Bagian 6

Sementara itu, pendekar Gak Bun Beng yang mendahului pasukan isterinya, menyusup-nyusup melalui hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho dan dia melihat Kok Cu dan Ceng Ceng yang bersembunyi di tepi sungai. Dia lalu muncul di depan suami isteri pendekar itu.

Kok Cu dan isterinya terkejut sekali ketika tiba-tiba melihat bayangan berkelebat. Orang yang datang ini sama sekali tidak mereka ketahui, tanda bahwa orang ini hebat sekali ilmunya. Akan tetapi ketika Ceng Ceng melihat siapa adanya orang itu,

dia girang bukan main.

"Paman Gak Bun Beng....!" serunya ketika melihat pria yang berdiri sambil tersenyum di depannya itu.

Juga Kok Cu menjadi girang dan cepat dia memberi hormat. Melihat pendekar ini, hati Ceng Ceng menjadi besar dan cepat dia bertanya, "Paman, kapankah pasukan Bibi Milana akan menyerbu ke sini?"

"Dalam satu dua hari ini, kini telah berangkat setelah menduduki Lok-yang."

"Ah, Paman. Benteng itu kuat bukan main, dipimpin oleh...." Ceng Ceng tidak melanjutkan karena merasa tidak enak kepada suaminya.

"Aku sudah tahu. Jenderal Kao Liang, ayah mertuamu itu terpaksa karena semua keluarganya ditawan, bukan? Tentu ada apa-apanya ini. Aku akan menyelidiki lebih dulu ke dalam, dan sebaiknya kalian menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu. Eh, apakah kalian tidak bertemu dengan Suma Kian Bu? Dia sudah lebih dulu meninggalkan kota raja menuju ke sini!"

Kok Cu dan Ceng Ceng saling pandang dengan heran lalu menggeleng kepala. "Kami bertemu dengan Ang Tek Hoat yang mencari Puteri Syanti Dewi dan dia memasuki lembah, entah apa jadinya dengan dia." Ceng Ceng lalu menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Tek Hoat. Mendengar ini, Gak Bun Beng mengerutkan alisnya.

"Sungguh aneh sekali, mengapa Syanti Dewi kembali terbawa-bawa dalam pemberontakan ini dan dia berada di lembah? Ah, benteng di lembah itu mengandung banyak rahasia, dan hal ini makin mendorongku untuk lebih dulu masuk menyelidiki ke sana."

"Keadaan mereka kuat sekali.... Paman Gak," kata Kok Cu yang merasa agak kaku menyebut paman kepada pendekar itu, akan tetapi karena memang pendekar itu adalah suami dari Puteri Milana, bibi dari isterinya, maka dia pun menyebut paman. Di sana terdapat Im-kan Ngo-ok, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan banyak lagi tokoh-tokoh kaum sesat. Karena putera kami juga tertawan di sana, maka kami terpaksa menahan diri dan mencari kesempatan untuk dapat menyelundup masuk dan menolong semua keluarga ayah." Lalu Si Naga Sakti ini bercerita tentang puteranya yang juga terculik dan tahu-tahu sudah dibawa oleh penculik itu ke dalam benteng dan menjadi tawanan bersama keluarga ayahnya pula.

Mendengar ini, Gak Bun Beng menggeleng kepalanya dengan kagum dan juga penasaran sekali. "Ah, agaknya Pangeran Liong Bian Cu putera Pangeran Liong Khi Ong yang ternyata juga menjadi Pangeran Nepal ini ternyata lebih cerdik dan berbahaya daripada ayahnya dahulu. Untuk mencapai cita-citanya, dia tidak segan-segan menggunakan segala macam kecurangan untuk memaksa Jenderal Kao membantunya dan membuatmu tidak berdaya pula dengan menguasai puteramu."

"Kalau hanya seorang anggauta keluarga saja yang ditawan, kami berdua tentu sanggup untuk menyelamatkannya, akan tetapi anggauta keluarga sedemikian banyaknya, tidak mungkin menggunakan kekerasan menolong mereka semua," kata Kok Cu dengan penasaran.

"Paman Gak, kalau Paman sudah berhasil memasuki benteng, harap Paman sudi mengamat-amati keadaan putera kami, Kao Cin Liong."

Gak Bun Beng mengangguk. Dia maklum bahwa bagi Kok Cu tidak mungkin mengajukan permintaan seperti itu karena selain puteranya, juga ayah bundanya, dan keluarga ayahnya semua tertawan di sana, akan tetapi bagi Ceng Ceng sebagai seorang ibu, tentu saja yang diingat hanyalah keselamatan puteranya.

"Jangan khawatir, tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin agar mereka itu tidak sampai terancam." Bun Beng lalu bangkit berdiri. "Nah, sebaiknya memang kalau kalian menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu sehingga dalam kekacauan itu mereka tidak begitu memperhatikan kalian. Sebelum itu, kehadiran kalian di sana hanya membahayakan keselamatan keluarga kalian yang ditawan. Sampai jumpa." Setelah berkata demikian, Gak Bun Beng lalu meloncat pergi. Diam-diam Ceng Ceng merasa berbesar hati setelah bertemu dengan pendekar itu karena dengan adanya bantuan pendekar sakti itu, keselamatan puteranya lebih terjamin.

Ke manakah perginya Kian Bu dan Hwee Li? Mereka itu beberapa hari lebih dulu dari Gak Bun Beng meninggalkan kota raja menuju ke benteng di lembah. Huang-ho, mengapa setelah Bun Beng sudah tiba di situ, dua orang muda ini belum kelihatan bayangannya?

Ternyata mereka berdua itu mengambil jalan memutar. Mereka berdua sudah mengerti benar akan kekuatan di dalam benteng, dan sedikit banyak Hwee Li sudah mengenal keadaan di sekeliling benteng itu. Maka mereka lalu mencari akal, yaitu hendak menyelidiki benteng itu dari samping, melalui jurang yang amat curam dan sukar, oleh karena itu mereka menggunakan waktu berharl-hari untuk mencari jalan melalui tempat yang amat sukar dan tak mungkin dilalui oleh pasukan atau manusia biasa itu. Sampai beberapa hari lamanya Kian Bu dan Hwee Li mencari-cari jalan rahasia yang menurut Hwee Li terdapat di sekitar jurang itu, namun tanpa hasil. Kian Bu mencela Hwee Li, mengatakan bahwa mungkin tidak ada jalan rahasia itu dan Hwee Li menjadi uring-uringan.

"Aku belum gila," jawabnya marah. "Kalau tidak ada, perlu apa aku bersusah payah mengambil jalan ini? Memang pintu rahasia itu belum kulihat di sebelah sini, akan tetapi aku sudah tahu di sebelah dalamnya menembus di taman, di belakang rumpun bambu kuning."

Mereka duduk di atas batu, menyeka peluh karena hari amat panas dan mereka sudah lelah sekali. Tiba-tiba Kian Bu meloncat berdiri. "Aku pergi dulu...." bisiknya, matanya terus mengincar ke kiri, di mana terdapat semak-semak belukar.

"Mau apa? Ada apa?" Hwee Li bertanya.

"Sssttt, kulihat berkelebatnya bayangan kelinci gemuk di sana tadi. Perutku lapar, aku akan menangkapnya untuk makan." Kian Bu lalu berjingkat-jingkatan bergerak cepat tanpa suara mencari kelinci yang baru saja dilihatnya. Sebentar saja bayangan pemuda itu sudah lenyap di balik semak-semak.

Hwee Li merasa panas hatinya karena agaknya keterangannya tentang jalan atau pintu rahasia itu tidak dipercaya oleh Kian Bu. Dia bangkit berdiri, membanting-banting kakinya dan mulailah dia mencari lagi, mencari sendiri karena hatinya merasa penasaran sekali. Ditelitinya setiap batu, setiap rumpun alang-alang atau semak-semak. Sampailah dia di tepi jurang dan tiba-tiba dia tertegun memandang ke kanan dan cepat tubuhnya bergerak memutar, matanya terbelalak dan mukanya perlahan-lahan berubah merah, tanda bahwa dia mulai marah sekali melihat apa yang sedang terjadi di seberang jurang itu!

Apakah yang sedang dilihatnya? Yang menimbulkan kemarahan hati Hwee Li ternyata adalah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Seperti telah kita ketahui, dua orang muda ini pun setelah lolos dari tangan Im-kan Ngo-ok lalu pergi menyelidiki benteng. Akan tetapi karena mereka maklum bahwa menyelidiki dari depan amatlah berbahaya, mereka lalu mengambil jalan memutar dan menyelidiki dari samping, melalui jurang-jurang seperti yang dilakukan oleh Kian Bu dan Hwee Li.

Ketika mereka harus menyeberangi sebuah jurang yang amat berbahaya, keduanya menggunakan akal. Untuk meloncati jurang itu tidaklah mungkin karena di seberang sana terdapat semak-semak berduri sehingga tidak diketahui bagaimana keadaan tanah di tepi jurang di seberang. Oleh karena itu, Kian Lee lalu mengumpulkan akar-akar yang panjang dan kuat, disambung-sambungnya, kemudian dia mengikatkan ujungnya pada sebuah batu sebesar kepala orang dan melontarkan batu itu ke seberang sampai akar yang

merupakan tambang itu melibat pada sebatang pohon dan ditariknya sehingga menegang dan cukup kuat untuk dipakai sebagai jembatan menyeberang.

Dan keduanya sedang menyeberangi tali dari akar yang kuat itu ketika Hwee Li melihat mereka. Biarpun Siang In memiliki ginkang yang amat tinggi dan baginya merupakan pekerjaan amat mudah untuk menyeberang dan berjalan di atas tali seperti itu, jangankan hanya sepanjang itu, biarpun lima kali lebih panjang pun dia sanggup melakukannya. Akan tetapi, dara ini ternyata merupakan seorang yang mudah merasa ngeri kalau berada di tempat yang curam, maka begitu dia mulai melangkah dan melihat ke bawah, dia menjerit tertahan, "Aihhh.... aku.... aku ngeri....!" Dan dia lalu menggerakkan payungnya, dibukanya payung itu dan dipergunakannya untuk membantu keseimbangan tubuhnya! Padahal kalau dia tidak merasa ngeri, sambil berlari biasa pun

dia sanggup melintasi jurang itu melalui tambang.

Melihat wajah dara itu mendadak menjadi pucat, Kian Lee menjadi tidak tega dan juga khawatir kalau-kalau saking ngerinya dara itu menjadi pingsan dan hal itu tentu saja amat berbahaya. Karena itulah, dia pun lalu berjalan di belakang dara itu dan memegang tangan kiri Siang In sehingga Siang In menyeberangi tali akar itu dengan tangan kanan memegang payung dan tangan kiri digandeng Kian Lee. Dan pemandangan inilah yang membuat wajah Hwee Li menjadi merah saking marahnya. Cemburu menyesakkan dadanya. Dia melihat Kian Lee bergandeng tangan demikian mesranya dengan seorang dara cantik yang memegang payung, seorang dara yang genit! Tanpa disadarinya, tangan kanannya sudah menyambar sebuah batu sebesar kepala orang!

Menurut hatinya yang panas karena cemburu, ingin dia melontarkan batu itu untuk menyambit tali itu agar putus, akan tetapi dia teringat bahwa kalau tali itu putus, bukan hanya dara itu yang akan terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi juga Kian Lee! Maka ketika dia melihat betapa di ujung jurang itu terdapat tempat dangkal penuh lumpur, yaitu setelah hampir tiba di tepi jurang, dia menanti sampai dua orang itu berada di atas genangan lumpur itu, lalu dia menyambitkan batu di tangannya.

"Crottt....!" Batu itu menimpa air lumpur dan tentu saja air lumpur itu muncrat ke atas dan Siang In yang berada di depan itu paling banyak terkena lumpur pakaiannya. Tentu saja kedua orang itu terkejut bukan main. Ketika Siang In menoleh dan melihat bahwa yang menyambitkan batu sehingga air lumpur memercik ke pakaiannya itu adalah seorang gadis pakaian hitam yang cantik manis dan yang berdiri sambil bertolak pinggang dan sengaja mentertawakannya dengan mengejek, menjadi panas perutnya. Dia lupa akan kengeriannya, melepaskan tangan Kian Lee dan dengan sekali lompat dia telah tiba di tepi jurang melampaui semak-semak berduri, lalu langsung dia berlari menghampiri Hwee Li!

"Bocah setan, engkaukah yang melempari lumpur itu tadi?" bentak Siang In marah sekali. Payungnya masih terbuka dan kini ujungnya yang runcing itu ditodongkan ke depan. "Kalau kutusukkan payungku ini, mampus kau karena kelancanganmu itu!"

"Eh, eh, engkau mau membunuh aku? Bocah iblis, mudah saja kau bicara! Sebelum payung bututmu itu bergerak, lehermu sudah putus oleh pedangku ini!" Setelah berkata demikian, sekali tangan kanannya bergerak Hwee Li telah mencabut pedangnya!

"Bocah siluman gunung! Kau sudah berbuat kurang ajar, melempar lumpur sampai pakaianku kotor semua, masih berani membuka mulut lancang dan kotor? Sungguh selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan anak kurang ajar macam engkau!" Siang In menjadi makin marah.

"Engkau siluman jurang! Memang pantas berlepotan lumpur! Memang aku melempar batu kelumpur, habis kau mau apa? Apakah tempat ini milikmu? Aku mau melempar ke manapun aku suka, kau peduli apa?" Hwee Li menantang.

"Bocah ingusan kau harus dihajar!" Siang In marah sekali, tangan kirinya bergerak menampar ke arah pipi Hwee Li. Tamparannya itu cepat bukan main, seperti kilat menyambar, akan tetapi Hwee Li adalah seorang ahli silat tinggi, maka dengan miringkan tubuh saja dia dapat menghindarkan diri dan kontan keras tangan kirinya juga bergerak menampar ke arah pipi Siang In.

"Syuuuuuttt....!" Siang In cepat melangkah mundur untuk mengelak.

"Eh, tahan dulu....! Jangan berkelahi, tahan dulu....!" Kian Lee datang dan pemuda ini tentu saja segera mengenal Hwee Li dan dia berteriak melerai ketika melihat betapa dua orang dara itu sudah saling tampar dan kini bahkan menggerakkan senjata mereka!

Melihat munculnya Kian Lee yang melerai, hati Hwee Li menjadi makin panas dan dalam nada suara Kian Lee itu dia menangkap sikap Kian Lee yang membela dan berfihak kepada wanita yang cantik itu. Cemburunya naik ke kepala. Dia membelalakkan matanya, memandang kepada dara itu. Benar cantik sekali, dan pakaiannya juga indah. Seorang gadis pesolek yang sinar matanya genit! Melototlah dia kepada Kian Lee, seperti hendak ditelannya bulat bulat pemuda itu.

"Kau....! Kau boleh sekalian maju membelanya, boleh dikeroyok dua aku tidak akan surut selangkah pun!" bentaknya dan pedangnya sudah digerakkan menyerang Siang In.

"Bocah bermulut lancang dan kurang ajar!" Siang In juga marah sekali dan dia menganggap dara berpakaian hitam itu benar-benar tidak tahu sopan santun dan sombong sekali, maka dia cepat menggerakkan payungnya dan menangkis.

"Cringgg.... Tranggg....!" Bunga api berpijar ketika ujung payung bertemu dengan ujung pedang dan berkali-kali mereka sudah mengadu senjata dan saling serang dengan hebatnya!

"Eh-eh, apa yang terjadi ini....? Tiba-tiba Kian Bu telah datang dengan loncatan kilat, di tangan kirinya dia memegang seekor kelinci gemuk.

"Bu-te....!"

"Ohhh, Lee-ko....!" Kian Bu girang bukan main melihat kakaknya, akan tetapi matanya terbelalak memandang kepada dua orang dara yang sedang bertanding hebat itu. Dia kagum juga melihat Siang In yang dapat mengimbangi gerakan pedang Hwee Li yang ganas, dan melihat gadis itu memainkan payungnya dengan gaya yang demikian indah seperti orang menari, teringatlah dia. Gadis berpayung! Tentu saja! Mana mungkin dia dapat melupakan seorang gadis seperti Siang In? Apalagi seorang gadis yang pernah diciumnya? Gadis itu kini makin dewasa dan makin cantik jelita! Karena bingung dan khawatir melihat pertandingan dengan senjata itu, Kian Bu tanpa disadarinya sendiri melepaskan kelinci yang tadi dengan susah payah ditangkapnya dan dia mendekati tempat pertempuran itu sambil berseru, "Nanti dulu! Tahan senjata! Aihhh, berbahaya sekali....!"

Siang In meloncat ke belakang dan tentu saja dia segera mengenal Siluman Kecil! Dan setelah kini dia melihat wajah Siluman Kecil, hampir dia menjerit! Itulah dia orang yang dicarinya selama ini! Suma Kian Bu! Tapi dia itu Siluman Kecil. Lihat rambutnya yang putih semua!

"Kau.... Siluman Kecil ataukah Suma Kian Bu....?" tanyanya dengan suara tertahan-tahan dan mukanya berubah agak pucat.

Kian Bu tersenyum dan menjura. "Kedua-duanya, boleh pilih yang manapun...."

Kini tahulah Siang In bahwa orang yang selama ini dicari-carinya bukan lain adalah Siluman Kecil! Dan Siluman Kecil kini agaknya bersama dara cantik berpakaian hitam ini, buktinya kini Siluman Kecil berdiri di dekat dara berpakaian hitam itu, kelihatan memihaknya. Sungguh aneh sekali, dia merasa betapa hatinya panas bukan main, panas dan marah.

"Bagus! Kau boleh maju sekalian mengeroyokku!" katanya dan dengan hebat dia sudah menerjang maju dengan payungnya, menyerang Hwee Li.

"Siluman jahat!" Hwee Li juga memaki dan pedangnya bergerak menangkis, lalu dia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siang In. Terjadilah pertandingan yang amat seru, sengit, namun sedemikian indah gerakan kedua orang dara yang sama cantiknya ini sehingga dua orang kakak beradik dari Pulau Es itu sampai melongo dan amat tertarik. Terdapat persamaan gerakan dari kedua orang dara itu, keduanya seperti sedang menari-nari, bukan sedang berkelahi, apalagi karena senjata Siang In adalah sebatang payung yang dapat terbuka dan tertutup. Dan gerakan Hwee Li juga indah sekali. Hal ini tidaklah aneh karena selama dia tinggal bersama Puteri Syanti Dewi, Hwee Li diajari menari oleh Puteri Bhutan itu dan memang Hwee Li suka sekali menari sehingga gerakan silatnya tanpa disadarinya sendiri telah kemasukan gerak tari yang indah, namun tidak kehilangan keganasannya! Kakak beradik itu saling pandang dari jauh dan keduanya mengangguk, seolah-olah dengan pandang mata mereka itu

keduanya sudah sepakat untuk membiarkan dua orang dara yang sama cantik jelita dan sama pandainya menari dan bersilat itu melanjutkan pertandingan mereka dan mereka berdua diam-diam menjaga untuk melindungi dan mencegah kalau sampai ada bahaya mengancam keduanya dari perkelahian itu!

Siang In yang sudah menjadi marah dan kini juga penuh dengan hati panas melihat betapa Kian Bu yang dicari-carinya selama ini ternyata berduaan dengan dara cantik ini, membuat kemarahannya bertumpuk-tumpuk, kini mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa, permainan payungnya yang didapatnya dari gurunya, yaitu See-thian Hoat-su kakek yang bertapa di Gua Tengkorak. Memang senjata payung adalah senjata yang istimewa dan karena keanehannya ini maka membingungkan lawan. Apalagi ketika payung itu terbuka tertutup seperti permainan pedang yang dilindungi tameng, bahkan batangnya yang bengkok itu dipergunakan oleh Siang In untuk mengait leher lawan, sejenak Hwee Li menjadi terdesak dan dibikin kacau permainan pedangnya. Akan tetapi tentu saja Siang In tidak dapat merobohkannya, apalagi menerobos lingkaran sinar pedang yang hebat itu, hanya mampu mendesak dara pakaian hitam itu.

"Serang gagang payungnya, serang bagian tengah tubuhnya!" Tiba-tiba Kian Bu berkata lirih namun terdengar jelas oleh Hwee Li dan juga tentu saja oleh Siang In. Mendengar ini, Hwee Li melihat lowongan itu dan begitu gagang pedangnya menyambar ke arah gagang payung, Siang In menjadi sibuk dan cepat dia menarik payungnya ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwee Li dengan baik.

"Haiiittttt....!" bentaknya dan dia menekuk lengan kirinya, menyikut perut Siang In!

"Ihhhhh....!" Siang In terkejut dan mengangkat kakinya mengelak. Nyaris perutnya kena disikut! Hwee Li menang angin dan terus mendesak dengan pedangnya sehingga Siang In terpaksa mundur-mundur sambil memutar payungnya yang terbuka seperti perisai. Kini berbalik terdesaklah Siang In dan hatinya makin panas, makin sakit melihat kenyataan betapa Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya sampai dia jauh-jauh pergi ke Bhutan, pemuda yang seringkali membuatnya bangun dari tidur karena mimpi, pemuda yang pernah menciumnya, selain gulang-gulung dengan dara pakaian hitam yang cantik jelita ini, juga membantu dara ini

dan memberi petunjuk sehingga hampir saja dia mati! Betapa kejam hati pemuda itu! Siang In merasa kedua matanya panas dan dia menahan air matanya ketika dia terus memutar payungnya melindungi tubuhnya dari serangan pedang yang amat ganas dari lawannya.

Tiba-tiba terdengar Kian Lee berkata, "Pertahanan bawahnya lemah, pergunakan tendangan untuk menghalau desakan!"

Juga suara Kian Lee ini jelas terdengar oleh kedua orang dara itu. Siang In menjadi girang dan cepat dia menggunakan kedua kakinya menendang secara bertubi-tubi dengan Ilmu Tendangan Soan-hong-twi. Kedua kakinya bergerak dengan cepat sekali dan payungnya tetap menahan pedang Hwee Li di bagian atas. Terkejutlah Hwee Li. Terkejut dan juga marah bukan main. Kian Lee telah membantu perempuan ini! Hampir dia menjerit dan menangis! Jelas bahwa Kian Lee mencinta perempuan cantik ini, tentu Kian Lee telah terpikat oleh kegenitan wanita ini! Dia terpaksa mundur lagi agar jangan sampai terkena tendangan.

Pertandingan itu menjadi makin seru dan makin indah, juga lucu. Kadang-kadang Kian Bu memberi petunjuk kepada Hwee Li, dan sebaliknya Kian Lee memberi petunjuk kepada Siang In. Sebetulnya, kedua orang kakak beradik ini memberi petunjuk tanpa maksud untuk mencelakakan seorang di antara kedua dara itu, melainkan merasa sudah sepatutnya memberi petunjuk teman seperjalanan yang terdesak. Biarpun mereka memberi petunjuk, namun di dalam hati mereka tidak berfihak, bahkan selalu menjaga untuk segera turun tangan mencegah kalau sampai ada yang terancam bahaya terluka. Akan tetapi, tanpa mereka sadari, sikap mereka ini makin

menghancurkan hati dua orang dara itu yang terus bertanding mati-matian dengan hati dibakar cemburu dan kebencian!

Kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian silat antara dua orang dara itu, harus diakui bahwa tingkat kepandaian Hwee Li sedikit lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Siang In. Hwee Li semenjak kecil sudah digembleng oleh seorang yang amat tinggi kepandaiannya seperti Hek-tiauw Lo-mo. Sebagai anak angkat yang dicintanya, tentu saja kakek iblis itu menurunkan semua ilmunya kepada Hwee Li. Kemudian, Hwee Li menjadi murid dari Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Sungguhpun menurut janjinya dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali) Hwee Li hanya akan berguru tentang racun dan pukulan beracun, akan tetapi karena Ceng Ceng kini tidak lagi menyukai ilmu itu, guru ini telah menurunkan ilmu-ilmu silat, bahkan telah "membersihkan" Ilmu silat dari kaum hitam yang dipelajari oleh dara itu dari ayah angkatnya. Maka tidaklah mengherankan apabila dalam pertempuran ini, akhirnya Hwee Li yang dapat mendesak Siang In dengan sinar pedangnya yang memang hebat sekali itu. Sifat dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Hwee Li masih amat ganas dan dahsyat sungguhpun Ceng Ceng sudah banyak menyuruhnya membuang bagian-bagian yang terlalu ganas dan keji.

Karena memang kalah dalam hal mainkan senjata, akhirnya Siang In yang sudah marah dan tidak mau kalah, itu, menggunakan kekuatan sihirnya. Dia berkemak-kemik, mengerahkan kekuatan batinnya dan memandang dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, lalu terdengar dia bersuara seperti orang bersenandung, "Nona pakaian hitam yang galak engkau sudah lelah dan menyerahlah kepada nonamu, berlututlah...."

Aneh sekali, mendengar senandung ini, tiba-tiba saja Hwee Li merasa tubuhnya lemas dan kehilangan tenaga. Pada saat itu, hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut kalau saja tidak terdengar suara Kian Bu yang mengeluarkan bunyi melengking panjang. Suara lengking yang aneh dan perlahan, akan tetapi penuh getaran dan seketika Hwe Li merasa biasa kembali dan pedangnya kembali menjadi ganas. Kembali Siang In merasa hatinya tertusuk, karena untuk ke sekian kalinya Kian Bu membantu Hwee Li.

Tadinya, kedua kakak beradik ini hanya ingin menonton permainan silat yang indah itu dan saling membantu agar tidak sampai ada yang celaka, akan tetapi lambat-laun mereka berdua terseret pula dan masing-masing merasa heran. Kian Lee mulai memandang dengan terheran-heran dan dengan hati penuh pertanyaan. Adiknya itu membela Hwee Li mati-matian, dan mereka berdua juga melakukan perjalanan bersama, kelihatan begitu mesra! Dan memang adiknya itu mempunyai watak yang cocok sekali dengan Hwee Li. Ah, mengapa dia begitu bodoh? Tidak salah lagi, adiknya itu, Kian Bu, tentu jatuh cinta kepada puteri Hek-tiauw Lo-mo ini! Dia tidak tahu bahwa diam-diam Kian Bu juga menduga demikian. Kakaknya melakukan perjalanan bersama dengan Siang In dan

kakaknya membantu Siang In mati-matian. Siang In memang cantik jelita dan demikian menarik, maka sudah sepatutnyalah kalau kakaknya itu jatuh cinta kepada dara itu. Diam-diam dia merasa bersyukur sungguh pun ada perasaan aneh menyelinap di dalam hatinya. Mengapa tidak kepada Hwee Li kakaknya mencinta? Dia tahu benar bahwa Hwee Li cinta kepada kakaknya! Hwee Li telah begitu berterus terang kepadanya bahwa dara ini amat mencinta Kian Lee, kakaknya. Dan kini melihat gejala-gejalanya, agaknya Kian Lee jatuh hati kepada dara berpayung yang memang sejak dulu pandai bergaya itu, cantik jelita, manis dan memikat sehingga sukar mencari keduanya dara seperti Siang In!

"Cukuplah, In-moi, cukuplah.... kita adalah orang-orang sendiri, tidak perlu berkelahi....!" Akhirnya Kian Lee meloncat di antara kedua orang dara itu dan melerai. Juga Kian Bu meloncat di depan Hwee Li.

Melihat betapa Kian Lee menyebut "ln-moi" demikian mesranya kepada dara itu, Hwee Li tak dapat menahan lagi kemarahannya dan dia lalu membalikkan diri dan lari dari situ sambil terisak menangis! Melihat ini, Kian Bu menjadi khawatir sekali dan juga mengejar dengan cepat. Akan tetapi Hwee Li tidak mau berhenti dan terus berlari, biarpun dihibur dan dibujuk oleh Kian Bu untuk berhenti.

"In-moi, mereka itu bukanlah orang lain...." Akan tetapi baru berkata sampai di sini, Siang In yang hatinya makin panas melihat Kian Bu mengejar Hwee Li, juga membalikkan tubuhnya dan lari sambil menangis pula. Kian Lee terkejut dan cepat mengejar. Demikianlah, dua orang gadls itu melarikan diri ke jurusan yang berlawanan, dikejar oleh kedua orang pemuda itu yang tidak sempat untuk bicara lagi. Dua orang pemuda yang menjadi bingung sekali.

Setelah napasnya hampir putus karena berlari terus sambil menangis, akhirnya Siang In berhenti dan menjatuhkan dirinya di atas rumput. Muka dan lehernya penuh peluh dan mukanya agak pucat. Kian Lee juga duduk di atas rumput, hatinya menyesal sekali mengapa pertandingan itu berakibat sedemikian berlarut-larut.

"Jadi.... jadi Siluman Kecil itu adalah adikmu, Suma Kian Bu itu?" Akhirnya Siang In berkata dengan terengah-engah.    "Benar, sudahkah engkau mengenalnya?" Kian Lee balas bertanya.

"Dan dara itu...., siapakah dia?"

"Ah, dia itu bernama Kim Hwee Li, dia.... puteri dari Hek-tiauw Lo-mo."

"Hemmm, pantas! Dan adikmu itu.... Siluman Kecil itu agaknya jatuh cinta kepadanya, ya?"

Kian Lee merasa sukar untuk menjawab. Dia tidak tahu dengan pasti, akan tetapi melihat betapa tadi Kian Bu membantu dara pakaian hitam itu....! "Yah, agaknya begitulah," jawabnya tanpa dipikir panjang karena apa salahnya menjawab demikian, pikirnya. "Mari kita jumpai mereka."

"Tidak sudi! Kalau aku bertemu dengan perempuan itu, akan kubunuh dia!" tiba-tiba Siang In berkata, suaranya penuh kebencian. Kian Lee terkejut bukan main dan mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu dengan penuh selidik. Tidak biasa Siang In marah-marah seperti ini! Maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak mempertemukan dua orang dara yang sedang diamuk kemarahan itu. Memang Hwee Li telah berlaku keterlaluan, pikirnya, melemparkan batu itu sehingga pakaian Siang In menjadi kotor. Dia tidak mengerti mengapa dara itu berbuat seperti itu. Dia menarik napas panjang karena menduga bahwa Hwee Li masih

berwatak kekanak-kanakan dan mungkin ketularan watak Hek-tiauw Lo-mo! Sayang, pikirnya. Dara itu tidak jahat seperti ayahnya, mudah-mudahan saja Kian Bu akan dapat mendidik dan menuntunnya ke jalan benar.

Sementara itu, Hwee Li akhirnya juga berhenti karena kehabisan napas. Dia duduk menangis. Kian Bu duduk di depannya, tidak dapat membuka mulut karena dia tahu bahwa Hwee Li marah bukan main. "Dia.... dia telah jatuh cinta kepada gadis siluman itu!" teriaknya dan kembali dia menangis.

Kian Bu menarik napas panjang. Dia sendiri juga meragukan kakaknya, mungkin saja kakaknya jatuh cinta kepada Siang In. Memang dara itu amat cantik jelita! "Belum tentu, hanya dugaan saja...." katanya menghibur Hwee Li. Dia tahu kini bahwa Hwee Li marah-marah karena cemburu, "Lebih baik kita jumpai mereka dan kita bicara dengan baik-baik. Gadis itu bukan musuh...."

"Hemmm, agaknya engkau sudah kenal dia? Siapakah dia?"

"Namanya Teng Siang In, dia murid dari See-thian Hoat-su...."

"Hemmm, kakek tukang sihir itu? Pantas dia menjadi siluman! Kalau aku bertemu dengan dia, harus kubunuh siluman itu!"

Melihat kemarahan dan kebencian Hwee Li, Kian Bu beranggapan bahwa memang belum waktunya menemui kakaknya dan Siang In, karena kalau hal itu terjadi, sukarlah untuk menahan gadis ini mengamuk! "Kalau begitu, mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau engkau tidak dapat menemukan jalan rahasia itu, sebaiknya kita langsung saja naik ke atas tembok benteng."

Dan pada saat Kian Bu bicara dengan Hwee Li, Kian Lee bicara dengan Siang In itulah, tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk dari jauh. itulah suara pasukan-pasukan dari kerajaan yang mulai menyerbu benteng dan seperti kita ketahui, penyerbuan dua kali dalam sehari yang diatur oleh Puteri Milana itu mengalami kegagalan.

******

Sekali ini Puteri Milana merasa pusing bukan main. Benar-benar dia dibuat tidak berdaya oleh Jenderal Kao karena segala usahanya untuk menggempur benteng itu selalu gagal dan anak buahnya selalu dipukul mundur. Agaknya siasat apa pun yang dipergunakannya, telah diketahui belaka oleh Jenderal Kao sehingga tidak ada hasilnya sama sekali. Ketika beberapa hari kemudian kembali dia mengusahakan penyerbuan besar-besaran, di antara hujan anah panah, ada sebatang anak panah yang diikat sehelai surat. Seorang perajurit memungut anak panah ini dan cepat menyerahkan surat yang dibawa oleh anak panah itu. Puteri Milana cepat membacanya dan ternyata surat itu adalah tulisan dari Jenderal Kao Liang sendiri!

Panglima Puteri Milana!

Jangan menyerang. Kepung saja rapat-rapat. Kami akan bakar gudang ransum. Tunggu gerbang dan menara meledak, baru serbu. Kalau tidak menurut ini, takkan berhasil.

Jenderal Kao Liang

Puteri Milana merasa girang membaca surat ini, akan tetapi juga meragu. Apa maksud jenderal itu? Bagaimana kalau berita yang dikirim ini palsu? Akan tetapi, Jenderal Kao menyebut "kami", siapa tahu jenderal itu telah berhubungan dengan suaminya yang dia percaya tentu telah berhasil menyelundup ke dalam benteng.

Memang tidak salah dugaan panglima wanita ini. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu tidak begitu sukar bagi Bun Beng untuk menyelundup masuk dengan cara merayap tembok dan menghindarkan diri dari jebakan-jebakan yang dipasang di atas tembok. Dia tidak begitu sembrono sehingga dia dapat menyelinap masuk ke dalam benteng itu tanpa diketahui oleh seorang pun. Benarkah tidak diketahui oleh seorang pun? Kiranya tidak demikian, karena betapapun lihainya Bun Beng, tetap saja dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya sendiri kakinya menginjak alat rahasia yang akibatnya hanya Jenderal Kao seorang yang mengetahui akan kedatangannya! Jenderal ini ketika membangun benteng dan membuat alat-alat jebakan dan alat-alat rahasia, diam-diam memasang semacam alat rahasia yang kalau dilanggar oleh pendatang yang menyelundup, hanya dia seorang yang mengetahuinya. Dan begitu dia mengetahui, dia sudah cepat berhubungan dengan Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia secara rahasia pula!

Bagaimana pula ini? Ternyata Ang-siocia dan suhunya yang amat cerdik itu, dengan kepandaian mereka menyamar dan mendandani orang, telah dapat menarik hati koksu dan mereka berdua selamat dan diampuni dari dosa-dosa mereka ketika mereka menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dahulu itu, bahkan mereka lalu diangkat sebagai pambantu-pambantu yang diawasi gerak-geriknya. Mereka, seperti Jenderal Kao, tidak boleh keluar, akan tetapi kecerdikan Ang-siocia tidak memungkinkan koksu dan kaki tangannya mengetahui betapa guru dan murid ini secara diam-diam mengadakan hubungan rahasia dengan Jenderal Kao Liang!

Touw-ong dan Ang-siocia segera tahu akan duduknya semua perkara, dan tahu pula bahwa jenderal itu membantu fihak pemberontak hanya karena terpaksa oleh keadaan, yaitu karena semua keluarganya tertawan. Maka, dengan cerdik Ang-siocia lalu menghubungi jenderal ini yang segera menaruh kepercayaan besar kepada mereka dan diam-diam dua orang ini menjadi pembantu-pembantu Jenderal Kao Liang yang seperti telah diduga oleh puteranya sendiri dan oleh Gak Bun Beng dan para orang gagah lainnya, diam-diam mempunyai rencana yang hebat terhadap para pemberontak yang telah memaksanya berkhianat itu! Maka, ketika Jenderal

Kao tahu akan kedatangan orang pandai, karena hanya orang pandai sekali sajalah yang tidak sampai melanggar jebakan-jebakan, hanya tanda rahasia untuk dirinya sendiri, cepat dia memberi tanda rahasia kepada Ang-siocia dan gurunya untuk "menyambut" kedatangan orang pandai itu dan dia menunjukkan di mana tempat orang pandai itu datang yang diketahuinya dari alat rahasia yang oleh Bun Beng itu. Demikianlah, dapat dibayangkan betapa kagetnya Bun Beng ketika baru saja dia melayang turun di tempat yang amat sunyi, di taman yang indah dalam benteng itu, suara wanita yang halus menegurnya, "Selamat datang, sahabat!"

Baru saja berhenti bicara mulut Ang-siocia, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena orang itu dengan kecepatan kilat telah menotoknya tanpa ia mampu bergerak sama sekali. Ang-siocia terkejut bukan main dan dengan tidak berdaya sama sekali dia merasa betapa tubuhnya dipondong dan dibawa ke belakang sebuah gudang, di mana terdapat lampu penerangan. Orang itu memeriksanya di bawah lampu dan ketika melihat bahwa dia benar-benar seorang wanita muda yang cantik, orang itu kembali membawanya menyelinap ke dalam gelap lalu membuka totokannya, akan tetapi jari-jari tangan yang kuat menempel di tengkuknya dan orang itu berkata, "Jawablah baik-baik. Kalau berteriak, sekali tekan kau akan mati!"

"Sialan dangkalan....!" Ang-siocia atau Kang Swi Hwa mengomel dan merengut, mengerling kepada laki-laki setengah tua yang lihainya bukan alang kepalang itu. Laki-laki itu adalah Bun Beng dan dia merasa sungkan juga harus menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita yang ternyata adalah seorang gadis muda yang cantik. Akan tetapi dia berada di sarang musuh, di dalam benteng yang berbahaya dan kedatangannya yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati itu ternyata telah ketahuan oleh gadis ini! "Hayo kau cepat bawa aku kepada Jenderal Kao, dan jangan sampai ketahuan oleh penghuni lain dari benteng ini. Awas, nyawamu berada di tanganku!"

Akan tetapi jawaban gadis itu benar-benar mencengangkan Bun Beng. "Justeru aku menyambutmu adalah atas perintah Jenderal Kao Liang yang sudah mengetahui akan kedatanganmu. Akan tetapi ternyata kau bukan manusia baik-baik, melainkan seorang yang kasar dan kejam. Tidak, aku tidak mau membawamu kepada Jenderal Kao, karena agaknya engkau berniat buruk. Biar kau seribu kali membunuh aku, aku Ang-siocia sudah berani memasuki sarang naga dan harimau ini tentu tidak takut mampus!" Marah sekali Ang-siocia, bukan hanya karena dia diancam dan diperlakukan dengan kasar, akan tetapi melihat kenyataan betapa dia sama sekali tidak berdaya, tidak berkutik ketika ditangkap dan di bawa ke tempat terang lalu diseret lagi ketempat gelap, dibebaskan totokannya dan kini tengkuknya diancam. Seperti ayam yang sama sekali tidak berdaya! Padahal biasanya dia amat

mengandalkan kepandaiannya!

"Ah, maafkan aku.... siapakah engkau?" Bun Beng bertanya.

"Hemmm, orang kasar. Engkaulah yang harus lebih dulu memperkenalkan diri, baru aku akan mempertimbangkan apakah engkau pantas untuk kubawa kepada Jenderal Kao ataukah tidak."

Menghadapi gadis yang ternyata berani mati ini, Bun Beng merasa tidak berdaya. Akan tetapi dia sudah amat tertarik, karena kalau gadis ini adalah pembantu Jenderal Kao, bahkan tadi menyatakan bahwa gadis ini sudah berani memasuki gua harimau dan naga, maka berarti bahwa gadis ini bukanlah kaki tangan dari musuh!

"Namaku adalah Gak Bun Beng, Jenderal Kao tentu mengenalku."

Sepasang mata yang jeli itu terbelalak. "Gak.... Gak-taihiap....?" Ang-siocia berseru dengan kaget sekali. "Ah, maafkan aku yang tidak mengenal Taihiap, mari kita cepat pergi dari sini, menemui suhu. Taihiap harus cepat menyamar, sesuai dengan rencana kami atas perintah Jenderal Kao," bisiknya dan tanpa ragu-ragu lagi Ang-siocia menggandeng tangan pendekar itu dan dibawanya pergi menyelinap melalui semak-semak dan memasuki pintu belakang sebuah pondok. Mereka tiba di dalam sebuah kamar dan di situ telah menanti seorang kakek yang mukanya hitam. Kakek itu segera menjura dan berkata, "Selamat datang, Gak-taihiap, kami sungguh lega dan girang sekali melihat Taihiap datang."

Bun Beng memandang penuh perhatian akan tetapi dia tidak mengenal kakek dan gadis ini, walaupun kini dia dapat melihat wajah mereka dengan jelas. Gadis itu benar-benar seorang gadis muda yang cantik dan lincah, nampak gagah dan berani, sedangkan kakek itu biarpun mukanya hitam, namun memiliki sepasang mata yang tajam.

Bun Beng segera menjura kepada mereka. "Agaknya Ji-wi telah mengenalku, akan tetapi maaf kalau aku tidak mengenal siapa Ji-wi dan apa hubungan Ji-wi dengan Jenderal Kao."

Sebelum guru dan murid itu sempat menjawab, terdengar pintu depan diketuk orang! Guru dan murid itu kelihatan terkejut dan terdengar Touw-ong bertanya, "Siapa di luar?"

"Touw-ong, apakah Ang-siocia di dalam?"

Mendengar suara Ngo-ok, guru dan murid itu makin kaget dan Bun Beng dengan tenang dan waspada mengamati gerak-gerik mereka.

"Aku di sini. Ada apakah, Siansu?" tanya Ang-siocia.

"Aku disuruh oleh koksu untuk memanggilmu, Ang-siocia. Ada urusan penting hendak dibicarakan. Sekarang juga!" terdengar suara dari luar itu.

Ang-siocia memandang gurunya yang mengangguk, dan gadis itu lalu melangkah menuju ke depan untuk membuka pintu depan. "Dia itu Ngo-ok Toat-beng Siansu, saya harus membayangi dan melindungi murid saya, harap Taihiap tunggu di sini!"

Tentu saja Bun Beng belum percaya sepenuhnya kepada guru dan murid yang belum dikenalnya itu, maka dia berkata, "Biar aku yang membayangi." Touw-ong terkejut bukan main dan seperti yang dialami oleh muridnya tadi, tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya lemas karena tertotok! Sebetulnya, tingkat kepandaian Touw-ong sudah cukup tinggi dan kiranya tidaklah akan demikian mudah bagi Bun Beng untuk menotok kakek itu dengan sekali gerakan saja, akan tetapi gerakan Bun Beng tadi sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakek itu sehingga dia hanya melihat tangan pendekar itu berkelebat dan tahu-tahu dia telah roboh lemas. Akan tetapi Si Raja Maling ini tidak menjadi heran karena dia sudah mendengar nama besar pendekar Gak Bun Beng ini sebagai seorang pendekar yang luar biasa tinggi ilmunya.

Ang-siocia sudah membuka pintu dan mengikuti kakek tinggi seperti pohon bambu itu keluar dari pondok. Nona ini memang sengaja bersicepat agar Ngo-ok tidak melongok ke dalam di mana terdapat seorang asing. Dia tidak tahu betapa Bun Beng malah telah merobohkan gurunya dan kini bagaikan bayangan setan telah mengikutinya dengan diam-diam dari jarak tidak terlalu jauh, akan tetapi dengan amat hati-hati karena Gak Bun Beng sudah terkejut sekali ketika mendengar dari Si Raja Maling tadi bahwa si jangkung itu adalah Ngo-ok Toat-beng Sian-su. Tentu saja dia pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok dan tidak disangkanya sama sekali dia akan melihat seorang di antara mereka berada di tempat ini. Memang dia dan Milana belum mendengar bahwa Im-kan

Ngo-ok berada di dalam benteng lembah, bahkan Kian Bu dan Hwee Li sendiri pun belum tahu maka kedua orang muda ini tidak menceritakan tentang adanya Im-kan Ngo-ok itu kepada Milana. Baru dari Ceng Ceng dan suaminya dia mendengar tentang mereka.

Di tempat yang sunyi, tiba-tiba Ang-siocia berhenti dan menegur si jangkung yang berjalan di depannya, "Eh, kita mau ke mana?"

"Ke sana! Koksu menanti di sana," jawab si jangkung menuding ke arah sebuah pondok.

"Aneh, kenapa koksu tidak menanti di tempat tinggalnya sendiri?" Ang-siocia mengomel akan tetapi dia melangkah terus bersama si jangkung. Setelah mereka tiba di depan pondok yang sunyi itu, tiba-tiba si jangkung membuka pintu dan berkata, "Mari kita menemui koksu." Dia lalu memegang lengan gadis itu dan menariknya masuk, menutupkan kembali pintu itu, lalu dia menyeringai.

Ang-siocia terkejut bukan main. Pondok itu kosong dan melihat sikap si jangkung itu, jelaslah apa kehendaknya. "Mau apa kau? Mana koksu? Biarkan aku keluar!" teriaknya, akan tetapi tiba-tiba tangannya sudah disambar oleh tangan Ngo-ok.

"Nona, sudah lama aku tergila-gila kepadamu!"

"Eh, lepaskan aku!" bentak Ang-siocia, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya terangkat ke atas dan dipegang oleh sebelah tangan saja, dia tidak berdaya melepaskan diri sama sekali, sedangkan tangan yang lain dari si jangkung itu bergerak hendak merenggut pakaian Ang-siocia.

Dara itu terkejut setengah mati, kakinya menendang ke depan, ke arah perut si jangkung itu.

"Desss. ...! Hukkk....!" Ngo-ok melepaskan tubuh Ang-s iocia dan tubuhnya terhuyung ke belakang, matanya terbelalak memandang ke arah gadis itu. Tak disangkanya bahwa tendangan nona itu sedemikian kuatnya sehingga perutnya seketika terasa mulas! Dia tidak tahu bahwa sebenarnya yang menghantam perutnya bukanlah kaki atau tendangan Ang-siocia melainkan sambaran angin pukulan yang dilakukan oleh Gak Bun Beng dari luar pondok. Pendekar ini mengintai dari jendela dan pada saat Ang-siocia menendang, dia telah membantunya dengan pukulan jarak jauh, tepat mengenai perut si jangkung yang amat lihai itu. Orang lain yang disambar angin pukulan jarak jauh dari Gak Bun Beng, tentu akan remuk isi perutnya, akan tetapi Ngo-ok hanya merasa mulas saja sebentar!

Marahlah Ngo-ok dan kini dia memandang kepada Ang-siocia dengan mata disipitkan dan mukanya berubah menyeramkan.

"Tunggu!" Ang-siocia yang cerdik cepat berseru. "Ingat, aku telah menerima janji dari Sam-ok atau koksu bahwa kalau perjuangan ini selesai, aku akan diambil selir olehnya. Kau sama sekali tidak boleh ganggu aku!"

Mendengar ini, Ngo-ok terkejut, akan tetapi dia lalu menyeringai. "Kalau begitu, aku takkan membunuhmu, hanya mendahuluimu apa salahnya? Heh, tendanganmu boleh juga."

Ang-siocia sudah merasa heran sendiri betapa tendangannya tadi dapat membuat terlepas pegangan kakek jangkung itu, bahkan membuatnya terhuyung. Akan tetapi kini melihat kakek itu melangkah maju, dia menjadi gentar. "Kalau kau memaksaku, aku akan menceritakan kepada koksu, hendak kulihat apakah dia tidak akan marah dan menghukummu!"

Mendengar ini, Ngo-ok menjadi ragu-ragu. Dia kena digertak dan dia mulai melihat bahaya kalau dia memaksa. "Ah, Nona Manis, mari layani aku sebentar.... aku tidak akan menyakitimu...."

Akan tetapi Ang-siocia sudah lari ke pintu. "Kalau kau tidak menyentuhku, aku tidak akan bicara apa-apa kepada koksu!" katanya sehingga ketika Ngo-ok hendak mengejar, si jangkung ini kembali tertegun dan meragu. Ang-siocia terus berlari cepat dan teringat akan ini, Ngo-ok mengejar, akan tetapi begitu keluar dari pintu pondok, dia jatuh menelungkup! Dia cepat bangkit dan mencaci-maki ambang pintu, akan tetapi diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana dia, seorang ahli berlari cepat dengan kaki yang panjang dan langkah yang tinggi, dapat tersandung pada ambang pintu sampai jatuh menelungkup? "Setan....!" dia mengomel lalu pergi dari situ. Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang membuatnya jatuh menelungkup tadi bukanlah ambang pintu melainkan Gak Bun Beng!

Ang-siocia memasuki pondoknya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat gurunya rebah dalam keadaan tertotok. Selagi dia hendak menolong, tiba-tiba dari belakangnya, Gak Bun Beng sudah memegang lengannya dan pendekar ini bertanya, "Apa artinya janji koksu mengambilmu sebagai selir itu?"

Ang-siocia menjadi terkejut bukan main dan seketika mukanya menjadi merah. Pendekar ini tadi telah membayanginya dan melihat segalanya! Teringatlah dia akan tendangannya yang ampuh tadi dan dia menduga bahwa tentu pendekar sakti inilah yang tadi telah membantunya. Bun Beng memandang tajam dan tidak peduli melihat nona itu marah, bahkan dia mengerahkan tenaga ketika Ang-siocia meronta untuk melepaskan tangannya sehingga pegangannya makin erat dan nona itu tidak berhasil melepaskan diri.

"Benarkah engkau menjadi calon selir Koksu Nepal?" tanyanya dengan suara mendesak, sinar matanya tajam penuh selidik. Kalau benar gadis ini, yang memang cantik dan lincah, menjadi calon selir koksu, maka gadis ini berarti kaki tangan musuh!

Kalau menuruti hatinya, ingin Ang-siocia memaki dan mengejek, menyatakan kalau dia menjadi calon selir koksu, pendekar itu mau apa? Akan tetapi dia tahu akan gawatnya keadaan, apalagi melihat gurunya dalam keadaan tertotok tak berdaya, maka biarpun hatinya terasa panas sekali, dia menjawab juga dengan marah.

"Kalau aku tidak menggertak Ngo-ok yang gila itu, mana aku bisa lolos? Siapa sih yang sudi menjadi selir manusia macam Koksu Nepal?" Dia berkata setengah berteriak saking marahnya karena dia dicurigai.

"Sssttttt..... jangan keras-keras berteriak!" Bun Beng yang kini menjadi sibuk mendengar dara itu berteriak, karena kalau sampai terdengar orang tentu berbahaya.

"Biar aku berteriak! Biar diketahui semua orang, aku tidak sudi menjadi selir koksu!"

"Sudahlah, aku bersalah telah mencurigaimu, Nona," kata Gak Bun Beng sambil melepaskan pegangannya.

Ang-siocia cemberut dan mengurut-urut lengannya yang terasa nyeri karena dipegang erat-erat tadi. "Habis Gak-taihiap terlalu tidak percaya kepada orang sih! Dan mengapa Suhu menjadi begini?"

"Maaf, maaf.... sekarang aku baru percaya," kata Gak Bun Beng dan pendekar ini segera membebaskan totokannya yang membuat tubuh Si Raja Maling menjadi lumpuh itu.

Touw-ong dapat bergerak lagi dan dia pun memandang kepada pendekar itu dengan alis berkerut. "Sungguh aneh sikap Taihiap yang terlalu tidak percaya kepada kami guru dan murid," katanya setengah menegur.

Gak Bun Beng kembali minta maaf dan Ang-siocia yang tahu bahwa gurunya merasa tidak senang lalu cepat berkata, "Sudahlah, Suhu. Gak-taihiap merasa berada di benteng musuh, maka tentu saja dia terlalu berhati-hati. Tadi aku hampir celaka oleh Ngo-ok yang ternyata memancingku keluar dengan niat jahat. Untung ada Gak-taihiap yang diam-diam membantu, kalau tidak, tentu muridmu ini sudah celaka, Suhu." Ang-siocia lalu menceritakan tentang pengalamannya yang hendak diperkosa oleh Ngo-ok dan betapa Gak Bun Beng telah menolong dengan ilmunya yang tinggi. Mendengar ini, lenyaplah rasa mendongkol di dalam hati Touw-ong. Dia lalu menjura kepada Gak Bun Beng.

"Ah, terima kasih saya haturkan kepada Gak-taihiap yang telah menyelamatkan murid saya...."

Gak Bun Beng menggoyang tangannya dengan tidak sabar. "Sudahlah, kita adalah orang sendiri, menghadapi musuh yang sama, maka perlu apa banyak sungkan lagi? Lebih baik Ji-wi menceritakan kepada saya tentang keadaan di dalam benteng ini dan siapa-siapa saja yang, tertawan, siapa pula yang menjadi pembantu koksu, siapa di antara mereka yang lihai."

"Sebelum kita bicara, kurasa lebih baik kalau Gak-taihiap menyamar pula, agar tidak sampai mudah ketahuan musuh. Gak-taihiap dapat mendengarkan kami bercerita sambil melakukan penyamaran yang akan dikerjakan oleh Suhu."

Mendengar kata-kata muridnya yang cerdik ini, Touw-ong mengangguk. "Memang sebaiknya demikian. Bentuk tubuh Taihiap tidak banyak selisihnya dengan saya, dan saya cukup dikenal di sini, kalau Taihiap menyamar sebagai saya, tidak akan dapat diganggu dan Taihiap dapat bergerak dengan leluasa pula."

Gak Bun Beng setuju dan Touw-ong mulai "mengerjakan" muka dan pakaian Gak Bun Beng sehingga pendekar ini mulai dibentuk menjadi Touw-ong ke dua! Sambil mengerjakan penyamaran itu, Touw-ong dibantu oleh muridnya lalu menceritakan semua keadaan didalam benteng yang didengarkan penuh perhatian oleh pendekar itu. Bun Beng mendengar betapa Puteri Syanti Dewi tadinya juga tertawan di situ kini telah lolos secara aneh, tanpa ada yang tahu siapa yang menculiknya. Kemudian dia mendengar betapa pemuda Ang Tek Hoat si Jari Maut juga berada di dalam benteng, betapa pemuda Itu telah tertipu dan mengira bahwa Syanti Dewi masih berada di situ sebagai tawanan.

"Kami yang merias seorang dayang menyerupai Syanti Dewi" kata Ang-siocia sambil tertawa. "Yang dikira Syanti Dewi itu adalah seorang perempuan Nepal dan Ang Tek Hoat percaya sepenuhnya."

Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, "Hemmm, bocah itu wataknya aneh, juga memiliki kepandaian yang amat lihai. Lebih baik biarkan saja dia begitu, biarkan dia tertipu yang akan membuat dia tenang. Kalau dia tahu bahwa dia tertipu tentu dia akan membuat geger dan hal ini bisa membocorkan rahasia kita."

Kemudian guru dan murid itu bercerita tentang usaha mereka yang sudah berhasil menghubungi Jenderal Kao Liang. "Sungguh kasihan sekali jenderal yang gagah perkasa itu," kata Touw-ong, "Dia seperti seekor naga yang telah terjebak dalam kurungan. Seluruh keluarganya tertawan, maka mau tidak mau dia harus menuruti semua permintaan koksu. Akan tetapi, jenderal yang gagah perkasa itu tentu saja tidak mau tunduk begitu saja hanya untuk menyelamatkan keluarganya. Dia memiliki rencana yang amat hebat dan besar, dan hanya di dalam tangannya sajalah terletak siasat yang akan menghancurkan pemberontak ini, akan tetapi kepada kami pun dia tidak mau membuka rencana siasatnya itu."

Touw-ong lalu melatih Bun Beng untuk bergaya dan bicara seperti dia agar penyamarannya menjadi sempurna. Kemudian pendekar sakti ini dibawa oleh Ang-siocia untuk menemui Jenderal Kao Liang. Ketika bertemu dengan Gak Bun Beng sepasang mata jenderal yang gagah perkasa itu menjadi basah. Dia tidak banyak bicara, hanya memegang tangan pendekar itu dan suaranya tergetar ketika dia berkata, "Girang bukan main rasa hatiku dapat bertemu dengan Gak-taihiap di sini. Sekarang makin yakinlah hatiku bahwa aku akan dapat menghancurkan mereka ini dan keluargaku akan dapat diselamatkan!"

Gak Bun Beng menekan tangan jenderal itu. "Percayalah, Goanswe, saya akan membantu sampai keluargamu semua selamat."

Mereka tidak berani terlalu lama bicara karena mereka tahu bahwa biarpun Jenderal Kao Liang, Touw-ong dan Ang-siocia bebas dalam benteng itu, namun mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang selalu diawasi secara diam-diam oleh koksu. Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu berpamit dan pergi lagi kembali ke tempat tinggal Touw-ong bersama Ang-siocia.

Bukan hanya Jenderal Kao yang berbesar hati dengan kehadiran Gak Bun Beng, juga Touw-ong dan muridnya merasa girang sekali dan mereka lalu mengadakan perundingan secara diam-diam untuk mengatur siasat kalau saat yang baik bagi mereka untuk bergerak sudah tiba.

Koksu Nepal merasa girang bukan main melihat hasil baik dari pertahanan Jenderal Kao terhadap penyerbuan tentara kerajaan yang dipimpin oleh Milana. Berkali-kali serangan dari pasukan kerajaan itu dapat dihalau dan dipukul mundur. Dan pada malam itu, saking girangnya, Koksu Nepal bersama para saudaranya dalam gerombolan Im-kan Ngo-ok, mengadakan pesta kemenangan untuk menghormat dan menyenangkan hati Jenderal Kao Liang. Pesta besar diadakan dan semua pembantu diundang.

Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong menggantikan tempat Touw-ong yang juga tidak ketinggalan diundang, mendatangi tempat pesta bersama Ang-sio cia. Dalam kesempatan ini Gak Bun Beng dapat melihat sendiri semua anggauta Im-kan Ngo-ok. Juga dia dapat memperhatikan pula Ang Tek Hoat, pemuda lihai yang berwatak aneh dan keras, keturunan dari Wan Keng In itu. Juga dia melihat Syanti Dewi palsu yang kelihatan sengaja di jauhkan dari para tamu lain oleh Koksu Nepal. Diam-diam Gak Bun Beng merasa kagum kepada Touw-ong dan muridnya karena harus diakuinya bahwa dia sendiri pun tidak akan menduga bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi yang palsu! Juga di dalam pesta itu, Koksu Nepal memberi kesempatan kepada Jenderal Kao untuk bertemu dengan para keluarga jenderal itu yang diperbolehkan menghadiri pesta.

Karena Koksu Nepal benar-benar merasa bersyukur dan gembira, bahkan mulai percaya akan kejujuran Jenderal Kao mempertahankan benteng, maka dalam kesempatan itu sang jenderal diperbolehkan untuk beramah-tamah dengan keluarganya. Akan tetapi, pertemuan dalam pesta itu sungguh mengharukan hati Gak Bun Beng. Jenderal Kao Liang tidak dapat menahan keharuan hatinya. Di depan begitu banyaknya orang, yaitu tokoh-tokoh pembantu dari Koksu Nepal, juga di mana hadir pula Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu, jenderal tua ini merangkul isterinya, kemudian anak-anaknya dan semua anggauta keluarganya seorang demi seorang.

Ada beberapa tetes air mata menitik turun dari kedua matanya. Adegan yang mengharukan ini dipecahkan oleh suara Pangeran Liong Bian Cu. "Kao-goanswe, pekerjaanmu sungguh amat baik sekali. Dan kalau sampai kita memperoleh kemenangan, tentu engkau akan dapat segera pulang ke kampung bersama keluargamu. Akan tetapi sayang, kita sekarang agaknya terancam bahaya, kita telah dikepung musuh dan agaknya musuh hendak memperketat kepungan, membikin putus hubungan antara kita dengan dunia luar benteng."

Jenderal Kao Liang lalu meninggalkan keluarganya, menghadapi pangeran itu dan berkata, "Harap Pangeran tidak berkecil hati. Saya dapat menghadapi kepungan itu."

"Ha-ha-ha, hal itu tidak perlu dikhawatirkan, Pangeran. Berkat siasat Jenderal Kao Liang yang sudah lama memperhitungkan kemungkinan bahaya ini, gudang-gudang kita telah penuh dengan ransum kering yang akan cukup untuk kita pakai selama satu tahun! Dan tidak mungkin musuh dapat bertahan mengepung kita selama itu dan sudah tentu Kao-goanswe telah memiliki siasat lain untuk menghadapi pengepungan musuh," kata Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma, koksu dari Nepal itu. "Kong-kong, kenapa Kong-kong menangis? Ayah dan lbu selalu bilang bahwa Kong-kong adalah seorang yang gagah perkasa, dan ayah ibu bilang bahwa seorang yang gagah pantang menangis. Mengapa Kong-kong menangis?" Tiba-tiba terdengar suara nyaring ini yang membuat semua orang memandang kepada Cin Liong, karena bocah itulah yang mengeluarkan suara nyaring ini. Jenderal Kao sendiri menoleh dan mukanya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada cucunya itu.

Diam-diam Gak Bun Beng memandang kagum kepada anak itu. Dia dapat menduga bahwa tentu anak itulah yang oleh Ang-siocia diceritakan sebagai anak dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, putera dari Kao Kok Cu dan Ceng Ceng! Seorang bocah yang hebat, pikirnya. Dan dia dapat mengerti betapa perih perasaan hati seorang gagah seperti Jenderal Kao mendengar teguran seperti itu keluar dari mulut cucunya yang masih kecil!

Melihat keadaan yang menegangkan yang ditimbulkan oleh kata-kata anak kecil itu, Koksu Nepal lalu mengambil tindakan halus. Dia lalu menyuruh pengawal mengantar kembali semua keluarga Kao, juga termasuk Syanti Dewi palsu, untuk kembali ke tempat mereka dan meninggalkan ruangan pesta itu. Ang Tek Hoat yang sejak tadi belum berhasil mendekati Syanti Dewi, merasa kecewa, akan tetapi dia tidak melakukan sesuatu. Bagi pemuda ini, sudah cukuplah kalau dia dapat melihat kekasihnya itu dalam keadaan sehat dan selamat. Pesta dilanjutkan sampai lewat tengah malam. Jenderal Kao minum sampai mabuk, dan melihat ini, Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu bersama Ang-siocia merangkul Jenderal Kao dan membawanya kembali kekamarnya. Dalam perjalanan mengantar Jenderal Kao ini sampai tiba di kamarnya, mereka berunding.

Perundingan singkat itulah yang membuat Panglima Milana menemukan surat pemberitahuan Jenderal Kao ketika pada keesokan harinya kembali Milana mengerahkan pasukannya menyerbu. Anak panah mengandung surat itu adalah anak panah yang diluncurkan oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dalam perang anak panah itu ikut pula membantu "menahan" musuh. Maka sudah terjadi permufakatan antara mereka berempat untuk membakar gudang-gudang ransum sesuai dengan rencana yang diatur

oleh Jenderal Kao. Mereka diharuskan menanti tanda yang akan diberikan oleh jenderal itu.

Ketika terjadi penyerbuan yang terakhir itu, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng mempergunakan keadaan yang ribut untuk menyelundup masuk. Suami isteri ini adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka tidak sukar bagi mereka berdua untuk menyelundup masuk benteng lewat tembok tinggi di samping kiri agak jauh dari tempat penyerbuan pasukan kerajaan.

Ang-siocia yang memang ditugaskan oleh Jenderal Kao untuk selalu meneliti tanda-tanda rahasia, menyambut datangnya kawan-kawan, dapat melihat kedatangan suami isteri ini yang tanpa mereka sadari telah menginjak alat-alat rahasia pribadi Jenderal Kao sehingga Ang-siocia dapat mengetahui kedatangan mereka dan menyambut. Maka terkejutlah suami isteri itu ketika mereka meloncat turun dan menyelinap di antara kegelapan bayangan pohon, tiba-tiba ada sesosok tubuh ramping berkelebat disusul suara Ang-siocia yang halus. "Kao-taihiap dan Lihiap, cepat ke sinilah...."

Suami isteri itu memandang tajam, alis mata mereka berkerut penuh curiga. Melihat sinar mata pendekar itu mencorong, Ang-siocia bergidik dan cepat dia mendekati sambil berbisik, "Harap Taihiap jangan curiga, saya adalah utusan dari Jenderal Kao. Cepat, ke sinilah...."

Kao Kok Cu dan Ceng Ceng lalu cepat mengikuti Ang-siocia, menuju ke sebuah kandang kuda dan mereka memasuki sebuah kamar sederhana di belakang kandang kuda itu. "Harap kalian bersembunyi dulu di sini sampai keributan dari perang di luar itu selesai, nanti Ji-wi akan dapat bertemu dengan suhu, yaitu Hek-sin Touw-ong, Gak Bun Beng taihiap, dan dengan Jenderal Kao sendiri."

Mendengar ucapan itu, giranglah hati Kao Kok Cu dan isterinya. Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah tidak sabar lagi menanti berkata, "Jadi engkau adalah murid Touw-ong dan engkau bekerja sama dengan ayah mertuaku?"

Ang-siocia mengangguk. "Nama saya Kang Swi Hwa dan saya bersama suhu secara terpaksa menjadi pembantu-pembantu di sini." Lalu dengan singkat dia menceritakan betapa dia dan suhunya bertemu dengan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li, dan betapa mereka berdua membantu dua orang muda itu berusaha untuk membebaskan Syanti Dewi sehingga akhirnya mereka berdua tertawan.

"Untuk menyelamatkan diri, terpaksa kami berdua pura-pura menakluk dan membantu Koksu Nepal. Akan tetapi diam-diam kami mengadakan hubungan dan membantu Jenderal Kao Liang."

Hati Ceng Ceng girang sekali. Dia memegang tangan Ang-siocia dan berkata, "Adik yang baik, kalau begitu harap kau cepat membawaku bertemu dengan puteraku!"

Ang-siocia mengangguk. "Harap kau suka bersabar, Enci. Dalam keadaan ribut seperti ini, koksu telah memerintahkan para pengawal untuk menjaga para tawanan dengan ketat. Sebaiknya nanti saja kalau keadaan sudah mereda, Enci tentu akan dapat bertemu dengan putera Enci yang gagah itu. Akan tetapi Enci harus menyamar, jangan khawatir, aku mempunyai akal untuk mengaturnya."

Kao Kok Cu juga menasehati isterinya agar bersabar dan menanti saat baik, karena sekali saja mereka itu gagal dan diketahui musuh, hal ini mungkin sekali akan membahayakan semua keluarga mereka.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, penyerangan tentara kerajaan di bawah pimpinan Puteri Milana kembali mengalami kegagalan dan setelah menerima surat yang dikirimkan oleh Jenderal Kao melalui anak panah yang dilancarkan diam-diam oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong, Milana lalu menarik mundur pasukannya, lalu membagi-bagi pasukannya untuk melakukan

pengepungan dengan ketat.

Gak Bun Beng lalu dipanggil oleh Ang-siocia untuk menemui suami isteri itu. Mereka berunding dan Ceng Ceng lalu dirias oleh Ang-siocia, menyamar menjadi dia sendiri. Tak lama kemudian di ruangan itu telah ada dua orang Ang-siocia yang kembar segala-galanya!

"Sebaiknya Kao-taihiap bersembunyi saja di sini, menyamar sebagai pembantu penjaga kandang," kata Touw-ong dan Si Naga Sakti Gurun Pasir ini mengangguk karena dia pun tahu bahwa dia tidak mungkin dapat menyamar. Lengan kirinya yang buntung itu tidak memungkinkan dia menyamar sebagai orang lain.

Jenderal Kao Liang sendiri merasa girang mendengar bahwa puteranya yang amat diandalkannya, yaitu Kok Cu, bersama isterinya, telah tiba di dalam benteng. Betapapun rindu rasa hatinya, namun dia tidak mau bertemu dengan putera atau mantunya. Amat berbahaya untuk membiarkan Kok Cu muncul di depan umum, karena puteranya itu pernah membikin geger di situ. Dia hanya memesan melalui Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dapat mudah menghubunginya, memesan agar mereka semua jangan sekali-kali melakukan gerakan lebih dulu secara lancang.

"Kalian harus menanti sampai terjadi pembakaran gudang-gudang ransum secara berhasil. Musnahnya gudang ransum akan menghancurkan pertahanan mereka, dan setelah itu barulah aku akan memberi tanda kepada Puteri Milana untuk melakukan penyerbuan besar-besaran," demikian pesan Jenderal Kao Liang yang telah mengatur rencana. Anehnya, jenderal ini tidak pernah mau membuka siasatnya secara terperinci sehingga orang-orang gagah itu hanya dapat menduga-duga saja siasat apa yang akan dipergunakan oleh jenderal itu untuk menghancurkan pertahanan benteng yang sedemikian kuatnya itu di samping membakar gudang-gudang ransun.

Puteri Milana mentaati pesan dari Jenderal Kao Liang. Dia mengatur pasukannya, mengepung benteng itu dengan ketat dan tidak melakukan penyerbuan lagi, hanya kadang-kadang saja dia membiarkan pasukan-pasukan itu mengacau benteng dengan hujan anak panah, kemudian mundur dan kembali menjaga dengan ketat sehingga fihak musuh di dalam benteng tidak akan mungkin dapat mengadakan hubungan dengan luar benteng. Namun, hati puteri perkasa itu makin tidak sabar setelah menanti sampai beberapa hari, belum juga terjadi kebakaran di dalam benteng dan belum juga ada tanda dari Jenderal Kao untuk membolehkan dia melakukan penyerbuan.

Gak Bun Beng, Milana, Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Kao Kok Cu, dan Ceng Ceng dapat menanti dengan sabar sampai Jenderal Kao Liang memberi isyarat, dan mereka semua itu percaya penuh akan kelihaian sang jenderal mengatur dan menjalankan siasatnya. Akan tetapi ada beberapa orang muda yang tidak tahu akan hal ini dan tidak dapat menanti! Malam itu terjadilah kegemparan besar di dalam benteng ketika empat orang muda menyelundup masuk dan membuat semua penjaga di dalam benteng menjadi geger! Mereka itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Teng Siang In yang menyelundup masuk dari dinding timur, dan Suma Kian Bu bersama Kim Hwee Li yang menyelundup masuk dari dinding barat!

Mula-mula terdengar teriakan-teriakan para penjaga di dekat dinding benteng sebelah timur karena ada tanda rahasia terpijak orang di atas tembok. Para penjaga menghujankan anak panah pada dua sosok bayangan orang yang bergerak cepat bukan main, namun semua anak panah itu luput dan dua sosok bayaangan orang itu cepat lenyap dalam kegelapan malam di sebelah dalam benteng! Waktu itu sudah lewat tengah malam, sebagian besar penjaga sudah mengantuk, maka tentu saja mereka menjadi gempar ketika tiba-tiba terdengar tanda bahaya. Juga para tokoh lihai yang berada di dalam benteng itu serentak bangun dan melakukan

pengejaran dan pencarian. Namun, dua sosok bayangan orang yang dikabarkan menyelundup ke dalam benteng itu telah lenyap.

Selagi para tokoh dan penjaga mencari-cari, tiba-tiba terdengar tanda bahaya di sebelah barat, menandakan bahwa ada fihak musuh menyelundup masuk melalui dinding barat pula. Maka keadaan menjadi makin gempar, para penjaga lari ke sana-sini, para tokoh berkelebatan ke sana-sini mencari-cari karena dikabarkan bahwa dari dinding sebelah barat ini pun menyelundup masuk dua sosok bayangan manusia yang, memiliki gerakan luar biasa gesitnya. Gegerlah di seluruh benteng. Koksu sendiri sampai terbangun dari tidurnya dan dia sendiri bersama para saudaranya memimpin pengejaran dan pencarian terhadap empat orang penyelundup yang dikabarkan oleh para penjaga amat lihai itu.

Tentu saja sukar bagi empat orang muda itu untuk dapat menyembunyikan diri terus-terusan di dalam benteng setelah para penjaga dan para tokoh yang berkepandaian tinggi itu mencari dengan penuh semangat. Beberapa kali mereka kepergok oleh para penjaga yang mencari-cari sehingga mereka terpaksa mempergunakan kepandaian dan lari lagi, dikejar-kejar dan lenyap lagi sehingga keadaan menjadi makin kacau-balau.

Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li melarikan diri ke sebelah dalam. Berkat adanya Hwee Li yang mengenal baik seluruh tempat di dalam benteng, maka mereka berdua lebih mudah untuk bersembunyi. Hwee Li hendak mengajak Kian Bu untuk pergi mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu.

"Kita bekuk dia dan dengan dia menjadi sandera, kurasa kita akan dapat menaklukkan mereka semua," kata Hwee Li.

"Kautangkap dia dan betapapun lihatnya, aku yakin engkau akan dapat menang dan membuat dia tidak berdaya, Kian Bu. Kemudian kita seret dia keluar dan ancam koksu dan yang lain agar suka membebaskan Jenderal Kao dan keluarganya."

"Hemmm, mana mungkin begitu mudah? Kalau koksu menolak?"

"Apa? Menolak? Kita ketuk kepala si hidung kakaktua itu sampai dia minta-minta ampun. Dia adalah seorang Pangeran Nepal, mustahil koksu tidak akan melindunginya dan mengalah. Kita kan hanya minta tukar orang?"

"Hemmm, kau benar juga, tapi hati-hatilah, karena pangeran itu tentu terjaga kuat. Jangan kau bertindak ceroboh sehingga belum kita berhasil, engkau akan tertangkap lebih dulu."

"Cerewet amat sih, kau ikut aku saja. Mari....!"

"Tangkap penjahat....!"Tiba-tiba terdengar bentakan dan seorang perwira meloncat ke depan menyergap mereka, diikuti oleh enam orang perajurit. Teriakannya diikuti oleh teriakan-teriakan enam orang perajurit itu sehingga keadaan menjadi gaduh.

"Sialan! Diam kau!" Hwee Li berseru, tubuhnya mencelat ke depan, ke arah perwira itu dan sebelum perwira itu sempat melindungi dirinya, Hwee Li sudah menampar. Telapak tangan kirinya yang berkulit halus dan hangat itu mengenai telinga kiri si perwira dan terasa olehnya bagaikan kilat menyambar, panas dan membuat matanya melihat seribu bintang runtuh. Dia terpelanting dan roboh tak sadarkan diri! Ketika Hwee Li membalikkan tubuh untuk menerjang enam orang perajurit itu, dia melihat betapa enam orang itu telah roboh semua oleh Kian Bu, padahal dia tadi tidak mendengar apa-apa. Entah apa yang dilakukan oleh Kian Bu kepada enam orang itu sehingga mereka roboh tanpa mengeluarkan suara dalam waktu secepat itu.

"Kau boleh juga!" Hwee Li memuji. "Mari....!"

Keduanya lalu meloncat dan menyusup di dalam kegelapan di antara bayang-bayang pohon dan rumah-rumah di dalam benteng. Tempat itu segera menjadi gempar ketika beberapa orang penjaga menemukan tujuh orang yang roboh pingsan itu, roboh tanpa terluka. Akan tetapi pemuda dan dara yang merobohkan mereka itu telah pergi jauh. Bukan pergi untuk menjauhkan diri dari bahaya, sebaliknya malah karena tiba-tiba saja muncul koksu sendiri di depan mereka. Koksu Nepal yang diiringkan oleh sepasukan pengawal pribadinya yang berjumlah dua losin orang! Bukan main marahnya koksu ketika melihat bahwa dua orang yang membikin kacau benteng itu bukan lain adalah Siluman Kecil dan Kim Hwee Li.

"Kiranya kalian datang kembali mengantar nyawa?" bentaknya.

"Kian Bu, kauhadapi si botak menjemukan ini, biar aku menghajar pasukan tikus merah itu!" Para pengawal pribadi koksu memang memakai seragam merah, sesuai dengan si kakek botak yang juga memakai mantel merah. Kian Bu tidak sempat menjawab karena pendeta Lakshapadma atau Ban Hwa Sengjin itu memang sudah menerjang ke depan dan menggerakkan kedua lengannya yang amat panjang itu.

"Hemmm....!" Kian Bu mendengus dan dia sudah menggerakkan tangan menyambut dengan pukulan saktinya. Namun, Koksu Nepal yang sudah pernah merasakan kelihaian pemuda ini, tidak mau mengadu tenaga, melainkan menggerakkan tubuhnya berpusing dan tubuh itu segera berubah menjadi tubuh yang berlengan banyak sekali karena dia berpusing seperti gasing. Semua tangan yang menjadi

banyak itu menyerang dan mengirim pukulan, tamparan, dan totokan-totokan maut ke arah tubuh Kian Bu. Siluman Kecil maklum pula akan kehebatan lawan ini, maka dia tidak berani memandang rendah dan cepat dia pun mengerahkan ginkangnya yang istimewa, tubuhnya berkelebatan seperti cahaya kllat ke sana-sini, menghindarkan diri dari semua serangan dan membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuhnya. Namun kakek botak yang lihai, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok itu pun dapat menghindarkan diri dan kadang-kadang menangkis sehingga berkali kali terjadi pertemuan tenaga yang membuat keduanya terpental saking kuatnya tenaga sin-kang yang bersembunyi di kedua tangan masing-masing.

Sementara itu, Hwee Li juga sudah dikeroyok oleh para pengawal yang banyak jumlahnya itu. Mereka adalah pengawal-pengawal pribadi koksu dalam upacara resmi, dalam kedudukannya sebagai koksu, maka tentu saja mereka merupakan orang-orang pilihan dari koksu sendiri, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Dalam keadaan lain, pengawal pribadi dari koksu adalah Gitananda. Biarpun para pengawal pribadi itu tidak selihai Gitananda, namun mereka itu lebih lihai dari para pengawal biasa dan karena dikeroyok, setelah berhasil merobohkan lima enam orang, Hwee Li mulai terdesak dan terkepung dengan ketat.

Kian Bu dapat melihat keadaan Hwee Li itu dan dia merasa khawatir sekali. Sekali ini, dia tidak dapat merobohkan koksu dengan cepat karena agaknya koksu kini berlaku hati-hati sekali, memusatkan seluruh kepandaiannya kepada penjagaan diri sehingga dia tidak sempat membantu Hwee Li. Maka dia lalu berseru, "Enci Hwee Li, cepat kau larilah!"

Akan tetapi, Hwee Li sama sekali tidak mampu keluar dari kepungan ketat itu. Biarpun dengan amukannya dia telah merobohkan dua orang lagi, namun kini para pengepungnya memperlebar kepungan sehingga sukarlah bagi Hwee Li untuk merobohkan mereka dan juga sukar baginya untuk keluar dari kepungan belasan orang itu. Dara ini adalah seorang yang amat berani dan cerdik. Melihat keadaan dirinya, dia tidak putus harapan. Dia pun maklum bahwa pada saat itu Kian Bu tidak dapat membantunya, dan dia maklum pula bahwa kalau sampai datang lagi pasukan musuh, dia dan Kian Bu tentu akan celaka. Maka dia lalu menggunakan akal.

"Tikus-tikus merah busuk! Kau tidak ingat siapa aku? Aku adalah tunangan pangeran! Beranikah kalian menyentuhku? Beranikah kalian menyerangku? Coba kalian bunuh aku, hendak kulihat hukuman apa yang akan kalian terima dari pangeran!"

Para pengawal itu tentu saja menjadi terkejut. Mereka memang sudah tahu sejak tadi bahwa dara cantik ini adalah tunangan dan kekasih pangeran. Mereka hanya bergerak karena memandang kepada koksu, akan tetapi setelah kini dara itu mengingatkan mereka akan hal itu, mereka menjadi ragu-ragu karena mereka pun tahu bahwa kata-kata dara itu bukan merupakan gertakan kosong belaka. Memang mereka akan celaka dan dihukum berat oleh pangeran kalau mereka sampai melukai apalagi membunuh dara ini, selagi mereka itu ragu-ragu dan bingung, Hwe Li lalu meloncat dan menerjang keluar dari kepungan, sedangkan para pengawal yang mengepung itu tidak berani menggerakan senjata menyerangnya sehingga Hwee Li dapat dengan mudah keluar dan meloncat jauh.

"Tangkap dia....!" teriak koksu dan kakek ini lalu mengeluarkan suara melengking untuk memanggil para pembantunya. Mendengar lengking ini, Hwee Li terkejut dan dia meloncat makin jauh, lalu menengok dan berseru kepada Kian Bu untuk lari.

Kian Bu memang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kalau dia menghendaki, biarpun dia tidak dapat dengan mudah merobohkan koksu, namun kalau hanya untuk melarikan diri dari musuh saja akan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Dia tadi tidak mau melarikan diri karena dia tidak mau meninggalkan Hwee Li yang terdesak musuh.

"Mari kita lari!" serunya dan dia menggunakan kesempatan selagi koksu melengking tadi untuk menyerang dengan hebatnya, menggunakan kedua tangannya mendorong dengan pukulannya yang amat ampuh.

"Ehhhhh....!" Koksu berseru keras karena terkejut melihat datangnya pukulan ini. Dia sudah tahu akan kehebatan pemuda ini, maka melihat pukulan yang gerakannya halus, mendatangkan sambaran angin halus sekali itu, dia tidak berani menerimanya, bahkan lalu cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Ketika dia sudah berjungkir balik dan memandang, ternyata Kian Bu sudah tidak berada lagi di depannya.

Akan tetapi pada saat itu, muncul Ngo-ok dan Su-ok diikuti oleh tiga puluhan orang penjaga. Melihat ini, Hwee Li cepat meloncat ke tempat gelap dan Kian Bu yang hendak mencegah orang-orang itu mengejar Hwee Li, menyambut mereka dengan terjangannya sehingga dalam waktu sangat singkat, belasan orang penjaga terpelanting ke kanan kiri. Setelah melihat Hwee Li lenyap, barulah Kian Bu juga melarikan diri dan sekali berkelebat dia pun meloncat jauh tinggi di atas genteng dan lenyap dalam gelap. Akan tetapi dia tidak dapat melihat Hwee Li lagi, tidak tahu ke mana perginya dara itu. Mereka berdua telah saling terpisah!

Kalau Kian Bu dan Hwee Li menimbulkan kegemparan sehingga koksu sendiri sampai ikut turun tangan dan marah-marah karena melihat dua orang itu lenyap lagi, di lain bagian dari dalam benteng itu terjadi kegemparan lain karena ulah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Mereka pun berhasil menyelundup masuk ke dalam benteng dan mereka juga ketahuan oleh fihak penjaga, dihujani anak panah yang dengan mudah dapat mereka hindarkan. Akan tetapi mereka tidak dapat menghindarkan diri dari pengeroyokan setelah mereka berada di atas tanah di sebelah dalam tembok benteng. Dan celakanya mereka dikepung oleh banyak sekali orang, lebih dari lima puluh orang yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sendiri!

"Siang In, kau larilah biar aku menahan mereka!" Kian Lee berseru keras karena pemuda ini menghawatirkan keselamatan Siang In. Akan tetapi, tentu saja Siang In tidak mau lari meninggalkan Kian Lee menghadapi bahaya seorang diri saja.

"Hi-hi-hik, kaukira ahu takut mati? Mari kita lawan mereka itu!" jawab Siang In sambil memutar payungnya dan merobohkan dua orang perajurit musuh yang berani mendekat. Terpaksa Kian Lee juga mengamuk, akan tetapi pemuda ini langsung menghadap Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena dia maklum betapa lihainya dua orang kakek iblis ini sehingga dia membiarkan Siang In hanya menghadapi pengeroyokan para penjaga saja.

Mula-mula Siang In mengamuk dengan enaknya. Payungnya berubah menjadi bayangan hitam yang menutupi tubuhnya dan para pengeroyoknya roboh cerai-berai sehingga keadaan mereka menjadi kacau-balau. Akan tetapi, keributan itu segera menarik perhatian pasukan-pasukan lain dan berdatanganlah puluhan orang penjaga dan pengawal ke tempat itu sehingga Siang In merasa kewalahan juga.

"Siang In, lari....!"

"Kau juga tidak!" jawab Siang In yang melihat dengan sudut matanya betapa pemuda itu dengan gagahnya menghadapi desakan dua orang kakek iblis yang masih dibantu oleh beberapa, orang perwira yang lihai.

"Kau lari dulu, nanti aku menyusul!" teriak Kian Lee yang merasa jengkel juga melihat kebandelan dara itu.

"Lee-koko, tunggu aku menciptakan asap hitam, baru kita lari!" Dara itu berteriak nyaring dan tiba-tiba dia mengeluarkan

suara melengking nyaring dan ketika dia mengebutkan saputangannya, nampaklah asap hitam mengebul dan memenuhi tempat itu. Dara ini telah mempergunakan ilmu sihirnya! Semua pengeroyok terkejut dan bingung, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Siang In dan Kian Lee untuk melarikan diri.

Akan tetapi terdengar suara gerengan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan seketika asap hitam itu membuyar dan lenyap. Kembali dua orang muda itu dikeroyok dan mereka berdua terpaksa membela diri dan kini mereka terpisah sehingga ketika keduanya berhasil melarikan diri, mereka sudah tidak dapat saling melihat lagi. Kian Lee merasa gelisah dan dia berloncatan ke atas genteng mencari-cari Siang In, namun dara itu lenyap entah ke mana.

Siang In juga tidak berhasil mencari Kian Lee karena dia terdesak oleh banyaknya perajurit musuh yang mengejarnya. Dia terpaksa melarikan diri karena tidak mungkin dia melawan pengeroyok yang demikian banyaknya, baik dengan menggunakan ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Dia maklum bahwa kalau tokoh-to koh lihai sampai bermunculan, dia tentu akan celaka, maka dia cepat melarikan diri menyelinap di antara pohon-pohon dan bangunan-bangunan sampai akhirnya dia tidak dikejar lagi. Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh peluh, dara ini berhenti berlari di belakang sebuah bangunan sunyi. Aku harus mengaso dulu, pikirnya dan tempat itu amat sunyi, baik untuk melepaskan lelah dan mengumpulkan kembali tenaganya. Sambil

memanggul payungnya, dara ini melangkah ke tempat gelap di belakang bangunan, dengan maksud untuk beristirahat di tempat gelap itu.

Dia meletakkan payungnya di atas lantai ruangan belakang rumah yang agaknya kosong itu, kemudian dia duduk bersila di atas lantai yang dingin. Enak sekali rasanya duduk di lantai dingin itu setelah mengerahkan banyak tenaga dalam pertempuran tadi, dan sungguh menyenangkan tempat sunyi ini setelah tadi dia dikeroyok banyak orang. Siang In menarik napas panjang, mulai mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga. Akan tetapi, hatinya tidak dapat tenang, pikirannya selalu membayangkan wajah Kian Bu dan Hwee Li dan setiap kali dia teringat kepada dua orang itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa panas sekali. Panas oleh cemburu!

Dia masih terheran-heran karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Siluman Kecil itu ternyata adalah Suma Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya, pemuda yang pernah menciumnya dan yang belum pernah dapat dia lupakan selama dia ikut dengan gurunya, yaitu See-thian Hoat-su! Dan dia malah pernah bertemu dengan Siluman Kecil! Sekarang, begitu bertamu dia melihat pemuda yang dicari-carinya itu berpacaran dengan seorang dara lain yang cantik jelita, galak dan rendah hati siapa takkan menjadi panas? Bayangan Kian Bu dengan Hwee Li selalu mengganggu pikirannya dan dia tidak dapat beristirahat dengan sempurna, berulang kali dia menghela napas panjang untuk melepas kemarahan hatinya.

"Byar-byar-byarrr....!" Tiba-tiba tempat yang gelap itu menjadi terang sekali oleh sinar lampu yang dinyalakan orang dengan serentak, dan kesunyian dipecahkan suara orang-orang yang tahu-tahu sudah mengurung tempat itu! Siang In terkejut, menyambar payungnya dan meloncat berdiri. Kiranya di situ telah berdiri seorang tosu berwajah bengis, bertubuh tinggi kurus yang memegang sebatang pedang di tangan kanannya, diikutioleh tujuh orang perajurit pengawal. Delapan orang ini sudah mengepung tempat itu! Tosu ini bukan lain adalah Hak Im Cu, seorang tosu yang berkepandalan tinggi, seorang di antara pembantu-pembantu Hw-i-kongcu Tang Hun yang kini bersekutu dengan Koksu Nepal. Ketika tosu ini juga ikut mencari orang-orang yang dikabarkan mengacau di dalam benteng, diikuti tujuh orang anggauta Liong-sim-pang yang kini sudah menjadi perajurit pengikut Koksu Nepal, dia melihat berkelebatnya tubuh dara cantik membawa payung itu. Tentu saja dia menjadi curiga karena sepanjang pengetahuannya, tidak ada seorang dara seperti itu di dalam benteng. Maka cepat dia mengurung tempat itu dan secara tiba-tiba dia menyalakan lampu-lampu bersama anak buahnya.

"Hemmm, kiranya pengacau itu adalah seorang nona muda. Betapa berani mati sekali engkau. Hayo lekas menyerah sebelum kami menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!" Hak I m Cu membentak marah.

Siang In menuding dengan payung hitamnya, lalu berkata mengejek, "Kiranya para pemberontak dan orang-orang Nepal telah berhasil pula memikat hati segala macam tosu palsu untuk berkhianat kepada negara!"

"Bocah bermulut lancang!" Tosu tinggi kurus berwajah bengis itu tiba-tiba bergerak ke depan dan Siang In mengeluarkan seruan kaget sambil meloncat ke samping dan payungnya bergerak untuk melindungi dirinya. Tak disangkanya bahwa tosu itu dapat bergerak sedemikian cepatnya, tahu-tahu tangan tosu itu sudah menyambar hendak mencengkeram pundaknya. Kalau dia tidak cepat

menggerakkan payungnya, tentu pundaknya sudah kena dicengkeram. Tosu itu agaknya maklum akan kelihaian payung di tangan nona itu, maka dia menarik kembali tangannya, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan tendangan kilat yang kembali hampir mengenai paha Siang In yang meloncat ke belakang.

Melihat betapa dua kali serangannya gagal, Hak Im Cu menjadi marah. Bahkan dalam penyerangannya ke dua itu, bukan saja si nona cantik dapat menghindarkan diri dari tendangan, melainkan payung itu digerakkan secara aneh dan hampir saja ujung payung yang runcing menusuk perutnya.

"Singgg....!" Hak Im Cu menyerang dengan pedangnya dan bersama tujuh orang anggauta Liong-sim-pang dia lalu menerjang dan mengeroyok Siang In.

"Trang-trang-tranggg....!" Siang In memutar payungnya untuk menangkis banyak senjata tajam yang menyambar ke arahnya dari berbagai jurusan itu.

Diam-diam Siang In mengeluh. Dari tangkisan itu tahulah dia bahwa selain tujuh orang pembantu tosu itu rata-rata memiliki kepandaian lumayan, juga tosu itu sendiri amat kuat dan merupakan lawan tangguh. Dia tidak melihat jalan untuk meloloskan diri kecuali menggunakan sihirnya. "Kalian adalah laki-laki semua bukan?" Tiba-tiba suara merdu Siang In terdengar di antara suara beradunya senjata mereka. Biarpun tidak ada di antara mereka yang menjawab, namun di dalam hati mereka, delapan orang membenarkan ucapan Siang In. Memang mereka adalah laki-laki, pria sejati!

"Kalian delapan laki-laki yang suka makan makanan enak, mana mampu bertempur?"

Delapan orang itu tertarik dan biar pun tangan kaki mereka masih bergerak mengeroyok dara itu, namun telinga mereka dipasang untuk mendengarkan. Siapa orangnya tidak suka makanan enak? Dan apa hubungannya makanan dengan bertempur?

"Makanan enak membuat perut sakit. Perut kalian sakit.... aduhhh...., perutku sakit, mulas sekali....!" Tiba-tiba Siang In

meloncat ke belakang, dan menggunakan tangan kiri menekan-nekan perutnya sendiri, dengan wajah membayangkan kenyerian hebat.

Sungguh aneh bukan main. Delapan orang itu semua memandang wajah Siang In dan ketika mereka melihat wajah yang cantik manis itu membayangkan kenyerian, mendengar kata-kata Siang In itu, tiba-tiba saja mereka semua merasa betapa perut mereka juga sakit bukan main, mulas dan seperti diremas-remas rasanya!

"Aduh.... perutku...."

"Aduh mulas.... ahhh....!"

"Tak tertahankan.... ingin buang air...!"

Sungguh aneh dan lucu pemandangan pada waktu itu. Delapan orang itu kini tidak lagi mengeroyok Siang In melainkan menekan-nekan perut sendiri dengan muka membayangkan kesakitan hebat. Hak Im Cu sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi dari dunia kang-ouw, tentu saja melihat ketidakwajaran ini dan dia sudah menduga dengan terkejut sekali bahwa keadaan itu bukan semestinya dan tentu adalah pengaruh dari ilmu hitam atau ilmu sihir. Maka dia mengerahkan sinkangnya melawan rasa mulas di perutnya itu. Akan tetapi sebelum dia berhasil menolak pengaruh ilmu sihir yang dipergunakan oleh Siang In, dara ini yang bermata tajam melihat usaha dari tosu itu dan dia cepat menggerakkan payungnya, menghantam dari samping mengenai leher tosu yang sedang berusaha membebaskan diri dari pengaruh ilmu sihir.

"Desss. ...!" Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh pingsan! Tujuh orang lain yang masih tersiksa oleh sakit perut, kini tak

dapat menahan lagi dan di antara mereka sudah ada yang melepas celana mereka, bertelanjang untuk buang air di situ juga! Melihat ini, tentu saja wajah Siang In menjadi merah sekali, dia membuang muka dan meludah.

"Ihhh, sialan!" Dara itu berseru dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Karena dia melarikan diri dan merasa jijik dan

malu, maka otomatis pengaruh sihirnya lenyap dan tujuh orang itu sadar kembali, perut mereka sembuh seketika dan mereka baru tahu bahwa mereka tadi dipermainkan oleh dara itu. Marahlah mereka, apalagi melihat betapa tosu pimpinan mereka masih pingsan dan sambil berteriak-teriak mereka melakukan pengejaran. Siang In berlari makin cepat. Dia tidak takut menghadapi tujuh orang itu, akan tetapi dia takut terhadap teriakan-teriakan mereka karena teriakan-teriakan itu dapat memancing datangnya tokoh-tokoh dalam benteng dan akan celakalah dia kalau sampai mereka semua muncul. Di antara mereka banyak terdapat orang pandai yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi daripada dia, bahkan ada pula yang memiliki ilmu sihir yang akan dapat melawan ilmunya sendiri. Maka dia lalu cepat menyusup di antara kegelapan bayangan-bayangan rumah dan menghilang dari kejaran tujuh orang itu.

Siang In terengah-engah menghapus peluhnya dengan saputangan. Dia tiba di sudut sebuah rumah yang gelap, terhindar dari pengejaran semua orang. Celaka, pikirnya. Ke mana perginya Kian Lee? Baru saja dia dapat bernapas panjang melepaskan lelah, tiba-tiba terdengar hiruk-pikuk di belakangnya, suara sepasukan tentara musuh yang mendatangi tempat itu, mencari-cari. Dia terkejut dan lari lagi menjauhi. Ketika dia membelok ke belakang sebuah bangunan besar, hampir dia bertabrakan dengan sesosok bayangan orang yang juga berlari cepat membelok di sudut bangunan itu.

"Heeeiiittttt!"

"Aihhhhh!"

 Keduanya sudah mendorong dengan lengan tangan dan karena dorongan ini. keduanya terlempar ke belakang. Mereka berjungkir balik, meloncat dan siap menghadapi musuh yang hampir ditabrak itu, berdiri saling pandang.

"Kau....?"

"Hemmm, kiranya engkau?"

Dua orang dara yang sama-sama cantik jelita itu dan sama-sama kaget itu saling pandang. Kiranya orang yang hampir menubruk Siang In itu adalah Kim Hwee Li!

"Kau perawan genit binal!". Siang In sudah memaki karena rasa cemburu sudah membakar hatinya begitu dia bertemu dengan dara yang dianggapnya sebagai pacar dari Siluman Kecil itu. Di lain fihak, Hwee Li juga marah sekali melihat dara yang dianggapnya merampas Kian Lee dari dia, maka dengan mata terbelalak melotot dia pun menudingkan telunjuknya, dengan marah.

"Ah, engkau perempuan tak tahu malu!"

"Engkau yang tak tahu malu!"

"Engkau perampas laki-laki!"

"Engkau yang pengeret hina!"

Mereka saling maki dan akhirnya tak dapat dicegah lagi keduanya saling serang dan kembali seperti ketika mereka bertemu di luar tembok benteng, kini pedang dan payung itu sudah saling serang dengan seru dan hebatnya! Akan tetapi pertandingan mati-matian ini hanya berjalan belasan jurus saja karena tiba-tiba muncullah pasukan yang belasan orang banyaknya, dipimpin oleh Hwa-i-kongcu sendiri! Melihat Hwee Li, Hwai-kongcu tertawa.

"Aha, kiranya puteri liar dari Hek-tiauw Lo-mo yang ikut mengacau di sini!"

Pertempuran antara Hwee Li dan Siang In otomatis berhenti dan dua orang dara itu serentak lalu menyerang Hwa-i-kongcu yang menjadi kelabakan karena serangan dua orang dara itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Tidak berani dia memandang rendah, maka dia sudah mencabut pula pedangnya yang tipis, diputarnya cepat untuk melindungi tubuhnya sambil berseru kepada anak buahnya untuk bergerak menangkap dua orang dara itu. Maka dikeroyoklah Hwee Li dan Siang In yang kini mau tidak mau terpaksa harus bertempur bahu-membahu dan saling melindungi! Memang aneh sekali. Mereka itu saling benci dan saling marah satu sama lain, akan tetapi nyatanya mereka menghadapi musuh yang sama sekarang sehingga mereka menghadapi lawan bersama-sama.

Hwee Li yang kini menimpakan kemarahannya kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun, memutar pedangnya dengan nekat dan menerjang laki-laki muda pesolek itu dengan dahsyat, membuat Tang Hun mundur-mundur dan terus didesak oleh Hwee Li. Dara yang gagah perkasa dan tak mengenal rasa takut itu tidak tahu betapa ketua Liong-sim-pang yang cerdik ini memang sengaja memancingnya sehingga terpisah dari Siang In. Kini Siang In dikeroyok oleh belasan orang anak buah Liong-sim-pang sedangkan Hwee Li menghadapi Tang Hun seorang diri dalam pertandingan mati-matian yang amat seru.

Siang In yang sudah merasa lelah itu tidak mau banyak membuang tenaga. Dia cepat mengerahkan tenaga batinnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring disusul oleh kata-katanya yang merdu namun mengandung pengaruh luar biasa.

"Ahhh, kalian ini segerombolan laki-laki yang gagah perkasa mengapa mengeroyok seorang dara yang lemah dan tak berdaya? Kalian merasa malu kalau harus mengeroyok seorang anak perempuan!" Memang luar biasa pengaruh kata-kata yang merdu dan lembut itu. Seketika para pengeroyok itu menahan senjata mereka, memandang kepada Siang In dengan muka merah karena malu, dan mereka ragu-ragu, tidak tahu harus berbuat apa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siang In yang sudah meloncat dengan cepatnya,

lenyap dari situ, meninggalkan para pengeroyoknya yang bengong. Akan tetapi setelah Siang In lenyap, baru mereka sadar bahwa mereka telah membiarkan seorang musuh lolos, maka mereka menjadi sibuk dan kini mereka semua mengeroyok Hwee Li yang masih bertanding dengan serunya melawan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Melihat ini, Tang Hun terkejut.

"Mundur semua! Mana wanita itu tadi?"

"Dia.... dia sudah melarikan diri...." Seorang di antara mereka menjawab.

"Bodoh, kejar!" teriak Tang Hun dan kini dia menangkis pedang Hwee Li, kemudian dia membentak, "Nona Hwee Li, hayo kau berlutut!" Bentakan ini mengandung kekuatan batin karena Tang Hun telah mempergunakan ilmu sihirnya. Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang adalah murid dari Durganini, seorang nenek iblis dari India, ahli sihir, maka tentu saja dia pun pandai menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi batin lawan.

Seketika Hwee Li merasa betapa kedua kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi, dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Namun, Hwee Li adalah seorang dara gemblengan yang sejak kecil digembleng oleh seorang manusia iblis seperti, Hek-tiaw Lo-mo, bahkan dia lalu menjadi murid seorang wanita sakti seperti Lu Ceng Ceng dan karena berdekatan dengan suami subonya ini yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, maka dia bukan merupakan dara biasa yang mudah saja dikuasai sihir. Dia masih sadar bahwa dia diserang orang dengan sihir, maka dia menggunakan kecerdikannya. Biarpun dia sudah berlutut, namun dia masih memegang pedangnya dan kini dia cepat mengangkat muka memandang kepada Tang Hun.

"Hwa-i-kongcu Tang Hun, engkau tahu siapa aku? Aku adalah tunangan dari Pangeran Bharuhendra! Beranikah kau kurang ajar kepada calon permaisuri Raja Nepal?"

Ucapan dara itu sungguh amat mengejutkan hati Tang Hun. Pemuda pesolek ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan tidak mudah baginya untuk merasa terkejut apalagi takut. Akan tetapi, terhadap Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal, apalagi setelah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok juga menjadi kaki tangan Pangeran Nepal, dia benar-benar tahu bahwa pangeran itu memiliki kedudukan yang amat kuat dan dia tahu akan kelemahannya menghadapi mereka. Oleh karena itulah maka dia mau membonceng kekuasaan itu dan

mau bersekutu dengan Pangeran Nepal. Kini, di ingatkan bahwa Hwee Li adalah tunangan dan calon isteri Pangeran Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Memang dia sendiri pun tahu betapa besar cinta kasih Pangeran Liong Bian Cu kepada dara cantik jelita dan lincah ini, maka diingatkan demikian, dia termangu.

"Mampuslah!" Tiba-tiba Hwee Li meloncat dan pedangnya menyambar ke arah dada Tang Hun.

"Aihh....! Cringgg....!" Tang Hun terkejut bukan main, sedapatnya dia menangkis pedang itu dengan pedangnya. Akan tetapi karena serangan itu datangnya tak tersangka-sangka, ketika Hwee Li menggerakkan kakinya menendang dia tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.

"Desss!" Pahanya kena ditendang dan tubuh Tang Hun terlempar ke belakang. Ketika dia merangkak bangun sambil meringis karena pahanya terasa nyeri bukan main, dia melihat bahwa Hwee Li telah lenyap, telah melarikan diri. Terpincang-pincang dia mengejar sambil menyumpah-nyumpah karena merasa bodoh. Kiranya ketika dia terkejut tadi, kekuatan sihirnya pun lenyap sehingga dara itu dapat bergerak dan menyerangnya.

Sementara itu, Kian Bu yang terpisah dari Hwee Li mencari-cari dara itu. Tentu saja tidak mudah mencari Hwee Li di tempat itu, di mana pasukan musuh sibuk mengejar dan mencari-cari mereka. Maka Kian Bu mencari Hwee Li sambil juga bersembunyi-sembunyi jangan sampai bertemu dengan para perajurit musuh dan tokoh-tokoh lihai yang berkeliaran di dalam benteng. Dia tidak begitu khawatir akan keselamatan Hwee Li karena dia maklum bahwa selain lihai sekali, juga gadis itu amat cerdik dan menurut ceritanya, gadis itu dicinta oleh Pangeran Liong Bian Cu, maka keselamatan gadis itu agaknya tidak begitu mengkhawatirkan. Dia harus dapat mencari sendiri Pangeran Liong Bian Cu untuk dibekuk, karena itulah kiranya satu-satunya untuk menguasai benteng dan menyelamatkan para tawanan.

Tiba-tiba dia melihat ribut-ribut di bawah. Dia mendekam di atas wuwungan dan memandang ke bawah. Di bawah sinar lampu dan obor, dia melihat seorang pemuda sedang dikeroyok oleh belasan orang perajurit yang dipimpin oleh seorang kakek bertubuh gorilla yang amat mengerikan. Kiranya kakek itu adalah Su Lo Ti yang memiliki kepandaian seperti iblis! Dan pemuda yang dikeroyok itu adalah Suma Kian Lee!

Dikeroyok oleh belasan orang itu, Kian Lee bersilat seenaknya saja dan setiap orang pengeroyok yang berani mendekat, tentu roboh oleh tamparan atau tendangannya. Kakek gorilla itu hanya menonton dan berdiri sambil berpangku tangan. Kemudian dia menurunkan kedua lengannya yang panjang, lalu mengangkat sebelah tangan ke atas sambil berkata, "Mundur kalian semua!"

Para pengeroyok itu berloncatan mundur dan menolong teman-teman yang sudah roboh. Kakek itu melangkah dengan langkah seekor monyet besar, menghadapi Kian Lee yang memandang kepada kakek gorilla itu dengan sinar mata tajam dan penuh kewaspadaan. Kian Lee yang sudah pernah bentrok dengan kakek ini maklum betapa lihai dan berbahayanya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa jerih. Sinar mata yang mencorong dan mengeluarkan cahaya kehijauan dari kakek itu menandakan bahwa kakek itu telah menampung tenaga sinkang yang luar biasa. Ketika melihat Kian Lee dan sikapnya yang berani, kakek itu tersenyum. "Sungguh berani mati sekali, sudah pernah lolos dari bahaya kini malah berani mendatangi tempat ini. Sungguh pemuda Pulau Es yang mengagumkan dan patut dihormati!"

Dari atas genteng, Kian Bu melihat dengan penuh kecurigaan dan hampir saja dia berteriak memperingatkan kakaknya ketika kakek gorilla itu menjura. Akan tetapi, Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak tenang namun waspada, maka begitu kakek itu menjura, dia pun cepat membalas dengan sikap hormat namun tidak melepaskan kewaspadaan.

Benar saja, begitu kakek itu menjura, ada angin dahsyat menyambar dari kedua tangan kakek itu ke arah Kian Lee. Pemuda yang sudah siap ini cepat mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang untuk mendorong dan menangkis.

Nampak asap mengepul ketika dua hawa itu bertemu dan Kian Lee terkejut juga karena ternyata olehnya betapa kuatnya sinkang dari kakek itu. Maka dia lalu meloncat ke pinggir menghindarkan adu tenaga secara langsung. Sebaliknya, Twa-ok Su Lo Ti yang curang luar biasa itu tersenyum.

"Bagus, tidak kecewa menjadi penghuni Pulau Es. Orang muda, mari kita main-main sebentar!" Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Memang hebat sekali kepandaian dari orang pertama Im-kan Ngo-ok ini. Angin menyambar-nyambar, bukan hanya dari kedua tangannya berikut lengan baju yang panjang, akan tetapi juga dari kedua kakinya dan angin yang menyambar itu mengandung hawa yang amat panas dan mengeluarkan bunyi bercuitan! Kian Lee maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya untuk melawan, menangkis, mengelak dan balas menyerang. Namun, setiap kali mereka berdua mengadu lengan atau mengadu hawa pukulan, selalu Kian Lee merasa terdorong ke belakang dan dadanya terasa nyeri karena tertekan oleh tenaga mujijat yang aneh! Dia makin terkejut, namun dia melawan sekuatnya, karena dalam keadaan terdesak dan terkepung, tidak mungkin dia akan dapat meloloskan diri sebelum dia mengalahkan kakek lihai ini.

"Lee-ko, kauserang bagian bawahhya!" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan ada bayangan orang berkelebat dari atas, cepatnya seperti halilintar menyambar dan tahu-tahu Twa-ok Su Lo Ti merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah ubun-ubun kepalanya. Dan pada saat itu, Kian Lee yang maklum bahwa adiknya sudah muncul dan membantunya, cepat melancarkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin ke arah pusar kakek itu.

"Aughhhhh....!" Twa-ok Su Lo Ti mengeluarkan gerengan nyaring sampai seluruh tempat itu seperti tergetar, dan biarpun penyerangan kakak beradik itu dahsyat, dan cepat, namun dia masih dapat menggunakan lengan kanan menangkis hantaman Kian Bu dan lengan kirinya menangkis pukulan Kian Lee.

"Dukkk....! Desss....!" Tubuh Kian Lee mencelat ke belakang sedangkan tubuh Kian Bu juga berjungkir balik beberapa kali. Kakek yang lihai itu hanya tergetar dan terhuyung saja, padahal Kian Bu sudah menggunakan tenaga gabungan Im dan Yang, yaitu tenaga mujijat yang pernah membuat koksu roboh pingsan. Namun kakek gorilla ini hanya tergetar dan terhuyung, padahal pukulan Kian Bu tadi dibantu oleh pukulan Kian Lee yang juga amat kuatnya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.

Twa-ok me mandang dengan kaget. "Ah, kiranya engkau yang disebut Siluman Kecil? Hebat, hebat! Sungguh orang-orang muda yang hebat," katanya halus akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya sudah menyerang ke depan, berputar-putar seperti gasing dan dari gerakan kedua tangannya menyambar tenaga yang amat kuatnya.

Kian Bu dan Kian Lee cepat menyambut dengan tangkisan dan serangan balasan, namun keduanya maklum bahwa kakek ini memang benar-benar amat kuat. Kian Bu sendiri yang sudah banyak menghadapi orang kuat, diam-diam harus memuji dan mengakui bahwa selama ini baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang benar-benar amat menggiriskan. Tingkat kepandaian kakek bermuka monyet ini lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Sin-siauw Seng-jin, kakek yang menyimpan pusaka-pusaka Suling Emas itu! Akan tetapi sekali ini Kian Bu dibantu oleh kakaknya, Kian Lee yang kepandaiannya juga sudah meningkat tinggi, maka kakak beradik ini dapat mengimbangi permainan silat yang aneh dari Twa-ok.

Akan tetapi, mereka harus mengakui bahwa untuk mengalahkan kakek itu bukanlah hal yang mudah, dan mereka berdua berada di tempat berbahaya. Baru seorang kakek ini saja sudah sehebat itu, kalau sampai datang yang lain-lain bukankah keselamatan mereka terancam bahaya?

"Lee-ko, mari kita pergi!" kata Kian Bu dan tiba-tiba saja pemuda ini menyambar tangan kakaknya dan sekali bergerak, mereka sudah melesat seperti kilat cepatnya ke atas genteng, dan dengan beberapa loncatan lagi mereka telah lenyap dari pandang mata. Twa-ok tidak mengejar, melainkan bengong memandang ke atas genteng dan berulang kali dia menarik napas panjang, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.

"Hebat.... hebat....!" Dia masih tertegun karena harus diakui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia menyaksikan ginkang seperti itu! Dia sendiri maklum dalam hal ginkang, dia tidak akan menang melawan Siluman Kecil. Dan kalau dia dikeroyok dua, dia masih ragu-ragu apakah dia pun akan dapat mengalahkan dua orang muda yang amat hebat itu.

Sementara itu, Kian Bu dan Kian Lee cepat menjauhkan diri dan bersembunyi di wuwungan rumah yang gelap. "Ah, kakek monyet itu benar-benar lihai sekali," kata Kian Bu.

"Untung engkau keburu datang, Bu-te. Kalau tidak, kiranya aku tidak akan mampu mengalahkan dia."

"Lee-ko, tempat ini berbahaya sekali. Melawan banyak orang pandai dengan kekerasan tentu tidak ada gunanya dan kita akan gagal. Sebaiknya kita mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu itu. Sekali dia sudah berada di tangan kita, kita dapat memaksa Koksu Nepal dan yang lain untuk menyerah."

Kian Lee mengangguk. "Pikiran yang baik sekali, Bu-te. Akan tetapi ke mana kita harus mencarinya?"

"Dia tentu berada di salah satu di antara rumah-rumah ini. Kita harus mencarinya sampai dapat. Mari!"

Kakak beradik ini sama sekali tidak mau menyinggung soal Siang In dan Hwee Li. Keduanya merasa sungkan karena keduanya menduga bahwa tentu masing-masing mencinta dara yang melakukan perjalanan bersama itu. Kian Lee menduga bahwa Kian Bu jatuh cinta kepada Hwee Li, sebaliknya Kian Bu juga menduga bahwa Kian Lee tentu jatuh cinta kepada dara cantik jelita berpayung itu. Maka keduanya tutup mulut, tidak berani saling bertanya tentang dara-dara itu, padahal di dalam hati, mereka itu merasa heran dan bertanya-tanya ke mana perginya dara yang tadinya bersama masing-masing itu.

Suasana makin menjadi gempar ketika beberapa kali para penjaga bentrok dengan Kian Lee, Kian Bu, Siang In, dan Hwee Li yang telah berpencaran dan terpisah-pisah itu. Seluruh pembantu yang pandai dikerahkan, bahkan Pangeran Liong Bian Cu sendiri memerintahkan agar para pengacau itu dapat ditangkap hidup-hidup. Koksu Nepal sendiri pun turun tangan, keluar dari kamarnya untuk memimpin para penjaga melakukan pencarian dan pengejaran.

Para perwira pasukan yang mengadakan perondaan dan pemeriksaan, juga menjadi makin bingung ketika mereka melihat ada dua orang Hek-sin Touw-ong berkeliaran! Baru saja seorang perwira bersama selosin orang perajuritnya bertemu dengan Hek-sin Touw-ong di belakang sebuah rumah, dan begitu mereka keluar dari lorong dan berada di depan rumah itu, mereka melihat lagi Hek-sin Touw-ong! Biarpun kakek itu lihai, tidak mungkin pandai menghilang atau terbang secepat itu.

"Heiii, Touw-ong! Bagaimana kau bisa muncul di sini? Padahal, baru saja kita saling jumpa di belakang...." Akan tetapi perwira itu tidak melanjutkan kata-katanya karena Hek-sin Touw-ong ke dua ini telah menggerakkan tangan menampar dan perwira itu roboh pingsan! Selagi para perajurit melongo dan kemudian marah-marah, Hek-sin Touw-ong ke dua itu telah melarikan diri! Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Hek-sin Touw-ong ke dua ini bukan lain adalah Gak Bun Beng! Para perajurit menggotong perwira yang pingsan dan mereka lari pergi menghadap Koksu Nepal. Ketika mereka bertemu dengan rombongan koksu, mereka melihat bahwa Hek-sin Touw-ong sudah berada di situ bersama rombongan koksu!

"Dia.... dia telah menyerang dan merobohkan komandan kami!" perajurit-perajurit itu berseru.

"Kalian bicara apa? Sejak tadi aku berada di sini bersama dengan Koksu!" jawab Touw-ong yang tentu saja mengerti bahwa yang dimaksudkan adalah Bun Beng.

Karena koksu juga melihat sendiri betapa Touw-ong sejak tadi berada bersamanya, maka dia marah-marah dan memaki-maki para perajurit dan menyuruh mereka pergi dan membawa perwira yang pingsan. "Kalian tolol! Tentu musuh yang telah menyerang perwira kalian, dan sama sekali bukan Touw-ong."

"Tapi.... tapi hamba melihat betul bahwa Touw-ong...."

"Cukup dan pergi! Atau kau lngin kupukul roboh juga?" bentak koksu dan para perajurit itu segera pergi dengan ketakutan. Koksu Nepal marah bukan main. Dia merasa jengkel bahwa bentengnya diselundupi mata-mata musuh dan sampai sekian lamanya mata-mata musuh belum juga tertangkap. Ketika dia mendengar laporan dari Twa-ok yang bertemu dengan Siluman Kecil dan pemuda Pulau Es, mengertilah koksu bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah dua orang di antara para mata-mata yang mengacau. Juga dia mendengar dari para pembantu lain bahwa gadis yang dicinta oleh pangeran, Hwee Li, dan seorang gadis lain yang mahir limu sihir, juga memasuki benteng dan melakukan pengacauan. Kalau hanya orang-orang muda itu yang mengacau, masa seluruh pasukan tidak mampu menangkap mereka? Padahal di situ terdapat lm-kan Ngo-ok lengkap, belum lagi orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan masih banyak orang-orang pandai lagi!

"Tangkap mereka!" bentaknya ketika dia bertemu dengan semua pembantunya. "Kalau tidak dapat menangkap, bunuh saja mereka!"

"Akan tetapi, jangan sekali-kali melukai atau membunuh Nona Hwee Li!" tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata dan tidak ada seorang pun berani membantah perintah ini. Pengejaran di perketat dan semua pengawal dikerahkan untuk mencari di seluruh tempat dalam benteng seperti menyisir rambut saja.

Namun kekacauan makin menghebat ketika para pengawal itu tiba-tiba melihat Ang-siocia kembar! Saking bingungnya menyaksikan keributan yang ditimbulkan oleh empat orang muda yang belum dapat mereka jumpai, Ang-siocia dan Ceng Ceng meninggalkan tempat mereka dan ikut mencari, tentu saja dengan maksud melihat siapa orangnya yang menyusup ke dalam benteng dan kalau perlu melindungi mereka. Mereka lupa sama sekali bahwa wajah mereka adalah serupa dan bahwa mereka merupakan Ang-siocia kembar! Demikian pula dengan Gak Bun Beng yang sudah dapat menduga bahwa tentu keributan itu di timbulkan oleh Kian Bu dan Kian Lee.

Pendekar ini pun telah menambah kebingungan para pengejar karena dia merupakan Hek-sin Touw-ong ke dua.

"Benarkah dugaanmu bahwa satu di antara pengacau itu adalah Siluman Kecil, Lihiap?" tanya Ang-siocia kepada Ceng Ceng yang berjalan di sebelahnya.

Ceng Ceng mengangguk. "Siapa lagi kalau bukan dia yang begitu berani mengacau di tempat seperti ini? Dan aku mendengar sendiri dari mulut Twa-ok yang bertemu dengan Ji-ok, bahwa dia telah bentrok dengan pemuda lihai berambut putih panjang. Siapa lagi kalau bukan Paman Kian Bu?"

Jantung Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berdebar kencang. Siluman Kecil berada di situ pula! Tentu saja dia makin bersemangat untuk dapat menolong dan menyembunyikan pendekar yang telah menundukkan hatinya itu dan mereka berdua lalu makin giat mencari. Tiba-tiba mereka bertemu dengan Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang tinggi dan sombong, yang memimpin belasan orang dan yang memegang golok dengan sikap angkuh, seolah-olah dialah yang akan berhasil menangkap para pengacau. Matanya liar memandang ke kanan kiri dan tiba-tiba matanya terbelalak ketika dia melihat Ang-siocia den Ceng Ceng! Dia mengenal Ang-siocia yang dianggap sebagai pembantu koksu yang lihai dan andaikata dia melihat seorang saja Ang-siocia berkeliaran, tentu dia tidak akan menaruh curiga karena sudah semestinya kalau Ang-siocia ikut pula mengejar dan mencari mata- mata musuh. Akan tetapi dia melihat Ang-siocia kembar! Dan dia tidak pernah mendengar Ang-siocia mempunyai enci atau adik di situ, apalagi saudara kembar.

"Heeiii!! Berhentii!" bentaknya.

Ang-siocia sudah hafal akan semua pembantu koksu dan dia tahu siapa adanya si jangkung bergolok ini. Maka dia tersenyum dan berkata, "Jiu-lopek, mau apa engkau menghentikan aku? Apakah kau sudah berhasil membekuk mata- mata?"

Jiu Koan memandang kepada Ang-siocia dan Ceng Ceng silih berganti dengan mata bingung. "Ang-siocia, engkaukah Ang-siocia? Dan siapa pula yang seorang ini?"

Ditanya demikian, barulah Ceng Ceng lngat bahwa ia menyamar sebagai Ang-siocia dan Kang Swi Hwa sendiri baru sadar setelah dia menoleh dan menatap wajah Ceng Ceng. Celaka, pikirnya mengapa dia begitu pelupa dan bodoh! Hal ini tentu karena ketegangan hatinya mendengar bahwa Siluman Kecil berada di dalam benteng itu.

"Lihiap, serang!" bisiknya dan dia sudah menerjang maju. Juga Ceng Ceng sudah bergerak dan serangannya demikian hebatnya sehingga Jiu Koan tidak sempat lagi berteriak. Tengkuknya sudah dihantam oleh tangan Ceng Ceng dan dia roboh tak sadarkan diri lagi. Juga Ang-siocia telah merobohkan dua orang anak buah Liong-sim-pang, kemudian dua orang wanita itu meloncat dan meiarikan diri, dikejar oleh para anak buah Liong-simpang yang berteriak-teriak. Di sana-sini terjadi pertempuran, apabila ada seorang di antara para pengacau itu kepergok musuh, akan tetapi karena empat orang muda itu memang lihai, mereka selalu dapat melarikan diri dan mereka begitu cerdik sehingga tidak pernah para tokoh lihai pembantu koksu dapat melihat mereka. Akan tetapi, setelah para pembantu koksu menggunakan siasat bersembunyi sambil mengintai, akhirnya Ang-siocia dan Ceng Ceng yang merupakan dua orang kembar itu terkepung oleh Twa-ok dan Ji-ok dibantu oleh beberapa orang penjaga!

Twa-ok dan Ji-ok sudah mendengar dari para anggauta Liong-sim-pang betapa Ang-siocia telah berkhianat dan menyelundupkan seorang mata-mata yang menyamar seperti dia, maka begitu bertemu dengan Ang-siocia kembar ini, orang pertama dan ke dua dari Im-kan Ngo-ok langsung saja meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghadang.

Ceng Ceng terkejut bukan main melihat dua orang yang wajahnya mengerikan itu. Twa-ok Su Lo Ti yang wajah dan tubuhnya seperti seekor monyet besar sudah mengerikan, akan tetapi Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang memakai topeng tengkorak lebih mengerikan lagi. Tentu saja dia tidak merasa takut, karena suaminya sendiri, Si Naga Sakti Gurun Pasir, dahulu juga memakai topeng setan yang mengerikan (baca Kisah Sepasang Rajawali), dan memang nyonya muda yang gagah perkasa ini tidak pernah merasa takut menghadapi

siapapun juga, apalagi dia tidak pernah mengenal siapa adanya dua orang ini dan sampai di mana kelihaian mereka. Akan tetapi, Ang-sio-cia sudah menjadi pucat wajahnya dan dia berbisik, "Lihiap, celakalah kita sekali ini...."

Twa-ok Su Lo Ti tersenyum ramah, akan tetapi karena wajahnya seperti monyet, ketika tersenyum ramah wajahnya itu menyeringai seperti seekor kera marah. "Ha-ha-ha, engkaulah yang tulen karena wajahmu dapat berubah pucat. Dan yang seorang lagi adalah Ang-siocia palsu, wajahnya tertutup lapisan topeng. Ang-siocia, memang sejak lama aku sudah curiga kepadamu dan kepada gurumu, sekarang terbukti bahwa engkau menyelundupkan seorang mata-mata musuh. Betapa berani mati engkau."

"Twa-heng, ingin aku melihat wajah orang ke dua ini," kata Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan tiba-tiba telunjuknya menuding ke arah Ceng Ceng, ke arah wajah pendekar wanita ini. Terdengar suara mencicit nyaring dan hawa dingin tajam menyambar ke arah wajah Ceng Ceng. Wanita ini terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita tua bertopeng tengkorak itu demikian hebat kepandaiannya. Cepat dia miringkan tubuhnya dan menggunakan kekuatan sinkang untuk menangkis. Dia berhasil menghindarkan diri, akan tetapi tetap saja dia terhuyung, tanda betapa kuatnya sinkang dari wanita muka tengkorak itu! Di lain fihak, Ji-ok Kui-bin Nio-nio juga terkejut dan penasaran. Tidak banyak orang dapat menghindarkan diri dari serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat diandalkan itu.

"Eh, kau boleh juga!" dia mengejek dan sudah hendak menyerang pula. Akan tetapi Twa-ok mencegahnya.

"Tak perlu membuka kedoknya, Ji-moi. Wajah semua wanita pun sama saja, tiada bedanya dengan kedok. Kulit muka hanyalah topeng yang menutupi keadaan aselinya. Kalu kulit muka dikupas, yang nampak tentu hanyalah tengkorak seperti yang kaupakai itu."

"Kalau begitu dia tentu harus kita bunuh dulu."

"Tidak perlu, aku bisa mengupas kulit muka mereka sehingga nampak tengkoraknya tanpa membunuh mereka. Kau ingin lihat?"

"Baik, kaulakukanlah. Ingin aku melihat tengkorak hidup, hi-hik-hik, tentu lucu sekali, Twa-heng."

Mendengar percakapan dua orang aneh itu, Ang-siocia merasa ngeri. Akan tetapi, Ceng Ceng marah bukan main. Dua orang itu bicara seolah-olah dia dan Kang Swi Hwa hanya merupakan dua buah boneka yang boleh diperbuat sesuka hati dua orang iblis itu.

"Iblis-iblis tua bangka yang sombong! Siapa takut padamu?" bentak Ceng Ceng dan nyonya muda ini sudah menyerang dengan pukulan dahsyat. Pukulan ini adalah pukulan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) yang dipelajarinya dari mendiang Ban-tok Mo-li, dan setelah nyonya muda ini minum darah anak naga dan memiliki kekuatan mujijat, tentu saja pukulan yang menggunakan Ban-tok Sin-ciang ini dahsyatnya bukan main. Angin pukulan yang mengandung hawa panas seperti api berkobar menyambar ke arah kakek gorilla itu ketika Ceng Ceng menyerangnya.

"Aehhh....!" Twa-ok Su Lo Ti berseru kaget. Dia mengenal pukulan beracun yang mengandung tenaga amat kuatnya, maka cepat dia pun bergerak menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

"Desss. ...!" Tubuh Ceng Ceng terlempar ke belakang, akan tetapi nyonya muda ini tidak roboh melainkan berjungkir balik dan turun lagi ke atas tanah dengan selamat, sungguhpun napasnya agak memburu karena dadanya terguncang hebat. Akan tetapi, sebaliknya kakek itu pun terhuyung ke belakang. Bukan main kuatnya memang tenaga sakti yang didapat oleh Ceng Ceng dari sari darah ular telaga yang dinamakan anak naga itu! Twa-ok Su Lo Ti terbelalak kaget dan penuh kagum. Selama hidupnya mengembara di dunia kang-ouw sebagai orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, baru sekarang dia bertemu tanding seorang wanita muda yang memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga dalam pertemuan tenaga tadi mampu membuat dia terhuyung.

"Hi-hi-hik, Twa-heng, apakah kau masih bersumbar hendak mengupas kulit mukanya hidup-hidup?" Ji-ok mengejek. Wanita tua mengerikan ini senang melihat Twa-hengnya menemukan tandingan yang amat tangguh maka dia mengejek. Akan tetapi Twa-ok tidak mempedulikannya.

"Siapakah engkau?" tanyanya sambil memandang kepada Ceng Ceng.

"Siapa adanya aku tidak perlu kau tahu!" bentak Ceng Ceng dengan angkuh.

Twa-ok mengangguk-angguk. "Bagus, bagus! Kaukira aku tidak akan dapat mengenal ilmu silatmu? Nah, kausambutlah ini dan aku akan mencoba untuk mengenal ilmu silatmu." Setelah berkata demikian, dua buah lengan panjang itu bergerak dan tahu-tahu dua buah tangan itu mulur sampai panjang, hendak menangkap Ceng Ceng dari atas dan bawah. Yang atas mengancam kepala, yang bawah hendak menangkap kaki!

Ceng Ceng makin kaget. Dari suaminya dia sudah mendengar akan adanya ilmu mujijat ini, yang dapat membuat kedua lengan mulur sampai panjang sekali dan ilmu ini sungguh amat berbahaya. Cepat dia lalu mengerahkan tenaganya dan menggunakan kedua tangannya untuk menyambut dua lengan panjang itu dengan babatan tangan yang dimiringkan.

"Wut-wuttt.... plakkk!" Kembali tubuh Ceng Ceng terlempar. Ketika kedua tangannya membabat tadi, seperti dua ekor ular hidup, kedua lengan Twa-ok Su Lo Ti sudah mengelak dan dari samping, tangan itu menampar ke arah tengkuk Ceng Ceng. Nyonya muda itu cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar dan dia terlempar dan terbanting. Baiknya nyonya muda ini memiliki kekebalan, dan dia menggulingkan tubuhnya lalu meloncat bangun kembali.

Sementara itu, melihat Ceng Ceng sudah bertempur melawan Twa-ok, dengan nekat Ang-siocia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ji-ok dengan senjata itu. Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang dimiliki Ang-siocia sudah lumayan, kini dia menggunakan pedang maka tentu saja serangannya bukan merupakan hal yang boleh dipandang ringan begitu saja. Ji-ok maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani menerima serangan pedang itu dan cepat dia bergerak mengelak dan membalas dengan sambaran hawa pedang yang menyambar dahsyat dari jari-jari tangannya. Menghadapi ini, Ang-siocia kewalahan dan baru belasan jurus saja baju di lengan kirinya telah robek dan kulit lengannya tergores hawa yang tajam itu. Dia terkejut dan melompat mundur, ditertawakan oleh Ji-ok!

Pada saat yang amat berbahaya bagi kedua orang wanita muda itu, tiba-tiba muncul Koksu Nepal! Begitu muncul, Koksu Nepal ini cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru, "Twa-ok! Ji-ok! Jangan layani mereka. Pangeran berada dalam bahaya, yang penting kita harus lindungi pangeran. Mari....!"

Tiba-tiba Ang-siocia menyentuh lengan Ceng Ceng dan berbisik, "Kita pergi!" Lalu dia menarik lengan Ceng Ceng. Nyonya muda ini mengerutkan alisnya, karena biarpun dia maklum akan kelihaian lawan, dia tidak takut dan ingin melawan terus. Akan tetapi sikap Ang-siocia yang menarik lengannya, dia pun tidak membantah dan meloncat bersama Ang-siocia meninggalkan tempat itu.

Twa-ok dan Ji-ok saling pandang dengan wajah menunjukkan kemarahan. Koksu Nepal sudah lari ke kiri sambil memberi isyarat kepada mereka untuk ikut, akan tetapi mereka tidak mau cepat-cepat ikut, karena mereka merasa mendongkol dengan sikap koksu. Koksu tidak saja mencegah mereka menangkap atau merobohkan dua orang wanita muda tadi, bahkan koksu telah menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok! Agaknya dalam keadaan genting seperti itu, Sam-ok menganggap dirinya koksu dan menganggap mereka berdua bukan sebagai kakak-kakak yang sepatutnya disebut Twa-heng dan Ji-ci, melainkan menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok. Karena mendongkol inilah maka keduanya tadi membiarkan saja Ceng Ceng dan Ang-siocia lari dan kini mereka saling pandang.

"Hemmm, lagaknya. ...!" Ji-ok mengomel.

"Sam-te, memang sudah mabuk pangkat rupanya," Twa-ok juga mengomel. "Jangan pedulikan dia, kalau muncul lagi akan kutempiling kepalanya!" Jik-ok makin marah.

"Akan tetapi kita di sini untuk membantu pangeran, kalau dia benar dalam bahaya...."

Mereka diam dan menoleh. Betapa kaget dan marah mereka ketika melihat koksu muncul lagi dari belakang, padahal baru saja koksu pergi ke kiri!

"Twa-heng, Ji-ci, kenapa kalian diam saja di sini?"

"Bagus, ya? Tadi menyebut Twa-ok dan Ji-ok, kini mengapa berubah dengan sebutan Twa-heng dan Ji-ci segala?" Ji-ok membentak dan sudah menyerang koksu dengan pukulan Kiam-ci!

"Plak-plak!" Dua kali koksu menangkis dan dia mencelat ke belakang.

"Eh, eh, apa-apaan ini? Siapa menyebut kalian begitu?"

Twa-ok memandang heran. "Bukankah baru saja engkau muncul dan mengajak kami melindungi pangeran?"

"Siapa? Aku baru saja datang...."

"Tentu kau koksu yang palsu!" Ji-ok sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya. Koksu meloncat ke kanan kiri lalu meloncat ke belakang. "Tunggu, kau keliru, Ji-ci. Lihat, apakah ini palsu?" Dia lalu bersilat, membuat gerakan aneh yang membuat tubuhnya

berpusing. Itulah Thian-te Hong-i, ilmu silat khas dari Ban Hwa Sengjin atau Sam-ok. Melihat ini Twa-ok dan Ji-ok percaya.

"Wah, kalau begitu, ada orang yang main-main dan menyamar sebagal engkau, Sam-te," kata Ji-ok. Twa-ok lalu menceritakan pertemuan mereka berdua dengan dua orang Ang-siocia, dan orang ke dua itu amat lihainya. Mendengar penuturan itu, koksu mengangguk-angguk.

"Aku sudah tahu. Guru dan murid maling itu benar-benar telah mengkhianati kita. Dan Ang-siocia ke dua itu tentu adalah isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Agaknya mereka telah menyelundup ke sini. Ji-ci, lekas kau pergi ke tempat tawanan dan kaubawa anak Si Naga Sakti itu ke istana pangeran. Twa-heng, mari ikut aku untuk menjebak dan menangkap mereka."

Ji-ok mengangguk dan berkelebat pergi, sedangkan Twa-ok lalu mengikuti koksu meninggalkan tempat itu.

Ke mana perginya Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu? Dua orang yang memiliki kesaktian hebat ini mengapa tidak muncul dalam keadaan kacau-balau itu? Sesungguhnya mereka berdua pun sedang sibuk dan sesuai dengan rencana siasat Jenderal Kao Liang, mereka berdua mempergunakan kesempatan selagi keadaan kacau-balau itu untuk berusaha menyelamatkan keluarga Jenderal Kao lebih dulu. Seperti kita ketahui Gak Bun Beng menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong, sedangkan Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu memang tidak menyamar. Kini, dua orang sakti ini sudah berkelebat pergi menuju ke tempat di mana tawanan berada. Namun tempat itu terjaga dengan amat ketat, dan ketika mereka tiba di tempat itu, yang bertugas menjaga adalah Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek sekali itu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu kurus yang tingginya due meter setengah. Di samping dua orang tangguh dari Im-kan Ngo-ok ini, nampak pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Melihat ketatnya penjagaan di luar tempat tahanan, Bun Beng menarik tangan Kok Cu ke tempat gelap. "Penjagaan amat kuat, " bisik Bun Beng.

"Paman Gak, kita terjang saja. Biar saya saja yang mengamuk dan Paman dapat melindungi para taawanan dan membawa mereka keluar."

Gak Bun Beng menggeleng kepala. "Empat orang kakek itu lihai sekali, dan kakek Nepal yang berdiri di sudut itu agaknya juga tak boleh dipandang ringan."

"Kalau tidak salah, kakek itu bernama Gitananda dan menjadi pengawal pribadi koksu," bisik Kok Cu. "Akan tetapi, biarlah saya menghadapi mereka."

"Aku percaya kepadamu, Kok Cu. Akan tetapi, tujuan kita adalah mengeluarkan tawanan dan membawa mereka ke tempat seperti yang telah ditunjuk oleh ayahmu, bukan sekedar melawan mereka. Kalau sampai gagal, tentu akan lebih sukar lagi untuk menyelamatkan mereka. Kau seorang diri saja masih kurang cukup untuk melindungi aku mengeluarkan keluargamu yang amat banyak itu. Kalau saja ada Kian Lee atau Kian Bu...."

Tiba-tiba kedua orang itu menarik diri ke tempat gelap karena mereka melihat berkelebatnya orang. Gerakan orang itu cepat bukan main dan melihat orang itu, Bun Beng cepat bergerak. Dengan loncatan seperti seekor burung saja, dia sudah keluar dari tempat sembunyinya dan menghadang di depan pemuda yang berkelebat itu.

"Paman Gak....!"

"Sssttttt cepat ke sinilah....!"

Orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini berada di dalam tembok benteng, bukan semata-mata hendak membantu pemberontak atau membantu Koksu Nepal, melainkan karena dia hendak melindungi Syanti Dewi yang dianggapnya berada di tempat itu sebagai tawanan. Ketika terjadi ribut-ribut pada malam hari itu, Tek Hoat terus menjaga di luar tempat tinggal sang puteri dengan setia dan penuh kewaspadaan. Biarpun di situ ada pula Mohinta dan kaki tangannya yang melakukan penjagaan, namun dia tidak pernah meninggalkan tempat itu dan siap untuk melindungi Syanti Dewi. Akan tetapi ketika dia mendengar dari Mohinta dan para penjaga bahwa yang mengacau di dalam benteng, di antaranya terdapat Kian Lee dan Kian Bu yang dinamakan orang Siluman Kecil, juga adanya berita bahwa Ang-siocia dan gurunya juga berkhianat, jantungnya berdebar tegang. Dia tahu bahwa mereka yang disebut sebagai pengacau-pengacau itu sama sekali bukanlah musuh Syanti Dewi, juga bukan musuhnya. Siapa tahu kalau-kalau gerakan mereka itu malah ada hubungannya dengan ditawannya Syanti Dewi dan bahwa mereka itu bergerak untuk membebaskan para tawanan termasuk Syanti Dewi. Semenjak benteng itu diserang oleh barisan kerajaan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yaitu bibinya sendiri, dia sudah merasa gelisah bukan main. Dia tidak sudi membantu orang Nepal, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan Syanti Dewi yang menjadi tamu atau tawanan di tempat itu. Yang membuat dia pusing dan bingung adalah sikap Syanti Dewi kepadanya. Begitu dingin dan lebih hebat lagi, Syanti Dewi minta kepadanya agar dia membantu orang-orang Nepal!

Dalam keadaan bimbang inilah akhirnya Tek Hoat meninggalkan tempat di mana dia berjaga, yaitu di depan tempat tinggal Syanti Dewi dan dia berniat untuk mencari dan bertemu dengan seorang di antara para pengacau untuk menyelidiki apa yang mereka kehendaki. Maka ketika tiba-tiba dia melihat Gak Bun Beng, dia terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pendekar sakti itu juga telah berada di dalam benteng! Dia maklum bahwa pendekar sakti ini adalah seorang gagah dan budiman, bahkan pernah menyelamatkan nyawa Syanti Dewi berkali-kali, maka tentu saja dia menaruh kepercayaan penuh dan cepat dia mengikuti Bun Beng

menyelinap ke dalam tempat gelap. Dan ketika dia melihat Kao Kok Cu berada pula di situ, dia makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian si Topeng Setan ini, maka cepat-cepat dia menegur adik iparnya ini, karena Ceng Ceng adalah adik tirinya seayah berlainan ibu. "Engkau juga di sini?"

Kao Kok Cu tersenyum. "Sama dengan engkau."

"Tek Hoat, engkau harus membantu kami. Kami akan menyelamatkan keluarga Kao yang tertawan," kata Bun Beng.

Tek Hoat mengerutkan alisnya dan memandang dengan bimbang, lalu dia berkata dengan suara meragu, "Akan tetapi aku.... saya harus melindungi dia di sana...."

"Aku tahu, Tek Hoat. Engkau melindungi Syanti Dewi, akan tetapi bukankah engkau juga tahu bahwa Syanti Dewi bukanlah tawanan melainkan tamu? Syanti Dewi tidak akan terganggu, sebaliknya keluarga Kao terancam keselamatan nyawanya. Dan benteng ini telah dikurung oleh barisan kerajaan, dalam beberapa hari lagi pasti akan runtuh. Engkau harus membantu kami. Kaubantulah Kok Cu menyerang mereka yang menjaga tawanan itu, dan aku akan membawa mereka keluar."

"Tapi Syanti...."

"Jangan khawatir, akulah yang menanggung bahwa kalau benteng ini dibobolkan, dan kalau benar Syanti Dewi masih berada di sini, aku menjamin keselamatannya."

Tentu saja ucapan seorang pendekar seperti Gak Bun Beng itu tidak pernah diragukan oleh Tek Hoat. Pula, memang sesungguhnya dia tidak suka kepada koksu dan semua pembantunya dan dia tidak sudi membantu mereka. Kalau saja tidak ingat bahwa Syanti Dewi perlu dengan perlindungannya, tentu dia tidak sudi tinggal di dalam benteng itu dan sudah keluar, bahkan ada kemungkinan dia membantu bibinya, Puteri Milana, untuk menyerbu ke dalam benteng. Maka mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia mengangguk.

"Cepat, waktunya tinggal sedikit lagi!" kata Gak Bun Beng dengan girang. Dia telah mengatur rencana dengan Jenderal Kao dan telah berjanji bahwa sebelum matahari pagi muncul, dia sudah harus dapat membawa para tawanan itu ke tempat aman, yaitu di dalam gudang bawah tanah yang telah ditentukan oleh Jenderal Kao Liang. Dan waktu itu, tengah malam telah lama terlewat. Fajar sudah menjelang tiba. Gak Bun Beng membisikkan siasatnya kepada Kao Kok Cu dan Tek Hoat, kemudian, dari tempat persembunyian mereka, tiga orang yang berilmu tinggi ini meloncat ke depan.

Seperti sudah direncanakan oleh Bun Beng, maka Gak Bun Beng langsung menyerang Ngo-ok yang tinggi itu sedangkan Kok Cu mernyerang Su-ok, adapun Tek Hoat sudah menerjang ke arah Hek-tiauw Lo-mo.

Perhitungan Gak Bun Beng memang tepat. Di antara mereka yang berjaga itu orang-orang yang paling lihai adalah Su-ok dan Ngo-ok. Akan tetapi, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu kini diserang oleh dua orang sakti seperti Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, maka biarpun mereka itu cepat menyambut, namun mereka terkena hantaman dengan hawa pukulan sinkang yang amat hebat sampai mereka itu terhuyung-huyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Bun Beng untuk mendesak Ngo-ok dengan ilmu sakti Lo-thiam-sin-ciang. Biarpun Si Jangkung itu sudah mempertahankan diri dan menggerakkan dua lengannya yang panjang, namun karena diserang secara mendadak oleh seorang yang memiliki tingkat ilmu lebih tinggi dari padanya, dia menjadi bingung dan gugup, akhirnya pundaknya kena ditampar dan dia terlempar sampai beberapa kaki jauhnya!

Sepak terjang Si Naga Sakti Gurun Pasir lebih hebat lagi. Tadi dia melayang seperti seekor naga dan begitu tangan kanannya yang mencengkeram itu dapat dielakkan oleh si kate Su-ok yang masih terhuyung karena dorongan hawa pukulan, Kok Cu menubruk dengan kecepatan kilat dan lengan kirinya yang kosong dan hanya ada lengan baju saja itu meluncur ke depan, melakukan totokan sampai tujuh kali ke arah jalan-jalan darah yang paling berbahaya dari lawan.

Su-ok berteriak kaget dan ketakutan, menggelinding ke sana-sini, dan biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari ancaman maut, tetap saja dia kena ditendang sehingga tubuhnya menjadi semacam bola dan terlempar lebih jauh dari tubuh Ngo-ok.

Tek Hoat mengalami kesukaran karena dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Akan tetapi tibatiba Kok Cu membantunya dan dua orang iblis itu menjadi gentar karena hawa pukulan yang meluncur dari tangan tunggal Kok Cu sudah mendorong mereka ke belakang dengan dahsyatnya. Juga Gitananda yang memutar tongkatnya, bertemu dengan Bun Beng yang secara berani menangkis tongkat itu dengan lengan.

"Krakkk!" Tongkat itu patah dan Gita nanda meloncat ke belakang dengan muka pucat. Pendeta Nepal ini lalu berkemak-kemik, mengangkat tangan kiri ke atas dan berteriak nyaring, "Tiga orang jahat berlututlah kalian!"

Bun Beng dan Kok Cu telah mencapai tingkat tinggi sekali dalam kekuatan sinkang mereka, maka biarpun jantung mereka tergetar oleh pengaruh sihir ini, dengan menahan napas mereka dapat menolak pengaruh itu. Ketika Tek Hoat terhuyung dan hampir berlutut, tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan suara melengking seperti seekor naga marah dan tiba-tiba Tek Hoat dapat meloncat ke depan kakek Nepal, dengan kemarahan meluap Tek Hoat lalu menusukkan jari tangannya dengan pengerahan tenaga sinkangnya ke arah dada Gitananda. Kakek ini terkejut, mendoyongkan tubuh ke belakang dan menggerakkan tangan kanan menangkis.

"Cusss.... aughhh....!" Lengan yang menangkis itu bertemu dengan jari tangan Tek Hoat dan lengan itu tertusuk jari seperti tertusuk pedang saja! Memang hebat sekali jari tangan Tek Hoat ini dan bukanlah julukan kosong kalau di dunia kang-ouw dia dinamakan Si Jari Maut. Kiranya pengaruh sihir dari Gitananda tadi membuyar dan lenyap oleh suara lengkingan yang keluar dari dada Kok Cu.

"Harap kalian suka menahan mereka!" Bun Beng berseru dan dia sendiri lalu menerobos dari kepungan, menghampiri pintu tempat tahanan dan merobohkan setiap orang pengawal yang berani menghalanginya. Dengan kekuatan tangannya, dibobolnya pintu itu. Pintu besi yang terkunci itu ambrol dan terbuka.

Keluarga Kao yang sejak tadi merasa gelisah mendengar suara ribut-ribut, kini terkejut melihat munculnya seorang laki-laki gagah perkasa. Kini Gak Bun Beng sudah tidak lagi menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong. Semenjak dia pergi bersama Kao Kok Cu untuk menolong keluarga Kao, dia sudah menanggalkan penyamarannya yang dianggapnya tidak berguna lagi.

Akan tetapi, Kao Kok Tiong, putera ke dua dari Jederal Kao, segera mengenal Bun Beng.

"Gak-taihiap....!" serunya girang dan semua keluarga lalu dikumpulkan dan diajak keluar oleh Bun Beng.

"Cepat, kita harus pergi ke gudang bawah tanah. ini perintah Jenderal Kao!" kata Bun Beng. Kok Tiong lalu mengatur keluarganya, digiringnya semua keluarga itu keluar dari tempat tahanan. Ternyata Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda dan semua penjaga sudah melarikan diri, tidak dapat menahan amukan Kok Cu dan Tek Hoat.

Melihat ibunya dan semua keluarga keluar, Kok Cu girang dan terharu. Akan tetapi matanya mencari-cari dan wajahnya berubah. "Mana Cin Liong.. ..?" tanyanya.

Kok Tiong, adiknya, cepat berkata, "Baru saja dia dibawa pergi oleh nenek muka tengkorak, Twa-ko."

"Ji-ok....!" Kao Kok Cu berseru kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia sudah mendengar tentang kekejaman nenek iblis itu dan kini puteranya dibawa pergi oleh Ji-ok.

Melihat keadaan kakaknya, Kok Tiong berkata dengan suara sedih, "Maafkan bahwa aku tidak dapat mempertahankan puteramu, Twa-ko. Nenek itu lihai bukan main dan dia berkata bahwa koksu yang menyuruh dia menjemput Cin Liong."

Kao Kok Cu tentu saja tidak dapat menyalahkan adiknya karena dia pun maklum betapa lihainya Ji-ok yang sama sekali bukanlah tandingan Kok Tiong. Dia lalu berkata kepada Gak Bun Beng. "Paman Gak, tolong Paman lindungi keluarga kami, aku sendiri harus cepat mencari Cin Liong." Setelah berkata demikian dan melihat Bun Beng mengangguk, Kok Cu lalu berkelebat pergi dengan cepatnya.

Gak Bun Beng kini dibantu oleh Tek Hoat mengawal keluarga Jenderal Kao menuju ke gudang bawah tanah yang memang sudah dipersiapkan oleh Jenderal Kao sebagai tempat persembunyian keluarganya kalau tiba saatnya. Tanpa ada rintangan, Bun Beng berhasil mengantar mereka semua memasuki gudang bawah tanah.

"Paman Gak, sekarang saya harus pergi karena saya harus melindungi Syanti Dewi! Sedapat mungkin saya harus melarikan dia dari tempat ini sebelum terlambat. "

Gak Bun Beng mengangguk dan hendak membuka mulut, akan tetapi ditahannya dan dia memandang tubuh pemuda itu yang sudah berkelebat pergi. Tadinya dia hendak memberi tahu bahwa yang dilindunginya itu adalah Syanti Dewi palsu, akan tetapi dia ingat betapa aneh dan beraninya tabiat pemuda ini sehingga kalau sampai diberitahu, mungkin pemuda ini akan mengamuk di dalam benteng secara nekat dan hal itu sama artinya dengan bunuh diri. Karena itulah maka dia tidak jadi memberi tahu. Dengan sikap gagah Gak Bun Beng menjaga di luar pintu gudang itu bersama Kao Kok Tiong yang kini timbul kembali semangatnya setelah keluarganya keluar dari tahanan, apalagi ketika dia mengetahui bahwa kakaknya yang sakti, juga banyak pendekar sakti, telah berada di dalam benteng untuk membantu keluarganya. Dia merampas sebatang pedang dari seorang penjaga dan dengan pedang di tangan dia ikut menjaga di depan pintu gudang di mana keluarganya bersembunyi. Ketika Tek Hoat berlari menuju ke tempat di mana Syanti Dewi berada, yaitu di sebuah bangunan kecil bagian barat, tiba-tiba dia melihat Kian Lee dan Kian Bu sedang mengamuk di luar rumah besar seperti istana yang dia tahu adalah tempat tinggal Pangeran Liong Bian Cu. Kakak beradik yang amat lihai itu dikeroyok oleh im-kan Ngo-ok! Tadinya Tek Hoat tidak mau peduli karena baginya yang terpenting adalah keselamatan Syanti Dewi, dan melihat betapa koksu dan teman-temannya sedang sibuk mengeroyok dua orang pemuda Pulau Es itu, dia melihat kesempatan baik untuk melarikan Syanti Dewi. Akan tetapi, melihat betapa dua orang kakak beradik yang amat lihai itu terdesak hebat oleh Im-kan Ngo-ok, sedangkan di situ masih nampak para pembantu koksu lainnya, dia merasa tidak tega. Dia teringat bahwa dua orang pemuda Pulau Es itu adalah orang-orang gagah luar biasa, dan dia teringat juga bahwa mereka itu sesungguhnya masih merupakan paman-paman tirinya karena dia adalah cucu kandung dari lbu Suma Kian Lee. Mendiang ayahnya dan

Suma Kian Lee adalah seibu berlainan ayah. Mana mungkin dia mendiamkannya saja mereka yang terancam bahaya di tangan Im-kan Ngo-ok? Dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan lima orang iblis Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi kalau melihat dua orang pemuda Pulau Es itu terancam bahaya dan dia diam saja, selamanya dia akan merasa menyesal. Apalagi kalau hal itu terdengar oleh Syanti Dewi, tentu dia akan dikutuk sebagai seorang manusia yang tidak mengenal prikemanusiaan!

Teringat akan ini, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan meloncat ke depan, langsung dia menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah Koksu Nepal.

"Haiiiiittt....!"

Hantaman yang dilakukan oleh Tek Hoat itu hebat bukan main. Tek Hoat sudah tahu akan kesaktian koksu atau Sam-ok, maka sekali menyerang dia telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepala Ban Hwa Sengjin.

"Ehhh....?" Kakek botak itu terkejut bukan main. Tadi bersama dengan Twa-ok dia sedang mengeroyok dan mendesak Siluman Kecil, sedangkan tiga orang saudaranya yang lain mendesak Kian Lee. Ketika menghadapi serangan dahsyat ini, dia berseru keras dan melempar tubuh ke belakang sambil menggerakkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya. Dia terluput dari serangan itu, akan tetapi Kian Bu juga terbebas dari desakan, bahkan dengan pukulan-pukulan gabungan tenaga Im-yang amat dahsyat dia dapat membuat Twa-ok meloncat ke belakang pula. Melihat bahwa yang membantunya adalah Ang Tek Hoat, Kian Bu terkejut dan girang sekall. "Ah, kiranya engkau membantuku, Tek Hoat?" tanyanya sambil tersenyum lebar.

"Bagus, Tek Hoat!" Kian Lee yang sudah terdesak itu pun masih mampu mengeluarkan seruan girang.

Melihat Kian Lee terdesak hebat oleh tiga orang lawannya, Tek Hoat lalu menerjang dan menyerang Ji-ok yang mengerikan itu sambil berkata, "Mari kita hancurkan mereka ini atau kita mati bersama!"

Kakak beradik dari Pulau Es itu tentu saja merasa girang bukan main mendengar hal ini. Semangat mereka bangkit kembali dan bersama dengan Ang Tek Hoat mereka lalu mengamuk dan biarpun lima orang Im-kan Ngo-ok memiliki kepandaian yang rata-rata amat tinggi, bahkan tingkat kepandaian Twa-ok dan Ji-ok sedikit lebih tinggi daripada tingkat mereka, namun tidak mudah bagi Im-kan Ngo-ok untuk merobohkan mereka bertiga.

"Mari kita masuk!" Tiba-tiba Kian Lee yang maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat dapat menangkap Pangeran Liong Bian Cu, tentu keselamatan mereka akan terancam hebat. Mendengar teriakan Kian Lee ini, Kian Bu dan Tek Hoat lalu mengikuti Kian Lee yang sudah lebih dulu meloncat ke dalam istana itu! Anehnya, Im-kan Ngo-ok tidak menghalangi perbuatan mereka melainkan mengejar dari belakang.

Tiba-tiba terdengar suara koksu, suara yang dikirim dari jauh melalui kekuatan khikang ke arah kamar di sebelah kiri yang pintunya terbuka dan besar.

"Pangeran, hati-hati, tutuplah pintu kamar Paduka."

Suara ini terdengar oleh tiga orang muda perkasa itu. Tentu saja girang bukan main hati Kian Lee dan Kian Bu, maka serentak mereka bersama Tek Hoat menyerbu ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu. Kalau sekali pangeran itu dapat mereka tangkap, tentu mereka dapat menguasai keadaan.

Tiga orang muda perkasa itu masih bersikap hati-hati ketika mereka menyerbu memasuki pintu kamar itu. Akan tetapi ketika mereka melihat Pangeran Liong Bian Cu duduk di atas pembaringan kamar yang amat indah itu, hati mereka girang sekali dan seperti orang-orang berlomba mereka melompat ke dalam. Tentu saja dalam perlombaan itu Kian Bu yang menang karena pemuda ini mengerahkan ilmu ginkangnya yang luar biasa.

"Bu-te, hati-hati....!" Tiba-tiba Kian Lee berseru kaget ketika pemuda ini melihat pintu kamar di belakangnya tiba-tiba tertutup. Kian Bu sudah hampir tiba di dekat pembaringan, ketika tiba-tiba pembaringan itu terjeblos ke bawah dengan cepat sekali bersama tubuh sang pangeran yang tertawa mengejek. Kian Bu maklum bahwa pangeran itu melarikan diri dengan alat rahasia, maka dia cepat menyusulkan pukulan dengan tenaga saktinya.

"Blarrr....!" Pembaringan itu pecah, akan tetapi tubuh sang pangeran sudah meloncat ke bawah dan lubang di mana ranjang itu lenyap kini telah tertutup kembali. Kian Bu meloncat ke tempat itu dan menggunakan kakinya untuk menginjak dan menendang, namun hasilnya sia-sia belaka karena ternyata lantai itu terbuat dari batu yang di bawahnya dipasangi baja. Mereka bertiga seperti tiga ekor harimau terjebak. Mereka berlarian ke pintu dan jendeta, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa jendela dan pintu itu terbuat dari baja yang amat kuat pula! Mereka telah terjebak dalam sebuah kamar luas yang kuat sekali. Melihat adanya sebuah pintu kayu kecil di sebelah kiri, yang agaknya menembus ke ruangan lain, Kian Bu lalu menendangnya. "Brakkkkk....!" Pintu kayu itu jebol dan mereka bertiga siap untuk menerjang ke depan, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat empat orang menggeletak pingsan di dalam kamar di belakang pintu itu! Mereka itu adalah Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Siang In, dan Hwee Li!

"Ahhh....!" Otomatis Kian Lee dan Kian Bu meloncat dan berlutut dekat tubuh Siang In dan Hwee Li dan karena mereka berdua masih menyangka bahwa masing-masing mencinta dara yang datang bersama mereka, maka Kian Lee merasa tidak enak kalau harus mendekati Hwee Li, sungguhpun hatinya merasa berkhawatir sekali akan keselamatan Hwee Li, maka dia lalu "mengalah" dan tidak ingin menyakitkan hati adiknya. Dia berlutut di dekat tubuh Siang In. Melihat ini, Kian Bu juga makin keras menyangka bahwa kakakanya itu benar-benar telah jatuh hati kepada Siang In, padahal dia tahu bahwa Hwee Li mencinta kakaknya. Dia merasa kasihan kepada Hwee Li dan dia pun berlutut di dekat Hwee Li. Sementara itu, Tek Hoat cepat memeriksa jendela kamar ini dan ternyata sama juga. Jendela kamar ini amat kuatnya, terbuat daripada baja dan terkunci dari luar! Kian Lee dan Kian Bu merasa lega bahwa dua orang dara itu hanya pingsan karena asap bius saja, demikian pula Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia. Setelah mengurut tengkuk mereka, sebentar saja mereka berempat sudah siuman kembali dan yang lebih dulu meloncat adalah Hwee Li.

"Mana si bedebah pangeran dan koksu? Biar kupatahkan batang lehernya!" bentaknya marah, apalagi ketika melihat betapa Kian Lee tadi mengurut tengkuk Siang In. Rasa cemburu bercampur rasa mendongkol karena dia seperti juga yang lain telah kena dijebak oleh koksu dan pangeran sehingga tertawan di dalam kamar itu.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Kembalikan anakku!" Dan terdengar suara hiruk-pikuk ketika pintu besar terbuka dan Ceng Ceng meloncat ke dalam kamar itu.

"Ceng Ceng, tahan pintu itu!" Tiba-tiba Kian Lee berteriak, namun terlambat karena begitu Ceng Ceng masuk pintu itu telah tertutup kembali! Ceng Ceng membalik, mendorong dan menendang pintu, namun sia-sia belaka. Pintu itu terlampau kokoh kuat.

Mereka semua kini berkumpul di tengah kamar besar itu. Ceng Ceng bercerita betapa dia tadi berpisah dari Ang-siocia dan karena merasa tidak perlu lagi menyamar dalam keadaan ribut itu dan pula karena sudah diketahui musuh betapa Ang-siocia sudah berkhianat, maka dia menanggalkan penyamarannya. Ketika dia hendak mencari tempat tawanan, dia melihat Ji-ok mengempit tubuh puteranya berkelebat ke dalam istana ini.

"Ibuuuuu.... tolonggg....!" Cin Liong menjerit dan Ceng Ceng lalu mengejar. Akan tetapi Ji-ok lenyap dan Ceng Ceng yang tiba-tiba melihat pintu istana terbuka, cepat menerjang masuk. Kiranya dia pun terjebak seperti yang lain.

"Bagaimana kalian tahu-tahu pingsan di dalam kamar sebelah?" Kian Lee bertanya kepada Siang In, tanpa berani memandang kepada Hwee Li yang dianggapnya telah saling jatuh cinta dengan Kian Bu.

Akan tetapi yang ditanya sedang menatap wajah Kian Bu tak pernah berkedip, dan barulah Siang ln terkejut ketika dia ditanya oleh Kian Lee. Dia menunduk dan menarik napas panjang. "Si keparat Koksu Nepal itu sungguh amat cerdik dan berbahaya." Akan tetapi dia tidak berani bercerita, hanya mengerling ke arah Hwee Li.

Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia juga merasa amat sungkan dan sukar untuk menceritakan betapa dia kembali telah bertemu dengan Siang In dan saling serang! Maka dia lalu bercerita sambil melewati adegan ketika dia bertanding melawan Siang In itu.

"Kami berdua.... kami dikepung oleh orang-orang yang dipimpin oleh Pangeran Nepal sendiri. Karena aku gemas dan benci kepadanya, aku menyerang Pangeran Nepal yang main mundur dan akhirnya kami berdua kena dipancing ke dalam kamar ini. Pangeran Nepal dan para pengikutnya lenyap melalui pintu-pintu rahasia, dan ternyata semua itu diatur oleh koksu yang hanya terdengar saja suaranya dari dalam kamar. Tak lama kemudian muncul Hek-sin Touw-ong dan Enci Swi Hwa yang hendak menolong kami berdua. Akan tetapi sungguh celaka, mereka itu pun terjebak dan begitu masuk, mereka tidak dapat keluar kembali." Dia tidak mau menceritakan betapa di dalam kamar itu, dia dan Siang In sudah saling maki dan saling serang kembali sampai muncul guru dan murid itu yang melerai mereka.

"Eh, bagaimana bisa begitu?" Kian Bu bertanya sambil memandang kepada Ang-siocia yang sejak tadi juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan.

"Koksu Nepal memang lihai bukan main," Touw-ong bercerita. "Dia sudah tahu bahwa kami berdua telah memberontak dan berkhianat, akan tetapi dia sengaja pura-pura tidak tahu. Ketika bertemu dengan kami, dia menyuruh kami menjaga tawanan di dalam kamar ini. Kami berdua mengintai dan melihat dua orang Nona ini sedang.... eh...." Sukar bagi Touw-ong untuk menceritakan betapa dia melihat dua orang nona itu saling serang!

"Kau dan muridmu lalu menolong kami akan tetapi terjebak pula!" Hwee Li melanjutkan cepat.

Touw-ong mengangguk. "Benar, kami melihat dua orang Nona ini dan cepat kami membuka pintu dari luar. Akan tetapi begitu kami berdua masuk, pintu tertutup dari luar dan pada saat itu koksu menyemburkan asap beracun ke dalam kamar. Kami tak dapat menghindarkan asap itu dan roboh pingsan."

Kian Bu dan Kian Lee saling pandang. Koksu Nepal itu benar-benar amat cerdik sekali. Mereka semua kini telah terjebak di situ, bahkan Ceng Ceng yang lihai juga telah dapat dipancing masuk ke dalam ruangan.

"Ha-ha-ha, semua tikus yang mengacau benteng telah terjebak. Orang-orang muda yang bosan hidup, kalian mau berkata apalagi sekarang?" Tiba-tiba terdengar suara koksu dari lubang jendela yan terbuat daripada baja.

"Kami telah terjebak oleh akal busukmu, mau bunuh lekas bunuh!" Ceng Ceng yang tidak kehilangan keberaniannya itu memaki. TekHoat memandang saudara tirinya seayah berlainan ibu itu dengan kagum.

"Ceng Ceng, engkau masih seperti dulu, benar-benar mengagumkan hatiku," katanya.

Ceng Ceng memandang saudaranya ini dan tersenyum. "Dan aku girang melihat engkau berdiri di fihak kami, bukan menjadi lawan kami, Tek Hoat."

Melihat kedua orang keponakannya itu, Kian Lee yang pernah jatuh hati secara mendalam dan mati-matian kepada Ceng Ceng, memegang tangan mereka dan berkata, "Dan aku girang sekali mempunyai dua orang keponakan seperti kallan. Aku akan merasa bangga dapat mati bersama kalian."

Ucapan yang jujur ini amat mengharukan hati Tek Hoat, apalagi Ceng Ceng yang maklum akan isi hati "pamannya" itu sehingga dua titik air mata membasahi mata nyonya muda itu.

Melihat adegan yang mengharukan itu, tiba-tiba saja Hwee Li menjadi marah. Kian Lee agaknya sama sekali tidak mempedulikan dia! Tiba-tiba saja dia menghampiri jendela dari mana tadi terdengar suara koksu dan dia membentak, "Eh, koksu botak menjemukan! Lekas kauberitahukan kepada Pangeran Liong Bian Cu bahwa aku adalah tunangannya dan aku menuntut agar dia membebaskan aku!"

Akan tetapi koksu hanya tertawa mengejek dan Hwee Li menjadi makin marah lalu dia menjerit-jerit nyaring, "Pangeran Liong Bian Cu, apakah mulutmu berbau tahi dan tidak dapat dipercaya lagi? Kau bilang mencintaku, kau bilang bahwa aku adalah calon isterimu, mengapa kau membiarkan aku terjebak dan ditawan seperti ini? Kalau kau menghinaku, mana aku sudi menjadi isterimu?"

Tiba-tiba nampak wajah pangeran yang tampan dengan hidung kakatua itu di balik jendela. Suaranya halus ketika dia berkata, "Hwee Li, manisku. Mana aku dapat melupakan engkau? Adalah salahmu sendiri sampai engkau terjebak karena engkau telah terbujuk musuh dan membantu mereka. Akan tetapi kalau engkau mau bertobat, tentu saja aku suka mengampunimu, seperti yang telah berkali-kali kulakukan."

Kian Lee dan Kian Bu memandang kepada Hwee Li dengan alis berkerut penuh kekecewaan. Apakah puteri Hek-tiauw Lo-mo ini akhirnya memperlihatkan belangnya dan dalam keadaan terancam itu lalu timbul kepalsuannya, merengek dan minta diampuni oleh pangeran? Akan tetapi Kian Bu melihat sendiri betapa selama ini Hwee Li benar-benar menentang musuh, bahkan mati-matian membela fihak mereka yang memusuhi orang-orang Nepal.

"Pangeran, mana aku bisa percaya omonganmu kalau engkau tidak mau masuk ke sini? Masuklah dan jemputlah aku, baru aku percaya kepada omonganmu. Ribuan kali engkau menyatakan cinta, akan tetapi aku masih belum percaya benar dan sekali ini biar kupakai sebagai ujian."

Mendengar ucapan ini, Siang In mendengus dengan penuh ejekan, akan tetapi Kian Bu dan Kian Lee saling pandang, maklum akan maksud ucapan Hwee Li yang agaknya hendak memancing pangeran itu masuk agar dapat ditangkap. Maka kakak beradik ini sudah siap untuk turun tangan begitu melihat sang pangeran masuk ke dalam ruangan itu.

Akan tetapi, dari luar ruangan itu terdengar suara ketawa Koksu Nepal.

"Ha-ha-ha. Nona Hwee Li, engkau kira kami hanya anak-anak kecil yang mudah kaubujuk dan tipu begitu saja."

"Hwee Li, kekasihku, kau keluarlah dari ruangan itu, melalui pintu. Akan tetapi yang lain jangan bergerak, dan setelah tiba

di luar, aku tentu akan membebaskanmu dan permintaan apa pun yang kau ajukan akan kupertimbangkan."

Mendengar ini, Hwee Li mengerutkan alisnya. Akalnya gagal. Akan tetapi dia masih mempunyai harapan. "Benarkah bahwa semua permintaanku kaupenuhi?"

"Akan kupertimbangkan," jawab pangeran.

Tidak ada lain jalan bagi Hwee Li. Harapan satu-satunya untuk menolong, semua orang yang tertawan hanyalah membujuk pangeran yang benar-benar jatuh cinta kepadanya itu. Kalau perlu, untuk menyelamatkan mereka, terutama menyelamatkan Kian Lee, dia siap untuk mengorbankan diri!

"Baiklah, aku akan keluar." Dia lalu menoleh, sekali ini dia menatap Kian Lee dan berbisik, "Harap kalian jangan bergerak, aku akan membantu kalian, jangan khawatir." Kemudian dia melangkah menuju ke pintu ruangan itu.

"Hwee Li, jangan mudah terbujuk musuh!" Ceng Ceng berkata, memperingatkan muridnya karena dia khawatir kalau-kalau muridnya itu akan celaka di tangan Pangeran Nepal. Hwee Li menoleh dan tersenyum kepada nyonya muda itu.

"Harap Subo jangan khawatir, aku dapat menjaga diri," katanya.

Seluruh urat syaraf di tubuh Kian Lee, Kian Bu, Ceng Ceng, dan Tek Hoat sudah menegang dan mereka sudah siap menerjang keluar kalau pintu itu terbuka. Akan tetapi ketika Hwee Li melangkah sampai di belakang pintu, tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya terjeblos ke bawah. Kiranya lantai di belakang pintu itu dipasangi alat dan begitu dara itu menginjaknya, lantai itu bergerak meluncur ke bawah membawa tubuh dara itu bersamanya. Semua pendekar yang berada di situ meloncat, akan tetapi lantai itu telah tertutup kembali dan tubuh Hwee Li sudah lenyap! Ternyata tubuh Hwee Li telah terbawa turun dan begitu dia tiba di ruangan bawah, di situ telah menanti Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal! Hwee Li hendak mengamuk, akan tetapi pangeran itu menubruknya dan pada saat yang sama Koksu Nepal telah mengirim totokan. Hwee Li tak mungkin dapat melawan dua orang yang

amat lihai itu dan di lain saat dia telah tertotok dan dipondong oleh Pangeran Liong Bian Cu.

"Bunuh mereka semua! Bakar saja ruangan itu dari luar!" Sang pangeran berteriak dengan girang setelah dia berhasil menangkap kekasihnya. Mereka yang tertawan di dalam mendengar perintah ini dan mereka menjadi bingung, kembali mereka berusaha mencari jalan keluar dengan mengetuk-ngetuk tembok, memeriksa dinding, jendela dan pintu, juga meloncat ke atas untuk mencoba menerobos atap. Namun semua itu sia-sia karena memang ruangan itu dibuat secara khusus untuk menjebak lawan-lawan tangguh dan

pembuatannya telah direncanakan sendiri oleh Koksu Nepal.

Dalam keadaan yang menegangkan urat syaraf itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring disusul suara hiruk-pikuk, "Kebakaran! Kebakaran!"

"Gudang ransum terbakar!"

"Tolonggggg....! Lekas bantu padamkan. Ransum terbakar....!"

Mereka yang terkurung di dalam ruangan itu saling pandang. Kian Lee, Kian Bu, dan Siang In tidak mengerti apa artinya itu, akan tetapi Ceng Ceng, Ang-siocia dan Hek-sin Touw-ong tersenyum girang.

"Ah, siasat Jenderal Kao Liang mulai dijalankan dengan baik!" kata Touw-ong dan dia lalu duduk bersandar tembok dengan wajah girang.

"Ransum di sini akan terbakar habis dan benteng ini sudah dikurung! Sebentar lagi tentu tentara kerajaan akan menyerbu. Ah, kalau mereka yang jahat ini dapat dihancurkan, kematian kitapun tidak akan sia-sia!" kata Ang-siocia sambil memandang kepada Kian Bu. Dia tahu bahwa mereka telah terjebak dan agaknya tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka wanita muda ini tidak ragu-ragu lagi untuk menyatakan rasa hatinya terhadap Siluman Kecil. "Terutama sekali, aku rela mati bersama Taihiap," katanya sambil memandang kepada pendekar itu. "Bukankah kita pernah melakukan perjalanan bersama yang amat menyenangkan? Kalau kita mati bersama, berarti sekali lagi melakukan perjalanan bersama Taihiap, betapa bahagianya rasa hatiku!"

Hek-sin Touw-ong mengerutkan alisnya. Murid yang dicintanya itu telah dia tetapkan untuk menjadi jodoh dari Siauw Hong, murid dari Sai-cu Kai-ong yang telah mengetahui rahasia kewanitaan Ang-siocia yang menyamar pria. Akan tetapi dia tahu pula bahwa muridnya ini telah jatuh hati kepada Siluman Kecil, maka di samping rasa tidak puasnya melihat sikap dan mendengar kata-kata muridnya, dia juga merasa terharu sekali.

Kian Bu sendiri terkejut mendengar ucapan itu dan melihat sinar mata Ang-siocia yang penuh kemesraan kepadanya. Baru sekarang dia mengerti bahwa dara cantik ini ternyata jatuh cinta kepadanya! Otomatis dia menoleh kepada Siang In dan makin terkejutlah dia ketika melihat sinar mata Siang In penuh dengan api kemarahan. Dia menjadi bingung dan tidak menjawab kata-kata Ang-siocia, apalagi karena pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dan nyala api, di antara teriakan-teriakan orang yang kebingungan. "Darrr....! Blaaarrrrr....!"  Ledakan-ledakan yang bertubi-tubi menggetarkan ruangan itu. Dinding seperti bergoyang dan akan runtuh rasanya, lantai yang dipijak juga tergetar hebat. Lalu terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dan

terdengarlah suara ribut-ribut luar biasa di sebelah luar.

"Apa.... apa artinya itu?" Kian Lee bertanya heran.

"Itu itu merupakan satu di antara siasat ayah mertuaku!" Ceng Ceng berseru dengan wajah penuh ketegangan.

Dan memang yang dikatakannya itu benar adanya. Jenderal Kao Liang telah mengatur rencana siasatnya dengan rapi. Dia minta kepada Puteri Milana untuk menggunakan pasukannya mengurung benteng itu dengan ketat, kemudian dengan bantuan Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, dia melakukan pembakaran-pembakaran pada gudang-gudang ransum. Dua orang pendekar itu memasang obat-obat bahan bakar di dalam gudang-gudang dan ketika saatnya tiba, Jenderal Kao Liang yang berada di menara dan gapura terbesar, melepas anak-anak panah berapi ke arah gudang-gudang itu sehingga dalam beberapa waktu singkat gudang-gudang itu terbakar semua. Api menjulang tinggi dan sukar dipadamkan karena api telah membakar alat-alat bahan bakar yang telah ditaruh di dalam gudang-gudang itu.

Kemudian, dengan menekan tombol-tombol rahasia yang dipasangnya ketika dia mengatur pembangunan benteng itu, tombol-tombol rahasia yang hanya diketahuinya sendiri dan merupakan rencananya semenjak semula, Jenderal Kao Liang mulai meledakkan dinding-dinding benteng dengan alat-alat peledak yang sudah ditanamnya di tempat-tempat tersembunyi. Bunyi ledakan bertubi-tubi itu meruntuhkan pintu-pintu gerbang dan dinding-dinding.

Melihat ini, Puteri Milana yang sudah siap siaga, cepat memerintahkan pasukan-pasukannya untuk menyerbu. Waktu itu, matahari mulai mengusir kegelapan malam dan di antara kabut pagi bercampur asap ledakan dan debu, seperti semut-semut saja pasukan kerajaan menyerbu benteng yang sudah kacau-balau oleh kebakaran-kebakaran yang disusul ledakan-ledakan itu.

Dapat dibayangkan betapa gegernya keadaan di dalam benteng itu. Mula-mula semalam suntuk penghuni benteng sudah dikacaukan oleh pendekar-pendekar muda yang menyelundup ke dalam benteng, yang dibantu pula oleh Touw-ong dan Ang-siocia yang berkhianat sehingga terjadi banyak hal yang membingungkan, kemudian, menjelang pagi, disusul pula dengan kebakaran-kebakaran pada gudang-gudang ransum, hal yang amat mengejutkan, dan kini, tanpa mereka ketahui apa sebabnya, pintu-pintu gapura benteng dan dinding-dinding banyak yang runtuh oleh ledakan-ledakan dahsyat tadi. Lebih hebat lagi, kini pasukan kerajaan yang banyak jumlahnya telah menyerbu masuk melalui pintu-pintu dan dinding-dinding yang runtuh, seperti air bah saja menyerang dengan gegap-gempita.

Koksu Nepal dan Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main, tidak tahu apa yang terjadi dan mereka baru sadar bahwa Jenderal Kao Lianglah yang melakukan semua itu. Mereka mengira bahwa semua itu terjadi karena kelihaian Puteri Milana yang memang sudah mereka dengar akan kepandaiannya mengatur pasukan. Tentu saja mereka menjadi jerih dan Koksu Nepal cepat mengeluarkan aba-aba kepada para pasukannya untuk menahan serbuan musuh. Dia sendiri mengempit tubuh Cin Liong sedangkan Pangeran Liong Bian Cu memanggul tubuh Hwee Li. Mereka ingin mempergunakan dua orang tawanan ini sebagai sandera untuk dapat melarikan diri melalui pintu rahasia apabila keadaan memaksa dan memerlukan.

"Bakar ruangan ini!" teriak Koksu Nepal dan perintah ini segera dilaksanakan oleh para pengawalnya. Kemudian koksu, pangeran, dan dikawal oleh empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang lain, juga para pembantu, cepat meninggalkan tempat itu untuk membantu para pasukan yang sedang menahan serbuan tentara kerajaan.

Api mulai ber kobar membakar ruangan di mana para pendekar itu terkurung dan agaknya mereka akan terbakar hangus kalau saja pada saat api sudah mulai berkobar tinggi, pintu tahanan itu tidak dibuka orang dari luar. Beberapa orang pengawal roboh oleh terjangan sesosok tubuh yang gerakannya seperti seekor naga dan orang ini berhasil membuka pintu ruangan. Para pendekar yang sudah mulai putus asa di sebelah dalam, melihat terbukanya pintu, cepat berloncatan keluar dan ternyata yang menolong mereka itu adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu!

Bersama Bun Beng, Kok Cu melaksanakan siasat ayahnya, yaitu membantu ayahnya membakari gudang-gudang ransum, kemudian karena dia khawatir akan puteranya yang kabarnya dibawa oleh Ji-ok, dia menyusul ke istana pangeran. Di situ dia melihat ruangan depan dibakar, maka dia segera dapat menduga bahwa tentu kawan-kawannya terkurung di dalam ruangan itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu membuka pintu ruangan yang memang dipalang dari depan sehingga semua orang yang terkurung dapat diselamatkannya, termasuk isterinya sendiri.

"Di mana Cin Liong?" tanya Kok Cu kepada isterinya yang sudah memeluknya.

"Dia.... dia tadi dibawa oleh koksu...." isterinya menjawab penuh kekhawatiran dan menuding ke depan. Dari lubang jendela dia tadi melihat ke mana puteranya dibawa oleh kakek botak itu. Tanpa banyak cakap mereka semua lalu lari mengejar. Akan tetapi Ang Tek Hoat tidak ikut mengejar karena dia sudah lari menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi. Keadaan di kanan kiri sudah kacau-balau, perang campuh terjadi di mana-mana dan banyak rumah-rumah yang terbakar.

Ketika Tek Hoat tiba di depan rumah yang tadinya menjadi tempat tinggal Puteri Syanti Dewi, jantungnya berdebar penuh ketegangan melihat betapa rumah itu juga sedang terbakar!

"Dewi....!" Dia berseru berkali-kali dan mencari-cari jalan untuk memasuki rumah yang terbakar itu. Akan tetapi dia tidak mungkin dapat masuk dan tiba-tiba dia melihat seorang pengawal lari menjauhkan diri. Cepat dia meloncat dan dengan mudah dia mencengkeram tengkuk orang itu.

"Hayo katakan, di mana Sang Puteri Bhutan?" bentaknya. Melihat wajah pemuda itu pucat sekali, sepasang matanya melotot dan mengeluarkan sinar bengis, pengawal itu makin ketakutan.

"Dia.... dia sudah sejak tadi.... dibawa pergi oleh panglima dari Bhutan dan orang-orangnya...."

"Mohinta....?"

Orang itu mengangguk dan Tek Hoat mengendurkan cengkeramannya. "Kemana dibawanya?"

Orang itu menggeleng kepala. "Hamba tidak tahu...."

Tek Hoat melepaskan orang itu dan meloncat pergi. Hatinya panas sekali akan tetapi dia mengerti bahwa Mohinta tentu melarikan sang puteri ke luar dari benteng dan ke mana lagi dibawanya kalau tidak kembali ke Bhutan? Dia lalu meloncat dan mencari-cari, tentu saja menuju ke pintu depan yang sudah roboh dan di mana terjadi perang campuh yang amat seru.

Tiba-tiba dia melihat Koksu Nepal yang mengempit tubuh anak laki-laki kecil, bersama Pangeran Liong Bian Cu yang memanggul tubuh Hwee Li, diikuti oleh para pembantu mereka, tergesa-gesa menuju ke arah selatan. Dan dia melihat pula Kao Kok Cu, Ceng Ceng, dan yang lain-lain mengejar mereka. Koksu dan kawan-kawannya itu cepat memasuki sebuah rumah besar yang kosong, dan para pengejarnya cepat menyusul. Melihat ini, Tek Hoat merasa bahwa dia pun harus membantu mereka karena bukankah Pangeran Nepal dan Koksu Nepal itu yang menjadi biang keladi sehingga Syanti Dewi tertawan di tempat itu? Pula, dia maklum akan kelihaian koksu dan para pembantunya sehingga Kok Cu dan para pendekar lain itu tentu membutuhkan bantuannya. "Tek Hoat, mari bantu, kami merampas kembali puteraku!" teriak Ceng Ceng ketika dia melihat saudaranya itu. Tek Hoat hanya mengangguk dan dia pun ikut pula menyerbu ke dalam rumah.

Tidak ada perlawanan dari dalam dan ternyata koksu dan pangeran berdiri tegak, para pembantunya di belakang mereka dan kedua orang ini tersenyum.

"Berhenti!" teriak koksu sambil mengangkat tubuh Cin Liong ke atas. "Melangkah maju berarti anak ini akan kami bunuh lebih dulu!"

Tentu saja menghadapi para pendekar itu, koksu sama sekali tidak takut karena dia mempunyai banyak pembantu, apalagi di situ ada Im-kan Ngo-ok lengkap yang amat kuat. Akan tetapi, kakek botak ini maklum bahwa biarpun mereka dapat mengalahkan rombongan pendekar ini, atau setidaknya mengimbangi mereka, namun dia dan kawan-kawannya tidak mungkin dapat melawan puluhan ribu tentara kerajaan yang tentu akhirnya akan menang karena jumlahnya yang jauh lebih banyak, sedangkan pasukan-pasukannya sudah kehilangan pimpinan.

"Hemmm, kalau sudah menderita kekalahan lalu muncullah watak pengecut dan curang!" Kao Kok Cu mengejek. "Koksu Nepal, aku mendengar bahwa selain engkau menjadi koksu dari Kerajaan Nepal, juga engkau terkenal sebagai Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Sekarang, secara curang engkau telah berhasil menawan puteraku. Oleh karena itu, marilah kita bertanding secara gagah untuk memperebutkan puteraku itu. Kalau aku kalah, tentu saja engkau berhak membawa puteraku sebagai sandera. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan puteraku itu dengan baik-baik kepadaku."

Ban Hwa Sengjin menyeringai. "Enak saja engkau, Naga Sakti Gurun Pasir! Kami membutuhkan anakmu ini untuk dapat keluar dari sini dengan selamat. Kalau anak ini kuserahkan kepadamu, lalu kau mengandalkan pasukan yang puluhan ribu banyaknya, tentu saja kami takkan sanggup meloloskan diri."

"Dengarlah, Koksu Nepal. Di antara kita pribadi tidak ada permusuhan, mengapa kami harus mencegah kalian melarikan diri? Aku berjanji sebagai seorang gagah bahwa kalau Cin Liong sudah kembali kepadamu, kami tidak akan menghalangi engkau untuk melarikan diri."

Ban Hwa Sengjin berpikir-pikir. Dia dapat percaya omongan seorang pendekar besar seperti Kao Kok Cu ini. Kalau orang-orang gagah di depannya ini tidak menghalangi, tentu dia dan teman-temannya dapat melarikan diri melalui pintu rahasia, karena halangan dari para pasukan saja tentu tidak ada artinya baginya. Yang berbahaya adalah orang-orang muda perkasa ini turun tangan mencegah mereka lari.

"Baiklah, kami percaya omongan Naga Sakti Gurun Pasir! Kaubawa dulu anak ini, Twa-heng!" katanya dan dia melemparkan tubuh Cin Liong kepada Twa-ok yang menerimanya sambil tersenyum. Sebetulnya diam-diam dia tidak setuju dengan sikap koksu yang menerima tantangan itu karena kakek gorilla ini maklum betapa lihainya Naga Sakti Gurun Pasir. Kalau dia sendiri yang maju, barulah lebih banyak harapan untuk menang. Akan tetapi yang ditantang oleh si lengan buntung itu adalah koksu, maka kalau koksu mewakilkan kepadanya tentu saja hal itu menjatuhkan nama Ban Hwa Sengjin, sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok dan juga sebagai seorang Koksu Nepal.

Kini dua orang sakti itu sudah saling berhadapan. Sikap Kok Cu tenang saja, bahkan lengan kirinya yang buntung, memperlihatkan lengan baju kosong itu kelihatan menyedihkan dan menimbulkan rasa iba. Akan tetapi, dilain fihak Ban Hwa Sengjin kelihatan gelisah dan khawatir, sebagian besar wibawa dan keangkuhannya lenyap, bahkan dia menoleh ke kanan kiri seperti hendak mencari perlindungan. Memang di dalam hatinya, kakek botak ini merasa terhadap pendekar lengan buntung yang sederhana ini karena dia sudah mendengar banyak hal yang luar biasa tentang Istana Gurun Pasir dan pengnuninya.

"Ban Hwa Sengjin, majulah!" Kao Kok Cu berkata dengan tenang. Akan tetapi kakek botak itu tidak menjawab, melainkan diam saja, memandang tajam dan dia menggerak-gerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan kedua telapak tangan Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengeluarkan uap kehitaman! Itulah tanda bahwa si kakek botak ini telah mengerahkan tenaganya yang luar biasa karena agaknya dia tahu benar bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh.

Tiba-tiba dia mengeluarkan suara dahsyat seperti gerengan seekor beruang marah, membuat tempat itu tergetar dan tubuhnya lalu bergerak meluncur ke depan, lalu berpusing cepat sekali dan dia mulai menerjang ke arah Kok Cu! Namun, Kok Cu juga sudah siap sedia. Begitu diserang, dia langsung menggunakan ilmunya yang paling hebat, yaitu Sin-liong-ciang-hoat, tubuhnya tiba-tiba saja membungkuk dan lurus ke depan, pangkal lengan kirinya bergerak dan lengan baju yang kosong itu mengeluarkan bunyi mencicit, menyambar ke depan menyambut pukulan lawan dan hendak menggulung tangan lawan! Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma menarik kembali tangannya dan tiba-tiba dia melayangkan kaki kanan-nya dengan tendangan kilat yang mendatangkan angin dahsyat sekali. Sepatunya yang berlapis baja itu merupakan senjata ampuh dan jangankan tubuh manusia, biar dinding batu pun akan ambrol kalau terkena hantaman kaki yang bersepatu baja ini. Namun, tubuh Kok Cu dapat mendoyong ke belakang, lurus ke belakang dan kembali lengan baju kosong itu meluncur ke depan, menotok ke arah lambung lawan.

"Prakkk!" Ban Hwa Sengjin menangkis dengan tangan kirinya dan dia menggunakan pertemuan tenaga sakti itu untuk berjungkir balik ke belakang, kemudian kembali dia menggerakkan tubuhnya berpusing dengan ilmunya yang aneh dan disebut Thian-te-hong-i. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan aneh di mana nampak tubuh kakek botak itu berpusing seperti gasing dan tubuh Kok Cu seperti rebah lurus disanggah oleh sebelah kaki, seperti seekor naga yang gerakkannya aneh bukan main.

Siluman Kecil mendekati Tek Hoat. Dia merasa makin suka kepada keponakan ini yang agaknya kini telah berubah, tidak lagi mau membantu kaum pemberontak. Dia maklum bahwa kehadiran Tek Hoat di dalam benteng itu sama sekali bukan untuk membantu pemberontak, melainkan untuk melindungi Syanti Dewi. Teringatlah dia akan rahasia tentang kematian ibu pemuda itu, maka dia berbisik, "Tek Hoat, tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"

Ang Tek Hoat terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang kepada Kian Bu, dan wajahnya berubah. Dia menggeleng kepalanya dan pandang matanya penuh selidik menatap wajah Siluman Kecil. "Tahukah engkau?" Dia balas bertanya.

Kian Bu mengangguk. "Secara kebetulan aku bertemu dengan Cui Ma yang telah menjadi gila, dan sebelum dia mati dia sempat menceritakan bahwa yang membunuh ibumu adalah Mohinta dan kawan-kawannya dari Bhutan...."

"Keparat!" Tek Hoat berseru demikian kerasnya sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi dua orang yang sedang bertanding itu tidak mempedulikan dan terus saja berkelahi. Tek Hoat memandang kepada Kian Bu dengan muka berubah merah, matanya beringas dan dia mendengarkan ketika Kian Bu menceritakan dengan singkat pertemuannya dengan Cui Ma, pelayan dari Ang Siok Bi, ibu pemuda itu.

"Kalau begitu, aku harus mengejarnya sekarang juga!" Tek Hoat berseru dan dia menangkap tangan Kian Bu. "Paman, terima kasih!" Dengan kecepatan kilat Tek Hoat melompat keluar dari tempat itu dan tanpa mempedulikan perang yang masih berjalan seru, dia menyusup di antara tentara yang saling bertempur, terus dia melarikan diri keluar dari dalam benteng itu.

Perkelahian antara Ban Hwa Sengjin dan Kao Kok Cu masih berlangsung dengan hebatnya. Kedua fihak yang menonton pertandingan ini merasa tegang sekali, akan tetapi Ceng Ceng bersikap tenang saja, bahkan dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari puteranya yang dipondong oleh Twa-ok. Dia merasa yakin akan kemenangan suaminya, yang dikhawatirkan adalah kalau flhak Im-kan Ngo-ok tidak akan memegang janjinya. Akan tetapi dia melihat kakek gorilla itu tersenyum-senyum dan agaknya puteranya tidak diganggunya.

Sebenarnya, Ban Hwa Sengjin sudah merasa kewalahan sekali menghadapi ilmu silat yang aneh dari lawannya, juga setiap kali mereka beradu tenaga sakti, dia merasa betapa dadanya menjadi sesak, tanda bahwa tenaga sinkang dari lawan yang buntung sebelah lengannya itu benar-benar amat luar biasa kuatnya. Hal ini tidaklah aneh karena Kao Kok Cu telah berhasil memiliki tenaga mujijat yang timbul karena penguasaan Ilmu Sin-liong-hok-te dari gurunya, Si Dewa Bongkok yang juga hanya berlengan sebelah.

Ilmu silat dari Ban Hwa Sengjin, sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, sudah mencapai tingkat tinggi sekali, apalagi Ilmu Silat Thian-te Hong-i itu sukar sekali dilawan. Selain itu, juga dia telah memiliki pengalaman yang amat luas, maka dia merupakan lawan yang tangguh bagi Kok Cu. Akan tetapi, dengan bekal kepandaiannya yang luar biasa, yang diperolehnya dari gemblengan Si Dewa Bongkok, apalagi dengan tenaga sakti dari Sin-liong-hok-te, kalau dia menghendaki, Kok Cu tentu akan mampu merobohkan kakek botak itu. Akan tetapi, pendekar ini adalah seorang yang memiliki pandangan luas dan tidak mau menuruti perasaan hatinya. Dia maklum bahwa selama ini dia tidak mempunyai permusuhan dengan Im-kan Ngo-ok, dan bahwa diculiknya puteranya pun sesungguhnya bukan perbuatan Im-kan Ngo-ok, melainkan merupakan balas dendam dari puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin kepada ayahnya. Kalau kini Cin Liong terjatuh ke tangan Im-kan Ngo-ok, hal itu hanya merupakan kebetulan saja. Pula, selama puteranya masih berada di tangan mereka, dia tidak boleh ceroboh dan membunuh atau melukai berat kepada Koksu Nepal. Oleh karena inilah maka dia berkelahi dengan hati-hati dan tidak mau merobohkan koksu yang boleh mengakibatkan kematiannya.

Ketika mendapat kesempatan yang baik setelah dia berhasil menghindarkan diri dari tendangan Ban Hwa Sengj in, tiba-tiba tubuh Kok Cu mencelat ke atas dan dari atas, ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong itu meluncur dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala yang botak dari lawannya. Inilah cara yang paling tepat untuk menyerang tubuh lawan yang berpusing itu. Ban Hwa Sengjin terkejut bukan main. Untuk mengelak amatlah berbahaya, maka dia lalu mengangkat tangan kiri menangkis sambaran ujung lengan baju itu.

"Prattt!" Ujung lengan baju bertemu dengan tangan Ban Hwa Sengjin, terasa panas tangan itu dan ujung lengan baju seperti ekor naga sudah melibat pergelangan tangan Ban Hwa Sengjin dan tubuh Kok Cu sudah turun kembali, kini Ban Hwa Sengjin membarengi turunnya tubuh lawan di depannya itu dengan hantaman telapak tangan kanan ke arah dada Kok Cu. Pendekar ini pun menggerakkan tangan kanan menyambut.

"Plakkkkk!" Kelihatannya perlahan saja dua telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya tubuh Ban Hwa Sengjin terhuyung setergah melayang ke belakang seperti layangan putus talinya. Dia berhasil berdiri tegak kembali, akan tetapi mukanya pucat dan ujung bibirnya mengeluarkan darah segar! Ban Hwa Sengjin sejenak menatap wajah Kao Kok Cu, kemudian mengangguk dan menjura, lalu menoleh kepada Twa-ok.

"Twa-heng, harap kembalikan anak itu," katanya lemah dan begitu mengeluarkan kata-kata ini, beberapa titik darah menetes dari ujung mulutnya. Koksu Nepal itu cepat memejamkan matanya dan menarik napas panjang. Ji-ok melompat mendekatinya dan tangan kanan nenek iblis itu ditempelkan ke punggung koksu, lalu mengurut beberapa kali ke bawah. Nenek itu menolong saudaranya mengobati luka di dalam tubuh yang ternyata tidaklah terlalu berbahaya, karena bukan langsung dihantam oleh tenaga sakti lawan, melainkan terkena tenaganya sendiri yang membalik keras.

Twa-ok tertawa dan melemparkan tubuh Cin Liong ke arah Kao Kok Cu. Pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang menggulung tubuh anak itu, diperiksanya sebentar lalu diserahkannya anak itu kepada isterinya. Ceng Ceng memeluk anaknya dan diciuminya. Dua titik air mata membasahi pipinya ketika ibu ini akhirnya bertemu kembali dengan puteranya.

"Eh, mana, Lee-ko....?" Tiba-tiba Kian Bu bertanya ketika dia tidak melihat kakaknya berada di situ lagi. Semua orang juga mencari dengan pandangan matanya, yang bukan hanya Kian Lee yang tidak nampak, bahkan juga Pangeran Liong Bian Cu telah lenyap bersama tawanannya, yaitu Hwee Li.

"Aku tadi melihat dia mengejar Pangeran Nepal," kata Siang In. Kiranya tadi secara diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang tertarik menonton pertandingan yang amat hebat antara Koksu Nepal dan Kao Kok Cu, Pangeran Nepal itu minta bantuan Gitananda, kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut, untuk menggunakan sihirnya melindungi dia melarikan diri membawa Hwee Li bersama. Semua orang mudah saja seperti terlupa karena perhatian mereka sedang dicurahkan ke arah pertandingan itu. Hanya Suma Kian Lee yang tidak terpengaruh oleh karena pemuda ini sejak tadi memperhatikan Hwee Li, maka ketika Gita nanda mengangkat tongkat cendana dan mempergunakan sihir, dia sudah mengerahkan sinkangnya melawan dan dia dapat melihat Pangeran Liong Bian Cu diam-diam membawa Hwee Li pergi dari tempat itu maka dia pun cepat mengejar. Sedangkan Siang In yang ahli dalam ilmu sihir, segera merasakan pengaruh sihir yang dilepas oleh Gitananda, maka dia cepat melawan dan dia sempat melihat Kian Lee mengejar sang pangeran. Melihat kekalahan Ban Hwa Sengjin, empat orang Im-kan Ngo-ok yang lain dan juga para pembantu koksu merasa penasaran. "Ha-ha-ha, Sam-te, biarlah kami menebus kekalahanmu dan membasmi mereka ini," kata Twa-ok dan bersama Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, dia sudah maju dan hendak mengamuk.

Akan tetapi tiba-tiba muncul dua orang yang membawa pasukan pengawal berbaju emas yang amat rapi dan menyeramkan. Mereka itu bukan lain adalah pendekar Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, yang memimpin empat puluh orang anggauta pasukan pengawal baju emas yang terkenal itu. Melihat munculnya suami isteri ini, Im-kan Ngo-ok merasa gentar juga. Di antara para pendekar tadi, yang lihai sudah ada tiga orang, yaitu Siluman Kecil, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng. Kalau kini muncul pula pendekar sakti Gak Bun Beng, dan Puteri Milana, maka fihak lawan menjadi terlampau kuat, apalagi masih dibantu oleh pasukan yang amat besar.

Munculnya Puteri Milana ini berarti bahwa pasukan Gubernur Ho-nan yang bertahan di situ sudah kalah. Maka koksu yang cerdik itu maklum bahwa menggunakan kekerasan sama artinya dengan membunuh diri. Cepat dia berkata lantang, "Twa-heng dan teman-teman semua! Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjanjikan untuk membiarkan kita pergi, perlu apa kita yang sudah kalah ini lebih lama berada di sini? Mari kita pergi!"

Mendengar ucapan ini, Im-kan Ngo-ok yang lain dan para pembantu koksu seperti Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan yang lain-lain mengerti akan maksudnya dan tanpa diperintah dua kali, mereka lalu mengikuti koksu pergi dari istana itu.

Melihat ini, Gak Bun Beng menghadang di tengah jalan dengan sikap mengancam, akan tetapi Kao Kok Cu ber kata, "Paman Gak, harap suka membiarkan mereka pergi karena memang kami telah menjanjikan mereka untuk pergi."

Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, akan tetapi terdengar Puteri Milana berkata kepada suaminya, "Biarkanlah mereka pergi. Memang kerajaan tidak mempunyai permusuhan resmi dengan Kerajaan Nepal, dan kami hanya perlu menangkap Gubernur Ho-nan yang memberontak!"

Gak Bun Beng mengerti bahwa dalam ucapan isterinya ini tentu terkandung maksud yang lebih dalam. Dan memang sebenarnyalah demikian. Puteri Milana maklum bahwa kerajaan sedang lemah dan kacau oleh tindakan kaisar tua yang mendengarkan bujukan para menteri durna sehingga kaisar menaruh curiga kepada semua orang, terutama orang-orang yang setia seperti Jenderal Kao Liang yang sampai dipecat. Dalam keadaan lemah itu, biarpun kini pangeran mahkota sudah mulai menaruh perhatian, amatlah berbahaya

kalau menyatakan perang dengan Nepal secara terbuka dengan jalan menangkap atau membunuh Koksu Nepal. Yang terpenting adalah menangkap dan menghukum Gubernur Ho-nan yang memberontak.

Rombongan Koksu Nepal tidak mengalami banyak hambatan karena para perajurit tidak ada yang berani mencoba menghalangi mereka sehingga mereka itu dapat melarikan diri melalui pintu rahasia dan cepat meninggalkan benteng yang sudah diduduki musuh itu. Banyak pasukan pemberontak yang tewas, akan tetapi lebih banyak lagi yang menyerah setelah melihat para pimpinan mereka melarikan diri.

Dengan tubuh gemetar dan muka pucat ketakutan, Kui Cu Kam, Gubernur Ho-nan yang memberontak itu, berlutut dan ditawan bersama kaki tangannya.

Puteri Milana dan para pendekar merasa lega bahwa akhirnya semua keluarga Kao dapat diselamatkan dan sambil menggiring rombongan gubernur pemberontak mereka keluar dari dalam istana dengan girang. Hanya Kian Bu yang mengerutkan alisnya dengan khawatir karena kakaknya pergi entah ke mana, melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang melarikan Hwee Li.

Ketika rombongan Puteri Milana keluar dari istana, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang amat dahsyat dan mengejutkan semua orang. Mereka terkejut sekali karena perang telah  selesai dan tidak perlu lagi diadakan peledakan lain untuk menghancurkan benteng. Mereka semua memburu keluar dan terdengar teriakan yang memilukan, "Ayaaahhh....!"

Mendengar bahwa teriakan itu adalah suara Kao Kok Cu, semua orang cepat lari menghampiri tempat ledakan. Yang meledak hancur dan terbakar adalah menara di mana tadi Jenderal Kao Liang mengatur ledakan-ledakan dan pembakaran-pembakaran. Kini menara itu telah terbakar dan api menyala-nyala dengan hebatnya. Dan di tengah-tengah menara yang sudah runtuh, di antara api yang bernyala-nyala, nampak berdiri tegak seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, berdiri dengan tegak dan memandang ke arah benteng yang sudah hancur dengan wajah berseri akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata. Orang tua gagah itu bukan lain adalah Jenderal Kao Liang!

"Ayah....!" Kao Kok Cu berseru dan berbareng dengan tubuh isterinya yang sudah menurunkan Cin Liong, pendekar ini melayang naik seperti berlumba dengan Ceng Ceng untuk menolong kakek itu. Namun, mereka terpaksa berjungkir balik dan turun kembali karena mereka disambut oleh api yang berkobar-kobar!

"Kembalilah, Kok Cu dan Ceng Ceng! Aku bukan seorang pengecut, aku sudah bersumpah untuk mempertahankan benteng dengan nyawaku!" terdengar Jenderal Kao Liang berseru dengan suara mengguntur. "Selamat tinggal semua!" Tangannya bergerak dan terdengar lagi ledakan dahsyat, nampak sinar api berkilauan hebat dan tempat itu hancur sama sekali. Tubuh sang jenderal lenyap bersama sisa menara yang hancur oleh ledakan itu!

Ceng Ceng menangis mengguguk dan merangkul suaminya. Terdengar jerit tangis ketika para keluarga Kao keluar dari tempat mereka dan mereka hanya dapat menangis sambil memandang ke arah api yang berkobar. Isteri sang jenderal dan beberapa orang keluarga wanita roboh pingsan. Kao Kok Cu juga tak dapat menahan air matanya dan dia menundukkan mukanya, berdoa untuk roh ayahnya yang gagah. Dia tahu apa yang telah dilakukan ayahnya dan mengapa. Dia tidak dapat menyalahkan keputusan yang diambil oleh ayahnya itu. Ayahnya telah berkhianat kepada negara, demi menyelamatkan keluarganya. Setelah keluarganya selamat, ayahnya melaksanakan rencana yang telah diaturnya semenjak hari pertama dia dipaksa membangun benteng, yaitu menghancurkan benteng itu. Menghancurkannya bersama dia karena dia sudah berjanji kepada pangeran dan Koksu Nepal bahwa dia akan mempertahankan benteng itu dengan nyawanya. Dan memang dia mempertahankan dengan taruhan nyawanya di samping dia menebus dosa

pengkhianatannya kepada negara! Jenderal Kao Liang tewas sebagai seorang panglima yang gagah, yang mempertahankan benteng buatannya dan yang dipimpinnya dengan mengorbankan nyawanya.

Hati Kian Bu yang gelisah memikirkan Kian Lee, menjadi berduka menyaksikan peristiwa yang menimpa keluarga Kao itu. Dia tidak mampu menghibur, bahkan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Yang banyak memberi hiburan kepada keluarga itu adalah Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana. Melihat bahwa tenaganya tidak lagi diperlukan, dan karena tidak mau mengganggu keluarga yang sedang dilanda duka itu dengan pamit, dia lalu mendekati Puteri Milana dan berkata, "Enci Milana, aku akan pergi mencari Lee-ko."

Milana memandang kepada adiknya ini. "Kemana dia?"

"Katanya mengejar Pangeran Llong Bian Cu yang melarikan Nona Hwee Li."

Milana mengangguk. "Hati-hati kau, Bu-te, dan jangan terlalu lama, kalau sudah jumpa dengan Kian Lee kalian harus mengunjungi kami di puncak Telaga Warna di Beng-san. Atau kalian susul kami di kota raja karena kami harus lebih dulu pergi ke kota raja bersama pasukan dan tawanan."

"Baik, Enci Milana." Kian Bu lalu pergi meninggalkan benteng itu, tidak tahu bahwa diam-diam ada orang yang membayanginya dan orang ini bukan lain adalah Teng Siang In! Dan tidak lama setelah Siang In pergi, nampak seorang lain yang juga diam-diam pergi dari situ dan orang ini adalah Kang Swi Hwa atau Ang-siocia!

******

Karena para tokoh dalam cerita kita ini mulai berpencaran lagi setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan, dan karena masing-masing mengalami hal-hal yang amat hebat dan menarik, maka sebaiknya kalau kita mengikuti perjalanan mereka satu demi satu. Pertama-tama kita mengikuti perjalanan Ang Tek Hoat yang telah lebih dulu meninggalkan benteng ketika mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah dilarikan oleh Panglima Bhutan, yaitu Mohinta dan anak buahnya.

Ketika mendengar dari Siluman Kecil Suma Kian Bu bahwa yang membunuh ibunya adalah Mohinta, hati pemuda ini penuh dengan dendam dan kemarahan hebat. Kematian ibunya tak pernah dapat dilupakannya, dan dia telah dengan susah payah mencari siapa mereka atau dia yang membunuh ibunya. Akhirnya dia sudah hampir putus asa untuk dapat membongkar rahasia itu karena tidak ada bukti atau saksi yang dapat menuntunnya kepada si pembunuh. Tak disangkanya bahwa dia akan mendengar keterangan yang demikian jelasnya dari Suma Kian Bu, paman tirinya sendiri. Kini dia mengerti dan dapat membayangkan keadaan ibunya. Tentu Mohinta dan anak buahnya itu menemukan ibunya seorang diri dalam pondoknya dan panglima muda yang keji itu telah membunuh ibunya. Akan tetapi dia ingin tahu mengapa Mohinta membunuh ibunya. Dia akan menangkap Mohinta dan memaksanya mengaku mengapa Mohinta

membunuh ibunya, setelah itu baru dia akan membalas kematian ibunya. Sakit hati karena dendam membuat pemuda ini membayangkan dan merencanakan penyiksaan yang paling hebat untuk musuh besar pembunuh ibunya itu!

Dendam merusak dan meracuni batin manusia. Kenyataan ini nampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Betapa dendam dan amarah menguasai hati kita setiap hari. Dendam melahirkan kekerasan dan kekejaman. Dendam menciptakan permusuhan yang tidak habisnya. Betapa semenjak kita masih kecil, nafsu amarah dan dendam ini telah menguasai lubuk hati kita sepenuhnya. Kita akan marah-marah kalau kita diganggu, kalau keluarga kita diganggu, kalau negara kita di ganggu, kalau bangsa kita diganggu, kalau milik kita lahir batin diganggu. Dan kita akan membalas! Membalas berlipat ganda! Sejak masih kanak-kanak sudah nampak nafsu dendam ini. Dipukul sekali baru akan puas kalau membalas dua kali! Hati yang marah baru akan puas kalau sudah menumpahkan kemarahannya berupa makian, balas menghina, memukul dan sebagainya lagi.

Betapa nyata nampak kalau kita mau membuka mata memandang, bahwa satu di antara hal yang mendorong kita mendendam adalah karena kita selalu ingin menang dari orang lain, tidak mau kalah dalam hal apa pun juga! Kalau orang melakukan kekerasan kepada kita, kita pun tidak mau kalah keras! Kita khawatir disangka takut, disangka pengecut, dianggap tidak berani! Inilah yang mendorong kita menyambut kekerasan orang dengan kekerasan yang lebih hebat lagi. Dan bagaimana kalau ada orang bersikap baik kepada kita? Kita pun tidak mau kalah, tidak mau kalah baik, ingin dianggap lebih baik lagi. Buktinya? Kalau anda bermusuhan atau saling marah dan membenci dengan lain orang, cobalah anda mengubah diri dan bersikap manis dan baik. Akan nampak oleh anda betapa orang itu pun sebaliknya akan mengambil sikap yang lebih manis dan lebih baik pula daripada sikap anda. Sebaliknya, kalau dia bersikap keras dan congkak, anda akan bersikap lebih keras dan lebih congkak lagi!

Kemudian kita melihat bahwa kemarahan itu mengakibatkan hal-hal buruk sekali dalam kehidupan, menimbulkan permusuhan, pertentangan dan kesengsaraan, maka lalu muncullah ajaran agar kita belajar sabar! Kita marah dan kita dianjurkan bersabar. Hal ini, seperti terbukti dalam kehidupan kita sehari-hari, sama sekali tidak ada artinya, tidak ada gunanya! Dalam keadaan marah, kita lalu mengendalikan perasaan, menekan kemarahan, dan memaksa diri untuk menjadi sabar. Memang, pada saat itu dapat kita menekan kemarahan dan menjadi sabar, namun kesabaran seperti itu adalah kesabaran palsu, kemarahan itu tidak padam, hanya ditekan dan ditutupi belaka. Seperti api dalam sekam, kelihatannya saja tidak menyala namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Maka nampaklah dalam kehidupan kita betapa apabila belajar sabar itu sama sekali tidak ada gunanya karena kemarahan yang ditekan-tekan itu akan terus-menerus dan selalu muncul dan muncul lagi untuk ditekan dan dikendalikan lagi. Maka terjadilah perang batin, konflik batin antara kemarahan sebagai kenyataan dan sabar sebagai hal yang kita kehendaki.

Kita lupa bahwa kemarahan tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar sabar atau dengan keinginan untuk tidak marah! Kotoran tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar bersih! Yang penting adalah berani menghadapi kenyataan. Dan kenyataan pada diri kita adalah kemarahan itulah. Itulah faktanya. Kita marah! Kita keras, kita pendendam, kita kejam. Inilah kenyataannya! Tidak perlu kita lari daripada kenyataan ini dan bersembunyi di balik selimut kesabaran, kebaikan dan sebagainya. Semua itu hanya palsu dan munafik belaka. Pada hakekatnya, pada dasarnya, pada intinya, kita masih pendendam, masih pemarah.

Lalu, apakah kita harus membiarkan saja kenyataan bahwa kita pendendam dan pemarah? Sudah tentu tidak! Kita melihat dengan jelas bahwa harus terjadi perubahan pada diri kita, pada batin kita. Akan tetapi perubahan itu tak mungkin terjadi kalau hanya dengan jalan menentang kemarahan itu dan ingin menggantikan kedudukannya dengan kesabaran dan kebaikan. Kita HARUS berubah!

Lalu bagaimana caranya untuk melenyapkan kemarahan? Tidak ada caranya, karena kalau disebutkan suatu cara, itu pun palsu dan merupakan penipuan belaka, merupakan pelarian seperti belajar sabar dan mengendalikan perasaan tadi. Apakah kemarahan itu? Siapa yang marah? Berbedakah kita dengan kemarahan itu? Kitalah yang marah. Kitalah kemarahan itu sendiri! Kemarahan tidak terpisah dari kita! Kitalah sumber kemarahan, kitalah pembuat kemarahan, kitalah biang keladinya. Karena itu, kalau kemarahan tiba, tidak perlu kita lari, tidak perlu kita sembunyi, sebaliknya, kita hadapi kemarahan itu, kita pandang dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian! Pernahkah anda melakukan hal ini? Biasanya, kalau kita marah, kita menjadi mata gelap, kita kehilangan kesadaran, kita tidak ingat apa-apa lagi, yang ada hanyalah nafsu ingin melampiaskan kemarahan. Bukankah demikian? Pernahkah dan maukah kita mencoba untuk menghadapi kemarahan itu sebagai suatu fakta, kita perhatikan kemarahan kita itu, penuh kewaspadaan dan ingin kita melihat apa yang terjadi kalau begitu! Karena kemarahan itu pada hakekatnya adalah kita sendiri, maka dengan pengamatan penuh kewaspadaan itu, dengan penuh perhatian itu, kemarahan pun tidak ada! Sebaiknya kita mencoba dalam kehidupan kita sehari-hari yang penuh coba dan goda ini.

Dan kalau sudah tidak ada kemarahan lagi dalam batin kita, perlukah kita belajar sabar? Kalau kita tidak marah, perlukah kita menekan dan mengendalikan perasaan? Dan kalau tidak ada kemarahan, tidak ada benci, apa yang timbul dalam batin kita? Mungkin mata batin kita baru akan melihat apa artinya CINTA KASIH itu.

Tek Hoat dimabuk dendam. Dalam keadaan dendam dan marah, dia merencanakan siksaan sehebat-hebatnya kepada orang yang amat dibencinya, yaitu Mohinta. Dia membuat perhitungan dan dugaan bahwa Mohinta tentu melarikan Syanti Dewi menuju ke barat, ke Bhutan. Dan memang dugaannya itu tepat. Beberapa hari kemudian setelah dia meninggalkan benteng melakukan pengejaran, dia menemukan jejak mereka. Kiranya Mohinta dan anak buahnya itu melakukan perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah kereta dan rombongan itu menunggang kuda, melakukan perjalanan yang cepat. Demikianlah keterangan yang didapat oleh Tek Hoat dalam penyelidikannya. Maka dia lalu melakukan pengejaran secepatnya dan beberapa hari kemudian dia berhasil menyusul rombongan itu!

Begitu melihat Mohinta menunggang kuda memimpin anak buahnya yang mengawal kereta, jantung Tek Hoat berdebar kencang dan menurutkan dorongan hatinya, ingin dia seketika menerjang dan menangkap Mohinta dan membebaskan Syanti Dewi yang dia duga tentu berada di dalam kereta itu. Akan tetapi, pemuda ini dapat menahan dirinya. Nanti saja, pikirnya sambil mengintai dari balik pohon, aku harus melihat Syanti Dewi lebih dulu. Nanti kalau rombongan itu melewatkan malam, dia akan turun tangan. Maka Tek Hoat hanya mengintai sambil berjongkok di balik sebatang pohon, membiarkan kereta yang dikawal orang-orang Bhutan itu lewat.

Dia lalu membayangi terus dan akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah dusun yang tidak berapa besar, dusun di antara bukit-bukit yang jauh dari kota. Dengan pengaruh uangnya dan juga pengaruh sikap anak buahnya yang galak, Mohinta dapat menyewa rumah kepala dusun itu untuk dijadikan tempat bermalam. Karena menerima uang sewa yang cukup besar dan juga jerih melihat sikap rombongan orang Bhutan itu, kepala dusun mengalah dan membawa keluarganya keluar dari rumah, bermalam di rumah seorang penduduk dusun.

Tek Hoat mengintai terus dan jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat Syanti Dewi melangkah turun dari dalam kereta. Akan tetapi, perasaan tidak senang menyusup di hatinya ketika dia melihat puteri pujaan hatinya itu tersenyum genit kepada Mohinta yang membantunya turun dari kereta, bahkan puteri itu lalu bergandengan tangan dengan Mohinta memasuki rumah kepala dusun yang mereka sewa untuk semalam.

Tek Hoat melongo sampai lama setelah kedua orang itu memasuki rumah. Perasaan hatinya nyeri rasanya seperti ditusuk pedang. Sikap Syanti Dewi begitu mesra terhadap Mohinta. Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu genitnya, padahal seingatnya, belum pernah Syanti Dewi bersikap segenit itu baik kepadanya sekalipun. Cemburu menguasai hatinya, cemburu dan penasaran. Jadi begitukah keadaan sebenarnya mengapa Syanti Dewi bersikap dingin kepadanya ketika mereka dipertemukan oleh Koksu Nepal? Syanti Dewi telah berpaling kepada Mohinta dan agaknya bertukar hati dengan panglima muda Bhutan itu ?

Dengan hati penuh dendam dan cemburu yang membuat kepalanya pening, malam itu Tek Hoat mendekati rumah kepala dusun. Biarpun rumah itu terjaga, namun mudah saja bagi Tek Hoat untuk menyusup dan memasuki rumah, akhirnya dia berhasil mengintai ke dalam kamar besar rumah itu. Dan apa yang dilihat dan didengarnya membuat pemuda ini hampir saja jatuh pingsan!

Di bawah sinar lampu remang-remang, dia melihat Mohinta yang tidak lagi memakai pakaian panglima, melainkan mengenakan pakaian tidur yang tipis, duduk di atas kursi dan Puteri Syanti Dewi duduk di atas pangkuannya dengan sikap manja sekali! Dengan hati hampir meledak saking panasnya Tek Hoat melihat betapa kedua lengan Mohinta memeluk tubuh itu dan tangan Mohinta dengan cara yang dianggapnya kurang ajar memegang-megang dada sang puteri! Akan tetapi puteri itu tidak marah, malah merangkul leher Mohinta dan mereka berdua berciuman dengan cara yang membuat Tek Hoat yang mengintai itu bergidik karena ciuman itu dilakukan dengan mulut ke mulut dan amat mesranya.

Melihat panglima itu yang mengingatkan dia akan kematian ibunya saja sudah membuat Tek Hoat marah bukan main, apalagi melihat betapa musuh besarnya itu kini merampas pula kekasihnya, hampir Tek Hoat tidak dapat menahan sabar dan ingin dia menerjang lewat jendela. Akan tetapi, kedua orang itu kini sudah bicara berbisik-bisik dan Tek Hoat menahan hatinya untuk mendengarkan lebih dulu percakapan mereka sebelum dia menerjang masuk.

"Ah, Sayang.... engkau sungguh manis, aku sungguh cinta padamu...." terdengar Mohinta berbisik sambil membelai-belai tubuh puteri

"Hemmmmm...." Sang Puteri merintih manja dan menggeliat di atas pangkuan Panglima Bhutan itu. "Aku pun cinta padamu.... Panglima.... akan tetapi benarkah kelak aku akan menjadi permaisurimu....?"

Tek Hoat terbelalak dan merasa heran bukan main mendengar bisikan Syanti Dewi itu dan timbullah keinginan tahunya untuk mendengarkan terus.

"Tentu saja, Manis. Akan tetapi kita harus berhasil dulu, dan untuk itu aku mengandalkan bantuanmu. Engkau harus membantuku menundukkan raja tua itu...."

"Ihhh, aku takut...." Puteri itu berbisik manja sambil menyandarkan muka di atas dada Mohinta.

Mohinta memeluknya. "Tak usah takut. Pasukan-pasukanku sudah siap dan engkau hanya pura-pura saja menjadi tawananku, dan kalau kuancam engkau di depan raja, engkau tahu bahwa aku pun hanya pura-pura saja agar raja mau tunduk dan menyerah kepadaku. Kemudian, kalau aku sudah menjadi raja, engkau tentu menjadi permaisuriku.... hemmm.... engkau manis benar malam ini...." Mohinta kembali menciumnya dan Tek Hoat sudah mundur dan tidak mau melihat lagi. Akan tetapi dia tidak menerjang jendela itu, malah dia menjauhkan diri dan meninggalkan tempat itu.

Tak lama kemudian, pemuda ini telah rebah di dalam gubuk di tengah sawah di luar dusun, tempat para petani mengaso dan berteduh dari sinar matahari. Dia termenung. Tidak, dia tidak akan membunuh Mohinta sekarang ini, dia harus sabar menanti sampai mereka tiba di Bhutan. Jelas bahwa Mohinta merencanakan pemberontakan terhadap raja, dan Mohinta hendak menggunakan Syanti Dewi sebagai sandera untuk menundukkan Raja Bhutan! Kalau saja benar-benar Syanti Dewi menjadi sandera, menjadi tawanan, tentu sekarang juga dia membebaskan puteri itu dan membunuh Mohinta. Akan tetapi, yang membuat dia penasaran adalah karena melihat kenyataan betapa puteri itu sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menjadi sekutu dari Mohinta untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Dia sungguh merasa heran bukan main, bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi dengan Syanti Dewi sehingga puteri itu demikian berubah, tidak hanya menjadi genit dan aneh, akan tetapi juga menjadi jahat sehingga kini mau bersekutu dengan seorang pemberontak untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal bukan main dan terbayanglah kembali sikap Syanti Dewi ketika dipertemukan dengannya oleh koksu. Terdengar berdengung

di dalam telinganya ucapan Syanti Dewi kepadanya waktu itu.

"Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita...."

Tek Hoat memejamkan matanya, hatinya seperti ditusuk rasanya. Jadi agaknya sang puteri telah memutuskan hubungan antara mereka dan kini bahkan telah berganti pacar! Dia makin penasaran. Andaikata berganti pacar, mengapa sang puteri begitu tidak tahu malu dan tidak mengenal susila, mau saja diperlakukan seperti itu oleh Mohinta? Dan mengapa pula sudi diajak bersekutu untuk menjatuhkan Raja Bhutan?

"Aku harus menentang mereka!" Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk dan mengepal tinjunya. "Aku akan sabar menanti, tidak membunuh Mohinta dulu. Aku harus menggagalkan rencana busuk mereka dan membuka kedok mereka di depan Raja Bhutan! Biar Raja Bhutan menjadi terbuka matanya dan melihat betapa seorang anak haram seperti aku jauh lebih berharga daripada panglima mudanya bahkan lebih berharga daripada puterinya sendiri!"

Pikiran ini membuat Tek Hoat akhirnya dapat tidur di dalam gubuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah membayangi lagi rombongan Mohinta itu. Dia tidak akan membunuh Mohinta di tengah jalan. Tidak, dia akan membongkar dulu kedok mereka, rahasia mereka yang busuk di depan raja, menghancurkan siasat dan rencana pemberontakan kotor mereka, baru dia akan membunuh Mohinta, pembunuh dari ibunya itu. Tentang Syanti Dewi.... ah, dia tidak berani memikirkan masa depannya dengan puteri itu, sungguhpun dia tahu bahwa selama hidupnya tidak mungkin dia melupakan puteri itu, dan apa pun yang terjadi dengan diri puteri itu, cintanya tetap mendalam dan akan terus menyala di dalam hatinya.

Ketika rombongan itu sudah tiba di perbatasan barat, Tek Hoat lalu mendahuluinya dan dia hendak pergi lebih dulu ke Bhutan untuk menghadap raja dan memberitahukan tentang rencana pemberontakan Mohinta itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan rombongan itu, dia melihat pasukan yang cukup besar, tidak kurang dari seribu orang jumlahnya, nampak menyambut rombongan itu dan tahulah dia bahwa pasukan itu adalah pasukan yang dipimpin oleh panglima tua Sangita yang agaknya telah bersekongkol pula dengan puteranya dan lebih dulu sudah tahu akan kedatangan puteranya bersama Syanti Dewi. Maka Tek Hoat lalu bergegas mendahului mereka menuju ke Bhutan, melintasi perbatasan yang terdiri dari gunung-gunung.

Selagi dia berjalan cepat melalui padang rumput setelah keluar dari sebuah hutan, pada jalan mendaki, tiba-tiba terdengar suara ketawa orang dan ketika dia menoleh, ternyata yang tertawa itu adalah Hek-tiauw Lo-mo yang muncul keluar dari balok pohon besar.

"Ha-ha-ha, pengkhianat muda, kiranya kita dapat saling jumpa di sini!" kata kakek itu sambil memandang dengan penuh ejekan.

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia sedang tergesa-gesa dan dia tidak sudi banyak bicara dengan kakek iblis itu. "Hek-tiauw Lo-mo, mau apa engkau menghadangku?" bentaknya.

"Ha-ha-ha, kita sama-sama petualang. Aku mencari puteriku. Apakah engkau melihatnya?"

"Andaikata aku melihatnya juga, apa kaukira aku sudi memberitahu padamu? Pergilah, jangan ganggu aku!" Bagaimana Hek-tiauw Lo-mo dapat melakukan perjalanan secepat itu, mendahului Tek Hoat? Kiranya kakek iblis ini telah mendapatkan kembali burung garudanya dan melarikan diri dari dalam benteng itu dengan menunggang garuda. Ketika terjadi ribut-ribut oleh penyerbuan tentara kerajaan dan koksu bersama para pembantunya diberi kesempatan untuk melarikan diri oleh Kao Kok Cu, Hek-tiauw Lo-mo tiba-tiba melihat burung garudanya terbang berputaran tinggi di atas benteng yang kebakaran itu sambil mengeluarkan suara ketakutan. Ternyata burung yang ditinggalkan oleh Hwee Li di dalam hutan itu, telah mencari majikan-majikannya dan ketika melihat benteng itu kebakaran dan melihat banyak manusia bertempur, binatang ini menjadi ketakutan dan hanya berani terbang berputaran di atas tempat itu.

Hek-tiauw Lo-mo lalu mengeluarkan suara melengking panjang memanggil burungnya. Garuda itu mengenal suara majikannya, menukik turun dan kakek iblis itu lalu meninggalkan semua rekannya, menunggang garuda untuk mencari puterinya karena dia mendengar bahwa puterinya telah dilarikan oleh Pangeran Nepal. Dia melakukan pengejaran ke barat, namun tidak berhasil menemukan puterinya itu. Dia menghadang dan bersembunyi di padang rumput, menanti munculnya Pangeran Nepal yang menculik Hwee Li, akan tetapi sebaliknya yang muncul malah Tek Hoat yang segera dihadangnya untuk ditanya.

Mendengar jawaban itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah. "Jari Maut, engkau sungguh manusia sombong sekali. Kalau aku sekarang menyerang dan membunuhmu juga, sudah sepatutnya karena engkau telah mengkhianati kami di dalam benteng itu."

"Persetan dengan bentengmu, persetan dengan koksu dan Pangeran Nepal! Aku di sana karena hendak melindungi Puteri Bhutan, bukan hendak mengekor orang Nepal seperti engkau!"

Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. "Puteri Bhutan? Ha-ha-ha, Puteri Bhutan? Engkau memang sombong dan saat ini aku senang maka aku akan membunuhmu."

Sebetulnya Tek Hoat tidak mau melayani kakek iblis yang dianggapnya gila itu. Pertama karena memang dia tidak mempunyai urusan apa-apa dengan kakek itu, ke dua karena dia sedang tergesa-gesa hendak mendahului rombongan Mohinta menuju ke Bhutan sehingga dia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk melayani penghuni Pulau Neraka itu. Akan tetapi ketika dia melihat kakek itu mengeluarkan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat menyeramkan, wajah pemuda ini berubah dan matanya terbelalak.

"Cui-beng-kiam....!" serunya dan matanya melekat kepada pedang di tangan kakek itu.

"Ha-ha-ha, engkau masih mengenalnya? Benar, ini Cui-beng-kiam yang akan minum darah tuannya sendiri, ha-ha-ha!"

Terbayanglah semua peristiwa beberapa tahun yang lalu oleh Tek Hoat. Pedang Cui-beng-kiam itu adalah pedangnya, yang dimilikinya bersama ilmu-ilmu peninggalan Cui-beng Koai-ong seorang datuk dari Pulau Neraka. Akan tetapi, dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan betapa pedang itu telah terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sebagai ketua Pulau Neraka berhak pula memiliki pedang itu. Ketika Ang Tek Hoat menjadi panglima di Bhutan dan berdekatan dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi, dia telah melupakan pedang itu, bahkan tidak pernah dia bertanya lagi ketika dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi itu membuat dia tidak terlalu membutuhkan bantuan sebatang pedang, biarpun pedang sedahsyat dan seampuh Cui-beng-kiam. Akan tetapi, kini kakek itu mengeluarkan Cui-beng-kiam untuk mengancamnya. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi marah bukan main. Begitu melihat Cui-beng-kiam, bangkitlah semangatnya dan kalau tadinya dia tidak bernafsu melayani Hek-tiauw Lo-mo, kini timbul kemarahannya dan tekadnya untuk melawan kakek itu dan untuk merampas kembali Cui-beng-kiam!

"Keparat, kembalikan pedangku!" bentaknya dan dia sudah menerjang dengan tamparan-tamparan maut dari jari-jari tangannya yang ampuh.

Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan cepat menggerakkan pedang Cui-beng-kiam untuk membabat ke arah kedua tengan pemuda itu. Tek Hoat menarik tangannya dan dia menggunakan kecepatan gerakannya untuk menyerang lagi. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara dua orang sakti ini. Hek-tiauw Lo-mo sedang merasa murung dan jengkel karena hilangnya Hwee Li. Dia memang telah menyetujui untuk menyerahkan Hwee Li kepada Pangeran Nepal, akan tetapi tentu saja penyerahannya itu berdasarkan pamrih agar

dia dapat mengangkat diri sendiri menjadi mertua pangeran. Kini, usaha pangeran untuk bersekutu dengan Gubernur Ho-nan mengalami kegagalan dan pangeran itu telah melarikan puterinya. Tentu saja dia menjadi marah dan dia tidak akan melepaskan Hwee Li yang cantik jelita itu begitu saja tanpa ada keuntungan untuk dirinya sendiri. Kemurungannya itu kini ditimpakannya kepada Ang Tek Hoat dan dia menggunakan pedang Cui-beng-kiam, menyecar dengan amat ganasnya untuk membunuh pemuda ini menggunakan pedang pemuda itu sendiri.

Namun, Ang Tek Hoat atau yang sebenarnya ber-she Wan seperti she ayah kandungnya, kini telah memiliki kematangan dalam ilmu silatnya.

Pemuda ini mainkan Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Sebetulnya ilmu gabungan ini adalah ciptaan dari Puteri Nirahai, isteri pertama dari Pendekar Super Sakti yang dipelajari oleh Sai-cu Lo-mo. Akan tetapi, Tek Hoat telah dapat melatihnya dengan sempurna karena dia memiliki tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong. Oleh karena itu, dalam hal ilmu gabungan Pat-sian Sin-kun dan Pat- mo Sin-kun, pemuda ini telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, sebanding dengan tingkat yang dimiliki penciptanya, bahkan mungkin lebih kuat karena tenaga Inti Bumi!

Menghadapi serangan-serangan pedang dari Hek-tiauw Lo-mo, Tek Hoat tidak merasa gentar. Dengan ilmu silatnya yang mengandalkan gerakan cepat itu, dia selalu dapat menghindarkan diri dari tusukan atau bacokan pedang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut. Dan yang membuat Hek-tiauw Lomo terkejut sekali adalah penggunaan totokan dengan Ilmu Toat-beng-ci, yaitu ilmu totok dengan jari maut yang mengangkat nama Tek Hoat menjadi si Jari Maut.

Betapapun juga, yang dilawan oleh Tek Hoat adalah seorang kakek iblis yang amat tangguh, maka tidaklah mudah bagi pemuda ini untuk dapat menangkan perkelahian itu. Bahkan dia harus bersikap hati-hati sekali karena dia maklum betapa ampuhnya pedang Cui-beng-kiam yang mengandung racun, juga memiliki hawa yang menyeramkan ini.

Seratus jurus telah lewat dan Hek-tiauw Lo-mo yang tadinya tertawa-tawa itu kini tidak dapat lagi tertawa. Bahkan dia mulai marah dan penasaran sekali karena sebegitu lamanya belum juga dia berhasil merobohkan lawannya yang masih muda. Mulailah dia membantu pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu Hek-coa-tok-ciang. Tangan kirinya mengeluarkan uap hitam dan bau yang amis ketika dilancarkan untuk menghantam ke arah Tek Hoat. Namun pemuda ini maklum akan bahaya pukulan itu

dan selalu dapat menghindarkan sambil membalas dengan totokan-totokan mautnya.

"Mampuslah!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan Cui-beng-kiam meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah dada Tek Hoat. Pemuda ini terkejut karena pada saat itu dia sedang mengelak dari sambaran pukulan tangan kiri lawan. Tak disangkanya bahwa pukulan dahsyat itu tadi hanya pancingan belaka dan ketika dia mengelak, tubuhnya disambut oleh tusukan pedang. Cepat dia miringkan tubuhnya, maklum bahwa dia berada dalam keadaan berbahaya maka dia pun lalu menggerakkan tangannya membalas dengan tusukan jari tangan ke arah lambung lawan.

"Brettt!"

"Brettt!"

Mereka melangkah mundur dan masing-masing meraba pinggir dada dan lambung yang ternyata hampir saja terkena serangan masing-masing dan baju di bagian itu yang robek! Tek Hoat menggunakan kesempatan itu, ketika meloncat mundur tubuhnya rebah ke atas tanah dan mendadak kedua kakinya meluncur ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat. Itulah tendangan yang menggunakan tenaga Inti Bumi sekuatnya. Angin yang kencang menyambar ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Kakek iblis ini terkejut dan hendak meloncat ke belakang untuk mengelak, akan tetapi kurang cepat gerakannya itu karena ujung kaki Tek Hoat telah mengenai

tangannya yang memegang pedang Cui-beng-kiam.

"Desss. ... ahhh....!" Pedang itu terlepas dari pegangannya tanpa dapat dicegahnya lagi karena tangannya seperti dihantam palu godam raksasa saja dan seperti lumpuh rasanya.

Tubuh Tek Hoat berkelebat cepat dan dia telah menyambar pedang Cui-bengkiam yang melayang terlepas dari tangan lawan tadi dan kini dia berdiri dengan pedang itu di tangan, wajahnya beringas dan tersenyum mengejek amat menyeramkan. Namun, Hek-tiauw Lo-mo yang tadi merasa terkejut itu kini menjadi bertambah marah.

"Bocah setan!" dengusnya dan kini tangan kanannya sudah memegang sebatang golok gergaji yang merupakan senjatanya yang ampuh, sedangkan tangan kirinya memegang jala tipis yang dikepal dan siap dipergunakan. Tek Hoat menghadapi dengan penuh kewaspadaan, karena biarpun kini Cui-beng-kiam telah berada di tangannya kembali, dia maklum bahwa dengan golok gergaji dan jala tipis di tangan, kakek ini malah lebih berbahaya lagi. Mereka sudah saling berhadapan dengan mata beringas, siap menerjang seperti dua ekor ayam jago berlagak dan hendak bertanding mati-matian.

Akan tetapi pada saat itu terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dari arah timur. Kedua orang itu maklum akan datangnya banyak orang, dan Tek Hoat maklum bahwa itu adalah pasukan yang menyambut Mohinta, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo nampak gentar karena dia pun tidak ingin bertemu dengan pasukan yang disangkanya adalah pasukan kerajaan yang melakukan pengejaran. Maka dua orang itu otomatis melompat saling menjauhkan diri dan tak lama kemudian Tek Hoat melihat seekor burung garuda terbang

dari dalam hutan, dan kakek iblis itu duduk di atas punggungnya. Dia pun tidak mempedulikannya lagi dan cepat melanjutkan perjalanannya, mendahului pasukan itu menuju ke Bhutan.

******

Kapal yang berlabuh di tepi pantai pulau itu amat besar, indah dan megah. Perabot-perabotnya amat mewah dan pantasnya kapal itu milik seorang raja yang kaya raya. Rantai kapal yang nampak berjuntai ke bawah dan ujungnya mengikat tiang besi di pantai itu terbuat daripada perak! Kapal itu bergoyang-goyang perlahan terdorong air yang berombak sehingga nampak berlenggang-lenggok seperti seorang dara yang cantik dan pesolek. Cat kapal itu masih baru agaknya memang sering dicat seperti seorang dara yang sering membedaki wajahnya sehari beberapa kali. Anak buah kapal! yang hilir-mudik di atas kapal itu semua terdiri dari wanita-wanita cantik dan muda. Paling tua kurang lebih tiga puluh tahun dan mereka itu bergerak dengan gesit dan lemah gemulai, membuat kapal itu nampak lebih elok lagi. Apalagi pakaian para anak buah kapal itu rata-rata mewah, dari sutera-sutera halus beraneka warna, dan kalau kita mendekati mereka, biarpun mereka itu bekerja kasar seperti pelaut-pelaut biasa, sigap dan kuat, namun kulit tangan mereka halus dan tubuh mereka berbau sedap karena memakai bedak wangi dan minyak wangi! Sungguh sebuah kapal yang indah, mewah, dan aneh.

Pulau itu bukan lain adalah Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) yang menjadi tempat tinggal Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih nampak cantik jelita seperti baru berusia dua puluh lima tahun itu. Dan kapal itu adalah kapalnya, sebuah kapal yang memang mewah sekali, yang dibangun dengan biaya amat mahal. Akan tetapi memang wanita ini memiliki harta kekayaan yang luar biasa besarnya, harta karun yang didapatkan di pulau, harta karun yang ditinggalkan oleh bajak-bajak laut jaman dahulu, penuh dengan emas permata yang tak ternilai besarnya.

Seperti telah kita ketahui dari cerita ini di bagian depan, Puteri Bhutan, Syanti Dewi, kini tinggal di Kim-coa-to dan menjadi murid dari Bu-eng-cu Ouw Yan Hui. Puteri Bhutan itu berkenan menarik hati Ouw Yan Hui yang menyayangnya karena kecantikan dan kelembutan puteri itu, dan Ouw Yan Hui lalu melatih ilmunya yang hebat, yaitu ilmu ginkang yang luar biasa kepada Syanti Dewi. Selama setengah tahun lamanya Syanti Dewi dilatih menangkap burung-burung dalam ruangan tertutup dan kini dia telah menjadi seorang puteri yang memiliki ilmu ginkang istimewa. Selain ilmu-ilmu meringankan tubuh yang membuat sang puteri pandai berlari seperti terbang, mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), juga Syanti Dewi diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh gurunya.

Syanti Dewi sekarang jauh bedanya dengan Syanti Dewi beberapa bulan yang lalu. Dia telah menjadi seorang wanita yang lihai, dan kecantikannya makin menonjol karena berdekatan dengan Ouw Yan Hui, dia bukan hanya ketularan kepandaian ilmu silat, melainkan juga ketularan sifat pesoleknya, dan juga sifat dingin dan pendiamnya! Syanti Dewi yang dulu lembut dan halus budi, peramah dan seratus prosen penuh sifat kewanitaan dan keibuan, kini menjadi seorang wanita yang wajahnya selalu dirias rapi, cantik jelita seperti bidadari, pakaiannya berganti-ganti dengan pakaian yang amat indah, kadang-kadang berpakaian seperti seorang Puteri Bhutan, kadang-kadang seperti seorang Puteri India, dan kadang-kadang seperti seorang Puteri Kerajaan Ceng atau seorang Puteri Mancu. Namun, memakai pakaian apa pun juga, tetap saja Syanti Dewi nampak cantik jelita seperti bidadari.

Kalau dulu Syanti Dewi murah senyum dan wajahnya selalu cerah, sinar matanya lembut berseri-seri, kini di depan orang lain dia tidak pernah senyum dan sinar matanya tajam menusuk, juga mengandung keangkuhan. Hanya di depan Ouw Yan Hui atau anak buah di Pulau Ular Emas saja dia mau tersenyum, bahkan di waktu berlatih ginkang bersama gurunya dia suka tertawa-tawa dan agaknya kembalilah lagi sifat gembiranya seperti dahulu. Akan tetapi, di depan orang lain, dia bersikap angkuh dingin dan pendiam seperti juga Ouw Yan Hui!

Hubungannya dengan Ouw Yan Hui bukan seperti hubungan guru dan murid, melainkan lebih condong seperti hubungan sahabat. Ouw Yan Hui juga amat sayang kepada muridnya ini karena dia melihat kecantikan yang aseli dan yang membuat dia selalu merasa muda kembali.

Pagi hari itu, para anak buah kapal yang jumlahnya belasan orang itu telah sibuk membersihkan kapal dan mempersiapkan kapal itu karena tocu (majikan pulau) mereka yang bagi mereka merupakan seorang ratu itu telah memberi perintah bahwa menjelang tengah hari nanti dia dan muridnya akan berpesiar dengan kapal itu. Wanita-wanita muda yang berada di kapal itu bekerja dengan cekatan, akan tetapi hari yang cerah dengan matahari pagi yang sehat itu membuat mereka menjadi gembira dan sambil bekerja mereka itu bernyanyi-nyanyi.

Tiba-tiba mereka menghentikan nyanyian mereka, bahkan sejenak menghentikan pekerjaan mereka dan semua mata memandang ke tengah laut di mana mereka melihat tocu mereka berkejaran dengan Syanti Dewi. Dan memang merupakan penglihatan yang mentakjubkan sekali dua orang wanita yang sedang berkejaran di tengah laut itu!

Para anak buah Pulau Ular Emas rata-rata juga memiliki kepandaian silat, dan rata-rata memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka pernah diberi kesempatan melatih ginkang di atas lautan oleh tocu mereka dan kalau mereka menyaksikan tocu mereka berlatih ginkang di atas air, mereka benar-benar merasa kagum dan ngeri.

Bu-eng-cu Ouw Yan Hui memang telah menciptakan alat untuk berlatih ginkang secara istimewa di atas laut. Alat ini sederhana saja, yaitu merupakan dua batang bambu pendek yang diikatkan di bawah kedua kaki merupakan alas kaki atau sebetulnya merupakan alat penampung karena bambu-bambu itu membuat tubuhnya terapung di atas air. Akan tetapi, untuk mencegah agar jangan sampai tubuhnya terguling, cara menginjak bambu-bambu itu harus dapat mengatur keseimbangan tubuh secara luar biasa. Di samping ini, juga kedua kaki harus digerakkan cepat. meluncur bergantian ke depan sehingga dari jauh nampak seolah-olah wanita cantik itu pandai berjalan di permukaan air!

Cara berlatih seperti ini membuat tubuh Ouw Yan Hui ringan dan cekatan sekali sehingga kalau dia melepaskan bambu dan berlari di atas daratan, maka kecepatannya seperti seekor kijang berlari saja. Dan Syanti Dewi yang rupanya memiliki bakat baik untuk ilmu ginkang, kini mulai dilatih dengan dua potong bambu di bawah kakinya itu dan ternyata dalam waktu singkat saja Syanti Dewi sudah mulai pandai berlari-lari mempergunakan dua potong bambu itu di atas air, bahkan sudah berani menerjang ombak bergelombang di tengah laut!

Pagi hari itu guru dan murid ini pun melakukan latihan tingkat terakhir untuk Syanti Dewi. Mereka berkejaran di atas permukaan laut, di antara ombak-ombak yang mengganas sambil tertawa! Hebatnya, biarpun mereka berdua berlatih di atas laut, di antara ombak-ombak bergelombang, mereka itu mengenakan pakaian yang istimewa, bersih dan mewah! Apalagi Syanti Dewi! Agaknya puteri ini memang disayang dan dimanja oleh gurunya sehingga gurunya membuatkan banyak sekali pakaian untuknya. Di pagi hari itu, Syanti Dewi mengenakan pakaian puteri India di tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya yang hitam, halus dan panjang sampai ke pinggul itu dibiarkan teruirai lembut dan hanya diikat dengan ikat kepala yang terbuat daripada emas dan yang dihias sebuah permata besar yang bergantung di dahinya berkilauan tertimpa sinar matahari. Rambut itu berkibar di belakang tubuhnya bersama ujung kain sari yang membungkus tubuhnya dan yang ujungnya disampirkan di pundak kirinya. Bajunya yang pendek model India itu membiarkan pinggangnya dan sebagian perutnya telanjang sehingga nampak kulit yang putih kuning dan halus menggairahkan, kadang-kadang tertutup sari yang tipis dan tembus pandang, kadang-kadang terbuka sehingga pinggang

telanjang ini merupakan daya tarik yang istimewa. Kain sarinya melambai-lambai tertiup angin kencang. Wajahnya demikian segar kemerahan karena dia harus mengerahkan banyak tenaga ketika berloncatan di atas ombak-ombak dahsyat itu, mengelak ke sana-sini menghindarkan hempasan ombak sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Kedua tengan memainkan peranan penting dalam latihan seperti ini, karena untuk menjaga dan mengatur keseimbangan tubuh, kedua lengan itulah yang bekerja keras, kadang-kadang yang kanan naik yang kiri turun dan sebaliknya, seperti orang menari. Dan karena kedua lengan Puteri Bhutan itu dihias gelang-gelang emas maka setiap gerakan tangannya menimbulkan bunyi berkerincing, seolah-olah memperlengkap suara air mengalun menjadi semacam musik pengiring tariannya yang luar biasa itu. Sepasang sepatunya yang kecil terbuat dari kulit mengkilap, bentuknya agak tinggi menutupi mata kakinya dan sepatunya itu diikat pada sepotong bambu, sehingga dua potong bambu menjadi penyambung kedua kakinya seperti dua buah perahu kecil. Dengan bantuan pengapung bambu itu berlarilah Syanti Dewi, bagaikan peri atau Dewi Laut sendiri bermain-main di antara gelombang lautan yang dahsyat.

Tidak jauh di belakang, meluncur tubuh Ouw Yan-Hui, guru dan sahabatnya, dengan gerakan yang lebih ringan dan lebih cekatan daripada Syanti Dewi, namun tidak seindah gerakan Syanti Dewi yang seperti orang menari-nari untuk menjaga keseimbangan tubuhnya itu. Seperti biasanya, Bu-eng-cu Ouw Yan Hui juga memakai pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung rapi dan dia kelihatan seperti Dewi Kwan Im Pouwsat sendiri, demikian agung dan ayunya.

"Enci Hui, mari kita berlomba ke kapal!" Syanti Dewi berseru gembira.

"Baik, kaularilah dulu, nanti kukejar!" jawab Ouw Yan Hui.

Maka berlarianlah dua orang wanita cantik itu semakin cepat sehingga para anak buah kapal layar itu memandang makin kagum karena kini dua orang wanita itu seperti terbang saja di atas permukaan laut. Dan Bu-eng-cu Ouw Yan Hui diam-diam merasa kagum karena kemajuan pesat dari Puteri Bhutan. Biarpun dia akhirnya dapat menyusul dan mendahului Syanti Dewi menyambar tali tangga dan naik ke kapal, namun hanya sedikit saja selisihnya dan ternyata bahwa kecepatan muridnya itu sudah hampir menyamainya!

"Bibi Maya Dewi....!" Syanti Dewi mendengar seruan Ouw Yan Hui yang telah lebih dulu naik ke kapal. "Kapan Bibi datang....?"

Syanti Dewi cepat naik ke kapal dan dia melihat seorang wanita India yang amat cantik. Usia wanita itu kurang lebih tiga puluh tahun, rambutnya masih hitam, halus mengkilap dan dibiarkan terurai ke belakang. Kepalanya dihias seuntai pengikat rambut terbuat dari permata merah dan hiasan permata yang berjuntai di dahinya amat besar, biru berkilauan. Wajahnya segar dan cantik, dengan sepasang mata lebar berseri-seri. Juga tubuhnya masih nampak padat, kulit perut dan pinggang yang nampak antara baju dan celana, sedikit tertutup sari tipis itu masih halus dan putih bersih. Lehernya mengenakan kalung dari permata pula, dan kedua lengannya dihias gelang emas bertumpuk. Wanita yang cantik sekali, agung, dan berpakaian indah! Inikah "bibi Maya" yang perah disebut oleh Ouw Yan Hui itu? Memang cantik, akan tetapi tidak secantik Ouw Yan Hui, juga tidak semuda Ouw Yan Hui!

"Aku baru saja datang, Yan Hui, dengan perahu kecil. Kabarnya engkau mempunyai seorang murid yang hebat.... ah, diakah orangnya?" Wanita itu memandang kepada Syanti Dewi yang baru saja naik ke kapal.

"Benar, Bibi. Inilah dia, Syanti Dewi dari Bhutan, muridku, juga sahabatku yang tercinta!" Dengan gembira Ouw Yan Hui menghampiri Syanti Dewi dan merangkul pundak sahabat ini, diajak mendekat sambil berbisik di dekat telinga Puteri Bhutan itu, "Syanti, Bibi Maya Dewi ini sudah berusia enam puluh tahun lebih!"

"Ahhh....!" Kini Syanti Dewi melongo memandang kepada wanita itu. "Tidak mungkin!" Dia mengeluarkan kata-kata ini dengan keras karena memang dia terkejut dan terheran-heran bukan main. Wanita yang cantik jelita itu, yang tak mungkin lebih dari tiga puluh tahun usianya, adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun?

"Mari kita masuk ke bilik, Bibi Maya. Mari Syanti, kita bicara di dalam."

Tiga orang wanita cantik itu masuk ke dalam bilik kapal dan para anak buah kapal segera melanjutkan pekerjaan mereka. Setelah tiba di dalam bilik kapal, Ouw Yan Hui memeluk wanita itu dan mencium kedua pipinya dengan mesra, dibalas pula oleh nenek Maya Dewi yang cantik itu dengan penuh kemesraan pula. Syanti Dewi memandang dengan melongo dan hanya mengira bahwa memang demikianlah kebiasaan kedua orang wanita itu saling memberi salam.

"Syanti Dewi, inilah Bibi Maya Dewi seperti yang pernah kuceritakan kepadamu dulu. Dia hebat sekali, bukan? Usianya sudah enam puluh tahun lebih, dan lihatlah wajahnya yang cantik, lihatlah tubuhnya yang padat dan mulus seperti tubuh seorang dara! Hayo kau lekas memberi hormat kepada Bibi Maya Dewi, Syanti."

Syanti Dewi cepat menjura dan memberi hormat dengan sembah, yaitu dengan merangkapkan kedua tangan yang terbuka dan dibawanya kedua tangan itu ke depan hidungnya. Akan tetapi, wanita itu lalu melangkah maju dan merangkulnya. "Tak perlu segala penghormatan itu, Dewi. Lebih baik biarkan aku menciummu sebagai salam perkenalan." Wanita itu lalu merangkul lehernya dan mencium kedua pipinya dengan mesra. Karena menyangka bahwa memang demikian cara wanita ini memberi salam, maka Syanti Dewi dengan tersenyum juga membalas dan menggunakan hidungnya menyentuh pipi nenek itu. Dia mencium bau harum minyak wangi yang keras.

Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati puteri ini ketika tiba-tiba mulut wanita itu mengecup bibirnya dan jari-jari tangan wanita itu mengelus dadanya! Hampir dia menjerit dan cepat dia menarik dirinya lepas dari rangkulan wanita itu, mukanya berubah merah sekali dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu terbelalak.

Ouw Yan Hui segera memegang lengannya. "Aihhh, Bibi Maya mengejutkan hati adik Syanti dengan salamnya."

Wanita itu memejamkan matanya. "Hemmm, sedap sekali bau keringatmu, Dewi yang jelita. Engkau sungguh seorang anak yang manis sekali, dan betapa akan hebatnya kalau kecantikanmu yang seperti dewi kahyangan itu dibikin abadi sehingga selamanya engkau akan tetap tinggal cantik jelita seperti ini!"

Rasa kaget sudah mereda, dari hati Syanti Dewi dan dia masih mengira bahwa memang cara nenek itu memberi salam adalah luar biasa anehnya, bukan saja memeluk dan menciumi pipi, bahkan mengecup bibir dan menggerayangi dada! Kini mendengar ucapan wanita itu, dia terheran dan bertanya, "Apa.... apa maksudmu....?"

Ouw Yan Hui sudah merangkulnya dan baru kini Syanti Dewi merasa betapa rangkulan sahabat dan gurunya ini amat mesra. Biasanya dia tidak merasakan hal ini dan menganggapnya sebagai rangkulan seorang sahabat baik, akan tetapi setelah dia mengalami rangkulan dan ciuman nenek Maya Dewi tadi, dia merasa betapa rangkulan-rangkulan Ouw Yan Hui juga amat mesranya sehingga dia

merasa bulu tengkuknya dingin.

"Adik Syanti, lupakah engkau akan keherananmu melihat aku yang sudah berusia empat puluh tahun lebih masih kelihatan muda? Dan Bibi Maya ini sudah berusia enam puluh tahun lebih! Dialah yang menjadi guruku dalam hal ilmu mempercantik diri dan ilmu awet muda. Dia dapat membuat kecantikanmu ini menjadi abadi, Syanti Dewi. Dengan cara pengobatannya dan caranya memelihara kecantikan, maka engkau akan tetap kelihatan secantik sekarang ini tiga empat puluh tahun lagi."

"Ahhh....! Mana mungkin? Rambutku akan beruban dan putih...."

"Hi-hik, lihat rambutku, Dewi. Apakah kalah hitam dan kalah halus panjang daripada rambut orang muda?" Maya Dewi membelai rambutnya sendiri. "Dan lihat betapa tidak ada sehelai pun rambut uban!"

"Tapi.... tapi...."

"Apakah engkau tidak ingin tetap cantik dan muda selamanya, Syanti?" tanya Ouw Yan Hui.

"Tentu.... tentu saja.... " Syanti Dewi menjawab bingung. Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin awet muda dan tetap cantik selamanya dan tidak dirusak oleh usia muda?

"Kalau begitu bersiaplah! Aku akan membuatmu tetap cantik selama hidupmu, Dewi. Sayang kalau kecantikan seperti yang kaumiliki itu kelak habis dimakan keriput dan uban, atau ditelan oleh lemak. Yan Hui, suruh orang-orangmu mempersiapkan semua keperluan merendam Dewi dalam air ramuan!"

Tak lama kemudian sibuklah para pelayan mempersiapkan sebuah bak air atau lebih patut disebut gentong karena bentuknya seperti gentong besar dan dicat indah. Gentong besar ini diisi air jernih oleh para pelayan itu, kemudian mereka semua disuruh keluar dari bilik dan mulailah nenek Maya Dewi menuangkan ramuan obat di dalam air itu. Tercium bau harum semerbak dan air jernih itu berubah menjadi agak kemerahan. Sambil memejamkan mata membaca mantera-mantera dalam bahasa India Kuno, Maya Dewi lalu menaburkan bubuk kuning ke dalam gentong atau guci besar berisi air kemerahan itu dan tiba-tiba saja air itu mendidih! Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan penuh keheranan, juga kekaguman. Tentang ilmu-ilmu ajaib seperti ini, dia sudah banyak mendengar dan melihat di negerinya, akan tetapi baru sekarang dia melihat betapa ada ilmu yang membuat orang menjadi awet muda dan cantik sehingga seorang nenek berusia enam puluh tahun lebih masih kelihatan secantik itu.

"Sekarang tanggalkanlah semua pakaianmu, Dewi" kata nenek itu dengan suara halus dan mesra.

"Menanggalkan pakaian....?" Syanti Dewi menjawab dan mukanya menjadi merah sekali. Belum pernah selamanya dia menanggalkan pakaiannya, kecuali di depan para pelayan pribadinya di lstana Bhutan, akan tetapi para pelayan wanita itu adalah pelayan-pelayan yang telah mengenalnya sejak dia masih anak-anak sehingga dia tidak merasa malu lagi.

"Aihhh, Adik Syanti, mengapa meragu? Di sini tidak ada orang lain, yang ada hanya aku dan Bibi Maya. Mengapa malu? Hayolah, kubantu kau...."

Karena bujukan halus ini akhirnya Syanti Dewi membiarkan dirinya ditelanjangi dan dengan muka merah sampai ke lehernya akhirnya dia berdiri telanjang bulat di depan kedua orang wanita itu yang memandangnya dengan sepasang mata penuh kagum dan takjub.

"Bukan main...." Nenek itu seperti merintih dan beberapa kali menelan ludah.

"Adikku yang manis, engkau hebat...." Ouw Yan Hui berbisik dan dari kedua matanya turun dua butir air mata! Begitu terharu wanita ini menyaksikan kejelitaan yang seolah-olah tanpa cacat di depannya itu.

"Apa.... apa yang harus kulakukan, Enci....?" Syanti Dewi bertanya halus dengan suara agak gemetar sambil berusaha menutupi bagian depan tubuhnya dengan rambut dan tangan.

"Kau masuklah ke sini, masuklah ke dalam guci ini, Sayang...." Nenek itu berkata dengan suara gemetar pula.

"Aku akan memijati tubuhmu dan engkau selamanya takkan pernah menjadi tua."

Karena sudah terlanjur dan juga memang dia amat tertarik untuk dapat tetap muda selamanya, Syanti Dewi lalu mendekati guci. Melihat air itu mendidih, dia bergidik, lalu menyentuh air itu dengan tangannya. Aneh! Biarpun air itu kelihatan mendidih, namun ternyata dingin sekali! Maka dia lalu menggunakan kedua tangan menekan bibir guci, mengangkat tubuhnya dan masuk ke dalam guci, berjongkok sampai air itu mencapai lehernya.

"Sekarang, kendurkan seluruh uratmu, jangan melawan dan biarkan pijitanku mengatur jalan darahmu," kata nenek itu, kemudian Syanti Dewi merasa ada jarijari tangan menyusuri tubuhnya, dari leher, ke pundak, ke dada, terus ke bawah. Mula-mula terasa geli seperti digelitik, akan tetapi lambat-laun ada rasa nyaman dan nikmat dan dia membiarkan tubuhnya dipijiti dan makin lama dia merasa seolah-olah terapung di angkasa. Dia memejamkan kedua matanya, memeluk pundak menyilangkan kedua lengan depan dada, sampai dia mendengar suara Ouw Yan Hui.

"Sudah, Bibi, engkau membuat aku tidak kuat menahan....!"

Syanti Dewi membuka matanya dan melihat Ouw Yan Hui berdiri dengan muka merah sekali, mata hampir terpejam dan tubuh wanita itu menggigil. Selagi dia merasa terheran-heran, Maya Dewi berkata kepadanya, "Pejamkan matamu, Dewi, dan aku akan memandikanmu dengan air keramat Sungai Gangga!"

Syanti Dewi menurut saja. Dia memejamkan matanya dan nenek itu lalu menuangkan air dari sebuah poci air. Terasa dingin sekali air itu menimpa ubun-ubun kepala Syanti Dewi. Teringat bahwa air itu adalah air keramat dari sungai suci, yaitu Sungai Gangga itu, Syanti Dewi menggigil. Sebagai seorang puteri dari Bhutan, tentu saja dia mengenal Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai yang suci di India itu. Dia mendengar betapa nenek itu mengucapkan mantera ketika air itu bercucuran menimpa ubun-ubun kepalanya.

Setelah menuangkan air suci itu, kembali nenek Maya Dewi mengurut punggung Syanti Dewi, dari tengkuk sampai ke pinggul. Nikmat rasanya diurut seperti itu, dan akhirnya selesailah "pengobatan" dengan mandi air keramat itu. Syanti Dewi diperbolehkan keluar dan dibantu oleh Ouw Yan Hui, dia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan kembali pakaiannya. Rambutnya yang masih basah dibiarkan terurai.

"Bagus! Kini di dunia ada tiga orang wanita yang tidak akan mengenal usia tua!" kata Maya Dewi dengan wajah berseri dan dia memandang kepada Syanti Dewi dengan mata bersinar-sinar. "Dan engkaulah yang tercantik di antara kita bertiga, Dewi! Engkau akan dikagumi seluruh manusia di dunia ini, dipuja dan dianggap sebagai dewi kahyangan!"

"Kita harus rayakan peristiwa ini! Mari, mari kita berpesta dan biarkan kapal ini dilayarkan ke tengah lautan," kata Ouw Yan Hui.

Maya Dewi mengangguk-angguk. "Benar, sebaiknya Syanti Dewi melanjutkan pengobatan di tengah lautan, jauh dari keramaian dunia."

"Apakah.... apakah pengobatan itu masih harus dilanjutkan lagi....!" tanya Syanti Dewi yang merasa enggan dan malu mengenangkan cara pengobatan seperti tadi.

"Tentu saja, akan tetapi mandi air keramat hanya satu kali tadi cukuplah. Mandi air keramat itu dimaksudkan untuk mencuci bersih semua kekotoran yang ada pada dirimu. Akan tetapi engkau adalah seorang perawan, Dewi, dan tubuhmu masih bersih, maka mandi satu kali saja cukuplah bagimu. Selanjutnya engkau hanya akan minum pil pengawet muda dan harus kupijit dan urut beberapa hari lamanya."

Mereka bertiga keluar dari bilik dan pesta pun dimulailah bersama bergeraknya kapal meninggalkan pulau itu menuju ke tengah lautan, perlahan-lahan digerakkan oleh hembusan angin lembut pada layar-layar kapal. Masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dihidangkan di atas meja dan tiga orang wanita cantik itu mulai makan minum.

Nenek Maya Dewi menyerahkan sebutir pil merah kepada Syanti Dewi. "Kautelanlah ini bersama secawan arak merah, Dewiku."

Syanti Dewi menurut dan ternyata pil itu menambah manisnya arak. "Apakah saya harus pantang makan sesuatu?"

"Tidak ada pantangan makanan apa-apa, hanya...."

"Bibi Maya, biarkan Adik Syanti Dewi, membiasakan diri lebih dulu." Tiba-tiba Ouw Yan Hui memotong dan nenek itu tidak melanjutkan keterangannya, akan tetapi Syanti Dewi juga tidak menduga lain dan mulailah mereka makan masakan-masakan lezat.

Kehidupan di atas kapal pesiar itu amat mewah. Kapal menjelajahi pulau-pulau yang indah, taman-taman laut yang memperlihatkan pemandangan indah dengan ikan-ikan beraneka warna di waktu air tenang. Akan tetapi Syanti Dewi merasa tersiksa apabila dia harus membiarkan dirinya diurut dan dipijiti oleh Maya Dewi. Jari-jari tangan nenek itu benar-benar amat nakal dan kalau sudah mengurut, memijit, jari-jari itu membelai-belai, membuat Syanti Dewi menggigil dan semua bulu di tubuhnya meremang. Kalau tidak ingat bahwa nenek itu adalah seorang wanita, tentu dia sudah memberontak, bahkan memukulnya! Kalau dia memprotes,

nenek itu menghiburnya.

"Memang harus begini, Dewi. Kalau tidak, bagian ini akan mengendur kelak setelah usiamu bertambah." Dengan alasan seperti itu, terpaksa Syanti Dewi membiarkan saja nenek itu menjelajahi semua bagian tubuhnya dengan gerakan-gerakan jari tangan yang amat kurang ajar! Kadang-kadang dia seperti terlena, seperti tenggelam karena betapapun juga, gerakan-gerakan itu mendatangkan rasa nikmat yang amat aneh dan menakutkan sehingga kadang-kadang dia terpaksa meronta sehingga jari-jari itu mengurangi gerakan-gerakannya.

Tiga hari kemudian, kapal itu melakukan pelayaran kembali ke Kim-coa-to, dan malam itu Syanti Dewi secara kebetulan lewat di depan bilik Ouw Yan Hui dan mendengar secara aneh dari dalam bilik itu. Suara orang mendengus-dengus dan terengah-engah, seperti suara orang yang sedang kesakitan hebat. Dia sudah hendak mengetuk pintu, akan tetapi tiba-tiba dibatalkannya niat mengetuk pintu itu karena dia mendengar bahwa suara terengah-engah itu adalah suara dua orang manusia! Keheranannya mendorongnya untuk menyelinap ke arah jendela bilik dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya membuat dia bengong sejenak, mengintai lagi dan bengong lagi. Dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi, dua orang wanita cantik itu dengan telanjang bulat sedang bergulat di atas pembaringan! Syanti Dewi merasa bulu tengkuknya meremang dan cepat-cepat dia melangkah mundur, akan tetapi perasaan heran membuat dia masih mendekati jendela. Dia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh dua orang itu. Tentu saja dia cukup mengerti, dari kitab-kitab yang dibacanya, tentang hubungan jasmani antara pria dan wanita. Namun selama hidupnya belum pernah dia mendengar akan hubungan seperti itu antara wanita dan wanita pula! Dugaannya tidak menjurus ke situ dan dia hanya terheran-heran saja.

Kemudian dia mendengar mereka bercakap-cakap dalam bisikan-bisikan. "Dia sungguh bodoh dan hatinya keras...." terdengar suara Maya Dewi. Mereka berdua bicara dalam bahasa India yang tidak dimengerti oleh para anak buah Pulau Kim-coa-to, akan tetapi dimengerti baik oleh Syanti Dewi.

"Engkau harus sabar, Bibi. Ingat, dia masih perawan, dia masih murni dan belum tahu apa-apa....! Sebaiknya menanti kalau kita sudah berada di pulau dan dengan obat.... shhhhh...." Tiba-tiba suara Ouw Yan Hui terhenti dan Syanti Dewi lalu sengaja berjalan dan bersenandung, kebiasaannya kalau dia berjalan-jalan di dek kapal seorang diri.

Pada keesokan harinya, kapal berlabuh di Kim-coa-to dan mereka bertiga turun dari kapal memasuki istana di tengah pulau, istana yang megah dan mewah.

"Tinggal satu malam ini lagi dan pengobatanmu sudah selesai, Dewi. Malam ini aku akan menjagamu karena pengobatan itu harus diulangi sampai nampak ada tanda bahwa semua telah berhasil baik," kata Maya Dewi, Syanti Dewi tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya mulai timbul kecurigaan bahwa agaknya ada sesuatu yang dia tidak mengerti sama sekali, sesuatu yang aneh dan mengerikan!

******

"Kauminumlah secawan arak ini. Inilah pengobatan minumlah terakhir, Dewi. Dan malam ini aku akan menemanimu semalam, maka selesailah sudah pengobatan ini dan engkau selamanya akan menjadi seorang wanita yang paling cantik di dunia ini! Besok aku akan meninggalkan Kim-coa-to. Minumlah."

Syanti Dewi menerima cawan arak itu dan minum arak merah. Tercium bau harum yang lain dari biasanya, akan tetapi tanpa ragu-ragu diminumnya sampai habis arak itu.

"Ke mana kah Bibi akan pergi?" tanyanya biasa saja sambil menaruh cawan kosong ke atas meja.

"Aku?" Wanita itu tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Syanti Dewi kagum melihat deretan gigi putih yang masih rapi itu, seperti gigi orang muda saja. "Ah, aku hidup seperti bayangan, ke mana saja hati ini menghendaki. Mungkin aku akan terus ke India dan kalau benar demikian, akan lamalah kita dapat berjumpa kembali, Dewi. Akan tetapi, aku takkan dapat melupakan engkau, karena sungguh mati, engkaulah dara tarcantik yang pernah kutemui selama hidupku dan aku girang sekali dapat membuat kecantikanmu ini abadi, Syanti Dewi."

"Terima kasih atas kebaikan Bibi Maya."

Malam itu, seperti biasa, Maya Dewi memijati tubuh Syanti Dewi dan mengurut-urut punggungnya. Syanti Dewi merasa mengantuk sekali dan akhirnya dia tidak dapat menahan kantuknya, dia pulas selagi punggungnya masih diurut oleh nenek yang cantik itu.

Syanti Dewi bermimpi. Dia merasa seperti dikejar oleh seorang manusia bermuka iblis mengerikan. Dia sudah mempergunakan ginkangnya yang dia pelajari dari Ouw Yan Hui, namun iblis itu amat cepat larinya dan akhirnya dia tersusul dan dia diterkam dari belakang. Syanti Dewi meronta dan melawan, namun iblis itu terlampau kuat baginya dan iblis itu berusaha untuk memperkosanya. Syanti Dewi mempertahankan diri sekuatnya dan akhirnya dia menjerit, "Tek Hoattt....!" karena dalam keadaan berbahaya itu dia teringat kepada kekasihnya.

Dengan tubuh penuh keringat Syanti Dewi sadar dari mimpi. Dia mengeluh karena merasa betapa tubuhnya dipeluk orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia membuka mata melihat bahwa dia dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa betapa dada yang bulat besar dari nenek ini menekan dadanya dan mulut nenek itu menciumnya, mencium mulutnya dengan penuh dengusan nafsu berahi! Sejenak Syanti Dewi merasa seperti dihanyutkan dalam arus air yang amat kuat bahkan ada dorongan hati aneh yang membuat dia condong membalas ciuman itu! Dia merasa betapa tubuhnya hangat dan panas-panas, betapa ada gairah di dalam hatinya untuk diperlakukan dengan mesra oleh seseorang, dan tanpa disadarinya sendiri dia pun merangkul leher nenek itu sambil mengeluh.

"Syanti...., Dewiku.... kau sungguh cantik, hemmm....!"

Ketika merasa betapa tangan nenek itu menggerayanginya, betapa tubuhnya ditindih, Syanti Dewi teringat kepada Tek Hoat, teringat kepada adegan antara Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dan dia menahan jeritnya, lalu menggunakan tangan untuk mendorong pundak Maya Dewi. Dia mendorong sambil mengerahkan tenaga sehingga tak dapat dicegah lagi tubuh Maya Dewi terlempar dari atas pembaringan!

"Aduhhh.... ah, apa yang kaulakukan ini, Dewi....?" Maya Dewi merangkak bangun dan kini berdiri dalam keadaan telanjang bulat di depan Syanti Dewi. Dara ini memandang dengan mata terbelalak. Biarpun dari dalam tubuhnya masih bergelombang gairah nafsu yang tidak normal, namun melihat wanita itu berdiri telanjang bulat, dengan mulut setengah terbuka mendengus-dengus, mata setengah terpejam, kedua tangan dikembangkan seperti hendak memeluknya, dia merasa ngeri bukan main!

"Bibi.... jangan begitu....!" Dia terengah, menyambar pakaiannya dan bergegas mengenakan pakaiannya.

"Dewiku.... ke sinilah.... aih, aku sayang padamu, Dewi, aku cinta padamu, marilah kaulayanilah aku, Dewi....!" Rayuan ini membuat Syanti Dewi menjadi makin ngeri dan dia meloncat untuk menghindarkan terkaman Maya Dewi yang seperti sudah menjadi mabuk itu, kemudian dia lari keluar dari dalam kamar.

"Dewiku.... kembalilah.... kembalilah kau....!" Maya Dewi mengejar, akan tetapi wanita ini hanya lihai dalam ilmu mempercantik diri dan mempergunakan ramuan untuk membuat dirinya awet muda saja, namun dalam hal ilmu silat apalagi ilmu berlari cepat, tentu saja dia tidak dapat melawan Syanti Dewi yang sudah lari cepat dan lenyap dari situ.

Dengan napas terengah-engah dan muka pucat, ngeri dan takut seperti dikejar setan, Syanti Dewi berlari terus keluar dari istana Ouw Yan Hui itu, tidak mempedulikan teguran dan pertanyaan para anak buah Ouw Yan Hui, lalu dia mendorong sebuah perahu kecil ke air, mendayung perahu ke tengah dan memasang layar. Selama ini dia sudah mempelajari ilmu mengemudikan perahu layar maka sebentar saja karena angin sedang bertiup kencang perahunya meluncur ke tengah laut meninggalkan Kim-coa-to. Dia hanya ingat akan arah daratan besar, maka tanpa mempedulikan sesuatu dia menujukan perahunya ke kanan, meninggalkan pulau itu. Angin yang bertiup kuat itu membuat rambutnya terurai ke belakang dan udara yang dingin mulai mengusir hawa panas yang membuat tubuhnya menjadi tidak karuan rasanya, yang mendorong gairah nafsu aneh dari dalam hatinya. Dia bergidik dan mulai menggigil. Mengertilah dia kini bahwa arak terakhir yang diminumnya malam tadi bukan obat melainkan arak yang mengandung racun perangsang! Akan tetapi, tetap saja dia tidak mengerti dan terheran-heran mengapa seorang wanita seperti Maya Dewi itu bisa tergila-gila kepadanya, seorang wanita pula. Mengapa seorang wanita ingin membujuk rayu seorang wanita lain, bahkan kelihatan begitu bernafsu, seolah-olah hendak mengajaknya bermain cinta, hendak memperkosanya! Syanti Dewl bergidik. Tentu nenek itu telah berubah gila, pikirnya. Kalau tidak gila, mana mungkin ada wanita timbul berahinya melihat wanita lain?

Tentu Eenci Yan Hui akan mencariku, pikirnya. Dan teringat kepada Yan Hui, dia teringat pula akan adegan yang dilihatnya dalam kamar Ouw Yan Hui yaitu ketika dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dalam keadaan bugil sedang bergulat! Apakah yang mereka telah lakukan? Syanti Dewi makin ngeri dan bergidik, akan tetapi dia menjadi makin bingung. Apakah mereka berdua itu sudah gila? Dia tahu bahwa Ouw Yan Hui adalah seorang pembenci pria, akan tetapi mengapa main gila seperti itu dengan sesama wanita? Mungkinkah itu? Syanti Dewi merasa makin bingung.

******

Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi yang melarikan diri dari Pulau Kim-coa-to di waktu tengah malam dengan menggunakan perahu layar itu dan mari kita mengikuti perjalanan Kim Hwee Li yang dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu, dan Suma Kian Lee yang mengejar larinya pangeran dari Nepal itu. Setelah berhasil lari keluar dari dalam benteng sambil memondong tubuh Kim Hwee Li yang telah lemas ditotoknya, Pangeran Liong Bian Cu atau Bharuhendra, tiba di luar pintu rahasia dan di tempat itu memang telah siap menanti beberapa orang pengawal pribadinya. Cepat Pangeran Nepal ini minta seekor kuda dan meloncat ke atas punggung kuda itu dan membalapkannya ke arah barat, ke pegunungan yang penuh dengan hutan-hutan lebat.

Di tengah sebuah hutan di lereng gunung, terdapat sebuah rumah kecil mungil yang tersembunyi di antara pohon-pohon. Inilah rumah yang dibangun oleh Pangeran Liong Bian Cu pula, untuk keperluan peristirahatan di waktu dia melakukan olah raga berburu binatang di waktu dia masih berkuasa di dalam benteng. Rumah itu biasanya terjaga oleh belasan orang perajurit, akan tetapi agaknya para perajurit itu telah mendengar akan bobol dan runtuhnya benteng sehingga ketika Pangeran Liong Bian Cu tiba di situ, dia mendapatkan rumah yang kosong, tidak nampak seorang pun penjaga.

"Pengecut-pengecut rendah, gentong-gentong nasi kosong menjemukan" Pangeran Liong Bian Cu memaki dengan perasaan sebal melihat betapa tempat itu sudah ditinggal pergi oleh para penjaga. Sambil memondong tubuh Hwee Li, dia membuka daun pintu depan dengan kakinya, kemudian memasuki rumah yang cukup mewah biarpun kecil itu.

"Pangeran, kaulepaskan aku....!"

Liong Bian Cu merebahkan tubuh Hwee Li ke atas dipan panjang di sudut ruangan itu, lalu dia sendiri duduk di atas kursi dekat dipan, menarik napas panjang beberapa kali dengan hati murung. Gerakannya telah gagal sama sekali.

"Engkau tahu, Hwee Li, bahwa aku cinta sekali kepadamu, maka tentu saja tak mungkin aku melepaskanmu. Engkau harus menjadi isteriku, Sayang, baik aku berhasil atau pun gagal."

Hening sejenak dan Hwee Li yang masih belum dapat menggerakkan kaki tangannya itu mengerutkan alisnya, mencari akal. Namun agaknya sukar baginya untuk membebaskan diri karena kini pangeran yang murung dan kecewa itu telah mengenal segala siasat dan akalnya, maka tentu pangeran itu akan hati-hati.

"Lalu apa yang akan kaulakukan terhadap diriku, Pangeran?" tanyanya, suaranya mengandung keluhan dan kedukaan hebat yang sengaja dilakukan untuk meruntuhkan hati pangeran yang dia tahu amat mencintanya itu.

"Kita beristirahat dulu di sini malam ini, dan besok tentu ada anak buahku yang akan datang menjemput. Kau tahu betapa aku cinta padamu, Hwee Li, dan engkau akan kuajak ke Nepal di mana kita akan menikah dengan resmi.

"Tidak, aku tidak mau!" Hwee Li berkata sambil memandang dengan mata terbelalak.

Pangeran itu menghela napas panjang. "Mau atau tidak, engkau harus menjadi isteriku, Sayang! Kalau selagi bertunangan engkau tidak dapat belajar mencintaku, biarlah setelah menjadi isteriku engkau belajar membalas cinta kasihku. Engkau akan hidup mulia di Nepal, Hwee Li."

"Tidak.... ah, aku tidak mau.... aku tidak dapat hidup bersamamu, Pangeran kaukasihanilah aku, kaubebaskan aku, Pangeran...." Hwee Li yang tidak melihat jalan keluar itu kini menangis!

Pangeran Liong Bian Cu bangkit dari atas kursi dan kini dia menghampiri Hwee Li, duduk di tepi dipan.

"Jangan dekati aku, jangan sentuh aku.... hu-hu-hu.... aku akan membunuh diri kalau kaujamah tubuhku...."

Pangeran itu nampak berduka sekali, "Kim Hwee Li, mengapa engkau bersikap begini menusuk peraaaanku dan menyedihkan hatiku? Aku tidak akan mengganggumu, aku sungguh cinta padamu, dan aku tidak ingin menguasai hati dan tubuhmu secara paksa. Aku ingin engkau membalas cintaku, Hwee Li. Lupakah engkau bahwa engkau adalah puteri seorang sekutu mendiang ayahku? Ayahku dan ayahmu

adalah sekutu yang baik, kenapa kita tidak dapat malanjutkan persahabatan antara mereka secara lebih erat lagi?"

"Tidak.... hu-hu-hu.... tidak, aku tidak cinta padamu...."

"He mmm, aku adalah seorang pangeran, Hwee Li. Apa yang kukehendaki harus tercapai. Engkau harus menjadi isteriku, baik engkau cinta padaku atau tidak!" Suara pangeran itu terdengar keras dan tegas.

"Kau.... kau pengecut sungguh! Mengapa engkau hendak memaksa seorang wanita yang tidak mencintamu?" Hwee Li berkata sambil terisak.

"Hemmm, seorang pria berhak memilih jodohnya, Hwee Li. Dan aku akan mempertahankan dirimu dengan taruhan nyawaku. Bagiku, engkau lebih berharga daripada segalanya, daripada nyawaku. Tanpa adanya engkau, hidupku akan hampa. Aku bukan pengecut, dan aku siap untuk memperebutkan dirimu dengan siapapun juga di dunia ini!"

"Bagus, Liong Bian Cu! Aku datang untuk merampas Hwee Li dari tanganmu dan kalau memang engkau bukan pengecut, mari kaulawan aku!"

Liong Bian Cu terkejut dan cepat mengangkat mukanya. Kiranya di ambang pintu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana, dan pemuda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee! Hwee Li yang masih rebah tertotok, menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya pemuda pujaan hatinya itu. Akan tetapi segera dia teringat kepada Siang In dan mulutnya cemberut, mukanya berubah merah, sinar matanya berapi-api.

Sementara itu, Liong Bian Cu sudah bangkit dan menghampiri Kian Lee yang juga sudah melangkah memasuki ruangan.

"Mau apa engkau ke sini? Hemmm, apakah janji para pendekar sekarang tidak dapat dipercaya lagi? Perang telah selesai, dan kami telah menerima janji untuk diperbolehkan pergi dengan aman...."

"Aku datang menyusulmu bukan karena urusan negara, Pangeran, melainkan karena urusan pribadi. Engkau melarikan dan menculik Hwee Li, oleh karena itu aku menentangmu. Kembalikan dia kepadaku, bebaskan dia, baru aku akan membiarkan engkau pergi dengan aman."

Pangeran Liong Bian Cu memandang keluar penuh perhatian dan setelah dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memang datang sendirian saja, hatinya merasa lega. Dia masih mampu mengandalkan kepandaiannya dan dia tidak takut melawan pemuda ini.

"Kim Hwee Li adalah tunanganku, calon isteriku, calon isteri Pangeran Nepal. Engkau sungguh tidak tahu malu mencampuri urusan kekeluargaan orang lain! Ayahnya telah menyerahkan dia kepadaku untuk menjadi isteriku. Engkau ini mempunyai hak apakah untuk mencampuri?" bentaknya.

"Hak seorang gagah yang tidak ingin melihat seorang wanita dipaksa dan diperkosa! Aku sudah pasti tidak akan berani mencampuri kalau dia suka menjadi isterimu dengan hati rela. Akan tetapi engkau telah menculik dan melarikannya."

"Kurang ajar! Ayahnya sendiri sudah meresmikan pertunangan kami, engkau ini orang luar berani mencampuri?"

Kian Lee tersenyum. "Mana mungkin ada orang menotok tunangannya sendiri sehingga tidak berdaya? Biar dia sendiri yang menjawab bahwa dia dengan suka rela ikut bersamamu, baru aku mau pergi dan tidak mengganggu lagi."

"Habis kau mau apa?"

"Pangeran Liong Bian Cu, kita berdua adalah sama-sama jantan dan suka menjunjung kegagahan. Oleh karena itu, aku tantang engkau untuk memperebutkan nona itu. Kalau aku kalah, baru engkau boleh memaksa dan membawa lari dia. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menghentikan niat busukmu itu dan membebaskan dia."

"Keparat....!" Liong Bian Cu sudah menjadi marah sekali dan dia telah menggerak-gerakkan kedua tangannya, digosok-gosoknya kedua telapak tangannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga Im-yang Sin-ciang, ilmunya yang amat diandalkan dan memang ampuh sekali itu.

Melihat ini dari tempat dia rebah, Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia mengenal Im-yang Sin-ciang dari pangeran itu, dan tahu betapa dahsyatnya pukulan dengan ilmu itu. Dia amat khawatir akan keselamatan Kian Lee yang agaknya masih belum sadar akan bahaya maut yang mengancam. Akan tetapi karena dia masih teringat dan membayangkan Siang In, perasaan cemburu memenuhi hatinya dan kemarahannya terhadap Kian Lee membuat dia diam saja, hanya menonton dengan, mata terbelalak. Hampir dia berteriak ngeri ketika tiba-tiba Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan nyaring dan menyerang ke arah Kian Lee dengan hantaman tangan kirinya yang sudah diisi penuh tenaga Im-yang Sin-ciang!

"Mampuslah.... haaaiiiittttt!"

Kaki kirinya melangkah ke depan, dengan tubuh miring pangeran itu audah menghantam dengan tangan kirinya yang dibuka, dari telapak tangan kiri itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah dada Suma Kian Lee. Namun, pemuda sakti dari pulau Es ini tentu saja sama sekali tidak merasa gentar menghadapi serangan dahsyat itu. Dia mengenal pukulan sakti yang ampuh, akan tetapi dia sarma sekali tidak mengelak atau mundur, bahkan dia bergerak maju ke depan dan menggerakkan tangan kanan untuk menangkis dari samping ke arah lengan kiri lawan yang menyambar ke arah dadanya, tentu saja sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin.

"Dukkk! " Pertemuan dua tenagga itu membuktikan betapa pangeran itu masih tidak mampu menandingi kekuatan pemuda Pulau Es dan serangannya tadi bukan hanya dapat digagalkan, bahkan tubuhnya menjadi condong ke depan ketika lengannya tertangkis. Namun, Pangeran Nepal yang marah itu sudah menyusulkan serangan bertubi-tubi dengan Ilmu Pukulan Im-yang Sin-ciang kepada lawannya.

Tingkat kepandaian Kian Lee memang lebih tinggi daripada lawannya, dan tenaga sinkangnya selain lebih murni juga lebih besar, maka tentu saja tidak sukar bagi Kian Lee untuk menghadapi serangan bertubi-tubi itu yang kesemuanya dapat dielakkannya atau ditangkisnya. Akan tetapi, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal, maka tingkat kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk dapat dikalahkan dalam waktu singkat oleh Kian Lee. Dia terus menyerang dan mendesak karena dia sudah bertekad untuk menangkan perebutan ini. Dia maklum bahwa menghadapi pemuda ini, tak mungkin baginya untuk melarikan diri sambil membawa Hwee Li. Dia harus lebih dulu merobohkan pemuda ini kalau dia ingin berhasil membawa Hwee Li kembali ke Nepal.

Akan tetapi gerakan Kian Lee tenang dan kuat sekali, setiap serangan lawan yang ditangkisnya tentu membuat lawan terhuyung. Melihat betapa semua serangannya gagal, Liong Bian Cu menjadi makin marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang dan mengucapkan beberapa kata-kata mantera dalam bahasa Nepal, disertai dorongan kedua tangannya. Dua telapak tangannya itu berubah menjadi merah dan putih. Yang kanan merah mengepulkan asap panas dan yang kiri menjadi pucat putih kebiruan mengeluarkan hawa dingin sekali. Inilah puncak dari llmu Im-yang Sin-ciang yang dilakukan untuk menyerang, dibarengi dengan kekuatan ilmu hitam yang dipelajarinya dari ahli-ahli sihir di Nepal seperti Gitananda.

Kian Lee terkejut bukan main karena lengking yang disertai mantera aneh itu membuat jantungnya tergetar dan pandang matanya gelap seolah-olah kepalanya disambar kilat dan dia terhuyung. Padahal pada saat itu lawannya telah melakukan pukulan jurus paling bahaya dari ilmu Im-yang Sin-ciang!

Akan tetapi, Suma Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang sejak kecil sudah menerima gemblengan sempurna dari ayah bundanya dan selama bertahun-tahun ini dia telah mengalami banyak pertempuran yang mematangkan dirinya. Oleh karena itu, menghadapi bahaya ini dia sebagai putera Pendekar Super Sakti segera maklum bahwa lawan mempergunakan kekuasaan mujijat, maka dia cepat mengerahkan tenaga murni dari pusarnya, menahan napas dan membentak dengan suara dahsyat.

Seketika lenyaplah pengaruh aneh yang membuatnya pening itu dan pada saat itu dia cepat mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan lawan.

"Desssss....!" Pertemuan dua pasang tangan itu hebat bukan main. Seolah-olah udara di sekitar tempat itu dipenuhi dengan getaran amat kuat karena Suma Kian Lee telah menyambut hantaman Im-yang Sin-ciang itu dengan gabungan kedua tenaga itu pula, yaitu tangan kirinya yang menyambut tangan kanan yang merah dari lawan itu diisi dengan Swat-im Sin-kang yang dingin, sedangkan tangan kiri lawan yang dingin putih kebiruan itu disambutnya dengan Hwi-yang Sin-kang di tangan kirinya yang mengandung hawa panas. Maka sekali ini mereka menggunakan keras lawan keras dan akibatnya tubuh pangeran itu terlempar kebelakang seperti setangkai daun kering tertiup angin dan terbanting roboh tak sadarkan diri lagi!

Kian Lee juga merasa betapa tubuhnya terguncang hebat, namun dia tidak mengalami luka karena tenaganya memang lebih besar. Karena dia ingin melihat akibat dari adu tenaga sakti itu, sekali melompat dia sudah berada di dekat tubuh Liong Bian Cu yang rebah miring.

"Jangan bunuh dia....!"

Kian Lee yang sedang membungkuk untuk memeriksa keadaan Liong Bian Cu itu terkejut sekali mendengar seruan ini dan dia cepat menghampiri Hwee Li, kemudian menotok dara itu untuk membebaskannya. Begitu terbebas dari totokan, Hwee Li memulihkan jalan darahnya dan segera berlari menghampiri tubuh Liong Bian Cu yang masih menggeletak miring tak bergerak. Dara itu berlutut di dekat tubuh itu dan mengguncang pundaknya sambil berseru memanggil, "Pangeran....! Pangeran....!" Suaranya mengandung isak tertahan, lalu dia menoleh ke arah Kian Lee sambil berkata penuh penyesalan, "Engkau.... engkau telah membunuhnya!"

Kian Lee mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap aneh dara itu. Bukankah Hwee Li diculik dan dilarikan oleh Liong Bian Cu, dan dara itu amat membenci pangeran itu? Bukankah dia telah menyelamatkan Hwee Li dari ancaman pangeran dari Nepal itu ?

"Dia orang kuat, dia tidak akan mati, dia hanya terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik," katanya sederhana sambil berdiri termangu-mangu. Dara itu demikian cantiknya, dan timbul rasa aneh di dalam hatinya yang membuat Kian Lee bengong dan bingung. Mengapa ada rasa tidak enak dan tidak senang, mengapa dia seperti merasa iri hati melihat dara itu mengkhawatirkan keselamatan Liong Bian Cu, berlutut dan seperti hendak menangis? Inikah yang dinamakan cemburu atau iri hati?

"Pangeran....!"

Tubuh itu bergerak dan mencoba untuk bangkit, kemudian, dibantu oleh Hwee Li, Liong Bian Cu dapat duduk dan sejenak dia memandang kepada Suma Kian Lee. "Engkau hebat...., hemmm...., mengapa engkau tidak membunuhku tadi?"

"Aku tidak bermusuhan denganmu."

Liong Bian Cu kini memandang kepada Hwee Li. "Engkau ternyata seorang gadis yang baik sekali. Biarpun engkau selalu menolakku, bahkan beberapa kali hampir membunuhku, sekarang melihat aku terancam maut, engkau memperlihatkan kebaikanmu. Ah, Hwee Li.... Hwee Li, benar-benarkah engkau tidak dapat membalas cintaku? Baru saja engkau memperlihatkan sayang...."

Tiba-tiba Hwee Li bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia memandang kepada Pangeran Nepal itu, lalu menggeleng kepala. "Tidak, aku tidak cinta padamu, Pangeran. Aku tadi teringat akan segala kebaikanmu, kepadaku...."

Liong Bian Cu menarik napas panjang. "Mudah-mudahan kelak akan tiba saatnya engkau ada sedikit rasa cinta padaku, dan aku akan selalu menantimu di Nepal, Hwee Li. Tidak peduli engkau masih perawan ataukah sudah janda, aku akan selalu membuka tangan untuk menerimamu sebagai isteriku.... nah, selamat tinggal, Hwee Li, hati-hatilah engkau dalam memilih jodoh...." Dia menoleh kepada Kian Lee, mengangguk kepada pemuda itu, lalu memaksa dirinya untuk melangkah keluar dari dalam rumah itu, bergegas pergi memasuki kegelapan malam yang mulai tiba.

Mereka kini berdiri dan saling berhadapan, saling berpandangan. Kemudian kerut di antara kedua alis dara itu mendalam, dan suaranya kaku ketika terdengar dia berkata, "Engkau.... engkau hampir saja membunuhnya!"

Suara yang kaku dan mengandung penyesalan dan teguran itu dirasakan seperti ujung pedang menusuk jantung oleh Kian Lee. Dia pun mengerutkan alisnya, merasa betapa dara itu keterlaluan. Jelas bahwa dia susah payah mengejar Liong Bian Cu untuk menolongnya dan setelah menyelamatkannya, apa yang diperlihatkan oleh dara Ini? Tidak saja Hwee Li telah memperlihatkan sikap khawatir dan menyayang kepada Liong Bian Cu, sebaliknya malah menegurnya dengan suara kaku dan pandang mata penuh penyesalan! Panaslah rasa hati Kian Lee saat itu. Panas dan sakit!

"Ah, kalau aku tahu, tentu aku akan membiarkan dia memukul roboh dan membunuhku, kalau kau.... lebih senang demikian, Nona."

Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya terbuka dan beberapa kali mulut itu bergerak akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Kemudian terdengar sedu-sedan dan Hwee Li meloncat dan lari keluar dari dalam rumah itu sambil menangis.

"Hemmm....?" Kian Lee berdiri bengong dan memandang keluar sampai bayangan dara itu lenyap di antara pohon-pohon hutan yang mulai menghitam oleh kegelapan malam yang mulai tiba.

Kian Lee lalu teringat akan bahaya yang mungkin saja mengancam diri dara itu lagi. Siapa tahu kalau-kalau pangeran dari Nepal itu masih berada di sekitar tempat itu, dan kalau saja pangeran itu dilindungii oleh kelima orang Ngo-ok, akan sukarlah bagi dia untuk menyelamatkannya kembali. Karena itu, Kian Lee lalu meloncat keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi karena hutan itu gelap, dia terpaksa berjalan perlahan-lahan dan mencari-cari namun sampai semalam suntuk dia berkeliaran keluar masuk hutan, dia tidak berhasil menemukan Hwee Li. Makin gelisah rasa hati Kian Lee dan sambil berjalan mencari-cari tanpa arah tertentu, dia mengenangkan semua yang terjadi dan menjadi bingung memikirkan rasa hatinya sendiri! Apakah yang telah terjadi dengan dia? Mengapa dia makin dalam mengenangkan Hwee Li, bahkan sukar melupakan dara yang masih seperti kanak-kanak itu? Bahkan rasa nyeri di hatinya akibat asmara gagal dengan Ceng Ceng rasanya telah sembuh sama sekali. Mula-mula dia makin tertarik kepada Hwee Li setelah dara itu untuk kedua kalinya menolongnya, atau membantu Kian Bu mencarikan obat untuknya. Pertolongan pertama kali oleh dara itu adalah ketika dara itu baru berusia dua belas atau tiga belas tahun, dan hal itu tidak terlalu mengesankan. Baru sekarang peristiwa itu teringat olehnya. Kini dara itu telah merupakan seorang dara remaja dan sudah dewasa, walau usianya baru tujuh belas atau delapan belas tahun, dan bukan main cantik jelitanya. Dia mulai tertarik ketika Hwee Li mengunjunginya di Bukit Nelayan, di istana kuno tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Akan tetapi, rasa tertarik ini putus sama sekali ketika dia melihat hubungan antara Hwee Li dan Kian Bu yang demikian erat dan mesra, dan dia melihat kecocokan antara kedua orang itu, sama lincah gembira dan jenaka, dan dia merasa betapa akan tepatnya kalau keduanya dijodohkan. Semenjak itu, dia mengusir perasaan di hatinya terhadap Hwee Li!

Dan sekarang? Dia tidak dapat menahan dorongan hatinya ketika melihat Hwee Li dilarikan Liong Bian Cu, maka dengan nekat dia lalu melakukan pengejaran, tidak peduli bahwa pangeran dari Nepal itu mungkin sekali dikawal oleh banyak orang pandai yang akan sukar ditundukkannya. Dan dia berhasil menolong Hwee Li. Akan tetapi, apa jadinya? Dara itu marah-marah karena dia merobohkan Liong Bian Cu dan kini meninggalkannya sambil menangis, dan dia seperti orang gila mencari terus semalam suntuk tanpa hasil.

Menjelang pagi, cuaca demikian gelapnya karena bintang-bintang di langit tertutup awan tebal, dan hawa udara amat dinginnya menembus pakaian dan menyusup ke tulang-tulang. Akan tetapi, Kian Lee tidak merasakan itu semua. Dia terpaksa menghentikan pencariannya, karena dalam cuaca sedemikian gelapnya, andaikata Hwee Li berada hanya beberapa puluh kaki jauhnya di depannya sekalipun, dia tidak akan dapat melihatnya. Dia duduk di bawah pohon dan melamun dengan hati kesal dan bingung. Makin dikenang, makin khawatirlah dia akan keselamatan Hwee Li, dan perasaan cintanya terhadap dara yang setengah liar itu, yang selama ini ditekan-tekan dan coba diusirnya setelah dia menduga bahwa dara itu mencinta Kian Bu, muncul dan amat menggodanya! Kian Lee memejamkan matanya dan hatinya terasa perih. Haruskah dia patah hati dalam asmara untuk kedua kalinya? Perasaan cintanya terhadap Ceng Ceng terpaksa harus diusirnya oleh kenyataan bahwa Ceng Ceng adalah keponakannya sendiri. Apakah kini dia harus mengusir rasa cintanya terhadap Hwee Li karena dara itu ternyata mencinta adiknya?

Kian Lee duduk bertopang dagu dan merenung bingung. Mengapa cinta selalu mendatangkan penderitaan batin? Banyak sudah dia mendengar betapa manusia menderita oleh cinta. Ayahnya sendiri, menurut penuturan ibunya, belasan tahun menderita karena harus berpisah dari orang-orang yang dicintanya. Kemudian dia mendengar pula tentang cinta yang membuat sengsara kakaknya, yaitu Puteri Milana yang terpaksa harus berpisah pula dari orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Lalu adiknya, Suma Kian Bu, yang gagal pula dalam cintanya terhadap Puteri Syanti Dewi sehingga adiknya itu pun menderita pula. Dan dia sendiri yang merana akibat gagalnya cinta kasihnya terhadap Ceng Ceng. Sekarang, kembali dia harus menderita karena cintanya terhadap Hwee

Li! Haruskah semua manusia yang jatuh cinta menderita?

Betapa banyaknya, bahkan sebagian besar di antara manusia, masih belum mau membuka mata batinnya dan berpegang pada pendapat seperti Kian Lee itu bahwa cinta kasih mendatangkan penderitaan! Atau lebih lengkap lagi, menurut pendapat umum berdasarkan pengalaman, cinta kasih mendatangkan kebahagiaan kalau berhasil dan mendatangkan kesengsaraan kalau gagal!

Adakah itu cinta kasih kalau mengandung keberhasilan dan kegagalan? Di mana terdapat perhitungan hasil atau gagal, untung atau rugi, di situ sudah jelas terdapat si aku yang selalu mengejar kesenangan dan keuntungan, si aku yang selalu menentang kesusahan dan kerugian, si aku yang bersenang dan tertawa kalau untung, si aku yang berduka dan menangis kalau rugi. Jelaslah bahwa yang dapat menyenangkan atau menyusahkan, yang dapat menguntungkan atau merugikan kalau berhasil atau gagal, bukanlah cinta kasih, melainkan pengejaran kesenangan belaka.

Cinta seperti yang dimaksudkan oleh Kian Lee dan oleh kita pada umumnya itu jelas akan mendatangkan suka duka, banyak dukanya daripada sukanya, akan mendatangkan kebosanan dan kekecewaan, mendatangkan konflik dalam kehidupan. Karena itu, maka sesungguhnya bukan cinta kasih, perasaan itu, melainkan pengejaran kesenangan melalui nafsu berahi, melalui pengikatan diri, melalui kebanggaan, melalui penguasaan dan menopoli, perasaan bahwa yang cantik atau tampan itu adalah miliknya sendiri, adalah sumber daripada semua kesenangannya.

Itulah sebabnya mengapa Kian Lee selalu terperosok ke dalam penderitaan batin, ke dalam kesengsaraan setiap kali dia merasa bahwa cintanya gagal! Padahal, kalau memang benar hati ini mencinta seseorang, sungguh-sungguh mencinta, sudah pasti bahwa kita selalu ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia, bukan? Kita tentu selalu ingin melihat si dia berbahagia, baik dia itu menjadi jodoh kita atau pun bukan! Cinta kasih meniadakan si aku yang ingin senang sendiri! Kalau sudah tidak ada lagi aku ingin senang atau aku kecewa menderita, baru mungkin bicara tentang cinta kasih kepada orang lain. Kalau kita membuka mata melihat diri sendiri, dan di dalam diri sendiri jelas sudah tidak ada dendam, kebencian, sakit hati, kemarahan, iri hati, cemburu dan pementingan diri sendiri, barulah mungkin hati ini mencinta. Kalau sudah begitu, maka asmara dan berahi

mengalami perubahan besar sekali, bukan merupakan pendorong utama yang mutlak, melainkan merupakan bagian dari kesatuan maha besar yang dinamakan cinta kasih.

Fajar mulai menyingsing dan bumi diselimuti kabut tebal. Mulai nampak kabut memutih bergerak seperti asap di permukaan bumi, makin lama makin meninggi seolah-olah terusir atau terdesak oleh hawa dari bumi bersama dengan datangnya cuaca terang. Pagi bersemi dengan suburnya, dan bumi bermandikan cahaya keemasan. Cahaya matahari pagi mulai berseri di antara daun-daun pohon dan dunia pun bangunlah, kehidupan baru mulai, diawali dengan kokok ayam dan kicau burung yang menyambut kehadiran matahari.

Setelah cuaca cukup terang, Kian Lee lalu memanjat pohon besar dan dari puncak pohon dia memandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya dengan girang dia melihat sesosok tubuh wanita berjalan perlahan ke arah utara dan dia mengenal pakaian hitam yang dipakai Hwee Li. Cepat dia meloncat turun dan berlari mengejar.

"Hwee Li....!" Kian Lee berseru memanggil setelah dia dapat menyusul.

Mendengar suara ini, Hwee Li terkejut, menoleh, lalu lari secepatnya seperti seekor kijang dikejar harimau! Kian Lee tertegun sebentar, kemudian dia pun mengejar dengan cepat.

"Hwee Li....! Tunggu dulu....!" teriaknya sambil mempercepat larinya karena dara itu dapat berlari cepat bukan main. Karena memang ilmu kepandaian Kian Lee jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Hwee Li, maka sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya, melampauinya dan menghadang di tengah jalan. Terpaksa Hwee Li berhenti dan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar penuh kemarahan dia memandang dan bertolak pinggang, lalu membentak kaku, "Mau apa engkau menghadang di depanku?"

Dibentak seperti itu, Kian Lee terkejut dan gugup. "Aku ingin tahu, mengapa kau marah-marah kepadaku, Hwee Li?"

"Pergilah kau kepada perempuan tukang tenung itu, mengapa mengejar-ngejar aku? Pergi! Pergi kau....!" Suara Hwee Li sudah mengandung isak lagi dan terasa olehnya betapa jantungnya seperti mau meledak rasanya, betapa hawa panas memenuhi dadanya.

Kian Lee masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Hwee Li. Dia menyangka bahwa dara itu marah karena dia memukul roboh pangeran dari Nepal itu, dan sangkaan ini mendatangkan perasaan tidak enak di dalam hatinya.

"Hwee Li.... Nona.... harap jangan marah dulu dan jelaskanlah, mengapa engkau melarangku membunuh Pangeran Nepal? Mengapa engkau marah melihat aku hampir membunuhnya dan merobohkannya? Apa sebabnya?"

Sepasang mata yang lebar itu tiba-tiba menunduk dan terdengar bercampur isak, "Dia.... betapapun jahatnya dia.... dia sungguh-sungguh mencintaku.. .. ahhh....!" Tiba-tiba Hwee Li menjatuhkan diri di bawah pohon itu dan menangis terisak-isak.

Kian Lee menjadi makin bingung melihat dara itu sesunggukan. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul karena dia merasa kasihan sekali. Dia pun lalu duduk di atas batu di sebelah kiri dara itu, akan tetapi Hwee Li lalu membuang muka dan membalikkan tubuh sehingga pemuda itu duduk di belakangnya. Air mata mengalir dari celah-celah jari kedua tangannya dan pundaknya berguncang.

"Dan kau.... kau mencinta dia....?" Dengan lirih Kian Lee bertanya, memancing, hatinya was-was.

Sambil menangis Hwee Li menggoyang-goyang kepala dan pundaknya keras-keras, dan suara di antara isaknya terdengar penuh kemarahan, "Engkau bodoh! Engkau buta....! Dia.... dialah satu-satunya orang di dunia ini yang sungguh sungguh cinta kepadaku.... biarpun dia jahat dan aku tidak suka kepadanya.... hu-hu-huuhhh, akan tetapi.... selain dia.... tidak ada orang lain lagi yang cinta padaku.... hu-hu-huuuhhh....!" Tangisnya makin menjadi-jadi dan Kian Lee menjadi bingung, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dan dia terkejut mendengar gadis itu memakinya bodoh dan buta. Akan tetapi dia tidak setuju mendengar pengakuan gadis yang katanya di dunia ini hanya Liong Bian Cu seorang yang mencintanya dan selain pangeran itu tidak ada orang lain yang cinta kepadanya.

"Engkau keliru, Hwee Li...., bukan hanya pangeran itu yang mencintamu, bukan, bahkan cintanya masih harus diragukan.

Akan tetapi aku...."

"Kau mencinta perempuan iblis tukang tenung itu! Kau pergilah kepadanya....!"

"Eh? Perempuan iblis? Tukang tenung? Apa sih maksudmu?" Kian Lee benar-benar tidak mengerti dan bertanya dengan alis berkerut.

Hwee Li menurunkan kedua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menyusut air mata yang menetes dari kedua mata dan dari hidungnya. Hidung kecil mancung itu menjadi merah sekali, akan tetapi bagi Kian Lee, hal itu menambah kemanisan Hwee Li.

"Jangan kau pura-pura tidak mengerti! Perempuan iblis tukang tenung yang selalu berdua bersamamu.... ah, kalau jumpa, akan kubunuh dia....!"

Kian Lee teringat akan sikap Hwee Li terhadap Siang In, betapa Hwee Li tanpa sebab memusuhi dan menyerang Siang In. Selama ini dia sudah merasa heran dan bertanya-tanya di dalam hati mengapa Hwee Li begitu membenci Siang In, padahal kenal pun tidak. Kini mengertilah dia dan setelah dia mengerti, dia menjadi semakin heran!

"Ahhh....! Jadi kiranya.... itukah sebabnya mengapa engkau marah-marah dan membenci Siang In? Hwee Li, Teng Siang In bukanlah seorang perempuan iblis tukang tenung...."

"Tentu saja! Bagimu yang sudah tergila-gila, yang sudah berlutut di bawah pengaruh sihirnya, dia adalah bidadari dari kahyangan, ya? Engkau yang sudah jatuh cinta...." Kembali Hwee Li terisak.

Kian Lee melongo. Cemburu! Itukah gerangan yang menyebabkan Hwee Li marah-marah kepadanya dan kepada Siang In?

"Hwee Li, harap jangan menyangka yang bukan-bukan! Aku sama sekali tidak jatuh cinta kepada Siang In, dan juga Siang In tidak cinta kepadaku dia bukanlah seorang dara yang jahat...."

Dengan mata masih basah Hwee Li memandang kepada Kian Lee, menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia berkata dengan suara meragu, ".... tidak.... tidak saling mencinta....? Tapi.... tapi kalian nampak begitu rukun dan mesra, melakukan perjalanan berdua...."

"Tentu saja, karena kami saling mengenal dengan baik dan dia adalah seorang gadis yang bijaksana. Kami tidak saling mencinta! Akan tetapi, nanti dulu, Hwee Li.... aku merasa heran sekali mengapa engkau begitu marah dan begitu membenci Siang In hanya karena engkau mengira dia dan aku saling mencinta? Mengapa?" Suara Kian Lee tergetar dan sepasang matanya kini menatap wajah dara itu dengan tajam, penuh selidik.

Sejenak mereka saling berpandangan dan Hwee Li yang biasanya amat berani dan lincah, kini merasa betapa sepasang mata itu menembus jantungnya, seperti hendak menguak dan menjenguk isi hatinya, mengetahui semua rahasia hatinya, maka dia tidak tahan lagi dan menunduk. Air mata mengalir dari sepasang matanya, perlahan-lahan seperti butiran-butiran mutiara terlepas dari untaiannya, menggelinding turun satu-satu melalui sepasang pipinya yang kemerahan.

"Karena.... karena.... aku tidak ingin melihat engkau saling mencinta dengan wanita lain.... tidak semenjak subo.... kau tidak boleh mencinta wanita lain...."

"Hemmm...."

"Kecuali.... kecuali aku...."

"Hwee Li.. ..!"

Dara itu mengangkat mukanya dan mereka saling pandang, mata Hwee Li masih basah dan wajah itu kelihatan demikian cantik jelita bagi Kian Lee sehingga pemuda ini merasa terharu sekali. Dia mendekat dan memegang kedua pundak dara itu, menariknya sehingga mereka berdua berdiri, saling berpandangan.

"Hwee Li...., apakah maksudmu? Apa yang akan kaukatakan? Mengapa engkau berpendirian demikian....?" Karena ingin sekali mendapatkan keyakinan maka Kian Lee mendesak dengan pertanyaan ini.

Sepasang mata yang basah itu bersinar lembut, lenyap sinar lincah kekanak-kanakan seperti biasanya itu, terganti dengan sinar lembut mesra seorang wanita dewasa yang jatuh cinta.

"Kian Lee koko, apakah benar engkau belum mengerti atau belum dapat menduga isi hatiku? Semenjak beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih kecil dan menolong merawat luka di kakimu, semenjak itu aku tidak lagi dapat lupa kepadamu, Koko. Aku merindukanmu, mengharapkan untuk dapat bertemu denganmu akan tetapi engkau lenyap, kembali ke Pulau Es dan aku tidak berani dan tidak dapat menyusulmu ke sana. Akhirnya aku berhasil menjumpaimu di Bukit Nelayan dan membantu untuk mencari obat guna menyembuhkanmu dan yang terakhir aku melihat engkau berdua bersama dara itu! Betapa hancur hatiku, betapa panas perasaanku, dan sekarang engkau masih bertanya apa yang kumaksudkan?"

Kian Lee merasa terharu sekali, terharu dan juga girang, akan tetapi masih ada keraguan di dalam hatinya. "Akan tetapi.... kukira tadinya, melihat engkau bersama adikku, kukira engkau saling mencinta dengan Kian Bu, maka aku sengaja mundur dan...."

"Sungguh bodoh engkau, Lee-koko.... ah, kalau begitu engkau sama bodohnya dengan aku! Kita berdua telah salah menduga, aku mengira bahwa engkau dan Siang In saling mencinta, sebaliknya engkau menduga aku dan Kian Bu saling mencinta pula. Padahal.... padahal Kian Bu tahu betul betapa aku.... aku cinta kepadamu seorang, Koko sampai dia kuharuskan menyebutku enci...."

"Hwee Li....!" Kian Lee merasa demikian girang dan terharu mendengar pengakuan dara ini sehingga dia tak kuasa menahan getaran hatinya, langsung dia meraih dan merangkul dara itu. Hwee Li menarik napas panjang, terisak dan dia menyandarkan kepalanya di dada yang tegap itu, memejamkan kedua matanya.

Dengan jari-jari tangan gemetar Kian Lee mendekap kepala itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam lebat dan panjang itu dengan penuh kasih sayang yang meluap-luap dari perasaan hatinya.

"Hwee Li.... Moi-moi.... sungguh tak kusangka...., sungguh tidak kukira bahwa engkaulah orangnya yang akan dapat mendatangkan sinar terang dalam hidupku yang gelap.... tak kusangka seorang dara seperti engkau sudi melimpahkan cinta kepada diriku. Aku.. .. aku juga cinta padamu, Moi-moi, bukan semenjak engkau menolongku yang pertama kali dahulu, kuanggap ketika itu bahwa engkau masih seorang dara remaja setengah anak-anak. Akan tetapi ketika aku mendengar dari Kian Bu bahwa engkau yang mencarikan obat untukku, kemudian.... dalam pertemuan kita ketika aku sakit, melihat engkau sudah dewasa dan.... dan demikian cantik jelita, aku.... sudah jatuh hati. Akan tetapi, aku hampir tidak berani mengakui hal itu kepada diri sendiri, aku sudah hampir jera.... hampir kapok untuk jatuh cinta."

Hwee Li membuka matanya, menengadah dan dari bawah dia menatap wajah pemuda yang sejak dahulu menjadi pujaan hatinya itu. "Lee-ko, aku tahu dan karena engkau pernah gagal dalam asmara, engkau pernah kecewa dalam cintamu terhadap subo.... karena itulah aku makin kasihan kepadamu ingin menghiburmu, ingin aku menggantikan tempat subo di dalam hatimu. Karena itulah aku tidak ingin wanita lain menguasaimu, kecuali aku sendiri, sebagai pengganti subo...."

"Hwee Li...." Kian Lee menghela napas panjang. "Engkau tahu akan urusanku dengan.... dengan Ceng Ceng?"

Hwee Li tersenyum dan menggerakkan kepala dengan manja dalam pelukan pemuda itu. "Aku sudah menjadi muridnya, bukan? Dan subo amat cinta kepadaku, tentu saja aku sudah dapat menduganya dan akhirnya subo menceritakan kepadaku...."

"Ahhh.... akan tetapi urusan itu telah lewat, Hwee Li. Dia adalah keponakanku sendiri, dan.... sekarang aku sudah mendapatkan gantinya, yang lebih hebat dan lebih segala-galanya daripada semua wanita di dunia ini, yaitu engkau...." Kian Lee menunduk dan hendak mencium bibir yang berjebi ketika mendengar pujiannya itu. Akan tetapi Hwee Li mengelak dan melepaskan diri dari rangkulan Kian Lee.

Sambil membereskan rambutnya yang agak kusut, Hwee Li tersenyum, memandang kepada Kian Lee. Sejenak mereka berpandangan, lalu dara itu menundukkan muka, kemalu-maluan! Aneh sekali rasanya melihat seorang dara seperti Hwee Li dapat menunduk malu-malu seperti itu! Kian Lee mengulurkan kedua tangan dan otomatis Hwee Li melangkah maju dan kembali dia sudah dipeluk oleh Kian Lee. Akan tetapi ketika Kian Lee mendekapnya erat dan mendekatkan muka hendak menciumnyra, kembali dia meronta dan melepaskan

diri!

"Kenapa, Li-moi? Kenapa.... kau menolak? Bukankah kita saling mencinta....?"

Dara itu menarik napas panjang, lalu dia memegang tangan Kian Lee, digandengnya pemuda itu dan diajaknya duduk di atas batu di bawah pohon. Sambil duduk, dia tetap memegang tangan Kian Lee sehingga jari-jari tangan mereka saling genggam, saling mengeluarkan getaran hangat yang timbul dari jantung mereka yang berdebar penuh gairah kemesraan.

"Lee-koko, harap kaumaafkan aku. Percayalah tidak ada kebahagiaan lebih besar bagiku selain dekat denganmu dan betapa selama ini aku merindukan kasih sayangmu dan.... pelukanmu. Akan tetapi.... semenjak apa yang kualami.... semenjak saat itu.... aku telah bersumpah di dalam hatiku sendiri, aku bersumpah bahwa aku tidak akan membiarkan diri dicium oleh pria manapun juga kecuali oleh suamiku! Engkau.... ah, betapa aku cinta padamu, Koko, akan tetapi.... karena sumpahku itu, maka aku pun dengan berat hati terpaksa tidak berani melanggarnya sebelum engkau.... menjadi suamiku.... kaumaafkanlah aku, Lee-ko...." Kian Lee mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia merasa bangga dan girang akan pendirian dara yang dicintanya itu, akan tetapi mendengar bahwa sumpah itu dilakukan semenjak suatu saat tertentu, semenjak apa yang dialami oleh dara itu, dia menjadi ingin tahu.

"Moi-moi, mengapa engkau mengucapkan sumpah itu? Dan semenjak apakah? Apakah yang telah kaualami sehingga engkau mengucapkan sumpah itu?"

"Dahulu, aku selalu merindukanmu, dalam mimpi aku mendambakan pelukanmu yang mesra, merindukan ciumanmu, akan tetapi.... semenjak saat jahanam itu.... pangeran dari Nepal itu.... menciumku, semenjak saat itulah aku bersumpah...."

"Ahhh....!" Wajah Kian Lee sebentar menjadi pucat lalu berubah merah sekali, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Hwee Li terkejut melihat wajah dan sinar mata itu. "Kenapa, Koko....?"

"Dan kau senang?"

"Senang apa maksudmu?"

"Kau senang di.. .. ciumnya?"

Hwee Li cepat memegang tangan pemuda itu. "Eh, kau ini kenapa sih, Koko? Bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa aku senang diciumnya? Aku benci bukan main, aku muak dan jijik, akan tetapi aku tidak berdaya, aku tertawan dan tidak mampu bergerak."

"Hemmm, dan selain diciumnya, kau diapakannya lagi?" Pandang mata pemuda itu penuh selidik, matanya membayangkan kemarahan besar yang disebabkan oleh iri hati dan cemburu.

"Diapakan? Aihhhhh.... kaumaksudkan apakah dia memperkosaku? Tidak, Koko. Dia itu sungguh cinta kepadaku, maka dia tidak mau memperkosa, dia menghendaki aku menyerahkan diri secara suka rela. Akan tetapi aku benci sekali karena ciumannya dan karena itu aku bersumpah tidak akan mau dicium siapapun selain suamiku."

"Kalau begitu, aku akan mencarinya dan membunuhnya, karena dia telah menghinamu!" Kian Lee mengepal tinjunya, makin panas hatinya membayangkan betapa bibir pangeran itu mengecup bibir kekasihnya ini.

"Baik sekali, dan aku pun akan membagi beberapa kali pukulan sebelum kau membunuhnya!" Hwee Li berkata penuh semangat.

Kian Lee tercengang dan kini dia memandang dengan penuh keheranan. "Eh, bagaimana pula ini? Bukankah kemarin engkau mencegah atau melarangku ketika kau mengira aku hendak membunuhnya? Dan sekarang engkau malah hendak membantuku membunuhnya!"

Hwee Li menggenggam jari-jari tangan Kian Lee dan tersenyum. "Tentu saja, kemarin aku masih mengira bahwa engkau tidak mencintaku, melainkan mencinta gadis lain."

"Kalau begitu?"

"Aku marah kepadamu, dan karena kusangka dia satu-satunya pria yang mencintaku dengan sepenuh hatinya, maka aku tidak suka melihat engkau membunuhnya."

"Dan sekarang?"

"Sekarang, engkau mencintaku, Lee-koko, dan persetan dengan segala pangeran dari Nepal, dan kalau perbuatannya terhadap diriku memarahkan hatimu, dia harus mampus. Dan memang dulu pun sudah beberapa kali dia hampir mati di tanganku." Dara itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama dia ditahan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu, betapa dia telah mempergunakan berbagai akal untuk membunuh pangeran itu dan nyaris dia berhasil.

Kian Lee mendengarkan dengan penuh perhatian, penuh kagum dan kini dia pun dapat mengerti betapa besar rasa cinta kasih di dalam hati pangeran itu terhadap Hwee Li. Timbullah rasa kasihan di dalam hatinya terhadap pria itu karena dia sudah merasakan betapa sengsaranya derita batin ditanggung seorang pria yang tidak dibalas cintanya.

"Hwee Li, setelah kita sekarang bertemu di sini, engkau hendak pergi kemanakah?"

"Dan engkau sendiri hendak ke mana, Koko?" Hwee Li balas bertanya.

Kian Lee memejamkan matanya sebentar, pikirannya bekerja keras. Terdapat hal-hal yang meruwetkan pikirannya sehubungan dengan kenyataan bahwa dia dan Hwee Li saling mencinta. Dia harus mengakui bahwa dia memang benar mencinta dara ini, akan tetapi dia pun melihat pula kenyataan betapa di dalam cinta mereka berdua itu terdapat banyak hal yang menghalang. Pertama, dia melihat kenyataan betapa watak dara ini liar, dan ganas sekali di samping kelincahan dan kejenakaannya. Hal ini merupakan kewajibannya kelak untuk membimbingnya agar dara itu dapat menghentikan sifat liar yang dia tahu tentu timbul karena dara ini adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo. Dan dia pun melihat mengapa dia tertarik sekali kepada Hwee Li. Tidak lain karena dara ini memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengan watak Ceng Ceng di waktu masih gadis dahulu. Ceng Ceng juga memiliki watak

yang liar dan ganas semenjak menjadi murid Ban-tok Mo-li. Akan tetapi, persoalan pertama ini tidak begitu memusingkannya karena dia yakin bahwa dengan cinta kasihnya, dia akan mampu mengubah watak ganas itu. Hal yang ke dua adalah perbedaan yang amat menyolok antara orang tuanya dan orang tua dara ini. Dia merasa sangsi sekali apakah ayahnya dan ayah Hwee Li akan menyetujui kalau mereka berdua saling berjodoh! Dia tahu akan kekerasan hati ayahnya terhadap kejahatan, dan ayah dara yang dicintanya ini adalah seorang pentolan atau datuk dari kaum sesat!

"Bagaimana, Lee-koko? Engkau belum menjawab pertanyaanku!" Tiba-tiba Hwee Li merangkul pundaknya dengan sikap manja dan ini menyentakkan Kian Lee kembali kepada kenyataan. Dia memandang wajah itu, merasa betapa lembut, halus dan hangat tangan dara itu merangkulnya, merasa getaran yang tersalur melalui jari-jari tangan itu dan melalui sinar mata bening itu dan dia sudah mengambil keputusan pada saat itu juga untuk menghadapi segala macam kesukaran apa pun untuk membela cinta kasih antara mereka. Sekali ini dia tidak mau gagal lagi! Apa pun yang terjadi, yang merupakan penghalang tali perjodohan antara dia dan Hwee Li, akan ditantangnya. Dia sudah merasakan betapa pahit dan nyerinya gagal dalam ikatan cinta, maka sekali ini dia tidak mau gagal lagi.

"Hwee Li, aku akan pergi ke bekas benteng pemberontak untuk menemui Kian Bu, kemudian aku akan mengajaknya pulang ke Pulau Es."

"Aku ikut denganmu, Koko!"

Melihat sikap dara itu yang penuh semangat, Kian Lee merasa girang sekali. Hidup di samping dara ini tentu akan penuh kegembiraan penuh semangat dan seolah-olah Hwee Li merupakan cahaya yang setiap saat menyinari kehidupannya. Dia merangkul pinggang yang ramping itu, menarik tubuh Hwee Li sehingga merapat ke tubuhnya dan dengan mesra dia mencium dahi Hwee Li. Tadinya dara itu terkejut, akan tetapi melihat betapa kekasihnya hanya mencium dahinya, dia terengah dan memeluk dengan erat.

"Baik, Moi-moi, memang aku ingin memperkenalkan engkau kepada.... ibuku." Dia tidak berani menyebut ayahnya karena diam-diam dia merasa ngeri membayangkan ayahnya menerima kedatangannya dengan calon isterinya yang ternyata adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo!

Hwee Li tersenyum manis. "Aku girang sekali, Koko. Aku memang ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan ibumu. Aku sudah mendengar dari adik Kian Bu bahwa ibumu di waktu masih muda menjadi ketua Pulau Neraka."

"Benar, Li-moi."

"Ah, betapa hebat ibumu! Dan aku pun sudah banyak mendengar tentang ayahmu yang sakti itu. Aku akan merasa bangga dan gembira sekali dapat menghadap ayah bundamu, Koko. Mari kita cepat berangkat mencari adik Kian Bu!"

Mereka pun pergi meninggalkan hutan di pegunungan itu dan diam-diam Kian Lee merasa geli juga melihat kenyataan dan liku-liku kehidupan yang serba aneh. Dara yang dicintanya ini mengangkat diri menjadi kakak dan menyebut adik kepada Kian Bu, padahal sudah tentu saja Kian Bu jauh lebih tua daripada Hwee Li. Dan yang lebih ruwet lagi, kekasihnya ini adalah murid dari Ceng Ceng, wanita yang pernah dicintainya, bahkan cinta pertamanya, dan lebih dari itu, keponakannya! Yang lebih hebat lagi, dia adalah putera majikan Pulau Es, sedangkan Hwee Li adalah puteri ketua Pulau Neraka, padahal, menurut sejarahnya, terdapat permusuhan antara kedua pulau itu. Akan tetapi, ada hal yang membesarkan hatinya, yaitu keadaan ibunya. Ibunya juga pernah menjadi ketua Pulau Neraka, oleh karena itu, sudah pantaslah kalau dia berjodoh dengan gadis Pulau Neraka ini!

Sambil bergandeng tangan dan mendengarkan Hwee Li bercerita dengan sifatnya yang gembira, Kian Lee tersenyum penuh harapan, penuh kebahagiaan. Kelincahan dara ini hampir sama dengan Siang In, akan tetapi ada sesuatu pada diri Hwee Li yang amat menarik hatinya, yang sukar dikatakan apa daya tarik keistimewaan yang tidak ada pada wanita lain dan hal seperti ini selalu dirasakan oleh orang-orang yang sedang jatuh cinta!

Cinta asmara, betapa penuh rahasia betapa kuat penuh kuasa, mencengkeram seluruh raga dan jiwa menerbangkan manusia ke sorga menghempaskan manusia ke neraka!

Cinta asmara, terkadang suci dan mulia penuh kelembutan indah dan mesra mendatangkan suka cita terkadang kotor bernoda penuh cemburu benci dan hina mendatangkan duka nestapa!

Penggambaran tentang cinta seperti itu semenjak ribuan tahun yang lalu telah menjadi sasaran penulisan sajak para seniman. Cinta dipuja-puja kalau sedang mendatangkan nikmat hidup karena berhasil, sebaliknya cinta dikutuk kalau sedang mendatangkan derita hidup karena gagal. Cinta dianggap mendatangkan kebahagiaan dan juga dianggap mendatangkan kesengsaraan.

Penggambaran seperti itu jelas didasari oleh penilaian untung rugi, enak atau tidak enak, pendeknya didasari oleh pendapat demi kesenangan diri sendiri, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin yang sesungguhnya tak dapat dipisahkan. Kalau jasmani dan rohani kita merasa nikmat oleh cinta, maka kita memuja-muja cinta sebagai jembatan yang membawa kita ke sorga. Sebaliknya kalau jasmani dan terutama rohani kita merasa menderita karena kecewa oleh kegagalan cinta, maka kita mengutuknya sebagai jalan yang membawa kita ke neraka.

Akan tetapi, kalau mendatangkan penderitaan batin, adakah itu cinta kasih? Yang mendatangkan penderitaan batin bukanlah cinta kasih, melainkan pikiran yang selalu berpusat kepada kepentingan diri sendiri. Pikiran yang berupa si aku yang mengejar kesenangan diri sendiri inilah yang menciptakan segala suka dan duka, di dalam apa yang dinamakan cinta sekalipun! Baik cinta, maupun hal-hal seperti hujan, panasnya matahari, dan sebagainya, bisa saja dianggap sebagai berkah atau pun malapetaka oleh si aku yang selalu mengejar dan mencari kesenangan.

Kita, sebagai akibat dari si aku masing-masing yang mengejar kesenangan, telah merumuskan cinta kasih, sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari si aku dan membagi-bagi cinta kasih sesuai dengan "tempatnya" yang semua sarat dengan kepentingan kita masing-masing. Maka muncullah istilah cinta terhadap Tuhan, cinta terhadap negara, cinta terhadap orang tua, cinta terhadap isteri, cinta terhadap pacar, cinta terhadap anak, dan sebagainya lagi, termasuk cinta terhadap sahabat. Cinta kasih dipecah-pecah dan dibagi-bagi. Akan tetapi, selama cinta kasih itu menjadi milikKu atau milikMu atau milikNya, maka yang dinamakan cinta kasih itu bukan lain hanyalah nafsu mencapai kesenangan belaka. Cinta seperti itu tidak dapat dihindarkan lagi pasti dikuasai oleh untung rugi bagi si aku dan dalam keadaan seperti itu, cinta sama artinya dengan yang menyenangkan aku. Itulah sebabnya mengapa orang tua yang tadinya mengaku cinta kepada anaknya berubah membenci anak itu karena dikecewakan hatinya oleh si anak yang tidak menurut kepadanya dan sebagainya, pokoknya si anak tidak menyenangkan lagi hatinya! Demikian

pula cinta seperti itu terhadap isteri, terhadap sahabat, terhadap partai, terhadap apa saja. Selama masih mendatangkan kesenangan atau yang dianggap menyenangkan lahir maupun batin, maka cinta semacam itu masih subur. Namun, begitu yang dicinta itu tidak lagi mendatangkan kesenangan, bahkan sebaliknya mendatangkan kekecewaan, lenyaplah perasaan cinta itu dan mungkin saja terganti oleh perasaan benci. Ini pula yang menjadi sebab mengapa manusia selalu ingat kepada Tuhan sewaktu berada dalam

duka nestapa, sewaktu berada dalam ketakutan, dalam kesengsaraan. Harapan untuk memperoleh hiburan, memperoleh pertolongan, yang merupakan jalan ke arah kesenangan, inilah yang membuat kita berpaling kepada Tuhan. Dan kita akan melupakan Tuhan apabila kebutuhan akan hiburan, akan pertolongan, akan janji-janji kesenangan itu tidak ada. Dalam keadaan senang, kita tidak ingat kepada Tuhan, sebaliknya dalam keadaan susah di waktu kita membutuhkan hiburan, kita teringat kepada Tuhan dan kita menganggap bahwa kita mencinta Tuhan.

Akan tetapi, benarkah yang demikian itu, kesemuanya itu, dapat dinamakan CINTA KASIH? Bukankah semua itu hanya merupakan jembatan dan sarana untuk memperoleh kesenangan belaka? Sehingga dengan demikian, semua itu adalah palsu belaka?

Tentu saja kita sebagai manusia hidup sudah sewajarnya kalau menikmati kesenangan dan kita memang berhak menikmati kesenangan dalam kehidupan. Akan tetapi, mengejar-ngejar kesenangan jelas menuntun kita kepada kemunafikan dan kepalsuan. Uang merupakan satu di antara alat untuk menikmati kesenangan lahiriah dalam kehidupan, hal itu tak dapat disangkal oleh siapa pun juga. Akan tetapi kita dapat melihat jelas pula betapa PENGEJARAN terhadap uang itulah yang menimbulkan adanya pencurian, perampokan, penipuan, penggelapan, korupsi, dan segala tindakan lain yang merugikan orang lain. Demikian pula dengan segala macam bentuk kesenangan. Penulis tidak menganjurkan agar kita menolak atau menjauhi kesenangan, hidup sebagai pertapa di

tengah hutan, sama sekali tidak. Melainkan mengajak kepada kita semua untuk membuka mata dan melihat yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran kita sendiri. Melihat kenyataan yang terjadi di dalam diri kita sendiri, di dalam dunia. Setelah melihat kenyataan tentang cinta kasih yang dibagi-bagi dan yang sesungguhnya bukanlah cinta kasih itu, timbul pertanyaan Apakah adanya cinta kasih? Betapa mungkin menguraikan cinta kasih! Betapa mungkin menggambarkan Tuhan! Betapa mungkin menerangkan kebenaran! Sudah jelas bahwa di mana ada pikiran atau si aku yang berkuasa, yang mencengkeram cinta kasih sebagai miliknya, maka tidak akan ada cinta kasih. Oleh karena itu, selama masih ada si aku yang mengejar kesenangan, si aku yang ingin menjadi orang baik, si aku yang ingin benar, si aku yang ingin memperoleh yang baik-baik dan yang enak-enak saja, maka tidak mungkin bicara tentang cinta kasih!

Betapa kecewa hati Kian Lee dan Hwee Li ketika mereka tiba di bekas benteng pangeran dari Nepal yang kini telah hancur dan bekas terbakar itu. Mereka melihat benteng hancur yang sunyi, dijaga oleh puluhan orang perajurit yang ditinggalkan oleh Puteri Milana untuk menjaga tempat itu. Dua orang muda ini lalu mencari keterangan dari para perajurit tentang Kian Bu yang mereka cari-cari. Para perajurit hanya mengatakan bahwa semua pendekar telah pergi semua dan mereka tidak tahu kemana perginya Pendekar Siluman Kecil, tidak tahu pula apakah pendekar berambut putih itu ikut bersama Panglima Puteri Milana kembali ke kota raja ataukah tidak.

Akan tetapi ada seorang perajurit yang melihat bahwa pendekar itu pergi ke arah timur. Mendengar ini, giranglah hati Kian Lee dan Hwee Li. Mereka lalu cepat pergi ke timur meninggalkan benteng rusak itu untuk mencari Kian Bu. sampai berhari-hari mereka mengejar dan mencari, akan tetapi belum juga menemukan jejak Kian Bu. Tidak ada seorang pun di sepanjang jalan yang mereka lalui tahu tentang pendekar berambut putih itu sehingga hati kedua orang muda ini menjadi makin bingung.

Kurang lebih sepekan kemudian, mereka mendengar dari seorang petani bahwa dia melihat orang-orang yang lari seperti terbang memasuki hutan. Mendengar keterangan yang tidak jelas ini, Kian Lee dan Hwee Li cepat mengejar ke dalam hutan. Akan tetapi sampai malam tiba, mereka tidak bertemu dengan siapapun dan akhirnya mereka terpaksa bermalam di dalam kuil tua karena cuaca sudah terlalu gelap untuk berkeliaran di dalam hutan itu. Karena mereka berdua belum tahu siapa adanya orang-orang yang oleh si petani dikabarkan seperti orang-orang yang terbang memasuki hutan, kawan ataukah lawan, maka Kian Lee dan Hwee Li yang bersikap hati-hati tidak membuat penerangan di dalam kuil. Hwee Li membersihkan lantai dan mereka berdua duduk di dalam ruangan kuil tua melepaskan lelah sambil bercakap-cakap. Sebelum gelap tadi, mereka sudah berhenti di dekat sumber air di hutan itu untuk makan dan minum, maka kini mereka tinggal beristirahat saja.

Malam itu tidak terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li sudah terbangun oleh suara ayam hutan berkokok dan berkeruyuk. Dia menoleh ke kiri dan tidak melihat Kian Lee. Tentu pemuda itu telah bangun lebih dulu dan pergi ke sumber air yang berada agak jauh di belakang kuil, pikirnya. Dia masih merasa malas untuk bangun, hari masih terlampau pagi dan hawa udara demikian sejuknya sehingga kembali Hwee Li melingkar dan berselimut jubah Kian Lee yang oleh pemuda itu semalam diselimutkan kepadanya tanpa dia ketahui.

Tiba-tiba dara ini meloncat dan seketika dia menjadi sadar betul seperti biasanya seorang ahli silat kalau mendengar sesuatu yang mencurigakan. Seluruh urat syarafnya menegang dan cepat dia menyelinap di balik dinding, mengintai ke luar dari mana dia mendengar suara orang memasuki kuil itu, suara langkah kaki yang ragu-ragu dan hati-hati. Dan dia melihat seorang wanita memasuki kuil itu, seorang wanita muda yang memegang sebatang pedang. Wanita itu cantik dan pakaiannya berwarna hijau. Kim Cui Yan, wanita baju hijau sumoi dari Liong Tek Hwi saudara misan Pangeran Nepal! Tentu saja Hwee Li segera mengenal wanita ini, wanita cantik yang masih terhitung kakak tirinya itu! Akan tetapi karena enci tirinya ini pernah membantu Pangeran Nepal, atau setidaknya termasuk kelompok lawan, maka Hwee Li diam saja dan mengintai penuh perhatian. Dia melihat betapa Kim Cui Yan berdiri sambil mundur-mundur dan memandang ke arah pintu kuil. Di luar kuil masih gelap dan amat sunyi. Cui Yan nampak gelisah sekali, wajahnya tidak begitu nampak jelas di keremangan cuaca, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia sedang dilanda ketakutan dan pedang telanjang di tangannya itu dilintangkan depan dada, siap untuk digerakkan menyerang lawan.

Makin teranglah keadaan di dalam kuil rusak itu ketika sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan. Hwee Li melihat enci tirinya itu masih berdiri setelah mundur-mundur sampai punggungnya menempel dinding retak-retak. Kini dia dapat melihat wajah yang agak pucat itu, wajah yang jelas memperlihatkan rasa takut dan juga lelah. Agaknya semalam itu encinya tidak tidur, dan berada dalam ketakutan, mungkin dikejar-kejar musuh. Hati Hwee Li menjadi panas. Betapapun juga, wanita ini adalah enci tirinya, seayah dengan dia, maka sudah sepatutnya kalau dia bela. Dia akan menanti dan melihat sampai musuh yang agaknya ditakuti encinya itu muncul, dan kalau perlu, dia akan membantu enci tirinya. Hwee Li bersiap-siap dan menduga-duga siapa adanya musuh yang begitu ditakuti encinya, padahal dia tahu bahwa Kim Cui Yan yang berjuluk Si Walet Hijau ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak akan mudah dikalahkan orang begitu saja.

Tak lama kemudian, suasana yang penuh ketegangan yang mencekam hati itu dipecahkan oleh suara wanita yang nyaring, "Perempuan kejam, hendak lari kemana kah engkau?"

Hwee Li terkejut bukan main mendengar suara yang amat dikenalnya itu dan begitu wanita itu muncul di ambang pintu, Hwee Li memandang terbelalak dari tempat persembunyiannya. Wanita itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Ceng Ceng atau isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Wajah nyonya muda ini kelihatan bengis dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia memasuki ruangan kuil itu dengan tenang, namun di setiap langkahnya terkandung ancaman maut yang membuat Hwee Li menggigil.

Dia melihat betapa Cui Yan juga terkejut dan muka enci tirinya itu menjadi makin pucat, akan tetapi tangan yang memegang pedang itu tidak gemetar.

"Kau.... kau terlalu mendesakku!" kata Cui Yan dan kini dia melangkah maju dengan pedang siap di tangan.

"Perempuan keparat, ketika engkau menculik dan melarikan puteraku, apakah perbuatanmu itu tidak terlalu kejam? Engkau membuat duniaku hampir kiamat rasanya, dan sekarang engkau bilang aku mendesakmu?" Nyonya muda itu berkata, suaranya mengandung penuh kebencian.

Karena sudah tersudut, agaknya Kim Cu Yan menjadi berani dan nekat. Dia menjawab dan suaranya terdengar penuh penyesalan, "Hemmm, seluruh keluarga ayahku tewas karena ayah mertuamu, kalau aku melarikan puteramu dan di sepanjang jalan aku merawatnya, menjaganya dan sama sekali tidak pernah menyiksanya, bukankah aku masih jauh lebih baik daripada ayah mertuamu?"

Sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar berkilat. "Ayahmu adalah pemberontak, sudah selayaknya dihukum!"

"Ayahku boleh jadi pemberontak, akan tetapi apakah ibuku, keluarga ayah, juga berdosa?" Cui Yan balas menghardik.

Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berhati keras seperti baja. Biarpun dia dapat mengerti akan rasa penasaran di hati dara itu karena seluruh keluarganya tewas, akan tetapi tentu saja dia membela fihaknya sendiri. "Tidak perlu banyak cerewet, engkau memegang pedang. Nah, kita sudah berhadapan, mari membuat perhitungan. Engkau boleh melepaskan dendam kematian keluarga ayahmu, dan aku akan membalasmu dan menghukummu karena engkau pernah menculik puteraku. Atau barangkali engkau takut, pengecut seperti mendiang ayahmu?"

"Perempuan sombong!" Kim Cui Yan menjerit dan pedangnya menyambar. Ceng Ceng cepat mengelak dan balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung tenaga sakti yang luar biasa itu. Hwee Li menonton dari balik pintu tembusan itu dengan mata terbelalak dan bingung. Tadi dia sudah mengambil keputusan untuk membela dan membantu enci tirinya berhadapan dengan musuh, akan tetapi setelah melihat bahwa musuh encinya itu bukan lain adalah gurunya sendiri, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Maka dia hanya bengong dan melihat ke arah pertandingan yang berjalan amat seru itu dengan bingung,

mengepal tinju dengan hati amat gelisah dan khawatir.

Kim Cui Yan adalah murid terkasih dari nenek Kim-mou Nio-nio, datuk barat di luar tembok besar yang amat sakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Apalagi dia kini memegang sebatang pedang dan mainkan Ilmu Pedang Swat-lian Kiam sut (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang berhawa dingin, maka dia merupakan seorang lawan yang lihai dan berbahaya. Akan tetapi, kini dia berhadapan dengan Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nyonya muda ini semenjak minum sari darah anak naga (baca Kisah Sepasang Rajawali) telah memiliki tenaga sinkang yang luar biasa dahsyatnya, ditambah lagi memperoleh bimbingan suaminya dalam ilmu silat tinggi, maka dia merupakan seorang tokoh wanita yang jarang dapat ditemukan tandingannya di waktu itu.

Pertandingan itu berjalan cepat dan juga seru, karena Kim Cui Yan yang maklum akan kehebatan lawan itu berkelahi mati-matian. Namun, akhirnya dia harus mengakui keunggulan lawannya ketika dengan tenaganya yang dahsyat, Ceng Ceng berhasil memukul pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dan terampas oleh lawan. Di lain saat, Ceng Ceng sudah menodongkan ujung pedang rampasan itu ke leher lawan sampai menempel di kulit tenggorokan Cui Yan yang tak berani bergerak lagi karena bergerak berarti lehernya tertembus ujung pedangnya sendiri! Cui Yan hanya melangkah mundur, namun ujung pedang itu tidak pernah meninggalkan kulit tenggorokannya sedikit pun, terus menempel ketika Ceng Ceng melangkah maju pula mengikutinya sampai akhirnya Cui Yan tak mampu mundur lagi karena punggungnya telah menumbuk bekas perapian di ruangan kuil tua itu.

"Bunuhlah, siapa takut mati?" teriak Cui Yan sambil memandang dengan mata terbelalak.

"Perempuan keji, memang aku akan membunuhmu...."

"Tunggu! Jangan bunuh dia, Subo....!" Hwee Li menjerit dan meloncat keluar dari tempat persembunyiannya.

Ceng Ceng menahan pedangnya dan memandang kepada muridnya itu dengan kaget dan heran. Tanpa menurunkan pedangnya yang menodong leher Cui Yan, dia membentak, "Apa maksudmu, Hwee Li? Mengapa engkau mencegah aku membunuh penculik puteraku ini?"

"Subo, jangan bunuh dia.... dia adalah enciku sendiri...."

Ceng Ceng merasa terkejut bukan main mendengar ini sehingga otomatis pedang itu diturunkannya dari leher Cui Yan yang juga merasa heran mendengar itu dan memandang kepada Hwee Li dengan mata penuh keheranan.

"Encimu? Jadi dia ini juga puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?" tanya Ceng Ceng dengan alis berkerut.

"Bukan, Subo. Akan tetapi dia adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin...."

"Dan engkau puteri Hek-tiauw Lo-mo, bagaimana kau bisa bilang dia encimu?"

"Tidak, teecu hanya anak angkat saja dari Hek-tiauw Lo-mo, sebetulnya teecu adalah puteri Kim Bouw Sin juga, dari seorang selir yang dilarikan oleh Hektiauw Lo-mo. Teecu Kim Hwee Li adalah adik tirinya seayah dengan Enci Cui Yan. Oleh karena itu, harap Subo memandang muka teecu dan suka mengampuni Enci Cui Yan."

Keterangan ini membuat Ceng Ceng melangkah mundur tiga langkah dan dia demikian tercengang sehingga tangan kirinya naik dan mengusap pipinya sendiri. Kenyataan ini merupakan pukulan baginya.

"Ah, kau.... jadi engkau ini anak pemberontak? Aihhh, sungguh celaka sekali. Jadi selama ini aku mengambil anak pemberontak keji dan hina sebagai murid?"

Saking menyesalnya, Ceng Ceng lalu menggunakan kedua tangan menekuk pedang di tangannya itu.

"Krekkk!" Pedang Cui Yan itu patah menjadi dua dan Ceng Ceng melemparkannya ke atas tanah, matanya menatap wajah muridnya dengan penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Kemudian dia mengeluh dan sekali berkelebat, dia sudah meloncat keluar dari kuil itu.

"Ahhh...." Hwee Li memejamkan kedua matanya dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia merasa lega bahwa nyawa enci tirinya terlepas dari ancaman maut, akan tetapi juga berduka sekali karena maklum bahwa gurunya itu merasa kecewa dan menyesal dan dia merasa bahwa semenjak saat tadi, tali perhubungan antara dia dan gurunya telah diputuskan oleh gurunya, seperti gurunya mematahkan pedang tadi.

Tiba-tiba terdengar suara yang membuat Hwee Li cepat membuka mata, membalikkan tubuh dan memandang ke arah jendela. Di luar jendela itu telah berdiri Kian Lee, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan kerut-merut duka terbayang di wajah itu. "Ya Tuhan.... jadi engkau ini anak Kim Bouw Sin pemberontak hina itu....?" Setelah berkata demikian, Kian Lee berkelebat pergi.

"Lee-koko....!" Hwee Li menjerit dan meloncat ke dekat jendela, akan tetapi ketika dia memandang, bayangan Kian Lee telah lenyap dari situ dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengejar pemuda itu yang dapat lari jauh lebih cepat daripada dia, bahkan lebih cepat dari gurunya tadi. Maka tak tertahankan lagi Hwee Li menangis terisak-isak sambil bersandar di ambang jendela yang retak-retak. Memang tadinya dia sudah merasa berduka sekali oleh sikap gurunya yang tercinta, yang kelihatan kecewa dan meninggalkanya dengan marah dan menyesal. Sikap gurunya sudah membuat dia hampir menangis maka sikap Kian Lee yang mengeluarkan kata-kata yang sama dengan ucapan gurunya menjebol bendungan hatinya yang seperti disayat rasanya.

Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Hwee Li menoleh dan melihat Cui Yan berdiri di dekatnya. Mereka saling pandang dan Hwee Li melihat betapa kedua mata gadis itu penuh air mata, betapa mata itu memandangnya penuh perasaan iba. Tiba-tiba, seperti ada sesuatu yang menarik mereka, keduanya saling rangkul dan menangislah dua orang dara itu tersedu-sedu. Kakak beradik yang saling jumpa dalam keadaan yang menyedihkan.

Setelah tangis mereka mereda, biarpun Hwee Li masih sesenggukan, akan tetapi Cui Yan telah dapat menguasai hatinya. Sambil merangkul adiknya, dia berkata, "Aku sudah menduga-duga dengan penuh keheranan mengapa engkau serupa sekali dengan ibu ke tiga, yaitu selir ayah yang cantik. Aku berusia kurang lebih enam tahun ketika ibumu itu lenyap. Kiranya engkaulah puterinya yang ketika itu baru berusia tiga bulan. Mengapa engkau tidak bilang kepadaku bahwa engkau adikku ketika kita berada di benteng?"

Hwee Li menghapus air matanya dan keduanya lalu duduk di atas lantai ruangan itu. "Aku.... aku tidak ingin diketahui oleh.... mereka bahwa aku adalah puteri pemberontak, maka aku diam saja walaupun aku sudah mendengar bahwa engkau adalah kakak tiriku, Enci Cui Yan."

Gadis baju hijau itu menarik napas panjang. "Aku mengerti. Mereka itu semua membenci ayah kita. Sungguh menggemaskan sekali! Apa hubungannya ayah kita dengan kita? Mengapa kita diikutkan memikul kesalahan yang diperbuat oleh ayah kita?" Kemudian Cui Yan merangkul lagi leher adiknya.

"Engkau.... engkau telah berkorban untuk keselamatanku, Adikku! Engkau telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi untuk itu engkau kehilangan guru.... dan pemuda itu...."

Diingatkan begini Hwee Li menangis lagi. Dia merebahkan diri di atas dada encinya dan kembali keduanya bertangisan. Memang demikianlah satu di antara "kebiasaan umum" yang sudah membudaya dalam kehidupan kita. Manusia dinilai bukan dari keadaan manusia itu sendiri pada saat itu, melainkan dinilai dari segala yang melekat pada dirinya. Ada penilaian terhadap manusia didasarkan atas kebangsaannya, sukunya, masyarakatnya, agamanya, orang tuanya, keluarganya, pendidikannya, kedudukannya, hartanya dan sebagainya lagi. Sungguh merupakan suatu kebiasaan yang amat buruk dan palsu. Sudah menjadi kebiasaan dalam peradaban kita ini untuk menilai dan menentukan keadaan seseorang dan apa yang nampak oleh kita. Padahal, tidak ada orang yang dapat menilai orang lain, kecuali dirinya sendiri. Kalau kita membenci bangsanya atau sukunya, setiap orang yang menjadi anggauta bangsa atau suku itu pun kita benci. Kalau kita membenci ayahnya, setiap keluarga dari si ayah itu pun kita benci.

Pandangan seperti ini tentu saja amat sesat. Pandangan seperti ini menimbulkan konflik antara suku, antara bangsa, antara agama, antara keluarga dan antara perorangan. Dapatkah kita hidup di dunia ini sedemikian bebasnya dari pandangan ketergantungan dan penilaian ini sehingga kita menghadapi siapapun juga tanpa mengingat kebangsaannya, kesukuannya, agamanya, kaya miskinnya, pintar bodohnya, keluarganya, melainkan sebagai manusia dengan manusia lain pada saat itu juga, tanpa diembel-embeli latar belakang atau latar depannya, asal-usulnya atau segala perbuatannya yang telah lampau? Kalau tidak dapat, maka konflik antara manusia pun takkan pernah dapat dihentikan!

Kakak beradik itu lalu saling menceritakan pengalaman dan riwayat mereka masing-masing. Dengan segala kejujuran mereka membuka rahasia hati masing-masing sehingga mengertilah Hwee Li bahwa encinya ini saling mencinta dengan Liong Tek Hwi dan merencanakan pernikahan mereka. Sebaliknya, Kim Cui Yan mendengar bahwa adik tirinya ini sesungguhnya saling mencinta dengan Suma Kian Lee, pemuda yang tadi meninggalkan adiknya karena kecewa mendengar bahwa adiknya itu puteri pemberontak.

"Sudahlah, jangan engkau terlalu berduka, Adikku. Setelah kita saling jumpa, aku tidak akan membiarkan engkau terhina oleh siapa pun juga. Biar kita dianggap anak-anak pemberontak yang hina, kita pun tidak butuh dengan mereka. Marilah engkau ikut bersamaku, hidup di samping encimu ini yang akan menghibur dan melindungimu, Hwee Li."

Akan tetapi Hwee Li bangkit berdiri dan sambil menghapus air mata yang masih terus mengalir di atas kedua pipinya, dia berkata keras, "Tidak....! Aku harus mencarinya, aku harus menyusulnya.... aku.... aku tidak dapat hidup tanpa dia, Enci!"

Dan Hwee Li lalu berlari meninggalkan Cui Yan yang bangkit dan berdiri termangu-mangu memandang dari jendela ke arah adiknya yang berlari cepat sambil menangis.

Setelah bayangan Hwee Li lenyap, gadis baju hijau ini menghela napas panjang dan menggeleng kepala. "Kasihan Hwee Li.... ah, semua ini gara-gara Hek-tiauw Lo-mo dan pangeran dari Nepal yang konyol itu! Kalau bertemu dengan mereka, akan kuhajar mereka! Dan aku pun harus mengajak suheng untuk mencari pemuda itu dan menjodohkan Hwee Li dengan dia...."

Dengan pikiran penuh rasa iba kepada adiknya, Cui Yan lalu meninggalkan kuil untuk pergi menemui suhengnya, yaitu Liong Tek Hwi. Dia bersama suhengnya itu setelah meninggalkan benteng yang terbakar, lalu untuk sementara tinggal di rumah dusun yang dibeli suhengnya. Mereka menanti datangnya Kim-mouw Nio-nio, guru mereka yang akan mengunjungi mereka dan akan mempersiapkan hari pernikahan mereka. Dia sedang keluar dari rumah ketika di tengah jalan dia bertemu dengan Ceng Ceng yang segera menyerangnya. Karena merasa kewalahan menghadapi nyonya muda yang amat lihai itu, Cui Yan melarikan diri dan terus dikejar oleh musuhnya. Cui Yan dapat melarikan diri ke dalam hutan dan malam itu musuhnya terus mengejar dan mencari-carinya di dalam hutan sampai pada keesokan paginya Cui Yan bersembunyi ke dalam kuil itu dan akhirnya ditemukan juga oleh Ceng Ceng.

Tentu suheng sedang mencari-cari aku dengan bingung, pikirnya. Dia pergi sejak kemarin dan kepada suhengnya hanya berpamit untuk berbelanja ke kota. Maka dengan cepat dia berlari menuju ke dusun tempat tinggal suhengnya yang cukup jauh karena ketika melarikan diri dia mempergunakan ilmu lari cepat, dan terus dikejar oleh musuh sampai ke hutan itu.

Kim Cui Yan mengambil keputusan untuk mengajak suhengnya mencari Hwee Li dan Kian Lee. Untuk keperluan itu, dia rela untuk mengundur hari pernikahannya dengan suhengnya yang juga menjadi kekasihnya itu. Kini urusan pribadi telah beres. Keluarganya yang terbasmi habis karena Jenderal Kao telah himpas dendamnya karena jenderal itu sendiri pun telah tewas. Dan kini terbuka mata batinnya bahwa Jenderal Kao Liang adalah seorang gagah perkasa yang selain setia kepada negara juga rela berkorban apa saja demi keselamatan keluarganya. Jenderal itu gagah perkasa, para pendekar yang mendukungnya terdiri dari orang-orang yang

berjiwa satria yang gagah perkasa pula. Maka dia telah menghapus dendam pribadi itu dari hatinya, dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tidak memperdalam dendam itu dengan mencelakai cucu Jenderal Kao Liang atau putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, walaupun baru saja dia hampir tewas di tangan ibu dari anak yang diculiknya itu yang masih marah kepadanya. Diam-diam dia bergidik kalau teringat akan pengalamannya bertanding melawan isteri Si Naga Sakti Gurun Pasir. Baru isterinya saja sudah demikian saktinya sehingga biarpun dia mempergunakan pedang, sama sekali dia tidak berdaya mendesak wanita itu. Agaknya bahkan gurunya sendiri pun belum tentu dapat menangkan wanita itu dengan mudah. Apalagi Si Naga Sakti sendiri! Koksu Nepal yang demikian saktinya, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok juga tidak mampu menandingi Si Naga Sakti. Dia bergidik.

Biarlah dia mencari adiknya, mengurus perjodohan adiknya itu, baru dia akan ikut bersama suhengnya, atau kekasihnya, atau calon suaminya, ke utara, jauh sekali ke utara, ke tempat asal ibu dari suhengnya yang juga menjadi tempat asal guru mereka, nenek Kim-mouw Nio-nio.

Matahari telah naik tinggi ketika gadis baju hijau itu memasuki sebuah hutan. Dia harus berjalan cepat agar dapat tiba di dusun yang menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu, di mana suhengnya tentu sedang menanti kedatangannya dengan gelisah.

Tiba-tiba di sebelah depan berkelebat bayangan orang dan dari balik pohon-pohon muncullah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap yang kepalanya memakai sorban dan di bagian depan sorban itu terthias bulu burung yang amat indah. Segera Cui Yan mengenal orang itu. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu! Melihat pangeran ini, hati Cui Yan yang masih dipenuhi rasa iba dan duka karena adiknya, seketika menjadi panas karena dia teringat bahwa pangeran inilah yang menjadi gara-gara sehingga adiknya itu kini mengalami hal-hal yang menyengsarakan hati. Huh, laki-laki macam ini mau memaksa Hwee Li menjadi isterinya! Liong Bian Cu juga segera mengenal Cui Yan, sumoi dan kekasih dari saudara misannya itu, maka dengan tersenyum lebar dia cepat menghampiri dan begitu berhadapan dia berkata, "Ah, kiranya Nona Kim berada di sini. Sungguh menggembirakan hati dapat bertemu dengan calon iparku yang begini cantik manis! Eh, di mana adanya saudaraku Liong Tek Hwi?"

Sikap yang ceriwis itu makin memanaskan hati Cui Yan. Dia berdiri tegak memandang wajah pangeran itu dengan sepasang mata terbelalak, mukanya merah dan mulutnya cemberut, hidungnya yang mancung itu bergetar dan cuping hidungnya kembang-kempis karena kemarahan membuat napasnya agak memburu. Kemudian terdengar dia berkata, suaranya nyaring dan kaku, "Pangeran, engkau adalah seorang laki-laki yang tidak tahu malu!"

Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan sepasang mata yang agak dalam dan mempunyai pandangan tajam itu menatap wajah Cui Yan yang cantik. Memang cantik manis sekali calon iparku ini, pikir sang pangeran. Terutama sekali hidungnya yang mancung itu, manis sekali. Akan tetapi mengapa dia marah-marah dan berani memakinya? Hati pangeran ini memang sedang tertekan oleh kekecewaan dan kedukaan. Gerakannya telah gagal total, bentengnya telah hancur dan dia tentu akan mendapat kemarahan besar dari pamannya yang kini menjadi raja di Nepal. Selain itu, juga baru saja dia kehilangan Hwee Li, gadis yang dicintanya.

Dalam keadaan murung seperti itu, kini bertemu dengan wanita ini yang datang-datang memakinya sebagai laki-laki yang tidak tahu malu, tentu saja diam-diam dia merasa penasaran dan marah sekali. Dia, Pangeran Nepal, yang biasanya disembah-sembah orang, yang biasanya dihujani kerling dan senyum manis oleh setiap orang wanita, tua atau pun muda, yang selama hidupnya belum pernah dihina wanita kecuali Hwee Li yang dicintanya, sekarang merasa dihina oleh wanita ini! Namun, dia dapat menyembunyikan kemarahannya dan masih tersenyum memandang wanita yang marah-marah sampai kedua pipinya kemerahan dan amat menarik itu.

"Calon iparku yang manis, mengapa begitu bertemu engkau marah-marah dan memaki aku? Biarpun kalau marah engkau kelihatan bertambah cantik, akan tetapi iparmu ini ingin mengetahui mengapa engkau marah kepadaku."

Sikap dan kata-kata Liong Bian Cu merupakan minyak pembakar yang disiramkan pada api yang menyala di dalam Cui Yan. Mukanya bertambah merah dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Cih, laki-laki tak sopan! Engkau tahu bahwa adikku Hwee Li tidak suka kepadamu, kenapa engkau hendak memaksanya menjadi isterimu? Engkaulah yang membuat dia merana!"

Pangeran Nepal itu memandang dengan sepasang mata mulai berseri. Teringatlah kini dia bahwa wanita yang berdiri di depannya dan sedang marah-marah ini adalah kakak tiri Hwee Li, puteri dari mendiang Kim Bouw Sin, hanya berlainan ibu dengan Hwee Li. Memang ada kemiripan antara keduanya, terutama sikap galaknya dan bibir yang membayangkan kelembutan di balik kekerasan itu. Maka timbullah dua macam perasaan di dalam hatinya, perasaan yang terdorong oleh kecewa dan penasaran karena kegagalannya. Perasaan itu adalah perasaan marah karena dia dihina wanita, bercampur dengan perasaan kagum karena memang keberanian wanita

ini mengingatkan dia akan keberanian Hwee Li dan itulah yang membangkitkan berahinya! Biar aku luput mendapatkan adiknya, biar kudapatkan kakaknya, demikian bisikan hatinya yang mulai panas. Kalau aku bisa mendapatkannya dan membawanya ke Nepal sebagai seorang di antara selir-selirku, sewaktu-waktu aku rindu kepada Hwee Li, wanita ini bisa menjadi penggantinya dan kuanggap saja dia Hwee Li!

"Ah, Kim Cui Yan, nona yang cantik manis. Kalau kauanggap aku demikian, lalu bagaimana? Engkau mau menghukumku? Nah, silakan, aku menyerah kepada seorang wanita denok manis seperti engkau."

Sepasang mata wanita itu berapi-api saking marahnya. "Pangeran ceriwis! Engkau harus menyatakan bersalah, minta ampun di depanku dan berjanji bahwa selanjutnya engkau tidak akan mengganggu adikku Hwee Li lagi!"

Tentu saja diam-diam Pangeran Bharuhendra menjadi marah sekali, akan tetapi dia masih tersenyum sungguhpun pandang matanya mulai berapi. "Kalau aku tidak mau minta ampun bagaimana?"

"Aku akan menghajarmu!" bentak Cui Yan sambil mengepalkan kedua tinjunya dan berdiri tegak.

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya engkau mengajak aku untuk bertanding mengadu kepandaian? Baik, akan tetapi pertandingan ini harus ada taruhannya. Kalau aku kalah, biarlah aku akan minta ampun kepadamu seperti yang kauminta, akan tetapi sebaliknya, kalau engkau kalah...." Pangeran itu mengelus dagunya yang dicukur licin, "Engkau cantik manis seperti adikmu, kalau engkau kalah, engkau harus menemani aku sehari semalam, menghibur hatiku yang sedang gundah-gulana...."

"Keparat!" Cui Yan membentak dan dara ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Saking marahnya, begitu menyerang dia sudah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat diandalkan, yaitu Swat-lian Sin-ciang. Pukulan ini adalah pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang amat kuat dan berbahaya, tenaga Im-kang yang mengandung hawa dingin sekali.

Ketika merasa betapa ada hawa dingin menyambar ke arah dadanya, pangeran itu berseru, "Bagus sekali!" dan cepat dia mengelak ke belakang, lalu siap menghadapi terjangan lawan. Cui Yan yang sudah marah terus mendesak dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kini pangeran itu pun mempergunakan ilmu pukulan sakti untuk menyambutnya, yaitu ilmu pukulan Im-yang Sin-ciang yang juga sama kuatnya.

Ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang yang dimiliki Cui Yan bukanlah ilmu pukulan sembarangan. Ilmu pukulan ini mengandung tenaga Im-kang tingkat tinggi yang diciptakan oleh gurunya, yaitu Kim-mouw Nio-nio di daerah utara dekat kutub di mana setahun penuh segala sesuatu diselimuti es dari salju, hawanya dingin bukan main. Biarpun tingkat Cui Yan belum sehebat gurunya, namun pukulan-pukulannya sudah sedemikian kuatnya sehingga kalau lawannya kurang kuat, maka darah dan segala cairan dalam tubuh lawan dapat membeku terlanda hawa pukulannya, atau setidaknya, hawa dingin akan membuat lawan menggigil dan tidak mampu bertahan lagi.

Namun, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Ban Hwa Sengjin atau pendeta dari Nepal yang bernama Lak-shapadma, yang selain menjadi seorang koksu dari Nepal juga merupakan orang ke tiga dari Ngo-ok yang pada waktu itu termasuk datuk-datuk kaum sesat yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Maka, dengan menggunakan I1mu Im-yang Sin-ciang, pangeran itu dengan tepat sekali dapat menahan semua serangan Cui Yan biarpun setiap kali lengan mereka bertemu, dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang lengannya, sebaliknya, karena memang kalah kuat, Cui Yan selalu terdorong dan terhuyung ke belakang.

Mulailah Cui Yan terdesak dan dara ini merasa menyesal mengapa pedangnya telah dipatahkan oleh Ceng Ceng sehingga dalam pertempuran melawan Pangeran Nepal ini dia tidak dapat mengandalkan permainan pedangnya. Setelah bertanding lima puluh jurus lebih, kini Liong Bian Cu mulai melancarkan serangan-serangan hebat yang membuat dara itu menjadi kewalahan. Memang, kalau dibandingkan, tingkat kepandaian Pangeran Nepal itu masih lebih tinggi, maka begitu dia menekan, dara itu menjadi sibuk sekali dan pada saat kedua lengan mereka kembali beradu, Liong Bian Cu mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram pergelangan tangan kanan dara itu. Dia tertawa bergelak dan sebelum Cui Yan mampu melepaskan lengannya, dia sudah tertotok dan menjadi lemas!

Kalau dia dihantam atau dibunuh, Cui Yan tentu akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi kini pangeran itu merangkul dan memeluknya dan dara itu terbelalak dan merasa ngeri setengah mati ketika pangeran itu mendekatkan muka lalu menciumnya penuh nafsu! Cui Yan memejamkan mata dan berusaha meronta, namun dia telah tertotok sehingga tenaganya habis. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan Swat-im Sin-kang untuk membuat tubuhnya dingin. Terpaksa dia menyerah saja diciumi dan dibelai oleh pangeran itu yang tertawa-tawa.

"Engkau cantik, manis, engkau seperti Hwee Li.... ha-ha-ha, Cui Yan yang cantik, engkau telah kalah, engkau harus membayar taruhan." Lalu dipondongnya tubuh dara itu.

"Lepaskan aku ! Atau.... kaubunuh saja aku...." Cui Yan meratap, kini merasa takut bukan main. Baru sekarang ini dia merasa amat ketakutan, amat ngeri menghadapi apa yang akan menimpa dirinya.

"Lepaskan? Nanti dulu, Sayang, kau harus membayar taruhan dulu. Membunuhmu? Sayang sekali, engkau terlalu cantik.... ha-ha-ha....!"

Cui Yan tak mampu berdaya apa-apa lagi dan dia dilarikan oleh pangeran itu ke sebuah dusun di mana terdapat sebuah gedung yang dibangunnya semenjak dia bertualang di daerah ini. Ketika dia memondong tubuh Cui Yan memasuki rumah itu, Cui Yan melihat Koksu Nepal berada di situ pula! Melihat muridnya memondong gadis yang dikenalnya sebagai nona yang pernah datang ke lembah atau ke dalam benteng, kakek botak itu hanya tersenyum saja, sama sekali tidak bertanya apalagi menegur. Dia hanya memandang ketika muridnya itu membawa tubuh yang dipondongnya memasuki kamarnya dan menutupkan kamar itu dengan kakinya.

Pada jaman itu, baik di Tiongkok maupun di bagian dunia lain di Asia, terutama di Nepal, memang kaum wanita dipandang sebagai benda mainan atau sebagai sumber kesenangan bagi pria belaka. Wanita dianggap tidak berhak untuk menentukan nasibnya, tergantung sepenuhnya dari orang tua atau dari pria yang menguasainya, seperti benda-benda hiasan atau binatang-binatang peliharaan, dijadikan alat pemuas nafsu, dijadikan milik kebanggaan. Maka, bukan hal yang aneh melihat wanita dipaksa oleh pria yang memiliki kedudukan seperti Pangeran Nepal, seolah-olah setiap orang wanita yang berada di dalam kekuasaannya harus tunduk kepadanya, bahkan dipilih oleh seorang pangeran dianggap sebagai kehormatan besar bagi si wanita, tidak peduli wanita

itu dipilih dengan paksa atau dengan suka rela. Oleh karena itulah, Ban Hwa Sengjin hanya tersenyum saja melihat muridnya memondong seorang wanita cantik, seolah-olah melihat suatu hal yang lucu. Apalagi karena memang Ban Hwa Sengjin adalah seorang yang amat keji hatinya. Sam-ok dari Ngo-ok yang terkenal sebagai Lima Datuk yang paling kejam di seluruh dunia ini.

Kim Cui Yan hanya dapat merintih dan menangis dengan hati hancur lebur. Dia tidak mampu menolak, tidak mampu meronta, tidak mampu mengelak ketika Liong Bian Cu memperkosanya disertai bujuk rayu yang tentu akan ditolaknya dan ditentangnya dengan taruhan nyawa kalau saja dia mampu bergerak. Akan tetapi, Pangeran Nepal itu cerdik, dia ditotok sehingga kaki tangannya menjadi lemas tak berdaya, hanya mampu bergerak lemah tanpa mampu mengerahkan tenaga sinkangnya. Dia hanya mampu membuang muka dan air matanya bercucuran ketika dia dipermainkan oleh pangeran itu yang agaknya tidak ada puas-puasnya menuruti nafsu kejinya.

Sudah bulat tekad di dalam hati Cui Yan untuk membunuh diri begitu dia memperoleh kesempatan. Untuk melaksanakan kebenciannya dan membunuh pangeran itu, tentu saja dia tidak mampu, apalagi mengingat bahwa di tempat itu terdapat koksu yang sakti pula. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh diri untuk mencuci dirinya dari aib dan penghinaan. Akan tetapi, kalau hanya membunuh diri begitu saja akan sia-sia.

Dia harus lebih dulu dapat bertemu dengan suhengnya, dengan kekasihnya, calon suaminya, untuk menceritakan semua malapetaka yang menimpa dirinya ini.

Akan tetapi, Liong Bian Cu yang sudah berpengalaman dalam hal memperkosa wanita, dapat melihat dan menduga bahwa Cui Yan tentu akan membunuh diri kalau diberi kesempatan, oleh karena itu dia selalu menjaga dan menotok jalan darah wanita itu. Baru setelah ada tanda-tanda bahwa Cui Yan membalas belaiannya dan seolah-olah menjawab pernyataan cintanya, dia mulai memberi kelonggaran karena dia mengira bahwa dia telah berhasil "menundukkan" wanita ini, seperti menundukkan seekor kuda betina liar yang mulai menjadi "jinak", seperti yang sudah seringkali dia alami. Diantara para selirnya, banyak yang tadinya juga melawan dan tidak rela menyerahkan diri, akan tetapi kemudian malah menjadi selir yang amat mendambakan cintanya, bahkan saling berebutan untuk melayaninya! Dan dia mengira bahwa Cui Yan juga termasuk wanita seperti itu. Kini Cui Yan mulai suka tersenyum kepadanya!

Karena merasa bahwa setelah sepekan lamanya dia memaksa Cui Yan melayaninya dan jarang meninggalkan wanita ini, dia mulai memberi kelonggaran. Akan tetapi, pada malam ke lima itu, malam pertama dia meninggalkan Cui Yan sebentar untuk berbincang-bincang dengan koksu, ketika dia kembali ke kamarnya, burung itu telah terbang menghilang! Dia cepat mengejar dan mencari, namun sia-sia belaka. Cui Yan telah lenyap!

Ke manakah perginya Cui Yan? Wanita, yang ditimpa malapetaka hebat ini. melarikan diri dengan secepatnya meninggalkan dusun tempat tinggal Liong Bian Cu, sambil menangis dia terus lari sekuatnya semalam suntuk itu, menuju ke dusun tempat tinggal suhengnya. Hampir putus napasnya ketika pada keesokan harinya dia tiba di depan rumah suhengnya, karena semalam suntuk dia terus berlari cepat, sedikit pun tidak pernah mengurangi kecepatannya dan mengerahkan segenap tenaganya.

Bukan main kaget hati Liong Tek Hwi ketika dia melihat sumoinya datang berlari-lari, lalu menubruk padanya, merangkul dan menangis tersedu-sedu.

"Sumoi, apa yang telah terjadi? Ke mana saja selama ini engkau pergi? Aku dan subo mencari-carimu sampai ke mana-mana, hatiku risau dan bingung sekali...." Pemuda berkulit putih bermata kebiruan itu merangkul dan mengelus rambut kekasihnya.

"Cui Yan, apa yang telah terjadi?" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan ketika mendengar ini, Cui Yan kaget dan menengok, kemudian dia menjerit dan melepaskan rangkulan leher suhengnya, menubruk kaki nenek itu sambil menangis sesenggukan. Nenek itu bukan lain adalah gurunya, Kim-mouw Nio-nio. Nenek ini sudah tua sekali, sudah sembilan puluhan tahun usianya, dan keadaannya amat mengerikan. Rambutnya pirang keemasan sudah penuh uban, matanya agak kebiruan dan di kedua lengannya nampak dua buah gelang, yang kanan terbuat dari emas dan yang kiri dari perak. Sepasang gelang emas dan perak itu selain menjadi perhiasan, juga merupakan senjatanya yang ampuh sekali. Melihat muridnya itu menangis tersedu-sedu sambil merangkul kakinya, nenek itu menyeringai dan sekali menggerakkan kakinya, tubuh muridnya itu terjengkang.

"Wuhhh, memalukan sekali!

Apakah selama ini aku mengajar engkau menjadi wanita lemah dan cengeng? Hayo katakan apa yang telah terjadi!"

Dengan air mata bercucuran Cui Yan bangkit berdiri dan ketika dia bertemu pandang dengan kekasihnya, kembali dia tersedu-sedu. Liong Tek Hwi melangkah maju dan memegang tangan sumoinya, memandang dengan penuh kekhawatiran dan bertanya halus, "Sumoi, ada apakah? Engkau benar-benar membuat aku gelisah sekali. Ceritakanlah."

"Suheng.... demi Thian.... engkau harus membunuh si jahanam Liong Bian Cu....!"

Tentu saja ucapan itu membuat Liong Tek Hwi terkejut bukan main. Liong Bian Cu adalah saudara misannya dan sekarang sumoinya atau kekasihnya ini minta kepadanya untuk membunuh saudara misannya itu! "Sumoi, apakah yang terjadi? Mengapa engkau mengajukan permintaan yang luar biasa ini?"

"Sepekan yang lalu.... aku bertemu dengan dia, kami bertempur karena aku menyalahkan dia yang ingin memaksa adikku Kim Hwee Li menjadi isterinya dan karena dia kurang ajar kepadaku, aku kalah dan tertawan. Aku dibawa ke dusun sebelah barat hutan di mana jahanam itu tinggal bersama gurunya, Koksu Nepal dan.... dan...." Cui Yan kembali menjerit dan menangis terisak-isak.

Sepasang alis Tek Hwi berkerut dan pandang mata yang ditujukan kepada sumoinya itu penuh kekhawatiran. "Lalu bagaimana, Sumoi?"

"Dia.... selama sepekan ini.. .. dia.... memaksaku, dia memperkosa aku.... dan aku tidak berdaya.... ditotoknya dan.... diperkosanya.... hu-hu-huuu!"

"Ahhh....!" Liong Tek Hwi mengeluarkan suara bentakan nyaring dan wajahnya seketika menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tinjunya dikepal kuat-kuat.

"Suheng....!" Cui Yan menjerit dan menubruk suhengnya. Tek Hwi menerima dan merangkul kekasihnya, dari kedua matanya juga keluar air mata saking marah dan menyesalnya. Dia ingin menghibur kekasihnya, akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.

"Tek Hwi, awas....! Cegah dia....!"

Tiba-tiba Kim-mouw Nio-nio berseru dan sekali meloncat dia telah menerkam Cui Yan dan menangkap kedua tangan dara itu, akan tetapi terlambat sudah. Liong Tek Hwi memandang dengan mata terbelalak, melihat dada kekasihnya yang merah semua karena darahnya mengucur keluar dari ulu hati yang tertusuk hiasan rambut atau tusuk konde yang terbuat dari perak dan panjangnya lebih dari sejengkal. Tusuk konde itu terbenam di dada Cui Yan, menembus jantungnya sehingga darah muncrat-muncrat dan tanpa banyak bergerak lagi dara itu menjadi lemas dan lunglai.

"Sumoi....!" Tek Hwi, menjerit dan menubruk, merangkul kekasihnya.

Cui Yan membuka mata dan bibirnya bergerak lemah, "Balaskan Suheng...." Kemudian tubuhnya lunglai dan matanya terpejam.

"Sumoi....! Cui Yan.... ah, Cui Yan kekasihku....!" Liong Tek Hwi menangis dan berteriak-teriak seperti orang gila memanggil-manggil nama kekasihnya, namun nyawa Cui Yan telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya.

"Bian Cu, jahanam kau! Aku harus mengadu nyawa denganmu!" Liong Tek Hwi menurunkan jenazah kekasihnya dan dia meloncat bangun, kemudian lari dari rumah itu, diikuti oleh subonya.

"Tek Hwi, nanti dulu....!" subonya berseru, akan tetapi Liong Tek Hwi yang sudah hampir gila saking duka dan marahnya, tidak mempedulikan subonya sehingga terpaksa Kim-mouw Nio-nio mengikutinya terus menuju ke barat dengan cepat sekali.

Ketika tiba di dusun itu, dengan mudah Liong Tek Hwi dapat mencari rumah saudara misannya itu dan kebetulan sesekali pada waktu itu, Pangeran Liong Bian Cu dan Ban Hwa Sengjin sedang berada di ruangan depan. Mereka sudah tahu bahwa Cui Yan semalam telah berhasil melarikan diri, dan mereka pun menduga bahwa mungkin saja kekasih nona itu, yaitu Liong Tek Hwi atau saudara misan sang pangeran, akan muncul. Akan tetapi mereka bersikap tenang-tenang saja dan tidak takut, bahkan mereka lalu melupakan urusan nona itu dan bicara tentang kegagalan gerakan mereka dan mengatur rencana selanjutnya. Perhatian mereka kini ditujukan kepada pemberontakan di Bhutan yang dilakukan oleh Mohinta.

Ketika mereka sedang bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari depan, "Bian Cu, jahanam hina-dina! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang harus mampus untuk menemani arwah sumoiku!"

Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri, sedangkan Koksu Nepal hanya menoleh saja. Akan tetapi terkejutlah guru dan murid ini ketika melihat bahwa di belakang Liong Tek Hwi terdapat seorang nenek berambut keemasan yang bukan lain adalah Kim-mouw Nio-nio, datuk luar tembok besar dari utara itu!

Biarpun terkejut melihat kehadiran nenek itu yang sudah sering kali didengarnya dari suhunya, akan tetapi karena di situ hadir pula gurunya, Pangeran Nepal tidak merasa gentar dan dengan gagah dia menyambut kemarahan saudara misannya itu dengan tersenyum.

"Saudaraku Tek Hwi, mengapa engkau datang dengan kemarahan seperti itu?"

"Keparat, engkau manusia berhati binatang! Engkau menghina dan memperkosa calon isteriku sampai dia membunuh diri.... ah, aku tidak ingin hidup bersamamu di dunia ini. Seorang di antara kita harus mati!" bentak Liong Tek Hwi dan dengan kemarahan memuncak, pemuda peranakan bule ini sudah menerjang dengan pukulan yang amat keras.

Liong Bian Cu cepat mengelak dengan loncatan ke belakang sambil berkata, "Sabar dulu, saudaraku. Apakah kita antara saudara harus saling bunuh hanya karena urusan wanita? Aku dapat mengganti seribu orang wanita yang lebih cantik daripada sumoimu itu!"

"Manusia iblis! Harus kauganti dengan nyawamu!" Tek Hwi, menerjang lagi, kini menggunakan ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang setelah menggosok-gosok kedua tangannya lalu diputar-putar di depan dada dan menyerang dengan gerakan mendorong lawan. Pangeran Nepal itu terkejut bukan main. Hawa dingin yang menyerangnya amat hebat, lebih hebat daripada serangan Kim Cui Yan, tanda bahwa tingkat kepandaian saudara misannya ini masih lebih tinggi daripada nona yang pernah ditawannya itu. Maka dia tidak mau banyak bicara lagi karena kalau dia tidak waspada, bisa-bisa dia celaka oleh lawan ini. Apalagi dia melihat betapa gurunya tidak turun tangan membantu, melainkan berdiri bertolak pinggang dan tak jauh dari situ nampak si nenek rambut kuning emas itu juga berdiri dengan sikap siap menghadapi Sam-ok atau Koksu Nepal!

Pangeran Liong Bian Cu mengelak dan balas menyerang, dan karena dia maklum akan kelihaian lawan, dia pun kini mempergunakan ilmu pukulan Im-yang Sinciang, Dia tidak mau mengalah dan biarpun merasa sayang bahwa dia harus bermusuhan dengan saudara misannya, namun pangeran ini maklum bahwa dia tidak akan dapat membujuknya maka terpaksa harus membunuhnya.

Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian antara dua orang saudara misan ini. Ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka memang berimbang sehingga berbeda dengan ketika melawan Cu i Yan, sekali ini Pangeran Liong Bian Cu harus mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan ini. Sementara itu, Sam-ok dan Kim-mouw Nio-nio tetap berdiri menonton sambil bersiap-siap turun tangan kalau fihak lawan dibantu oleh guru masing-masing. Akan tetapi, kakek botak itu hanya tersenyum saja melihat betapa muridnya agak kewalahan menghadapi lawannya, sedangkan Kim-mouw Nio-nio secara terang-terangan selalu memandang kakek itu untuk mengamati gerak-geriknya!

Seratus jurus telah lewat dan kedua lengan mereka telah bengkak-bengkak, akan tetapi pertandingan itu masih berlangsung terus dengan serunya. Pangeran Liong Bian Cu makin terkejut dan mulai merasa khawatir. Tak disangkanya bahwa saudara misannya ini ternyata tangguh sekali. "Liong Tek Hwi, kita berdua dapat membangun kembali kejayaan ayah-ayah kita. Mengapa engkau tidak menghabiskan saja urusan perempuan ini?" dia berseru sambil menangkis sebuah pukulan keras yang membuat mereka berdua terpental ke belakang. Akan tetapi Liong Tek Hwi menerjang lagi dengan nekat.

"Liong Bian Cu, aku baru menganggap habis urusan ini kalau kau sudah menggeletak tanpa nyawa di depan kakiku!"

"Keparat!" Liong Bian Cu membentak marah dan perkelahian dilanjutkan makin nekat dan makin-seru. Akan tetapi karena pada waktu itu hati Liong Tek Hwi diliputi penuh kedukaan dan kemarahan, penuh dendam sakit hati yang meluap-luap, maka serangannya lebih bersemangat dan nekat. Dia tidak takut mati dan tenaganya seperti bertambah hebat oleh semangat dan kenekatan ini, berbeda dengan Liong Bian Cu yang masih bersikap hati-hati. Oleh karena inilah maka kini pangeran itu kelihatan mulai terdesak! Serangan-serangan Liong Tek Hwi seperti seekor singa terluka yang sudah nekat. Hanya ada dua pilihan bagi pemuda yang sakit hati ini, yaitu membunuh atau terbunuh! Liong Bian Cu mulai khawatir dan tak terasa lagi dia mengharapkan bantuan gurunya.

"Suhu, harap bantu.. ..!"

Akan tetapi sungguh aneh. Kakek botak yang biasanya sebagai seorang koksu amat taat kepada pangeran ini, sekarang hanya tersenyum dan sama sekali tidak bergerak membantu, juga tidak berkata apa-apa! Memang, hati kakek ini luar biasa kejinya maka dia menjadi orang ke tiga dari Sam-ok, Lima Jahat yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai datuk-datuk kejahatan yang paling hebat. Di dalam hati kakek botak ini, yang terpenting adalah keuntungan atau kesenangan bagi dirinya sendiri. Memang benar bahwa Liong Bian Cu adalah muridnya, akan tetapi Ban Hwa Sengjin ini mau mengambilnya sebagai murid hanya karena pemuda ini

adalah Pangeran Nepal sehingga melalui muridnya dia dapat memperoleh kedudukan sampai menjadi koksu! Tentu saja tidak ada perasaan cinta sebagai guru terhadap pangeran ini. Apalagi sekarang dia melihat bahwa yang terbaik bagi dirinya adalah matinya pangeran ini! Gerakan pangeran ini yang ditunjangnya telah gagal, dan hal ini tentu akan mendatangkan kemarahan pada Raja Nepal, dan kalau pangeran ini masih hidup dan mereka berdua bersama-sama kembali ke Nepal, tentu dialah yang akan dipersalahkan oleh Raja Nepal karena kegagalan itu. Akan tetapi kalau Pangeran Liong Bian Cu sudah tidak ada, tentu dia dapat menimpakan kesalahan kepada pangeran ini. Dia sendiri masih akan dapat menghibur hati raja dengan membuat jasa baru, yaitu menaklukkan Bhutan dengan bantuan Mohinta seperti yang telah di aturnya itu.

Demikianlah, setiap perbuatan yang disebut jahat, kejam, keras dan licik selalu tentu terdorong oleh keinginan untuk keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Keinginan untuk senang, atau pengejaran terhadap kesenangan inilah yang menyeret manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang amat jahat. Bagi dia yang melakukannya, perbuatan itu tidak dianggap jahat karena dianggap sebagai suatu kecerdikan atau langkahlangkah demi mencapai apa yang dicita-citakan atau yang dikejar-kejar. Dapat kita saksikan sehari-hari dalam kehidupan kita betapa pengejaran terhadap kedudukan menimbulkan jegal-jegalan, permusuhan dan bunuh-membunuh, pengejaran terhadap harta menimbulkan sogokme nyogok, korupsi, penipuan, pencurian dan sebagainya; pengejaran terhadap kehormatan, kebersihan nama dan apa yang dinamakan kebaikan menimbulkan penjilatan dan kemunafikan. Perbuatan apa pun, betapa mulia pun, akan kehilangan kemurniannya apabila didorong oleh suatu pamrih, karena perbuatan itu menjadi tidak wajar, menjadi palsu, dan hanya merupakan alat untuk mencapai apa yang dipamrihkan itu. Dan pamrih tetap pamrih, tetap memalsukan inti perbuatan, biar pamrih itu bisa saja kita beri pakaian dan menyebutnya sebagai "pamrih baik", "pamrih mulia " dan sebagainya lagi. Pada hakekatnya, betapapun baik dan mulianya kita namakan dia, pamrih itu bukan lain adalah keinginan tercapainya sesuatu yang menguntungkan atau menyenangkan diri kita, lahir maupun batin! Hanya tindakan yang seketika, tanpa pamrih, wajar dan tanpa kita sadari baik buruknya, tanpa didasari kebencian, kemarahan, iri hati, rasa takut, maka tindakan seperti itu barulah merupakan tindakan yang benar, karena tindakan tanpa pamrih dan tanpa dinodai oleh segala macam nafsu pementingan diri pribadi itulah tindakan yang mengandung cinta kasih!

Ketika Pangeran Liong Bian Cu mendapat kenyataan betapa gurunya diam saja, jangankan membantunya, bahkan menjawab permintaanya pun tidak, hatinya menjadi kecut sekali dan dia menjadi makin panik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Tek Hwi untuk menubruk ke depan dan terdengarlah pekik menyayat hati ketika tangan kanan Tek Hwi yang ditusukkan itu mengenai dada Pangeran Lion Bian Cu dan amblas memasuki dada seperti sebuah kapak.

"Crotttt....!" Tangan yang terbuka jari-jarinya dan mengandung tenga sinkang amat kuat itu memasuki rongga dada sampai sepergelangan tangan dalamnya. Akan tetapi pada saat itu juga, dengan mata melotot dan mulut masih mengeluarkan pekik Pangeran Liong Bian Cu menghantamkan kepalan kanannya ke arah kepala yang amat dekat dengannya itu.

"Prakkk!" Pukulan itu keras bukan main karena dalam keadaan sekarat itu Liong Bian Cu masih ingat untuk mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam pukulannya yang mengenai kepala dengan tepat sehingga kepala Liong Tek Hwi pecah terkena hantaman itu!

Robohlah dua orang kakak beradik misan itu, tergelimpang dan tak bergerak lagi karena keduanya telah tewas, mati sampyuh dalam perkelahian yang seru dan nekat itu. Berbeda dengan Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang tidak mencinta muridnya, Kim-mouw Nio-nio amat mencinta murid-muridnya, terutama sekali Liong Tek Hwi karena pemuda ini memiliki kulit, warna mata dan rambut yang sama dengan dia. Tadi dia menjaga agar Sam-ok tidak membantu pangeran itu, dan dia sudah girang melihat kemenangan muridnya, akan tetapi sungguh tidak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu, Pangeran Nepal masih sanggup melakukan pukulan maut terakhir yang menewaskan muridnya. Dia menjadi marah sekali. Dengan lengking mengerikan nenek ini menangis dan langsung saja dia menyerang Sam-ok Ban Hwa Sengjin!

Ban Hwa Sengjin tertawa dan menggerakkan lengan bajunya menangkis. Hatinya girang bahwa muridnya tewas bersama lawannya. Hal ini amat menguntungkan dia. Pertama, dalam pertandingan tadi tak dapat dikatakan bahwa muridnya kalah karena lawannya juga tewas sehingga namanya tidak akan ternoda oleh kekalahan muridnya, ke dua, pangeran itu tewas sebagaimana yang diharapkannya.

Maka kini menghadapi kemarahan Kim-mouw Nio-nio, dia tertawa. Nenek tua ini pun sebaiknya dibungkam mulutnya untuk selamanya karena nenek ini merupakan seorang saksi pula. Baiknya, tidak ada penduduk dusun yang berani datang mendekat menyaksikan pertempuran itu sehingga yang menjadi saksi hanyalah nenek tua ini. Dan untuk membungkam mulutnya, tentu saja nenek ini harus dibunuh.

Tangkisan Ban Hwa Sengjin membuat nenek itu terpelanting dan terhuyung, hampir saja roboh. Kim-mouw Nio-nio terkejut bukan main. Lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, dan juga dia sendiri sudah terlampau tua, usianya sudah kurang lebih seratus tahun. Maklumlah nenek tua ini bahwa kalau mengandalkan tenaga sinkang dan ilmu pukulan, dia tidak akan menang melawan Sam-ok ini. Maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja nampak dua gulung sinar emas dan sinar perak melayang-layang dan menyerang ke arah Ban Hwa Sengjin dari atas, menyambar turun di kedua tangan nenek itu yang sudah

terlepas dari tangannya dan seperti benda-benda hidup menyambar ke arah lawan sambil berputar cepat sekali sehingga mengeluarkan suara mendesing.

Ban Hwa Sengjin terkejut melihat gulungan sinar yang menyambar dari kanan kiri ini. Akan tetapi sebagai seorang berilmu tinggi, dia tidak menjadi gugup dan cepat dia mengulur kedua tangan untuk menangkap dua buah gelang yang menyambar itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mencoba menangkap, tangannya terasa nyeri seperti akan terkupas kulitnya oleh benda yang berpusing itu, maka cepat-cepat dia menarik kembali kedua tangannya dan dua benda itu seperti hidup menyambar ke arah kepala dan dadanya! Namun, Sam-ok dapat meloncat ke samping dan menghindarkan diri dari serangan maut itu dan ketika dia menghadapi lagi nenek itu, ternyata gelang emas dan gelang perak itu telah dipegang oleh si nenek yang lihai.

"Hemmm, kiranya itukah senjatamu kim-lun dan gin-lun yang lihai? Bagus, aku ingin sekali merasakan sampai di mana kelihaiannya!" kata Sam-ok sambil tertawa. Memang dia pernah mendengar bahwa nenek ini lihai sekali memainkan kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendengus dan sudah menyerang lagi, kini bersilat secara aneh dan kedua gelang itu berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara nyaring berdesing. Ban Hwa Sengjin yang maklum akan kelihaian lawan, cepat memutar tubuhnya dan kini tubuhnya sudah berpusing, lenyap bentuknya merupakan pusingan yang bergerak maju mundur, dari dalam pusingan itu terdengar suara ketawanya dan kadang-kadang sebuah kaki bersepatu dengan lapis baja mencuat untuk menendang atau sebuah dengan mencuat untuk menghantam atau menotok. Itulah ilmu silat yang amat diandalkan oleh kakek ini, yaitu ilmu yang disebutnya Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) dan yang amat sukar dilawan. Kini nenek Kim-mouw Nio-nio menjadi kaget dan bingung. Sepasang senjatanya kehilangan keampuhannya karena tubuh lawan yang berpusing itu sukar sekali diikuti oleh pandang matanya sehingga sukar pula di jadikan sasaran serangannya.

Beberapa kali dia menyerang secara ngawur saja dan begitu bertemu dengan bayangan tubuh berpusing itu, senjatanya membalik diikuti oleh pukulan tangan atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat dari pusingan itu, membuat dia terkejut sekali dan beberapa kali nyaris dia menjadi korban tendangan.

Sambil berpusing dalam Ilmu Thian-te Hong-i, diam-diam Ban Hwa Sengjin yang lihai itu memperhatikan gerakan kedua senjata lawan dan akhirnya dia mengenal sifat keras dari kedua senjata itu. Maka pada saat yang telah diperhitungkannya masak-masak, ketika lawan menggerakkan kedua gelang itu dari arah yang berlawanan yang memang menjadi sifat permainan kedua gelang itu, tiba-tiba nenek Kim-mouw Nio-nio menjadi kabur pandangan matanya karena dia melihat warna merah yang lebar sekali dan tahu-tahu kedua tangannya berikut gelang emas dan perak yang dipegangnya itu telah tergulung dalam selimut mantel merah!

Dan sebelum dia mampu bergerak, kaki kanan Ban Hwa Sengjin menendang. Tendangan itu sedemikian kuatnya dan tepat mengenai pusar Kim-mouw Nio-nio. Nenek tua itu menjerit dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya, terbanting jatuh dan dari mulut dan hidungnya mengalir darah, tubuhnya lunglai dan dia sudah tewas karena isi perutnya hancur oleh tendangan yang amat dahsyat tadi!

Ban Hwa Sengjin tertawa puas melihat ke arah tiga mayat itu. Kemudian, dengan kasar dia menyeret mayat tiga orang itu dan melempar-lemparkannya ke dalam rumah, kemudian dia menyiramkan minyak dan membakar rumah itu! Setelah rumah itu berkobar besar dan para penduduk dusun mulai geger, diam-diam Ban Hwa Sengjin menyelinap pergi dari situ tanpa dilihat seorang pun di antara penduduk dusun. Kini dengan hati lapang Sam-ok Ban Hwa Sengjin melakukan perjalanan pulang ke Nepal. Dia telah menyusun laporan-laporan palsu kepada Raja Nepal yang akan diajukannya nanti setibanya di Nepal, tentang kegagalan gerakan di Tiongkok yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan Pangeran Bharuhendra yang telah tewas pula dalam pertempuran. Andaikata kegagalan itu membuat dia tidak disukai lagi di Kerajaan Nepal, dia pun masih dapat bergabung dengan ke-empat orang saudaranya dalam kedudukan mereka sebagai Ngo-ok.

******

"Cui Lan, pinni (aku) tahu bahwa engkau mencinta Siluman Kecil, bukan?"

Gadis cantik itu menundukkan mukanya dan biarpun dia berusaha untuk menahannya, namun tetap saja dua titik air mata bergantung di pelupuk matanya.

Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan untuk sejenak lamanya dia termenung, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri ketika dia masih muda, ketika dia belum menjadi nikouw. Puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih merupakan seorang dara cantik dan muda seperti Phang Cui Lan ini, ketika namanya masih Kim Cu dan dia merupakan seorang dara perkasa murid dari Ma-bin Lo-mo, dia pernah juga jatuh cinta mati-matian kepada Suma Han atau Pendekar Super Sakti. Akan tetapi cintanya adalah cinta sepihak dan betapa dia merana dan mengalami penderitaan batin yang amat hebat. Dia tahu belaka betapa sengsaranya cinta yang tidak terbalas, akan tetapi sekarang dia melihat betapa semua itu adalah kesalahannya sendiri, betapa cinta kasih yang

mengharapkan balasan adalah cinta kasih yang berdasar ingin menyenangkan diri sendiri dan karenanya tentu saja dapat berubah menjadi kesengsaraan karena pada hakekatnya, kesenangan yang dikejar-kejar adalah muka ke dua dari kesusahan. Dalam cerita Pendekar Super Sakti diceritakan dengan jelas semua pengalaman dan penderitaan yang diderita oleh nikouw tua ini akibat cintanya yang tidak mendapatkan balasan dari Suma Han yang dicintanya itu.

"Cui Lan hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik segala ucapan pinni. Di waktu pinni masih muda, pinni pernah mengalami kepahitan hidup akibat cinta seperti yang kaurasakan sekarang ini, bahkan karena kegagalan cinta itulah yang mendorong pinni menjadi seorang nikouw. Ketahuilah bahwa cinta pinni terhadap orang yang pinni cinta itu, seperti cintamu terhadap Siluman Kecil ini, adalah cinta yang palsu, Cui Lan."

Dara itu mengangkat wajahnya yang cantik. Sepasang matanya yang indah terbelalak karena penasaran dan dua titik air mata itu kini meloncat turun ke atas kedua pipinya. "Subo.. .. bagaimana Subo dapat mengatakan demikian? Teecu (murid).... mencintanya dengan sepenuh jiwa raga teecu...." dia berhenti sebentar, menunduk lalu mengangkat lagi mukanya memandang wajah nikouw tua itu.

"Subo, bagaimanakah Subo dapat mengatakan bahwa cinta Subo dan cinta teecu itu adalah cinta palsu?"

"Anak yang baik," kata pendeta wanita itu dengan sikap halus dan penuh iba hati, "Kalau kita benar-benar mencinta seseorang, tentu kita mementingkan kebahagiaan orang itu, bukan? Kalau benar kita mencinta seseorang, tentu kita akan ikut merasa bahagia melihat orang yang kita cinta itu berbahagia hidupnya. Akan tetapi tidak demikian, kita tidak mementingkan keadaan orang itu, melainkan mementingkan keadaan diri kita sendiri sehingga kalau tidak terpenuhi hasrat hati kita, yaitu hidup bersama dengan orang yang kita cinta, kita merasa sengsara dan menderita! Apakah ini disebut cinta, ataukah hanya keinginan kita untuk senang sendiri dengan berdekatan dengan dia yang kita cinta, sehingga kita mempergunakan dia sebagai sarana untuk menyenangkan diri belaka?"

"Subo.. ..!" Dara itu terisak. "Teecu memujanya, menghormatnya, mengaguminya dan teecu mencintanya. Teecu ingin melihat dia berbahagia, akan tetapi juga ingin berdekatan selama hidup teecu di sampingnya...., salahkah ini?

Nikouw itu tersenyum haru. "Tidak ada yang menyalahkan atau membenarkan, Cui Lan. Pinni hanya minta agar engkau suka membuka mata melihat kenyataan. Cinta yang mengharapkan balasan pada hakekatnya adalah nafsu berahi. Tentu saja hal ini bukan berarti pinni menyalahkan, karena hal itu sudah wajar, timbul dari daya tarik antara pria dan wanita. Akan tetapi, cinta seperti itu sudah pasti menimbulkan duka pula di samping mendatangkan kesenangan, anakku. Kalau kita mencinta seseorang dan orang itu tidak membalas cinta kita, lalu bagaimana?"

"Teecu akan tetap mencintanya...."

"Dengan hati hancur dan menderita?"

Gadis itu mengangguk dan terisak. "Teecu mencintanya dan teecu tahu bahwa teecu tidak cukup berharga untuk menjadi jodohnya, akan tetapi biarpun dia tidak membalas cinta teecu, teecu tetap mencintanya sampai akhir hidup teecu...."

Kim Sim Nikouw merangkul dara itu dan mendekapkan kepala dara itu di dadanya. Betapa sama penderitaan dara ini dengan apa yang dialaminya dahulu. Bahkan dia sendiri meragu apakah sampai detik ini juga dia dapat melupakan perasaan hatinya terhadap Pendekar Super Sakti!

"Anakku yang baik, mengapa engkau tidak mau membuka mata melihat kenyataan dan menyadari bahwa engkau menyiksa diri sendiri secara sia-sia? Apakah manfaatnya kedukaan dan kepatahan hatimu itu untuk dirimu sendiri, apa gunanya pula untuk orang yang kau cinta? Apa pula gunanya untuk orang lain?"

Mendengar ini, perih rasa hati Cui Lan, dia memejamkan mata dan menggigit bibir yang gemetar menahan tangis. Air mata jatuh berderai dari kedua matanya. Setelah dapat menenangkan hatinya, dia lalu berkata, "Subo, apakah yang harus teecu lakukan sekarang? Teecu mohon petunjuk Subo...."

Kim Sim Nikouw mengelus rambut yang panjang halus itu, lalu mendorong tubuh muridnya dengan lembut. "Duduklah yang baik, mari kita bicara." Setelah Phang Cui Lan duduk dan menghapus air matanya, wajahnya agak pucat dengan rambut yang kusut namun tidak mengurangi kecantikannya, nikouw tua itu lalu berkata.

"Cui Lan, engkau telah menceritakan semua riwayat dan pengalamanmu. Menurut pandangan pinni, sebaiknya kalau engkau pergi menghadap ayah angkatmu, yaitu Gubernur Hok Thian Ki yang bijaksana itu. Di sana engkau akan terhibur, berada dalam lingkungan keluarga baik-baik dan terhormat, dan pinni yakin bahwa ayah angkatmu yang bijaksana itu akan dapat mengatur hidupmu selanjutnya, mencarikan jodoh yang layak untukmu...."

"Akan tetapi, teecu merasa tenteram berada di dekat Subo. Biarlah teecu melayani Subo saja, teecu tidak ingin menjadi seorang puteri bangsawan terhormat...."

Pendeta itu tersenyum memandang wajah dara yang jelita itu. "Alangkah baiknya watakmu, Cui Lan. Pinni tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang rendah hati, akan tetapi setelah pinni mengajarkan ginkang kepadamu, pinni yakin bahwa engkau tidak berbakat untuk menjadi seorang wanita yang mengandalkan kekerasan, sungguhpun pinni melihat jiwa pendekar yang gagah berani dalam dirimu. Dan pinni bukan menganjurkan engkau hidup kaya raya dan mulia di rumah Gubernur Ho-pei, melainkan karena gubernur itu amat baik dan sudah mengangkatmu sebagai puterinya, maka sudah sepatutnya kalau engkau ikut dengan beliau sebagai puterinya yang berbakti. Pinni akan mengantarmu ke sana, Cui Lan."

Cui Lan teringat kepada orang tua yang gagah dan bijaksana itu, dan akhirnya dia menurut karena memang dia sayang dan kagum kepada Gubernur Hok Thian Ki yang pernah mengalami bahaya bersamanya dan yang telah mengangkatnya sebagai anak itu. Memang, dia sudah tidak berayah ibu lagi, gubernur itu telah menjadi pengganti orang tuanya, sudah selayaknya kalau dia pergi menghadap ayah angkat itu.

Demikianlah beberapa hari kemudian Cui Lan diantar oleh Kim Sim Nikouw meninggalkan Kuil Kwan-im-bio di lereng Bukit Thai-hang-san itu, untuk pergi ke Ho-pei, di mana Hok Thian Ki menjadi gubernurnya. Selama beberapa bulan ini Phang Cui Lan telah diajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dan terutama sekali dilatih ilmu ginkang sehingga gadis yang lemah lembut itu kini dapat bergerak dengan cepat, bahkan dapat melakukan perjalanan dengan cepat dan tubuhnya tidak mudah lelah seperti sebelum dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Biarpun kepandaiannya belum boleh diandalkan untuk menyerang orang lain, akan tetapi kegesitannya sudah cukup untuk menghindarkan diri dari serangan orang.

Pada suatu hari, nikouw tua dan dara cantik ini memasuki sebuah hutan di kaki Pegunungan Thai-hang-san. Dari tempat tinggal nikouw itu, yaitu di Kuil Kwan-im-bio yang letaknya di lereng Bukit Thai-hang-san, menuju ke daerah Ho-pei tidaklah begitu jauh, akan tetapi harus melalui banyak hutan liar dan makan waktu perjalanan kurang lebih tiga empat hari.

Pada hari ke tiga itu, mereka memasuki hutan besar dan di dalam hatinya, Kim Sim Nikouw sudah merasa khawatir sungguhpun dia tidak mengatakan sesuatu kepada Cui Lan. Sebagai seorang kang-ouw yang berpengalaman, Kim Sim Nikouw dapat menduga bahwa sebuah hutan besar dan liar seperti itu, biasanya disuka sekali oleh orang-orang jahat yang hendak menyembunyikan diri dari pengejaran yang berwajib atau juga dari pengejaran para pendekar.

Kekhawatiran Kim Sim Nikouw itu memang benar. Pada waktu itu, di dalam hutan ini memang bersembunyi ketua Liong-sim-pang dan anak buahnya! Seperti kita ketahui, ketua Liong-sim-pang, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun telah terseret pula dalam petualangan Pangeran Nepal sehingga dia bersama anak buah dan para pembantunya ikut pula bersekutu dengan pemberontak itu. Setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan dan Hwai-kongcu Tang Hun bersama sisa anak buahnya berhasil melarikan diri, tentu saja

dia tidak berani kembali kesarangnya semula, yaitu Puncak Naga Api yang terletak di Pegunungan Lu-liang-san, melainkan bersembunyi di dalam hutan besar di kaki Pegunungan Thai-hang-san itu. Dia khawatir kalau-kalau namanya dan perkumpulannya telah masuk cacatan pemerintah dan sarangnya itu akan di serbu pasukan pemerintah. Apalagi karena dalam pertempuran di benteng itu, dia telah ditinggalkan oleh tiga orang tangan kanannya yang dipercaya, yaitu tosu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-pang Ciok Gu To. Tiga orang pandai ini juga melarikan diri dari benteng dalam keadaan terpencar dan melihat kegagalan Hwa-i-kongcu dalam persekutuan itu, mereka bertiga lalu terus pergi tanpa pamit lagi. Hwa-i-kongcu hanya berhasil

mengumpulkan dua puluh orang lebih sisa anggauta Liong-sim-pang dan bersama mereka dia cepat kembali ke Puncak Naga Api untuk mengambil semua hartanya yang ditinggalkan di situ, kemudian membawa hartanya pergi dan bersembunyilah dia dan anak buahnya di dalam hutan ini, menanti saat baik untuk membangun kembali perkumpulannya yang menjadi lemah dan rusak akibat gagalnya persekutuan membantu Pangeran Nepal itu.

Ketika nikouw tua dan dara muda itu sedang berjalan di antara pohon-pohon raksasa dalam hutan yang sunyi itu, tiba-tiba Kim Sim Nikouw memegang lengan muridnya dan berhenti melangkah. Biarpun dia sudah tua sekali, namun berkat latihan ketat di waktu mudanya, maka panca inderanya masih peka dan tajam, pendengarannya masih dapat menangkap suara yang tidak sewajarnya.

"Ada apakah, Subo?" bisik Phang Cui Lan khawatir ketika melihat wajah subonya yang serius.

"Sssttt...." Kim Sim Nikouw berbisik pula.

Cui Lan makin khawatir, mengira bahwa tentu subonya melihat atau mendengar suara seekor binatang buas, maka dara ini merasa ngeri juga. Tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari balik pohon-pohon besar itu muncullah seorang laki-laki bertubuh jangkung diikuti oleh lima orang lain. Melihat munculnya enam orang laki-laki ini, Cui Lan menarik napas lega. Kiranya hanya manusia-manusia saja dan dara ini menjadi tenang kembali.

"Ah, kalian enam orang gagah sungguh membuat kami berdua terkejut bukan main!" kata Cui Lan dengan wajah berseri dan senyum ramah. "Kusangka kami akan bertemu dengan harimau atau ular!" Laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung dan bermuka keras itu, tertawa mendengar ini dan lima orang temannya tertawa semua. "Ha-ha-ha, Nona Manis, kalau dibandingkan dengan harimau, kami adalah singa-singa perkasa, dan kalau dibandingkan dengan ular-ular sesungguhnya kami adalah naga-naga sakti! Setelah berjumpa dengan kami, kalian berdua harus menyerah untuk menjadi tawanan kami."

"Menjadi tawanan?" Cui Lan bertanya dengan penasaran. Dara ini memang memiliki ketabahan besar, maka kini dia pun tidak menyembunyikan kemarahannya dan sedikit pun tidak kelihatan takut karena dia merasa berada di fihak yang benar. "Apakah kesalahan kami berdua. Dan untuk apa kami hendak ditawan?"

Kembali enam orang itu tertawa dan si jangkung membusungkan dada. "Kalian telah memasuki wilayah kami dan kalian harus kami tawan untuk kami hadapkan kepada pimpinan kami!"

Kim Sim Nikouw sudah maklum bahwa dia dan muridnya berhadapan dengan gerombolan perampok atau orang-orang jahat, maka dia sudah mengerutkan alisnya dan kini dia segera berkata halus, "Omitohud.... kami berdua hanyalah seorang nikouw tua dan seorang gadis muda yang lemah dan miskin, tidak mempunyai apa-apa, maka, demi Dewi Kwan Im yang pengasih dan penyayang, harap Cu-wi (Anda sekalian) yang gagah perkasa tidak mengganggu kami."

Si jangkung itu membelalakkan matanya. "Eh, nikouw tua, jangan ngoceh engkau! Kaukira kami ini perampok-perampok? Phuh! Kami adalah orang-orang gagah perkasa dari Liong-sim-pang, tahu?"

Sudah puluhan tahun lamanya Kim Sim Nikouw tidak lagi berkecimpung di dalam dunia kang-ouw, tentu saja dia belum pernah mendengar akan nama perkumpulan Liong-sim-pang itu. Akan tetapi melihat sikap sombong dari si jangkung ini saja sudah dapat dinilai olehnya macam apa adanya Perkumpulan Hati Naga itu. Dia cepat menjura dan ber kata, "Ah, kiranya Cu-wi adalah orang-orang gagah dari perkumpulan besar. Makin baik kalau begitu, karena pinni percaya bahwa Cu-wi tidak akan mengganggu kami. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa pinni sedang mengantarkan nona ini untuk menghadap Gubernur Ho-pei. Nona ini adalah puteri angkat beliau, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan."

"Puteri angkat Gubernur Ho-pei? Ahhh....!" Enam orang itu terbelalak dan kelihatan terkejut dan girang sekali. Kim Sim Nikouw sengaja menggunakan nama gubernur untuk mengusir mereka karena biarpun dia tidak merasa takut, akan tetapi nenek ini sudah tidak mempunyai minat lagi untuk mengunakan kekerasan bertempur melawan orang lain. Usianya sudah hampir enam puluh tahun dan sudah puluhan tahun dia tidak pernah berkelahi, bahkan jarang sekali berlatih sungguhpun selama puluhan tahun itu dia telah menemukan rahasia ilmu ginkang yang luar biasa sekali.

Biarpun Cui Lan sendiri merasa tidak setuju mendengar gurunya membawa bawa nama ayah angkatnya menghadapi orang-orang kasar ini karena dia sendiri sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi melihat wajah girang mereka, dara ini mengira bahwa mereka sudah mengenal ayah angkatnya dan menghormatnya, maka dia pun tersenyum dan berkata, "Setelah Cu-wi mengenal ayah angkatku, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan. Setelah bertemu dengan beliau, tentu aku akan melaporkan tentang kebaikan kalian. Sekarang ini, seperti dikatakan Subo, kami adalah orang-orang miskin dan aku tidak mempunyai apa-apa...."

Cui Lan menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba si jangkung itu tertawa bergelak diikuti oleh teman-temannya. "Ha-ha-ha, engkau bilang tidak mempunyai apa-apa, Nona? Ha-ha-ha, engkau memiliki sesuatu yang amat berharga sekali, yaitu kecantikan dan kemudaanmu. Kongcu tentu akan tertarik sekali kepadamu, karena itu, marilah engkau ikut bersama kami menghadap kongcu dan nenek tua ini tidak ada gunanya, biar dia melanjutkan perjalanannya seorang diri saja. "

"Jiu-twako, mengapa tidak bunuh saja nenek ini biar menjadi makanan binatang hutan dan agar dia tidak dapat banyak bicara tentang kita di sini?" berkata seorang di antara mereka yang mukanya penuh brewok dan kata-katanya ini agaknya didukung oleh teman-temannya.

"Bunuh juga lebih baik!" kata si jangkung dan tentu saja Cui Lan menjadi terkejut bukan main dan bangkitlah kemarahannya. Dengan mata terbuka lebar dan dada dibusungkan, dia menghadang di depan subonya dan menentang enam orang laki-laki kasar itu.

"Hemmm, apa yang kalian hendak perbuat? Apakah seperti itu sikap orang-orang gagah yang menamakan dirinya anggauta-anggauta perkumpulan Liong-sim-pang yang gagah perkasa? Mundurlah, kalau tidak, tentu kejahatan kalian kelak akan menerima hukuman dari pemerintah dan dari Tuhan!"

Enam orang itu tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini. "Ha-ha-ha, kawan-kawan, lihat, nona ini selain cantik jelita, juga memiliki keberanian! Kongcu tentu akan girang melihatnya. Kurasa, dibandingkan dengan Puteri Bhutan itu, dia ini masih tidak kalah!"

Kim Sim Nikouw melihat gelagat tidak baik, maka dia menarik tangan muridnya dan berkata, "Cui Lan, mundurlah." Kemudian dia menghadapi enam orang itu dan berkata lagi dengan halus, "Harap Cu-wi suka mempertimbangkan lagi apa keuntungan Cu-wi mengganggu kami, seorang wanita tua dan seorang gadis lemah. Apakah Cu-wi tidak khawatir nama baik Cu-wi akan ternoda?"

Si jangkung membentak, "Nikouw tua jangan cerewet! Dengar, aku adalah Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang terkenal jagoan dan tentu saja aku tidak sudi mengganggu nenek-nenek tua dan seorang dara yang lemah. Akan tetapi kami tidak ingin mengganggu kalian. Aku hanya ingin mengajak nona ini menghadap kongcu yang sedang kesepian, sedangkan engkau, kalau engkau menjadi bujang dan melayani kongcu akan kami ajak sekalian. Kalau tidak, nona ini akan kami bawa dan engkau akan kami berikan kepada

binatang-binatang buas di hutan ini untuk dimakan!"

Kim Sim Nikouw memejamkan mata sejenak untuk merasakan api kemarahan yang terasa di dada dan kepalanya, kemudian dia membuka kembali matanya, memandang kepada Jiu Koan jagoan Liong-sim-pang itu dengan sinar mata tetap lembut dan dia menarik napas panjang berkali-kali sehingga api kemarahan itu padam kembali.

"Omitohud.... kalian menggunakan kekerasaan untuk melakukan perbuatan jahat, tidak tahukah kalian bahwa hal itu akan menimpa kalian sendiri?"

"Jiu-twako, mengapa melayani nenek-nenek cerewet? Biar kusembelih saja dia!" bentak si brewok sambil mencabut sebuah golok dari punggungnya, ditertawakan oleh teman-temannya. Jiu Koan mengangguk, kemudian tiba-tiba dia sendiri bergerak menubruk ke arah Cui Lan untuk menangkap dara itu, sementara itu, si brewok sudah memutar goloknya lalu dibabatkan golok itu ke arah leher Kim Sim Nikouw!

"Ihhhhh....!" Cui Lan menjerit ngeri akan tetapi dengan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat ke samping sehingga Jiu Koan hanya menubruk tempat kosong belaka! Inilah hasil beberapa bulan digembleng oleh Kim Sim Nikouw dalam hal ginkang! Melihat betapa mudahnya dia mengelak, Cui Lan menjadi besar hati dan dia bersikap waspada memandang kepada si jangkung yang kelihatan terheran itu. Akan tetapi si jangkung Jiu Koan tidak berusaha menubruknya kembali karena tertarik untuk menonton si brewok yang sudah mulai menyerang nikouw tua itu.

Enam orang itu terkejut sekali seperti juga si brewok karena biarpun si brewok menyerang sedemikian cepatnya, ketika golok itu menyambar, tubuh nenek itu tiba-tiba saja lenyap! Jiu Koan sendiri melihat betapa cepatnya gerakan nenek itu, seperti kapas ringannya, melayang ke kanan ketika golok menyambar. Dia menjadi penasaran dan mulai menduga bahwa nikouw itu tentu memiliki kepandaian, maka dia mengambil kesimpulan bahwa kalau nikouw ini tidak dibunuh lebih dulu, tentu akan sukar baginya untuk dapat menawan dara cantik jelita yang tentu akan menyenangkan hati kongcunya itu. Maka setelah mencabut goloknya, golok yang amat diandalkannya, dia lalu berseru nyaring kepada kawan-kawannya, "Hayo kalian bantu, bunuh nikouw tua itu!"

Empat orang kawannya cepat mengeluarkan senjata masing-masing dan beramai-ramai mereka berlima lalu mengeroyok Kim Sim Nikouw. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh nikouw itu, menyilaukan mata sinar golok dan pedang yang berkilat-kilat. Namun sungguh mengejutkan mereka karena biarpun mereka kadang-kadang dapat melihat dengan jelas tubuh atau bayangan nenek itu, tidak ada satu pun di antara serangan-serangan mereka mengenai sasaran! Nenek tua itu seperti pandai menghilang saja dan tahu-tahu, begitu diserang, bayangan itu lenyap dan telah berada di tempat lain, di belakang atau di kanan kiri mereka! Tentu saja hal ini memancing rasa penasaran mereka dan lima orang itu menyerang lebih ganas lagi.

Penyerangan orang-orang kasar itu tentu saja sama sekali tidak ada artinya bagi Kim Sim Nikouw, merupakan serangan sekumpulan anak-anak yang canggung dan kaku belaka dan dengan ginkangnya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini. Jangankan baru lima orang kasar itu, biar ditambah lagi dengan lima puluh orang macam mereka, kiranya belum tentu akan mampu melukai nenek ini dengan senjata mereka! Kalau nikouw tua itu menghendaki, dengan sedikit gerakan berdasarkan ilmu ganas Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), atau Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti

Salju), maka dengan mudah dia akan dapat merobohkan mereka. Hanya saja hati nikouw ini merasa tidak tega. Setelah puluhan tahun lamanya menghayati ajaran-ajaran Dewi Kwan Im yang penuh welas asih, ia merasa tidak tega untuk membalas kekerasan orang dengan kekerasan pula. Dia melihat perbuatan keras dan kasar itu bukan sebagai suatu kejahatan, melainkan sebagai suatu kebodohan dan orang-orang itu tidak menimbulkan kebencian di dalam hatinya, malah baginya patut dikasihani! Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Kim Sim Nikouw hanya mengelak saja tanpa mau membalas.

Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang sombong itu, tentu saja terkejut bukan main melihat betapa nenek itu dapat berkelebat seperti seekor burung di antara kilatan golok dan pedang anak buahnya, sedikit pun tidak pernah tersentuh. Dia menjadi penasaran sekali dan sambil berseru keras dia pun menerjang ke depan, menusukkan goloknya ke arah punggung nenek itu. Kim Sim Nikouw mengelak dengan tubuh dimiringkan, akan tetapi golok yang luput menusuk itu telah membalik dan membabat ke arah lehernya! Tahulah Kim Sim Nikouw bahwa Jiu Koan ini memiliki kepandaian yang tidak boleh disamakan dengan kekasaran lima orang anak buahnya, maka dengan cepat nikouw tua ini mengenjot kakinya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang, membuat babatan golok di tangan Jiu Koan itu mengenai angin kosong saja.

Enam orang Liong-sim-pang itu makin penasaran dan kini mereka terus menyerang bertubi-tubi, sama sekali tidak ingat akan kegagahan mereka yang sepatutnya tersinggung dan membuat mereka malu karena mereka adalah enam orang laki-laki yang selalu menganggap diri sendiri gagah perkasa, akan tetapi kini mengeroyok seorang nikouw tua yang sama sekali tidak pernah mau balas menyerang!

Kim Sim Nikouw akhirnya maklum bahwa kalau dia tidak mengalahkan mereka, enam orang yang tidak tahu diri ini tentu akan terus menyerang, dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan Cui Lan, maka tiba-tiba nenek tua itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan di lain saat, terdengar pekik kaget berturut-turut golok dan pedang mereka terlepas dari tangan dan telah dirampas semua oleh Kim Sim Nikouw.

"Omitohud, kalian terlalu mendesak....!" Kim Sim Nikouw berseru dan satu demi satu dia mematahkan pedang dan golok itu dengan jari-jari tangannya yang kurus dan kecil. Mendengar suara "pletak-pletak" dan melihat betapa golok dan pedang mereka itu dipatahkan seperti orang mematahkan lidi saja, enam orang itu terbelalak dengan muka pucat! Tahulah mereka sekarang bahwa nikouw tua itu ternyata adalah seorang yang sakti, memiliki kepandaian yang amat tinggi dan luar biasa. Selagi mereka terbelalak dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara orang di belakang mereka.

"Apakah yang sedang terjadi di sini?" Legalah hati Jiu Koan dan anak buahnya mendengar suara ini. Jiu Koan cepat membalik dan menghadap seorang laki-laki muda yang usianya tiga puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak muda sekali, nampaknya baru berusia dua puluhan tahun lebih, pakaiannya serba baru dengan baju berkembang-kembang, sepatunya mengkilap, seorang yang tampan dan pesolek, yang kini berdiri dan biarpun dia bertanya kepada anak buahnya, namun sepasang matanya dengan jalang

melahap kecantikan Cui Lan yang berdiri tidak jauh dari tempat itu. Dengan tangan kiri memegang kipas yang dikembangkan, maka Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang ini pantas menjadi seorang sastrawan yang sopan dan halus budi! Mukanya putih seperti dibedaki, dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang yang terukir indah dan dihias ronce merah!

"Kongcu, nenek ini lihai bukan main dan kami tak berdaya terhadapnya. Senjata kami dirampasnya, harap Kongcu suka menghajarnya!"

Hwa-i-kongcu Tang Hun mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya mengerling tajam ke arah Cui Lan yang tentu saja merasa tidak enak dan juga agak tak senang melihat kekurangajaran dalam mata pemuda asing itu.

"Jiu Koan, ceritakan yang jelas mengapa kalian ribut-ribut dengan Lo-suthai ini," kata Hwa-i-kongcu, suaranya halus sikapnya menarik dan sopan.

"Kongcu, kami melihat nenek dan nona ini lewat di sini, melanggar wilayah kita, maka kami bermaksud untuk menghadapkan nona itu kepada Kongcu. Akan tetapi nikouw tua ini melarang dan kami lalu menyerangnya...."

"Seorang gagah perkasa harus malu untuk berbohong!" tiba-tiba Cui Lan berkata lantang. "Hendaknya Kongcu tidak sembarangan percaya pelaporan orang-orang yang pengecut ini! Kami guru dan murid lewat di sini dalam perjalanan kami ke daerah Ho-pei, mana kami tahu bahwa hutan ini menjadi wilayah kekuasaan mereka? Si jangkung ini lalu hendak menangkap aku dan hendak membunuh Subo, dan Subo hanya membela diri saja ketika hendak dibunuh. Kongcu membiarkan kami berdua guru dan murid  melanjutkan perjalanan kami."

"Kongcu, nona itu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki di Ho-pei!" tiba-tiba si jangkung berkata dan berubahlah wajah Tang Hun. Dia tersenyum dan matanya menatap wajah cantik Cui Lan.

"Ah, kiranya Siocia adalah puteri angkat Gubernur Ho-pei? Selamat datang di wilayah kami dan kupersilakan Nona untuk sudi singgah di gubukku sebagai seorang tamu terhormat."

Cui Lan mengerut kan alisnya. Biarpun pemuda itu tampan dan lemah lembut, juga sopan santun, namun dia melihat betapa di balik sinar mata dan senyum pemuda itu terdapat sesuatu yang menyeramkan dan mengerikan hatinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi Kim Sim Nikouw yang juga segera mengenal orang, segera menjura.

"Ah, kiranya Kongcu adalah pimpinan Liong-sim-pang? Harap maafkan pinni dan murid pinni yang tanpa disengaja melanggar wilayah Kongcu. Kami sedang tergesa-gesa, maka harap maafkan bahwa pinni dan murid pinni tidak ada kesempatan untuk berkunjung."

"Siapakah Lo-suthai?" Tiba-tiba suara pemuda itu berubah, tidak semanis tadi, bahkan kelihatan marah. Memang sesungguhnya hati Tang Hun sudah terasa panas melihat betapa enam orang anak buahnya dibuat tidak berdaya oleh nenek tua ini.

"Pinni adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio yang berada di lereng Thai-hang-san, Kongcu. Dan murid pinni ini adalah Phang Cui Lan, puteri angkat dari Gubernur Ho-pei. Kami sedang menuju ke sana untuk menghadap gubernur."

Nikouw itu menjelaskan sejujurnya.

"Hemmm, Suthai adalah seorang pemuja Dewi Welas Asih, akan tetapi Suthai sendiri tidak memiliki welas asih dalam hati Suthai"

"Maksud Kongcu?" Kim Sim Nikouw bertanya heran.

"Kalau Suthai ini miliki hati penuh welas asih, tentu Suthai akan meninggalkan nona ini di sini dan Suthai boleh pergi."

"Kongcu, apa maksudmu?"

"Suthai tentu maklum betapa tersiksanya seorang pria yang sedang kesepian seperti saya ini. Dan melihat nona ini, anak buahku ingin menghibur hatiku dengan persembahan berupa nona ini. Kalau Suthai kasihan kepada saya, tentu Suthai juga tidak berkeberatan untuk menyerahkan nona ini kepadaku, untuk menghibur hatiku yang sedang kesepian...."

"Eh, Kongcu yang rendah budi!" Cui Lan berseru marah.

"Aturan mana itu? Melihat gerak-gerik dan pakaianmu, tentu engkau seorang yang tahu akan peraturan dan kebudayaan, mengapa dapat mengeluarkan kata-kata yang rendah itu?"

Tang Hun tersenyum. "Nona Phang Cui Lan, begitu melihatmu aku sudah jatuh cinta kepadamu. Engkau begini cantik jelita, halus budi dan penuh keberanian. Sungguh pantas kalau menjadi teman hidupku! Jiu Koan, ajak teman-teman tangkap nona itu, akan tetapi jangan lukai dia dan jangan bersikap kasar, dia adalah milikku yang harus kalian hormati."

"Tapi.... tapi dia...." Jiu Koan memandang ke arah Kim Sim Nikouw dengan sikap jerih.

"Serahkan nikouw tua ini kepadaku!"

Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba sekali Hwa-i-kongcu Tang Hun sudah menerjang maju, tangan kanannya menampar ke arah pelipis dan tangan kirinya menghadang lalu mencengkeram lambung. Serangan ini ganas bukan main!

"Omitohud....!" Kim Sim Nikouw berseru kaget sekali, akan tetapi kegesitan gerakannya masih mengatasi kecepatan serangan lawan dan sebelum kedua tangan lawan itu menyentuh ujung baju, dia sudah mengelak sehingga serangan pertama itu luput!

Akan tetapi, Hwa-i-kongcu terus menyerangnya dengan bertubi-tubi. Sedemikian hebat serangan pemuda pesolek itu sehingga biarpun Kim Sim Nikouw memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa dan semua serangan Hwa- i-kongcu dapat dielakkannya dengan mudah, namun nenek ini maklum pula bahwa menghadapi seorang yang memiliki tingkat kepandaian seperti pemuda pesolek ini, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat mengandalkan kecepatan untuk terus-menerus mengelak saja. Pukulan-pukulan yang dilakukan oleh lawannya itu bukanlah pukulan kasar yang dapat dielakkannya dengan mudah, melainkan pukulan yang mengandung tenaga sinkang sehingga amatlah berbahaya baginya kalau dia hanya mengelak terus-menerus. Oleh karena itu, mulailah nikouw tua ini bersilat dan terpaksa dia lalu mengeluarkan ilmu pukulan yang selama ini disimpannya sebagai rahasia dirinya, yaitu Toat-beng Sin-ciang dan kadang-kadang Swat-im Sin-ciang. Penggabungan pukulan seperti yang dilatih oleh Siluman Kecil atas petunjuk dan bantuannya, sama sekali tidak pernah dipelajarinya sendiri karena dianggap terlalu kejam, bertentangan dengan hati dan sifatnya yang menentang kekerasan.

Melihat gerakan tangan nikouw itu, bukan main kagetnya Hwa-i-kongcu. Yang dihadapi adalah seorang nikouw pemuja Kwan Im Pouwsat yang demikian lemah lembut dan suci, akan tetapi mengapa gerakan tangannya demikian kejinya, membayangkan ilmu yang luar biasa ganasnya dan ampuhnya? Dia tidak tahu bahwa Kim Sim Nikouw dahulunya di waktu muda adalah murid datuk-datuk ilmu persilatan yang termasuk datuk kaum sesat.

Akan tetapi, karena memang kurang latihan, akhirnya Kim Sim Nikouw harus mengakui keunggulan murid dari nenek iblis Durganini itu. Apalagi ketika dalam penasaran dan marahnya Hwa-i-kongcu Tang Hun mencabut pedangnya yang tipis, terpaksa Kim Sim Nikouw kembali mengandalkan ginkangnya untuk mengelak ke sana-sini. Sebetulnya yang membuat dia terdesak adalah karena nikouw tua ini sama sekali tidak ada maksud untuk membunuh lawan, berbeda dengan lawannya yang bernafsu untuk membunuhnya. Hal ini tentu saja amat mempengaruhi jalannya pertempuran. Kalau dia selalu berhati-hati dan hanya melakukan serangan balasan yang sifatnya menjaga diri saja, sebaliknya lawan menghujankan serangan maut untuk membunuh.

Sementara itu, biarpun dia telah mengerahkan ginkangnya untuk mengelak dan lari ke sana ke mari, akhirnya Cui Lan tertangkap juga dan begitu lengannya kena ditangkap, dara itu tak mampu lari lagi dan segera diringkus oleh Jiu Koan yang tertawa-tawa. Akan tetapi karena sudah dipesan oleh Hwa-i-kongcu, maka dia dan kawan-kawannya tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar terhadap dara itu, hanya mengikat kedua tangan dara itu ke belakang tubuhnya dengan saputangan. Tertawannya dara itu membuat Kim Sim Nikouw makin bingung dan nyaris pundaknya dimakan pedang kalau saja dia tidak cepat melempar diri ke belakang dan terus berjungkir-balik dan melarikan diri dari tempat itu!

"Subo.. ..!" Phang Cui Lan berseru memanggil akan tetapi nikouw itu telah berkelebat lenyap dari situ.

"Kejar dia! Nenek itu harus dibunuh karena dia sudah tahu tempat kita!" Hwa-i-kongcu berseru kepada Jiu Koan dan teman-temannya yang segera lari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan nikouw itu, sedangkan Hwa-i-kongcu lalu memondong tubuh Phang Cui Lan, dibawa lari memasuki hutan lebat. Dara itu meronta dan memaki, akan tetapi tentu saja tak mampu berkutik dalam pondongan Hwa-i-kongcu yang hanya tertawa gembira.

Kenapa Kim Sim Nikouw melarikan diri dan meninggalkan Cui Lan begitu saja terancam bahaya di tangan pemuda cabul itu? Apakah nikouw tua yang di waktu mudanya adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa itu kini menjadi penakut dan pengecut yang membiarkan muridnya terancam bahaya? Tentu saja tidak demikian, Kim Sim Nikouw maklum bahwa kalau dia mengandalkan kekuatannya sendiri saja dia tidak akan mampu menyelamatkan Cui Lan, bahkan dia sendiri yang akan celaka karena Hwai-kongcu Tang Hun ternyata amat lihai dan agaknya memiliki banyak anak buah. Oleh karena itulah maka dia sengaja melarikan diri untuk mencari bantuan! Karena daerah itu sudah termasuk wilayah Propinsi Ho-pei, maka dia akan cepat mencari pembesar setempat untuk minta bantuan pasukan keamanan untuk menolong puteri angkat gubernur yang tertawan orang jahat. Kalau pembesar setempat mendengar bahwa yang tertawan Hwa-i-kongcu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki, sudah pasti pembesar itu mau membantu.

Ketika nikouw tua itu sudah mulai berpeluh dan terengah-engah karena sejak tadi melakukan perjalanan dengan berlari cepat, tiba-tiba dia mendengar seruan dari samping, "Ibu.. ..! Mengapa tergesa-gesa? Hendak pergi ke manakah?"

"Kian Bu....!" Kim Sim Nikouw girang bukan main ketika dia menahan kakinya dan menengok, melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang pemuda berambut putih yang bukan lain adalah Suma Kian Bu, pemuda yang menjadi muridnya, juga menjadi anak angkatnya itu, pemuda putera Suma Han atau Pendekar Super Sakti, satu-satunya pria yang pernah dan masih dicintanya! Saking girangnya, Kim Sim Nikouw menubruk dan merangkul Kian Bu dengan air mata berlinang.

"Eh, Ibu menangis?" Kian Bu terkejut bukan main. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini mengejar dan mencari Kian Lee, kakaknya yang lari melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang membawa pergi Hwee Li. Akan tetapi karena dia tidak tahu ke mana kakaknya itu lari, dia salah jalan dan tidak berhasil menyusul Kian Lee. Ketika dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, dia teringat kepada Kim Sim Nikouw, gurunya dan juga ibu angkatnya itu, maka dia lalu membelok dan bermaksud mengunjungi Kwan-im-bio di lereng Thai-hang-san dan tak disangkanya, dia melihat nikouw itu berkelebat cepat maka segera dipanggilnya. Kini melihat nikouw tua itu berlinang air mata, dia terkejut sekali.

"Kian Bu, anakku, engkau harus cepat menolong dia! Hayo kau ikut denganku!" Setelah berkata demikian, nikouw itu menarik tangan Kian Bu dan cepat berlari ke arah yang berlawanan dengan tadi.

Terpaksa Kian Bu juga mempergunakan ilmunya berlari cepat sehingga nenek dan pemuda ini berlari cepat sekali menuju ke sebuah hutan besar yang nampak dari situ.

"Dia siapakah, Ibu?" Kian Bu bertanya karena dia merasa heran dan ingin tahu sekali mengapa ibu angkatnya kelihatan begitu gugup dan bingung, suatu sikap yang amat berlawanan dengan sikap nikouw ini yang biasanya tenang dan lemah lembut.

"Dia.... Phang Cui Lan," jawab nikouw itu sambil terus berlari, bahkan mempercepat larinya, padahal napasnya sudah terengah-engah.

"Phang Cui Lan....? Siapa dia....?" Kian Bu bertanya lagi. "Dan apa yang telah terjadi dengan dia?"

Tiba-tiba Kim Sim Nikouw menghentikan langkahnya, terengah-engah dan menghapus keringat dari muka dan lehernya, matanya memandang kepada Kian Bu dengan marah dan dia berkata penuh teguran, "Kian Bu, engkau laki-laki tak berjantung!"

Kian Bu memandang kepada nikouw itu dengan mata terbelalak. "Apa.... apa maksud Ibu berkata demikian?"

"Dara itu memujamu seperti dewa, mencintamu melebihi jiwa raganya sendiri, dan engkau.... namanya pun kau lupakan! Betapa kejam engkau....!"

"Ahhh....?" Kian Bu terkejut dan mengingat-ingat nama itu, namun tetap saja tak dapat diingat dan dikenalnya.

"Lupakah kau kepada puteri mendiang lurah dusun Cian-Ii-cung di dekat Lokyang?"

"Ahhh....! Kiranya dia....!" Tentu saja kini teringat oleh Kian Bu dara cantik yang dia tahu tergila-g ila dan jatuh cinta kepadanya itu. Dara yang ditolongnya ketika dusunnya diserbu perampok, keluarga ayahnya terbunuh semua, kemudian dia menitipkan dara itu sebagai dayang di gedung Gubernur Ho-nan. Dan dara itu muncul kembali ketika dia bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin. Dalam pertemuan itu dia sengaja bersikap kasar kepada dara itu untuk meyakinkan hati dara itu bahwa dia tidak mencintanya karena sikap ini dianggapnya sebagai satu-satunya obat untuk menyembuhkan dara itu. Siapa kira, kini dara itu agaknya dikenal oleh Kim Sim Nikouw dan terjadi sesuatu yang membuat nikouw itu demikian gelisah.

"Apa yang terjadi dengan dia, Ibu?"

"Dia ditawan oleh ketua Liong-simpang dan aku tidak berhasil menyelamatkannya, hayo kau cepat tolong dia!" Ni-kouw itu sudah berlari-lari dan Kian Bu cepat menyusulnya.

"Mari kau kugendong saja agar cepat, Ibu, kau sudah lelah sekali!" kata pemuda itu dan tanpa menanti jawaban, dia sudah menyambar dan memondong tubuh nikouw tua itu dan dibawanya lari secepat angin. "Harap kautunjukkan jalannya."

Kim Sim Nikouw memandang pemuda itu dengan hati penuh kagum. Dia yang mengajarkan ilmu ginkang kepada pemuda ini, akan tetapi dibandingkan dengan pemuda ini, dia sekarang kalah jauh! Dan berada dalam pondongan pemuda ini, ada rasa keharuan menyengat hatinya karena dia membayangkan bahwa yang memondongnya bukan Suma Kian Bu melainkan ayahnya, Suma Han! Akan tetapi dengan

muka berubah merah Kim Sim Nikouw cepat mengusir bayangan itu dan mengalihkan perhatiannya untuk menunjukkan jalan kepada Kian Bu memasuki hutan di mana tadi dia meninggalkan Cui Lan yang tertawan oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang.

Sementara itu, dengan hati girang dan gembira sekali Tang Hun memondong tubuh Cui Lan dan dibawa masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang kokoh kuat, pondok yang dibuat oleh anak buahnya di tengah hutan sebagai tempat tinggal dan tempat sembunyi sementara itu. Hatinya gembira bukan main karena dara yang ditawannya ini benar-benar amat cantik jelita! Hatinya sedang kesal dan berduka oleh semua kegagalannya, maka dara ini akan dapat menghiburnya di tengah hutan itu dan karena dara ini amat cantik dan lemah lembut, apalagi dikabarkan sebagai puteri angkat gubernur, maka dia tidak mau memperkosanya secara kasar. Tang Hun adalah seorang laki-laki hidung belang dan cabul, akan tetapi dia pun amat cerdik dan memiliki ambisi besar. Baru saja, dalam membantu Pangeran Nepal, dia mengalami kegagalan yang amat merugikan sehingga terpaksa dia menyembunyikan diri ke dalam hutan karena takut kalau diburu sebagai pemberontak, akan tetapi kini terbukalah kesempatan baginya untuk menebus kegagalannya itu!

Dia mempunyai dua kesempatan yang amat baik dengan tertawannya puteri angkat Gubernur Ho-pei itu. Kalau dia pandai membujuk rayu sampai dara cantik jelita itu menyerah dengan suka rela, dan dia yakin akan berhasil dalam hal ini, maka selain dia akan memperisteri seorang wanita yang amat jelita, juga dia akan menjadi mantu gubernur! Bukan main kenyataan ini, karena seketika dia akan terangkat tinggi sekali dalam kedudukan yang amat terhormat dan tentu gubernur itu akan melindungi mantunya! Andaikata keadaannya berbalik dan dara cantik manis itu tidak mau menyerah dengan suka rela, dia masih dapat memanfaatkannya, yaitu menjadikannya sandera untuk melindungi dirinya jika dia diserbu dan diburu oleh pasukan pemerintah, dan tentu saja dia tetap akan dapat bersenang-senang dan menjadikan dara itu kekasihnya, baik secara halus atau secara kasar!

Berbareng dengan kata terakhir itu, secara tiba-tiba dan cepat sekali Tang Hun sudah menubruk ke depan. Dia mengambil keputusan untuk secara paksa mencemarkan gadis ini dan menundukkannya dengan kekerasan. Dia percaya bahwa gadis ini setelah ditundukkan dengan paksaan, setelah diperkosanya akan kehilangan pula keangkuhannya dan akan patuh dan menurut, seperti yang sudah banyak dia alami dengan gadis-gadis yang pernah diperolehnya dengan cara apa pun juga. Biasanya, seorang dara yang angkuh seperti ini, sekali kehilangan kehormatannya akan menjadi jinak dan patah semangat.

"Eh....?" Tang Hun terkejut bukan main ketika tubrukannya itu mengenai tempat kosong karena dengan kecepatan luar biasa dara itu telah dapat mengelak dari tubrukan itu! Tak disangkanya dara itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya. Akan tetapi dianggapnya bahwa tentu gerakan mengelak itu hanya kebetulan saja, maka kembali dia menubruk, sekali ini lebih cepat dan ganas, kedua tangannya membentuk cakar karena dia ingin mencengkeram pakaian dara itu untuk direnggut dan dicabik-cabiknya, kebiasaan yang amat disukainya kalau dia memperkosa wanita. Akan tetapi, kembali tubrukannya luput! Dengan ringan Cui Lan yang melihat bahaya mengancam itu sudah meloncat, mengerahkan seluruh ginkangnya yang telah dipelajari selama ini dari Kim Sim Nikouw. Wajah dara ini menjadi pucat, dia merasa ngeri dan maklum bahwa dia terancam bahaya yang lebih hebat daripada maut, akan tetapi sampai mati pun dia tidak akan menyerah dan kalau dia sudah tidak melihat jalan lain, dia mengambil keputusan untuk membunuh dirinya sendiri dan pria ini hanya akan memperoleh mayatnya saja. Untuk itu dia telah bersiap-siap, kalau sudah tidak ada jalan keluar, dia akan membenturkan kepalanya pada dinding kamar itu!

"Hemmm.... kiranya engkau memiliki ginkang yang boleh juga....!" Tang Hun berkata memuji dan pandang mata yang marah itu bercampur kagum dan timbullah rasa sayang di dalam hatinya. "Nona, engkau adalah seorang dara yang cantik jelita, memiliki kepandaian lumayan dan engkau puteri gubernur, mengapa engkau tidak mau mempergunakan pikiran sehat? Ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda yang belum beristeri dan aku jatuh cinta padamu. Kalau kita menjadi suami isteri, bukankah sudah sepadan sekali dan engkau akan hidup serba kecukupan."

"Tidak sudi....! Tidak sudi....!" Cui Lan berseru dengan marah pula.

"Nona, pikirlah baik-baik. Kalau engkau menerima dengan suka rela, aku akan memperlakukan engkau dengan hormat sebagai calon isteriku yang baik. Aku akan merasa menyesal kalau harus memaksamu dengan perkosaan. Jangan kau mengira bahwa sedikit ilmu ginkang itu akan dapat membuat engkau terbebas dariku, Sayang. Nikouw tua itu sendiri tidak mampu melawanku. Marilah mendekat, dan katakan bahwa engkau menerima pinanganku, Nona...."

"Tidak sudi, keparat keji! Lebih baik seratus kali mati daripada tunduk kepada niat jahatmu!" Cui Lan mernbentak dan pada saat itu Tang Hun sudah menerjang dengan kecepatan kilat. Cui Lan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja ujung lengan bajunya kena dicengkeram.

"Brettttt....!" Lengan baju itu robek sampai ke pundak sehingga nampak lengan dan pundak yang berkulit putih mulus itu. Melihat ini, makin berkobar nafsu Tang Hun dan dia sudah menyeringai, matanya jalang dan Cui Lan sudah mundur-mundur sampai membentur dinding. Maklumlah dara itu bahwa dia tidak dapat meloloskan diri, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membenturkan kepalanya pada dinding itu kalau Tang Hun menubruknya lagi.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara dari luar jendela, "Hemmm, bajingan kecil seperti ini berani kurang ajar terhadap Nona Phang Cui Lan?"

Mendengar suara ini, sepasang mata Cui Lan terbelalak lebar, wajahnya berseri penuh kegembiraan dan dia segera mengenal suara itu, maka teriaknya, "Taihiap....!" Dia mengenal suara itu, sampai di manapun, bercampur dengan suara apa pun, dia akan selalu mengenal suara yang amat dirindukannya itu, suara dari Pendekar Siluman Kecil!

Hwa-i-kongcu Tang Hun terkejut mendengar suara itu. Anak buahnya banyak menjaga di luar, akan tetapi bagaimana orang ini tahu-tahu sudah berada di luar jendela kamarnya? Hal ini saja menunjukkan bahwa orang itu tentu lihai, sungguhpun dia tidak merasa jerih karena dia belum melihat siapa orangnya dan di dunia ini tidak banyak orang yang akan mampu mengalahkannya. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah jendela itu. Daun jendela pecah tertembus oleh senjata rahasia berbentuk uang logam yang dilontarkan oleh Tang Hun tadi. Kalau yang berada di luar jendela itu hanya orang yang memiliki kepandaian silat biasa saja, tentu akan roboh oleh penyerangan uang logam yang ampuh ini, yang setelah menembus daun jendela masih meluncur cepat dan tentu akan melukai orang yang berdiri di luar jendela.

Cui Lan memandang dengan mata terbelalak ke arah jendela. Biarpun ilmu silat yang dipelajarinya dari Kim Sim Ni-kouw belum tinggi benar, namun dia sudah mengerti atau sedikitnya sudah dapat menduga bahwa sinar hitam yang menyambar jendela dan memecahkan daun jendela itu adalah senjata ampuh yang menyerang ke arah orang yang bicara di luar jendela tadi. Dia sudah tahu akan kelihaian Pendekar Siluman Kecil akan tetapi melihat senjata rahasia itu hatinya berdebar tegang dan penuh kekhawatiran pula, apalagi ketika tidak terdengar apa-apa dari luar, seolah-olah senjata-senjata kecil yang beterbangan itu menembus daun jendela dan mengenai sasaran!

Tang Hun sendiri memandang ke arah jendela dengan mata terbelalak. Dia merasa yakin benar bahwa senjata-senjatanya itu menembus daun jendela dan meluncur ke arah siapa saja yang berdiri di luar jendela, akan tetapi kalau mengenai sasaran, mengapa tidak terdengar teriakan orang kesakitan? Dan andaikata tidak mengenai sasaran, tentu terdengar pula uang-uang logam itu jatuh ke atas lantai atau mengenai dinding di luar jendela.

Akan tetapi, sunyi saja tidak terdengar apa-apa, seolah-olah senjata-senjata rahasianya itu lenyap di luar jendela tanpa bekas dan tanpa suara. Mulailah dia merasa bergidik. Akan tetapi tangannya sudah menggenggam beberapa buah mata uang lagi, siap untuk menyerang siapa saja yang memasuki kamar.

Baik Cui Lan dan Tang Hun kini memandang ke arah daun jendela yang sudah penuh lubang ditembusi senjata-senjata rahasia tadi dengan hati penuh ketegangan. Dan perlahan-lahan daun jendela itu mengeluarkan bunyi dan bergerak, terbuka perlahan-lahan seperti hanya didorong oleh hembusan angin lembut! Seluruh urat syaraf di tangan Tang Hun sudah menegang dan dia sudah siap dengan senjata rahasia uang logamnya, dan sepasang mata Cui Lan kini terbelalak menatap ke arah jendela yang terbuka perlahan-lahan itu. Kemudian nampaklah sebuah kepala dan Cui Lan hampir saja menjerit kegirangan karena itulah kepala yang amat dicintanya, kepala yang dihias rambut putih panjang, kepala Pendekar Siluman Kecil!

Memang orang yang muncul dari balik jendela itu adalah Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Seperti kita ketahui, Kian Bu bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang kemudian dipondongnya untuk secepat mungkin mencari Cui Lan dan akhirnya mereka tiba di rumah besar dari kayu dalam hutan itu. Kian Bu cepat mempergunakan kepandaiannya menyelinap dan tanpa diketahui siapapun dia berhasil mengintai dari luar jendela kamar Tang Hun, diikuti oleh Kim Sim Nikouw dan mereka berdua mendengar semua yang telah terjadi di dalam kamar itu, mendengar penolakan yang gagah berani dari Cui Lan. Ketika Kian Bu mengeluarkan kata-kata tadi, dia sudah siap, maka begitu ada senjata-senjata rahasia berhamburan keluar, dengan mudah saja pendekar muda ini menangkapi

semua uang logam dengan kedua tangannya sehingga tidak ada sebuah pun yang jatuh menimbulkan suara berisik.

Kini pendekar itu meloncat dan memasuki kamar melalui jendela, tidak peduli akan sikap Tang Hun yang kini memandang terbelalak dengan muka berubah pucat sekali. Tentu saja ketua Liong-sim-pang ini mengenal Kian Bu karena pendekar ini pernah menggegerkan benteng ketika Tang Hun masih berada di dalam benteng Pangeran Nepal. Tanpa disadarinya lagi, tangan yang menggenggam uang-uang logam itu gemetar, akan tetapi dengan nekat dia menggerakkan tangan melontarkan uang-uang logam itu ke arah tubuh Suma Kian Bu. Pendekar muda ini secara tidak pedulian menggerakkan kedua tangannya dan sinar-sinar hitam menyambar dari kedua tangan itu ketika uang-uang logam rampasan tadi menyambut datangnya uang-uang logam yang dilontarkan Tang Hun. Terdengar suara nyaring dan semua uang logam runtuh dan menggelinding ke arah kaki Tang Hun!

Hwa-i-kongcu Tang Hun adalah seorang yang amat cerdik, maka dalam keadaan itu dia sudah mempunyai akal yang cerdik. Secepat kilat dia melompat dan menerjang, bukan kepada Kian Bu melainkan kepada Cui Lan yang hendak ditangkapnya dan dipergunakannya sebagai sandera karena dia merasa jerih melawan Kian Bu atau Siluman Kecil itu.

"Pengecut hina yang curang!" Kian Bu berkata dan tahu-tahu tubuhnya sudah mendahului Tang Hun, berkelebat dan menghadang di depan Cui Lan!

"Taihiap....!" Cui Lan berseru lirih akan tetapi suaranya mengandung getaran penuh keharuan, penuh kebahagiaan, penuh cinta kasih. Diam-diam Kian Bu merasa terharu dan kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja ibu angkatnya memarahinya dan memakinya laki-laki kejam. Gadis ini benar-benar amat mencintanya, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menyambut cinta itu kalau dia sendiri tidak ada hasrat untuk berjodoh dengan Cui Lan, betapapun sukanya kepada gadis ini?

Melihat betapa Siluman Kecil tahu-tahu sudah menghadang di depannya, Tang Hun berlaku nekat. Dia berteriak memanggil anak buahnya, kemudian mencabut pedang tipisnya dan menyerang Siluman Kecil dengan ganasnya, diikuti oleh tangan kirinya yang melakukan pukulan dengan pengerahan tenaga sinkang. Namun, dengan tenang Siluman Kecil menyambut serangannya itu dengan elakan-elakan cepat. Pada saat itu, Kim Sim Nikouw muncul dari jendela, langsung meloncat ke dekat Cui Lan.

"Subo.. ..!" Cui Lan menubruk gurunya.

"Mari kita keluar dulu!" Kim Sim Nikouw menyambar tubuh muridnya dan membawanya meloncat keluar melalui jendela. Dua orang anak buah Tang Hun yang muncul dari jendela berusaha menyerang nikouw ini, akan tetapi dua kali nikouw itu menggerakkan kakinya, dua orang itu terjungkal dan Kim Sim Nikouw terus membawa Cui Lan menjauh dari situ, membiarkan Kian Bu membuat perhitungan dengan gerombolan penjahat itu.

Kini belasan orang anak buah Tang Hun sudah memasuki kamar yang cukup luas itu, dan mereka maju mengeroyok. Kian Bu bersikap tenang. Tidak banyak bergerak, hanya berdiri di tengah-tengah, sikapnya biasa saja seperti bukan orang yang sedang menghadapi pertempuran. Akan tetapi setiap serangan Tang Hun tadi dapat dihindarkannya dengan mudah.

Kini setelah belasan orang anak buah Tang Hun ikut maju, Kian Bu menjadi marah. Dia masih berdiri diam di tengah-tengah, hanya biji matanya saja yang bergerak sedikit ke kanan kiri dan dia seluruhnya mengandalkan perasaan dan pendengarannya untuk menghadapi serangan yang tak dapat dilihat oleh matanya. Dan setiap kali ada anggauta Liong-sim-pang berani bergerak menyerang tubuh, memutarnya dan menggerakkan tangannya, maka penyerang itu tentu akan terpental dan roboh terbanting! Dalam waktu singkat saja, sudah ada enam orang penyerang gelap yang roboh tak mampu bangkit kembali.

Melihat ini, Tang Hun menjadi makin marah. "Serbu! Keroyok bersama-sama dan secara berbareng! Kurung!" teriaknya dan anak buahnya, walaupun kini merasa jerih sekali terhadap Siluman Kecil, mulai mengurung dan atas bentakan majikan mereka yang merupakan perintah, didahului oleh Tang Hun sendiri yang menubruk ke depan sambil menusukkan pedang tipisnya ke arah dada Kian Bu, mereka itu pun menyerang dalam saat yang hampir berbareng. Tiba-tiba nampak tubuh Kian Bu ber kelebat lenyap. Tang Hun dan anak buahnya terheran-heran, akan tetapi keheranan mereka itu hanya sebentar saja karena tiba-tiba seperti kilat menyambar-nyambar, bayangan Kian Bu nampak lagi dan pertama-tama tamparan yang keras sekali mengenai pelipis kiri Tang Hun. Hwa-i-kongcu mengeluarkan pekik mengerikan dan dia terbanting roboh, tak bergerak lagi karena kepalanya retak oleh tamparan itu, kemudian secara berturut-turut, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu pun roboh semua. Tidak semua dari mereka tewas, akan tetapi sedikitnya tentu patah tulang lengan atau kaki, dan ketika mereka mampu membuka mata memandang, Siluman Kecil telah tidak berada lagi di dalam ruangan itu!

Memang Siluman Kecil telah keluar dari dalam pondok itu dan di luar dia melihat Kim Sim Nikouw dan Phang Cui Lan telah menantinya.

"Suma-taihiap....!" Cui Lan berseru lirih dan menahan kedua lengannya yang ingin diulurkan ke arah pemuda itu.

Kian Bu menarik napas panjang, memandang kepada Cui Lan dan berkata dengan halus namun agak dingin, "Nona, engkau baik-baik saja, bukan? Ibu, ke manakah Ibu hendak pergi bersama Nona Phang.. .."

"Kian Bu, dia adalah muridku, oleh karena itu dia ini terhitung sumoimu sendiri! Cui Lan, engkau harus menyebut suheng kepada Kian Bu," kata nikouw tua itu dan sekilas pandang saja maklumlah dia bahwa telah terulang kembali riwayat lama antara dia dan Pendekar Super Sakti yang kini diperankan oleh Phang Cui Lan dan Pendekar Siluman Kecil. Seperti juga dia, Cui Lan jatuh cinta setengah mati kepada Kian Bu, akan tetapi seperti Pendekar Super Sakti pula, jelas nampak olehnya bahwa pemuda ini tidak membalas cinta Cui Lan. Maka dia merasa kasihan sekali kepada Cui Lan. Mendengar ucapan nikouw itu, dengan senyum manis dan wajah berseri Cui Lan menjura kepada Kian Bu sambil berkata, "Suma-suheng, maafkan aku...."

"Sumoi, aku girang sekali engkau menjadi murid Ibu.... eh, kalian berdua hendak ke manakah dan bagaimana sampai terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu itu?"

Dengan tenang Kim Sim Nikouw lalu menceritakan bahwa Phang Cui Lan telah diangkat anak oleh Gubernur Hok Thian Ki, dan dia sedang mengantar muridnya itu untuk pergi menghadap Gubernur Hok Thian Ki, akan tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan anak buah Liongsim-pang sampai akhirnya Cui Lan tertawan.

"Karena pinni tidak dapat mengalahkan Hwa-i-kongcu, maka pinni tadinya hendak minta bantuan petugas keamanan yang tentu mau menolong kalau mendengar bahwa puteri angkat gubernur tertawan gerombolan penjahat, tak terduga bertemu denganmu, Kian Bu."

"Berkali-ka li sudah saya berhutang budi dan nyawa kepada Taihiap eh, Suheng, entah bagaimana saya akan dapat membalasnya," terdengar Cui Lan berkata dan suaranya terdengar penuh keharuan. Ingin dia meneriakkan bahwa dia mencinta pemuda itu dan ingin menghambakan diri, menjadi apa pun dia rela asalkan dia dapat mendampingi pemuda ini selama hidupnya. Baik Kim Sim Nikouw maupun Kian Bu sendiri maklum akan isi hati dara ini, maka nikouw itu hanya menundukkan muka, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri. Akhirnya Kian Bu berkata setelah dia berpikir masak-masak.

"Phang-sumoi, memang engkau sudah sepatutnya menjadi puteri gubernur, sudah selayaknya menjadl seorang gadis bangsawan yang terhormat. Maka aku mengucapkan selamat dan sebaiknya kalau Sumoi melanjutkan perjalanan bersama Ibu, dan aku akan mengawal sampai engkau tiba di rumah kediaman Gubernur Hok Thian Ki yang saya tahu adalah seorang pembesar budiman dan bijaksana."

"Akan tetapi aku.... aku tidak suka menjadi gadis bangsawan terhormat...."

"Kau akan tinggal di rumah seperti istana dan menjadi puteri...."

"Akan tetapi aku tidak suka tinggal di istana...., aku.... aku...." Gadis itu memejamkan mata dan air matanya berlinang-linang.

Kembali Kian Bu menarik napas panjang. Menghadapi dara yang sudah demikian parah tenggelam ke dalam jurang cinta, harus menggunakan tindakan yang berani dan terus terang. "Phang-sumoi, memang dalam kehidupan banyak terjadi hal-hal yang jauh daripada yang kita harapkan. Segala telah diatur oleh Thian dan kita tidak mungkin dapat memaksakan kehendak kita, betapapun kita menjadi berduka dan menderita batin karenanya. Maafkan aku, Sumoi, sungguh.... percayalah, bukan maksudku untuk menyakitkan hatimu, akan tetapi.... ah, bagaimana aku dapat memaksa hati sendiri? Terimalah kenyataannya, Sumoi, dan sekali lagi, kaumaafkanlah Suhengmu yang mengecewakan hatimu dan tidak memenui harapan hidupmu ini. Ibu, maafkan, aku pergi dulu!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari situ, meninggalkan Cui Lan yang menutupi muka dengan kedua tangan dan air matanya bercucuran melalui celah-celah jari tangannya, sedangkan Kim Sim Nikouw hanya menggeleng kepala berulang-ulang sambil menarik napas panjang.

Nikouw tua itu merangkulnya dan berkata lembut, "Cui Lan, apa yang dikatakan suhengmu itu memang benar. Dia adalah seorang laki-laki yang jujur. Apakah engkau menghendaki dia itu berpura-pura membalas cintamu padahal sebenarnya tidak ada rasa cinta di hatinya kepadamu? Dan, lupakah engkau bahwa cinta kasih yang murni itu mendorong kita untuk melihat orang yang kita cinta berbahagia? Apakah engkau tidak ingin melihat dia berbahagia, Cui Lan? Dan dia akan berbahagia melihat engkau memenuhi permintaannya, yaitu agar engkau tinggal bersama ayah angkatmu, Gubernur Hok Thian Ki. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."

Dara itu hanya mengangguk, kemudian mengikuti gurunya melanjutkan perjalanan, menahan tangisnya dan hanya kadang-kadang kedua pundaknya bergoyang, tanda bahwa dia masih menahan isaknya.

Adakah yang lebih panas daripada melihat orang lain merebut kekasih? Adakah yang lebih perih daripada melihat kekasihnya bermain cinta dengan orang lain? Panas dan perih terasa di dalam hati Tek Hoat ketika dia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Bhutan. Batinnya tertekan dan menderita hebat sejak dia menyaksikan betapa Syanti Dewi, puteri cantik jelita, Puteri Bhutan yang pernah menjadi tunangannya itu, ternyata secara tak tahu malu telah bermain gila dengan Mohinta! Kalau hanya melihat Syanti Dewi jatuh cinta kepada pria lain, apalagi kepada Mohinta, pemuda tampan gagah dan sebangsa dengan puteri itu, agaknya Tek Hoat akan dapat menerimanya, walaupun dengan hati sedih dan iba kepada diri sendiri. Akan tetapi, apa yang disaksikannya adalah hal yang amat menjijikkan. Syanti Dewi agaknya telah menyerahkan diri secara amat murah kepada Mohinta, bermain cinta dalam perjalanan secara tidak senonoh. Hal ini, amat menjijikkan hatinya, apalagi ketika mendengar pembicaraan dua orang insan yang keji itu, yang merencanakan pemberontakan dan penggulingan kekuasaan Raja Bhutan, ayah dari Syanti Dewi sendiri! Sungguh menjijikkan! Tek Hoat hampir tidak percaya bahwa Syanti Dewi telah tersesat sedemikian jauhnya. Di samping perasaan panas, perih dan juga jijik, ada pula perasaan duka yang amat besar, yang membuat jantungnya seperti diremas-remas rasanya.

Dia mengambil keputusan untuk mencegah persekutuan busuk itu dan membela Bhutan, kerajaan kecil yang pernah menganugerahkan dia kedudukan panglima muda itu. Akan tetapi, tentu saja yang mendorongnya untuk bergegas pergi ke Bhutan bukan hanya rasa hutang budi kepada Bhutan karena sesungguhnya ada dua hal yang membuat dia nekat kembali ke Bhutan. Pertama adalah rasa cintanya kepada Syanti Dewi yang sedemikian besarnya sehingga dia tidak ingin melihat puteri itu mengkhianati kerajaan ayahnya sendiri, dan ke dua adalah karena bencinya yang mendalam kepada Mohinta. Mahinta bukan hanya telah membawa Syanti

Dewi ke jalan sesat yang amat menjijikkan, akan tetapi lebih dari itu malah Mohinta telah membunuh ibu kandungnya! Dia ingin memperlihatkan kepada Raja Bhutan bahwa dia, yang dianggap sebagai seorang anak haram tanpa ayah, seorang hina dina, ternyata jauh lebih berharga daripada Sang Puteri Bhutan sendiri, puteri dari raja itu sendiri yang mengkhianati ayah dan kerajaannya! Juga lebih berharga dari Mohinta, putera panglima tua atau panglima pertama dari Bhutan!

Akan tetapi ketika dia tiba di Bhutan, timbul kesangsian dalam hati Tek Hoat. Dapatkah dia meyakinkan hati raja akan kebenaran laporannya? Tentu laporan itu akan menimbulkan kegegeran besar dan banyak kemungkinan tidak akan ada yang mau mempercayainya. Juga Raja Bhutan tentu sukar untuk percaya ceritanya bahwa puterinya bersekutu dengan Mohinta dan Kerajaan Nepal untuk menggulingkan kedudukannya! Tak masuk di akal! Dia sendiri, andaikata tidak mendengarkan percakapan dalam suasana penuh kecabulan itu antara Mohinta dan Syanti Dewi, kalau hanya mendengarkan kata-kata orang lain saja tentang pengkhianatan  Syanti Dewi, tentu tidak akan percaya, bahkan akan marah kepada orang yang menceritakan hal itu!

Tek Hoat adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biarpun dia sedang dimabuk kemarahan dan dendam, namun dia tidak bertindak secara sembrono.

Setelah memutar otak mencari akal, akhirnya dia menyelinap memasuki Kerajaan Bhutan di waktu malam dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mengandalkan ginkangnya untuk berkelebat dan memasuki kerajaan tanpa diketahui seorang pun penjaga, tentu saja setelah dia berhasil memperoleh pakaian orang Bhutan yang diambilnya dari sebuah rumah dan berganti dengan pakaian itu. Dengan pakaian Bhutan ditambah sebuah sorban kuning, dia berubah menjadi seorang pemuda Bhutan biasa yang tidak akan menarik terlalu banyak perhatian.

Malam hari itu, Panglima Jayin sedang duduk termenung dalam kamar kerjanya. Panglima yang usianya sudah hampir lima puluh tahun ini masih nampak gagah, akan tetapi semenjak beberapa tahun akhir-akhir ini di dahinya banyak timbul guratan-guratan karena banyak terjadi hal di Bhutan yang mendatangkan penyesalan besar di dalam hatinya, hati seorang panglima yang amat setia kepada tanah air dan kerajaannya. Panglima Jayin merupakan panglima tua yang ke dua di Bhutan, di bawah kedudukan panglima pertama, yaitu panglima tua Sangita yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu. Panglima Jayin prihatin sekali semenjak Puteri Syanti Dewi lenyap pada beberapa tahun yang lalu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Kemudian dia sudah ikut merasa berbahagia sekali ketika akhirnya, berkat bantuan para pendekar Han termasuk Ang Tek Hoat, dia dapat menemukan sang puteri dan mengantarnya kembali ke Bhutan, bahkan dia ikut bergembira ketika sang puteri ditunangkan dengan Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, sungguhpun dia sendiri akan merasa lebih senang kalau sang puteri itu berjodoh dengan bangsa sendiri atau setidaknya dengan seorang pendekar seperti putera-putera Majikan Pulau Es yang gagah perkasa itu daripada Ang Tek Hoat yang pernah ternoda namanya karena membantu pemberontak. Ketika hatinya sudah mulai tenteram, timbul pula bencana ketika Tek Hoat pergi dari Bhutan disusul lenyapnya sang puteri lagi!

Mengenangkan keadaan rajanya, Panglima Jayin merasa prihatin sekali. Apalagi dia maklum bahwa di dalam negeri Bhutan sendiri yang nampaknya tenteram itu terjadi pertentangan antara fihak yang setia kepada raja dan agaknya, biarpun tidak kentara, terdapat pula fihak yang menentang raja secara diam-diam. Dan yang amat menyedihkan hatinya adalah karena sikap Sangita, panglima tua yang agaknya kini menampakkan sikap tidak puas terhadap raja. Apakah hal itu disebabkan terutama sekali karena gagalnya putera panglima besar itu, yaitu Mohinta, yang hendak memperisteri Puteri Syanti Dewi? Dia tidak yakin benar.

"Selamat malam, Panglima!"

Sebagai seorang yang sering kali menghadapi bahaya dalam perang dan pertempuran, secara otomatis tubuh panglima itu meloncat dari atas kursinya, memutar tubuhnya dan siap menghadapi segala kemungkinan, karena munculnya seorang asing begitu saja dalam ruangan kerjanya di malam itu, tanpa melalui pelaporan penjaga, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Akan tetapi begitu dia melihat siapa adanya pemuda yang muncul di luar jendela ruangannya, dia terkejut dan sejenak dia hanya terbelalak memandang penuh keheranan.

"Apakah engkau juga seperti semua orang di Bhutan, tidak lagi sudi mengenalku sebagai seorang sahabat, Panglima?" tanya Tek Hoat, di dalam suaranya terkandung penyesalan dan kepahitan.

"Eh.... ohhh.... tidak sama sekali, Ang-taihiap! Aku hanya.... hanya terkejut dan heran. Masuklah, dari mana Taihiap datang....?" tanya panglima itu dengan gugup karena dia masih terheran-heran.

Dengan ringan sekali tubuh pemuda itu meloncat memasuki ruangan melalui jendela kemudian dia duduk di atas kursi, melepaskan sorbannya dan menarik napas panjang sambil menghapus keringatnya. "Aihhh, betapa sukarnya tugasku ini," keluhnya.

Panglima Jayin cepat menutupkan daun jendela, lalu bergegas membuka pintu ruangan, meyakinkan hatinya bahwa di luar kamar tidak ada siapa-siapa, kemudian dia menutupkan kembali daun pintu ruangan itu dan menguncinya dari dalam. Kemudian dia menuangkan air teh dalam cangkir.

"Minumlah, Taihiap, kemudian ceritakan cepat apa maksud Taihiap datang ke Bhutan dan terutama datang ke tempatku di malam hari begini. Aku yakin bahwa ada urusan penting sekali maka Taihiap teringat untuk mencari Jayin."

Tek Hoat minum air teh itu, kemudian dia memandang wajah panglima itu yang duduk berhadapan dengannya dan yang sedang mengamati wajahnya penuh selidik. "Panglima, benar wawasanmu. Kedatanganku membawa berita yang luar biasa pentingnya, yang menyangkut diri Puteri Syanti Dewi, Raja Bhutan, dan keselamatan Kerajaan Bhutan sendiri.

"Ahhh....!" Wajah panglima itu menjadi pucat. "Mengapa Taihiap tidak langsung saja menghadap sri baginda? Mari kuantarkan menghadap sekarang juga."

"Nanti dulu, Panglima." Tek Hoat menggeleng kepala. "Di Bhutan ini, siapa lagi yang dapat kupercaya selain engkau? Kalau aku menghadap sri baginda dan menyampaikan laporanku ini, pasti beliau tidak akan percaya bahkan aku akan ditangkap. Maka lebih baik kuceritakan dulu kepadamu, baru kaupertimbangkan apakah perlu aku pergi menghadapi sri baginda raja."

"Baik, baik, lekas kauceritakan, Taihiap!"

"Dengar, Panglima. Kerajaan Bhutan dalam bahaya, juga keselamatan raja terancam. Mohinta sedang menuju pulang ke Bhutan dan membawa Puteri Syanti Dewi sebagai sandera. Dia mengatur rencana, membawa sang puteri ke dalam istana dan memaksa raja turun tahta dengan sang puteri di jadikan sandera untuk mengancam raja, dan selain itu, dia pun sudah siap dengan bala tentara untuk memberontak, dibantu oleh pasukan Nepal yang akan datang dari perbatasan." Tek Hoat sengaja tidak menceritakan ikutnya Syanti Dewi dalam persekutuan itu, karena cintanya terhadap puteri itu melarang dia mengabarkan tentang pengkhianatan sang puteri. Biarlah, hal itu akan kuhadapi sendiri dan akan kutanyakan sendiri kepadanya kalau aku sempat bertemu lagi dengan dia, pikirnya.

Sepasang mata Panglima Jayin mengeluarkan sinar kilat yang menyoroti wajah Tek Hoat, memandang penuh selidik dan wajah panglima itu jelas membayangkan ketidakpercayaan, akan tetapi keheranan menguasai hatinya sehingga dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata!

"Hemmm, kulihat engkau pun agaknya tidak percaya kepadaku, Panglima!" Tek Hoat berkata dengan alis berkerut.

"Siapakah yang dapat mempercayai cerita segila itu? Ah, maafkan aku, Taihiap, akan tetapi penuturanmu itu sungguh terlalu luar biasa. Mohinta adalah putera Panglima Sangita, hal ini tentu engkau sudah tahu, dan dia malah direncanakan menjadi suami Puteri Syanti Dewi. Mana mungkin dia akan mengadakan pemberontakan seperti itu? Akan tetapi nanti dulu.... jangan kau putus asa, Taihiap karena agaknya, di negeri ini hanya ada satu orang saja yang percaya kepada ceritamu, dan orang itu adalah aku."

"Ah, terima kasih, Panglima. Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku sejauh ini!" seru Tek Hoat dengan girang. "Harap Panglima suka mengatur bagaimana baiknya untuk menggagalkan pengkhianatan ini, dan aku akan membantumu."

Wajah Panglima Jayin berseri. Biarpun dia bukan seorang pembesar ambisius yang mendambakan kedudukan yang lebih tinggi, namun dalam peristiwa ini dia melihat kesempatan besar terbuka baginya untuk membuat jasa besar sekali terhadap negara dan kerajaan, dan hal ini mendatangkan rasa girang yang amat besar dalam hatinya. Apalagi di situ terdapat pemuda perkasa, ini yang membantunya, maka dia merasa tenang dan sama sekali tidak khawatir.

"Pertama-tama, kita harus cepat memberi laporan kepada sri baginda, dan karena urusan ini amat gawat, dan agar tidak menarik perhatian orang dan menimbulkan keributan sehingga hal ini akan bocor dan diketahui fihak pemberontak, sebaiknya kita harus malam ini juga melapor kepada sri baginda. Mari, Taihiap, mari ikut bersamaku ke istana, kita menghadap sri baginda melalui jalan rahasia."

Pergilah kedua orang itu menuju ke istana melalui tempat-tempat gelap, dan dari luar taman bunga istana, Panglima Jayin mengajak Tek Hoat memasuki taman melalui jalan rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga raja dan para pembesar terpercaya. Setelah melalui jalan berliku-liku dan rumit, akhirnya mereka berdua memasuki terowongan bawah tanah dan ketika keluar dari terowongan, mereka telah berada di dalam sebuah kamar yang letaknya di belakang dapur istana yang pada saat itu sunyi. Jayin menggunakan sebuah kunci yang telah dibawanya dari rumah untuk membuka pintu kamar itu dan tibalah mereka di lorong dalam istana.

Mereka bertemu dengan seorang pengawal istana untuk pertama kali. Akan tetapi ketika pengawal itu datang berlari dan melihat bahwa dua orang itu yang seorang adalah Panglima Jayin sedangkan yang ke dua adalah seorang muda yang tidak dikenalnya karena Tek Hoat menyamar sebagai seorang Bhutan pula, dia tidak menaruh curiga dan cepat memberi hormat kepada Panglima Jayin.

"Ada urusan mendesak yang memaksa kami harus cepat menghadap sri baginda," kata panglima itu, "dimana beliau?"

"Beliau sudah memasuki kamar, baru saja."

"Laporkan kepada pengawal kamar, kami harus menghadap sekarang."

"Mari Panglima, keputusannya terserah kepada pengawal kamar." Mereka bertiga lalu berjalan dan beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal-pengawal istana yang memandang dengan heran juga melihat betapa panglima itu malam-malam begini memasuki istana.

"Maaf, panglima. Kami tidak berani membiarkan Paduka memasuki kamar sebelum ada perkenan dari sri baginda sendiri," kata seorang di antara para pengawal yang menjaga di depan kamar dengan senjata di tangan.

"Kalau begitu sampaikan kepada sri baginda bahwa Panglima Jayin mohon menghadap sekarang juga untuk menyampaikan berita amat penting tentang sang puteri."

"Sang Puteri Syanti Dewi....?" Hampir semua mulut pengawal berseru mengulang nama ini dan tahulah mereka betapa pentingnya berita yang dibawa oleh panglima ini, maka seorang di antara mereka yang bertugas sebagai komandan jaga malam itu, segera membuka daun pintu perlahan-lahan dan melangkah masuk kamar dengan hati-hati setelah menutupkan kembali daun pintu.

Tak lama kemudian, daun pintu bergerak, terbuka dan pengawal itu muncul, mengangguk kepada Panglima Jayin dan berkata, "Paduka diperkenankan masuk dan menghadap sri baginda."

Panglima Jayin lalu memasuki kamar, diikuti oleh Tek Hoat yang berjalan sambil menundukkan mukanya. Kamar itu besar dan ketika mereka masuk dan Tek Hoat melirik, dia melihat sri baginda sudah duduk di atas pembaringan dan beberapa orang dayang cantik berlutut di sudut kamar. Sri baginda tersenyum menerima kedatangan Jayin, akan tetapi alisnya berkerut heran ketika dia melihat Tek Hoat yang belum dikenalnya.

Panglima Jayin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, diikuti oleh Ang Tek Hoat.

"Jayin, benarkah engkau datang membawa berita tentang puteriku? Bagaimana dia? Di mana dia sekarang?" Karena tegang mendengar puterinya telah ada beritanya, raja ini tidak begitu memperhatikan Tek Hoat.

Panglima Jayin melirik ke arah para dayang yang hadir di situ, kemudian berkata dengan penuh hormat, "Harap Paduka sudi mengampuni hamba, akan tetapi hamba akan menghaturkan berita yang hanya layak didengar oleh Paduka sendiri saja."

Sri baginda mengerti maksud Jayin, maka dengan gerakan tangannya dia segera mengusir para dayang itu. Enam orang wanita muda yang cantik-cantik itu segera mengundurkan diri melalui pintu belakang dan daun pintu itu segera ditutup kembali rapat-rapat.

"Nah, ceritakan, Jayin." Sri baginda cepat berkata.

"Maaf, hamba harus memeriksa pintu lebih dulu." Panglima Jayin memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan memeriksa pintu belakang yang baru saja ditutup, menguncinya, juga memeriksa jendela-jendela dan pintu depan yang besar. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarkan, dia kembali berlutut di depan raja itu.

Perbuatannya ini membuat hati sang raja menjadi makin tegang dan khawatir, lalu bertanya, "Jayin, mengapa engkau begitu curiga? Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan Puteri Syanti?"

"Bukan hanya keselamatan puteri Paduka terancam bahaya, Sri Baginda, bahkan juga Paduka sendiri dan kerajaan terancam pengkhianat dan pemberontakan keji."

Raja tua itu terkejut bukan main, terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, akan tetapi kini dia memandang ke arah Tek Hoat dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia membentak kepada Jayin, "Jayin, kalau engkau membawa berita yang begini hebat dan gawat, mengapa engkau mengajak orang ini? Siapa dia dan apa hubungannya dengan berita ini?"

"Maafkan kelancangan hamba, agaknya Paduka lupa kepada hamba. Hamba adalah Ang Tek Hoat dan hambalah yang datang membawa berita ini."

Kini sang raja benar-benar terkejut bukan main dan dia memandang kepada wajah Tek Hoat penuh perhatian, kemudian memandang kepada Panglima Jayin dengan sinar mata terheran-heran dan penuh pertanyaan.

"Hamba mengerti bahwa Paduka tentu merasa heran sekali, akan tetapi oleh karena Ang-taihiap membawa berita yang luar biasa penting dan gawatnya, maka hamba membawanya menghadap Paduka agar Paduka dapat mendengar sendiri berita hebat ini."

Betapapun juga, sri baginda masih ingat benar akan jasa-jasa yang pernah dibuat oleh Tek Hoat, bahkan pernah dia mengagumi pemuda ini dan merasa bangga mempunyai calon mantu seperti dia. Hanya karena pengakuan ibu kandung pemuda ini saja yang membuat dia berubah membencinya karena merasa malu kalau harus mempunyai mantu seorang anak haram tanpa ayah! Akan tetapi, sekarang puterinya itu hilang, dan kini yang datang membawa berita tentang puterinya adalah pemuda itu sendiri!

"Jayin, ceritakanlah apa yang terjadi!" katanya singkat.

Dengan jelas Panglima Jayin lalu mengulang cerita Tek Hoat tentang Syanti Dewi yang ditawan oleh Mohinta dan tentang rencana Mohinta mempergunakan puteri itu sebagai sandera untuk memaksa sang raja turun tahta, kemudian menggunakan pasukan yang dibantu oleh Kerajaan Nepal untuk merampas kedudukan sri baginda dan mengangkat diri sendiri menjadi raja.

Makin lama Sang Raja Bhutan menjadi makin terheran-heran di samping terkejut dan tidak percaya. Setelah Jayin selesai bercerita, dia berkata, "Ah, mana mungkin terjadi hal demikian? Mohinta.... dia putera Sangita.... bagaimana aku dapat percaya akan berita ini?"

"Memang amat mengherankan dan sukar dipercaya, Sri baginda, akan tetapi hendaknya Paduka memaklumi bahwa hamba sendiri percaya sepenuhnya akan berita yang dibawa oleh Ang-taihiap."

"Hemmm, bagaimana kalau bohong?"

"Hamba mempertaruhkan nyawa hamba!" kata Tek Hoat cepat-cepat dengan hati penasaran karena dia masih juga belum dipercaya.

"Dan hamba juga berani mempertaruhkan kepala hamba untuk kebenaran berita yang dibawa oleh Ang-taihiap."

Sampai beberapa lamanya raja itu menatap kedua orang itu bergantian sehingga suasana di kamar itu sunyi senyap. Akhirnya raja itu mengangguk-angguk dan berkata, "Sesungguhnya aku pun tidak dapat menyangsikan omongan kalian berdua, hanya karena berita itu benar-benar mengejutkan dan luar biasa, maka aku ingin meyakinkan hatiku. Kalau benar demikian, keparat sungguh Mohinta itu! Jayin, engkau boleh memimpin pasukan menyambut Mohinta itu, menangkapnya dan menyelamatkan puteriku!"

"Mohon diampunkan kelancangan hamba, Sri baginda. Akan tetapi kalau perintah Paduka itu dilaksanakan, berarti kita belum dapat membasmi seluruh pemberontakan itu karena tidak ada bukti. Bahkan mungkin sekali Mohinta akan menyangkal dan kita kehilangan bukti. Sebaiknya dilakukan pembersihan lebih dulu sebelum Mohinta datang, dan di sini dilakukan penjagaan ketat yang terpendam, dan dikirim pasukan untuk menghalau pasukan Nepal di perbatasan yang hendak membantu gerakan Mohinta. Hamba sendiri yang akan melindungi sang puteri kalau sudah dibawa oleh Mohinta ke istana."

"Usul Ang-taihiap itu tepat sekali, Sri Baginda. Lebih penting memadamkan sumber-sumber api pemberontakan ini lebih dulu sambil menanti sampai Mohinta melakukan gerakannya dalam istana yang diam-diam sudah terjaga ketat dan dilindungi oleh Ang-taihiap. Hamba akan menangkapi kaki tangan Mohinta yang memang sudah hamba daftar, kemudian hamba akan mencari akal untuk menaruh seorang perwira yang pura-pura akan bersekutu dengan dia agar segala rencananya dapat kita ketahui."

Raja tua itu menghela napas panjang. "Baiklah.... baiklah, atur saja sebaiknya. Aku sudah malas mengurus segala hal itu, akan tetapi aku menghendaki keselamatan puteriku!"

"Hamba menanggung keselamatan puteri Paduka dengan nyawa hamba!" kata Ang Tek Hoat.

"Baik, nah, kaubawa pedangku ini sebagai tanda kekuasaan tertinggi, Jayin, dan cincin ini akan menyadarkan semua pembantuku bahwa engkau adalah seorang kepercayaanku, Ang Tek Hoat." Dua orang itu dengan hormat menerima pedang dan cincin, kemudian diperkenankan mundur untuk mengatur rencana penghancuran pemberontakan dan melaksanakannya tanpa menanti perintah dari sri baginda lagi karena pedang di tangan Jayin itu telah merupakan kekuasaan mutlak untuk bertindakatas nama raja!

Dengan tenang namun cepat, tanpa menimbulkan kegelisahan dan keributan, Jayin menangkapi banyak panglima dan perwira, dimulai dari panglima tua Sangita sendiri. Sebagai panglima nomor dua di Bhutan, tentu saja Panglima Jayin sudah hafal siapa di antara para panglima dan perwira yang condong kepada Panglima Sangita, maka dalam waktu sehari itu dia menangkapi lebih lima puluh orang panglima dan perwira tinggi! Kemudian dia membawa seorang panglima yang sejak muda sudah mengabdi kepada sri baginda dan yang juga termasuk seorang di antara kaki tangan Sangita, membawanya ke dalam kamar rumahnya sendiri dan di situ dia membebaskan belenggu yang tadinya mengikat kedua tangan panglima tua ini. Di situ dibeberkan semua rahasia pemberontakan Mohinta dan mengapa Sangita dan para pembantunya ditangkapi.

"Mohinta merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan mengingat bahwa Mohinta adalah putera Sangita, maka Sangita dan mereka yang berfihak padanya ditangkap atas perintah sri baginda."

"Akan tetapi.... saya tidak tahu menahu sama sekali tentang rencana pemberontakan, Panglima Jayin, dan sepanjang pengetahuan saya, Panglima Sangita adalah seorang panglima tua yang berbakti kepada negara. Tidak mungkin dia hendak melakukan pemberontakan, biarpun diatur oleh puteranya sendiri!"

"Aku tahu, akan tetapi demi keamanan negara, lebih dulu Panglima Sangita dan teman-temannya, termasuk engkau diamankan. Dan kalau memang benar engkau merupakan seorang warga negara Bhutan yang setia, engkau harus dapat membantu untuk menghancurkan rencana pemberontakan ini."

"Aku bersedia!" jawab panglima itu sambil berdiri sigap seperti seorang perajurit siap menerima perintah.

Jayin lalu mengatur dan menyusun siasat untuk menjebak Mohinta. Panglima tua itu adalah tangan kanan Sangita, merupakan wakilnya, maka setelah panglima ini jelas memperlihatkan sigap setia kepada negara, Jayin lalu mempergunakannya untuk menjebak Mohinta. Panglima itu dibebaskan kembali dan bahkan disuruh menghadapi dan menyelesaikan segala urusan yang seharusnya ditangani oleh Sangita, sebagai wakil panglima pertama ini. Panglima Jayin yang bijaksana dan pandai itu dapat mengatur sedemikian rupa sehingga peristiwa penahanan para panglima itu tidak sampai menghebohkan masyarakat, dan keadaan kota raja tetap tenang-tenang saja sehingga tidak akan mencurigakan fihak pemberontak, sungguhpun. kini kekuatan utama telah diamankan sehingga andaikata ada pasukan-pasukan yang condong untuk memberontak, mereka telah kehilangan kepala dan kehilangan pegangan. Kini mereka tinggal menanti saja munculnya Mohinta. Tek Hoat sendiri sudah bersiap-siap, menjaga dalam istana dan sepasukan pengawal diserahkan kepadanya untuk diatur menjaga istana itu dengan ketat namun juga tidak kentara

bahwa terjadi ketegangan-ketegangan. Panglima Jayin sendiri mengerahkan pasukan terpendam untuk menghadapi gerakan pasukan Nepal di perbatasan.

Akhirnya saat yang dinanti-nanti penuh ketegangan itu pun tiba! Pada suatu malam yang sunyi, seorang perwira utusan Mohinta yang menjadi kurir menyelinap ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Sangita. Dia tidak tahu bahwa seluruh penjagaan di dalam gedung itu telah bertukar orang, yaitu orang-orangnya Panglima Jayin. Kemudian oleh penjaga dia dihadapkan kepada panglima tua yang mengaku sebagai wakil dari Pang lima Sangita dan mengatakan bahwa Panglima Sangita sedang menjalankan tugas ke luar Bhutan dan telah memberi kuasa kepadanya untuk menerima hubungan dari putera panglima.

Utusan itu lalu menyampaikan pesan Mohinta agar Panglima Sangita atau wakilnya suka menenuinya di luar Bhutan, dalam sebuah hutan tersembunyi untuk bicara. Panglima tua yang kini menjadi pembantu Jayin itu cepat mengikuti utusan itu meninggalkan kota raja dan menjelang pagi sampailah mereka di dalam hutan di mana telah menanti Mohinta dan kaki tangannya.

Mohinta mengenal panglima tua ini sebagai pembantu ayahnya yang paling dipercaya maka dia pun tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia menceritakan segala rencananya untuk disampaikan kepada ayahnya. Mohinta minta kepada panglima itu untuk mengirim pasukan pengawal untuk mengawalnya masuk istana, pasukan yang boleh dipercaya dan kuat untuk menghadapi pengawal-pengawal istana. Kemudian dia minta agar dikerahkan pasukan besar untuk bergerak mengepung istana, dan mengirim pula pasukan untuk menyambut pasukan Nepal di perbatasan dan mengajak pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan sehingga dengan bantuan pasukan Nepal mereka akan dapat menguasai Bhutan seluruhnya.

Tentu saja diam-diam panglima yang tua itu terkejut sekali mendengar rencana ini dan baru dia percaya bahwa putera panglima ini merencanakan pemberontakan hebat, bahkan pengkhianatan dengan bersekutu bersama pasukan Nepal yang menjadi musuh Bhutan. Dia menyatakan mengerti dan bergegas kembali ke kota raja untuk "melaksanakan" rencana yang diatur oleh Mohinta itu. Tanpa mengenal lelah panglima tua ini lalu menemui Jayin yang memang sudah menanti dan diceritakanlah semua pembicaraannya dengan Mohinta.

"Bagus! Permintaannya yang pertama harus dipenuhi, yaitu mengirim pasukan pengawal pilihanku sendiri. Dan memang ada pasukan yang akan menyambut pasukan Nepal di perbatasan, bukan untuk diajak bekerja sama, melainkan untuk dihancurkan!" kata Jayin menahan kemarahannya.

Sesuai dengan permintaan Mohinta, seregu pasukan pengawal dikirim ke hutan itu, dan seorang "utusan" panglima tua menyampaikan berita kepada Mohinta bahwa pasukan telah dipersiapkan untuk "mengurung" istana, dan juga dikirim sebuah pasukan untuk menyambut bala tentara Nepal di perbatasan. Tentu saja Mohinta menjadi girang bukan main. Biarpun hatinya juga diliputi ketegangan hebat, namun dia sudah merasa yakin akan kemenangannya dan dia segera mengawal sang puteri, berikut para pengawalnya sendiri dan pasukan pengawal yang baru saja menyambutnya, memasuki kota raja dan karena rakyat sudah dikabari akan kembalinya sang puteri, maka di sepanjang jalan rakyat menyambut dengan gembira. "Puteri" Syanti Dewi yang duduk di dalam kereta itu melambaikan tangannya ke kanan kiri sambil tersenyum manis. Mereka yang pernah mengenal sang puteri dari dekat, diam-diam merasa akan adanya perubahan pada diri sang puteri itu. Memang sejak dahulu Puteri Syanti Dewi terkenal ramah terhadap rakyat kecil, akan tetapi keramahannya itu bersifat halus, senyumnya agung dan pandang matanya lembut. Akan tetapi ketika sang puteri melambaikan tangan dari dalam kereta dan wajahnya nampak sepintas lalu, mereka ini melihat betapa senyum sang puteri itu, biarpun masih tetap manis, mengandung kegenitan dan pandang matanya juga tidak selembut dahulu lagi! Tentu saja perubahan yang sedikit ini tidak menimbulkan kecurigaan sesuatu.

Rakyat bersorak-sorak menyambut sang puteri yang memang dicinta oleh rakyat Bhutan yang sudah lama ikut prihatin karena hilangnya sang puteri, sampai rombongan itu tiba di depan istana, kemudian memasuki halaman istana yang lebar. Rakyat hanya bergerombol di luar halaman yang terjaga. Para perajurit pengawal memberi hormat ketika Mohinta mengawal sang puteri turun dari kereta dan berjalan dengan agungnya memasuki istana.

Sesuai dengan permintaan Ang Tek Hoat sri baginda menanti kedatangan puterinya itu di ruangan yang luas di tengah istana, dan yang mendampingi raja itu hanya dua orang pengawal pribadi yang memegang tombak. Ketika Mohinta tiba di luar pintu ruangan itu, para pengawal istana melarang para pengawal ikut masuk bersama Mohinta memasuki ruangan itu dan hanya membolehkan Mohinta dan sang puteri berjalan masuk. Karena Mohinta merasa yakin bahwa para pengawal di istana ini pun tentu sudah  "dibeli" oleh ayahnya dan kaki tangannya, maka dia dengan sikap tenang saja memasuki ruangan itu dengan sikap gagah.

Raja Bhutan duduk di atas kursinya dengan sikap tenang, sungguhpun jantungnya berdebar penuh ketegangan. Hanya ada dua orang pengawal di belakangnya, sungguhpun dia maklum bahwa Ang Tek Hoat berada di situ pula, entah bersembunyi di mana! Dan melihat betapa raja hanya ditemani dua orang pengawal, diam-diam Mohinta menjadi girang bukan main. Inilah saatnya bertindak, pikirnya dan begitu dia dan Syanti Dewi melangkah maju sampai cukup dekat, tiba-tiba Mohinta mencabut pedangnya, menangkap pundak sang puteri dan menodongkan pedangnya ke leher Syanti Dewi!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati sang raja melihat ini sungguhpun dia telah diberi tahu akan rencana Mohinta yang membawa puterinya sebagai sandera. Kaget dan marah bukan main hati raja itu melihat pengkhianatan ini. Dia turun dari kursinya, dengan muka merah dan mata melotot, menudingkan telunjuk kirinya ke arah Mohinta dan membentak, suaranya penuh dengan kemarahan.

"Mohinta, apa yang kaulakukan itu?" Suara sri baginda gemetar.

Dengan wajah beringas Mohinta berkata, "Sri baginda, dengarlah baik-baik! Pasukan pengawalku sudah mengurung ruangan ini, juga istana telah dikurung oleh barisan ayahku, dan di perbatasan telah menanti pasukan besar Nepal yang akan membantuku! Seluruh negeri Bhutan telah berada dalam genggamanku, dan nyawa puterimu berada di telapak tanganku pula! Harap Paduka melihat kenyataan ini dan tidak melawan!"

Hampir raja itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya. "Pengkhianat busuk! Semenjak beberapa keturunan, keluargamu telah menerima banyak anugerah dari kerajaan, juga telah banyak membuat jasa yang mengharumkan nama keluargamu. Akan tetapi sehari ini semua itu akan dihancurkan oleh kelakuan seorang keturunan macam kamu yang hina dan rendah ini!"

"Sri baginda, tak perlu banyak cakap kalau Paduka menghendaki puterimu ini selamat!" bentak Mohinta.

"Apa kehendakmu?" tanya raja, juga membentak.

"Buatkan pernyataan bahwa Paduka melepaskan kedudukan dan menyerahkan tahta kerajaan kepadaku. Paduka telah terlalu tua dan aku sebagai mantu yang akan menggantikan kedudukan di Bhutan!"

"Keparat! Jahanam! Tangkap pemberontak ini!" Raja itu berteriak-teriak dan dua orang pengawalnya bergerak ke depan.

"Mundur kalian! Atau, kubunuh sang puteri, kemudian kubunuh pula Sri baginda!" bentak Mohinta dan pedangnya makin dilekatkan ke leher sang puteri yang menjadi pucat dan gemetar tubuhnya.

Dua orang pengawal itu menjadi ragu-ragu dan bingung. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan berkelebat ke arah Mohinta. Panglima muda ini terkejut bukan main ketika bayangan itu menyambar ke arahnya dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar pula. Dia mengelebatkan pedangnya, akan tetapi akibatnya, dia berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang karena pedangnya itu membalik dan hampir mengenai mukanya sendiri, sedangkan pergelangan tangannya yang kena pukulan hawa itu terasa nyeri. Ketika dia memandang, seorang pemuda telah berdiri menghadang antara dia dan sang puteri dan semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

Sementara itu, Sri baginda lari menghampiri sang puteri yang segera dipeluknya. "Syanti.... anakku.... ah, anakku....!" Ang Tek Hoat memandang Mohinta dengan muka beringas dan menyeramkan sekali. Apalagi ketika pemuda ini berkata lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Mohinta, "Jahanam busuk Mohinta, engkau telah membunuh ibuku dan untuk itu saja akan kuhancurkan kepalamu! Engkau telah menyesatkan Syanti Dewi dan untuk itu akan kupatahkan batang lehermu!

Dan engkau merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan untuk itu engkau layak mampus sebagai anjing pengkhianat!"

"Ahhh.... kau.... kau....!" Teriakan raja ini mengejutkan Tek Hoat yang cepat memutar tubuhnya. Dia melihat Syanti Dewi dengan pisau di tangan menyerang raja! Raja Bhutan mengelak akan tetapi lengannya masih tertusuk dan mengeluarkan darah.

"Syanti....! Kau gila....!" Tek Hoat berseru, akan tetapi Syanti Dewi mengeluarkan suara ketawa aneh dan terus menyerang raja. Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal raja sudah bergerak, tombak mereka menghalang dan menyerang dan dilain saat, perut puteri itu sudah ditembus tombak dan robohlah puteri itu dengan mata terbelalak dan ususnya keluar dari lukanya, tubuhnya mandi darah.

"Dewi....!" Tek Hoat berseru lagi dan Raja Bhutan lalu diselamatkan oleh dua orang pengawal melalui pintu rahasia.

Tek Hoat merasa kepalanya pening dan hampir dia roboh pingsan menyaksikan semua itu. Syanti Dewi menyerang ayahnya sendiri dan puteri itu kemudian roboh tewas oleh pengawal. Semua ini gara-gara Mohinta. Dia memutar tubuhnya, akan tetapi Mohinta telah lari keluar, mempergunakan kesempatan selagi "puteri" itu menyerang raja dan Ang Tek Hoat tidak lagi memperhatikan dirinya. Di luar terjadi keributan, terdengar suara hiruk-pikuk orang berkelahi.

Dengan hati hancur melihat tubuh kekasihnya menggeletak tak bernyawa dengan usus terurai keluar, Tek Hoat mengerang dan berkelebat keluar dari dalam ruangan itu, mencabut pedang Cui-beng-kiam dan sinar matanya mengandung hawa maut seperti seekor harimau yang haus darah. Ternyata telah terjadi pertempuran di luar, di seluruh istana sampai keluar istana, yaitu antara para pengikut Mohinta melawan para pengawal.

Mohinta terkejut setengah mati ketika tadi melihat munculnya Tek Hoat dan tahulah dia bahwa rencananya gagal. Juga Syanti Dewi palsu tahu akan kegagalan itu maka dengan nekat dia menyerang sang raja sehingga dia menemui ajalnya di ujung tombak dua orang pengawal. Ketika tiba di luar dan melihat betapa pasukan pengawal yang menyambutnya tadi kini malah bertanding melawan para pengikutnya, makin sadarlah Mohinta bahwa dia telah terjebak. Maka dia pun lalu mengamuk dibantu oleh anak buahnya. Dan memang sebelumnya Mohinta telah mempersiapkan diri maka para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, bukan pengikut-pengikut biasa, bahkan di antara mereka terdapat orang-orang Nepal yang menyamar, orang-orang yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada Mohinta sendiri!

Tek Hoat mengamuk dengan pedangnya. Begitu dia menerjang ke depan, kacaulah pertahanan para pengikut Mohinta dan sebentar saja, Tek Hoat telah merobohkan banyak pengikut pemberontak, akan tetapi dia terus berlari keluar mencari dan mengejar Mohinta. Ketika dia tiba di ruangan depan, dia melihat Mohinta dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, di antaranya bahkan ada seorang berkepala gundul seperti hwesio yang amat lihai sedang mengamuk merobohkan para pengawal istana.

"Mohinta keparat, jangan lari!" Tek Hoat berseru nyaring dan menerjang ke depan, akan tetapi dia disambut oleh banyak anak buah Mohinta yang cukup lihai sehingga Tek Hoat harus menggerakkan pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari hujan senjata.

"Kepung! Bunuh!" Mohinta berseru memerintahkan anak buahnya karena dia maklum bahwa selama pemuda ini belum roboh, maka dia sendiri terancam bahaya.

Anak buahnya berdatangan dan kiranya panglima muda ini memang telah menaruh banyak mata-mata di situ, mata-mata yang berdatangan pada saat Mohinta memasuki istana dan para anak buah itu kini dapat membantunya mengeroyok Tek Hoat. Ada dua puluh orang lebih kini mengurung Tek Hoat yang mengamuk seorang diri saja karena para pengawal istana sudah roboh oleh para pemberontak itu. Tek Hoat tidak menjadi gentar dan mengamuk terus sambil berusaha mendekati Mohinta. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah orang-orang pilihan dari Bhutan, sebagian dari Nepal dan bahkan ada beberapa orang Han yang telah menjadi kaki tangan panglima muda itu.

Bagaikan seekor naga mengamuk, Tek Hoat menggerakkan pedangnya. Hatinya masih kalut, kedukaan yang amat hebat menghimpit hatinya. Tubuh Syanti Dewi dengan usus keluar itu tak pernah meninggalkan bayangan matanya dan dia mengamuk dengan gerakan nekat dan banyak yang mengawur maka beberapa kali senjata lawan yang mengeroyoknya sempat mengenai tubuhnya. Kedua pahanya

luka-luka, celananya robek dan pakaiannya sudah ternoda darahnya sendiri dan darah musuh. Namun, dia merobohkan mereka satu demi satu dan Cui-beng-kiam, pedang pusaka yang mengerikan itu, kini boleh puas minum darah manusia. Berkali-kali pedang ini memasuki tubuh seorang pengeroyok dan keluar lagi telah berwarna merah, dan darah-darah itu seperti mencucinya, membuatnya mengkilap dan makin ampuh!

Biarpun dia sendiri luka-luka dan banyak keluar darah dari lukanya, namun Tek Hoat tidak merasakan semua itu. Satu-satunya hasrat dalam hatinya hanya membunuh Mohinta dan biarpun dia sudah merobohkan belasan orang pengeroyok, dia masih belum dapat mendekati Mohinta yang selalu menjauhkan diri itu. Kini hanya tinggal lima enam orang lagi saja yang masih mengeroyoknya, di antaranya adalah orang berkepala gundul itu yang amat lihai mainkan tombak bercabang tiga itu, bersama dengan beberapa orang pengawal dari Nepal yang pandai bermain golok dan perisai. Mohinta sendiri hanya menyerang dari belakang setiap kali ada kesempatan, kemudian meloncat mundur lagi kalau Tek Hoat membalikkan tubuhnya. Melihat kecurangan orang yang amat dibencinya ini, Tek Hoat menjadi marah. Dia menanti kesempatan baik sambil memutar Cui-beng-kiam menghalau semua serangan enam orang lihai yang membantu Mohinta itu. Ketika pendengarannya dapat menangkap gerakan Mohinta yang menyerangnya lagi dari belakang, Tek Hoat pura-pura tidak memperhatikannya, akan tetapi setelah serangan itu dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba dia melakukan

gerakan meloncat dan membalik, kaki kirinya menginjak tangga lantai. Mohinta terkejut dan cepat meloncat hendak menjauhkan diri, akan tetapi Tek Hoat yang berada di belakangnya itu, tanpa memutar tubuhnya telah menggerakkan Cui-beng-kiam ke belakang, ke arah punggung Mohinta melalui bawah lengan kanannya.

"Blesssss....!" Mohinta menjerit ngeri ketika pedang Cui-beng-kiam itu memasuki punggung, terus ke perut dan menembus ke depan. Darahnya muncrat-muncrat dan teriakannya seperti babi disembelih.

"Itu untuk ibuku!" teriak Tek Hoat sambil mencabut pedangnya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung-huyung, kembali pedangnya membabat dua kali.

"Crakkk! Crakkk!" Kedua lengan Mohinta putus sebatas siku kena disambar Cui-beng-kiam.

"Itu untuk Kerajaan Bhutan!" kembali Tek Hoat berteriak.

 Mohinta kembali menjerit dan matanya terbelalak memandang kedua lengannya yang buntung, kini darah muncrat-muncrat dari perut, punggung, dan kedua lengan yang buntung. Akan tetapi Tek Hoat masih belum berhenti menyerangnya. Pedangnya kembali berkelebat, menangkis tombak laki-laki gundul sehingga ujung tombak bercabang tiga itu putus, kemudian pedang itu masih terus membabat ke arah leher Mohinta yang sudah lemas dan kedua kakinya sudah hampir tidak kuat berdiri lagi itu.

"Crakkk!" Leher Mohinta putus disambar Cui-beng-kiam dan lenyaplah jeritan-jeritan Mohinta yang mengerikan tadi.

"Itu untuk Syanti Dewi!" kembali Tek Hoat berteriak dan kini pemuda ini mengamuk sampai enam orang pengeroyoknya itu roboh semua, tewas di ujung Cui-beng-kiam. Akan tetapi karena dia sendiri pun mengalami banyak luka, dan terutama sekali karena batinnya yang tertekan oleh kematian Syanti Dewi, sambil mengeluh panjang setelah tidak melihat adanya seorang pun lawan, Tek Hoat terkulai dan dengan Cui-beng-kiam masih di dalam genggamannya, dia roboh pingsan!

Di luar istana juga terjadi pertempuran-pertempuran kecil dari pasukan-pasukan anak buah Mohinta melawan pasukan-pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pembantu Panglima Jayin. Akan tetapi karena pasukan-pasukan pemberontak itu telah kehilangan pimpinan mereka, yang sudah ditawan terlebih dahulu oleh Jayin, maka perlawanan mereka pun setengah matang, dilakukan setengah hati sehingga belum sampai setengah hari lamanya, mereka telah dapat ditundukkan, dihancurkan dan ditawan. Sebagian besar di antara mereka menaluk. Demikian pula, di perbatasan terjadi pertempuran antara pasukan Nepal yang sudah siap menyeberang dengan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jayin sendiri. Pertama-tama Jayin mengirim utusan yang menyamar sebagai utusan pemberontak, mempersilakan pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan, setelah tiba di lorong sempit yang diapit dua buah bukit, pasukan Nepal itu diserbu dari kanan kiri dan depan se hingga pasukan itu menjadi panik, akhirnya melarikan diri kembali ke Nepal meninggalkan banyak korban.

Pemberontakan itu berhasil dihancurkan sebelum dimulai! Rakyat merasa gembira bukan main karena mereka terhindar dari perang pemberontakan yang tentu akan merusak kesejahteraan hidup. Apalagi ketika rakyat mengetahui bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu hanya seorang wanita Nepal yang menyamar!

Akan tetapi, Ang Tek Hoat tidak tahu akan hal ini. Ketika dia ditolong dalam keadaan pingsan, sampai beberapa hari dia tidak siuman, dan tubuhnya menderita demam panas. Dia jatuh sakit, bukan hanya karena luka-lukanya melainkan terutama sekali karena kehancuran hatinya melihat Syanti Dewi tewas. Untuk kedua kalinya, pemuda ini telah menyelamatkan dan membela Bhutan dengan taruhan nyawa, bahkan telah mengorbankan dirinya sampai luka-luka. Karena sekali ini benar-benar merasakan pembelaan pemuda ini, sri baginda merasa berterima kasih sekali dan dia sendiri yang mengatur agar Tek Hoat memperoleh perawatan sebaiknya dari para ahli pengobatan dalam istana.

Para ahli pengobatan yang pandai itu tahu bahwa pemuda ini jatuh sakit bukan hanya karena luka-luka di tubuhnya. Untuk itu, tubuh pemuda ini sudah terlampau kebal dan terlatih sehingga luka-luka itu tidak membahayakan keselamatannya. Akan tetapi yang mengkhawatirkan para ahli pengobatan itu adalah guncangan batin yang membuat pemuda itu belum pulih benar kesadarannya.

Memang Tek Hoat menjadi seperti seorang linglung. Dia hanya rebah dan kadang-kadang duduk, diam saja tak pernah mau bicara. Kadang-kadang dia menangis tersedu-sedu menutupi mukanya, memejamkan matanya hendak mengusir bayangan Syanti Dewi yang mati dalam keadaan mengerikan itu. Kadang-kadang selagi tidur dia berteriak-teriak memanggil nama Syanti Dewi dan memaki-maki Mohinta. Para ahli pengobatan merasa khawatir kalau-kalau tekanan batin itu akan mempengaruhi jiwa pemuda itu dan membuatnya

menjadi tidak waras. Oleh karena itu, para ahli pengobatan itu menasihatkan kepada sri baginda agar kenyataan bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu sesungguhnya bukan sang puteri, melainkan seorang wanita Nepal yang menyamar. Para tabib ini khawatir kalau-kalau berita yang amat mengejutkan akan mendatangkan guncangan yang terlalu hebat sehingga bahkan membuat penyakit Tek Hoat menjadi makin parah. Sri baginda dapat menerima nasihat ini dan memerintahkan kepada semua pelayan agar jangan menceritakan hal itu kepada Tek Hoat.

Sri baginda cukup bijaksana untuk mengampuni Panglima Sangita yang sudah tua, karena memang sesungguhnya panglima tua ini hanya terpaksa dan terbujuk oleh puteranya saja. Sedangkan para panglima dan perwira yang menjadi kaki tangan Mohinta, dijatuhi hukuman cukup berat untuk membikin jerih mereka yang masih mempunyai niat untuk memberontak. Pasukan-pasukan yang tadinya terpengaruh oleh Mohinta dan kawan-kawannya, dipecah-pecah dan digabungkan dengan pasukan pemerintah yang setia untuk

mencuci bersih batin mereka dari sisa-sisa keinginan memberontak.

Setelah Panglima Sangita yang tua itu dipensiun dan dibebastugaskan, dengan sendirinya Panglima Jayin menjadi panglima pertama, dan biarpun belum diadakan pengangkatan resmi, namun Ang Tek Hoat diangkat lagi menjadi panglima muda oleh sri baginda di Bhutan.

Perang terjadi di seluruh dunia semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiada henti-hentinya. Baik yang dinamakan perang dingin atau perang panas, perang politik, ekonomi, kebudayaan, perang halus maupun kasar, tak pernah lenyap dan selalu ada di antara bangsa sebagai letusan-letusan dari kemarahan, kebencian dan permusuhan. Perang yang terjadi antara bangsa, di bagian manapun juga di dunia ini, tidak terlepas dari setiap orang dari kita, karena bangsa merupakan kelompok manusia, oleh karena itu, perang adalah masalah setiap orang manusia di dunia ini, tidak peduli di manapun dia tinggal dan hidup, tidak peduli negaranya berada dalam perang atau tidak pada saat itu. Perang antara bangsa tidak terpisahkan dari keadaan diri setiap orang manusia, karena perang pada hakekatnya adalah kekerasan yang timbul dari keadaan batin yang penuh dengan kebencian, dengan perebutan kekuasaan, perebutan kebenaran, dan pementingan diri sendiri. Perang antara bangsa hanya merupakan gambaran besar dari perang yang setiap saat timbul di dalam hati kita sendiri masing-masing. Setiap saat, setiap hari juga terjadi pertentangan-pertentangan, konflik-konflik yang menimbulkan kebencian, kemarahan, dendam, iri hati, persaingan, perebutan yang kesemuanya itu didasari oleh keinginan untuk mementingkan diri sendiri, untuk mencari kesenangan atau keenakan bagi diri sendiri sehingga dalam pencarian atau pengejaran kesenangan ini kita tidak mempedulikan lagi keadaan orang lain. Demi mencapai cita-cita, mencapai apa yang kita kejar, yang tentu saja kita anggap akan mendatangkan kesenangan, maka kalau perlu kita membasmi siapa saja yang kita anggap menjadi penghalang tercapainya cita-cita kita itu. Demikianlah keadaan perang di dalam batin kita setiap saat sehingga batin kita penuh dengan kemarahan, kebencian, dan kekerasan dalam permusuhan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat di sekeliling diri kita, atau di dalam diri kita sendiri. Dan selama kita masing-masing tidak berubah, maka perang akan selalu berkobar di dunia ini, karena yang bertanggung jawab adalah kita masing-masing manusia di permukaan bumi ini.

Dapatkah kita hidup tanpa perang? Perang dalam arti kata perang antara bangsa, antara suku, antara kelompok, antara golongan, antara keluarga, antara tetangga, dan antara manusia perorangan, bahkan perang dalam diri sendiri antara nafsu-nafsu keinginan kita? Berakhirnya "perang" di dalam batin mengakhiri perang di luar diri, karena lahir dan batin tak terpisahkan, kait-mengait dan pengaruh-mempengaruhi. Bagaimana mungkin kita hidup damai lahiriah dengan orang lain kalau batin kita mengandung kebencian? Mengandung kemarahan, iri hati, rasa takut dan keinginan untuk enak sendiri? Jelas tidak mungkin! Sebaliknya, kalau batin tidak lagi dihuni oleh kemarahan, kebencian, iri hati, rasa takut, keinginan enak sendiri, batin seperti itu adalah batin yang hening dan bersih, batin seperti itu penuh dengan cahaya cinta kasih, dan bagi batin seperti itu tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kekerasan!

Raja Bhutan dan Panglima Jayin tentu saja merasa bahwa mereka telah berhasil membasmi pemberontakan, akan tetapi mereka lupa bahwa pemberontakan-pemberontakan tidak akan pernah berhenti, baik pemberontakan halus maupun kasar, selama manusia mementingkan kedudukan, harta benda, nama dan kehormatan, pendeknya selama manusia mengejar-ngejar kesenangan dan mementingkan semua itu lebih tinggi daripada si manusia sendiri. Raja Bhutan dan Jayin sama sekali bukan melenyapkan pemberontakan, melainkan hanya memperoleh kemenangan sementara saja, kemenangan yang harus pula dijaganya dengan kekerasan, karena kemenangan itu diperoleh dengan jalan kekerasan pula. Ketenangan dan kedamaian yang diciptakan oleh penekanan dan kekerasan bukanlah kedamaian lagi namanya. Manusia tidak lagi melakukan pemberontakan bukan karena dalam batinnya sudah penuh dengan cinta kasih, melainkan karena mereka takut melakukan pemberontakan itu! Dan ketenteraman seperti ini, yang diciptakan dengan menciptakan pula rasa takut, hanya akan bertahan untuk sementara saja, karena sekali waktu, ketenteraman itu akan terganggu oleh pemberontakan yang lain apabila yang takut sudah tidak takut lagi menurut keadaan pada saat itu!

Ketertiban yang sungguh-sungguh ketertiban adalah ketertiban yang timbul dari cinta kasih! Ketertiban yang timbul oleh paksaan kekuasaan, bukanlah ketertiban lagi namanya, melainkan ketidaktertiban yang dipulas. Dan ketertiban berdasarkan cinta kasih tidak mungkin dapat diatur, melainkan datang dengan sewajarnya apabila kita masing-masing tidak lagi dicengkeram oleh keinginan menyenangkan diri sendiri, apabila tidak adalagi si aku, si kamu dan si dia. bukan berarti bahwa kita lalu menjadi boneka-boneka hidup yang digerakkan oleh suatu kekuasaan tertentu yang membuat kita mati daya cipta kita, membuat kita kehilangan kepribadian, membuat kita memejamkan mata dan hanya bertindak menurut perintah atau menyesuaikan diri dengan apa yang diajarkan oleh kekuasaan itu! Sama sekali tidak, karena kalau demikian, sama saja kita hidup di bawah penekanan kekerasan dan terjadi konflik-konflik dalam batin yang akhirnya akan tercetus keluar menjadi tindakan kekerasan yang menimbulkan permusuhan antara manusia. Ketertiban, cinta kasih tidak bisa dipaksakan, tidak bisa disusun atau dibentuk, melainkan timbul sewajarnya kalau segala bentuk kekerasan sudah lenyap sama sekali dari batin.

******

Seperti juga dengan para pendekar yang membantu pemerintah menentang pemberontakan yang didalangi oleh Koksu Nepal, yang setelah benteng musuh itu dapat dihancurkan lalu pergi cerai-berai, masing-masing mengambil jalan sendiri, demikian pula dengan para tokoh yang tadinya membantu pemberontakan itu. Seperti kita ketahui, rombongan Bhutan yang dipimpin oleh Mohinta telah lebih dulu meninggalkan benteng dan mengawal Puteri Syanti Dewi palsu untuk melaksanakan rencana pemberontakan Mohinta di Bhutan. Juga rombongan Liong-sim-pang yang dikepalai Hwa-i-kongcu Tang Hun telah lolos dari benteng, mengambil jalannya sendiri. Hek-tiauw Lo-mo juga telah pergi, mencari puteri angkatnya, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi juga sudah pergi mencari keselamatannya sendiri. Bahkan tiga orang pandai yang tadinya membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To, setelah melihat kegagalan orang yang dibantunya, juga telah pergi memisahkan diri meninggalkan benteng.

Demikian pula dengan halnya Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu. Biarpun tadinya mereka memperoleh kesempatan untuk meninggalkan benteng bersama-sama, namun setelah tiba di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang di antara Ngo-ok tidak mau mengikuti Sam-ok atau Koksu Nepal yang telah gagal itu. Mereka tidak mau ikut pergi ke negara Nepal, maka mereka pergi sendiri memisahkan diri, meninggalkan Koksu Nepal yang seperti kita ketahui pergi bersama muridnya, Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Kalau tadinya keempat orang di antara Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu adalah karena Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengadakan pergerakan di Tiongkok dan mereka mengharapkan kedudukan kalau

gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pemberontakan itu gagal dan mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain seperti Nepal, maka mereka berempat meninggalkan Koksu Nepal dan mengambil jalan sendiri, sungguhpun mereka berempat masih belum berpencar, masih melakukan perjalanan bersama menuju ke utara.

Pada saat benteng yang dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pemaksaan Koksu Nepal itu runtuh dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan pimpinan Puteri Milana menyerbu benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah titik hitam bergerak-gerak, melayang-layang berputaran di atas tempat itu. Orang-orang yang berada di bawah, di dalam dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, dengan perang dan bunuh-membunuh sehingga tidak ada seorang pun yang sempat memandang ke atas dan melihat titik hitam yang kini makin membesar sehingga akhirnya nampak bahwa titik hitam itu adalah seekor burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang bergulung-gulung naik dari benteng yang kebakaran itu. Andaikata ada yang melihatnya, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa di atas punggung burung rajawali raksasa itu duduk seorang manusia! Orang yang melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang menunggang rajawali itu seorang dewa!

Burung itu sendiri adalah seekor burung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang di jaman itu, seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing, jauh di utara. Burung itu telah tua sekali, namun masih kelihatan kuat ketika menggerakkan sayapnya yang lebar dan nampaknya ringan saja dia membawa seorang manusia di punggungnya. Manusia itu pun aneh. Kakinya buntung sebelah, tinggal kaki kanannya saja, pakaiannya sederhana sekali, rambutnya panjang terurai dan berwarna putih perak, demikian pula jenggotnya yang agak panjang. Wajahnya agak kurus, namun masih nampak bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini tentu merupakan seorang pria yang tampan. Tubuhnya sedang, agak kekurus-kurusan dan dia duduk di atas punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti orang menunggang kuda saja, enak dan tenang. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut yang ditempelkannya ke leher burung, agaknya tongkat itulah yang menjadi pengganti kendali untuk mengemudikan burung itu, atau setidaknya untuk memberi isyarat ke mana burung itu harus terbang.

Kini burung rajawali itu menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap menghitam bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar itu. Kakek berkaki buntung yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun itu menggerakkan tongkatnya dan burung itu menukik turun lalu membelok ke kiri menghindarkan diri dari asap, keluar dari gumpalan menghitam yang baunya menyesakkan napas itu.

"Hemmm, perang...., lagi-lagi perang.... pertempuran, bunuh-membunuh di antara manusia....!" Kakek itu menggumamkan sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih berlangsung. Kakek ini bukan lain adalah Suma Han. Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.

Seperti telah kita ketahui, Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang isterinya yang tercinta untuk pergi

meninggalkan pulau dan mencari putera-putera mereka yang sudah terlalu lama pergi merantau tanpa ada kabar ceritanya.

Sebenarnya, pendekar sakti yang tua ini enggan pergi meninggalkan pulaunya, akan tetapi akhirnya dia mengalah juga terhadap keluhan dan bujukan isteri-isterinya dan pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu meninggalkan pulau dan mulai dengan perantauannya mencari dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.

Ketika dia mendengar akan gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas pemberontakan di Propinsi Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak menuju ke sebuah benteng di lembah, hatinya tertarik karena sangat boleh jadi kedua orang puteranya itu terlibat pula dalam penindasan pemberontakan ini, seperti yang pernah mereka lakukan ketika terjadi pemberontakan dari kedua orang Pangeran Liong. Maka dia pun lalu menyusul ke tempat itu, menunggang burung rajawalinya yang tua.

Akan tetapi, ketika melihat pertempuran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para pemberontak itu dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering menyaksikan perang di antara manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati tempat ini, melainkan menyuruh rajawalinya berputaran di atas dan memasang mata kalau-kalau dia akan melihat dua orang puteranya. Dari tempat tinggi, di antara gumpalan asap, dia samar-samar dapat melihat pemimpin pasukan pemerintah dan jantungnya berdebar karena dia mengenal puterinya, yaitu Puteri Milana! Ah, kalau begitu tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikirnya. Kalau tidak demikian, kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang sudah hidup tenang dan tenteram bersama pria yang dikasihinya, Gak Bun Beng di puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting dan berbahaya, tentu puterinya itu pun tidak akan mau menceburkan diri dalam medan perang seperti itu.

Akan tetapi, melihat puterinya memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak, yang berarti adanya bunuh-membunuh yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti merasa enggan untuk turun menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee dan Kian Bu, maka dia lalu menyuruh burungnya agak menjauhi benteng. Burung itu agaknya merasa girang karena binatang ini pun menjadi panik melihat asap hitam bergumpal-gumpal itu maka dengan cepat lalu meluncur ke arah timur.

Tiba-tiba Pendekar Super Sakti terkejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya aneh-aneh, akan tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini adalah cara empat orang itu bergerak dan lari. Mereka itu bergerak cepat bukan main dan dari tempat tinggi itu Suma Han dapat mengenal orang-orang pandai yang memiliki ilmu yang sudah sangat tinggi tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh burungnya menukik dan mendekati. Setelah agak dekat di atas empat orang yang berlari cepat sekali itu, pendekar sakti yang tua ini makin kaget karena dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dengan dia belum lama ini. Kalau yang dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat bentuk tubuh mereka, yang dua orang lain lagi pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang terkenal itu. Dan kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini, maka

tentulah terjadi urusan besar dan bukan tidak mungkin empat orang itu tahu di mana adanya Kian Lee dan Kian Bu. Bukankah Twa-ok sendiri pernah bercerita kepadanya tentang Kian Bu yang katanya rambutnya putih semua, berjuluk Siluman Kecil dan katanya bergulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo? Tentu mereka itu tahu di mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh rajawalinya terbang turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah, dia lalu meloncat turun dan membiarkan burungnya terbang naik lagi.

Munculnya pendekar sakti ini sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga ketika empat orang itu tiba-tiba melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka, tentu saja mereka terkejut bukan main. Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, empat di antara Ngo-ok. Mereka sedang meninggalkan benteng yang terbakar itu dengan hati kecewa dan mengkal karena gagalnya usaha mereka, yaitu Sam-ok atau Koksu Nepal. Kegagalan itu bukan hanya merugikan mereka yang telah membuang waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok, akan tetapi terutama sekali karena kegagalan itu pun sekaligus menjatuhkan nama

mereka sebagai Ngo-ok! Pemberontakan yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal ini menampar muka mereka. Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es itu menghadang di depan mereka, empat orang ini terkejut, agak gentar akan tetapi juga marah. Anak-anak dari pendekar inilah yang membantu pemerintah sehingga gerakan itu gagal dan terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar Siluman ini, kini mendapatkan kesempatan untuk membalas kekalahan mereka karena kini ada Su-ok dan Ngo-ok yang membantu mereka. Rasa penasaran karena pernah dikalahkan, kemudian rasa kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak mereka tumpahkan kepada Pendekar Super Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang biasa, yaitu tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut.

"Ah, kiranya yang terhormat Suma-taihiap alias Pendekar Super Sakti alias Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang datang menghadang kita! Saudara-saudaraku, tamu agung tiba, mari kita sambut dengan penuh kehormatan!" Ucapan ini halus dan menghormat, akan tetapi merupakan isyarat bagi teman-temannya untuk menyerang pendekar berkaki satu itu.

"Maafkan kalau aku mengganggu kalian berempat. Aku hanya ingin bertanya kalau-kalau Su-wi (kalian berempat) melihat dua orang puteraku, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu." Dia berhenti sebentar, memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Apakah putera-puteraku itu terlibat dalam pertempuran di benteng yang terbakar itu dan apakah...."

Baru sampai di sini pendekar itu bicara, Ngo-ok Toat-beng Sian-su, si tosu yang tingginya dua setengah meter itu, dengan mukanya yang selalu sedih, telah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan dia sudah menerjang dengan kedua tangannya yang berlengan panjang. Serangan ini hebat sekali, dan begitu Pendekar Super Sakti mengelak, dari samping sudah menerjang Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek katai itu yang menggelundung seperti trenggiling, melakukan penyerangan secara diam-diam dan pengecut, menghantam dari bawah ke arah belakang kaki Suma Han! Dan menyusul itu, hampir bersamaan waktunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak dan masing-masing sudah menerjang dengan ganas dan dahsyat!

Mula-mula Suma Han hanya mengelak dari serangan-serangan itu satu demi satu, akan tetapi ketika serangan-serangan itu dilanjutkan dengan desakan yang bertubi-tubi, dan setiap serangan merupakan jangkauan tangan maut, pendekar ini terkejut juga dan tahulah dia bahwa yang dihadapinya adalah orang-orang lihai dengan kepandaian silat tingkat tinggi yang berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Pendekar sakti ini lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan empat orang pengeroyoknya, dan yang nampak hanya bayangannya saja berkelebatan dengan kecepatan seperti kilat menyambar dan ke manapun empat orang lawan itu menubruk dan menyerang, selalu bayangan itu melejit dan meluncur dengan cepat, membuat semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka. Empat orang datuk kaum sesat itu terheran-heran. Tahulah mereka bahwa lawan ini menggumakan Ilmu Soan-hong-lui-kun, ilmu ajaib yang terkenal sekali dimiliki oleh Pendekar Siluman ini.

Akan tetapi Suma Han tidak ingin mencari permusuhan, maka setelah berkelebatan mengelak ke sana-sini mengandalkan Ilmu Soan-hong-lui-kun, tiba-tiba dia turun dan berdiri tegak sambil berseru, "Tahan, harap kalian suka dengarkan bicaraku dulu!"

Pendekar Siluman itu berdiri tegak dengan satu kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkat bututnya yang dipergunakan sebagai pengganti kaki kiri, sikapnya tenang sekali namun agung dan berwibawa. Empat orang datuk kaum sesat itu penasaran dan masih belum hilang rasa kaget dan heran menyaksikan gerakan lawan yang tidak lumrah manusia itu. Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah memasang kuda-kuda yang amat aneh, yaitu kedua lengannya diangkat ke atas, kedua lengan itu menggigil dan bergerak-gerak, dari situ memancar hawa dingin, dan dia seolah-olah dengan susah payah menahan kedua tangannya berikut jari-jari tangan yang

seperti "hidup" dan hendak bergerak sendiri itu. Twa-ok Su Lo Ti juga memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu, agak membongkok, tangan kanannya membentuk cakar setan dan tangan kirinya membuka jari telunjuk dan jari tengah, seperti siap untuk menotok atau mencapit! Su-ok Siauw-siang-cu si gundul pendek kelihatan makin pendek karena dia memasang kuda-kuda berjongkok dan itulah kuda-kuda untuk ilmunya yang hebat, yaitu pukulan sakti Katak Buduk! Yang paling aneh adalah si jangkung Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di bawah dan kedua kaki di atas. Karena tubuhnya jangkung bukan main, dua setengah meter panjangnya, maka ketika dia berdiri seperti itu, kedua kakinya menjadi seperti dua batang kayu yang menjulang tinggi!

Melihat gaya aneh-aneh dari empat orang pengeroyoknya yang kini memasang kuda-kuda mengepungnya dengan membentuk setengah lingkaran, Suma Han tetap tenang saja.

"Aku tidak pernah dan tidak ingin bermusuhan dengan Su-wi, maka hendaknya Su-wi suka bersabar. Aku hanya ingin bertanya tentang kedua orang puteraku itu. Kalau di antara Su-wi ada yang tahu, harap memberitahu, kalau tidak ada yang tahu, sudahlah, aku tidak akan mengganggu lebih lama lagi. Kita bukan anak-anak kecil yang tanpa sebab dan tanpa alasan berkelahi seperti gila. Nah, tahukah Su-wi tentang kedua orang puteraku itu ataukah tidak?"

Empat orang itu tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka itu tidak mempedulikan pertanyaan Suma Han, melainkan sedang memutar otak mencari jalan bagaimana baiknya menyerang dan menjatuhkan Majikan Pulau Es yang amat sakti ini.

Selagi Pendekar Super Sakti hendak mengulang pertanyaannya, tiba-tiba terdengar pekik aneh di angkasa dan ternyata burung rajawali itu diserang oleh seekor burung garuda! Semua orang melirik ke atas, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan orang yang suaranya parau dan kasar sekali.

"Huh, kalau bapaknya tak tahu malu, anaknya pun tidak tahu malu pula!" Semua orang menengok, dan Suma Han segera mengenal kakek yang baru datang ini, kakek raksasa yang kelihatan menakutkan dan buas. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, penghuni Pulau Neraka!

"Suma Han, engkau tidak bisa mendidik anakmu! Anakmu yang bernama Suma Kian Lee itu sungguh tidak tahu malu, dan kalau engkau tidak dapat menghajarnya, biar aku yang akan menghajarnya sampai mampus!"

Tadinya Suma Han tidak mempedulikan munculnya Hek-tiauw Lo-mo ini, akan tetapi mendengar ucapan itu yang menyangkut nama seorang di antara dua puteranya yang sedang dicarinya, dia tertarik.

"Hek-tiauw Lo-mo, apakah maksudmu? Di mana adanya Kian Lee?"

"Kalau aku tahu di mana dia, sudah kudatangi dia dan kubunuh dia!" jawab ketua Pulau Neraka ini dengan marah. Kakek raksasa ini sudah mendengar bahwa Hwee Li telah dirampas oleh Kian Lee dari tangan Liong Bian Cu, maka dia marah dan memaki-maki begitu melihat Pendekar Super Sakti. Suma Han menarik napas panjang. Dia mengenal orang ini dan tahu akan wataknya yang liar, kasar dan keras, maka maki-makian terhadap puteranya itu tidak dihiraukannya.

"Hek-tiauw Lo-mo, setidaknya engkau tentu dapat menceritakan apa yang telah diperbuat oleh puteraku itu sehingga engkau marah-marah seperti ini."

"Apa yang diperbuatnya? Setan cilik itu telah merampas dan menculik puteriku! Hayo engkau yang menjadi bapaknya harus bertanggung jawab! Kalau engkau tidak bisa memaksa puteramu itu untuk mengembalikan puteriku, maka namamu akan cemar selama hidup, bahkan sampai ke anak cucumu akan menanggung kecemaran namamu!"

Suma Han mengerutkan alisnya. Segala makian dan omongan keji yang keluar dari mulut kakek raksasa itu tidak dia masukkan dalam hati karena memang dia sudah tahu orang macam apa adanya ketua Pulau Neraka itu. Akan tetapi yang merisaukan hatinya adalah berita tentang Kian Lee yang menculik seorang gadis itu! Dan dia merasa heran akan bersimpang-siurnya berita itu. Twa-ok belum lama ini menceritakan kepadanya bahwa Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil katanya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, dan kini Hek-tiauw Lo-mo sendiri menuduh Kian Lee menculik puterinya! Bagaimana ini? Dia menoleh kepada Twa-ok dan dengan hati kesal pendekar itu berkata.

"Twa-ok mengatakan kepadaku bahwa Kian Bu bergaul erat dengan puterimu, Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang engkau mengatakan bahwa Kian Lee menculik puterimu. Siapakah yang benar dalam memberikan berita ini? Ataukah keduanya bohong?"

"Tidak ada yang bohong! Dua berita itu semua benar. Twa-ok juga menceritakan kenyataan bahwa anakmu bernama Kian Bu itu mengejar-ngejar puteriku, juga anakmu yang bernama Kian Lee kini menculik puteriku, Hwee Li yang manis. Memang dua anakmu itu mata keranjang, gila perempuan!"

"Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Kacang mana meninggalkan lanjaran? Buah apel tidak akan jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Aku mendengar bahwa Pendekar Siluman juga seorang laki-laki mata keranjang, bahkan isterinya dua disembunyikan di pulau kosong. Mana anak-anaknya tidak mata keranjang pula? Ha-ha-ha!" kata Su-ok Siauw-siang-cu yang memang pandai sekali bicara. Kakek berkepala gundul ini tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking gelinya, bahkan dia lalu terguling dan tertawa-tawa sambil bergulingan di atas tanah!

Suma Han mengerutkan alisnya. Sinar matanya menjadi tajam sekali dan betapapun juga, dia mulai marah. "Hemmm, kalian adalah manusia-manusia iblis, mana mungkin bisa dipercaya omongannya?"

Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dan Suma Han terkejut bukan main karena teriakan itu adalah teriakan kesakitan dari burung rajawalinya! Cepat dia memandang dan dia menahan seruannya ketika melihat betapa burung rajawali dan burung garuda yang tadi bertarung di angkasa itu keduanya kini roboh ke bawah, meluncur cepat sekali, kemudian terbaring berdebuk di atas tanah dan keduanya sudah tidak bergerak lagi. Dengan sekali melompat Suma Han menghampiri dan memeriksa dua bangkai burung itu. Kiranya mereka itu luka-luka parah dan agaknya saling bunuh dalam pertarungan tadi, mati sampyuh karena sama kuatnya dan

sama tuanya pula. Suma Han berduka sekali, berjongkok dan mengelus kepala bangkai rajawalinya.

Tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dan empat orang dari Ngo-ok itu bersama Hek-tiauw Lo-mo sudah menyerangnya selagi dia berjongkok memeriksa bangkai burungnya.

Bersambung ke bagian 7 ...