Jilid 01

KWIK TAY-LOK dan ONG TIONG

Seperti namanya, Kwik Tay-lok adalah seorang yang berjalan lebar. Tay-lok atau jalan lebar berarti orangnya supel, berjiwa besar, acuh tak acuh bahkan sedikit rada tolol, apapun persoalan yang sedang dihadapi, ia tak pernah ambil perduli. Sebaliknya Ong Tiong (bergerak) justru seorang yang tak suka Tiong (bergerak). Orang yang berjiwa sosial biasanya miskin. Kwik Tay-lok orangnya miskin, kelewat miskin sampai miskinnya luar biasa. Sesungguhnya tak seharusnya ia begitu miskin. Sebenarnya ia boleh dibilang seorang yang kaya raya. Seorang yang kaya raya bila tiba-tiba menjadi miskin, maka hanya ada dua alasan, pertama karena dia bodoh, kedua karena dia malas. Kwik Tay-lok tidak bodoh, pekerjaan yang bisa dilakukan olehnya jauh lebih banyak daripada orang lain, lagi pula jauh lebih baik dari kebanyakan orang. Misalnya... Menunggang kuda, ia bisa menunggang kuda yang tercepat, dapat pula menunggang kuda yang terbinal. Bermain pedang, dengan sebuah tusukan ia bisa menembusi baju perang dari besi yang dikenakan seorang panglima perang, dapat pula menembusi daun liu yang sedang melambai terhembus angin. Bila kau sahabatnya dan kebetulan ia sedang gembira, mungkin dengan tangan telanjang ia akan mencebur ke sungai untuk menangkap dua ekor ikan leihi, lalu dari air melompat ke udara

untuk menangkap dua ekor belibis guna membuatkan sebuah hidangan ang-sio-hi dan itik panggang bagimu. Bila kau mencicipi masakannya, tanggung selama hidup tak akan kau lupakan. Kepandaiannya memasak tidak kalah dari kepandaian koki yang paling tersohor pun di ibu kota. Iapun bisa memetik harpa sambil membawakan lagu Tay-kang-tang-kin, diapun bisa bermain

Yang-kim sambil membawakan lagu "Ditepi Yangliu, di tengah malam yang sepi", membuat kau beranggapan bahwa sepanjang hidupnya ia bekerja sebagai penjual suara. Bahkan ada orang beranggapan, kecuali tak bisa melahirkan anak, pekerjaan apapun bisa ia lakukan. Diapun tidak malas. Bukan saja tidak malas, bahkan setiap saat selalu berharap bisa melakukan pekerjaan apapun, pekerjaan yang pernah dikerjakan tak sedikit jumlahnya. Lalu, kenapa manusia semacam ini bisa miskin?   Ketika bekerja untuk pertama kalinya, ia menjadi seorang piausu. Waktu itu dia baru terjun ke dunia persilatan, baru selesai menjalankan masa berkabung karena kematian orang tuanya, rumah dan sawahnya ada yang dijual ada pula yang diberikan kepada orang lain, ia ingin mengandalkan kepandaian sendiri untuk berkelana dalam dunia persilatan. Tentu saja ia bukan seorang pedagang yang ulung, dia sama sekali tak berharap bisa menjadi seorang pedagang ulung, maka sawah sehektar yang seharusnya laku dijual tiga ratus tahil, hanya dijual seharga seratus tujuh tahil, ditambah pula uang yang dibagi-bagikan kepada sanak keluarganya yang miskin, sisa yang ada dalam sakunya tinggal tak seberapa. Tapi itu masih cukup untuk membeli seekor kuda jempolan, sebilah pedang mestika, membuat beberapa stel baju yang indah, tinggal di losmen kelas satu dan makan di rumah makan nomor wahid. Waktu itu musim semi telah tiba. Orang bilang musim semi musim yang terindah, saat itu merupakan saat yang paling baik buat perusahaan ekspedisi untuk mengeruk untung. Saat perusahaan ekspedisi paling baik, berarti saat panen pula bagi para pembegal dan perampok. Cong-piautau dari perusahaan Tionggoan-piaukiok, Lo Ceng-gi meski belum tua umurnya, pengalamannya cukup matang, diapun tahu akan teori tersebut. Maka sepanjang jalan ia selalu berhati-hati, apalagi barang kawalannya kali ini tak sedikit jumlahnya. Untuk mengawal barang belum cukup hanya berhati-hati saja, orang harus berilmu tinggi dan bernasib mujur. Ilmu silat Lo Ceng-gi tidak jelek, sayang nasibnya kurang mujur, apa mau dikata ia telah berjumpa dengan Ouyang heng-te, seorang manusia golongan hitam dari dua tepi sungai besar yang paling memusingkan kepala. Ouyang hengte atau Ouyang bersaudara bukan terdiri dari dua orang, bukan pula tiga atau empat orang.... Ouyang hengte cuma seorang diri. Orang ini memang bernama Ouyang Hengte! Meski cuma seorang, tapi justru lebih sulit dilayani daripada melayani empat puluh orang. Tangan kirinya memainkan golok pendek, tangan kanannya memainkan golok panjang, selain itu pada saat yang bersamaan dapat pula melancarkan tujuh-delapan macam senjata rahasia, jarang ada orang yang bisa melihat darimana senjata rahasia itu dilepaskan. Lo Ceng-gi juga tidak mampu. Baru saja ia menghindari tiga batang anak panah setabung jarum lembut, tahu-tahu Ouyang Hengte sudah memutar goloknya sambil melepaskan sepasang jarum Cu-bu-ban-ciam. Jarum yang mematikan, muncul dari tempat yang sama sekali tak terduga oleh siapapun. Bahu kanan Lo Ceng-gi termakan dua batang jarum itu, betul tak sampai mematikan, namun dia hanya bisa menunggu Ouyang hengte datang untuk merenggut jiwanya. Sekalipun Ouyang hengte tidak menghendaki nyawanya, bila barang kawalan itu sampai hilang, terpaksa dia harus menceburkan diri ke sungai atau menggantung diri untuk menghabisi nyawa sendiri. Untunglah pada waktu itu muncul seekor kuda yang meluncur datang dengan cepat, belum lagi kudanya sampai di tempat tujuan, penunggangnya sudah sampai lebih duluan. Ouyang hengte hanya sempat melihat seseorang terbang di udara, belum lagi ke tujuh-delapan macam senjata rahasianya terlepas dari tangan, urat nadi pada pergelangan tangan kanan kirinya masing-masing sudah tertusuk telak. Tentu saja sang bintang penolong yang datang dari tengah udara itu adalah Kwik Tay-lok. Lo Ceng-gi bukan cuma berterima kasih kepada penolongnya itu, diapun merasa kagum, bukan cuma kagum biasa malah kagumnya lahir batin. Setelah menghantar barang kawalannya sampai di tempat tujuan, bagaimanapun ia memaksanya untuk ikut pulang ke perusahaannya. Kwik Tay-lok pun pergi, sebab bagaimanapun ia memang tak ada urusan lain. Sekalipun ada urusan penting yang lain dia pergi juga. Inilah perdana dari pengalamannya, turun tangan untuk pertama kalinya, tiba-tiba ia merasa bukan cuma kepandaiannya hebat, ternyata keberuntungannya lumayan juga. Dengan rasa heran Lo Ceng-gi pun bertanya kepadanya: "Seorang jago lihay seperti Kwik-heng, mengapa tidak menjadi seorang piautau?" Kwik Tay-lok tidak menjawab, diapun tidak balik bertanya: "Kenapa seorang yang berilmu tinggi musti mengawal barang orang?" Ia hanya merasa menjadi seorang piautau cukup keren, cukup menarik hati. Maka diapun menjadi seorang piautau, Hu cong-piautau dari perusahaan ekspedisi Tionggoan piaukiok. Seseorang yang baru terjun ke dunia persilatan telah menjadi seorang wakil cong-piautau, kedudukan itu memang cukup keren dan menambah keangkerannya! Satu-satunya masalah yang membuat Kwik Tay-lok kecewa adalah Tionggoan-piaukiok bukan perusahaan ekspedisi terbesar di daratan Tionggoan, bahkan perusahaan kelas satupun tidak tergolongkan. Setelah menunggu beberapa hari, ia baru mendapat tugas yang pertama, lagipula tidak terhitung suatu transaksi yang besar, dia hanya akan mengawal beberapa ribu tahil perak saja kembali ke Lok-yang. Perjalanan tidak jauh, barang kawalannya tidak berat, ditambah lagi ada seorang wakil cong-piautau yang begitu perkasa, tak heran kalau cong-piautaunya lantas mengendon dalam rumah sambil merawat luka yang dideritanya. Waktu itu masih musim semi, pagi sekali, rombongan mereka telah berangkat. Kwik Tay-lok mengenakan baju ungu yang perlente, menyandang pedang antik, duduk diatas kuda putih yang jempolan dan dibawah kibaran panji perusahaan serta teriakan para peneriak jalan perusahaan yang lantang, ia merasa bertambah keren dan gembira. Ia berharap sepanjang jalan bisa bertemu dengan beberapa orang begal atau perampok kenamaan, bukan lantaran ingin memamerkan kungfunya untuk gagah-gagahan, tapi hanya ingin mencari beberapa orang sahabat saja. Makin banyak teman semakin baik, ia gemar berteman, bisa bersahabat dengan pembegal dan perampok, bukan cuma suatu rangsangan saja, lagipula amat menarik hati, apalagi kalau bisa membawa mereka ke jalan kebenaran, tentu itu lebih menyenangkan. Betul juga, apa yang diharapkan akhirnya ditemukan juga. Sayang yang ia jumpai bukan begal-begal yang biasa makan daging besar, minum arak wangi dan membegal barang-barang berharga, juga bukan sahabat-sahabat liok-lim yang setia kawan. Yang ditemui cuma serombongan penodong-penodong urakan yang sudah tiga hari kelaparan, berbaju compang camping dan bergolok berkarat. Walaupun agak kecewa, apa boleh buat setelah bertemu, terpaksa Kwik Tay-lok

memperlihatkan kungfunya yang hebat untuk menakut-nakuti mereka, setelah itu baru menasehati mereka agar bertobat dan menjadi seorang rakyat yang berguna bagi nusa dan bangsa. Mula-mula mereka dibuat ketakutan oleh kungfunya yang hebat, lalu menangis tersedu-sedu karena terharu, setiap orang berjanji akan hidup sebagai manusia yang berguna. "Tapi kami tak punya kepandaian apa-apa, apa yang harus kami kerjakan? Tidak menjadi penodong, sekeluarga tentu akan mati kelaparan!"

"Berdaganglah kecil-kecilan, tak punya warung, jadi pedagang kaki lima, daripada menjadi penodong lebih baik menjadi penjual bak-pao!"

"Tapi sepeserpun kami tak punya, mau dagang apa? Lebih baik mati saja daripada kelaparan!" Setiap orang menangis tersedu-sedu sambil menyeka ingus, rupanya liangsim mereka mulai tersentuh. Hampir saja Kwik Tay-lok melelehkan air matanya karena terharu. "Tidak punya modal? Itu mah soal gampang, aku punya!" Bukankah ia sedang mengawal uang? Bukankah dalam kereta terdapat beberapa ribu tahil perak? Tiada modal memang susah berdagang, selamanya Kwik Tay-lok memang orang yang sosial. "Setiap orang mendapat seratus tahil perak!" ia memerintahkan. Dengan penuh isak tangis karena terharu, mereka menerima bagiannya dan bubar tercerai berai, dari kejauhan masih terdengar mereka berkata: "In-jin (tuan penolong) itu bukan cuma seorang toa-enghiong, to-houkiat, hakekatnya dia adalah Pousat hidup, seorang nabi yang berhati, mulia...." Darah panas di dalam dada Kwik Tay-lok bergelora, ia merasa terharu dan berterima kasih. "Sebetulnya watak manusia itu baik dan mulia, bila tidak terpaksa hingga menemui jalan buntu, siapa yang mau menjadi begal?" Tunggu sampai perasaannya menjadi tenang kembali, tiba-tiba ia menjumpai dua hal: Pertama uang yang berada dalam kereta sudah berkurang separuh. Kedua, uang itu bukan miliknya. Para anggota perusahaan yang mengikutinya pada berdiri melongo dengan mata terbelalak, siapapun tak bisa mengatakan manusia macam apakah dirinya itu? Seorang toa-enghiong kah? Atau seorang Nabi? Atau seorang yang goblok dan tak punya otak? Setelah uang kawalannya berkurang separuh sang piautau harus mengganti.   Ketika pulang ke kantor, meski jantung Kwik Tay-lok berdebar-debar, bukan berarti hatinya amat sedih. Ia masih mampu untuk membayar kerugian itu, setiap orang yang mempunyai kepandaian selalu mempunyai keyakinan semacam itu. "Kuda ini kubeli dengan harga dua ratus delapan puluh tahil, dalam saku aku masih punya, sisa uang tujuh ratus tahil lebih, kalau di jumlahkan sudah seribu tahil lebih, Biar kuserahkan lebih dulu!"

"Bagaimana, dengan sisanya?"

"Sisanya biar dibayar kantor, kemudian akan kuganti dengan memotong gajiku setiap bulan!" Bila Tionggoan-piaukiok bisa mempertahankan seorang wakil congpiautau semacam ini, nama besar perusahaan pasti akan makin cemerlang di kemudian hari, transaksi yang dibuat pasti akan semakin baik, otomatis gajinya akan makin besar dan hutangnya makin cepat terbayar lunas. Lo Ceng-gi hanya mendengarkan kisah itu dengan mata terbelalak dan mulut melongo, seolah-olah terpesona oleh cerita tersebut. Kwik Tay-lok masih yakin, sebab ia merasa cara yang diusulkan ini paling cengli dan tepat. Mimpipun ia tak mengira kalau secara tiba-tiba Lo Ceng-gi menjatuhkan diri berlutut. Lo Ceng-gi berlutut bukan mohon kepadanya untuk tetap tinggal disitu, bukan pula untuk menyatakan rasa terima kasih karena jiwanya ditolong, tapi mohon kepadanya agar cepat-cepat angkat kaki, makin cepat semakin baik, makin jauh semakin baik. "Kau telah menolongku, maka kubayarkan kerugian ini, anggap saja kita sudah impas. Manusia semacam Kwik toaya dulu tak pernah kujumpai, dikemudian hari akupun berharap jangan menjumpai lagi!" Maka Kwik Tay-lok pun angkat kaki. Tapi kemana? Sekarang, betul pedangnya masih tersoren dipinggang, betul bajunya masih neces dan perlente, tapi kuda jempolannya sudah kabur, sisa uang yang dipunyai cuma beberapa tahil, bukan saja tak bisa menginap di penginapan kelas satu, makan di rastoran kelas satu, sekalipun untuk makan bakpao dan tidur di ubin keras juga cuma bisa bertahan beberapa hari. Apakah Kwik Tay-lok mulai gugup? Mulai sedih dan gelisah? Tidak! Ia sama sekali tak ambil perduli. Manusia yang punya kepandaian macam dia, kenapa takut tak bisa makan? Bukankah itu suatu lelucon yang tak lucu? Maka diapun tetap mencari penginapan kelas satu dan memesan arak dan sayur yang paling lezat untuk mengisi perutnya. Buat seorang pria yang baru selesai bersantap, biasanya perasaan waktu itu paling baik, apalagi dengan membawa enam-tujuh bagian pengaruh arak, orang yang paling dibenci pun bisa dianggap sebagai seorang yang paling menyenangkan. Maka semua sisa uang yang dimilikinya diberikan kepada si pelayan yang menyenangkan itu, maka sewaktu dia melangkah keluar dari situ, sakunya menjadi bersih seperti baru dicuci, mana bersih, kering lagi. Bagaimana dengan santapan berikutnya? Jangankan membayangkan, setitik bayanganpun tak terlintas dalam benaknya. Tapi apa salahnya? Bukankah perahu yang tiba di jembatan akan lurus dengan sendirinya? Tiada jalan buntu di dunia, yang paling penting sekarang adalah mencari tempat yang bagus dan tidur sepuas-puasnya. "Besok adalah urusan besok, mau dipikir biar dipikir besok saja!" Persoalan apapun yang akan dihadapi, setelah sampai saatnya tentu akan beres dengan sendirinya, kalau malam ini musti merisaukan urusan besok, wah, bisa cepat tua akibatnya. Kwik Tay-lok menguap lebar-lebar, lalu dengan langkah lebar berjalan menuju ke losmen paling baik di kota itu. Cuma dia melupakan sesuatu.   Walaupun pintu losmen selalu terbuka, meski sewaktu melangkah masuk gampang, sulitlah sewaktu akan melangkah keluar nanti. Bila dalam kocekmu tiada uang, tak nanti orang akan membiarkan kau keluar dengan langkah lebar. Tentu saja Kwik Tay-lok tak akan minggat, diapun tak akan mungkir, lantas apa daya? Setelah berada dalam keadaan demikian, ia baru agak gelisah, sambil bergendong tangan ia berjalan bolak balik dalam halaman. Tiba-tiba matanya menangkap selembar kertas merah di atas dinding, diatas kertas itu tertera beberapa huruf besar: DICARI SEORANG KOKI BERPENGALAMAN. Maka Kwik  Tay-lok menjadi seorang koki. Selama menjadi piautau, dari awal sampai akhir dia hanya bekerja selama setengah bulan

lebih. Tapi sebagai koki, ia cuma bertahan tiga hari. Selama tiga hari, ia memakai dua puluh kati minyak lebih banyak, memecahkan tiga puluh buah mangkuk dan empat puluh buah piring.... Orang lain masih bisa bersabar karena beberapa macam hidangan yang dibuat Kwik Tay-lok memang luar biasa, ada kalanya untuk mencari seorang koki yang baik bahkan jauh lebih susah daripada mencari seorang istri yang baik. Sampai Kwik Tay-lok melemparkan semangkuk ikan masak cuka yang baru keluar dari kuali ke wajah seorang tamu, orang lain baru betul-betul tak kuat menahan diri. Padahal tamu itu hanya menganggap masakan ikannya kelewat tawar dan minta ditambah sedikit garam, tapi Kwik Tay-lok naik darah, sambil menuding hidung orang, dampratnya: "Kau pernah makan ikan masak cuka tidak? Kau pernah makan ikan tidak? Yang dinamakan ikan masak cuka memang tak boleh dibuat kelewat asin, mengerti?" Kalau semua koki yang ada didunia galak macam dia, siapa yang berani berkunjung ke rumah makan lagi. Setelah berada dalam keadaan begini, sekalipun orang lain masih menahannya dia sendiri yang merasa tak betah. Setelah tiga hari bekerja sebagai koki, satu-satunya hasil yang diperoleh adalah selapis minyak yang mengotori badannya, sedang kantungnya masih tetap tongpes. Tapi, meski orang disini tak maui dirinya, orang lain toh masih membutuhkannya, apa yang musti ditakuti? Tentu saja Kwik Tay-lok masih acuh tak acuh, kalau pekerjaan apapun bisa dikerjakan, pekerjaan apapun pernah dilakukan, kenapa ia musti kuatir atau gelisah? Persoalannya sekarang, apa yang harus dilakukan? Kwik Tay-lok mulai putar otak setelah berpikir setengah harian, tiba-tiba ia merasa bahwa semua perbuatan yang pernah ia lakukan merupakan pekerjaan yang menghambur-hamburkan uang menunggang kuda, minum arak, menikmati bunga, berpesiar, pekerjaan macam begitu mana mungkin bisa menghasilkan uang? Untung masih ada satu-dua macam pekerjaan yang bisa menghasilkan uang, misalkan menjual suara. Dulu, kalau ia sedang menyanyi, orang-orang lain bertepuk tangan sambil memuji tiada hentinya, malah ada yang bertanya: "Apakah kau sudah mulai belajar menyanyi semenjak berada dalam perut ibumu?" Malah ada pula yang berkata begini: "Kalau membicarakan soal suaranya, ditambah kepandaiannya dalam membawakan lagu, tak bisa disangkal lagi penjual-penjual suara lainnya pasti akan gulung tikar!" Walaupun Kwik Tay-lok enggan merebut mangkuk nasi orang, apa daya kalau perutnya sudah mulai membawakan lagu perut kosong... Maka dia mencari sebuah rumah makan yang mentereng untuk menjual suara. Baru naik ke loteng, para pelayan telah mengerubunginya, yang menuang teh menuang teh, yang menghantar sapu tangan menghantar sapu tangan, mereka tertawa dibuat-buat, membungkuk-bungkukkan badan sambil bertanya: "Toaya, hari ini kau ingin makan apa? Minum apa? Hari ini ikan yang dimasak koki kami khusus didatangkan dari Kanglam, atau perlu membuka seguci arak Siau-seng-ciu yang telah berumur tiga puluh tahun?" Terhadap orang gagah dan keren macam Kwik Tay-lok, kalau bukan para pelayan yang menyanjungnya, siapa lagi yang akan menyanjungnya? Paras muka Kwik Tay-lok langsung berubah, menjadi merah padam, seperti orang yang baru minum tiga puluh kati arak Siau-seng-ciu. "Aku datang untuk menjual suara!" kata-kata seperti itu mana tega ia ucapkan lagi?  Setelah gelagapan setengah harian, ia baru bisa mau menjawab terbata-bata: "Aku datang mencari orang...." Belum lagi ucapan itu selesai, bagaikan dihajar dengan cambuk, ia sudah kabur terbirit-birit meninggalkan loteng itu. Tentu saja ia tak bisa menyalahkan para pelayan itu, mau menyalahkan musti menyalahkan diri sendiri yang sama sekali tak bertampang seorang pengamen. "Aai...! Ternyata seseorang yang bertampang gantengpun kadangkala akan rugi, mungkin kalau tampangku rada jelekan dikit, keadaannya akan jauh lebih baik!" Walaupun Kwik Tay-tok sedang menghela napas, hampir saja ia tak tahan untuk mencari cermin guna melihat tampang sendiri. Mau menjadi pengamen gagal, lalu apa yang musti dikerjakan?    "Thian telah memberi sepasang tangan yang lincah dan bagus kepadaku, pasti ada pekerjaam yang bisa kulakukan!" Kwik Tay-lok memang selamanya merasa puas dengan tangan sendiri. Memandang jari jemari sendiri yang langsing panjang dan bertenaga itu, tiba-tiba dalam hatinya terlintas suatu cerita lama yang sering tersebar dalam dunia persilatan: "Seorang pendekar yang rudin sedang menjual kepandaiannya dengan bermain akrobatik ditepi jalan, kebetulan bertemu dengan seorang lo-enghiong serta putrinya yang cantik, rupanya enghiong tua itu terpesona oleh ilmu silatnya yang tangguh.Tentu saja akhirnya sang pendekar mendapat gadis yang cantik dan hidup berbahagia."

"Benar, menjual kepandaian, aku bisa menjual kepandaian dengan bermain akrobatik ditepi jalan, dengan kepandaian yang kumiliki, siapa yang enggan menonton?" Saking gembiranya Kwik Tay-lok sampai lupa dengan perutnya yang lapar, diam-diam ia hanya menggerutu kenapa idee sebagus ini tidak dipikirkan olehnya sejak dua hari berselang. Meski udara sudah gelap, suasana dijalan raya masih ramai. Kwik Tay-lok mencari sebuah sudut jalan yang teramai untuk bersiap-siap menjual

kepandaian. Tapi sebelum permainan dimulai, agaknya musti dibuka dulu dengan suatu pidato. Apa yang musti dikatakan?    Kepandaian berbicara Kwik Tay-lok bukan terhitung lemah, kata-kata yang tidak seharusnya diucapkan, seringkali bisa disampaikan secara diplomatis, tapi setelah sampai waktunya harus bicara, dia malah tak mampu berkata apa-apa. "Tanpa pidato juga tak mengapa, toh yang dipentingkan orang adalah kungfuku bukan pidatoku, asal kudemonstrasikan kepandaianku, masa orang tidak datang mengerumun?" Kwik Tay-lok segera menggulung baju, menyingsing celana dan mainkan ilmu pukulan yang paling dibanggakan seumur hidupnya ditepi jalan. Gerak geriknya kuat dan perkasa bagaikan harimau, tendangannya lincah bagaikan naga sakti, bayangan tangan menggulung-gulung, angin pukulan menderu-deru, setiap jurus setiap gerakannya betul-betul merupakan kepandaian yang hebat. Tapi orang bukan datang mengerumun, sebaliknya malah jauh-jauh menyingkir, meski ada juga beberapa orang yang bernyali, mereka hanya berani mengintip dari balik tembok rumah. "Orang ini tiba-tiba bermain silat ditepi jalan, wah! Jangan-jangan otaknya tidak waras?" Waktu itu Kwik Tay-lok masih memainkan ilmu pukulannya dengan bangga, tapi lama kelamaan ia baru merasa kalau gelagat kurang baik. Untung saja dengan cepat ia sadar akan apa yang telah terjadi. "Yang kumainkan sekarang adalah kungfu yang sebetulnya, tanpa embel-embel kembangan, tentu saja orang-orang itu tak berhasil melihat keindahannya. Baik, akan kuperlihatkan ilmu yang lebih hebat lagi untuk mereka!" Berpikir sampai disini, tiba-tiba Kwik Tay-lok berjumpalitan dengan gaya Yau-cu-huan-sin (burung belibis membalikkan badan), "Blam!" tinjunya menghajar dinding belakang sampai berlubang, lalu "Weess!" tendangannya mampir di atas tonggak batu di tepi jalan sampai patah dan roboh tentu saja celananya robek karena tendangan itu. Jeritan kaget segera menggema dari mana-mana, para pejalan kaki yang berada disekitar tempat itu segera sipat ekor mengambil langkah seribu, malah ada beberapa toko yang segera menutup pintu sebab mereka mengira tempat itu telah kedatangan seorang gila yang sudah salah makan obat... Itulah pengalaman Kwik Tay-lok ketika menjual kepandaian, ia sudah mendemonstrasikan sejurus Kay-san-kang, sejurus sapuan Sau-tong-tui tapi hasil yang diperoleh cuma celana yang robek. Kenapa kisah pengalamannya tidak semujur pendekar rudin yang ada dalam cerita? Yaa, apa boleh buat, didunia memang sering terdapat cerita yang indah tapi tidak indah setelah dilaksanakan. Malam itu, terpaksa Kwik Tay-lok harus menahan lapar sambil tidur di kuil bobrok. Tentu saja ia masih bisa mengunjungi rumah makan terbaik untuk makan dulu urusan kemudian, mengunjungi penginapan paling baik untuk tidur dulu urusan belakangan, tapi jago kita ini meski rada tolol bukan berarti nakal. Perbuatan yang memalukan, sampai matipun tak sudi ia kerjakan. Sekalipun musti menjadi begal, aku akan menjadi begal ulung, aku tak sudi menjadi seorang maling ayam yang kerjanya cuma menggangsir rumah orang! Sampai sore hari kedua, Kwik Tay-lok baru teringat untuk menjadi seorang begal. Ingatan semacam itu bahkan dia sendiripun tak tahu darimana datangnya, mungkin dari perutnya yang sudah hampir berlubang saking laparnya. "Menjadi begalpun belum tentu jahat, dalam dunia persilatan banyak terdapat perampok budiman yang mengambil harta milik orang kaya untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin, bukankah kisah cerita mereka juga popular dalam dunia persilatan?" Maka Kwik Tay-lok bertekad menjadi seorang perampok, sudah barang tentu seorang perampok budiman, seorang perampok ulung. Kali ini ia bertekad harus berhasil, tak boleh gagal. "Sebelum melakukan suatu pekerjaan, harus disusun lebih dulu suatu rencana yang matang!" Sebelum menjadi perampok, rencana apa yang harus disusun? Pertama, harus mempunyai sasaran yang paling tepat dan cocok, orang itu harus punya banyak uang dan lagi tidak jujur, kalau bisa memperoleh sasaran seorang pembesar yang korupsi, itu lebih baik lagi. Sekalipun kau merampok harta kekayaan milik orang macam itu, orang lain bukan saja tak akan menyalahkanmu, malah bisa jadi akan berkeplok sambil tertawa kegirangan. Semangat Kwik Tay-lok segera bangkit, ia mulai mencari diempat penjuru, lama, lama sekali, akhirnya ia berhasil menemukan sasarannya. Itulah sebuah gedung megah yang berada di atas bukit, gedungnya besar, bangunannya kokoh dan mentereng lagi. Ini menandakan kalau si tuan rumah pasti banyak duit. Gedung itu letaknya agak jauh dari pusat kota, amat sepi dan terpencil, sekitarnya juga tak ada penghuni lain, sebab tetangga yang terdekat adalah sebuah kompleks tanah pekuburan. Ini menandakan pula kalau tuan rumahnya bukan seorang yang jujur dan terbuka, orang yang jujur dan terbuka tak akan tinggal di tempat semacam itu. Semua syarat yang dibutuhkan sekarang sudah terpenuhi, yang harus ditunggu kini adalah saat yang paling tepat untuk turun tangan. Tentu saja waktu yang paling tepat adalah malam hari. Tapi Kwik Tay-lok sudah kebelet, tak tahan untuk menunggu lebih lama, magrib belum lagi lewat ia sudah menyerbu ke dalam gedung tersebut... Benda pertama yang dilihat olehnya adalah sebuah pembaringan. Sebuah pembaringan yang besar, besar sekali, lagipula nyamannya bukan kepalang. Di atas pembaringan berbaring seorang manusia. Kecuali itu, ia tak berhasil menemukan benda lain. Gedung itu sangat besar, bangunannya amat mentereng, dari muka sampai belakang paling tidak terdiri dari tiga puluh kamar, ruangan yang paling besar sanggup memuat belasan buah meja perjamuan sekaligus. Tapi dari depan sampai belakang yang terdiri dari puluhan buah ruangan itu, kecuali pembaringan tersebut serta orang itu, apapun tak ada, bahkan meja dan kursi pun tak nampak sebuahpun. Ternyata puluhan buah kamar dari depan sampai belakang itu semuanya kosong, dapur pun kosong melompong. Kwik Tay-lok menjadi tertegun. Orang yang berbaring di atas pembaringan itu tidak tidur, sepasang matanya terbelalak lebar-lebar, tapi bagaimanapun dia berlarian dari depan sampai ke belakang dari muka sampai sisi gedung, orang itu tak pernah menggubrisnya. Sampai akhirnya, Kwik Tay-lok sendiri yang tak tahan, ia lari ke depan pembaringan ingin bertanya apa gerangan yang sebetulnya telah terjadi. Belum lagi ia bertanya, orang itu sudah berbalik tanya lebih dulu: "Apakah kau berhasil menemukan sesuatu benda yang berharga?"    Terpaksa Kwik Tay-lok menggelengkan kepalanya. Orang itu menghela napas panjang, kembali katanya: "Sejak tadi aku sudah tahu kalau kau tak akan berhasil apa-apa, sudah tiga hari aku mencari, tapi sebuah kuali bobrok yang paling akhir pun telah kugadaikan untuk ditukar dengan beberapa biji kueh. Jika kau dapat menemukan yang lain, kepandaianmu betul-betul luar biasa!" Tampangnya tidak terhitung jelek, cuma kulit mukanya memang rada kuning, kepucat-pucatan, badannya lemas, tenaga untuk bicarapun tak punya, tampangnya memang macam setan kelaparan, yang sudah beberapa hari tak pernah makan.   Tapi pembaringan yang ditiduri tak bisa disangkal memang selembar pembaringan yang sangat baik. Dalam gedung kosong ini kenapa masih ada sebuah pembaringan sebagus ini! Mau apa orang itu berbaring terus diatas pembaringan itu? "Tempat ini sebetulnya tempat apa?" tak tahan lagi Kwik Tay-lok bertanya. "Berbicara soal tempat ini, sebetulnya boleh dibilang suatu tempat yang sangat ternama!"

"Ternama? Apa namanya?"

"Pernah dengar tentang perkampungan Hok-kui-san-ceng? Nah, tempat inilah yang dinamakan Hok-kui-san-ceng!" Hampir saja Kwik Tay-lok tak bisa menahan diri untuk berteriak. "Hok-kui-san-ceng?" ulangnya, "tempat macam setan ini adalah perkampungan Hok-kui-san-ceng?"

"Betul, si gendut saja bisa berubah menjadi kurus, kenapa Hok-kui-san-ceng (perkampungan kaya raya) tak bisa berubah menjadi miskin? Apa yang musti kau herankan?"

"Lantas, siapa pula kau? Kenapa mengendon ditempat macam setan seperti ini? Apa yang lagi kau kerjakan?" Orang itu meluruskan napasnya untuk menyaring suaranya, setelah itu menjawab: "Kalau aku tidak mengendon disini lantas harus mengendon dimana? Aku ini adalah Cengcu angkatan ke tujuh dari perkampungan Hok-kui-san-ceng lho, jangan menghina!"    Sekali lagi Kwik Tay-lok tertegun. Dengan sepasang matanya yang jeli, orang itu mengawasi pedang ditangannya, tiba-tiba

katanya lagi: "Aku lihat pedangmu itu lumayan juga!"

"Memang lumayan, kenapa?"

"Agaknya masih bisa laku beberapa tahil perak!"

"Beberapa tahil?" jerit Kwik Tay-lok penasaran, "kau bisa menilai mutu pedang tidak? Terus, terang kuberitahu kepadamu, pedang ini kubeli dengan harga seratus tahil perak lebih!" Sinar mata orang itu agak berkilat setelah mendengar perkataan itu, suaranya juga kedengaran lebih nyaring, katanya lagi: "Turunlah gunung dari sini lalu berbelok ke kiri, disana ada sebuah rumah pegadaian yang memakai merek Lip-gwan, betul pemiliknya adalah setan penyayat kulit, tapi ia tahu mutu barang, mumpung dia belum tutup toko, cepatlah kesitu, paling tidak, pedangmu masih bisa digadaikan dengan harga dua puluh tahil perak!" Setelah menelan air liur, katanya lebih lanjut: "Tepat diseberang pegadaian ada sebuah warung penjual makanan yang dibuka Lo-Kong, panggang itik dan panggang daging buatannya lumayan sekali, ditetangganya juga menjual arak.

Setelah kau mendapat uang dari pegadaian, beli dulu dua ekor itik panggang, lima kati daging dan sepuluh kati arak, lalu cepat-cepat kembali kesini. Aku sudah kelaparan sekali, apalagi panggang itik kurang lezat kalau dimakan dingin-dingin"

Kwik Tay-lok membelalakkan matanya lebar-lebar, sikapnya sewaktu mengawasi orang ini persis seperti sikap Lo Ceng-gi sewaktu mendengarkan ceritanya dulu. Lewat lama sekali, ia baru menghembuskan napas panjang. "Kau suruh aku menggadaikan pedangku untuk membeli daging dan arak bagimu?"

"Yaa, untung kau bisa mengerti!"

"Kau tahu, mau apa aku datang kesini?"

"Tentu saja tahu, kau kan mau merampok?"

"Kalau sudah tahu aku mau merampok, kenapa kau malah mengincar barangku . . .?" seru Kwik Tay-lok sambil melotot. Orang itu tertawa tergelak. "Meskipun kau perampok, sayang aku adalah si setan miskin, kalau perampok bertemu dengan setan miskin, maka dia musti mengakui nasibnya yang lagi sial!" Kwik Tay-lok mengawasinya lekat-lekat, tiba-tiba ia merasa senyuman orang ini sangat menarik, bahkan agak mempersonakan hati orang. Tak tahan ia sendiripun tertawa tergelak.    "Sekalipun kau sedang mengincar barangku, paling tidak kau harus menggadaikan sendiri, lalu beli daging dan arak untukku, masa aku yang musti menggadaikan barangku sendiri?"

"Kalau ingin menjadi orang baik, jadilah sampai selesai, lebih baik kau pergi sendiri!"

"Dan kau? Bergerak pun rasanya malas?" Orang itu menghela napas panjang. "Aaai.... coba pikirlah!" ia berkata, "kalau aku tidak malas, mana bisa jatuh miskin seperti ini?" Untuk ketiga kalinya Kwik Tay-lok tertegun. Dulu ia tak pernah bertemu dengan manusia semacam ini, ia benar-benar tak bisa berbuat apa-apa terhadapnya. Maka diapun benar-benar pergi menggadaikan pedangnya untuk ditukar dengan daging serta arak. Setelah sebuah paha itik panggang dan setengah kati arak masuk ke dalam perut, orang itu baru bangun duduk dari pembaringannya. "Aku sudah makan makananmu, tapi belum tahu namamu, beritahu dulu siapa namamu?" katanya sambil tertawa. "Aku bernama Kwik Tay-lok, Tay-lok yang berarti jalan lebar!"

"Jalan lebar . . . yaa, betul, betul, ini memang cocok dengan orangnya, kau memang seorang yang Tay-lok, berjalan lebar!"

"Dan kau? Siapa namamu?"

"Aku bernama Ong Tiong, Ong yang berarti raja, Tiong yang berarti bergerak!" Kwik Tay-lok menatapnya lekat-lekat, lama, lama sekali, tiba-tiba ia tertawa tergelak. "Haaahhh. . . . haaahhh. . . haaah. . . aku lihat nama itu kurang cocok bagimu, lebih baik diganti saja menjadi Ong Put-tiong (tidak bergerak)!" Cuma orang mati yang tidak bergerak. Meskipun Ong Tiong bukan orang mati, tapi ia hampir sama dengan orang mati, karena jarang bergerak. Kalau tidak dalam keadaan yang terlalu mendesak, ia tak akan bergerak. Dikala ia tak ingin bergerak, siapapun tak akan berhasil untuk memaksanya bergerak. Semisalnya ada botol minyak jatuh didepan mata, orang lain tentu akan mengulurkan tangannya, tapi Ong Tiong tak bergerak. Semisalnya dari langit jatuh sekeping uang emas, siapapun pasti akan mengambilnya, tapi Ong Tiong tak akan bergerak. Bahkan sekalipun ada perempuan tercantik di dunia yang duduk dalam pelukannya dalam keadaan telanjang bulatpun, ia masih tetap tak akan bergerak. Tapi ada saatnya juga ia bergerak, malah sekali bergerak ternyata amat mengejutkan.    Suatu ketika, dalam sekejap mata ia telah berjumpalitan sebanyak tiga ratus delapan puluh dua kali, tujuannya hanya ingin mentertawakan seorang bocah yang baru kematian ibunya. Suatu ketika diapun pernah melakukan perjalanan sejauh seribu empat ratus lima puluh li dalam dua hari dua malam non-stop, tujuannya hanya ingin bertemu untuk terakhir kalinya dengan

seorang teman. Temannya itu sudah lama meninggal. Suatu ketika pula, dalam tiga hari tiga malam dia telah meratakan empat sarang penyamun diempat bukit serta bertarung melawan dua ratus tujuh puluh empat orang, diantaranya ia telah membunuh seratus tiga orang, alasannya karena ada segerombol perampok telah membunuh Tio lo-sianseng sekeluarga dari desa Tio-keh-cun serta melarikan tiga orang putrinya. Padahal ia tidak kenal dengan Tio lo-sianseng maupun ketiga orang putrinya. Sebaliknya bila ada orang mempermainkan dirinya, bahkan meludah di wajahnya, dia tak akan bergerak. Kalau kau merasa heran, ia memang sedikit agak mengherankan. Kalau kau mengatakan dia malas, dia memang kelewat malas sampai malasnya bukan kepalang. Sekarang, ternyata ia telah bersahabat dengan Kwik Tay-lok. Bayangkan saja, apa yang terjadi

kalau dua orang manusia macam mereka bertemu menjadi satu, kalau mereka tidak miskin, coba katakanlah siapa yang miskin?

Walaupun mereka miskin, mereka miskin dengan gembira. Sebab mereka tak pernah menyalahi orang lain, tidak pula terhadap diri sendiri. Karena mereka tidak melanggar ajaran Thian, tidak pula melanggar hukum negara. Bagaimanapun besarnya kesulitan yang mereka temui, betapa pun besarnya kesusahan yang mereka jumpai, tak sebuahpun yang membuat mereka putus asa atau sedih. Mereka tak takut menentang setiap penderitaan maupun kesedihan yang sedang dihadapi, mereka mengerti bagaimana menikmati keberhasilan dan kebahagiaan setelah berhasil mengatasi semua kesulitan dan kesedihan yang dihadapinya. Sekalipun gagal, mereka tak pernah putus asa, mereka tak pernah merasa luntur semangatnya. Mereka cukup memahami betapa berharganya nyawa manusia, merekapun mengerti, bagaimana caranya untuk menikmati kebahagiaan serta kegembiraan hidup. Oleh sebab itu sepanjang sejarah kehidupan mereka penuh dihiasi dengan aneka ragam persoalan yang semarak dan penuh kegembiraan. Sepanjang hidupnya, mereka telah banyak melakukan perbuatan yang jauh diluar dugaan orang, membuat setiap orang tercengang dan tertegun, bahkan kau sendiripun mungkin beranggapan bahwa perbuatan yang mereka lakukan itu tolol, menggelikan. Tapi kau tak bisa tidak harus mengakui, bahwa pekerjaan yang bisa mereka lakukan belum

tentu bisa dilakukan oleh orang lain. Kau sendiripun belum tentu bisa melakukannya! Oleh sebab itu, aku percaya anda sekalian pasti amat senang untuk mengikuti kisah pengalaman mereka.

ooo000ooo-

YAN JIT dan SEMUT

Pekerjaan yang dilakukan Kwik Tay-lok dan Ong Tiong saja sudah cukup memusingkan kepala orang, apalagi kalau ditambah dengan Yan Jit seorang . . ? Pekerjaan yang bisa dilakukan Yan Jit, hakekatnya jauh lebih bagus dan cemerlang daripada

pekerjaan yang dilakukan tiga ratus orang sekaligus. Bayangkan saja apa akibatnya kalau orang semacam itu bergabung dengan Kwik Tay-lok dan Ong Tiong? Tapi Thian justru telah mempertemukan mereka bertiga, malah membiarkan mereka

bergabung menjadi satu, akibatnya tentu hebat sekali. Kwik Tay-lok dan Ong Tiong tidak saban hari miskin, setiap saat setiap detik miskin, merekapun ada saatnya tidak miskin, cuma siapapun tak tahu kapan mereka tidak miskin, dan darimana uang tersebut mereka dapatkan. Malah mereka sendiripun tidak tahu. Uang mereka selalu datang diluar dugaan, membuat mereka sendiripun kadangkala dibikin kebingungan sendiri. Mungkin ini disebabkan karena cara mereka menghamburkan uangpun membingungkan hati orang. Kini musim gugur sudah hampir tiba, beberapa batang pohon di belakang perkampungan Hok-

kui-san-ceng telah mulai berbuah, buah pear yang besar lagi manis bisa memenuhi beberapa puluh keranjang bila dipetik, kalau dijual bisa laku dua tiga puluh tahil perak lebih. Buah itu tumbuh sendiri dari atas pohon, setelah berbuah maka orang datang untuk menawar harganya, kemudian memetik sendiri dari pohon dan mengangkutnya pergi. Dari awal sampai akhir mereka tak perlu mengeluarkan tenaga, tak perlu membantu. Uang itu hakekatnya seperti terjatuh dari atas langit, tentu saja rejeki nomplok semacam ini pantas kalau dirayakan. Untuk merayakannya, tentu saja tak boleh kekurangan arak, setelah ada arak tentu tak bisa ketinggalan harus ada daging. "Sandang menambah kegagahan, berjudi mendatangkan kemurungan, bermain perempuan hanya meraih hasil yang kosong", hanya makan yang paling menghasilkan keberuntungan, sebab itu makan juga merupakan kenikmatan yang paling besar buat Ong Tiong. Pada mulanya ia masih makan sambil berbaring, makan sambil tiduran, tapi setelah menggelora kegembiraannya, ia mulai duduk, tapi setelah lelah kembali ia membaringkan diri, makan sambil tiduran lagi. Oleh sebab itu pembaringannya lebih berminyak daripada meja dalam dapur, kemanapun kau meraba pasti akan menemukan satu-dua potong sisa daging yang berceceran, atau tiga-empat kerat tulang yang belum habis digerogoti.    Sekalipun Kwik Tay-lok sendiri juga bukan seseorang yang memperhatikan soal kebersihan, ia lebih suka tidur dilantai daripada berbaring diatas pembaringannya. Melihat orang tak berani menjamah pembaringannya, dengan gembira Ong Tiong menikmati pembaringannya seorang diri, bukan saja pembaringan itu tempat tidurnya, disitu pula ruang tamunya, kebunnya dan meja makannya. Yang lebih hebat lagi, ia bisa berbaring sambil minum arak, mula-mula mulut botol ditempelkan dulu dengan mulut, lalu "kluk, kluk, kluk!" meneguknya dengan lahap, tak setetespun yang tumpah keluar. Kwik Tay-lok sangat kagum dengan kepandaiannya itu, dia ingin belajar, tapi agak ragu, tak tahan tanyanya: "Masa tiduranpun bisa minum arak?"

"Tentu bisa!"

"Tidak kuatir menyembur keluar dari lubang hidung?"

"Pasti tidak, sekalipun kau minum dengan kepala dibawah kaki diatas, tak nanti arak itu bisa menyembur keluar dari lubang hidungmu!"

"Darimana kau bisa tahu?"

"Aku pernah mencoba!" Kwik Tay-lok segera tertawa lebar. "Aaah, masa iya? Duduk saja malas, masa kau bersedia menggantung diri sendiri?"

"Kalau tidak percaya, mengapa tidak kau buktikan sendiri?" Maka Kwik Tay-lok menggantung dirinya sendiri, lalu menempelkan mulut botolnya diatas bibir dan pelan-pelan meneguk isinya ke perut. Baru dua tegukan, arak telah menyembur keluar dari lubang hidungnya. Pada saat itulah, ia telah berjumpa dengan Yan Jit . . . pertama-tama ia saksikan dulu

sepasang kaki Yan Jit. Kaki Yan Jit mungkin tidak jauh berbeda daripada kaki orang lain, tapi sepatunya sangat istimewa.  Sepatu itu terbuat dari kulit kerbau muda, buatannya indah dan kuat, diatasnya ada sulaman yang manis dan menarik, dibandingkan dengan sepatu yang dipakai Tay-ong-ya dari luar perbatasan pun masih jauh lebih indah. Itu masih belum mengherankan. Yang lebih mencengangkan adalah demikian indah dan kuatnya sepatu itu, ternyata kedua-duanya tanpa alas sepatu. Pakaian yang dikenakan sebetulnya juga indah dan amat cocok dengan potongan badannya, tapi sekarang sudah terkoyak-koyak tak karuan, hakekatnya tiada sebagianpun yang masih utuh. Hanya topi yang dikenakan, tak bisa disangkal lagi seratus persen indah dan menawan hati. Perawakannya tidak terlalu tinggi, tapi kaki dan tangannya panjang sekali.    Mukanya sangat bagus, bahkan sedikit mirip wajah seorang nona, matanya besar dengan bibir yang kecil, waktu tertawa pada pipinya akan muncul sepasang lesung pipi yang dalam, tapi kalau tidak tertawa, mukanya segera akan menjadi dingin seperti es, air mukanya ikut menjadi pucat kehijau-hijauan, membuat orang hampir tak berani mendekatinya. Warna pakaian yang dikenakan sebetulnya mendekati warna hijau pupus, tapi sekarang sudah berubah menjadi tembong belang, sana merah sedikit, sini kuning, sedikit hingga warnanya campur aduk. Yang kuning jelas adalah bekas lumpur, tapi yang merah karena apa? Apakah darah? Bila ada dua orang sedang asyik minum arak, tahu-tahu muncul seorang yang menerobos masuk, siapapun pasti akan terperanjat dibuatnya. Tapi Kwik Tay-lok dan Ong Tiong, yang satu masih tiduran sedang yang lain masih menggantung diri, seakan-akan tidak melihat atas kedatangan orang itu. Bila kau masuk ke suatu rumah dan menjumpai ada seorang manusia tiduran sambil minum arak sedang yang lain minum arak sambil menggantung diri, tentu akan kau anggap tempat itu

adalah rumah sakit jiwa, sekalipun tidak sampai kabur terbirit-birit, paling tidak bulu kuduk akan bangun berdiri. Tapi orang itu sedikitpun tidak merasa kaget atau tercengang, seakan-akan dia menganggap minum arak dengan tubuh tergantung adalah suatu cara minum yang normal, duduk sambil minum arak baru aneh rasanya. Orang itu adalah Yan Jit. Sepasang kaki Kwik Tay-lok digantungkan pada plafon rumah. Tiba-tiba Yan Jit menjungkir balikkan tubuhnya di udara dan menggantungkan pula kakinya pada tiang-tiang rumah, lalu dengan wajah berhadapan wajah ia memandang diri Kwik Tay-lok, seakan-akan ia merasa berbicara dengan cara ini baru asyik rasanya. Tapi ia tak mengucapkan sepatah katapun. Kwik Tay-lok mulai merasa tertarik kepada orang ini, tiba-tiba ia menarik muka sambil membuat muka setan. Yan Jit menarik muka juga sambil menirukan lagaknya membuat muka setan. "Kau baik?" tegur Kwik Tay-lok. "Baik!"

"Mau minum arak?" kata Kwik Tay-lok lagi sambil memutar biji matanya. "Mau!" Kwik Tay-lok segera mengangsurkan botol araknya kepada orang itu, dia ingin menyaksikan arak menyembur keluar dari lubang hidang orang itu. Siapa tahu kepandaian yang dimiliki orang itu jauh lebih hebat darinya, "kluk, kluk, kluk!" secara beruntun ia meneguk habis separuh botol arak itu, malah setetespun tidak tumpah. Sepasang mata Kwik Tay-lok segera terbelalak lebar, serunya: "Dulu, kau sudah pernah minum arak dengan cara begini?"

"Sudah beberapa kali!" Tiba-tiba ia tertawa, lanjutnya: "Akupun ingin mencoba apakah minum arak dengan cara begini juga bisa dilakukan!" Bila pekerjaan semacam inipun pernah dicoba oleh seseorang, ini menandakan pekerjaan yang belum pernah dilakukan olehnya tentu sedikit sekali. Tak tahan Kwik Tay-lok tertawa terbahak-bahak. "Perbuatan apa lagi yang pernah kau coba?" katanya. "Semua perbuatan yang bisa kau sebutkan, mungkin pernah kucoba semuanya!"

"Aku rasa didunia ini pasti jarang ada pekerjaan lain yang jauh lebih susah daripada minum arak sambil berjungkir balik bukan?" kata Kwik Tay-lok sambil tertawa. "Masih ada beberapa macam!"

"Masih? Perbuatan apa lagi yang lebih susah daripada minum arak sambil berjungkir balik?"

"Yang paling susah adalah dimasukkan ke dalam peti mati, dipaku dan dikubur hidup-hidup didalam tanah!" Kwik Tay-lok membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar, bisiknya: "Perbuatan semacam inipun pernah kau coba?"

"Bukan mencoba lagi, tapi sudah kulakukan banyak kali, paling tidak lebih dari dua kali!" Tiba-tiba Kwik Tay-lok berjumpalitan di tengah udara dan melompat turun, dengan mata melotot diawasinya wajah orang itu tanpa berkedip. Paras muka Yan Jit tetap tenang, sedikitpun tanpa emosi. Lewat lama sekali, Kwik Tay-lok baru menghela napas panjang, katanya sambil menggeleng: "Aku lihat, kalau kau bukan seorang raja pengibul, sudah pasti adalah seekor makhluk aneh!"

"Yaa, betul! Dia memang makluk aneh!" tiba-tiba Ong Tiong menimpali. "Aah, sama-sama, sama-sama!" Yan Jit tergelak tertawa. Kwik Tay-lok segera berkeplok sambil tertawa terbahak-bahak, serunya: "Betul, betul, kita semua memang makhluk aneh, kalau tidak, tak nanti kita bisa berkumpul disini!" Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba lanjutnya: "Ketika datang untuk pertama kalinya kemari, aku ingin menjadi seorang perampok, bagaimana dengan kau?"

"Aku mah tak ingin menjadi seorang perampok lagi, sebab aku memang perampok tulen!" Kwik Tay-lok mengawasinya dari atas sampai ke bawah, lalu tak tahan lagi katanya sambil tertawa: "Kalau dilihat dari tampangmu, maka kalau kau seorang perampok, sudah pasti merupakan perampok goblok!"

"Bukan goblok, cuma lagi apes!"

"Lagi apes?" Yan Jit menghela napas panjang. "Aaai . . . . kalau bukan lagi apes, masa aku bisa sampai ke tempat macam ini?"

"Aaah, betul! Mau apa kau datang kemari?"

"Tidak mau apa-apa, aku cuma ingin mencari tempat untuk menyembunyikan diri!"

"Kenapa musti menyembunyikan diri?"

"Sebab ada orang hendak masukkan aku ke dalam peti mati, memantek dan menguburku lagi hidup-hidup!"

"Siapa yang hendak menangkapmu kali ini?"

"Semut!" Kwik Tay-lok membelalakkan matanya dengan mulut melongo, hampir saja mulutnya tak bisa merapat kembali. "Kau . . . . kau bilang apa?"

"Semut!"

"Semut . . . . ?" Tiba-tiba pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal, dengan napas terengah serunya: "Waah . . . . . waah. . . kalau sama semut pun takut, nyalimu betul-betul lebih kecil dari upil!" Yan Jit menghela napas panjang, sambil menggelengkan kepala berulang kali ia berkata: "Tampaknya kau belum pernah berkelana dalam dunia persilatan, masa "Semut" pun tidak kau ketahui!"

"Oh . . . . tidak mungkin, sejak berumur tiga tahun, aku sudah tahu apa yang dinamakan semut!"

"Apa, coba?"

"Semut adalah binatang yang kecil sekali, binatang yang kerjanya merangkak di tanah dan lari kesana kemari diatas tembok rumah atau lantai. Diatas pembaringan Ong Tiong pun terdapat banyak makhluk kecil itu, tidak percaya? Setiap saat aku bisa menangkap beberapa ekor untukmu!"

"Bukan semut itu yang kumaksudkan, yang kumaksudkan adalah manusia !"

"Manusia? Semut juga bisa menjadi manusia?" seru Kwik Tay-lok agak tertegun. "Yaa, empat orang. Keempat orang ini adalah Raja semut, anak buahnya terdiri dari semut-semut kecil!"

"Ke empat orang ini, yang seorang bernama Semut Emas, yang kedua bernama semut perak, yang ketiga bernama semut merah dan terakhir bernama semut putih!" Tak tahan Kwik Tay-lok tertawa geli, serunya: "Setelah ada semut merah dan semut putih, seharusnya ada semut hitam baru pantas!"

"Dulu memang ada semut hitam, tapi sekarang sudah mampus!"

"Kalau betul mereka itu manusia, kenapa dinamakan semut?" tanya Kwik Tay-lok kemudian sambil mengerdipkan matanya.   "Setiap orang tentu punya julukan bukan? Nah, itulah julukan untuk mereka!"

"Kalau pingin punya julukan, paling tidak barus mencari julukan yang rada keren atau gagah, misalnya Cha-ci-hau (harimau bersayap), Kim-mao-say (Singa bulu emas) dan lain-lainnya, masa cari julukan kok si semut kecil, huuh, apa-apaan itu?"

"Kalau tidak dinamakan semut apa musti dipanggil gajah? Padahal tubuh mereka kerdil-kerdil, sebab mereka memang si cebol semua!" Ketika didengarnya perkataan orang makin lama semakin tidak genah, Kwik Tay-lok segera tertawa tergelak, serunya:

"Apa yang musti ditakuti dengan seorang kerdil?"

"Apa yang musti ditakuti? Ketahuilah, kerdil-kerdil itu bukan cuma menakutkan, sesungguhnya mereka kelewat menakutkan sehingga mendirikan bulu roma setiap orang, tak ada manusia kedua di dunia ini yang jauh lebih menakutkan dari mereka!"

"Oooh . ?! Masa kepandaian silat yang mereka miliki sangat hebat sekali?"

"Yaa, mereka memang memiliki kungfu yang hebat dan istimewa, jangankan jagoan biasa, tokoh nomor satu dari Go-bi-pay pun tewas ditangan mereka!"

"Kalau sudah tahu mereka itu lihay, kenapa kau berani mengusik mereka....?" Yan Jit kembali menghela napas panjang.    "Aaai.... karena belakangan ini aku jatuh pailit, lagi apes, dalam setengah bulan sudah kalah lima belas kati, sampai sol sepatuku pun digadaikan untuk membayar hutang . . . "

"Apa? Kau bilang sol sepatumu kau gadaikan untuk membayar hutang?" teriak Kwik Tay-lok. "Betul!"

"Kau sudah hutang berapa?"

"Yaa, kira-kira tujuh-delapan ribu tahil!"

"Lantas sol sepatumu laku berapa?"

"Total jendral uang yang kuterima dari penjualan sol sepatu itu mencapai seribu tiga ratus tahil perak!" Makin lama bicaranya makin melantur, sambil menahan sabar Kwik Tay-lok mendengarkan terus ocehan orang, dia ingin tahu ocehan apa lagi yang hendak dipropagandakan orang. "Waaah.... kalau begitu, kau kan masih kurang enam ribu tujuh ratus tahil perak?" serunya sambit tertawa terbahak-bahak. "Justru karena itu, terpaksa aku musti mencari jalan lain!"

"Katanya kau seorang begal? Kenapa tidak merampok saja?". Dengan wajah serius Yan Jit berkata: "Kau anggap begal semacam aku merampok barang orang tanpa pilih bulu . . . . ?"

"Ooh . . . . . jadi kau memilih korban?"

"Bukan cuma memilih, bahkan sensorku keras sekali, kalau bukan pembesar korup aku enggan merampok, kalau bukan saudagar curang aku emoh merampok, kalau bukan perampok ulung aku tak mau merampok, kalau tempatnya kurang cocok akupun tak mau merampok!"

"Wouw, kalau begitu kau juga merampok barang milik perampok lain?"

"Benar, ini yang dinamakan hitam makan hitam!"

"Sebab itu kau lantas mengincar kawanan semut itu?" tanya Kwik Tay-lok kemudian. "Betul, kebetulan beberapa hari berselang aku mendapat info kalau mereka telah membuat suatu transaksi besar, maka akupun mendatangi mereka sambil bertanya apakah mereka bersedia memberi pinjaman sepuluh laksa tahil perak untukku!"

"Mereka setuju tidak?"

"Setujunya sih sudah setuju, cuma ada syaratnya!"

"Apa syaratnya?"

"Aku harus tidur dalam peti mati dan dikubur selama dua hari dalam tanah, mereka pingin tahu aku bakal mampus atau tidak!"

"Bukankah perbuatan semacam ini sudah pernah kau praktekkan jauh hari sebelumnya?"

"Sekalipun pernah kupraktekkan, tapi rasanya betul-betul kurang sedap untuk dinikmati!"

"Maka kau tidak menyanggupi?"

"Aku menyanggupi, karena hutang apapun boleh ditunda, hutang dalam judi harus dibayar kontan!"

"Kau telah menyanggupi permintaan mereka, tapi sekarang mengingkar janji, maka mereka datang mengejar dirimu?"

"Tepat sekali perkataanmu itu"

"Siapa namamu?"

"Yan Jit!"

"Kau masih ada enam orang kakak lelaki dan kakak perempuan?"

"Tidak!"

"Kalau tidak, kenapa urutanmu ke tujuh? Kenapa kau dinamakan Yan Jit . . . ?"

"Sebab aku sudah pernah mati tujuh kali!"

"Kalau mati sekali lagi, bukankah namamu akan berubah menjadi Yan Pat (Yan ke delapan)?", Yan Jit tertawa getir. "Nama Yan Jit terlalu baik, aku tak ingin untuk merubahnya lagi menjadi Yan Pat!" Tiba-tiba Kwik Tay-lok membungkukkan pinggangnya dan kembali tertawa terpingkal-pingkal, saking gelinya sampai air matanya ikut bercucuran, sambil menuding ke ujung hidung orang, katanya sambil tertawa: "Sekarang aku baru tahu, kau bukan makhluk aneh, kau seratus persen adalah seorang raja mengibul . . . !"

"Kau tidak percaya dengan perkataanku?"

"Sepatah katapun tidak percaya, jangan toh aku, anak yang berumur tiga tahun pun tak akan percaya dengan perkataanmu itu!" Yan Jit kembali menghela napas panjang. "Sebetulnya aku memang tidak bermaksud untuk bicara terus terang, karena aku sudah tahu, kata-kata yang bohong justru lebih gampang membuat orang percaya daripada berbicara terus terang!"

"Haaahhh . . . haaahhh. . . haaahhh. . . kalau kau bicara terus terang, aku bersedia untuk merangkak di tanah . . . . !"

"Kalau begitu, merangkaklah!" tiba-tiba seseorang menanggapi. Suara itu lengking lagi lembut, meski tidak keras tapi menusuk telinga hingga membuat kendang telinga serasa kesemutan. Ketika Kwik Tay-lok mendongakkan kepalanya, ia telah melihat seseorang berdiri di sana. Orang itu berdiri di atas daun jendela, tapi perawakan tubuhnya masih kalah tingginya

daripada daun jendela tersebut. Padahal tinggi daun jendela itu paling-paling cuma tiga depa setengah. Ia mengenakan pakaian berwarna kuning emas, kalau mukanya tidak berkeriput dan diatas bibirnya tak berkumis, orang pasti akan mengira dia sebagai bocah yang baru berumur lima-enam tahun. Kwik Tay-lok agak tertegun sejenak, kemudian sambil menghembuskan napas panjang tegurnya: "Kau yang bernama Semut emas?"

"Betul, aku bisa menjamin kalau semua perkataannya adalah kata-kata yang jujur, tak sepatah katapun palsu!" Sekali lagi Kwik Tay-lok menghembuskan napas panjang, setelah tertawa getir ia berkata lagi: "Sesudah Semut emas munculkan diri, kemana larinya Semut perak?" Baru habis ia berkata, diatas daun jendela. kembali telah muncul sesosok tubuh kerdil.    Meskipun perawakan tubuh orang ini sedikit lebih tinggi daripada semut emas, tapi, itupun tak lebih cuma dua-tiga inci lebih tinggi. Ia mengenakan baju berwarna keperak-perakan, wajahnya mengenakan topeng dari perak, hingga kelihatan seperti makhluk aneh yang terbuat dari perak putih, rasa seram dan mengerikan yang terpancar keluar dari tubuhnya tak terlukiskan dengan kata-kata. Jangankan orang lain, Kwik Tay-lok sendiripun merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri,

gumamnya kemudian: "Kalau dugaanku tidak meleset, si Semut merah pasti mengenakan baju berwarna merah!"

"Tepat sekali dugaanmu! seseorang menanggapi sambil tertawa merdu. Suara tertawanya nyaring, genit dan merdu merayu, jarang sekali ada orang memiliki suara yang begini merdu dan lembut seperti apa yang dimiliki orang itu. Cukup mendengar dari suara tertawanya, bisa dibayangkan kalau wajahnya pasti cantik jelita bak bidadari dari kahyangan. Semut merah memang amat cantik. Biasanya perawakan orang kerdil tak akan tumbuh secara normal, tapi ia terkecuali dari teori tersebut. Perempuan kerdil itu mengenakan baju ringkas berwarna merah, bagian yang semestinya langsing ternyata memang tidak gemuk, bagian yang semestinya montok ternyata memang tidak kurus, ia memiliki potongan muka kwaci dengan alis mata bagaikan semut beriring, mata yang jeli bagaikan bintang timur, bibir yang kecil bagaikan delima merekah, apalagi dikala tertawa, kecantikannya sukar dilukiskan dengan kata-kata. Semisalnya perempuan ini dilihat dengan kaca pembesar, sudah tak bisa disangkal lagi, ia adalah seorang gadis berwajah menawan hati. Sayang tubuhnya kerdil, coba kalau badannya diperbesar beberapa kali, mungkin laki-laki macam Kwik Tay-lok pun tak berani mengusik atau membuat kesalahan dihadapannya. Sebab sekalipun badannya belum diperbesar beberapa kali, sepasang mata Kwik Tay-lok sudah melotot besar, biji matanya nyaris melompat keluar....

Jilid 02

DENGAN SEPASANG BIJI MATANYA yang jelita, gadis itu melirik sekejap ke arah Kwik Tay-lok, kemudian sambil tertawa genit serunya: "Waah, mata orang ini tidak jujur!"

"Aaai.... aku memang bukan seorang yang jujur" kata Kwik Tay-lok sambil menghela napas, "dari kepala sampai kakiku, tak sebuahpun yang jujur..."

"Kalau begitu kau adalah seorang setan perempuan?" seru si semut merah sambil tertawa cekikikan. "Meskipun tidak cocok seratus persen, selisih pun tidak terlampau jauh, cuma sayang..."

"Sayang kenapa?" tiba-tiba senyuman di wajah semut merah lenyap seketika. "Sayang orang yang bertubuh semacam aku tak bisa menyusut menjadi kecil, kalau tidak, ingin sekali aku merubah diriku menjadi semut kuning." Semut merah menggigit bibirnya menahan emosinya, tiba-tiba sekulum senyuman menghiasi kembali ujung bibirnya. "Besar amat nyalimu" serunya, "kau berani menggoda dan merayu aku? apa tidak kuatir kalau suamiku menjadi cemburu?"

"Siapa suamimu? Si Semut putih? Oya... konon semut putih dapat terbang, apa benar?" Semut merah segera tertawa cikikikan.

"Sekali lagi tebakanmu benar, rupanya kau memang bocah yang berbakat!" serunya. Di tengah suara tertawanya yang merdu merayu, sesosok bayangan hitam tiba-tiba menyambar masuk dari luar jendela. Bayangan itu walau dilihat dari sudut manapun tidak mirip seorang manusia, begitu enteng seperti awan diangkasa, lagi putih bersih seperti salju, tahu-tahu.... "Weess!" menyambar lewat dari atas kepala Kwik Tay-lok. Untung saja Kwik Tay-lok berhasil mengigos dengan kecepatan luar biasa, ketika merasa ada hawa dingin mendekati batok kepalanya, ia segera mengigos, terlambat sedikit saja bisa berakibat

batok kepalanya berpindah rumah. "Weess . . . !" benda itu kembali melayang balik. Tentu saja benda itu bukan manusia, sebab tak mungkin ada manusia yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedahsyat itu. Tapi apa mau dikata justru bayangan itu adalah manusia, seorang manusia kerdil yang kurus lagi kecil, tingginya tiga jengkal setengah dengan lebar satu jengkal, dia memakai baju berwarna putih salju yang ujung baju bagian lengannya lebar lagi besar hingga mirip sayap, andaikata

ditimbang, mungkin bobot badannya cuma seberat seekor kelinci. Kalau bukan manusia kerdil macam itu, mana mungkin bisa memiliki ilmu meringankan tubuh yang begitu hebatnya? Kwik Tay-lok kembali menghela napas, gumamnya: "Ternyata si semut putih betul-betul bisa terbang!" Yan Jit segera menyambung: "Si Semut putih paling hebat dalam ilmu meringankan tubuh, si

Semut merah penuh senjata rahasia, si semut emas hebat dalam pedang dan pukulan, si semut perak kebal terhadap senjata. Aku toh sudah mengatakan sedari tadi, tiap semut itu memiliki kungfu yang luar biasa hebatnya, sekarang, kau sudah percaya bukan!" Kwik Tay-lok tertawa getir. "Kau minta aku merangkak sekarang juga atau nanti saja?" tanyanya kemudian. "Lebih baik merangkak pada saat ini saja, merangkak keluar dari tempat ini, sebab merangkak keluar sendiri lebih enakan dari pada digotong orang nanti!" kata semut putih dengan ketus. Mendengar itu, si merah segera tertawa cekikikan. "Nah, coba lihat sendiri, aku toh sudah bilang kalau dia cemburuan, sekarang sudah percaya bukan?"

"Urusan kami tak ada hubungan atau sangkut pautnya dengan kalian, alangkah baiknya jika kau segera merangkak keluar dari sini!" ujar si semut emas. "Tapi aku tak pandai merangkak, tolong ajarkan dulu kepadaku!" Semut merah kembali tertawa, katanya: "Waah, kalau dilihat gelagatnya, kita memang salah kalau cuma membawa sebuah peti mati saja, sepantasnya kita membawa tiga buah!"

"Oooh, jadi peti matipun sudah kalian gotong kemari? Kalian benar-benar hendak memanteknya ke dalam peti mati?"

"Sedari tadi aku sudah bilang, setiap perkataannya tiada yang bohong....?" kata semut emas. Tiba-tiba Yan Jit menepuk-nepuk bahu Kwik Tay-lok, lalu katanya sambil tertawa: "Gara-gara ini akulah yang menerbitkan, tak usah kau berlagak menjadi pahlawan untuk mencampuri urusanku."

"Betul" sambung semut merah sambil tertawa, "bagaimanapun toh kau pernah mati tujuh kali, apa salahnya untuk mati sekali lagi"

"Tapi tempat ini adalah rumah orang, sekalipun aku harus mati, tak boleh mati sini."

"Kalau begitu, kau boleh keluar dari sini," kata si semut putih. "Keluar yaa keluar..." ucap Yan Jit sambil menepuk bajunya dan tertawa, "nah saudara berdua, bila aku kali ini tidak mampus sungguhan, pasti akan kucari kalian berdua untuk minum arak." Ong Tiong masih berbaring terus di atas ranjangnya, sedikitpun tak berkutik, pada saat itulah tiba-tiba ia berseru: "Tunggu sebentar!"

"Tunggu apa?" bentak Semut emas. "Kalian tahu, tempat apakah ini?"

"Aku tahu, ini adalah kandang babi!" jawab semut merah sambil tertawa cekikikan. "Kalau tempat ini adalah kandang babi, berarti aku adalah Raja babi, siapa saja yang datang kemari harus mendengarkan perkataanku."

"Kurang ajar, mau apa kau?" teriak Semut emas makin gusar. "Aku hendak menahan Yan Jit untuk menemani aku minum arak, kau tahu, tidak gampang untuk mencari seseorang yang bisa minum arak sambil berjungkir balik, bayangkan sendiri, masa aku rela membiarkan dia tidur dalam peti mati?"

"Haaahhh... haaahhh... haaahhh.... rupanya kau sudah kepingin bergerak?" sera Kwik Tay-lok sambil tertawa tergelak.

"Semut-semut ini mulai menggigit orang sekalipun tidak ingin berkutik rasanya tak mungkin lagi!"

"Bagaimana bergeraknya?"

"Semut merah milikku, semut putih milik Ong Tiong jarang bergerak, tapi sekali bergerak hebatnya bukan kepalang tanggung." Baru selesai dia berkata, mendadak tubuhnya sudah melejit dari atas ranjang dan menerkam ke depan. Ia sudah mengincar tepat sasarannya, si semut merah yang cantik. Semut merah boleh dibilang tak sempat melihat musuhnya, dia cuma melihat ada segulung selimut berwarna hitam yang menerjang tiba dengan kecepatan luar biasa. Begitu badannya berputar, ada tiga empat puluh macam senjata rahasia yang beraneka ragam telah menyebar ke udara, ada yang menyambar dengan kecepatan luar biasa, ada yang saling berbenturan, ada pula yang berputar-putar di udara. Karena perawakannya kerdil, maka senjata rahasianya juga kelewat lembut. Tapi justru lantaran senjata rahasianya lembut, maka tenaga serangannya juga kelewat dahsyat, susah buat orang lain untuk menghindarinya. Tapi ia telah melupakan sesuatu hal, selimut bukan manusia.  Sekalipun ada seribu batang senjata rahasia menghajar diatas selimut, tak nanti selimut itu bakal mampus. Dalam keadaan demikian, walaupun senjata rahasianya istimewa, caranya menyerang luar biasa, sedikitpun tak ada gunanya. "Bluk, blukk, blukk...." diiringi suara mendebuk yang ramai, tiga empat puluh macam senjata rahasia itu sudah menghajar telak ke atas selimut itu. Di atas selimut ada lapisan minyak babi, minyak ayam, minyak itik, ada pula minyak goreng. Hakekatnya selimut tersebut bagaikan direndam dalam minyak, mana licin, mana mengkilap, keras lagi. Anak panah saja belum tentu bisa menembusi lapisan selimut bercampur minyak itu, apalagi senjata rahasia selembut itu? Menunggu si Semut merah sadar kalau dia tertipu, belum sempat badannya mundur kebelakang, selimut tersebut seperti selapis awan hitam telah mengurung ke atas kepalanya. Ong Tiong jarang bergerak, tapi begitu bergerak siapapun tak menyangka kalau gerakan tubuhnya secepat itu. Si Semut merah baru saja mengendus bau minyak tengik dan aneh, sekujur tubuhnya telah terbungkus didalam selimut tersebut... Seandainya perawakannya agak tinggi besar belum tentu Ong Tiong bisa membungkus tubuhnya dengan selimut, apa mau dikata ia memang terlampau kerdil, begitu sepasang tangan Ong Tiong merangkul, sekujur badannya segera terbungkus dalam selimut bagaikan bak-cang. Gerakan tubuh Ong-Tiong belum juga berhenti, ia mendengar dari belakang muncul segulung desing angin tajam, tahu-tahu si semut putih telah menerjang tiba dengan kecepatan luar biasa. Sangat cepatnya Ong-Tiong bergerak, tak mampu menandingi kecepatan si semut putih. Dalam sekejap mata si semut putih telah menyusul tiba. Tujuan Ong-Tiong memang berharap agar si Semut putih mengejarnya, karena dia tahu tak mungkin baginya untuk menyusul si semut putih. Menunggu semut putih telah tiba, tiba-tiba ia berhenti berlari, membalikkan badan dan melemparkan bungkusan selimut itu ke depan.

Bungkusan selimut itu berisikan bininya sendiri, sudah barang tentu si semut putih harus menerimanya. Bungkusan selimut itu satu kali lipat lebih besar dari badannya, bobotnya dua kali lipat, begitu ia menyambut, tubuhnya segera rontok ke tanah. Waktu itu Ong Tiong telah menyelinap ke belakang punggungnya, sekali menutul tertotoklah jalan darah orang itu.

Si Semut putih menggeletak tak berkutik, otot-otot hijau pada keningnya pada menonjol keluar, dengan mata mendelik ia melotot ke arah musuhnya, sampai biji matapun hampir melompat keluar. Ong Tiong tidak bergerak lagi, katanya sambil tertawa hambar: "Kau dikalahkan secara tak memuaskan bukan? Karena kungfu yang kugunakan bukan kungfu asli? Terus terang kuberi tahu, kalau menggunakan kungfu asli berarti itu bukan suatu kepandaian, selamanya aku tak pernah berkelahi dengan menggunakan kungfu asli." Saking mendongkolnya, hampir saja semut putih muntah darah. Ong-Tiong memang seperti tak berilmu sama sekali, semua keberhasilannya seakan-akan berhasil diraih dengan mengandalkan kecerdikan otak. Tapi, seandainya ia tidak memiliki kepandaian yang luar biasa, bagaimana mungkin bisa memiliki otak yang begitu cerdas? Kenapa pula ia bisa menggunakan waktu secara tepat? Serangannya kenapa pula begitu mantap dan kuat? Ini menandakan bukan kungfunya saja yang hebat, otaknya juga sangat hebat. Yaa, Ong-Tiong memang jarang bergerak, sekali bergerak kehebatannya betul-betul luar biasa. Sementara itu, si semut emas sudah tak mampu bernapas lancar karena desakan-desakan serta kurungan angin pukulan Kwik-Tay-lok. Sebaliknya Yan-Jit sedang bermain petak. Meskipun perawakan Semut perak lebih besar, namun kungfu yang dipelajari adalah kepandaian keras, dengan kepandaian yang bersifat keras, berarti gerak geriknya sudah amat lamban. Semakin cepat Yan Jit berputar-putar, semakin lamban gerakan tubuhnya. Tiba-tiba Yan Jit melepaskan topinya dan dikenakan di atas kepalanya, dengan topi yang besar dan kepala yang kecil, serta merta seluruh kepalanya tertutup dibalik topi, apapun tidak terlihat olehnya. Menggunakan kesempatan itu Yan Jit, menggaet kakinya membuat semut perak itu jatuh tertelungkup. "Criing...!" ternyata ia menggunakan pakaian berlapis perak yang berat dan kuat, jangan harap tubuhnya bisa merangkak bangun lagi setelah tertangkap di tanah. Dia ingin melepaskan topi di atas kepalanya, tapi suatu benda yang berat segera menindih diatasnya, Ternyata pantat Yan Jit telah duduk di atas kepalanya. "Bangku ini lumayan juga" gumamnya sambil cekikikan, "sayang terlalu kecilan sedikit!" Bagaimana dengan si Semut emas? Sedari tadi ia memang sudah susah bernapas, makin gelisah dia, udara makin mengganjal perutnya, lama kelamaan tanpa Kwik Tay-lok mesti turun

tangan sendiri, ia sudah roboh tak sadarkan diri dengan mulut berbuih. Melihat itu, Kwik Tay-lok segera menghela napas, katanya: "Waaah... rupanya orang ini mengidap penyakit ayan, kalau begitu aku telah salah mencari sasaran"

"Sedari tadi aku toh sudah bilang, si Semut putih untukmu, kenapa kau tak mau menurut?" 0ng Tiong menimpali. Kwik Tay-lok segera tertawa. "Kau mengucapkan kata-katamu, aku mencari sasaranku, kalau si Semut putih tidak mengejar diriku, mana aku bisa menyusulnya? Kalau ia bersikeras mencarimu, masa aku musti ngotot melulu? Yaaa, apa boleh buat? Terpaksa aku musti mencari Semut emas. Tapi bagaimanapun juga, kepalanku memang lebih besar dari padanya, otomatis tenagaku lebih besar darinya, bicara soal tenaga, hitam di atas putih aku pasti yang bakal menang!"

"Aaai.... tak kusangka kalau kau pandai juga mencari untung" gumam Ong Liong sambil menghela napas. "Aku juga tidak menyangka kalau selimut itu masih ada kegunaan yang begini besar, kalau lain kali ada orang ingin belajar ilmu menyambut senjata rahasia, pasti akan kuanjurkan untuk makan ayam goreng dulu di atas ranjang"

"Jangan makan ayam goreng, suruh makan itik panggang saja, sebab minyak itik lebih tebal" Tiba-tiba Yan Jit menghela napas panjang katanya pula: "Akupun tidak menyangka bila berjumpa dengan dua orang manusia macam kalian, mungkin nasib sialku sudah makin mendekati akhir."

"Mungkin itu disebabkan kau adalah betul-betul makhluk aneh, bukan si raja pengibul" kata Kwi Tay-lok sambil tertawa.

"Oooh, jadi kalian bersedia membantuku, lantaran aku berbicara sejujurnya?"

"Bukan, karena kau bisa minum arak sambil berjungkir balik!" Kwik Tay-lok membenarkan. Yan Jit segera tertawa. "Coba kalau tidak melihat kau minum arak sambil berjungkir balik, masa aku bakal mengucapkan kata-kata seperti itu?" Tiba-tiba ia menghela napas, terusnya: "Padahal masih ada sepatah kata ingin kuucapkan, cuma aku tak tahu sepantasnya ku utarakan atau tidak."

"Apakah kau ingin berterima kasih kepadaku?" tanya Ong Tiong. Yan Jit kembali menghela napas: "Yaa, atas bantuan semacam ini, aku tak tahu bagaimana musti menyatakan rasa terima kasihku?"

"Jika kau serius ingin berterima kasih kepada kami, ada satu hal bisa kau lakukan" kata Ong Tiong. "Apa yang musti kulakukan?" Gotong aku kembali ke atas ranjang, aku sudah malas untuk bergerak lagi!"

****

Di dalam pandangan siapapun perkampungan Hok-kui-san-ceng bukan suatu tempat yang menarik, hakekatnya semacam barang yang bisa meninggalkan kesanpun tak punya. Anehnya, ternyata sikap Yan Jit seperti Kwik Tay-lok, setelah tiba di sana ia enggan untuk pergi lagi. Hal ini bukan dikarenakan mereka sudah tiada tempat lain yang bisa di datangi lagi, melainkan.."

Melainkan kenapa? Bahkan mereka sendiripun tidak jelas. Ada sementara orang yang diantara mereka seakan-akan mempunyai suatu kekuatan daya tarik menarik yang aneh, bagaikan besi yang bertemu dengan besi sembrani, bila kedua belah pihak saling bertemu, maka masing-masing pihak akan segera terhisap oleh yang lain. Manusia-manusia semacam ini merasa cukup gembira asal bisa berkumpul, biar tidur di lantai, biar lapar dua malam, bahkan sekalipun dunia bakal rontokpun mereka tak ambil perduli, seakan-akan berlaku prinsip dihati masing-masing bahwa makan tidak makan pokoknya kumpul. Agaknya di dunia ini tinggal beberapa macam persoalan yang membuat mereka tak tahan, salah satu diantaranya adalah air mata. Air mata perempuan, terutama air mata seorang perempuan kerdil yang tinggi badannya tak sampai empat jengkal. Betul si Semut merah kerdil, tapi air matanya tidak kepalang tanggung banyaknya. Tiba-tiba Kwik Tay-lok merasa bahwa sedikit banyaknya air mata perempuan, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan tinggi besarnya badan, semakin ceking tubuh seorang perempuan, kadang kala air matanya justru semakin banyak. Di dalam banyak hal, perempuan juga memiliki ciri khas seperti itu. Seperti misalnya semakin gemuk seorang perempuan makannya justru makin sedikit, makin jelek wajahnya makin banyak tingkahnya, makin tua orangnya makin tebal rupanya dan, makin banyak baju yang dimiliki makin tipis yang dikenakan.    "Aaai.... perempuan memang sejenis makhluk yang sangat aneh !" Kwik Tay-lok menghela napas panjang, tangisan si semut merah yang terus menerus membuat ia hampir tak tahan. Terpaksa dia hendak angkat kaki. Tapi Yan Jit tidak membiarkan ia pergi. Waktu itu Ong Tiong telah berbaring kembali, tidur sambil mendengkur, sekali ia sudah tertidur maka sekalipun ada orang mampus disisinya, ia juga tak ambil perduli. Yan Jit menarik tangan Kwik Tay-lok dan mencegahnya pergi, ia berkata lirih: "Kalau kau pergi, bagaimana dengan ke empat orang ini ?"

"Toh kau yang mencari kesulitan sendiri, bukan aku !" jawab Kwik Tay-lok segera. "Tapi kalau kalian tidak membantuku, mana mungkin aku bisa menangkap mereka, kalau mereka tidak kutangkap, mana mungkin aku bisa menghadapi kesulitan seperti ini?" Kwik Tay-lok menjadi tertegun. Yan Jit kuatir penjelasannya kurang dimengerti pemuda itu, ia kembali berkata:   "Bila kalian tak membantuku, aku bakal ditangkap mereka, paling banter juga mati sekali lagi, tapi tiada kesulitan apapun. Tapi sekarang aku tak dapat membunuh mereka, tidak pula melepaskan mereka, coba katakan, apa yang bisa kulakukan?" Semakin jelas ia berbicara, semakin bingung Kwik Tay-lok dibuatnya. Tiba-tiba Ong Tiong menongolkan kepalanya dari balik selimut, katanya sambil tertawa: "Aku punya akal bagus !"

"Oooh, kenapa tidak kau katakan sedari tadi ?" kata Yan Jit sambil menghela napas. "Kau enggan membunuh mereka bukan, tapi enggan pula melepaskan mereka, lebih baik biarkan saja mereka tinggal di sini, kita pelihara mereka sepanjang masa."

"Betul, betul, ini memang ide yang bagus", saru Kwik Tay-lok segera sambil berkeplok tangan dan tertawa terbahak-bahak, "bagaimanapun juga, mereka toh kerdil dan kecil, pasti tidak banyak yang mereka makan." Si Semut merah segera berhenti menangis, katanya: "Yaa, memang sedikit yang kumakan, setiap hari aku cuma makan dua butir mutiara yang ditumbuk menjadi bubuk, ditambah sedikit ikan laut dan beberapa tetes madu, kalau tak ada madu, Ha-an-kwa juga boleh!" Yan Jit berdiri di situ dengan wajah tanpa emosi sedikitpun juga, gumamnya seorang diri: "Bubuk mutiara sebagai nasi? Ikan segar, madu? Itu mah tidak susah!" Tiba-tiba ia membalikkan badan dan pergi dari situ. "Hey, mau kemana kau?" tegur Kwik Tay-lok.

"Mencari peti mati yang dibawa si Semut dan berbaring didalamnya, lalu mencari orang untuk menguburnya ke dalam tanah, aku rasa tindakanku ini paling tidak jauh lebih gampang daripada harus mencari mutiara dan madu setiap hari"

"Waah, kalau begitu demi menyelamatkan jiwamu, terpaksa aku musti melepaskan mereka pergi" kata Kwik Tay-lok sambil menghela napas, "paling tidak cara ini jauh lebih gampang dari pada mencari seorang lain yang bisa minum arak sambil berjungkir balik." Dimulut dia berbicara, tangannya telah bekerja untuk membebaskan jalan darah dari semut-semut itu.    Sewaktu datang mereka datang cepat, sewaktu pergi merekapun pergi dengan tak kalah cepatnya. Setelah bayangan tubuh mereka lenyap dari pandangan ketiga orang itu baru sama-sama berpaling dan saling berpandangan. "Bukankah sedari tadi sudah berhasrat untuk melepaskan mereka pergi?" kata Kwik Tay-lok kemudian. "O, ya ?"

"Tapi, kau kurang enak untuk mengutarakannya kepada kami, sebab kami berdua juga ikut keluar tenaga, bila mereka melepaskan dengan begitu saja, kau takut kami tidak puas bukan? Padahal....."

"Padahal sedari tadi kau sendiripun sudah berhasrat untuk melepaskan mereka?" sambung Yan Jit cepat. Ketiga orang itu kembali saling berpandangan, lalu bersama tertawa tergelak. "Kelihatannya melepaskan orang bukan cuma lebih gampang daripada membunuh orang, bahkan jauh lebih gampang daripada membunuh orang, bahkan jauh lebih menggembirakan" kata

Kwik Tay-lok sambil tertawa. "Benar, bila kita membunuh mereka, sekarang hati kita tak akan seriang ini!"

"Tapi kalau kita telah melepaskan mereka, dan mereka mencelakai orang lagi, itu baru suatu kejadian yang tidak menyenangkan!" Ong Tiong menyambung. Kwik Tay-lok menggelengkan kepalanya berulang kali, serunya dengan suara lantang:

"Tidak mungkin, aku lihat mereka bukan orang yang terlalu jahat. Sekalipun dimasa lalu pernah berbuat kurang baik, di kemudian hari pasti mereka dapat berubah sifat jahatnya itu!" Tiba-tiba ia mengedipkan matanya, lalu sambil merendahkan suaranya berbisik: "Sekalipun mereka betul-betul jahat, setelah mendengar perkataanku ini bagaimanapun tentu akan tak enak hati untuk berbuat jahat lagi"

"Kau kira mereka bisa mendengarkan perkataanmu itu?" Yan Jit. "Tentu saja mendengar" kata Ong Tiong, "ia berteriak begitu keras, orang tuli yang berada sepuluh li dari sini pun bisa terdengar suaranya, apalagi telinganya belum tuli!"

"Betul" kata Kwik Toy-lok sambil tertawa, "teriakanku memang selamanya nyaring, dulu malah ada orang yang mengatakan aku punya suara emas, nanti kalau hatiku lagi senang pasti akan kubawakan dua buah lagu yang merdu untuk kalian dengar." Ong Tiong segera menghela napas panjang, katanya: "Andaikata kau ingin menyanyi, lebih baik tunggu sampai aku tertidur lebih dulu?" Sambil masukkan kepalanya ke balik selimut, ia menambahkan: "Asal aku sudah tertidur, sekalipun kau menjerit sampai rumah ini ikut bergetar, aku juga tak akan mendusin !" Mereka memang merupakan manusia-manusia seperti itu, cara kerja mereka memang selalu istimewa. Ada kalanya cara kerja mereka betul, ada kalanya merekapun bisa salah melakukan

pekerjaan. Tapi, bagaimanapun juga perbuatan mereka tak pernah membawa anyir darah, tak pernah memuakkan orang.     Perbuatan yang mereka lakukan, bukan cuma membuat diri sendiri gembira, orang lain pun ikut merasa gembira. Dalam satu bulan, Yan Jit pasti akan ngeloyor pergi sampai dua tiga kali, siapapun tak tahu kemana ia pergi, lebih-lebih tak tahu apa yang telah dilakukan olehnya. Tapi, setiap pulang dari berpergian, ia selalu pulang dengan membawa satu dua macam

barang yang aneh-aneh. Kadangkala dia pulang membawa sepasang sepatu baru, atau sapu tangan bersulam bunga, kadangkala juga membawa Ang-sio-bak atau arak beras ketan. Malah kadangkala ia membawa pulang seekor kucing, seekor burung gereja, atau beberapa ekor ikan hidup. Tapi, bagaimanapun juga, tak sebuahpun yang bisa menangkap keanehan dari barang yang dia bawa pulang kali ini. Ternyata kali ini dia pulang membawa seorang manusia. Orang itu bernama Lim Tay-peng, tapi semenjak kedatangannya, tak seorangpun diantara mereka bisa hidup dengan Tay-peng (aman). Ada sementara orang gemar dengan musim dingin, karena dimusim dingin mereka dapat menikmati putihnya salju, menikmati indahnya bunga bwe (sakura), bisa bersantap Hwee-lo yang panas, bersembunyi dibalik selimut yang tebal sambil membaca buku porno, atau tidur dengan nyenyak. perbuatan-perbuatan semacam ini tak mungkin bisa dinikmati di musim panas yang gerah. Orang yang suka dengan musim dingin tentu saja bukan orang-orang miskin, musim dingin adalah musim yang paling menyiksa bagi orang miskin, setiap orang miskin selalu berharap musim salju datang lebih lambat, atau paling baik kalau tak akan datang untuk selamanya. Sayang musim dingin bagi orang miskin selalu datangnya kelewat awal... Salju yang melapisi permukaan halaman perkampungan Hok-kui-san-ceng sama putihnya dengan tempat lain, bahkan ada pula beberapa batang pohon bwe yang tumbuh dengan indahnya di sana. Tapi, jika pakaian yang dikenakan seseorang masih berisi bakmi semangkuk yang dimakan semalam, maka satu-satunya hal yang sedang menarik hatinya pada saat ini adalah makanan yang bisa mengganjal perut, bukan salju yang putih atau bunga bwe yang indah. Dengan termangu-mangu Kwik Tay-lok mengawasi bunga bwe dan salju yang putih didalam

halaman, lalu bergumam: "Kalau bunga bwe ini bisa berubah menjadi lombok, tentu lebih bagus lagi!"

"Apakah yang bagus?" kata Ong Tiong. "Coba kau lihat, salju yang melapisi permukaan tanah bukankah mirip tepung beras? Kalau diberi beberapa batang lombok merah, tentu bisa dibuat semangkuk bubur pedas yang hangat." Ong Tiong segera menghela napas, katanya: "Kau betul-betul seorang yang tak tahu seni, andaikata Lim Hu mendengarkan perkataanmu itu, dia tentu akan mati karena mendongkol!".

"Siapakah Lim Hu itu?"

"Masa Lim Hu pun tak pernah kau dengar"

"Aku cuma pernah mendengar ada Bak-Hu (daging kering) misalnya daging babi kering (Ti-bak-hu) daging sapi kering (Gou-bak-hu) serta daging menjangan kering (Lu-bak-hu), kalau dibuat teman arak tentu lezat sekali"

"Lim Hu adalah Lim Kun-hu, atau Lim Ho cing, dia adalah seorang seniman dari ahala Song yang tinggal dibukit Hu-san di telaga See ou, konon selama dua puluh tahun tak pernah turun gunung barang selangkahpun, kecuali menanam bunga bwe dan memelihara burung bangau, pekerjaan apapun tak pernah ia lakukan sehingga ia dikenal orang beristri bunga bwe beranak

bangau, syair ciptaannya tersohor sampai dimana-mana!"

"Oooh, kalau begitu, Lim sianseng ini adalah seorang seniman yang luar biasa!" kata Kwik Tay-lok cepat. "Yaa, dia memang seorang seniman yang luar biasa !"

"Tapi seandainya ia lagi kelaparan seperti aku sekarang, mungkinkah masih disebut luar biasa?" Ong Tiong berpikir sebentar, tiba-tiba katanya sambil tertawa: "Setelah berada dalam keadaan begini, aku pikir besar kemungkinan kau lebih berseni darinya" Kwik Tay-lok ikut tertawa tergelak. Tiba-tiba ia merasakan, dikala seorang sedang kelaparan ataupun kedinginan, bila tertawa maka tubuhnya akan terasa jauh lebih nyaman. Pada saat itulah, tiba-tiba Ong Tiong melompat bangun dari ranjangnya, kemudian berteriak: "Teringat akan Lim Ho-cing, aku menjadi teringat pula akan suatu hal!". Bila Ong Tiong yang malas bisa sampai melompat bangun, tak bisa disangsikan lagi masalahnya tentu luar biasa. Tak tahan Kwik Tay-lok lantas bertanya: "Apa yang kau ingat? Apakah ingin mempersunting bunga Bwe sebagai binimu?"

"Bukan bini yang kumaksudkan, arak . . "

"Arak?" bisik Kwik Tay-lok dengan mata terbelalak, "dari mana datangnya arak ?"

"Dibawah pohon bunga bwe itu!" Kwik Tay-lok segera tertawa getir. "Menganggap bunga bwe sebagai bini sudah cukup gila, tak nyana kau lebih gila lagi" Namun di bawah pohon bwe itu benar-benar tertanam seguci arak. "Arak ini kupendam pada belasan tahun berselang" tutur Ong Tiong, "waktu itu kebetulan aku sedang mendengarkan cerita tentang Lim Ho-cing, aku ikut jatuh cinta kepada bunga Bwe, maka kupendam seguci arak dibawah pohon bwe agar ikut kecipratan bau harum bunga bwe."

Dimanapun kau tanam bila sudah belasan tahun lamanya, arak tentu harum baunya. Kwik Tay-lok segera menghancurkan penutup yang menyegel guci itu, lalu sambil pejamkan mata dan menarik napas panjang, katanya seraya menghela napas: "Ehmm... bukan wangi saja, baunya bahkan seperti bau dewa!"

"Nah, makanya kau musti berterima kasih kepada Lim sianseng" kata Ong Tiong sambil tertawa, "coba kalau bukan lantaran dia, tak nanti ku pendam seguci arak di situ, kalau bukan lantaran dia, akupun lupa kalau ada seguci arak telah kupendam disana." Kwik Tay-lok tak ada waktu untuk berbicara lagi, dimana arak untuk diminum, mulutnya selalu repot dan tak mampu melakukan pekerjaan lainnya. Ia sudah mengangkat guci arak itu siap diminum. "Heeh.... heeh... nanti dulu!" Ong Tiong menarik tangannya. "Harus menunggu apa lagi?"

"Yan Jit sudah pergi selama dua hari, kalau dihitung-hitung ia sudah hampir pulang, paling tidak kita harus menunggu sampai kedatangannya...."

"Harus menunggu berapa lama? Ketika ia pulang nanti, siapa tahu kita sudah mampus kedinginan." Ternyata mereka tak usah menunggu terlalu lama. Suara Yan Jit telah kedengaran dari luar tembok rumah: "Kalau kalian mau mampus, lebih baik

cepat-cepat mampus, jadi seguci arak itu bisa kunikmati seorang diri." Sambil tertawa Ong Tiong segera berkata: "Agaknya orang ini bukan telinganya saja yang panjang, hidungnyapun juga panjang, aku sedari tadi sudah tahu, asal mendengus bau harumnya arak, ia pasti bisa cepat cepat pulang." Kwik Tay-lok ikut tertawa, sambungnya: "Entah si hidung panjang ini membawa apa buat kita minum arak?"

"Teman arak sih tidak kubawa, tapi teman minum arak mah ada satu!" Lim Tay-peng memang seorang yang pandai minum arak. Siapapun yang pernah bertemu dengannya, tak akan percaya kalau ia bisa minum arak sebanyak itu. Ketika untuk pertama kalinya Kwik Tay-lok melihat orang itu, ia lebih tak percaya lagi. Lim Tay-peng adalah seorang yang berwajah bagus, lemah lembut dan mempersona hati. Kalau dibilang Yan Jit mirip seorang gadis, maka dia hakekatnya seperti seorang gadis yang

menyaru seperti pria. Bibirnya kecil sekali, sekalipun diibaratkan bibir yang kecil mungil juga tidak keterlaluan. Ketika Kwik Tay-lok melihat untuk pertama kalinya, bibir yang mungil itu terkatup rapat, warna bibirnya hijau pucat, dia harus menggunakan tenaga yang besar baru bisa membuka mulutnya serta meloloh secawan arak ke dalam perutnya. Ia sudah kedinginan setengah hari, iapun kelaparan hingga tinggal segulung napas yang lirih. Mimpipun Kwik Tay-lok tidak mengira kalau didunia masih terdapat orang yang lebih kedinginan, lebih kelaparan daripadanya, sambil tertawa getir ujarnya:    "Darimana kau dapatkan manusia ini ?"

"Di tengah jalan !" jawab Yan Jit. Kwik Tay-lok kembali menghela napas, gumamnya: "Pertama kali kau membawa pulang seekor kucing dari tengah jalan, kedua kalinya membawa pulang seekor anjing, sekarang membawa pulang seorang manusia, Waah, kalau, begini terus-menerus, bisa jadi lain kau akan membawa pulang seekor kingkong."

"Yaa, lebih baik lagi kalau kingkong itu kingkong betina, jadi bisa dijodohkan dengan kau" seru Ong Tiong sambil tertawa.

Kwik Tay-lok tidak marah, malah sambil tertawa terkekeh sambungnya pula: "Lebih celaka lagi kalau dia membawa monyet betina. Bukankah aku musti memanggil enso Ong kepadanya?" Perawakan tubuhnya tinggi besar, paling tidak lebih tinggi satu kepala dibandingkan Ong Tiong, selamanya hal ini merupakan kebanggaan baginya. Jika ada orang menggodanya dengan hal tersebut, bukan saja dia tidak marah, bahkan malah agak bangga. Ia selalu beranggapan, perawakan semacam ini barulah merupakan perawakan yang ideal bagi seorang lelaki sejati. Yan Jit telah mendapatkan sebuah mangkuk gumpil, dengan mangkuk itu dia penuhi separuh cawan arak, lalu melolohnya ke dalam mulut Lim Tay-peng. Setelah diloloh dua mangkuk, paras mukanya yang pucat pias pelan-pelan baru nampak berwarna merah, tapi matanya masih terpejam, ketika sisa arak dimulut telah ditelan, ia baru berkata: "Ehm... sedaap ! Inilah arak Tiok-yap-cing yang telah berusia tiga puluh tahun"

Itulah kata-kata pertama dari Lim Tay peng. Ong Tiong tertawa, Kwik Tay-lok juga tertawa, dengan dasar ucapan tersebut, mereka telah menganggap Lim Tay-peng sebagai sahabatnya. "Tak kusangka sahabat inipun seorang ahli dalam minum arak" kata Kwik Tay lok sambil tertawa. Pelan-pelan Lim Tay-peng membuka matanya, ketika melihat mangkuk gumpil di tangan Yan Jit, ia segera mengerutkan dahinya, lalu berseru: "Kalian minum arak dengan menggunakan mangkuk itu?" Nada suaranya seperti ia melihat ada orang makan nasi dengan hidung, memegang sumpit dengan kaki, Kalau tidak dengan mangkuk, lantas harus diminum dengan apa?"

"Kalau ingin minum Tiok-yap-cing harus minum dengan cawan kemala hijau, kalau minum dengan mangkuk semacam itu, sama halnya dengan membuang percuma seguci arak bagus"

"Aku lihat kau gunakan saja apa adanya" ujar Kwik Tay-lok lagi sambil tertawa, "asal kau pejamkan mata, mau pakai mangkuk gumpil atau cawan kemala toh sama saja!" Lim Tay-peng berpikir sebentar, kemudian menjawab: "Benar juga perkataan itu, tapi aku lebih suka minum langsung dari gucinya." Guci arak itu berada dihadapannya, ia betul-betul mengambilnya dan meneguk langsung dari guci. Kwik Tay-lok mengawasinya dari samping dengan mata terbelalak, mulut melongo. Ketika separuh guci arak itu sudah masuk perut, Lim Tay-peng baru menyeka mulutnya sambil berkata: "Arak bagus, arak bagus, tapi mana sayurnya....? Masa kalian minum arak tanpa ditemani sayur atau masakan lain?"

"Nah, itu menandakan kalau kau kurang mengerti soal seni minum arak" kata Kwik Tay lok tertawa, "orang yang benar-benar minum arak hanya akan minum arak, tak perlu makan sayur atau masakan yang lain." Lim Tay-peng berpikir sejenak, kemudian sahutnya: "Ehm, betul juga perkataan itu!" Kembali ia mengangkat guci arak dan meneguk habis sisa setengah guci arak yang masih ada. Bila seguci arak telah dipendam selama belasan tahun, selain araknya akan bertambah keras, biasanya isi arak itu tinggal separuh guci, tapi keras alkoholnya dua kali lipat dari keadaan biasa. Namun paras muka Lim Tay-peng tetap tenang, seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali, malah katanya: "Masih adakah arak semacam ini?" Kwik Tay-lok segera tertawa getir, sahutnya: "Maaf, arak itu bukan cuma seluruh rangsum kami bertiga hari ini, arak itupun merupakan seluruh harta yang kami miliki." Lim Tay-peng tertegun, kemudian bertanya: "Apakah kalian hanya minum arak, tak pernah makan nasi?"

"Jarang sekali!" Mendengar itu Lim Tay-peng menghela napas panjang: "Aaai... kalau begitu kalian benar-benar setan arak, ketahuilah minum arak melulu hanya merusak perut, sedikit banyak kalian musti makan nasi sedikit." Tiba-tiba ia menggeliat, lalu sambil memandang sekeliling tempat itu tanyanya: "Biasanya kalian tidur diatas ranjang itu."

"Ehmm!" Ong Tiong mengiakan. "Masa ranjang itu bisa ditiduri?"

"Paling tidak lebih nyaman daripada tidur ditepi jalan!" Lim Tay-peng kembali berpikir setengah harian lamanya, kemudian sambil tertawa ia berkata: "Masuk diakal juga perkataanmu itu, agaknya semua perkataan kalian sangat masuk diakal, tampaknya aku memang pantas untuk bersahabat dengan kalian!"

"Terima kasih, terima kasih, tak usah sungkan-sungkan, tak usah sungkan-sungkan!"

"Tapi sekarang aku ingin tidur, sewaktu tidur aku paling tak suka kalau dibangunkan orang, lebih baik kalian bermain-main dulu diluar!" Setelah menguap ia berbaring diatas ranjang, kemudian tak selang beberapa saat tertidur pulas. Kwik Tay-lok mengawasi Ong Tiong sekejap, lalu katanya sambil tertawa getir. "Tampaknya ia bukan cuma lebih baik dalam soal arak, kepandaiannya untuk tidurpun jauh lebih hebat dari padamu!" Yan Jit memandang sekejap guci yang telah kosong lalu tertegun setengah harian, setelah itu gumamnya: "Yang kubawa pulang sebetulnya manusia? atau seekor kuda?"

"Sekalipun kuda, tak mungkin akan minum arak sebanyak itu" sambung Kwik Tay-lok sambil menghela napas. "Kenapa kau tidak menyuruh ia minum rada sedikit ?"

"Sebab meskipun aku miskin, paling tidak aku bukan seorang yang pelit!"

"Aku merasa orang ini sangat menarik hati" tiba-tiba Ong Tiong berkata. "Benar!"

"Selembar nyawa ditolong olehmu, ia menghabiskan pula ransum kita untuk hari ini, lalu mengangkangi pula satu-satunya pembaringan yang ada disini. Tapi bukan saja ia tidak berterima kasih kepada kita, malahan tanpa basa-basi menyatakan hendak bersahabat dengan kita, ia sangat memberi muka kepada kita bertiga." Setelah tertawa, terusnya: "Coba katakan, kita harus pergi kemana untuk menemukan manusia kedua macam dia?" Sebab itulah, Lim Tay-peng juga tinggal disana. Oleh sebab itu, jika kau menyinggung soal perkampungan Hok-kui-san-ceng dalam dunia persilatan, maka yang dimaksudkan bukan suatu gedung dekat tanah pekuburan, sebuah rumah tanpa asap dapur atau sebuah rumah kosong yang kadangkala cahaya lampu pun tak nampak. Bila kau singgung soal Hok-kui-sen-ceng, orang persilatan akan mengerti bahwa yang kau maksudkan adalah suatu kelompok manusia yang aneh, sebuah gedung besar dengan empat penghuni yang eksentrik. Dalam hubungan diantara teman, mereka seperti mempunyai suatu perjanjian yang tak tertulis, yaitu diantara mereka tak pernah saling menanyakan kejadian di masa lalu, merekapun tak pernah membicarakan masa lalu kepada yang lain. Tapi malam setelah Yan Jit membawa datang Lim Tay-peng, Kwik Tay-lok telah melanggar peraturan tersebut. Malam itu, salju sudah mulai mencair. Lim Tay-peng masih tertidur nyenyak, tentu saja Ong Tiong tidak mau menunjukkan kelemahannya, terpaksa Kwik Tay-lok mengajak Yan Jit untuk turun gunung "berburu" Yang dimaksudkan berburu disini adalah mencari kesempatan untuk mencari uang. Ternyata tiada kesempatan. Saat-saat dimana salju mencair ternyata jauh lebih dingin dari pada sewaktu turun salju, setelah kenyang naik tempat tidur adalah cara yang paling pintar untuk menghadapi hawa dingin, ditengah jalan hampir tiada manusia yang berlalu lalang. Keadaan Kwik Tay-lok dan Yan Jit waktu itu seperti dua ekor kelinci liar yang tersesat, dengan langkah yang gontai mereka berjalan diantara tanah berlumpur yang kotor. Sepanjang jalan, Kwik Tay-lok mengawasi terus sepatu yang dikenakan Yan Jit.. Sampai akhirnya, ia merasa tak tahan untuk menunggu lebih jauh, tiba-tiba tegurnya: "Sepatumu sudah beralas baru?"

"Ehmm!"

"Aku tak pernah bertanya kepadamu kenapa sepasang sol sepatumu bisa laku ribuan tahil perak bukan?"

"Benar!"

"Akupun tak pernah bertanya padamu kenapa pernah mati sebanyak tujuh kali bukan?"

"Kau memangnya tak pernah bertanya."

"Bila aku bertanya, bersediakah kau untuk menjelaskan?" tanya Kwik Tay-lok penuh harapan. "Mungkin bersedia.... tapi aku tahu, kau tak akan bertanya kepadaku karena akupun tak pernah bertanya apa-apa padamu." Kwik Tay-lok menarik muka sekuat tenaga ia menggigit bibir sendiri untuk menahan diri. Tiba-tiba Yan Jit berkata pula: "Menurut pendapatmu, Lim Tay-peng adalah seorang manusia macam apa?"

"Aku tidak tahu, akupun tak ingin tahu" jawab Kwik Tay-lok sambil menarik muka. Melihat itu, Yin Jit segera tertawa.  "Tentu saja aku tak bakal bertanya kepadanya, tapi menduga-duga sendirikan tidak mengapa."

"Aku malas untuk menduga." Yan Jit segera menghela napas. "Tapi aku berhasil menduga sedikit tentang dirinya, mungkin dikala seseorang sedang kelaparan, tak urung akan timbul juga berbagai macam pikiran" Kwik Tay-lok membungkam setengah harian lamanya, tapi lama kelamaan dia tak tahan juga, tanyanya: "Apa yang berhasil kau duga?"

"Aku tebak dia pasti keturunan seorang yang kaya raya, oleh sebab itu lagaknya baru begitu besar."

"Kalau dia memang anak orang kaya, kenapa bisa setengah mati ditengah jalan karena kelaparan?"

"Mungkin disebabkan suatu masalah, terpaksa ia harus kabur dari rumah. Pakaiannya sangat tipis, ini menandakan kalau dia datang dari tempat yang hangat. Dalam sakunya, ia tidak membawa apa-apa, ini menandakan sewaktu pergi ia amat tergesa-gesa, kemungkinan besar ia keluar rumah karena harus melarikan diri."

"Tak kusangka kau begitu teliti." Yan Jit tertawa, kembali ujarnya : "Bila seseorang harus menahan lapar dalam cuaca begini dingin, dia pasti tak akan tahan terlalu lama."

"Yaa, paling banter juga hanya dua-tiga hari" Kwik Tay-lok mengangguk sambil menghela napas. "Kalau kau saja cuma bertahan tiga hari, dia paling banter cuma bisa bertahan sehari setengah."

"Betul" Kwik Tay-lok kembali tertawa, "aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, sedang dia adalah seorang toa-sauya yang sudah terbiasa dimanja oleh keadaan."

"Dalam cuaca begini dingin, dalam sehari setengah tak mungkin orang bisa melakukan perjalanan terlalu jauh"

"Maksudmu, dia datang dari sekitar wilayah ini?"

"Ehmm!"

"Apakah disekitar tempat ini terdapat keluarga-keluarga kaya?"

"Tidak berapa banyak, keluarga persilatan lebih sedikit lagi."

"Kenapa harus dari keluarga persilatan? Apakah manusia yang lemah lembut semacam dia juga pandai bersilat?"

"Bukan cuma pandai bersilat, bahkan kungfunya tidak termasuk lemah!"

"Dari mana kau bisa tahu?"

"Aku dapat melihatnya sendiri!" Tidak menunggu Kwik Tay-lok bertanya lagi, ia menyambung lebih jauh: "Menurut apa yang kuketahui, keluarga persilatan yang tinggal disekitar tempat ini cuma ada dua."

"Apakah diantara mereka ada yang she Lim ?"

"Kedua keluarga itu sama-sama tidak she Lim, Lim Tay-peng belum tentu she Lim, kalau dia memang berniat melarikan diri, masa nama aslinya yang akan diberitahukan kepada orang?"

"Dua keluarga yang manakah yang kau ketahui ?".

"Yang satu dari keluarga Him, kepala kampungnya bernama Tho-li-boan-thian-hee (nama harum diseluruh bumi) Him Sut-jin, dia adalah seorang jagoan yang lihay, meskipun nama harumnya sampai dimana-mana sayang hidupnya sebatang kara, bukan saja tiada keluarga, anak binipun tak punya."

"Sedang yang lain."

"Masih ada lagi dari keluarga Bwee, meskipun ia mempunyai seorang putra dan putri, tapi putranya "Sik-jin" (manusia batu) Bwe Ji-ka sudah lama termashur dalam dunia persilatan, usianya jauh lebih tua dari Lim Tay peng."

"Kenapa ia disebut orang sebagai Sik-jin (manusia batu)?"

"Konon kungfu aliran keluarganya sangat istimewa, senjata tajam maupun senjata rahasianya terbuat dari batu maka ayahnya di sebut Sik-sin (dewa batu) sedang dia sendiri bernama Sik-jin (manusia batu)." Tiba-tiba Kwik Tay-lok tertawa, sambungnya, "Kalau dia beranak besok, mau dinamakan apa? Mungkin tidak dinamakan Sik-kau (anjing batu)?" Tempat ini adalah sebuah kota kecil diatas bukit yang sepi dan terpencil, jalanan dalam kota amat sempit, lagipula agak berliku-liku. Bangunan rumah di kedua belah sisi jalan sangat bersahaja. Walaupun sekarang belum mendekati tengah malam, tapi kebanyakan lentera dalam rumah telah padam, para pedagang pun kebanyakan sudah menutup toko dan naik tempat tidur.   Sekalipun ada satu dua rumah masih bersinar lentera, namun sinar tersebut redup sekali. Kwik Tay-lok menghela napas panjang, keluhnya: "Tempat ini benar-benar merupakan tempat yang miskin, bila terlalu lama orang mengendon disini, bukan saja makin lama semakin miskin, makin lama orang juga bisa semakin malas"

"Kau keliru, aku justru suka dengan semacam ini"

"O, ya . . . ?"

"Entah kemanapun aku pergi, hatiku selalu merasa tegang, hanya disini aku merasa begini bebas, begitu merdeka tanpa dibebani oleh syak wasangka . . ."

"Yaa, karena orang-orang disini sedemikian miskinnya sampai untuk mengurusi diri sendiripun tak mampu, oleh sebab itu mereka tak punya waktu untuk mencampuri urusan orang lain."

"Kau lagi-lagi keliru besar, jangan kau anggap orang-orang disini miskin semua"

"Kalau dibandingkan kita mah mereka tidak miskin" ujar Kwik Tay-loh sambil tertawa. "Kau melihat orang-orang disini pada miskin, karena mereka tak mau memamerkan kekayaan sendiri" tukas Yan Jit, "misalnya saja tauke pegadaian yang menjadi langganan Ong Tiong, dia bukan saja tidak miskin, jelas memiliki asal usul yang luar biasa."

"Asal usul apa? Menurut pendapatku, dulunya kalau dia bukan seorang perampok kenamaan tentu seorang jago persilatan yang tersohor. Entah karena menghindari pembalasan dendam, entah sudah jemu dengan kehidupan dunia persilatan, maka ia pindah kesini untuk hidup tenteram sebagai seorang rakyat biasa." Setelah berhenti sejenak, terusnya: "Manusia semacam ini masih banyak ditempat ini, misalnya kalau aku sudah pensiun nanti, aku pun akan pindah kemari. Jadi kalau begitu, tempat ini

adalah sarang naga gua harimau?"

"Tepat sekali"

"Kenapa aku tidak merasakan?"

"Bila seseorang pernah mati tujuh kali, otomatis pandangannya lebih tajam daripada orang lain" kata Yan Jit sambil tertawa. "Tapi kau toh tidak berhasil untuk menebak asal-usul Lim Tay-peng, kalau dia memang bukan putra keluarga Bwe, juga bukan keturunan keluarga Him, bukankah pembicaraanmu selama setengah harian cuma kata-kata yang percuma?" Yan Jit termenung sampai lama sekali, tiba-tiba ia berkata: "Kau pernah mendengar tentang Liok-sang-liong-ong (raja naga di atas daratan)?" Kwik Tay-lok segera tertawa: "Hanya orang tuli yang tak pernah mendengar nama orang itu, sekalipun pengalamanku picik, paling tidak aku bukan orang tuli "Konon Liok-sang-liong-ong mempunyai sebuah villa disekitar tempat ini."

"Jadi kau menaruh curiga kalau Lim Tay-peng adalah anaknya."

"Kemungkinan begitu"

"Tidak mungkin, hal ini jelas tidak mungkin."

"Kenapa?"

"Setiap orang persilatan tahu kalau Liok-sang-liong-ong adalah seorang lelaki sejati, mana mungkin bisa mempunyai seorang putra macam nona cilik?"

"Apakah dia seorang lelaki sejati atau bukan tak bisa ditentukan hanya melihat dari luarnya saja" kata Yan Jit dingin.    Kwik Tay-lok memandang sekejap kearahnya kemudian sambil tertawa menyahut: "Tentu saja tak bisa, cuma....." Tiba-tiba ia membungkam, sekujur tubuhnya seakan-akan menjadi kaku secara mendadak, ia tertegun macam orang bodoh. Jalanan itu sebenarnya sudah tiada yang lewat, tapi saat itulah dengan lemah gemulai muncul sesosok manusia. Begitu bertemu dengan orang itu, sepasang mata Kwik Tay-lok langsung melotot keluar. Orang yang bisa membuat mata Kwik Tay-lok melotot keluar tentu saja seorang gadis, seorang gadis yang cantik jelita. Gadis itu bukan cuma cantik boleh dibilang cantiknya luar biasa. Betul baju yang dipakai sangat kasar dan sederhana, tapi bahan apapun yang dipakai sebagai pakaian tiba-tiba berubah menjadi menawan, belum pernah Kwik Tay-lok menjumpai gadis perawakan yang begini menawan hati. Gadis itu membawa dua buah keranjang besar, siapapun yang membawa dua buah keranjang sebesar itu sewaktu jalan langkahnya pasti akan macam kepiting yang merangkak. Tapi gayanya sewaktu jalan amat cantik dan indah, cukup membuat biji mata orang hampir melompat keluar, seandainya ia tidak membawa keranjang, mungkin sedari tadi biji mata Kwik Tay-lok sudah melompat keluar.     Sesungguhnya gadis itu tidak memperhatikan mereka berdua tapi ketika matanya menangkap sikap Kwik Tay-lok macam orang yang kehilangan sukma, tak tahan lagi ia segera menutupi bibirnya dan tertawa cekikikan. Jantung Kwik Tay-lok segera merasa melompat-lompat dengan kerasnya, sampai gadis itu sudah lenyap ditikungan jalan sana, ia masih berdiri ditempat dengan termangu-mangu. Entah lewat berapa saat lagi, ia baru menghela napas panjang, segera gumamnya. "Yaaa, betul, betul, tempat ini memang betul-betul sarang naga gua harimau...."

"Aaah, keliru besar" goda Yan lit sambil tertawa, "bukan sarang naga, yang betul adalah sarang burung hong."

"Betul ! Betul ! Betul sekali. Orang kuno bilang, setiap sepuluh langkah tentu ada gadis cantik, perkataan ini memang tepat sekali" Kemudian sambil membusungkan dada ia berkata lagi: "Coba kau lihat, bagaimana tampangku?" Dari atas sampai ke bawah Yan Jit memperhatikannya beberapa kejap, kemudian menjawab: "Lumayan juga, perawakanmu tinggi besar, matamu besar, hidungmu mancung, senyumanmu simpatik, memang pantas untuk menjadi buaya darat....!"

"Seandainya kau seorang gadis, apakah kau tertarik padaku?"

"Mungkin...." jawab Yan Jit sambil tertawa geli. Tiba-tiba Kwik Tay-lok merasa senyuman rekannya bukan cuma genit, lagi pula mirip seorang gadis, maka tak tahan serunya sambil tertawa: "Jika kau seorang gadis, mungkin tiada lelaki didunia ini yang bakal tahan."

"Gadis yang bisa tahan menghadapi kau juga tidak seberapa." balas Yan Jit. "Kenapa? Barusan kau toh masih memuji tampangku ganteng, badanku gagah hidungku mancung, senyumanku simpatik?"

"Tapi kau jorok, malas dan tak bisa dipercaya, perempuan paling benci dengan laki-laki macam begitu."

"Yaa, itulah dikarenakan kau bukan gadis, padahal setiap gadis suka dengan tampang seperti aku ini, sebab tampang macam beginilah baru bisa disebut tampang seorang lelaki." Yan Jit seperti mau tumpah setelah mendengar perkataan itu, sambil termuram kecut serunya: "Jadi kau mengira gadis tadi tertarik kepadamu?"

"Tentu, kalau tidak kenapa ia tertawa kepadaku ?"

"Senyuman gadis ada banyak ragamnya" Yan Jit menerangkan sambil tertawa geli, "sewaktu mereka menjumpai seorang yang bertampang blo'on atau tolol, mereka akan tertawa, sewaktu melihat seorang yang bertampang seperti katak budukan atau bercongor seperti babi, merekapun akan tertawa."

"Oooohhhh, jadi kau anggap tampangku seperti...." Saking marahnya hampir saja Kwik Tay-lok berteriak keras, tapi tiba-tiba ia membungkam, sebab gadis tadi telah muncul kembali dari balik tikungan sana. Keranjang yang sebenarnya kosong, tapi kini sudah penuh berisi barang, maka ia kelihatan seperti kepayahan, macam jalanan penuh lumpur lagi, ini membuat kakinya terpeleset dan tubuhnya terjerembab ke depan, keranjang yang berada ditangannya juga ikut terbang. Untung ia berjumpa dengan Kwik Tay-lok serta Yan Jit. Reaksi Yan Jit selamanya memang cepat, reaksi Kwik Tay-lok juga tidak terhitung lambat, baru saja kakinya terpeleset, secepat anak panah mereka sudah menyusup ke depan. Belum lagi keranjang itu terjatuh ke tanah Yan Jit telah menyambutnya, belum lagi gadis itu terjerembab memcium tanah, Kwik Tay-lok telah merangkul pinggangnya. Dengan napas terengah-engah gadis itu bersandar di tubuh Kwik Tay-lok, sampai setengah harian kemudian ia baru bisa menenangkan kembali hatinya, tapi ketika melihat ada seorang lelaki asing sedang merangkulnya, kontan merasa paras mukanya berubah menjadi merah padam lantaran jengah, jantung Kwik Tay-lok juga berdebar keras, agak tergugup ia bertanya lirih: "Nona tidak apa-apa bukan?" Dengan wajah memerah dan kepala tertunduk, gadis itu menjawab:    "Aku.... aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada kalian?" Sementara itu Yan Jit telah menemukan bahwa isi keranjang tersebut semuanya adalah makanan, ada ayam panggang, ada daging sapi, masih ada pula pear besar yang berwarna

kuning. Kalau boleh, dia ingin sekali berkata demikian: "Gampang sekali jika kau ingin berterima kasih kepada kami, cukup dengan seekor ayam panggang dan dua biji pear besar" Tapi setelah menyaksikan sikap Kwik Tay-lok yang begitu kesemsem, begitu terpesona oleh kecantikan orang ia merasa tak tega untuk membuat malu temannya. Selain itu, Kwik Tay-lok juga sudah buru-buru berseru. "Aaah, itu mah urusan kecil, tidak mengapa". Tiba-tiba gadis itu mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke arahnya, lalu sambil tertawa katanya: "Kalian betul-betul orang baik." Meskipun ia mengucapkan "kalian" namun sepasang matanya hanya menatap Kwik Tay-lok seorang. Kwik Tay-lok betul-betul terkesima, seperti orang mabuk arak, bagaikan orang yang terserang penyakit secara tiba-tiba, sahutnya dengan terbata-bata:

Jilid 03

"EEEH.... NONA... EEH... KAU kau eeh... kau tak usah sungkan-sungkan.... eeh... heehhhh... hhehh..." Gadis itu telah menerima kembali keranjangnya, setelah berpaling dan tertawa lagi dengan manis, ia baru melanjutkan langkahnya dengan kepala tertunduk. Kalau dibilang sukma Kwik Tay-lok masih ada dalam raganya, maka senyuman itu benar-benar telah membetot selembar jiwanya. Sekalipun orangnya masih terpantek ditempat, tapi sukmanya seakan-akan sudah terbawa berikut keranjang itu. Sampai orang itu pergi jauh, Yan Jit baru menggerutu: "Bertemu dengan kesempatan sebaik ini, kenapa kau tidak cepat-cepat mengejarnya dari belakang?"

"Kau anggap aku benar-benar adalah seorang setan perempuan?" kata Kwik Tay-lok sambil menghela napas. "Sekalipun bukan, cuma sudah hampir." Gadis itu sesungguhnya memang belum pergi jauh, tiba-tiba ia berhenti sambil berpaling, lalu tertawa dan katanya: "Kebetulan aku membeli banyak sayur, bersediakah kalian berdua untuk memberi muka kepadaku dan ikut minum barang secawan?" Permohonan semacam ini yang diucapkan seorang gadis cantik untuk dua orang lelaki yang sedang kedinginan dan kelaparan, mungkin disambut sepuluh kali lipat lebih hangat daripada mendengar irama musik yang paling indah sekalipun di dunia ini. Jika masih ada orang menampik permohonan semacam ini, orang itu kalau bukan seorang dungu baru aneh namanya. Yan Jit bukan orang dungu, Kwik Tay-lok lebih-lebih bukan seorang dungu, meskipun begitu dibibir mereka masih berkata: "Aaaah . . . apa tidak mengganggu ketenangan nona?" Tapi sepasang kakinya sudah maju kemuka dengan langkah lebar, malah kalau bisa cepat-cepat sampai ditempat tujuan. Aaai, kenapa setiap lelaki tak dapat menghindarkan diri dari soal perempuan? Apalagi seorang perempuan yang cantik jelita baik bidadari dari kahyangan? Kenapa Kwik Tay-lok tidak memutar otak lebih dulu untuk memikirkan niat gadis itu? Atau paling tidak, sepantasnya kalau ia bertanya dulu kepada gadis itu, hendak diajak kemanakah mereka berdua? Benarkah mereka akan diajak ke rumahnya untuk dijamu? Tampaknya jangan toh baru diajak ke rumahnya untuk diajak bersantap dan minum arak, sekalipun mereka bakal dijualpun Kwik Tay-lok tak akan menampik. Yaa, lelaki siapakah di dunia ini yang bisa menampik ajakan seorang gadis? Apalagi gadis cantik seperti itu?

- 0000000 -

ADA orang bilang: "Perempuan adalah sumber dari segala bencana." Ada pula yang berkata : "Tanpa perempuan dunia serasa sepi, ada perempuan dunia menjadi kacau." Tentu saja, kata-kata semacam ini keluar dari mulut kaum lelaki, tapi apapun yang di katakan kaum lelaki, perempuan memang makhluk yang tak bisa kekurangan di dunia ini. Dari sepuluh ribu orang lelaki, paling tidak ada sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang lelaki yang rela hidup sepuluh tahun lebih pendek daripada hidup tanpa perempuan. Ada orang bilang : "Uang bisa dipakai untuk membeli dunia." Ada pula yang berkata : "Uang adalah sumber dari segala keonaran." Tapi bagaimanapun juga, setiap orang memang tak bisa kekurangan uang. Jika seseorang tak punya uang, sakunya kosong melompong seperti baru keluar dari penatu, maka selamanya dia tak akan mampu berdiri tegak. Akibat dari kedua macam hal tersebut, orang yang paling pintarpun bisa menjadi bodoh, orang

yang paling akrabpun bisa menjadi musuh bebuyutan. Bila diantara empat orang pria jejaka tiba-tiba bertambah dengan seorang gadis perawan, maka keadaan tersebut ibaratnya seperti sebuah sumpit yang tiba-tiba berada dalam sebuah mangkuk berisi empat butir telur ayam, mana yang dituju lebih dulu mana yang belakangan, pasti akan merupakan suatu persoalan yang memusingkan kepala.. Ong Tiong, Yan Jit, Kwik Tay-lok dan Lim Tay-peng empat orang, sesungguhnya melewatkan kehidupan mereka dengan bebas merdeka tanpa rintangan apa-apa, sebab mereka tak punya uang, tak punya pula perempuan.  Setiap pagi setelah bangun tidur, mereka selalu merasa riang dan gembira, karena "kemarin" yang sial sudah lewat, dan hari ini yang penuh harapan telah tiba. Tapi secara tiba-tiba, dua macam barang tersebut telah datang berbarengan, bayangkan saja bagaimana paniknya mereka? Ong Tiong mungkin sudah lama bangun dari tidurnya, tapi ia masih berbaring di tanah, bergerak sedikitpun tidak. Ia membuat dulu sebuah gulungan bulat dari gulungan selimutnya yang dekil, kemudian pelan-pelan menerobos masuk ke dalam, membuat seluruh tubuhnya terbungkus didalam tabung bulat itu tanpa terhembus angin barang sedikitpun. Sang tikus berlarian kesana-kemari melalui sisi tubuhnya, mula-mula masih rada takut, tak berani menaiki tubuhnya, tapi lambat laun kawanan tikus itu telah menganggapnya sebagai orang mati, hampir saja mereka menaiki kepalanya. Ong Tiong masih belum juga bergerak. Lim Tay peng sudah lama memperhatikannya, tapi lama kelamaan ia tak tahan pelan-pelan ia mendekatinya, menempelkan jari tangannya dekat lubang hidung dan ingin memeriksa apakah dia masih bernapas atau tidak. "Aku belum mampus!" tiba-tiba Ong Ting berteriak. Dengan terkejutnya Lim Tay-peng menarik kembali tangannya, kemudian berkata: "Kau toh merasa kalau ada tikus menaiki badanmu, kenapa kau tidak ambil perduli?"

"Aku tak pernah bertegur sapa dengan tikus-tikus itu, aku enggan berurusan dengan mereka.... hanya kucing yang suka bertengkar dengan tikus!" Jawaban ini membuat Lim Tay-peng tertegun, katanya kemudian: "Tempat ini memang seharusnya memelihara seekor kucing !"

"Sebenarnya tempat ini ada seekor kucing, Yan Jit yang membawanya kemari"

"Kemana larinya kucing itu?".

"Minggat ke bawah bukit bersama si kucing jantan". Lim Tay-peng membelalakkan matanya lebar-lebar, lama, lama sekali ia mengawasinya tanpa berkedip. Salju telah berhenti turun, rembulan te1ah muncul di atas awang-awang. Cahaya rembulan telah menyorot masuk lewat depan jendela dan menyoroti wajah mereka. Paras mukanya terlihat amat jelas, keningnya lebar dengan hidung yang mancung sekalipun tidak terhitung seorang lelaki yang terlalu tampan, paling tidak ia bersifat kelaki-lakian. "Orang ini tidak mirip orang sinting, tapi tidak pula seperti orang dungu, kenapa otaknya justru rada miring?" Lim Tay-peng menghela napas panjang, setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu tegurnya: "Kemana perginya kedua orang temanmu itu?" Dia ingin mencari orang yang tidak sinting otaknya untuk diajak berbicara: "Lagi turun gunung untuk berburu"

"Berburu? Dalam cuaca begini mereka masih berburu?"

"Ehmm!!" Lim Tay-peng tak mampu berbicara lagi, tiba-tiba ia berhasil menarik suatu kesimpulan. Teman seorang sinting sudah pasti adalah orang sinting pula. Lewat sesaat kemudian, tiba-tiba dari balik kegelapan berkumandang suara aneh....

"Kruuuk...!" menyusul kemudian suara itu berbunyi sekali lagi, "Kruuuk....!"

"Heran !" Ong Tiong segera bergumam, "kenapa jerit tikus pada hari inipun berbeda dari hari-hari biasa." Merah padam selembar wajah Lim Tay-peng lantaran jengah, sahutnya tergagap: "Bukan suara tikus, suara itu adalah suara.... suara......"

"Suara apa ?"

"Suara nyanyian dari perutku !" teriak Lim Tay-peng keras-keras, "apakah kalian tak pernah bersantap?" Ong Tiong segera tertawa: "Kalau ada yang dimakan tentu saja makan, kalau tak ada yang dimakan ya terpaksa cuma menikmati nyanyian perut yang merdu." Sekali lagi Lim Tay-peng tertegun dibuatnya, ia benar-benar tidak habis mengerti, kalau seseorang untuk makanpun tak punya, mengapa ia masih kelihatan begitu riang gembira? "Tapi aku lihat nasibmu hari ini masih agak mujur" tiba-tiba Ong Tiong berkata lagi. "Aku? Nasibku lagi mujur?" bisik Lim Tay-peng sambil tertawa getir. "Hari ini aku seperti mendapat firasat bahwa hasil buruan mereka lumayan sekali, barang yang dibawa pulangpun mungkin bisa membuatmu......" sebetulnya dia ingin berkata "makan besar", tapi belum lagi ucapan tersebut dilanjutkan, ia sendiri sudah "dibuat terkejut". Kwik Tay-lok telah kembali, sewaktu masuk pintu, ia memang membawa semacam barang, semacam barang yang bisa lari bisa melompat bisa memanjat pohon, bahkan masih bisa "cit, cit" berkaok-kaok tiada hentinya. Barang itu tak lain adalah seekor monyet! Kalau dibilang paras muka Ong Tiong ada saatnya berubah pucat, maka sekaranglah saatnya! Menyaksikan mimik wajah Ong Tiong, hampir meledak gelak tertawa Kwik Tay-lok, sambil tertawa berderai-derai katanya: "Kau tak usah takut, monyet ini seekor monyet jantan, bukan betina!"

"Temanmu takut dengan monyet betina?" serentetan suara yang merdu dan lembut segera berkumandang dari belakang. Gelak tertawa Kwik Tay-lok semakin keras: "Dia memang agak takut" sahutnya: "coba bayangkan sendiri, ada berapa orang di dunia yang tidak takut dengan bininya?"

"Lucu, sungguh amat lucu !" teriak Ong Tiong sambil menarik muka, "Heran, kenapa di dunia masih ada manusia sinting semacam dia? Betul-betul mengherankan." Lim Tay-peng tak tahu persoalan apakah yang begitu menggelikan, diapun tak ingin tahu. Dia hanya merasa pandangan matanya menjadi silau, ruangan yang gelap seolah-olah diterangi oleh beribu-ribu lentera secara tiba-tiba. Seluruh cahaya tajam itu memancar keluar dari tubuh seseorang. Orang itu mengenakan baju yang kasar dengan membawa dua buah keranjang, ia sudah masuk ke dalam ruangan mengikuti dibelakang Kwik Tay-lok. Dibelakangnya mengikuti tiga orang manusia, seorang dewasa dan dua orang anak-anak. Kanak-kanak itu memakai baju yang amat rapi, sedang si orang dewasa hanya mengenakan kulit harimau yang menutupi sebagian tubuhnya. Beberapa orang ini sudah cukup untuk diperhatikan semakin lama, tapi mereka masih belum komplit. Selain itu masih terdapat dua ekor anjing, sebongkot golok dan tombak yang diikat menjadi satu, tiga-empat buah gembrengan dan lima-enam batang bambu. Melihat kesemuanya itu, Ong Tiong segera bergumam: "Aku tahu kau selalu ingin beradu kepandaian dengan Yan Jit, kau ingin melihat siapa yang paling banyak membawa pulang barang, tapi paling tidak kau harus memberi sedikit muka kepadanya, mau mengalahkan dia juga tak usah mengalahkannya secara begini mengenaskan." Yan Jit yang bersandar di pintu segera menanggapi sambil tertawa:    "Sekalipun kekalahanku suatu kekalahan yang tragis, tapi aku kalah dengan perasaan puas, barang yang kubawa pulang dalam dua puluh kali kepergianku masih belum bisa melebihi hasil yang di dapat sekali perjalanannya." Sambil tertawa Kwik Tay-lok cepat-cepat menukas: "Beberapa orang temanku ini meski busuk dimulut, baik hati. Mari, kuperkenalkan kalian kepadanya, nona ini adalah....."

"Lebih baik aku memperkenalkan diriku sendiri" sela si nona sambil tertawa, "aku bernama Swan Bwe-tong (kuah bwe kecut), dia adalah engkoh tongku yang bernama Hui Pa-cu (macan tutul terbang), sedangkan mereka berdua adalah adik misanku, yang seorang bernama Siau Ling-long (si kecil mungil), sedang yang lain bernama Siau Kim-kong (orang kuat kecil)" Siapakah Hui Pa-cu itu, sekalipun tidak ditunjuk orangnya, setiap orang bisa mengenali dalam sekejap mata. Berbeda dengan kedua orang bocah itu, paras muka mereka berdua ibaratnya pinang di belah dua. Bukan saja wajahnya sama, potongan badannya sama, biji matanya sama besar, rambutnya di kepang dua, sewaktu tertawa kedua-duanya punya sepasang lesung pipi yang sangat dalam.   Malah lesung pipi mereka bukan yang satu di kiri yang lain di kanan, lesung pipi mereka berdua sama-sama berada di pipi sebelah kanan. Tak tahan Ong Tiong bertanya: "Mana yang bernama Siau Ling-long? Mana yang bernama Siau Kim-kong?"

"Coba kau terka!" seru dua orang bocah itu bersama. Ong Tiong mengerdipkan matanya berulang kali, kemudian katanya: "Disamping Siau Kim-kong adalah Siau Ling-long, disamping Siau Ling-long adalah Siau Kim-kong, betul bukan?" Dua orang bocah itu segera tertawa cekikikan. Tiba-tiba salah seorang diantaranya lari mendekat dan membisikkan sesuatu di sisi telinga Ong Tiong, setelah itu sambil tertawa katanya: "Itu rahasia kami berdua, jangan diberitahukan kepada orang lain yaa.....?" Gelak tertawa bocah itu amat merdu, rupanya dia adalah seorang bocah perempuan. Kwik Tay-lok segera menarik tangan seorang bocah yang lain, kemudian katanya: "Siau Ling-long adalah cicimu bukan?" Bocah laki-laki itu segera menggeleng. "Bukan, dia adalah adikku!" sahutnya. Baru habis dan berkata, Siau Ling-long sudah berteriak mendongkol.  "Telur busuk, goblok kau! Aku memang sudah tahu, bocah laki semuanya tolol, baru ditipu orang, rahasia sendiri sudah ketahuan!" Merah padam selembar wajah Siau Kim kong karena jengah, segera bantahnya: "Kalau kau tidak goblok, kalau kau pintar, kenapa kau musti menyaru sebagai bocah pria?" Perkataan bocah itu betul-betul ibaratnya sekali tusukan darah meleleh keluar. . . "orang perempuan selalu memandang enteng kaum lelaki, mereka menganggap lelaki adalah orang goblok, tapi mereka sendiri justru berharap dirinya bisa menjadi seorang laki-laki, inilah penyakit yang terutama dari kaum perempuan. Lim Tay-peng menatap terus wajah Swan Bwe-tong lekat-lekat, tiba-tiba ia berkata: "Semua nama tersebut tentunya bukan nama mereka yang asli bukan?" Si Kuah bwe kecut menghela napas panjang, sahutnya dengan pedih: "Bagi kami orang-orang yang bekerja sebagai pemain akrobatik, nama baik nenek moyangpun sudah kami jual, mana mungkin masih memiliki nama asli?" Lim Tay-peng ikut menghela napas: "Apa jeleknya sebagai pemain akrobatik yang berkelana dalam dunia persilatan? Ada sementara orang yang ingin berkelana dalam dunia persilatanpun tak bisa". Swan Bwe-tong memandang sekejap lagi ke arahnya, kemudian berkata: "Aku lihat kau seperti mempunyai banyak rahasia dalam hati kecilmu..."

"Orang ini memang mirip sekali dengan seorang gadis" tukas Kwik Tay-lok tiba-tiba. Lim Tay-peng segera melotot sekejap ke arahnya, paras mukanya ikut pula berubah. "Aaah, masa cuma kaum gadis yang boleh mempunyai rahasia dalam hati...." Kata Swan Bwe-tong sambil tertawa, "kalau memang begitu, bukankah semua laki-laki akan menjadi telur-telur busuk goblok yang tak punya perasaan?" Lim Tay-peng memandang sekejap ke arahnya, pancaran rasa terima kasih menyorot dari balik matanya.   Melihat itu Kwik Tay-lok mengangkat bahunya seraya berkata: "Sekalipun setiap laki-laki tak punya hati dan perasaan, paling tidak mereka masih punya perut"

"Oya, kalau tidak kau ingatkan, hampir saja aku lupa..." seru Swan Bwe-tong, sambil tertawa cekikikan. Cepat-cepat ia menurunkan keranjangnya, menyingkap kain penutup dan merobek dulu sebuah paha ayam, setelah itu katanya sambil tertawa:

"Padahal perut kaum wanitapun tidak lebih kecil dari perut kaum laki-laki, cuma ada kalanya mereka enggan untuk makan terlalu banyak, takut kegemukan !"

"Tapi, kenapa kau tak pernah merasa takut untuk makan banyak-banyak?" sela Siau Kim-long. Swan Bwe-tong segera mengetuk kepala bocah itu dengan paha ayam tersebut, Siau Kim-kong segera merebut separuh ekor ayam dan dibawa kabur. Sang monyet di tanah berlompat-lompat tiada hentinya, sedang kedua ekor anjing itu menggonggong amat ramai. Menyaksikan kesemuanya itu, Ong Tiong menggelengkan kepalanya sambil bergumam: "Tempat ini sudah ada belasan tahun lamanya tak pernah seramai ini."

"Tak usah kuatir" seru Kwik Tay-lok, "tempat ini bakal ramai selama beberapa hari"

"Beberapa hari ?"

"Yaa, beberapa hari..." Kwik Tay-lok manggut-manggut sambil mengawasi bayangan punggung Swan Bwe-tong yang menjauh, "ketika aku mendengar kalau mereka sedang mencari tempat pemondokan, maka akupun lantas menyewakan sederet ruangan yang terdiri dari lima kamar di sebelah belakang itu kepada mereka." Hampir tumpah arak yang baru diminum Ong Tiong, serunya cepat-cepat: "Berapa uang sewanya?" Kwik Tay-lok segera melototkan matanya bulat-bulat. "Kau anggap aku ini manusia apa?" teriaknya, "si setan pelit? Masa aku tega minta uang sewa darinya? Coba kalau bukan lantaran aku, untuk mengundang datang tamu seperti merekapun tak mungkin bisa." Ong Tiong mengawasinya lekat-lekat, lama, lama sekali, ia baru menghela napas panjang, serunya sambil tertawa getir: "Dalam satu hal, makin lama aku merasa semakin tidak mengerti."

"Dalam hal apa?"

"Rumah ini sebetulnya kepunyaanmu? Atau kepunyaanku?" Kalau ditanya persoalan apakah di dunia yang bisa membuat seorang lelaki yang jorok dan malas menjadi rajin dan bersih, maka jawabnya adalah perempuan. Keesokan harinya pagi-pagi sekali, ketika Ong Tiong masih berbaring dalam "tabungnya" Kwik Tay-lok sudah pergi menimba air, sedang Lim Tay-peng sedang mencari sesuatu di dalam kamar. "Hey, apa yang sedang kau cari ?" tak tahan Ong Tiong segera menegur. "Baskom untuk mencuci muka, handuk pencuci muka dan cangkir untuk mencuci mulut" Ong Tiong segera tertawa. "Barang-barang yang kau sebutkan itu bukan saja sudah lama tak pernah kujumpai, mendengarpun belum pernah" Bagaikan tubuhnya dicambuk orang secara tiba-tiba, Lim Tay-peng membelalakkan matanya dengan mulut melongo, lalu bisiknya agak tergagap: "Kaa..... kalian tak pernah mencuci muka?"

"Tentu saja mencuci, cuma tiap tiga hari mencuci kecil satu kali, tiap lima mencuci besar satu kali."

"Bagaimana yang dimaksudkan mencuci kecil? Bagaimana pula mencuci besar?"

"Yan Jit, praktekkan untuknya !" seru Ong Tiong segera. Yan Jit segera menggeliat malas, lalu ujarnya: "Kemarin aku baru saja mencuci, hari ini adalah giliranmu."

"Aaai. . . kalau begitu, paling tidak kau harus bawa kemari semua alat untuk mencuci muka" kata Ong Tiong sambil menghela napas. Kebetulan Kwik Tay-lok sedang memikul masuk dua gentong air, Yan Jit segera mengambil setengah mangkuk air, lalu dari atas tembok mengambil pula selembar kain yang berwarna yaa kuning yaa hitam, entah apa warna sesungguhnya. Saat itulah dengan aras-arasan Ong Tiong bangun berduduk, diteguknya sedikit air, lalu jari tangannya dibungkus dengan kain kumal itu, setelah digosok-gosokan atas giginya keras-keras, ia menyemburkan air dalam mulutnya itu ke atas kaki, disekakan seenaknya di atas wajah sendiri. Sesudah itulah sambil menghela napas ia baru berkata: "Nah, selesai !"    Bagaikan melihat setan disiang hari bolong, saking kagetnya paras muka Lim Tay-peng berubah menjadi hijau membesi.   "Ini..... inikah yang dinamakan mencuci kecil?" bisiknya terbata-bata lantaran gugup. "Bukan mencuci kecil, ini sudah terhitung mencuci besar,kalau mencuci kecil mah tak usah repot-repot begini". Sepasang bibir Lim Tay-peng sudah berubah agak menghijau, tampaknya dia segera akan jatuh tak sadarkan diri. Lewat lama, lama sekali, ia baru menghembuskan napas panjang, katanya pelan: "Jika masih ada orang lain yang lebih jorok daripada kalian semua, aku bersedia untuk menyembah dihadapannya".

"Kalau begitu menyembahlah sekarang juga" kata Ong Tiong sambil tertawa, "sebab orang yang lebih jorok daripada kita banyaknya tak terhitung!"

"Aku tidak percaya!" Lim Tay-peng sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. "Walaupun kami orang jorok, hati tak jorok, bukan saja tidak jorok bahkan bersih sekali. Bila hati seseorang telah menjadi jorok, maka sekalipun setiap hari dicuci dengan sabun sebanyak sepuluh kali juga tak akan menjadi bersih." Sambil melirikkan kepalanya Lim Tay-peng termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba sambil berkeplok tangan serunya: "Masuk akal, masuk akal, jika seseorang bisa hidup dengan riang gembira tanpa melakukan kesalahan yang malu diketahui orang, makan tidak makan tak menjadi soal, cuci muka atau tidak juga tak menjadi soal." Ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, lalu lari ke halaman, menjatuhkan diri bergelindingan di tanah dan berseru: "Sekarang aku sudah mengerti, sekarang aku sudah mengerti.... dulu kenapa aku tak berhasil memahami teori ini?" Ong Tiong dan Yan Jit hanya memandang tingkah lakunya sambil tersenyum, seakan-akan mereka ikut bergembira atas keberhasilannya memahami teori tersebut, karena merekapun dapat melihat bahwa dalam hati kecil orang itu sesungguhnya tersimpan suatu rahasia hati yang berat sekali. Selama ini ia selalu tak tahu apakah perbuatannya betul atau salah, sekarang baru diketahui bahwa ia sama sekali tidak salah. Seseorang kalau ingin hidup senang di dunia, maka dia harus berhati bersih tanpa melakukan sesuatu perbuatan yang bisa membuatnya malu kepada orang lain, sebab disinilah letak kunci yang paling utama. Waktu itu Kwik Tay-lok sedang mencuci muka, sementara mulutnya masih bergumam seorang diri: "Tidak cuci muka tidak mengapa, mencuci muka juga tidak mengapa, betul bukan?" Selesai mencuci muka, dia menggosok badannya dengan kain, lalu menggosok pula sepatunya dengan kain. Dengan pandangan dingin Yan Jit menatap sekejap ke arahnya, lalu berkata: "Kenapa kau tidak melepaskan sepatumu, kemudian mencuci kaki!" Kwik Tay-lok segera tertawa. "Aku memang bermaksud untuk melakukan hal itu, sayang waktu sudah tidak mengijinkan." Tiba-tiba ia menerjang keluar dari pintu sambil berseru kembali: "Mereka tentu sudah mendusin semua, biar kutengok orang-orang itu ke belakang."

"Aku ikut !" sera Lim Tay-peng. Kedua orang itu bersama-sama menerjang keluar dari pintu, demikian terburu-burunya se

akan-akan sedang pergi menolong kebakaran. Ong Tiong segera melirik sekejap ke arah Yan Jit, lalu katanya sambil tertawa:

"Gadis cantik incaran setiap pria, kenapa kau tidak ikut?"

"Aku bukan seorang lelaki sejati" jawab Yan Jit menarik muka. "Aku lihat kau seperti rada tak suka dengan nona Swan Bwe-tong itu?" Yan Jit termenung beberapa saat lamanya: tiba-tiba ia bertanya: "Menurut pendapatmu, apa yang hendak mereka lakukan?"

"Bukankah mereka rombongan penjual akrobatik yang mencari uang dalam dunia persilatan?" Ong Tiong balik bertanya sambil memutar biji matanya. "Kalau kaupun menganggap mereka sebagai penjual akrobatik yang mencari uang dalam dunia persilatan, itu berarti kau juga seorang manusia tolol yang tak punya otak"

"Kenapa ?"

"Masa tidak lihat bahwa si monyet dan kedua ekor anjing itu sedikitpun tidak menuruti perkataan mereka? Jelas binatang-binatang itu diperoleh secara mendadak sebagai pelengkap penyaruan mereka. Masih ada Hui Pa-cu itu, ia sengaja mengenakan dandanan yang aneh dan eksentrik, padahal yang betul adalah seorang lelaki yang tahu aturan serta sopan santun, bicarapun tak berani banyak bicara, ditambah pula sepasang tangannya putih lembut, mana mungkin mirip sepasang tangan yang tiap hari kerjanya menggotong peti dan menuntun anjing?" Dengan tenang Ong Tiong mendengar semua perkataan itu, akhirnya dia manggut-manggut. "Tidak kusangka kau begitu teliti. Tapi kalau mereka bukan rombongan penjual akrobatik yang berkelana dalam dunia persilatan, apa pekerjaan mereka?"

"Siapa yang tahu? Siapa tahu kalau mereka adalah perampok?"

"Kalau mereka sungguh-sungguh rombongan perampok, tak nanti akan mengunjungi tempat ini" kata Ong Tiong sambil tertawa "barang apa di sini yang bisa menarik perhatian mereka untuk di rampok?" Belum sempat Yan Jit berkata, mereka sudah menangkap jeritan kaget yang berkumandang datang dari belakang sana. Jelas suara jeritan dari Kwik Tay-lok. Bagi manusia macam Kwik Tay-lok, sekalipun bertemu dengan setan belum tentu dia akan menjerit kaget seperti ini. Mungkin hanya sedikit persoalan didunia yang bisa membuatnya menjerit kaget seperti itu. Yan Jit pertama-tama yang menerjang keluar lebih dulu. Ong Tiong yang malas bergerakpun kini telah bergerak. Halaman di belakang sana jauh lebih kecil daripada halaman depan, ditengah halaman penuh tumbuh pohon bambu. Dulu, setiap malam musim panas tiba, tuan rumah tentu akan pindah kesitu untuk menikmati suara mendesisnya daun-daun bambu. Oleh karena itu halaman inipun seperti pula halaman lain yang penuh ditanami pohon bambu, disebut Ting-tiok-siau-wan (halaman kecil pendengar bambu), sedang lima buah ruangan yang berderet itu dinamakan serambi Ting-tiok-sian. Tapi setelah Ong Tiong menjadi tuan rumah tempat itu, ia telah merubah namanya menjadi

Yu-tiok-bo-bak-sian (serambi ada bambu tiada daging), karena ia merasa meski nama Ting-tiok (pendekar bambu) cukup berseni, tapi sekarang sudah usang rasanya. Ia merasa, meski orang pertama yang menggunakan nama "Ting-tiok" adalah seorang seniman yang pintar, tapi orang ke delapan puluh yang menggunakan pula nama "Ting-tiok" bagi halamannya tak lebih cuma seorang manusia goblok yang sudah ketinggalan jaman. Itulah sebabnya dalam halaman itu bukan saja Bo-bak (tiada daging), pohon bambunya pun hampir sudah habis ditebas. Bambu bisa digunakan sebagai tiang jemuran, bisa dipakai untuk membuat tenda, maka seringkali Ong Tiong menggunakan bambu, untuk ditukar dengan daging. Jika seseorang sudah lapar, seringkali dia akan lupa apa yang dinamakan seni. Swan Bwe-tong, Hui Pa-cu dan dua orang bocah mungil itu semalam tinggal di situ, tapi sekarang manusia berikut anjing dan monyetnya sudah angkat kaki dari situ, yang masih tertinggal disana hanya Kwik Tay-lok serta Lim Tay-peng yang masih berdiri termangu-mangu. Disamping kaki mereka masih terdapat beberapa buah peti besar, peti-peti yang masih baru. "Tamumu sudah pergi tanpa pamit?" tegur Ong Tiong. Kwik Tay-lok manggut-manggut. "Pergi yaa pergi, kenapa musti berteriak-teriak macam orang ketemu setan saja," seru Yan Jit ketus. Kwik Tay-lok tidak berkata apa-apa, dia hanya mengangsurkan selembar kertas kepada mereka. Di atas kertas itu tertera beberapa huruf yang ditulis dengan arang. "Lima buah peti sebagai ganti ongkos kamar, harap diterima dan sampai jumpa" Seusai membaca tulisan itu, Yan Jit segera berkata: "Menyewa kamar memang wajar kalau di bayar, tiada sesuatu yang patut diherankan."

"Mengherankan mah tidak, tapi bayarannya terlampau banyak" ujar Kwik Tay-lok sambil menghela napas. "Apa isi peti itu?" tanya Ong Tiong. "Tak ada yang lain, cuma beberapa peti barang bau!" Kalau dibilang uang adalah barang yang bau, maka isi lima peti tersebut sudah cukup untuk membuat kelengarnya tiga puluh ribu delapan ratus orang lebih. Isi empat buah peti yang pertama tak ada yang lain kecuali uang emas. Besar kecil dan beraneka ragam emas yang tak terlukiskan dengan kata-kata, setiap kepingnya paling sedikit berbobot sepuluh tahil lebih, sekalipun tak sampai mampuskan orang karena baunya, paling tidak bisa menindih orang sampai mampus. Sedang isi peti peti yang kelima ternyata intan permata serta mutu manikan yang beragam, ada mutiara, ada Ma-nau, ada berlian ada pula aneka macam batu mulia lain yang tak bisa

disebutkan namanya satu-persatu. Isi peti yang manapun dari kelima buah peti tersebut, sudah cukup untuk dipakai membeli

seluruh perkampungan Hok-kui-san-ceng tersebut. Ong Tiong dan Yan Jit sama-sama tertegun setelah menyaksikan semua benda itu. Lewat lama sekali, Yan Jit baru menghembuskan napas panjang, ujarnya: "Semalam, ketika mereka datang kemari rasanya tidak membawa kelima buah peti ini."

"Yaa, memang tak ada," jawab Kwik Tay-lok. "Lantas dari mana datangnya peti ini?" tanya Lim Tay-peng keheranan. Yan Jit segera tertawa dingin. "Dari mana lagi, kalau bukan hasil merampok tentu hasil mencuri!"

"Tapi catatan yang ada di belakang Goan-po tersebut tak ada yang sama...."

"Tentu saja tidak sama, dalam rumah siapa saja tak akan tersimpan uang emas sebanyak ini, mereka tentu berhasil mendapatkannya dengan mencuri dari beberapa rumah sekaligus."

"Bisa mencuri banyak rumah dalam semalaman, kepandaian mereka betul-betul luar biasa" ujar Ong Tiong sambil menghela napas. "Aaah, itu tidak mengherankan, buat seorang pencuri ulung, dalam sehari mencuri dalam seribu rumah juga bukan suatu kejadian yang mencengangkan."

"Dengan susah payah mereka mencuri barang-barang itu, tapi kemudian memberikan kepada kita semua, belum pernah kujumpai ada seorang pencuri yang begini budiman."

"Huuh, siapa tahu kalau tujuan mereka hanya ingin memfitnah kita."

"Memfitnah?" seru Kwik Tay-lok tidak percaya: "kenapa harus memfitnah kita? Toh kita tak punya ikatan dendam atau sakit hati dengan orang-orang itu?"

"Kau anggap dia benar-benar tertarik padamu? Dan sengaja menghantar lima peti tersebut sebagai mas kawinnya?"

"Soal itu mah kita tak usah menggubrisnya dulu" tukas Lim Tay-peng dengan cepat, "persoalannya sekarang, apa yang harus kita lakukan dengan kelima buah peti tersebut?"

"Apa yang musti dilakukan? setelah orang lain menghadiahkan kepada kita, tentu saja harus kita terima" kata Kwik Tay-lok.

"Aku lihat orang ini mempunyai suatu kepandaian yang paling besar, betapapun rumit dan kalutnya suatu persoalan, setelah diucapkan olehnya segera urusannya berubah menjadi begitu gampang dan sederhana " kata Yan Jit sambil menghela napas.  "Siapa bilang kalau persoalannya tidak gampang?"

"Aku! Aku bilang urusannya tidak sesederhana itu" kata Ong Tiong. "Apanya yang tidak sederhana?"

"Mereka tak mungkin menghantar harta yang begini banyak untuk kita tanpa sebab, pasti mereka mempunyai tujuan atau maksud-maksud lain."

"Yaa, apalagi kalau barang-barang itu didapatkan dari jalan mencuri, jika kita menerimanya, bukankah secara otomatis kita akan menjadi tukang tadah"

"Pekerjaan apapun boleh kita lakukan.. hanya menjadi pencoleng tak boleh kita pikirkan. Sekali kau menjadi pencoleng dan merasa kan enaknya hasil yang diperoleh, selanjutnya jangan harap bisa melakukan pekerjaan baik lagi, sepanjang masa kau akan menjadi pencuri terus."

"Yaa, betul ! Kalau punya anak besok, anaknya juga menjadi pencuri, pencuri tua melahirkan pencuri besar, pencuri besar melahirkan pencuri kecil." Kwik Tay-lok segera tertawa, "Kau tak usah menyindir diriku...." serunya, "betul aku pernah

menjadi pencuri, tapi bukan saja tak pernah merasakan hasilnya, malah pedangku yang terakhirpun ikut kugadaikan."

"Untuk menjadi seorang pencuri harus mempelajari pula teori dan pelajarannya" kata Ong Tiong, "kalau bukan begitu, "setiap orang tentu bisa menjadi pencuri ulung."

"Aku lihat lebih baik kita mengembalikan saja semua barang itu kepada orang lain" Lim Tay-peng mengusulkan. "Kembalikan kepada siapa?" tanya Kwik Tay-lok, "Siapa tahu barang-barang ini dicuri dari mana?"

"Sekalipun tidak tahu, kita kan bisa mencari info" ujar Yan Jit. "Mencari info dimana?"

"Bawah gunung. Kalau memang benar barang-barang itu merupakan hasil curian semalam, sudah pasti mereka mendapatkannya dari bawah bukit sana." Kwik Tay-lok memandang sekejap kepingan-kepingan emas yang menggunung dalam peti, lalu sambil menghela napas katanya: "Perkataanmu memang benar, tempat ini memang bukan suatu tempat yang miskin.... setiap tempat yang kedapatan begini banyak uang emas, jelas bukan suatu tempat yang miskin." Tiba-tiba sambil tertawa dia berkata lagi: "Oleh sebab itu perkampungan Hok-kui-san-ceng paling tidak hari ini benar-benar merupakan perkampungan Hok-kui-san-ceng sungguhan." Sekalipun nama Hok-kui-san-ceng sesuai dengan kenyataan tidak berlangsung terlalu lama, tapi mereka masih bisa hidup dengan riang gembira.... Sebab mereka telah melakukan suatu pemilihan yang paling pintar. Mereka meninggalkan harta kekayaan dan menahan liangsim sendiri. Mungkin itulah saat yang paling dekat Hok-kui (kaya dan terhormat) dari mereka, tapi mereka tak akan kemaruk oleh harta kekayaan serta kehormatan, merekapun tak ingin menggunakan cara yang licik, rendah dan terhina untuk meraih kekayaan dan kehormatan, oleh sebab itu mereka selalu riang gembira, seperti rumput dan bebungahan yang mandi ditengah sinar matahari musim semi. Mereka tahu kegembiraan dan kebahagiaan jauh lebih menyenangkan daripada kekayaan serta kehormatan.

***

Moay Lo-kong.

Moay Lo-kong adalah nama sebuah warung makan yang amat kecil, juga nama orang. Daging sosis bikinan "Moay Lo-kong" konon sedemikian lezat dan harumnya sehingga manusia maupun anjing yang berada sepuluh li disekitar tempat ini pada tertarik semua. Moay Lo-kung juga tauke dari warung makan itu, dia merangkap menjadi koki merangkap pula sebagai pelayan. Kecuali menjual sosis, Moay Lo-kong hanya menjual nasi putih serta bubur. Bila ingin minum arak, mereka harus pergi membeli sendiri di warung penjual arak Yan-biau-goan yang terletak beberapa rumah dari warung tersebut, atau langsung minum di warung Yan-biau-goan. Ada orang menganjurkan Moay lo-kong, kenapa tidak sekalian menjual arak, bukankah akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Tapi Moay Lo-kong adalah seorang yang keras kepala, "Lo-kong" kebanyakan memang orangnya kuno, keras kepala dan kaku, oleh sebab itu bila ingin minum arak, terpaksa kau harus pergi membeli sendiri, kalau kau tidak puas dengan tempat itu, maka tiada tempat yang lain lagi." Sebab Moay Lo-kong bukan cuma lezat masakannya, dia merupakan satu-satunya warung yang berada disekitar tempat itu. Penduduk kota itu membeli minyakpun harus mengirit, bagaimana mau menghamburkan uang untuk bersantap diluar? Oleh sebab itu, sekalipun ada orang ingin merampas dagangan Moay Lo-kong, lewat beberapa hari kemudian serta merta mereka menutup sendiri pintu besarnya. Terhadap Ong Ting dan Kwik Tay-lok sekalian, Moay Lo-kong tak pernah menaruh kesan jelek, dia tahu meskipun beberapa orang itu miskin, mereka tak pernah menunggak rekening. Setiap kali mereka berkunjung ke warungnya, beberapa tahil perak tentu siap dalam saku mereka, lagi pula setiap kali bersantap tentu makan dalam jumlah yang amat banyak. Pemilik warung makan manapun tak akan menaruh kesan jelek terhadap tamunya yang suka makan banyak. Tepat di sebrang warung Moay Lo-kong terletaklah tempat tinggal "mertua" Ong Tiong sekalian. "Mertua" adalah istilah untuk rumah pegadaian. Setiap kali sebelum berkunjung ke warung makannya Moay Lok-kong, hampir boleh dibilang mereka selalu berkunjung dulu ke rumah "mertua" sebelum dengan gaya gagah dan bersemangat melangkah masuk kewarung makan itu. Tapi hari ini mereka bertindak di luar kebiasaan. Sewaktu lewat dirumah "mertua" ternyata mereka sama sekali tidak berhenti, malah dadanya dibusungkan tinggi-tinggi. Ditinjau dari cara mereka berjalan, bisa diduga kalau saku mereka tak mungkin berada dalam keadaan kosong. Moay Lo-kong merasa lega juga keheranan, segera pikirnya: "Heran, jangan-jangan mereka sudah menjadi pembegal? Kenapa secara tiba-tiba punya uang?"  Kali ini yang berkunjung tiba ada empat orang, belum lagi melangkah masuk ke dalam ruangan, Moay Lo-kong telah menyambut kedatangan mereka sambil menyapa dengan dialek Kwang-tongnya yang tidak hapal: "Hari ini datang pagi benar?" Beberapa orang ini tidak takut langit, tidak takut bumi, mereka hanya takut kalau ada orang mengajak berbicara dengan dialek Kwang-tong. Untung saja Kwan Tay-lok sudah terbiasa mendengar dialek semacam itu, sekalipun tidak mengerti, ia juga dapat menduganya. Maka sahutnya sambil tertawa: "Bukan orangnya datang terlalu pagi, adalah uangnya yang datang lebih awal, buatkan dulu dua ekor itik panggang, lima kati daging dan dua ekor ayam goreng."

"Minum arak?" tanya Moay Lo-kung sambil mengedipkan matanya. "Tentu saja, ambilkan dulu sepuluh kati, nanti sekalian diperhitungkan!" Nada suaranya juga ikut bertambah nyaring, sebab dalam sakunya sekarang paling tidak mengantongi uang emas seberat sepuluh tahil. Bukankah tujuan mereka untuk mencari kabar rumah siapa yang kebobolan pencuri semalam? Apa salahnya untuk menghamburkan uang seberat sepuluh tahil emas? Bila perut lagi lapar, mau bicarapun malas, bagaimana mungkin bisa mencari berita? Oleh sebab itu, dalam liangsim mereka sedikitpun tidak terasa ada beban sekalipun telah

mempergunakan uang hasil curian. Tapi setelah arak dalam guci mulai mengalir lewat tenggorokan, perasaan tanggung jawabpun pelan-pelan mulai muncul pula dalam hati mereka. Setelah minum arak orang, sudah sewajarnya kalau mereka bekerja untuk orang. Mereka enggan untuk makan kepunyaan orang dengan begitu saja. Maka Kwik Tay-lok mulai buka suara: "Dalam dua hari belakangan ini, apakah kau berhasil mendengar sesuatu berita besar?" Ternyata tak ada. Berita yang paling menggemparkan seluruh kota adalah Ong Toa-nio dari toko kelontong telah melahirkan sepasang bayi kembar. Semua orang mulai keheranan. "Mungkin mereka bukan beroperasi disini" Kwik Tay-lok mulai mengemukakan dugaannya. "Sudah pasti disini!" Yan Jit membantah. "Kalau memang di sini, kenapa tak ada orang yang mengaku kecurian ? Dalam semalam ada beberapa ratus rumah kecurian, ini berita besar, sepantasnya kalau seluruh kota sudah menjadi gempar."

"Bukannya tidak ada, cuma tidak diutarakan, mereka tak berani mengutarakannya."

"Kecurian bukan suatu kejadian yang memalukan, kenapa tak berani diutarakan?"

"Kalau sumber harta situ datangnya secara lurus, jujur, orang tentu berani bicara, tapi kalau datangnya tidak jujur, secara curang, korupsi atau mencuri, ibaratnya orang bisu yang makan empedu, sekalipun kepahitan, rasa pahitnya hanya bisa dipendam didalam hati." Mendengar perkataan itu, Kwik Tay-lok segera tertawa. "Kalau memang begitu, urusan tidak menyangkut diri kita lagi, toh kita sudah berusaha dengan sekuat tenaga, bukan begitu?" Waktu itu, seguci arak sudah hampir seluruhnya berpindah ke dalam perut mereka, rasa tanggung jawabnyapun dengan cepatnya sudah hampir terlupakan.

Tiba-tiba ia merasa hatinya begitu enteng, begitu santai, dengan suara keras segera serunya: "Lo-kong, ambilkan sepuluh kati arak lagi buat kami!" Belum lagi Moay Lo-kong melangkah keluar dari warungnya, tiba-tiba dari luar pintu berjalan

masuk tiga orang. Orang pertama berperawakan tinggi, memakai baju berwarna emas dan kelihatan sangat perlente. Orang kedua lebih tinggi perawakannya, tapi cekingnya bukan kepalang. Tapi sayang bagaimanakah tampang mereka berdua, orang lain tak sempat melihat dengan jelas. Sebab sinar mata semua orang sudah tertarik oleh orang ketiga. Orang itu sekujur badannya berwarna hitam, bajunya hitam, celana hitam, sepatu hitam, tangannya memakai sarung tangan hitam, kepalanya memakai topi lebar warna hitam yang dikenakan rendah sekali hingga menutupi wajahnya. Padahal sekalipun topi lebarnya tidak dikenakan rendah-rendah, orang juga tak dapat melihat wajahnya, sebab kepala berikut wajahnya dibungkus pula oleh sebuah kain berwarna hitam, yang tampak hanya sepasang matanya yang lebih tajam dari sembilu. Dandanan untuk berjalan malam ini hanya cocok untuk dipakai ditengah malam buta dan melakukan pekerjaan yang takut diketahui orang, tapi secara terang-terangan ia telah mengenakannya untuk melalui jalan raya. Bagaimanakah tampang mukanya? Sebenarnya manusia macam apakah dia? Siapapun tidak melihat, siapapun tidak tahu, dari atas sampai ke bawah pada hakekatnya tak seincipun tubuhnya yang bisa dilihat orang. Tapi entah mengapa, ternyata dari sekujur tubuh orang itu, dari tiap inci badannya seakan-akan penuh mengandung hawa pembunuhan yang mengerikan. Yang paling berbahaya sudah barang tentu pedang yang tersoren di pinggangnya. Sebilah pedang bersarung hitam yang panjangnya empat jengkal tujuh inci. Jarang ada orang yang menggunakan pedang semacam ini, karena pedang yang kelewat panjang susah untuk dicabut, kecuali orang itu memiliki kepandaian khusus dan cara mencabut yang istimewa. Orang yang bisa mempergunakan pedang semacam ini, jelas bukan seseorang yang bisa dihadapi dengan gampang. Setelah ia meloloskan pedang dengan bersusah payah, tentu saja tak akan melepaskan korbannya dengan begitu saja. Ketika pedangnya di sarungkan kembali, biasanya mata pedang sudah basah oleh darah. Tentu saja darah orang lain! Setelah masuk ke dalam ruangan, tiga orang itu lantas menempati sebuah meja yang letaknya di sudut paling belakang ruangan itu, agaknya mereka tak ingin mengganggu orang lain, lebih tak ingin diganggu orang. Pesanan mereka: "Hidangan apa saja yang ada." Ini menandakan kalau mereka datang ke situ bukan untuk "makan", dan tidak terlalu mementingkan soal "makan". Yang tidak terlalu memperhatikan soal makan biasanya kalau bukan hatinya sedang bermuram

durja, tentunya disebabkan lagi memikirkan persoalan lain. Perduli apapun yang sedang mereka pikirkan, sudah jelas persoalan itu adalah suatu persoalan yang tidak menyenangkan hati. Lim Tay peng memperhatikan terus pedang orang yang berbaju hitam itu, kemudian berguman: "Pedang belum lagi diloloskan, hawa pembunuhan yang terbawa sudah begini tebal"

"Bukan hawa pembunuhan dari pedangnya, melainkan hawa pembunuhan dari manusianya!" Ong Tiong membenarkan. "Tahukan kalian, siapakah orang ini?"

"Tidak tahu?", Kwik Tay-lok menghela napas panjang, "aku cuma tahu, sekalipun berada dalam keadaan mabok hebat, aku tak akan mencari orang ini untuk diajak berkelahi".

"Aku kenal dengan dua orang lainnya." tiba-tiba Yan Jit berbisik. "Tapi mereka tidak kenal dengan kau." Yan Jit segera tertawa, katanya dengan hambar: "Aku ini terhitung manusia apa, sudah barang tentu orang-orang kenamaan seperti mereka tak akan kenal dengan aku."

"Mereka sangat ternama?"

"Yaa, orang yang duduk dibagian luar, bertubuh jangkung lagi ceking itu bernama Sia-kun (tongkat penjepit), dinamakan pula Kun-cu (si tongkat)!"

"Si tongkat? Ehmm, memang mirip dengan perawakannya, tapi Sia-kun rada istimewa."

"Sia-kun atau tongkat penjepit adalah semacam alat siksaan yang sangat hebat, bagaimanapun licik dan bandelnya pencoleng, bila sudah berada dalam tongkat penjepit ini, apa yang kau katakan akan dikatakan pula oleh mereka, sekalipun kau suruh dia menyebut nama nenek moyangnya, dia tak akan berani membangkang."

"Demikian hebatkah kepandaiannya?" Kwik Tay-lok tidak percaya. "Yaa, konon siapa saja yang bertemu dengannya, tak bisa tidak harus bicara terus terang, sekalipun orang mati, dia pun punya kepandaian untuk mengorek keterangan darinya."

"Cara kerja orang ini pasti ganas dan kejam." kata Ong Tiong. "Dia masih mempunyai julukan lain yang disebut Kun-cu atau si tongkat, ini diartikan Kian-jin-ciu-to (bertemu dengan orang lantas memukul). Siapa saja yang terjatuh ke tangannya, tak ayal hidung dan matanya mesti akan bengkak-bengkak diberi bogem mentah dulu olehnya. Sobat-sobat golongan hitam yang bertemu dengannya, pada hakekatnya seperti bertemu dengan setan perenggut nyawa atau Raja akhirat saja."

"Apa pekerjaannya?"

"Polisi dari keresidenan Cing-ho-sian."

"Keresidenan Cing-ho-sian bukan suatu tempat yang terlampau besar, bukankah hal ini sama halnya dengan memendam sebuah bakat bagus untuk pengadilan?"

"Oleh karena cara kerjanya ganas dan kejam, maka ia tak pernah naik pangkat. Tapi bagaimanapun besarnya persoalan yang tak terselesaikan ditempat lain, orang pasti akan datang ke keresidenan Ching-ho-sian untuk meminta bantuannya"

"Siapa pula saudara yang berbaju kuning warna emas itu!" tanya Kwik Tay-lok kemudian. "Dia she Kim dan suka warna emas, maka orang sebutnya sebagai Kim-say (singa emas), tapi dibelakang orang lebih suka memanggilnya sebagai Kim-mao-san-cu-kau (Anjing buldog berbulu emas)!" Mendengar nama itu Kwik Tay-lok segera tertawa. "Yaa, kalau suruh aku berbicara yang jujur, tampang orang ini memang mirip dengan anjing Buldog!"

"Kau pernah melihat anjing buldog?"

"Segala macam anjing pernah kulihat!" jawab Kwik Tay-lok dengan bangga. "Tentu saja, kan bangsa anjing serumpun dengannya!" sela Ong Tiong. Kontan saja Kwik Tay-lok melotot besar tapi urung marah. Yan Jit segera berkata kembali: "Coba kalian bayangkan, bagian mana dari anjing buldog yang paling besar?"

"Hidungnya paling besar!" Lim Tay-peng segera menyela. "Bagian mana yang terkecil?"

"Mulut!" Setelah tertawa, Lim Tay-peng menjelaskan lebih jauh: "Bukannya aku juga seperti saudara Kwik, serumpun dengan mereka, melainkan secara kebetulan diwaktu kecil dulu, aku memelihara beberapa ekor anjing buldog."

"Nah, sekarang coba kalian saksikan kembali tampang orang itu!" Kalau menengok dari sebelah sini, kebetulan tampang si "anjing buldog" itu kelihatan amat jelas Siapa saja yang memandang wajahnya, tak seorangpun yang tidak berhasil melihat

hidungnya. Kalau boleh diambil perbandingan, maka hidung orang itu sudah menduduki sepertiga dari luas permukaan wajahnya. Bibir, siapapun tentu akan lebih lebar dari hidung, tapi hidungnya justru lebih besar dari bibirnya, ini menyebabkan jika kita tengok dari atas kepalanya, sudah pasti bibirnya tak akan terlihat, karena bibir itu terhadang oleh hidungnya yang besar. Hampir meledak gelak tertawa Kwik Tay lok, sambil tertawa terbahak-bahak katanya: "Yaa, benar, dia memang mempunyai hidung ukuran king-size!"

"Matanya tentu tidak-tajam!" kata Ong Tiong. "Darimana kau bisa tahu?" tanya Kwik Tay-lok dengan keheranan. "Karena sepasang matanya terhadang oleh hidungnya yang besar, maka mata yang sebelah kiri cuma bisa melihat barang-barang di sebelah kiri, sedangkan mata yang kanan cuma bisa melihat barang-barang yang ada di sebelah kanan" Baru selesai berbicara, bahkan Yan Jit pun tak tahan untuk ikut tertawa terpingkal-pingkal. "Tapi sampai sekarang aku masih belum berhasil menemukan letak bibirnya" kata Kwik Tay-lok kemudian. Sambil menahan geli Yan Jit menerangkan: "Coba kau perhatikan lagi, di bawah hidungnya bukankah ada lubang kecil? Nah, itulah bibirnya"

"Ooooh.... lubang kecil itu bibirnya? Aku masih mengira kalau lubang hidung"

"Aaah, kau ini juga aneh, masa di atas lubang hidung bisa tumbuh kumisnya?" seru Lim Tay-peng. "Siapa tahu kalau bulu itu bukan kumis tapi bulu hidung?"

"Itulah sebabnya, dikala ia sedang makan, kadangkala orang lain tak tahu makanan itu hendak ditelan lewat mana" Walaupun mereka berusaha menahan rasa gelinya, tak urung meledak juga gelak tawa mereka berempat. Saking terpingkal-pingkalnya, hampir saja Kwik Tay-lok terpeleset jatuh ke kolong meja. Tiba-tiba si anjing buldok itu berpaling dan memandang sekejap ke arah mereka. Tapi hanya sekejap saja, ia segera berpaling kembali. Walaupun cuma sekejap, tapi lebih dari cukup. Setiap orang merasakan bahwa sorot matanya begitu tajam bagaikan pisau belati, kalau hendak dibandingkan maka mata itu seperti mata singa jantan, bahkan biji matanyapun berwarna kuning. Suara pembicaraan mereka sebenarnya sudah amat rendah, sekarang bertambah rendah lagi. "Apa pula pekerjaan orang ini?" tanya Kwik Tay-lok kemudian. "Dia juga seorang opas, dua tahun berselang masih menjadi opas di ibukota, tapi belakangan ini konon sudah naik pangkat menjadi komandan opas untuk sembilan propinsi di utara sungai besar."

"Jika dilihat dari dandanannya macam laki-laki hidung bangor, ia tidak pantas untuk menjadi seorang opas kenamaan".

"Kau sendiripun tidak mirip si rudin" Ong Tiong menimpali. "Dimanakah letak kehebatannya?" tanya Lim Tay-peng pula. "Pada hidungnya!"

"Pada hidungnya?"

"Meskipun hidungnya besar, bukan berarti besar tapi tak berguna. Konon daya penciumannya jauh lebih tajam daripada anjing, bila seseorang kena diendus bau-bau badannya, maka bagaimanapun kau menyamar, jangan harap bisa lolos dari daya penciumannya."

"Waaah.... kepandaian semacam ini memang terhitung hebat sekali"

"Kedua orang ini boleh dibilang merupakan jago-jago kelas satu dari pihak pengadilan, kalau bukan lantaran suatu peristiwa besar, tak mungkin mereka bisa sampai di sini, oleh sebab itu...."

"Oleh sebab itu kau merasa heran, kenapa secara tiba-tiba mereka bisa sampai di sini?" sambung Ong Tiong. "Yaa, aku memang merasa sangat keheranan, kalau dibilang mereka datang lantaran peristiwa pencurian yang terjadi semalam, kenapa mereka bisa menerima kabar dengan begitu cepat?" Pada saat itulah, tiba-tiba dari tengah jalan berkumandang suara jeritan lengking seorang perempuan, suaranya seperti ayam yang kena diinjak tengkuknya. Kemudian merekapun menyaksikan ada seorang perempuan yang rambutnya terurai takkaruan menerjang keluar dari rumah di seberang jalan sana, seorang laki-laki yang gemuk pendek sedang menariknya dengan sepenuh tenaga. Sampai pada akhirnya, perempuan itu duduk di atas tanah sambil menangis meraung-raung, sambil menangis teriaknya keras-keras: "Uangku untuk membeli peti matipun sudah dicuri orang, kenapa aku tak boleh berbicara...? Kenapa aku harus membungkam? Aku sengaja hendak berkata." Semakin berbicara ia semakin sedih, akhirnya sambil membentur-benturkan kepalanya di atas tanah serunya seraya menangis tersedu-sedu: "Oooh... Thian, kenapa kau begitu tak adil, oooh bajingan yang kejam, hatimu betul-betul hitam seperti hati serigala, kenapa kau tidak meninggalkan sedikit untukku....? Tiga ribu tahil emas murni ditambah dengan seluruh perhiasanku telah kau larikan.... Ooh, jika kau adalah seorang yang berhati baik, kembalikanlah semuanya kepadaku, aku rela membagikan separuh untukmu."    Paras muka laki-laki gemuk pendek itu berubah menjadi merah sejenak, pucat sejenak, dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya ia baru berhasil menyeretnya masuk kedalam rumah, kemudian sambil tertawa paksa katanya: "Secara tiba-tiba biniku kambuh penyakit gilanya, mana mungkin kami memiliki uang emas tiga ribu tahil? Apalagi dicuri orang?"

Kwik Tay-lok dan Yan Jit saling berpandangan sekejap, baru saja mereka hendak bertanya kepada Moay Lo-kong: "Siapakah orang itu?" Rupanya si tongkat penjepit jauh lebih cepat daripada mereka. Suaranya beret tapi pelan, seakan-akan untuk mengucapkan setiap kata itu dia harus mengerahkan tenaga besar. Hal mana mendatangkan kesan bahwa lebih baik kau perhatikan secara serius setiap perkataannya. Moay La-kong segera menerangkan: "Konon sepasang suami istri ini berasal dari kota Kay-hong, sebenarnya berdagang kain disitu, setelah berhasil menabung beberapa tahil perak, mereka bermaksud untuk hidup menghemat dan sederhana sampai tua. Kalau dari rumah mereka bisa dicuri tiga ribu tahil emas, ini baru suatu

berita aneh namanya." Sebenarnya ia bukan seorang yang banyak bicara, tapi mulutnya sekarang seakan-akan telah berminyak, bahkan dialek Kwang-tongnya yang tidak karuanpun sekarang kedengaran lebih tepat dan enak didengar. Si Tongkat penjepit mendengar dengan seksama. Sewaktu berbicara tadi ia bisa bicara perlahan, maka sekarang ia dapat pula mendengarkan dengan seksama, seakan-akan setiap patah kata yang didengar dikunyah lebih dulu dalam bibirnya kemudian ditelan ke dalam perut.

Bahkan sekali ditelan ke dalam perut, maka selamanya tak akan ditumpahkan kembali. Menanti Moay Lo-kung telah selesai berkata, ia baru bertanya kembali dengan suara dalam: "Mereka dari marga apa?"

"Yang lelaki dari marga Ko, yang perempuan agaknya berasal dari keluarga Lo." Tiba-tiba si tongkat penjepit bangkit berdiri dan berjalan keluar dengan langkah lebar. Sejak awal sampai akhir, manusia berbaju hitam itu tak mengucapkan sepatah katapun, saat itulah tiba-tiba ia bertanya: "Apakah tengah hari sudah lewat?"

"Baru saja lewat !" jawab Moay Lo-kong. "Bawa kemari!" manusia berbaju hitam itu segera berseru. Si anjing buldok seperti rada sangsi, bisiknya: "Aku pikir tempat ini kurang leluasa!"

"Siapa yang bilang?" Si anjing buldok itu seperti menghela napas panjang, dari sakunya dia lantas merogoh keluar sekeping emas murni yang beratnya kira-kira dua puluh tahil, setelah diletakkan di meja lantas pelan-pelan didorong ke muka. Manusia berbaju hitam itu segera mengambil dan menyimpannya, ia tidak berbicara lagi. Si anjing buldok menghembuskan napas panjang, setelah memandang sekejap cuaca di luar jendela, ia bergumam: "Sehari sungguh cepat berlalu!"

Jilid 04

TAPI BAGI SEMENTARA ORANG, sehari seakan-akan setahun, waktu seakan-akan merambat seperti siput, mau dilewatkan juga susahnya bukan kepalang. Tongkat, bukan suatu benda yang disukai setiap orang. Tapi tongkat justru besar sekali kegunaannya. Tongkat lebih menguntungkan daripada pedang, jika sebuah tongkat diayunkan ke bawah, kadangkala akan dilihat dulu apa yang dipukul. Jika pedang diloloskan dari sarung, biasanya dia akan mengincar bagian lemah yang mematikan.   Terutama pedang tersebut. Sewaktu pedang itu diloloskan keluar, dia ada harganya, sewaktu disarungkan kembali, diapun ada harganya. Harga sewaktu dicabut adalah uang, sedang harga sewaktu disarungkan adalah darah! Satu jam sudah lewat, si anjing buldok dan manusia berbaju hitam itu, masih duduk di situ, Kwi Tay-lok sekalian juga masih duduk di tempat. Mereka enggan pergi, juga tak bisa pergi. Bila Kwik Tay-lok mengeluarkan uang mas itu untuk membayar rekening, bukankah hal ini

sama artinya dengan memberitahukan kepada orang lain bahwa dirinya adalah penyamun. Akhirnya si tongkat penjepit kembali juga, sekarang Kwik Tay-lok bisa melihat wajahnya dengan jelas. Raut wajahnya ibarat tinggal kulit pembungkus tulang, tiada perasaan tiada luapan emosi, tiada pula daging. "Bagaimana?" tanya si anjing buldok. "Orang itu bukan she Ko, dia she Song, sebetulnya adalah kasir dari perusahaan Liau-tang-gou-yo-hau milik keluarga Thio, setelah berhasil menggaet sejumlah uang milik majikannya, ia melarikan diri kemari, oleh sebab itu meski uang emasnya dicuri orang, mereka tak berani berkaok-kaok." Si anjing buldok segera tertawa dingin, katanya: "Tampaknya cara ini merupakan cara yang lazim dia pergunakan, menangkap dulu titik kelemahan orang kemudian baru turun tangan"

"Yaa, sewaktu beroperasi pun cara yang dipergunakan juga sama, lagi pula cara kerjanya bersih dan indah, tanpa membuka pintu atau jendela, emasnya sudah terbang."

"Kapan terjadinya peristiwa itu?"

"Semalam !"

"Asal dia sudah turun tangan, paling tidak ada tiga belas buah peristiwa yang dilakukan secara bersamaan, biasanya ini adalah peraturannya...."

"Kecuali orang she Song itu, aku telah memeriksa pula lima keluarga lagi." si tongkat penjepit menerangkan lebih jauh.   "Apakah kelima keluarga itupun pernah berbuat kriminil sehingga kehilangan tersebut tak berani diluarkan kepada orang?"

"Betul, malah salah satu diantaranya dulu adalah bekas komandan regu anak buah Liok-san-liong-ong sebelum cuci tangan dulu, sekarang ia telah berbini dan punya anak."

"Mereka bisa bertemu dengan orang itu, boleh dibilang itulah kesialan mereka, lepaskan saja orang-orang itu" Si tongkat penjepit tidak berbicara, dia hanya memperhatikan tangan sendiri sambil tertawa dingin. Sambil tertawa si anjing buldog berkata: "Padahal aku juga tahu kalau kau tak akan lepas tangan, setiap orang yang pernah berhubungan dengan Liok-sang-liong-ong, bila sampai bertemu dengan kau berarti dia lagi naas. Tapi kau sendiripun harus berhati-hati, jika benar-benar sampai berjumpa dengan Liok sang-liong-ong serta ular beracun itu, orang yang sial waktu itu kemungkinan sekali adalah kau sendiri." Si tongkat penjepit masih tertawa dingin, ia tidak berbicara apa-apa. "Bagaimanapun juga, kabar yang kita terima agaknya tidak keliru" ujar si anjing buldog lagi, "rupanya selama banyak tahun ini dia selalu bersembunyi disini."

"Orang yang memberitahukan kabar ini kepadaku memang dapat dipercaya, kalau tidak kenapa aku suruh kau membayar sepuluh ribu tahil kepadanya?"

"Kalau betul ia sudah bercokol selama tujuh-delapan tahun di sini, kenapa secara tiba-tiba turun tangan lagi?"

"Itulah yang dinamakan tangan gatal." Semua pembicaraan tersebut diucapkan dengan terang-terangan, sedikitpun tidak kuatir didengar orang, tentu saja Kwik Tay-lok dapat mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas. Bagaimanapun juga, mau tak mau dia harus mengakui bahwa si tongkat penjepit memang betul-betul punya kepandaian. Tapi, siapa yang mereka maksudkan dengan "Dia" itu? Tiba-tiba si tongkat penjepit kembali tertawa dingin, katanya lagi: "Kalau betul ia masih melakukan pencurian disini semalam, berarti sampai sekarang ia masih mengendon di sini. Setiap orang yang ke luar kota pagi ini telah kuperiksa semua, kecuali serombongan penjual akrobatik yang agak mencurigakan, yang lain boleh dibilang adalah orang-orang yang tahu aturan".

"Mungkinkah hasil perampokan itu berada pada penjual akrobatik itu, dan diangkut keluar kota?"

"Tidak mungkin, kalau dilihat dari debu yang dibawa oleh alas kaki mereka, paling banter uang yang mereka bawa cuma tak lebih dari sepuluh tahil perak". Tiba-tiba si anjing buldog itu memperlihatkan sekulum senyuman bengis yang menyeramkan,

kemudian katanya: "Jadi kalau begitu, dia pasti masih berada dalam kota!" Setelah mendengar sampai di situ. Kwik Tay-lok betul-betul tak tahan untuk bertanya kepada mereka: "Dari mana kau bisa tahu kalau ia tidak kabur melalui jalan setapak? Darimana pula kau bisa tahu kalau ia tidak kabur pada saat ini?" Tentu saja Kwik Tay-lok tak bisa mengajukan pertanyaan itu. Untung saja tanpa ditanya olehnya si tongkat penjepit telah mengatakannya sendiri. "Sekali turun tangan, hasilnya paling tidak diatas sepuluh laksa tahil emas, aku telah menyebarkan penjagaan di sekeliling tempat ini, bagaimanapun juga, jangan harap ia akan berhasil kabur dari sini dengan membawa uang sebesar sepuluh laksa tahil emas".

"Sudah barang tentu dia juga bukan seseorang yang mau menumpahkan hasilnya setelah ditelan keperut. Orang ini selalu memandang uang bagaikan nyawa sendiri, dia tersohor sebagai seorang yang menelan sekulit setulangnya, sekali sudah ditelan, sampai matipun tak akan ditumpahkan kembali" Si tongkat penjepit segera tertawa dingin. "Itulah penyakit lamanya" dia berkata, "aku tahu sendiri dulu, suatu ketika penyakitnya itu pasti akan merenggut selembar jiwa sendiri!"

"Tapi orang ini betul-betul terlalu licik, ilmu penyamarannya juga sangat lihay, ditambah lagi pandai mengecilkan tulang, bahkan tinggi rendahnya perawakanpun dapat dirubah, belum tentu kita mampu untuk membongkar sarangnya" Tiba-tiba sitongkat penjepit menggebrak meja sambil berseru: "Kalau sampai kali ini dia bisa kabur lagi, aku akan menukar nama margaku"

"Kau sudah menemukan jalannya ?"

"Sekalipun harus bertanya satu per satu, sekalipun harus berkorban selama tiga bulan, aku bersumpah akan menggusurnya keluar dari sarang serigalanya". Si anjing buldok mengerling sekejap ke arah manusia baju hitam itu, kemudian dengan alis

yang berkerenyit katanya: "Apakah kau akan menanyai setiap orang yang berdiam dalam kota ini?"

"Akupun tahu kalau caraku ini adalah cara seorang bodoh, tapi cara yang bodoh kadang kala malah akan mendatangkan hasil"

"Kau bersiap-siap akan mulai dari mana?" tanya si anjing buldok kemudian setelah menghela napas. "Dari sini!" Tiba-tiba matanya, melotot ke arah wajah Kwik Tay-lok. Seandainya berganti orang lain, apalagi kalau dalam hatinya memang ada yang tak beres, bila dipelototi semacam ini meski tidak ketakutan setengah mati, paling tidak paras mukanya akan berubah hebat. Si tongkat penjepit tetap adalah si tongkat penjepit, barang siapa bertemu dengannya maka jangan harap kau tak akan bicara jujur. Tetapi Kwik Tay-lok masih tertawa haha hihi tanpa berubah sedikipun wajahnya seakan-akan ia sama sekali tak ambil peduli. Sesungguhnya dia memang seseorang yang acuh tak acuh, apalagi dalam perutnya sekarang sudah dipenuhi arak Tiok-yap-cing dari warung Yan-biau-gwan yang berusia tua. Paras muka si tongkat penjepitpun amat tawar, tanpa emosi, sepasang matanya melototi mata Kwik Tay-lok tajam-tajam, pelan-pelan ia bangkit kemudian pelan-pelan berjalan menghampirinya. Dengan mukanya yang hijau menyeramkan, setiap orang yang bernyali kecil tentu tak akan berani berjumpa dengannya, jangan toh baru di suruh mengaku terus terang, mungkin celana dalampun sudah basah lantaran terkencing-kencing. "Orang ini tidak pantas disebut tongkat penjepit, ia lebih pantas kalau dinamakan si mayat hidup"

Perkataan tersebut hampir saja meluncur keluar dari mulut Kwik Tay-lok, hampir saja diucapkan dengan lantang... jangan kau anggap ia tak berani berbicara, asal arak sudah masuk keperut, kata "tidak berani" mungkin sudah menjauhinya sejauh sepuluh laksa delapan ribu li. Ong Tiong sekalian juga tidak ambil perduli: "Sekali kau bersahabat dengan Kwik Tay-lok,

maka setiap saat kau harus bersiap-siap untuk berkelahi baginya." Berkelahi bagi mereka tak lebih hanya suatu kejadian yang lumrah, seperti tiap manusia harus makan setiap hari. Sekalipun sepasang mata si tongkat penjepit tidak melototinya, tapi sepasang matanya justru melototi si tongkat penjepit dengan penuh rasa gusar. Agaknya, baik Kwik Tay-lok yang salah berbicara, atau si tongkat penjepit yang salah berbicara, suatu pertarungan setiap saat bakal terjadi. Siapa tahu, pada saat itulah tiba-tiba sianjing buldog berseru: "Beberapa orang itu tak usah ditanyai."

"Kenapa ?"

"Kalau dalam perut mereka ada suatu yang tak beres, mana mungkin ada kegembiraan untuk membicarakan soal hidungku?" katanya sambil tertawa lebar. Ternyata orang ini bukan cuma daya penciumannya tajam, telinganya juga tajam sekali. "Oooh, jadi semua pembicaraan kami telah kau dengar?" tak tahan lagi Kwik Tay lok menegur sambil tertawa geli. "Bagi kami yang pekerjaannya begini, bukan cuma pandangan matanya harus luas, telinganya juga musti mendengarkan suara yang berada di delapan penjuru."

"Kau tidak marah?"

"Kenapa harus marah?" si anjing buldog tertawa, "sekalipun hidung yang kegedean tak sedap didengar, toh hal itu bukan suatu kejadian yang memalukan." Kesan Kwik Tay-lok terhadap orang ini segera membaik, ujarnya kemudian sambil tertawa:

"Bukan saja tidak memalukan, juga tidak terlalu jelek. Hidung orang lelaki harus besar, semakin besar semakin baik, perempuan yang tahu urusan pasti menyukai orang lelaki yang berhidung besar"

"Aku lihat hidungmu juga tidak termasuk kecil" seru si anjing buldog sambil tertawa keras. Kwik Tay-lok segera meraba hidungnya sendiri, lalu katanya sambil tertawa: "Yaa. kalau cuma dipaksakan mah memang masih rada lumayan"

"Apakah kalian tinggal didalam kota?"

"Ooh tidak, tidak di dalam kota, diatas bukit sana"

"Banyakkah yang tinggal diatas bukit itu?"

"Kalau orang hidup mah cuma kami berempat, kalau orang mati tak terhitung banyaknya"

"Orang mati ?"

"Yaa, tempat tinggal kami dekat tanah pekuburan, tempat itu dinamakan Hok-kui-san-ceng, kalau ada kesempatan mampirlah kesana"

"Kami pasti akan berkunjung ke situ"

Tiba-tiba ia bangkit berdiri sambil berseru: "Ciangkwe, mana rekeningnya, rekening beberapa orang ini dihitungkan sekalian dalam rekeningku."

"Aaaah, hal ini mana boleh jadi" seru Kwik Tay-lok sambil melompat bangun, "kami adalah tuan rumah, kau harus membiarkan kami menjadi tuan rumah yang baik" Dia bukan cuma gemar berteman, ia lebih gemar menjamu orang. Tak ada orang yang lebih cepat berteman daripadanya, tak ada pula orang yang lebih cepat membayar rekening daripadanya. Tapi setelah tangannya merogoh ke dalam saku, ia tak dapat menariknya lagi. Bagaimanapun juga ia tak bisa mengeluarkan kepingan emas itu di hadapan orang banyak. Ternyata si anjing buldog juga tidak berebut untuk membayar, malah katanya sambil tertawa: "Kalau begitu, biarlah kami menurut saja, terima kasih, terima kasih." Tiba-tiba si tongkat penjepit menepuk-nepuk bahu Kwik Tay-lok sambil berkata dengan dingin: "Selama dua hari ini situasi dalam kota pasti kacau, kalau tak ada urusan lebih baik mengendon dalam rumah saja, dari pada mencari kesulitan sendiri." Kemudian tanpa memberi kesempatan berbicara untuk Kwik Tay-lok, dia menekan bahunya keras-keras, terusnya: "Kau tak usah repot-repot menghantar kami, silahkan duduk!"

Hiihhhhh.... hiihhhhh.... hiihhhh.... aku tidak lelah, masih pingin berdiri lagi", jawab Kwik Tay-lok sambil cekikikan.

Padahal si tongkat penjepit telah menggunakan tenaganya sebesar delapan bagian, tapi sedikitpun tidak menghasilkan apa-apa, dengan mata melotot dia mengawasi pemuda itu dari atas sampai ke bawah, beberapa kejap kemudian tanpa berpaling lagi dia berlalu dari situ. "Kenalkah kalian dengan orang yang ada di seberang jalan itu ?" tiba-tiba si anjing buldog

bertanya. Yang dimaksudkan adalah seorang kakek kurus yang rambutnya telah beruban, ia sedang membawa seember air kotor dan keluar dari pintu rumahnya, kemudian menuangkan air itu ketengah jalan. "Tentu saja kenal" jawab Kwik Tay-lok sambil tertawa, "dia adalah pemilik pegadaian Lip-gwan, kami semua memanggilnya sebagai Hoat-po-pi (si penyayat kulit hidup)"

Mencorong sinar tajam dari balik mata si anjing buldog, diawasinya kakek itu tanpa berkedip. Menanti kakek itu sudah membalikkan badan dan berjalan masuk, ia baru berkata sambil tertawa: "Kalian tak usah repot-repot, kami hendak memohon diri lebih dulu" Ia lantas menyusul si tongkat penjepit, membisikkan sesuatu ke sisi telinganya dan kemudian bersama-sama menuju ke rumah pegadaian tersebut...." Saat itulah, si orang baju hitam baru pelan-pelan bangkit berdiri dan pelan-pelan berjalan melewati hadapan Kwik Tay-lok sekalian. Semua orang masih minum arak sambil menundukkan kepala, tak seorangpun yang memperhatikannya. Karena setiap kali berjumpa dengannya, mereka seakan-akan melihat seekor ular berbisa, suatu perasaan tak enak yang sukar dilukiskan dengan kata-kata tentu akan muncul di dasar hati setiap orang. Si orang berbaju hitam itu sama sekali tidak berhenti, hanya secara tiba-tiba ia menyapa: "Ui Giok-ji, baik-baikkah engkau?" Semua orang tertegun, siapapun tak tahu dia sedang menegur siapa. Dalam pada itu, si orang berbaju hitam itu sudah keluar dari warung tersebut dengan langkah lebar. Kwik Tay-lok segera menggelengkan kepalanya berulang kali, gumamnya: "Heran, jangan-jangan pikiran orang ini kurang waras?" Lim Tay-peng memperhatikan pula pedang yang tergantung di punggung orang itu lalu,

gumamnya pula: "Pedang itu paling tidak panjangnya empat jengkal tujuh inci!"

"Aku lihat ketajaman matamu cukup hebat" kata Yan Jit, "agaknya kau adalah seorang ahli dalam ilmu pedang?" Lim Tay-peng seakan-akan tidak mendengar perkataan itu, kembali dia berkata: "Menurut apa yang kuketahui, hanya tiga orang dalam dunia persilatan yang bisa menggunakan pedang sepanjang itu."

"Oooh, siapa saja ?" seru Kwik Tay-lok. "Orang pertama bernama Ting Gi-long, konon dia adalah anak haram dari seorang

petualangan yang berasal dari negeri Hu-sang (Jepang) Mitsu Hanada dengan Hong-san-li-kiam-kek (jago pedang perempuan dari bukit Hong-san) Ting Li, menurut kata orang, Mitsu Hanada adalah seorang samurai terkenal dinegeri Hu-sang yang berjulukan Samurai kilat, oleh sebab itu ilmu pedang yang dimiliki Ting Gi-long merupakan kombinasi antara ilmu pedang aliran Hong-san dengan aliran negeri Hu-sang." Yan Jit menatapnya lekat-lekat, lalu serunya: "Tak kusangka pengetahuanmu tentang dunia persilatan jauh lebih banyak daripada diriku." Lim Tay-peng agak sangsi sejenak, kemudian katanya: "Aku sendiripun mengetahuinya dari orang lain."

"Lalu siapakah dua orang lainnya?" Kwik Tay-lok segera menyela. "Orang kedua adalah satu-satunya ahli waris dari Kiong Tiang-hong, ia bernama Kiong Hong-hun."

"Kiong Hong-hun? Seperti nama seorang perempuan!"

"Dia memang seorang perempuan" Yan Jit menerangkan, "apakah kau menganggap perempuan tak dapat menggunakan pedang sepanjang itu?" Kwik Tay-lok segera tertawa. "Aku hanya merasa bahwa orang berbaju hitam itu besar kemungkinan bukan seorang perempuan."

"Konon Ting Gi-long telah berangkat ke negeri Hu-sang beberapa waktu berselang, katanya hendak pergi mencari ayah kandungnya, oleh sebab itu si orang berbaju hitam ini jelas bukan dia"

"Siapa orang ketiga?"

"Orang itu bernama Kiam-te-yu-hun (sukma yang lolos dari ujung pedang) Lamkiong-Cho."

"Sukma yang lolos dari ujung pedang? Jelas kata-kata itu merupakan suatu kata ejekan, kenapa dia malah memakainya sebagai nama julukan kebanggaan?"

"Banyak tahun berselang, dalam dunia persilatan muncul seorang manusia aneh yang bernama Kong-bong-sip-ci-kiam (pedang sepuluh kata kalap), setiap orang yang bertemu dengannya tak seorangpun berhasil lolos dalam keadaan hidup, malah See-san-sam-yu (tiga serangkai dari see-san) serta Kanglam Tit-it-kiam (pedang nomor wahid dari Kanglam) yang termashur namanya ketika itupun terbunuh olehnya, Lamkiong Cho berhasil lolos dalam keadaan hidup. Sebab itulah Lamkiong Cho merasa bangga dengan prestasinya itu, diapun menamakan dirinya sebagai Sukma yang lolos dari ujung pedang"

"Sudah kalah diujung pedang orang masih merasa bangga, orang ini betul-betul menarik" kata Kwik Tay-lok sambil tertawa.

"Orang ini bukan saja tidak menarik, bahkan tidak menarik sekali" Lim Tay-peng membenarkan. "Kenapa ?"

"Konon orang ini gemar sekali membunuh orang, ada kalanya ia membunuh orang cuma lantaran dirinya lagi senang, adakalanya dia pun bisa menbunuh orang lantaran uang. Sekalipun ia berhasil lolos dari ujung pedang Sip-ci-kiam, sebuah codet berbentuk huruf silang empat menghiasi wajahnya, oleh sebab itu dia tak pernah mau menjumpai orang dengan wajah aslinya".

"Kalau begitu, besar kemungkinan orang berbaju hitam itu adalah dia...."

"Belum tentu demikian" tiba-tiba Ong Tiong menyela. "Belum tentu?"

"Darimana kalian bisa tahu kalau dia bukan seorang perempuan, bukan Kiong Hong Hun?"

"Tentu saja bukan!"

"Kenapa? Kau sudah melihat wajahnya? Sudah melihat tangannya? Sudah melihat kakinya.? Bahkan seinci tubuhnya saja belum kau lihat, apa yang bisa kau saksikan tak lebih hanya pakaian berwarna hitam, masa pakaian yang bisa dipakai orang lelaki tak bisa dikenakan oleh perempuan?" Kwik Tay-lok tertegun, lama sekali ia baru berkata sambil tertawa: "Kalau dia seorang perempuan, ini lebih menarik lagi, aku ingin melihat bagaimanakah raut wajahnya."

"Agaknya asal perempuan, kau pasti merasa tertarik sekali?" seru Yan Jit kesal. Kwik Tay-lok tertawa terbahak-bahak..    "Bagaimanapun juga perempuan memang jauh lebih menarik daripada lelaki, tentu saja yang terlalu jelek dan terlalu tua dikecualikan." Yan Jit segera menghela napas panjang, katanya: "Aaai...! Manusia macam dia kalau tak mau mengaku sebagai setan perempuan, siapa yang mau mengaku?"

"Paling tidak aku punya sedikit kemiripan pula dengan setan perempuan...." sela Ong Tiong sambil menguap. "Kemiripan dalam hal apa?"

"Setiap waktu, setiap saat aku selalu teringat dengan ranjang."

***

Pembaringan.

Ke empat buah peti yang berisi emas dan permata itu berada di kolong pembaringan. Sekalipun seseorang yang kaya raya di dunia ini, tak nanti akan menyimpan empat buah peti yang berisi emas intan dan mutu manikam yang tak terhitung jumlahnya itu di bawah kolong ranjang, apalagi tanpa mengunci pintu meninggalkan rumah. Tapi mereka telah berbuat demikian, sebab kecuali mereka sendiri, mimpipun orang lain tak akan menyangka kalau di bawah kolong ranjang yang rongsok dan dekil itu bisa terdapat harta karun sedemikian besarnya, apalagi rumah itu dasarnya memang kosong melompong, kecuali kolong ranjang, memang tak ada tempat lain yang bisa dipakai untuk menyimpan ke empat buah peti itu lagi. "Kenapa tidak ditanam saja ke dalam tanah?" Yan Jit pernah mengajukan usul tersebut, tapi Ong Tiong yang pertama-tama menampik. "Sekarang dengan susah payah kita menanam peti-peti itu ke dalam tanah, dua hari kemudian dengan susah payah menggali kembali, kalau toh akhirnya harus digali keluar, apa sebabnya kita memendamnya sekarang?" Orang malas selalu mempunyai alasan yang cukup untuk menolak melakukan suatu pekerjaan. Alasan dari Ong Tiong tentu saja cukup kuat. Sekarang, tentu saja ia telah berbaring kembali di atas ranjangnya. Kwik Tay-long sedang berlatih tekun minum arak sambil berjungkir balik, ketika diketahui bahwa minum arak ada banyak ragamnya, ia bertekad untuk menguasai dulu cara minum sambil berjungkir balik.

Seandainya di dunia terdapat orang yang bisa minum arak dengan mata, sekalipun cuma seorang, dia tak akan pantang menyerah, baik buruk dia pasti akan berlatih dari orang itu sampai berhasil. Lim Tay-peng duduk di atas undak-undakan pintu sambil bertopang dagu, entah sedang melamun? Entah sedang memikirkan persoalan yang memenuhi benaknya? Sekalipun usianya jauh lebih muda dari pada siapapun, tapi persoalan yang dihadapinya justru lebih banyak dari yang lain. Yan Jit entah sudah kemana lagi? Gerak-gerik orang ini selalu diliputi oleh kemisteriusan, sering kali dia ngeloyor pergi seorang diri, siapapun tak tahu apa yang sedang dilakukan olehnya. Malam seakan-akan sudah larut, seakan-akan pula masih pagi.    Orang bilang: "Waktu adalah pokok dari semua benda di alam semesta, hanya waktu yang selamanya langgeng." Tapi ditempat ini, kata-kata tersebut boleh dibilang tidak terlalu cocok. Walaupun orang-orang disini tak pandai memanfaatkan waktu, merekapun tak mau diperbudak oleh waktu. Ketika Kwik Tay-lok menghabiskan arak cawan ketiga, tiba-tiba Lim Tay-peng bangkit berdiri dari undak-undakan. Paras mukanya begitu riang juga begitu serius, seakan-akan seorang panglima perang yang hendak mengumumkan suatu berita penting kepada anak buahnya. Cuma, bagaimanapun seriusnya wajah seseorang, bila dilihat secara terbalik maka wajah itu tentu kelihatan sangat lucu dan menggelikan. Secawan arak yang baru saja diteguk Kwik Tay-lok, hampir saja menyembur keluar dari hidungnya. "Aku hendak mengatakan sesuatu!" kata Lim Tay-peng. "Aku telah menduganya!" sahut Kwik Tay-lok sambil tertawa. "Dalam kota terdapat seseorang yang bukan saja kungfunya sangat tinggi, akhli pula dalam menyaru serta ilmu menyusutkan tulang, ia pernah melakukan banyak kasus pencurian yang membuat para pejabat pengadilan pusing kepala."

"Agaknya persoalan itu bukan cuma diketahui olehmu seorang, agaknya akupun pernah mendengar persoalan itu", kata Kwik Taylok sambil mengerdipkan matanya. "Bukan cuma kau yang tahu, Swan Bwe-tong juga tahu!" Lim Tay-peng menyambung. "Oya?"

"Dia bukan saja tahu, lagi pula pasti ada dendam dengan orang ini!"

"Ada dendam?"

"Cuma diapun sama seperti kami, hanya tahu kalau orang itu bersembunyi dalam kota, tapi tak tahu bersembunyi dimana? Melindungi dirinya dalam indentitas apa? Sekali pun dia ingin membalas dendam, namun tak berhasil menemukannya, maka...."

Tiba-tiba Kwik Tay-lok merasa tidak segeli tadi lagi, sambil berjumpalitan turun ke bawah, dia berseru: "Maka kenapa?"

"Maka dia menggunakan akal untuk meminta orang lain yang mencarikan orang itu baginya"

"Tentu saja dia tahu kalau orang yang paling pandai mencari orang di dunia ini adalah sitongkat serta sianjing buldog"

"Diapun tahu kalau mereka sudah berada disekitar tempat ini, maka dicarinya akal untuk mengabarkan berita ini kepada mereka, bahwa penyamun ternama itu bersembunyi di kota ini"

"Yaa, kemudian ia sendiri mendahului mereka dengan melakukan pencurian berganda dalam semalam, bahkan sengaja menirukan cara kerja pencuri ulung itu, agar si tongkat dan si anjing buldog mengira peristiwa ini adalah hasil perbuatannya"

"Kesemuanya itu masih bukan bagian yang paling penting"

"Lantas yang terpenting apa?"

"Dengan peristiwa tersebut, sitongkat dan sianjing buldog baru percaya kalau pencuri ulung itu benar-benar berada dalam kota ini, dengan demikian mereka baru mencarinya dengan bersungguh-sungguh. Manusia semacam mereka, tentu saja tak akan menjual tenaga sedikit berita yang belum pasti kebenarannya".

"Tapi dia masih ada sebuah persoalan lagi!" sambung Kwik Tay-lok. "Yaa, persoalan itu menyangkut harta curian yang tak mungkin bisa dibawa keluar kota, merekapun tak sanggup menyembunyikannya, sebab dia tahu kalau sitongkat dan sianjing

buldog telah datang".

"Betul, barang yang begitu menyolok dan begitu menyengat tangan memang tidak gampang untuk disembunyikan!"

"Bukan tidak gampang saja, lagipula sangat makan tenaga dan pikiran, oleh sebab itu...." Kwik Tay-lok segera tertawa getir, katanya: "Oleh sebab itu diapun mencari seseorang yang bisa membantunya untuk menyembunyikan barang-barang itu, tapi kenapa ia tidak mencari orang lain sebaliknya justru mencari diriku?"

"Tentu saja dia tahu kalau kau berdiam di sini, dia juga tahu kalau setanpun enggan mendatangi tempat ini, kalau barang curian tersebut disembunyikan disini, maka ibaratnya.... ibaratnya...."

"Ibaratnya arak yang disimpan dalam perut, aman dan bisa dipercaya".

"Aku pikir hal itu bukan merupakan alasan yang terpenting" tiba-tiba Ong Tiong menyela. "Oya?"

"Yang paling penting, orang yang dicari untuk melakukan perbuatan semacam ini harus seorang yang acuh tak acuh dan seorang telur busuk goblok yang ketemu kucing bersahabat dengan kucing, bertemu dengan anjing bersahabat dengan anjing."

Ong Tiong bukan saja jarang bergerak diapun jarang berbicara. Kadangkala apa yang dia katakan merupakan suatu kesimpulan, Tapi orang yang membuat kesimpulan kali ini bukan dia, melainkan Kwik Tay-lok sendiri: Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir: "Berjumpa dengan kucing bersahabat dengan kucing, bertemu dengan anjing bersahabat

dengan anjing mah bukan menjadi soal, lebih celaka lagi kalau bertemu dengan gadis cantik lantas tak mampu berjalan, itu baru betul-betul telur busuk yang dogol"

"Hey, siapa yang kau maksudkan ?" tegur Lim Tay-peng mengerutkan dahi. "Yang kumaksudkan adalah diriku sendiri!" sahut Kwik Tay-lok sambil menunjuk hidung sendiri. Padahal Kwik Tay-lok bukan sungguh-sungguh tolol, dia cuma merasa enggan untuk memikirkan banyak persoalan secara serius, andaikata dia mau saja, mungkin jauh lebih pintar dari siapapun.  Tiba-tiba Lim Tay-peng berkata lagi: "Kau masih melakukan sebuah kesalahan lagi!"

"Aaaai.... Kwik sianseng salah melakukan perbuatan bukan suatu kejadian aneh, kalau berbuat betul baru berita yang aneh!"

"Tadi kau tidak seharusnya membayar dengan kepingan uang emas tersebut."

"Kalau tidak membayar dengan uang emas itu, apakah aku harus membayar dengan jari tanganku? Jangan lupa, arak yang kau minum tadi tidak lebih sedikit dariku!"

"Kalau si tongkat dan si anjing buldog tahu kalau kita membayar rekening dengan uang emas, dia pasti akan keheranan, dari mana si setan miskin itu peroleh uang emas sebesar itu? Nah, kalau sampai begini, kitalah yang bakal berabe."

"Bolehkah aku memberitahukan pula beberapa hal kepadamu?" seru Kwik Tay-lok kemudian. "Boleh saja!"

"Pertama, sitongkat dan sianjing buldok tak akan tahu, karena Moay Lo-kong bukan seorang yang cerewet!"

"Setelah ada nomor satu, tentu ada nomor dua bukan, apa nomor yang kedua?"

"Nomor dua, kalau dalam saku Kwik sian seng kedapatan beberapa tahil perak, kejadian ini bukan suatu kejadian yang aneh dan tidak diherankan. Apalagi di atas kepingan uang emas itu tak ada tandanya, aku telah memeriksanya dengan teliti, siapa berani menuduh aku pencuri, akan kutampar dulu bibirnya"

"Masih ada yang lain ?"

"Masih, setiap orang harus makan, kita kalau ingin makan maka uang emas itulah yang akan kita pakai untuk membayar rekening"

"Hal inilah yang paling penting" tiba-tiba seseorang menanggapi, "orang yang dicari Swan Bwe-tong bukan saja seorang ulat tolol yang suka perempuan, lagi pula dia juga seorang miskin yang edan, seekor ulat tolol yang menjadi sinting lantaran kelaparan!" Inipun suatu kesimpulan. Yang membuat kesimpulan kali ini bukan Ong Tiong, melainkan Yan Jit. Setiap kali munculkan diri, gerak-geriknya selalu misterius dan tidak dirasakan oleh siapa pun, seperti halnya sewaktu dia melenyapkan diri.... Kwik Tay-lok gelengkan kepalanya berulang kali, katanya sambil tertawa getir: "Kalau orang ini sedang berbicara dengan siapapun, suaranya tentu sedap didengar, tapi entah apa sebabnya dia justru paling suka menyindir diriku."

"Andaikata kau bukan temanku, sekalipun kau suruh aku menyindirmu, belum tentu aku mau mengabulkan permintaanmu itu" jawab Yan Jit sambil tertawa. "Ong Tiong toh sahabatmu juga, kenapa itu kau tidak menyindir dirinya."

"Kata-kata yang bisa dipakai untuk menyindir diriku sudah habis kau pakai, buat apa orang lain musti berbicara lagi?" kata Ong Tiong sambil tertawa. Kwik Tay-lok ikut tertawa, ia menghampiri Yan Jit dan menepuk-nepuk bahunya. "Kali ini kau ngeloyor kemana lagi?" tegurnya. "Aku.... aku pergi bermain." Ia seperti tidak suka orang lain menyentuh tubuhnya, setiap kali Kwik Tay-lok menyentuhnya, ia menunjukkan sikap seakan-akan tidak terbiasa, mungkin hal ini dikarenakan kecuali Kwik Tay-lok, jarang ada orang yang menyentuh dirinya. Asal melihat pakaian yang dikenakan itu, nasi yang dimakan semalampun mungkin akan tertumpah keluar. "Kau bermain kemana ?" kembali KwikTay-lok bertanya. "Ke bawah bukit, dalam kota"

"Apanya yang bagus dilihat dalam kota"

"Siapa bilang tak ada?"

"Jadi ada?"

"Semalam bukankah kau telah menyaksikan seorang gadis cantik membawa dua buah keranjang besar?"

"Malam ini, apa yang telah kau lihat?"

"Penjagalan manusia"

"Penjagalan manusia? Siapa yang melakukan pembunuhan itu?" tanya Kwik Tay-lok kuatir. "Si tongkat!"

"Si tongkat membunuh orang? siapa yang dibunuh!"

"Semua orang yang dicurigai"

"Siapa yang dicurigai? apa yang perlu di curigai?"

"Si tongkat sedang mencari seorang lelaki berusia lima puluh tahunan lebih yang sudah sepuluh tahun datang kemari, maka semua lelaki yang pindah kemari pada sepuluh tahun berselang adalah orang yang mencurigakan, kemungkinan sekali dialah Hong Si-hu".

"Siapakah Ho Si-hu itu?"

"Hong Si-hu adalah orang yang sedang dicari si tongkat"

"Hong Si-hu yang kau maksudkan apakah Thi-hu-gut-siu (ayam dan anjing tak tersisa) Hong Si-hu?" tiba-tiba Lim Tay-peng menyela. "Yaa, betul orang itulah yang dimaksudkan." Sambil tertawa Kwik Tay-lok berseru: "Orang yang mempunyai nama sebagus itu, kenapa justru memilih julukan yang tak sedap didengar?"

"Sebab setiap kali turun tangan, ia pasti akan menguras seluruh harta yang dimiliki korbannya, kadang kala uang setengikpun tidak disisakan, sering kali orang yang menjadi korban keganasannya harus mengakhiri nyawanya di atas tiang gantungan, oleh karena itulah walaupun dia tak pernah membunuh orang, tak sedikit orang yang dipaksa mati akibat ulahnya..."

"Konon orang itu bukan saja berhati hitam dan bertangan keji, diapun memandang uang lebih berharga dari pada nyawa sendiri, uang hasil curiannya tak pernah dipakai untuk berfoya-foya" kata Lim Tay-peng. "Siapa tahu kalau semua hasil curiannya dipakai untuk menolong orang lain, atau berbuat kebajikan?" sela Kwik Tay-lok. "Orang ini, sepanjang hidupnya sering kali melakukan perbuatan jahat, perbuatan apapun pernah dilakukannya, hanya tak sekalipun ia berbuat kebaikan."

"Kalau begitu dia simpan dimanakah semua harta kekayaannya itu?"

"Tak seorangpun yang tahu." Kwik Tay-lok termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian ia bertanya lagi: "Dalam kota, ada berapa banyak manusia macam begini yang dicurigainya...?"

"Sebetulnya tidak banyak, sekarang lebih sedikit lagi."

"Berapa banyak yang telah dibunuh si tongkat?"

"Lima atau enam orang, mungkin juga tujuh orang."

"Dia membunuh orang, kau cuma menonton dari samping?" teriak Kwik Tay-lok dengan mata melotot. "Sekarang kalau suruh aku menonton lagi pun segan". Kwik Tay-lok kontan saja melotot besar, tiba-tiba ia melompat bangun dan menerjang keluar

dari situ. Ong Tiong menghela papas panjang, gumamnya: "Heran, sejak berkenalan dengannya, kenapa setiap kali dia bergerak aku selalu merasa harus bergerak pula?" Meskipun Kwik Tay-lok bukan seorang yang dungu, tapi dia berangasan sekali. Sebenarnya dia harus bertanya dulu kepada Yan Jit: "Sesungguhnya manusia-manusia macam apa yang telah dibunuh oleh si tongkat?" Ia tidak bertanya, karena dia tahu manusia-manusia yang dibunuh si tongkat sudah pasti bukan manusia-manusia baik. Ia memahami, tapi tak tahan untuk mengendalikan emosi. Walaupun hal ini bukan merupakan suatu kebiasaan yang baik, paling tidak jauh lebih baik daripada mereka-mereka yang berperasaan sedingin es atau perasaan kaku.

Si orang berbaju hitam itupun mempunyai suatu kebiasaan... selamanya dia tak mau untuk berjalan mendahului siapapun. Tentu saja hal ini bukan disebabkan ia terlalu ketat memegang adat istiadat atau tata kesopanan, sebaliknya karena ia lebih suka memandang orang dengan matanya bukan dengan punggung. Walaupun kebiasaan semacam inipun tidak terlalu baik, paling tidak telah memberi kesempatan hidup selama beberapa tahun kepadanya. Sekarang, dia masih berjalan di belakang si tongkat dan si anjing buldog. Kedua orang itu tak pernah kuatir kepadanya, sebab mereka tahu pedangnya tak pernah

menusuk dari punggung orang! Walaupun wajahnya ditutup dengan selembar kain hitam, tapi dia jauh lebih menjaga muka dari pada kebanyakan orang. Jalanan dalam kota amat sepi, cuma ada dua tiga rumah yang masih memancarkan sinar lampu yang redup. Ketika tiba di rumah ke empat di sebelah kiri jalan, merekapun berhenti... Gedung rumah itu seperti juga rumah-rumah lain dalam kota itu, bangunannya sederhana dan jelek, pintu yang sempit lagi tebal dengan jendela yang kecil lagi tinggi, kertas jendela yang tebal serta sinar lentera yang redup. Pintu dan jendela semuanya berada dalam keadaan tertutup rapat. "Rumah ini?" tegur si anjing buldog dengan suara dalam. Si tongkat mengangguk. Tiba-tiba si anjing buldog itu melejit ke udara. Meskipun perawakan tubuhnya tinggi besar, gerak-geriknya gesit sekali, ilmu meringankan tubuhnya juga tidak lemah, baru saja ujung kakinya menutul di atas wuwungan rumah, ia sudah melewati bangunan rumah tersebut dan lenyap dari pandangan mata. Si tongkat berpaling dan memandang si orang berbaju hitam itu sekejap, kemudian dengan suara lantang ia berseru: "Kami adalah petugas pengadilan yang hendak melakukan pemeriksaan, semua rakyat diminta tetap ditempat, barang siapa membangkang segera dibunuh sampai mati!" Baru selesai seruan itu, cahaya lentera dalam ruang rumah itu telah padam. Kemudian: "Blam!" agaknya ada orang sedang menjebol jendela belakang dan berusaha melarikan diri. Sayang si anjing buldog telah berjaga-jaga atas kejadian itu. Kembali terdengar jeritan kaget. "Mau lari kemana kau....!" bentak si anjing buldog dengan suara nyaring. Menyusul kemudian terlihatlah sesosok bayangan manusia melompat naik ke atas wuwungan rumah, meskipun ilmu meringankan tubuhnya tidak berada di bawah si anjing buldog, namun perawakan tubuhnya jauh lebih kecil dan ceking. Setelah memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, ia lantas melarikan diri ke arah tenggara.

Si tongkat tidak bergerak. Si orang baju hitam itu seperti juga tidak bergerak. Tapi secara tiba-tiba ia sudah berada di atas wuwungan rumah dan menghadang jalan pergi bayangan manusia itu. Agaknya orang itu merasa terperanjat, sepasang kepalanya, segera diayunkan bersama kedepan. Agaknya si orang berbaju hitam tidak melakukan gerakan apa-apa, tapi tahu-tahu orang yang melepaskan pukulan itu sudah terguling dari atas atap rumah dan terjatuh ke atas jalanan. Pada saat itulah pelan-pelan si tongkat baru menghampirinya, sambil bergendong tangan ia menunduk dan mengawasi wajahnya. Angin dingin berhembus kencang, suasana terasa amat menyeramkan. Dari balik kegelapan malam, sepasang matanya bagaikan sepasang gurdi, sepasang gurdi yang telah dilapisi salju. Sudah lama Kwik Tay-lok mengikuti jalannya peristiwa itu dari sudut jalanan, sebenarnya sedari tadi ia sudah bermaksud untuk menerjang keluar. Tapi setelah menerjang keluar dari sana, apa pula yang hendak dilakukan? Ia sendiripun tak tahu apa yang dilakukan. Semisalnya orang yang ditangkap si tongkat adalah

seorang penyamun berhati kejam, apakah dia harus membantu seorang penyamun untuk buron dari atas bukit sampai ke dalam kota, sepanjang jalan sudah cukup angin dingin yang menerpa wajahnya, kobaran api dalam dadanya telah jauh lebih mengecil. Oleh sebab itu dia masih menunggu dibalik tikungan jalan. Orang yang terbanting ke tengah jalan itu masih berbaring melingkar disitu, ia seperti seonggokan lumpur, bergerakpun tidak. Tiba-tiba si tongkat menariknya bangun, lalu sambil mencengkeram kerah bajunya, sepatah demi sepatah dia berseru: "Pandanglah aku!" Walaupun orang itu telah berdiri, kepalanya masih terkulai lemas. Si Tongkat segera mengendorkan tangan kanannya, kemudian dengan suatu kecepatan luar biasa menempelengnya beberapa puluh kali. Darah mulai meleleh keluar dari ujung bibirnya, tapi orang itu masih menggertak gigi menahan diri, mendenguspun tidak. "Bagus, punya semangat!" puji si tongkat sambil tertawa dingin. Lututnya segera diangkat kemudian di tumbukkan ke tubuh orang itu keras-keras. Saking sakitnya paras muka orang itu berubah hebat, dia ingin membungkukkan badannya, namun tak bisa membungkuk lagi. Hanya tubuh bagian bawahnya yang berkerut, sekujur badannya berkerut menjadi satu gumpalan dan tergantung ditangan si tongkat, sekujur badannya gemetar keras seakan-akan semua tulangnya telah terlepas. "Aku mempunyai banyak cara untuk menghadapi orang yang tidak penurut" kata si tongkat, "barusan adalah salah satu diantaranya yang paling sederhana, kau ingin mencoba cara yang kedua?" Akhirnya orang itu mendongakkan kepalanya dan menatap wajah si tongkat tajam-tajam, sorot matanya penuh memancarkan api kemarahan dan rasa dendam kesumat yang tebal. Tiba-tiba sikap si tongkat berubah kembali, ia berubah menjadi lebih ramah dan halus. "Kau bukan Hong Si-hu?" tegurnya. Sambil menggertak giginya keras-keras, orang itu menjerit: "Kalau sudah tahu kalau aku bukan, kenapa kau masih menghadapi diriku dengan cara ini?"

"Karena aku masih belum yakin, kecuali kau memberitahukan siapakah dirimu yang sesungguhnya, dengan begitu aku baru bisa membuktikan kalau kau bukan Hong Si-hu".

"Aku bukan siapa-siapa, aku tidak lebih hanya seorang pedagang kecil yang menjual barang kelontong" Si tongkat segera menarik muka, katanya setelah tertawa dingin: "Kalau kau bukan orang lain, terpaksa aku akan menganggapmu sebagai Hong si-hu!" Orang itu menggigil semakin keras. "Kau takut salah menangkap orang, takut disalahkan atasanmu, maka walaupun kau sudah tahu kalau aku bukan Hong Si-hu, tapi kau tak mau juga melepaskan aku. Cara kerjamu itu sudah lama kuketahui".

"Kau keliru" ujar si tongkat dengan wajah lembut. "yang kucari kali ini hanya Hong Si-hu seorang, urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan orang lain, asal kau bersedia untuk mengucapkan asal usulmu yang sebenarnya, aku segera akan melepaskan dirimu".

"Melepaskan aku? kau bisa melepaskan aku?" Si tongkat kembali tertawa. "Kenapa aku tak dapat melepaskan? Sekalipun kau pernah melakukan suatu peristiwa ditempat lain, apa sangkut pautnya dengan aku? kenapa aku musti mencari banyak urusan dengan mencampuri urusanmu?" Orang itu berpikir sampai lama sekali, akhirnya sambil menggigit bibir katanya: "Aku she Han, orang yang menyebutku It-ceng-hong (segulung angin)"

"Segulung angin? Apakah kau yang telah membunuh Ui wangwe sekeluarga pada musim semi tahun berselang?"

"Kau toh sudah berjanji, asal aku bukan Hong Si-hu, urusan yang lain tak akan kau campuri" protes si gulung angin. "Tentu saja aku tak akan mencampuri, tapi dari mana aku bisa tahu kalau kau adalah si gulung angin, bukan Hong Si-hu ?"

"Diatas badanku terdapat tato...."

"Sreet" pakaiannya segera terobek, betul juga diatas dadanya terdapat tato yang berbentuk segulung angin puyuh. Itulah lambang khas dari si Segulung angin. "Si gulung angin tak mungkin dapat menyaru sebagai Hong Si-hu, sebaliknya Hong Si-hu

dapat menyaru sebagai si segulung angin" kata si tongkat hambar. "Apa yang harus kuperbuat sehingga kau bisa mau percaya?" Si tongkat termenung dan berpikir sejenak, lalu jawabnya: "Konon, Ui wangwe mati lantaran tertusuk oleh pedang"

"Tidak, aku tak pernah menggunakan pedang"

"Lantas apa yang menyebabkan kematiannya?"

"Kugunakan obat racun untuk meracuninya sampai mati, kemudian melemparkan tubuhnya kedalam sumur" Si tongkat segera tertawa. "Kalau begitu, kau memang betul-betul si segulung angin" katanya. "Aku memang!"

"Bagus, bagus sekali...." Tiba-tiba ia mengeluarkan tangannya, kemudian membacok tengkuk si segulung angin. Dalam waktu singkat, si segulung angin berubah menjadi segumpal tanah liat. Sinar kebencian dari bola matanya pelan-pelan menongol keluar, mukanya beringas penuh rasa benci dan dendam yang tebal, seakan-akan ia sedang bertanya: "Kau toh sudah setuju untuk melepaskan aku? Kenapa kau bunuh diriku sekeji ini?" Meskipun si tongkat tidak berkata apa-apa tapi sorot mukanya seolah-olah menjawab pertanyaan itu. Sorot mata tersebut penuh pancaran sinar bangga, seolah-olah sedang berkata demikian: "Inilah cara kerjaku, kalau toh aku tidak mempercayai dirimu, kenapa kau harus percaya kepadaku?" Sinar mata, Kwik Tay-lok sudah mulai berapi-api. Tapi dia hanya menonton saja, sebab si Segulung angin memang pantas dibunuh. Petugas hukum membunuh penyamun, hal ini sudah merupakan suatu kejadian yang lumrah. Kedengaran seseorang berbisik dibelakangnya:

"Oooh, kiranya kaupun cuma menonton belaka disaat ia sedang membunuh orang." Tanpa berpalingpun Kwik Tay-lok sudah tahu siapa yang barusan berbicara itu. Dia cuma menghela napas panjang belaka, sebelum bisiknya: "Tapi aku masih harus menonton lebih lanjut."

"Kau suka melihat dia membunuh orang?" tanya Yan Jit. "Aku hendak menunggu sampai dia salah membunuh orang."

"Kenapa?"

"Saat itulah aku baru punya alasan untuk membunuhnya".

"Kau ingin membunuhnya?"

"Sekalipun si Segulung angin pantas mati, dia lebih pantas lagi untuk mati."

"Kau anggap dia telah melakukan kesalahan?"

"Perbuatan yang dilakukan siapapun tak dapat mengatakan salah, tapi caranya turun tangannya terlalu rendah, terlalu menggemaskan!"

"Kalau selamanya ia tak pernah salah membunuh?" Kwik Tay-lok menjadi tertegun. Yan Jit segera tertawa, ujarnya lagi: "Ada sementara persoalan memang kadang kala tak mungkin bisa dicampuri orang lain, Apalagi meski si tongkat jahat, ia sangat berguna, ada sementara orang memang harus dihadapi oleh manusia-manusia semacam dia". Tiba-tiba Kwik Tay-lok tertawa pula: "Kau kira manusia semacam dia itu tak ada yang bisa menghadapinya?"

"Siapa yang bisa menghadapinya? Kau?"

"Mungkin aku, mungkin orang lain, siapa pun itu orangnya tak menjadi soal, aku hanya tahu kalau hukum karma itu selalu berlaku cepat atau lambat pasti ada orang yang akan menghadapinya". Itulah Kwik Tay-lok, itulah jalan pemikirannya. Ia bukan saja menaruh rasa sayang terhadap sesama manusia, lagi pula menaruh kepercayaan penuh. Ia percaya kebenaran selamanya tak akan berubah, keadilan selalu akan tetap utuh. Iapun percaya kebenaran tentu bisa menangkan kejahatan, bagaimanapun pukulan batin yang akan dihadapinya, rasa percayanya pada diri sendiri tak akan berubah. Si Anjing buldog sedang menepuk bahu si tongkat dan berkata sambil tertawa: "Kionghi, kionghi, lagi-lagi ada sebuah kasus misteri yang berhasil kau bongkar, dalam semalam tujuh kasus berhasil dibongkar, kecuali kau, siapa lagi yang bisa membuat rekor sebesar itu?"

"Kau!" Si Anjing buldog segera tertawa terbahak-bahak. "Haaahhhh... haaahhhhhh... hahhh... aku tak bakal mampu, hatiku kurang keji, makin lama pekerjaan seperti ini sudah semakin tak bisa dipertahankan lagi".. Paras muka si tongkat segera berubah, tapi luapan emosi tersebut berhasil juga diatasi. "Berikutnya rumah siapa?" tanya si anjing buldog kemudian. Si tongkat mendongakkan kepalanya, sorot matanya yang tajam segera tertuju ke atas sebuah papan nama di seberang sana.   Sebuah papan nama yang berdasar warna hitam dengan tulisan berwarna emas. Rumah pegadaian Lip-gwan. Tauke dari rumah pegadaian Lip-gwan meski amat menyayat kulit, namun ia tidak terlalu menggerogoti tulang, bahkan seringkali masih meninggalkan sedikit daging diatas tulang untuk diberikan kepada orang lain. Selama ini Kwik Tay-lok mempunyai kesan yang cukup baik terhadap orang itu, ketika dilihatnya si tongkat dan si anjing buldog memasuki rumah pegadaian tersebut, tak tahan lagi dia siap menyusul kesana. Ong Tiong hanya berdiri membungkam terus di belakangnya, tapi saat itulah tiba-tiba ia berseru: "Jangan bergerak"

"Aku toh bukan bernama Ong Tiong, kenapa tak boleh bergerak?" sahut Kwik Taylok sambil tertawa. "Kalau kau bergerak sekarang, maka banyak kesulitan yang bakal kita hadapi "

"Sedari kapan kau takut dengan kesulitan?"

"Sejak sekarang, bahkan takut dengan kesulitan semacam ini"

"Jangan lupa, dia adalah "mertua" kita semua setiap saat kita bakal pergi mencarinya"

"Tak ada mertua mah tak menjadi soal, kalau tak punya kakek moyang itu baru berabe."

"Kau punya kakek moyang?" ulang Kwik Tay-lok dengan wajah tertegun. "Jika mertua kita itu betul-betul penyamun yang sedang bernyanyi, dan kita membantu dirinya, bukankah sama halnya dengan menjual nama baik kakek moyang kita?"

"Kau tak usah pergi, biar aku pergi seorang diri!" seru Kwik Tay-lok, Ong Tiong segera menghela napas. "Kalau aku membiarkan kau pergi seorang diri, sekarang mengapa tidak mendengkur saja diatas ranjang?" Kwik Tay-lok menatapnya lekat-lekat, memandang sinar matanya yang dingin, memandang wajahnya yang dingin, tiba-tiba dari hati kecilnya muncul segulung rasa persahabatan yang hangat. Bila dia ingin melakukan suatu pekerjaan, tak ada seorangpun yang bisa menghalanginya. Yang dapat membatalkan niatnya hanya sahabat. Sementara itu, si anjing buldog dan si tongkat telah tiba di depan pintu rumah pegadaian tersebut. Pintu itu sebenarnya tertutup rapat, tapi belum sempat mereka mengetuk pintu, tiba-tiba pintu itu membuka dengan sendirinya. Si penyayat kulit menongolkan kepalanya dari balik pintu, lalu berseru dengan lirih: "Sedari tadi aku sudah tahu kalau kalian bertiga akan datang kemari, silahkan masuk, silahkan masuk". Si tongkat dan si anjing buldok saling berpandangan sekejap, kemudian melangkah masuk kedalam ruangan. Si orang berbaju hitam itu segera berjaga-jaga di depan pintu. Sambil menggigit bibir, Kwik Tay-lok segera bergumam: "Entah si tongkat akan menghadapinya dengan cara apa? Agaknya lebih baik kutengok sendiri" Tapi ia tak usah melihat lagi, sebab pada saat itulah si tongkat dan si anjing buldok telah melangkah keluar. Terdengar tauke penyayat kulit berkata dari dalam pintu:

"Apakah kalian bertiga akan pergi? Selamat jalan, selamat jalan......"

"Tak usah sungguh-sungguh, tak perlu dihantar lagi". kata si anjing buldog sambil menjura dengan senyum dikulum. Kwik Tay-lok yang menyaksikan kejadian itu menjadi tertegun, gumamnya kemudian: "Apa yang terjadi? Kenapa sikap mereka berdua berubah menjadi demikian sungkan? "Dikala tongkat hendak memukul orang, dia tak akan sembarangan saja memukul, kalau tidak sedari dulu tongkatnya sudah patah menjadi dua" kata Ong Tiong. "Lantas siapakah tauke penyayat kulit ini? Dengan mengandalkan apa ia bisa memaksa mereka bersikap begitu sungkan?" Ong Tiong termenung sebentar, kemudian sahutnya:  "Mungkin dia bukan siapa saja, karena itu orang baru bersikap sungkan kepadanya" Kwik Tay-lok berpikir sebentar, tapi dia tak tahu bagaimana harus mengartikan perkataan tersebut. Ia tak sempat untuk berpikir lebih lanjut, ternyata sasaran berikutnya dari si anjing buldog serta si tongkat adalah warung makannya Moay-lo-kong. Dengan kening berkerut Kwik Tay-lok segera berkata. "Tak kusangka terhadap Moay Lo-kong pun mereka menaruh curiga, agaknya penyakit curiga mereka tidak kecil".

"Kali ini kau tak usah kuatir lagi, pada Moay Lo-kong tak bakal ada penyakit apapun yang bisa mereka temukan" seru Yan Jit. "Tentu saja aku tidak kuatir, tapi bukan alasan itu yang kupikirkan."

"Lantas karena apa?"

"Mereka juga manusia, perlu makan, tanpa Moay Lo-kong, besok mereka hendak makan apa?"

"Makan kentut!" seru Ong Tiong. Kwik Tay-lok segera tertawa, tapi baru saja senyuman itu tersungging, dengan cepatnya

lenyap kembali. Dari dalam warung makan itu tiba-tiba berkumandang jeritan kaget, suara itu berasal dari Moay Lo-kong.

Menyusul kemudian terdengar suara dari si tongkat sedang bertanya: "Hayo cepat jawab, darimana kau dapatkan kepingan uang emas ini?" Begitu mendengar soal "kepingan uang emas", bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya Kwik Tay-lok segera menerjang ke muka. Kali ini Ong Tiong tidak menghalanginya lagi. Tampaklah si tongkat sedang mencengkeram anak ayam saja.... Moay Lo-kong dengan wajahnya yang basah oleh keringat sedang gemetar tiada hentinya, saking gemetarnya sampai tak sepatah katapun yang mampu diucapkan. "Mau bicara tidak ? Darimana kau dapatkan emas ini?" bentak si tongkat dengan suara keras. Kali ini Moay Lo-kong tak usah menjawab sendiri. Kwik Tay-lok telah menerjang masuk sambil berteriak keras: "Akulah yang memberikan uang emas itu kepadanya, untuk membayar tiga puluh kati daging, empat puluh kati arak ditambah tujuh ekor itik dan delapan ekor ayam, siapa yang ingin merugi kalau berdagang. Pelan-pelan si tongkat menurunkan Moay Lo-kong, pelan-pelan membalikkan badan dan melotot ke arah Kwik Tay-lok. Dengan garangnya Kwik Tay-lok berdiri disana, berbicara dari dandanannya dia memang tidak mirip dengan seseorang yang mampu membayar rekening dengan uang emas. "Emas itu milikmu?" tegur si tongkat. "Benar!"

"Kau mendapatkannya dari mana?"

"Bila seseorang mempunyai uang emas, apakah dia salah? Melanggar hukum? Kalau memang begitu, tak terhitung banyaknya orang yang melanggar hukum di dunia ini, mungkin termasuk pula kalian berdua" Walaupun paras muka si tongkat tanpa emosi, namun kelopak matanya makin lama makin menyusut kecil. Tiba-tiba dia menjulurkan tangannya ke depan. Ia bukan saja lebih tinggi dari pada orang lain, tangannya juga lebih panjang, ke sepuluh buah jari tangannya yang kurus dan kering bagaikan sepasang cakar baja yang tajam dan mengerikan. Tapi Kwik Tay-lok justru hendak mencoba ketajaman dari sepasang cakar bajanya itu. Dia tidak berkelit tidak pula menangkis, "Wes!" sepasang kepalannya diayunkan bersama menyambut datangnya cengkeraman maut itu dengan keras lawan keras.

Jilid 05

BEGITU sepasang kepalannya diayunkan ke muka, bukan cuma si tongkat saja yang kaget, paras muka si anjing buldogpun berubah hebat. Sepasang cakar baja dari si tongkat sudah jelas telah dilatih dengan ilmu Eng-jiau-kang atau sebangsanya, sekalipun orang buta juga dapat merasakannya, seseorang yang tidak memiliki tenaga dalam cukup sempurna, tak nanti berani menyambut datangnya serangan itu dengan keras lawan keras. Sesungguhnya tenaga dalam yang dimiliki Kwik Tay-lok tidak seseram apa yang mereka bayangkan, cuma saja wataknya memang terbuka dan lurus bukan saja "berjalan lebar" dalam

menggunakan uang, "berjalan lebar" dalam melakukan pekerjaan, ilmu silat juga termasuk ilmu silat yang "berjalan lebar".

Begitu tonjokan itu dilancarkan, apakah kepalannya yang akan berhasil mematahkan cakar elang lawan? Ataukah cakar elang lawan yang akan melubangi tonjokannya? Berpikir sampai kesitupun ia tidak. Pada hakekatnya ia tak ambil perduli, acuh.

Pokoknya asal dia sedang gembira, maka jurus serangan seperti apapun akan dilakukannya. Tentu saja orang lain tak akan terbuka semacam dia, apalagi dalam ilmu silat yang dipentingkan adalah perubahan jurus serangan serta kelincahan, sebelum sampai pada keadaan yang terpaksa, siapa yang bersedia untuk beradu kekerasan dengan lawan? Begitu pukulan Kwik Tay-lok dilancarkan, si tongkat segera merubah jurus serangannya, sikutnya menekan ke bawah, cakar membalik ke atas dan sepuluh jari tangannya seperti kaitan mencengkeram pergelangan tangan musuh. Kwik Tay-lok sama sekali tidak menggubris datangnya ancaman itu, jurus serangannya juga sama sekali tidak berubah. "Tidak berubah adalah berubah, dengan tidak berubah menghadapi semua perubahan" Inilah teori tingkat atas dari ilmu silat. Si tongkat segera berjumpalitan ke tengah udara, hampir saja punggungnya menumbuk dinding. Pada hakekatnya satu juruspun belum selesai digunakan, Kwik Tay-lok telah berhasil memaksa jagoan dari pemerintah ini mundur dengan menderita kekalahan total. Ia merasa bangga sekali dengan hasil yang berhasil dicapai, maka pengejaranpun tidak dilanjutkan. "Mumpung menang melakukan pengejaran", kata-kata tersebut bukannya tidak diketahui olehnya, tapi setelah orang lain mengaku kalah dan lagi sudah mengundurkan diri, buat apa musti

dikejar lebih jauh?" Mengejar untuk melakukan pembasmian adalah suatu perbuatan yang merupakan pantangan besar bagi Kwik Tay-lok. Setelah mendehem, si anjing buldog segera maju menyongsong kedatangannya, ia berkata sambil tertawa: "Saudara cilik, bila ada persoalan mari kita bicarakan secara baik-baik, apa sih gunanya mengobarkan hawa amarah?"

"Dia sendiri yang marah-marah, dia pula yang hendak menghantamku, kenapa kau malah menyalahkan diriku?"

"Salah paham, salah paham, kita semua telah salah paham"

"Baik, ia sudah menanyai aku selama ini, sekarang akupun ingin bertanya kepadanya"

"Silahkan bertanya!"

"Benarkah seseorang yang membeli arak dan daging dengan uang emas adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum?"

"Tentu saja tidak" jawab si anjing buldog sambil tertawa, "akupun sering kali menggunakan uang emas untuk membayar rekening."

"Kalau memang tidak melanggar hukum, tolong lepaskan Moay Lo-kong, dan sekalian lepaskan diriku."

"Tentu saja, tentu saja". Ia mengerling sekejap Ong Tiong, Yan Jit dan Lim Tay-peng yang ada diluar pintu, kemudian katanya: "Sore ini kami telah banyak mengganggu ketenangan dan kegembiraan kalian semua, malam nanti biarlah aku yang menjadi tuan rumah untuk mentraktir kalian minum beberapa cawan arak, tentunya kalian semua bersedia bukan?". Kwik Tay-lok masih termenung sambil memutar otak, jalan pemikirannya sudah mulai berjalan kembali. Dia bukan seorang yang suka menerima undangan orang dan makan minum secara gratis, cuma diapun merasa kurang leluasa untuk mengucapkan kata-kata yang sekiranya enak untuk menampik undangan serta permintaan orang. "Sekarang aku tak ingin berpikir apa-apa lagi, aku cuma ingin cepat-cepat naik ke tempat tidur!", sela Ong Tiong dari samping dengan suara lirih: Si anjing buldog segera tertawa: "Bagus sekali, bagaimanapun juga kami toh sudah berjanji akan mengunjungi rumah kalian, cepat atau lambat kunjungan tersebut harus kami lakukan juga, mumpung ada kesempatan semacam ini, baiklah bila tidak mengganggu biarlah malam nanti kami akan berkunjung ke situ, sekalian minum arak sambil bercakap-cakap, entah bagaimanakah pendapat kalian berempat?" Ucapannya itu bernada lembut dan penuh keramah-tamahan, tapi justru dibalik keramah-tamahan itu terselip sesuatu kekuatan yang membuat orang tak bisa menampiknya. Setelah ia berkata demikian, maka Ong Tiong tak bisa menampik lagi... Jika seorang petugas hukum hendak "berkunjung" ke rumahmu, sanggupkah kau untuk menolaknya? Apalagi, jika mereka sudah berkunjung ke perkampungan Hok-kui-san-ceng, maka mereka tak akan membunuh orang lagi disini. Oleh sebab itu, merekapun berkunjung ke Hok-kui-san-ceng. Barang siapapun yang pernah mendengar nama perkampungan Hok-kui-san-ceng, kemudian berkunjung ke situ, sedikit banyak hatinya tentu akan dibuat terperanjat. Perkampungan yang "kaya dan terhormat" semacam ini memang jarang dijumpai dalam dunia. Sambil tertawa Kwik Tay-lok berkata: "Ditempat ini bukan saja tak ada lentera, juga tak ada minyak, untung saja hari ini aku sempat membeli beberapa batang lilin dari bawah gunung, kalau tidak tentunya kita akan bersantap dalam kegelapan."

"Padahal bersantap dalam kegelapan juga tak berkurang gembiranya, yang dikuatirkan adalah kalau makanan sampai dimasukan ke hidung.... " sambung Ong Tiong. Sebetulnya setiba dirumah, maka pekerjaan pertama yang dilakukan adalah melepaskan

sepatu dan naik keranjang, tapi hari ini dia tidak melakukan kebiasaan itu, malah mendekatipun tidak, ia duduk ditempat kejauhan seraya berkata lagi: "Kan saudara sekalian tidak takut kotor, silahkan duduk di lantai saja" Si anjing buldog segera tertawa. "Ini adalah cara yang paling kuno" katanya, "sejak nenek moyang kita dulu, orang memang duduknya di lantai"

"Semangat kita untuk memegang teguh tradisi lama amat ketat, malah untuk tidurpun kami tidur di lantai" Kwik Tay-lok merasakan. "Lantas buat apa ranjang itu?" Siapapun enggan memperhatikan ranjang tersebut, tapi siapa saja yang berkunjung ke situ, mau tak mau harus memperhatikan juga ranjang tersebut. "Ranjang itu tempat tidurku seorang" kata Ong Tiong. "Ini bukan disebabkan sifat tuan rumah yang bersifat sempit, adalah kita yang takut dengan dekilnya ranjang itu" Kwik Tay-lok menambahkan. Dalam ruangan itu, hanya mereka bertiga yang berbicara, Lim Tay-peng, Yan Jit dan si tongkat sama sekali tak berbicara, sedangkan si orang berbaju hitam itu melangkah masuk ke pintu gerbangpun tidak, sambil bergendong tangan dia cuma berdiri diluar halaman, seakan-akan ia sudah menyatu dengan halaman yang gelap dan kegelapan malam yang pekat.    "Saudara cilik, kau memiliki kungfu yang demikian hebat, entah anak murid dari siapakah engkau?" tanya si anjing buldog kemudian. Dari pembicaraan soal "ranjang" secara otomatis dia mengalihkan pokok persoalannya ke masalah lain, sudah barang tentu orang lain pun menanggapi dengan gembira. Sahut Kwik Tay-lok dengan cepat: "Guruku tidak sedikit jumlahnya, tapi murid didikannya hanya aku seorang.!"

"Entah siapa saja gurumu itu ?"

"Pertama-tama aku belajar dari Sin-kun tay-to (kepalan sakti tulang punggung jagad) Lau Pau Lau-loya-cu, kemudian dari Bu-tek to (golok tanpa tandingan) Nyo Pin, Nyo jiya lalu diteruskan dengan belajar ilmu dari It ciong-ci-kiu-liong (tombak sakti pembunuh sembilan naga) Tio Kong, Tio losu, Sin-to-thi pit (golok sakti lengan baja) Oh Tek-yang, Oh toaya." Si anjing buldok mendengarkan dengan mata mendelik besar, semakin banyak nama yang disebut semakin lebar mata anjing buldog itu terbelalak, agaknya ia dibuat tertegun. Dari deretan nama-nama tersebut, ternyata tak sebuahpun yang pernah didengar olehnya. Dalam dunia persilatan memang banyak terdapat manusia dengan julukan seram padahal kungfunya cuma cetek saja, terutama nama-nama seperti tombak sakti pembunuh sembilan naga, golok sakti lengan baja, nama-nama julukan itu sering dipakai oleh penjual akrobatik dijalan raya, sebab jika jago sungguhan sampai mempergunakan nama julukan semacam itu, bisa jadi akan ditertawakan orang. Dengan susah payah Kwik Tay-lok berhasil juga menyebut habis semua nama-nama "seram" dari gurunya, kemudian sambil tertawa dia berkata: "Kau pernah mendengar tentang nama-nama guruku itu?" Si anjing buldog mendehem beberapa kali, kemudian baru jawabnya: "Sudah lama mendengarnya, hehhhh.... heehhhh.... sudah lama mendengarnya...!" Tiba-tiba ia menjejakkan kakinya ke tanah dan melompat ke depan, secepat kilat tubuhnya

menyambar ke tepi ranjang dan mengangkatnya ke atas. Menyusul diangkatnya ranjang tersebat, Kwik Tay-lok, Ong Tiong, Yan Sit serta Lim Tay-peng merasakan hatinya seakan-akan ikut terangkat pula. Apabila ke empat buah peti yang disembunyikan di bawah ranjang itu sampai ketahuan orang, betul serangan dari si anjing buldog, si tongkat dan orang berbaju hitam itu bisa diatasi sekarang, namun nama busuk mereka sebagai penyamun tak akan bisa dicuci bersih lagi untuk selamanya....   Usia mereka masih sangat muda, kalau sampai harus memikul kuali hitam sebagai penyamun, sampai kapan kepala mereka baru bisa didongakkan kembali? Siapa tahu dibawah kolong ranjang tak nampak sesuatu apapun, sebuah petipun tidak nampak, hampir saja Kwik Tay-lok menjerit keras saking kagetnya. Si anjing buldog tampak seperti agak tertegun pula, pelan-pelan ia menurunkan pembaringan itu sambil tertawa paksa, katanya: "Dengan jelas aku lihat ada seekor tikus di bawah ranjang sana, kenapa secara tiba-tiba bisa lenyap tak berbekas?"

"Tikus putih atau tikus hitam?" jengek Ong Tiong ketus. "Soal itu mah.... aku kurang begitu jelas"

"Tikus putih berarti ada harta, tempat yang dipakai menyimpan emas biasanya ada tikus putih yang muncul, besok akan kugali tempat itu, siapa tahu kalau di bawah tanah situ betul-betul tertanam beberapa peti emas!" Paras mukanya masih tetap dingin dan kaku, sedikitpun tiada luapan emosi. Kwik Tay-lok mengerling sekejap ke arahnya, kemudian berkata pula:

"Saudara Kim, bila kau bersedia tinggal di sini, siapa tahu kalau bakal kecipratan rejeki nomplok?" Si anjing buldog tertawa paksa. "Tidak usah", tampiknya, "aku memang sudah digariskan tak punya rejeki untuk menerima rejeki nomplok".

Gedung itu meski sudah bobrok sekarang, sesungguhnya mempunyai arsitek bangunan yang sangat kokoh dan kuat, seluruh permukaan lantainya dilapisi oleh batu ubin yang berwarna hijau, diantara sela-sela ubin itu sudah penuh ditumbuhi dengan lumut. Siapa saja yang telah melihat sendiri permukaan lantai dalam gedung itu, segera akan mengetahui bahwa paling tidak sudah belasan tahun lamanya ubin di sana tak pernah dibongkar orang. Tiba-tiba si tongkat bangkit berdiri sambil bergumam: "Ooooh.... aku sudah mabuk... aku sudah mabuk!" Padahal setetes arakpun ia tak minum, padahal ia sedang bicara bohong dengan mata terbelalak, namun siapa saja tak ingin membongkar rahasianya... Semua orang hanya merasa bahwa kata-kata bohongnya itu memang diucapkan tepat pada saatnya. Setelah si tongkat dan si anjing buldog pergi lama, Kwik Tay-lok baru menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa: "Untung saja Ong lotoa kita cukup pandai, kalau bukan dia telah memindahkan peti-peti tersebut, habis sudah riwayat kita semua hari ini"

"Siapakah Ong lotoa itu ?" tanya Ong Tiong. "Tentu saja kau !"

"Jadi kau anggap aku telah memindahkan keempat buah peti seorang diri, kemudian menyembunyikannya kembali?" Mendengar perkataan itu, Kwik Tay-lok menjadi tertegun. Dari pada menyuruh Ong Tiong memindahkan peti-peti itu, sesungguhnya kalau lebih gampang kalau suruh peti-peti itu memindahkan Ong Tiong... Kwik Tay-lok segera mencengkeram bajunya sambil berseru:

"Kalau bukan kau, lantas siapa?" Dia berpaling dan memandang ke arah Yan Jit. "Kau tak usah memandang diriku" tukas Yan Jit cepat, "belum tentu aku lebih rajin daripada Ong Lotoa."

"Sepanjang hidup aku tak pernah memindah peti" Lim Tay-peng menambahkan pula. Sepasang tangannya putih dan lembut, hakekatnya jauh lebih halus daripada wajah seorang nona. Kwik Tay-lok menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal, kemudian bisiknya tergagap. "Kalau memang kalian tidak memindahkan peti-peti itu, masakah ke empat buah peti itu bisa

tumbuh kaki dan lari sendiri?"

"Sekalipun peti-peti itu tak punya kaki, Swan Bwe-tong mempunyai sepasang kaki, bahkan pasti sepasang kaki yang indah dan menarik". Apa yang dikatakan Ong Tiong, kadang kala merupakan suatu kesimpulan. Kecuali Swan Bwe-tong, mereka memang tak bisa membayangkan siapa lagi yang bisa mengetahui kalau dikolong ranjang terdapat empat buah peti, dan siapa yang telah mengangkut pergi peti-peti tersebut. "Sekarang tujuannya telah tercapai, sudah barang tentu dia tak akan memberikan ke empat peti emas itu kepada kita dengan begitu saja" kata Yan Jit. "Oleh sebab itu, setelah melihat kita turun gunung, dia menggunakan kesempatan itu untuk mengangkut pergi peti-peti itu" sambung Lim Tay-peng pula. Ong Tiong segera menggeliat.

"Kalau sudah diangkut, ini lebih baik lagi, kalau tidak selama berbaring di atas ranjang hatiku selalu merasa kebat-kebit".

"Aku cuma mengherankan satu hal, padahal tak seorangpun diantara kita yang menengok sekejappun ke bawah kolong ranjang, kenapa si anjing buldog itu bisa menaruh curiga kalau dibawah kolong ranjang ada sesuatu yang mencurigakan?"

"Mungkin oleh karena kita semua tidak menengok ke arah ranjang itu barang sekejappun, maka timbul kecurigaan di dalam hatinya. Inilah kesimpulan darinya. Semakin kau sengaja tidak menaruh perhatian terhadap satu hal, biasanya hal mana justru semakin menarik perhatianmu untuk memperhatikannya secara khusus. Terutama sekali para wanita. Bila seorang gadis menaruh sikap yang sangat baik terhadap semua orang, dan terhadap kau seorang justru tidak ambil perduli, maka besar kemungkinan kalau dalam hatinya tiada orang lain kecuali kau. Lim Tay-peng menghela napas panjang, ujarnya: "Tampaknya si anjing buldog itu betul-betul seorang manusia yang luar biasa".

"Orang itu mana licik, banyak akal, di balik senyumannya tersembunyi golok lagi, sesungguhnya dia memang jauh lebih lihay dari pada si tongkat...." Yan Jit menambahkan. Kwik Tay-lok sudah lama tidak berbicara, pada saat itu tiba-tiba berkata pula: "Mungkinkah peti itu dilarikan oleh Swan Bwe tong?"

"Kalau bukan dia, siapa lagi.?"

"Kalau dia hendak mengangkut kembali peti-peti tersebut, kemarin seharusnya tak perlu ditinggalkan di sini".

"Kenapa?"

"Untuk mengangkut keluar ke empat peti itu dari kota, hari ini jauh lebih sulit dari pada kemarin, kenapa kemarin ia tidak mengangkutnya justru hari ini baru diangkut? Masakah dia adalah seorang yang tolol?"

"Tentu saja dia bukan orang tolol", kata Yan Jit sambil tertawa dingin, "kalau mau dicari siapa yang tolol, aku inilah orangnya, sebab aku tak bisa menduga siapa lagi yang bisa mengangkut peti-peti itu dari sini....." Tiba tiba Kwik Tay-lok tertawa katanya: "Heran kenapa setiap kali menyinggung soal Swan Bwe-tong, kau lantas marah-marah! Apakah secara diam-diam kau juga jatuh hati kepadanya? bagaimana kalau kuberikan dia padamu?"

"Kenapa kau mesti mengalah? memangnya dia sudah kepunyaanmu?" Ong Tiong menghela napas katanya: "Aaai.... kalian ini, Swan Bwe-tong (kuah bwe kecut) belum lagi diteguk, cuka (cemburu) sudah diteguk beberapa cawan besar, apa sih gunanya?"

Yan Jit ikut tertawa pula. Suara tertawanya sangat istimewa, dan kelihatan sangat menarik. Jika orang lain tertawa, ada yang matanya tertawa dulu, ada pula yang bibirnya tertawa dulu. Tapi ia mulai tertawa, hidungnya yang tertawa dulu, ujung hidungnya berkerut-kerut pelan kemudian di atas pipinya baru muncul sepasang lesung pipi yang sangat dalam. Kwik Tay-lok sedang memandang ke arahnya dengan terpesona, gumamnya: "Seandainya bocah ini bukan manusia macam begini, aku tentu masih mengira dia adalah seorang gadis"

"Kalau aku seorang gadis, maka kau adalah seorang banci!" seru Yan Jit lagi dengan mata mendelik. "Tentu saja akupun tahu kalau kau bukan seorang gadis, tapi sewaktu tertawa sepasang lesung pipimu itu..."

"Kenapa dengan lesung pipiku Adanya lesung pipi berarti orang yang pandai minum arak mengerti!" Tiba-tiba Kwik Tay-lok menarik tangannya sambil berseru: "Hayo berangkat, kita pergi minum arak"

"Mau minum arak dimana ?"

"Di bawah gunung!"

"Arak disinipun belum lagi habis diminum, kenapa harus turun gunung mencari arak?" Kwik Tay-lok mengedipkan matanya lalu menjawab: "Konon panggang itik dari Moay lok-kong selalu dibuat di tengah malam, aku ingin mencicipi panggang itik yang baru matang"

"Aku tak akan serakus dirimu, mau pergi, pergilah seorang diri"

"Kau kan tahu, aku tak pernah minum arak seorang diri"

"Kalau tidak, ajak saja Ong lotoa untuk menemanimu"

"Sekarang, sekalipun kau palangkan sebilah golok di atas tengkuknya, belum tentu dia mau turun dari ranjangnya"

"Kalau dia enggan pergi, akupun enggan pergi"

"Kau toh bukan seorang nona gede, kenapa kuatir untuk pergi berduaan denganku?" Paras muka Yan Jit seolah-olah berubah menjadi merah padam, serunya kembali: "Sekali aku bilang tidak pergi yaa tidak pergi, mau apa kau menarik tanganku terus menerus?" Kwik Tay-lok tertawa, jawabnya: "Bagaimanapun juga aku minta kau untuk menemaniku, perduli kau ini laki-laki atau perempuan, pokoknya aku tetap memilihmu" Ong Tiong segera menghela napas panjang selanya: "Aku lihat, lebih baik kau ikut dia saja, bisa berjumpa dengan manusia semacam ini, yang bisa diperbuat hanya menyesal kenapa sampai ketemu dengan orang seperti itu, aaai ! Kalau tidak pergi, akupun tak bakal bisa tidur." Yan Jit menghela napas panjang pula. "Untung saja aku adalah seorang laki-laki, coba kalau perempuan, bisa berabe jadinya" Kwik Tay-lok tertawa pula. "Kalau kau benar-benar seorang gadis, yang tidak tahan justru adalah aku sendiri" Bila bertemu dengan manusia seperti Kwik Tay-lok, siapapun akan dibuat kehabisan daya dan gelengkan kepalanya berulang kali. Akhirnya Yan Jit kena diseret pula keluar dari rumah, tapi baru saja mereka melangkah keluar dari pintu gerbang, dengan cepat wajahnya menjadi tertegun. Waktu itu tengah malam sudah lewat, seharusnya orang di kota sudah pada tidur malah ada pula yang hampir bangun dari tidurnya. Tapi kenyataannya, suasana dibawah bukit terang benderang bermandikan cahaya, sudah tiga bulan lebih Kwik Tay-lok mengendon di situ belum pernah ia saksikan suasana yang begini terang benderang didalam kota. "Masa hari ini sudah tahun baru?" gumam Kwik Tay-lok terheran-heran. "Agaknya belum?"

"Kalau belum tahun baru, kenapa begini ramai suasana didalam kota sana...?"

"Sekalipun diwaktu tahun baru, belum tentu suasana ditempat ini bisa seramai ini" Kwik Tay-lok segera menyambar tangannya dan kembali menariknya untuk pergi dari situ. "Hayo berangkat!" serunya, "kita harus cepat-cepat sampai ke kota dan ikut menghadiri keramaian disana"

"Memangnya kau anggap aku tak mampu untuk berjalan sendiri? Kenapa sih kau suka amat menarik tanganku? Kau anggap aku sudah lumpuh tak mampu bergerak?" Kwik Tay-lok segera tertawa haha hihi dengan wajah konyol. "Heeehhh.... heeehhh... heehhh, kalau memang kau tak suka di gandeng olehku, baiklah kalau begitu kau, saja yang menarik-narik tanganku". Yan Jit segera menghela napas panjang. "Aaaai! Tampaknya aku harus segera berganti nama lagi, aku harus ganti nama menjadi Yan

Pat!"

"Kenapa?" tanya Kwik Tay-lok keheranan. "Yaaa! Setelah bertemu dengan manusia semacam kau, aku lebih suka mati sekali lagi dari pada harus hidup berdampingan denganmu setiap hari, makan hati rasanya!" Kwik Tay-lok tidak memberi komentar lagi, ia cuma meringis sambil tertawa getir. Dalam kota hanya berdiam tiga ratus jiwa penduduk, sekarang dari setiap rumah memancarkan sinar lentera, lagi pula pintu dibentangkan lebar-lebar, seolah-olah mereka sedang menyambut kedatangan dewa rejeki. Cuma yang mereka sambut kedatangannya bukan dewa rejeki, melainkan sumber penyakit yang jahat. Beberapa puluh orang bertopi merah, berjubah gemerlapan dan menyoren golok sambil mengangkat obor tinggi-tinggi sedang melakukan penggeledahan rumah demi rumah. Baru saja Yan Jit dan Kwik Tay lok turun gunung, mereka telah menyaksikan si anjing buldog berdiri ditengah jalan sambil bertolak pinggang, sikapnya yang garang dan keren persis seperti seorang panglima perang dimedan laga. Kwik Tay-lok segera menyongsong dirinya lalu menegur sambil tertawa: "Kim ciangkun, apakah kau bersiap-siap membuka medan pertarungan ditempat ini?" Paras muka si anjing buldog itu seakan-akan dilapisi oleh hawa dingin yang menyeramkan, tapi setelah menjumpai kedatangannya, sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya. "Yaa, apa boleh buat? Terpaksa aku harus berbuat demikian, kalau bukan keadaan yang terpaksa, akupun tidak ingin mengganggu ketenangan rakyat biasa"

"Kalau sudah tahu mereka adalah rakyat biasa, kenapa kau masih mengusik ketenangan mereka?" tegur Yan Jit. Si anjing buldog menghela napas panjang. "Aaai...... kami hanya tahu kalau barang curian itu masih ada dikota dan belum diangkut pergi, tapi disimpan dimanakah? Oleh sebab itu terpaksa aku harus mengerahkan segenap opas yang berada pada delapan belas keresidenan di sekitar tempat ini untuk melakukan penggeledahan secara serentak". Setelah tertawa, ia melanjutkan: "Asal barang curian itu bisa ditemukan ditempat ini, jangan harap Hong Si-hu bisa melarikan diri lagi dari sini".

"Kalau begitu, kita tak boleh masuk ke dalam kota?" Mencorong sinar tajam dari balik mata anjing buldog itu, serunya dengan cepat: "Malam sudah larut, mau apa kalian berdua memasuki kota?"

"Minum arak"

"Minum arak di warungnya Moay Lo-kong?"

"Ehhmm, arak di atas bukit sudah habis, padahal kami belum terlalu cukup". Si anjing buldog segera tertawa. "Tempat itu sudah kami geledah hampir setengah harian lamanya, yang berhasil ditemukan cuma sekeping uang emas, kalau kalian berdua hendak berkunjung ke situ, silahkan saja!" Ia lantas memberi tanda kepada para opas dijalan, kemudian ia sendiripun menyingkir kesamping. Setelah berjalan sekian lama, Yan Jit baru berkata sambil tertawa: "Tampaknya dia sangat memberi muka kepadamu"

"Yaa, karena ia gagal mengetahui asal-usulku".

"Benarkah nama-nama yang kau sebutkan satu-persatu tadi adalah nama-nama gurumu?"

"Tepat sekali aku tidak bohong".

"Sekalipun kungfumu tidak terlalu hebat, aku pikir belum tentu mereka sanggup untuk melatih seorang murid semacam kau".   Kwik Tay-lok segera tertawa. "Yang kupelajari bukan keistimewaan dari ilmu silatnya, melainkan kelemahan dari kungfu mereka"

"Kelemahan-kelemahnya?"

"Apabila kusaksikan dalam ilmu silat mereka terdapat titik kelemahan, maka aku akan berusaha dengan sepenuh tenaga menghindarinya. Itulah sebabnya, diantara orang yang pernah kujumpai tentu ada seorang diantaranya adalah guruku, sebab aku telah mempelajari kelemahan-kelemahan tersebut dari mereka"

"Ehmm... tak kusangka kalau kepandaianmu lumayan juga" kata Yan Jit sambil mengerling sekejap ke arahnya. "Berada di hadapanmu, akupun tak usah berpura-pura lagi" ujar Kwi Tay-lok dengan serius. "ilmu pengetahuanku sesungguhnya memang luas dan dalam sekali." Yan Jit tak tahan untuk tertawa geli. "Kalau begitu darimana kau pelajari semua keistimewaan mu itu?" katanya. "Pernah aku bertanya kepadamu soal alas sepatumu? Pernahkah aku bertanya kepadamu tentang kematianmu yang tujuh kali itu?"

"Tak pernah!"

"Kalau memang begitu, kenapa kau harus bertanya kepadaku?"

***

Moay Lo-kong adalah seorang jejaka tua, dalam warungnya besar kecil seluruhnya memiliki empat buah kamar. Sebuah tempat berjualan, sebuah dipakai untuk dapur, sebuah lagi untuk tempat tidurnya. Yang paling penting adalah yang paling belakang, disitulah dia memanggang itik dan ayam. Kamar itu selalu berada dalam keadaan tertutup, karena bumbu Moay lo-kong adalah menurut "resep rahasia", bila resep itu sampai tercuri orang akibatnya mangkuk nasinya bisa pecah. Ketika Yan Jit sekalian tiba di situ, Moay Lo-kong sedang berada dalam kamar panggangnya, meski pintu ruangan tertutup rapat, namun terendus bau harum yang sedap mengepul keluar dari celah-celah pintu. Mengendus bau seharum itu, Kwik Tay-lok segera menelan air liurnya menahan lapar, dengan suara keras teriaknya: "Lo-kong, ada relasi yang datang, kenapa kau belum muncul juga?" Lewat beberapa saat kemudian, Moay lo-kong baru muncul dari balik ruangan, tubuhnya penuh berminyak, seakan-akan baru keluar dari kolam minyak babi. Setelah bartemu dengan Kwik Tay-lok, wajah yang tidak sabar itu baru menunjukkan sekulum senyuman. "Agaknya malam ini semua orang tak bisa tidur, usahaku pasti akan lebih baik, maka aku

sengaja memanggang puluhan ekor itik sebagai persediaan, tak heran aku lebih repot dari keadaan biasa." Kwik Tay-lok tertawa. "Lo-kong !" katanya, "kau tak punya anak, tak punya bini, seorang diri hidup lebih irit, kenapa tidak berganti dengan satu stel baju baru? Buat apa hasil keuntunganmu selama ini?"

"Tiap hari kerjaku ada di dapur dan berteman dengan minyak, buat apa membuat baju baru? Apalagi aku tak kuatir kebanyakan uang, semakin banyak yang kudapat toh semakin baik." Yan Jit segera menyela sambil tertawa: "Apa yang dikatakan memang kata-kata yang sejujurnya!"

"Orang jujur tentu tak pernah berbohong!"

"Moay Lo-kong memang seorang yang jujur" Kwik Tay-lok menambahkan. "konon sudah belasan tahun dia datang kemari, tapi tempat tinggal si janda Tio yang tinggal di gang sik-tau-keng di belakang Kiat-pay-hong pun tak pernah dikunjungi"

"Dimana sih letaknya gang Sik-tau-keng tersebut?"

"Sik-tau-keng adalah suatu tempat yang indah" jawab Kwik Tay-lok sambil tertawa, "bukan saja penuh dengan perempuan cantik, di situpun bisa dinikmati kehangatan dan kemesraan mereka".

"Kau pernah kesana?" tanya Yan Jit sambil melirik sekejap ke arahnya. "Aku bukannya tak ingin ke situ, cuma setiap kali setelah mabuk, aku selalu lupa untuk berkunjung ke situ"

"Setelah sadar, kenapa kau tidak ke situ"

"Dalam keadaan sadar aku tak berani kesana"

"Masa kau tidak berani?" Jengek Yan-Jit dingin. "Aku takut setelah gadis-gadis cantik itu bertemu dengan lelaki tampan macam aku, mereka enggan untuk melepaskan diriku lagi" Yan Jit tak tahan untuk tertawa geli. "Tempat semacam itu kenapa harus terletak di tengah kota, apa tidak kuatir membuat istri-istri orang yang tinggal di situ mengamuk?"

"Malam sudah begini larut, apakah kalian berdua masih ingin minum arak...?" tanya Moy Lo-kong. "Dia ingin datang kemari untuk menikmati ayam panggang yang baru dikeluarkan dari panggangan" kata Yan Jit. "Baik, akan kupilihkan seekor yang paling gemuk" Ia putar badan dan masuk ke dalam. Ternyata Kwik Tay-lok mengikuti di belakangnya sambil berkata: "Aku juga ingin masuk kedalam untuk melihat-lihat"

"Belakang situ kotor dan bau, apanya yang bagus dilihat?" seru Moay Lo-kong sambil berhenti. "Aku tidak takut kotor, bagaimanapun juga aku sudah cukup kotor"

"Aaai....!" Yan Jit menghela napas, "Jika dia sudah berkata hendak pergi, lebih baik biarkan saja dia pergi, kalau tidak sampai pagipun dia tetap ngotot hendak masuk juga" Moay Lo-kong segera tertawa pula. "Di belakang sana suasana gelap gulita, kalau berjalan kau musti berhati-hati" katanya. Suasana di halaman belakang memang cukup gelap gulita. Kamar panggangan berada di ujung halaman itu juga merupakan ruangan yang paling gelap. Selangkah demi selangkah Moay Lo-kong berjalan ke belakang, ia berjalan pelan sekali. Sambil tertawa Kwik Tay-lok segera berkata: "Kalau dilihat dari jalannya yang terhuyung-huyung, agaknya kau baru minum arak?"

"Malam ini udara sangat dingin, aku cuma minum dua cawan, siapa tahu rasanya sudah begitu mabuk....." Tiba-tiba kakinya sempoyongan seperti mau roboh ke tanah. Baru saja Kwik Tay-lok hendak memayangnya, mendadak Moay Lo-kung membalikkan

tubuhnya, seperti naga sakti yang baru keluar dari samudra, seperti juga burung manyar yang terbang di angkasa, gerakan tubuhnya gesit sekali sehingga sukar dilukiskan dengan kata-kata. Baru saja Kwik Tay-lok menjulurkan tangannya, nadi pada pergelangan tangannya sudah dicengkeram. Mimpipun Yan Jit tidak mengira kalau si kakek tua bangka yang biasanya untuk berjalanpun susah, sekarang tiba-tiba bisa berubah begini menakutkan. Dalam kagetnya ia siap menerjang kemuka. "Berhenti!" Moay Lo-kong segera membentak, "kalau tidak, akan kucabut selembar jiwanya!" Kali ini dia berbicara dengan dialek utaranya yang terang, sama sekali tidak membawa dialek Kwang-tongnya yang kaku. Yan Jit menjadi tertegun, serunya tertahan: "Kau... kau adalah...!"

"Dia adalah Hong Si-hu!" ujar Kwik Tay-lok sambil tertawa, "dia juga orang yang telah mengangkut pergi peti-peti di bawah ranjang kita, masakah kau tak pernah berpikir sampai ke situ?" Meskipun nadinya telah dicengkeram orang, nyawanya sudah berada di ujung tanduk, namun senyuman masih menghiasi bibirnya seakan-akan tak acuh terhadap semuanya itu. "Betul, akulah Hong Si-hu, dari mana kau bisa tahu?" kata Moay Lo-kong ketus. "Sebetulnya aku cuma menduga sekenanya saja, sebab kecuali si tongkat, si anjing buldog, si orang baju hitam dan kami berempat hanya kau seorang yang tahu kalau kami punya uang emas, hanya kau yang mempunyai kesempatan untuk mengangkut pergi peti-peti itu lebih dulu sementara kami pelan-pelan naik ke atas gunung". Hong Si-hu mulai tertawa dingin. "Selain itu" kata Kwik Tay-lok lebih jauh, "kau sudah pernah dituduh secara penasaran oleh si tongkat sekalian, sekarang mereka pasti tak akan mencurigakan lagi, apalagi kamar panggangan tak boleh dikunjungi siapapun, bila peti-peti itu disimpan di sana maka hal ini jauh lebih baik lagi".

"Masih ada?"

"Si anjing buldog tersohor karena daya penciumannya yang tajam, kalau memang ia pernah berjumpa denganmu, berarti bau badanmu tak akan bisa mengelabuhi daya penciumannya, oleh sebab itu kau sengaja berdagang ayam dan itik panggang".    Sambil menghembuskan napas panjang ia berkata lebih jauh: "Sebab bau badan manusia manapun tak akan setebal bau minyak dari itik panggang, sekalipun perempuan yang berbau rase juga tidak terkecuali..."

"Masih ada lagi?"

"Masih, aku dengar Hong Si-hu adalah seorang setan berjiwa sempit yang kikirnya macam kacang arab, sekalipun uang yang di dapat dari hasil mencuri juga enggan dihambur-hamburkan, bahkan mencari binipun enggan. Selama hidup sampai sekarang, belum pernah kujumpai orang yang berjiwa sesempit kau, daging segar arak wangi enggan dicicipi, tapi sisa makanan orang

dinikmatinya dengan lezat" Tiba-tiba ia tertawa dan melanjutkan: "Sekarang aku baru merasa bahwa namamu itu memang cocok sekali, kalau Lim Hu memperistri bunga bwe dan beranak bangau, maka istrimu adalah kau sendiri, itulah sebabnya kau bernama Si-hu (istri diri sendiri)" Tampaknya ia merasa bangga sekali dengan kesimpulan yang berhasil didapatkan itu, saking gelinya air matapun sampai jatuh bercucuran. Orang lain tak ada yang tertawa, mereka tak mampu tertawa lagi. Hong Si-hu memandangnya dengan sorot mata dingin, menanti pemuda itu selesai tertawa, dia baru berkata dengan ketus: "Masih ada yang lain?"

"Tidak ada lagi, ini sudah lebih dari cukup, tiga macam persoalan kalau digabungkan menjadi satu maka Hong Si-hu menjadi Moay lo-kong, Moay Lo-kong pun menjadi Hong Si-hu".

"Tidak kusangka kau si keledai kecilpun bisa sepintar ini" jengek Hong Si-hu. "Sekalipun orang yang paling bodoh, sepanjang hidupnya paling tidak ada dua kali menjadi pintar, apalagi aku sesungguhnya adalah seorang yang berbakat bagus, cuma kadang kala suka berlagak bodoh".

"Bukankah kau ingin berkunjung ke kamar panggangku?"

"Sebenarnya memang ingin!"

"Baik, masuklah!"

"Sebetulnya ingin, tapi sekarang aku tak ingin lagi, karena aku tak ingin dijadikan ayam panggang yang digantung di atas tiang panggangan" Hong Si-hu segera tertawa dingin. "Sayang sekali, sekarang tak mau pergipun kau harus pergi juga"

"Ia kau bunuhpun tak ada gunanya" kata Yan Jit pula, "selain masih ada aku, aku toh bisa menguarkan pula rahasia ini kepada siapapun juga"

"Setelah ia masuk, tentu saja kau juga harus masuk, karena kau tak akan melepaskan kesempatan yang baik untuk menolong temanmu, aku sudah hidup lima enam puluh tahun didunia, kalau soal itu mah paling tidak bisa ku ketahui!" Yan Jit menggigit bibir menahan emosi, sepasang matanya sudah berubah menjadi merah padam, jangankan seorang jago kawakan yang sudah berusia lima-enam puluh tahun, sekalipun seorang bocah yang berusia tiga tahun juga dapat melihat betapa kuatir dan menaruh perhatiannya dia terhadap Kwik Tay-lok. Terdengar Kwik Tay-lok tertawa terbahak bahak: "jika dalam hidupnya mempunyai seorang teman akrab seperti dia, sekalipun harus mati juga tidak mengapa, cuma..."

"Cuma kenapa ?"

"Aku rasa, kau tak akan membunuh kami"

"O, ya?"

"Sebab sekalipun kau membunuh kami berdua juga tak ada gunanya"

"Oooh"

"Bukan saja Ong lotoa tahu kalau kami datang kemari, si anjing buldog juga tahu, bila kami lenyap secara tiba-tiba, masa mereka tak akan curiga?"

"Itu sih urusan belakangan" kata Hong-Si-hu ketus. "Kalau kau memang acuh terhadap persoalan ini, kenapa belum juga membunuhku?"

"Bagaimanapun juga tak bakal ada orang orang kemari lagi, kenapa aku musti terburu napsu?"

"Kau belum juga turun tangan karena kau belum dapat mengambil keputusan, aku tahu kau selalu berhati-hati, kalau bukan suatu hal yang sangat meyakinkan, kau tak akan melakukannya!"

"Asal kau bersedia untuk melepaskan dia mungkin kamipun dapat merahasiakan indentitasmu itu", tiba-tiba Yan Jit berkata.

Mencorong sinar tajam dari balik mata Hong Si-hu, ia tampak seperti seekor rase tua. Penyakit dari seekor rase tua adalah terlalu banyak curiga, bukan cuma curiga kepada orang lain, juga curiga terhadap diri-sendiri. "Kau tahu, aku tidak tertarik dalam usaha menangkap penyamun" kata Kwik Tay-lok sambil tertawa, "tapi aku paling benci kalau diriku ditipu orang secara mentah-mentah".

"Siapapun tak suka kalau dirinya ditipu orang", seseorang berkata pula sambil tertawa. Jelas itulah suara dari si anjing buldog. Sementara ucapan tersebut berkumandang, si anjing buldog, si tongkat dan si orang baju hitam pelan-pelan masuk ke dalam halaman. Pada saat yang bersamaan pula dari empat penjuru dinding pekarangan muncul api obor yang diangkat tinggi-tinggi, beberapa puluh orang opas yang membawa busur dan golok terhunus telah mengepung halaman kecil itu rapat-rapat. Paras muka Hong Si-hu bersinar terang, entah itu lantaran minyak? Atau keringat? Tiba-tiba tangan diayunkan ke muka. Kwik Tay-lok yang mendekati seratus kati beratnya itu tahu-tahu sudah terlempar ke udara dan menerjang ke arah anjing buldog dan orang yang berbaju hitam itu. Tubuh Hong Si-hu seperti sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya. "Weess!" meluncur ke atas, dalam waktu singkat ia sudah diatas atap rumah dengan merampas dua bilah golok. Kemudian dengan Hong-hung-tian-ci (burung hong menentang sayap) goloknya ditebas ke kedua belah samping, cahaya golok menyambar lewat, dua orang opas sudah rontok dari atas rumah. Kemudian sekali berkelebat, Hong Si-hu sudah berada sekitar tiga kaki jauhnya dari posisi semula. Pencoleng ulung yang sudah puluhan tahun malang melintang dalam dunia persilatan dan banyak melakukan pencurian ini betul-betul memiliki ilmu silat yang luar biasa. Bukan saja gerakan tubuhnya sangat cepat, serangannya juga cepat, bahkan pandai sekali memanfaatkan kesempatan. Inilah kesempatan yang pertama baginya, tapi juga merupakan kesempatannya yang terakhir kali. Sekalipun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki si orang berbaju hitam dan si anjing buldog lebih hebat darinya, setelah terhadang oleh tubuh Kwik Tay-lok yang dilemparkan ke arah mereka, sulit juga buat kedua orang itu untuk melakukan pengejaran. Mendadak dari balik atap rumah muncul dua sosok manusia yang menghadang jalan pergi Hong Si-hu. Salah seorang diantaranya seperti menggapekan tangannya, Hong Si-hu tahu-tahu sudah terpental dan terhuyung-huyung ke belakang, kemudian "Blamm!" tubuhnya terjatuh ke tanah, kebetulan jatuh tepat diatas badan dua orang opas. Dua orang yang baru muncul itu dengan enteng melayang turun ke dalam halaman, yang seorang berwajah dingin dan kaku, sedang yang lain berwajah halus seperti perempuan. Ternyata Ong Tiong dan Lim Tay peng yang telah datang. Waktu itu Kwik Tay-lok telah berdiri tegak sambil berkeplok dan tertawa tergelak serunya: "Ong lotoa kami betul-betul memiliki kepandaian yang luar biasa!"

"Bukan aku!" kata Ong Tiong. Bukan dia, berarti adalah Lim Tay-peng. Betulkah manusia yang halus seperti nona cilik ini memiliki ilmu silat yang begini hebat? Siapapun tidak menyangka, tapi siapapun tak bisa tidak harus mempercayainya.    Sementara itu tubuh Hong Si-hu telah diikat kencang-kencang bagaikan sebuah bak-cang. Si anjing buldog mendongakkan kepalanya dan menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa: "Dua puluh tahun sudah aku melacaki jejaknya, hari ini akhirnya berhasil juga kutangkap sirase tua ini"

"Barang curian itu pasti berada dalam kamar panggangnya, setiap saat barang itu bisa diangkut keluar", kata Kwik Tay-lok.

"Ini yang dinamakan tertangkap basah!" kata si anjing buldog sambil tertawa, bukan cuma orangnya tertangkap, hasil curiannya juga tertangkap, betul-betul suatu sukses yang luar biasa".

"Kau tak usah berterima kasih kepadaku, kalau ingin berterima kasih, berterima kasihlah kepadanya". Ia menuding ke arah Lim Tay-peng, dan katanya lagi sambil tertawa: "Meskipun temanku ini berwajah halus seperti perempuan, tapi kalau sudah minum arak, dia seperti sebuah gentong air". Si anjing buldog melirik sekejap ke arah si tongkat, kemudian ujarnya: "Kita memang harus baik-baik berterima kasih kepada mereka, menurut pendapatmu bagaimana kita harus berterima kasih?"

"Tangkap semua, tangkap mereka semua!" sera si tongkat sambil menarik muka. Hampir melompat Kwik Tay-lok saking kagetnya.

"Apa kau bilang ?" teriaknya. "Ke empat orang ini menyembunyikan hasil curian dalam sarangnya, kalau bukan sekomplotan

dengan Hong Si-hu tentu merupakan sekelompok penyamun! Ringkus mereka semua dengan tali yang besar, setelah pulang siksa mereka sampai mengaku!" Hampir meledak isi perut Kwik Tay-lok saking gusarnya, ia tertawa bergelak, lalu serunya: "Ingin kulihat siapa yang berani mengusik diriku!"

"Kau berani melawan hukum?" bentak si tongkat. "Tidak berani!" tiba-tiba Ong Tiong menyahut. "Kalau memang tak berani, kenapa tidak segera menyerahkan diri!"

"Walaupun kami tak berani melawan hukum sayang kau bukan seorang opas, kau adalah seorang pencoleng"

"Lebih buas dari pencoleng !" Yan Jit menambahkan. "Kalian mengejar Hong Si-hu selama ini sesungguhnya bukan orangnya yang dicari melainkan uangnya"

"Yaa, seorang opas berapa sih gajinya?" sambung Yan Jit, "berapa banyak uang kalian terima? Tapi kalau dilihat dari baju yang dipakai Kim toaya ini, mungkin seorang ciangkunpun belum tentu bisa mengenakannya". Apalagi mereka masih bisa menyewa saudara berbaju hitam ini sebagai pembunuh bayaran, uang yang dikeluarkan pasti besar sekali, tak mungkin seorang hamba negara bisa sekaya ini"

"Tapi hasil curian banyak sekali, dimana-mana ada pencoleng maka barang curian tak pernah ada habisnya"

"Kalau pencoleng kecil, memang ada baiknya dibawa pulang untuk tumbal naik pangkat, kalau pencolengnya sudah kelas kakap seperti Hoa Si-hu, lebih baik dimakan sendiri saja" Yan Jit manggut-manggut, terusnya pula: "Apalagi jika berhasil menangkap pencoleng seperti ini, paling tidak hasilnya bisa dipakai selama dua tiga tahun"

"Tapi kalau kami dibiarkan hidup, suatu hari rahasia ini pasti bocor, maka lebih baik kalau kamipun dibunuh biar selamanya bungkam"

"Perbuatan kalian meski lebih ganas dari pencoleng, namun tidak melanggar hukum, itu baru sip namanya!"

"Aku toh sudah bilang sedari tadi, hitam makan hitam selamanya lebih menarik, takutnya kalau salah masuk ke lubang hidung!" Demikianlah, ucapan dari Yan Jit dan Ong Tiong yang saling bersahut-sahutan ini bukan saja membuat semua orang termangu, bahkan Kwik Tay-lok serta Lim Tay-Peng pun ikut tertegun. Si tongkat beberapa kali hendak mengumbar hawa amarahnya, tapi selalu dicegah oleh sianjing buldog. Menanti mereka sudah selesai berbicara, si anjing buldog baru berkata sambil tertawa: "Perkataan kalian memang benar, kuakui semuanya" Lalu sambil menuding ke arah, si tongkat katanya sambil tertawa: "Orang ini baik di kota Kay-hong, Lokyang, Ki-lam, maupun Thian-cing semuanya punya rumah gedung, dalam gedung-gedung itu pasti ada seorang bini mudanya, bicara dari soal gaji yang diterimanya tiap bulan, mana mampu dia memeliharanya?"

"Binimu tidak lebih sedikit dariku!" seru si tongkat sambil menarik muka. "Sayang sekali bini-bini kalian itu sebentar lagi bakal menjadi janda semua" kata Kwik Tay-lok dengan gusar. Si anjing buldog segera tertawa. "Kalian tahu, mengapa aku mau membicarakan persoalan ini kepada kamu sekalian?" Setelah tertawa, ia menuding ke sekeliling dinding pekarangan itu, lalu ujarnya lebih lanjut: "Di sini tersedia tiga puluh busur otomatis berpegas tinggi, empat puluh golok kilat, dan jago-jago berilmu tinggi, mereka semua adalah anak buah kami, tak nanti kalian dibiarkan pergi dari sini dalam keadaan hidup"

"Mati karena hujan anak panah, rasanya tentu tak sedap" sambung si tongkat dingin. "Apalagi masih ada lagi saudara hitam yang sengaja kami sewa untuk melindungi kami" Setelah tertawa, si anjing buldog itu menyambung lebih jauh. "Tentu saja kalian juga tahu kalau dia tidak she Hek, paling tidak sebilah pedangnya bisa menghadapi kalian bertiga, oleh karena itu aku lihat lebih baik kalian menurut perkataanku saja, paling tidak jauh lebih enakan dari pada mati"

"Kentut busuk makmu !" bentak Kwik-Tay-lok gusar. Paras muka si anjing buldogk itu segera berubah hebat, serunya dengan lantang: "Bunuh dulu orang ini, gajimu akan kutambah" Selama ini manusia berbaju hitam itu cuma berdiri sambil bergendong tangan, tiba-tiba ia bertanya: "Kau suruh siapa membunuhnya?"

"Tentu saja menyuruh kau!"

"Membunuh satu orang berarti tiga ratus tahil uang emas."

"Baik!" Tiba-tiba ia mencabut keluar pedangnya, pedangnya, lalu cahaya tajam berkelebat lewat, ia telah menusuk bahu si anjing buldog. Bukan tusukan pedang panjang, melainkan sebilah pedang pendek. Didalam sarung pedang yang empat jengkal panjangnya itu, ternyata masih di sisipkan pula dengan sebilah pedang pendek yang satu jengkal tujuh inci panjangnya.

Sesungguhnya si anjing buldok bukan seorang jagoan yang gampang dihadapi, tapi dia tak menyangka kalau manusia berbaju hitam itu bakal melancarkan serangan kepadanya, lebih tak mengira lagi kalau pedang yang menusuk tubuhnya sebilah pedang pendek. Dalam kagetnya, si tongkat segera membentak: "Panah!" Ditengah bentakan tersebut, tubuhnya segera meluncur ke udara berusaha melarikan diri. Tapi orang lain mana mau melepaskannya dengan begitu saja? Kwik Tay-lok dan Yan Jit segera menggencet dari kedua belah sisinya mencegah si tongkat melarikan diri. Ong Tiong sebetulnya tidak bergerak. Sekarang secara tiba-tiba ia bergerak, hanya bergerak sedikit saja. Tapi gerakannya begitu tepat, begitu cepat, pada hakekatnya sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata. Si tongkat hanya merasakan pandangan matanya menjadi kabur, tahu-tahu sepasang

tangannya se akan-akan sudah bertambah dengan sebuah borgol. Jeritan kaget berkumandang datang dari atas dinding pekarangan, yang membawa busur membuang busur, yang membawa golok membuang golok, dalam waktu singkat kawanan opas itu

sudah pada kabur dari situ.... kebaikan yang mereka terima masih belum cukup untuk mengorbankan nyawa dengan percuma.

Kemudian, sepasang mata setiap orang pada mendelik ke arah manusia berbaju hitam itu, siapapun tak tahu sebenarnya apa yang sedang dilakukan oleh orang ini. Sepasang mata si anjing buldog berapi-api, sambil menggigit bibir menahan marah serunya: "Kau telah menerima emasku, kenapa malah menggigit aku, manusia semacam kau lebih busuk dari seekor anjing!"

"Aku memang bukan seekor anjing!" kata si orang berbaju hitam itu hambar. "Sudah lama aku dengar orang berkata, si sukma yang lolos dari ujung pedang Lamkiong Cho adalah seorang lelaki sejati, selamanya bicara satu tak pernah dua, maka dengan upah tinggi kami mengundangmu untuk melindungi kami, siapa tahu orang yang setiap hari memburu burung manyar, akhirnya kena dipatuk juga oleh burung manyar".

"Sepasang mata kalian memang sudah buta!"

"Kau... apakah kau...."

"Kau kira aku benar-benar adalah Lamkiong Cho?" ujar manusia berbaju hitam itu. "Kalau bukan Lamkiong Cho, siapa kau?"

"Akupun seorang yang khusus mencari gara-gara dengan orang lain, cuma kali ini aku sengaja mencari gara-gara dengan kalian"

"Sesungguhnya siapakah kau?"

"Atasan kalian Ti-tok loya sudah lama mengetahui kalau kalian kurang beres, maka sengaja mengutusku untuk menyelidiki sampai dimanakah ketidak beresan kalian" Sesudah memperdengarkan suara tertawa dingin yang pendek tapi lengking, terusnya: "Sekarang kalian sudah mengaku semua ketidak beresan yang pernah kalian lakukan, buktipun didepan mata, inilah yang dinamakan tertangkap basah berikut bukti kejahatan" Si anjing buldog melototkan matanya bulat-bulat, namun ia tak sanggup berbicara lagi. Saat itulah si manusia berbaju hitam itu baru menjura kepada Ong Tong sekalian, katanya sambil tertawa: "Dalam bidang manapun pasti terdapat oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, tidak terkecuali didalam bidang alat hukum, moga-moga saja bila kalian berempat berjumpa lagi dengan opas di kemudian hari, jangan menyamakan mereka dengan orang ini"

"Terus terang saja, aku sendiripun hampir saja menjadi seorang opas...." kata Kwik Tay-lok sambil tersenyum. "Kalau dia sampai menjadi opas sungguhan, berarti saat mujur bagi kaum pencoleng telah tiba" sambung Yan Jit sambil tertawa. "Dalam peristiwa ini, beruntung kalian berempat mau membantu, sekarang aku hendak membawa mereka bertiga untuk memberi laporan" kata manusia berbaju hitam itu kemudian. "Silahkan!" Tiba-tiba Kwik Tay-lok menepuk bahu Hong Si-hu, lalu katanya sambil tertawa: "Padahal masuk penjara lebih enakan, tanggung kau tak usah keluar uang setengekpun" Hong Si-hu melototkan sepasang matanya bulat-bulat. Yaa, kecuali melototkan matanya, apa lagi yang bisa dia lakukan? "Sedangkan mengenai hasil curian itu..." kata orang berbaju hitam itu. "Tentu saja hasil curian itu wajib dibongkar ke dalam kas negara".

"Berbicara sesungguhnya, kasus ini berhasil dibongkar oleh kalian berempat, jadi sepantasnya kalau kalian mendapat sepertiga bagian dari hasil rampokan itu sebagai imbalan, aku harap kalian berempat bersedia untuk ikut kami kekota dan menerima imbalan tersebut" Belum habis dia berkata, Ong Tiong menukas: "Tidak usah!" Untuk mendapat sedikit emas, mereka harus melakukan perjalanan jauh, sekalipun kepala harus dipenggal mereka juga enggan untuk melakukan.... Kwik Tay-lok, Yan Jit serta Lim Tay-peng juga enggan. Dalam pandangan mereka, di dunia masih terdapat banyak pekerjaan lain yang jauh lebih penting dari pada uang emas. Kata Kwik Tay-lok tertawa: "Barang-barang semacam itu kecuali membawa banyak kesulitan buat kami, tidak ada manfaat apa-apa lagi, aku hanya berharap agar ayam-ayam panggang dan itik-itik panggang yang ada di

kamar panggang itu dihadiahkan semua kepada kami, hal mana sudah cukup menggembirakan hati kami semua."

Fajar telah menyingsing. Suasana dalam kota telah pulih kembali dalam keheningan. Angin masih berhembus sepoi, salju masih turun dengan deras. Di dunia ini memang terdapat beberapa macam benda yang tak bisa dirubah oleh persoalan

apapun. Demikian juga dengan manusia. Setelah itik-itik tersebut di panggang sekian waktu, inilah saatnya untuk matang.   Kwik Tay-lok sedang merobek paha itik dan siap mendaharnya. Mendadak, tujuh delapan potong zamrud dan berlian sebesar jari tangan berjatuhan dari dalam perut itik panggang itu. Mata semua orang mulai terbelalak lebar. Ketika merobek perut itik panggang lainnya, ternyata isinya adalah ma-nau dan benda mulia lainnya. Dari antara tiga empat puluh ekor itik panggang itu, paling tidak ada dua puluh ekor diantaranya yang berisi benda-benda berharga itu. Yan Jit mengerdipkan matanya berulang kali, tiba tiba ia berseru: "Mengerti aku sekarang".

"Apa yang kau pahami?"

"Sebetulnya Hong Si-hu hendak menyembunyikan benda-benda berharga itu didalam perut itik panggang agar mudah diangkut keluar kota, bukan saja aman, lagi pula bisa mengelabuhi orang lain, siapa tahu kami sudah keburu menerobos masuk, maka baru sebagian kecil dari benda-benda itu yang disembunyikan"

"Masuk akal!" Kwik Tay-lok mengangguk. "Saudara hitam itu tak tahu berapa banyak hasil rampokan yang ada di sana, sekalipun tahu juga tak dapat menghitung jumlahnya"

"Masuk akal!"

"Kenapa kau masih berlagak pilon? padahal teori ini sudah kau ketahui sedari tadi" kata Yan Jit sambil tertawa. "Aku sudah tahu?" Kwik Tay-lok mengerdipkan matanya berulang kali. "Kalau kau tidak tahu, kenapa menyuruh orang untuk memberikan semua itik-itik panggang itu kepadamu?" Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang: "Aaaai.... kalau kau bersikeras untuk berpendapat sedemikian, akupun tak bisa apa-apa" Tiba-tiba katanya sambil tertawa: "Tapi bagaimanapun juga, kita memang berhak mendapat komisi tiga persen, jadi uang ini halal atau tidak, pokoknya kita pakai kan beres!" Yan Jit menatapnya tajam-tajam, lalu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Kadangkala aku sendiripun merasa tidak mengerti dengan dirimu"

"O,ya?"

"Aku tak tahu sesungguhnya kau ini pintar? Ataukah bodoh?" ujar Ong Tiong pelan. Itulah kesimpulannya. Uang adalah benda yang tak boleh berpisah dari tangan lelaki, demikian juga dengan perempuan. Uang bisa menimbulkan gara-gara, perempuan lebih besar menimbulkan gara-gara. Kecuali itu, uang masih mempunyai suatu persamaan dengan perempuan. Bila didapatkan

secara gampang, maka perginya juga semakin cepat. Kwik Tay-lok selalu menganggap dirinya adalah seorang yang mempunyai standard, perbuatan apapun yang dilakukan selalu mempunyai standard. Standarnya untuk makan itik panggang adalah: "Bila ada daging, dia tak akan menggerutu tulang, bila ada kulit, dia tak akan makan daging" Kini kulit itik panggang sudah dikelupas semua, itik yang kulitnya sudah mengelupas ibaratnya seorang perempuan yang lima puluh tahunan yang ditelanjangi tubuhnya, tiba-tiba saja berubah menjadi begitu lucu dan menggelikan. Sebaliknya kalau jeruk seperti seorang gadis berumur dua puluh tahun, makin bersih kulitnya di kelupas, semakin menariklah kulitnya.

Jilid 06

JARANG SEKALI ADA ORANG YANG bisa menghubung-kan itik panggang dengan perempuan, Kwik Tay-lok dapat. Setelah arak mengalir masuk ke dalam perutnya, uang sudah masuk ke sakunya, maka dari benda apapun ia bisa menghubungkannya dengan perempuan .... Kini arak sudah habis diminun, intan pertama juga sudah dibagi menjadi empat bagian. Sambil mengerdipkan matanya, tiba-tiba Kwik Tay-lok bertanya: "Apa rencana kalian sekarang?" Rencana apa? Siapapun tak punya rencana apa-apa. "Apakah kau sudah mempunyai rencana?" tanya Yan Jit sambil melototi wajahnya. Kwik Tay-lok menatap itik panggang tak berkulit itu lekat-lekat, kemudian jawabnya: "Kita sudah terlalu lama mengendon di sini, hari ini kita harus pergi melemaskan otot, kalau tidak tulang-tulang kita bisa mulai karatan dan tua."

"Tulang kami tidak seperti tulangmu, baru ada sedikit uang lantas tangannya menjadi gatal." Kwik Tay-lok menghela napas panjang, kembali ia tertawa, katanya lebih jauh. "Sekalipun tulangku ini tulang kere, paling tidak harus digerakkan juga agar lebih bergairah."

"Apakah kau hendak melemaskan otot seorang diri?"

"Ehmm!" Yan Jit segera tertawa dingin. "Aku sudah tahu kalau ada sementara orang cuma berkawan disaat masih miskin, begitu punya uang, permainannya lantas banyak."

"Apakah kau tak pernah melemaskan otot seorang diri?" seru Kwik Tay-lok dengan mata melotot. Yan Jit melengos ke arah lain. "Kalau ingin pergi, pergilah sendiri, toh tak ada orang lain yang akan menahanmu!" serunya. Kwik Tay-lok yang sudah berdiri, segera duduk kembali, katanya sambil tertawa: "Aku tak lain cuma ingin pergi satu setengah hari saja, besok malam kita bersua kembali." Tak seorangpun yang menggubrisnya. Kwik Tay-lok mengangkat bahu, katanya: "Sekarang Moay Lo-kong sudah ditangkap, disini tak ada rumah makan lain, aku tahu di kota keresidenan terdapat sebuah rumah makan Gwe-goan-koan yang lumayan juga masakannya, untung saja kota Sian-sia tak jauh dari sini, bagaimana kalau kita bersua kembali di sana besok...? Aku akan mentraktir kalian!" Masih belum ada orang yang menggubrisnya. Kwik Tay-lok menjadi sangat gelisah, serunya lagi: "Apakah aku ingin berjalan-jalan seorang diri barang seharipun tak boleh?"

"Siapa bilang tak boleh?" seru Ong Tiong sambil membalikkan matanya. "Kalau begitu, besok kau akan pergi atau tidak?"

"Apakah kau tak bisa membeli arak dan sayur itu dari rumah makan Gwee-goan-koan  kemudian membawanya pulang dan mentraktir aku di sini?"

"Aku mohon kepadamu, janganlah begini malas, mau bukan? Kau juga harus membeli beberapa stel pakaian baru, pakaian semacam itu kalau dipakai terus menerus, bahkan kau sendiripun mungkin akan ketimpa naas... mengerti?" Pelan-pelan Ong Tiong bangkit berdiri, kemudian pelan-pelan berjalan keluar dari situ. "Kau hendak kemana?" Kwik Tay-lok segera menegur.

"Ke ranjangnya Moay Lo-kong,"

"Mau apa?"

"Ong Tiong menghela napas panjang. "Kalau keatas ranjang mau apa? Tentu saja tidur, kalau kau naik keranjang, apakah hendak melakukan pekerjaan lain?" Kwik Tay-lok tertawa, dia memang ingin melakukan pekerjaan lain, lagi pula pekerjaan itu memang harus dilakukan di atas ranjang. la bangkit berdiri, lalu ujarnya sambil tertawa: "Kalau ingin tidur di sana juga boleh, bah bagaimanapun besok masih harus ke Sian-sia, daripada bolak balik, berangkat separuh jalan dulu memang tak ada salahnya."

"Tepat sekali!"

Kwik Tay-lok melirik Yan Jit sekejap kemudian katanya: "Besok, apa kalian juga ikut Ong lotoa?" Lim Tay-peng mengangguk, sedang Yan Jit berkata hambar: "Hari ini juga aku berangkat bersamamu!"

"Tapi aku." Kwik Tay-lok agak tertegun. "Kenapa?" seru Yan Jit sambil melotot, "apakah setelah punya uang, temanpun tak maui lagi?" Sepanjang jalan, sambil melakukan perjalanan Kwik Tay-lok menghela napas, tiada hentinya. Yan Jit mengerling sekejap ke arahnya, lalu menegur: "Hey, apa yang terjadi? Adakah sesuatu yang tidak enak dengan kesehatan badanmu?"

"Agaknya aku sudah salah makan, perutku mendadak mulas dan kurang enak." kata Kwik Tay-lok sambil meringis menahan sakit.

"Hmm, aku lihat yang kurang enak bukan perutmu." ujar Yan Jit dengan nada dingin. Tiba-tiba ia tertawa, kembali ujarnya:

"Padahal bagian mana dari tubuhmu yang kurang enak, telah kuketahui sedari tadi dengan amat jelas."

"Kau mengetahui dengan jelas?" Yan Jit memutar sepasang biji matanya, lalu berkata: "Setiap orang yang berpengalaman tentu mengetahui akan sepatah kata yang mengatakan: "Bermain pelacur sendirian bermain judi berduaan, mengapa aku tidak tahu dengan jelas?" Untuk sesaat lamanya Kwi Tay-lok merasa tertegun, akhirnya ia cuma bisa tertawa, tertawa getir. "Jadi kau kira aku sengaja menyingkir dari kalian, hanya dikarenakan aku ingin ngeloyor sendirian mencari perempuan?"

"Memangnya kau tidak bermaksud demikian?" Kwik Tay-lok tidak bisa berbicara lagi. "Padahal masalah semacam ini juga bukan suatu kejadian yang terlalu memalukan" kata Yan Jit lagi, "setiap lelaki yang punya uang siapa yang tak ingin pergi mencari perempuan?."

"Apakah kau sendiri tidak bermaksud demikian?" Kwik Tay-lok balik bertanya sambit mengerdipkan matanya. "Terus terang kuberi-tahu kepadamu, aku berharap kau bisa membawaku, aku tahu dalam bidang ini kau pasti sangat berpengalaman bukankah demikian?" Kwik Tay-lok mendesis, tiba-tiba ia terbatuk-batuk. "Lelaki yang romantis dan sok-aksi semacam kau pasti tahu ditempat mana kita bisa mencari perempuan yang terbaik." Setelah mengerling sekejap wajah Kwik Tay-lok, katanya lebih jauh: "Kita kan sama-sama teman, bagaimanapun juga kau harus memberikan sebuah petunjuk kepadaku bukan?" Agaknya paras muka Kwik Tay-lok berubah agak merah, gumamnya kemudian: "Tentu saja, tentu saja...."

"Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Tentu saja... tentu saja kita harus ke kota lebih dulu...." Yan Jit lagi-lagi tertawa lebar, katanya: "Padahal seharusnya kau juga mengajak serta Ong lotoa sekalian, agar merekapun bisa membuka matanya lebar-lebar serta menyaksikan pelbagai atraksi menarik, aku betul-betul tidak habis mengerti mengapa kau harus mengelabui mereka?" Kwik Tay Lok sedikitpun tidak bermaksud mengelabui orang lain, ia selalu beranggapan bahwa mencari perempuan bukan suatu perbuatan yang memalukan. Tidak berhasil menemukan perempuan, itu baru memalukan namanya. la mengelabui orang lain, karena ia sama sekali tak tahu harus pergi ke mana untuk mencari perempuan. Pada hakekatnya ia belum pernah mencari perempuan, justru karena ia tak pernah maka dia ingin mencari, maka dia baru merasa ingin sekali, suatu keinginan yang luar biasa. Dalam waktu yang cukup singkat, kota Sian-sia telah dicapai. Begitu masuk ke kota. Yan Jit lantas bertanya: "Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita akan menempuh jalan yang mana?" Kata orang: "Dalam setiap sepuluh langkah, pasti ada rumput yang tumbuh. Setiap jengkal tanah tentu ada perempuan yang lewat." Kwik Tay Lok mendehem beberapa kali, kemudian menjawab:

"Lewat jalan yang manapun saja"

"Sama saja?"

"Yaa, toh di setiap jalan pasti ada perempuan" Yan Jit segera tertawa, ujarnya: "Aku juga tahu kalau di setiap jalanan tentu ada perempuan, tapi perempuanpun terdiri dari beberapa macam, persoalannya sekarang di jalanan yang manakah perempuan yang kau cari itu baru bisa ditemukan?" Kwik Tay Lok menyeka keringat yang telah membasahi tubuhnya, tiba-tiba terlintas satu ingatan dalam benaknya, sambil menuding sebuah warung teh di tepi jalan, katanya: "Kau boleh menunggu sejenak di situ, aku akan pergi mencarikan bagimu..."

"Kenapa aku harus menunggu di sini, apakah kita tak boleh berjalan bersama?" kata Yan Jit sambil mengerdipkan matanya.

Dengan serius Kwik Tay-lok menjawab: "Soal ini kau tak akan memahami, tempat tersebut amat rahasia sekali, semakin rahasia tempatnya semakin menyenangkan kita, tapi kalau melihat kedatangan orang asing, boleh jadi mereka lantas tidak mau." Mendengar perkataan itu, Yan Jit segera menghela napas panjang. "Baiklah !" ia berkata, "bagaimanapun kau memang lebih berpengalaman dari padaku, baiklah, aku akan menuruti semua perkataanmu" Setelah menyaksikan Yan Jit masuk ke dalam warung teh, Kwik Tay-Lok baru menghembuskan napas lega. Siapa tahu Yan Jit kembali berpaling, lalu berteriak keras:

"Aku akan menunggu kedatanganmu di sini, kau jangan kabur lho!"

"Tentu saja aku tak akan kabur!" jawab Kwik Tay Lok dengan suara yang tak kalah kerasnya. Dia memang tidak bermaksud kabur, cuma dia harus mencari berita lebih dulu, agar Yan Jit merasa kagum kepadanya. "Manusia romantis yang gagah dan ganteng seperti aku ini, kalau sampai tempat semacam itupun tak bisa menemukan, bukankah Yan Jit akan tertawa kegelian sampai gigipun ikut copot? Siapa tahu dia akan kegelian lima tahun lamanya?" Dengan mempergunakan suatu gerakan yang paling cepat dia berbelok ke dalam sebuah tikungan jalan, ternyata jalanan di depan sana seperti pula jalanan pertama, disitu ada warung teh, toko, ada laki-laki, tentu saja ada perempuan. "Tapi perempuan yang manakah baru merupakan perempuan yang sedang kucari?" la meneliti satu per satu, namun tak seorangpun yang mirip, ia merasa semua perempuan-

perempuan itu seperti perempuan dari keluarga baik-baik. "Orang yang melakukan pekerjaan semacam itu, masakah memasang papan nama di atas wajahnya?" Setengah harian lamanya Kwik Tay-lok berdiri termangu-mangu di tepi jalan, tak hentinya dia

memberi semangat kepada diri sendiri diapun menghibur terus diri sendiri. "Asal ada uang, masa kau takut tak bertemu perempuan?" Ia bermaksud untuk membeli satu stel pakaian baru lebih dulu. Orang bilang, "kalau manusia adalah pakaiannya, kalau Budha adalah jubah emasnya" Asal ia berpakaian perlente dan necis, paling tidak gengsinya akan naik tiga tingkat lebih dahulu. Yang aneh, ternyata tokoh penjual pakaianpun seakan-akan tidak terlalu gampang di temukan. Dengan susah payah akhirnya dia berhasil juga menemukan sebuah toko pakaian, tiba-tiba ia menyaksikan ada seseorang sedang memilih pakaian di situ, ketika di dekati ternyata orang itu adalah Yan Jit. "Ternyata bocah itu tidak menunggu aku di warung teh!" Terdengar Yan Jit yang berada dalam ruangan sedang berkata sambil tertawa: "Aku menginginkan pakaian yang paling baik, harganya mahalan sedikit tak menjadi soal, hari ini aku punya janji dengan seorang cewek cakep, aku musti memakai yang agak bagus" Diam-diam Kwik Tay-lok mengerutkan dahinya sambil berpikir: "Masakah bocah muda ini berhasil mendahului diriku dengan menemukan tempat tersebut?" Menyaksikan wajah Yan Jit yang berseri-seri, Kwik Tay-lok merasa yaa mendongkol, yaa jengkel. "Kalau toh kau curang lebih dulu, kenapa aku musti pegang janji? Sekarang kau tak bisa mengatakan kalau aku berusaha kabur dari sisimu. Setelah mengambil keputusan, tanpa tukar pakaian lagi, dia bertekad untuk meninggalkan Yan Jit lebih dulu. "Para gadis menyukai yang ganteng, para germo menyukai uang, asal aku cukup ganteng dan punya uang, tukar pakaian atau tidak toh bukan persoalan?" Di jalan raya itupun terdapat warung teh, seseorang yang membawa sebuah sangkar burung sedang berjalan keluar dari warung teh itu. Usia orang itu tidak terlalu besar, tapi sepasang matanya tak bersinar dan wajahnya hijau kepucat-pucatan, mukanya keletihan dan kuyu, lagi pula setiap orang tahu pekerjaan apa yang membuat orang itu kelihatan lemas dan pucat. Tiba-tiba Kwik Tay-lok menghampirinya, setelah menjura katanya sambil tertawa: "Aku she Kwik, aku tahu kau tidak kenal aku, akupun tidak kenal kau, tapi sekarang kita telah berkenalan." Sebelum melakukan suatu pekerjaan ia suka mengemukakan cara yang berterus terang. Untung saja orang itu agaknya sudah terbiasa melakukan pergaulan di luar, setelah tertegun sejenak, katanya pula sambil tertawa:

"Sobat Kwik, kau ada urusan apa?"

"Kalau orang tidak romantis sia-sialah masa mudanya, kau tentu mempunyai perasaan yang sama dengan kata-kata tersebut bukan"

"Oooh.... kiranya saudara Kwik ingin berpelesiran!"

"Benar aku memang bermaksud demikian sayangnya aku tak tahu jalan mana yang harus kutempuh untuk mencapai tujuan"

"Saudara Kwik bisa ketemu aku, boleh di bilang sudah menjumpai orang yang benar" kata orang itu sambil tertawa, "tapi untuk berpelesiran, kau harus punya uang, kalau tak punya uang bisa jadi sebelum mendapat kenikmatan, badanmu sudah digebuki orang lebih dulu" Kwik Tay-lok ternyata sudah digebuk orang. Tiba-tiba ia merasa bahwa para perempuan tidak suka dengan ketampanan. Yang disukai perempuan-perempuan itu hanya uang. Sesungguhnya Kwik Tay-lok bukan seseorang yang gampang dipermainkan orang, diapun tak akan sudi digebuk orang dengan begitu saja. Tapi bagaimanapun juga bagaimana mungkin baginya untuk berkelahi dengan perempuan-perempuan semacam itu? Lengannya kena digigit dua gigitan, kepalanya digebuk sampai keluar benjolan, sekarang ia sedang mengelus benjolan di kepalanya dengan tangan sebelah sedang tangan yang lain merogoh sakunya. Saku itu kosong, jauh lebih kosong daripada perutnya yang lapar, Uang yang jelas berada

dalam sakunya ternyata telah lenyap dengan begitu saja. Kulit itik yang dimakan pagi tadi, sudah tak berbekas, arak yang di minumpun sudah berubah menjadi keringat. Menanti malam hari tiba, keringatpun telah mengering. Terpaksa Kwik Tay-lok mencari sebuah kuil bobrok, duduk di depan altar dia menendang patung sambil termangu-mangu, patung Pousat itupun seakan-akan sedang memandang pula kearahnya sambil termangu-mangu. Sebenarnya ia sudah menyusun rencana yang matang ia bermaksud makan dulu sekenyang-kenyangnya, kemudian mandi dulu sepuas-puasnya, bahkan ia membayangkan pula bagaimana

sebuah tangan yang halus sedang menggosok-gosok punggungnya. Tapi sekarang? Sekarang yang menggosok-gosok punggungnya cuma beberapa ekor kutu busuk, mungkin bukan cuma seekor, kasur duduknya seakan-akan merupakan markas besar pasukan kutu busuk, seakan-akan kutu busuk dari seluruh dunia pada berkumpul menjadi satu di sana, satu regu menyerbu punggung, regu lain menyerbu dada, seakan-akan seluruh badannya merupakan tempat mereka untuk berpesta pora. Dengan jengkel Kwik Tay-lok menghantam punggungnya keras-keras, kalau bisa sekali gaplok mampus. "Apakah aku memang sudah ditakdirkan untuk miskin terus? Masakah aku harus kelaparan terus menerus, seharipun tak boleh kenyang?" Tiba-tiba ia teringat kembali akan kebaikan teman. "Mengapa aku harus berpergian seorang diri? Kenapa aku harus kabur dari sisi Yan Jit?" Terbayang berapa mereka sedang berpesta pora sekarang, ia merasa sedemikian kelaparan sampai-sampai kutu busukpun nyaris ditelan. "Hidup sebagai seorang manusia memang tidak sepantasnya menjauhi teman, entah apapun yang hendak dilakukan, ada baiknya kalau berada bersama-sama teman, kecuali teman, masih ada apa lagi di dunia ini yang bisa disayangkan?" Tiba-tiba Kwik Tay-lok merasakan betapa pentingnya arti teman dalam hati kecilnya.... Siapa saja yang ada di dunia ini, jika ia sedang berada dalam keadaan miskin dan kelaparan, ia pasti akan berubah menjadi begini. Untung saja besok mereka akan berjumpa lagi, sekarang dia hanya berharap waktu bisa lewat dengan cepat, makin cepat semakin baik. "Sekarang, aku demikian memikirkan mereka, siapa tahu mereka telah melupakan aku, Ong Tiong pasti sudah tidur sambil mendengkur, Yan Jit mungkin sedang berpacaran dengan cewek cakep" Terbayang sampai di situ, tak tahan lagi Kwik Tay-lok menghela napas panjang, tiba-tiba ia

merasa bahwa dirinya adalah seorang yang amat mementingkan arti persahabatan, ia merasa sikapnya terhadap teman, jauh melebihi sikap teman terhadap dirinya. Maka diapun merasa agak terhibur, meski dibalik rasa terhibur itu terselip juga rasa sedih. Perasaan semacam ini membuat dia melupakan segala yang lain untuk sementara waktu. Tiba-tiba ia terlelap dan tidur pulas. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Begitu terbangun dari tidurnya, Kwik Tay-lok lantas mengambil keputusan untuk berangkat dulu ke rumah makan Gwee-goan-lo dan menunggu teman-temannya di sana. la bertekad untuk makan dulu sekenyang-kenyangnya, kemudian menunggu teman-temannya membayarkan rekeningnya itu. Diapun mengambil keputusan untuk mencari madu yang agak baik, untuk mengganti energinya yang terbuang dengan percuma sepanjang malam. Ia merasa setiap orang harus baik-baik menjaga kondisi sendiri, karena dia hampir melupakan betapa ia sampai tersiksa semalam, kenapa harus menderita dengan sia-sia. Mungkin hal ini dikarenakan rasa lapar yang luar biasa, dalam sadar tak sadar, ia seakan-akan merasa telah mengorbankan segala sesuatunya demi teman. Ia amat menaruh simpatik terhadap diri sendiri.    Sayang tauke rumah makan "Gwee-goan-koan tidak berpikir demikian. Bukan saja pintu belum terbuka, jendelapun belum terbuka. Tentu saja Kwik-Tay-lok tak akan menyalahkan dirinya yang datang terlalu awal, dia hanya menyalahkan orang-orang itu terlalu malas, kenapa sampai sekarang belum membuka pintu, apakah ia memang sengaja hendak menyusahkan dirinya.  Seorang yang sudah kelaparan biasanya memang tidak terlalu memikirkan soal cengli. Baru saja dia hendak mengetuk pintu tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang sambil menyapa. "Selamat pagi!" Yan Jit dengan mengenakan pakaian baru berdiri di situ dengan wajah berseri ia menunjukkan wajah yang segar karena makan yang kenyang dan tidur yang nyenyak.   Dengan penuh rasa mendongkol dan mencibir bibir Kwik Tay-lok bergumam: "Huuh, sekarang masih dianggap pagi? Lihatlah, mataharipun sudah bersinar sampai kepantat!"

"Waktu itu lebih berharga dari seribu kati emas, kalau memang merasakan kenikmatan semalaman suntuk, mengapa kau tidak berbaring dalam pelukan sang bidadari sampai tengah hari?" kata Yan Jit sambil tertawa lebar. "Di situ banyak kutu busuknya"

"Kutu busuk? Masa di ranjang sang bidadari pun banyak kutu busuknya? Lucu amat!" Kwik Tay-lok menyadari kalau ia telah salah bicara, maka setelah mendehem beberapa kali, katanya lagi sambil tertawa paksa: "Bukan kutu busuk sungguhan, cuma tangannya yang selalu bergerak-gerak di badanku itu lebih menjemukan dari pada kutu busuk." Yan Jit segera mengerdipkan matanya berulang kali, kemudian sambil menggelengkan kepalanya dan menghela napas katanya: "Yang paling sukar ditahan adalah kehangatan tubuh sang bidadari, kau benar-benar tidak pandai menikmati keadaan, aku yang ingin mencari seekor kutu busuk di badanku saja tidak berhasil menemukannya. . . !"

"Hahahaha... hahaha...." Kwik Tay-lok ingin tertawa seriangnya, tapi suaranya justru seperti keledai yang lagi cegukan, mana suaranya parau, tidak enak lagi didengar. Yan Jit segera memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian katanya lagi. "Apakah perutmu sedang merasa kurang enak? Yaa, pasti semalam kekenyangan."

"Ehmm...." Yan Jit kembali tertawa cekikikan ujarnya: "Kalau toh nona itu bersikap begitu baik kepadamu, mungkin juga menyiapkan hidangan yang paling baik agar membantu kesehatan badanmu . . . . betul tidak?" Kwik Tay-lok melirik sekejap ke arahnya, kemudian sahutnya: "Sungguh tak kusangka secara tiba-tiba kaupun berubah menjadi begitu berpengalaman."

"Aaai... mama mungkin aku bisa memiliki rejeki sebagus dirimu itu..." keluh Yan Jit sambil menghela napas lagi. "Semalam kau pergi kemana?"

"Hmmm . . . kau tidak rikuh untuk bertanya kepadaku? Sampai pusing kepalaku semalam menunggu kedatanganmu di warung teh itu, tapi jangan toh kau datang menjemputku, bayangan setan pun tidak nampak, terpaksa aku bergelandangan seorang diri kesana kemari, hampir saja tempat untuk tidurpun tidak kutemukan"

"Kiranya bocah ini pandai berpura-pura" pikir Kwik Tay-lok. Saking gemasnya gigi serasa bergemerutukan keras, apa mau dikata ia justru tak bisa membongkar rahasianya itu, terpaksa sambil tertawa paksa katanya: "Siapa suruh kau tidak sabar menunggu?"

"Aaaai. . . akibatnya aku yang kepayahan setengah mati, habis sekaligus harus melayani beberapa orang nona cantik" Yan Jit menggelengkan kepalanya berulang kali, bahkan menghela napas panjang pendek seolah-olah merasa menyesalnya setengah mati. Kwik Tay-lok kembali merasakan hatinya agak terhibur, katanya lebih jauh: "Padahal kau juga tak usah bersedih hati, bila ada kesempatan lagi di kemudian hari aku pasti akan mengajakmu. Terutama sekali terhadap seorang nona cilik diantaranya, waaah... bukan cuma wajahnya cantik, pandai memberi kesenang buat kita, malahan apa yang kau pikirkan dihati

tanpa kau katakan, ia sudah menyiapkannya bagimu."

"Waaahhh...... kalau begitu dia kan seperti seorang Puosat batu yang suka menolong kaum miskin yang sedang kesusahan?" teriak Yan Jit dengan mata melotot besar. Kwik Tay-lok agak tertegun. "Pousat batu ? Dari mana datangnya Pousat batu?" serunya. Tiba-tiba ia teringat kembali, bukankah dalam kuil yang di tempatinya semalam juga ada sebuah patung Pousat batu? Yan Jit telah berkata lagi sambil tertawa: "Oooh . . . . . maksudku adalah seorang Li-Pousat, seorang pousat perempuan yang senang menolong kaum lelaki" Kwik Tay-lok baru merasa lega setelah mendengar perkataan itu, dasar kalau tidak jujur, apa saja yang dikatakan orang bisa membuat jantung berdebar keras. "Pagi tadi, hidangan lezat apa saja yang telah disiapkan Li-pousat itu untukmu?" Sambil menelan air liurnya Kwik Tay-lok kembali mengibul. "Kalau dibilang amat lezat sih tidak, dia cuma membuatkan Yan-oh, kuah ayam, bak mi, bakpao, daging ham, telur...." Hampir semua makanan yang dia inginkan dan sedang dipikir dalam hatinya disebutkan satu persatu, kendatipun belum sampai mencicipi, paling tidak bisa mengurangi rasa laparnya yang semakin menghebat itu .... Sayang sekali dia tak sanggup melanjutkan kembali kata-katanya, sebab bila ucapan tersebut dilanjutkan, bisa jadi air liurnya akan bercucuran dengan derasnya. Yan Jit segera menghela napas panjang, katanya: "Wah, tampaknya bukan saja kau sedang mujur dalam soal perempuan, mujur pula dalam soal makanan, padahal aku sudah kelaparan setengah mati, kalau bisa aku ingin mencari tampat untuk bersantap."

Belum habis dia berkata, Kwik Tay-lok telah menyela dengan cepat. "Haah! Mau makan. Hayo, kita berangkat sekarang juga, aku bersedia menemanimu!"

"Bah, tidak usah, kau toh sudah kenyang, aku jadi rikuh kalau kau yang menemani." Kwik Tay-lok mana gusar, gelisahnya setengah mati, kalau bisa dia hendak bicara terus terang, untung saja pada saat itulah pintu depan rumah makan Kiu-goan-koan telah di buka orang, menyusul seseorang melongok ke luar dengan mata setengah terpejam, agaknya masih

mengantuk dan sudah setahun lamanya tak pernah tidur. Sambil melirik ke arah mereka berdua, orang itu berseru: "Kalau ingin makan, rumah makan kami menyediakan aneka macam hidangan, mengapa tuan tidak memilih yang dekat sebaliknya malah mencari yang jauh....?" Melihat orang itu, Yan Jit dan Kwik Tay lok segera tertawa terbahak-bahak, ternyata orang itu

adalah Ong Tiong. Sambil tertawa lebar Kwik Tay-lok berseru: "Cara kerjamu sungguh luar biasa hebatnya, sedari kapan sih kau sampai di sini ? Sedari kapan pula kau menjadi pelayannya rumah makan Kui-goan-koan?"

"Hari ini Kwik toa-sauyakan mau mentraktir kami, kalau sampai tidur kesiangan sehingga kehilangan kesempatan sebaik ini kan penasaran rasa hatiku? Maka dari itu, aku lantas mengambil keputusan untuk berangkat semalam sebelumnya dan tidur di sini, sembari tidur sembari menanti, mana nyaman tidak takut terlambat lagi, kan sip namanya?"

"Betul!" sambung Yan Jit sambil tertawa, "selamanya cara kerja Ong Lo-toa memang selalu dapat dipercaya, bisa mengundang kedatangan seorang tamu yang bersungguh hati seperti kau, yang menjadi tuan rumah pasti akan merasa terharu sekali"    Sesungguhnya seisi perut Kwik Tay-lok telah dipenuhi oleh sumpah serapah yang tak mampu dilampiaskan keluar, seandainya di situ ada tali gantungan, mungkin ia sudah bunuh diri sedari tadi. Dalam keadaan demikian, terpaksa dia cuma bisa tertawa serak sambil bergumam. "Yaa, aku memang sangat terharu, sampai maknya pun ikut terharu....!"

"Sekarang mah belum sampai waktunya kau merasa terharu" kata Ong Tiong, "bila kami sudah mulai bersantap nanti, nah waktu itulah kau baru akan terharu."

"Betul!" sambung Yan Jit sambil tertawa, "Bukan cuma dia saja yang akan terharu, maknya juga akan turut terharu sehingga air mata ikut jatuh bercucuran"

Rumah makan Kui-goan-koan tidak terhitung rumah makan kecil, rumah makan itu terbagi menjadi loteng bagian atas loteng bawah, untuk bawah lotengpun paling tidak terdiri dari tujuh delapan belas buah meja. Kalau malam sudah tiba, biasanya meja-meja itu akan digabungkan menjadi satu, pelayan rumah makanpun akan menggelar tikar dan tidur di atas meja tersebut.

Dalam rumah makan itu ada tujuh-delapan orang pelayan yang bekerja disitu, sekarang mereka semua sedang merangkak bangun dengan mata yang masih mengantuk, masing-masing pelayan dengan ramah dan hangat menyapa kepada Ong Tiong. "Apakah orang-orang Ong toako telah datang semua?"

"Mengapa tidak cepat bangun untuk melayani tamunya Ong toako?" Sepasang mata Kwik Tay-lok terbelalak lebar-lebar, dia ingin bertanya kepada Ong Tiong, sedari kapan ia telah menjadi toakonya orang-orang itu? Mendadak ia menyadari bahwa Ong Tiong bukan cuma cara kerjanya saja yang serba rahasia, diapun pandai bergaul dan menjadi teman, seperti misalnya dia selama hidup jangan harap bisa bersahabat dengan para pelayan dari rumah makan. Yan Jit sudah tidak tahan untuk bertanya: "Dulu, apa kau seringkali berkunjung ke sini?"

"Tidak, kali ini baru pertama kalinya!" jawab Ong Tiong. Sepasang mata Yan Jit pun terbelalak lebar, dalam hati kecilnya benar-benar merasa kagum, dalam semalaman saja ia sudah sanggup untuk menaklukan semua pelayan yang bekerja dalam rumah makan tersebut, sesungguhnya kejadian semacam ini amat jarang terjadi. "Kalian ingin makan apa?" tanya Ong Tiong, "hayolah pesan, akan kusuruh mereka menyiapkan hidangan."

"Aku ingin semangkuk mi ayam yang diberi tiga biji telur dan dua kerat daging baykut, tapi kedua potong bay-kut itu musti banyak dagingnya dan empuk,"

"Aku juga memesan semangkuk mie yang sama." kata Ong Tiong, "bagaimana dengan saudara Kwik?" Belum lagi berbicara, air liur Kwik Tay-lok serasa sudah menetes keluar, katanya agak tergagap: "Aku...." Belum sempat dia mengucapkan kata-katanya, Yan Jit telah menyerobot dari samping, teriaknya: "Dia tidak perlu dipesankan, pagi tadi ia sudah sarapan beraneka macam hidangan lezat, saking kenyangnya hampir meledak perutnya yang buncit itu." Kwik Tay-lok merasa gelisah yaa gemas, sampai giginya saling beradu, tangannya menjadi gatal, kalau bisa ia ingin menyumbat si mulut cerewet itu dengan kepalan tangannya. Yan Jit memutar biji matanya seperti sedang tertawa geli, tiba-tiba ia bertanya: "Kemana perginya Lim Tay-peng? Apakah ia sudah datang?"

"Datangnya mah sudah datang, dia masih tidur di atas loteng."

"Tampak diapun jago tidur, tidak kalah hebatnya dengan kepandaianmu!" seru Yan Jit sambil tertawa. Di atas loteng bukan cuma tak ada orang, bayangan setanpun tidak nampak. Di sudut ruangan tampak beberapa buah meja yang dijajarkan menjadi satu, selimut masih ada di atas meja itu tapi orangnya entah ke mana perginya .....?"

"Dimana orangnya?" seru Yan Jit. Ong Tiong juga tampak tertegun, serunya: "Ketika aku turun dari loteng tadi, dia masih tertidur di sini, kenapa dalam waktu sekejap bayangan tubuhnya bisa lenyap tak berbekas?"

"Kau tidak melihatnya turun dari loteng?" Ong Tiong menggelengkan kepalanya, sementara matanya menatap daun jendela di seberang sana lekat-lekat. "Tampaknya cara kerja orang inipun serba rahasia dan aneh, toh ia tak usah membayar rekening? Kenapa musti ngeloyor pergi?" omel Yan Jit sambil tertawa. Matanya juga mengikuti arah pandangan Ong Tiong mengawasi daun jendela di hadapannya sana. Di atas loteng ini semuanya terdapat delapan buah daun jendela, salah satu diantaranya berada dalam keadaan terbentang lebar kini. "Apakah jendela itu terbuka sedari tadi?" kembali Yan Jit bertanya. "Tidak, aku paling benci tidur dengan jendela terbuka, aku takut kedinginan" Pelan-pelan dia berjalan ke tepi jendela. Di bawah jendela tersebut merupakan pintu belakang rumah makan Kui-goan-lo, di seberang pintu adalah sebuah sungai kecil, diatas sungai terbentang sebuah jembatan. Walaupun air sungai itu kotor lagi bau, walaupun jembatan kecil itu bobrok dan kuno, tapi sekarang fajar baru menyingsing, sinar matahari yang lembut menyinari air sungai dan memantulkan sinar tajam yang menyilaukan mata. Kabut tipis meliputi permukaan tanah, angin berhembus lewat menggoyangkan pohon liu, sayup-sayup sampai kedengaran bunyi ayam berkokok, betul-betul merupakan suatu pemandangan yang sangat indah. Sayangnya di seberang sungai sana tampak seorang nyonya yang membopong anaknya sedang mencuci tong berisi tinja di tepi sungai. Yan Jit mengerutkan dahinya lalu mengerutkan pula hidungnya, kemudian dengan suara lantang teriaknya: "Toaso, barusan ada orang melompat turun dari jendela dan lari ke sana, apakah kau melihatnya atau tidak" Nyonya itu mendongakkan kepalanya dan melotot sekejap ke arahnya, kemudian sambil menundukkan kepalanya kembali dia bergumam: "Pagi saja baru menjelang, jangan-jangan orang ini sudah ketemu setan ... sialan!" Ketanggor batunya, Yan Jit bisa cuma tertawa getir, gumamnya: "Entah kemana perginya bocah itu? Jangan-jangan tenggelam di sungai itu dan mampus?" Kwik Tay-lok yang perutnya sudah kosong lagi lapar makin mendongkol dibuatnya, kalau bisa rasanya dia ingin mencari sasaran yang tepat untuk melampiaskan rasa marahnya itu. Mumpung ada kesempatan, sambil menarik muka dia lantas mendamprat: "Cerewet amat kau ini, mana bawel lagi! Biar saja kalau ada yang tenggelam di sungai, biar mampus sekalian agar mengurangi jatah, takutnya justru dia tak akan mampus tenggelam disungai!"

"Waduh, hebat betul orang ini" gumam Ong Tiong sambil mengerling sekejap ke arahnya. "Sepagi ini hawa amarahnya sudah begitu gede, mungkin semalaman suntuk rasa mendongkolnya belum ada tempat penyaluran?" Yan Jit segera tertawa terkekeh-kekeh serunya cepat: "Aaah, mana mungkin, semalam mana dia digigit kutu busuk, ketemu dengan li-pousat pula,

sekalipun mendongkol juga semua rasa mendongkolnya sudah tersapu lenyap"

"Li-pousat?" Kutu busuk? Jangan-jangan semalam ia tidur dalam kuil bobrok? Wah, kan lebih enakan tidur di atas meja ditempat lain ini" Kontan saja air muka Kwik Tay-lok berubah menjadi merah padam seperti kepiting rebus, untung saja sang pelayan telah datang menghidangkan dua mangkuk bakmi. Dua mangkuk besar bakmi kuah ditambah dengan dua piring daging bay-kut yang gemuk dan harum. Ketika mengendus bau harum semerbak yang terbawa oleh angin, Kwik Tay-lok pingin

menerjang bakmi itu dan melahapnya dengan rakus. Tiba-tiba Kwik Tay-lok memusatkan semua perhatiannya ke bawah meja, seolah-olah di bawah meja sedang terdapat beberapa orang siluman kecil bermain sandiwara. Yan-Jit dan Ong Tiong meski sedang makan bakmi, tanpa terasa matanya juga turut di alihkan ke bawah meja. Kesempatan baik semacam inilah yang sesungguhnya sedang di tunggu oleh Kwik Tay-lok, secepat kilat tangannya menyambar ke atas sepotong daging bay-kut yang ada di meja. Siapa tahu baru saja tangannya hendak mencomot daging tersebut, sepasang sumpit telah melayang datang dari tengah udara dan.... "Plak !" menghantam punggung tangannya keras-keras. Sambil mengerling ke arahnya dan tertawa Yan Jit berseru: "Barusan kau toh sudah makan tujuh belas macam sayur, kenapa masih ingin mencuri daging orang? Apakah kau benar-benar kelaparan setengah mati?" Bocah ini betul-betul memiliki sepasang mata pencoleng yang kelewat tajam. Merah padam selembar wajah Kwik Tay1ok karena jengah, dengan tersipu-sipu ia menarik tangan kembali sembari bergumam: "Kalau orang bermaksud baik, jangan di tuduh yang jelek, aku toh bermaksud untuk mengusir lalat yang hinggap di atas daging itu? Bukan berterima kasih, kau malah menggigit aku?"

"Aaah, hari ini udara dingin sekali, dari mana datangnya lalat?"

"Walaupun lalat tak ada, paling tidak kutu busuk mah masih ada beberapa ekor." kata Ong Tiong. Hari ini, entah kedua orang itu sedang angot atau kambuh penyakit edannya, setiap saat setiap waktu selalu berusaha menyusahkan diri Kwik Tay-lok, agaknya kalau belum memusuhinya, hati serasa belum puas. Terpaksa Kwik Tay-lok tidak melayani olok-olokan orang, seorang diri duduk tertegun setengah harian lamanya, tiba-tiba ia berkata sambil tertawa: "Tahukah kalian apa yang sedang kupikirkan sekarang?" Tak seorangpun berbicara, sebab mulut mereka sedang tersumbat penuh oleh daging bay-kut. Terpaksa Kwik Tay-lok melanjutkan sendiri perkataannya: "Aku sedang berpikir, rasanya semangkuk mie campur daging bay-kut tentu lezaat ..!" Yan Jit menghirup setegukan kuah dan menelan daging bay-kut yang telah dikunyah itu kedalam perut, kemudian sambil tertawa sahutnya: "Tepat sekali jawabanmu, kami memang amat jarang mencicipi bakmi seenak ini".

"Tahukah kalian, apa sebabnya bakmi ini luar biasa lezatnya kalau dimakan?"

"Kenapa ?" Yan Jit balik bertanya sambil mengerdipkan matanya. "Sebab bakmi ini di masak dengan air sungai di belakang sana, air yang bekas dipakai mencuci tong berisi tinja tentu saja luar biasa lezat baunya....!" Paras muka Yan Jit sama sekali tidak berubah, malahan sambil tertawa cekakakan dia berkata: "Jangan toh baru air sungai bekas dipakai mencuci tong berisi tinja, sekalipun bakmi ini dimasak dengan air bekas cuci kaki pun rasanya tentu lebih lezat daripada harus menahan lapar setengah mampus." Kwik Tay-lok tertegun beberapa saat lamanya, tiba-tiba dia melompat bangun, sambil

membentangkan tangannya dia berteriak: "Aku ingin makan, harus makan.... siapa melarang aku makan lagi, aku bersumpah akan beradu jiwa dengannya." Lim Tay-peng sedang duduk termangu-mangu. Ia pulang sudah cukup lama, termangu-mangu juga cukup lama, seolah-olah sedang menunggu orang bertanya kepadanya: "Mengapa kau hilang secara mendadak? Kemana saja kau pergi? Apa saja yang telah kau lakukan?" Tapi sayang justru tak seorangpun yang bertanya, seolah-olah mereka menganggap ia tak pernah pergi meninggalkan tempat itu. Terpaksa Lim Tay-peng mengatakannya sendiri, mula-mula dia melirik sekejap ke arah Kwik Tay-lok, kemudian pelan-pelan baru berkata: "Tadi aku telah melihat seseorang, selama hidup jangan harap kalian bisa menduga siapakah dia." Betul juga, Kwik Tay-lok segera tak kuat menahan diri, cepat dia bertanya: "Kenalkah aku dengan orang itu?"

"Sekalipun tidak kenal, paling tidak pernah bersua!"

"Siapa sih orang itu"

"Aku sendiri juga tak tahu siapakah dia, sebab aku sendiripun tidak kenal dengannya" Kwik Tay-lok kembali tertegun, sesudah tertawa getir katanya: "Dialek yang dipakai orang ini adalah dialek dari negeri mana sih? Apakah kalian mengerti apa yang sedang ia ngebacotkan sekarang?" Lim Tay-peng sama sekali tidak menggubris dirinya, ia berkata lebih jauh:       "Walaupun aku tidak kenal dengan orangnya, tapi kenal dengan pakaian yang dikenakannya itu"

"Pakaian apa yang dia kenakan?" tak tahan kembali Kwik Tay-lok bertanya. "Baju berwarna hitam!" Mendengar itu Kwik Tay-lok segera tertawa lebar. "Tak terhitung jumlah orang berbaju hitam yang berjalan di atas jalan raya, setiap saat pun aku bisa menjumpai puluhan orang."

"Kecuali bajunya, aku masih kenal juga dengan pedangnya". Sekarang Kwik Tay-lok baru merasakan sedikit keanehan, segera ia mendesak lebih jauh: "Macam apakah pedang itu?"

"Pedang yang panjangnya satu jengkal tujuh inci dikombinasikan dengan sarung pedang yang empat jengkal panjangnya" Kwik Tay-lok segera menghembuskan napas: "Kapan kau bertemu dengannya" ia berseru. "Ketika kalian datang tadi!"

"Apakah kau anggap kejadian ini aneh sekali?" tiba-tiba Kwik Tay-lok tertawa lebar. "Apakah kau tidak merasa heran?"

"Dia toh memang sedang pergi ke kota Sian-sia untuk memberi laporan, bila kita tidak menemuinya disini, itu baru aneh namanya"

"Dia seharusnya membawa si anjing buldog, si tongkat dan Hong Si-hu serta barang rampokan itu menuju ke kantor pengadilan bukan?"

"Benar?"

"Tapi dari pihak pengadilan justru tidak mendengar tentang peristiwa itu, bahkan dalam dua hari belakangan ini sama sekali tak ada buronan yang digusur kemari." Sekarang Kwik Tay-lok baru merasa rada terkejut, serunya: "Darimana kau bisa tahu?"

"Aku telah berkunjung sendiri ke pengadilan untuk mengecek kebenaran dari berita ini." Kwik Tay-lok segera berpikir sejenak, kemudian katanya: "Mungkin saja dia bermaksud untuk membawa para tawanan itu ke kota lain?"

"Tidak ada tawanan atau orang hukuman!" Kwik Tay-lok segera mengerutkan dahinya rapat-rapat, kemudian setelah termenung sejenak katanya: "Hei, apa maksudmu? Apa yang kau maksudkan dengan tidak ada orang hukuman itu?"

"Tidak ada orang hukuman artinya ialah si anjing buldog, si tongkat dan Hong Si-hu telah lenyap tak berbekas bagaikan air yang menguap ke udara, sedangkan barang rampokan yang dikatakan akan dipakai sebagai barang bukti pun turut lenyap tak berbekas, secara diam-diam aku menguntil terus di belakangnya sampai ia tiba di tempat pondokannya, tapi di situpun tak kujumpai orang-orang tersebut, karena dia hanya berdiam seorang diri di sana!" Kali ini Kwik Tay-lok dibikin tertegun, malah mulutnya sampai melongo dan matanya terbelalak lebar-lebar. Bukan cuma dia, Yan Jit dan Ong Tiong pun turut tertegun seperti sepasang patung arca. Lim Tay-peng berhenti sebentar untuk mengatur napasnya yang agak tersengkal, kemudian setelah meneguk habis arak yang berada di depan Kwik Tay-lok itu, katanya lagi dengan hambar: "Sekarang kau merasa kejadian ini rada aneh atau tidak?"

"Yaa, aneh sekali!" teriak Kwik Tay-lok. Yan Jit dan Ong Tiong juga turut manggut-manggut. Meja sudah ditarik ke tengah ruangan, selimut juga sudah di gulung. Tamu-tamu yang akan bersantap dirumah makan kui-goan-koan sebentar lagi akan

berdatangan. Tapi saat itu di atas loteng cuma ada mereka berempat. Empat orang itu duduk tak berkutik ditempat semula, bagaikan empat buah patung kayu. Patung-patung kayu yang bisa minum arak tentunya. Arak didalam teko sudah lenyap tak berbekas seperti menguap mereka meneguk secawan demi secawan tanpa hentinya, memenuhi secawan sendiri dan meneguknya sampai habis, siapapun enggan untuk mengurusi rekan-rekan lainnya. Kemudian Yan Jit, Ong Tiong dan Kwik Tay-lok seakan-akan telah berjanji sebelumnya, bersama-sama mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Sekalipun mereka semua goblok, sekarangpun tahu kali ini mereka lagi-lagi ditipu orang. Sudah pasti manusia berbaju hitam itu bukan opas atau pegawai pengadilan, diapun bukan mata-mata yang diutus wali kota untuk menyelidiki tingkah laku si anjing buldog dan si tongkat. Rupanya diapun seseorang yang hitam makan hitam. Bila ada orang ditipu mentah-mentahan oleh orang lain bahkan rugi besar, rasa mendongkol dan rasa mangkel yang berkobar dalam dadanya tentu besar sekali. Tapi mereka tidak marah ataupun mendongkol, mereka malahan merasa kejadian ini menggelikan sekali. Yan Jit sambil menuding ke arah Kwik Tay-lok berkata seraya tertawa tergelak: "Perkataan Ong lotoa sedikitpun tak salah, sewaktu kau harus pintar sebaliknya malah berbuat goblok, bukan cuma goblok saja, bahkan gobloknya setengah mati."

"Bagaimana dengan kau sendiri?", kata Kwik Tay-lok pula sambil menuding ke arahnya dan tertawa, "kau sendiripun tidak lebih cerdik daripada diriku!" Lim Tay-peng hanya duduk tenang disamping sambil mengawasi mereka, menunggu semua orang telah berhenti tertawa, dia baru bertanya: "Sudah habiskah tertawamu itu?" Kwik Tay-lok menghembuskan napas panjang, sahutnya: "Belum habis tertawaku, cuma aku sudah tak punya tenaga lagi untuk tertawa lebih jauh"

"Apakah kalian menganggap kejadian ini sangat menggelikan?" seru Lim Tay-peng lagi. Tiba-tiba Ong Tiong membalikkan matanya, kemudian berseru: "Kalau tidak tertawa lantas bagaimana? Apakah harus menangis?" Dia memang selalu beralasan kalau sedang berbicara, inilah kesimpulan yang diambilnya. Mereka bisa tertawa, mereka berani tertawa, merekapun mengerti untuk tertawa. Tertawa bukan saja dapat membuat orang merasa girang, diapun bisa menambah rasa percaya serta keberaniannya terhadap orang lain. "Bila orang tertawa terus, dia akan punya rejeki besar, karena kehidupan akan menjadi milik kita" Lim Tay-peng tampaknya tak sanggup untuk tertawa. "Mengapa kau tidak turut kami untuk tertawa tergelak?" Kwik Tay-lok bertanya. "Bila hanya tertawa bisa menyelesaikan persoalan, aku pasti akan tertawa lebih keras daripada kalian."

"Sekalipun tertawa tak bisa menyelesaikan persoalan, paling tidak bisa menghilangkan kemurungan dalam hatimu." Setelah tertawa, dia berkata kembali: "Apalagi bila kau belajar menggunakan tertawa untuk berhadapan dengan orang asing, lambat

laun kau akan merasa bahwa dalam kehidupan manusia di dunia ini sesungguhnya tidak terdapat persoalan yang tak dapat diselesaikan".

"Bagaimanapun riangnya kalian tertawa, toh sama saja sudah tertipu orang . . ." kata Lim Tay-peng. "Kau tidak tertawapun juga sama saja sudah tertipu orang, kalau toh sama-sama sudah tertipunya, mengapa kau tidak tertawa saja?" Lim Tay-peng tidak berbicara lagi. "Sebetulnya persoalan apakah yang sedang kau hadapi?" tanya Kwik Tay-lok kemudian. "Mengapa sih kau begitu menaruh perhatian terhadap persoalan ini?" seru Yan Jit pula. Lim Tay-peng termenung beberapa saat lamanya, kemudian menjawab: "Karena orang itu adalah Lamkiong Cho!"

"Darimana kau bisa tahu?"

"Pokoknya aku tahu!"

"Apa pula hubungannya Lamkiong Cho dengan dirimu?"

"Tak ada hubungan apa-apa.... justru karena tak ada hubungan apa-apa, maka aku baru..."

"Kau baru apa?"

"Aku baru membunuhnya!" Kwik Tay-lok memandang Yan Jit, kemudian memandang kearah Ong Tiong, sesudah itu serunya:  "Dengarkan kalian apa yang barusan dia katakan?" Ong Tiong sama sekali tidak berkutik, sebaliknya Yan Jit cuma manggut-manggut. "Bocah ini mengatakan dia hendak membunuh orang!" kata Kwik Tay-lok lagi, Ong Tiong masih belum juga berkutik sedangkan Yan Jit kembali manggut-manggut.

Jilid 07

PELAN-PELAN KWIK TAY-LOK berpaling dan menatap wajah Lim Tay-peng lekat-lekat. Paras muka Lim Tay-peng amat tenang, sedikitpun tanpa perubahan emosi apapun. "Tadi kau telah berjumpa dengannya?" tanya Kwik Tay-lok lagi. "Yaa!" Tiba-tiba pemuda itu tertawa, serunya lagi: "Lantas mengapa kau tidak membunuhnya tadi?" Paras muka Lim Tay-peng masih belum menunjukkan perubahan apa-apa, seakan-akan wajahnya seperti menggunakan sebuah topeng saja. Topeng berwarna hijau membesi, sehingga tampaknya agak menakutkan sekali. "Karena aku telah membunuhnya!" akhirnya sepatah demi sepatah dia menjawab. Poci arak yang kosong itu telah diisi dengan arak baru, sebab Ong Tiong telah berpesan: "Jika menjumpai poci arak kami kosong, cepat penuhi dengan segera!" Ternyata pelayan-pelayan dari rumah makan Kui-goan-koan tersebut amat menurut sekali dengan perkataan Ong Tiong. Setiap orang membelalakkan matanya lebar-lebar untuk memperhatikan poci arak itu. Tiba-tiba Kwik Tay-lok tertawa lebar katanya: "Arak bukan diminum dengan mata, mengapa harus dilihat terus dengan mata melotot?"

"Sebab mulutku sedang repot!" jawab Yan Jit. "Repot apa?"

"Repot untuk menelan kembali kata-kataku yang sudah keluar lewat tenggorokan." Tamu sudah mulai berdatangan, tempat itupun sudah tidak leluasa lagi untuk digunakan sebagai tempat berbicara. Kwik Tay-lok mengangkat cawan araknya untuk meneguk setegukan, lalu sambil meletakkannya kembali ke meja, dia berkata: "Kwik toa-sauya memang jarang sekali bisa mentraktir orang...."

"Yaa, anggap saja kau yang beruntung kali ini, hayo kita pergi dari sini!" Lim Tay-peng yang pertama-tama bangkit berdiri, ternyata Ong Tiong juga ikut bangkit. Kwik Tay-lok telah menyodorkan tangannya ke depan matanya. Ong Tiong memandang sekejap ke arahnya lalu bertanya: "Hey, apa yang ingin kau lakukan? Apakah hendak suruh aku untuk meramalkan nasibmu?" Kwik Tay-lok tertawa paksa, sahutnya: "Tak usah diramalkan lagi, aku juga tahu kalau nasibku sudah ditakdirkan miskin sepanjang waktu, yang lebih payah lagi adalah aku cuma ingin mentraktir orang, tapi uang dalam saku rasanya sudah terbang semua meninggalkan tempat."

"Ooooh.... rupanya kau hendak meminjam uang kepadaku untuk membayar rekening?" Kwik Tay-lok mendehem beberapa kali. lalu berkata: "Tahukah kau, semalam aku telah melakukan suatu pekerjaan yang amat menghamburkan uang?" Sebenarnya Ong Tiong ingin tertawa, tapi setelah memandang sekejap ke arah Lim Tay-peng, dia menghela napas panjang, katanya: "Kau sudah salah mencari orang!"

"Jadi uangmu juga habis?" seru Kwik Tay-lok dengan wajah tertegun. "Ehm......!"

"Uang..... uangmu habis dimana?"

"Semalam akupun telah melakukan suatu perbuatan yang sangat menghamburkan uang."

"Apa yang telah kau lakukan?"

"Apakah di dunia ini ada pekerjaan lain yang jauh lebih menghamburkan uang daripada berjudi?"

"Apa? Kau telah habis berjudi? Kalah kepada siapa?"

"Dengan pelayan dari rumah makan ini." Kwik Tay-lok tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian tak tahan lagi dia tertawa tergelak. "Haaahhh....haaahhh... haaahhh... tak heran kalau mereka begitu tunduk kepadamu, sudah barang tentu pelayan-pelayan ini selalu akan melayani orang yang setor uang kepada mereka dengan munduk-munduk, apalagi jangankan orang lain, sekalipun uang itu kau kalahkan di tanganku, akupun bisa melayanimu dengan baik"

"Tapi yang kalah bertarung bukan cuma aku seorang."

"Lantas siapa lagi?" Ong Tiong memandang sekejap ke arah Lim Tay-peng, kemudian memandang juga ke arah Yan Jit. Kwik Tay-lok segera melompat bangun, teriaknya: "Apakah uang kalian sudah kalah semua di meja judi?" Tak seorangpun menjawab, membungkam berarti membenarkan. Kwik Tay-lok segera menjatuhkan diri duduk di kursi, kemudian tertawa getir, serunya:

"Kalau begitu, bukankah pelayan-pelayan itu telah menjadi kaya mendadak?"

"Merekapun tak bakal kaya, cepat atau lambat mereka bakal kalah ditangan orang lain." Pelan-pelan Kwik Tay-lok mengangguk, lalu gumamnya: "Benar, apa yang datangnya terlalu mudah biasanya juga akan pergi dengan gampang."

"Itulah sebabnya kita harus menyumbangkan sedikit derma bakti kita bagi masyarakat."

"Mendarma baktikan apa?"

"Biar uang itu mengalir lebih cepat, biar pasaran kota menjadi bertambah ramai, dengan begitu masyarakatnya baru akan maju dengan cepat." Kwik Tay-lok berpikir sebentar, kemudian tertawa getir. "Tampaknya apa yang kau katakan itu masuk diakal juga!" gumamnya. "Itulah sebabnya kau juga tak perlu bersedih hati."

"Kenapa, aku musti bersedih hati? Aku toh tidak kalah...."

"Maaf, kamilah yang telah membawa uangmu masuk meja judi dan akhirnya ludas pula ditangan mereka." Kwik Tay-lok tertegun. Sebelum dia sempat mengucapkan sesuatu, Ong Tiong berkata lagi: "Sekalipun pousat tanah liat dalam kuil bobrok harus menemani orang tidur, dia pun tak akan menarik ongkos." Pelan-pelan sepasang mata Kwik Tay-lok berubah menjadi bundar, serunya tertahan: "Jadi kalian sudah tahu semua....? Jadi kalian telah bersekongkol....? Kalau begitu si pencopet

yang mencopet uangku adalah..." Tiba-tiba ia menuding hidung Yan Jit sambil berteriak keras: "Kau!" Kwik Tay-lok segera meraih kerah bajunya dan dicengkeram keras-keras, sambil menggigit bibir teriaknya: "Mengapa kau lakukan perbuatan semacam ini?" Yan Jit tidak menjawab, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi agak semu merah. "Sesungguhnya ia berbuat demikian demi kebaikanmu" kata Ong Tiong hambar, "dia tak ingin temannya kejangkitan penyakit sipilis!" Pelan-pelan Kwik Tay-lok melepaskan cengkeramannya, lalu duduk di atas bangku, sambil meraba kepala sendiri gumamnya: "Ooh Thian.... ooh Thian, mengapa kau membiarkan aku bertemu dengan orang-orang semacam ini?" Tiba-tiba ia melompat bangun kemudian sambil menggigit bibir jeritnya melengking: "Kalau kalian sudah tahu bila kantong kita berempat sudah ludas semua, mengapa masih

makan minum sepuasnya di sini?"

"Agar kau senang!"

"Agar aku senang?" Kwik Tay-lok tidak tahan lagi untuk menjerit sekeras-kerasnya. "Tentu saja, bila seseorang sedang mengadakan pesta, dia pasti luar biasa senang, bukan begitu?"

"Yaa, yaa, yaa... aku memang sangat gembira, aku betul-betul gembira sekali maknya.... saking gembiranya aku betul-betul ingin bunuh diri?" teriak Kwik Tay-lok sambil memegang kepalanya agar tidak turut berputar lantaran pening. Tiba-tiba seorang pelayan berjalan menghampiri mereka, kemudian katanya dengan ramah: "Ong toako, kau tak usah risau karena soal rekening, rekening kalian sudah ada yang membayar." Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang. "Aaaai... sungguh tak kusangka di sini masih ada seorang yang punya liangsim juga!" Pelayan itu merah padam pipinya, sambil tertawa ia berseru:

"Sebenarnya aku ingin sekali membayarkan rekening Ong toako, sayang ada orang yang berebut untuk membayar rekening itu lebih dahulu."

"Siapakah orang itu ?" tanya Ong Tiong. "Itu dia yang duduk di ujung sana!" Sambil berkata dia lantas menunjuk ke depan sana, siapa tahu dengan cepat ia menjadi tertegun. Sayur dan arak masih berada di atas meja, malah masih utuh, tapi orangnya sudah lenyap tak berbekas. Kwik Tay-lok berjalan dipaling belakang, baru berjalan beberapa langkah ia berpaling lagi, kemudian ditepuk-tepuknya bahu si pelayan yang menghantar mereka turun ke loteng. itu seraya, berkata: "Ada satu persoalan aku ingin bertanya kepadamu!"

"Tanya saja!"

"Kau sudah menang begitu banyak, apa yang hendak kau lakukan dengan uang tersebut?"

"Aku tidak bermaksud menggunakannya!" Kwik Tay-lok mengawasinya dengan mata melotot, seolah-olah ia bertemu dengan seorang malaikat suci. Tiba-tiba pelayan itu tertawa, katanya lagi: "Aku bermaksud menggunakannya sebagai pokok, aku ingin menang lebih banyak lagi, sebab belakangan ini nasibku agak mujur" Kwik Tay-lok masih melotot ke arahnya, tiba-tiba ia tertawa tergelak, tertawa terpingkal-pingkal sampai hampir saja jatuh terguling dari atas loteng. Sambil tertawa tergelak dia menepuk bahu pelayan itu seraya serunya: "Suatu ide yang amat bagus, suatu ide yang sangat bagus, justru karena ada manusia-manusia semacam kau, umat manusia baru bisa maju, aku mewakili semua orang di dunia ini mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepadamu"

"Mengapa berterima kasih kepadaku?" pelayan itu masih bertanya. Tapi dengan langkah lebar Kwik Tay-lok sudah turun dari loteng itu. Menghela napaslah pelayan tersebut, sambil menggelengkan kepalanya ia bergumam: "Tampaknya beberapa orang ini bukan cuma penjudi, bahkan otaknya rada sinting" Dulu ada seorang yang sangat pintar pernah mengucapkan sepatah kata yang amat pintar juga: "Bila dianggap seseorang sebagai orang sinting, sesungguhnya hal ini merupakan suatu kejadian yang menggembirakan, bahkan jauh lebih menggembirakan daripada dianggap sebagai seorang enghiong atau Nabi sekalipun....!"     Pelayan itu bukan seorang yang cerdik, tentu saja tak pernah mendengar perkataan semacam itu, sekalipun pernah mendengar juga tak akan mengerti. Sesungguhnya teori dari ucapan tersebut amat jarang yang dapat memahaminya. Di dunia ini terdapat dua macam manusia. Semacam adalah orang yang selamanya berbuat dengan teratur dan tahu peraturan, pekerjaan apapun yang mereka lakukan selamanya bisa ditebak orang dan bisa pula dimengerti orang. Berbeda sekali dengan manusia dari jenis yang lain, mereka paling suka melakukan segala macam perbuatan yang sok rahasia dan sok misterius, bukan saja orang lain tidak memahami apa yang mereka lakukan, bahkan mereka sendiripun mungkin juga tidak mengerti. Ong Tiong adalah manusia seperti ini. Lim Tay-peng juga. Tapi di dunia ini ternyata masih ada semacam benda yang jauh lebih rahasia dan misterius dari pada manusia macam ini. Benda tersebut tak lain adalah uang. Dikala kau tak ingin uang, kadangkala tanpa alasan dan tanpa diketahui dari mana datangnya, ia akan muncul sendiri. Tapi bila kau sedang membutuhkan sekali, kadangkala bahkan bayangannyapun tidak kelihatan. Bagaimana rasanya membunuh orang? Mungkin jarang sekali ada yang tahu jawabannya! Dari sepuluh ribu orang, belum tentu kau bisa menentukan seorang saja diantaranya yang pernah membunuh orang. Ada orang bilang begini: "Perduli membunuh orang itu bagaimana rasanya, paling tidak pasti jauh lebih aneka daripada dibunuh orang" Orang yang mengucapkan kata-kata seperti ini, sudah pasti merupakan orang yang tak pernah membunuh orang. Ada pula yang berkata begini: "Rasanya waktu membunuh orang jauh lebih menakutkan daripada sewaktu mati" Orang yang mengucapkan kata-kata tersebut, sekalipun dia belum pernah membunuh orang, paling tidak itu sudah lebih dekat dengannya. "Pernahkah kau membunuh orang?"

"Dengan cara apa kau membunuhnya?"

"Mengapa kau membunuhnya?" Lim Tay-peng selalu menantikan tiga pernyataan tersebut dari rekan-rekannya. Tapi tak seorangpun yang bertanya. Ong Tiong, Yan Jit, Kwik Tay-lok, tiga orang itu seakan-akan telah bersepakat untuk tidak

mengajukan sebuah pertanyaanpun. Sepanjang jalan, tiga orang itu pada hakekatnya tak pernah membuka suara. Jarak antara kota Sian-sin dengan kota San-sin sesungguhnya tidak terlalu jauh, tapi disaat tidak berbicara, jarak yang dekatpun akan terasa amat jauh. Sepanjang perjalanan pulang, Kwik Tay lok membawakan senandung lagu yang lirih, mungkin iramanya sudah lama beredar dalam masyarakat, tapi syairnya adalah gubahan dia sendiri. Sebab kecuali manusia semacam dia, tak mungkin ada orang yang bisa menggubah syair semacam itu. "Sewaktu datang sok gaya, sewaktu pulang badan lemas. Sewaktu datang kantong padat berisi, sewaktu pulang saku kering kerontang, Sewaktu datang...."

"Hey, nyanyian apa sih yang sedang kau bawakan?" tiba-tiba Yan Jit menegur. "Lagu ini bernama pergi-datang, yaa pergi yaa datang, sebentar pergi sebentar datang...." Tiba-tiba Yan Jit menirukan gayanya dan membawakan pula sebait lagu yang berirama sama. "Yang terlepas tidak tembus, yang tembus tidak dilepas, lepas tembus, satu lepas satu tembus."

"Hey, apa pula yang dilepas ?" tanya Kwik Tay-lok. "Kentut anjingmu. Lagu ini dinamakan melepas kentut anjing!" Kwik Tay-lok segera menarik muka, serunya: "Kau tak usah menyindir aku, dulu ada orang yang mohon kepadaku untuk menyanyipun aku masih segan untuk menyanyi."

"Yaa, aku tahu, manusia-manusia mana saja yang berbuat demikian!" kata Ong Tiong sambil manggut-manggut, gayanya seakan-akan dia betul-betul tahu. "Manusia macam apa saja sih?" tanya Yan Jit sambil mengerdipkan matanya yang jeli. "Itu, orang-orang yang tuli!" Kwik Tay-lok ingin menarik muka, tapi ia sendiri tak tahan untuk tertawa geli. Tiba-tiba Lim Tay-peng tertawa dingin, katanya: "Orang tuli paling tidak jauh lebih baik daripada manusia-manusia yang berlagak bisu dan tuli".

"Siapa yang berlagak bisu dan tuli?"

"Kau !" seru Lim Tay-peng mendongkol. Setelah menuding wajah ketiga orang itu satu-persatu, dia berkata lebih jauh:    "Padahal dalam hati kalian ada pertanyaan yang diajukan, mengapa tidak diutarakannya keluar?"

"Bukannya tidak ditanyakan, adalah tak perlu dinyatakan maka kami tidak bertanya" Ong Tiong menerangkan. "Kenapa tak perlu ditanyakan?"

"Manusia semacam itu daripada dibiarkan hidup memang lebih baik kalau dibikin mati."

"Betul, betul, makin banyak manusia semacam itu yang mampus semakin baik untuk kita" sambung Kwik Tay-lok. Setelah menepuk bahu Lim Tay-peng, katanya lagi sambil tertawa: "Kalau toh kau tidak pernah salah membunuh, mengapa kami musti menanyakannya?" Sambil menggigit bibir tiba-tiba Lim Tay peng berkata lagi: "Kalian pernah membunuh orang?" Kwik Tay-lok memandang Ong Tiong, sedang Ong Tiong memandang ke arah Yan Jit. Yan Jit segera tertawa getir, katanya: "Aku tak pernah membunuh orang, aku hanya sering dibunuh orang" Tiba-tiba Lim Tay-peng melompat ke sisi jalan raya, baru tiba di belakang pohon sudah terdengar suara isak tangis yang amat sedih. Yan Jit segera memandang ke arah Kwik Tay-lok, sedangkan Kwik Tay-lok memandang ke arah Ong Tiong. "Dulu ia pasti belum pernah membunuh orang!" kata Ong Tiong. Kwik Tay-lok manggut-manggut tanda membenarkan. "Yaa, kali ini pasti untuk pertama kalinya dia membunuh orang."

"Aaai.... ternyata rasanya membunuh orang jauh lebih tersiksa" kata Yan Jit sambil menghela napas panjang. "Yaa, ketika Lamkiong Cho tahu kalau-kalau ia sedang dikuntit, disangkanya ia sudah mengetahui rahasia hitam makan hitamnya, maka ia lantas turun tangan lebih dulu ingin membunuhnya melenyapkan saksi hidup." kata Ong Tiong. "Siapa tahu sebelum ia membunuh orang, dirinya malah kena dibunuh lebih dulu" Kwik Tay-lok menambahkan. "Tapi aku lihat ilmu silat yang dimiliki Lim Tay-peng agaknya jauh lebih hebat daripada kepandaian kita, malah lebih kuat ketimbang Lamkiong Cho."

"Aaai.... itulah yang dinamakan menilai orang jangan menilai dari wajahnya, dalamnya lautan sukar diukur, ketika bertemu dengannya dulu, aku masih mengira dia adalah seorang lelaki yang untuk memegang ayampun tak mampu" Ia belum juga berhenti, "Siapa yang membunuh orang lain tak sanggup, meski ia sudah berhasil membunuh orang, namun sesungguhnya tak ingin membunuh siapapun" kata Yan Jit. "Bagaimana kalau kita hiburnya agar jangan menangis?"

"Jangan !" cegah Ong Tiong. "Mengapa?"

"Meskipun menangis tidak lebih baik dari tertawa, tapi bila seseorang bisa menangis sepuasnyapun tak menjadi soal" Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, katanya: "Kalau aku mah lebih suka tertawa dari pada musti menangis, sebab bila sedang tertawa paling tidak kita tidak usah bersembunyi di belakang pohon...." Yan Jit juga menghela napas panjang. "Ya, sewaktu kau sedang tertawa, paling tidak kaupun tak usah kuatir ditonton orang banyak." Bila kau takut ada orang yang datang menonton keramaian, maka semakin banyak orang yang datang menonton keramaian itu. Sekarang langit belum lagi gelap, banyak orang yang masih berlalu-lalang di jalan raya itu, sekarang ada diantara mereka yang menghentikan perjalanannya dan melongok kemari, malah ada diantara mereka yang sudah datang menghampiri mereka. Kwik Tay-lok segera menyeka keringatnya dan tertawa getir, bisiknya lirih: "Aku cuma berharap agar orang jangan menaruh curiga kalau dia menangis lantaran dianiaya kita bertiga!" Memang tak ada orang yang "curiga" karena mereka sudah merasa yakin pasti begitulah kejadiannya. Menyaksikan sorot mata orang-orang itu, tanpa terasa Yan Jit ikut menyeka keringat yang membasahi tubuhnya, ia berkata: "Cepatlah mencari akal untuk membujuknya agar cepat pergi meninggalkan tempat ini". Kwik Tay-lok segera tertawa getir. "Aku tidak memiliki kepandaian sebesar itu, paling banter aku cuma bisa menggalikan sebuah lubang."

"Menggali lubang buat apa?"

"Untuk tempat persembunyian, agar tidak dipelototi orang sebanyak ini....!"

"Kalau begitu galilah agak besar!" Dengan gemas Kwik Tay-lok berkata: "Seandainya kalian kalah sedikit saja dan uang tak sampai ludas semua, paling tidak kita masih bisa menyewa kereta, agar dia duduk di dalam kereta dan menangis sepuasnya"

Baru saja ia selesai berkata, benar-benar saja ada sebuah kereta kuda yang sangat indah lewat dari samping dan berhenti tepat di hadapan mereka. Yan Jit segera mengerling sekejap ke arah Ong Tiong, kemudian bisiknya: "Permainan kita yang terakhir tadi memang tidak seharusnya dilangsungkan, kalau toh kalah melulu, janganlah kita punya pikiran untuk berusaha mencari balik kekalahan kita"

"Bila orang yang berjudi tidak ingin mencari balik modal kekalahannya, mungkin orang yang menggantungkan makannya dari berjudi sudah mati kelaparan sejak dulu, tentunya kau tak ingin menyaksikan ada orang mati karena kelaparan bukan?" Sang kusir kereta kuda itu tiba-tiba melompat turun dari keretanya, tiba di hadapan mereka katanya sambil tertawa paksa:

"Yang manakah yang bernama Kwik toaya?"

"Siapa mencari aku? Mau apa mencari aku?"

"Silahkan Kwik toaya naik kereta?" kata kusir itu dengan hormat. "Aku tidak suka naik kereta, aku lebih suka berjalan kaki" Kusir itu segera tertawa paksa, katanya: "Kereta ini adalah teman Kwik toaya yang sengaja mencarternya, uang carter sudah dibayar lunas"

"Siapa yang mencarter?" tanya Kwik Tay lok tertegun. Kusir itu segera tertawa: "Orang itu adalah teman Kwik toaya, jika Kwik toaya sendiripun tidak kenal, dari mana siaujin bisa kenal?" Kwik Tay-lok berpikir sejenak, tiba-tiba ia mengangguk.

"Yaa, aku sudah teringat sekarang siapa gerangan orang itu, dia adalah anak angkatku!" Setelah naik ke dalam kereta, Lim Tay-peng berhenti menangis, cuma ia masih duduk di sudut kereta sambil termangu-mangu. Kwik Tay-lok juga tertegun. "Kau benar-benar punya anak angkat?" tidak tahan Yan Jit bertanya. Kwik Tay-lok segera tertawa getir. "Yaa, aku memang punya seorang anak angkat yang macam setan. Sialan, aku yang kepingin menjadi anak angkat orang saja, orang lain masih menganggap aku terlalu miskin, mana ada orang yang mau menjadi anak angkatku....?"

"Lantas siapakah yang mencarterkan kereta untuk kita?" tanya Yan Jit dengan kening berkerut. "Delapan puluh persen pastilah orang yang telah membayarkan rekening untuk kita sewaktu ada dirumah makan Kui-goan-koan tadi"

"Apakah kau telah melihat tampang orang"

"Aaai... !" Kwik Tay-lok menghela napas panjang, "waktu itu orang lain tidak melihat kepadaku sudah terima kasih kepada langit terima kasih kepada bumi, mana berani aku melihat kepada orang lain?" Jika seseorang harus membayar rekening dan kebetulan sakunya lagi tongpes, dia memang tak berani mendongakkan kepalanya. "Dan kau?" tanya Yan Jit. Ia tidak bertanya pada Lim Tay-peng, yang ditanya adalah Ong Tiong. Tentu saja pada waktu itu Lim Tay-peng tidak mempunyai perhatian untuk memperhatikan orang lain. Ong Tiong segera tertawa, katanya: "Ketika itu aku hanya memusatkan semua perhatianku untuk memperhatikan perubahan mimik wajah Kwik Toa-sau, belum pernah kujumpai wajahnya begitu menawan daripada ketika itu."

Kontan saja Kwik Tay-lok melotot sekejap ke arahnya dengan gemas dan mendongkol: "Aku hanya merasa sayang mengapa tak sempat menyaksikan mimik wajahmu ketika, uangmu ludas di meja judi tadi, waktu itu mimik wajahmu tentu juga menarik se-kali" Maka Yan Jit mulai tertegun, dia sendiripun tak sempat menjumpai si pembayar rekening itu. "Kusir itu mencari Kwik Toaso, itu berarti orang tersebut sudah pasti adalah temannya" kata Ong Tiong. Kwik Tay-lok menghela napas panjang.

"Aaai... aku tidak memiliki teman sesosial itu, diantara teman-temanku kaulah yang paling sosial"

"Aku sangat sosial?"

"Paling tidak kau masih punya rumah, meskipun orang lain muak terhadap rumahmu itu, tapi rumah toh tetap adalah rumahmu."

"Kalau kau senang, biarlah kuhadiahkan untukmu saja" kata Ong Tiong hambar. "Aku tidak mau"

"Kenapa tidak mau?" Kwik Tay-lok tertawa lebar. "Sekarang aku tak punya apa-apa, sakupun tong-pes, tanpa beban dalam saku dan benak berarti aku bisa luntang lantung semauku, tidak seperti kalian, masih harus kuatir karena urusan lain, apalagi mereka yang berduit, mau pergi takut, takut kalau uangnya dirumah dibongkar orang."

"Ong lotoa mungkin masih kuatir sebab dia masih punya rumah, sedang aku? Apa yang musti kukuatirkan?" sela Yan Jit. Kwik Tay-lok memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian katanya sambil tertawa: "Paling tidak kau masih punya baju baru sewaktu bekerja sedikit banyak kau akan kuatir kalau baju barumu itu robek atau kotor, waktu hendak duduk juga tak urung memeriksa dulu apakah lantai ada lumpurnya atau tidak, sedang aku? Tak pernah urusan semacam itu memenuhi benakku, tentu saja aku lebih bebas daripada dirimu".

"Benarkah di dunia ini tak ada yang kau pikirkan? Tak ada urusan yang kau murungkan?" kata Yan Jit sambil menatapnya tajam-tajam. Tiba-tiba Kwik Tay-lok tidak berbicara lagi, agaknya dari balik sorot mata itu terpancar sinar kesedihan.    Tiba-tiba Yan Jit menemukan bahwa orang ini mungkin tidak seriang dan secerah wajahnya bila berada di depan mata orang, mungkin diapun mempunyai persoalan yang menyedihkan hatinya, hanya saja kesedihan tersebut berhasil dia simpan secara baik-baik, sehingga tak pernah orang lain mengetahuinya. Ia cuma memperlihatkan kegembiraannya di hadapan orang, agar orang lain ikut merasakan pula kegembiraannya. Tak pernah membagikan kesedihan dan kemurungannya kepada orang lain agar direnungkan bersama. Yan Jit menatapnya tajam-tajam, mendadak sepasang biji matanya memancarkan cahaya yang lebih jeli.   Semakin lama ia bergaul dengan Kwik Tay-lok, ia semakin merasa bahwa Kwik Tay-lok sesungguhnya adalah seorang yang menyenangkan. Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Ong Tiong menghela napas panjang, katanya: "Kita sudah hampir tiba, sudah hampir tiba di rumah" Dibalik helaan napasnya itu kedengaran nada riang gembira dan kepuasannya. Melongok lewat jendela kereta, mereka dapat melihat bukit kecil nun jauh di sana. Kwik Tay-lok juga tak tahan untuk menghela napas panjang, katanya: "Aaai... agaknya perduli sarang emas atau sarang perak, tak sebuahpun yang bisa menang nyamannya dari pada sarang anjingmu itu!"

"Sarang anjingku?" seru Ong Tiong dengan mata melotot. Kwik Tay-lok segera tertawa lebar. "Maksudku, sarang anjing kita?"

Senja telah menjelang tiba, sinar matahari sore telah tenggelam dibalik bukit. Angin masih berhembus lembut, burung masih berkicau dan jangkrik masih mengorek, perpaduan suara tersebut menciptakan serangkaian irama yang amat merdu, ibaratnya bisikan sang kekasih di sisi telingamu. Bau harum semerbak dari aneka bunga yang tumbuh disekitar sana menambah pula

semaraknya suasana, begitu harum semerbak bagaikan harumnya tubuh kekasih. Kwik Tay-lok menarik napas panjang-panjang, kemudian sambil tertawa katanya. "Sekarang aku baru tahu kalau miskinpun sesungguhnya merupakan suatu kejadian yang

menarik"

"Kejadian menarik?"

"Dari sekian banyak orang kaya, berapakah diantara mereka yang bisa menikmati keindahan alam seperti ini? Berapa pula yang bisa menghirup bau harumnya uang? Mereka cuma bisa menghirup bau busuknya uang yang sudah kumal" Yan Jit ikut tertawa. Tiba-tiba Kwik Tay-lok menemukan bahwa tertawa orang itu lebih cerah dari pada sinar matahari senja, tak tahan dia berseru: "Sekarang aku baru merasakan bahwa kau sama sekali tidak jelek, cuma kadangkala rada dekil!" Kali ini Yan Jit tidak membantah, malah sebaliknya menundukkan kepalanya rendah-rendah. Sebetulnya ia memang bukan seorang yang suka dipermainkan orang seenaknya, apakah ada sesuatu yang telah membuat sikapnya berubah? Sinar matahari senjakah? Apakah embusan angin lembut? Atau mungkin senyuman Kwik Tay-lok yang cerah? "Punya uang juga bukan suatu keadaan yang terlalu jelek," tiba-tiba Ong Tiong ikut berkata. "Bagaimana dengan miskin?"

"Miskin juga tidak jelek!"

"Lantas apa yang jelek?" Tak ada yang jelek, baik-buruknya tergantung pada si manusia itu sendiri, pandaikah dia menikmati keadaan yang sedang dihadapinya. Kwik Tay-lok mencoba untuk meresapi kata-katanya itu, mendadak ia merasa hatinya sangat bahagia dan puas. Dia puas karena ia masih bisa hidup sampai kini. Dia masih hidup karena itu masih bisa

menikmati kehidupan, kehidupan yang sangat indah sekali. Itulah sebabnya, janganlah kau sekali-kali murung karena punya uang, lebih tak boleh murung lagi bila kau sedang miskin. Asal kau pandai menikmati keadaan, maka kehidupanmu di dunia ini baru terasa tidak sia-sia. Sehingga andai kata kau mati pada suatu hari, kau bisa mati dengan hati gembira. Sebab paling tidak kehidupanmu jauh lebih menyenangkan daripada kehidupan orang lain, sekalipun orang yang kaya raya pun. Kereta itu tak dapat naik ke atas bukit maka mereka pun naik ke atas bukit dengan berjalan kaki. Mereka berjalan pelan sekali. Karena mereka tahu bagaimanapun pelannya kau berjalan, akhirnya toh akan sampai di tempat tujuan. Lambat laun udara semakin gelap, tapi mereka tak akan kuatir, sebab mereka tahu sehabis gelap akan terbit terang. Oleh karena itu hati mereka selalu diliputi oleh riang gembira, bahkan Lim Tay-peng sendiripun ikut menjadi cerah. Akhirnya mereka dapat melihat rumah tinggal milik Ong Tiong itu, meskipun hanya sebuah rumah yang kuno dan bobrok, tapi di bawah sorot matahari senja yang masih sempat mengintip dari balik bukit itu, rumah itu tampak lebih indah daripada sebuah keraton. Setiap orang tentu memiliki istana yang amat indah, istana yang indah itu ada dalam hati setiap orang. Aneh, justru ada sementara orang yang tak berhasil menemukannya. Wajah Ong Tiong yang kaku sudah mulai menjadi lembut kembali, tiba-tiba sambil tertawa ia bertanya: "Coba tebaklah, apa yang akan kulakukan setibanya di rumah nanti?"

"Naik keranjang dan tidur!" jawab Kwik Tay-lok dan Yan Jit hampir berbareng. "Tepat sekali!" Tapi dalam kehidupan manusia ini, seringkali bisa juga terjadi hal-hal di luar dugaan. Ketika mereka dalam rumah tersebut, tiba-tiba sudah menyaksikan sinar lampu yang memancar keluar dari balik jendela. Mula-mula dari balik jendela yang tepat menghadap ke arah mereka, kemudian dari setiap balik jendela lainnya. Mereka mulai tertegun, tak tahan Yan Jit berseru: "Dalam rumah ada orang!"

"Mungkin temanmu yang datang menjengukmu?" tanya Kwik Tay-lok pula. "Sebenarnya kemungkinan selalu ada, tapi semenjak aku menjual kursi yang terakhir, tiba-tiba semua temanku lenyap tak berbekas." Setelah tertawa-tawa, terusnya: "Mungkin mereka semalas aku, kuatir setelah tiba di sini lantas tak ada tempat untuk duduk!" Senyuman yang hambar itu merupakan perlambang akan bagaimana mendalamnya dia memahami perasaan orang, itulah sebabnya ia tak pernah mengajukan permohonan yang terlalu besar kepada orang lain. Ketika ia memberikan sesuatu kepada orang, tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menantikan balas jasa..... mungkin itulah merupakan salah satu alasan mengapa ia bisa hidup jauh lebih menyenangkan daripada siapapun. "Lantas, siapa yang memasang lampu-lampu itu?" tanya Yan Jit sambil mengerutkan dahi. "Buat apa kita musti menebak secara sembarangan?" kata Kwik Tay-lok sambil tertawa, "asal kita masuk ke dalam ruangan toh segala sesuatunya akan menjadi jelas?" Sebetulnya sikap tersebut memang merupakan suatu sikap yang amat tepat, tapi kali ini

ternyata keliru. Sekalipun mereka sudah masuk ke dalam, toh tetap tidak tahu. Dalam ruangan itu tak ada orangnya. Lampu lentera yang ada di sana seakan-akan menyulut sendiri. Lampu tersebut merupakan sebuah lentera tembaga yang memancarkan cahaya berwarna keemas-emasan. Lentera tembaga yang masih baru itu berada di atas meja kecil, meja itu berada di atas

permadani dari persia, dan disamping lentera ada bunga segar..... Pokoknya benda apapun dapat ditemukan di sana. Semua benda yang dapat kau lihat dalam sebuah kamar, sekarang dapat kau temukan pula disana. Tempat itu seakan-akan baru saja mengalami suatu peristiwa yang sangat ajaib. Satu-satunya yang tidak mengalami perubahan adalah ranjang besar milik Ong Tiong. Tapi di atas ranjang itupun terdapat sebuah selimut baru, selimut dengan sulaman bunga besar. Kwik Tay-lok yang berdiri di depan pintu hampir melompat keluar sepasang biji matanya dengan wajah tercengang dia bergumam seorang diri:

"Jangan-jangan kita sudah salah masuk rumah orang?" Yan Jit segera tertawa getir. "Tidak, tak bakal salah masuk, ditempat lain tak akan kau jumpai pembaringan dengan ukuran sebesar ini."

"Aaaai.... tampaknya tempat ini seperti baru dikunjungi dewa, entah dewanya itu dewa lelaki atau perempuan?"

"Waah.... tampaknya Ong lotoa kita ini adalah seorang anak berbakti, dia telah membuat haru dewa-dewi di langit sehingga melimpahkan segala sesuatunya kepada dia."

"Aaaah.... mungkin yang dicari dewi itu adalah aku, sebab aku juga seorang anak yang berbakti." sambung Kwik Tay-lok cepat. "Kau bukan anak yang berbakti, kau muka seorang tolol" seru Yan Jit cepat. Walaupun dimulut mereka berkata demikian, namun dalam hati kecil masing-masing juga mengerti. Pasti ada orang yang menghantar barang-barang itu ke sana, besar kemungkinan orang itu adalah orang yang telah membayarkan rekening mereka sewaktu ada dirumah makan Kui-goan-koan tadi. Mereka berkata demikian tak lebih hanya bermaksud untuk menutupi perasaan tak tenang dan curiga yang mencekam mereka semua. Sebab semua orang tak bisa menebak siapa gerangan orang itu? Mengapa ia berbuat demikian? Ong Tiong berjalan menghampiri pembaringannya dengan langkah pelan, kemudian melepaskan sepatunya dan dengan cepat membaringkan diri. Dalam melakukan pekerjaan apapun, dia selalu melaksanakannya dengan lamban dan sopan, sedikitpun tidak kelihatan terburu napsu, hanya sewaktu membaringkan diri di atas ranjang, dia melakukannya dengan cepat bahkan cepat sekali. "Apakah kau akan tidur dengan begitu saja?" tanya Kwik Tay-lok sambil mengerutkan dahinya. Ong Tiong menguap lebar-lebar sebagai tanda atas jawabannya. "Tahukah kau siapa yang telah menghantar barang-barang itu kemari...?" tanya Kwik Tay-lok

lagi. "Tidak tahu! Aku hanya tahu jika sudah lelah harus tidur?" Barang-barang itu mau pemberian dari dewa juga boleh, pemberian setan juga tidak mengapa, pokoknya dia tak ambil perduli, sekalipun semua dewi dan setan berdatangan semua, mereka juga tak akan menyuruhnya tidak tidur. Asal matanya sudah dipejamkan, seakan-akan dia segera akan tertidur. Kwik Tay-lok menghela napas panjang, katanya: "Berbicara sesungguhnya, aku benar-benar merasa amat kagum kepadanya."

"Akan kuperiksa ke halaman belakang sana, mungkin orangnya masih berada di situ," kata Yan Jit pula sambil menggigit bibir. Dibelakang sana memang terdapat sederetan ruang itulah tempat yang pernah ditinggali Swan-bwe-tong tempo hari. Dalam gedung bangunan ini, selain ruang utama dan ruang tengah, masih terdapat tujuh delapan buah kamar lagi, kecuali ruangan yang dipakai Ong Tiong untuk tidur sekarang, dalam tiga buah kamar yang lainpun masing-masing tersedia pula sebuah pembaringan yang empuk dan nyaman. Kembali Kwik Tay-lok bergumam: "Heran, ternyata mereka masih tahu kalau yang tinggal di sini berempat, sungguh teliti amat jalan pemikirannya" Tiba-tiba terdengar Yan Jit berteriak-teriak dari halaman belakang sana: "Kalian cepat kemari, kalian cepat kemari, di sini ada.... ada sebuah.... sebuah....." Sebuah apa? Ternyata dia tidak melanjutkan. Kwik Tay-lok yang pertama-tama menerjang ke luar, disusul kemudian oleh Lim Tay-peng.    Halaman belakang amat bersih dan rajin, entah sedari kapan di sana tahu-tahu sudah tumbuh beberapa batang pohon bambu dan segerombol bunga matahari, waktu itu Yan Jit sedang berdiri diantara bunga aneka warna itu sambil memandang sesuatu benda dengan wajah termangu. Ternyata benda yang sedang dipandang itu adalah sebuah peti mati. Sebuah peti mati yang masih baru. Di ujung peti mati itu seperti tertera sebaris tulisan, ketika diamati ternyata tulisan itu berbunyi begini: "Peti jenazah dari Lamkiong Cho" Mendadak sekujur badan Lim Tay-peng menjadi dingin seperti es, mukanya pucat pasi, bibirnya juga ikut berubah menjadi kebiru-biruan. Kwik Tay-lok agak bergidik juga hatinya setelah menyaksikan kejadian itu, tak tahan dia lantas bertanya: "Dimanakah kau membunuhnya?"

"Di... di luar...."

"Di luar mana ?"

"Di luar rumah tinggalnya".

"Setelah kau membunuhnya, apakah jenazah itu kau pendam ke dalam tanah?" Sambil menggigit bibir, Lim Tay-peng menggelengkan kepalanya berulang kali. Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang. "Aaaai...! Rupanya kau cuma tahu membunuh, tak tahu cara mengubur jenazahnya" Lim Tay-peng semakin pucat, wajahnya seperti orang mau menangis, mengenaskan sekali. "Maklumlah", kata Yan Jit sambil menghela napas, "barang siapa belum pernah membunuh orang, tak urung hatinya akan gugup juga dikala ia membunuh orang untuk pertama kalinya, mungkin saja sehabis membunuh tanpa diperiksa lagi korbannya dia sudah lari sipat telinga."

"Waah.... kelihatannya kau sudah berpengalaman sekali dalam soal bunuh membunuh".

"Jangan lupa, meski aku belum pernah membunuh, paling tidak aku sudah pernah dibunuh." Kwik Tay-lok menghela napas, kembali tanyanya: "Sewaktu kau membunuhnya, apakah disekitar situ tak ada orang lain....?" Lim Tay-peng kembali menggelengkan kepalanya. Kwik Tay-lok lantas berkata: "Kalau tak ada orang lain, lalu siapa yang memasukkan jenazahnya ke dalam peti mati? Siapa pula yang mengirim peti mati itu kemari....?" Tiba-tiba sambil tertawa lanjutnya: "Jika tak ada orang lain yang membantu, toh tak mungkin ia melompat masuk sendiri ke dalam peti mati dan mengirim peti mati tersebut ke tempat ini bukan". Kwik Tay-lok mempunyai semacam penyakit, yakni berada dalam keadaan apapun dia selalu tak tahan untuk bergurau. Padahal ia sendiripun tahu kalau gurauan semacam itu sesungguhnya kurang tepat pada tempatnya. Paras muka Lim Tay-peng kontan saja berubah menjadi pucat kehijau-hijauan, sambil menggigit bibir sahutnya agak tergagap: "Aku.... sebenarnya aku tidak...." Belum habis perkataan itu diucapkan, mendadak dari dalam peti mati itu kedengaran suara benturan keras..."

"Pluuuk !" kemudian berkumandang sekali lagi..... "Pluuuk!"

"Tak usah takut, selagi masih hidup saja kita tidak takut, setelah mampus apa pula yang harus kita takuti?"

"Kalau memang tidak takut, hayolah kita buka peti mati ini agar dia bisa keluar". Yan Jit segera mengusulkan. Kalau dilihat dari lagaknya, dia seakan-akan sudah bersiap-siap untuk membuka peti mati itu. "Nanti dulu!" tidak tahan Kwik Tay-lok berseru. "Apakah kau juga ketakutan?" sindir Yan Jit. Paras muka Yan Jit dan Kwik Tay-lok turut berubah hebat.

"Jangan-jangan jenazah dalam peti mati ini telah bangkit kembali?" pekik mereka hampir berbareng. Tapi kemudian sambil tertawa paksa, Kwik Tay-lok menepuk-nepuk bahu Lim Tay-peng seraya berkata: "Oooh, tentu saja aku tidak takut, cuma saja.... cuma saja... ehm .... cuma.."  

"Blaam.... Blaaaammm......! Blaaam..... kali ini suara benturan keras yang beruntun berkumandang kembali dari dalam peti, bahkan suaranya kali ini jauh lebih keras dari pada tadi, seakan-akan mayat hidup itu telah bersiap-siap untuk keluar dari dalam peti mati tersebut. Kalau di situ kebetulan ada orang yang bernyali kecil, mungkin nyalinya pada waktu itu sudah pecah, bahkan bisa jadi dia akan melarikan diri terbirit-birit. Mendadak Lim Tay-peng berkata: "Biar aku saja yang membuka peti mati ini, toh yang dia cari adalah aku"

"Tidak, kau tak boleh pergi, biar aku saja!" seru Kwik Tay-lok cepat. Sementara mulutnya masih berbicara, tubuhnya sudah melompat ke depan.... Sesungguhnya dia merasa ketakutan setengah mati, mungkin rasa takutnya itu melebihi orang lain, andaikata persoalan itu adalah masalah pribadinya, mungkin saja sedari tadi dia sudah melarikan diri terbirit-birit. Tapi Lim Tay-peng adalah sahabatnya, asal perbuatan itu dilakukan demi teman, kendatipun nyawa bakal lenyap dia juga akan tetap melakukannya tanpa gentar. Yan Jit memandang sekejap ke arahnya, tiba-tiba sinar matanya berubah menjadi lembut dan

hangat, katanya mendadak: "Kau tidak kuatir ditangkap setan?"

"Siapa bilang aku tidak kuatir?" Ketika ucapan terakhir meluncur keluar dari mulutnya, penutup peti mati itu sudah disingkap olehnya. "Weess......!" semacam makhluk hidup tiba-tiba melompat keluar dari dalam peti mati itu. Bagaimanapun besarnya nyali Kwik Tay-lok, tak urung ia menjerit pula saking kagetnya. Makhluk hidup yang baru saja melompat keluar dari peti mati itupun mulai tarik suara, cuma bukan suara pembicaraan yang muncul, sebaliknya adalah serentetan suara gonggongan yang amat nyaring. Ternyata makhluk hidup itu adalah seekor anjing, seekor anjing hitam, seekor anjing hitam

yang masih hidup. Kwik Tay-lok berdiri tertegun di situ, menyeka keringat dan ingin tertawa, tapi suara tertawanya tak mau juga keluar, sampai lama, lama sekali akhirnya dia baru menghembuskan napas panjang dan tertawa getir, katanya:

"Gurauan semacam ini sesungguhnya sangat tidak tepat, cuma orang goblok yang akan bergurau seperti ini."

"Dia pasti bukan seorang yang goblok, diapun tidak berniat untuk bergurau"

"Kalau bukan bergurau lantas apa namanya" Orang ini bukan saja tahu kalau Lim Tay peng telah membunuh Lamkiong Cho, bahkan dia juga tahu kalau Lim Tay-peng tinggal disini" Kwik Tay-lok segera menghela napas. "Aaaai.... tampaknya persoalan yang dia ketahui tidak sedikit jumlahnya, tapi mengapa dia harus berbuat demikian?" Yan Jit turut menghela napas. "Mungkin dia mempunyai maksud lain, mungkin dia berbuat demikian saking menganggurnya tak ada pekerjaan lain selain makan, pokoknya entah apa tujuannya, yang pasti dia telah melakukannya dan ini berarti dia tak akan menghentikan perbuatannya ditengah jalan"

"Kau menganggap dia pasti sudah akan melakukan perbuatan yang lain?" Yan Jit mengangguk. "Itulah sebabnya kita hanya bisa menahan diri, asal kita bisa menunggu dengan sabarkan diri, dia pasti akan menunjukkan batang hidungnya" Kemudian setelah menepuk bahu Lim Tay peng, terusnya lagi sambil tertawa: "Oleh karena itu, lebih baik kita pergi tidur saja sekarang, kalau membiarkan ranjang yang nyaman itu tetap kosong, yang tak mau tidur baru goblok namanya!"

"Tepat sekali !" suara dari Ong Tiong berkumandang dari dalam ruangan jauh di depan sana. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwik Tay-lok sudah dibangunkan dari tidurnya oleh suara keleningan yang amat ramai. Setelah ia mendusin, suara keleningan itu masih saja berbunyi tiada hentinya. Suara tersebut seakan-akan berasal dari dalam ruangan tengah di sebelah depan sana. Biasanya hawa kemarahan seseorang yang baru bangun dari tidurnya jauh lebih besar dari pada di masa lain, apalagi jika dibangunkan oleh suara yang ribut. Tak tahan lagi Kwik Tay-lok segera berteriak keras-keras: "Hei, siapa yang lagi membunyikan keleningan itu? Tangannya lagi gatal yaa?" Ketika ia sedang berteriak tadi, dia pun seakan-akan mendengar Ong Tiong juga sedang berteriak. Keleningan itu masih berbunyi terus tiada hentinya. Kwik Tay-lok segera melompat bangun, dengan bertelanjang kaki dia menyerbu keluar, lalu gumamnya: "Sudah pasti perbuatan dari Yan Jit si bocah muda itu, agaknya setiap saat tangannya selalu akan merasa gatal saja."

"Apa? tanganku merasa gatal, tapi gatal karena ingin memukul orang, bukan untuk membunyikan keleningan" seseorang menyahut sambil tertawa lebar. Yan Jit juga turut keluar, bajunya ternyata masih tetap rapi dan bersih. Orang ini seakan-akan tiap hari selalu tidur dengan berpakaian lengkap. Kwik Tay-lok mengucak matanya sambil tertawa getir, kemudian dengan kening berkerut katanya: "Sudah pasti bukan perbuatan dari Lim Tay-peng bukan? Kecuali kalau ia benar-benar sudah kerasukan roh jahat!" Keleningan itu masih berbunyi tiada hentinya. Sekarang mereka dapat mendengar dengan jelas bahwa suara keleningan tersebut benar-benar berasal dari ruang depan. Kedua orang itu saling berpandangan sekejap, kemudian bersama-sama menyerbu ke dalam. Lim Tay-peng memang berada di situ, tapi bukan dia yang menyembunyikan keleningan tersebut. Dia tak lebih hanya berdiri termangu di sana, yang sedang membunyikan keliningan adalah seekor kucing. Sudah barang tentu, kucing itupun seekor kucing hitam. Sebuah keleningan digantung pada sebuah tiang dengan seutas tali, sedangkan ujung tali yang lain diikatkan pada kaki kucing hitam tersebut. Dengan demikian, dikala kucing hitam itu melompat tiada hentinya, bunyi keliningan pun bergema tiada hentinya pula. Di atas meja ditengah ruangan tertera aneka macam hidangan, semuanya adalah hidangan yang lezat seperti ayam panggang, itik pangggang, bakpao, kueh, bahkan ada pula seguci arak. Rupanya kucing hitam itu membunyikan keleningan untuk membangunkan mereka agar sarapan pagi.

Kwik Tay-lok tak tahan untuk mengucak matanya sambil berseru: "Mungkinkah mataku sudah mengidap penyakit?"

"Matamu itu baru mengidap penyakit bila melihat perempuan!" Yan Jit menyambung. Kwik Tay-lok segera tertawa getir.  "Mungkin saja kucing hitam ini adalah kucing hitam betina, maka mataku jadi penyakit"

"Tidak, jelas kucing ini kucing jantan!"

"Dari mana kau tahu?"

"Sebab tampaknya dia tidak terlalu menyukai dirimu!"

"Sekalipun dia itu betina, juga tak akan menyukai aku, yang disukainya pastilah Ong lotoa"

"Kenapa?" kali ini giliran Yan Jit yang tidak mengerti, maka tak tahan ia bertanya. "Biasanya kucing betina cuma suka dengan kucing malas!"

"Yaa, aku lihat kucing itu pasti kucing betina" tiba-tiba terdengar suara Ong Tiong berkumandang dari belakang.

Jilid 08

KWIK TAY - LOK MAUPUN YAN-JIT menjadi melongo dan tidak habis mengerti, hampir pada saat yang bersamaan mereka bertanya bersama: "Kenapa?"

"Sebab dia bisa menanakkan nasi untuk kita!" Tentu saja kucing tak bisa membuat nasi, Kwik Tay-lok merobek sebuah paha ayam dan dijejalkan ke dalam mulutnya, kemudian dikeluarkan lagi, serunya: "Ayam ini masih panas!"

"Bak-paunya juga masih panas" Yan Jit menambahkan. "Tampaknya hidangan ini belum lama dihampiri kemari"

"Suatu jawaban yang tepat sekali!"

"Tapi siapa pula yang mengirim makanan ini? Masakan orang yang membayarkan rekening buat kita sewaktu dirumah makan Kui-goan koan itu?"

"Aaah, lagi-lagi jawabanmu benar!"

"Mengapa ia begitu melihat pantat kita berempat, Masakah dia benar-benar adalah anak angkatku?"

"Meong... meong.... " Kwik Tay-lok membelalakkan matanya lebar-lebar, sambil mengawasi wajah Yan Jit serunya: "Hei, sedari kapan kau berubah menjadi seekor kucing? Aku mah tak akan memahami bahasa kucing!" Yan Jit tertawa lebar, sahutnya: "Aku sedang mengajak anak angkatmu ini bercakap-cakap!" Dia mengambil sedikit setiap hidangan yang berada di meja, kemudian diletakkan di baki dan disodorkan ke hadapan sang kucing. Dengan cekatan kucing hitam itu melompat ke depan dan melahap hidangan tersebut. Sambil membelai rambutnya yang halus, Yan Jit berkata: "Kaulah yang mengantar semua hidangan itu untuk kami, maka kupersilahkan kau mencicipinya lebih dulu" Kwik Tay-lok turut tertawa tergelak, katanya:

"Kau benar-benar amat berbakti, seakan-akan kau sudah menjadi anak angkatnya kucing itu saja!" Padahal diapun tahu bahwa Yan Jit sengaja berbuat demikian hanya ingin mencoba apakah dalam hidangan itu ada racunnya atau tidak. Yan Jit memang selalu kelewat teliti dalam melakukan pekerjaan apapun, tapi potongannya justru tidak mirip seseorang yang teliti.    Biasanya orang yang teliti tak akan jorok tapi dia pada hakekatnya seperti tak pernah dekat dengan air. Ternyata hidangan itu tak ada racunnya, paha ayam di tangan Kwik Tay-lok pun sudah berpindah ke dalam perutnya. "Tampaknya orang itu tidak menaruh maksud jahat apa-apa terhadap kita..." ujar Yan Jit, "cuma ada sedikit penyakitnya saja."

"Bukan cuma sedikit penyakitnya, tapi banyak sekali, kalau penyakitnya tidak banyak, mana mungkin dia bisa melakukan perbuatan seperti ini...?" seru Kwik Tay-lok. Setelah melahap sebiji bakpao, tiba-tiba katanya lagi: "Orang ini pasti seorang gadis!"

"Darimana kau bisa tahu?"

"Sebab cuma perempuan yang bisa melakukan perbuatan gila-gilaan seperti ini". Sambil menggigit bibir ternyata Yan Jit mengangguk, sahutnya: "Yaa, dia berbuat demikian mungkin saja karena tertarik kepadamu, ingin membaikimu sebab...."

"Sebab apa?" tukas Kwik Tay-lok sambil tertawa tergelak, "karena aku mempunyai jiwa kesatria seorang lelaki? Atau karena tampangku terlalu ganteng ?"

"Semuanya bukan!"

"Lantas karena apa?".

"Karena dia adalah seorang gadis sinting, yang tidak waras otaknya, sebab hanya gadis yang sinting dan tidak waras otaknya baru akan jatuh cinta kepadamu" Kwik Tay-lok ingin menarik muka, tapi tak tahan akhirnya dia ikut tertawa juga, katanya: "Mendingan ada perempuan sinting yang menyukaiku, toh paling tidak ada juga perempuan yang mau denganku!" Sang surya memancarkan sinarnya di luar jendela, berada dalam cuaca secerah ini dia enggan untuk marah kepada siapapun, apalagi marah kepada Yan Jit. Sebab berbicara yang sebenarnya, dia amat menyukai Yan Jit. Lambat laun dia mulai merasa bahwa diantara sekian banyak teman ternyata Yan Jit lah yang paling disukai. Anehnya, Yan Jit justru selalu memusuhinya, bahkan setiap saat berusaha mencari akal untuk menyindirnya. Yang lebih aneh lagi, semakin Yan Jit mengejeknya, semakin suka pula dia kepada Yan Jit. Ong Tiong selalu menjadi pendekar yang baik dalam sindir menyindir itu, bila ia sedang

memandang ke arah mereka, sinar matanya selalu mengandung senyuman yang penuh arti... Baru saja tangan Kwik Tay-lok menjejalkan sisa bakpao ke mulut, tangan yang lain telah menyambar cawan arak. Yan Jit segera mendelik ke arahnya. "Setan arak!" makinya, "apakah kau tak dapat menunggu sampai hari gelap nanti baru minum arak?" Kwik Tay-lok tertawa, ternyata ia meletakkan kembali cawannya ke meja, gumamnya: "Siapa bilang aku hendak minum arak? Aku tak lebih hanya ingin memakai arak untuk mencuci mulut". Pada saat itulah, tiba-tiba dari luar gedung terdengar seseorang sedang bersenandung: "Gunung berbatu karang nun jauh di sana dibalik awan ada rumah, kereta berhenti menikmati hembusan angin, bulan dua bunga berkembang.... sungguh pemandangan yang indah! sungguh sebuah rumah yang nyaman!"

"Waaah. . . kedatangan seorang pelajar rudin lagi!" seru Kwik Tay-lok cepat sambil tertawa. "Bukan seorang, mereka bertiga?" Ong Tiong membenarkan. "Dari mana kau bisa tahu?" Belum lagi Ong Tiong menjawab, benar juga, di luar sana kedengaran seseorang yang lain sedang berbicara: "Kalau kongcu memang senang dengan tempat ini, lebih baik kita beristirahat dulu, kakiku sudah pada linu" Seorang yang lain cepat menambahkan: "Entah siapakah tuan rumah gedung ini? Bersedia tidak membiarkan kita masuk?" Suara kedua orang yang terakhir ini jelas adalah suara kanak-kanak, tapi kanak-kanakpun manusia, jadi yang datang benar-benar adalah tiga orang. Kwik Tay-lok menghela napas panjang, pujinya kemudian: "Telingamu sungguh amat tajam, sekalipun kau tak lebih cuma seekor kucing malas, ternyata telingamu masih jauh lebih tajam dari manusia biasa."

"Ngeong...!". tiba-tiba kucing hitam itu melompat keluar. Ketajaman pendengaran sang kucing ternyata memang tajam sampai Ong Tiong sendiripun tak tahan turut tertawa. Terdengar kongcu itu berkata: "Pintu gerbang ditutup tanpa di kunci, budak cerdaspun sudah keluar menyambut tamu kelihatannya tuan rumah di sini selain suka menerima tamu lagi pula sangat tahu akan seni...." Kwik Tay-lok tak tahan untuk tertawa tergelak, serunya dengan cepat: "Seninya meski tidak, suka menerima tamu memang benar?" Dialah yang pertama-tama munculkan diri untuk menyambut kedatangan tamunya. Sang surya bagaikan bakpao yang baru keluar dari kukusan mendatang pesanan hangat dan nyaman didalam hati setiap orang. Berada dalam udara secerah ini, siapa saja pasti akan berubah menjadi lembut dan hangat bersahabat. Kwik Tay-lok dengan wajah membawa senyum persahabatan menengok ke wajah tiga orang yang berdiri di luar pintu itu. Dua orang bocah laki-laki, seorang membopong kotak buku, yang lain membawa pikulan berdiri di belakang majikan mereka, dua lembar wajah kecil mereka merah dadu seperti buah apel yang sedang matang. Majikan mereka adalah seorang sastrawan yang lemah lembut, usianya tidak begitu besar, wajahnya sangat tampan, bahkan halus berbudi dan sangat sopan. Tiga orang manusia semacam ini, siapapun tak akan merasa muak untuk memandangnya. Kwik Tay-lok segera tertawa, sapanya: "Apakah kalian datang untuk berpesiar? Cuaca secerah ini memang merupakan saat yang tepat untuk berpesiar" Sastrawan itu segera menjura dalam-dalam, katanya: "Bila kedatangan aku yang muda telah mengganggu ketenangan tuan rumah, harap sudilah memaafkan!"

"Aku bukan tuan rumah, aku juga tamu, tapi aku tahu kalau tuan rumah ditempat ini sangat gemar menerima tamu"

"Entah tuan rumahnya berada dimana ?" tanya sastrawan itu sambil tertawa. "Dapatkah aku yang muda menjumpainya?"

"Sekalipun tuan rumah di sini gemar menerima tamu, tapi sayang mengidap semacam penyakit."

"Oooh. . . penyakit apakah yang dideritanya? Aku yang muda sedikit tahu soal ilmu pertabiban, biar kuperiksakan keadaannya." Kwik Tay-lok tertawa. "Penyakit yang dideritanya itu mungkin tak akan bisa kau sembuhkan, sebab penyakit itu

adalah penyakit malas, Bila kau ingin bertemu dengannya, terpaksa harus masuk dan menjumpainya sendiri."

"Kalau begitu akan kuturuti saja perkataanmu itu!" Caranya berjalan amat halus dan sopan, malahan tampak seperti amat lembut, tapi peti buku dan pikulan yang dibawa kedua orang bocah tersebut justru tampak tidak terlalu enteng. Bocah yang memikul pikulan itu berjalan dipaling belakang, sambil berjalan pikulannya berbunyi ting-tang ting-tang tiada hentinya.

Kwik Tay-lok segera meraba kepalanya, kemudian menegur: "Apa sih isi dari pikulanmu itu? Berat tidak?"

"Tidak terlalu berat!" sahut bocah itu dengan mata berkedip, "cuma beberapa botol arak saja, arak Mao-tay tentunya. Kongcu kami gemar minum arak sambil membuat syair, aku tidak bisamembuat syair, aku hanya bisa minum arak."

"Kau juga pandai minum arak ?" tanya Kwik Tay-lok sambil tertawa, "berapa sih usiamu?"

"Empat belas, tahun depan lima belas. Aku bernama Tiau-si (pemancing syair) sedang dia bernama Sau Su (penyapu kekolotan), sedangkan kongcu kami she Ho, kami datang dari Tay-mia-hu. Oleh karena majikan kami sangat gemar berpesiar maka sepanjang tahun kami jarang tinggal di rumah..." Setiap pertanyaan yang diajukan Kwik Tay-lok, paling tidak bocah ini menjawab tujuh delapan patah kata. Kwik Tay-lok yang semakin memperhatikan bocah itu merasa semakin tertarik, akhirnya sengaja ia menggoda bocah itu sambil bertanya lagi: "Mengapa kau bernama Tiau-Si (memancing syair) bukan bernama Tiau Hi (memancing ikan)? Memangnya syair bukan ikan, mana mungkin bisa dipancing?" Tiau Si segera mencibirkan bibirnya seperti tidak pandang sebelah mata terhadap pemuda itu, sahutnya: "Ini cuma satu pepatah saja, mengertikah kau? Oleh karena nama lain dari arak adalah Tiau-si-kou, sedangkan aku selalu membawakan arak buat kongcu, maka akupun dinama-kan Tiau Si, oleh karena bersekolah bisa menghilangkan hawa kekolotan orang, maka dia pun dinamakan Sau Su (penyapu kekolotan)!" Diawasinya Kwik Tay-lok dari atas sampai bawah, kemudian ujarnya lebih jauh: "Aku lihat agaknya kau belum pernah bersekolah?" Haaahhh . . . haaahhh. . . haaahh. . . bocah bagus, rupanya di bawah panglima yang kosen tiada prajurit yang lemah, bukan cuma pandai minum arak, rupanya kau juga berpengetahuan luas!" seru Kwik Tay-lok sambil tertawa terbahak-bahak. Setelah tergelak kembali, katanya lebih jauh. "Sekalipun buku yang kubaca tidak banyak, arak yang kuminum justru banyak sekali, inginkah kau minum beberapa cawan arak denganku?"

"Bila takaran arakmu benar-benar baik, mengapa tidak berani menantang kongcu kami untuk minum arak?" Sekarang Kwik Tay-lok baru menemukan bahwa Ho kongcu tersebut sudah berada dalam ruangan dan mulai bercakap-cakap dengan Ong Tiong, dilihat dari luar jendela, ia bisa merasakan bahwa Ong Tiong maupun Lim Tay-peng menaruh kesan yang baik kepadanya.   Sedangkan Yan Jit tampak sedikit acuh tak acuh, bahkan seringkali melemparkan pandangannya keluar jendela. Begitu Kwik Tay-lok menengok ke arahnya, dia lantas bangkit berdiri dan diam-diam memberi kode tangan kepada pemuda tersebut setelah itu diapun berjalan menuju ke tempat luar. Ketika ia keluar dari ruangan, Kwik Tay-lok segera menyongsongnya seraya menegur: "Kau ada-urusan apa mencariku?" Yan Jit mengerling sekejap ke arahnya sambil menegur: "Mengapa kau selalu seperti tak pernah menjadi dewasa? Apalah enaknya bergurau dengan anak-anak seperti itu?" Kwik Tay-lok segera tertawa.

"Kau mana tahu, mulut bocah itu justru lebih pandai berbicara daripada orang dewasa, kadangkala bila aku sedang bergurau dengan anak-anak, aku akan merasakan diriku seakan-akan menjadi lebih muda lagi." Yan Jit tidak berbicara, dia menyelusuri serambi panjang dan pelan-pelan berjalan menuju kehalaman belakang. Terpaksa Kwik Tay-lok mengikuti dibelakangnya, tapi lama-kelamaan habis sudah kesabarannya, dia lantas bertanya: "Ada sesuatu yang ingin kau dibicarakan denganku?" Yan Jit tidak langsung menjawab, kembali ia berjalan beberapa saat, setelah itu sambil tiba-tiba berpaling tanyanya: "Bagaimana pendapatmu tentang Ho kongcu itu?"

"Kelihatannya mah seperti orang yang tahu seni, katakanlah seorang seniman, malah konon diapun pandai minum arak!" Yan Jit termenung sebentar, kemudian katanya lagi: "Menurut pendapatmu, mungkinkah dia adalah...."

"Orang yang membayarkan rekening kita sewaktu dirumah makan Kui-goan-koan?" sambung Kwik Tay-lok cepat dengan mata mencorong sinar tajam. Yan Jit mengangguk. "Menurut kau, mungkinkah hal ini bisa terjadi?"

"Ehmm, sesungguhnya aku tak berpikir sampai ke situ, tapi sekarang kalau dipikirkan lagi, makin ku pikir rasanya kemungkinan itu makin besar"

"Di sekitar tempat ini toh tidak terdapat banyak pemandangan alam yang indah, mengapa seorang pelancong bisa ke sasar sampai di sini? Bahkan cepat tak mau datang, lambat tak mau datang, kebetulan pagi ini baru datang."

"Yaa, sekalipun peristiwa yang kebetulan sering kali terjadi dalam dunia ini, tapi kejadian tersebut memang kelewat kebetulan."

"Dulu, pernahkah kau bertemu dengannya?"

"Belum pernah !"

"Coba pikir sekali lagi."

   "Tak usah dipikir lagi, seandainya aku pernah bertemu dengan orang semacam ini, sudah pasti wajahnya akan teringat selalu dalam benakku..."

"Dilihat dari sikap Ong lotoa maupun Lim Tay-peng, rupanya merekapun tidak kenal dengannya", kata Yan Jit lebih jauh sambil menggigit bibir menahan emosi. "Siapa namanya?"

"Dia mengakui dirinya bernama Ho Sia-hong, tapi kemungkinan besar nama itu palsu"

"Mengapa dia harus menggunakan nama palsu? Apakah kau beranggapan bahwa dia menaruh maksud jahat terhadap kita?"

"Hingga detik ini, aku belum menjumpai maksud jahat apa-apa pada dirinya."

"Bukan saja tiada maksud jahat, hakekatnya boleh dibilang terlalu baik terhadap kita, baiknya sampai kelewat batas bukan?" terus Kwik Tay-lok. "Justru dia kelewat baik kepada kita, maka aku menjadi curiga.... bila seseorang kelewat baik

kepada orang lain, kebanyakan dia pasti punya tujuan". Tiba-tiba Kwik Tay-lok mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Hei, apa yang kau tertawakan?" tegur Yan Jit. "Aku lagi berpikir, untuk menjadi "orang baik" rasanya sulit amat, jika kau kelewat baik kepada orang lain, orang akan curiga kalau kau punya tujuan, sebaliknya kalau kau kelewat jahat kepada orang, orangpun akan mengatakan kau bajingan tengik." Yan Jit segera melotot sekejap ke arahnya, lalu mengomel: "Sudah kuduga, kau pasti akan membantunya berbicara?"

"Kenapa?"

"Sebab dia juga pandai minum arak, setan arak selalu akan menganggap orang yang bisa minum arak sebagai teman, masa kau anggap dia orang jahat?" Kwik Tay-lok segera tertawa: "Ucapanmu itu ada benarnya juga, orang yang senang minum arak biasanya dia akan periang, tentunya kau tak pernah menyaksikan seorang yang sedang mabuk mengincar harta dan nyawa orang lain bukan?"

"Tapi dia belum mabuk!"

"Sebentar pasti mabuk.... sekarang juga aku punya rencana untuk masuk ke dalam dan melolohnya sampai mabuk!" Setelah tertawa terusnya: "Asal sudah mabuk, masa dia tak akan berbicara terus terang?" Tiba-tiba Yan Jit ikut tertawa: "Hei, apa yang kau tertawakan?" Kwik Tay-lok segera menegur. "Aku sedang berpikir, kau ini paling tidak masih mempunyai kelebihan bila dibandingkan orang lain"

"Oooh, kelebihanku paling tidak masih ada tiga ratus macam lebih, entah kelebihan manakah yang kau maksudkan?"

"Setiap waktu setiap saat kau dapat memanfaatkan kesempatan."

"Kesempatan apa?"

"Kesempatan minum arak!" Kwik Tay-lok telah salah menduga satu hal.... dikala manusia sedang sadar dia terdiri dari

beraneka ragam, maka sewaktu sedang mabukpun keadaannya tak jauh berbeda, tidak seperti apa yang dia katakan tadi, asal sudah mabuk maka semua rahasia hatinya diutarakan semua. Ada sementara orang suka mengibul setelah minum arak, suka mengucapkan beraneka macam perkataan yang ngaco belo, bahkan dia sendiripun tidak tahu apa yang sedang dikatakan, tapi begitu sudah sadar maka semua perkataan yang pernah diucapkan itupun terlupakan sama sekali. Tapi ada pula orang yang tak mampu berkata apa-apa setelah mabuk. Manusia semacam ini bila dia sudah mabuk maka kemungkinan sekali dia akan engucurkan

air mata, mungkin akan tertawa terbahak-babak, mungkin juga akan mendengkur tidur. Tapi dia tak akan mengucapkan sepatah katapun. Dikala mereka sedang menangis, maka makin menangis mereka akan semakin sedih, bahkan sampai akhirnya seakan-akan di dunia ini tinggal dia seorang manusia yang pantas dikasihani. Sekalipun kau berlutut di hadapannya sambil memohon agar jangan menangis, bahkan sekalipun kau bayar kontan dua ratus laksa tahil perak asal mereka mau berhenti menangis, jangan toh berhenti malah kemungkinan besar mereka akan menangis semakin sedih. Menanti ia sudah sadar, dan kau bertanya kepadanya mengapa menangis, ia sendiripun pasti akan keheranan. Bila mereka tertawa tergelak, maka tertawa itu  seakan-akan orang yang mendapat lotre untung delapan puluh juta. Sekalipun rumahnya kebakaran, mereka tetap akan tertawa. Sekalipun kau tempeleng mukanya beratus-ratus kali, mungkin tertawanya akan semakin keras. Jika mereka sudah tertidur, ini lebih parah lagi, sekalipun segenap manusia di dunia ini menendangnya, dia akan tetap mendengkur, bahkan sekalipun kau buang badannya ke laut, mereka masih akan tetap tidur mendengkur. Kebetulan sekali Ho Sia-hong adalah manusia macam ini. Pada mulanya dia seperti masih bisa minum, bahkan minumnya cepat sekali, seteguk belum habis seteguk lain sudah menyusul, tapi secara tiba-tiba, dalam sekejap mata saja ia sudah tertidur. Begitu ia mulai tidur, Kwik Tay-lok tertawa tergelak. "Kau juga mabuk?" dengan gemas tegur Yan Jit. "Aku mabuk? Coba kau lihat, aku seperti orang yang lagi mabuk tidak ..."

"Bukan seperti lagi, delapan puluh persen sudah pasti benar!"

"Kau keliru, kesadaranku sekarang pada hakekatnya sesadar Khong Hucu!"

"Tapi kau tertawa macam anjing kampung"

"Aku cuma lagi mentertawakannya, belum lagi dimulai, dia sudah kena diloloh sampan mabuk."

"Kau masih ingat apa sebabnya kau melolohi dirinya dengan arak"

"Tentu saja masih ingat, sebenarnya aku ingin suruh dia berbicara terus terang."

"Sudah ia katakan?"

"Sudah!"

"Sudah? Apa yang dia katakan?"

"Dia bilang, bila ia menaruh maksud jahat kepada kita, maka ia tak akan mabuk, apalagi mabuk seperti seekor babi mampus!"

Yan Jit mengamatinya dari atas sampai ke bawah, lalu sambil menggelengkan kepalanya dia berkata: "Ada kalanya aku benar-benar tidak habis mengerti, sesungguhnya kau ini sudah mabuk atau masih sadar" Kwik Tay-iok terkekeh-kekeh, dia lantas berpaling dan memandang ke arah Ong Tiong. "Hei, mau apa kau memandang ke arahku?" tegur Ong Tiong. "Aku sedang menunggumu berbicara." jawab Kwik Tay-lok sambil tertawa, "sekarang sudah tiba pada giliranmu untuk berbicara!"

"Kau suruh aku mengatakan apa?"

"Mengatakan sewaktu aku sadar juga mabuk, sewaktu mabuk justru makin sadar." Ong Tiong tidak tahan untuk tertawa pula jawaban tersebut memang amat cocok dengan seleranya. "Benarkah jawabanku ini ?" tanya Kwik Tay-lok lagi. "Tepat sekali!"

Di dalam deretan kamar yang berada di halaman belakang, berjajar-pula dua buah pembaringan. Kedua buah pembaringan itu seakan-akan memang khusus disediakan bagi orang yang sedang mabuk. Ho Sia-hong bagaikan sesosok mayat digotong masuk ke dalam kamar itu dan dibaringkan diatas ranjang. Kwik Tay-lok segera tertawa, katanya: "Kedatangannya hari ini boleh dibilang tepat sekali waktunya, coba kalau datang pada dua hari berselang, terpaksa ia akan dipersilahkan untuk tidur di lantai."

"Aku hanya berharap bahwa tidurnya sekarang dapat tidur sampai besok pagi !" kata Ong Tiong. "Kenapa?"

"Dari pada kita harus pergi menggadaikan barang lagi".

"Mengapa harus menggadaikan barang?"

"Untuk mentraktir tamu kita makan malam!" Kwik Tay-lok segera tertawa lebar. "Mungkin kita tak usah menggadaikan barang lain, apa salahnya kalau menunggu sampai sang kucing menyembunyikan keleningan lagi?"

"Jadi kau beranggapan makan malam kita pun masih akan dihantar orang lain?" seru Yan Jit. "Ehmm .....benar!" Tak tahan Yan Jit segera tertawa terbahak-bahak. "Haaahh. . . haaahhh. . . haaahhh. . . tampaknya kau sudah amat menggantungkan antaran makanan darinya?"

"Haaahnh . . . . haaahhh. . . haaahhh. . . ucapanmu benar sekali, aku memang sudah bersiap-siap untuk menggantungkan diri kepadanya sepanjang masa, aku ingin menyuruh dia mempensiun diriku sampai tua" Perkataan itu sengaja diucapkan dengan suara suara yang amat tinggi, seakan-akan sengaja akan diperdengarkan kepada orang itu. Benarkah orang itu selalu bersembunyi di balik kegelapan sambil mengawasi gerak geriknya. Mungkinkah orang itu adalah Ho Sia hong? Apakah ia benar-benar sudah mabuk? Orang yang mabuk terlalu cepat, seringkali sadar dalam waktu yang amat cepat pula. Belum sampai senja menjelang tiba, tiba-tiba kedua orang bocah itu sudah lari keluar dari halaman belakang menuju ke ruang tengah, kemudian dengan sikap yang sangat hormat mereka berdiri di hadapan Ong Tiong sekalian, kemudian dengan sikap yang sangat hormat pula menyerahkan sepucuk undangan kepada mereka. Terdengar Tiau Si berkata: "Kongcu kami bilang, pagi tadi ia telah mengganggu ketenangan kalian semua, maka malam nanti sudah sepantasnya kalau ia membalas undangan tersebut, karenanya diharapkan kalian semua bersedia untuk meluangkan waktu dan memenuhi harapannya itu. Tentunya kalian

bersedia bukan?" Kwik Tay-lok tidak menjawab, dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Ong Tiong kemudian mengerdipkan matanya berulang kali untuk memberi tanda. Ong Tiong segera bergumam: "Waaah... tampaknya kita tak usah menunggu sampai ada kucing yang membunyikan keleningan lagi" Tiau Si tidak mendengar apa yang sedang dikatakan itu, sekalipun mendengar diapun belum tentu mengerti. Tak tahan bocah itu lantas berseru: "Ong toaya, sebenarnya apa yang sedang kau katakan? Bolehkah aku mengetahuinya?" Tidak sampai Ong Tiong membuka suara, Kwik Tay lok telah menyerobot seraya berkata: "Dia bilang, kami pasti akan memberi muka kepadanya, malam nanti pasti akan hadir kesana!" Yan Jit menghela napas dan gelengkan kepalanya berulang kali. "Aaaai.... kulit muka orang ini tampaknya betul-betul amat tebal!" gumamnya. Mendadak Tiau Si bertanya lagi: "Apa yang sedang dikatakan toaya ini?"

"Dia bilang kita segera akan ke sana?" sahut Kwik Tay-lok lagi cepat-cepat. Tiau Si lantas tertawa, katanya : "Kalau memang begitu, kami harus segera pulang untuk membuat persiapan!"

"Yaa, benar! Lebih cepat memang lebih baik" Dengan sikap yang sangat hormat Tiau Si memberi hormat, kemudian secara tiba-tiba mengerdipkan matanya ke arah Sau Su seraya berbisik: "Bawa kemari!" Kontan saja Sau Su melototkan matanya lebar-lebar, seraya mendengus serunya: "Mengapa harus terburu napsu! Anggap saja kau yang menang!" Kwik Tay-lok yang mendengar pembicaraan tersebut menjadi tidak tahan, ia lantas bertanya: "Hei, apa yang sedang kau bicarakan?"

"la tidak mengatakan apa-apa !" jawab Tiau Si dengan cepat. Kemudian ia menarik tangan Sau Su dan siap diajak lari, tapi Sau Su lebih jujur bahkan juga amat terburu napsu, dengan wajah memerah jawabnya: "Aku sedang bertaruh dengannya, siapa kalah dia harus membayar sekeping uang tembaga."

"Taruhan apa?"

"Aku kuatir kalian tak mau memberi muka untuk menghadiri undangan tersebut, tapi dia bilang...." Dia mengerling sekejap ke arah Kwik Tay-lok, tiba-tiba sambil menggelengkan kepalanya dia berkata: "Apa yang dia ucapkan tak berani kusampaikan"

"Tak usah kuatir, tak akan ada orang yang menyalahkan dirimu"

"Andaikata ada orang yang menegurku?" tanya Sau Su sambil memutar biji matanya. "Jangan kuatir, aku akan melindungi dirimu!" Sekarang Sau Su baru tertawa, katanya kemudian: "Dia bilang, sekalipun orang lain merasa rikuh untuk menghadiri undangan tersebut, toaya pasti tetap menghadirinya, sebab diantara sekian banyak orang, boleh dibilang kulit muka toaya

paling tebal" Begitu selesai berkata, dia lantas menarik tangan Tiau Si dan diajak kabur dari situ. Lewat lama sekali, masih kedengaran suara tertawa mereka yang berderai-derai. Kwik Tay-lok merasa yaa mangkel yaa geli, akhirnya dia cuma bisa bergumam: "Ternyata setan cilik ini tidak jujur, rupanya dia pandai juga berputar kayun dulu sebelum memaki orang."

Yan Jit tak bisa menahan rasa gelinya lagi, dia tertawa terpingkal-pingkal, serunya: "Tepat sekali perkataannya itu, mukamu memang kelewat tebal! Jadi kata-katanya itu tak bisa dianggap sebagai makian, melainkan hanya sebagai kata-kata yang sejujurnya."

"Sesungguhnya dia tak bisa disebut bermuka tebal." kata Ong Tiong pula, "biasanya kalau orang lagi miskin, dia memang susah menahan godaan, apalagi hidangan yang lezat.."

"Yaa, daripada mampus kelaparan lebih baik tebalkan muka tapi kenyang...." Yan Jit menambahkan pula. Kwik Tay-lok tidak menjadi marah, dia cuma ngomel: "Baik, aku memang miskin, kelaparan, bermuka tebal, sedangkan kalian semua adalah

seorang Kuncu!" Tiba-tiba sambil tertawa dingin terusnya: "Coba aku tidak bermuka tebal, kalian si kuncu-kuncu gadungan juga bakal kapiran sendiri, paling tidak juga malam nanti musti berkunjung ke pegadaian"

"Bagaimanapun juga, orang toh tamu kita" kata Yan Jit, "masa kau tidak rikuh untuk mendahar makanan orang?"

"Bagaimanapun juga dia adalah manusia, makan kepunyaannya paling tidak jauh lebih baik dari pada makan-makanan yang dikirim kucing, kalau seorang yang sudah makan makanan kiriman kucingpun masih merasa gembira, lantas dimana kau pasang gaya?"

"Siapa sih yang akan pasang gaya?" kata Ong Tiong, "aku cuma berharap kalau bisa sayur dan arak itu dikirim saja kemari"

Sayurnya tidak terlalu banyak, tapi araknya tak sedikit jumlahnya. Sekalipun sayurnya tidak banyak, tapi semuanya adalah hidangan yang paling lezat dan mewah. "Walaupun sayur ini sudah dibuat sejak semalam" kata Ho Sia-hong, "tapi siaute yang

sepanjang tahun sering berada di luar, caraku menyimpan makananpun amat sempurna sekali, tanggung bau serta warnanya sama sekali tidak berubah. Cuma sayang sayur itu tak seberapa, harap kalian sudi memaafkan" Tiba-tiba Kwik Tay-lok tertawa, katanya: "Kemarin malam kau telah menyiapkan sayur sebanyak ini, apakah sudah kau duga kalau malam ini bakal menjamu tamu?" Tiau Si yang sedang memenuhi cawan dengan arak segera berseru: "Kongcu kami paling suka berteman, sepanjang jalan entah siapa saja yang dijumpai, selalum mengajaknya untuk minum barang dua cawan, karena itu kemanapun dia pergi, sayur dan arak selalu tersedia lengkap." Kwik Tay-lok segera mengerdipkan matanya lalu tertawa lirih, serunya cepat: "Kalau begitu, orang yang bermuka tebal bukan cuma aku seorang."

"Kwik-heng, apa yang kau katakan?" seru Ho Sia-hong keheranan. "Aku sedang berkata dia...." Mendadak Tiau Si mendehem-dehem. Kwik Tay-lok segera tertawa, sambungnya: "Aku merasa caranya menuang arak terlalu lambat, aku sudah merasa agak tak sabaran lagi". Kemudian dia mengangkat cawan araknya, diendus sebentar, kemudian sambil tertawa tergelak katanya: "Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... arak bagus, arak bagus, aku akan menghormati dahulu tuan rumah dengan secawan arak" Baru saja dia ingin meneguk habis isi cawan itu, mendadak Ho Sia-hong menarik tangannya sambil berkata dengan senyuman dikulum: "Saudara Kwik, harap tunggu sebentar, sepantasnya kalau aku yang menghormati kalian berempat lebih dulu, menghormati kalian bersama..." Tiba-tiba muncul seekor anjing hitam dan seekor kucing hitam dari luar ruangan, sambil menerjang datang kedua binatang itu melompat naik ke atas meja, beberapa cawan arak yang baru saja dipenuhi di atas meja itu segera terbalik dan isinya berceceran di tanah. Paras muka Ho Sia-hong kontan saja berubah hebat, tiba-tiba ia turun tangan. Sepasang tangannya itu kelihatan putih lagi bersih, seakan-akan selama hidup tak pernah

menyentuh barang kotor, bahkan botol arak yang robohpun enggan untuk menyentuhnya. Sedang kucing dan anjing itu sangat kotor seperti baru saja bergulingan di atas lumpur. Tapi begitu turun tangan, ia lantas cengkeram tengkuk binatang itu dengan sebuah tangan seekor, kemudian bersiap-siap untuk melemparkannya keluar. Tapi baru saja binatang itu di lempar ke luar tiba-tiba muncul kembali dua buah tangan yang segera menyambutnya. Kwik Tay-lok telah menyambut kucing hitam itu, sedang Yan Jit menyambut si anjing hitam. Sambil membelai tengkuk si kucing dengan lembut. Kwik Tay-lok berkata: "Mau apa kau datang kemari? Apakah kau hendak berebut dengan Ho-kongcu untuk menjadi tuan rumah?" Yan Jit juga lagi membelai kepala anjing hitam itu sambil bergumam: Mau apa kau kemari? Apakah hendak menyainginya untuk berebut minum arak?" Ho Sia-hong yang menyaksikan kejadian itu segera mengerutkan dahinya rapat-rapat kemudian sambil tertawa paksa katanya: "Binatang tersebut mana kotor, baunya tak tahan, mengapa kalian berdua membopongnya dibadan?"

"Aku suka kucing, apalagi kucing yang gemar mentraktir orang!" kata Kwik Tay-lok sambil tertawa. "Aku suka anjing, apalagi anjing yang suka minum arak!" sambung Yan Jit pula sambil tertawa. Ketika arak itu tertumpah di atas meja tadi, anjing tersebut memang telah menjulurkan lidahnya sambil menjilat. Tibab-tiba Ong Tiong bergumam: "Cuma sayang anjing ini bukan anjing buldog." Lim Tay-peng yang sedang mengambil ayam goreng, segera meletakannya kembali ke piring sambil bergumam pula: "Sayang ayam ini bukan bebek panggang!" Paras muka Ho Sia-hong masih tetap tenang, sama sekali tidak menunjukan perubahan apa-apa, malahan sambil tersenyum katanya: "Apa yang sedang kalian berempat katakan? Siaute sama sekali tidak mengerti!"

"Ooh.... mungkin kami sedang mengigau!" sahut Kwik Tay-lok sambil tertawa lebar. Anjing yang berada dalam bopongan Yan Jit itu mendadak menjerit kesakitan, kemudian melompat bangun dari bopongannya dan... "Blam!" terbanting ke atas meja, bagaikan tengkuknya di papah orang secara tiba-tiba, tahu-tahu saja anjing tersebut sudah tak mampu menjerit lagi.   Seekor anjing yang sebenarnya lincah, sehat dan segar, dalam sekejap mata telah berubah menjadi seekor anjing mampus.

Yan Jit mengawasi sekejap anjing mampus itu, kemudian sambil mendongakkan kepalanya memandang ke arah Kwik Tay-lok, katanya: "Coba kau lihat sekarang, inilah contoh yang paling bagus bagi orang yang ingin buru-buru minum arak" Kwik Tay-lok memandang sekejap bangkai anjing itu, kemudian mendongakkan kepalanya memandang ke arah Ho Sian-hong sambil berkata: "Kami bukan orang Kwan-tong, mengapa kau mengundang kami makan daging anjing?" Ong Tiong juga memandang sekejap wajah Ho Sian-hong, paras mukanya masih belum menampakkan perubahan apa-apa, cuma katanya dengan suara hambar: "Konon daging anjing hitam paling lezat!" Lim Tay-peng segera tertawa dingin: "Mungkin anjing itu bukan anjing hitam, melainkan anjing yang memakai baju hitam" Ternyata Ho Sian-hong masih tetap tenang tanpa menunjukkan perubahan apa-apa, pelan-pelan dia bangkit berdiri, lalu sambil menerpa bajunya yang basah oleh arak, katanya: "Harap kalian duduk dulu, aku akan pergi bertukar pakaian, sebentar saja aku akan balik kembali" Kwik Tay-lok segera memandang ke arah Ong Tiong seraya bertanya:

"Dia bilang akan pergi sebentar kemudian balik lagi?"

"Ya aku dengar!"

"Kau percaya?"

"Percaya!"

"Kenapa?"

"Sebab dia tidak bermaksud pergi ke tempat lain, melainkan cuma akan bertukar pakaian dibalik tirai sana" Dengan tenang Ho Sia-hong memandang sekejap beberapa orang itu, ia tidak banyak berbicara lagi, sampai lama kemudian pelan-pelan dia baru membalikkan badan, mengambil peti di atas meja dan berjalan lancar menuju ke belakang tirai. Tirai tersebut terbuat dari kain halus yang mahal harganya, tergantung ditengah ruangan memisahkan tempat itu menjadi dua bagian. Kalau orang lain melotot ke balik tirai, maka Kwik Tay-lok sedang memperhatikan Tiau Si. Waktu itu, paras muka Tiau Si telah merubah menjadi pucat pias seperti mayat. Mendadak Kwik Tay-lok mengerdipkan matanya, kemudian sambil tertawa katanya: "Mengapa kalian tidak tukar pakaian?"

"Aku.... aku tidak membawa pakaian" jawab Tiau Si tergagap. "Kalau di sini tak ada pakaian untuk menukar, mengapa tidak tukar pakaian dirumah saja?" Tiau Si segera menunjukkan wajah berseri, dengan cepat ia menarik tangan Sau Su dan

melarikan diri meninggalkan tempat itu. Yan Jit yang menyaksikan kejadian itu segera tertawa, katanya: "Meski orang ini agak tebal mukanya, ternyata tidak hitam hatinya!" Ketika memandang wajah Kwik Tay-lok, sinar matanya menunjukkan kelembutan dan kehangatan, tapi menanti ia memalingkan wajahnya, sorot mata itu sudah berubah menjadi dingin bagaikan es, sementara paras mukanya juga berubah sedingin es. Ho Sia-hong telah berjalan keluar dari balik tirai. Benar juga, ia telah tukar pakaian, satu stel pakaian berwarna hitam gelap. Pakaian berwana hitam, sepatu berwarna hitam, wajah berkerudung kain hitam, bahkan sebilah pedang yang tersoren dipunggungnya juga berwarna hitam pekat. Itulah sebilah pedang yang empat jengkal tujuh inci panjang. Paras muka Lim Tay peng segera berubah hebat, serunya: "Oooh.... rupanya kau, kau belum mati"

"Yaa aku belum mati, karena kau belum mengerti bagaimana caranya membunuh, dan lagi kaupun belum pandai membunuh orang".

Paras muka Lim Tay-peng segera berubah menjadi merah kehijau-hijauan, yaa jengah yaa marah yaa mendongkol. Ia memang belum pandai membunuh orang, setelah membunuh hatinya menjadi gugup dan kacau, ia tidak memeriksa lagi apakah korbannya benar-benar sudah mati atau tidak. "Jika kau pandai membunuh orang, sekalipun sudah tahu kalau aku telah mati, sepantasnya kalau kau menambahi beberapa bacokan lagi di atas tubuhku!" kata si orang berbaju hitam itu. "Sekarang aku sudah mengerti!" seru Lim Tay-peng sambil menggigit bibir menahan diri. "Mengerti saja percuma, sebab orang yang tak pandai membunuh orang, selamanya tak akan pandai. Membunuh orangpun membutuhkan orang yang berbakat".

"Kalau begitu, apakah saudara mempunyai bakat untuk membunuh orang?" tiba-tiba Yan Jit bertanya. "Yaa, lumayanlah!" Yan Jit segera tertawa, katanya lagi hambar: "Seandainya kau benar-benar berbakat baik dalam soal bunuh membunuh, sekarang kami semua sudah mampus di sini" Orang berbaju hitam itu termenung beberapa saat lamanya, lalu katanya kemudian: "Kalian masih bisa hidup lantaran ditolong anjing itu, seharusnya kalian berterima kasih kepada anjing tersebut!" Yan Jit segera memandang ke arah Kwik Tay-lok, kemudian seluruhnya: "Aaaah! Aku berhasil menemukan sesuatu."

"Apa yang kau temukan?"

"Paling tidak dia mempunyai bakat untuk membunuh anjing, karena paling tidak ia telah membunuh seekor anjing"

"Aku juga menemukan sesuatu" kata Kwik Tay-lok kemudian sambil mengerdipkan matanya. "Apa yang kau temukan?"

"Dia bukan Lamkiong Cho!"

"Kenapa?"

"Sebab dia tidak jelek (cho)!"

"Orang yang bernama Lamkiong Cho, belum tentu orangnya musti bertampang jelek" tiba-tiba Ong Tiong berseru. "Benar!" kata Kwik Tay-lok sambil tertawa, "Seperti orang yang bernama Ong Tiong, belum tentu dia suka tiong (bergerak)"

"Tepat sekali jawabanmu itu!"

"Tapi di atas wajahnya juga tidak ditemukan codet bekas bacokan golok." Banyak orang persilatan tahu, sekalipun Lamkiong Cho berhasil meloloskan diri dari ujung pedang Sip-ci-kiam, namun wajahnya telah terbacok pula sehingga muncul sebuah goresan golok berbentuk salib, itulah sebabnya dia enggan bertemu orang dengan wajah aslinya. "Siapa yang pernah menyaksikan bekas bacokan di wajah Lamkiong Cho?" tanya Ong Tiong kemudian.. "Paling tidak aku belum pernah melihat!"

"Kalau belum pernah ada orang yang pernah menjumpai wajah aslinya, siapa pula yang pernah melihat mukanya!"

"Benar!" sera Kwik Tay-lok sambil tertawa, "siapa tahu kalau bekas bacokan itu tidak di wajah tapi di atas bokongnya!"

Selamanya ini, manusia berbaju hitam itu hanya memandang mereka dengan pandangan dingin, pada saat itulah mendadak dia berkata: "Kalian hanya benar mengatakan suatu!"

"Hal yang mana?"

"Aku tidak membunuh orang, hanya membunuh anjing"

"Haaahhhh.... haaahhh.... rupanya kau telah mengakui dengan berterus terang" seru Kwik Tay-lok sambil tertawa. Manusia berbaju hitam itu mendengus dingin. "Tadi aku telah membunuh seekor dan kau adalah anjing kedua yang akan kubunuh!"    Malam itu sangat hening, sedemikian heningnya sehingga tak kedengaran sedikit suarapun. Kecuali mereka, memang tidak banyak yang tinggal di atas gunung itu, malam ini mungkin akan berkurang seorang lagi. Tapi mungkin juga akan berkurang empat orang. Pohon ditengah halaman bergoyang-goyang terhembus angin dan menimbulkan suara gemerisik. Manusia berbaju hitam itu masih berdiri tak berkutik di tempat semula. Dengan tenang dia berdiri di situ, seolah-olah sudah bersatu padu dengan kegelapan malam yang sunyi. Siapapun itu orangnya memang tak dapat menyangkal lagi, bahwa dia memang seorang

pembunuh yang pandai "membunuh" Dari balik tubuhnya seakan-akan terpancar keluar semacam hawa pembunuhan yang sangat

tebal. Belum lagi pedangnya diloloskan dari sarung, hawa membunuhnya telah terpancar dari balik sarung pedang itu. Kwik Tay-lok masih berada dalam ruangan sambil pelan-pelan melepaskan pakaian. Sedangkan manusia berbaju hitam itu menanti di luar, dia tampak tenang seperti sama sekali tidak gelisah atau terburu napsu. Tiba-tiba Kwik Tay-lok tertawa, katanya:

"Aku lihat, kau memiliki kesabaran yang luar biasa".

"Kalau ingin membunuh orang, harus memiliki kesabaran" sambung Ong Tiong. "Tapi orang yang sabar justru tak akan berhasil membunuh orang"

"Kau sengaja menginginkan dia gelisah, tapi ia tidak gelisah, sekarang ia tidak gelisah, kau yang malah menjadi gelisah, itu berarti dia akan mendapatkan kesempatan yang baik untuk membunuh"

"Oleh karena itulah, aku juga tidak gelisah!" sahut Kwik Tay-lok kemudian sambil tertawa. Yan Jit selalu mengawasinya, tiba-tiba ia berseru: "Bukan saja kau tak usah gelisah, kau pun tak usah maju seorang diri" Kwik Tay-lok segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya sambil tertawa: "Sekalipun muka ku tebal, tapi aku bukan seorang setan yang bernyali kecil"

"Untuk menghadapi manusia semacam ini sesungguhnya kita tak usah terlalu menggubris soal peraturan dunia persilatan"

"Kau mengharapkan kita bisa berempat lawan satu?"

"Mengapa tidak?" Kwik Tay-lok menghela napas panjang. "Aaaai....! Sebenarnya aku juga ingin berbuat demikian, cuma sayangnya aku adalah seorang lelaki" Yan Jit segera menundukkan kepalanya. "Tapi kau.... kau tidak mempunyai keyakinan untuk menghadapinya...?"

"Yaa, aku memang tidak yakin bisa memenangkannya"

"Lantas kau..." Kwik Tay-lok menukas dengan cepat: "Punya keyakinan harus pergi, tidak mempunyai keyakinan juga harus pergi, kejadian ini seperti halnya dengan punya uang juga minum arak, tak punya uang juga minum arak" Ong Tiong tertawa lebar. "Sekalipun perumpamaanmu itu bagaikan kentut busuk anjing budukan, tapi agaknya seperti menerangkan satu hal"

"Hal yang bagaimana?" tanya Yan Jit. "Ada sementara persoalan yang sesungguhnya harus dilakukan walau bagaimanapun juga"

Tiba-tiba Lim Tay-peng berseru: "Baik, pergilah kau, jika ia sampai membunuhmu, aku pasti akan membalaskan dendam bagimu"

Kwik Tay-lok tertawa lebar, ditepuknya bahu orang itu, lalu sahutnya sambil tertawa: "Meskipun kau ini seorang telur busuk, paling tidak kau memiliki jiwa setia kawan yang mengagumkan" Tiba-tiba Yan Jit menarik tangannya seraya berbisik:

"Berdirilah agak jauh, pedangnya tidak terlampau panjang". "Jangan kuatir, aku tak bakal terjebak!" Sambil tertawa tergelak pemuda itu melangkah ke tengah arena. Menyaksikan tingkah laku pemuda itu, Yan Jit segera menghela napas, gumamnya: "Aku tidak habis mengerti, mengapa ada sementara orang yang selalu berlagak menjadi seorang enghiong?"

"Mungkin saja ia sesungguhnya adalah seorang enghiong... sebab ada sementara orang yang sudah menjadi enghiong semenjak dilahirkan", kata Ong Tiong hambar. "Betul!" sambung Lim Tay-peng sambil menghela napas, "entah dia itu setan arak juga boleh, setan telur busuk juga boleh, tapi tak bisa disangkal kalau ia memang seorang enghiong asli, seorang enghiong tulen yang tidak pakai telor" Yan Jit segera menghela papas panjang, gumamnya: "Sayang kebanyakan enghiong tidak berumur panjang" Kwik Tay-lok telah berdiri ditengah halaman, benar juga, ia berdiri agak tegak jauh dari orang berbaju hitam itu. "Mana pedangmu?" orang berbaju hitam itu segera menegur. "Pedangku sudah dikirim ke rumah pegadaian" sahut Kwik Tay-lok sambil tertawa tergelak. Orang berbaju hitam itu segera tertawa dingin. "Heeehhh... heeehhh.... heeehhh... jadi kau berani menghadapiku dengan tangan kosong? apakah kau kuatir kalau mampusnya kurang menyenangkan.... haah ?"

"Aaah, kalau memang bakal mampus, aku menginginkan bisa mampus lebih cepat, daripada hidup menderita akibat kemiskinan, tersiksa batinnya karena miskin".

"Baik akan kusempurnakan kehendakmu itu!" Begitu ia selesai berkata, tangannya sudah berputar meloloskan senjatanya. Baru saja tangannya menyentuh gagang pedang, Kwik Tay-lok telah menyerbu ke muka bagaikan harimau terluka. Hampir melompat keluar jantung Yan Jit menyaksikan kejadian itu. Benarkah Kwik Tay-lok sudah ingin cepat cepat mati? Sudah tahu senjata yang digunakan lawan adalah pedang pendek, mengapa ia harus menghantarkan dirinya? Cahaya pedang berkilauan di angkasa, senjata tersebut sudah diloloskan dari sarungnya. Bukan pedang pendek yang dicabut keluar melainkan sebilah pedang panjang. Cahaya pedang memancar ke empat penjuru bagaikan bianglala, sedemikian tajamnya hingga menyilaukan mata. Sayang sekali Kwik Tay-lok telah menyerbu kehadapan mukanya, ia sudah tidak melihat pedang itu, apalagi menyaksikan cahaya pedangnya. Sepasang matanya juga tidak dibikin silau oleh gemerlapnya cahaya senjata lawan.

Bersambung ke Jilid 09 ...