakah kau mengiri? Sayang kau tidak mendapat- kan anak laki-laki."
Cherku tidak gusar, dia bahkan tertawa. "Anak perempuanku, si Aman juga tidak ada kecelaannya, kalau tidak, mustahil anakmu penuju kepadanya?" sahutnya. "Fui, jangan ngaco!" kata Suruke. "Siapa bilang anakku penuju si Aman?"
Cherku mendekati, untuk menarik tangan orang. "Mari turut aku, aku memberi kau melihat sesuatu!" katanya. Suruke heran, ia mengikuti. Sembari jalan, Cherku kata: "Beberapa hari yang lalu anakmu membunuh seekor serigala itulah hebat! Bukankah dia masih kecil? Maka kalau dia sudah besar, tidakkah dia akan mirip seperti ayahnya? Ayahnya jago, anaknya gagah!" Suruke berdiam. Ia menduga orang lagi memasang perangkap. Maka ia mau berhati-hati. Kira-kira satu lie dua orang ini jalan di padang rumput, tibalah mereka di tenda Cherku. Segera Suruke melihat digantungnya sehelai kulit serigala di luar tenda. Segera ia mengenali kulit serigala yang dibunuh anaknya itu. Ia menjadi bingung.
"Aku, aku salah..." pikirnya. "Aku menyalahkan si Pu, aku pun telah menghajar- nya, kiranya kulit ini ia menyerahkannya kepada si Aman, bukan kepada itu wanita Han... Anak celaka, kenapa dia tidak mau bicara sebenarnya?
Mungkin kulitnya tipis, dia malu bicara? Ah, kalau ibunya masih ada, ibunya tentu bisa membujuki aku, menasihati aku jangan memukul dia. Memang anak-anak lebih bisa bicara dengan ibunya..."
"Mari minum satu cangkir arak!" berkata Cherku sambil ia menepuk pundak orang, selagi orang ngelamun. "Kau belum pernah datang ke rumahku."
Tenda Cherku terawat baik dan bersih, di sekitarnya digantungi permadani tenunan bulu kambing merah. Seorang nona yang bertubuh langsing menyuguhkan arak. "Aman, inilah ayahnya Supu," kata Cherku tertawa pada si nona. "Kau takut atau tidak? Lihat berewokannya yang menakuti!"
Muka si nona menjadi bertambah dadu, tetapi matanya bersinar. Ia seperti menjawab: "Aku tidak takut..."
Suruke tertawa, ia kata: "Sahabat Cher, orang membilang kau mempunyai seorang anak yang bagaikan bunga yang bisa berjalan di padang rumput kita ini, benar-benar, inilah bunga yang dapat berjalan!"
Setelah seperti saling mendendam belasan tahun, maka dua orang ini sekarang menjadi sebagai sahabat- sahabat kekal, keduanya bicara dan minum dengan gembira sekali. Akhirnya Suruke mabuk keras dan pulang dengan mendekam di atas kudanya. Selang dua hari, Cherku mengantarkan dua helai permadani kulit kambing yang indah, katanya yang besaran untuk si tua, yang kecilan untuk si muda-artinya, untuk Suruke dan Supu.
Ketika Supu memeriksa sehelai, ia mendapatkan sulaman yang merupakan seorang laki-laki yang tubuhnya besar, dengan sebilah golok panjang, lagi membacok seekor harimau, sedang seekor harimau lain lari sambil
menggoyang ekor. Di permadani yang lain, sulamannya ialah halnya seorang bocah menikam mati seekor serigala. Dua-dua orang itu, tua dan muda, sama-sama beroman gagah.
"Bagus!" Suruke memuji kegirangan. "Sulaman yang indah!"
Di wilayah Hweekiang ada sangat sedikit harimau, tapi tahun itu, entah dari mana datangnya, telah muncul dua ekor yang menjadi ancaman bencana untuk manusia dan ternak. Ketika itu Suruke sedang gagahnya. Dengan membawa golok panjang, ia memasuki gunung, ia cari binatang alas itu, ia membunuh yang seekor, ia melukai seekor yang lain, yang kabur ke gunung bersalju. Dan menyulamkan perbuatan gagah itu di atas permadaninya
Karena Cherku mengantar permadani itu, ketika ia pulang, ia mabuk arak, ia menggantikan mendekam di atas kudanya, hingga Suruke menyuruh Supu mengantarkannya pulang.
Di dalam tenda Cherku, Supu melihat kulit serigalanya. Ia menjadi heran sekali. Sedang begitu Aman, dengan muka dadu, menghaturkan terima kasih kepadanya. Ia heran tetapi ia tidak berani menanyakan. Ia bicara sama Aman tanpa junterungan. Karena ini besoknya, ia lantas pergi ke tempat di mana ia membunuh serigala. Ia mau cari Lie Bun Siu, untuk minta keterangan, tetapi hari itu si nona tidak muncul.
Besoknya ia pergi pula, tetapi ia tetap menantikan dengan sia-sia. Maka di hari ketiga, dengan memberanikan diri, ia pergi ke rumah Kee Loojin. Bun Siu membuka pintu, ketika ia melihat anak Kazakh itu, ia kata: "Sejak sekarang ini tidak dapat aku menemui kau pula!" Lalu ia menutup pintunya Supu melongo, ia pulang dengan pikiran ruwet, ia sangat bingung.
Pemuda ini pulang tanpa ia mengetahui, Bun Siu menangis di belakang pintunya itu. Si nona senang bergaul dengannya tetapi dia takut kepada ayahnya yang galak itu. Dia tahu, kalau mereka bergaul pula, Supu bakal dihajar lagi ayahnya. Demikian, hari lewat hari, maka kedua bocah itu pun, dengan lewatnya hari-hari itu, menjadi besar, menjadi dewasa. Yang satu cantik manis, yang lain tampan dan gagah.
Dan sang burung nilam pun bernyanyi makin merdu, Hanya sekarang, nyanyiannya jarang sekali, nyanyinya pun di tengah malam setelah tidak ada orang lainnya, bernyanyi seorang diri di bukit di mana Supu telah membunuh serigala...
Kalau dulu Bun Siu tidak mengerti apa yang ia biasa nyanyikan bersama Supu, sekarang ia mengerti berlebihan. Coba ia masih tidak mengerti, kedukaannya mungkin berkurang. Sekarang lain, sekarang sering ia tidak tidur semalaman...
Pada suatu malam di musim semi, seorang diri Bun Siu naik kuda putihnya pergi ke bukit yang ia kenal itu. Berdiri di atas bukit, ia memandangi tenda-tenda orang-orang Kazakh itu di mana orang tengah menyalakan unggun, di mana mereka itu bergirang bersorak-sorai. Sebab hari itu kebetulan hari besar mereka, yang mereka rayakan bersama di tepi unggun, menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.
"Pasti dia dan ia hari ini bergirang luar biasa," Bun Siu kata di dalam hatinya. Dengan "dia" taklah lain orang kecuali Supu, dan dengan "ia" ialah si nona yang menjadi "bunga yang dapat berjalan..."
Tapi terkaannya Bun Siu salah. Ketika itu Supu dan Aman tidak lagi bergirang hanya hati Supu sedang tegang- nya. Dia tengah bergulat bersama seorang muda lain, yang tubuhnya jangkung dan kurus. Itulah adu gulat yang terpenting diharian pesta itu. Siapa yang menang, dia memperoleh tiga buah hadiah, ialah: seekor kuda pilihan, seekor kerbau gemuk, serta sehelai permadani indah. Supu telah menjatuhkan empat lawannya, sekarang ia lagi menghadapi si jangkung ini, Sangszer. Mereka ada sahabat-sahabat kekal, tapi sekarang mereka mesti mencari keputusan. Sangszer juga telah mengalahkan empat lawan lainnya. Pula Sangszer pun mengharap "si bunga yang dapat berjalan", yang demikian cantik manis, yang pandai menenun dan menyulam. Sangszer tahu Supu dan Aman hidup rukun semenjak masih kecil tetapi ia ingin mendapatkannya juga di tempat umum ini. Ia percaya, kalau ia menang, Aman akan menyukainya. Maka selama tiga tahun, ia rajin berlajar ilmu gulat itu, sedang gurunya ialah Cherku, ayah si Aman...
Supu sendiri ada murid ayahnya sendiri. Gulat Kazakh bukan gulat belaka, kepalan pun dapat dimainkan, juga kaki, untuk menggaet atau merengkas, guna menyengkelit. Maka satu kali, ketika kepala Sangszer kena dihajar, dia roboh terguling. Di lain pihak, tempo Supu digaet, dia roboh juga. Sama-sama mereka bangun pula. Suruke menyayangi kegagalan anaknya itu, sampai ia merasakan tangannya dingin. Cherku menyaksikan adu gulat itu dengan pikiran kacau. Ia tahu Aman, anaknya, menyukai Supu, Di lain pihak, Sangszer adalah murid- nya yang disayang, ingin ia muridnya itu menang, supaya ia mendapat muka terang. Kesudahan gulat ini pun akan membuatnya si pemenang menjadi "orang kosen nomor satu". Ia menyukai Supu tetapi ia ingin Sangszer yang menang... Para penonton bersorak untuk para jago muda itu. Supu bertubuh besar dan kuat, tapi Sangszer selain kuat pun lincah. Jadi sukar untuk menerka, siapa bakal keluar sebagai juara. Ramai suara penonton di kedua pihak: "Supu, lekas, lekas!..., ..Saszer, bangun, serang pula!" Masing-masing menganjurkan jagonya. Samar-samar Bun Siu mendengar: "Supu! Supu!" Ia heran mengapa ia hanya mendengar suara untuk Supu itu. Maka akhirnya, ia mengajukan kudanya, mendekati. Ia bersembunyi di belakang sebuah pohon besar. Sekarang ia melihat Supu dan Sangszer lagi berkutat dan para penonton ribut dengan sorak-sorai mereka.
Di antara penonton, Bun Siu melihat Aman. Nona itu tegang hatinya, dia pun sebentar bergirang dan sebentar berkuatir. Terang dia menyukai Supu. Mendadak orang bersorak ramai, lalu sirap. Supu dan Sangszer bergumul di tanah, hingga tubuh mereka tak tertampak si Nona Lie. Sekian lama orang bersikap tegang. Di akhirnya riuh- lah seruan orang banyak: "Supu! Supu!" Lantas terlihat Aman menuntun tangannya si juara.
Bun Siu girang berbareng berduka. Ia putar kudanya, untuk dikasih jalan pulang dengan perlahan-lahan. Tidak ada orang yang melihatnya, atau memperhati- kannya. Ia tidak menarik tali les, ia membiarkan si kuda putih jalan sendiri. Ia baru terkejut ketika ia mendapatkan ia berada di ujung padang rumput, atau di permulaan Gobi, gurun pasir. "Eh, perlu apa kau bawa aku kemari?" katanya kepada kudanya. Tentu sekali ia tidak memperoleh jawaban, hanya di lain pihak ia melihat munculnya dua penunggang kuda, disusul oleh dua yang lain, yang semuanya membawa golok panjang. Mereka itu dandan sebagai orang Han. Ia kaget sekali. Ia lantas ingat pada si penyamun Han. "Kuda putih! Kuda putih!" begitu ia mendengar beberapa orang itu berteriak-teriak selekas- nya mereka itu melihat kudanya, lantas mereka kabur mendatangi. Antaranya ada yang menyerukan: "Berhenti! Berhenti!"
Dalam takutnya, Bun Siu menyerukan kudanya: "Lari!" la mengeprak kuda itu lari ke jalanan kembali. Tapi ia kaget akan melihat, sekarang di depannya pun ada beberapa penunggang kuda lain, begitu pun di lain arah. Ia terpegat di timur, selatan dan utara. Maka ia kabur ke barat, di mana gurun pasir tak berujung pangkal...
Mengenai gurun itu, di antara orang Kazakh ada ceritera atau dongeng, padang pasir ada memedinya, bahwa siapa memasuki gurun, dia bakal tak kembali dengan masih hidup, bahwa sekalipun telah menjadi memedi, si memedi tak akan dapat keluar lagi dari wilayah tandus itu...
Bab V
Bun Siu pun pernah dengar ceritanya Supu bahwa siapa memasuki Gobi, dia bakal jalan terputar-putar saja di daerah pasir itu, sesudah berlari-lari sekian lama, dia bakal menjadi girang berbareng duka. Girang sebab dia mendapat- kan tapak kaki. Tapi segera dia akan menjadi berduka. Sebab itulah tapak kakinya sendiri. Katanya, akhirnya orang bakal mati, dan setelah menjadi setan, dia tidak akan dapat beristirahat. Supu pernah menambahkan: "Manusia masih beruntung. Dia mati, dia menjadi setan. Tapi setan, kalau dia mati, dia tetap jadi setan juga..."
Juga pernah Bun Siu menanya Kee Loojin, apa benar Gobi demikian menakuti, bahwa orang dapat memasuki- nya tetapi tidak bakal keluar pula dari situ. Ditanya begitu, orang tua itu menunjuk roman kaget dan suram yang menakuti, matanya mendelong keluar jendela, seperti dia menampak memedi. Belum pernah Bun Siu melihat orang bersikap demikian, maka ia tidak mengulangi pertanyaannya itu. Ia mau percaya, orang tua itu pernah melihat setan...
Sekarang dia kabur di Gobi itu, hatinya takut bukan main. Toh dia lari terus. Dia lebih takut menghadapi beberapa pengejarnya itu. Dia ingat kepada kematian ayah dan ibunya, kebinasaan ibu dan kakaknya Supu. Kalau dia kecandak, pastilah dia bakal terbinasa di tangan orang-orang jahat itu. Hampir dia menahan kudanya kapan dia ingat memedi di gurun pasir itu...
Satu kali dia menoleh ke belakang, dia tidak melihat lagi tenda-tendanya si orang-orang Kazakh, tak nampak pula padang rumput yang hijau. Dia sekarang melihat, dua orang jauh ketinggalan di belakang, lima lagi tetap menyusul, mereka itu berseru-seru tidak berhentinya. Dia mendengar jelas: "Benarlah itu kuda putih! Bekuk dia! Bekuk dia!"
Di saat berbahaya itu, Bun Siu sempat berpikir: "Teranglah aku tidak akan sanggup membalaskan sakit hati ayah dan ibuku, maka biarlah aku pancing mereka ke i'iirun, untuk kita mati bersama! Biarlah, satu jiwaku ditukar dengan lima jiwa mereka! Laginya, apakah .ulinya hidup di dalam dunia kalau aku tetap sebatang kara begini?"
Air matanya nona ini mengembeng, lalu mengucur turun, tapi tekadnya telah bulat. Maka ia melarikan terus kudanya, terus menuju ke arah barat, untuk tiba di tempat ada memedi...
Kelima orang itu benar-benar penyamun-penyamun yang menyerbu rombongannya Suruke. Merekalah lima orangnya Hok man Liong dan Tan Tat Hian. Mereka pulang habis membereskan Lie Sam dan isteri dan sia-sia belaka mencari Bun Siu. Peta dari istana rahasia Kobu membuatnya mereka penasaran, maka mereka ingin sekali mendapatkan peta itu. Katanya di dalam istana itu ada tersimpan banyak sekali mustika atau barang permata. Demikian mereka mencari tak hentinya. Untuk hidupnya, di sana ada kerbau, kambing dan untanya penduduk gurun, yang mereka dapat menjadikan kurban mereka. Untuk itu cukup asal mereka menghunus senjata mereka, membu- nuh, membakar, merampas, bahkan memperkosa...
Kuda putih sudah tua, tenaganya telah berkurang, tetapi dia seperti mengerti majikannya terancam bahaya, dia lari keras, maka itu mendekati fajar, dia membikin lima pengejarnya jauh ketinggalan di belakang, mereka itu tidak nampak lagi, suara mereka pun tak terdengar pula. Hanya Bun Siu tahu, mereka bisa mengikuti tapak kaki, mereka nanti menyusul pula, dari itu, ia lari terus. Sampai lagi kira-kira sepuluh lie, sekonyong-konyong kuda itu meringkik, lantas dia lari luar biasa keras, tetap menuju ke barat. Dia seperti dapat mencium bau rumput dan air...
Tidak lama, benarlah ilham bawaan kuda itu. Di arah barat laut lantas terlihat gunung dengan pepohonannya yang lebat. Tapi Bun Siu terkejut. Ia ingat: "Apa inikah gunung memedi?
Kenapa di gurun ada tempat seperti ini? Belum pernah aku mendengarnya... Tapi biarlah, gunung memedi lebih baik, kesini aku pancing kawanan penyamun kejam itu!"
Keras larinya kuda putih itu, segera dia tiba di depan gunung, terus dia masuk ke dalam selat. Dia hendak mencari air, untuk melenyapkan dahaganya. Di situ ada mengalir sebuah kali kecil. Bun Siu turut lompat turun, menghampir- kan air, untuk menyaup air dengan kedua tangannya, guna mencuci muka menghilangkan debu, setelah mana ia minum beberapa ceglukan. Ia merasa puas sekali. Air itu rasanya manis dan menyegarkan mulutnya. Sekonyong- konyong ia menjadi terkejut. Mendadak saja ia merasakan sesuatu yang berat menekan punggungnya. Segera kupingnya pun mendengar pertanyaan dengan suara parau: "Kau siapa? Mau apa kau datang ke sini?"
Itulah pertanyaan dalam bahasa Tionghoa. Bun Siu hendak memutar tubuhnya ketika ia mendengar pula suara parau itu: "Inilah ujung tongkat di arah jalan darahmu sinto hiat! Asal sedikit saja kau mengerahkan tenagamu, jalan darahmu bakal terluka hingga kau bisa terbinasa!"
Bun Siu benar-benar merasai ujung tongkat terasa lebih berat, hingga ia menjadi sesemutan. Ia pernah belajar silat sama ayah ibunya tetapi tentang tiamhiat hoat, ilmu menotok jalan darah atau otot-otot yang penting, ia belum tahu sama sekali, meski begitu, ia tidak berani bergerak. Ia hanya pikir: "Orang ini dapat berbicara, dia pasti bukannya memedi. Dia juga menanya aku apa perlunya aku datang kemari, pertanyaannya itu membukti- kan dia mestinya penduduk sini, dia bukannya penyamun. Hanya, kenapa dia mendekati aku tanpa aku mengetahui?"
Lagi pertanyaan: "Aku tanya kau! Mengapa kau tidak menjawab?"
"Ada orang jahat mengejar aku, aku lari sampai di sini,"
akhirnya si nona menyahut. "Orang jahat bagaimana?" tanya pula suara itu.
"Sejumlah penyamun." "Penyamun apa itu? Apakah nama mereka?"
"Aku tidak tahu nama mereka. Mulanya mereka piauwsu, sampai di wilayah Hwcekiang, mereka lantas menjadi penyamun."
"Kau sendiri, apakah namamu? Siapa ayahmu? Siapakah gurumu?" "Aku Lie Bun Siu. Ayahku Pekma Lie Sam dan ibuku Kimgin Siauwkiam Sam Niocu. Aku tidak mempunyai guru."
"Oh!" kata orang itu. "Kiranya Kimgin Siauwkiam Sam Niocu telah menikah sama Pekma Lie Sam! Mana dia ayah dan ibumu itu?"
"Ayah dan ibu telah dibunuh kawanan penyamun itu dan sekarang mereka hendak membunuh aku juga..." "Ah! Kau bangunlah!" Bun Siu menurut, ia berdiri. "Kau putar tubuhmu!" Bun Siu menurut, ia memutar tubuh dengan
perlahan. Orang itu mengangkat tongkatnya, hanya sekarang ia mengancam jalan darah khiesiahiat di kerong- kongan.
Bun Siu heran sekali. Ia menyangka orang beroman bengis dan menakuti. Ketika ia sudah berpaling, maka ia menampak seorang usia lima puluh tahun kira-kira, dandanannya sebagai pelajar, tubuhnya sangat kurus, sepasang alisnya mengkerut. Ia mendapatkan seorang yang romannya sangat berduka. "Empee, apakah she- mu?" ia balik menanya. "Tempat ini tempat apakah?"
Orang itu berdiri tercengang. Ia rupanya tidak menyangka sekali akan berhadapan sama seorang anak dara demikian cantik. “Aku tidak mempunyai nama. Aku juga tidak tahu tempat ini apa namanya," sahutnya sejenak kemudian. Justeru terdengar suara samar-samar dari tindakan kaki kuda. Bun Siu kaget sekali.
"Penyamun datang!" serunya, takut. "Empee, lekas sembunyi!"
"Kenapa kau menyuruh aku bersembunyi?" si empee tanya.
"Kawanan penyamun itu sangat telengas, melihat kau, dia akan membunuhmu!"
Orang kurus kering itu mengawasi tajam. "Kita tidak mengenal satu dengan lain, mengapa kau memperhatikan keselamatanku?"
Ketika itu, suara tindakan kuda terdengar semakin nyata. Bun Siu takut sekali, maka tanpa mempedulikan bahwa ia lagi diancam, ia memegang tongkat orang itu, untuk ditarik, buat diajak pergi. Ia pun berkata mende- sak: "Empee, mari lekas! Kita naik kuda bersama! Ayal sedikit, kita bakal terlambat..."
Orang itu menarik tongkatnya, untuk melepaskannya dari cekalan, tetapi ia agaknya bertenaga terlalu kecil, ia tidak berhasil.
"Apakah kau sakit, empee?" tanya Bun Siu heran. "Mari aku bantu kau naik atas kudaku..."
Nona ini benar-benar bekerja. Dengan kedua tangannya ia mengangkat tubuh si kurus kering itu. la mendapat- kan, walaupun orang laki-laki, tubuh orang itu kalah berat dengan tubuhnya. Di atas kuda, orang itu masih terhuyung, duduknya tak tegak. Dia seperti lagi menderita sakit berat. Bun Siu naik belakangan, ia duduk di belakang orang, maka itu, ia memegang kendali sambil membantui menjagai tubuh sikurus itu untuk mencegah tergulingnya. Ia mengaburkan kudanya ke sebelah dalam gunung. Karena mesti berbicara sama si empee, Bun Siu telah mensia-siakan tempo. Ia lantas mendengar suara nyaring dan bengis dari ke lima penyamun, yang telah memasuki selat. Mendadak si empee menoleh. "Kau datang bersama-sama mereka itu?" ia menegur.
"Benarkah? Kamu telah mengatur tipu daya, buat memperdayakan aku?"
Bun Siu terkejut, apapula akan menampak roman orang mendadak menjadi bengis, sinar matanya sangat tajam. "Bukan, bukan!..." ia menyangkal. "Belum pernah aku kenal kau, buat apa aku memperdayakanmu?"
"Kau toh hendak memperdayakan aku supaya aku ajak kau ke Istana Rahasia Kobu?" katanya pula tetap bengis. Hanya ia menghentikan kata-katanya dengan tiba-tiba, agaknya ia telah menyesal mengatakan demikian. Bun Siu heran. Tentang istana rahasia itu, beberapa kali ia pernah mendengar dari mulut ayah dan ibunya semenjak ia turut mereka menyingkir sampai di wilayah Hweekiang, hanya ia tidak mengerti apa-apa. Sampai sekarang sudah belasan tahun atau ia mendengarnya pula, hingga ia lupa sebenarnya ia pernah mendengar dari siapa. "Istana Rahasia Kobu?" tanyanya "Apakah itu?"
Roman si kurus tak tegang lagi seperti tadi, ia melihat sinona seperti tidak lagi mendusta. "Benar-benarkah kau tidak tahu tentang istana rahasia itu?" ia menegasi.
"Tidak," menyahut Bun Siu, menggeleng kepala. "Ah, ya..."
"Ya apakah?" membentak si kurus kering cepat.
"Aku ingat sekarang," menyahut si nona, polos. "Tempo ayah dan ibu mulai memasuki wilayah Hweekiang, aku mendengar mereka menyebut-nyebut istana rahasia itu. Apakah itu suatu istana yang indah?"
"Apa lagi ayah dan ibumu bilang?" tanya si pelajar, tetap bengis. "Aku larang kau mendusta!"
"Sebenarnya ingin aku mengingat lebih banyak kata-kata ibuku," menyahut Bun Siu berduka. "Menambah satu kata-kata saja, alangkah baiknya. Sayang aku tidak mendapat dengar pembicaraan mereka terlebih jauh. Empee, memang sering aku pikirkan, bahkan aku mengharap-harap ayah dan ibu dapat hidup lebih lama satu hari saja, supaya dapat aku melihat mereka lagi. Asal ayah dan ibu masih hidup, biarnya aku dirangket setiap hari, aku senang..."
Pelajar itu nampak menjadi sedikit sabar, la mengeluarkan suara: "Ah ..." perlahan. "Kau sudah menikah atau belum?" mendadak ia bertanya, suaranya keras. Mukanya si nona menjadi merah. Tidak dapat ia menjawab, maka ia menggeleng kepala. "Selama beberapa tahun, dengan siapa saja kau ada bersama?"
"Dengan Kee Yaya." "Kee Yaya? Berapa umurnya dia? Bagaimana macam- nya?" Ketika itu, Bun Siu justeru membentak kudanya: "Lekas lari! Penyamun datang!" Ia pun pikir, lusa melayani pembicaraan yang ia anggapnya tak keruan nmterungannya itu? Meski ia beipikir demikian, akhirnya ia toh menyahuti juga. "Kee Yaya mungkin telah berusia delapan puluh tahun. Dia bongkok dan mukanya keriputan. Ia perlakukan aku baik sekali."
"Di Hweekiang ini, kau kenal siapa-siapa lagi?" orang itu menanya pula. "Di rumah Kee Yaya itu masih ada siapa?"
"Di rumah Kee Yaya tidak ada lain orang lagi, seorang pun tidak. Jangan kata orang Han, orang Kazakh pun tidak ada yang aku kenal." Ia tidak mau menyebutkan Supu dan Aman, ia anggap itu tidak ada perlunya. Selagi mereka bicara, lima penyamun pun telah mendatangi semakin dekat. Juga mereka mendengar sar- sernya suara anak panah, yang menyambar ke samping mereka kiri dan kanan. Itulah panah gertakan belaka, sebab kawanan penyamun itu tidak memikir untuk menangkap mayat. "Kau pegang jarumku ini," berkata si pelajar tiba-tiba. "Hati-hati jangan kau membikin dirimu tertusuk!"
Bun Siu melihat orang mencekal sebatang jarum, yang dijepit dengan dua jari tangannya. Ia menyambuti tanpa ia mengerti maksud orang. Si pelajar berkata pula: "Ujung jarum itu ada racunnya yang lihai, begitu menusuk orang dan mengeluarkan darah, racunnya akan bekerja menutup tenggorokan. Kalau penyamun itu menang- kap kau, kau tusuk dia, biarnya ketusuknya perlahan, dia bakal segera terbinasa."
Si nona terkejut, sedang barusan selagi menyambuti, ia kurang perhatian, la pun merasa, kalau si pelajar tidak senang padanya, ia bisa lantas mati ditusuk dia. Ia lantas berpikir: "Aku ada bagian mati, baik aku mati bersama kelima penyamun itu, biar empee ini kabur seorang diri..."
Maka mendadak ia berlompat turun dari belakang kuda, sembari lompat ia menepuk kempolan kudanya seraya berseru: "Kuda putih, kuda putih! Lekas kau ajak empee menyingkirkan diri!"
Si pelajar tercengang. Ia tidak menyangka nona ini demikian murah hati. Ketika itu kelima penyamun telah tiba dengan segera dan Bun Siu lantas dikurung. Mereka telah mendapati seorang nona yang muda remaja dan cantik, tentu sekali mereka tidak memperdulikan pula si pelajar tua bangkotan...
Berlima mereka lompat turun dari kuda mereka masing-masing. Mereka mengurung si nona sambil mengasih lihat senyum menyeringai. Hatinya Bun Siu berdenyutan. la berkuatir dan bersangsi. Ia menyangsikan ketera- ngannya si pelajar perihal kemustajaban jarumnya itu. Bagaimana dengan sebatang jarum itu ia dapat membe- rikan perlawanannya kepada lima orang jahat itu. Umpama kata satu terbinasa, masih ada empat lainnya. Ia menjadi menyesal telah tidak membekal pisau dengan mana ia dapat membunuh diri, untuk menolong diri dari penghinaan. "Sungguh cantik!" kata satu berandal. "Sungguh manis!"
Sedang dua diantaranya berlompat maju. Satu berandal, yang berada di sebelah kiri, mendadak meninju orang yang di dekatnya hingga orang itu terguling. Dia menegur: "Kau berani berebutan denganku?" Tanpa menanti jawaban, ia menubruk Bun Siu, untuk dirangkul. Nona Lie kaget bukan main, ia melawan. Dengan jarumnya la menusuk lengan orang seraya berseru: "Penyamun jahat, lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Orang itu, yang tubuhnya besar, berdiri melengak, terus dia mundur dua tindak, mulutnya dipentang lebar-lebar, matanya terbuka mengawasi si nona. Penyamun yang roboh itu mengulur tangannya, akan menyambar kaki si nona, untuk ditarik jatuh. Bun Siu menggunai tangan kirinya, guna melawan, sedang dengan tangan kanannya, ia menusuk dada penyamun yang ganas itu. Si penyamun tengah tertawa lebar sebab ia sudah memegang erat-erat si nona ketika dadanya tertusuk, lantas ia berhenti tertawa, mulutnya tinggal celangap, dengan mem- buka mulut lebar itu dan mata mendelong, ia berdiri diam saja.
Bun Siu lantas merayap bangun, untuk lari ke arah seekor kuda, untuk segera lompat naik ke punggungnya, terus ia melarikannya, keras, ke arah gunung. Ketiga berandal lainnya berdiri tercengang. Mereka menyangka si nona telah menotok kedua kawannya itu. Kalau si nona demikian lihai, mana mereka berani maju mendekati?
Dari itu mereka membiarkan si nona kabur, mereka sendiri menghampirkan kedua kawan itu, niatnya untuk dibawa kepada Hok Goan Liong, pemimpin mereka, untuk ditolongi. Hanya ketika tubuh dua orang itu diraba, ketiga kawan itu kaget tidak terkira. Tubuh mereka itu sudah lantas mulai dingin dan napasnya telah berhenti berjalan...
Salah satu penyamun, seorang she Song, memberanikan diri. Ia membuka baju seorang kawannya, lalu kawan yang kedua, untuk diperiksa. Ia mendapatkan titik hitam di masing-masing lengan dan dada mereka itu, pada itu ada liang kecil sebesar jarum. Maka sadarlah dia. Terus dia kata nyaring: "Bocah itu mempunyai jarum bera- cun!"
"Jangan takut!" kata kawannya, si orang she Coan. "Kita jangan dekati dia, dari jauh-jauh kita menghajarnya dengan senjata rahasia. Mari kita kejar dia!"
"Mari kita kejar!" berseru kawan yang ketiga. Bertiga mereka lompat naik atas kuda mereka, dengan meninggal- kan mayat kedua kawan itu, mereka kabur mengejar Bun Siu.
Nona Lie kabur dengan hatinya girang, heran dan kagum. Sekarang ia membuktikan lihainya jarum si pelajar. Tentu saja, ia menjadi berani. Ia telah memikir untuk melawan musuh-musuhnya. Ia hanya berkuatir orang nanti tidak memberikan ketika ia menusuk mereka itu satu demi satu...
"Ke sini!" mendadak ia mendengar selagi kudanya lari. Suara itu datang dari sebelah kiri. Itulah suara si pelajar tua. Karena mengenali suara itu, Bun Siu menghampirkan. Dengan lantas ia lompat turun dari kudanya. Suara itu datangnya dari sebuah gua kecil di pinggiran sebelah kiri itu. "Bagaimana?" menanya si pelajar, yang berdiri di mulut gua. "Aku... aku telah menusuk dua penyamun..." sahut sinona gugup.
"Bagus!" kata si pelajar. "Mari masuk! Kita sembunyi disini!"
Tanpa bersangsi, Bun Siu mengikut masuk. Gua itu dalam, makin dalam makin sempit, sampai hanya muat sebuah tubuh di mana orang mesti jalan merayap. Sesudah jalan terus sekira beberapa puluh tombak, mendadak terlihat cahaya terang di hadapan mereka berdua. Nyata itulah tempat terbuka, yang lebar, yang dapat memuat kira-kira dua ratus orang. "Kita berjaga di mulut terowongan, tiga penjahat itu tentulah tidak berani menyerbu masuk," berkata si pelajar. "Dengan begitu, kita juga sukar keluar dari sini," kata Bun Siu, masgul. "Apakah ada lain jalan keluar?"
"Ada jalan tetapi tidak terus," sahut si pelajar. Bun Siu berdiam, hatinya berdebaran. la membayangi bahaya yang tadi mengancamnya. "Empee," katanya. "Dua penjahat itu kena aku tusuk dengan jarum, lantas mereka tidak dapat bergerak. Apakah mereka itu mati?"
"Mana ada orang yang dapat hidup karena tusukan jarumku?" menyahut pelajar itu, romannya jumawa. Bun Siu mengulur tangannya. Ia mengembali- kan jarum orang. Si empee telah mengulur juga tangannya ketika men- dadak ia menariknya pulang. "Kau letaki di tanah!" katanya. Si nona menurut. "Kau mundur tiga tindak," katanya pula. Bun Siu heran tetapi ia mundur. Pelajar itu menjemput jarumnya, untuk dimasuki ke dalam satu bungbung kecil. Baru sekarang Bun Siu mengerti. Si empee mencurigai padanya. Tapi ia diam saja. "Kita tidak mengenal satu pada lain, kenapa tadi kau menyerahkan kudamu padaku, supaya aku dapat menyingkirkan diri?" si pelajar tanya. "Aku juga tidak tahu," menyahut si nona bersenyum. "Aku lihat kau lagi sakit, aku tidak tega kau terbinasa di tangan orang-orang jahat itu..."
Tubuh orang itu limbung. "Mengapa kau tahu aku... a... aku lagi...?" katanya tertahan. Tiba-tiba jidatnya memper- lihatkan pelbagai ototnya, mukanya meringis, tanda bahwa ia lagi menahan rasa nyeri yang hebat. Keringat pun lantas turun berketel-ketel dari jidatnya itu. Tidak lama ia mempertahankan diri, mendadak ia berseru, terus ia roboh bergulingan. Sekarang ia merintih-rintih. Bun Siu kaget hingga ia menjadi bingung sekali. Ia lantas melihat tubuh orang melengkung, tangan dan kakinya datang dekat satu pada lain.
"Apakah punggungmu sakit?" si nona tanya. Ia lantas menumbuk perlahan- lahan punggung si pelajar itu, kemudian ia menepuk-nepuk sambungan lengan dan kakinya. Selang sedikit lama, si pelajar nampak rada ringanan. Ia mengangguk kepada si nona, untuk menyatakan syukurnya. Lagi sekian lama, barulah ia dapat bangun berdiri. Terang telah lenyap penderitaannya barusan. "Tahukah kau, aku ini siapa?" kemudian ia tanya.
"Aku tidak tahu," menyahut si nona, menggeleng kepala. "Aku she Hoa, namaku Hui," si empee memperkenal- kan diri. "Akulah yang orang kangouw menyebutnya Itcie Cin Thianlam."
"Oh, Empee Hoa," berkata si nona.
"Apakah kau belum pernah mendengar namaku?" Hoa Hui tanya, agaknya ia kecewa. Tentu sekali Bun Siu tidak lahu yang Hoa Hui bergelar Itcie Cin Thianlam, si Jeriji Menggetarkan Langit Selatan, atau jelasnya, jago Selatan, telah menggoncangkan selatan dan utara Sungai Besar, dan namanya itu diketahui oleh dunia Rimba Persilatan.
"Ayah dan ibuku pasti mengetahui nama empee," Bun Siu menambahkan. "Aku tiba di Hweekiang dalam usia delapan tahun, apa juga aku tidak mengerti..."
"Itu benar," kata Hoa Hui. Dari romannya, nampak ia tak kecewa seperti tadi. "Kau..."
Baru ia berkata demikian, dari luar gua terdengar suara: "Pasti dia sembunyi di dalam gua ini! Hati-hati untuk jarumnya yang berbisa!..." Lantas terdengar tindakan kaki berlari-lari dari tiga orang.
Hoa Hui berhenti bicara, ia mengeluarkan jarumnya tadi, yang ia terus pasang di ujung tongkatnya, kemudian sembari menyerahkan tongkat itu pada Bun Siu, ia menunjuk ke samping mulut gua sembari berkata perlahan: "Kalau sebentar mereka masuk, kau tikam punggungnya. Jangan terburu napsu hingga kau kena menikam dadanya." Si nona berdiam, karena hatinya berpikir: "Mulut jalanan begini sempit, bukankah terlebih baik akan menikam dadanya?"
Hoa Hui rupanya dapat menduga kesangsian orang, ia kata bengis: "Hidup atau mati kita adalah di sekejap ini, maka beranikah kau tidak mendengar titahku?"
Hampir berbareng sama suaranya jago Selatan ini, terlihat berkelebatannya golok, suatu tanda pihak penyamun bersiap sedia menjaga diri dari serangan gelap. Menyusul itu, sesosok tubuh nampak merayap masuk. Dialah si penjahat she In. Bun Siu lari bersembunyi di samping mulut gua, ia bersiap tanpa berani berkutik. Lantas terdengar suara dingin dari Hoa Hui: "Kau lihat ditanganku, aku mencekal barang apa?" Tangan itu pun dikibas- kan. Penjahat she In itu mengawasi ke arah Hoa Hui, goloknya disiapkan terus, la maju dengan berhati-hati.
Bun Siu menggunai saatnya yang baik, ia menusuk punggung penjahat itu. Ia berlaku hati-hati, dan ia berhasil menusuknya, perlahan tetapi tepat. Penjahat itu merasakan punggungnya tertusuk seperti diantup tawon, dia kaget dan merasa sakit, dia berteriak. Cuma sekali, lantas dia berdiam, tubuhnya kejang. Di belakang penjahat she In ini mengikut si penjahat she Coan. la kaget bukan main. Ia menduga Hoa Hui menyerang dengan jarum beracun. Tanpa memutar tubuh lagi, ia merayap mundur. Menyaksikan itu, Hoa Hui menghela napas.
"Jikalau ilmu silatku tidak ludas, baru lima penjahat semacam mereka ini tidak ada artinya sama sekali..." katanya menyesal. "Hari ini aku menang cuma sebab aku mempunyai kedudukan yang baik."
Bun Siu heran. Bukankah orang jago Selatan, yang tangannya lihai? Kenapa empee ini menyingkir dari lima penjahat itu dan sekarang bekerja sembunyi tangan?
"Empee Hoa," katanya, "karena kau lagi sakit, kau tidak dapat bersilat. Benarkah?"
"Bukan, bukan," menyahut orang yang ditanya. "Yang benar ialah aku telah mengangkat sumpah berat, kecuali di saat mati atau hidup, aku tidak dapat sembarang menggunai ilmu silatku..."
Bun Siu heran sekali. Tadi empee mengatakan ilmu silatnya ludas, sekarang dia menyebut-nyebut sumpah berat. Karena orang sungkan bicara, ia tidak mau menanyakan pula. Hoa Hui rupanya merasa keterangannya bertentangan, ia menyimpanginya. Katanya: "Kau tahu kenapa aku menyuruh kau menikam punggungnya si penjahat? Selagi dia masuk, dia mengutamakan perhatiannya ke depan. Kau tidak mengerti ilmu silat, dengan menyerang dari depan, kau tidak bakal memperoleh hasil. Maka aku sengaja menarik perhatiannya itu, supaya kau bisa menikamnya dengan berhasil."
"Bagus akal empee!" memuji si nona mengangguk. Hoa Hui tidak membilang apa-apa, hanya dari sakunya ia mengeluarkan sebungkus manisan semangka kering, yang mana ia angsurkan kepada si nona. "Kau daharlah dulu," katanya. "Dua penjahat itu tidak nanti berani lantas masuk pula, akan tetapi kita juga tidak bisa lantas keluar dari sini. Biarlah aku memikirkan akal untuk membina- sakan mereka dua-duanya. Kalau mereka terbunuh cuma satu, yang lainnya dapat pergi memberi kabar pada kawan-kawannya. Jikalau mereka datang dalam jumlah besar, itulah berbahaya."
Bun Siu menganggap orang bicara tepat, karena itu, ia menurut saja. Ia makan semangkanya. Habis itu, ia beristirahat sambil menyender di batu yang seperti tembok. Berselang dua jam, Hoa Hui dapat mencium bau barang hangus, lantas dia batuk-batuk. "Celaka!" ia berseru, kaget. "Penjahat menggunai api untuk mempuput kita, agar kita mati karena asap. Lekas tutup mulut terowongan!"
Bun Siu mengerti, ia menginsafi bahaya, maka ia lantas bekerja. Ia mengambil batu dan pasir, guna menyum- bat mulut terowongan itu. Karena mulut terowongan kecil, tidak lama gangguan asap berkurang. Pula, karena lebarnya tempat dimana mereka berada, begitu masuk, asap lantas buyar. Itulah menandakan, gua itu mempunyai lain jalan keluar. Dengan begitu, sang tempo berlalu tanpa kejadian sesuatu. Bun Siu melihat sinar matahari dari bagian belakang gua, ia menduga itu waktu sudah tengah hari. Tiba-tiba Nona Lie menjadi kaget. Tidak keruan-keruan, Hoa Hui menjerit sendirinya, terus tubuhnya roboh, kaki tangannya digerak-geraki kalang- kabutan. Dalam kagetnya, ia ingat untuk menolongi. Maka ia menghampirkan, untuk mengurut- urut dan menepuk-nepuk pula seperti yang pertama kali. Lewat beberapa saat, penderitaan Hoa Hui menjadi kurangan. "Nona..." katanya, "kali ini mungkin aku tidak dapat bertahan lagi..."
"Jangan memikir yang tidak-tidak, empee," Bun Siu menghibur. "Kita bertemu sama orang jahat, empee jadi menggunai tenaga terlalu besar. Baik empee beristirahat, sebentar kesehatanmu akan pulih."
"Tidak, tidak bisa..." kata Hoa Hui. "Biar aku omong terus-terang. Sebenarnya jalan darah punggungku telah terkena...telah terkena jarum berbisa!..." Bun Siu kaget. "Ah, terkena jarum berbisa?" ia mengulangi. "Kapankah terkenanya? Apakah tadi?"
"Bukan," menjawab jago Selatan itu. "Aku terkena pada dua puluh tahun dulu..."
Kembali Bun Siu kaget, sekarang saking heran. "Adakah itu jarum beracun yang selihai ini?" ia tanya.
"Benar. Hanyalah karena tenaga dalamku mahir, bekerjanya racun menjadi perlahan sekali. Aku pun telah makan obat untuk melawannya, hingga aku dapat hidup sampai hari ini. Hanya kali ini, aku tidak dapat bertahan terus. Karena di tubuhku telah nancap jarum berbisa itu, maka selama dua puluh tahun, setiap tengah hari aku mesti menderita kesakitan hebat seperti ini. Kalau tahu begini, lebih baik aku tidak makan obat pemunahnya... Apakah gunanya menahan sakit sampai dua puluh tahun?"
Mendengar itu, Bun Siu pun ingat suatu hal. Coba pada sepuluh tahun yang lampau ia pun turut ayah dan ibunya mati, tentulah tak usah ia menderita sekian lama. Ya, apakah faedahnya hidupnya bersengsara ini?
Hoa Hui menggertak gigi, melawan rasa nyerinya itu. "Empee," kata Bun Siu, "apa tidak baik kau cabut saja jarum di tubuhmu itu, mungkin kau tidak usah menderita lebih lama pula?"
"Ngaco!" mendadak si empee membentak. "Bukankah siapa pun dapat mengatakannya demikian? Tapi aku berada sebatang kara di gunung ini, siapakah yang dapat menolongi aku mencabutnya? Lagi pula, siapa yang datang kemari, dia tidak mengandung maksud baik! Hm!"
Bun Siu melengak, ia heran bukan main. Tanyanya dalam hatinya: "Kenapa dia tidak mau pergi mencari per- tolongan tabib? Mengapa ia tinggal bersendirian di gunung belukar dan sunyi ini sampai sepuluh tahun? Apakah maksudnya? Mengapa untuk memakai obat dia mesti main sembunyi-sembunyi?"
Biarnya orang mencurigai dia, nona ini tetap merasa berkasihan. "Empee," katanya pula, "mari kasih aku men- coba. Kau jangan takut, aku tidak nanti mencelakai kau."
Hoa Hui mengawasi, keningnya mengkerut. Ia agaknya berpikir banyak tetapi tetap ia tidak dapat mengambil keputusan. Bun Siu mencabut jarum beracun dari ujung tongkat, untuk dipulangi. "Mari kasih aku melihat luka di punggungmu itu," katanya pula. "Jikalau aku mengandung maksud jahat, kau tusuklah aku dengan jarummu ini!"
Hoa Hui mengawasi tajam. "Baiklah!" akhirnya ia kata. Dan ia lantas membuka bajunya, untuk memperlihatkan punggungnya. Mengawasi punggung orang itu, Bun Siu mengeluarkan seruan perlahan, la menampak banyak sekali titik hitam, tanda luka. Entah berapa ratus jumlahnya titik itu. Hoa Hui rupanya dapat menduga apa yang si nona pikir, ia kata: "Aku telah menggunai segala macam daya, aku tetap tidak dapat mencabut semua jarum itu." Lukanya Itcie Cin Thianlam ini disebabkan kecuali jarum juga bekas terkena batu tajam, bekas digaruk. Bun Siu tidak mengenali, yang mana ada jarumnya yang berbisa. Ia ngeri, terharu dan bingung.
"Sebenarnya di mana jarum itu nancapnya?" akhirnya ia tanya.
"Semuanya tiga batang," Hoa Hui menjawab. "Yang satu dijalan darah pekhu hiat, satu lagi di jalan darah ciesit hiat, dan yang ketiga ialah di jalan darah ceyang hiat..."
Sembari berkata begitu, ia mengusap ke punggungnya, untuk menjelaskan ketiga jalan darah itu. Benar-benar sulit untuk mengetahui bekas tusukan jarum itu. Bun Siu terkejut.
"Semuanya tiga batang?" katanya. "Empee bilang satu..." Ia kata: "Sudah terlalu lama jarum mengeram di dalam tubuhku, agaknya dengan beristirahat kembali Hoa Hui gusar, ia membentak: "Mulanya kau tidak menyebut hendak mencabut jarum itu! Buat apa aku omong terus terang padamu?"
Bun Siu mengerti kenapa orang mendusta, tiga batang dikatakan satu. Teranglah ia telah dicurigai keras sekali.
Rupanya dia terkena tiga batang, karenanya kepandaian silatnya ludas, lalu dia membohong bersumpah tak sudi sembarangan menggunai ilmu silatnya. Ia tidak suka cara orang ini tetapi ia berkasihan, ingin ia memberi- kan pertolongannya. Maka ia tidak memperdulikan sikap kasar dan aneh itu. Ia sekarang memikirkan daya untuk mencabut ketiga batang jarum itu.
"Apakah kau telah dapat melihatnya?" Hoa Hui tanya.
"Aku tidak melihat gagangnya jarum, empee. Bagaimana itu harus dicabutnya?"
"Seharusnya digunai senjata tajam memotong dagingnya, baru jarum itu dapat dilihat. Jarum itu telah masuk beberapa dim, memang sukar untuk melihatnya..."
Kata-kata yang belakangan dikeluarkan dengan sedikit gemetar.
"Sayang aku tidak punya pisau kecil," kata si nona.
"Aku juga tidak punya... Eh, itu golok panjang!" ia menunjuk ke tanah. "Kau pakai itu saja!"
Golok itu tajam dan mengkilap, terletak melintang di samping tubuhnya si penjahat she In. Si penyamun sudah mati, goloknya masih ada, golok itu mendatangkan rasa jeri. Bun Siu pun bersangsi untuk memakai golok itu.
Hoa Hui mengawasi, ia bisa menerka kesangsian si nona, lalu ia kata perlahan dan sabar: "Nona Lie, asal kau menolongi aku mencabut semua jarum itu, akan aku menghadiahkan kau banyak barang permata. Tidak nanti aku memperdayakan kau. Benar-benar aku mempunyai banyak sekali permata!"
"Aku tidak menghendaki barang permata, aku pun tidak ingin ucapan terima kasihmu," menyahut Bun Siu. "Asal kau tidak merasa sakit, itu sudah cukup untukku." "Baiklah kalau begitu!" kata Hoa Hui. "Sekarang kau boleh mulai!" Bun Siu mengambil golok itu. "Empee," katanya, "aku akan perbuat apa yang aku bisa, harap kau menahan sakit." Lantas nona ini memotong-motong bajunya si penyamun she In, untuk membuat juiran-juiran, guna nanti dipakai menepas darah dan membalut, setelah itu, lebih dulu ia memperhatikan jalan darah pekhu hiat, lalu dia mulai bekerja. Ketika kulit dan daging Hoa Hui dipotong, darahnya lantas mengalir keluar. Hoa Hui tidak kesakitan, mengeluh pun tidak. "Sudah kelihatan?" bahkan dia menanya. Bun Siu tidak lantas menyahuti, ia mencabut tusuk kondenya, guna memakai itu untuk mencari jarum. Selang sejenak, ia berhasil. Jarum itu telah nancap ke tulang. Maka ia lantas memakai dua jari tangannya, akan menjepit gagang jarum, buat terus menariknya. Hoa Hui menjerit, dia pingsan. Bun Siu tidak heran atau kaget, bahkan itu ada baiknya, untuk mengurangi rasa nyeri orang, la menggunai ketika baik ini untuk lekas-lekas membelek lagi dua kali, untuk mencabut dua batang jarum lainnya. Maka tak lama, selesailah ia. Terus ia membalut luka-luka itu.
Selang sekian lama, Hoa Hui tersadar perlahan-lahan. Ia membuka matanya. Lantas ia melihat tiga batang jarum, yang hitam warnanya, la tahu itulah jarum beracun, yang telah menyiksa padanya. Maka ia kata sengit pada jarum itu: "Dua belas tahun lamanya kamu mengeram di dalam dagingku, baru hari ini kamu keluar!" Terus ia menghadapi Bun Siu, akan berkata: "Nona Lie, kau telah menolongku, aku tidak dapat membalas budimu, maka ini tiga batang jarum aku haturkan kepadamu. Jangan kau mencela karena jarum ini telah dua belas tahun terpendam di dalam tubuhku, sebenarnya racunnya tidak menjadi berkurang."
Bun Siu menggeleng kepala. "Aku tidak menghendaki itu," bilangnya. Hoa Hui heran. "Bukankah kau telah menyaksikannya sendiri lihainya jarum ini?" katanya. "Dengan kau mempunyai sebatang saja dari jarum ini, orang sudah jeri bukan main terhadapmu." "Aku tidak menginginkan lain orang takut padaku," kata si nona perlahan. Di dalam hatinya, ia pikir: "Asal orang menyukai aku, itulah terlebih baik daripada jarum ini..."
Hoa Hui berdiam. Karena ia mengeluarkan banyak darah bekas dibelek dagingnya ia menjadi lemah, akan tetapi sebaliknya, ia merasa lega, semangatnya terbangun. Ia lantas merapatkan matanya, untuk beristirahat, untuk tidur. Kira satu jam kemudian, ia mendusin dengan kaget. Ia mendengar suara berisik, dari cacian dan teriakan berulang-ulang di luar gua. Itulah suaranya si penyamun she Song, yang rupanya telah datang pula.
Ia mengeluarkan kata-kata kotor, untuk alamatnya Bun Siu dan Hoa Hui. Ia tidak berani lancang masuk, ia sengaja memancing agar orang menjadi panas hatinya dan keluar. Hoa Hui berbangkit dengan hatinya panas. "Jarum di tubuhku telah dicabut keluar, orang mengira aku takut!" katanya mendongkol. Akan tetapi ketika ia mengerahkan tenaganya, ia gagal. Ia masih terlalu lemah. Ia meng- hela napas. tiga empat bulan, belum tentukesehatan dan tenagaku pulih kembali..." Di luar, si Song masih saja memuntahkan kata-katanya
yang kotor. Berulangkali dia mendamprat: "Bangsat tua! Bangsat tua bangka!"
Dalam panasnya, Hoa Hui kata: "Apakah aku mesti menanti kau mencaci aku sampai empat bulan lamanya?" Lantas ia mendapat satu pikiran. Maka ia kata pada Bun Siu: "Nona Lie, mari aku ajarkan kau ilmu silat, lantas kau keluar, kau hajar binatang itu!"
"Berapa lama aku mesti meyakinkannya untuk aku bisa menggunainya?" Bun Siu tanya. "Toh tidak dapat terlalu lekas, bukan?"
"Jikalau aku mengajarkan kau ilmu jari tanganku, untuk menotok," menjawab Hoa Hui, "atau lainnya ilmu seperti tangan kosong atau golok, sedikitnya kau membutuhkan tempo setengah tahun, tetapi sekarang temponya mendesak, kau harus belajar dengan cepat. Untuk ini ada jalannya, ialah kau membutuh- kan senjata yang istimewa. Cukup kau menggunai satu atau dua jurus. Hanya di dalam gua ini, di mana bisa didapatkan alat senjata yang diperlukan itu?"
Habis berkata begitu, Hoa Hui berdiam, otaknya bekerja. Bun Siu pun berdiam saja, ia tidak tahu apa itu yang dimaksudkan senjata istimewa. Hanya sejenak Hoa Hui berpikir, segera ia mengasih lihat roman girang. "Ada!" katanya. "Pergi kau ambil itu dua buah labu dan juga sehelai rotan. Mari kita main bandering liusengtwie!" Ia menunjuk. Bun Siu melihat buah labu tergantung di mulut gua, semuanya sudah kering. Ia pergi mengambil dua buah, yang ia kutungi, lalu mengambil juga rotan yang diminta. Ia serahkan itu kepada si empee kurus kering. "Bagus!" kata Hoa Hui girang. "Coba kau membuat sebuah liang kecil pada labu itu, lalu isikan pasir."
Si nona menurut, ia lantas bekerja. Benarlah labu itu, setelah diisi pasir dan beratnya masing-masing tujuh atau delapan kati, dapat merupakan bandering. "Sekarang aku akan mengajari kau satu jurus Senggoat cenghui," kata Hoa Hui sambil menyambut! buah labu dari tangan si nona. "Aku akan menjalankan jurus itu, kau lihatlah baik-baik dan ingati di luar kepala." Benar-benar, dengan perlahan, jago Selatan itu memutar banderingnya yang istimewa itu. Bun Siu mamasang mata, ia mengingat baik-baik. "Senggoat cenghui" itu, yang berarti jurus "Bintang dan rembulan bersaingan kegemilangan", yang kiri untuk menyerang jalan darah siangkiok hiat di antara dada dan perut, yang kanan guna menyerang punggung di mana ada jalan darah lengtay hiat.
"Sekarang kau coba," kata si pelajar kemudian. Bun Siu menuruti, menelad pelajar itu. Ia telah mempunyai dasar, ia dapat mengingat dengan baik dan cepat. Setelah beberapa kali penghunjukan, ia bisa menjalankannya dengan baik, maka itu, mulai dari perlahan, ia mencepatkan. Sesudah paham benar, ia baru berlatih dengan sungguh-sungguh. Ia telah bermandikan keringat setelah berlatih satu jam tanpa salah.
"Aku bebal, belajar sebegini saja aku memakai banyak tempo," katanya seraya menyusuri peluhnya.
"Kau tidak bebal, sebaliknya kau cerdas sekali!" Hoa Hui memuji. "Kau jangan meragukan kefaedahannya jurus ini. Untuk lain orang, dia perlu tempo delapan sampai sepuluh hari untuk dapat belajar lekas seperti kau ini. Untuk melawan seorang ahli, jurus ini tidak berarti, tetapi buat merobohkan dua bangsat di luar, itulah berlebih- an. Sekarang kau beristirahat dulu, sebentar kau ke luar dan kau labraklah mereka!"
Bun Siu heran bukan main. "Cukup dengan ini satu jurus?" ia tanya.
Hoa Hui bersenyum. "Ya," sahutnya. "Dengan ini satu jurus, kau telah terhitung sebagai muridku. Muridnya Itcie Cin Thianlam tak memerlukan dua jurus guna menghadapi kedua kurcaci itu! Apakah kau pun tidak kuatir nanti merusak nama gurumu?"
Bun Siu girang sekali. Ia pun sangat cerdik, maka lantas ia berlutut, untuk mengangguk-angguk dengan hormat- nya, guna mengangkat guru. Ia pun menghaturkan terima kasihnya. Hoa Hui girang berbareng duka.
"Tidak kukira, di saat kematianku, aku dapat menerima murid secerdik kau ini," katanya, bersyukur. "Murid pun, kecuali yaya Kee Loojin itu, tidak punya sanak atau kadang lagi," berkata Bun Siu, menjelaskan. "Aku justeru merasa sangat beruntung memperoleh guru sebagai suhu."
"Sudahlah," kata Hoa Hui. "Hari bakal lekas malam, pergi kau ke luar, kau labrak kedua kurcaci itu! Kau cari tempat yang lega di mana kau bisa bersilat dengan leluasa."
Bun Siu bersangsi. Sebenarnya, ia rada jeri. "Jikalau kau tidak percaya aku, buat apa kau mengangkat aku jadi gurumu?" Hoa Hui lantas menjadi gusar. "Kau tahu, dulu hari, Binpok Sianghiong, yaitu dua jago dari Hokkian Utara, telah terbinasa dua-duanya dengan jurus ini! Apakah kau kira Binpok Sianghiong kalah daripada dua kurcaci itu?"
Bun Siu tidak kenal dua jago dari Hokkian Utara yang disebutkan itu tetapi karena orang bergusar, ia paksa membesarkan nyalinya, ia membuka sumbatan pintu gua, lantas ia nerobos keluar, tangan kanannya meme- gang banderingnya yang istimewa itu, tangan kirinya mencekal jarum berbisa. Ia pun membarengi berseru: "Kurcaci, lihat jarum berbisa!" Penjahat itu, ialah si orang she Song bersama si orang she Coan, yang menjaga di mulut gua, terkejut mendengar disebutnya jarum berbisa, dengan lantas keduanya lari mundur. Si orang she Song mundur juga meskipun ia telah memikir, kalau si nona menyerang dengan jarum, tidak nanti nona itu mengancam dulu... Bun Siu sampai di luar dengan terus lari ke tempat lega jauhnya belasan tombak, ketika ia berhenti dan berpaling, ia melihat si Coan memburu kepadanya, ia lantas mengayun tangan kirinya ke arah penjahat itu. Si Coan terkejut, dia hendak berkelit, apamau dia terpeleset, terus saja dia terguling. Si Song melihat kawannya roboh, dia kaget, dia lantas memburu. Tapi kawannya itu sudah lantas bangun pula. Maka berdua mereka merangsak. Hampir berbareng mereka kata: "Di sini kita bereskan budak ini! Kalau dia menggunai jarumnya, kita bisa melihatnya!"
Ketika itu matahari telah bersinar layung, kedua penjahat itu justeru mengha- dapi matahari, maka mereka lantas melengos. Sekarang mereka dapat melihat nyata senjata ditangan si nona. Keduanya tertawa. Hatinya Bun Siu berdebar juga. Ia benar-benar menyangsikan ilmu banderingnya itu, sedang ilmu silat ajaran ayah dan ibunya belum berarti. Kedua musuh itu sebaliknya nampak sangat bengis. Tapi ia cerdik, ia berseru: "Jikalau kamu tidak lekas mengangkat kaki, guruku bakal segera keluar! Kau tahu guruku--Itcie Cin Thianlam? Awas kamu terhadap jarum berbisanya! Beranikah kamu menyaterukan guruku itu? Berapa besar nyalimu? Guruku dapat mengambil jiwa kamu sama gampangnya seperti ia merogoh sakunya!"
Meski mereka ada orang-orang kangouw, si Coan dan si Song itu tidak kenal Hoa Hui, dari itu sambil saling melirik, mereka pikir: "Paling benar aku lekas-lekas membekuk dia untuk dihadapkan kepada Hok Toaya dan Tan Jieya! Inilah jasa! Peduli apa aku dengan Itcie Cin Thianlam?" Maka berbareng mereka maju dari kiri dan kanan. Hati Bun Siu gentar. "Dia maju berbareng, bagaimana aku mesti menghajar mereka?..." pikirnya, ragu-ragu dan berkuatir. Maka bukan ia maju melawan, ia justeru lompat mundur tiga tindak. Si Coan, diikuti si Song, maju terus. Nona Lie menjadi terdesak, ia merasa ia terancam bahaya, tidak bisa lain, terpaksa ia menggeraki tangannya, menggunai banderingnya. Syukur ia masih ingat latihannya. Si Coan maju di sebelah kanan, ia belum datang dekat ketika tahu-tahu dadanya ialah jalan darah siangkiok hiat, kena terhajar bandering istimewa itu, sedang bandering yang kanan menghantam terbang goloknya. Hanya celaka, labu itu pecah terbacok, pasirnya lantas terbang berhamburan! Si Song lagi maju, tentu sekali dia tidak menduga kepada pasir itu, maka dengan lantas dia kelilipan, hingga dia menjadi kelabakan, tangannya dipakai untuk menutupi matanya, untuk dikucak-kucak. Justeru dia repot sendirinya, bandering yang lain menyambar tubuhnya, hingga segera dia terhuyung ke arah si nona, yang dia terus sambar. Nona Lie kaget hingga ia berteriak, dengan tangan kirinya ia menolak tubuh si kurcaci. Tepat jarum di tangannya menusuk perut si Song itu, hingga dia menjerit. Cuma sekejap, penjahat ini lantas roboh binasa. Hanya, karena dia telah dapat menjambret, dia tetap masih memeluki, si nona sendiri tidak dapat segera berontak melepaskan diri. Ketika itu Hoa Hui telah menyu- sul keluar, ketika ia melihat keadaan muridnya itu, ia menghela napas dan berkata: "Ha, budak tolol, budak tolol! Tadi kau dapat berlatih bagus sekali, sekarang kau kaget dan bingung, kacau ilmu silatmu..."
Ia lantas maju mendekati, untuk mendupak si Song, atas mana barulah penjahat itu melepaskan rangkulannya dan roboh binasa. Bun Siu berdiri diam, saking bingung, ia tidak dapat pulang ketabahannya dengan lekas. Sinar matanya telah benterok sama matanya si Song, yang tubuhnya rebah jengkar, matanya melotot, sebab dia pun mati tiba-tiba. Kemudian ia mengawasi mayat si Coan. Hatinya lantas bekerja, memikirkan bagaimana dalam tempo yang pendek ia telah membinasakan lima jiwa manusia. Benar dengan begitu ia berhasil membalaskan sakit hati ayah dan ibunya, toh hatinya tidak tenang. Ia agaknya berduka "Bagaimana?" berkata Hoa Hui tertawa. "Bukankah telah terbukti kefaedahannya satu jurus ilmu silat ajarannya gurumu ini?"
"Hanya sayang muridmu menjalankannya tidak sempurna," kata si nona menyesal. "Tidak apa," kata guru itu, sabar. "Kau tunggu pulihnya tenaga dan kepandaianku, nanti aku mewariskan semua itu kepadamu, setelah itu kita kembali ke Tionggoan, untuk malang melintang! Siapa dapat menghalang- halangi kami? Sekarang mari kita kembali ke rumah, untuk minum teh!"
Tanpa menanti jawaban, guru ini menarik tangan muridnya. Mereka pergi ke kiri rimba, melewati sekumpulan pohon yangliu, lantas sampai di sebuah gubuk. Bun Siu turut masuk ke dalam gubuk yang buruk perlengkapan- nya tetapi segalanya bersih, bahkan di tengah-tengah ruang ada sepasang papan dengan masing-masing bertuliskan lian atau syair. Ia belum mengerti banyak surat. Lian yang sebelah ia dapat baca, yang sebelah lagi, gelap baginya. Tanpa ia merasa, ia membaca berulang-ulang lian yang sebelah itu, yang berbunyi: "Bersahabat sama-sama sehingga tua ada seumpama memegang gagang pedang."
"Apakah kau pernah baca syair ini?" Hoa Hui tanya.
"Belum," menjawab si murid. "Suhu, apakah artinya itu?"
Guru itu berdiam sejenak. Ia menjadi ingat bahwa telah dua belas tahun ia mengeram di wilayah Hweekiang ini.
Dulunya ia mempelajari ilmu surat, lalu batal, ia menukar dengan ilmu silat, meski begitu, ia tetap dandan sebagai pelajar. Inilah disebabkan ia masih menggemari pelajaran surat itu.
"Itulah syairnya Ong Wie," ia menyahut sesaat kemudian. "Yang di atas itu berarti, meskipun kau mempunyai seorang sahabat kekal dengan siapa kau hidup bersama-sama sampai di hari tua, kau toh tetap tidak dapat memper- cayai sahabatmu itu, sebab secara diam-diam dia dapat mencelakai kau, maka, meskipun dia berjalan di sebelah depan, baiklah kau terus meraba gagang pedangmu. Tegasnya, hati manusia itu jungkir balik bagaikan gelombang. Artinya syair yang di bawah yakni bahwa sahabatmu itu telah menjadi beruntung dan telah menjadi orang berpangkat besar, meski begitu seandai kau mengharap bantuannya, untuk membantu meng- angkat kau, pengharapanmu itu melainkan membangkitkan tertawaannya saja."
Mendengar keterangan itu, Bun Siu mengerti kenapa guru ini senantiasa mencurigai ia, meskipun terhadap si guru tidak ada niatnya mencelakai. Maka ia mau percaya, mungkin tadinya guru ini pernah dicelakai orang, karena mana dia menulis syair peringatan itu untuk mencatat hati manusia yang gampang berubah. Habis itu, nona Lie masak air, untuk menyeduh teh, maka tidak lama kemudian, setelah minum air panas, mereka merasa segar sekali. "Suhu, aku hendak pulang," kata Bun Siu sekian lama. Hoa Hui melengak, ia mengawasi. Agaknya ia putus asa. "Kau mau pergi?" katanya, menyesal. "Jadi kau tidak mau turut aku untuk belajar silat lebih jauh?"
"Bukan begitu, suhu," kata si nona, menerangkan. "Satu malam aku tidak pulang, tentulah Kee Loojin berkuatir dan memikirkannya tak habisnya. Sekarang aku hendak pulang untuk memberi keterangan padanya, habis itu, baru aku akan kembali."
Mendadak Itcie Cin Thianlam menjadi gusar. "Jikalau kau memberi keterangan padanya, nah untuk selamanya kau jangan kembali padaku!" ia membentak. Bun Siu kaget dan takut, ia menjadi bingung. "Aku tidak dapat tidak memberi keterangan pada Kee Loojin," katanya perlahan. "Dia itu baik sekali dan sangat menyayangi aku..."
"Terhadap siapa pun kau tidak boleh omong tentang kita di sini!" kata Hoa Hui, bengis. "Kau mesti angkat sumpah untuk tidak menyebutkan apa juga mengenai kita, atau aku akan tidak ijinkan kau berlalu dari sini!" Baru ia menyebut "sini" itu atau ia menjerit "Aduh!" keras sekali dan tubuhnya segera roboh, bahkan ia terus pingsan. Itulah disebabkan ia berbicara keras-keras, lukanya mendatangkan rasa nyeri yang hebat. Bun Siu kaget sekali, tapi ia masih ingat untuk mengasih bangun, guna menolongi. Ia membasahkan jidat orang dengan air dingin.
Selang sesaat, Hoa Hui mendusin. "Eh, kau masih belum pergi?" tanyanya heran. "Suhu, apakah punggungmu masih sakit?" si nona balik menanya. Ia tidak sempat menjawab. "Sedikit mendingan," sahut guru itu. "Kau membilang hendak pergi pulang, kenapa kau belum pergi?"
"Sebelum suhu sembuh, aku tidak mau pergi," sahut Bun Siu. "Biar aku menanti pula beberapa hari lagi." Di dalam hatinya, ia pikir: "Kee Loojin paling juga memikirkan aku tetapi suhu perlu rawatan."
Senang Hoa Hui mendengar jawaban itu, karenanya ia tidak bergusar terus.
Bun Siu pun senang. Ia hanya merasa sulit untuk tabiat aneh guru ini. Ia lantas mencari rumput kering, untuk dijadikan kasur darurat, yang mana ia gelar di ruang depan itu. Ketika ia tidur pulas, beberapa kali ia mendusin dengan mendadak. Ia terganggu impian-impian yang dahsyat, umpamanya penjahat datang membekuk pada- nya, atau setannya si penjahat, dengan berlepotan darah, datang menagih jiwa terhadapnya...
Besoknya pagi, Bun Siu mendusin dengan hati lega. Ia mendapatkan gurunya segar sekali. Ia lantas masak nasi, untuk mereka dahar. Setelah datangnya waktu senggang, Hoa Hui lantas memberikan pelajaran silat. Dia mulai dengan pokoknya lweekang, atau ilmu dalam. "Kau telah berusia tinggi, untuk belajar silat, kau memerlu- kan tempo lebih banyak daripada seharusnya," Hoa Hui memberi keterangan. "Tapi kau jangan kuatir, meski usiamu tinggi, itu dapat ditutup dengan kecerdasanmu serta dengan adanya guru bukan sembarang guru. Didalam lima tahun aku tanggung kau akan jarang tandingannya di dalam Rimba Persilatan." Bun Siu tidak bilang apa-apa kecuali menghaturkan terima kasih. Ia belajar dengan rajin dan tekun. Didalam tempo delapan hari, ia telah memperoleh kemajuan, sedang lukanya Hoa Hui mulai sembuh. Baru setelah itu ia kasih tahu gurunya ini untuk pulang dulu, guna menemui Kee Loojin. Kali ini Hoa Hui tidak main bentakbentak lagi, dia tidak sampai memaksa muridnya mengangkat sumpah. Begitulah ia pulang dengan menunggang kuda putihnya. Ia menetapi janji, ia tidak mengasih tahu Kee Loojin tentang pertemuannya sama Hoa Hui disebabkan ia terancam bahaya, la mendusta bahwa ia kesasar di Gobi, sampai ia bertemu dan ketolongan serombongan kafilah. Kee Loojin percaya keterangan itu, maka dia tidak menanya melit-melit, dia hanya merasa girang. Semenjak itu setiap sepuluh hari atau setengah bulan, Bun Siu pergi kepada Hoa Hui, untuk berdiam dengannya beberapa hari. Selama beberapa hari itu, ia belajar dengan rajin sedang gurunya mengajari dengan sungguh- sungguh. Karena ia tidak memikirkan lain, gangguan apa jua tidak ada, ia memperoleh kemajuan pesat. Jadi benar pembilangan gurunya, ialah murid cerdas, dan si guru bukan sembarang guru...
Tanpa merasa, tiga tahun telah lewat. Satu kali dengan girang Hoa Hui kata pada muridnya: “Dengan kepandaian kau sekarang, kau telah termasuk kaum kangouw kelas satu. Kalau kau pulaug ke Tionggoan, asal kau memperlihatkan kepandaianmu, kau akan menjadi kesohor."
Bun Siu merasa senang tetapi ia tahu ia baru menyangkok kepandaian gurunya dua tiga bagian, maka ia belajar terus dengan tetap rajin. Karena itu selanjutnya lebih sedikit harinya ia berdiam sama Kee Loojin, lebih banyak ia tinggal bersama gurunya itu. Beberapa kali sudah Kee Loojin menanya ia pergi ke mana saja, ia menggunai pelbagai alasan untuk menutup rahasianya, agar ia tidak melanggar pesan gurunya. Selanjutnya, Kee Loojin tidak pernah menanyakan lagi. Pada suatu hari Bun Siu pulang dari rumah gurunya. Biasanya ia mengambil jalan mutar, tidak mau ia melintasi bukit kecil tempat terbunuhnya serigala, tetapi kali ini, ia terpaksa jalan di situ. Sebabnya ialah mega mendung dan angin utara bertiup keras, tandanya bakal datang badai salju. Ia pun me- larikan kudanya keras-keras. Ia melihat kawanan penggembala repot menggiring kambing mereka pulang. Di tengah udara tak nampak seekor jua burung gagak. Justeru itu, untuk herannya, ia mendapatkan satu penung- gang kuda tengah mendatangi dengan binatang tunggangannya dikaburkan. Ia menjadi heran. "Badai salju segera bakal datang, kenapa dia justeru keluar dari rumahnya?" ia pikir. Maka ia mengawasi. Kapan penung- gang kuda itu telah datang cukup dekat, Bun Siu melihat seorang nona Kazakh yang mengerobo-ngi tubuh dengan mantel merah. Ia pula lantas mengenali Aman, yang tubuhnya langsing dan romannya cantik. Karena, ia tidak ingin menemui nona itu, ia larikan kudanya ke belakang bukit, untuk me- ngintai. Tiba di depan bukit, Aman bersiul nyaring, atas mana, siulannya itu mendapat jawaban yang serupa, disusul munculnya seorang anak muda, yang datang menghampirkan, maka sebentar saja, keduanya sudah saling rangkul. Pula ramai suara mereka tertawa. "Badai salju bakal lekas datang, kenapa kau keluar juga?"
demikian si pemuda tanya. Bun Siu mengenali suaranya Supu, sahabat kekalnya itu.
"Hai, si cilik tolol!" kata Aman, tertawa. "Kau tahu badai salju bakal turun, kenapa kau juga keluar dan me- nantikan aku di sini?" Supu tertawa "Setiap hari kita bertemu di sini" katanya, gembira. "Pertemuan kita ini lebih penting daripada makan nasi! Biarnya ada ancaman golok atau pedang, pasti aku akan menunggui kau di sini!"
Aman tertawa pula. Keduanya lantas duduk berendeng di bukit kecil itu, keduanya bicara tak hentinya. Mereka bicara tentang asmara Bun Siu mengintai di balik beberapa pohon besar, ia berdiri tercengang. Ia telah mendengar nyata setiap perkataan pemuda dan pemudi itu, kecuali di saat mereka itu seperti berbisik. Kemudian lagi, ia terkejut ketika tidak keruan- keruan pasangan muda-mudi itu tertawa dengan keras. Nona Lie mendengar seperti tidak mendengar. Melihat tingkah laku muda-mudi itu, di depan matanya berbayang peristi- wa dari masa ia masih kecil. Di situ pun ada berduduk berendeng dua bocah, yang satu pria, yang lain wanita.
Mereka itu erat sekali perhubungannya. Merekalah Supu dan ia sendiri. Di sana mereka biasa saling mendo- ngeng, sampai itu hari mereka diserang serigala yang ganas. Apa yang mereka biasa omongi, ia seperti sudah lupa. Sebab sepuluh tahun telah berselang. Hanya sekarang, melihat Supu bersama Aman itu, ia terkenang akan masa yang lampau itu. Segera sang salju mulai turun, sedikit demi sedikit, tetapi lama-lama, kuda mereka, pula kepala mereka bertiga, mulai putih ketutupan bunga salju. Juga tubuh mereka mulai ketutupan. Supu dan Aman seperti tidak menghiraukan salju itu. Dan Bun Siu pun tidak mempedulikannya. Lagi sekian lama, barulah Supu dan Aman dibikin kaget hingga keduanya berlompat bangun. Di pohon kayu di dekat
mereka terdengar suara berisik. "Ha, air batu turun!" seru si pemuda. "Mari lekas pulang!" Aman menurut, tanpa banyak omong lagi, mereka naik kuda mereka dan melarikannya. Bun Siu bagaikan tersadar mendengar seman mereka itu. Ia pun lantas merasakan jatuhnya hujan air batu itu, yang mengenakan kepalanya, mukanya dan tangannya, hingga ia merasa sakit. Tanpa ayal lagi, ia lari pulang. Begitu ia tiba di depan rumahnya, ia heran. Di muka rumah ada tertambat dua ekor kuda, satu antaranya ia kenali adalah kudanya Aman. "Mau apa mereka datang ke rumahku?" pikirnya. Sambil menerka-nerka, ia turun dari kudanya, untuk dituntun kebelakang. Hujan air batu bertambah keras turunnya. Setelah ia memasuki ruang belakang dari rumahnya, Bun Siu mendapat dengar suaranya Supu, katanya: "Paman, hujan es turun secara besar-besaran, terpaksa kita mesti berdiam lamaan di sini." "Tetapi ingat, di hari-hari biasa, walaupun aku mengundang, tidak nanti kau datang ke mari," terdengar suaranya Kee Loojin. "Tunggu, nanti aku meng- ambil air teh." Memang juga, sekarang ini sukar untuk Kee Loojin, umpamanya...... hendak mengundang Supu. Semenjak orang-orang Chin Wie Piauwkiok mengganas, orang Kazakh jadi sangat mencurigai orang Han. Benar Kee Loojin sudah tinggal lama di antara mereka itu dan terkenal baik, tetapi orang jadi tidak suka bergaul dengannya. Bagusnya, dia tidak sampai diusir pergi. Sebaliknya, tendanya Supu dan Aman telah dipindah semakin jauh, hingga sukar mereka datang ke rumah Kee Loojin itu. Kali ini kebetulan saja mereka ini ditimpa hujan es. Kee Loojin pergi ke dapur. Ia heran melihat Bun Siu sudah pulang dan lagi berdiri bengong muka merah.
"Kau... sudah pulang?" katanya. Orang tua itu heran akan tetapi ia mengangguk. Tidak lama maka Kee Loojin sudah keluar dengan membawa susu kambing, koumiss dan teh merah, untuk menyuguhkan tetamunya.
Bun Siu duduk di dekat dapur, sambil menghangatkan diri, ia memasang kuping. Ia mendengar suaranya Supu dan Aman, yang kadang-kadang tertawa. Hampir ia berbangkit, untuk pergi ke luar, untuk berbicara sama mereka itu. "Tidak ada halangannya toh?" pikirnya Hanya, dalam sekejap, ia menahan hati. Itulah sebab ia lantas ingat sikapnya ayah Supu, yang galak, mulutnya gampang mendamprat, cambuknya gampang merangket. Ketika Kee Loojin kembali ke dapur, untuk membagi susu dan teh pada si nona, ia heran melihat sinar mata nona itu. Sudah belasan tahun mereka tinggal bersama, mereka mirip kakek dan cucu sejati, tetapi mereka tetap bukan asal sedarah sedaging, si empee sukar menjajaki hati si nona. Setelah mengawasi, mendadak Bun Siu kata pada si empee: "Aku hendak menyamar sebagai seorang nona Kazakh, aku akan datang untuk mumpang berlindung dari hujan es, jangan yaya membuka rahasia." Tanpa menanti jawaban, ia lekas pergi ke kamarnya, untuk dandan, pula ia rubah sanggulnya. Sudah lama ia tinggal di wilayah Hweekiang ini, ia jadi mirip dengan bangsa Kazakh. Habis dandan, ia pergi pula ke dapur, kepada si empee, memberi tanda dengannya. Baru ia pergi ke luar, untuk berlalu dengan kudanya dengan manda ditimpa hujan es. Hanya kabur belum satu lie, ia sudah lari kembali. Di depan rumahnya, ia mengetuk pintu. Ia jeri juga ketika melihat cuaca yang luar biasa. Sudah sepuluh tahun lebih ia tinggal di Hweekiang ini, belum pernah ada hujan es lebat begini, dan awan pun mendung sekali. Sambil mengetuk-ngetuk pintu, ia mengasih dengar suaranya: "Mohon numpang! Mohon numpang!" Kee Loojin membukai pintu. "Nona ada urusan apa?" ia tanya. "Hujan es hebat sekali, aku mohon menumpang berlindung," menyahut Bun Siu. "Boleh, boleh!" menyahut si empee, yang terpaksa main sandi- wara. "Di dalam pun ada dua sahabat lagi menumpang berlindung. Mari masuk, nona!"
"Aku hendak pergi ke Huangsha Weitze, dari sini perjalanannya masih berapa jauh lagi?" Bun Siu berlagak menanya. Ia menggunai bahasa Kazakh. Ia senang si empee dapat main sandiwara baik sekali. Kee Loojin berlagak kaget. "Nona mau pergi ke sana? Ah, tidak dapat! Dengan cuaca seburuk ini, tidak nanti kau dapat tiba di sana. Lebih baik nona singgah satu malam di sini, besok baru kau melanjuti perjalananmu. Kalau kau ter- sesat, itulah celaka..." Bun Siu bertindak masuk, ia menggibriki es dari bajunya. Ia melihat Supu dan Aman duduk berendeng menghadapi api. Aman melihat yang datang adalah seorang nona, ia lantas berkata manis: "Kakak, kita ketimpa hujan, mari menghangatkan diri di sini!"
"Baiklah, terima kasih!" Bun Siu menyahuti. Ia lantas duduk di samping nona Kazakh itu. Supu mengangguk seraya bersenyum. Ia tidak mengenali nona itu, yang telah berpisah dari dianya selama delapan atau sembilan tahun. Sekarang si nona cilik telah menjadi dewasa, dandanannya pun lain sekali. Kee Loojin menambah susu dan teh, ia bicara sama tetamunya ini seperti mereka adalah orang-orang asing benar-benar. Bun Siu pun belajar kenal pada pemuda dan pemudi itu. Ia sendiri mengaku bernama Tangsanli, gadisnya pemilik sebuah peternakan di tempat jauhnya dua ratus lie dari situ. Supu beberapa kali melongok ke jendela, untuk melihat udara, meskipun sebenarnya, dengan mendengar suara hujan, ia sudah dapat tahu hujan tak akan berhenti lekas-lekas. Aman berkuatir, diam-diam ia tanya Supu kalau- kalau gubuknya si orang tua ini tidak bakal ambruk diserang hujan dan angin keras itu. "Aku hanya menguatirkan wuwungan tidak dapat menahan beratnya es dan salju," kata Supu. "Nanti aku naik ke atas, untuk menyingkirkannya."
"Awas, nanti kau kena tertiup angin dan terbawa pergi!" kata si pemudi.
Supu tertawa ketika ia menjawab: "Di tanah telah bertumpuk banyak salju, umpama kata benar aku jatuh, toh tidak nanti membahayakan!..."
Pikiran Bun Siu kusut. Ketika ia mengangkat cawannya, tangannya bergeme- taran. Ia mesti menyaksikan eratnya hubungan muda-mudi itu. Ia sendiri tidak tahu mesti mengatakan apa. Sahabatnya di masa kecil duduk dekatnya tetapi mereka tidak dapat bicara satu dengan lain dengan leluasa seperti duluhari. la pun memikirkan apa benar-benar Supu tidak mengenalinya. Di lain pihak, ia ingin Aman tidak mengetahui tentang persahabatan mereka...Hari makin gelap. Diam-diam Bun Siu menggeser diri, supaya Aman dan Supu dapat ketika untuk saling menggenggam tangan mereka, untuk bicara tanpa terdengar lain orang. Cahaya api, yang memain, pula memain di antara mukanya muda-mudi itu. Cuma muka Bun Siu tak terlihat, sebab ia berpisah cukup jauh dari unggun itu. Kembali Kee Loojin menyajikan barang makanan. Hanya mereka bertiga agaknya tidak ada napsu daharnya... Selagi ruang ada sangat sunyi itu, di luar terdengar suara larinya kuda di atas salju. Bun Siu men- dengar, orang lagi mendatangi ke gubuknya itu. Ia pun mengetahui, kuda itu seperti sudah letih sekali. Kee Loojin dapat mendengar suara kuda setelah datangnya sudah dekat sekali. "Kembali ada orang berlindung dari angin dan hujan..." katanya. Supu berdua Aman mungkin mendengar dan mungkin tidak, mereka tidak mempe- dulikan, mereka lebih asyik menggenggam terus tangan mereka satu dengan lain, untuk bicara saling berbisik...
Hanyalah sesaat, seorang penunggang kuda tiba lebih dulu. Lantas terdengar ia menggedor pintu, bukan lagi mengetuk, dan suaranya pun keras dan kaku, tidak miripnya orang yang mau mohon menumpang singgah.
Dengan alis berkerut, terpaksa Kee Loojin membukai pintu. Di depannya terlihat seorang yang tubuhnya besar, yang mengenakan baju lapis kulit kambing, sedang di pinggangnya tergantung pedang. "Angin dan salju besar sekali, kudaku tidak dapat berjalan terus!" dia kata keras. Dia bicara dalam bahasa Kazakh akan tetapi tidak lancar dan suaranya pun tidak wajar. Dengan mata tajam, ia memandangi semua orang yang berada didalam ruang itu. "Silahkan masuk," Kee Loojin mengundang. "Silahkan duduk! Mari minum arak!"
Tuan rumah yang tua ini ramah-tamah, ia lantas menuangi arak dan menyu- guhkannya. Tetamu itu meminum araknya sekali cegluk, lantas dia duduk di dekat api. Dia membuka baju luarnya, hingga di kiri kanan pinggangnya terlihat juga sepasang pedang kecil dengan gagang emas yang berkeredepan. Bun Siu dapat melihat se- pasang pedang itu, hatinya bercekat, kerongkongannya seperti tersumbat sesuatu. Yang lebih hebat matanya menjadi kabur, kepalanya menjadi pusing. Tapi ia masih dapat berkata di dalam hatinya: "Inilah pedang ibu!"
Meskipun waktu ibunya terbinasa ia masih berusia belum sepuluh tahun, pedang ibunya itu Bun Siu ingat baik sekali, ia mengenalinya tanpa keliru. Maka ia lantas melirik pada ini tetamu yang kasar. Segera ia ingat orang ini ada satu di antara tiga kepala penyamun yang mengejar-ngejar mereka satu keluarga. Ia sendiri telah berubah banyak tetapi penjahat itu, yang dulu berumur tiga puluh lebih dan sekarang menjadi empat puluh lebih, sedikit perubahannya. Tapi ia kuatir orang nanti mengenali padanya, ia tidak mau mengasih lihat mukanya. Ia pikir pula: "Coba angin dan salju tak sebesar ini tidak nanti aku bertemu sama Supu dan ini manusia jahat."
"Tuan dari mana?" Kee Loojin bertanya. "Tentu dari tempat jauh ya?"
"Hm!" jawabnya tetamu itu, yang kembali menenggak secawan arak. Itu waktu tibalah penunggang kuda yang kedua. Kali ini pintu diketuk dengan perlahan, seperti juga orang itu takut membikin kaget tuan rumah. Kee Loojin kembali membukai pintu, mengundang tetamunya masuk. Tubuh orang itu menggigil, mukanya pun ditu- tupi sabuk bulu kambing dan kopiahnya dibelesaki menutupi seluruh jidatnya, hingga ia terlihat saja kedua ma- tanya. Ia mengasih dengar suara aa-u-u dan kedua tangannya digerak-geraki. Nyata ia seorang gagu. Dengan gerakan tangan, Kee Loojin mengundang orang berduduk, terus ia menyuguhkan arak. Si gagu memberi hormat sambil menjura dalam, kepalanya digoyangi. Ia menolak meminum arak. Dengan itu ia menghaturkan terima kasihnya. Ia kedinginan sangat, meski sudah mendampingi api, ia masih tidak mau membuka baju atau kopiahnya atau sabuknya. Ia bahkan duduk merengkat. "Kau minum arak, rasa dingin akan berkurang," kata Bun Siu, yang merasa berkasihan. Kembali si gagu aa-u-u ia seperti tak mengerti omongan orang. "Siapa gagu, dia pun tuli," kata Kee Loojin. "Dia ini tidak mendengar suara orang." Bun Siu tertawa "Ya, aku lupa!" katanya Di situ berkumpul semuanya enam orang bersama mereka, Supu dan Aman tidak dapat lagi berbisik-bisik. Ketika Supu sudah mengawasi tuan rumah sekian lama, ia berkata: "Empee, kaulah orang Han. Dapatlah aku menanyakan tentang sesuatu orang?"
"Siapa ya?" si empee balik menanya.
"Dialah seorang nona Han dengan siapa aku pernah hidup bersama selagi kita masih kecil, sering kita main- main berdua," menerangkan Supu. Bun Siu terkejut, ia lekas melengos. "Dia bernama Lie Bun Siu," Supu menambahkan sebelumnya si orang tua menyahuti. "Sudah selang delapan atau sembilan tahun kita berpisah lantas kita tidak bertemu pula satu dengan lain. Aku ingat dia membilangnya bahwa ia tinggal bersama seorang tua yang bungkuk punggungnya. Bukankah orang tua itu empee adanya?"
Kee Loojin batuk-batuk. Ia ingin memperoleh penghunjukan dari Bun Siu tetapi si nona lagi berpaling ke lain arah. Ia menjadi bingung hingga ia cuma dapat berkata: "Ah, ah..."
"Dialah nona yang nyanyinya paling merdu," berkata pula Supu, "hingga orang mengatakan suaranya lebih merdu daripada nyanyiannya si burung nilam. Selama beberapa tahun ini tidak pernah aku mendengar pula nyanyiannya itu. Empee, apakah dia masih tinggal bersama empee disini?"
"Tidak... tidak..." kata si empee, tak lancar. "Dia tidak..."
"Oh, kau maksudkan si nona Han yang dulu tinggal bersama empee ini..." tiba-tiba Bun Siu campur bicara. "Aku kenal dia Dia telah meninggal dunia pada enam atau tujuh tahun yang lalu!"
Pemuda Kazakh itu kaget. "Ah, dia telah meninggal dunia!" serunya. "Kenapa dia mati?"
Kee Loojin melirik Bun Siu. "Dia sakit... sakit..." ia menyahuti. Matanya Supu menjadi merah. "Ketika kita masih kecil, biasa kita menggembala kambing bersama," ia bilang, suaranya parau. "Dia sering bernyanyi untuk aku mendengari, dia juga gemar mendongeng. Baru beberapa tahun tidak bertemu, aku tidak sangka dia telah menutup mata."
"Ya, kasihan anak itu..." kata Kee Loojin. Supu mendelong mengawasi perapian. "Dia pernah membilangi aku bahwa ayah dan ibunya telah dibinasakan orang jahat," katanya pula kemudian, "karenanya dia jadi hidup sebatang kara dan menderita di sini..."
"Apakah nona itu cantik?" Aman tanya. Baru sekarang dia turut bicara. "Ketika itu aku masih kecil, aku tidak ingat jelas," menjawab Supu. "Aku cuma tahu dia pandai bernyanyi, suaranya merdu, serta dia gemar bercerita, dan ceritanya menarik hati..."
Sekonyong-konyong si orang kasar menyeletuk: "Kau maksudkan si bocah Han? Kau bilang dia she Lie? Bahwa ayah dan ibunya terbinasakan orang hingga dia terlantar seorang diri?"
Nyerocos pertanyaannya orang asing ini. "Benar. Kau juga kenal dia?" Supu menjawab seraya balik bertanya. Orang itu tidak menjawab, hanya dia menanya pula: "Dia menunggang seekor kuda putih, bukankah?"
"Benar," menyahut Supu. "Jadi kau pun telah mengenal dia."
Mendadak orang itu berbangkit. "Dia mati di sini?" dia tanya Kee Loojin, bengis. "Ya," menyahut si orang tua, yang terpaksa bersandiwara terus. "Kau tentunya menyimpan baik-baik segala barang peninggalannya?" tanya orang asing itu. Kee Loojin heran, ia mengawasi orang sambil melirik. "Apa hubungannya barang orang itu denganmu?" ia tanya. "Ada serupa barangku telah dicuri nona itu!" menyahut si tetamu kasar. "Aku telah cari dia di mana-mana kiranya dia sudah mampus..."
Tiba-tiba Supu berbangkit. "Kau ngoceh tidak keruan!" bentaknya. "Cara bagaimana Nona Lie dapat mencuri barangmu?"
"He, kau tahu apa?" balik tanya orang itu. "Nona Lie bersama aku hidup bersama-sama semenjak masih kecil," kata Supu. "Aku tahu dialah satu nona yang baik hatinya, tidak nanti dia mencuri barang orang!"
Orang itu melirik, sikapnya tawar. "Dia justru telah mencuri barangku!" ejeknya. Supu memegang gagang golok di pinggangnya. "Siapa namamu?" dia tanya. "Aku lihat kau bukan orang Kazakh! Mungkin kaulah si penyamun bangsa Han!"
Orang itu tidak menyahuti, dia hanya bertindak ke pintu, lalu mementangnya, hingga angin dingin menghembus masuk, membawa sekalian banyak lempengan salju. Di luar, salju melulahan di mana-mana orang dan bina- tang pasti tidak dapat berlalu-lintas lagi di sana Dia pikir: "Di waktu begini tentulah tidak bakal ada orang datang kemari! Di sini ada dua nona yang lemah, seorang tua yang lemah juga dan si gagu itu yang bercacad, asal aku menggeraki tanganku, dia tentu roboh! Tinggal ini satu pemuda, yang romannya kekar, dia mungkin memerlu- kan beberapa jurus untuk meroboh- kannya." Karena berpikir demikian, ia lantas mengambil keputusan. "Benar aku orang Han!" katanya, menantang. "Habis kau mau apa? Aku she Tan, namaku Tat Hian, orang kangouw menyebutnya Cheebong Kiam, si Pedang Ular Naga Hijau! Binatang cilik, kau dengar tidak?" Supu tidak mengetahui tentang kaum kangouw ia menggeleng kepala. “Aku belum pernah mendengar," sahutnya. "Kau jadinya penyamun bangsa Han?"
"Tuan besarmu satu piauwsu, hidupnya justru membasmi perampokan!" kata Tat Hian pula "Mengapa kau bilang aku penyamun?"
Mendengar orang bukannya penyamun dan keterangan itu ia mau percaya, sikapnya pemuda Kazakh ini men- jadi sabar. Ia kata: "Bagus kalau kau bukan penyamun bangsa Han! Aku memang tahu banyak orang Han orang baik-baik, tetapi banyak bangsaku yang tidak mempercayainya. Untuk kau, baiklah kau jangan menyebut-nyebut pula bahwa Nona Lie itu telah mengambil milikmu!"
Tapi Tan Tat Hian tertawa dingin. "Perempuan itu sudah mati, untuk apa kau masih mengingati dia?" katanya. "Semasa hidupnya, kita adalah sahabat- sahabat baik," berkata Supu, "maka itu setelah dia menutup mata, dia tetap sahabatku. Aku melarang orang omong jelek tentangnya!"
Tat Hian tidak ingin berebut mulut, maka ia menoleh kepada Kee Loojin. "Mana barang-barangnya si nona?" tanyanya. Sementara itu Bun Siu bersyukur yang Supu masih ingat ia dan membelanya. "Dia tidak melupai aku, dia tidak melupai aku," katanya dalam hatinya "Dia tetap baik terhadapku..."
Tapi ia heran untuk sikapnya Tat Hian itu. Pikirnya: "Tidak pernah aku mengambil barang dia, kenapa dia me- nuduh aku mencurinya?" Ia tak sadar akan kelicikan orang. "Kau kehilangan barang apa, tuan?" tanya si empee Kee. "Nona kecil itu polos dan jujur, inilah aku ketahui, maka itu tidak dapat dia mengambil barang lain orang."
"Itulah sehelai peta!" menyahut Tat Hian setelah berdiam sejenak. "Untuk lain orang, peta itu tidak ada artinya, sebab... Itulah gambar lukisan yang dibuat almarhum ayahku, maka perlu aku mendapatkannya pulang. Nona Lie tinggal dirumahmu ini kau tentunya pernah melihat itu." "Bagaimana sebenarnya lukisan itu? Apakah gambar sansui atau orang?" Kee Loojin menanya pula. "Ya, gambar sansui..." sahut Tat Hian.
"Hm!" Supu tertawa dingin. "Gambar atau peta apa masih tidak tahu tetapi berani sembarang menuduh orang!"
Gusar Tat Hian, maka ia menghunus pedang kecilnya. "Bangsat kecil, apakah kau sudah bosan hidup?" dia menegur. "Tuan besarmu biasa membunuh orang tanpa menutup matanya!"
Supu pun menghunus golok pendeknya. "Tidak gampang untuk membunuh seorang Kazakh!" katanya menan- tang, suaranya dingin. "Supu, jangan ladeni dia!" berkata Aman. Supu mendengar kata, dengan ayal-ayalan ia masuki goloknya ke dalam sarungnya. Telah bulat tekadnya Tan Tat Hian mendapatkan peta dari Istana Rahasia Kobu, untuk itu sudah belasan tahun dia dan kawan- kawannya hidup di wilayah Hweekiang ini di mana mereka merantau ke banyak tempat, sekarang dia mendapat endusan tentang si Nona Lie, turunannya Pekma Lie Sam, mana dia mau melepaskannya dengan gampang? Dia memang bangsa kasar, tetapi dia bisa berpikir. Dia me- ngerti, tak sabar artinya gagal. Maka dia cuma mendelik kepada Supu, lalu dia berpaling pula kepada tuan rumah yang tua itu. "Peta itu ialah sebuah gambar," katanya. "Itulah lukisan dari pemandangan alam di suatu tempat di gurun pasir, ada gunungnya, ada kalinya..." Hati si empee terkesiap, sedang tubuh si gagu menggigil."Kenapa kau ketahui peta atau gambar itu ada ditangannya si Nona Lie?" empee Kee tanya pula kemudian.
"Apa yang aku bilang ini ada hal yang benar," menyahut Tat Hian. "Jikalau kau serahkan peta itu padaku, suka aku memberi hadiah besar padamu." Ia lantas merogoh keluar dua potong goanpoo emas, yang ia terus letaki di atas meja. Uang emas itu mengeluarkan sinar berkeredepan yang menggiurkan. Empee Kee berdiam ber- pikir. "Sebenarnya aku belum pernah melihat barang itu," katanya. "Aku hendak melihat semua barang pening- galannya nona kecil itu!" kata Tat Hian. "Ini... ini..." empee itu bersangsi. Tangan kirinya Tat Hian bergerak, maka sebatang pedang kecilnya nancap di meja. "Ini... ini...apa?" bentaknya. "Nanti aku lihat sendiri!" la menyulut sebatang lilin, dengan bengis ia menolak pintu dalam, untuk masuk ke kamar. Paling dulu ia masuki kamarnya si empee. Ia membalik-balik tempat pakaian. Kemudian ia masuk ke kamarnya Bun Siu. Di sini ia mendapatkan baju si nona, yang tadi dia loloskan, untuk menyalin pakaian sebagai nona Kazakh. "Ha dia mati sesudah besar!" katanya si piauwsu penyamun. Ia lantas memeriksa dengan terliti. Di situ ada pakaiannya Nona Lie semenjak dia masih kecil, benar pakaian itu sudah tidak dapat dipakai tetapi sebab itu buatan ibunya sendiri, dia menyimpannya terus. Melihat pakaian itu, Tat Hian samar-samar mengingat roman dan potongan tubuh Bun Siu semasa kecilnya itu, ketika mereka mengejar-ngejarnya di gurun pasir. "Benar! Benar!" katanya girang. "Benar dia!" Hanya setelah mencari sekian lama, ia tidak mendapatkan barang yang ia cari.
Supu gusar bukan main menyaksikan orang mengaduk-aduk pakaian Bun Siu, beberapa kali sudah ia meme- gang goloknya, untuk dicabut, saban-saban Aman mencegahnya. Kee Loojin sendiri saban-saban melirik kepada Bun Siu, sinar mata siapa menyala bagaikan api, hanya nona itu, mengenai sepak terjangnya Tat Hian, seperti tidak melihatnya. Maka masgullah orang tua ini. Ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bagaimana kalau penya- mun ini mengenali si nona? Bun Siu memperhatikan sikapnya Supu. Ia berduka, ia pun merasa puas. "Benar- benar dia masih ingat aku," pikirnya. "Agaknya dia bersedia bertempur untuk membelai barang-barangku." Di lain pihak, ia tetap heran atas sikapnya si orang jahat. Pikirnya: "Mengapa dia berkeras menuduh aku mencuri barangnya? Peta apakah itu?" Memang duluhari Bun Siu disesapkan peta oleh ibunya hanya ia belum tahu apa-apa, ibunya pun tidak sempat lagi memberi keterangan padanya, la juga tidak tahu yang kawanan piauwsu dari Chin Wie Piauwkiok, yang berubah menjadi penyamun, telah mencari itu selama sepuluh tahun lebih. Sia- sia Tat Hian menggeledah sekian lama, ia nampak masgul dan putus asa. Tapi tidak lama, mendadak dia menanya bengis: "Di manakah kuburannya?" Kee Loojin melengak. Itulah pertanyaan yang ia tidak sangka.
"Dia dikubur jauh, jauh sekali..." sahutnya gugup. Tat Hian menurunkan pacul dari dinding. "Mari antar aku!" katanya. Supu berbangkit. "Kau hendak bikin apa?" ia tanya. "Perlu apa kau campur urusanku?" bentak Tat Hian. "Aku hendak membongkar kuburannya, untuk memeriksa. Mungkin dia membawa- nya peta itu ke liang kubur!" Supu menghunus goloknya, ia menghalang di pintu. "Aku larang kau menggali kuburannya!" ia kata nyaring. "Minggir!" bentak Tat Hian. la mengayun paculnya, menyerang. Supu berkelit ke kiri, terus ia menye- rang. Tat Hian melemparkan paculnya, ia mencabut pedangnya. Maka "Trang!" kedua senjata mereka beradu keras. Atas itu keduanya sama-sama lompat mundur setelah mana, mereka maju pula, untuk bertempur di dalam ruang yang tak lebar itu. Kee Loojin lantas menyingkir ke pinggiran, juga si gagu dan Aman. Cuma Bun Siu yang berdiri diam di dekat jendela. Kemudian Aman mencabut pedang pendeknya Tat Hian, yang nancap di meja, dia berniat membantu Supu akan tetapi dia tidak memperoleh kesempatan guna menyelak di antara mereka Supu telah mendapatkan pelajaran dari ayahnya, ia berkelahi bengis sekali. Tat Hian heran hingga ia berpikir: "Aku tidak menyang- ka bocah Kazakh ini gagah sebagai erang gagah dari Tionggoan..."
Tengah ia berpikir itu, ia kaget akan mendengar suara angin di belakangnya, dari datangnya senjata tajam. Sebab Aman, yang tidak bisa maju, lantas menimpuk dengan pedang pendek. Ia berkelit ke kanan. Justeru ia berkelit, justeru tiba serangannya Supu, maka lengannya kena tergores golok, sia-sia ia mencoba berkelit lebih jauh. Ia menjadi gusar sekali, lantas ia membalas menyerang. Tiga kali beruntun ia menikam dengan jurus- jurus dari ilmu silat pedangnya, "Cheebong Kiamhoat" atau Ilmu Pedang Ular Naga Hijau. Supu kaget melihat datangnya serangan saling susul, sedang sinar pedang membuat matanya silau. Tahu-tahu lehernya telah kena dimampirkan pedang lawan itu hingga darahnya mengalir keluar. Tat Hian memperoleh hati, ia mendesak terus. Di lain saat, lengan Supu kena kelanggar pedang, sampai dia merasakan sakit, goloknya terlepas dari cekalan- nya dan jatuh. Di saat tikaman yang ketiga mengancam dan Supu agaknya mati daya, Bun Siu maju satu tin- dak, untuk menolongi. la hendak menggunai ilmu Tay Kimna Ciu, guna menangkap tangannya Tat Hian. Akan tetapi mendahului ia, Aman telah berlompat ke depan Supu sambil berseru: "Jangan melukakan dia!"
Melihat nona Kazakh yang elok itu, tapi yang romannya ketakutan, batal Tat Hian menikam terus. Dengan me- ngancam sama ujung pedangnya, ia tertawa dan tanya nona itu: "Kau begini memperhatikan dia! Adakah dia kekasihmu?" Muka Aman merah tetapi ia mengangguk. "Kau menyayangi dia, baik!" kata Tat Hian pula. "Aku nanti memberi ampun padanya asal besok badai berhenti, kau turut aku!"
Supu menjadi sangat mendongkol, sambil berseru, ia maju ke depan Aman, hendak ia menerjang musuhnya itu. Tat Hian berlaku awas dan sebat, dengan ujung pedangnya masih mengancam, ia menggeraki kaki kirinya ke kaki orang, maka tanpa ampun lagi, robohlah pemuda Kazakh itu. Coba pedang ditusuk- kan terus, akan tertumblaslah tenggorokannya si anak muda Didalam keadaan seperti itu, Bun Siu masih mengawasi saja Ia memasang mata, ia bersiap sedia menggunai ilmu totoknya, karena peryakinannya atas ilmu Itcie Cin Thianlam, telah menyampai kemahiran tujuh atau delapan bagian. Hanya Aman tidak tahu bahwa seorang penolong siap sedia disampingnya, karena mana, ia menyerah atas desakan si penyamun. Ia memberikan penyahu- tannya: "Baiklah, aku terima permintaanmu, asal kau jangan bunuh dia!" Tat Hian girang sekali. Tapi pedangnya ia masih belum mau mengisarkannya. "Kau menerima baik akan turut aku besok, jangan kau menyesal," ia bilang. "Aku tidak menyesal," jawab Aman seraya menggigit giginya. "Singkirkan pedangmu!" Tat Hian tertawa lebar. "Taruh kata kau menyesal dan menyangkal kau toh tidak bakal lolos dari tanganku!" katanya, la menarik pedangnya, untuk dikasih masuk ke dalam sarungnya, terus ia menjumput goloknya Supu. Ia me- mandang ke luar jendela, lantas ia berkata: "Sekarang kita tidak dapat pergi membongkar kuburan kita tunggu saja sampai langit sudah terang." Ia menjadi berbesar hati, karena di situ cuma ia sendiri yang bersenjata.
Sampai sebegitu jauh, ia belum melihat gerak-geriknya Bun Siu. Aman mempepayang Supu untuk dibawa ke pinggir. Ia melihat darah masih mengalir keluar dari leher si pemuda. Ia menjadi bingung, hingga ia mau me- nyobek ujung bajunya untuk dipakai membalut. "Pakai ini saja," kata Supu, ia mengeluarkan sehelai sapu tangan dari sakunya. Aman membalut, habis itu, sendirinya ia menangis. Ia memikirkan nasibnya, yang telah terjatuh ke tangan penyamun itu. Dapatkah ia nanti meloloskan dirinya? "Bangsat anjing! Jahanam!" Supu mendamprat perlahan. Ia tidak berdaya tetapi ia tidak takut. Kalau terjadi orang memaksa membawa Aman, ia bersedia untuk mengur- bankan jiwanya guna melindungi nona itu. Setelah pertempuran itu, ke enam orang itu duduk diam mengitari perapian, akan tetapi suasana tetap tegang. Sebelah tangannya Tan Tat Hian tidak pernah melepaskan goloknya. Untuk menenggak arak, ia menggunai tangan kiri. Senantiasa ia memandang Aman dan melirik Supu. Di luar, badai masih mengamuk. Sering lempengan salju beterbangan menghajar tembok atau wuwungan hingga mendatangkan rasa kaget dan kuatir. Semua orang menutup mulutnya. Sang waktu dile- watkan Bun Siu dengan segala ketenangan hatinya. Sejak semula ia sudah pikir untuk berlaku sabar. Tadipun ia baru menindak atau Aman mendahului ia. Katanya di dalam hatinya: "Biarlah jahanam ini bertingkah lagi sekian waktu, tak usah aku tergesa-gesa..."
Dalam kesunyian itu, mendadak api meletus. Ada kayu yang terbang terbakar meledak, mulanya gelap, lalu terang luar biasa hingga mereka dapat melihat tegas sekali wajah masing-masing. Bun Siu tercengang ketika ia mendapat lihat sapu tangan di lehernya Supu, hingga ia mengawasi terus. Kee Loojin, yang memperhatikan nona ini, turut melihat kearah Supu, hingga ia melihatnya juga sapu tangan itu. Bahkan ia lantas menanya: "Eh, Supu, dari mana kau dapatkan sapu tanganmu itu?"
Si anak muda Kazakh melengak. Ia meraba ke lehernya. "Kau maksudkan sapu tangan ini?" dia balik menanya. "Inilah si nona Lie yang telah mati itu yang memberikannya padaku. Di waktu masih kecil kita menggembala kambing bersama-sama, pada suatu hari ada serigala yang menerkam kami berdua, lantas aku membinasa- kan anjing liar itu. Aku terluka sedikit, si nona membalutnya dengan sapu tangan ini..." Bun Siu mendengar kata- kata itu, matanya terus mengawasi sapu tangan. Sekarang penglihatannya rada kabur. Tanpa merasa, air ma- tanya telah mengembeng. Empee Kee masuk ke dalam kamarnya, untuk mengambil sehelai sapu tangan putih. Si penyamun mengawasi gerak-geriknya, ia tidak menghiraukan. "Kau balut lukamu dengan sapu tangan ini," kata si empee pada si pemuda "Mari sapu tanganmu itu, kasih aku lihat." "Kenapakah?" tanya Supu heran.
Oleh karena pembicaraan itu, Tat Hian turut memperhatikan sapu tangan di leher si pemuda. Mendadak ia berlompat bangun, goloknya diangkat. "Kau disuruh membuka sapu tangan itu, kau bukalah!" ia membentak. Nampaknya ia seperti gusar sebab si anak muda main ayal-ayalan atas permintaannya si tuan rumah. Supu berdiam, dengan mata gusar, ia memandangi penyamun itu. Aman takut orang menggunai kekerasan, lantas ia mewakilkan Supu membuka sapu tangan itu, untuk diserahkan kepada Kee Loojin, terus dengan sapu tangan yang putih, ia membalutnya pula luka si pemuda Tuan rumah lantas membeber sapu tangan yang berlepotan darah itu di atas meja. Ia pun membesarkan pelita minyaknya. Dengan terliti ia lantas mengawasi. Tan Tat Hian turut mengawasi juga. "Benar! Benar!" mendadak dia berseru seorang diri, sesudah meneliti sekian lama. "Inilah itu peta Istana Rahasia Kobu!" Dan ia mengulurkan tangannya untuk merampas! Sebat tangannya piauwsu ini tetapi lebih sebat si empee Kee, ketika tangannya lagi tiga dim akan mengenai sapu tangan itu, sapu tangannya sendiri sudah tersambar si empee. Berbareng dengan itu, suatu sinar terang menyambar bagaikan kilat, lantas Tat Hian menjerit kesakitan, sebab sebatang pisau belati sudah nancap di belakang tangan kanannya itu, pisaunya tembus nancap ke meja sebatas gagangnya Pula si empee menunjuki lain kesehatannya, ialah dengan tangan kirinya ia sudah merampas golok panjang dari si penyamun, untuk segera diancamkan ke tenggorokan penyamun itu! Hebat empee bungkuk sebagai unta ini, ia gesit luar biasa, ia lihai sekali. Tan Tat Hian berdiri dengan muka meringis, tubuhnya menggigil, tangan dan kakinya tidak berani dige- raki, terutama tangan kanannya yang terpanggang pisau belati itu. Cuma matanya yang dapat main, mengawa- si si empee dan ke sekitarnya Bun Siu kagum bukan main. Selama sepuluh tahun ia tinggal bersama si empee, cuma satu kali ia menyaksikan empee itu mempertunjuki kepandaiannya, yaitu ketika dia membinasakan Liangtauw Coa Tang Yong si Ular Kepala Dua. Pula ketika itu dapat dibilang karena kebetulan. Sekarang Kee Loojin memperlihatkan kepandaiannya yang istimewa. Pertama-tama tikaman pisau belatinya yang sangat cepat dan tepat. Kedua ialah caranya ia merampas goloknya Tat Hian. Jurusnya ini ialah yang dinamakan "Menunjang penglari, menukar tiang", suatu jurus lihai dari ilmu tangan kosong merampas senjata tajam. Itulah sama dengan ilmu Kimna Ciu, yang gurunya Hoa Hui mengajarinya. Ia sendiri, ia percaya, tidak nanti dapat bergerak dengan sebat. Habis itu Kee Loojin mengulur pula tangannya, untuk mengambil pedang pendek bergagang emas dan perak dari pinggangnya si penyamun, terus ia menyerahkan itu kepada si nona seraya ia berkata: "Nona, tolong kau mengambilkan sehelai tambang." Bun Siu menyambuti pedang ibunya, tangannya bergemetaran, lantas ia lari ke belakang, untuk mengambil tambang yang diminta si empee, maka di lain saat empee itu sudah lantas mencabut pisau belatinya yang memanggang tangan si penyamun, tangan siapa terus ditelikung ke belakang sambil ia berkata pula: "Nona, belenggulah bangsat jahat ini!"
Bun Siu berdiri bengong, tangannya masih memegangi pedang pendek ibunya, sedang kedua matanya basah dengan air matanya. Ia seperti tidak mendengar perkataannya si empee. Karena itu Supu yang menghampir- kan, membantu tuan rumah mengikat Tat Hian, kedua tangan dan kedua kakinya, kedua tangannya itu tetap ditelikung. Setelah itu, di antara sinar api, Kee Loojin mengawasi sapu tangan yang si penyamun menyebutnya peta Istana Rahasia Kobu. Terang ia nampak heran. "Bolehkah kau menyerahkan sapu tangan ini padaku?"
kemudian ia tanya Supu. Supu memperlihatkan roman bersangsi dan bersusah hati. Empee ini sudah menolongi ia dan Aman, sepantasnya ia mesti membalas budi, tidak peduli dengan mustika. Hanya... hanya inilah sapu tangan tanda mata dari si nona Lie. Mana dapat ia menyerahkan itu kepada lain orang? Empee Kee mengawasi, ia dapat menduga hati orang. “Begini saja," katanya kemudian. "Kau kasih aku pinjam lihat untuk satu hari, besok aku akan membayar pulang padamu." Mendengar ini, girang Supu. "Asal empee sudi mem- bayar pulang, kau boleh pinjam itu untuk sepuluh hari atau setengah bulan." Aman tidak mengerti, ia heran sekali. "Empee," ia tanya, "barusan penyamun ini menyebut bahwa sapu tangan ini ialah peta, entah peta apa Sebenarnya, apakah artinya ini?" Kee Loojin melirik kepada Bun Siu. "Sebenarnya aku pun belum mengerti jelas," sahutnya. "Aku masih hendak memikirkannya dahulu." "Bangsat tua!" mendadak Tan Tat Hian mencaci tuan rumah. "Kau telah menangkap aku! Mau apa sekarang? Kau hendak membunuh aku atau menghukum picis? Lakukanlah! Kalau aku mengerutkan saja alisku, aku si orang she Tan bukannya satu hoohan!"
Kee Loojin mengawasi, ia menyahuti dengan tawar: "Kita tidak berselisih, kita tidak bermusuhan, perlu apa aku membunuh kau? Kau dan kawan-kawanmu telah mengganas di gurun pasir ini, kamu main rampas, main membakar, main membunuh manusia, sangat banyak kejahatanmu, untuk itu bakal ada orang yang nanti membuat perhitungan denganmu. Kau tunggulah sampai besok terang tanah, Supu nanti menggusur kau kepada ketuanya, di sana orang nanti menghukummu!" Supu berjingkrak. "Empee!" katanya, separuh berseru, "apakah manusia jahat ini dari rombongannya penyamun itu?" "Kau tanyalah dia sendiri!" menjawab si empee singkat. Supu mengangkat golok- nya, ia menghampirkan Tat Hian. "Kawanan bangsat yang membunuh ibu dan kakakku, jadi itulah rombonganmu, jahanam?" dia tanya. "Memang kawanan penyamun di gurun pasir itu ialah rombongan tuan besarmu ini!" menyahut Tat Hian dengan berani, mulutnya dipentang lebar, untuk sekalian mencaci. "Jikalau kau berani mengganggu selembar saja rambutku maka besok nusa semua saudaraku bakal meluruk kemari untuk menuntut balas! Nanti semua kamu dibasmi berikut segala ayam dan anjingmu!" Supu gusar sekali, ia ingat sakit hati ibu dan kakaknya. Maka ia mengayun goloknya. Tan Tat Hian tertawa dingin, ia kata pula mengejek: "Orang lain yang menangkap aku, kaulah yang enak saja hendak membacoknya! Sudah aku bilang memang orang Kazakh bangsa bernyali kecil dan sangat tidak tahu malu!" Supu batal membacok, tapi ia pun tertawa ewah, ia kata: "Baiklah, sekarang aku tidak akan bunuh mampus padamu, tetapi besok, besok aku akan minta ayahku yang membikin perhitungan denganmu! Kau tahu, orang tuaku itu telah mencari kawanan bangsatmu sampai sepuluh tahun tetapi masih belum bertemu juga! Besok kau nanti lihat sifatnya orang-orang gagah bangsa Kazakh!" Supu tahu memang keinginan utama dari ayahnya ialah membinasakan dengan tangan sendiri musuh isteri dan puteranya itu, maka adalah paling benar menyerahkan penyamun ini kepada ayahnya. Karena itu, ia lantas kembali ke tempatnya duduk. Tan Tat Hian tertawa dingin. Dia kata: "Anak tolol, lekas kau rampas pulang sapu tanganmu itu! Dengan mengasih pinjam sapu tangan itu satu hari pada tua bangka ini maka itu berarti bahwa harta besar dan mustika bangsamu, bangsa Kazakh, telah..."
"Tutup bacotmu!" menyelak Kee Loojin. "Kau ngaco belo! Apakah kau hendak adu kami satu dengan lain? Hm!"
Tan Tat Hian membandel. "Itulah peta dari Istana Rahasia Kobu, bukankah?" kata dia pula. "Eh, Supu, apakah kau menyangka tua bangka ini manusia baik-baik? Haha! Anak tolol! Dia justeru hendak mengangkangi harta karun kamu!" Kee Loojin seperti habis sabarnya, maka sebelah tangannya terayun, sebilah pisau belatinya menyambar ke arah uluhati penyamun besar kepala itu! Tat Hian terikat kaki tangannya, ia melihat datangnya serangan, ia tidak bisa berbuat lain daripada berkelit bersama-sama tubuhnya. Mungkin, masih tidak dapat ia bebas anteronya. Di saat ia terancam bahaya maut itu, tangannya Bun Siu terayun, lantas pedang pendeknya meleset, menyambar pisau belati si empee, maka kedua senjata beradu, terus membentur tembok di mana keduanya nancap! Orang kaget menyaksikan kepandaiannya Bun Siu itu, seorang nona yang nampaknya ber- tubuh lemah, yang sekian lama berdiam saja. Kee Loojin heran hingga ia melongo, mulutnya celangap. Bukankah ia telah tinggal bersama nona itu sepuluh tahun lebih? Adalah si gagu yang tertawa a-a-u-u sambil bertepuk tangan. "Kee Lootiang," berkata Bun Siu tawar, "saudara ini telah membilangnya besok pagi orang ini hendak diserahkan kepada orang tuanya untuk diperiksa dan dihukum, oleh karena itu sekarang ini tak usahlah kau membinasakan dia. Hanya, mengenai istana Rahasia Kobu itu, aku ingin mendengarnya! Bagaimana itu sebenarnya? Umpama dia hanya ngaco belo, kita boleh membiarkannya, kita mengganda tertawa saja! Buat apa kita bersungguh-sungguh terhadapnya?"
"Kakak ini benar," berkata Aman. "Supu, tidakkah ini aneh? Kenapa sapu tangan sahabatmu itu justeru suatu peta?" Kee Loojin kenal baik tabiatnya Bun Siu, biarnya dia lemah lembut, kemauannya keras, sukar dicegah, maka itu, ia suka membiarkan Tan Tat Hian bercerita. Penyamun itu kata dengan nyaring: "Tuan besarmu telah terjatuh ke dalam tangan kamu, tuan besarmu tidak takut apa juga! Biarlah aku menuturkan tentang peta ini! Lukisan di dalam sapu tangan ini adalah lukisan atau peta dari Istana Rahasia Kobu itu. Coba kamu mengawa- sinya dengan saksama, kamu meneliti sutera dan benang yang dipakai menyulam dan menjahitnya, yang me- rupakan gunung, air dan gurun. Tidakkah itu ada sutera dan benang wol kuning, yang sama warnanya hingga sangat sukar untuk dibedakannya? Coba itu sutera dan benang wol terkena darah, lantas menjadi nyata perbe- daannya. Lihatlah sekarang? Bukankah benang wol itu lebih banyak menyedot darah daripada benang sutera?"
Bun Siu mengangkat sapu tangan itu, untuk meneliti. Benarlah keterangan Tat Hian itu. Benang yang menyedot darah menjadi merah, yang tidak, tetap kuning, karena mana, gambar nampak menjadi jelas sekali. Baru seka- rang ia mengerti, sapu tangan itu menggenggam rahasia, dan itulah peta Istana Rahasia Kobu. Tan Tat Hian melanjuti kata-katanya: "Rahasianya Istana Kohii itu dibawa oleh seorang edan. Inilah kejadian pada belasan tahun yang lampau. Di kota Lokyang ada hidup satu jago tua she The bernama Kiu In. Pada suatu hari dia mengadakan pesta ulang tahun kedelapan puluh. Banyak orang gagah yang datang untuk memberi selamat padanya. Selagi pesta berjalan, muncullah si edan itu, dia tertawa lebar, tangannya menggenggam pelbagai macam mutiara, kumala dan lainnya batu permata. Dia lantas meletakinya semua itu di atas meja sambil berkata: 'Suhu, aku membawa hadiah untukmu!" Memang benar, ialah muridnya The Kiu In. Semua tetamu menjadi berkunang-kunang matanya menyaksikan harta besar itu, yang semuanya indah. Aneh adalah si edan itu, habis tertawa, dia menangis, lalu dia tertawa pula, menangis lagi. Ketika dia ditanya, dari mana dia memperolehnya barang-barang permata itu, dia menjawab: "Istana Rahasia Kobu! Istana Rahasia Kobu! Istana Rahasia Kobu!" Ketika itu The Kiu In tidak mau banyak tanya-tanya lagi, ia menyuruh membawa muridnya itu masuk untuk beristirahat." Inilah cerita yang menarik hati, orang banyak ketarik untuk mendengarinya. Tat Hian melanjuti pula: "Di antara hadirin ada banyak orang yang lihai, di antara mereka banyak juga yang matanya menjadi merah sebab melihat permata-permata yang berharga besar itu, mereka itu menanya si gila di mana letaknya Istana Kobu itu. Si gila menjawab tidak keruan, omongannya putar balik. Pertanyaan The Kiu In sendiri dijawab sama tidak keruan junterungannya. Tiga hari telah lewat atau pada tengah malamnya tuan rumah kedapatan terbunuh secara gelap. Berbareng dengan itu, si edan pun lenyap. Di dadanya The Kiu In menancap senjata yang menyebabkan kebinasaannya itu, ialah sebatang pusut yang menjadi senjatanya si edan, sebelah sepatu siapa pun ketinggalan didepan pembaringan, sepatu itu berlepotan darah. Di lantai ada tapak-tapak kaki, yang cocok waktu diakuri sama sepatunya si edan. Maka orang menduga si edan kalap dan membunuh guru- nya sendiri dan terus menghilang. Karena itu orang melainkan bisa menyesali nasibnya jago tua yang malang itu. Hanya, apa yang heran, kenapa The Kiu In yang demikian lihai kalah oleh muridnya dan kenapa di kamarnya tak ada bekas-bekasnya pertempuran atau pergulatan? Keluarga The, dan juga beberapa sahabatnya, lantas pergi mencari si edan itu, tetapi dia tidak kedapatan, dia tidak ada tanda-tanda atau bekas-bekasnya, hingga orang mau menduga, kalau dia tidak terjeblos di jurang mungkin dia mati membuang diri ke sungai. Di lain pihak semenjak itu, halnya Istana Rahasia Kobu itu lantas menjadi buah pembica- raan dan lantas juga menjadi sema- cam gelombang di antara kaum Rimba Persilatan. Dua tahun setelah itu, lalu tersiar kabar angin bahwa ada orang yang menemui peta istana rahasia itu di tengah jalan. Peta itu dihubungi sama harta besar itu, yang orang percaya masih tersimpan banyak di dalam istana rahasia. Karena ini, peta itu menjadi perebutan di antara jago-jago, hingga ada jago-jago yang membuang jiwanya secara sia-sia. Kemudian lagi, ialah belasan tahun yang lalu, peta itu terjatuh di tangannya Pekma Lie Sam dan isterinya Kimgin Siauwkiam Sam Niocu.
Sedapatnya peta itu, Lie Sam dan isterinya itu sudah lantas berangkat ke Hweekiang. Hanyalah, entah kenapa, kemudian kedapatan suami isteri itu telah mati di wilayah asing itu..."
Bab VI
Mendengar sampai di situ, Bun Siu kata dengan dingin: "Menurut apa yang aku dengar, Lie Sam suami isteri telah terbinasa di tangannya rombongan orang- orang Chin Wie Piauwkiok. Itulah artinya perbuatan kau sendiri, Tan Toapiauwtauw!"
Tan Tat Hian bercekat hati, tubuhnya menggigil. Ia pun merasa tertusuk dengan sebutan toapiauwtauw itu, artinya, piauwsu yang terbesar. Tapi ia berani, ia menjawab dengan terus terang. "Tidak salah!" katanya. "Suami isteri Lie Sam itu dibinasakan oleh aku dan saudara-saudaraku itu. Kami telah menggeledah tubuh suami isteri itu, peta tersebut tidak kedapatan pada mereka Maka itu mestinya peta ada di tangan anak perempuan mereka, yang lolos dari tangan kami. Maka kami lantas mencari anak itu, sampai sekarang ini sudah belasan tahun, tanpa ada hasilnya. Selama itu kami telah menjelajah bagian selatan dan utara pegunungan Thiansan. Sungguh kebetulan, hari ini aku menemuinya di sini! Bukankah itu berarti Thian telah menakdirkan kita berenam supaya menjadi beruntung? Kamu hendak membunuh aku, tidak apa! Tapi, kalau kamu memikir sebaliknya; umpama dari musuh kita menjadi sahabat-sahabat, bukankah itu ada baiknya? Nanti aku mengajak kamu pergi mencari Istana Rahasia Kobu itu, jikalau kita berhasil, kita membagi rata. Tidakkah itu berarti kita sama-sama memperoleh harta besar?
Jikalau peta ini terjatuh ke dalam tangan si tua bangka bongkok sebagai unta, pastilah dia menelannya sendiri harta besar itu!" Sengaja Tat Hian meng- ucapkan kata-kata terakhir itu, untuk mengadu Bun Siu sekalian terhadap Kee Loojin, supaya mereka berselisih dan saling bunuh. Ia mengharap mereka itu timbul keseraka- hannya. Kee Loojin tertawa dingin. "Dengan telah mempunyai petanya, mustahilkah kami tidak dapat pergi mencarinya sendiri?" kata dia. Tan Tat Hian berkata pula. Kalau tadi ia menggunai bahasa Kazakh, sekarang ia mengubahnya dengan bahasa Tionghoa. Ia kata: "Umpama kata kamu dapat mencari istana rahasia itu dan mengambil memperolehnya harta besarnya, tetapi ingat, harta itu ialah hartanya bangsa Kazakh, maka maukah bangsa ini menyerahkannya kepada kamu? Kamu bangsa Han?" "Menurut kau, bagaimana?" Kee Loojin tanya Ia ingin ketahui pikiran orang. "Marilah kita bekerja sama," mengajak Tat Hian. "Paling dulu kita binasakan semua orang Kazakh di dalam rumah ini. Perbuatan ini cuma kau dan aku yang menge- tahuinya, dari itu tidak ada kekuatiran untuk nanti bocor. Lantas kita pergi mencari harta karun itu. Kalau kita berhasil, kau boleh ambil tujuh bagian, untukku cukup tiga bagian saja..."
"Kenapa kau suka mengalah demikian banyak?" si empee tanya. "Aku kalah gagah dari kau, kau berhak mendapat lebih banyak. Umpama kata kau suka menyerahkan nona Kazakh yang cantik ini padaku, aku suka mengalah lebih jauh, kau boleh ambil delapan bagian." Pembicaraan itu tidak dimengerti oleh Supu dan Aman, mereka berdiam saja. Tidak demikian dengan Bun Siu, yang menjadi marah sekali. Di dalam hatinya, ia kata: "Bangsat, kau sangat jahat! Bukankah kematianmu sudah di hadapan mata? Kenapa kau masih memikir busuk sekali?" Kee Loojin berkata: "Ini satu nona Kazakh lihai sekali, belum tentu kita dapat melawan dia..."
"Kau dapat membokong dia. Dia tentunya tidak bersiaga." Kee Loojin berdiam, agaknya ia berpikir. "Ah, begini saja," katanya sesaat kemudian. "Diam-diam aku mengutungi tambang belenggumu, aku berikan kau golok, lantas kau menghampirkan dia, untuk kau membacok punggungnya..."
"Nona ini sangat cantik, sayang kalau dia terbinasa," kata Tat Hian. "Karena tidak ada lain jalan, baiklah..."
Bun Siu dapat menerka maksudnya Kee Loojin. Terang si orang tua ingin ialah yang membinasakan penjahat ini. Selagi Tat Hian dan Kee Loojin berdamai sampai di situ, dari kejauhan terdengar suara orang memanggil: "Supu! Supu!" disusul sama "Aman! Aman!"
Hampir berbareng, Supu dan Aman berlompat bangun. "Ayah, aku di sini!" mereka pun menyahuti. Kemudian keduanya berlari-lari ke luar, Supu di depan, Aman di belakang. Mereka tidak menghiraukan lagi angin besar dan salju berhamburan, hingga mereka sukar bernapas. Hari itu Cherku minum arak di rumah Suruke, ketika turun hujan salju dan angin keras dan sampai sore anak-anak mereka belum muncul, keduanya menjadi berkuatir, mereka lantas pergi mencari, di sepanjang jalan mereka memanggil-manggil. Girang mereka akan menemui anak mereka tidak kurang suatu apa. Supu dan Aman lantas mengajak mereka kerumah Kee Loojin. Tiba di depan pintu, mendadak Suruke berkata: "Bukankah ini rumahnya si orang Han yang harus mampus? Tidak, aku tidak sudi masuk ke rumahnya!"
“Tidak mau masuk?" kata Cherku. "Habis kita berlindung di mana? Kupingku, hidungku, telah pada beku..."
Suruke ada membekal buli-buli berisi arak, di sepanjang jalan ia menenggak araknya untuk melawan hawa dingin, karena itu, ia sudah terpengaruhi susu macan. Maka ia kata: "Aku lebih suka batok kepalaku beku semua, tidak nanti aku masuk ke rumah orang Han ini!"
"Lihat anakku yang menjadi mustikaku ini," berkata Cherku. "Kalau dia kenapa-kenapa karena beku, akan aku membuat perhitungan denganmu! Aman, mari kita masuk!"
Suruke tidak menyahuti, sebaliknya, ia melirik puteranya. Mendadak ia berseru: "Hm, kau telah pergi ke rumah- nya orang Han, anak mau mampus!" Terus ia mengayun tangannya hingga tubuh Supu terhuyung. Anak ini tidak menangkis atau berkelit. Ia membentur Aman, hingga si nona roboh ke salju. Cherku menjadi gusar. "He, kau berani memukul anakku?" ia menegur. "Dia belum menjadi nona mantumu, sudah berani kau memukulnya! Tidakkah di belakang hari dia bakal disiksa mampus olehmu?"
"Kalau aku suka memukul, aku memukul, mana dapat kau melarang aku?" kata Suruke sembarangan. Tidak dapat ia mengatasi lagi pengaruh air kata-katanya. Cherku pun menjadi gusar. "Kalau kau laki-laki, mari kita
bertempur pula!" dia menantang. "Baik, mari, mari!" Suruke menyambut, dan lantas kepalannya melayang, bahkan tepat mengenai dadanya lawan. Cherku pun sudah mulai dipengaruhi arak, maka beda dari biasanya, ia melayani. Ia tidak roboh karena tinju itu, lantas ia membalas, dengan mengayunkan sebelah kakinya, guna menggaet. Tanpa ampun, Suruke roboh. Tapi dia jatuh sambil tangannya menyambar ke paha, maka keduanya jatuh berguling ke salju di mana mereka berkelahi terus sambil bergulingan. Supu dan Aman menjadi bingung, sia-sia belaka mereka mencoba memisahkan. Dengan suara saja, mereka tidak berhasil. Selagi bergulat itu, Suruke menjumput salju, ia menyumbat mulut Cherku, hingga lawan ini gelagapan. Ia tertawa lebar. Justeru itu, Cherku memuntahkan salju di mulutnya itu, terus dia meninju, telak mengenai hidung. Suruke tidak kesakitan, hanya hidungnya mengeluarkan darah. Masih ia tertawa. Sekarang ia menjambak rambutnya Cherku. Mereka- lah orang-orang kosen bangsa Kazakh tetapi di dalam sinting itu, lagak mereka mirip dua orang bocah. Kee Loojin bersama Bun Siu lari ke luar, mereka mendengar suara berisik dari dua orang yang bergulat itu. Si gagu turut keluar juga. Sekarang ini, Supu dan Aman tidak bingung lagi, sebaliknya, mereka tertawa. Mereka ketahui ayah mereka lagi sinting. Dalam pergulatan lebih jauh, Suruke jatuh di bawah, dia kena tertindih, sia-sia dia berontak, akhirnya dia diam saja. Supu kaget. "Lepaskan ayahku!" ia berteriak seraya menghampirkan, untuk menarik Cherku. Ia kuatir ayahnya terluka. Di luar dugaannya, setelah mendekati, ia mendapatkan ayahnya itu lagi tidur menggeros... Akhirnya semua orang tertawa. Suruke dikasih bangun, diajak masuk ke dalam. Cherku dipegangi Aman, ia turut masuk. Suruke lantas ngoceh: "Haha! Kau tidak dapat melawan aku! Akulah jago Kazakh nomor satu, Supu yang nomor dua, nanti anak Supu yang nomor tiga! Kau, Cherku, kau yang nomor empat..." Lantas ia bernyanyi. Cherku pun sinting tetapi ia turut tertawa. Begitu mereka tiba di dalam, Bun Siu berseru kaget. Di situ tidak ada Tan Tat Hian, yang ada hanya beberapa helai tambang belenggu- annya, yang ujungnya pada hangus, tandanya si penyamun membakar tambang itu untuk membebaskan diri dan lalu kabur dari pintu belakang. Di atas meja, selainnya golok, sapu tangan yang merupakan peta pun lenyap. Dalam kagetnya, Kee Loojin lari ke belakang untuk mengejar. Pintu belakang madap ke utara, begitu pintu dipentang, angin dan salju meniup keras, sampai empee Kee itu bersangsi untuk nerobos terus. Tengah ia bersangsi itu Bun Siu menghampirkan padanya, untuk berkata dengan perlahan: "Angin dan salju begini besar, dia tidak dapat kabur jauh, kalau dia paksa menyingkir juga, mesti dia mati di tengah jalan. Baiklah kita menanti sampai langit sudah terang dan
badai reda, baru kita pergi mencari mayatnya." Kee Loojin setuju, ia mengangguk. Ia menutup pula pintunya, lalu berdua mereka kembali ke ruang depan. Di sana tak nampak si gagu yang agak tolol. Bun Siu merasa kasihan pada si gagu itu, ia membuka pintu depan. Ia memanggil berulang-ulang, tanpa ada yang menyahuti. "Dia tuli, dia tidak mendengar!" kata empee Kee. Bun Siu masih melihat kelilingan, baru ia kembali ke dalam. Sampai fajar, baru badai mulai reda. Suruke sadar dengan tidak ingat lelakonnya di waktu mabuk, melihat Kee Loojin, ia menjadi gusar, tapi Supu dan Aman segera membujuki seraya menuturkan bahwa orang tua bangsa Han inilah yang menolongi mereka dari penyamun. "Oh, kaulah yang menolongi anakku!" kata Suruke. "Kau orang baik, aku berterima kasih padamu!" Ia lantas memberi hormat. Kemudian ia menambahkan: "Mari kita susul penyamun itu, agar dia tidak lolos!" Cherku pun turut menghaturkan terima kasih. Sebenarnya Kee Loojin tidak setuju pergi beramai-ramai tetapi sebab tidak dapat alasan untuk menolak, ia terpaksa pergi bersama. Ia membekal rangsum kering. Tan Tat Hian menyingkir selagi hujan salju, tapak kakinya telah lenyap pula, tetapi Suruke dan Cherku ada penduduk gurun asli, mereka bisa lihat tanda-tanda yang luar biasa, tanda itu mem- buatnya menduga si orang jahat. Tujuan mereka ke arah barat. Itu artinya tujuan gurun pasir besar. Empat orang Kazakh itu lantas ingat dongeng hal memedi di gurun, air muka mereka lantas bersinar lain. Suruke besar nyalinya, ia kata nyaring: "Biarnya benar-benar kita bertemu memedi, mesti kita bekuk manusia jahat itu!
Supu, mau tidak kau membalaskan sakit hati ibu dan kakakmu?"
"Tentu, ayah!" jawab sang anak. "Aku akan turut ayah! Aman, kau baiklah pulang." Si nona pun berani. "Kau dapat pergi, aku dapat!" jawabnya. Di dalam hatinya ia hendak membilang: "Kalau kau mati, mana bisa aku hidup sendiri saja?"
"Aman, lebih baik kau turut ayahmu pulang," Suruke membujuk. "Cherku bernyali kecil, dia paling takut setan!"
Mata Cherku mendelik, dia lantas melombai jalan di depan. Berjalan di gurun, yang ditakuti ialah tidak ada air, maka air itulah bekal utama. Kali ini habis hujan salju, pasir pun tidak beterbangan, perjalanan rombongan ini tak ada rintangannya. Makin ke barat, tanda-tandanya Tan Tat Hian makin nyata. Bahkan kemudian, terlihat tegaslah tapak kakinya, yang tidak ketutupan salju lagi. Itulah bukti bahwa dia telah tiba di situ sesudah salju berhenti.
"Sungguh lihai jahanam itu!" kata Kee Loojin seperti mendumal. "Tadi malam badai dahsyat tetapi dia tidak mampus dan dapat berjalan terus hingga kemari!" "Eh, masih ada tapak kaki seorang lain!" Suruke berseru mendadak. Dia menunjuk tapak kaki Tan Tat Hian. "Orang ini jalan tepat di tapak kakinya si manusia jahat! Tanpa perhatian, tak akan terlihat tapak kaki yang menyusun ini." Mendengar begitu, semua orang mem- bungkuk, untuk meneliti. Benar, tapak kaki itu berbekas lebih mendalam daripada biasanya. "Mustahilkah ini tapak kaki si gagu?" kata Bun Siu. Tadi malam ia telah melihat sinar mata aneh dari si gagu dan itu menda- tangkan kecurigaannya. Hanyalah tapak kaki yang kedua ini rada enteng, bukti bahwa orang ringan tubuhnya. Mungkinkah benar dia si gagu dan dia sebenarnya lihai? Kee Loojin tidak membilang apa-apa, dengan mengikuti tapak kaki itu, ia berjalan terus. Ia ingin cepat menyandak. Tat Hian seorang ia tidak begitu kuatirkan, ia takut penyamun itu memperoleh kawan yang lebih lihai. Jalan di salju ini sulit juga. Makin ke depan, salju makin
tebal, sampai mendam ke lutut. Perlahan jalan mereka, hingga kejadian mereka mesti singgah, bermalam di tengah jalan. Mereka menggali salju, hingga nampak pasir, untuk rebah di dalam liang, tubuh mereka digulung dengan permadani. Mereka tidur bergeletakan di atas pasir. Ketika besoknya pagi Bun Siu mendusin, ia men- dengar Suruke dan Cherku membikin banyak berisik. Sebabnya ialah Kee Loojin telah lenyap, rupanya dia berangkat malam-malam atau mendekati fajar. Ia heran sekali sedang ia tahu, selama perkenalan kira-kira sepuluh tahun, empee itu agaknya tawar sama harta. Kenapa, setelah mendengar halnya istana rahasia, dia menjadi demikian ketarik hatinya, hingga dia seperti berubah menjadi seorang lain? Dari enam orang, sekarang jumlah mereka menjadi tinggal lima. Mereka melanjuti perjalanan mereka, untuk menyusul sipen- jahat, untuk menyusul juga Kee Loojin, si kawan yang menjadi aneh kelakuannya itu. Bun Siu kemudian mengenali, jalanan yang dilalui ialah jalanan yang ia kenal baik. Itulah jalanan untuk pergi ke rumah Hoa Hui, gurunya. Ia jadi berpikir: "Baiklah aku ajak suhu pergi bersama. Dia luas pengetahuannya, dia dapat membantu banyak..." Bun Siu mau mencari Istana Rahasia Kobu bukan untuk hartanya. Ia hanya ingin mewujudkan cita- cita ayah dan ibunya, untuk dapat tiba di sana. Segera mereka mulai memasuki daerah pegunungan. Di sini Bun Siu sengaja berjalan perlahan hingga ia ketinggalan jauh di belakang. Lekas-lekas ia pergi ke gubuk guru- nya. Untuk herannya, sang guru tidak kedapatan. Ia menduga guru itu lagi pergi berburu atau mencari bahan obat-obatan. Perbuatan itu biasa dilakukan setiap habis hujan salju. Karena ia tidak dapat menanti, ia lantas mencoret-coret beberapa huruf di atas tanah, untuk gurunya itu, lalu lekas-lekas ia menyusul rombongan Suruke. Mereka memasuki wilayah pegunungan, yang makin lama makin sukar dilaluinya, banyak pohon duri dan lainnya. Syukur, tapak kaki masih terlihat di antara sisa-sisa salju. Maka mereka maju terus. Herannya ialah, istana rahasia belum tampak tanda- tandanya... Aman memangnya berkuatir ia menjadi takut. Ia ingat cerita halnya di gurun pasir ada mernedinya. Tapak-tapak kaki yang mereka ikuti itu, di matanya, ada bagaikan jalanan untuk ke neraka... Juga Suruke dan Cherku bersangsi, mereka berkuatir, hanya di mulut, mereka masih omong besar, mereka tidak mau saling kalah, bahkan mereka bertengkar. "Cherku, kau lihat, tubuhmu bergemetar," kata Suruke. "Kalau kau jatuh sakit karena ketakutan, inilah bukannya main-main. Baiklah kau berdiam di sini saja menantikan kami, jikalau aku mendapatkan harta, tentu aku akan membagi kau satu bagian..." "Di saat ini jangan orang berlagak kosen!" kata Cherku. “Lihat sebentar, kalau memedi muncul, siapakah yang bakal kabur lebih dulu? Mungkin kau atau anakmu!..." "Memang, kami ayah dan anak, kalau kami melihat memedi, kami bakal lari kabur!" kata Suruke pula. "Tapi kami bukannya seperti kau, melihat memedi, kau ketakutan sampai kau bertekuk lutut di tanah dan tubuhmu menggigil?"
Pulang pergi, mereka itu menyebut-nyebut iblis gurun... Jalan lagi sekian lama, langit mulai gelap. "Ayah, mari kita bermalam di sini," berkata Supu. "Besok pagi kita berangkat pula."
"Bagus!" berkata Cherku tertawa sebelum Suruke menyahuti anaknya. "Kamu dan anak boleh singgah di sini, untuk menyingkir dari bahaya! Aman, mari kau ikut ayahmu!"
"Fui!" Suruke berludah, lalu ia maju di depan, mendahului yang lain. Supu memunguti cabang-cabang kering, untuk membuat obor. Maka itu, malam- malam, di dalam hutan, mereka berjalan terus. Sulit perjalanan itu, sebab mereka sekalian mesti mencari tapak kaki TatHian. Suasana pun seram kapan sang burung malam mengasih dengar suaranya. Orang kaget setiap kali dari atas pohon terjatuh kepingan salju, yang mendatang- kan suara berisik, hingga hati mereka berdebaran. "Ah, celaka!" berseru Aman tiba-tiba selagi ia berjalan dengan hati kebat-kebit. "Ada apa?" tanya Supu kaget. "Lihat, itulah gelangku yang kemarin ini aku kena bikin lenyap!" kata Aman, tangannya menunjuk ke depan di mana ada sebuah benda dengan cahaya berkilauan. Gelang itu terletak sejarak tiga tombak dari lima orang itu. Memang aneh gelang itu didapatkan di situ. "Tadinya aku memikir untuk mencarinya, kenapa sekarang gelang ini berada di sini?" kata Aman. "Kau periksa dulu, benar atau tidak itulah kepunyaanmu," kata Cherku, sang ayah. Aman jeri, ia tidak berani pergi menghampirkan. Maka Supu yang maju dan memungutnya. "Memang, inilah kepunyaanmu!" kata si pemuda sebelum si pemudi memeriksanya. Lantas dia menyerahkannya. Aman masih takut untuk menyambuti. "Kau buang saja," katanya. suaranya parau. "Mustahilkah ini perbuatan memedi?" kata Supu, yang air mukanya lantas berubah, demikian juga yang lain-lainnya. Semua berdiam. “Mungkinlah ini lebih bebat dari gangguan memedi," kata Bun Siu ke- mudian. "Mari kita ambil jalan yang kuna, jalanan ini ada jalanan bekas kita..."
Mereka terpengaruh oleh kepercayaan halnya sesat jalan, hingga mereka bakal terputar-putar di situ juga sampai mereka mati sendirinya... Suruke mau menyangsikan kekuatiran Bun Siu tetapi buktinya ialah keanehan dari gelangnya Aman itu. Tanpa banyak omong, mereka itu berjalan terus. Gelang diletaki di tanah. Mereka berjalan sekian lama, lantas mereka melihat gelang itu! Suruke dan Cherku bungkam. Mereka tidak berani bicara besar lagi atau saling mengejek. "Kita mengikuti si penyamun dan Kee Loojin,** berkata Bun Siu, "kalau mereka kesasar, mereka pun bakal kembali kemari, maka itu mari kita berhenti di sini. Kita menantikan mereka itu..." Pikiran ini mendapat kesetujuan, maka mereka, lantas pada menyingkirkan salju, untuk mencari tempat duduk masingmasing. Supu menyalakan api, membuat unggun, mereka duduk mengitari itu. Masih mereka berdiam, tidak ada yang niat berbicara, tidak ada yang berkeinginan tidur. Semua menantikan munculnya Tan Tat Hian dan si empee Kee, semua mereka berdenyutan hatinya. Bagaimana kalau benar- benar Tat Hian dan Kee Loojin tersesat dan muncul di depan mereka? Tidakkah itu berarti celakanya nasib mereka semua?...
Sekian lama mereka berdiam dalam kesunyian, atau mendadak kuping mereka menangkap suara tindakan kaki. Mereka terkejut, hati mereka terkesiap. Hampir berbareng, mereka berlompat bangun. Hanya sejenak, suara tindakan kaki itu lenyap Hingga tinggallah hati mereka yang berdebaran, yang memukul. Lagi sejenak, tindakan kaki itu terdengar pula, agaknya lagi menuju ke arah barat daya, malah terdengarnya main jauh, akan kemudian lenyap sebab diganggu berkesirnya angin yang keras, yang membawa datang salju, hingga unggun mereka padam dalam sekejap kena tertimpa salju itu. Dengan padamnya api, gelaplah pandangan mata mereka. Justeru itu, kuping mereka mendengar suara apa-apa. Kecuali Aman, Suruke berempat meng- hunus senjata mereka. Aman menjerit, ia menubruk Sapu ke dada siapa ia menyedapkan kepalanya. Kembali terdengar suara tindakan kaki itu yang teras lenyap di kejauhan. Habis itu, terus sampai fajar tidak ada terjadi peristiwa apa juga. Munculnya matahari membuat hati mereka tenang kembali. Dengan lantas mereka melanjuti perjalanan mereka itu. Aman berlaku hati-hati maka ia melihat di kirinya, ada cabang-cabang pohon yang rebah dan patah. "Lihat ini!" katanya tiba-tiba Supu menyingkap cabang yang rebah itu, di bawah itu ia melihat dua buah tapak kaki, hingga ia menjadi girang luar biasa. "Di sini mereka!" ia berseru. "Inilah jalan yang mereka ambil!" "Mungkin penyamun itu keliru melihat petanya," kata Aman. "Dia tersesat, dia kena jalan terputar-putar di sini hingga dia menyebabkan kagetnya kita semua..." Suruke tertawa lebar. "Benar!" katanya nyaring. "Dua anggauta keluarga Cherku bernyali kecil, mereka ketakutan mernedi selama satu malaman! Keluarga Suruke sebaliknya gagah, mereka justeni mengharap-harap munculnya si memedi, untuk dijiwir kupingnya, guna melihatnya tegas-tegasi" Cherku tidak melayani, dia pun memandang ke lata arah, hanya mendadak dia memutar tubuh, sebelah tangannya menyambar! Suruke tidak menyangka jelek, tahu-tahu sebelah kupingnya telah kena tercekal dan tertarik Cherku, hingga dia kaget Tidak ayal lagi, dia meninju. Meski begitu, Cherku tidak roboh, karena tubuhnya terhuyung, ia menarik kuping orang yang dipeganginya itu. Suruke kaget dan kesakitan, kupingnya itu pecah dan mengeluarkan darah. Kalau kuping itu terlarik lebih keras sedikit, mungkin akan copot Bun Siu mau tertawa melihat kelakuannya dua orang Kazakh yang Jenaka itu, tidak peduli usia mereka sudah empat puluh lebih, lagak mereka mirip bocah, sebentar baik, sebentar bertengkar, sebentar lagi bertarung. Ketika mereka terpisah, disebabkan saling tinju, yang satu hidungnya matang biru, yang lain matanya bengap! Mereka melanjuti terus perjalanan mereka. Jalanan kali ini berliku-liku, sukar dilaluinya. Ada kalanya mereka melintasi mengitari bukit, ada kalanya masuk kedalam gua, melintasi terowongan wajar. Syukur ada salju, terus-terusan mereka melihat tapak kaki, yang terus mereka ikuti. Aman bermata celi, kalau tapak suram atau lenyap, dialah yang meneliti. Dalam batinya Bun Stu kata: "Istana rahasia itu benar-benar luar biasa Tanpa peta, bagaimana dia dapat dicari?" Jalan sampai tengah hari, sebab satu malam mereka tidak tidur, semua orang menjadi letih sekali, kecuali Bun Siu, yang ilmu dalamnya sudah ada dasarnya, dia masih segar seperti biasanya. "Ayah, Aman sudah tidak kuat jalan, kita singgah di sini," kata Suptt pada ayahnya. Belum lagi ayah itu menyahuti atau mereka mendengar seruannya Cherku, yang jalan di paling depan. Suruke lompat ke depan, guna menghampirkan kawannya, yang teraling dengan segumpalan pepohonan. Selewatnya itu, mata- nya dibikin silau dengan cahaya kuning emas yang berkilauan, hingga sukar untuk ia melihatnya.
Bab VII
Dengan terpaksa ayahnya Supu ini memeramkan matanya. Sampai sekian lama, baru ia membukanya perlahan-lahan. Masih ia merasa silau, sampai berkunang-kunang. Untak dapat melibat terus, ia memiringkan tubuhnya. Ketika ia telah melihat tegas, ia menjadi heran dan kagum. Di depan ia ada sebuah bukit, di atas itu ada sebuah pintu yang terlapiskan emas. Itulah sinar yang menyilaukan mata, sebab emas itu ditojo matahari dan menjadi memancarkan sinar berkeredepan itu. Cherku melihat pintu itu maka dia berseru. Suruke pun mengasih dengar seruannya, disusul oleh Bun Siu, Supu dan Aman» yang menyusul belakangan ini juga, mulanya merasa silau. "Istana Rahasia Kobu!" demikian suara mereka serempak. Mereka tidak sangsi pula atas penemuan mereka itu. Suruke lari menghampirkan pintu, ia menolak dengan kedua tangannya. Pintu itu tidak bergerak. Cherku maju bersama, untuk membantui, sia-sia saja, meskipun mereka telah mencoba menggunai pundak mereka. Pintu, yang berdaun dua, kuat sekali.
"Penyamun jahanam itu berada di dalam, dia menguncikan pintu!" kata Suruke gusar. Aman memandangi pintu itu, ia tidak melihat apa-apa yang mencurigai. Ia lantas meraba gelang pintu, ia putar itu ke kiri. Pintu itu tetap tidak bergerak. Ia memutar pula, sekarang kekanan. Untuk herannya, ia merasa putarannya longgar. Ia lantas memutar pula, terus, sampai beberapa kali. Suruke dan Cherku mencoba pula membentur pintu dengan tubuh mereka. Kali ini mereka berhasil. Dengan mendadak kedua daun pintu menjebtak terbuka. Ini pun di luar dugaan mereka. Tentu sekali, mereka menjadi sangat girang. Sambit tertawa, mereka merayap bangun, sebab dengan menjeblaknya pintu, mereka roboh bersama! Di sebelah dafam tampak gelap. Itukah bukan ruang hanya lorong, jalanannya seperti gang. Maka Supu lantas menyalakan obor, untuk menyuluhi. Dengan sebelah tangan menyekat goloknya, ia maju di muka. Tiba di ujung lorong, mereka menghadapi jalan cagak tiga. Di dalam istana ini tidak ada salju, jadi tidak dapat mereka melihat tapak kakinya si penyamun atau empee Kee. Cagak mana mereka harus ambil? Kembali Aman menunjuk keterlitiannya. Ia membungkuk untuk dapat memperiapkan lantai. Ia menda- patkan, cagak kiri dan kanan ada tapak kakinya yang enteng, yang tipis sekali.
Ia memberitahukan apa yang ia lihat itu. “Sekarang begini," berkata Suruke. "Kita pun memecah diri, ialah tiga di kiri, dua di kanan. Di dalam baru kita bertemu." "Tidak dapat kita berbuat demikian," kata Bun Siu. "Istana ini dinamakan istana rahasia, sudah pasti jalannya pun jalan terahasia. Menurut aku paling benar kita tetap berjalan bersama-sama." Suruke menggeleng kepala, "Berapakah luasnya gua ini?" katanya. "Anak perempuan bernyali kecil, sungguh aku kewalahan!" Meskipun ia membilang demikian, kejadiannya mereka berlima berjalan bersa- ma, mereka tidak memecah diri. Lebih dulu mereka mengambil jalan cagak kanan, yang kelihatan lebar. Baru jalan sepuluh tombak, Suruke berpikir. Sekarang ia baru percaya Bun Siu berpikiran lebih panjang. Pula di depan mereka terdapat lagi jalan pecahan. Maka lagi sekari mereka memperhatikan lantai, untuk mengambil jalan yang ada tapak kakinya. Sekian lama mereka berjalan, mereka melihat bahwa saban-saban ada jalan cagak. Aman berlaku cerdik, senantiasa ia menggunai pisau membuat tanda di tembok yaag dilewati. Dengan begitu mereka bisa mencegah yang mereka mundar-mandir di situ-situ juga. Akhir-akhirnya tibalah mereka di tempat yang terang. Mereka mendapat sebuah ruang kosong. Di tempat terbuka ini, mereka mendapatkan pula sebuah pintu berdaun dua. Supu memegang gelang pintu, ia memutar itu. Pintu itu lantas terbuka. Mereka lantas melihat sebuah ruang bagaikan pendopo yang di tembok sekitarnya penuh dengan pelbagai patung malaikat, ada yang terbuat dari emas, ada yang terbikin dari batu kumala dengan biji matanya dari mutiara atau batu permata lainnya, hingga semua mata itu menjadi hidup. Maka tercenganglah lima orang ini. Melewati ruang ini, mereka mendapatkan pelbagai ruang lainnya, mirip dengan kotak-kotak kamar di mana pun ada masing-masing patungnya beserta batu-batu permatanya. Disini pun antaranya ada terdapat tulisan- tulisan huruf Tionghoa di tembok, seperti "Raja dari negara Kao diang", "Wen Tai" dan "Kerajaan Tong, tahun engkoan XIII". Kao Chang itu adalah sebuah negara jaman dahulu di wilayah barat yang rakyatnya makmur dan pemerintahannya kuat. Di jaman Tong tahun Cengkoan, raja Kao Chang yang bernama Chu Wen Tai, menya- takan takluk kepada kerajaan Tong, akan tetapi karena negaranya makmur dan kuat, dia berlaku tidak menghormati kaisar Tong itu, dari itu kaisar Tong mengirim utusannya ke Kao Chang- Kepada utusan itu, raja Kao Chang itu mengatakan: "Burung garuda terbang di langit, ayam hutan betina mendekam di gunung, kucing pesiar di ruang dalam, tikus bersembunyi di liangnya. Mereka itu mendapati tempatnya masing- masing, bagaimana mereka tidak memperoleh kemerdekaannya?" Dengan itu raja maksudkan: "Meskipun kaulah burung garuda yang bengis dan aku hanya ayam hutan yang tidak mempunyai guna, tetapi kau terbang di udara, aku sembunyi di dalam hutan, kau tidak nanti sanggup membunuh aku! Meskipun kau adalah kucing dan aku hanya tikus, tetapi kau mundar-mandir di dalam ruang saja, aku sembunyi di dalam liangku, apa kau bisa bikin terhadap aku?"
Itulah tantangan. Mendengar itu. Kaisar Tong Tay Cong menjadi gusar. Sudah begitu lantas terjadi negeri Kao Chang itu menyerang tetangganya, Yenchi, negara yang menghormati sekali Tong itu. Negara Yenchi itu lantas minta bantuan, atas mana kaisar Tong mengirim panglima perangnya, Hauw Kun Cip, menyerang negeri Kao Chang itu. Ketika Chu Wen Tai mendengar kabar negerinya mau diserang, dia kata pada sekalian menterinya: "Negara Tong itu terpisah dari kita tujuh ribu lie, di antaranya dua ribu lie jalanan gurun pasir di mana tidak ada rumput dan air, yang anginnya meniup tajam seperti golok dan panasnya terik bagaikan membakar diri ini, cara bagaimana dia dapat mengirim angkatan perangnya tiba kemari? Jikalau jumlah angkatan perang- nya terlalu besar, pasti dia tidak dapat mengangkut cukup rangsumnya. Dan kalau jumlah lenteranya kurang dari tiga puluh ribu jiwa maka kita tidak usahlah takut Kita nanti melayani musuh dengan sabar, kita main melindungi kota kita saja, di dalam tempo dua puluh hari, nanti rangsumnya habis, lantas dia bakal mundur sendirinya!" Chu Wen Tai mengetahui baik kegagahannya angkatan perang kerajaan Tong itu maka ia lantas menetapkan siasat tidak berperang itu, siasat menjaga diri saja. Ia mengumpulkan banyak kuli, di sebuah tempat yang tersembunyi dia membangun sebuah istana rahasia. Inilah untuk persediaan guna mengundurkan diri andaikata ia tidak sanggup melawan musuh/ Negeri Kao Chang sedang makmur, di wilayah barat itu banyak tukang yang pandai, maka itu ia dapat membuat istana yang luar biasa itu di mana pun ia menyembunyikan hartanya yang berupa pelbagai batu permata. Ia telah memikir, umpama kata musuh dapat menyerbu ke istana rahasia itu, ia dan hartanya itu tidak bakal dapat diketernukan. Hauw Kun Cip adalah seorang panglima yang pernah turut Lie Ceng belajar ilmu perang, dia pandai memimpin angkatan perangnya, di sepanjang jalan ia dapat maju-dengari cepat, setiap pasukan musuh yang menghadang dapat dilabrak, dari itu ia berhasil melintasi gurun pasir besar. Maka kaget- lah raja Kao Chang itu ketika ia: dilaporkan tibanya musuh demikian pesat, dia kaget dan ketakutan hingga dia mati. Dia lantas digantikan oleh pulennya, Chu Oun Sheng. Dia ini membuat perlawanan, tapi setiap Hauw Kun Cip datang menyerang di luar kota, pasukannya kena dikalahkan. Didalam peperangan ini, Hauw Kun Cip menggunai alat yang dinamakan "Kereta Sarang", yang tingginya sampai sepuluh tombak, hingga mirip dengan sarang burung, hingga alat itu mendapat namanya itu. Kereta itu ditolak sampai di tembok kota, hingga keada- annya lebih tinggi dari tembok kota itu, lalu dari atas, tentera Tong menyerang dengan hujan panah dan batu. Tentara Kao Chang kewalahan, akhirnya Chu Chih Sheng menyerah. Negara Kao Chang itu dibangun oleh Chu Chia Li, turun temurun sampai sembilan turunan, lamanya seratus tiga puluh empat tahun, sampai pada tahun Cengkoan ke 14 dari Kerajaan Tong itu, bara dia musnah. Dialah sebuah negara besar di wilayah barat, sebab luasnya daerah ialah delapan ratus lie di timur dan barat dan lima ratus lie di selatan dan utara. Hauw Kun Cip pulang perang dengan mengangkut Raja Kao Chang beserta seratus pembesamya sipil dan militer dan lainnya, dibawa pulang ke kota raja Tiang-an. Raja Kao Chang menjadi orang tawanan, tetapi istana rahasia buatan ayahnya itu tidak terbocorkan. Selama seribu tahun lebih, di gurun pun terjadi perubahan, di sana tumbuh pepo- honan, maka juga istana itu menjadi bagaikan terlebih terahasia pula, tanpa peta, tidak nanti orang dapat mene- muinya. Suruke berjalan terus, memasuki sebuah kamar, melewatinya, lalu memasuki kamar yang lain dan melewatinya pula. Kebanyakan kamar itu sudah rusak, ada temboknya yang gempur. Di sana-sini pun kedapatan tumpukan-tumpukan pasir kuning, hingga ada pintu kamar yang telah teruruk tertutup. Jalanan berliku-liku, ditambah sama segala yang uruk itu, dilaluinya jadi semakin sukar, kepala pun menjadi pusing. Di samping itu orang kadang-kadang melihat tulang- belulang manusia, yang putihmeletak, pula uang emas dan perak dan barang permata, yang membuatnya mata silau. "Entah ke mana kaburnya Tan Tat Hian si jahanam," pikir Bun Siu, "Dia tidak kedapatan di sini. Mungkin, walaupun dia berada di sini, sukar untuk mencarinya. Harap saja istana ini tidak ada pintu belakangnya-, agar dia dapat dipegat di pintu depan di saat dia hendak mengangkat kaki dengan mengangkut harta karun ini..."
"Mana ayahku?" mendadak Nona Lie mendengar suaranya Aman selagi ia seperti ngelamun itu. Ia lantas menoleh, la menampak Aman dan Supu memasuki sebuah kamar kiri, Suruke dan Cherku tidak kelihatan, la lantas mendekati kedua muda-mudi itu. "Nona Kang," tanya Supu pada Bun Siu----yang sekian lama oleh. empee Kee disebut "Nona Kang"----"apakah kau melihat ayah kami?"
"Tidak," menyahut Bun Siu. "Baru saja kita ada bersama, kenapa mereka lantas tak nampak? Mari kita cari! Awas, istana ini istana rahasia, jangan kita nyasar." Supu dan Aman menurut, maka bertiga mereka lantas mencari. Supu saban-saban berteriak memanggil ayahnya serta Cherku, akan tetapi ia tidak memperoleh jawaban, hanya kupingnya mendengar kumandang yang mendengung di ruang itu. Bernapsu mereka bertiga mencari sampai Aman lupa membuat tanda di tempat-tempat yang mereka lewatkan, hingga untuk sementara, sukar dibedakan mereka telah kembali ke tempat yang telah dilewatkan itu atau belum. Juga mereka tidak dapat melihat rata ke depan, karena kedudukan istana rahasia itu ada di lamping gunung, jadi ada kalanya keduduk- annya tinggi, ada kalanya pun sangat rendah hingga orang mesti berdiri di tempat yang tinggi untuk dapat me- mandang ke bawah itu. Oleh karena wuwungan adalah bagian atas dari gunung, orang tidak dapat melihat dari atas. Orang tidak bisa naik ke atas wuwungan, yang sebenarnya tidak ada, sebab yang dinamai wuwungan mirip lelangit lauwteng. Aman menjadi sangat berkuatir-.. dan berduka hingga air matanya berlinang-linang. Sia-sia Supu membujuki dan menghibur. Saking ruwetnya pikirannya itu, nona itu sampai tidak memanggil- manggil pula ayahnya. Mereka lagi berjalan terus ketika dengan mendadak mereka mendengar suara keras di tembok sebelah kamar: "Eh, Cherku, kenapa kau membacok aku?" Ketiga muda-mudi itu mclcngak. Itulah suaranya Suruke. Segera terdengar suaranya Cherku: "Kau--- kau bikin apa ini?"
Setelah itu kuping mereka mendengar suara beradunya senjata tajam, disusul pula oleh bentakan-bentakan kemarahan Suruke dan Cherku saling ganti. Mereka ini bertiga girang berbareng kaget dan kuatir. "Ayah!" Aman berteriak. "Jangan berkelahi ...Jangan berkelahi!" Di kanan mereka tidak ada pintu, maka Supu lari ke kiri. Ia bermaksud menghampirkan ayahnya dan Cherku, sang paman itu, untuk melihat, guna memisahkan mereka. Sebab aneh mereka itu bertempur satu dengan lain. Hanyalah, pintu yang ada teras menerus di sebelah kiri, dengan begitu, ia bukan tiba ke kamar sebelah itu, ia justeni pergi semakin jauh... Bun Siu dan Aman mengikuti, mereka pun tidak berdaya. Maka kemudian mereka lari balik. Justeni itu mereka dengar, dari kamar di sebelah itu, jeritan yang menyayatkan hati dari Suruke, lantas sunyilah segala apa. Mereka kaget bukan main. Supu menjadi seperti kalap, dia lompat menubruk dengan pundaknya. Tapi ia gagal. Pintu itu kuat sekali dan tak bergeming. Aman yang terliti memasang mata. Ia melihat sebuah batu di pojokan, yang agaknya terlepas, maka ia menghampirkan itu, ia mencekalnya, lantas ia menarik. Ia gagal. Ia lantas dibantu Bun Siu dan Supu. Kali ini mereka berhasil, dengan begitu, dari bekas lolosnya batu itu, mereka bisa mengintai ke kamar sebelah sana. Supu bekerja terus membongkarnya, hingga ia dapat memasuki tubuhnya, molos dari liang itu. "Ayah! Ayah!" ia memanggil berulang-ulang. Segera juga pemuda ini nampak apa yang hebat. Di kamar sebelah itu terlihat tubuh seorang rebah di lantai, di dadanya menancap sebatang golok panjang. Ia mengenalinya, ia lompat menubruk, untuk mengangkat. Atau ia mendapat- kan ayahnya itu telah putus jiwanya!
"Ayah! Ayah!" ia berteriak-teriak, sambil menangis. Bun Siu dan Aman menyusul masuk, mereka berdiri diam disamping Supu. Mereka bingung dan berduka. Supu mencabut galat di tubuh ayahnya itu. Itulah goloknya Cherku. "Supu..." Aman memanggil seraya ia menarik tangannya si pemuda. Ia niat menghibur, hanya tak tahu ia harus mengatakan apa. Supu tengah sangat berduka dan gusar, tangannya melayang ke arah si nona sambil mulutnya menanya bengis: "Mana ayahmu? Mana ayahmu?" Ketika itu di mulut pintu nongol kepala dari satu orang, yang tubuhnya terlihat hanya bagaikan bayangan. Cuma sejenak, kepala itu lantas ditarik pulang, terus dia lari pergi. Walaupun sejenak, itu sudah cukup untuk Supu guna mengenali orang adalah Cherku yang mukanya berlumuran darah, Supu berteriak, tubuhnya bergerak, niatnya memburu. "Supu!" memanggil Aman, tangannya menarik. "Lepas!" bentak si anak muda. "Supu" kata si nona, "aku mau bicara; sepatah kata saja."
"Baik! Bilanglah!" kata Supu, mendongkol. "Ingatkah kau aturan kaum kita tentang perkelahian perseorangan?" tanya Aman. Supu mengertak gigi. "Ingat!**sahumya kaku. Dengan lantas pula wajahnya tampak kesangsian
Bangsa Kazakh bangsa gagah, di antara mereka, asal benterok, perselisihan biasa diakhiri dengan menghunus senjata. Demikian di antara kaumnya Supu, yang termasuk golongan Tiehyen. Dulunya kaum ini gemar sekali berkelahi, lama-lama, jumlah pria mereka jadi tinggal sedikit, sebaliknya, wanitanya tambah banyak, berlebihan. Maka itu, melibat ancaman bahaya itu bahwa golongannya akan kekurangan pria, selang seratus tahun yang lalu satu ketuanya mengadakan aturan untuk mencegahnya. Ialah: "Siapa membunuh orang, hukuman atasnya hukuman mati." Biarnya orang piebu, yaitu bertempur satu sama satu dengan cara terang, ancamannya tetap hukuman mati. Karena adanya hukuman ini, pertempuran menjadi dapat dicegah, .pertambahan anggauta pria lantas bertambah. Aturan ini, aturan lisan, dituturkan oleh setiap orang tua kepada anak-anak muda, agar semua orang mengetahuinya. Maka itu, aturan itu ditaati turun-temurun. Aman menangis, ia kata: "Ayahku telah kesalahan membunuh ayahmu, dia bakal diadili oleh, tertua-tertua kita yang akan menghukumnya, maka itu kau.. jangan kau membunuh ayahku."
Nona ini bingung bukan main. Ia menginsafi kesalahan ayahnya, kalau ayah itu sampai dihukum, bercelakalah ia. Sedangnya ia bingung ini, sekarang ia melihat sikapnya Supu. Ia bisa mengerti yang pemuda ini hendak menuntut balas. Biar bagaimana, tidak ingin ia si pemuda melakukan pelanggaran pula seperti ayahnya itu.
Supu memandang mayat ayahnya. Ia pun menginsafi aturan, yang keras itu. "Baik," katanya, "aku tidak akan bunuh ayahmu. Aku cuma hendak menangkapnya!"
Lantas anak muda ini lari, mulutnya berkaokan: "Cherku! Kau hendak kabur ke mana?" Tidak lagi ia memanggil paman. Tiba-tiba datang jawabannya Cherku: "Aku di sini! Kenapa aku mesti kabur?"
Cherku berada tidak jauh dari situ. Dia benar berlepotan darah pada mukanya. Dengan golok di tangannya dia berdiri tegar, romannya bengis. Supu menghampirkan. Ia membawa goloknya tetapi senjata itu ia tidak lantas menggunakannya. Cuma obor di tangan kirinya, yang ia tancapkan di pasir. Ia kata dengan keren: "Letaki senjatamu! Aku tidak akan bunuh kau!"
"Kenapa aku mesti meletaki senjataku?" Cherku membaliki. "Hm! Apakah kau mengira kau dapat membunuh aku?" Bun Siu dan Aman menyusul. Mereka mendapatkan dua orang itu berdiri berhadapan dengan masing- masing senjatanya di tangan, roman mereka bengis, sikap mereka tegang. "Ayah, sukalah kau lepaskan golokmu," berkata Aman kepada orang tuanya itu. "Supu telah berjanji tidak akan membunuh kau..."
"Kau suruh dia meletaki senjatanya!" kata Cherku dengan jumawa. "Aku juga berjanji tidak akan membunuh dia!" "Benarkah kau tidak hendak melepaskan senjatamu?" tanya Supu bengis, hatinya panas. "Mungkinkah kau benar hendak membunuh aku?"
Cherku tertawa berkakak "Kau, bocah, kau memikir untuk membunuh aku?" dia kata, mengejek. "Jikalau kau mempunyai kepandaian, nah, kau cobalah!"
"Kenapa kau membunuh ayahku?" tanya Supu sengit. Ia berteriak. "Aku... aku hendak menuntut balas untuk ayahku itu!"
Belum lagi Cherku menyahuti ketika mendadak ada angin bertiup keras, hingga obor padam seketika. Hingga ruang menjadi gelap petang. Tibanya sang gelap gulita itu dibarengi sama bentakan dari kemurkaan dari Supu, disusul sama benteroknya senjata, disusul pula dengan robohnya tubuh Cherku... "Jangan berkelahi! Jangan berkelahi!" Aman berteriak-teriak, kuatimya bukan main. Bun Siu sendiri lantas berdaya menyulut api. Setelah obor menyala pula, terlihat Cherku rebah dengan tubuhnya tertancap golok. Dia mati sama seperti matinya Suruke. Di situ Supu berdiri diam dengan tangan kosong, dia menjublak saja. Aman lantas menubruk mayat ayahnya, ia pingsan. Bun Siu maju, guna menolongi nona itu. Sebentar kemudian, Aman tersadar. "Bagaimana, Aman?" tanya Supu, menghibur. Aman gusar. Ia menjawab sengit: "Kau telah membunuh ayahku! Semenjak hari ini, jangan kau bicara pula denganku!" Ia mencabut tusuk kondenya, terus ia mematah- kannya, terus ia melemparkannya ke tanah. "Aku tidak membunuh ayahmu!" berkata Supu, menyangkal. "Kau masih menyangkal?" kata Aman, sengit sekali. Dia menuding kepada golok di dada ayahnya Dia kata pula:
"Apakah itu bukan golokmu? Jikalau bukannya kau yang membunuh ayahku, habis apakah aku? Ataukah kakak Kang?" Supu terdesak hingga ia tidak dapat bicara, kepalanya tunduk.
***
Didalam suku Kazakh bagian Tiehyen itu ada tiga orang tertuanya. Mereka telah mengadakan sidang di mana mereka mendengari tuduhannya Aman serta penyangkalan atau keterangannya Supu, setelah itu mereka berunding sekian lama. Keputusan mereka dinantikan oleh orang-orang bangsanya. Selang sekian lama, ketua yang usianya paling lanjut, yang kumisnya telah ubanan, berbangkit dari kursinya, lalu dengan suara nyaring dan tenang ia mengasih dengar perkataannya: "Adalah aturan dari kaum kita semenjak seratus tahun yang lampau yang melarang pembunuhan di antara kita sendiri, bahwa siapa membunuh, hukumannya ialah hukuman mati.
Supu telah membunuh Cherku, maka itu dia harus dihukum mati!"
Semua orang berdiam sambil berduduk. Supu sendiri seperti mendumal ketika ia berkata: "Aku tidak membunuh Cherku... Aku tidak membunuh Cherku..." Di dalam kesunyian itu, sekonyong-konyong seorang bangun berdiri. Dialah Sangszer, yang terus berkata dengan nyaring: "Cherku ialah guruku, dia dibunuh Supu, perbuatan Supu tidak selayaknya. Tapi di samping itu, terlebih dulu guruku telah membunuh ayahnya Supu, bisa dimengerti yang Supu menjadi berduka dan bergusar hingga dia telah membuatnya pembalasan. Maka itu, kesalahan Supu tidak dapat dipandang dan disamakan dangan pembunuhan yang biasa."
Sangszer ini adalah musuhnya Supu, setiap orang mengetahuinya, sekarang dia menunjuki sikapnya ini, sikap dari satu laki-laki, dia membuatnya orang kagum hingga semua mata diarahkan kepadanya. Supu pun mengawasi dengan sinar mata yang bersyukur. Tatkala Supu berpaling kepada Aman, si nona menoleh ke lain arah, untuk mencegah bentroknya sinar mata mereka. Si tertua yang kumisnya ubanan itu mengangguk. "Kami bertiga pun sama pendapat," ia berkata, tenang. "Supu pun membilang bahwa dia telah menolongi suku kita mendapatkan suatu tempat penyimpanan harta besar dengan apa suku kita bisa menjadi makmur dan ber- bahagia, hingga jasanya itu bukannya kecil, hingga dapat dia menebus dosanya dengan jasanya itu. Supu dapat bebas dari hukuman mati tidak dari hukuman hidup, maka itu putusan sidang ialah: "Mulai hari ini dia diusir untuk selamanya dari kaum Tiehyen kami, dia dilarang pulang, jikalau kedapatan dia pulang secara diam-diam, dia akan dihukum mati tanpa ampun pula!" Supu tunduk, dengan perlahan ia kata: "Aku tidak membunuh Cherku! Tapi, siapa pun tidak percaya aku, bahkan Aman tidak mempercayainya... "
Bab VIII
Supu pergi seorang diri dengan pikirannya tidak keruan rasa. Ia menggendol sebuah bungkusan serta sebuah kantung air. Ia berjalan di antara jalanan yang bersalju. Ia telah diusir dari kaumnya, dari tanah tempat kela- hirannya. Ia diusir untuk selama-lamanya hingga tidak dapat ia kembali ke kampung halamannya itu. Ayahnya, yang ia cintai, telah mati, dan kekasihnya, Aman, telah menjadi musuhnya. Di dalam dunia yang luas ini, ia sekarang menjadi sebatang kara. Ada satu pertanyaan yang tidak mau pergi dari dalam hatinya. Itulah hal yang sangat membikin ia heran, yang tak ia mengerti. Inilah dia: "Terang sekali aku tidak membunuh Cherku! Kenapa golokku dapat nancap di dadanya? Ketika di saat itu api padam dengan tiba-tiba, aku cuma merasa ada orang menyamber dan merampas golok dari tanganku. Adakah perampas itu Cherku, yang karena telah membunuh ayahku, lalu menjadi malu sendirinya dan merampas golokku untuk membunuh diri? inilah tidak mungkin terjadi! Cherku bukan semacam laki-laki! Dia pun mempunyai goloknya sendiri, perlu apa dia merampas golokku? Mungkinkah, dalam saat murka itu, aku sampai lupa akan diriku, aku membunuh Cherku di luar tahuku? Ya, inilah mungkin, inilah mungkin..." Ia berjalan terus, pikirannya itu pun bekerja teras. Ia menimbang- nimbang, ia menanya dirinya sendiri, tetapi tidak dapat ia memberikan jawabannya. Pikirnya pula: "Tidak, itulah tidak mung- kin. Ketika itu, pikiranku sehat sekali, pikiranku tidak kacau! Luar biasa aku membunuh orang tetapi aku tidak tahu! Cherku musuhku, sebab dia membunuh ayahku, dengan membunuh dia, aku tidak menyesal, hanya aneh adalah duduknya peristiwa! Aku tidak membunuh dia! Habis, siapakah? Mungkinkah benar, di dalam istana rahasia itu ada memedinya?" Lama Supu berjalan, lama ia berpikir, akhirnya, ia mengarahkan kudanya ke ista- na rahasia. Ia merasa kesepian. Ketika beberapa hari yang lalu ia pergi mencari istana itu, ia ada bersama ayahnya serta Aman, juga beserta si nona Kang yang pendiam, yang sinar matanya bagus dan tajam "Seka- rang setelah ayahku mati, aku hidup bersendirian. Dengan Aman aku tidak bakai bertemu pula untuk selama-lamanya. Umpama kata kita dapat bertemu, dia sangat membenci aku. Bagaimana dengan si nona Kang? Dia pun setahu telah pergi ke mana... Semenjak berlalu dari istana rahasia, terus aku tidak melihatnya...**
Demikian pemuda-ini ngelamun dalam pikirannya. Ia berduka, ia mendongkol, ia pun bercuriga, ragu-ragu. Ia berada dalam kesunyian tetapi ia tidak takut. Maka ia telah mengambil keputusan guna mencari sesuatu di dalam istana rahasia. Ia menganggap lebih baik lagi kalau ia dibinasakan memedi gurun! Bukankah di dalam dunia ini sudah tidak ada apa-apa lagi yang berarti? Sementara itu di dalam salah saru kamar di Istana Rahasia Kobu, Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian lagi duduk berhadapan, bergantian atau berbareng mereka tertawa terbahak-bahak, saking girangnya, saking puasnya, hati mereka. Bersama mereka pula turut bergembira tiga puluh lebih pengikut- pengikut mereka. Sebab kantong dari setiap dari mereka telah penuh isinya yang berupa barang-barang permata yang banyak sekali, bahkan umpama kata setiapnya membawa sepuluh buah kantong, tempat itu masih kekurangan guna dapat mengangkut semua harta karun dari kamar rahasia itu-tak satu perseratus atau satu perseribunya...
"Shatee," berkata Goan Liong, "kita telah berlalu dari rumah belasan tahun lamanya, sekarang ini barulah maksud hati kita tercapai. Semua ini ialah karena jasa kau yang bukan kecil itu. Duluhari kita bersusah hari karena kita tidak bisa mencari harta karun ini. sekarang ini kita bersusah hati disebabkan kita tidak sanggup mengangkut aemua harta ini karena jumlahnya harta sangat banyak! Bagaimana harta ini dapat diangkut semua?" Tat Hian tertawa tetapi ia berkata: "Apa yang aku buat susah hati sekarang adalah satu urusan lain..." -
"Apakah itu, shatee?" Goan Liong tanya. "Adakah dia si tua bangka bongkok seperti unta itu? Kalau dia, meski- pun dia terlebih lihai lagi, dengan dua tangannya dia tidak dapat melawan empat buah kepalan. Mungkinkah dia berani menepuk laler di kepalanya harimau?" ia menoleh kepada sebawahannya, yang menjadi tauwbak atau kepala rombongan seraya berkata: "Eh, Lao Sin, pagi kau mengajak sepuluh saudara, kau tengok segala bagian dari istana ini, periksa biar tertib!" Tauwbak she Sin itu mengangguk, dengan lantas ia berlalu bersama sepuluh kawannya. Di antara mereka itu ada yang tidak sabaran, sembari jalan dia mengoceh: "Memeriksa saja tak hentinya! Di sini di mana ada si bungkuk unta?" Supu di lain bagian telah menyembunyikan diri, ia mepet ditembok di belakang pintu, membiarkan rombongan si Sin itu lewat. Ia tiba di dalam istana rahasia itu di saat yang tepat Beruntung untuknya, si Sin tidak bercuriga bahwa di belakang pintu ada yang bersembunyi, mereka itu lewat terus sambil membawa obor sebagai alat penerangan. Supu lantas mendengar pula suaranya Tat Hian: "Si tua bangka bungkuk tetaplah seorang tua bangka, orang yang aku kualirkan ialah si orang Kazakh.-"
Supu jadi sangat ketarik, hingga ia memasang kuping dengan perhatian sepenuhnya. "Mereka itu terdiri dari lima orang, mereka telah mengikuti jejak tapak kakiku," si orang she Tan melanjuti. "Entah kenapa, dua di antaranya, dua orang,.pria yang telah berusia lanjut, telah kedapatan mati di dalam istana ini..." Sebenarnya Supu mau menduga Cherku dibinasakan Tat Hian, tetapi mendengar perkataan ini, penyamun itu tidak dapat diterka. Maka itu, siapakah pembunuhnya Cherku? Hok Goan Liong tertawa, "Mereka itu telah melihat harta karun ini, tidaklah aneh jikalau mereka jadi mata gelap dan saling bunuh," katanya. "Itu pun masuk akal."
"Yang aku paling kuatirkan," kata pula Tat Hian, "ialah itu tiga muda-mudi anjing Kazakh... Kalau mereka pulang kepada bangsanya, bisa jadi mereka bakal datang pula dalam satu pasukan besar untuk mengangkut semua harta karun ini..." Mendadak Goan Liong berjingkrak bangun. "Shatee, kau benari" serunya. "Sebetulnya mereka itu bertiga harus bekerja diam-diam mengangkut harta ini, tetapi mereka muda dan tolol, memang mungkin mereka memberitahukannya kepada bangsanya. Taruh kata mereka berdiam-diam saja, di belakang hari, rahasia mereka itu bakal bocor sendirinya. Sekarang, shatee, bagaimana pikiranmu?" "Telah lama aku pikirkan itu, aku masih belum berhasil memperoleh jalannya yang sempurna," menyahut Tat Hian. "Mereka berjumlah banyakan, jumlah kita kecil sekali, jikalau kita melawan bertempur, sulit untuk kita memperoleh kemenangan. Aku pikir, paling benar ialah kita yang turun tangan terlebih dahulu..."
"Bagaimana itu?"
"Secara diam-diam kita menyateroni ke tempat mereka. Kita menyerang sambil membakar..."
Perkataannya Tat Hian berhenti secara mendadak. Kebetulan sekali, mereka mendengar jeritan nyaring, yang nadanya menyayatkan. Keduanya kaget dan heran, keduanya lantas menyiapkan senjatanya masing-masing. Segera setelah itu, mereka mendengar tindakan kaki berlari-lari, disusul munculnya seorang sebawahannya, yang terus melaporkan: "Toa... toapiauwtauw dan sampiauwtauw, Lao Sin jatuh kecemplung!..."
"Jatuh kecemplung?" tanya Goan Liong heran.
“Benar. Lao Sin kena injak perangkap, dia terjeblos jatuh dalam..."
Tat Hian mengangguk. "Di dalam istana rahasia ini ada perangkapnya, inilah tidak aneh," katanya. "Mari kita pergi melihat!"
Goan Liong setuju, maka berdua mereka pergi. Si pelapor jalan di muka sebagai penunjuk, yang lainnya mengikuti Mereka melintasi delapan kamar, sampai di sebuah yang lain di mana berkumpul semua kawan, yang ribut bicara satu dengan lain, mata mereka melongok ke lantai, roman mereka tegang. Di lantai ada sebuah liang besar luas setombak, tempo disuluhkan, di dalam liang itu tidak nampak apa-apa saking gelap dan dalam. Jadi itulah liang seperti tanpa dasar. "Tadi Lao Sin jalan di muka," seorang memberi keterangan, "mendadak dia terjeblos dan kecemplung..." Tat Hian melongok ke liang perangkap. "Lao Sin! Lao Sin!" ia memanggil-manggil. Tidak ada jawaban kecuali jawaban sang kumandang dari dalam liang itu. Tat Hian memandang Goan Liong, Goan Liong mengawasi padanya, hati mereka sama-sama bekerja. Dengan sendirinya mereka merasa jeri. "Di dalam istana ini disimpan harta besar, pantas kalau perangkap dipasang untuk menjaga gangguan pencuri," kata Tat Hian kemudian. "Mungkin masih ada perangkap lainnya lagi, maka itu selanjurnya kita harus berhati-hati." Goan Liong tidak bilang suatu apa hanya ia memandang satu tauwbak she Pit "Lao Pit," katanya, "coba kau ikat tubuhmu dengan dadung, lalu kau turun, untuk lihat Lao Sin, untuk mencoba menolongi dia."
Tauwbak itu berdiam, wajahnya menunjuk kesangsiannya. Ia rupanya jeri memasuki liang itu, yang tak ketahuan dasarnya. "Apa? Apakah kau tidak dengar?" tanya Goan Liong, wajannya suram. "Toapiauwtauw," sahut si tauwbak. "Si Sin terjeblos lama juga, suaranya tidak ada sama sekali, tentu dia sudah mati..."
"Tapi aku menyuruh kau turun untuk melihat, untuk menolongi kalau perlu!" kata pemimpin itu, gusar. "Kalau benar dia sudah mati, mayatnya harus diangkat." "Apakah artinya kalau dia mati?" tauwbak ita tanya sambil tertawa. "Untuk kita, matinya satu orang berarti kurangnya satu orang, dan itu berarti juga kurangnya bagiannya satu orang atau berarti kita mendapat bagian lebih banyak..." Hok Goan Liong tertawa, ia mengangguk. "Kau benar!" bilangnya. "Mati satu orang berarti kurang satu orang!..."
Mendadak tangannya pemimpin ini melayang, dengan satu suara nyaring, tubuh si Pit terpelanting, jatuh ke dalam liang perangkap! Bukan main si Pit merasakan sakit dan kaget, dia menjerit keras, tangannya menjam- bret, guna menolong dirinya. Ia tidak herhasil memegang dadung, yang melongsor turun di pinggiran liang itu, dengan tangannya merosot, tubuhnya turun terus. Karena tertarik, dadung itu membikin tembokan tergerak dan gempur. Tat Hian kaget sekali, tetapi ia masih ingat untuk membabat ke arah dadung, hingga tembokan tidak tertarik terus, tidak turut gempur semuanya. Cuma tubuhnya si Pit, yang tak tertahan lagi jatuhnya. Semua orang kaget hingga mereka melongo. "Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya!" kata beberapa
orang. "Syukur sampiauwtauw sebat, kalau tidak, kita bisa roboh semua dan keunikan pasir!"
Tat Hian tidak membilang apa-apa hanya lantas ia memeriksa liang perangkap itu. la mendapatkan sebuah gelang, ketika ia menarik itu, papan batu jebakannya bergerak, naik sendirinya, hingga liang jadi tertutup pula
seperti biasa, lenyap tanda-tandanya perangkap itu. "Sungguh pandai orang yang memasang perangkap ini!"
Goan Liong memuji. Dia seperti ingat lagi bahwa baru saja dia menghukum satu tauwbak-nya. "Kalau begini, pasti sudah situa bungkuk itu telah mati di dalam istana ini, jadi tidak usah kita mencari dia terlebih jauh!"
Ia lantas mengajak semua orang kembali ke ruang kamar tadi "Toako, di luar dugaan kita menemui istana ini, itu artinya untung kita," kata Tat Hian. "Sekarang kita pun mendapatkan liang perangkap itu, maka aku pikir, kalau benar orang-orang Kazakh datang kemari, baik kita jebak mereka di liang perangkap itu. Aku percaya, seratus atau dua ratus musuh tidak ada artinya untuk kita..."
Goan Liong bertepuk tangan. "Bagus!" serunya. "Ya, kita jebak mereka! Datang satu mati satu, datang dua mati sepasang!" Supu bergidik. Ia telah mendengar dan melibat semua. Ia menjadi ingat kepada Aman. Nona itu tentu bakal mengajak orang-orang bangsanya datang ke istana ini untuk mengambil harta karun. Kalau mereka datang, mereka pasti akan terancam bahaya besar. Dapatkah ia berdiam saja? Tidak, ia mesti cegah mereka itu-ia mesti menolongi mereka! Maka tanpa ragu-ragu lagi, diam-diam ia berjalan keluar dari istana itu. Ia mau melakukan perjalanan pulang, guna memegat rombongannya Aman, untuk memperingati mereka itu dari bahaya yang mengancam mereka. Tengah ia berjalan itu, mendadak ia mendengar bentakan: "Siapa kau?" Bentakan itu disusul sama satu bacokan ke arah kepala. Dalam kagetnya, Supu lompat berkelit- Ia tidak men- jawab hanya lari terus. Masih ada seorang lain yang merintangi pemuda ini dia melihat si pemuda, si pemuda sebaliknya tidak. Dia muncul dengan mendadak, tanpa bersuara, dia menyerang dengan kakinya dia menyapu. Supu tidak berdaya lagi, ia roboh. Tapi, ketika dia ditubruk, untuk dibekuk, ia ingat membela diri, maka ia lantas menyambut! dengan tikaman. Orang itu tidak menyangka, dia tidak bisa menangkis atau berkelit. Cuma sekali dia menjerit keras, lantas tubuhnya roboh, jiwanya melayang. Hanyalah Supu, tidak dapat ia meloloskan diri. Belum lagi ia sempat berlompat bangun, sebatang golok sudah ditempelkan ke batang lehernya. "Jangan bergerak!" demikian ia mendengar ancaman. Selagi tengkurap, Supu tidak bisa melihat siapa orang itu. Ia ter- paksa berdiam saja sambil mendekam. Orang itu sebaliknya mengawasi kepada kawannya, waktu dia mendapat kenyataan si kawan telah terbinasa, dia menjadi gusar, dia lantas mengayun goloknya kepada lehernya si pemuda Selagi Supu tidak berdaya dan tangan orang itu terayun, di situ terlihat menyambarnya barang putih berkilauan, barang mana ---- serupa pedang kecil menancap di dada si pengancam itu, hingga dia menjerit dan roboh terjengkang, goloknya terlepas, jatuh di tanah. Baru sekarang Supu, yang merasa heran, dapat berlompat bangun. Ia mendapat kenyataan pedang pendek itu nancap di dada dan merampas jiwa kurbannya. Ia menjadi heran. Ia menduga-duga, siapa penolongnya itu. Selagi ia berdiam, seorang nona muncul dari belakang pepohonan, nona itu lantas mengambil pedang pendek itu dari dada si penjahat, terus darahnya disusuri. Melihat nona itu, Supu terkejut berbareng girang. "Nona Kang" serunya. "Terima kasih untuk pertolo- nganmu." Nona itu Bun Siu adanya. Dia bersenyum. Lantas dia menggusur mayatnya kedua penjahat itu, di lelaki saling berhadapan, tangan mereka dibikin masing-masing mencekal pisau belati, pisau mana saling nancap di dada mereka. Dengan begitu nampak mereka seperti saling menikam. "Bagusi" berseru Supu memuji. Ia dapat membade maksud si nona. "Kalau kawan mereka ini mendapati mereka, mereka itu bisa menyangka mereka saling bunuh. Nona Kang, setindak saja kau datang lambat, tentulah aku sudah bercelaka..." Di dalam hatinya, Bun Siu tertawa "Kau mana tahu yang aku senantiasa mengintil dibelakangmu? Mana bisa menjadi aku datang terlambat?" Memang benar Nona Lie senantiasa menguntit Supu semenjak mereka ke luar dari istana rahasia. Kalau Supu mengikuti Aman, untuk menghadap tertua mereka, ia diam-diam menghilang, untuk di lain saat menjadi seperti bayangan si anak muda. Begitulah ia mendapat tahu Supu diusir, lalu Supu pergi tanpa tujuan, sampai orang menuju ke istana rahasia itu. Supu mendengar dan melihat aksinya Tan Tat Hian semua, Bun Siu sebaliknya melihat gerak-geriknya itu. la lihai ilmunya enteng tubuh, sedang Supu melainkan seorang kuat di antara pemuda-pemuda Kazakh.
"Sekarang mari kita lekas pergi," kata Bun Siu kemudian. "Kalau musuh keluar semua, tidak dapat kita melawan mereka." Supu pun insaf akan bahaya, maka ia menurut. Lebih dulu mereka masuk ke pepohonan lebat, dari situ mereka berjalan pulang. Di sepanjang jalan, Supu memberi keterangan dari halnya dia telah diusir dari kaumnya. "Nona Kang, benar-benar Cherku bukan dibunuh olehku," kemudian ia memberi kepastian, "kecuali saking gusar dan bersusah hati, aku membunuhnya di luar tahuku..." Bun Siu kenal pemuda ini semenjak masih kecil, ia percaya kejujurannya, hanya pembunuhan terhadap Cherku memang aneh sekali. Di dalam istana itu tidak ada lain orang. Ialah yang mengunci pintu. Kalau si pembunuh bukan Supu, habis siapa? Tidak mungkin Aman membunuh ayahnya. "Benarkah Aman membunuh ayahnya sendiri?" ia tanya dirinya. Ia menggigil kalau ia membayangi benar-benar Aman berbuat demikian. "Tapi tidak, itulah tak dapat! Hanya, benar juga di dalam dunia suka terjadi hal yang luar biasa sekali... Sekarang satu dalam dunia, Supu jujur atau Aman sipembunuh..." Perjalanan mereka berdua di lanjuti. Sekarang mereka berada di jalan berpasir yang penuh salju. Mereka berjalan dengan merendengi kuda mereka. Inilah saat yang Bun Siu mengharap-harapnya. Ia merasa senang berbareng berduka. Supu sebaliknya senan- tiasa mengingat Aman, kalau ia membuka mulut, nama Aman adalah yang dibuat sebutan. Demikian katanya: "Kalau Aman membawa orang-orang bangsanya datang mengambil harta, mereka pasti bakal bercelaka di tangan kawanan penyamun yang licin itu, maka itu, nona Kang, mesti aku bicara dengan mereka, untuk mem- beri keterangan. Aman harus dikisiki."
"Benar. Dia mesti dipesan untuk waspada," Bun Siu bilang-Supu mengangguk. "Nona Kang," katanya pula selang sesaat, "benar-benar bukan aku yang membunuh Cherku, maka itu tolong kau pikirkan jalan untukku dapat akur pula dengan Aman..." Ia menjambak rambutnya saking masgul. Ia menambahkan: "Kalau aku menemukan Aman, mungkin dia membunuh aku, kalau tidak, mungkin aku tidak bakal hidup lebih lama pula..."
"Sabar saja," kata Nona Lie. "Mungkin kau dapat melupakan dia. Kau tahu, duluhari, semasa aku masih kecil, aku sangat menyukai satu anak laki-laki. Sayang kemudian dia tidak mernperdulikan aku, hingga aku jadi ber- susah hati, hingga aku menyesal tidak dapat aku mati saja. Selewatnya beberapa tahun, aku lantas tidak memikir pula untuk mati..." "Kalau begitu, anak laki-laki itu satu telur busuk!" kata Supu. "Kaulah satu nona yang baik sekali, mengapa dia tidak mempedulikanmu?" . Bun Siu menggeleng kepala. "Bukan, anak itu bukan telur busuk," katanya. "Adalah ayahnya yang melarang aku menemui- nya." "Ah, kalau begitu, ayahnya itulah si manusia tolol dungu!" kata Supu pula. Ia mengawasi si nona, ia menambahkan: "Ayahku adalah seorang ayah yang baik, dia senang dengan Aman, dia mengharap- harap aku menikah Aman, maka-- -- ah ---- sayang sekali, Cherku telah membunuh ayahku..." Bun Siu pun mengawasi. "Kalau semenjak sekarang kau tidak melihat lagi Aman, mungkin kau dapat melupai dia," katanya, suaranya rada bergemetar. "Dan mungkin kau akan bertemu seorang nona lain yang cantik..." "Tidak, untuk selamanya tidak dapat aku melupakan Aman!" kata Supu, tegas. "Lain nona cantik tidak ada di mataku!" Ia berhenti sebentar, lalu ia tertawa. Ia menyesal ketika ia berkata: "Kaulah penolongku, terhadapmu aku sangat bersyukur. Pula aku sangat menghormati kau!"
Bun Siu berdiam, hatinya bekerja. Magrib itu mereka singgah, untuk masing- masing menggali salju dan pasir, untuk menempatkan diri melewati sang malam Di antara kedua liang, mereka menyalakan unggun. Di atas mereka terlihat langit yang biru dengan bintang-bintangnya berkelak-kelik. Angin mendesir-desir, membuat salju beterbangan. Kebetulan ada dua lempengan salju yang terbang berbareng, sambil menunjuk itu Bun Siu kata: "Kau lihat, bukankah itu mirip sepasang kupu-kupu?"
"Ya, mirip sekali," menyahut Supu. "Sudah lama, lama sekali, ada seorang nona Han yang mendongeng kepadaku tentang seorang pemuda Han nama Nio San Pek serta seorang nona Han nama Ciok Eng Tay, bahwa mereka itu berdua bersahabat kekal satu pada lain, hanya kemudian ternyata, ayahnya Eng Tay mela- rang anaknya menikah sama San Pek. Atas itu, San Pek menjadi sangat berduka, dia jatuh sakit dan mati karenanya. Pada suatu hari Ciok Eng Tay lewat di tempat pekuburannya Nio San Pek, dia mampir, dia menangis dikuburan itu..." Mendengar itu, Bun Siu membayangi kejadian pada kira-kira sembilan tahun yang lalu: Itu waktu di sebuah bukit kecil ada berduduk berendeng sepasang muda-mudi cilik, sambil menilik kambing mereka, mereka memasang omong. Si pemudi bercerita, si pemuda, mendengari. Bercerita sampai dibagian yang menarik hati, mata si pemudi mengembang air, wajah si pemuda berduka. Sekarang Bun Siu tahu, si pemuda adalah Supu di depannya ini, Supu sebaliknya menganggap si pemudi telah meninggal dunia...
"Ciok Eng Tay mendekam di kuburan itu, dia menangis sedih sekali," Supu melanjuti ceritanya. "Mendadak kuburan itu melekah, lantas Eng Tay lompat masuk ke dalamnya. Setelah itu, Nio San Pek dan Ciok Eng Tay tercipta menjadi sepasang kupu-kupu, dan untuk selanjutnya mereka tidak pernah berpisah lagi."
"Ceritamu ini menarik hati," kata Bun Siu "Sekarang mana si nona yang bercerita padamu itu? Ke mana dia perginya?" "Dia telah meninggal dunia. Itu sapu tangan dengan peta istana rahasia adalah sapu tangan yang dipakai membalut lukaku."
"Apakah kau masih ingat dia?"
"Tentu saja. Aku sering memikirkannya!*'
"Kenapa kau tidak pergi menjenguk kuburannya?"
"Aku akan pergi melihatnya nanti setelah aku dapat mencari si orang tua bungkuk itu. Aku hendak mengajak dia bersama." "Umpama kata kuburannya itu melekah, dapatkah kau lompat masuk ke dalamnya?"
Supu tertawa. "Cerita itu ialah dongeng, itu bukan kejadian yang benar." "Umpama kata nona itu sangat memikirkan kau dan dia mengharapi siang dan malam untuk kau senantiasa menemui dia, karena mana benar- benar terjadi kuburannya melekah, maukah kau melompatnya untuk dapat menemani dia?"
Supu menghela napas.
"Tidak," sahurnya, jujur. "Nona itu melainkan sahabat eratku semasa masih kecil, sedang aku sendiri, selama hidupku ini, aku cuma mengharapi Aman yang senantiasa menemani aku."
Bun Siu menanya terlebih jauh. la telah menemui jawaban yang ia harap-harap. Kalau ia menanya terus, mungkin ia akan jadi sangat bersusah hati. Dalam kesunyian itu, tiba-tiba seekor burung malam nilam mengasih dengar suaranya, suara yang menggiurkan tetapi juga menyedihkan. "Duluhari itu aku suka menangkap burung nilam untuk dibuat main hingga dia mati," berkata Supu, "akan tetapi setelah aku bertemu sama nona itu, aku dapat menyingkirkan kebiasaanku itu. Si nona sangat menyukai burung nilam, waktu aku menangkapnya seekor, ia mengasihkan aku gelang kumala asal aku melepaskan burung itu. Sejak itu aku talak menangkap lagi burung, hanya aku terus mendengari suaranya setiap malam Kau dengar, tidakkah lagunya sangat menarik hati?" Bun Siu agak terkejut "Bagaimana dengan gelang kumala itu?" ia tanya. "Apakah itu masih ada padamu?"
"Itulah kejadian sudah lama. Gelang itu telah pecah, sudah hilang."
"Ya, itu kejadian sudah lama, gelang itu telah pecah, sudah hilang..." katanya, mengulangi Sang burung bernyanyi terus. Supu tidur bermimpi, memimpikan Aman membujuk! ia agar ia jangan masgul. Ketika ia sadar, ia kata pada kawannya: "Nona Kang, aku mimpi bertemu Aman..." Tapi ia tidak memperoleh jawaban. Si "Nona Kang" telah tidak ada di dekatnya. Entah kapan perginya dia. Entah ke mana perginya...
Bab IX
Supu mengawasi ke tempat tidurnya Bun Siu. Ia merasa si nona aneh kelakuannya. Ia cuma heran, ia tidak memikirkan lama. Lantas ia meraup salju, untuk mencuci mukanya, untuk dimakan juga. Setelah itu ia naik kudanya dan pergi. Kira-kira tengah hari, pemuda ini mendengar ramainya tindakan kaki kuda. Ia menuntun kudanya mendekati bukit, untuk melihat Ia mengawasi sampai ia melihat nyata. Itulah rombongan orang-orang Tiehyen yang menjadi suku bangsanya. Ia mengenali dari dandanan mereka. Mereka pada membeka! senjata, jumlahnya lebih daripada tiga ratus jiwa. Yang jalan di depan ada Aman serta tiga ketua mereka. Di damping Aman masih ada seorang lain, satu pemuda, ialah Sangszer. Setiap orang itu membawa kantung. Terang mereka itu mau pergi ke istana rahasia untuk mengeduk harta karun. "Syukur," pikir Supu, "coba aku tidak mendengar pembicaraan kawanan penyamun itu, yang hendak menggurui akal licin, pasti mereka ini akan terjebak semuanya ke dalam liang perangkap..." Maka ia lantas lompat naik atas kudanya, ia melarikannya untuk memapak! rombongan bangsanya itu. Ia berteriak-teriak: "Aku Supu! Aku hendak bicara! Ada urusan sangat penting!**
Si ketua yang kumisnya ubanan mengenali si anak muda, ia menjadi gusar.
"Supu" tegurnya, "apa maumu datang kemari? Tahukah kau aturan kaum kita terhadap orang yang sudah diusir?" Bangsa Kazakh ini bangsa penggembala yang tidak ketentuan tempat kediamannya, mereka pergi ke mana mereka suka, meski begitu, ke mana juga mereka pergi, seorang bangsanya yang telah diusir tidak dapat menemui mereka pula, dan orang itu juga tidak dapat bicara sama mereka. Maka itu, perbuatan Supu ini melanggar aturan mereka itu. "Aku hendak membicarakan urusan sangat penting," kata Supu, membelai.
"Kau masih tidak mau lekas pergi?" si ketua menegur. "Asal kau berani bicara lagi satu patah, aku akan menitahkan melepaskan anak panah!" Ia lantas meneruskan kepada Sangszer: "Siapkan panahmu!"
Sangszer menurut, ia laatas bersiap. Tapi Supu tidak mau pergi, bahkan dia kaburkan kudanya datang mendekati "Aman!" katanya pada kekasihnya, "jangan kau pergi ke istana rahasia! Berbahaya!" Matanya si nona berlinang. "Lekas kau pergi!" bilangnya. "Jangan kau bicara sama aku!"
Sementara itu Supu melihat ancaman anak-anak panah. Tapi ia ingat baik-baik ancaman bahaya dari Hok Goan Liong. Maka ia kata: "Aku mesti bicara denganmu!" "Panah!".berseru si ketua, murka. Sangszer lantas mele- paskan cekatannya kepada tali panahnya, yang telah ditarik sedari tadi. Supu kaget. Tapi anak panah mengenai leher kuda tanpa melukakan. Anak panah itu telah dibuang tajamnya. "Supu, dengar!" kata pemuda itu. "Mengingat persahabatan kita duluhari, panahku itu tidak ada kepalanya, tetapi jikalau kau tetap tidak mau mendengar titahnya ketua kita, panahku yang kedua tidak mengenal kasihan lagi!" Dan ia menyiapkan anak panahnya yang kedua itu. Benar, anak. panah ini berkepala tajam, kepala itu bersinar di cahaya matahari.
"Bapak ketua, istana rahasia berbahaya..." kata Supu. Dia belum menutup mulurnya, atau si ketua telah memerintahkan: "Panah!" Menyusul itu beberapa batang anak panah menyambar ke arah Supu, suaranya mengaung. Hanya semua itu lewat di samping si anak muda. Inilah tanda, orang masih mengingat sesama suku. Si ketua lantas menyiapkan panahnya, ketika ia hendak memanah. Aman maju dengan kudanya, menghalang dihadapannya. Nona ini berkata kepada Supu: "Supu, pergi lekas! Kau telah membunuh ayahku, untuk selamanya tidak dapat aku baik kembali denganmu!..." Justru itu sebatang anak panah menyamber pundaknya anak muda itu! Supu melihat bahwa ia telah tidak mempunyai harapan pula, dengan terpaksa, ia kaburkan kudanya. Ia menahan sakit, setelah mencabut anak panah di pundaknya itu, ia membalut lukanya. Ia masih melihat tiga ratus lebih orang-orang bangsanya menuju ke arah istana rahasia. Ia pun melihat Aman beberapa kali menoleh kepadanya, sinar matanya menunjuk entah dia mencinta atau membenci, berduka atau menyesal... Sambil menungkuli rasa sakitnya, Supu berpikir. Dapatkah ia membiarkan orang-orang bangsanya itu menempuh bahaya? Di antara mereka itu banyak kawan-kawan akrabnya. Tidak I Ia mengambil putusan. Maka setelah rasa nyerinya berkurang, ia naik atas kudanya, untuk mengaburkannya, guna menyusul rombongan bangsanya itu. Hari ini Supu mesti mundar-mandir tetapi ia melupakan letihnya. Sampai sore baru ia dapat singgah, sedikit jauh diluar tendanya rombongan bangsanya itu. Ia tidak berani menemui Aman atau lainnya orang. Demikian pula pada besoknya. Hanya ia melombai mereka, hingga ia sampai terlebih dulu dimuka istana rahasia. Ia bersembunyi di antara pepohonan. Dari magrib ia menunggu sampai tengah malam, baru ia melihat rombongan bangsanya tiba. Terus saja, dengan banyak berisik, rombongan itu masuk ke dalam gua. Ia menguntit mereka Karena ia sudah kenal baik istana itu, ia mengambil lain jalan. Aman yang memimpin rombongannya Ia mengambil jalan yang ia telah kenal. Setibanya di dalam, ia berduka, lenyap kegembiraannya selama di tengah jalan. Di sini ia ingat ayahnya, kebinasaan ayah itu serta ayah Supu, bagaimana karenanya ia menjadi berpisah dari Supu. "Supu cuma menakut-nakuti kita!" berkata si ketua selagi mereka berjalan terus. "Katanya istana rahasia ini berbahaya, buktinya di sini aman! Makin besar dia jadi makin tidak keruan, sampai dia berani mendustai" Mereka maju terus. Sesudah melewati beberapa kamar, lantas mata semua orang menjadi silau. Di depan mereka berserakan banyak emas, perak dan mutiara: Semua orang menjadi heran dan kagum. Mereka girang luar biasa. Sesudah tercengang sejenak, lantas semua bekerja, mengisikan kantung bekalan mereka dengan semua barang berharga itu. Tengah mereka itu bekerja, tiba-tiba pintu di samping mereka terpentang, di situ muncul seorang Han dengan tangan memegang golok panjang. Dia lantas membentak: "Kawanan budak tidak tahu mampus! Kenapa kamu berani memasuki istana ini dan mencuri hartaku? Lekas antari jiwamu!"
Orang-orang Kazakh itu menjadi kaget "Berandal Han! Berandal Han!" mereka berteriak-teriak. Lalu dua anak muda mendahului maju menyerang. Berandal itu gagah, setelah beberapa jurus, ia berhasil melukakan pundak- nya satu pemuda. Atas itu, lagi dua pemuda maju, untuk membantui kawannya. Si berandal mundur, ia dirang- sak. Tiba-tiba ada lagi pintu terbuka, lagi satu orang muncul. Dia memegang tombak, ujung tombaknya tahu- tahu telah nancap di dadanya seorang muda, hingga dia ini lantas roboh, jiwanya melayang! Semua orang Kazakh terkejut Si ketua menghela napas, ia berkata perlahan: "Semua mengepung dulu berandal! Harta ini kita urus belakangan!" Di dalam hatinya, ia pun pikir: "Kalau begini, Supu tidak mendusta..." Kedua penjahat Han itu dikejar melintasi beberapa kamar, lantas mereka memisah ke kiri dan kanan. "Rombongan kesatu dan kedua pergi ke kiri, mengejar berandal itu!" si ketua berseru. "Rombongan ketiga dan keempat turut aku ke kanan!" Perintah itu diturut. Rombongan Kazakh itu memang telah dipecah empat, masing-masing ada pe- mimpinnya sendiri. Ketua ini dan rombongannya maju cepat. Di sebuah pintu pinggiran, yang daun pintunya terpentang secara tiba-tiba, mereka dipegat seorang Han, yang menyerang mereka. Mereka melawan. Hanya sebentar, berandal itu lari balik. "Kejar!" si ketua menitahkan. Berandal itu bertemu sama kawannya, terus mereka lari berpisahan. "Rombongan ketiga mengejar ke kiri!" si ketua memerintahkan. "Rombongan keempat turut aku" Dan ia mengubar ke kanan. "Bapak ketua!" mendadak Aman berkata. "Jangan-jangan berandal menggunai tipu, mereka menghendaki kita bercerai-berai!" Si ketua mengangguk. "Jangan takut! Orang kita besar jumlahnya!*' katanya kemudian. Benar saja, di sebelah depan muncul pula lain berandal, dia bergabung sama berandal yang lagi dikejar itu. Hanya sebentar, mereka pun lari berpisahan. Kali ini si ketua tidak memisah rombongannya, ia hanya menitah mengejar terus berandai yang lari ke kiri. Penjahat itu berlari bergantian ke kiri dan kanan, lantas dia menolak pintu, untuk masuk ke dalam sebuah kamar besar. Dia baru masuk atau dari belakang pintu berkelebat sebuah sinar mengkilap, terus dia berteriak dan roboh terluka, sebab kakinya kena terbacok dan goloknya terlepas mental. Segera rombongannya si ketua mengenali, penyerang itu ialah Supu.
Ketua itu melengak. Tidak dapat ia mengusir orang yang membantuinya. "Bapak ketua, inilah tempat perangkap!** Supu berkata. "Benarkah?" tanya ketua itu singkat, ragu-ragu. Melihat ketuanya menyangsikan ia, Supu mengangkat tubuh si penjahat dan melemparkannya ke tengah ruang. Tubuh itu terbanting dan mener- bitkan suara, lantai lantas menjeblak, memperlihat- kan sebuah liang besar. Ke dalam situ tubuh si penjahat kecemplung seraya penjahatnya berteriak menyayatkan hati, lalu suaranya sirap. Semua orang Kazakh itu berdiri menjublak. "Supu, syukur kau menolongi kami!" kata si ketua kemudian. "Istana rahasia ini banyak perangkapnya," berkata Supu. "Mungkin tiga rombongan yang lainnya telah terjebak kawanan penjahat, yang pada menyembunyikan diri di sini." Ketua itu sadar, dia kaget "Benar!" serunya. "Mari kita lihat!"
Tanpa banyak bicara, Supu lantas membuka'jalan. "Aduh!" mereka mendengar sesudah melewati beberapa pengkolan. Mereka kaget, semua lantas memburu. Lantas terlihat di depan mereka tubuhnya seorang Kazakh yang mandi darah, waktu diperiksa, dia telah putus jiwa. Hal ini membangkit- kan hawa amarah mereka itu. Tengah mereka itu bergusar, di atasan kepala mereka terdengar suara berkeresek, lalu tertampak turunnya perangkap terali besi "Lekas lari!" Supu berteriak. Dialah yang paling dulu melihatnya, dia pun terus lompat ke luar kamar. Empat pemuda turut berlompat yang lainnya kena terkurung. Terali itu turun sangat cepat Di dalam kaget dan takutnya, orang- orang Kazakh itu menyerang terali itu. Sia-sia saja usaha mereka. Terali besi tidak mempan senjata, bahkan senjata yang menjadi gompal. Selagi orang tidak berdaya, dari luar pintu muncul lima orang, yang jalan di muka ialah Tan Tat Hian. Dia ini lantas menghampirkan pesawat rahasia, untuk dikerjakan, maka dari lelangit kamar lantas meluruk turun pasir dalam jumlah besar. Kembali orang kaget, semua menjerit. Supu dan empat pemuda, yang berada di luar, maju menerjang Tat Hian serta rombongannya itu. Mereka lantas bertarung seru. Selama itu, pasir masih meluruk turun, hingga sebentar saja sudah naik tinggi sebatas deng- kul.. Supu bingung bukan main. Kalau kawanan penjahat ini tidak dapat dipukul mundur, pasir itu bakal meluruk terus dan akan memendam mati semua orang bangsanya itu, sedang di antaranya ada Aman. Tat Hian dan keempat kawannya itu Iihay, terutama Tat Hian sendiri. Sebentar saja, dua pemuda telah roboh binasa dan yang ketiga roboh terluka. Tinggallah Supu serta satu pemuda lainnya. Di dalam terali, parir sudah lantas sampai di dada, hingga orang sukar menggeraki tubuhnya. Supu menjadi lebih bingung lagi ketika kawannya yang ter- akhir pun roboh di tangannya Tat Hian, hingga lantas ia dikepung berlima. Tat Hian juga lantas dapat memukul terlepas goloknya Supu, hingga di lain saat dia ini mesti berdiri diam saja di bawah ancaman pedangnya penjahat itu. Mendadak saja di situ muncul seorang lain, yang bersenjatakan bandring. Belum sempat Tat Hian berdaya, pedangnya sudah terhajar bandring itu dan jatuh ke lantai. Empat penjahat kaget tapi mereka maju menyerang. Atas itu Tat Hian bisa menjumput pula pedangnya, guna membantu mengepung. Supu sadar, ia lantas lari ke pesawat rahasia, maka di lain saat, berhentilah meluruknya pasir. Semua orang Kazakh itu ber- napas lega. Ketika mereka memandang ke arah penjahat serta orang yang baru datang itu, mereka heran. Orang itu satu pemuda yang tampan, dengan dandanan Tionghoa mirip si kawanan penjahat. Entah kenapa, mereka itu telah bertempur satu dengan lain. Pemuda itu pandai menggunai bandringnya, setelah belasan ju- rus, dia berhasil merobohkan saling susul pada empat konconya Tat Hian, melihat mana, dia ini lantas kabur mengangkat kaki. Supu lantas mencari pesawat rahasia lainnya, guna mengangkat naik terali besi itu. Maka sekarang semua orang baru benar-benar bernapas lega. Dengan susah payah mereka membebaskan diri dari urukan pasir itu. Orang hendak membilang terima kasih pada si pemuda penolong, tapi orang sudah tidak ada, entah ke mana perginya. Semua orang bersyukur berbareng heran. "Tanpa dia, celakalah kita," kata yang satu. "Ke mana perginya dia ? Ah, kiranya di antara orang-orang Han ada juga yang baik..."
"Bapak ketua," kata Supu tanpa mempedulikan suara Orang banyak itu, "istana ini berbahaya, baiklah lekas mengumpuli semua orang bangsa kita, supaya mereka tidak terjebak penjahat" Ketua itu setuju. "Mari kita bekerja!" katanya. Ia menitahkan semua orang mengambil jalan mundur menuruti jalan dari mana tadi mereka masuk. Mereka pun bunyikan terompet, tanda memanggil berkumpul tiga rombongan lainnya, untuk berkumpul di luar istana. Rombongan ini tiba di luar, lantas mereka menantikan. Mulanya muncul rombongan ketiga, kemudian rombongan kesatu. Rombongan kedua dinantikan dengan sia-sia. Kembali terompet ditiup nyaring dan riuh. Istana tetap sunyi "Jangan-jangan mereka terjebak," kata si ketua kemudian. "Mari kita masuk bersama untuk melihat mereka." Usul ini disetujui Lantas mereka berbaris rapi. Belum lagi mereka bergerak, dari dalam terlihat munculnya orang-orang dari rombongan yang kedua itu. Mereka ini muncul saling susul, dalam rombongan dari dua tiga orang, dengan roman mereka tidak keruan. Dua orang pun menggotong satu orang, yang tubuhnya terpanah, yang mandi darah. Yang muncul paling belakang ialah Sangszer, goloknya di tangan, mukanya berlepotan darah. "Bagaimana?" tanya si ketua, kaget dan berkuatir. "Hampir kita tidak dapat bertemu lagi," menjawab pemuda itu. "Kami telah masuk dalam perangkap penjahat. Di dalam sebuah kamar, mendadak kami diserang banyak anak panah, yang datangnya dari empat penjuru. Syukur ada satu anak muda kosen, yang membantu kami Dia telah menggagalkan bekerjanya pesawat rahasia." Baru mereka bicara sampai di situ, di situ muncul si anak muda yang disebutkan Sangszer ini. Anak muda itu menggusur satu penjahat, ialah Hok Goan Liong, yang dia lantas lempar roboh ke tanah. Semua orang Kazakh bergarang "Terima kasih! Terima kasih!" mereka mengucap: Si ketua menghampirkan anak muda itu, guna menghaturkan terima kasihnya yang hangat seraya menanyakan she dan nama orang. "Aku she Lie," menyahut si anak muda. "Namaku tidak ada, panggil saja aku Lie Pek Ma." Di antara mereka itu. Aman dan Supu segera me- ngenali sianak muda. "Dia toh nona Kang," pikirnya. "Kenapa sekarang dia menjadi seorang muda bangsa Han? Bagaimana sebenarnya, apa dulu itu dia menyamar jadi wanita atau sekarang dia menyaru menjadi pria? Atau mungkin si nona Kang hanya lain orang dan orang itu melainkan mirip romannya?"
Supu tidak dapat menahan hati. "Kau... kau toh nona Kang?" ia menanya. Lie Bun Siu tertawa lebar. "Tadinya aku menyamar menjadi nona Kazakh, kamu tidak mengenali aku" katanya. "Aku tahu kamu membenci orang Han, aku tidak berani berdandan seperti orang bangsaku." Si ketua nampak likat. "Baru hari ini kami ketahui, orang Han juga ada yang baik hatinya," kata ia, mengaku. "Tanpa pertolongan kau, tuan Lie, hari ini kami semua pasti bakal mati terpendam di dalam istana rahasia ini."
Bun Siu tidak menyahuti, ia hanya menoleh kepada Supu. "Sayang ayahmu telah menutup mata," pikirnya, "maka ia menjadi tidak ketahui, di antara orang Han pun ada yang baik..." Kemudian ia kata, tawar "Di antara bangsa Han ada orang-orang jahat dan orang baik pula, si jahat biasa mencelakai si baik. Tapi si jahat pun tidak bisa hidup selamat!" Semua orang Kazakh itu berdiam. Mereka pikir pemuda ini benar. "Tuan Lie, tolong kau menunjuki kami jalan," berkata si ketua kemudian. "Kami mau masuk untuk menyerang kawanan penjahat itu!"
"Ya, kita menyerbu, kita membalaskan sakit hatinya saudara-saudara kita yang terbinasa!" berseru orang-orang Kazakh itu. "Istana rahasia ini banyak perangkapnya, tanpa peta, tidak dapat kita lancang memasukinya," berkata Lie Bun Siu. "Kalau kita memaksa masuk, kita bisa menjadi kurban. Kalau disetujui, aku mempunyai suatu pikiran. Ini hanya meminta tempo." "Silahkan berikan petunjukmu, tuan Lie!" kata si ketua. Bun Siu bersenyum. "Aku ingin mengajukan satu permintaan, maukah bapak ketua meluluskannya?" katanya. "Tuan adalah penolong kami, titahkan saja, pasti kami akan kerjakan," menyahut ketua itu. Bun Siu lantas menunjuk kepada Supu. "Kakak Supu ini telah diusir dari kaumnya," ia berkata, "barusan dia telah bertempur dengan orang jahat, dia menolongi semua saudara dari perangkap musuh, dari itu aku pikir baiklah jasanya ini dipakai menebus dosanya, supaya bapak ketua menarik pulang hukuman kepadanya, agar dia dapat berkumpul pula dengan sesama bangsanya. Inilah permintaan yang kecil sekail Dapatkah bapak ketua menerimanya?"
Ketua itu berdiam untuk berpikir, terus ia berdamai sama dua pembantunya. Tidak lama, ia menghampirkan Bun Siu, untuk memberikan jawabannya. "Mengingat budi tuan serta dia benar telah membelai kami, kami suka meluluskan permintaanmu, tuan," berkata dia "Sekarang Supu dapat kembali kepada bangsanya." Supu menjadi girang sekali. Ia pun mengucap terima kasih kepada Bun Siu. Ketua itu lantas bicara kepada orang- orang bangsanya, untuk mengumumkan bahwa hukuman buang Supu telah dihapus, karena mana pemuda itu dapat kembali di antara mereka. Sebagai alasan dikemukakan permintaan Lie Bun Siu, penolong mereka, dan bahwa Supu telah berjasa sudah memperingati adanya ancaman bahaya dan tadi Supu juga telah mengadu jiwa menolongi mereka. Pengumuman itu disambut sorak-sorai yang ramai. Setelah sirap suara orang banyak itu, sang ketua lantas tanya Bun Siu bagaimana akalnya untuk membekuk semua penjahat. Bun Siu menuding kepada Goan Liong. "Dialah si kepala penjahat!" sahutnya. "Coba geledah padanya, mungkin dia menyimpan peta bumi atau petanya istana ini." Tanpa diperintah lagi, Supu maju. Hok Goan Liong sudah tidak berdaya akan tetapi dia murka sekali, dia mementang matanya dan membuka mulutnya mencaci. Bangsa Kazakh meng- hormati orang bernyali besar, mereka kewalahan. "Peta itu telah kita bakar!" kata Goan Liong nyaring. "Kamu, kawanan anjing Kazakh, jikalau nyalimu besar, kamu terjanglah istana ini! Mari kita bertempur! Untuk menda- patkan peta, jangan harap!"
Perkataan berandal ini benar. Supu menggeledah tanpa hasil. “Sekarang begini," berkata Bun Siu. "Semua orang berdiam di sini, kita mendirikan tenda. Sejumlah orang harus pulang guna mengambil rangsum dan lainnya keperluan. Di depan istana kita menggali liang perangkap serta tambang- tambang kalakan. Kita menanti sampai kawanan penjahat kelaparan, mesti mereka keluar. Paling lama mereka dapat bertahan delapan atau sepuluh, hari. Jikalau mereka keluar, kita bekuk satu demi satu. Dengan begitu tidak usah kita menempuh bahaya dengan menyerbu ke dalam istana." Pikiran ini baik, sang ketua menerimanya dengan girang. Bahkan ia lantas bekerja. Rombongan ketiga diperintah pulang, buat mengambil rangsum, dan yang lainnya terus bekerja, memasang tenda dan menggali liang jebakan yang lebar dan dalamnya rata-rata lima tombak, atasnya ditutup dengan rumput yang ditutup pula dengan salju. Mata-mata pun dipasang. Selang lima hari, rombongan ketiga kembali dengan rangsum berikut kerbau dan kambing hidup. Dugaannya Bun Siu tepat. Lagi dua hari, kawanan penjahat muncul saling susul. Benar-benar mereka tak tahan lapar. Mereka kelaparan hingga kepala mereka pusing, maka mereka kabur, tenaga mereka habis. Mereka terjeblos ke dalam liang perangkap di mana mereka dibekuk tanpa perlawanan. Hanyalah, ketika penjahat yang terakhir muncul, dia tidak diikuti Tan Tat Hian.
"Ke mana dia pergi?" tanya Bun Siu kepada setiap penjahat "Entahlah," dia mendapat jawaban. "Kita tak melihat dia selama beberapa hari yang paling belakang. Mungkin dia terbinasa di perangkap dalam istana." Keterangan itu tidak lantas di percaya. Sang ketua masih bersabar menanti lagi dua hari. Habis itu barulah ia berlega hati.
"Sekarang mari kita masuk ke istana," katanya, la mengajak orang untuk mengambil harta besar itu. Bun Siu sendiri memikirkan Kee Loojin. Sudah beberapa kali ia memasuki istana, tidak juga ia dapat menemui orang tua itu. Ia jadi sangat berkuatir si orang tua telah roboh di tangan jahat dari Tat Hian. Tentu sekali sukar ia melupai budi orang tua itu, yang ia telah pandang sebagai kakeknya sendiri. Ia telah menanyakan beberapa penjahat, semua menerangkan tidak pernah melihat orang tua yang bertubuh bongkok bagaikan unta itu..
Yang aneh untuk nona Lie ini yang juga ia buat pikiran, ialah lenyapnya Hoa Hui, gurunya. Guru itu bilang tidak keruan paran. Pernah Bun Siu pergi ke tempat kediamannya, di sana dia tidak kedapatan. Pula tidak ada tanda- tanda bahwa guru itu pernah pulang. Orang-orang Kazakh itu lebih dulu mengurus mayatnya orang-orang bangsanya serta mayat-mayat si penjabat, selesainya itu baru mereka mengangkut harta karun itu. Ketiga ketua mereka telah memutuskan, semua orang memperoleh hak sama rata. Artinya, mereka tidak boleh berebutan. Keluarga kurban jiwa mendapatkan bagian dua lipat Selagi orang mengambil harta, Supu melihat Lie Bun Siu diam saja di pinggiran, la lantas membawa sekantung harta dan meletakinya di depan orang.
"Saudara Lie," katanya, "ketua kami membilang, tanpa pertolongan kau, kami semua pasti membuang jiwa di sini, maka itu ia mengatakan, kau boleh mengambil harta ini sesukamu, umpama kata kau tidak dapat meng- angkutnya, nanti kami menolong kau membawanya."
Bun Siu menggelengkan kepala. "Aku tidak menghendaki emas dan perak serta mutiara," sahutnya.
"Kau menginginkan apa, nanti aku pergi mengambilkan," berkata Supu.
"Yang aku kehendaki, itu tak terdapatkan. Yang aku dapatkan, aku tidak menghendakinya," berkata Bun Siu. Dan ia menuntun kudanya. "Sekarang aku mau pergi..."
"Jangan, jangan, saudara Lie!" berkata Supu. "Kau mesti mengambil sesuatu! Barang apa itu yang kau tidak mendapatkannya?"
“Itulah kejadian yang telah lama. Yang aku kehendaki itu ialah sehelai kulit serigala."
Tadinya Supu masgul, tetapi mendengar kata-kata orang, air mukanya menjadi terang.
"Kulit serigala?" katanya, gembira. "Itulah gampang sekali. Nanti aku mengambilkan sepuluh helai untukmu!"
"Hanya sekarang ini aku tidak menghendaki itu..."
Kembali orang Kazakh itu menjadi heran, hingga ia menggaruk-garuk kepala. Ia menganggap orang aneh sekali. Mau, tidak mau-tidak mau, mau. Habis bagaimana? Maka ia membuka kantungnya, memperlihatkan isinya, semua mutiara bergemerlapan. "Nah, ambillah apa saja!" bilangnya Lie Bun Siu mengawasi harta besar itu, ia menjumput sepotong gelang kumala yang kecil. "Biarlah aku ambil ini saja," bilangnya. Ia berhenti sebentar, untuk menambahkan: "Dulu juga aku mempunyai sepotong gelang semacam ini, gelang itu aku telah berikan kepada seorang, yang telah membikinnya pecah hancur, hingga sekarang ini lenyaplah!" Ia masuki gelang itu ke lengannya, terus ia melarikan kudanya. Supu heran. Ia menggaruk kepalanya pula. Ia bengong mengawasi punggung orang sampai orang tak nampak lagi. Lewat beberapa hari, selesai sudah orang-orang Kazakh mengangkut harta karun, lantas mereka berang- kat pulang. Mereka menyembelih kerbau dan kambing, untuk membikin pesta besar. Itu waktu salju sudah lumer, maka di padang rumput mereka menyalakan unggun. Terutama rombongan muda-mudi, gembiranya luar biasa. Cuma Aman yang berada bersendirian. "Aman," kata si ketua, yang menghampirkannya, "kau sebatang kara, baiklah kau menikah sama Supu."
"Apa, Supu?" Aman kata. "Dia telah membunuh ayahku! Mana dapat aku menikah padanya?"
"Memang benar dia telah membunuh ayahmu akan tetapi kemudian dia telah menolong kau dan kita semua," berkata si ketua, membujuk. "Kejadian itu ialah kehendak Allah junjungan kita dan sekarang permusuhan hen- daknya dibikin habis."
"Jadi bapak membilang itulah kehendak Junjungan kita?" Aman tanya.
"Benar."
“Bapak... Sebenarnya aku menyukai Supu, tetapi, tetapi, dia telah membunuh ayahku, hatiku jadi... aku selalu penasaran terhadapnya... Kalau peristiwa benar ada kehendak Junjungan kita, kalau aku mesti menikah pada Supu, itu baru bisa terjadi setelah satu pertandingan besar dan tak ada orang lain yang dapat mengalahkannya. .." Ketua itu tertawa bergelak. "Jadi kau menghendaki diadakan satu pertandingan besar, untuk melihat siapa yang paling kosen?"
"Untuk itu aku hendak bersembahyang dahulu kepada Allah Yang Maha Kuasa," berkata Aman. "Jikalau Junjungan kita dapat mengampuni dia, dia bakat menjadi si pemenang, jikalau tidak, dia bakal kena dikalahkan, dengan begitu, tidak dapat aku menikah dengannya."
"Bagusi" memuji si ketua. "Kau percaya kepada Junjungan kita, itulah bagus sekail Pasti Junjungan kita akan memilihkanmu seorang suami jempolan." Justeru orang-orang bangsanya itu lagi berkumpul, ketua ini berbang- kit menghadap mereka, untuk menepuk tangan tiga kali. Dengan serempak, semua orang berdiam, mengawasi dan mendengari. Ketua itu mengawasi semua orang, ia berkata: "Kita telah mendapatkan istana rahasia, kita berhasil mendapatkan harta besar serta membekuk juga musuh-musuh kita, dalam pada itu, orang yang paling berjasa ialah lima orang. Pertama-tama saudara Lie si orang Han. Sayang dia tidak ada di sini. Yang kedua ialah Suruke dan Cherku. Sayang sekali, mereka berdua telah menutup mata di dalam istana Yang dua lagi ialah Supu dan Aman. Jasa Supu sangat besar, sayang ia telah membunuh Cherku, hingga jasanya itu mesti dipakai menebus dosanya. Karena itu sekarang tinggal Aman satu orang. Bagaimana kita harus menghargai jasanya Aman ini?"
"Baiklah dia mendapatkan mutiara dua lipat!" seorang usulkan.
"Tambahkan dia dua puluh ekor kerbau serta seratus ekor kambing!" kata yang lain. "Boleh kita memberikannya pula lima puluh pikul bulu kambing!" yang lainnya lagi memberi pikiran. Si ketua menggoyangi tangan, ia tertawa riang, "Tidak, tidak tepat!" katanya. "Aman tidak menghendaki kerbau dan kambing atau bulu kambing! Mutiara pun ia telah mempunyai banyak! Habis, dia membutuhkan apa? Dia masih belum menikah, maka perlulah kita mencarikan dia seorang suami!"
Semua orang girang sekali, semuanya bersorak. "Akur! Akur!" seru mereka. "Mari kita mencarikan suami jempol untuk Aman!"
Hati Supu berdebaran. Semenjak mereka pulang, tidak pernah Aman bicara padanya. Ia telah menanya dia, dia tidak mau menyahut Kalau ia mendekati, dia menyingkir. Sekarang ada usul si ketua ini! Bagaimana akhirnya? Siapa yang si ketua pilih? Atau, siapa yang Aman telah pilih sendiri? Mungkinkah Sangszer?
"Siapakah bakal jadi suami paling baik bagi Aman?" berkata si ketua. "Kami bangsa Kazakh, pria kami semua- nya baik-baik sebagai penggembala, sebagai pemburu, sebagai penunggang kuda, sebagai orang kosen juga! Hanyalah, siapalah yang paling diberkahi Junjungan kita? Seharusnya saja, orang muda yang paling kosen dialah yang mesti mendapatkan isteri paling cantik!"
"Benar, benar!" orang banyak berseru-seru. "Pemuda kita yang paling gagah mesti menikah dengan pemudi kita paling cantik!"
Semua mata lantas dialihkan kepada Supu dan Sangszer, ada juga kepada beberapa pemuda lainnya. Aman, dengan wajah merah, juga memandang kepada setiap anak muda. Setiap pemuda, yang sinar matanya bentrok, hatinya berdenyutan, otaknya bekerja, dia kata dalam hatinya: "Siapa dapat menjadi suami nona begini cantik, ia sungguh beruntung!"
Sementara itu, Aman tidak memandang Supu, ia menyingkir dari sinar matanya si pemuda. "Maka itu sekarang aku ingin diadakan pertandingan guna memilih pasangannya Aman," berkata pula si ketua kemudian. “Untuk itu orang harus dapat turut ambil bagian di dalam empat macam pertandingan. Tiga yang pertama ialah pacuan kuda, mengadu panah dan rebutan kambing. Untuk merebut kambing lima ekor, orang mesti tinggal lima Inilah calon terakhir, yang akan mengadu tenaga dan kepandaian satu dengan lain. Siapa yang menang dialah orang yang paling kosen."
"Dan dialah yang mendapatkan nona kita paling cantik!" orang banyak menyambungi. Si ketua mengangguk. Ia berkata pula: "Sekarang sudah jauh malam! Siapa sudah mempunyai isteri, siapa sudah mempunyai kekasih, kamu boleh terus pelesiran! Siapa mau turut pertandingan, pergilah masuk tidur, untuk beristirahat untuk bersiap sedia! Kita akan mulai besok pagi! Nanti kita lihat, siapakah yang dipilih Junjungan kita!"
Bangsa Kazakh beragama Islam, maka itu mereka percaya, mati dan hidup mereka ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa, Junjungannya. Besoknya pagi di padang rumput telah berkumpul seratus lebih pemuda, semua dengan kudanya masing- masing, kuda pilihan. Cuma Supu yang berduduk dengan masgul. Ia kata di dalam hatinya: "Aman membenci aku, percuma aku mengalahkan orang, dia tidak bakal menikah padaku..." Tidak lama terdengarlah suara terompet. Semua anak muda, dengan menuntun kuda mereka, lantas berdiri berbaris. Supu tetap berduduk saja, ia ragu-ragu. Mendadak kupingnya mendengar teguran: "Kenapa kau tidak turut bertanding?" Ia terperan- jat. Itulah suaranya Aman. Ia menoleh. Ia masih mau menduga nona itu bicara dengan lain orang. Tapi di situ cuma ada ia sendiri. Ia lantas melihat mata Aman ditujukan tajam kepadanya. Mendadak ia menjadi girang sekali. "Oh, Aman, kiranya kau dapat memaafkan aku?..." katanya. Nona itu menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu..." sahutnya. Ia berhenti sejenak, lalu ia menanya: "Kau... kenapa kau tidak turut bertanding?" Supu tidak menyahut, hanya dia berjingkrak bangun, terus dia menuntun kudanya dan pergi berbaris. Segera juga terde- ngar pula suara terompet, setelah tiga kali, maka seratus lebih penunggang kuda itu sudah mulai membalap, dari barat mereka kabur ke timur. Matanya Aman tidak pernah berpisah dari kuda bulu dawuk dari Supu. Setin- dak derra setindak, kuda itu melewati yang lain-lainnya. Tiba di timur, batas ujung, orang lari kembali dengan memutar. Ketika orang akhirnya tiba di barat, di batas penghabisan, kuda Supu ialah yang kedelapan. Kuda nomor satu, yang bulunya putih, penunggangnya mengenakan topeng dari sapu tangan, hingga nampak se- pasang matanya saja yang bercahaya. Si ketua segera mengumumkan, yang dapat bertanding terus ialah yang kudanya terhitung sampai nomor lima puluh. Sekarang orang mulai dengan adu panah. Untuk itu di tengah padang rumput itu ditancap papan sebagai tameng atau sasaran. Sambil menunggang kuda, pemuda-pemuda itu. memanah bergantian. Setiap kali sasaran terkena tepat, orang semua bertepuk tangan bertampik sorak. Setelah penghitungan ternyata, di dalam sepuluh kali panah, Supu dapat mengenai delapan kali. Yang sepuluh kati memanah tanpa lolos ialah si penunggang kuda bertopeng. "Eh, siapakah dia?" demikian orang saling bertanya. "Kudanya lari paling keras, ilmu panahnya pun paling mahir!" Si ketua sudah lantas mengumumkan siapa dalam sepuluh kali dapat memanah enam, dia berhak turut dalam pertandingan yang ketiga. Acaranya ialah merebut kambing. Lalu ternyata, dari lima puluh calon, tiga puluh berhak bertanding lebih jauh. Rebutan kambing adalah olah raga kepelesiran paling digemari bangsa Kazakh. Cara merebutnya ialah seekor kambing dilepas di tengah kalangan, lantas sambil menunggang kuda orang merebutnya, siapa yang akhirnya menda- patkan itu, dialah yang menang,, dia berhak memiliki kambing itu serta diakui juga sebagai orang kosen. Untuk ini orang mesti pandai menunggang kuda, bermata celi, bertenaga besar dan sebal Itulah perebutan di antara puluhan lawan. Kali ini digunakan lima ekor kambing. Nampaknya perlombaan menjadi terlebih riang. Tentu sekali, yang diperebuti bukan kambing lagi hanya Aman. Maka juga perasaan setiap peserta menjadi tegang luar biasa. Pula setiap sanak atau keluarga atau sahabatnya si pemuda bersorak menganjurkan anak atau sanaknya itu. Maka ramailah gemuruh sorak-sorai. Siapa telah mendapatkannya, kambing itu masih dapat di- rampas lain orang. Maka siapa berhasil, dia mesti bisa kabur naik ke atas bukit ialah tempat terakhir dimana orang tidak dapat merampasnya lebih jauh. Kemudian ternyata, di antara lima calon yang berhasil itu, ada Supu, ada Sangszer, ada si penunggang kuda bertopeng itu. Sampai di sini orang mulai dengan acara terakhir: Mengadu kepandaian berkelahi. Menurut undian, Sangszer dapat lawan seorang pemuda yang dijuluki si "banteng gede". Lawannya Supu ialah seorang pemuda tinggi sekali dan kurus, hingga dia biasanya jalan dengan punggung melengkung agar tidak terlalu menyolok kalau dia jalan beramai- ramai. Dia dipanggil si "unta". Meski lawannya Sangszer ada satu banteng tetapi ia sangat gesit dan cerdik, belum lama, dengan satu gaetan kaki, ia dapat membikin lawan itu roboh, lalu ditindih hingga tidak berdaya.
Si unta sebaliknya sulit untuk dijatuhkan Supu. Beberapa kali dia kena dirobohkan, saban-saban dia dapat me- ronta dan bangun pula, hingga dia mendatangkan ramai tempik sorak. Tadinya orang menyangka Supu bakal menang, kemudian lalu menduga si unta yang ulat ini. Supu bermandikan peluh, kaki dan tangannya berkurang kecekatannya, napasnya pun memburu. Lawannya sebaliknya nampak lebih segar hanya dia pun tidak bisa merebut kemenangan. Maka mereka jadi bertarung seru sekali. Saking letih, kemudian Supu kena dibanting jatuh, tubuhnya terus ditindih. Ia berontak, sia-sia saja. Banyak orang lantas berkaok-kaok: "Si unta menang! Si unta menang!*'
Supu bergelisah bukan main. Tiba-tiba sinar matanya bentrok sama sinar matanya seorang lain. Itulah sinar mata yang bergelisah, yang seperti sangat memperhatikan padanya. Mendadak ia mendapat tenaga baru, ketika ia berontak, ia dapat menggulingkan si unta, hingga sekarang ialah yang berbalik menindih lawannya.
Dengan tangan kirinya ia menekuk tangan kanan si unta, lehernya dia itu ia tekan. Maka habislah tenaga si jangkung kurus itu!
Di antara sorakan riuh sekali, Supu dinyatakan menang, la bangun berdiri dengan napas menggotong. Justeru itu Sangszer berkata padanya: "Supu, kau beristirahatlah! Aku akan melayani dulu ini saudara!" Dia berbicara tanpa memberi ketika lawannya beristirahat dulu. Habis berkata, dia menghampirkan si calon yang nomor lima, yang belum ada tandingannya. Dia berkata dengan tangannya: "Saudara, mari aku melayani kau bertanding. Sekarang kau tentu dapat meloloskan topengmu..."
"Tak dapatkah tanpa diloloskan?" menjawab si lawan. Supu mendengar suara orang, hatinya bertekat Semenjak tadi ia menduga kepada si pemuda yang menyebut dirinya Lie Pekma, sekarang ia mendapat kepastian. Hanya, karenanya, ia menjadi berpikir: "Sudah terang Sangszer dan aku bukan tandingannya. Dia selalu berada di antara kita, kiranya dia pun mengarah Aman..."
Pemuda itu memang Lie Bun Siu. Sangszer tertawa dan berkata: "Untukku sendiri, tidak ada halangannya aku tidak melihat wajahmu, tapi kita tinggal bertiga. kalau aku dan Supu kalah, mungkinkah Aman menikah suami yang tidak ada mukanya?"
"Baiklah " menjawab Bun Siu. yang lantas menarik sapu tangannya.
"Lie Pekma!" Sangszer berseru kaget
Orang banyak pun heran.
"Lie Pekma! Lie Pelana!" mereka berseru-seru. "Dialah orang Han!"
"Tidak! Gadis cantik kita tidak dapat menikah sama orang Han!" ada lagi yang berteriak-teriak. Yang hebat adalah yang berteriak: "Orang Han menjadi penjahat! Orang Han telah merampok dan membunuh orang bangsa kita!" Mereka kurban-kurban keganasannya rombongan Hok Goan Liong. "Orang gagah she Lie mi bukan orang jahat!" ada juga yang mengasih dengar suara lain. "Dialah yang menolong kita di istana rahasia!"
"Dialah penolong bangsa kita! Dia lain dari orang-orang Han yang jahat!"
Maka ramailah suara-suara yang bertentangan itu. "Baiklah kita mendengar ketua kita!" akhirnya ada yang berteriak. Si ketua berbangkit, tiga kali ia menepuk tangan. "Saudara-saudara, tenang!" ia berkata, nyaring. "Saudara Lie ini bukannya orang jahat! Tanpa dia, kita semua tentu telah habis terbinasa di dalam istana rahasia! Maka itu benar, dialah penolong kita! Pula harus diketahui, di antara orang Han juga ada banyak yang baik, dan saudara Lie ini orang baik itu!" Ia berhenti sejenak, lalu ia meneruskan: "Sekarang mari kita bicara dari hal pertandingan ini. Inilah pertandingan yang mengenakan jodohnya Aman. Di dalam ini hal, kita mengharap petunjuk Allah Junjungan kita, ingin kita mendapat tahu Tuhan berkenan memberi ampun atau tidak kepada Supu. Jikalau Supu diberkahi, dia tentulah yang menang dan dia bakal menikah sama Aman. Kita ada penganut-penganut dari agama Islam, kita tidak dapat menikah sama orang dari lain agama."
Mendengar itu, Lie Bun Siu campur bicara. "Di antara orang Han juga ada yang memeluk agama Islam," katanya. "Aku mempunyai minat untuk memuja Tuhan Junjungan kamu!"
Ketua itu menjadi serba salah. Tidak ada alasan untuk menolak Bun Siu. Pula, sebagai seorang budiman, ia tetap bersyukur dan berterima kasih pada pemuda ini. Bun Siu bukan hanya menolong dia tetapi semua bangsanya. Disebelah itu, ia hanya terpengaruh sama hari kecilnya. Ia juga tidak puas yang gadis bangsanya yang paling cantik dinikahkan kepada orang Han. Ia terpengaruh keras rasa kebangsaannya.
"Soal ini sangat sulit, tidak dapat aku memutuskan sendiri," akhirnya ia kata. "Di dalam ini hal kita harus menanyakan pendapatnya Hapulam, tertua kita yang paling terpelajar*'
Hapulam itu adalah orang tua suku bangsa Tiehyen yang paling paham tentang kitab suci. Si ketua lantas menghampirkan ahli kitab itu, yang berada di antara mereka "Hapulam," tanyanya, lantas, "pernahkah bangsa kita mengalami peristiwa seperti ini? Aku minta sukalah kau memberikan keterangan yang jelas."
Ditanya begitu, Hapulam tunduk. Ia berpikir. "Pelajaranku sangat rendah, apa pun aku tidak mengerti," sahutnya selang sesaat. "Jikalau Hapulam yang terpelajar masih menyebutkan tidak tahu apa-apa maka lain orang pastilah terlebih tidak tahu apa-apa lagi!" kata si ketua. Didesak demikian, Hapulam berkata juga: "Kuran Surah 49 ayat 13 mengajarkan:-'Manusia, seorang pria dan seorang wanita, membuatmu menjadi sekian bangsa dan agama, untuk menggampangkan kamu saling mengenal, maka dalam pandangan Tuhan, yang paling mulia di antara kamu ialah yang paling baik. Di dalam dunia ini, pelbagai bangsa dan agama, semua ada ciptaan Allah, maka juga Allah bilang, yang paling baik ialah paling mulia. Pula ada ajaran yang menganjurkan untuk kita men- cintai tetangga kita dekat dan jauh, kawan, dan melayani baik-baik tetamu kita. Orang Han ialah tetangga kita yang jauh, asal mereka tidak mengganggu kita, kita harus mencintai serta melayaninya."
"Kau benar," berkata si ketua. "Tetapi anak perempuan kita, dapatkah dia dinikah orang Han?"
"Surah 2 ayat 221 membilang," berkata Hapulam: "'Jangan kamu nikah wanita yang memuja boneka sampai mereka telah mempercayai agama kita-jangan kamu menikahkan anak perempuan kepada pria yang memuja boneka sampai pria itu mempercayai agama kita. Surah 4 ayat 23 pun melarang menikah dengan wanita yang ada suaminya atau sanak langsung, selainnya itu, semua diperbolehkan sampai pun pada bujang dan budak. Maka kenapa dia tidak dapat menikah sama orang Han?"
Selama Hapulam berkhotbah itu, orang banyak berdiri mendengari dengan tenang dan perhatian, maka itu me- reka menjadi mengerti baik sekali. Dari itu, lantas mereka pada membilang: "Petunjuk Alto tidak bisa salah lagi!" Pula ada yang memuji Hapunun dengan berkat* "Apa pun yang kita tidak mengerti, kita boleh pergi menanyakan kepada Hapolam, dia pasti dapat rnenjelaskannya dengan baik."
"Baiklah!" berkata si ketua. "Kuran menyatakan demikian maka orang Han yang baik ialah saudara yang baik dari kita bangsa Kazakh! Saudara Lie hendak menikah sama Aman, Junjungan kita telah mengizinkannya, maka itu sekarang kamu boleh mulai!" Semenjak kecil Lie Bun Siu tidak dapat melupai Supu, rintangannya ayah Supu membuat mereka renggang, sebab ayah Supu membenci orang Han, sekarang ia maju untuk mem- perebuti Aman, sengaja ia dandan sebagai pemuda, ingin ia membikin bangsa ini mempercayai bahwa orang Han juga ada yang baik. Dengan begitu juga dengan sendirinya dapat ia memberi penjelasan kepada Supu hal kekeliruan pandangan ayah pemuda itu. Mengenai pertandingan ini, ia mempunyai maksudnya sendiri, meski di muka umum terang nampak ia menyalak di antara Supu dan Sangszer untuk merebut Aman.
Bab X
Sangszer ketahui lihainya Lie Bun Siu di dalam hal mengguaai senjata tajam, la telah melihat bagaimana nona itu menempur kawanan berandal. Maka ia bersangsi. Sebaliknya, ia mempercayai benar ilmu gulat atau peluk banting bangsanya, dari itu ia memilih ilmu kepandaiannya ini. Lantas ia memasang kuda-kudanya. "Saudara Lie, silahkan maju!" ia menantang. "Baik!" menyahut Bun Siu, yang lantas menyingkap ujung bajunya yang panjang, untuk diselipkan ke pinggangnya, setelah itu ia bertindak ke gelanggang, berdiri di depan penantangnya itu Di mana kedua pihak sudah siap sedia, Sangszer lantas membuka kedua tangannya, sambil mementang, ia maju untuk menubruk. Atau mendadak Bun Siu berseru kaget, terus dia lari ke arah kiri dimana ada pepohonan lebat Dia seperti melihat sesuatu, yang dia lantas kejar. Semua orang menjadi heran, terutama Sangszer. Semua orang tidak mengerti, kenapa di saat seperti itu, si pemuda Han lari kabur. Hingga ada yang menduga-duga mungkin dia jeri terhadap si pemuda Kazakh... Sangszer berdiri sekian lama, kemudian ia kata kepada Supu: "Supu, saudara Lie telah pergi, maka itu marilah kita berdua saja yang bertempur.''
Supu menerima baik tantangan itu, meski sebenarnya ia masih mengherani Bun Siu. "Ya, marilah!" ia men- jawab, bahkan ia terus maju. Maka tidak tempo lagi, keduanya lantas bergulat. Dua orang muda ini ada tandingan yang setimpal. Semenjak masih kecil mereka suka berkelahi, mereka menang dan kalah bergantian, hanya kali ini, dalam usia dewasa, mereka harus mencari keputusan,. Maka bisa dimengerti yang mereka berkelahi dengan sungguh- sungguh. Sedari berumur lima belas tahun, Sangszer sudah menaruh hati kepada Aman, disebabkan rapatnya pergaulan Aman dengan Supu, ia menjadi tidak dapat menyelak di antara mereka, ia cuma bisa menindas hatinya sendiri. Sampai sekarang ia masih tidak berani mendekati Aman walaupun Supu telah menjadi musuh Aman, disebabkan Supu dibuang karena tuduhan telah membunuh Cherku. Barulah menit ini harapannya timbul. Bukankah Aman sendiri yang menghendaki ini pertarungan umum? Dengan ini nanti terlihat kesudahannya Allah mengampuni Supu atau tidak... Umumnya Supu menang unggul sedikit daripada Sangszer, tetapi setelah tadi ia mesti membanting tulang melayani siuntai ia masih terpengaruh keletihannya, dari itu, segera ternyata, lawannya itu menang di atas angin. Pula ia keras memikirkan Lie Bun Siu, yang pergi tanpa sebab. Sebenarnya Bun Siu kabur karena sejenak itu matanya melihat satu orang yang berkelebat di dalam rimba, berkelebat cepat bagaikan bayangan tetapi toh ia mengenali baik potongan tubuh Tan Tat Hian, tanpa pikir panjang lagi, ia lari mengubar. Laginya untuk ia, pertandingan itu tidak ada artinya. Taruh kata ia menang, ia toh tidak- bisa menikah dengan Aman- Di samping itu, Tat Hian ialah musuh besarnya.
Akan tetapi, sesampainya ia di dalam rimba, Tat Hian telah lenyap tidak keruan peran, sia-sia belaka ia men- carinya. Kemudian ia mendengar suara kuda kabur ke arah barat daya, ia lantas menduga kepada musuh itu. Saking tergesa-gesa, ia tidak dapat kembali kepada kuda putihnya, ia kabur menyusul dengan menjembat seekor kuda yang lagi makan rumput di dekatnya. Sesudah berlari-lari beberapa lie, Bun Siu tiba di gurun pasir. Ia mendaki tanjakan pasir bagaikan bukit, untuk melihat kelilingan. Di sini ia bisa memandang ke sekitar- nya dengan leluasa, tidak seperti tadi semasa di padang rumput Ia lantas melihat di arah barat daya itu --- jauh letaknya seekor kuda lagi berdiri diam dan di samping binatang itu ada satu tubuh manusia rebah tak berkutik. Ia menduga kepada Tan Tat Hian, ia lantas mengeprak kudanya untuk lari keras ke arah itu. Tidak lama maka tibalah ia di tempat kuda dan orang itu rebah menggeletak. Ia berkuatir orang hanya berpura-pura mati, dari itu sebelum mendatangi dekat, ia menggunai bandringnya, guna menotok jalan darah tiongteng dari orang itu. Setelah mendapat kenyataan orang terus berdiam saja-suatu bukti benar dia telah mati - barulah ia datang
menghampirkan. Benar-benar orang itu Tan Tat Hian adanya! "Heran!" pikirnya. Tat Hian mati dengan mulut mengeluarkan darah, suatu tanda bahwa ia telah teriuka didalam. Ia sudah putus jiwa akan tetapi tubuhnya masih hangat. Jadi dia mati belum lama. Bun Siu menggeledah tubuhnya, maka terlihat kulit dadanya bertanda mataag biru sebesar telapakan tangan dan tujuh atau delapan tulang iganya patah. "Entah siapa yang meng- hajar dia?" pikir nona ini. "Lihai penyerang itu!"
Karena ini, ia lantas melihat ke sekitarnya. Ia masih sempat melihat satu titik hitam di tempat jauh. Inilah satu penunggang kuda, yang kudanya dilarikan. Ia menjadi mencurigai penunggang kuda itu, sebab kantung gendolan dan sakunya Tat Hian bekas dirobek dengan pisau, dan peta tidak ada di tubuhnya itu. "Istana rahasia sudah didapatkan, apa perlunya orang itu dengan peta tersebut?" ia berpikir. Ia berdiri berdiam sekian lama di samping tubuh musuhnya itu. Lega juga hatinya walaupun musuh ini terbinasakan lain orang. Kemudian ia lantas menaiki kudanya, untuk kembali kepada orang-orang Kazakh. Tepat ia mendengar gemuruh ramai: "Sangszer menang! Sangszer menang!" Ia terperanjat. Pikirnya: "Kalau Sangszer menikah dengan Aman dan aku memberitahukan Supu bahwa akulah kawannya semenjak masih kecil, bagaimana pilarnya?'' Memikir begitu, ia likat sendirinya. Tapi ia berjalan terus mendekati rombongan. Supu masih rebah di tanah, ia mencoba terbangkit bangun tetapi sukar. Ia merayap, ia berdiri, lalu terhuyung dan roboh pula. Sangszer mengasih bangun "Supu," katanya, "jikalau kau penasaran, kau beristirahatlah, nanti kita mengulangi pertandingan kita ini."
Supu menggeleng kepala, matanya mengawasi Aman, sinar matanya itu menandakan remuknya hatinya.
Aman bisa melihat sinar mata itu, tanpa merasa, air matanya mengalir. "Benar-benar mereka sangat mencinta satu pada lain," pikir Lie Bun Siu, yang bisa melihat roman muda-mudi Itu. "Dalam hidupnya, pastilah Supu tidak dapat mencintai lain orang lagi Pula Aman, kalau dia menikah sama Sangszer, tidak nanti dia dapat melupai Supu, tidak nanti dia menyenangi Sangszer, maka untuk kedua belah pihak tidak ada kebaikannya..."
Kembali Bun Siu mengawasi Supu. Pemuda itu pergi ke pinggiran, jalannya masih rada limbung, tangannya memegangi kepalanya, rupanya dia merasa pusing. Dipinggiran itu, dia duduk dengan napasnya masih belum tenang. Ia menjadi merasa kasihan pada kawannya itu. Maka ia masuk ke dalam gelanggang.
"Sangszer," katanya, "tadi aku pergi mengejar satu orang, pertandingan kita gagal. Maka itu mari sekarang kita mengulanginya." Ia berhenti sejenak, baru ia menambahkan: "Kau tentunya masih lelah, aku sebaliknya masih segar, kalau kita bertanding sekarang, tidak adil. Maka ini baiklah kita atur begini, hari ini pertandingan ditunda sampai besok!"
Sangszer rada jeri pada lawannya itu. "Baik," sahutnya. "Kita bertanding besok." Bangsa Kazakh mengira, setelah Sangszer mengalahkan Supu, Aman bakal menikah sama si pemenang ini, tidak tahunya si pemuda gagah she Lie telah muncul pula dan menantang Sangszer, dengan begitu, urusan menjadi tertunda. Karena itu, sampai malamnya, mereka masih menduga- duga entah siapa yang bakal menjadi pemenang terakhir. Umumnya mereka menduga Bun Siu yang bakal menang, hanya mereka heran, pemuda itu bertubuh halus dan romannya tampan sekali, siapa tahu, dia bertenaga kuat dan ilmu berkelahinya mahir, lapi dia bakal berkelahi dengan tangan kosong. Dapatkah dia mengalahkan Sangszer? Kenapa tadi dia kabur tidak keruan?
Besoknya lohor, orang berkumpul pula di tegalan. Setelah beristirahat dan dapat tidur satu malaman, Sangsfeer menjadi segar sekali. Ia telah memikirkan siasat berkelahinya: "Dia pandai silat, dari itu tidak dapat aku berkelahi renggang, sebaliknya, aku mesti merapatkan dia. Begitu bergerak aku mesti ringkus, untuk kita mengadu tenaga..." Siasat ini benar-benar digunakan. Lie Bun Siu berkelit ketika ia ditubruk, tangan kanannya dipakai menangkis berbareng menarik, sedang kaki kanannya membentur kaki orang. Dengan begitu, tidak ampun lagi, robohlah lawan itu "Kau kurang berhati-hati!" ia kata tertawa. "Mari maju lagi!" Sangszer berlompat bangun. Ia tetap sama siasatnya, yang ia telah pikir matang. Begitu berhadapan, ia menubruk dengan gesit Bun Siu kembali menggunai Kimnaciu, ialah ilmu silat menangkap. Ia menangkap dan memutar, tangan kirinya menolak. Lagi sekali Sangszer roboh terguling, bahkan kali ini, tangannya keseleo sebab dia mencoba meronta. Karena merasa sakit, terpaksa ia mendekam terus. "Kau bangun!" berkata Bun Siu tertawa. "Mari mencoba lagi!" Nona ini mempelajari Kimnaciu yang terdiri dari tiga puluh enam jurus berikut pecahannya tiga puluh enam jurus lainnya, maka itu, mana bisa Sangszer melawannya? Maka juga, lagi-lagi pemuda Kazakh itu kena diro- bohkan. Delapan kali dia diberikan ketika, akhirnya dia menggeleng kepala dan berkata: "Aku tidak sanggup melawan kau, pergi kau nikah Amani..." - la mengundurkan dai sambit tunduk. Bun Siu tidak lantas rnenunta hadiahnya. "Supu, mari!" ia kata pada si anak muda. "Mari kini bertanding!" Supu menggeleng kepada. "Aku tidak sanggup melawan kau," katanya. Ia tahu kekuatannya berimbang sama Sangszer, percuma ia melawan. "Belum tentu," kata Bun Siu. "Mari kita coba dulu;" Supu melirik kepada Aman, ia melihat sinar mata si nona seperti menganjuri. "Baik!" sahurnya seraya terus menyingsat pakaiannyn. Ia menggunai cara seperti Sangszer, begitu berhadapan, ia menubruk. Bun Siu berkelahi seperti melawan Sangszer tadi, empat kali beruntun ia membuat lawannya mencium tanah, hanya ketika ke lima kalinya ia membikin orang roboh dan ia menekan punggung orang, ia berbisik: "Kau meronta, kau sambar punggungku, nanti kau menangi"
Supu heran, tetapi ia tidak sempat berpikir lama. Mendadak ia mengerahkan tenaganya, ia bangun, tangannya menyambar punggungnya lawan itu, maka di lain saat Bun Siu telah kena dirobohkan, ditekan pada tanah! Bun Siu tidak dapat berontak. Tapi Supu berpikir: "Kemenangan ini bukannya kemenangan." la mengasih orang bangun seraya berkata: "Mari kita mencoba pula!" Bun Siu menerima baik. Mereka kembali bergulat. "Ingat tipu-tipu tadi," kata Bun Siu, perlahan. "Jangan lupa!" Di saat genting, kembali Bun Siu membiarkan ia
dirobohkan. Saban-saban ia mengisiki akan lawan ingat tipunya itu. Semua itu terjadi hingga enam kali. Selama itu, tidak ada seorang jua yang mendengar kisikan itu, hingga orang cuma. heran, tidak ada yang bercuriga. Kelihatannya wajar Supu menjatuhkan lawannya itu. Hanya Supu sendiri yang heran bukan main. Terang ia kalah tetapi ia diajari tipu dan dibiarkan menang. Ia tidak dapat membade hati orang. Ia heran kenapa pemuda ini tidak mengharapi Aman yang demikian cantik manis. Di akhirnya, habis dirobohkan, Bun Siu bangun berdiri dan berkata nyaring: "Sudah, tidak sanggup aku melawan kau, aku tidak mau memperebuti Aman!"
Supu jujur, ia merasa tidak enak. "Kau mengalah," katanya. "Jangan sungkan," kata Bun Siu. "Aku sudah kalah! Aku menyerah! Kalah dari kau, aku tidak malu!"
Si ketua pun heran, ia menjadi bingung juga. Siapa si pemenang terakhir? Supu kalah dari Sangszer, Sangszer terkalahkan Lie. Bun Siu, tetapi Supu menang dari pemuda Han ini? Bagaimana?
Beberapa orang menyatakan pikirannya: "Kalau begitu, biarlah Supu dan Sangzer mengulangi pertandingannya. Mereka itu sama-sama kalah dan sama-sama menang."
Pikiran ini dapat kesetujuan umum .dan lantas diterima baik. Bahkan pertandingan lantas diadakan seketika juga. Kali ini mereka itu sama-sama habis bertempur, jadi mereka sama letihnya.
Supu dan Sangszer menerima baik pertimbangan itu. Pertandingan dimulai setelah kedua pihak sudah siap sedia dan pertandaan diberikan. Selama itu Supu mencoba mengingat-ingat tujuh jurus ajarannya Lie Bun Siu, ia mengingat baik hanya tiga tipu, tetapi ini pun sudah cukup. Demikian, di saat ia terancam bahaya, ia menggu- nai tipu ajaran orang Han itu, karenanya, saban» saban ia menang di saat terakhir. Sangszer kewalahan, akhirnya dia menyerah kalah. "Sesudah bergulat dua hari, Supu memperoleh kemenangan terakhir!" berkata si ketua dengan keputusannya. "Itulah bukti yang Allah telah mengampuni Supu, maka dapatlah dia menikah- sama Aman" Muka Aman merah tetapi hatinya girang tidak terkira-kirakan.
Orang banyak pun bergirang. Itulah perjodohan yang hebat Supu hendak memberi hormat kepada Bun Siu, untuk menghaturkan terima kasih, tidak tahunya, ketika ia mencari pemuda itu, si pemuda sudah naik atas kuda putihnya dan pergi dengan diam-diam hingga dia tidak dapat disusul lagi! Malam itu, dengan mengitari unggun, bangsa Kazakh membuat pesta. Sangszer kalah tetapi dia terbukti gagah, ada empat nona manis lainnya yang mengerumuni, yang menghibur dan menyanyi untuknya. Mulanya ia berduka. Lama-lama ia terhibur juga. Akhir- nya ia bingung, siapa yang ia mesti pilih di antara empat nona-nona itu. Mereka itu, kecuali cantik, masing- masing mempunyai kelebihannya sendiri, umpama yang satu halus budi pekertinya, yang lain' merdu nyanyi- annya, yang lain lagi lemah gemulai tariannya... "Apakah baik aku memilih yang lainnya saja?" demikian ia pikir. Lalu, dia pun mengingat, yang kitab sucinya mengizinkan ia menikah empat isteri...
Tengah pesta berlangsung itu. sekonyong-konyong ada terdengar tiga kail suara jeritan mengerikan seperti suara burung malam, datangnya dari arah barat. Semua orang terkejut, semua mata memandang ke barat itu.
Suara yang membangunkan bulu roma itu keluarnya dari satu orang yang luar biasa. Dia datang menyusuli suara anehnya itu, datangnya sambil berlari-lari keras, tubuhnya nampaknya putih. Lantas dia berhenti di jarak empat tombak dari orang banyak. Sekarang terlihat tegas dia mengenakan jubah putih yang berlepotan darah, seperti mukanya berdarah juga. Dia lebih tinggi dua kaki dari orang yang kebanyakan. Ketika dia mengangkat dan mengulur kedua tangannya, terlihat sepuluh jarinya panjang sekali dan sepuluh jari itu pun berdarah. Semua orang mejengak, hati mereka berdebaran. Hanya sebentar, manusia luar biasa itu lantas mengasih dengar suaranya yang tajam "Siapa sudah curi mustika dari istanaku? Lekas bayar pulang! Kalau tidak, satu demi satu, aku akan membuatnya mati tak wajar! Sudah seribu tahun aku tinggal di dalam istanaku itu, siapa juga tidak berani memasukinya, tetapi kamu, kamu besar sekali nyali kamal" Habis berkata, dengan perlahan dia memutar tubuhnya, dia menunjuk -kepada seekor kuda terpisah tiga tombak jauhnya, dia berkata: "Mampus- lah kau!" Setelah itu mendadak dia memutar tubuhnya dan lari, sekejap saja, tubuhnya lenyap. Semua -orang kaget dan tercengang. Manusia aneh itu muncul dan leayap secara mendadak dan kelakuannya juga aneh. Lantas menyusul lain keanehan. Ialah kuda yang dia tunjuk itu mendadak roboh dan mati, ketika orang merumuninya, binatang itu tidak terluka, tidak keluar darah dari mulut dan hidungnya, agaknya mati wajar.
"Hantu.. Hantu!" kate banyak orang. "Telah aku kata di Gobi ada setannya!"
"Sudah seribu tahun istana tua itu tidak didatangi manusia, pasti ada memedi yang menjaganya!"
"Katanya hantu tidak ada kakinya, mari kita lihat, dia ini ada tapaknya atau tidak..."
Beberapa orang membesarkan hati, dengan membawa obor mereka maju. Tidak tampak tapak kaki, ada juga liang kecil setiap jarak lima kaki. Tapak kaki manusia tidak sekecil itu. Juga jarak tepak kaki tidak dapat sereng- gang itu. Sampai di situ, orang menduga iblis penunggu istana main gila, maka ada yang berkata: "Semua yang memasuki istana, dia akan celaka... Lihatlah Suruke dan Cherku! Bukankah mereka terbinasa di. sana? Tentu si hantu membikin Cherku kalap, Cherku disuruh, membinasakan Suruke, kemudian Supu dibikin tak sadar dan diperintahkan membunuh Cherku..." "Ya, lihat itu kawanan penjahat Han, sudah sepuluh tahun mereka meng- ganas di gurun pasir, Orang kewalahan karenanya, tetapi sekali mereka memasuki istana rahasia itu, beginilah kesudahannya..."
"Dan orang bangsa kita, bukankah telah banyak yang mati di dalam istana itu?" kata lagi suara lainnya. Di akhirnya ada yang memperingatkan suatu dongeng tua, begini: Seorang secara mendadak mendapati harta karun di padaag pasir, harta itu diangkut pulang, hanya aneh, unta yang menjadi binatang tunggangannya tidak dapat pulang, cuma mondar-mandir di situ-situ juga. Katenya, si penunggu tidak membiarkan orang mencuri harta itu, kaki unta "dipegangi". Setelah harta itu dikembalikan, baru orang itu dapat pulang. Inilah dongeng yang setiap orang Kazakh mengetahuinya. Maka akhirnya seorang mengusulkan kepada ketuanya: "Baiklah semua harta itu dikembalikan, supaya mereka terhindar dari mara bahaya. Tapi orang berat ' .untuk mengembalikan= nya, mereka bersangsi. Malam itu tidak ada kepatutannya. Segera datang malam yang kedua. Kembali orang berkumpul di tegalan itu. Semua berkuatir "hantu" tadi malam nanti datang pula. Maka itu mereka lebih suka berkumpul bersama, hati mereka menjadi terlebih tenang. Karena tidak ada orang suka berdiam sendirian di tenda mereka, jumlah mereka menjadi jauh terlebih besar. Mulai tengah malam, dari arah barat daya terdengar suara jeritan seperti malam pertama. Datangnya juga dari jurusan yang sama. Semua orang menjadi kaget, bulu roma mereka lantas pada bangun. Mereka tidak usah menanti lama akan melihat munculnya si "hantu" yang kemarin itu, yang bajunya putih dan berdarah. Dia datang bagaikan terbang, lantas dia terdiri di muka orang banyak. Dia pun segera mengasih dengar suaranya seperti kemarinnya: "Siapa sudah mencuri mustika dari istanaku? Lekas bayar pulang! Kalau tidak, satu demi satu, akan aku membuatnya mati tak wajar! Sudah seribu tahun aku tinggal di dalam istanaku itu, siapa juga tidak dapat memasukinya, tetapi kamu, kamu besar sekali nyali kamu!"
Sehabis berkata, si hantu memutar tubuhnya. Dengan perlahan ia mengangkat tangannya, untuk menunjuk satu pemuda, yang terpisah jauh juga darinya. Lantas ia kata nyaring: "Kau matilah!" Kata-kata itu disusul sama gerakan tubuhnya, yang diputar balik, terus dia berjalan pergi, maka di lain derik lenyaplah dia dari pandangan mata semua orang! Menyusul itu terjadi hal aneh dan hebat atas diri si anak muda yang ditunjuk tadi. Dengan sendirinya pemuda itu menjadi lesu, sepatah kata juga dia tidak mengeluarkannya, lantas dia berubah kulit mukanya menjadi hitam, dan dia mati! Kecuali itu, tidak ada tanda lainnya lagi. Dia tidak terluka. Tidak cukup kemarin malam membunuh seekor kuda, kali ini hantu itu membinasakan seorang muda segar bugar. Ialah salah satu anak muda yang pernah turut memasuki istana rahasia.
Orang semua menjadi takut dan bingung, semua terbenam dalam kekuatiran. Benar selewatnya tidak ada bahaya lagi, akan tetapi di lain malamnya-malam ketiga tidak ada seorang jua yang berani muncul di tegalan, semua menyekap diri-di dalam tenda, yang ditutup rapat-rapat Malam itu jadi sangat sunyi senyap. Malam tenang-tenang saja sampai tiba jam haysie, seperti kemarin-kemarinnya. Dengan tiba-tiba terdengar pula jeritan yang menakuti itu, disusul sama kata-kata yang serupa, disusul sama seman terakhir: "Kau matilah!"
Habis ancaman itu kembali malam rnembuat.sunyi, hanya tidak lama, ketenangan terganggu tangisan sedih yang keluar .dari sebuah tenda. Itulah bukti bahwa si hantu telah datangi tenda itu, menyingkap tendanya dan membunuh mati seorang muda. Orang menjadi takut, tetapi mereka tidak berdaya. Juga di waktu siang, keta- kutan mereka tetap tidak berubah. Mereka lantas berdoa, memuji kepada nabi mereka memohon perlindungan. Lain jalan tidak ada. Sia-sia belaka doa mereka, di malam keempat, kembali seorang muda binasa secara serupa. Maka itu, ketika tiba kurban yang ke empat, si ketua menjadi putus asa, terpaksa ia mengajak semua orang bangsanya mengangkut pulang harta karun ke istana rahasia, tidak ada orang yang berani menyembunyikan sekalipun sepotong kecil emas atau perak. Sepulangnya barulah hati mereka lega sedikit. Mereka mau percaya si hantu tidak bakal datang pula untuk mengganggu. Akan tetapi, peristiwa tidak gampang- gampang habis... Untuk pulang dari istana rahasia, di malam pertama, mereka mesti bermalam di tengah gurun pasir. Malam itu si hantu muncul di antara mereka, bantu itu berkata: "Kamu baik sekali, semua harta telah kamu kembalikan padaku. Aku memajikan Semak kamu makmur, kamu sendiri selamat tidak kurang suatu apa! Hanya itu anak perempuan, yang mengantarkan kamu ke istaa rahasia, dia hendak aku menghukumnya!" Habis berkata begitu, dia lantas lenyap. Aman adalah si anak perempuan yang dimaksudkan itu, maka bukan main takutnya ia. Dengan ia, turut berkuatir juga Supu, maka besoknya malam- bersama empat kawannya pemuda lain, dengan menyiapkan golok, Supu menjagai kekasihnya Itu. Kapan sang tengah malam tiba, si hantu putih yang berlepotan darah itu muncul pula. Supu berlima mengitari Aman, akan tetapi belum sempat mereka berbuat apa-apa, lantas mereka merasakan punggung mereka sesemutan dan kaku, lantas mereka roboh tak sadarkan diri. Ketika mereka mendusin sesudah langit menjadi terang, Aman lenyap tidak keruan paran. Mereka menjadi kaget Si empat anak muda lantas naik kuda mereka, untuk kabur pulang. Supu pun menunggang kuda dan kabur, hanya dia mengambil arah kembali ke istana rahasia *Wah, Supu, kau mau bikin apa?" orang bertenak-teriak menanya. Sambil kabur terus, Supu menyahuti: "Aku hendak mati bersama Aman!..."
Orang; hendak mencegah tapi pemuda itu sudah kabur jauh. Supu hancur hatinya. Ia pergi ke istana bukan untuk menolong kekasihnya, hanya benar-benar buat mati bersama Magribnya di hari keempat, tibalah Supu di depan pintu emas dari istana rahasia. Dia benar-benar telah menjadi nekat. Tepat di depan pintu, dia berteriak- teriak: "Hai, hantu jahat dari istana rahasia! Kau telah membikin mati kepada Aman, maka kau bunuhlah aku sekaitan! Akulah yang bersama Aman mengantarkan orang-orang bangsaku datang, kemari untuk mengangkut harta karun! Aku Supu, aku tidak-takut mati!"
Supu telah menunjuk keberaniannya itu, akan tetapi sia-sia belaka ia berkaok-kaok di muka pintu emas dari istana itu, tidak ada orang yang menyahuti padanya, tidak ada orang yang melayani bicara. Ia penasaran, maka ia berseru pula: "He, hantu jahat, apakah kau takut padaku? Haha! Aku justeru tidak takuti kau, tidak takut meski kau hantu jahat!" Ia lantas membulang-balingkan goloknya bagaikan orang kalap. Selagi pemuda ini masih kalap, mendadak ia mendengar suara halus di sebelah belakangnya: "Supu, kau lagi bikin apa?" Ia terperanjat; dengan segera ia memutar tabuhnya. Maka ia melihat seorang wanita Han. Malam remang-remang, sinarnya si pulen malam tidak cukup kuat untuk membikin wajah orang nampak jelas. "Kau mencaci kalang kabutan, siapakah yang kau maki?" tanya pula wanita itu. Sapu mendengar nyata suara orang. Itulah suara yang ia kenal baik. "Kau... kau toh tuan Lie?" tanyanya akhirnya. "Mengapa kau... kau kembali menjadi wanita?" Nona itu memang Lie Bun Siu. Dia bersenyum "Sebenarnya kau bikin apa di sini?" dia menanya tanpa menjawab. "Lekas kau menyingkir!" kata Supu, yang juga tidak menyahuti. "Istana rahasia ini ada hantunya yang jahat! Kalau sebentar dia keluar, dia dapat membikin celaka padamu..." "Kenapa kau sendiri tidak takut?" balik tanya si nona. Supu menjadi sengit. "Setan jahat itu telah mencelakai Aman!" sahurnya. "Aku tidak ingin hidup pula!"
Bun Sui nampak kaget . "Bagaimana bisa ada bantu jahat di istana?" katanya-: "Kenapa din mencelakai Aman?" Supu lantas memberi penjelasan hal munculnya si hantu baju putih, yang mengganggu orang Kazakh hingga ada yang mati dan Aman diculik, karena mana ia datang menyusul, guna menyerahkan jiwanya juga. Bun Siu berdiam untuk berpikir. Ia heran dan curiga. "Ada tanda apa di tubuhnya kurban-kurban jiwa itu?" ia tanya kemu- dian. "Benar-benarkah tidak teriuka sama sekali?"
"Benar tidak ada tanda apa-apa," menyahut Supu. "Hanya....." tiba-tiba ia ingat suatu apa, "hanya kulit muka mereka menjadi hitam seperti dilabur lumpur..."
Bun Siu berdiam, hatinya bekerja: "Aku tidak percaya ada hantu di dalam dunia ini... Mungkin seorang lihai tengah main sandiwara dengan menyamar menjadi iblis. Hanya, mengapa tidak ada tapak kakinya di atas pasir? Kenapa hanya dengan satu kali mengulur tangan dia dapat membinasakan orang?..."
"Tuan Lie," berkata Supu selagi orang berpikir, "kau baik sekali, kau membantu aku mendapatkan Aman, maka sayang peruntunganku tipis, sekarang Aman dibikin celaka hantu.-Aku datang kemari untuk mengantarkan jiwa, biar si hantu - jahat membinasakan aku sekalian. Tuan Lie, mari kita berpisah, agar kita bertemu pula nanti di lain penitisan..."
Bun Siu terharu dan bingung. Menurut penuturan Supu, "hantu" itu sangat lihai. Rasanya tidak sanggup ia melawan bantu itu. Ia bingung mengingat anak muda ini mengurbankan diri untuk Aman. Itulah cinta sejati. Itu membuatnya terharu. Ia kata di dalam hatinya: "Kau bersedia mati untuk Aman, kenapa aku tidak bersedia mati juga untuk kau?..." Maka ia lantas kata: "Mari aku temani kaul" Supu terkejut Ia heran. Ia lantas mementang matanya lebar-lebar, sedang hadnya berpikir "Kenapa kau begini baik terhadap aku? Mustahilkah..." Ia tidak berani memikir terus, hanya segera ia berkata: "Lekas kau menyingkir dari sini! Lebih jauh lebih baiki" Tapi si nona tidak pergi. "Kau dengar aku," ia berkata. "Itulah bukannya hantu! Aku percaya dialah orang yang menya- marnya! Mari kita bekerja sama untuk menempur dia!" Supu menggeleng, kepala. "Kau belum pernah melihat hantu itu!" katanya. "Kau tidak tabu dia lihai sekali! Tuan Lie, aku sangat berterima kasih kepada kau.tetapi.. kau baiklah lekas pergi, lekas!" Lie Bun Siu tertawa, walaupun tertawa dengan air naiki berduka. Ia menghunus pedangnya, sedang dengan tangan yang lain ia menolak pintu istana rahasia itu. "Kau pasang obor!" ia pun berkata. "Mari kita menolongi Aman!" Hati Supu tergetar mendengar suara orang itu. Tiba-tiba ia mendapat harapan "Apakah Aman belum mati?" dia bertanya, matanya mendelong. "Aku percaya belumi" menjawab Bun Siu. Tiba-tiba pemuda Kazakh itu bergembira. "Baik" dia berseru. "Mari kita tolong! Aman!" Dia lantas menyulut obor, bahkan dia mendahului masuk ke istana. Demikian muda-mudi ini masuk ke dalam istana. Mereka jalan berliku-liku. Sudah sekian lama, mereka belum juga memperoleh hasil, Supu tidak takut, saban-saban ia berteriak-teriak memanggil-manggil: "Aman! Aman! Kau di mana?" Tapi tidak juga ia memperoleh jawaban.
“Kau teriak bahwa pasukan besar kita datang menolongi," Bun Siu menganjur. "Mungkin si hantu takut dan nanti menyingkirkan dirinya..." Supu menurut, ia berteriak-teriak pula: "Aman! Aman! Jangan takut! Kami datang dalam jumlah besar untuk meoolongi kau!"
Masib tidak ada jawaban, maka mereka maju terus. Sekonyong-konyong terdengar jeritan di sebelah depan.
Itulah jeritan wanita. Mungkin sekali itulah Aman. Maka Supu lantas lari. Di depan sebuah kamar, ia segera menolak daun pintu. Untuk kagetnya, ia melihat Aman di satu pojok, tangan dan kakinya dibelenggu. Dia kaget melihat Supu, dia menjerit, Supu juga menjerit saking terkejut, dan girangnya. Supu lompat maju, untuk men- dekati. Dengan cepat ia meloloskan belengguan si nona. "Mana dia si hantu jahat?" tanya dia selagi menolongi membebaskan. "Dia bukannya hantu, hanya manusia," Aman menjawab. "Hanya di dalam gelap, aku tidak bisa melihat tegas wajahnya. Dia bertangan panas. Barusan dia ada di sini, begitu dia mendengar suara kau, lantas dia pergi menyingkir!" Supu bernapas lega. "Orang macam bagaimana dia itu?" ia menanya. "Kenapa dia menangkap dan menculik kau?" "Entahlah," Aman menjawab. "Selama di tengah jalan dia telah menutup mataku. Di dalam istana ini, seluruh ruangan gelap sekali, dari itu belum pernah aku dapat melihat jelas mukanya." Supu berpaling kepada Bun Siu, sinar matanya menunjuki sangat bersyukur. Sebab benar katanya si nona. Aman belum mati.,. Bun Siu juga memandang si anak muda, ketika ia berkata: "Supu! Bukankah kau bilang bukannya kau yang membunuh ayahnya Aman? Sekarang aku percaya kau! Si pembunuh mungkin- lah.ini.manusia jahat yang menyamar menjadi hantu!". Supu berjingkrak. Ia seperti telah disadarkan. "Tidak salah! Tidak salah!" serunya. "Mungkin dia jugalah yang membunuh ayahku! Mari kita cari dia!" Begitu lekas mengetahui si hantu jahat hanya manusia belaka, keberaniannya pemuda Kazakh ini bangkit pula. Tapi, cuma sejenak, ia lantas ingat suatu hal lainnya. "Tuan Lie, dapatkah kita melawan dia?" ia menanya. Ia baru ingat bahwa penjahat itu lihai sekali. Bun Siu pun berpikir, ia bersangsi, terus ia menggeleng kepala. "Dalam sepuluh, sembilan kita susah menang," sahutnya terus terang. "Supu, baiklah kau bersama Aman lekas pulang, lantas kau mengajak rombongan bangsamu datang kemari, kau pasti bakal dapat membekuk dia." "Rasanya sulit," berkata Supu, juga Aman. "Mereka,itu takut bantu, mana bisa mereka diajak datang kemari?" Bun Siu berpikir pula. "Aku ada akal, entahlah kau, kau berani atau tidak." katanya. "Bilanglah, apa aku mesti kerjakan, nanti aku kerjakan!" kata si anak muda. Bun Siu berduka. Ia .kata di dalam batinya: "Kalau aku menyuruh kau jangan mencintai Aman hanya aku, dapatkah kau mendengar kata-kataku?" Tapi ia tidak mengatakan demikian. Dengan perlahan ia kata: "Mari kita berdua berpura-pura bertengkar dan bertempur, kita pergi ke itu kamar di mana ayahmu dan Cherku telah terbinasa. Mungkin si orang jahat muncul. Kalau benar, kita serang dia secara mendadak" Supu setuju. "Bagusi" katanya. "Mari kita mulai!" "Dia lihai sekali, kau mesti waspada," Bun Siu pesan. Supu mengangkat kepalanya, sikapnya gagah. Bun Siu lantas tertawa dingin. "Kau bernyali besar! lihat golok!" dia berseru, lantas dia menyerang. Supu kaget, dia lompat berkelit "Tuan Lie..." serunya. Atau ia mendusta. Maka ia membalas membacok sambil menegur. "Kau berani kurang ajar? Kau berani menyerang aku? Lihat, aku bunuh mampus padamu" la lantas mengangkat goloknya. Aman sudah lantas mengerti peranannya. Ia mengangkat obor tinggi-tinggi ia berteriak-teriak: "Jangan berkelahi! Jangan berkelahi! Eh, kenapa tidak keruan-keruan kamu berkelahi?" Cegahan itu tidak diambil mumat, keduanya lantas saling bacok. Golok dan golok bentrok, berbunyi nyaring tidak hentinya. Dari kamar itu mereka berkisar ke arah kamar di mana Cherku dan Suruke terbinasa. Supu di depan, Bun Siu di belakang. Supu terdesak, dia lari, Bun Siu merangsak, mengejar. Meskipun mereka bersandiwara, kedua muda-mudi ini kurang tenteram hatinya. Bukankah mereka lagi bersandiwara untuk menghadapi ancaman bencana? Tengah mereka "bertarung" itu, mendadak terdengar suara apa-apa yang nyaring di tembok, terus terasa menyambarnya angin dingin Hebat tiupan angin itu, obor di tangannya Aman padam seketika. Supu dapat menjalankan peranannya baik sekait Ia menjerit "Aduh!" dan tubuhnya terus roboh terguling Di lain pihak Bun Sie terkejut. Di dalam kamar yang gelap itu, ia merasa ada tangan yang dingin mengenakan lengannya, tangan mana mau merampas senjata di tangannya itu. Ia memang sudah siap sedia, maka sambil mencoba mengelit tangannya, kaki kirinya terangkat, menendang ke perut orang. Sebat gerakannya, tepat tendangannya, yang mengenai sasarannya hingga ter- dengar Suara keras. Tapi penyerang gelap itu keras cekalannya, dia tidak mau melepaskan tangan orang tidak perduli dia telah tertendang. Bun Siu mengayun tangan kirinya ke muka musuh. Musuh itu berkelit sambil mendak, dengan tangan larinya, ia membalas menyerang. Dengan begitu, mereka lantas bertempur. Supu tidak lantas bangun, ia hanya berguling menghampirkan untuk menyambar kaki musuh itu. Tapi ia salah memekik "Salah" berseru Bun Siu lekas. "Inilah kakiku! Aman, nyalakan api!"
Justeru ia membuka suara, pundaknya Bun Siu kena ditinju. Ia merasakan sakit hingga ia menjerit. Atas itu, musuh bekerja terus. Ia memegang keras lengan kanan si nona untuk mencoba merampas golok orang.
Di dalam keadaan yang berbahaya kembali terdengar siuran angin, tanda dari datangnya seorang lain, lantas terdengar bentakan; "Jangan bergerak!" Suara bentakan itu belum berhenti, atau menyusul yang lain: "Jangan bergerak!"
Agaknya dua orang itu kaget, sebab berbareng terdengar suara mereka: "Siapa kau?"
Inilah suara saling tanya. Tapi mereka tidak menjawab satu pada lain sebaliknya, sebagai gantinya, terdengar suara beradunya senjata- Bun Siu terkejut dan heran. Dengan mendadak ia menghajar dada orang. Telak tinjunya ini, hanya orang itu berdiam saja, dia tidak berkelit, dia tidak berteriak kesakitan. Karena orang berdiam saja dan tangannya yang dicekal pun bebas, Bun Siu lantas menyalakan api, maka sekarang ia bisa melihat dengan nyata keadaan di dalam kamar itu. Tentu sekali, ia menjadi bertambah heran. Dua orang yang lagi berkelahi itu ialah Kee Loojin serta Hoa Hui, yang satu penolongnya, yang lain gurunya: dua-duanya orang yang ia buat pikiran, yang ia hendak cari. "Suhu!" ia lantas berteriak. "Kakek Kee! Tahan! Tahan! Semua orang sendiri!" Teriakan itu membikin dua orang itu heran, keduanya sama-sama lompat mundur. Bun Siu sendiri segera mengawasi orang yang mau merampas goloknya, yang masih berdiri diam saja Sebab dia kurban totokan pada jalan darahnya. Ia tidak dapat mengenali orang, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, mukanya berewokan, rambutnya awut- awutan, dan mukanya itu juga tersilangkan tapak golok. "Suhu! Kakek Kee!" kemudian si nona berkata. "Syukur kamu datang menolongi aku, jikalau tidak, aku bisa mati di tangannya ini manusia yang menyamar menjadi hantu!" Orang itu tidak dapat berkutik tetapi ia bisa membuka mulutnya. Dia tertawa dingin dan berkata: "Yang menyamar menjadi hantu bukannya aku hanya Ma Kee Cunl" Dan tangannya menunjuk Mendengar disebutnya nama "Ma Kee Cun" itu, dua-dua Hoa Hui dan Kee Loojin terperanjat, mereka seperti merasakan tubuh mereka ditusuk jarum panas, keduanya sama-sama berlompat mundur. Wajahnya Kee Loojin nampak bengis tetapi bergelisah, dan wajah Hoa Hui gusar sekali. Kemudian Kee Loojin nampak menjadi kurangan bengisnya, tertukar dengan roman jeri. Hoa Hui mengawasi orang tua she Kee itu, dan atas ke bawah dan sebaliknya. Kee Loojin bertindak mundur lebih jauh. sinar matanya berjelalatan. Ia agaknya berniat mencari jalan untuk lari kabur. Sekonyong-konyong Hoa Hui berseru; "Kee Cun, diam!" Kee Loojin berdiam, ia mengangkat goloknya, sikapnya mengancam. Ia mengawasi Hoa Hui.
"Bagus, bagus!" katanya. "Kau benar belum mati!" Suaranya perlahan. Hoa Hui juga mengawasi tajam sekali, tak sekejap jua ia mengedip. Kee Loojin tidak mundur lagi, ia terus menatap, rubuhnya lantas bergemetaran.
"Suhu!" tiba-tiba ia berseru, lalu dia menjatuhkan diri, berlutut di depan si orang she Hoa. Lie Bun Siu heran bukan kepalang. "Kenapa Kee Yaya pun memanggil guru kepada guruku?" ia tanya dalam hatinya. "Dia jauh terlebih tua daripada suhu..." Hoa Hui tertawa dingin "Hm! kau masih ingat aku sebagai guru?" katanya tajam. "Ketika dulu kau menggunai jarum beracun menyerang aku, kau toh tidak ingat gurumu, bukan?"
Kee Loojin mengangguk berulang-ulang. "Ya, muridmu bersalah, muridmu bersalah" katanya. "Muridmu harus mati." Lie Bun Siu baru sadar. "Ah, kiranya tiga batang jarum di punggung suhu dilepaskan oleh Kee Loojin" pikirnya. Selagi yatim piatu, dan usianya demikian kecil, ia dirawat si kakek itu hingga sepuluh tahun, tentu sekali ia ingat budi kebaikan itu, maka sekarang, melihat sikap demikian galak dari gurunya kepada si kakek peno- longnya itu, ia merasa berkasihan. "Suhu," ia berkata, "Kee Loojin telah membokong kau, perbuatannya itu sangat tidak selayaknya, akan tetapi aku minta sukalah kau memberi ampun kepadanya. Selama sepuluh tahun Kee Yaya telah merawat aku baik-baik." Hoa Hui tertawa dingin. "Hm, apa itu Kee Yaya?" katanya, bengis. "Dia she Ma, namanya Kee Cunl Apakah kau kira dia benar-benar bungkuk unta?" Tanpa hening lagi, ia membentak pada Kee Loojin: "Lekas singkirkan semua penyamaranmu" Kee Loojin berbangkit dengan perlahan-lahan, terus ia membuka bajunya, hingga di punggungnya tertampak tergemblok sebuah buntalan besar. Ia turunkan buntalan itu. Kemudian ia menyusut mukanya dengan tangan bajunya, maka di lain detik, tampak mukanya yang putih dan tampan, la sekarang terlihat tegas sebagai seorang umur tiga puluh lebih, romannya gagah. Lie Bu Siu sangat heran. "Kee Yaya, kiranya.." katanya tertahan, "kiranya kau masih begini muda?.,."
Kee Loojin menyeringai. "Aku bernama Ma Kee Cun," bilangnya. "Bukankah selama sepuluh tahun aku telah merawati kau tanpa kecelaan?" Bun Siu mengangguk. "Kau memperlakukan aku baik sekali," sahutnya. "Selanjutnya baiklah aku memanggil kau paman Ma." Hoa Hui mengambil buntalan orang, yang dijadikan alat membikin punggung bungkuk, ia membuka ikatannya dan membelarakkan, maka disitu terlihat sepotong jubah putih yang berlepotan darah, yang dilihatnya mendatangkan rasa ngeri "Ohl" Supu berseru sedang sedari tadi dia berdiam saja. "Kiranya kaulah yang menyamar menjadi si hantu jahat" Terhadap Hoa Hui, Ma Kee Cun bersikap sangat menghormat, akan tetapi mengawasi Supu, ia beroman sangat garang. "Benar aku!" jawab- nya, jumawa. "Dengan menyamar sebagai si bungkuk, aku berdiam di gurun pasir selama belasan tahun, selama itu aku sangat menderita; maka itu apa kau kira aku suka membiarkan harta karun di dalam istana rahasia diangkut kamu?" Supu pun gusar. "Dengan menggunai ilmu siluman kau telah membinasakan tidak sedikit orang bangsaku!" katanya bengis. "Kenapa kau juga menculik Aman?" Kee Cun tetap berlaku jumawa. "Aku mempunyai harta besar begini, bagaimana aku bisa tidak mendapatkan isteri yang cantik sebagai kawan?" dia balik tanya. Dia lantas berpaling kepada Hoa Hui, gurunya, untuk berkata terus: "Suhu, harta di istana rahasia ini, semua ada kepunyaanmu, aku melainkan ingin minta dibagi satu bagian saja dalam sepuluh, jumlah itu sudah dapat memuaskan batiku. Nanti aku membinasakan dulu ini bocah Kazakh, lantas kita berempat mengangkut harta ini pulang ke Tionggoan..."
"Tidak.. tidak dapat kau membunuh dia!" Bun Siu menyelak. Ma Kee Cun menghela napas. "Baiklah," katanya. "Aku tahu kau memang menyayangi bocah Kazakh ini. Bersama dia kau menggembala kambing dan bernyanyi, semua aku telah melihatnya! Jikalau bukannya kau sangat menyayangi dia, aku juga, tidak nanti menculik Aman. Baiklah, aku tidak akan membunuh dia. Kau dapat Supu, aku mendapat Aman, dan suhu mendapatkan harta besar! Jadi kita bertiga telah mendapatkan masing-masing bagiannya..."
"Kee Yaya..." berkata Bun Siu menghela napas: "Eh, salah, aku harus memanggil paman padamu! Paman, suatu benda bukan kepunyaan- mu, kau ingin memiliki itu untuk selama-lamanya, itulah tak dapat.." Selagi orang berbicara, Supu mengawasi si nona..la pun lantas mengingat banyak hal... Tapi Hoa Hui gusar. "Anak Siul" katanya keras, "orang ini berdosa besar, apakah kau masih mau meminta keampunan baginya? Kau tahu, semua kepandaiannya akulah yang mengajari, aku mengajak dia datang ke gurun pasir ini mencari istana rahasia, justeru kita mulai mendapat endusan, dia lantas timbul keserakahannya terhadap harta karun, dia menurunkan tangan jahat membokong aku dengan tiga batang jarum beracun, maka selama beberapa tahun, entah berapa hebat penderitaanku, coba aku tidak ditolong kau, tidak nanti aku hidup sampai sekarang ini." Bun Siu memandang Ma Kee Cun. "Paman, inilah salahmu!" katanya. "Nona Lie," kata Supu tiba-tiba, "dia pandai menggunai ilmu siluman, awasi"
"Dia bukan menggunai ilmu siluman," si nona bilang. "Dia hanya menggunai senjata rahasia yang berupa jarum berbisa yang halus, yang mengenai tenggorokan, maka kurban- kurbannya tidak memperlihatkan tanda luka apa-apa. Bahwa dia menjadi bertubuh tinggi, itu juga disebabkan kakinya ditambah sama jejangkungan dan jubahnya panjang dan gerombongan hingga kaki palsunya itu tak nampak"
Supu mengangguk. "Kau benar juga," bilangnya. "Kau telah membokong aku dengan jarum," berkata Hoa Hui, dingin, kepada muridnya itu, "meski kau tahu bahwa aku tidak bakal hidup lama, kau tetap jeri kepadaku, kau takut aku mencarimu, dari itu kau menyamar menjadi si bungkuk. Hm! Coba habis berbuat jahat itu kau menyesal, lantas kau pulang ke Tionggoan, pasti aku tidak bakal dapat mencarimu, tetapi kau berat mening- galkan harta karun di sini! Coba kau tidak datang kemari, habis perkara, tetapi kau loba, tamak hatimu, maka itu, mana bisa kau lolos dari pengawasanku?
Haha! Kau dapat menakut-nakuti bangsa Kazakh kau membuatnya mereka itu mengantar pulang harta karun ini, akalmu itu .bagus sekali! Kau telah membinasakan Tan Tat Hian, juga tindakanmu itu baik! Hanya sayang kau tidak mengetahui, selama itu, gurumu senantiasa mengutil di belakangmu tanpa kau mengetahui!"
Ma Kee Cun tunduk, ia masgul sekali, ia menutup mulut Ketika itu Supu mendadak berlompat maju, goloknya ia cekal keras. "Kenapa kau membunuh ayahku?" ia tanya, bengis. “Kenapa kau membinasakan Cherku?"
Belum lagi Ma Kee Cun menjawab, maka orang yang ditotok hingga tidak berdaya itu tertawa berkakak dan berseru: "Akulah yang membunuh! Akulah yang membunuh! Haha! Haha!"
"Kau siapa?" tanya Supu. "Kau siapa?" Bun Siu pun menanya, berbareng. "Akulah si edan!" menjawab orang itu. "Orang membunuh guruku, maka aku membunuh orang! Eh, Hoa Hui, bukankah guruku terbinasakan kau?"
"Benar!" menjawab Hoa Hui, dingin. "Kau jadinya bukan edan!"
Mendadak tangan kanannya terayun, tiga batang jarumnya menyamber. Orang yang mengaku edan itu lagi tertawa, sekejap juga, terhentilah tertawanya itu, jiwanya terbang melayang. Karena ia tertawa, wajahnya terus masih tertawa... ' "
Bun Siu kaget dan heran. Ia tidak menyangka gurunya bertindak demikian bengis. "Dia... dia siapakah?" ia tanya. Hoa Hui agaknya berpikir, ia tidak lantas dapat menjawab. Tapi Ma Kee Cun mendadak campur bicara. "Si edan ini muridnya The Kiu In!" katanya. Hoa Hui mengangguk "Benar, dialah murid The Kiu In," ia bilang. Ia mengawasi kurbannya itu, yang wajahnya tetap tertawa, lantas ia membayangkan wajahnya The Kiu In yang disebutkan muridnya itu. "Ketika itu jago tua she The merayakan hari ulang tahunnya, banyak tetamunya yang hadir, aku ialah satu di antaranya. Tengah pesta berlangsung, si edan ini muncul secara tiba-tiba dan dia mem- bawa banyak sekali batu permata dengan apa dia menghadiahkan gurunya itu. Dia mengatakan tidak jelas, dia cuma menyebut-nyebut Istana Rahasia Kobu... Malam itu juga aku menyatroni kamar tidur The Kiu In. Aku ingin mencari tahu tentang istana rahasia itu. The Kiu In mendusin, dia mempergoki aku, sambil tertawa dingin, dia kata padaku: "Tok cie Cin Thianlam, kau juga mengarah harta karun? Aku menganggap turun tangan terlebih dulu paling baik, maka tanpa membilang suatu apa, aku serang ia dengan jarum rahasiaku. Lantas aku menga- tur akal, ialah goloknya si edan ini aku tancap di dada The Kiu In, sedang si edan aku culik Aku mau membikin orang percaya si edan membunuh gurunya. Aku menculik si edan, aku membawanya ke tempat yang sunyi. Di sana aku mengorek keterangan dari mulutnya. Aku mesti menggunai segala macam akal. Sampai tiga bulan barulah aku berhasil. Si edan membilang! aku bahwa ia mendapat peta istana. rahasia secara kebetulan saja, karena ketarik hatinya, dia berangkat ke wilayah Hweekiang ini. Dia berhasil mendapatkan istana rahasia berikut harta karunnya yang berjumlah besar luar biasa. Lantas dia mengingat gurunya, maka dia berniat pulang dengan membawa oleh-olehnya itu. Meski begitu, dia terganggu rahasianya istana ini, dia tidak bisa keluar, dia terputar-putar, kelaparan dan berdahaga. Selanjurnya dia tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya dia dapat keluar dan pulang ke Tionggoan. Setelah memperoleh keterangannya itu, aku bawa dia datang kemari. Aku pun mengajak Ma Kee Cun bersama. Di luar sangkaan ku, pada suatu malam, Ma Kee Cun membokong aku hingga aku terluka parah. Hanya ketika itu, sambil mengerahkan tenaga dalamku, untuk mempertahankan diri, aku dapat bersikap seperti tak terluka. Kee Cun ketakutan, dia kabur. Justeru itu si edan juga kabur dengan membawa peta istana itu. Ah, aku tidak sangka murid yang aku paling percaya, yang aku pandang sebagai anak sendiri, telah mendurhaka terhadapku... Tidak lama kemudian maka di dalam kalangan kangouw tersiarlah berita halnya aku membokong The Kiu In. Mungkin si edan yang telah membuka rahasia itu. Kemudian lagi, setahu bagaimana duduknya, peta itu telah terjatuh ke dalam tangannya Pekma Lie Sam... Karena aku terluka parah dan aku takut keluarga dan murid-muridnya The Kiu In nanti mencari aku untuk menuntut balas, aku tidak berani pulang ke Tionggoan. Pula, aku pun tidak berhasil mencari pula jalanan ke istana rahasia ini... Selanjutnya aku mesti tersiksa karena luka di punggungku, sampai itu hari aku bertemu kau, Bun Siu, dan kau menolong aku mengeluarkan jarum itu... Aku tidak menduga, selang banyak bulan, aku mendapatkan orang- orang Kazakh mengangkut harta karun dari istana ini Lalu, aku pun menyaksikan sepak terjang si orang tua bungkuk unta... Haha! Aku telah melihat dia mencelakai orang dengan jarum rahasianya, maka aku lantas ingat dia siapa. Jikalau tidak, tidak nanti aku mendapat tahu bahwa dialah Ma Kee Cun, murid yang aku sayang."
Sembari mengatakan yang paling belakang ini, Hoa Hui memandang tajam- tajam muridnya itu, kemudian ia memandang si edan, mayat yang tertawa. Katanya di dalam hatinya: "Kau sudah mati, perlu apa kau tertawa terus?" Habis itu, ia melanjuti pula keterangannya: "Aku tidak tahu kapan kumatnya si edan ini dan bahwa dia telah bersembunyi di dalam ini istana. Mungkin dia hendak mencari balas untuk gurunya sebab dia membenci aku, yang memfitnah padanya. Begitu, dengan meneladani caraku, dia membunuh si orang Kazakh yang bernama Suruke, begitu juga yang bernama Cherku itu. Dengan perbuatannya itu, meniru aku, si edan ini berlaku Jenaka... Karena harta karun ini, telah banyak jiwa yang melayang, dan sekarang- haha!-semua adalah milikku!-Aku Tok cie Cin Thianlam Hoa Hui si Jeriji Satu Menggetarkan Langit Selatan! Tapi ini si Kee Cun yang berhati serigala berjantung anjing, dia mengharap satu bagian dari harta ini, dia benar-benar lagi bermimpi! Ha-hai Haha! Mesti aku mengasih rasa padanya, supaya dia mati perlahan-lahan... Haha! Haha!"
Tepat tengah tertawa itu, tiba-tiba mata Hoa Hui seperti kabur, di depannya itu ia seperti melihat The Kiu In yang ia binasakan, mata Kiu In mengancam padanya. Mendadak ia berseru-seru: "Setan! Setan! Kau toh The Kiu In?"
Hoa Hui bukan melihat Kiu Su, ia hanya melihat mukanya Kee Cun. Muka Kee Cun masih belum bersih betul bekas penyamarannya. Matanya seperti kabur, ia menjadi salah melihat. Ia pun sedang jeri sebab mengingat Kiu In. Maka menjeritlah ia tanpa merasa...
"Aku bukannya The Kiu In!" Kee Cun pun berkata, dingin suaranya. "The Kiu In berdiri di belakangmu!"
Hoa Hui kaget, segera ia memutar tubuhnya. "Mana? Mana?" tanyanya. Justeru orang berbalik, Kee Cun membacok ke punggung gurunya itu. Hoa Hui menjerit keras, sambil memutar pula, kedua tangannya melayang!
"Buk!" demikian satu suara nyaring. Serangan itu mengenai dada si murid. Bun Siu kaget sekali, hendak ia menolong, tetapi sudah kasep. Guru dan murid itu pun rubuh berbareng. Ia lantas memeriksa gurunya, Guru itu sudah lantas berhenti bernapas. Ketika ia melihat Kee Loojin, orang tua palsu ini masih dapat membuka matanya dan berkata dengan sukar. "Bun Siu, sebenarnya aku hendak menyerang dengan jarum rahasia, sayang ada kau berdiri di dekatnya, aku kualir jarumku nyasar melukai kau-" Bun Siu lantas menangis. "Paman Ma, keliru segala perbuatanmu..." katanya, "tetapi kau baik sekali terhadap aku..."
Kee Cun menyeringai, lantas kepalanya teklok. Maka pergilah arwahnya.
Bun Siu berduka bukan main. "Harta ini bukan kepunyaanmu, buat apa kau memperebutinya?..." katanya perlahan.
***
Lewat beberapa hari, Supu dan Aman telah pulang kepada bangsanya. Ia menuturkan segala apa, tetapi ketika ia membilang di dalam Istana Rahasia Kobu tidak ada setannya, tidak ada seorang juga yang mau percaya. Karena ini selanjutnya harta karun itu tetap terpendam di dalam istana yang hilang itu.
***
Sementara itu di padang pasir yang menuju ke kota Giokhunkwan, di sana nampak seorang penunggang kuda yang dari barat berjalan ke timur. Ialah seorang nona cantik, yang di pinggangnya tergantung pedang. Kudanya kuda berbulu pulih, kuda itu besar dan bagus. "Jalanan istana rahasia berliku-liku tetapi hati manusia melebihkan itu," demikian si nona ngelamun. "Siapa sangka Kee Yaya yang bungkuk itu baru berusia tiga puluh lebih? Siapa menduga, guru dan murid yang dulu bagaikan ayah dan anak, akhirnya menjadi seperti musuh, hingga setelah menderita, mereka sama-sama terbinasa di dalam istana rahasia? Toh Paman Ma memperlaku- kan aku baik sekali...Suhu seorang buruk, dia juga baik sekari terhadap aku... Dan Supu demikian baik hati, sayang dia cuma mengingat Aman satu orang-"
Si kuda putih tidak tahu apa yang nonanya pikirkan, dia bertindak terus menuju ke wilayah Tionggoan, untuk berjalan pulang, ia tidak gentar untuk perjalanan yang jauh dan sukar...
TAMAT