Bagian 11

Siau Po menceritakan dengan terus-terang, sekali-sekali dia menyelipkan caci maki kepada Go Pay yang dibencinya itu, dia menceritakan bagaimana dia membantu kaisar Kong Hi membekuk pengkhianat yang terkenal sebagai jago nomor satu bagi bangsa Boan itu. Yang ditutupinya hanyalah urusan Hay kongkong yang mengajarnya ilmu silat dan kaisar Kong Hi yang ikut membokong Go Pay. Kwan An-ki dan yang lainnya percaya penuh dengan cerita dari Siau Po, sebelumnya mereka memang sudah mendengar tentang seorang thay-kam cilik yang dengan berani ikut membekuk Go Pay. Saking kagumnya, dia sampai menarik nafas panjang dan berkata: "Go pay terkenal sebagai orang gagah nomor satu bangsa Boan. Kau bukan hanya berhasil membunuhnya, bahkan sebelumnya kau membekuknya terlebih dahulu, ini yang dinamakan takdir! Nasib telah menentukan jalan hidupnya harus berakhir seperti itu!"

Tepat pada saat itu, pintu ruangan terbuka, tampak masuk dua orang anggota perkumpulan itu dengan menggotong sebuah usungan Di belakangnya mengiringi Ki Lao-Iiok. Dia segera berkata: "Cihu, saudara Mau Sip-pat telah diundang datang...."

Siau Po langsung bangun dari tempat duduknya, dia melihat Mau Sip-pat yang terbaring di atas sebuah usungan, pipinya cekung dan matanya celong, wajahnya suram.

"Saudara, a... pakah kau sakit?" tanya Siau Po. perasaannya sedih dan heran melihat keadaan sahabatnya. Mau Sip-pat diundang oleh Ki Lao-liok, dia menduga ada urusan penting yang terjadi di Ceng-bok tong dan dia akan diajak berunding. Tidak disangka-sangka dia melihat Siau Po dan langsung mengenalinya, hatinya gembira sekali.

"Hai, Siau Po!" serunya, "Kau... kau juga berhasil lolos! Oh, betapa aku memikirkanmu! Tadinya aku bermaksud menunggu sampai sembuh kemudian menyelinap ke dalam istana untuk menolongmu!" Hanya beberapa patah kata yang diucapkan oleh Mau Sip-pat, hilanglah kecurigaan orang-orang dalam ruangan itu. Mereka percaya sekarang bahwa bocah itu bukan orang kerajaan Ceng.

Sebetulnya Mau Sip-pat bukan anggota Tian-te hwe, tetapi namanya sudah terkenal di dunia kangouw sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur. Mau Sip-pat juga seorang buronan kerajaan Ceng dengan demikian berarti mereka berada di pihak yang sama.

"Mau toako, apakah kau terluka?" tanya Siau Po khawatir. Sip-pat menarik nafas dalam-dalam agar dadanya terasa lega.

"Malam itu, ketika aku berniat melarikan diri dari istana, begitu sampai di halaman depan, aku kepergok para siwi, sendirian aku dikeroyok lima siwi tersebut. Dua di antaranya berhasil kubunuh, tapi aku sendiri juga kena terbacok sebanyak dua kali, aku kabur dengan dikejar para siwi itu. sebenarnya aku hampir tidak punya kesempatan lagi untuk menyelamatkan diri, untung saja datang saudara-saudara dari Tian-te hwe ini yang memberikan bantuan. Apakah kau juga ditolong oleh saudara-saudara dari Tian te hwe ini?" Pertanyaan itu membuat Kwan An-ki dan yang lainnya menjadi malu hati, mereka jengah sebab bukan mereka menolong Siau Po melarikan diri dari istana, tetapi mereka justru membekuk dan menculiknya dari sana.... Namun, tidak disangka-sangka Siau Po tidak mempermalukan mereka.

"Benar! Di istana, si thay-kam tua memaksa aku menjadi thay-kam cilik seperti dia sendiri. Baru hari ini aku mendapat kesempatan meloloskan diri, untunglah aku bertemu dengan bapak-bapak dari Tian-te hwe ini!" Semua anggota Tian-te hwe menghembuskan nafas lega mendengar ucapan Siau Po. Muka mereka benar-benar dibuat terang, mereka menjadi bersyukur karena kehebatan bocah ini.

"Mari kita istirahat di dalam," ajak Ki Lao-liok kemudian. Mereka berbicara di ruang sembahyang bersama yang lainnya. Lukanya Mau Sip-pat parah sekali, meskipun selama setengah tahun ini dia sudah berobat dengan berganti-ganti tabib, tapi masih belum sembuh secara keseluruhan. Ketika dia digotong keluar barusan, usungannya berguncang-guncang sehingga lukanya terasa nyeri kembali. Saking menahan rasa nyeri itu, Mau Sip-pat sampai tidak sanggup berbicara, padahal banyak yang ingin dibicarakannya dengan Siau Po. Mereka telah terpisah begitu lama dan selama ini mereka saling memikirkan sehingga perasaan mereka tidak pernah tentram. Hati Siau Po justru yang paling lega, "Biar bagaimana, tidak mungkin mereka membunuhku..." pikirnya dalam hati, Tadinya dia cemas orang-orang perkumpulan Tian-te hwe itu tidak percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang thay-kam bangsa Boan. Ketika Sip Pat beristirahat dengan menahan rasa nyerinya, Siau Po sudah tertidur pulas di atas kursi, Tubuhnya meringkuk. Tengah malam, Siau Po merasa tubuhnya dibopong kemudian dipindahkan ke atas pembaringan lalu ditutupi sehelai selimut. Ketika dia terjaga dari tidurnya yang nyenyak, segera muncul seseorang yang membawakan sebaskom air untuk membasuh muka, Kemudian dia juga dibawakan semangkuk bakmi dan secawan teh.

"Semakin lama semakin baik perlakuan mereka terhadapku," pikir Siau Po. "Senang sekali diperlakukan seperti orang dewasa." Namun ketika dia membuka pintu kamar, hatinya langsung tercekat Di luar kamar ada orang yang berdiri tegak, demikian pula di

luar jendela, Apakah orang-orang itu sedang mengawasinya secara diam-diam karena khawatir dia akan melarikan diri? Tapi Siau Po memang cerdik, dia pura-pura tidak melihat mereka.

"Kalau mereka benar-benar menganggap aku sebagai tamu, mengapa aku harus diawasi?" pikirnya lagi, Tapi Siau Po tidak takut Dia berkata dalam hati, "Hm! Kalian ingin menjaga aku, Wi Siau-po? Aku mau keluar, ingin kulihat bagaimana caranya kalian empat manusia tolol bisa mencegahku?" Diam-diam Siau Po mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar itu, dia segera mendapatkan akal yang bagus. Tiba-tiba dia membentangkan jendela sebelah timur keras-keras sehingga menimbulkan suara yang gaduh. Ke empat penjaga itu terkejut setengah mati. Serempak mereka menoleh ke arah sumber suara. Tepat pada saat itu Siau Po menghentak pintu kamarnya lalu membantingnya dengan keras dan secepat kilat dia menyusup ke kolong tempat tidur. Kembali keempat orang itu terkejut. Apalagi setelah melihat bahwa jendela dan pintu kamar sudah terbuka lebar, hati mereka tercekat Mereka ditugaskan untuk mengawasi bocah itu, tetapi sekarang mereka yakin Siau Po sudah kabur.

"Ayo!" teriak mereka serentak, dengan gugup mereka lari ke dalam kamar. Mau Sip-pat masih tertidur dengan nyenyak namun bocah itu sudah tidak kelihatan.

"Bocah itu pasti belum jauh! Lekas kalian berpencar mengejarnya!" kata penjaga yang satu.

"Aku akan memberikan laporan!"

"Baik!" sahut ketiga kawannya, kemudian mereka pun berpencaran yang satu menuju luar dan dua lagi naik ke atas genteng, sedangkan yang satu lagi segera masuk ke dalam. Begitu orang-orang itu meninggalkan kamarnya, Siau Po segera keluar dari kolong tempat tidur. Sengaja dia mengeluarkan suara batuk-batuk kemudian dengan tenang melangkah ke arah aula. Dia membuka pintu dan tampaklah Kwan An-ki sedang duduk bersama Ki Lek-si, sedangkan penjaga tadi sedang memberikan laporan. Tampaknya orang itu panik sekali sampai-sampai bicaranya pun tersendat dan tiba-tiba ucapannya terhenti ketika dia melihat si bocah muncul di depan pintu. Mulutnya mengeluarkan seruan tertahan da matanya menatap dengan membelalak. Sikap Siau Po tenang sekali, dia menganggukkan kepalanya pada kedua tokoh Ceng-bok tong itu.

"Lie toako! Kwan hucu! selamat pagi! Apa kabar?" seenaknya saja Siau Po memanggil Lie toako dan Kwan hucu seperti anggota Tian-te hwe lainnya. Kwan An-ki dan Lie Lek-si saling pandang sejenak.

"Sudah pergi!" bentak Kwan An-ki pada si penjaga.

"Dasar manusia tidak berguna!" Penjaga itu menganggukkan kepalanya berkali-kali dan cepat-cepat keluar dari ruangan aula, Kwan An-hi menoleh kepada Siau Po dan berusaha bersikap sewajar mungkin.

"Silahkan duduk! Apakah tidurmu nyenyak tadi malam?"

"Terima kasih, Kwan hucu," sahut Siau Po sambil tersenyum, "Tidurku nyenyak!" Tepat pada saat itu jendela aula tersebut tiba-tiba terpentang lebar, dua orang melompat ke dalam sambil berseru.

"Kwan hucu, bocah itu kabur entah kemana!" Kata-katanya mendadak berhenti sebab dia melihat Siau Po sudah duduk di dalam ruangan bersama para pemimpinnya.

"Dia... dia!" Satu di antaranya menunjuk ke arah Siau Po dengan sikap gugup dan bingung. Siau Po tidak dapat menahan kegelian hatinya, Dia tertawa terpingkal-pingkal. Menurutnya, kejadian itu lucu sekali.

"Kalian empat orang dewasa benar-benar tidak ada gunanya! Seorang bocah cilik pun tidak sanggup diawasi. Kalau aku memang berniat melarikan diri, sejak tadi aku sudah menghilang!"

"Ta... pi, tapi bagaimana caranya kau bisa keluar dari kamar itu? Apakah mata kami yang sudah kabur?" kata salah seorang penjaga itu keheranan.

"Kami tidak melihat bayangan siapa-siapa dan tahu-tahu kau sudah lenyap. Aneh sekali!" Siau Po tertawa.

"Aku menguasai ilmu melenyapkan diri tanpa terlihat oleh siapa pun, sayangnya ilmu itu tidak bisa aku ajarkan kepada kalian!" Kwan An-hi mengernyitkan keningnya mendengar pembicaraan mereka, Kemudian dia mengibaskan tangannya.

"Kalian boleh mundur sekarang!" katanya, "Tidak heran! pantas!" seru kedua orang itu dengan pandangan kagum, Mereka percaya dengan penuh ocehan bocah itu. Setelah itu mereka memberi hormat kepada Kwan An-ki dan Lie Lek-si, lalu mengundurkan diri.

Lie Lek-si tertawa lebar.

"Saudara kecil, usiamu masih muda sekali, tapi otakmu sungguh cerdik. Kami benar-benar kagum kepadamu!" Belum sempat Siau Po memberikan komentar tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara derap kuda, Dapat diduga bahwa ada serombongan orang berkuda yang sedang mendatangi ke arah tempat tersebut. Kwan An-ki dan Lie Lek-si langsung melompat bangun dari tempat duduknya.

"Mungkinkah pasukan Boan yang datang?" tanya Lie lek-sie dengan suara lirih. Kwan An-ki menganggukkan kepalanya, dia segera menyelipkan kedua jari telunjuk dan jempolnya disela-sela bibir kemudian bersuit tiga kali. Lima anggota Tian-te hwe segera menghambur ke dalam.

"Semua bersiap!" kata Kwan An-hi.

"Lie Iao-liok, kau lindungi saudara Mau Sip-pat. Kalau pasukan itu jumlahnya besar, jangan lawan mereka dengan kekerasan. Kita mundur teratur seperti rencana semula." Kelima orang itu segera mengiakan lalu mundur, semua anggota Ceng-bok tong segera bersiap sedia.

"Saudara kecil, mari ikut denganku!" kata Kwan An-ki. Tepat pada saat itulah, seorang penunggang kuda menghambur datang dengan cepat sambil berseru: "Cong tocu tiba!"

"Apa?" Kwan An-ki dan Lie Lek-si terhenyak seketika, Yang di maksud dengan Cong tocu adalah ketua dari markas pusat.

"Cong tocu datang bersama kelima tongcu lainnya," kata pembawa berita itu menerangkan "Mereka datang dengan menunggang kuda!" Dari terkejut, Kwan An-ki dan Lie Lek-si menjadi senang sekali.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Aku bertemu dengan Cong tocu di tengah jalan, dan aku diperintahkan untuk berjalan duluan agar dapat memberi kabar kepada kalian," sahut orang baru datang itu. Tampaknya dia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa sehingga nafasnya masih tersengal sengal.

"Kau istirahatlah!" perintah Kwan An-ki yang kemudian memanggil orang-orangnya dan lalu menjelaskan "Yang datang bukan pasukan Boan, tetapi Cong tocu dengan kelima tongcu lainnya, Sekarang kalian bersiap-siap untuk mengadakan penyambutan!"

Perintah itu segera disiarkan Para anggota perkumpulan itu pun sibuk mengadakan penyambutan, sementara itu, Kwan An-ki menarik tangan Siau Po.

"Saudara kecil, Cong tocu kami datang. Mari kita menyambutnya!" Bocah itu hanya mengangguk lalu mengikutinya, Lie Lek-si dan yang lainnya pun ikut keluar. Dalam sekejap mata, orang-orang dari bagian Ce bok tong perkumpulan Tian-te hwe yang jumlahnya tiga ratus orang lebih sudah berbaris rapi, semuanya tampak bersemangat. Mau Sip-pat ikut menyambut, dia digotong oleh dua orang.

"Saudara Mau, kau adalah tamu kami, seharusnya tidak perlu sungkan seperti ini," kata Lie Lek-si.

"Tapi, aku sudah lama mendengar nama besar Cong tocu yang ibarat petir menyambar di angkasa, Sudah selayaknya kalau hari ini aku menemuinya, Aku sudah merasa puas dapat bertemu dengannya walaupun setelahnya aku akan mati!" sahut Mau Sip-pat antusias.

"Lie Lek-si terharu mendengar ketulusan Mau Sip-pat. Suara derap kaki kuda semakin jelas, tampaklah belasan penunggang kuda sedang mendatangi. Tiga di antaranya segera mendahului yang lainnya, Begitu tiba, mereka langsung melompat turun dari kuda masing-masing. Lie Lek-si menyambut ketiga orang itu, mereka langsung berjabat tangan dengan akrab sekali, Siau Po mendengar seseorang berkata.

"Cong tocu ada di depan menunggu, Lie toako, Kwan hucu dan saudara-saudara yang lain, mari kita menyambutnya!" Lie Lek-si menganggukkan kepalanya, Bersama-sama Kwan An-ki, Ki Piu-ceng, Cui toucu beserta yang lainnya segera keluar. Mau Sip-pat merasa kecewa.

"Apakah Cong tocu tidak datang kemari?" tanyanya pada seseorang, Dia tidak memperoleh jawaban, tampang yang lainnya juga menyiratkan kekecewaan yang sama sepertinya. Sesaat kemudian, datang lagi seorang penunggang kudanya yang langsung menyebutkan nama tiga belas orang, ketiga belas orang inilah yang sedang dinantikan oleh Cong tocu mereka.

"Mau toako," panggil Siau Po. "Bukankah usia Cong tocu itu sudah lanjut sekali?" Mau Sip-pat tidak diajak oleh rombongan yang menyambut ke depan.

"A... ku belum pernah melihatnya," sahut Ma Sip-pat dengan nada kecewa, "Berapa banyak orang dunia kangouw yang ingin bertemu dengannya namun ini memang bukan hal yang mudah..." Siau Po merasa tidak puas melihat sikap Ma Sip-pat.

"Huh! Banyak amat lagaknya! Apanya yang hebat? Lohu sih tidak berniat bertemu dengannya." katanya terus-terang. Tiga ratusan anggota Ceng-bok tong masih berbaris menanti, namun ada beberapa di antaranya yang sudah merasa pegal sehingga duduk berjongkok.

"Tuan Mau," kata seseorang di antaranya, "baiknya tuan Mau istirahat saja di dalam, kalau Cong tocu datang, nanti kami akan kirim orang untuk memberitahukannya kepadamu."

"Tidak!" sahut Sip pat sambil menggeleng kepalanya, pada dasarnya adat orang yang satu ini memang keras sekali Siau Po yang paling tahu persis.

"Biar aku menunggu di sini sampai Cong tocu datang, Kalau aku tidak berbuat demikian, itu namanya aku tidak menghormatinya, Entahlah, apakah dalam hidup ini aku mempunyai peruntungan untuk bertemu dengannya atau tidak." Siau Po hanya mendengarkan dengan berdiam diri, memang sejak di Yang-ciu, Mau Sip-pat sudah menyatakan kekagumannya kepada Tocu perkumpulan Tian te hwe ini, itulah sebabnya dia mendumel terus karena keinginannya untuk bertemu demikian kuat. Beberapa saat kemudian, kembali terdengar suara derap kaki kuda, serentak semua orang yang sedang duduk maupun berjongkok langsung berdiri, mereka menjulurkan kepalanya ke depan dengan harapan ada panggilan lagi dari tocu atau ketua pusat mereka. Kali ini muncul empat orang penunggang kuda, salah satunya yang menjadi pemimpin langsung menghampiri Mau Sip-pat kemudian menjura daIam-dalam.

"Cong tocu mengundang tuan Mau Sip-pat dan tuan Wi Siau Po untuk bertemu muka!" Bukan main senangnya hati Mau Sip-pat. Dia sampai meloncat turun dari usungannya, namun sesaat kemudian dia langsung menjerit keras dan roboh jatuh. Kegembiraan yang meluap-luap membuat dirinya lupa bahwa tubuhnya masih menderita sakit, tapi dia menahan rasa nyeri itu.

"Mari kita pergi!" katanya penuh semangat. Wi Siau Po juga senang sekali Tapi alasannya lain dengan Mau Sip-pat.

"Orang biasanya memanggil aku dengan sebutan kongkong, sehingga aku merasa sebal, Baru kali ini ada yang memanggil aku tuan. Ya, baru pertama kali! Tuan Wi Siau Po!" pikirnya antusias.

Mau Sip-pat mengucapkan terima kasih. Dua orang segera menggotongnya ke atas usungan. sedangkan seorang lainnya menyodorkan seekor kuda kepada Siau Po agar bocah itu menungganginya. Sejenak kemudian semuanya berjalan beriringan, mereka membelok ke kanan di mana ada sebuah jalan kecil. Di antara jarak tertentu, selalu ada dua atau tiga orang yang melakukan penjagaan Ada yang berdiri dan ada juga yang duduk. Setiap melewati orang-orang itu, utusan yang ditugaskan menjemput Mau Sip-pat dan Siau Po selalu menunjukkan dua atau tiga jari tangannya. Hanya saja gerakan tangannya berbeda-beda, Rupanya itu semacam kode di antara mereka.

Baik Mau Sip-pat maupun Siau Po sama-sama tidak mengerti arti kode itu, yang jelas itulah tanda rahasia dari perkumpulan Tian-te hwe. Mereka berjalan terus sejauh dua belas atau tiga belas li. akhirnya mereka tiba di depan sebuah gedung yang besar dengan pekarangan yang luas sekali, Di sana juga terdapat puluhan penjaga.

Orang yang menjadi utusan itu segera melompat turun dari kudanya dengan diikuti rekan-rekannya yang lain, mereka menggerakkan tangannya memberi isyarat. Melihat itu, seorang penjaga langsung berkata dengan suara lantang, "Tamu-tamu sudah

datang!"

Pintu gerbang pun segera dibuka, muncullah Lie Lek-si bersama Kwan An-ki dan dua orang lainnya yang belum pernah dilihat oleh Mau Sip-pat maupun Siau Po. Mereka semua menjura dengan merangkapkan kedua tangannya dan salah satu dari kedua orang itu segera berkata.

"Tuan Mau, Tuan Wi, selamat datang! Cong tocu kami sudah menunggu kalian berdua!" Bukan main senangnya hati Siau Po. Diam-diam dia berpikir dalam hati.

"Ah, benar-benar aku sudah tua!" sementara itu, Sip Pat berusaha untuk bangkit, tapi dia langsung terjatuh kembali sambil menahan nyeri.

"Aduh, bagaimana aku harus memberi hormat kepada Tocu.... Aduh!"

"Sudahlah, Tuan Mau," kata Lie Lek-si.

"Kau toh sedang terluka, Tidak usah banyak peradatan!" Siau Po bergegas membalas penghormatan mereka, Sip Pat langsung digotong kembali menuju aula pertemuan. Sampai di sana, seorang penjaga berkata kepada Siau Po.

"Tuan Wi, harap tunggu sebentar di sini! Cong tocu ingin berbicara lebih dulu dengan Tuan Mau!" Siau Po mengangkat bahunya dengan tampang apa boleh buat, Mau Sip-pat langsung diusung ke dalam, Siau Po dipersilahkan duduk, teh dan beberapa macam kue segera disajikan di depannya, Siau Po mencicipi sepotong kue. Dia berkata dalam hati.

"Kue ini lain sekali rasanya dengan kue yang dihidangkan dalam istana." Karena kue yang tidak lezat itu, pandangan Siau Po terhadap Cong tocu perkumpulan Tian-te hwe agak meremehkan Tapi karena perutnya lapar, dia makan cukup banyak juga. Kurang lebih setengah kentungan kemudian, Lie Lek-si dan yang lainnya muncul lagi, Kali ini yang mengiringinya ada seorang kakek yang janggutnya sudah memutih dan panjang sekali. Dia mengatakan kepada Siau Po bahwa ketua mereka sudah menunggu di dalam.

Saat itu Siau Po sedang makan sepotong kue, mendengar kata orang tua itu, dia repot membersihkan mulutnya dan mengelapkan tangannya di pakaian lalu menjura kepada beberapa orang itu. Akhirnya dia diajak ke ruangan dalam. Sampai di depan sebuah ruangan, orang tua itu langsung menyingkap tirai penyekatnya sambil berkata.

"Siau Pek-liong Wi Siau-Po sudah datang!" Mendengar kata-kata itu, hati Siau Po merasa heran juga senang, Tadi dia dipanggil

dengan sebutan tuan, sekarang malah ada yang menyebut julukannya Siau Pek-liong atau si naga kecil putih.

"Pasti Mau toako sudah menceritakan semuanya sehingga mereka tahu julukanku!" pikirnya dalam hati. Di dalam ruangan tampak seorang laki-laki setengah baya bangun dari duduknya dan menyambut Siau Po dengan senyuman Iebar.

"Silahkan masuk!" katanya, Siau Po langsung masuk ke dalam kamar Kwan An-ki segera memperkenalkan inilah Tan Cong tocu kami!" Siau Po mendapat kenyataan bahwa orang ini mempunyai sifat penyabar namun sepasang matanya menyorotkan kewibawaan besar Diam-diam hatinya tercekat dan tanpa disadari dia menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Laki-laki setengah baya dengan dandanan sastrawan itu tersenyum ramah.

"Bangunlah!" katanya sambil mencekal lengan Siau Po.

"Tidak perlu banyak peradatan!" Siau Po terkejut juga heran, Cekalan tangan ketua perkumpulan Tian-te hwe itu membuat tubuhnya terasa panas dan bergetar Dia tidak sanggup berlutut lebih lama.

"Saudara kecil, kau telah membinasakan Go Pay yang terkenal sebagai orang gagah nomor satu bangsa Boanciu. Dengan demikian berarti kau telah membalaskan sakit hati orang banyak yang menjadi korban keganasan si jahat itu. Karena itu pula, dalam waktu yang singkat namamu sudah terkenal kemana-mana, Kau benar-benar orang langka yang sulit dicari duanya di dunia ini!"

Sebetulnya Siau Po termasuk manusia kulit badak, Biasanya dia akan menerima pujian seperti itu dengan bangga, Tapi kali ini, mendengar suara Tan Cong tocu yang demikian lantang dan berwibawa, wajahnya jadi merah padam. Laki-laki setengah baya itu menunjuk ke arah sebuah kursi.

"Silahkan duduk!" Siau Po menurut, dia duduk di tempat yang ditunjuk sambil mengucapkan terima kasih. Sementara itu, Lie Lek-si dan yang lainnya tetap berdiri dengan tangan lurus ke bawah. Cong tocu itu tersenyum dan berkata kembali "Menurut tuan Mau Sip-pat, saudara kecil telah membinasakan seorang kepala siwi di gunung Te Seng San wilayah Yangciu, Untuk seorang yang baru tampil di dunia kangouw, jasamu ini sudah terhitung besar sekali, Saudara kecil, dapatkah menceritakan bagaimana caranya kau dapat membunuh Go Pay, si manusia dorna itu?" Perlahan-lahan Siau Po mengangkat kepala, ketika pandangan matanya bertemu dengan sinar mata tokoh Tian-te hwe itu, jantungnya langsung berdegup-degup dengan keras. Dia tidak berani berbohong.

Karena itu, dia segera menceritakan dengan terus-terang perihal terbekuknya Go Pay dan bagaimana dia berhasil membunuhnya ketika masih berada dalam kamar tahanan, Dia juga tidak menutupi bahwa dia disayang oleh kaisar kerajaan Ceng. Ketua Tian-te hwe itu menganggukkan kepalanya berkali-kali mendengarkan penuturan Siau Po.

"Kiranya begitu! Saudara kecil, dengan demikian berarti ilmu silatmu lain alirannya dengan tuan Mau. Di luar tampaknya kau seperti menguasai ilmu Siaulim pai, sedangkan di dalamnya kau memahami ilmu Kong tong pai! Saudara kecil, bolehkah aku mengetahui siapa gurumu itu?" Diam-diam Siau Po merasa terkejut dan kagum.

"Benar-benar tajam mata Cong tocu ini. Dari ceritaku saja dia dapat menebak aliran ilmu yang kupelajari pikirnya. Cong tocu tersenyum melihat Siau Po yang terdiam.

"Aku dapat melihatnya dari gerak-gerikmu. caramu berjalan menunjukkan bahwa kau adalah orang Siau lim pai. Aku tidak dapat menduga sampai mana dasar tenaga dalam yang kau miliki. Tapi dari cekalanku tadi, aku tahu kau mempelajari inti tenaga dalam

Kong tong pai. Terus-terang saja, aku juga heran dengan bercampur aduknya ilmu yang kau pelajari itu."

"Sebenarnya si kura-kura tua itu tidak mengajarkan aku ilmu silat yang sejati, hanya mengajarkan dengan keliru saja," sahut Siau Po. Pengetahuan Cong tocu dari perkumpulan Tian-te hwe ini luas sekali, tapi dia tidak pernah mendengar adanya orang yang dijuluki si kura-kura. Karena itu dia memandang Siau Po dengan heran.

"Siapa si kura-kura tua itu?" Siau Po tertawa.

"Si kura-kura tua adalah Hay kongkong! Nama aslinya Hay Tai-hu, Aku dan Mau toako ditawan olehnya kemudian dibawa ke istana." Berkata sampai di situ, Siau Po terkejut sendiri. Dia khawatir Mau Sip-pat sudah menceritakan semuanya dengan terus-terang kepada Cong tocu ini. Apalagi sebelumnya dia mengaku ditangkap oleh Go Pay namun sekarang dia mengatakan bahwa Hay kon kong yang menawannya. Otaknya bekerja dengan cepat Dia segera menambahkan. "Kura-kura tua itu mendapat perintah dari Go Pay, dialah yang menawan kami. Go Pay adalah seorang menteri yang kedudukannya tinggi sekali, Tentu dia merasa gengsi turun tangan sendiri!" Cong tocu diam-diam berpikir dalam hatinya, "Hay Tai-hu? Hay Tai-hu? Apakah di dalam partai Kongtong pai ada tokoh sehebat itu?"

"Eh, saudara kecil, coba kau mainkan beberapa jurus ilmu yang diajarkannya kepadamu," kata tocu itu kemudian Siau Po merasa malu menunjukkan ilmu yang belum matang itu. Karena itu dia berkata.

"Si kura-kura tua hanya mengajarkan aku ilmu palsu, Dia sangat membenci aku, sebab aku telah membuat matanya menjadi buta, itulah sebabnya dia menggunakan akal apa saja untuk mencelakakan aku, ilmu ajarannya tidak pantas dilihat orang!" Cong tocu tidak memaksa, dia hanya mengibaskan tangannya, Kepalanya manggut beberapa kali, Dia mengerti Siau Po tidak ingin menunjukkannya di hadapan orang banyak. Tentu saja Kwan An-ki dan yang lainnya juga maklum. Mereka segera mengundurkan diri. Pintu ruangan itu pun ditutup rapat, Cong tocu bertanya lagi kepada Siau Po.

"Bagaimana caranya kau membutakan mata si kura-kura tua itu?" Siau Po merasa serba salah menghadapi orang yang mempunyai wibawa besar seperti Cong tocu ini, karenanya dia mengambil keputusan untuk berbicara sejujurnya, Dia pun menceritakan bagaimana dia meracuni Hay kongkong sehingga matanya buta. Dia juga menceritakan tentang Siau Kui cu yang dibunuhnya kemudian dia menyaru sebagai si thay-kam cilik itu. Cong tocu terkejut sekaligus merasa lucu, Dia menganggap bocah ini memang luar biasa, otaknya cerdik dan nyalinya pun besar, Tapi dia masih ingin menguji apakah bocah ini bicara sejujurnya atau tidak. Tiba-tiba tangannya menjulur ke depan secepat kilat ke arah selangkangan Siau Po. Dalam sekejapan mata dia sudah menarik tangannya kembali sambil menghela nafas lega. Ternyata bocah ini memang belum dikebiri.

"Bagus! Bagus!" katanya kemudian sambil tertawa, "Tadinya aku masih ragu sehingga sulit rasanya mengambil keputusan, ternyata kau memang belum dikebiri, saudara kecil!" Tangan kirinya menepuk meja seakan teringat sesuatu yang penting.

"Aih! inilah yang harus aku lakukan, Ya, dengan demikian saudara In ada keturunannya dan Cen bok tong pun ada yang memimpin." Siau Po bingung, Dia tidak mengerti apa ya dikatakan Cong tocu itu. Karenanya dia hanya memperhatikan dengan seksama. Hatinya lega melihat wajah Cong tocu itu berseri-seri. Kalau laki-laki itu berwajah kelam, hatinya pasti akan gentar menghadapinya. Cong tocu itu memangku tangannya sambil berjalan mondar-mandir. Terdengar dia menggumam seorang diri.

"Apa yang dilakukan oleh perkumpulan Tian-hwe adalah perbuatan yang tidak pernah dilakukan orang lain sebelumnya. semuanya boleh dibilang akulah yang bertindak, segala perbuatan yang mengejutkan orang banyak, Namun, apa artinya semua ini?"

Siau Po masih memperhatikan terus, Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Cong tocu itu.

"Di sini hanya ada kita berdua, Kau tidak perlu malu-malu. Coba kau mainkan seluruh ilmu silat yang pernah diajarkan Hay Tai-hu kepadamu, Aku ingin melihatnya, tidak perduli ilmu itu asli atau palsu," katanya kemudian. Baru sekarang Siau Po mengerti mengapa Kwan An-ki dan yang lainnya disuruh mengundurkan diri.

"Kalau ajaran Hay kongkong tidak benar, harap jangan ditertawakan," kata bocah itu.

"Tentang itu kau tidak perlu khawatir," sahut Cong tocu sambil tersenyum. Siau Po tidak berani banyak bicara lagi, Dia segera menjalankan Taycu Taypi Cian-yap jiu yang diajarkan oleh Hay kongkong, Cong tocu memperhatikan dengan seksama sejak awal sehingga selesai Kepalanya manggut-manggut, "Bagus! Rupanya kau juga pernah mempelajari ilmu Taykim-na hoat dari Siaulim pai, benar kan?" Siau Po menganggukkan kepalanya, tadinya dia tidak berniat menunjukkan tetapi ternyata Cong tocu ini dapat mengetahui segalanya dengan tepat. Dia pun tidak berani menutupi lagi.

"Tujuan si kura-kura tua mengajarkan ilmu padaku hanya untuk menguji ilmu kaisar," katanya, Dia pun segera memainkan jurus-jurus ilmu Taykim-na hoat tersebut. Cong tocu tertawa. "Bagus!"

"Sudah sejak semula aku tahu akan ditertawakan!" sahut Siau Po setengah menggerutu.

"Aku tidak menertawakan, justru aku senang melihatnya," kata Cong tocu sambil tersenyum.

"Daya ingatmu baik sekali dan kecerdasan otakmu juga sukar dicari tandingannya. Kau seorang anak yang berbakat. Barusan kau memainkan jurus Pek be huan te (Kuda putih mengais tanah) sebetulnya Hay kongkong memang sengaja mengajarkanmu secara keliru, tapi ketika kau menjalankan sampa jurus Le-hi toksu (lkan lele melompat-lompat) kau dapat mengikuti perubahannya, Bagus sekali!" Mendengar kata-kata Cong tocu itu, Siau Po berpikir dalam hatinya.

"Rupanya ilmu Cong tocu ini jauh lebih tinggi dari Hay kongkong. Kalau dia sudi mengajarkan ilmu silat kepadaku, tentu aku akan lihay sekali. Tidak perlu lagi aku menjadi pahlawan gadungan, aku bisa menjadi seorang pendekar besar." Tanpa terasa dia melirik ke arah Cong tocu, tidak tahunya saat itu sang ketua perkumpulan Tian-te hwe itu juga sedang mengawasinya dengan tajam. Biasanya Siau Po sangat berani, meskipun terhadap kaisar Kong Hi maupun Hong thayhou dia juga tidak merasa takut, namun menghadapi tokoh yang satu ini, entah mengapa dia tidak tahan menatap sinar matanya yang tajam dan mengandung wibawa itu.

"Tahukah kau apa tujuan utama Tian-te hwe?" tanya Cong tocu dengan nada sabar.

"Tian-te hwe ingin membantu bangsa Han membasmi bangsa Tatcu, Bahkan kalau mungkin ingin membangkitkan kembali kerajaan Beng!" sahut Siau Po. Cong tocu menganggukkan kepalanya berkali-kali.

"Benar! sekarang aku ingin bertanya, maukah kau masuk menjadi anggota Tian-te hwe dan menjadi saudara kami semua?" Siau Po senang sekali mendengar tawaran itu, "Bagus! Bagus sekali!" Selama di Yangciu, sudah sering Siau Po mendengar sepak terjang yang dilakukan perkumpulan itu. Dan sebenarnya perkumpulan itu bukan rahasia lagi bagi rakyat maupun pihak kerajaan, Semua orang sudah mengetahuinya. Dan Siau Po sendiri sudah lama sekali mengaguminya, "Cuma, aku khawatir... aku tidak mempunyai peruntungan untuk masuk sebagai anggotanya."

"Kalau ada niatmu untuk masuk menjadi anggota perkumpulan kami, sebetulnya tidak sulit, hanya ada satu hal yang harus kau ketahui, perkumpulan kami mempunyai peraturan yang keras. Siapa yang melanggarnya, baik sengaja atau tidak, akan mendapat hukuman berat. Karena itu kau harus mempertimbangkannya matang-matang!"

"Mengenai hal itu, aku sudah tahu, Karena nya aku tidak perlu pertimbangkan lagi," sahut Siau Po.

"Apa pun peraturan kalian, akan kutaati semuanya. Cong tocu, asal kau bersedia menerima aku menjadi anggota, sulit rasanya melukiskan kegembiraan hatiku ini." Senyum di wajah Cong tocu sirna seketika, "Urusan ini sangat penting. Menyangkut soal mati dan hidup, bukan sebuah permainan seperti yang kau bayangkan!" kata Cong tocu dengan tampang serius.

"Aku mengerti, Cong tocu, Aku pun tidak berani menganggapnya sebagai permainan, Sudah lama aku mendengar tentang perkumpulan Tian-te hwe yang melakukan berbagai perbuatan mulia, Sepak terjangnya selalu menggetarkan langit dan bumi! Hal sepenting ini mana boleh dianggap permainan anak kecil?"

"Bagus kalau kau memang mau tahu?" kat Cong tocu itu kembali Bibirnya tersenyum.

"Untuk masuk menjadi anggota Tian-te hwe ada dua puluh enam sumpah yang harus kau ucapkan dan sepuluh larangan yang tidak boleh kau langgar, kalau tidak, maka bisa mendapat hukuman berat!" Sewaktu mengucapkan kata-kata ini, suara Cong tocu itu serius dan berwibawa sekali, Terdengar dia menambahkan kembali: "Di antaranya ada beberapa aturan yang belum berlaku padamu, mengingat usiamu yang masih kecil, namun ada satu peraturan yang harus kau ingat baik-baik, bunyinya begini: Seorang anggota perkumpulan kami harus jujur dan lurus, tidak boleh berdusta atau berpura-pura! Nah, dapatkah kau mentaati peraturan yang satu ini?" Siau Po tertegun, Dia menatap ketua pusat itu lekat-lekat.

"Terhadap Cong tocu sendiri, sudah pasti aku tidak berani berdusta, Tetapi bagaimana dengan saudara-saudara yang lain? Toh, tidak mungkin aku bicara sejujurnya sampai ke hal-hal yang paling kecil?"

"Tentu saja urusan kecil tidak masuk hitungan, Yang dimaksudkan di sini adalah urusan penting dan yang menyangkut orang banyak!" sahut Cong tocu.

"Baik!" sahut Siau Po.

"Ada lagi, bolehkah aku berjudi dengan saudara-saudara yang lain? Bolehkah aku menggunakan cara-cara tertentu untuk mengakali orang lain?" Cong tocu memperhatikan Siau Po dengan tajam. Dia tidak menyangka bocah sekecil itu akan mengajukan pertanyaan demikian, namun dia tetap tersenyum.

"Berjudi itu tidak, meskipun perkumpulan kami tidak memiliki aturan khusus yang melarangnya. Demikian pula dengan mengakali orang, perkumpulan kami juga tidak memiliki larangan untuk hal yang satu ini. Tapi kau harus ingat, apabila kebohongan atau kecuranganmu diketahui oleh saudara yang lain, ada kemungkinan kau akan dihajar setengah mati. Apakah kau mau kepalamu dikemplangi orang banyak hanya karena hal yang tidak berarti?" Siau Po tertawa lebar mendengar kata-kata Cong tocu itu. Hal ini membuktikan bahwa bagaimanapun Siau Po masih seorang bocah yang polos namun keberaniannya patut dipuji.

"Pasti mereka tidak tahu kalau telah diakali. Lagipula, dalam berjudi, aku tidak perlu menggunakan akal apa pun karena sembilan puluh persen uang mereka akan pindah ke kantongku!" Cong tocu itu enggan membicarakan soal perjudian Hal itu memang tidak dilarang, Demikian juga minum arak. Kedua hal itu memang suka dilakukan orang-orang gagah meskipun dia sendiri kurang menyenanginya.

"Sekarang ada satu hal lagi yang ingin kutanya kan kepadamu, maukah kau mengangkat aku sebagai guru?" tanya Cong tocu. Siau Po tertegun, tapi hanya sebentar, hatinya senang tidak terkatakan. "Oh!" Dia langsung menjatuhkan diri berlutut di depan Cong tocu kemudian menyembah berkali-kali dan memanggil: "Suhu!"

Kali ini Cong tocu membiarkan saja. Setelah Siau Po menyembah sampai belasan kali, baru dia menghentikannya. "Sudah cukup!"

Siau Po pun berdiri, wajahnya berseri-seri menunjukkan hatinya yang gembira sekali. "Sekarang kau dengar baik-baik," kata Cong tocu, "Aku she Tan bernama Kin-lam. Nama Tan Kin-Lam ini hanya nama yang dipakai dalam perkumpulan kita, Kau telah menjadi muridku, ada baiknya kau tahu namaku yang asli, yaitu Tan Eng-hoa." Ketika menyebut nama aslinya, Tan Kin-lam sengaja merendahkan suaranya sehingga hanya Siau Po yang dapat mendengarnya.

"Baik, suhu!" sahut Siau Po penuh hormat "Tecu akan mengingatnya baik-baik dan tidak akan membocorkan rahasia ini kepada siapa pun!" Tan Kin-lam menatap muridnya lekat-lekat kemudian berkata dengan nada sabar.

"Sekarang hubungan kita adalah guru dan murid. Kita juga harus berhati tulus antara satu dengan yang lainnya, terus terang saja aku katakan, otakmu itu terlalu cerdik, bahkan banyak bicara dan menjurus ke licik. sifatmu itu tidak cocok dengan watakku sendiri Tapi mengapa aku mengambilmu sebagai murid? Tentu saja ada alasannya, yakni demi kepentingan perkumpulan kita ini!"

"Suhu, tecu berjanji akan merubah sifat buruk ini agar kelak dapat menjadi orang baik-baik!" sahut Siau Po.

"Negara bisa diubah, mengubah watak seseorang justru lebih sulit dari menemukan jarum di tengah samudera, Kau sadar dan kau berjanji, tapi aku tahu kau tidak dapat berubah banyak, Tapi aku sudah mengeluarkan ucapanku. Baiklah... kau masih muda,

perasaanmu mudah berubah atau terpengaruh. Lagipula kau belum pernah melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela. Karena itu, kau harus mengingat kata-kataku baik-baik, Terhadap murid, aku mempunyai peraturan yang keras. Kalau kau sampai melanggar peraturan, terutama mengkhianati perkumpulan kita, aku tidak segan-segan mencabut nyawamu. Ingat, aku dapat melakukannya semudah membalikkan telapak tangan dan dalam hal ini aku juga tidak mengenal belas kasihan! kata Tan Kin-lam serius.

Selesai berkata, Tan Kin-lam menggebrak meja di hadapannya sehingga ujungnya menjadi gompal kemudian dia meremas pecahan kayu itu sehing hancur seperti debu yang bertaburan. Mata Siau Po membelalak lebar saking kagumnya. Tanpa dapat ditahan lagi dia menjulurkab lidahnya. Sungguh hebat gurunya ini, Namun sejenak kemudian dia merasa gembira sekali atas peruntungannya yang bagus.

"Suhu, aku berjanji tidak akan melakukan perbuatan yang tercela, seandainya satu kali saja aku melakukan perbuatan jahat, kau boleh pelintir batang leherku ini sampai putus. Tapi suhu, sebelumnya aku ingin mengatakan terlebih dahulu, Kalau leherku putus, tentu tidak bisa lagi menerima ajaran ilmu darimu!"

"Ya, kau ingat baik-baik!" kata Tan Kin-lam. "Satu kali saja kau melakukan kejahatan, kita bukan lagi guru dan murid!"

"Bagaimana kalau dua kali?"

"Diam! jangan memutar lidah! Kita membicarakan hal yang serius!" hardik Tan Kin-lam yang mulai kewalahan menghadapi muridnya yang satu ini.

"Baik, suhu," sahut Siau Po, Namun dalam hatinya dia berkata, "Bagaimana kalau aku hanya berbuat setengah kesalahan?"

"Dengar!" kata Tan Kin-lam kembali "Sekarang aku telah menerima kau sebagai murid, tapi aku tidak mempunyai banyak peluang untuk mengajarkan ilmu kepadamu, Karena itu...." Laki-laki setengah baya itu mengeluarkan sejilid kitab tipis dari dalam saku bajunya. "Kitab ini berisi inti ilmu tenaga dalam, Kau bacalah dengan teliti, kemudian ikuti gambar-gambar petunjuk yang ada di dalamnya." Siau Po menganggukkan kepalanya. Tan Kin-lam segera membalikkan halaman kitab itu satu persatu dan menunjukkan cara berlatih menurut gambar yang ada. Dia menjelaskannya dengan terperinci sampai Siau Po mengerti.

Tetapi Siau Po masih kecil, lagipula dia belum begitu paham ilmu silat, jadi sulit baginya untuk memahaminya secara keseluruhan Namun dia berusaha memusatkan segenap perhatiannya. Hampir satu jam lamanya Tan Kin-lam memberikan penjelasan, kemudian ia berkata: "Pelajaran ini mempunyai syarat yang terpenting, yakni kesungguhan hati, Hal ini memang akan menimbulkan kesulitan untukmu karena dasar ilmu yang kau pelajari sudah berbeda dengan yang tertera dalam kitab ini. Tapi asal kau belajar dengan tekun, bersungguh-sungguh, tetap akan membawa faedah yang tidak kecil bagimu, Dan apabila sedang berlatih kau merasakan kepalamu pusing atau matamu berkunang-kunang, kau harus segera menghentikannya. Sampai perasaanmu sudah membaik kembali, baru kau boleh melatihnya kembali. Apabila kau berkeras melanjutkan di saat kau merasa sakit kepala atau tidak enak badan, akibatnya bisa berbahaya sekali ingat baik-baik!"

"Baik, suhu," sahut Siau Po sambil mengucapkan terima kasih dengan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah tiga kali, setelah itu baru memasukkan kitab itu ke dalam saku bajunya.

"Kau terhitung muridku yang keempat," kata Tan Kin-lam menjelaskan selanjutnya, Mungkin kau juga akan menjadi muridku yang terakhir dan termuda. Urusan Tian-te hwe yang harus ditanggulangi masih menumpuk, karena itu aku tidak bisa menerima murid terlalu banyak. Kau harus ingat, dalam dunia persilatan, derajatku tidak rendah, namaku juga tidak pernah cacat, karena itu sebagai muridku, jangan sekali-sekali kau melakukan perbuatan yang dapat membuat aku kehilangan muka!"

"Baik, suhu," sahut Siau Po.

"Tapi...."

"Tapi apa?"

"Memang aku tidak akan mencemarkan nama baik suhu, tapi bagaimana kalau hal itu terjadi di luar kehendakku? Umpamanya aku dikalahkan orang dalam perkelahian lalu aku kena ditawan dan diangkat kesana kemari seperti layaknya benda mati. Kalau hal itu sampai terjadi, aku mohon suhu dapat memaafkannya...." Tan Kin-lam mengerutkan keningnya, bocah ini memang luar biasa, Ada-ada saja pertanyaan yang terpikirkan olehnya, Untuk sesaat dia merasa lucu, sekaligus diam-diam mengeluh dalam hati, Akhirnya dia menarik nafas panjang.

"Aku telah menerimamu sebagai murid. Mungkin ini merupakan suatu kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan seumur hidup. Tapi, biar bagaimana aku tetap akan menjalaninya. Semua ini demi kepentingan perkumpulan kita, Siau Po, sebentar lagi kau harus berhadapan dengan berbagai urusan perkumpulan ingat baik-baik apa yang telah aku katakan kepadamu tadi, Asal kau pandai membawa diri, jangan banyak mulut atau bicara sembarangan aku yakin tidak ada masalah bagimu!"

"Baik, suhu!" sahut Siau Po. Matanya menatap Tan Kin-lam lekat-lekat.

"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Tan Kin-lam yang dapat menerka ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh muridnya itu.

"Tecu ingin menjelaskan Apabila tecu berbicara, tecu akan berbicara hal-hal yang beralasan, tidak nanti Tecu berbicara sembarangan."

"Bagus! Mulai sekarang kau harus kurangi bicaramu!" kata sang guru. Diam-diam Tan Kin-lam berpikir dalam hati, "Entah berapa banyak orang-orang gagah berbicara denganku, Biasanya mereka selalu berpikir dahulu matang-matang sebelum mengemukakan pikirannya, Tidak seperti bocah ini yang ceplas-ceplos seenaknya, Dia sungguh berani dan juga bandel sekali." Kemudian dia berdiri dan berjalan menuju pintu, Setelah itu dia menoleh dan berkata: "lkutlah denganku!" Siau Po segera menghambur ke depan dan membukakan pintu serta mempersilahkan gurunya keluar terlebih dahulu Setelah itu baru dia mengikuti dari belakang terus menuju aula pertemuan. Di dalam aula sudah berkumpul dua puluh orang lebih, ketika mereka melihat kehadiran Tan Kin-lam, semuanya langsung berdiri dengan sikap hormat. Tan Kin-lam menganggukkan kepalanya kemudian duduk di atas kursi yang kedua, Siau Po merasa heran mengapa seorang ketua duduk di kursi yang kedua dan bukan yang pertama. Diam-diam dia berpikir dalam hati: "Mungkinkah suhu bukan tokoh yang kedudukannya paling tinggi dalam perkumpulan ini? Apakah masih ada orang yang lebih tinggi lagi kedudukannya daripada suhu?"

Sementara itu, terdengar Tan Kin-lam berkata: "Saudara-saudara! Hari ini aku telah menerima seorang murid yang paling kecil!" Tangannya menunjuk kepada Siau Po, "lni dia orangnya!" Seluruh anggota perkumpulan itu langsung mengucapkan selamat dengan menjura.

"Selamat, Cong tocu!" Mereka juga memberi selamat kepada Siau Po.

"Sekarang giliranmu memberi hormat kepada para pekhu dan sidehu-mu!" kata Kin lam kepada Siau Po. Siau Po menurut, dia segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah serta memberi hormat kepada para pamannya sekalian dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu, Lie Lek-si mengenalkannya kepada sembilan hiocu dari perkumpulan itu, Hiocu adalah ketua dari setiap seksi. Selain itu masih ada Hu hiocu, yakni wakil ketua setiap seksi. Siau Po jadi repot berlutut dan menyembah ke sana-sini. untung saja ketika memberi hormat kepada para Hu hio cu, belum sempat menyembah, mereka sudah mencegahnya.

"Jangan sungkan, saudara kecil silahkan bangun!" Mereka juga memberi hormat dengan berlutut Siau Po segera menghambur ke depan untuk mencegah mereka, peraturan pada zaman itu memang demikian. Jumlah para paman tua muda itu semuanya ada dua puluh orang lebih, Siau Po tidak dapat mengingat mereka satu per satu. Karena itu dia berkata kepada dirinya sendiri: "Mereka adalah orang-orang penting, Biar nanti perlahan-lahan aku akan mengingat nama mereka satu per satu." Setelah upacara perkenalan selesai, Tan Kin-lam baru berkata kembali.

"Saudara sekalian, aku telah menerima Siau Po sebagai murid, harap kalian pun dapat menerimanya sebagai saudara kita dalam perkumpulan Tian-te hwe!"

"Bagus!" Orang banyak menyatakan persetujuannya. Bahkan Coa tek-tiong, yakni hiocu dari Lian hoa tong yang rambut dan kumis serta janggutnya sudah memutih langsung berkata.

"Sejak jaman dulu kala, guru yang pandai selalu menghasilkan murid yang hebat, Murid Cong tocu ini akan menjadi seorang pendekar muda dan akan membuat jasa besar bagi perkumpulan kita, aku yakin sekali akan hal itu!" Hiocu dari Ki-hou tong, yakni Ma Tiau-hin mempunyai wajah yang selalu berseri-seri, tubuhnya gemuk pendek, dan sekarang dia ikut memberikan komentar.

"Hari ini kita berkenalan dengan saudara Wi, tapi kami tidak memberikan tanda mata apa pun. Karena itu, aku mengajukan diri sebagai pengantar bersama-sama Coan hiocu untuk menjadi perantara bagi saudara kecil yang mengajaknya masuk menjadi anggota

Tian-te hwe. Entah bagaimana pendapat Coa hiocu?" Coa Tek Tiong langsung tertawa lebar.

"Bagus! Aku setuju sekali! Cara ini juga tidak perlu mengorek kantong mengeluarkan uang!" katanya. Mendengar ucapan itu, orang banyak merasa lucu dan tertawa.  

"Siau Po. Cepat bilang terima kasih kepada kedua pamanmu!" kata Tan Kin-lam kepada muridnya. "lni merupakan suatu keberuntungan bagimu!" Siau Po menurut, dia segera menjatuhkan diri berlutut kemudian menganggukkan kepalanya serta menyatakan rasa terima kasih kepada kedua hiocu tersebut.

"Saudara sekalian, peraturan kita sangat keras, sedangkan muridku ini masih terlalu muda dan kelewat cerdik, Aku khawatir dia akan ceroboh dalam mengambil tindakan atau melakukan suatu yang keliru. Oleh karena itu, saudara Ma dan saudara Coa, kalian adalah perantara, aku harap selanjutnya kalian bersedia mengawasi muridku ini dan memberikan petunjuk kepadanya agar jangan salah jalan. Kalau ada urusan apa-apa, jangan kalian sungkan-sungkan menegurnya!" kata Tan Kin-lam kembali.

"Cong tocu terlalu merendah, mana mungkin murid Cong tocu melakukan hal yang keliru?" sahut Coa Tek-tiong.

"Aku tidak merendahkan diri, justru apa yang kukatakan adalah hal yang sejujurnya. Terhadap muridku ini, perasaanku selalu khawatir saja. Andaikata kalian beramai-ramai sudi mengawasi dan memberikan petunjuk kepadanya, berarti kalian juga membantu

aku menenangkan perasaan ini sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan." kata Cong tocu. Ma Tiau-hin tertawa lebar.

"Kalau mengawasi saudara Wi, kami tidak berani. Tetapi mengingat usianya yang memang masil muda, kalau ada urusan apa-apa, kami akan bicara terus-terang saja dan memberikan petunjuk dengan sejelas-jelasnya!" Siau Po mendengarkan semua pembicaraan itu, diam-diam dia mendumel dalam hati.

"Memangnya kesalahan apa yang aku lakukan? Mengapa suhu terus khawatir aku akan melakukan hal yang keliru? Si kura-kura tua toh bukan guruku, itulah sebabnya aku membuat kedua matanya buta. Tetapi suhu justru guruku yang sejati, tidak mungkin aku mencelakakan dirinya, Kalau begini banyak orang yang mengawasiku, bagaimana aku bisa berkutik lagi?" Melihat muridnya diam saja dan hiocu lainnya juga tidak memberikan komentar lagi, Tan Kin-lam baru berkata lagi.

"Saudara Lie, aku minta sudi kiranya kau mengatur meja sembahyang, Hari ini juga kita akan melakukan upacara menerima Wi Siau-po sebagai anggota Tian-te hwe!"

"Baik, Cong tocu!" sahut Lie Lek-si.

"Menurut peraturan kita, seandainya ada seorang yang ingin masuk menjadi anggota, setelah ada orang yang menjadi perantaranya, kita masih harus menyelidiki asal-usulnya dan perbuatan apa saja yang pernah dilakukannya di masa lalu. Paling

tidak kita memerlukan waktu setengah sampai satu tahun untuk memperoleh kepastian apakah dia pantas masuk menjadi anggota perkumpulan kita, Dalam hal ini, Wi Siau Po mendapat pengecualian Kedudukannya dalam istana kerajaan Ceng dan rasa sayangnya kaisar terhadap anak ini, membuat dirinya patut mendapat keistimewaan sebelumnya, aku ingin mengatakan, bahwa bukan aku memanjakannya, tapi karena aku yakin, hubungannya yang erat dengan kaisar kerajaan Ceng akan membawa manfaat bagi kita."

"Kami mengerti," sahut beberapa hiocu, Mereka merasa Siau Po memang patut mendapat keistimewaan. Apalagi dia telah membangun jasa besar meskipun dilakukannya tanpa sengaja untuk perkumpulan mereka. Hiocu dari Hong Sun-tong yang tubuhnya tinggi besar dan janggutnya hitam pekat, Pui Tay-hong, ikut memberikan suara.

"Semua ini merupakan kemurahan hati Thian yang kuasa dengan memberikan kita seseorang saudara yang menjadi orang kepercayaan kaisar bangsa Tatcu. Mungkin memang sudah takdir bahwa kerajaan Ceng akan hancur dan kerajaan Beng kita akan bangkit kembali ini yang dinamakan, "paham diri sendiri, tahu diri lawan," dengan demikian seratus kali berperang, seratus kali pula kita akan meraih kemenangan. Siapa di antara kita yang tidak mengerti isi hati Cong tocu?" Siau Po sangat cerdik, dari pembicaraan yang berlangsung dia maklum apa yang terkandung dalam benak Tan Kin-lam. Diam-diam dia berpikir.

"Kalian semua memperlakukan aku demikian baik, ternyata ada udang dibalik batu. Rupanya kalian ingin menjadikan aku mata-mata di kerajaaa musuh. Lalu, apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menuruti keinginan mereka?" Sementara itu, Coa Tek-Liong langsung menuturkan sejarah berdirinya perkumpulan Tian-te hwe. Juga mengenai peraturan-peraturannya yang harus ditaati.

"Pendiri perkumpulan kami berjuluk Kok Sing-ya. Nama aslinya The Seng-kong. Mula-mula Kok Sing-ya memimpin pasukan perangnya menyerbu wilayah Kanglam, namun ketika menderita kegagalan beliau mengundurkan diri ke kepulauan Taiwan. Sebelum mengundurkan diri, Kok Sing-ya menerima usul Cong tocu kita untuk membuat sebuah perkumpulan, dengan demikian berdirilah Tian-te hwe. Saat itu Cong tocu kita masih menjadi penasehat perang Kok Sing-ya, sedangkan aku bersama saudara Pui, saudara Ma, saudara Ouw, saudara Lie serta saudara In almarhum yang merupakan hiocu dari Ceng-bok tong masih menjadi perwira dalam pasukan Kok Sing-ya."

Mengenai Kok Sing-ya, Siau Po memang pernah mendengarnya. Dia tahu Kok Sing-ya adalah The Seng-kong yang mendapat anugerah marga "Cu" dari kaisar dinasti Beng.

"Cu" adalah marga dari pendiri kerajaan Beng, itulah sebabnya dia mendapat julukan Kok Sing-ya (tuan agung yang menggunakan marga negara) Nama Kok Sing-ya paling terkenal di propinsi Kangsou, Ciatkang, Hokkian dan Kwitang, Beliau menutup mata di permulaan dinasti Ceng, tidak lama setelah kaisar Kong Hi naik tahta. Meskipun beliau telah tiada, tapi rakyat masih menghormatinya karena semangatnya yang menyala-nyala membela kepentingan negara.

"Tentara kita sendiri berpusat di Kanglam, Karena tidak mungkin semuanya mengundurkan diri ke Taiwan, maka sebagiannya ada yang mundur ke Emui. Atas titah Kok Sing-ya, Cong tocu tidak ikut mengundurkan diri, sebab Tian-te hwe tidak boleh tanpa pemimpin, Cong tocu diperintahkan untuk menghubungi semua bekas pengikut Kok Sing-ya. Mereka pun menjadi anggota Tian-te hwe, mereka tidak perlu melalui tentara lagi, sebab asal-usul dan riwayat hidup mereka telah diketahui dengan jelas, sedangkan penelitian terhadap orang luar hanya untuk berjaga-jaga agar jangan sampai ada mata-mata musuh yang menyusup ke dalam."

Bagian 12

Penuturan hiocu itu tidak ditukas oleh siapa pun. Siau Po juga mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika melanjutkan kembali ceritanya, wajahnya tampak penuh semangat.

"Ketika angkatan perang kita keluar dari Tai-wan dulu, jumlah semuanya mencapai tujuh belas laksa jiwa, yang terbagi sebagai berikut: Lima laksa pasukan berkuda, lima laksa pasukan bahari, dan lima laksa pasukan jalan, sedangkan dua pasukan lainnya

terdiri dari selaksa pasukan gerilya, Selaksa lagi disebut pasukan orang besi, Hal ini karena mereka mengenakan baju besi dan menggunakan tombak panjang sebagai senjata. Tugas mereka khususnya untuk mengait kaki lawan dan kaki kuda tunggangan musuh, sedangkan mereka tidak akan terluka oleh anak panah karena mengenakan baju besi, itulah sebabnya ketika terjadi pertempuran di bukit Yanghong dan wilayahnya Tinkang, dengan dua ribu tentaranya, Cong tocu berhasil melabrak musuh yang jumlahnya delapan belas ribu jiwa, Saat itu aku sendiri menjadi tentara pasukan ke delapan. Sewaktu kami menyerang musuh, kami mendengar mereka berteriak, "Malu...malu, chihu... chihu...."

Siau Po menjadi tertarik, tapi dia mengerti apa yang dimaksud dengan kata-kata terakhir hiocu itu.

"Apa artinya "malu dan chihu?"

"Malu artinya mama, sedangkan chihu artinya kabur. Jadi tentara musuh berteriak, Mama... mama... kabur... kabur!" Orang-orang dalam ruangan itu ikut tertawa mendengar ceritanya yang lucu.

"Coa hiocu, ceritamu memang menyenangkan, apalagi mengenai pertempuran di Tinkang itu, Tapi kalau kau cerita terus, mungkin tiga hari tiga malam juga tidak akan selesai. Bisa-bisa sampai kumis saudara Wi sudah tumbuh."  Tiba-tiba Ma Tiau-hin menghentikan kata-katanya, Sebab dia teringat bahwa seorang thay-kam tidak mungkin tumbuh kumis, diam-diam dia melirik ke arah Siau Po. Untung saja bocah itu memperlihatkan wajah kurang senang, Dia khawatir bocah itu akan tersinggung karenanya.

Tepat pada saat itu, Lie Lek-si muncul dan melaporkan bahwa meja sembahyang telah selesai diatur Tan Kin-lam langsung mengajak semuanya menuju pendopo belakang.

Siau Po melihat di atas meja sembahyang ada dua buah Cengpai (tanda peringatan) yang masing-masing bertulisan "Tanda peringatan arwah kaisar dinasti Beng dan tanda peringatan Jenderal besar Ciau Tou-tay ciangkun merangkap pangeran Yan Peng-kun dari dinasti Beng, The Seng-kong."

Di atas meja juga teratur rapi berbagai macam persembahan, misalnya kepala babi, kambing, ayam dan ikan. Dalam tempat perabuan tertancap tujuh batang hio. Semua orang langsung menjatuhkan diri berlutut memberi hormat pada kedua lengpai tersebut, sementara itu, Coa Tek-tiong mengambil sehelai kertas dari atas meja sembahyang kemudian membacanya.

"Langit dan bumi saksinya, kami bersumpah akan membangun kembali kerajaan Beng, Kami akan membasmi bangsa Tatcu, Kami bersedia hidup dan mati bersama, seperti tiga saudara dari zaman tiga Negara. Kami berjanji akan menjadi saudara antara yang satu dengan yang Iainnya, kami mengakui langit sebagai ayah dan bumi sebagai ibu, matahari sebagai saudara laki-laki dan rembulan sebagai saudara perempuan. Kami juga menghormati Ngo-cou dan Si-cou Ban In-liong serta keluarga Hong!

Hari lahir kami jatuh pada jam cu-sie tanggal dua puluh lima bulan ketujuh tahun Khe-in. Kami semua, baik dari dua kota raja maupun tiga belas propinsi, kami tetap satu hati satu tubuh. Bagi pemerintah sekarang, kami bukanlah apa-apa. Kalau hati kami tergerak, semua hanya karena ingin membangun kembali kerajaan Beng yang maha besar. Kami berjanji akan melaksanakan apa pun perintah Tan Kin-lam, kami akan menjelajahi lima sungai dan mengarungi empat lautan, demi menemukan rekan-rekan sejiwa dalam perjuangan. Dengan ini kami meneteskan darah kami sebagai penguat sumpah dan para malaikatlah yang menjadi saksinya!"

Selesai membacakan kertas ikrar itu, Coa Tek-tiong berkata kepada Siau Po.

"Saudara Wi, kita mencontoh apa yang dilakukan tiga saudara angkat dari jaman Sam Kok (tiga negara) kau mengerti bukan?"

"Aku mengerti," sahut Siau Po. Tiga saudara angkat dari jaman Sam Kok adalah Lau Pi, Kwan Kong dan Tio Hui. Mereka tidak terlahir dalam hari bulan dan tahun yang sama namun bersedia mati dalam hari bulan dan tahun yang sama!"

"Betul!" kata Coa Tek-tiong. "Sekarang kau masuk menjadi anggota Tian-te hwe, dengan demikian kita menjadi saudara satu dengan yang lainnya, Kami juga menjadi saudara dari Cong tocu, dan karena kau sudah menjadi murid beliau, otomatis kami semua sekaligus juga menjadi pekhu dan siok-siokhu-mu. Dulu, kalau bertemu dengan kami, kau harus berlutut dan menyembah, nanti setelah masuk menjadi anggota yang berarti kita bersaudara, kau tidak perlu lagi melakukan peradatan seperti itu!"

"Baik!" sahut Siau Po. Dalam hatinya dia berkata sendiri, "Bagus sekali!" Coa Tek-tiong berkata kembali: "Kita orang-orang dari Tian-te hwe juga disebut kaum Hong Bun. Kata Hong diambil dari tahun kerajaan Sri Baginda Beng Thaycou, yakni Hong Bu. Pemimpin kita yang pertama, seperti yang sudah kau ketahui adalah Kok Sing-ya atau Ban In-liong. Kita tidak berani sembarang menyebut nama asli Kok Sing-ya karena hal itu berbahaya sekali, Bisa-bisa kita diringkus bangsa Tatcu! Itulah sebabnya kami menyebut Kok Sing-ya dengan panggilan Ban In-liong. Ban artinya laksa, di sini mempunyai makna sebagai rakyat negeri kita yang jumlahnya ratusan ribu laksa jiwa, sedangkan In-liong berarti mega mengiringi naga. Dengan demikian Ban In-liong bisa berarti rakyat seluruh negeri mengiringi pemimpin sesakti naga, Saudara Wi, ini adalah rahasia perkumpulan kita, jangan  sekali-sekali kau menyampaikannya kepada siapa pun, termasuk Mau Sip-pat saudara angkatmu sendiri. Harap kau ingat baik-baik pesanku ini!" Siau Po menganggukkan kepalanya: "Aku mengerti!"

"Yang dimaksudkan dengan jam cu-sie tanggal dua puluh lima bulan ketujuh tahun Khe-in adalah waktu lahirnya perkumpulan kita ini. Ngo-cou adalah lima leluhur perkumpulan kita, mereka adalah lima tokoh gagah perkasa yang telah mengorbankan nyawanya demi kepentingan negara. Leluhur kami yang pertama adalah Kam Hui. Sewaktu pasukan perang kami menyerang Kangleng, aku memimpin sepasukan tentara Tin-peng, Atas titahnya Cong tocu, aku bersembunyi di luar pintu kota sebelah barat Bangsa Tatcu...."

"Coa hiocu!" tukas Ma Tiau-hin tiba-tiba. "Urusan pertempuran di kota Kangleng, kau bisa ceritakan perlahan-lahan kelak, tentu masih belum terlambat." Coa Tek-tiong tersenyum meskipun ceritanya diputus oleh Ma Tiau-hin. Perlahan-lahan dia menepuk dahinya sendiri.

"Benar! Benar! Menceritakan pengalaman seru yang telah berlalu pasti tidak habis-habisnya, Baik-nya sekarang aku jelaskan saja soal peraturan dan segala larangan yang ada dalam perkumpulan kita," Coa Tek-tiong langsung menjelaskan hal-hal yang perlu kepada Siau Po. Siau Po pun mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Baiklah!" kata Siau Po. "Aku telah mengerti dan akan mentaati semuanya!" Ma tiau-hin segera mengambil sebuah mangkok yang telah diisi dengan arak. Setiap orang yang ada dalam ruangan itu menusuk jari tengah tangan mereka dengan sebuah jarum, kemudian meneteskan darahnya ke dalam mangkok berisi arak itu. perbuatan ini diikuti oleh Siau Po. Kemudian mereka meminum satu teguk arak yang telah bercampur dengan darah tersebut, dengan demikian berarti upacara telah selesai dan mereka pun sudah menjadi saudara antara satu dengan yang lainnya, semuanya merangkul Siau Po dan memberi hormat sekali lagi kepadanya.

Setelah itu, terdengar Tan Kin-lam berkata lagi: "Partai kami terdiri dari sepuluh tong. Di depan ada lima pong dari lima tong dan demikian pula di belakang, Kelima tong depan adalah Kian Hong-tong, Hong Sun-tong, Ki Hou-tong, Cam Tay-tong dan Hung Hua-tong.

Kelima tong di belakang terdiri dari Ceng-bok tong, Cik Hwe-tong, Pek Kim-tong, Han Sui-tong dan Oey Tou-tong. sembilan hiocu dari sembilan tong telah berkumpul di sini, kecuali Ceng-bok tong yang tidak mempunyai hiocu karena In hiocu telah mati di tangan Go Pay.

Sampai sekarang lowongan ini belum terisi. Setelah kematian In hiocu, para saudara dari Ceng-bok tong pernah mengangkat sumpah di depan abu penghormatan saudara Ban In-liong, bahwa siapa pun yang dapat membinasakan Go Pay, berarti dia telah membalaskan sakit hati In hiocu dan orang itu akan diangkat menjadi hiocu Ceng-bok tong sebagai pengganti In hiocu, Nah, saudara sekalian, benarkah kalian pernah mengucapkan sumpah seperti itu?" Serentak semua anggota Ceng bok-tong membenarkan kata-kata Cong hiocu mereka.

"Benar!" Dengan sorot mata yang tajam, Tan Kin-lam mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, Kemudian dia berkata lagi dengan nada lembut: "Bukankah pernah terjadi perselisihan antara para saudara dari Ceng-bok tong pemilihan seorang ketua sebagai pengganti In hiocu? Bukankah perselisihan itu jadi reda karena kalian semua mengingat kepentingan perkumpulan ini? Nah, sampai sekarang masalah itu masih terkatung-katung. Bagaimana hal ini dapat dibiarkan saja? Tentu tidak baik akibatnya nanti, Bukankah Ceng-bok tong merupakan bagian yang penting dalam perkumpulan Tian-te hwe, sebab bagian inilah yang mengepalai seluruh saudara-saudara kita dari wilayah di sekitar Kanglam. Kekosongan ini akan merugikan kita dan menguntungkan pihak musuh!"

Semua anggota perkumpulan itu terdiam mendengar kata-kata ketua mereka, karena apa yang dikemukakannya memang beralasan.

"Sekarang aku ingin tanya, benarkah musuh besar kita Go Pay dibunuh oleh saudara Wi Siau Po? Apakah benar saudara sekalian telah mengetahui bahkan beberapa di antaranya menyaksikan dengan mata kepala sendiri?" tanya Tan Kin-lam kembali.

"Ya, benar," sahut Lie Lek-si dan Kwan An-ki. Lie-Lek-si malah menambahkan. "Kita semua sudah mengangkat sumpah di depan abu penghormatan Ban In-liong, kita tidak boleh mengingkari apa yang pernah kita ucapkan. Kalau sumpah itu hanya angin busuk belaka, untuk apa lain kali kita mengangkat sumpah lagi? Saudara Wi Siau Po memang masih muda, tapi aku Lie Lek-si bersedia

mengangkatnya sebagai hiocu kami, hiocu dari Ceng-bok tong!" Tentu saja Lie Lek-si paham apa arti ucapan Cong tocu tadi, karena itu dia langsung mendahului menyatakan pendapatnya. Kwan An-ki juga ingin memberikan pendapatnya, tetapi sudah didahului oleh Lie Lek-si. Diam-diam dia berpikir dalam hati:

"Bocah itu telah menjadi murid Cong tocu, dengan demikian dia bukan orang sembarangan. Lie Lek-si tidak berbeda dengan aku yang menginginkan kedudukan hiocu, namun sekarang ini kesempatan sudah tidak ada. Mendengar kata-kata Cong tocu barusan, Lie Lek-si menyadari maksud hati Cong tocu tersebut Sungguh pandai dia mengikuti perkembangan sehingga langsung mengemukakan pendapatnya, semestinya aku tidak boleh kalah dengannya!" Itulah sebabnya Kwan An-ki segera berkata: "Benar sekali apa yang dikatakan Lie toako, saudara Wi sangat cerdas. Di bawah bimbingan Cong tocu, kelak dia akan menjadi seorang pemuda yang bisa menggemparkan dunia kangouw, Ya! Kwan An-ki juga bersedia mengangkatnya sebagai ketua Ceng-bok tong!"

Mendengar kata-kata itu, Wi Siau Po langsung mencelat bangun, dia menggoyangkan tangannya berulang kali.

"Tidak bisa! Tidak bisa! Apa itu hiocu atau joucu? Aku tidak sudi!" katanya, Sebetulnya hiocu berarti seorang ketua dari suatu seksi dalam sebuah perkumpulan namun dalam kata-kata sehari-harinya hiocu juga bisa berarti tuan yang harum itulah

sebabnya Siau Po yang bengal mengatakan hiocu atau joucu "tuan yang bau." Sepasang mata Tan Kin-lam mendelik lebar-lebar dan mimik wajahnya menyiratkan kewibawaan.

"Apa yang kau ocehkan?" bentaknya, Siau Po pun tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Tan Kin-lam melanjutkan kata-katanya kembali.

"Bocah ini telah membunuh Go Pay. Hal ini tidak pernah terlintas dalam bayangan kita, namun ternyata toh terjadi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita menepati sumpah yang pernah kita ucapkan di hadapan abu penghormatan toako Ban In-liong! Bukankah kita telah bersumpah akan mengangkat orang yang berhasil membunuh Go Pay sebagai hiocu Ceng-bok tong? Justru karena ingin mengangkatnya sebagai hiocu, aku baru menerimanya sebagai murid. Jadi bukan sebaliknya, Anak ini mempunyai bakat besar, juga cerdik. Di kemudian hari entah berapa banyak kesulitan yang harus kuhadapi karenanya!"

"Cong tocu, kami semua mengerti maksud hati tocu yang memikirkan kepentingan kita semua," kata Pui Tay-cong ketua dari Hong Sun-tong, "Bukankah Cong tocu tadinya tidak mengenal saudara Wi, sebagaimana halnya saudara Wi juga tidak mengenal Cong tocu? Kedua pihak tidak ada hubungan apa-apa sampai bisa bertemu dihari ini. Memang sikap Cong tocu yang lain dari biasanya cukup mengejutkan, namun kami mengerti semua ini demi kepentingan kita bersama. Karena itu pula harap Cong tocu tidak perlu khawatir, meskipun usia saudara Wi masih sangat muda, tapi kami yakin dia tidak akan melakukan sesuatu yang tidak diharapkan! Apalagi dengan adanya Lie toako dan Kwan hucu yang membantu sekuat tenaga."

Tan Kin-lam menganggukkan kepalanya, "Kita memilih Wi Siau-po sebagai hiocu hanya untuk mewujudkan sumpah yang telah kita ikrarkan di hadapan arwah Ban In-Liong toako," katanya kemudian "Apakah saudara Wi bisa menjadi hiocu untuk selamanya atau hanya untuk satu kali saja, masalahnya lain lagi. Yang penting kita telah memenuhi sumpah yang telah kita ucapkan, seandainya besok dia berani main gila atau menghalang-halangi pekerjaan kita yang ingin mengusir bangsa Boan, kita boleh segera memecatnya tanpa ragu-ragu! Lie toako, saudara Kwan, aku harap kalian bersedia membantunya. Andaikata anak ini melakukan sesuatu yang tidak benar, jangan segan-segan melaporkannya kepadaku, jangan kalian menutupinya!" Lie Lek-si dan Kwan An-ki menganggukkan kepalanya serentak.

"Baik, Cong tocu," sahut mereka bersamaan, Tan Kin-lam memutar tubuhnya kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan meja abu. Dia mengambil tiga batang hio yang kemudian disulutnya lalu diangkatnya tinggi ke atas.

"Sebawahan Tan Kin-lam dengan ini bersumpah di hadapan toako Ban In-liong, apabila murid kami yang baru Wi Siau-po melanggar aturan serta kurang bijaksana dalam mengambil tindakan, kami akan segera memecatnya, Kami mengangkatnya sebagai hiocu karena ingin mewujudkan sumpah yang telah kami ucapkan. Apabila Tan Kin-lam tidak mentaati sumpah itu, biarlah arwah Ban toako menurunkan kutukannya kepadaku!" Selesai berkata, Tan Kin-lam segera menyembah beberapa kali lalu menancapkan hio di tempat dupa sembahyang dan menganggukkan kepalanya lagi sebanyak belasan kali.

"Dengan berbuat demikian, Cong tocu telah menunjukkan kebijaksanaannya yang tidak mementingkan diri sendiri, Kami semua menjunjung tinggi Cong tocu!" terdengar suara banyak orang mengomentari.

Siau Po justru mempunyai pandangan yang berbeda, Diam-diam dia berpikir dalam hati: "Bagus! Aku kira kalian bermaksud baik mengangkat aku sebagai hiocu, tidak tahunya kalian hanya menjadikan aku jembatan penyeberangan. Apabila kalian sudah sampai di tujuan, jembatan pun akan dirobohkan kembali. Hari ini kalian mengangkat aku sebagai hiocu yang untuk mewujudkan sumpah yang telah kalian ucapkan, besok kalian bisa mencari seribu satu alasan untukk memecatku. Yang penting kalian tidak mengingkari sumpah kalian sendiri, dan pada waktu itu, mungkin Lie toako atau Kwan hucu yang akan menggantikan kedudukanku. Dengan demikian kalian tidak menyalahi aturan!"

Berpikir sampai di sini, dia segera berkata dengan suara lantang. "Suhu, aku tidak mau menjadi hiocu!" Suaranya memang lantang, namun menyiratkan ketenangan sehingga Tan Kin-lam menatap muridnya itu dengan heran. Bahkan orang yang ada di dalam ruangan itu ikut menjadi bingung.

"Apa katamu?" tanya Tan Kin-lam.

"Aku tidak bisa menjadi hiocu!" sahut Siau Po tegas, "Aku juga tidak menginginkan jabatan tersebut!"

"Kalau merasa tidak sanggup, kau bisa belajar perlahan-lahan," kata Tan Kin-lam

"Aku dapat membantumu, demikian juga saudara Lie serta saudara Kwan. Mereka telah memberikan kesanggupannya untuk membantumu, jabatan hiocu dari Tian-te hwe adalah sebuah kedudukan yang tinggi, Mengapa kau malah menolaknya?" Siau Po menggelengkan kepalanya, "Aku tidak suka kedudukan itu, Sebab hari ini aku diangkat menjadi hiocu, mungkin besok kau akan memecatku. Daripada mendapat malu, lebih baik aku tolak jabatan itu, tanpa kedudukan, aku dapat melakukan apa pun yang aku inginkan Begitu aku menjadi hiocu, aku seumpama telur yang didatangi setiap orang untuk dicari tulangnya! Dalam sekejap mata telur itu akan pecah dan habislah semuanya!"

"Telur ayam kan tidak ada tulangnya?" tanya Tan Kin-lam. "Biar pun orang mencarinya, tetap saja mereka tidak bisa menemukannya."

"Tapi telur dapat menetas menjadi anak ayam," sahut Siau Po. "Sedangkan anak ayam pasti ada tulangnya, Taruhlah tidak ada tulangnya, tapi asal orang mengambil telur itu lalu dipecahkan dan bagian merah serta putih telurnya diaduk menjadi satu,

maka habislah sudah!" Para hadirin menjadi tertawa mendengarkan kata-katanya yang lucu.

Tan Kin-lam tetap bersikap sabar: "Kau kira usaha kami perkumpulan Tian-te hwe seperti permainan anak-anak? Asal kau tidak melakukan kesalahan, setiap orang akan menghormatimu sebagai seorang ketua yang bijaksana dari Ceng-bok tong. Siapa yang berani memperlakukan kau dengan kurang hormat? Taruh kata mereka tidak menghargai kau sebagai seorang ketua, mereka tetap akan menghormati kau sebagai muridku!" Siau Po merenung sejenak.

"Baiklah!" kata bocah itu akhirnya, "Sebaiknya sekarang kita bicara dulu secara terus-terang. Kalau di kemudian hari kalian tidak menyukai aku menjadi ketua hiocu Ceng-bok tong, aku harap kalian bicara sejujurnya, aku akan mengundurkan diri secara

sukarela, Aku tidak mau kalau kalian sampai sembarangan menuduh aku berbuat kesalahan, atau menyeret aku tanpa alasan yang pasti lalu memenggal kepalaku!"

Tan Kin-lam mengernyitkan keningnya, "Kau benar-benar suka saling tawar. Seperti apa yang telah kukatakan sebelumnya, Asal kau tidak berbuat kesalahan, siapa yang akan menuduhmu sembarangan atau memenggal kepalamu? justru sebaliknya, apabila bangsa Tatcu menghajar atau membunuhmu, maka seluruh anggota perkumpulan Tian-te hwe akan membelamu dan membalaskan sakit hatimu! Siau Po, seorang laki-laki sejati, berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Demi keadilan, dia tidak akan mundur atau menyerah begitu saja. Sekali kau masuk menjadi anggota Tian-te hwe, maka kau harus berani dan pantang mundur demi membela kepentingan negara, Siapa yang hanya mengutamakan dirinya pribadi, apakah pantas dia disebut orang gagah?"

Mendengar diungkitnya soal orang gagah, hati Siau Po jadi tertarik. Dia teringat tukang dongeng yang sering mengisahkan cerita-cerita tentang orang-orang gagah di zaman dulu.

"Benar sekali, suhu! Paling-paling juga batok kepalaku ini dipenggal, toh delapan belas tahun kemudian aku akan menjelma lagi menjadi manusia." Kata-kata yang diucapkan Siau Po biasanya dicetuskan oleh orang yang sedang digiring algojo menuju tiang gantungan atau akan menjalani hukuman mati dengan kepalanya dipenggal orang-orang dalam ruangan itu langsung memberikan sambutan meriah atas ucapannya itu!

Tan Kin-lam juga ikut tertawa dan berkata: "Menjadi hiocu adalah suatu hal yang menggembirakan, mana dapat disamakan dengan orang yang akan menjalani hukuman mati? Lihatlah ke sembilan hiocu yang lain, mereka menjalankan tugas dengan senang hati, Kau seharusnya mencontoh mereka!"

Kwan An-ki segera menghampiri Siau Po lalu memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya rendah-rendah.

"Sebawahan Kwan An-ki menghadap hiocu!" katanya. Mendapat penghormatan seperti itu, Siau Po tidak menolak atau membalas. Dia

langsung menoleh kepada Tan Kin-lam sambil bertanya: "Suhu, apa yang harus tecu lakukan?"

"Kau harus membalas hormat!" sahut Tan Kin-lam.

"Kwan hucu, apa kabar?" kata si bocah sambil merangkapkan kedua tangannya menjura, Tan Kin-lam tersenyum mendengar ucapan Siau Po.

"Sebutan Kwan hucu hanya panggilan umum karena itulah julukannya saudara Kwan, Tapi di saat melangsungkan upacara seperti ini, kau harus memanggilnya Kwan jiko!" Siau Po menurut, sekali lagi dia menjura sambil berkata. "Kwan jiko, apa kabar?"

Kwan An-ki hanya tersenyum, sementara itu, Lie Lek-si menyesal karena telah didahului oleh Kwan An-ki. Bergegas dia juga maju ke depan dan memberi hormat kepada hiocu barunya itu. Setelahnya, sembilan hiocu yang lain pun melakukan hal yang sama.

Selesai upacara, mereka duduk berkumpul di aula pertemuan. Cong tocu dan sepuluh hiocu dari perkumpulan itu pun terlibat pembicaraan yang berkaitan dengan urusan partai.

Ceng-Bok tong adalah seksi pertama dari kelima hou-tong atau tong belakang, Dan terhitung bagian keenam dalam perkumpulan Tian-te hwe itulah sebabnya Siau Po duduk di kursi deretan pertama sebelah kanan, Dan rasanya lucu melihat di sebelahnya duduk orang yang sudah tua dan janggutnya sudah memutih semua.

Lie Lek-si, Kwan An-ki dan yang lainnya segera mengundurkan diri. Di dalam ruangan itu hanya tinggal Tan Kin-lam dan sepuluh orang hiocu dari sepuluh bagian perkumpulan Tian-te-hwe. Di tengah ruangan ada sebuah kursi kosong, Tan Kin-lam menunjuk ke arah kursi itu dan berkata kepada Siau Po.

"Kursi itu adalah kursi kedudukan Cu Sam thaycu!" Dia menunjuk lagi ke kursi kosong lainnya yang terletak di sebelah kursi pertama tadi, "Dan itulah kursi kedudukan yang disediakan bagi The ongya dari Taiwan, Kalau kita sedang mengadakan rapat dan

keduanya tidak dapat hadir, maka kedua kursi itu dibiarkan kosong..."

Tan Kin-lam menghentikan kata-katanya sejenak kemudian baru melanjutkan kembali, "Saudara-saudara sekalian, silahkan saudara sekalian melaporkan dahulu segala sesuatu yang menyangkut wilayah kalian masing-masing."

Ada baiknya kita jelaskan terlebih dahulu mengenai perkumpulan Tian-te hwe. Kelima tong di depan yaitu Lian-hoa tong mempunyai kekuasaan di propinsi Hokkian, Tong kedua, yakni Hong-sun tong berkuasa di propinsi Kwitang, Tong ketiga, Ki-hou tong menguasai propinsi Kwisai, Tong ke-empat, Cam-tay tong bermarkas di dua propinsi, yakni Ouwlam dan Ouwpak, sedangkan tong kelima, Hong-hoa tong menguasai propinsi Ciatkang.

Kemudian kelima houtong, yakni tong belakang, Ceng-bok tong berkuasa di Kangsou, Cik-hwe tong di Kwiciu, Si-kim tong di Sicuan, Hian-sui tong di Inlam dan Oey-tou tong di Tiong ciu, Hoalam.

Pertama-tama hiocu Coa tek-tiong yang melaporkan usaha mereka di Hokkian, kemudian menyusul hiocu Pui Tay-hong dari Kwitang.

Tidak tertarik hati Siau Po mendengarkan laporan itu, kesatu karena dia memang tidak mengerti kedua dia juga tidak tertarik terhadap masalah itu. Dia lebih senang membicarakan soal perjudian Sampai giliran hiocu keempat yakni Lim Eng-tiau dari Hian-sui tong, baru hatinya tergerak. Lim Eng-tiau memberikan laporan dengan penuh nafsu sekali, Kadang-kadang dia malah menyelipkan umpatan serta cacian, itulah sebabnya Siau Po tambah tertarik mendengarkan kata-katanya.

"Go Sam-kui, penjahat besar itu, dia sangat menentang kita bangsa Han. Dia memusuhi kita di mana saja. semenjak tahun yang lalu sampai sekarang, belum ada sepuluh bulan namanya, sudah ada seratus tujuh puluh sembilan anggota perkumpulan kita yang mati di tangannya. Dia benar-benar telur busuk, induk kambing! Dialah musuh dari keturunanku! Tiga kali berusaha membunuhnya secara diam-diam, selalu aku menemui kegagalan. Dia mempunyai banyak pembantu yang lihay. Terakhir malah aku sendiri yang turun tangan, celakanya bukan hanya tidak berhasil! bahkan lengan kiriku jadi kutung! Manusia itu benar-benar raja kejahatan. Pada suatu hari nanti, pasti dia beserta seluruh keturunannya akan jatuh dalam genggaman kita, Pada waktu itu, aku ingin menghancur leburkan seluruh tubuhnya!"

Mendengar disebutnya nama Go Sam-kui, para hiocu yang lain juga ikut marah dan panas, Siau Po sendiri pernah mendengar nama Go Sam-kui ketika di Yangciu, Dialah pengkhianat bangsa Han yang telah memimpin pasukan Boanciu masuk ke Tiong-goan untuk menyerang, kemudian merampas kerajaan.

Go Sam-kui juga si raja jahat yang menjadi biang keladi pembunuhan di Yangciu, Entah berapa banyak rakyat yang dikorbankannya di saat itu. Berkat jasanya ini pula, dia diangkat menjadi Peng-seng ong, raja muda yang menguasai wilayah barat, tepatnya di propinsi Inlam.

Setiap menyebut nama Go Sam-kui, rakyat bangsa Han pasti akan mengepalkan tinjunya dan mengkertakkan gigi erat-erat karena mereka membenci orang itu sampai ke tulang sumsum. Karena itu, Siau Po juga tidak heran mendengar hiocu Hian-sui tong memaki dengan demikian hebatnya.

Dipelopori oleh hiocu Lim Eng-tiau, kedelapan hiocu yang lainnya segera membuka suara ikut mencaci Go Sam-kui. Untung saja di sana terdapat Tan Kin-lam, kalau tidak, mungkin mereka sudah mengeluarkan segala macam cacian terkotor yang pernah ada.

Siau Po senang sekali mendengar caci maki mereka, baginya semua kata-kata itu adalah makanan sehari-hari. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi, dia ikut memaki. Akhirnya gaduhlah ruangan itu karena caci maki yang keras dan saling sahut menyahut.

"Cukup! Cukup!" seru Tan Kin-lam sambil mengibaskan tangannya berkali-kali, "Di seluruh negara, bangsa Han setiap hari mencaci dan mengutuk Go Sam-kui, tapi sampai hari ini dia masih tetap sehat wal "afiat dan bahkan masih menjadi seorang raja

muda, sedangkan percobaan pembunuhan atas dirinya selalu gagal!"

Mendengar kata-kata sang ketua, Lie Si-kay dari Hong-hoa tong yang tubuhnya pendek kecil dan agak pendiam ikut memberikan pendapatnya: "Menurut pandanganku yang rendah, seandainya kita menyerang ke Inlam dan menghabisi Go Sam-kui, tindakan itu masih belum berarti banyak bagi perkumpulan kita, apalagi orang ini adalah pengkhianat besar bangsa, satu kali bacokan terlalu enak baginya.Dia pantas menjalani berbagai siksaan berat seperti yang dialami tawanan-tawanan yang pernah jatuh ke tangannya!" Tan Kin-lam menganggukkan kepalanya.

"Hiocu memang benar, Sekarang, dapatkah hiocu memberikan pendapatmu yang berharga?"

"Urusan ini besar sekali, Lebih baik kita rundingkan bersama-sama. Aku sendiri tidak mempunyai pandangan apa-apa. Cong tocu saja yang memberikan petunjuk!"

"Memang urusan ini bukan main besarnya, maka benarlah bahwa kita harus merundingkannya bersama..." kata Tan Kin-lam.

"Siapa juga tahu, pikiran satu orang pendek, pikiran dua orang panjang. sedangkan jumlah kita ada sepuluh, ch... bukan, sebelas! Tentu kita bisa memikirkan sebuah akal yang baik."

Tan Kin-lam menghentikan kata-katanya sejenak, pandangannya mengedarkan orang-orang yang berkumpul dalam ruangan itu, baru dia kemudian melanjutkan kembali.

"Kita ingin membunuh Go Sam-kui, tujuannya bukan hanya untuk membalas sakit hati para saudara kita, tetapi untuk rakyat yang tercekam olehnya! Kedudukan Go Sam-kui di Inlam kuat sekali Mungkin Tian-te hwe kita tidak sanggup membasminya...."

"Biar bagaimanapun kita toh harus berusaha menghancurkannya!" kata Lim Eng-tiau.

"Kita bisa mengadu jiwa dengannya!"

"Sampai sebegitu jauh, buktinya kau belum berhasil, bahkan kau kehilangan sebelah lenganmu!" tukas Coa Tek-tiong.

"Apakah kau sengaja menghina aku atau ingin menertawakan kegagalanku?" tanya Lim Eng-tiau dengan wajah kurang senang.

"Aku hanya bercanda," sahut Coa Tek-tiong yang sadar telah kelepasan bicara, dia segera menoleh kepada Tan Kin-lam dengan bibir tersenyum.

"Cong tocu, harap maafkan sikapku barusan." Kin-lam mengetahui bahwa hati Lim Eng-tiau masih panas mendengar ucapan Coa Tek-tiong. Dia tidak ingin urusan ini jadi berkepanjangan.

"Saudara Lim," katanya dengan nada sabar. "Membunuh Go Sam-kui adalah cita-cita setiap bangsa Han. Orang terus berharap bahkan sampai memimpikannya, Jadi bukan berarti hanya tugasmu seorang saja. Kalau bicara terus terang, kita semua juga belum

tentu bisa berhasil membunuhnya, namun kita toh tidak boleh putus asa begitu saja!" Kemarahan dalam hati Lim Eng-tiau sirap mendengar ucapan Cong tocunya.

"Apa yang Cong tocu katakan memang benar!" Terdengar Tan Kin-lam berkata kembali: "Untuk membunuh Go Sam-kui rasanya kita harus bekerja sama dengan partai persilatan lainnya, dengan demikian baru kita bisa mempunyai kekuatan yang besar. Di Inlam, Go Sam-kui mempunyai pasukan perang yang jumlahnya laksaan jiwa, belum lagi pendamping-pendampingnya yang berilmu tinggi, inilah yang membuat kita menghadapi kesulitan untuk membasminya..."

Terutama Siaulim pai dan Butong pai, kita harus berupaya untuk mengajak mereka bekerja sama, karena selain murid-murid mereka banyak, kepandaian mereka juga tinggi-tinggi!" tukas Coa Tek-tiong.

"Aku ragu kalau pihak Siaulim pai bersedia bekerja sama dengan kita, menurut apa yang kuketahui ketua Siaulim pai, yakni Beng Seng taisu, lebih mengutamakan soal agama daripada urusan politik..." kata Yau Pit-tat, hiocu dari Oey-tou tong.

"Sejak beberapa tahun yang lalu, dia malah mengeluarkan peraturan baru. Para murid kuil itu, baik yang hwesio atau yang preman, tidak boleh sembarangan terjun ke dunia kangouw, Hal ini disebabkan kekhawatiran si taisu tua itu bahwa akan terbit

keonaran yang tidak diinginkan, Karena itu, aku rasa tidak mudah bagi kita untuk mengharapkan dukungannya."

"Pihak Butong juga bersikap hampir tidak berbeda dengan Siaulim pai," kata Ouw Tek-ti, hiocu dari Cam-tay tong di wilayah Ouwkong.

"In Gan tojin, pengurus kuil Cin-bu-koan, sudah lama tidak akur dengan kakaknya, In Ho tojin, Di antara murid kedua belah pihak pun seperti ada ganjalan apa-apa. Aku khawatir..." Hiocu itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya, tapi semua orang sudah maklum memang sulit mengharapkan kerja sama dari pihak Siau lim pai maupun Bu tong pai.

"Kalau memang sulit mengharapkan kerja sama dari kedua partai itu, tidak ada salahnya kalau kita bergerak sendiri saja!" kata Lim Eng-tiau.

"Biar bagaimana, kita tidak boleh terburu nafsu..." tukas Tan Kin-lam.

"Kita toh tahu bahwa di dunia ini, partai persilatan tidak terdiri dari Siaulim pai dan Butong pai saja." Mendengar kata-kata ketua mereka, beberapa hiocu langsung mengajukan nama Gobi pai dan Kaypang, Terutama Kaypang yang terkenal setia kawan serta jujur.

"Pokoknya, kalau kita belum mendapat kepastian, sebaiknya kita jangan sembarangan membicarakan urusan, hal tersebut merupakan rahasia yang harus kita jaga baik-baik!" kata Tan Kin-lam.

"Betul!" sahut Pui Tay-hong.

"Jangan kita memaksakan kehendak dan jangan sampai kita kena batunya atau mendapat malu!"

"Yang penting kita harus bisa menyimpan rahasia." Sekali lagi Tan Kin-lam menegaskan.

"Kalau rahasia kita bocor, Go Sam-kui pasti akan membuat penjagaan yang ketat..."

"Karena itu, mulai sekarang kita tidak boleh lancang. Untuk mendapatkan kerja sama dari pihak lain, kita tidak boleh gegabah, Harus ada persetujuan terlebih dahulu dari Cong tocu, jangan sekali-sekali mengambil keputusan sendiri!" kata Lie Si-kay.

"Itu benar!" seru beberapa orang lainnya sepakat.

"Sekarang kita belum bisa mengambil keputusan, karena itu, tiga bulan kemudian kita berkumpul lagi di Tiangsi, Ouwlam, dan kau, Siau Po, kau kembalikan ke istana, Urusan Ceng-Bok tong boleh diserahkan saja kepada Lie toako dan Kwan hucu. Dalam rapat di Tiangsi kau juga tidak usah hadir," kata Tan Kin-lam selanjutnya.

"Baik," sahut sang murid. Tan Kin-lam menarik tangan Siau Po kemudian mengajaknya masuk ke dalam kamar tadi.

"Kau dengar kata-kataku ini," katanya kepada Siau Po. "Di dalam kota Peking, ada seorang kakek penjual koyo (obat tempel) di sebuah tempat yang bernama Thiankio, orang itu she Ci. Kalau orang lain menjual koyo berwarna hitam, koyonya justru berwarna separuh hijau dan separuh lagi merah seandainya hendak menghubungi aku, kau pergi saja ke Thiankio dan temui si Ci itu.

Agar tidak terjadi kesalahan dan dapat saling percaya, ada pembicaraan yang telah diatur begini: Kau harus menanyakan kepada dia, apakah dia menjual koyo pembasmi racun dan obat yang dapat membuat mata buta menjadi melek kembali. Nanti dia akan menjawab, "obatnya ada, tapi harganya mahal sekali, YAKNI TIGA TAIL UANG EMAS DAN TIGA TAIL UANG PERAK!" Kau tawar, apakah dia menjualnya dengan harga lima tail uang emas dan lima tail uang perak, Setelah itu dia pasti tahu siapa dirimu." Hati Siau Po jadi tertarik Dia tertawa lebar "Orang minta harga tiga tail, kita malah menawar lima tail, di dunia ini mana ada peraturan seperti itu?"

"Itu merupakan isyarat kita, mendengar kau menawar lebih tinggi, dia tentu akan menanyakan apa alasannya, Kau harus mengatakan bahwa tawaran itu sama sekali tidak mahal. Malah kalau mata yang buta bisa melek kembali, kau bersedia menjadi kerbau atau kuda baginya.

Nanti dia akan berkata, "Bumi bergetar, tanjakan tinggi dan parit di gunung indah." Dan kau harus menjawab: "Pintu menghadap laut besar, tiga sungai mengalir menjadi satu laksaan tahun lamanya."

Dia akan bertanya lagi: "Di sisi paseban bunga merah, di ruangan yang mana?" Kau harus menjawab, "Ruang kayu hijau, yakni Ceng-bok tong." Kemudian dia tentu bertanya lagi "Berapa batang hio yang disulut dalam ruangan itu?"

Kau jawab: "Lima batang hio." Lima batang hio artinya kelima hiocu. Dalam perkumpulan kedudukanmu jauh lebih tinggi daripadanya. Karena itu, bila ada urusan apa-apa, kau boleh perintahkan dia untuk melaksanakannya."

"Siau Po mengingat baik-baik semua tanya jawab yang aneh itu. Kin-lam juga mengujinya beberapa kali sampai dia hapal betul."

"Meskipun orang tua she Ci itu kedudukannya rendah, tapi kepandaiannya justru baik sekali, Karena itu, jangan sekali-sekali kau bersikap kurang ajar kepadanya!"

"Baik, suhu!" sahut Siau Po. Kin Lam menerangkan beberapa teori ilmu silat yang harus dilatih oleh Siau Po. Kemudian baru dia berkata kembali: "Siau Po, kita mempunyai tugas masing-masing yang harus dilaksanakan. Karena itu, kita tidak dapat berkumpul lama-lama. Nanti sesampai di istana, kau boleh melaporkan bahwa kau telah diculik para penjahat, kemudian di malam hari kau berhasil meloloskan diri dengan membunuh penjagaan. Juga kau mengatakan boleh bahwa mereka datang ke tempat di mana kau ditahan, yakni tempat ini. Kepala Go Pay akan kupendam di kebun sayur belakang rumah ini. Kau boleh gali dan ambil kepala itu sebagai bukti. Dengan demikian kau tidak akan dicurigai." Siau Po menganggukkan kepalanya, "Bagaimana dengan suhu dan yang lainnya? Apakah suhu ingin menyingkir dari tempat ini?" Tan Kin-lam mengangguk "Kalau kau sudah pergi, kami pun akan berlalu dari sini, kau tidak perlu khawatir!" Tan Kin-lam membelai kepala muridnya itu. "Siau Po, aku harap kau akan menjadi anak yang baik. Bila ada waktu luang, aku akan datang ke kota raja dan mengajarkan ilmu silat kepadamu."

Siau Po mengangguk "Ya, Suhu," katanya. "Bagus, Nak. Pergilah, Kau harus berhati-hati, Bangsa Tatcu sangat licik, meskipun otakmu cerdas sekali, tapi kau masih kurang pengalaman."

"Suhu!" panggil Siau Po sambil menundukkan kepalanya, "Sebetulnya aku tidak kerasan lama-lama di istana, kapan kiranya aku bisa ikut suhu mengembara?" Tan Kin-lam memperhatikan muridnya lekat-lekat.

"Sabarlah kau untuk beberapa tahun. Berusahalah untuk membuat jasa bagi perkumpulan kita, Nanti setelah kau agak dewasa di mana suaramu sudah pecah dan kumismu mulai tumbuh, tentu kau tidak dapat menyamar sebagai thay-kam lagi, itulah saatnya kau meninggalkan istana!" Siau Po juga memperhatikan gurunya lekat-lekat, diam-diam dia berpikir dalam hati.

"Baiklah, aku akan berdiam di dalam istana saja, di sana aku bebas melakukan apa pun yang aku suka, kalian toh tidak mungkin mengetahuinya. Dengan demikian, kalian juga tidak menemukan alasan untuk memecat aku sebagai hiocu. Setelah lewat beberapa tahun, kepandaianku juga akan bertambah tinggi. Kalau aku sudah lihay, kalian belum tentu berani menentangku lagi!"

Oleh karena itu, pikirannya yang tadi gundah menjadi gembira. Sebelum berangkat, Siau Po menemui Mau Sip-pat untuk mengucapkan selamat berpisah. Siau Po tidak menceritakan apa-apa, meskipun Mau Sip-pat banyak bertanya. Laki-laki itu tidak tahu kalau adik angkatnya sudah menjadi hiocu Ceng-bok tong, bahkan diterima sebagai murid oleh Tan Kin-lam. Hatinya prihatin sekali.

Di samping itu, Siau Po juga telah mendapatkan semua barangnya kembali, juga pisau belatinya yang luar biasa tajamnya itu, Ketika ia akan berangkat, Siau Po diberikan seekor kuda dan diantarkan oleh Tan Kin-lam sampai di depan pintu. sedangkan Kwan An-ki, Lie Lek-si serta yang lainnya mengantar sampai sejauh tiga li. Siau Po menanyakan sampai jelas jalan menuju kota raja, Kemudian dia melarikan kudanya dengan cepat ke tempat tujuannya itu, Ketika dia sampai dikota raja, hari sudah menjelang malam, Tanpa menunda waktu lagi, dia menuju istana dan menghadap kaisar Kong Hi. Kaisar Kong Hi telah menerima laporan dari anak buahnya bahwa Siau Po diculik oleh antek-antek Go Pay. Dia menduga bahwa thay-kam kesayangannya itu telah

dicelakai oleh mereka. Dia juga sudah menitahkan seorang jenderal, dengan membawa pasukan pergi mencari orang-orang yang bertanggung jawab atas kejadian ini. Meskipun puluhan orang telah ditangkap dan diinterogasi, tetap saja tidak ada hasilnya.

Justru tepat di saat kaisar Kong Hi pusing memikirkan keselamatan thay-kam gadungan itu, tiba-tiba dia mendapat laporan bahwa Siau Po sudah pulang, bukan main gembiranya hati raja cilik itu.

"Lekas perintahkan dia menghadap secepatnya!" Tidak lama kemudian, Siau Po pun menghadap dan memberi hormat kepada sang raja.

"Oh! Siau Kui cu... bagaimana kau bisa meloloskan diri dari tangan musuh?" tanyanya dengan nada terharu. Siau Po telah diajari bagaimana harus berdusta, dia juga sudah memikirkan kata-kata yang harus diucapkannya sepanjang perjalanan. Karena itu dia tidak mendapat kesulitan sedikit pun dalam mengisahkannya. Dia menceritakan bagaimana dia ditawan oleh pihak musuh, bagaimana dia dibawa dengan dimasukkan ke dalam sebuah drum lalu dijejali buah tho. Dia juga menceritakan bahwa dia akan dibunuh untuk menjadi korban, bahkan meja sembahyang sudah disediakan. Sampai akhirnya ada salah seorang dari rombongan penjahat itu yang mengusulkan agar hukumannya ditunda dulu, dia pun dikurung dalam sebuah kamar gelap. Dia kemudian berhasil meloloskan diri setelah membunuh seorang penjaga. Siau Po mengatakan bahwa dia bersembunyi dibalik pepohonan yang lebat sampai akhirnya dia berhasil mencuri seekor kuda dan kabur pulang ke istana dengan jalan memutar! Cerita karangannya dikisahkan dengan bagus sehingga kaisar Kong Hi tidak curiga sedikit pun. Bahkan kaisar Kong Hi merasa gembira sekali sehingga dia menepuk bahu thay-kam gadungan itu berkali-kali.

"Hebat kau, Siau Kui cu, Tentunya kau sudah banyak mengalami penderitaan!" kata raja itu.

"Tidak apa, Sri Baginda," sahut bocah yang cerdik itu, "Sri Baginda, antek-anteknya Go Pay banyak sekali, Mereka harus dicari dan ditumpas, Hamba tahu di mana letaknya sarang persembunyian mereka. Bagaimana kalau sekarang juga kita membawa pasukan untuk menyerang dan sekaligus menumpas mereka?"

"Bagus!" seru kaisar Kong Hi, "Lekas kau ajak So Ngo-tu dan pimpin lima ribu tentara berkuda untuk menawan para pemberontak itu!" Siau Po menerima baik perintah itu. Dia tidak beristirahat lagi. ia segera menyuruh bawahannya menyampaikan perintah itu kepada So Ngo-tu. setelah itu dia segera mengganti pakaiannya. Sekejap kemudian dia sudah berjalan bersama So Ngo-tu untuk menjalankan tugas yang diberikan kaisar Tentu saja dia bertindak sebagai penunjuk jalan. Di tengah jalan pasukan tersebut disusul oleh orang suruhannya Kong cin ong, karena pangeran itu bermaksud mengirimkan kuda Giok-ho cong yang sudah

dihadiahkan kepada Siau Po. Ketika sudah naik ke atas punggung kuda, penampilan Siau Po jadi berwibawa sekali.

Tatkala pasukan tentara itu tiba di tempat Siau Po tertawan, sarang itu sudah kosong melompong. Namun, atas anjuran si thay-kam gadungan, So Ngo-tu memerintahkan orangnya untuk mengadakan pemeriksaan. Kepala Go Pay digali dari dalam tanah kebun belakang, Di sana terdapat sebuah lengpai yang bertuliskan Tempat bersemayamnya arwah Yang Mulia Go Pay berpangkat Siau Po dari kerajaan Ceng yang Maha Besar."

Di sana juga terdapat beberapa batang kayu yang berukir kata-kata pujian untuk orang gagah nomor satu dari bangsa Boan, dapat dipastikan bahwa Tan Kin-lam telah mengatur semuanya dengan seksama demi memperkuat ceritanya Siau Po. Mereka pun kembali ke istana. Meski tidak ada seorang tawanan pun yang berhasil didapatkan, tapi So Ngo-tu dapat menghaturkan kepalanya Go Pay serta lengpai dan beberapa batang kayu berukir huruf-huruf itu. Kaisar Kong Hi merasa puas sekali dan menganggap panglimanya sudah berjasa besar kali ini.

"Selidikilah terus urusan ini!" katanya kepada So Ngo-tu. Siau Po juga senang sekali, Apalagi membayangkan bahwa raja pun telah kena diperdaya olehnya. Begitu masuk ke dalam kamarnya sendiri, Siau Po langsung menghitung uang yang diberikan So Ngo-tu kepadanya, jumlahnya mencapai empat puluh enam laksa enam ribu lima ratus tail perak, semestinya dia menerima jumlah

yang kurang satu laksa, tapi So Ngo-tu memang ingin menyenangkan hatinya dengan mengurangi bagiannya sendiri, dan Siau Po memang senang sekali menerimanya!

Setelah menyimpan uangnya, Siau Po segera mengeluarkan kitab kecil pemberian Tan Kin-lam. Kitab itu berisi ilmu tenaga dalam. Dia langsung duduk bersila dengan sikap orang bersemedi. Tapi belum sampai setengah jam, dia sudah letih dan mengantuk. Karena itu dia pun tertidur pulas. Keesokan paginya, setelah terjaga dari tidurnya dan membasuh muka serta mengganti pakaiannya kembali, Siau Po pun menghadap raja, Dia menyelesaikan tugas cepat-cepat. Siang hari dia kembali ke kamarnya sendiri untuk melatih diri, Tapi, seperti juga kemarin, belum lama berlatih, dia sudah merasa capek dan tertidur. Rupanya kitab ilmu tenaga dalam yang diberikan Tan Kin-lam sangat sulit dipelajari. Untuk berhasil, orang yang mempelajarinya harus mempunyai minat, tekad serta ketekunan yang besar Siau Po cukup cerdas, minat pun ada, sayangnya ketekunannya kurang. Ketika Siau Po terjaga kembali, hari sudah larut malam, Diam-diam ia berpikir dalam hati.

"Suhu menyuruh aku mempelajari kitab ini, tetapi isinya sama sekali tidak menarik" Siau Po segera membalikkan halaman kitab itu. Selain gambar orang masih terdapat banyak huruf-huruf di dalamnya, Sayangnya, Siau Po tidak bisa membaca, seandainya bisa, kata-kata dalam kitab itu tentu akan memberikan bantuan kepadanya, Akhirnya Siau Po menarik nafas panjang dan menyimpan kembali kitab itu. Ketika menerima Siau Po sebagai murid, Tan Kin-lam melakukan satu kesalahan. Dia tidak menanyakan apakah muridnya itu bisa membaca atau tidak. Mungkin bukan hanya Kin Lam yang tidak terpikir sejauh itu. Mengingat Siau Po sangat disayangi oleh Sri Baginda dan thayhou, orang lain pasti tidak mempunyai keraguan terhadapnya, sebenarnya semua penjelasan itu tidak sulit di mengerti, sayangnya Siau Po memang tidak bisa!

"Bagaimana kalau aku bertemu lagi dengan suhu kelak?" pikirnya sambil rebah di tempat tidur Bagaimana kalau suhu ingin melihat sampai di mana kemajuanku? Tentu suhu akan kecewa.... Kemudian dia bangkit kembali dan mengeluarkan kitab pemberian Tan Kin-lam kemudian dia duduk bersila lagi. Belum berapa lama rasa kantuknya sudah menyerang lagi. Siau Po berusaha mempertahankan diri sekuatnya biarpun matanya terasa berat dan sulit diajak berkompromi.

"Aih! keluh Siau Po dalam hati, "Suhu orangnya baik dan kepandaiannya tinggi sekali, sayang sekali pelajarannya tidak menarik sebagaimana halnya pelajaran Hay kongkong!" Teringat akan pelajaran Hay kongkong, semangat Siau Po terbangkit kembali, cepat dia mengambil kitab ilmu silat si thay-kam tua itu. Dia segera membukanya dan berlatih menurut gambar yang tertera dalam kitab itu. Baru bersila tidak berapa lama, Siau Po sudah merasa ada hawa hangat yang mengalir dalam tubuhnya, diam-diam dia berkata dalam hati.

"Menurut keterangan suhu, habis berlatih hawa hangat memang akan keluar Karena kalau aku mempelajari kitab yang diberikan suhu, hawa hangat itu tidak terasa? Mengapa justru terasa begitu cepat kalau aku mempelajari ilmu si kura-kura tua?" Siau Po juga merasa tubuhnya nyaman sekali. Mempelajari kedua kitab tersebut, ilmu kepandaian Siau Po maju pesat, Tanpa disadarinya, dia menggabungkan kedua macam ilmu tersebut, Kalau pelajaran yang satu mengalami kesulitan, dia akan beralih kepada pelajaran yang lainnya, demikian pula sebaliknya. Dalam waktu sembilan hari, Siau Po sudah selesai mempelajari gambar pertama dari kitab Hay kongkong, sementara itu, dia juga tetap dibantu oleh kitab dari gurunya. Setiap kali berlatih, seluruh tubuh Siau Po pasti basah oleh keringat dan terasa nyaman sekali, Namun dia sendiri tidak menyadari kemajuan yang diperolehnya dari gabungan kedua pelajaran itu. Semakin hari Siau Po semakin bersemangat, asal dia sudah selesai melayani Sri Baginda, dia akan mengunci diri di kamar untuk berlatih. Setiap tanggal dua dan enam belas ada pula thay-kam yang datang mengantarkan uang perak sebesar dua ribu tail untuknya.

So Ngo-tu mengeluarkan uang yang tidak sedikit dan membagi-bagikannya kepada beberapa selir raja, thay-kam dan siwi yang berpengaruh atas nama Siau Po. Hal ini membuat kedudukan thay-kam gadungan itu semakin kuat, dalam waktu beberapa bulan saja Siau Po sudah disukai oleh berbagai kalangan dalam istana, Di mana saja dia muncul, selalu disambut dengan ramah. Bahkan raja sendiri juga semakin menyayanginya.

Musim gugur telah berlalu, datanglah musim dingin. Suatu hari, di saat Siau Po selesai melayani raja, tiba-tiba dia teringat akan gurunya.

"Suhu telah berpesan, apabila aku mempunyai urusan yang ingin dibicarakan dengan suhu, aku boleh mencari si Ci, penjual koyo di Thianko, walaupun aku tidak mempunyai urusan apa-apa, tapi sekarang aku mempunyai waktu senggang, ada baiknya aku ke tempat itu. Siapa tahu suhu ada di sana! Aku harus bertemu secepatnya, agar kepandaianku mengalami kemajuan!" Dengan membawa pikiran demikian, Siau Po keluar dari istana, Setelah jalan berputaran beberapa kali, dia mampir di sebuah kedai teh, Di sana ada tukang dongeng yang sedang bercerita, Siau Po duduk menikmati secawan teh panas sambil memasang telinga mendengarkan Kisah yang dituturkan adalah "Eng Liat-toan." sebetulnya Siau Po sudah sering mendengar cerita yang satu ini, tapi karena tukang dongengnya pintar mengisahkan cerita itu, perhatian Siau Po sampai terpusat penuh. Dia terus mendengarkan dan tidak disadari bahwa hari sudah menjelang malam, dengan demikian hari itu dia tidak jadi menemui si Ci penjual koyo tersebut. Di hari kedua kembali Siau Po keluar dari istana, tapi dia hanya berputar-putar saja, kemudian mendengarkan cerita lagi, Hari itu, pikirannya juga dilanda kebimbangan Dia merasa rindu kepada gurunya, namun dia juga khawatir dirinya akan ditegur, karena pelajarannya yang tidak mengalami kemajuan, bisa-bisa dia dipecat dari jabatannya sebagai hiocu dari Ceng-bok tong....

"Bukankah lebih enak jadi thay-kam saja?" pernah tersirat pikiran itu dalam benaknya, Tapi dia merasa kehidupan seperti ini tiada artinya, meskipun dia bebas melakukan apa saja. Namun, dia juga tidak ingin menjabat sebagai seorang hiocu untuk selamanya, Dia memang ingin bertemu dengan gurunya, namun tidak ada kepentingan apa-apa yang harus dibicarakan "Buat apa aku mencari si Ci penjual koyo itu? Kalau sampai mulutku kelepasan bicara atau membocorkan rahasia Tian-te hwe dan menimbulkan bencana bagi perkumpulan itu, celakalah aku!" pikirnya kemudian. Satu bulan lebih kembali berlalu, dari tujuh puluh dua gambar yang tertera dalam kitab Hay kongkong, dia sudah menguasai dua puluh satu di antaranya. Dia merasa tubuhnya segar dan ringan, gerakan kakinya cepat dan ini membuat hati Siau Po menjadi gembira.

Pada suatu hari, Siau Po pergi lagi ke kedai teh. Dia ingin mendengar kisah yang dituturkan si tukang dongeng, Kisah yang dituturkannya masih "Eng Liat-toan" Pelayan kedai itu sudah menyediakan tempat duduk karena mereka semua tahu bahwa dia adalah thay-kam kesayangan Sri Baginda, Siau Po selalu disajikan teh yang baik. Dia juga merasa senang karena orang-orang di sana sangat menghormatinya, Sedikit-sedikit dia dipanggil Kongkong.

Siau Po sedang mendengarkan dengan asyik, ketika ada seseorang yang berdiri di sisinya sambil berkata: "Numpang duduk!"

Siau Po menolehkan kepalanya dan dia melihat seseorang sudah duduk di sebelahnya. Bocah itu jadi kurang senang, sepasang alisnya menjungkit ke atas. Orang itu tidak menghiraukan sikap kurang senang yang diperlihatkan Siau Po. Dia malah berkata dengan suara perlahan: "Aku yang rendah mempunyai koyo yang mujarab dan ingin kujual kepada kongkong. Coba kongkong lihat dulu!" Siau Po memperhatikan, dia melihat orang itu meletakkan koyo di atas meja. Yang aneh, koyo itu warnanya separuh merah dan separuhnya lagi hijau, Siau Po langsung bertanya: "Obat apakah itu?"

"Ini obat untuk menghilangkan racun dan menyembuhkan mata yang buta sehingga melek kembali sahut orang itu, Dengan suara yang lirih dia menambahkan "Ada namanya, Ki-ceng Hok-beng!"

"Ki-ceng hok-beng", adalah kata-kata sandi perkumpulan Tian-te hwe Arti sebenarnya memang memusnahkan racun dan membuat mata buta melek kembali. Tetapi bagi perkumpulan Tian-te hwe sendiri artinya lain lagi, yaitu mengusir Ceng dan membangun kembali Beng. Siau Po memperhatikan orang itu lekat-lekat. Usianya sekitar tiga puluh tahun, tampangnya gagah, dengan demikian orang itu berbeda dengan apa yang pernah dilukiskan oleh gurunya. Menurut gurunya Ci lotau orangnya sudah tua, Tapi dia bertanya juga.

"Berapa harga obatmu ini?"

"Tiga tail uang perak dan tiga tail uang emas."

"Apakah kau mau menjualnya dengan harga lima tail uang perak dan lima tail uang emas?"

"Apakah tawaran itu tidak terlalu tinggi?"

"Tidak tinggi, tidak tinggi! Asal obatnya benar-benar manjur, dapat menghilangkan segala macam racun dan dapat pula membuat mata yang buta melek kembali. Bahkan jika benar-benar demikian manjur, aku bersedia menjadi kerbau atau kudamu! Sama sekali tidak mahal!" sahut Siau Po. Orang itu mendorong obatnya ke hadapan Siau Po sambil berkata lagi dengan suara lirih:

"Kongkong... aku ingin bicara denganmu." Tanpa menunggu sahutan dari Siau Po, dia langsung ngeloyor pergi. Siau Po segera meletakkan uang dua ratus bun di atas meja, Setelah itu dia bangun dan berjalan pergi, Orang itu berdiri di depan kedai, Melihat Siau Po melangkah keluar, dia segera menuju ke arah timur. Kemudian dia menikung ke sebuah gang kecil, Di tengah jalan dia menghentikan langkah kakinya.

"Bumi bergetar, tanjakan tinggi, parit di pegunungan indah," katanya. Mendengar ucapannya, Siau Po langsung menyahut.

"Pintu menghadap laut besar. Tiga sungai mengalir menjadi satu laksaan tahun lamanya." Tanpa menanti jawaban orang itu, dia bertanya, "Tuan, ini paseban merah, tuan dari ruang yang mana?"

"Aku dari Ruang Bunga Merah."

"Berapa hio yang disulut dalam ruangan itu?" tanya Siau Po kembali.

"Tiga batang!" sahut orang itu.

Bagian 13

Siau Po menganggukkan kepalanya, Diam-diam dia berpikir dalam hati, kedudukanmu lebih rendah dua tingkat daripadaku.

Terdengar orang itu bertanya lagi: "Kakak, apakah kakak ini Wi hiocu yang menyulut lima batang hio dari Ruang Kayu Hijau?"

"Benar!" sahut Siau Po. Diam-diam dia berpikir kembali "Usiamu lebih jauh tua, tapi kau memanggilku kakak. Enak sekali didengarnya! Mengapa tidak sekalian saja memanggil kakek atau paman?"

"Aku yang rendah she Kho bernama Gan-tiau dari Hong-hua tong. Sudah lama aku mendengar nama besar Wi hiocu, namun sampai sekarang baru sempat bertemu muka, ini benar-benar keberuntungan bagiku!" kata orang itu.

Tentu saja Siau Po senang sekali, tapi dia memang pandai menutupinya.

"Kakak Kho hanya memuji saja! Kita toh orang-orang sendiri, jangan kau sungkan!"

"Wi hiocu, di dalam tong kakak ada seorang saudara Ci yang biasa menjual koyo di Thianko, Hari ini dia telah diserang oleh seseorang sehingga terluka parah. Karena itulah aku sengaja datang untuk melaporkan kepada kakak!" kata orang she Kho itu.

Siau Po terkejut setengah mati.

"Aku tahu saudara Ci itu," katanya, "Selama ini aku selalu sibuk sehingga belum sempat aku menemuinya. Bagaimana lukanya dan siapa yang menyerangnya?"

"Kita tidak bisa berbicara di sini." kata orang she Kho itu. "Silahkan hiocu ikut denganku!" Siau Po menganggukkan kepalanya. Dia langsung mengikuti di belakang orang itu. setelah melewati tujuh delapan gang, Gan Tiau sampai di sebuah lorong kecil, Mereka masuk ke dalam sebuah toko obat yang atasnya terdapat tiga huruf besar namun tidak dimengerti oleh Siau Po. Di dalam Kho Gan-tiau berbisik kepada seseorang yang tubuhnya gemuk. Terdengar orang itu menyahut: "Ya, ya!" beberapa kali, Setelah itu dia mengangguk kepada para tamunya dan berkata: "Tuan sekalian ingin membeli obat pilihan, silahkan masuk ke dalam!" Dia pun mengantarkan tamu-tamunya ke dalam setelah merapatkan pintu. Di dalam ruangan, orang itu membuka papan lantai yang kemudian terlihatlah sebuah celah gelap. Setelah itu dia turun ke bawah lewat undakan batu yang terdapat di

dalamnya. Ruangan bawah tanah itu demikian gelap sehingga Siau Po merasa curiga, Diam-diam dia berkata dalam hatinya.

"Benarkah mereka ini orang-orang Tian-te hwe? Celaka kalau tempat ini rumah jagal..." Meskipun demikian, dia tetap mengikuti di belakang Kho Gan-tiau. Untunglah setelah berjalan sepuluh langkah, mereka sudah sampai di depan sebuah pintu, Si pengantar membuka pintu tersebut kemudian mengajak mereka masuk ke dalamnya, Ruangan itu mempunyai penerangan sehingga semuanya dapat terlihat jelas.

Ukurannya kecil, jumlah orang di dalamnya ada lima, sedangkan orang keenam sedang terbaring di atas sebuah balai-balai yang rendah. Dengan bertambahnya tiga orang, ruangan itu menjadi sesak.

"Saudara-saudara, inilah Wi hiocu dari Ceng-bok tong!" kata Kho Gan-tiau memperkenalkan. Kelima orang itu segera bangkit dan memberi hormat serta menyambut kedatangan Siau Po dengan gembira, Siau Po merangkapkan sepasang tangannya dan membalas dengan menjura. Gan Tiau menunjuk kepada orang yang terbaring di atas balai-balai.

"Itu kakak Ci, karena sedang terluka dia tidak dapat memberi hormat kepada hiocu!"

"Tidak apa, tidak apa," sahut Siau Po yang segera menghampiri orang itu. Wajah si Ci pucat sekali, seperti tidak ada darah yang mengalir dalam tubuhnya, sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat. Nafasnya perlahan sekali, ada noda darah di permukaan kumisnya yang sudah memutih.

"Siapakah yang melukai kakak Ci ini?" tanya Siau Po. "Apakah begundal Tatcu?"

"Bukan," sahut Gan Tiau sambil menggelengkan kepalanya, "Yang melukainya adalah orangnya Bhok ong-ya dari Inlam." Hati Siau Po benar-benar tercekat mendengarnya. Dia benar-benar tidak habis mengerti dibuatnya.

"Orangnya Bhok ong-ya dari Inlam? Bukankah keluarga itu juga para pecinta negara seperti halnya kita?" tanyanya kemudian.

Gan Tiau menggelengkan kepalanya.

"Menurut kakak Ci, ketika dengan susah payah dia berhasil kembali ke rumah obat Hwe-cun tong ini, dengan terputus-putus dia sempat mengatakan bahwa orang yang melukainya adalah dua anak muda she Pek dari Bhok ong-ya."

"She Pek?" tanya Siau Po menegaskan "Bukankah mereka adalah putra-putra salah satu dari keempat Keciang keluarga Bhok?"

"Bisa jadi." sahut Gan Tiau. "Menurut kakak Ci, pertikaian mula-mula terjadi karena kedua pihak berdebat soal Tong dan Kui. Saking sengitnya, mereka bercekcok, akhirnya mereka jadi menggunakan kekerasan otomatis dengan seorang diri kakak Ci tidak sanggup melawan dua pengeroyoknya itu."

"Dua orang mengeroyok seorang lawan bukanlah perbuatan yang gagah!" kata Siau Po. "Tapi, apakah Tong dan Kui itu?"

Kho Gan-tiau segera menjelaskan: "Bhok ong-ya termasuk keluarga yang mendukung Kui ong. sedangkan kami dari pihak Tian-te hwe dulunya merupakan bawahan Tong ong. Kakak Ci bertempur justru karena ingin membela pangeran junjungannya." Siau Po masih belum mengerti juga, "Apa yang dimaksud dengan orang-orangnya Kui ong dan Tong ong?"

Kho Gan Tiau menjelaskan lebih lanjut "Kui ong bukanlah raja yang sah. Tong ong kami barulah raja yang sesungguhnya!"

Di antara kelima orang yang sejak semula sudah ada dalam ruangan itu, terdapat seorang tojin berusia kurang lebih lima puluh tahun. Dia merasa keterangan yang diberikan Kho Gan-tiau kurang jelas, karena itu dia segera menukas: "Wi hiocu, ketika dulu Lie Cong menyerbu ke kota raja Peking dan memaksakan kematian kaisar Cong Ceng dari dinasti Beng, Go Sam-kui juga memimpin angkatan perang kerajaan Ceng menyerbu ke Tionggoan, Dalam hal ini dia berhasil, sehingga seluruh Tionggoan kena dirampas lalu diduduki tentara musuh. Pada saat itulah, para menteri yang setia dan para orang-orang gagah mendukung anak cucunya Sri Baginda Beng thay-cou menjadi raja, Pertama-tama Hok ong dari Lam-khia yang menjadi raja. Ketika Hok ong berhasil dibunuh oleh bangsa Tatcu, di propinsi Hokkian, orang-orang mendukung Tong ong.

Tong ong didukung oleh keluarga Kok-sing ya, dengan demikian dialah raja yang resmi, sementara itu, di dua propinsi Kwisay dan Inlam, ada kelompok lainnya yang mendukung Kui ong serta ada lagi kelompok ketiga di Ciatkang yang mendukung Lau ong. Merekalah raja-raja yang palsu!" Mendengar keterangan itu, Siau Po langsung memberikan komentar.  

"Langit tidak mungkin dihuni dua matahari dan rakyat pun tidak bisa di bawah pimpinan dua orang raja, Kalau sudah ada Tong ong, maka Kui ong dan Lau ong tidak boleh dipilih lagi."

"Memang!" kata Gan Tiau, "Apa yang dikatakan hiocu tepat sekali!"

"Tapi pihak Kwisay dan Ciatkang mempunyai pikiran yang berbeda, mereka tamak akan kedudukan tinggi, mereka berkeras bahwa pangeran-pangeran yang didukung oleh pihak masing-masinglah raja yang sah!" Tojin itu menghentikan kata-katanya sejenak, setelah mengatur pernafasan, dia baru melanjutkan kembali.

"Apa yang terjadi kemudian? Baik Tong ong, Kui ong maupun Lau ong mengalami kegagalan. Tapi sampai sekarang semua orang masih tidak mau berhenti berusaha, mereka sibuk mencari turunan dari ketiga raja tersebut untuk dipilih kembali. Bangsa Han tetap ingin membangun kerajaan Beng, untuk itu tentu saja kerajaan Ceng harus diusir dulu. Ketiga pihak tetap mendukung junjungan masing-masing, Pihak yang pro kepada Kui ong dan Lau ong mengatakan Tian te hwe sebagai pendukung Tong ong. Hal ini memang tidak salah, karena kitalah sah. Pihak yang mendukung Kui ong dan Lau ong hanya ingin merebut kedudukan saja,"

"Oh! sekarang aku mengerti...," kata Siau Po menganggukkan kepalanya. "Jadi pihak Bhok ong-hu merupakan kelompok yang mendukung Kui ong, bukan?"

"Benar!" sahut tojin itu. "Selama belasan tahun, tiga kelompok ini terus berebutan satu dengan lainnya." Siau Po teringat ketika-mengadakan perjalanan dengan Mau Sip-pat, di sebelah utara Kangou mereka bertemu dengan kedua kakak beradik she Pek. Di sebabkan sedikit ucapannya, Siau Po sampai kena dicambuki Mau Sip-pat habis-habisan. Sejak itu kesannya kepada kedua saudara Pek sudah kurang baik.

"Kalau Tong ong adalah raja yang sah, kedua kelompok lainnya tidak patut memperebutkannya lagi, Bukankah menurut kata orang Bhok ong-ya itu berhati mulia? Aku khawatir, kalau suatu hari beliau menutup mata, mungkin orang-orangnya akan main gila"

"Apa yang dikatakan Wi hiocu memang benar." kata Gan Tiau dan yang lainnya serentak.

"Sebenarnya para orang-orang gagah dalam dunia kangouw selalu menghormati Bhok ong-ya." kata tojin itu melanjutkan keterangannya.

"Buktinya kalau ada yang melihat bendera putih dengan sulaman biru, orang selalu mengalah. Mungkin hal itulah yang membuat orang-orang Bhok ong-ya menjadi besar kepala, sehingga sikap mereka menjadi garang, itulah sebabnya kesabaran kakak Ci jadi habis.

Sejak dulu sampai sekarang, kakak Ci memang sangat menghormati Tong ong, tentu dia tidak senang pangeran pujaannya dicela orang lain. Perasaan kakak Ci sangat halus, mendengar orang menyebut nama almarhum Sri Baginda saja, air matanya langsung menetes."

"Tadi kakak Ci sempat tersadar sebentar dan mengharap kita semua akan membalaskan sakit hatinya." tukas Kho Gan-tiau. "Sekarang, orang yang berwenang di wilayah ini hanya Wi hiocu seorang. Karena itu pula, menurut peraturan, kami harus melaporkan hal ini kepadamu. Yang menjadi masalah, justru yang kita hadapi adalah pihak Bhok onghu yang merupakan pecinta negara seperti halnya kita, Coba kalau orang lain yang menjadi lawan kita, urusannya tentu tidak sepelik ini." Siau Po hanya mendengarkan dengan berdiam diri.

"Kata kakak Ci, sebetulnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu dia mengharapkan kedatangan Wi hiocu, Dia melihat hiocu berbelanja atau mendengar cerita di kedai teh...."

"Oh rupanya dia telah melihat aku...."

"Ya," kata Gan Tiau, "Menurut kakak Ci, apabila Wi hiocu mempunyai keperluan, tentu akan menemuinya sesuai dengan apa yang telah dikatakan Cong tocu. itulah sebabnya, meskipun dia melihat Wi hiocu, tidak berani sembarangan menyapa." Siau Po menganggukkan kepalanya, Dia memperhatikan si Ci lekat-lekat, kemudian dia berpikir dalam hati.

"Kiranya si rase tua ini sudah mengenaliku dan sering menguntitku kemana-mana sehingga dia tahu apa saja yang kulakukan. Bagaimana kalau dia bertemu dengan suhu lalu mengoceh yang bukan-bukan? Ah, lebih baik dia tidak dapat disembuhkan lagi dan langsung mati, Dengan demikian bereslah semuanya!"

"Setelah kami berunding, akhirnya kami bersepakat untuk mengundang Wi hiocu kemari." kata si imam kembali "Kami berharap Wi hiocu dapat menyelesaikan urusan ini." Mendengar kata-kata tojin itu, kembali Siau Po berpikir.

"Aku toh masih bocah cilik, memangnya apa yang bisa kulakukan?" Biarpun begitu, Siau Po merasa bangga karena orang-orang menghormatinya. Kemudian terdengar salah satu dari kelima orang yang mula-mula ada dalam ruangan berkata: "Pihak kami sering mengalah, karena kami menghormati Bhok ong-ya. Tapi kalau bicara tentang membela negara, Kok-sing ya kami telah membangun jasa yang banyak sekali."

"Kalau kita mengalah lima bagian, mereka harus membalasnya sepuluh bagian," kata seorang lainnya sengit. "Tapi justru karena kita mengalah, mereka jadi besar kepala. Apakah kita harus berlaku sungkan terus menerus? Kalau urusan ini tidak dapat diselesaikan, apa yang akan terjadi kelak? Pasti kita akan digilas habis-habisan dan diinjak-injak sampai kita tidak sanggup

mengangkat wajah lagi di kalangan masyarakat. Lalu, pada saat itu, bagaimana kita harus melewati hari-hari? Dengan mengurung diri?"

Ketiga orang lainnya juga ikut menyatakan perasaan kurang puasnya, "Karena itu, apa yang harus kita lakukan, terserah hiocu saja!" kata tojin tadi kembali. Pandangan mata orang-orang dalam ruangan terpusat pada diri hiocu yang masih muda itu.

Siau Po sendiri kebingungan Kalau urusan lain, mungkin tidak sulit baginya untuk mengambil keputusan. Tetapi urusan ini menyangkut perkumpulan Tian-te hwe, masalah besar, Siau Po sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Apalagi dia tidak mempunyai pengalaman sama sekali. Dia berbalik mengawasi orang-orang itu dengan tajam. Tiba-tiba orang yang barusan berbicara dengan suara lantang mengembangkan senyuman, Siau Po heran. Tadi dia sengit sekali, kenapa sekarang dia tersenyum, apa yang sedang tersirat dalam benaknya ? Dia juga melihat sinar mata orang itu yang menyorotkan kelicikan. Siau Po bukanlah Siau Po kalau dia tidak bisa menebak apa yang sedang terpikir oleh orang itu.

"Ah! Rupanya mereka bermaksud menyeret aku ke dalam lumpur supaya kelak apabila ada apa-apa, aku yang bertanggung jawab, seandainya ada teguran dari Cong tocu, mereka tentu akan lepas tangan. Mereka toh sudah melaporkan hal ini kepadaku dan meminta saran dariku? Tidak! Aku tidak akan membiarkan diriku terjerumus dalam siasat mereka!" katanya dalam hati.

Bocah yang cerdik ini pura-pura menundukkan kepalanya untuk berpikir, sesaat kemudian dia baru mengangkat wajahnya dan berkata: "Saudara sekalian, walaupun aku menjadi hio-cu, tapi jabatan itu kudapatkan secara kebetulan karena aku berhasil membunuh Go Pay. Sesungguhnya aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa dan tidak sanggup mengajukan pemikiran apapun Lebih baik totiang saja yang mencari akal, Totiang sekalian pasti jauh lebih pintar dari aku."

Tojin itu bernama Hian Ceng, Bibirnya tersenyum kemudian menoleh kepada seorang laki-laki berusia setengah baya yang kumisnya sudah beruban.

"Hoan samko, kau lebih cerdas daripadaku, coba kau bilang, apa yang harus kita lakukan?" tanyanya. Orang yang dipanggil Hoan samko itu bernama Hoan Kong. orangnya jujur lagi polos.

"Menurut pendapatku, tidak ada jalan lain kecuali langsung menemui orang she Pek itu, Dia harus minta maaf pada kakak Ci, barulah urusan ini bisa diselesaikan. Kalau tidak, tidak mempan menggunakan tata krama, kita terpaksa menggunakan kekerasan!" Beberapa orang yang lain juga sudah mempunyai pikiran yang sama sejak tadi, tetapi mereka tidak berani mengutarakannya, sekarang mendengar Hoan Kong mengatakannya, mereka segera menyatakan setuju.

"Hoan ko benar, paling baik kalau tidak perlu menggunakan kekerasan. Tapi kalau tidak bisa dikompromikan baik-baik, kita harus menunjukkan bahwa pihak Tian-te hwe bukan orang-orang yang mudah dipermainkan. Kakak Ci sudah dihina seperti ini, kita

tidak boleh berdiam diri!" kata mereka serentak. Siau Po menoleh kepada Gan Tiau dan Hian Ceng. "Nah, bagaimana pendapat kalian berdua?"

"Apalagi yang dapat kita lakukan?" sahut Gan Tiau. Hian Ceng hanya tersenyum, dia tidak memberikan komentar apa-apa. Siau Po

memperhatikan tojin itu lekat-lekat. Diam-diam dia berpikir dalam hati.

"Dia tidak mengatakan apa-apa, kelak apabila terjadi sesuatu, tentu mudah baginya untuk menyangkal Baik! Aku justru akan mendesaknya terus!"

"Toatiang, apakah kau menganggap pendapat kakak Hoan masih kurang sempurna?" Sengaja dia mengajukan pertanyaan itu.

"Bukannya kurang sempurna, tapi biar bagaimana kita harus berhati-hati, untuk menempur pihak Bhok onghu, pertama kita tidak boleh kalah. Kedua, kita tidak boleh membunuh orang, kalau pihak sana sampai ada yang jatuh korban, urusannya bisa gawat!" sahut Hian Ceng.

"Lalu, bagaimana kalau kakak Ci tidak bisa sembuh lagi?" Hian Ceng menganggukkan kepalanya.

"Itulah yang aku khawatirkan!"

"Kalau begitu, pikirkanlah cara yang lebih bermanfaat, kalian toh lebih berpengalaman dari aku."

"Sebenarnya hiocu hebat sekali!" kata Hian Ceng.

"Totianglah yang terlalu merendahkan diri sendiri!" sahut Siau Po tidak mau kalah. Keduanya pun tertawa lebar. Akhirnya mereka berunding, kebanyakan menyetujui usul Hoan Kong tadi, Kemudian Siau Po diminta untuk memimpin mereka menuju Bhok onghu. Mereka ingin menegur serta meminta keadilan dari pihak pangeran itu, mereka menyembunyikan senjata masing-masing. Siau Po memesan kepada mereka agar bersabar seandainya harus terjadi bentrokan, biarkan pihak sana yang memulainya terlebih dahulu.

"Namun kita membutuhkan beberapa orang lagi yang kepandaiannya tinggi," kata Hian Ceng. Dia mengusulkan beberapa busu sebagai saksi agar jangan sampai dituduh Tian-te hwe yang sengaja mencari keributan.

"Kita juga harus berjaga-jaga agar kelak tidak disalahkan oleh Cong tocu!"

"Lebih baik mengundang orang-orang yang kepandaiannya benar-benar tinggi." kata Siau Po yang terpaksa menurut pada suara orang banyak, Dia yakin orang-orang Bhok onghu pasti lihay sekali, buktinya Mau Sip-pat pun segan kepada mereka. Hian Ceng tersenyum.

"Kita mengundang orang yang mempunyai nama dan sudah lanjut usia saja, Yang penting mereka menjadi saksi, bukan membantu kita berkelahi."

"Yang sudah tua dan mempunyai nama, otomatis kepandaiannya tinggi juga, jadi kita mendapatkan semuanya!" kata Gan Tiau.

"Lalu, siapa yang akan kita undang?" tanya Hoan Kong. Mereka berunding kembali, saksi itu harus mempunyai nama besar, tidak bersahabat dengan pembesar negeri dan harus mempunyai kesan yang baik terhadap Tian-te hwe.

"Ja... ngan un... dang o... rang... lu... ar," tiba-tiba Ci lautau yang baru tersadar berkata dengan suara dipaksakan.

"Apakah saudara Ci tidak setuju kalau kita mengundang orang luar?" tanya Hoan Kong.

"Ya... Wi hiocu... bekerja di istana... tidak boleh ada yang mengetahui... bahwa dia...kenal dengan kita. Bi,., sa membahaya...kannya. Urusan...nya juga... ga... wat...." Baru sekarang mereka ingat bahwa Siau Po adalah mata-mata perkumpulan Tian-te hwe yang disengajakan berdiam di istana untuk mengintai gerak-gerik musuh. Rahasia ini sekali-sekali tidak boleh bocor Cong tocu juga menugaskannya untuk urusan besar, bukan urusan remeh seperti ini.

"Kalau begitu, sebaiknya hiocu tidak ikut dengan kami. Biar kami saja yang berbicara dengan orang she Pek itu, bagaimana hasilnya akan kita laporkan kepada hiocu kemudian." justru sekarang Siau Po berkeras untuk ikut.

"Aku harus ikut. Untuk mencegah agar rahasia ini jangan bocor. kita tidak usah mengundang saksi...." Siau Po memang agak jeri terhadap orang-orang Bhok onghu, tapi dia penasaran ingin menyaksikan jalannya peristiwa itu.

"Kalau begitu, sebaiknya kita atur begini saja. Hiocu adalah atasan kami, hiocu mau ikut, kita tidak boleh melarang atau mencegahnya. Kami yang bawahan harus turut apa yang dikatakan sang ketua, sekarang sebaiknya hiocu merubah dandanannya sedikit agar tidak ada orang yang mengenali.,.," kata Hian Ceng. Siau Po setuju dengan pikirannya. "Bagus-bagus sekali!"

Ci lautau juga setuju, bahkan dia berkata: "Kalau diatur dengan cara demikian, kita boleh mengundang saksi, cuma kalian harus waspada, Nah, hiocu hendak menyamar sebagai apa?" Pandangan setiap orang tertuju pada Siau Po. Bocah itu pun berpikir: "Lebih baik menyamar sebagai pengemis atau anak hartawan?" Dia memang kagum sekali melihat dandanan anak-anak orang kaya di Yang-ciu dan ingin sekali menirunya, Apalagi sekarang dia mempunyai banyak uang. Dengan cepat dia mengambil keputusan Siau Po langsung mengeluarkan uang sejumlah seribu lima ratus tail, masing-masing terdiri dari uang kertas senilai lima ratusan, Kemudian dia menyodorkan uang itu sambil berkata: "Nah, siapa saudara yang bersedia menolong aku membeli seperangkat pakaian

yang indah?" Semua orang merasa heran karena jumlah uang itu terlalu banyak.

"Jangan khawatir soal uang. Aku punya banyak," kata Siau Po.

"Yang penting pakaiannya, makin bagus makin baik. Beli juga beberapa permata agar tidak ada orang yang menyangka aku ini thay-kam."

"Hiocu benar!" kata Hian Ceng.

"Saudara Kho, tolong kau pergi membelikan keperluan Wi hiocu!" Gan Tiau menerima baik tugas ini. Siau Po sendiri menambahkan lagi sepuluh tail, "Tidak apa kita mengeluarkan uang sekali-sekali!" katanya, Tindakannya itu membuat orang-orang dalam ruangan itu jadi heran, Siau Po mengeluarkan uang lagi sebanyak tiga ribu lima ratus tail kemudian disodorkan kepada Hian Ceng.

"Kita baru berkenalan belum sempat aku membelikan tanda mata apa-apa. Harap totiang sudi menerima sedikit uang ini. Uang ini aku dapat dari bangsa Tatcu, boleh dibilang perak haram!" Bocah ini ingin mengatakan "uang yang tidak halal," tapi dia jaga ucapan itu. Karenanya dia mengatakan "perak haram."

Tian-te Hwe melarang anggotanya menerima uang tidak halal, itulah sebabnya Gan Tiau dan yang lainnya termasuk orang miskin, Melihat jumlah uang yang begitu banyak, mereka sampai terkesima. Memang Siau Po bermaksud mengatakan uang yang tidak halal, tapi kata-kata yang tercetus dari mulutnya justru perak haram, Dengan demikian berarti haram bagi bangsa Tatcu namun halal bagi mereka. Karena itu dengan senang hati mereka menerimanya.

"Kita harus berpencar untuk mengundang beberapa orang saksi," kata Hian Ceng.

"Karena itu, hari ini tidak sempat lagi kita pergi ke tempat Bhok ong-ya. Besok saja kita tunggu kedatangan Wi hiocu, Jam berapa kira-kira hiocu bisa datang kemari?"

"Pagi aku banyak pekerjaan. selewatnya tengah hari baru sempat." sahut Siau Po. Dengan demikian mereka pun bubar. Malam itu, Siau Po senang sekali sehingga di lupa berlatih, Besok paginya dia menuju ke kamar tulis raja untuk menyelesaikan pekerjaannya. Siang harinya dia membawa uang cukup banyak, lalu pergi ke toko emas dan membeli sebuah cincin bermata hijau dan sebuah kopiah yang dihiasi sebutir batu kumala putih yang besar dengan dikelilingi empat butir mutiara. Siau Po menghabiskan delapan ribu tail perak untuk semua itu, Dari toko mas tersebut, ia langsung menuju toko obat di mana Gan Tiau yang lainnya sedang menunggu. Di sana dia diberitahukan bahwa mereka telah berhasil mengundang empat orang saksi yang terdiri dari busu, guru silat ternama. Seorangnya dihadiahkan seratus tail, Siau Po merasa jumlah itu terlalu kecil. Lima ratus tail perorangnya baru selesai. Setelah itu giliran Gan Tiau menunjukkan belanjaannya, Dia membeli seperangkat pakaian yang lengkap dengan kaos kaki bahkan sepatunya, Juga baju luar yang panjang serta rompi dari kulit rusa. Bagian lehernya dihiasi bulu yang indah. Menurut Gan Tiau, baju itu merupakan pesanan khusus yang dikerjakan sampai larut malam, Ongkosnya saja hampir lima tail perak.

"Tidak mahal, tidak mahal!" kata Siau Po yang mendapatkan pakaian yang indah itu, Malah uangnya masih lebih banyak. Setelah itu cepat-cepat dia berdandan. Kemudian mereka berangkat. Siau Po naik joli, hal ini memang disengaja agar dalam perjalanan dia tidak terlihat oleh siapa pun. Pertama-tama mereka menuju sebelah timur kota di mana terdapat sebuah ekspedisi bernama Bu seng piaukiok untuk menjemput keempat orang saksi yang telah diundang. Mereka terdiri dari Ma Pok-jin, guru silat Tan Twi, Yau Cun Tay-i, tabib yang mengobati Ci lautau, Lui It-siau ahli ilmu kebal dari Tiatpou san, dan Ong Bu-seng, kepala Piau su (piautau) dari Bu-seng piaukiok.

Empat ahli silat itu sudah mendengar bahwa hiocu dari Tian-te hwe itu seorang yang usianya masih muda sekali, namun mereka tidak menyangka begitu mudanya sehingga masih seorang bocah cilik. Mana tampangnya juga mirip seorang anak hartawan atau putera orang berpangkat, Mereka semua mengagumi nama Tan kin-lam dan mereka percaya muridnya pasti bukan orang sembarangan Karena itu tidak berani mereka memandang sebelah mata. Hanya sejenak mereka duduk untuk saling berkenalan, kemudian mereka-langsung berangkat menuju tempat orang she Pek di Yangciu, Selain Siau Po yang naik joli, Ma Pok-jin, Yau Cun juga demikian sedangkan Lui It-siau dan Ong Bu-seng menunggang kuda. sisanya berjalan kaki.

Setibanya di depan rumah orang she Pek yang dindingnya berwarna merah, Kho Gan-tiau bermaksud mengetuk pintu, namun saat itu juga dari dalam rumah berkumandang suara tangisan. Semua menjadi heran sekarang mereka baru melihat di kanan kiri pintu tergantung lampion pintu dari kain putih, tanda berkabung, Melihat hal itu, Kho Gan-tiau tidak berani mengetuk pintu tersebut keras-keras. Beberapa saat kemudian pintu gerbang gedung itu baru dibuka oleh seorang koanke (pengurus rumah tangga) yang sudah berusia lanjut, Kho Gan-tiau segera menyodorkan lima lembar kartu nama sembari berkata: "Beberapa tuan serta saudara dari Bu-seng piaukiok, Tan-twi bun dan Tian-te hwe datang mengunjungi Pek thayhiap dan Pek jihiap!"

Mendengar disebutnya nama Tian-te hwe, sepasang alis orang tua itu langsung menjungkit ke atas. Matanya mendelik lebar-tebar kepada para tamunya. Setelah itu dia berlalu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ma Pok-jin sudah tua, namun sikapnya berangasan. "Budak tidak tahu diri!" katanya sengit.

"Ma loya benar!" sahut Siau Po. Tidak lama kemudian muncullah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan mengenakan pakaian berkabung, matanya masih merah dan membengkak, bekas air mata masih terlihat jelas. Dia merangkapkan kedua tangannya untuk menjura.

"Wi Hiocu, Ma loyacu, Ong Cong piautau serta tuan-tuan semua, terimalah hormatku! Aku Pek Han-hong menyatakan maaf karena tidak dapat menyambut dari jauh!" Ma Pok-jin yang tidak sabaran langsung bertanya: "Pek Jihiap sedang berkabung, Bolehkah kami tahu siapa dalam keluarga jihiap yang mengalami kemalangan?"

"Itulah kakakku Pek Han-siong!" sahut Pek Han-hong.

"Aih, sayang sekali! Pek tayhiap adalah panglima yang sangat diandalkan oleh Bhok onghu, Namanya dalam dunia kangouw sudah terkenal sekali, Namun beliau toh masih muda dan perkasa, penyakit apakah yang dideritanya sehingga tidak tertolong lagi?" tanya Ma Pok-jin kembali. Mendengar pertanyaan itu, tidak terduga-duga Pek Han-hong menatap lawannya dengan sorot mata gusar.

"Ma loya, aku menghargai kau sebagai seorang tokoh tua dalam dunia persilatan. Aku juga menyambut kedatanganmu dengan hormat, Tapi sekarang kau sengaja menghina kami, padahal kau sudah tahu, tapi kau masih pura-pura menanyakannya?" teriaknya sinis. Siau Po bingung mengapa orang itu tiba-tiba menjadi marah, Saking terkejutnya dia sampai menyurut mundur satu langkah. Ma Pok-jin mengusap-usap janggutnya.

"Heran! Benar-benar heran!" katanya setelah tertegun "Justru karena lohu tidak tahu, maka lohu bertanya, Kenapa lohu malah dikatakan sudah tahu masih pura-pura bertanya? Apa maksudmu? walaupun jihiap sedang berduka karena kehilangan saudara, tidak sepatutnya menimpakan kesedihan dengan marah kepada orang lain!"

"Ma loyacu dan tuan-tuan yang lainnya, silahkan duduk dulu!" kata Pek Han-hong berusaha meredam emosinya.

"Duduk ya duduk!" kata Ma Pok-jin yang masih mendongkol "Memangnya kami takut?" Dia menoleh kepada Siau Po dan berkata, "Wi hiocu, silahkan duduk di atas!"

"Tidak!" sahut Siau Po. "Silahkan Ma loyacu saja." Pek Han-hong sudah melihat kartu nama yang dibawakan oleh pengurus rumah

tangganya. Memang ada sehelai diantaranya yang bertuliskan nama Wi hiocu dengan nama lengkapnya Siau Po. Tapi dia tidak menyangka orangnya masih seorang bocah cilik yang kekanak-kanakan, tiba-tiba dia menyambar tangan Siau Po dan membentak dengan suara garang.

"Kaukah Wi hiocu dari Tian-te hwe?" Siau Po terkejut setengah mati. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi dia mengeluarkan seruan tertahan Dia tidak menyangka akan diserang secara mendadak sehingga dia tidak sempat menghindarkan diri. Tangannya langsung terasa nyeri dan panas karena cekalan Pek Han-hong yang keras, Bahkan dia hampir jatuh semaput dan air matanya langsung mengucur keluar.

"Kami semua merupakan tamu-tamu Anda, Pek jihiap, Harap jangan terlalu menghina!" bentak Hian Ceng tojin sambil meluncurkan sebuah serangan ke iga lawannya.

Pek Han-hong heran mendapat kenyataan bahwa seorang hiocu dari Ceng-bok tong ternyata demikian lemah, Cepat-cepat dia melepaskan cekalan tangannya dan menyurut mundur sehingga terhindar dari serangan Hian Ceng tojin.

"Maaf!" katanya. Siau Po berdiri terpaku, Sebagian tubuhnya terasa kelu, Alisnya mengerut dan wajahnya menyeringai menahan sakit, diam-diam dia menyusut air matanya. Bukan hanya Pek Han-hong saja yang terkejut melihat Siau Po demikian tidak berdaya, bahkan Ma Pok-jin, Ong Bu-seng dan lainnya juga merasa heran. Bukankah bocah ini muridnya ketua Tian-te hwe, Tan Kin-lam? Mengapa ia tidak sanggup menghindarkan diri dari serangan Pek Han-hong malah menjerit kesakitan dan meneteskan air mata! Wajah Hian Ceng dan anggota Tian-te hwe lainnya jadi jengah serta merah padam saking malunya.

"Maaf!" kata Pek Han-hong kembali "Sungguh malang nasib kakakku yang mati di tangan anggota Tian-te hwe. itulah sebabnya aku tidak bisa mengendalikan diri sehingga...."

"Apa?" tanya Ma Pok-jin dan yang lainnya setelah mendengar kata-kata itu.

"Apa? Pek tayhiap mati di tangan anggota Tian-te hwe? Tidak mungkin!" teriak yang lainnya. Pek Han-hong kesal sekali sampai membanting-banting kakinya di atas tanah.

"Kalian bilang tidak mungkin?" tanyanya gusar. "Lalu kalian kira kakakku hanya pura-pura mati? silahkan kalian lihat sendiri, Mari!" Kemudian dia pun mengulurkan tangannya kembali untuk mencekal Siau Po. Kali ini Hian Ceng dan Hoan Kong sudah berjaga-jaga. Begitu si tuan rumah menggerakkan tangannya, merekapun mengirimkan serangan ke arah dada dan punggung Pek Han Hong. Han Hong melihat datangnya serangan, batal dia mencekal tangan Wi Siau-po. justru dia segera menangkis untuk melindungi diri. Hian Ceng menarik kembali tangan kirinya lalu menyerang dengan tangan kanannya, sementara itu, tangan Hoan Kong beradu dengan tangan Pek Han-hong. Laki-laki she Pek ini menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindarkan diri dari serangan Hian Ceng, tanpa menunda waktu lagi dia mengirimkan sebuah totokan ke arah kerongkongan Hoan Kong.

Hian Ceng menghindarkan diri, sedangkan Hoan Kong juga menyurut mundur tiga tindak sehingga punggungnya membentur dinding. Sungguh hebat kepandaian Pek Han-hong, dalam waktu yang bersamaan dia sanggup mendesak Hoan Kong mengundurkan diri sekaligus membuat Hian Ceng kerepotan melindungi diri.

"Apakah kau benar-benar ingin berkelahi?" bentak Hoan Kong yang gusar karena tangannya masih terasa nyeri akibat beradu dengan tangan lawan, dia maju lagi dengan niat melakukan penyerangan.

"Kakakku sudah mati. Aku pun enggan hidup lebih lama lagi!" teriak Pek Han-hong tak kalah kalapnya, "Kawanan anjing Tian-te hwe, majulah kalian semuanya!"

"Tahan!" seru Yau Cun si tabib yang mempunyai kesabaran luar biasa, "Mungkin dibalik semua ini telah terjadi kesalahpahaman Bukankah Pek jihiap menuduh bahwa kakaknya telah dibunuh oleh anggota Tian-te hwe? Bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya? Dapatkah Pek jihiap menjelaskan lebih lanjut?" tanyanya.

"Mari kalian ikut denganku!" ajak Pek Han-hong sambil mendahului yang lainnya masuk ke ruangan dalam dengan langkah lebar.

Yau Cun beserta yang lainnya segera mengikuti. Mereka tidak merasa takut meskipun sadar telah masuk ke dalam sarang harimau, sesampainya di dalam ruangan, mereka menghentikan langkal kakinya karena melihat sebuah peti mati di kamar belakang di mana di dalamnya terlihat sesosok tubuh yang membujur dan bagian kepala serta kakinya tampak jelas. Pek Han-hong menyingkap tirai kemudian berteriak dengan keras: "Toako, kau mati penasaran sekarang aku hendak membunuh beberapa ekor anjing Tian-te hwe untuk membalaskan sakit hatimu!" Meskipun suaranya keras, namun agak serak karena sudah terlalu banyak menangis.

Yau Cun beserta Ma Pok-jin, Lui It-siau dan Ong Bu-seng maju menghampiri peti mati itu. Mereka dapat melihat dengan tegas bahwa mayat yang terbujur di dalamnya memang Pek Han-sing. Yau Cun mendekati mayat itu dan memegang lengannya. Han Hong tertawa dingin.

"Kalau kau sanggup menghidupkan kakakku kembali, aku akan menyembah sebanyak selaksa kali di hadapanmu!" Yau Cun menarik nafas panjang.

"Pek Jihiap," katanya sabar.

"Seseorang yang sudah meninggal, tidak mungkin bisa dihidupkan kembali, Aku harap kau bisa mengendalikan kesedihanmu.... sekarang ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepadamu, benarkah orang Tian-te hwe yang membunuh kakakmu? Apakah dugaanmu itu tidak keliru?"

"Aku... keliru?" Pek Han-hong mengulangi pertanyaan itu dengan mata mendelik, Yau Cun merasa terharu, dia tahu Pek Han-hong benar-benar sedih atas kematian kakaknya, bahkan Hoan Kong pun menahan emosinya, sehingga dia dapat berpikir dengan kepala dingin.

"Dia baru saja kehilangan kakaknya, tidak heran dia sampai tidak dapat mempertahankan kemarahan hatinya." Pek Han-hong berdiri tegak di depan peti mati kakaknya sambil bertolak pinggang. Dia berteriak dengan suara lantang: "Orang yang membunuh kakakku adalah Ci lautao si penjual koyo dari Tian-te hwe. Aku pernah dengar bahwa nama asli orang itu ialah Ci Tian-coan. julukannya Pat-pek Wan-kau (Si kera bertangan delapan) dan merupakan anggota Cam-tay tong di Tian-te hwe Benar bukan? Apakah kalian masih ingin menyangkal?"

Hoan Kong dan yang lainnya saling menatap dengan perasaan bingung, kedatangan mereka justru untuk mencari keadilan bagi Ci tian-coan, rekan mereka sendiri, Siapa nyana, justru mereka mendengar kabar kematian Han Siong yang menurut adiknya binasa di tangan Ci itu. Saking gundahnya, Hoan Kong menarik nafas panjang dan berkata: "Pek loji, Ci Tian-coan yang kau sebutkan itu memang benar orang Tian-te hwe, tapi dia... dia...."

"Ada apa dengan dia?" tanya Han Hong, "Dia telah terluka parah oleh toakomu," sahut Hoan Kong yang masih merasa sedih,

"Keadaannya sangat mengenaskan bahkan nafasnya tinggal satu-satu, Bahkan sekarang kami sendiri tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati, justru kedatangan kami ingin menanyakan mengapa kau sampai menyerang kakak kami sedemikian rupa, siapa sangka... aih!" Tapi Pek Han-hong sedang dilanda kesedihan yang tidak terkatakan, mana mungkin dia bisa mengendalikan kemarahannya?

"Jangan kata kakak kalian itu belum mati, biar sudah mampus sekalipun, selembar jiwa anjingnya tidak cukup untuk mengganti jiwa toako kami!" Hoan Kong menjadi gusar sekali melihat orang tidak dapat diajak berkompromi secara baik-baik.

"Bicaramu sungguh kotor!" tegurnya keras. "Apakah kau pantas disebut sebagai orang rimba persilatan? sekarang katakan, apa sebenarnya yang kau inginkan?"

"Aku... tak tahu...," teriak Pek Han-hong. "Aku hendak membasmi kamu orang-orang Tian-te hwe yang mirip anjing pun tidak! Aku ingin membunuh kalian semua, semua!" Selesai berkata, tuan rumah itu langsung menyambar sebatang golok yang menggeletak di sisi mayat kakaknya. Seiring dengan berkelebatan sinar golok, tubuh Pek Han-hong pun menerjang ke arah para tamunya. Hoan Kong dan lainnya yang menyaksikan keadaan itu, segera menghunus senjata masing-masing untuk berjaga-jaga.

"Jangan bergerak!" Tiba-tiba terdengar teriakan yang memekakkan telinga. Lui It-siau segera mencelat maju ke depan peti mati. sepasang kapaknya diangkat tinggi-tinggi.

"Pek Jihiap, bila kau berniat membinasakan orang, bunuhlah aku terlebih dahulu!" katanya lantang. Sesuai dengan namanya, yakni Lui yang berarti guntur dan Siau yang berarti siulan, suaranya memang seperti geledek yang mengejutkan. Pek Han-hong demikian kalapnya sehingga lupa diri, teriakan itu menyadarkannya kembali.

"Untuk apa aku membunuhmu? Kau toh bukan pembunuh kakakku!"

"Begitu pula dengan sahabat-sahabat dari Tian-te hwe ini. Mereka juga bukan orang yang membunuh kakakmu, Lagipula anggota Tian-te hwe paling tidak berjumlah lima puluh laksa jiwa, apakah kau sanggup membunuh semuanya?" sahut Lui It-siau.

"Aku tidak perduli!" teriak Han Hong. "Ketemu satu akan kubunuh satu, ketemu dua aku bunuh dua!" Tepat pada saat itu, di luar rumah terdengar suara derap kaki kuda yang sedang mendatangi. Sesaat kemudian suaranya berhenti di depan rumah tersebut.

"Mungkin tentara kerajaan!" kata Yau Cun, "Simpan senjata kalian!" Hoan Kong semua menurut, mereka mendekati Lui It-siau. Han Hong pun terpaksa menyimpa kembali senjatanya, namun dia masih berkata dengan garang.

"Sekalipun yang datang raja langit, aku tidak takut!" Sekejap kemudian terdengar suara ketukan pintu, lalu disusul teriakan seseorang, "Pek jite (adik kedua) aku yang datang!" Seiring suaranya, tampak seseorang meloncati tembok pekarangan kemudian menerjang ke dalam rumah. Orang yang datang usianya kurang lebih empat puluh tahun, pakaiannya berwarna ungu, tampangnya gagah namun wajahnya pucat sekali.

"0h... benar rupanya Pek Toate.... Pek toate.," serunya dengan suara bergetar. Han Hong melempar golok di tangannya lalu menghambur ke depan.

"Oh, Sou siko, toako... dia... dia...." Tanpa dapat menahan kepedihan hatinya lagi, dia menangis meraung-raung. Kho Gan-tiau langsung bisa menduga siapa adanya orang itu.

"Kemungkinan besar dia inilah sin Jiu kisu Soukong yang termasuk salah satu keciang keluarga Bhok...." Pada saat itu pintu telah dibuka dan muncullah belasan orang yang serombongan dengan orang she Sou itu. Di antara mereka terdapat beberapa perempuan, mereka langsung mendekati peti mati Pek Han-Siong dan beberapa perempuan itupun menangis tersedu-sedu. Rupanya di antara mereka adalah istri-istrinya Pek Han-siong dan Pek Han hong.

Menyaksikan situasi itu, Hoan Kong jadi tida enak hati, Mereka menjadi malu sendiri Lagipula dalam keadaan seperti ini, tentu mereka tidak bisa bicara secara baik-baik. Karena itu, mereka saling lirik dengan yang lainnya, kemudian masing-masing

melangkahkan kaki dengan maksud meninggalkan tempat itu.

"Eh, kalian mau kabur?" bentak Pek Han-hong yang melihat gerak-gerik para tamunya.

"Tidak bisa!" Dia langsung menerjang ke arah Hoan Kong yang membelakanginya.

"Siapa yang mau kabur?" bentak Hong Kong marah. Dia menoleh serta menangkis, Ketika melangkah, dia memang sudah meningkatkan kewaspadaan. Karena itu, dia tahu dirinya diserang. Yan Cun dan yang lainnya juga melihat keadaan itu, mereka terpaksa menghentikan langkah kakinya. Tampak orang she Sou itu maju ke depan.

"Siapakah tuan-tuan ini?" tanyanya, "Maaf, aku belum mengenal mereka!"

"Merekalah anjing-anjing dari Tian-te hwe!" teriak Han Hong gusar "Toako justru dibunuh oleh mereka." Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang sedang menangis dengan sedih segera mencelat ke depan dan menghunus senjata masing-masing. Mereka mengambil posisi mengurung, semuanya menatap dengan pandangan bengis dan penuh kebencian. Ong Bu-seng tertawa lebar.

"Ma toako, saudara Lui, Yau tayhu, kapan kita masuk menjadi anggota Tian-te hwe? Orang-orang semacam kita, meskipun kita memohon, rasanya juga belum tentu diterima!" Orang she Sou itu menjura kepada empat orang itu.

"Oh, rupanya tuan-tuan ini bukan orang dari Tian-te hwe? Dan yang dipanggil Yau tayhu ini kalau tidak salah bernama Yau Cun, bukan? Aku yang rendah Sou Kong, kami baru mendapat kabar bahwa adik Pek yang besar sudah menutup mata. itulah sebabnya kami segera datang dari Wanpeng. Saking berduka, kami jadi lupa berkenalan dengan tuan-tuan sekalian Harap maafkan!" katanya sambil menjura sekali lagi. Ong Bu-seng membalas hormat sambil tersenyum.

"Selamat berjumpa! sungguh bukan nama kosong julukan Sin Jiu kisu. pandanganmu jauh dan jiwamu gagah perkasa!" Selesai berkata, piautau ini segera memperkenalkan rekan-rekannya, Pertama-tama dia menunjuk kepada Wi Siau-po.

"Inilah Wi hiocu bagian Ceng-bok tong dari Tian-te hwe!" Sou Kong tahu bahwa Tian-te hwe mempunyai sepuluh bagian atau tong dan setiap tong dipimpin oleh seorang hiocu yang gagah, Karena itulah dia menatap Siau Po dengan heran, karena hiocu yang satu ini masih terlalu muda. Dia juga bingung melihat dandanan bocah itu yang demikian mentereng.

"Maaf! Sudah lama kami mendengar nama besarmu!" katanya sambil menjura. Selesai Ong Bu-seng memperkenalkan diri, Sou Kong juga memperkenalkan rombongannya, Di antaranya terdapat dua orang adik seperguruannya, sedangkan mereka bertiga juga termasuk saudara seperguruan dengan kakak adik she Pek. Ada lagi muridnya Sou Kong serta nyonya Han Siong dan nyonya Han Hong.

"Pek jihiap!" kata Yau Cun dengan nada lembut "Sebenarnya persoalan apa yang membuat kalian berkelahi dengan anggota Tian-te hwe? Aku harap kau sudi menjelaskan. Nama Bhok onghu dari Inlam sangat terkenal di dunia persilatan sedangkan peraturan Tian-te hwe juga keras sekali, Tidak biasanya mereka bertindak kasar atau berlaku kurang sopan terhadap sesama pecinta negara. Menurut pendapatku yang rendah, urusan ini tidak boleh kita selesaikan dengan kekerasan. Kami berempat yakni Ma loyacu, Lui toako, Ong piautau dan aku sendiri, pada hakekatnya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Tian-te hwe. Dan kami juga tidak bersahabat akrab dengan pihak kalian. Tetapi justru kami bersedia menjadi orang tengah bagi kalian. Karena itu, sudi kiranya kalian memandang muka kami dengan memberi penjelasan selengkapnya, Kami benar-benar bermaksud baik. Bahkan kalau bisa kami ingin mendamaikan." Ong Bu-seng juga langsung memberikan pendapatnya sebelum pihak tuan rumah sempat mengatakan apa-apa.

"Bicara sejujurnya, Pek jihiap sekalian, sahabat-sahabatnya dari Tian-te hwe ini sesungguhnya tidak tahu bahwa Pek tayhiap telah tiada, Kalau tidak, mana mungkin mereka berani datang mengganggu kalian yang sedang tertimpa kemalangan..."

"Lalu, apa sebenarnya maksud kedatangan Wi hiocu dan tuan-tuan semuanya ke tempat kami ini?" tanya Sou Kong. Ong Bu-seng tersenyum lagi.

"Kami tidak berani berdusta, Kedatangan kami ini disebabkan pihak Tian-te hwe yang mengatakan bahwa saudara mereka yakni Ci Tian-coan telah terluka parah di tangan kedua saudara Pek. Kami para orang tua ini diminta untuk mewakilkan mereka menanyakan duduk persoalan yang sebenarnya..."

"Kalau begitu, kalian datang kemari untuk menegur dan menghukum kami semua?"

"Kami tidak berani." sahut Ong Bu-seng cepat.

"Kami adalah orang-orang kangouw yang hidup mengandalkan rasa persahabatan Kami tidak berani sembarangan mengambil tindakan. Dalam urusan ini, siapa benar dan siapa salah, biarlah keadilan yang menentukan dan keadilan adalah suara terbanyak. Kita tidak berbicara tanpa mengandalkan hati nurani kita!" Sou Kong menganggukkan kepalanya.

"Ong Cong piautau benar, Nah, silahkan kalian duduk dulu!" katanya sambil memberi isyarat kepada rekan-rekannya untuk menyimpan kembali senjata masing-masing. Kecuali Pek Han-hong, semuanya menuruti nasehat Sou Kong, Kemudian kedua belah pihak mengambil tempat duduk masing-masing. Sou Kong juga duduk, tetapi beberapa rekannya tidak, karena kekurangan kursi.

"Pek jite," kata Sou Kong pada tuan rumah, "Coba kau jelaskan duduk persoalan yang sebenarnya agar orang-orang dalam ruangan ini dapat mengerti." Pek Han-hong menarik nafas panjang.

"Kemarin dulu, kurang lebih menjelang siang hari...." Baru berkata sampai di sini, kemarahannya meluap lagi. Tangannya bergerak, goloknya dilemparkan ke atas lantai sehingga ada dua potong ubin yang somplak. Setelah itu dia mengatur pernapasannya sebentar kemudian baru melanjutkan kembali, "Siang itu aku duduk bersama kakak di sebuah kedai arak dekat Thianko, Tiba-tiba datanglah seorang pembesar negeri bersama empat orang pengikutnya. Keempat pengikutnya itu sungguh tidak enak dilihat. Cara bicaranya kasar dan tidak bersopan-santun sedikitpun Mereka memesan arak dan makanan dengan lagak seperti tuan besar, Mereka juga berbicara dengan aksen Inlam."

"Oh, mereka berbicara dengan aksen Inlam?" tanya Sou Kong.

"Iya," sahut Han Hong. "ltulah sebabnya aku dan kakak segera memasang telinga." Hoan Kong tahu bahwa keluarga Bhok berkuasa di Inlam, Kedua keluarga Sou dan Pek juga berasal dari Inlam, Tentu saja mereka menaruh perhatian pada orang-orang propinsi itu.

"Sembari minum arak, si pembesar berkali-kali mencela barang hidangan yang menurutnya tidak lezat. Dan keempat pengikutnya segera meniru, Toako merasa tertarik, otomatis dia ikut bicara, Mengetahui bahwa kita pun berasal dari Inlam, pembesar itu mengundang kami bersantap ber-sama-sama. Karena itu kami pindah duduk, Toako ingin mendengar segala sesuatu yang berkaitan dengan Inlam, karena kita sudah lama sekali pindah kemari. Kemudian diketahui bahwa pembesar itu bernama Yo It-hong dan atas keputusan Go Sam-kui, dia telah diangkat menjadi camat wilayah Kiokceng!"

"Tadi kau mengatakan bahwa mereka berbicara dengan aksen Inlam?" tanya Sou Kong.

"Iya, tapi dia berasal dari Tayli, Menurut peraturan, orang Inlam tidak boleh memangku jabatan di wilayahnya sendiri, namun Yo It-hong mengatakan bahwa dia tidak memperdulikan segala macam peraturan itu karena ia diangkat langsung oleh Peng See-ong!"

"Oh, nenek moyangnya!" seru Hoan Kong sengit "Baru diangkat oleh si pengkhianat Go Sam-kui saja, sudah begitu sombong!" Han Hong melirik ke arah tamunya itu dan mengangguk perlahan.

"Saudara... Hoan, kau benar," katanya kemudian.

"Ketika itu aku pun mempunyai pikiran yang sama denganmu, namun Toako ingin mendengar kabar tentang Inlam, itulah sebabnya dia pura-pura senang menemani pembesar itu berbicara. Bahkan toako sengaja mengangkat-angkatnya, pembesar itu senang sekali, Semakin banyak kata-katanya mengenai Go Sam-kui. sekarang ini, semua pembesar yang pangkatnya tinggi maupun rendah, adalah hasil pengangkatan Go Sam-kui. Bahkan banyak pembesar di ketiga propinsi sucoan, Kwisay dan Kuiciu juga hasil pemilihan wilayah baratnya Go Sam-kui. Katanya, biasanya bila raja mengangkat seorang pembesar, Go Sam-kui langsung menempatkan orangnya terlebih dahulu, sehingga pembesar yang dipilih raja itu ketinggalan. Menurut Go Sam-kui jasanya sangat besar. Karena dialah, bangsa Boan-ciu dapat merampas seluruh Tionggoan, itulah sebabnya dia sangat dipercaya dan apapun usulnya tidak pernah ditolak oleh raja?"

"Apa yang dikatakan pembesar itu memang benar," Ong Bu-seng turut memberikan komentar "Ketika aku pergi ke beberapa propinsi barat daya untuk mengantar barang, di Inlam dan Kuicu aku dengar sendiri, orang-orang di sana hanya tahu Go Sam-kui, mereka tidak pernah tahu titah dari raja!"

"Menurut pembesar itu," kata Pek Han-hong melanjutkan kisahnya, "Menurut peraturan yang ada, siapa yang menjadi camat, dia harus pergi dulu ke kotaraja untuk menghadap raja dan nanti Sri Bagindalah yang akan mengangkatnya secara sah. Tetapi kalau camat yang diangkat oleh Go Sam-kui, kedatangannya hanya untuk formalitas saja, semakin banyak orang itu minum, ucapannya juga semakin jumawa, Toako sengaja mengatakan bahwa dengan pembesar Yo yang menjadi camat, berarti orang Inlam mengepalai orang Inlam sendiri, Tentu penduduk Inlam sangat berbahagia karenanya, Mendengar kata-kata toako, pembesar Yo itu tertawa terbahak-bahak. Dia berkata: "Hal itu sudah tentu!" justru tepat pada saat dia mengucapkan kata-kata itu, di meja lain ada seseorang yang berteriak.

"Oh, bangsat tua. Dia benar-benar musuh kita semua!" Terus orang itu melompat bangun, Tampak wajahnya merah padam karena menahan kemarahan."

"Apakah kata-kata itu diucapkan oleh Pat-pil Wan-kan Ci Tian-coan, setan tua itu?" tanya Sou Kong.

"Memang dia!" sahut Han Hong. "Bangsat tua itu duduk di dekat jendela sembari minum arak, dia terus menambahkan, katanya kalau orang setempat memangku jabatan di asalnya sendiri, rakyat semakin diperas habis-habisan, Sebetulnya, kita toh sedang berbicara, siapa suruh dia banyak mulut?" Hian Ceng tertawa datar.

"Pek jihiap, kata-katanya Ci samko kami tidak salah, bukan?" Han Hong terdiam sejenak, sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu, Sesaat kemudian dia baru berkata kembali.

"Kata-katanya memang tidak salah, aku juga tidak mengatakan dia salah,.. tapi, untuk apa dia ikut campur dalam pembicaraan orang lain? Coba kalau dia diam saja, tentu tidak akan timbul urusan sepelik ini di antara kita." Melihat hati Han Hong masih panas, Hian Cen pun tidak mengatakan apa-apa lagi. Pek Han-hong melanjutkan keterangannya.

"Yo It-hong marah sekali mendengar kata-kata orang itu, Dia menggebrak meja keras-keras dan menoleh ke arah orang yang berbicara, Dia melihat orang itu sudah tua dan punggungnya bungkuk, di sampingnya ada sebuah kotak obat yang sudah kumal dan kotor. Mengetahui bahwa orang itu hanya seorang penjual obat, pembesar itu langsung menyentaknya dengan suara bengis: "Tua bangka tidak tahu mampus, apa yang kau katakan. Keempat pengikutnya pun menghampiri dan mendamprat bahkan salah satunya langsung merenggut leher pakaian orang itu. Ketika itu mataku benar-benar lamur, aku tidak tahu orang itu mengerti ilmu silat karenanya aku maju untuk memisahkan mereka, Maksudku hanya untuk meredakan suasana yang mulai panas."

"Pek jihiap, tindakanmu benar sekali, Kau patut disebut pemuda yang gagah perkasa dan berhati mulia," kata Hian Ceng memuji. Dia memang sengaja berkata demikian, agar hatinya tuan rumah itu tidak panas terus.

Dengan demikian mereka bisa mencari penyelesaiannya, Bukakah pihaknya yang meraih kemenangan? Pek Han-siong sudah mati, sedangkan ci Samko hanya terluka parah, sebaiknya mereka bisa berdamai saja. Tapi ternyata Han Hong tidak kena diangkat-angkat, dia malah tambah marah. Matanya menatap ke arah Hian Ceng dengan mendelik.

"Orang gagah apanya? Aku justru menyesal mataku tidak mengenal orang, Aku tidak melihat bahwa bangsat tua itu sangat licik malah aku menyangkanya manusia baik-baik. Ketika itu Yo It-hong sudah berkaok-kaok bahwa orang itu berani memberontak serta mencaci-maki dengan kalang kabut. Dia mengatakan bahwa orang kota raja kebanyakan licik dan harus dihukum!"

"Pembesar anjing itu sungguh keterlaluan!" maki Hoan Kong yang mendongkol.

"Sudah di Inlam berani memeras rakyat, di kota raja pun dia hendak mengunjuk kuasanya!"

"Buat menghina, pembesar itu tidak dapat berbuat sesukanya. Dia mengatakan bahwa dia ingin meringkus orang itu untuk diserahkan kepada pembesar setempat supaya dihukum rangket empat puluh rotan, Dia akan mengalungi leher orang itu kemudian digiring di jalan raya agar dapat disaksikan oleh orang banyak. Mendengar ucapan si pembesar itu, si bangsat tua itu tertawa terbahak-bahak, Dia malah berkata: Tuan camat yang mulia, dari tadi mulutmu berkaok-kaok terus, apakah kau tidak merasa letih? Biar aku yang hina memberimu selembar koyo agar mulutmu itu tertutup rapat!" Habis berkata dia membuka kotak obatnya dan mengeluarkan sehelai koyo yang langsung di sobek lapisannya!" Semua orang yang ada dalam ruangan itu jadi tertarik hatinya dan ikut mendengarkan dengan perhatian penuh.

"Mulanya aku heran melihat orang she Ci itu tidak takut terhadap pembesar negeri," kata Pek Han-hong melanjutkan penuturannya, "Aku bersama toako hanya memperhatikan saja. Biasanya, kalau koyo akan ditempelkan harus digarang di atas api

dulu agar obatnya meleleh. Tetapi tidak demikian halnya dengan bangsat tua itu. Dia menjepit koyo itu dengan kedua telapak tangannya dan obat itu langsung lumer. Tenaga dalamnya hebat sekali, sementara itu, Yo It-hong masih juga memerintahkan orangnya untuk meringkus si bangsat tua!"

Bagian 14

Selama Pek Han-hong bercerita, Siau Po berpikir "Bagus, tentu pertunjukannya bagus sekali, Aku akan mendengarkan dengan seksama!"

"Menduga bahwa bangsat tua itu pasti sangat lihay, aku membiarkan saja tindakan pembesar dan keempat pengikutnya itu, Salah seorang sok jago, dia mengatakan bahwa dia akan maju sendiri menghadapi lawan, dia benar-benar maju ke depan bangsat tua itu!"

"Kau mau beli obat?" tanya bangsat tua itu, "Nah, ini obatnya!" Dia pun meletakkan obat itu di tangan si pengikut."

"Pengikut itu menjadi gusar."

"Hai, anjing tua! Apa sebenarnya yang kau inginkan? bentaknya, sambil maju terus ke depan."

"Orang tua itu mendorong perwira atau mungkin tukang pukul tersebut, tangannya yang satu tetap meluncur ke depan dan koyo yang masih panas itu langsung ditempelkan di mulut pembesar itu. Karena nyeri, pembesar itu sampai berkaok-kaok, namun karena mulutnya tersumpal, tidak ada suara yang keluar dari kerongkongannya kecuali Akkk.... Uuukkkkk!" Mendengar cerita yang seru itu, Siau Po sampai tidak dapat menahan rasa gelinya sehingga tertawa terpingkal-pingkal dan tepuk tangan keras-keras. Pek Han-hong menolehkan kepalanya dan mendelik kepada si bocah, Siau Po jadi ngeri melihat sinar matanya yang bengis sehingga tawanya tidak dapat dilanjutkan lagi.

"Bagaimana kelanjutannya?" tanya Sou Kong.

"Pembesar itu jadi kelabakan dan berusaha melepaskan koyo panas yang menyumpal bibirnya. Si bangsat tua itu tidak berdiam diri, Tangannya bergerak dengan cepat menyambar ke empat pengikut itu satu per satu kemudian melempar mereka sambil berteriak: "Cepat kau bantu pembesarmu itu!" Entah bagaimana cara bangsat tua itu melakukannya, tahu-tahu tangan ke empat pengikut itu meluncur ke depan dan menampar muka pembesar itu secara bergantian pembesar itu semakin kesakitan, suaranya seperti ayam disembelih dan dalam sekejap mata kedua pipinya sudah bengap tidak karuan dan merah padam!" Kembali Siau Po tertawa geli, Dia lupa sikap garang Pek Han-hong dan matanya sengaja dialihkan ke tempat lain sehingga tidak perlu melihatnya. Sou Kong menganggukkan kepalanya.

"Orang tua itu dijuluki Pat-pi Wan-hau, tidak heran kalau gerakan tangannya lihay sekali, Konon ilmu Kim na-tay hoat nya hebat sekali, Ternyata sekarang telah terbukti." Pek Han-hong melanjutkan ceritanya.

"Kakakku tertawa menyaksikan peristiwa itu. Pada saat itu, penonton mulai ramai, sebab rumah makan itu memang cukup laris, Si bangsat tua terus bergaya. Dia sengaja berteriak-teriak seakan-akan membela pembesar itu, "Jangan! jangan kalian pukuli atasanmu itu!" katanya. Tubuhnya mencelat ke sana ke mari, Tampaknya dia sedang menghindarkan diri dari sasaran keempat pengikut tersebut, tetapi sebetulnya dia malah menambah tamparan pada Yo It-hong. Dia baru berhenti setelah pembesar itu roboh pingsan di atas tanah. Sibuklah keempat pengikut itu menolong junjungannya. Namun sebetulnya mereka masih bingung, apa yang telah terjadi, Malah mereka menduga sedang diganggu setan usil. Tanpa banyak bicara lagi, mereka menggotong si pembesar dan meninggalkan rumah makan itu dengan terbirit-birit. Pemilik rumah makan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengelus dada, Tentu saja dia tidak berani meminta ganti rugi kepada pengikut pembesar itu!"

"Bagus! Bagus!" seru Hong Kong tertawa terbahak-bahak.

"Segala pembesar anjing memang harus diberi pelajaran Terutama kaki tangannya Go Sam-kui! perbuatan Ci samko sama artinya dengan melampiaskan kejengkelan di hati rakyat. Eh, Pek jihiap.... Mengapa waktu itu kau tidak membantu Ci samko menghajar anjing pembesar itu dengan beberapa bogem mentahmu?" Pek Han-hong semakin mendongkol mendengar pertanyaan yang bersifat sindiran itu.

"Bangsat tua itu kan hanya ingin memamerkan kepandaiannya, buat apa aku ikut campur? Lagi pula dia yang sedang menghajar orang bukan dirinya yang sedang dihajar, untuk apa aku membantu nya?" sahutnya kesal.

"Pek jihiap benar!" kata Hian Ceng ikut memberi komentar.

"Huh!" Pek Han-hong mendengus dingin.

"Setelah rombongan pembesar itu berlalu, toako memanggil pemilik rumah makan dan mengatakan bahwa dia akan menggantikan semua kerugiannya, Bangsat tua itu tertawa dan mengucapkan terima kasih atas ucapan toako itu. Kemudian toako mengundang bangsat tua itu untuk minum bersama. Tahu apa yang dikatakannya? Dia berbicara dengan suara perlahan. Terima kasih! Terima kasih! Memang sudah lama aku dengar nama besar kalian berdua. Sungguh beruntung hari ini kita dapat berjumpa!"

Mendengar kata-katanya, toako terkejut Rupanya dia sudah tahu dengan jelas siapa kami adanya, sebaliknya kami justru tidak tahu siapa orang itu. Lalu toako pun berkata: "Kami benar-benar merasa malu, Bolehkah kami mengetahui siapa nama loyacu yang mulia?" Bangsat tua itu tertawa dan menjawab "Aku yang rendah bernama Ci Tian-coan. Harap maafkan. Karena tidak dapat menahan emosi, aku telah menunjukkan lagak yang berlebihan di hadapan saudara berdua, ilmu yang buruk dan hanya membuat bahan tertawaan saja."

Saat itu kami masih belum tahu siapa adanya Ci Tian-coan itu. Namun karena dia memberi pelajaran pada pembesar musuh, kami yakin bahwa kami merupakan orang-orang dari golongan yang sama, Mungkin kalau bangsat tua itu tidak turun tangan, lama kelamaan kami akan menghajarnya juga. setelah itu kami duduk bersama-sama dan berbincang-bincang sembari menikmati arak.

Tampaknya ada kecocokan di antara kami, Karena merasa kurang leluasa berbicara di rumah makan itu, toako langsung mengundang orang she Ci itu ke rumah kami."

"Ah!" seru Hong Kong tertahan, "Jadi Ci samko telah datang ke tempat ini dan akhirnya berkelahi dengan kalian?"

"Siapa bilang kami berkelahi di sini?" kata Pek Han-hong dengan mata mendelik.

"Mana mungkin kami membiarkan orang mengacau di rumah kami sendiri? itu namanya penghinaan!" Hian Ceng tojin menganggukkan kepalanya dan berkata: "Pek-si Siang-eng adalah orang-orang gagah didunia kangouw, Tidak mungkin mereka berkelahi dengan orang di rumahnya sendiri!" Pek Han-hong tersenyum kecil mendengar pendeta itu memujinya, Dia sempat mengucapkan terima kasih, Kemudian dia melanjutkan ceritanya.

"Dengan segala kehormatan dan keramah tamahan kami mengundang bangsat tua itu singgah di rumah kami. Setelah itu kami menanyakan bagaimana dia bisa mengenali kami berdua, Bangsat tua itu tidak menutupi dirinya. Dia mengatakan dengan terus terang bahwa dia adalah anggota Tian-te hwe. Dan sejak kami datang ke kotaraja dia sudah tahu siapa adanya kami berdua, Menurutnya, dia memang bermaksud berkenalan dengan kami dan kalau bisa menjadi sahabat kami. Bangsat tua itu benar-benar pandai bicara sehingga kami percaya sepenuhnya, Dia juga mengatakan bahwa dia memang sengaja menghajar pembesar anjing itu agar perhatian kami tertarik dan dia menggunakan kesempatan itu untuk berkenalan dengan kami. Kami hampir menganggapnya sebagai orang baik-baik, Karena itu pula kami membicarakan usaha kita menentang pemerintah Boan. Kami juga merundingkan kemungkinan membangkitkan kembali kerajaan Beng, Kami bertiga, Bukan! Hanya berdua serta seekor anjing, semakin lama semakin merasa cocok satu dengan lainnya!"

Siau Po mendongkol juga mendengar ucapan Pek Han-hong. Terang-terangan dia sudah mengatakan "kami bertiga," eh... tiba-tiba malah mangganti ucapannya dengan "hanya dua orang dan seekor anjing!" Kata-katanya itu benar-benar merupakan penghinaan bagi Ci lautao, Bocah itu tidak dapat menahan dirinya lagi dan berkata.

"Dua orang manusia dan seekor anjing, mereka langsung merasa cocok satu dengan lainnya!" Mendengar ucapannya si thay-kam cilik, Hoan Kong tersenyum, Yang lainnya juga merasa geli sehingga rasanya ingin tertawa tapi akhirnya ditahan juga karena tidak enak dengan tuan rumah yang sedang berduka. Pek jihiap benar-benar marah mendengar kata-kata Siau Po. Matanya menyorotkan sinar kebencian.

"Setan cilik, kau sengaja mengoceh sembarangan." Mendengar teguran yang kasar itu, Hoan Kong merasa tidak puas. Biar bagaimana pun Siau Po adalah ketuanya.

"Pek jihiap, ini adalah hiocu kami, Biar usianya masih muda, dia tetap merupakan ketua dari Ceng-bok tong. Dan semua anggota perkumpulan kami, tanpa ada yang terkecuali, harus menghormatinya!"

"Kalau memang hiocu, kenapa?" tanya Pek Han-hong seakan menantang. Sou Kong cepat-cepat menengahi.

"Saudaraku ini sedang berduka, Karena itu belum bisa mengendalikan emosinya ketika berbicara, Harap Wi hiocu memakluminya."

Orang she Sou ini sudah banyak pengalaman dan dia tahu sampai di mana tingginya kedudukan seorang hiocu dalam perkumpulan Tian-te hwe. Pek Han-hong sendiri juga langsung tersadar. Dia sengaja memalingkan wajahnya ke arah lain agar tidak perlu bertemu pandang dengan Siau Po. Terdengar dia melanjutkan kata-katanya kembali.

"Setelah itu, kami bertiga...."

"Bukan bertiga!" tukas Siau Po.

"Hanya dua orang dan seekor anjing!" Han Hong benar-benar marah, meskipun kata-kata itu dia sendiri yang mengucapkannya, Wajahnya sampai marah padam dan telunjuknya menuding Siau Po.

"Kau! Kau!" Pek Han-hong tidak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba dia dapat menguasai dirinya kembali Dia segera menarik nafas panjang-panjang kemudian baru melanjutkan ceritanya.

"Kita lantas membicarakan urusan menentang kerajaan Ceng dan membangun kembali kerajaan Beng. Kita juga membayangkan setelah kerajaan Ceng dibasmi, kami akan mengangkat kembali keturunan Sri Baginda Hong Bu untuk menduduki tahta kerajaan Kata toako, setelah Sri Baginda wafat, hanya ada satu turunannya yang cerdas dan pandai dan sekarang sedang menyembunyikan diri di daerah pegunungan. Bangsat tua itu malah menyahut bahwa raja yang sah ada di Taiwan dan dalam keadaan baik-baik saja."

Ketika Pek Han-hong bercerita sampai di sini, baik Sou Kong, Yaou Cun, Ong Bu-seng dan yang lainnya baru mengerti apa yang menjadi pokok perselisihan antara kedua saudara Pek dan Ci Tian-coan. Rupanya kedua belah pihak sama-sama berkeras bahwa junjungannyalah raja yang sah. Tatkala Kaisar Cong Ceng, raja terakhir dinasti Beng, mati menggantung diri di bukit Bwesan, bangsa Boanciu merampas seluruh Tionggoan, Sisa keluarga kerajaan Beng, yakni pangeran Hok ong, pangeran Lou ong dan pangeran Tong ong mengangkat diri menjadi raja di tempat masing-masing. Ketiga pangeran itu bukan bekerja sama atau mengalah untuk saudara yang lainnya, tetapi justru bersaing sehingga menjadi musuh. walaupun ada pangeran yang telah wafat, namun para menterinya yang setia tetap menjunjung pangeran tersebut dan tetap berselisih paham dengan pihak pangeran lainnya.

Pek Han-hong meneruskan penuturannya.

"Mendengar ucapan si bangsat tua itu, aku langsung bertanya: "Kapan raja kami pergi ke Tai-wan?" Bangsat tua itu menyahut: "Yang kumaksudkan adalah putra muda Sri Baginda Liong bu, bukan anak cucunya Kui ong!" Kemudian toako berkata, "Ci loyacu, kau adalah seorang patriot yang gagah perkasa, kami dua bersaudara sangat mengagumi mu, Tapi mengenai urusan negara yang besar, rupanya paham kita berbeda, Setelah Baginda Ceng ceng wafat, Hok ong bangkit mengangkat dirinya sendiri. Tapi kemudian Hok ong tertawan tentara Boan, itulah sebabnya Tong ong menggantikan kedudukannya, sayangnya umur Tong ong juga tidak panjang, beliau juga berkorban demi negara. Setelah itu, muncullah Sri Baginda Eng lok kami, dan ketika baginda ini juga mengorbankan diri, sudah sepantasnya kalau kedudukan beliau digantikan oleh anak cucunya sendiri!"

"Liong bu" adalah tahun kerajaan ketika Tong ong naik tahta, sedangkan "Eng lok" adalah tahun kerajaan ketika Kui ong naik tahta, Sampai sekarang para pengikutnya semua menyebut junjungannya dengan tahun pemerintahan masing-masing Bahkan lama kelamaan menjadi sebutan bagi umur.

Tiba-tiba terdengar Hong Kong menukas, "Pek jihiap, harap kau tidak berkecil hati. Setelah wafatnya raja Liong bu, dia digantikan oleh saudaranya, raja Ciau bu yang berkuasa di Kui Ciu Tidak disangka-sangka, Kui ong mengirim pasukannya untuk menyerang Ciau bu. Bukankah mereka semua masih keturunan kaisar Cong ceng? Mereka bukan menghajar bangsa Tatcu yang telah merampas seluruh Tionggoan, tetapi malah bergontokan antara saudara sendiri. Bukankah itu suatu kekeliruan yang sangat besar?"

Han Hong tidak senang dengan pertanyaan itu. Karena itu dia menjawab dengan suara keras.

"Nada bicaranya si bangsat tua itu tidak berbeda dengan cara kau bertanya sekarang, Bukankah kaisar Liong bu kami berniat baik? Dia mengutus menterinya ke Kui ciu untuk meminta secara baik-baik agar Tong ong bersedia meletakkan tahta kerajaannya itu, Siapa nyana menteri itu malah dibunuh. Untuk membangun sebuah kerajaan yang kuat, terlebih dahulu harus ada kekompakan di pihak sendiri, bukan? Perbuatan Tong ong tidak dapat dibenarkan sama sekali itu namanya pemberontakan menentang atasan dan dialah biang bencana!" Hoan Kong tertawa dingin.

"Dalam peperangan di Samsui, aku yang rendah juga mengambil bagian, Ketika itu, pihak siapakah yang kalah?" tanyanya dengan bibir dicibirkan. Pek Han-hong marah sekali sampai-sampai dia berjingkrakan.

"Kau masih juga mengungkit kembali hutang lama itu?" Siau Po tidak memperdulikan kegusaran orang itu.

"Hoan toako," tanyanya pada Hong Kong. "Bagaimana sih jalannya peperangan di Samsui itu?" Hoan Kong tertawa.

"Kui ong telah mendengar hasutan dari menterinya yang berkhianat, Kui ong kemudian mengirimkan seorang panglimanya yang bernama Lim Kui-teng membawa pasukan perangnya menyerang Kuiciu...."

"Hoan toako," tukas Sou Kong, "Keteranganmu itu tidak sesuai dengan kenyataannya, Tong ong yang mula-mula mengirim pasukannya menyerang Tiaukeng, karena itu terpaksa Sri Baginda kami menyambut serangan itu!" Perselisihan paham ini menghalangi kelanjutan cerita Pek Han-hong, persoalan lama menimbulkan perasaan emosi di hati kedua belah pihak. Mereka sama-sama egois terhadap paham yang mereka pegang. Yau Cun segera mengibaskan tangannya melihat suasana menjadi panas, mungkin setiap saat golok dan senjata tajam pun bisa ikut mengambil bagian dalam perdebatan itu.

"Sudah! Sudah!" kata si tabib menengahi "Apa gunanya menyebut-nyebut urusan yang telah lalu? Tidak perduli siapa yang menang dan siapa yang kalah, hal itu tidak membawa kegemilangan bagi kita, sebab pada akhirnya kedua pihak sama-sama dijatuhkan oleh bangsa Tatcu!" Mendengar kata-kata itu, baik Pek Han-hong maupun Hoan Kong sama-sama bungkam, mereka merasa malu pada diri sendiri.

"Pek jite, bagaimana kelanjutan ceritamu tadi?" kata Sou Kong.

"Ucapan bangsat tua itu persis seperti kata-kata tuan Hong barusan...." Pek Han-hong masih juga menyebut Ci laotoa sebagai bangsat tua.

"Pembicaraan kita semakin lama semakin keras, siapa pun tidak ada yang sudi mengalah Saking marahnya, toako menggebrak meja keras-keras sehingga meja itu menjadi hancur berantakan peristiwa itu tidak membuat bangsat tua itu jeri, dia malah tertawa dingin sembari berkata: "Setelah alasanmu kalah kuat, aku malah ingin menggunakan kekerasan? Nama besarnya Pek-si Siang Eng dari Bhok onghu memang sangat terkenal, meskipun aku hanya seorang anggota tidak berarti dalam Tian-te hwe, tapi bukan berarti aku harus merasa takut terhadap kalian!"

Pek Han-hong menghentikan kata-katanya sejenak untuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling, setelah itu baru dia melanjutkan kembali "Kata-katanya itu sungguh tidak enak didengar Benar-benar merupakan penghinaan bagi keluarga Bhok, Tapi toako masih berusaha bersikap sabar, dia hanya berkata: "Aku memecahkan meja yang memang milikku sendiri, apa urusannya dengan kau? Mengapa kau menghina Bhok onghu? Siapa yang kau andalkan sehingga kau begitu berani? Sampai di situ pertengkaran kami, lalu toako dan bangsat tua itu mengadakan perjanjian untuk menyelesaikan persoalan lewat pertempuran malam itu juga di Tian-tan." Mendengar hal itu, Sou Kong menarik nafas panjang sebagai tanda penyesalan dan kegundahan hatinya.

"Rupanya masalah ini timbul karena urusan yang sepele saja..." Tengah malam itu juga kita pergi ke Tian tan," kata Han Hong, "Kalian tentu tahu tempat pemujaan yang ada di kota Peking itu. sesampainya di sana, tanpa bicara sepatah katapun, kedua pihak langsung terlibat pertempuran"

"Tentunya dua lawan satu!" tukas Siau Po. "Eh, entah Pek tayhiap yang maju terlebih dahulu atau Pek jihiap?" Wajah Pek Han-hong merah padam disindir sedemikian rupa. Saking marahnya dia langsung berteriak.

"Kami dua bersaudara memang selalu turun tangan bersama-sama. Berhadapan dengan satu musuh, kami berdua. Berhadapan dengan seratus musuh, sama juga!" Siau Po menganggukkan kepalanya.

"Oh, rupanya begitu!" kata Siau Po yang mulutnya tajam, "Jadi, kalau berhadapan dengan aku, seorang bocah cilik, kalian turun tangan berdua juga?" Bukan main gusarnya Pek Han-hong yang ditanya sedemikian rupa, ia merasa terhina, karenanya sebelah tangannya langsung melayang ke kepala Siau Po. Sou Kong segera mencegah tindakan saudaranya itu.

"Jangan, Pek jite!" Han Hong memberontak.

"Bocah ini sudah menghina kami secara kelewatan!" Siau Po diam saja, Meskipun hatinya masih ingin menggoda terus, namun dia dapat melihat orang she Pek itu benar-benar marah,

"Jite, lebih baik kita kesampingkan urusan yang tidak berarti ceritakan lebih lanjut bagaimana orang she Ci itu bisa mencelakai Pek toate!" kata Sou Kong mengingatkan. Pek Han-kong mendelik terlebih dahulu kepada Siau Po sebelum meneruskan ceritanya.

"Pada suatu hari nanti aku akan membeset kulitmu dan mencabik-cabik daging di seluruh tubuhmu!" ancamnya. Siau Po tidak menggubris orang yang sedang marah itu, sementara itu, Hoan Kong tersenyum ketika mendengar ucapan Sou Kong.

"Sou samhiap, barusan kau mengatakan bahwa Pek tayhiap telah dicelakai oleh Ci samko kami. Kata "mencelakai" itu sungguh tidak tepat Bukankah kau sudah mendengar sendiri bahwa mereka mengadakan pertemuan di Tian-tan untuk bertempur Dan Ci toako seorang diri melawan kedua saudara Pek. Dia pun tidak menggunakan akal licik apa-apa. Dengan demikian pertempuran berlangsung dengan adil, Mana boleh kau mengatakan mencelakai?" katanya.

"kenyataannya toako kami memang mati dicelakai orang she Ci itu!" teriak Pek Han-hong yang emosinya terbangkit kembali "Sebelum pergi ke Tiantan, kedua pihak sudah mengadakan perjanjian Toako sempat berkata kepadaku, "Meskipun tua bangka itu

sungguh menyebalkan, tetapi bagaimana pun dia berasal dari golongan yang sama dengan kita dan bertujuan merobohkan kerajaan Ceng, Memandang perkumpulan Tian-te hwe, pertempuran harus dibatasi dengan saling towel saja, jangan sampai mencelakai lawannya, jadi kita tidak boleh membunuhnya."

"Siapa tahu bangsat tua itu benar-benar kejam dan sadis. Dia justru menurunkan tangan jahat terhadap toako sehingga selembar jiwanya melayang!"

"Bagaimana caranya bangsat tua itu mencelakai Pek toate?" tanya Sou Kong. Tampaknya orang yang satu ini lebih dapat mengendalikan diri dan bijaksana. Dia ingin mendapatkan keterangan sejelasnya dari rekannya itu.

"Kedua pihak langsung terlibat pertempuran Sampai empat puluh jurus masih belum ada kepastian siapa yang menang dan siapa yang kalah Setelah berkelahi lagi beberapa saat, tiba-tiba bangsat tua itu melompat mundur dari arena kemudian memberi hormat sambil berkata: "Aku yang rendah merasa kagum." Hari ini tidak ada yang menang maupun kalah, rasanya tidak perlu pertempuran ini dilanjutkan! ilmu silat Bhok onghu benar-benar hebat Tidak heran namanya bisa terkenal sampai ke seluruh penjuru dunia!"

"Kalau begitu, bukankah anjurannya baik sekali karena perdamaian bisa tercapai dengan dihentikannya pertempuran itu?" tanya Sou Kong.

"Tapi, kakak Sou tidak melihat sikapnya ketika berbicara!" kata Han Hong dengan nada mendongkol "Apa kakak mengira maksudnya baik? Dia tersenyum dingin Hal itu membuktikan bahwa dia tidak memandang sebelah mata kepada kita, Pasti dia menganggap Pek-si Suang Eng dari Bhok onghu tidak sanggup mengalahkan dia yang kedudukannya rendah dalam Tian-te hwe, meskipun kami menghadapinya dengan dua lawan satu! itu juga berarti bahwa percuma nama kami terkenal kalau hanya kepulan asap belaka, itulah sebabnya aku merasa tidak senang dan berkata kepadanya: "Kalau belum ada yang menang atau kalah, kita harus bertempur terus sampai ada penyelesaiannya!" Bangsat tua itu menyambut tantangan Kami pun terlibat pertempuran kembali, Kali ini aku menggunakan tipu jurus Liong-teng Hou-you (Naga melesat harimau melompat), Setelah mencelat ke atas, dari ketinggian aku menyerang ke bawah, Bangsat tua itu kena ditipu. Dia menghindar ke samping, padahal kami dua bersaudara sudah melatih ilmu itu sampai sempurna. Toako menggunakan jurus Heng Siau Ciang-kun (Menyapu seribu tentara dengan posisi melintang) kaki kiri menendang ke kanan sedangkan tangan kanan menyerang ke kiri, Dengan demikian, bangsat tua itu tidak bisa menyingkir lagi..."

kata Pek Han Hong menjelaskan jalannya pertempuran.

Hian Ceng menganggukkan kepalanya, "Jurus itu memang membuat orang kelabakan karena baik menghindar ke kiri maupun ke sana posisinya tetap serba salah, Lihay sekali!"

"Tapi si bangsat tua itu mengerutkan tubuhnya." Terdengar Han Hong menjelaskan kembali.

"Tiba-tiba dia menerjang dada toako. Toako segera melindungi bagian dada dengan kedua tangannya, sembari tertawa dia berkata: "Nah! Kau kalah!" tapi baru saja ucapan toako selesai, dalam waktu yang bersamaan terdengar suara yang keras. Suara

benturan!" Rupanya hantaman si bangsat tua itu berhasil mengenai toako, Dua pukulan sekaligus, sasarannya perut dan dada. sebenarnya toako mengingat hubungan sesama kaum persilatan sehingga tidak mau mencelakai lawannya, Kedua tangannya hanya diusapkan ke arah lawan tanpa mengandung tenaga yang dahsyat Siapa sangka hati bangsat tua itu benar-benar beracun! Dia justru menurunkan tangan jahat! Melihat keadaan itu, aku langsung menyerangnya dengan jurus Kao-san Liu-sui (Gunung tinggi-

Air mengalir) Aku hajar punggung bangsat tua itu sehingga dia terhuyung mundur beberapa tindak, namun saat itu toako pun sudah jatuh tertunduk. Mulutnya memuntahkan darah segar beberapa kali. Aku terkejut setengah mati, segera aku menghambur ke hadapan toako untuk mengangkatnya bangun Ketika itu si bangsat tua tertawa dingin. Kemudian dia mengambil langkah seribu, Aku memondong toako untuk membawanya pulang, Tapi di tengah jalan, kakak hanya sempat berkata: "Balaskan sakit hatiku!" kemudian menghembuskan nafas terakhir Sou Samko, kalau sakit hati ini tidak bisa terbalas, percuma kita hidup sebagai manusia!" Selesai berkata, tanpa dapat mempertahankan diri lagi, air mata Han hong mengucur dengan deras. Hian Ceng menoleh kepada temannya.

"Hong liok-ko, tadi Pek jihiap menyebutkan beberapa jurus yang telah mereka gunakan dalam pertempuran Bagaimana kalau kita mencobanya?" Orang yang dipanggil Hong liok-ko itu sebenarnya bernama Ci Tiong, Tampangnya biasa-biasa saja, Tidak ada keistimewaan apa pun, malah mirip orang tua yang tidak berdaya. Sejak hari sebelumnya ketika berkenalan di toko obat, orang ini tidak pernah membuka suara sedikit pun, Siau Po juga tidak begitu memperhatikannya, Mendengar kata-kata Hian Ceng tojin itu, dia hanya menganggukkan kepalanya terus bangun. Begitu berdiri, dia langsung menghantam ke arah Hian Ceng dengan sebelah telapak tangannya! Hian Ceng menangkis serangan itu, Setelah itu dia membungkukkan tubuhnya sedikit dan kedua tangannya berbarengan menghantam ke depan. Sampai di tengah jalan kelima jari tangannya ditekuk sehingga membentuk cakar dan gerakannya pun mirip kera. Dengan cara demikian dia meniru gerakan Ci Tian coan yang berjuluk kera bertangan delapan.

Hong Ci-tiong menghindar ke kiri kemudian ke kanan, Setelah itu kakinya menutul dan tubuhnya mencelat ke udara, dari atas dia meluncur turun kembali dengan mengirimkan serangan.

"Bagus!" seru Yau Cun. "ltulah jurus Liong-teng Hou-you!" Belum habis kumandang suara si tabib, Hian Ceng sudah menghindarkan diri, Tapi Hong Ci-tiong tidak berhenti sampai di situ, Dia mengulangi serangannya, Tangannya menghantam ke samping kiri. Semua orang dapat melihat dengan tegas bahwa gerakan yang dilakukannya persis seperti apa yang dituturkan Pek Han-hong barusan, yakni juru Heng Siau Ciang-kun. Gerakan Hong liok-ko itu sungguh hebat, terdengar sorakan kawan-kawannya yang merasa kagum. Kedua orang itu dapat menirukan gerakan Han Siong dan Han Hong dengan baik.

"Nah, Pek Jihiap, Begitu bukan jalannya pertempuran di Tiantan?" tanya Hian Ceng. Wajah Pek Han-hong menjadi pucat pasi, Tojin itu sungguh-sungguh lihay, Gerakan keduanya memang tepat sekali sehingga dia terpaksa menganggukkan kepalanya.

Sementara itu, Siau Po dan rekan-rekan nya juga memuji tiruan gerakan Hian Ceng dan Hong liok-ko. Di dalam hati, Han Hong sendiri juga merasa kagum sekaligus heran, Laki-laki yang tampangnya biasa-biasa saja itu membuat pikirannya bingung, Bagaimana dia bisa mengerti ilmu yang dikuasai mereka dua bersaudara? siapakah dia sebenarnya? Hong Ci-tiong menoleh ke arah Hian Ceng sambil berkata.

"Totiang, harap lotiang melepaskan jubah itu sebentar Maaf!" Hian Ceng tojin merasa heran dan terkejut Dia tidak mengerti maksud kawannya itu. Tapi dia menurut juga, Segera dia melepaskan jubah luarnya, justru ketika dia mengibaskan jubahnya itu, tampak dua helai koyakan ujung jubah tertiup angin dan melayang-layang di udara, Karena itu dia langsung merentangkan jubahnya tersebut sehingga dia dapat melihat ada dua bagian yang berlobang dengan bekas telapak tangan. Meskipun tojin itu berwatak sabar dan tenang, namun tak urung dia terkejut juga sehingga wajahnya menjadi merah. Biarpun mereka hanya bermain-main, namun hatinya merasa kagum juga, Bagaimana kalau tadi mereka bertempur dengan serius? Cepat-cepat dia meraba bagian dadanya dan hatinya pun menjadi lega ketika mengetahui dadanya tidak terasa sakit.

Ketika orang-orang masih terdiam saking kagumnya, terdengar Hong Ci tiong berkata kembali kepada tuan rumah.

"Pek jihiap, Pek tahyiap jauh lebih lihay dari aku yang rendah, Tentunya dapat dibayangkan luka yang diderita oleh Ci toako kami. Apalagi bagian punggungnya juga terhajar oleh jurus Kao-san Liu-sui yang hebat, Dengan demikian luka yang diderita Ci Toako ada kemungkinan bisa merenggut selembar jiwanya."

Siau Po termenung seorang diri. Diam-diam dia berpikir dalam hati. "Hay kongkong semasa hidupnya pernah menghajar aku. Tampaknya ia hanya mengusapkan tangannya di bagian dada bajuku, Rupanya tipu jurus ini yang digunakannya." Sou Kong memperhatikan Han Hong yang memang sedang menatap kepadanya, Keduanya tampak tidak bersemangat, mereka sudah melihat dengan jelas kelihayan Hong Ci-tiong. Dan dari gerakan yang ditirunya tadi, dapat dibuktikan bahwa Ci Tian-cong turun tangan karena terpaksa, dengan demikian, sulit bagi mereka untuk menuntut balas bagi kematian Pek tayhiap.

Akhirnya Sou Kong berdiri dan berkata, "Tuan Hong, ilmu silatmu lihay sekali, Kau membuat aku yang rendah merasa kagumi seandainya Pek toate mempunyai ilmu silat yang sebanding denganmu saja, tentu dia tidak bisa dibinasakan oleh orang she Ci!"

Hoan Kong merangkapkan sepasang tangannya dan memberi hormat kepada Sou Kong, Dia mewakili Hong liok-ko menjawab pujian tadi.

"Hari ini kami telah datang mengganggu kalian. sekarang ijinkanlah kami memohon diri."

"Tunggu sebentar!" kata Hian Ceng. Mari kita memberi hormat pada Pek tayhiap! Aku harap kejadian ini tidak sampai merenggangkan hubungan baik antara Bhok onghu dengan Tian-te hwe...." Selesai berkata, dia segera mendahului yang lainnya melangkah ke dalam. Pek Han-hong maju ke depan dan mengulurkan tangannya untuk mencegah, Terdengar dia tertawa dingin.

"Toako mati tidak meram, Sudahlah, Kalian tidak perlu berpura-pura!" teriaknya marah.

"Pek jihiap," kata Hian Ceng yang terkenal lebih sabar "Jangan katakan pertandingan yang telah berlangsung antara pihak kami dengan kalian dua bersaudara adalah atas sukarela, dan Ci toako memang telah kesalahan tangan, seandainya Ci toako sengaja melakukannya sekalipun, kau tidak dapat menyalahkan dan membenci seluruh anggota Tian-te hwe. Kami ingin memberi hormat kepada jenazah Pek tayhiap untuk terakhir kalinya sebagaimana peraturan yang ada dalam dunia kangouw."

Mendengar kata-kata itu, Sou Kong segera ikut memberikan komentarnya. "Jite, apa yang dikatakan totiang memang benar Kita tidak boleh bersikap kurang sopan."

Pek Han-hong tidak mencegah lagi. Seluruh rombongan itu langsung maju ke depan peti mati untuk sama-sama menganggukkan kepala sambil membungkuk dan memberi hormat Siau Po sendiri menjatuhkan dirinya berlutut dan terlihat mulutnya berkomat-komit.

"Hai, apa yang kau katakan?" bentak Han Hong dengan wajah garang.

"Aku hanya bersembahyang kepada Pek tayhiap," sahut si bocah cilik itu, " Apa urusannya denganmu?"

"Suaramu tidak jelas, entah apa yang kau katakan!" kata Pek Han-hong.

"Kau mau tahu?" tanya Siau Po. "Aku bilang begini: Pek tayhiap, kau berangkatlah terlebih dahulu Aku yang rendah Wi Siau-po telah dihajar oleh adikmu sehingga seluruh tubuhku babak belur, mungkin selembar jiwaku ini tidak dapat dipertahankan terlalu lama lagi, Beberapa hari lagi, kalau aku berpulang ke alam baka, tentu kita akan bersua di sana!"

"Kapan aku menghajarmu?" tanya Pek Han-hong mendongkol.

"Kau mau lihat buktinya?" tanya Siau Po kembali Dia segera menarik lengan bajunya ke atas dan memperlihatkan tangannya yang bekas tercekat sehingga bertanda biru matang, "Nah, apakah ini bukan bekas hajaranmu?" Sou Kong menoleh kepada Pek Han-hong yang diam saja, Dia merasa kurang puas, karena itu dia berkata kepada Siau Po.

"Wi hiocu, urusan ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat, aku rasa sebaiknya lain kali saja kita bicarakan kembali."

"Sebenarnya sih tidak apa-apa, cuma ... aku khawatir luka yang kuderita ini terlalu parah sehingga tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Kapan waktu saja ada kemungkinan dijemput oleh Giam Lo-ong. Kalau ini sampai terjadi, berarti tidak ada kesempatan lagi bagi kita untuk membicarakan urusan ini." Pikiran Sou Kong bergerak dengan cepat, "Bocah ini dapat berbicara dengan lancar, rona wajahnya juga memperlihatkan kesehatannya yang baik, mengapa dia bicara seperti itu? Apabila seseorang dalam keadaan terluka, apalagi parah, tentu keadaannya tidak demikian! Karena itu dia segera paham bahwa bocah itu memang sengaja mempermainkan mereka, Mengapa dalam perkumpulan Tian-te hwe yang tersohor bisa ada seorang hiocu yang sedemikian rupa?"

"Tak usah khawatir, Wi hiocu," katanya kemudian, "Kau pasti berumur panjang sampai seratus tahun! Kalau kami semua sudah mati, kau masih bisa hidup beberapa puluh tahun lagi."

"Tetapi sekarang aku merasa perutku sakit sekali," sahut Siau Po. "Jangan-jangan ususku sudah berbelit-belit dan pencernaanku tidak dapat bekerja lagi, mungkin aku tidak bisa bertahan sampai besok.... Hong liok-ko, Hian Ceng totiang, kala aku sampai mati, janganlah kalian mencari Pek jihiap untuk membalas dendam, Di dalam dunia kangouw, kita harus saling menghargai, karena itu jangan sekali-sekali menimbulkan masalah yang bisa menghancurkan hubungan baik antara Tian-te hwe dengan pihak Bhok onghu..."

Rekan-rekannya hanya tersenyum mendengar kata-kata Siau Po. sedangkan Sou Kong tidak menggubrisnya lagi. Hanya sepasang alisnya yang mengerut, Tanpa banyak bicara lagi, dia mengantar para tamunya keluar. Setelah itu, Hian Ceng toji juga mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh Ma Pok-jin, Yau Cun, Lui It-sia dan Ong Bu-seng, akhirnya rombongan anggota Tian-te hwe beserta Yau Cun, kembali ke rumah obat Namun, sesampainya di tempat itu, mereka langsung terkejut setengah mati. Tampaknya telah terjadi sesuatu yang luar biasa, meja terbolak-balik, Laci-laci telah dikeluarkan dari tempatnya, hampir semuanya bergeletakan di atas lantai. Obat-obatan bertumpahan di mana-mana, Dan ketika mereka masuk ke dalam serta memanggil-manggil, tidak terdengar sahutan sama sekali. Mereka segera merasa curiga, karena toko obat itu ada pegawainya yang mengawasi, tapi mengapa sekarang tidak ada seorangpun yang memberikan jawaban, Ketika mereka masuk ke halaman dalam, semuanya menjadi terperanjat Disana terkulai tiga sosok mayat yang dikenali sebagai pemilik toko yang gemuk beserta dua orang pegawainya.

"Lekas tutup pintu!" teriak Hian Ceng tojin, "Jangan biarkan orang luar masuk. Cepat lihat keadaan Ci toako!" Dia segera mendahului yang lainnya lari ke ruang bawah tanah.

"Ci toako! Ci toako!" panggil nya panik, Yang lain pun mengikuti tindakannya. Sesampainya di ruang bawah tanah itu, semuanya menjadi tertegun, Ci Tian-coan tidak ada lagi di balai-balai tempatnya berbaring.

"Neneknya!" teriak Hoan Kong yang marah sekali "Mari kita kembali ke Bhok onghu untuk mengadu jiwa dengan mereka!" Dia langsung mencurigai bahwa semua ini merupakan hasil perbuatan orang-orang Bhok onghu.

"Lekas undang Ong cong piautau dan lainnya untuk menjadi saksi!" kata Hian Ceng tojin.

"Selagi kita membuang-buang waktu mengundang mereka, mungkin jiwa Ci toako sudah melayang!" kata Hoan Kong yang kebingungan.

"Kalau mereka memang berniat membunuh Ci toako, tentu mereka sudah melakukannya di sini tanpa bersusah payah membawanya pergi." Hian Ceng tojin mengemukakan pendapatnya.

"Karena mereka membawanya, maka dapat dipastikan bahwa untuk sementara keadaan Ci toako tidak perlu dikhawatirkan." Hoan Kong tersadar Mereka segera keluar dan menitahkan beberapa rekannya untuk mengundang kembali Ong Bu-seng serta ketiga kawannya. Dalam sekejap saja mereka sudah datang. Ketika mengetahui duduknya persoalan, keempat orang itu juga merasa marah sekali.

"Jangan menunda waktu lagi!" kata Ong piautau.

"Sekarang juga kita kembali ke sana!" Bergegas mereka menuju rumah keluarga Pe Pek Han-hong segera keluar ketika diberitahukan kedatangan orang Tian-te hwe yang belum ia pergi, Dia muncul di muka pintu dan tertawa dingin:

"Ada keperluan apa tuan-tuan kembali lagi sini?"

"Pek jihiap!"kata Hoan Kong dengan nada keras.

"Kau sudah tahu mengapa, buat apa kau malah menanyakannya? perbuatanmu kali ini benar-benar menjatuhkan pamor Bhok onghu dan juga wibawamu sendiri!" Pek Han-hong menatapnya dengan tampang kebingungan.

"Mengapa harus kehilangan pamor? perbuatan apa yang telah kulakukan?" tanyanya heran.

"Mana Ci toako kami?" tanya Hong Kong kembali "Lekas serahkan! Kau menggunakan kesempatan ketika kami tidak ada di rumah untuk datang menyatroni tempat kami itu dan membinasakan tiga orang pegawai Hwe-cun tong serta menculik Ci toako, perbuatanmu itu sungguh rendah!" Pek Han-hong semakin bingung, "Kau hanya mengacau! Apa kalian sudah gila? Apa itu Hwe-cun tong? Apa yang kau maksudkan dengan tiga pegawai yang mati?"

Tepat pada saat itu, Sou Kong keluar dari dalam, dia sempat mendengar pertengkaran itu.

"Ada keperluan apakah sehingga tuan-tuan datang kembali?" tanyanya sabar.

"Sou samhiap!" Lui It-siau ikut bicara, "Kali ini pihakmulah yang tidak benar, manusia tidak boleh lupa dengan tata krama serta etiket, Andaikata kalian ingin membalas sakit hati, tapi caranya bukan sembarang membunuh orang yang tidak bersalah dan menculik orang yang sedang terluka. Betapa beraninya kalian melakukan hal ini di kotaraja!" Sou Kong menoleh kepada Pek Han-hong.

"Apa sedang mereka bicarakan?" tanyanya bingung.

"Mana aku tahu?" sahut Pek Han-hong.

"Aku sendiri tidak mengerti!"

Ong Bu-seng segera berkata: "Sou samhiap, Pek jihiap! Di tempat tinggal anggota Tian-te hwe kami menemukan tiga orang yang mati terbunuh, Sedangkan bayangan Ci suhu tidak kelihatan lagi, Hal ini berarti dia telah diculik, Karena itulah kami datang

kemari. Siapa yang salah dan siapa yang benar akan kita pertimbangkan nanti! Sekarang marilah kita bicara baik-baik. Di samping itu, aku mohon sudilah kiranya Sou samhiap dan Pek jihiap memandang muka kami agar membebaskan Ci suhu dulu!" Sou Kong menjadi penasaran "Ci Tian-coan telah diculik?" tanyanya.

"Sungguh aneh! Oh, rupanya tuan-tuan menyangka kamilah yang melakukannya? Tapi tuan-tuan sekarang lihat sendiri! Bukankah sejak tadi kami ada di sini bersama tuan-tuan sekalian? Kami toh tidak mungkin memisahkan diri untuk melakukan hal lainnya.

"Sudah tentu bukan kalian sendiri yang melakukannya!" kata Hoan Kong. Tapi kalian bisa menugaskan orang-orang kalian untuk turun tangan. Tentunya bukan hal yang sulit, bukan?"

"Kalau tuan-tuan tidak percaya kepada kami, apa lagi yang bisa kami katakan?" kata Sou Kong "Apa mungkin tuan-tuan ingin menggeledah agar lebih yakin? silahkan masuk!" Sebelum rombongan orang-orang Tian-te hwe sempat menjawab, Pek Han-hong sudah berkata: "Kata-kata Sin Jiu kisu biasanya satu bilang satu, dua bilang dua. Dia tidak pernah berdusta, Biar aku katakan secara terus terang, Kalau orang she Ci itu sampai terjatuh ke tanganku, pasti aku akan langsung menghabisinya, siapa yang kebanyakan waktu menculiknya dan memberinya makan?" Sou Kong masih bisa bersikap sabar.

"Di balik semua ini pasti ada sesuatu yang tersembunyi katanya. "Maaf, tuan-tuan. Tapi, bolehkah kalian mengajak aku ke tempat kejadian untuk melihat-lihat?" Hoan Kong dan yang lain-lainnya jadi sangsi, tampaknya baik Sou Kong maupun Pek Han-hong bcnar-benar tidak mengetahui urusan itu.

"Sou samhiap," kata Hoan Kong. Kami semua ingin mendengar satu patah kata darimu saja. sebenarnya Ci toako kami telah terjatuh ke tangan kalian atau tidak?" Sou Kong menggelengkan kepalanya.

"Tidak!" sahutnya tegas, "Dan aku berani menjamin bahwa Pek Jihiap juga tidak ada sangkut pautnya dengan urusan ini!" Nama Sou Kong sudah terkenal sebagai tokoh kangouw yang jujur. Hal ini membuktikan bahwa apa yang dikatakannya tidak mungkin dusta.

"Kalau begitu, Sou samhiap," kata Hian Ceng tojin kemudian, "Silahkan kalian datang ke tempat kami." Pek Han-hong dan Sou Kong menerima baik undangan itu. Mereka segera kembali ke Hwe-cu tong. Keduanya memeriksa dengan teliti mayat ketiga pegawai toko obat tersebut. Para mayat itu terhajar oleh tangan yang berat sehingga tulang bagian dada dan iga pada patah dan remuk. Namun pukulan itu biasa-biasa saja, jadi sulit membedakan ilmu apa yang digunakan atau berasal dari partai mana.

"Biar bagaimana kita harus bersama-sama menyelidiki sampai tuntas," kata Sou Kong, Setelah itu, dia termenung sekian lama, kemudian baru berkata lagi, "Kalau tidak, kita akan menghadapi penasaran yang tidak dapat dijelaskan untuk selamanya!"

Dari toko obat itu, mereka menuju ruang rahasia, Pihak Tian-te hwe tidak keberatan orang luar mengetahui tempat rahasia mereka itu. Di sini Sou Kong dan Pek Han-hong juga tidak berhasil mendapat petunjuk apa-apa. Oleh karena itu akhirnya terjadi kesepakatan bahwa mereka akan menyelidiki urusan ini bersama-sama. Karena hari sudah sore, kedua belah pihak pun berpisah, Yau Cu beserta ketiga rekannya juga segera memohon diri. Sebelum berpisah, Hoan Kong sempat berkata.

"Sou samhiap, Pek jihiap, Harap kalian ketahui nanti malam kami akan membakar tempat ini untuk menghapus segala jejak." Sou Kong menganggukkan kepalanya.

"Kami sudah memeriksanya dengan teliti," sahutnya, "Memang ada baiknya tempat ini dibakar sampai habis, di sekitar tidak ada rumah penduduk dengan demikian tidak akan merugikan orang lain lagi pula pihak pembesar negeri juga tidak bisa mencurigainya." Siau Po senang sekali mendengar usul pembakaran rumah obat itu, Tentu dia setuju sekali.

"Wi hiocu," kata Hian Ceng tojin kemudian "Hari sudah mulai gelap, sebaiknya kau segera kembali ke istana, Pembakaran rumah ini hanyalah sebuah urusan kecil, karena itu tidak perlu merepotkan Wi hiocu, Aku yakin tidak akan terjadi peristiwa apa-apa." Siau Po tertawa lebar.

"Totiang dan saudara-saudara sekalian, aku harap kalian tidak usah mengangkat-angkat aku demikian tinggi. Meskipun aku sudah menjadi hiocu, tetapi dalam urusan apa pun aku masih kalah dengan kalian, Aku ingin berdiam di sini sekedar menyaksikan saja." Hian Ceng tojin ikut tertawa.

"Bukan begitu, Wi hiocu," katanya, "Ada baiknya hiocu ketahui bahwa pembakaran akan dilakukan mulai tengah malam, Kami juga akan berpencar untuk melakukan pengawasan agar penduduk di sekitar sini tidak menjadi terkejut atau ketakutan sedangkan bagi hiocu, satu malam tidak pulang ke istana tentu bisa menimbulkan pertanyaan." Siau Po menganggukkan kepalanya, Apa yang dikatakan imam itu memang benar Setelah makan malam, pintu istana akan dikunci dan dijaga ketat. Tidak ada orang yang bisa keluar masuk tanpa ijin. tidak terkecuali Wi Siau-po. Tidak baik apabila dia sampai tidak pulang sepanjang malam.

"Sayang sekali," katanya penuh penyesalan "Tentu menyenangkan kalau aku bisa menjadi orang pertama yang menyulut api!"  Mendengar ucapannya, Kho Gan-tiau segera menghampiri dan berbisik.

"Hiocu, kalau lain kali kita akan membakar rumah lagi, tentu kami akan mengundang Wi hiocu sebagai orang pertama yang menyulutnya!" Siau Po gembira sekali sehingga dia menggenggam tangan Kho Gan-tiau erat-erat.

"Ingat janjimu, Kho toako!" katanya, "Jangan kau melupakannya!"

"Perintah Hiocu tidak mungkin kami yang rendah berani melupakan!" sahut Kho Gan-tiau. Siau Po tertawa gembira.

"Bagaimana kalau besok pagi ke lorong Yang-ciu untuk membakar rumah keluarga Pek?" katanya mengusulkan. Kho Gan-tiau terkejut setengah mati mendengar ucapan bocah itu.

"Ini... ini bukan urusan main-main. Kita harus mempertimbangkannya baik-baik, karena gawat kalau sampai Cong tocu mengetahuinya." Disebutnya nama ketua pusat itu, hilanglah kegembiraan Siau Po. ia segera mengganti pakaiannya kembali dan dibungkusnya pakaiannya yang baru serta mewah itu, sementara itu, Gan Tiau berjalan keluar dan memeriksa sekitar tempat itu dengan seksama. Setelah yakin tidak ada orang yang mencurigakan, ia masuk lagi ke dalam dan mengiringi Siau Po meninggalkan tempat itu dengan joli untuk kembali ke istana. Di tengah jalan, ketika masih berada di dalam joli, seorang anggota Tian-te hwe yang ikut mengiringi berkata kepada Siau Po.

"Wi hiocu, besok kalau hiocu ada waktu, datanglah ke dapur Siang-sian tong untuk melihat-lihat!"

"Memangnya ada apa di sana?" tanya Siau Po bingung.

"Tidak ada apa-apa!" sahut orang itu sembari ngeloyor pergi. Siau Po mencoba mengingat-ingat, tapi dia lupa siapa nama orang itu. Tampangnya agak ketolol-tololan dengan kumis tipis dan janggut seperti kambing, Dia juga ikut ke rumah keluarga Pek. Namun tadinya Siau Po mengira bahwa dia salah satu pegawai toko obat Hwe-cun tong. Dia merasa heran mengapa orang itu berpesan demikian. Mengingat Siang-sian tong adalah wilayah tugasnya Siau Po, maka besok paginya dia langsung ke dapur istana itu. para bawahannya menjadi repot, mereka menyambutnya dengan penuh hormat. Pertama-tama dia disuguhi teh hangat.

Anehnya, dia tidak melihat sesuatu yang istimewa di tempat tersebut. Ketika thay-kam kesayangan Sri Baginda itu hendak kembali ke kamarnya, tiba-tiba dia melihat datangnya seorang thay-kam yang bertugas berbelanja di pasar, Di belakangnya mengikuti seseorang yang membawa sebuah timbangan besar, sembari berjalan orang itu tertawa cekikikan.

"Benar, benar! Apa pun yang dikatakan kong-kong, pasti tidak salah lagi!" Siau Po merasa terperanjat juga heran, Sebab dia mengenali orang itu sebagai anggota Tian-te hwe yang menyarankan agar dia datang ke dapur Siang-sian tong kemarin. Thay-kam yang tugasnya berbelanja itu segera memberi hormat kepada atasannya. Siau Po menganggukkan kepalanya sambil menunjuk kepada kawannya yang membawa timbangan itu.

"Siapa dia?" Thay-kam itu tertawa.

"Dia biasa dipanggil Cian laopan (tauke Cian), pemilik toko daging Cian Hin-liong di pintu kota utara, Kami baru saja berkenalan dan hari ini sengaja dia datang membawa sepuluh ekor daging babi sebagai tanda persahabatan." Cian laopan segera bertekuk lutut memberi hormat pada thay-kam gadungan kita.

"Kongkong ibarat ayah bunda yang membesarkan kami. Hari ini sungguh beruntung aku yang rendah dapat memberi hormat kepada kongkong. Rupanya ini berkat keluhuran budi nenek moyang kami di jaman dahulu!" Siau Po tertawa.

"Sudahlah! Tidak usah banyak peradatan!" katanya, sedangkan dalam hati dia berpikir "Mau apa dia masuk ke dalam istana? Mengapa dia tidak mengatakan langsung saja kemarin apabila ada keperluan apa-apa?" Cian laopan berdiri sambil tersenyum.

"Maksud kami mengirim daging ke istana agar toko kami menjadi laris, Memang kami sengaja menjualnya lebih murah dari toko daging lainnya. Kalau khalayak ramai mengetahui bahwa ibu suri, Sri Baginda, para pangeran ataupun kongkong sekalian membeli daging dari toko kami, tentu kami merasa bergengsi dan bisa dianggap sebagai toko daging nomor satu di kota ini!"

Sekali lagi dia menjura. Kemudian dia mengeluarkan tiga lembar cek yang lalu diserahkannya kepada Siau Po.

"Di sini ada sejumlah uang yang tidak ada nilainya, harap kongkong terima agar dapat dibagi-kan kepada para bawahan kongkong!" Siau Po menyambut tiga lembar cek itu. Dia melihat masing-masing bernilai lima ratus tail, lho? inikan jumlah yang kuberikan kepada Kho Dan-tiau kemarin untuk itu dia sampai tertegun saking heran... Cian Laopan melekukan bibirnya ke arah thay-kam tukang masak, Siau Po mengerti isyarat yang diberikannya, Dia maju dan berkata: "Cian laopan benar-benar baik hati" kemudian dia serahkan ketiga lembar cek itu kepada thay-kam tukang belanja dan berkata. terimalah uang ini agar dapat dibagi kali rata dengan kawan-kawanmu Aku sendiri tidak usah..."

Bukan main gembiranya thay-kam itu. Jumlah seribu lima ratus tahil tidak kecil sehingga dia pun mengucapkan terima kasih berkali-kali. Namun dia berpikir juga dalam hati, "Biar bagaimana, aku harus menyisihkan buat kongkong. Terdengar Cian laupan berkata kembali.

"Kongkong sangat menyayangi para bawahan. Bagus sekali Hal ini membuktikan kebaikan hati kongkong. Tapi kongkong tidak menerima apa pun dariku. Hal ini membuat perasaanku jadi tida enak. Sekarang begini saja, Aku mempunyai dua ekor babi Hok-leng hoa-tiau yang besarnya luar biasa. Nanti aku akan menyembelih dua ekor, Satu untuk ibu suri dan seekor lagi untuk kongkong sendiri. Khusus untuk kongkong punya, akan ku antar ke kamar kongkong!"

"Apa artinya babi Hok-Ieng hoa-tiau?" tanya Siau Po. "Namanya aneh sekali, aku belum pernah mendengarnya."

"Itulah babi istimewa yang dipelihara menurut resep peninggalan leluhurku," kata Cian laopan menjelaskan.

"Pertama-tama harus dipilih babi dari turunan yang bagus. Kemudian cara pemeliharaannya sebagai berikut. Babi yang baru berhenti menyusu pada induknya harus diberi makan dengan campuran Hok feng, tong som dan beberapa macam obat-obatan lainnya ditambah sebutir telur serta seekor arak Hoa tiau yang telah lama direndam dalam arak..." Belum habis ucapan Cian laopan, para thay-kam sudah tertawa geli, Sebab pemeliharaan babi dengan cara demikian sungguh luar biasa. jangan kata menemui, mendengar saja baru kali ini, bahkan ada yang bertanya.

"Mengapa harus memelihara babi dengan cara sesusah itu? Biayanya saja sudah ratusan tail!"

"Ongkosnya tidak menjadi persoalan," sahut Cian laopan, "Yang menjadi masalah justru diperlukan ketekunan khusus dan cara perawatan yang memakan waktu lama."

"Bagus!" seru Siau Po.

"Biar bagaimanapun daging babi seperti itu harus kucicipi!"

"Baik, kongkong," sahut Cian laopan "Eh, nanti siang kira-kira jam berapa aku boleh mengantar babi itu ke kamar kongkong?"

Siau Po berpikir sebentar.

"Antara jam Bi-sie dan Sin-sie saja," sahutnya kemudian, Maksudnya kurang lebih pukul tiga siang.

"Baik, kongkong!" kata Cian laopan yang kembali memberi hormat lalu memohon diri.

"Kongkong," kata thay-kam tadi.

"Kalau nanti kongkong bertemu dengan Sri Baginda, harap kongkong tidak mengungkit urusan ini..."

"Kenapa?" tanya Siau Po.

"Ada peraturan dalam istana yang melarang disuguhkannya barang-barang makanan yang langka terhadap keluarga raja, Sebab apabila ada yang sakit karena makanan itu, kitalah yang terancam bahaya, bisa-bisa batok kepala kita menggelinding dari tempatnya." Siau Po menganggukkan kepalanya. "Baik!"

"Lagipula," lanjut thay-kam tadi kembali, "Kalau seandainya Sri Baginda menjadi ketagihan, di mana lagi kita harus mencari babi yang dipelihara dengan berbagai keistimewaan itu? Bukankah kita hanya mencari penyakit bagi diri kita sendiri?" Siau Po tertawa.

"Pikiranmu tepat sekali!"

"Sedangkan ada peraturan turun temuran bahwa sayur mayur maupun hidangan yang disajika untuk ibu suri maupun Sri Baginda tidak boleh yang baru atau segar," kata thay-kam itu kembali. Siau Po sampai tertegun mendengar keterangannya.

"Kalau tidak boleh makan yang segar, apakah Sri Baginda dan ibu suri harus menyantap hidangan yang sudah disimpan satu hari atau satu malam? Sudah beberapa bulan dia menjadi kepala Siang-sian tong, tapi baru hari dia mendengar ada peraturan seperti itu.

"Bukan begitu, kongkong," kata thay-kam tadi tertawa.

"Yang kumaksudkan bukan demikian, Hanya beberapa macam makanan, umpamanya yang dalam satu tahun hanya bermusim satu atau dua kali, seperti rebung. itu juga bisa terancam hukum gantung." Tidak mungkin! Bukankah Sri Baginda dan ibu suri sangat bijaksana dan adil?" kata Siau Po.

"Tapi peraturan itu sudah ada sejak jaman dinasti Beng, Kami hanya bekerja menurut peraturan yang ada." Siau Po heran sekali, Namun dia tidak mengatakan apa-apa lagi, segera dia menuju kamar tulis untuk melayani Sri Baginda, Selesai bertugas, dia kembali ke dapur. Tidak lama kemudian Cian laopan muncul bersama empat orang pegawainya yang menggotong dua ekor babi yang besarnya memang luar biasa, Mungkin berat masing-masing mencapai tiga kwintal. Setelah memberi hormat kepada Siau Po, Cian laopan berkata.

"Kongkong, kalau setiap pagi kongkong makan daging babi Hok-Ieng hoa-tiau ini, pasti baik sekali untuk kesehatan apalagi yang dipanggang! Yang seekor ini akan kuantar ke kamar kongkong agar besok pagi dapat dipotong-potong dan dimasak, sisanya bisa diawetkan!"

Bagian 15

Siau Po segera mempunyai dugaan. Dia menganggukkan kepalanya.

"Baik!" katanya, "Pikiranmu benar-benar sempurna, sekarang kau ikut denganku!"  Cian laopan mengangguk. Seekor babi ditinggalkan di dapur dan seekor lagi bersama tiga orang pegawainya digotong ke kamar Siau Po. sesampainya di sana, ketiga pegawainya disuruh pergi kembali ke dapur untuk menunggu di sana. Dia sendiri langsung merapatkan pintu kamar thay-kam gadungan itu.

"Wi hiocu," katanya setelah mereka tinggal berdua.

"Apakah di sini tidak ada orang lain lagi?" Siau Po yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Cian laopan itu segera menggelengkan kepalanya. Cian laopan langsung membalikkan tubuh babi yang besar itu. Ternyata di bagian bawah perutnya terdapat jahitan yang ditempel lagi dengan selapi kulit babi lainnya.

"Di dalam perut babi itu pasti tersimpan sesuatu yang aneh...." pikir Siau Po dalam hati, Kemudian dia memperhatikan dengan seksama, Sekian lama dia berdiam diri. Dia menduga benda yang tersimpan dalam perut babi itu kemungkinan senjata tajam. "Mungkinkah orang-orang Tian-te hwe berencana untuk menyerbu istana?" Karena mempunyai pikiran seperti itu, jantungnya jadi berdebar-debar dengan kencang. Cian laopan segera memutuskan benang jahit pada perut babi itu, Dari dalamnya dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang besar sekali, kemudian diangkatnya dan kemudian di buka.

"Akh!" Mulut Siau Pb sampai mengeluarkan jeritan tertahan, ketika matanya sudah melihat dengan tegas. Rupanya dalam bungkusan besar itu berisi tubuh seseorang. Tubuhnya kecil dan kurus, rabutnya panjang, Usianya sekitar dua atau tiga belas tahun. pakaiannya tipis sekali. Dia seorang bocah perempuan, matanya terpejam dan tubuhnya tidak bergerak tapi dadanya naik turun menandakan bahwa dia masih hidup.

"Siapa nona ini?" tanya Siau Po. suaranya perlahan karena khawatir terdengar orang, "Untuk apa kau membawanya kemari?"

"Dia kuncu dari Bhok onghu," sahut Cian laopan dengan suara yang sama pelannya. Kuncu adalah puteri bangsawan. Siau Po semakin heran. Matanya membelalak lebar-lebar.

"Kuncu dari Bhok onghu?" tanyanya menegaskan.

"Benar!" sahut Cian Iaopan, "Dialah adik kandung dari Siau ongya dari Bhok onghu! Mereka menculik Ci toako kita, maka kita pun menculik putri kecil ini sebagai sandera. Dengan demikian mereka tentu tidak berani mengganggu keselamatan jiwa Ci toako!" Siau Po bingung sekaligus gembira, memang hanya inilah satu-satunya jalan untuk menjamin keselamatan Ci Tian-coan.

"Bagus! Tapi, bagaimana kau bisa menculik kuncu ini?"

"Kemarin, ketika Wi hiocu dan yang lainnya menuju keluarga Pek, kami berdiam di rumah, justru saat itulah kami mendengar kedatangan Go Eng-him di kotaraja, Dia adalah putra sulungnya Go Sam-kui si pengkhianat bangsa!"

"Aneh!" pikir Siau Po dalam hatinya, "Ada keperluan apa putra Go Sam-kui datang ke kotaraja?

"Kemudian kami masih menerima berita lainnya." Cian laopan melanjutkan keterangannya "Yakni kabarnya putra Bhok ongnya, si pangera muda yang datang dengan serombongan orang." Siau Po menganggukkan kepalanya.

"Tentunya mereka ingin membunuh putranya Go Sam-kui, bukan?"

"Benar!" sahut Cian Iaopan, Tapi si pengkhianat cilik itu di jaga dengan ketat, Dia dilindungi beberapa pengawal yang kepandaiannya tinggi. Dengan demikian tidak mudah apabila ingin membunuhnya, setelah mendapat kabar itu, kami segera mencari

keterangan lebih jauh. Kami pergi ke tempat persinggahan keluarga Bhok ong-ya itu. Tempat itu kosong. Rupanya mereka juga sedang menyelidiki Go Eng-him. Yang ada hanya si kuncu cilik beserta dua orang budak perempuan. Sungguh merupakan saat yang tepat untuk turun tangan...."

"Karena itu, kau langsung membekuknya, begitu?" Cian laopan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

"Betul!" sahutnya.

"Nona ini masih kecil, tapi bagi Bhok onghu, dia bagaikan si burung Hong, Asal dia ada dalam genggaman kita, Ci toako pasti akan dilayani secara baik-baik!"

"Cian toako, jasamu ini besar sekali!" kata Siau Po memuji.

"Terima kasih atas penghargaan hiocu."

"Sekarang kita sudah berhasil menawan si kuncu cilik apa yang selanjutnya harus kita lakukan ?" tanya Siau Po.

"Urusan ini kalau dibilang besar, sebetulnya tidak, tapi dibilang kecil tidak juga. Terserah hiocu saja bagaimana menanganinya!" Siau Po merenung beberapa saat, tetapi dia tidak menemukan jalan keluarnya, Karena itu, dia bertanya kepada si Cian.

"Bagaimana menurut pendapatmu sendiri?"

"Untuk sementara sebaiknya nona ini disembunyikan di tempat yang aman," kata si Cian mengemukakan pendapatnya.

"Tempat itu harus sedemikian rahasianya sehingga tidak dicurigai oleh pihak Bhok ong-ya. Juga harus dijaga baik-baik agar tidak ditemukan. Tidak sedikit jumlah orang Bhok onghu yang datang ke kota ini. Selain keempat orangnya diandalkan, yakni dari keluarga Lau, Pek. Pui dan Sou masih ada sejumlah orang lainnya. Lagipula mereka mengetahui persis setiap pangkalan kita dan pasti akan terus di awasi. Asal ada sedikit saja gerak gerik kita yang mencurigakan mereka pasti akan mendatangi kita dan meminta pertanggungan jawab kita." Siau Po tertawa, Si Cian ini jenaka juga dan cocok dengan wataknya sendiri Karena itu, Siau Po langsung menyukainya.

"Cian toako, mari duduk," katanya ramah, "Biarlah kita berbincang-bincang sejenak!"

"Baik, terima kasih!" sahut si Cian, Dia langsung duduk di atas sebuah kursi. Kemudian dia berkata kembali "Aku sengaja membawa nona ini dalam perut babi agar dapat mengelabui para siwi serta menjaga dari mata-mata Bhok onghu, Ada beberapa orangnya yang lihay sekali sehingga kita harus berhati-hati. Apabila kuncu tidak disembunyikan dalam istana, mereka pasti akan berhasil menemukannya!"

"Jadi kau ingin agar si kuncu cilik disembunyikan di sini?" tanya Siau Po.

"Tidak berani aku yang rendah mengatakan demikian," sahut si Cian. "Hal ini terserah hiocu sendiri Aku yang rendah memang menganggap istana adalah tempat yang paling aman. Biarpun orang-orang Bhok ong-ya lihay sekali, mereka pasti tidak sanggup melawan para siwi istana, Kalau kuncu ini disembunyikan di sini, jangan kata mereka tidak akan menduganya, seandainya pun mereka bisa menerkanya, tidak mungkin mereka berani datang menyerbu kemari untuk menolongnya, seandainya mereka berani, tentu Sri Baginda bangsa Tatcu sudah kena diculik oleh mereka. Hanya ada satu hal yang aku mohon hiocu dapat memaafkan, yakni aku telah membawa si kuncu cilik ini kemari sehingga hiocu akan menemui banyak kesulitan..." Diam-diam Siau Po berpikir dalam hati.

"Sudah tahu akan menyulitkan aku, tapi kau masih melakukannya juga. Buat apa kau meminta maaf? Tapi, pikirannya memang bagus, istana merupakan satu-satunya tempat yang paling aman, Tinggal kesulitannya saja... Eh, mungkinkah kau ingin menguji keberanianku? Kita lihat saja nanti!" Siau Po segera mengembangkan senyuman yang lebar dan berkata, "Pendapatmu bagus sekali! Baiklah, kau boleh sembunyikan kuncu cilik ini di sini!"

"Bagus, hiocu! Asal hiocu sudah menyanggupi tentu akan kuselesaikan urusan lainnya, Aku yakin pihak Bhok onghu juga tidak kecewa apabila putri kesayangan ini disembunyikan dalam istana, tentu lain halnya kalau disembunyikan dalam tempat pembantaian yang bau amis serta banyak darah terceceran!" Siau Po tertawa.

"Betul! Lagipula setiap hari dia bisa diberi makan Hok-leng, tongsom dan Hoa-tiau seperti babi peliharaanmu!" Si Cian tertawa geli walaupun wajahnya agak merah karena jengah.

"Lagipula sebagai seorang putri bangsawan, tentu namanya akan tercemar kalau setiap hari dia berkumpul dengan pria-pria tukang jagal babi, sebaliknya di sini, dia akan aman bersama hiocu!"

"Kenapa begitu?" tanya Siau Po bingung.

"Bukankah hiocu masih muda sekali dan bekerja dalam istana pula?" sahut si Cian agak gugup, itulah sebabnya aku mengatakan aman...." Bocah cilik itu memperhatikan lekat-lekat. Di melihat si Cian agak risih, dia langsung dapat menerka apa alasannya berkata demikian.

"Maksudmu, karena aku seorang thay-kam, bukan? Dengan demikian nama baik kuncu ini tidak akan tercemar?" Tentu saja Siau Po dapat menerka jalan pikirannya si Cian. Karena selain Kin-lam, tidak ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah seorang thay-kam gadungan. Bahkan saudara angkatnya sendiri, Mau Sip-pat mengira bahwa dia sudah dikebiri oleh Hay kongkong dalam keadaan terpaksa.

"Ketika aku membawa kuncu kemari," kata si Cian mengalihkan bahan pembicaraan "Aku sudah menotok jalan darah Sin-tong hiat dan Yang-tong hiat di punggungnya, juga jalan darah Tian-cu hiat di belakang tengkuknya, Karena itu dia tidak dapat bergerak

serta tidak dapat berbicara, jikalau hiocu akan memberinya makanan, jalan darahnya harus dibebaskan terlebih dahulu, Namun sebelumnya kau harus menotok dulu jalan darah Hoan-tiau hiat di pahanya agar dia tidak dapat melarikan diri, orang-orang Bhok onghu lihay-lihay. Meskipun nona ini masih kecil dan lemah lembut, tapi sebaiknya kita berjaga-jaga." Siau Po tidak paham jalan darah yang diuraikan si Cian, Tapi dia merasa gengsi untuk mengakuinya, Dia pikir, tentunya memalukan apabila dia mengakui bahwa sebagai seorang hiocu dia masih belum mengerti ilmu menotok jalan darah, bahkan membebaskan totokan pun belum bisa.

"Pasti dia akan memandang hina padaku?" pikir bocah itu selanjutnya, "Lagipula, apa susahnya mengurus seorang nona cilik?" Karena itu dia langsung menganggukkan kepalanya dan berkata: "Baiklah, aku sudah tahu!"

"Hiongcu, tolong pinjamkan sebatang golok!" kata si Cian, - "Untuk apa dia meminjam golok?" tanyanya dalam hati, namun ia mengeluarkan juga pisau belatinya dan menyodorkannya kepada si Cian. Si Cian menerima pisau itu kemudian menggunakannya untuk menggores daging babi. Dia langsung terkesima karena tanpa perlu mengerahkan tenaga ia bisa memotong tubuh babi yang gemuk itu dengan mudah.

"Sungguh pisau yang luar biasa tajamnya!" puji si Cian yang segera mengutungkan kedua kaki depan babi itu. "Hiocu, simpanlah kaki babi in untuk dipanggang. sisanya boleh kau serahkan kepada tukang masak. sekarang aku ingin mohon diri. Lain hari, apabila ada berita dari perkumpulan kita aku akan datang memberitahukannya kepada hiocu!"

"Baik!" kata Siau Po sambil menyimpan kembali pisau belatinya, Dia memperhatikan si kuncu cilik itu sekilas lalu bertanya: "Kapan kau akan datang lagi untuk menjemput nona ini?" sebenarnya di ingin mengatakan bahwa terlalu berbahaya apabila si nona ditinggalkan agak lama dalam istana. Ya sebagai seorang hiocu dari Tian-te hwe, dia malu dikatakan penakut Dia juga tidak ingin wibawanya jatuh di mata orang lain. Si Cian tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.

"Lihat saja perkembangannya nanti!" katanya kemudian sambil mengundurkan diri. Siau Po segera mengunci pintu kamarnya rapat-rapat, Dia juga memeriksa seluruh jendelanya dengan teliti, Setelah itu dia duduk di sisi tempat tidur untuk memperhatikan si kuncu cilik. Sebenarnya si nona cilik itu juga sedang mengawasi Siau Po. Ketika mengetahui si bocah menoleh kepadanya, dia segera memejamkan matanya, namun pandangan mereka sudah sempat bentrok. Siau Po tertawa.

"Kau tidak dapat bergerak maupun berbicara, sebaiknya kau rebah saja dengan tenang, ini merupakan jalan terbaik untukmu!"

Pakaian si nona tampak bersih. Rupanya si Cian memperhatikan pembungkusnya baik-baik dan babinya juga pasti sudah dicuci berkali-kali. Siau Po menarik selimut untuk menutupi tubuh gadis cilik itu. Kemudian dia memperhatikan lekat-lekat wajahnya pucat pasi, sepasang alisnya justru lentik sekali, dan terus bergerak-gerak, Mungkin karena perasaannya yang takut atau cemas.

"Jangan takut!" kata Siau Po.

"Aku tidak akan membunuhmu Lewat beberapa hari nanti, aku akan membebaskanmu!" Nona itu membuka matanya sekejap lalu di pejamkan kembali, Siau Po merasa puas, Diam diam dia berpikir dalam hati, "Kau berasal dari keluarga Bhok yang menggetarkan seluruh dunia kangouw, Lihat saja ketika melakukan perjalanan di wilayah Kangouw, hanya karena ucapan sedikit saja, aku dianggap bersalah oleh seorang turunan Ke-ciang sehingga Mau Sip-pat, si setan bernyali kecil mencambuki aku setengah mampus! Dasar neneknya!" Siau Po memperhatikan tangannya yang memar karena cekalan Pek Han-hong yang keras, Dia menggumam seorang diri.

"Han Hong, manusia celaka! Kakakmu yang mati, kau mengumbar kemarahannya malah kepadaku. Lihat! Sampai detik ini tanganku masih biru matang akibat perbuatanmu! Malah rasa nyerinya sampai berdenyut-denyut. Siapa nyana, putri kesayangan keluarga Bhok ini malah terjatuh ke tanganku, sekarang apa pun yang kuinginkan baik mencaci maki atau merotaninya, aku dapat melakukannya sesuka hatiku. Dia toh tidak sanggup berkutik sedikit pun!" Membawa pikiran demikian dia tertawa sendiri.

Si nona cilik membuka matanya kembali ketika mendengar suara tawa Siau Po. Dia memperhatikan orang di hadapannya, Sekali lagi Siau Po tertawa dan berkata.

"Betul, kau adalah seorang putri bangsawan, lalu kau menganggap dirimu hebat, bukan? Tapi aku tidak takut padamu!" Tanpa berpikir panjang lagi, dia menampar pipi gadis cilik itu berkali-kali. Wajah si kuncu itu jadi merah dan bengap, Air matanya juga langsung bercucuran Rupanya dia sangat kesakitan.

"Jangan menangis!" bentak Siau Po.

"Kau harus mendengar apa pun laranganku!" Namun nona itu tidak dapat menahan rasa sakit di pipi dan juga rasa sedih di hatinya, air matanya justru mengucur semakin deras. Siau Po menjadi marah.

"Nona bandel dan bau!" bentaknya sekali lagi. Kembali dia menampar pipinya, Kemudian dia menjambak rambut gadis itu lalu menariknya sehingga tubuh si nona terangkat "Ayo, kau masih berani menangis atau tidak?" Air mata si nona masih terus mengalir.

"Buka matamu!" kata Siau Po ketus, "Lihat aku!" Si nona malah memejamkan matanya erat-erat.

"Hai, kau kira ini istanamu! ini bukan Bhok onghu, tahu? Biarpun keempat pengawal keluargamu lihay-lihay, tapi suatu hari nanti mereka akan bertemu denganku, Saat itu aku akan membunuh serta mencincang tubuh mereka sehingga berkeping-keping. Ayo,

buka matamu tidak?" Siau Po seperti orang kalap, Tapi si nona tidak mau menggubrisnya. Matanya tetap terpejam.

"Baik!" kata si bocah cilik kemudian jambakannya dilepas, "Kau tetap tidak mau membuka matamu? Lalu buat apa kau memiliki mata yang jelek itu? Lebih baik dikorek keluar saja dan akan kujadikan santapan dengan arak!" Dia langsung mengeluarkan pisau belatinya dan menggerak-gerakkannya di depan wajah gadis cilik itu. Tubuh si nona gemetar namun dia tidak membuka matanya, Siau Po kewalahan juga, Ternyata si nona tidak mempan ancaman.

"Kau tetap tidak mau membuka matamu?" tanyanya dengan nada keras, "Aku justru ingin kau membukanya! Ayo kita mengadu kelihayan, lihat apakah kau putri bau yang menang dan aku, Kui kongkong yang kalah? sekarang aku tidak jadi mengorek biji matamu. Kautahu yang menang apabila aku melakukannya, Untuk selamanya kau tidak bisa melihat aku lagi, sekarang aku ingin menggorek wajahmu terlebih dahulu, seperti memotong telur rebus, Aku bisa membuat gambar bermacam-macam, umpamanya pipi kiri kuukirkan seekor kura kura dan di pipi kanan aka kugambar setumpukan tahi kerbau! Nanti kalau lukanya sudah kering bekas tidak dapat dihilangkan lagi, Kalau kau berjalan keluar rumah, kau akan menjadi tontonan ratusan bahkan ribuan orang, Saat itu pasti semua orang akan memuji kecantikanmu, Betapa man dan mempesonanya putri cilik Bhok onghu, Nah kau hendak membuka matamu atau tidak?" Tubuh si nona semakin gemetar, tetapi matanya masih dipejamkan juga. Melihat keadaan itu, Siau Po langsung menggumam seorang diri perlahan-lahan.

"Oh, rupanya nona ini menganggap wajahnya kurang cantik dan ingin aku meriasnya agar mencapai kesempurnaan Baiklah, aku akan melakukannya, Sekarang, pertama-tama aku akan melukis seekor kura-kura!" Di atas meja ada tersedia alat-alat tulis, Siau Po segera mempersiapkan bak tinta serta pitanya, Semua itu peninggalan Hay kongkong yang tidak pernah dikutak-kutiknya, Seumur hidupnya baru kali ini Siau Po memegang sebatang pit. Karena itu, cara menggenggam nya seperti memegang sumpit makan. Sesaat kemudian si nona cilik merasa ujung pit bergerak-gerak di pipinya, Siau Po sedang mencoba melukis seekor kura-kura, Air matanya mengalir semakin deras sehingga warna tinta hitam mencair dan wajahnya jadi kotor tidak karuan.

"Sekarang aku sedang melukis seekor kura-kura!" kata Siau Po kembali, Dia tidak menghiraukan perasaan takut si gadis cilik itu, "Nanti kalau aku sudah selesai melukis, aku akan mengukirnya dengan mengikuti garisnya, Pisauku sangat tajam, kau tidak

perlu khawatir gambarku gagal, Nah, kalau sudah selesai dan kering, aku baru membawamu berjalan-jalan di muka umum agar semua orang bisa memuji kecantikanmu. Di depan pintu kota Tiang-An aku akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya: Tuan-tuan sekalian, siapa yang ingin mempunyai lukisan kura-kura? Harganya murah sekali Sehelai hanya tiga bun. Dengan demikian aku bisa menghasilkan uang. Melukisnya juga tidak susah, Mungkin satu hari aku sanggup melukis seratus helai gambar kura-kura. Mudah bukan mencari uang tiga ratus bun untuk berfoya-foya setiap hari?" Selesai berkata, Siau Po memperhatikan wajah si nona. Dia melihat alis orang itu bergerak-gerak dan matanya berkedip-kedip menandakan hatinya, yang sedang ketakutan Siau Po menjadi puas dan girang sekali Mulutnya tertawa lebar.

"Nah, sekarang giliran pipi kanan!" katanya kemudian "Tapi, kalau aku melukis setumpuk kotoran kerbau, siapa yang sudi membelinya? Ah? sebaiknya aku melukis gambar seekor babi. Ya, babi yang gemuk dan buntek, Pasti laris!" Lalu dia mencoret-coret ujung pitnya di pipi si nona yang satunya lagi. Dia menggambar binatang berkaki empat, tapi tampangnya tidak mirip babi maupu anjing!

"Selesai!" katanya, Dia meletakkan pitnya di atas meja kemudian diambilnya sebuah gunting yang ujungnya runcing dan dingin di pipi nona itu dan tentu saja dia hanya menempelkannya saja.

"Ayo, kau buka matamu atau tidak?" bentaknya sekali lagi "Kalau tidak, aku akan mulai mengukir!" Air mata si nona masih mengalir namun matanya tetap dipejamkan.

"Kau masih membandel juga?" kata Siau Po. Dia segera membalikkan guntingnya dengan bagian pegangan di bawah dan diletakkannya ke pipi si gadis untuk menggertaknya. Kuncu cilik merasa pipinya dingin dan agak sakit, Saking takutnya, bukannya membuka mata, dia malah jatuh pingsan! Siau Po terperanjat setengah mati. Dia khawatir gadis itu akan mati ketakutan Cepat-cepat dia meletakkan ujung jarinya di bawah hidung si nona yang bangir dan dia merasa ada pernafasan yang lemah sekali. Hatinya lega sekali ketika mengetahui si nona masih hidup.

"Ah, dia hanya pura-pura mati," pikirnya dalam hati Kemudian dia berkata keras-keras, "Sampai pingsan dia masih tidak mau membuka matanya juga, apakah aku Wi Siau-po harus mengalah? Tidak! Tidak sudi aku kalah olehmu!" Siau Po segera mengambil sehelai sapu tangan yang kemudian dibasahkan dengan air lalu digunakan untuk membasuh wajah si nona, Dalam sekejap mata wajah si nona jadi bersih kembali Siau Po dapat melihat selembar wajah yang putih dan cantik Bulu matanya lentik, alisnya panjang, hidungnya mancung dan bentuk bibirnya mungil. Terdengar dia menggumam seorang diri.

"Kau seorang kuncu, sedangkan aku hanya rakyat jelata, Tapi, bukankah kita sama-sama manusia?" Rupanya karena terkena sentuhan air dingin, si nona siuman dari pingsannya, otomatis dia membuka matanya, Mungkin untuk sesaat dia lupa telah terjatuh ke tangan Siau Po. Ketika dia membuka matanya dan mendapatkan wajah thay-kam cilik itu begitu dekat dengannya, dia terkejut setengah mati, Apalagi mata mereka sempat berpadu, Cepat-cepat dia memejamkan matanya kembali.

"Ha... ha... ha... ha... ha!" Siau Po tertawa terbahak-bahak.

"Akhirnya kau membuka matamu juga! Ya, kau sudah melihat aku! Dengan demikian, akulah yang menang, Benar kan?" Puas rasanya hati Siau Po. Tapi hanya untuk sekejapan saja, Akhirnya dia kecewa juga, Karena nona itu tidak membuka matanya lagi. Dia berpikir untuk membebaskan totokan gadis cilik itu tetapi dia tidak mempunyai kesanggupan!

"Aih, celaka." pikirnya dalam hati, Kemudian dia berkata kepada si gadis cilik, "Nona, jalan darahmu telah ditotok oleh orang, tapi ia tidak membebaskannya ketika menyerahkan kau padaku, Bukankah kau jadi tidak bisa makan dan bakal mati kelaparan? Aku ingin menolongmu, tapi aku tidak bisa. Dulu aku pernah belajar ilmu totokan, tapi sekarang aku sudah lupa! Bagaimana dengan kau Apakah kau mengerti ilmu silat? Kalau kau tidak bisa, terpaksa kau harus menerima nasib dengan berbaring di sini sampai kematian menjemputmu Tapi kalau kau bisa kedipkanlah matamu tiga kali!" Selesai berkata, Siau Po memperhatikan gadis cilik itu lekat-lekat untuk menunggu reaksinya. Sesaat kemudian tampak sulit wajah gadis itu bergerak dan dia mengedipkan matanya tiga kali. Bukan main girangnya hati si thay-kam gadungan, Dia segera berkata.

"Tadinya aku kira orang-orang keluarga Bhok semuanya terdiri dari boneka kayu, manusia-manusia tolol, otak udang. Apa pun tidak bisa. Kiranya kau berbeda, kayu cilik! untunglah kau mengerti ilmu totokan!" Siau Po mengatakan boneka kayu dan menyebut si nona dengan panggilan kayu cilik sebab marga keluarga nona itu Bhok yang nada suaranya seperti dengan kayu.

Saking senangnya, Siau Po segera mengangkat tubuh si nona cilik kemudian didudukannya di atas sebuah kursi.

"Sekarang kau lihat aku!" kataya dengan nada ramah, "Aku akan meraba seluruh tubuhmu untuk membebaskan jalan darahmu, Kalau aku menunjuk bagian yang tepat kau harus mengedip tiga kali, Kalau salah, kau harus membelalakkan matamu lebar-lebar, Dengan demikian aku baru bisa membebaskanmu, mengerti? Kalau kau paham apa yang kumaksudkan kedipkanlah matamu tiga kali." Nona itu dapat mendengar kata-katanya dengan jelas, Karena itu dia mengedipkan matanya tiga kali.

"Bagus!" seru Siau Po senang, "Sekarang aku akan mulai mencari jalan darahmu yang tertotok!" Bocah ini bengal dan nakal, Kebiasaannya ini sudah sulit diubah, Begitu juga kali ini, meskipun dia baru pertama kali bertemu dengan puteri bangsawan itu, tapi dia sudah mengganggunya sedemikian rupa, Dia juga berani sekali sehingga perbuatannya mirip dengan anak yang genit! Siau Po segera mengulurkan tangannya dan meraba payudara sebelah kanan gadis cilik itu.

"Di sini bukan?" tanyanya. Wajah si nona cilik jadi merah padam Dia membelalakkan matanya lebar-lebar tanpa berani berkedip sedikit pun. Siau Po kembali menekan dada sebelah kiri gadis cilik itu.

"Apakah di sini?" tanyanya lagi. Wajah si nona semakin jengah, Tapi karena sudah cukup lama dia membelalakkan matanya, di tidak dapat bertahan lagi, tanpa dikehendaki mata nya berkedip satu kali.

"Oh, di sini rupanya!" kata Siau Po.  Tapi si nona segera membelalakkan matanya kembali. Dia merasa malu sekali, Tapi mulutnya tidak dapat berbicara untuk menjelaskan kepada Siau Po. Dia malah jadi kebingungan. Kedua anak itu masih di bawah umur, Tetapi biasanya memang anak perempuan lebih cepat matang daripada anak Iaki-laki. sedangkan Siau Po dibesarkan dalam rumah pelacuran. Meskipun belum mengerti, tetapi dia sering melihat perbuatan apa saja yang sering dilakukan para laki-laki hidung belang bersama nona-nona yang disewanya. Senang hati Siau Po melihat si nona merasa malu dan kebingungan. Tiba-tiba dia teringat ke-pahitan yang pernah dialaminya di Kangou juga cekalan tangan Pek Han-hong yang menjadi Ke-cing keluarga Bhok.

"Inilah waktu yang tepat untuk membalas dendam!" pikirnya dalam hati. Sebetulnya Siau Po tidak genit, tetapi dia sering dipengaruhi wataknya yang usil dan suka mengganggu Karena itu dia sengaja meraba tubuh nona itu kesana kemari sehingga si kuncu cilik tidak berani mengedipkan matanya sekalipun. Bahkan keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya. Tepat pada saat itu Siau Po menotok iga kiri-nya. Si nona kegelian sekaligus senang, karena kali ini Siau Po menotok dengan tepat, Karena itu pula cepat-cepat dia mengedipkan matanya tiga kali lalu menarik nafas panjang pertanda kelegaan hatinya. Siau Po tertawa lebar sembari berkata.

"Nah, benar di sini! sebetulnya bukan aku tidak tahu jalan darah ini, tapi entah kenapa aku sampai melupakannya!" Tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam benaknya.

"Sekarang jalan darahnya sudah bebas, Entah sampai di mana tingginya kepandaian nona cilik ini. Yang pasti ilmu silatku sendiri masih rendah sekali sebaiknya aku meningkatkan kewaspadaan sebab ada kemungkinan dia akan menyerang aku secara mendadak!" Siau Po bekerja dengan gesit. Dia segera mengambil dua buah ikat pinggang. Kemudian dia melipatkan sepasang kaki gadis cilik itu erat-erat dan kedua tangannya pun dilipatkan ke bagian belakang kursi. Kuncu cilik itu tidak memberontak meskipun diperlakukan sedemikian rupa, Dia hanya merasa khawatir sebab tidak tahu hinaan apa lagi yang akan ditimpakan Siau Po pada dirinya, Karena itu dia memandangi Siau Po dengan sinar mata ketakutan. Siau Po tertawa.

"Kau takut padaku, bukan?" tanyanya, "Karena kau takut, baiklah! Lohu akan membebaskan totokanmu!" Lalu dengan seenaknya dia meraba ketiak kiri nona itu kemudian ditekan-tekannya. Si nona tercekat hatinya, apalagi dia memang mudah geli, wajahnya menjadi merah padam karena menahan rasa ingin tertawa, Dalam keadaan demikian mana mungkin dia tersenyum? Hatinya merasa mendongkol malu juga takut, Namun karena ia tidak dapat bergerak, terpaksa dia mendiamkan saja orang mempermainkannya. Siau Po yang jahil berkata kembali.

"Sebetulnya aku seorang ahli dalam ilmu totokan maupun membebaskannya. Hanya saja akhir-akhir ini aku repot sekali sehingga aku sampai hampir lupa semuanya, Tapi ini kan urusan kecil, betul tidak? Nah, sekarang kau katakan, benarkah ini cara membebaskanmu dari totokan?" Dia meraba lagi dan sekaligus menggelitik. Kuncu cilik itu merasa kehilangan namun dia bertahan sekuatnya, Dalam hati dia memaki, "Dasar kau yang tidak becus! Tapi kau masih mengoceh sembarangan Mana ada orang yang membebaskan totokan dengan cara konyol seperti ini?" Tentu saja Siau Po tidak tahu jalan pikiran si nona cilik itu. Dia berkata kembali: "Memang ilmu totokanmu ini sangat istimewa dan hanya bisa memperlihatkan hasil apabila dilakukan pada diri orang dari kalangan atas, Kau hanya seorang budak kecil, bukan keturunan luhur atau kalangan atas, jadi ilmuku ini tidak membawa faedah padamu, Baiklah, sekarang kita coba ilmu yang nomor dua!" Kembali Siau Po meraba ketiak si nona dan menekan-nekannya, Nona cilik itu sungguh menderita. Di samping geli, dia juga merasa sakit. Air matanya sampai bercucuran Rasa nyeri membuatnya sukar tertawa.

"Ah! Masih tidak jalan juga!" kata Siau Po. "Ilmu yang nomor dua tidak membawa hasil juga, Benar-benar hebat! Mungkinkah kau hendak kelas tiga? Tidak ada jalan lain kecuali mencoba ilmuku yang ketiga!" Ucapannya dibuktikan Si nona kembali merasakan siksaan. Tangan si bocah kembali menggerayangi seluruh tubuhnya, tetapi hasilnya tetap tidak menggembirakan. Ilmu totokan harus dipelajari dengan tekun dan memakan waktu, Demikian juga ilmu membebaskannya, Orang harus memahami seluruh jalan darah yang ada dalam tubuh serta tidak boleh melakukan kesalahan. Mending kalau membebaskan, boleh sembarang memijit di sana-sini, tapi kalau menotok, harus mengetahui jalan darah yang tepat. Sebab bila salah melakukannya, bisa mengakibatkan kematian Siau Po mengalami kegagalan berkali-kali. Meskipun dia mengerti sedikit ilmu silat, tapi dia buta sama sekali dalam ilmu totokan Dia hanya main terka saja.

"Kurang ajar!" katanya sengit "Aku sudah mencoba sampai ilmuku yang kedelapan namun masih tidak juga berhasil Eh, mungkinkah kau ini budak kelas sembilan? Aku orang yang berderajat tinggi, tidak bisa aku menggunakan ilmuku yang kesembilan sembarangan Rupanya kalian orang-oran dari Bhok onghu hanya bangsa kutu busuk, Ya... ap boleh buat Aku tidak bisa memperdulikan rasa harga diriku, Akan kucoba ilmuku yang ke sembilan!" Kali ini Siau Po tidak menekan-nekan lagi, dia menyentilkan jari tangannya kesana-sini sambil ber-kata, "lni yang disebut ilmu bunga kapas!" Dia mengulangi sampai belasan kali.  Mendadak si nona menjerit keras dan menangis sesenggukkan Bukan main girangnya hati Siau Po sampai dia berjingkrakan.

"Nah, apa kataku?" serunya, "Oh, anak manis, Kiranya anggota keluarga Bhok ongya hanya budak kelas sembilan Pantas saja kau hanya bisa dibebaskan dengan ilmuku yang ke sembilan pula!"

"Kau.,, kaulah budak... dari ke!as... sem... bilan!" Seru gadis cilik itu terbata-bata, Dia merasa mendongkol sekali tetapi dia berteriak sembari menangis sehingga ucapannya tidak lancar.

"Kau.... kaulah... budak... ke...las sembilan!" ucap Siau Po meniru kata-kata gadis cilik itu, setelah itu dia tertawa terbahak-bahak. Selagi si nona masih terisak-isak, Siau Po berkata kembali "Aku sudah lapar, Tentunya kau ingin makan juga, Baiklah! Aku akan mencarikan makanan untukmu!" Untuk mencari makanan, tidak ada kesulitan sama sekali bagi Siau Po. Dia adalah kepala bagian Siang-sian tong. Dia tinggal membuka mulut dan memintanya dari koki istana. Dia memang sering dimanjakan para koki dan sering dibawakan makanan yang lezat-lezat, sebelumnya dia juga senang keluyuran sehingga tahu nama hidangan yang terkenal dan disukainya, Dia juga banyak tahu tentan kue dan roti, Dia tidak menemukan kesulitan karena uangnya banyak. Itulah sebabnya tidak lama kemudian dia sudah kembali lagi ke kamar dengan membawa beberapa macam kue.

"Nah, mari kita makan ini!" ajak Siau Po. "lni kue kacang hijau dengan aroma bunga mawar Rasanya lezat sekali. Cobalah!".

Si kuncu cilik menggelengkan kepalanya. "Bagaimana dengan yang ini?" Siau Po menunjuk kue lainnya.

"Ini kue kacang kedelai, tempatmu, Inlam, kue semacam ini pasti tidak ada Cobalah!"

"Aku... aku tidak... ingin ma... kan apa-apa" sahut si nona cilik yang akhirnya membuka suara juga. Namun setelah itu, kembali dia menangis terisak-isak. Mendengar suara tangisan itu, kekesalan dalam hati Siau Po agak berkurang.

"Kalau kau tidak makan, tentunya kau akan kelaparan Hal itu membahayakan!" kata Siau Po dengan nada sabar.

"A...ku tidak la.,.par," sahut si nona.

"Nanti kau sakit!"

"Tidak, aku tidak sakit...."

"Ah... aku tidak percaya," kata Siau Po yang suka melayani nona cilik itu berbicara sebab setiap ucapannya mendapat sambutan.

"Perduli apa aku sakit? Aku lebih suka mati!"

"Tidak! Kau tidak akan mati!" Tepat pada saat itu, di pintu terdengar suara ketukan. Suaranya perlahan sekali, tapi Siau Po dapat mendengarnya dengan jelas. Dia tahu saatnya thay-kam datang mengantarkan makanan, Dia khawatir nona itu akan menjerit Karena itu dia segera mengeluarkan sehelai sapu tangan yang kemudian digunakan untuk menyumpal mulut si nona cilik. Setelah itu baru dia berjalan menuju pintu dan membukanya sedikit.

"Hari ini aku ingin mencoba masakan In lam. Beritahukan kepada koki istana, minta dia menyediakannya!"

"Baik!" sahut si thay-kam kecil yang langsung mengundurkan diri. Di dalam istana, terdapat banyak pelayan, semuanya dilakukan serba cepat. Karena itu sebentar saja pesanan Siau Po sudah diantarkan. Siau Po sendiri yang mengatur hidangan di atas meja yang ada di hadapan si nona. Dia sendiri langsung duduk di depannya, Terlebih dahulu dia melepaskan sapu tangan yang menyumpal mulut gadis cilik itu.

"Mari makan!" katanya.: "Ini daging kambing, ikan dan daging babi! Nah, itu sup yang enak sekali...." Siau Po langsung menyendoknya untuk dicicipi. Mulutnya memperdengarkan suara seperti sedang menikmati dengan lahapnya. Secara diam-diam Siau Po melirik ke arah gadi cilik itu. Si kuncu duduk berdiam diri. Malah air matanya masih menetes sekali-sekali, Tampaknya dia benar-benar belum lapar.

"Aih!" kata Siau Po yang mulai kehilangan rasa sabarnya.

"Mungkinkah seorang budak kelas sembilan tidak bisa menikmati hidangan nomor wahid dan harus menyantap ikan busuk dan daging basi Lihat! Semur hidangan ini termasuk kelas satu. Tapi, tidak apa-apa. sebentar aku akan menyuruh orang menyediakan daging basi dan ikan busuk saja. Mungkin kau mau memakannya!"

"Aku tidak makan hidangan busuk!" sahut nona yang akhirnya membuka mulut juga.

"Tentu kau suka ikan busuk dan daging bau" kata Siau Po sengaja memanaskan hati orang.

"Jangan sembarangan bicara!" teriak nona itu "Aku tidak suka makanan bau!" Siau Po mengambil sepotong kepiting kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya.

"Sedap!" katanya, tapi ketika si kuncu masih juga belum memperlihatkan reaksi apa-apa, dia meletakkan sumpitnya kembali lalu duduk merenung, otaknya bekerja memikirkan akal apa yang harus digunakannya untuk menghadapi si putri bangsawan ini. Tidak lama kemudian, thay-kam kecil yang mengantarkan hidangan tadi datang kembali. Kali ini dia membawa masakan khas Inlam sepoci teh keluaran wilayah itu. Dia juga menyebutkan namanya satu per satu.

"Mari makan!" kata Siau Po setelah mengunci pintu rapat-rapat, Dia kembali mengatur hidangan yang baru dibawakan di atas meja.

"Semua ini masakan ala In lam. silahkan kau mencobanya!" Kuncu tertarik. Semua hidangan itu berasal dari kampung halamannya, Dia menyukainya. Tiba-tiba saja seleranya muncul, Tetapi, ketika dia ingat perbuatan bocah itu terhadapnya, hatinya menjadi sebal.

"Tidak! Aku tidak mau makan! Biar dia membujukku dengan cara apa pun!" janjinya diam-diam. Siau Po menjemput sepotong ham dengan sumpitnya kemudian disodorkannya ke mulut si nona.

"Bukalah mulutmu!" katanya sembari tertawa. Bukannya membuka mulut, si nona malah mengatupkannya erat-erat, Si bocah memang jahil, dia sengaja mengoleskan ham yang berminyak itu ke bibir si nona kecil itu.

"Makanlah! Setelah makan, nanti aku akan membuka ikatanmu!" katanya membujuk. Memang nona cilik itu baru bisa berbicara, Anggota tubuh lainnya belum bisa bergerak karena belum terbebas dari totokan, Nona itu tidak mengatakan apa-apa, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Siau Po menaruh potongan ham kembali ke piring, dia mengangkat mangkok sup yang isinya masih mengepul saking panasnya.

"Kau lihat sup ini masih panas sekali Kalau kau makan, aku menyuapimu sesendok demi sesendok, tapi kalau kau tidak sudi, hm!" katanya kesal. Tanpa menanti jawaban, dia memencet hidung si nona cilik kemudian menyendok kuah sup dan menyodorkannya ke mulut si nona, Dalam keadaa terpaksa, mau tidak mau si nona membuka mulutnya.

"Kau lihat, bagaimana panasnya sup ini Perut mu bisa melepuh karenanya!" kata Siau Po sambi menyuapi sup ke mulut si nona, Kemudian di melepaskan pencetannya di hidung agar nona itu dapat bernafas. Setelah menarik nafas panjang beberapa kali nona itu menangis lagi.

"Kau... kau telah menggores wajahku!" katany jengkel "Aku tidak mau hidup lagi! Wajahku jadi jelek...!"

"Oh, kiranya kau menyangka aku benar-benar mengukir wajahmu dengan pisau!" pikir Siau Po Kemudian dia tertawa lebar dan berkata, "Biarpun wajahmu telah diukir, tapi gambar kura-kura itu mungil dan indah sekali Kalau kau berjalan depan umum, aku

yakin setiap orang akan menatapmu dengan terpesona dan tidak henti-hentinya memujimu!"

"Mereka menatapku seperti makhluk aneh dan bersorak karena wajahku yang jelek!" teriak si nona sembari menangis terus, "Aku lebih suka mati saja...."

"Aih! Rupanya kau tidak suka gambar kura-kura yang demikian mungil," kata Siau Po menggoda, "Kalau begitu, buat apa tadinya aku mengasah otak capek-capek, Lebih baik aku mengukir sekuntum bunga saja."

"Mengukir sekuntum bunga? Bunga apa? Aku toh bukannya kayu!" sahut si nona kesal

"Bagaimana bukan kayu kalau margamu saja Bhok?" sepertinya telah terangkan sebelumnya bahwa lafal huruf Bhok sama artinya dengan kayu.

"Memang benar aku she Bhok, tapi bukan Bhok" kayu!" sahut si nona membantah.

"Marga Bhok keluarga kami ada tiga titik air di sampingnya." Siau Po buta huruf, Dia tidak tahu bagaimana bentuk huruf Bhok, tapi mendengar marga nona itu ada tiga titik air di sampingnya, timbul lagi rasa isengnya.

"Kalau kayu di rendam dalam air, lama-lama kan akan menjadi kayu busuk?" Nona cilik itu menangis lagi, Dia benar-benar kewalahan adu mulut dengan si thay-kam gadungan,

"Aih! Kenapa harus menangis? Lebih baik kau panggil aku kakak yang baik sebanyak tiga kail Nanti aku akan menghapus kura-kura di wajahmu sehinga bersih kembali dan dijamin tidak ada bekasnya sedikit pun!" Wajah si nona menjadi marah karena jengahnya.

"Mana mungkin bisa dihapus?" sahutnya lirih, "Kalau kau menghapusnya lagi, bisa jadi apa wajahku ini?"

"Kau jangan khawatir.." kata Siau Po senang karena kata-katanya mulai termakan oleh gadis cilik itu.

"Aku mempunyai obat penghapus yang mujarab, kalau bagi seorang dari golongan tingkat atas, bekas luka kura-kura seperti wajahmu ini pasti sulit dihapuskan lagi, tapi bagi budak kelas sembilan seperti kau ini, tidak menjadi persoalan!"

"Aku tidak percaya kata-katamu. Kau memang manusia paling jahat!" sahut si nona. Siau Po tidak melayaninya.

"Ayo, kau,mau panggil aku kakak yang baik atau tidak?" Wajah si nona semakin merah, dia merasa malu namun kepalanya menggeleng.  Siau Po tahu gadis cilik itu merasa jengah, Dia tertarik melihat tampang si gadis yang lugu. Semakin suka dia menggodanya.

"Kura-kura kecil itu baru diukir, masih mudah menghapusnya," katanya kembali.

"Tapi kalau dibiarkan terlalu lama, pasti sudah meresap, Apalagi kalau ekornya sudah tumbuh, Wah! Kau pasti menyesal karena sudah terlambat!"  Para gadis umumnya menyukai kecantikan. Tidak terkecuali si nona bangsawan dari keluarga Bhok, Meskipun dia merasa bingung dan ragu-ragu, tapi ia memperhatikan Siau Po lekat-lekat. Agaknya dia mulai termakan kata-katanya thay-kam gadungan itu. Dia juga merasa takut kalau kura-kura di wajahnya benar-benar tumbuh ekor.

"Apa... kau tidak berbohong?" tanyanya kemudian.

"Membohongimu?" kata Siau Po dengan tampang serius, "Untuk apa? Malah semakin cepat kau memanggilku kakak yang baik, aku akan segera menghapus kura-kura di wajahmu itu agar terlihat cantik kembali seperti sediakala, Nah, sebaiknya kau cepat-cepat memanggil aku kakak yang baik!" Tapi... kalau... kalau.,, kau menghapusnya kurang sempurna. Dengan apa kau akan

mengganti kerugianku?" tanya si nona cilik sangsi.

"Jangan khawatir Aku akan menggantimu dua kali lipat!" sahut si bocah nakal "Betul! Aku akan memanggilmu adik yang baik sampai enam kali berturut-turut!" Wajah si nona kembali merah padam Dia merasa malu sekali.

"Ah, kau memang busuk! Aku tidak mau...!"

"Aih! Kau masih saja sangsi! Sayang sekali..!" Nona itu memperhatikan si thay-kam cilik lekat-lekat, sedangkan Siau Po juga

sedang menatapnya.

"Bagaimana kalau kita atur begini saja. sekarang kau memanggil aku satu kali dulu kakak yang baik, Setelah selesai menghapus kura-kura di wajahmu itu, kau memanggil lagi satu kali. Berarti keseluruhannya sudah dua kali, Pada waktu itu aku akan mengambil cermin untuk kau lihat sendiri hasilnya, Kalau kau sudah merasa puas dengan hasil kerja ku, kau boleh memanggil aku kakak yang baik sekali lagi, Mungkin pada waktu itu, kau akan kegirangan setengah mati sehingga kau akan memanggil aku kakak yang baik sampai belasan kali!"

"Tidak! Tidak!" sahut si nona cilik, "Kau suda bilang tiga kali, mana boleh ditambah lagi?" Siau Po tertawa.

"Baiklah! Tiga kali, ya tiga kali!" katanya, "Nah, cepatlah kau memanggil aku sekarang!" Si nona menatap Siau Po. Bibirnya bergerak gerak namun tidak ada sedikitpun suara yang keluar.

"Ayo!" desak si bocah nakal, "Panggillah aku kakak yang baik! Apa sih susahnya? Aku toh tida menyuruh kau memanggil aku, paman yang baik atau paman yang tua. Cepat! Kalau kau masih berlama-lama, nanti harganya akan kunaikkan lagi!"

Nona itu kena digertaknya, Dia merasa takut. "Baiklah! sekarang aku akan memanggil kau satu kali terlebih dahulu," katanya kemudian. "Setelah selesai kau memperbaiki wajahku, nanti aku akan memanggil dua kali lagi!" Siau Po pura-pura menarik nafas panjang.

"Kau benar-benar pandai menawar!" katanya, "Baiklah, Aku terima tawaranmu itu, Aku adalah seorang pedagang yang baik, bayar di muka atau belakangan sama saja!" Nona cilik itu memejamkan matanya.

"Kakak,.," terdengar suaranya yang merdu dan lirih, tapi dia tidak melanjutkan kata-katanya. wajahnya semakin merah saking jengahnya.

"Kenapa kau memanggilnya setengah jalan?" tanya Siau Po menggoda, "Mana sambungannya?" Wajah si nona semakin merah.

"Aku pasti memanggilnya," sahutnya, "Aku tidak akan membohongimu...." Siau Po tertawa.

"Yang... baik!" kata si nona melanjutkan panggilannya.

"Bagus!" seru Siau Po. "Kau tidak mengelabui aku. sekarang juga aku akan memperbaiki wajahmu Akan kulakukan dengan mengerahkan segenap kemampuanku agar kau tambah manis!"

"Sudahlah!" kata si nona. "Jangan mengoceh yang bukan-bukan lagi, Bukankah aku sudah memanggilmu kakak?" Kembali Siau Po tertawa, Dia langsung membuka kotak obat peninggalan Hay kongkong, Di dalamnya terdapat banyak botol-botol kecil, Satu per satu botol-botol itu dikeluarkannya kemudian dituangkan isinya sedikit demi sedikit Lagaknya seperti seorang tabib yang sedang meracik obat. Si nona memperhatikan dengan diam-diam Melihat begitu banyaknya jenis obat yang dicampurkan, timbullah keyakinannya, Siau Po berhenti meracik obat. Dia mengambi beberapa potong kue yang terbuat dari bahan kacang hijau, kacang kedelai dan lain-lainnya. Setela dicuci bersih sehingga tepung bagian luarnya tida ada lagi, dia menumbuk kue-kue itu untuk dicampur dengan obat-obatan tadi. Dia juga menambahka gula madu serta diludahinya racikan obat itu sebanyak dua kali tanpa sepengetahuan si nona.

"Nah, obatnya sudah selesai!" katanya kemudian, inilah obat yang mujarab sekali, Tapi, mungkin kau belum mempercayainya sepenuhnya, Akan kubuktikan nanti, Bukankah kau ingin wajahmu pulih kembali seperti sediakala?" Siau Po mengambil topinya yang dikelilingi empat butir mutiara, ia melepaskan mutiara-mutiara itu kemudian diletakkan dalam telapak kirinya.

"Lihat ini!" katanya, "Apa pendapatmu tentang mutiara ini?"

"Bagus!" sahut si nona tanpa ragu sedikit pun "Ukurannya sama besar, jarang ada mutiara yang ukurannya persis sama!" Gembira sekali hati thay-kam gadungan itu mendengar ucapan si nona, itu merupakan pujian baginya.

"Mutiara ini kubeli kemarin dengan harga dua ribu sembilan ratus tail perak," katanya kemudian, "Mahal, bukan?" Sengaja Siau Po meninggikan harga mutiara itu sebanyak seribu tail, Padahal dia membelinya dengan harga seribu sembilan ratus tail, Dimasukkannya keempat butir mutiara itu ke dalam lumpang dan ditumbuk sehingga hancur.

"Aih!" kata si nona menyesal, "Mengapa mutiara seindah itu kau tumbuk?" Puas sekali Siau Po melihat si nona yang tercengang. itu memang yang diharapkannya, Dia tidak menjawab tapi terus menumbuk keempat butir mutiara itu sampai halus sekali.

"Kalau aku hanya memulihkan wajahmu, tak akan terbukti bahwa aku Wi..." Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya karena mengingat sudah kelepasan bicara, Cepat-cepat dia mengalihkannya dengan berkata, "Takkan terbukti kelihayan si kongkong Siau Kui cu! Aku akan membuat kau sepuluh kali lipat lebih cantik dari sebelumnya, Dan panggilanmu kakak yang baik sebanyak sepuluh kali lipat akan membuat hatiku puas!"

"Eh, kenapa sepuluh kali?" tanya si nona, Tanpa disadari, dia ikut terhanyut kejenakaan si bocah dan suka melayaninya berbincang-bincang, "Tadi kau sudah mengatakan tiga kali!" Siau Po tidak menjawab, Dia menyendoki mutiara yang sudah halus itu dengan racikan obatnya. Si nona merasa heran, Dia memperhatikan dengan seseorang matanya yang indah dibelalakkan lebar-lebar. Biar bagaimana, dia menyayangkan ke empat butir mutiara itu. Tapi, di samping itu, di semakin yakin dengan khasiat obat buatan Siau Po.

"Meskipun keempat butir mutiara ini sanga mahal, tapi nilainya tidak seimbang dengan kemanjuran obatku ini. wajahmu sebenarnya tidak cantik. Kau hanya tergolong kelas delapan atau mungkin malah sembilan, tetapi setelah menggunakan obat ku ini, peringkatmu akan naik menjadi sedikitnya kelas dua. Malah ada kemungkinan kau akan menjadi nona tercantik seluruh antero dunia ini! Mempesona bagai bulan purnama!"

"Bagai bulan purnama?" tanya si nona.

"Iya! Kau akan menjadi luar biasa cantiknya!"

Selesai berkata, Siau Po langsung mengambil obat racikannya kemudian diolesi ke seluruh waja si nona berulang kali. Nona bangsawan itu diam saja. Dia membiarkan Siau Po memoles wajahnya. Dalam sekejap mata wajahnya sudah tertutup oleh racikan obat istimewa Siau Po. Bahkan telinganya juga diolesi oleh Siau Po. Namun satu hal yang membuatnya gembira obat itu tidak bau, malah menyiarkan keharuman. Siau Po tertawa melihat gadis cilik itu ke dikelabuinya, Diam-diam dia berkata dalam hati.

"Masih untung obat ini tidak kucampurkan dengan air kencing, Soalnya aku merasa malu sendiri. Setidaknya aku masih menghargai leluhurmu, paduka Bhok Eng yang mulia, Dia adalah pembangun negara dan aku Siau Po sangat menghormatinya!"

Selesai memoles wajah nona itu. Siau Po mencuci tangannya sampai bersih.

"Tunggu sampai obat ini kering, Nanti aku akan pakaikan bedak yang istimewa! Kau harus memakai obat ini sebanyak tiga kali, Mencucinya harus tiga kali juga, setelah itu wajahmu akan menjadi cantik seperti bulan purnama!" Si nona merasa heran juga. "Mengapa obatnya harus dipakai sampai tiga kali?"

"Sebenarnya tiga kali masih terlalu sedikit Un-tuk membuat kecap saja, kacang kedelainya harus dijemur sampai sembilan kali, Merebus daging anjing pun harus tiga kali sampai benar-benar empuk dan gurih!"

"Masa kau samakan wajahku dengan kacang kedelai dan daging anjing?"

"Pokoknya kalau mau wajahmu pulih kembali atau tidak?" tanya Siau Po kesal. Dia mengambil sepotong ham kemudian disodorkannya ke depan mulut si nona. Si nona tidak berani menolak lagi. Pertama karena dia takut akan digoda lagi oleh Siau Po, kedua dia juga melihat bocah itu tidak menyayangkan keempat butir mutiaranya yang mahal untuk racikan obat pemulih wajahnya. Karena itu di membuka mulutnya dan mengunyah daging ham itu.

"Adik manis, ini baru anak pintar!" puji Siau Po gembira.

"A...ku bukan adikmu yang manis?"

"Kalau begitu, kau adalah ciciku yang baik!" goda Siau Po.

"Bukan juga!" sahut si nona cilik.

"Kalau begitu, kau adalah ibuku yang kusayangi!" kata Siau Po. Si nona cilik jadi geli sehingga tertawa.

"Mana... bisa aku menjadi ibu...." Sejak dibawa oleh si Cian sampai sekarang, baru sekali ini Siau Po mendengar suara tawa si non cilik itu. Sayang wajahnya tertutup racikan obat sehingga tidak dapat dilihat bagaimana bentuk bibirnya yang sedang tersenyum, hanya suaranya yang merdu seperti keliningan di pagi hari.

Siau Po menyebutnya ibu yang kusayangi, sebetulnya dia mengejek nona itu sebagai perempuan pelesiran. Tapi mendengar suara tawanya yang begitu polos Siau Po merasa agak menyesal juga. Dia berpikir dalam hati, "Aih! Masa bodoh! Jadi pelacur juga bukan tidak baik. Mungkin uang yang dihasilkan ibu jauh lebih banyak dari ibunya yang kawin dengan segala manusia kayu!"

Dia mengambil lagi beberapa potong ham lalu disuapkannya lagi ke mulut nona cilik itu.

"Kalau kau berjanji tidak melarikan diri, aku akan membebaskan totokan di tanganmu," katanya kemudian.

"Untuk apa aku melarikan diri? Lagipula kau sudah mengukir seekor kura-kura di wajahku, sebelum pulih kembali aku tidak berani keluar di jalan raya!" Diam-diam Siau Po berpikir dalam hatinya.

"Kalau nanti kau tahu di wajahmu tidak ada ukiran kura-kura, tentu kau akan melarikan diri, sedangkan si Cian tidak mengatakan kapan dia akan menjemputmu Aku menyembunyikan seorang nona asing di dalam istana, Kalau sampai ketahuan, celakalah aku! Apa yang harus kulakukan?" Ketika pikirannya melayang-layang, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu, Kemudian

ada seseorang yang berkata.

"Kui kongkong, hambamu adalah pesuruh dari Kong cin-ong! Hamba datang karena ada urusan penting!"

"Baik!" sahut Siau Po. Kemudian dia berkata kepada si nona cilik dengan nada direndahkan, "Ada orang! jangan bersuara! Tahukah kau tempat apa ini?" Si nona menggelengkan kepalanya.

"Kalau aku beritahukan kepadamu, mungkin kau bisa melompat bangun saking terkejutnya!" kata Siau Po.

"Di sini, setiap orang berniat mencelakakan dirimu, Hanya aku seorang yang iba melihat nasibmu, Karenanya aku bersedia menampung kau di sini, tapi kalau kau sampai kepergok, hm...!" Siau Po mengasah otak memikirkan kata-kata yang bisa menggertak si nona cilik ini. Sesaat kemudian dia baru berkata lagi.

"Kalau kau sampai kepergok, kau akan ditelanjangi, Setelah itu kau akan dirangket sehingga kau merasa sakit yang tidak terkirakan!" Si nona cilik benar-benar ketakutan. Wajahnya pucat pasi seketika, Diam-diam Siau Po merasa senang, Kemudian dia membuka pintu dan berjalan keluar. Orang itu juga thay-kam, Usianya kuran lebih tiga puluh tahun. Dia segera berkata.

"Ongya kami mengatakan bahwa sudah lama beliau tidak bertemu dengan kongkong, Ong-ya merasa rindu sekali, Karena itu, sengaja hari ini ong-ya mengundang kongkong datang untuk menonton pertunjukan sekaligus minum arak." Orang itu membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Mendengar dia diundang untuk menonton pertunjukan, hati Siau Po senang sekali. Tetapi mengingat bahwa di kamarnya tersembunyi seorang dari keluarga Bhok, hatinya menjadi ragu, Bagaimana kalau jejak nona itu ketahuan?

Melihat Siau Po agak bimbang, thay-kam itu berkata kembali.

"Ongya berpesan bahwa bagaimana pun kongkong harus berhasil diundang datang, karena pertunjukan hari ini ramai sekali, Juga ada berbagai jenis perjudian!" Hati Siau Po semakin tertarik mendengar adanya perjudian Sejak berkenalan dengan Sri Baginda, dia tidak pernah berjudi lagi dengan kawan-kawannya. Mereka tidak berani datang ke istana, Dan sekarang merupakan kesempatan baik baginya untuk meraih keuntungan. Saking gembiranya dia jadi lupa tentang si nona cilik yang disembunyikan dalam kamarnya.

"Baiklah!" sahutnya kemudian "Tunggu sebentar Nanti aku akan ikut denganmu!"

Bagian 16

Siau Po kembali ke dalam kamar. Setelah itu dia mengangkat tubuh si nona untuk direbahkan di atas tempat tidur. Dia mengikat kaki dan tangan gadis cilik itu kemudian ditutupnya dengan sehelai selimut. Nona itu menatapnya dengan perasaan bingung,

Siau Po berkata.

"Aku ada urusan sedikit Karena itu aku harus keluar sebentar saja aku sudah kembali lagi!" Nona itu tidak memberikan komentar. Matanya memperhatikan thay-kam gadungan itu lekat-lekat, Siau Po segera menambahkan, "Mutiaranya masih kurang, Aku harus membelinya lagi, Dengan demikian aku bisa memakaikannya padamu dan kau akan menjadi sepuluh kail lipat lebih cantik dari sebelumnya!"

"Jangan... pergi," kata si nona cilik yang percaya dengan kata-katanya Siau Po.

"Harganya mahal sekali!"

"Tidak apa-apa!" sahut Siau Po.

"Aku mempunyai banyak uang, Aku ingin membuat kau menjadi luar biasa cantik sehingga rembulan maupun bunga di taman merasa malu melihatmu. Apa artinya menghamburkan uang beberapa ribu tail?"

"Aku... di sini sendirian Aku... takut!" kata si nona pula. Sebenarnya Siau Po merasa iba melihat tampang si nona cilik yang benar-benar ketakutan. Hampir saja dia membatalkan kepergiannya, Tapi membayangkan perjudian yang digemarinya, terpaksa dia mengeraskan hati, Dia segera menyuapkan ikan ke dalam mulut nona itu.

"Kau makanlah!" katanya.

"Hati-hati! jangan sampai berjatuhan!" Si nona cilik ingin berbicara, tapi suaranya tidak terdengar jelas karena tersumpal ikan.

"Kau... ja...ngan... pergi!" Siau Po tetap meninggalkan si nona cilik dalam kamarnya, Dia membawa sejumlah uang kemudian mengunci pintu kamarnya dari luar dan mengikuti thay-kam tadi. Di depan istana Kong cin ong sudah berbaris dua deretan siwi, pasukan pengawal si raja muda. seragamnya rapi serta mewah, selanjutnya ada golok, juga pedang, Tampang mereka gagah, Tampaknya barisan itu lebih rapi daripada ketika dia datang untuk pertama kalinya. Kemungkinan penjagaan lebih ketat setelah penyerbuan orang-oran dari Tian-te hwe. Baru Siau Po melangkah di ambang pintu, Kong Cin ong sendiri sudah keluar menyambutnya. Dia langsung merangkul Siau Po berkata.

"Oh, saudara Kui. Sudah beberapa hari kita tidak bertemu, Kau tampak semakin tinggi dan tampan!"

"Aih! Ongya hanya memujiku saja!" sahut Siau Po.

"Bagaimana kabar Ongya sendiri?"

"Terima kasih atas perhatianmu Aku baik-baik saja," sahut si pangeran tertawa lebar.

"Kau jarang datang ke rumahku, Kalau sering melihat kau, hatiku tentu senang sekali. Tapi jarang melihat saudara, hatiku menjadi gundah!" Siau Po tertawa.

"itu tandanya ong-ya mengharap aku dapat sering-sering kemari, sebetulnya aku tidak berani mengharapkan hal ini!"

"Nah, kau harus ingat janjimu sendiri, Sebetulnya sudah beberapa kali aku meminjam saudara dari Sri Baginda agar kita dapat bersenang-senang selama beberapa hari. Tapi aku khawatir Sri Baginda tidak akan mengijinkannya walaupun untuk sehari saja."

Selesai berkata dia menggandeng Siau Po dan mendampinginya masuk ke ruangan dalam. Hati Siau Po senang sekali, Meskipun dalam istana dia juga sering dihormati, tapi biar bagaimana kedudukannya tetap seorang thay-kam, sedangkan di sini dia dianggap saudara oleh seorang pangeran, bayangkan saja! Sesampainya di ruangan dalam, dia disambut lagi oleh dua orang. Yang pertama adalah To Lung, kepala siwi yang baru diangkat menggantikan orangnya Go Pay yang sudah digeser dan ditangkap, Yang kedua adalah saudara angkatnya Sou Ngo-tu. Orang itu langsung melompat bangun dari tempat duduknya dan memegang tangan Siau Po erat-erat.

"Mendengar ong-ya mengundangmu kemari, aku juga langsung datang, Dengan demikian kita bisa bersenang-senang sama-sama!" katanya sambil tertawa terbahak-bahak. Berempat mereka melangkah ke dalam ruangan Segera terdengar musik penyambutan Siau Po merasa bangga sekali. Dia belum pernah mendapat penyambutan yang demikian meriah, Untuk sesaat dia menjadi gugup. sesampainya di ruangan dalam, sudah ada dua puluhan perwira dan pembesar yang sedang menantikannya. Tepat pada saat itu, seorang thay-kam melangkah masuk dengan tergesa-gesa.

"Ong-ya, putra Peng si ong tiba!" katanya melaporkan. Kongcin ong tertawa lebar.

"Bagus! Saudara Kui, kau tunggu sebentar di sini, Aku akan menyambut kedatangan tamu!"

"Putra Pengsi ong?" pikir Siau Po dalam hatinya, "Bukankah dia putera Go Sam-kui? Untuk apa dia datang ke sini?" So Ngu-tu segera berbisik di telinga Siau Po.

"Hari ini kau akan mendapat keuntungan besar!" Siau Po tertegun.

"Keuntungan besar apa?"

"Go-Sam-kui menitahkan puteranya datang ke Kotaraja untuk mengantarkan upeti. Karena itu, semua pembesar dan para menteri pasti akan mendapat bagian!" bisik So Ngu-tu kembali.

"0h. puteranya Go Sam-kui datang ke kotaraja untuk mengantar upeti? Tapi, aku kan bukan menteri atau pembesar negeri?" tanya Siau Po.

"Kau terhitung seorang pembesar negeri dalam istana!" kata So Ngu-tu.

"Kau malah lebih penting daripada para menteri. Puteranya Go Sam-kui itu, namanya Go Eng-him, otaknya cerdas sekali dan banyak urusan yang diketahui!" So Ngu-tu menghentikan kata-katanya sejenak. Dia kemudian berbisik lebih perlahan lagi, "Nanti kalau Go Eng-him memberikan hadiah kepadamu, biar nilainya besar atau kecil, jangan kau perlihatkan tampang gembira. Kau boleh berbicara dengannya secara datar saja. Begini: Oh, Sicu datang dari tempat yang jauh, tentunya letih dalam perjalanan, bukan?" Kalau dia melihat tampangmu senang, selanjutnya pasti tidak ada apa apa lagi, sebaliknya kalau sikapmu dingin, dia pasti menganggap hadiahnya terlalu sedikit dan esok pasti dia akan menambahkan lebih banyak lagi!" Siau Po tertawa.

"Kiranya ajaran toako ini ajaran memeras orang!" katanya. So Ngu-tu juga tertawa.

"Bodoh namanya kalau tidak bisa menggenggam kesempatan baik-baik. Bukankah ayahnya menguasai wilayah Inlam, Kui ciu dan lain-lainnya juga? Coba bayangkan berapa banyak uang rakyat yang sudah masuk ke kantong orang itu! Kalau kita tidak membantunya menghamburkan ke satu kita tidak menghormati ayahnya, Kedua, kita tidak menghargai jerih payah rakyat Inlam dan Kui ciu serta sekitarnya!" Siau Po tertawa geli mendengar kata-katanya.

"Kau benar!" sahutnya kemudian. Tepat pada saat itu, Kong cin ong sudah kembali lagi bersama Go Eng him. Puteranya Peng si ong itu berusia sekitar dua puluh lima tahunan Tampangnya gagah dan wajahnya tampan, Langkahnya tegap, Sungguh pantas menjadi putera seorang jenderal besar. Mula-mula Kong cin ong menarik tangan Siaui Po kemudian berkata kepada tamunya.

"Siau tianhe, inilah Kui kongkong, kongkong yang paling disayangi oleh Sri Baginda, Ketika terjadinya penangkapan atas diri Go Pay di kamar tulis raja, jasa kongkong inilah yang paling besar!" Siau tianhe adalah panggilan untuk pangeran muda, Kong cin ong adalah seorang pangeran, tapi Go Sam-kui adalah seorang panglima besar yang dianugerahi jabatan sebagai raja muda di beberapa propinsi. Karena itu puteranya harus dipanggil Tianhe.

Go Sam-Kui mempunyai banyak mata-mata di kotaraja. Sedikit gerakan saja yang terjadi di kota Peking, pasti segera ada yang melaporkan kepadanya. Karena itu, baik dia sendiri ataupun puteranya, Go Eng-him juga sudah mendengar prihal tertangkapnya Go Pay oleh beberapa orang thay-kam cilik.

Dan ada satu di antaranya yakni Siau Kui cu yang mempunyai jasa besar, itulah sebabnya, sebelum datang ke Kotaraja sebagai utusan, kedua ayah dan anak itu sudah merundingkan tindakan apa saja yang harus dilakukan Go Eng-him selama di Kotaraja.

Biar bagaimana, Go Sam-kui merasa segan terhadap kaisar Kong Hi yang meskipun masih muda namun cerdas sekali itu. otomatis dia ingin menggunakan segala macam cara untuk mempertahankan kedudukannya yang tinggi. Karena itu pula, Go Sam-kui mengirim puteranya ke kotaraja untuk menyelidiki gerak-gerik kaisar Kong Hi dan kaki tangannya, Eng Him harus mengetahui segala sesuatu yang dapat memperkokoh kedudukan mereka. Bukan main senangnya hati Go Eng-him yang datang berkunjung ke Kong cin ong dan mendapat kesempatan bertemu dengan kongkong kesayangan Sri Baginda itu, Dia langsung mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Siau Po erat-erat dan berkata: "Kui kongkong, aku... yang rendah selama di Inlam sudah sering mendengar nama besarmu, Kami ayah dan anak sungguh mengagumi Sri Baginda dan kongkong, Usia kongkong masih muda sekali, tapi sudah sanggup menanam jasa besar bagi negara. Karena itu ayahku juga menitipkan sedikit hadiah bagi kongkong, Tapi ada peraturan bahwa pembesar di luar kota dilarang berhubungan erat dengan menteri-menteri ataupun orang penting istana, Meskipun ada niat dalam hati, tapi aku tidak berani mengajukan permohonan tersebut, maka sungguh kebetulan kita dapat bertemu di istana Kongcin ini, Aku benar-benar gembira sekali!" Puas hati Siau Po mendengar kata-kata pangeran itu. Ternyata dia pandai bicara, Dia juga merasa bangga mengetahui Go Sam-kui yang ada pada jarak ribuan li juga telah mendengar namanya, tetapi pada dasarnya Siau Po memang cerdik, apalagi dia sudah mendapat petunjuk dari So-Ngu-tu. Karena itu dia sengaja bersikap tawar.

"Kami yang menjadi budak hanya melakukan perintah Sri Baginda, Yang penting, pertama, jangan takut menderita, Kedua, jangan takut mati, Mana ada kebiasaan atau jasa apa-apa? Siau ong-ya hanya memuji saja!"

Di samping itu, diam-diam di berpikir dalam hatinya, "So toako benar-benar dapat menyimak urusan ibarat dewa. Begitu sampai, kunyuk kecil itu langsung saja menyebut urusan hadiah!"

Go Eng-him adalah tamu dari jauh, Dia juga putera sulung Peng si ong. Karenanya Kongcin ong mempersilahkan dia duduk di kursi pertama, sedangkan Siau Po dipersilahkan menduduki kursi kedua. Di dalam ruangan itu hadir banyak perwira serta pembesar lainnya, Meskipun Siau Po brandal, tapi dia tidak berani duduk di kursi kedua itu. Berulang kali dia menolak dengan halus, Kongcin ong tertawa lebar "Saudara Kui, kau adalah tangan kanan Sri Baginda, Semua orang menghormatimu juga berarti menunjukkan kesetiaan kepada Raja kita, Harap kau tidak sungkan-sungkan lagi!"

Selesai berkata dia menekan bahu bocah itu dan memaksanya duduk, Setelah itu para perwira lainnya juga ikut mengambil tempat duduk masing-masing, sedangkan So Ngu-tu tentu memilih duduk di samping Siau Po. Diam-diam Siau Po berpikir dalam hati. "Neneknya! Ketika di Li cun-wan, sering ibu menyuruh aku berdiri di belakangnya dan secara mengumpat menyodorkan makanan kepadaku, itu saja aku sering diusir oleh para putera hartawan yang lagaknya setinggi langit. Pada waktu itu, aku hanya berpikir kapan bisa menjadi orang kaya agar para putera hartawan dan hidung belang itu menjadi iri melihat aku dilayani oleh seluruh wanita penghibur dari Li Cun-wan, Tidak tahunya hari ini aku duduk di sini ditemani Kongci ong, pangeran serta menteri dan pembesar negeri, sayangnya para kutu busuk di Yang-ciu tidak melihat pamorku hari ini!" Para hadirin duduk menikmati arak, Ke enam belas pengawal yang mengiringi Go Eng-him berbaris di depan jendela, mata mereka sekali-sekali melirik ke arah para pelayan yang mengantarkan hidangan ke dalam ruangan.

Siau Po memperhatikan semua itu secara diam-diam. Otaknya yang cerdas bekerja dengan cepat.

"Hm! Keenam belas orang itu pasti jago-jago yang ditugaskan melindungi Siau ong-ya ini. Kemungkinan besar orang-orang dari Bhok onghu juga sudah menantikan di luar istana Kong cin ong, Paling baik apabila terjadi perkelahian sengit di antara kedua belah pihak, ingin aku lihat, apakah pihak Go Sam-kui yang menang atau pihak Bhok onghu yang berjaya?" Perutnya terasa panas mengingat perlakuan yang diterimanya dari Mau Sip-pat gara-gara orang dari Bhok onghu yang mereka temui dalam perjalanan di Kangouw, Dia berharap kedua belah pihak akan sama-sama terluka parah dalam perkelahian. Kongcin ong sendiri juga memperhatikan gerak gerik keenam belas pengawal Go Eng-him. Dia tahu mereka takut tuan mudanya diracuni atau dicelaka. Tapi sebagai tuan rumah yang baik, dia juga tidak dapat mengatakan apa-apa yang dapat membuat tamunya tersinggung. Si kepala siwi, To Lung mempunyai watak yang polos dan suka berterus-terang, Setelah meneguk beberapa cawan arak, terdengar dia berkata.

"Siau ong-ya, orang-orang yang mengiringimu itu pasti tergolong dari perwira pilihan yang mempunyai kepandaian tinggi, bukan?" Go Eng-him tersenyum.

"Memangnya mereka punya kebisaan apa? Mereka tidak lebih dari para prajurit yang biasa mengikuti aku kemana-mana, Mereka semua tahu watakku yang buruk, Kalau ada mereka di samping, seandainya aku mabuk, kan ada orang yang menggotong!" To Lung ikut tertawa.

"Siau ong-ya benar-benar pandai merendah. Coba lihat kedua orang itu. Keningnya terang bercahaya, hal ini menunjukkan tenaga dalamnya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Dan dua orang yang lainnya, mempunyai wajah yang kencang dan berminyak, menandakan dia seorang gwakang (tenaga luar) yang sudah tinggi sekali kepandaiannya. sedangkan sisanya, coba suruh mereka buka topi, pasti kepala mereka botak semua!" Go Eng-him tidak memberikan komentar, namun bibirnya tersenyum, sedangkan So Ngo-tu langsung tertawa dan berkata: "Tadinya aku mengira Ciangkun hanya pandai maju ke medan perang sehingga selalu merebut kemenangan Ternyata Ciangkun juga pandai melihat wajah orang seperti peramal."

To Lung tertawa.

"So tayjin tidak tahu, sudah lama Peng-si ong menetap di San-hay kwan. Banyak perwiranya yang berasal dari perguruan Kim-teng bun kota Kimciu, sedangkan umumnya murid-murid Kim-teng bun yang ilmunya sudah mencapai taraf yang tinggi, wajahnya selalu berminyak bahkan kepalanya botak." Kong Cin-ong tertarik mendengar keterangan itu. Dia tersenyum.

"Bolehkah tianhe menyuruh mereka membuka topi supaya kita bisa membuktikan kata-katanya Te tok (jenderal yang menjadi kepala siwi) benar atau tidak?" tanyanya.

"Mata Te tok sungguh tajam, Kata-katanya memang tepat," sahut Eng Him.

"Beberapa pengiringku ini memang orang-orang dari perguruan Kim-ten bun, hanya saja kepandaian mereka belum sampai taraf kesempurnaan sehingga kepalanya tidak seratus persen botak, masih ada sisa rambutnya sedikit, Kalau menyuruh mereka membuka topi akhirnya hanya menjadi bahan tertawaan saja." Mendengar keterangan itu, para hadirin tertawa, Karena si pangeran sudah menolak secara halus, tentu tidak enak bagi mereka apabila maksakan kehendaknya. Justru di saat itu Siau Po memperhatikan para pengiring putera Peng-si ong itu, Di dalam hatinya dia berkata: "Entah ada berapa helai rambut di atas kepala orang yang tinggi besar itu? Dan yang tubuhnya kurus kering mungkin kalah lihay, Pasti rambutnya masih cukup banyak." Dengan berpikir demikian, thay-kam gadungan itu teringat sesuatu hal, sehingga tanpa disadari dia tertawa. Kongcin ong merasa heran.

"Mengapa kau tertawa, saudara Kui?" tanyanya, "Coba kau terangkan agar para tamu sekalian bisa mendengar dan ikut mengetahui apanya yang lucu!"

"Aku sedang berpikir bahwa para suhu dari Kim-teng bun itu pasti mempunyai sifat yang penyabar sekali," sahut Siau Po, "Mereka pasti jarang berkelahi dan malah mungkin tidak bisa melakukannya!" Cing ong tidak mengerti maksudnya.

"Mengapa kau bisa mempunyai pendapat seperti itu, saudara Kui?" Siau Po tertawa kembali.

"Sebab kalau mereka pemarah, tentu mata mereka akan mendelik dan menantang lawannya untuk menghitung jumlah rambut mereka, Di samping itu, mereka juga akan menyuruh lawan mereka membuka topi serta akhirnya bertanding rambut siapa yang lebih banyak, dialah yang kalah. sedangkan rambutnya yang lebih sedikit, dialah yang menang!"

Kata-katanya Siau Po membuat orang-orang dalam ruangan itu merasa geli dan tertawa. ucapannya dianggap lucu sekali.  Terdengar Siau Po berkata kembali: "Aku yakin para suhu dari Kim-teng bun itu selalu membawa suipoa (papan yang berbiji-biji dan digunakan sebagai alat hitung pada jaman itu), Ke mana-mana, Sebab tanpa alat itu, tentu sulit menghitung rambut."

Lagi-lagi para hadirin tertawa.

"Kong ong-ya." Kemudian terdengar To Lung berkata, "Setelah tempo hari sisa antek-anteknya Go Pay mengacau di istana ini, menurut kabar, ong-ya banyak mengundang tokoh-tokoh lihay. Benarkah?" Kongcin ong memilin kumisnya sembari menjawab, wajahnya menunjukkan perasaannya yang bangga.

"Tidak mudah mengundang tokoh-tokoh yang sudah punya nama dan berkepandaian tinggi, Hanya beberapa gelintir pesilat-pesilat kelas dua dan kelas tiga saja," sahutnya merendah. Kemudian baru melanjutkan kembali "Tapi peruntunganku memang cukup bagus,

Selain gaji yang tinggi, aku juga membantu mereka menyelesaikan beberapa persoalan, karena itu mereka sudi datang kemari memberi muka kepadaku untuk menggebah para pemberontak."

"Bolehkah tayjin memberitahu, kiat apa yang digunakan untuk mengundang para jago ini?" tanya To Lung.

"Kepandaian Te tok sendiri sudah terhitung jago kelas satu. Untuk apalagi mengundang orang luar?" kata Kong Cin-ong tersenyum.

"Terima kasih atas pujian ong-ya," sahut To Lung, "Menurut selentingan di luaran, ilmu memanah ong-ya tinggi sekali Tempo hari ketika para pemberontak datang mengacau, katanya ong-ya telah menggunakan panah membidik mati dua puluh orang lebih anggota pemberontak itu." Kongcin-ong hanya tersenyum, Dia tidak memberikan komentar Kenyataannya, tempo hari dia memang memanah mati anggota Tian-te-hwe, tetapi jumlahnya hanya dua orang. Cerita di luaran hanya dtbesar-besarkan saja.

"Saat itu aku memang menyaksikan dengan mata kepala sendiri," kata Siau Po ikut berbicara, "Aku merasa tiba-tiba deru angin berkesiur, Kemudian di depanku terdengar suara "Aduh! Aduh!" dan di belakang ada beberapa orang yang memuji, panah bagus!"

"bidikan hebat!" Go Eng-him segera mengangkat cawan araknya tinggi-tinggi.

"Hebat sekali ilmu memanah Cin ong! Boan-seng kagum sekali. Dengan ini Boanseng ingin mengulanginya!" Para hadirin ikut mengangkat cangkirnya dan meneguk arak bersamaan, Kongcin ong senang sekali, Diam-diam dia berpikir dalam hati: "Siau Kui cu ini sungguh pandai mengikuti perkembangan. Tidak heran Sri Baginda begitu menyayanginya!"

"Ongya," kata To Lung kembali "Ongya telah mempekerjakan begitu banyak busu, Bagaimana kalau mereka itu diundang keluar agar kita dapat berkenalan satu dengan lainnya?" Kongcin ong suka membanggakan diri, ia langsung menerima baik permintaan Kiubun Te tok itu. Segera dia menurunkan perintah kepada seorang bawahannya.

"Lekas siapkan dua buah meja perjamuan di sebelah sana dan undang Sin Ciau siangjin serta yang lainnya hadir di sini!" Perintah itu langsung dilaksanakan. Pelayan-pelayan bekerja dengan gesit, sebentar saja meja perjamuan sudah tersedia, Di lain saat muncul dua puluh orang lebih busu yang dipimpin seseorang berjubah merah, Tubuhnya tinggi besar dan gemuk, Dia seorang biku. Kong Cing-ong bangun dari tempat duduknya.

"Para sahabat sekalian, mari kita duduk dan minum bersama!" Melihat tuan rumah berdiri, yang lainnya pada ikut bangkit untuk menyambut rombongan yang baru masuk itu.

"Terima kasih! Terima kasih!" kata si biku yang merangkapkan sepasang tangannya sambil tertawa.

"Tayjin sekalian, silahkan duduk!" Suara si biku nyaring dan lantang. Menandakan tenaga dalamnya sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Rekan-rekannya yang lain ikut memberi hormat, mereka juga mengucapkan terima kasih kemudian mengambil tempat duduk di dua meja yang baru selesai diatur itu. To Lung paling suka ilmu silat, wataknya juga polos dan suka terus-terang, Tanpa menunggu para busu itu meneguk kering cawannya masing-masing, dia sudah berkata: "Ongya, menurut penglihatan siau-ciang, para busu itu gagah-gagah, Kepandaian mereka pasti tinggi sekali, Bolehkah ong-ya menyuruh mereka mempertunjukkan sedikit kelihayannya? Kebetulan disini ada Go sicu dan Kui kongkong, mereka tentu ingin melihat kepandaian orang-orang ong-ya!" Kongcin ong tertawa.

"Tuan-tuan yang terhormat," katanya pada rombongan Sin Ciau siangjin "Banyak tamu agung di sini ingin menyaksikan kepandaian kalian. Bolehkah kalian mempertunjukkanya sedikit?" Seorang busu setengah tua yang duduk di sebelah kiri, langsung bangun. Dia berkata dengan suara lantang: "Aku kira ong-ya menghargai kepandaian orang sehingga mengundang aku datang kemari, Siapa sangka kami dipandang sebagai orang kangouw yang suka menjual silat di depan umum. Kalau para hadirin sekalian ingin menonton pertunjukan topeng monyet, mengapa tuan-tuan tidak pergi ke Tiankio saja? Maaf, ijinkanlah aku yang rendah memohon diri!" Selesai berkata, orang itu mengangkat tangan kirinya dan terdengarlah suara "Plok!", hancurlah bagian belakang kursinya, kemudian dia melangkah lebar-lebar keluar dari ruangan pesta itu. Melihat keadaan itu, para hadirin jadi tertegun Seorang laki-laki tua yang bertubuh kurus bangkit dari tempat duduknya dan mencegah busu setengah tua yang hendak berlalu itu dengan berkata "Long suhu, kata-katamu itu tidak memakai aturan. Ongya sangat menghargai kepandaian kita. Ongya ingin menyaksikan kepandaian kita, sebenarnyalah kita menyambut dengan baik. Andaika Long suhu tidak setuju, tidak mungkin ong-ya memaksamu, Tapi kenapa kau harus menghancurkan kursi di tempat pesta ini? Seumpamanya ong-ya sangat bijaksana dan tidak menyalahkan kau, tapi kami semua, di mana kami harus meletakkan muka ini?" Orang she Long itu langsung tertawa dingin. "Setiap orang mempunyai pendirian tersendiri, To suhu, kalau kau suka menunjukkan kepandaianmu, silahkan, Tapi, maaf, aku tidak dapat menemani kalian lebih lama!" katanya sambil berjalan pula. Terdengar orang tua she To berkata: "Kalau kau memang hendak pergi juga, seharusnya kau memberi hormat kepada ongya dengan menyembah dan mengangguk Apabila ongya sudah menyatakan

persetujuannya, baru kau boleh meninggalkan tempat ini!" Kembali orang she Long itu tertawa dingin.

"Aku toh tidak menjual diriku menjadi budak onghu!" katanya sengit "Bukankah sepasang kakiku ini menempel di tubuhku sendiri? Kalau aku ingin pergi, aku bebas untuk berjalan. Siapa yang berani melarang aku?" Selesai berkata, dia berjalan lagi. Tampaknya si orang tua she To masih tidak mau mengalah, Ketika melihat orang she Long itu hampir menubruknya, dia langsung mencekal lengan kiri orang itu sambil membentak dengan suara keras.

"Tidak bisa tidak! Aku memang hendak melarangmu!" Orang she Long ingin menghindarkan diri dari cekalan orang she To. Tubuhnya berputar dan tinjunya meluncur ke pinggang orang she To, Dan lawannya mendahuluinya dengan mengirimkan sebuah tendangan ke arah dada. Long suhu ternyata lincah sekali, Dia mengangkat tangan kanannya dan menyambut tendangan itu. Karena gerakannya yang cepat, dia berhasil menyanggah bagian dalam lutut lawannya kemudian dia mengerahkan tenaganya untuk mendorong dari bawah ke atas. Orang she To tidak dapat melepaskan diri dari cekalan itu. Tubuhnya kena dipentalkan ke belakang. Namun dia juga cukup gesit, dia sempat membuang diri sehingga tidak sampai terjatuh. Namun dia sudah kalah angin sehingga wajahnya menjadi merah padam saking malunya. Orang she Long juga tidak menunda waktu, dia segera menghambur ke pintu ruangan. Tiba-tiba muncullah rintangan yang lain, seseorang yang bertubuh kurus tahu-tahu sudah menghadang di-depannya. Orang itu tidak menyerang, hanya merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat seraya berkata: "Long toako, harap kau kembali ke dalam ruangan!" Orang she Long itu sedang menghambur ke depan, sulit baginya untuk mengendalikan gerakan tubuhnya, Namun si orang bertubuh kurus juga tidak mau menyingkir Karena itu keduanya jadi beradu, Lebih tepat lagi bila mengatakan orang she Long itu menubruk tubuh si kurus. Kesudahannya sungguh luar biasa, Bukannya orang yang bertubuh kurus itu terdorong atau terpental ke belakang. Namun malah si orang she Long yang tersurut mundur sejauh tiga langkah. Tubuhnya terhuyung-huyung, sulit baginya untuk menjaga keseimbangan. Dia limbung ke kanan, bukannya berhenti atau berdiam diri, dia terus berlari menuju jendela, jelas dia tidak sudi berdiam lebih lama dalam ruangan itu. Si kurus itu ternyata hebat sekali, Tahu-tahu dia sudah ada di depan jendela dan menghadang kepergian si orang she Long. Busu setengah baya itu sadar bahwa lawannya lihay sekali, Benturan tadi membuatnya insaf dan dia tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Dia menahan gerakan tubuhnya sedemikian rupa sehingga ketika luncurannya terhenti jarak mereka hanya tinggal dua dim saja. Si kurus berdiam diri, sepasang matanya menatap si orang she Long tanpa berkedip sekali pun. Orang she Long itu tetap berusaha mencapai luar ruangan agar dapat melarikan diri, namun si kurus tampaknya tidak sudi memberinya kesempatan sama sekali. Ketika si orang she Long mengirimkan tinjunya ke depan, dia hanya mengangkat tangannya dan mendorong dengan asal-asalan, namun akibatnya sekali lagi si orang she Long terhuyung mundur ke belakang.

"Hebat!" seru beberapa tamu yang memuji kepandaian si kurus. Si Long berdiam diri, wajahnya pucat dan merah secara bergantian, dia merasa terkejut juga bingung. Tampaknya sulit baginya untuk keluar dari istana tersebut, akhirnya terpaksa dia berdiam diri saja. Si orang kurus memberi hormat kepadanya.

"Saudara Long, silahkan duduk! Ongya mengharapkan kita menunjukkan sedikit kepandaian bukankah kita sudah melakukannya?" Kali ini, selesai berkata, si kurus kembali ke tempat duduknya semula. Dengan perasaan malu, si orang she Long terpaksa kembali ke tempat duduknya dengan kepala tertunduk Dia masih merasa kesal juga gundah. Para hadirin bersorak menyaksikan peristiwa itu, yang memang merupakan sebuah pertunjukan. Kongcin ong sendiri sebetulnya merasa tidak enak hati, karena orang she Long menentangnya di depan umum, tapi perbuatan si kurus juga mengembalikan pamornya. Karena itu dia segera menitahkan pelayannya mengambil uang sebesar lima puluh tail perak.

"llmu silat suhu itu hebat sekali." kata Go Eng-him.

"Siapakah namanya? Mudah saja dia menghadang kepergian orang." Pangeran itu tidak langsung menjawab, Dia juga tidak kenal siapa adanya orang bertubuh kurus itu. Dia juga tidak tahu kapan orang itu datang. Tapi tentunya tidak baik baginya untuk mengatakan terus-terang.

"Siau ong sungguh pelupa, tidak ingat lagi siapa namanya!" sahut Kongcin-ong asal-asalan, Pelayan yang disuruh tadi sudah kembali lagi dalam waktu singkat, dia membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat uang goanpo masing-masing senilai dua puluh lima tail. Kong Cin-ong tertawa sambil berkata: "Para busu telah memperlihatkan kepandaiannya. Karena itu harus ada orang yang pertama-tama menerima hadiah, Sahabat, silahkan kemari, Ambillah sepotong goanpo ini!" Yang dipanggil adalah orang yang bertubuh kurus tadi. Dia segera menghampiri si pangeran dan menyambut sepotong goanpo yang disodorkan kepadanya.

"Sahabat," panggil Siau Po. "Siapakah she dan namamu yang mulia?"

"Aku yang rendah bernama Ci Goan-kay," sahut orang itu, "Terima kasih tuan besar telah sudi menanyakannya!"

"Memang lihay kepandaian busu Ongya," kata To Lung kemudian "Sekarang aku ingin sekali menyaksikan kepandaian para pengawal Siau tianhe Siau ong-ya, tolong tunjuk salah seorang pengawalmu untuk bermain-main sejenak dengan Ci suhu ini!" Go Eng-him tidak segera menjawab, tampaknya dia sedang merenung. Melihat keadaan itu, To Lung berkata kembali: "lni hanya pertunjukan saja, batasnya saling menowel. Juga tidak perlu hadiah segala macam. Dengan demikian persahabatan kita tidak akan terganggu. Siapa yang menang atau kalah tidak menjadi masalah!"

"Pikiran Te tok baik sekali!" Kongcing ong yang suka keramaian ikut berbicara, Tapi sebaiknya para busu semua mendapat sesuatu, Aku akan menghadiahkan goanpo bernilai besar pada yang menang namun yang kalah juga mendapat bagian, hanya nilainya lebih kecil sebagai tanda penghargaan, Kong Cin ong menoleh kepada pelayannya tadi, "Ambillah lagi sejumlah goanpo bernilai dua puluh lima tail." Pelayan tadi masuk ke dalam ruangan, tidak lama kemudian dia sudah keluar lagi dengan membawa dua nampan besar uang goanpo yang berkilauan.

"Pihak kami mengajukan Ci Goan-kay," kata Kongcin ong. "Busu manakah yang mula-mula akan mewakili pihak Peng-si ong?" Para hadirin senang mendengar kata-kata si tuan rumah, perhatian mereka segera beralih pada keenam belas orang yang mengawal kedatangan Go Eng-him. Mereka tahu, meskipun pertandingan ini hanya pertandingan persahabatan tetapi kedua pihak itu justru Kongcin ong dan Peng-si ong, Rata-rata mereka mengharap pihak tuan rumahlah yang akan meraih kemenangan. Di saat Go Eng-him masih memikirkan jalan keluar terbaik, salah seorang pengawalnya segera melangkah ke depan kemudian memberi hormat kepada pihak tuan rumah seraya berkata: "Harap ong-ya ketahui, ketika mengikuti sicu berangkat ke kotaraja, Kami telah dipesan untuk menjaga dan merawat sicu sebaik-baiknya, Peng Si-ong juga telah memesan berulang kali bahwa selama di kotaraja kami dilarang berbentrokan dengan siapa pun. Pesan beliau sama sekali tidak boleh dilanggar." Kongcin ong tertawa.

"Peng-si ong sungguh teliti dan waspada!" puji-nya, "Tapi ini bukan bentrokan, hanya pertandingan bermain-main, anggaplah kalian sedang berlatih. Apabila Peng-si ong sampai menanyakan katakan saja aku yang memintanya!" Orang itu menjura sekali lagi.

"Maaf, ong-ya," sahutnya, "Dengan sesungguhnya kami tidak berani menerima perintah ong-ya ini!" Kongcin ong menjadi kurang senang, hatinya mulai marah, diam-diam dia berpikir: "Kau selalu menyebut Peng-si ong, seakan-akan aku tidak dipandang sebelah mata olehmu! Mungkin perintah Sri Baginda sekalipun akan kau abaikan!" Saking sengitnya, dia segera berkata: "Tidak mungkin kalau kau akan diam saja apabila orang menghajarmu!" Orang itu menjura kembali.

"Sewaktu kami berada di Inlam, kami sudah mendengar bahwa semua pembesar negeri, tentara bahkan rakyat di kotaraja sangat tahu aturan. Kalau kita tidak melakukan kesalahan terhadap orang lain, tidak mungkin orang sengaja mencari perkara dengan kita!" Pengawal Go Eng-him itu bertubuh tinggi besar, tampaknya cerdik, suaranya tajam. seandainya Kongcin ong memaksakan kehendaknya, berarti dia tidak tahu aturan. Karenanya dia jadi mendongkol sekali, akhirnya dia menoleh kepada Sin Ciau siangjin sembari berkata: "Sin Ciau siangjin, Ci suhu, sahabat-sahabat dari Inlam itu tidak sudi memberi muka kepada kita, Karenanya kita juga tidak bisa berbuat apa-apa!" Mendengar kata-kata pangeran itu, Sin Ciau siangjin segera bangkit.

"Ongya," katanya, "Sahabat-sahabat dari Inlam itu justru ketakutan kalah, dengan demikian mereka akan kehilangan muka. Toh, tidak mungkin mereka mendiamkan saja apabila ada orang yang menyerang pada bagian tubuh mereka yang menbahayakan!" Begitu suaranya berhenti, biku itu langsung mencelat ke samping pengawalnya Go Eng-him itu kemudian tertawa lebar.

"Tenaga tangan aku, si biku biasa-biasa saja, dibandingkan orang she Long tadi, mungkin aku hanya menang satu tingkat Ongya, pinceng ingin merusak sebuah batu di tempat ong-ya ini. Apaka ong-ya akan berkecil hati karenanya?" Kongcin ong tahu, di antara orang-orang barunya, Sin Ciau siangjin terhitung yang paling lihay, sekarang mendengar kata-kata biku itu, dia tahu orang ingin menunjukkan kepandaiannya. Karena itu, dia langsung menganggukkan kepalanya, Hati-nya senang sekali.

"Silahkan, siangjin! Rusak sepotong batu saja tidak menjadi masalah!" katanya. Sin Ciau siangjin menganggukkan kepalanya, Tubuhnya membungkuk sedikit, tangannya terulur ke bawah menekan lantai, ketika dia mengangkat tangannya kembali Tangan itu sudah bertambah sepotong batu hijau berukuran satu kaki lebih. Batu itu bukan dipegangnya, tetapi menempel pada telapak tangannya sebagai bukti tenaga dalamnya hebat sekali!

"Bagus!" seru Siau Po yang disusul dengan tepukan tangan dan sorak memuji yang lainnya. Sin Ciau siangjin tersenyum, batu itu diangkat ke atas. Tenaga hisapannya pun buyar, namun sebelum batu itu sempat terjatuh ke lantai, Sin Ciau siangjin bergerak dengan cepat. Sepasang tangannya kembali menjepit batu itu kemudian ditekannya keras-keras sehingga batu itu menjadi hancur dan abunya jatuh di atas lantai. Kembali para hadirin bersorak, Sin Ciau siangjin segera menghampiri pengawalnya Go Eng-him yang berbicara tadi.

"Tuan, bolehkah aku mengetahui she dan nama tuan yang mulia?"

"Tenaga dalam siangjin besar dan mengagumkan," kata pengawal itu.

"Dengan demikian mataku yang rendah jadi terbuka, Aku hanya orang kecil dari tanah perbatasan Hanya seorang tidak ternama...." Sin Ciau siangjin tertawa.

"Meskipun orang liar dari tanah perbatasan tidak mungkin tanpa she atau nama, bukan?" Sepasang alis pengawal itu menjungkit ke atas. Hal ini membuktikan hatinya mulai marah, namun dalam sekejap mata wajahnya pulih kembali seperti tidak terjadi apapun dia menyahut: "Orang liar dari tanah perbatasan, seandainya punya nama pun tidak lebih dari A-mau atau A-ku (kucing atau si anjing) Karena itu, tidak ada gunanya meskipun taysu mengetahuinya!"

"Tuan, kau sungguh sabar sekali," kata Sin Ciau siangjin sambil tertawa, Hari ini Kong cing ong mengadakan pesta, tamu-tamunya banyak, 6 kota Peking, jarang ada pesta semeriah ini sekarang ongnya menyuruh kami mengadakan pertunjukan, maksudnya untuk menggembirakan para tamunya, Dengan demikian semuanya dapat merasa senang, Karena itu, kalau tuan tidak suka memberikan pelajaran, bukankah tuan mengangkat dirimu terlalu tinggi?"

"Aku yang rendah hanya pernah mempelajari beberapa jurus petani pedesaan yang kasar, mana mungkin aku sanggup menandingi Sin Ciau siangjin dari kuil Tiat-hud Si di kota Congciu? Kalau taysu tetap ingin bertanding, biarlah di sini juga aku yang rendah mengaku kalah dan silahkan taysu mengambil goanpo yang besar itu...." Setelah berkata orang itu memutar tubuhnya untuk mengundurkan diri.

"Tunggu dulu!" seru Sin Ciau siangjin, "Pokok-nya pinceng harus mencoba kepandaian tuan! Ke-dua tanganku akan bergerak dalam waktu yang bersamaan seperti memukul tambur Aku akan mengincar kedua pelipismu, silahkan tuan membalasnya!" Orang itu tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang di gelengkan. Sin Ciau siangjin membentak lantang, tiba-tiba tubuhnya seperti melar menjadi besar, Hal itu membuktikan bahwa dia sedang mengerahkan tenaga dalamnya, kemudian kedua tangannya bergerak menyambar ke arah kepala orang itu. Benar saja! Dia mengincar bagian pelipis seperti yang dikatakannya barusan. Para hadirin terkejut. Kepala orang itu pasti remuk apabila terkena hantaman pukulan Sin Ciau siangjin, sedangkan sebuah batu hijau saja sampai hancur lebur karenanya. Pengawalnya Go Eng-him sungguh luar biasa. Dia tetap berdiri tanpa bergeming sedikit pun. Apalagi menangkis atau menghindarkan diri. sikapnya lebih mirip sebuah patung pajangan. Sin Ciau siangjin sengaja menyerang agar orang itu terpaksa melayaninya, tetapi melihat orang hanya berdiam diri, terpaksa dia mengubah pikirannya. Tidak mungkin dia menyerang orang yang tidak melakukan perlawanan, apalagi orang itu bawahannya Peng-Si ong. Kalau orang itu sampai celaka, bagaimana dia harus bertanggung jawab? Bukankah perbuatannya bisa berarti mengajukan tantangan perang? Karena itu, dia menaikkan tangannya ke atas sehingga hanya ujung jubahnya saja yang mengenai kepala orang. Si pengawal tersenyum.

"Sungguh hebat tenaga dalam taysu!" Mata semua orang membelalak saking kagumnya, orangnya Peng-Si ong itu benar-benar tabah dan sabar. Karena itu, orang-orangnya mempunyai dugaan bahwa dia pasti bukan orang sembarangan. Kalau tadi dia sampai terhajar, bukankah dia akan mati konyol? Mengapa dia memandang nyawanya sendiri sedemikian tidak berharga ? Lagaknya ini orang edan. Sin Ciau siangjin menarik kedua tangannya kembali. Dia memandangi orang di depannya lekat-lekat. Dia juga merasa heran dan menduga-duga dalam hatinya, Orang itu memang tolol atau justru terlalu angkuh? Dia juga menjadi bingung, dia merasa tidak enak mengundurkan diri begitu saja, Akhirnya dia berkata: "Tuan, rupanya tuan tidak sudi memberi muka kepadaku. Baiklah, sekarang pinceng akan menyerangmu dengan jurus Hek-hou tau sim (harimau hitam mencuri jantung)." Siapa saja yang pernah belajar ilmu silat, pasti mudah menghindari serangan itu, Sebab jurus itu sangat umum. Apalagi sebelumnya telah diberitahu akan diserang dengan jurus yang satu ini Dengan serangan semacam itu bisa timbul anggapan bahwa lawan tidak memandang sebelah mata kepadanya. Orang itu masih tidak memberikan jawaban, bibirnya hanya tersenyum. Semakin tidak puas rasanya hati si biku. "Seandainya aku menghajar kau, tentu kau hanya akan terluka, tidak mungkin begitu mudah untuk mati. Dengan demikian aku juga tidak melakukan kesalahan besar terhadap Peng-Si ong, pikirnya dalam hati. Karena itu dia segera memasang kuda-kudanya dan terus mengirimkan sebuah serangan. Orang itu tetap tidak menangkis ataupun menghindarkan diri Blam! Terdengarlah suara yang keras karena dadanya terkena hantaman Sin Ciau siangjin. Tubuhnya juga tersurut satu tindak, Namun dia segera tertawa dan berkata: "Nah, taysu sudah menang! Aku telah tergeser mundur satu langkah!" Sin Ciau siangjin jadi heran. Walau pun serangannya tadi tidak merupakan pukulan yang mematikan, tetapi cukup keras juga. Siapa sangka orang itu sanggup menerimanya seperti tidak merasakan apa-apa, bahkan masih sempat tertawa dan berbicara. Bagi pembesar negeri yang bukan golongan tentara, hal itu memang terasa aneh. Tidak demikian halnya dengan para perwira atau jenderal, mereka ini melihat tegas bahwa pengawal si raja muda dari Inlam justru sengaja mengalah. Demikian pun si biku, sehingga dia menjadi kurang senang. Rasanya sudah habis kesabarannya wajahnya menjadi merah padam.

"Sebaiknya kau terima satu kati lagi tinjuku ini" katanya sengit Dan dia langsung menyerang kembali dada orang itu. Dan kali ini dia menggunaka tenaga dalam sebanyak tujuh bagian, Dia tidak perduli lagi walaupun orang bisa muntah darah karena pukulannya. Para hadirin yang mengerti ilmu silat dapat melihat bahwa si biku telah menggunakan tenaga dalam yang besar. Mereka juga menduga orang yang terkena pukulan itu bisa celaka, mereka memperhatikan jalannya peristiwa itu sambil berdiam diri mengkhawatirkan keselamatan pengawal Pe Si ong itu. Tapi, pengawal itu memang sungguh luar biasa, tatkala serangan itu tiba, dadanya diciutkan dalam dan tubuhnya mencelat ke belakang sejauh setengah tombak, sepertinya dia kena terhajar dalam waktu yang bersamaan dia bergerak mundur. Siapa yang ilmunya tanggung-tanggung tentu tidak dapat melihat cara mengelakkan diri yang istimewa itu, caranya itu meminta ketajaman mata dan kelincahan tubuh. Si biku benar-benar marah ketika mengetahui serangannya kembali gagal, dia segera membentak keras dan menyerang kembali Kali ini dia mengirimkan tendangan kaki kanannya yang secara tiba-tiba mengarah perut lawan.

"Aduh! Celaka!" seru si pengawal dari Inlam, Dalam waktu yang bersamaan, tubuhnya menghempas ke belakang sehingga posisinya lurus, sedangkan kedua lututnya ditekuk sehingga telapak kakinya masih memijak tanah seperti semula, sungguh suatu cara pengelakkan diri yang luar biasa. Namanya Tiat-poan kio (Jembatan papan besi), Dengan demikian, perutnya terhindar dari tendangan Sin Ciau siangjin. Ketegangan di hati para hadirin menjadi mengendur dan berganti dengan perasaan kagum, sungguh hebat pengawal itu, dia selalu mengalah dan menghindarkan diri dari ancaman maut. Sin Ciau siangjin jadi penasaran, tanpa menunda waktu dia mengulangi serangannya, kali ini dengan tendangan berantai Tipu silat yang digunakannya adalah Wan-yo lian hong (tindakan berantai si burung Wan Yo). Begitu tendangan tadi meleset, si pengawal segera bangkit kembali Namun tepat pada saat itu datanglah serangan susuIan dari Sin Ciau siangjin, sebenarnya dia baru saja menegakkan tubuhnya, jadi tidak sempat lagi dia menghindarkan diri. Tapi dia memang lihay sekali, kembali dia dapat meluputkan diri-sekali lagi dia menggunakan jurus silat Tiat-poan kio tadi. Meledaklah suara sorak dan tepukan dari para hadirin, mereka merasa kagum sekali, sekalipun seorang ahli silat jarang menyaksikan pertunjukan langka semacam ini. Sampai di sini, hilang sudah rasa penasaran di hati Sin Ciau siangjin. Dia sadar ilmu silatnya masih kalah dengan pengawal itu. Karena itu dia segera memberi hormat.

"Kepandaianmu hebat sekali! Aku sungguh kagum!" katanya. Pengawal itu membalas hormat sikapnya tetap tenang seperti semula.

"Taysu hanya memuji saja!" sahutnya sabar. Kongcin ong segera berkata: "Kedua pihak sama-sama lihay, Siau tianhe pengawalmu itu sabar sekali. Dia tidak mau membalas serangan. Karena itu, pertandingan kali ini tidak dapat disamakan dengan pertandingan biasa Mari! Kedua-duanya sama-sama memperoleh sepotong goanpo!" Pengawal itu menjura.

"Hamba yang rendah tidak berjasa apa-apa karenanya hamba tidak berani menerima hadiah dari Kongcin ong!" katanya. Menyaksikan pengawal itu tidak mau menerima hadiah dari tuannya, Sin Ciau siangjin juga malu maju ke depan. Kongcin ong segera berkata kepada seorang pelayannya.

"Kau antarkan dua potong goangpo kepada kedua orang itu!" Karena didesak sedemikian rupa, si pengawal terpaksa menerima juga hadiah itu sambil mengucapkan terima kasih. Karena itu, Sin Ciau siangjin juga menerima sepotong goanpo dan menghaturkan terima kasih pula. Kongcing ong mengerti pertandingan barusan berakhir dengan kekalahan dipihak Sin ciau siang-jin. Dia berbuat demikian hanya demi menjaga pamornya saja, Dalam hati dia merasa penasaran Diam-diam dia berpikir: Pengawalnya Go Eng-bim itu lihay sekali, Entah bagaimana dengan yang lain-lainnya, kemungkinan di antara mereka ada juga yang kepandaiannya rendah. Orang-orangku mempunyai kepandaian tersendiri Umpamanya Ci Goan-kay, tentunya dia tidak kalah dengan Sin Ciau siangjin, sebaiknya aku mencoba lagi." Raja muda itu penasaran Dengan cepat dia mengambil keputusan. Kemudian dia berkata kepada orangnya.

"Barusan pibu gagal, itu artinya ada keretakan di dalam kesempurnaan Karena itu, Ci suhu, kau mengajak lima belas rekanmu dan siapkan senjata masing-masing lalu memohon pertandingan kepada keenam belas pengawal Peng-Si ong. Nah, saudara Go, kau perintahkan seluruh pengawalmu untuk menyiapkan senjata masing-masing!" Go Eng-him mengawasi tuan rumah, "Kami adalah tamu-tamu Kongcin ong, mana berani kami membawa senjata tajam ke dalam istana ini!" sahutnya saban Kongcin ong tertawa.

"Siau tianhe selalu sungkan!" katanya, "Ayah Siau tianhe yang terhormat beserta aku adalah sama-sama panglima perang, Seumur hidup kita, sudah biasa bercampur dengan segala macam senjata tajam, Karena itu, tidak usahlah kita perdulikan pantangan orang.... Mana orang? Bawa kemari delapan belas alat senjata supaya para pengawal Siau tianhe dapat memilihnya sendiri!"

Memang Kongcin ong adalah seorang panglima perang, Sejak mulai berangkat dari Kwan gwa yakni Manchuria, sampai menyerang serta menduduki wilayah Tionggoan, Dia selalu menyiapkan delapan belas macam senjata di istananya, Oleh karena itu mendengar perintahnya, beberapa orang pelayannya segera mengiakan serta melaksanakan tugas. Dalam waktu singkat, semua senjata telah tersedia kemudian dikumpulkan di hadapan orang-orangn Go Eng-him. Ci Goan-kay sendiri sudah memilih empat belas orang busu, sebab dia, meminta Sin Ciau siangjin yang memimpin kelompok itu. Sin Ciau siangjin sendiri sebetulnya masih penasaran, dia merasa inilah kesempatan yang baik untuk mengembalikan pamornya yang sempat jatuh tadi, tetapi agar tidak menyolok dia mencoba menolak Setelah didesak berkali kali barulah dia menerima dengan baik tugas itu, dengan demikian orang akan mengira dia menerimanya karena terpaksa.

"Biar bagaimana, aku harus sanggup melukai beberapa orang pengawal dari Inlam ini," katanya dalam hati, Sekarang dia tidak perduli lagi apakah perbuatannya menyalahi Peng Si ong. Kelompok Ci Goan-kay sudah siap dengan senjatanya masing-masing, Sin Ciau siangjin sendiri memegang sepasang golok. Sambil menggenggam senjatanya itu, dia memberi hormat kepada sang pangeran.

Kong Cin ong juga membalas penghormatannya, Senang hati Siau Po melihat keadaan itu, Diam-diam dia berkata dalam hatinya.

"Hebat orang-orang ini. Mereka semua berkepandaian tinggi, nama mereka terkenal, namun mereka bersikap hormat kepada si pangeran, Dengan memberi hormat kepada Kong Cin ong, mereka juga seperti menghormati aku. Bukankah mereka menghadap ke arahku?" Setelah Itu, Sin Ciau siangjin memutar tubuhnya menghadap para pengawal dari In-lam. Dia berkata dengan suara lantang.

"Sahabat-sahabat dari Inlam, silahkan kalian memilih senjata masing-masing!" Pengawal yang tadi melayani si biku segera menjawab dengan sopan.

"Kami sudah menerima perintah dari Yang Mu-lia Peng Si ong, bahwa sesampainya di kotaraja, kami tidak boleh bertempur dengan siapa pun!"

"Bagaimana seandainya ada orang yang bermaksud memenggal batok kepala kalian? Apakah kalian akan menjulurkan leher panjang-panjang dan membiarkannya saja?" tanya Sin Ciau siangjin yang hatinya mulai panas.

"Atau mungkin kalian akan menyembunyikan kepala kalian dalam-dalam sehingga tidak terlihat?" Kata-katanya yang terakhir merupakan penghinaan sebab di dunia ini hanya kura-kura yang suka menyembunyikan kepalanya. Mendengar ucapan itu, para pengawal Go Eng-him segera memperlihatkan tampang marah. Akan tetapi, pemimpin mereka yang bertubuh kurus menjawab dengan datar. Titah Peng Si ong berat bagaikan gunung, jikalau kami sampai melanggarnya, begitu kemb ke Inlam, kami semua akan mendapat hukuman mati!" Sin Ciau siangjin tetap tidak mau mengerti.

"Baiklah kalau begitu. Kita coba-coba saja!" katanya, Biku ini lalu mengumpulkan rekan-rekannya di sudut ruangan untuk mengajak mereka berunding. Dia berbicara dengan nada berbisik: "Kita serang bagian tubuh yang berbahaya, Kita lihat, apakah

mereka akan memberikan perIawanan...."

"Kalau mereka sampai terluka, tidak jadi masalah," kata Ci Goan-kay ikut memberikan pendapatnya, "Lebih baik kita panas-panasi hati mereka agar memberikan perlawanan.."

"Tapi, kita harus berhati-hati," kata seorang lainnya.

"Baiklah! Mari kita mulai!" kata Sin Ciau siangjin akhirnya, Kali ini si biku tidak berayal lagi, Selesai berseru, dia segera maju ke depan bersama kelima belas rekannya dan menyerang orang-orang Go Eng-kim. Para pengawal Peng Si ong berdiri tegap tanpa bergerak sedikit pun. Tangan mereka lurus ke bawah seperti tidak bermaksud menghindarkan diri sama sekali. Hanya mata mereka yang menatap mereka sudah terkurung. Para hadirin merasa heran dan juga tercekat hatinya, bahkan ada yang berseru: "Hati-hati!" Para jago yang diundang Kong Cin ong menggerak-gerakkan senjatanya? sehingga ada yang saling bentrok dan ada juga yang secara tidak langsung mengenai para pengawal dari Inlam itu. Ada seorang yang terluka bagian bahunya dan seorang lagi terluka wajah nya. Darah mengalir dengan deras. Tampaknya luka kedua orang itu tidak ringan, tapi mereka tetap berdiri tegak seperti posisi semula bahkan merintih pun tidak! Kong Cin ong menyaksikan semuanya dengan seksama, Dia sadar apabila pertandingan yang tidak seimbang ini dilanjutkan, pasti akan jatuh korban, sebab orang-orang Peng Si ong terang-terangan tidak mau mengadakan perlawanan Karena itu, segera dia berseru: "Bagus! Berhentilah semuanya!"

Perintah itu dilaksanakan Sin Ciau siangjin mengiakan kemudian bergerak mundur, tetapi sebelumnya dia mengibas jatuh topi salah seorang pengawal itu, perbuatannya diikuti oleh rekan rekannya yang lain. Setelah itu, dia tertawa dengan gembira.

Siau Po melihat di antara para pengawal itu, ada tujuh orang yang kepalanya plontos sehingga tampak licin mengkilap, Dia langsung bertepuk tanga sambil berseru: "Tetok, matamu tajam sekali. Lihat, kepala mereka benar-benar botak!" Belum habis kata-katanya, dia melihat wajah keenam belas pengawal itu berubah demikian kelam. Mata mereka menyorotkan sinar kemarahan dia pun jadi urung melanjutkan ucapannya. Di samping itu, dia sendiri merasa perbuatan Sin Ciau siangjin dan rekan-rekannya

memang rada keterlaluan. Dia sendiri, kalau sedang bermain judi, tidak pernah membuat lawannya kalah habis-habisan. Karena itu ia segera bangun dari tempat duduknya dan menghampiri para pengawal yang kesabarannya luar biasa itu, Dipungutnya topi yang dikibaskan Sin Ciau siangjin tadi kemudian dipakaikannya kembali kepada pengawal yang tinggi kurus itu.

"Tuan, kau lihay sekali!"

"Terima kasih!" sahut pengawal itu singkat Siau Po kembali memungut semua topi-topi yang tergeletak di atas tanah dan menyerahkannya kembali kepada sisa lima belas pengawal itu.

"Perbuatan mereka agak keterlaluan ya?" katanya sambil tertawa ramah. Para pengawal itu memilih topi masing-masing lalu mengenakannya kembali.

"Terima kasih!" kata mereka serentak "Tidak pantas kami menerima kehormatan ini." Mereka berkata demikian karena yakin bocah tanggung ini berkedudukan tinggi, Kalau tidak, mana mungkin bocah ini bisa duduk berdampingan dengan Kong Cin ong dan Go Eng-him tuan muda mereka. Sekali lagi para pengawal itu mengucapkan terima kasih sembari menjura. Sebetulnya Siau Po tidak mempunyai kesan baik terhadap para pengawal Peng Si ong, maupun puteranya, Go Eng-him. Alasannya berbuat demikian, hanya karena merasa tindakan Sin Ciau siangjin dan yang lainnya memang rada keterlaluan.

"Ongya," katanya kepada Kong Cin ong.

"Bolehkah aku meminjam beberapa tail perak?" Kong Cin ong tertawa.

"Saudara Kui, ambillah sesukamu!" sahutnya ramah.

"Apakah sepuluh laksa tail cukup?"

"Tidak perlu begitu banyak," kata Siau Po sambil tersenyum Dia lalu menoleh kepada pelayan pangeran itu dan memerintahkan "Cepat kau pergi membeli topi yang harganya paling mahal semakin cepat semakin baik!" Pelayan itu segera mengiakan dan kemudian mengundurkan diri. Melihat gerak-gerik si thay-kam cilik, Go Eng-him segera memberi hormat.

"Terima kasih, kongkong!" katanya, "Kongkong baik sekali. Kami merasa bersyukur," katanya.

Bagian 17

"Terima kasih apa? Kau sebenarnya anak kura kura!" maki Siau Po dalam hati. Kong Cin ong sendiri sebetulnya merasa tidak enak hati melihat Sin Ciau siangjin dan yang lainnya menjatuhkan topi para pengawal dari Inlam. Dia khawatir Go Eng-him bakal tersinggung, Tetapi untuk meminta maaf, dia merasa gengsi Biar bagaimana dia lebih tua ketimbang anak muda itu dan kedudukannya setingkat dengan ayahnya. Karena itu pula, dia senang melihat tindakan Siau Po yang sesuai dengan keinginan hatinya, Dia menggunakan kesempatan yang baik itu untuk berkata.

"Mana orang? Cepat hadiahkan lima puluh tail perak kepada masing masing pengawal Go sicu! juga masing-masing lima puluh tail untuk orang-orang kita!" Hadiah untuk Sin Ciau siangjin dan rekan-rekannya memang disengaja agar mereka tidak merasa dibedakan atau diperlakukan tidak adil, Tindakannya itu justru mengundang sorak riuh dan tepuk tangan dari para hadirin.

To Lung juga ikut berdiri, dia menuangkan arak ke dalam cawan para hadirin, kemudian dia berkata kepada para tamu tersebut.

"Sicu tianhe, Ayah sicu adalah seorang panglima yang sudah terkenal sekali, sekarang barulah kita membuktikannya dengan mata kepala sendiri. Lihatlah para pengawalmu itu, mereka begitu taat pada perintah sehingga tidak takut menghadapi kematian Tidak heran setiap kali maju di medan perang, mereka selalu memperoleh kemenangan. Nah, mari kita minum bersama untuk menghormati Peng Si ong yang berjasa itu. Go Eng-him bangkit sambil mengangkat cawannya.

"Aku mewakili ayahku minum arak ini. Terima kasih untuk kebaikan tuan-tuan sekalian!" Para hadirin pun mengangkat cawannya dan mengeringkan isi nya. Setelah itu Go Eng-him berkata kembali.

"Ayah berkedudukan di wilayah selatan dan keselamatannya terjamin, Semua ini berkat rejeki besar junjungan kita Yang Mulia serta bantuan para menteri dalam istana, Ayah hanya ingat untuk bersedia terhadap Sri Baginda, tidak berani dia bermalas-malasan. jadi dalam hal ini, sebetulnya ayah tidak berjasa apa-apa." Tidak lama kemudian, pelayan yang diperintahkan oleh Siau Po telah muncul kembali. Dia membawa enam belas topi yang paling mahal harganya dan menyerahkannya kepada thay-kam cilik kita. Siau Po menghadap Kong Cin ong.

"Ongya, barusan para suhu telah menjatuhkan topi para pengawal dari Inlam, Karena itu sudah selayaknya Ongya menggantikan kerugian mereka dengan topi yang baru," katanya. Kong Cin ong lantas tertawa.

"Itu sudah selayaknya! Kau benar-benar pandai berpikir, saudara Kui! Kau bisa mengingat sampai ke sana!" Kemudian dia menyuruh pelayannya untuk menyerahkan topi-topi itu kepada para pengawal dari Inlam. Orang-orang Go Eng-him menerima hadiah itu. Mereka menjura dalam-dalam serta menyatakan terima kasih sekali lagi, Setelah itu mereka melipat topi itu dan menyimpannya dalam saku, sedangkan kepala mereka masih tetap mengenakan topi yang lama. Kong Cin ong dan Siau Po saling pandang sekilas, Mereka mengerti apa sebabnya para pengawal dari Inlam itu bersikap demikian. Tentu karena mereka tidak mau

berlaku lancang.

Perjamuan diteruskan sampai tiba saatnya pertunjukan dimulai Kong Cing ong meminta tamunya memilih cerita yang disukai Go Eng-him menyebut kisah "Ban Cong Hud" atau Kisah Jenderal Kwe Cu-gi mengadakan pesta ulang tahun di mana hadir ketujuh putera dan delapan menantunya yang datang mengucapkan selamat kepadanya, Jenderal itu hidup berbahagia, jasanya banyak sekali Pangkat-nya tinggi, panjang umur serta mempunyai keluarga besar. Selesai pertunjukan itu, Kong Cin ong menoleh kepada Siau Po.

"Saudara Kui, ayo! Kau juga memilih cerita kesukaanku!" Siau Po tertawa dan berkata.

"Aku tidak bisa memilih, biar Ongya saja yang pilihkan! Yang penting ceritanya seru dan ada perkelahiannya!"

"Kalau begitu kau pasti suka cerita mengenai kegagahan," kata Kong Cin ong seraya tertawa...

"Baiklah! Aku pilihkan kisah seorang pemuda yang mengalahkan seorang tua, seperti waktu kau membekuk Go Pay! Kisah Pek Sui-tha!" Setelah kedua kisah yang diminta selesai dipertunjukkan tukang cerita menyambung lagi sebuah kisah yang berjudul "Yu Wan Keng-Bong" yang mengisahkan seorang pemuda yang berjalan-jalan di taman bunga di mana dia tertidur dan tersentak bangun oleh mimpinya. Siau Po tidak sabaran, Karena perannya kebanyakan menyanyi dan berpantun, hal ini tidak disukainya, Kemudian dia berdiri dan menuju paseban belakang di mana dia melihat ada beberapa meja yang dipenuhi oleh orang-orang yang sedang berjudi. Ada yang main dadu, juga ada yang main kartu ceki. Dia merasa tertarik sayangnya dia tidak membawa dadunya yang istimewa. Tapi tidak apa-apa, karena dia membawa uang dalam jumlah yang cukup banyak, Dia melihat di meja yang satunya sang bandar sudah menang banyak, Uang di depannya sudah bertumpuk tinggi.

"Eh, Kui kongkong!" sapa sang bandar sambil tertawa.

"Apakah kongkong berminat ikut mengambil bagian dalam permainan ini?"

"Baik!" sahut Siau Po tanpa bimbang lagi. Saat itu juga, dia melihat ada seorang yang bertubuh kurus tinggi, yakni pengawal Go Eng-him yang sabar luar biasa itu. Dia menaruh kesan baik terhadap orang yang satu ini. Dia hanya menonton permainan dari samping. Siau Po segera melambai kepadanya dan menyapanya. Pengawal itu segera menghampiri si bocah dan memberi hormat dengan menjura dalam-dalam.

"Entah ada perintah apa, Kui kongkong?" tanyanya ramah. Siau Po tertawa.

"Di meja judi tidak ada perbedaan derajat, baik ayah dan anak sama saja, karena itu janganlah kau bersikap sungkan, Toako, siapakah she dan namamu yang mulia?" Tadi ketika ditanya oleh Sin Ciau siangjin, pengawal ini tidak memberikan jawaban, Tapi keramahan Siau Po membuat perasaannya jadi tidak enak.

"Hamba she Yo bernama Ek-ci!"

"Oh, nama yang bagus sekali! Nama yang bagus sekali!" kata Siau Po yang sebetulnya buta huruf dan tidak tahu apa arti nama itu.

"Banyak orang gagah yang berasal dari keluarga Yo. Umpamanya Yo Leng-kong, Yo Lak-say, Yo Cong-po, Yo kong! Nah, Yo toako, mari kita main bersama-sama!" Senang sekali hati Ek-ci mendengar para leluhur yang bermarga sama dengannya mendapat pujian tinggi dari thay-kam cilik ini. Lekas-lekas dia menyahut.

"Maaf, kongkong. Hamba tidak bisa berjudi."

"Tidak bisa berjudi?" tanya Siau Po.

"Tidak apa-apa! jangan takut. Aku akan mengajarimu! Keluarkanlah uang goanpo milikmu yang besar itu." Ek-ci menurut. Dia mengeluarkan uang goanpo hadiah Kong Cin ong. Siau Po sendiri mengeluarkan selembar cek kemudian meletakkannya di atas meja, Sembari tertawa dia berkata: "Aku akan berkongsi dengan Yo toako, jumlah modalnya seratus tail." Bandar itu pun ikut tertawa.

"Bagus! Makin besar jumlahnya, makin baik" sahutnya sambil melempar dadu. Setelah itu giliran Siau Po, dia mendapat angka titik tujuh, Dan demikian seratus tail itu melayang ke tangan bandar karena dia kalah.

"Aku pasang lagi seratus tail!" katanya kemudian. Kali ini dialah yang menang, selanjutnya permainan seri, Tidak ada yang kalah atau pun menang.

"Ah, tidak benar kalau begini, Kasihan, apalagi Yo toako sampai kalah, Buat aku sih tidak apa-apa..." pikir Siau Po dalam hati, Karena itu memasang lagi lalu melemparkan dadunya sambil berseru: "Bayar!" Kali ini keluar angka dobel enam, Si bandar kalah dan dia harus membayar dua kati lipat, ratus tail jadi dua ratus. Dua ratus jadi empat dan empat ratus tail jadi delapan ratus.

"Kui kongkong mujur sekali!" kata si bandar seraya tertawa lebar, Dia kalah, tapi ia masih tersenyum. Siau Po juga ikut tertawa.

"Kau mengatakan aku mujur? Bagaimana kita main dua kali lagi?" Dia pun mengambil kembali uangnya yang delapan ratus tail itu. Apa daya si bandar memang sedang apes kalah lagi. Dengan demikian uang Siau Po meneribu enam ratus tail!

"Bagaimana, Yo toako?" tanya bocah itu pada kongsiannya, "Apakah kita lanjutkan lagi permainan ini?"

"Terserah Kui kongkong," sahut Yo Ek-ci, tapi di dalam hatinya dia berpikir: "Kau toh sudah menang banyak, buat apa main terus?" Pada saat itu sudah banyak orang yang mengerumuni tempat Siau Po berjudi, Sebab jarang ada orang yang menang sampai seribu tail lebih. Siau Po masih memegang dadu, sambil melemparkan dadunya dia berseru, Dadu itu berputaran yang satu berhenti angkanya enam. Tinggal yang satu masih terus berputaran Dadu itu bukan miliknya, karena itu dia belum bisa menguasainya dengan baik. Akhirnya dadu itu berhenti Angkanya dua. sekarang giliran bandar yang melemparkan dadunya, Seperti Siau Po tadi, dadu itu terus ber-utaran, Yang satu berhenti lebih dahulu, angkanya lima. Si bandar tertawa.

"Kongkong, mungkin kali ini kau bisa kalah!" katanya, Dadu yang satu masih berputar.

"Dua! Dua!" teriak Siau Po. Apabila keluar angka tiga, empat atau lima, dia pasti kalah, Kalau keluar angka dua, bandarlah yang harus mengganti pasangannya, sedangkan kalau dapat angka tiga, berarti jumlahnya delapan, Sama dengan angka yang didapatkan oleh Siau Po, Tapi dalam permainan ini, tetap si bandar yang menang, itulah sebabnya Siau Po meminta angka dua.

Tampaknya kemujuran memang sedang berada di pihak si thay-kam cilik, Dadu itu bolak-balik beberapa kali kemudian berhenti, Ternyata memang yang muncul dua titik, Siau Po pun bersorak gembira, selekasnya.

"Ciangkun, kau benar-benar apes"

"Betul, kongkong, Hari ini kau memang mujur sekali!" kata bandar itu sambil menghitung uang untuk membayar pasangan Siau Po.

Siau Po menerima uang yang disodorkan itu.

"Terima kasih...!" katanya sambil tertawa, Dia lalu menoleh kepada rekannya, "Yo toako, ambillah uang ini semuanya!" Ek-ci terperanjat juga gembira, Di samping itu dia juga merasa heran, seakan tiba-tiba dia menemukan harta karun.

"Kongkong, apa artinya Ciangkun?" tanyanya dengan nada berbisik, "Apa pangkatnya?" Sekarang giliran Siau Po yang menjadi heran mendengar pertanyaan itu, Dia menoleh kepada si bandar yang dipanggil Ciangkun itu.

"Ciangkun, bolehkah aku menanyakan she dan namamu yang mulia?" Bandar itu berdiri dan tertawa, Dengan penuh hormat dia menjawab.

"Aku yang rendah bernama Ouw Pek-seng. Aku adalah Cong peng dari Thian Cin dan merupakan bawahan langsung dari Kong Cin ong." Cong peng setingkat dengan Brigadir Jendral, Siau Po tertawa dan berkata, "Ciangkun, aku yakin dalam peperangan, seratus kali terjun, seratus kali pula kau mendapat kemenangan sayangnya dalam perjudian, nasibmu kurang beruntung." Nama ciangkun itu Pek Seng, artinya memang seratus kali perang seratus kali menang. Ouw Pek seng tertawa mendengar kata-kata Siau Po.

"Kongkong, sebetulnya dalam perjudian pun, biasanya seratus kali main, aku juga seratus kali menang, Tapi ada pepatah yang mengatakan di atas gunung masih ada gunung iainnya, Kita jago, ada lagi yang lebih jago, Karena itu, hari ini bertemu dengan

kongkong, aku seperti membentur batu. Seratus kali berjudi, aku pun seratus kali kalah," katanya sambil tertawa terbahak-bahak. Siau Po juga tertawa, Kemudian dia mengundurkan diri, tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya, "Akh" Tidak mungkin Cong peng itu kalah! Melihat caranya melempar dadu, dia sebenarnya seorang ahli, tapi kenyataannya dia kalah, Hal ini membuktikan bahwa dia sengaja mengalah, Tapi, kenapa? Oh, aku mengerti! Tentu karena kedudukanku yang lebih mantap daripadanya!" Siau Po merasa puas. Akhirnya dia kembali ke dalam ruangan dan duduk di tempatnya semula. Pada saat itu seorang wanita sedang bernyanyi dan banyak penonton yang memuji keindahan suaranya. Siau Po merasa heran mengapa dirinya sendiri tidak tertarik mendengarkan nyanyian itu? Kemudian dia bangun kembali. Melihat gerak-gerik thay-kam muda itu, KongCin ong tersenyum.

"Saudara Kui, apa yang kau pikirkan? Apakah kau ingin berjalan-jalan? Pergilah, jangan sungkan-sungkan.

"Terima kasih," sahut Siau Po gembira karena Kong Cin ong bisa memahaminya. Kemudian dia meninggalkan ruangan tersebut Ketika melihat orang-orang masih asyik bermain judi, hampir dia kepincut kembali. Untung akhirnya dia dapat mengendalikan diri. Ia terus menuju belakang, masih diingatnya jalan-jalan dalam istana Cin ong itu. Di mana-mana tampak sinar lilin menerangi. Setiap orang istana itu yang melihat Siau Po selalu memberi hormat Selagi berjalan, tiba-tiba Siau Po merasa ingin buang air kecil Dia berjalan terus kekiri menuju taman bunga, Disana ada sebuah jendela, dia lalu menolakkan daun jendela dan pergi ke sudut yang gelap. Ketika bermaksud membuka ikat pinggangnya, tiba-tiba dia mendengar suara orang sedang berbicara dengan lirih sekali di balik pepohonan.

"Uangnya dulu nanti baru aku mengantarkan engkau," kata orang yang pertama.

"Kau antarkan aku dulu!" sahut orang yang kedua.

"Setelah mendapatkan barang itu, jangan khawatir uangnya berkurang sepeser pun!"

"Uangnya dulu!" Terdengar orang yang pertama berkata kembali "Kalau kau sudah mendapatkan barang itu, tapi uangnya tidak kau serahkan, kemana aku harus mencarimu?"

"Baiklah!" sahut orang kedua yang akhirnya mengalah juga.

"Nah, ini kau terima dua ribu dulu. sisanya belakangan!"

Siau Po merasa heran, Ribuan tail bukan jumlah yang sedikit Barang apakah yang demikian mahal harga? Ditundanya keinginan untuk membuang air kecil, pendengarannya dipertajam untuk mencuri dengar pembicaraan antara kedua orang itu."

"Dua ribu dulu? Tidak!" kata orang yang pertama, "Aku tidak setuju! Kau toh tahu, urusanya bisa membuat kepalaku pindah rumah. Kutakut main-main?" Orang yang kedua rupanya merasa terdesak.

"Baiklah! Nih, kau terima selaksa tail!" katanya.

"Terima kasih!" sahut orang-yang pertama.

"Sekarang ikutlah denganku!" Siau Po semakin heran, perhatiannya menjadi tertarik, Urusan apakah yang dapat membuat kepala pindah?

"Aku akan mengintai mereka!" ia memutuskan dalam hati. Dia pun lalu mengikuti kedua orang itu secara diam-diam. Kedua orang itu menuju ke barat Mereka berjalan di balik pepohonan Setelah berjalan kira-kira dua tombak, mereka berhenti Kemudian keduanya celingak-celinguk ke sekelilingnya.

"Gerak-gerik mereka sangat mencurigakan, tentunya mereka mengandung niat tidak baik," pikir bocah dalam hatinya, "Kong Cin ong memperlakukan aku dengan baik, sebaiknya aku intil kedua orang ini untuk mengetahui apa yang akan mereka lakukan, Kalau benar maksudnya memang jahat, biar mereka kenal kehebatan aku, si Kui kongkong.

Kedua orang itu berjalan lagi, Siau Po terus mengintil di belakang, Namun sekarang dia sudah mengeluarkan pisau belatinya yang tajam itu. Dengan demikian perasaan takutnya jadi berkurang.

Kedua orang itu kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan kecil, cepat-cepat Siau Po menghampiri jendela, Dilihatnya ada cahaya dari dalam nya, Dengan hati-hati dia mengintai. Rupanya kamar itu merupakan sebuah Hu-tong (Tempat memuja sang Buddha). Patungnya terletak di atas meja, di depannya ada sebuah pelita minyak, Apinya bergerak-gerak karena hembusan angin. Seseorang yang berdandan seperti pelayan berkata dengan perlahan.

"Sudah satu tahun lebih aku mengadakan penelitian sekarang aku baru tahu tempat penyimpanan barang itu. pokoknya tidak sia-sia kau mengeluarkan uang sebanyak selaksa tail!"

"Oh ya, di mana tempatnya?" tanya seorang lainnya, punggungnya menghadap Siau Po, "Sini!" kata orang yang pertama, Orang yang kedua pun menoleh, Kali ini Siau Po dapat melihat wajah orang itu dengan jelas, dia merasa heran karena ia mengenalinya

sebagai Gi Goan-Kay.

"Sini apa?" Pelayan itu tertawa.

"Ci suhu memang paling bisa berpura-pura! Tentu saja kurangnya yang selaksa tail lagi!"

"Kau sungguh cerdik, sobat!" kata Ci Goan-kay sambil merogoh sakunya untuk mengeluarkan uang sisanya yang selaksa tail lagi, Kemudian dia menghitung uang itu. jantung Siau Po berdebar-debar. Bukan karena jumlah uang yang banyak itu, tapi karena dia insyaf kelihayan Ci Goan-kay. Apabila dia sampai kepergok, pasti celakalah dia. Sudah barang tentu Ci Goan-kay akan curiga padanya dan menduga yang bukan-bukan. Setelah menerima uang sisanya, pelayan itu tertawa lagi.

"Betul!" katanya, kemudian ia berbisik di telinga Cia Goan-kay. Goan Kay menganggukkan kepalanya berkali-kali Siau Po berusaha menerka, tapi dia tidak tahu apa yang dibisikkan pelayan itu. Tiba-tiba Goan Kay melompat naik ke atas meja, dia melihat ke belakang namun tangannya terulur ke atas untuk meraba telinga kiri sang patung Buddha. Setelah berhasil meraba sesuatu, Goan Kay mencelat turun kembali sekarang tangannya memegang suatu benda kecil. Di bawah cahaya pelita, dia memeriksanya dengan teliti. Siau Po tidak mengerti Dia melihat Ci Goan-kay menggenggam sebuah kunci emas yang cahayanya berkilauan.

Setelah memeriksa anak kunci itu, Ci Goan-kay lalu menunduk Dia segera menghitung batu lantai, yang melintang jumlahnya ada beberapa puluh, sedangkan yang memanjang hanya belasan. Dari sela kaos kakinya dia mencabut sebilah golok kecil yang kemudian digunakan untuk mencungkil batu tersebut Setelah berhasil, terdengar dia berseru gembira.

"Itu kan barang asli dan harganya sesuai!" kata si pelayan "Kau lihat, aku tidak berbohong kan?" Goan Kay tidak menjawab Dia memasukkan anak kunci nya, terdengar suara kelotekan. Tampak dia tercengang.

"Kenapa tidak bisa dibuka? Apakah kuncinya tidak cocok?" tanyanya.

"Mana mungkin?" sahut si pelayan "Ongya sendiri yang membukanya dengan kunci itu dan ternyata bisa, Ketika itu aku mengintip dari jendela. Aku dapat melihatnya dengan jelas!" Pelayan itu. Lalu membungkuk dan tangannya menjulur ke depan Tentu dia merasa tidak percaya dan ingin membuktikannya sendiri Tampak tangannya menarik sesuatu. Tapi, tepat pada saat itu juga, terdengar suara angin berkesiur, Tahu-tahu sebatang anak panah melesat ke atas.

"Aduh!" jerit si pelayan karena anak panah itu tepat menancap di dadanya, Tubuhnya roboh ke belakang, Tangannya yang memegang tutup besi menyebabkan tutup itu terlepas dan terpental. Goan Kay terkejut, tetapi dia tabah dan gesit. Dia berhasil menyambar tutup besi itu, Kalau tutup besi itu sampai terjatuh di atas lantai pasti menimbulkan suara berisik.

Setelah itu dia berjongkok untuk memeriksa keadaan si pelayan Dia membekap mulutnya agar jeritannya tidak terdengar orang lain Kemudian dia menggunakan tangan orang itu untuk meraba-raba ke dalam lubang batu.

"Rupanya masih ada alat rahasia lainnya." pikir Siau Po dalam hati, Dia terus mengintai "Sungguh lihay orang she Ci itu...."

Ternyata kali ini tidak ada alat rahasia lainnya. Karena itu Goan Kay lalu memasukkan tangannya sendiri dan menarik keluar sebuah bungkusan. Tangan kanannya mengibas sehingga si pelayan terguling, Dia sendiri langsung bangun, Kaki kanannya menekan mulut si pelayan agar tidak bersuara. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya, Goan Kay meletakkan bungkusan itu di atas meja, Lalu dia membukanya sehingga isinya terlihat Rupanya sebuah kitab, Tampak Ci Goan-kay menghembuskan nafas lega.

"Kitab itu rupanya Si Cap Ji Cin-keng dan merupakan kitab ke empat yang pernah dilihat oleh Siau Po. Persis sama dengan yang pernah didapatkannya dari rumah Go Pay. Bedanya hanya kain suteranya berwarna biru dan ikatannya dari sutera merah. Dengan gesit Goan Kay membungkus lagi kitab itu kemudian memasukkannya ke dalam saku. setelah itu dia mengangkat kakinya dan menginjak anak panah yang menancap di dada si pelayan itu sehingga tembus ke dalam, tanpa sempat bersuara sedikit pun, pelayan itu menghembuskan nafas terakhir. Siau Po terperanjat melihat apa yang terjadi di hadapannya, Sungguh licik orang she Ci itu, ia bekerja tidak kepalang tanggung, Setelah itu ia merogoh saku pelayan itu untuk mengambil uangnya kembali. Sembari tertawa ia berkata: "Sekarang kau sudah mendapatkan bagianmu!" Sesaat kemudian dia mencelat keluar.

Siau Po berpikir dengan cepat

"Dia mau kabur! Apakah aku harus berteriak?" pikirnya ragu. Tepat di saat pikiran si bocah masih bekerja, sesosok bayangan melesat naik ke atas genting, Dia adalah Ci Goan-kay. Siau Po mengerutkan tubuhnya, jangan sampai dirinya terlihat oleh orang itu, Dia mendengar suara perlahan dari atas genting, tidak lama kemudian, suara itu lalu lenyap, Setelah itu tampak Ci Goan-kay melompat turun. Kali ini ia berjalan dengan tenang kembali ke ruangan dalam, di mana perjamuan sedang berlangsung.

"Tidak salah!" pikir Siau Po. "Pasti dia menyembunyikan kitab itu di atas genting, Lain kali kalau ada kesempatan dia bisa mengambilnya kembali Hm! Tidak semudah yang kau bayangkan, sobat!" Siau Po menunggu lagi beberapa saat sampai dia yakin Goan Kay sudah pergi jauh, Setelah itu baru dia keluar dari tempat persembunyiannya dan bergegas naik ke atas genting untuk mencari kitab itu, Dia berusaha keras mengira-ngira di mana Goan Pay menyembunyikannya seperti tadi dia mendengar suaranya dari bawah. Setelah menyingkap belasan potong genting, akhirnya Siau Po berhasil mendapatkan bungkusan yang berisi kitab Si Cap Ji Cin-keng tersebut. Dia ambil bungkusan itu dan kemudian merapikan kembali genting-genting yang terbuka, Malam itu cuaca cukup gelap, keadaan di sekitar hanya remang-remang.

"Mengapa kitab ini demikian berharga sehingga banyak orang yang menginginkannya?" pikirnya dalam hati, "Mula-mula si kura-kura tua, lalu ibu suri, Ada lagi Go Pay, Kong Cin ong dan sekarang si orang she Ci! Kalau aku sekarang tidak mengambilnya, aku pantas disebut orang tolol! Percuma aku she Wi!" Dia segera membuka bungkusan itu dan lalu memasukkan kitab tersebut ke dalam sakunya, Karena dia mengenakan jubah yang longgar, dari luar tidak kentara kalau dia menyembunyikan sesuatu, Bungkusannya sendiri dilemparkan ke atas pohon, lalu cepat-cepat dia kembali ke ruangan besar untuk mengikuti perjamuan yang masih berlangsung.

Pesta masih dilanjutkan Demikian pula orang-orang yang berjudi, mereka masih asyik dengan permainan itu, pertunjukan sandiwara juga masih berlangsung dan sang wanita masih bernyanyi terus.

"Apakah peran wanita yang menyamar sebagai biarawati itu?" tanya Siau Po kepada So Ngo-tu. Orang yang ditanya tertawa.

"Dalam cerita dikisahkan bahwa biarawati itu merindukan seorang pria, Dia bermaksud melarikan diri ke bawah gunung untuk menikah dengan pria pujaannya, Kau lihat, bukankah wajahnya menyiratkan kalau dia sedang dirundung asmara?" Berkata sampai di situ, tiba-tiba So Ngo-tu menghentikan kata-katanya. Dia teringat bahwa yang diajaknya berbicara adalah seorang thay-kam, Thay-kam itu seperti juga sebangsa pendeta yang tidak suka membicarakan soal perempuan.

"Cerita itu tidak menarik. Nanti aku pilihkan sebuah kisah yang bagus untuk kongkong!" katanya kemudian. Mereka berdua telah mengangkat saudara, tapi hal ini masih dirahasiakan itulah sebabnya di depan umum mereka tetap saling menyebut dengan formalitas. Selesai berkata, So Ngo-tu memerintahkan pada tukang cerita untuk mengganti pertunjukannya dengan kisah "Nge Koan Lau", cerita tentang Lie Cun-houw yang memukul harimau. Setelah selesai, pertunjukan diganti lagi dengan "Ciong Hiok menikah". Seru sekali jalan ceritanya di mana kelima pembantu si Raja setan bertempur dengan sengit. Siau Po bertepuk tangan dan berseru menyatakan pujiannya, Setelah itu dia menambahkan: "Aku harus segera kembali ke istana, Maaf kalau aku tidak dapat menonton lebih lama lagi." Ketika dia menoleh, dilihatnya Ci Goan-kay sedang bermain teka-teki tangan dengan asyiknya bersama dua orang pengawal justru saat itu terdengar Ci Goan-kay bertanya.

"Sin Ciau siangjin, di mana orang she Long tadi?"

"Sudah agak lama juga aku tidak melihat, kemungkinan dia sedang keluar..." sahut beberapa pengawal lainnya. Sin Ciau siangjin lantas tertawa.

"Orang itu tidak tahu kebaikan orang, Mungkin dia malu berada di sini lama-lama," katanya.

"Betul. Kemungkinan dia sudah menyingkir dari sini, Sikap orang itu mencurigakan dan dia juga dikenal licik, bisa jadi dia mencuri sesuatu..." kata Ci Goan-kay.

"Mungkin saja," sahut seorang pengawal lainnya.

"Orang she Ci ini sungguh cerdik, cara kerjanya juga sempurna, Belum apa-apa dia sudah menimpakan kesalahan kepada orang lain, Kalau kitab itu ketahuan hilang, tentu orang she Long itulah yang akan dicurigai Apalagi kalau pelayan itu diketemukan sudah jadi mayat, Bisa jadi mereka menduga si Long yang membunuhnya. Cara kerjanya orang she Ci ini bagus sekali. Lain kali bila aku ingin melakukan sesuatu, aku harus mencari kambing hitamnya dulu," pikir Siau Po dalam hati. Karena malam sudah mulai larut, Siau Po pun segera memohon diri pada tuan rumah. Kong Cin ohg tahu thay-kam cilik ini bisa di kunci dari dalam apabila pulang terlalu malam. Karena itu dia tidak menahannya lagi. Dia hanya tertawa dan mengantarkan Siau Po sampai di depan pintu. Go Eng-him dan So Ngo-tu serta yang lainnya juga ikut mengantarkan. Ketika Siau Po naik ke atas joli. Yo Ek-ci segera menghampirinya.

"Kongkong, tuan muda kami menghadiahkan barang yang tidak berharga ini. Harap kongkong sudi menerimanya." Siau Po tertawa.

"Terima kasih!" katanya sembari menerima bungkusan itu, "Yo toako, kita baru pertama kali bertemu, tetapi hubungan kita sudah seperti sahabat lama, Senang rasanya aku bergaul denganmu, Kalau aku menghadiahkan uang untukmu, mungkin kau akan merasa terhina, Karena itu, sebaiknya lain kali aku mentraktirmu saja!" Yo Ek-ci tertawa, Dia senang sekali mendengar ucapan Siau Po.

"Kongkong sudah menghadiahkan aku seribu enam ratus tail, apakah itu masih belum cukup?"

"Itu kan hadiah dari orang lain, tidak masuk hitungan!" tukas Siau Po dengan cepat. Tidak lama kemudian joli itu sudah sampai di depan istana, Siau Po segera membuka bungkusan yang diserahkan Yo Ek-ci. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui isinya, isinya tiga kotak yang diberi tali emas, Kotak pertama berisi sebuah ayam-ayaman dari batu kumala hijau, semuanya terdiri dari sepasang, buatannya halus sekali, Kotak kedua berisi dua renceng mutiara, Memang mutunya tidak sebagus yang dia tumbuk buat si kuncu cilik, tapi ukurannya sama, jumlahnya dua ratus butir.

"Aku berbohong pada si kuncu akan membeli mutiara guna meracik obatnya, Siapa sangka Go Eng-him benar-benar menghadiahkan mutiara untukku sehingga dustaku menjadi kenyataan Tentu si kuncu jadi percaya karenanya," pikirnya dalam hati. Kemudian dia membuka kotak yang ketiga, Ternyata isinya dua puluh lembar cek yang nilainya masing-masing sepuluh tail uang emas, jumlahnya jadi dua ratus tail uang emas, sedangkan cek itu tertera toko emas Ju Liong Seng yang sangat terkenal di kotaraja.

Untung saja pintu istana belum dikunci. Siau Po langsung kembali ke kamarnya, Setelah memalang pintu kamarnya, dia menyulut lilin lalu menyingkap kelambu.

"Tentu kau sudah tidak sabar menunggu kepulanganku," katanya sambil tertawa, Dia melihat si nona cilik itu masih berbaring tanpa berkutik sedikit pun. Mulutnya masih tersumpal kue yang belum dimakannya, dia segera mengeluarkan dua renceng mutiaranya yang indah, Sembari tertawa dia berkata kembali: "Kau lihat, aku membelikan kau dua renceng mutiara yang sangat indah, Nanti aku akan menumbuknya untuk dijadikan bedak agar wajahmu sepuluh kali lipat lebih cantik dari sekarang, Kau akan menjadi nona yang tercantik di kolong langit ini! Kalau gagal, a... ku bukan orang she Kui lagi, Wah, aku sampai lupa. Kau lapar tidak? Kenapa kau tidak makan kue itu? Mari, aku bantu kau agar bisa bangun dan duduk...." Tiba-tiba kata-kata Siau Po terhenti. Dia mengeluarkan seruan tertahan, sebab mendadak tulang rusuknya terasa seperti kebal dan disusul dengan rasa nyeri di dadanya.

"Aduh!" Dia menjerit saking kagetnya, Kemudian dia merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas. Lututnya terkulai dan dia pun roboh ke depan pembaringan Dia merasa tidak mempunyai tenaga sehingga tidak dapat berkutik sama sekali. Tiba-tiba terdengar si kuncu tertawa sambil menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Kemudian dia turun dari tempat tidur dan berkata.

"Jalan darahku sudah bebas! Sudah cukup lama aku menantikan kepulanganmu! Kenapa kau baru datang sekarang?" Siau Po heran. "Siapa yang membebaskan jalan darahmu?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan si nona.

"Tentu saja bebas sendiri!" sahut si nona cilik. "Setelah kau membebaskan jalan darah gaguku, maka jalan darah yang lainnya juga akan bebas setelah waktunya sampai. Aku tidak membutuhkan pertolonganmu lagi sekarang, Aku akan membantumu naik ke atas tempat tidur agar bisa berbaring dengan enak, Aku sendiri akan meninggalkan tempat ini...." Siau Po terperanjat setengah mati.

"Tidak bisa!" katanya cepat, "Kau belum boleh pergi, Wajahmu belum pulih secara keseluruhan. Kau masih membutuhkan obat agar dapat sembuh dari lukamu dan bersih kembali seperti sediakala!" Si nona tertawa geli.

"Kau memang manusia licin dan busuk!" katanya. "Kau pintar membohongi orang! Kapan kau mengukir wajahku? Tadinya aku memang kaget dan ketakutan mendengar kata-katamu yang ternyata hanya bualan belaka!"

"Oh, bagaimana kau bisa tahu?" tanya Siau Po semakin bingung.

"Tadi aku sudah turun dari tempat tidurku dan bercermin," sahut si nona cilik.

"Ternyata di wajahku tidak ada ukiran apa pun...." Siau Po memperhatikan wajah si nona yang memang sudah tampak putih bersih. Dia merasa menyesal.

"Dasar aku yang teledor," katanya, "Kenapa aku tidak memeriksa wajahmu terlebih dahulu? Kalau tidak, mana mungkin aku kena ditipu olehmu, Bila demikian halnya, buat apa aku pergi membeli mutiara yang begitu mahal? Kau lihat, aku sudah menjelajahi seluruh kota untuk mencari barang-barang ini, Selain kalung mutiara, aku juga membeli sepasang barang mainan lainnya!"

Si nona cilik masih kekanak-kanakan, mendengar barang mainan hatinya jadi tertarik.

"Barang mainan apa?"

"Kau bebaskan dulu jalan darahku, Nanti aku perlihatkan kepadamu," sahut Siau Po. Dia memang ditotok oleh si nona sehingga tidak dapat berkutik sama sekali.

"Baik!" sahut si nona cilik yang langsung mengulurkan tangannya, Tapi tiba-tiba dia menghentikan karena sinar matanya bertemu pandang dengan bola mata Siau Po yang jelalatan sehingga kecurigaannya jadi timbul. Siau Po tidak mengerti mengapa si nona tak jadi membebaskan jalan darahnya, Dia memperhatikan gadis cilik itu lekat-Iekat. Si nona tertawa.

"Aih! Hampir saja aku kena kau kelabui lagi! Begitu aku membebaskanmu, tentu kau akan melarang aku pergi," katanya.

"Tidak, tidak akan!" sahut Siau Po.

"Kalau seorang laki-laki sudah mengeluarkan kata-kata-nya, entah kuda apa pun tidak bisa mengejarnya!"

"Empat ekor kuda sulit mengejarnya!" kata si nona membetulkan.

"Mana ada kuda apa yang tidak bisa mengejarnya?"

"Tapi kuda yang kumaksudkan ini lebih cepat dari keempat kudamu!" kata Siau Po berkeras.

"Kalau kudaku saja tidak dapat mengejar, apalagi ke empat ekor kudamu itu." Si nona tersenyum, Dia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan "kuda apa pun", karena itu dia lalu menatap Siau Po lekat-lekat kemudian berkata.

"Baru kali ini aku mendengar kalimat kuda apa pun tidak bisa mengejarnya."

"Itulah sebabnya aku mengajari kau hari ini," kata Siau Po yang kecerdikannya luar biasa itu. Dia juga nakal sekali dan suka bergurau "Hari ini aku ingin menyenangkan hatimu, Barang mainan ini indah sekali, terdiri dari sepasang jantan dan betina."

"Apakah itu sepasang kelinci ?" tebak si nona cilik yang semakin penasaran dan tertarik. Siau Po menggelengkan kepalanya.

"Bukan! Tentunya lebih menarik sepuluh kali lipat daripada kelinci!"

"Mungkinkah ikan mas?" tanya si nona lagi, Dia semakin ingin tahu. Sekali lagi Siau Po menggelengkan kepalanya.

"Apa sih?" tanya si nona. Dia bingung sekali, Disebutnya beberapa jenis binatang dan benda lain nya, tapi Siau Po tetap menggelengkan kepalanya.

"Ayo, keluarkanlah!" kata si nona akhirnya, Di merasa kewalahan "Barang apa sih sebetulnya yang kau beli?"

"Cepat kau bebaskan dulu diriku," kata Siau Po "Setelah bebas, aku akan perlihatkan kepadamu!"

"Tidak bisa!" kata si nona cilik sambil menggelengkan kepalanya, "Sekarang juga aku akan meninggalkan tempat ini, Sudah lama kakakku tidak melihat aku, pasti dia khawatir dan bingung sekali!" Siau Po menatap gadis cilik itu lekat-lekat.

"Kau mengatakan bahwa kau telah bebas, bukan? Kau juga mengatakan akan meninggalkan tempat ini? Nah, mengapa kau tidak pergi dari tadi saja? Mengapa harus menunggu sampai aku pulang?"

"Kau baik sekali terhadapku. Kau ingin membelikan aku barang permata, Karena itu, aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu, Dan aku harus pamitan kepadamu, Kalau aku pergi begitu saja, bukankah aku bisa dikatakan tidak tahu sopan santun dan tidak menghargaimu sama sekali?"  Mendengar ucapan si nona cilik, Siau Po segera berpikir dalam hati.

"Ah, dasar nona toloI! Kalau aku mengatakan keluarga Bhok itu keluarga kayu, perkiraanku memang tidak salah, Nama keluarga mereka salah!" Meskipun dalam hati dia berpikir demikian, namun mulutnya berkata lain: "Kau tahu, aku mencemaskan keadaanmu, sepanjang jalan aku tidak dapat tenang, Aku terburu-buru memasuki toko-toko emas intan untuk mencari barang yang aku inginkan, Di beberapa toko, barang itu tidak ada. Aku menjadi bingung karena sudah terlalu lama di luaran, Ketika sudah mendapatkannya, aku berlari-lari pulang, sampai aku tersandung jatuh beberapa kali."

"Oh!" seru si nona cilik.

"Kau tentu merasa kesakitan, bukan?" Siau Po sengaja meringis.

"Sekali aku terjatuh sehingga dadaku kebentok kayu," sahutnya, "Ketika itu aku merasa bukan main sakitnya...."

"Apakah sekarang kau masih merasa sakit?" tanya si nona. Siau Po mengeluarkan suara mirip erangan.

"Iya, sekarang aku masih merasa sakit," sahutnya.

"Kau menotok jalan darahku dan membuat aku ih, rasa, nyerinya semakin bertambah, Kau.,., aku,.,." suaranya semakin perlahan, nona cilik itu memperhatikannya, Dia melihat Siau Po seperti benar-benar kesakitan. Tiba-tiba dia melihat sepasang mata bocah itu membelalak ke atas, sehingga yang tampak hanya bagian yang putihnya saja, Kemudian mata itu dipejamkan rapat-rapat

dan orangnya pun diam saja, Tampaknya bocah cilik itu hampir jatuh pingsan. Si putri bangsawan itu terkejut sekali melihat keadaan Siau Po.

"Eh... kau... kenapa?" tanyanya gugup, "Apakah... kau merasa sakit sekali?" Dengan suara yang lemah sekali, Siau Po menjawab

"Mungkin a... ku akan ma... ti. Tapi... aku tidak takut, Hanya ada satu hal yang mencemaskan hatiku, mem... buat perasaanku tidak tenang..."

"Apa itu?" tanya si nona, "Katakanlah!"

"Tempat ini sangat berbahaya," kata Siau Po yang seakan memaksakan dirinya untuk berbicara: "Kalau aku mati, tidak ada orang yang membantumu. Kau tahu, ada orang-orang yang ingin menawanmu, mereka hendak membunuhmu..."

"Kau tidak akan mati," kata si nona, "Kau tidurlah, sebentar kau akan sehat kembali Aku akan pergi sekarang!"

"Tapi... aku sukar ber... nafas.,." sahut Siau Po, suaranya demikian lemah, Tampaknya dia sedih sekali, Nafasnya tertahan.

Nona Bhok lantas mengulurkan tangannya ke depan hidung bocah itu. Dia terkejut sekali karena tidak merasakan hembusan nafas.

"Oh!" serunya tertahan, Air matanya langsung menetes keluar. Diam-diam Siau Po melirik. Dia melihat keadaan si nona dan mendengar isak tangisnya, Dalam hati dia malah menertawakan, "Dasar nona kelas sembilan! Tampaknya dia belum pengalaman sama sekali..."

"Apakah kau pingsan?" tanya si nona, "Kau tidak boleh mati!" Siau Po menatap si nona dengan sinar mata sayu.

"Kau tidak boleh mati!" seru si nona cilik sekali lagi.

"Tapi... kau menotok... jalan da... rah yang salah," kata si bocah dengan suara lemah, "Ta... hukah kau, yang... kau to... tok itu jalan... darah ke... matianku?" Kuncu cilik itu tampak terkejut setengah mati.

"Tidak mungkin!" katanya bingung, "Kau tidak mungkin mati! Aku tidak mungkin salah menotok! Ajaran guruku tidak mungkin keliru! Kau, tahu barusan aku menotok kedua jalan darah Leng Hi dan Pou Long, kemudian aku juga menotok jalan darah Thian ti di tubuhmu."

"Tapi, kau sedang bingung, pikiranmu sedang ka... lut," sahut Siau Po.

"Karena pikiranmu bingung dan kacau, kau... salah menotok, Aduh! Rasanya,., da... rahku... bergolak... aduh!"

"Apakah jalan darahmu tersesat?" tanya si non cemas.

"Ya,., ter... sesat!" sahut Siau Po tersendat sendat "Aih!... ilmu menotok... mu be...lum sempurna, Kenapa kau... sembarangan me... notokku Kau bukan menotok... jalan darah Thian ti dan Po long, tapi ja... lan darah kematianku yang kau totok!" Sebetulnya Siau Po tidak tahu nama-nama jala darah, dia hanya meniru kata-kata si nona cilik saja. Untungnya si nona cilik juga belum begitu paham semua jalan darah, jumlahnya memang banyak sekali sehingga timbul kesangsian dalam hati si gadis cilik bahwa ada kemungkinan memang dia sudah salah menotok.

"Aih!" serunya kemudian, "Mungkinkah aku telah menotok jalan darah Tan tiong?"

"Iya, tidak salah lagi!" kata Siau Po cepat, Tapi... kuncu,., sudahlah, Kau tidak perlu khawatir atau menyesal Aku tidak menyalahkan engkau. Aku tahu kau tidak sengaja menotokku, Niatmu baik, Kalau aku sudah mati nanti, dan ditanyakan oleh penjaga Akherat, aku tidak akan mengatakan bahwa kau yang menotokku sampai mati, Aku akan katakan bahwa aku menotok diriku sendiri!" Kuncu cilik itu tercekat hatinya ketika mendengar Siau Po menyebut-nyebut penjaga akherat, tapi di samping itu dia juga agak lega mendengar bocah itu berjanji tidak akan menyeret-nyeret dirinya.

"Begini saja," kata si nona cepat, "Nanti aku akan menotokmu lagi untuk membebaskanmu, Aku harap akan berhasil.." Benar saja, nona bangsawan itu segera meraba-raba dada Siau Po kemudian menotok beberapa kali, Juga bagian iga dan bawah ketiaknya. Siau Po merintih.

"Aih, jalan darahku sudah tertotok, Pasti jiwaku tidak bisa tertolong lagi," katanya.

"Belum tentu," sahut si nona, "Aku menyesal telah salah menotokmu."

"Aku tidak menyalahkan engkau, Aku tahu kau baik hati, Kalau aku sudah mati nanti, dari alam baka aku akan melindungimu dari pagi sampai malam, arwahku akan selalu mengikutimu Aku bisa mencegah apabila ada orang yang akan mencelakaimu. Si nona semakin tercekat hatinya, dia jadi bingung sekali.

"Apa katamu?" tanyanya menegaskan "Arwahmu akan mengikutiku terus?"

"Jangan takut, kuncu," kata Siau Po.

"Arwahku tidak akan mengganggumu, Hanya ada satu hal yang harus kau ketahui, siapa yang membunuhmu, setan-ku akan terus mengikutinya." Si nona masih bingung.

"Sesungguhnya aku tidak berniat mencelakaimu...." Siau Po menarik nafas panjang.

"Kuncu, sebenarnya siapakah namamu?" tanyanya kemudian.

"Untuk apa kau menanyakan namaku?" tanya si nona cilik dengan menatap tajam pada Siau Po.

"Apakah kau ingin menuntutku di akherat nanti? Tidak! Aku tidak akan memberitahukan namaku kepadamu!"

"Kalau aku tahu siapa namamu, di akherat nanti aku bisa memberikan keterangan," sahut Siau Po "Di sana aku akan memohon para iblis untuk melindungimu! Di sana ada setan-setan yang mati gantung diri! Ada setan yang tadinya pendeta, juga ada setan tanpa kepala! Akan kusuruh mereka mengiringi kau setiap waktu!" Si nona jadi ketakutan mendengar kata-katanya.

"Tidak! Tidak!" serunya.

"Aku tidak sudi diikuti mereka!"

"Habis bagaimana?" tanya Siau Po.

"Bagaimana kalau yang mengikutimu hanya satu setan saja?" Nona cilik itu bimbang beberapa saat, "Kau... kau..." katanya kemudian.

"Kalau kau yang mengikutiku, asal kau berjanji tidak akan membuat aku kaget..."

"Sudah pasti aku tidak akan membuat kau kaget janji Siau Po.

"Siang hari di saat kau duduk... duduk, aku akan menemanimu mengusir lalat. Di malam hari kalau kau sedang tidur, aku akan membantumu membasmi nyamuk yang nakal, Kalau kau sedang kesal atau berduka, arwahku akan mengirimkan mimpi tentang dongeng yang menarik agar hatimu terhibur."

"Mengapa kau memperlakukan aku begini baik?" tanya si nona sambil menarik nafas panjang, "Kalau demikian, lebih baik kau jangan mati..."

"Dalam satu hal kau telah berjanji padaku..." kata Siau Po.

"Kalau kau tidak menepatinya, bukankah aku bakal mati dengan mata melek?"

"Apa itu?" tanya si nona cilik, "Apa yang telah kujanjikan kepadamu."

"Kau pernah berjanji akan memanggil aku kakak yang baik sebanyak tiga kali," sahut si bocah.

"Tapi kau baru memanggilnya satu kali. Kalau di saat sebelum menutup mata kau memanggilku lagi, barulah aku dapat mati dengan tenang." Puteri ini hidup di Propinsi Inlam dan leluhurnya turun temurun merupakan raja muda. Begitu pula ayah bundanya, saudara-saudaranya semua memperlakukannya dengan baik sekali. Dia sangat disayangi Meskipun belakangan negara runtuh dan keluarganya ikut tertimpa musibah, keagungannya tetap tidak berubah. Semua Ke Ciang, pengawal maupun sekalian budak-budaknya tetap memperlakukannya sebagai keluarga bangsawan Selama hidupnya, belum pernah ada orang yang berani mendustainya atau menggertaknya dengan kata-kata yang tidak benar, itulah sebabnya ketika mendengar ucapan Siau Po, dia percaya sepenuhnya. Padahal ketika berbicara, dia melihat sinar mata si bocah yang mengandung kelicikan, tetapi pada dasarnya hati si nona cilik ini memang masih polos dan belum mengerti apa arti keculasan, atau tepatnya dia sendiri masih hijau, dia jadi tidak mengambil hati, Namun akhirnya dia tersadar juga.

"Kau sedang berbohong!" katanya, "Kau tidak bakalan mati!" Siau Po pun tertawa.

"Andaikata benar aku tidak mati sekarang, toh lewat beberapa hari lagi aku akan mati juga," sahutnya.

"Lewat beberapa hari nanti juga kau tidak akan mati!" kata si nona tegas. Siau Po kembali tertawa.

"Seandainya lewat beberapa hari aku tidak mati, tapi lama kelamaan aku toh akan mati juga!" kata Siau Po berkeras, "Kalau kau tetap tidak sudi memanggil aku kakak yang baik, kalau aku sudah mati nanti, setiap hari arwahku akan memanggilmu... adik

yang ba... ik ... a... dik yang ba... ik...." Sengaja Siau Po membuat ucapannya menjadi panjang dan menyeramkan nadanya seperti ratapan sehingga si nona menjadi ketakutan dan tubuhnya gemetar Siau Po malah sengaja menjulurkan lidahnya keluar seperti mayat yang mati menggantung diri.

"Oh!" jerit si nona yang langsung hendak lari keluar kamar. Siau Po lompat menyusul, sebelah tangannya menjambret pinggang gadis cilik itu dan kemudian merangkulnya, sedangkan sebelah tangannya yang lain digunakan untuk memalang pintu.

"Kau tidak boleh keluar!" kata Siau Po.

"Di luar banyak setan jahat!"

"Lepaskan aku!" teriak si nona.

"Aku mau pulang!"

"Kau tidak boleh keluar!" kata Siau Po ngotot. Kuncu itu marah sekali, Dia menghajar tangan Siau Po yang merangkulnya, Tapi,

bocah itu menangkis sekaligus mencekal tangan nona cilik itu. Kuncu tersebut semakin gusar, Dia menggunakan tangan yang satunya lagi untuk menghajar kepala bocah itu. Namun Siau Po dapat menghindarkan diri dengan merendahkan tubuhnya, Tangannya yang sebelah digunakan untuk merangkul paha gadis cilik itu, sehingga si kuncu tidak dapat menggerakkan kakinya. Kuncu itu penasaran, dia menyerang kembali, Kali ini Siau Po tidak sempat mengelak, bahunya terhajar, tapi dia dapat menahan rasa sakitnya, Ditariknya kaki si nona cilik yang dirangkulnya itu sehingga si kuncu terjatuh, kemudian dia menerjang dengan maksud hendak menindihnya. Kuncu itu mengadakan perlawanan Dia mengirimkan sebuah tendangan dengan gerakan Wan yo Tui mengarah muka orang, Untuk itu, si bocah memiringkan wajahnya sedikit dan di samping itu dia masih mencekal tangan si nona keras-keras. Sebenarnya dalam hal ilmu silat, si kuncu masih menang jauh daripada Siau Po. Kalau sekarang dia tidak berdaya, hal ini karena Siau Po mengajaknya bergumul, dengan tanpa memperdulikan tata krama. Apalagi tangannya sudah kena dicekal Bocah itu malah tertawa dan berkata, "Nah, kau menyerah tidak?"

"Tidak!" sahut si nona berkeras. Siau Po mengangkat kaki kirinya. Dengan dengkulnya dia menekan punggung nona cilik itu.

"Menyerah tidak?" bentaknya.

"Tidak!" sahut si nona ketus, Dia mendongkol sekali, Seumur hidupnya belum pernah dia diperlakukan orang sedemikian rupa, Biasanya dia justru dimanjakan sekali. Siau Po menambah tenaganya, Dia menarik tangan gadis cilik itu keras-keras.

"Aduh!" jerit si nona, Mau tidak mau air matanya mengalir karena rasa sakit yang tidak tertahankan. Selama Siau Po berlatih gulat dengan kaisar Kong Hi, belum pernah ada satu pihak pun yang menjerit kesakitan, apalagi nenangis, Biasanya kalau salah satunya sudah berteriak: "Menyerah tidak?" asal yang lainnya menyerah, pergulatan pun selesai, Apabila masih ingin dilanjutkan perkelahian pun dimulai lagi dari awal. Siapa sangka si kuncu cilik ini malah menangis saking sakitnya.

"Hah! Budak tidak ada gunanya!" kata Siau Po sambil tertawa, Dia pun lalu melepaskan cekalannya. Kuncu itu bergerak bangun, tiba-tiba tangan kirinya melayang ke depan! Hal ini tidak disangka-sangka oleh si bocah, Tinju itu sempat mampir juga di hidungnya, sedangkan tangan si nona yang satunya lagi telah meluncur dengan jurus "Sepasang walet terbang". Bahu kanannya sudah terhajar, sekarang bahu kirinya terkena hantaman pula. Bocah itu jadi jatuh terduduk Dengan demikian Kuncu itu pun segera lari ke pintu. Dia bermaksud menyingkirkan kayu palangnya dan lari keluar. Dengan menahan rasa sakitnya, Siau Po melompat mengejar Disambarnya nona cilik itu kemudian dirangkulnya lehernya, Si nona cilik itu pun menggerakkan kedua sikutnya untuk menghajar dada si bocah. Sekali lagi Siau Po kena batunya! Untung saja tenaga si nona sudah jauh berkurang sehingga akibatnya tidak begitu hebat. Siau Po sadar, seandainya si nona berhasil lolos dari kamarnya, mereka berdua akan tertimpa bencana, karena itu dengan menahan rasa sakit, dia terus merangkul sedangkan si nona tidak henti-hentinya meronta.

Satu kali si kuncu berhasil memuntir batang leher Siau Po sehingga wajah mereka berhadapan. Tapi dia menjadi terkejut sekali begitu melihat wajah si bocah berlumuran darah.

"Eh, kenapa kau?" tanyanya kaget, "Kau berdarah sebetulnya tinju si nona yang mampir di hidung Siau Po yang menyebabkan darah mengalir Namun Siau Po tidak sempat memperdulikannya. Lukanya tidak berarti, rasa sakitnya pun sudah hilang. Hanya darahnya saja yang masih mengucur terus, meskipun tidak terlalu banyak.

"Kau tidak boleh pergi dari sini?" kata Siau Po yang tidak memperdulikan pertanyaan itu "Lekas lepaskan aku!" teriak si nona.

"Tidak!" sahut Siau Po, yang tetap merangkul erat-erat. Si nona mulai kebingungan melihat darah dari hidung Siau Po yang terus mengalir.

"Apakah kau merasa sakit?" tanyanya kemudian.

"Aku merasa kesakitan, malah sudah hampir mati!" sahut si bocah yang masih tidak lupa bergurau "Biarlah kali ini kau hajar aku sampai mampus sekalian!" Bocah ini memang cerdik, Dia mencekal kedua tangan si nona sehingga tidak dapat digerakkan untuk menotoknya.

"Kau tidak akan mati!" kata si nona, "Meskipun hidungmu terhajar dan mengeluarkan darah, kau tetap tidak akan mati!"

"Darahku masih belum berhenti mengucur Kalau nanti sudah berhenti, aku pasti akan mati, Biar sudah menjadi mayat, aku akan memelukmu terus, Apapun yang kau katakan, pokoknya aku tidak mau melepaskan!"

"Biarkan aku mengambil kapas untuk menyumbat hidungmu Dengan demikian darahnya tidak akan mengalir terus," kata si nona kemudian.

"Biarkan saja, Aku lebih suka darahku mengalir terus, semakin deras dan semakin banyak, semakin baik. Biar aku cepat menjadi mayat!" Si kuncu cilik jadi kewalahan.

"Kau tidak boleh mati," katanya kemudian.

"Aku minta jangan kau menjadi mayat!"

"Aku tidak akan mati kalau kau berjanji tidak akan pergi dari sini!" kata Siau Po.

"Baik, aku tidak akan pergi!" sahut si nona, Namun dalam hatinya dia berpikir "Kau tidak akan mati!"

"Asal kau melangkah keluar dari pintu kamar, aku akan bunuh diri!" kata Siau Po mengancam Kemudian dia mengendorkan cekalannya pada tangan si nona sehingga dapat bergerak bebas, Si kuncu cilik menarik nafas lega.

"Kau berbaringlah dulu, nanti aku bantu kau menghentikan darah yang mengalir dari hidungmu. Pernah satu kati aku tersandung dan hidungku juga berdarah, tapi aku toh tidak mati." Selesai berkata, si nona cilik itu segera memegang tangan Siau Po dengan maksud memayangnya. Siau Po pura-pura limbung sehingga tubuhnya menabrak dan saling menempel dengan si kuncu, Tapi si nona cukup sigap, dia berhasil memegangi tubuh Siau Po dan membawanya ke atas pembaringan setelah itu dia lalu mengambil sehelai sapu tangan yang kemudian ia celupkan ke air yang kemudian digunakannya untuk mengompres dahi si bocah. Di samping itu, dia menggunakan sapu tangan lainnya untuk menyusut darah di hidung Sia Po. Dia bekerja dengan hati-hati namun cekatan, "Kau berbaringlah dan istirahat sebentar," kat si nona, "Darah di hidungmu akan berhenti mengalir. Barusan aku telah menghajarmu Aku merasa menyesal sekarang aku benar-benar akan pergi. Jangan kau halang-halangi aku. Kalau tidak, aku akan memukulmu lagi!"

"Aduh!" Tiba-tiba Siau Po menjerit "Bagian belakang telingaku sakit!" Si nona cilik terkejut setengah mati, Dia menoleh kan kepalanya dan membatalkan niatnya keluar Segera dia menghampiri Siau Po.

"Benar?" tanyanya sambil membungkukkan tubuhnya untuk melihat keadaan bocah itu. Begitu si nona mendekati mendadak Siau Po menyambar pinggang gadis itu sambil mengerahkan tenaganya, Si nona cilik terkejut. Dia meronta-ronta namun tidak berdaya.

Rangkulan Siau Po kali ini menggunakan jurus Tenglo Si atau Lilitan rotan yang membuat orang tidak bisa mengerahkan tenaga nya. Ketika si kuncu masih berusaha memberontak tiba-tiba terdengar sebuah suara di jendela.

"Diam!" bisik Siau Po. "Ada setan!" Kuncu itu tercekat hatinya. Dia segera diam, Gagallah usahanya untuk meronta lebih jauh. sedangkan tadinya dia berniat menghajar wajah si bocah untuk membuatnya kesakitan sehingga rangkulannya terlepas.

Kembali terdengar suara di jendela yang seakan ada seseorang sedang mendorongnya. Siau Po terperanjat Sejak Hay kongkong sakit, jendela itu sudah dipantek dengan paku dan terus dibiarkan dalam keadaan demikian saja. Hal ini untuk mencegah apabila ada orang yang hendak mengintai Tapi sekarang, untuk pertama kali ada orang yang berusaha membongkarnya.

Bagian 18

"Benar-benar setan?" tanya Siau Po seakan pada dirinya sendiri. Kuncu tadi semakin ketakutan. Dia yang tadinya berdiri di sisi tempat tidur segera naik ke atasnya, Kepalanya menyusup ke dalam selimut dan bersandar di dada si bocah cilik, Tubuhnya gemetar. "Siau Kui cu... Siau Kui cu...." Terdengar panggilan dari luar jendela, Suara seorang wanita.

"Ah! Setan perempuan!" kata Siau Po. Kuncu tersebut semakin takut Dia merangkul si thay-kam gadungan erat-erat Tiba-tiba terasa angin berhembus, lilin dalam kamar jadi padam, Tahu-tahu di dalam kamar telah bertambah seseorang yang suaranya terdengar kembali.

"Siau Kui cu.... Siau Kui cu... Giam Lo ong (raja akherat) telah memanggilmu! Kata Giam Lo ong, kau telah menganiaya Hay kongkong sampai mati."

"Aku tidak menganiaya Hay kongkong.,." kata Siau Po tapi hanya dalam hati.

"Siau Kui cu.... Giam Lo ong akan meringkusmu!" kata si setan, "Kau akan dilemparkan ke gunung golok dan dimasukkan ke dalam kuali panas! Kau tidak mungkin lolos lagi!" Sampai di situ, hilang sudah perasaan terkejut di hati Siau Po. sebaiknya dia merasa terkesiap, karena dia mengenali suara wanita itu sebagai suara Hong thayhou. Baginya, ibu suri ini justru lebih menakutkan dari setan mana pun, sebab Hong thayhou bisa merenggut nyawanya dengan mudah! Tadinya perasaan Siau Po sudah agak tenang, Dia mengira Hong thayhou sudah percaya sepenuhnya kepada dirinya karena sudah sekian lama tidak pernah mengambil tindakan apa-apa. Dia juga mempunyai dugaan bahwa ibu suri tidak berani mencelakainya karena dia sangat disayang oleh Sri Baginda. Padahal, alasan mengapa ibu suri selama ini tidak melakukan tindakan apa-apa, adalah karena harus merawat lukanya yang cukup parah akibat bentrokan dengan Hay kongkong tempo hari. Dia juga penasaran mengapa si bocah tidak mati oleh pukulan Hay kongkong yang lihay itu. Karena itu pula dia menduga tenaga dalam si thay-kam cilik sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, sedangkan untuk membunuh si bocah, selama lukanya belum sembuh, ibu suri enggan menggunakan tangan orang lain. Kalau saja dia mau menggunakan tenaga orang lain, dia tinggal mengeluarkan perintahnya dan bereslah sudah. Malam ini tiba saatnya bagi Hong thayhou untuk menghabisi duri dalam mata yang satu ini. sebetulnya dia belum sehat betul, tapi dia tidak bisa bersabar lebih lama, itulah sebabnya dia mendatangi kamar si thay-kam cilik dan membongkar jendelanya. Sama sekali tidak terbayangkan oleh ibu suri bahwa di dalam kamar itu ada orang lainnya... Tenaga dalam sudah dikerahkan pada lengan kanannya, setindak demi setindak thayhou berjalan mendekati tempat tidur. Kepandaiannya tidak terpaut jauh dengan Hay

kongkong, Dapat dibayangkan apabila serangannya mencapai sasaran! Siau Po sendiri diam-diam sudah mempertajam pandangan matanya, Meskipun keadaan di dalam kamar remang-remang, namun dia bisa melihat gerak-gerik ibu suri. Dia tidak berani mengadakan perlawanan juga tidak terpikir olehnya untuk melarikan diri, Mungkin karena dia merasa sia-sia. Dia hanya menggeser tubuhnya agar tertutup oleh kasur. Tapi karena tubuhnya bergerak, otomatis tubuh si kuncu cilik ikut tergeser juga. Thayhou segera melancarkan serangan. Dia tidak ingin kepalang tanggung dalam turun tangan. Namun Siau Po tidak terhajar telak, Hanya ada sedikit nyeri yang dirasakannya, Tubuhnya pun sudah bergeser dari tengah-tengah tempat tidur.

Thaybpu masih belum puas, Dia tidak mendengar suara apa pun dan juga tidak bisa melihat keadaan musuhnya, Dia segera melancarkan serangan untuk kedua kalinya. Tepat ketika dia meluncurkan tangannya, di saat itu juga Hong thayhou mengeluarkan seruan terkejut namun perlahan Dalam waktu yang bersamaan dia merasa sakit juga heran. Tinjunya seakan mengenai benda yang tajam. Sambil menjerit dia mencelat ke belakang! Tepat pada saat itu juga, di luar kamar terdengar suara teriakan-teriakan gaduh.

"Ada pembunuh gelap! Ada pembunuh gelap!" Hati thayhou benar-benar tercekat "Mengapa ada orang yang tahu perbuatanku?" tanyanya dalam hati. Dengan gesit dia melompat keluar lewat jendela. Dia adalah seorang ibu suri, meski para bawahannya sendiri sekalipun, tidak boleh ada seorang pun yang memergokinya. Dia kabur tanpa sempat mencari tahu apakah Siau Po masih hidup atau sudah mati. Dia juga dibingungkan oleh rasa nyeri di tangannya. Tepat di saat ibu suri melompat keluar dan kakinya belum sempat menginjak lantai, tiba-tiba ada seseorang yang menyerangnya, Dia terkejut namun cukup waspada. Matanya juga sempat melihat sehingga kedua belah tangannya segera menangkis datangnya serangan bokongan itu, Akibatnya penyerang itupun terhajar mundur. Di saat thayhou masih kebingungan dari kejauhan terdengar orang berteriak.

"Pasukan pertama dan kedua melindungi Sri Baginda! Pasukan ketiga kanan lekas melindungi thayhou! Ingat, jangan sampai ada yang meninggalkan pos masing-masing!" Menyusul itu, dari sebelah kanan di mana terdapat gunung-gunung buatan terdengar lagi teriakan.

"Awas! Di sini ada orang jahat! Dia ingin mencelakai Kui kong kong!" Thayhou segera mengetahui bahwa teriakan teriakan itu merupakan suara dari para siwi atau pengawal istana, Dia tidak ingin dipergoki oleh mereka. Lekas-lekas dia melompat ke taman untuk bersembunyi di antara pepohonan bunga. Dia bingung sekali karena tangannya terasa sakit sekali Dari sana dia dapat menonton serombongan orang yang tengah bertempur sengit juga terdengar bentrokan senjata tajam yang nyaring dan bising.

"0h... Rupanya ada pemberontak yang menyerbu istana!" pikir Hong thayhou, "Entah mereka ini antek-anteknya Hay kongkong atau Go Pay?" Thayhou hanya menduga tentang kemungkinan salah satu di antara kedua orang tersebut. Dari kejauhan masih terdengar suara-suara teriakan. Kali ini diiringi munculnya sinar obor serta lentera di sana-sini yang semuanya mendekati arena pertempuran.

"Ah! Kalau aku tidak cepat-cepat kembali ke istanaku, pasti aku akan celaka," pikir ibu suri kemudian Dia pun langsung berjalan dengan mengendap-endap lalu lari menuju kamarnya. Baru beberapa tombak dia berlari, tiba-tiba ada sesosok bayangan yang menghadangnya. Sambil membentak orang itu lantas melancarkan serangan.

"Pemberontak! Berani kau menyerbu istana?" Thayhou menggeser tubuhnya, tangan kanannya bersikap menangkis sedangkan tangan kirinya menghantam ke pundak penyerangnya itu. Si penyerang menghindarkan diri, Dia menggunakan sebatang senjata yang mirip dengan garpu raksasa, Dia balas menyerang kembali sehingga kali ini giliran Hong thayhou yang harus mengelakkan diri. Dengan demikian terjadilah pertempuran yang sengit di antara mereka berdua. Thayhou bingung juga jengkel Siwi yang satu ini lihay sekali, ia sanggup melayani ibu suri sebanyak dua puluh jurus lebih, Malah dia sempat membentak: "Oh! Kiranya pemberontak perempuan! Bagaimana kau begitu berani mati menyerbu ke dalam istana?" Thayhou sadar, untuk merobohkan siwi itu setidaknya dia memerlukan tiga puluhan jurus lagi, sedangkan dia tidak menginginkan hal itu terjadi, karena penundaan waktu merupakan bencana baginya. Bagaimana kalau para siwi yang lainnya sempat berdatangan? Celakalah kalau dia sampai terkurung. Rahasianya pasti akan terbongkar. Pada saat itu dia melihat kurungan ke arah dirinya semakin merapat.

"Hei, budak celaka" akhirnya dia memutuskan untuk membuka suara. Dia sadar bahwa dia tidak dapat melayani siwi itu bertempur lebih lama lagi, Dia juga sengaja tidak merubah suaranya. Bukan main terkejutnya hati si pengawal Dia membatalkan penyerangannya sambil mencelat ke belakang sejauh dua tindak.

"Apa katamu?" tanyanya bimbang, Dia merasa kenal dengan suara itu, tapi dalam keadaan gelap dia tidak dapat melihat dengan jelas.

"Aku ibu suri!" bentaknya sambil melancarkan serangan dengan menggunakan kesempatan ketika si pengawal sedang tertegun, Orang itu pun segera terjengkang roboh dengan nyawa melayang. Demi keselamatan dirinya sendiri, thayhou terpaksa menurunkan tangan kejam, Setelah itu, di langsung melarikan diri ke kamarnya. Sementara itu, Siau Po masih merasa terkejut karena hajaran thayhou tadi membawa rasa sakit tapi kesadarannya masih utuh dan untung saja dia ingat untuk membela dirinya sendiri. Menjelang saat-saat genting, dia mengeluarkan pisau belati dan kemudian mengangsurkan pisau tersebut ke atas menembus kasur. Sungguh kebetulan, tepat pada saat itu tinjunya ibu suri datang menyambut pisau tersebut. Karena itulah Hong thayhou sampai terkejut kesakitan dan langsung lari pergi. Apalagi dalam waktu yang bersamaan terdengar suara-suara teriakan yang gaduh, sedangkan pisau Siau Po sempat menembus telapak tangannya dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya. Kepergian Hong thayhou menguntungkan Siau Po, kalau tidak, dia tentu akan terus terancam bahaya, Cepat-cepat dia menyingkap kasur dan selimutnya. sekarang dia juga dapat mendengar dengan jelas suara berisik di luar. Namun dia masih belum mengerti apa yang telah terjadi.

"Celaka, thayhou pasti mengirim orang untuk menangkapku!" Hal inilah yang pertama-tama teringat olehnya.

"Cepat kita lari!" katanya kepada si kuncu cilik. Tapi nona itu malah menangis.

"Aduh! Aduh!" keluhnya. Rupanya pukulan Hong thayhou yang mengenai pinggang Siau Po sempat menyerempet si kuncu cilik, Dia merasa sakit sekali, namun saking takutnya sejak tadi dia diam saja. Setelah mendengar kata-kata Siau Po, dia baru berani mengeluarkan suara.

"Kenapa kau?" tanya Siau Po terkejut sekaligus heran, Dia menarik leher baju nona cilik itu untuk membangunkannya, "Mari kita lari secepatnya! Cepat!" Tubuh kuncu itu tertarik bangun, tapi sebelum sempat menginjak lantai, dia terjatuh kembali sehingga kembali dia merintih kesakitan Pahanya terasa nyeri sekali Dia tidak sanggup berdiri.

"Pahaku sakit!" katanya kemudian "Tulang pahaku mungkin patah." Siau Po menjadi kebingungan.

"Setan alas! Celaka!" serunya sambil mendamprat "Kenapa tulangmu justru patah pada saat seperti ini? Aih! PerduIi amat! Yang penting aku harus menyingkir dari sini!" katanya dalam hati. Dia melompat ke jendela untuk mengintai keluar Dia bermaksud kabur lewat jendela itu. Namun pada saat itulah Siau Po sempat melihat ibu suri merobohkan seorang penghadang yang dikenalinya sebagai salah seorang pengawal istana, karena baju seragamnya terlihat jelas, Dia menjadi heran.

"Ah! Kenapa thayhou membunuh pengawalnya sendiri?" pikirnya diam-diam. Dia juga melihat thayhou bersembunyi di dalam taman.

Setelah itu, Siau Po juga melihat serombongan orang sedang bertempur dengan sengit tidak jauh dari tempat persembunyian Hong thayhou, Disusul dengan suara teriakan di sana-sini, bocah yang cerdik ini langsung dapat menduga bahwa istana telah kedatangan penyerbu.

"Tangkap pembunuh gelap! Tangkap pembunuh gelap!" demikian suara teriakan yang terdengar olehnya. Mendengar suara-suara itu, hati Siau Po menjadi lega seketika. Jadi, bukan dia yang hendak ditangkap, hanya para siwi yang sedang bertempur melawan pemberontak yang datang menyerbu. Ketika itu Siau Po sempat juga melihat Hong thayhou merobohkan seorang siwi lainnya, Dia melihat pertempuran itu berjalan seru, Setelah si pengawal roboh, thayhou lari kembali, kemudian menghilang di balik kegelapan.

"Para siwi bukan hendak menangkap aku, Mungkinkah mereka mendapat titah Sri Baginda untuk meringkus thayhou?" pikirnya kemudian, "Kalau begitu, aku tidak perlu pergi dulu!" Dia segera menolehkan kepalanya melihat si kuncu, Nona itu duduk di lantai sembari merintih perlahan Dia berjalan mendekati Sekarang hatinya sudah lega, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkannya.

"Bagaimana? Apakah kau merasa sakit sekali? jangan membuka suara! Di luar ada orang yang menawanmu!" Kuncu itu takut sekali sehingga dia terus menghentikan rintihannya, Tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara seruan seseorang.

"Giginya si anjing kaki hitam ini lihay sekali, sebaiknya kita bergegas mendaki gunung Cong san!" Mendengar suara itu, Si kuncu terperanjat.

"Ah! itulah orang-orang kami!" serunya perlahan.

"Apa? orang-orang kalian?" tanya Siau Po he-ran.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Kata-kata rahasia yang mereka ucapkan adalah kata sandi keluarga Bhok kami," sahut si nona, Cepat! Cepat! Aku ingin melihat mereka!"

"Apakah kedatangan mereka kemari memang untuk menolongmu?" tanya Siau Po kembali.

"Aku tidak tahu, Apakah ini istana raja?" si nona malah balik bertanya. Siau Po tidak menjawab, Diam-diam dia berpikir.

"Kalau rombongan penyerbu itu mengetahui kuncu mereka berada di sini, mungkin mereka akan menyerbu ke kamarku ini. Mana mungkin dengan seorang diri aku melawan mereka yang jumlahnya begitu banyak?" Karena itu dia mengulurkan tangannya membekap mulut si nona sembari berkata: "Kau jangan bicara dulu, Kalau sampai ada orang yang mendengarnya, pasti ada orang lain lagi yang datang ke sini untuk menghajar kakimu yang sebelah lagi, Aku tidak sampai hati melihatnya!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan di luar, disusul dengan suara jeritan dan seseorang pun berseru.

"Dua orang pembunuh gelap telah terbunuh!" Ada lagi seruan yang lainnya.

"Sisa kawanan penyerbu melarikan diri ke arah timur! Lekas kejar!" Segera terdengar suara langkah kaki yang ramai berlari serabutan, Suara itu semakin lama semakin jauh.

"Orang-orangmu sudah kabur..." kata Siau Po yang kemudian melepaskan bekapan tangannya pada mulut si nona.

"Mereka bukan kabur," sahut si kuncu, "Tadi mereka mengatakan akan mendaki gunung Cong San, itu artinya mereka hendak mundur untuk sementara waktu."

"Lalu apa yang dimaksud dengan anjing kaki hitam?" tanya Siau Po.

"Anjing kaki hitam itu adalah para pengawal Raja." Dari kejauhan masih terdengar sayup-sayup suara perintah-perintah. Siau Po menduga pastilah para penyerbu itu masih terus diserang atau mungkin sedang dikepung. Tepat pada saat itulah, terdengar suara rintihan lemah dari luar pintu, Suara seorang perempuan.

"Masih ada pembunuh gelap yang belum sempat kabur," kata Siau Po. "Biar aku keluar untuk membacoknya dua kali lagi," Siau Po dapat menduga bahwa orang yang ada di luar pintu kamarnya pasti rombongan penyerbu, karena para siwi di istana itu terdiri dari kaum pria.

"Jangan! jangan kau membunuhnya! Mungkin dia salah satu dari anggota keluargaku!" cegah si kuncu. Dengan berpegangan pada lengan Siau Po, si kuncu berusaha berdiri Dia bertumpu pada bahu bocah cilik itu. Tanpa menghiraukan pahanya yang sakit, dia melompat-lompat dengan kaki kirinya menuju jendela kemudian melongok keluar.

"Apakah langit selatan dan bumi utara?" tanyanya. Siau Po segera membekap mulut gadis cilik itu sehingga suaranya jadi tertahan. Dari luar jendela terdengar sahutan seorang perempuan.

"Sebawahannya Kong Ciak-Beng ong, Apakah Siau kuncu di sana?"

"Perempuan ini berhasil menemukan tuan putrinya, ini berbahaya sekali," pikir Siau Po. Dia segera mengangkat pisaunya untuk menimpuk kepala perempuan itu. Tapi tiba-tiba tangannya yang membekap mulut si kuncu terlepas karena lengan nya terasa nyeri. Rupanya si kuncu sudah berhasil menotok lengan kanannya itu sehingga seluruh tubuhny kesemutan dan tenaganya lenyap.

"Apakah suci di sana?" tanya kuncu tersebut pada perempuan yang ada di luar.

"Benar," sahut perempuan itu dengan nada keheranan, "Kenapa kau ada di sini?" Belum lagi si kuncu menjawab, Siau Po sudah mendamprat perempuan itu terlebih dahulu.

"Setan alas! Kau sendiri kenapa kau ada di situ?"

"Jangan... kau maki dia!" kata si kuncu kepada Siau Po cepat, "Dia adalah suci-ku (kakak seperguruan) Suci... kau terluka, bukan? Eh... eh, lekas cari akal untuk menolongnya! Kakak seperguruanku yang satu ini paling baik terhadapku!" kata si kuncu panik. Kali ini giliran Siau Po yang tidak sempat memberikan sahutan, sebab perempuan itu sudah menukas.

"Aku tidak sudi ditolong olehnya, Lagipula, belum tentu dia mempunyai kesanggupan untuk memberikan pertolongan!" Siau Po meronta dari cekalan si kuncu, "Perempuan bau!" dampratnya, "Aku tidak sanggup memberikan pertolongan? Hm! Kau budak perempuan yang ilmu silatnya dari golongan kelas sembilan? Asal aku mengeluarkan sebuah telunjukku saja, aku bisa menolong orang sebangsamu sebanyak dua atau tiga puluh orang, mungkin malah lebih!" Pada saat itu dari kejauhan masih terdengar suara teriakan-teriakan. Tangkap pembunuh gelap! Tangkap pembunuh gelap!" Kuncu cilik mendengar suara-suara itu, dia menjadi bingung sekali.

"Cepat kau tolongi suci-ku itu. Aku akan memanggilmu tiga kali "Kakak yang baik, kakak yang baik... kakak yang baik...!"

Sebetulnya Siau kuncu atau si kuncu cilik tidak suka memanggil Siau Po dengan sebutan itu. Tapi sekarang keadaan sedang gawat-gawatnya dan dia berusaha membaiki hati Siau Po agar mau menolong kakak seperguruannya. Siau Po tertawa terbahak-bahak, Dia merasa puas dan gembira sekali.

"Oh, adikku yang baik," katanya, "Adikku, apakah yang kau ingin kakakmu ini lakukan?" Wajahnya si kuncu jadi merah padam, Dia merasa jengah sekali.

"Aku minta agar kau mau menolong kakak seperguruanku itu..." sahutnya dengan terpaksa. Dari luar jendela, terdengar si perempuan menukas, "Siau kuncu, jangan minta pertolongannya! Bocah itu belum tentu dapat menolong dirinya sendiri dalam marabahaya!"

"Hm!" Siau Po mendengus dingin, "Justru karena memandang muka adikmu, aku baru berniat menolongmu Adikku, apa yang telah kita ucapkan, tidak boleh kita ingkar. Kau meminta aku menolong dia, baik! Aku akan menolongnya. Tapi kau sendiri, jangan kau ingkari janjimu. Untuk selama lamanya kau harus memanggil aku kakak yang baik!"

"Apa pun aku bisa memanggilmu Aku bisa memanggilmu paman yang baik, kongkong yang baik!" sahut si nona. Siau Po tertawa lagi.

"Cukup kau memanggilku kakak yang baik!" katanya, "Orang yang memanggilku kongkong, sudah kelewat banyak!"

"Ya, ya!" sahut si nona, "Baik! Untuk selama-lamanya aku memanggil kau..."

"Kau apa?" goda Siau Po.

"Ka... kak yang baik.,." kata si kuncu sambil mendorong tubuh Siau Po sehingga bocah itu terpaksa melompat keluar jendela.

Seorang perempuan dengan pakaian serba hitam sedang meringkuk di bawah jendela, Kepada nona itu, Siau Po berkata: "Para siwi di istana ini sebentar lagi akan berdatangan Mereka akan meringkusmu kemudian mencincang tubuhmu sampai hancur untuk dijadikan bakso dan dimasukkan ke dalam air mendidih! Eh, mungkin juga kau akan dijadikan bakpao!"

"Masa bodoh!" bentak perempuan itu.

"Pasti akan datang orang yang membalaskan sakit hati ku!"

"Dasar budak bau! Mulutmu pintar sekali bicara, ya? Bagaimana kalau para siwi itu tidak langsung membunuhmu? Bagaimana kalau mereka membuka dulu seluruh pakaianmu sehingga kau telanjang bulat kemudian mereka semua akan... akan... mengambil kau sebagai istri mereka?" Sembari berkata, Siau Po membungkukkan tubuhnya untuk membopong nona itu, Si nona terkejut setengah mati, Tanpa sadar tangannya melayang untuk menampar pipi bocah tanggung itu. Untungnya nona itu sudah kehabisan tenaga sehingga Siau Po seperti merasa pipinya sedang dieIus. Karena itu dia tertawa lebar dan berkata: "Aih! Kau sungguh keterlaluan! Belum lagi menjadi istriku sudah hendak menampar!" Tanpa menunggu jawaban, dia langsung membawa si nona dan melompat ke dalam kamar, Si kuncu cilik gembira bukan main. Dia menyambut kakak seperguruannya itu kemudian meletakkannya di atas tempat tidur. Tepat pada saat itu dari luar pintu terdengar suara yang perlahan sekali.

"Kui... kong... kong, pe... perempuan i... tu tidak dapat ditolong. Dia a... dalah rombongan... pe... njahat yang ta... di menyer... bu is... tana!" Siau Po terkejut setengah mati.

"Itu suara siwi yang dihajar oleh thayhou tadi. Rupanya dia tidak mati!" pikirnya dalam hati.

"Siapa kau?" tanyanya untuk meyakinkan dirinya sendiri.

"Aku... adalah salah seorang pengawal dalam istana," sahut orang itu. Siau Po sudah mendapat kepastian dari keterangan orang itu, Dia juga menduga bahwa siwi itu pastinya sedang terluka parah. pikirannya bekerja dengan cepat.

"Kalau aku menyerahkan perempuan berpakaian hitam ini kepadanya tentunya perbuatanku ini merupakan sebuah jasa besar Tapi bagaimana dengan Siau kuncu? Apabita rahasia si nona cilik ini bocor, celakalah aku!"

"Apakah kau terluka?" tanyanya sembari melompat keluar lewat jendela.

"Da... daku..." sahut pengawal itu.

"Coba aku lihat!" tukas Siau Po sambil maju mendekati orang itu, Dia bukan memeriksa luka siwi itu, malah ia menikam dada pengawal itu. Hanya satu kali orang itu sempat mengeluarkan seruan tertahan, kemudian nyawanya pun putus.

"Maaf, aku terpaksa melakukannya demi menjaga keselamatan diriku sendiri," kata si bocah dalam hatinya. Setelah itu, dia masih melihat-lihat keadaan di sekitar kamarnya kalau-kalau masih ada siwi lainnya yang melihat apa yang dilakukannya..Ia menemukan lima sosok mayat Tiga di antaranya adalah para siwi istana tersebut, sedangkan dua lainnya tidak dikenalinya, pasti orang-orang dari pihak pemberontak yang menyerbu.

Siau Po segera memondong seorang pengawal kemudian meletakkannya di bawah kusen jendela, Kepalanya dibiarkan terkulai di bagian dalam, Punggung siwi itu ditikamnya beberapa kali agar terdapat bekas luka. Kuncu terkejut sekali.

"Dia... adalah orang onghu kami!" katanya marah. "Mengapa orang yang sudah mati kau tikam lagi dengan pisau?"

"Kau tahu apa! Dengan cara ini aku justru menolong kakak seperguruanmu yang bau itu!" sahut Siau Po.

"Kaulah yang bau!" si nona yang terbaring dalam keadaan terluka balas memaki. Dia tidak senang dikatakan bau oleh Siau Po.

Si bocah nakal tertawa lebar.

"Kau kan tidak pernah mencium aku?" tanyanya. "Bagaimana kau bisa tahu kalau aku bau?"

"Karena di kamar ini ada bau busuk!" kata si nona kembali. Kembali bocah yang nakal dan banyak akal ini tertawa.

"Sebenarnya kamarku ini baunya harum," katanya. "Setelah kau masuk kemari, barulah timbul bau tidak sedap ini!"

"Hai," Si kuncu menghadang di tengah, "Kalian berdua toh belum saling mengenal? Kenapa datang-datang kalian bertengkar? Ayo, berhenti! jangan mengadu mulut lagi! Suci, kenapa kau bisa datang kemari?" tanya kuncu kepada kakak seperguruannya.

"Apakah kalian ingin menolong aku?"

"Kami sama sekali tidak tahu kau berada di sini," sahut nona itu, "Kami tidak berhasil menemukanmu. Kami sudah mencari kemana-mana. Karena itulah kami mempunyai dugaan kemungkinan bahwa kau sudah ditawan oleh bangsa Tatcu!" Nona itu hanya sanggup mengucapkan beberapa patah kata itu saja lalu berdiam diri karena kehabisan tenaga. Siau Po segera berkata.

"Kalau kau sudah kehabisan tenaga dan tidak sanggup bicara lagi, jangan paksakan dirimu untuk berbicara!"

"Aku justru mau bicara," teriak si nona memaksakan diri, "Kau mau apa?"

"Kalau kau memang sanggup, bicaralah terus," kata Siau Po sambil tersenyum datar, "Lihat orang lain, nona bangsawan, luwes, lemah lembut, beda bagai bumi dan langit dengan kau perempuan galak, cerewet!"

"Tidak!" tukas si kuncu cepat "Kau belum kenal suci-ku ini. sebenarnya dia baik sekali jangan kau sindir dia terus, pasti dia tidak akan marah, Suci, bagian mana yang terluka? Parahkah?"

"Dasar ilmu silatnya yang masih cetek," kata Siau Po ikut bicara, "Tidak tahu diri! Berani-beraninya datang menyatroni istana ini. Sudah pasti dikalahkan dan terluka parah, Tampaknya dia malah tidak akan hidup lebih lama lagi, Tidak sampai besok pagi, mungkin dia sudah berpulang ke alam baka!"

"Tidak! Tidak mungkin!" tukas kuncu kembali, "Ka... kak ya...ng baik, carilah akal untuk menolong suciku!" Si nona yang menjadi kakak seperguruannya Siau kuncu itu justru kesal sekali. Kegusarannya seakan hampir meledak dalam dadanya.

"Biarkan saja aku mati! Tidak sudi aku ditolong olehnya!" katanya ngotot "Siau kuncu, binatang kecil ini mulutnya jahat sekali, Mengapa kau malah memanggil... nya dengan sebutan itu tadi?"

"Memangnya Siau kuncu memanggil apa padaku?" tanya Siau Po yang semakin senang menggoda nona itu. Nona itu tidak mau mengulangi panggilan Siau kuncu, dia sengaja berkata dengan sengit.

"Dia memanggilmu si kunyuk kecil!"

"Bagus! Bagus! Aku memang si kunyuk kecil, Tapi aku ini kunyuk laki-laki, sedangkan kaulah kunyuk betinanya!" Dalam hal bersilat lidah, Siau Po memang ahlinya. Sejak kecil dia sudah terlatih dalam pergaulannya sehari-hari, baik di rumah pelesiran maupun dengan segala bujang dan kuli setempat. Mendengar orang bicara sekasar itu, si nona tidak sudi melayaninya lagi, Dia mengatur nafasnya yang masih memburu karena tadi tidak sanggup mengendalikan emosi dalam hatinya, Lagipula dia menahan rasa sakitnya yang terasa berdenyutan. Setelah si nona berdiam diri, Siau Po mengangkat lilin lalu menghampirinya.

"Mari kita periksa lukanya," katanya kepada Siau kuncu, "Di bagian mana dia terluka?"

"Jangan periksa lukaku! jangan periksa luka-ku!" teriak si nona yang merasa kesal juga malu.

"Hus! jangan berteriak-teriak!" bentak Siau Po. "Apa kau memang ingin suaramu terdengar kemudian diringkus untuk dijadikan istri sekalian para siwi?" Dia tetap membawa lilinnya dan mendekati nona yang terluka itu, Lalu dia menyalakannya. Wajah nona itu penuh dengan noda darah. kemungkinan usianya sekitar tujuh atau delapan belas tahun. wajahnya berbentuk kuaci, Meskipun wajahnya kotor oleh darah, tapi kecantikannya masih kentara jelas. Diam-diam Siau Po mengagumi keelokan paras si nona.

"Oh, rupanya nona bau ini seorang gadis yang cantik sekali!" katanya.

"Jangan menyindir ciciku, dia memang sangat cantik!" tukas Siau kuncu.

"Kalau begitu," kata Siau Po dengan suara sungguh-sungguh. "Biar bagaimana aku harus mengambilnya sebagai istri!" Nona itu terkejut setengah mati, Dia berusaha untuk bangun, Tangannya bergerak dengan maksud menghajar mulut si bocah yang ceriwis, Tapi terdengar mulutnya mengeluarkan seruan.

"Aduh!" karena tubuhnya langsung terguling jatuh dari atas tempat tidur Lukanya yang cukup parah membuat dia tidak sanggup mengendalikan gerakan tubuhnya. Melihat gadis itu jatuh terguling, Siau Po tidak membantunya bangun tapi malah menertawakannya.

"Jangan terburu nafsu!" katanya, Semakin senang hatinya menggoda gadis itu.

"Kau harus dapat bersabar! Kita belum lagi menjalankan upacara pernikahan, mana mungkin langsung menjadi suami istri? Oh! Lukamu mengeluarkan darah lagi, Lihat, kau mengotori tempat tidurku!" Darah memang masih mengalir dari luka si nona, Hal ini menandakan bahwa lukanya memang tidak ringan. Tepat pada saat itu terdengar suara langkah kaki dari orang banyak yang mendatangi dengan tergesa-gesa, Kemudian terdengar suara seruan yang mengandung kepanikan.

"Kui kongkong, Kui kongkong! Apakah kau baik-baik saja?" Ketika itu para siwi sudah berhasil mengusir penyerbu. Mereka segera melindungi Sri Baginda dan Ibusuri serta para selir Raja, juga thay-kam dari tingkat atas, Karena Siau Po adalah thay-kam kesayangan Raja, maka dia juga butuh perlindungan itulah sebabnya belasan siwi langsung mendatanginya untuk menjaga keselamatannya. Sebelum menjawab pertanyaan para siwi itu, Siau Po berkata terlebih dahulu kepada Siau kuncu.

"Kuncu, naiklah ke atas tempat tidur." Dia langsung mengangkat nona yang terluka itu kemudian menutupi mereka dengan selimut Setelah tu dia juga menurunkan kelambu lalu berkata dengan suara lantang.

"Kalian cepat masuk. Di sini ada orang jahat!" Nona yang terluka kaget sekali, Dia ingin ber-gerak, tapi tenaganya sudah lemah sekali, Si kuncu ikut khawatir Dia segera berkata kepada Siau Po.

"Jangan bersuara! Nanti ciciku akan kepergok dan tertawan!" Siau Po tertawa.

"Dia toh tidak sudi menjadi istriku, Mengapa aku harus berbuat kebaikan kepadanya?" Pada saat itu, belasan siwi sudah sampai di luar jendela.

"Di sini ada orang jahat!" Salah satu di antaranya berseru, Rupanya tadi dia yang mendengar suara si thay-kam cilik. Siau Po mengeluarkan suara tertawa.

"Kalian tidak perlu khawatir, atau pun bingung, Barusan memang ada penjahat yang datang kemari, namun aku sudah berhasil merobohkannya!" ia menunjuk kepada mayat penyerbu yang sengaja dicantolkannya pada kusen jendela, Darah mayat itu sampai berceceran mengotori jendela dan lantai kamarnya.

"Aih! Kongkong pasti terkejut sekali!" kata beberapa siwi.

"Tidak! Kui kongkong tidak akan terkejut," sahut seorang siwi lainnya, "Ilmu silat Kui kongkong tinggi sekali, Dengan sekali gerakan saja, dia berhasil merobohkan seorang penyerbu, Kalau saja tadi ada beberapa orang jahat yang menyatroninya, mereka pasti akan mati juga!"

"Iya, kongkong memang lihay!" kata beberapa lainnya lagi memuji, Mereka ingin mengambil muka si thay-kam gadungan itu.

"Jasa kongkong besar sekali!"

"Aih, tidak dapat dikatakan jasa," kata Siau Po sambil tertawa, "Sebenarnya penjahat itu sampai di kamarku memang dalam keadaan sudah terluka, sehingga dengan mudah aku dapat menghabisinya!"

"Sie loliok dan Him loji gugur dalam melaksanakan tugas.,." kata seorang siwi yang menarik nafas panjang pertanda menyesalkan kejadian itu.

"Kawanan pemberontak yang menyerbu itu benar-benar lihay sekali!"

"Sekarang, silahkan kalian mengundurkan diri," kata Siau Po, "Pergilah kalian melindungi Sri Baginda, Aku di sini sudah tidak ada urusan apa-apa!"

"Sekarang tempat Sri Baginda sudah dijaga oleh dua ratus lebih pengawal," kata seorang siwi Iainnya, "Kawanan penyerbu itu sudah kabur dengan meninggalkan teman-temannya yang mati maupun terluka, Seluruh istana sudah aman kembali."

"Bagus!" puji Siau Po.

"Mengenai para siwi yang sudah mengorbankan diri itu sebaiknya kalian memohon pada Sri Baginda untuk mengubur dan memberi hadiah kepada keluarga yang ditinggalkan. Kalian juga sudah mengeluarkan jasa, tidak mungkin Sri Baginda melupakan kalian."

Rombongan siwi itu senang sekali Tidak lupa mereka mengucapkan terima kasih. Melihat sikap para siwi itu, Siau Po berkata dalam hatinya.

"Peduli amat! Toh, bukan aku yang mengeluarkan uang untuk hadiah kalian, Tidak ada ruginya bagiku berbuat kebaikan ini!" Karena itu dia berkata lagi: "Tuan-tuan sekalian, aku sudah lupa nama besar kalian, Tolong disebutkan sekali lagi semuanya agar aku bisa melaporkan apabila Sri Baginda menanyakan siapa saja yang berjasa malam ini." Para siwi itu senang sekali, Cepat-cepat mereka menyebutkan nama masing-masing dan Siau Po mengulanginya beberapa kali sampai hapal betul.

"Sekarang kalian meronda lagi, Siapa tahu masih ada orang jahat yang bersembunyi di tempat-tempat gelap atau di antara pohon-pohon yang rimbun, Andaikata berhasil meringkus penjahat, yang laki-laki harus dirangket dengan rotan dan yang perempuan harus ditelanjangi dan diperlakukan seperti istri kalian sendiri!" Mendengar kata-katanya, para siwi tertawa geli.

"Iya! Iya!" jawab mereka serentak, Mereka merasa thay-kam cilik itu benar-benar lucu dan suka bergurau.

"Sekarang, tolong kalian singkirkan mayat ini," pinta Siau Po kemudian.

"Baik," sahut para siwi itu yang terus berebutan mengangkat mayat itu. Lalu mereka pun memohon diri untuk mengundurkan diri.

Siau Po mengawasi kepergian mereka dan menutup pintu kamarnya kembali Setelah itu dia menghampiri tempat tidur serta menyingkapkan kelambunya.

"Kau benar-benar biang iseng!" kata Siau kun-cu. "Kau benar-benar membuat kami terkejut!" Tapi ketika dia menoleh kepada kakak seperguruannya, gadis cilik itu terkejut setengah mati, Tanpa dapat menahan diri lagi dia mengeluarkan seruan tertahan, wajah nona itu pucat pasi, napasnya juga lemah sekali.

"Bagian manakah yang terluka?" tanya Siau Po. "Dia harus cepat ditolong supaya darahnya berhenti mengucur."

"Kau... menyingkirlah jauh-jauh..." kata si nona yang sedang terluka itu, "Kuncu, a...ku terluka di... Sebenarnya Siau Po masih ingin menggoda, tetapi ketika melihat darah nona itu mengucur semakin banyak, dia membatalkan niatnya, Dia khawatir nona itu akan mati karena lukanya yang terlalu parah, tapi di mulutnya dia malah berkata.

"Baru darah yang mengalir, apa bagusnya sih dilihat? Eh, kuncu, apakah kau mempunyai obat luka?"

"Aku tidak punya," sahut si kuncu cilik.

"Itu si perempuan bau, dia membawa obat luka atau tidak?" tanya Siau Po kembali.

"Tidak!" sahut si nona yang sedang terluka, "Dan kaulah yang bau!" Si kuncu cilik tidak berdiam diri. Dia segera merobek baju dalamnya nona yang sedang terluka itu. Tiba-tiba dia terkejut dan berseru.

"Aduh! Bagaimana ini?" Mendengar seruan si kuncu, Siau Po segera menolehkan kepalanya, ia melihat dua liang kecil tanda luka di dada gadis itu, Luka itu masih mengucurkan darah. Kuncu kebingungan sampai menangis.

"Kau.... Lekas tolongi kakakku ini... Cepat!" katanya panik. Tapi si nona yang terluka itu justru merasa jengah dan berusaha bangkit untuk duduk di atas tempat tidur.

"Jangan! jangan biarkan dia melihat aku!" katanya bingung dan malu.

"Fuh!" Siau Po membuang ludah, "Aku juga tidak sudi melihatnya!" Meskipun demikian, bocah cilik itu tetap menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencari kapas atau barang lainnya yang dapat digunakan untuk menyumbat luka yang berdarah itu, Dia melihat Bit-hu, bahan pelekat dari madu, "Nah, itu obat menghentikan darah yang manjur." katanya, Dia segera mengambil bahan perekat itu dan kemudian bekerja dengan gesit, Dioleskannya perekat itu di lubang luka, Ketika melihat buah dada gadis itu, timbul lagi rasa isengnya. Dia sengaja menggeser tangannya dan meraba-raba susu si nona. Bukan main malu dan gusarnya hati si nona itu.

"Kuncu, bunuh dia!" katanya kepada Siau kuncu dengan suara keras.

"Tapi, suci... dia sedang mengobatimu...." Saking kesalnya, si nona tidak banyak bicara lagi, Dia hampir pingsan diperlakukan sedemikian rupa oleh Siau Po. Sayang dia tidak dapat bergerak, kalau tidak, kemungkinan Siau Po benar-benar akan dibunuhnya.

"Lekas totok jalan darahnya!" kata Siau Po kemudian "Dia tidak boleh bergerak terus, nanti darahnya tidak akan berhenti mengalir dan jiwanya akan terancam bahaya!"

"Iya!" sahut Siau kuncu yang langsung menotok kakak seperguruannya di bagian perut, iga dan pahanya beberapa kali.

"Suci, jangan sembarangan bergerak!" Tidak lupa dia memesankan kepada kakak seperguruannya. Sementara itu, Siau kuncu sendiri sampai meneteskan air mata karena baru sekarang dia merasakan bahwa lukanya sendiri menimbulkan rasa sakit, Dia terluka di bagian pahanya.

"Kau juga sebaiknya berbaring saja," kata Siau Po yang terus menggantikannya memberikan pertolongan. Ketika di Yang-ciu, Siau Po sering melihat orang memberikan pertolongan kepada orang lain yang terluka di bagian kakinya. sekarang sebisanya dia mengikuti cara tersebut, Dia mencari dua helai papan kemudian dijepit dan diikatkan pada kaki si nona, setelah itu dia menjadi bingung sendiri.

"Kemana aku harus mencari obat?" tanyanya tidak kepada siapa pun. Sesaat kemudian, dia menemukan akal yang bagus.

"Kau berbaring saja di sini," katanya kepada Siau kuncu, jangan sekali-sekali bersuara!" Dia menurunkan kelambu dan kemudian berjalan menuju pintu.

"Kau mau kemana?" tanya Siau kuncu ketika si bocah membuka pintu.

"Aku akan mencari obat untuk mengobati kakimu!"

"Jangan lama-lama!" pesan si kuncu khawatir.

"Aku tahu!" sahut Siau Po. Dia merasa puas, karena dari nada suara si nona, Siau Po yakin dia mempercayainya, Dia segera memalangkan pintunya kembali, Dia merasa tenang, sebab dia tahu, kecuali Sri Baginda atau ibu suri, tidak ada orang lain lagi yang berani sembarangan masuk ke kamarnya. Baru berjalan beberapa langkah, Siau Po merasakan pinggangnya agak nyeri.

"lbu suri, si perempuan jalang itu sungguh kejam!" pikirnya dalam hati, "Dia telah menghajar aku! Kalau begini, aku tidak bisa berdiam terlalu lama lagi di istana ini. Siang atau pun malam, nyawaku selalu terancam maut. Ya, aku harus pergi secepatnya!" Thay-kam gadungan ini segera menuju tempat di mana terlihat cahaya api. Di sana beberapa siwi tengah meronda. Ketika melihat Siau Po, semuanya segera menghampiri untuk menyambutnya.

"Berapa jumlah siwi yang terluka?" tanyanya prihatin.

"Harap kongkong ketahui," sahut salah seorang pengawal itu. "Ada delapan orang yang luka parah dan lima belas orang yang luka ringan."

"Di mana mereka dirawat?" tanya Siau Po kembali. "Tolong kalian antarkan aku menjenguknya."

"Terima kasih, kongkong. Kami sangat menghargai kebaikan kongkong," kata siwi itu yang kemudian meminta dua orang kawannya mengantarkan Siau Po ke tempat di mana para pengawal istana itu sedang dirawat, Di sana tampak dua puluh orang lebih siwi yang sedang terluka dan ada empat orang thay-kam yang repot memberikan pertolongan. Siau Po segera menghampiri dan menghibur semuanya dengan memuji keberanian mereka menghalau para penyerbu, Dia juga tidak lupa menanyakan nama para siwi itu untuk dilaporkan kepada Sri Baginda. Puas hati para siwi tersebut mendapat perhatian begitu besar dari thay-kam kesayangan Sri Baginda, Hal ini bahkan membuat rasa nyeri yang mereka rasakan hilang sebagian besar.

"Apakah kalian tahu dari pihak mana kawanan pemberontak yang menyerbu itu?" tanya Siau Po.

"Mungkinkah mereka antek-anteknya Go Pay?"

"Entah mereka dari pihak mana? Tapi kami yakin mereka orang-orang bangsa Han..." sahut siwi yang ditanya dan dibenarkan oleh rekan-rekannya yang lain, "Kami juga tidak tahu apakah ada di antara mereka yang tertangkap hidup-hidup atau tidak?"

Ketika pembicaraan berlangsung, Siau Po memperhatikan cara pengobatan yang dilakukan para thay-kam. Mereka menggunakan obat buatan tabib istana, semuanya merupakan obat luka, ada obat luar dan ada juga obat dalam.

"Obat semacam itu harus kusediakan," kata Siau Po. "Kalau ada saudara siwi yang terluka dan tabib belum sempat datang, mereka dapat menggunakan obat persediaanku, Oh, kawanan penyerbu itu benar-benar ganas dan nyalinya besar sekali Malam ini mereka tidak dibasmi semuanya, mungkin lain kali mereka akan datang lagi!" Beberapa siwi menganggukkan kepalanya.

"Kongkong baik sekali, kami bersyukur," kata mereka.

"Kita harus saling prihatin," kata Siau Po yang langsung memohon diri. sebelumnya dia telah meminta tabib istana membungkuskan sejumlah obat, Dia juga menanyakan sampai jelas cara pemakaiannya. Biarpun bocah ini tidak berpendidikan tapi pengalamannya banyak sekali akibat pergaulannya di rumah pelesiran dulu, Karena itu bahasanya juga kasar. Untung saja para siwi itu juga bukan semuanya berasal dari orang-orang golongan atas, itulah sebabnya mereka tidak memperhatikannya.

Siau Po langsung pulang ke kamarnya, Sebelum masuk, dia memasang telinga dulu di depan jendela, Setelah mendapat kepastian kamarnya sunyi saja seperti semula, dia baru mengeluarkan suara dengan lirih sekali.

"Kuncu, aku pulang!" Dia berkata demikian karena khawatir Siau kuncu mengira orang lain yang datang serta langsung mengirimkan serangan kepadanya.

"Oh!" Terdengar suara si gadis cilik, "Sudah cukup lama aku menunggumu!" Siau Po menolakkan daun jendela dan lalu melompat ke dalam Setelah itu dia menyulut lilin dan menyingkapkan kelambu tempat tidurnya. Kedua nona itu tampak berbaring berdampingan. Gadis yang terluka itu sedang membuka matanya lebar-lebar, namun ketika dia melihat Siau Po, cepat-cepat dia memejamkan matanya, Mungkin dia masih jengah atau malu. Lain dengan Siau kuncu, dia malah menatap si bocah cilik dengan matanya yang jeli dan indah, Sinar matanya menunjukkan hatinya terhibur dan senang dapat melihat Siau Po lagi.

"Kuncu, sini aku obati lukamu!" kata Siau Po.

"Tidak!" sahut Siau kuncu, "Kau obati dulu kakak seperguruanku. Kesinikan obatnya, biar aku yang memakaikannya!"

"Kau selalu berbahasakan aku dan kau, apakah tidak ada sebutan lainnya yang lebih enak didengar ?" goda Siau Po. Siau kuncu tertawa, Rupanya dia merasa bocah ini lucu sekali.

"Siapa namamu yang sebenarnya? Aku selalu mendengar orang-orang memanggilmu Kui kong-kong!"

"Kui kongkong adalah panggilan orang lain," sahut Siau Po. "Kau sendiri, bagaimana kau memanggilku?" Siau kuncu berdiam diri beberapa saat, Matanya dikedap-kedipkan.

"Di dalam hatiku.,." katanya kemudian "Aku... memanggilmu kakak yang... baik. Tetapi di mulut, terasa... aneh untuk menyebutkan... nya."

"Baik, baik! Kita atur begini saja," kata Siau Po. "Di depan orang lain, aku memanggilmu Siau kuncu, dan kau memanggilku Kui toako, Tetapi kalau hanya kita berdua yang ada, aku akan memanggilmu adik dan kau harus memanggilku kakak yang baik." Belum lagi Siau kuncu sempat memberikan jawabannya, si nona yang sedang terluka sudah mencibirkan bibirnya sambil mengejek.

"Manis benar kedengarannya! Siau kuncu, jangan kau ladeni dia. Aku tahu dia sedang mengambil hatimu!"

"Hm!" Siau Po mendengus dingin.

"Aku toh tidak suruh kau yang memanggil aku? Untuk apa kau usil? seandainya kau yang memanggil aku, tentu aku tidak sudi mendengarnya!" Siau kuncu tertawa mendengar pertengkaran di antara kedua orang itu.

"Lalu, kau mau dia memanggil apa kepadamu?" tanyanya. Siau Po juga tertawa.

"Aku ingin dia memanggilku suami yang baik! Ya, suami yang terbaik!" sahutnya. Wajah si nona jadi merah padam mendengarnya.

"Kalau kau ingin menjadi suami orang, kau harus menjelma sekali lagi pada penghidupan mendatang" katanya sengit dan wajahnya memperlihatkan mimik mencemooh.

"Sudah, sudah!" Siau kuncu segera menengahi.

"Kalian berdua kan bukan musuh bebuyutan? Kenapa baru bertemu sudah bertengkar terus? Kui toako, aku harap kau bersedia memberikan obatnya kepadaku!"

"Baik!" sahut Siau Po.

"Tapi biarkan aku mengobati lukamu terlebih dahulu!" Dia segera menyingkap selimut yang menutupi tubuh kedua nona itu, Kemudian dia menggulung celana Siau kuncu dan memakaikan obat di kakinya yang terluka.

"Terima kasih!" kata Siau kuncu tanpa malu-malu, Nada suaranya juga mengandung ketulusan.

"Siapa nama istriku?" tanya Siau Po. Siau kuncu tertegun.

"lstrimu?" tanyanya bingung.

"Iya, istriku!" kata Siau Po. Kepalanya menoleh kepada nona yang sedang terluka itu dengan bibir dimonyongkan. Siau kuncu tertawa, Dia mengerti kakak seperguruannya itulah yang dimaksudkan thay-kam cilik itu.

"Aih! Kau memang suka bercanda!" katanya.

"Kakak seperguruanku ini she Pui dan namanya...."

"Jangan beritahukan kepadanya!" tukas si nona yang terluka gugup. Begitu mendengar nona itu she Pui, Siau Po segera teringat ketika mengadakan perjalanan di Kangsou utara, dia bertemu dengan dua orang anak muda, Seorang pria dan seorang wanita. Mereka adalah orang-orang dari Bhok onghu. Mereka juga yang membuat Mau Sip-pat segan serta menghajarnya setengah mati, Namun nona yang mereka lihat hari itu, sedikit lebih tua dari nona Pui.

"Oh, dia she Pui. Aku tahu! Di sana aku masih mempunyai seorang toa-ku dan toa-ie," katanya kemudian. Toa-ku dan toa-ie adalah ipar laki-laki dan ipar perempuan.

"Aneh! Apa yang kau maksud dengan toa-ku dan toa-ie?" tanya Siau kuncu bingung.

"Dia mempunyai, seorang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuan, bukan? Mereka itulah ipar-iparku!" sahut Siau Po seenaknya. Siau kuncu semakin heran.

"Oh, jadi di antara kalian masih ada hubungan keluarga?" Tampaknya dia percaya saja dengan ocehan si thay-kam cilik.

"Siau kuncu, jangan layani dia bicara!" kata nona Pui. "Bocah itu benar-benar busuk hatinya, Dia tidak ada hubungan keluarga denganku. Benar-benar sial kalau aku memilikinya!" Siau Po tidak marah, Dia malah tertawa lebar Cepat dia menyerahkan obat pada Siau kuncu sambil berbisik di telinganya.

"Adikku yang baik, coba kau katakan siapakah nama belakangnya istriku itu?" Jarak antara kedua gadis itu dekat sekali, Meskipun Siau Po berbicara dengan suara berbisik, tetapi nona Pui dapat mendengarnya dengan jelas, Karena itu dia segera berkata.

"Jangan beritahukan!" Siau Po tertawa lagi.

"Tidak apa-apa kalau kau tidak mau memberitahukannya, Tapi aku ingin menciummu dulu satu kali, Pertama-tama, aku akan mencium pipi kirimu, lalu aku akan mencium pipi kananmu dan terakhir bibirmu. Nah, sekarang kau katakan terus terang, kau lebih suka dicium atau memberitahukan namamu saja?" Nona itu tidak bergerak, pikirannya bingung, Thay-kam cilik ini benar-benar iseng dan agak ceriwis. Selain bingung, nona Pui juga kesal sekali, Untung saja Siau Po masih seorang bocah cilik dan tadi dia juga mendengar para siwi memanggilnya kongkong. Siau Po seakan ingin membuktikan ancamannya. Dia menggerakkan tubuhnya dan kepalanya dicondongkan ke depan seperti ingin mendekatkan bibirnya ke wajah nona itu. Tentu saja nona Pui itu berdebaran jantungnya melihat perbuatan Siau Po.

"Baik, baik!" kata si nona Pui cepat dan gugup.

"Baik, setan cilik! Aku akan memberitahukan namaku!" Siau kuncu tertawa.

"Seperti apa yang kukatakan barusan, Kakakku she Pui, sedangkan nama suci hanya satu huruf Ie, jadi namanya Pui ie." Siau Po buta huruf, dia tidak tahu bagaimana tulisan nama itu, namun dia menganggukkan kepalanya juga.

"Ah.... Nama yang dipilih secara sembarangan, sama sekali tidak bagus!" katanya, "Sekarang giliran kau, Siau kuncu, siapakah namamu?"

"Aku she Bhok, namaku Kiam Peng. Kiam artinya pedang, Peng artinya tirai," sahut Siau kuncu.

"Namamu lebih bagus!" kata Siau Po kembali Tapi sayangnya bukan dari kelas satu!"

"Tentu namamu baru nama dari kelas satu, bukan?" sindir Pui Ie. "Siapa she dan namamu? Sampai mana bagusnya?" Ditanya sedemikian rupa, untuk sesaat Siau Po tertegun Dia sadar dirinya dijebak oleh ucapannya sendiri.

"Aku tidak boleh menyebutkan nama asli," pikirnya dalam hati, Tapi Siau Kui cu bukan nama yang dapat dibanggakan! Biar bagaimana, dia harus menyebutkan sebuah nama, Akhirnya dia berkata: "Aku she Go, karena aku seorang thay-kam, orang-orang memanggil aku Go laokong...."

"Go laokong.... Go laokong..." Pui Ie mengulangi nama itu beberapa kali, "Ah! Namamu itu...." Mendadak kata-katanya terhenti, wajahnya menjadi merah padam, Sebab dia sadar bahwa yang disebut Siau Po bukan nama orang, Go laokong artinya mertuaku.

"Cis!" seru si nona kemudian.

"Kau hanya mengoceh sembarangan."

"Aih! Lagi-lagi kau menggoda orang!" kata Bhok Kiam Peng, "Aku dengar orang-orang memanggilmu Kui kongkong, kau bukan she Go!" Siau Po tidak mau kalah.

"Kalau laki-laki, mereka memanggilku Kui kongkong, tapi kalau perempuan, dia memanggilku Go laokong."

"Aku tahu siapa namamu!" kata nona Pui Ie yang mulai banyak bicara, Hal ini karena dia merasa tidak mau kalah dan ingin membalas ejekan Siau Po. Siau Po agak terkejut mendengar kata-katanya.

"Kau tahu? Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya heran, "Aku tahu namamu yang sebenarnya adalah Ho Pat-to!" kata nona itu.

Siau Po tertawa terbahak-bahak, Nama yang disebut nona itu hanya sebuah sindiran yang artinya "Ngaco belo." Setelah Siau Po tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba saja tampak nafas Pui Ie memburu. Rupanya hati gadis itu mendongkol sekali dan sejak tadi dipendam, lagipula dia juga terlalu banyak bicara.

"Oh, adikku yang baik!" kata Siau Po kepada Kaim Peng, "Cepat kau pakaikan obat yang kuberikan. jangan membiarkan dia mati karena aku! Aku Go laokong hanya mempunyai dia seorang istri. Kalau dia sampai mati, kemana lagi aku bisa mencari istri yang kedua?" Kiam Peng tersenyum.

"Kakakku mengatakan kau senang mengoceh yang bukan-bukan, ucapannya memang tepat," katanya, Dia segera menurunkan kelambu kemudian mengobati luka Pui Ie.

"Apakah darahnya sudah berhenti mengalir?" tanya Siau Po.

"Sudah berhenti," sahut Kiam Peng.

"Bagus! Memang obatku mujarab sekali, Bahkan melebihi obatnya Pou sat. sekarang baru kau percaya, Nanti, sesudah lukanya sembuh, dadanya tidak akan meninggalkan bekas cacat sedikit pun sehingga bunga dan rembulan pun merasa malu terhadapnya."

"Aih! Kau memang paling bisa!" Kiam Peng tertawa mendengar ucapan si bocah yang lucu.

"Setelah lukanya tidak mengeluarkan darah lagi, kau pakaikan lagi obat luar," kata Siau Po.

"Iya," sahut Kiam Peng. Tepat pada saat itu, dari luar terdengar suara panggilan.

"Kui kongkong! Kui kongkong! Apakah Kui kongkong sudah tidur?"

"Sudah?" sahut Siau Po namun ia bertanya juga. "Siapa? Kalau ada urusan apa-apa, tunggu besok pagi saja!" Orang di luar menjawab, "Aku yang rendah Sui Tong!" Nama itu membuat Siau Po terkejut "Oh, Sui congkoan! Entah ada keperluan apakah?" tanyanya cepat.

Bagian 19

Rupanya Sui Tong itu adalah Hu congkoan, pemimpin muda dari Gi Cian siwi, pasukan pengawal pribadi Raja, Siau Po sering mendengar nama orang itu yang menurut para siwi ilmu silatnya tinggi sekali. Hanya selama beberapa tahun belakangan ini, dia sering bertugas di luar istana, Karena itu Siau Po belum pernah bertemu dengannya.

"Aku yang rendah mempunyai urusan yang penting!" terdengar Sui Tong berkata kembali.

"Kui kongkong, harap maafkan, Aku yang rendah telah mengganggu ketenangan kongkong, Tapi aku yang rendah ada urusan yang penting hendak dibicarakan. Nyali Siau Po menjadi ciut. Diam-diam dia berpikir. Tengah malam begini dia datang kemari, entah apa yang diinginkannya? Mungkinkah dia tahu kalau aku menyembunyikan kawanan pemberontak dan sekarang dia datang untuk memeriksa dan menggeledah kamarku? Bagaimana baiknya sekarang? Kalau aku tidak membukakan pintu, dia tentu akan memaksa masuk. sedangkan kedua perempuan bau yang sedang terluka ini tidak bisa melarikan diri, sebaiknya aku pandai-pandai melihat situasi. Kalau ditilik dari suara langkah kaki di luar pintu, tampaknya Sui Tong hanya seorang diri.

"Ah... mengapa aku tidak mencari kesempatan membokongnya saja? Memang tidak ada jalan lain kecuali membunuhnya!" pikirnya kemudian. Dari luar kamar kembali terdengar suara Sui Tong.

"Urusan ini penting sekali, Kalau tidak, nanti aku yang rendah berani mengganggu kongkong yang sedang bermimpi indah!"

"Baiklah," sahut Siau Po. "Nanti aku akan membukakan pintu!" Tapi, bukannya membukakan pintu, dia malah menyusupkan kepalanya ke dalam kelambu dan berbisik kepada Kiam Peng serta Pui Ie.

"Kalian jangan bersuara!" Nadanya serius, tampangnya juga bersungguh-sungguh. Setelah itu baru dia berjalan menuju pintu, Siau Po menenteramkan hatinya agar dia tampak tenang, kemudian baru dia membuka pintu. Di depan pintu berdiri seorang siwi yang tubuhnya tinggi besar, Kepala Siau Po paling-paling sampai dadanya saja. Orang itu, Hu congkoan Sui Tong, segera menjura ketika melihat Siau Po. "Maaf, kongkong," katanya, "Aku telah mengganggu kongkong!"

"Tidak apa-apa!" sahut Siau Po sambil mengangkat wajahnya untuk memperhatikan orang di depannya, Dia melihat seraut wajah yang tidak menyiratkan mimik perasaan apa-apa. Wajah itu begitu kaku, sehingga orang sulit menerka apa yang dipikirkannya.

"Sui congkoan, ada keperluan apakah?" tanyanya dengan sikap wajar, Dia sengaja tidak mengundang orang itu masuk ke dalam kamarnya karena khawatir congkoan itu akan curiga dan memergoki Kiam Peng serta Pui Ie.

"Aku yang rendah baru saja menerima perintah dari ibu suri," katanya, "Menurut surat titah yang diturunkan ibu suri itu, kawanan pemberontak yang menyerbu istana malam ini berhasil masuk karena ajakan Kui kongkong!" Mendengar ucapan "titah ibu suri," Siau Po sudah terkejut setengah mati, inilah pertanda buruk, Apalagi mendengar tuduhan yang dijatuhkan pada dirinya. Pikirannya bekerja dengan cepat Berkat kecerdasannya dia segera mendapat akal. Pertama-tama dia menunjukkan mimik keheranan.

"Aneh sekali! Aku baru saja menghadap Sri Baginda untuk menanyakan keselamatannya, Di sana aku mendengar beliau berkata: "Ah! Sungguh besar nyali si budak Sui Tong, Baru pulang ke istana, dia sudah... hm!" Mendengar keterangan itu, Sui Tong terkejut setengah mati. Untuk sesaat dia berdiri terpaku, Dia justru menerima titah ibu suri untuk membekuk thay-kam cilik ini sebab menurut ibu suri, dia telah membawa kawanan pemberontak menyelundup ke dalam istana. Sekarang mendengar kata-kata Siau Po, ia percaya sekali, sebab dia tahu bocah di hadapannya ini merupakan thay-kam cilik kesayangan raja.

"Apakah Sri Baginda ada mengatakan hal lainnya?" tanya Sui Tong seakan melupakan tugasnya sendiri, sebenarnya ibu suri malah mengatakan kalau perlu dia boleh membinasakan bocah ini. Sekarang dia malah sudah ketakutan lebih dulu... Siau Po berbicara demikian sebetulnya untuk mengulur waktu agar ia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. Tentunya dia senang sekali melihat sikap pengawal ibu suri yang begitu ketakutan Dia pun segera menjawab pertanyaan Hu congkoan itu.

"Setelah berkata demikian, Sri Baginda menurunkan perintah agar besok pagi, begitu fajar menyingsing, aku harus mencari keterangan dari para siwi, mengapa Sui Tong bisa membawa kawanan pemberontak itu masuk ke dalam istana dan apa maksudnya yang sebenarnya serta perintah siapa yang dijalankannya, Sri Baginda ingin tahu apa rencana berikutnya dan siapa saja konco-konconya!" Begitu khawatir dan terkejutnya Sui Tong sehingga pertanyaan berikutnya menjadi gugup dan tersendat-sendat.

"Ke... napa.... Sri Ba... ginda mengatakan a...ku yang membawa... ka... wanan pemberon... tak menyerbu ke... mari? Sia... pa yang mengo,., ceh semba... rangan di... hadap... an beliau? Bukan... kah fitnah i... tu hebat se... kali?" Sebetulnya Sui Tong gagah dan cerdas otaknya, Namun dalam keadaan seperti ini, otaknya seakan menjadi keruh dan tidak sanggup berpikir secara normal, sebab ucapan Sri Baginda bagaikan penentuan hukuman mati baginya.

"Sri Baginda menugaskan aku untuk mencari keterangan secara teliti," kata Siau Po kemudian, "Sri Baginda juga berpesan bahwa aku harus berhati-hati. Katanya, "kalau budak Sui tong mengetahui tugasmu ini, mungkin dia akan mencarimu dan membunuhmu!"

Tapi aku meminta Sri Baginda agar menentramkan hatinya. Karenanya aku berkata kepada Sri Baginda: "Meskipun Sui Tong bernyali besar, tidak akan dia berani lancang melakukan pembunuhan di dalam istana! Sri Baginda tidak percaya, Beliau berkata: "Hm! Hal itu bukan tidak mungkin, Dia berani membawa kawanan pemberontak menyerbu istana untuk mencelakai junjungannya, perbuatan apa lagi yang tidak berani dilakukannya?"

"Kau ngaco!" Tiba-tiba Sui Tong menukas dengan nada membentak "A... ku... aku tidak mengajak orang menyerbu istana! Tidak mungkin Sri Baginda berani sembarangan menuduh!" Di saat Sui Tong berkata demikian, pikiran Siau Po kembali bekerja dengan cepat.

"Aku harus mendahuluinya menghadap Sri Baginda untuk menuduhnya! Setelah terang tanah, aku harus segera meninggalkan tempat ini Tapi, bagaimana dengan Siau kuncu serta nona Pui itu? Huh! Perduli amat dengan mereka! Yang penting ialah menyelamatkan jiwa sendiri! Bukankah aku berada di bawah ancaman maut?" Setelah berpikir demikian, Siau Po berkata lagi kepada Sui Tong,

"Kalau begitu, bukan engkau yang membawa kawanan pemberontak itu menyerbu istana?"

"Sudah tentu bukan!" sahut Sui Tong tegas, "lbu suri sendiri mengatakan bahwa kaulah yang membawa kawanan pemberontak itu menyelundup ke sini!"

"Kalau begitu, kita berdua sama-sama kena difitnah!" kata Siau Po kemudian "Sui congkoan, kau tidak perlu takut Nanti aku akan menghadap Sri Baginda untuk membelamu. Asal kau memang jujur! Meskipun Sri Baginda masih muda sekali, namun beliau bijaksana dan cerdas, Beliau juga sangat mempercayai aku. Aku yakin kata-kataku akan didengarnya dan urusan ini segera dapat diselesaikan dengan mudah!"

"Baik!" sahut Sui Tong, "Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih kepadamu sekarang kau ikutlah aku menemui ibu suri!" Tidak berani Sui Tong membunuh Siau Po, meskipun ibu suri sudah memberikan ijinnya, Biar bagaimana, hatinya merasa bimbang mengingat bocah ini adalah thay-kam kesayangan raja. Apalagi setelah mendengarkan ocehan ini. Nyalinya semakin ciut Setidaknya, kalau Siau Po tidak mati, dia masih mempunyai seorang yang dapat diandalkan untuk membelanya. Siau Po berlagak pilon.

"Sekarang kan sudah tengah malam, buat apa aku menghadap ibu suri?" tanyanya, "Aku rasa sebaiknya besok pagi-pagi aku menghadap Sri Baginda terlebih dahulu, Siapa tahu sekarang beliau sudah menurunkan titah untuk membekuk dan menghukummu? Ya... Sui congkoan, aku ingin memberitahukan suatu hal kepadamu Nanti kalau ada siwi dari Sri Baginda yang ingin menawanmu, jangan sekali-sekali kau melakukan perlawanan Sebab, sekali kau melawan, berarti kau telah membangkang perintah raja dan hal ini membuat fitnah atas dirimu susah dicuci bersih kembali!" Biar bagaimana Sui Tong jadi bingung, sebenarnya dia meragukan juga kata-kata Siau Po, namun hatinya dilanda kebimbangan Rasa takut membuat pikirannya kacau, Bukankah dia membutuhkan keterangan bocah ini di hadapan Sri Baginda nanti? pikirannya lantas bekerja keras.

"Memang aku membutuhkannya untuk memberikan keterangan tentang kebersihanku di hadapan Sri Baginda, Tapi aku sedang menjalankan titahnya thayhou, Dan ibu suri telah mengancamku bahwa aku berbuat kesalahan besar apabila Siau Kui cu sampai lolos. Tidak bisa tidak! pokoknya aku harus membawa bocah ini menghadap Hong thay-hou terlebih dahulu, dengan demikian aku telah menunaikan tugasku...." Dengan membawa pikiran demikian, Sui Tong segera berkata kepada Siau Po.

"Aku toh tidak bersalah, mengapa Sri Baginda harus menawanku? sekarang sebaiknya kau ikut aku dulu menghadap ibu suri!"  Siau Po menggeser tubuhnya ke samping, Sui Tong mengulurkan sebelah tangan untuk menariknya. Sembari menyingkir dia berkata dengan suara perlahan. "Kau lihat! Di sana datang beberapa orang yang hendak menawanmu!" Sui Tong terkejut setengah mati, wajahnya menjadi pucat pasi. Dengan cepat dia menolehkan kepalanya. Tepat di saat Sui Tong menoleh, bocah yang cerdik itu langsung memutar tubuhnya dan mencelat ke dalam kamar, justru di saat itulah Sui Tong menggerakkan tangannya menyambar sebab dalam sekejap mata dia sudah melihat bahwa pada arah yang ditunjuk Siau Po tidak ada seorang pun yang mendatangi. Siau Po takut tertangkap oleh siwi itu. Dia telah menyembunyikan dua orang nona dalam kamarnya dan dia menduga rahasia itu sudah bocor, Kalau dia sampai diringkus dan dibawa ke hadapan Hong thayhou, pasti sulit baginya untuk meloloskan diri dari bahaya.

Kalau saja dia bisa lari sampai ke taman, tentu banyak tempat baginya untuk bermain petak umpet dengan orang itu, Namun dia tidak menyangka gerakan Sui Tong begitu cepat. Setelah berhasil menghindarkan diri dari sambaran tangan Sui Tong, Siau Po mencelat dan sampai di depan jendelanya, Tapi Sui Tong telah mengejarnya, Sebelum dia sempat melompat keluar lewat jendela, tangan pengawal muda itu telah mengenai punggungnya sehingga kedua kakinya lemas dan tubuhnya roboh seketika! Sui Tong mengulurkan tangan kirinya untuk menyambar pinggang Siau Po. Dia tidak ingin thay-kam cilik itu meloloskan diri. Siau Po berusaha membela diri, Kedua tangannya digerakkan, dia mengerahkan jurus Kim Na jiu-hoat. Sayangnya, tubuh bocah itu jauh lebih kecil sehingga kalah tenaga, Karena dia mengadakan perlawanan, tubuhnya terdorong dan jatuh ke dalam gentong air.

Gentong air itu milik Hay kongkong yang digunakan untuk merendam diri mengobati penyakitnya. Sampai sekarang memang Siau Po belum sempat membuangnya. Melihat bocah itu tercebur, Sui Tong tertawa terbahak-bahak, Tangannya diulurkan kembali untuk mencekal bocah yang hendak melarikan diri itu, tapi dia hanya berhasil mencengkeram batang leher Siau Po. Di dalam gentong air, Siau Po mengerutkan tubuhnya, Namun gentong itu memang tidak terlalu dalam, Sesaat kemudian tangan Sui Tong sudah berhasil mencekiknya kemudian dia diangkat ke atas dalam keadaan basah kuyup. Siau Po masih mencoba melawan, Ketika di dalam gentong, dia menyedot air cukup banyak dan sisanya masih dibiarkan berkumur dalam mulut Setelah kena dicekal, wajahnya berhadapan dengan wajah Sui Tong, Dia menyemburkan air itu sekeras-kerasnya ke arah matanya! Sui Tong terkejut setengah mati. Dia juga gelagapan karena air masuk ke dalam mata, hidung dan juga mulutnya! Dalam waktu yang bersamaan, Siau Po menerjang tubuh orang itu, tangan kirinya meluncur ke leher Sui Tong untuk dipelintir. Sui congkoan terperanjat Dia berseru tertahan, tubuhnya menggidik beberapa kali, Lambat laun cekalan tangannya jadi kendor, kedua matanya mendelik dan wajahnya menyiratkan rasa nyeri. sedangkan dari mulutnya meluncur kata-kata atau lebih tepat gumaman yang tidak jelas. Hal ini disebabkan oleh pisau mustika Siau Po yang telah menancap di tubuh Sui Tong ketika dia menerjang ke depan, Dan tidak kepalang tanggung, Begitu berhasil menusuk dada lawannya, Siau Po segera menghentakkan pisaunya ke bawah sampai terkoyak ke bagian perut. Hal ini pula yang menyebabkan Sui Tong tidak berdaya, Dia tidak menyadari dari mana datangnya bokongan itu, juga tidak sanggup mempertahankan diri terlebih lama, Darah menyembur dengan deras dari bekas lukanya, tubuhnya terjengkang ke belakang dan nyawanya pun melayang! Dapat dikatakan bahwa dia mati penasaran!

"Hm!" Siau Po mendengus dingin, Setelah itu dia mencabut pisau belatinya. Meskipun kepandaian Sui Tong sangat tinggi namun sayangnya kecerdasannya masih kalah dengan Siau Po. Karena itulah, dengan akal yang licik, bocah kita sanggup membunuhnya.

Selama Siau Po melompat ke dalam kamar dan akhirnya tercekal oleh siwi yang kemudian mati itu. Kiam Peng dan Pui Ie dapat melihat jelas dari balik kelambu. Hanya saja mereka tidak tahu bagaimana caranya Siau Po membinasakan orang itu, Karenanya mereka menjadi heran. Siau Po sendiri menjadi gugup setelah melakukan perbuatan itu, Untuk sesaat dia tidak sanggup mengatakan apa-apa. Ketika dia membuka mulut akhirnya, suaranya terdengar tidak jelas.

"A...ku... a... ku...."

"Terima kasih kepada Langit dan Bumi. Akhirnya kau berhasil juga membunuh orang itu!" kata Kiam Peng.

"Sui Tong ini mempunyai julukan Tian-Ciang Bu tek (Tangan besi tanpa lawan)." Pui Ie turut memberikan keterangan "Tadi dia sudah membinasakan tiga orang anggota Bhok onghu, perbuatanmu berarti telah membalaskan sakit hati mereka bertiga. Bagus!

Bagus?" Dengan cepat Siau Po berhasil menenteramkan hatinya.

"Dia dijuluki Tangan besi tanpa lawan, tapi dia tidak sanggup berhadapan dengan aku, Wi Siau Po!" katanya senang, Rasa bangga membuatnya jadi sombong. "Akulah jago silat nomor satu yang lain dari umumnya!" Selesai berkata, Siau Po memeriksa kantong Sui Tong dan akhirnya dia berhasil menarik sebuah buku kecil yang penuh dengan huruf-huruf kecil. juga didapatkan beberapa helai surat, Tapi karena dia buta huruf, dia meletakkan semuanya di samping, Ketika dia memeriksa lagi, tangannya menyentuh sesuatu yang agak keras di pinggang korban. Dengan pisaunya dia merobek jubah orang itu, akhirnya dia menemukan sebuah bungkusan yang dipak rapi dengan kain minyak.

"Entah mustika apa yang ada di dalamnya, Penyimpanannya saja demikian sempurna," pikirnya dalam hati. Kembali dia menggunakan pisaunya untuk memutuskan tali pengikat bungkusan tersebut setelah dibukanya, dia mendapatkan sejilid kitab Si Cap Ji cin-keng yang ukurannya dan bentuknya sama dengan yang pernah ia lihat sebelumnya.

"Ah!" serunya girang, Lekas-lekas ia mengeluarkan bukunya yang sama, Untung saja tidak ikut basah karena dirinya tercebur ke dalam gentong air tadi, Diletakkannya kedua kitab itu secara berdampingan .Ternyata tidak ada bedanya.

"Pasti ada sesuatu yang aneh dalam kitab ini," pikirnya kemudian "Sayangnya aku buta huruf, Kalau aku meminta penjelasan dari kedua nona ini, tentu mereka mengerti Tapi mereka pasti jadi tidak memandang sebelah mata terhadapku!" Setelah berpikiran demikian, Siau Po membatalkan niatnya dan menyimpan kedua jilid kitab tersebut di dalam lacinya.

"Bagaimana sekarang?" terdengar Kiam Peng bertanya, "Kau sudah membunuh orang ini, pasti sebentar lagi ada orang yang menyusulnya kemari!" Pikiran Siau Po bekerja dengan cepat, Tadi thayhou sendiri datang kemari untuk membunuhku Hal ini pasti disebabkan rahasianya yang telah diketahui olehku dan dia khawatir aku akan membocorkannya. Setelah gagal, dia mengirim Sui Tong melanjutkan keinginannya yang tidak kesampaian perempuan tua itu sungguh lihay! Bagaimana dia mendapat akal menuduhku sebagai konconya para pemberontak yang menyerbu istana malam ini? Bukankah itu fitnahan yang sadis? Biar bagaimana, aku harus mendahuluinya turun tangan! Tindakan inilah yang paling tepat! Aku harus menghadap Sri Baginda selekasnya untuk memberikan penjelasan. Begitu fajar menyingsing, aku harus meninggalkan tempat ini dan tidak akan kembali lagi untuk selama-lamanya!" Setelah berpikir demikian, Siau Po langsung mengambil keputusan Dia berkata kepada Pui Ie. "Aku harus mengarang cerita bahwa Sui Tong telah bersekongkol dengan pihak Bhok onghu kalian Maka itu, nona Pui.... Tolong kau jelaskan apa maksud kalian yang sebenarnya menyerbu istana malam ini?" Siau Po menatap si nona cantik lekat-lekat.

"Karena kami sudah menganggap kau seperti orang sendiri, rasanya tidak apa-apa kalau kami bicara terus terang kepadamu," sahut nona Pui Ie. "Kami menyamar sebagai orang-orangnya Go Eng-him, putera dari Go Sam-kui. penyerbuan kami kemari bermaksud melakukan pembunuhan gelap terhadap Raja. Kami pikir, syukur kalau kami berhasil. Andaikata tidak sekalipun, kami bisa menimpakan kesalahan ini kepada pihak Go Sam-kui, Bahkan apabila Sri Baginda gusar, ada kemungkinan Go Sam-kui sekeluarga akan dihukum mati!" Siau Po menarik nafas panjang, Hatinya lega mendengar keterangan Nona Pui itu.

"Bagus, bagus!" katanya memuji "Tapi, dengan bukti apa kalian memfitnah Go Sam-kui?"

"Sengaja kami meninggalkan tanda di baju-baju kami," sahut Pui Ie.

"Tanda itu akan memberikan bukti bahwa kami orang-orang dari pihak Peng Si ong. Beberapa senjata kami juga sengaja diukir huruf "Tay Beng Sanhay kwan hu congpeng". Siau Po tertawa, Sebelum berpihak pada kerajaan Ceng, Go Sam-kui memang menjabat sebagai congpeng di Sanhay kwan pada masa kerajaan dinasti Beng.

"Akal itu bagus sekali!"

"Ketika kami merencanakan penyerbutan ke istana ini, kami sudah berpikir bahwa ada kemungkinan beberapa di antara orang-orang kami yang akan tertawan atau terluka sehingga tidak sempat melarikan diri Tapi, demi bangsa dan negara, kami siap mengorbankan diri! Kami sudah menerka, apabila ada orang kami yang tertangkap, tanda-tanda itu pasti ditemukan Mulanya kami pasti tidak mau mengaku. Setelah disiksa beberapa hari, barulah kami menyerah dan menyatakan bahwa kamilah orang-orang yang dikirim oleh Peng Si ong untuk membunuh Raja. Begitu masuk ke dalam istana, kami melemparkan beberapa senjata dengan tanda khusus itu secara sembarangan Maksud kami, apabila kami beruntung bisa lolos semuanya, bukti itu toh sudah tertinggal." Nona Pui berbicara dengan serius, nafasnya sampai memburu saking bersemangatnya. wajahnya sampai bersemu dadu.

"Jadi kedatangan kalian bukan untuk menolong Siau kuncu?" tanya Siau Po kembali.

"Bukan!" sahut Pui Ie.

"Kami toh bukan dewa."

"Bagaimana kami bisa tahu Siau kuncu ada di dalam istana?"

"Apakah kau pun membawa senjata yang telah diberi tanda bukti itu?" tanya Siau Po.

"Ada!" sahut Pui Ie yang segera menyusupkan tangannya ke dalam selimut dan mengeluarkan sebatang gotok. Karena tenaganya sudah lemah sekali, dia tidak sanggup mengangkat golok itu tinggi-tinggi. Siau Po tertawa melihatnya.

"Untung aku tidak tidur di sampingmu, kalau tidak, tentu mudah bagimu untuk menikam aku sampai mati!" Wajah nona itu menjadi merah padam karena jengahnya.

"Fui!" serunya dengan mata mendelik. Siau Po tersenyum Dia menerima golok kecil itu kemudian disembunyikan di balik pakaian Sui Tong.

"Aku akan memberikan laporan kepada Sri Baginda, Aku akan mengatakan bahwa Sui Tong adalah anteknya para penyerbu malam ini. Bukankah senjata tadi akan menjadi suatu bukti?" Tapi Pui Ie menggelengkan kepalanya, "Sebetulnya huruf apakah yang terukir di golok-golok itu?" tanya Siau Po. Dia merasa dirinya toh buta huruf, buat apa dia melihat sendiri huruf-huruf itu.

"Tadi aku toh sudah mengatakan bahwa bunyi-nya Tay Beng Sanhay kwan hu congpeng. sedangkan Sui Tong adalah orang Boan, tidak mungkin dia menghamba pada seorang congpeng dari dinasti Beng!"

"Iya, benar juga yang kau katakan," kata Siau Po. Cepat-cepat dia mengambil kembali golok kecil yang diselipkan dalam pakaian Sui Tong, "Sekarang barang apa yang harus kita masukkan ke dalam pakaian orang ini?" tanyanya kemudian. Tapi sebelum Kiam Peng atau Pui Ie sempat menjawab, sebuah ingatan sudah melintas di benaknya.

"Oh, ya! Ada!" Siau Po segera mengeluarkan barang-barang hadiah Go Eng-him, yakni dua renceng mutiara, sepasang ayam-ayaman dari batu kumala dan beberapa helai uang kertas, semuanya dia masukkan ke dalam pakaian Sui Tong, Dia merasa barang-barang itu akan menjadi bukti yang kuat sekali, terutama uang kertasnya.

"Nah, Go sicu," kata Siau Po dalam hatinya, "Lohu harus meninggalkan tempat ini. Yang lainnya terserah padamu, Maafkan tindakan lohu ini." Kemudian Siau Po mengangkat tubuh itu untuk diletakkan dalam taman, namun belum sempat dia membuka pintu, tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki mendatangi ia terkejut sekali, Dengan cepat dan berhati-hati, dia meletakkan tubuh itu kembali. Setelah itu dia memasang telinganya. Dari luar kamar terdengar seseorang berseru. "Sri Baginda menitahkan agar Siau Kui cu datang melayaninya!" Senang sekali hati Siau Po mendengarnya.

"Aku justru khawatir tidak sempat bertemu dengan Sri Baginda lagi. Siapa sangka Sri Baginda sendiri yang mencari aku. Apalagi baru saja timbul keonaran, tentu merupakan saat yang tepat bila aku bertemu dengannya sekarang, Tapi, untuk sementara terpaksa aku tidak dapat membawa tubuh Sui Tong ini," pikirnya dalam hati.

"Iya, hambamu sudah mengerti!" sahut Siau Po cepat "Hambamu hendak mengganti pakaian terlebih dahulu, sebentar lagi hamba akan menghadap." Sembari berbicara, Siau Po mendorong tubuh Sui Tong ke kolong tempat tidur, Kemudian dia menggerak-gerakkan tangannya kepada kedua nona di atas tempat tidur agar mereka jangan bangun, Ketika dia akan meninggalkan kamarnya, tiba-tiba dia berpikir: "Nona Pui itu tidak dapat dipercaya sepenuhnya, Celaka kalau dia mencuri harta bendaku..." Karena itulah dia lalu mengambil kedua kitab serta semua uangnya dan disimpan dalam pakaiannya, Setelah memadamkan lilin, baru dia membuka pintu dan berjalan keluar. Di luar pintu berdiri menunggu empat orang thay-kam yang semuanya tidak ada yang dikenalnya, Diam-diam dia menjadi heran, Thay-kam yang menjadi pemimpin segera tertawa dan berkata.

"Kui kongkong, tengah malam buta seperti ini Sri Baginda masih memanggilmu juga, Hal ini memperlihatkan bagaimana sayangnya junjungan kita kepada Kui kongkong!" Siau Po bersikap tenang.

"Istana telah diserbu orang. Karena itu, aku sendiri ingin secepatnya bertemu dengan Sri Baginda untuk menanyakan keselamatannya serta menghiburnya, Tapi, justru karena belum ada panggilan, aku tidak berani lancang menjenguk beliau di tengah malam...."

"Kau begitu setia terhadap Raja, tidak heran Sri Baginda menyayangimu..." kata thay-kam tadi.

"Sekarang, mari kau ikut dengan kami." Dia memutar tubuhnya dan melangkahkan kaki untuk berjalan di depan Siau Po. Siau Po heran sekali, Diam-diam dia berpikir di dalam hati, "Aku adalah kepala para thay-kam di Siang Sian tong, berarti kedudukanku lebih tinggi daripada kedudukanmu Mengapa kau malah jalan di depanku? Usia thay-kam ini sudah tidak muda lagi. Tidak mungkin kalau dia tidak tahu aturan." Dengan membawa pikiran demikian, dia segera bertanya: "Kongkong, siapakah nama dan she kongkong yang mulia? Rasanya kita jarang bertemu..." Thay-kam itu tertawa dan berkata.

"Kongkong menjadi orang kesayangan Sri Baginda, sebaliknya kami hanya para thay-kam biasa, Sudah tentu kongkong tidak kenal dengan kami."

"Tapi," kata Siau Po. "Sri Baginda menitahkan kalian memanggilku, berarti kalian bukan thay-kam biasa!" Ketika berbicara, lagi-lagi Siau Po dilanda keheranan Thay-kam yang menjemputnya itu mengajaknya ke arah timur, sedangkan kamar raja letaknya di Tenggara.

"Eh, eh! Kau salah jalan!" tegur Siau Po sembari tertawa, Dia memang merasa heran, tapi tidak curiga. Dia malah menertawakan thay-kam itu begitu tolol sehingga dimana letak kamar raja pun lupa, "Tidak salah!" sahut thay-kam itu.

"Sri Baginda sedang menjenguk thayhou, Agar kita tidak mengganggunya, kita langsung saja menuju kamar ibu suri!" Mendengar thay-kam itu menyebut ibu suri, Siau Po terkejut setengah mati, Mendadak dia menghentikan langkah kakinya, justru karena dia berhenti, ketiga thay-kam yang mengiringinya langsung melompat dengan posisi mengurungnya, Siau Po tambah tercekat hatinya.

"Celaka!" pikirnya, "lni pasti bukan panggilan dari Sri Baginda, Tentu thayhou yang menitahkan mereka untuk membekukku!" Dia pun bingung, Dia tidak tahu apakah keempat thay-kam itu mengerti ilmu silat atau tidak, Tapi satu lawan empat saja, Siau Po sudah sangsi. Lagipula, bila sampai terjadi pertempuran, pasti para siwi akan bermunculan dan pada saat itu semakin kecil kesempatannya untuk melarikan diri. Meskipun hatinya tercekat, tapi pada dasarnya Siau Po memang cerdas sekali, Dengan cepat dia berhasil menguasai dirinya, Setelah tertegun sejenak, dia segera tertawa dan berkata. "Ke kamarnya thayhou? Bagus! Setiap kali ke kamar thayhou, aku selalu diberinya hadiah, Kalau bukan uang emas, sedikitnya kembang gula serta kue yang lezat Dalam hal memperlakukan para hambanya, thayhou memang yang paling baik hatinya. Dia suka mengatakan aku sebagai budak yang mulutnya paling rakus!" Sembari berkata, Siau Po melangkahkan kakinya menuju arah kamar tidur ibu suri. Melihat keadaan itu, keempat thay-kam yang mengiringinya tidak mengatakan apa-apa lagi, Mereka berjalan kembali seperti posisi semula, Satu di depan, tiga lagi mengintil di belakang. Siau Po berkata kembali.

"Belum lama ini ketika aku menghadap thayhou, rejekiku bagus sekali, Aku dipersen uang emas sebanyak lima ribu tail dan uang perak dua laksa tail, Tenagaku masih kecil, mana kuat aku mengangkat uang sebanyak itu. Tapi thayhou memang sangat baik, dia

mengatakan, kalau aku tidak kuat mengangkatnya sekaligus, aku boleh membaginya beberapa kali angkat Kemudian thayhou juga bertanya kepadaku: "Eh, Siau Kui cu, uang sebanyak itu akan kau gunakan untuk apa?" Aku pun menjawab: "Harap thayhou ketahui, hambamu gemar mengikat persahabatan dengan para thay-kam di istana, Mana saja yang baik, pasti hambamu akan menghadiahkan uang agar dapat mereka gunakan untuk bersenang-senang!" Sembari berbicara, sebetulnya otak Siau Po juga bekerja mencari akal agar mendapat kesempatan untuk meloloskan diri, Kata-katanya membuat mereka jadi ragu.

"Mana mungkin thayhou memberi persen dalam jumlah yang demikian banyak?" kata salah seorang thay-kam yang mengiringinya dari belakang.

"Apa? Kau tidak percaya?" tanya Siau Po. "Nih, kau lihat sendiri!" Siau Po merogo kantongnya serta mengeluarkan uangnya, Ada uang emas, ada juga uang perak, Nilainya paling kecil lima ratus tail, Melihat uang sebanyak itu, keempat thay-kam itu jadi terpaku! Siau Po memperhatikan mereka lekat-lekat Dia menarik empat lembar uang kertasnya kemudian tersenyum.

"Sri Baginda dan thayhou tidak henti-hentinya menghadiahkan uang kepadaku, Mana mungkin aku bisa menghabiskannya? Di sini ada empat lembar uang kertas, ada yang nilainya seribu tail, ada juga yang nilainya dua ribu tail, sekarang coba kalian uji

peruntungan saudara sekalian! Masing-masing menarik sehelai!" Keempat thay-kam itu merasa heran, Untuk sesaat mereka jadi bimbang.

"Walaupun kau seorang dermawan, tidak mungkin kau menghadiahkan uang sebanyak itu!" kata para thay-kam itu. Siau Po tersenyum.

"Uangku banyak sekali, kemana aku harus menghamburkannya? Bahkan kadangkala aku di-repotkan oleh uang-uang itu. Sekarang aku akan menghadap Sri Baginda dan thayhou, entah berapa banyak lagi hadiah yang akan kuterima!" Dia mengangkat uangnya tinggi dan mengibar-ngibarkannya. Seorang thay-kam menatapnya dengan tajam, Kemudian dia tertawa dan bertanya.

"Kui kongkong, benarkah kau hendak memberi persen kepada kami? Apakah kau tidak sedang bermain-main?"

"Siapa yang main-main?" kata Siau Po.

"Dari semua saudara-saudaraku di Siang sian tong, siapa yang belum pernah menerima hadiah sebanyak delapan ratus atau seribu tail dariku? Nah, saudara-saudara sekalian, mari! Cobalah peruntungan kalian dengan masing-masing menarik selembar uang ini. Ayo, siapa yang mengundi terlebih dahulu?" Salah seorang thay-kam tertawa, "Aku!" katanya.

"Tunggu sebentar!" kata Siau Po kembali "Kalian harus melihat dulu biar tegas!" Lalu keempat lembar uang kertas itu didekatkan pada lentera, Keempat thay-kam itu mengerumuni untuk memperhatikan Ternyata memang benar, uang kertas itu bernilai seribu serta dua ribu tail, Hati mereka sampai berdenyutan melihatnya. Watak para thay-kam memang aneh. Mereka tidak mempunyai anak isteri. Juga tidak dapat menjabat pangkat yang tinggi, tapi mereka selalu tergila-gila akan uang, Mungkin harta benda merupakan satu-satunya hiburan bagi mereka dalam dunia, Meskipun tinggal dalam istana, gaji seorang thay-kam sangat kecil, belum pernah mereka melihat uang yang nilainya sampai ribuan tail. Sekarang, melihat uang kertas di tangan Siau Po, iman mereka menjadi goyah. Siau Po mengibas-ngibaskan uang kertasnya, "Nah, saudara-saudara, Saudara inilah yang akan mencoba peruntungannya terlebih dahulu!" katanya pada thay-kam yang mengajukan dirinya tadi. Thay-kam itu segera mengulurkan sebelah tangannya, Siau Po tidak menunggu sampai tangan itu berhasil menyentuh uang kertasnya, Secara tiba-tiba dia mengendorkan genggamannya sehingga uang-uang kertas itu terlepas dan berterbangan terbawa angin, Lalu dia sengaja berseru.

"Ah! Kenapa kau tidak bertindak cepat dia mencekalnya erat-erat? Lekas, lekas rebut kembali! Siapa yang dapat, dia yang berhak memilikinya!" Keempat thay-kam itu adalah orang-orangnya ibu suri, Mereka mendapat perintah menyusul Sui Tong, Tugas mereka ialah memanggil Siau Po atas nama Sri Baginda, Kalau thay-kam cilik itu membangkang, mereka harus membekuknya. Ibu suri melakukan hal ini karena merasa khawatir Meskipun Sui Tong berkepandaian tinggi, tapi takutnya dia kalah cerdas dengan Siau Po. Dia sendiri pernah ditusuk oleh Siau Po sehingga tangannya terluka parah. Keempat orang itu tidak mendapat perintah untuk membunuh bocah cilik itu, karenanya mereka hanya bersikap mengurung. Tapi sekarang mereka disodori uang sebanyak ribuan tail, sehingga mereka lupa akan tugas yang sedang dijalankan Mereka juga tidak curiga, karena si thay-kam cilik yang seharusnya mereka bekuk, tidak mengadakan perlawanan sama sekali. Karena itu pula, melihat uang kertas yang berterbangan mereka segera berlarian mengejarnya.

"Lekas! Lekas!" seru Siau Po menambah semangat mereka, Namun, mulutnya berteriak, kaki-nyapun digerakkan juga. Dia berlari meninggalkan tempat itu dan masuk dari sebuah gunung buatan yang telah ia kenal baik situasinya. Memang dari tadi dia sudah memikirkan jalan untuk menyelamatkan diri, di dalam taman itu banyak gunung buatan, banyak juga gua buatan yang berliku-liku, Siapa pun yang lari bersembunyi di tempat itu, tentu tidak mudah ditemukan. Dari keempat thay-kam itu, ada satu yang berhasil mendapatkan dua lembar uang kertas, salah satunya malah tidak mendapatkan apa-apa, karena itu dia meminta bagian pada temannya yang mendapat dua lembar, Tapi permintaannya sudah tentu ditolak sehingga timbullah pertengkaran di antara mereka.

"Bukankah tadi Kui kongkong telah mengatakan bahwa siapa yang mendapatkan berhak memilikinya?" kata thay-kam yang beruntung itu, "Maka kedua lembar uang kertas ini adalah milikku!"

"Tapi tadi juga sudah dijelaskan bahwa setiap orang mendapat satu helai!" kata kawannya berkeras, "Kau bagi selembar kepadaku Cukup yang seribu tail saja!"

"Apa! Seribu tail?" bentak thay-kam yang beruntung itu, "Enak saja! Satu tail pun tidak akan kuberikan!" Kawan itu menjadi panas mendengarnya, dia segera menjambak dada rekannya.

"Kau mau memberikan atau tidak?" tanyanya dengan sikap mengancam.

"Mari kita minta Kui kongkong yang menentukan!" kata si thay-kam yang beruntung itu, Dia segera memutar tubuhnya dan saat itu juga dia menjadi tertegun. Siau Po tidak ada lagi di antara mereka.

"Lekas cari dia! Lekas!" teriak thay-kam itu. Tapi thay-kam yang tidak mendapatkan uang kertas tidak mau mengerti Dia masih

mencekal baju depan orang itu. Siau Po sudah lari sejauh belasan tombak, tapi dia masih mendengar suara pertengkaran di antara kedua orang, Diam-diam dia menertawakan dalam hati, Kemudian dia berpikir.

"Aku akan bersembunyi di sini sampai fajar menyingsing Aku akan menyingkir dari pintu samping. Aku tidak akan kembali ke sini lagi!" Ketika itulah terdengar suara langkah kaki ramai mendatangi, disusul dengan suara percakapan.

"Malam ini datang pemberontak yang menyerbu, besok kita pasti mendapat teguran Mungkin juga ada yang kena hukuman," kata salah seorang di antaranya. Siau Po mengenali mereka sebagai para pengawal istana, Lalu terdengar seorang yang lainnya berkata.

"Semoga besok Kui kongkong membantu kita berbicara beberapa patah kata di depan Sri Baginda...." Kemudian terdengar lagi suara siwi yang ketiga, "Kui kongkong masih muda sekali, tapi baik dan bijaksana, Sungguh sukar menemukan orang seperti dia!" Mendengar suara mereka, senang sekali hati Siau Po. Segera dia keluar dari tempat persembunyiannya.

"Hu! Saudara-saudara sekalian! jangan bersuara keras-keras!" katanya. Dua orang yang berjalan di depan segera mengangkat lenteranya tinggi-tinggi.

"Oh, Kui kongkong!" seru mereka perlahan. Siau Po melihat belasan siwi yang tadi ada di luar kamarnya, Dia bahkan masih ingat nama-nama mereka.

"Tio toako!" katanya, "Di sana ada empat orang thay-kam yang bersekongkol dengan kawanan pemberontak yang menyerbu malam ini. Lekas kalian bekuk mereka, pasti kalian bernyali besar sekali!" Kemudian dia menoleh kepada siwi lainnya, "Dan kau,

Ong toako, Cio toako, kalian totok saja otot gagu mereka atau hajar rahang mereka agar tidak bisa berkaok-kaok, dengan demikian kalian tidak perlu mengejutkan Sri Baginda!" Sekalian siwi itu percaya penuh dengan ucapan Siau Po. Mereka juga tidak perlu merasa khawatir karena antek-antek para penjahat itu hanya terdiri dari empat orang thay-kam. Segera mereka menghentikan pembicaraan lentera juga dipadamkan Dengan mengendap-endap mereka menuju tempat yang ditunjuk oleh Siau Po.

Keempat thay-kam itu masih mencari-cari Siau Po. Tegasnya dua orang yang mencari, sedangkan dua yang lainnya masih bertengkar Dalam sekejap mata keempat thay-kam itu sudah didekati dan dengan mudah berhasil dibekuk. Di antara mereka ada yang tidak mengerti ilmu menotok, Karena itu mereka menghajar muka keempat thay-kam itu sehingga mereka tidak sanggup berteriak Suaranya hanya terdengar desahan saja.

"Bawa mereka ke kamar itu!" kata Siau Po seraya menunjuk sebuah kamar yang letaknya d samping, "Paksa mereka berkata sejujurnya!" Dia sendiri juga ikut masuk ke dalam kamar itu Bahkan dia duduk di tengah ruangan begitu lentera dinyatakan kembali. Para pengawal itu menyuruh keempat thay-kam tersebut untuk bertekuk lutut, tetapi mereka membangkang karena menganggap mereka adalah orang orangnya ibu suri dan tidak pantas diperlakukan seperti itu, itulah sebabnya mereka kembali mendapat hajaran keras. Para pengawal itu menampar meninju juga menendang serta memaksa mereka bertekuk lutut.

"Barusan kalian berempat kasak-kusuk, jika kalian mencurigakan Lagak kalian seperti pencuri dan terus bertengkar," kata Siau Po yang mulai dengan gayanya yang khas, "Kalian juga menyebu nyebut jumlah uang, Kalau tidak salah, seribu tahil milik si anu, dua ribu tail milik si ini! Mengapa kalian juga mengatakan bahwa kawan-kawan kalian dari luar itu tidak bagus peruntungannya karena ada beberapa yang terluka dan mati di tangan para si anjing?" Mendengar kata-kata Siau Po, para siwi itu menjadi marah sekali, Lagi-lagi mereka mengirimkan tendangan dan tinju kepada keempat thay-kam tersebut. Para thay-kam itu berteriak-teriak penasaran tapi suara mereka tidak jelas kedengaran karena rahang mereka sulit digerakkan.

"Kalian tahu, aku telah menguntit kalian!" kata Siau Po kembali, Dia terpaksa memfitnah untuk membela dirinya sendiri Dia juga merasa tidak ada salahnya bersikap keras terhadap orang-orangnya ibu suri yang ingin mencelakakan dirinya.

"Lekas bicara! Aku dengar tadi kau mengatakan: "Akulah yang menunjukkan jalan untuk mereka dan uang ini adalah pemberian mereka, karena itu mana boleh aku membagikannya kepadamu?" Sembari berbicara, Siau Po menunjuk pada kedua lembar uang kertas yang diperebutkan tadi, Lalu dia menuding kepada thay-kam yang tidak berhasil mendapatkan apa-apa.

"Bukankah tadi kau mengatakan bahwa perbuatan kalian ini dapat membuat batok kepala kalian pindah rumah dan dosa yang harus dipikul sama beratnya sehingga uang itu harus dibagi sama rata? Kau juga mengatakan biar bagaimana pun kau harus mendapat bagian?"

"Mereka menjadi musuh dalam selimut, dosa mereka memang besar sekali, Ada kemungkinan batok kepala mereka memang bisa pindah rumah!" kata beberapa siwi memberikan pendapatnya.

"Ter-bukti mereka sedang membagi hasil, mari kita geledah pakaian mereka!" Kata-kata itu segera dibuktikan Ternyata selain kedua lembar uang kertas yang sedang diperebutkan pada kedua thay-kam ditemukan dua lembar uang kertas lainnya, Karena itu, para siwi itu jadi gaduh. Mereka tahu gaji seorang thay-kam sebulannya hanya dua sampai tiga tail perak. Tapi sekarang mereka mempunyai uang kertas senilai seribu dan dua ribu tail!"

"Bagus!" kata seorang siwi, "Para penyerbu itu pasti memberikan uang ini sebagai hadiah mereka yang telah menjadi pemasuk atau penunjuk jalan, Sialnya mereka juga mengejek kita sebagai siwi anjing! Sekarang biar mereka mendapatkan bagian masing-masing!" Saking sengitnya para siwi itu menendang dengan hebat, salah seorang thay-kam langsung terguling di atas tanah dan nyawanya pun melayang seketika.

"Jangan sembrono!" kata seorang siwi lainnya, "Mereka harus diperiksa dengan seksama!" Rupanya siwi yang satu ini lebih sabar wataknya. Dia malah menolong seorang thay-kam untuk bangkit dan mengurut-urut rahangnya agar dapat berbicara.

"Ayo katakan!" bentak Siau Po. "Siapa yang menyuruh kalian melakukan perbuatan nekat ini? Nyalimu sungguh besar sekali. Cepat katakan!"

"Aku merasa penasaran!" teriak thay-kam itu. "Kami adalah thay-kam thayhou dan kami sedang menjalankan perintah.."

"Ngaco!" bentak Siau Po sambil menerjang ke depan, Dengan tangan kirinya dia membekap mulut thay-kam itu, sedangkan tangan kanannya menghajar batok kepala orang sehingga thay-kam itu jatuh tidak sadarkan diri, Kemudian dia berkata kepada para siwi: "Saudara sekalian, dia menyebut-nyebut nama thayhou, Hal ini bisa membahayakan kita!" Para siwi itu terkejut setengah mati. Untuk sesaat mereka mempunyai pikiran yang sama.

"Mungkinkah mereka sedang menjalankan perintah thayhou untuk menjadi penunjuk jalan bagi para pemberontak itu?" Para siwi itu mengetahui bahwa Sri Baginda bukan putra kandung thayhou yang sekarang, ibu suri juga sangat cerdik. Karena itu, mereka langsung menduga bahwa ada kemungkinan Raja telah melakukan suatu perbuatan yang menyalahi thayhou sehingga ibu tirinya itu mengambil tindakan sedemikian rupa. Mereka juga sadar dalam istana segala hal apa pun dapat terjadi Karena itu, hati mereka menjadi was-was. Siau Po melanjutkan pemeriksaannya.

"Benarkah kalian sedang menjalankan titah thayhou?" tanyanya pada salah seorang thay-kam. Urusan ini hebat sekali, Kalian tidak boleh sembarangan bicara! Benarkah kamu dititahkan oleh thayhou?" Thay-kam itu tidak dapat berbicara, Karena itu dia hanya menganggukkan kepalanya.

"Apakah uang ini juga pemberian ibu suri?" tanyanya kembali. Thay-kam itu menggelengkan kepalanya, Siau Po tahu apa yang harus dia katakan, "Kalian sedang menjalankan perintah Karena itu apa yang kalian lakukan bukan keinginan kalian sendiri, bukan?" demikian dia bertanya. Thay-kam itu kembali menganggukkan kepalanya, "Sekarang katakan! Kalian ingin hidup atau mati?" Tentu saja pertanyaan itu menyulitkan kedua thay-kam tersebut Untuk sesaat mereka bingung, Yang pingsan tadi juga sudah sadar Dia menganggukkan kepalanya sedangkan yang lain menggeleng, Lalu ketiga-tiganya mengangguk serentak dan akhirnya menggeleng bersama-sama pula. "Jadi kalian mau mati?" tanya Siau Po menegaskan. Ketiga thay-kam itu menggelengkan kepalanya, "Oh, jadi kalian ingin hidup?" tanya Siau Po. Mereka segera menganggukkan kepala, Siau Po segera menarik tangan dua orang siwi yang menjadi pemimpin lalu mengajaknya keluar dari kamar itu. Di sana dengan suara lirih dia berkata kepada kedua orang itu.

"Tio toako, Cio toako, kepala kita juga bisa pindah rumah!" Kedua siwi itu, yakni Tio Kong-lian dan Cio Ci-hian terkejut setengah mati mendengar perkataannya.

"Lalu... apa yang harus kita lakukan?" tanya mereka gugup.

"Aku juga bingung!" kata Siau Po.

"Kakak berdua, bagaimana pendapat kalian?"

"Celakalah kalau urusan ini sampai tersiar Aku pikir, sebaiknya kita cari akal untuk menutupinya.,." sahut Tio Kong-lian.

"Benar begitu," timpal Cio Qi-hian.

"Bagaimana kalau mereka bertiga dibebaskan dan kita pura-pura tidak tahu saja?"

"Tapi, bagaimana kalau mereka berniat mencelakai kita?" tanya Tio Kong-lian.

"Salah satu rekan mereka telah kita bunuh...."

"Memang ada baiknya kalau mereka dibebaskan tapi khawatirnya mereka akan mengadu kepada thayhou," kata Siau Po.

"Bukankah hal itu berbahaya sekali? Apa yang harus kita lakukan agar mereka tidak berani mengadu? Ada bagusnya apabila thayhou langsung membunuh mereka saja guna membungkamkan mereka, Tapi bagaimana kalau thayhou marah dan urusan diperpanjang? Tamatlah riwayat kita!" Tubuh kedua siwi itu menggigil saking takutnya. Tapi akhirnya Kong Lian berhasil menguasai hatinya, Dia mengangkat tangannya kemudian menghajar sasaran kosong! Siau Po mengerti Dia menoleh kepada Ci Hian.

"Bagus juga!" kata Ci Hian sambil mengangguk "Tapi bagaimana dengan uangnya?"

"Mudah!" kata Siau Po.

"Uang itu boleh saudara ambil dan dibagi rata, Aku takut sekali, Yang penting aku tidak terlibat dalam urusan ini!" Mendengar uang sebanyak enam ribu tail diserahkan kepada mereka, para siwi itu menjadi senang sekali, Berarti mereka masing-masing akan mendapatkan empat ratus tail apabila dibagi rata, Karena itu mereka segera mengambil keputusan, Mereka kembali ke dalam dan berbisik kepada tiga orang siwi yang dapat dipercaya penuh. Ketiga siwi itu menganggukkan kepalanya mendengarkan bisikan pemimpinnya, Salah satu dari mereka segera berkata kepada tiga thay-kam tadi.

"Kalian adalah orang-orangnya thayhou, Karena itu kami tidak ingin memperpanjang urusan ini. Kalian pergilah!" Bukan main senangnya hati ketiga thay-kam itu. Mereka langsung berjalan keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi. sedangkan ketiga siwi tadi mengikuti dari belakang. Begitu mereka berada di luar, segera terdengar suara jeritan yang menyayat hati dari ketiga thay-kam tersebut, kemudian disusul dengan teriakan salah seorang siwi tadi.

"Ada pembunuh gelap! Ada pembunuh gelap!"

"Celaka! Penyerbu gelap sudah membunuh empat orang thay-kam!" teriak siwi lainnya. Setelah itu, ketiga siwi tadi berlari ke dalam kamar sambil berteriak.

"Kui kongkong! Celaka! Ada orang jahat yang menyerbu lagi! Empat orang kongkong terbunuh!"

"Sayang sekali!" kata Siau Po sambil menarik nafas panjang, "Cepat kalian tawan para penjahat itu! jangan sampai ada yang lolos!"

"Salah seorang penyerbu telah berhasil kami bunuh!" teriak seorang siwi lainnya.

"Bagus." kata Siau Po, "Sekarang cepat kalian laporkan kepada siwi congkoan tentang kematian keempat kongkong itu!"

"Baik!" sahut para siwi sambil menahan tawa, Mereka menganggap sandiwara mereka bagus sekali, sebaliknya Siau Po sendiri tidak dapat menahan rasa gelinya, dia tertawa cekikikan, Melihat hal itu, para siwi jadi ikut tertawa. Kemudian dia memberi hormat seraya berkata.

"Kakak semua, aku ucapkan selamat kepada kalian yang telah mendapatkan hadiah, Nah, sampai jumpa besok!" Tanpa menunda waktu lagi, Siau Po segera kembali ke kamarnya, Tapi baru dia sampai di pintu, tiba-tiba dia mendengar suara dingin yang datangnya dari gerombolan pohon bunga.

"Siau kui cu, tindakanmu bagus sekali, ya?" Bukan main terkejutnya hati Siau Po, Dia mengenali suara orang itu sebagai suara

ibu suri, Dia segera memutar tubuhnya untuk melarikan diri, Tapi baru kira-kira enam langkah, dia merasa bahu kirinya tercekal keras, tubuhnya gemetar Di samping tidak dapat bergerak, dia juga terpaksa membungkuk Namun pada saat itu juga, dia

berusaha mencabut pisau belatinya, Sebuah pukulan yang keras langsung mengenai tangannya sehingga dia menjerit kesakitan.

"Eh, Siau Kui cu!" terdengar kembali suaranya Hong thayhou, Kali ini lebih menyerupai bisikan, "Kau masih sangat muda, tapi kau sudah pandai bekerja, Dengan mudah kau berhasil membunuh keempat orang thay-kam, malah kau menjatuhkan fitnah kepada diriku. Berani-beraninya kau mempermainkan aku! Hm!" Siau Po takut setengah mati, Dia juga menyesal sekali sehingga dia memaki dirinya sendiri dalam hati.

"Siau Po, kau benar-benar kura-kura cilik! To-lol! Ingat, kalau kali ini kau tidak dapat meloloskan diri, mana namamu bukan Wi Siau Po lagi!" Tapi pada dasarnya dia memang cerdik sekali, Dalam keadaam terdesak, dia segera mengambil keputusannya.

Thayhou sangat membenci aku. Percuma bila aku merengek memohon pengampunannya, Baiklah. Aku akan bersikap keras, Aku harus bertahan terus sampai mendapat kesempatan untuk kabur Hm... dia harus digertak!" Karena itu dia langsung berkata: "Thayhou, kalau sekarang kau ingin membunuh aku,sayang sekali sudah terlambat!"

"Apanya yang patut disayangkan?" tanya thayhou heran.

"Kau hendak membunuh aku agar mulut ini bungkam," kata Siau Po. "Sayang kau terlambat satu langkah. Bukankah tadi kau sudah mendengar apa yang dikatakan oleh para siwi?"

"Kau mengatakan aku telah mengirim empat orang kongkong yang tak punya guna untuk bersekongkol dengan kawanan para pemberontak dan mengajak mereka masuk ke dalam istana! Benar bukan! Untuk apa aku bersekongkol dengan para pemberontak itu?"

"Mana aku tahu apa maksudmu?" kata Siau Po dengan berani, "Mungkin Sri Baginda bisa menduganya!" Thay-kam gadungan ini benar-benar sudah nekat. Ibu suri merasa gusar sekali tapi dia masih bisa menguasai dirinya.

"Kalau sekarang aku menyerangmu dengan satu kali hantaman saja, kau akan mampus!" kata-nya.

"Tapi kalau benar demikian, peruntunganmu terlalu bagus!" Siau Po benar-benar berani.

"Kalau sekarang kau membunuh aku Siau Kui cu, besok seluruh istana akan tahu!" katanya, "Pasti setiap orang akan bertanya: "Kenapa Siau Kui cu bisa mati?" Dan jawabannya adalah: "Pasti thayhou yang membunuhnya!" Lalu ada lagi yang bertanya:

"Mengapa thayhou harus membunuh Siau Kui cu?" Yang lain pun menyahut: "Karena Siau Kui cu telah mengetahui rahasia thayhou!" Lalu ada lagi pertanyaan "Rahasia apa yang telah diketahui oleh Siau Kui cu?"

"Aih! Bicara soal itu", ceritanya pasti panjang sekali. Karena itu, mari! Mari masuk ke dalam kamarku, Nanti aku akan menjelaskan kepadamu!" Thayhou terdiam beberapa saat. Dalam hatinya dia berkata: "Apa yang diucapkan bocah ini ada benarnya juga!" Hatinya mendongkol sekali. Saking menahan emosinya, tangan wanita itu sampai gemetaran. Lalu dia berkata, "Biar bagaimana pun, kau harus dibunuh! Apa artinya belasan siwi? Besok aku akan menyuruh Sui Tong membekuk mereka dan dihukum mati! Setelah itu, aku akan terbebas dari ancaman!" Mendengar kata-katanya, Siau Po tertawa terbahak-bahak.

"Kematianmu sudah di depan mata, Apa lagi yang kau tertawakan?" bentak ibu suri yang hatinya panas bukan main melihat lagak Siau Po. Lagi-lagi Siau Po tertawa.

"Ah! Thayhou, kau hendak menyuruh Sui Tong membunuh para siwi itu?" Tawa Siau Po semakin keras. "Dia... dia.... Ha... Ha... ha...!"

"Kena... pa dia?" tanya thayhou.

"Ha... ha... ha... ha.,.!" Siau Po kembali tertawa pula, "Dia telah aku...." Tadinya Siau Po ingin mengatakan "dia telah aku bunuh," tapi tiba-tiba dia mendapat akal yang bagus. Setelah tertawa sejenak, dia terus berdiam diri. Thayhou heran Dia menatap bocah itu lekat-lekat.

"Apa yang kau lakukan pada dirinya?" tanyanya. Lagi-lagi si thay-kam cilik yang cerdik ini tertawa.

"Dia telah aku tundukkan!" katanya, "Dia sekarang menurut sekali sehingga tidak sudi lagi mendengar kata-katamu!" Thayhou tertawa dingin Dia tidak percaya kata-kata Siau Po.

"Kau setan cilik! Sampai di mana kehebatanmu?" tanyanya dengan nada mengejek "Bagaimana mungkin kau bisa membuat Sui congkoan tidak sudi mendengar lagi kata-kataku?" Siau Po terus memutar lidahnya yang tajam.

"Aku adalah seorang thay-kam cilik, tentu dia tidak mungkin menurut padaku," katanya, "Tapi di sana ada seseorang lainnya yang dia takuti!" Thayhou terkejut.

"Dia... dia..." katanya dengan suara bergetar "Dia takut kepada Raja?"

"Kami semua adalah para budak, siapa yang tidak takut kepada Sri Baginda?" kata Siau Po.

"Hal itu tidak perlu diherankan, bukan?" Thayhou penasaran sehingga tanpa sadar dia jadi terlibat pembicaraan dengan si bocah cilik.

"Apa saja yang kau katakan kepada Sui Tong?"

"Semuanya telah kukatakan kepada Sri Baginda..." sahut Siau Po.

"Semuanya telah kau katakan?" Tanpa sadar thayhou mengulangi ucapan bocah itu, Untuk sesaat dia berdiam diri, Sesaat kemudian baru dia bertanya lagi, "Di... mana dia sekarang?" Yang di maksudkan nya tentu saja Sui Tong.

"Dia telah pergi jauh!" sahut Siau Po.

"Ya, dia telah pergi jauh sekali dan tidak akan kembali lagi! Thayhou, kalau kau hendak menemuinya, rasanya tidak begitu mudah!" Hati thayhou tercekat.

"Maksudmu, dia sudah meninggalkan istana ini?"

"Tidak salah! Dia berkata kepadaku bahwa di takut kepada Sri Baginda dan dia juga takut kepadamu! Dia juga mengatakan bahwa sulit sekali hidup di antara dua orang yang terus menekannya, Dia khawatir suatu hari jiwanya akan melayang. Karena itu, dia

menganggap pergi jauh-jauh adalah jalan yang terbaik baginya!"

Bagian 20

"Jadi ia sudah melarikan diri?" tanya thayhou "Benar! Eh, thayhou, bagaimana kau bisa tahu Apakah kau telah mendengar sendiri apa yang dikatakannya? Ya! Dia sudah pergi jauh, jauh sekali."

"Hm!" Thayhou mendengus dingin, "Jadi pangkatnya pun tidak ia kehendaki lagi? Kemana tujuannya?"

"Dia.,, dia... pergi ke...." Baru berkata sampai disini, tiba-tiba sebuah ingatan melintas lagi di benak Siau Po. Karena itu dia langsung melanjutkan kata-katanya. "Katanya dia akan pergi ke... entah apa Tay san... Liok Tay... Cit Tay... Eh, bukan! Kalau tidak salah Pat Tay san."

"Mungkin Ngo Tay san?" kata thayhou.

"Benar! Benar!" Tiba-tiba Siau Po berseru, "Memang benar gunung Ngo Tay san! Oh, thayhou, kau seperti dewa yang bisa tahu segala hal!"

"Apa lagi yang dikatakannya?" tanya thayhou tanpa memperdulikan pujian orang. Dia juga tidak sadar bahwa bocah itu sedang mempermainkannya.

"Dia tidak mengatakan apa-apa lagi," sahut Siau Po.

"Hanya... hanya...."

"Hanya apa?" tanya thayhou cepat.

"Dia hanya mengatakan bahwa dia mengerti perasaanku dan biar bagaimana dia akan melakukan sekuat kemampuan agar berhasil walaupun dia akan dihukum mati, dia akan melakukan nya!"

"Apa yang kau pinta dia lakukan untukmu?" tanya thayhou.

"Ah! Tidak apa-apa, Sui congkoan berkata padaku bahwa baginya, tidak memangku jabatan bukanlah persoalan dan dia juga dapat melakukan perjalanan tanpa uang sepeser pun. Toh, kepergiannya ini bukan untuk setengah atau satu tahun Karena itu, aku telah memberikan uang kertas kepadanya sebesar dua puluh ribu tail...."

"Banyak sekali uangmu!" sindir thayhou, "Dari mana kau mendapatkannya?"

"Semua uang itu aku peroleh dari orang lain! sahut Siau Po.

"Aku mendapatkannya dari Kong Ci ong, So Ngo-tu tayjin, Di dalam Siangsian tong juga banyak orang yang sering menghadiahkan uang kepadaku!" Thayhou tahu jawabannya itu bukan bualan belaka.

"Kau begitu baik. Tanganmu terbuka lebar, wajar kalau Sui Tong ingin membalas kebaikan hatimu, Sebenarnya, apa yang kau suruh dia laku kan? Apa yang kau pesankan padanya?" tanya thayhou kembali.

"Hambamu tidak berani mengatakannya!" sahu Siau Po.

"Kau katakan atau tidak?" bentak Thayho garang. Siau Po menarik nafas panjang, Dia masih membawa lagaknya seperti orang yang

dipaksa keadaan.

"Sui Tong telah berjanji kepadaku," sahutnya kemudian. "Seandainya hambamu ini mati dicelakai orang dalam istana, dia akan menghadap Sri Baginda untuk membeberkan duduk persoalannya sebenarnya, Dia mengatakan bahwa dia akan menulis laporan dan akan dibawanya ke mana-mana, Dia juga berjanji setiap dua bulan akan mengadakan pertemuan denganku agar...."

"Agar apa?" bentak thayhou dengan suara sinis tapi nadanya bergetar.

"Agar setiap dua bulan sekali, aku harus menemuinya...."

"Bagaimana cara pertemuan itu?" tanya thayhou.

"Setiap dua bulan, aku harus pergi ke Tian Kio," kata Siau Po. "Di sana aku harus menemui seorang... pria penjual buli-buli gula batu, Aku harus bertanya kepadanya apakah dia menjual buli-buli batu akik? Mendengar pertanyaanku orang itu akan mengatakan bahwa harga serencengnya seratus tail, Aku harus bertanya mengapa harga itu demikian tinggi, Orang itu bukannya menjawab tapi bertanya kepadaku, apakah aku sudah pernah pulang ke langit? Aku harus mengatakan padanya agar dia pulang ke rumah orang tuanya! Dengan demikian dia akan menyampaikan kabarku kepada Sui congkoan." Dalam waktu yang singkat, Siau Po tidak menemukan jawaban atas pertanyaan Thayhou tadi, Karena itu dia mengubah sedikit ajaran yang dianjurkan oleh Tan Kin-lam untuk bertemu dengan Ci Tian-coan. Hati thayhou tercekat Dia tahu cara itu sering digunakan orang-orang kangouw untuk berhubungan dengan rekannya, Dia jadi percaya thay-kam cilik ini bukan hanya mengada-ada. Semakin dipikirkan hatinya semakin ciut. Dia tidak menyangka bocah cilik ini bisa membuat Sui Tong melarikan diri, Tidak heran kalau Sui Tong menjadi ketakutan dan melarikan diri, juga tidak aneh kalau tujuannya Ngo Tay san, yakni tempat di mana bekas kaisar kerajaan Ceng menyucikan diri. Dalam waktu yang singkat, banyak sekali yang terlintas dalam benak thayhou, otaknya semakit ruwet, Setelah lewat sejenak lagi, baru dia berkata lagi.

"Bagaimana kalau dalam waktu dua bulan seperti yang dijanjikan lalu kau tidak datang mencari penjual buli-buli gula batu itu?" tanya thayho kemudian.

"Sui congkoan mengatakan kepadaku bahwa dia akan menunggu sampai sepuluh hari lamanya Andaikata aku tetap tidak kelihatan, dia akan mempunyai dugaan bahwa aku sedang terancam bahaya atau kemungkinan sudah mati, maka itu dia akan.. memikirkan jalan bagaimana caranya agar dapat menghadap Sri Baginda untuk menyampaikan laporannya, Sampai waktu itu, hambamu memang sudah mati, Tidak ada urusan apa-apa lagi, Namun aku tetap setia kepada junjunganku, Aku sudah menyadarkan Sri Baginda agar penasaran dibalas dengan penasaran, permusuhan dibalas dengan permusuhan, Sri Baginda tidak boleh sekali-kali diperdaya oleh orang jahat, Dengan demikian hamba beserta Sui congkoan sudah membuktikan kesetiaannya!" Terdengar suara perlahan dari mulut thayhou yang seperti orang gerutuan. "Penasaran dibalas dengan penasaran, permusuhan dibalas dengan permusuhan.... Ya, itu memang bagus sekali!" Siau Po tidak menghiraukan wanita itu. Terdengar dia seakan menggumam seorang diri.

"Selama beberapa hari belakangan ini, hamba akan tetap melayani Sri Baginda sebagaimana biasanya. Hamba tidak akan membocorkan rahasia apa pun. Asal hamba tetap hidup dan bisa merawat Sri Baginda, urusan ini tidak nanti hamba bongkar sampai kapan pun juga!" Mendengar kata-katanya, thayhou agak lega sedikit.

"Kalau benar demikian, kau memang baik hati!"

"Sri Baginda memperlakukan aku dengan baik," kata Siau Po kembali "Dan thayhou juga tidak berlaku buruk terhadapku Karena itu, terhadap thayhou, hamba juga akan bersetia, Siapa tahu, kalau hati thayhou sedang senang, hamba akan mendapat hadiah yang berharga, seandainya demikian, bukankah kita sama-sama merasa senang?" Thayhou tertawa dingin.

"Apakah kau masih mengharap aku akan memberikan hadiah kepadamu? Kulit mukamu benar-benar tebal!" Biar bagaimana, ibu suri merasa puas juga. Bukankah Siau Kui cu mengatakan dia tidak akan membuka rahasia seumur hidupnya? Karena itu, dia merasa tidak ada halangan untuk memikirkan urusan itu perlahan-lahan. Siau Po juga merasa puas, Kata-katanya thayhou menyatakan bahwa pikirannya sudah berubah.

"Hamba tidak mengharapkan apa-apa," kata Siau Po kemudian, "Asal thayhou dan Sri Baginda senantiasa dalam keadaan sehat walafiat dan bergembira, sebagai seorang hamba, aku juga ikut merasa senang! Harap thayhou tidak perlu khawatir Besok hamba akan pergi ke Tian Kiou untuk mencari penghubung itu dan meminta dia menyampaikan kepada Sui congkoan supaya dia menutup mulut rapat-rapat, Aku juga akan menitipkan uang sebanyak tiga ribu tail, dengan mengatakan bahwa itulah persen dari thayhou untuknya."

"Hm!" thayhou mendengus dingin, "Orang semacamnya yang bekerja tidak sungguh-sungguh, Karena rasa takut, dia melarikan diri, Sudah bagus batang lehernya tidak kukutungkan, mana mungkin aku memberinya persen? Ngaco!"

"Iya, iya, Thayhou benar juga!" kata Siau Po.

"Lagipula uang itu toh milikku, memang thayhou tidak sepatutnya memberi persen kepada orang itu." Baru sekarang thayhou melepaskan cekalannya pada bahu Siau Po. ia melepaskannya dengan perlahan-lahan.

"Siau Kui cu," katanya kemudian, "Apakah kau benar-benar setia padaku?" Siau Po segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan wanita itu, Dia tidak takut akan dihajar oleh thayhou iagi. Dia juga menyembah berkali-kali.

"Iya. Hamba akan setia kepada thayhou!" demikian katanya, "Dalam hal ini, hamba akan mendapat keuntungan besar, Hamba berjanji, kalau hamba sampai tidak setia, biarlah Siau Kui cu rela kepalanya dikutungkan, walaupun hamba orang bodoh, tapi hamba masih tahu bagaimana harus menyayangkan batok kepala ini." Ibu suri menganggukkan kepalanya.

"Bagus, bagus sekali!" katanya, tapi tangannya tidak henti menepuk bahu bocah itu. Jumlah keseluruhannya tiga kali, Siau Po merasa tercekat hatinya. Tiba-tiba dia merasa kepalanya pusing dan perutnya mual pandangan matanya berkunang-kunang, Kerongkongannya mengeluarkan suara yang aneh, sebab dia ingin muntah tapi tidak dapat. Terdengar thayhou berkata kembali.

"Siau Kui cu, kau ingat kan belum lama ini ketika Hay tayku si bangsat tua mengatakan ada sejenis ilmu yang namanya Hoa Kut-bian ciang. ilmu itu bila dipelajari sampai mencapai taraf kesempurnaan maka siapa yang terserang akan remuk seluruh tulang belulangnya, ilmu itu sulit sekali dipelajari aku juga tidak bisa memahaminya. walaupun demikian, otakmu sangat cerdas, Hatimu baik, lagipula penurut Aku hanya menepuk bahumu tiga kali dengan maksud bergurau, Hal ini menyenangkan sekali...." Siau Po tidak sanggup mengatakan apa-apa. Dia merasa dada dan isi perutnya bergolak dan darahnya seakan mengalir dua kali lebih cepat daripada biasanya, Tanpa dapat mempertahankan diri lagi, dia memuntahkan darah yang bercampur dengan air.

"Terbukti perempuan hina ini tidak percaya kepadaku," pikirnya dalam hati, "Sekarang dia telah menurunkan tangan jahatnya terhadapku!" Lalu terdengar ibu suri berkata.

"Siau Kui cu, jangan takut Aku tidak akan memukulmu sampai mati, Sebab kalau kau sampai mati, siapa nanti yang akan pergi ke Tian Kio untuk mencari si penjual buli-buli gula batu? Besok pagi-pagi, pertama-tama kau harus ke keraton Cu Leng kiong, di sana aku akan memberikan tiga butir pil kepadamu, Setiap hari kau harus menelan satu butir. Setelah tiga puluh hari kemudian, jiwamu tidak akan terancam bahaya lagi, Kalau kau telah menghabiskan tiga puluh butir, nanti aku akan mengantarkan tiga puluh butir lagi untukmu!" Terima kasih untuk kebaikan thayhou," kata Siau Po. Kemudian perlahan-lahan dia menggerakkan tubuhnya untuk berdiri. Namun kepalanya pusing sekali sehingga dia terhuyung-huyung lalu roboh kembali, Lalu dia muntah darah beberapa kali, tapi dia masih bisa berkata: "Thayhou, setiap hari hamba akan memuja Pou Sat yang maha suci agar thayhou dilindungi dan panjang umur, Sebab, seandainya thayhou batuk-batuk atau masuk angin saja, tentu hamba tidak akan mendapatkan obat dan bukankah hamba akan menjadi setan berumur pendek? Ya, hamba akan menjadi si kura-kura yang pendek usianya." Thayhou tertawa terbahak-bahak.

"Bagus kalau kau menyadari hal itu!" katanya keras, Setelah itu tubuhnya berkelebat dan menghilang di balik gerombolan bunga-bunga yang lebat. Dengan susah payah Siau Po bangkit untuk berdiri tegak, Saat itu dia sudah berhasil menenangkan hatinya, perlahan dia mengambil jalan memutar untuk sampai di jendela belakang kamarnya, tapi dia tidak sanggup melompati bahkan untuk sesaat dia harus mendekam di bawah jendela untuk mengatur pernafasannya, Setelah beristirahat sejenak, baru dia merayap naik untuk masuk lewat jendela.

"Kui toakokah itu?" terdengar Kiam Peng bertanya.

"Kalau bukan aku, siapa lagi?" sahut Siau Po dengan nada bentakan, Hal ini membuktikan hatinya sedang tidak senang.

"Kuncu menanya kau secara baik-baik, mengapa kau menjawabnya dengan begitu kasar?" tanya Pui Ie yang merasa tidak puas mendengar nada suara Siau Po.

"Iya..." sahut Siau Po, tapi baru sepatah kata saja, tubuhnya sudah terguling ke dalam kamar. Dia tidak sanggup memegang kusen jendela untuk mempertahankan diri, Tenaganya sudah habis, nafasnya pun memburu. Dia terkulai di atas lantai tanpa sanggup bergerak, bahkan duduk pun tidak bisa. Bhok Kiam Peng terkejut setengah mati melihat keadaannya.

"Oh!" serunya gugup. "Kenapa kau?"

"Apakah kau terluka?" Pui Ie juga ikut khawatir. Kedua nona itu merasa tercekat hatinya, Siau Po telah terkena pukulan Hoa Kut-bian ciang milik Hong thayhou, walaupun untuk sementara, dia tidak akan langsung mati, tapi keadaannya cukup parah: tapi dia tidak takut, Dasar bocah nakal, mendengar pertanyaan kedua nona itu, dia malah tertawa lebar.

"Ah! Adikku yang manis dan istriku yang cantik! Kalian berdua toh dalam keadaan terluka, Kalau aku tidak ikut terluka, mana tepat dikatakan susah dan senang dicicipi bersama-sama?"

"Oh, kau terluka, Kui toako?" tanya Kiam Peng, "Bagian manakah yang terluka? Apakah kau merasa sakit sekali?"

"Oh, adikku... hatimu baik sekali, Aku memang sedang kesakitan tadinya, Mendengar pertanyaanmu yang mengandung kecemasan hatimu itu, rasa sakit itu jadi langsung hilang, Nah, coba kau bilang, aneh bukan?" Bhok Kiam Peng tertawa.

"Ah, kau paling pandai membohongi orang!" sahutnya. Siau Po berpegangan pada kaki meja, Dia berusaha berdiri Dalam hati dia berkata.

"Aku masih bisa hidup sampai sekarang, semua ini berkat nama Sui congkoan, Coba seandainya thayhou mengetahui pengawalnya itu sudah mati, Tentu nyawaku akan amblas juga malam ini!" Perlahan-lahan Siau Po mendekati kotak obatnya. Dia buka kotak itu dan mencari obat yang dibutuhkannya, Di dalamnya terdapat banyak botol obat, tetapi dia mengambil sebuah yang bentuknya segi tiga dan warna dasarnya hijau keputihan. Di antara sekian banyaknya obat milik Hay kongkong, hanya obat itu yang dikenalinya. itulah bubuk Hoa Si-hun, obat untuk mencairkan mayat. Obat itu pernah dia gunakan untuk menghancurkan mayat Siau Kui cu, thay-kam cilik yang namanya dia pakai sekarang. Setelah mendapatkan obat itu, Siau Po berusaha menarik keluar mayat Sui Tong dari kolong tempat tidur Lalu dia mengeluarkan uang kertas serta benda-benda berharga yang tadi dia masukkan ke dalam pakaian orang itu.

"Ketika kau pergi, mayat ini terus ada di kolong tempat tidur, Kami takut sekali," kata Kiam Peng. Siau Po tertawa.

"Kalau kalian berdua sampai mati, bukankah mayat ini malah akan mendapatkan kawan?"

"Cis!" bentak Pui Ie.

"Kuncu, jangan bicara dengannya!" Siau Po tidak memperdulikan nona itu.

"Aku akan bermain sulap, apakah kalian mau melihatnya?"

"Tidak!" sahut nona Pui singkat.

"Siapa yang tidak suka melihat, boleh memejamkan matanya!" kata Siau Po kembali. Pui Ie menurut Dia segera memejamkan matanya rapat-rapat Kiam Peng juga ikut memejamkan matanya, tapi hanya sebentar Kemudian dia melihat Siau Po mengeluarkan sebotol kecil dan kemudian menuangkan isinya ke dalam sendok, lalu ditaburkan di atas luka Sui Tong.

"Kalian lihat." katanya. Tidak lama kemudian, tampak asap mengepul dari bekas luka yang ditaburkan bubuk obat itu, lalu tercium bau tidak sedap yang disusul dengan keluarnya cairan berwarna kuning dari luka yang menguak semakin besar itu.

"Ah!" seru Kiam Peng keheranan. Pui Ie penasaran melihat seruan adik seperguruannya, Dia segera membuka matanya, Ketika dia melihat apa yang disaksikan Kiam Peng, sepasang mata gadis itu sampai membelalak lebar-lebar dan tidak dipejamkan lagi. Seperti Siau kuncu, dia juga keheranan. Asal terkena cairan berwarna kuning tersebut, luka di tubuh mayat itu semakin meluas, Dagingnya meleleh menjadi cairan kuning pula. Menyaksikan keadaan itu, kedua nona itu sampai tertegun sekian lama.

"Kalian berdua, awas! Siapa yang tidak mau menuruti kata-kataku, wajahnya akan kutaburi dengan obat ini, sehingga jelek seperti mayat ini!" gertak Siau Po.

"Kau... kau jangan menakut-nakuti orang!" bentak Kiam Peng. Sebaliknya Pui Ie menatap Siau Po dengan tajam dan sorot matanya menunjukkan kemarahan. Hatinya juga tercekat dan khawatir. Senang hati Siau Po melihat kedua nona itu ketakutan. Dengan hati-hati dia menyimpan obatnya kembali Kemudian dia mengambil sebuah kursi dan mendorong mayat Sui Tong yang terbagi menjadi dua bagian karena gerakan cairan yang tidak merata, Akhirnya seluruh mayat itu lumer menjadi cairan kuning dan menyebarkan bau yang tidak enak. Melihat keadaan itu, lega rasanya hati Siau Po.

"Biar si nenek sihir itu mengirim lima laksa pengawalnya ke Ngo Tay san, tetap saja dia tidak berhasil menemukan Sui Tong!" Setelah itu Siau Po mengambil air dari dalam gentong untuk mencuci bersih cairan kuning tersebut Setelah membersihkan lantai, dia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, Dia merasa lelah sekali, matanya langsung dipejamkan Sekejap kemudian dia sudah tertidur pulas. Sampai fajar tiba, baru Siau Po mendusin dari tidurnya, Dia langsung merasakan nyeri di dadanya Bahkan dia juga merasa perutnya mual dan ingin muntah, tapi sampai sekian lama dia mencoba, tetap saja tidak ada sebutir nasi pun yang dimuntahkannya. Kiam Peng dan Pui Ie merasa heran melihatnya.

"Kui toako, apa yang kau rasakan?" tanyanya prihatin. Siau Po bangun dan duduk di atas tempat tidur. Dia melihat kedua nona itu dan tidur di antar keduanya, Kedua nona itu tidak membuka pakaian luarnya, Ketika dia melihat waktu sudah tidak pagi cepat-cepat dia bangun dan turun dari tempat tidur.

"Kalian berbaring saja, jangan bergerak!" katanya kepada kedua nona itu, "Aku ingin menemui Sri Baginda secepatnya!" Tadinya Siau Po berniat keluar dari kamarnya lewat jendela, tapi tenaganya masih lemah. Akhirnya terpaksa dia keluar dari pintu depan kemudian menguncinya dari luar. Belum berapa lama Siau Po berada di kamar tulis kaisar Kong Hi, junjungannya itu sudah mengundurkan diri dari ruang sidang seperti biasanya. Begitu melihat Siau Po, kaisar Kong Hi tertawa lebar dan berkata pada thay-kam cilik kesayangannya itu.

"Siau Kui cu, lagi-lagi kau membunuh orang tadi malam." Siau Po cepat-cepat memberi hormat dan mengucapkan selamat pagi pada

junjungannya itu.

"Kau sungguh beruntung!" kata kaisar Kong Hi kembali "Kembali kau dapat menempur para penyerbu itu. Aku sendiri, melihat wajah penyerbu itu saja tidak! Bagaimana kepandaian para pemberontak itu? Dengan jurus apa kau merobohkannya?" Siau Po berpikir dengan cepat Kaisar Kong Hi pandai ilmu silat Tidak mungkin dia memberikan keterangan secara sembarangan Sebenarnya, dia tidak bertempur melawan seorang pun di antara penyerbu tadi malam. Tapi dia teringat pertempuran yang berlangsung di rumah keluarga Pek ketika Hong Ci-tong melawan Pek Han-tiong.

"Pertempuran itu terjadi di saat gelap," sahutnya, "Tiba-tiba hambamu melihat kaki kiri orang itu menyapu ke kanan dan tangan kanannya menyambar ke kiri, Kemudian..." dia pun menjelaskan tipu silat lawannya.

"Bagus!" seru kaisar Kong Hi seraya bertepuk tangan.

"Tepat sekali tipu yang kau gunakan itu!" Thay-kam gadungan itu tertegun.

"Oh, Sri Baginda, apakah kau tahu jurus silat yang digunakan para pemberontak itu?"

"Iya," sahut kaisar Kong Hi. Bibirnya menyunggingkan senyuman, Tahukah kau apa nama jurus itu?" Siau Po tahu jurus silat yang diperlihatkannya bernama Heng-Sau ciangkun, tapi dia pura-pur tidak tahu.

"Hamba tidak tahu...." Raja tertawa.

"Kalau kau tidak tahu, biar aku beritahukan, katanya, "Jurus itu bernama Heng-sau ciang kun!"

"Bagus sekali nama itu!" puji Siau Po pura-pura terkesima.

"Dia menggunakan jurus itu, lalu bagaimana kau menghadapinya?"

"Untuk sesaat hamba sempat kebingungan sahut Siau Po.

"Lalu tiba-tiba saja hamba ingat tipu silat yang pernah digunakan Sri Baginda ketika dulu kita berlatih bersama, Ketika itu hamba kena dibuat terpental sehingga melewati kepala Sri Baginda. Kalau tidak salah itu adalah, itu adalah tipu ilmu Hui In-jiu dari Butong paimu...." Senang sekali hati kaisar Kong Hi mendengar jawaban Siau Po.

"Jadi kau menggunakan tipu silatku untuk memunahkan jurus Heng-sau ciang kun itu?"

"Benar, Sri Baginda," sahut Siau Po.

"sebenarnya kepandaian hamba belum berarti apa-apa, tetapi untungnya Sri Baginda sering mengajak hamba berlatih bersama sehingga ada sebagian besar ilmu silat Sri Baginda yang masih hamba ingat dan hamba manfaatkan begitu menghadapi musuh...."

Kaisar Kong Hi tambah senang hatinya, "Bagus! Bagus sekali kau masih mengingatnya!" Siau Po juga gembira melihat kaisar Kong Hi berseri-seri wajahnya.

"Untung saja ocehanku tepat!" pikirnya, Tidak sia-sia dia mengangkat rajanya itu tinggi-tinggi. Kemudian dia menambahkan kembali "Hanya ada satu hal yang patut disayangkan, yakni tenaga dalam hamba masih cetek sekali, Akhirnya penjahat itu berhasil juga meloloskan diri."

"Ya, sayang! Sayang!" kata raja.

"Sebenarnya kau harus langsung menotok jalan darah hwe Cong dan Gwe Kuan penjahat itu, Kalau kau melakukan hal itu, tentu penyerbu tersebut tidak dapat meloloskan diri lagi!" Sembari berkata, kaisar Kong Hi segera mencekal lengan Siau Po dan menunjukkan cara bagaimana menekan lawannya. Siau Po berusaha meronta, tapi dia tidak berhasil membebaskan dirinya.

"Ah!" serunya penuh penyesalan "Coba kalau dari siang-siang Sri Baginda mengajarkan tipu ini, tentu hamba tidak perlu melalui saat-saat yang membahayakan jiwa." Kaisar Kong Hi tertawa.

"Lalu, bagaimana kelanjutannya?"

"Begitu berhasil membebaskan diri, orang itu lari ke belakang hamba dan berhasil menghajar punggung hambamu dengan kedua telapak tangannya!"

"Itulah jurus Kao-san Liu Sui!" seru Sri Baginda memberikan keterangan mengenai jurus yang digunakan pihak lawan.

"Oh, itukah jurus Kao-san Liu Sui?" tanya Siau Po pura-pura terkejut "Sayang aku tidak tahu...."

"Benar-benar manusia tidak berguna!" maki kaisar Kong Hi, tapi sembari tertawa, "Mengapa waktu bertempur kau tidak menggunakan ilmu yang diajarkan gurumu? Mengapa kau selalu meniru gerakan ilmu silatku?"

"Entahlah, Sri Baginda!" sahut Siau Po.

"Setiap jurus silat yang guru hamba ajarkan, dapat hamba gerakkan dengan baik di saat berlatih, namun apabila menghadapi pertempuran seperti tadi malam, tiba-tiba semuanya jadi menguap dan tidak ada satupun yang teringat dalam benak hambamu ini. sebaliknya semua gerak tipu silat Sri Baginda justru terbayang jelas di pelupuk mata sehingga tanpa berpikir panjang lagi hamba menirukannya, Begitu pula ketika punggung hamba terhajar Tiba-tiba saja hamba mengelit ke samping kanan."

"Itulah jurus Keng Hong-pou," kata Sri Baginda yang menjelaskan tipu silat miliknya yang berarti "Gerakan angin puyuh."

"Benar!" sahut Siau Po. "Setelah berkelit, hamba segera mencabut pisau belati dan membalas menyerang musuh sambil hamba berteriak dengan keras "Hai, Siau Kui cu, menyerah tidak?" Raja tertawa terbahak-bahak, "Aih! Kau ini benar-benar aneh!" katanya, "Mengapa kau justru memanggil namamu sendiri?"

"Saat itu hamba tidak sempat berpikir dan menyebut nama hamba secara tanpa sadar Hamba ingat, ketika baru-baru ini Sri Baginda mengadakan latihan dengan hamba. Bukankah Sri Baginda selalu menyerukan kata-kata itu?"

"Bagus, bagus!" kata kaisar Kong Hi memuji, "Ternyata kau masih ingat semuanya!" Kaisar Kong Hi merasa puas sekali, "Kalau demikian, para pemberontak itu mempunyai nyali yang besar tapi kepandaiannya tidak seberapa lihay!" tambahnya kemudian.

"Sebetulnya, Sri Baginda," kata Siau Po. "Ada juga beberapa di antara para pemberontak itu yang ilmu kepandaiannya cukup tinggi, Buktinya ada beberapa siwi yang tewas dan terluka, Dasar hamba berpanjang umur, hamba telah mendapat pelajaran dari Sri Baginda sehingga hamba sanggup menjaga diri. Kalau tidak, terpaksa Sri Baginda hari ini mengeluarkan firman agar semua orang membaca doa untuk menghibur arwahnya Siau Kui cu yang sudah berpulang ke alam baka serta menghadiahkan uang sebanyak seribu tail...." Raja tertawa.

"Seribu tail tidak sebanding dengan jasamu. seharusnya selaksa!" Siau Po juga tertawa, Senang dia dapat bergurau dengan junjungannya itu.

"Eh, Siau Kui cu... apakah kau dapat menduga asal-usul para pemberontak itu?" tanya kaisar Kong Hi kembali.

"Memalukan sekali! Hamba tidak tahu!" sahut Siau Po.

"Sri Baginda, kalau ditilik dari tipu silat yang mereka gunakan, dapatkah Sri Baginda menerka asal-usul mereka?"

"Mula-muIa aku masih bimbang, tetapi keteranganmu telah memperkuat dugaanku!" sahut sang raja, Kemudian dia bertepuk tangan dan menurunkan perintah kepada salah seorang pelayannya, "Pergi kau panggil So Ngo-tu dan To Lung untuk datang kemari!"

Kedua pelayan itu menunggu Sri Baginda di luar kamar tulisnya, Mendengar perintah junjungannya itu, mereka segera berlalu untuk melaksanakan tugas tersebut. To Lung adalah orang Boanciu asli. Pangkatnya Tou Tong atau gubernur militer, dan termasuk golongan Bendera bersulam biru, Ketika angkatan perang Boan menyerbu ke selatan, dia telah membangun jasa yang tidak kecil Kepandaiannya juga cukup tinggi, namun karena terdesak oleh Go Pay, dia tidak mendapat kedudukan yang setimpal di kota raja, Setelah Go Pay jatuh, oleh raja dia dinaikkan pangkatnya menjadi Gi Cian siwi Tou congkoan atau Kepala barisan pengawal Raja.

Namun apa mau dikata, belum lama dia menjabat kedudukan itu, telah terjadi penyerbuan oleh para penjahat. Dengan demikian dia jadi tidak enak hati, sepanjang malam dia tidak dapat tidur, Dia khawatir ibu Suri atau Sri Baginda akan menegurnya dan atau menghukumnya. Ketika Tou congkoan itu muncul, tampak matanya merah sekali.

"Apakah para penjahat yang tertawan itu sudah dimintakan keterangannya?" tanya Sri Baginda.

"Harap Sri Baginda ketahui," sahut kepala siwi itu, "Penjahat yang tertawan jumlahnya ada tiga orang, Hamba telah memeriksanya. Dan hamba melakukannya dengan cara terpisah-pisah untuk mencocokkan ucapan mereka nantinya, Pertama-tama mereka tidak mau mengaku, Belakangan karena tidak tahan menghadapi siksaan, barulah mereka mengaku, Benar saja.... Mereka adalah orang-orangnya... Peng Si ong..." Kaisar Kong Hi menganggukkan kepalanya, "Begitu?" tanyanya agak heran "Semua senjata para penjahat itu ada ukiran yang merupakan tanda dari Peng Si onghu," kata To Lung menjelaskan "Sedangkan di dalam baju mereka juga terdapat tanda dari Peng Si ong juga Dengan demikian terbukti bahwa pemberontak pemberontak itu adalah orang-orangnya Go Sam kui. seandainya bukan sekalipun, Go Sam-kui past tidak terlepas dari keterlibatan." Kaisar Kong Hi kembali menganggukkan kepalanya, Kemudian dia menoleh kepada So Ngo-tu "Apakah kau juga telah melakukan pemeriksaan?"

"Hamba telah memeriksa semua senjata dan pakaian para penjahat, Memang cocok dengan apa yang dikatakan To congkoan!" sahut To Lung.

"Coba bawa kemari senjata-senjata dan pakaian para pemberontak itu!" perintah kaisar Kong Hi. To Lung segera mengiakan Dia langsung keuar untuk mengambil barang-barang yang diperintahkan kaisar Kong Hi. Dia tahu rajanya itu masih muda sekali, tetapi otaknya cerdas dan juga sikapnya teliti. Dia memang sudah menduga raja aka memeriksa sendiri semua senjata dan pakaian itu. Karenanya, sebelum mendapat panggilan dia sudah mempersiapkan semuanya. Tidak lama kemudian dia sudah kembali ia. Segera dibukanya bungkusan yang ia bawa dan membeberkan isinya di atas meja, Setelah itu dia mengundurkan diri beberapa tindak. Kaisar-kaisar Boanciu terdiri dari orang-orang gagah dan tidak pantang menghadapi senjata, Tetapi dalam sebuah kamar tulis di istana, semua pembesar dilarang membawa senjata menghadap Sri Baginda, Untuk menghindarkan diri dari kecurigaan To Lung segera mengundurkan diri agak jauh. Raja mengangkat sebatang golok dan memeriksanya, Memang benar dia melihat ukiran huruf-huruf "Tay Beng sanhay kwan coanpeng hu" Kaisar Kong Hi langsung tersenyum dan berkata.

"Urusan ini agak mencurigakan! Kalau ada rencana terselubung, seharusnya semua bukti-bukti ini dihilangkan terlebih dahulu, tapi ini malah sebaliknya!" Kaisar Kong Hi menoleh kepada So Ngo-tu. "kalau Go Sam-kui mengutus orang ke istana untuk melakukan pembunuhan, seharusnya dia sudah merencanakannya matang-matang, Senjata apa yang tidak boleh digunakannya? Mengapa dia justru memakai senjata yang ada tanda jati dirinya? Mereka toh datang ribuan li dari propinsi Inlam, masa di tengah jalan tidak pernah terpikir bahwa ada kemungkinan senjata mereka bisa tertinggal di dalam istana di saat melakukan penyerbuan?"

"Ya, ya! Sri Baginda benar sekali!" puji So Ngo-tu. "Sri Baginda cerdik dan dapat memandang urusan sampai jauh, hamba benar-benar takluk!" Raja menoleh kepada thay-kamnya yang masih muda.

"Siau Kui cu," panggilnya, "Ilmu silat apakah yang digunakan penjahat yang berhasil kau bunuh itu?"

"Ilmu Heng-sau ciang kun dan Kao-san Li Sui!" sahut si bocah cilik yang ditanyai.

"Nah, ilmu dari manakah itu?" tanya kaisar Kong Hi kepada To Lung. Walaupun kepala pengawal ini asli orang Boan tapi To Lung kenal banyak macam ilmu silat, Karena itu pula tidak heran kalau dia mengenal kedua macam ilmu silat yang disebut Siau Po.

"Mirip dengan ilmu silat keluarga Bhok di Inlam!" sahutnya, Raja menepuk tangan keras-keras.

"Tidak salah! Memang tidak salah!" puji kaisar Kong Hi.

"To Lung, pandanganmu luas sekali!" Puas rasanya hati To Lung mendengar pujian junjungannya, Dia segera menjatuhkan diri berlutut untuk memberi hormat dan mengucapkan kata-kata merendah, serta mengucapkan terima kasih.

"Coba kalian pikir," kata kaisar Kong Hi kembali. "Kalau benar Go Sam-kui menitahkan orang-orangnya datang ke kotaraja untuk menyerbu istana, tidak mungkin dia memilih saat yang sama mengutus puteranya datang berkunjung ke kota Peking ini! Para penyerbunya toh bisa datang setiap waktu, kenapa dia memilih waktu ketika puteranya ada di sini? inilah hal pertama yang menimbulkan kecurigaan. Go Sam-kui pandai mengatur tentara, orangnya teliti dalam mengambil setiap tindakan Mengapa dia bisa mengirim orang-orang semacam ini untuk melakukan tugas yang dititahkannya? Bukankah jumlahnya terlalu kecil dan kepandaian mereka tidak seberapa tinggi? Tapi mengapa dia mengirimkannya juga? Hal inilah yang disebut kecurigaan kedua, Ada lagi yang ketiga, Taruh kata, benar dia mengirim orang untuk membunuh raja-nya, apa manfaat bagi dirinya? Mungkinkah dia ingin memberontak dengan menimbulkan huru-hara? Kalau dia benar ingin memberontak mengapa dia mengirim puteranya ke kota raja? Bukankah itu berarti dia mengantarkan puteranya menuju ambang pintu kematian?" Tatkala Siau Po mendengar dari Pui Ie, perihal muslihat yang mereka gunakan untuk memfitnah Go Sam-kui, dia merasa siasat itu bagus sekali, Sekarang, setelah mendengar keterangan Sri Baginda, baru dia merasa siasat itu terlalu banyak kelemahannya. Diam-diam dia merasa kagum terhadap Raja muda yang cerdik itu. So Ngo-tu juga memuji sang raja yang dikatakan cerdas sekali.

"Nah, mari kita pikirkan lebih jauh!" kata kaisar Kong Hi.

"Seandainya para penyerbu itu bukan orang-orang Go Sam-kui, tetapi mereka menggunakan senjata dan pakaian yang bertanda Peng Si ong itu, apakah maksudnya? Apakah hal ini mempunyai arti tersendiri? Terang ada orang yang ingin memfitnah Go Sam-kui, Peng Si ong telah membantu kita merampas seluruh tanah Tionggoan. Sudah tentu tidak sedikit orang yang membencinya, Nah, penjahat itulah yang harus kita cari! Siapa kira-kira orang itu? Atau dari pihak manakah ? Hal inilah yang harus kita pikirkan dengan seksama!"

"Sri Baginda benar!" sahut So Ngo-tu dan To Lung serentak "Kalau seandainya Sri Baginda tidak berpandangan demikian jauh, mungkin kami sekalian sudah kena dikelabui, Bukankah itu berarti kami mencelakai orang baik-baik dan memfitnah tidak karuan?" kata To Lung menambahkan.

"Memfitnah orang baik-baik! Hm!" kata Raja, Setelah itu kaisar Kong Hi berdiam diri. Karena itu, So Ngo-tu dan To Lung pun segera memohon diri. Raja membiarkan kedua orang itu pergi, Dia justru memandangi Siau Kui cu lekat-lekat kemudian berkata.

"Siau Kui cu, coba kau terka, bagaimana aku bisa mengetahui kedua jurus Heng-sau ciang kun dan Kao-san Liu Sui?"

"Hambamu justru sejak tadi, dilanda keheranan," sahut Siau Po. "Apa sebabnya Sri Baginda bisa tahu?"

"Tadi pagi-pagi sekali, aku telah memanggil beberapa orang siwi untuk menghadap. Lalu aku menanyakan soal penyerbuan tadi malam, terutama tentang ilmu silat yang mereka gunakan, Ternyata ada beberapa jurus ilmu silat yang merupakan ciri khas keluarga Bhok, Kau tahu, keluarga ini turun temurun menguasai wilayah Inlam, Hanya setelah masuknya kerajaan Ceng kita, propinsi itu langsung diserahkan kepada Go Sam-kui. Tentu saja karena itu keluarga Bhok menjadi gusar dan sakit hati. Selain itu, Bhok Tian-po pangeran terakhir Bhok onghu justru tewas di tangan bawahan Go Sam-kui. Hal ini menambah kebencian di hati mereka. Aku juga menyuruh beberapa orang siwi itu menjalankan ilmu silat keluarga Bhok, ternyata di antaranya memang ada Heng-sau ciang kun dan Kao-san Liu Sui!"

"Sungguh Sri Baginda pandai berpikir dan menerka!" puji Siau Po. Di dalam hati dia justru merasa gundah dan khawatir sekali, Dia berpikir: "Di dalam kamarku tersembunyi dua orang nona dari keluarga Bhok. Entah Sri Baginda mengetahuinya atau tidak?"

Ketika Siau Po masih bingung, kaisar Kong Hi tersenyum dan berkata kepadanya.

"Eh, Siau Kui cu, apakah ada pikiranmu untuk mendapatkan rejeki besar?" tanyanya. Siau Po menoleh kepada Raja dan menatap dengan pandangan tidak mengerti.

"Kalau Sri Baginda tidak memberikan, mana berani hamba memintanya," sahut bocah itu, Dia kurang mengerti apa yang dimaksudkan oleh junjungannya, karena itu dia hanya dapat menduga-duga saja, "Sebaliknya, apabila Sri Baginda bersedia memberikannya, hamba pun tidak berani menerimanya!" Raja tertawa.

"Bagus!" katanya, "Aku akan memberikan rejeki besar untukmu! sekarang kau kumpulkan semua senjata dan pakaian dalam ini. Juga surat-surat pengakuan para penyerbu yang kena ditawan lalu bawa semuanya kepada seseorang, Aku yakin kau akan memperoleh harta karun!" Siau Po tertegun, tapi sejenak kemudian dia tersadar.

"Oh, dia pasti Go Eng-him!" serunya.

"Kau memang cerdas sekali!" kata Raja, "Nah, kau bawalah semua barang-barang ini kepadanya!"

"Sungguh besar rejeki Go Eng-him!" kata Siau Po.

"Ha... ha... ha.,.! sekarang jiwa dia beserta keluarganya, semua ada di tangan Sri Baginda, Bahkan seluruhnya juga merupakan hadiah dari Sri Baginda!"

"Bagaimana nanti kau berbicara dengannya?" tanya Sri Baginda.

"Akan hamba katakan begini kepadanya: "Eh, orang she Go, junjungan kita sangat cerdas dan berpandangan jauh, Sri Baginda dapat mengetahui apa saja yang kalian ayah dan anak lakukan di Inlam. Tidak ada satu hal pun yang tidak beliau ketahui Kalau

kalian hendak memberontak, Sri Baginda sudah dapat menduganya dari jauh hari Oleh karena itu, kalian harus baik-baik dan menuruti perkataanku!" Kaisar Kong Hi tertawa.

"Kau cerdas sekali!" katanya, "Meskipun kau tidak bersekolah, kau buta huruf dan kata-katamu kasar, tetapi alasannya selalu tepat Memang mereka ayah dan anak harus tunduk sepenuhnya kepadaku!" Senang Siau Po mendengar nada junjungannya. Dia segera membungkus seluruh senjata dan pakaian dalam yang berserakan di atas meja, Juga surat pengakuan para siwi, Kemudian dia memberi hormat kepada Raja untuk memohon diri. Setelah itu dia memutar tubuhnya untuk meninggalkan kamar tulis Raja itu, Namun tepat pada saat itu juga, dia merasa punggungnya nyeri sekali.

"Celaka!" gerutunya dalam hati Mendadak saja kepalanya terasa pusing dan perutnya muak. Dia merasa ingin muntah, "Ah, aku harus menemui nenek sihir itu secepatnya agar diberikan obat!" Di samping Siau Po ada seorang thay-kam, sembari mengasongkan bungkusannya yang akan menjadi harta karun, dia berkata.

"Kau pegang dulu barang ini Aku akan ke keraton Cu Leng hiong untuk mengucapkan selamat pagi kepada thayhou!" Thay-kam itu mengangguk Dia menyambut bungkusan itu. Siau Po bergegas pergi ke keraton Cu Leng hiong, kamarnya ibu suri, sesampainya di sana dia meminta seorang thay-kam mengabarkan kedatangannya. Tidak lama kemudian muncullah Lui Cu, si dayang cilik. Melihat Siau Po, dia berkata dengan suara lirih, "Kui kongkong, thayhou sedang marah. Katanya beliau tidak ada waktu menemui mu. Kalau kau ada urusan apa-apa, besok saja kau datang lagi." Siau Po jadi tertegun.

"Besok baru datang lagi?" pikirnya dalam hati "Entah besok aku masih hidup atau tidak? Terang terangan kemarin thayhou sendiri yang mengatakan agar aku datang hari ini untuk mengambil obat sekarang dia sengaja mempermainkan aku. Aku benar-benar tidak menyangka!"

"Adik kecil," katanya kemudian kepada Lui Cu "Tolong kau kembali lagi kepada thayhou dan kata kan bahwa kemungkinan besok aku tidak bisa hidup lagi, Tapi, Siau Kui cu menganggap jiwanya kecil karena itu aku tidak perlu minum obat lagi!" Lui Cu bingung, Untuk sesaat dia menatap Sia Po dengan tatapan heran.

"Eh, apa yang kau katakan?" tanyanya, "Bagaimana aku bisa menyampaikan kata-katamu kepada thayhou, sedangkan ucapanmu itu begitu tidak sopan?"

"Hm!" Siau Po mengeluarkan suara yang tawar.

"Karena aku akan mati, perduli apa kata-kataku ini sopan atau tidak!" Selesai berkata, dia langsung membalikkan tubuhnya dan pulang ke kamarnya sendiri Dia langsung memalang pintu kamarnya itu setelah sebelumnya mengambil dulu bungkusan yang dititipkan tadi, Dia duduk di atas kursi dengan nafas tersengal-sengal. Biar bagaimana, pikirannya bingung dan hatinya mendongkol.

"Apa kau kurang sehat?" tanya Kiam Peng.

"Melihat wajahmu yang cantik, kesehatanku pun pulih kembali," sahut Siau Po, "Kau begitu cantik sehingga bunga dan rembulan pun merasa malu memandangmu!" Kiam Peng tertawa.

"Suciku baru termasuk gadis cantik yang bisa membuat bunga-bunga malu dan rembulan menutup diri, Di wajahku ada kura-kura kecil sehingga buruk sekali...." Mendengar gurauan si nona cilik, hati Siau Po terasa lega juga.

"Eh, kenapa di wajahmu ada kura-kura?" tanyanya sambil tertawa.

"Oh, aku tahu sekarang, Adikku yang baik, wajahmu begitu bersih dan mulus sehingga bila kau berkaca, kau akan melihat bayangan seekor kura-kura cilik," Kiam Peng heran, Dia menatap Siau Po tajam.

"Apa katamu? Mengapa kau berkata demikian."

"Kau lihat, dengan siapa kau tidur?" kata Siau Po.

"Wajahmu berpotongan telur mirip sebuah cermin Dan di sana terbayang wajahnya seseorang yang tampak mirip seekor kura-kura kecil!"

"Cis!" Pui Ie yang sejak tadi diam saja jadi sengit karena merasa disindir oleh Siau Po.

"Nih, kau lihat sendiri wajahku!" Siau Po tertawa.

"Kalau aku melihatnya dari dekat, maka di wajah adikku yang manis pasti terpantul tampang seorang tuan besar yang tampan dan gagah!"  Kiam Peng tertawa, Pui Ie juga ikut tertawa, Mereka merasa thay-kam cilik ini memang lucu sekali.

"Kalau seekor kura-kura kecil bisa jadi tuan besar, lalu tuan besar yang bagaimana itu?" sindir Pui Ie. Siau Po tertawa, Juga Kiam Peng dan Pui Ie, tapi mereka tidak berani tertawa keras-keras.

"Sekarang mari kita bicara yang serius," kata Pu Ie. "Kami harus menyingkir dari sini Bagaimana caranya? Kau harus memikirkan jalannya bagi kami!" Di dalam istana, Siau Po selalu dihormati oleh para thay-kam dan para siwi, Berhadapan dengan raja, dia juga merasa gembira. Tapi begitu kembali ke kamarnya, dia akan merasa sepi Sejak adanya kedua nona dari keluarga Bhok, dia tidak lagi kesepian. Memang dia khawatir mereka bisa kepergok, namun dia tetap tidak ingin cepat-cepat berpisah dengan kedua nona itu. Mendengar ucapan Pui Ie, dia jadi berpikir.

"Kita harus pikirkan dengan seksama, Kalian sedang terluka, Apabila kalian keluar dari kamar ini, ada kemungkinan kalian akan kepergok dan ditawan kembali Bukankah hal itu membahayakan sekali?" katanya. Pui Ie dan Kiam Peng terdiam, Kata-kata Siau Po memang benar.

"Coba kau beritahukan kepadaku," kata Pui Ie.

"Di antara kawan-kawanku yang datang menyerbu tadi malam, ada berapa yang mati dan berapa pula yang tertawan? Apakah kau mengetahui nama-nama mereka?" Siau Po menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak tahu," sahutnya, "Kalau kau ingin mencari keterangan itu, nanti aku akan menanyakannya...."

"Terima kasih," kata Pui Ie. Siau Po merasa senang dan juga heran. Barukali ini dia mendengar suara si gadis yang demikian lembut, bahkan gadis itu pun mengucapkan terima kasih.

"Yang paling penting kau selidiki, apakah di antara orang yang tertawan itu ada seorang she Lau atau tidak?" kata Kiam Peng ikut bicara.

"Seorang she Lau?" tanya Siau Po menegaskan "Siapa nama belakangnya?"

"Dia adalah kakak seperguruan kami," sahut Bhok Kiam-peng. "Namanya It Cou...dan dia... juga kekasih... hati kakak Pui.,,."

Tiba-tiba Kiam Peng berhenti bicara dan tertawa, karena Pui Ie menggelitiknya sehingga dia kegelian.

"Oh, Lau It-cou!" seru Siau Po tertahan "Dia..."

"Dia apa?" tanya Pui Ie panik, "Ada apa dengan dia?"

"Bukankah dia bertubuh tinggi, berwajah putih dan tampan? Usianya sekitar dua puluh lebih?" tanya Siau Po, "Bukankah ilmu silatnya cukup tinggi?" sebenarnya Siau Po tidak tahu siapa Lau It-cou. Dia juga belum pernah melihatnya, tetapi karena pemuda itu adalah kekasih Pui Ie, dia dapat menerka bahwa pemuda itu pasti tampan Padahal dia hanya asal menebak dan sebagai kakak seperguruan Pui Ie, pasti ilmu silatnya juga cukup tinggi Di luar perkiraannya, dugaan Siau Po tepat.

"Tidak salah lagi! Memang dia orangnya! Kenapa dia?" tanya Kiam Peng. Siau Po tidak langsung menjawab Dia menarik nafas panjang terlebih dahulu.

"Aih... rupanya Lau suhu itu kekasih nona Pui," katanya kemudian. Tepat pada saat itu dari luar kamar terdengar suara panggilan.

"Kui kongkong, ada hadiah dari thayhou!" Mendengar itu, Siau Po menjadi senang, Dia berkata dalam hati, "Oh, dasar perempuan lacur! Dia toh tidak sudi menemui aku, untuk apa aku menemuinya? sekarang lohu tidak takut mati, dia justru yang merasa khawatir!" walaupun berpikir demikian, dia tetap menjawab: Terima kasih atas hadiah itu!" Dan dia membuka pintu lalu menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk kepada orang yang membawakan hadiah itu, seorang thay-kam Dia pun mengucapkan terima kasih kepada thay-kam tersebut.

Hadiah itu berupa sebuah kotak kayu yang berukiran indah, Ketika Siau Po membuka tutup-nya, dia melihat isinya adalah sebotol obat Dia segera mengeluarkan selembar uang kertas bernilai lima puluh tail dan diberikan kepada si thay-kam sebagai persenan. Thay-kam itu senang sekali, dia tidak menyangka akan mendapatkan hadiah sebesar itu, Dia mengucapkan terima kasih berulang kali. Setelah kembali ke dalam kamarnya, tanpa ragu-ragu lagi Siau Po menelan sebutir obat itu.

"Kui toako!" panggil Pui Ie.

"Bagaimana dengan Lau su... ko?"

"Oh, dasar perempuan bau!" maki Siau Po dalam hati, "Biasanya kau tidak pernah bersikap ramah kepadaku, sekarang kau melakukannya sebab ingin menanyakan keadaan sukomu, Malah kau memanggil aku Kui toako, sebaliknya aku gertak dulu dia!" Thay-kam gadungan inipun segera menggeleng kan kepalanya sambil menarik nafas panjang.

"Sayang... sayang sekali.,." katanya. Pui Ie terkejut setengah mati.

"Bagaimana?" tanyanya gugup, "Apakah dia terluka atau sudah mati? Cepat katakan!" Tiba-tiba si bocah nakal itu tertawa lebar-lebar.

"Oh, orang yang bernama Lau It-cou itu ... katanya memperlihatkan tampang cengengesan "Aku tidak kenal dengannya dan aku tidak pernah melihatnya. Tapi kalau kau menanyakan tentang dia, baiklah! sekarang kau panggil dulu aku kong kong yang baik sebanyak tiga kali, Nanti aku past sudi melelahkan diri mencari tahu soal orang itu!" Pertama-tama Pui Ie memang terkejut sekali namun setelah mendengar nada suara Siau Po hatinya jadi agak lega. Tapi dia tidak mau memanggil kongkong yang baik, dia hanya berkata.

"Kau selalu bicara tidak karuan! sebaiknya kau katakan terus terang saja! Katakanlah yang sebenarnya!" Siau Po tidak menjawab kata-katanya. Dia malah ngelantur, "Hm! Kalau Lau It-cou itu jatuh ke tanganku, mula-mula aku akan meringkusnya kemudian aku hajar habis-habisan, Aku akan menanyakan kepada-nya, dengan rayuan manis apa dia dapat menipu serta mencuri jantung hatiku! Setelah itu aku akan mengangkat golokku tinggi-tinggi dan aku bacok-kan kepadanya, suaranya begini: Creppp!"

Kiam Peng merasa tercekat hatinya.

"Apa?" tanyanya, "Apakah kau hendak membunuhnya?"

"Bukan, bukan!" sahut Siau Po.

"Aku hanya ingin membacok kantong telurnya, dengan demikian dia akan menjadi orang kebiri!" Nona Bhok masih terlalu kecil, dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan Siau Po, tapi Pui Ie langsung merah padam wajahnya. Dia merasa jengah mendengar kata-kata seperti itu.

"Kau mengoceh sembarangan!" katanya.

"Lau sukomu itu kemungkinan sudah tertawan," kata Siau Po sambil tertawa, "Aku, Kui kongkong memang tukang bicara, tapi banyak orang yang suka mendengarkan perkataanku Nah, nona Pui, sekarang kau katakan, apakah kau ingin memohon bantuan dariku?" Kembali wajah gadis itu merah padam, Thay-kam cilik ini benar-benar jahil, pikirnya, "Eh, Kui toako," kata Kiam Peng turut memberi suara, "Kalau kau memang sudi memberikan bantuan, tidak perlu menunggu orang memintanya. Bantuan yang tulus barulah tindakan seorang yang gagah!" Siau Po mengibaskan tangannya.

"Tidak! Kata-katamu salah!" sahutnya. "Aku justru paling senang mendengar permohonan orang, Kalau orang memanggilku suamiku yang baik, apalagi dengan nada yang mesra, semakin suka aku membantunya!" Pui Ie menatap Siau Po lekat-lekat Dia benar-benar kewalahan menghadapi orang yang satu ini.

"Kui toako... akhirnya dia memanggil "Toako yang baik, aku memohon bantuanmu!" Kembali timbul rasa iseng dalam hati Siau Po. Dia menggoda lagi "Kau harus memanggil suami padaku!" katanya sambil tersenyum.

"Bicaramu keliru, Kui toako!" kata Kiam Peng.

"Suciku ini akan menikah dengan Lau suko, Karena itu Lau suko yang akan menjadi suaminya, Mana boleh suci memanggil suami kepadamu?"

"Tidak bisa!" kata Siau Po.

"Kalau dia menikah dengan Lau It-cou, lohu cemburu! Iya, aku merasa tidak puas, aku iri!"

"Kau tidak tahu, Kui toako," kata nona Bhok kembali. Nadanya setengah membujuk

"Lao suko itu orangnya baik sekali..."

"Tidak!" bentak si bocah cilik.

"Justru karena dia baik, aku semakin iri! Aku cemburu sekali!" Berkata begitu, Siau Po tetap tertawa, Sembari meraih bungkusannya di atas meja, dia berjalan keluar, pintu kamarnya dikunci.

Dengan mengajak empat orang thay-kam sebagai pengiring, dia menunggang kuda menuju jalan Tiang An barat, istana yang dihadiahkan Raja untuk Peng Si ong, Ketika Go Eng-him mengetahui kedatangan utusan raja, dia segera keluar dan menjatuhkan dirinya berlutut.

"Sri Baginda menitahkan aku membawa beberapa barang untuk diperlihatkan kepadamu!" kata Siau Po langsung, "Siau ongya, nyalimu besar atau tidak?"

"Nyali Pi cit (hamba yang berpangkat rendah) kecil sekali Pi cit tidak boleh terkejut sedikit pun," sahut Go Eng-him. Siau Po menunjukkan mimik heran.

"Nyalimu kecil sekali sehingga tidak boleh terkejut sedikit pun?" tanyanya, "Tapi, apa yang kau lakukan justru begitu besar dan mengejutkan!"

"Kongkong, Pi cit tidak mengerti apa yang kongkong maksudkan," sahut Go Eng-him. Tolong kongkong jelaskan!" Ketika bertemu dengan Siau Po di istana Kong Cin ong, Go Eng-him tidak membahasakan dirinya Pi cit atau aku yang berpangkat rendah, Kalau sekarang dia menyebut dirinya demikian, karena Siau Po sebagai utusan raja, Lagipula dia dapat merasakan suasana yang kurang menguntungkan dirinya. Siau Po tidak memberikan penjelasan Dia berkata lagi dengan tampang serius, "Tadi malam kau telah mengirim beberapa perusuh untuk menyerbu istana! sekarang Sri Baginda menitahkan aku menanyakan persoalan ini!" Sejak pagi harinya Go Eng-him sudah mendengar kabar tentang serbuan tadi malam. sekarang mendengar kata-kata Siau Po, otomatis dia terkejut setengah mati. Dari berlulut, tanpa sadar dia berdiri kemudian berlutut kembali sambil menyembah berulang kali menghadap arah istana kerajaan.

"Sri Baginda! Sri Baginda telah menurunkan budi yang besar kepada kami ayah dan anak, Meskipun menjadi kerbau atau kuda, sulit rasanya membalas budi yang demikian besar itu, Sri Baginda, budak Go Sam-kui dan Go Eng-him bersedia mengorbankan jiwa dan raga untuk bekerja demi Sri Baginda, Tidak nanti hati kami berani bercabang dua!" Siau Po tertawa menyaksikan sikap orang itu.

"Bangun! Bangunlah!" katanya ramah, "Perlahan-lahan saja kau menyembah, semuanya masih belum terlambat Siau ongya, mari! Kau lihat dulu barang-barang yang aku bawa ini!" Sembari berkata, Siau Po membuka bungkusan nya. Go Eng-him lantas bangkit untuk melihat is bungkusan yang terdiri dari senjata dan pakaian pakaian dalam otomatis dia jadi menggigil dan gemetar.

"Ini... ini.,." suaranya bergetar dan ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya ketika membaca surat pengakuan para busu, Dia memaksakan dirinya membaca sampai habis, isinya ternyata pengakuan orang-orang yang tertawan, bahwa kedatangan mereka menyerbu istana adalah atas perintah Go Sam-kui. Dengan demikian kelak Go Sam-kui akan mendapat dukungan untuk menggantikan kaisar Kong Hi yang harus dibunuh. Meskipun otaknya cerdas, Go Eng-him tetap terkejut dan ketakutan Kedua kakinya jadi lemas dan sekali lagi dia jatuh berlutut.

"Kui.... Kui... kongkong..." panggilnya dengan suara bergetar "Ini tidak benar! pastilah orang-orang itu sudah dihasut supaya memfitnah kami ayah ... dan anak! Kongkong, aku harap kau sudi menghadap Sri Baginda dan menuturkan urusan yang sebenarnya. Sri Baginda cerdas dan bijaksana, Pasti kata kongkong akan didengarnya...."

"Urusan ini sudah tersiar luas," kata Siau Po. "So tayjin dan To tayjin telah menghadap Sri Baginda dan melaporkan pengakuan para penyerbu itu, Kau tahu sendiri, ini namanya pemberontakan durhaka terhadap junjungannya! siapakah yang bernyali demikian besar membicarakan urusan kepada Sri Baginda? Kau minta aku menghadap Sri Baginda, sebetulnya bukan tidak bisa, tapi untuk itu aku harus memikirkan cara yang sempurna. Alasan apa yang bisa kukemukakan untuk membelamu, Sulit bukan?"

Bersambung ...