Bagian 5
Bu-tek Siauw-jin menghampiri pohon, merangkul batang pohon yang sebesat tubuh manusia itu dengan kedua lengannya, berjongkok, kemudian bangkit berdiri sambil mengerahkan tenaga menjebol batang pohon yang tingginya tiga setengah meter itu. Terdengar suara keras ketika akar-akar kering pohon itu patah-patah dan terjebol berikut tanahnya, disusul suara lebih keras karena pohon itu telah dilemparkan jauh oleh kakek sinting.
Hampir Kwi Hong menjerit ketika melihat seekor kelabang besar merayap keluar dan kelihatan marah sekali. Kelabang ini mulutnya masih menggigit kepala ayam, kini seperti hendak menyerang kaki Kwi Hong. Gadis ini melihat bahwa kelabang ini besar sekali, perutnya menggembung dan warna kulitnya sama seperti Kelabang-kelabang yang tadi, merah darah akan tetapi agak kehijauan dan mengeluarkan sinar mengkikap. Sekilas pandang ia melihat bangkai ayam di dalam lubang bekas jebolan pohon dan di samping bangkai ayam itu menggeletak pula kelabang besar yang tadi membawa bangkai, sudah mati pula. Agaknya Sang "Ratu" kelabang yang bunting ini benar-benar amat ganas. Disanjung dan dirayu oleh kelabang besar, dihadiahi bangkai ayam gundul gemuk, malah dibalas dengan membunuhnya!
"Kelabang celaka!" Kwi Hong marah dan gemas sekali teringat akan ini, dua kali pedangnya berkelebat. "Cres! Cress!" Dia terkejut karena pedangnya bertemu dengan kulit yang amat alot dan keras. Andaikata bukan Li-mo-kiam yang berada di tangannya, tentu dia akan kecelik kalau tidak mengerahkan sin-kang, karena kulit kelabang itu ternyata amat tebal. Akan tetapi Li-mo-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuhnya menggila, maka dua kali sabetan itu berhasil baik, tubuh kelabang terpotong menjadi tiga, leher dekat kepala dan dekat ekornya putus! Akan tetapi bagian tengahnya yang masih panjang itu menggeliat-geliat hidup sehingga Kwi Hong merasa jijik untuk mengambilnya. "Bodoh, lekas masukkan botol!" Bu-tek Siauw-jin membentak. Kwi Hong menabahkan hatinya, disambarnya bagian badan yang masih panjang dan menggeliat itu. Hampir saja dilepaskannya kembali karena jari-jari tangannya merasa geli dan jijik, seperti memegang ular saja. Akan tetapi karena botol di tangan kirinya sudah siap, dia cepat memasukkan bagian tubuh yang menggeliat-geliat itu ke dalam botol, menutupkannya rapat-rapat kemudian hendak mengambil kembali pedangnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah ketika tangan kanannya mengambil tubuh kelabang.
"Aihhh....!" Kwi Hong menjerit dan tidak jadi mengambil pedang karena melihat betapa seluruh tangan kanannya menjadi merah kehitaman dan mulailah terasa kaku dan lumpuh!
"Itulah racunnya yang kuat sekali. Nih, pegang batu hijau ini!" Gurunya menyerahkan batu hijau ke tangan kanan Kwi Hong yang keracunan. Gadis itu menerima batu hijau dan menggenggamnya. Sebentar saja warna tangannya putih kembali, racun yang amat jahat itu disedot habis oleh batu hijau.
"Kau simpan batu itu dan tak akan ada racun dapat mempengaaruhi kulitmu. Akan tetapi kalau engkau sudah selesai berlatih dan sudah makan perut kelabang bunting, tubuhmu lebih kebal dari racun, lebih hebat daripada batu hijau itu!"
Kakek ini tertawa-tawa, lalu dia mengambil bangkai kelabang jantan yang berada di dalam lubang, kemudian mengajak Kwi Hong kembali ke tempat tadi. Dapat dibayangkan betapa jijik hati Kwi Hong ketika melihat empat ekor kelabang besar yang tadi dengan lahap makan isi perut ayam, kini masih melingkar di tempat tadi, diam tak bergerak sama sekali dan tubuh mereka menjadi gemuk dan menggembung seperti mau pecah. Seluruh isi perut ayam habis bersih, dan anehnya, sepuluh ekor kelabang yang telah mati tadi pun lenyap tak tampak bekasnya sama sekali.
"Ha-ha-ha, heh-heh-heh! Untung besar! Empat ekor ini benar-benar gembul dan kiciak (pelahap dan segala macam dimakan tanpa jijik)! Bangkai sepuluh ekor temannya sendiri masuk perut! Ha-ha-ha, kita pesta besar! Engkau makan kelabang bunting, aku mengganyang lima ekor kelabang gembul!" Sambil berkata demikian, kakek sinting itu menggunakan kedua tangannya menangkap empat ekor kelabang itu yang sama sekali tidak melawan atau meronta karena memang sudah tak dapat bergerak saking kenyangnya! Dia mengumpulkan empat ekor kelabang kekenyangan itu dengan bangkai kelabang terbesar yang mati di dalam lubang betina. Empat kali telunjuknya bergerak memukul dan empat ekor ke labang itu mati dengan kepala pecah.
"Sebetulnya, daging kelabang paling enak kalau digoreng dan dimakan dengan cocol kecap, hemmm.... sedap bukan main. Sayang di sini tidak ada minyak, maka kita godok saja. Dimasak kuah juga enak sekali, kuahnya sedap dan banyak vitamin! Heh-heh-heh!"
Kwi Hong merasa hendak muntah. Akan tetapi ditekannya perasaan itu dan berkata, "Suhu, aku khawatir takkan dapat menelan kelabang ini...." Dia meletakkan botol terisi kelabang bunting itu ke depan suhunya.
"Eh-eh, bodoh! Apa engkau hendak menyia-nyiakan kesempatan baik mendapatkan ilmu yang membuat tubuhmu kebal akan segala racun yang dapat menimbulkan sin-kang yang tiada tandingannya di dunia? Pula, apa kaukira daging kelabang tidak enak?"
"Aku jijik, Suhu. Dan tentu saja tidak enak!"
"Wah-wah, picik sekali engkau. Heh, murid tolol. Kapankah engkau pernah makan daging kelabang?"
"Selama hidupku belum pernah!" jawab Kwi Hong cepat-cepat untuk menyatakan bahwa selama ini, sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, dia hidup "bersih"!
"Itulah tololnya! Kalau selama hidupmu engkau belum pernah makan daging kelabang, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa daging kelabang tidak enak dan menjijikkan? He, Kwi Hong, jangan engkau meniru-niru manusia-manusia yang berwatak munafik itu!"
"Hemm, urusan makan daging kelabang, mengapa menyangkut urusan orang berwatak munafik?" Kwi Hong terheran.
"Tentu saja sama! Orang-orang munafik itu pun begitu, hanya karena membaca kitab atau mendengar ucapan mulut orang lain, tanpa membuktikan dan menyatakan sendiri, sudah mengambil keputusan mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi! Sampai-sampai ada yang mati-matian bersumpah bahwa dia mati-matian membenci dan memusuhi segala setan dan iblis!"
"Tentu saja, Suhu!"
Kakek sinting itu memandang muridnya dengan mata terbelalak, lalu meloncat berdiri dan membanting-banting kedua kakinya, seperti anak kecil yang rewel dan sudah siap menangis! "Apa? Engkau....? Muridku....? Engkau pun ikut-ikutan latah dan munafik? Jadi engkau pun membenci dan memusuhi setan dan iblis? Coba katakan, kenapa kau membenci mereka?"
"Hemm.... karena mereka jahat, karena musuh manusia!"
"Ngawur! Apakah setan dan iblis itu ada? Pernahkah engkau bertemu dengan setan dan iblis?"
Melihat suhunya mencak-mencak dan memekik-mekik marah, Kwi Hong menjadi gentar juga. Dia menggeleng kepala dan menjawab "Tidak pernah ada, Suhu."
"Kau tidak pernah bertemu dengan setan atau iblis, engkau tidak tahu apakah mereka itu ada atau tidak, bagaimana engkau sudah mengambil keputusan memusuhi dan membenci mereka, bagaimana bisa mengatakan mereka jahat dan musuhmu? Eh, bocah tolol. Coba jawab lagi, pernahkah engkau diganggu setan atau iblis? Dicubit? Dipukul? Dimaki atau ditipu? Hayo jawab yang jujur! Pernahkah engkau diperlakukan jahat oleh setan atau iblis? Kalau pernah, kapan dan dimana, dan bagaimana? Ceritakan!"
Kwi Hohg melongo. Gurunya ini benar-benar sinting, akan tetapi ditanya seperti itu, dia tidak dapat menjawab. Tentu saja dia belum pernah bertemu, dan kalau belum pernah bertemu, bagaimana mungkin dia bisa diganggu. Bahkan ada atau tidaknya setan iblis masih merupakan teka-teki yang tak dapat dijawab dengan kenyataan. Kembali dia menggeleng kepala, "Belum pernah, Suhu!"
"Nah, itulah! Engkau pun termasuk seorang munafik, hanya untuk plintat-plintut mengikuti ketahyulan manusia yang pura-pura suci saja. Jangan engkau terseret oleh kebiasaan umum yang belum tentu benar. Karena umum biasanya makan daging ayam, maka enak saja engkau makan daging ayam. Karena umum tidak biasa makan daging kelabang, biarpun selamanya engkau belum pernah merasakannya, mudah saja kau bilang tidak enak dan menjijikkan. Munafik!"
Kwi Hong merasa bohwat (kehabisan akal), karena biarpun ucapan gurunya kasar dan seenak perutnya sendiri, kebenarannya dalam ucapan itu sukar dibantah. "Maaflah, Suhu. Akan tetapi benar enakkah daging kelabang?" Suaranya halus dan penuh penyesalan itu sekaligus mengusir kemarahan Bu-tek Siauw-jin yang sudah menyeringai kembali!
"Heh-heh-heh, engkau mau tahu rasanya? Pernahkah engkau makan daging udang?"
"Pernah, bahkan sering kali, Suhu. Ketika masih tinggal di Pulau Es, di sebelah timur pulau terdapat bagian laut yang dihuni banyak udang besar, sebesar lengan tangan dan sering kali anak buah kami menangkap udang-udang besar itu."
"Pernah kau makan daging udang yang dipanggang dalam tanah liat?"
"Belum pernah. Bagaimana, Suhu?"
"Wah, kalau begitu engkau belum tahu benar-benar rasanya daging udang! Apalagi udang besar seperti itu. Mula-mula udang itu dilumuri tanah liat basah cukup tebal sampai tidak kelihatan kulitnya, kemudian dipanggang dan dibiarkan sampai tanah liat itu menjadi kering sekali. Setelah tanah liat itu retak-retak dan mengeluarkan bau gurih, nah, itu tandanya udangnya sudah matang. Kalau sudah tampak uap keluar dari bungkusan tanah yang retak-retak, panggang udang itu boleh diangkat dari api. Tanah liat yang sudah kering itu dikupas dan kulit udangnya tentu akan terbawa dan terkupas pula karena melekat pada tanah liat dan kini hanya tinggal daging udangnya, putih bersih kemerahan panas-panas beruap dan sedap baunya. Rasanya? Wah, kalau digigit kenyal-kenyal akan tetapi lunak, sedap manis.... hemm!"
Kwi Hong menelan ludah. Timbul seleranya dan dia kemecer (mengeluarkan air liur) mendengar penuturan itu. "Nah, daging kelabang pun rasanya sama dengan daging udang! Yang lima ekor ini akan kupanggang dalam tanah liat, akan tetapi yang bunting itu harus direbus, karena kalau dipanggang, racunnya banyak yang hilang. Direbus juga enak, coba saja nanti."
Berkuranglah rasa jijik di hati Kwi Hong, Apalagi setelah dia mencari air sungai yang terdapat dalam bagian bukit yang subur, kemudian mereka memasak kelabang dan memanggang yang lima ekor, gurunya tiada hentinya menceritakan kelezatan daging kelabang yang dagingnya sejenis dengan daging udang, kepiting, belalang, jangkerik, dan lain binatang yang kulitnya keras.
Kesibukan memasak udang itu berlangsung sampai pagi, karena tidak mudah bagi Kwi Hong mencari air dan daun-daun bumbu di dalam hutan di waktu malam seperti itu, sungguhpun sinar bulan banyak membantunya. Akan tetapi, akhirnya masakan-masakan itu selesai di waktu pagi.
"Nah, kau makan dulu seekor daging panggang sebagai cuci mulut!" kata Bu-tek Siauw-jin. Kwi Hong tertawa. Benar-benar lucu. Masa cuci mulut dengan daging panggang, dan lagi mana ada cuci mulut sebelum makan? Akan tetapi dia tidak membantah dan bersama suhunya, dia mengupas tanah liat yang sudah kering. Benar saja kulit kelabang itu ikut terkupas dan tampaklah kini dagingnya yang putih kemerahan dan mengepulkan uap tipis yang sedap. Melihat suhunya makan daging itu dengan lahapnya, Kwi Hong lalu menggigit daging yang dipegangnya dan benar-benar gurunya tidak membohong. Rasanya enak sekali, gurih dan enak manis, seperti daging udang!
"Jangan dihabiskan, separuh saja. Yang separuh untuk nanti setelah kaumakan daging rebus." Kwi Hong tersenyum, tanpa membantah lagi dia mengambil panci kecil di mana daging kelabang bunting itu telah dimasak. Bu-tek Siauw-jin mengambil sebuah guci arak dan menuangkan arak ke dalam masakan itu. Uap mengepul dan bau wangi arak merah itu bercampur dengan bau gurih sedap namun ada pula bau yang amis dan keras.
"Makan dagingnya sedikit-sedikit saja agar tidak terlalu mengejutkan tubuhmu. Jangan khawatir apa pun yang terasa olehmu, makan terus sampai habis. Ingat, yang kaumakan ini bukan hanya daging yang lezat, akan tetapi terutama sekali obat untuk menyempurnakan latihan ilmu yang kuajarkan kepadamu."
Kwi Hong mengangguk, menggunakan sepotong kayu menusuk daging itu dan mulai menggigit dan memakan daging itu. Terpaksa ia memejamkan mata karena berbeda dengan ketika makan daging kelabang panggang tadi, kini daging kelabang yang direbus kelihatan putih dan besar, juga agak kehitaman di sebelah dalamnya, hitam kehijauan dia tahu adalah racun kelabang yang amat jahat! Rasanya memang ada enaknya, akan tetapi lebih banyak tidak enaknya daripada enaknya. Memang ada bau sedap, akan tetapi hampir tertutup sama sekali oleh bau amis dan keras bahkan bau arak itu pun tidak dapat melenyapkan bau amis. Rasanya memang gurih, akan tetapi terasa pula getir dan pahit, juga ada rasa keras yang membuat lidah terasa seperti ditusuk-tusuk. Namun Kwi Hong dengan nekat mengunyah dan menelan. Hanya sebentar mengunyah, tidak menunggu sampai lembut asal tidak terlalu besar, lalu ditelannya!
Dia terus memejamkan mata dan biarpun terasa betapa dada dan perutnya panas sekali ketika makanan itu ditelannya, dia makan terus. Biarlah kalau dia akan mati karena ini, pikirnya. Sudah kepalang! Makin lama hawa panas makin hebat sehingga terasa gerah sekali. Keringatnya membasahi pakaian, seolah-olah dia merasa tubuhnya dipanggang. Akan tetapi, Kwi Hong adalah seorang gadis yang berhati keras dan nekat. Dia terus makan sampai akhirnya daging kelabang bunting habis ditelannya.
Kepalanya pening. Akan tetapi sebuah tangan menekan tengkuknya. Jari tangan Bu-tek Siauw-jin menotok punggung, rasa ingin muntah yang timbul hilang, kemudian telapak tangan gurunya menempel di punggungnya dan dari telapak tangan itu menjalar hawa dingin sejuk yang melawan hawa panas di tubuhnya. Akan tetapi sebentar saja tangan gurunya ditarik kembali ketika Kwi Hong yang teringat akan Swat-im Sin-kang, mengerahkan inti tenaga dingin untuk melawan serangan hawa panas itu. Sin-kangnya sudah amat kuat, apalagi Im-kang yang didapatkannya ketika berlatih di Pulau Es, bahkan lebih kuat daripada Im-kang yang disalurkan gurunya tadi. Hal ini adalah karena latihan Im-kang di Pulau Es merupakan puncak latihan menghimpun hawa dingin yang sukar dapat dimiliki oleh mereka yang berlatih di tempat panas.
"Bagus! Engkau dapat menahan hawa panas. Nah, makanlah sisa daging panggang itu."
"Suhu, aku sudah tidak ada nafsu lagi untuk makan daging...."
"Ih, jangan membantah! Ini perlu sekali untuk membuat perutmu kenyang dan terisi cukup...."
"Aku sudah kenyang sekali."
"Bodoh, kalau tidak kauisi sampai penuh sekali, mana dapat bertahan selama tiga hari tiga malam?"
"Apa maksudmu, Suhu?"
"Sudahlah, jangan banyak membantah. Makan sisa daging panggang ini dan habiskan!"
Karena maklum bahwa menghabiskan daging panggang ini termasuk kepentingan latihan itu, bukan semata-mata untuk membikin kenyang atau makan enak, Kwi Hong terpaksa makan habis sisa daging panggang. Perutnya menjadi kenyang sekali.
"Sekarang, minum kuah dalam panci itu sampai habis."
"Wah, mana perutku kuat, Suhu? Sudah terlalu kenyang dan kuah itu banyak sekali!" Kwi Hong membantah. Sebetulnya bukan soal terlalu kenyang, akan tetapi dia merasa jijik kalau harus minum kuah itu. Baru dagingnya saja tadi sudah begitu memuakkan, apalagi kuahnya!
"Kwi Hong, tahukah engkau bahwa kuahnya ini yang jauh lebih penting? Andaikata engkau tidak makan dagingnya, masih tidak mengapa, akan tetapi kalau tidak minum kuahnya, kurasa akan sia-sia semua latihanmu. Sari obat berada di dalam kuah inilah!"
Kwi Hong bergidik. Yang dimaksudkan suhunya dengan "sari obat" tentulah sari dan semua racun yang mengeram di dalam perut kelabang itu! Apa boleh buat! Sudah terlalu jauh dia melangkah, andaikata mendaki gunung sudah hampir sampai puncaknya. Dia mengangkat panci, membawa bibir panci menempel bibirnya, memejamkan mata, menahan napas agar hidungnya tidak mencium bau yang memuakkan itu, membuka mulut dan menuangkan isi panci itu sekaligus ke dalam perutnya melalui mulut! Begitu isinya habis, Kwi Hong mengeluh, panci kosong terlepas dari pegangannya dan terguling pingsan! Bu-tek Siauw-jin sudah siap, menerima tubuhnya dan membiarkan dara itu rebah terlentang di atas tanah sambil menyeringai dan tersenyum-senyum puas.
"Engkau hebat, muridku. Engkau hebat! Ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang dapat dilakukan Suheng kepadamu. Heh-heh-heh, betapa suheng akan mencak-mencak kalau melihat muridnya kalah oleh muridku!"
Kalau tadi Kwi Hong tahu bahwa dia akan pingsan selama tiga hari tiga malam, kiranya dia akan pikir-pikir dulu untuk minum kuah itu! Dan hal ini sudah diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin maka tadi kakek sinting ini setengah memaksa muridnya menghabiskan daging kelabang panggang agar selama tiga hari tiga malam pingsan itu, muridnya tidak akan terlalu kelaparan!
Pada pagi hari yang ke empat, Kwi Hong siuman, menggerakkan tangan, mengeluh perlahan dan membuka mata. Ia merasa tubuhnya panas dan lapar sekali. Ketika melihat gurunya duduk bersila tak jauh dari situ sambil memandangnya dan tersenyum-senyum, Kwi Hong cepat bangkit duduk. Segera ia memejamkan kedua matanya karena begitu ia bangkit duduk, matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut keras.
"Jangan tergesa-gesa, Kwi Hong. Tenang-tenang sajalah! Engkau baru saja bangkit dari kematian dan mulai hidup baru. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong membuka matanya kembali. "Apa yang terjadi, Suhu? Apakah aku tertidur?"
"Engkau tidur, juga pingsan, bahkan boleh dibilang mati selama tiga hari tiga malam! Dan engkau telah berhasil!" Kwi Hong teringat kembali. "Aihh! Ketika minum kuah itu.... aku lalu pingsan selama tiga hari tiga malam?"
Kwi Hong duduk bersila dan mulailah dia digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin dengan ilmu yang mujijat, yang diciptakan oleh kakek aneh ini selama menyembunyikan diri. Kakek itu benar-benar amat tekun melatih muridnya, bahkan dia kini yang mencarikan makan untuk muridnya agar Si Murid tidak usah menghentikan latihan, dan hanya berhenti kalau perlu makan saja. Sampai dua pekan Kwi Hong disuruh melatih diri. Karena memang pada dasarnya gadis ini telah memiliki kekuatan sin-kang yang hebat berkat latihan yang ia terima dari Pendekar Super Sakti, maka dalam waktu singkat saja dia sudah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kakek sinting itu, padahal bagi orang lain, belum tentu akan dapat dikuasai dalam latihan bertahun-tahun! Kemudian, berdasarkan tenaga mujijat ini Bu-tek Siauw-jin menambahkan jurus-jurus yang aneh dan dahsyat dalam ilmu pedang Kwi Hong. Juga dara ini dilatih menggunakan pukulan-pukulan dengan telapak tangan, pukulan yang amat hebat karena hawa pukulannya mengandung ancaman maut, mengandung hawa beracun yang selamanya belum pernah dia pelajari. Tanpa disadarinya, Kwi Hong yang semenjak kecil menerima gemblengan-ge mblengan pamannya dengan ilmu-ilmu tinggi yang bersih, kini telah mempelajari ilmu-ilmu golongan hitam! Memang benar bahwa segala ilmu dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun kejahatan, tergantung manusianya. Akan tetapi, ilmu golongan sesat atau golongan hitam mengandung sifat-sifat yang ganas, kejam dan dahsyat, sehingga sekali turun tangan dapat merampas nyawa lawan dengan mudahnya!
Demikianlah sambil melatih diri setiap ada kesempatan, Kwi Hong diajak oleh gurunya melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Dasar kakek sinting, begitu tiba di kota raja, dia langsung saja menuju ke gedung koksu, berdiri di depan pintu gerbang karena para penjaga melarang kakek sinting ini masuk. Sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang, kakek itu berteriak, "Heh, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, keluarlah kamu dan hayo lawan aku Bu-tek Siauw-jin! Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku meninggalkan muridku ini karena aku tidak pantas lagi menjadi gurunya!"
Para penjaga yang tadinya menghadang dan melarang kakek ini melalui pintu gerbang menjadi terkejut karena suara itu membuat mereka terpelanting ke kanan kiri dan mereka tidak mampu bangkit lagi, tubuh mereka menggigil dan mereka hanya dapat memandang dengan mata terbelalak saja ketika kakek itu bersama dara jelita di sampingnya memasuki pintu gerbang istana koksu seenaknya!
Kwi Hong juga terkejut, tidak menyangka bahwa gurunya akan bersikap selancang ini. Mestinya, menurut pendapatnya, mereka menyelidik dan menyusup ke dalam istana koksu di malam hari. Akan tetapi gurunya dengan terang-terangan menantang sambil berteriak-teriak seperti itu! Mana ada seorang koksu yang berpangkat tinggi ditantang begitu saja seperti seorang anak kecil menantang berkelahi anak kecil?
Teriakan yang disertai khi-kang kuat itu tidak saja membuat para penjaga di luar terpelanting, akan tetapi juga mengejutkan seluruh isi istana koksu karena bangunan besar itu seolah-olah tergetar dan akan ambruk! Berbondong-bondong keluarlah pasukan pengawal dengan senjata di tangan. Akan tetapi mereka menjadi ragu-ragu ketika melihat bahwa yang berjalan masuk dengan langkah lenggang kangkung itu hanyalah seorang kakek tua sekali yang tubuhnya pendek, hanya setinggi pundak dara jelita yang berjalan di sampingnya!
"Manusia lancang! Apakah engkau sudah bosan hidup berani mengacau gedung koksu?" Seorang perwira pengawal membentak.
"Heh-heh! Memang aku sudah bosan hidup!" jawab Bu-tek Siauw-jin seenaknya saja. "Apakah engkau ini Giam-lo-ong tukang cabut nyawa?"
Perwira itu merasa diejek dan dihina, maka cepat ia mengayun goloknya membacok ke arah kepala Bu-tek Siauw-jin. Kakek itu sama sekali tidak bergerak, juga dara cantik yang berdiri di sebelahnya dengan wajah dingin sama sekali tidak peduli.
"Wuuuuuttt.... krekkkk!"
"Hayaa.... aduuuuhhh....!" Perwira itu berteriak dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya, seperti juga goloknya yang patah ketika bertemu dengan kepala kakek sinting itu!
Para anggauta pasukan pengawal tentu saja memandang dengan bengong dan tak seorang pun berani maju menyerang. Sementara itu, Bhong Koksu sendiri bersama para pembantunya juga mendengar gema suara yang mengandung khi-kang kuat itu dan kini berbondong-bondong mereka keluar dari istana. Melihat munculnya koksu, para pasukan lupa akan rasa ngerinya dan menyerbu ke depan untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin.
"Tahan....!" Seruan ini keluar dari mulut pendeta Maharya yang kemudian berbisik kepada koksu, "Harap Taijin perintahkan pasukan mundur. Dia adalah seorang yang tidak boleh dibuat main-main!"
"Semua pasukan mundur, biarkan kami menyambut tamu!" Koksu berseru dan para panglima segera membubarkan pasukan pengawal yang sudah mengurung dan hendak turun tangan mengeroyok. Setelah para pasukan mundur, Bhong Ji Kun, Maharya dan Thian Tok Lama bersama lima orang panglima tinggi termasuk Bhe Ti Kong, maju menghampiri kakek pendek dan gadis cantik itu. Ketika mereka semua mengenal Kwi Hong mereka terkejut dan diam-diam mereka siap untuk mencabut senjata. Tentu saja mereka semua mengenal Giam Kwi Hong, murid atau keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es yang dahulu pernah mereka tawan dalam kapal ketika mereka menyerbu Pulau Es itu. Tentu kedatangannya ada hubungannya dengan penyerbuan Pulau Es, akan tetapi siapakah kakek pendek yang tertawa-tawa itu?
Bu-tek Siauw-jin tidak memandang kepada orang lain kecuali kepada Maharya. Setelah memperhatikan pendeta India ini dari kepala sampai ke kaki naik turun beberapa kali, akhirnya dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, bukankah engkau ini Si Maharya yang dulu seringkali bertanding gulat melawan aku di lereng Himalaya?"
Maharya merangkap sepuluh jari tangannya ke depan hidung sebagai penghormatan lalu menjawab sambil tertawa pula, "Siauw-jin, engkau masih hidup? Sungguh panjang usiamu!"
"Ha-ha-ha, tentu saja usiaku panjang karena aku masih ingin membuat engkau sekali lagi meniru bunyi kambing untuk menyatakan kalah. Heh-heh, Kwi Hong muridku, pernahkah kau mendengar permainan adu tenaga bergulat, yang kalah harus mengeluarkan bunyi seperti kambing sebagai tanda menyerah?"
Kwi Hong semenjak tadi menyapu orang-orang di depannya itu dengan pandang mata penuh kebencian, sikapnya dingin dan tangannya sudah gatal-gatal untuk segera turun tangan menyerang dan membalas dendam.
"Belum pernah, akan tetapi aku tidak tertarik, aku lebih suka melihat pendeta busuk ini mengembalikan Hok-mo-kiam kepadaku!"
"Ha-ha-ha, nanti dulu, itu urusan kecil. Dahulu, di lereng Himalaya, aku seringkali bergulat dengan Maharya ini dan entah sudah berapa kali dia meniru bunyi kambing menyatakan kalah. Wah, dia pandai benar meniru bunyi kambing, benar-benar seperti kambing tulen, ha-ha-ha!"
"Suhu, kurasa sekarang dia lebih pandai meniru bunyi anjing yang suka menjilat telapak kaki orang berpangkat!" Kwi Hong berkata mengejek.
Bhong Koksu segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Bu-tek Siauw-jin yang dia dapat menduga tentu seorang yang amat sakti sehingga paman gurunya begitu menghormat dan mengalah. "Harap maafkan kalau saya tidak mengenal Locianpwe yang agaknya sudah mengenal baik Paman Guru Maharya. Kehormatan apakah yang akan Locianpwe berikan kepada kami dengan kunjungan ini?" Koksu ini bersikap cerdik. Dia tahu bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Super Sakti, mengapa kini menyebut suhu kepada kakek pendek ini? Setelah muncul sebagai murid kakek ini, dia bersikap hati-hati dan sengaja tidak mau menegur Kwi Hong.
"Ha-ha-ha, engkau murid keponakan Si Maharya? Koksu, kalau begitu engkau tentu murid sahabat ahli pembuat pedang Nayakavhira!"
"Ahh! Locianpwe sudah mengenal mendiang guru saya?"
"Ha-ha-ha! Nayakavhira adalah sahabat kontan, tidak seperti Maharya ini yang sejak mudanya dahulu licik dan curang. Jadi engkau muridnya? Aku mendengar dahulu bahwa Nayakavhira hanya mempunyai seorang murid, yaitu pemuda tukang penggembala kuda!"
Wajah Koksu merah sekali karena dialah yang dimaksudkan itu. Dialah penggembala kuda itu! Cepat ia menyembunyikan pecutnya, senjata yang tadinya dibawanya untuk menghadapi musuh. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin lebih cepat lagi, tangannya bergerak dan tahu-tahu pecut itu seperti hidup, terlepas dari tangan Koksu dan berpindah ke tangannya.
"Bagus! Engkau penggembala kuda itu? Dan sekarang menggembalakan orang-orang termasuk paman gurunya sendiri? Ha-ha-ha!" Kakek itu mengembalikan pecutnya dan Koksu menjadi pucat. Cara kakek itu merampas pecutnya tadi saja sudah membuktikan bahwa kakek ini benar-benar lihai bukan main!
"Siauw-jin, engkau selamanya benar-benar seorang siauw-jin (manusia rendah budi)!" Maharya membentak marah. "Apakah kedatanganmu mau mencari permusuhan? Ataukah engkau masih mengingat akan hubungan lama dan kini hendak mencoba kepandaianku! Boleh kaucoba, mengenai ilmu silat, ilmu sihir atau ilmu kebatinan!"
"Maharya, kembalikan pedang Hok-mo-kiam, kalau tidak, akan kubunuh sekarang juga engkau!"
"Bocah sombong!" Maharya membentak, tangan kirinya bergerak dan asap hitam menyambar ke arah muka Kwi Hong. Hanya sebuah serangan ringan saja, akan tetapi asap itu mengandung racun yang dapat membikin pingsan lawan. Namun Kwi Hong hanya tersenyum, sedikit pun tidak mengelak sehingga angin pukulan berikut asap itu mengenai mukanya.
Maharya terbelalak melihat betapa gadis itu sama sekali tidak terpengaruh, baik oleh angin pukulannya maupun oleh asap beracun! Kwi Hong sudah menggerakkan jari tangan hendak mencabut pedang, akan tetapi tiba-tiba gurunya menyentuh lengannya dan tertawa.
"Ha-ha-ha, Maharya. Melawan muridku saja engkau tidak akan menang, maka engkau tidak menarik lagi menjadi lawan bertanding. Lawan mengadu kecerdikan dengan teka-teki, engkau pun takkan menang. Dahulupun, teka-tekiku yang paling mudah sudah kuberi waktu tiga hari tiga malam engkau masih tidak mampu memecahkannya. Apalagi sekarang! Eh, Kwi Hong, tahukah engkau bahwa teka-teki yang amat sederhana saja dia dahulu tidak becus menebak. Teka-tekiku dahulu itu begini, biar semua orang mendengar betapa mudahnya. Ada sebuah benda mati tercipta dari yang hidup, berkepala dan bertubuh lengkap, akan tetapi seluruh anggauta tubuhnya, dari kepala sampai ke kakinya, semua menjadi satu. Nah, apa itu?"
Kwi Hong termenung, mengasah otak dan anehnya, semua orang di situ semua kelihatan mengerutkan alis, semua mencari pemecahan cangkriman ini, termasuk para panglima dan para pasukan yang berdiri di tempat jauh akan tetapi ikut mendengarkan kata-kata Si Kakek Pendek. Melihat ini Maharya terkejut bukan main. Biarpun hanya berupa olok-olok dan teka-teki yang dibuat kelakar, namun suara kakek itu ternyata telah mempengaruhi semua orang sehingga mereka semua lupa keadaan dan ikut mencari jawabannya. Ini saja sudah membuktikan betapa kuat sin-kang kakek itu, betapa mujijat dan tidak akan menanglah dia kalau bertanding ilmu sihir! Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara tertawa bergelak, suara ketawa yang melengking panjang dan bergema di udara seperti guntur, juga mirip suara kuda meringkik, dan semua orang menjadi sadar dengan penuh keheranan betapa mereka tadi mencurahkan seluruh perhatian dan memeras otak untuk mencari jawaban sebuah teka-teki, sungguh merupakan hal yang janggal sekali pada saat seperti itu!
"Hemm, Maharya, engkau sekarang bisa tertawa. Kwi Hong, dia sekarang memandang rendah karena dahulu telah kuberi tahu jawabannya."
"Suhu, apa sih jawabannya? Teka-tekimu itu aneh dan sukar sekali!"
"Jawabannya? Dengar baik-baik....!"
Kembali semua orang, termasuk Koksu sendiri, mendengarkan penuh perhatian. Maharya terkejut dan pendeta ini maklum bahwa pada detik itu kalau Si Kakek Pendek mau mempergunakan kekuatannya, bisa saja dia mempengaruhi semua orang yang berada di situ, disuruh tidur tentu tidur, disuruh apa saja tentu menurut karena mereka semua telah terjatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan hebat dari kakek pendek itu. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin hanya mendemonstrasikan kekuatannya saja dan tidak mau melakukan sesuatu, melainkan melanjutkan ucapannya yang sengaja dihentikan sebentar untuk menguasai perhatian semua orang.
"Jawabannya adalah.... semut dipelintir. Ha-ha-ha-ha!" Semua orang memandang heran, termasuk Kwi Hong. "Eh, Suhu, mengapa semut dipelintir?"
"Heh-heh, bukankah semut itu kalau dipelintir, seluruh anggauta tubuhnya menjadi satu, sukar dibedakan mana kepala mana kaki lagi? Dan semut itu tadinya hidup, maka benda yang berupa semut dipelintir itu tercipta dari yang hidup dan tentu saja menjadi benda mati!"
Semua orang, termasuk Koksu, tersenyum menyeringai karena merasa dipermainkan seperti anak kecil oleh kakek yang sinting ini.
"Bertanding kesaktian, engkau tentu kalah, Maharya. Bertanding sihir, engkau masih harus berguru seratus tahun lagi. Bertanding teka-teki pun engkau tidak akan menang...."
"Siauw-jin, aku menantangmu untuk bertanding pengetahuan kebatinan!" tiba-tiba Maharya berkata tegas. "Heh-heh, begitu? Boleh! Paling-pajing engkau paham filsafat Hindu dan Buddha, dan aku sudah hafal semua."
"Harus memakai taruhan!" kembali Maharya berkata. "Tentu saja kalau kau berani, kalau tidak aku pun tidak akan memaksamu."
"Wah-wah, semenjak dahulu engkau memang licik dan curang, bermulut manis dan pandai menggunakan akal bulus! Tahu kau akal bulus? Kalau berdepan, menyembunyikan kepala ke dalam perut, kalau ditinggal, menggigit dari belakang! Akan tetapi jangan kira aku takut. Nah, apa taruhannya?"
"Begini! Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai hidup yang amat pelik dan engkau harus dapat menjawabnya dengan tepat berikut uraian dan alasannya agar jangan ngawur belaka. Kalau engkau mampu menjawabnya, kami akan menerimamu sebagai tamu dan sahabat baik, dan semua permintaan Nona yang menjadi muridmu ini tentu akan kami pertimbangkan baik-baik. Akan tetapi kalau engkau tidak bisa menjawab, engkau dan muridmu harus pergi dari sini tanpa banyak ribut lagi dan tidak boleh mencari perkara. Aku beri waktu satu bulan kepadamu dan selama kau memikirkan jawabannya, engkau boleh tinggal di dalam kamar tahanan bersama muridmu selama sebulan dengan jaminan makan minum secukupnya. Bagaimana? Beranikah kau menerima tantanganku ini?"
"Ha-ha-ha! Cukup adil! Boleh sekali, akan tetapi ingat, kalau sampai aku bisa menjawab, segala permintaanku harus kaupenuhi. Permintaanku tidak banyak, hanya menantang Koksu, engkau dan dia ini.... eh, bukankah aku pernah melihat hwesio gendut ini di Tibet? Kalau tidak salah, ada seorang lagi yang kurus kering, dua orang Lama dari Tibet...."
Thian Tok Lama merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud, ingatan Locianpwe benar-benar tajam sekali. Memang pinceng adalah Thian Tok Lama dari Tibet."
"Bagus! Dari India, dari Tibet, semua berkumpul di sini mengabdi kepada Mancu, ya? Luar biasa. Nah, aku akan menantang kalian bertiga mengadu ilmu, sedangkan permintaan muridku adalah.... eh, Kwi Hong, apa permintaanmu kalau aku menang bertaruh? Jangan malu-malu, katakan saja!"
"Suhu," Kwi Hong mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. "Mengapa urusan ini dibuat main-main? Lebih baik sekarang saja gempur mereka!"
"Wah, jangan begitu! Apa kau mau merampas kesenanganku bertaruh? Jangan khawatir, aku pasti menang. Nah, kalau aku menang, apa permintaan dan tuntutanmu?"
"Permintaanku, pertama Maharya harus mengembalikan Hok-mo-kiam dan kupotong ujung hidungnya yang terlalu panjang karena dia telah berani membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang. Ke dua, Koksu yang memimpin pasukan yang merusak Pulau Es harus membangun kembali pulau itu seperti dahulu dan berlutut minta ampun ke depan Pendekar Super Sakti, menerima segala hukuman dan keputusan yang dijatuhkan oleh Pendekar Super Sakti."
"Nah, bagaimana, Maharya?"
Koksu hendak membantah. Tentu saja tuntutan itu amat berat dan tak mungkin dilaksanakan. Biarpun kakek pendek ini lihai bukan main, akan tetapi setelah berani memasuki istananya dan dikurung oleh ratusan pengawal, bahkan kalau dia menggerakkan pasukan sampai ribuan orang pun tidak sukar, perlu apa takut dan mengalah. Akan tetapi Maharya sudah cepat menjawab,
"Boleh! Nah, mari kita masuk ke ruangan dalam untuk mulai bertanding pengetahuan ilmu kebatinan."
"Suhu....!" Kwi Hong menyatakan keraguannya dengan pandang mata. Sungguh amat bodoh memasuki istana itu, sama dengan memasuki guha harimau. Akan tetapi gurunya tersenyum lebar dan berkata, "Jangan ragu-ragu, masuk saja. Hendak kulihat apa yang akan dikeluarkan dari perut Maharya!"
Sebagai seorang pahlawan yang pulang dari medan perang membawa kemenangan, Bu-tek Siauw-jin berjalan dengan penuh gaya, dadanya diangkat membusung, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum-senyum dan matanya memandang ke kanan kiri! Akan tetapi Kwi Hong berjalan dengan hati-hati, menunduk dan sepasang matanya yang indah mengerling ke kanan kiri, siap siaga menghadapi penyerangan gelap atau jebakan musuh.
Koksu kini mengerti bahwa Maharya hendak menundukkan kakek pendek itu secara halus, maka dia pun diam saja, hanya diam-diam dia memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan persiapan dan mengerahkan pasukan untuk menjaga dan mengurung. Adapun Maharya diam-diam memperhatikan Bu-tek Siauw-jin. Puluhan tahun yang lalu dia memang pernah bertemu dengan Bu-tek Siauw-jin di lereng Pegunungan Hima laya yang tinggi dan kakek ini dahulu hanya mengaku berjuluk Siauw-jin saja, sebuah "julukan" yang amat aneh dan kiranya orang sedunia, apalagi seorang tokoh kang-ouw yang berilmu, tidak ada yang sudi menggunakannya karena Siauw-jin berarti manusia rendah budi! Dan orang pendek itu sejak dahulu memang berwatak ugal-ugalan, namun penuh rahasia dan memiliki ilmu yang aneh-aneh.
Memang Bu-tek Siauw-jin, tokoh atau datuk kedua Pulau Neraka ini amat berbeda dengan suhengnya, Cui-beng Koai-ong datuk pertama Pulau Neraka. Kalau Cui-beng Koai-ong selalu menyembunyikan diri, lebih banyak berdekatan dengan mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia daripada dengan manusia hidup dan mencari ilmu-ilmu hitam di dalam tanah-tanah kuburan, sebaliknya Bu-tek Siauw-jin ini selain mencari ilmu-ilmu hitam di kuburan, juga suka melakukan perantauan tanpa tujuan dengan menggunakan nama samaran Siauw-jin dan tak pernah mengaku bahwa dia datang dari Pulau Neraka. Karena itu, dia telah merantau sampai jauh ke barat, melalui Himalaya, Tibet, sampai ke India dan Nepal. Akan tetapi namanya tidak terkenal dan dia hanya dikenal oleh orang yang pernah berjumpa dengannya sebagai seorang yang berotak miring atau berwatak sinting. Di lain pihak, biarpun dia sendiri tidak terkenal, namun dalam perantauannya ini Bu-tek Siauw-jin mengenal dunia kang-ouw dan mengenal pula atau setidaknya mendengar nama para tokoh kang-ouw dan tahu akan kelihaian dan keistimewaan mereka.
Mereka telah memasuki ruangan yang luas. Yang ikut masuk ke dalam ruangan itu mengiringkan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong adalah Maharya, Koksu, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan belasan orang panglima pengawal. Namun tentu saja dengan diam-diam ruangan itu, juga gedung itu, telah dikurung oleh pasukan yang melakukan penjagaan ketat.
Tanpa dipersilakan lagi, Bu-tek Siauw-jin lalu duduk di atas kursi, menyambar seguci arak dan minum arak itu tanpa cawan dan tanpa penawaran tuan rumah lagi. Arak itu dituangkan begitu saja ke mulut sampai gucinya kosong! Kemudian ia mengembalikan guci kosong ke atas meja, mengusap bibir dengan ujung lengan baju dekil dan berkata, "Nah, keluarkan isi perutmu, Maharya. Pertanyaan tentang ilmu batin apa yang hendak kauajukan untuk kupecahkan dan jawab? Hayo, keluarkan seluruh kepunsuanmu (kepandaianmu)!"
Semua orang mengambil tempat duduk, kecuali Kwi Hong yang hanya berdiri di belakang gurunya, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan meraba gagang pedang, wajahnya dingin. Kalau ada orang yang sudah mengenal Kwi Hong sebelum ia menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, tentu kini akan terheran-heran melihat betapa wajah dan sikap dara itu berubah sama sekali. Kini wajah yang dahulu cerah dan riang itu kelihatan muram dan dingin, sikapnya angkuh dan memandang rendah. Tanpa disadarinya oleh dia sendiri, pengaruh ilmu mujijat yang dimilikinya telah menguasai batinnya! Hal ini tidak diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin. Kakek ini adalah seorang yang telah memiliki batin kuat sekali, dan memang memiliki dasar yang baik sehingga dia dapat mengatasi pengaruh segala ilmu hitam yang dipelajarinya. Berbeda dengan suhengnya yang juga tercengkeram oleh pengaruh ilmu hitam. Kini murid kakek ini, Kwi Hong, biarpun semenjak kecil digembleng oleh Pendekar Super Sa kti, kini tanpa disadarinya juga mulai berubah sikapnya, menjadi dingin, murung dan kehalusan perasaannya menipis, membuatnya tak pedulian dan kejam.
"Bu-tek Siauw-jin," Maharya mulai bicara sedangkan semua orang mendengarkan penuh ketegangan karena belum pernah mereka yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi ini menyaksikan pertandingan seaneh ini, pertandingan mengadu pengetahuan tentang ilmu batin! "Segala macam ilmu kepandaian yang dimiliki manusia di dunia ini tidak ada artinya kalau manusia tidak mengerti akan hidup dan inti hidup. Karena itu, mengapa kita mesti berkelahi seperti anak kecil untuk menentukan siapa yang lebih unggul? Sebaiknya kita menguji kematangan jiwa. Apakah engkau siap untuk mencoba memecahkan dan menjawab pertanyaanku?"
"Wah, sejak dahulu kau memang tajam lidah! Lekas keluarkan pertanyaan kentutmu itu, perlu apa banyak rewel?" Bu-tek Siauw-jin kena dibakar dan dibuat tidak sabar oleh sikap Maharya yang memang sengaja merangsang kemarahan lawannya.
"Bu-tek Siauw-jin, jawablah ini: Apakah yang dinamakan Aku yang sejati?"
"Apa lagi?"
"Cukup satu itu, karena yang satu itu sudah mencakup seluruh pengetahuan batin."
"Hemmm...., di dunia ini banyak sekali pengetahuan kebatinan berdasarkan agama dan filsafat yang timbul dari tradisi bangsa-bangsa. Kurasa masing-masing agama mempunyai jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaanmu itu, Maharya. Jawaban dari sudut pendangan agama apa yang kau kehendaki?"
"Aku tidak akan menyangkut kepercayaan agama atau filsafat, karena selama masih ada yang menyangkal, berarti belum tentu tepat. Jawaban agama atau filsafat tentu akan menghadapi tantangan dari agama atau filsafat lain. Aku menghendaki agar engkau dapat memecahkan ini dengan tepat, disertai dengan alasan-alasan yang kuat, tidak peduli engkau mengambil agama atau filsafat apa pun, asal benar. Hanya aku menghendaki jawaban satu kali saja dan hanya yang satu kali itu yang berlaku, benar atau salah. Kalau benar, kami siap memenuhi semua permintaanmu. Kalau salah, engkau dan muridmu harus pergi dari sini dan selamanya tidak boleh mengganggu kami lagi."
Bu-tek Siauw-jin benar-benar merasa terpukul. Tak disangkanya Maharya akan mengajukan pertanyaan yang sedemikian hebat! Pertanyaan yang mungkin sekali waktu akan menyelinap ke dalam hati setiap orang manusia dan yang sudah ribuan tahun semenjak sejarah manusia tercatat, belum ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu! Dia menggaruk-garuk kepalanya dan menoleh kepada Kwi Hong. "Kwi Hong, monyet kurus ini benar-benar lihai sekali. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan jawaban pertanyaan itu.
Terpaksa kita harus mengeram di dalam kamar tahanan untuk beberapa hari, muridku."
Kwi Hong cemberut, "Suhu, perlu apa melayani segala macam obrolan? Harap Suhu jangan kena dibujuk dan ditipu mentah-mentah oleh pendeta palsu itu! Tanpa bantuan Suhu sekalipun, aku sanggup untuk membasmi mereka semua ini!" Kwi Hong membuat gerakan dan tiba-tiba terdengar suara berdesing dan tampak sinar kilat menyambar di dalam ruangan itu.
"Pedang Iblis....!" Koksu dan Thian Tok Lama berseru kaget menyaksikan pedang yang berkilat-kilat di tangan gadis itu. "Hushhh, sarungkan kembali pedangmu, muridku." Bu-tek Siauw-jin menyentuh lengan Kwi Hong dan gadis itu terkejut karena merasa lengannya tergetar. Suhunya telah mempergunakan tenaga dan ini tentu berarti bahwa dia harus menyimpan pedangnya karena sesuatu yang amat gawat. Sambil menghela napas dia menyimpan kembali pedangnya dan menundukkan muka.
"Maharya, engkau tua bangka licik! Pertanyaanmu merupakan pertanyaan seluruh manusia, akan tetapi karena waktunya sebulan, biarlah aku dan muridku berdiam di dalam kamar tahanan sebagai tamu yang tidak agung. Heh-heh-heh! Marilah, antar kami ke tempat kami!"
Dengan wajah berseri Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama sendiri mengantar kedua orang itu ke dalam kamar tahanan yang berada di ruangan bawah tanah, melalui anak tangga dan terowongan yang amat dalam. Mereka berdua memasuki sebuah kamar yang ditunjuk, kemudian pintunya yang terbuat dari baja yang amat kuat seperti pintu kerangkeng gajah itu ditutup dan dikunci dari luar. Demikianlah, guru dan murid ini menjadi orang-orang tahanan dan mereka selalu menerima jaminan makan dan minum melalui jeruji di atas pintu kamar tahanan.
"Mengapa Suhu begini bodoh mau ditipu?" Kwi Hong menegur gurunya setelah mereka berada di dalam kamar tahanan.
"Wah, jangan murung, muridku yang manis! Tempat ini amat baik untuk engkau berlatih dan memperdalam ilmumu. Dengar baik-baik. Kulihat Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama merupakan lawan-lawan yang tidak lemah. Apalagi di samping mereka masih ada belasan orang panglima dan mungkin ribuan orang perajurit. Karena itu, sebelum kita turun tangan, engkau harus menyempurnakan ilmu pedangmu yang baru lebih dulu, dan mematangkan tenaga sin-kangmu. Waktu yang sebulan ini kiranya cukup. Dan selain engkau dapat berlatih, aku pun amat tertarik untuk mencari jawaban atas pertanyaan Maharya itu."
Kwi Hong mengangguk-angguk. Kelihatannya saja gurunya ini sinting, sebenarnya di balik watak sintingnya itu bersembunyi kecerdikan yang mengagumkan. Maka dia pun tidak banyak cakap lagi dan berlatih dengan tekunnya di dalam kamar tahanan, kadang-kadang saja menerima petunjuk dari Bu-tek Siauw-jin. Adapun kakek ini, untuk melewatkan waktunya, kadang-kadang duduk bersila dan mengerutkan kening, mengasah otak sampai-sampai ubun-ubunnya mengepulkan uap putih, mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan Maharya. Kalau sudah terlalu lelah dan jawaban yang tepat belum juga dapat ditemukan, dia lalu bermain-main seperti anak kecil, kadang-kadang mengumpulkan batu dan dibuatlah kelereng, bermain kelereng sendirian sambil tertawa-tawa. Telah tiga pekan mereka berada di dalam kamar itu dan ilmu pedang Kwi Hong sudah mengalami kemajuan yang pesat sekali sehingga menggirangkan hati gurunya. Akan tetapi, pertanyaan itu masih belum didapatkan jawabnya oleh Bu-tek Siauw-jin! Saking kesalnya, ketika ia mendengar jangkerik, dia girang sekali dan ingin benar dia menangkap jangkerik itu.
Mereka berdua tidak tahu bahwa pada saat itu, percakapan mereka didengarkan oleh Suma Han dan Milana, di dalam kamar tahanan yang berada di atas mereka!
Melihat betapa gurunya ingin sekali menangkap jangkerik, dan karena keadaan cuaca dalam kamar tahanan itu agak gelap, Kwi Hong lalu menyalakan lampu minyak sehingga kamar itu tidak begitu gelap lagi.
"Wah-wah-wah, tidak mau mengerik lagi!" Bu-tek Siauw-jin berlutut di lantai, menelungkup dan menempelkan telinganya di lantai yang penuh batu berserakan, yaitu batu-batu yang dicokel ke luar dari lantai oleh kakek itu untuk dipakai sebagai gundu. "Wah, kenapa lampunya dinyalakan? Kalau keadaan terang, tentu saja jangkerik itu mengira hari telah siang dan tidak mau berbunyi."
"Memang sekarang bukan malam, Suhu."
"Benar, akan tetapi kalau tidak dinyalakan akan gelap, jangkerik itu mengira malam dan berbunyi. Hayo padamkan lagi biar dia mengeluarkan bunyi!"
"Aihh, Suhu ini aneh-aneh saja! Biarpun lampu dipadamkan, kalau Suhu ribut-ribut begitu mana dia mau mengerik? Pula, sudah diketahui dia berada di dalam lubang itu, biar dia mengerik sekalipun tentu dari dalam lubang."
"Oya, kau benar aku yang salah. Kalau begitu, biar kukencingi!"
"Jangan, Suhu! Kamar ini menjadi makin bau! Karena kalau ditepuk-tepuk di sekitar lubang, dia akan kaget dan akan keluar juga, atau kalau ditiup lubangnya." Kini Kwi Hong mulai tertarik dan ia pun ikut berlutut di dekat suhunya, mereka memandangi lubang jangkerik seolah-olah hal menangkap jangkerik merupakan peristiwa yang terpenting di saat itu!
"Oya, kau benar dan aku salah!" Kembali kakek itu berkata. "Kalau kukencingi, mana jangkerik itu kuat bertahan terkena kencingku? Tentu akan mati pengap! Biar kutiup lubangnya dan kau tepuk-tepuk di sebelah atas lubangnya."
Dua orang itu bekerja sama dengan asyik. Tiba-tiba dari dalam lubang itu meloncat keluar seekor jangkerik yang segera ditangkap oleh tangan kakek itu yang segera bersorak girang sambil menggenggam jangkerik itu.
Kwi Hong juga terseret dalam kegembiraan. Baru sekarang tampak wajahnya berseri dan kembalilah dia seperti Kwi Hong yang lincah gembira. Akan tetapi hanya sebentar saja. "Besarkah jangkeriknya, Suhu? Merah atau hitam bulunya?"
Mereka mengintai bersama ketika kakek itu membuka sedikit genggaman tangannya.
"Uhhhh!" Kwi Hong berseru geli dan menutupi mulutnya.
"Sialan dangkalan!" Bu-tek Siauw-jin memaki ketika melihat ke dalam genggaman tangannya. "Ini namanya jangkerik upo (jangkerik kecil pemakan nasi upo)! Jangkerik kecil tidak bisa diadu! Engkau penipu kecil seperti Maharya saja!"
Kakek itu tiba-tiba membuka lebar mulutnya dan.... jangkerik kecil itu ditelannya bulat-bulat! Kalamenjingnya bergerak dan berbunyi "ceguk-ceguk!" ketika ia menelan jangkerik itu hidup-hidup!
"Ihhhh! Mengapa Suhu jorok (kotor) sekali? Masa jangkerik hidup-hidup ditelan?" Kwi Hong mencela. Gurunya ini benar-benar aneh, kadang-kadang dia pandang sebagai guru yang pandai, akan tetapi ada kalanya dia merasa seperti berhadapan dengan seorang anak kecil yang memerlukan teguran-teguran!
"Apa kaubilang? Kotor? Wah, menelan jangkerik mentah dan hidup masih mending. Pernahkah engkau mendengar orang orang sinting menelan cindil (anak tikus) hidup-hidup?
Coba bandingkan! Kan lebih gagah jangkerik daripada cindil? Jangkerik memiliki sifat jantan dan pemberani, tidak seperti tikus-tikus cilik itu!"
Kwi Hong tidak mau membantah lagi. Payah memang berbantah dengan gurunya yang pandai berdebat ini. Pula, kegembiraannya sudah hilang dan kembali dara itu termenung dengan wajah muram dan dingin.
"Kwi Hong....!" Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang amat jelas, seolah-olah Kwi Hong mendengar suara pamannya di dekat telinga dan pamannya seperti berdiri di sampingnya. Kwi Hong mencelat kaget.
"Paman....!"
"Kwi Hong, dengan siapa engkau di situ dan mengapa?" kembali suara Pendekar Super Sakti bergema memasuki ruangan kamar tahanan itu.
"Paman, di mana engkau? Suaramu begini dekat....!" Kwi Hong yang merasa bingung itu tiba-tiba menjadi takut. Bagaimana dia harus menerangkan kepada pamannya bahwa dia telah menjadi murid kakek sinting, Datuk Pulau Neraka ini?
"Ha-ha-ha-ha! Sungguh lucu! Eh, bukankah Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es yang berada di atas itu? Maaf, maaf! Kita belum pernah saling bertemu akan tetapi sudah bertahun-tahun aku kagum sekali kepada Taihiap. Sekarang, secara aneh kita bertemu akan tetapi tak dapat saling pandang! Ha-ha-ha!"
Karena kakek itu mengerahkan khi-kang maka suaranya meluncur melalui lubang kecil itu ke kamar di atas dan terdengar jelas sekali oleh Suma Han yang menjadi kagum dan maklum bahwa orang yang berada di bawah bersama keponakannya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Siapakah Locianpwe yang telah mengenalku?" tanyanya, menahan rasa penasaran karena tadi keponakannya menyebut "suhu" kepada orang itu.
"Wah-wah, jangan menyebutku Locianpwe. Harap Taihiap ketahui bahwa aku hanyalah seorang kakek tua bangka yang tidak ada harganya, hanya keturunan para buangan di Pulau Neraka."
Suma Han makin terkejut dan teringatlah ia akan penuturan Alan puteri Ketua Thian-liong-pang tentang keponakannya yang keluar dari lubang kuburan! Suaranya memang berbeda akan tetapi siapa lagi yang begitu lihai dan mengaku sebagai keturunan buangan Pulau Neraka kalau bukan kakek mayat hidup yang pernah bertemu dan bertanding dengannya, yang amat sakti itu sehingga hampir
saja ia celaka? Akan tetapi, mungkinkah Kwi Hong menjadi murid manusia iblis itu? Bukankah kakek iblis itu menjadi guru Wan Keng In? Dia merasa bingung dan hatinya tegang.
"Apakah Cui-beng Koai-ong di bawah sana?" tanyanya penuh wibawa.
"Ha-ha-ha, kiranya Taihiap sudah pernah bertemu dengan Suhengku itu? Tidak, Taihiap. Aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin, sutenya dan aku mendapat kehormatan besar sekali untuk menjadi guru keponakanmu."
Kwi Hong berdiri dengan muka pucat. Dia tahu bahwa dia telah berbuat sesuatu yang amat salah dalam pandangan pamannya. Dia adalah keponakan, dan terutama sekali murid Pendekar Super Sakti. Bagaimana dia berani menjadi murid orang lain? Hal ini sama saja dengan menghina guru atau pamannya itu! Maka, sebelum pamannya mengucapkan sesuatu yang timbul dari kemarahan, dia cepat mendahului, berkata dengan pengerahan khi-kang. "Paman, harap suka mendengarkan penuturanku!" Cepat dia menuturkan pertemuannya dengan Bu-tek Siauw-jin dan bagaimana dia sampai menjadi muridnya. Betapa gurunya itu biarpun seorang Datuk Pulau Neraka, akan tetapi sikapnya baik sekali, bahkan kini mereka ke kota raja karena kakek itu hendak membantunya menghadapi musuh-musuhnya, Koksu dan kaki kanannya.
"Sayang sekali, Suhu ditipu oleh Maharya. Suhu diajak bertaruh memecahkan sebuah pertanyaan yang sulit. Suhu diberi waktu sebulan di sini, dan sudah tiga pekan kami berada di sini, agaknya Suhu belum berhasil! Harap Paman suka mengampunkan aku yang lancang.... akan tetapi sesungguhnya Suhu adalah seorang yang sakti dan amat baik, Paman."
Sunyi sejenak, hanya terdengar suara Bu-tek Siauw-jin tertawa kecil, agaknya merasa geli mendengarkan penuturan Kwi Hong tadi.
"Bu-tek Siauw-jin, setelah mendengar penuturan keponakanku, dan karena sudah terlanjur dia menjadi muridmu, biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Pertanyaan apakah yang diajukan oleh Maharya kepadamu? Aku akan membantumu mencarikan jawabannya."
"Bagus! Engkau benar-benar seorang pendekar tulen, Suma-taihiap! Tidak saja tidak marah kepadaku yang merampas muridmu, akan tetapi juga berterima kasih dan ingin membantuku memecahkan teka-teki. Wah, kalau engkau benar-benar bisa membantuku memecahkan pertanyaan itu, benar-benar aku takluk dan mengangkat engkau sebagai sahabatku yang paling jempol di dunia ini! Pertanyaannya adalah : Apakah yang dinamakan Aku yang sejati? Nah, bantulah aku menjawabnya, Taihiap."
Suma Han yang tadinya mendekatkan mukanya di lantai kamar tahanan, kini bangkit duduk dan kedua alisnya berkerut. Pertanyaan yang amat luar biasa! Bagaimana menjawabnya? Dia sudah banyak membaca filsafat kuno dari berbagai agama. Akan tetapi, apakah jawabannya yang tepat? Apakah itu SENG yang merupakan anugerah Tuhan seperti yang dimaksudkan dalam ujar-ujar Nabi Khong-cu? Apakah itu TAO seperti yang dimaksudkan dalam Agama Tao? Ataukah Atman seperti yang disebut-sebut oleh pendeta-pendeta Hindu. Ataukah Roh Suci? Mana yang benar?
Melihat ayah kandungnya duduk termenung diam tak bergerak seperti arca itu, Milana ikut pula duduk di lantai. Luka-lukanya sudah sembuh, tubuhnya tidak merasa nyeri lagi. Dia duduk bersila dan memikirkan pertanyaan aneh itu. Hatinya bicara sendiri. Hemm, orang-orang tua ini memang aneh! Apa gunanya? Apa untungnya kalau mengetahui AKU SEJATI? Membuang-buang tenaga pikiran saja. Pula apapun juga jawabannya, siapa yang akan dapat memastikan apakah jawaban itu benar atau salah? Adakah manusia yang pernah melihatnya atau bertemu dengan AKU SEJATI itu? Mungkin ada, pikirnya. Kalau tidak ada mengapa disebut-sebut? Adanya disebut, tentu ada yang pernah mengalami bertemu dengannya!
Kepalanya menjadi pening memikirkan pertanyaan yang ruwet itu. Jangankan mendapatkan jawaban, bahkan pertanyaan itu saja tidak dimengertinya. Dia tidak mengenal yang disebut Aku Sejati itu. Mendengar pun baru sekarang! Milana melirik ke arah ayahnya dan melihat pendekar itu masih duduk termenung penuh kesungguhan, dia tidak berani mengganggu, bahkan menjauhinya dan untuk melewatkan waktu Milana meraba-raba dinding untuk memeriksanya dan mencari kemungkinan membobol dinding itu.
Tiba-tiba jari tangannya yang halus itu meraba permukaan dinding yang tidak rata, ada lubang-lubang besar kecil, panjang pendek seperti ukir-ukiran. Dia tertarik sekali dan cepat dia menggosok dan membuang lumut-lumut hijau yang tumbuh di atas batu dinding. Maka tampaklah ukiran huruf-huruf kecil di atas batu. Dengan penuh semangat dan amat tertarik, Milana terus membersihkan batu dinding dan setelah bekerja keras hampir satu jam lamanya, akhirnya dia dapat melihat sebaris huruf yang cukup jelas. Saking girangnya, dia lupa akan ayahnya dan membaca huruf-huruf itu dengan suara agak keras.
"Sesungguhnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran manusia."
"Apa kau bilang?" Tiba-tiba Suma Han menoleh dan bertanya seperti orang terkejut. Milana juga kaget karena di luar kesadarannya dia telah membaca huruf-huruf itu keras-keras, "Aku membaca ukir-ukiran huruf di dinding ini, Paman."
Sekali berkelebat Suma Han telah berada di depan dinding itu dan membaca ukiran huruf-huruf yang coretannya indah dan kuat itu, mula-mula perlahan kemudian dibacanya lagi agak keras, diulang-ulangi. SESUNGGUHNYA YANG ADA ITU BUKAN, KARENA YANG ADA ITU DIADAKAN OLEH PIKIRAN MANUSIA. Belum pernah dia bertemu dengan kalimat seperti itu, akan tetapi seperti ada hubungannya dengan pertanyaan Maharya! Ia menggunakan ingatannya, mengenang kembali ayat-ayat dalam kitab-kitab yang pernah dibacanya. Tiba-tiba ia menepuk pahanya, "Hampir sama dengan makna dalam kitab To-tik-keng ayat pertama!"
Milana yang biarpun sudah banyak membaca namun sejak dahulu memang tidak menaruh minat terhadap kitab-kitab filsafat dan agama, bertanya, "Bagaimana bunyinya, Paman?"
Suma Han mengangkat mukanya dan mengerutkan kening, membaca ayat pertama kitab To-tik-keng seperti yang diingatnya :
"Jalan (Tao) yang dapat dipergunakan sebagai jalan bukanlah Jalan (Tao) yang sejati. Nama yang dapat dipergunakan sebagai nama bukanlah nama sejati.
Tanpa Nama adalah awal Bumi dan Langit. Dengan Nama adalah ibu segala benda. Tidak Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya. Ada kalau kita ingin menyatakan keadaannya; keduanya berpasangan walau namanya berbeda; pasangan yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!"
Tiba-tiba Milana memandang ayahnya dengan wajah berseri dan dia berseru, "Wah! Kalau begitu cocok! Itulah jawaban untuk teka-teki yang diajukan oleh pendeta Maharya itu, Paman!"
Suma Han melongo. "Hemm? Apa? Bagaimana? Bagaimana jawabannya?"
"Jawabannya adalah itu! Tidak ada apa-apa!"
"Ah, masa jawaban begitu? Engkau terpengaruh oleh kalimat terukir di dinding itu, diperkuat pula oleh bunyi ayat pertama kitab To-tik-keng yang memang ada persamaan dengan kalimat di dinding itu."
"Justeru keduanya cocok pula dengan jawaban pertanyaan Maharya. Jawaban ini sekaligus menghancurkan pertanyaan itu, Paman"
"Alan, engkau masih terlalu muda untuk mencampuri urusan ini. Yang diajukan adalah pertanyaan gawat yang tak pernah dapat terjawab oleh manusia, yaitu apakah yang dinamakan Aku Sejati? Kalimat di dinding dan ayat pertama To-tik-keng sama sekali tidak menerangkan siapa sebetulnya Aku Sejati!"
"Sudah jelas diterangkan bahwa sebetulnya tidak ada apa-apa, Paman! Yang ada itu bukan, karena diadakan oleh pikiran manusia. Yang bisa dinamakan bukanlah nama sejati! Awal Langit Bumi adalah Tanpa Nama. Jadi jelas bahwa yang dikatakan Aku Sejati itu sesungguhnya bukanlah yang sejati! Aku Sejati yang dimaksudkan itu hanyalah buatan pikiran manusia saja, jadi palsu karena dia ada oleh pikiran yang mengada-ada! Yang sejati tentu tidak bisa disebut dengan nama. Adakah manusia di dunia ini yang sudah bertemu dengan Aku yang Sejati?"
"Husshh! Jangan engkau lancang, Alan. Tentu saja ada. Manusia-manusia suci di jaman dahulu tentu sudah tahu akan Aku Sejati itu, mungkin di jaman sekarang pun ada yang memiliki kesucian sedemikian tinggi sehingga dapat mengerti dan bertemu dengan Aku-nya yang Sejati!"
"Ah, hal itu tidak mungkin, Paman!"
"Mengapa tidak mungkin?"
"Misalnya aku yang bertemu dengan Aku-ku yang Sejati, habis siapa itu yang bertemu dan siapa pula yang ditemui? Apakah ada dua Aku? Yang palsu dan yang sejati saling bertemu, yang palsu maupun yang sejati, hanyalah khayalan pikiran saja, Paman. Karena pikiran mengingat akan pelajaran yang pernah dipelajarinya, pernah mendengar tentang Aku Sejati, mencarinya, maka timbullah bayangan Aku Sejati yang bukan lain juga khayalan pikiran sendiri belaka!"
Suma Han mengangguk-angguk. "Hemm.... hemm.... biarpun uraianmu itu tidak berdasarkan filsafat-filsafat kuno, akan tetapi masuk diakal pula!" Suma Han termenung, wajahnya makin lama makin terang, dan beberapa kali dia mengangguk-angguk dan menggumam. "Engkau hebat, A1an.... engkau membuka kesadaranku.... engkau membuka mata batinku...."
Milana tidak mengerti dan terheran-heran. Akan tetapi dia kagum sekali melihat betapa wajah Pendekar Super Sakti itu kini berubah, berseri dan bersinar seolah-olah kemuraman yang tadinya selalu merupakan awan menutupi wajah tampan itu kini terusir bersih.
"Terima kasih, Alan....!" Tiba-tiba Suma Han merangkul pundak dara itu dan memeluknya, mencium dahinya. Milana terkejut, mengira bahwa Suma Han hendak berbuat tidak sopan, akan tetapi ketika ayahnya itu mencium dahinya, Milana terisak dan memejamkan matanya. Ingin dia balas memeluk dan menjeritkan sebutan ayah, akan tetapi perasaan ini ditahannya.
Suma Han memegang pundak gadis itu dan mendorongnya, memandang wajah cantik itu dan Milana melihat betapa wajah ayahnya kini benar-benar cemerlang dan penuh kebahagiaan.
"Ahhh, siapa sangka! Di te mpat ini aku baru mendapatkan penerangan batin!"
"Apa.... apa maksudmu, Paman?"
"Aku tidak hanya menemukan jawaban dari teka-teki Maharya saja, melainkan jawaban dari segala macam pertanyaan di dunia ini! Aihhh, semuanya karena engkau yang mulai menyalakan api penerangan itu, Alan. Biarpun tidak kau sengaja, karena engkau polos, wajar, karena engkau tidak tahu apa-apa itulah yang menyalakan api penerangan! Tahukah engkau? Siapa yang sengsara, yang tidak bahagia, maka dia merindukan kebahagiaan, dia mengejar kebahagiaan. Setelah dia merasa mendapatkan kebahagiaan, maka kebahagiaan yang didapatkannya itu hanyalah kebahagiaan palsu hasil khayalan pikirannya belaka, tidak akan kekal. Orang bahagia tidak akan merasakan kebahagiaannya sudah menjadi satu. Kalau terpisah, berarti tidak bahagia, dan kebahagiaan hanya menjadi renungan saja! Ha-ha-ha! Dan semua pelajaran itu.... ha-ha-ha, semua itu sungguh menggelikan. Hanya permainan khayal, lelucon hidup!"
Milana memandang wajah ayahnya, mula-mula khawatir karena baru sekarang dia melihat dan mendengar ayahnya itu tertawa bergelak. Akan tetapi setelah melihat jelas bahwa suara ketawa itu sewajarnya, dia ikut merasa gembira walaupun bingung juga karena tidak mengerti. "Bagaimana, Paman? Apa hubungannya dengan teka-teki Maharya?"
"Sudah terjawab semua, Alan! Kebenaran bukanlah kebenaran kalau dinyatakan oleh mulut dan pikiran! Kebahagiaan bukanlah kebahagiaan kalau dinyatakan oleh pikiran. Aku Sejati pun bukan Aku Sejati kalau dinyatakan oleh pikiran. Semua adalah khayalan pikiran karena pelajaran-pelajaran yang pernah didengar atau dilihatnya meniru-niru dan mengulang-ulang barang lama pusaka usang!"
"Wah, sekarang akulah yang menjadi bingung, Paman!" Milana berseru sambil memijit-mijit pelipis kepalanya karena dia menjadi pening mengikuti semua kata-kata ayahnya.
"Aku sendiri pun tidak mudah membebaskan semua yang menempel di dalam benakku, Alan. Pikiran merupakan kertas putih bersih dan kalau sudah terlalu penuh dengan coretan-coretan beraneka warna, tidaklah mudah untuk membersihkannya, walaupun bukan tidak mungkin. Dan selama kertas itu tidak kembali putih bersih dan kosong seperti semula, maka selalu akan menjadi kabur oleh bekas-bekas goresan, bahkan akan diselundupi goresan-goresan baru. Aihhh, kini aku mengerti mengapa kaum budiman di
jaman dahulu, memuji dan mengagumi kehidupan anak-anak yang bagaikan kertas putih belum ternoda oleh goresan-goresan kotor!"
Tiba-tiba dari bawah terdengar suara Bu-tek Siauw-jin. "Heiii! Pendekar Super Sakti, Suma-taihiap! Lapat-lapat aku mendengar engkau bilang sudah mendapatkan jawaban. Betulkah itu? Kalau betul, harap segera memberitahukan kepadaku, jangan menjual mahal!"
Suma Han tersenyum, lalu menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, temuilah Maharya dan jawablah bahwa Aku Sejati yang dia tanyakan itu adalah khayalan pikiran alias palsu!"
Hening sampai lama sekali di bawah karena mendengar jawaban itu, Bu-tek Siauw-jin menjadi bingung dan terheran-heran, memeras otaknya memikirkan jawaban yang dianggapnya aneh itu. Kurang lebih seperempat jam kemudian, barulah terdengar suaranya.
"Suma-taihiap, apakah engkau sengaja memperolok-olokkan aku seorang tua? Jawaban itu bukanlah jawaban!"
"Mengapa bukan jawaban? Itulah jawabannya yang paling tepat. Kalau engkau menjawab dengan dasar filsafat sesuatu agama, tentu akan dibantahnya dengan dasar filsafat lain. Akan tetapi jawaban ini berdasarkan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Siapa yang dapat membantah kenyataan? Dengarlah baik-baik, Bu-tek Siauw-jin. Dia bertanya apakah yang dinamakan Aku Sejati, bukan? Nah, jawabannya yang dinamakan Aku Sejati adalah bukan Aku Sejati, melainkan khayalan pikiran alias palsu!"
"Kenapa begitu?"
"Karena, yang dapat dinamakan itu hanyalah Aku Sejati atas dasar pelajaran yang pernah didengar dari seorang guru atau dari kitab, sehingga menciptakan Aku Sejati khayalan pikiran. Jadi jelas bahwa yang dinamakan Aku Sejati adalah bayangan khayalan pikiran, palsu."
"Hemm, seperti jawaban akal bulus, akan tetapi dapat kurasakan kebenarannya. Bagaimana kalau dia tanya, ada atau tidakkah Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, harap jangan bodoh. Yang ditanyakan adalah apa yang dinamakan Aku Sejati, bukan mempersoajkan ada atau tidaknya. Ada atau tidak bukanlah persoalan manusia, bukan persoalan hidup."
"Kau benar aku salah. Aku takkan mau menjawab kalau dia tanyakan itu, dan akan kutempiling kepalanya kalau dia mengajukan lain pertanyaan karena yang dijanjikan hanya satu ini. Akan tetapi, Suma-taihiap, di antara kita sendiri, apakah kau percaya akan adanya Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, percaya atau tidak percaya hanyalah merupakan kebodohan. Kalau kita ingin mengerti, kita harus melakukan penyelidikan dengan penuh perhatian dan kesungguhan. Setelah kita mengerti, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak. Setelah kita melihat bahwa matahari terbit dari timur, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak, bukan? Setelah kita merasakan sendiri bahwa jantung kita berdenyut, tidak ada persoalan lagi apakah kita percaya atau tidak akan hal itu. Percaya atau tidak hanya timbul kalau kita belum mengerti, dan tidak ada gunanya sama sekali. Selama kita didorong keinginan mengerti apakah ada Aku Sejati, selama kita didorong keinginan mencarinya, kita tidak akan pernah mengerti tentang Aku Sejati, atau Kebahagiaan, atau Cinta Kasih, atau sebutan suci lain lagi. Mari kita sama-sama menyelidikinya, Bu-tek Siauw-jin, dengan mengenal diri sendiri, mengenal nafsu-nafsu kita, mengawasi kesemuanya itu dan menyadari apa yang kita hadapi saat ini. Bebas dan bersihnya pikiran dari masa lampau dan semua goresannya melenyapkan sang aku yang selalu menjadi pusat segala pemikiran, dan pergerakan manusia sehingga timbullah pertentangan-pertentangan karena perpisahan dan pemecahan-pemecahan antara aku dan engkau dan dia dan mereka!"
"Wah-wah-wah! Aku jadi ingin sekali melihat wajahmu, Suma-taihiap! Belum pernah selama hidupku aku mendengar orang berbicara seperti itu."
"Aku pun baru saja menemukan diriku sendiri. Akan tetapi cukuplah semua itu, sekarang mari kita menjumpai Koksu dan para pembantunya."
"Kita?"
"Benar, karena aku akan turun ke bawah, akan kujebolkan lantai ini. Hati-hati di bawah sana, Siauw-jin dan Kwi Hong, jangan tertimpa pecahan lantai!"
Terdengar suara ledakan keras ketika Suma Han dengan seluruh tenaganya menerjang lantai dan lantai batu itu ambrol! Suma Han memegang lengan Milana, dan membawa dara itu meloncat turun ke dalam kamar tahanan Kwi Hong dan Bu-tek Siauw-jin.
Ketika Kwi Hong melihat Milana, dia terkejut sekali dan baru sekarang dia mengenal gadis itu setelah gadis itu muncul, bersama pamannya. "Kau.... kau.... Milana....!" teriaknya.
Milana juga terkejut. Setelah Kwi Hong mengenalnya, mana mungkin dia bisa mungkir lagi? "Kwi Hong....!" katanya dan ia terisak.
"Milana....? Engkau.... engkau.... Alan.... engkau Milana....?" Suma Han merasa seperti disambar petir ketika ia membalikkan tubuh dan memandang wajah Milana. "Aihh, betapa bodohku! Dan ibumu.... Nirahai.... dia.... dia...."
Milana masih menangis, dia mengangguk dan terdengar isaknya. "Be.... benar Ayah....!"
Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, tangannya menangkap lengan Milana dan tiba-tiba dia mencelat ke arah pintu. Terdengar suara ledakan keras lagi, pintu kamar tahanan Bu-tek Siauw-jin pecah berantakan dan tubuh Pendekar Super Sakti itu lenyap bersama Milana. "Paman....!" Kwi Hong berseru, akan tetapi sia-sia saja karena pamannya sudah tidak berada di situ lagi. Terdengar teriakan-teriakan di luar dan disusul suara berdebukan robohnya para pengawal yang menjaga ketika mereka itu
secara berani mati mencoba untuk menghadapi larinya Pendekar Super Sakti.
Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. "Waaah, aku kecelik! Paman atau gurumu itu sehebat itu, dan engkau masih berguru kepadaku. Benar-benar aku merasa malu sekali!" Dia terus menggeleng-geleng kepala dan mulutnya berkecap-kecap kagum, "tsk-tsk-tsk!" tiada hentinya.
"Akan tetapi ilmu yang kauajarkan kepadaku juga hebat, Suhu," bantah Kwi Hong.
"Sudahlah, mari kita keluar." Kakek itu lalu monyongkan mulutnya, berteriak nyaring sekali, "Haiii! Maharya pendeta palsu! Hayo ke sini dan terima jawabankuuuu....!" Bersama Kwi Hong, kakek itu melangkah keluar melalui daun pintu baja yang sudah ambrol, berjalan seenaknya dan tertawa ha-ha heh-heh seperti orang keluar dari kamar tidurnya sendiri saja.
"Ayah.... harap jangan marah, Ayah.... ampunkan aku, Ayah.... dan jangan marah kepada Ibu.... hu-hu-huuuk...." Milana yang dibawa lari ayahnya yang mengamuk keluar, merobohkan siapa saja yang menghalanginya sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota raja, menangis di sepanjang jalan.
Suma Han berhenti, mukanya merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi ketika dia menoleh dan memandang anaknya, dia terisak dan memeluk Milana, mendekap kepala puterinya itu di dadanya dan mengelus-elus rambut yang halus itu.
"Milana.... ah, anakku.... aku seperti buta tidak mengenalmu....! Milana, betapa kejam hati ibumu, mengapa merendahkan diri seperti itu, menjadi Ketua Thian-liong-pang, melakukan hal-hal keji dan menggegerkan dunia kang-ouw? Mengapa dia begitu kejam menyeret engkau, anakku, ke dalam kejahatan seperti itu? Di mana dia? Di mana Nirahai? Aku harus bertemu dengannya dan menegurnya!"
"Ayah, jangan memarahi Ibu...."
"Aku akan mengajaknya bicara dan engkau sebagai anak boleh mendengarkan dan mempertimbangkan siapa yang keliru dan siapa yang benar dalam hal ini."
"Ayah, aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, Ibu atau engkau! Baiklah, kalau Ayah ingin bertemu dengan Ibu. Rahasianya telah terbuka, bukan karena salahku. Mari, Ibu berada di cabang kami dekat kota raja kalau aku tidak salah duga!" Setelah berkata demikian, Milana lalu berlari cepat diikuti ayahnya menuju ke markas Thian-liong-pang dekat kota raja yang baru saja didirikan setelah Thian-liong-pang membantu pemerintah.
Para anggauta Thian-liong-pang terkejut setengah mati ketika mereka melihat Pendekar Super Sakti datang mengunjungi perkumpulan mereka. Mereka yang belum pernah melihat pendekar ini, memandang dengan mata terbelalak ketika teman-temannya yang pernah bertemu dengan Suma Han memberi tahu dengan bisik-bisik bahwa itulah Pendekar Siluman To-cu Pulau Es yang amat terkenal itu. Andaikata Suma Han datang seorang diri, biarpun jerih, agaknya mereka masih akan menghadangnya, sedikitnya untuk bertanya dan menahannya di luar sebelum mereka melapor kepada ketua mereka. Akan tetapi karena kedatangan pendekar ini bersama Milana, tidak ada seorang pun anggauta Thian-liong-pang yang berani mencegah mereka berdua memasuki gedung. Bahkan ketika mereka tiba di ruangan dalam, dua orang tokoh Thian-liong-pang, Sai-cu Lo-mo Toan Kok, dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, menyambut mereka dengan muka pucat melongo.
"Siocia, apa artinya ini....?" Sai-cu Lo-mo berseru kaget sambil mencelat bangun dari kursinya ketika melihat Suma Han.
"Nona, tahan dulu....!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang juga berseru dengan ragu-ragu dan bingung karena tentu saja dia tidak berani lancang turun tangan terhadap To-cu Pulau Es yang sudah diketahui kelihaiannya itu. Milana membalikkan tubuh menghadapi mereka berdua. "Harap kedua kakek suka mundur dan jangan mencampuri urusan kami. Ini adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan Thian-liong-pang. Kakek Bhok, di mana Ibu?"
"Di dalam taman," jawab Sai-cu Lo-mo yang memegang tangan kawannya dan memberi isarat agar jangan bergerak ketika dua orang itu pergi meninggalkan ruangan itu. Sai-cu Lo-mo menjadi pucat wajahnya. Hanya dia seoranglah yang sudah diberi tahu oleh ketua mereka bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti, yaitu ketika dia dahulu melamar dara itu untuk cucu keponakannya, Gak Bun Beng. Dan kini, pendekar itu, suami Ketua Thian-liong-pang, telah datang dan agaknya rahasia ketua mereka telah terbuka! Dia dapat membayangkan betapa hebatnya peristiwa ini, akan tetapi karena maklum bahwa urusan itu adalah urusan keluarga, maka dia menarik tangan Chie Kang dan berkata, "Chie-sute, mari kita ke depan, jangan mencampuri urusan itu. Pangcu tentu akan membunuh kita kalau kita mencampurinya."
"Eh, apa yang terjadi, Suheng?"
"Sssstt, diamlah dan mari kita pergi ke depan saja." Suma Han yang masih panas isi dadanya itu tidak pernah bicara, hanya mengikuti Milana yang sudah lari ke belakang gedung memasuki taman yang luas, di pinggir sebuah anak sungai yang airnya mengalir tenang. Tempat ini adalah pemberian dari Koksu sebagai hadiah kepada Thian-liong-pang dan merupakan cabang yang terbesar karena dari sinilah dipusatkan kekuatan Thian-liong-pang yang membantu pemerintah membasmi para pemberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw.
Tiba-tiba Milana berhenti dan terisak perlahan, mukanya membuat gerakan ke depan untuk menunjukkan kepada ayahnya. Suma Han sudah melihat wanita berkerudung yang duduk di bawah pohon di tepi anak sungai, kelihatan melamun di tempat sunyi itu. Seketika kemarahannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika ia melihat wanita berkerudung itu duduk bersunyi seorang diri seperti itu. Kini dia mengenal betul bentuk tubuh Nirahai di balik pakaian dan kerudung itu, biarpun mereka telah saling berpisah lama sekali.
"Nirahai....!" Suara Suma Han gemetar dan kaki tunggalnya menggigil ketika dia mencelat ke dekat wanita itu dan berdiri dalam jarak tiga meter.
Wanita berkerudung itu memang Ketua Thian-liong-pang, Nirahai. Dia mencelat berdiri sambil membalikkan tubuh, terkejut seperti disambar petir.
"Han Han....!" Sepasang mata di balik kerudung itu memandang bingung, akan tetapi dia melihat Milana menangis tak jauh dari situ, mengertilah dia bahwa rahasia telah terbuka oleh Milana. Sekali renggut saja dia telah melepas kerudungnya dan Suma Han terpesona melihat wajah isterinya itu masih cantik jelita seperti dulu, masih seperti ketika dia bertemu dengan Nirahai pada waktu Milana berusia tujuh-delapan tahun yang lalu, bahkan masih seperti waktu masih gadis dahulu, seolah-olah baru kemarin mereka saling berpisah!
"Kau.... kau mau apa datang ke sini....?" Nirahai bertanya, suaranya juga gemetar dan kedua matanya seperti sepasang mata kelinci ketakutan, pelupuk matanya bergerak-gerak, bibirnya dan cuping hidungnya bergerak seperti hendak menahan tangis.
"Nirahai!" Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya penuh kemarahan karena dia sudah marah lagi mengingat betapa isterinya telah menjadi Ketua Thian-liong-pang. "Jadi engkaukah Ketua Thian-liong-pang yang telah melakukan segala macam perbuatan keji dan rendah itu?"
Kalau tadinya Nirahai gemetar dan pucat pandang matanya sayu dan dia seperti setangkai kembang yang hampir layu dan kekeringan, haus akan siraman cinta kasih, mendengar ucapan Suma Han itu tiba-tiba wajahnya menjadi kemerahan, pandang matanya berapi dan tubuhnya berdiri tegak, dada membusung, dagu terangkat dan terdengar ia berkata dengan suara dingin tegas keras, seperti biasanya suara Ketua Thian-liong-pang.
"Benar! Memang aku telah melakukan itu semua dan tahukah engkau, Suma Han? Seperti telah kukatakan padamu dahulu, semua itu kulakukan dengan sengaja untuk menantangmu bertanding! Majulah, Suma Han Majikan Pulau Es yang sombong dan lawanlah Ketua Thian-liong-pang sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di tempat ini!" Setelah berkata demikian, Nirahai menggerakkan tangan dan kerudungnya telah menutup mukanya kembali. Dia berdiri dan bertolak pinggang, sepasang mata dari balik kerudung seolah-olah mengeluarkan sinar berapi yang ditujukan penuh kebencian ke arah muka Suma Han.
"Nirahai! Aku tidak peduli untuk apa kaulakukan itu semua, tidak peduli untuk menantang aku atau siapa juga. Akan tetapi, dengan perbuatanmu yang tidak patut itu engkau telah menyeret anak kita Milana ke dalam pecomberan! Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu mementingkan perasaan hatimu sendiri, tidak ingat sama sekali akan kepentingan anak kita!"
"Cukup!" Nirahai membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas tanah. Pohon di sebelahnya tergetar dan banyak daunnya rontok oleh getaran itu. Kemudian telunjuk kirinya menuding ke arah muka Suma Han dan dia berkata, "Tidak perlu kau menyebut-nyebut anak kita! Tengoklah tengkukmu sendiri dan bercerminlah! Engkau menyalahkan aku, akan tetapi semenjak Milana kulahirkan, pernahkah engkau datang mencarinya? Pernahkah engkau sebagai ayahnya menimang anakmu itu satu kali saja? Engkau melupakan anak kita, engkau hidup dengan angkuh dan sombong sebagai raja di Pulau Es."
"Sang Pendekar Super Sakti yang bertahta di angkasa, begitu tinggi, begitu sakti seperti dewa! Sekarang setelah Pulau Es hancur, engkau pura-pura mencari anakmu, pura-pura datang mau menyalahkan aku?"
"Nirahai! Engkau tahu dan yakin aku tidak seperti itu! Biarpun aku sekarang sudah tidak punya apa-apa, kalau engkau mau, kalau engkau sudi, bersama Milana, marilah ikut bersamaku, sebagai isteriku yang tercinta, marilah kita melanjutkan sisa hidup ini untuk mendidik anak kita...."
"Tidak sudi! Berulang kali engkau hendak membujuk rayu! Laki-laki pengecut!"
"Nirahai, engkau tetap keras kepala seperti dahulu! Engkau bahkan kembali menjadi algojo membunuh orang-orang gagah dengan dalih menindas pemberontakan. Semua ini tentu gara-gara bujukan Bhong Koksu. Baik, sekarang juga aku akan menghancurkan dia, membasmi Koksu berikut semua kaki tangannya. Selamat tinggal, Nirahai!" Dengan wajah pucat dan mata terbelalak penuh dengan sakit hati, Suma Han membalikkan tubuh dan berloncatan pergi.
"Ayaaaahhh....! Ayaaahh.... tungguuuu....!" Milana menjerit dan meloncat lalu lari mengejar, tidak mempedulikan ibunya yang kini tidak berdiri tegak lagi melainkan terhuyung ke belakang dan berpegang pada batang pohon sambil menangis!
Mendengar jerit anaknya, Suma Han menghentikan loncatannya akan tetapi ia tetap berdiri tegak, tidak menoleh.
"Ayahh....!" Milana menubruk kaki ayahnya yang tinggal satu itu, menangis tersedu-sedu. "Ayah, mengapa Ayah begini kejam? Ibu sudah banyak menderita karena Ayah. Dan lupakah Ayah akan kesadaran Ayah tadi di dalam tahanan? Mengapa Ayah menurutkan nafsu hati yang terdorong oleh ingatan? Apakah Ayah kembali hendak memasuki alam penghidupan seperti boneka, dipermainkan oleh angan-angan dan pikiran sendiri yang palsu? Ayahhh....!"
Lemas seluruh tubuh Suma Han mendengar ini. Dia menghela napas panjang dan berkata lirih, "Anakku.... engkau jauh lebih bersih daripada aku atau ibumu, aku.... aku hanya manusia lemah.... manusia canggung yang tak tahu lagi apa yang akan kulakukan.... aku tidak hanya cacad lahiriah, akan tetapi juga cacad batiniah, lemah dan canggung. Mungkin ibumu lebih benar, biarkan aku pergi dulu, Milana...."
"Ayaaahhh....!" Milana menjerit, akan tetapi Suma Han sudah melesat jauh dan lenyap dari situ.
"Ibuuu....!" Milana yang menoleh ke arah ibunya, terkejut melihat ibunya terhuyung-huyung dan hampir roboh terguling. Cepat ia lari menghampiri, memeluknya dan kedua orang ibu dan anak ini bertangis-tangisan.
"Ibu, mengapa kita menjadi begini?" Nirahai memeluk puterinya, menahan isaknya. "Entahlah, anakku.... entahlah.... aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi begini kalau bertemu dengan ayahmu...."
"Ibu mencinta Ayah, aku yakin akan hal ini."
"Tidak ada manusia lain yang kucinta melainkan engkau dan ayahmu. Akan tetapi dia sudah menyakiti hatiku, dan satu-satunya jalan untuk memperbaiki hatiku yang rusak hanya...."
"Hanya bagaimana, Ibu?"
"Biar dia tahu sendiri. Engkau tentu akan membuka rahasia hatiku, seperti telah kau buka rahasia kerudungku kepadanya."
"Ah, tidak sama sekali, Ibu. Karena pertemuan kami dengan Kwi Hong di dalam kamar tahanan di gedung Koksulah yang membuat rahasia itu terbuka!"
"Di kamar tahanan gedung Koksu?" Nirahai menghentikan isaknya, memandang puterinya dengan heran. Milana lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh ayah kandungnya sendiri, menceritakan betapa baik ayah kandungnya itu, betapa hampir saja dia terculik Wan Keng In kalau tidak ada ayahnya yang menolong, kemudian tentang pengintaiannya ke gedung Koksu.
"Ibu, mereka itu hendak membunuhmu! Persekutuan dengan Thian-liong-pang yang diadakan oleh Koksu itu sebetulya hanya hendak mencelakakan Ibu, karena Koksu dan kaki tangannya mempunyai rencana pemberontakan dan khawatir kalau-kalau Ibu membela kerajaan."
"Apa....?" Keharuan dan kedukaan hati Nirahai lenyap tertutup oleh keheranan dan kemarahannya mendengar ini. Milana menceritakan sejelasnya akan semua percakapan yang ia curi di dalam ruangan istana Bhong Ji Kun. Kemarahan Nirahai memuncak. "Si keparat Bhong Ji Kun! Manusia seperti itu harus dibunuh, dia berbahaya bagi kerajaan!" Nirahai meloncat bangun, semua kelemahan akibat keharuan dan kedukaan sudah lenyap dan semangatnya bernyala-nyala kembali sebagai Ketua Thian-liong-pang yang tegas!
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan muncullah Tang Wi Siang bersama anak buahnya dengan langkah terhuyung-huyung, kemudian mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nirahai. Juga Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang ikut memasuki taman, dan dengan kepala tunduk Sai-cu Lo-mo berkata, "Maaf, Pangcu. Saya sudah melarang mereka masuk, akan tetapi karena mereka terluka parah dan perlu segera menghadap Pangcu...."
Nirahai mengangkat tangan ke atas. "Tidak mengapa, Lo-mo. Eh, Wi Siang, apa yang telah terjadi?"
Dengan suara tersendat-sendat Tang Wi Siang yang biasanya gagah itu menceritakan tentang perbuatan Wan Keng In yang melukai mereka semua di dalam hutan. "Kami tidak mampu melawannya, Pangcu. Dia lihai bukan main, iblis cilik Pulau Neraka itu. Dia sengaja memberi pukulan beracun pada punggung kami dan menyuruh kami menghadap Pangcu. Dia.... dia.... mengajukan pinangan kepada Nona Milana.... kalau dalam waktu sebulan Pangcu tidak mengumumkan perjodohan antara Nona Milana dan Wan Keng In, dia datang membasmi Thian-liong-pang....!"
"Bresss! Krraaaakkk!" Pohon di samping Ketua Thian-liong-pang itu tumbang oleh pukulan Nirahai yang menjadi marah bukan main.
"Bangsat cilik! Dia menggunakan nama Pulau Neraka untuk menghina Thian-liong-pang? Bangsat itu harus mampus di tanganku!"
"Harap Pangcu suka menaruh kasihan kepada Tang Toanio dan para anak buah yang terluka parah," tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata.
Nirahai menghampiri seorang anggauta Thian-liong-pang yang berlutut di depannya, merobek bajunya dan dia terkejut melihat tapak tiga jari tangan merah di punggung orang itu. "Apakah semua terluka seperti ini?" tanyanya kepada Wi Siang.
Tang Wi Siang mengangguk. "Dia bilang bahwa dalam satu bulan kami akan mati, kecuali kalau Pangcu menerima pinangannya, dia akan datang menyembuhkan kami, demikianlah pesannya."
"Hemm, si keparat!" Nirahai memaki dan dia lalu memeriksa luka yang kelihatannya tidak hebat itu, hanya merupakan "cap" merah dari tiga buah jari tangan. Ia mencoba dengan menyalurkan sin-kang, telapak tangannya ditempelkan di punggung untuk mengusir luka pukulan beracun itu. Namun hasilnya sia-sia.
"Hemm, pukulan beracun ini amat aneh dan aku tidak mengenal racun apa yang terkandung dalam hawa pukulan. Lo-mo, ambilkan pisau perak di kamarku."
Sai-cu Lo-mo cepat pergi dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sebatang pisau tajam meruncing terbuat daripada perak. Nirahai menggerakkan ujung pisaunya menggurat tanda tapak jari tangan di punggung orang itu yang menggigit bibir menahan rasa nyeri agar tidak menjerit.
"Aihh....!" Nirahai berseru kaget. Pisaunya menjadi hitam seperti dibakar dan tanda guratan pisau itu memanjang ke bawah dan menjadi merah pula seperti tanda tapak jari itu. Tiba-tiba orang itu meronta, dan roboh bergulingan, berkelojotan dan merintih perlahan, kemudian tak bergerak sama sekali, dan ketika Nirahai memeriksanya, ternyata dia telah mati!
Tentu saja semua orang menjadi kaget sekali, terutama Tang Wi Siang dan teman-temannya yang terluka. Wi Siang yang berlutut itu maju mendekati ketuanya dan berkata, "Pangcu, harap Pangcu bunuh saja saya dengan sekali pukul. Pukulan beracun ini agaknya hanya dapat diobati oleh iblis cilik itu, dan saya lebih baik mati daripada Nona Milana diperisteri olehnya. Daripada menanggung derita sebulan lamanya, biarlah sekarang saja Pangcu membunuh saya."
Nirahai mengerutkan alisnya. "Jangan putus harapan, Wi Siang. Aku akan mencarikan obatnya. Waktu sebulan masih lama...."
"Percuma saja, Pangcu. Memang benar hanya dia atau akulah yang akan dapat menyembuhkan luka beracun itu!" Nirahai dan semua orang cepat menengok. Mereka sama sekali tidak mendengar ada orang datang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik sekali biarpun usianya sudah tidak muda lagi, kurang lebih empat puluh tahun. Akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan pada wanita ini yaitu mukanya. Mukanya itu berwarna putih seperti kapur! Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, akan tetapi begitu melihat wanita ini, timbul rasa kasihan di dalam hati Milana! Gadis ini, dan semua anggauta Thian-liong-pang sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, wajah di dalam kerudung Ketua Thian-liong-pang menjadi pucat sekali ketika dia mengenal wanita bermuka putih itu. Tentu saja Nirahai mengenalnya karena wanita itu bukan lain adalah sumoinya sendiri ketika mereka berdua dahulu menjadi murid Nenek Maya. Wanita bermuka putih dan amat cantik itu bukan lain adalah Lulu!
"Bibi yang baik, benarkah Bibi akan dapat menyembuhkan mereka ini?" Milana bertanya dan mengagumi wajah yang cantik itu. Sayang mukanya berwarna putih seperti kapur karena sesungguhnya wanita itu cantik sekali, terutama sekali matanya yang seperti bintang dan yang membuat dia merasa suka adalah karena wajah wanita ini mirip-mirip dengan wajah ibunya yang tersembunyi di balik kerudung.
Wanita ini mengangguk, mukanya tetap dingin sungguhpun sepasang mata yang indah itu memandang Milana dengan pernyataan rasa tertarik dan suka. "Tentu saja aku dapat menyembuhkan mereka dengan mudah."
Nirahai menjadi curiga. Apakah hubungan Lulu dengan Pulau Neraka? Dan kemana saja selama ini perginya?" Dia lalu melangkah maju, merubah suaranya menjadi suara Ketua Thian-liong-pang yang dingin dan berwibawa, "Siapakah engkau? Dan bagaimana engkau begitu yakin akan dapat menyembuhkan luka mereka ini?"
Lulu menatap muka berkerudung itu, bertemu pandang dan ia kagum melihat sepasang mata yang begitu bersinar-sinar penuh semangat dan wibawa. Orang ini memang patut menjadi Ketua Thian-liong-pang yang terkenal pikirnya. "Aku merasa yakin, Pangcu. Tidak ada orang lain yang akan dapat menyembuhkan mereka ini, biarpun engkau akan mendatangkan ahli-ahli pengobatan dari manapun juga, karena obat penawar racun ini hanya terdapat di Pulau Neraka."
"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau bisa mendapatkan obat penawarnya?" Lulu hanya menggerakkan bibir sedikit sebagai pengganti senyum. Melihat ini, Nirahai bergidik. Dahulu Lulu adalah seorang wanita yang periang, jenaka dan ramah, mengapa sekarang menjadi segunduk es beku, dingin dan mengerikan?
"Pangcu, Wan Keng In yang melukai anak buahmu ini adalah puteraku, tentu saja aku bisa menyembuhkan mereka!"
Terdengar seruan-seruan kaget dan marah. Tang Wi Siang sudah melompat bangun dan memandang dengan mata terbelalak. "Engkau.... Ketua Pulau Neraka....?" Lulu mengangguk dan berkata muak, "Bekas.... ketua boneka...."
"Iblis betina!" Para anggauta Thian-liong-pang yang terluka itu kini serentak meloncat bangun dan menyerang Lulu, dipelopori oleh Tang Wi Siang, bahkan diikuti pula oleh beberapa orang anak buah Thian-liong-pang lain yang sudah berada di situ. Tidak kurang dari dua puluh orang menyerbu Lulu, ada yang memukul, ada yang mencengkeram, ada yang menendang.
Terdengar suara bak-bik-buk dan disusul teriakan-teriakan hiruk-pikuk ketika tubuh dua puluh orang itu terlempar ke sana-sini dan terbanting keras. Setelah semua penyerang roboh terjengkang, kini tampaklah Lulu yang masih berdiri dengan tenang dan matanya yang indah itu mengerling ke sekelilingnya dengan muka digerakkan ke kanan kiri. Melihat mereka sudah mencabut senjata dan hendak bangkit lagi, Lulu mengangkat kedua lengan ke atas dan berkata, suaranya melengking nyaring dan penuh wibawa karena dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang.
"Tahan....! Thian-liong-pangcu, mengapa engkau tidak menghentikan anak buahmu yang lancang dan bodoh ini? Kalau aku datang dengan iktikad buruk, perlu apa aku bicara lagi? Tanpa turun tanganpun, dengan membiarkan mereka, anak buahmu yang terluka itu akan mati semua. Kalau aku berniat jahat, perlu apa aku menawarkan penyembuhan?"
Nirahai sebetulnya tidak setuju dengan sikap anak buahnya tadi. Akan tetapi dia terlalu heran mendengar Lulu mengaku sebagai Ketua Pulau Neraka sehingga dia melongo dan tidak sempat melarang anak buahnya menyerang Lulu yang akibatnya amat luar biasa itu, yaitu anak buahnya terjengkang semua dan roboh seperti daun kering tertiup angin. Kini dia cepat membentak, "Kalian ini benar-benar kurang ajar. Hayo mundur semua dan jangan turun tangan kalau tidak ada perintah!" Kemudian Nirahai menghadapi Lulu dan berkata, suaranya masih dingin, "Jadi engkau adalah Majikan Pulau Neraka yang tersohor itu? Hemm, sungguh aneh. Akan tetapi, bicara tidak ada gunanya sebelum ada bukti iktikad baikmu. To-cu (Majikan Pulau), kau sembuhkan dulu anak buahku, barulah kita bicara."
Lulu mengangguk dan merasa kagum. "Engkau patut menjadi Ketua Thian-liong-pang. Buka baju kalian bagian punggung dan berlututlah berjajar agar mudah aku mengobati kalian!"
Mereka yang terluka oleh pukulan Wan Keng In, yaitu Tang Wi Siang dan anak buahnya, segera menyingkap baju dan memperlihatkan punggung yang ada tandanya tapak tiga buah jari tangan merah, kemudian berlutut dan berjajar menjadi barisan punggung telanjang yang lucu juga. Kalau keadaan tidak demikian menegangkan, tentu kejadian ini akan menimbulkan ketawa.
Lulu memandang sekelebatan saja dan maklum bahwa puteranya telah menggunakan pukulan yang mengandung racun akar merah seperti yang diduganya, ketika tadi ia melihat akibat yang menewaskan seorang anggota yang terluka pada waktu Ketua Thian-liong-pang menorehnya dengan pisau untuk melihat darah dan menyelidiki racunnya. Dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hijau.
Dengan jari tangan kiri dia memukul punggung itu untuk memunahkan hawa pukulan puteranya, kemudian tangan kanannya melaburkan obat bubuk dan menekankannya ke atas tanda tapak jari merah di punggung. Setelah selesai mengobati semua orang, dia berkata,
"Luka dipunggung akan terasa gatal-gatal dan mengeluarkan cairan, kemudian dalam waktu sehari akan kering seperti bekas luka yang merobek kulit. Kalian sudah sembuh, hanya sayang seorang di antara kalian tak tertolong."
Ia memandang mayat yang masih menggeletak di situ. Nirahai menghampiri Tang Wi Siang yang sudah membereskan bajunya. "Bagaimana rasanya sebelah dalam tubuhmu?"
"Sesak napas dan rasa nyeri di perut sudah lenyap, Pangcu."
Nirahai lalu menjura kepada Lulu dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan To-cu, silakan To-cu masuk ke dalam di mana kita dapat bicara."
Lulu tadi mendengar pelaporan Tang Wi Siang akan sebab perbuatan puteranya yang melamar puteri Ketua Thian-liong-pang, maka dia mengangguk karena dia pun ingin bicara akan hal itu. Tanpa bicara, kedua orang wanita aneh itu berjalan menuju ke dalam gedung, hanya diiringkan oleh Milana karena Nirahai memberi isyarat dengan gerak tangan kepada Sai-cu Lo-mo dan yang lain-lain untuk tidak mengganggu mereka.
Tiga orang wanita itu memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi meja. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Nirahai berkata, "Sungguh tidak pernah kusangka-sangka bahwa hari ini Thian-liong-pang akan menerima kunjungan To-cu Pulau Neraka seperti keadaan ini!"
Lulu menarik napas panjang. "Harap jangan menyebut To-cu kepadaku karena sekarang Pulau Neraka sudah tidak ada lagi. Aku hanyalah seorang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai anak buah...."
"Akan tetapi, anak buah Pulau Neraka masih berkeliaran di mana-mana!" Milana berkata, membantah. Kembali Lulu menarik napas panjang. "Itulah yang menyusahkan hatiku. Puteraku itulah.... ahhh, Pangcu. Justeru karena puteraku itulah maka aku sekarang berhadapan denganmu, dan marilah kita bicara sebagai dua orang ibu membicarakan masa depan kedua orang anaknya!"
Diam-diam Nirahai merasa terharu sekali. Wanita ini adalah Lulu! Lulu yang dahulu amat riang gembira dan jenaka itu. Dan kini putera Lulu ingin berjodoh dengan puterinya! Kalau saja keadaan ternyata lain, tidak seperti sekarang ini. Alangkah akan bahagianya peristiwa ini! Akan tetapi, Lulu adalah Majikan Pulau Neraka, sudah berubah seperti iblis betina, dan puteranya itu, demikian kejam dan kurang ajarnya!
"Maksudmu bagaimana, To-cu?" tanya Nirahai. "Pangcu, terus terang saja, aku tidak sengaja masuk ke tempatmu untuk mengobati luka anak buahmu. Aku dalam perjalanan ke kota raja, di tengah jalan aku melihat anak buahmu yang terluka oleh pukulan Jari Tangan Merah, sebuah pukulan dari Pulau Neraka. Aku terkejut dan diam-diam aku mengikuti mereka. Setelah mereka masuk ke sini menghadapmu, aku mengintai dan mencuri masuk taman, dan barulah aku tahu akan segala hal yang hebat itu. Tahu bahwa mereka adalah anak buah Thian-liong-pang, bahkan baru aku tahu bahwa mereka itu dilukai oleh puteraku, dan terutama sekali, baru aku tahu bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu dan mengajukan pinangan kepadamu dengan cara itu!"
"Cara yang amat bagus!" Nirahai mencela. Lulu menarik napas panjang. "Agaknya tidak perlu dibicarakan lagi hal itu, Pangcu. Bukankah anak buahmu telah kusembuhkan? Hal itu berarti penebusan kesalahan puteraku. Yang penting sekarang, setelah aku mengetahui bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu, tentu dia inilah puterimu dan aku tidak heran mengapa puteraku jatuh cinta kepada dara yang cantik jelita ini, maka aku mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan lamaran secara resmi."
"Tidak! Tidak bisa aku menerima ini! Puteramu begitu kurang ajar dan kejam!" Nirahai mengepal tangannya membentuk tinju.
"Sabarlah, Pangcu. Urusan jodoh adalah urusan dua orang anak yang hendak menjalaninya, bukan urusan kedua orang ibunya yang hanya akan menjadi penonton. Yang terpenting adalah anak-anak itu sendiri. Puteraku sudah jelas mencinta puterimu, maka setelah kini puterimu hadir pula, sebaiknya kita mendengar pendapatnya akan pinangan ini. Bukankah sebaiknya begitu?"
Nirahai terkejut. Benar-benar berubah hebat sekali Lulu ini, bicaranya sudah matang dan sikapnya begitu tenang! Dia merasa kalah bicara, maka sambil menoleh kepada Milana dia bertanya, "Hemmm, coba kau yang menjawab, Milana. Bagaimana pendapatmu dengan pemuda itu? Maukah kau menerima pinangannya?"
Wajah Milana seketika berubah merah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan ia bangkit berdiri. "Aku tidak sudi! Aku.... aku benci kepadanya!" Setelah berkata demikian, Milana membalikkan tubuh dan meloncat pergi dan meninggalkan dua orang wanita itu.
Lulu memejamkan kedua matanya. Melihat wajah yang berwarna putih itu membayangkan kedukaan, dan kedua mata itu terpejam, timbul rasa iba di hati Nirahai terhadap bekas sumoinya itu.
"To-cu, kaumaafkan sikap anakku." Lulu membuka matanya, memandang heran, "Betapa anehnya! Aku mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah seorang iblis betina yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Sekarang, anakku telah melakukan penghinaan kepadamu, dan anakmu baru bersikap sewajarnya seperti itu saja engkau mintakan maaf. Pangcu, apakah engkau ini seorang dewi berkedok iblis, ataukah seorang iblis bertopeng dewi? Aku memuji dan kagum kepada puterimu. Memang seharusnya begitulah sikap orang menghadapi urusan cinta. Kalau cinta mengaku cinta, kalau benci mengaku benci, tidak boleh pura-pura yang akan mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan seperti yang telah kualami!"
Jantung Nirahai berdebar keras. Rahasia apakah yang tersembunyi di balik muka seperti topeng berwarna putih itu? Apakah yang dialami oleh Lulu selama berpisah dengannya? Dahulu dia mendengar dari suaminya bahwa Lulu telah menikah dengan Wan Sin Kiat dan tentu Wan Keng In adalah putera Wan Sin Kiat. Apakah kini Wan Sin Kiat juga ikut menjadi pimpinan di Pulau Neraka?
"To-cu, marilah kita melupakan sebentar bahwa aku adalah pangcu dari Thian-liong-pang dan engkau To-cu dari Pulau Neraka, dan mari kita bicara seperti dua orang wanita. Engkau tadi bilang bahwa menghadapi urusan cinta tidak boleh berpura-pura karena akan mengakibatkan kesengsaraan seperti yang kaualami. Maukah engkau menceritakan kepadaku?"
Lulu memandang sepasang mata di balik kerudung itu. "Andaikata engkau membuka kerudungmu dan aku melihat engkau sebagai seorang manusia, tentu aku lebih baik mati daripada menceritakan isi hatiku. Akan tetapi, berhadapan denganmu aku seperti berhadapan dengan bukan manusia, dan engkau malah ibu dari gadis yang dicinta puteraku! Hemm, kau dengarlah rahasia yang selama ini hanya kusimpan di dalam hatiku saja. Aku membenarkan puterimu karena perjodohan yang dipaksakan akan membawa akibat mengerikan, sebaliknya, cinta kedua pihak yang dipisahkan juga mendatangkan kesengsaraan. Bukan hanya akibat yang menimpa diri sendiri saja, akan tetapi juga menimpa kepada orang lain, kepada keturunan! Aku sendiri mengalaminya. Aku mencinta seseorang, semenjak remaja puteri aku cinta kepadanya, dan dia cinta kepadaku, akan tetapi kami berpura-pura, malu untuk mengaku, sehingga aku dipaksa menikah dengan pria lain yang kusangka dapat kucinta sebagai pengganti dia. Sampai aku mempunyai seorang putera. Akan tetapi sia-sia belaka, aku tidak bisa memindahkan cinta kasih, akhirnya aku meninggalkan suamiku dan suamiku membunuh diri secara tidak langsung dan halus.... dan aku membawa anakku ke neraka dunia! Aihhh, itulah yang paling membuat hatiku menyesal, aku telah merusak anakku sendiri sehingga dia menjadi seperti itu....! Keng In.... akulah yang membuat engkau rusak.... kalau aku tidak menuruti hati yang dirundung kerinduan, dimabuk cinta kasih, dan aku rela berkurban, hidup di samping ayahmu, agaknya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa dan terhormat....!"
Lulu menutup muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan kesedihannya yang terpancar dari kedua matanya yang mulai membasah sehingga dia tidak melihat betapa mata di balik kerudung itu memancarkan pandang mata yang aneh sekali. Dia tidak tahu betapa jantung Nirahai seperti diremas-remas mendengar penuturannya itu, biarpun dia tidak menyebut nama karena Nirahai sudah dapat
menduga siapakah pria yang dicinta oleh Lulu itu! Suma Han. Tentu saja!
Setelah melihat Lulu dapat menguasai dirinya, Nirahai bertanya dengan suara biasa, namun dengan penekanan hatinya yang berdebar tegar.
"Lalu sekarang bagaimana dengan pria yang kaucinta itu?"
"Dia.... diapun seperti aku, dia.... dia menikah dengan wanita lain!"
"Hemm, dan dia masih mencintaimu?"
"Tentu saja, biarpun dia juga mengaku bahwa dia mencinta isterinya itu." Jantung Nirahai berdebar makin kencang. Jadi Suma Han telah bertemu dengan Lulu dan mengaku bahwa suaminya itu mencintanya?
"Dan engkau?"
"Aku? Aku sekarang.... benci kepadanya! Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua, yaitu menjadi isterinya atau menjadi musuhnya sampai seorang di antara kami mati!" Lulu menggenggam ujung meja saking gemasnya dan terdengar suara keras. Ujung meja itu hancur dan hangus!
"Kresss!" Terdengar suara keras lain dan ujung meja di depan Nirahai juga hancur menjadi tepung diremas Ketua Thian-liong-pang ini.
Dua orang itu saling pandang. Nirahai bangkit berdiri. "To-cu, sekali lagi terima kasih atas pengobatanmu terhadap anak buahku. Dan sudah jelas bahwa pinangan anakmu itu kami tolak. Kalau engkau hendak menggunakan kekerasan seperti yang dikatakan anakmu, marilah aku siap melayanimu."
"Pangcu, biarpun aku pernah menjadi ketua boneka dari Pulau Neraka, namun dalam urusan cinta kasih, aku tidak mau bersikap keras. Bahkan aku akan menentang tindakan anakku kalau dia berkeras."
"Sesukamulah. Akan tetapi katakan kepadanya, kalau dalam sebulan dia tidak datang memenuhi ancamannya hendak membasmi Thian-liong-pang, aku sendiri yang akan mencari dia untuk memberi hajaran!"
"Hemm, kalau sampai terjadi demikian, sebagai ibu kandungnya sudah pasti aku akan membelanya!"
"Hemmm, kita sama lihat saja nanti!"
"Pangcu, kuharap saja tidak akan terjadi demikian karena engkau tentu akan mati di tanganku!"
"Itupun sama kita buktikan saja nanti!"
"Selamat tinggal!"
"Selamat berpisah!"
Tubuh Lulu berkelebat dan lenyap dari situ, menerobos jendela ruangan itu dan berloncatan dengan cepat sekali meninggalkan markas Thian-liong-pang. Perpisahan yang aneh antara dua orang wanita yang aneh! Nirahai duduk termenung. Terlalu banyak peristiwa menimpanya pada hari itu. Pertemuan dengan suaminya. Disusul munculnya Lulu dengan ceritanya yang hebat! Berita yang dibawa Milana tentang niat jahat koksu, untuk membunuhnya! Terlalu banyak peristiwa hebat yang menghimpit perasaannya, membuat wanita berkerudung yang ditakuti lawan atau kawan ini termenung sambil menunjang dagu dengan tangannya.
******
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Gak Bun Beng! Yang terakhir kita melihat dia, pemuda yang berwatak lembut itu, mengubur semua mayat yang jatuh sebagai korban pertandingan besar di daerah tandus di puncak Ciung-lai-san di Se-cuan, di mana diadakan pertemuan oleh Thian-liong-pang. Setelah selesai mengubur semua jenazah yang terlantar itu, Bun Beng menunggang kudanya kembali dan menjalankan kudanya perlahan menuju ke timur. Dia telah berhasil merampas kembali Hok-mo-kiam, bahkan berhasil membunuh dua orang di antara musuh-musuhnya, yaitu Tan-siucai dan terutama sekali Thai Li Lama. Tadinya dia tidak bermaksud membunuh Tan-siucai seperti yang dilakukan terhadap Thai Li Lama karena dia tidak mempunyai dendam pribadi dengan Tan Ki. Adapun Thai Li Lama merupakan musuhnya karena Lama ini termasuk mereka yang sudah membunuh gurunya, yaitu Kakek Siauw Lam Hwesio.
Akan tetapi musuh-musuhnya masih amat banyak dan mereka itu malah jauh lebih lihai daripada Thai Li Lama. Thian Tok Lama adalah suheng Thai Li Lama yang tentu lebih lihai lagi, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat. Belum lagi Kakek Maharya yang sakti. Bergidik Bun Beng kalau teringat akan kakek ini, yang pernah ia saksikan ketika kakek itu mengadu ilmu sihir dengan Pendekar Super Sakti. Baru bertemu dan melawan Thai Li Lama saja karena kurang hati-hati, dia terluka. Dia harus giat melatih diri. Mematangkan ilmu-ilmunya, terutama yang dia latih di dalam guha rahasia di bawah markas Thian-liong-pang di lembah Huang-ho itu, sebelum dia menghadapi musuh-musuhnya yang sakti. Juga dia harus mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan Hok-mo-kiam, karena pendekar itulah yang berhak atas pedang buatan Kakek Nayakavhira ini. Di samping itu, dia harus mencari pemuda Pulau Neraka yang telah merampas Lam-mo-kiam!
Bun Beng melakukan perjalanan perlahan. Dia tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan dia terus melatih ilmunya. Ketika ia menggunakan Hok-mo-kiam untuk melatih ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut yang amat dahsyat itu, dia menjadi girang karena mendapat kenyataan betapa pedang itu cocok ukurannya dan tepat pula beratnya sehingga pedang dan tangannya seolah-olah telah melekat dan bersambung menjadi satu! Barulah hatinya puas setelah dia berhasil memainkan seluruh jurus Lo-thian Kiam-sut tanpa berhenti. Padahal ilmu pedang ciptaan manusia sakti Koai Lojin itu bukanlah sembarangan ilmu sehingga Ketua Thian-liong-pang sendiri pun tidak mampu memainkan seluruhnya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa pekan dan terpaksa meninggalkan kudanya dan melepas binatang yang sudah payah itu dalam sebuah hutan, tibalah Bun Beng di kaki pegunungan Lu-liang-san, di tepi Sungai Kuning dan di perbatasan Mongolia selatan. Kota raja sudah tidak jauh lagi dan selagi dia berjalan seenaknya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari belakang. Bun Beng cepat minggir dan menutupi mulut dan hidungnya dengan lengan baju karena tanah yang kering itu menghamburkan debu tebal ketika barisan kuda itu berlari datang.
Pasukan atau rombongan berkuda itu terdiri dari tiga puluh orang lebih. Bun Beng merasa heran karena rombongan ini terdiri dari bermacam-macam bangsa yang dapat dilihat dari bentuk pakaian mereka. Ada orang Mongol, ada pula orang Tibet dan banyak di antara mereka adalah orang-orang Han. Akan tetapi melihat cara mereka menunggang kuda dan duduk dengan tegak, melihat senjata-senjata pedang yang tergantung di punggung, melihat gerak mereka, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa rombongan itu terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Setelah rombongan berkuda itu lewat dan debu yang mengebul sudah habis tertiup angin, Bun Beng baru menurunkan lengan baju dari depan mukanya, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke barat, ke mana rombongan tadi membalapkan kuda. Di dalam hati timbul kecurigaan dan keheranan. Dia merasa aneh dan tertarik sekali. Orang-orang Mongol, Tibet, dan orang-orang Han menjadi satu dalam sebuah rombongan? Aneh sekali! Mengapa tidak tampak orang Mancu yang pada waktu itu menjadi bangsa yang paling "tinggi" karena bangsa inilah yang berkuasa? Ada terjadi apakah?
Karena hatinya tertarik. Bun Beng mempercepat langkahnya, bahkan mempergunakan ilmu lari cepat untuk mengejar. Setelah malam tiba, dia berhenti di sebuah dusun dan mendapat keterangan bahwa baru saja rombongan itu lewat dan mereka tidak berhenti di dusun itu. Bun Beng membeli makanan, kemudian malam itu juga melanjutkan perjalanan karena merasa makin heran dan curiga. Hari sudah malam, dan dari dusun itu ke timur merupakan hutan lebat, mengapa mereka itu tidak berhenti di dalam dusun?
Ketika dia melakukan pengejaran, dia melihat bahwa mereka itu berhenti di luar dusun dan beristirahat di tempat sunyi itu, membuat api unggun dan makan dari perbekalan mereka. Kiranya mereka itu hendak menjauhkan diri dari tempat ramai, maka mereka memilih tempat sunyi itu untuk melewatkan malam daripada di sebuah dusun.
Bun Beng terus membayangi rombongan ini dan dari percakapan-percakapan mereka, dia mendengar bahwa mereka itu menuju ke daerah Cip-hong yang berada di perbatasan Mongolia, di sebuah utara kota raja. Ketika ia mendengar disebutnya Koksu dan Pangeran Jeng Han dari Mongol dan Pangeran Yauw Ki Ong dari istana, dia makin tertarik, apalagi ketika mendengar percakapan mereka itu membayangkan sebuah persekutuan antara Tibet, Mongol, pejuang-pejuang Han, dan dari dalam istana sendiri! Tentu merupakan persekutuan gelap, pikirnya. Ketika rombongan itu tiba dipersimpangan jalan, Bun Beng merasa ragu-ragu. Kalau ke selatan, dia akan sampai di kota raja, tempat yang ditujunya semula. Akan tetapi, rombongan itu besuk pagi tentu akan membelok ke kiri, ke utara. Untuk apa dia mengikuti mereka ini? Urusan persekutuan itu tidak menarik hatinya karena dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan itu. Akan tetapi, malam itu, ketika ia mengambil keputusan untuk melakukan pengintaian yang terakhir kalinya, dia mendengar percakapan yang benar-benar mengejutkan dan menarik perhatiannya.
Dari percakapan mereka, dia mendengar bahwa persekutuan itu, yang dikepalai oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu Bhong Ji Kun, merencanakan untuk membunuh kaisar dan untuk merampas kekuasaan pemerintahan! Dan rombongan itu merupakan bala bantuan untuk memperkuat pasukan orang gagah yang dipusatkan di dekat Cip-hong, di daerah yang terkenal sebagai tempat "api abadi", yaitu daerah setengah tandus di mana terdapat api yang bernyala-nyala dari tanah dan tak pernah padam selamanya. Tanah di situ sebetulnya mengandung sumber minyak yang tergali, dan minyak dari tanah itulah yang membuat api tak pernah padam.
Karena Bun Beng merasa benci kepada Koksu yang dianggapnya musuh besar, maka biarpun dia tidak berhasrat menyelamatkan Kaisar Mancu, dia ikut pula ke utara, terus membayangi rombongan itu karena dia ingin menggagalkan persekutuan yang dipimpin oleh Koksu musuh besarnya itu. Lebih-lebih ketika dia mendengar bahwa pasukan orang-orang lihai yang tergabung dan dipusatkan di Cip-hong itu merupakan pasukan khusus untuk menghadapi Thian-liong-pang! Hemm, mereka juga memusuhi Thian-liong-pang dan pasukan ini khusus dipersiapkan untuk melawan orang-orang Thian-liong-pang! Tentu saja Bun Beng menjadi makin tertarik untuk menentang pasukan itu. Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, dan ibu Milana! Tentu saja dia akan membela Thian-liong-pang, atau setidaknya membela Milana yang pernah dengan mati-matian menyelamatkannya dari bahaya maut. Selama hidupnya dia takkan dapat melupakan budi kebaikan dara ini, selama hidupnya dia tidak akan dapat melupakan dara itu bukan
hanya cantik jelitanya, bukan hanya karena dia puteri Pendekar Super Sakti yang dikaguminya, melainkan karena.... dia tidak mungkin dapat melupakan pribadi dara itu! Dia sendiri sampai menjadi bingung seperti orang mabok. Mabok asmara!
Selama membayangi rombongan itu sampai belasan hari lamanya, akhirnya rombongan berkuda itu tiba di tempat tujuan mereka. Sebuah tempat yang sunyi, merupakan bangunan-bangunan darurat di luar kota yang jauh dari masyarakat ramai, dikurung pagar yang tinggi sehingga tidak tampak dari luar.
Bun Beng menanti sampai keadaan menjadi sunyi dan ternyata di tempat itu telah tinggal puluhan orang sehingga dengan para pendatang itu jumlah mereka mendekati seratus orang yang kesemuanya kelihatan berkepandaian tinggi!
Setelah malam tiba dan cuaca mulai gelap, Bun Beng menyelinap dan mendekati pagar, siap untuk meloncat dan menyelidik ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba dia berjongkok dalam gelap ketika melihat berkelebatnya bayangan meloncati pagar. Gerakan orang itu cukup ringan dan lincah dan sekelebatan Bun Beng melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki bertubuh kurus jangkung, berusia empat puluhan tahun dan tangan kanannya memegang sebatang golok besar.
Bun Beng tidak tahu siapa orang itu akan tetapi dapat menduga bahwa dia itu tentulah bukan anggota rombongan yang tinggal di situ, karena gerakan dan sikapnya seperti seorang pencuri. Diam-diam Bun Beng meloncat ke atas pagar dan cepat melayang turun ke sebelah dalam, dari jauh dia membayangi orang bergolok itu. Benar saja dugaannya. Orang itu kini mendekam di atas wuwungan dan perlahan-lahan membuka genteng! Akan tetapi, karena gerakan orang itu ketika meloncat ke atas wuwungan menimbulkan sedikit suara, tiba-tiba Bun Beng melihat bayangan-bayangan orang meloncat naik ke atas genteng dengan berturut-turut. Jumlah mereka delapan orang dan Si Pencuri itu telah terkurung. Si Pencuri itu meloncat bangun dan mengamuk. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah. Biarpun gerakan golok pencuri itu cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup kuat akhirnya dia roboh, goloknya terlepas dan dia dihujani pukulan kemudian diringkus, diikat
kaki dan tangannya dan dibawa masuk ke dalam pondok. Bun Beng tidak mau tahu apa yang mereka lakukan terhadap pencuri itu. Dia lebih perlu melakukan penyelidikan keadaan tempat itu. Ternyata tempat itu cukup luas dan sedikitnya ada dua puluh buah pondok darurat yang dibangun secara sederhana akan tetapi cukup kuat. Di sudut terdapat sebuah bangunan besar dan agaknya malam itu mereka berpesta, diseling suara ketawa-ketawa laki-laki dan perempuan. Hemm, kiranya di tempat itu disediakan pula wanita-wanita untuk menghibur pasukan khusus itu, pikir Bun Beng. Dia memutari bangunan-bangunan itu dan memeriksa ke pekarangan belakang. Di tempat inilah tampak beberapa lidah api bernyala-nyala keluar dari tanah, dan tak jauh dari situ ia melihat sebuah sumur. Ketika ia menjenguk ke dalam sumur, hidungnya mencium bau keras, bau minyak! Hmm, bukan air yang berada di sumur itu agaknya, melainkan minyak! Benar-benar Bun Beng tidak mengerti dan dia cepat menjauhi sumur karena menjenguk sebentar saja, kepalanya pening dan dadanya sesak. Uap minyak itu beracun agaknya! Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari dalam. Bun Beng menyelinap di tempat gelap dan melihat empat orang menyeret pencuri tadi yang sudah dibelenggu kaki tangannya. Melihat keadaan pencuri itu tentu dia telah disiksa karena matanya bengkak-bengkak dan dia tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali merintih perlahan. Empat orang diikuti oleh belasan orang yang tertawa-tawa geli, seolah-olah mereka hendak menyaksikan pertunjukan yang menarik hati. Dengan hati ngeri dan sebal, Bun Beng melihat betapa mereka menggantung kaki pencuri sial itu di atas sumur, kepalanya di bawah kakinya di atas, kemudian mengereknya turun sehingga tampak hanya kakinya di atas permukaan bibir sumur, terikat pada tali timba sumur. Kaki itu meronta-ronta dan talinya bergoyang-goyang sedangkan belasan orang yang mengelilingi sumur itu tertawa bergelak-gelak, kemudian mereka meninggalkan sumur itu sambil tertawa-tawa, kembali ke dalam pondok, dan ada pula yang agaknya hendak menuju ke pondok di sudut di mana terdengar suara wanita bernyanyi-nyanyi dan orang-orang tertawa-tawa.
Bun Beng tidak maju menerjang orang-orang itu karena tidak tahu siapa pencuri itu, sehingga tidak perlu dia meninggalkan keributan di tempat itu hanya untuk membela seorang pencuri yang tidak dikenalnya. Akan tetapi setelah orang-orang itu pergi Bun Beng cepat meloncat mendekati sumur. Malam telah hampir lewat dan sinar kemerahan telah muncul di timur. Sebelum terang tanah, dia harus cepat keluar dari tempat itu, maka Bun Beng segera menyambar tali timba dan menarik keluar pencuri sial itu. Orang itu napasnya sudah empas-empis. Bun Beng mengangkatnya keluar dan merebahkannya ke atas tanah, merenggut putus belenggu
kaki tangannya. Orang itu membuka matanya yang bengkak-bengkak, tadinya mengira bahwa dia akan disiksa lagi. Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda berjongkok di dekatnya dan pemuda itu melepaskan belenggu kaki tangannya, mulutnya bergerak-gerak lirih,
"Persekutuan.... hendak membunuh Kaisar.... membunuh Pangcu...." Bun Beng mengerutkan alisnya. Hmm, kiranya bukan seorang pencuri, melainkan seorang mata-mata agaknya!
"Engkau anggota perkumpulan apa?"
"Mereka.... menyiksaku.... aku tidak pernah mengaku.... Thian.... Pangcu akan dibunuh.... auugghh...." Orang itu terkulai, akan tetapi Bun Beng sudah tahu atau dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang anggota Thian-liong-pang, seorang mata-mata Thian-liong-pang yang dapat mencium rahasia persekutuan itu, akan tetapi tertangkap dan terbunuh.
Karena tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menolong orang yang sudah mati itu, Bun Beng lalu meninggalkannya dan menuju ke pagar untuk meloncat ke luar. Akan tetapi dia terlambat karena pada saat itu, terdengar suara orang dan tampak belasan orang ke luar dan menuju ke sumur itu sambil membawa ember-ember besar. Bun Beng tidak jadi lari pergi karena kembali dia tertarik dan ingin mengetahui apa yang hendak dilakukan orang-orang itu dengan ember-ember mereka? Dia melihat ke sekelilingnya dan melihat gentong-gentong besar berada tak jauh dari sumur. Cepat ia lari menghampiri dan memasuki sebuah di antara gentong-gentong kosong itu, bersembunyi di situ dan menggunakan jari tangannya menusuk gentong sehingga berlubang dan ia mengintai dari lubang itu keluar!
"Haiii! Kenapa dia bisa terlepas....?"
"Wah, belenggunya putus semua...."
"Akan tetapi dia sudah mampus!"
"Hemm, orang ini lumayan kuatnya, dapat membebaskan diri dari gantungan. Tentu dia orang terkenal dari Thian-liong-pang, sayang dia berani menyelidiki kita sehingga mati konyol."
"Dia tentu berusaha melarikan diri, akan tetapi kekuatannya habis setelah mematahkan belenggu kaki tangannya dan mampus."
Seorang di antara mereka melapor ke dalam dan muncullah seorang laki-laki bertubuh raksasa, bertelanjang dada dan kepalanya gundul akan tetapi mukanya penuh cambang bauk. Di sebelahnya berjalan seorang tinggi kurus yang mukanya pucat kuning, namun sikapnya menunjukkan bahwa dialah pemimpin di situ sedangkan raksasa itu adalah pembantu utamanya.
"Kubur dia di sudut kosong sana!" Terdengar laki-laki tua kurus itu berkata.
Dua orang menggusur mayat itu, kemudian laki-laki muka pucat itu berkata lagi,
"Hari ini kita menimba sepuluh gentong penuh untuk memenuhi permintaan Pangeran Jenghan yang harus dikirim besok. Kemudian semua harus bersiap, karena kita hanya menanti datangnya berita dari Koksu saja untuk segera bergerak ke selatan secara menggelap."
Setelah kedua orang pemimpin itu pergi, maka belasan orang bekerja menimba minyak dari dalam sumur dan mengisi gentong-gentong kosong yang berjajar. Diam-diam Bun Beng merasa lega karena dia berada di dalam gentong yang ke enam belas sehingga tidak khawatir akan disiram minyak! Diam-diam dia memperhatikan orang-orang yang menimba minyak campur lumpur itu. Bagaimana dia harus meninggalkan persekutuan ini atau setidaknya mengacaukan tempat itu? Untuk melawan orang banyak itu, kurang lebih seratus orang banyaknya, dia tidak takut, akan tetapi apa gunanya? Orang-orang itu kelihatan pandai, apalagi Si Kurus muka pucat dan Si Raksasa itu, tentu bukan orang-orang sembarangan. Kalau dia sekarang meloncat ke luar dan melarikan diri, tentu dia bisa lolos dari tempat itu, akan tetapi dia ingin sekali melihat kedatangan utusan Koksu dan mendengar perkembangan selanjutnya dan rombongan orang kuat yang sengaja dikumpulkan di tempat itu. Selain menjadi tempat memusatkan calon pasukan istimewa untuk melawan Thian-liong-pang, juga agaknya mereka itu sekalian berjaga, menjaga sumber minyak! Untung bahwa Bun Beng tidak menunggu terlalu lama. Sebentar saja, kurang lebih dua tiga jam, sepuluh buah gentong telah penuh dengan minyak dan lumpur, kemudian mereka semua pergi untuk membereskan tubuh yang berlumuran lumpur. Lebih baik kukacau mereka sekarang, kemudian melihat perkembangan lebih jauh, pikir Bun Beng. Dia belum begitu mengenal minyak yang diambil dari sumur itu, akan tetapi dia tahu bahwa api bernyala kalau bertemu minyak. Melihat di sekitar sumur itu sudah sunyi, Bun Beng meloncat keluar dari gentong, mengambil sebatang kayu kering mencelupkan kayu itu ke dalam gentong yang penuh minyak, kemudian dengan pedang Hok-mo-kiam dia memukul batu di bibir sumur sehingga berpijarlah bunga api yang menyambar kayu itu. Kayu itu bernyala keras seperti yang diduga oleh Bun Beng. Sambil tersenyum Bun Beng lalu melemparkan kayu bernyala itu ke dalam sumur!
"Heiii! Tangkap pengacau!" Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan seorang berpakaian Han menyerang Bun Beng dari belakang dengan pedangnya. Gerakan orang itu cukup tangkas karena dia meloncat dari jarak empat meter, sambil meloncat pedangnya menusuk ke arah punggung Bun Beng dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga besar. Pada saat itu, Bun Beng sedang berdiri tegak, pedang Hok-mo-kiam masih terhunus dan berada di tangan kanan, agaknya dia tidak tahu akan serangan itu karena dia sedang memandang ke arah sumur dengan terbelalak menyaksikan betapa ada suara gemuruh keluar dari sumur itu disusul lidah-lidah api dan asap hitam yang mengantar bau yang menyesakkan napas. Akan tetapi, begitu ujung pedang lawan hampir menyentuh punggungnya, Bun Beng menekuk kedua kakinya, membiarkan pedang dan tubuh lawan lewat dan tiba-tiba dia bangkit sambil menggerakkan pedangnya. Terdengar teriakan mengerikan ketika tubuh laki-laki yang terlanjur meloncat dan kini ditambah dorongan Bun Beng itu meluncur masuk ke dalam sumur yang bernyala-nyala!
Bun Beng yang tadinya tersenyum, berubah wajahnya dan memandang terbelalak! Tak disangkanya sama sekali bahwa elakannya mengakibatkan terjadinya hal mengerikan itu! Dia tidak bermaksud untuk melempar penyerangnya itu ke dalam sumur untuk dibakar hidup-hidup!
Teriakan yang amat nyaring menyayat hati itu terdengar oleh banyak orang dan tampaklah berbondong-bondong penghuni asrama itu berlari keluar. Bun Beng tidak mau melarikan diri seperti pencuri karena biarpun dia dikepung, kalau hendak meloloskan diri pun tidak akan sukar baginya. Maka dengan tenang dia menyimpan kembali pedangnya dan berdiri tegak menanti kedatangan puluhan orang itu.
Melihat sikap Bun Beng, orang-orang itu menjadi ragu-ragu untuk menyerang. Apalagi karena mereka tidak melihat temannya yang menjerit tadi. Mereka hanya menanti sampai orang kurus bermuka pucat itu muncul bersama pembantu utamanya, Si Gundul. Orang kurus itu adalah seorang Han, akan tetapi suaranya menunjukkan bahwa dia berasal dari utara.
"Siapakah engkau?" Orang itu bertanya sambil memandang Bun Beng dengan penuh perhatian. "Namaku Gak Bun Beng," jawab Bun Beng sederhana.
"Mau apa engkau datang ke sini? Apakah engkau juga seorang mata-mata Thian-liong-pang?" Bun Beng menggeleng kepalanya. "Aku tidak disuruh oleh siapapun juga, juga tidak mewakili siapa-siapa. Aku kebetulan lewat dan ingin tahu apa yang berada di dalam tempat yang penuh rahasia ini. Kiranya terisi orang-orang yang mengadakan persekutuan!"
Semua orang memandang dengan sikap mengancam ketika mendengar itu, akan tetapi Si Tua kurus itu mengangkat tangan menyuruh anak buahnya diam. "Kulihat engkau masih amat muda akan tetapi sikapmu tenang dan tabah sekali. Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian. Kebetulan sekali di sini kurang hiburan bagi anak buahku. Hiburan perempuan dan nyanyian sudah membosankan. Kalau diberi hiburan pertandingan silat yang sungguh-sungguh tentu akan menimbulkan kegembiraan."
"Bagus! Bagus....! Serahkan dia kepadaku, biar kupatahkan batang lehernya!"
"Tidak, kepadaku saja! Aku ingin merobek mulut yang sombong itu!"
"Biarkan aku menghancurkan kepalanya!"
Si Kurus pucat itu kembali mengangkat tangannya menyuruh anak buahnya diam, lalu berkata gagah. "Kita adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw, mengapa bersikap seganas itu? Tidak, pertandingan ini akan diadakan satu lawan satu dengan adil. Akan tetapi aku ingin sekali tahu, siapakah yang tadi mengeluarkan suara menjerit?"
Tidak ada seorang pun yang tahu. "Kami sendiri pun tidak tahu. Suara itu terdengar dari sini, akan tetapi ketika kami datang, yang tampak hanya pemuda ini seorang diri. Jangan-jangan setan dari mata-mata itu yang...."
"Hemmm, tak patut orang gagah percaya akan tahyul!" Si Kurus membentak. "Tentu ada yang berteriak tadi, terdengarnya seperti teriakan ketakutan. Eh, orang muda she Gak, apakah engkau tahu siapa yang berteriak tadi?"
Bun Beng me ngangguk. "Aku tahu, sebab yang menjerit tadi adalah seorang anak buahmu yang menyerangku dari belakang ketika aku membakar sumur minyak ini."
Jawaban ini kembali membuat semua orang ribut. Betapa beraninya pemuda ini, sudah membakar sumur, masih mengaku seenaknya dengan begitu tenang!
"Dimana dia sekarang?" Si Kurus bertanya lagi. "Di dalam sana...!" Bun Beng menuding ke arah sumur yang masih bernyala itu.
Kembali suasana menjadi ribut dan Si Kurus terpaksa mendiamkan mereka dengan isyarat tangannya. "Apakah engkau melemparnya ke dalam sumur?" tanyanya kepada Bun Beng. Suaranya sudah kehilangan ketenangannya karena dikuasai kemarahan.
"Sama sekali tidak. Dia menyerangku dari belakang, agaknya dia terlalu bernafsu untuk membunuhku sehingga ketika aku mengelak, dia terus menyelonong ke dalam sumur."
Semua orang terbelalak mendengar ini, merasa ngeri akan nasib kawan mereka yang terbakar hidup-hidup. Akan tetapi Si Kurus pucat bersikap tenang. "Gak Bun Beng, kesalahanmu bertumpuk-tumpuk. Pertama, engkau memasuki tempat terlarang ini tanpa ijin, seperti maling. Ke dua engkau berani membakar sumur yang kami jaga ini. Ke tiga engkau telah membunuh seorang di antara anak buahku. Menurut patut, engkau harus dibunuh sekarang juga. Akan tetapi, melihat engkau masih begini muda dan mengingat bahwa kami adalah orang-orang gagah yang tidak mau membunuh begitu saja...."
"Kecuali ketika kalian mengeroyok dan menangkap mata-mata Thian-liong-pang itu, ya?" Bun Beng memotong.
"Hemmm, itu lain lagi. Dia adalah anggauta Thian-liong-pang, musuh kami. Sedangkan engkau hanya seorang pemuda bebas yang terlalu sombong dan lancang. Engkau boleh membela nyawamu dalam pertandingan satu lawan satu, tanpa ada pengeroyokan."
"Hemmm, kalau aku menang aku boleh pergi dengan bebas?"
"Kalau sudah tidak ada yang mampu melawanmu, boleh saja!" kata Si Kurus dan terdengarlah suara orang-orang tertawa bergelak. Mereka itu tentu saja memandang rendah kepada Bun Beng. Sebagian di antara mereka adalah orang-orang kang-ouw dan liok-lim, dan mereka belum pernah bertemu atau mendengar nama Gak Bun Beng di dunia persilatan.
"Siapa di antara kalian yang berani melawan bocah ini?" Pemimpin kurus itu berseru.
Pertanyaan itu disambut suara sorak-sorai karena hampir semua orang yang berada di situ mengangkat tangan dan mereka seolah-olah hendak berebut menandingi pemuda itu, bukan hanya untuk membalaskan kematian teman mereka, juga ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk memamerkan kepandaian!
"Locianpwe, mengapa menimbulkan banyak ribut dan susah-susah? Agar urusan cepat selesai, suruh pembantu Locianpwe yang seperti raksasa ini maju. Kalau aku menang, berarti mereka yang berteriak-teriak itu tentu takkan ada yang berani maju lagi, kalau aku kalah, yah, terserah!"
Si Muka pucat ini agaknya senang sekali disebut "locianpwe" oleh Bun Beng, maka kembali dia mengangkat tangan menyuruh orang-orangnya diam, kemudian berkata, "Ucapan bocah ini benar juga, cukup masuk akal dan bisa diterima. Akan tetapi, sungguh membikin malu aku dan pendekar Gozan dari Mongol kalau dia harus maju sendiri melayanimu, bocah she Gak. Ketahuilah bahwa pendekar Gozan ini adalah seorang ahli silat dan ahli gulat nomor satu di Mongol, dan merupakan orang ke dua sesudah aku di tempat ini. Akan tetapi karena engkau sendiri yang minta, dan memang ada benarnya juga agar tidak membuang waktu, biarlah aku menyuruh orang ke tiga maju melayanimu beberapa jurus. Agar kauketahui sebelumnya bahwa pertandingan ini merupakan pibu (adu kepandaian) sehingga terluka atau mati bukan merupakan persoalan yang harus disesalkan."
"Aku mengerti, Locianpwe. Kurasa mati di tangan orang ke tiga di tempat seperti ini cukup terhormat!"
"Ha-ha, bagus sekali! Engkau seorang pemuda yang berani, sayang engkau bukan anak buahku. He, Thai-lek-gu (Kerbau Bertenaga Raksasa), majulah dan harap kau suka mewakili aku melayani Gak Bun Beng ini!" kata Si Kepala asrama yang kurus itu.
Dari dalam rombongan orang-orang itu muncullah seorang laki-laki yang membuat Bun Beng hampir tertawa geli karena anehnya. Orang ini tubuhnya pendek sekali, akan tetapi amat besar dan gendut sehingga seperti bola yang besar. Perutnya besar bulat sehingga bajunya di bagian perut tidak dapat menutupinya dengan baik dan tampaklah kulit perut putih halus membayang di antara kancing baju yang terlepas. Kepalanya juga bulat dengan sepasang mata kecil sipit. Kakinya pendek buntek, besar seperti kaki gajah, demikian kedua lengannya besar akan tetapi panjang sekali sampai ke lutut sehingga kalau dia membungkuk sedikit saja, kedua tangannya seperti menyentuh tanah dan membuat kedua lengan itu mirip sepasang kaki depan binatang kaki empat. Pantas saja dia dijuluki Kerbau Bertenaga Raksasa, karena memang dia mirip seekor kerbau dengan perutnya yang bergantung ke bawah itu.
Thai-lek-gu langsung menghadapi Bun Beng, matanya yang sipit itu agak terbuka dan terdengar suaranya yang kecil halus, jauh bedanya dengan tubuhnya yang bulat itu.
"Orang muda, sungguh sialan sekali engkau diharuskan bertanding melawan aku. Apakah tidak lebih baik engkau cabut pedangmu itu dan memenggal lehermu sendiri supaya lebih cepat mati dan tidak tersiksa lagi?" Ucapan ini disambut suara tertawa di sana-sini karena semua orang mengerti bahwa ucapan itu merupakan ejekan.
Bun Beng tersenyum. "Aku heran sekali mengapa engkau dijuluki Thai-lek-gu, kalau melihat matamu yang kecil dan sikapmu yang malas, engkau lebih tepat dijuluki Thai-lek-ti (Babi Tenaga Raksasa), sungguh pun aku masih menyangsikan sekali akan tenagamu."
Kembali terdengar suara ketawa, dan sekali ini Thai-lek-gu yang menjadi bahan tertawa sehingga dia marah sekali. "Bocah bermulut lancang! Kematian sudah di depan hidung engkau masih berani kurang ajar terhadap aku?"
"Memang kematian sudah di depan hidung, akan tetapi entah kematian siapa dan hidung siapa!" Bun Beng menggerak-gerakkan cuping hidungnya, "Menurut hidungku, aku tidak mencium kematianku, akan tetapi ada bau-bau tidak enak datang deri tempat kau berdiri!"
Kembali orang-orang tertawa. si Gendut itu memang wataknya kasar dan sombong, suka mengejek dan mempermainkan teman-temannya yang tidak berani melawan, maka kini mendengar dia diolok-olok oleh pemuda asing itu, mereka menjadi girang dan tertawa geli, biarpun mereka semua maklum bahwa tentu pemuda itu akan tewas oleh Si Gendut yang lihai. Karena melihat pemuda itu menggerak-gerakkan cuping hidungnya, Thai-lek-gu otomatis juga mencium-cium, akan tetapi karena hidungnya pesek hampir tidak ada ujungnya, maka tentu saja tidak dapat digerak-gerakkan, hanya lubangnya saja yang menjadi makin lebar. Saking marahnya, dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan hanya mengeluarkan suara menggereng kemudian secara tiba-tiba dia menyerang Bun Beng. Biarpun tubuhnya gendut sekali akan tetapi ternyata gerakannya cepat ketika dia menubruk dengan kedua lengan yang panjang itu terpentang, kemudian menyergap dari kanan kiri hendak merangkul tubuh Bun Beng yang kelihatan kecil itu untuk ditekuk-tekuk dan dipatah-patahkan semua tulangnya!
"Bresss!" Tiba-tiba Thai-lek-gu menjadi bingung karena tadi tampaknya serangannya tak mungkin dapat dielakkan lagi, kedua lengannya sudah menyentuh kedua pundak lawan, akan tetapi begitu kedua tangannya meringkus, yang diringkusnya hanya angin saja dan tubuh pemuda itu sudah lenyap! Cepat dia membalikkan tubuhnya dan ternyata pemuda itu sudah berdiri di belakangnya sambil bersedekap dan tersenyum-senyum.
Terkejutlah Si Muka Pucat yang kurus dan Si Raksasa gundul ketika menyaksikan betapa dengan amat sigapnya tubuh pemuda itu tadi melesat ke luar dari sergapan Thai-lek-gu dan meloncat ke atas melewati kepalanya, kemudian turun bagaikan seekor burung walet saja di belakang Thai-lek-gu. Juga Thai-lek-gu yang bukan merupakan seorang ahli silat sembarangan, kini dapat menduga bahwa pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi terbukti dari gin-kangnya yang istimewa, bersikap hati-hati dan tidak lagi berani memandang rendah bahkan dia menekan hatinya melenyapkan rasa marah agar dapat menghadapi lawan dengan tenang.
Setelah memasang kuda-kuda, mulailah Thai-lek-gu membuka serangannya. Tubuhnya seperti menggelundung ke depan karena gerakan kedua kakinya sukar terlihat, tertutup oleh perutnya, dan tahu-tahu kedua lengannya sudah menyambar ke depan bergantian, melakukan pukulan-pukulan yang amat keras sehingga terdengar anginnya mengiuk berulang-ulang.
Bun Beng menurunkan kedua tangannya yang bersedekap, kedua tangan itu bergerak cepat sampai tidak tampak, tahu-tahu jari tangannya sudah mengetuk ke arah lengan lawan, yang kanan mengetuk pergelangan tangan kiri, sedangkan yang kiri mengetuk tulang dekat siku. "Plak! Tukkk!"
"Wadouuhh....!" Thai-lek-gu berteriak keras sekali dan cepat meloncat mundur, mulutnya yang amat kecil dibandingkan dengan kepala dan perutnya itu menyeringai kesakitan kedua tangannya sibuk sekali bergerak bergantian, yang kiri mengusap siku kanan, yang kanan menggosok pergelangan tangan kiri. Kulit lengan di kedua tempat itu membiru dan tampak benjolan sebesar telur ayam!
Dengan kemarahan yang meluap-luap, Thai-lek-gu kini menyambar sepasang golok yang dibawakan oleh seorang temannya. Sepasang golok ini pantasnya untuk menyembelih babi, dan memang Thai-lek-gu ini dahulunya adalah seorang jagal babi!
Betapapun marahnya, Thai-lek-gu ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang tahu akan kegagahan, maka sambil menahan marah, menggerak-gerakkan sepasang goloknya di depan dada kemudian berhenti depan dada dalam keadaan bersilang dia berseru,
"Hayoh keluarkan senjatamu!"
Bun Beng tersenyum. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan pribadi dengan orang-orang ini dan biarpun dia tahu bahwa mereka itu pemberontak-pemberontak, namun dia tidak pula berpihak kepada Kaisar Mancu. Andaikata mereka ini bukan kaki tangan Koksu yang menjadi musuh besarnya, agaknya dia pun tidak mau mengganggu mereka. Apalagi melihat sikap Thai-lek-gu yang masih menghargai kegagahan dalam pertandingan ini, tidak mengeroyok, tidak pula menyerang lawan yang bertangan kosong, dia mengambil keputusan untuk bersikap lunak terhadap mereka. "Thai-lek-gu, tidak perlu aku mempergunakan senjataku sendiri karena engkau sudah begitu baik hati untuk menyediakannya untukku. Nah, seranglah!"
Thai-lek-gu memandang heran dan ragu-ragu. "Orang muda yang sombong, jangan kau main-main. Sepasang golokku ini sekali keluar, tidak akan masuk sarungnya kembali sebelum minum darah lawan. Keluarkan senjatamu!"
"Baiklah, akan tetapi bukan senjataku, melainkan yang kaupinjamkan kepadaku itulah!" Tiba-tiba Bun Beng menubruk ke depan dan mengirim serangan kilat, menusukkan jari tangan kirinya ke arah mata lawan. Thai-lek-gu marah dan terkejut, cepat dia menundukkan kepala dan golok kanannya berkelebat membacok ke arah lengan Bun Beng yang menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba merendahkan diri, gerakannya cepat bukan main, golok menyambar lewat di atas kepalanya dan tiba-tiba Thai-lek-gu mengeluarkan seruan tertahan dan memandang dengan mata terbelalak kepada lawan yang sudah tersenyum-senyum memandangnya dengan sebatang golok di tangan. Golok kirinya telah dirampas secara cepat dan aneh oleh pemuda itu!
"Nah, sekarang aku telah memegang senjata. Terima kasih atas kebaikanmu memberi pinjam golok ini kepadaku, Thai-lek-gu."
Thai-lek-gu marah bukan main, marah penasaran dan juga kaget. Pemuda itu dalam segebrakan saja telah berhasil merampas sebatang di antara sepasang goloknya. Hal ini saja membuktikan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya. Akan tetapi karena sudah kepalang mencabut senjata, dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang ke depan dengan nekat.
"Trang-trang-trang....!" Tiga kali Si Pendek gendut menyerang dan tiga kali Bun Beng menangkis tanpa menggeser kaki dari tempatnya, berdiri seenaknya akan tetapi ke mana pun golok lawan menyambar, selalu dapat ditangkisnya dan setiap tangkisan membuat Thai-lek-gu terpental ke belakang. Hal ini mengejutkan semua orang. Thai-lek-gu terkenal memiliki tenaga yang amat besar, akan tetapi serangan golok tadi berturut-turut dapat ditangkis oleh Si Pemuda yang membuat tubuh Thai-lek-gu terpental!
Tentu saja Thai-lek-gu menjadi makin marah. Dengan lengking panjang dia lari ke depan, menyerbu dengan golok diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, kemudian golok itu menyambar ke arah leher Bun Beng, dibarengi cengkeraman tangan kiri Thai-lek-gu ke arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali dan merupakan serangan mati-matian untuk mengadu nyawa. Tentu saja Bun Beng tidak menjadi gentar. Dia sengaja mengerahkan tenaganya, menggerakkan golok menangkis golok lawan, sedangkan tangan kirinya menyambut cengkeraman tangan lawannya dia menotok pergelangan tangan.
"Krekk.... dessss!" Golok di tangan Thai-lek-gu patah-patah dan dia menjerit kaget ketika tubuhnya terlempar ke belakang dan lengan kirinya lumpuh tertotok. Betapapun diusahakannya untuk mengatur keseimbangan tubuhnya, tetap saja dia terbanting roboh dan karena kelumpuhan lengan kiri, terpaksa dengan susah payah dia merangkak bangun.
"Maafkan aku dan kukembalikan golokmu. Terima kasih!" Bun Beng melempar golok pinjaman itu yang meluncur ke depan. Semua orang terkejut, mengira bahwa pemuda itu melontarkan goloknya untuk membunuh Thai-lek-gu, akan tetapi golok itu berputaran kemudian meluncur turun menancap di atas tanah depan pemiliknya.
Tiba-tiba terdengar suara menggereng seperti seekor biruang marah dan tanah seperti tergetar ketika seorang raksasa melompat turun di depan Bun Beng. Dengan matanya yang lebar dia memandang Bun Beng, mulut yang tertutup cambang bauk melintang galak itu bergerak-gerak dan terdengar suaranya yang kaku dan parau, "Aku Gozan. Kau orang muda boleh juga, aku merasa terhormat mendapatkan lawan seperti engkau. Orang muda, majulah kau mari mulai!" Baru saja menghentikan kata-katanya, raksasa itu sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu menyambar dari kanan dan kiri pinggang Bun Beng. Pemuda ini mengerti bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat hebat, hal ini diketahuinya dari angin sambaran kedua lengan itu. Akan tetapi karena dia memang ingin sekali mencoba sampai di mana kehebatan lawan yang menurut Si Muka Pucat tadi adalah jago nomor satu di Mongol, ahli silat dan ahli gulat, maka dia sengaja bergerak lambat dan membiarkan pinggangnya ditangkap. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tahu-tahu tubuhnya terangkat ke atas dan usahanya memperberat tubuhnya sama sekali tidak terasa oleh Si Raksasa itu yang mengangkat tubuhnya ke atas, memutar-mutar tubuhnya sambil tertawa-tawa!
"Kiranya tenagamu tidak berapa hebat, orang muda. Nah, pergilah kau!" Sambil berkata demikian, Gozan jagoan dari Mongol itu mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan melemparkan tubuh Bun Beng ke depan. Tanpa dapat dilawan pemuda ini, tenaga dahsyat mendorongnya dan membuat tubuhnya meluncur jauh ke depan, seolah-olah tubuhnya menjadi sebuah peluru yang terbang dengan cepatnya. Namun Bun Beng dapat menguasai dirinya. Dengan ilmu gin-kangnya dia berjungkir-balik di tengah udara dan tubuhnya kini membalik dengan tenaga lontaran masih mendorongnya sehingga tubuhnya meluncur kembali ke arah lawannya! Tentu saja Gozan menjadi terkejut dan terheran melihat pemuda lawannya itu tahu-tahu telah berkelebat datang dan berdiri di depannya kembali sambil tersenyum-senyum mengejek!
"Engkau masih belum pergi? Kalau begitu engkau sudah bosan hidup!" Gozan membentak dan kini dia menerjang ke depan, menggerakkan dua pasang kaki dan tangannya, seperti otomatis, bergantian dan bertubi-tubi menghujankan pukulan dan tendangan ke arah tubuh Bun Beng. Biarpun gerakan itu tidak banyak perubahannya, hanya mengandalkan kecepatan gerak yang teratur, dan mudah bagi Bun Beng menghadapinya, namun pemuda ini maklum bahwa tenaga Si Raksasa itu amat besar dan bahwa terkena sekali saja oleh pukulan atau tendangan itu, amatlah berbahaya. Maka dia mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya untuk menghindar dengan loncatan ke kanan kiri dan belakang sampai puluhan jurus serangan sehingga akhirnya Gozan sendiri yang menjadi lelah dan napasnya terengah-engah. Tiba-tiba raksasa itu menghentikan serangannya dan memandang dengan mata merah, lehernya mengeluarkan gerengan marah dan dia berkata, "Orang muda, apakah engkau seorang pengecut sehingga dalam pertandingan selalu menjauhkan diri? Kalau tidak berani bertanding, kau berlututlah dan mengaku kalah, kalau memang berani balaslah seranganku!"
"Begitulah kehendakmu? Nah, sambutlah ini!" Bun Beng tersenyum dan memukul ke arah dada raksasa itu, tangan kiri siap untuk merobohkan lawan yang bertubuh kuat itu. Akan tetapi, secepat kilat Gozan menangkap lengan kanan Bun Beng dengan cara yang tak terduga-duga. Gerakan kedua tangan raksasa itu seperti gerakan dua ekor ular yang menyambar dari kanan kiri dan tahu-tahu lengan kanan Bun Beng telah ditangkapnya! Kiranya, dengan ilmu silat pukulan dan tendangan, raksasa itu sama sekali tidak berdaya mengalahkan lawan, maka kini dia kembali hendak menggunakan ilmu gulatnya! Sebelum Bun Beng tahu apa yang terjadi, kembali tubuhnya sudah terangkat ke atas, di atas kepala lawannya, kemudian dia dibanting ke bawah dengan tenaga yang dahsyat! Karena tadi lemparannya tidak berhasil, kini Gozan mengganti siasatnya, tidak melemparkan tubuh lawan, melainkan membantingnya ke atas tanah. "Wuuuttt.... brukkk.... ngekkk!" Semua orang terbelalak kaget dan heran, terutama sekali Si
Kurus Pucat yang menjadi pemimpin ketika menyaksikan peristiwa yang aneh dan hebat itu. Terbelalak dia memandang jagoannya, Gozan Si Raksasa tinggi besar tadi kini terkapar di depan kaki Bun Beng, dalam keadaan pingsan! Jelas semua orang melihat tadi betapa tubuh pemuda itu telah diangkat dan dibanting, akan tetapi mengapa tiba-tiba keadaannya terbalik, bukan tubuh Bun Beng yang terbanting melainkan tubuh Si Raksasa itu sendiri? Kiranya Bun Beng sudah bergerak cepat sekali. Ketika tubuhnya dibanting dan lengan kanannya dicengkeram, dia menggunakan tangan kirinya menotok tengkuk lawan dan seketika tubuh raksasa itu menjadi lemas. Dengan gerakan indah sekali, namun cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata, Bun Beng yang masih terdorong oleh tenaga bantingan membalikkan tubuh sehingga kakinya yang lebih dulu tiba di atas tanah, sedangkan dia menggerakkan kedua tangan yang kini memegang pangkal lengan raksasa itu, menggunakan sisa tenaga bantingan lawan untuk mengangkat tubuh lawan dan membantingnya, ditambah dengan tenaga sin-kangnya sendiri. Dalam keadaan tertotok, Gozan tidak mampu mempertahankan diri dan berat tubuhnya membuat bantingan itu makin hebat akibatnya sehingga dia pingsan seketika!
"Wirr.... siuuuuttt....!"
Bun Beng cepat merendahkan tubuhnya kaget sekali melihat senjata yang menyambarnya. Kiranya Si Muka Pucat yang kurus tadi telah menyerangnya dan senjata di tangan orang ini benar-benar amat luar biasa. Pimpinan orang-orang gagah itu memegang gagang pancing, lengkap dengan tali dan mata kailnya! Bagi yang mengenal Liong Khek, Si Kurus muka pucat ini tentu tidak akan heran karena dia memang berasal dari keluarga nelayan. Mungkin mengingat akan asal-usulnya ini, ditambah lagi bahwa senjata istimewa ini amat hebat dan jarang dikenal lawan, maka dia memilihnya sebagai senjatanya.
"Orang muda, engkau benar hebat, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar dari tempat ini dalam keadaan bernyawa!" Liong Khek berseru dan menerjang maju dengan senjatanya yang aneh. Bun Beng merasa heran juga melihat senjata itu. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang ahli silat bersenjata pancing, bahkan mendengar pun belum pernah. Oleh karena itu, dia menyabarkan diri dan ingin sekali melihat bagaimana lawannya mempergunakan senjata istimewa itu.
"Singgg.... siuuuttt....!" Kembali sinar kecil itu menyambar dan Bun Beng cepat mengelak mengulur tangan berusaha menangkap tali pancing itu. Akan tetapi dengan gerakan pergelangan tangannya, Liong Khek Si Kurus itu telah menarik kembali tali pancingnya, kemudian meloncat maju dan kini mempergunakan gagang pancingnya sebagai senjata tongkat untuk menusuk lambung Bun Beng.
Pemuda ini mengelak sambil menangkis dengan lengannya, dengan hati-hati dan penuh perhatian menghadapi lawan. Dia kagum sekali. Kiranya senjata itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali. Gagangnya dapat dimainkan sebagai tongkat dan mata kail yang terbuat dari baja dan amat runcing melengkung itu kadang-kadang menyambar ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan setiap kali dapat ditarik kembali kalau talinya digerakkan atau disendal. Bahkan ada kalanya, gagang pancing menyerang dibarengi sambaran mata kail dari lain jurusan! Benar-benar senjata yang tak tersangka-sangka ini merupakan senjata yang amat berbahaya kalau dimainkan semahir Liong Khek memainkannya.
Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan tampaklah selosin orang berpakaian tentara memasuki markas itu. Mereka adalah utusan Koksu dan begitu melihat Liong Khek bertanding melawan seorang pemuda, komandan pasukan bertanya-tanya. Ketika mendengar bahwa pemuda itu diduga keras seorang mata-mata, komankan pasukan berkata marah. "Kalau dia mata-mata, mengapa tidak dibunuh saja? Hayo serbu!"
Selosin orang tentara itu sudah meloncat turun dari atas kuda, dan kini bersama orang-orang gagah yang berada di situ, mereka lari menghampiri untuk mengeroyok Bun Beng. Pemuda ini tertawa melengking, mengerahkan khi-kang sehingga para pengeroyok itu terbelalak kaget, kaki mereka menggigil dan sejenak mereka tidak dapat bergerak. Juga Liong Khek terkejut sekali ketika suara lengkingan dahsyat itu membuat tubuhnya tergetar. Sebelum ia dapat memulihkan kembali ketenangannya tahu-tahu sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat tubuhnya terlempar dan senjata pancingnya telah dirampas pemuda yang luar biasa itu! Ketika terbanting jatuh, maklumlah Liong Khek ternyata bahwa pemuda itu tadi hanya main-main saja dan bahwa sesungguhnya pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!
Bun Beng mencelat ke dekat pagar, mengayun tubuh ke atas dan mengambil buntalan pakaian dan topinya yang tadi ditaruhnya di atas pagar agar jangan mengganggu gerakannya. Dia menaruh topi berbentuk caping petani yang lebar itu, menalikan tali caping di leher, kemudian menalikan buntalan pakaiannya di depan dada sehingga buntalan itu tergantung ke belakang bahu kanannya. Semua ini dikerjakan selagi tubuhnya di atas pagar.
Para pengeroyoknya sudah lari mengejarnya dan kini beberapa orang sudah melayang naik ke atas pagar sambil menyerangnya.
"Wuuuttt.... wirrr....!" Dua orang menjerit dan jatuh dari atas pagar ketika pancing di tangan Bun Beng bergerak menyambar dan melukai hidung dan pipi dua orang itu!
Timbul kegembiraan Bun Beng dengan senjata rampasan yang baru ini. Dia tadinya hendak melompat keluar dari tempat itu dan lari, akan tetapi melihat hasil sambaran senjata pancing itu, dia ingin mencoba lagi dan kini dia malah melompat turun ke sebelah dalam markas! Tentu saja dia disambut pengeroyokan puluhan orang itu, termasuk pasukan tentara yang baru tiba.
"Heii, apakah kalian ini anjing-anjing Koksu?" Bun Beng berteriak sambil melompat ke kiri dan menggerakkan gagang pancing dengan pergelangan tangannya.
Kembali dua orang yang menyerbunya roboh terpelanting! "Kami adalah pengawal-pengawal, utusan pribadi Koksu. Menyerahlah orang muda!" bentak Si Komandan pasukan yang mengira bahwa sebagai seorang kang-ouw, tentu pemuda itu akan gentar dan tunduk kalau mendengar nama Koksu.
Akan tetapi pemuda itu malah tertawa bergelak. "Kalau kalian anjing-anjing pengawal dari Koksu, aku belum meninggalkan tempat ini sebelum menghajar kalian!" Kini Bun Beng mengamuk dan serangan-serangannya ditujukan kepada pasukan itu. Mendengar bahwa pasukan itu adalah utusan pribadi Koksu, sudah timbul rasa tidak senangnya.
Empat orang anggauta pasukan roboh pingsan terkena tamparan tangannya, sedangkan dua orang lagi masih mengaduh-aduh karena muka mereka robek terkait mata kail yang runcing. Akan tetapi, orang-orang gagah yang dipimpin oleh Liong Khek merasa marah dan merasa terhina bahwa di depan utusan-utusan Koksu, mereka tidak mampu menangkap seorang pengacau yang masih muda. Mereka berteriak-teriak dan mengepung Bun Beng. Pemuda ini menjadi kewalahan juga menghadapi demikian banyaknya pengeroyok. Dia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas atap kandang kuda, senjata pancingnya terayun-ayun di tangan kiri. Dia melihat-lihat ke bawah, hendak memilih kuda yang terbaik yang terkumpul di situ.
Perwira yang memimpin pasukan tadi tahu akan niat pemuda pengacau itu. "Kepung, jangan biarkan dia lolos dengan mencuri kuda!" teriaknya sambil berlari cepat diikuti sisa anak buahnya ke bawah atap di mana Bun Beng berdiri. Komandan itu menggerakkan senjata tombak panjangnya menusuk ke atap.
"Crappp!" Tombak bercabang itu menembus atap, akan tetapi dengan mudah saja Bun Beng mengelak, bahkan kini dia menggerakkan pancingnya ke bawah.
"Auuuhwww.... aduuuuhhh....!" Mata kail yang runcing melengkung itu telah berhasil mengait pinggul seorang anak buah pasukan dan sekali tangan kiri Bun Beng digerakkan, tubuh orang yang terpancing itu terangkat naik ke atap. Pada saat itu, komandan pasukan dan seorang anak buahnya, dengan kemarahan meluap menusukkan tombak mereka dari bawah mengarah tubuh Bun Beng.
"Crepp! Creppp!"
Dua batang tombak panjang itu menembus atap, akan tetapi dengan gerakan ringan dan mudah sekali, Bun Beng meloncat menghindar kemudian turun dengan kedua kaki, menginjak ujung dua batang tombak yang menembus atap itu! Gagang pancingnya dia gerakkan berputar sehingga tubuh tentara itu pun terbawa berputaran, kemudian sambil tertawa Bun Beng melemparkan pancingnya ke arah Si Komandan pasukan. Karena lontaran ini cepat dan kuat sekali, Si Komandan tidak sempat mengelak sehingga dia tertimpa tubuh anak buahnya sendiri dan roboh terguling-guling!
Sebelum komandan itu sempat bangun dan dalam keadaan masih nanar karena kepalanya terbentur keras, tiba-tiba dia merasa pundaknya dicengkeram dan tahu-tahu pemuda yang dikeroyoknya tadi telah berada di dekatnya, tangan kiri mencengkeram pundak dan tangan kanan menodongnya dengan sebatang tombak. Tombaknya sendiri!
"Mundur semua, kalau tidak, kubunuh perwira ini!" Bun Beng membentak sambil menempelkan ujung tombak yang runcing itu ke perut Si Komandan yang menjadi ketakutan, bermuka pucat dan menggigil.
Melihat ini, Si Muka pucat segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mundur. Tentu saja keselamatan komandan pasukan yang menjadi utusan Koksu amatlah penting, dan kini dia yakin bahwa pemuda yang mengacau itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, terlampau tinggi untuk mereka tandingi dan kalau mereka melanjutkan pertandingan dan pengeroyokan dengan jalan kekerasan, akibatnya akan berbahaya sekali.
"Mundur.... hentikan pertandingan!" teriak Si Kurus dengan suara nyaring, kemudian dia melangkah maju menghadapi Bun Beng, menjura dan berkata, "Orang muda she Gak! Engkau tadi mengaku bukan mata-mata dan tidak memusuhi kami, mengapa engkau membikin kacau dan menangkap seorang panglima dari kota raja?"
Bun Beng membelalakkan matanya lalu tertawa bergelak, nadanya mengejek, "Ha-ha-ha! Kalau ada maling teriak maling, hal itu amat lucu dan dapat dimengerti karena Si Maling ingin menyelamatkan diri. Akan tetapi kalau ada pemberontak teriak pemberontak, hal ini sudah tidak lucu lagi, malah menyebalkan! Aku bukan seorang penjilat Kaisar, juga bukan seorang pemberontak. Bukan aku yang mengacau di sini, melainkan kalian sendiri yang memaksaku bertanding!"
Si Kurus bermuka pucat itu kembali menjura. "Kalau begitu, kami menerima salah, harap engkau suka membebaskan panglima yang menjadi tamu kami."
"Panglima ini harganya tentu lebih mahal dari seekor kuda," kata pula Bun Beng.
"Seekor kuda....?" Si Kurus memandang tajam. "Ya, seekor kuda yang paling baik diantara semua kuda di sini." Mengertilah Si Kurus. Dia lalu memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mengeluarkan kuda tunggangannya sendiri, seekor kuda berbulu putih yang benar-benar bagus dan kuat, merupakan kuda pilihan.
"Nah, ini kudaku sendiri, pakailah kalau engkau memerlukannya," katanya. Bun Beng tertawa, melepaskan Si Perwira dan sekali meloncat dia telah berada di atas punggung kuda. Dia sengaja berbuat demikian, karena dia ingin melihat sikap mereka itu.
Begitu melihat perwira itu dilepaskan, terjadi gerakan-gerakan seolah-olah mereka hendak maju lagi menerjang Bun Beng yang bersikap tenang di atas punggung kudanya. Akan tetapi Si Kurus bermuka pucat mengangkat tangan kanan ke atas dan membentak,
"Jangan bergerak! Biarkan Gak-congsu lewat dan keluar dari sini tanpa gangguan!"
Bun Beng melarikan kudanya, menoleh ke arah Si Kurus sambil berkata, "Terima kasih. Pemberontak atau bukan, engkau masih mempunyai sifat kegagahan!" Kudanya lari terus keluar dari pintu pagar tanpa ada yang merintanginya, dan pemuda ini melanjutkan perjalanan menuju ke selatan, ke kota raja.
******
"Haiiii....! Maharya pendeta palsu tukang tipu! Hayo keluar kau jangan sembunyi saja! Terimalah jawaban teka-tekimu. Hayo keluar, kalau tidak, kucabut nanti bulu jenggotmu!"
Yang berteriak-teriak ini adalah Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek cebol yang keluar dari tempat tahanannya bersama Kwi Hong. Dara jelita ini bersikap tenang, berjalan di samping gurunya. Dia tidak pedulikan gurunya yang berteriak-teriak karena dia sudah maklum akan watak dan sifat gurunya yang aneh dan tidak lumrah manusia. Dia sendiri tentu saja tidak khawatir keluar dari tempat tahanan, apalagi bersama gurunya yang sakti, sungguhpun dia maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya karena mereka berada di tempat kediaman Koksu, berada di dalam sarang harimau. Ada beberapa orang penjaga yang bingung tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, berlagak hendak mencegah dua orang tahanan ini keluar. Yang berani menghadang hanya empat
orang penjaga. Mereka melintangkan tombak menghadang dan berkata, "Tanpa perkenan Koksu kalian tidak boleh keluar....!"
Empat kali Kwi Hong menggerakkan tubuhnya, empat kali terdengar suara "krekk! plakk!" dan empat batang tombak patah-patah disusul tubuh empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri! Adapun kakek cebol itu masih berteriak-teriak memanggil nama Maharya, seolah-olah tidak melihat muridnya merobohkan empat orang penghalang tadi. "Maharya pendeta palsu! Di mana engkau? Koksu, suruh pembantumu Si Pendeta konyol itu keluar....!"
"Ser-serr-serrr....!"
Tampak sinar menyambar dari kanan kiri dan depan. Dengan tenang sekali Kwi Hong menggerak-gerakkan kedua lengan bajunya seperti yang dilakukan gurunya dan belasan batang anak panah yang menyambar ke arah mereka itu runtuh ke bawah.
"Ha-ha-ha, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, beginikah seorang Koksu negara menghadapi tamu?" Bu-tek Siauw-jin tertawa mengejek sedangkan Kwi Hong memandang ke depan dan kanan kiri dengan alis berkerut marah.
Daun pintu besar yang menembus ruangan belakang gedung Koksu itu tiba-tiba terbuka dan muncullah Bhong-koksu bersama Maharya dan belasan orang panglima yang menjadi kaki tangan dan sekutu Koksu itu, diiringkan pula oleh sepasukan tentara yang berjumlah lima puluh orang lebih bersenjata lengkap!
"Heh-heh-heh, Siauw-jin. Engkau adalah seorang hukuman, tanpa ijin Koksu berani membobol penjara dan merobohkan penjaga. Sungguh tak tahu aturan!" Maharya berkata sambil tertawa mengejek.
Bu-tek Siauw-jin memandang dengan mata melotot. "Siapa jadi orang hukuman? Kami menjadi tamu! Dan teka-tekimu yang palsu itu mudah saja menjawabnya! Maharya, lekas kauambil pisau penyembelih babi, lekas!"
Karena nada suara kakek cebol itu mendesak dan disertai pengerahan tenaga sin-kang, maka mempunyai wibawa yang kuat sekali sehingga Maharya yang menjadi ahli sihir itu pun sampai terpengaruh dan otomatis bertanya heran, "Pisau penyembelih babi? Untuk apa?"
"Ha-ha-ha-ha! Untuk memotong ujung hidungmu yang terlalu panjang itu! Bukankah sudah begitu perjanjian antara kita? Kalau aku bisa menjawab teka-tekimu, engkau harus memotong ujung hidungmu, kemudian engkau, Koksu dan pendeta Tibet.... eh, mana Si Gendut itu, mengapa tidak ikut pula menyongsongku? Dan jangan lupa, Pulau Es dan Pulau Neraka juga harus dibangun kembali!"
"Siauw-jin, kematian sudah berada di depan mata, engkau masih berani bersombong. Orang macam engkau tak mungkin dapat menjawab pertanyaanku itu...."
"Apa? Pertayaan licik penuh akal bulus dan palsu itu siapa yang tidak dapat menjawabnya? Dengar baik-baik, Maharya. Aku Sejati yang kautanyakan itu adalah Aku Sejati yang palsu, khayalan pikiranmu sendiri yang kotor itu, yang hanya meniru-niru dari orang lain yang sebetulnya juga tidak tahu apa-apa. Semua itu palsu, sepalsu hati dan pikiranmu, Maharya!"
"Ihhh, engkau gila....!" Maharya membentak dengan muka merah.
"Paman guru, perlu apa melayani orang gila ini?" Tiba-tiba Koksu berkata sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan mengeluarkan cambuk merah dengan tangan kiri, kemudian mengangkat cambuk ke atas sebagai aba-aba. Para panglima melihat ini lalu mencabut senjata mereka dan semua anak buah pasukan tentara pengawal juga siap dengan senjata masing-masing.
"Suhu, teecu rasa tidak perlu melayani mereka ini!" Kwi Hong juga berkata dan tampaklah sinar berkilat mengerikan ketika dara itu sudah mencabut keluar pedang Li-mo-kiam!
"Serbu....!" Bhong-koksu mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah pasukan pengawal dipimpin oleh belasan orang panglima itu. Memang Koksu telah siap, untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin dan karena dia tahu betapa lihainya kakek itu bersama muridnya yang memegang pedang mujijat, maka dia sendiri pun telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pedang pusaka yang jarang dia pergunakan karena biasanya, dengan sebatang pecut merahnya saja Koksu ini sudah sukar menemukan tanding.
"Ha-ha-ha, pendeta palsu, Koksu pengecut!" Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa ketika melihat pasukan pengawal itu menyerbu. Akan tetapi Kwi Hong tidak seperti gurunya, dara ini sudah berkelebat ke depan didahului sinar pedangnya yang menyilaukan mata. Para pengawal yang belum mengenal dara dan pedangnya yang mujijat itu, menerjang dengan senjata tombak, golok atau pedang.
"Singgg.... trang-trang-krek-krek-kre kkk....!" Tombak, golok dan pedang beterbangan di udara dalam keadaan patah-patah, disusul pekik kaget dan kesakitan, pekik kematian dari mulut lima orang pengawal yang tak dapat menghindarkan diri dari sambaran sinar pedang Li-mo-kiam!
Melihat ini, terkejutlah semua anak buah pasukan dan mereka mengurung dan mengeroyok lebih hati-hati, dipimpin oleh belasan orang panglima yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Karena maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh memandang ringan pengeroyok yang jumlahnya amat banyak itu Kwi Hong tidak bertindak sembrono, dan hanya berdiri di tengah-tengah, pedang melintang depan dada, tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang indah itu saja yang bergerak, mengerling ke kanan kiri menanti gerakan lawan. Dua belas orang panglima yang menjadi kaki tangan Bhong-koksu, yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, dengan hati-hati mengurung Kwi Hong dan di belakang mereka bergerak, siap siaga dengan pengurungan yang amat nekat.
Tiba-tiba terdengar seorang panglima tertua mengeluarkan seruan sebagai aba-aba, dan puluhan anak buah mereka serentak dua belas orang panglima itu menerjang Kwi Hong dibantu oleh anak buah mereka dari belakang. Kembali tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap bersembunyi di balik sinar pedang yang amat menyilaukan mata, seperti kilat menyambar-nyambar. Dia berhasil mematahkan beberapa batang senjata lawan namun karena dua belas orang panglima itu memang sudah maklum akan keampuhan pedang di tangan gadis itu, mereka bersikap hati-hati dan tidak mau mengadu senjata sehingga Yang menjadi korban hanya senjata para pengawal yang berani menyerang terlalu dekat. Betapapun juga, Kwi Hong tidak dapat mencurahkan perhatian untuk merobohkan lawan di depan karena dia dikepung ketat dan senjata-senjata lawan datang bagaikan hujan di sekeliling tubuhnya, sedangkan tangan yang menggerakkan senjata-senjata itu pun tangan terlatih dan cukup kuat dan cepat. Sementara itu, Maharya yang bersenjata sebatang tombak bulan sabit, senjata barunya setelah dia meninggalkan senjatanya yang dahulu berupa ular putih hidup dan sarung tangan emas, sudah menerjang malu melawan Bu-tek Siauw-jin dibantu oleh Koksu yang bersenjatakan pedang di tangan kanan dan cambuk di tangan kiri.
"Ha-ha-ha, kalian ini tiada lebih hanyalah tukang-tukang keroyok yang menjijikkan!" Bu-tek Siauw-jin tertawa mengejek, akan tetapi dia harus cepat-cepat menghindar dan mengebutkan lengan bajunya karena ujung tombak bulan sabit itu telah menyambar ganas ke arah lehernya, disusul tusukan pedang Bhong-koksu ke arah ulu hatinya dan sambaran cambuk ke arah ubun-ubun kepalanya.
"Tarrr....!" Sambaran cambuk yang datang terakhir itu tidak dielakkan dan ditangkis, melainkan diterima begitu saja oleh ubun-ubun kepalanya, akan tetapi akibatnya, ujung cambuk itu membalik dan telapak tangan Bhong-koksu lecet-lecet!
"Serang lima tempat dari mata ke bawah!" Maharya berseru dan kini Bhong-koksu menerjang lagi membantu paman gurunya, menujukan serangan-serangannya ke arah kedua mata, tenggorokan, pusar, dan bawah pusar!
"Heh-heh-heh, Maharya pendeta palsu, dukun lepus! Mari-mari kita main-main sebentar!" Setelah berkata demikian, kakek pendek itu membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh, kedua telapak tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat, kadang-kadang mengandung hawa panas, kadang-kakang dingin sehingga Maharya maupun Bhong-koksu berlaku hati-hati dan tidak berani menghadapi langsung pukulan-pukulan itu, melainkan mengelak sambil mengirim serangan-serangan balasan dari samping. Dalam hal ini, hanya cambuk di tangan kiri Bhong-koksu saja yang lebih berguna karena cambuk itu cukup panjang untuk mengirim serangan dari jarak jauh. Sedangkan tubuh Maharya menyambar-nyambar, menggunakan kesempatan setiap Bu-tek Siauw-jin mengelak dari sambaran cambuk, menerjang dengan tombak bulan sabitnya.
Bu-tek Siauw-jin masih tertawa-tawa dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja. Memang kakek aneh dari Pulau Neraka ini sudah puluhan tahun meninggalkan senjata, dan hal ini pun tidaklah aneh kalau diingat bahwa dengan kaki tangannya dia sudah cukup kuat menghadapi serangan lawan. Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan dua orang sakti seperti Maharya dan Bhong-koksu, kakek cebol ini repot juga dan biarpun mulutnya tertawa-tawa, dia harus memeras keringat untuk menghindarkan diri dari hujan serangan maut itu. Tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat dari Maharya, dan mungkin tidak ada dua tingkat dari kepandaian Bhong-koksu. Untung bagi kakek cebol Pulau Neraka ini bahwa dia kebal terhadap ilmu sihir biarpun dia
sendiri tidak suka mempelajari ilmu itu sehingga kekuatan ilmu sihir yang dimiliki Maharya tidak ada artinya kalau ditujukan terhadap Bu-tek Siauw-jin dan di samping ini dia menang jauh dalam hal kekuatan sin-kang, maka dia dapat menahan tekanan dua orang itu dengan tenaga sin-kangnya. Dibandingkan dengan gurunya, keadaan Kwi Hong lebih payah. Dua belas orang panglima itu berkepandaian tinggi, dan andaikata hanya mereka yang mengeroyok, kiranya Kwi Hong akan mampu menandingi dan mengatasi mereka. Akan tetapi, di samping dua belas orang panglima itu, masih terdapat puluhan, bahkan kini ratusan orang tentara pengawal yang mengepungnya! Hal ini membuat dia lelah sekali setelah berhasil merobohkan tiga puluh orang lebih! Tetap saja dia masih terkepung ketat karena yang datang jauh lebih banyak daripada yang roboh.
Kini, enam orang panglima yang melihat betapa Kwi Hong sudah terkepung ketat, meninggalkan pimpinan pengeroyokan kepada enam orang temannya dan mereka sendiri lalu membantu Bhong-koksu menyerbu Bu-tek Siauw-jin. "He-he-he, bagus, bagus....! Majulah semua, maju yang banyak agar lebih menggembirakan....!" Bu-tek Siauw-jin tertawa dan tiba-tiba tubuhnya roboh menelungkup ke depan, berputar dan tahu-tahu kedua kakinya menendang ke belakang, inilah ilmu yang baru, Si Jengkerik menyentik atau Si Kuda menyepak yang didapatkan ketika dia mengadu jengkerik. Serangan ini amat tiba-tiba dan tidak terduga oleh Maharya dan Bhong-koksu, sehingga biarpun mereka berdua cepat menghindar, tetap saja angin tendangan kedua kaki itu menyambar ke arah muka mereka dan celakanya tapak kaki itu berlepotan tanah sehingga muka mereka terkena tanah dan lumpur! Pada detik-detik berikutnya, terdengar jerit nyaring dan dua orang panglima roboh tewas terkena tendangan kaki yang kekuatannya tidak kalah oleh sepakan lima ekor kuda itu! Andaikata Maharya atau Bhong-koksu yang terkena sepakan itu, tentu paling hebat tubuh mereka akan terlempar. Akan tetapi dua orang panglima yang tingkat sin-kangnya kalah jauh itu, terkena sepakon pada dada mereka, seketika tewas dengan tulang-tulang iga remuk dan jantung tergetar pecah!
"Tar-tar-tar....!" Cambuk panjang di tangan Bhong-koksu melecut seperti halilintar menyambar-nyambar ke arah kepala Bu-tek Siauw-jin.
"Aihh.... wuuutt!" Ujung cambuk itu terkena sambaran tangan Si Kakek cebol dan dicengkeramnya. Tentu saja Bhong-koksu mempertahankan senjatanya itu dan mereka bersitegang. Cambuk yang terbuat dari bahan yang ulet dan dapat mulur itu meregang dan tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin melepaskan ujung cambuk. Terdengar suara nyaring dan ujung cambuk ini menyambar ke arah muka Bhong-koksu sendiri! Bhong-koksu kaget bukan main melepaskan gagang cambuk dan menundukkan muka merendahkan tubuh.
"Aduhhh....! Aduhhh....!" Dua orang panglima pembantu yang berdiri di belakangnya berteriak dan roboh, merintih-rintih karena yang seorang kepalanya benjol besar dihantam gagang cambuk sedangkan orang ke dua kulit dadanya robek disambar ujung ca mbuk.
Dengan kemarahan meluap Bhong-koksu kini menerjang maju dengan hanya mempergunakan pedangnya, sedangkan Maharya juga mendesak dengan tombak bulan sabitnya. "Kwi Hong, kau larilah!" Tiba-tiba tubuh kakek cebol itu berkelebat melewati di atas kepala Bhong-koksu dan Maharya, sambil berteriak ke arah muridnya yang terdesak hebat dan terkurung ketat. Akan tetapi, begitu tubuhnya tepat berada di atas kedua orang musuhnya terdengar suara memberobot disusul bau yang cukup membikin Bhong-koksu dan Maharya merasa muak hendak muntah!
"Tidak, Suhu. Kita hajar mampus semua anjing ini!" Kwi Hong yang tahu-tahu melihat gurunya sudah berada di sampingnya dan dengan mudah mendorong-dorong roboh beberapa orang pengeroyok, membantah.
"Hushhh, musuh terlampau kuat dan banyak. Buat apa mati konyol di sini? Heran sekali pamanmu, Pendekar Siluman itu. Ke mana saja dia minggat dan mengapa membiarkan kita dikeroyok tanpa membantu? Hayo kau pergi cari pamanmu, minta bantuannya!"
"Suhu yang harus pergi!"
"Hushhh, aku masih belum kenyang main-main di sini. Pula, perutku mules ingin buang air besar. Lekas kau pergi keluar dari sini, cari pamanmu sampai dapat dan katakan, kalau dia tidak mau membantu aku, kelak akupun tidak sudi membantunya kalau dia membutuhkan tenaga bantuan. Hayo!"
"Tapi, Suhu sendiri...."
"Ihhhh, anak bandel! Sungguh tolol sekali aku mengapa mengambil murid engkau perawan bandel ini. Pergi, atau minta kugaplok?"
Kwi Hong maklum bahwa gurunya berwatak sinting, maka bukanlah tidak mungkin kalau dia benar-benar akan digaploknya. Dia masih penasaran melihat Bhong-koksu dan Maharya belum roboh, akan tetapi dia mengerti juga kalau pertandingan ini dilanjutkan, dia tentu akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan kalah.
"Baik, Suhu. Hati-hati menjaga dirimu Suhu!"
"Weh-weh! Kaukira aku anak kecil, ya? Pakai ditinggali pesanan segala. Pergilah, aku membuka jalan!" Kakek itu lalu menerjang ke depan, kedua lengannya bergerak dan setiap kedua lengan dikembangkan dan didorongkan, tentu pihak pengeroyok bubar dan terhuyung ke kanan kiri, membuka jalan. Kwi Hong berkelebat ke depan, tubuhnya dilindungi sinar pedang Li-mo-kiam sehingga senjata-senjata rahasia dan anak panah yang berusaha mencegah dia lari, runtuh semua dan tak lama kemudian lenyaplah dia keluar dari tempat itu.
Kini kemarahan Bhong-koksu dilimpahkan seluruhnya kepada Bu-tek Siauw-jin. "Kakek tua bangka keparat! Kalau belum memenggal lehermu dengan pedangku, aku Im-kan Seng-jin takkan mau sudah!"
"Singg.... siuuutt....!" Hampir berbareng, pedang di tangan Bhong-koksu menyambar dari kanan dan tombak bulan sabit di tangan Maharya menyambar dari kiri. Namun, tiba-tiba tubuh cebol itu roboh ke atas tanah. Dua orang lawannya terkejut dan terpaksa menahan serangan dan bersikap waspada karena mengira bahwa si cebol itu tentu akan menggunakan jurus tendangan menyepak yang lihai tadi. Akan tetapi mereka kecele karena Si Cebol tua renta itu sama sekali tidak menendang, melainkan terus menggelundung menuju ke belakang dan keluar dari pintu memasuki taman. "Kejar....!"
"Tangkap....!"
"Bunuh....!" Teriakan-teriakan nyaring ini keluar dari mulut para panglima dan pengawal, akan tetapi yang berkelebat lebih dulu melakukan pengejaran adalah Bhong-koksu dan Maharya. Mereka mengejar ke dalam taman yang besar dan indah itu, akan tetapi tidak tampak bayangan Bu-tek Siauw-jin.
"Celaka, jangan-jangan dia telah berhasil melarikan diri...." Bhong-koksu berkata.
"Belum tentu, kalau dia melompat keluar dari taman tentu kita tadi melihatnya," kata Maharya sambil mencari terus ke seluruh taman. Para panglima dan pasukan pengawal yang ikut mengejar telah tiba di situ pula, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang melihat bayangan kakek cebol yang lihai itu.
"Heiiii, kalian mencari apa? Aku berada di sini!" Semua orang memandang dan kiranya kakek yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, duduk ongkang-ongkang di atas dahan dalam keadaan telanjang bulat, pakaiannya tergantung di cabang pohon.
Tentu saja Bhong-koksu dan Maharya marah sekali dan mereka sudah berlari menghampiri pohon yang berdiri di tepi telaga di dalam taman.
"Aku gerah sekali, lelah melayani kalian. Aku mau mandi lebih dulu nanti kita lanjutkan lagi." Setelah berkata demikian, tubuh kakek cebol itu melayang ke bawah dan terjun ke dalam air telaga. "Byuuurrr!" Air muncrat tinggi dan sampai lama tubuh itu tenggelam. Ketika dia muncul lagi yang tampak hanya kepala sebatas dada. Kiranya telaga itu tidak dalam dan di dasarnya terdapat tanah lumpur sehingga ketika terjun tadi sebagian tubuh Bu-tek Siauw-jin terbenam ke dalam lumpur. Tentu saja muka dan kepalanya penuh lumpur ketika dia tersembul keluar sambil megap-megap!
"Siauw-jin, engkau akan mampus dalam keadaan yang lebih rendah daripada seorang siauw-jin (manusia hina). Engkau akan mampus seperti seekor anjing yang bangkainya hanyut di air!" Maharya berseru dan kini semua orang telah mengurung telaga itu dengan senjata disiapkan.
Bu-tek Siauw-jin yang gelagapan tadi kini sudah mencuci kepala dan mukanya dengan air. Air telaga itu jernih sekali, dan di situ terdapat banyak ikan emas peliharaan Koksu. Sambil menyembur-nyemburkan air dari mulut dan menggosok kedua matanya, Bu-tek Siauw-jin memandang kepada Koksu dan Maharya, terkekeh gembira mempermainkan dan mengejek.
"Ha-ha-ha, sejak jaman dahulu, belum pernah kerajaan memiliki seorang Koksu segagah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, mengerahkan pasukan pengawal dan anjing peliharaan Maharya pendeta palsu untuk mengeroyok seekor anjing yang sedang mandi! Eh, Bhong-koksu dan Maharya, tahukah engkau mengapa aku harus mandi dulu?"
Maharya yang sudah banyak pengalamannya dan maklum akan kelihaian kakek cebol itu, menahan gejolak kemarahan hatinya. Dia pun tersenyum lebar, sungguhpun senyumnya agak pahit, kemudian berkata, "Tentu saja aku tahu, Siauw-jin. Memang tepat sekali kalau engkau mandi lebih dulu agar tubuhmu bersih, karena setelah mati tidak akan ada yang sudi membersihkan mayatmu. Biarlah engkau mati dalam keadaan bersih tubuhmu, kami sabar menantimu di sini."
Jawaban itu dikeluarkan dengan suara halus dan ramah, namun sebetulnya merupakan ejekan yang menyakitkan hati. "Bukan! Bukan begitu! Jawabanmu ngawur dan memang sejak dahulu aku tahu engkau seorang manusia tolol dan berkedok pendeta biar dianggap suci dan pintar, Maharya! Akan tetapi engkau tidak bisa mengelabuhi aku! Engkau bertapa di puncak gunung-gunung, bukan untuk membersihkan batin melainkan untuk memupuk ilmu agar dapat kaupergunakan untuk merebut kemuliaan di dunia ramai! Engkau memakai cawat dan pakaian sederhana, makan seadanya, memamerkan hidup sederhana, bukan untuk mempertajam pandang mata batin melainkan kau pakai untuk kedok agar lebih mudah engkau menipu orang, seperti seekor srigala berkedok bulu domba. Mau tahu mengapa aku mandi? Karena sudah terlalu lama aku bertanding dengan kalian, dan terlalu banyak kotoran dari kalian mengotori tubuhku. Maka itu harus membersihkan dulu tubuhku agar tidak sampai keracunan oleh kotoran dari kalian tadi, ha-ha-ha!"
Bhong-koksu marah bukan main. Dia melambaikan tangan kiri memberi aba-aba dan mulailah para panglima dan anak buah mereka menyerang kakek cebol yang sedang mandi itu dengan senjata rahasia. Beterbanganlah anak panah, piauw (pisau terbang), peluru besi, paku dan lain-lain ke arah tubuh Bu-tek Siauw-jin. Sambil tertawa kakek itu mengelak ke kanan kiri kemudian tenggelam. Karena pergerakannya, tentu saja air menjadi keruh dan tubuhnya tidak tampak. Tahu-tahu dia telah muncul jauh dari tempat sasaran dan kedua tangannya digerak-gerakkan menyambit ke daratan. Berhamburanlah air keruh, lumpur dan batu-batu kecil ke arah para pengurungnya! Bahkan ada dua buah benda ke kuningan menyambar ke arah muka Koksu dan Maharya. Dua orang ini cepat mengelak dan dua buah benda itu dengan tepat mengenai muka dua orang panglima yang berada di belakang Koksu dan Maharya.
"Plok! Plok! Uuhhhgg.... hak.... haek-haek....!" Dua orang panglima itu muntah-muntah karena dua "benda" yang mengenai mulut dan hidung mereka itu adalah tahi (kotoran manusia) yang lembek, lunak dan masih hangat! Kiranya kakek cebol itu bukan hanya mandi, melainkan juga membuang air besar! Kiranya dia tadi tidak membohong ketika menyuruh muridnya pergi dan dia ingin membuang air besar lebih dulu. Pantas saja dia merendam tubuh bertelanjang bulat dan ketika ia membuang air besar diam-diam ditampungnya kotoran dengan tangan dan kini dipergunakan untuk membalas serangan senjata rahasia lawan dengan "senjata rahasia" yang luar biasa itu!
"Ha-ha-ha-ha, benar-benar anjing yang suka makan tahi!" Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, akan tetapi terpaksa harus slulup (menyelam) kembali karena dari pihak pengurungnya telah datang anak panah seperti hujan menyerang dirinya. Terjadilah main kucing-kucingan antara kakek cebol dan para pengurungnya. Kalau dihujani serangan, dia menyelam, kemudian timbul di lain bagian sambil membalas dengan sambitan batu-batu dan lumpur. Agaknya permainan ini mendatangkan kegembiraan besar di hati Bu-tek Siauw-jin, apalagi ketika dia berhasil mengotori pakaian Koksu dan sorban di kepala Maharya dengan lumpur membuat dua orang sakti itu memaki-maki dan menyumpah-nyumpah. Kakek cebol tertawa bergelak, mengejek ke kanan kiri sambil menjulurkan lidah.
"Ambil minyak! Kita bakar permukaan telaga!" Tiba-tiba Bhong-koksu mengeluarkan perintah. Perintahnya ini hanya gertakan saja, akan tetapi cukup membuat Bu-tek Siauw-jin terkejut dan khawatir.
"Wah, itu licik sekali namanya! Biar kulawan kalian lagi di atas daratan kalau begitu!" Akan tetapi Bhong-koksu, Maharya dan para panglima beserta anak buah mereka, telah menanti di tepi telaga, membuat kakek itu sukar mendarat dan terpaksa ke tengah
telaga kembali sambil memaki-maki.
"Kalian cacing-cacing busuk, pengecut licik, tak tahu malu, ya?"
"Singgg.... cuppp....! Wirrrr!"
Maharya dan Bhong-koksu terbelalak memandang gagang pedang yang tergetar di atas tanah di depan mereka itu, sebatang pedang yang tadi meluncur dari atas, menancap di atas tanah depan mereka. Pada detik berikutnya, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka, dekat pedang di atas tanah tadi, telah berdiri seorang wanita bertubuh tinggi langsing dan mukanya berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!
"Pa.... paduka....?" Bhong-koksu berseru, lupa diri dan menyebut paduka kepada Ketua Thian-liong-pang yang dikenalnya sebagai puteri kaisar, Nirahai.
"Aihhh, Ketua Thian-liong-pang hendak memberontak?" Maharya juga berseru.
"Bhong Ji Kun manusia rendah budi, pengkhianat dan pemberontak hina! Engkaulah yang hendak mengkhianati kaisar, hendak memberontak dan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Tibet dibantu orang-orang Nepal, hendak menjatuhkan kaisar dan diperalat Pangeran Yauw Ki Ong yang hendak merebut tahta kerajaan. Berlututlah engkau pengkhianat busuk agar kutangkap dan kuhadapkan kaisar!"
Ketua Thian-liong-pang atau Puteri Nirahai itu membentak dengan suaranya yang nyaring. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bhong-koksu dan semua panglima yang menjadi kaki tangannya mendengar betapa rahasia mereka telah terbuka. Untuk menyembunyikan rasa khawatirnya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa. "Ha-ha-ha! Engkau puteri buronan, puteri pelarian yang
telah mencemarkan nama kerajaan, berpura-pura hendak bersikap seperti seorang setiawan. Kebetulan sekali, Nirahai, engkau menjadi musuh kerajaan dan hadapilah kematianmu di ujung pedangku sendiri!" Bhong-koksu melintangkan pedang di depan alisnya sedangkan Maharya telah menggerakkan senjata tombak bulan sabitnya.
"Haiii.... engkaukah Ketua Thian-liong-pang? Gagah perkasa benar engkau, akan tetapi aku Bu-tek Siauw-jin tidak minta bantuanmu! Menghadapi coro-coro kacoa bau itu aku belum membutuhkan bantuanmu!" Bu-tek Siauw-jin berteriak-teriak dari tengah telaga, kemudian meloncat ke darat dekat Ketua Thian-liong-pang.
Nirahai, wanita berkerudung itu secepat kilat telah menyambar pedangnya yang tadi dilontarkan menancap tanah, ketika ia melirik ke kiri dari balik ke rudungnya, mukanya menjadi merah padam melihat betapa kakek cebol di sebelahnya itu bertelanjang bulat!
"Kakek sinting, pergilah!" bentaknya ketus. "Aku tidak butuh bantuanmu!" Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya, menghadapi Nirahai dan bertolak pinggang, lupa sama sekali betapa lucu sikapnya, bertolak pinggang membusungkan dada tipis dan sama sekali tidak berpakaian! "Wah-wah-weh-weh! Siapa yang membantu dan siapa yang dibantu? Sebelum kau muncul aku sudah mereka keroyok sampai kelelahan dan terpaksa aku mandi dan buang air dulu. Engkau mau dibantu atau tidak, aku terpaksa harus menggempur mereka ini, terutama si botak Koksu dan si palsu Maharya!"
Maharya, Bhong-koksu, dan lima orang panglima sudah menerjang maju, tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bhong-koksu yang menganggap bahwa Nirahai lebih berbahaya, bukan ilmunya karena mungkin Si Kakek cebol itu lebih sakti, melainkan berbahaya karena Nirahai telah mengetahui rahasianya, sudah cepat-cepat menerjang Nirahai dengan pedangnya. Pedang itu dengan gerakan cepat membabat leher Nirahai, ketika dielakkan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut yang dapat ditangkis pula oleh pedang Nirahai, akan tetapi pedang di tangan Koksu yang seperti hidup, tahu-tahu sudah membabat ke arah kedua kaki lawan! Nirahai maklum bahwa lawannya bukan orang sembarangan, melainkan seorang ahli silat tinggi yang sakti, maka cepat tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya ditarik ke atas menghindarkan babatan pedang, namun kaki itu tidak hanya mengelak saja, melainkan dari atas mengirim tendangan beruntun ke arah dada dan muka lawan!
"Wuuut! Wuuutt!"
Bhong-koksu berseru kaget dan nyaris dagunya tercium ujung sepatu lawan kalau saja dia tidak cepat-cepat mencelat mundur dan keadaannya yang terdesak itu tertolong oleh majunya tiga orang panglima pembantunya yang mengurung dan menyerang Nirahai sehingga wanita berkerudung itu tidak dapat mendesak Bbong-koksu yang dibencinya. Biarpun dihadapi tiga orang panglima yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, Nirahai masih dapat mencelat melalui mereka dan pedangnya menyambar ke arah Maharya yang berada di tempat lebih dekat dengannya daripada Bhong-koksu yang melompat mundur tadi. Dia sengaja menyerang pendeta ini karena dia maklum bahwa di antara para pembantu Bhong-koksu, pendeta inilah yang paling berbahaya.
Pedangnya yang berkelebat seperti halilintar menyambar itu mengejutkan Maharya yang cepat menggerakkan tombak bulan sabitnya sambil membentak, "Robohlah!"
Tangkisan Maharya dengan tombaknya mengenai pedang Nirahai, menimbulkan bunyi nyaring sekali, dan bentakannya tadi mengandung pengaruh mujijat ilmu sihirnya, namun selain Nirahai telah memiliki sin-kang yang amat kuat, juga muka wanita ini terlindung kerudung sehingga sinar mata Maharya yang penuh kekuasaan mujijat itu tidak mempengaruhinya. Namun, tetap saja bentakan itu mendatangkan getaran hebat bagi Nirahai yang cepat mengerahkan sin-kang melindungi jantungnya. Lebih hebat lagi, tangkisan tombak kepada pedang itu disambung dengan meluncurnya tiga batang jarum yang keluar dari leher tombak menyambar ke arah Nirahai!
"Pendeta curang...!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak dan tiga batang jarum beracun itu runtuh semua oleh sambitan Si Kakek cebol ini yang menggunakan lumpur! Sambitan ini menyelamatkan Nirahai sungguh pun belum tentu wanita perkasa ini akan menjadi korban jarum andaikata tidak dibantu Bu-tek Siauw-jin, akan tetapi baju Nirahai terkena noda sedikit lumpur.
"Singgg.... wuuusss.... hayyaaa....!"
Bu-tek Siauw-jin menggulingkan tubuhnya ketika tiba-tiba pedang Nirahai menyambar ke arah lehernya! "Wah-wah, Ketua Thian-liong-pang benar ganas! Diberi madu membalas racun! Ditolong membalas dengan niat membunuh!"
"Siapa membutuhkan pertolonganmu? Engkau mengganggu saja!"
"Weh-weh, sombongnya! Kalau tidak kubantu, apa engkau kira akan mampu menang melawan mereka ini?"
"Aku tidak sudi dibantu orang gila tak tahu malu. Hayo berpakaian dulu kau, kakek tua bangka tak bermalu, baru kita bicara tentang bantuan!" Nirahai terpaksa sudah meninggalkan Bu-tek Siauw-jin lagi untuk mengamuk dengan pedangnya karena Bhong-koksu dan Maharya sudah menerjangnya lagi. Suara pedangnya menangkis senjata mereka dan senjata para panglima terdengar nyaring berdenting dan bertubi-tubi kemudian terdengar teriakan dua orang pengawal yang roboh terkena sambaran sinar pedang wanita berkerudung yang sakti itu.
Bu-tek Siauw-jin yang merasa penasaran karena tidak boleh ikut bertanding, sambil mengomel meloncat ke atas pohon menyambar pakaiannya dan karena tergesa-gesa mengenakan pakaiannya beberapa kali dia memakai pakaian dengan terbalik! Akhirya selesai juga dia berpakaian.
"Thian-liong-pangcu! Lihat aku sudah sopan sekarang, sudah berpakaian, uh-uh! Pikiran gila yang menganggap bahwa berpakaian tanda sopan! Hayoh kita berlomba, siapa lebih banyak merobohkan cacing-cacing tanah ini!"
Dari atas, tubuh yang cebol itu melayang turun, berputar-putar seperti gerakan seekor anak burung belajar terbang dan akhirnya tubuh cebol itu menyambar dari atas ke arah kepala Maharya. Memang pendeta inilah yang dicarinya! Begitu Bu-tek Siauw-jin menyambar, kakek cebol ini menggunakan tangan kiri menyambar lengan yang memegang tombak bulan sabit, tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, kedua kaki menendang bergantian ke arah punggung dan lambung sedangkan mulutnya masih mengeluarkan suara "cuhhh!" meludah ke arah tengkuk Maharya!
Diserang secara luar biasa itu, Maharya gelagapan. Dia dapat menyelamatkan diri dengan memutar senjatanya melindungi kepala dan membuang tubuh ke bawah lalu bergulingan, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengelak dari air ludah yang berubah menjadi hujan kecil menimpa sebagian dagunya!
"Siauw-jin manusia kotor!" Dia membentak setelah mencelat berdiri lagi sambil menyerang ganas, dibantu oleh beberapa orang panglima. Bu-tek Siauw-jin maklum akan kelihaian Maharya dan para pembantunya, cepat dia menggerakkan kaki tangan untuk mengelak dan menangkis, mulutnya tertawa-tawa mengomel. "Heh-heh, kaukira engkau ini manusia bersih? Mana lebih baik kotor luarnya bersih dalamnya dibandingkan dengan engkau yang bersih luarnya kotor dalamnya? Heh-heh-heh! Aku memang Bu-tek Siauw-jin, namaku saja sudah manusia rendah, apanya yang aneh kalau aku kotor! Engkau adalah seorang pendeta, baik pakaian maupun namamu menunjukkan bahwa engkau pendeta, akan tetapi sepak terjangmu sama sekali berlawanan!"
"Mampuslah!" Maharya membentak dan senjatanya yang ampuh itu sudah menyambar dan tampak sinar kilat berkelebat. Namun, dengan tubuhnya yang cebol, Bu-tek Siauw-jin dapat mencelat ke kiri, kakinya menendang sebatang golok di tangan seorang pengawal yang mencoba menyerangnya. Pengawal itu terhuyung ke depan, diterima oleh pinggul kakek cebol yang digerakkan ke samping.
"Desss! Augghh....!" Tubuh pengawal yang kena disenggol pinggul kakek itu terlempar dan menabrak dua orang temannya sendiri sehingga mereka bertiga jatuh terguling-guling.
Hanya Maharya dan Bhong-koksu saja yang masih dapat menandingi amukan Bu-tek Siauw-jin dan Nirahai secara berdepan, sedangkan para panglima dan anak buah mereka yang banyak jumlahnya itu hanya berteriak-teriak dan membantu mengurung serta menyerang kalau ada kesempatan, dari kanan kiri atau belakang, karena amukan kakek cebol dan wanita berkerudung itu benar-benar amat dahsyat dan sudah banyak jatuh korban di antara para pengawal yang berani menyerang terlampau dekat.
Memang kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Maharya masih kalah tinggi oleh Bu-tek Siauw-jin, sedangkan Bhong-koksu pun masih kalah setingkat oleh Nirahai yang pada tahun-tahun yang lalu memperoleh kemajuan banyak sekali berkat mengambil inti sari ilmu-ilmu silat tinggi dari partai-partai lain.
Akan tetapi, dengan bantuan pengeroyokan banyak anak buah mereka, sedangkan para panglima yang membantu juga memiliki kepandaian lumayan, maka kakek cebol dan wanita berkerudung itu terkurung ketat dan belum juga mampu merobohkan Maharya dan Bhong-koksu. Tiba-tiba muncul belasan orang Tibet dan Mongol yang memiliki gerakan cepat dan jelas bahwa tingkat mereka lebih tinggi daripada kepandaian para panglima. Mereka adalah bala bantuan yang didatangkan oleh seorang panglima dan kini mereka langsung menerjang maju mengeroyok Bu-tek Siauw-jin dan Nirahai!
Terpaksa dua orang yang terkurung itu kini saling membantu dengan beradu punggung saling membelakangi. Bu-tek Siauw-jin sudah mandi keringat. Kakek ini telah merampas sebatang toya dan melindungi tubuhnya dengan toya itu sampai senjata itu remuk, lalu dirampasnya sebatang golok untuk melanjutkan gerakannya melindungi tubuh sendiri dari serangan yang datang bagaikan hujan lebatnya. "Kita harus keluar dari sini," tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata kepada Nirahai di belakangnya.
"Hemmm, apakah engkau takut?" Nirahai balas bertanya dan ujung sepatu kirinya berhasil merobohkan seorang Nepal, dengan menendang pusar orang itu sehingga roboh berkejotan untuk tak dapat bangun kembali.
"Siapa takut? Yang terlalu adalah Pendekar Super Sakti, sampai sekarang pun tidak muncul batang hidungnya. Terlalu ini namanya! Aku sendiri yang disuruh menghadapi cacing-cacing ini!"
"Aku tidak butuh bantuan dia atau siapa juga!" Mendengar disebutnya Pendekar Super Sakti, Nirahai marah. "Kalau kau takut, pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu."
"Eh-eh, benar-benar kau wanita sombong dan galak! Untung bukan isteriku!"
Nirahai terbelalak di balik kerudungnya dan memutar pedangnya menangkis serangan yang datang bertubi-tubi sehingga tampak bunga api berpijar menyusul suara berdencing nyaring.
"Apa kau bilang? Mengapa untung?"
"Punya isteri galak macam engkau benar-benar mendatangkan neraka dunia!" Bu-tek Siauw-jin berkata lagi. "Sudah dibantu, tidak menerima malah bicara galak dan sombong. Eh, Thian-liong-pangcu, aku menganjurkan kita keluar dari sini bukan karena takut melainkan aku khawatir saat ini perkumpulanmu sedang dihancurkan oleh mereka!"
"Apa....?"
"Bodoh! Apakah engkau melihat pembantu-pembantu mereka itu lengkap? Engkau kena dipancing di sini, kalau kau tidak cepat-cepat keluar menolong perkumpulanmu, akan habislah Thian-liong-pang!"
Karena percakapan itu dilakukan dengan suara keras, tentu saja terdengar oleh Bhong-koksu yang tertawa bergelak, "Si Cebol busuk ini benar-benar pandai! Memang sekarang Thian-liong-pang sedang kami gempur habis, ha-ha!"
"Singgg.... tranggg....!" Bhong-koksu terkejut dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang. Serangan Nirahai tadi benar-benar hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga saking marahnya sehingga tangkisan Bhong-koksu membuat kakek ini terpental dan hampir saja pundaknya tercium pedang lawan. Para pembantunya, orang-orang Tibet dan Mongol yang lihai segera mengurungnya kembali. Kini dua orang sakti itu mengamuk lagi, akan tetapi kalau tadi mengamuk untuk membunuh lawan sebanyaknya, kini mereka mengamuk untuk membuka jalan darah dan keluar dari tempat itu, keluar dari taman istana Koksu untuk menyelamatkan Thian-liong-pang. Tentu saja Nirahai yang mempunyai keinginan ini, sedangkan Bu-tek Siauw-jin sama sekali tidak peduli akan nasib Thian-liong-pang karena dia sendiri ingin mencari muridnya disamping sudah lelah sekali bertempur sejak tadi. Sudah bosan dia dan ingin menyusul muridnya, ingin bertemu dengan Pendekar Super Sakti yang dikagumi akan tetapi yang juga menimbulkan kemendongkolan hatinya karena sampai sekian lamanya pendekar itu tidak muncul juga membantunya!
Adapun Bhong-koksu dan Maharya yang maklum bahwa dua orang itu berusaha keluar dari kepungan, berkali-kali meneriakkan aba-aba untuk mengepung lebih ketat lagi sehingga terjadilah pertandingan yang lebih hebat dan mati-matian.
******
Dugaan Bu-tek Siauw-jin memang benar. Biarpun kakek cebol ini kelihatan sinting dan ketolol-tololan, namun dia adalah seorang yang sudah berpengalaman dan berada di tempat itu selama beberapa hari, mendengar percakapan-percakapan antara Koksu dan Nirahai, percakapan-percakapan yang dilakukan para pengawal ketika dia dan muridnya ditahan, sudah cukup baginya untuk mengerti duduknya perkara.
Dugaannya bahwa Thian-liong-pang diserang selagi ketuanya mengamuk di taman, memang tepat sekali. Hal ini memang sudah direncanakan oleh Bhong-koksu yang menganggap bahwa kalau Thian-liong-pang belum dihancurkan lebih dahulu, tentu perkumpulan yang amat kuat itu akan menjadi penghalang bagi pemberontakan yang diaturnya bersama Pangeran Yauw Ki Ong karena Nirahai tentu akan memimpin perkumpulannya itu untuk membela ayahnya kaisar.
Pada saat Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk di taman istana koksu, sepasukan tentara dipimpin oleh Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong panglima tinggi besar tangan kanan Koksu, dan beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi dibantu pula oleh orang-orang yang menjadi jagoan-jagoan dari Nepal dan Tibet, menyerbu markas besar Thian-liong-pang di luar kota raja.
Karena puteri Ketua Thian-liong-pang, Milana sudah mengetahui akan rahasia Bhong-koksu dengan persekutuan pemberontaknya, maka begitu ibunya meninggalkan markas untuk membuat perhitungan dengan Koksu, dara perkasa ini telah mengadakan persiapan. Penjagaan dilakukan dengan ketat dan dibantu oleh para tokoh Thian-liong-pang, yaitu Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok Si Kakek Muka Singa, dan para pembantu lainnya. Jumlah anak buah Thian-liong-pang bersama para pemimpinnya yang berkumpul di tempat itu masih ada kurang lebih seratus orang. Mereka semua siap sedia menanti perintah dari puteri ketua mereka dan di lain pihak Milana juga menanti kembalinya ibunya dengan hati penuh ketegangan karena dia maklum bahwa pasti akan terjadi sesuatu yang hebat berhubungan dengan pemberontakan yang diatur oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu itu.
Karena persiapan yang telah diadakan oleh Milana dan para tokoh Thian-liong-pang inilah, maka ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan pengawal yang dipimpin oleh Thian Tok Lama, terjadi pertempuran yang amat seru dan hebat. Pihak Thian-liong-pang mengadakan perlawanan mati-matian dan karena rata-rata anggauta Thian-liong-pang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, maka biarpun pasukan tentara lebih besar dan lebih kuat, tidak mudah bagi mereka untuk menumpas Thian-liong-pang tanpa jatuh banyak korban di pihak tentara.
Betapapun juga, ilmu kepandaian Thian Tok Lama amat lihai dan betapapun para tokoh Thian-liong-pang membela diri mati-matian, tak seorang pun di antara mereka yang mampu menandingi pendeta Lama dari Tibet yang kosen ini. Agaknya hanya Milana seoranglah yang hampir dapat mengimbanginya, akan tetapi pada saat penyerbuan terjadi, Milana telah dikepung dan dikeroyok oleh lima orang Nepal dan dua orang Tibet pembantu Thian Tok Lama, sedangkan Lama itu sendiri memimpin orang-orangnya menyerbu ke dalam dan mengamuk, ditahan oleh Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok. Terjadilah pertandingan dahsyat di sebelah luar dan dalam markas Thian-liong-pang. Pertandingan mati-matian yang berlangsung sampai setengah hari lebih!
Betapa gigih para tokoh Thian-liong-pang mempertahankan diri, tanpa adanya ketua mereka di situ, akhirnya mereka itu runtuh juga. Seorang demi seorang roboh dan tewas, mula-mula Tang Wi Siang tewas oleh Thian Tok Lama, kemudian Lui-hong Sin-ciang Chie Kang bahkan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok juga terluka parah dan hanya karena di situ tidak ada ketuanya maka kakek ini memaksa diri untuk lari, bukan karena dia takut mati, melainkan agar kelak dia dapat melaporkan kepada ketuanya, apalagi setelah dilihatnya betapa puteri ketuanya tertawan oleh Thian Tok Lama.
Hanya beberapa orang saja yang berhasil lolos dari maut dalam penyerbuan itu, dan seperti juga Sai-cu Lo-mo, para anggauta Thian-liong-pang yang berhasil lolos dan melarikan diri itu menderita luka-luka parah.
Karena telah dapat menghancurkan Thian-liong-pang dan terutama sekali dapat menawan Milana, Thian Tok Lama tidak melakukan pengejaran terhadap sisa orang Thian-liong-pang. Hari telah menjadi sore dan dia hendak cepat-cepat membawa Milana sebagai tawanan ke kota raja. Dara itu merupakan seorang tawanan penting sekali, karena dengan adanya dara itu sebagai sandera, tentu Ketua Thian-liong-pang tidak akan mampu berbuat hal-hal yang akan merugikan persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan Bhong-koksu.
Berangkatlah sisa pasukan pengawal yang tinggal separuh itu meninggalkan markas Thian-liong-pang yang telah terbasmi dan telah mereka bakar, menuju ke kota raja. Milana dengan kedua tangan terbelenggu, menjadi tawanan dan dinaikkan ke atas punggung seekor kuda, digiring di tengah-tengah mereka dan dikawal sendiri oleh Panglima Bhe Ti Kong, Thian Tok Lama dan para pembantunya. Yang menjadi pelopor di depan adalah jagoan-jagoan Nepal! Yang bersorban dan rata-rata bertubuh tinggi besar. Mereka merasa bangga karena dalam kemenangan ini mereka melihat tanda yang baik bahwa persekutuan mereka akan berhasil, dan kalau kaisar berhasil dijatuhkan, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi bukan hanya dari kaisar baru, akan tetapi terutama dari raja-raja mereka sendiri karena Pangeran Yauw Ki Ong sudah menjanjikan persahabatan, bukan penaklukan seperti sekarang, kepada Nepal, Mongol dan Tibet.
Karena hari sudah hampir gelap dan perjalanan melalui sebuah hutan besar, maka pasukan itu melakukan perjalanan cepat. Terdengar suara derap kaki kuda mereka bergema di dalam hutan dan pasukan yang berjalan kaki mengikuti dari belakang setengah berlari. Sembilan orang jagoan Nepal yang merasa berjasa dan bergembira, tidak dapat menahan kegembiraan hati mereka dan terdengarlah suara mereka bernyanyi-nyanyi dalam bahasa Nepal ketika mereka membedal kuda tunggangan mereka mendahului pasukan karena memang mereka menjadi pelopor. Aneh dan janggal sekali suara mereka itu, suara asing yang bergema di sepanjang hutan yang dilalui pasukan itu. Kadang-kadang suara nyanyi hiruk pikuk panjang pendek itu diseling suara ketawa dan teriakan-teriakan mereka bersendau-gurau. Semua ini diperhatikan dan didengarkan oleh Milana yang duduk dengan sikap tenang di atas kudanya. Dara perkasa ini merasa berduka mengingat akan kehancuran Thian-liong-pang dan kematian tokoh perkumpulan ibunya. Namun sedikit pun dia tidak merasa gelisah atau takut. Hanya terpaksa dia ditawan. Akan tetapi setiap saat ia bersiap untuk melawan dan memberontak jika terdapat kesempatan. Satu-satunya hal yang dikhawatirkannya hanyalah ke adaan ibunya.
Ibunya belum tahu akan malapetaka yang menimpa Thian-liong-pang dan dia tidak tahu di mana adanya ibunya, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ibunya juga terancam bahaya besar yang direncanakan oleh Koksu dan kaki tangannya.
Dengan sikap angkuh dan agung Milana mengerling kepada Thian Tok Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang menunggang kuda di dekatnya. Panglima itu menjadi orang kepercayaan Koksu dan kedua orang ini, terutama Thian Tok Lama, yang mengawal dan menjaganya. Kalau saja tidak ada pendeta Tibet itu, agaknya masih ada harapan baginya untuk meloloskan diri. Akan tetapi pendeta gundul itu benar-benar amat lihai.
"Tidak enakkah dudukmu, Nona? Menyesal sekali, terpaksa kami membelenggu kedua tanganmu." Terdengar Panglima Bhe Ti Kong berkata.
Milana tidak menjawab, juga tidak menoleh sama sekali, melainkan tetap duduk tegak memandang ke depan seolah-olah tidak mendengar suara panglima itu. Betapapun juga, dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, malah lebih jelas lagi, puteri dari Puteri Nirahai! Dia adalah cucu kaisar! Kedudukannya jauh lebih tiggi daripada kedudukan seorang panglima pembantu Koksu. Dengan pikiran ini, Milana dapat duduk dengan tegak dan sikap agung dan sikap ini terasa sekali oleh Bhe Ti Kong maupun Thian Tok Lama.
"Hemm, tiada gunanya bersikeras. Hanya orang bodoh dan tidak bijaksana saja yang tidak mampu menghadapi kekalahan dan berkeras kepala." Kembali Bhe Ti Kong berkata karena diapun tahu bahwa dara jelita dan perkasa itu adalah cucu kaisar, merupakan seorang tawanan yang amat penting dan membuat dia merasa tidak enak sendiri.
Milana tersenyum mengejek, mengerling dan berkata, "Perlu apa banyak cerewet? Tunggulah saja kalau sampai kalian terjatuh ke tangan ibuku!"
Pada saat itu, sebelum Bhe Ti Kong atau Thian Tok Lama menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan di sebelah depan. Sampai tiga kali terdengar jerit mengerikan itu jerit memanjang, jerit orang yang ketakutan, jerit kematian. Setelah gema suara jerit itu lenyap, yang terdengar hanya derap kaki kuda dan suasana menjadi menyeramkan dan menegangkan sekali.
"Harap Ciangkun menjaga dia baik-baik, pinceng akan mengadakan pengawalan di belakang. Kumpulkan semua tenaga untuk mengawal dia," kata Thian Tok Lama.
Bhe Ti Kong mengangguk, kemudian memanggil para panglima dan jagoan-jagoan Nepal, dan pasukan itu bergerak maju, Milana di tengah-tengah mereka, dijaga ketat.
"Apakah yang terjadi? Siapa yang menjerit tadi?" Bhe Ti Kong bertanya.
Para pelopor, jagoan-jagoan Nepal itu mengangkat bahu. "Kawan-kawan yang berada di depan tentu akan dapat memberi keterangan nanti," kata mereka. Mereka adalah tiga orang di antara sembilan jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Adapun yang enam orang lain telah mendahului gerakan pasukan sebagai pelopor dan pembuka jalan, juga sebagai pengawas agar jalan yang akan mereka lalui aman.
Milana tetap duduk tegak di atas kudanya dengan tenang. Dikurung di tengah-tengah antara para panglima dan jagoan Nepal, kudanya lari mencongklang, membuat tubuhnya terayun-ayun mengikuti gerakan kuda, dan rambut dara yang panjang itu berkibar. Mereka memasuki bagian hutan yang lebat dan keadaan sudah mulai suram dan agak gelap.
"Haiii....! Lihat di depan itu....!" Tiba-tiba Bhe Ti Kong berteriak, disusul seruan-seruan kaget para jagoan Nepal yang cepat membalapkan kuda mereka menuju ke depan di mana tampak sesosok tubuh orang bersorban membujur di atas tanah.
Milana memandang dengan jantung berdebar. Dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa orang yang rebah di atas tanah di tengah jalan itu tentulah seorang di antara jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi. Dugaannya memang tepat. Setelah mereka datang dekat dan para jagoan Nepal bersama Panglima Bhe Ti Kong meloncat turun dari kuda memeriksa, ternyata bahwa tubuh itu adalah mayat seorang di antara para jagoan Nepal yang mendahului jalan, rebah telentang dan tewas dengan sebatang pisau, pisaunya sendiri yang menjadi kebanggaan para jagoan Nepal itu, menancap di tenggorokannya!
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda membalap dari arah depan dan belakang. Hampir berbareng dua orang penunggang kuda itu tiba di situ. Yang datang dari belakang adalah Thian Tok Lama yang telah mendengar akan kematian seorang pembantunya dari Nepal, adapun yang datang dari depan adalah seorang jagoan Nepal lain yang bermuka pucat dan yang begitu datang melapor dengan suara terengah-engah kepada Thian Tok Lama, "Celaka.... di depan ada lagi tiga orang teman yang tewas....!"
Thian Tok Lama terkejut dan marah sekali. Sambil mengeluarkan suara menggereng keras dia melayang turun dari atas punggung kudanya, berdiri dan memandang ke depan, mulutnya mengeluarkan suara yang nyaring melengking sampai bergema di seluruh hutan.
"Pinceng Thian Tok Lama memimpin pasukan khusus dari Koksu, siapakah begitu berani mati mengganggu kami dan membunuh empat orang anggauta pengawal pasukan kami?"
Semua orang diam dengan hati tegang membuka mata dan telinga menanti jawaban dan keadaan di hutan itu sunyi sekali, sunyi dan menyeramkan. Sampai dua kali Thian Tok Lama mengulang teriakannya namun belum juga ada jawaban.
Suara Milana yang tertawa mengejek memecahkan kesunyian yang menyeramkan itu. "Hem, mengapa kalian begini ketakutan?" Dara itu mengejek, hanya untuk memperolok orang-orang yang dibencinya itu. Dia sendiri tidak tahu siapa pembunuh orang-orang Nepal itu, tidak dapat menduga apakah pembunuh itu kawan ataukah lawan. Melihat caranya membunuh jagoan-jagoan Nepal yang lihai jelas dapat diduga bahwa pembunuhnya tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi dia yakin bukan ibunya yang melakukan hal itu. Cara yang dipergunakan ibunya selalu terbuka, tidak suka ibunya membunuh lawan secara menggelap macam itu. Ibunya adalah seorang gagah perkasa sejati sedangkan cara yang dipergunakan pembunuh ini menyeramkan penuh rahasia.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, seolah-olah menyambut atau menjawab pertanyaan mengejek dari Milana tadi.
"Kalau Nona Milana tidak segera dibebaskan, sebentar lagi bukan hanya para pelopor yang tewas, melainkan seluruh pasukan! Berani melawan dan menghina tunanganku, berarti bosan hidup!"
Diam-diam Milana terkejut dan kecewa sekali mendengar suara yang dikenalnya itu. Dia merasa gelisah. Tahulah dia bahwa yang membunuh orang-orang Nepal itu adalah pemuda Pulau Neraka yang amat dibencinya itu, dibenci akan tetapi juga ditakutinya. Namun tentu saja dara jelita ini tidak memperlihatkan rasa khawatirnya dan masih tetap bersikap biasa dan tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang membuat dia merasa khawatir.
Tentu saja Thian Tok Lama menjadi marah sekali. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa orang yang mengeluarkan kata-kata sombong itu, akan tetapi dia menduga bahwa tentulah orang itu berniat merampas tawanan. Satu-satunya orang yang ditakutinya di dunia ini hanyalah Pendekar Super Sakti, dan biarpun dia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang juga amat lihai dan mungkin saja ketua itu tiba-tiba muncul untuk menolong puterinya, namun dengan bantuan para jagoan-jagoan Nepal dan pasukannya yang kuat, dia merasa cukup kuat menghadapi bekas puteri kaisar itu.
"Siapa berani main-main dengan pinceng? Harap suka keluar untuk bicara!" Kembali Thian Tok Lama mengeluarkan seruan dengan pengerahan khi-kang sehingga suaranya mengandung getaran berpengaruh.
"Blarrr....!" Sebuah ledakan keras mengejutkan semua orang. Tempat itu menjadi gelap tertutup asap hitam. Seorang panglima yang berlaku waspada cepat meloncat dekat kuda yang diduduki Milana untuk menjaga jangan sampai dalam keadaan gelap itu tawanan yang penting ini dilarikan orang. "Pasukan tenang, jangan gugup dan mudah dikacau orang. Asap ini tidak berbahaya....!" Thian Tok Lama berseru ketika ia mendapat kenyataan bahwa asap hitam itu tidak mengandung racun. Sedangkan dia sendiri diam-diam bergerak di dalam asap, memasang mata untuk mencari musuh yang melepas asap hitam tebal. Akan tetapi tidak tampak ada gerakan sesuatu, maka diapun hanya berdiri dan bersikap waspada karena untuk bergerak di dalam selimutan asap gelap itu benar-benar merupakan bahaya, salah-salah bisa menyerang anak buah sendiri.
"Wir-wir-wirrr....!" Asap hitam membuyar tertiup angin yang menyambar-nyambar sehingga tak lama kemudian tempat di sekitar itu tidak begitu gelap lagi. Asap hitam mulai menipis.
Thian Tok Lama memandang dengan mata terbelalak, kaget bukan main melihat bahwa angin yang menyambar-nyambar mengusir asap hitam itu keluar dari gerakan kedua lengan seorang pemuda tampan yang tahu-tahu telah berdiri di dekat kuda yang ditunggangi Milana, sedangkan seorang panglima tua yang tadi mendekati dan menjaga tawanan telah menggeletak tak bernyawa di kaki kudanya sendiri!
"Keparat, siapa engkau....?" Thian Tok Lama sudah menggerakkan tangan dan siap menyerang. Pemuda itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan terdengar suaranya tertawa. Thian Tok Lama merasa seram. Pemuda itu tertawa, atau lebih tepat, memperdengarkan suara tertawa, akan tetapi mulut dan matanya tidak tertawa, hanya bibirnya bergerak sedikit. Persis mayat tertawa!
"Ha-ha-ha-ha, pendeta Lama. Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan sembrono menggerakkan tangan menyerang!" Sikap dan kata-kata pemuda itu membuat Thian Tok Lama ragu-ragu dan curiga. Dia tidak tahu siapakah pemuda aneh ini, kawan ataukah lawan karena keadaan masih agak gelap, bukan hanya gelap oleh asap, akan tetapi karena senja mulai mendatang dan tempat itu penuh dengan pohon-pohon besar. Akan tetapi ada sesuatu yang seolah-olah membisikkan kewaspadaan kepadanya, maka kini dia melangkah maju dan memandang penuh perhatian.
Tiba-tiba pendeta Lama itu terkejut. Kini dia mengenal pemuda itu, seorang pemuda yang masih remaja, akan tetapi yang memiliki sikap aneh luar biasa. Pemuda tampan yang mempunyai mata seperti mata iblis, mukanya agak pucat dan gerak-geriknya membayangkan ketinggian hati yang tidak lumrah. Pemuda dari Pulau Neraka yang pernah muncul di padang tandus ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan dan pertandingan! Hatinya menjadi agak lega. Pemuda ini bukan tokoh Thian-liong-pang, dan sebagai seorang tokoh Pulau Neraka, pasti sekali bukan sahabat Thian-liong-pang, sungguhpun dia dan pasukannya tidak dapat mengharapkan sikap baik dari penghuni Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah itu.
"Orang muda, kalau pinceng tidak salah mengenal orang, engkau adalah orang yang pernah muncul sebagai tokoh Pulau Neraka, benarkah?"
Mendengar ucapan Thian Tok Lama itu, para panglima dan jagoan Nepal terkejut, dan diam-diam mereka bersiap-siap dengan pasukan mereka mengurung pemuda itu. Sedangkan Milana yang diam-diam merasa cemas juga, tetap bersikap dingin dan tidak mau mengacuhkan mereka semua, duduk diam dan tegak di atas kudanya, memandang jauh.
Pemuda itu adalah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka. Pemuda yang tergila-gila kepada Milana itu, mendengar pertanyaan Thian Tok Lama tersenyum dingin dan hanya mengangguk dan memandang rendah, sama sekali tidak menjawab karena dia sudah menoleh lagi kepada Milana dengan pandang mata penuh kemesraan!
Melihat sikap pemuda itu, diam-diam Thian Tok Lama mendongkol sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai dan aneh, akan tetapi dia sendiri bukanlah seorang biasa yang mudah merasa gentar menghadapi lawan semuda itu! Apalagi melihat bahwa pemuda itu hanya seorang diri, tidak ditemani dua orang kakek seperti setan yang pernah menggegerkan pertemuan yang diadakan Thian-liong-pang. Dengan adanya pasukan dan para pembantunya, tentu saja dia tidak takut menghadapi pemuda yang masih amat muda itu.
"Orang muda, pinceng harap engkau tidak begitu nekat untuk menentang pasukan pemerintah! Apakah engkau yang telah lancang membunuh orang-orang kami itu?" Kembali Thian Tok Lama bertanya.
Dengan sikap acuh tak acuh, Wan Keng In memaksa mukanya mengalihkan pandang mata dari wajah Milana yang jelita kepada wajah Thian Tok Lama yang gemuk. Cuping hidungnya yang tipis bergerak, mengeluarkan dengus menghina, kemudian dia berkata, "Thian Tok Lama, tak perlu menggertak aku dengan nama pasukan pemerintah. Aku tahu pasukan apa ini, dan tahu pula apa yang akan dilakukan oleh Koksu bersama Pangeran Yauw Ki Ong. Ha-ha-ha, apa kaukira aku tidak melihat betapa kalian membasmi Thian-liong-pang? Sungguh bagus....!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Thian Tok Lama mendengar ucapan itu, dan semua anggauta pasukan sudah meraba senjata. Akan tetapi karena pendeta Lama itu belum memberi aba-aba, mereka semua hanya bersiap-siap menghadapi pemuda yang mendatangkan suasana menyeramkan itu.
"Orang muda, di pihak siapakah engkau berdiri?" Thian Tok Lama memancing, tidak mau berpura-pura lagi karena maklum bahwa dia menghadapi orang luar biasa.
"Tentu saja di pihakku sendiri, tolol!" Wan Keng In menjawab. "Kalian membasmi Thian-liong-pang bukan urusanku karena Ketua Thian-liong-pang berani menghina dan menolak pinanganku. Akan tetapi engkau telah berani menawan dan menghina tunanganku ini, hemm...., benar-benar tak boleh dibiarkan begitu saja. Kalau Koksu tidak minta maaf kepada Nona Milana, aku akan membasmi dia dan semua kaki tangannya!"
"Manusia sombong....!" Bhe Ti Kong berseru marah sekali. Panglima ini adalah seorang yang tangguh, kasar dan setia kepada Koksu. Sudah banyak dia melihat orang pandai namun orang-orang pandai tunduk dan takut kepada Koksu, maka kini melihat seorang pemuda bersikap demikian angkuh, dan melihat sikap Thian Tok Lama yang dianggapnya terlalu merendahkan kedudukan dan wibawa Koksu, dia menjadi marah sekali.
Sambil membentak demikian, Bhe Ti Kong sudah menerjang maju, meloncat turun dari kudanya dan langsung menyerang pemuda itu dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sebuah tombak cagak yang bergagang pendek. Gerakan panglima ini kuat sekali, dan bagaikan seekor burung rajawali dia menyambar dari atas, langsung tombaknya melakukan gerakan serangan beruntun sampai tiga kali ke arah kepala, leher, dan dada Wan Keng In.
"Plak-plak-plak.... bressss....!"
Enak saja Wan Keng In menyambut serangan-serangan itu. Tanpa menggeser kedua kakinya yang masih berdiri terpentang lebar, dengan sikap acuh tak acuh, dia tadi menggerakkan tangan kiri, menyampok ke arah tombak setiap kali ujung tombak itu menyambar. Tiga kali dia menangkis dan yang terakhir kalinya disusul dengan dorongan yang membuat tubuh Panglima Bhe Ti Kong terbanting ke atas tanah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, para jagoan Nepal dan para panglima terkejut dan sudah mencabut senjata masing-masing, bergerak hendak mengeroyok.
"Tahan....!" Thian Tok Lama mengangkat tangan ke atas sehingga pasukannya tidak berani maju, hanya menoleh dan memandang kepadanya penuh pertanyaan. Thian Tok Lama melangkah maju menghadapi Wan Keng In yang tersenyum mengejek."Orang muda, engkau siapakah, dan apakah kehendakmu? Berikan penjelasan sebelum kami terlanjur turun tangan yang akan mendatangkan penyesalan karena kami akan lebih suka menarikmu sebagai sahabat.
Pada waktu ini, Koksu membutuhkan bantuan banyak orang pandai dan kalau engkau suka membantunya, pinceng yakin bahwa kelak engkau akan memperoleh kemuliaan." Pendeta itu memang cerdik sekali. Biarpun dia tidak takut terhadap pemuda ini, akan tetapi kalau sampai terjadi bentrokan, tentu akan jatuh banyak korban di antara pembantu-pembantunya melihat pemuda itu secara lihai bukan main telah mengalahkan Bhe Ti Kong dalam segebrakan saja. Apalagi kalau diingat bahwa siapa tahu, muncul pula dua orang kakek setan yang mengerikan itu! Maka, jauh lebih baik membujuk pemuda ini, karena kalau dia berhasil menarik pemuda lihai ini sebagai sekutu, tentu Koksu akan menjadi girang bukan main dan akan memujinya.
Wan Keng In mengeluarkan suara mendengus marah. "Huhh! Kaukira aku ini orang macam apa yang membutuhkan anugerah Koksu? Kalau Koksu sendiri mau datang ke sini dan minta maaf kepada Nona Milana, kemudian mengundang aku, barulah aku akan pikir-pikir tentang kerja sama yang kausebut-sebut itu."
Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian Tok Lama mendengar ucapan yang amat sombong itu! Namun, sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda dari Pulau Neraka ini adalah seorang anak manja yang sejak kecil memperoleh pendidikan kesaktian tinggi sehingga terlalu percaya kepada kepandaian sendiri, juga karena ada yang diandalkan. Maka dia bersikap sabar, bahkan tersenyum dan berkata, "Ha-ha-ha, tenaga seorang pandai memang amat mahal!
Seorang pemimpin yang bijaksana tidak akan segan-segan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan orang pandai. Menteri Kiang Cu Ge pun baru mau mengabdi kepada kaisar setelah kaisar datang sendiri mengundangnya. Pantas saja kalau Sicu (Orang Muda Gagah) mencontoh perbuatannya. Akan tetapi, sebelum terbukti cukup berharga untuk diundang sendiri oleh Koksu, harus lebih dulu diuji kepandaiannya. Pinceng adalah seorang pembantu Koksu yang sudah memperoleh kepercayaan, biarlah pinceng memberanikan diri untuk menguji kepandaian Sicu, kalau Sicu suka memperkenalkan nama."
Mendengar ucapan dan melihat sikap menghormat ini, Wan Keng In yang biasanya dimanja menjadi bangga sekali. Pendeta itu adalah tangan kanan Koksu Negara, dan sudah menyamakannya dengan Kiang Cu Ge, tokoh manusia dewa dalam sejarah lama (cerita Hong-sin-pong) yang menjadi pujaan semua manusia karena kebijaksanaannya sehingga sekalian setan dan iblis di neraka pun tunduk kepadanya!
"Thian Tok Lama, aku Wan Keng In pun bukanlah seorang yang tidak tahu siapa yang pada waktu ini patut dibantu. Aku tadi membunuh orang-orangmu karena aku marah melihat kekasih dan tunanganku ditawan. Kalau engkau hendak mengujiku, silakan, akan tetapi jangan menyesal kalau engkau tewas dalam pertandingan ini!" Benar-benar ucapan yang amat sombong, akan tetapi pada saat itu Wan Keng In sudah mencabut pedangnya yang membuat Thian Tok Lama terbelalak kaget dan ngeri. Pedang di tangan pemuda itu mengeluarkan sinar maut yang berkilat-kilat.
"Aihh.... bukankah Lam-mo-kiam di tanganmu itu, Sicu?" Wan Keng In memandang pedangnya dan mengangguk bangga.
"Wan-sicu, pinceng percaya bahwa Sicu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarlah tidak perlu lagi pinceng menguji dan marilah Sicu ikut bersama pinceng pergi menghadap Koksu" Gentar juga pendeta ini melihat Lam-mo-kiam.
Wan Keng In masih melintangkan pedangnya di depan dada, alisnya berkerut, kemudian dia menjawab, "Dengan dua syarat!"
"Katakanlah, pinceng yakin Koksu akan dapat memenuhi syarat Sicu."
"Pertama, Nona Milana ini adalah kekasih dan tunanganku, tidak boleh diganggu dan bahkan harus disyahkan menjadi isteriku. Ke dua, aku menjadi pembantu langsung dari Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, dan hanya mau menjadi bawahan orang yang dapat mengalahkan kepandaianku!"
Diam-diam Thian Tok Lama tertawa dalam hatinya. Orang muda ini benar-benar sombong dan berkepala dingin! Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk. "Koksu adalah seorang yang ahli dalam memilih pembantu, kalau sudah bertemu dengan Wan-sicu dan menyaksikan kelihaian Sicu, tentu akan suka memberikan kedudukan yang tinggi. Tentang Nona ini.... ehhh....!"
Tiba-tiba Thian Tok Lama tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat betapa kuda yang ditunggangi Milana itu mendadak meloncat ke depan dan kabur! Kiranya ketika tadi Milana mendengar percakapan di antara mereka dan melihat perkembangan yang tidak menguntungkan baginya, dara ini menjadi makin cemas. Tadinya dia mengharap akan terjadi bentrokan antara pihak Thian Tok Lama dan Wan Keng In sehingga dalam kekacauan itu dia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. Akan tetapi dengan kecewa dan mendongkol dia melihat perkembangan yang jauh berbeda. Kedua orang itu bahkan bersekutu, maka habislah harapannya untuk melihat mereka bertanding. Karena tidak melihat jalan lain, dan merasa ngeri membayangkan terjatuh ke tangan pemuda gila itu, dia lalu berusaha mengaburkan kudanya sambil mengerahkan tenaga sehingga belenggu kedua tangannya putus.
"Ha-ha, tidak perlu khawatir, aku akan menangkapnya kembali. Heiii, manisku, engkau hendak pergi ke mana? Jangan tinggalkan aku, kekasih....!" Wan Keng In berseru dan tubuhnya sudah meluncur ke depan cepat sekali.
Milana maklum bahwa dia harus melawan mati-matian, maka dengan nekat dia lalu menggerakkan tangannya dan bekas tali yang tadi membelenggu tangannya, kini meluncur menjadi sinar hitam menyambut tubuh Wan Keng In yang mengejarnya.
"Ha-ha-ha, engkau mau main-main denganku?" Wan Keng In tertawa, tangan kiri menyambut tali itu. Menangkap ujungnya dan terus disentakkan ke atas, tangan kanan dipukulkan ke depan ke arah tubuh belakang kuda yang membalap.
Kuda yang ditunggangi Milana mengeluarkan suara meringkik keras dan roboh berkelojotan terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Wan Keng In, sedangkan tubuh dara itu terlempar ke atas ketika tali yang dipergunakan menyerang pemuda itu tadi tertangkap oleh Keng In dan disentakkan ke atas. Pemuda itu benar-benar hebat sekali ilmu kepandaiannya dan kini dia sudah meloncat ke depan untuk menyambut tubuh Milana yang terlempar ke atas.
"Ehhhh....?" Wan Keng In terbelalak heran dan memandang ke atas. Dia merasa kecelik karena tubuh dara yang dinantikan itu sama sekali tidak kelihatan melayang turun, bahkan ketika ia menarik lagi tali yang dicengkeramnya, tali itu putus dan hampir menghantam mukanya sendiri. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika melihat bahwa kini Milana telah duduk di atas dahan pohon tinggi, berhadapan dengan seorang pemuda dan mereka asyik bercakap-cakap!
Thian Tok Lama dan para panglima serta jagoan-jagoan Nepal sudah memburu ke bawah pohon, dan kini mereka itu mengurung pohon bahkan pasukan lalu dikerahkan untuk menjaga di sekeliling pohon agar gadis tawanan itu tidak sampai dapat meloloskan diri.
"Milana, manisku, turunlah engkau!" Wan Keng In berkata halus dan dia belum mengenal siapa adanya laki-laki muda yang bercakap-cakap dengan dara itu. Akan tetapi baik Milana maupun pemuda di atas pohon itu tidak mempedulikannya, tidak mempedulikan mereka yang mengurung pohon karena mereka berdua itu sedang saling berbantah. Melihat sikap mereka itu, mau tidak mau Wan Keng In mendengarkan percakapan mereka dan ia merasa heran, dan marah bukan main!
Pemuda yang berada di atas itu bukan lain adalah Gak Bun Beng! Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda sakti ini meninggalkan markas pasukan istimewa pembantu para pemberontak di perbatasan utara, kemudian dia menuju ke kota raja. Tanpa disengaja, secara kebetulan sekali di dalam hutan itu dia melihat pasukan yang dipimpin Thian Tok Lama sedang diganggu oleh Wan Keng In.
Tentu saja Bun Beng menjadi terkejut sekali dan girang melihat musuh-musuh besarnya, terutama sekali Thian Tok Lama dan Bhe Ti Kong, dua orang di antara mereka yang dahulu mengeroyok dan membunuh gurunya, Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi ia tercengang melihat Wan Keng In dan ia segera mengenal pemuda Pulau Neraka yang amat lihai itu. Timbul kemarahannya karena ia teringat betapa dia pernah dikalahkan dan dihina oleh pemuda iblis itu, bahkan pedang Lam-mo-kiam telah dirampas oleh pemuda Pulau Neraka yang semenjak kecil sudah amat jahat itu. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut sekali adalah ketika ia melihat Milana duduk di atas punggung kuda sebagai seorang tawanan! Bertemu dengan semua ini, Bun Beng bersikap hati-hati. Tentu saja dia harus menolong Milana, dara jelita yang telah melepas budi banyak sekali kepadanya. Akan tetapi, dia maklum bahwa menolong Milana dari tangan pasukan yang kuat dan dipimpin orang-orang pandai itu, apalagi di situ terdapat pemuda Pulau Neraka, bukanlah hal yang mudah. Karena inilah, dia bersabar dan bersembunyi sambil mengintai dan mendengarkan mereka.
Mula-mula diapun merasa heran ketika mendengar percakapan antara Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan seperti juga Milana, diam-diam dia mengharapkan kedua pihak ini akan bertanding sehingga dia mendapat banyak kesempatan untuk menolong dara itu. Akan tetapi betapa kecewanya ketika akhirnya pemuda Pulau Neraka itu dapat terbujuk dan bahkan bersekutu, maka terpaksa dia siap untuk menggunakan kekerasan menyelamatkan Milana. Pada saat itulah Milana merenggut tali belenggunya dan berusaha mengaburkan kuda.
Melihat Milana dikejar Wan Keng In, kudanya dirobohkan dan dara itu sendiri terlempar ke atas, Bun Beng cepat melayang ke atas pohon besar dan menyambar lengan dara itu. Bagaikan dalam mimpi Milana melihat Bun Beng di depannya, di atas dahan pohon tinggi sehingga untuk beberapa lamanya dara ini hanya terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan kedua pipinya berubah merah sekali, jantungnya berdebar.
"Kau....?" Hanya demikian dia dapat mengeluarkan suara. "Nona, syukur sekali secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Serahkan mereka itu kepadaku, akan tetapi engkau harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Berbahaya sekali di sini."
Milana menggeleng kepala keras-keras. "Membiarkan engkau menghadapi mereka sendiri dan aku lari? Tidak! Aku akan membantumu melawan mereka!"
"Aahhh, jumlah mereka terlalu banyak dan kulihat orang-orang pandai di antara mereka. Harap engkau suka menurut, Nona. Sungguh berbahaya sekali kalau memaksa diri melawan."
"He mm, Gak-twako. Kau bilang berbahaya bagiku kalau melawan, habis engkau sendiri?"
"Nona...."
"Gak-twako, begini sombongkah engkau? Sejak dahulu?" Bun Beng gelagapan ditegur seperti itu dan dia memandang dengan mata terbelalak lebar. "Sombong! Aku....?"
"Apa kau tidak suka bersahabat denganku?"
"Tentu saja, aku...."
"Sudah mengenal sejak dahulu, mengapa engkau masih selalu sungkan dan menyebut aku nona? Namaku Milana dan engkau tahu ini, bukan?"
"Habis.... habis....?"
"Aku tidak mau kausebut nona! Nah, sebut namaku atau adik, atau.... sudah jangan mengenal aku lagi kalau kau begini angkuh!"
"Eh...., ohh...., Nona.... eh, Adik Milana! Jangan main-main begini....!" Bun Beng menegur, terheran-heran mengapa dalam keadaan terancam seperti itu dara yang dahulu bersikap halus dan lemah lembut itu meributkan soal sebutan!
"Gak-twako, tidak girangkah engkau bertemu denganku?" Bun Beng makin bingung dan memandang dengan alis berkerut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan dara ini keracunan, atau sudah bingungkah pikirannya? Dia mengangguk.
"Aku.... aku girang sekali, Twako tidak tahu engkau betapa girangku.... dan ahh.... kau.... kautolonglah aku, Twako....!"
Tiba-tiba Milana terisak menangis dan ketika dengan kaget Bun Beng menyentuh lengannya, dara itu memeluknya dan menangis terisak-isak, menyembunyikan muka di dadanya!
Tentu saja Bun Beng menjadi bengong! Dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Milana telah menderita guncangan batin yang cukup hebat, menderita tekanan batin yang ditahan-tahannya semenjak dia melihat Thian-liong-pang terbasmi, pembantu-pembantu ibunya gugur dan dia sendiri menjadi tawanan. Dara itu tentu saja berduka sekali melihat perkumpulan ibunya hancur, melihat Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang dan yang lain-lain roboh dan tewas, dan kemudian dia sendiri menjadi tawanan, bahkan kemudian terjatuh ke tangan Wan Keng In pemuda yang mengerikan, sedangkan dia belum tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya. Dalam keadaan hampir putus asa itu, secara tiba-tiba, secara tidak terduga-duga, di atas pohon, muncul Gak Bun Beng, orang yang selama ini dirindukannya! Inilah sebabnya mengapa dara itu bersikap demikian aneh, seperti orang mabok atau seperti orang yang berubah ingatannya dan kini dia menangis tersedu-sedu, teringat akan semua kedukaannya dan hanya mengharapkan bantuan orang yang amat dipercayanya ini.
Tentu saja Bun Beng salah sangka. Apakah dara ini telah berubah menjadi seorang yang amat penakut dan menangis menghadapi ancaman bahaya? Jantungnya berdebar tidak karuan. Dara yang menangis di dadanya itu membuat dia merasa betapa dekatnya wajah jelita itu yang menempel di dadanya, terasa olehnya kehangatan air mata membasahi kulit dada dan tercium olehnya harum rambut Milana.
"Nona.... eh, Moi-moi (Adik).... hentikan tangismu. Jangan takut, aku akan melindungimu dari mereka itu, percayalah...."
"Keparat, mampuslah engkau!" Tiba-tiba seorang panglima meloncat ke atas dan menggerakkan goloknya membacok Bun Beng.
"Prakk...., bresss....!"
Tubuh panglima itu terlempar dan terbanting roboh ke atas tanah oleh tangkisan Bun Beng. "Aku tidak takut.... ah, Twako.... kau tidak tahu.... mereka telah membasmi Thian-liong-pang.... Bibi Tang Wi Siang dan para paman.... mereka telah tewas...."
Terkejutlah Bun Beng. Dia sudah tahu bahwa para pemberontak yang dipimpin Koksu memusuhi Thian-liong-pang, akan tetapi tidak disangkanya pasukan ini demikian mudah membasmi Thian-liong-pang.
"Mana mungkin? Di mana ibumu?" Dia tidak dapat percaya Thian Tok Lama dan kawan-kawannya itu dapat menandingi Ketua Thian-liong-pang yang demikian sakti.
"Ibu tidak ada, mungkin di kota raja. Kami melawan mati-matian, akan tetapi percuma, dan aku tertawan...." Bun Beng mengangguk-angguk dan tiba-tiba dia melakukan gerakan menampar ke bawah.
"Desss....!" Dahan di mana Bun Beng berjongkok itu tergetar hebat, akan tetapi tubuh Wan Keng In yang tadi meloncat dan memukul, juga terdorong kembali ke bawah ketika pukulannya tertangkis oleh Bun Beng. Diam-diam Bun Beng terkejut. Pemuda Pulau Neraka itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya! Di lain pihak Wan Keng In yang belum mengenal Bun Beng karena di dalam pohon sudah mulai gelap, lebih kaget lagi melihat ada orang yang mampu menangkis pukulannya bahkan membuat tubuhnya seperti dibanting ke bawah dengan kekuatan dahsyat!
"Milana," Bun Beng berbisik, tidak bersikap sungkan lagi. "Tidak banyak waktu sekarang. Mereka itu benar-benar lihai dan jumlah mereka banyak. Kalau kita berdua melawan, mungkin engkau akan tertangkap lagi atau terluka. Engkau harus lari lebih dulu. Tunggu setelah aku mengamuk di bawah, engkau melompat jauh dari tempat ini, melalui pohon-pohon dan menghilang dalam gelap. Bawa pedang ini...."
"Tidak! Aku akan melawan, bertanding di sampingmu sampai mati...." Bun Beng merasa lehernya seperti dicekik mendengar ini.
"A.... apa....?"
"Gak-twako, apa masih perlu kujelaskan lagi? Tidak cukupkah ketika dahulu aku membela dan melindungimu ketika kau terluka?"
Gemetar seluruh tubuh Bun Beng, tangannya menggigil ketika ia memegang tangan Milana. "Tidak cukup....? Duhai.... terlalu cukup, terlalu banyak.... bahkan itulah yang menyiksa hatiku. Milana.... betapa aku berani menyatakan kekurang-ajaran ini? Akan tetapi...., ah, kata-katamu tadi.... Milana, orang yang paling kumuliakan di dunia ini karena baik budimu, yang paling kucinta di dunia ini.... maafkan aku.... akan tetapi aku cinta padamu.... dan.... dan kau bilang ingin bertanding di
sampingku sampai mati....? Benarkah pendengaranku?"
"Singg....! Krekkk.... plakkk! Aduhhh....!" Tubuh seorang jagoan Nepal yang tadi menyerang dengan tombaknya, terpelanting, tombaknya patah dan kepalanya pecah oleh pukulan Bun Beng yang menangkis dan memukul tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Milana.
Sepasang mata itu basah air mata, akan tetapi bibir yang gemetar tersenyum. "Gak-twako, mengapa baru sekarang kau menyatakan isi hatimu yang sejak dahulu tampak membayang dalam pandang matamu?"
"Milana.... betapa aku berani.... kau.... seorang dara mulia, puteri Ketua Thian-liong-pang, puteri Pendekar Super Sakti yang kumuliakan, malah cucu kaisar sendiri! Ya Tuhan, betapa beraniku menyatakan cinta! Kalau tidak mendengar ucapanmu tadi.... perasaan hatiku akan kusimpan sebagai rahasia sampai mati."
"Terima kasih, Twako. Sekarang aku tidak ragu-ragu lagi! Aku puas, aku bahagia. Apapun yang akan terjadi, biar orang sedunia menentangnya, aku akan selalu berbahagia di sampingmu, hidup atau mati. Marilah, Twako. Mari kita menerjang ke bawah, kita lolos dan selamat berdua atau mati bersama!"
"Tida k....! Seribu kali tidak! Setelah aku tahu bahwa harapan hidupku tidak sia-sia, setelah aku tahu bahwa engkau pun mencintaku, mana mungkin aku membiarkan engkau terancam bahaya? Tidak! Milana, dengarlah baik-baik. Lihat pedang ini. Ini adalah Hok-mo-kiam yang sudah dapat kurampas kembali. Bawalah pedang ini, cari ibumu di kota raja dan serahkan pedang ini kepada ayahmu, Pendekar Super Sakti. Dengan pedang ini engkau akan dapat melindungi dirimu. Aku akan hadapi mereka di bawah itu.... hemmm.... akan kuhajar cacing-cacing busuk yang telah berani menghina dewi pujaan hatiku!"
"Tidak, Twako...."
"Husshhh, demi cinta kita, taatilah aku sekali ini saja, sayang! Aku tidak akan dapat memaafkan engkau, memaafkan aku sendiri atau siapa juga kalau sampai engkau ikut turun dan menderita celaka. Nah, aku terjun, siaplah meloncat dan lari. Sampai jumpa, sayang!" Tanpa menanti jawaban, Bun Beng yang hampir bersorak saking gembira hatinya itu turun. Dia hanya mendengar suara Milana terisak, akan tetapi hatinya lega ketika dia mulai merobohkan beberapa orang pengawal dan memandang ke atas, pohon itu telah kosong dan bayangan Milana telah lenyap.
"Thian Tok Lama pendeta palsu!" Dia membentak ketika melihat kakek itu membuat gerakan hendak melakukan pengejaran kepada Milana. Sebuah pukulan kilat yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang mengejutkan pendeta itu, apalagi ketika dia mengelak sambil menangkis, tetap saja hawa pukulan dari tangan Bun Beng membuatnya terpelanting.
"Wan Keng In, tikus Pulau Neraka, hendak kemana engkau?" Bun Beng sudah meloncat ke depan, menerjang Wan Keng In yang kelihatan ragu-ragu dan agaknya mencari-cari Milana yang lenyap. Diterjang secara hebat oleh Bun Beng, Wan Keng In terpaksa melayaninya. Dengan penasaran dan marah Keng In mengerahkan tenaganya, menyambut pukulan Bun Beng ke arah dadanya itu dengan dorongan telapak tangannya pula.
"Dessss....!" Kalau tadi mereka saling mengadu lengan di atas pohon, kini mereka mengadu kedua telapak tangan yang saling bertumbukan. Akibatnya, tubuh Wan Keng In terlempar ke belakang sampai lima meter lebih! Makin pucat wajah Wan Keng In dan biarpun dia tidak terluka, namun dia terkejut setengah mati dan barulah kini sepasang matanya memandang dengan sinar berkilat-kilat ke arah Bun Beng. Betapa hatinya tidak terkejut. Di dalam dunia ini, kiranya hanya ada dua orang, gurunya sendiri dan paman gurunya, dua kakek setan Pulau Neraka, yang dapat membuatnya terlempar seperti itu!
Pekik melengking yang menyeramkan keluar dari dada pemuda Pulau Neraka itu ketika dia meloncat ke depan lalu membentak,
"Jahanam! Siapa engkau?"
"Plak-plak-dess-dess!" Empat orang anggauta pasukan terpelanting ke kanan kiri dan tak dapat bangkit kembali terkena hantaman kaki tangan Bun Beng yang merasa betapa tubuhnya ringan dan enak sekali, seringan dan seenak hatinya yang gembira bukan main. Pemuda ini mengerling ke kanan kiri, tertawa ketika melihat para pengawal tidak berani maju dan hanya mengurung dari jarak jauh.
Dengan tenang dia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Wan Keng In, tersenyum mengejek dan memandang dengan sinar mata berseri. Dunia seolah-olah berubah bagi hati Bun Beng dan biarpun dia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya, dia tetap gembira. Tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, tidak ada kekhawatiran dan semua orang kelihatan menggembirakan.
Agaknya wajahnya yang berseri itu membuat semua orang terheran-heran dan curiga, sedangkan Wan Keng In mulai mengingat-ingat siapa gerangan pemuda tampan berseri-seri yang wajahnya tertimpa cahaya obor yang dinyalakan oleh beberapa orang pengawal. Dia merasa seperti mengenal wajah itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan. Selain kebahagiaan karena cinta kasihnya terbalas oleh Milana, hal yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya, atau diharapkannya itu membuat hatinya riang gembira, juga Bun Beng sengaja hendak memancing perhatian mereka agar Milana mendapat kesempatan untuk melarikan diri jauh-jauh. Kalau Milana sudah selamat, dan pedang Hok-mo-kiam sudah dapat dibawa pergi dara itu untuk diberikan kepada yang berhak, yaitu ayah dara itu, Pendekar Super Sakti, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang menyusahkan hatinya! Dia sendiri akan menghadapi bahaya apapun juga dengan hati ringan.
"Wan Keng In, engkau bocah setan ini makin jahat dan tersesat saja. Sekali ini aku tidak akan membiarkan kau terlepas sebelum memberi hajaran kepadamu! Dan Thian Tok Lama agaknya masih melanjut kan kejahatan-kejahatannya. Sudah lama aku menanti kesempatan ini, untuk bertemu denganmu dan membalas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."
Ucapan Bun Beng itu agaknya menyadarkan dua orang ini dan teringatlah mereka kini. Disebutnya nama Siauw Lam Hwesio sebagai guru mengingatkan Thian Tok Lama akan murid kakek tokoh Siauw-lim-pai itu, Gak Bun Beng yang pernah dan sempat dilihatnya pula ketika pemuda itu membantu Pulau Es pada waktu pasukan pemerintah membasmi pulau itu. Adapun Wan Keng In sekarang teringat akan pemuda yang telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, pemuda bernama Gak Bun Beng yang tadinya dia pandang rendah akan tetapi yang sekarang mampu membuatnya terlempar sampai lima meter!
"Manusia she Gak keparat!" Wan Keng In memaki.
"Gak Bun Beng, engkau anak haram dari Setan Botak Gak Liat yang kurang ajar itu....!"
"Wuuuuttt.... plakkk!" Untuk kedua kalinya dalam waktu yang singkat itu tubuh Thian Tok Lama terpelanting ketika dia tergopoh-gopoh menangkis pukulan Bun Beng yang marah sekali mendengar makian dan penghinaan itu. Akan tetapi dia tidak dapat mendesak musuh besarnya itu karena Wan Keng In sudah menyerangnya dengan pukulan-pukulan maut.
Pukulan pemuda Pulau Neraka ini dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, akan tetapi dari setiap ujung jari keluar hawa pukulan beracun yang amat dahsyat.
Bun Beng maklum akan kelihaian Keng In, maka dia sudah cepat mencelat ke kiri menghindarkan serangan sambil menerima tusukan tombak dan golok dari dua orang Nepal, membetot dua buah senjata itu sambil menendang. Dua orang Nepal itu mengaduh dan tubuh mereka terjengkang. Dua orang pengawal yang menerjang maju, roboh oleh tombak dan golok yang dirampas Bun Beng dan disambitkan menyambut terjangan mereka.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Bun Beng mengamuk seperti seekor burung garuda, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah pasukan. Tentu saja mereka itu merupakan lawan lunak bagi pemuda sakti ini dan dalam waktu beberapa menit saja sudah ada belasan orang tentara pengawal roboh termasuk beberapa orang Nepal dan panglima.
Melihat sepak terjang Bun Beng yang demikian hebat, Thian Tok Lama dan Wan Keng In menjadi penasaran sekali. Pendeta Lama itu mengeluarkan senjatanya, sebatang golok melengkung yang mengeluarkan sinar hijau, sedangkan Wan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam. Mereka ini, dibantu oleh Bhe Ti Kong dan sisa para panglima serta jagoan Nepal lain, mengurung Bun Beng. Adapun anak buah pasukan yang juga membentuk pengepungan ketat di sebelah luar, siap pula dengan senjata di tangan sedangkan di empat penjuru, delapan orang memegang obor untuk menerangi tempat yang mulai terselimut malam gelap.
"Kok-kok-kok heeeehhhh!" Perut gendut Thian Tok Lama mengeluarkan suara berkokok, kemudian disusul bentakannya dia menyerang maju, tangan kiri memukul, tangan kanan menggerakkan goloknya dengan cepat dan kuat sekali.
"Singgg.... syet-syet-syettt....!" Sinar hijau menyambar-nyambar dan bergulung-gulung ke arah tubuh Bun Beng yang tidak berani memandang rendah. Cepat dia menggerakkan tubuhnya mencelat ke kanan kiri dan belakang. Betapapun cepat serangan Thian Tok Lama, gerakan Bun Beng lebih cepat lagi sehingga gulungan sinar golok berwarna kehijauan itu tak pernah dapat mendekati sasaran.
"Hyaaattt.... singgg.... cing-cing....!"
"Hemmm....!" Bun Beng mengeluarkan suara kaget dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang dengan kecepatan kilat ketika dia melihat sinar kilat menyambar ganas dengan kecepatan seperti halilintar dan sinar itu mengandung hawa menyeramkan sekali sehingga dia sendiri merasa ngeri, tengkuknya terasa dingin. Melihat berkelebatnya sinar kilat yang menyilaukan mata, tahulah dia bahwa Wan Keng In telah turun tangan menyerangnya dengan menggunakan pedang Lam-mo-kiam. Maka dia tidak berani berlaku lambat, begitu melempar tubuh ke belakang, dia berjungkir balik dan melanjutkan dengan meloncat jauh ke kanan.
"Syuuuuutttt.... singggg!"
Bun Beng menelan ludah. Bukan main hebatnya Lam-mo-kiam. Biarpun dia sudah bergerak cepat sekali, masih saja dia tadi nyaris tergores punggungnya. Namun dia tidak sempat memikirkan hal itu karena begitu dia terhindar dari bahaya serangan Keng In, serentak dua orang panglima dan dua jagoan Nepal telah menyerangnya dengan berbareng. Dua orang Nepal yang bersorban itu menyerangnya dengan senjata mereka yang membuat mereka ditakuti, yaitu pisau belati yang kecil namun amat runcing dan tajam, dua buah banyaknya dipegang setengah bersembunyi di balik lengan kanan kiri. Serangan dari depan oleh dua orang Nepal itu amat cepat, gerakan mereka aneh dan kecepatan mereka menjadi hebat karena lengan mereka panjang. Dalam sedetik itu, dua orang ini menyerang secara berbareng dan empat buah pisau belati menyambar ke arah leher, ulu hati, perut dan lambung! Dalam setengah detik berikutnya, menyambar pula sebatang golok besar di tangan seorang panglima brewok, berlomba cepat dengan tombak gagang pendek di tangan Bhe Ti Kong yang menghujani ke arah punggung Bun Beng!
Heiiittt!" Bun Beng berseru keras sekali, tubuhnya membuat gerakan berpusing, demikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata oleh lawan, akan tetapi tahu-tahu jari-jari tangannya secara berturut-turut telah mengetuk terlepas sambungan siku kedua tangan orang Nepal, merampas golok besar dan menangkis tombak gagang pendek Bhe Ti Kong dengan golok itu setelah merobohkan pemilik golok dengan tendangan.
"Tranggg....!"
Bhe Ti Kong berseru kaget dan cepat menarik kembali tombaknya, memutar senjatanya untuk melindungi tubuh. Dua kali dia berhasil menangkis dan harus bergulingan dan jatuh bangun, terus dikejar sinar golok rampasan Bun Beng yang mengenal panglima ini sebagai musuh besarnya dan yang mendesak untuk membunuhnya.
"Singgg....!" Sinar kilat pedang Lam-mo-kiam yang sudah menyambar lagi menyelamatkan nyawa Bhe Ti Kong. "Cringgg!" Bun Beng yang tadinya mendesak Bhe Ti Kong, terkejut melihat sinar kilat, terpaksa membuang diri sambil menangkis dengan golok rampasan, akan tetapi sekali bertemu dengan Lam-mo-kiam, golok besar itu patah menjadi dua potong!
"Trang-trang....!" Kembali Bun Beng yang baru meloncat bangun itu menangkis dengan golok buntungnya, menangkis serangan golok Thian Tok Lama yang sudah membantu Keng In mengeroyoknya pula. Biar hanya mempergunakan golok buntung, namun tangkisan ini membuat Thian Tok Lama terhuyung.
Bun Beng menyambitkan golok buntungnya kepada Wan Keng In ketika melihat pemuda itu sudah menerjang lagi. Biarpun hanya disambitkan, namun golok buntung itu meluncur dengan kekuatan dahsyat sehingga Keng In tidak berani bersikap sembrono dan cepat menggerakkan Lam-mo-kiam untuk menangkis. Golok buntung itu runtuh dan patah-patah. Akan tetapi, ketika Keng In menangkis sambitan golok buntung, kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk menerjang ke kiri, merobohkan empat orang panglima dan orang Nepal, dan merampas sebatang tombak lagi. Gerakannya kuat dan cepat sekali sehingga ketika Wan Keng In dan Thian Tok Lama menyerangnya lagi, dia sudah dapat menghadapi mereka dengan tombak di tangan!
Namun, dengan adanya Keng In yang bersenjata Lam-mo-kiam, Bun Beng benar-benar kewalahan. Sekali bertemu, tombak rampasannya patah-patah lagi dan hampir saja dia termakan sinar pedang Lam-mo-kiam yang amat ampuh. Untung baginya bahwa jumlah pengeroyok amat banyak sehingga dia dapat menerjang dan menyelinap di antara para pengeroyok. Hal ini membuat Keng In merasa agak sukar untuk menekannya, dan pemuda Pulau Neraka itu dibantu oleh Thian Tok Lama selalu mengejar-ngejar Bun Beng yang mengamuk di antara para panglima, orang Nepal, dan pasukan pengawal.
Betapapun dia mencobanya, Wan Keng In dan Thian Tok Lama tidak memberi kesempatan sedikitpun juga kepada Bun Beng untuk dapat melarikan diri. Pemuda itu dikepung ketat dan terpaksa dia mengamuk, merobohkan dan menewaskan banyak sekali anak buah pasukan, sedangkan keselamatannya selalu terancam dan berkali-kali nyaris saja terluka oleh Lam-mo-kiam dan golok di tangan Thian Tok Lama.
Telah lebih dari dua puluh orang anak buah pasukan roboh, lebih setengah jumlah panglima dan jagoan Nepal tewas, dan pertandingan itu telah berjalan sampai hampir tengah malam!
Bun Beng berhasil sebegitu jauh menyelamatkan diri dari ancaman Lam-mo-kiam, akan tetapi karena pengeroyokan ketat dan untuk menghindarkan luka senjata, terpaksa dia menerima hantaman tangan kiri Thian Tok Lama sampai dua kali dan tamparan tangan kiri Wan Keng In satu kali. Tamparan pemuda Pulau Neraka itu hebat bukan main, membuat dada yang terkena tamparan terasa seperti akan pecah dan napas menjadi sesak, Bun Beng maklum bahwa isi dadanya terguncang dan bahwa pukulan Wan Keng In mengandung racun. Dia tidak takut akan pukulan beracun karena tubuhnya sudah kebal oleh jamur-jamur beracun, akan tetapi guncangan itu membuat tenaganya berkurang.
Keadaannya amat berbahaya. Dia tidak takut mati, akan tetapi dia akan merasa kecewa kalau belum berhasil membalas kematian gurunya. Karena itu, dia mencurahkan perhatian dan kepandaiannya untuk memilih sasaran, yaitu Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama, dua di antara para pembunuh gurunya.
"Thian Tok Lama, bersiaplah kau menyusul Thai Li Lama...!" Tiba-tiba dia berseru ketika melihat lowongan. Secepat kilat dia menubruk maju, menendang sebatang pedang yang menyambar dari samping, mengelak dari tusukan Lam-mo-kiam, menggunakan tangan kanan mencengkeram golok Thian Tok Lama. Pendeta itu terkejut sekali, bukan hanya karena tahu bahwa yang membunuh saudaranya itu adalah pemuda ini, akan tetapi terutama sekali melihat betapa dengan tangan kosong pemuda lihai itu berani menangkap dan mencengkeram goloknya! Dia berusaha menarik golok untuk melukai tangan Bun Beng, akan tetapi tiba-tiba Bun Beng sudah menggerakkan tangan kiri menampar ke arah kepalanya!
Hebat bukan main serangan ini dan kalau tamparan ini mengenai sasaran, tak dapat disangsikan lagi nyawa Thian Tok Lama tentu akan melayang. Akan tetapi pada saat itu, sebuah pukulan yang keras dari tangan kiri Wan Keng In mengenai tengkuk Bun Beng pada saat yang amat tepat.
"Desss....!"
Berbareng jatuhnya pukulan Keng In pada tengkuk Bun Beng dengan tamparan, tangan Bun Beng yang menyeleweng, tidak jadi mengenai kepala melainkan menghantam pundak Thian Tok Lama. Biarpun menyeleweng, namun cukup membuat pendeta itu terpelanting dan muntah darah! Akan tetapi, hantaman yang keras dari Keng In, itupun membuat Bun Beng terjengkang!
Bhe Ti Kong menubruk dengan tombaknya, menusuk ke arah ulu hati Bun Beng dengan tombak gagang pendeknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dia merasa yakin bahwa sekali ini dia tentu berhasil membunuh pemuda yang berbahaya ini, apalagi melihat pemuda itu telah terpukul dan mulutnya menyemburkan darah seperti yang dialami Thian Tok Lama.
Tombak itu meluncur tepat ke arah ulu hati Bun Beng. Pemuda ini tak dapat mengelak lagi, maka terpaksa dia memasang kedua telapak tangan ke depan dada dan begitu ujung tombak menyentuh telapak tangannya, dia membuat gerakan menyentak sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Pengerahan tenaga ini membuat dadanya terasa nyeri bukan main, pandang matanya berkunang dan darah makin banyak keluar dari mulutnya, akan tetapi tombak itu membalik secara tiba-tiba, menyambut dada Panglima Bhe Ti Kong yang terdorong ke depan.
"Crappp..... auggghhh....!"
Bun Beng menjadi gelap mata dan pingsan, tidak tahu bahwa tubuh Bhe Ti Kong menimpa tubuhnya dan betapa darah yang membanjir ke luar muncrat-muncrat dari dada musuhnya itu menyiram tubuhnya. Panglima itu berkelojotan dan tewas dengan dada tertembus tombaknya sendiri.
"Tahan, Wan-sicu. Jangan bunuh dia....!" Thian Tok Lama mencegah ketika melihat Wan Keng In mengelebatkan Lam-mo-kiam untuk membunuh Bun Beng.
Wan Keng In menoleh, menahan pedang dan mengerutkan alisnya. "Manusia macam dia perlu apa dibiarkan hidup? Dia membuat Milana hilang dan sudah mendatangkan banyak korban....!" Kembali Lam-mo-kiam bergerak.
"Jangan, Wan-sicu! Dia adalah seorang tawanan penting sekali! Dialah yang telah merampas Hok-mo-kiam. Dia yang melepaskan puteri Ketua Thian-liong-pang! Terlalu enak bagi dia kalau dibunuh begitu saja, dan dia perlu diseret di depan Koksu untuk meringankan kesalahan kita...."
"Hmm...." Wan Keng In menyimpan pedangnya, akan tetapi dia lalu mengayun tangan kanannya ke arah punggung tubuh Bun Beng yang rebah miring.
"Desss!" Pukulan itu hebat sekali dan Wan Keng In mengomel. "Biarpun nyawanya rangkap, pukulanku ini akan mencabut nyawanya dalam waktu dua puluh empat jam."
Thian Tok Lama juga terluka di dalam tubuh, akan tetapi tidak membahayakan nyawanya. Dia lalu turun tangan sendiri, menelikung dan membelit-belit tubuh Bun Beng dengan tali yang amat kuat, lalu mengikat tubuh pemuda yang masih pingsan itu di atas punggung kuda.
"Dia sudah kuberi pukulan Toat-beng-tok-ci (Jari Beracun Pencabut Nyawa). Jangankan untuk melawan, dibiarkan pun dia akan mampus sebelum malam besok."
Wan Keng In mencela melihat betapa pendeta itu bersusah payah membelenggu tubuh yang dia tahu sudah takkan mampu melawan lagi itu.
"Kita tidak boleh gagal lagi membawa dia ke kota raja, Wan-sicu." Thian Tok Lama membantah dan Wan Keng In mendengus, mengangkat pundak dan sikapnya menjadi murung karena dia marah-marah dan kecewa telah kehilangan Milana. Betapapun juga, dia harus ikut dan bertemu dengan Koksu. Setelah dia menyaksikan sendiri betapa lihainya Bun Beng, diam-diam pemuda ini merasa jerih juga. Bukan terhadap Bun Beng yang tinggal menanti maut itu, akan tetapi baru Bun Beng sudah demikian lihainya, apalagi ibu Milana Si Ketua Thian-liong-pang, belum lagi Pendekar Super Sakti! Maka dia harus bersikap cerdik dan harus dapat mencari
kawan, dan agaknya kedudukannya akan kuat sekali kalau dia dapat bersekutu dengan Koksu yang selain memiliki kedudukan tinggi dan pengaruh besar, juga mempunyai banyak orang pandai itu.
Dengan murung dan tergesa-gesa, membawa teman-teman yang terluka, pergi keluar dari hutan menuju ke kota raja. Kuda yang membawa tubuh Bun Beng yang kaki tangannya ditelikung dan diikat di atas punggung binatang itu, berada di tengah-tengah dan dikawal sendiri oleh Thian Tok Lama, Wan Keng In. Kini mereka siap dengan senjata di tangan memegang senjata masing-masing dan bersikap waspada. Baik Wan Keng In maupun Thian Tok Lama sudah mengambil keputusan untuk pertama-tama menggerakkan senjata membunuh Bun Beng apabila terjadi suatu gangguan di tengah perjalanan ini.
Bun Beng membuka matanya. Ketika ia merasa betapa tubuhnya tergantung di atas punggung kuda, bergoyang-goyang dan kaki tangannya terbelenggu, dia teringat semua dan tersenyum! Tubuhnya lemah dan tak bertenaga, sakit-sakit, akan tetapi hatinya riang! Teringat dia akan Milana dan rasa bahagia di hatinya masih mengatasi semua kesengsaraan yang diderita tubuhnya. Milana mencintanya! Puteri Pendekar Super Sakti cinta kepadanya! Bukan main! Cucu kaisar sendiri! Dan dia hanyalah seorang anak haram, keturunan seorang tokoh sesat yang dikutuk dunia! Apalah artinya siksa dan mati setelah menghadapi kenyataan yang berbahagia itu? Dan dia telah berhasil menyelamatkan Milana. Dara itu telah bebas! Dia akan menyambut kematian atau apapun juga, dengan senyum bahagia!
Ia mengerling ke kiri dan melihat Thian Tok Lama duduk di atas seekor kuda, memegang sebatang golok. Hemm, sayang. Dia belum berhasil membunuh pendeta ini, juga belum berhasil membalas Bhong-koksu atas kematian gurunya. Baru Thai Li Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang telah menebus kematian gurunya.
Bun Beng mencoba mengerahkan sinkangnya. Hawa panas di pusarnya segera menjawab pengerahannya, akan tetapi tiba-tiba dada dan punggungnya terasa nyeri bukan main, tak tertahankan! Tahulah dia bahwa dadanya terluka dan punggungnya menderita lebih hebat lagi! Darah mengalir dari dalam leher ke mulut nya dan dia tahu bahwa dia telah menderita luka akibat pukulan yang mungkin membawa maut. Tentu perbuatan Wan Keng In atau Thian Tok Lama. Agaknya lebih tepat kalau dia menduga pemuda Pulau Neraka itulah yang memukulnya. Luka di tulang punggung ini bukan pukulan biasa, dan kiranya hanya pemuda itulah yang dapat melakukan pukulan sekeji ini. Dia menghela napas panjang. Tidak ada harapan untuk menggunakan saat terakhir itu mencoba melepaskan diri dan membunuh Thian Tok Lama. Kalau dia melanjutkan pengerahan sin-kangnya tentu dia akan mati sebelum sempat bergerak!
Dia tidak putus asa. Mereka telah menawannya, dan biarpun agaknya ketika dia pingsan dia menderita pukulan gelap yang amat membahayakan nyawanya, namun pada saat itu dia belum mati dan selama dia belum mati dia tidak akan kehabisan harapan. Mereka belum membunuhnya, berarti bahwa dia masih mempunyai harapan untuk dapat menyelamatkan diri. Bun Beng tidak berusaha lagi untuk mengerahkan tenaga, bahkan dia lalu melemaskan tubuhnya agar dapat bergantung pada punggung kuda dengan enak.
Rombongan itu melalui hutan terakhir yang penuh dengan pohon bambu. Daerah ini memang terkenal dengan pohon bambu yang bermacam warna dan bentuknya. Hati Thian Tok Lama terasa lega karena kota raja sudah dekat. Tembok kota raja yang tinggi sudah tampak dari tempat tinggi itu, merupakan bayangan hitam memanjang yang tertimpa sinar bintang-bintang di langit yang remang-remang. Angin malam mempermainkan daun-daun bambu, menimbulkan rasa berkelisik.. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan serta merta terjadilah kekacauan ketika rombongan itu diserang oleh daun-daun bambu yang datang bagaikan anak panah atau senjata rahasia piauw yang runcing. Tadinya mereka mengira bahwa daun-daun bambu itu rontok oleh angin besar, akan tetapi setelah daun-daun bambu ini menancap dan melukai kulit daging, barulah mereka terkejut dan menjadi kacau! Kekacauan menjadi-jadi ketika sampai batang-batang bambu yang panjang tiba-tiba meliuk dan menyerang mereka, seolah-olah rumpun bambu itu menjadi hidup dan digerakkan oleh setan-setan menyerang rombongan itu. Terdengar suara berdebuk disusul robohnya orang susul-menyusul ketika tubuh-tubuh itu dihantam oleh batang bambu.
Thian Tok Lama dan Wan Keng In cepat dapat menduga bahwa amukan pohon-pohon dan daun-daun bambu itu tentulah perbuatan musuh yang lihai. Akan tetapi pada saat mereka menggerakkan senjata hendak membunuh Bun Beng, tiba-tiba sebatang pohon bambu yang besar dan panjang terbang menyerang mereka, berikut cabang-cabang dan daun-daunnya. Tentu saja keduanya menjadi terhalang dan mereka menggerakkan senjata membabat runtuh batang bambu itu. Akan tetapi kuda yang membawa tubuh Bun Beng sudah meringkik keras, terlempar dan roboh dengan perut tertembus batang bambu, sedangkan Bun Beng sendiri yang tadinya menelungkup di atas punggung kuda, melintang, sudah lenyap!
"Tawanan lenyap!"
"Kejar....!"
"Tangkap pengacau!"
Teriakan-teriakan para panglima itu menambah kekacauan dan di antara suara hiruk-pikuk mereka terdengarlah suara terkekeh menyeramkan, suara yang terdengar makin menjauh dan akhirnya lenyap.
"Tidak perlu dikejar, percuma saja karena dialah yang datang menolong Bun Beng," kata Wan Keng In yang menjadi lemas tubuhnya ketika mendengar suara ketawa itu.
Thian Tok Lama menahan kudanya. "Siapakah dia?"
Wan Keng In menarik napas panjang. "Siapa lagi kalau bukan Bu-tek Siauw-jin? Kalau dia muncul dan ikut-ikut, kita takkan mampu menghadapinya. Dan setelah dia muncul, orang satu-satunya yang dapat melawannya hanyalah guruku. Karena itu, aku tidak akan ikut bersamamu ke kota raja, Thian Tok Lama. Aku harus mencari guruku, minta bantuannya untuk menghadapi tua bangka cebol itu. Sampai jumpa!"
Tanpa menanti jawaban, Wan Keng In yang merasa jerih mendengar suara ketawa susioknya, Bu-tek Siauw-jin, berkelebat dan lenyap dari depan Thian Tok Lama. Pendeta Tibet ini menarik napas berulang-ulang, menggeleng kepala dan dengan hati risau terpaksa memimpin sisa pasukannya yang ketakutan itu ke kota raja. Memang dia telah berhasil membasmi Thian-liong-pang akan tetapi pasukannya pun rusak, tawanan lenyap dan banyak panglima tewas, termasuk pembantu kepercayaan Koksu, Panglima Bhe Ti Kong.
Sementara itu, jauh dari situ, di dalam hutan yang gelap, Bu-tek Siauw-jin berjalan seorang diri sambil memanggul sebatang bambu panjang dan di ujung bambu itu terpikul tubuh Bun Beng yang masih terbelenggu kaki tangannya!
******
Sementara itu, di dalam istana kaisar sendiri terjadilah hal yang amat hebat dan penting. Kaisar sendiri yang sibuk dengan urusan pemerintahan, dalam usahanya untuk mendatangkan kemakmuran kepada rakyat agar pemerintahannya, pemerintah penjajah, mendapat kesan baik di hati rakyat, sama sekali tidak menduga bahwa di antara para pembantunya yang paling dipercaya sedang mengatur pemberontakan untuk menjatuhkannya.
Kaisar Kang Hsi memang seorang kaisar yang pandai. Akan tetapi, sebagai seorang manusia biasa yang tak terlepas daripada kekurangan, Kaisar yang menjadi pembangun dasar-dasar kekuatan pemerintah Mancu ini mempunyai kelemahan terhadap wanita. Banyak sekali selirnya dan banyak pula anaknya. Karena terlalu banyak inilah maka terjadi perebutan dan iri hati, dan Pangeran Yauw Ki Ong adalah seorang di antara putera-puteranya dari selir yang demi cita-cita dan kemurkaannya tidak segan-segan melakukan pengkhianatan dan mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menggulingkan ayahnya sendiri!
Selir yang ratusan orang jumlahnya masih belum memuaskan hati Kaisar yang selalu haus akan wanita muda yang baru. Kelemahan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh mereka yang ingin menjilat dan mencari kedudukan lebih tinggi. Mereka selalu mengincar dara-dara muda yang cantik jelita untuk dipergunakan sebagai "persembahan", tentu saja dengan harapan mendapatkan balas jasa. Kelemahan Kaisar ini menciptakan pembantu-pembantu yang palsu dan di samping ini, juga menimbulkan persaingan dan pertentangan di kalangan para selir itu sendiri. Mereka adalah wanita-wanita cantik yang masih muda. Dengan adanya terlalu banyak selir, mereka menderita dan tentu saja akibatnya memungkinkan terjadinya pelanggaran dan ketidaksetiaan. Untuk mengatasi hal ini, para selir itu dikurung dan dijaga keras oleh pengawal-pengawal yang semua terdiri dari thaikam (manusia kebiri). Penjagaan dan pengawasan keras ini mendatangkan penderitaan lahir batin bagi wanita-wanita muda itu sehingga mereka merupakan segolongan orang yang mudah dihasut untuk membenci Kaisar yang mereka anggap sebagai orang yang menyiksa mereka dan membuat hidup merupakan kesunyian dan kesengsaraan bagi mereka.
Malam hari itu, para selir yang seperti biasanya melewatkan malam sunyi dengan celoteh, saling berbisik mempercakapkan Kaisar dengan hati penuh iri, karena malam hari itu, semenjak sore hari, Kaisar telah mengeram dirinya di dalam kamar bersama seorang selir baru! Seorang dara yang kabarnya cantik sekali dan baru malam hari itu mendapat tugas kehormatan melayani Kaisar, seorang dara istimewa karena dara ini adalah persembahan dari Koksu sendiri! Menurut berita yang didengar sebagian para selir yang tidak melihat sendiri, mendengar penuturan para thaikam penjaga, dara itu selain muda remaja, juga memiliki kecantikan yang luar biasa, bermata agak kebiruan, hidungnya mancung dan kulitnya putih kemerahan, seorana dara asing dari see-thian (dunia barat)!
Dan sebagai persembahan dari Koksu sendiri, tentu saja dara itu mempunyai kedudukan istimewa. Para thaikam tidak berani bersikap kurang hormat karena takut kepada Koksu, bahkan para selir yang biasanya suka mengeluarkan perasaan iri mereka terhadap selir lain dengan berani, sekarang hanya berani mempercakapkan selir baru ini dengan bisik-bisik. Semua orang di istana, bahkan para selir dan para pelayan sekalipun, tahu belaka akan kekuasaan Koksu yang ditakuti!
Malam itu memang istimewa. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh para selir dan para thaikam yang bertugas jaga, melainkan terutama sekali oleh Kaisar sendiri. Semenjak Kaisar menerima gadis persembahan Koksu yang datang menghadap pagi hari itu, Kaisar merasakan sesuatu yang lain daripada biasa. Belum pernah dia melihat kecantikan seorang dara seperti dara peranakan Nepal ini. Kecantikan yang khas, dan yang sekaligus menjatuhkan rasa sayang dan membangkitkan gairah di hati Kaisar itu. Terangsang oleh gairah ingin cepat-cepat berdua saja dengan Si Jelita ini, Kaisar menunda semua urusan, dan baru saja matahari mengundurkan diri Kaisar sudah memasuki kamar peraduannya yang istimewa dan memerintahkan Si Juita datang menghadap dan melayaninya.
Kamar ini luas sekali, berbau harum dan dindingnya yang berwarna hijau muda dihias bunga-bunga dan lukisan-lukisan indah. Lantainya dari batu pualam yang jernih dan satu-satunya perabot kamar itu hanyalah kasur-kasur tebal yang memenuhi bagian tengah, ditilami kain berbulu yang halus dan hangat, dengan bantal-bantal terhias sarung sutera bersulam indah.
Kaisar telah duduk setengah rebah di atas kasur ketika Thaikam kepala membuka pintu kamar. Thaikam berlutut di luar pintu dan tampak seorang dara yang bertubuh tinggi ramping dengan langkah gontai dan lemah lembut. Setelah dara itu memasuki kamar, daun pintu tertutup lagi di belakangnya dan terdengar langkah-langkah halus Thaikam kepala meninggalkan depan pintu disusul suaranya berbisik-bisik mengatur penjagaan. Seperti biasa, setiap kali Kaisar bermalam di kamar ini, di empat penjuru luar kamar selalu dijaga oleh pengawal-pengawal thaikam yang berkepandaian tinggi, di samping pelayan-pelayan wanita yang berlutut di luar kamar, diam tak bergerak seperti arca akan tetapi siap untuk memasuki kamar apabila tenaga dan pelayanan mereka dibutuhkan. Empat orang pelayan wanita yang muda dan masih gadis malam itu menjaga di luar kamar, tubuh mereka yang duduk bersimpuh itu tak bergerak, akan tetapi mata mereka kadang-kadang mengerling liar ke arah kamar dan jantung mereka berdebar penuh ketegangan. Biarpun mata mereka tidak mungkin menembus dinding kamar untuk menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar, akan tetapi dinding itu terbuat dari papan kayu tipis halus sehingga telinga mereka dapat mendengar semua suara dari dalam kamar. Suara yang lirih sekalipun, seperti berkereseknya pakaian atau tarikan napas panjang, dapat terdengar jelas!
Dara itu benar-benar cantik luar biasa. Kedua kakinya tidak bersepatu, telanjang dan bersih, tampak putih kemerahan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera longgar, pakaian tidur yang khusus dibuat untuk selir-selir kaisar, hanya merupakan kain sutera tipis menyelimuti tubuh dan membayangkan bentuk tubuh yang padat menggairahkan, penuh lekuk lengkung yang menantang. Ketika dara itu tiba di depan pembaringan yang hanya kasur terletak di atas lantai, dia menjatuhkan diri berlutut, menelungkup sehingga kedua lengannya rebah di atas lantai di depan kepalanya, pangkal kedua lengan menutupi muka, rambutnya tergerai lepas di atas lantai. Kulit leher yang putih kemerahan dan halus membayang dari celah-celah rambut yang tersibak, dan sebagian lengan yang dilonjorkan keluar dari selimutan Sutera, tampak putih bersih dan halus bagaikan lilin diraut!
Kaisar terpesona. Tubuh yang muda dan sempurna, tidak terlalu besar tidak terlalu kecil, tidak terlalu tinggi atau pendek. Cuping hidungnya bergerak mencium keharuman yang keluar dari rambut dan leher agak terbuka penutupnya itu, dan dengan suara agak gemetar Kaisar berkata halus,
"Bangunlah....!"
Tubuh yang berlutut setengah menelungkup di atas lantai batu pualam dan yang tadi tidak bergerak-gerak itu menggigil sedikit, lalu kedua lengan diangkat, dan tubuh itu bangkit duduk, wajahnya tampak cantik jelita dan segar kemerahan kedua pipinya, mulut yang amat manis bentuknya membentuk senyum malu, senyum ditahan yang membuat bibir itu gemetar halus, kedua mata yang lebar setengah terpejam dengan pandangan menunduk sehingga bulu mata yang lentik panjang membentuk bayang-bayang di atas pipi, leher yang panjang itu tampak jelas, kepalanya agak dimiringkan. Kaisar makin terpesona, kini dia duduk dan mengembangkan kedua lengannya sehingga pakaian tidurnya terbuka memperlihatkan dada yang bidang dan perut yang mulai menggendut.
"Juita sayang.... jangan takut dan malu, ke sinilah...." kembali Kaisar berbisik. Muka itu makin meriunduk, bibirnya merekah dan tampak deretan gigi seputih mutiara menggigit sebelah dalam bibir bawah, kemudian dara itu bergerak maju dengan menggunakan kedua lututnya, menghampiri Kaisar. Begitu tiba dekat, Kaisar sudah menerkamnya dengan pelukan penuh gairah.
Para thaikam yang menjaga di luar kamar itu mendengarkan suara di dalam kamar dengan wajah tidak berubah sama sekali. Mereka sudah terbiasa dan keadaan mereka sebagai orang kebiri telah melenyapkan pula perasaan halus mereka. Mereka berdiri berjaga dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan. Akan tetapi yang amat tersiksa adalah gadis-gadis pelayan yang terpaksa memejamkan mata dan menggigit bibir mendengarkan segala kemesraan yang berlangsung di dalam kamar Kaisar. Wajah mereka sebentar pucat sebentar merah.
Kaisar seperti mabuk dalam nafsunya sehingga kehilangan kewaspadaan, tidak mendengar kegaduhan yang terjadi di luar kamarnya. Padahal, terdengar bentakan tertahan sebelum para pengawal thaikam itu roboh tewas, dan seorang diantara para gadis pelayan sempat menjerit kecil sebelum dia roboh pula seperti teman-temannya. Kaisar yang tergila-gila kepada dara bermata biru itu, yang mabok dalam buaian nafsunya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa di luar kamarnya darah berlepotan membanjiri lantai. Bukan hanya ini saja kelengahannya, bahkan dia juga tidak tahu betapa dara yang membuatnya seperti gila, yang sempat mengeluarkan rintihan merayu, dengan kedua lengan yang halus dan jari-jari tangan yang membalas belaiannya, juga merupakan maut yang siap mencabut nyawanya! Tanpa terlihat oleh Kaisar, dua buah jari tangan yang halus meruncing dan indah itu kini telah menjepit sebatang jarum dan jari-jari tangan yang mengandung tenaga kuat itu siap untuk menusukkan jarum ke dalam otak di kepala Kaisar melalui pusat di tengkuk!
Tiba-tiba tampak sinar berkelebat dari arah pintu kamar. Dara dalam pelukan Kaisar itu tiba-tiba mengeluarkan suara menjerit nyaring lalu tubuhnya berkelojotan dalam sekarat!
Tentu saja Kaisar menjadi terkejut sekali, serta-merta meloncat, menyambar pakaiannya dan membalikkan tubuh memandang ke arah pintu. Pintu telah terbuka dan di tengah pintu tampak seorang wanita setengah tua yang cantik, gagah dan mengerikan karena mukanya yang cantik itu putih seperti kapur! Wanita itu segera menjatuhkan diri berlutut ke arah Kaisar!
Kaisar yang terkejut sekali itu dapat menguasai diri dan membentak marah, "Siapa engkau sungguh berani mati sekali! Pengawal....!"
"Henda knya Paduka ketahui bahwa semua pengawal dan pelayan telah terbunuh dan nyaris Paduka juga terancam maut di tangan perempuan itu." Wanita bermuka putih itu berkata tanpa mengangkat muka dan dengan sikap hormat, akan tetapi juga dingin.
Kaisar yang sudah bangkit berdiri itu membalik dan memandang ke arah dara yang tadi membuatnya mabok dan lupa segala. Tubuh yang mulus dan indah itu masih membujur telentang di atas kasur, dengan sikap menggairahkan, akan tetapi kini sudah tidak bergerak lagi, sudah tidak bernyawa dengan pelipis terluka mengeluarkan darah. Akan tetapi bukan tubuh itu dan bukan luka itu yang membuat Kaisar terbelalak, melainkan jari tangan yang menjepit sebatang jarum hitam!
"Apa.... apa yang telah terjadi....?" Kaisar tergagap karena merasa heran dan tidak mengerti.
"Harap Sri Baginda mengampunkan hamba yang lancang ini. Persekutuan pemberontak telah merencanakan ini semua, dipimpin oleh Koksu. Perempuan ini adalah seorang kaki tangan Koksu yang bertugas merayu dan membunuh Paduka dengan tusukan jarum beracun. Sedangkan para thaikam pengawal di bagian istana ini telah dibunuh oleh kaki tangan pemberontak. Karena tadi melihat betapa perempuan ini hampir saja membunuh Paduka, terpaksa hamba tidak sempat memberi tahu dan turun tangan membunuhnya."
"Apa....? Pemberontak? Koksu? Heii, wanita, jangan engkau lancang bicara! Dosamu sungguh besar....!"
Pada saat itu, muncul dua orang bersorban di belakang wanita itu. Mereka menggerakkan tangan dan dua batang pisau terbang melumur ke dalam kamar. Wanita itu berseru, tubuhnya mencelat ke depan dan sekali sambar dia telah berhasil menangkap dua batang pisau yang menyerang Kaisar, kemudian dengan kecepatan kilat dia telah menyambitkan pisau-pisau rampasan itu ke belakangnya. Dua orang Nepal itu memekik dan roboh terjengkang dengan dada tertusuk pisau mereka sendiri!
Kini barulah Kaisar yakin akan kebenaran kata-kata wanita aneh itu. "Aihhh.... lekas ceritakan dengan singkat, apa yang
terjadi!"
"Hamba bernama Lulu dan secara kebetulan saja hamba tahu akan persekutuan busuk ini. Pemberontakan direncanakan oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu dan kaki tangan mereka, bahkan di perbatasan utara telah dipersiapkan tentara pemberontak gabungan, dibantu orang-orang Nepal, Mongol dan Tibet. Hamba tidak tahu banyak, akan tetapi untung hamba tidak terlambat ketika Paduka terancam...."
"Hemm, jasamu cukup dan kami berterima kasih kepadamu. Lulu namamu? Engkau wanita Mancu? Seperti pernah aku mendengar nama ini. Lulu, sekarang kuperintahkan engkau untuk membasmi para pembunuh di istana puteri ini. Kuberi kekuasaan kepadamu."
"Akan tetapi Paduka? Hamba harus menjaga Paduka...."
"Aku akan kembali ke istana melalui jalan rahasia di dalam kamar ini. Jangan khawatir, sebentar lagi pengawal-pengawalku akan membantumu sehingga tidak seorang pun pembunuh akan lolos. Lakukanlah perintahku!"
Wanita itu yang bukan lain adalah Lulu atau bekas Ketua Pulau Neraka, memberi hormat lalu berkelebat keluar dari kamar itu. Kaisar memandang ke arah tubuh jelita yang kini telentang menjadi mayat, menghela napas panjang penuh penyesalan, lalu menghilang di balik sebuah pintu rahasia yang muncul ketika Kaisar menekan tombol di sudut kamar. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung walet, Lulu meloncat keluar dari dalam kamar. Sambaran senjata rahasia membuat dia waspada, tubuhnya mengelak dan sekali meloncat dia telah naik ke atas sebuah meja. Dari belakang muncullah empat orang bersorban yang bersenjata golok melengkung. Golok mereka itu berlepotan darah dan dengan ganas mereka menyerang Lulu.
"Sing-sing.... crak-crakkkk!" Meja di mana Lulu tadi berdiri pecah-pecah tertimpa senjata tajam, akan tetapi Lulu sendiri sudah lenyap dari situ dan tahu-tahu telah berada di belakang dua orang Nepal membalas serangan dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.
Dua orang Nepal itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan jagoan-jagoan pilihan yang bertugas membantu dan mengawal wanita yang akan membunuh Kaisar. Mereka ini terdiri dari dua belas orang Nepal dan tiga orang Han dan semua thaikam yang menjaga di istana bagian puteri ini telah mereka bunuh. Tamparan Lulu dapat mereka elakkan, bahkan mereka memutar tubuh sambil menyerang lagi dengan golok.
Akan tetapi yang mereka hadapi adalah Lulu, bekas Ketua Pulau Neraka yang memiliki kesaktian luar biasa. Biarpun tamparan-tamparannya luput, melihat dua orang Nepal itu balas menyerang dengan golok, Lulu sama sekali tidak mengelak bahkan mengembangkan kedua tangan menyambut golok-golok itu.
"Trak-trakkkkkk!"Dapat dibayangkan betapa kaget hati kedua orang Nepal itu melihat golok mereka dapat dicengkeram dan patah-patah oleh jari-jari tangan yang kecil halus itu, akan tetapi sebelum mereka sempat melanjutkan rasa kaget, keduanya sudah roboh dengan urat-urat leher putus terkena "bacok" kedua tangan Lulu!
"Hati-hati, kepung dia....!" Tiba-tiba terdengar bentakan seorang Nepal yang berdiri di sudut. Orang ini, berbeda dengan yang lain, tidak membawa senjata, bahkan agaknya dia sedang asyik minum arak dari sebuah guci yang didapatnya di istana itu. Kemudian terdengar dia bicara dalam bahasa Nepal, dan orang-orang bersorban dibantu oleh tiga orang Han yang gerakannya ringan gesit kini mengurung Lulu dengan gerakan teratur. Agaknya kakek Nepal yang minum arak itu tahu akan kelihaian Lulu dan sudah mengatur anak buahnya untuk mengurung dan membentuk barisan!
Lulu berdiri di tengah-tengah ruangan yang luas, diam tak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak mengerling ke kanan kiri mengikuti gerak-gerik para pengurungnya. Dia melihat betapa mereka itu membentuk garis pat-kwa dan mulai mengeluarkan suara seperti bernyanyi atau berdoa! Mula-mula Lulu memandang rendah, sungguhpun dia bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa bergerak, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika suara nyanyian itu makin lama makin tidak enak sekali memasuki telinganya, seperti menusuk-nusuk dan dia mulai menjadi pening!
Yang paling nyaring suaranya adalah orang Nepal yang tidak ikut mengurung, yaitu kakek Nepal yang masih memegang guci arak dan kini kakek itu berada di loteng, menonton ke bawah sambil bernyanyi-nyanyi memimpin anak buahnya! Lulu tidak tahu bahwa mereka itu mempergunakan ilmu hitam untuk menundukkannya.
Tak tertahankan lagi kepeningan kepalanya dan Lulu terpaksa memejamkan matanya. Pada saat itu, terdengar aba-aba dari atas loteng dan tiga di antara orang-orang Nepal menubruk maju dan menggerakkan senjata mereka. Seorang bersenjata golok, seorang menusuk dengan pisau-pisau belati di kedua tangan, dan orang ke tiga menghantamkan sebuah ruyung!
Lulu merasa pening dan telinganya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia merasa akan datangnya serangan. Dengan kemarahan meluap-luap, wanita sakti ini mengeluarkan jerit melengking yang tidak lumrah suara manusia, seperti suara iblis saja. Dia tidak mengelak, melainkan langsung menubruk maju menyambut serangan-serangan itu dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke depan!
Tanpa disengaja, Lulu telah membuyarkan pengaruh suara nyanyian yang mengandung ilmu hitam itu, yaitu ketika dia menjerit dengan pengerahan khi-kang saking marah tadi. Akibat dari terjangannya yang dahsysat, senjata-senjata tiga orang itu terpental ke belakang, seorang Nepal kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri Lulu sehingga jari-jari tangan wanita itu menancap masuk dan merobek dada, seorang lagi terlempar oleh tamparan yang mengenai kepala, sedangkan orang ke tiga terhuyung-huyung mundur ketakutan! Lulu melemparkan orang yang dicengkeram dadanya, kemudian cepat meloncat ke belakang melampaui kepala para pengurungnya karena pada saat itu, sudah datang pula senjata-senjata para pengeroyok menyerangnya seperti hujan lebat! Loncatan Lulu yang amat gesit ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh para pengurungnya, demikian cepat laksana kilat menyambar gerakan Lulu dan tahu-tahu wanita itu telah berada di atas sebuah meja!
Orang-orang Nepal itu cepat mengurung lagi dan serentak maju menyerang, akan tetapi kini Lulu yang sudah marah mulai mengamuk dan wanita perkasa ini tidak pernah meninggalkan meja dan meja itu bergerak menerjang ke kanan kiri, melayang-layang menggantikan kaki wanita perkasa itu! Terjadilah pertempuran yang aneh dan hebat sekali. Karena dia selalu berada di atas meja tidak mudah bagi pengeroyok untuk menyerangnya tanpa terancam bahaya pukulan-pukulan mengandung hawa sin-kang yang dilancarkan Lulu dari atas meja, membuat mereka tak berani mendekat karena siapa yang terlalu dekat, kalau tidak terpelanting oleh pukulan jarak jauh, tentu roboh oleh sambaran jarum-jarum rahasia yang dilepas oleh bekas Ketua Pulau Neraka itu. Betapapun juga, karena rata-rata orang-orang Nepal itu memiliki kepandaian tinggi, Lulu juga tidak berani bersikap sembrono dan memandang rendah. Dia selalu membuat mejanya melayang keluar dari kepungan setiap kali para pengeroyoknya berusaha untuk mengepungnya. Ketika dia berhasil merobohkan empat orang pula dan pihak pengeroyok mulai menggunakan pisau-pisau terbang, tiba-tiba meja itu melayang ke atas loteng!
Kakek Nepal yang tadinya minum arak dan memandang rendah karena yakin bahwa kepungan anak buahnya tentu akan merobohkan wanita itu, menjadi kaget dan penasaran sekali. Ditenggaknya arak dari guci, kemudian dia bergerak meloncat menyambut Lulu yang melayang bersama mejanya ke atas loteng, dan disemburkanlah arak dari mulutnya ke arah Lulu.
Wanita ini mengerti bahwa ada serangan dari belakang. Mejanya berputar dan ia menghadapi kakek Nepal itu. Melihat ada gumpalan seperti uap hitam kemerahan menyerangnya, Lulu cepat menggerakkan tangan mendorong sambil mengerahkan sin-kang. Uap arak itu membuyar, akan tetapi Lulu terkejut bukan main melihat betapa uap itu seolah-olah hidup, terpecah-pecah dan seperti serombongan ular terbang, terus menyerang ke arah mukanya! Dan pada saat itu, kakek Nepal sudah melontarkan guci yang kosong ke arah meja yang diinjaknya.
"Desss!" Lulu lebih memperhatikan serangan uap aneh ke arah mukanya, maka dia meloncat ke atas meninggalkan mejanya yang pecah berantakan dihantam guci, kemudian di udara dia berjungkir balik, melayang ke arah kakek Nepal melampaui gumpalan uap tadi, langsung menghantam dengan Ilmu Pukulan Toat-beng Bian-kun!
Kakek Nepal itu sesungguhnya hanya kuat ilmu hitamnya dan dia terlalu memandang rendah Lulu, tidak tahu bahwa wanita itu adalah bekas Ketua Pulau Neraka yang tersohor. Melihat wanita itu dapat menghindarkan serangan uap araknya dan kini melayang sambil memukulnya dengan dorongan telapak tangan yang membawa angin pukulan halus, dia terkekeh, lalu melonjorkan tangan menyambut pukulan tangan Lulu dengan niat menangkap tangan wanita itu!
"Plakkk!" Telapak tangan kakek itu bertemu dengan telapak tangan Lulu, dan kakek itu terkekeh makin girang ketika merasa betapa telapak tangan itu halus, lunak dan hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Akan tetapi, dia sama sekali tidak tahu bahwa Pukulan Toat-beng Bian-kun adalah semacam pukulan halus yang amat berbahaya. Lulu memperoleh ilmu pukulan mujijat ini dari Nenek Maya yang sakti, dan setelah dia tinggal di Pulau Neraka, pukulan ini diperhebat dengan hawa beracun. Jangankan baru kakek Nepal ini yang tidak berapa tinggi ilmunya, biar orang-orang terkuat di dunia kang-ouw jaranglah kiranya yang akan kuat menerima pukulan ini secara terbuka seperti itu. Suara ketawanya tiba-tiba berubah menjadi pekik mengerikan, tubuhnya seketika kaku seperti kemasukan api halilintar dan begitu tangan kiri Lulu menyusul dengan tamparan mengenai kepalanya, kedua telapak tangan yang saling menempel tadi terlepas, tubuh kakek Nepal terjengkang dan dia sudah tewas dengan muka berubah hitam!
Gegerlah orang-orang Nepal melihat betapa pemimpin mereka tewas. Mereka tadinya berloncatan mengejar ke atas loteng dan kini Lulu mengamuk, merobohkan tiga orang lagi. Sementara itu di antara mereka ada yang sudah melihat wanita yang ditugaskan membunuh Kaisar menggeletak tanpa nyawa di dalam kamar peraduan, maka maklumlah mereka bahwa usaha mereka gagal sama sekali. Mulailah mereka menjadi panik dan berusaha untuk melarikan diri.
Akan tetapi, Lulu yang telah menerima perintah kaisar, tidak membiarkan mereka lolos. Dia selalu berkelebat menyerang dan merobohkan lawan yang hendak melarikan diri dan tidak lama kemudian, muncullah pasukan pengawal yang dipimpin oleh Kaisar sendiri dari pintu samping! Pasukan pembunuh menja di makin kacau, mereka melawan mati-matian akan tetapi akhirnya mereka roboh semua seorang demi seorang!
Pada saat itu telah menjelang fajar dan beberapa detik setelah orang terakhir pasukan pembunuh roboh, daun jendela ruangan itu pecah dan dua sosok tubuh melayang masuk ke ruangan itu. Lulu memandang kaget ketika mengenal bahwa yang baru masuk melalui jendela ini bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang si wanita berkerudung bersama dara jelita Milana. Kedua orang itu memegang pedang terhunus!
"Tangkap Ketua Thian-liong-pang, sekutu pemberontak!" Tiba-tiba kaisar membentak marah. Dia sudah mendengar akan kerja sama antara Koksu dan Thian-liong-pang yang tadinya dia setujui saja karena dia percaya kepada Koksu. Akan tetapi setelah kini ternyata Koksu memberontak, tentu saja Thian-liong-pang juga merupakan pemberontak, dan agaknya Ketua Thian-liong-pang inilah yang memimpin pasukan pembunuh. Kaisar hanya menerima laporan Koksu tentang Ketua Thian-liong-pang yang katanya amat lihai dan seorang wanita berkerudung yang penuh rahasia. Mendengar bentakan kaisar ini, lima orang pengawal menerjang maju dengan senjata terhunus, mengurung dan hendak menyerang.
"Jangan lancang!" Nirahai, wanita berkerudung itu membentak sambil menggerakkan tangan kiri dan lima orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri! Melihat ini para pengawal terkejut dan Kaisar sendiri pun kaget sekali. "Biarkan hamba yang menghadapinya!" Lulu berkata lantang dan sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan Nirahai. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan dan tempat yang jauh berlainan dari yang pertama, dua orang wanita sakti ini saling berhadapan!
Bagaimanakah Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu dapat muncul secara tiba-tiba di situ bersama puterinya? Seperti kita ketahui, Nirahai bersama Bu-tek Siauw-jin menghadapi pengeroyokan Bhong-koksu dan Maharya yang dibantu oleh banyak sekali perwira dan pengawal yang kuat. Pertandingan hebat itu terjadi di dalam taman di istana Koksu dibantu oleh Maharya dan banyak tokoh Tibet dan Mongol yang lihai sekali, namun Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk dan merobohkan banyak orang dalam usaha mereka membobol keluar dari ke pungan. Tadinya Nirahai berniat akan mengamuk terus sampai dia berhasil membunuh Bhong-koksu yang telah memberontak kepada Kaisar dan bersekutu untuk membunuhnya dan menghancurkan Thian-liong-pang, akan tetapi ketika mendengar betapa pada saat itu Koksu telah mengirim pasukan untuk menyerbu Thian-liong-pang, dia menjadi khawatir sekali dan bersama dengan Bu-tek Siauw-jin yang sudah bosan bertempur, dia membuka jalan darah untuk keluar dari kepungan.
Kepandaian Ketua Thian-liong-pang ini, terutama dengan adanya Bu-tek Siauw-jin kakek aneh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, membuat kepungan Bhong-koksu dan kaki tangannya kurang kuat dan akhirnya, setelah merobohkan banyak lawan, dua orang sakti itu berhasil membobol kepungan dan melarikan diri keluar dari taman di belakang istana Koksu.
Mereka lari berpencar. Nirahai langsung menuju keluar dari kota raja untuk pergi kemarkasnya, sedangkan Bu-tek Siauw-jin keluar pula dari kota raja untuk mencari jejak muridnya. Baru saja Nirahai keluar dari tembok kota raja, dia bertemu dengan Milana yang berlari-lari.
"Milana....!" dia memanggil dengan hati tidak enak. Puterinya bertugas menjaga di markas dan kalau tidak terjadi sesuatu, tak mungkin Milana berani meninggalkan markas Thian-liong-pang.
"Ibu....!" Melihat ibunya, Milana terus saja menangis sehingga hati Nirahai makin tidak enak lagi.
"Apa yang terjadi?" Nirahai bertanya sambil memeluk pundak puterinya yang menangis terisak-isak. Dengan suara terputus-putus Milana lalu menceritakan penyerbuan pasukan Koksu yang dipimpin Thian Tok Lama sehingga tokoh-tokoh Thian-liong-pang tewas semua, anak buah mereka pun sebagian besar tewas dan hanya sedikit saja yang kiranya dapat melarikan diri. Mendengar penuturan ini Nirahai marah bukan main.
"Anjing pengkhianat Bhong Ji Kun....!" Dia memaki dan mengepal tinju.
"Kita harus membalaskan kematian Bibi Wi Siang dan yang lain-lain, Ibu." Milana berkata penuh sakit hati. "Bagaimana engkau dapat lolos?" Tiba-tiba Nirahai bertanya.
Milana lalu meceritakan betapa dia dijadikan tawanan dan ditolong oleh Gak Bun Beng. "Dia memaksa aku melarikan diri dan memberikan pedang Hok-mo-kiam ini untuk diserahkan kepada Ayah."
"Hemmm...., anak itu memang baik sekali. Sungguh tidak tersangka. Milana, sekarang juga kita harus menghadap Kaisar. Agaknya sudah tiba saatnya aku kembali kepada kerajaan, membantu kerajaan dan membasmi Koksu pengkhianat itu dan kaki tangannya."
Demikianlah, ibu dan anak itu dengan cepat malam itu juga pergi ke istana dan tiba di istana menjelang pagi. Sebagai bekas puteri kaisar, tentu saja dengan mudah Nirahai dapat menyelundup ke istana dan langsung menuju ke bangunan istana bagian puteri karena di waktu larut malam seperti itu dia tidak berani mengganggu Kaisar. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia bersama Milana melihat keributan di istana bagian ini, melihat banyak thaikam menggeletak tewas dan banyak pula orang-orang bersorban tewas, bahkan di ruangan dalam masih terjadi pertempuran dan teriakan-teriakan para pengawal kaisar yang membantu Lulu membunuh orang-orang Nepal.
Ketika mendengar bentakan Kaisar yang menganggapnya sebagai sekutu Koksu dan perintah Kaisar untuk membunuhnya, Nirahai berdiri tegak dan dia mendorong roboh lima orang pengawal yang menyerangnya. Kini Lulu berdiri di depannya dengan sikap menantang!
"Hemm, sungguh tak kusangka kita akan saling bertemu lagi di sini, Thian-liong-pangcu! Lebih-lebih lagi tidak kusangka bahwa engkau begitu keji dan palsu, bersekutu dengan pemberontak untuk membunuh Kaisar! Setelah berada di depan Sri Baginda, engkau masih banyak berlagak. Orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!" Lulu berkata, dan diam-diam dia merasa tidak suka kepada wanita berkerudung yang telah mengancam puteranya dan yang telah menolak pinangannya itu.
"Kurung para pemberontak! Jangan biarkan mereka lolos!" Kaisar berseru lagi ketika dari pintu-pintu ruangan itu bermunculan pengawa l-pengawal yang mendengar akan peristiwa di istana bagian puteri dan cepat memimpin pasukan untuk membantu. Kini tempat itu penuh dengan pasukan pengawal dan semua pintu dijaga ketat sehingga tidak ada jalan keluar Pagi bagi Nirahai dan Milana.
"Pemberontak rendah, bersiaplah untuk mati!" Lulu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, menyerang Nirahai dengan pukulan-pukulan dahsyat. Karena dia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang yang sakti, maka begitu menyerang, Lulu telah mainkan jurus dari Ilmu Silat Sakti Hong-in-bun-hoat dan tenaga pukulannya adalah Ilmu Toat-beng-bian-kun!
"Plak! Plak! Heiiiittt!"
Lulu melancat ke belakang setelah berseru nyaring, penuh keheranan karena Ketua Thian-liong-pang itu menangkis dan menghadapi serangannya dengan ilmu silat dan tenaga pukulan yang sama!
"Aihh, ternyata betul kabar yang tersiar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah pencuri ilmu yang tak tahu malu!" bentak Lulu dengan penuh kemarahan.
"Lulu, betapa bodohnya engkau!" Tiba-tiba suara di balik kerudung ini berubah halus dan Lulu tersentak kaget. "Kau.... kau.... siapakah....?"
Pada saat itu, Milana sudah menjatuhkan diri. berlutut menghadap kepada Kaisar sambil menangis dan berkata, "Mohon Sri Baginda sudi mengampunkan hamba dan ibu hamba....! Thian-liong-pang sama sekali bukan pemberontak, bahkan sebaliknya. Thian-liong-pang selalu membantu kerajaan! Karena itulah, baru saja kemarin, Thian-liong-pang diserbu dan dihancurkan oleh pasukan pemberontak Koksu pengkhianat, para pembantu Ibu tewas semua dan hamba sendiri pun nyaris tewas.... harap Paduka sudi mengampunkan ibu dan Ibu.... Ibu.... selamanya.... setia kepada Paduka...." Milana tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu. Baru sekarang ini dia bertemu dengan Kaisar yang sebetulnya masih kakeknya sendiri! Dia menangis bukan karena takut melihat ancaman terhadap ibunya dan dia, melainkan merasa berduka dan terharu.
Lulu juga mendengar ucapan ini. Dia ragu-ragu dan memandang wanita berke rudung itu dengan bingung. Kini wanita berkerudung itupun menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar dan terdengar suaranya lantang,
"Sesungguhnyalah apa yang dikatakan oleh puteri hamba Milana itu. Semenjak dahulu, hamba adalah puteri Paduka yang setia...." Nirahai merenggut kerudung yang menutupi mukanya dan tampaklah wajah yang cantik agung dan diliputi penderitaan batin itu.
"Suci (Kakak Seperguruan)....!" Lulu menjerit saking kagetnya karena sedikit pun tidak pernah diduganya bahwa Ketua Thian-liong-pang, ibu Milana, adalah Nirahai!
"Nirahai....!" Kaisar juga berseru girang, lalu melangkah maju. "Aihhh.... jadi engkaukah yang selama ini menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan gadis ini.... dia anakmu....?"
Nirahai menggandeng tangan Milana, dibawa menghadap dan berlutut di depan Kaisar. "Harap Paduka sudi mengampunkan hamba, Milana adalah anak hamba dan...."
"....dan dia cucuku! Ahhhhh!" Kaisar menyentuh kepada Milana dengan ujung jari tangannya. "Nirahai, sukurlah bahwa engkau sudah kembali. Sekarang, kuserahkan seluruh pengawal. Seperti dahulu, pimpin mereka membersihkan pemberontak-pemberontak laknat itu! Tangkap Yauw Ki Ong dan Bhong Ji Kun, seret mereka ke pengadilan! Dan.... wanita bernama Lulu ini, siapakah dia? Sumoi-mu?"
"Dia adalah Lulu, Sumoi hamba dan.... dialah bekas Ketua Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan kerajaan." Nirahai berkata dan Lulu sudah menjatuhkan diri berlutut. Kaisar mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang. "Hemm...., semua adalah gara-gara perbuatan Bhong Ji Kun yang khianat. Dialah yang melaporkan kepadaku bahwa Pulau Es dan Pu1au Neraka merupakan kekuatan-kekuatan berbahaya dan perlu dibasmi, dan aku selalu percaya kepadanya. Apalagi karena aku mengira bahwa engkau berada di Pulau Es.... ahh, benar-benar menyesal sekali aku, telah mendengar bujukan Si Palsu itu."
"Baik Thian-liong-pang, Pulau Es, dan Pulau Neraka tidak pernah memusuhi kerajaan!" Nirahai berkata dan Lulu hanya menundukkan mukanya karena dia benar-benar menjadi bingung sekali setelah mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Nirahai. Jadi puteranya, Wan Keng In, tergila-gila kepada anak Nirahai? Dan anak Nirahai berarti anak.... Han-koko, pikirnya terharu dan terkejut, karena bukankah sucinya itu pernah menjadi isteri Suma Han Si Pendekar Super Sakti?
"Si keparat Bhong Ji Kun yang berdosa. Nirahai, dan engkau Lulu, aku menyerahkan tugas dan kekuasaan kepada kalian berdua untuk membasmi pemberontak. Setelah itu barulah kita bicara. Nah, terimalah pedangku sebagai lambang kekuasaan tertinggi!" Kaisar meloloskan pedang yang sarungnya bertahtakan naga dan burung Hong, menyerahkan pedang itu kepada Nirahai yang menerimanya sambil berlutut. Kemudian, dikawal oleh pengawal-pengawal pribadinya, Kaisar mengundurkan diri dan Nirahai lalu mengajak Lulu dan Milana untuk mengatur pasukan bersama para panglima istana yang kini menganggap Nirahai sebagai kepala mereka. Para panglima yang tua tentu saja masih mengenal Nirahai dan mereka girang sekali mendapatkan pimpinan wanita sakti ini karena yang mereka lawan adalah Koksu yang dibantu oleh banyak orang lihai.
Akan tetapi, ketika Nirahai yang dibantu oleh Lulu mengerahkan pasukan untuk membikin pembersihan, ternyata bahwa Pangeran Yauw Ki Ong, Bhong-koksu dan semua pembantunya, diam-diam telah lolos dari kota raja dan melarikan diri ke utara untuk bergabung dengan sekutu mereka dan membentuk barisan untuk menyerang kerajaan secara terbuka! Dengan penuh rasa penasaran, Nirahai lalu mengerahkan pasukan, melakukan pengejaran ke utara, tetap dibantu oleh Lulu. Adapun Milana tidak ikut membantu ibunya karena dara ini bersikeras untuk mencari ayahnya, menyerahkan pedang Hok-mo-kiam dan juga diam-diam dara ini mengkhawatirkan keadaan Bun Beng yang sama sekali tidak dia ketahui bagaimana nasibnya.
Berangkatlah pasukan besar yang dipimpin oleh Puteri Nirahai, menuju ke perbatasan utara untuk mengejar para pemberontak. Semangat pasukan itu besar sekali karena mereka menaruh kepercayaan penuh kepada Puteri Nirahai yang dahulu pun telah amat terkenal sebagai seorang pemimpin yang pandai dan gagah perkasa. Apalagi karena Puteri Nirahai adalah puteri kaisar sendiri!
******
Tubuh Bun Beng terayun-ayun di ujung bambu yang dipikul Bu-tek Siauw-jin. Pemuda ini maklum bahwa dia tadi telah ditolong oleh kakek pendek yang luar biasa ini. Dia tidak tahu siapa kakek ini, dan di dalam gelap tadi dia tidak dapat memperhatikan wajahnya. Kini, bulan sepotong menimpakan cahaya yang cukup terang, akan tetapi dia tergantung di ujung bambu seperti seekor binatang buruan, seperti seekor kijang atau babi hutan yang tertangkap, kaki dan tangannya masih terbelenggu dan tergantung di belakang tubuhnya. Dari tempat ia bergantung, dia hanya dapat melihat punggung tubuh yang pendek dengan rambut riap-riapan, langkah-langkah kedua kaki kecil pendek dengan gerak pinggul yang lucu, seperti menari-nari!
"Heh-heh-heh, tentu akan terjadi perang lagi. Tentu debu-debu jalanan akan mengebul kotor dilanda barisan bala tentara yang berbaris. Ramai! Ramai!" Kakek cebol itu lalu mengayun langkah pendek-pendek, berlenggang meniru gerakan pasukan berbaris. Bambu panjang yang dipanggulnya, bergerak naik turun dan dipegang seperti tentara memanggul tombak, mulutnya meniru aba-aba komandan pasukan, "Tu-wa! Tu-wa! Tu-wa!"
Diam-diam Bun Beng mendongkol sekali. Karena ayunan itu, tentu saja tubuhnya ikut terangguk-angguk di ujung bambu, membuat kepalanya makin pening! Celaka, pikirnya, kakek cebol ini agaknya sudah terlalu tua dan pikun sehingga berubah seperti kanak-kanak, atau memang otaknya agak miring! Sukar diduga apa yang akan menimpa dirinya yang terjatuh ke dalam tangan seorang kakek gila yang sakti, sedangkan dia menderita luka dalam yang amat parah sehingga jangankan mempergunakan tenaga dan
kepandaiannya, bahkan melepaskan diri dari belenggu kaki tangannya saja dia tidak sanggup. Setiap pengerahan sin-kang akan mempercepat nyawanya melayang. Maka diapun tidak bergerak dan tidak bersuara, hanya menyerahkan nasibnya di tangan kakek cebol yang aneh itu.
Memang kalau orang belum tiba saatnya tewas, ada saja penolongnya seperti halnya Bun Beng. Dia sudah terancam maut di tangan Thian Tok Lama dan Wan Keng In, menjadi tawanan dan tiada harapan lagi baginya untuk meloloskan diri. Sungguh kebetulan sekali, ketika dia menolong Milana, berhasil membebaskan dara itu dan dia sendiri mengamuk, ada sepasang mata yang menonton semua itu dengan penuh rasa kagum. Sepasang mata itu adalah mata Bu-tek Siauw-jin yang sedang mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Kalau saja Bu-tek Siauw-jin tidak menyaksikan semua peristiwa ketika Bun Beng menyelamatkan Milana di atas pohon, agaknya kakek ini tidak mau mencampuri urusan, apalagi menolong Gak Bun Beng yang sama sekali tidak dikenalnya.
Bukan hanya sikap dan kata-kata Bun Beng yang menggerakkan hati kakek itu, menimbulkan kekaguman dan rasa suka, akan tetapi terutama sekali ketika ia menyaksikan dengan penuh keheranan betapa Gak Bun Beng mampu menghadapi Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan dengan bantuan pasukan yang mengeroyoknya. Dia menyaksikan betapa ilmu kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, dan seandainya pemuda itu tidak menghadapi pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, agaknya belum tentu pasukan itu dapat menawannya. Sebagai seorang sakti, Bu-tek Siauw-jin terheran-heran dan ingin sekali tahu dari mana pemuda itu memperoleh kepandaian yang demikian tinggi, maka ia mengambil keputusan untuk menculik Bun Beng. Bukan semata-mata karena dia tertarik dan kagum kepada Bun Beng, juga sebagian terdorong oleh rasa tidak sukanya kepada Wan Keng In, murid suhengnya itu!
Setelah kini Bun Beng dapat diculiknya, dia menjadi bingung sendiri, tidak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap pemuda itu, maka dipanggulnya seperti seekor babi hutan yang tertangkap, dibawa melanjutkan mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Apalagi ketika matanya yang tajam mendapat kenyataan bahwa pemuda yang ditolongnya itu menderita luka pukulan yang amat hebat, dan untuk menyembuhkannya bukan merupakan hal yang mudah. Biarlah kuserahkan dia kepada Pendekar Super Sakti, pikir kakek itu. Ketika Bun Beng dan Milana bercakap-cakap tentang cinta mereka di atas pohon, kakek ini mencuri dengar, maka dia tahu bahwa pemuda yang dipanggulnya ini saling mencinta dengan puteri Pendekar Super Sakti. Calon mantu! Tentu pendekar itu akan girang kalau dia beri "hadiah" calon mantunya ini!
Bu-tek Siauw-jin memang pandai sekali mengikuti jejak orang. Setelah tiba di balik bukit kecil di mana terdapat tumpukan batu-batu gunung tampaklah olehnya Pendekar Super Sakti berdiri tegak dengan kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkatnya dan wajahnya diangkat memandang ke arah bulan sepotong, diam tak bergerak seperti arca! Rambutnya yang panjang putih itu tertimpa sinar bulan pucat, menjadi makin mengkilat putih seperti perak. Lengan kanannya menyilang depan dada, berpegang pada lengan kiri. Hanya ujung rambutnya yang putih panjang itu saja bergerak sedikit tertiup angin malam.
"Brukkkk!" Bambu itu dilemparkan ke bawah oleh Bu-tek Siauw-jin dan tentu saja tubuh Bun Beng terbanting ke atas tanah, akan tetapi ternyata bantingan itu tidaklah keras benar dan tubuh Bun Beng terjatuh miring sehingga hanya pundak dan pangkal pahanya saja yang terbanting. Ia tetap miring dan dapat melihat kakek cebol itu berjalan menghampiri Pendekar Super Sakti yang sama sekali tidak bergerak seolah-olah suara kedatangan kakek itu tidak terdengar olehnya, atau kalau terdengar juga, tentu tidak dipedulikannya sama sekali.
Sebetulnya kakek cebol itu girang sekali berhasil mencari Pendekar Super Sakti yang amat ia kagumi. Akan tetapi betapa kecewa hatinya ketika ia menghampiri pendekar kaki buntung itu, ia melihat Suma Han sama sekali tidak peduli kepadanya dan pendekar itu ternyata sedang termenung memandang bulan dengan air muka penuh duka!
Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepala, berjalan hilir-mudik di depan pendekar itu sambil menaruh kedua tangan di punggungnya. Kadang-kadang dia berhenti di depan pendekar itu, menatap wajahnya dan melihat reaksi satu-satunya pendekar itu hanya berulang kali menghela napas panjang, kembali ia menggeleng-geleng kepala dan berjalan hilir-mudik lagi.
Biarpun dirinya menderita nyeri dan belum mampu membebaskan diri, Bun Beng yang rebah miring itu memandang dengan bengong. Kakek cebol itu agaknya benar-benar sinting! Akan tetapi mengapa Pendekar Super Sakti diam saja? Apakah mereka telah saling mengenal? Tadinya dia merasa tegang, tertarik sekali karena pasti akan ramai bukan main kalau sampai kakek cebol yang ia tahu amat sakti itu bertanding ilmu melawan Pendekar Siluman! Akan tetapi, sungguh sama sekali tidak diduganya, kini kedua orang sakti itu bersikap luar biasa sekali. Pendekar kaki buntung itu tetap berdiri tegak sedangkan kakek cebol itu berjalan hilir-mudik sambil menggeleng-geleng kepala. Hal ini berlangsung sampai sejam lebih! Benar-benar sinting mereka itu! Akhirnya terdengar kakek cebol itu bersenandung, suaranya serak parau tidak enak didengar, akan tetapi kata-katanya aneh dan jelas menyindir keadaan Suma Han. "Sekali hidup siapa minta? segala macam peristiwa menimbulkan suka duka salah siapa?
Apapun yang terjadi tak mungkin dirobah tiada hubungan dengan suka duka mengapa susah? Kakek bulan pun tidak selalu sempurna mengapa kecewa?
Tuhan tidak mengharuskan setan tidak memaksa tawa atau tangis!
Yang senang memang bodoh tapi yang berduka lebih tolol lagi!"
Kini tubuh Suma Han bergerak. Terdengar dia menghela napas panjang lalu menurunkan muka memandang kakek itu yang telah berdiri di depannya. "Hemm, Bu-tek Siauw-jin. Yang menonton memang berbeda dengan yang merasakan! Memang amat mudah mencela, semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi yang merasakannya sendiri barulah dapat menilai akan ringan beratnya."
Kakek itu tertawa. "Memang baru terasa ringan atau berat kalau dirasakan. Eh, Pendekar Siluman, engkau kelihatan berduka sekali, lebih muram dan pucat daripada bulan itu. Tentu engkau merasa betapa berat penanggungan derita hatimu setelah kaurasakan. Kalau begitu, mengapa dirasakan?"
"Karena aku ada pikiran."
"Siapa menyuruh engkau memikirkan sampai engkau menderita susah?"
"Tidak ada yang menyuruh."
"Nah, kalau begitu engkau tentu tahu betapa bodohnya engkau. Kita mempunyai pikiran, apakah tepat kalau pikiran itu kita pergunakan untuk memikirkan hal-hal yang menimbulkan duka? Daripada pikiran dipergunakan secara keliru seperti itu, jauh lebih baik dipergunakan untuk memikirkan mengapa kita sampai berduka! Karena sesungguhnya, suka maupun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri itulah!"
"Bu-tek Siauw-jin, memang hidup ini isinya suka atau duka. Kita tidak dapat terlepas daripada pengaruh Im dan Yang, dan kedua unsur inilah yang membentuk hidup, memberi isi kepada hidup, tanpa mengenal duka, bagaimana kita dapat mengenal suka?" Suma Han menjawab setelah menghela napas panjang.
"Ha-ha-ha, Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti yang namanya tersohor di seluruh dunia, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang membuat iblis sendiri menggigil ketakutan, kiranya hanyalah seorang manusia lemah yang tunduk kepada pengaruh Im dan Yang. Sungguh mengherankan sekali, engkau yang membuka hati dan pikiranku di dalam kamar tahanan, engkau yang menyalakan api di dalam diriku, ternyata engkau sendiri tidak tahu akan api itu dan masih tinggal terbuai di alam mimpi dalam tidur nyenyak. Ternyata engkau yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, hanyalah seorang yang hidupnya tidak bebas, yang terikat oleh keadaan dari luar, yang ditentukan oleh segala filsafat, pelajaran, dan kenangan masa lampau. Sungguh kasihan!"
Tentu saja Suma Han menjadi penasaran sekali. "Kau sombong, Bu-tek Siauw-jin!" dan pendekar ini menjatuhkan tubuhnya duduk bersila di atas sebuah batu.
"Aku hanya bicara tentang kenyataan, dan pendapatmu bahwa aku sombong kembali membuktikan kelemahanmu, engkau tidak mau membuka mata melihat keadaan diriku, tidak mau mengerti melainkan menurutkan isi pikiran sendiri yang selalu menyesatkan." Kakek itupun menggerakkan tubuhnya dan "bruuk!" dia sudah duduk pula di atas sebongkah batu besar tak jauh di depan Suma Han.
Sejenak keduanya berpandangan. Cuaca mulai gelap dan Bun Beng masih rebah miring, mendengarkan dengan penuh keheranan. Dia merasa tegang sekali dan juga ingin dia menyaksikan, bahkan mengharapkan terjadinya perang tanding di antara dua orang yang memiliki kesaktian tinggi ini. Akan tetapi dia kecewa! Ternyata kedua orang itu mulai bertanding suara, berbantahan dan berdebatan tentang hidup. Namun, makin didengar, makin tertariklah hati Bun Beng karena yang dipercakapkan dua orang aneh itu adalah hal-hal mengenai rahasia hidup dan makin didengar, makin terbukalah mata batin pemuda ini sehingga dia merasa seolah-olah tubuhnya disiram air dingin yang membuatnya sadar.
"Bu-tek Siauw-jin, bicaramu makin memanaskan perut dan ngawur!" Suma Han menyerang dengan suara mengejek. "Kau seolah-olah memandang rendah kepada pikiran yang kaukatakan selalu menyesatkan. Tanpa pikiran bagaimanakah manusia dapat hidup?"
"Aku tidak mengatakan bahwa kita harus hidup tanpa pikiran. Akan tetapi engkau, juga aku selama ini, kita manusia selalu diperbudak oleh pikiran, segala gerak hidup dikemudikan oleh pikiran. Coba buka mata batinmu dan mari kita jenguk kita lihat keadaan kita ini, keadaan pikiran kita. Memang hidup membutuhkan tenaga pikiran untuk mengingat-ingat dan mengenal benda, untuk bekerja dan untuk menyelesaikan segala macam urusan lahiriah. Pikiran perlu pula untuk mempelajari hal-hal mengenai keperluan hidup, namun terbatas kepada urusan lahiriah. Sekali pikiran terjun ke dalam dan mengacau batin, hidup menjadi rusak karena kita menjadi boneka-boneka hidup yang dikemudikan oleh pikiran!"
"Trakkk!" Ujung batu yang diduduki Suma Han cuwil oleh tangan Si Pendekar yang mencengkeramnya. "Siauw-jin, siapa sudi bicara main-main denganmu? Hati-hatilah engkau bicara, jangan mencoba mengusik hatiku yang sedang tidak senang. Aku tidak ingin kesalahan tangan membunuh seseorang yang telah bersikap baik kepada keponakanku!"
"Nah, itulah contohnya kalau orang selalu dipengaruhi oleh pikiran sendiri, Suma-taihiap. Kalau sampai engkau turun tangan dan berhasil membunuhku, bukanlah aku yang mengusik hatimu, melainkan pikiranmu sendiri. Pikiran memang menjadi biang keladi segala peristiwa di dunia ini, pikiran amat licin dan cerdiknya menipu diri sendiri. Ha-ha-ha!"
"Hemmm, engkau bicara seperti orang gila, seperti teka-teki. Apa maksudmu?"
"Seperti kukatakan tadi, suka maupun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri, karena itu, sebagai seorang yang bijaksana dan sakti sepertimu ini, mengapa mau saja diperbudak oleh pikiran?"
"Bu-tek Siauw-jin, ucapanmu aneh dan kacau-balau. Aku telah dikurniai pikiran, mengapa tidak akan kupergunakan?"
"Ha-ha-ha, siapa yang mengurniaimu? Dan siapakah itu yang kausebut aku yang mempunyai pikiran? Pendekar Super Sakti, dengarlah baik-baik segala yang hendak kukemukakan, karena semua kesadaran ini kudapat setelah mendengar petunjukmu di dalam kamar tahanan. Dengarkanlah dengan hati kosong terbuka, tanpa penilaian, tanpa kesimpulan, dengarkan saja baik-baik. Aku bukan bermaksud memberi pelajaran kepadamu, bukan bermaksud menguliahi. Sama sekali tidak karena engkau jauh lebih pandai daripada aku. Maukah engkau mendengarkan?"
"Bicaralah, kakek aneh."
"Pikiran adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun yang lalu atau kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. Dengan sendirinya pikiran menciptakan Si Aku yang tentu saja segera melakukan pemilihan, menghindarkan hal yang tidak menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan. Kalau sudah begini, bagaimana tidak akan timbul suka dan duka? Bagaimana tidak akan timbul iri, dendam, benci dan sengsara?"
"Nanti dulu!" Suma Han berkata nyaring dan untuk sejenak keduanya berdiam, menerima ucapan tadi yang meresap di dalam diri mereka. "Coba jelaskan lagi, bagaimana pikiran mula-mula mengemudikan dan menguasai kita."
"Kita melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Tidak akan terjadi akibat sesuatu yang buruk dari kejadian ini. Akan tetapi pikiran masuk dan mengacaunya. Pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu mengenai kembang itu, dan karena pikiran berputar dengan pusatnya Si Aku yang diciptakannya, maka timbullah nafsu keinginan untuk memetik kembang itu, untuk menciumnya, dan untuk mengambilnya sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah demikian, mulailah kekacauan yang akan terus berekor dan berakibat. Kembang dipetik secara kasar dan marahlah Si Pemilik kembang, disusul percekcokan dan lain-lain."
"Aku dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin, dan memang agaknya tidak salah lagi bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan pengalaman masa lalu yang memisah-misahkan kesenangan dan penderitaan. Hal-hal yang menimbulkan kesenangan melekat dan ingin didapatkan terus, sedangkan hal yang sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan oleh pusat yaitu Si Aku, sehingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang menyusahkan Si Aku dijauhi. Ini menimbulkan pertentangan-pertentangan. Benar sekali! Akan tetapi, apa hubungannya dengan iri?"
"Karena nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat yang menyenangkan dimiliki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang menimbulkan iri tentulah hanya yang menyenangkan saja."
"Bagaimana dengan dendam dan benci?"
"Dendam menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian inipun ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan hal-hal tidak menyenangkan yang dilakukan orang lain kepadanya. Kebencian kepada seseorang akan melekat terus selama pikiran mengenangkan masa lalu yang tidak menyenangkan dirinya itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidak senang, pikiran berupa ingatan atau kenangan memperkuat ini dan menimbulkan dendam kebencian. Semua ini tentu saja melahirkan pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan."
Suma Han duduk bersila, diam tak bergerak seperti arca. Kata-kata yang keluar dari mulut kakek itu seolah-olah terasa olehnya mengalir dingin ke dalam tubuhnya, menyentuh kesadarannya, namun keadaan dirinya yang semenjak kecil sudah terisi oleh pengaruh Im dan Yang itu, membuyarkan kembali kekuatan pemersatu yang timbul dari pengertian itu, dan tubuhnya bergoyang-goyang kembali.
"Apa hubungannya semua itu dengan kedukaanku, Bu-tek Siauw-jin?"
"Kedukaan? Hemmmm.... kedukaanmu?"
Kakek itu diam sejenak. Pengertian yang tiba-tiba memastikan dirinya, seolah-olah ada sesuatu yang membukanya semenjak dia bertemu dengan Pendekar Siluman di kamar tahanan itu, belum menyerap benar di sanubarinya sehingga dia harus membuka mata batin lebar-lebar dan menghilangkan segala penghalang yang menutupi dirinya sendiri selama ini. Maka pertanyaan itupun membuatnya ragu-ragu. Akan tetapi kemudian dia menjawab lancar, "Sebelumnya maafkan kalau kata-kataku kau anggap tidak tepat. Akupun hanya seorang pencari yang baru saja mulai, Pendekar Siluman. Marilah kita cari bersama persoalan duka ini. Apakah sebenarnya duka di hati? Bagaimana timbulnya dan dari mana timbulnya? Saya berduka misalnya. Tentu berduka tentang sesuatu yang telah lalu. Sebuah pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati, berlawanan dengan keinginan hatiku dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari semua inilah timbulnya duka, bukan? Dan bagaimana kedukaan timbul? Tentu saja kalau pikiran kita main-main lagi, mengenangkan hal yang lalu itu. Jadi, sebetulnya duka itu tidak ada, sahabatku. Yang ada hanyalah permainan pikiran yang menggali masa lalu, bayangan-bayangan masa lalu ini ditekan-tekankan sendiri dalam perasaan, maka datanglah duka. Sebetulnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran sendiri! Bukankah demikian, Suma-taihiap?"
Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali. Cuaca sudah menjadi gelap dan dia tidak lagi dapat melihat wajah kedua orang itu. Akan tetapi telinganya dapat menangkap semua percakapan. Kini kedua orang itu berhenti bicara, sampai lama keadaan sunyi sekali. Kesunyian yang amat dalam, kesunyian yang amat suci dan bersih, kesunyian yang mencakup segala apa di dunia ini. Bun Beng merasa seolah-olah dia hidup di dunia yang baru. Sunyi melenggang kosong luas tak terukur, tak terjangkau oleh pikiran. Suara daun gemerisik ditiup angin, suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang menyambut malam, suara burung kemalaman yang terbang lewat mencicit bingung mencari sarang mereka, semua suara itu bukanlah lawan kesunyian, bukan pula merusak kesunyian melainkan menjadi bagian dari kesunyian itu sendiri. Dia rebah di atas tanah, dua orang sakti yang tidak tampak lagi duduk di atas batu, bau tanah yang sedap, rasa pegal di kedua lengannya dan kakinya yang terikat, rasa di kepalanya yang minta digaruk, semua ini menjadi bagian dari kesunyian yang luas itu. Kesunyian suci, tidak tersentuh oleh waktu, tidak ada kemarin dan esok, tidak ada bagaimana dan mengapa!
Dua orang sakti itu masih terus berdebat atau bertukar pikiran mengenai hidup, dan tentu saja dalam kesempatan ini, Suma Han membongkar semua pengetahuan filsafat yang dimilikinya, untuk melawan ucapan kakek yang selalu mengemukakan fakta apa adanya, bukan sebagai pelajaran atau filsafat baru, melainkan sebagai hasil pandangan mata batin yang terbuka lebar, tidak lagi digelapkan atau dibikin suram oleh segala pendapat dan pelajaran hafalan yang telah lalu. Bun Beng hanya kadang-kadang saja mendengarkan karena dia merasa betapa dada dan lehernya nyeri bukan main. Teringatlah dia bahwa dia telah terkena pukulan beracun yang amat jahat dari Wan Keng In. Dia berusaha melepaskan ikatan tangan kakinya. Kalau menggunakan sin-kang, tentu sekali renggut saja akan putus ikatan kaki tangannya itu, akan tetapi bukan hanya ikatan itu yang akan putus, juga nyawanya
mungkin akan putus pula! Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan beracun itu tidak memungkinkan dia mengerahkan sin-kang. Bun Beng perlahan-lahan menggulingkan tubuhnya mendekati sebuah batu karang, kemudian dia mulai menggosok-gosokkan tali pengikat tangannya di belakang tubuh itu kepada pinggiran batu yang tajam. Karena tidak berani mengerahkan tenaga dalam, Bun Beng bekerja perlahan-lahan, hanya mengandalkan tenaga luar. Tekun sekali dia mengerjakan semua ini sehingga hanya kalau dia berhenti mengaso saja dia dapat mendengar percakapan dua orang itu sekarang. Baginya, lebih penting melepaskan ikatan kaki tangannya yang kalau dibiarkan dapat membuat jalan darahnya terganggu sekali. Karena pekerjaan yang lambat dan makan waktu ini, maka setelah malam terganti pagi, barulah dia berhasil melepaskan ikatan kaki dan tangannya. Dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan, memulihkan jalan darah pada pergelangan kaki tangan yang terlalu lama terikat itu. Terdengar pula olehnya kedua orang sakti itu masih berdebat!
"Memang enak saja menjadi orang seperti engkau yang tidak dilanda penderitaan batin seperti yang kualami semua, Bu-tek Siauw-jin. Enak saja untuk bicara tentang hidup karena memang agaknya hidupmu berjalan lancar tanpa gangguan! Akan tetapi, aku? Terhadap orang seperti engkau tidak perlu aku menyembunyikannya lagi. Kaudengarlah dan coba pertimbangkan, bagaimana aku tidak akan berduka selama hidupku?" Pendekar Super Sakti yang sedang tenggelam dalam kedukaan hebat itu lalu membuka semua rahasia hatinya kepada Bu-tek Siauw-jin. Tanpa disengaja, Bun Beng ikut pula mendengarkan, akan tetapi sebagian dari rahasia itu memang sudah diketahui oleh pemuda ini. Akan tetapi, mendengar penuturan semua itu, diapun terkejut, terheran dan merasa terharu sekali. Tidak disangkanya bahwa pendekar besar yang dikaguminya, yang dijunjungnya tinggi itu adalah seorang yang telah dilanda kepahitan hidup yang demikian hebatnya!
"Tanpa kusadari aku saling mencinta dengan adik angkatku, dan karena aku buta, karena aku hendak mengingkari perasaan sendiri, aku setengah memaksanya untuk menikah dengan orang lain! Kemudian aku melibatkan diri dengan Puteri Nirahai yang mengorbankan kedudukannya sebagai puteri kaisar dan panglima besar untuk menjadi isteriku. Namun, hanya sebulan kemudian dia telah meninggalkan aku karena kami tidak sepaham mengenai jalan hidup selanjutnya. Kami berpisah dan aku hidup merana, hatiku terobek oleh dua perasaan cinta kasih, terhadap adik angkatku dan terhadap isteriku. Aku berusaha mengubur semua kedukaan di Pulau Es, menjadi Majikan Pulau Es. Namun, nasib masih terus mempermainkan diriku, memaksaku berjumpa lagi dengan mereka berdua! Adik angkatku yang telah berputera seorang itu ternyata telah meninggalkan suaminya yang gugur dalam perang karena patah hati, dan ternyata adik angkatku itu pun menderita karena cintanya kepadaku. Dan engkau tentu tahu siapa dia karena dia
menjadi Ketua Pulau Neraka. Adapun Puteri Nirahai, isteriku yang telah mempunyai seorang anak perempuan, anak kami berdua, kini malah menjadi Ketua Thian-liong-pang! Coba pikir, menghadapi semua ini, bagaimana aku dapat bertahan untuk tidak berduka?"
Sejenak keadaan sunyi, yang terdengar hanya tarikan napas panjang dari kedua orang sakti itu. Setelah agak lama, Bu-tek Siauw-jin berkata, perlahan "Wahh, aku sendiri selamanya tidak berani berurusan dengan wanita, Taihiap. Menurut dongeng, wanita adalah satu-satunya mahluk yang dapat menguasai pria, satu-satunya mahluk yang paling aneh dan sukar dimengerti. Katanya, hanya wanita yang sanggup menciptakan surga dunia maupun neraka dunia bagi seorang pria, dan jatuh bangunnya seorang pria banyak tergantung kepada seorang wanita. Memang sekarang kusadari bahwa segalanya tergantung kepada kita sendiri, kepada pikiran kita, akan tetapi aku ngeri kalau membayangkan betapa daya tarik seorang wanita, polah tingkahnya, wibawa dan pengaruhnya, akan dapat menghancurkan dan menjatuhkan segala pertahanan hati seorang pria. Sehingga kini seorang gagah perkasa seperti engkau pun roboh dan merana karena wanita, apalagi kalau engkau dikeroyok oleh dua orang wanita seperti itu! Hukkh, ngeri aku memikirkannya! Apakah.... apakah mereka itu masih mencintamu, Taihiap?"
"Agaknya demikianlah."
"Dan engkau pun mencinta mereka?"
"Sejak dahulu sampai saat ini."
"Huh, mengerikan! Cinta! Celaka, pikiranku buntu, Taihiap. Aku tidak bisa mempertimbangkannya, apalagi memberi nasihat apa yang harus kaulakukan!"
Kembali sunyi senyap karena kedua orang sakti itu tenggelam dalam pikiran masing-masing, memikirkan jalan apa yang terbaik menghadapi dua orang wanita yang menghancurkan hidup pendekar kaki satu itu. Tiba-tiba terdengar suara lantang dan nyaring,
"Seorang isteri harus dalam keadaan apapun juga ikut dengan suaminya! Seorang kekasih harus setia dan ikut ke mana juga kekasihnya pergi. Seorang laki-laki sejati harus tidak lari daripada pertanggungan jawabnya dan tidak mengingkari perasaan hatinya sendiri!"
Dua orang sakti itu terkejut dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali, tahu-tahu Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin telah berdiri di depan Bun Beng yang masih duduk bersila di atas tanah.
"Ahhh, engkau bisa membebaskan diri dari ikatanmu?" Bu-tek Siauw-jin bertanya heran dan agaknya baru kakek ini teringat kepada pemuda yang diculiknya.
"Ah, engkau terluka hebat, nyawamu terancam maut!" Suma Han berseru kaget.
Gak Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu. "Harap Suma-taihiap sudi memaafkan saya yang mengganggu, dan terima kasih saya aturkan kepada Bu-tek Siauw-jin Locianpwe yang telah menolong saya."
"Engkau.... Gak Bun Beng!" Kini Suma Han berseru setelah mengenal wajah pemuda itu di bawah cuaca yang masih remang-remang.
"Ha-ha-ha-ha, sudah tahu namaku Siauw-jin (Manusia Hina) masih menyebut locianpwe (orang tua gagah) pula. Engkau ini mengangkat atau membanting?"
Bun Beng tak dapat membantah kata-kata kakek sinting itu, maka dia diam saja, dan kakek itu melanjutkan kata-katanya, kini ditujukan kepada Suma Han.
"Tahukah engkau mengapa aku menolongnya, Pendekar Siluman? Setelah engkau ceritakan padaku bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterimu, maka aku menolong pemuda ini karena pemuda ini telah menyelamatkan puterimu. Tadinya aku tidak tahu bahwa dara itu puterimu. Hemm, sungguh kebetulan sekali."
"Milana? Mengapa dia?" Suma Han bertanya kepada Bun Beng.
Bun Beng lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa di dalam hutan dia melihat Milana menjadi tawanan Wan Keng In dan Thian Tok Lama yang memimpin pasukan menghancurkan Thian-liong-pang. Betapa dia telah berhasil pula mengembalikan pedang Hok-mo-kiam kepada Milana untuk diserahkan kepada Pendekar Super Sakti.
"Sukur bahwa puteri Taihiap telah dapat saya bujuk supaya melarikan diri membawa Hok-mo-kiam. Saya menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran. Akan tetapi mereka itu lihai sekali, terutama Wan Keng In dengan Lam-mo-kiam di tangannya, dan Thian Tok Lama. Akhirnya saya roboh dan sebelum tertolong oleh Locianpwe ini, Wan Keng In telah memukul saya dengan pukulan beracun."
"Heh-heh, agaknya dia memukulmu dengan Toat-beng-ci-tok, dan siapa yang menderita pukulan ini, dalam waktu dua puluh empat jam akan tewas. Bocah setan itu telah memiliki kepandaian tinggi dan tenaganya pun hebat. Nyawamu terancam, Gak Bun Beng," kata Bu-tek Siauw-jin setelah memeriksa sebentar.
"Tidak, dia harus diobati sampai sembuh. Jasanya terhadap aku sudah terlampau besar sehingga aku rela mengorbankan nyawaku untuknya. Dia telah menyelamatkan Milana, telah mengembalikan Hok-mo-kiam, dan.... dan terutama sekali ucapannya tadi telah membuka mata batinku, telah mendatangkan ketegasan dalam hatiku sehingga lenyaplah segala duka nestapa yang tolol selama ini. Bu-tek Siauw-jin, engkau harus membantuku mengobati sampai sembuh, kalau tidak, aku akan menuntut engkau yang lancang berani
mengambil keponakan dan muridku sebagai muridmu," kata Suma Han.
"Wah-wah, ini namanya pemerasan. Apa boleh buat, aku memang suka kepada anak ini. Dan kalau kuingat bisik-bisiknya dengan dara itu di atas pohon."
Bun Beng terbelalak dan seperti melotot kepada kakek itu yang tertawa dan sudah duduk bersila di depannya, menempelkan kedua tangan pada dada Bun Beng dan berkata, "Kaukerahkan Im-kang di punggungnya, Pendekar Siluman. Aku tahu cara mengobati pukulan Toat-beng-ci-tok dari suhengku yang amat keji ini."
Suma Han sudah bersila pula di belakang Bun Beng, menempelkan tangan kirinya dan mengerahkan Im-kang. Mula-mula keadaan Bun Beng tersiksa bukan main. Hawa yang amat dingin menyerangnya dari belakang, seolah-olah membuat seluruh darah di tubuhnya membeku dan hawa yang panas dan mengeluarkan bau amis menyerangnya dari depan.
Kadang-kadang keadaan tubuhnya seperti separuh dibakar dan separuh direndam es, lalu kedua hawa itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, membuat dia hampir pingsan. Akan tetapi lambat laun terjadi hal yang aneh, kedua hawa itu seolah-olah menghentikan pertandingan mereka, bersatu dan menimbulkan rasa hangat yang amat nyaman. Rasa nyaman ini mendesak rasa nyeri dari dada dan leher, dan tak dapat ditahannya lagi, Bun Beng memuntahkan darah hitam tiga kali. Baiknya dia masih teringat untuk miringkan mukanya sehingga darah hitam yang keluar dari mulut tidak sampai mengenai tubuh kakek yang bersila di depannya.
Ternyata pengobatan yang hanya dilakukan kurang lebih dua jam itu telah berhasil baik. Kakek itu dan Suma Han melepaskan tangan dan keduanya duduk bersila untuk memulihkan tenaga masing-masing. Bun Beng maklum akan keadaan dirinya yang sudah tertolong, maka dia tetap berlutut di depan mereka, tanpa berani bergerak menanti sampai mereka menyelesaikan pemulihan tenaga mereka yang memakan waktu kurang lebih dua jam.
Matahari telah naik tinggi ketika akhirnya kedua orang sakti itu membuka mata. Melihat betapa Bun Beng masih berlutut di depan mereka, Suma Han diam-diam kagum sekali. Tidak disangkanya bahwa putera Si Datuk Sesat Gak Liat ini telah menjadi seorang yang benar-benar patut dipuji, seorang pemuda yang tampan, gagah, dan berbudi agung, juga seorang yang ingat akan budi orang. Dia teringat akan Kwi Hong dan memang ada niat di hatinya untuk menjodohkan keponakannya itu dengan pemuda ini. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Bu-tek Siauw-jin tentang bisik-bisik antara puterinya, Milana, dengan Bun Beng, maka hatinya menjadi bimbang.
"Bangkitlah, Bun Beng. Engkau telah sembuh," katanya perlahan.
Bun Beng memberi hormat kepada mereka. "Pertolongan Ji-wi seolah-olah telah memberi nyawa baru kepada saya, tak tahu bagaimana saya harus membalas budi yang amat besar itu."
"Ha-ha-ha-ha, untuk membalas, engkau harus menerima dan mempelajari ilmu kami berdua sekarang juga. Kalau engkau tidak mau atau tidak bisa, kami terpaksa akan minta kembali nyawa yang kaubilang kami berikan kepadamu tadi."
Ucapan ini hanya merupakan kelakar saja dari Si Kakek Sinting, akan tetapi Bun Beng menerima dengan sungguh-sungguh. "Teecu sanggup menerimanya dan memenuhi syaratnya."
Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin saling pandang dan keduanya mengangguk. Mereka berdua semalam suntuk telah berdebat tentang kebatinan, mengemukakan pegangan masing-masing. Suma Han telah mengeluarkan ilmu-ilmunya yang berdasarkan Im dan Yang, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menandinginya dengan Ilmu Tunggal, yaitu yang mempersatukan dua tenaga bertentangan itu sehingga
menjadi satu, tidak seperti Suma Han yang mempergunakan kedua-duanya. Kini, mereka telah merasakan sendiri betapa tenaga sin-kang mereka yang berdasarkan ilmu-ilmu itu, ketika dipergunakan untuk menyembuhkan Bun Beng, ternyata dapat digabungkan menjadi satu! Biarpun tidak saling mengutarakan isi hati dengan kata-kata, keduanya sudah maklum bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, memiliki tenaga sin-kang yang hebat dan agaknya hanya pemuda inilah yang sanggup menerima gabungan ilmu mereka!
"Bun Beng, kami berdua telah bersepakat untuk menurunkan inti tenaga kami kepadamu. Tentu saja gabungan inti tenaga sakti kami itu baru akan dapat dipergunakan dengan berhasil baik dalam sebuah gerakan ilmu silat yang tinggi. Karena itu, coba kaumainkan ilmu silat tertinggi yang kaumiliki."
Bun Beng masih muda, akan tetapi dia telah mempelajari bermacam ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Baginya, ilmu silat tertinggi yang pernah dipelajarinya adalah ilmu silat yang dia "curi" dari tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, yaitu Ilmu Silat Lo-thian-kiam-sut. Ilmu itu adalah ilmu yang dicurinya dari Ketua Thian-liong-pang yang ternyata adalah isteri Pendekar Super Sakti ini. Kalau sampai diketahui oleh pendekar ini, apakah tidak berbahaya baginya? Tentu dia dianggap pencuri! Akan tetapi kalau tidak dimainkannya, berarti dia menyembunyikan sesuatu dan membohong kepada dua orang gurunya yang baru ini! Dia mengambil keputusan nekat. Dia tidak sengaja mencuri! Pula, Ilmu Lo-thian-kiam-sut itu mirip dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang ia temukan di dalam guha bersama Sepasang Pedang Iblis, dan ia mempelajarinya tanpa sengaja mencuri!
"Ilmu itu adalah ilmu pedang, akan tetapi teecu tidak mempunyai pedang," jawabnya lirih.
"Kau boleh memakai tongkatku ini!" kata Suma Han. Bun Beng menerima tongkat itu dengan jari-jari tangan gemetar. Betapa tidak akan terharu, bangga, dan gembira hatinya? Dia diperbolehkan menggunakan senjata Pendekar Super Sakti! Setelah menerima tongkat butut itu, dengan penuh keharuan dia mencium tongkat itu, kemudian memberi hormat kepada kedua orang itu dan mulailah dia meloncat bangun dan mainkan Ilmu Pedang Lo-thian-kiam-sut. Gerakannya gesit dan ringan bukan main sehingga bagi pandang mata biasa, tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar yang dibentuk oleh tongkat itu. Angin yang berdesir menyambar dari gerakan tongkat membuktikan betapa sin-kang dari pemuda itu sudah amat kuat.
Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin memandang dan melongo. Kadang-kadang mereka saling pandang dan kadang-kadang menarik napas panjang dan menggelengkan kepala saking kagumnya. Bun Beng bersilat sebaik mungkin, dengan penuh ketekunan. Ketika selesai, dia meloncat turun dari jurus terakhir yang dihabiskan dengan gerak meloncat tinggi sambil memutar pedang yang diwakili tongkat itu, sebatang tongkat yang ternyata cocok Sekali dipergunakan sebagai pedang, kemudian dengan hormat menyerahkan tongkat kembali kepada pemiliknya. Napasnya biasa saja, hanya mukanya menjadi merah sekali karena pengerahan tenaga yang cukup melelahkan.
"Ha-ha-ha, dan orang seperti engkau ini kuambil sebagai murid? Ha-ha-ha, aku benar-benar Siauw-jin yang tidak memandang orang! Bocah, ilmu kepandaianmu ini, ilmu pedang aneh yang baru kauperlihatkan, kiranya sudah cukup untuk membuat aku orang tua menjadi mati kutu!"
Bun Beng menjura, "Harap Locianpwe memaafkan teecu, tidak menertawakan teecu yang bodoh dan teecu mohon petunjuk."
"Ah, aku tidak main-main. Ilmu pedangmu tadi hebat, kalau ditambah gabungan inti tenaga sakti kami.... wah.... agaknya suhengku Cui-beng Koai-ong sendiri harus tunduk kepadamu! "
"Gak Bun Beng, dari mana kau memperoleh ilmu pedang tadi?" Tiba-tiba terdengar suara Suma Han, suaranya tegas dan pandang matanya membuat Bun Beng mengkirik karena seolah-olah dia merasa betapa sinar mata pendekar itu menembus jantungnya!
"Maafkan, teecu mendapatkannya secara tidak sengaja, dari sebuah kitab dan ilmu ini bernama Lo-thian Kiam-sut, hampir sama dasarnya dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang pernah teecu dapatkan pula dalam sebuah guha. Akan tetapi, Ilmu Lo-thian Kiam-sut ini teecu pelajari secara sembunyi dan.... dan.... mencuri...."
Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, akan tetapi Suma Han kecewa sekali dan dia berkata, "Mencuri? Dari siapa?"
"Dari Ketua Thian-liong-pang."
"Heh....?" Dua orang sakti itu terbelalak dan bahkan Bu-tek Siauw-jin sendiri kaget karena tidak menyangka sama sekali. Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut dan tanpa menyembunyikan sesuatu dia lalu menceritakan semua pengalamannya sampai dia mempelajari ilmu yang luar biasa, ilmu yang oleh Nirahai sendiri tidak dapat dimainkan itu. Mendengar ini, kembali Bu-tek Siauw-jin tertawa kagum, sedangkan Suma Han menghela napas panjang dan berkata, "Dia tersesat, mencuri ilmu-ilmu orang lain, sedangkan ilmu tertinggi tidak dapat dipelajarinya, bahkan terjatuh ke tangan orang lain. Ini namanya pembalasan! Gak Bun Beng, tahukah engkau, bahwa setelah engkau memiliki Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut ini, sebetulnya engkau terhitung sute-ku (adik sepergururuanku) sendiri? Melihat dasar gerakanmu aku yakin bahwa kitab itu adalah peninggalan Suhu Koai-lojin."
"Ahhhh....!" Bun Beng terbelalak penuh kaget dan kagum. "Teecu.... teecu.... mana berani....?" Suma Han tersenyum. Dia merasa makin suka kepada Bun Beng. Jelas bahwa pemuda ini memiliki watak baik, dan ternyata memiliki kepandaian yang hebat pula, hal yang tidaklah mengherankan kalau wataknya demikian sederhana dan merendah.
"Tidak mengapalah, Bun Beng. Tidak ada bedanya apakah engkau menjadi suteku, ataukah muridku, ataukah hanya sahabat saja. Apa sih artinya segala sebutan kosong? Sekarang yang penting, engkau harus benar-benar mengerahkan seluruh ketekunan dan semangatmu, mencurahkan seluruh perhatian untuk menerima gabungan inti tenaga sakti dari kami berdua, hal yang tak mungkin ditemukan oleh orang lain di dunia ini."
Mulailah kedua orang sakti itu melatih Bun Beng. Pendekar Super Sakti menurunkan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, dua inti tenaga panas dan tenaga dingin, sedangkan Kakek Bu-tek Siauw-jin menurunkan sin-kang dari Pulau Neraka yang telah merubah warna muka semua tokoh Pulau Neraka! Karena pada diri Bun Beng sudah terdapat tenaga sin-kang yang mujijat dari jamur-jamur berwarna yang dimakannya ketika dia berada di dalam guha di bawah tanah tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, maka Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi yang mujijat dari Bu-tek Siauw-jin ini tidak mempengaruhi warna mukanya.
Bun Beng yang amat tekun, cerdas dan memang berbakat luar biasa sekali itu, melatih diri siang malam tanpa pernah mengaso dan hanya membutuhkan waktu tiga hari saja untuk mewarisi ilmu gabungan dari dua orang manusia sakti itu! Melihat hasil ini, makin kagumlah Suma Han dan dia lalu memberi petunjuk kepada Bun Beng bagaimana untuk memanfaatkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut itu sebagai ilmu tangan kosong atau dengan menggunakan senjata lain. Biarpun Suma Han sendiri tidak pernah mempelajari ilmu ini, namun karena dasarnya sama dengan ilmu-ilmu yang ia pelajari dari Pulau Es, peninggalan Koai-lojin, ditambah pengetahuannya yang luas akan ilmu silat, dia dapat memberi petunjuk yang amat berharga itu. Pada hari ke empat, ketika Bun Beng sedang tekun berlatih silat dengan tangan kosong, menggunakan tenaga sakti sehingga terdengar suara bercuitan sebagai akibat menyambarnya hawa pukulannya yang mengerikan, Suma Han yang berdiri agak jauh bersama Bu-tek Siauw-jin, berkata, "Dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa."
"Ha-ha-ha, tak mungkin ada lawannya lagi!" Bu-tek Siauw-jin mengelus jenggotnya, menyesal mengapa pemuda sehebat itu bukan menjadi murid tunggalnya. Dia pun telah mengajarkan Tenaga Sakti Inti Bumi kepada Kwi Hong, namun dara itu tidak dapat menggabungkannya dengan dua tenaga Im-yang dari pamannya, juga bakat dara itu kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Beng.
"Bu-tek Siauw-jin, sekarang aku hendak pergi." Kakek itu menoleh ke kiri, memandang wajah pendekar besar yang kini tidaklah keruh dan berduka lagi, bahkan dari sepasang mata yang tajam luar biasa membuat dia tidak berani lama-lama menentangnya itu keluar sinar yang penuh harapan dan gairah hidup yang besar!
"Kemana kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, kita dapat saling berjumpa pula. Perkenalanku denganmu ini amat menyenangkan dan amat menguntungkan, dan mau rasanya aku menganggap kau sebagai guru karena engkaulah yang telah membuka mata batinku ketika menghadapi teka-teki Maharya, Suma-taihiap."
Suma Han menarik napas panjang. "Hanya kebetulan saja, dan ternyata sifatmu yang polos sederhana itu malah lebih mudah menerima penerangan kebenaran sehingga aku tertinggal jauh. Telah kukatakan, ucapan pemuda yang menjadi murid kita itulah yang membuat aku berterima kasih sekali, yang membuka mataku, menyadarkan aku betapa tololnya selama belasan tahun ini aku telah menempuh hidup. Karena ucapannya itulah aku harus segera pergi menyusul mereka."
"Lulu dan Puteri Nirahai?" kakek itu bertanya. Suma Han mengangguk. "Persoalan yang rumit dan sukar takkan dapat dipecahkan oleh pikiran yang penuh dengan pengetahuan lama, oleh pikiran yang hanya dapat melamun dan merasa diri terlalu pandai, terlalu bersih. Hanya pikiran yang sederhana, tidak melayang-layang di angkasa khayal, yang dapat menghadapi kenyataan saja yang akan dapat menyelami dan memecahkan serta mengatasi persoalan, seperti yang diucapkan Bun Beng empat hari yang lalu itu. Aku hendak menyusul mereka sekarang juga. Harap kau orang tua yang baik suka mencari Kwi Hong dan suruh dia kembali ke Pulau Es yang akan kubangun kembali bersama mereka."
Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk dan tertawa. "Engkau masih belum setua aku, Suma-taihiap, segalanya masih belum terlambat. Selamat berjuang dan sampai jumpa pula. Ingin aku bertemu kembali denganmu kelak, di Pulau Es, di samping mereka yang kaucinta."
Akan tetapi tubuh Suma Han telah berkelebat lenyap dari depan kakek itu yang masih tertawa-tawa dan mengangguk-angguk. Sudah puluhan tahun kakek ini tidak pernah mempedulikan dunia ramai, hidup seperti orang sinting dan tidak sudi mempedulikan dirinya sendiri, apalagi orang lain. Kini bertemu dengan Suma Han, dia tertarik sekali, merasa suka sekali dan kagum sehingga perasaan ini membangkitkan gairah hidupnya kembali.
Bun Beng berhenti berlatih, cepat menghampiri Bu-tek Siauw-jin dan berkata, "Kemanakah perginya Suma-taihiap tadi, locianpwe?"
Biarpun dia tadi berlatih tekun, namun pendengarannya cukup tajam untuk mendengar suara berkelebatnya tubuh pendekar itu. Dia tetap menyebut Locianpwe kepada Bu-tek Siauw-jin dan taihiap kepada Suma Han, karena kedua orang ini, yang hanya menurunkan tenaga inti mereka, tidak mau dianggap guru.
"Dia sudah pergi menyusul kedua orang yang dicintanya. Ha-ha-ha, sungguh kasihan sekali dia, merana selama belasan tahun. Dengan bekal pengertiannya yang baru tentang hidup dan pandangan hidup, tentu dia akan dapat berbahagia bersama mereka itu. Sekarang kita pun harus pergi, Bun Beng."
"Kemana, Locianpwe?"
"Kaubantu aku mencari Kwi Hong ke kota raja. Entah ke mana perginya bocah nakal itu!"
Menurutkan kata hatinya, Bun Beng lebih ingin mencari Milana, akan tetapi karena dia pun tidak tahu ke mana perginya Milana, dan kemungkinan besar masih berada di kota raja, maka kebetulan sekali kalau kakek ini hendak mengajaknya ke kota raja. Tentu saja dia tidak berani menolak setelah mendengar penuturan kakek itu bahwa Kwi Hong adalah muridnya!
Berangkatlah kakek dan pemuda itu dengan gerakan cepat sekali, menuju ke kota raja. Dengan bekal kepandaiannya yang hebat dengan mudah Bun Beng dapat mengimbangi gerakan kaki Bu-tek Siauw-jin yang amat cepat larinya.
Akan tetapi, ketika Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin tiba di kota raja, keadaan di sana sudah sepi. Para pimpinan pemberontak yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Koksu yang memberontak itu, telah melarikan diri setelah komplotan yang hendak membunuh Kaisar digagalkan oleh Lulu dan Nirahai. Kini bahkan kedua orang wanita perkasa itu diserahi pimpinan barisan untuk melakukan pengejaran dan membasmi pasukan-pasukan pe mberontak yang sudah dikumpulkan di perbatasan utara.
Bu-tek Siauw-jin yang ugal-ugalan itu masih tidak mau terima. Dia menyelundup ke dalam istana mencari-cari, bahkan memasuki bekas istana Koksu, memeriksa bekas kamar tahanan kalau-kalau muridnya masih "terselip" di situ, namun sia-sia belaka karena Kwi Hong tidak dapat ditemukan, bahkan tidak ada seorang pun yang tahu ke mana perginya gadis itu.
Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Bun Beng untuk mencari dan menyelidiki tentang Milana, dara yang dicintanya. Akan tetapi juga tidak ada orang yang dapat menerangkan ke mana adanya dara itu, bahkan tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, hampir semua orang tahu bahwa kini Puteri Nirahai telah kembali ke istana, dan bahwa kini puteri perkasa itu memimpin pasukan besar untuk mengejar dan membasmi pemberontak. Mendengar ini, Bun Beng menduga bahwa tentu dara itu ikut bersama ibunya untuk membantu. Maka dia pun mengajak Bu-tek Siauw-jin untuk melakukan pengejaran ke utara.
"Teecu tahu di mana berkumpulnya kaki tangan pemberontak Koksu itu. Siapa tahu Kwi Hong juga ikut ke sana untuk menonton keramaian membasmi pemberontak," kata Bun Beng.
Kakek itu menggeleng kepala. "Celaka tiga belas Si Koksu dan Si Maharya gila! Olah mereka mendatangkan perang dan bunuh-membunuh, saling menyembelih antara manusia itu kaukatakan tontonan? Benar-benar dunia sudah tua, ataukah manusianya yang tolol semua? Hayolah!" Mereka kembali meninggalkan kota raja menuju ke utara.
Apakah yang telah terjadi dengan Milana? Dara itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, tidak ikut bersama dengan ibunya untuk mengejar pemberontak ke utara, melainkan ditinggalkan di kota raja. Tadinya, Puteri Nirahai menyuruh puterinya itu mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan kembali Hok-mo-kiam, akan tetapi ketika dia menerima tugas berat dari Kaisar untuk membasmi pemberontak yang dia tahu dipimpin oleh banyak orang sakti, terpaksa dia meminjam Hok-mo-kiam dari tangan anaknya.
"Biarlah pedang ini kupinjam lebih dulu untuk menghadapi lawan-lawan tangguh itu," pesannya kepada Milana. "Engkau tunggu saja di sini, kalau bertemu dengan ayahmu, ceritakan semuanya dan minta bantuannya untuk menghadapi para pemberontak yang lihai. Juga, kalau engkau bertemu dengan Gak Bun Beng lagi, suruh dia membantu kami di utara. Kami membutuhkan bantuan banyak orang pandai untuk menghadapi para pimpinan pemberontak yang merupakan gabungan orang-orang sakti dari Mongol, Nepal, dan orang Han sendiri." Setelah kini menjadi seorang panglima kembali, berubah sikap Nirahai. Yang terpenting baginya pada saat itu adalah tugasnya, maka sama sekali terlupalah urusan pribadi, sehingga dia tidak malu-malu untuk memesan Milana minta bantuan Suma Han. Semua demi tugas kerajaan, dan memang beginilah sifat seorang panglima yang baik.
Akan tetapi, nasib buruk menimpa diri Milana. Hati dara ini sudah diliputi kegembiraan besar, bukan hanya kegembiraan kalau dia teringet kepada Gak Bun Beng, pemuda yang dicintanya dan yang juga mencintanya, akan tetapi juga karena adanya harapan yang timbul di hatinya tentang ayah dan bundanya. Kalau mereka itu dapat bersatu kembali, alangkah bahagianya hidup ini, apalagi di sana ada.... Bun Beng!
Dua hari Milana menanti di kota raja. Sebagai seorang cucu Sri Baginda Kaisar yang diakui, apalagi sebagai puteri dari Panglima Puteri Nirahai, dia amat dihormat dan mendapatkan sebuah kamar yang indah di lingkungan istana, bagian puteri. Namun, darah petualangannya sebagai seorang bekas puteri Ketua Thian-liong-pang, yang sudah biasa bebas merdeka di alam terbuka, tentu saja Milana tidak dapat tahan lama tinggal di lingkungan tertutup itu. Segera dia telah mengenakan pakaian ringkasnya lagi sebagai seorang pendekar, dan melayang keluar dari lingkungan istana bagian puteri itu untuk keluar dan melakukan penyelidikan kalau-kalau dapat berjumpa dengan ayahnya atau dengan Bun Beng.
Akan tetapi, bukan Pendekar Super Sakti atau Gak Bun Beng yang dijumpai ketika pada sore hari itu dia menyelinap keluar dari istana, melainkan seorang yang amat dibenci dan ditakutinya. Wan Keng In! Baru saja Milana meloncat turun dari atas pagar tembok, tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda tampan itu berdiri dengan senyum mengejek di depannya, dan di sebelah pemuda itu berdiri seorang kakek yang amat mengerikan, kakek kurus kering seperti mayat hidup, yang matanya seperti mata boneka tidak bergerak sama sekali. Kakek ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong!
"Sayur di gunung garam di laut, kalau sudah jodoh pasti akan bertemu menjadi satu, menjadi masakan yang lezat! Ha-ha-ha, adik Milana yang manis, kekasihku yang cantik, calon isteriku yang tercinta. Dengan penuh rindu aku datang hendak menjemputmu di dalam istana, kiranya engkau telah tidak sabar lagi dan keluar menyambutku. Terima kasih!"
"Manusia iblis! Hayo pergi dari sini! Kalau tidak, akan kukerahkan semua pengawal untuk membunuhmu!" Milana mengancam, namun jantungnya berdebar tegang dan penuh rasa ngeri.
"Hemm, sudah kudengar berita bahwa ibumu, Ketua Thian-liong-pang itu, ternyata adalah Puteri Nirahai dan kini menjadi panglima. Kebetulan sekali, lebih cocok kau menjadi isteriku, engkau cucu Kaisar, dan aku.... calon raja di Pulau Neraka.
Marilah manis." Tangan Wan Keng In meraih hendak menangkap pinggang ramping dara itu. Tentu saja Milana tidak sudi membiarkan tubuhnya dipeluk, dia mencelat ke kanan sambil menggerakkan tangan kiri yang tadi diam-diam sudah mempersiapkan segenggam Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi). Sinar merah menyambar ke arah dada dan perut Wan Keng In dan agaknya pemuda ini tidak tahu bahwa dirinya diserang, karena dia tidak mengelak, tidak pula menangkis. Hal ini menggirangkan hati Milana karena dia merasa yakin bahwa tentu akan mengenai sasaran dan merobohkan lawannya. Kegirangannya menjadikan kelengahan. Dara ini menjerit ketika pemuda ini melanjutkan tubrukannya, tidak peduli sama sekali akan jarum-jarum yang menembus pakaian mengenai dada dan perutnya, tahu-tahu pinggang Milana telah dipeluknya dan di lain saat tubuh Milana telah menjadi lemas karena ditotoknya!
Sambil tertawa, Wan Keng In mencabut jarum-jarum yang menancap di bajunya, sama sekali tidak melukai kulitnya yang kebal, kemudian memondong tubuh Milana dan dibawanya lari bersama gurunya yang sejak tadi diam saja tidak mengeluarkan suara.
"Haiii! Berhenti....!" Dua orang penjaga istana, pengawal yang menjaga di luar tembok, mendengar teriakan Milana datang berlari. Ketika mereka melihat siapa yang dipondong dan dibawa lari, mereka terkejut dan marah sekali. Ada penjahat menculik cucu Kaisar yang baru yang cantik, puteri dari Panglima Nirahai!
Mereka berdua melupakan keadaan bahwa orang yang dapat menculik puteri itu tentu memiliki ilmu kepandaian hebat. Dengan tombak di tangan mereka berteriak dan mengejar. Wan Keng In dan gurunya belum lari jauh. Karena dua orang pengawal itu melihat Si Kakek lari di sebelah belakang, otomatis mereka mengerjakan tombak mereka, menusuk ke punggung kakek itu yang agaknya tidak mempedulikan sama sekali.
"Crot! Crot!" Dua batang tombak itu menusuk ke punggung, agaknya menembus ke dalam, akan tetapi kakek itu tidak roboh, bahkan tiba-tiba tombak itu meluncur ke belakang seperti anak panah, gagang tombak menembus dada dua orang pengawal itu yang roboh seketika, berkelojotan dengan sinar mata penuh keheranan dan kekagetan. Mereka mati dalam keadaan terheran-heran melihat orang yang telah mereka tusuk dan tembus punggungnya itu tidak apa-apa, malah mereka sendiri yang menjadi korban senjata masing-masing.
"Jahanam, lepaskan aku!" Milana meronta-ronta, akan tetapi Keng In hanya tertawa-tawa saja, seolah-olah dia merasa senang sekali dara itu meronta dan menggeliat dalam pondongannya, membuat dia merasa betul bahwa yang dipondongnya adalah benar-benar dara yang dicintanya, yang membuatnya tergila-gila, dara yang hidupnya dan yang selamanya akan menjadi sisihannya, menjadi permaisurinya di Pulau Neraka!
Beberapa orang pengawal terkejut sekali menyaksikan peristiwa itu dari jauh. Mereka segera membunyikan tanda bahaya, sebagian melakukan pengejaran yang sia-sia, sebagian lagi segera melaporkan kepada panglima pengawal di dalam istana. Panglima itu terkejut, terpaksa dengan gemetar melaporkan penculikan atas diri Puteri Milana ini kepada Kaisar.
Tentu saja Kaisar menjadi marah. Baru saja dia mendapatkan kembali puterinya bersama cucunya, dan kini selagi puterinya itu melaksanakan tugas berat membasmi pemberontak, cucunya diculik orang! Dengan suara keras Kaisar memerintahkan kepada panglimanya untuk mengerahkan pasukannya melakukan pengejaran dan membebaskan kembali cucunya. Akan tetapi sebagai Kaisar yang berpengalaman dia pun maklum bahwa penculik itu tentulah bukan orang biasa, dan sewaktu puterinya yang lihai, dan juga Lulu, pergi memimpin pasukan, kiranya di istana tidak ada orang yang boleh diandalkan memiliki kepandaian tinggi menghadapi penculik itu. Maka segera ditambahkannya, "Cari Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es. Kalau dia bisa mengembalikan cucu kami, akan kami ampunkan semua dosanya. Umumkan hari ini!"
Panglima mundur dan sibuk melaksanakan perintah Kaisar itu. Akan tetapi mana mungkin mengejar penculik-penculik yang berkepandaian setinggi yang dimiliki Wan Keng In dan gurunya. Sia-sia saja para pasukan pengawal mencari ke sana ke mari. Juga sia-sia saja mereka mencari Pendekar Super Sakti, karena ketika pendekar ini selesai melatih Bun Beng dan datang ke kota raja, dia mendengar akan tugas membasmi pemberotak yang dilakukan Nirahai dan Lulu, maka dia bergegas menyusul ke utara!
Demikianlah, tentu saja sia-sia Bun Beng mencari Milana, dan peristiwa itu memang dirahasiakan oleh Kaisar yang diam-diam berusaha keras untuk dapat membebaskan cucunya kembali dari tangan para penculiknya agar tidak sampai terdengar oleh Puteri Nirahai, puterinya yang keras hati ini. Kalau sampai terdengar oleh Puteri Nirahai, siapa tahu akan akibatnya. Mungkin saja puterinya itu akan meninggalkan tugasnya membasmi pemberontak.
Dan kemanakah perginya Giam Kwi Hong? Telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong berhasil keluar dari kamar tahanan bersama gurunya yang baru, Bu-tek Siauw-jin. Setelah mempelajari ilmu, terutama sekali setelah memperoleh tenaga sakti Inti Bumi ditambah dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya, Kwi Hong sekarang menjadi seorang yang luar biasa lihainya. Namun sayang sekali, pengaruh tenaga sakti liar dari Pulau Neraka itu mempengaruhi pula wataknya, dan agaknya pengaruh ini datang dari tenaga sakti itu dan dari pedang Li-mo-kiam di tangannya, karena memang pedang itu bukanlah pedang sembarangan, melainkan sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis yang telah menghirup banyak darah manusia tak berdosa, dan dibuatnya pun secara mujijat dan kejam!
Setelah berhasil keluar dari kepungan para jagoan yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan Maharya yang lihai, Kwi Hong menurut petunjuk suhunya, pergi hendak mencari pamannya, Pendekar Super Sakti. Namun usahanya tidak berhasil, bahkan dia mendengar akan keributan di istana dan betapa Koksu berhasil melarikan diri keluar dari kota raja. Kwi Hong yang masih merasa penasaran itu cepat mengejar pula keluar dari kota raja dan dia berhasil mendapatkan jejak Pangeran Yauw Ki Ong, pangeran Mancu yang berusaha memberontak dibantu Koksu. Pangeran ini sedang melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja sebelah utara, dikawal oleh Koksu, Maharya dan beberapa orang panglima yang setia kepada mereka, termasuk beberapa orang tokoh Mongol dan Nepal. Hati dara ini tadi belum merasa puas. Tadinya ketika dia dikepung oleh Koksu, Maharya dan lain-lain bersama gurunya, dia mengamuk dan merobohkan banyak perwira pengawal kaki tangan Koksu dengan pedangnya. Dia merasa gembira sekali melihat darah muncrat setiap kali pedang berkelebat, maka dia agak menyesal dan kecewa ketika gurunya menyuruhnya melarikan diri dari kepungan. Dia amat membenci Koksu dan Maharya, yang dianggap musuh-musuh besar pamannya. Kini, selagi dia sendirian, tidak ada gurunya yang melarangnya, kebetulan sekali dia dapat menyusul rombongan musuh ini, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik untuk memuaskan hati dan pedangnya!
Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong melakukan perjalanan yang penuh kelesuan, sungguhpun dengan tergesa-gesa. Mereka telah mengalami pukulan hebat, dan hanya karena di situ ada Koksu yang pandai menghiburnya dengan janji-janji muluk bahwa pasukan mereka akan dikerahkan untuk langsung memerangi Kaisar, maka Pangeran Yauw tidak putus asa. Pangeran ini telah kehilangan segala kemewahan hidup dan kemuliaan, bahkan tidak sempat membawa pergi selir-selirnya yang muda-muda, harta bendanya yang berlimpah, dan kini menjadi seorang pelarian yang harus melakukan perjalanan melarikan diri tanpa berhenti selama dua hari dua malam!
Pada malam ketiganya, Pangeran Yauw setengah memaksa Koksu untuk menghentikan perjalanan. Dia sudah merasa terlalu lelah, bahkan isterinya sudah beberapa kali jatuh pingsan saking kelelahan. Juga roda-roda kereta perlu dibetulkan karena hampir copot. Melihat bahwa pengejaran tidak ada, atau mungkin juga masih jauh, dan tempat penjagaan pasukan-pasukan mereka yang pertama sudah dekat, Koksu tidak keberatan dan beristirahatlah mereka di sebuah dusun. Penduduk dusun yang belum tahu akan keributan yang terjadi di kota raja, menyambut rombongan ini penuh penghormatan. Terhibur juga hati Pangeran Yauw dan rombongannya karena dapat melepaskan lelah malam hari itu, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali perjalanan dilanjutkan dalam keadaan tubuh mereka lebih segar.
Akan tetapi, baru saja rombongan keluar dari dusun dan tiba di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang pengawal yang menunggang kuda paling depan, roboh dengan tubuh hampir putus menjadi dua potong terbabat kilatan pedang di tangan seorang dara yang cantik namun sepak terjangnya ganas bukan main. Koksu dan Maharya bersama para panglima pembantu mereka cepat melarikan kuda ke depan dan di sana mereka melihat seorang gadis dengan sebatang pedang yang berkilat sinarnya menyilaukan mata di tangan, berdiri dengan sikap gagah penuh tantangan. Dara itu bukan lain adalah Giam Kwi Hong!
Melihat dara itu, terkejut hati Koksu dan Maharya, karena mereka menyangka bahwa munculnya dara perkasa itu tentulah bersama kakek sinting yang mereka takuti, Bu-tek Siauw-jin!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara melengking tertawa penuh ejekan yang sengaja dia keluarkan untuk memancing keluar Bu-tek Siauw-jin, "Siauw-jin manusia rendah dan hina, tua bangka cebol mau mampus, keluarlah jangan bersembunyi di belakang celana muridmu perempuan!"
Sepasang mata Kwi Hong mengeluarkan sinar berapi karena marahnya mendengar ucapan menghina yang ditujukan kepada gurunya itu.
"Maharya pendeta iblis!" pedangnya menuding ke depan dan sinar berkilat menyilaukan mata keluar dari ujung pedang itu, membuat semua orang bergidik ngeri melihatnya. "Suhu tidak berada di sini, tidak perlu engkau membuka mulut mengeluarkan hawa busuk memaki Suhu! Aku datang sendiri untuk membunuh engkau yang menghina Suhu, dan membunuh Koksu yang telah membasmi Pulau Es. Kalian berdua adalah manusia-manusia berakhlak bejat, dan aku mewakili pamanku untuk membasmi kalian!"
Pangeran Yauw Ki Ong yang menjenguk keluar dari keretanya melihat gadis itu. Jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga penuh gairah. Gadis itu luar biasa cantiknya! Dan dia telah kehilangan begitu banyak selir muda yang cantik. Kalau dia bisa mendapatkan gadis ini, terhiburlah dia oleh kehilangan semua selirnya itu.
"Seng-jin, siapakah dia?" bisiknya kepada Koksu setelah dia turun dan mendekati.
"Dia bernama Giam Kwi Hong, keponakan Majikan Pulau Es dan kini agaknya menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, setan bangkotan Pulau Neraka. Dia lihai, terutama pedangnya, akan tetapi harap Ong-ya tidak khawatir. Tanpa gurunya, mudah bagi saya untuk menundukkan dan membunuhnya."
"Jangan dibunuh. Kalau kita dapat menariknya sebagai sekutu, bukankah baik sekali? Tentu membuka kemungkinan untuk menarik pamannya, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es, untuk membantu kita pula menghadapi Kaisar."
Sepasang mata Koksu itu bersinar-sinar dan sekaligus dia dapat memikirkan akal yang amat baik, sesuai dengan usul pangeran yang dianggapnya tepat sekali ini. Cepat dia mengeluarkan ucapan dalam bahasa India yang ditujukan kepada paman gurunya, Maharya. Pendeta itu mengangguk-angguk, tertawa dan melangkah maju bersama Koksu menghampiri Kwi Hong.
"Bagus, majulah kalian berdua, agar mudah bagiku untuk membunuh kalian sekaligus dengan pedangku! " Kwi Hong membentak, siap dengan pedangnya.
"Sabarlah, Nona. Kami hendak membicarakan urusan penting dengan Nona. Bersabarlah karena sesungguhnya di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu." Tiba-tiba Maharya mengeluarkan kata-kata dengan lambat namun jelas, keluarnya satu-satu dan setiap ucapan mengeluarkan getaran hebat dari ilmu hitamnya untuk mempengaruhi gadis itu.
Gelombang getaran hebat menyambar ke arah Kwi Hong dan terasa benar oleh dara ini, membuatnya agak pening dan tubuhnya bergoyang-goyang, namun dengan pengerahan sin-kangnya dia dapat berdiri tegak kembali dan memandang dengan mata penuh kemarahan. Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, terdengar suara Koksu lemah lembut, "Nona, harap maafkan kalau kami pernah menyerangmu karena Nona berada bersama dengan Bu-tek Siauw-jin. Setelah kami mengetahui bahwa Nona bukan menyeberang kepada Pulau Neraka, melainkan masih keponakan Majikan Pulau Es, maka sadarlah kami bahwa Nona bukanlah musuh, melainkan teman senasib dan seperjuangan dengan kami."
"Tidak perlu mengeluarkan kata-kata membujuk yang kosong!" Kwi Hong masih dapat mempertahankan diri terhadap getaran yang terus dikerahkan oleh Maharya untuk mempengaruhi dirinya dan pikirannya. "Memang aku keponakan Majikan Pulau Es, dan aku tidak akan pernah lupa betapa kalian memimpin pasukan menghancurkan Pulau Es, membunuh banyak orang kami, bahkan telah menawanku dengan akal jahat!"
"Aihhh, harap Nona jangan terburu nafsu. Pada waktu itu, kami hanyalah petugas-petugas saja dari Kaisar. Kaisar yang memusuhi Pulau Es. Kaisar membenci Pendekar Siluman pamanmu itu karena pamanmu pernah mencemarkan nama baik kerajaan. Kami hanya ditugaskan untuk menyerang Pulau Es. Kalau mau bicara tentang biang keladinya, hanyalah Kaisar sendiri yang bertanggung jawab! Kami sudah merasa menyesal sekali mengapa dahulu kami menurut saja akan perintah Kaisar lalim itu! Karena kelalimannya maka kami memberontak! Kita semua telah dibikin sakit hati oleh Kaisar lalim itu, Nona. Karena itu, apa perlunya antara kita
bermusuhan sendiri, sedangkan kita semua dikejar-kejar oleh pasukan Kaisar yang dipimpin oleh Majikan Pulau Neraka dan oleh Ketua Thian-liong-pang? Mereka menggunakan kesempatan ini untuk merangkul Kaisar, untuk menghancurkan kita, ya, kita, karena Pulau Es menjadi musuh besar mereka!"
Kwt Hong mulai tergerak hatinya, sebagian karena ucapan-ucapan Koksu, namun terutama sekali oleh gelombang getaran ilmu hitam Maharya yang mujijat. Dia menjadi ragu-ragu sekali. "Hemmm.... begitukah? Paman memang tidak pernah mau dekat dengan kerajaan...."
"Tentu saja. Pamanmu juga seorang pelarian, seperti kami. Daripada antara kita yang senasib ini terjadi permusuhan, bukanlah jauh lebih baik kalau kita bersatu menghadapi Kaisar lalim dan membalas dendam kita bersama?"
Pengaruh ilmu sihir yang dikerahkan oleh Maharya telah melumpuhkan semua daya tahan Kwi Hong, dan kini dia mendengarkan ucapan Koksu dengan penuh perhatian, alisnya berkerut dan tangannya yang memegang pedang Li-mo-kiam tidak menegang lagi. Kemudian dia mengangguk-angguk dan berkata, masih agak meragu,
"Mana mungkin kita melawan pasukan pemerintah?"
"Ha-ha!" Maharya kini berkata dengan suaranya yang menggetar. "Jangan Nona ragu-ragu, karena kami telah membuat persiapan. Marilah Nona ikut bersama kami dan menyaksikan sendiri persiapan kami dengan pasukan kami yang amat kuat. Kalau Nona membantu kami, apalagi kalau kita bersama dapat bergabung dengan Majikan Pulau Es, apa sukarnya menghancurkan kekuasaan Kaisar lalim itu?"
Kwi Hong teringat. Pamannya menjadi pelarian, bersembunyi dan mengasingkan diri di Pulau Es, bahkan kemudian pulau itu dihancurkan oleh pemerintah. Memang harus dia akui bahwa pemerintah telah memusuhi pamannya dan telah melakukan hal-hal yang menyakitkan batin. "Baiklah," dia menyarungkan pedang Li-mo-kiam. "Aku suka bekerja sama dengan kalian, untuk menghukum Kaisar lalim!"
Pangeran Yauw Ki Ong segera maju dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada. "Kami merasa berterima kasih, bersyukur, dan bergirang hati sekali mendengar keputusan Lihiap (Pendekar Wanita) yang bijaksana. Selamat datang dan selamat berjuang bersama-sama, Lihiap. Percayalah, kami Pangeran Yauw Ki Ong yang tidak sudi menyaksikan kelaliman Paman Kaisar menindas rakyat, setelah kami berhasil menduduki singasana, tidak akan pernah dapat melupakan jasa Lihiap yang amat berharga ini!" Ucapan itu dikeluarkan dengan sikap halus dan sopan, disertai pandang mata kagum dan senyum menggerakkan kumis tipis pangeran itu yang dimaksudkan untuk menundukkan hati perawan cantik perkasa itu. Namun, Kwi Hong hanya balas menghormat dan seujung rambut sekalipun tidak pernah merasa tertarik kepada aksi Si Pangeran ini.
Seekor kuda yang terpilih disediakan untuk Kwi Hong dan tak lama kemudian, dara ini telah menunggang kuda di antara rombongan itu, menjadi sekutu mereka dan bersama-sama mereka lalu melanjutkan perjalanan menujuu ke utara di mana terdapat gabungan pasukan anak buah Koksu, orang-orang Nepal dan orang-orang Mongol.
Demikianlah, tentu saja sia-sia bagi Bu-tek Siauw-jin untuk mencari muridnya itu di kota raja. Dia dan Bun Beng hanya menduga bahwa karena di utara ada "keramaian" yaitu pengejaran yang dilakukan pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Puteri Nirahai terhadap para pemberontak, agaknya Kwi Hong pun tentu akan menonton keramaian ke sana. Dugaan ini membuat keduanya tidak betah tinggal terlalu lama di kota raja dan segera mereka pun melakukan perjalanan cepat menyusul ke utara. Di sepanjang perjalanan, tiada hentinya Bun Beng memperdalam ilmunya yang baru, terutama sekali permainan Ilmu Silat Pedang Lo-thian Kiam-sut yang dilakukan dengan tangan kosong dengan pengerahan tenaga gabungan yang dia latih dari Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin.
Rombongan yang diikuti Kwi Hong itu setelah tiba di Tembok Besar di sebelah utara Peking, lalu menyusuri sepanjang tembok yang besar dan panjang itu menuju ke timur. Kiranya pasukan gabungan para pemberontak itu bersembunyi di dekat gunung-gunung dan jurang-jurang yang amat curam. Memang tempat ini amat tersembunyi dan juga liar sehingga pasukan penjaga kerajaan pun hanya beberapa hari sekali saja meronda di bagian ini. Akan tetapi pada waktu itu, semua pasukan di sekitar daerah ini yang melakukan penjagaan di tapal batas Tembok Besar adalah pasukan anak buah Koksu yang memang sudah diatur sebelumnya. Karena ini pula maka mudah bagi orang-orang Nepal dan Mongol untuk menyelundup masuk melalui Tembok Besar di mana terjaga oleh kaki tangan Koksu sendiri.
Di sekitar Tembok Besar di lembah Sungai Luan itu telah dibangun pondok-pondok darurat yang dijadikan markas oleh pasukan gabungan pemberontak ini. Bahkan para jagoan yang tadinya menanti di sebelah utara kota raja, di daerah sumber minyak di mana Bun Beng pernah mengamuk, setelah usaha mereka membunuh Kaisar gagal, sisa para jagoan ini pun sudah melarikan diri dan berkumpul menjadi satu di lembah Sungai Luan ini, untuk memperkuat pasukan pemberontak. Kekuatan mereka terdiri dari kurang lebih lima ratus orang, dan merupakan gabungan pasukan Mongol Nepal dan pasukan pengawal Koksu yang rata-rata merupakan perajurit-perajurit pilihan.
Pangeran Yauw Ki Ong yang tergila-gila oleh kecantikan Kwi Hong, bersikap amat manis terhadap nona ini. Pangeran yang sudah banyak pengalaman dengan usianya yang mendekati empat puluh tahun itu tidak mau melakukan tindakan yang tergesa-gesa dan sembrono terhadap Kwi Hong karena dia maklum bahwa nona ini bukan bukan seorang wanita sembarangan. Dia ingin menguasai tubuh Kwi Hong, akan tetapi bukan hanya tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya yang cantik saja, juga terutama sekali ilmu kepandaiannya yang tinggi. Kalau dia dapat meraih dara ini menjadi selirnya yang tercinta, maka dia sekaligus mendapatkan seorang penghibur yang cantik jelita dan seorang pengawal pribadi yang boleh diandalkan! Dia maklum bahwa dengan bantuan Koksu dan Maharya, setelah dara ini dapat dibujuk menggabung, dengan mudah dia dapat menggunakan kekerasan atau dengan pengaruh ilmu sihir Maharya, untuk menggagahi tubuh dara ini secara paksa. Namun hal ini sama sekali tidak dikehendakinya.
Setelah tiba di markas mereka yang berada di lembah Sungai Luan, di atas puncak Pegunungan Merak Merah, rombongan ini beristirahat. Pada keesokan harinya mereka berkumpul, yaitu Pangeran Yauw, Koksu, Maharya, Thian Tok Lama, Kwi Hong, dan para panglima tinggi, untuk mengatur siasat menghadapi pemerintah yang ingin mereka gulingkan. Akhirnya diambil keputusan untuk selain melakukan penjagaan ketat, juga untuk mengirim utusan mata-mata dan para penyelidik untuk mengetahui gerak-gerik musuh di selatan.
Selesai berunding, Pangeran Yauw mengajak Kwi Hong untuk berburu di bawah puncak dengan pasukan pengawal. "Lihiap tentu belum mengenal daerah ini," katanya manis. "Di sini banyak sekali terdapat rusa kesturi yang mempunyai dedes yang amat harum baunya."
Kwi Hong tertarik sekali. "Pangeran, apakah dedes itu?" Sang Pangeran tersenyum penuh gaya. Sambil menggerak-gerakkan tangan untuk menimbulkan kesan lebih mendalam, dia menjawab, "Dedes adalah semacam peluh yang keluar dari tubuh belakang rusa kesturi, dan merupakan bahan wangi-wangian yang amat berharga dan sukar dicari bandingnya dalam hal keharumannya, dan tidak sembarang waktu seekor rusa kesturi mengeluarkan peluh dedes ini. Peluh ini hanya keluar di waktu seekor rusa kesturi datang berahinya dan keluarnya dedes yang menyiarkan bau harum itu adalah daya penarik untuk mengundang seorang lawan kelaminnya untuk.... hemmm.... untuk bermain cinta."
Biarpun pangeran itu sudah bicara dengan hati-hati sekali, namun tetap saja wajah Kwi Hong menjadi merah sekali mendengar penuturan itu. Sejenak Pangeran Yauw terpesona. Betapa cantiknya ketika sepasang pipi Kwi Hong berubah merah seperti itu! Andaikata dia sendiri seekor rusa kesturi, di saat itu tentulah dia akan mengeluarkan peluh dedes yang tidak kepalang tanggung banyaknya!
"Di samping rusa kesturi ini, juga terdapat rusa-rusa muda yang tanduknya merupakan bahan obat kuat yang amat mujarab. Obat lok-jiong (tanduk menjangan muda) amat mahal dan tanduk itu dapat membuat tubuh menjadi sehat segar dan usia menjadi panjang. Selain binatang-binatang itu kita manfaatkan tanduknya dan dedesnya, juga dagingnya sedap bukan main, lunak gurih dan menghangatkan tubuh. Di samping ini, masih terdapat binatang-binatang lain dan tanam-tanaman yang belum pernah Nona saksikan sebelumnya. Marilah kita berburu, saya tanggung Nona akan merasa puas dan gembira sekali."
Dan pangeran itu memang tidak berbohong. Pemandangan alam di Pegunungan Merak Merah itu benar-benar amat indah, dan banyak terdapat tumbuh-tumbuhan dengan bunga-bunga beraneka warna yang belum pernah dikenal Kwi Hong. Bermacam batang bambu yang aneh-aneh dan bagus sekali tumbuh di daerah ini. Setelah berburu selama setengah hari, Kwi Hong dan Pangeran Yauw berhasil memanah roboh dua ekor rusa yang gemuk dan muda, dan kebetulan sekali dari dua ekor rusa ini terdapat dedesnya dan dari yang kedua terdapat tanduknya yang muda dan panjang.
Sore hari itu, Pangeran Yauw mengundang Kwi Hong untuk duduk di tepi Sungai Luan, di dalam taman alam yang amat sejuk dan indah, menghadapi meja penuh hidangan arak dan bermacam masakan daging rusa yang lezat! Dalam kegembiraannya, Kwi Hong yang menganggap bahwa pangeran itu adalah seorang bangsawan yang sopan dan ramah, sama sekali tidak menaruh curiga dan makan minum
bersama pangeran itu, bahkan tertawa memuji ketika Sang Pangeran menuliskan beberapa baris sajak. Kiranya pangeran bangsa Mancu ini pandai pula dalam hal kesusastraan. Setelah mereka makan cukup kenyang dan minum arak yang cukup memanaskan tubuh, Pangeran Yauw memanggil pelayan pribadinya dan menyuruh mengambil arak simpanannya. Arak di dalam sebuah guci batu giok biru itu ditaruh di atas meja.
"Giam-lihiap, ini adalah arak simpanan yang saya dapatkan di selatan. Arak yang amat luar biasa, sudah tua sekali. Harap Lihiap sudi menerima penghormatan kami dengan tiga cawan arak ini!" Sambil tersenyum Pangeran Yauw menuangkan secawan arak dari guci arak batu giok itu. Arak itu berwarna merah kekuningan, amat harum baunya dan ketika berada di dalam cawan, kelihatan seperti air emas.
"Kami namakan arak ini arak emas. Silakan minum, Lihiap!" Kwi Hong merasa sudah terlalu banyak minum akan tetapi dia merasa tidak enak untuk menolak. Diminumnya arak dari cawan itu bersama dengan pangeran yang juga mengangkat cawannya. Arak itu memang enak sekali, manis dan harum, akan tetapi juga amat keras sehingga Kwi Hong merasa betapa hawa panas naik ke kepalanya, membuat ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut.
"Masih dua cawan lagi, Lihiap," kata Sang Pangeran gembira sambil menuangkan lagi arak ke dalam cawan Kwi Hong yang kosong.
"Maaf, Ong-ya. Saya sudah minum terlalu banyak. Tidak kuat lagi...." Kwi Hong menundukkan mukanya dan mengatur napas untuk menghilangkan rasa pening di kepalanya.
"Aihhh, apakah penghormatan kami yang hanya tiga cawan tak dapat Lihiap terima?" Pangeran itu berkata dengan suara ringan, tanda bahwa dia pun agak mabok. "Bukan begitu, Ong-ya. Tentu saja saya tidak berani menolak kebaikan Ong-ya, akan tetapi saya benar-benar telah agak pening, maka dua cawan arak ini.... biarlah saya minum perlahan-lahan...."
Pangeran itu tersenyum ramah lagi dan mengangguk-angguk. "Aku percaya seorang gagah seperti Lihiap tidak akan mengecewakan hatiku...., biarlah guci arak ini kutinggalkan saja di sini, harap Lihiap nanti suka menerima dua cawan arak kehormatan dariku lagi, bahkan boleh menghabiskan arak ini kalau suka. Sisanya berikut guci araknya boleh Lihiap kembalikan nanti, aku menanti di kamar.... aku mempunyai sebuah benda yang amat berharga, hendak kuserahkan kepada Lihiap sebagai hadiah." Setelah berkata demikian, pangeran itu meninggalkan Kwi Hong dengan langkah kaki agak terhuyung-huyung, langkah seorang mabok.
Kwi Hong menjadi lega hatinya. Harus diakuinya bahwa pangeran itu bersikap amat baik kepadanya. Memang dia tidak bermaksud menolak minum dua cawan arak lagi, akan tetapi ia hanya takut kalau dua cawan itu diminumnya sekaligus, dia akan menjadi mabok betul-betul. Kalau dibiarkannya minum sendiri perlahan-lahan, kiranya tidak apa-apa. Dia mengangkat guci arak itu dan dipandangnya di bawah sinar lampu merah yang dipasang di taman alam itu. Sebuah guci arak giok yang amat indah. Dia tersenyum, meletakkan guci ke atas meja, kemudian memandang cawan arak wangi. Cawan yang ke dua! Ketika tangannya bergerak ke arah cawan, hendak diangkat dan diminumnya arak itu sedikit demi sedikit, tiba-tiba dara itu menaruh cawan araknya cepat ke atas meja dan gerakan cepat ini membuat arak sedikit tumpah, sedangkan tangan kirinya menyambar benda hitam yang meluncur ke
arah dirinya. Melihat bahwa benda itu adalah sebuah batu hitam kecil dan ada sehelai kertas diikat pada batu, dia menjadi curiga dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat ke arah datangnya batu tadi. Akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu, dan ketika dia melanjutkan pencariannya keluar dari taman alam itu, dia hanya melihat lima orang tukang kuda sedang bekerja keras menyikat tubuh kuda-kuda tunggangan pangeran dan para pembesar lainnya. Tentu saja Kwi Hong tidak mau menanyakan sesuatu kepada mereka ini dan dia kembali ke dalam taman. Di bawah sinar lampu merah, dia melihat tulisan di atas kertas itu. Hanya beberapa huruf yang ditulis dengan tergesa-gesa agaknya. JANGAN DIMINUM ARAK PERANGSANG ITU!
Kwi Hong mengerutkan alisnya, meremas hancur kertas itu dan membuangnya sambil memandang ke arah cawan arak dan guci yang masih terletak di atas meja. Dia merasa penasaran karena sungguh tidak mengerti. Apa artinya arak perangsang? Jelas bukan arak beracun, karena kalau beracun, tentu dia sudah roboh. Pula, mengapa pangeran akan meracuninya? Pangeran itu dan semua pembantunya merupakan sekutunya untuk menghadapi Kaisar! Tak mungkin mereka itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya. Akan
tetapi, apa maksud Si Penulis surat aneh ini? Dan siapa orangnya? Diukur dari tenaga lemparan batu kecil tadi, orang itu memiliki kepandaian biasa saja!
Biarpun Kwi Hong tidak mempedulikan isi tulisan itu dan dia pun tidak takut kalau-kalau dia diracuni, namun kegembiraannya lenyap dan dia tidak mau lagi minum arak. Arak yang sudah berada di dalam cawan itu dia tuangkan kembali ke dalam guci, kemudian dia membawa guci batu giok itu menuju pondok besar tempat peristirahatan Pangeran Yauw Ki Ong. Setelah penjaga mempersilakan masuk seperti yang dikehendaki pangeran, Kwi Hong memasuki pondok. Alisnya berkerut dan hatinya tidak senang sekali ketika ia melihat pangeran itu dengan pakaian setengah telanjang roboh telentang di atas pembaringan dan dikeroyok oleh dua orang wanita cantik yang menggosok tubuhnya dengan minyak, sedangkan orang ke dua memijat tubuhnya. "Ha-ha, engkau telah datang menyusulku, Lihiap? Harap kautaruh saja guci itu di atas meja dan duduklah. Duduklah di kursi itu, atau di pinggir pembaringan ini, nanti akan kuambilkan sebuah hiasan rambut burung Hong dari batu giok yang amat indah, hendak kuhadiahkan untukmu."
Karena sikap pangeran ini masih ramah dan tidak menonjolkan kekurangajaran, maka Kwi Hong yang agak pening oleh arak itu masih tidak merasa. Dia masih terlalu jujur untuk dapat mengenal kegenitan seorang laki-laki yang hendak menjatuhkannya, maka setelah meletakkan guci itu di atas meja dia menjura dan berkata, "Saya hendak mengaso, Pangeran, dan tidak berniat melanjutkan percakapan kita. Soal hadiah, saya tidak membutuhkannya dan kalau Ong-ya hendak memberikan kepadaku, besok masih banyak waktu. Selamat malam dan maafkan saya." Tanpa menanti jawaban dara itu membalikkan tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pangeran itu yang menjadi kecewa sekali.
Pangeran Yauw mendorong dua orang pelayannya dan meloncat turun, menyambar guci arak, membuka tutupnya dan mengintai isinya. Dia kecewa sekali dan maklum bahwa calon korbannya itu tidak minum lagi. Biarpun secawan dari arak emas ini sudah cukup untuk merobohkan seorang wanita yang bagaimana keras hati dan dingin sekalipun, namun agaknya masih kurang kuat untuk menundukkan Kwi Hong! Obat perangsang itu belum cukup kuat untuk mempengaruhi Kwi Hong yang masih bersih, hanya membuat dara itu bingung
saja! Pangeran Yauw maklum bahwa dia tidak boleh terburu nafsu, dan dia akan mencari kesempatan lain untuk melampiaskan niatnya. Dia tersenyum mengusir kekecewaannya, kemudian merangkul dua orang pelayannya itu sebagai penghibur dan pengganti diri Kwi Hong yang tadinya ia harapkan malam itu akan terjatuh ke dalam pelukannya.
Selagi Pangeran Yauw Ki Ong tenggelam ke dalam hiburan kedua orang pelayan wanita muda itu, dan Kwi Hong ke dalam kenyenyakan tidur tanpa mimpi akibat hawa arak, dan Koksu bersama para pembantunya yang berilmu tinggi juga beristirahat dengan hati tenteram karena percaya akan ketatnya penjagaan anak buah mereka, tampaklah dua sosok bayangan tubuh orang yang berkelebat dan bergerak seperti setan di dekat markas para pemberontak ini.
Di dalam kegelapan malam itu memang dua sosok bayangan yang berkelebatan di sekitar tempat itu amat mengerikan. Gerakan mereka cepat laksana gerakan iblis sendiri, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang terdengar suara ketawa menyeramkan. Karena bulan belum muncul, sukar untuk menentukan bentuk dua sosok bayangan itu. Akan tetapi setelah bulan yang lambat itu mulai muncul dan memuntahkan cahayanya yang pucat disaring awan-awan tipis sehingga menciptakan cahaya redup kehijauan di malam hari yang sunyi itu, bentuk dua sosok bayangan itu kelihatan agak jelas. Kiranya mereka adalah dua orang manusia, sungguhpun tidak mungkin manusia biasa melihat cara mereka bergerak secepat itu. Seorang di antara mereka bertubuh pendek sekali, rambutnya panjang riap-riapan membuat kepalanya yang besar itu kelihatan makin besar, dan Si Pendek inilah yang
tertawa-tawa. Temannya tidaklah setua kakek pendek ini, melainkan seorang muda yang kepalanya dilindungi sebuah topi caping lebar dan di punggungnya tampak buntalan pakaiannya. Sebuah kuncir rambut besar kadang-kadang melambai di balik pundaknya ketika dia bersama kakek itu berloncatan melalui jurang-jurang yang curam. Dilihat dari jauh, oleh mereka seperti dua ekor kijang bermain-main dan saling berkejaran di malam sunyi itu.
Akan tetapi tak lama kemudian tampaklah bayangan mereka. Kakek itu masih tertawa-tawa, akan tetapi mereka membawa sekumpulan senjata yang banyak sekali. Susah payah mereka membawa senjata-senjata tajam yang malang-melintang itu sehingga ada yang tercecer di jalan.
"Ha-ha-ha, betapa lucunya kalau mereka itu dikejutkan dan dalam kegugupan mencari-cari senjata mereka!" kata yang muda. Kakek pendek itu pun tertawa, akan tetapi dia lalu menengadah dan bernyanyi,
"Senjata adalah benda sialan dibenci oleh siapapun juga tidak dipergunakan para bijaksana, Bahkan dalam kemenangan sekalipun senjata tak sedap dipandang mata karena yang mengagungkannya hanyalah pembunuh-pembunuh kejam!
Alat pembunuhan antar manusia menimbulkan kematian terpaksa mendatangkan duka dan air mata dan kemenangan dirayakan dengan upacara kematian!"
"Locianpwe, saya mengenal sebagian kalimat nyanyian Locianpwe adalah dari isi kitab To-tek-keng! Akan tetapi juga tidak sama...." Pemuda itu, Gak Bun Beng menegur heran. "Ha-ha-ha, perlu apa menghafal isi ujar-ujar kitab apapun juga seperti seekor burung? Yang penting adalah mengerti dan melaksanakan, karena pelaksanaan yang berdasarkan pengertian bukanlah penjiplakan belaka namanya. Aku benci segala macam senjata, hayo kita buangkan semua senjata di dalam gudang itu!"
Dua orang itu membawa senjata-senjata yang mereka panggul itu ke tepi jurang, lalu melemparkan senjata-senjata itu ke dalam jurang yang hitam, jurang yang tak dapat diukur dalamnya sehingga ketika senjata-senjata itu sampai ke dasar ujung, tidak terdengar apa-apa dari tempat mereka berdiri! Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Siauw-jin dan Bun Beng segera berlarian lagi menghampiri gudang senjata milik para pemberontak untuk mengangkuti semua senjata yang terkumpul di situ dan dibuang ke dalam jurang. Belasan orangj penjaga gudang itu masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi mereka ini berdiri seperti arca karena sudah tertotok, bahkan senjata di tangan dan di pinggang mereka pun sudah dilucuti oleh Bu-tek Siauw-jin dan ikut terbawa untuk dibuang ke dalam jurang itu.
Karena jarak antara gudang senjata dan jurang tempat pembuangan itu cukup jauh, dan jumlah senjata dalam gudang amat banyak sedangkan betapa pun saktinya, kedua orang itu masing-masing hanya mempunyai sepasang tangan, setelah bekerja sampai pagi, belum ada setengah isi gudang berhasil mereka buang ke dalam jurang.
Ketika untuk kesekian kalinya Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin kembali ke gudang, begitu mereka memasuki gudang, terdengar bentakan-bentakan dan ternyata gudang itu telah dikurung oleh puluhan orang perajurit! Mereka telah ketahuan, atau lebih tepat lagi, peronda telah melihat penjaga-penjaga yang tertotok kaku itu sehingga mereka segera melaporkan kepada Koksu dan Koksu yang menduga bahwa tentu ada mata-mata musuh menyelundup sudah memasang perangkap sehingga ketika dua orang itu datang, mereka telah terkurung!
Tentu saja kedua orang itu segera diserbu dan dikeroyok oleh puluhan orang perajurit. Apalagi setelah Koksu menerima pelaporan bahwa yang mengacau di gudang senjata adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng, dia segera mengerahkan para pembantunya untuk mengeroyok.
"Wah, repot nih, Bun Beng!" Bu-tek Siauw-jin berkata, sambil sibuk meloncat ke sana-sini di antara serbuan para perajurit. "Kita membuang senjata supaya jangan ada perang, malah diperangi!"
"Mari kita keluar, Locianpwe!" Bun Beng berkata, khawatir juga karena dia tidak mungkin dapat menghadapi pengeroyokan hebat itu dengan sikap berkelakar dan tidak peduli seperti kakek yang agaknya tidak bisa melihat bahaya itu. Dengan gerakan kaki tangannya, Bun Beng berusaha membuka jalan keluar dari dalam gudang senjata, akan tetapi karena Bu-tek Siauw-jin enak-enak saja menendingi semua pengeroyoknya, kadang-kadang terkekeh girang kalau melihat beberapa orang terjengkang roboh sendiri setelah memukulnya, Bun Beng merasa bingung dan benar-benar mendongkol sekali. Kakek itu agaknya malah girang dan gembira menghadapi pengeroyokan itu, seperti seorang kanak-kanak memperoleh sebuah permainan baru dan merasa sayang untuk meninggalkannya!
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras di luar gudang tempat pengeroyokan itu dan terjadilah kekacauan hebat. Menurut pendengarannya yang memperhatikan suara teriakan-teriakan itu, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa tempat markas pemberontak itu telah diserbu oleh pasukan pemerintah! Keadaan menjadi kacau balau. Koksu dan para pembantunya segera lenyap dari situ meninggalkan Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin yang masih dikeroyok oleh para pasukan penjaga. Tentu saja bagi Koksu dan teman-temannya, berita penyerbuan pasukan pemerintah itu lebih penting, lebih hebat dan harus segera ditanggulangi daripada kekacauan yang disebabkan oleh perbuatan dua orang ini. Memang benarlah apa yang didengar oleh Bun Beng. Pasukan besar pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Nirahai dan Lulu telah datang menyerbu tempat itu secara mendadak. Terjadilah perang yang amat hebat, perang mati-matian karena para pemberontak membuat pertahanan yang terakhir. Mereka masih menanti datangnya bala bantuan dari barat dan utara, siapa mengira bahwa pagi hari itu mereka harus menghadapi penyerbuan pasukan pemerintah yang tidak mereka sangka-sangka akan demikian cepat datangnya. Tentu saja Koksu tidak menyangka bahwa Puteri Nirahai sendiri yang menjadi pemimpin penyerbuan ini, seorang puteri yang sudah banyak pengalamannya dalam menghadapi pasukan pemberontak, seorang yang tidak saja ahli dalam hal ilmu silat, juga seorang ahli perang yang terkenal!
Setelah Koksu dan para pembantunya meninggalkan gudang senjata di mana Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin terkepung, tentu saja dengan mudah kedua orang sakti ini mampu keluar dari kepungan. Apalagi karena para perajurit yang mendengar akan penyerbuan tentara musuh sudah menjadi panik, bahkan akhirnya sisa mereka meninggalkan dua orang itu untuk membantu teman-teman menghadapi pasukan pemerintah. Gudang senjata telah mereka bobol dari belakang dan sisa senjata yang masih berada di dalam gudang telah mereka angkut keluar untuk dipergunakan para pasukan menghadapi musuh.
"Wah, perang telah terjadi?" kata Bu-tek Siauw-jin setelah mereka berdua keluar dari dalam gudang senjata. Terdengar dari situ pekik sorak mereka yang berperang, dan suara senjata yang menggegap gempita. "Mudah-mudahan saja para pemberontak segera dapat dihancurkan," kata Bun Beng sambil berdiri termenung. Yang terbayang di depan matanya adalah Milana. Apakah dara itu
ikut berperang membantu ibunya yang memimpin pasukan pemerintah itu? Teringat betapa fihak pemberontak terdapat orang-orang pandai seperti Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama, ia merasa khawatir juga akan kekasihnya itu. "Locianpwe, saya hendak menonton perang dan kalau perlu membantunya."
"Eh, kau mau membantu siapa?"
"Membantu Puteri Nirahai dan puterinya."
"Mengapa? Apakah engkau sudah menjadi kaki tangan pemerintah pula?"
"Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, kita sudah melihat bahwa pemberontak dipimpin oleh orang-orang sesat macam Koksu, Maharya, dan yang lain-lain. Mereka itulah yang menimbulkan perang sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang, karena itu maka merekalah yang akan saya tentang."
Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk. "Hemm, boleh kita menonton, akan tetapi kalau tidak perlu sekali, untuk apa kita mengotorkan tangan ikut dalam perang yang hanya merupakan penyembelihan antara manusia?"
Bun Beng tidak mau banyak berbantah dengan kakek sinting ini, dan keduanya lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan berloncatan melalui jurang-jurang menuju ke tempat di mana terjadi perang yang amat dahsyat. Akan tetapi ketika mereka tiba di bagian yang datar, tiba-tiba mereka melihat hal yang amat mengejutkan, Para pasukan pemberontak di bagian ini tiba-tiba mundur, akan tetapi ketika pasukan pemerintah mendesak, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan muncullah seekor gajah yang amat besar. Binatang raksasa inilah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan pasukan pemerintah yang berada paling depan segera berhadapan dengan gajah ini. Seorang tinggi kurus berkulit hitam yang menunggang gajah itu. Pendeta Maharya sendiri mengeluarkan aba-aba dan gajah itu mengamuk! Dengan belalainya yang besar, sekali sambar gajah itu menangkap dua orang perajurit musuh, membantingnya remuk dan dengan kedua kaki depannya yang besar binatang itu menginjak ke depan, membuat dua orang musuh lain lagi terinjak gepeng. Maharya yang berada di atas gajah itu masih menggerakkan senjatanya tombak bulan sabit, tampak sinar berkelebat dan empat orang perajurit pemerintah roboh. Maharya mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba cuaca di tempat itu menjadi gelap, debu mengepul tinggi dan di balik kegelapan ini menyerbulah pasukan Nepal yang dipimpin oleh Maharya, menyerbu bagaikan pasukan setan ke depan!
Pasukan pemerintah menjadi kacau balau dan pecah belah. Mereka menjadi bingung, apalagi ketika dua orang perwira pemimpin mereka dengan mudah roboh binasa oleh amukan gajah dan melihat betapa cuaca menjadi gelap, debu mengebul tinggi, mereka makin panik. "Pasukan siluman....!" terdengar teriakan.
"Pasukan siluman.... laporkan ke induk pasukan!" Kiranya, pasukan itu adalah pasukan Nepal yang baru saja datang, pasukan yang dinanti-nanti oleh Koksu. Begitu pasukan ini tiba bersama lima ekor gajahnya, Maharya segera menyambutnya, menunggangi seekor gajah dan Maharya sendiri yang memimpin pasukan istimewa ini, menggunakan ilmu hitamnya, dibantu oleh pasukan istimewa ini yang menggunakan debu dan asap hitam untuk mengacau musuh. Jumlah mereka sebetulnya hanya seratus orang, akan tetapi karena mereka itu terlatih dan mempunyai cara-cara berperang yang aneh, mereka mampu mendatangkan kekacauan dan banyak di antara pasukan pemerintah yang roboh menjadi korban, terutama sekali amukan lima ekor gajah, seekor di antaranya yang ditunggangi Maharya sendiri. "Locianpwe, kita harus membantu mereka menghadapi pasukan siluman itu!" Bun Beng berkata, kemarahannya timbul menyaksikan musuh besarnya, Maharya, dengan ganas membunuh pasukan pemerintah dengan bantuan gajahnya dan tombak bulan sabitnya. "Ha-ha-ha! Maharya Si Dukun Lepus itu memang menyebalkan sekali. Ilmu setannya ini, siapa lagi kalau bukan aku yang dapat membuyarkannya?" Bu-tek Siauw-jin tertawa sambil menerjang ke depan menyambut debu dan uap yang mengebul itu.
"Maharya, sejak dahulu engkau mendatangkan keributan saja!" Bun Beng membentak lalu meloncat ke depan, langsung menyerang pendeta kurus itu dengan pukulan tangan ke arah kepala.
Melihat munculnya pemuda ini, Maharya memandang rendah. Biarpun pemuda itu dia tahu cukup lihai seperti yang diperlihatkannya ketika pemuda itu membela Pulau Es ketika pulau itu diserbu oleh pasukan Koksu dahulu, namun, baginya, pemuda itu tidak ada artinya. Yang membuat dia khawatir hanya ketika melihat munculnya Bu-tek Siauw-jin tadi.
Kakek pendek itulah yang perlu diperhatikan, karena dia tahu bahwa dia sendiri takkan dapat menangkan kakek iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, dia dibantu oleh gajah-gajahnya, oleh pasukan siluman dari Nepal, apalagi Koksu, Thian Tok Lama, dan banyak tokoh pandai lain berada tidak jauh dari situ. Pemuda ini harus dibunuh lebih dulu. "Mampuslah!" Dia berteriak dengan suara nyaring. Tombak bulan sabit di tangannya bergerak, gagangnya menusuk dan menyambut tubuh Bun Beng yang meloncat ke atas tadi, menusuk ke arah pusar pemuda itu.
Melihat gerakan Maharya ini amat kuat, Bun Beng tentu saja tidak membiarkan dirinya disate gagang tombak. "Haaiiittt....! Plak! Wiiirrr....!" Tangan Bun Beng menangkis gagang tombak itu dengan meminjam tenaga tusukan gagang tombak ini, dia membuat tubuhnya mencelat ke atas dan membuat salto jungkir-balik, kemudian seperti seekor burung garuda terbang, dia menyerang ke arah ubun-ubun kepala Maharya! Dengan jari tangan kanan dia menusuk ke arah ubun-ubun ketika tubuhnya meluncur ke bawah.
"Aehhhh!" Maharya berseru keras dan kaget bukan main, kakinya menekan telinga gajah. Binatang itu mengeluarkan suara melengking dan mengangkat kedua kaki depannya. Gerakan ini tentu saja membuat tubuh Maharya terbawa ke belakang dan otomatis terbebas dari serangan Bun Beng yang tubuhnya meluncur ke bawah itu. Dengan geram Maharya menggerakkan tombak bulan sabitnya menyambut tubuh Bun Beng dan dibantu oleh gajahnya yang sudah menggerakkan belalainya untuk menangkap tubuh pemuda itu!
Bun Beng tidak merasa kaget menghadapi kegagalannya dan melihat serangan berbahaya ini. Dia sudah cukup mengenal siapa kakek ini dan betapa lihainya kakek ini, maka cepat sekali kakinya bergerak ke depan, menyambut gagang tombak di bawah bulan sabit yang tajam itu, mengerahkan tenaga sehingga begitu kakinya menyentuh gagang tombak tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, berputaran, kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangannya! Sambaran tombak di tangan Maharya kembali dapat ia elakkan di tengah udara.
"Plakkk!" Gajah itu mengeluarkan jerit menyayat hati, kedua kaki depannya diangkat, tubuhnya bergoyang-goyang penuh kemarahan karena kulit belalainya telah terobek oleh dua jari tangan kecil tadi, mencucurkan darah. Melihat dengan mata kecilnya betapa manusia bercaping yang menyakitinya itu telah meloncat ke atas tanah di depannya, gajah itu lalu menghempaskan kedua kakinya hendak menginjak tubuh itu sampai lumat. Namun, dengan sigap Bun Beng sudah meloncat ke samping, dan tiba-tiba dia sudah menyerang Maharya dari samping kanan. Gerakannya cepat bukan main dan dari tangan kanannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan ke arah lambung Maharya.
Kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangan!
"Uuuh....!" Maharya terkejut sekali ketika dia menggerakkan tombak ke kanan untuk menyambut, tombaknya itu menyeleweng terdorong oleh hawa pukulan dahsyat, dan pukulan tangan kanan pemuda itu masih terus melayang datang bersama tubuh pemuda itu yang melayang cepat. Biarpun dia merasa kaget sekali karena tombaknya menyeleweng terdorong hawa pukulan, namun Maharya tidak
gugup dan dia sudah dapat menggunakan lengannya menangkis datangnya tamparan tangan Bun Beng ke arah lambungnya itu
"Dess....! Aihhh....!" Maharya kini terpaksa mengeluarkan teriakan kaget sekali karena benturan lengannya dengan lengan pemuda itu membuat lengannya seperti lumpuh dan tubuhnya terlempar dari atas tubuh gajahnya! Dia tidak terbanting dan masih dapat menguasai dirinya, namun dia kini memandang kepada Bun Beng dengan mata terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan penasaran. Pemuda itu dapat memaksakannya turun dari punggung gajah dan kini pemuda itu telah berdiri di depannya dengan wajah tenang dan topi caping lebar masih di atas kepalanya!
"Hemm, orang muda, bukankah engkau Gak Bun Beng?"
"Tidak salah dugaanmu, Maharya, dan sebagai seorang muda aku merasa terhormat sekali bahwa namaku dikenal oleh seorang seperti engkau!" Bun Beng menjawab tanpa berani menentang pandang mata pendeta itu. Biarpun dia telah memiliki kekuatan sin-kang yang mujijat, namun dia maklum betapa hebat pengaruh pandang mata kakek ahli sihir ini, yang dalam ilmu itu bahkan berani menentang dan mengadu sihir dengan Pendekar Super Sakti. Kalau sampai dia terpengaruh ilmu hitamnya yang mujijat, dia bisa celaka!
"Gak Bun Beng, mengapa berkali-kali engkau memusuhi aku seorang tua yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan dirimu? Mengapa?" Suara pendeta itu terdengar halus menimbulkan rasa malu dan iba. Namun Bun Beng sudah menekan perasaannya dengan tenaga dalam, dan dia menjawab, suaranya lantang, "Sejak aku masih kanak-kanak, engkau telah menjadi seorang jahat yang kuanggap musuhku, Maharya. Pertama kali ketika engkau bersama muridmu yang gila, Tan-siucai, mencuri Hok-mo-kiam. Kemudian melihat engkau membantu Koksu menghancurkan Pulau Es, Pulau Neraka, kuanggap engkau seorang yang patut ditentang."
"Hok-mo-kiam....? Hemm, karena pedang itu, muridku telah tewas, dan pedang itu lenyap. Memperebutkan pedang di antara orang gagah tidak bisa disebut jahat, orang muda."
"Bukan soal pedang, melainkan karena engkau seorang pendeta yang selalu mengejar kemuliaan duniawi, mengejar kedudukan sehingga rela menjual diri bersekutu dengan Koksu, dipergunakan oleh Koksu, mengacau orang-orang gagah, bahkan tidak segan-segan untuk bermuka dua, berpura-pura bersahabat dengan Thian-liong-pang, akan tetapi diam-diam mengusahakan kematian ketuanya. Apa kaukira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan di Se-cuan ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan besar dahulu itu?"
Maharya memandang tajam. "Eh? Kau tahu? Kalau begitu.... kau tahu pula tentang kematian Tan Ki dan Thai Li Lama....?"
"Tentu saja! Pedang Hok-mo-kiam bukan miliknya atau milikmu. Pedang itu kini sudah kukembalikan kepada yang berhak."
Merah muka Maharya dan tombak bulan sabit di tangannya menggetar. "Jadi.... engkaukah orangnya yang membunuh muridku?"
"Dia mencari kematiannya sendiri...." Bun Beng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia harus cepat mengelak dari sambaran tombak bulan sabit yang telah meluncur ketika Maharya menyerangnya dengan gerakan penuh kemarahan dan penuh nafsu membunuh. Maharya sudah marah sekali mendengar bahwa pemuda ini yang membunuh muridnya dan merampas Hok-mo-kiam, dan dia pun maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, kalau tidak cepat dirobohkan akan berbahaya sekali.
"Robohlah! Lihat aku siapa! Pandang aku! Tak mungkin dapat menang melawan aku!" Berkali-kali Maharya membentak dengan suara yang amat berpengaruh, namun Bun Beng sama tidak mempedulikannya, juga tidak pernah menentang pandang mata kakek itu. Dia hanya mengelak dengan cepatnya karena tombak bulan sabit itu bergerak seperti kilat menyambar-nyambar, sambil menanti kesempatan untuk merobohkan lawan yang tangguh itu.
Sementara itu, dari gumpalan debu dan asap yang menyembunyikan pasukan siluman bangsa Nepal, menyambar ratusan batang anak panah ke arah pasukan pemerintah. Pasukan pemerintah yang sedang kacau ini tentu saja menjadi makin bingung ketika tiba-tiba mereka diserang anak-anak panah yang tidak ketahuan dari mana datangnya sehingga banyak di antara mereka yang terjungkal roboh menjadi korban anak panah lawan. Melihat ini, Bu-tek Siauw-jin lalu membentak keras, kedua tangannya mendQrong ke depan
berkali-kali dan dia terus menerjang maju, tidak mempedulikan anak panah-anak panah yang menyambutnya dan yang mengenai seluruh tubuhnya bagian depan. Anak panah yang mengenai tubuhnya runtuh, tidak mempan, dan dari kedua telapak tangan kakek sakti ini menyambar angin yang membuat debu dan asap itu membuyar dan tertiup membalik ke arah para pasukan Nepal sendiri!
Mulailah pasukan Nepal itu tampak setelah debu dan asap membuyar, dan melihat seorang kakek cebol yang sakti membantu pihak mereka, bangkit kembali semangat para perajurit pemerintah. Mereka berteriak-teriak menyerbu dan terjadilah perang campuh yang amat dahsyat antara orang-orang Nepal dan orang-orang Mancu perajurit pemerintah. Bu-tek Siauw-jin tidak sudi bertanding melawan perajurit-perajurit Nepal yang baginya terlalu lemah itu, dan dia bergembira menghadapi serbuan empat ekor gajah yang ditunggangi oleh perwira-perwira Nepal. Dia menubruk kaki seekor gajah, dicobanya untuk mengangkat tubuh binatang itu, namun terlampau berat, mendorongnya pun amat berat dan agaknya merupakan hal yang amat sukar untuk merobohkan binatang raksasa itu. Bu-tek Siauw-jin menjadi penasaran, meloncat ke belakang, kemudian dia lari ke depan dengan kepala dipasang seperti seekor kerbau mengamuk.
"Desss!" Dengan kepalanya, kakek cebol yang sinting itu menubruk dada seekor gajah dan.... binatang raksasa itu terjengkang dan roboh! Dua orang pera jurit Nepal yang tidak menyangka sama sekali dan berada di dekat gajah yang mereka andalkan itu, terhimpit perut gajah dan tewas seketika, sedangkan penunggang gajah itu, seorang perwira Nepal yang sudah tua, terlempar dari atas punggung gajah dan terbanting pingsan!
Amukan kakek cebol sinting itu benar-benar menimbulkan kekacauan kepada pasukan istimewa Nepal itu, apalagi setelah tiga ekor di antara lima ekor gajah itu telah roboh oleh Bu-tek Siauw-jin, dan debu serta asap hitam telah membuyar. Tadinya anak buah pasukan itu mengandalkan ilmu hitam Maharya, akan tetapi kakek India itu sendiri sedang bertanding hebat dan mati-matian melawan pemuda yang amat tangguh dan lihai itu. Tentu saja hal yang melemahkan semangat pasukan Nepal ini sebaliknya mendatangkan semangat baru kepada para perajurit pemerintah yang tadinya sudah merasa agak panik.
Pertandingan antara Bun Beng dan Maharya memang terjadi makin seru dan mati-matian. Kakek India itu benar-benar amat lihai dan andaikata Bun Beng belum menerima ilmu terakhir dari Pendekar Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, kiranya dia pun tidak akan mudah untuk dapat menandingi Maharya. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat, tentu saja Bun Beng memiliki dasar yang lebih murni dan lebih tinggi tingkatnya, dan juga dalam inti tenaga sakti, dia tidak kalah kuat. Kekalahannya dalam hal pengalaman dan latihan dapat ditutup oleh keunggulannya karena ilmu silatnya adalah ciptaan manusia dewa yang amat tinggi tingkatnya. Akan tetapi, yang membuat Maharya amat sukar dilawan dan sukar dikalahkan adalah tenaga mujijat yang keluar dari pribadi kakek ini, berkat ilmu hitamnya. Bun Beng harus berhati-hati sekali, sama sekali tidak pernah berani bertemu pandang mata dengan lawannya, dan kadang-kadang dia bergidik karena merasa betapa ada hawa tenaga mujijat menyambar dari lawannya, kadang-kadang disertai suara aneh yang membuat bulu tengkuknya meremang, seperti suara jerit tangis kanak-kanak yang disiksa, suara tertawa wanita yang tidak lumrah manusia. Seolah-olah tempat itu, atau di kanan kiri dan belakang lawannya terdapat iblis-iblis yang tidak tampak akan tetapi yang terdengar suaranya dan terasa pula sambaran angin pukulannya!
Bun Beng melawan dengan mati-matian. Dia sama sekali tidak tahu bahwa kakek sinting itu, biarpun kelihatannya mengamuk di lain bagian namun diam-diam kakek itu tidak pernah melepaskan perhatiannya dan selalu mengikuti pertandingan itu, atau hanya sebentar saja kadang-kadang dia mengalihkan perhatian. Dia selalu menjaga dan siap untuk melindungi pemuda yang disukanya itu. Diam-diam kakek ini kagum sekali. Setelah menyaksikan sepak terjang Maharya dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan mati-matian ini, memang hebat sekali pendeta itu dan dia sendiri pun tidak akan mudah dapat mengalahkan Maharya. Namun pemuda
yang hanya tiga hari menjadi muridnya itu, dengan tangan kosong mampu menandingi Maharya dalam pertempuran hebat selama seratus jurus lebih, sedangkan Maharya yang tadinya menunggang gajah bersenjatakan tombak bulan sabit, kini sudah kehilangan gajahnya dan agaknya tombaknya itu pun sudah tidak banyak artinya dalam pertempuran hebat itu. Kini Maharya telah melolos kalung tasbehnya yang terbuat dari mutiara-mutiara putih yang besar-besar, memegang tombak bulan sabit di tangan kanan tasbeh di tangan kiri. Menghadapi serangan-serangan yang ganas dan dahsyat dari dua senjata aneh itu, Bun Beng mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuhnya, akan tetapi dia pun sudah menanggalkan topi capingnya dan menggunakan benda ini untuk membantunya menangkis sambaran senjata yang bertubi-tubi. Di bagian lain, di balik puncak Pegunungan Merak Merah, tidak tampak dari situ hanya terdengar suaranya yang riuh rendah, terjadi pula perang yang lebih hebat dan seru lagi karena pusat perang terjadi di tempat itu, antara pasukan inti yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan pasukan inti penyerbu dari pemerintah yang dipimpin oleh Nirahai dan Lulu!
Dalam perang dahsyat ini, Koksu mendapat bantuan Thian Tok Lama dan Kwi Hong! Kwi Hong tentu saja membantu Koksu ketika melihat penyerbuan pasukan pemerintah yang dianggap musuhnya dan musuh pamannya. Apalagi ketika dia mendapat keterangan dari Koksu bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah Ketua Thian-liong-pang dan Ketua Pulau Neraka, dia tidak ragu-ragu lagi untuk membantu pihak Koksu. Memang sudah dipikirkannya masak-masak. Permusuhannya dengan Koksu dan kaki tangannya hanya karena Koksu melakukan tugas membasmi Pulau Es, dan sebagai petugas, tentu saja dia tidak dapat terlalu menyalahkan Koksu, dan Kaisarlah yang sesungguhnya menjadi musuh pamannya. Kini Kaisar mengirim pasukan, apalagi dipimpin oleh Ketua Thian-liong-pang dan Pulau Neraka yang sejak dahulu memang bukan sahabat Pulau Es, bahkan ketika dia masih kecil pernah dia diculik oleh Ketua Pulau Neraka. Maka ketika terjadi pertempuran, Kwi Hong sudah membantu Koksu, mengamuk dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya. Para perajurit pemerintah yang berhadapan dengan amukan dara perkasa ini menjadi ngeri karena pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu benar-benar menyeramkan. Tidak ada senjata yang mampu menandinginya, begitu bertemu satu kali saja tentu akan terbabat putus berikut tubuh pemegangnya!
Betapapun juga, karena jumlah pasukan jauh kalah banyak, pasukan pemberontak terdesak hebat. Kwi Hong sendiri, biarpun mendatangkan kekacauan kepada pihak musuh dengan amukan pedangnya yang dahsyat dan membuat para perajurit musuh gentar, terpaksa harus menggunakan sebagian besar perhatiannya untuk melindungi tubuhnya karena banyaknya lawan yang mengeroyoknya. Bermacam senjata datang bagaikan hujan menyerangnya. Koksu merasa girang sekali melihat kenyataan bahwa Kwi Hong benar-benar membantunya. Dia sendiri bersama Thian Tok Lama lebih mementingkan penjagaan terhadap Pangeran Yauw Ki Ong, karena kalau sampai pangeran ini tewas, habislah arti dari semua usaha perjuangannya. Tanpa adanya pangeran ini, tidak mungkin dia akan mendapatkan dukungan orang-orang Mancu sendiri yang berpihak kepada pangeran ini, dan berarti jalan masuk baginya keKerajaan Mancu akan tertutup. Dia pun mengerahkan seluruh pembantunya, memimpin pasukan untuk melakukan perlawanan mati-matian.
Dia mengharapkan agar paman gurunya Maharya, yang memimpin pasukan bantuan musuh, dapat segera mengubah keadaan dan dapat datang membantunya. Namun, yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan dia mendengar pelaporan anak buahnya bahwa pasukan siluman Nepal yang dipimpin oleh Maharya sendiri itu pun mengalami tekanan hebat dari pihak musuh! Sama sekali Koksu tidak menyangka bahwa yang membuat Maharya tertahan itu adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng! Kalau dia tahu, tentu dia merasa
khawatir sekali, apalagi kalau diingat bahwa munculnya dua orang itu, terutama Bu-tek Siauw-jin yang sudah menjadi guru Giam Kwi Hong, tentu akan mendatangkan perubahan besar kepada Kwi Hong.
Betapa pun gigih Koksu dan anak buahnya mempertahankan, namun pihak musuh terlampau kuat dan jauh lebih besar jumlahnya. Terpaksa Koksu dan Thian Tok Lama sendiri mundur untuk melakukan penjagaan atas diri Pangeran Yauw yang berlindung di dalam pondoknya, mendekam di atas pe mbaringannya dengan muka pucat dan dikelilingi para pelayan wanita yang seolah-olah hendak dijadikannya sebagai perisai terakhir.
Pasukan pemberontak makin terdesak mundur dan tak lama kemudian, muncullah Nirahai dan Lulu sendiri di depan pondok persembunyian Pangeran Yauw Ki Ong yang dijaga oleh Koksu, Thian Tok Lama dan para panglima tinggi serta jagoan kaki tangan Koksu. Memang Nirahai mengajak Lulu meninggalkan pasukan mereka yang sudah mendesak dan hampir menang itu untuk mencari-cari biang keladi pemberontak, yaitu Pangeran Yauw, Koksu dan kaki tangannya.
"Yauw Ki Ong, pemberontak laknat!" Nirahai membentak sambil merobohkan beberapa orang anggauta pengawal yang sudah menyambut dia dan Lulu. "Menyerahlah untuk kuseret ke depan kaki Kaisar!"
Yauw Ki Ong adalah saudara tiri Nirahai sendiri. Keduanya adalah keturunan Kaisar, berlainan ibu. Yauw Ki Ong tentu saja sudah mengenal dan maklum akan kelihaian Nirahai, akan mendengar suaranya, dia menjadi pucat dan tidak berani keluar dari tempat persembunyiannya di dalam pondok yang terjaga kuat itu. Koksu dan para pembantunya, terutama sekali Thian Tok Lama, sudah bersiap-siap menjaga di situ dan kini mereka meloncat keluar menghadapi Nirahai dan Lulu.
"Bhong Ji Kun, manusia rendah! Seekor anjing sekalipun akan ingat akan budi orang. Engkau telah memperoleh kemuliaan dari Kaisar, sebagai seorang asing peranakan India engkau telah diangkat menjadi Koksu negara. Akan tetapi engkau tidak berterima kasih malah menjadi pemberontak hina! Manusia macam engkau ini tidak ada harganya untuk hidup!" Tanpa menanti jawaban lagi, Nirahai sudah menggunakan pedangnya menerjang Bhong-koksu. Kakek botak tinggi kurus ini terkejut bukan main melihat pedang di
tangan Nirahai yang mengeluarkan cahaya menyilaukan mata itu. Dia segera mengenal Hok-mo-kiam, pedang yang dahulunya terjatuh ke dalam tangan Maharya, paman gurunya, kemudian pedang itu lenyap bersama tewasnya Tan Ki, murid Maharya yang tewas bersama Thai Li Lama tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya dan siapa yang mencuri atau merampas Hok-mo-kiam. Kini tahu-tahu pedang pusaka itu berada di dalam tangan bekas Ketua Thian-liong-pang ini!
"Tar-tar.... singgg....!" Pecut kuda berbulu merah di tangan kiri dan sebatang golok besar, golok perang di tangan kanan
Koksu itu menyambar ganas. "Cringgg.... trakkk!" Ujung golok di tangan Bhong-koksu patah ketika bertemu dengan Hok-mo-kiam, akan tetapi Nirahai harus cepat menarik pedang dan mencelat ke belakang karena ujung ca mbuk merah sudah mengancam lengannya
yang memegang pedang.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun marah sekali, cepat mengeluarkan aba-aba dan menerjang ke depan dibantu oleh jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya. Juga Thian Tok Lama dan beberapa orang temannya sudah menerjang dan mengeroyok Lulu. Tidak seperti Nirahai yang menggunakan Hok-mo-kiam, bekas Ketua Pulau Neraka ini menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Namun sepak terjangnya amat hebat dan menyeramkan karena begitu bergerak dia telah memainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat yang amat halus dan tinggi tingkatnya, serta menggunakan tenaga mujijat Toat-beng-bian-kun yang telah bercampur dengan tenaga beracun dari Pulau Neraka. Dua orang pembantu Thian Tok Lama yang agaknya memandang rendah dan berani menyambut pukulan tangan yang kecil-kecil itu dengan lengan mereka, mengeluarkan pekik mengerikan dan mereka roboh terjengkang dengan seluruh lengan berwarna hitam, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian!
Repot juga Lulu dan Nirahai ketika dikeroyok oleh banyak sekali orang pandai itu sehingga mereka tidak dapat mencegah ketika lewat beberapa puluh jurus, Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun mengundurkan diri dari pertempuran, hanya menyerahkan kepada pasukan pengawal untuk mengepung ketat. Mereka berdua sudah cepat memasuki pondok untuk membuat persiapan menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong!
Akan tetapi Nirahai yang berpemandangan tajam, dapat menduga akan keadaan ini. Melihat Koksu dan Thian Tok Lama menghilang dan yang mengepung hanyalah anak buah mereka, dia segera memutar Hok-mo-kiam, membuka jalan darah dan tubuhnya melesat ke atas wuwungan.
"Yauw Ki Ong pemberontak hina, hendak lari ke mana engkau?" Bentaknya sambil melayang turun membobol genteng.
Tiba-tiba dia melihat sinar berkilat menyambar dari samping. Nirahai terke jut, maklum bahwa ada lawan tangguh menyerangnya secara tiba-tiba menyambutnya ketika tubuhnya baru saja turun dari atas.
"Tranggg....!" Bunga api perpijar dan Kwi Hong menjerit lirih. Tangannya terasa panas dan pedang Li-mo-kiam yang biasanya setiap kali bertemu senjata lawan pasti berhasil merusak senjata lawan, kini tergetar hebat!
Juga Nirahai kaget bukan main. Baru sekarang Hok-mo-kiam bertemu dengan sebatang pedang yang amat kuat sehingga tidak patah, apalagi ketika dia melihat seorang gadis cantik dan gagah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat! Kedua orang wanita itu, yang satu dara remaja yang lain wanita setengah tua, keduanya sama cantik dan sama keras hati, saling berhadapan dan saling pandang, pedang pusaka yang ampuh menggila di tangan masing-masing!
Kini Nirahai tidak lagi mengenakan kerudung muka sehingga Kwi Hong dapat memandang wajahnya yang cantik, pakaiannya yang indah, pakaian seorang panglima wanita! Berdebar jantung Kwi Hong ketika dia mengenal wanita itu. Inilah wanita cantik yang dahulu bertemu dengan pamannya, wanita cantik yang kabarnya puteri kerajaan dan menjadi isteri pamannya, ibu dari Milana! Dia masih belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri pamannya!
Akan tetapi, Nirahai tidak lagi mengenal Kwi Hong. Ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan gadis ini, pada saat dia bertemu kembali untuk pertama kalinya dengan Suma Han, keadaan terlampau tegang sehingga dia tidak memperhatikan orang lain sehingga dia tidak mengenal keponakan suaminya ini. Karena dara cantik yang memegang sebatang pedang pusaka ampuh mengerikan itu berada di situ dan telah menyerangnya, sedangkan dia melihat pangeran dikawal Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah lari dari dalam pondok, dia menganggap gadis ini seorang di antara kaki tangan Koksu yang tangguh, maka dia segera menyerangnya.
"Trang-trang-cringggg....!"
Kembali dua orang wanita itu terhuyung mundur. Nirahai terhuyung dua langkah sedangkan Kwi Hong terhuyung mundur sampai empat langkah. Betapapun juga, dara itu masih belum mampu menandingi tenaga sin-kang yang dimiliki Nirahai, sungguhpun dia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak menjadi murid Bu-tek Siauw-jin. Bunga api yang muncrat ketika tiga kali berturut-turut pedang Hok-mo-kiam bertemu dengan Li-mo-kiam menyilaukan mata. Kedatangan Kwi Hong memang pada saat yang tepat, karena kalau tidak ada dara ini, agaknya Koksu dan Thian Tok Lama takkan begitu mudah untuk dapat menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong. Ketika Kwi Hong mengamuk dan melihat betapa pasukan anak buah Koksu terdesak hebat oleh gelombang serbuan pasukan pemerintah yang jauh lebih banyak jumlahnya, gadis ini merasa khawatir dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, perang itu akan berakhir dengan kekalahan di pihak sekutunya. Ketika dia menengok dan tidak melihat Koksu dan para pembantunya, yaitu Thian Tok Lama dan para jagoan yang berkepandaian tinggi, dia makin khawatir. Kemanakah mereka pergi? Dia harus mengusulkan kepada Koksu untuk melarikan diri saja sebelum terlambat. Dengan pikiran ini, Kwi Hong membuka jalan darah dengan pedangnya, keluar dari kepungan dan menuju ke markas, yaitu ke pondok Pangeran Yauw dan sekutunya. Kedatangannya tepat sekali. Dia melihat Koksu dan Thian Tok Lama bersama Pangeran Yauw, siap hendak melarikan diri.
"Ahhh, keadaan musuh terlampau banyak dan terlampau kuat. Kita harus melarikan diri, Lihiap," kata Koksu begitu melihat munculnya Kwi Hong dengan pedang Li-mo-kiam yang berlepotan darah.
"Sebaiknya begitu," jawab Kwi Hong singkat. "Akan tetapi, kemanakah kita akan lari? Apakah Nona mempunyai usul yang baik?" Koksu memancing, padahal di dalam hatinya, dia ingin sekali melarikan diri ke.... Pulau Es, pulau yang sudah kosong itu karena hanya di sanalah dia akan aman dari kejaran pemerintah. Tempat itu merupakan tempat yang sukar didatangi, dan hanya mereka yang tahu jalan saja yang akan dapat menjadi penunjuk jalan saja. Kalau nona ini mau tentu akan dapat membawa mereka ke Pulau Es! Dia tahu bahwa tempat itu sudah kosong, dan kalau rombongannya dapat sampai ke tempat itu lebih dulu, berarti
mereka akan memperoleh sebuah tempat pertahanan yang kuat!
"Kalian larilah ke timur, ke pantai. Nanti kuantar kalian pergi melarikan diri ke Pulau Es," jawab Kwi Hong. Tentu saja Koksu menjadi girang sekali. Akan tetapi dia cerdik dan cepat dia menjawab, "Akan tetapi.... apakah To-cu pulau itu sudi menerima kami? Dan penghuninya....?"
"Pulau itu sudah kosong. Paman tidak lagi tinggal di sana. Pula, kalau paman tahu bahwa kalian melawan pemerintah, tentu paman suka menerima kalian. Paman sendiri pun seorang pelarian. Cepat pergilah....!"
Pada saat itu Nirahai datang, meloncat masuk dari atas atap yang dibobolnya. Begitu melihat seorang wanita melayang turun, Kwi Hong segera menyerangnya dan barulah dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah isteri pamannya sendiri, ibu dari Milana!
Tentu saja di dalam hatinya Kwi Hong menjadi bingung sekali dan dia sebetulnya tidak mau bermusuhan dengan isteri pamannya ini. Akan tetapi karena dia diserang terus dan karena dia ingin memberi kesempatan kepada Koksu untuk menyelamatkan Pangeran Yauw, terpaksa dia melakukan perlawanan tanpa mengeluarkan kata-kata. Dia dapat menduga bahwa tentu wanita ini lupa dan tidak ingat kepadanya. Hal ini melegakan hatinya karena kalau sampai wanita cantik ini tahu bahwa dia adalah keponakan Pendekar Super Sakti, tentu akan menjadi marah sekali sedangkan dia sendiri pun tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap wanita ini. Jelas bahwa wanita ini adalah seorang tokoh pemerintah, dan mungkin puteri ini yang memimpin pasukan pemerintah. Melihat kedudukan itu, wanita cantik ini patut dimusuhinya, akan tetapi kalau teringat bahwa wanita ini adalah isteri pamannya, bagaimana dia berani bersikap kurang ajar dan melawannya?
Betapa pun lihai Kwi Hong sekarang, dengan ilmu yang dipelajarinya dari Bu-tek Siauw-jin dan dengan pedang Li-mo-kiam di tangan, namun berhadapan dengan Nirahai, dia menjadi repot juga. Apalagi Nirahai menggunakan sebatang pedang pusaka yang amat hebat pula. Pedang Hok-mo-kiam adalah satu-satunya pedang yang sanggup menandingi Sepasang Pedang Iblis yang ganas. Andaikata Nirahai tidak memegang Hok-mo-kiam, agaknya wanita perkasa ini masih akan repot sekali harus menandingi Kwi Hong yang memegang Li-mo-kiam.
Untung bagi Kwi Hong bahwa dia tidak perlu terlalu lama menahan serangan yang bertubi-tubi dan amat dahsyat dari Nirahai karena Koksu yang cerdik itu sudah cepat mengirim bala bantuan berupa dua puluh orang lebih pengawal pribadi pangeran yang sudah menyerbu dalam pondok itu dan mengeroyok Nirahai. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Hong untuk mencelat keluar dari dalam pondok, meninggalkan Nirahai yang dikepung dan dikeroyok oleh para pengawal. Cepat dia berlari keluar dan bergabung dengan rombongan Pangeran Yauw, dilindungi oleh pasukan dan melarikan diri ke timur menuju pantai, melalui pegunungan dan jurang-jurang.
Sementara itu, pertandingan antara Gak Bun Beng melawan Maharya yang berlangsung amat hebat itu masih terjadi dengan seru, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menonton dari pinggir sambil tersenyum-senyum. Kakek cebol yang sinting ini sekarang menganggur karena pasukan Nepal itu sedang dihajar oleh pasukan pemerintah yang pulih kembali semangat mereka setelah debu dan asap hitam membuyar. Tidak perlu lagi kakek ini membantu sehingga kini dia dapat menonton dengan enaknya, menonton pertandingan antara Maharya dan Gak Bun Beng.
"Ha-ha-ha, Maharya dukun lepus! Engkau tidak akan mampu mengalahkan muridku, ha-ha-ha!" Bu-tek Siauw-jin sengaja mengaku pemuda itu sebagai muridnya untuk membanggakan dirinya. Padahal dia hanya mengajar selama tiga hari saja, itu pun hanya menurunkan inti tenaga saktinya yang hanya merupakan sebagian dari gabungan sin-kangnya dengan sin-kang Pendekar Super Sakti!
Kalau melawan "muridnya" saja Maharya tidak mampu menang, apalagi melawan dia yang menjadi gurunya?
"Siauw-jin, asal engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyok aku...."
"Heh-heh-heh, siapa sudi mengeroyokmu?" Bu-tek Siauw-jin mengejek.
Inilah yang dikehendaki Maharya. Betapa pun sintingnya, ucapan dari seorang kakek sakti seperti Bu-tek Siauw-jin boleh dipercaya. Tanpa diminta, jawaban kakek sinting itu sudah merupakan janji. Boleh jadi pemuda ini lihai, akan tetapi dengan hanya bertangan kosong dan tanpa dibantu Bu-tek Siauw-jin, masa dia tidak akan mampu mengalahkannya? Untuk mengandalkan ilmu sihirnya, percuma, dan hal ini sudah diketahuinya sejak, tadi karena pemuda itu sama sekali tidak pernah mau beradu pandang mata dan pemuda itu memiliki sin-kang yang amat kuat. Apalagi sekarang ada Bu-tek Siauw-jin duduk menonton di situ, tentu saja dia tidak dapat mengandalkan ilmu hitamnya.
Sebetulnya tidak perlu Maharya harus menggunakan akal untuk memancing janji seorang seperti Bu-tek Siauw-jin. Bagi kakek yang tidak lumrah manusia sehingga seperti sinting ini, kalah menang bukanlah apa-apa, dan dia sudah pasti tidak akan sudi turun tangan membantu Bun Beng biarpun pemuda itu andaikata terancam bahaya maut kalau pertempuran yang dihadapi pemuda itu merupakan pertempuran yang adil dan pantas. Kalau tadi dia selalu memperhatikan Bun Beng adalah karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu terjebak ke dalam perangkap Maharya yang banyak akalnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, tentu saja dia akan membelanya, juga kalau Maharya menggunakan ilmu sihir, tentu dia akan berusaha menghalau kekuasaan dan pengaruh ilmu hitam itu. Akan tetapi dalam sebuah pertandingan seperti yang terjadi sekarang, tanpa diminta pun dia tidak akan mencampurinya.
Bu-tek Siauw-jin merasa gembira dan tegang menonton pertandingan itu, akan tetapi sama sekali bukan tegang karena khawatir Bun Beng kalah. Bagi dia, siapa yang kalah siapa yang menang dalam sebuah pertandingan adil, tidak menjadi soal. Dia merasa tegang karena pertandingan itu memang hebat sekali, dahsyat dan seimbang.
"Heeaaahhh!" Tiba-tiba Maharya yang sudah menjadi marah sekali karena merasa penasaran, menubruk maju, tombak bulan sabit di tangan kanannya diputar seperti kitiran angin dan menyambar ganas, sedangkan tangan kiri yang memegang tasbih sudah siap pula mengirim serangan susulan. Berbeda dengan tadi, Maharya kini agaknya hendak mempercepat dan mengakhiri pertandingan karena melihat betapa pasukannya sudah mundur dan banyak yang tewas. Tadi dia masih selalu bersikap hati-hati, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menyerang.
"Haiitt!" Bun Beng meloncat ke atas dan berjungkir-balik menghindarkan diri dari sambaran tombak bulan sabit, akan tetapi bukan semata-mata hendak mengelak saja karena sambil berjungkir-ba lik itu tangannya mencengkeram dan dia menggunakan gerakan cepat luar biasa ini untuk menangkap batang tombak di dekat bulan sabit yang tajam itu. Maharya terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang yang memiliki banyak pengalaman dalam pertandingan melawan orang-orang pandai sehingga setiap keadaan yang bagaimanapun juga, bahkan yang kelihatannya mengerikan, dapat dia manfaatkan sebaiknya demi keuntungannya. Karena itu, dia sengaja tidak mau menarik tombaknya untuk merampas kembali senjata yang telah dipegang lawan ini, bahkan menggunakan kesempatan selagi tubuh lawan masih di angkasa, tasbih di tangan kirinya menyambar dada!
Bun Beng sudah siap karena memang dia pun sudah menduga bahwa lawannya tidak akan berhenti di situ saja. Maka dia pun menggerakkan capingnya untuk menangkis. "Trakkkk! " Caping dan tasbih bertemu dan pada saat itu, kedua kaki Bun Beng sudah tiba lagi di atas tanah. Akan tetapi di luar dugaan pemuda ini, tiba-tiba kakek itu melepaskan tombaknya dan berbalik merampas topi capingnya. Karena gerakan Maharya ini tidak disangka sama sekali, dan ketika memegang tombak lawan dia mengerahkan tenaga, tubuhnya agak terhuyung dan tahu-tahu tasbih lawan telah meluncur dan melibat lehernya!
Bun Beng mengerahkan tenaga. Lehernya tercekik dan terdengar suara lawannya tertawa. Bun Beng maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dia terancam maut, maka dengan pengerahan tenaganya, dia menyodokkan gagang tombak rampasannya ke arah pusar lawan. Maharya yang memegang caping rampasan, menangkis sodokan gagang tombak itu, akan tetapi bukan itulah maksud serangan Bun Beng karena tiba-tiba tombaknya ditarik kembali dan kini bagian yang tajam berbentuk bulan sabit itu membabat ke atas, ke
arah tasbih yang melibat dan mencekik lehernya.
"Cringgg.... rrrttt!" Disambar bagian yang amat tajam dari tombak bulan sabit itu, tasbih yang membelit leher Bun Beng putus dan mutiara-mutiara besar yang diuntai itu jatuh berserakan.
"Wuuuttt.... brakkkk!"
Pada saat tombak tadi menyambar tasbih, Maharya juga melihat gerakan ini dan maklum bahwa dia tidak dapat menyelamatkan tasbihnya, maka dengan kemarahan meluap dia menghantamkan caping rampasannya ke arah muka Bun Beng. Kakek pendeta ini menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan Bun Beng yang baru saja menggunakan tombak untuk menyelamatkan lehernya dari belitan tasbih, melihat datangnya caping dengan kecepatan kilat. Dia tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, terpaksa dia menekuk kedua lututnya, memberi kesempatan kedua tangannya untuk menggerakkan tombak yang diangkat melintang dan menerima hantaman caping itu. Hebat bukan main pertemuan antara caping dan tombak. Caping pecah dan tombak patah-patah, pundak Bun Beng masih terpukul pecahan caping demikian kerasnya sehingga tubuhnya terguling ke atas tanah. "Mampuslah!" Maharya menubruk dengan injakan kedua kakinya ke arah kepala Bun Beng, akan tetapi pemuda itu dengan sigapnya berhasil menggulingkan tubuhnya sehingga enam tujuh kali injakan kaki Maharya ke arah kepalanya yang merupakan serangan maut itu dapat dihindarkannya. Karena
serangan kaki secara bertubi-tubi itu tidak memberinya kesempatan untuk membalas atau meloncat bangun, ketika untuk kesekian kalinya berguling, tangannya menyambar tanah dan sambil berguling dia melontarkan tanah ke arah muka lawan. Biarpun melontarkannya sambil bergulingan, namun tenaga sambitan ini hebat dan kalau tanah itu mengenai muka, terutama mata akan hebat akibatnya bagi Maharya. Melihat datangnya sinar hitam ini, terpaksa Maharya meloncat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk meloncat bangun. Pundaknya terasa nyeri, akan tetapi dia sudah siap sehingga ketika melihat tubuh Maharya menerkamnya, dia menyambut dengan kedua telapak tangan didorongkan ke depan.
Maharya sudah marah sekali. Pasukannya sudah habis, sebagian melarikan diri, dan dia sudah terkepung sendiri di situ oleh pasukan pemerintah yang kini seperti juga Bu-tek Siauw-jin, hanya menonton. Namun kakek ini ma klum bahwa dia telah terkepung dan sukar untuk lolos kalau tidak dapat segera mengalahkan pemuda ini dan mengalahkan Bu-tek Siauw-jin. Maka kini, melihat Bun Beng meloncat bangun dalam keadaan terluka pundaknya, dia sudah mengirim serangannya yang paling dahsyat dengan memukulkan kedua telapak tangannya yang penuh dengan tenaga sin-kang bercampur tenaga yang keluar dari ilmu hitamnya.
"Bresss!" Bukan main hebatnya pertemuan tenaga sakti yang amat kuat dari kedua pihak itu, dan akibatnya, mulut Maharya menyemburkan darah segar, akan tetapi tubuh Bun Beng terjengkang dan bergulingan! Maharya terkejut, maklum bahwa dia terluka parah, maka dia berlaku nekat. Dengan suara melengking seperti iblis marah, dia menubruk tubuh Bun Beng yang bergulingan, dengan maksud untuk mengadu nyawa, mengajak lawan mati bersama. Akan tetapi dia tidak tahu sama sekali bahwa pemuda itu memang sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan untuk mengambil kekuatan dari bumi sesuai dengan ilmu yang diterimanya dari kakek Bu-tek Siauw-jin, yaitu tenaga sakti Inti Bumi. Begitu melihat kakek itu menubruk, dengan menekan bumi Bun Beng mengirim pukulan dari bawah, dengan telapak tangan kanan didorongkan ke atas menyambut tubuh kakek itu.
"Desss....!" Terdengar pekik mengerikan ketika tubuh kakek itu terlempar kembali ke atas, terbanting ke atas tanah, berkelojotan dengan mata mendelik dan mulut muntah-muntah darah segar, kemudian mengejang dan tewas. Bun Beng cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan mata. Biarpun lukanya tidak hebat, namun pukulan dengan caping yang pecah mengenai pundaknya tadi menggetarkan isi dadanya dan harus cepat disembuhkan dengan pengerahan sin-kang. Bu-tek Siauw-jin menoleh kepada para perajurit pemerintah yang menonton, lalu membentak ke arah mereka.
"Hayo pergi kalian! Mau apa menonton? Ini bukan tontonan! Kalian telah membawa kami terpaksa ikut berperang. Sialan!"
Para perajurit terkejut sekali. Mereka tidak mengenal siapa adanya kakek cebol ini dan pemuda yang amat gagah itu, akan tetapi karena sudah jelas bahwa kedua orang itu tadi bertempur membantu mereka, maka mereka tidak berani me mbantah dan segera meninggalkan tempat itu untuk membantu pasukan yang masih mengejar-ngejar pasukan pemberontak.
Pasukan pemberontak telah dihancurkan, sebagian kecil yang merupakan pasukan khusus, pengawal-pengawal pribadi Koksu dan Pangeran Yauw, ikut melarikan diri dan mengawal rombongan pangeran itu, termasuk tukang kuda dan pengurus kereta yang telah kehilangan kereta karena tak dapat dipergunakan dalam pelarian yang tergesa-gesa itu. Bahkan tidak semua dari mereka dapat menunggang kuda.
Nirahai dan Lulu merasa penasaran sekali. Biarpun pasukan-pasukan pemberontak dapat dihancurkan, markas mereka dibasmi dan dibakar, namun biang keladi pemberontak dapat melarikan diri. Ketika mereka mendengar laporan tentang dua orang sakti yang membantu pasukan ketika pasukan siluman Nepal dengan gajah-gajah mereka mengamuk, Nirahai segera menduga bahwa mereka itu tentu-lah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng. Maka dia mengajak Lulu untuk mendatangi tempat itu. Ternyata benar dugaannya. Gak Bun Beng masih duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin berdiri di dekatnya, tertawa-tawa ketika melihat Nirahai.
"Wah-wah, setelah kerudungnya dibuka, ternyata dalamnya sebuah wajah yang luar biasa cantiknya!" kata kakek sinting itu, sama sekali tidak peduli bahwa dia bicara dengan bekas Ketua Thian-liong-pang, bahkan puteri Kaisar yang menjadi panglima besar.
"Bu-tek Siauw-jin, terima kasih atas bantuanmu kepada pasukanku sehingga pasukan Nepal yang membantu pemberontak dapat dihancurkan," kata Nirahai, suaranya tenang saja. Dia bukanlah seorang muda yang dapat panas hatinya oleh sikap kakek sinting ini, apalagi dia sudah tahu akan watak kakek ini yang tidak lumrah manusia. "Ha-ha-ha, engkau sendiri pernah menolongku ketika aku diganggu Koksu palsu itu selagi mandi. Pertolonganmu itu lebih berharga karena hampir aku dibuat malu!"
Agak merah sedikit kulit muka yang halus itu karena Nirahai teringat betapa kakek sinting ini pernah berdiri bertelanjang bulat begitu saja di depannya tanpa malu-malu! Dia melirik ke arah Bun Beng dan bertanya, "Apakah dia terluka?"
Sebelum Bu-tek Siauw-jin menjawab, Bun Beng sudah membuka mata, bangkit berdiri dan memberi hormat. "Locianpwe, saya tidak apa-apa hanya terluka sedikit. Sukur bahwa Locianpwe telah berhasil menghancurkan musuh....""Aihh, dialah orangnya yang dahulu membantu Koksu di kapal ketika menyerang Pulau Es!" Ucapan ini keluar dari mulut Lulu ketika dia memandang mayat Maharya
Mendengar ini, Bu-tek Siauw-jin tertawa, "Ha-ha-ha, dia pula yang membasmi Pulau Neraka akan tetapi Majikan Pulau Neraka sama sekali tidak becus mempertahankan pulaunya!"
Lulu mengerutkan alisnya. Mukanya yang pucat itu tidak berubah, dan sepasang matanya yang lebar dan jernih namun berkilat mengerikan itu ditujukan kepada kakek cebol itu. "Siapa engkau?"
Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tidak menjawab, melainkan melanjutkan kata-katanya, "Muridku inilah yang telah berhasil membunuhnya, maka engkau harus berterima kasih kepadanya!"
Lulu melirik ke arah Gak Bun Beng, alisnya masih berkerut. "Bukankah engkau pemuda yang dahulu membantu pula ketika Pulau Es diserbu pasukan pemerintah?"
Bun Beng memberi hormat dan memandang penuh heran, kaget dan kagum. "Dan kalau saya tidak salah menduga, Locianpwe adalah wanita sakti yang dahulu melepas bahan-bahan ledak, kemudian mengacau di kapal Koksu.".
"Hemmm, agaknya engkau seorang bocah ringan tangan, di mana-mana engkau hadir dan bercannpur tangan!" Lulu berkata lirih, akan tetapi diam-diam dia heran bukan main bagaimana seorang pemuda seperti ini dapat membunuh Maharya yang demikian lihai!
"Sungguh aku heran sekali mengapa semua orang muda kauakui sebagai muridmu, Bu-tek Siauw-jin?" Nirahai bertanya karena sudah mendengar dari puterinya bahwa Kwi Hong juga diambil murid oleh Bu-tek Siauw-jin.
Sebelum kakek sinting itu menjawab, Lulu sudah mencelat ke depan, berhadapan dengan kakek cebol itu. "Jadi engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?" Ketika Nirahai untuk pertama kalinya menyebut nama kakek itu, dia kurang memperhatikan karena perhatiannya lebih tertarik kepada mayat Maharya. Baru sekarang dia mendengar nama itu dan kemarahannya bangkit. "Dan mana yang satu lagi? Mana dia yang disebut Cui-beng Koai-ong?"
Bu-tek Siauw-jin tertawa. "Heh-heh, jadi engkau sudah mendengar nama kami? Tentu puteramu yang manja dan jahat itu yang memberi tahu!"
"Tua bangka sialan!" Lulu yang masih belum hilang betul watak kerasnya menjadi marah mendengar betapa puteranya dicela oleh kakek ini. "Kaukira aku takut kepadamu? Biarpun engkau dan Cui-beng Koai-ong disebut tokoh-tokoh iblis dari Pulau Neraka, aku tidak takut!"
"Lulu, kita dalam tugas, jangan bawa-bawa urusan pribadi!" Nirahai memperingatkan Lulu, akan tetapi setelah marah seperti itu, mana mungkin dengan mudah saja Lulu dibikin sabar. Dia sudah menerjang kakek itu dengan pukulan sakti dari Hong-in-bun-hoat! Kakek itu cepat mengelak, akan tetapi angin pukulan masih membuat dia terhuyung dan sambil tertawa kakek itu menjauhkan diri bergulingan lalu meloncat bangun.
"Eit-eit, sungguh galak engkau! Kalau dahulu bukan aku yang melarang suheng, agaknya engkau hanya tinggal nama saja! Dan kalau aku tidak melihat bahwa engkau adalah pewaris kitab-kitab Pendekar Sakti Suling Emas yang kami kagumi dan hormati, apakah aku akan melarang suheng menghancurkan engkau? To-cu (Majikan Pulau) yang memiliki warisan senjata kipas pusaka dan ilmunya Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan), mengapa tidak mengeluarkannya dalam pertempuran?"
Lulu terbelalak. "Kau.... kau.... tahu akan itu semua?"
"Heh-heh, sehari setelah To-cu datang, kami berdua sudah memeriksa seluruh benda yang To-cu bawa, karenanya aku bersikeras melarang suheng turun tangan karena To-cu adalah ahli waris Suling Emas."
"Lulu!" Nirahai kini menghadapi Lulu dengan alis berkerut dan sinar mata memandang dengan penuh selidik. "Jadi engkau yang mengambil benda-benda pusaka itu? Jadi engkau yang membunuh Kakek Gu Toan....?"
Lulu membanting-banting kakinya teringat akan semua peristiwa yang dialaminya. Di bagian depan cerita ini telah dituturkan betapa ketika Lulu mulai dengan perantauannya bersama anaknya yang masih kecil, Wan Keng In, dia tiba di kuburan keluarga Suling Emas, melihat kakek itu diserang oleh seorang yang amat lihai, dan oleh Kakek Gu Toan dia disuruh menyelamatkan benda-benda pusaka peninggalan keluarga Suling Emas. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu itu, akan tetapi dia tidak mau mempergunakannya karena ingin menyembunyikan diri di Pulau Neraka sampai niatnya berhasil, yaitu bertemu dengan orang yang dicintainya, menjadi isteri orang itu atau menjadi musuh besarnya. Kiranya keadaan menghendaki lain dan semua niat dan cita-citanya hancur berantakan, puteranya menyeleweng menyakitkan hatinya, Pulau Neraka hancur dan Suma Han.... menambah sakit hatinya!
"Tidak! Aku tidak membunuhnya. Dahulu aku hanya melihat seorang tinggi kurus seperti orang India menyerangnya dan mendesaknya. Sekarang aku tahu siapa adanya orang kurus itu. Bukan lain adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun! Aku tidak tahu apakah Kakek Gu Toan mati atau hidup dalam pertandingan itu karena dia minta kepadaku untuk mengambil benda-benda pusaka dan melarikannya."
"Dimana benda-benda itu sekarang?" tanya Nirahai. "Ada kusimpan sebelum Pulau Neraka dihancurkan. Mengapa, Suci?" tanya Lulu, suaranya penuh tantangan. Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan nyaring sekali, datang dari jauh dan membuat semua orang terkejut. Hanya seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi dan sin-kang yang luar biasa kuatnya saja mampu mengeluarkan suara melengking seperti itu.
"Ha-ha-ha! Dia baru datang!" Bu-tek Siauw-jin terkekeh dan Bun Beng juga sudah dapat menduga siapa adanya orang yang mengeluarkan suara melengking seperti itu. Nirahai dan Lulu saling pandang, agaknya baru menduga setengahnya, dan baru mereka terkejut ketika lengking itu disusul suara yang terdengar dari jauh akan tetapi amat jelas. "Nirahai....! Lulu....! Kalian memang patut dihajar!"
Wajah Nirahai berubah merah sekali, dan wajah Lulu yang telah menjadi putih karena keracunan di Pulau Neraka tidak berubah, akan tetapi matanya bergerak-gerak liar ke kanan kiri mencari-cari. Tentu saja kedua orang wanita ini mengenal suara itu, suara yang mereka takkan lupakan selama hidup mereka, suara yang selalu terdengar oleh telinga mereka di waktu mereka melamun atau di waktu mereka bermimpi. Tanpa disengaja keduanya saling pandang dan seolah-olah dalam pandang mata mereka itu terjadilah sebuah permufakatan tanpa direncanakan atau dibicarakan, bahkan kini tanpa diucapkan. Bun Beng memandang dengan hati penuh ketegangan, apalagi ketika ia melihat sikap kedua orang wanita cantik itu. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa Pendekar Super Sakti marah-marah, dan mengapa kedua orang wanita itu kini hendak menyambut kedatangan pendekar yang dikagumi itu dengan jarum-jarum di tangan kiri!
Bagaikan seekor burung garuda putih tubuh Pendekar Super Sakti meluncur turun dari atas, gerakannya cepat bukan main karena dia telah mempergunakan ilmunya yang luar biasa, yaitu Soan-hong-lui-kun. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, berloncatan dengan ayunan kaki tunggalnya, makin lama makin cepat seolah-olah Kauw Cee Thian (Si Raja Monyet) sendiri yang berloncatan! Dengan wajahnya yang tampan gagah itu kini kehilangan kemuramannya, sepasang matanya yang tajam dan aneh itu bersinar-sinar, kedua pipinya kemerahan dan wajahnya berseri, dagunya mengeras membayangkan kemauan keras yang tidak dapat dibantah, pendekar itu kini telah berdiri di depan kedua orang wanita itu dengan tegak.
"Singg.... wir-wir-wir.... siuuuttt....!" Sinar-sinar merah meluncur dari tangan kiri Nirahai dan sinar hitam meluncur dari tangan kiri Lulu. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam dan Hek-kong-ciam dari kedua orang wanita sakti itu. Jarum-jarum yang selain mengandung racun mematikan, juga dilempar dengan pengerahan tenaga sin-kang sehingga jarum-jarum kecil itu cukup kuat untuk menembus benda keras! Namun Pendekar Super Sakti sama sekali tidak mengelak atau bergerak menangkis, masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali, bibirnya tersenyum dan sinar matanya amat tajam.
"Cep-cep-cep, wir-wir-wirrr!"
Jarum-jarum yang saking cepatnya telah menjadi sinar-sinar merah dan hitam itu seolah-olah menembus tubuh Suma Han. Padahal, tidak ada sebatang pun jarum yang menyentuh kulitnya, karena jarum-jarum itu hanya mengenai baju di sekeliling tubuhnya, menembus baju itu dan meluncur terus ke sebelah belakang tubuh Suma Han. Kiranya, biarpun kelihatan marah dan ganas, kedua orang wanita itu melontarkan senjata rahasia mereka dengan terarah, sama sekali tidak ada yang ditujukan kepada tubuh orang yang mereka cinta, melainkan membidik ke sekeliling tubuhnya.
"Ihhhh....!" Lulu menahan seruannya dan matanya yang lebar terbelalak. "Ohhhh....!" Nirahai juga menahan seruannya dan otomatis tangan kirinya meraba bibir menutupi mulutnya. Kedua orang wanita itu kaget setengah mati, bukan hanya karena rahasia mereka terbuka, rahasia bahwa mereka itu biarpun di luarnya kelihatan marah dan memusuhi, namun di balik sikap ini terkandung rasa cinta yang besar sehingga mereka tidak mau menyerang sungguh sungguh dengan jarum-jarum mereka. Bukan karena inilah mereka terkejut, melainkan karena melihat kenyataan betapa Suma Han sama sekali tidak mengelak atau menangkis! Mereka maklum bahwa biarpun mereka menyerang dengan sungguh-sungguh sekalipun, tak mungkin mereka akan dapat melukai pendekar itu dengan jarum-jarum mereka. Mereka mengharapakan pendekar itu mengelak atau memukul runtuh jarum-jarum mereka dengan kibasan tangan atau dengan tongkat. Siapa kira, pendekar itu sama sekali tidak mengelak sehingga andaikata mereka tadi menyerang sungguh-sungguh, tentu tubuh Suma Han telah terkena jarum beracun!
"Kau.... kau mau apa....?" Lulu bertanya, gagap. "Pendekar kaki buntung, mau apa engkau datang ke sini?" Nirahai juga menegur, suaranya ketika menyebut "Pendekar Kaki Buntung" menyakitkan hati sekali. Akan tetapi Suma Han tidak mempedulikan itu, hanya memandang mereka lalu terdengar suaranya menegur, seperti seorang ayah menegur dua orang anaknya yang nakal.
"Apa yang kalian lakukan ini? Mengapa kalian begini bodoh untuk melibatkan diri dengan urusan negara? Benar-benar kalian masih belum dewasa, lancang dan perlu dihajar!"
Nirahai dan Lulu terbelalak memandang Suma Han. Sedikit pun mereka tidak pernah mimpi akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut Suma Han, laki-laki yang sejak dahulu bersikap lemah, yang menyakiti hati mereka oleh kelemahan sikapnya itu. Akan tetapi, di samping keheranan luar biasa, juga ucapan Suma Han membangkitkan kemarahan besar. "Peduli amat engkau dengan apa yang kami lakukan?" Nirahai balas membentak. "Engkau mau apa kalau kami mencampuri urusan negara?"
"Tentu saja aku peduli karena engkau isteriku, Nirahai. Setiap perbuatan seorang isteri menjadi tanggung jawab suaminya pula. Dan juga perbuatan Lulu menjadi tanggung jawabku! Aku melarang kalian melanjutkan penglibatan diri kalian dengan urusan pemerintah!"
"Suma Han, enak saja kau bicara!" Lulu membentak marah dan bertolak pinggang. "Nirahai-suci boleh jadi isterimu, akan tetapi engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!"
Suma Han tersenyum memandang Lulu dan senyum ini saja sudah hampir melepaskan semua sendi tulang di tubuh wanita ini. "Lulu, berani engkau bicara seperti itu kepadaku? Engkau adik angkatku...."
"Aku tidak sudi menjadi adikmu!"
"Aku tahu, biarlah kurubah sebutan, itu. Engkau sebagai wanita yang mencintaku juga yang kucinta, tentu saja engkau menjadi tanggung jawabku pula dan engkau harus menurut kata-kataku!"
Lulu membanting-banting kaki kanannya, kebiasaan yang belum juga dapat dihilangkannya semenjak dia masih seorang dara remaja! "Tidak tahu malu! Tak tahu malu....!"
"Suma Han, apa kehendakmu dengan segala sikap aneh ini? Apakah engkau datang untuk membadut? Ataukah engkau sekarang sudah gila?"
"Ha-ha-ha! Ho-ho-ho-heh-heh! Lucu....! Lucu....! Belum pernah aku melihat yang selucu ini! Mau aku digantung kalau aku pernah melihat yang selucu ini! Ha-ha-ha!" Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa sambil memegangi perutnya. Bun Beng yang tadinya merasa tegang, terpaksa menahan geli hatinya mendengar ucapan dan melihat sikap kakek sinting itu. Di sana-sini terdengar suara tertawa dan Suma Han segera menoleh ke kanan kiri. Kiranya tempat itu penuh dengan perajurit-perajurit anak buah Nirahai yang menonton!
"Keparat kalian semua! Pergi dari sini....!" Suma Han yang menjadi merah mukanya itu membentak ke kanan kiri, ditujukan kepada para perajurit. Para perajurit menjadi kaget, akan tetapi mereka tidak bergerak pergi. Panglima mereka berada di situ, mana mungkin mereka pergi begitu saja diusir oleh orang luar, sungguhpun mereka mendengar bisikan-bisikan bahwa yang mengusir mereka itu Pendekar Siluman yang namanya pernah menggegerkan istana!
Nirahai menoleh ke kanan kiri dan dia pun membentak, "Kalian pergi! Pergi....! Pergi jauh dan jangan ada yang mendekat!"
Tentu saja perintah yang keluar dari mulut Nirahai ini seperti cambukan pada tubuh sekumpulan domba. Mereka terkejut dan ketakutan, cepat mereka itu membubarkan diri dan pergi dari tempat itu. Tak seorang pun berani mendekati tempat itu, biar dengan sembunyi sekalipun, karena mereka tahu bahwa sembunyi pun percuma, tentu akan diketahui oleh panglima wanita yang amat lihai itu. Sebentar saja tempat itu menjadi sunyi. Kini yang masih berada di tempat itu hanyalah Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin.
"Nirahai, sekarang kujawab pertanyaanmu tadi. Aku datang sebagai suamimu dan engkau sebagai isteriku harus tunduk kepadaku, dan harus ikut kemana pun aku pergi. Aku hendak membawamu pergi. Aku hendak membawamu pergi dari sini dan kau harus ikut denganku! "
"Tidak sudi!"
"Sudi atau tidak, mau atau tidak, engkau harus ikut bersama aku sekarang juga. Kalau kubiarkan terus sendirian, makin lama engkau makin keras kepala dan menimbulkan keributan di mana-mana. Huh, sungguh gila! Menjadi Ketua Thian-liong-pang, berkerudung, menggegerkan kang-ouw, kemudian sekarang malah kembali menjadi panglima pemerintah. Apa-apaan ini?"
"Setan! Kaukira akan mudah saja memaksaku!" Nirahai hampir menjerit saking marahnya. Mukanya merah, sepasang matanya mendelik dan tangannya sudah meraba gagang pedang Hok-mo-kiam di pingganggnya.
"Lawan saja, Suci. Dia memang seorang manusia tak tahu diri, biar kubantu engkau, Suci!" Lulu berkata, juga suaranya terdengar marah sekali.
"Lulu, engkau pun mulai saat ini harus ikut dengan aku. Suka tidak suka, mau tidak mau, engkau harus berada di sampingku untuk selamanya!" kembali Suma Han berkata dan di dalam suaranya terkandung ketegasan yang tidak boleh dibantah lagi.
"Apa? Lebih baik aku mati!" Lulu membentak. "Engkau takkan kubiarkan mati. Kalian harus ikut bersamaku dan habis perkara!" kembali Suma Han berkata. "Sing....!" Hok-mo-kiam telah dicabut dari sarungnya, kemudian Nirahai menerjang maju menyerang Suma Han dengan gerakan cepat sekali. Lulu tidak tinggal diam dan dia pun sudah menyerang dengan pukulan-pukulan maut.
"Bagus! Memang aku harus menundukkan kalian dengan kekerasan, hal yang semestinya kulakukan sejak dahulu!" Suma Han berkata, suaranya terdengar gembira, dan tubuhnya sudah mencelat mengelak, kemudian seperti kilat dia mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi dua orang wanita yang dicintanya, dua orang wanita yang selama kurang lebih dua puluh tahun telah membuat dia menderita amat hebat! Tongkatnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung mengimbangi sinar pedang Hok-mo-kiam, dan dia menghadapi dua orang wanita itu dengan pengerahan ilmunya karena baik Nirahai maupun Lulu, bukanlah dua orang wanita seperti dua puluh tahun yang lalu, melainkan telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sehingga tingkat kepandaian mereka sudah
amat tinggi.
Nirahai dan Lulu juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan Suma Han. Hanya inilah satu-satunya jalan bagi mereka untuk mempertahankan harga diri dan keangkuhan mereka. Mereka tidak akan menyerah mentah-mentah sungguh pun di sudut hati mereka, dua orang wanita ini merasa terharu, bangga dan juga bahagia bahwa pria yang mereka cinta itu bersikeras untuk hidup bersama mereka! Seperti telah bermufakat sebelumnya, dalam menghadapi Suma Han ini, Nirahai dan Lulu dapat bekerja sama dan seolah-olah saling membantu sehingga tentu saja kedudukan mereka kuat bukan main, membuat Suma Han yang sudah mempergunakan Ilmu Sakti Soan-hong-lui-kun itu harus bersikap hati-hati kalau dia tidak ingin gagal dan dikalahkan!
"Ha-ha-ha, lucu! Lucu dan gila! Eh, Bun Beng, lihat mereka bertiga itu! Seperti kanak-kanak, atau orang-orang dewasa yang miring otaknya! Ha-ha, jangan mau kalah, Nirahai dan Lulu! Laki-laki macam itu memang pantas dihajar babak belur, biar kapok, biar tahu bahwa wanita-wanita macam kalian tak boleh dibuat sembarangan, tak boleh dipermainkan. Ha-ha-ha! Eh, Pendekar Siluman, masa engkau tidak mampu menundukkan mereka? Wanita-wanita keras kepala memang semestinya ditundukkan dengan kekerasan. Itulah yang mereka kehendaki! Mereka suka ditundukkan, suka menyerah di bawah kekerasan laki-laki! Kalau engkau menjadi suami yang terlalu lunak, terlalu halus terlalu mengalah, mereka malah muak! Hayo, gaplok saja! Wah, ramai....! Ramai....! Ha-ha-ha!" Tiga orang itu saling serang dengan hebat, Bun Beng menonton dengan hati gelisah akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa gembira bertepuk-tepuk tangan, bersorak dan menyiram minyak pada api di hati tiga orang itu saling bergantian agaknya ingin melihat pertandingan itu makin seru dan mati-matian. Lagaknya seperti kalau dia mengadu, jangkerik, akan tetapi kali ini dia tidak memihak, kedua pihak dipujinya juga dicelanya!
"Locianpwe, bagaimana Locianpwe dapat mengatakan lucu? Teecu tidak melihat sesuatu yang lucu, hanya tegang karena pertandingan hebat ini benar-benar amat berbahaya."
Biarpun bicara dengan Bu-tek Siauw-jin, namun pandang mata Bun Beng tidak pernah beralih dari gerakan tiga orang yang bertempur itu. Dia kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian dahsyat dan luar biasa. Ilmu yang dimainkan tiga orang itu adalah ilmu silat-ilmu silat tinggi yang sebagian besar bersumber kepada ciptaan-ciptaan Bu Kek Siansu atau Koai-lojin, juga menjadi ilmu silat pusaka dari keluarga Suling Emas yang terkenal sepanjang masa itu. "Eh? Engkau tidak melihat lucunya? Mereka itu saling mencinta, dan sekarang saling menyerang seperti orang-orang yang saling membenci mati-matian. Mereka seperti orang gila, dan memang mereka telah dibikin gila oleh cinta! Ha-ha!"
Bun Beng mengerutkan alisanya dan kini dia mengalihkan pandang matanya dari pertempuran itu karena penasaran. Mengapa kakek yang sakti ini demikian memandang rendah cinta? Cinta baginya suci murni, halus dan sungguh-sungguh urusan perasaan yang paling halus, terutama dia berpendapat seperti itu setelah pertemuannya yang terakhir dengan Milana. Akan tetapi kakek ini bicara soal cinta seolah-olah cinta merupakan hal yang remeh dan lucu!
"Locianpwe, menurut pendapat teecu, cinta adalah perasaan yang mulus, murni dan bersih. Tidak ada yang lebih suci daripada cinta. Mengapa Locianpwe menganggapnya lucu?" Suaranya mengandung penasaran. Kalau cinta dianggap lucu dan remeh, apakah cinta antara dia dan Milana juga remeh dan lucu?
"Ha-ha-ha, itulah tandanya engkau dimabok cinta! Tandanya engkau menjadi korban cinta! Semua cinta yang disebut-sebut manusia adalah cinta yang palsu!"
"Wah, teecu tidak bisa menerima pendapat Locianpwe ini!" Bun Beng membentak dan mereka berdua kini sudah melupakan tiga orang yang masih saling serang. Kini mereka berdua berhadapan, saling pandang seperti dua orang yang siap untuk bertanding, bukan bertanding pukulan melainkan bertanding pendapat tentang cinta! "Bagaimana Locianpwe dapat mengatakan bahwa cinta yang murni dari Suma-taihiap terhadap mereka itu palsu?"
"Cinta antara pria dan wanita bukanlah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara yang timbul dari kecocokan selera, baik mengenai ketampanan maupun mengenai watak sehingga saling tertarik, kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah karena kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu berahi. Asmara ini penuh dengan keinginan menguasai, memiliki, memperbudak, penuh dengan keinginan dimanja, dipuja dan dijunjung tinggi, disamping keinginan menikmati kepuasan dari hubungan badan yang didorong nafsu berahi. Semua ini bersumber kepada Si Aku yang selalu menujukan segala hal demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, biarpun dengan cara yang cerdik berliku-liku, tujuan terakhir adalah untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Karena itulah, asmara antara pria dan wanita ini menimbulkan hal-hal gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan duka, kalau dikhianati menimbulkan benci, kalau kurang tanggapan menimbulkan cemburu. Pendeknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan bermacam pertentangan, ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara pria dan wanita yang kauagung-agungkan itu!"
Bun Beng masih penasaran. "Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwatak buruk, seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta seorang yang berhati murni amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan apapun juga, bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicinta!"
"Ha-ha-ha, alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok cinta! Memang aku percaya bahwa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang kaucinta, Bun Beng. Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu tidak membalas cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan dengan pria lain? Bagaimana kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cintamu dan dengan mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu?
Apakah engkau rela dan cintamu akan tetap?"
"Cintaku takkan berubah...." Bun Beng menjawab akan tetapi jawabannya yang keluar dengan suara sumbang itu lenyap ditelan suara kakek itu. Bun Beng masih penasaran dan berkata, "Kalau begitu, apakah tidak ada cinta suci di dunia ini menurut pendapat Locianpwe?"
"Tidak ada! Yang disebut-sebut orang, semua adalah cinta palsu yang berdasarkan kepada kepentingan Si Aku masing-masing."
"Ah, masa begitu, Locianpwe? Bagaimana dengan cinta seorang anak kepada ibunya?" Bun Beng mengajukan pertanyaan dengan penuh semangat, karena dia merasa bahwa tentu kakek itu takkan mampu menjawab. Bagaimana mungkin orang menyangsikan cinta kasih seorang anak terhadap ibunya?
"Itupun palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang terdekat dengannya sejak kecil! Orang yang bersikap manis, orang yang selalu digantunginya, disandarinya, sehingga dia terbiasa oleh perlindungannya dan setelah Si Anak besar, teringat akan kebaikan-kebaikan ini merasa berhutang budi dan ingin membalas budi. Bukan cinta yang sejati, melainkan perasaan hutang budi belaka. Andaikata Si Anak sejak bayi diberikan kepada seorang wanita lain, kalau wanita itu melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya, tentu anak itu akan berhutang budi pula. Ini pun bersumber kepada Si Aku, coba kalau seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya, apakah Si Anak akan tetap mencintanya seperti yang diucapkan mulutnya? Lihat saja semua orang yang telah dewasa, setelah menikah, bukankah perasaannya lebih mendekat kepada suami, isteri, dan anak-anaknya?"
"Wah, Locianpwe pandai sekali berdebat. Bagaimana kalau cinta kasih seorang ibu kepada anaknya? Nah, beranikah Locianpwe menyangkalnya dan mengatakan bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anaknya juga palsu?"
"Memang palsu selama Si Ibu mengharapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang ibu hendak membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada diri sendiri, marahkah dia kalau Si Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah dia kalau Si Anak berani melawannya dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan dukakah dia kalau Si Anak melupakannya dan tidak membalas budi kepadanya. Kalau benar demikian, maka sesungguhnya dia tidak mencinta anaknya, karena di mana ada cinta, di situ tidak mungkin ada kebencian, kemarahan dan kedukaan."
"Wah, kalau begitu pendapat Locianpwe, cinta bukan perasaan manusia biasa! Agaknya hanya cinta kasih manusia terhadap Tuhan saja yang suci!" Bun Beng membantah.
"Sama sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Sesungguhnya bukan cinta, melainkan pemujaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya terdapat keinginan agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau manusia memuja Tuhan dengan niat agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi masih hidup atau kelak kalau sudah mati, maka pemujaan itu pun palsu belaka, seperti jual beli! Cinta adalah sederhana dan wajar, tanpa pamrih, karenanya tidak akan mendatangkan kecewa, benci atau duka."
"Haaaiiittt.... desss! Desss!"
Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin terpaksa menengok dan mereka melihat betapa Nirahai dan Lulu tadi menyerang secara berbareng, akan tetapi dengan teriakan panjang tubuh Suma Han mencelat ke atas dan ketika kedua orang wanita itu mengejar dengan loncatan cepat, Suma Han mendorongkan kedua tangannya untuk menangkap mereka. Mereka menangkis dan keduanya terlempar kembali ke bawah, hampir terbanting kalau tidak cepat-cepat menggulingkan tubuh lalu meloncat berdiri. Dengan kemarahan meluap keduanya sudah menerjang dan pertandingan berlangsung terus lebih ramai. Melihat ini, Bun Beng kembali menoleh kepada Bu-tek Siauw-jin.
"Locianpwe yang begitu pandai menguraikan tentang cinta, yang begitu pandai menyeret semua cinta kepada hal yang remeh dan palsu, tentunya sudah mempunyai banyak sekali pengalaman tentang cinta. Pernahkah Locianpwe mencinta seseorang, seorang wanita maksud teecu?"
Bu-tek Siauw-jin meloncat tinggi ke belakang seperti disambar seekor ular berbisa, matanya terbelalak. "Hehhh....? Aku....? Aku mencinta seorang wanita? Gila kau! Aku.... aku belum pernah terjeblos ke dalam perangkap asmara!"
"Kalau begitu, bagaimana Locianpwe bisa bicara tentang asmara?"
"Bukan karena pengalaman sendiri, melainkan karena melihat akibat-akibat yang terjadi dan dengan membuka mata melihat, membuka telinga mendengar. Lihat dan dengar saja tiga orang itu! Jelas, bukan? Mereka tidak saling mencinta, dalam arti kata cinta suci, kalau demikian, mana ada duka, mana ada benci, dan mana ada pertempuran seperti sekarang ini?"
"Haiii, Bu-tek Siauw-jin! Kami bukan bertempur, melainkan aku sedang berusaha untuk menundukkan mereka ini!" Jawaban ini keluar dari mulut Suma Han dan sekali ini Bu-tek Siauw-jin membalikkan tubuh menonton. Dia terkekeh, merasa terpukul pernyataannya yang terakhir tadi tentang tiga orang ini karena kini barulah dia tahu bahwa pertandingan yang kelihatan mati-matian itu sebetulnya mengandung hal-hal tidak wajar yang amat lucu! Biarpun Suma Han melancarkan pukulan-pukulan hebat, namun semua pukulan itu hanya dimaksudkan untuk menangkap kedua orang wanita itu bukan untuk merobohkan. Dan lucunya, pedang Hok-mo-kiam itu biarpun berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung, sesungguhnya lebih banyak merupakan ancaman daripada serangan betul-betul, seolah-olah pemegangnya selalu khawatir kalau-kalau pedang yang ampuh itu betul-betul akan menembus tubuh Suma Han. Demikian pula dengan Lulu, pukulan-pukulannya hanyalah pukulan yang dia yakin takkan mencelakai tubuh orang yang dicintanya! Tiga orang itu melampiaskan kemarahan dan kemendongkolan hati, namun tetap saja tidak tega untuk saling mencelakakan, apalagi saling membunuh!
"Cringgg....! Bun Beng, terimalah pedang ini!" Sebuah tangkisan tongkat yang digetarkan oleh tangan Suma Han membuat pedang Hok-mo-kiam terlepas dari tangan Nirahai dan terlempar ke arah Bun Beng. Pemuda itu tentu tidak akan berani menerima pedang yang tadinya dipegang oleh Nirahai itu kalau tidak diperintah oleh Suma Han. Dia cepat menyambut pedang itu dan tetap berdiri
dengan pedang di tangan, memandang penuh perhatian.
"Kalian benar-benar keras kepala!" Ucapan Suma Han ini disusul dengan serbuannya ke depan, serbuan yang nekat dan bukan merupakan jurus ilmu silat lagi, melainkan menubruk dan menggunakan kedua lengannya merangkul pinggang kedua orang wanita itu, terus diangkat dan dipanggulnya! Karena dia tidak melakukan penotokan, tentu saja amat mudah bagi Nirahai dan Lulu andaikata mereka hendak mencelakai Suma Han. Kaki tangan mereka meronta-ronta dan mulut mereka berteriak, "Lepaskan! Lepaskan aku!" Akan tetapi mereka sama sekali tidak menggunakan tangan yang bebas untuk melakukan serangan. Padahal dalam keadaan
seperti itu, kalau mereka melakukan totokan atau pukulan, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan mampu menjaga dirinya!
"Tidak akan kulepaskan kalian lagi!" kata Suma Han yang memanggul tubuh dua orang itu di atas pundaknya, dengan dipeluk pinggang mereka kuat-kuat.
"Lepaskan aku, kalau tidak, kupukul pecah ubun-ubun kepalamu!" Lulu berteriak, tangannya dikepal dan mengancam di atas kepala Suma Han.
"Hayo lepaskan aku! Apa kau ingin kutotok jalan darah kematianmu di tengkukmu!" Nirahai mengancam pula, jari tangannya sudah menyentuh jalan darah pokok di tengkuk Suma Han.
Suma Han hanya tersenyum dan kelihatan gembira sekali. "Biar kalian membunuhku, aku tidak akan melepaskan kalian sebelum kalian berjanji untuk memenuhi permintaanku."
"Manusia tak tahu malu! Apa permintaanmu?" Nirahai membentak.
"Nirahai, engkau adalah isteriku, maka mau atau tidak, engkau mulai sekarang harus ikut bersamaku, kemanapun aku pergi dan kau harus selalu memenuhi perintahku sebagai suamimu!"
"Suma Han! Nirahai-suci mungkin saja kaupaksa karena dia isterimu. Akan tetapi aku tidak semestinya kaupaksa!" Lulu meronta dan berteriak.
"Kita telah melakukan kekeliruan, biarpun saling mencinta tidak bersikap jujur. Untuk menebus kesalahan kita itu, mulai sekarang kita tak boleh berpisah lagi. Engkau harus ikut pula bersama kami, Lulu, dan untuk selamanya hidup bersamaku!" jawab Suma Han, suaranya tegas. "Suma Han, enak saja kau bicara! Katakan, siapakah yang kaucinta? Aku ataukah Lulu-sumoi?" Nirahai menuntut. "Aku.... aku mencinta kalian berdua, dan aku mau menghabiskan sisa hidupku disamping kalian berdua, sampai kakek nenek, sampai mati."
"Aku tidak sudi menjadi adik angkatmu!"
"Kalau begitu, karena kita saling mencinta dan sudah semestinya demikian, engkau mulai sekarang menjadi isteriku juga."
"Gila! Mana mungkin suci mau menerima aku sebagai madunya?"
"Lulu-sumoi! Kau bilang apa? Kalau dia tidak mau mengambil engkau sebagai isterinya, aku pun tidak akan sudi ikut bersamanya."
"Nirahai-suci....!" Jerit yang keluar dari mulut Lulu ini sudah berubah, tidak lagi marah melainkan mengandung isak.
"Sumoi, sudah semestinya begini....!" Nirahai berkata dan keduanya masih dipanggul di atas kedua pundak Suma Han, kini saling rangkul di punggung pendekar itu, saling rangkul sambil menangis.
Bun Beng yang menonton dan mendengarkan semua ini, menjadi terharu bukan main. Kalau menurutkan perasaan hatinya, melihat betapa pendekar yang dikaguminya dan dijunjung tinggi itu mendapatkan kembali kebahagiaan hidupnya bersama dua orang wanita yang dikasihinya, melihat keadaan mereka yang telah dihimpit duka nestapa dan kesengsaraan selama belasan tahun kini seolah-olah orang-orang yang kelaparan mendapatkan makanan atau orang-orang yang menderita penyakit payah mendapatkan obat,
ingin dia menangis. Dengan suara terharu, menggetar dan yang keluar dari lubuk hatinya, Bun Beng menjura ke arah Pendekar Super Sakti dan berkata, "Suma-taihiap, teecu menghaturkan selamat atas kebahagiaan Taihiap bertiga!"
"Ha-ha-ha, Gak Bun Beng, engkau gila! Semestinya engkau bukan menghaturkan selamat, melainkan memujikan dia selamat dari penyakit yang dicarinya sendiri ini. Ha-ha-ha! Eh, Suma-taihiap, Pendekar Siluman, tahukah engkau mengapa murid kita ini memberi selamat? Karena dia terlalu bahagia melihat orang-orang yang menderita penyakit asmara dapat berkumpul kembali, karena dia sendiri sedang dilanda penyakit itu. Sekarang biarlah aku mewakili dia, di sini, di depan isteri-isterimu, aku meminang puterimu yang bernama.... eh, Bun Beng, siapa nama dara yang kautolong di atas pohon itu?"
Merah muka Bun Beng. Biarpun sinting, kakek ini melakukan hal yang di luar dugaannya sama sekali, maka dia menjawab lirih, "Milana...."
"Oya, puterimu Milana itu kupinang untuk menjadi calon isteri Gak Bun Beng. Bagaimana? Bagaimana, Tuan Puteri Nirahai?"
Nirahai yang masih berangkulan dengan Lulu dan tubuhnya bergantung di belakang punggung Suma Han, menjawab, "Terserah kepada ayahnya. Aku memiliki kekuasaan apalagi, sih?"
"Ha-ha-ha, belum apa-apa sudah bertobat. Benar-benar isteri yang hebat! Nah, bagaimana Suma-taihiap?"
Suma Han mengerutkan alisnya. Menurut rencana hatinya dia ingin menjodohkan Kwi Hong dengan pemuda ini, akan tetapi kalau Milana memang mencintanya.... dan hal ini harus dia selidiki terlebih dahulu. Maka dengan suara tegas ia menjawab,
"Bu-tek Siauw-jin Locianpwe, urusan jodoh memang orang tua yang memutuskan, akan tetapi harus mendengar lebih dahulu pendapat anak yang bersangkutan. Gak Bun Beng, kaubawalah Hok-mo-kiam itu dan aku memberi tugas kepadamu untuk mencari Milana, dan mengajaknya ke Pulau Es. Soal perjodohan, biarlah kita bicarakan kelak. Terima kasih atas kebaikanmu, Bu-tek Siauw-jin. Kami hendak pergi, selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, dengan ilmunya yang hebat, tubuh pendekar itu melesat dan lenyap dari situ sambil memanggul tubuh dua orang wanita itu!
"Heeiii.... Pendekar Siluman....! Sekali waktu aku ingin mengadu ilmu denganmu....!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak, suaranya melengking nyaring sehingga Bun Beng yang berada di dekatnya cepat mengerahkan sin-kang untuk melindungi jantungnya. Khi-kang dari kakek ini benar-benar amat luar biasa. Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara Pendekar Super Sakti,
"Sekarang aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Bu-tek Siauw-jin. Akan tetapi sewaktu-waktu boleh datang ke Pulau Es....!"
Bu-tek Siauw-jin memandang pemuda itu, tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh heran sekali. Semenjak puluhan tahun aku menganggap penghuni Pulau Es sebagai musuh besar dari nenek moyangku. Akan tetapi, begitu bertemu dengan dia, dendam itu lenyap sama sekali. Dan aku ikut puas menyaksikan kebahagiaannya. Orang seperti dia tidak sepatutnya hidup sengsara." Kakek itu mengangguk-angguk. "Dan sekarang, ke mana engkau hendak pergi, Bun Beng?"
"Seperti yang Locianpwe telah mendengar sendiri, teecu diserahi tugas untuk mencari Nona Milana dan mengajaknya ke Pulau Es. Karena teecu tidak tahu di mana adanya Nona Milana, teecu akan ke kota raja dan menyelidikinya dari sana."
"Memang seharusnya begitulah. Dan engkau tidak mengecewakan hati mereka yang menjadi calon mertuamu. Mungkin itu merupakan ujian pula buatmu. Aku sendiri akan kembali ke Pulau Neraka. Setelah bertemu dengan Tocu Pulau Es dan api permusuhan di hatiku padam sama sekali, perlu apalagi aku berkeliaran di dunia ini? Nah, aku pergi!" Kakek itu menggerakkan lengan bajunya dan berkelebat lenyap dari situ.
"Locianpwe, teecu belum menghaturkan terima kasih atas segala kebaikanmu!" Bun Beng mengerahkan khi-kangnya seperti yang dilakukan kakek itu tadi. Dari jauh terdengar suara ketawa kakek itu. "Ha-ha-ha! Kalau kau menghaturkan terima kasih, berarti terhapus hutangmu! Dan aku ingin kau membayar hutangmu dengan tiga cawan arak merah kelak, di Pulau Es!"
Bun Beng menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah suara dengan perasaan terharu. Kakek itu boleh jadi agak sinting, akan tetapi harus diakui bahwa di dalam kesintingannya, banyak kebaikan daripada keburukan yang muncul dari pribadinya. Setelah memberi hormat ke arah suara kakek itu, Bun Beng bangkit berdiri, mengambil sarung pedang Hok-mo-kiam yang tadi tanpa bicara telah dilemparkan ke bawah oleh Nirahai, memasangkan pedang itu di punggungnya, kemudian mengambil capingnya yang pecah-pecah, membetulkan caping, memakainya di atas kepala, kemudian menoleh ke arah mayat Maharya, dan memandang kepada mayat-mayat yang malang-melintang memenuhi tempat itu. Dia menghela napas panjang. "Maharya, maafkan aku. Tidak mungkin aku dapat mengubur jenazah semua orang yang gugur dalam perang ini, yang jumlahnya ribuan dan tak mungkin kukubur sendiri." Dia lalu meloncat dan meninggalkan tempat itu. Andaikata hatinya tidak dikejar oleh keinginan untuk cepat-cepat mencari dan menemukan Milana, agaknya pemuda ini terpaksa akan mencoba untuk mengubur jenazah semua korban perang itu! Di dalam perjalanan menuju ke selatan ini, masih terbayang semua peristiwa mengenai Pendekar Super Sakti, Nirahai dan Lulu itu di depan matanya. Dia merasa terharu dan girang, juga tidak mengerti, merasa heran karena dia pun kini dapat merasakan betapa aneh kelakuan tiga orang itu. Yang sudah gila diserang penyakit asmara, kata Bu-tek Siauw-jin. Benarkah begitu? Apakah dia sendiri pun akan melakukan hal-hal yang tidak lumrah dan aneh-aneh kelak karena penyakit asmara ini? Akan tetapi hal yang paling membuat dia tidak mengerti adalah keputusan yang diambil oleh Nirahai. Apa kata wanita bangsawan, ibu Milana pujaan hatinya itu? Kalau Pendekar Super Sakti tidak mengambil Lulu sebagai isterinya, dia pun tidak akan sudi ikut bersama suaminya itu!
Tentu saja Bun Beng yang masih muda itu tidak tahu bahwa seorang wanita bermadu, bagi Nirahai adalah hal yang amat wajar dan lumrah. Dia adalah puteri seorang Kaisar yang mempunyai banyak selir. Bahkan dia sendiri puteri seorang selir. Pada waktu itu kehidupan kekeluargaan seorang bangsawan amat berbeda dengan kehidupan keluarga orang sekarang. Semua bangsawan tentu mempunyai isteri lebih dari seorang. Bahkan kalau ada seorang bangsawan tidak mempunyai selir hanya mempunyai seorang isteri saja, hal ini merupakan suatu kejanggalan dan keanehan besar. Keadaan demikian itu telah menjadi kebiasaan, dan karena biasa inilah maka oleh para wanitanya juga diterima sebagai hal yang biasa, yang sama sekali tidak mendatangkan perasaan iri atau cemburu. Bahkan tentu saja Nirahai merasa girang sekali mempunyai madu Lulu, sumoinya sendiri dan yang dia tahu telah saling mencinta dengan suaminya sebelum suaminya itu bertemu dengan dia! Di lubuk hatinya, Nirahai merasa betapa Lulu lebih berhak atas cinta suaminya daripada dia, dan betapa karena cintanya itu, Lulu telah menderita hebat sekali. Memang tak dapat disangkal pula bahwa cinta asmara antara pria dan wanita menjadi sumber segala peristiwa, menjadi bahan segala cerita, menjadi poros yang memutar roda penghidupan dengan segala suka dukanya. Tanpa adanya cinta asmara antara pria dan wanita kiranya keadaan hidup manusia di dunia akan berubah sama sekali, dan sukarlah membayangkan akan bagaimana keadaannya,
sungguhpun kita tidak berani menentukan bahwa perubahan itu buruk adanya!
******
Bersambung ke bagian 6 ...